Pencarian

Hati Yang Memilih 5

Hati Yang Memilih Karya Unknown Bagian 5


"Tapi Anda pasti suka kalau melihat televisi sekarang."
"Apa maksudmu?"??
"Sebaiknya Anda melihatnya sendiri, Bos!"
Johan pun membanting telepon, lalu keluar dari ruang kantornya. Di ruang depan terpasang sebuah pesawat televisi, namun dalam keadaan mati karena semua
reporter yang biasa menonton di sana sedang keluar. Johan mengambil remote control, lalu menyalakan televisi. Tanpa harus mengecek semua channel, Johan
sudah mendapatkan apa yang dimaksud oleh petugasnya di percetakan.
Semua siaran televisi tengah memberitakan sesuatu yang tiga hari lagi akan dimuat di tabloidnya.
Johan duduk terkulai dengan remote control di sampingnya. Seluruh semangatnya yang tadi menggebu kini padam seketika. Tabloidnya yang akan terbit tak akan
membawa apa-apa selain hanya berita basi sekaligus konyol. Tabloidnya hanya memberitakan pertukaran tempat yang dilakukan Indra dan saudara kembarnya,
sementara televisi menyiarkan berita yang lebih lengkap, bahwa si saudara kembar masih hidup. Kegemparan yang diimpikannya telah didahului televisi, dan
tentunya juga koran-koran hari ini.
Johan merasa tulang-tulangnya dilolosi. Orgasme yang dirindukannya kini berakhir dengan ejakulasi yang prematur. Ia mengutuk Febiola. Perempuan itu benar-benar sundal!
*** Pagi itu, Indra dan Ferry duduk di ruang tengah dengan muka yang masam, sementara ibu mereka menelepon Anisa.
Silvia meminta Anisa datang ke rumah mereka, dan Anisa pun berjanji untuk segera datang.
Sejak tadi malam Anisa menyaksikan televisi, dan dia pun sudah tahu kalau ternyata Ferry masih hidup.
Saat bel pintu rumah mereka berbunyi, Ferry dan Indra sama-sama bangkit dari duduknya. Namun buru-buru ibu mereka berkata dengan tegas, "Kalian tetap di
sini. Dan jangan keluar sebelum Mama minta!"
Indra dan Ferry kembali terjatuh di tempat duduk mereka, dan merasa gelisah luar biasa.
Silvia keluar dari ruang tengah dan menuju ke depan untuk membukakan pintu. Anisa tampak berdiri di depan pintu dengan ekspresi bingung, namun tersenyum
sopan saat melihat Silvia menyambutnya.
Silvia membawa Anisa untuk duduk di sampingnya, di kursi panjang di ruang tamu.
Setelah Anisa duduk tenang, Silvia pun memulai pembicaraan mereka. "Anisa," katanya, "ada sesuatu yang penting yang membuat Ibu mengundangmu kemari. Kau
juga tentu sudah tahu, ya" Kau tentu telah melihatnya di televisi..."
"Iya, Bu." Anisa mengangguk.
"Ibu benar-benar bingung menghadapi hal ini." Silvia mendesah dan menatap wajah Anisa. "Dan ini menyangkut dirimu, Anisa. Ibu harap kau bisa menghadapi
hal ini." Anisa menunjukkan wajah yang bingung. Dia tidak tahu dimana sekarang Ferry berada, namun dia pun tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya.
Silvia kemudian menyentuh tangan Anisa. "Kau harus melihatnya. Kaulah yang harus menentukan..."
Anisa menurut saat dibawa masuk ke ruang tengah. Di sana Indra dan Ferry masih duduk berjauhan. Dan saat menyaksikan keduanya tengah menatapnya, Anisa
tak mampu lagi menguasai diri. Dia tidak tahu mana yang Ferry dan mana yang Indra. Dia tak dapat berkata apa-apa. Anisa terkulai pingsan.
Saat melihat tubuh Anisa terhuyung jatuh, Ferry dan Indra serentak bangkit dari duduknya, sementara ibu mereka segera menyangga tubuh Anisa.
"Baringkan dalam kamar Mama," kata Silvia pada dua putranya.
Tanpa berucap apa-apa, Indra dan Ferry membawa tubuh Anisa yang pingsan ke dalam kamar, sementara Silvia berjalan di belakang mereka.
Selesai membaringkan Anisa di tempat tidur, Ferry segera membentak Indra, "Keluar! Biar aku yang mengurusnya!"
Indra menatap Ferry dengan galak. "Kau tidak bisa melakukan itu, Fer!"
"Aku pacarnya, Ndra! Aku yang akan mengurusnya!"
"Tapi aku tunangannya! Aku juga mengkhawatirkan keadaannya!"
Sebelum perang itu kembali meletus, ibu mereka segera menengahi. "Kalian berdua keluar semua," katanya dengan tegas. "Mama yang akan mengurusnya."
Kedua saudara kembar itu pun keluar dengan patuh. Ferry terlihat sangat masam dan jengkel, sementara Indra menunjukkan wajah yang sangat keruh. Silvia
menutup pintu kamar, lalu mendekati Anisa yang terbaring lemas di atas tempat tidurnya.
*** Sebagaimana orang-orang lainnya, Febiola juga telah menyaksikan berita yang mengejutkan itu. Dari kemarin dia asyik duduk di depan televisi di kamarnya,
dan tahu kalau saudara kembar Indra ternyata masih hidup. Dia telah menyaksikan semua berita yang ada.
Jadi Ferry masih hidup, pikirnya sambil tersenyum dan membayangkan informasi yang ia berikan pada Johan pasti sudah basi. Febiola tidak tahu apakah Johan
jadi menerbitkan berita itu di tabloidnya atau tidak, dan itu sama sekali bukan urusannya. Sekarang Febiola memiliki urusan lain yang lebih menggairahkan.
Kalau memang Ferry masih hidup, pikirnya, itu berarti kemungkinan-kemungkinan baru mulai terbuka. Febiola tahu, bahkan yakin, Ferry pasti akan menentang
hubungan Indra dengan Anisa. Jika Indra tak mau memutuskan, maka Anisa pun harus memilih satu dari keduanya. Dia harus menentukan. Ferry atau Indra. Dan
hubungan yang dijalin Anisa dengan Ferry lebih lama serta lebih natural dibanding hubungan yang dijalinnya dengan Indra.
Jika Febiola menempatkan dirinya pada posisi Anisa sebagai sesama perempuan, Febiola membayangkan akan memilih Ferry, karena Ferrylah kekasihnya yang sejati,
cintanya yang pertama. Indra hanya muncul kemudian. Indra hanyalah bagian dari suatu episode cinta yang mengalami kecelakaan tak terduga"sebuah cinta yang
kedua. Jika Anisa kelak akan memilih Ferry, maka Indra mau tak mau harus melepaskannya, tak peduli mereka telah bertunangan. Dan jika Indra benar-benar
melepaskan Anisa, Febiola tahu jalan menuju ke hati lelaki itu mulai terbuka untuknya.
*** Anisa tersadar dari pingsannya dan mendapati Silvia tengah duduk di dekatnya dengan pandangan prihatin. Anisa merasakan kepalanya sangat berat. Dia memegangi
bagian kepalanya yang sakit, dan Silvia melihatnya.
"Kepalamu sakit?" tanya Silvia.
"Rasanya berat sekali," jawab Anisa dengan ekspresi menahan rasa sakit.
"Kau tadi sudah sarapan?"
"Sudah." Anisa menjawab lemah.
"Kau mau minum?"
Anisa mencoba mengangkat tubuhnya agar bisa duduk di atas tempat tidur, namun ia merasakan tubuhnya sangat lemah. Anisa pun kembali terbaring sambil memegangi
kepalanya. Silvia tahu di rumahnya belum tersedia makanan, dan dapur masih kosong. Namun melihat keadaan Anisa yang sangat lemah, dia pun tahu gadis itu harus segera
makan untuk memulihkan tenaganya. Silvia membuka pintu kamarnya, dan berkata pada dua putranya yang masih duduk dengan posisi saling berjauhan. "Carikan
makanan untuk Anisa. Dia lemah sekali," katanya.
Indra dan Ferry segera bangkit dari duduknya dan melesat keluar. Silvia baru menyadari kesalahannya, namun si kembar sudah terdengar ribut di garasi.
Silvia hanya dapat mendesah perlahan, lalu kembali mendekati tempat Anisa berbaring.
"Ibu tahu masalah ini sangat membebani pikiranmu, Anisa," ujar Silvia dengan prihatin. "Ibu juga tahu ini sungguh berat bagimu."
Anisa tak menjawab. Ia masih sibuk dengan rasa sakit di kepalanya.
Silvia kemudian mengambil balsam dan memberikannya pada Anisa. "Mungkin ini bisa meredakan sakit kepalamu."
Anisa menerima balsam itu dan membalurkannya di pelipisnya yang terasa tertusuk ribuan duri. Balsam yang hangat itu pun dirasakannya mulai meresap ke pori-porinya,
namun rasa sakit di kepalanya masih terasa.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka dan Indra serta Ferry berdiri di sana dengan saling menatap galak. Tangan mereka sama-sama membawa bungkusan.
Silvia bangkit dan mengambil bungkusan di tangan mereka tanpa berkata apa-apa, lalu kembali menutup pintu.
Silvia membuka kedua bungkusan itu, mendapati satu bungkusan nasi yang masih hangat dengan masakan yang tampak lezat, sementara bungkusan lainnya berisi
roti dan kue-kue yang terlihat enak. Dia mengeluarkan bungkusan roti dari plastiknya, dan menyodorkannya pada Anisa.
"Makanlah ini dulu, agar badanmu tidak terlalu lemas," katanya.
Anisa kembali mencoba mengangkat tubuhnya dari tempat tidur. Dengan dibantu Silvia, Anisa pun dapat duduk menyandar pada bantal. Dia menerima kotak roti
yang disodorkan kepadanya.
"Ada nasi juga," kata Silvia. "Kau ingin roti atau mau makan nasi?"
"Ini saja," jawab Anisa lemah, "mulut saya rasanya pahit sekali."
Anisa mulai memakan roti yang entah dibawakan siapa, sementara Silvia menyiapkan minum untuknya. Saat Anisa telah merasa cukup, Silvia menyodorkan minum
sambil tersenyum. "Seharusnya kau beruntung, Anisa. Dua-duanya penuh perhatian kepadamu."
Anisa hanya tersenyum lemah.
Silvia melanjutkan, "Ya, seharusnya kau beruntung kalau saja keadaannya lain, tidak seperti ini. Tapi sekarang, kau tentunya kesulitan untuk bisa menentukan
salah satu di antara mereka untukmu."
Anisa menjawab perlahan, "Saya bukan hanya bingung menentukan hal itu, Bu, saya bahkan tidak tahu mana yang Indra dan mana yang... Ferry."
Silvia menyentuh tangan Anisa, dan berkata lembut, "Kau masih mencintai Ferry, Anisa?"
"Saya sangat mencintainya, Bu, dia cinta pertama saya..." jawab Anisa membalas tatapan Silvia.
"Dan Indra...?"
Kali ini Anisa menundukkan kepalanya. "Saya... saya juga mencintainya..."
*** Sejak kepulangan Ferry, jadwal harian Indra yang biasa mengantar dan menjemput Anisa dari tempat kerja pun dihentikan. Kedua orang tuanya dengan tegas
melarang Indra maupun Ferry untuk mendekati Anisa.
"Biarkan Anisa terbebas dulu dari kalian," kata Silvia. "Biarkan dia sendirian dulu untuk menenangkan dan menjernihkan pikirannya. Urusan kalian berdua
membuat Anisa shock dan sangat bingung..."
"Ma," Ferry menyela, "ini sungguh tidak adil! Sejak saya pulang ke rumah, saya sama sekali belum pernah berbicara dengan Anisa, padahal dia pacar saya!"
Indra langsung nimbrung dan menatap galak pada saudara kembarnya. "Gara-gara kau, Anisa jadi terlantar! Seharusnya aku tetap bisa mengantar dan menjemputnya!"
"Itu urusanku, Ndra! Akulah yang sejak dulu melakukan hal itu!" teriak Ferry.
"Tapi itu telah menjadi urusanku sekarang!" balas Indra. "Dia telah menjadi tunanganku!"
