Pencarian

Abarat 1

Abarat Karya Clive Barker Bagian 1


ABARAT by Clive Barker Copyright ? 2002 Published by Arragement with Harper Collins Children's Books, a divison Harper
Collins Publishers All rights reserved ABARAT Alih bahasa: Sutanty Lesmana
GM 322 03.001 PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 33 - 37
Jakarta 10270 Ilustrasi & desain sampul: ? 2002 Clive Barker Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPl, Jakarta, Juni 2003 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) BARKER, Clive
Abarat/Clive Barker; alih bahasa: Sutanty Lesmana, - cet. -
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
440 hlm.; 23 cm. ISBN 979 - 22 - 0340 - 0 I. Judul II. Lesmana, Sutanty 813 Dicetak oleh Percetakan Ikrar Mandriabudi, Jakarta Isi di luar tanggung jawab
percetakan Kumemimpikan sebuah buku,
Tak berbatas tak berjilid,
Lembar-lembarnya tersebar banyak tak terkira.
Cakrawala baru di setiap barisnya,
Langit-langit baru diandai-andai;
Tempat-tempat baru, jiwa-jiwa baru
Salah satunya, Terkantuk-kantuk di siang hari, dalam angan semata Bermimpi tentang baris-baris
ini. Lalu dipinjamlah tanganku,
Untuk menuliskannya C.B. DAFTAR ISI PROLOG: MISI PENTING BAGIAN SATU: PASANG NAIK 1. Kamar Nomor Sembilan Belas
2. Peninggalan Henry Murkitt
3. Corat-Coret 4. "Jalan Habis"
5. Pantai Tak Berlaut 6. Lady Candy Naik ke Menara
7. Cahaya dan Air 8. Sejenak Bersama Melissa
9. Macam-Macam Peristiwa di Dennaga
BAGIAN DUA: SENJA MENUJU MALAM
10. Laut Izabella 11. Para Pemain Kartu 12. Jalan-Jalan Sambil Mengobrol
13. DiYebba Dim Day 14. Carrion BAGIAN TIGA: PULAU INI PULAU ITU
15. Serangga 16. Mata Universal 17. Almenak 18. Cerita Tentang Hark's Harbor
19. Di Karang Vesper 20. Melihat Dunia Melalui Mata Pinjaman
21. Perburuan BAGIAN EMPAT: ANEH BIN AJAIB
22. Di Hutan Tiang-Tiang Gantungan
23. Si Pencipta Commexo Kid
24. Tukang Gali dan Naga 25. Mischief Tak Berdaya 26. Rumah si Pembohong Z7. Bercakap-cakap dengan Criss-Cross Man
28. Jiwa sang Budak 29. Mata Kucing 30. "Jadilah Mesin Tcrbang"
31. Jam Kedua Puluh Lima 32. Angin Musim 33. Segala Sesuatu Pada Waktunya
34. Jalan Nasib yang Berbeda-beda
Apendiks: Cuplikan-Cuplikan dari Almenak Klepp
PROLOG MISI PENTING Tiga, angka untuk para pelaku pekerjaan suci;
Dua, angka untuk mereka jang berperan sebagai kekasih; Satu, angka untuk para
pelaku kejabatan sejati Atau kebaikan sejati.
- Dari catatan seorang rahib Ordo St. Oco; namanya tak diketahui BADAI datang dari arah barat daya, menerjang bagaikan setan yang membuntuti
korbannya dengan derap kaki halilintar. Angin yang dibawanya sama dahsyatnya dengan
napas setan sendiri, mengaduk-aduk air laut yang semula tenang. Ketika perahu
merah kecil yang dipilih ketiga wanita penumpangnya untuk perjalanan berbahaya
ini telah muncul dari lindungan kepulauan, dan keluar ke perairan terbuka, ombak
sudah setinggi tebing-tebing karang, dua puluh lima atau tiga puluh kaki
tingginya. "Ada yang sengaja mengirimkan badai ini," kata Joephi, yang berusaha
mengemudikan perahu itu sebaik mungkin. Nama perahu itu The Lyre. Layarnya
bergetar seperti daun diembus badai, berkepak-kepak liar, hingga hampir-hampir
tak bisa dikendalikan. "Berani sumpah, Diamanda, badai ini bukan badai biasa!"
Diamanda, yang tertua di antara ketiga wanita itu, duduk di bagian tengah perahu
mungil tersebut. Pakaiannya yang berwarna biru gelap dirapatkan di sekitar
tubuhnya, dan ia memeluk erat-erat bawaan mereka yang berharga itu di dadanya.
"Tidak usah histeris begitu," katanya pada Joephi dan Mespa. Disibakkannya
sehelai rambut putih panjang yang menutupi matanya. "Tidak ada yang melihat kita
meninggalkan Istana Bowers. Kita berhasil melarikan diri tanpa terlihat, aku
yakin itu." "Lalu kenapa ada badai ini?" tanya Mespa. la searang wanita kulit hitam yang
terkenal tangguh, tapi sekarang ia nyaris tersapu hujan yang turun deras ke atas
kepala ketiga wanita itu.
"Kenapa kau mesti heran kalau langit tidak bersahabat pada kita?" kata Diamanda.
"Bukankah kita sudah tahu bahwa dunia ini akan kacau balau akibat peristiwa yang
baru saja terjadi.'"
Joephi masih berjuang mengendalikan layar, sambil
menyumpah-nyumpah. "Sudah sewajarnya semua ini terjadi, bukan?" Diamanda melanjutkan. "Sudah
sewajarnya kalau langit menjadi murka dan laut pun menggelora, bukan" Atau kita
lebih suka kalau dunia ini diam tak peduli."
"Tidak, tentu saja tidak," sahut Mespa yang berpegangan pada tepi perahu. Perahu
itu sudah mulai miring. Wajah Mespa pucat pasi, sangat kontras dengan rambut hitamnya yang
dipotong pendek sekali. "Aku cuma berharap kita tidak berada di tengah-tengah
semua ini." "Yah, kenyataannya kita ada di sini!" sahut Diamanda.
"Dan kita tak bisa berbuat apa-apa. Jadi, kusarankan kau cepat-cepat
mengeluarkan seluruh isi perutmu, Mespa..."
"Perutku memang sudah kosong," sahut Mespa yang mabuk laut. "Tidak ada lagi yang
bisa dikeluarkan." "... dan kau, Joephi, urus layar itu..."
"Oh, Dewi-Dewi...,"gumam Joephi. "Coba lihat itu."
"Ada apa?" tanya Diamanda.
Joephi menunjuk ke langit.
Beberapa bintang telah diguncang lepas dari atas -
gumpalan-gumpalan api putih raksasa menembus awan-
awan dan menukik jatuh ke arah laut. Salah satunya mengarah tepat ke perahu
mereka, The Lyre. "Tiarap!" teriak Joephi sambil menyambar bagian belakang pakaian Diamanda dan
mendorong wanita tua itu dari tempat duduknya.
Diamanda sangat tak suka disentuh; dikasari, menurut istilahnya. Ia mulai
memaki-maki Joephi dengan marah atas perlakuan yang diterimanya, namun suaranya
dikalahkan oleh gemuruh bintang jatuh yang meluncur ke arah perahu mereka.
Bintang itu menembus layar The Lyre yang mengembang, menimbulkan lubang bakaran
di kanyasnya, lalu terjun ke laut, dan padam dengan suara desis keras.
"Bintang itu pasti ditujukan untuk kita," kata Mespa setelah mereka semua
kembali mengangkat kepala dari papan-papan lantai perahu. Dibantunya Diamanda
bangkit berdiri. "Baiklah," sahut Diamanda dengan suara keras, mengatasi gemuruh air yang
bergolak, "nyaris saja kita celaka."
"Jadi, menurutmu kitalah yang sebenarnya jadi sasaran?"
"Aku tidak tahu, dan tidak peduli," sahut Diamanda.
"Kita berserah saja pada kesucian misi kita."
Mespa menjilat bibirnya yang pucat sebelum mem-
beranikan diri berbicara kembali.
"Apa benar misi kita ini misi suci?" tanyanya. "Barangkali apa yang kita lakukan
ini suatu pelanggaran. Barangkali seharusnya dia dibiarkan..."
" Beristirahat dengan tenang?" kata Joephi.
"Ya," sahut Mespa.
"Dia masih begitu muda, Mespa," kata Joephi. "Mestinya dia mengalami kehidupan
cinta yang membahagia- kan, tapi semua itu dicuri darinya."
"Joephi benar," kata Diamanda. "Apa kaupikir jiwa seperti dia bisa beristirahat
dengan tenang, padahal semangat hidupnya begitu tinggi" Begitu banyak
impiannya yang belum terwujud."
Mespa mengangguk. "Kalian benar," katanya sependapat. "Kita mesti merampungkan
misi ini, apa pun akibatnya."
Awan petir yang telah mengikuti mereka sejak dari
kepulauan sekarang berada tepat di atas kepala. Awan itu memuntahkan butir-butir
air hujan sedingin es, tebal seperti lendir, dan tetes-tetes air itu menghantam
papan-papan perahu The Lyre dengan suara keras seperti bunyi genderang.
Halilintar menggelegar di seputar perahu yang gemetar itu, cahayanya yang pucat
menjadikan ombak-ombak yang berbuih menghantam perahu tampak
seperti siluet. "Layar ini tak ada gunanya lagi," kata Joephi, memandangi kanyas yang sudah
compang-camping itu. "Kalau begitu, kita harus mencari cara lain," kata Diamanda. "Mespa, tolong
pegangi bawaan kita sebentar.
Hati-hatilah." Dengan sangat khidmat Mespa mengambil kotak kecil
tersebut. Keempat sisi dan tutup kotak itu dihiasi pola-pola azimat yang
terjalin rapat. Setelah menyerahkan kotak itu, Diamanda melangkah ke bagian
buritan The Lyre. Perahu yang sudah miring itu beberapa kali hampir membuatnya
terjatuh ke laut sebelum ia mencapai tempat duduk kecil yang aman. Di sana ia
berlutut dan mencondongkan tubuh ke muka, memasukkan kedua tangannya yang sudah
terkena arthritis ke dalam air laut yang sedingin es.
"Sebaiknya kau hati-hati," Mespa mengingatkan. "Ada mantizac sepanjang lima
puluh kaki yang mengikuti kita selama setengah jam belakangan ini. Aku
melihatnya waktu aku sedang muntah tadi."
"Ikan yang punya harga diri tidak akan menginginkan tulang-tulangku yang sudah
tua ini," sahut Diamanda.
Baru saja ia berkata demikian seekor mantizac muncul ke permukaan - kepalanya
bertotol-totol, ukuran tubuhnya memanda tidak sebesar yang dikatakan Mespa, tapi
tetep saja besar. Mulut ikan raksasa itu menganga hanya sekitar satu kaki dari
kedua lengan Diamanda yang
terulur. " Dewi!" teriak wanita tua itu, ditariknya kedua tangannya, lalu ia duduk dengan
keras. Ikan yang merasa kesal itu mendorong bagian
belakang perahu, seakan-akan hendak menjatuhkan salah satu dari mereka ke dalam
laut. "Wah...." kata Diamanda, "kurasa kita perlu menggunakan sihir bulan."
"Tunggu," kata Joephi. "Katamu kalau kita menggunakan sihir, bisa-bisa kita jadi
menarik perhatian." "Memang," kata Diamanda. "Tapi dalam keadaan sekarang ini, kita mesti memilih:
mengambil risiko tenggelam atau dimakan oleh makhluk itu." Sekarang mantizac
tersebut sudah berenang ke samping The Lyre; ia menolehkan kepalanya yang sangat
besar dan memandangi ketiga wanita itu dengan matanya yang keperakan bercampur merah.
Mespa memeluk kotak kecil itu lebih erat ke dadanya.
"Ikan itu tidak bakal memakanku," katanya, suaranya terdengar sangat ketakutan.
"Tidak," Diamanda menenangkannya. "Dia tidak akan memakanmu."
Diamanda mengangkat kedua tangannya yang keriput.
Aliran energi berwarna gelap menderas melalui pem-
buluh-pembuluh darahnya dan melompat keluar dari
ujung-ujung jemarinya, melahirkan bentuk-bemuk halus di udara, yang kemudian
melayang naik ke langit. "Dewi Bulan, " panggilnya. "Kau tahu kami takkan me-manggilmu seandainya tidak
sungguh-sungguh memerlukan campur tanganmu. Tapi kini kami membutuhkanmu.
Dewi, bukan untuk kepentingan kami bertiga kami me-manggilmu. Permintaan ini
bukanlah untuk kami, melainkan untuk jiwa seseorang yang telah diambil dari
antara kami sebelum waktunya. Kami mohon, Dewi, bimbinglah kami melewati badai
ini dengan selamat, agar hidup orang ini bisa dilanjutkan...
" Sebutkan tempat tujuan kita!" Joephi berteriak mengatasi gemuruh air.
"Dia bisa membaca pikiran kita" kata Diamanda.
"Tapi sebutkan saja," sahut Joephi.
Diamanda menoleh pada temannya itu, tampak agak
kesal. "Baiklah, kalau kau memaksa" katanya. Kemudian ia kembali mengulurkan
kedua tangannya ke langit, dan berkata, " Bawalah kami ke Hereafter" "
"Bagus," kata Joephi.
"Dewi, dengarlah kami... " Diamanda memulai kembali.
Tapi kalimatnya terpotong oleh ucapan Mespa.
" Dia mendengar, Diamanda."
"Apa?" " Dia mendengar."
Ketiga wanita itu menengadah. Awan-awan badai
yang bergulung-gulung itu kini menyibak, seakan-akan terdorong oleh tangan-
tangan raksasa. Melalui celah yang makin melebar tampak seberkas cahaya bulan:
putih bersih, namun memancarkan kehangatan. Cahaya itu
menerangi palung yang terbentuk di antara ombak-
ombak, tempat perahu ketiga wanita itu terkubur. Cahaya itu menerangi perahu
dari ujung ke ujung dengan
kecemerlangannya. "Terima kasih, Dewi...,"gumam Diamanda.
Cahaya bulan itu bergerak ke atas perahu, menelusuri keseluruhan bagian perahu
kecil itu, bahkan sampai ke lunas perahu yang gelap berbayang-bayang. Cahaya


Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersebut menerangi setiap batang paku dan papan, mulai dari haluan hingga ke
buritan, sampai ke setiap leng-kungan, setiap potong dayung, setiap pasak,
setiap titik cat, setiap inci tambang.
Cahaya itu juga menyentuh ketiga wanita di dalam
perahu, menyuntikkan kehidupan baru ke dalam tulang-tulang mereka yang lelah dan
menghangatkan kulit mereka yang terasa dingin.
Semua itu memakan waktu sekitar sepuluh detik.
Kemudian awan-awan kembali menutup, memotong
cahaya rembulan. Secepat datangnya tadi, cahaya itu pun lenyap.
Laut jadi kelihatan dua kali lebih gelap setelah cahaya bulan berlalu, dan angin
pun terasa lebih kencang. Namun kayu-kayu perahu kecil tersebut kini tampak
bersinar lembut setelah kena cahaya bulan, dan jadi lebih kuat berkat berkah
yang telah mereka terima. Perahu itu tidak lagi berderit-derit ketika kena
hantaman ombak. Malah ia sepertinya terangkat dengan ringannya mendaki sisi-sisi
terjal gelombang. "Begini lebih baik," kata Diamanda.
