Pencarian

Mahabharata 8

Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit Bagian 8


"Tuanku Raja, hari ini aku sangat lelah. Badanku penuh luka setelah bertempur melawan Bhimasena. Tetapi kalau kaukehendaki, nyawaku akan kuserahkan kepadamu," jawab Karna.
Sementara itu, Arjuna terus menerjang pasukan Kau-rawa yang diperintahkan untuk menghalanginya agar kesatria Pandawa itu tidak bisa mendekati Jayadrata. Pada saat itu Krishna mengirimkan isyarat, memanggil kereta dan sais bernama Daruka untuk diberikan kepada Satyaki. Daruka adalah sais yang sangat mahir. Bersama Satyaki ia ditugaskan untuk bertempur melawan Karna di medan yang terpisah. Setelah bertempur beberapa lama, Karna berhasil dilumpuhkan, keretanya dihancurkan, dan ia terpaksa melompat naik ke kereta Duryodhana.
Ketika Satyaki mengamuk lagi melawan para kesatria Kaurawa, Arjuna makin maju mendekati Jayadrata. Pikirannya penuh dengan kenangan akan kematian Abhima-nyu. Tanpa kenal lelah dan tak peduli pada luka-luka di
tubuhnya, Arjuna terus berperang. Dengan Gandiwanya, ia
membuat pasukan Kaurawa kacau balau. Arjuna terus maju mendekati Jayadrata. Pertarungannya dengan Aswat-thama dan lainnya tidak membuatnya semakin jauh dari tujuannya. Sebaliknya, setelah mengalahkan musuh-musuhnya, ia semakin dekat dengan Jayadrata.
*** Mereka yang bertempur sebentar-sebentar menoleh ke barat. Pertempuran belum juga berakhir. Waktu hanya tinggal sedikit. Tiba-tiba medan Kurukshetra menjadi gelap dan terdengar teriakan Duryodhana, "Lihatlah, hari sudah malam! Arjuna tidak dapat melaksanakan sumpahnya. Sungguh memalukan!"
Sementara itu Jayadrata menengadah, memandang ke barat dengan ragu, sebab beberapa saat yang lalu langit masih terang. Katanya dalam hati, "Aku selamat, aku
selamat...." Pada saat itulah Krishna berkata kepada Arjuna, "Dha-nanjaya, lihatlah Raja Sindhu sedang memandang langit. Aku mengucapkan mantra agar medan ini menjadi gelap.
Sebetulnya matahari masih di atas. Cepat, lakukan tugasmu! Jayadrata sedang sendirian!"
Maka melesatlah sebatang anak panah bermata pedang
dari Gandiwa Arjuna, tepat menembus leher Jayadrata.
Leher itu putus. Kepala Jayadrata terbawa terbang oleh anak panah yang terus meluncur, bagaikan burung elang
menyambar anak ayam. Sebatang anak panah dilepaskan lagi oleh Arjuna, untuk menerbangkan kepala itu ke tempat yang lebih jauh. Dengan kekuatan yang telah diperhitungkan, anak panah itu menerbangkan kepala Jaya-drata sampai ke tempat pertapaan ayahnya. Akhirnya,
anak panah itu jatuh tepat di pangkuan Raja Wridaksatra
yang sedang khusyuk bersamadi.
Ketika raja tua itu selesai bersamadi, ia bangkit berdiri. Maka tergulinglah kepala anaknya dari pangkuannya.
Akibat kutuk-pastu yang dilontarkannya dulu, maka
kepala mantan raja itu sendiri yang meledak, pecah berkeping-keping. Seketika itu juga ia menemui ajalnya.
Krishna, Dhananjaya, Bhimasena, Satyaki, Yudhamanyu dan Uttamaujas meniup trompet kerang mereka sebagai tanda bahwa Arjuna berhasil melaksanakan sumpahnya. Medan Kurukshetra sesaat menjadi terang kembali karena memang demikianlah keadaannya yang sesungguhnya. Beberapa waktu kemudian, matahari tenggelam sebagaimana biasa.
*** 50. Mahasenapati Drona Tewas Secara Terhormat
Pertempuran di medan Kurukshetra makin hari makin bertambah sengit. Aturan-aturan perang sudah ditinggalkan, dilanggar, dan tak dihiraukan lagi. Kedua pihak merasa bahwa pertempuran di siang hari saja tidak cukup. Maka perang diteruskan sampai malam. Demikianlah, ketika matahari sudah terbenam dan malam telah turun, kedua pihak masih terus bertempur diterangi obor.
Dua kesatria muda paling terkenal yang menjadi pujaan di medan Kurukshetra adalah Abhimanyu dan Gatotkaca.
Mereka dipuja dan disayang Pandawa karena berjiwa besar, berwatak kesatria, pemberani dan sakti mandraguna.
Setelah Abhimanyu gugur, tinggal Gatotkaca yang menjadi tumpahan kasih sayang Pandawa. Putra Bhima yang beribu Arimbi dan berdarah raksasa itu dengan pasukan raksasanya memberikan bantuan penting bagi Pandawa, lebih-lebih setelah pertempuran diteruskan sampai malam. Pasukan raksasa yang dipimpinnya lebih tangkas dan lebih mahir bertempur di kegelapan malam.
Ia menyerang pasukan musuh dengan para raksasa
yang garang-garang. Beribu-ribu balatentara Kaurawa dibunuh oleh para raksasa itu. Duryodhana cemas dan putus harapan karena tak terbilang banyaknya
prajuritnya yang mati. Pertempuran di malam hari ternyata jauh lebih mengerikan daripada di siang hari.
"Karna, bunuhlah Gatotkaca. Kalau tidak, dalam waktu
singkat seluruh balatentara kita akan habis. Bunuh Gatotkaca! Sekarang juga!" kata Duryodhana mendesak Karna.
Walaupun badannya masih letih karena bertempur sepanjang hari, Karna merasa ngeri melihat Gatotkaca dan
pasukan raksasanya mengamuk di malam hari. Hatinya
panas membayangkan kemusnahan yang diakibatkan amukan Gatotkaca. Kemarahannya membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk, hingga ia memutuskan untuk menumpas habis pasukan raksasa yang dipimpin Gatotkaca. Ia ingat tombak hadiah dari Batara Indra yang semula akan digunakannya untuk membunuh Arjuna.
Kemudian Karna bangkit, menerjang ke depan, dan menghadapi kesatria Pandawa berketurunan raksasa itu. Sungguh menyeramkan pergumulan mereka. Mula-mula Karna hanya bertahan, tetapi tiba-tiba ia mengerahkan tenaganya untuk menyerang. Sesaat Gatotkaca lengah dan Karna berhasil menusuk dadanya dengan tombak sakti pemberian Batara Indra. Bagai gunung meletus Gatotkaca langsung roboh membentur tanah, mati seketika.
Di medan lain, Drona mengamuk dengan dahsyatnya. Beratus-ratus pasukan Pandawa gugur di medan itu.
Dalam keadaan seperti itu, Krishna memberi tahu Arjuna:
jika perang terus berlangsung dan Drona tetap memimpin Kaurawa, Pandawa pasti hancur. Satu-satunya jalan adalah membunuh Drona. Dan satu-satunya cara untuk mengalahkan guru Pandawa dan Kaurawa itu adalah dengan mengabarkan kepadanya bahwa Aswatthama, anaknya, telah gugur. Berita itu pasti akan membuatnya kaget, sedih, putus asa, dan meletakkan senjatanya. Sebab itu, salah seorang harus pergi menemui Drona dan mengabarkan berita itu.
Arjuna kaget mendengar saran Krishna. Ia tidak sanggup berbohong, apalagi kepada mahagurunya. Dia akan
menanggung aib. Tidak! Ia tidak setuju usul itu. Yang lain
juga menolak usul Krishna.
Setelah lama berpikir dan tidak melihat ada jalan lain,
Yudhistira bangkit lalu berkata, "Ya, baiklah akan aku pikul dosa ini." Dia terpaksa membohongi gurunya walaupun hati kecilnya menentang perbuatan itu. Kemudian ia menyuruh Bhimasena melakukan sesuatu.
Bhimasena lalu mencari gajah yang namanya sama dengan nama putra Drona: "Aswatthama". Sesuai perintah Yudhistira, dia harus membunuh gajah yang besar, kuat, dan pandai berlaga itu. Setelah menemukannya, Bhima-sena mengangkat gadanya lalu menghantamkannya ke kepala Aswatthama si gajah. Gajah itu langsung roboh ber-debam ke tanah dan mati seketika. Setelah gajah Aswat-thama mati, Bhimasena menyelinap ke dekat kemah Drona, lalu mengaum lantang agar terdengar oleh Maha-senapati Kaurawa itu.
"Aku telah bunuh Aswatthama," teriaknya.
Mendengar kata-kata Bhimasena, Drona langsung bangkit dan pergi menemui Yudhistira. Ia hendak bertanya
sambil dalam hati mengucapkan mantra brahmastra, "Yudhistira, benarkah anakku telah mati terbunuh"" Ia yakin,
satu-satunya orang yang tak pernah berbohong adalah Dharmaputra. Kesatria Pandawa itu selalu mengatakan yang sebenarnya dan tak pernah berani berbohong.
Ketika Drona bertanya kepada Dharmaputra, Krishna mengawasi mereka dengan cemas dan hati berdebar-debar. Demikian pula Bhimasena, ia merasa ngeri dan malu karena tadi dia yang "meneriakkan" berita itu. Yudhistira berdiri gemetaran, ngeri akan perbuatan dusta dan akibat mantra brahmastra yang diucapkan Drona.
"Kalau sekarang engkau tidak sanggup menjawab, kita
semua akan hancur. Brahmastra yang menyertai ucapan
Drona mengandung kekuatan magis untuk memusnahkan
Pandawa," bisik Krishna kepada Yudhistira.
Mendengar bisikan Krishna, Yudhistira menjawab perlahan dengan suara lirih sekali, "Biarlah ini menjadi dosaku."
Lalu dengan suara jelas ia berkata kepada Drona, "Benar, Aswatthama telah mati terbunuh."
Ucapannya itu menusuk hatinya sendiri. Ia tahu,
dengan berbohong ia telah merendahkan martabat dan
pekertinya. Kemudian ia meneruskan kata-katanya dengan
suara yang semakin lirih, "Aswatthama gajah yang kuat
dan mahir bertempur."
Kata gajah diucapkan sangat lirih agar tidak terdengar oleh Drona.
Mendengar berita itu d ari mulut Yudhistira yang terkenal tak pernah berbohong, Drona langsung lemas. Ia yakin, ia benar-benar telah kehilangan anak yang sangat dicintainya. Semangatnya menguap, bagaikan embun pagi disinari matahari. Semua keinginan duniawi hapus dari pikirannya, hilang tidak berbekas sedikit pun. Drona, mahaguru dan kesatria tua yang perkasa itu terlihat pucat dan layu.
Pada saat itu Bhimasena berkata lantang kepadanya karena kecewa terhadap bekas mahagurunya, "Wahai guruku, sebagai brahmana engkau telah meninggalkan
tugas dan kewajibanmu sesuai yarna-mu. Engkau memilih varna kesatria dengan mengangkat senjata dan menyebabkan banyak raja, putra mahkota, dan kesatria tewas
dalam perang ini. Jika engkau tidak terlalu bernafsu atau
berambisi untuk meraih kekuasaan, pastilah kaum kesatria tidak mengalami kemusnahan seperti sekarang. Varna-mu sebagai brahmana mengajarkan bahwa ahimsa tindakan tanpa kekerasan- adalah dharma tertinggi. Tetapi engkau menolak dharma itu dan memilih menjadi maha-senapati yang memimpin pertempuran. Sekarang, setelah korban berjatuhan, engkau ingkari semuanya. Perbuatan-mulah yang membuat hidupmu penuh dosa. Dan engkau harus menerima akibatnya."
Drona merasa tersinggung dan terhina oleh kata-kata Bhimasena. Perasaan hampa karena tewasnya Aswattha-ma, putranya, semakin parah karena hinaan Bhimasena. Dengan putus asa ia meletakkan semua senjatanya, melepas pakaian dan atribut perangnya, kemudian duduk bersila di keretanya untuk beryoga. Tidak berapa lama kemudian Drona kemasukan roh halus.
Pada saat itu Dristadyumna datang berlari mendekati
Drona dengan pedang terhunus. Kesatria itu hendak menghabisi brahmana yang telah banyak membunuh kaum kesatria. Tanpa bertanya-tanya, ia melompat ke dalam kereta Drona sambil berteriak nyaring, "Mampus
engkau Brahmana!" Dengan sekali tebas ia memenggal leher Drona. Kepala mahasenapati itu menggelinding, jatuh tepat di di sisinya. Tetapi, ajaib! Dari leher yang terpotong itu memancar cahaya kedewaan yang kemudian terbang ke angkasa,
menuju surga, manunggal dengan Hyang Widhi.
*** Gugurnya Mahasenapati Drona menimbulkan berbagai tanggapan di kalangan senapati Kaurawa. Duryodhana menganggap hal itu wajar, sedangkan Kripa merasa sangat kehilangan. Bagaimanapun juga, mereka tak mungkin lama berduka. Perang belum selesai. Mereka harus segera mengangkat mahasenapati lain untuk menggantikan mahaguru itu.
Setelah berunding, Kaurawa memutuskan untuk mengangkat Karna sebagai mahasenapati. Dalam upacara yang khidmat, Karna dilantik sebagai mahasenapati balatentara Kaurawa. Setelah dilantik, Karna diberi kereta perang yang
megah dengan Salya, Raja Negeri Madra, sebagai saisnya.
Balatentara Kaurawa bersiap untuk bertempur lagi dengan semangat baru.
Menjelang hari-hari terakhir pertempuran, yang pada waktu itu sesungguhnya belum diketahui, banyak ahli perbintangan yang dimintai nasihat dan petunjuk oleh kedua pihak, yaitu untuk menentukan posisi barisan dan serangan-serangan yang hendak mereka lancarkan. Di hari-hari terakhir itu, Bhimasena sering menyertai Arjuna. Mereka semakin dekat satu sama lain setelah kedua putra mereka gugur di medan perang.