Setiap kali mendengar kata "tunanganku", darah Ferry seperti langsung mendidih. Indra tahu bahwa senjata itulah yang selalu mampu membungkam saudara kembarnya.
Ferry cuma sekadar pacarnya, dan dialah yang telah bertunangan dengan Anisa; dialah tunangannya.
Sebelum perang terus berkobar, Silvia segera mengambil alih, "Mama tahu itu tidak adil buatmu, Fer," katanya dengan sabar. "Tapi bagaimana lagi" Anisa
butuh ketenangan saat ini..."
"Ma," potong Ferry lagi. "Tolong beri saya kesempatan satu kali saja untuk bertemu dan berbicara dengan Anisa. Saya telah berpisah dengannya selama setengah
tahun, Ma, setengah tahun! Dan sekarang saya telah kembali, tapi sama sekali belum pernah berbicara dengannya..." Ekspresi wajah Ferry tampak nelangsa.
Silvia mendesah dengan letih. Muladi, ayah mereka, yang semenjak tadi diam kemudian angkat bicara, "Baiklah, mungkin memang keterlaluan kalau Ferry tidak
diberi kesempatan sedikit pun untuk menemui Anisa. Bagaimana pun juga, dia toh tetap pacarnya..."
"Pa!" Indra langsung memotong. "Tapi sekarang saya sudah menjadi tunangan Anisa!"
"Iya, Papa tahu, Ndra, Papa masih ingat," jawab sang ayah. "Tapi coba bayangkan perasaan Ferry, dan berikanlah sedikit pengertianmu untuknya, Ndra..."
"Tapi..." Indra menyela lagi.
Muladi terus melanjutkan, "Biarkan Ferry menemui Anisa satu kali seperti yang dimintanya. Toh hanya satu kali..."
"Itu tidak adil buat saya, Pa!" ujar Indra dengan jengkel. "Saya telah menjadi tunangannya tapi saya tidak boleh lagi bertemu, sementara Ferry diijinkan
untuk bertemu!" "Ndra, ini kan cuma sekali..." kata sang ayah.
"Kalau begitu saya juga harus diijinkan untuk bertemu!"
Kedua orang tua mereka pun akhirnya memutuskan untuk memberikan kesempatan satu kali bagi mereka masing-masing untuk menemui Anisa, dengan catatan penting
dari ibu mereka, "Jangan melakukan apa-apa yang bisa semakin mengacaukan pikirannya. Beban pikiran Anisa sudah terlalu berat, dan Mama tidak ingin kalian
tambah menyiksanya."
Kedua saudara kembar itu akhirnya menyetujui kesepakatan itu meski dengan berat hati. Indra dan Ferry sepertinya masih belum terima, namun mereka sama-sama
tahu keputusan itu sudah cukup baik dan bijak.
*** Seperti yang telah disepakati, keesokan paginya Ferry datang berkunjung ke rumah Anisa. Anisa telah dihubungi oleh Silvia, dan diberitahu bahwa Ferry akan
datang hari ini. Saat membukakan pintu untuk Ferry, Anisa tampak tersenyum dengan kaku. Betapa pun juga, mereka telah berpisah selama setengah tahun, dan Anisa benar-benar
yakin Ferry telah tiada. "Hei," sapa Ferry dengan suara parau menahan perasaannya.
Anisa menjawab sapaan itu dengan sama paraunya, lalu mempersilakan Ferry masuk, dan mereka pun duduk berhadapan di ruang tamu.
"Kau sudah tahu siapa aku, kan?" tanya Ferry.
"Ya, kau Ferry." Anisa mengangguk. "Ibu tadi sudah memberitahu."
Ferry merasakan suatu kepedihan dalam hatinya. Ini bukanlah sambutan seseorang pada kekasihnya. Tidak ada ekspresi rindu. Tidak ada pelukan hangat, tidak
ada dekapan erat. Ya, kau Ferry. Hanya itukah yang diterimanya dari kekasihnya setelah setengah tahun tak bertemu" Ferry merasakan hatinya pedih.
Seperti tahu apa yang tengah dirasakan Ferry, Anisa kemudian bangkit dari kursinya lalu duduk di dekat Ferry dan menyentuh tangannya. "Fer," katanya pelan
sambil menggenggam tangan Ferry, "aku minta maaf atas semua yang terjadi ini. Aku...aku sama sekali tak tahu kalau...kalau..."
"Aku tahu," bisik Ferry menghentikan kebingungan Anisa. Ferry menggenggam jemari yang ada di tangannya, dan merasakan kelembutan yang pernah ia miliki
dulu, yang pernah ia genggam dulu. "Aku tak pernah menyalahkanmu."
"Semuanya terjadi begitu cepat bagiku," kata Anisa lagi, "dan aku... aku seperti tak menyadari apa yang kemudian terjadi... Semuanya... semuanya..." Anisa
tak mampu melanjutkan ucapannya karena kemudian butiran bening mengalir dari matanya tanpa mampu ia tahan.
Ferry semakin erat menggenggam tangan Anisa, tak mampu berkata apa-apa, karena dia pun tengah tersiksa oleh perasaannya sendiri. Dengan perasaan tak karuan,
ditatapnya wajah Anisa yang kini basah oleh air mata. Anisa menjatuhkan kepalanya di tangan Ferry, menangis di sana, dan Ferry merengkuhnya.
"Kau tahu aku sangat merindukanmu, Nis..." bisik Ferry tertahan.
"Kau juga tahu bagaimana hatiku, Fer," jawab Anisa sambil terisak. "Aku... aku tak pernah bermimpi menggantikanmu... Aku..." dan tangisnya pecah kembali.
Ferry semakin erat memeluk kepala Anisa dalam rengkuhannya. Dia tahu tak akan mampu berpisah apalagi ditinggalkan perempuan ini. Dia cinta pertamanya,
dia kekasih sejatinya. *** Tiga hari kemudian, Indra yang datang mengetuk pintu rumah Anisa. Anisa telah mampu mengendalikan diri dari pengaruh pertemuannya dengan Ferry yang sangat
emosional, dan kini membukakan pintu dengan wajah yang biasa.
"Apa kabar, Nis?" sapa Indra dengan senyumnya.
"Baik." Anisa membawa Indra duduk di ruang tamu, persis seperti yang ia lakukan pada Ferry tiga hari sebelumnya.?
Berbeda dengan Ferry, Indra lebih mampu mengendalikan diri. Dia duduk dengan tenang, dan berbicara dengan lebih tenang.
Indra berkata, "Maafkan kalau apa yang terjadi saat ini sangat membebani pikiranmu."
"Aku mengerti," kata Anisa. "Siapa yang menyangka kalau akhirnya akan seperti ini?"
Indra mendesah perlahan, kemudian berkata seperti pada dirinya sendiri, "Apa yang kulakukan dengan Ferry dulu itu mungkin memang benar-benar bodoh..."
"Juga mungkin apa yang telah kita lakukan," sambung Anisa dengan lirih.
Indra menatap Anisa. "Kau tidak bermaksud mengatakan kalau kau menyesali hubungan pertunangan kita, kan?"
Anisa tersenyum letih. "Ndra, aku tidak pernah menyesali apa yang telah terjadi pada kita, sebagaimana aku pun tak pernah menyesal mencintaimu. Tapi...ah,
entahlah..." Anisa menunjukkan wajah yang tertekan dan kebingungan.
Indra bangkit dari duduknya, lalu mengambil tempat di dekat Anisa. "Aku tahu kau pasti sangat tertekan dengan semua yang tengah terjadi ini..."
Anisa mengangguk lemah. "Aku juga tahu kau merasakan perasaan yang sama, Ndra," katanya kemudian.
"Aku mencintaimu, Nis," bisik Indra. "Aku mencintaimu, karena kupikir...aku tidak merebutmu dari siapapun, termasuk dari Ferry... "
Indra menghela napas, kemudian melanjutkan, "Tapi sekarang aku harus bersaing dengan saudaraku sendiri untuk tetap mempertahankanmu... Aku menyadari Ferry
yang pertama hadir dalam hidupmu, tapi aku juga menyadari tak mungkin mampu merelakanmu kepada siapapun, termasuk pada Ferry. Bahkan sekarang aku pun seperti
baru menyadari kalau aku mencintaimu lebih besar dari yang semula kubayangkan..."
Anisa menatap wajah Indra yang tampak tertekan dan tersiksa. "Takdir memang bermain dengan cara yang misterius, Ndra," bisik Anisa dengan parau.
"Ya, dan kita seperti tak berdaya di tangannya..."
*** Pagi itu Indra menerima telepon dari Dimas melalui ponselnya. Sebenarnya, ponsel yang sekarang dipegangnya adalah milik Ferry, karena ponsel miliknya sendiri
dulu dibawa Ferry ke Jakarta dan kemungkinan sudah hancur ketika kecelakaan itu. Ferry juga merasa tak enak untuk meminta kembali ponsel itu karena ia
sendiri telah menghilangkan ponsel milik Indra. Ferry telah menggantinya dengan ponsel yang baru, dan membiarkan Indra masih menggunakan ponsel miliknya.
"Halo, Dim," sapa Indra.
"Ndra!" suara Dimas terdengar ceria. "Senang sekali bisa kembali mendengar suaramu! Tapi ini benar Indra, bukan Ferry?"
"Aku juga senang kau meneleponku," sahut Indra. "Ini benar-benar Indra. Bagaimana kabarmu?"
"Seperti biasa, selalu baik," jawab Dimas. "Kau...?"
"Aku lagi pusing memikirkan apa yang harus kulakukan setelah ini, Dim," Indra menjawab. "Kau tentu tahu bagaimana berita di televisi dan koran-koran..."
"Tentu saja," sahut Dimas. "Aku sudah beberapa kali menghubungi nomor telepon rumahmu, tapi tak pernah ada yang mengangkat."
"Keluargaku sekarang mengungsi ke rumah kami yang lain, karena wartawan tak pernah berhenti berdatangan."
Dimas tertawa. "Kejadian itu benar-benar jadi iklan gratis buatmu, ya!"
Indra pun menjawab dengan tawanya. "Juga menjadi bencana bagi keluargaku!"
"Ndra, seharusnya kau sudah kembali ke Jakarta," lanjut Dimas. "Kau akan terkejut kalau tahu berapa banyak tawaran sinetron dan iklan yang datang untukmu
setelah kejadian ini..."
"Aku masih bingung, Dim."
"Kapan kira-kira kau akan kembali ke sini?"
"Aku belum bisa memastikan. Di sini pun aku masih menghadapi persoalan berat."
"Tapi kau harus kembali, Ndra," kata Dimas menegaskan. "Duniamu ada di sini."
"Aku tahu, tapi saat ini aku belum bisa memutuskan."
"Katakan bahwa kapan pun kau pasti akan datang," harap Dimas.
"Aku juga tak bisa memberikan kepastian semacam itu..."
Saat sedang bercakap-cakap dengan Dimas, Indra melihat Ferry menyelinap ke ruang garasi dan mengambil sepeda motor yang biasa digunakannya. Indra buru-buru
memutuskan hubungannya dengan Dimas, dan segera mengejar Ferry ke ruang garasi.
"Mau kemana kau"!" tanyanya dengan galak.
Ferry menjawab dengan sama galaknya, "Bukan urusanmu!"
"Tentu saja urusanku kalau kau mencoba menemui Anisa!" kata Indra ketus.
"Siapa yang akan menemui Anisa"!" Ferry menjawab dengan sama ketusnya.
Indra masih menatap Ferry dengan tatapan curiga, namun akhirnya dia mengangkat bahu. Dia nanti bisa mengeceknya langsung ke rumah Anisa. Kalau memang Ferry
menemui Anisa, Indra tak akan ragu mengobarkan peperangan di sana.
Karena melihat Indra dan Ferry terus-menerus mengobarkan peperangan, dan karena setiap kali mereka akan keluar rumah pasti salah satunya akan curiga, kedua
orang tua mereka pun semakin pusing. Suasana seperti ini tentu tak bisa dibiarkan terus-menerus. Harus ada langkah penyelesaian. Harus ada upaya untuk
gencatan senjata, bagaimana pun caranya.
Maka, suatu pagi, Silvia pun memutuskan untuk menemui Anisa secara pribadi di rumahnya, untuk membicarakan semua ini dengannya. Ia pun berharap mereka
bisa menemukan suatu cara agar perang yang terus memanas itu bisa didinginkan.