Ia mengulurkan tangan untuk mengambil kembali
bawaan mereka yang berharga itu.
"Aku bisa menjaganya," protes Mespa.
"Aku yakin kau bisa," kata Diamanda. "Tapi akulah yang bertanggung jawab atas
benda itu. Aku kenal dunia yang akan kita tuju, ingat" Sedangkan kau tidak."
"Kau cuma ingat dunia itu dalam keadaannya yang dulu," Joephi mengingatkan.
"Tapi sekarang pasti sudah berubah."
"Kemungkinan besar begitu," Diamanda sependapat.
"Tapi tetap saja aku lebih punya gambaran tentang apa yang menanti kita di
depan, daripada kalian berdua.
Nah, berikan kotak itu padaku, Mespa."
Mespa menyerahkan kotak berharga itu, dan perahu
ketiga wanita tersebut melanjutkan perjalanannya melalui laut yang hitam pekat,
kecepatannya makin meningkat, dan bagian haluannya terangkat sedikit di atas
permukaan air. Hujan masih turun deras di atas kepala ketiga wanita itu, mengumpul di bagian
bawah perahu, hingga sedalam empat inci. Namun ketiga wanita itu tidak
memedulikan-nya. Mereka duduk bersama-sama dalam hening, sementara sang rembulan
membantu mempercepat perjalanan mereka ke arah yang dituju.
"Itu dia!" kata Joephi. Ia menunjuk ke arah pantai nun jauh di sana. "Aku
melihat Hereafter." "Aku juga melihatnya!" kata Mespa. "Oh, terima kasih, Dewi! Aku melihatnya! Aku
melihatnya!" "Hus, jangan berisik," kata Diamanda. "Jangan sampai kita menarik perhatian."
"Kelihatannya di sana tidak ada apa-apa," kata Joephi, sambil mencari-cari
pemandangan di depan. "Katamu ada kota."
"Memang ada kota. Tapi agak jauh dari pelabuhan."
"Aku tidak melihat ada pelabuhan."
"Tidak banyak yang tersisa, memang," kata Diamanda.
"Pelabuhan itu sudah terbakar habis, lama sebelumnya."
Lunas The Lyre menyapu pantai Hereafter. Joephi yang pertama-tama keluar dari
perahu. Ia menarik tambang dan mengikatkannya pada sepotong kayu tua yang
dipancangkan ke tanah. Mespa membantu Diamanda
keluar, lalu mereka bertiga berdiri berdampingan, mengamati pemandangan tak
menjanjikan yang terhampar di depan mereka. Badai telah mengikuti mereka
melintasi perbatasan di antara kedua dunia, dan amukannya tidak berkurang.
"Sekarang, mari mengingat-ingat," kata Diamanda.
"Kita datang kemari untuk melakukan satu misi. Hanya satu misi. Setelah urusan
kita selesai, kita pergi. Ingat: kita tidak seharusnya ada di sini. "
"Kami sudah tahu itu," kata Mespa.
"Tapi jangan sampai kita terburu-buru dan membuat kosalahan," kata Joephi,
sambil melirik kotak di tangan Diamanda. "Demi dia, kita harus melaksanakan
tugas ini dengan benar. Kita membawa harapan-harapan Abarat
bersama kita," Diamanda terdiam mendengar pernyataan tersebut.
Lama ia seakan termenung dengan kepala tertunduk, air hujan membasahi rambut
putihnya, membuatnya terurai bagai tirai yang membingkai kotak di tangannya.
Kemudian ia berkata, "Apa kalian berdua sudah siap?"
Kedua wanita itu menggumam bahwa mereka sudah
siap. Dengan dipimpin Diamanda, mereka meninggalkan pantai dan melangkah
melintasi rerumputan yang diterjang angin, untuk menemukan tempat yang oleh
takdir ditentukan sebagai tempat mereka menunaikan misi suci itu.
BAGIAN SATU ARUS PASANG Hidup yang singkat, Kesenangan tak seberapa, Lubangi kapal, Tenggelamlah awaknya, Tapi O! Tapi O! Betapa birunya
Lautan itu! - Puisi terakhir yang ditulis oleh
Righteous Bandy, penyair nomad dari Abarat 1 KAMAR NOMOR SEMBILAN BELAS
TUGAS yang diberikan Miss Schwartz pada kelas Candy sebenarnya sederhana saja.
Masing-masing anak punya waktu satu minggu untuk mengumpulkan sepuluh fakta
menarik mengenai kota tempat tinggal mereka. Sedikit sejarah tentang Chickentown
- alias Kota Ayam - juga boleh, kata Miss Schwartz, atau kalau mau anak-anak bisa menuliskan fakta-fakta
tentang keadaan kota tersebut sekarang ini. Tentu saja ini berarti menuliskan
topik yang itu-itu juga, yakni tentang peternakan ayam di Minnesota modern.
Candy sudah berusaha sebaik mungkin. Ia sudah men-
cari-cari di perpustakaan sekolah, kalau-kalau ada buku atau informasi apa
sajalah mengenai kota itu yang kira-kira menarik. Tapi ia tidak menemukan apa-
apa. Pencariannya sia-sia. Nol besar. Kosong melompong. Di Naughton Street ada
perpustakaan yang sepuluh kali lebih besar daripada perpustakaan sekolahnya,
maka ia pun pergi ke sana. Di sana ia kembali menjelajahi rak-rak.
Ada beberapa buku tentang Minnesota yang menyebut-
kan Chickentown, tapi fakta-fakta yang tertulis di dalamnya sama saja semuanya.
Fakta-fakta membosan-kan tentang Chickentown yang populasinya berjumlah 36.793
orang, dan bahwa kota tersebut adalah penghasil daging ayam terbesar di seluruh
negara bagian Minnesota. Salah satu buku tersebut, setelah menyebutkan tentang
ayam-ayam, menggambarkan kota itu sebagai kota yang "tidak memiliki keistimewaan
lainnya." Hebat, pikir Candy. Aku tinggal di kota, yang tidak memiliki keistimewaan lain.
Itu Fakta Nomor 1. Tinggal mencari sembilan fakta lagi.
"Kita tinggal di kota paling membosankan di seantero Negara ini," ia mengeluh
pada ibunya, Melissa, sepulang-nya ke rumah. "Tidak ada hal menarik yang bisa
kutuliskan untuk tugas dari Miss Schwartz."
Melissa Quackenbush sedang berada di dapur, mem-
buat roti daging. Pintu dapur ditutup, supaya tidak mengganggu Bill, ayah Candy.
Bill sedang duduk tertidur di depan televisi, karena mabuk, dan ibu Candy ingin
ia tetap seperti itu. Semakin lama Bill tertidur, semakin baik bagi setiap orang
yang tinggal di rumah itu, termasuk bagi Don dan Ricky, saudara-saudara lelaki
Candy. Mereka tidak pernah membicarakan hal ini dengan terus terang. Semua anggota
keluarga sudah tahu sama tahu.
Hidup jadi lebih menyenangkan bagi mereka kalau Bill Quackenbush tertidur.
"Kenapa menurutmu kota ini membosankan?" tanya Melissa sambil membumbui roti
daging yang sedang dibuatnya.
"Coba saja lihat ke luar sana," kata Candy.
Melissa tidak menoleh ke luar, sebab ia sudah tahu persis pemandangan apa yang
bakal dilihatnya di luar sana. Di balik kaca jendela yang kusam tampak
pekarangan belakang mereka yang semrawut: rumput
yang tingginya semata kaki tampak cokelat akibat
gelombang panas yang menyerang tiba-tiba pada per-
tengahan bulan Mei; lalu ada kolam renang tiup yang mereka beli pada musim panas
tahun lalu. Kolam itu tidak pernah dikempiskan lagi dan disimpan, dan sekarang
teronggok begitu saja di ujung pekarangan, berupa
lingkaran plastik merah-putih yang kotor. Di belakang kolam itu ada pagar yang
sudah rusak. Dan di balik pagar ada apa" Ada pekarangan lain yang keadaannya
tidak lebih baik, lalu ada pekarangan berikutnya, dan berikutnya, dan
berikutnya, sampai akhirnya tak ada lagi deretan pekarangan maupun jalanan. Yang
ada tinggal bentangan padang rumput kosong.
"Aku tahu apa yang kauinginkan untuk tugas sekolahmu itu," kata Melissa.
"Oh?" kata Candy; ia mengambil sekaleng soda dari lemari es. "Apa itu?"
"Kau ingin sesuatu yang aneh," kata Melissa; ia menaruh daging di loyang
panggangan dan menekan- nekannya. "Kau menyukai hal-hal yang aneh, seperti Nenek Frances-mu. Dulu dia
suka menghadiri pemakaman orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya...."
"Yang benar saja " kata Candy sambil tertawa.
"Sungguh. Aku berani sumpah. Dia suka hal-hal semacam itu. Dan sifatnya itu
menurun padamu. Jelas kau tidak mewarisinya dari aku atau ayahmu."
"Wah, terima kasih banyak."
"Kau mengerti maksudku, kan," protes ibu Candy.
"Jadi, menurut Mom, Chickentown ini tidak membosankan?" tanya Candy.
"Ada tempat-tempat yang lebih membosankan dari pada kota ini, percayalah," kata
Melissa, "Setidaknya kota ini punya sedikit sejarah..."
"Sejarah apa! Menurut buku-buku yang kubaca, kota ini tidak punya sejarah apa-
apa," kata Candy. "Kau tahu pada siapa kau mestinya bertanya?" kata Melissa.
"Pada siapa?" "Norma Lipnik. Kau ingat Norma" Dia dan aku pernah sama-sama bekerja di Hotel
Comfort Tree." "Aku tidak begitu ingat," kata Candy.
"Banyak kejadian aneh terjadi di hotel-hotel, dan Comfort Tree sudah berdiri
sejak... oh, entahlah. Tanya saja pada Norma. Dia pasti mau bercerita."
"Norma itu yang rambutnya putih-pirang dan suka pakai lipstik tebal-tebal, kan?"
Melissa menatap anak perempuannya sambil tersenyum kecil. "Jangan berkomentar
kasar tentang dia." "Tidak bakal." "Kau suka keceplosan bicara."
" Mom, aku akan sopan sekali padanya."
"Bagus. Bersikaplah sopan. Sekarang dia menjadi asisten manajer di sana, jadi
kalau kau manis-manis padanya, dan tahu apa-apa yang tepat untuk ditanyakan,
kujamin dia akan memberi bahan yang bagus sekali untuk tugas sekolahmu, yang
tidak bisa ditandingi anak-anak lain."
"Misalnya apa?"
"Temui saja dia dan tanyakan. Dia pasti ingat padamu.
Minta dia menceritakan tentang Henry Murkitt."
"Siapa itu Henry Murkitt?"
"Tanya saja dia. Kan ini tugas sekolahmu. Kau mesti berusaha mencari keterangan
dong. Seperti detektif."
"Apa memang banyak yang bisa diselidiki?" kata Candy.
"Pokoknya kau pasti mendapat kejutan."
Dan memang. Kejutan pertama adalah Norma Lipnik
sendiri. Penampilannya tidak lagi norak seperti yang diingat Candy; dengan
rambut disasak tinggi-tinggi dan gaun terlalu pendek. Sudah sekitar delapan
tahun Candy tidak melihatnya, dan sekarang Norma membiarkan
rambutnya berwarna kelabu alami. Ia tidak lagi memakai lipstrik merah menyala,
juga tidak mengenakan gaun pendek. Tapi setelah Candy memperkenalkan diri, sikap
profesional Norma langsung lenyap, digantikan oleh sikap hangat dan penggosip
seperti yang diingat Candy.
"Wah, kau sudah besar sekali, Candy," katanya. "Aku tidak pernah melihatmu di
sekitar sini; kau maupun ibumu.
Apa dia baik-baik saja?"
"Yeah, begitulah."
"Kudengar ayahmu tidak bekerja lagi di peternakan ayam. Kabarnya gara-gara suka
minum bir, ya?" Candy tak sempat mengiyakan ataupun menyangkal. "Tahu, tidak"
Menurutku kadang-kadang orang perlu diberi
kesempatan kedua. Kalau tidak, bagaimana mereka bisa berubah?"
"Entah ya," kata Candy, jadi merasa tidak nyaman.
"Begitulah laki-laki, " kata Norma. "Jangan dekat-dekat mereka, darlin'. Laki-
laki cuma membawa masalah. Aku sudah tiga kali menikah, dan yang kali ini
paling-paling cuma tahan dua bulan."
"Oh..." "Tapi kau kemari kan bukan untuk mendengarkan aku berceloteh. Nah, apa yang bisa
kubantu?" "Aku dapat tugas dari sekolah, tentang Chickentown,"
Candy menjelaskan. "Tugas ini dari Miss Schwartz. Dia selalu menugaskan kami
membuat proyek-proyek yang
cuma cocok untuk anak kelas enam. Selain itu, dia tidak begitu suka padaku..."
"Oh, jangan patah semangat gara-gara dia, honey.
Memang selalu saja ada orang yang membuat hidup kita serasa di neraka. Tidak
lama lagi kau toh menamatkan sekolah. Apa rencanamu selanjutnya" Mau bekerja di
pabrik?" Membayangkan prospek mengerikan itu, Candy merasa
kedua bahunya seakan-akan tertimpa beban berat.
"Mudah-mudahan saja tidak," katanya. "Aku ingin memanfaatkan hidupku untuk
sesuatu yang lebih berarti."
"Tapi kau belum tahu mau melakukan apa?"
Candy menggelengkan kepala.
"Tidak apa-apa, nanti juga kau tahu," kata Norma.
"Mudah-mudahan saja begitu, sebab kau tentunya tidak mau terperangkap di kota
kecil ini." "Tidak, aku tidak mau. Benar-benar tidak mau."
"Nah, jadi kau mendapat tugas untuk menulis tentang Chickentown..."
"Ya, dan kata Mom ada beberapa peristiwa di hotel ini yang patut kuselidiki.
Katanya Anda tentu tahu, apa yang dimaksudnya."
"O ya" Dia bilang begitu?" kata Norma dengan senyum kecil menggoda.
"Katanya aku disuruh bertanya tentang Henry..."
"... Murkitt." "Ya. Henry Murkitt."
"Henry yang malang. Apa lagi yang dikatakan ibumu"
Apa dia menyebut-nyebut Kamar Nomor Sembilan Belas?"
"Tidak. Dia tidak menyebut-nyebut tentang kamar. Dia cuma menyebutkan nama itu."
"Yah, aku bisa saja menceritakan kisahnya," kata Norma. "Tapi kurasa Miss
Schwartz tidak bakal senang dengan cerita tentang si Murkitt ini."
"Kenapa tidak?"
"Hmmm, sebab ceritanya agak kelam," kata Norma,
"Tragis malah."
Candy tersenyum. "Kata Mom, aku suka hal yang aneh-aneh, jadi mungkin aku akan
suka mendengar cerita itu."
"Suka yang aneh-aneh" Baiklah," kata Norma. "Kurasa sebaiknya kuceritakan saja
keseluruhan kisahnya. Begini, dulu Chickentown ini bernama Murkitt."
"O ya" Kenapa tidak pernah disebut-sebut dalam buku-buku tentang Minnesota?"
"Kau tahu, kan... ada sejarah yang dimasukkan dalam buku-buku, dan ada juga yang
tidak." "Dan Henry Murkitt..."
"... adalah bagian sejarah yang tidak dimasukkan."