Di pihak Kaurawa, Karna lebih sering didampingi Duhsasana.
Suatu hari, dalam pertempuran yang berkecamuk sengit, tiba-tiba Duhsasana menyerang Bhimasena. Serangan itu disambut Wrikodara dengan tertawa dalam hati. "Kini aku mendapat kesempatan untuk meremukkan Duh-sasana yang sendirian. Sumpahku di hadapan Draupadi akan kubayar hari ini."
Dengan ucapan itu dalam hatinya dan ingatan akan penghinaan Duhsasana di masa lalu, Wrikodara memacu keretanya menuju kereta Duhsasana. Setelah benar-benar dekat, ia melompat ke kereta musuhnya. Bagaikan macan garang menerkam mangsanya, Bhimasena menyergap Duhsasana sambil berteriak, "Manusia jahanam! Inikah tanganmu yang najis" Tangan yang telah menyeret Drau-padi dengan mencengkeram rambutnya. Terimalah pembalasanku!" Begitu selesai berkata-kata, Bhimasena membanting lawannya keras-keras, mematahkan tangan dan kakinya.
"Siapa yang mau membelamu, boleh saja, silakan maju!"
Bagaikan kerasukan setan, Bhimas
ena mengisap darah Duhsasana lalu melempar-lemparkan tubuh putra Drita-rastra yang tidak bertangan dan berkaki itu, sesuai sumpahnya di hadapan Draupadi dulu. Setelah puas, ia berkata lantang, "Aku telah penuhi sumpahku dengan meremukkan manusia durjana ini. Sekarang tinggal menyelesaikan perhitungan dengan Duryodhana, pangkal segala kemusnahan ini!" Ia memandang ke kanan dan ke kiri, mencari-cari Duryodhana dengan mata yang merah membara.
Tindakan Bhimasena membuat hati Karna kecut dan ngeri. Ia ingin menyingkir, menghindari kekejaman di luar batas itu, tetapi Salya menahannya sambil berkata, "Jangan mundur dan lari! Engkau Mahasenapati kami. Sungguh tak pantas jika kau lari dan memperlihatkan tindakan pengecut. Waktu Duryodhana gemetar ketakutan dan sendirian, engkau tak boleh ikut-ikutan gentar. Setelah Duhsasana tewas, seluruh kekuatan dan tanggung
jawab atas balatentara Kaurawa ada di tanganmu. Engkaulah yang harus memikul beban ini sekarang. Majulah sebagai kesatria besar. Bunuh Arjuna! Rebut kemenangan abadi!"
Mendengar nasihat Salya, Karna kembali bersemangat.
Dengan air mata berlinang Karna meminta Salya memacu
keretanya ke arah Arjuna.
Terjadilah pertempuran amat sengit antara Karna dan Arjuna. Karna melepaskan panah api ke arah Arjuna. Tepat pada saat itu, Krishna menghentakkan tali kekang dan memutar kereta sampai masuk ke lumpur. Panah api itu mendesing, hanya seujung rambut di atas kepala Arjuna dan menembus mahkota senapatinya. Mahkota itu
jatuh terpelanting ke tanah. Arjuna malu dan marah karena kejadian itu. Susah payah Krishna berusaha mengeluarkan keretanya dari lumpur. Belum lagi berhasil, Karna menyusulnya. Tiba-tiba kereta Karna juga masuk ke dalam lumpur, roda kiri kereta itu tenggelam. Kereta itu tak bisa digerakkan lagi. Karna melompat turun, hendak membetulkan roda itu.
"Tunggu! Keretaku masuk lumpur. Sebagai kesatria besar yang memahami dharma, hendaknya engkau berbuat adil dan tidak memanfaatkan kecelakaan ini sebagai kesempatan untuk menggempur aku. Setelah aku berhasil keluar dari lumpur ini, kita bertarung lagi!" demikian teriak Karna.
Arjuna sudah siap mengangkat Gandiwanya. Ia memilih
anak panah yang pantas untuk melumpuhkan lawannya. Sementara itu, Karna bingung karena ingat akan sumpah Arjuna. Ia berteriak lagi, meminta Arjuna memegang kehormatan dan tata krama kaum kesatria, yaitu tidak menyerang musuh yang tidak berdaya.
Krishna memotong kata-kata Karna dengan lantang, "Hai, Karna, sungguh baik engkau masih ingat kata-kata
'adil dan kehormatan kesatria'. Sayang, baru sekarang
kauingat. Dulu waktu Duryodhana, Duhsasana dan Saku-ni menghina Draupadi, engkau lupa dan berlagak bodoh.
Engkau juga membantu Duryodhana yang menipu dan
jahat terhadap Pandawa. Ingatkah engkau akan permainan dadu, meracuni dan membakar Pandawa hidup-hidup, lalu
mengusir mereka ke dalam hutan. Apa yang kaumaksud
dengan 'kehormatan dan tata krama kesatria'" Dan dharma mana yang kauingat" Mulutmu yang lancang telah menghina Draupadi seperti ini:
"'Suamimu, Pandawa telah meninggalkan engkau. Kawinlah dengan laki-laki lain.'
"Sekarang engkau bicara tentang keadilan, kehormatan
kesatria dan dharma. Setelah bicara tentang itu, apakah engkau tidak malu ikut membunuh Abhimanyu beramai-ramai" Engkau bicara tentang keadilan, kehormatan dan budi pekerti, tetapi kau justru mengingkarinya."
Mendengar kata-kata Krishna, Karna menundukkan kepala. Ia malu dan tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Ia bangkit lalu naik kembali ke keretanya, mengambil busur, dan melepaskan anak panah yang nyaris mengenai Arjuna. Dhananjaya terhenyak sesaat. Dengan cepat Karna turun untuk membetulkan roda keretanya yang terperosok ke dalam lumpur. Ia mencoba
mengingat mantra brahmastra pemberian Parasurama,
tetapi seperti telah diramalkan oleh Parasurama, Karna tak bisa mengingatnya.
"Jangan membuang-buang waktu lagi, Dhananjaya," kata Krishna kepada Arjuna. "Panahlah dia! Bunuhlah
manusia jahat itu!" Mula-mula Arjuna ragu, tangannya gemetar. Tetapi setelah mendengar kata-kata Krishna, ia membidikkan panahnya ke arah Karna. Secepat kilat ditari
knya tali busur dan dilepaskannya anak panah itu. Seketika itu juga putra Batara Surya roboh, tewas. Di punggungnya tertancap anak panah Arjuna.
Sesungguhnya, menurut aturan perang, siapa pun tidak dibenarkan menyerang atau membunuh musuh yang tidak berdaya, luka parah, atau berada dalam posisi tak bisa melawan atau mempertahankan diri. Jika itu dilakukan,
artinya orang itu melanggar dharmal Tetapi di padang
Kurukshetra waktu itu, aturan perang sudah tidak diindahkan, bahkan dilanggar. Bagaimana mungkin mereka dapat dikatakan menjalankan dharma-nya sebagai kesatria jika saudara dan kerabat saling membunuh" Bukankah peperangan sebenarnya adalah adharma atau kejahatan"
*** 51. Duryodhana Tewas Sesuai Swadharma-nya
Duryodhana sedih mendengar berita gugurnya Karna. Mahaguru Kripa kasihan kepadanya dan mencoba menghiburnya dengan menasihati putra mahkota itu bahwa jika perang dilanjutkan, tidak ada yang akan memetik kebahagiaan, yang ada hanyalah kehancuran.
Kata Kripa, "Didorong nafsu besar dan ambisi, kita korbankan banyak orang dalam perang ini, walaupun mereka rela mengorbankan jiwa mereka. Sekarang, satu-satunya jalan yang masih bisa kita tempuh untuk menghindari kemusnahan adalah berdamai dengan Pandawa. Duryodhana, sebaiknya perang ini kita hentikan."
Duryodhana menjawab dengan nada perih, "Mungkin, dulu itu bisa dilakukan. Sekarang sudah terlambat. Perundingan seperti apa yang bisa kita usahakan ketika darah sudah tertumpah dan sudah tak terbilang korban berjatuhan di kedua pihak" Kalau aku menyerah untuk menghindari kemusnahan Kaurawa dan sekutunya, siapakah yang tidak akan mengutuk dan menyumpahi aku" Kebahagiaan seperti apa yang dapat kurasakan jika aku mundur sebagai pengecut" Kegembiraan seperti apa yang dapat kunikmati dalam kemegahan kerajaanku setelah semua saudara, keluarga dan kawanku tewas" Tidak! Setapak pun aku tidak akan mundur!"
Kata-kata Duryodhana yang penuh kepahitan sekaligus menunjukkan kekerasan hatinya, disambut dengan sorak sorai oleh balatentara Kaurawa. Kemudian mereka memilih
Salya sebagai mahasenapati yang akan memimpin Kaura-wa dalam pertempuran melawan Pandawa. Salya, seperti para kesatria besar yang telah mendahuluinya, adalah kesatria sakti, perkasa, dan sudah sangat berpengalaman. Ia juga ahli siasat perang. Di bawah pimpinan Salya, semangat Kaurawa kembali berkobar dan mereka melancarkan serangan dengan hebat.
Di pihak Pandawa, pimpinan dipegang oleh Yudhistira.
Ajaib, kesatria yang dilahirkan dengan budi pekerti lembut itu ternyata bisa bertempur dengan garang melawan pamannya sendiri.
Pertempuran antara Salya dan Dharmaputra berlangsung sengit. Sementara itu, putra-putra Dritrastra yang masih hidup, kecuali Duryodhana, bersama-sama menyerang Bhimasena. Yudhistira terus-menerus memanah Sal-ya sampai mahasenapati itu tampak seperti landak karena puluhan anak panah yang menancap di tubuhnya. Darah mengucur dari luka-lukanya. Akhirnya, Yudhistira melemparkan tombaknya, tepat mengenai dada Salya. Mahasena-pati itu langsung roboh, menemui ajalnya.
Sementara itu, Bhimasena yang bersumpah akan menghabisi putra-putra Dritarastra, membalas keroyokan Kau-rawa dengan garang. Diayun-ayunkannya gada saktinya. Ia mengamuk membabi buta, didorong dendam yang dipendam selama tiga belas tahun. Satu demi satu musuh bertumbangan, bagaikan tanaman perusak yang ditebas
oleh peladang yang menyiangi kebunnya. Waktu melancarkan gempuran terakhir, Bhimasena berkata, "Hidupku di
dunia ini tidak sia-sia karena aku telah memenuhi sumpahku. Sekarang aku tinggal membunuh Duryodhana."
Di medan yang lain, Sakuni menggempur pasukan Pandawa yang dipimpin Sahadewa. Setelah bertempur beberapa lama, Sahadewa melepaskan anak panahnya yang bermata pedang sambil berteriak lantang, "Bedebah! Ini buah dosa-dosamu yang tak terampuni!"
Anak panah itu melesat, menembus leher Sakuni dan memenggal kepalanya yang kemudian jatuh tergulingguling di tanah.
*** Seperti biasa, Maharaja Dritarastra yang buta "menyaksikan" pertempuran itu lewat laporan Sanjaya, penasihatnya yang tepercaya, yang mempunyai kesaktian bisa melihat dari jauh.
Mendengar laporan Sanjaya bahwa putra-putranya telah tewas, Dritarastra berkata sedih dan
putus asa, "Oh Sanjaya, bagaikan pohon-pohon kering
dimakan api, anak-anakku musnah dalam peperangan ini. Karena Duryodhana berkepala batu, anak-anakku dibunuh oleh Bhimasena yang ingin membalas dendam. Sungguh, putra Batara Bayu itu memiliki kekuatan seperti
Dewa Kematian." "Ya Tuanku Raja, balatentara Tuanku yang terdiri dari sebelas aksohini atau sebelas divisi telah musnah. Dari
beratus-ratus raja, putra mahkota, bangsawan dan kaum kesatria yang rela mengorbankan jiwa raga mereka demi kita, tinggal Duryodhana yang masih kelihatan tegak di medan pertempuran. Tetapi, tubuh putra Tuanku itu penuh luka," kata Sanjaya.
Ketika tidak berhasil mengumpulkan sisa balatentara Kaurawa, Duryodhana jatuh dari keretanya dengan tangan
masih memegang gada. Diam-diam ia lari ke tepi telaga. Ia
kehausan dan sekujur tubuhnya terasa panas. Sampai di sana, ia menjatuhkan badannya di tepi telaga yang airnya sangat bening. Pikiran Duryodhana melayang jauh. "Benar kata Widura yang pernah meramalkan apa yang akan
terjadi," katanya dalam hati.
Tetapi apa gunanya kesadaran yang datang sangat terlambat" Setiap perbuatan, baik atau buruk, pasti membuahkan hasil yang setimpal. Itulah karmaphala atau
hukum kehidupan. Sementara itu, Yudhistira dan saudara-saudaranya terus mencari-cari Duryodhana. Akhirnya mereka menemukannya sedang telungkup di tepi telaga.
Yudhistira mendekatinya dan berkata lantang, "Duryodhana, setelah sanak saudaramu dan ratusan ribu prajurit yang tidak berdosa tewas demi membela dirimu, masihkah engkau berani mengangkat wajahmu" Di mana keangkuhanmu yang selalu kaupamerkan di depan kami" Apakah engkau tidak punya malu sedikit pun" Ayo, kita
bertarung! Buktikan bahwa kau terlahir sebagai kesatria
yang tak takut bertempur dan tak takut mati."