Anisa membukakan pintu untuk Silvia dengan agak terkejut, karena tak menyangka akan dikunjungi. Ia mencium tangan Silvia, kemudian mempersilakannya masuk.
Mereka duduk di ruang tamu, dan Anisa segera pergi ke dalam untuk mengambilkan minum.
"Maaf kalau kedatangan Ibu mengejutkanmu, Anisa," kata Silvia setelah Anisa duduk di hadapannya. "Ibu harus menemuimu karena di rumah Ibu keadaan semakin
menuju perang besar..."
Anisa mengangguk. Ia pun bisa membayangkan apa yang kini terjadi pada Indra dan Ferry. "Saya merasa sangat bersalah, Bu," katanya kemudian. "Sayalah yang
menyebabkan semua ini terjadi..."
"Kau tentu tidak bersalah apa-apa, Anisa," ujar Silvia. "Siapa yang menyangka kalau semuanya akan berakhir seperti ini" Ibu bahkan dulu bersyukur kau mau
menerima Indra, karena Ibu sangat ingin punya menantu sepertimu."
Anisa tersipu. Silvia melanjutkan, "Tapi sekarang semuanya jadi tidak karuan. Ferry merasa lebih berhak atas dirimu, karena hubungan kalian belum pernah
putus, dan Ferry juga masih mencintaimu. Sementara Indra juga merasa memiliki hak yang sama, karena kalian telah bertunangan..."
"Bu, saya memahami persoalan ini tentunya harus segera diselesaikan agar tidak terus berlarut-larut. Saya mengerti Ferry dan Indra tentunya sama-sama merasa
tersiksa dengan apa yang terjadi sekarang, sebagaimana saya pun merasakan hal yang sama." Setelah terdiam sejenak, Anisa melanjutkan, "Saya tentu tak bisa
memilih salah satu di antara mereka, karena saya pun menyadari saya tak dapat memilih salah satunya. Bu, bagaimana kalau saya sama sekali tak memilih satu
pun di antara mereka...?"
Silvia menatap Anisa dengan bingung. "Kau tidak akan memilih satu pun di antara mereka...?"
"Saya tentu tak bisa memilih Ferry karena itu akan menyakiti Indra," ujar Anisa. "Saya juga tak bisa memilih Indra karena itu jelas akan membuat Ferry
menderita. Jadi, apakah Ibu akan mengijinkan kalau saya...mm...meminta hubungan pertunangan saya dengan Indra... di... dibatalkan...?"
Silvia terdiam mendengar pertanyaan itu. Ditatapnya wajah Anisa yang tampak tertekan, dan dia bisa memahami perasaan dan kekacauan pikiran gadis itu. Silvia
lalu menjawab, "Kau tentu punya hak untuk itu, Anisa. Kau punya hak untuk melanjutkan atau membatalkan pertunangan itu. Tapi, apakah kau benar-benar telah
memikirkan keputusan ini?"
"Bu," Anisa menjelaskan, "hubungan yang saya jalin bersama Ferry hanya sebatas hubungan saling mencintai. Di antara kami belum ada ikatan apa-apa seperti
ikatan yang telah menyatukan saya dengan Indra. Kalau pertunangan ini diteruskan, saya merasa pada akhirnya saya tetap harus memilih Indra karena ikatan
yang ada lebih kuat dibanding ikatan perasaan cinta antara saya dengan Ferry. Tetapi Ibu juga tahu saya tak mungkin mampu memilih Indra sementara saya
tahu Ferry akan tersiksa dengan pilihan itu. Lebih dari itu, saya memang tak mampu untuk memilih salah satu di antara mereka..."
Dengan perasaan terharu, Silvia memeluk Anisa dalam dekapannya, dan dengan suara parau ia berkata, "Kau tentunya tahu Ibu akan merasa sangat kehilanganmu,
Anisa." Anisa membalas pelukan itu, dan Silvia melanjutkan, "Jadi, kau benar-benar memutuskan untuk membatalkan pertunangan itu?"
"Saya pikir itu jalan yang terbaik, Bu..." jawab Anisa.
"Kau memang berhak untuk memutuskan," kata Silvia akhirnya. "Dan apapun keputusan yang kaupilih, Ibu berharap itu jadi pilihan yang terbaik untukmu."
Sejak semula Indra tahu Anisa punya hak untuk memutuskan dan menentukan pilihannya sendiri. Sebagai perempuan, Anisa memiliki hati yang berhak untuk memilih
kekasihnya, kawan hidupnya, seseorang yang akan diajaknya menghabiskan hidup. Tetapi ketika mendengar kabar dari ibunya bahwa Anisa telah memutuskan pertunangan
mereka, Indra tetap saja merasa berat mendengarnya. Dengan kalap ia bahkan menyalahkan Ferry atas keputusan itu.
"Kalau saja tidak ada kau!" maki Indra penuh amarah pada Ferry setelah mendengar berita itu. "Kalau saja tidak ada kau, aku sudah menikah sekarang!"
Ferry sedang cukup senang karena pembatalan pertunangan itu. Karenanya dia pun hanya menjawab asal-asalan, "Jangan pernah mimpi, Ndra! Kapan pun hal semacam
itu tak akan terjadi!"
"Seharusnya sudah terjadi!" bentak Indra dengan jengkel. "Tapi kau muncul dan merusakkan semuanya!"
"Seharusnya kau ngaca, Ndra!" sahut Ferry dengan kasar. "Kenapa kau tidak malu merebut pacar saudaramu sendiri"!"
"Aku tidak merebutnya darimu, sialan!" balas Indra sama kasarnya. "Kau sudah mati waktu kami jadian dulu, dan kenapa kau tidak terus mati saja"!"
Ketika Ferry sudah bersiap menerjang ke arah Indra, Silvia sudah terbang dari dapurnya dan segera mengambil posisi di tengah-tengah mereka. Kapan perang
saudara ini akan berakhir"
"Indra, Ferry," kata Silvia dengan jengkel, "Mama sudah capek mendengar kalian ribut terus setiap hari! Kapan sih kalian mau berhenti bertengkar dan berhenti
saling menyalahkan"!"
"Ma..." Indra akan memulai.
Tapi Silvia segera menegaskan, "Sudah, cukup! Mama tidak mau mendengar apa-apa lagi! Mama sudah tidak kuat mendengar kalian ribut setiap hari! Sekarang
kalian masuk ke kamar masing-masing dan tolong, tolong, jangan bikin Mama mendengar keributan lagi!"
Ferry yang pertama meninggalkan ruang tengah itu, dan segera masuk ke dalam kamarnya. Dia sedang merasa cukup senang karena Anisa telah membatalkan pertunangannya
dengan Indra. Setidaknya sekarang posisinya mereka sudah seimbang. Indra tidak bisa lagi menyombongkan diri dan menyebut-nyebut kata terkutuk berbunyi
"tunanganku". Ferry pun yakin cepat atau lambat Anisa akan kembali kepadanya.
Indra melangkah menuju kamarnya di lantai atas ketika yakin Ferry telah masuk ke dalam kamarnya. Dengan perasaan dongkol dia menaiki anak tangga menuju


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamarnya. Indra merasakan pikirannya kacau.
Ketika sedang menaiki anak tangga menuju kamarnya itulah dia mendengar ponselnya bernyanyi. Ponsel itu ada di kamarnya, dan Indra tak terlalu menghiraukan.
Ia masih terus melangkah dengan perlahan, dan berharap siapapun yang meneleponnya sekarang memutuskan panggilan itu. Ia sedang tak ingin menerima telepon
dari siapapun. Tetapi saat ia sampai di kamarnya, ponsel itu masih saja bernyanyi. Indra pun mau tak mau mengambil ponsel itu dan berencana mematikannya. Namun rencana
itu ia batalkan setelah melihat nama Febiola tertera di layar ponsel. Tiba-tiba ia teringat keceriaan perempuan itu...
*** Karena tidak ada yang menjemput untuk mengantarkannya pulang dari tempat kerja, Anisa pun memesan becak langganannya untuk selalu siap di depan tempat
kerjanya saat ia akan pulang. Hal itu membuat Anisa merasa tenang, karena ia tidak akan panik kalau sewaktu-waktu tidak memperoleh becak karena hujan turun
atau karena hal lain. Tetapi becak langganannya itu pun kadang-kadang tidak muncul. Lelaki tua yang biasa mengayuh becak tersebut kadang libur, kadang sakit, atau sedang mengantarkan
orang lain. Maka apabila dealernya tutup dan becak itu tidak ada di depan, Anisa pun tak akan ragu mengundang becak lain"dan seperti itulah yang biasa
terjadi sekarang. Malam itu Anisa telah bersiap untuk pulang, tapi becak langganannya tidak ada di depan dealer. Anisa tahu ia harus mencari becak lain. Maka setelah pintu
dealer ditutup, Anisa pun berdiri di trotoar menunggu becak yang akan lewat.
Berdiri seorang diri di sana, mau tak mau Anisa kembali teringat Ferry. Di saat awal hubungan mereka, Ferry tidak tahu Anisa bekerja di dealer ini. Satu
minggu setelah Ferry menyatakan cinta kepadanya, Ferry berkunjung ke rumahnya pada malam Minggu. Tapi Anisa tidak ada, dan ia hanya diberitahu bahwa Anisa
belum pulang kerja. Besoknya, di kampus, Ferry menanyakan hal itu. Anisa pun menjawab bahwa ia bekerja sepulang kuliah, dan baru pulang jam sembilan malam.
Sejak itulah, Ferry memulai kewajiban itu bagi dirinya sendiri. Setiap pulang dari kampus, Ferry akan mengantarkannya berangkat ke tempat kerja, dan setiap
malam Ferry datang menjemputnya. Kadang-kadang, suatu waktu, mereka bertengkar dan saling marah karena hal-hal tertentu, namun Ferry tetap melakukan kewajiban
itu. Ia tetap mengantar dan menjemput Anisa dari tempat kerjanya, meskipun selama perjalanan mereka hanya saling membisu. Dan sekarang Anisa mengenang
saat-saat itu dengan senyum yang terasa getir. Saat-saat manis yang pernah dilaluinya bersama Ferry kini seperti kenangan yang berubah jadi sembilu.
Anisa menengok jam di tangannya, dan jarumnya telah menunjukkan pukul 21:20. Belum ada becak yang lewat. Anisa masih sabar menunggu. Tapi kemudian gerimis
mulai turun. Semarang masih sering diguyur hujan karena sedang musim penghujan. Anisa merapatkan tubuhnya ke pintu besi di belakangnya, dan gerimis itu
kemudian berubah menjadi hujan yang cukup lebat. Tapi becak yang ditunggu-tunggu belum juga ada yang lewat.
Anisa merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Ini bukan yang pertama kali. Akhir-akhir ini dia semakin sering merasakan sakit di kepalanya. Mungkin karena
beban pikiran yang terlalu berat, pikir Anisa. Dan kini kepalanya juga terasa semakin berat. Anisa pun duduk merapat pada besi dealernya. Mungkin ia memang
menderita anemia seperti yang dulu pernah dikatakan Indra. Ia belum punya waktu untuk memastikan tensi darahnya. Mungkin besok ia bisa datang ke puskesmas
kalau dapat jatah libur. Anisa memegangi kepalanya yang semakin terasa berat. Mengapa setiap kali aku berdiri dan berpikir, kepalaku selalu jadi berat
seperti ini" Hujan terus mengguyur, dan guntur mulai bersahutan. Beberapa kali Anisa menutupi kedua telinganya ketika halilintar menggelegar.
Hujan semakin deras membasahi bumi.
*** Lima kilometer dari tempat Anisa terduduk kesakitan sambil memegangi kepalanya, Indra dan Febiola baru saja menikmati makan malam di restoran tempat mereka
pertama kali makan malam berdua. Kini keduanya berjalan berdampingan, lalu menuju ke mobil masing-masing.
"Terima kasih untuk malam ini," kata Febiola dengan manis. "Aku sangat menikmatinya."
Indra tersenyum. "Aku juga."
Lalu mereka berpisah. Indra memasuki mobilnya, dan Febiola mulai menjalankan mobilnya sendiri menembus hujan, keluar dari halaman parkir swalayan yang
besar itu. Bibirnya menyunggingkan senyum senang.