"Oh." Candy merasa tertarik. Teringat ucapan ibunya bahwa ia harus menyelidiki seperti
detektif, ia pun mengeluarkan buku notesnya dan mulai menulis. Murkitt. Sejarah
yang tidak kita ketahui. "Jadi, nama kota ini diambil dari nama Henry Murkitt?"
"Bukan," kata Norma. "Dari nama kakeknya, Wallace Murkitt."
"Kenapa namanya kemudian diganti?"
"Nama Chickentown cocok, bukan" Di kota ini ada lebih banyak ayam daripada
manusia. Dan kadang-kadang
kupikir orang-orang lebih peduli pada ayam-ayam itu daripada sesama mereka.


Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suamiku kerja di peternakan, jadi sehari-hari itu-itu saja yang kudengar dari
dia dan teman-temannya."
"Omongan tentang ayam?"
"Ayam, ayam, dan selalu saja ayam." Norma melihat jam tangannya. "Aku tidak
punya banyak waktu untuk menunjukkan Kamar Nomor Sembilan Belas itu padamu
hari ini. Ada serombongan tamu yang bakal datang.
Bagaimana kalau hari lain saja?"
"Tapi besok pagi aku sudah harus menyerahkan
laporanku." "Kalian anak-anak selalu saja menunggu sampai saat-saat terakhir," kata Norma.
"Baiklah. Tapi kita mesti cepat-cepat. Jangan lupa mencatat semuanya, sebab aku
tidak bakal sempat mengulangi penjelasanku."
"Aku sudah siap," kata Candy.
Norma mengambil kunci kamar dari sakunya. "Linda?"
katanya pada wanita di meja resepsionis. "Aku akan ke Kamar Nomor Sembilan
Belas." Wanita itu mengerutkan kening. "O ya" Untuk apa?"
Pertanyaannya tidak dijawab.
"Paling-paling aku cuma sepuluh menit di sana," kata Norma. Sambil berbicara, ia
mengajak Candy menjauhi area resepsionis. "Sekarang ini kita berada di bagian
hotel yang baru," ia menjelaskan. "Bagian ini dibangun pada tahun 1964. Tapi
begitu kita melewati ini" - ia mengajak Candy melewati sepasang pintu - "kita berada
di bagian hotel yang lama. Dulu hotel ini bernama Hotel High Seas. Jangan tanya
kenapa." Kalaupun tidak diberitahu bahwa tadi mereka berada di bagian hotel yang baru,
dan sekarang memasuki bagian hotel yang lama. Candy pasti tahu dengan
sendirinya. Lorong-lorong di bagian ini lebih sempit, dan penerangannya juga
tidak terlalu terang. Ada bau masam lapuk di udara, seperti bau gas yang tidak
dimatikan. "Bagian hotel ini dipakai hanya kalau kamar-kamar lainnya sudah penuh. Dan itu
biasanya hanya kalau ada Konferensi Para Pembeli Ayam. Tapi pada saat demikian
pun kami usahakan untuk tidak menempatkan tamu di
Kamar Nomor Sembilan Belas."
"Apa sebabnya?"
"Yah, sebenarnya kamar itu bukannya berhantu. Meski pernah ada cerita-cerita
tentang itu. Aku sendiri menganggap segala omongan tentang hantu itu cuma isapan
jempol saja. Kita hidup cuma sekali, dan sebaiknya kita manfaatkan hidup kita
sebaik mungkin. Saudara perempuanku jadi pemeluk agama tahun lalu, dan sejak itu
lagaknya sudah seperti mau jadi orang suci saja.
Norma dan Candy sudah tiba di ujung lorong yang ada tangga sempitnya, hanya
diterangi sebuah lampu. Sinar kuning lampu itu sama sekali tak bisa membuat
cerah kertas dinding yang memang tidak menarik, serta cat yang sudah retak-
retak. Candy hampir saja mengatakan, tidak heran pihak
manajemen hotel menjauhkan tamu-tamu dari bagian hotel ini. Tapi ia lalu menahan
lidahnya, karena teringat ucapan ibunya agar ia tidak melontarkan ucapan-ucapan
yang tidak sopan. Mereka menapaki anak-anak tangga yang terjal.
"Mestinya aku berhenti merokok," kata Norma. "Aku bisa mati karena kebanyakan
merokok." Ada dua pintu di puncak tangga. Satu Kamar Nomor
Tujuh Belas. Satunya lagi Kamar Nomor Sembilan Belas.
Norma menyodorkan kuncinya pada Candy.
"Kau mau membukanya?" kata Norma.
"Mau." Candy mengambil kunci itu dan memasukkannya ke
lubang kunci. "Mesti diguncang-guncang sedikit."
Candy mengguncangnya. Dengan agak seret kunci itu
berputar, dan Candy pun membuka pintu kamar Nomor
Sembilan Belas yang berderit kurang minyak.
2 PENINGGALAN HENRY MURKITT
RUANGAN itu gelap; pengap, tak ada udara.
"Masuklah ke dalam, honey. Buka tirai-tirainya; kata Norma; ia mengambil kunci
kamar itu dari tangan Candy.
Candy menunggu sejenak, sampai matanya bisa
menyesuaikan diri dengan suasana remang-remang itu, kemudian dengan hati-hati ia
menyeberangi ruangan tersebut, menuju jendela. Tirai-tirai yang terbuat dari bahan tebal itu terasa
lengket di telapak tangannya, seolah-olah sudah lama sekali tidak dibersihkan.
Ditariknya tirai-tirai itu, yang bergerak enggan di rel-relnya yang kotor oleh
debu. Di belakangnya ada kaca jendela yang sama kotornya dengan tirai-tirai
tersebut. "Sudah berapa lama kamar ini tak dihuni orang lagi?"
tanya Candy. "Seingatku belum pernah ada orang lagi di sini sejak aku mula-mula bekerja di
tempat ini" kata Norma.
Candy memandang ke luar jendela. Pemandangan
yang dilihatnya sama tidak menariknya dengan pe-
mandangan dari balik jendela dapur rumahnya sendiri di Followell Street 34.
Persis di bawah jendela ada sebuah pekarangan kecil yang letaknya di bagian
belakang hotel. Di situ ada lima atau enam tong sampah yang isinya sudah luber keluar,
serta sisa-sisa kerangka pohon Natal tahun lalu yang masih dihiasi kertas-kertas
emas compang-camping serta saiju buatan. Sesudah pekarangan itu adalah Lincoln
Street (atau begitulah menurut dugaan Candy; perjalanan menjelajahi hotel itu
membuatnya bingung). Ia bisa melihat atap mobil-mobil di atas tembok pekarangan,
juga sebuah Discount Drug Store di sisi seberang jalan, pintu-pintunya dirantai
dan digembok, rak-raknya kosong melompong.
"Nah" kata Norma, mengalihkan perhatian Candy kembali ke Kamar Nomor Sembilan
Belas itu. "Di sinilah Henry Murkitt dulu menginap."
"Apa dia sering datang ke hotel ini?"
"Setahuku dia cuma satu kali datang kemari," kata Norma. "Tapi aku tidak begitu
yakin tentang itu, jadi jangan mengutip ucapanku.
Candy bisa mengerti kenapa Henry tidak sering datang kemari. Kamar ini kecil
sekali. Ada sebuah tempat tidur sempit di ujung sana, dan sebuah kursi di sudut,
di atasnya bertengger sebuah televisi hitam-putih kecil. Di depan kursi itu ada
kursi lain dengan sebuah asbak yang sudah penuh.
"Beberapa karyawan di sini suka naik ke kamar ini kalau punya waktu luang
sekitar setengah jam, untuk nonton opera sabun," Norma menjelaskan.
"Jadi, mereka tidak percaya kamar ini ada hantunya?"
"Begini saja, honey" kata Norma, "apa pun anggapan mereka tentang kamar ini,
tidak membuat mereka takut masuk kemari."
"Ada apa di balik pintu ini?" kata Candy, menunjuk sebuah pintu. "Kaulihat saja
sendiri," kata Norma.
Candy membuka pintu itu dan melangkah masuk ke
sebuah kamar mandi superkecil yang sudah lama sekali tidak dibersihkan. Di atas
wastafel yang kotor ada cermin.
Ia memandangi bayangan dirinya sendiri di sana.
Sepasang matanya hampir-hampir tampak hitam dalam
keremangan kamar mandi kecil ini, dan rambutnya yang berwarna gelap sudah
waktunya digunting. Tapi ia
merasa senang melihat wajahnya, bahkan dalam cahaya yang begitu minim ini.
Senyumannya seperti senyum
ibunya, terbuka dan ramah, dan kerutan dahinya seperti ayahnya; kerut-kerut
dalam dan cemas seperti yang
tampak di wajah Bill Quackenbush kalau sedang tidak sadar karena mabuk. Lalu
sepasang matanya yang ganjil: mata sebelah kiri warnanya cokelat gelap, yang
sebelah kanan warnanya biru, meski di cermin tampak terbalik.
"Kalau kau sudah selesai mengagumi dirimu sendiri..."
kata Norma. Candy menutup pintu kamar mandi dan melanjutkan
membuat catatan di bukunya, untuk menutupi rasa
malunya. Tak ada kertas dinding melapisi tembok-tembok Kamar Nomor Sembilan
Belas, tulisnya . Tembok-temboknya hanya dipoles cat putih kotor. Di salah satu
tembok ada pola abstrak yang aneh, berwarna merah muda samar.
Secara keseluruhannya rasanya tak ada tempat yang
lebih suram atau lebih tidak menyenangkan daripada kamar itu.
"Nah, apa yang bisa Anda ceritakan padaku tentang Henry Murkitt?" tanyanya pada
Norma. "Tidak banyak," sahut wanita itu. "Kakeknya adalah pendiri kota ini. Sebenarnya
kita semua ada di sini karena Wallace Murkitt merasa sudah cukup berkelana.
Menurut cerita orang, kudanya mendadak mati di tengah malam, jadi dia terpaksa
berhenti di sini di negeri antah berantah ini."
Candy tersenyum. Ada sesuatu dalam detail kecil ini yang benar-benar pas dengan
segala sesuatu yang diketahuinya mengenai kota kelahirannya ini. "Jadi, Chickentown ini ada karena
kuda Wallace Murkitt mati mendadak?" katanya.
Norma bisa menangkap gurauan pahit itu. "Yeah,"
sahutnya. "Kurasa begitulah kira-kira. Tapi kelihatannya Henry Murkitt sangat
bangga kota ini diberi nama menurut nama keluarganya. Dia suka membangga-
banggakan-nya." "Sampai kemudian mereka mengganti nama kota ini..."
"Ya, nanti ceritaku sampai juga ke sana. Henry yang malang. Hidupnya benar-benar
kacau-balau menjelang kematiannya. Ada-ada saja yang menimpanya. Mula-mula
istrinya, Diamanda, meninggalkannya. Tidak ada yang tahu ke mana wanita itu
pergi. Lalu pada bulan Desember 1947 dewan kota memutuskan untuk mengubah nama
kota ini. Henry sangat kecewa karenanya. Pada Malam Natal dia masuk hotel ini,
tapi tidak pernah keluar lagi."
Candy sudah menduga bakal mendengar hal semacam
ini, tapi tetap saja bulu kuduknya meremang ketika mendengar Norma
mengatakannya. "Dia meninggal di kamar ini?" tanya Candy perlahan.
"Ya." "Karena apa" Serangan jantung?"
Norma menggelengkan kepala.
"Aduh, tidak...," kata Candy yang mulai bisa menebak -
nebak apa yang terjadi. "Dia bunuh diri?"
"Ya, kurasa begitulah."
Sekonyong-konyong kamar itu jadi terasa mengecil -
kalau itu mungkin terjadi - dan sudut-sudutnya terasa lebih gelap, meski sinar
matahari berhasil menerobos masuk melalui kaca jendela yang kotor.
"Mengerikan sekali," kata Candy.
"Nanti kau akan mengerti, honey," kata Norma. "Cinta bisa menjadi hal terindah
dalam hidup ini. Tapi bisa juga menjadi hal yang menyedihkan. Amat sangat
menyedihkan." Candy berdiam diri. Sejak terakhir kali bertemu Norma, baru sekarang ini ia
melihat betapa sedihnya wajah Norma kini, sudut-sudut mulutnya tertarik ke bawah
dan dahinya penuh dengan kerut-merut dalam.
"Tapi bukan hanya cinta yang menghancurkan hati Henry Murkitt," kata Norma.
"Tapi juga..." ".... fakta bahwa mereka mengubah nama kota ini?"
tebak Candy. "Ya. Benar. Bagaimana pun, tadinya nama kota ini adalah milik keluarganya. Nama
itu juga. Satu-satunya hal yang bisa membuat dia dikenang selamanya. Setelah
nama itu doganti, kurasa dia menganggap hidupnya tidak berarti lagi."
"Kasihan sekali," kata Candy, merasa iba seperti halnya Norma tadi. "Apa dia
meninggalkan pesan" Surat perpisahan sebelum bunuh diri, maksudku."
"Ya. Semacam itulah. Setahuku dia menulis bahwa dia menunggu kapalnya datang
menjemput." "Apa maksudnya itu?" kata Candy. Ia menuliskan kalimat terakhir.
"Mungkin dia sedang mabuk, dan agak ngawur. Tapi dia memang suka sekali
mengkhayal tentang laut dan kapal-kapal."
"Aneh sekali," kata Candy.
"Ada yang lebih aneh lagi," kata Norma.
Ia menghampiri meja kecil di samping tempat tidur dan membuka lacinya. Di
dalamnya ada sebuah Alkitab
Gideon dan benda aneh ang kelihatannya terbuat dari kuningan. Ia mengambil benda
itu. "Menurut cerita-cerita yang beredar, ini satu-satunya benda berharga yang
ditemukan padanya." Kata Norma.
"Apa itu?" Norma menyodorkan benda itu pada Candy. Benda itu
berat dan ada angka-angkanya. Ada bagian yang bisa digerakkan sesuai dengan
posisi angka-angka tersebut.
"Itu sebuah sextant," kata Norma.
Candy melongo. "Apa itu sextant?"
"Para pelaut menggunakannya untuk menemukan posisi mereka di laut. Aku tidak
tahu persis cara kerjanya, pokoknya benda itu diposisikan sejajar dengan
bintang-bintang, lalu..." Norma angkat bahu. "Lalu kau jadi tahu di mana kau
berada. " "Dan benda ini ada padanya waktu ditemukan?"
"Seperti kukatakan tadi, begitulah memang rumor-rumor yang beredar. Benda ini."
"Kenapa polisi tidak mengambilnya?" tanya Candy.
"Mestinya begitu. Tapi sejak aku bekerja di hotel ini, benda ini sudah ada di
dalam laci, berikut Alkitab Giedon.
Sextant Henry Murkitt. "Hemmm, " kata Candy yang sekarang tidak tahu mesti berkata apa lagi.
Dikembalikannya benda itu pada
Norma. Dengan hati-hati..... bahkan dengan agak
takzim - Norma mengembalikan sextant itu ke tempatnya semula dan menutup kembali
lacinya. "Jadi, dia hanya meninggalkan benda itu dan catatan perpiahan?" tanya Candy.
"Tidak," kata Norma. "Ada lagi lainnya."
"Apa?" "Coba perhatikan sekelilingmu," sahut Norma.