Mendengar kata-kata itu, Duryodhana memandang tajam wajah Yudhistira dan menjawab dengan gagah, "Oh, ternyata kamu, Dharmaputra! Aku datang ke telaga ini bukan untuk bersembunyi. Bukan pula karena takut. Aku datang ke telaga ini karena aku kehausan dan sekujur tubuhku terasa panas. Aku tidak takut mati, tapi aku juga tidak ingin hidup lebih lama. Apa gunanya bertempur lagi" Dunia ini sudah tak berarti apa-apa lagi bagiku. Siapa lagi yang harus aku bela mati-matian" Tak ada! Semua kesatria di pihakku telah tewas. Aku tak ingin lagi menguasai Kerajaan Hastina. Kuserahkan semua milikku padamu.
Tak perlu lagi bertarung. Nikmatilah kedaulatanmu, takkan ada yang berani menggugatmu."
Dharmaputra menanggapi, "Alangkah baiknya engkau sekarang. Pahadal, dulu ketika kami mengusulkan perdamaian dan hanya meminta lima desa, engkau menolak mentah-mentah. Sekarang, dengan mudahnya engkau katakan bahwa kami boleh mengambil semua milikmu.
"Ketahuilah, kami berperang bukan demi tanah kerajaan. Kami berperang demi menegakkan keadilan. Masih perlukah kusebutkan semua dosamu" Kejahatan dan
penghinaanmu terhadap Draupadi tak mungkin kami lupakan dan takkan lunas kaubayar dengan hartamu. Penghinaan itu hanya akan lunas terbayar dengan nyawamu."
Mendengar kata-kata Yudhistira, Duryodhana bangkit, berdiri tegak lalu berkata keras sambil mengayun-ayunkan gadanya, "Ayo maju, satu per satu! Aku sendirian, kalian berlima. Kalian tentu tidak akan mengeroyok aku, karena senjataku hanya gada ini dan tubuhku sudah lemas penuh
luka." "Tentu saja kami tidak akan mengeroyok engkau. Engkau lemas, penuh luka, dan tak berdaya. Tapi, katakan apa yang telah kalian lakukan terhadap Abhimanyu hingga dia mati secara mengenaskan"
"Dasar manusia berwatak jahat. Ketika terpojok tak
berdaya, kau baru sadar dan bicara tentang dharma, budi
pekerti dan kehormatan seorang kesatria. Ayo, siapkan dirimu! Pilih salah satu di antara kami untuk bertarung denganmu! Mati masuk surga atau menang jadi Raja-diraja!" kata Yudhistira.
Duryodhana memilih Bhimasena, yang perawakannya sebanding dengannya. Kecuali itu, mereka juga sama-sama mahir menggunakan gada. Maka terjadilah pertempuran sengit antara Duryodhana dan Bhimasena. Kedua kesatria itu sama kuatnya. Api me
mercik setiap kali gada-gada mereka beradu. Sulit memperhitungkan, siapa yang akan
menang. Ketika pertarungan masih berlangsung seru, tiba-tiba
Krishna mengingatkan Arjuna tentang kutuk-pastu Resi
Maitreya, yaitu bahwa Duryodhana akan menemui ajalnya jika pahanya bisa diremukkan.
Bhimasena mendengar apa yang dikatakan Krishna kepada Arjuna. Ia seperti mendapat kekuatan baru. Dengan garang ia melompat dan menerkam Duryodhana lalu dengan sekuat tenaga menghantamkan gadanya ke paha Putra Mahkota Kaurawa itu. Duryodhana roboh. Bhima-sena menyergapnya ketika Duryodhana masih tergeletak lemas. Bhimasena menginjak-injak tubuh kesatria Kau-rawa itu, kemudian menumbukkan kepala Duryodhana ke lututnya.
"Hentikan, Bhimasena! Ia telah membayar hutangnya. Duryodhana adalah putra mahkota dan sepupu kita. Tidak patut engkau menginjak-injak kepalanya," teriak Dharma-putra.
Krishna berkata, "Orang durhaka ini akan segera mati. Hai, Putra-putra Pandu, sebaiknya kita segera pergi dari
sini." Meskipun keadaannya sudah parah, Duryodhana masih sempat berkata dengan marah kepada Krishna, "Dengan kelicikanmu, engkau telah membuat banyak kesatria tewas. Kau tak mungkin menang kalau kau bertempur sesuai tradisi kesatria dan aturan perang ketika melawan Karna, Drona dan Bhisma. Apakah engkau tidak malu""
"Duryodhana, sia-sia engkau salahkan orang lain. Kerakusan dan ambisimu akan kekuasaan telah menuntunmu untuk menimbun dosa dan kejahatan. Sekarang engkau memetik buahnya," jawab Krishna.
Tidak seorang pun dapat mengubah hati Duryodhana, sampai ke lubang mautnya sekalipun. Tidak seorang pun dapat mematahkan semangatnya, sekalipun napas terakhirnya sudah sampai lehernya. Dengan sombong ia membalas kata-kata Krishna, "Bedebah! Sebagai putra mahkota aku setia dan murah hati kepada para sekutuku, yaitu musuh-musuh kalian. Semua kenikmatan duniawi yang diimpikan semua orang dan tak mudah didapat bahkan oleh para raja sekalipun, sudah kucecap sepuas-puasnya. Kini, mati sebagai pahlawan perang adalah kehormatan besar bagiku. Dengan senang hati aku akan segera menggabungkan diri dengan saudara-saudaraku dan teman-temanku di surga. Mereka pasti akan gembira menyambutku.
"Tapi, lihat dirimu. Engkau akan tinggal sendirian di dunia ini. Kau akan kehilangan segalanya, kecuali kutuk dan caci-maki kaum kesatria. Aku tidak marah kepalaku diinjak-injak Bhima, walaupun aku tidak berdaya dan pahaku buntung. Aku tak peduli. Sebentar lagi aku mati dan tubuhku akan menjadi santapan burung-burung bangkai."
*** Ketika perang hampir selesai, Balarama, kakak Krishna sampai di medan Kurukshetra. Ia masih sempat melihat
pertarungan antara Duryodhana dan Bhimasena, dan bagaimana Bhimasena meremukkan paha serta menginjak-injak kepala Duryodhana. Ia sangat marah melihat
kesatria Pandawa itu melanggar aturan perang dan tega
berbuat keji kepada lawannya yang tak berdaya.
"Hentikan! Kalian tidak mengindahkan aturan perang!
Engkau menyerang musuhmu di bagian bawah perut! Engkau menyerang musuh yang sudah tak berdaya dan tak kuasa melawan! Bhima, tindakanmu sungguh keji dan memalukan," teriaknya kepada Bhimasena.
Setelah berkata demikian, ia berpaling kepada Krishna, adiknya, "Adikku, engkau melihat tapi membiarkan hal-hal seperti ini terjadi. Aku tidak dapat mengerti. Kalian, yang mengaku berdarah kesatria dan menjunjung dharma, ternyata justru melakukan adharma."
Sambil berkata demikian Balarama maju, wajahnya merah padam. Ia mengangkat senjata luku-nya yang perkasa, sama perkasanya dengan senjata cakra milik Krishna.
Sendiri ia menghadapi Bhimasena.
Krishna bingung melihat perbuatan kakaknya. Segera ia berlari, menghalang-halangi Balarama yang ingin mendekati Bhimasena. Katanya, "Pandawa adalah kawan dan kerabat kita. Mereka menjadi korban kejahatan dan penghinaan Duryodhana yang tak terderitakan. Ketika Drau-padi dihina di dalam sasana persidangan dan di depan orang banyak, Bhima bersumpah akan membunuh Duryo-dhana dengan cara demikian dan cara itu sesuai dengan
kutuk-pastu Resi Maitreya yang pernah dihina Duryodhana. Setiap orang tahu tentang sumpah Bhima.
"Jangan biarkan kemar
ahanmu mempengaruhi penilaianmu dan jangan berlaku tidak adil terhadap Pandawa. Sebelum mengutuk Bhima, seharusnya kaupertimbangkan dulu semua kejahatan yang pernah dilakukan Kaurawa terhadap Pandawa. Engkau harus adil. Jangan menilai suatu peristiwa lepas dari hubungannya dengan berbagai peristiwa sebelumnya.
"Jaman kaliyuga tidak akan tiba, kalau jaman-jaman
sebelumnya tidak menyebabkan ia tiba. Itu hukum hidup!
Bahwa Bhima menghantam Duryodhana di bawah perut, itu tak dapat disalahkan jika kita tahu bagaimana kejahatan Duryodhana terhadap Pandawa. Duryodhana yang menyuruh Karna menusuk Abhimanyu dengan tombak dari belakang dan mengeroyok putra kesayangan Arjuna itu serta membunuhnya dengan keji.
"Sejak lahir Duryodhana selalu melakukan kejahatan
yang menghancurkan rakyatnya. Membunuh orang sejahat Duryodhana, bukanlah dosa.
"Bhima sendiri telah menjalani hukuman atas kesalahan-kesalahannya. Tiga belas tahun lamanya ia menekan
nafsu dan pikiran-pikiran jahatnya. Duryodhana tahu bahwa Bhima telah bersumpah akan membunuh dirinya dengan meremukkan pahanya. Ketika menantang Pandawa, tentu ia sudah memperhitungkannya. Sekarang, pertimbangkanlah kesalahan apa yang diperbuat Bhima."
Pandangan Balarama tetap, tidak berubah, walaupun telah mendengar penjelasan Krishna. Tetapi, amarahnya berkurang. Ia menanggapi Krishna dengan berkata, "Duryodhana akan mencapai surga dan tinggal di tempat yang telah disediakan bagi para kesatria yang gagah berani. Kemasyhuran Bhimasena telah ternoda oleh perbuatannya sendiri. Sampai kapan pun, orang akan membicarakan putra Pandu yang merendahkan diri dengan melanggar aturan perang ketika menyerang Duryodhana. Perbuatan itu akan menodai nama baiknya selama-lamanya." Setelah berkata demikian, Balarama meninggalkan
tempat itu dan kembali ke negerinya.
Sementara itu, Yudhistira sedih melihat tindakan
Bhimasena yang keji terhadap sepupunya. Ia tak bisa berkata-kata. Banyaknya pelanggaran aturan perang yang dilakukan kedua pihak membuat Yudhistira sadar bahwa runtuhnya kemegahan bangsa Bharata akan segera terjadi. Ia tahu, betapa banyaknya kejahatan yang dilakukan Kau-rawa terhadap Pandawa. Ia tahu, betapa besarnya dendam yang berkobar di hati Bhimasena. Yudhistira tak bisa
menyalahkan Bhimasena karena ia tahu ketulusan hati saudaranya itu. Demikian pula terhadap Duryodhana, sepupunya itu selalu dipengaruhi oleh nafsu iblis dan tak pernah menunjukkan sikap dan perbuatan baik terhadap dirinya yang selaras dengan keturunannya sebagai kesatria.
Ketika Krishna bertanya mengapa ia diam saja dan tak membalas kata-kata Balarama, ia menjawab, "Duryodhana sudah kita taklukkan. Apa gunanya memperdebatkan
aturan atau undang-undang" Apakah pekerjaan kita hanya
menilai kesalahan orang lain yang dilakukan karena dendam kesumat yang tak mengenal batas""
Arjuna yang sangat cerdas dan memiliki pandangan jauh ke depan tidak berkata-kata. Baginya tidak ada lagi yang harus dikatakan. Membenarkan perbuatan Bhimase-na atau mengutuk Duryodhana tak ada gunanya, walaupun mereka yang ada di situ menyumpahi perbuatan-perbuatan Duryodhana di masa lampau.
Krishna berkata lagi, "Wahai kaum kesatria, tidak
pantas kita merendahkan martabat musuh yang sudah kalah dan sedang menunggu ajalnya. Ia orang bodoh yang memetik buah perbuatannya sendiri. Ia terjerumus karena bergaul dengan manusia-manusia terkutuk dan terseret menuju keruntuhannya sendiri. Mari kita pergi dari sini!"
Sebelum Pandawa meninggalkan tempat itu, Duryodha-na yang terbaring tak berdaya masih sempat menyumpahi Krishna yang ia anggap sebagai sumber kejahatan Pandawa. Ia menyumpahi Krishna yang memberi isyarat kepada Bhimasena agar meremukkan pahanya dengan pura-pura bercakap-cakap dengan Arjuna.
Duryodhana juga menuduh Krishna telah menyebabkan kematian Bhisma dengan menyuruh Srikandi menghadapi Bhisma. Krishna juga menyebabkan kematian Mahaguru Drona dengan menyuruh Dharmaputra berbohong. Krishna pula yang menyuruh Arjuna membunuhnya ketika kesatria itu sedang berjongkok memperbaiki keretanya yang rusak. Krishna juga yang menyebabkan kematian Raja
Sindhu dengan menci ptakan malam di medan Kurukshetra
dan membiarkan Dristadyumna membunuh Drona yang sedang beryoga.
Duryodhana berteriak menyumpahi Krishna, "Bedebah! Dasar anak budak! Bukankah ayahmu budak Kangsa"
Engkau tidak pantas berkawan dengan kesatria. Dasar
manusia penuh dosa."
"Wahai Putra Dewi Gandhari, jangan biarkan amarahmu menyakiti saat-saat terakhirmu. Kejahatan dan kesala-hanmulah yang membuatmu menghadapi maut saat ini. Jangan melemparkan dosamu ke orang lain. Engkaulah biang keladi perang ini. Kematian mereka yang kausebut-sebut itu adalah karena perbuatanmu juga. Mereka menjadi alat untuk menebus dosamu. Engkau telah membayar semua itu dengan jiwa ragamu. Berbahagialah engkau nanti di surga yang disediakan bagi mereka yang gugur di
medan perang," demikian kata Krishna.
"Krishna, aku akan pergi ke surga menemui saudarasaudaraku dan teman-temanku. Tetapi engkau dan Pandawa akan tetap tinggal di dunia untuk mengalami penderitaan. Siapa yang lebih baik, engkau atau aku" Engkau masih hidup dan harus berbela sungkawa atas kematian kawan-kawanmu. Kemenangan yang engkau cari di medan pertempuran tiada lain hanyalah timbunan abu yang menutupi mulutmu. Selamat tinggal!"
Demikianlah Duryodhana menghembuskan napasnya yang terakhir setelah sempat memaki-maki dan menyumpah-nyumpah.