Febiola terus melajukan mobilnya melewati jalanan yang basah oleh air hujan, dan wiper di depan terus-menerus bergerak menghapus air hujan yang turun membasahi
kaca. Sekali lagi bibirnya tersenyum. Ia tahu, cepat atau lambat akan menikmati hal ini. Febiola yakin pada akhirnya Indra akan jatuh dalam pelukannya.
Saat tadi sore Indra menelepon ke ponselnya, dan mengajaknya makan malam. Febiola tak bisa menahan senyumnya mendengar ajakan itu. Ia tahu saat seperti
itu pasti akan datang. Febiola menerima ajakan itu. Karena kebetulan malam ini ia harus belanja keperluannya di swalayan, Febiola pun minta bertemu di
restoran tempat mereka pertama kali makan malam. Dan sekarang, pikir Febiola, semuanya akan menuju happy ending.
Halilintar menggelegar. Secara spontan Febiola memelankan laju mobilnya. Jalanan yang licin dan hujan yang deras mengguyur membuatnya harus berhati-hati
menjalankan mobilnya. Di saat itulah kemudian tanpa sengaja ia melihat ke sisi kanannya, dan menyaksikan sesosok perempuan yang sedang duduk menyandar
di depan pintu besi sebuah toko sambil memegangi kepalanya. Hei, bukankah ini dealer tempat kerja cewek itu.
Febiola melihat jam digital di dasbor, dan waktu telah menunjukkan pukul 21:52. Apakah cewek tadi itu Anisa"
Febiola merasakan perasaannya tidak enak. Ini memang bukan urusannya. Lebih dari itu, dia juga tidak kenal perempuan itu"Anisa bahkan telah membuat jalannya
menuju Indra terhambat, dan dia merasa antipati dengannya. Tapi saat melihatnya tadi dalam keadaan seperti itu, Febiola merasakan ada sesuatu yang mengusik
dalam perasaannya. Bagaimana kalau itu benar-benar Anisa"
Febiola semakin bimbang, sementara mobilnya terus melaju. Ketika jarak yang telah ditempuhnya sudah cukup jauh dari dealer itu, ia semakin merasakan sesuatu
yang mengusik dalam perasaannya. Seorang perempuan sendirian di bawah hujan lebat larut malam, dan sepertinya sedang kesakitan. Tak peduli itu Anisa atau
bukan, ia merasa harus menolongnya.
Maka Febiola pun menghidupkan lampu sein, melihat kaca spion, kemudian mulai membelokkan mobilnya dan kembali menuju ke dealer tadi. Jaraknya sudah cukup
jauh. Hujan masih deras mengguyur saat mobilnya sampai di sana, dan Febiola masih mendapati sosok tadi. Sosok itu masih terlihat kesakitan dan memegangi
kepalanya. Febiola turun dari mobil, dan tanpa menghiraukan air hujan ia segera mendekati sosok itu.
"Ya Tuhan, kau benar-benar Anisa!" Meski sudah sempat memikirkannya, dia masih juga terkejut saat menyadari sosok yang tengah kesakitan itu memang Anisa.
Febiola melihat kedua matanya terpejam. "Apa yang terjadi denganmu?"
Anisa menyadari kehadiran seseorang di dekatnya, dan mulai membuka matanya. Dia melihat sesosok perempuan yang sepertinya pernah dilihatnya. Tapi dimana"
Kepalanya yang terasa sangat sakit itu mengacaukan semua ingatannya.
"Kau kenapa?" tanya Febiola sambil berjongkok di hadapan Anisa. "Sakit?"
Anisa tak bisa menjawab, ia hanya dapat menganggukkan kepalanya.
"Tidak ada yang menjemputmu?" tanya Febiola lagi dengan serius. "Ferry" Indra?"
Sekarang Anisa ingat siapa perempuan ini. Dia pernah bertemu dengannya saat dulu menjenguk Indra yang sedang sakit. Siapa namanya" Kalau tidak salah ingat,
namanya seperti Febi...Febiola" Ya, perempuan ini pula yang dulu pernah datang ke dealernya dan membeli sebuah ponsel mahal dengan kartu kredit itu.
Febiola yang melihat Anisa kesakitan segera mengambil keputusan. "Sebaiknya aku antar kau pulang sekarang. Kau pasti butuh istirahat."
Anisa merasa ragu-ragu dengan tawaran itu. Apakah dia masih monster seperti yang dulu pernah dipikirnya" "Tidak perlu," jawab Anisa kemudian.
"Tapi ini sudah larut malam," sahut Febiola, "dan kau kelihatan sakit sekali."
"Aku...tidak apa-apa." Anisa masih memegangi kepalanya. "Tidak perlu diantar."
"Kau takut aku menculikmu?" tanya Febiola sambil tersenyum, seperti tahu apa yang dipikirkan Anisa. "Tidak usah khawatir, aku tidak sehoror yang kaubayangkan,
kok." Anisa melihat senyum itu. Juga mendengar ucapannya yang lucu. Tapi dia masih ragu-ragu. Dia tidak terlalu kenal dengannya, dan mengapa perempuan ini bisa
tiba-tiba muncul di depannya seperti keluar dari dasar bumi"
"Kau tahu ini jam berapa?" tanya Febiola lagi. "Sudah hampir jam sepuluh. Kau akan kemalaman kalau tetap di sini. Ayolah, aku antarkan kau pulang. Kau
tampak sakit sekali..."
Akhirnya Anisa pun mulai percaya setelah mendengar ucapan yang tulus itu. "Aku...tidak merepotkan?" tanyanya kemudian dengan lemah.
"Merepotkan sedikit," ujar Febiola sambil masih tersenyum. "Tapi tidak apa-apa, kok. Ayo!"
Anisa mulai bangkit dari duduknya, dan Febiola pun baru menyadari betapa menderitanya sosok di hadapannya. Anisa terlihat kepayahan saat akan mengangkat
tubuhnya sendiri, dan Febiola pun segera membantunya. Lalu dipapahnya Anisa menuju ke mobilnya. Tubuh mereka pun segera basah tertimpa guyuran hujan. Febiola
membukakan pintu mobil, membantu Anisa masuk, lalu menutup pintunya kembali. Ia memutari depan mobil, masuk ke bagian sebelah dan segera duduk di samping
Anisa dengan baju yang terasa makin basah. Febiola melihat Anisa menggigil.
"Kau pasti sakit sekali," kata Febiola saat menghidupkan mesin mobilnya.
"Tidak apa-apa," sahut Anisa lirih. "Sudah biasa, kok..."
"Sudah biasa...?" tanya Febiola terkejut. "Sakit... sudah biasa" Maksudku, kau sudah biasa mengalami sakit seperti ini?"
Anisa mengangguk lemah. Kini mereka mulai melaju menembus guyuran hujan.
"Dimana rumahmu?" tanya Febiola sambil terus melajukan mobilnya.
Anisa tidak menjawab. Febiola kembali mengulang pertanyaannya, dan sekali lagi Anisa tidak menjawab. Febiola memalingkan pandangannya sejenak dari jalanan
di depan dan menengok ke sampingnya, dan seketika ia terkejut melihat wajah Anisa.
"Ya Tuhan, kau pasti sakit sekali!" ucapnya dengan terkejut.
Wajah Anisa sangat pucat, bibirnya gemetar, dan tubuhnya menggigil. Sakit apa sebenarnya yang tengah dideritanya" Febiola jadi ingat istri tetangganya
yang akan melahirkan, dan ia menyaksikan wajah pucat yang sama. Pucat karena menahan rasa sakit yang luar biasa. Apakah cewek ini juga akan melahirkan, eh, maksudnya, apakah dia juga merasakan sakit sebesar itu"
Ketika mobilnya melewati sebuah kedai martabak, tanpa pikir panjang Febiola menghentikan mobilnya dan segera turun. Jangan sampai cewek itu mati di mobilku,
pikirnya panik. "Ada yang masih panas, Bang?" tanyanya pada si penjual martabak di kedai itu.
Si penjual martabak mengangguk dan segera menyiapkan satu martabak untuk dibungkus. Febiola buru-buru mengambil uang di dompetnya dan membayarnya.
"Oh ya, punya teh manis yang hangat?" tanya Febiola lagi. "Teman saya sakit, dalam mobil."
Lelaki penjual martabak itu mengangguk kembali, masuk ke dalam, membuatkan teh hangat manis seperti yang diminta gadis itu, dan memberikannya dalam sebuah
gelas. Febiola segera membawa gelas teh dan bungkusan martabak ke dalam mobilnya.
"Hei, kau belum pingsan, kan?" tanya Febiola pada Anisa yang kini duduk menyandar dengan wajah pucat dan tubuh yang tampak lemah.
Anisa membuka matanya. Pandangannya terasa kabur.
"Sebaiknya kau makan ini dulu," kata Febiola sambil menyodorkan bungkusan martabak yang telah dibukanya.
Anisa seperti ragu-ragu saat akan mengambilnya, namun buru-buru Febiola tersenyum dan menjamin, "Aku tidak ngasih racun apa-apa ke martabak ini, jadi kau
tidak perlu khawatir."
Febiola semakin mendekatkan bungkusan martabak yang masih hangat itu, dan Anisa pun mulai mengulurkan tangannya. Anisa tahu biasanya sakitnya akan sedikit
mereda jika sudah memakan sesuatu. Dikunyahnya irisan-irisan martabak itu dalam mulutnya. Satu demi satu. Febiola masih menyangga bungkusan martabak itu
di depannya. Setelah melihat Anisa merasa cukup, Febiola mengangsurkan gelas teh. Anisa meminum seteguk demi seteguk, merasakan cairan yang hangat dan manis itu mulai
menghangatkan tenggorokannya, menghangatkan wajahnya.
"Mau lagi?" tanya Febiola sambil kembali menyodorkan bungkusan martabak.
"Kau tidak makan?" tanya Anisa.
"Aku masih kenyang," jawab Febiola. "Tapi, ingin juga sih nyicipi martabak ini. Sepertinya enak." Lalu diambilnya dua iris martabak dan dimakannya.
Anisa kembali mengambil irisan martabak itu dan kembali memakannya.
"Aku minta tehnya sedikit ya," kata Febiola kemudian.
Tanpa sadar Anisa tersenyum melihat keceriaan di wajah Febiola.
Setelah meminum sedikit teh itu, Febiola kembali menyodorkannya pada Anisa. "Kau mau minum lagi?"
Anisa pun meminumnya lagi. Beberapa saat kemudian, Anisa merasakan tubuhnya mulai pulih kembali, dan Febiola pun melihat wajah yang tadi sepucat mayat
itu berangsur-angsur memerah kembali.
"Kau butuh obat" Biasanya kau minum obat apa?" tanya Febiola.
"Aku tidak apa-apa, kok," jawab Anisa lemah. "Aku cuma pusing tadi."
"Sekarang masih pusing?"
"Agak berkurang. Tidak sepusing tadi."
"Mungkin kau kena anemia," kata Febiola dengan gaya sok tahu. "Biasanya orang-orang yang kena anemia menunjukkan gejala-gejala seperti itu. Berapa tensi
darahmu?" Anisa menggelengkan kepala. "Belum sempat ngecek."
"Biasakan minum susu, makan sayuran dan buah-buahan," kata Febiola makin sok tahu. "Juga daging..."
"Juga martabak," sambung Anisa dengan senyum yang lemah.
Febiola pun tertawa kecil. "Kau benar-benar sudah tidak sakit?"
Anisa menggelengkan kepala. "Aku memang biasa seperti tadi."
"Kau tidak pernah periksa ke dokter?"
Anisa menggeleng. "Paling cuma telat makan," jawabnya kemudian.
Febiola memandangi wajah Anisa. "Mungkin ada yang tidak beres dengan kepalamu, eh, maksudku, mungkin ada suatu penyakit di kepalamu, kalau kau sering merasa
pusing seperti itu."
Anisa pun tersenyum kembali melihat ekspresi Febiola. "Tidak apa-apa, kok. Paling cuma pusing biasa."
Febiola kemudian turun dari mobil, mengembalikan gelas pada si penjual martabak.
"Berapa, Bang?" tanyanya menanyakan harga teh.
Si penjual martabak hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Kita pulang sekarang?" tanya Febiola setelah kembali duduk dalam mobil.
Anisa mengangguk. "Aku sudah banyak merepotkanmu ya," katanya kemudian dengan tidak enak.