Candy memperhatikan sekitarnya. Kira-kira benda apa di sini yang dulunya adalah
milik Henry Murkitt"
Perabotan" Rasanya tidak. Keset lusuh yang diinjaknya ini" Barangkali, tapi
rasanya tidak juga. Lampu! Tidak.
Lalu apa" Tidak ada lukisan apa pun di dinding, jadi...."
"Oh, tunggu," katanya, memandangi noda-noda di tembok. "Itukah?"
Norma hanya memandangi Candy sambil menaikkan
satu alisnya yang dibentuk rapi.
"Itu?" kata Candy.
"Tembok itu sudah dilapis cat berkali-kali, tapi noda-noda itu tetap saja
kelihatan." Candy mendekati tembok itu dan mengamati noda-
noda tersebut. Sebagian dirinya - yang menyukai hal-hal aneh, seperti neneknya - ingin bertanya
pada Norma: bagaimana noda-noda itu bisa sampai ada di situ" Apa Henry Murkitt menembak dirinya
sendiri, atau menggunakan pisau cukur"
Tapi sebagian dirinya yang lain memilih untuk tidak mau tahu.
"Mengerikan," katanya. "Begitulah kalau orang menyadari bahwa hidup mereka
ternyata tidak seperti yang dibayangkan selama ini," kata Norma. Ia melihat jam
tangannya. "Astaga, coba lihat, sudah jam berapa sekarang. Begitulah kisah
tentang Henry Murkitt."
"Malang sekali nasibnya." kata Candy.
"Yah, kurasa kita semua juga menunggu kapal kita datang menjemput, bagaimanapun
caranya," kata Norma; ia beranjak ke pintu, menunggu Candy keluar ke lorong yang
remang-remang; "Di antara kita ada yang masih punya harapan," katanya dengan
senyum setengah hati. "Memang mesti begitu, bukan?"
Setelah itu ia pun menutup pintu kamar tempat Henry Murkitt mengembuskan napas
terakhirnya. 3 CORAT-CORET

Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

MISS SCHWARTZ, guru sejarah Candy, jarang menunjukkan suasana hati yang bagus,
tapi hari ini suasana hatinya lebih jelek daripada biasa. Hari itu ia
berkeliling kelas mengembalikan kertas tugas tentang Chickentown. Hanya beberapa
murid kesayangannya (biasanya anak-anak
laki-laki) yang mendapat nilai lumayan bagus. Anak-anak lainnya mendapat
kritikan. Tapi yang mendapat serangan paling hebat adalah
Candy dan karya tulisnya.
" Fakta, Candy Quackenbush," kata Miss Schwartz sambil melemparkan kertas hasil
karya Candy tentang Henry Murkitt ke mejanya. "Aku minta fakta, tapi apa yang
kauberikan padaku...?"
"Semua yang tertulis itu fakta, Miss..."
"Jangan menjawab," bentak Miss Schwartz. "Apa-apa yang kautulis itu bukan fakta.
Lebih cocok disebut potongan-potongan gosip konyol. Tidak lebih. Karya ini tidak
berguna - seperti kebanyakan karya-karyamu yang lainnya."
"Tapi aku melihat langsung kamar di Hotel Comfort Tree itu," kata Candy. "Aku
melihat sextant Henry Murkitt."
"Kau ini mudah percaya, atau kau benar-benar tolol?"
kata Miss Schwartz. "Setiap hotel selalu punya cerita konyol tentang hantu. Apa
kau tidak bisa membedakan antara fakta dan khayalan?"
"Tapi, Miss Schwartz, aku berani sumpah, semua yang kutuliskan itu fakta-fakta."
"Kau kuberi nilai F, Candy."
"Itu tidak adil," protes Candy.
Bibir atas Miss Schwartz mulai bergerak-gerak, tanda bahwa sebentar lagi ia akan
berteriak. " Kubilang jangan menjawab! " katanya, nada suaranya mulai meninggi, "Kalau kau
tidak berhenti mengkhayalkan hal-hal konyol semacam itu, dan tidak mulai benar-
benar bekerja keras, kau tidak bakal bisa lulus dari kelas ini. Aku sendiri akan
menahanmu di kelas ini setahun lagi atas kemalasan dan kekurangajaranmu."
Terdengar suara tawa cekikikan dari bagian belakang kelas, tempat musuh-musuh
Candy duduk, dipimpin oleh Deborah Hackbarth. Miss Schwartz melemparkan tatapan
tajam yang membuat anak anak itu terdiam; tapi Candy tahu mereka tersenyum di
balik tangan, dan saling ber-kirim surat mencemooh kemalangannya.
"Kenapa sih kau tidak bisa jadi anak normal" " kata Miss Schwartz. "Coba contoh
hasil karya Ruth Ferris ini" la membolak balik lembar-lembar karya tersebut.
Miss Schwartz mengangkat kertas-kertas itu tinggi-
tinggi, supaya semua anak bisa melihat karya teladan Ruth yang patut dicontoh.
"Kalian lihat grafik-grafik ini?"
Miss Schwartz membolak-balik lembar-lembar grafik
berwarna yang disisipkan Ruth sebagai apendiks dalam karya tulisnya. "Kalian
tahu grafik-grafik apa ini" Kau tahu, Candy?"
"Coba kutebak," kata Candy. "Ayam?"
"Ya. Ayam. Ruth menulis tentang industri nomor satu di komunitas kita. Ayam."
"Mungkin dia menulis tentang ayam karena ayahnya manajer peternakan," kata Candy
sambil melemparkan pandangan masam pada Miss Ruth Ferris yang hebat itu.
Ia tahu - semua anak tahu, termasuk Miss Schwartz -
bahwa tabel-tabel dan diagram-diagram bagus ("Dari Telur sampai Chicken Nugget")
yang dibuat Ruth itu adalah selebaran dari brosur-brosur mengilap milik ayahnya
untuk Applebaum's Farms. "Apa menariknya menulis tentang ayam-ayam?" kata Candy.
"Ayam adalah sumber penghidupan di kota ini, Candy Quackenbush. Tanpa ayam-ayam
itu, ayahmu tidak bakal punya pekerjaan."
"Ayah Candy memang tidak punya pekerjaan, Miss Schwartz," kata Deborah.
"Oh. Yah..." "Dia terlalu banyak minum bir."
"Sudah! Cukup. Deborah," kata Miss Schwartz yang merasa suasana mulai tidak
terkendali. "Kaulihat akibat perbuatanmu, Candy?"
"Memangnya aku berbuat apa?" protes Candy.
"Kita jadi terlalu banyak membuang-buang waktu untukmu di kelas ini. Terlalu
banyak..." Ia berhenti bicara, sebab matanya terarah pada buku tulis Candy. Disentakkannya
buku itu dari meja. Karena suatu sebab, Candy mulai membuat garis-garis
bergelombang di sampul bukunya dua hari yang lalu, tangannya begitu saja
menggoreskan garis-garis bergelombang tersebut, tanpa berpikir.
"Apa ini?" Tanya Miss Schwartz . Dibaliknya lembar-lembar buku tulis itu.
Bagian dalam buku itu juga dipenuhi coret-coret yang sama dengan yang ada di
sampulnya, garis-garis rapat bergelombang di seluruh bukunya, jumlahnya ratusan.
"Membawa-bawa cerita konyol itu saja ke sekolah adalah keterlaluan." Kata Miss
Schwartz. "Sekarang kau malah mengotori benda milik sekolah."
"Itu kan cuma coret-coret iseng," kata Candy.
"Astaga, apa kau sudah sinting ! Ada berlembar-lembar corat-coret itu di sini."
Miss Schwartz memegang buku tersebut jauh-jauh, seolah-olah benda itu bisa
mencelakai-nya. "Apa sih sebenarnya yang kaulakukan! Garis-garis apa ini?"
Entah kenapa, sementara Miss Schwartz memandangi-
nya, Candy terbayang sosok Henry Murkitt yang duduk di Kamar Nomor Sembilan
Belas pada Malam Natal lama
berselang, menunggu kapalnya datang menjemput.
Saat bayangan tersebut muncul di kepalanya, tahulah Candy, apa sebenarnya corat-
coret yang telah ia buat dengan begitu begitu bersemangat dalam buku tulisnya.
"Ini gambar laut,"katanya pelan.
"Gambar apa?" kata Miss Schwartz, suaranya mengandung nada mencemooh.
"Laut. Garis-garis yang aku gambar itu laut."
"O ya" Hmm, bagi mu mungkin begitu, tapi bagi ku itu berarti hukuman dua minggu
untukmu." Terdengar derai tawa dari bagian belakang ruang
kelas. Kali ini Miss Schwartz tidak menyuruh anak-anak itu diam. Ia cuma
melemparkan buku yang penuh corat-coret itu ke meja Candy. Tapi lemparannya
meleset. Bukannya mendarat dengan mulus di hadapan Candy, buku itu
melesat melewati meja, menyapu karya tulis tentang Henry Murkitt, berikut
beberapa buah pena, pensil, dan sebuah penggaris plastik warna biru hingga jatuh
berserakan di lantai. Suara tawa terhenti. Suasana kelas sunyi senyap
sementara salah satu pensil yang jatuh akhirnya berhenti bergulir. Kemudian Miss
Schwartz berkata, "Coba kau-punguti semua sampah itu."
Candy tidak langsung menjawab. Ia duduk diam di
kursinya, tak bergerak sedikit pun.
"Apa kau mendengar kata-kataku, Candy Quackenbush?"
Geng Hackbarth senang sekali melihat Candy dimarahi.
Mereka menonton dengan senyum sinis, memandangi
Candy yang masih tetap duduk di kursinya, menolak untuk bangkit.
"Candy?" kata Miss Schwartz.
"Aku mendengar, Miss Schwartz."
"Kalau begitu, punguti benda-benda itu."
"Bukan aku yang menjatuhkan benda-benda itu dari meja, Miss Schwartz."
"Apa katamu?" "Kubilang. Bukan aku yang menjatuhkan benda-benda itu dari meja. Anda yang
menjatuhkan. Jadi, menurutku Anda-lah yang harus memunguti semuanya."
Wajah Miss Schwartz pucat nasi. Satu-satunya warna yang tersisa adalah warna
ungu bayang-bayang di bawah matanya. "Bangun," katanya.
"Miss Schwartz?"
"Kaudengar apa kataku. Kubilang bangun. Pergi ke kantor Kepala Sekolah sekarang
juga. " Jantung Candy berdebar kencang, dan kedua tangan-
nya terasa lembap oleh keringat. Tapi ia tak mau membiarkan Miss Schwartz atau
musuh-musuhnya di kelas itu melihat betapa gugupnya ia.
Ia merasa kesal pada dirinya sendiri karena mem-
biarkan Miss Schwartz membesar-besarkan masalah
konyol ini. Mungkin Kepala Sekolah akan menunjukkan sikap lebih simpatik
terhadap karya tulisnya daripada Miss Schwartz. Tapi Candy tidak yakin ia bakal
diberi kesempatan untuk menunjukkan hasil kerjanya. Miss
Schwartz pasti hanya ingin membahas kekurangajarannya.
Sayangnya Kepala Sekolah sangat serius kalau sudah menyangkut masalah perilaku
murid. Baru sebulan yang lalu ia berbicara pada seisi sekolah mengenai hal
tersebut. la memperingatkan semua murid bahwa tidak akan ada toleransi sedikit
pun bagi murid-murid yang
menunjukkan sikap tidak hormat kepada guru-guru. Murid-murid yang melewati batas
antara kesopanan dan kekasaran akan tahu akibatnya. Dan ia tidak main-main dengan ucapannya itu. Dua
minggu yang lalu, dua orang murid dikeluarkan dari sekolah karena telah
menunjukkan sikap "sangat tidak sopan" pada salah seorang guru.
Candy setengah bertanya-tanya, apakah ia masih
sempat meminta maaf; tapi ia tahu, percuma saja minta maaf. Miss Schwartz ingin
melihat ia gemetar ketakutan di hadapan Kepala Sekolah, dan guru itu sudah
bertekad akan mewujudkan hal tersebut.
"Kau masih juga duduk, Quackenbush," kata Miss Schwartz. "Kau tidak dengar apa
yang kukatakan tadi"
Eh?" "Anda bilang aku mesti ke kantor Kepala Sekolah, Miss Schwartz."
"Nah, ayo cepat jalan."
Candy menggigit lidahnya dan bangkit berdiri. Kursinya berkeriut nyaring ketika
ia memundurkannya. Kembali terdengar tawa gugup dari satu-dua sudut ruang kelas,
tapi secara keseluruhan suasananya hening. Bahkan
Deborah Hackbarth yang cerewet pun tidak berani membuka suara. Tak ada yang
ingin menarik perhatian Miss Schwartz saat ini.
"Bawa juga buku tulismu, Quackenbush," kata Miss Schwartz. "Aku ingin kau
menjelaskan alasanmu merusak barang milik sekolah pada Kepala Sekolah."
Candy tidak mendebat. Dengan patuh ia berjongkok
dan mengumpulkan benda-benda yang tadi dijatuhkan
Miss Schwartz dari mejanya: pensil-pensil, beberapa pena, buku tulisnya, dan
karya tulisnya mengenai Henry Murkitt.
"Berikan karya tubs dan buku tulis itu padaku," kata Miss Schwartz.
"Aku tidak akan merusak keduanya," protes Candy.
"Pokoknya berikan padaku," tuntut Miss Schwartz.
Suaranya nyaris bergetar menahan amarah.
Candy meletakkan pena-pena dan pensil-pensil itu di mejanya, lalu memberikan
buku dan karya tulisnya pada Miss Schwartz. Setelah itu ia melangkah ke pintu,
tanpa menoleh lagi pada seisi kelas.
Begitu keluar dari ruang kelas, dan berada di lorong yang sunyi senyap, perasaan
lega yang aneh menyelimutinya. Ia tahu seharusnya ia merasa menyesal dan
menyalahkan dirinya, tapi sebagian dirinya merasa senang karena telah
menumpahkan uneg-unegnya. Miss Schwartz sudah terlalu sering bersikap tidak adil
terhadapnya. Tapi guru wanita itu memang konyol, selalu saja melontarkan ucapan-ucapan sinis,
dan begitu terobsesi pada ayam.
"Apa menariknya ayam-ayam itu?" kata Candy, suaranya bergema di sepanjang lorong
yang kosong. Pintu di ujung lorong terbuka. Melalui pintu itu, Candy bisa melihat pekarangan
sekolah yang terang oleh sinar matahari, juga gerbang sekolah dan jalanan.
Gampang sekali untuk keluar dari sini sekarang juga, dan tak perlu lagi
mendengar celotehan Miss Schwartz mengenai
Keuntungan-Keuntungan Beternak Ayam.
Astaga, kenapa ia berpikir demikian" la tak mungkin melakukannya. Bisa-bisa ia
dikeluarkan dari sekolah.
Memangnya kenapa kalau dikeluarkan" kata sebuah suara di dalam benaknya. Keluar
saja. Jalan terus. Jalan keluar.
Karena suatu sebab, ia kembali teringat corat-coret yang dtbuatnya di buku
tulisnya. Hanya saja kali ini dalam benaknya corat-coret itu bukan lagi berupa
garis-garis hitam di atas kertas daur ulang warna kelabu, melainkan sudah
menjadi garis-garis berwarna cerah; sangat cerah.