*** Aswatthama mendengar berita tentang pertarungan Duryo-dhana dengan Bhimasena dan tentang remuknya paha Duryodhana karena Bhimasena tidak mengindahkan aturan pertarungan satu lawan satu. Ia juga mendengar kisah kematian ayahnya di tangan Pandawa dengan tipu muslihat kasar dan pembunuhan keji. Hatinya serasa terbakar
dan amarahnya sampai ke ubun-ubun. Segera ia pergi mencari Duryodhana, kalau-kalau putra mahkota itu masih hidup. Ia mendapati Putra Mahkota Kaurawa itu masih hidup meskipun luka-luka di tubuhnya sangat parah. Di hadapan Duryodhana, ia bersumpah akan menghabisi Pandawa.
Walau tubuhnya remuk, semangat Duryodhana tetap membaja. Kepada yang ada di dekatnya ia membisikkan agar Aswatthama dilantik menjadi mahasenapati meskipun tidak ada lagi pasukan yang harus dipimpinnya. Kemudian Duryodhana berpesan kepada pemuda itu, "Aswatthama, semua harapanku kuletakkan di pundakmu. Pimpinlah mereka yang masih hidup."
Kemudian Aswatthama bersama Kripa dan Kritawarma meninggalkan Duryodhana. Mereka menembus hutan ketika matahari telah terbenam. Sampai di bawah sebatang pohon beringin rindang, mereka berhenti melepaskan lelah. Begitu merebahkan badan, Kripa dan Kritawarma langsung tertidur. Tetapi Aswatthama tidak bisa memejamkan mata. Amarah dan dendam kesumat membuat sekujur tubuhnya terasa panas.
Malam itu suasana di dalam hutan sepi. Sesekali terdengar derik binatang malam dan kesiur hantu-hantu hutan memecah kesunyian.
Pikiran Aswatthama melayang-layang. Ia mencoba mencari cara untuk melaksanakan sumpahnya, yaitu memusnahkan Pandawa. Selagi berpikir-pikir demikian sambil telentang memandang langit, ia melihat beratus-ratus burung gagak tidur nyenyak di dahan-dahan pohon beringin. Sesekali satu-dua burung berisik, berusaha terbang.
Aswatthama memperhatikan dahan-dahan yang bergerak-gerak. Ia melihat beberapa ekor burung hantu yang dengan galak menyerang gagak-gagak yang tak bisa melihat di malam hari. Mula-mula, mereka menyerang dari satu arah. Kemudian menyerang dari kiri dan kanan, membuat burung-burung gagak itu gaduh beterbangan tak
tentu arah. Ada yang tertumbuk ke batang pohon beringin, tak terbilang banyaknya yang mati berjatuhan dan menjadi santapan burung-burung hantu itu.
Terpikir oleh Aswatthama bahwa cara burung-burung hantu itu memangsa gagak-gagak yang sedang tidur dapat ditirunya untuk menghabisi Pandawa di waktu malam.
"Kalau Pandawa tega menghabisi nyawa musuhnya yang tak berdaya, apa salahnya kalau kita menyerang mereka di malam hari ketika mereka sedang tidur nyenyak" Apa salahnya siasat seperti ini" Bukankah Pandawa berhasil mengalahkan Kaurawa dengan bermacam-macam siasat curang" Tak ada jalan lain, siasat harus dibalas dengan tipu daya!" demikian pikir Aswatthama.
Kemudian ia membangunkan Kripa dan menyampaikan rencananya untuk men
yerang Pandawa di malam hari, ketika mereka sedang tidur nyenyak.
Dengan heran Mahaguru Kripa menjawab, "Cara-cara
seperti itu tidak boleh dilakukan! Salah! Semua salah! Kalian membuat dosa besar! Tak pernah terjadi sepanjang sejarah manusia, seseorang diserang ketika sedang tidur nyenyak. Sungguh itu suatu kejahatan yang mengerikan, lebih-lebih jika dilakukan oleh para kesatria. Tidak, Aswat-thama!
"Sadarlah, Aswatthama. Untuk siapa kita berbuat demikian" Bukankah hampir semua orang yang kita bela, untuk siapa kita rela mengorbankan jiwa dan raga, telah menemui ajalnya" Kita telah menunaikan tugas kita secara terhormat dan dengan penuh pengabdian. Kita telah bertempur mati-matian demi Duryodhana, tetapi kita tidak
selalu menang. Bukan salah kita. Lagi pula, perang ini bisa
dikatakan sudah selesai. Bertempur tanpa tujuan jelas adalah gila. Baiklah, kita temui saja Dritarastra dan Dewi Gandhari dan kita bersiap untuk menerima perintahnya. Kita minta nasihat Widura, apa yang sebaiknya kita lakukan."
Mendengar kata-kata Kripa, hati Aswatthama bertambah panas. Ia tidak peduli pendapat orang lain dan
menganggap pendapatnya sendiri yang benar. Dia membantah Kripa dengan mengatakan bahwa pihak Pandawalah yang sebetulnya berdosa, yang membunuh ayahnya tidak secara kesatria, yang membunuh Duryodhana tanpa mengindahkan aturan pertarungan satu lawan satu.
"Apa yang kukatakan ini benar dan bertujuan mulia, yaitu menunjukkan kesetiaanku kepada ayahku dan rajaku. Aku harus membalas kematian ayahku. Aku tidak akan mengubah rencanaku. Malam ini juga aku akan berangkat melaksanakan rencanaku. Akan kuhabisi Pandawa dan Dristadyumna ketika mereka sedang tidur nyenyak," demikian kata Aswatthama dengan berapi-api.
Kripa dan Kritawarma mencoba menyabarkannya dengan memberi nasihat, "Aswatthama, kau kesatria yang terhormat dan ternama, di mata kawan maupun lawan. Tingkah laku dan sopan santunmu selama ini menjadi
teladan bagi kesatria-kesatria muda. Jika ia membunuh
orang yang sedang tidur, kehormatan dan nama baikmu akan rusak."
Tetapi Aswatthama tidak bisa dihalangi. Ia mengingatkan Kripa dan Kritawarma akan kejahatan Pandawa
yang telah membunuh ayahnya dan merusak dharma. Katanya, "Dharma apakah yang masih ada dan harus kita
ikuti" Jika membunuh lawan ketika lawan sedang tidur
nyenyak dianggap tidak melanggar dharma, lalu apa namanya pembunuhan kejam terhadap ayahku" Jika karena ini kelak aku harus terlahir kembali sebagai burung pemakan
bangkai, aku tidak peduli. Akan kujalani inkarnasi itu dengan senang hati." Setelah berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, Aswatthama mempersiapkan keretanya.


Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunggu dulu, Aswatthama! Kami tidak setuju dengan keputusanmu. Tetapi kami juga tidak bisa membiarkan engkau pergi sendirian. Apa pun yang akan kaulakukan, kami akan menyertaimu. Dosamu adalah dosa kami." Setelah berkata demikian, Kripa dan Kritawarma menyusul Aswatthama.
Malam itu, ketika bulan mati dan langit kelam, mereka
berangkat ke perkemahan Pandawa. Sampai di dekat kemah Dristadyumna, mereka berhenti sesaat, mengamat-amati segala sesuatu di sekitar kemah itu. Suasana sangat sepi. Dengan hati-hati mereka menyelinap ke dalam kemah Dristadyumna yang tampak sedang tidur nyenyak. Aswatthama melompat ke ranjang kesatria Panchala itu, kemudian mencekiknya. Setelah Dristadyumna lemas, ia memukul kepalanya dengan benda keras sehingga kakak Drau-padi itu menemui ajalnya. Cara yang sama dilakukannya terhadap semua anak-anak Draupadi, yaitu Pratiwindya, Srutasoma, Srutakriti, Satanika dan Srutakarman.
Tak banyak waktu lagi. Sebelum langit timur menjadi terang, mereka membakar perkemahan Pandawa. Api segera berkobar, menjilat-jilat ke angkasa. Prajurit-prajurit yang terjaga berusaha melarikan diri. Tapi, tak terbilang mereka yang mati terbakar, di dalam maupun di luar per-kemahan karena tak sempat melarikan diri.
"Kita telah lakukan tugas kita sebagaimana mestinya. Marilah kita kembali ke tempat Duryodhana. Siapa tahu ia
masih hidup" Mendengar hasil kerja kita malam ini, ia pasti puas." Aswatthama mengajak Kripa dan Kritawarma
cepat-cepat meninggalkan perkemahan itu. Karena serbuan Aswatthama, seluruh balatentara Pandawa musnah, hanya tujuh yang selamat. Di pihak Kau-rawa, hanya ada tiga orang, yaitu Aswatthama, Kripa dan Kritawarma.
Ternyata Duryodhana masih hidup. Setelah mendengar laporan Aswatthama, Duryodhana berkata, "Aswatthama, engkau telah menyelesaikan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan orang lain. Tidak juga kesatria besar seperti Bhisma dan Karna. Engkau telah membesarkan hatiku
dan sekarang aku bisa mati dengan bahagia!" Setelah berkata demikian, akhirnya Duryodhana menghembuskan napas penghabisan dengan tenang. Air mukanya membayangkan kebahagiaan abadi.
*** Tidak dapat dibayangkan betapa sedihnya Yudhistira ketika mendengar pasukannya dihabisi musuh di waktu malam. Ketika kemenangan sudah di tangan, tiba-tiba kekalahan harus diterima.
Anak-anak Draupadi yang selama perang berlangsung dapat diselamatkan dari musuh, sampai saat ketika Karna menjadi mahasenapati, tiba-tiba mati tak berdaya bagai anak ayam disergap musang lapar. Pandawa membiarkan diri mereka dihancurkan, seperti kapal dagang yang berlayar pulang membawa untung besar dari negeri-negeri jauh, tapi tiba-tiba tenggelam di muara sungai di negeri sendiri.
Draupadi tak kuat menanggung dukanya. Ia menangis
di dada Dharmaputra. "Tak adakah yang dapat membalas bela untuk anak-anakku yang tidak berdosa" Ini akibat perbuatan Aswat-thama yang terkutuk!" katanya dengan suara terputus-putus.
Mendengar kata-kata Draupadi, Pandawa segera pergi mencari Aswatthama ke mana-mana. Aswatthama melarikan diri ke tepi Sungai Gangga dan bersembunyi di dalam kuil pemujaan Bagawan Wyasa. Ketika melihat Pandawa dan Krishna datang mendekat, Aswatthama melemparkan sehelai rumput sambil mengucapkan mantra sakti, "Semoga dengan ini bangsa Pandawa musnah dari permukaan bumi."
Helai rumput itu terbang menuju Dewi Uttari yang sedang mengandung putra Abhimanyu. Bayi dalam kandungan itu nyaris terbunuh oleh rumput dan mantra Aswat-thama. Untunglah Krishna sempat menyelamatkannya dengan mengucapkan mantra yang membuat semua keinginan Aswatthama tak terkabul. Kelak, bayi itu lahir selamat dan diberi nama Parikeshit.
Kemudian Aswatthama menanggalkan permata indah kemilau yang menempel di kepalanya, yang merupakan bagian kekuatannya. Ia memberikan permata itu kepada Bhimasena, sebagai tanda pengakuan kekalahannya. Seijin Bhimasena ia pergi ke hutan untuk menghabiskan sisa
hidupnya dengan bersamadi.
Bhimasena menyerahkan permata itu kepada Draupadi
sambil berkata, "Wahai Putri Pujaan Pandawa, terimalah permata ini. Orang yang membunuh anak-anak kita tercinta telah lenyap dari bumi. Duryodhana sudah musnah dan Duhsasana sudah kuisap darahnya. Aku telah membalas bela untuk sanak kerabat kita. Hutangku kepadamu sudah kulunasi."
Dewi Draupadi menerima pemberian itu, lalu menyerahkannya kepada Yudhistira sambil berkata, "Raja yang kami
muliakan, permata ini cocok sekali untuk disuntingkan pada mahkotamu."
Demikianlah, perang Bharatayudha di medan Kuruk-shetra berakhir.
*** 52. Setelah Perang Berakhir Dengan menyerahnya Aswatthama kepada Bhimasena, perang besar Bharatayudha pun berakhir. Kaurawa
telah menerima kekalahan mereka. Ketika pertempuran di medan Kurukshetra berakhir, seluruh negeri berkabung. Beribu-ribu wanita, tua maupun muda, serta kanak-kanak
mengiringi Maharaja Dritarastra berziarah ke medan
perang, ke tempat pertempuran yang membawa kemusnahan. Alangkah dahsyat dan mengerikannya keadaan di medan itu. Berdiri bulu roma orang yang melihat bekas-bekas pertempuran. Mereka menangis tersedu-sedu, mengenang orang-orang yang mereka kasihi, yang sudah tak ada lagi. Semua telah gugur, musnah ditelan perang besar yang tiada bandingnya.
Meskipun buta, Dritarastra dapat membayangkan betapa mengerikannya kemusnahan akibat peperangan. Ia menangis, menyesali semua kejadian yang mengakibatkan malapetaka terbesar yang pernah terjadi di dunia. Beribu-ribu perwira dan beratus ribu prajurit gagah berani tewas terkapar, sia-sia membuang nyawa.
Ketika itu, datanglah Bhagawan Wyasa hendak menghibur dan menenangkan Maharaja Dritarastra. Katanya,
"Anakku Dritarastra, tak ada gunanya menyesal dan tenggelam dalam dukacita dan berlarut-larut menangisi mereka yang telah gugur. Sebaiknya kita siapkan upacara pemakaman para pahlawan sesuai adat yang suci untuk menghormati jasa-jasa mereka.