Febiola hanya tersenyum. "Seperti yang kubilang tadi. Sedikit merepotkan, tapi tidak apa-apa. Nah, dimana rumahmu?"
"Nanti kutunjukkan sambil jalan," jawab Anisa.
Febiola mulai melajukan mobilnya, menyusuri jalanan yang basah dari hujan yang belum juga reda. Anisa memandu arah menuju ke rumahnya.
Saat mereka bercakap-cakap dalam mobil malam itu, Anisa maupun Febiola sama-sama heran dengan diri sendiri. Anisa masih ingat bagaimana dia merasa tidak
suka setiap kali melihat kehadiran Febiola ketika ia bersama Indra dulu, dan Febiola pun masih ingat kejengkelan serta antipatinya pada Anisa yang ia anggap
sebagai batu penghalangnya menuju Indra. Tetapi sekarang mereka duduk berdampingan, bahkan sempat bercanda.
"Kok tadi kau bisa mendapati aku di sana?" tanya Anisa yang masih penasaran dengan hal itu. Apakah kau benar-benar keluar dari dasar bumi"
"Aku pas kebetulan lewat, mau pulang," jawab Febiola.
Jadi kau bukan monster, pikir Anisa lagi.
Mereka memasuki komplek tempat tinggal Anisa, dan Febiola terus membawa mobilnya menuju ke rumah yang ditunjukkan Anisa. Kemudian berhenti tepat di depan rumah itu.
"Mau mampir dulu?" Anisa menawarkan.
"Trims," jawab Febiola. "Sudah larut malam, aku harus cepat pulang."
"Aku... terima kasih sekali atas pertolonganmu ini," kata Anisa dengan tulus sambil menatap Febiola.
Febiola mengangguk, dan tersenyum.
Anisa turun dari mobil, dan Febiola pun melajukan mobilnya kembali meninggalkan rumah Anisa.
Pasti ada yang tidak beres dengan kepalanya, batin Febiola sambil membayangkan wajah Anisa.
Ferry benar-benar terkejut ketika ibunya memberi tahu ada seseorang yang meneleponnya. Siang itu dia sedang mendengarkan musik di kamarnya saat ibunya
datang dan memberi tahu ada seseorang menunggu di telepon. Tidak biasanya temannya menelepon ke telepon rumah, pikirnya.
"Siapa, Ma?" tanyanya.
"Tidak tahu," jawab ibunya. "Mungkin teman kuliahmu dulu."
Ferry pun beranjak dari tempatnya, dan menuju meja telepon. Indra mungkin juga sedang berada di kamarnya.
"Halo," sapa Ferry saat handel telepon telah diangkatnya.
"Halo, Ferry?" terdengar suara yang asing di seberang sana.
"Ya, siapa ini?"
"Ini benar Ferry?"
"Ya, ini benar Ferry. Siapa ini?"
"Ini Febi, Fer." Suara itu menyebutkan namanya.
"Siapa...?" Segera pikirannya mengaduk-aduk memori dalam otaknya dan mencari-cari nama Febi.
Suara itu kembali berkata, "Febi. Febiola. Ingat...?"
Sekali lagi Ferry mengaduk-aduk memori dalam otaknya dengan semakin cepat untuk mencari nama itu, namun tetap tak tertemukan. "Maafkan aku, tapi aku tidak
ingat," ucapnya kemudian. Febiola" Apakah nama itu telah terhapus dari memorinya akibat amnesia"
Suara di seberang sana terdengar tertawa kecil. "Masih ingat waktu kau mengantarkan pacarmu ke rumah sakit dulu, kemudian kau bertemu dengan seorang cewek
yang lalu meminta nomor ponselmu" Ingat...?"
Sekarang Ferry memperoleh gambaran yang agak. Sebuah gambaran yang pernah diingatnya tentang suatu waktu, saat ia mengantarkan Anisa ke rumah sakit dari
kampus, dan kemudian bertemu dengan seorang gadis cantik yang menyangkanya Indra. Lalu mereka berkenalan, dan gadis itu meminta nomor ponselnya, dan kalau
tidak salah bernama... Febiola..."
"Oh ya, sekarang aku ingat," kata Ferry kemudian. "Tapi... itu sudah lama sekali, kan?"
Sekali lagi Febiola terdengar tertawa. "Itu belum setengah abad, Fer. Itu baru setengah tahun yang lalu."
"Oh ya, ya..." kata Ferry akhirnya. "Nah, apa kabar setelah setengah tahun?"
"Sebaik setengah tahun yang lalu. Kau?"
"Sama sepertimu," ujar Ferry. "Aku sama sekali tidak menyangka kau akan meneleponku setelah setengah tahun..."
"Fer," Febiola memulai, "tadi malam aku bertemu pacarmu. Kau tentu tahu tadi malam hujan lebat sekali, dan dia tidak bisa pulang karena tidak ada yang
jemput..." "Febi," potong Ferry dengan bingung. "Kau ngomong apa" Siapa yang kau maksud?"
"Aku sedang ngomong tentang pacarmu, Fer. Anisa. Yang kerja di dealer ponsel itu. Oke" Paham?"
"Tapi... bagaimana kau tahu dia" Kau kenal Anisa?" Ferry masih bingung.
"Aku kenal dari Indra," jawab Febiola.
"Jadi kau temannya Indra?"
"Katakan saja begitu, oke?" Febiola meringkas. "Nah, dengarkan, ini menyangkut pacarmu, Anisa, dan ini penting sekali."
"Aku mendengarkan," kata Ferry akhirnya.
"Nah, tadi malam saat aku melihatnya, dia tampak sedang kesakitan. Dia memegangi kepalanya, dan tubuhnya terlihat lemah sekali. Wajahnya juga sangat pucat.
Aku bawa dia pulang, tapi keadaannya bukannya membaik tapi tampak makin buruk, sampai membuatku ketakutan setengah mati. Kami mampir ke kedai martabak,
dia makan dan minum sebentar, lalu tenaganya mulai pulih dan wajahnya juga mulai segar lagi. Lalu kuantarkan pulang sampai ke rumahnya. Kau paham dengan
ceritaku?" "Ya," jawab Ferry. "Sejak dulu dia memang kadang seperti itu."
"Sejak dulu?" tanya Febiola heran. "Kau tahu dia sakit apa?"
"Anisa pernah terkena tipus," kata Ferry yang masih ingat diagnosis dokter saat membawa Anisa ke rumah sakit dulu.
"Mungkinkah orang yang kena tipus sering mengalami gejala seperti yang dialami Anisa?" tanya Febiola lagi.
"Mungkin dia juga kena anemia," jawab Ferry lagi.
"Fer, bukannya aku mau menakutimu, tapi kurasa mungkin ada suatu penyakit di kepala pacarmu itu. Semalam kulihat dia pucat sekali seperti sangat kesakitan.
Itu bukan pusing atau sakit kepala biasa, Fer." Suara Febiola terdengar sungguh-sungguh.
"Kau dokter?" tanya Ferry setelah mendengar diagnosa sok tahu itu.
"Aku fotomodel," jawab Febiola dengan terkikik. "Tapi tetanggaku ada yang pernah menderita gejala seperti Anisa, dan dia ternyata menderita..."
"Apa?" tantang Ferry.
"Sebaiknya kau cari sendiri jawabannya," jawab Febiola. "Yang jelas, dia pacarmu dan ini menyangkut pacarmu."
Setelah meletakkan telepon kembali di tempatnya, Ferry merasakan kacau. Siapa sebenarnya yang barusan meneleponnya"
Di rumahnya, Febiola tengah mencoba baju-baju baru. Tadi malam adalah saat-saat shopping-nya yang paling berkesan. Dia memperoleh baju-baju yang diinginkannya,
dan dia pun menikmati makan malam yang indah bersama Indra. Lebih dari itu, dia bahkan menemukan keberuntungan yang tak pernah disangka-sangkanya.
Febiola tersenyum di depan cermin. Semoga Ferry menindaklanjuti laporannya, ia berharap. Semoga Ferry lebih memperhatikan pacarnya, dan semoga Anisa cepat
kembali pada Ferry, dan... ya, setelah itu Febiola tahu apa yang harus dilakukan. Dia hanya menginginkan Indra. Kalau Anisa telah pasti menjatuhkan pilihannya
pada Ferry, Indra tentu akan lebih mudah diraih.?
Sekali lagi Febiola tersenyum di depan cermin. Tinggal satu baju yang belum dicobanya. Dia menyukai acara shopping-nya tadi malam.
*** Indra terkejut dan sama sekali tak menyangka saat Ferry tiba-tiba membuka pintu kamarnya, dan berdiri di ambang pintu. Mau apa lagi si pengacau ini"
"Ada apa"!" tanya Indra ketus.
"Kau kenal Febiola?"
"Kenapa"!"
"Ceritakan tentang dia," kata Ferry ringkas.
"Itu bukan urusanmu," jawab Indra pendek.
"Aku butuh tahu siapa dia."
"Kenapa harus aku yang menjelaskannya"!"
"Karena kau kenal dia, kan?"
"Dari mana kau tahu aku kenal dia?" Indra balik bertanya.
"Dari Febiola!"
"Nah, kenapa kau tidak tanya saja pada Febiola"!"
Ferry jadi jengkel. "Minta nomor ponselnya!"
"Tanya ke orangnya sendiri, dong!"
"Itu ponselku, Ndra!" Ferry menunjuk ponsel yang ada di kamar Indra. "Aku mau lihat phonebook di ponselku!"
"Ini memang ponselmu," jawab Indra dengan galak. "Tapi kau tidak pernah memasukkan nomor Febi ke dalam phonebook-mu!"
Ferry tersentak. Ia baru ingat sekarang. Dulu dia tidak pernah memasukkan nomor ponsel Febiola ke dalam phonebook ponselnya.
"Jadi," lanjut Indra dengan suara yang masih ketus, "kalau kau butuh nomor ponselnya, tanya sendiri ke orangnya!"
*** Begitu Ferry lenyap dari depan kamarnya, Indra termenung. Mengapa tiba-tiba Ferry bertanya tentang Febiola" Apa yang telah dilakukan perempuan itu sampai membuat Ferry teringat kepadanya"
Indra meraih ponsel di dekatnya dan mencari nomor Febiola dalam phonebook ponselnya. Dia perlu tahu apa yang telah dilakukannya hingga Ferry jadi teringat kepadanya.
Tapi setelah pencariannya sampai pada nama Febiola di phonebook ponsel itu, Indra mengurungkan niatnya. Percuma saja, batinnya. Kalaupun dia bertanya,
Febiola pasti punya seribu satu jawaban dan penjelasan yang bisa saja melenceng jauh dari kenyataannya. Perempuan itu bisa membuat lelaki jenius sekalipun menjadi idiot.
Tapi apa yang telah dilakukan Febiola sampai membuat Ferry penasaran seperti itu, batin Indra penasaran. Pasti ada sesuatu. Ada sesuatu yang telah terjadi,
yang melibatkan Febiola dengan Ferry atau... seseorang yang mungkin kenal dengan Ferry, hingga kemudian Febiola menghubungi Ferry. Tapi siapa..."
Indra mencari jawabannya.
Ferry gelisah di dalam kamarnya, sementara kedua matanya seperti lekat pada jam di dinding. Pukul 20:48. Ferry tahu sesaat lagi Anisa akan pulang dari
tempat kerjanya. Ia masih terngiang-ngiang cerita Febiola tadi pagi, dan sekarang Ferry mengkhawatirkan Anisa. Ferry tidak menyangka Anisa masih sering
mengalami pusing-pusing yang parah seperti itu. Sejak pulang dari Jakarta, hanya satu kali ia bertemu Anisa, dan sama sekali tak punya kesempatan untuk
menanyakan kondisi kesehatannya.
Ferry kembali menatap jam dinding. Jarumnya terus bergerak. Ia mengkhawatirkan Anisa, dan lebih dari itu, ia merasa sangat merindukannya. Sudah berapa
lama dia tak bertemu Anisa" Seminggu" Sebulan" Ferry merasakannya satu abad atau satu milenium.
Jarum jam terus bergerak. Waktu terus merambat. Ferry akhirnya bangkit dari tempat tidurnya dan bertekad untuk menemui Anisa. Dia masuk ke garasi, membuka
pintunya, dan mengeluarkan sepeda motornya. Sesaat kemudian, ia telah melaju meninggalkan rumahnya, merasakan hawa dingin udara mendung.