Dan berwarna-warni, seperti kalau kita memandangi
matahari sejenak, lalu memejamkan mata dan mem-
bayangkan warna-warninya dalam benak kita. Ada
lusinan matahari kecil; matahari hijau, merah, dan keemasan; juga dalam warna-
warna yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Seperti itulah tampaknya garis-garis tersebut dalam
bayangan Candy. Dan garis-garis itu bergerak. Garis-garis bergelombang itu bergulung-gulung
melintasi kegelapan di dalam kepalanya, bergulung dan memecah, warna-warni
cemerlang itu meretas menjadi pola-pola rumit berwarna putih dan keperakan.
Di belakangnya ia mendengar suara yang sudah akrab di telinganya: suara klik,
klik, klik tumit sepatu Miss Schwartz.
"Kau sedang apa di lorong ini, Candy Quackenbush?"
teriaknya dari ujung lorong. "Kau kan kusuruh melapor ke kantor Kepala Sekolah!"
Candy tahu, semua murid di kelas-kelas sepanjang
lorong mendengar teriakan wanita itu. Besok ia akan menjadi bulan-bulanan
berbagai gurauan konyol. Candy menoleh ke belakang. Miss Schwartz sudah hampir
menyusulnya, berjalan dengan kedua lengan terlipat di depan dada. Ia membawa
barang bukti untuk menghukum Candy; buku tulis serta karya tulis mengenai Henry
Murkitt. Henry Murkitt yang malang, duduk di kamar hotel yang dingin dan kecil itu
bersama sextant-nya, menunggu kapal yang akan datang menjemputnya. Sebentar-
sebentar menengadah ke langit, memeriksa bintang-bintang, lalu melihat jam tangannya.
Menunggu dan terus menunggu, hingga akhimya, ia tidak tahan menunggu lebih lama
lagi. Candy mengalihkan pandang dari Miss Schwartz,
tatapannya kembali terarah pada bayangan warna-warni cerah di ujung lorong.
Dan masih saja garis-garis itu membuat gerakan bergulung-gulung di dalam
benaknya. Bergulung dan me-
mecah. Bergulung dan memecah.
"Mau ke mana kau ini?" tuntut Miss Schwartz. Kaki Candy sudah tahu ke mana ia
hendak pergi, meski benaknya agak lamban menangkap gagasan tersebut.
Kedua kakinya hendak membawanya keluar dari gedung sekolah ini.
"Cepat kembali ke kantor Kepala Sekolah!" Miss Schwartz berseru padanya.
Candy tidak terlalu jelas lagi mendengar kalimat
wanita itu sekarang, sebab garis-garis di dalam kepalanya juga membuat suara,
seperti gemuruh suara televisi yang tidak disetel gelombangnya. Suara itu
menenggelamkan seruan-seruan Miss Schwartz.
" Candy Quackenbush. Kembali kemari!"
Teriakan nyaring wanita itu bisa terdengar dari ujung ke ujung sekolah, tapi
orang yang diteriaki sudah tidak mendengarnya lagi.
Candy keluar, dikejar oleh Miss Schwartz yang masih terus melontarkan ancaman-
ancaman dan tuntutan-tuntutan baru padanya. Tapi Candy tak peduli. la melangkah
ke luar ambang pintu, ke cahaya pagi yang cerah.
Sebagian kecil otaknya masih berkata: Candy,
kembalilah. Kau mau apa sih" Kau pasti bakal dikeluarkan dari sekolah. Tapi
suara itu terlalu pelan untuk bisa meyakinkan kedua kakinya.
Di ambang pintu ia mulai berlari. Tiga puluh detik kemudian ia sudah mencapai
gerbang sekolah dan keluar ke jalan.
Beberapa orang murid melihatnya ketika ia keluar.
Mereka yang mengenalnya berkata bahwa belum pernah mereka melihat Candy
Quackenbush sebahagia itu.
4 "JALAN HABIS" CORAT-CORET dalam warna-warni cerah itu masih tetap terbayang-bayang dalam benak
Candy, walaupun kedua kakinya telah mematuhi instruksi dengan membawanya keluar
dari gerbang-gerbang sekolah, ke jalan raya.
Sempat terpikir oleh Candy untuk pulang ke rumahnya, tapi pikiran itu cuma
bertahan sebentar. la tidak berminat kembali ke Followell Street. Ibunya pasti
belum pulang bekerja, tapi ayahnya tentu sudah bangun pada saat itu, dan ia akan
ditanyai kenapa sudah pulang sekolah pada jam begini.
Maka Candy berjalan ke arah berlawanan: menyusuri
Spalding Street, menuju persimpangan dengan Lennox, melewati Lennox dan terus ke
arah Hotel Comfort Tree di Stillman Street. Terpikir olehnya untuk mampir di
hotel itu dan menceritakan pada Norma Lipnik, apa yang terjadi ketika ia mencoba
menceritakan kisah sedih tentang Henry Murkitt. Barangkali ia bahkan bisa
membujuk Norma untuk meminjamkan kunci kamar, sehingga ia bisa masuk lagi ke


Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kamar Nomor Sembilan Belas untuk melihat sextant itu kembali. la ingin memegang
benda itu dan memeriksanya; siapa tahu ia jadi bisa membayangkan lebih jelas
saat-saat terakhir Henry Murkitt yang malang.
Tapi begitu tiba di hotel tersebut, hasrat untuk melihat sextant itu ternyata
dikalahkan oleh suatu hasrat lain yang tak bisa ia gambarkan atau pun ia pahami.
Hasrat baru ini menggerakkan kakinya melewati bangunan hotel,
menuju persimpangan Stillman dan Lincoln.
Di sini ia berhenti sejenak. Kedua jalanan itu ramai dari kedua arah - setidaknya
ramai untuk ukuran Chickentown.
Ada empat-lima mobil menunggu setiap kali lampu lalu lintas berganti merah.
Salah satu pengendaranya adalah Frank Wrightson. Sampai enam bulan yang lalu,
Frank masih merupakan teman minum-minum ayah Candy, tapi kemudian mereka
bertengkar hebat. Pertengkaran itu diakhiri dengan saling teriak di depan rumah,
serta baku hantam yang dilakukan dengan setengah hati. Sejak pertengkaran
tersebut, kedua laki-Iaki itu tidak saling berbicara lagi.
"Hei, Candy," Frank berseru sambil lewat.
Candy melambaikan tangan, sambil berusaha supaya
tidak kelihatan terlalu merasa bersalah karena keluyuran di jalan di tengah-
tengah pagi hari Kamis. "Tidak sekolah hari ini?" teriak Frank.
Candy berpikir-pikir mesti menjawab apa tanpa perlu berbohong pada Frank
Wrightson; tapi wanita dalam
mobil di belakang truk Frank sudah membunyikan klakson dengan tak sabar. Maka
Frank-pun menjalankan truknya setelah balas melambaikan tangan pada Candy.
Sekarang ke mana ya" pikir Candy. Ia tak mungkin menunggu terus di persimpangan
ini. Sekonyong-konyong keputusan hendak ke mana itu di-
sodorkan di depan hidungnya. Sebersit angin berembus di Stillman Street dari
arah tempat peternakan ayam. Angin itu membawa bau kotoran ayam yang busuk. Aku
tidak akan mengarah ke Stillman Street, pikir Candy. Berarti pilihannya tinggal
Lincoln. Tanpa pikir panjang lagi ia berbelok, dan begitu berbelok tahulah ia
bahwa ia memang seharusnya mengambil arah ini.
Bukan saja bau busuk tadi menghilang hampir sepenuhnya, tapi di sana - di ujung
jalan, setelah deretan rumah di Lincoln berakhir dan digantikan oleh bentangan
padang rumput luas - ada gumpalan awan yang sangat besar,
bentuknya seperti sekuntum bunga raksasa, mekar terbawa angin ke selatan,
menjauh dari kota. Entah kenapa, pemandangan itu - warna keemasan
awan itu, bentuknya, dan ukurannya yang luar biasa -
membuat Candy lupa akan segalanya, lupa akan Miss
Schwartz dan segala kekonyolannya, Deborah Hackbarth dan anak-anak lainnya,
bahkan lupa akan bau di Stillman Street.
Sambil tersenyum ia terus berjalan, melewati hotel, menyusuri Lincoln Street,
menuju ke arah awan tersebut.
Sekarang garis-garis bergelombang di dalam
bayangannya mulai memudar, seolah-olah garis-garis tersebut telah selesai
menjalankan tugas mereka, yakni membawanya keluar, hingga ia melihat awan yang
mengambang ini. Sekarang ia telah melihat awan itu; dan ia sudah tahu arah yang
hendak ditujunya. Rumah-rumah semakin jarang saat ia mendekati ujung Lincoln Street. Seingat
Candy, baru satu kali ia pernah menjelajah hingga ke daerah ini. Itu pun karena
diajak oleh Patti Gibson, teman karibnya tiga tahun yang lalu.
Patti ingin menunjukkan salah satu dari sedikit rumah yang mempunyai pekarangan
depan bagus di Chickentown.
Pekarangan itu milik seorang wanita tua bernama Lavinia White; ia dikenal
sebagai Ibu Janda White oleh orang-orang sekitarnya. Lavinia bukan menanam
bunga-bungaan di pekarangannya, melainkan "menanam" kincir-kincir plastik di
rumput; kincir-kincir itu berwarna-warni cerah dan menimbulkan bunyi mendesir
kalao tertiup angin. Jelas Ibu Janda White ini agak sinting, sebab ia bukan
hanya menanam tiga atau empat kincir di pekarangannya
sebagai ganti bunga-bunga biasa, melainkan ratusan kincir. Ada yang warnanya
merah terang, ada yang hijau mencolok mata, ada juga yang bergaris-garis atau
berpola spiral. Candy ingat, kincir-kincir itu menyajikan pemandangan yang
sangat bagus. Dan ia terperanjat mendapati kincir-kincir itu masih ada. Ia sudah mendengar
suara desiran mereka sebelum melihatnya - suara desir riuh yang menyambut
langkahnya di ujung Lincoln Street. Setelah kincir-kincir tersebut tampak di
hadapannya, ia melihat kondisi mereka sudah tidak sebagus dulu. Rupanya ibu
janda White tidak mengganti kincir-kincir tersebut dengan yang baru selama
beberapa tahun terakhir ini; banyak yang sudah roboh ditiup angin atau
kehilangan kipasnya, hingga yang tersisa hanya bagian batangnya yang masih
tertancap di tanah. Tapi barangkali satu dari setiap tiga kincir masih
berfungsi, masih memberikan pemandangan yang luar biasa.
Sambil lewat Candy memandangi rumah Ibu Janda
White. Di sana, di jendela lantai atas, tampak olehnya wanita tua itu duduk di
kursi roda, memandangi apa yang terjadi di luar sana. Tapi tidak banyak yang
terjadi diluar rumah terakhir di jalan itu, di mana sesudahnya padang rumput
membentang); wanita itu memandangi Candy,
maka Candy melambaikan tangan padanya dengan ter-
senyum. Ibu janda White tidak balas melambai, juga tidak tersenyum.
Tidak ada penghalang maupun pagar di ujung jalan.
Hanya ada papan yang dipasang di batas jalan aspal, dengan tulisan:
JALAN HABIS "Oh, begitu ya?" kata Candy sambil menengadah ke papan tersebut. Di belakang
tanda itu hanya ada bentangan padang rumput dan awan tadi. Awan itu bertambah besar sementara Candy
sedang menyusuri Lincoln Street tadi, dan sekarang tidak lagi bergerak menjauhi
kota. Angin sudah berubah arah, dan sepertinya sekarang bertiup dari utara.
Angin itu membawa bau aneh, tapi sama sekali bukan bau dari peternakan ayam
serta selokan-selokannya yang mampet. Candy tidak tahu bau apa itu.
Ia menoleh ke arah Lincoln Street. Dari sini ke rumahnya makan waktu sekitar
setengah jam berjalan kaki. Kalau awan besar itu membawa hujan, ia bisa basah
kuyup dalam perjalanan pulang ke Followell Street. Tapi ia belum ingin pulang;
setidaknya belum sekarang. Ia sama sekali tak bisa membayangkan apa yang bakal
dilihatnya di depan sana, selain perbukitan liar dan rumput-rumput panjang,
milkweed jingga, larkspur, dan bunga-bunga lili padang rumput.
Tapi ia merasa lebih senang berjalan-jalan sejenak di sini, sebab tak seorang
pun tahu ia berada di sini (kecuali Ibu Janda White). Ya, di sini lebih
menyenangkan daripada pulang ke rumah mendengarkan celotehan mabuk
ayahnya tentang ketidakadilan-ketidakadilan yang ia alami dalam hidupnya.
Tanpa pikir panjang lagi ia berjalan melewati papan bertuliskan JALAN HABIS itu.
Sambil lewat disenggolnya papan itu, hingga bergoyang-goyang di dalam lubang
dangkal tempatnya tertancap. Lalu Candy melangkah ke tengah rumput-rumput yang
bergoyang perlahan. Kupu-kupu dan lebah-lebah beterbangan di atasnya,
seolah-olah hendak menunjukkan jalan. Candy mengikuti mereka dengan senang.
Ketika menoleh lagi ke belakang, ia hampir-hampir tak bisa melihat Chickentown,
karena terhalang rerumputan yang setinggi bahu. Tapi ia tak peduli. la mempunyai
insting tajam dalam menentukan arah. la pasti bisa menemukan jalan pulang nanti.
Candy terus melangkah, tatapannya terpaku pada
gumpalan awan raksasa di langit sana, rasa sedih dan malu yang dialaminya di
sekolah terlupakan sudah, tertinggal di belakang, di tempat jalan aspal
berakhir, digantikan oleh lautan rumput dan bunga.
5 PANTAI TAK BERLAUT SETELAH berjalan selama sekitar sepuluh menit. Candy menoleh ke belakang. Ia
melihat bahwa sekarang Chickentown sama sekali sudah tidak kelihatan, tertutup
oleh ombak-ombak yang mengalun lembut serta parit-parit yang tadi diseberanginya
untuk sampai ke tempatnya berada kini. Bahkan puncak menara gereja di Hawthorne
Street dan gedung balai kota yang bertingkat lima juga sudah tidak tampak lagi.
Candy melayangkan pandang sejenak ke sekelilingnya, berputar tiga ratus enam
puluh derajat di tempat ia berdiri. Di semua arah tampak pemandangan membosankan
yang sama: rerumputan yang tertiup angin. Hanya ada dua perkecualian. Agak jauh
di sebelah kanannya ada segerumbulan kecil pepohonan, dan hampir persis di
hadapannya ada pemandangan yang jauh lebih aneh:
semacam kerangka sebuah menara yang berdiri di
tengah-tengah belantara rerumputan dan bunga-bungaan ini.
Bangunan apa itu" Semacam menara pengintaikah"
Kalau ya, orang-orang yang pernah ditugasi berjaga di situ pasti bosan setengah
mati, sebab tak ada yang menarik untuk dilihat.
Meski kelihatannya bangunan itu sudah hampir berupa reruntuhan, Candy memutuskan
untuk mendatanginya. Ia akan berjalan ke sana, duduk sebentar, lalu kembali.
Selain itu, ia mulai merasa haus. Ia ingin minum segelas air.
Mungkin dalam perjalanan pulang nanti ia akan mampir untuk beli soda di Niles'
Drug Store. Ia merogoh-rogoh sakunya, untuk memeriksa uang yang dimilikinya. Ada
selembar lima dolaran dan selembar sepuluh dolaran.