"Ketahuilah, jika jiwa sudah meninggalkan raga, maka hubungan persaudaraan atau kekerabatan tidak ada lagi. Sesungguhnya, kini antara kau dan anak-anakmu sudah tidak ada hubungan lagi, karena hubungan itu sudah diakhiri dengan kematian. Hidup di dunia ini hanyalah peristiwa kecil dalam kaitannya dengan kehidupan abadi. Kita berasal dari ketiadaan dan akan kembali ke ketiadaan. Tak ada yang perlu kita tangisi. Mereka yang mati setelah bertempur dengan gagah berani akan diterima oleh Batara Indra. Berduka karena kehilangan semua di masa lampau tidak akan mendekatkan kita pada kekayaan, kebahagiaan
dan dharma. "Dritarastra, semua hal pernah kuajarkan kepadamu.
Tidak ada yang tidak kauketahui. Engkau tahu benar,
semua yang hidup akan mati. Perang yang baru saja berakhir ini boleh dikatakan berguna untuk meringankan beban dunia. Begitulah amanat Batara Wishnu kepadaku. Ini tidak bisa dihindari. Mulai kini dan selanjutnya,
anakmu adalah Yudhistira dan saudara-saudaranya. Cintailah mereka. Buang dukamu sebagai beban hidup terakhir. Tugasmu sekarang adalah mendampingi putra-putra Pandu, adikmu," demikian Bagawan Wyasa menghibur Dritarastra sambil mendampinginya berziarah di medan Kurukshetra.
Dritarastra tidak dapat begitu saja melupakan kematian anak-anaknya, terutama kematian Duryodhana. Sakit hati dan dendamnya begitu kuat, terutama kepada Bhima. Tak
mungkin dia memaafkan kemenakannya itu dan menghapus kenangan akan kematian Duryodhana.
Yudhistira dan saudara-saudaranya juga berziarah ke medan Kurukshetra. Sampai di sana ia segera mendekati Dritarastra dan menyembah pamannya itu, disaksikan oleh Bagawan Wyasa.
Dritarastra memeluk Dharmaputra dan putra Pandu itu berkata bahwa Bhimasena juga ada bersamanya.
"Suruh dia ke sini!" kata raja buta itu.
Krishna yang mendampingi Pandawa, cepat-cepat mendorong Bhimasena ke samping dan menyodorkan patung
besi kepada raja buta itu. Krishna tahu bahwa ayah Dur-yodhana itu sangat membenci Bhimasena. Dritarastra segera memeluk patung besi itu, membayangkan bahwa ia memeluk Bhimasena. Kebencian dan dendamnya kepada Bhimasena membakar tubuhnya dan menjelma menjadi kekuatan gaib. Sambil komat-kamit mengucapkan kutukpastu, ia memeluk patung besi itu kuat-kuat sampai
remuk. "Kebencian telah memperbudak diriku. Aku telah membunuh Bhima dengan meremukkan badannya," kata raja itu lega, terbebas dari rongrongan dendam di hatinya.
"Ya, Tuanku Raja, aku tahu ini pasti akan terjadi. Karena itu, aku halang-halangi maksud Tuanku. Sebenarnya engkau tidak membunuh Bhimasena, tetapi meremukkan sebuah patung besi. Sekarang, setelah dendam dan kebencianmu lenyap, semoga hidupmu menjadi damai. Tuanku, Bhimasena masih hidup," kata Krishna.
Maharaja Dritarastra menjadi lemas. Tetapi segera ia sadar bahwa tugas utama sebagai sesepuh keturunan Bha-rata telah menantinya. Dienyahkannya segala perasaan buruk dari hatinya, dipanggilnya para Pandawa dan direstuinya mereka dengan tulus. Setelah itu, ia menyuruh Pandawa menghadap dan memohon restu pada Dewi
Gandhari. Sementara itu, Bagawan Wyasa yang telah lebih dulu datang ke tempat Dewi Gandhari, sedang menasihati ibu para Kaurawa itu. Katanya, "Sri Ratu, hendaknya engkau jangan marah atau dendam kepada Pandawa. Bukankah
engkau sendiri pernah berkata, 'di mana ada dharma, di situ kemenangan bertakhta'. Demikianlah Pandawa sekarang. Tak pantas membiarkan hati dan pikiran dikendalikan oleh dendam dan amarah."
"Bagawan, aku tidak pernah iri akan kemenangan Pandawa. Memang aku sedih karena kematian semua anakku. Tapi aku sadar, Pandawa juga anak-anakku. Aku tahu, Duhsasana dan Sakuni yang sesungguhnya menjadi
penyebab musnahnya rakyat kita. Arjuna dan Bhimasena
tidak bisa disalahkan. Harga diri mendorong mereka terjun
ke gelanggang pertempuran sebagai kesatria dan menjalani takdir masing-masing. Aku tidak pernah menyesali semua itu."
Dewi Gandhari berhenti sesaat, menarik napas panjang dan mengusap air matanya. Kemudian melanjutkan, "Tetapi, kenangan akan suatu peristiwa tidak bisa dihapus dari hatiku. Di depan Krishna telah terjadi pertarungan antara Duryodhana dan Bhima. Tahu bahwa Duryodhana lebih unggul, Bhima menghantam bagian tubuh di bawah
perutnya. Itu jelas menyalahi aturan pertarungan satu
lawan satu. Tetapi Krishna membiarkan dan hanya melihat saja. Ini menyalahi dharma. Sungguh sukar bagiku untuk memaafkannya," jawab Dewi Gandhari.
Sementara itu, Pandawa telah sampai di hadapannya. Bhima yang mendengar keluhan Dewi Gandhari, berkata, "Ibu, aku lakukan semua itu untuk membela diri. Aku
terikat oleh sumpah Dharmaraja. Kami telah menjalani
hukuman selama tiga belas tahun. Setelah masa hukuman selesai, kami ingin memulihkan kehormatan kami. Apa boleh buat, untuk itu kami terpaksa merebutnya lewat peperangan karena jalan damai yang kami tawarkan tidak mendapat tanggapan."
"Anakku, kalau saja engkau sisakan satu dari seratus anakku, aku dan suamiku yang sudah tua ini masih punya anak untuk menumpahkan duka kami. Di mana Dharmaputra" Panggil dia!" kata Dewi Gandhari.
Yudhistira gemetar mendengar kata-kata Dewi Gan-dhari. Pelan-pelan ia mendekati permaisuri Dritarastra itu sambil berkata, "Wahai Permaisuri Raja, aku, Yudhistira yang jahat, telah membunuh anak-anakmu. Ini aku, menghadap engkau sekarang. Kutuk dan hukumlah aku karena dosa-dosaku. Aku tidak peduli lagi akan hidupku
dan kerajaanku." Setelah berkata demikian, ia menjatuhkan badannya, pasrah, dan bersujud di kaki Dewi Gan-dhari.
Dewi Gandhari telah bersumpah tak mau melihat dunia lagi sejak suaminya buta. Ia menutup matanya dengan sehelai kain dan bersumpah akan setia kepada suaminya hingga akhir hidupnya. Mengetahui Yudhistira bersujud di
kakinya, cepat-cepat ia memalingkan muka, takut kalau-kalau bisa melihat Dharmaputra. Tetapi, dari celah bagian
bawah kain penutup matanya, ia bisa melihat ibu jari kaki Dharmaputra. Begitu terpandang olehnya, ibu jari kaki itu langsung terbakar dan meninggalkan tanda hitam. Arjuna, yang tahu akan kekuatan gaib yang mematikan dari sorot mata Dewi Gandhari, segera bersembunyi di balik punggung Krishna.
Mendengar kata-kata Yudhistira, Dewi Gandhari berusaha menghilangkan amarah dan dendamnya. Dengan bijaksana dan dengan tutur kata halus, ia merestui Pandawa lalu menyuruh mereka menghadap Dewi Kunti. Kepada Draupadi yang sangat sedih karena kematian semua anaknya, Dewi Gandhari berkata, "Anakku, jangan engkau berduka. Siapa yang sanggup menghibur kita" Kita harus memikul beban sekuatnya. Kita juga bersalah dan ikut menjadi penyebab musnahnya bangsa ini."
*** Setelah selesai melakukan upacara persembahyangan di tepi Sungai Gangga yang suci, untuk kedamaian mereka yang gugur di medan perang, Yudhistira bercakap-cakap
dengan Bagawan Narada yang mendampingi Dewi Kunti.
Bagawan Narada berkata, "Berkat kebijaksanaan Krishna, keperwiraan Arjuna, dan kekuatan dharma-mu, kemenangan ada di pihakmu. Kini engkau menjadi penguasa bumi. Bahagiakah engkau""
"Bagawan, benar seluruh kerajaan kini menjadi milikku, tetapi sanak saudaraku sudah tak ada lagi. Anak-anak kami tercinta telah gugur. Kemenangan ini ternyata merupakan kekalahan besar bagiku. Kami telah menjadikan sanak saudara kami sendiri sebagai musuh dan kami tega
membunuh mereka. "Karna, yang gagah perkasa dan dikagumi di seluruh dunia, mesti kami bunuh juga. Kami telah melakukan perbuatan terkutuk dan mengerikan, yaitu membunuh saudara sendiri. Kenangan akan Karna membuatku tersiksa. Aku merasa berdosa karena membunuh dia. Ketika
pertama kali melihat dia, yaitu ketika Draupadi dihina, aku
jadi ingat ibuku, Dewi Kunti. Walaupun waktu itu aku
sangat marah, aku melihat kaki Karna tak ubahnya kaki ibuku. Cara mereka melangkah pun sama. Aku ingat semua itu dan aku merasa sangat berdosa. Aku sedih sekali," kata Yudhistira.
Kemudian Bagawan Narada menceritakan latar belakang dan kesalahan-kesalahan Karna sejak kesatria itu masih muda serta kutuk-pastu yang berkali-kali ia terima. Akhirnya Narada menasihati Yudhisti
ra agar jangan menyesali kematian Karna, sebab nasibnya sendiri membawanya ke tujuannya sendiri.
Dewi Kunti menasihati putra sulungnya. Katanya, "Jangan salahkan dirimu karena kematian Karna. Ayahnya sendiri, Batara Surya, pernah memintanya untuk tidak berkawan dengan Duryodhana yang jahat. Batara Surya pernah menyuruh Karna bergabung dengan kalian, para Pandawa. Aku pun pernah mencoba memberinya pengertian. Tetapi ia tidak mau mendengarkan siapa pun! Nasib seseorang ada di tangannya sendiri."
Yudhistira menyahut, "Engkau telah membohongi kami, Ibu. Engkau tidak pernah menceritakan kelahiran Karna kepada kami. Karena itu, kami tidak mengenalnya sebagai
saudara kandung." Setelah diam sejenak, Yudhistira melanjutkan, "Menurutku, engkaulah pangkal semua dosa
ini. Aku berharap, mulai saat ini, kaum wanita takkan bisa lagi memegang rahasia."
*** Banyak nasihat diberikan kepada Yudhistira, tetapi hatinya tidak menjadi lega, malah sebaliknya. Setiap kali ingat akan sanak kerabatnya yang tewas di medan perang, hatinya gelisah. Hatinya tak bisa tenang lagi dan seakan berkata-kata, menyuruhnya pergi ke hutan untuk bersamadi agar bisa menebus dosa-dosanya. Ia memanggil saudara-saudaranya dan mengutarakan niatnya. Dimintanya salah satu dari mereka memerintah kerajaan selama dia pergi.
Arjuna tidak setuju dengan niat Yudhistira. Menurutnya, dosa-dosa dapat ditebus jika kita memerintah dengan
kebajikan dan kearifan. Jadi, penebusan dosa tidak hanya lewat jalan sanyasa atau bertapa.
Bhimasena mengangguk-angguk sependapat. Katanya
kepada Yudhistira, "Engkau seperti bicara di awang-awang. Engkau seperti ahli nujum yang hafal kalimat-kalimat sastra, tetapi tidak memahami maknanya. Sanyasa bukan
dharma bagi kaum kesatria. Tugas kesatria adalah berani hidup dan berkarya di tengah kehidupan manusia di dunia. Melakukan kewajiban seorang kesatria bukan dengan bertapa di dalam hutan."
Nakula juga tidak setuju hidup secara sanyasa, seperti niat Dharmaputra. Ia memilih hidup berkarya sebagai kesatria. Sahadewa memberikan pandangannya dengan berkata, "Bagi kami, engkau adalah bapak, ibu, guru dan saudara. Jangan engkau tinggalkan kami untuk pergi bertapa di hutan. Mari kita pikul bersama semua beban ini!"
Dewi Draupadi berkata kepada Dharmaputra, "Membunuh Duryodhana, saudara-saudaranya, kawan-kawannya dan pengikut-pengikutnya adalah benar. Kenapa kita harus berduka" Di antara kewajiban seorang raja, memberi hukuman termasuk tugasnya. Sebagai raja, engkau tidak mungkin menghindari itu. Tidak ada alasan bagimu untuk minta ampun. Tugas sucimu adalah memerintah kerajaan ini berdasarkan dharma. Berhentilah berduka!"
Bagawan Wyasa juga menasihati Dharmaputra alias Dharmaraja tentang tugas-tugas yang dihadapinya. Baga-wan itu meminta dengan sungguh-sungguh agar Dharmaraja pergi ke Hastinapura untuk mulai mengatur pemerintahan dan memikirkan kesejahteraan rakyat.
Akhirnya, setelah mendengar banyak nasihat, Dharma-putra mengurungkan niatnya untuk pergi bertapa. Maka upacara penobatannya menjadi raja disiapkan sebagaimana mestinya di ibu kota Hastinapura. Segera setelah
upacara selesai, Yudhistira berziarah ke tempat gugurnya
Bhisma. Sambil duduk bersila, dengan khusyuk Yudhistira
mendengarkan ajaran dharma lewat roh Bhisma. Sampai
perang berakhir, jiwa Bhisma belum meninggalkan raganya. Setelah memberikan petunjuk-petunjuk suci tentang cara-cara menjalankan dharma kesatria untuk bekal memerintah kerajaan, Bhisma memberinya restu.
Yudhistira menyembah memberi hormat dan mengucap syukur karena menerima ajaran mulia dari junjungannya. Baru setelah itu jiwa Bhisma dengan tenang meninggalkan raganya lalu naik ke surga diiringi nyanyian suci dan keharuman yang wangi semerbak.