*** Ketika mendengar pintu garasi terbuka dan suara motor Ferry keluar, Indra langsung meloncat dari tempatnya. Pasti si pengacau itu! Jadi mungkin inilah
jawaban mengapa Ferry tadi pagi bertanya soal Febiola, pikirnya, dan dia telah mengambil kesimpulan ini pasti berhubungan dengan Anisa.


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Indra pun berlari memasuki garasi, dan tanpa pikir panjang langsung mengeluarkan mobilnya. Langit tampak gelap. Dia harus buru-buru.
Ketika Indra sudah duduk dan akan menghidupkan mesin mobil, ibunya muncul dan mendekatinya.
"Mau kemana, Ndra?" tanya Silvia dengan tatapan tidak enak.
"Menyusul Ferry," jawab Indra singkat sambil menghidupkan mesin mobil.
Silvia mendesah dengan khawatir, tapi Indra tak melihatnya karena telah melaju bersama mobilnya.
Ketika dia membawa mobilnya dengan cepat melaju di jalanan, matanya mulai menangkap sosok Ferry yang juga masih melaju di depannya. Rupanya dia benar-benar
akan menemui Anisa! Indra pun mempercepat laju mobilnya, tak peduli suara klakson yang memarahinya.
Ferry tampak melaju di tengah jalan, dan Indra segera mengambil posisi di kirinya. Laju dua kendaraan itu pun akhirnya berdampingan. Ferry kini menyadari
Indra telah berada di sampingnya.
Indra membuka kaca mobil dan berteriak, "Kalau kau mencoba menemui Anisa, aku tak akan ragu menabrakmu!"
"Dia pacarku, brengsek!" maki Ferry dengan marah.
"Dia juga pacarku!" Indra tak mau kalah.
Ferry memacu motornya dengan cepat, dan Indra mengejar di belakangnya. Tapi hujan kemudian turun, tanpa gerimis yang terlalu lama. Di bawah guyuran hujan
yang lebat dan jalanan yang menjadi licin, mau tak mau Ferry harus melambatkan laju motornya. Maka motor yang pada mulanya melaju kencang itu pun mulai
melambat, dan Indra kini melaju di depannya. Ferry mengutuk saat menyaksikan Indra melaju mendahuluinya. Mengapa tadi aku tidak bawa mobil saja"
Indra sampai di dekat tempat kerja Anisa, tapi merasa ragu-ragu untuk mendekati dealer itu. Jam tangannya hampir menunjuk ke angka sembilan. Dealer itu
sesaat lagi akan tutup. Indra memarkir mobilnya di tempat yang cukup dekat dengan dealer itu, namun tidak mendekatinya. Bagaimana pun juga dia telah melarang
Ferry melakukan hal itu, dan dia tak mau konyol dengan melanggar ucapannya sendiri. Tetapi jika Ferry nanti benar-benar terlihat mendekati dealer itu,
Indra merasa tak akan ragu menabraknya.
Ferry muncul tak lama kemudian, dan melihat mobil Indra yang parkir tak jauh dari dealer Anisa. Jadi dia tidak melanggar ucapannya sendiri, pikir Ferry
sambil mencari tempat yang bisa digunakan untuk berteduh. Dia juga tidak akan mendekati tempat kerja Anisa selama Indra tetap menjaga jarak dengan tempat
itu. Tetapi jika Indra mencoba mendekat kesana, Ferry tak akan ragu berperang dimana pun.
Tempat berteduh yang dicari Ferry tidak ada. Dia pun akhirnya nekat berhenti di pinggir jalan, dengan air hujan yang terus turun membasahi tubuhnya. Biar
saja, toh tadi sudah kehujanan, pikirnya.
Saat jarum jam menunjuk angka sembilan, dealer itu pun tampak mulai ditutup. Beberapa karyawan terlihat keluar dari sana, dan berdiri di depan pintu dealer.
Ferry melihat Anisa di antara mereka.
Tiba-tiba hatinya terasa hangat. Air hujan yang mengguyur tak lagi dirasakannya. Dia hanya merasakan suatu kehangatan, rasa hangat di dasar hatinya, karena
bisa menyaksikan orang yang paling dirindukannya.
Tanpa sadar Ferry menghidupkan mesin motornya untuk menemui Anisa, namun kemudian ia melihat Anisa menaiki becak yang sejak tadi berada di sana. Anisa
terlihat melambaikan tangannya pada seorang kawannya, kemudian duduk dalam becak yang tertutup. Anisa sama sekali tak menyadari keberadaan Ferry.
Ferry terpaku. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya; seperti badai yang menerjang, seperti gelombang yang bergulung. Pandangannya mengikuti laju
becak yang membawa Anisa menembus hujan, berjalan perlahan-lahan di bawah guyuran air, dan Ferry tahu... seseorang yang amat dicintai dan dirindukannya
ada di sana. Ferry mengusap air hujan yang terus turun membasahi wajahnya.
*** Keesokan paginya, seusai sarapan, Indra sudah bersiap akan pergi. Ferry dan ibunya masih duduk di meja makan. Ketika melihatnya keluar dari kamar dengan
pakaian rapi, Silvia menegurnya, "Mau kemana lagi, Ndra?"
"Mau menemani Febiola, Ma," jawab Indra. "Dia ada acara fashion hari ini."
"Pagi-pagi begini?" tanya Silvia tak percaya.
"Acaranya nanti siang, tapi dia ngajak ke tempat lain dulu." Indra menjelaskan.
Setelah Indra berlalu, Ferry membuka suara, "Ma, siapa sih Febiola itu?"
"Teman Indra," jawab Silvia. "Kau tidak kenal?"
"Ya kenal. Dulu pernah bertemu di rumah sakit, tapi saya tidak ingat lagi." Ferry lalu bertanya, "Apa mereka pacaran?"
Silvia tersenyum melihat Ferry yang tampak berharap. "Mama tidak tahu, Fer," jawabnya kemudian. "Dulu Febiola kadang datang ke rumah waktu Indra sakit,
tapi sekarang jarang muncul."
Jadi rupanya perempuan itu pernah datang ke rumah, pikirnya. "Mereka benar-benar tidak pacaran?" tanya Ferry lagi.
Sekali lagi ibunya tersenyum. "Tidak. Dulu Mama pernah tanya ke Indra, tapi dia lebih memilih Anisa..."
Ferry segera saja terdiam.
"Fer," kata ibunya kemudian, "tadi malam kau menemui Anisa?"
Ferry menggelengkan kepala. "Rencananya begitu, tapi Indra juga kesana."
Silvia mendesah perlahan.
Seperti tahu yang tengah dipikirkan ibunya, Ferry lalu menuturkan, "Ma, kemarin Febiola entah siapa itu menelepon saya, Mama ingat" Cewek yang menelepon pagi-pagi itu."
Ibunya mengangguk. Ferry melanjutkan, "Febiola memberi tahu, kemarin malam dia menemukan Anisa sedang kesakitan di depan tempat kerjanya yang sudah tutup. Lalu Febiola mengantarnya
pulang. Menurutnya, Anisa tampak kesakitan sekali. Itulah kenapa tadi malam saya bermaksud kesana, untuk memastikan Anisa baik-baik saja..."
Sekali lagi Silvia mendesah perlahan, kemudian berkata dengan sama perlahannya, "Fer, Mama tahu perasaanmu. Mama bisa memahami yang kaurasakan. Kalau bisa,
Mama pun ingin kau dapat melanjutkan hubunganmu dengan Anisa seperti dulu. Tapi... Mama benar-benar bingung mengurusi persoalan ini. Indra juga tidak mau
mengalah. Dia juga tetap menginginkan Anisa..."
Ferry berkata, "Ma, jujur saja, saya merasa tersiksa dengan semua ini. Saya kan pacar Anisa. Kami belum pernah putus, juga tidak ada masalah apa-apa yang
menyebabkan bubarnya hubungan kami. Jadi, mengapa saya tidak bisa menemuinya?"
"Fer," kata Silvia, "jangan lupakan Indra. Dia juga berpikir sama sepertimu."
"Tapi hubungan pertunangan itu kan sudah dibatalkan, Ma," Ferry masih bersikukuh. "Indra sekarang tak punya hubungan apa-apa dengan Anisa."
Ibunya menjawab, "Pertunangan itu dibatalkan karena Anisa menenggang pada perasaanmu. Tetapi itu bukan berarti Indra sudah tak merasa punya hubungan lagi
dengan Anisa. Dia juga mencintai Anisa seperti kau mencintainya."
"Mengapa sih harus ada pertunangan itu?" tanya Ferry dengan ekspresi kesal.
Tetapi ibunya hanya menepuk-nepuk tangannya dan menjawab lembut, "Mengapa sih dulu harus pakai acara tukar tempat itu...?"
Indra memasukkan mobilnya ke halaman rumah Febiola yang telah terbuka gerbangnya. Saat turun dari mobil, Indra melihat ibu Febiola sedang asyik mengurusi
tanaman di depan rumah. "Nak Indra!" sapa Andini, ibu Febiola, dengan hangat dan ceria saat melihat siapa yang datang. Ia segera meninggalkan kesibukannya. "Atau Nak Ferry?"
"Indra," jawab Indra tersenyum. "Apa kabar, Tante?"
"Baik-baik saja!" Andini tersenyum lebar. "Tante senang sekali melihatmu datang. Nah, kemana saja selama ini sampai Tante tidak pernah melihatmu lagi?"
Indra bingung menjawabnya, tapi kemudian mengatakan, "Kami sekeluarga lagi mengungsi, Tante."
"Mengungsi?" Andini terkejut dan seperti tidak paham maksud.
Indra tersenyum, lalu menjelaskan, "Iya, kami pindah ke rumah kami yang lain, karena banyak wartawan yang datang ke rumah kami. Saya jadi jarang keluar."
Mendengar penuturan itu, Andini pun segera menarik tangan Indra untuk duduk bersama di kursi taman. Kemudian wanita yang selalu tampak ceria itu bercerita
panjang lebar tentang keterkejutannya saat mendengar saudara kembar Indra yang ternyata masih hidup, tentang pertukaran tempat itu, dan segalanya, dan
sebagainya. Indra duduk dengan tenang dan sabar mendengar semua celotehnya.
"Itu benar-benar kisah yang seru," kata Andini kemudian. "Pasti akan hebat sekali kalau dibikin sinetron, dan kau bersama saudaramu itu yang jadi pemainnya!"
Indra hanya tersenyum dan mengangguk.
Febiola muncul dari dalam rumah ketika ibunya masih asyik bercakap-cakap dengan Indra di kursi taman.
"Tuh, kan," ujar Febiola sambil tersenyum. "Dari tadi Febi sudah menyangka, Mama pasti menahan Indra di sini."
Andini tertawa dan menatap putrinya. "Mama tuh jadi lupa segalanya, Feb, kalau sudah bertemu idola Mama!"
Febiola kemudian mendekat ke tempat Indra dan ibunya, lalu ikut duduk di sana.
"Kenapa bukan kau yang mengurusi tanaman?" tanya Indra pada Febiola.
"Aku sih mau-mau saja, tapi Mama yang tidak mau," jawab Febiola.
"Iya, Nak Indra," sambung Andini. "Tante tuh tidak yakin kalau bukan Tante sendiri yang mengurus tanaman-tanaman ini. Makanya, biar sesibuk apapun, Tante
selalu menyempatkan waktu untuk tanaman kesayangan Tante ini..."
Setelah itu Andini pun sibuk kembali dengan tanamannya, sementara Indra dan Febiola masih duduk di sana.
"Kau jadi ada acara nanti siang, Feb?" tanya Andini sambil terus asyik dengan tanamannya.
"Jadi, Ma," jawab Febiola. "Tapi kami mau keluar dulu. Indra ngajak ke kolam pemancingan. Ingin ikan bakar, katanya."
"Tante juga suka ikan bakar?" tanya Indra pada ibu Febiola.
Febiola langsung tertawa. "Kalau Mama sih tidak usah ditanyai lagi, Ndra! Itu masakan favoritnya!"
Indra pun tertawa sopan. "Ya sudah, nanti kita bawakan buat oleh-oleh."