Dimasukkannya lembaran-lembaran uang itu dalam-dalam di sakunya, supaya tidak
jatuh ke luar. Angin bertiup semakin kencang sejak saat ia meninggalkan batas-batas
Chickentown, dan rasanya agak terlalu kuat. Di udara masih tercium kesegaran
aroma musin semi, tapi selain itu ada aroma lain entah apa, Candy tak bisa
menyebutkannya dengan pasti, tapi aroma itu serasa menggodanya.
la berjalan ke arah menara tersebut, benaknya sama sekali bebas dari pikiran-
pikiran yang mengganggu -
pikiran-pikiran tentang Miss Schwartz, surat-surat berisi ancaman akan
dikeluarkan dari sekolah; ayahnya yang terpuruk di kursi tempat ia biasa minum-
minum, memandangi Candy dengan tatapan khasnya yang menandakan Candy bakal kena
marah; semua pikiran itu terlupakan sejak Candy meninggalkan jalan aspal.
Sekonyong-konyong ia tersandung sesuatu, dan benda itu terlempar ke depan, di
antara rerumputan. Pasti sebutir batu. Tapi Candy membungkuk juga untuk melihat
lebih dekat, dan ia terperanjat karena ternyata benda itu sama sekali bukan
batu, melainkan kerang. Dan ukurannya besar: seukuran kepalan tangannya; dihiasi
sejumlah tanduk pendek di sekelilingnya. Candy tahu kerang ini bukanlah rumah
siput. Ukurannya terlalu besar. Selain itu, ia belum pernah melihat rumah siput
ada tanduk-tanduknya. Tidak, kerang ini pasti kerang laut, dan umurnya jelas
sudah tua. Warna-warninya sudah memudar, tapi ia masih bisa melihat pola rumit
yang meng-hiasinya: pola yang mengikuti bentuk spiralnya yang melingkar-lingkar,
makin lama makin mengecil, lalu menghilang.
Candy membalikkan kerang itu, membersihkannya dari butir-butir pasir yang
mengotori celahnya, kemudian menempelkannya ke telinga. Ia mempelajari ini dari
kakeknya; mendengarkan suara laut di dalam kerang. Ia tahu bahwa sebenarnya ini
hanya ilusi - suara laut yang didengarnya sebenarnya adalah getaran halus udara di
bagian dalam kerang - tapi ia toh masih setengah mempercayainya; setengah yakin
bahwa yang didengarnya memang suara ombak laut, seakan-akan kerang itu masth
menyimpan kenangan akan hidupnya dulu di lautan.
Candy memasang telinga. Nah... ini dia suaranya.
Tapi kenapa kerang ini ada di sini"
Apakah ada orang yang menjatuhkannya ketika ber-
jalan-jalan di tempat ini" Rasanya sangat tidak mungkin.
Mana ada orang yang berjalan-jalan dengan membawa-
bawa kerang di sakunya"
Candy memandangi tanah di bawahnya, bertanya-
tanya apakah ada benda lain yang dijatuhkan di situ.
Ternyata ada, dan ini membuatnya terperanjat: ada
sejumlah benda lain tersebar di bawah kakinya. Kerang-kerang juga, lusinan
jumlahnya. Tidak, tidak lusinan.
Ratusan malah; ada yang kecil, ada juga yang lebih besar daripada kerang yang
diambilnya tadi. Kebanyakan di antaranya sudah retak atau pecah, tapi ada
beberapa yang masih utuh, bentuk dan pola mereka lebih indah dan lebih aneh
daripada apa pun yang pernah dilihatnya di buku. Selain kerang, banyak lagi
benda-benda lainnya. Jauh lebih banyak. Setelah beberapa saat mengamati tanah di bawahnya, matanya
mulai terbiasa menangkap berbagai benda aneh, dan benda-benda yang dilihatnya
pun semakin banyak. Ada potongan-potongan kayu
tersebar di antara kerang-kerang, sebagian besar sudah terkikis menjadi wujud-
wujud kecil yang abstrak, dibentuk oleh pasir pucat berbintik-bintik yang
bercampur dengan tanah Minnesota yang berwarna gelap. Ketika Candy
membungkuk untuk memungut salah satu ukiran kayu itu, dilihatnya bahwa di pasir
itu juga ada kaca: serpih-serpih kaca yang tak terhitung banyaknya - hijau, biru,
dan putih - yang tampak bagaikan permata-permata ber-embun. Ia memungut tiga atau
empat buah kaca dan memeriksanya di telapak tangannya, sambil berjalan sedikit. Dengan setiap
langkahnya, ia menemukan semakin banyak misteri di bawah kakinya. Ada tulang-
belulang seekor ikan besar - dagingnya sudah habis dipatuki
burung-burung, dan kerangkanya sudah terpanggang
matahari. Bahkan ada pecahan karya tanah liat yang sangat bagus: sebuah sosok
biru yang memandang tajam ke arahnya dengan sorot mata menghipnotis.
Merasa terpesona, Candy berhenti sejenak untuk
memeriksa hasil temuannya. Pada saat itulah dari sudut matanya ia menangkap
sebuah gerakan di antara rumput-rumput tinggi. la pun berjongkok pada ujung
kaki, di bawah batang-batang rumput yang paling tinggi. la diam tak bergerak,
sekonyong-konyong merasa sangat gugup.
Dibersihkannya sisa-sisa pasir pada jemarinya, dan ia mengawasi, menunggu kalau-
kalau ada gerakan lagi. Seembus angin keras bertiup di antara rerumputan;
batang-batang rumput bergesekan satu sama lain, memperdengarkan bunyi mendesis.
Setelah sekitar satu menit, Candy memutuskan untuk berdiri. Selama itu yang
bergerak hanyalah rumput-rumput yang meliuk tertiup angin.
Ketika Candy berdiri, makhluk yang tadi bergerak
rupanya juga memutuskan untuk berdiri tegak, sehingga mereka berdua - Candy dan
orang asing itu - bangkit
bersamaan seperti dua perenang yang muncul dari dalam laut dangkal.
Candy terpekik kaget ketika melihat orang asing itu.
Tapi begitu rasa terkejutnya hilang, ia mulai tertawa. Laki-laki itu - entah siapa
dia - mengenakan semacam topeng untuk Halloween, atau begitulah kelihatannya.
Kalau tidak, bagaimana mungkin tampangnya bisa begitu ajaib" Mata kirinya bundar
dan liar, sementara mata kanannya sempit dan licik. Mulutnya melekuk sedih ke
bawah, dihiasi kumis dan janggut hitam.
Tapi yang paling aneh adalah pemandangan di atas
kepalanya. Ada sepasang telinga besar berbulu halus, dan di atasnya ada dua buah
tanduk yang sangat besar, mirip tanduk kijang jantan; hanya saja di tanduk-
tanduk itu ada tujuh buah kepala (empat di tanduk kiri, tiga di tanduk kanan).
Kepala-kepala itu memiliki mata, hidung, dan mulut.
Kemudian Candy menyadari bahwa kepala-kepala itu
tidak diam saja, juga tidak terbuat dari karet dan papier-mache. Singkatnya,
laki-laki itu bukannya mengenakan topeng. Kepala-kepala yang tumbuh di sepasang
tanduk itu hidup, dan semuanya memandangi Candy, seperti
halnya si pemilik kepala-kepala itu juga memandanginya: delapan pasang mata
mengamatinya sekaligus dengan
intensitas binar-binar yang sama.
Candy tak sanggup bersuara. Tapi kepala-kepala itu tidak diam saja. Setelah
hening sejenak, mereka mulai berceloteh ribut dengan sangat seru. Candy tahu
pasti apa yang mereka percakapkan. Sejenak kepala-kepala tersebut menatapnya,
lalu mereka saling berbincang di antara sesamanya, suara mereka makin lama makin
keras, berusaha saling mengalahkan.
Satu-satunya mulut yang tidak berbicara adalah mulut si laki-laki itu sendiri.
Ia hanya mengamati Candy, ekspresinya yang liar dan licik perlahan-lahan berubah
menjadi ekspresi heran namun waspada.
Akhirnya ia memutuskan untuk mendekati Candy. Candy terkesiap sedikit karena
takut. Si laki-laki mengangkat kedua tangannya yang berjemari panjang, seakan-
akan hendak mencegah Candy melarikan diri. Sementara itu, kepala-kepala lainnya
masih juga saling berceloteh.
" Diam! " laki-laki itu memerintahkan. "Kalian membuat lady ini ketakutan."
Kepala-kepala itu diam, kecuali satu (kepala yang di tengah, dari antara dua
kepala di cabang tanduk sebelah kanan; kepala berwajah bundar dan masam). Kepala
yang satu itu terus saja berbicara.
"Jangan dekat-dekat dia, John Mischief," kepala itu menasihati si laki-laki.
"Mungkin dia kelihatannya tidak berbahaya, tapi mereka ini tak bisa dipercaya.


Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak ada yang bisa dipercaya."
"Kubilang diam, John Serpent," kata si laki-laki. "Dan aku tidak main-main."
Kepala itu cemberut, lalu menggerutu perlahan. Tapi akhirnya ia berhenti
mengoceh. "Siapa namamu?" John Mischief bertanya pada Candy.
"Aku?" kata Candy, seolah-olah ada orang lain di situ, pada siapa pertanyaan
tersebut ditujukan. "Oh Lordy Lou," kata salah satu kepala lainnya. "Ya, kau, Nak."
"Sopan sedikit, John Sallow," kata John Mischief sambil mengangkat tangan (tanpa
mengalihkan pandang dari Candy) dan menjitak pelan kepala yang pemarah itu atas ketidaksopanannya.
Setelah menyuruh diam temannya, John Mischief
berkata, "Aku minta maaf atas sikap saudaraku, Lady."
Lalu - sekonyong-konyong saja - ia membungkuk pada
Candy. Bukan bungkukan dalam. Tapi sikap sopan yang terpancar dari gerakan
sederhana itu berhasil merebut hati Candy sepenuhnya. Peduli apa kalau John
Mischief mempunyai tujuh kepala ekstra; ia telah membungkuk hormat dan menyebut
Candy "Lady". Belum pernah ada yang menunjukkan sikap seperti itu pada Candy.
Candy tersenyum senang. Dan John Mischief, laki-laki berpenampilan aneh itu, balas tersenyum; begitu
pula lima dari tujuh kepala lainnya.
"Aku tidak bermaksud membuatmu takut. Lady,"
katanya. "Percayalah, sama sekali tidak. Tapi di sekitar sini ada seseorang
bernama Shape." "Mendelson Shape," kata kepala paling kecil.
"Seperti kata John Moot: Mendelson Shape. "
Sebelum mendengar lebih banyak informasi, Candy
merasa perlu menanyakan sesuatu. Maka ia menanyakannya.
"Apa kalian semua bernama John?" katanya.
"Ya," sahut Mischief. "Sebutkan nama-nama kalian, saudara-saudara, mulai dari
kiri ke kanan. Sebutkan nama-nama kita."
Maka mereka menyebutkannya.
"John Fillet." "John Sallow." "John Moot." "John Drowze" "John Pluckitt."
"John Serpent."
"John Slop." "Dan aku pemimpinnya," kata si kepala utama. "John Mischief.
"Ya, aku sudah tahu itu. Namaku Candy Quackenbush."
"Aku senang sekali berkenalan denganmu " kata John Mischief.
Ia kedengarannya benar-benar tulus, dan ini ada
alasannya. Melihat penampilannya, sepertinya bela-
kangan ini situasinya tidak begitu baik untuk dirinya - atau untuk mereka.
Kemeja biru bergaris-garis yang dikenakan Mischief penuh dengan lubang, dan ada
noda-noda pada dasinya yang dipasang longgar. Entah noda bekas makan atau noda
darah. Candy menduga noda darah. Selain itu, bau badannya juga sama sekali tidak
enak. Kemejanya melekat lengket ke tubuhnya, basah oleh keringat berbau tajam menyengat.
"Apa kalian habis melarikan diri dari orang bernama Shape ini?" tanya Candy.
"Tajam juga pengamatannya, ya?" kata John Pluekitt dengan nada kagum. "Aku suka
itu. Dan dia juga masih muda. Dia bisa membantu kita, Mischief."
"Bisa membantu atau bisa membuat kita mendapat masalah lebih besar?" kata John
Serpent "Masalah kita sudah cukup besar," kata John Slop. "Kita percaya saja pada dia,
Mischief. Kita toh tidak rugi apa-apa. "
"Apa sih yang mereka bicarakan?" Candy bertanya pada Mischief, "Selain aku "
"Pelabuhan " sahut Mischief.
"Pelabuhan apa?" kata Candy. "Tidak ada pelabuhan di sini. Ini Minnesota. Kita
ratusan mil jaraknya dari samudra. Ribuan malah."
"Ribuan mil dari samudra yang kaukenal barangkali, Lady" kau John Fillet sambil
tersenyum, memamerkan gigi-giginya yang renggang-renggang. "Tapi ada samudra dan
samudra. Ada Lautan dan lautan."
"Apa sih maksudnya?" Candy bertanya pada Mischief.
John Mischief menunjuk ke arah menara yang menjulang enam puluh atau tujuh puluh
meter dari tempat mereka berdiri.
"Itu sebuah mercu suar, Lady" katanya.
"Tak mungkin," kata Candy sambil tersenyum. Gagasan itu terasa mustahil. "Buat
apa orang..." "Coba perhatikan," kata John Drowze. " Itu sebuah mercu suar"
Candy mengamati kembali menara yang aneh itu.
Ya, sekarang ia bisa melihat bahwa mungkin saja
menara itu dulu dirancang sebagai mercu suar. Ada sisa-sisa tangga yang sudah
lapuk, melingkar naik ke bagian tengah menara, menuju sebuah ruangan di puncak
sana, yang mungkin berisi lampu. Tapi lalu kenapa"
"Ini pasti perbuatan orang sinting" kata Candy.
"Kenapa?" kata John Slop.
"Oh, yang benar saja," kata Candy. "Tadi kan sudah kita bicarakan. Kita berada
di Minnesota. Tidak ada laut di..."
Kalimat Candy terhenti mendadak. Mischief telah memberi isyarat agar ia diam.
Sementara itu, saudara-saudaranya memandang ke
sana kemari. Beberapa mengendus-endus udara, ada juga yang mencecap-cecap bibir.
Apa pun yang mereka lakukan dan ke mana pun mereka memandang, kesimpulan akhirnya sama, dan serentak
mereka menggumamkan hal yang sama.
" Shape ada di sini, " kata mereka.
6 LADY CANDY NAIK KE MENARA
SEKETIKA Mischief menyambar lengan Candy dan me-
nariknya ke tengah-tengah rerumputan tinggi. Sekarang matanya tidak lagi
menyorotkan tatapan liar ataupun licik.
Yang tampak hanya sorot ketakutan. Sementara itu,
saudara-saudaranya mengintip ke segala arah di atas puncak-puncak batang-batang
rumput, sambil sesekali saling bertukar pandang dengan takut. Candy merasa aneh
berada bersama satu orang, namun juga dikelilingi begitu banyak kepala.
"Lady," Mischief berkata dengan sangat pelan, "kira-kira, maukah kau melakukan
sesuatu yang nekat untukku?"
"Nekat?" "Aku bisa mengerti kalau kau tidak mau. Toh ini bukan urusanmu. Tapi barangkali
ada alasannya kenapa Takdir membawamu kemari."
"Teruskan," kata Candy.