Selanjutnya Yudhistira pergi ke tepi Sungai Gangga untuk menyucikan diri. Beberapa saat lamanya ia berdiri termangu di tepi sungai suci itu. Tiba-tiba, kenangan-kenangan sedih di masa lalu memenuhi pikirannya. Hatinya pedih, dadanya terasa sesak. Tanpa sadar, ia jatuh pingsan. Bhimasena dan Pandawa yang lain menolongnya hingga siuman. Setelah Dharmaputra sadar, para Pandawa mencoba menghib
urnya agar ia tidak larut dalam duka.
Dritarastra datang dan mencoba menghibur Dharma-putra dengan berkata, "Janganlah bersedih seperti ini. Bangkitlah! Engkau harus memerintah kerajaan Hastina
dengan bantuan saudara-saudaramu. Rakyat telah menunggumu. Tugasmu sekarang adalah memerintah sebagai raja. Tinggalkan dukamu atau berikan saja kepadaku dan kepada Gandhari. Engkau telah mencapai kemenangan sesuai dharma kesatria. Buah kemenangan itu adalah memangku kedaulatan kerajaan Hastina.
"Aku memang bodoh, tidak menghiraukan nasihat Wi-dura dan para sesepuh lainnya. Aku terlalu banyak mendengarkan kata-kata Duryodhana, hingga aku sering membuat kesalahan. Aku telah menipu diriku dengan membayangkan masa keemasan. Kini mimpi-mimpi itu lenyap tak berbekas. Seratus anakku tewas di medan perang, tetapi aku masih punya engkau sebagai anakku. Janganlah engkau terus berduka!"
*** 53. Yudhistira Menjadi Raja di Hastinapura
Pandawa, dari Bharatawarsa telah menaklukkan Kaurawa dan kini menjadi penguasa Kerajaan Hastina yang
amat luas wilayahnya. Mereka memerintah sesuai petunjuk dharma. Bagawan Wyasa sering mengunjungi Yudhistira untuk memberi nasihat atau petunjuk. Bagawan yang bijak itu selalu menghibur Dharmaraja yang masih terus
berduka. Ia bercerita tentang berbagai kejadian dan peristiwa di masa lampau. Cerita tentang orang-orang berjiwa
besar yang berhasil menaklukkan godaan hati dan tekanan jiwa, seperti hawa nafsu, ketamakan, kebencian, dendam
dan iri hati. Namun demikian, Yudhistira selalu merasa
bahwa kemenangannya tidak membuatnya bahagia, tidak seperti yang semula dibayangkannya.
Bagaimana dengan Dritarastra yang kehilangan semuanya" Anak-anaknya dan kerajaannya" Dan bagaimana pula sikapnya terhadap Yudhistira"
Sementara itu, Dritarastra yang tenggelam dalam kepedihan selalu mendapat perlakuan baik dari Pandawa.
Mereka selalu berusaha menyenangkan hati Dritarastra dan memperlakukannya dengan penuh hormat. Demikian
pula, Dewi Gandhari. Ibu Kaurawa itu selalu diperlakukan
dengan baik oleh Dewi Kunti, adik iparnya, dan Draupadi, yang bersikap seperti terhadap mertuanya sendiri.
"Yudhistira menghiasi istana Dritarastra dengan perabotan serba indah. Semua keinginan raja tua itu dipenuhinya. Setiap hari ia mengirimkan makanan yang lezat-lezat.
Kripa dan Sanjaya diminta untuk setia menemani raja tua itu. Kecuali itu, Bagawan Wyasa sering mengunjungi Drita-rastra untuk menghiburnya dengan kisah-kisah bertema keagamaan dan falsafah hidup.
Sebagai raja, Yudhistira tidak pernah mengeluarkan perintah tanpa persetujuan Dritarastra. Dalam urusan pemerintahan sehari-hari, Yudhistira tidak segan-segan meminta nasihat kepada Dritarastra. Ia selalu menghormati raja tua itu sebagai penguasa tertinggi. Dalam tutur katanya, Dharmaraja selalu berhati-hati agar tidak menyinggung perasaannya. Setiap utusan atau raja negeri asing yang berkunjung ke Hastinapura diwajibkan untuk menghadap Dritarastra lebih dulu, karena dialah yang dianggap sebagai Rajadiraja Hastinapura. Semua dayang dan pelayan istana mendapat perintah untuk tetap memperlakukan Dewi Gandhari sebagai Ratu.
Kepada saudara-saudaranya, Yudhistira mengingatkan agar mereka sama sekali tidak berbuat atau mengatakan sesuatu yang mungkin membuat Dritarastra dan Dewi Gandhari sedih. Semua saudaranya mematuhi harapan kakaknya, kecuali Bhimasena yang sesekali melanggarnya. Kadang-kadang ia lupa, berkata kasar dan menyinggung perasaan. Jika demikian, Dritarastra dan Dewi Gandhari hanya menanggapi dengan diam dan memendam kesedihan mereka dalam hati. Rupanya Bhimasena belum bisa melupakan dan memaafkan perlakuan Duryodhana, Karna dan Duhsasana kepada Draupadi. Dewi Gandhari, yang terus berusaha memperlakukan Pandawa dengan penuh kasih, sebenarnya tahu bahwa Bhimasena masih mendendam. Tetapi, ia adalah wanita agung yang berbudi
luhur. Ia justru membalas perlakuan Bhimasena dengan kasih yang semakin berlimpah.
Lima belas tahun sudah Yudhistira memerintah di Hastinapura. Akhirnya Dritarastra tak tahan lagi menanggung dukanya karena sindiran dan tingkah laku Bhimasena yang selalu membuatnya sedih
dan tersinggung. Tak bisa lagi dia memaafkan Bhimasena dan bersikap pura-pura
tak peduli. Meskipun kebaikan budi Yudhistira tiada taranya, sebagai manusia biasa lama-lama ia tak tahan diperlakukan seperti itu. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Dritarastra berpuasa, tidak makan tidak minum, menyiksa raga dengan tidur di tanah, siang kepanasan malam kedinginan. Hal ini diikuti oleh Gandhari, hingga mereka kurus, pucat dan lemah.
Pada suatu hari Dritarastra memanggil Yudhistira dan
berkata, "Telah lima belas tahun aku hidup bahagia dalam lindunganmu. Engkau selalu melayani kami dengan penuh
kasih sayang. Setiap hari suci dan hari besar aku mempersembahkan sesaji untuk arwah nenek moyang dan memohon restu mereka demi kesejahteraanmu.
"Anak-anakku yang kejam dan berbuat jahat kepadamu
telah musnah karena perbuatan mereka sendiri. Mereka telah menebus dosa mereka sebagaimana mestinya dan semua mati secara perwira sebagai kesatria.
"Kini tiba waktunya bagi kami, aku dan Gandhari, untuk melakukan dharma kami selanjutnya, yaitu pergi ke hutan untuk bersamadi. Dari sana, kami akan selalu mendoakan kalian. Sekarang ijinkan kami pergi untuk mengikuti jalan yang telah dirintis oleh nenek moyang kita di masa lampau."
Mendengar kata-kata pamannya dan melihat keadaan Dritarastra dan Dewi Gandhari yang kurus dan lemah, Yudhistira sangat terkejut. Ia berkata, "Sungguh aku tidak tahu bahwa Paman dan Bibi telah menyiksa diri dengan berpuasa dan tidur di tanah. Saudara-saudaraku pun tidak tahu. Aku kira, selama ini Paman dan Bibi dilayani
dengan baik. Jika Paman menderita, itu akibat dosaku
juga. "Kini aku sadar, tak ada gunanya bagiku menjadi raja. Tak ada gunanya aku berkuasa. Aku manusia penuh dosa!
Nafsu dan ambisi telah menyeretku menjadi raja di atas
mayat saudara-saudaraku. "Paman, biarlah Yuyutsu, anakmu, menjadi raja. Atau orang lain yang engkau pilih. Atau jika Paman mau,
silakan Paman memerintah kerajaan ini. Aku saja yang pergi ke hutan untuk mengkahiri dosa-dosaku sampai di sini. Aku tak pantas menjadi raja. Engkaulah yang lebih pantas.
"Sekarang Paman minta pamit kepadaku. Bagaimana
mungkin aku menolak karena sesungguhnya engkaulah
Raja yang berkuasa" Engkaulah yang seharusnya mengijinkan aku pergi ke hutan.
"Ketahuilah Paman, sedikit pun aku tidak mendendam terhadap Duryodhana atau siapa pun. Semua itu telah berlalu. Kami adalah anak-anakmu. Dewi Gandhari dan Dewi Kunti adalah ibu-ibu kami yang sama-sama kami kasihi. Jika Paman tetap hendak pergi ke hutan, ijinkan aku menyertaimu. Apa gunanya aku tinggal di sini jika engkau tinggal di hutan" Aku sujud di hadapanmu, mohon maaf dan ampun atas semua kesalahanku. Dengan melayani engkau, aku mendapat kebahagiaan. Berikan kesempatan itu kepadaku. Jangan tinggalkan aku."
Dritarastra terharu. Kemudian ia berkata, "Wahai, Putra Dewi Kunti, tekadku telah bulat. Aku akan pergi ke hutan untuk bertapa. Kalau tidak demikian, aku tidak akan menemukan kedamaian sepanjang hidupku. Engkau harus mengijinkan aku pergi."
Setelah berkata begitu, Dritarastra menoleh kepada Wi-dura dan Kripa sambil berkata, "Tekadku sudah bulat. Aku akan pergi ke hutan untuk bertapa. Aku tak bisa bicara lagi. Kerongkonganku kering. Aku harap engkau berdua
menasihati Raja agar mengijinkan aku pergi." Setelah
berkata demikian, Dritarastra menyandarkan diri pada Dewi Gandhari. Raganya telah lemah sekali.
*** Akhirnya Dharmaraja menyetujui kepergian mereka ke hutan. Dia memerciki wajah Dritarastra dengan air suci sebagai tanda ucapan selamat jalan dan selamat berpisah. Bagawan Wyasa menegaskan kepada Yudhistira bahwa
sudah sepatutnya ia membiarkan raja tua itu pergi ke hutan, karena usia tua membuatnya tak sanggup memikul duka, lebih-lebih karena kematian semua anaknya.
"Biarkan ia pergi dan hidup di antara tanaman yang menebarkan keharuman bunganya dan pepohonan yang menawarkan buah-buahan segar untuk melupakan segala beban dan dukanya di dunia ini.
"Dharma seorang raja adalah mati di medan perang atau
menghabiskan hari tuanya dengan bertapa di hutan. Drita-rastra telah lama memerintah kerajaan ini dan telah melangsungkan
upacara-upacara yajna. Ketika engkau hidup
di pengasingan selama tiga belas tahun, ia menikmati dunia ini melalui anaknya. Ia menerima persembahan dan memberi hadiah kepada setiap orang yang menjalin persahabatan dengannya.
"Selama lima belas tahun ini engkau memperlakukan dia dengan baik. Tapi kini dia sudah tak punya keinginan atau ambisi duniawi. Telah tiba saatnya bagi dia untuk hidup bertapa. Lepaskan kepergiannya dengan rela, agar ia bisa pergi dengan hati ringan."
Setelah Raja Yudhistira mengijinkan, Dritarastra dan Dewi Gandhari menyudahi puasa mereka dan bersiap-siap untuk berangkat. Sesaat sebelum meninggalkan istana, Dritarastra memanggil Yudhistira untuk merestuinya.
Dewi Kunti ikut pergi bersama mereka demi memenuhi janjinya untuk selalu mendampingi Dewi Gandhari. Sebelum pergi, ibu Pandawa itu berkata kepada Dharmaraja, "Anakku, jangan pernah memperlihatkan amarahmu jika sedang bicara dengan Sahadewa. Jangan lupakan Karna yang gugur di medan perang sebab ia anakku dan saudaramu juga. Aku berdosa karena tidak menceritakan kepadamu siapa dia sebenarnya. Jagalah Draupadi dengan penuh kasih sayang. Jangan sampai engkau membuat Bhima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa sedih.
"Ingatlah selalu hal ini. Beban keluarga sepenuhnya terletak di pundakmu. Pikullah dengan sabar dan tabah.
"Aku akan menyertai Gandhari untuk hidup secara
sanyasa di hutan. Pada waktunya kelak, aku akan bersatu dengan ayahmu. Semoga engkau selalu dilindungi dharma.
Terimalah restu ibumu."
Dritarastra, Gandhari dan Kunti meninggalkan Hastinapura. Dritarastra yang buta berpegang pada bahu Gandhari dan berjalan di belakangnya, sedangkan Gandhari dengan mata tertutup secarik kain berpegang pada bahu Kunti dan berjalan di belakangnya. Mereka berjalan beriringan.
Yudhistira mengantar mereka sampai ke gerbang istana lalu melepas kepergian mereka sampai hilang dari pandangan. Ia tak dapat menahan perasaannya dan menangis
lirih. *** Pada suatu hari, setelah tiga tahun mereka melewatkan
hari-hari dengan menjalani kehidupan sanyasa, terjadilah
kebakaran hebat di hutan itu. Api menjilat-jilat sampai ke pertapaan mereka. Sanjaya, yang menyertai mereka, diminta meninggalkan pertapaan. Dritarastra yang buta, Gandhari dan Kunti tetap tinggal. Mereka terus bersamadi dengan khusyuk sampai api menghanguskan raga mereka.
Sanjaya, yang selama hidupnya selalu mendampingi Raja Dritarastra, pergi ke Gunung Himalaya dan bertapa di lereng gunung yang suci itu.
*** 54. Musnahnya Bangsa Yadawa Perang di padang Kurukshetra telah berakhir. Yudhistira telah dinobatkan menjadi raja dan telah melaksanakan
upacara agung aswamedha. Setelah semua mapan dan
tenteram, Krishna minta diri kepada Pandawa untuk kembali ke negerinya, Dwaraka.