Saat mereka berdua berpamitan untuk pergi, Andini tampak tersenyum lebar. Bagaimana rasanya punya menantu seorang artis"
Ketika matahari telah berada di puncaknya, Semarang terasa hangat setelah hujan yang semalam turun. Saat berencana akan mencuci motornya di garasi setelah
semalam kehujanan, Ferry baru ingat Indra sedang keluar. Mobilnya tidak ada, dan tadi dia mengatakan siang ini ada acara fashion yang akan diikuti oleh
Febiola. Jadi Indra tidak akan pulang sampai nanti. Dia akan bersama cewek itu.
Saat melihat jam menunjukkan pukul satu siang, Ferry pun mengurungkan niatnya untuk mencuci motor. Kalau sekarang dia menemui Anisa, tentu Indra tak akan tahu.
Ferry kembali ke kamarnya, berganti baju, kemudian mengeluarkan motor dari garasi.
Ketika sampai di depan rumah Anisa, Ferry merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia merasa seperti sedang mengunjungi pacarnya pertama kali. Ferry
pun melangkah menuju pintu dengan perasaan yang tak karuan.
Anisa sangat terkejut ketika membuka pintu dan melihat sosok yang berdiri di sana.
"Si... siapa?" tanya Anisa dengan bingung, karena tidak tahu itu Ferry atau Indra.
Ferry tersenyum. "Ferry," jawabnya kemudian.
"Ferry!" pekik Anisa tanpa sadar. "Oh, ya Tuhan, aku sempat berpikir kita tak akan bertemu lagi!"
Mereka duduk di ruang tamu, seperti dulu, seperti yang pernah mereka alami. Ferry sangat menikmati saat pertemuan ini. Ditatapnya wajah Anisa dengan penuh
kerinduan. Sudah berapa abad dia tidak menyaksikan wajah yang lembut itu"
"Bagaimana kabarmu, Fer?" tanya Anisa sambil menatap Ferry.
"Baik," jawab Ferry. "Menurutmu, sudah berapa abad kita tak bertemu?"
Anisa tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Indra tahu kau kesini?" tanyanya kemudian.
Ferry menggeleng. "Dia sedang keluar." Lalu ketika menyadari jarum jam hampir menunjuk angka dua, ia pun bertanya, "Nis, kau berangkat kerja hari ini?"
Anisa mengangguk. "Iya."
"Kau mau kalau aku mengantarkanmu?"
"Tentu saja aku senang," jawab Anisa. "Tapi bagaimana kalau Indra atau mamamu tahu?"
Ferry terdiam. "Kau tidak perlu merisaukannya," jawabnya kemudian. "Aku yang tanggung jawab seandainya ada yang tahu."
Anisa pun akhirnya mengangguk meski masih bimbang.
Mereka pun lalu berboncengan dengan motor Ferry, menuju ke tempat kerja Anisa.
"Kau tahu, aku sudah lama sekali merindukan saat seperti ini," kata Ferry sementara motor mereka melaju.
Aku juga, batin Anisa. Tapi ia hanya berbisik lirih, "Aku tahu..."
Ferry ingin lebih lama menikmati saat-saat yang indah itu. Ia pun sengaja melambatkan laju motornya. Dia tidak ingin segera sampai ke tujuan.
*** Setelah menikmati makan siang dengan ikar bakar yang lezat di kolam pemancingan, Indra dan Febiola kini bersiap-siap untuk berangkat kembali menuju ke
tempat diadakannya acara fashion yang akan diikuti Febiola.
Andini tak henti-hentinya menampakkan senyum lebar dan wajah yang penuh kebahagiaan menyaksikan segala yang terjadi hari ini. Dan ketika putrinya kembali
berpamitan bersama Indra untuk berangkat ke acara fashionnya, Andini pun tak lupa mengatakan, "Sering-sering main ke sini, Nak Indra. Tante senang sekali
melihatmu datang..."
Indra memberikan senyumnya yang selalu membuat sang ibu senang, dan mengangguk dengan penuh kesungguhan. Bukankah menyenangkan punya ibu mertua seperti
itu" Ketika sudah bersiap menghidupkan mesin mobil, Indra bertanya pada Febiola, "Sudah tidak ada yang ketinggalan?"
"Tidak ada." Febiola menjawab.
"Yakin?" tanya Indra sambil tersenyum menatap wajah di sampingnya.
Febiola tertawa kecil. "Kenapa kau jadi ceriwis begitu?"
Indra pun menghidupkan mesin mobil sambil tertawa riang. "Aku cuma khawatir kau baru ingat sesuatu di tengah jalan, lalu minta pulang kembali untuk mengambil
yang ketinggalan." "Tidak usah khawatir," ujar Febiola meyakinkan. "Tidak ada yang ketinggalan. Termasuk hatiku."
*** Dari arah jalan yang berbeda, Ferry sedang tertawa saat membicarakan sesuatu dengan Anisa yang duduk di belakang jok motornya. Anisa juga menampakkan ekspresi
yang sama bahagianya. Kapan terakhir kalinya aku merasa bahagia seperti ini"
"Nis," kata Ferry kemudian, "nanti malam aku jemput, ya."
Anisa, yang sangat menikmati kebersamaannya kembali dengan Ferry, segera saja menyahut, "Iya."
Ferry pun bertekad akan datang menjemputnya, apapun yang terjadi.
*** Di dalam mobil yang terus melaju, Indra dan Febiola sedang bersenandung mengikuti suara Elthon John menyanyikan lagu klasiknya, Can You Feel The Love Tonight,
yang mengalun pelan.? "Kau juga suka lagu ini?" tanya Indra saat lagu memasuki reffrain.
"Ini salah satu favoritku," jawab Febiola, "sejak pertama kali mendengarnya."
"Kau juga suka Elthon John?"
"Ya," Febiola tersenyum menggoda, "kalau saja dia mau menyukaiku."
Lampu merah menyala saat mereka sampai di perempatan jalan. Indra menghentikan laju mobilnya di dekat zebra cross, dan menunggu lampu hijau kembali menyala.
Bibirnya masih menyanyi mengikuti suara Elthon John.
Tiba-tiba Indra tersentak. Bibirnya terhenti seketika dari lagu yang tengah dinyanyikannya. Di depannya, dia melihat Ferry juga sedang berhenti di belakang
zebra cross bersama seseorang di belakangnya. Tanpa harus menyaksikan siapa perempuan yang membonceng Ferry, Indra sudah bisa memastikan itu Anisa.
Saat lampu hijau menyala, Ferry tampak melajukan motornya, berbelok ke arah kanan. Itu benar-benar Anisa, pekik Indra dalam hati saat melihat wajah perempuan
di belakang Ferry. Indra seperti terpaku di tempatnya. Dia tidak sadar lampu hijau telah menyala, dan dia tidak juga menjalankan mobilnya. Suara klakson
dari belakang terdengar bersahutan. Indra masih merasa terpaku di tempatnya.
Dia bahkan tidak tahu Febiola tengah tersenyum di sampingnya sambil masih menyanyikan can you feel the love tonight.
*** Satu-satunya hal yang ingin dilakukan Indra begitu pulang adalah melabrak saudara kembarnya. Karenanya, begitu sampai kembali ke rumahnya menjelang maghrib,
Indra segera berlari menuju ke kamar Ferry dan langsung membuka pintunya dengan kasar. Ferry baru saja mandi dan sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk,
dan ia terkejut melihat pintu kamarnya dibuka secara kasar.
"Apa yang kaulakukan tadi siang"!" labrak Indra langsung.
"Bukan urusanmu!" balas Ferry dengan wajah jengkel. Kenapa kau mendobrak pintu kamarku dan bertanya tanpa sopan-santun"!
"Tentu saja urusanku!" kata Indra dengan galak. "Kau menemui Anisa!"
Oh, jadi kau melihatnya! "Ndra! Kau kencan dengan Febiola seharian!" ujar Ferry dengan ekspresi muak. "Apa salahnya kalau aku menemui Anisa"!"
"Dengar, Fer. Kau juga boleh kencan dengan cewek mana pun, tapi kau tidak bisa menemui Anisa!"
"Itu urusanku, Ndra! Dia pacarku!"
"Tapi dia tunanganku!" Indra lalu segera meralat, "Dia mantan tunanganku!"
"Mantan!" cibir Ferry dengan ekspresi makin muak. "Mantan yang tidak tahu malu! Terus-menerus menganggap mantan sebagai miliknya!"
"Dia tetap milikku, Fer!" Indra berteriak marah. "Pertunangan kami tidak akan bubar kalau saja kau tidak muncul!"
Ferry membalas dengan sama marahnya. "Hubunganku dengan Anisa tidak akan kacau seperti ini kalau saja kau tidak merusaknya!"
"Aku tidak merusak, sialan!" teriak Indra dengan jengkel. "Kau sudah tidak ada waktu kami berhubungan!"
"Tapi kau tahu dia pacarku! Dan sekarang aku sudah ada, mau apa"!"
Keributan itu terdengar oleh ibu mereka yang saat itu sedang ada di kamar mandi. Buru-buru Silvia keluar dengan rambut yang masih tampak basah, dan segera
menengahi dengan ekspresi marah campur lelah.
"Ya Tuhan, kapan sih kalian bisa tidak ribut sehari saja"! Setiap hari selaluuu saja ada yang dipermasalahkan! Mama sudah capek, Fer, Ndra! Mama sudah
tidak kuat melihat kalian berantem terus setiap hari!" Kemudian Silvia menatap Indra dengan galak. "Ndra, tinggalkan kamar Ferry!"
"Ma, dia tadi menemui Anisa!" Indra mencoba bertahan.
Silvia yang sudah sangat lelah menjawab tegas, "Sekarang tinggalkan kamar Ferry!"
Dengan wajah jengkel, Indra pun menuruti perintah ibunya. Tapi sebelum meninggalkan tempat itu, Indra masih sempat mengancam saudaranya, "Kalau kau menemui Anisa lagi, kau akan tahu risikonya!"
Ferry sudah akan menjawab dengan sama marahnya, namun ibu mereka sudah menarik Indra dari tempat itu, sekaligus menutup pintu kamar Ferry.
Ferry merasakan air hujan yang turun semakin deras mengguyur tubuhnya, namun dia terus menjalankan motornya meski perlahan. Dia tetap harus menjemput Anisa.
Mengapa tadi dia lupa untuk membawa mobil saja" Apakah sekarang dia telah membawa jas hujan"
Ferry terus memacu gas di tangannya, berharap segera sampai di tempat kerja Anisa. Jaraknya kini sudah tak terlalu jauh. Sesaat lagi dia akan menjumpai
kekasihnya. Ferry mengusap wajahnya yang sangat basah oleh air hujan.
Hujan terus membasahi wajahnya.
*** Dealer ponsel itu kini sudah tutup, dan Anisa berdiri sendirian dengan tubuh yang semakin terasa lemah. Kawan-kawan sekerjanya sudah pulang, dan sekarang
Anisa sendirian. Seperti yang ia takutkan sejak tadi, becak langganannya tidak ada, sementara hujan sangat deras mengguyur. Ferry..." Apakah dia juga tidak datang"?
Anisa mencoba duduk bersandar pada pintu besi dealernya, untuk meredakan sakit kepalanya, dan berharap tubuhnya masih kuat menopang kesadarannya. Dia tidak
boleh pingsan. Anisa menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Dia harus bernapas dengan teratur. Dengan teratur... agar tidak pingsan... dia
tidak boleh pingsan... Sekali lagi petir menggelegar, halilintar mengguncang.
Rembulan sudah tak ada. Dan langit menangis.
Airnya jatuh ke bumi. Sebagian memercik ke tubuh Anisa.
*** Indra terus memacu mobilnya, tak lagi peduli hujan yang turun, tak peduli aspal yang licin. Dia hanya ingin segera menemukan Ferry.
Wiper di kaca mobilnya terus bergerak, dan Indra terus mempercepat laju mobilnya. Jalanan tak terlalu ramai karena hujan yang deras mengguyur, hingga Indra
bisa memacu mobilnya dengan cepat. Ketika jarum speedometer semakin merangkak naik, Indra mulai melihat sosok yang dicarinya. Di depannya, tampak Ferry
tengah melaju dengan motornya.