Berhubung Candy merasa sangat tidak bahagia dan
tanpa tujuan selama beberapa jam belakangan ini (tidak, bukan cuma beberapa jam;
berbulan-bulan malah, bahkan bertahun-tahun), ia senang mendengar ada orang yang
punya teori mengenai alasan keberadaannya di sini.
"Kalau aku bisa mengalihkan perhatian Mendelson Shape dari dirimu sejenak saja,
barangkali kau bisa lari ke mercu suar itu dan naik tangga ke atas" Kau jauh
lebih ringan daripada aku, dan anak-anak tangga itu mungkin bisa menahan
beratmu." "Buat apa?" "Apa maksudmu: buat apa?"
"Maksudku, kalau aku sudah naik tangga..."
"Dia ingin tahu, apa yang mesti dia lakukan selanjutnya," kata John Slop.
"Mudah saja, Lady" kata John Fillet,
"Setelah kau sampai di atas, kau harus menyalakan lampu mercu suar itu," kata
John Pluckitt. Candy menoleh ke reruntuhan menara tersebut: me-
mandangi tangganya yang melingkar-lingkar naik, serta papan-papan lantai atas
yang sudah lapuk. Rasanya tak mungkin menara itu masih berfungsi dalam
keadaannya sekarang ini. "Bukankah untuk itu perlu listrik?" kata Candy. "Maksudku, aku tidak melihat ada
lampu di situ." "Ada satu lampu di atas sana, kami berani sumpah,"
kata John Moot. "Percayalah pada kami. Kami memang sudah terjepit, tapi kami
tidak bodoh. Kami tidak bakal menyuruhmu melakukan misi bunuh diri."
"Jadi, bagaimana car a menyalakan lampu itu?" tanya Candy. "Apa ada tombol
nyala-mati-nya?" "Nanti kau tahu sendiri cara menyalakannya, begitu kau melihat lampu itu," kata
Mischief. "Cahaya adalah permainan paling tua di dunia."
Candy memandangi mereka, tatapannya beralih dari
satu wajah ke wajah lainnya. Mereka semua tampak
begitu ketakutan dan lelah. "Tolonglah, Lady," kata Mischief. "Kau satu-satunya
kesempatan kami sekarang."
"Satu pertanyaan lagi...," kata Candy.
"Tidak ada waktu," kata Drowze. "Aku melihat Shape."
"Di mana?" tanya Fillet, menolehkan kepala untuk mengikuti arah tatapan
saudaranya. Ia tak perlu ditunjukkan lebih jauh lagi. la hanya berkata, "Oh
Lordy Lou, itu dia."
Candy mengangkat kepalanya sedikit dan menatap ke
arah yang sama dengan Fillet dan Drowze. Saudara-
saudara yang lain - termasuk Mischief - ikut menatap ke arah tersebut.
Di sana, tak lebih selemparan batu dari tempat Candy dan kedelapan bersaudara
itu berjongkok di rumput, tampak sosok yang mereka takuti: Mendelson Shape.
Candy merinding melihatnya. Shape dua kali lebih
jangkung daripada Mischief, dan ada kesan menyerupai labah-labah pada sosoknya
yang jelek aneh. Bagian-bagian tubuhnya nyaris tidak berdaging, dan begitu
panjang, hingga Candy bisa membayangkan ia merambat naik di tembok, seperti
labah-labah. Di punggungnya ada besi-besi berbentuk salib yang kelihatannya
seperti empat bilah pedang ditancapkan di tubuhnya yang kurus kering.
Ia hanya mengenakan celana pendek bergaris-garis, dan jalannya sangat pincang.
Tapi tak ada kesan rapuh sedikit pun pada dirinya. Meski tubuhnya tak berotot
dan jalannya pincang, ia kelihatannya jenis makhluk yang terlahir untuk mencelakakan
orang. Ekspresi-nya masam, tak ada kesan gembira sedikit pun, dan me-mancarkan
kebencian pada dunia. Setelah sempat melihatnya, Candy cepat-cepat me-
nunduk menyembunyikan diri diri sebelum sorot mata Shape yang jahat terarah
kepadanya. Ini makhluk aneh kedua yang dilihatnya, dan anehnya baru sekarang ia jadi
bertanya-tanya, apakah saat ini ia cuma berhalusinasi. Bagaimana mungkin
makhluk-makhluk seperti ini ada di dunia ini bersamanya" Dunia yang sama dengan
tempat Chickentown, Miss Schwartz, dan Deborah Hackbarth berada"
"Sebelum kita melangkah lebih Ianjut, aku punya satu pertanyaan," kata Candy
pada kedelapan bersaudara itu.
"Tanya saja," kata John Sallow.
"Apa yang kualami ini cuma mimpi?"
Sebagai jawaban, kedelapan bersaudara itu serentak menggelengkan kepala, kali
ini wajah mereka menampakkan ekspresi yang sama. Tidak, ini bukan mimpi,
begitulah yang tersirat di wajah mereka.
Candy sendiri sudah menduga jawabannya akan
demikian. Mereka semua tidak sedang bermimpi - ia dan kedelapan bersaudara itu - dan
mereka semua sedang menghadapi masalah besar.
Mischief bisa menebak urutan pikiran yang ada di
kepala Candy dan terlintas pada ekspresi wajahnya.
Keraguan Candy apakah saat ini ia benar-benar terjaga, dan rasa takut bahwa ia
memang tidak sedang bermimpi.
"Sumpah, ini pasti sudah ditentukan oleh Takdir," kata Mischief padanya. "Karena
kaulah yang bisa menyalakan lampu itu. Kau.... hanya kau."
Candy berusaha mengenyahkan rasa takutnya sedapat
mungkin, dan memusatkan pikiran pada ucapan John
Mischief. Aneh, rasanya masuk akal juga bahwa ia ada di sini karena memang sudah
ditakdirkan bahwa ia harus ada di sini. Ia teringat corat-coret yang telah
dibuatnya di buku tulisnya; betapa corat-coret itu seakan-akan jadi semakin
terang dalam alam pikirannya, memberi inspirasi pada anggota-anggota tubuhnya
untuk bergerak. Corat-coret itu seakan-akan sebuah tanda, selembar tiket untuk
masuk ke dalam petualangan ini. Kalau tidak, kenapa ia bisa ada di sini hari ini
- di tempat yang belum pernah dikunjunginya - setelah seumur hidupnya ia lewatkan
di Chickentown. Pasti inilah yang dimaksud John Mischief dengan Takdir.
"Bagaimana, Lady?" tanya Mischief. "Apa keputusan-mu?"
"Kalau aku tidak sedang bermimpi, berarti memang benar ini Takdir."
"Jadi, kau bersedia ke mercu suar itu?"
"Ya, aku bersedia," sahut Candy.
Mischief tersenyum lagi, tapi kali ini semua saudaranya ikut tersenyum
bersamanya. Delapan wajah yang memperlihatkan perasaan syukur, tersenyum senang
akan keberadaan Candy di sini, dan akan kesediaannya mem-
pertaruhkan hidupnya. Ya, hidupnyalah yang dipertaruhkan saat ini, Candy tidak
ragu lagi. Monster yang sedang melangkah di rerumputan itu akan membunuh mereka
semua kalau ia berhasil menancapkan cakarnya pada
mereka. "Semoga berhasil," bisik Mischief. "Kita bertemu lagi setelah kau turun dari
sana." Lalu, tanpa menawarkan instruksi lebih lanjut, ia dan saudara-saudaranya lari
menerobos rerumputan, membungkuk rendah-rendah supaya tidak kelihatan oleh
Shape. Akhirnya mereka lenyap dari pandangan Candy.
Jantung Candy berdebar begitu keras, hingga detak-
nya serasa berdebum-debum di telinganya. Sepuluh detik berlalu... lima belas
detik. Candy memasang telinga.
Rerumputan di sekitarnya memperdengarkan suara mendesis. Aneh, belum pernah ia
merasa sehidup ini. Setengah menit berlalu. Candy tergoda untuk mengintip lagi di atas permukaan
rumput-rumput yang bergoyang-goyang, untuk melihat apakah Mendelson Shape sedang
berjalan terpincang-pincang ke arahnya. Tapi ia takut, kalau-kalau Shape sudah
dekat sekali dengannya. Namun ia sangat lega ketika mendengar delapan suara berseru serentak.
" Hei, kau! Mendelson Shmendelson! Kau mencari kami, ya" Kami di sini!"
Candy menunggu sejenak, kemudian memberanikan diri mengintip.
Sepertinya tadi Shape memang memandang ke arah-
nya. Kalau Candy tadi mengintip, Shape pasti melihatnya.
Tapi sekarang makhluk itu membalikkan badan dengan cepat, mengikuti arah asal
suara kedelapan bersaudara tersebut.
Tepat pada saat itu Mischief melompat keluar dari
tengah-tengah rerumputan dan mulai berlari menjauhi mercu suar, untuk
mengalihkan perhatian Shape.
Shape merentangkan kedua lengannya, cakar-cakar-
nya yang besar dan tajam terentang lebar seperti kipas-kipas berjari lima.
" Di. Sana. Kalian. Rupanya!" katanya dengan suara menggelegar.
Suaranya sama jeleknya dengan bentuk tubuhnya:
suara keras dan sengau yang membuat perut Candy mual.
Ketika ia berbicara, salib-salib di punggungnya berganti posisi, berdiri tegak
seperti sayap-sayap logam tanpa bulu. Ia meraih ke belakang punggungnya dan
mencengkeram dua bilah pedang, lalu mencabutnya dari
sarung yang terpasang di dagingnya yang seperti kulit.
Kemudian ia merangsek maju ke arah buruannya.
Candy tahu bahwa ia tak boleh berlama-lama.
Kedelapan bersaudara itu telah mempertaruhkan nyawa mereka supaya ia bisa sampai
ke mercu suar tanpa terlihat. Ia harus pergi sekarang juga, atau keberanian mereka akan sia-sia.
Candy tidak lagi menonton kejar-mengejar itu. la mengarahkan tatapannya ke
bangunan mercu suar dan mulai berlari. la tidak lagi berusaha menyembunyikan
diri dengan merunduk di bawah rerumputan. Ia hanya berharap perhatian Shape
untuk sementara teralihkan oleh keinginan untuk menangkap John Bersaudara.
Sambil lari menerobos rerumputan, Candy menyadari
bahwa awan hujan raksasa yang mula-mula telah menarik perhatiannya sekarang
berada tepat di atas mercu suar itu, menggantung seperti tirai keemasan
menudungi drama yang sedang terjadi di bawah sini.
Apakah ini juga sudah ditetapkan oleh Takdir" Ia bertanya-tanya sendiri sambil
berlari. Apakah awan-awan juga punya peran dalam menentukan jalannya peristiwa"


Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika pikiran tersebut telah berlalu dari kepalanya, ia sudah tiba di ambang
pintu mercu suar. la menoleh sekilas ke belakang, untuk melihat Mischief dan
pengejarnya. Dengan ngeri dilihatnya bahwa sekarang ia sudah
tidak terlindung lagi. Shape sudah berhenti mengejar John Bersaudara - barangkali
menyadari bahwa mereka sengaja hendak membuatnya lengah - dan sekarang ia
kembali mengarahkan perhatiannya pada mercu suar itu.
Kedua matanya tertuju pada Candy, dan ia menge-
luarkan teriakan yang mendirikan bulu roma. Ia merentangkan kedua lengannya
lebar-lebar, lalu mulai bergerak ke arah Candy, dengan kedua belah pedang siap
di tangan. la tidak berlari; ia cuma melangkah di rumput dengan rasa percaya diri yang
mengerikan dalam setiap langkahnya yang pincang, seolah-olah ia hendak berkata:
Aku tak perlu terburu-buru. Aku punya banyak waktu. Kau sudah tersudut dan tak
bisa lari. Kau milikku. Candy memalingkan muka darinya dan mendorong
pintu yang sudah rusak. Engsel-engselnya berderit dan sesaat pintu itu tak mau
membuka. Candy cemas kalau-kalau ada kayu-kayu yang runtuh di sebelah dalam,
hingga menghalangi pintu itu membuka. Tapi kemudian pintu itu terkuak dengan
bunyi derit keras, dan Candy pun masuk.
Meski banyak Iubang di tembok, dan cahaya matahari menerobos masuk daJam galur-
galur yang begitu cerah, tetap saja di dalam sana jauh lebih dingin daripada di
luar. Udara dingin itu berbau kayu busuk. Jamur-jamur raksasa hidup subur di
keremangan yang lembap itu, dan papan-papan yang diinjaknya terasa licin oleh
lumut. Dua kali ia terpeleset sebelum sampai di anak tangga paling bawah.
Pemandangan di hadapannya tampak berbahaya. Dulu
tangga kayu melingkar itu tentunya aman-aman saja untuk dinaiki, tapi itu pasti
sudah puluhan tahun yang lalu.
Sekarang hampir seluruh birainya sudah runtuh, dan struktur penopangnya sudah
digerogoti rayap dan kutu kayu. Tampaknya tangga itu sudah tak punya landasan
yang mantap sama sekali. Candy mengintip melalui salah satu lubang di tembok.
Ia sudah tahu apa yang bakal dilihatnya: Mendelson Shape yang masih melangkah ke
arah mercu suar. Meski sangat tidak aman untuk naik ke atas sana,
Candy tak mungkin mundur lagi. Beberapa saat lagi
Shape akan tiba di pintu depan. Tak ada pilihan lain bagi Candy. Ia mesti naik
ke atas sana. Ia mencengkeram birai tangga yang rapuh itu dan mulai naik dengan
hati-hati. *** Di luar, di tengah rerumputan panjang, John Bersaudara mengamati sosok Lady
Quackenbush yang hanya berupa siluet ketika ia menaiki anak tangga.
"Dia memang hebat, anak itu," gumam Drowze.
"Kenapa kau bilang begitu?" kata Moot.
"Coba lihat dia!" kata Drowze. "Tidak banyak makhluk dari Here-after sialan ini
yang seberani dia." "Dia agak sinting," kata Serpent. "Itu sebabnya. Bisa kuiihat dari matanya sejak
awal. Dia agak sinting."
"Jadi, kita mengirim seorang gadis sinting untuk mengerjakan tugas kita?" kata
Pluckitt. "Kedengarannya kok tidak terlalu heroik."
"Kalian semua bisa tutup moncong kalian, tidak?"
bentak Mischief. "Drowze benar. Lady itu memang istimewa. Waktu kita pertama
kali melihatnya, kalian merasa seperti sudah pernah melihat dia, kan?" Hening.
Tak ada jawaban dari kepala-kepala itu. "Bagaimana?"
"Tadi kaubilang kami mesti menutup moncong kami,"
Sallow mengingatkan dengan pongah. "Kami kan cuma mengikuti perintahmu."
"Menurutku ada kesan magic pada dirinya," kata Mischief, tidak menghiraukan
sindiran Sallow. la meraba-raba ikat pinggangnya dan mencabut sebilah pisau
kecil yang tergantung di sana. "Dan kita harus melindunginya."
"Kau tidak...," Moot memulai.
"... bermaksud menyerang... " Pluckitt melanjutkan.
"... Mendelson Shape?" Slop menimpali.
"Apalagi dengan senjata kecil begitu?" Fillet mengakhiri.
"Yah..." kata Mischief. "Apa ada yang punya gagasan lebih bagus?"
"Dia dua kali lebih besar daripada kita!" kata Sallow.
"Tiga kali!" kata Moot.