Dalam perjalanan pulang, Krishna bertemu dengan
kawan lamanya, seorang brahmana bernama Utanga.
Krishna berhenti, turun dari kereta, lalu memberi salam.
Terjadilah percakapan panjang di antara dua kawan lama itu. Mereka saling berkabar tentang keluarga dan pengalaman masing-masing selama mereka berpisah.
Utanga juga menanyakan keadaan Pandawa, karena ia tahu Krishna adalah keluarga dekat mereka. Brahmana itu sama sekali tidak mendengar berita tentang perang besar yang telah berlangsung di medan Kurukshetra. Krishna terheran-heran, sampai tak tahu apa yang harus dikatakannya.
Akhirnya Krishna bercerita panjang lebar tentang pertempuran dahsyat antara Kaurawa dan Pandawa. Dia juga bercerita bahwa Pandawa sudah berusaha keras menawarkan perdamaian agar perang itu tidak terjadi. Tetapi usaha mereka sia-sia. "Tak terbilang yang tewas di medan pertempuran itu. Yang selamat dan masih hidup sangat sedikit. Siapa dapat mengelakkan diri dari nasib seperti itu"" Krishna mengakhiri ceritanya.
Mendengar cerita itu, Utanga merasa muak dan jijik
melihat kawannya itu. Amarahnya menggelegak, matanya memerah dan hatinya panas. Ia berteriak mengutuk Krishna, menuduhnya telah membiarkan perang itu terjadi tanpa berusaha menghindarkannya. Ia menuduh Krishna menipu dan tidak melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya hingga menyebabkan musnahnya Kaurawa.
"Bersiaplah unt uk menerima kutuk-pastu-ku," katanya.
Krishna berusaha menyabarkan brahmana itu. Sambil tersenyum ia menasihati brahmana itu agar tidak menggunakan hasil tapanya untuk tindakan yang sia-sia. Dimintanya Utanga mendengarkan ceritanya dengan cermat sebelum mengucapkan kutuk-pastu.
Krishna mengulang ceritanya secara terperinci. Tetapi Utanga tetap tidak mengerti inti persoalan itu. Karena itu,
Krishna memperlihatkan dirinya dalam wujud Wiswarupa
atau perwujudan Hyang Tunggal dan berkata, "Aku terlahir dalam segala wujud dan di segala jaman untuk menyelamatkan dunia dan menegakkan kebenaran. Dalam wujud
apa pun, aku harus mengikuti kodrat jasmaniku. Jika aku
terlahir berwujud dewa, aku harus bertindak sebagai dewa.
Jika aku terlahir berwujud yaksa atau raksasa, aku harus bertingkah laku seperti yaksa atau raksasa. Jika aku terlahir sebagai manusia, aku harus bertindak seperti manusia. Dengan berbagai wujud ragaku, aku menjalankan tugasku sampai kelahiranku sebagai wujud tertentu selesai.
"Aku telah menasihati Kaurawa agar jangan berkeras kepala, tetapi mereka tidak peduli. Mereka terus membuat kesalahan dan kejahatan yang akhirnya menimbulkan perang yang memusnahkan mereka sendiri.
"Brahmana yang budiman, demikianlah ceritanya. Engkau tidak punya alasan untuk marah-marah."
Setelah mendengar penjelasan Krishna dan memahami siapa sesungguhnya kesatria itu, amarah Utanga lenyap seketika.
Krishna lega. Ia berkata, "Nah, sekarang apa yang dapat
kuberikan kepadamu""
Utanga bersyukur bisa bertemu dengan Hyang Tunggal yang menjelma dalam wujud Krishna. Ia berkata bahwa ia tak ingin memohon sesuatu. Tetapi, ia terus didesak agar meminta sesuatu.
Akhirnya, ia mengajukan permohonan, "Kalau Engkau
hendak menganugerahkan sesuatu kepadaku, aku minta mantra yang bisa menolongku mendapat air segar kapan
saja dan di mana saja." Krishna meluluskan permintaan itu.
*** Pada suatu hari, dalam perjalanan melintasi padang rumput, Utanga merasa sangat haus. Ia mencari-cari, tetapi tidak menemukan air setetes pun untuk minum. Ia teringat akan mantra pemberian Krishna. Segera setelah ia mengucapkan mantra itu, seorang pemburu tiba-tiba muncul di hadapannya. Pakaiannya compang-camping dan kumal berdebu. Bau keringatnya menusuk hidung. Tangan kanannya memegang alat berburu, di pinggangnya terselip sebilah kapak. Sebuah kantong kulit berisi air tergantung di pundak kirinya. Seekor anjing mengibas-ngibaskan
ekornya dekat kakinya. Lelaki kotor dan menjijikkan itu menyeringai dan berkata, "Rupanya Brahmana sangat
kehausan. Aku punya air dalam kantong kulit ini. Silakan minum." Ia mengisi cangkir bambunya dengan air untuk disuguhkan kepada Utanga.
Melihat lelaki kotor dan anjingnya yang dekil itu, Utanga berkata jijik, "Ah, aku tidak haus. Terima kasih!" Dalam hati ia marah karena menganggap mantra pemberian Krishna hanyalah olok-olok belaka.
Lelaki kotor itu berulang-ulang menawarkan air kepada Utanga, karena ia tahu brahmana itu sangat kehausan. Utanga menjadi marah dan semakin jijik melihatnya. Tiba-tiba, pemburu dan anjingnya yang menjijikkan itu lenyap dari pandangan.
Ketika pemburu itu lenyap dan ia kembali sendirian,
Utanga berpikir-pikir, siapa gerangan lelaki kotor yang
muncul dan lenyap secara gaib itu" Ia mulai merenung, lelaki itu tidak mungkin orang paria, nishada (orang kotor dan kumal), atau orang biasa. Ia merenung dan berkatakata dalam hati, "Mungkin peristiwa tadi adalah cobaan bagiku. Ah, aku telah berbuat tolol! Kenapa aku dengan angkuh menolak airnya, padahal sebenarnya aku sangat haus" Sungguh tolol aku ini!"
Sesaat kemudian muncul Krishna membawa cakra dan trompet kerangnya. Ia tersenyum di depan Utanga.
Brahmana itu berkata keras, "Hai, Krishna alias Puru-shottama, engkau menguji aku dengan cara kasar, yaitu memberiku air dari tangan seorang lelaki paria yang nista dan tabu kusentuh. Jangan mengolok-olok aku. Leluconmu tidak lucu."
Krishna alias Janardana tersenyum, lalu mengatakan apa yang tadi dikerjakannya. Sewaktu Utanga mengucapkan mantra, Krishna meminta Batara Indra untuk memberikan amerta atau air kehidupan kepada Utanga, untu
k melepaskan dahaganya. Batara Indra tidak mau memberikan amerta kepada manusia biasa, sebab air kehidupan itu sesungguhnya hanya bagi mereka yang tidak akan menemui kematian seperti manusia di dunia. Tetapi Krishna terus mendesak sampai akhirnya Batara Indra setuju dengan syarat ia sendiri yang memberikan kepada Utanga dalam penyamarannya sebagai seorang nishada. Batara Indra memang ingin mencobai Utanga. Jika Utanga benarbenar telah mencapai jnana atau menguasai ilmu pengetahuan suci tertinggi, brahmana itu pasti menerimanya. Tapi ternyata Utanga yang dungu menolak airnya. Akibatnya, Krishna merasa sangat malu di hadapan Batara Indra.
Mendengar cerita itu, Utanga menyesal dan malu atas ketololannya sendiri.
*** Demikianlah, Krishna kembali ke negerinya dan memerintah selama tiga puluh enam tahun. Di masa pemerintahannya, rakyat hidup makmur dan sejahtera. Suku Wrisni
dan Bhoja yang masih berkerabat dengan bangsa Yadawa
-bangsa asal keturunan Krishna, terkenal suka bersenang-senang. Karena hidup makmur, mereka jadi suka mengumpulkan barang-barang mewah, makan makanan
lezat, minum minuman keras, dan berpesta pora. Lambat
laun mereka menjadi bangsa yang angkuh, liar, suka
mabuk, gemar mengumbar hawa nafsu, lengah dan
gegabah. Mereka yang bekerja sebagai narapraja umumnya tidak jujur, gemar main wanita jalang, mudah disuap, dan hanya memburu kekayaan. Sementara itu, yang masih muda suka mabuk-mabukan dan hidup sesukanya tanpa mengindahkan adat dan kepercayaan.
Pada suatu hari, seorang resi dari negeri asing datang
berkunjung ke Dwaraka. Begitu masuk ke gerbang kerajaan, ia dicegat segerombolan pemuda. Mereka mengolok-olok dan mengejek resi itu dengan lelucon yang tidak lucu. Salah seorang dari mereka, yaitu Samba putra Krishna, bertindak terlalu jauh. Ia mengganjal perutnya dengan kain-kain lalu mengenakan pakaian hamil. Sambil berjalan tertatih-tatih seperti perempuan hamil tua, ia pergi menemui resi itu. Kawan-kawannya tertawa-tawa, menertawakan lelucon mereka sendiri.
Dengan gemulai Samba menari-nari di depan brahmana itu dan bertanya kepadanya, "Wahai Resi yang tahu segalanya, katakan, anak yang kukandung ini perempuan atau laki-laki""
Resi itu tersinggung. Sambil menggumamkan kutukpastu, ia menjawab, "Pemuda ini akan melahirkan sebuah gada, bukan bayi laki-laki atau bayi perempuan. Gada itu
akan menjelma menjadi Batara Yama yang akan memusnahkan bangsa Yadawa, termasuk kalian semua."
Mereka kaget mendengar jawaban resi itu. Mereka menyesal telah mengolok-olok dia dan takut menghadapi kutuk-pastu-nya.
Benarlah, beberapa hari kemudian Samba merasa
perutnya sakit seperti orang hamil hendak melahirkan. Alangkah panik kawan-kawannya ketika melihat Samba benar-benar melahirkan sebuah gada, bukan bayi laki-laki atau bayi perempuan. Semua ketakutan, karena ramalan resi itu terjadi. Semua berpikir, resi itu benar dan sekarang gada itu akan memusnahkan bangsa mereka, termasuk mereka sendiri.
Mereka memungut gada itu lalu beramai-ramai menghancurkannya dan membakarnya hingga menjadi abu. Mereka lalu membuang abu itu jauh-jauh. Abu itu ditebarkan ke laut hingga tersebar ke mana-mana ditiup angin dan dibawa ombak sampai ke tepi pantai.
Lama tak terjadi apa-apa. Para pemuda itu sudah lupa akan lelucon mereka sendiri. Samba menjadi laki-laki biasa lagi. Tahun demi tahun berganti, musim demi musim berlalu, rakyat terus hidup makmur dan bahagia. Mereka tak tahu, sebagian abu gada itu jatuh ke pasir pantai. Ajaib! Lambat-laun pantai itu ditumbuhi rumput raksasa yang rimbun dengan batang-batang sebesar batang bambu.
Di antara bangsa Yadawa yang ikut berperang di medan
Kurukshetra, Krishna, Satyaki dan balatentara mereka bertempur di pihak Pandawa, sementara Kritawarma dan pasukannya bertempur di pihak Kaurawa. Setelah kembali dari Kurukshetra, Krishna membuat peraturan yang melarang bangsanya minum minuman keras. Tetapi peraturan itu kemudian diubah sedikit, yaitu rakyat diijinkan minum minuman keras pada hari-hari tertentu.
Sebagai bangsa yang berwatak periang, bangsa Yadawa sangat gemar berpesta dan berwisata. Pada suatu hari mereka b
erdarmawisata ke pantai yang ditumbuhi rumput raksasa. Mereka bersenang-senang, makan-makan dan minum minuman keras sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, terjadilah pertengkaran mulut yang kemudian pecah menjadi perkelahian hebat. Mula-mula saling menghantam dengan tangan kosong, kemudian ada yang memulai mencabut sebatang rumput raksasa berdaun runcing.
Dengan itu mereka saling menusuk. Mereka tak tahu, itu rumput ajaib. Tertusuk ujung daunnya atau terhantam batangnya bisa menyebabkan kematian.
Perkelahian hebat itu berawal dari pertengkaran kecil. Awalnya Kritawarma adu mulut dengan Satyaki, padahal dua-duanya dalam keadaan mabuk.
Satyaki mengejek Kritawarma, "He, Kritawarma, kau
telah mempermalukan bangsa kita. Engkau membunuh musuhmu yang sedang tidur nyenyak. Itu bukan perbuatan kesatria sejati! Gara-gara kau, selama-lamanya bangsa kita akan menanggung malu!"


Mahabharata Karya Nyoman S. Pendit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kritawarma tersinggung mendengar ejekan itu. Ia membalas dengan pedas, "Engkau tak ubahnya jagal sapi. Engkau membunuh Bhurisrawa yang sedang bersamadi. Engkau pengecut yang berlagak kesatria!"
Sorak-sorai pengikut mereka membuat Satyaki dan Kritawarma semakin memanas.
Pertengkaran mulut tidak berhenti di situ, tetapi malah memanas menjadi pertarungan bebas. Suasana kacau. Pengikut Satyaki bertarung melawan pengikut Kritawarma dalam pertarungan bebas yang membolehkan apa saja. Putra Krishna, Pradyumna, juga ada di situ. Ia berniat menolong Satyaki, tetapi malah terlibat dalam pertempuran dan akhirnya menemui ajalnya. Kutuk-pastu resi
yang pernah mereka hina menjadi kenyataan. Batang rumput berdaun runcing menjadi senjata utama.
Demikianlah, semua akhirnya mati kena hantaman atau tusukan batang rumput ajaib berdaun runcing. Musnahlah bangsa Yadawa.
Balarama yang menyaksikan peristiwa itu merasa sangat malu. Ia pergi meninggalkan tempat itu lalu menghabiskan hari-harinya dengan melakukan yoga di bawah pohon besar sampai maut menjemputnya. Krishna juga menyaksikan bagaimana bangsanya memusnahkan diri mereka sendiri. Ketika tahu bahwa Balarama, kakaknya, meninggalkan kehidupan duniawi dan memilih hidup menjalankan yoga, Krishna pergi mengembara ke hutan. Di
tengah lebatnya hutan belantara, ia merebahkan diri sambil berkata, "Telah tiba waktunya. Aku akan pergi selamanya meninggalkan dunia ini!"
Seorang pemburu bernama Jaras kebetulan lewat dekat tempat Krishna merebahkan diri. Jaras melepaskan anak
panahnya, mengira Krishna seekor rusa yang sedang duduk melepas lelah. Anak panah itu tepat menembus kaki dan tubuh Krishna. Seketika itu juga Krishna alias Wasudewa menghembuskan napasnya yang penghabisan. Jiwanya melayang, meninggalkan raganya, meninggalkan dunia manusia.
Kabar meninggalnya Krishna sampai ke Hastinapura. Arjuna segera datang ke Dwaraka untuk melakukan upacara pembakaran jenazah Krishna. Beberapa hari kemudian, Negeri Dwaraka dilanda banjir bandang. Air bah
datang bergulung-gulung bagai gelombang samudera dahsyat. Negeri Dwaraka terseret arus ke laut dan akhirnya tenggelam di dasar samudera.
*** 55. Pengadilan Terakhir Dritarastra, Gandhari dan Kunti terbakar dilalap api di pertapaan mereka di dalam hutan. Krishna dan bangsa Yadawa punah karena mereka saling membunuh. Setelah para sesepuh dan sekutu Pandawa mati menurut suratan hidup masing-masing, mereka menobatkan Parikeshit,
putra Abhimanyu dari Uttari, menjadi raja di Hastinapura.
Setelah upacara penobatan selesai, Pandawa dan Drau-padi berkemas, lalu pergi mendaki Gunung Himalaya untuk mencapai kediaman Batara Indra. Seekor anjing
menyertai mereka dalam pengembaraan mendaki gunung suci itu. Dalam perjalanan panjang, mereka berziarah ke tempat-tempat suci dan melintasi hutan belantara yang dihuni berbagai binatang buas, setan, jin dan makhluk-makhluk gaib lainnya.
Kelima Pandawa, Draupadi dan anjing mereka berjalan siang malam tanpa henti.
Pada suatu hari, mereka tiba di kaki Gunung Himalaya lalu mulai mendaki dengan susah payah. Dalam pendakian ke puncak, satu per satu mereka jatuh ke dalam jurang lalu lenyap ditelan bumi. Yang pertama kali jatuh adalah Draupadi. Dosanya adalah karena ia sangat menci
ntai Arjuna, lebih daripada keempat saudaranya. Setelah Drau-padi, menyusul Sahadewa. Dosanya ialah terlalu percaya diri dan terlalu yakin akan kesaktiannya hingga meremehkan dewa-dewa dan orang lain. Kemudian, Nakula. Kesatria ini memuja ketampanannya sendiri dan merasa bahwa
keyakinan dan pandangannya yang paling benar. Setelah itu Arjuna jatuh ke jurang. Arjuna terlalu yakin akan kemampuannya untuk menghancurkan semua musuhnya. Demikian besar keyakinannya, hingga ketika jatuh, ia tidak mau menyerah begitu saja. Ia terus berusaha bangkit, sampai-sampai turun sabda dari surga yang mengatakan bahwa ia tak mungkin berkeras memegang keyakinannya selama ia masih ada di dunia. Arjuna disusul Bhimasena yang merasa kekuatannya bagaikan angin topan yang mampu menghancurkan bumi.
Meskipun keempat saudaranya dan Draupadi sudah hilang ditelan bumi, Yudhistira terus mendaki bersama anjingnya. Ia pupus duka di hatinya dengan memanjatkan doa-doa dan mengucapkan mantra-mantra. Ia terus mendaki, makin lama makin tinggi, sampai tiba di suatu tanah datar yang cukup luas. Di hadapannya terbentang nyala api kebenaran, menerangi jalan yang ditempuhnya. Di kanan kiri jalan itu tebing dan jurang menganga dalam kegelapan.
Ia bisa membedakan dengan jelas, mana kegelapan, mana bayangan dan mana kebenaran sejati. Ia berjalan terus ditemani anjing kesayangannya yang setia dan tak pernah sesaat pun lepas dari sisinya. Sesaat pun tak pernah dilepaskannya tali itu, walaupun istri dan saudara-saudaranya telah mendahului meninggalkannya.
Akhirnya ia tiba di pintu gerbang surga dan disambut Batara Indra yang mempersilakannya naik ke keretanya. Tetapi Yudhistira menolak sebelum ia mengetahui keadaan Draupadi dan saudara-saudaranya. Katanya, "Aku berterima kasih kau sambut masuk ke surgamu. Tetapi aku tidak
mau jika istri dan saudara-saudaraku tidak ada di sana."
Batara Indra meyakinkan Yudhistira bahwa istri dan saudara-saudaranya telah mendahuluinya. Ia juga menjelaskan bahwa Yudhistira paling akhir "dipanggil" karena ia memikul tanggung jawab raga yang terakhir. Ketika naik ke kereta Batara Indra bersama anjingnya, ia ditolak.
"Tidak ada tempat bagi anjing di surga," kata Batara
Indra. "Kalau demikian, bagiku juga tidak ada tempat di surga. Tidak mungkin bagiku meninggalkan anjingku yang setia menemaniku dalam suka dan duka," jawabnya.
Setelah menjawab demikian, Yudhistira turun dari kereta kahyangan itu bersama anjingnya. Batara Indra senang mendengar jawaban Yudhistira, sebab Yudhistira menunjukkan kasih sayang, kesetiaan, dan penghormatan kepada teman hidupnya, meskipun temannya itu hanya seekor anjing. Batara Indra mempersilakan Yudhistira lagi naik ke keretanya dan kali ini anjingnya diijinkan ikut. Begitu naik ke kereta, anjing itu lenyap.
Yudhistira masuk ke surga bersama Batara Indra. Di sana ia melihat Duryodhana yang duduk di singgasana indah keemasan, disinari cahaya kemuliaan dan dilayani bidadari-bidadari cantik jelita. Tetapi Yudhistira tidak melihat Draupadi, Bhimasena, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa di situ. Karena itu, ia menolak untuk tinggal lebih lama di situ tanpa istri dan saudara-saudaranya. Dalam hati ia heran, kenapa Duryodhana yang angkara murka, yang telah mengorbankan sanak saudaranya untuk memenuhi
nafsu dan ambisinya sekarang bisa duduk di singgasana itu dengan penuh kemegahan" Mengapa Draupadi dan saudara-saudaranya yang selalu hidup mematuhi dharma
tidak ada di situ" Yudhistira sangat kecewa.
"Katakan, di mana istri dan saudara-saudaraku! Aku ingin berkumpul dengan mereka, di mana pun mereka berada," kata Yudhistira.
Batara Narada menghampiri putra Pandu itu dan berkata, "Wahai anakku, di surga tidak ada perbedaan. Tidak
patut engkau berpikir buruk. Duryodhana yang gagah berani mencapai tingkat ini karena kekuatan dharma-nya sebagai kesatria. Jangan biarkan pikiran-pikiran buruk bertakhta dalam ragamu yang tidak kekal. Hukum surga melenyapkan segala perasaan dan pikiran buruk. Tinggallah engkau di sini!" Yudhistira tetap menolak untuk tinggal di surga tanpa
istri dan saudara-saudaranya.
Melihat keteguhan Yudhistira, Batara
Indra menyuruh bidadari surga mengantarkannya ke tempat saudara-saudaranya. Perlahan-lahan rohnya meninggalkan raganya.
Roh Yudhistira kemudian masuk ke tempat yang sangat
gelap, licin dan berbahaya. Sebentar-sebentar terlihat seberkas api menyala seram. Bau busuk menusuk hidung dan suara-suara aneh menggema menyeramkan.
Makin jauh ia meraba-raba dalam kegelapan, makin terasa olehnya bahwa ia memasuki gua yang dalam dan berlumpur busuk. Bau mayat dan bangkai yang membusuk menusuk hidung. Suara-suara seram itu membuat bulu kuduknya berdiri. Makin jauh ia masuk ke dalam gua, suasana semakin menyeramkan. Mayat manusia dan bangkai binatang bergelimpangan. Ada yang tanpa kepala, tanpa kaki, tanpa tangan, ada yang matanya melotot, ada yang isi perutnya terburai. Semua menyeramkan. Yudhis-tira semakin jauh tenggelam dalam neraka sampai akhirnya ia tidak dapat bergerak lagi. Ia terjepit di antara mayat dan bangkai yang membusuk. Ia tak tahan lagi mencium bau busuk itu. Kepalanya pusing.
Akhirnya ia bertanya, "Katakan sebenarnya di mana Draupadi dan saudara-saudaraku berada. Berapa jauh lagi tempat mereka" Aku tidak menemukan mereka di sini."
Bidadari itu menjawab, "Kalau sudah tak tahan, kau boleh kembali!"
Yudhistira memang sudah tak tahan. Ia ingin kembali. Tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang merintih kesakitan, suara-suara yang ia kenal, "Dharmaputra, jangan berbalik. Kehadiranmu di sini membuat hati kami tenang dan duka kami seakan hilang. Bergabunglah dengan kami. Mari kita hadapi siksaan ini agar kita memperoleh kedamaian abadi!"
Walaupun hampir pingsan, Yudhistira masih sempat bertanya, "Siapakah kalian yang berkata-kata demikian dalam gelapnya neraka" Kenapa kalian ada di sini""
Satu demi satu suara-suara itu menjawab, "Wahai Raja
yang bijaksana, aku Karna," jawab suara pertama. Disusul suara kedua, "Aku Bhima," lalu suara ketiga, "Aku Arjuna,
saudaramu." Suara-suara lainnya menyusul,
"Aku Draupadi." "Aku Nakula." "Aku Sahadewa."
Suara lain berkata, "Kami putra-putra Draupadi." Diikuti suara-suara lain yang bergema dalam gelap. Mendengar suara-suara yang ia kenal, Yudhistira sangat kecewa. Tidak seperti yang dia harapkan, yang terjadi adalah sebaliknya! Semua saudara dan sekutunya yang telah menjalankan dharma dalam hidupnya, kini berada di dunia paling bawah, di neraka! Sedangkan orang seperti Duryo-dhana dan saudara-saudaranya, yang jahat dan angkara murka, malah bersenang-senang di surga.
Kepada bidadari yang mengantarkannya Yudhistira mengucapkan terima kasih dan berkata, "Katakan kepada Batara Indra, aku memilih tinggal di neraka bersama istri dan saudara-saudaraku daripada di surga bersama Duryo-dhana dan Kaurawa. Sekarang, kembalilah engkau ke kahyangan Batara Indra dan sampaikan pesanku kepadanya."
Bidadari itu meninggalkan Dharmaputra untuk menyampaikan pesannya kepada Batara Indra.
Yudhistira telah memasuki dunia maya. Tiga belas hari lamanya ia tenggelam dalam dunia maya itu. Kemudian Batara Indra dan Batara Yama muncul. Suasana gelap, bau busuk dan pemandangan mengerikan itu perlahan-lahan menghilang. Sinar terang muncul, berpendar-pendar sangat indah. Bau harum semerbak menyusupi hidung ketika kedua batara itu muncul di hadapannya.
"Wahai kesatria bijak, ini adalah ketiga kalinya aku
menguji keteguhan jiwamu. Engkau memilih untuk tinggal di neraka bersama istri dan saudara-saudaramu. Engkau
menolak tinggal di surga bersama Duryodhana dan Kau-rawa. Engkau tetap setia pada anjingmu.
"Ada keharusan bagi arwah para kesatria dan raja untuk tinggal di neraka selama beberapa waktu. Engkau
telah merelakan dirimu untuk merasakan penderitaan di neraka. Hari ini hari ketiga belas, hari yang tepat untuk mengakhiri penderitaan itu. Sebenarnya, tak seorang pun ada di neraka. Tidak Krishna, tidak Karna, tidak Draupadi, juga yang lain. Semua itu maya. Tempat ini bukan neraka, melainkan surga," kata Batara Yama.
Demikianlah, setelah Batara Yama selesai berkata-kata, keadaan berbalik. Pandawa dan sekutunya yang semua tinggal di neraka kini diangkat ke surga. Sementara itu, Kaurawa dan sekutunya yang pernah mencicipi inda
h dan damainya surga, diturunkan ke neraka.
Setelah mengalami berbagai cobaan, Yudhistira menghadapi pengadilan terakhir. Yudhistira menemui kedamaian abadi, terlepas dari beban pikiran dan perasaan yang mengikat manusia dengan hal-hal duniawi. Dia kemudian bersemayam bersama Batara Indra di surgaloka.
Demikianlah, kebajikan akhirnya menang melawan kebatilan.
*** Tentang Penulis Nyoman S. Pendit, lahir di Pulau Dewata, tepatnya di Tabanan pada tanggal 26 Juli 1927. Penulis menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Visva Bharati University, Santiniketan, India. Nyoman S. Pendit sangat produktif menulis buku dan artikel tentang seni budaya, falsafah, agama Hindu, dan pariwisata. Tulisannya tentang sastra klasik India yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, selain Mahabharata ini, adalah Nyepi: Kebangkitan, Toleransi, dan Kerukunan (2001) dan Bhagavadgita (2002).
Di samping dikenal sebagai penulis, wartawan, dan
terlebih sebagai tokoh penting dalam agama Hindu di
Indonesia, beliau juga adalah pejuang dan prajurit pada masa perang kemerdekaan Indonesia pada sekitar tahun
1945-1954. Nyoman S. Pendit, di usianya yang sudah tiga perempat
abad masih tampak bugar dan tak hentinya menuangkan buah-buah pikirannya di dalam berbagai tulisan.
Edit & Convert Jar, Txt: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 5 Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa Pedang Keadilan 30
^