"Bisa-bisa dia merobek-robek jantung kita" kata Slop.
"Yah, kita kan tak bisa membiarkan Lady Quackenbush begitu saia tanpa
dilindungi," sahut Mischief.
"Kuusulkan kita kabur saja," kata Moot. "Ini tidak bakal berhasil, Mischief.
Kalau kita kabur sekarang, setidaknya Kunci itu aman pada kita. Kalau kita
menceburkan diri ke dalam urusan ini, kita bukan hanya membahayakan nyawa
sendiri..." "... yang tentunya sangat berharga...," John Serpent berkata.
"... kita juga membahayakan Kunci itu," Moot memberi alasan. "Itu tidak boleh
terjadi." "Moot benar," kata John Sallow. "Kita punya kesempatan untuk kabur. "Aku usul
kita ambil saja kesempatan itu."
"Tidak mungkin," kata Mischief. "Gadis itu mempertaruhkan hidupnya untuk kita."
"Seperti sudah kukatakan," Sallow menyahut, "dia agak sinting."
"Dan seperti ku katakan," Mischief menyahut, "silakan kalian semua tutup moncong
kalian. Percuma saja kalian buang-buang napas. Pokoknya kita akan berusaha
menjauhkan Shape darinya selama mungkin."
Setelah berkata demikian, Mischief lari menerobos
rerumputan, menuju ke arah Mendelson, pisau kecilnya siap di tangan.
Ketika ia tinggal enam atau tujuh langkah dari
sasarannya, Shape merasakan kehadirannya dan mem-
balikkan badan, lalu melemparkan pedang-pedangnya
hingga menimbulkan desing di udara. Mulutnya lebar dan berbuih, seolah-olah ia
sedang berusaha meningkatkan nafsu makannya sambil mendekati mercu suar itu.
Pupil matanya sudah meruncing setajam ujung jarum, hingga ekspresinya semakin
mengerikan. Tapi bidikannya payah.
Pedang-pedang itu meleset sekitar satu kaki lebih dari John Bersaudara, lalu
mendarat di atas rerumputan yang halus.
Mischief merunduk dan mempercepat larinya, menuju ke arah musuhnya.
"Semuanya...," katanya. "Serukan Teriakan Perang! "
Maka John Bersaudara pun menyerukan teriakan
melengking yang begitu tidak kompak, begitu sinting, dan begitu binatang...
"EEEIIIGGGORRRAAARRGUU..."
... sampai-sampai Shape sendiri jadi ragu-ragu, dan untuk sesaat seperti hendak
mundur. Kemudian sepertinya ia ingat bahwa musuhnya lemah, dan ia batal mundur. Ia
justru merangsek maju kembali dengan pedang-pedangnya. Tapi John Bersaudara
lebih cepat. Mischief melesat di bawah kelebat cepat tangan Shape dan
menancapkan pisau kecilnya ke paha Shape.
Pisau itu menancap sedalam tiga-empat inci dan bercokol di sana; darah memancar
keluar mengenai tangan dan lengan Mischief. Itu saja sudah cukup untuk membuat
monster itu menjerit murka dan kesakitan. Ia menjatuhkan pedang-pedangnya dan
mencengkeram lukanya, menger-takkan gigi sambil mencabut pisau tersebut.
Di dalam mercu suar. Candy sudah menaiki lima belas anak tangga ketika ia
mendengar jeritan Mendelson.
Dengan hati-hati ia menaiki tiga anak tangga lagi, sampai ia bisa mengintip
melalui sebuah lubang di tembok. Ia bisa melihat cukup jelas. Tampak olehnya
bahwa Mischief sedang melawan Shape di luar sana, seperti pertarungan antara
Daud dan Goliat. Pemandangan itu membangkitkan keberaniannya.
Sekarang ia meningkatkan kecepatannya, tidak lagi
menaiki anak-anak tangga itu dengan hati-hati, seperti sebelumnya. Dengan setiap
langkah yang diambilnya, keseluruhan struktur mercu suar itu bergoyang-goyang
dan mengerang, tapi Candy berhasil mencapai puncak anak tangga dengan selamat.
Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan berbentuk bundar, barangkali
diameternya sekitar delapan atau sembilan kaki.
Ia sudah sampai di puncak mercu suar. Tapi sekarang, setelah benar-benar berada
di atas sini, ia bingung di mana lampunya" Keadaan ini persis seperti yang ia
khawatirkan. Kalaupun di sini pernah ada lampu (meski ia sangat meragukannya:
tempat ini lebih mungkin dibangun untuk iseng-iseng daripada untuk digunakan),
maka lampu itu pasti sudah dicuri lama berselang. Yang tersisa hanyalah benda
aneh di tengah-tengah ruangan: sebuah piramida terbalik, tingginya sekitar tiga
kaki. Piramida itu berdiri pada ujungnya yang runcing, ketiga sisinya dihiasi
sejumlah pola seperti tulisan hieroglif. Di puncak piramida tersebut (atau lebih
cocok disebut dasarnya) ada sebuah mangkuk kecil sederhana. Candy sama sekali
tidak bisa menebak kegunaan semua itu.
Kemudian ia teringat ucapan Mischief, ketika ia
mengatakan bahwa ia sama sekali tidak melihat lampu di puncak menara. Apa ya
persisinya ucapan Mischief"
Seprtinya; cahaya adalah permainan paling tua di dunia!
Barangkali piramida aneh ini semacam permainan, pikir Candy. Masalahnya, ia
tidak tahu cara memainkannya.
Lebih gawat lagi, ia mendengar suara berisik Shape yang menggedor-gedor pintu
mercu suar itu; pintu itu hancur berkeping-keping oleh amarahnya. Suara
berisiknya semakin keras, lalu hening beberapa saat.
Setelah itu terdengar suara langkah kaki pincang
monster itu sendiri saat ia menaiki anak-anak tangga mercu suar itu untuk
mencari Candy. 7 CAHAYA DAN AIR DI mana kau Nak?" Shape menggeram sambil terus naik.
Candy tertegun diam sejenak saat mendengar suaranya serta langkah kakinya yang
berderak dan terseret-seret.
Ia merasa seperti sedang mengalami mimpi buruk: diburu-buru oleh binatang dari
neraka makhluk jahat yang ingin memangsanya hidup-hidup, sepotong-sepotong,
secuil-secuil. Tidak! Dibuangnya jauh-jauh ketertegunannya. la tak boleh membiarkan kengerian ini
menguasai dirinya. Ia melayangkan pandang ke sekeliling ruangan itu,
mencari-cari pintu yang menuju balkon sempit yang
mengitari ruangan. Ternyata pintu itu ada tepat di belakangnya. Ia
menghampirinya dan memutar gagang-nya. Terkunci. Tapi itu bukan masalah, apalagi
dalam keadaan panik seperti sekarang ini. Dihantamnya kayu lapuk pintu itu, dan
dengan mudah pintu itu bisa dibuka paksa. Kemudian ia melangkah ke balkon.
Papan-papan lantai balkon itu sudah lebih banyak terkena musim panas dan musim
dingin Minnesota yang dahsyat dibandingkan papan-papan lantai ruangan dalam - dan
lantai itu seketika amblas di bawah kakinya. Candy melemparkan diri ke depan, menyambar
pegangan tangga yang sudah berkarat. Ia selamat berkat kesigapannya, sebab
sesaat kemudian keseluruhan papan lantai itu ambruk seluruhnya.
Kalau tidak berpegangan pada birai, ia pasti sudah jatuh melalui lubang yang
menganga di bawah kakinya, dan kemungkinan ia akan tewas.
Dengan sangat hati-hati ia menarik kakinya keluar dari lubang, mencari tempat
yang lebih mantap untuk berdiri.
Masih terdengar olehnya suara Shape di menara di
belakangnya, memanggil-manggil dengan menyanyikan
kalimat-kalimat penuh ancaman, sambil terus naik. Yang dinyanyikannya itu
semacam lagu anak-anak yang seram.
Jenis yang hanya dinyanyikan oleh monster semacam
Shape. "O si kecil, Si kecilku, Ikutlah denganku, Hidupmu usai selesai. Lupakan masa depan, Lupakan masa lalu. Hidupmu usai: Embuskan napas terakhirmu."
Sedapat mungkin Candy berusaha menulikan telinga
dari nyanyian Shape yang bersyair mengerikan. Ia mengamati pemandangan sekitar
mercu suar itu sekilas. "Mischief!" teriaknya. "Kau ada di mana?"
Ia hanya perlu berseru satu kali. Mischief muncul
seketika, berlari cepat di antara rerumputan, menuju mercu suar. Kedua tangannya
berlumuran darah. Apakah ia
berhasil melukai Shape" Candy berharap demikian.
"Lady Candy" Kau baik-baik saja?"
"Aku tidak menemukan lampu apa pun di sini, Mischief!
Maaf." "Dia makin dekat, Lady."
"Aku tahu, Mischief. Percayalah: aku tahu . Tapi tidak ada lampu di sini...."
"Di situ pasti ada sebuah mangkuk dan bola. Adakah mangkuk dan bola di sana?"
"Apa?" "Permainan paling tua, Candy. Cahaya adalah permainan paling tua... "
Candy menoleh lagi ke dalam sana. Ya, memang ada
semacam mangkuk di situ, bertengger di puncak piramida terbalik tersebut.
"Ya! Memang ada mangkuk di situ!" ia balas berteriak pada John Bersaudara.
"Masukkan bola itu ke dalamnya!" kata Mischief.
"Bola apa" Tidak ada bola di situ."
"Pasti ada bola di situ."
" Tidak ada!" " Carilah kalau begitu!" teriak John Serpent Candy tak mau membuang-buang waktu
dengan menyuruh Serpent agar bersikap lebih sopan. Waktu yang tersisa sedikit sekali.
Dengan segera Shape akan memasuki ruangan bundar itu. Maka Candy berhenti bicara
dan mengikuti anjuran Mischief. Ia masuk kembali ke dalam ruangan mercu suar,
melalui lubang yang telah dibuatnya di lantai, untuk mencari bola itu.
Sambil memeriksa seisi ruangan, ia memasang telinga.
Kalau menilik dari suara langkah kakinya, Shape
sepertinya sudah dekat ke puncak anak tangga.
Kemudian - tepat saat Candy yakin ia akan membuka
pintu - terdengar suara kayu patah, dan monster yang mengejarnya mengeluarkan
jeritan kaget. Rupanya anak tangga itu tidak kuat menahan berat badan Shape.
Candy mendengar serangkaian derakan patah ketika potongan-potongan anak tangga
yang hancur itu berjatuhan ke bawah. Hening sejenak. Candy berharap mudah-
mudahan Shape ikut jatuh bersama tangga-tangga yang patah tadi, dan tergeletak
di bawah sana. Tapi bukan suara erangan samar-samar yang didengarnya, melainkan
justru serentetan kata-kata dalam bahasa yang belum pernah
didengarnya. Tanpa perlu diterjemahkan pun ia tahu bahwa yang didengarnya itu
adalah sumpah serapah. Candy menyeberang ke pintu dan melongok ke bawah,
untuk melihat apa yang terjadi. Sebagian besar tangga itu - lima atau enam anak
tangga - memang runtuh terinjak Mendelson Shape. Tapi entah bagaimana Shape berhasil menghindar dari
terjatuh sepenuhnya, dengan melompat turun lebih cepat sebelum tangga-tangga itu
runtuh di bawah kakinya. Akibatnya ia mesti melompati rongga cukup besar sebelum
bisa melanjutkan naik. Candy kecewa makhluk itu tidak mati atau tergeletak
pingsan di bawah sana. Tapi begini lebih baik daripada tidak sama sekali...
Shape menengadah ke arahnya dan membentuk tanduk
dari jari telunjuk serta jari kelingkingnya, lalu membuat gerakan menusuk-nusuk
penuh ancaman ke arah Candy.
Tak diragukan lagi, kalau ia punya kekuatan untuk
membuat Candy mati di tempat. Candy pasti sudah mati.
Tapi Shape hanya bisa menyumpah-nyumpah dan
menunjuk-nunjuk, jadi Candy meninggalkannya, dan
melanjutkan mencari bola tadi.
Saat ia beranjak, terdengar Mischief berseru padanya dari luar. Jelas ia juga
sudah mendengar ribut-ribut itu.
"Aku datang, Lady Candy!"
Candy melangkah ke pintu sebelah luar dan berseru
pada Mischief. " Tidak! Tetap di tempatmu. Kau toh tidak bisa naik ke sini. Tangganya runtuh!"


Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia melihat Mischief mengintip melalui lubang-lubang di tembok mercu suar, untuk
memastikan ucapannya tadi.
Mischief tampak terperangah.
"Bagaimana kau bisa turun?" katanya; kelihatannya sekarang ia lebih mencemaskan
keselamatan Candy daripada memikirkan soal cahaya yang konon merupakan
permainan tertua di dunia.
"Pasti ada jalan, kalau sudah saatnya," kata Candy.
"Pertama-tama, aku akan mencari bola konyol ini dulu."
"Kami datang.'" Mischief berkata lagi.
"Tunggu!" kata Candy. "Kau tetap di tempatmu saja.
Kumohon." Tanpa menunggu jawaban, Candy berjongkok dan
mulai mencari-cari dengan saksama di lantai, kalau-kalau ia menemukan potongan
teka-teki aneh yang hilang ini.
Benda yang dicarinya tidak langsung kelihatan, tapi ada beberapa bagian yang
sudah lapuk sepenuhnya di
papan-papan itu, menimbulkan lubang-lubang di lantai.
Candy menghampiri masing-masing lubang, mengangkat papan-papannya yang sudah
dimakan rayap, untuk melihat apa yang ada di bawahnya. Papan-papan itu
terangkat dengan mudah, hancur menjadi potongan-
potongan kayu, debu, dan mayat-mayat kumbang yang
sudah kering. Di lubang pertama tidak ada apa-apa. Lubang kedua
sama saja. Tapi di lubang ketiga... nah! Itu dia: sebuah bola kecil berwarna
biru-hijau keperakan tergeletak di bawah papan-papan. Candy mesti mengangkat
papan-papan lapuk itu lebih banyak sebelum ia bisa mengambil bola itu di antara
jemarinya. Setelah berhasil mengambilnya, ia terkejut karena ternyata bola kecil
itu berat. Bola itu bukan terbuat dari kayu atau plastik, melainkan dari logam.
Di permukaannya yang biru-hijau terukir anggun sebuah pola yang sudah
dikenalnya! Corat-coret yang telah ia gam bar dengan penuh semangat di buku
tulisnya. Ia tak punya waktu untuk terheran-heran dengan
temuannya ini. Di belakangnya terdengar serangkaian geraman marah dari tangga,
diikuti suara derak patah lagi. Seketika ia tahu apa yang terjadi. Karena begitu
bernafsu untuk mendatanginya, Shape nekat mencoba
melompati lubang menganga di tangga.
Ia menoleh sekilas ke pintu yang terbuka sedikit. Melalui celah itu tampak
Shape. Shape sudah berhasil melompati lubang yang menganga, dan sekarang
melangkahi anak-anak tangga yang tersisa, dua anak tangga sekaligus setiap
kalinya, Cakar-cakarnya yang setajam pisau memperdengarkan bunyi decit
mengerikan di kayu-kayu sepanjang birai tangga Mustika Lidah Naga 2 Raja Petir 21 Perburuan Busur Maut Kenangan Kematian 2
^