Meski pandangannya sedikit terhalang kaca yang agak buram dan wiper yang terus bergerak, Indra yakin sosok itu memang Ferry. Jarak mereka kini sudah tak
terlalu jauh dengan dealer tempat kerja Anisa. Indra pun semakin bernafsu menekan pedal gas, dan mobilnya terasa terbang di atas jalanan yang licin.
Langit tampak terbelah ketika kilat menyambar dengan terang.
Sekali lagi Indra tak mempedulikannya.
*** Silvia berada di lantai atas rumahnya, tengah asyik melipat kain-kain batik yang tadi sore diantarkan dari pabrik. Ketika mendengar suara telepon yang
berdering-dering, dia tak terlalu menghiraukannya, karena berpikir Indra atau Ferry pasti akan mengangkatnya. Tetapi lama sekali telepon itu berdering,
dan belum juga ada yang mengangkat. Apakah Ferry sudah tidur" Apakah Indra tidak mendengar"
Silvia pun turun dengan sedikit tergesa untuk menerima telepon itu. Dia tidak sempat mengecek kamar Indra ataupun Ferry.
"Halo," sapa Silvia saat menerima telepon itu.
"Selamat malam," suara di seberang sana. "Ferry ada, Tante?"
"Ferry" Sebentar ya," jawabnya Silvia, lalu melangkah ke kamar Ferry. Apakah anaknya itu telah tertidur karena di luar hujan"
Ferry tidak ada di kamarnya. Silvia mencoba mencarinya ke ruangan lain, namun tetap tidak ada. Saat memeriksa garasi, tahulah Silvia kalau Ferry sedang
keluar. Sepeda motor yang biasa digunakannya tidak ada.
Juga mobil. Apakah Indra juga keluar" Nanti akan diceknya kamar Indra. Kemana anak-anaknya"
Buru-buru didekatinya pesawat telepon untuk menjawab si penelepon. "Halo, Ferry-nya tidak ada, mungkin sedang keluar," kata Silvia. "Ini dengan siapa?"
Suara petir di langit yang menjawabnya.
Penelepon di seberang sana sudah menutup teleponnya.
Ferry sudah mendekati tempat kerja Anisa, dan matanya menangkap sesosok perempuan yang tengah memegangi kepalanya sambil berjongkok di depan pintu dealer
itu. Ya Tuhan, itu Anisa! Ferry pun bersiap untuk menepi ke arah kanan jalan, dan telah menyalakan lampu sein di motornya. Tetapi kemudian sebuah mobil
dari belakang menerobos jalan yang akan dilewatinya, dan motor Ferry pun terserempet dengan keras. Ferry tak mampu menguasai motornya. Dia jatuh bersama
motornya. Ketika terbangun dari jatuhnya, Ferry baru menyadari siapa yang telah menyerempetnya. Mobil itu kini menepi ke kiri jalan. Dan Indra ada di dalamnya.
Dengan penuh amarah, didekatinya mobil yang kini berhenti itu. Dan ketika Indra keluar dari mobilnya, Ferry segera melayangkan tinjunya.
Hujan deras terus mengguyur.
Indra merasakan bibirnya pecah. Tapi dia tahu bagaimana membalasnya.
*** Anisa masih terduduk dengan tubuh yang terasa lemas di pinggiran pintu besi dealernya. Kepalanya semakin terasa sakit. Tadi, saat tanpa sengaja membuka
mata, ia seperti melihat sosok Ferry. Apakah itu cuma halusinasi" Ferry belum muncul juga.
Mengapa aku sering menderita sakit kepala seperti ini" Anisa kembali membuka matanya, berharap kali ini dia benar-benar melihat Ferry datang menjemputnya.
Dia sudah ingin pulang... beristirahat... minum teh yang hangat... Semoga besok dia sudah segar kembali agar tetap dapat bekerja. Dia telah banyak mengambil
cuti. Libur... Ya, dua hari lagi dia akan libur. Ada waktu untuk memeriksakan kesehatannya...
Anisa merasakan penglihatannya kabur, sementara derasnya air hujan semakin menggelapkan pandangannya. Kapan Ferry akan datang" Anisa mengedarkan pandangannya
dengan kacau. Dan ketika pandangannya sampai pada sebuah mobil yang tampak tak jauh dari tempatnya, Anisa merasa tiba-tiba matanya dapat melihat lebih
jelas. Meski air hujan yang turun mengaburkan pandangannya, Anisa tahu dua orang yang dikenalnya ada di sana. Itu Ferry. Juga Indra. Apa yang mereka lakukan..."
Seketika Anisa tersadar apa yang tengah dilakukan dua saudara kembar itu. Dengan tubuh yang terasa lemah, Anisa memaksa dirinya untuk berdiri dari duduknya.
Dua orang itu harus dihentikan. Ferry... Indra... Mereka harus berhenti...
Anisa berdiri sempoyongan. Satu tangannya memegangi kepalanya, sementara tangannya yang lain menopang tubuhnya dengan berpegangan pada pintu besi di sampingnya.
Dia harus melangkah. Melangkah kesana... Ya, dia harus kesana. Menghentikan mereka... Kepalanya terasa berat... Semakin berat... Langkahnya terasa tak menapak...
Dengan tubuh terhuyung-huyung, Anisa terus memaksa kakinya melangkah menuju ke tempat Indra dan Ferry. Mengapa jalan yang biasanya sempit kini jadi luas
seperti ini..." Kakinya seperti tak sampai-sampai. Langkahnya seolah tak bergerak. Dia harus menyeberang ke sana... Ke tempat Ferry... Indra...
Tubuhnya kini basah oleh air hujan, namun Anisa tak mempedulikannya. Dia terus melangkahkan kakinya dari trotoar, lalu turun ke aspal jalan raya. Anisa
merasakan tubuhnya semakin lemah, semakin tak bertenaga, dan kepalanya semakin berat... Makin berat...
Saat kakinya yang lunglai sampai di aspal, Anisa tak mampu lagi menopang tubuhnya. Kedua kakinya yang lemah tak sanggup lagi berjalan, dan pandangan Anisa
semakin mengabur di bawah guyuran hujan.
Anisa merasakan segalanya kemudian menjadi gelap... Gelap yang teramat pekat... Dan ketika petir menggelegar di atas langit, Anisa merasakan kakinya tak
mampu lagi berdiri. Tubuhnya terkulai. Terjatuh di bawah hujan. Kemudian terkapar. Kepalanya membentur aspal yang basah.
Suara guntur bersahutan. Langit terus menangis.
Hujan makin deras mengguyur bumi.
Anisa terbaring tak sadarkan diri di ruang emergency, dengan selang-selang berseliweran di sekitar tubuhnya. Suara kardiografi tak henti-hentinya mengabarkan


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kondisi tubuhnya, sementara dokter dan beberapa perawat tampak masih sibuk di ruangan itu.
Saat petugas IGD menerima pasien itu, mereka benar-benar bingung karena si pasien pingsan tak sadarkan diri, diantarkan dua anak muda berwajah kembar yang
basah kuyup dengan wajah yang agak lebam. Bibir mereka juga tampak terluka dan berdarah. Ini bukan korban kecelakaan, kedua bocah kembar itu menegaskan.
Tapi petugas di IGD tak punya waktu untuk meributkan itu pasien korban kecelakaan atau bukan. Melihat kondisi pasien, si petugas segera tahu pasien itu
harus segera mendapatkan pertolongan.
Sekarang dua anak muda berwajah kembar itu duduk berjauhan, saling membisu dan tampak sama-sama frustrasi. Suasana rumah sakit begitu sepi, karena sudah
larut malam. Tidak ada pengunjung, hanya beberapa dokter dan perawat yang masih terlihat lalu-lalang di sepanjang koridor.
Ferry bangkit dari tempat duduknya di atas kursi panjang, dan mendekati Indra. Ia berdiri di hadapannya, dan berkata pendek-pendek, "Kau pergi. Kabari
orang tua Anisa. Katakan dia di sini."
Indra tahu ini bukan saat yang tepat untuk berdebat apalagi berperang. Dia pun bangkit, dan tanpa menjawab segera berlalu dari hadapan Ferry.
Ferry kembali duduk di atas kursi panjang itu. Dengan hati dan pikiran yang kacau. Dengan perasaan tak menentu. Apa yang terjadi pada Anisa" Ferry menyeka
wajahnya yang basah oleh sisa air hujan yang menetes dari rambutnya. Dia juga merasakan bibirnya terluka. Mengapa dia dan Indra bisa sekonyol ini" Dan
sekarang Anisa terbaring tak sadar di dalam...
Ketika seorang dokter keluar dari ruang emergency, Ferry tengah menunduk dan mengatupkan kedua tangan pada wajahnya.
Sang dokter mendekati Ferry, lalu berdehem lembut, menyadarkan Ferry akan kehadirannya.
Ferry membuka tangannya, menengadahkan kepala dan menatap sang dokter di hadapannya.
"Maaf," kata si dokter dengan suara yang halus. "Anda keluarganya?"
"Ya," jawab Ferry pasti.
"Bisa ke ruangan saya sebentar?"
Ferry bangkit dari duduknya, dan melangkah mengikuti dokter itu. Mereka memasuki sebuah ruangan yang bersih, agak jauh dari tempat tadi.
Setelah mereka duduk berhadapan, dokter itu memulai, "Saudara..."
"Ferry." Ferry memperkenalkan namanya.
"Saudara Ferry, pasien itu adik Anda, atau..."
"Dia pacar saya." Ferry menjawab spontan, kemudian menjadi gugup. "Dia...dia tidak apa-apa?"
Dokter itu mengangguk. "Mungkin dia tadi terjatuh?"
"Ya," jawab Ferry. "Mungkin tubuhnya lemas dan lalu terjatuh."
Sekali lagi dokter itu mengangguk. Lalu berkata perlahan, "Begini, kepala pacar Anda terbentur sesuatu yang keras, dan ada luka memar di belakang kepalanya.
Kami sudah memeriksanya. Kami juga telah melakukan scan pada bagian itu, dan... kami menemukan sesuatu yang lain."
"Ya...?" Ferry semakin gugup.
"Apakah dia sering menderita pusing-pusing?" tanya dokter itu lagi.
Ferry mengangguk. "Anda tidak pernah memeriksakannya ke dokter?"
"Dulu pernah, waktu dia pingsan, saya membawanya ke rumah sakit." Ferry menjelaskan dengan terbata-bata. "Kata dokternya, dia terkena tipus."
Dokter itu kembali menganggukkan kepala. Setelah terdiam sebentar, dia menatap wajah Ferry, lalu berkata dengan lembut, "Maafkan saya harus menyampaikan
ini. Pacar Anda menderita... kanker otak."
Suara yang lembut itu terdengar bagai bom. Seketika Ferry merasa darahnya membeku. Kanker otak" Mengapa dia tidak pernah berpikir sejauh itu" Pusing-pusing
di kepala Anisa. Beberapa kali pingsan yang dialaminya. Tubuh yang begitu lemah... Rumah sakit yang dulu mendiagnosis Anisa menderita tipus tentu tak melakukan
pemeriksaan pada kepalanya.
Dengan sangat gugup Ferry kemudian bertanya, "Dokter, apakah... apakah... Anisa bb-bisa ditolong...?"
Dengan suara yang masih lembut, dokter itu menjelaskan, "Kalau saja kankernya masih dalam stadium awal, saya mungkin berani memberikan kepastian akan hal
itu. Seharusnya sudah ada pemeriksaan sejak dulu menyangkut kepalanya. Tapi mungkin Anda maupun pacar Anda tidak pernah berpikir ke arah itu, saya memahami."
Dokter itu terdiam sesaat, lalu, "Saudara Ferry, saya harus memberitahukan, kanker yang diderita pacar Anda telah mencapai stadium akut. Saya hanya dapat
menolongnya, dan kita hanya bisa berharap..."
*** Saat keluar dari ruangan dokter itu, Ferry merasa kedua kakinya tak memijak lantai. Kanker" Kanker otak" Ya Tuhan, mengapa dia tidak pernah berpikir sejauh
itu..." Mengapa dulu dia tak menghiraukan saat Febiola mencoba mengingatkannya..."
"Fer, bukannya aku mau menakutimu, tapi kurasa mungkin ada suatu penyakit di kepala pacarmu. Semalam kulihat dia pucat sekali dan sangat kesakitan. Itu
bukan pusing atau sakit kepala biasa, Fer... Tetanggaku ada yang pernah menderita gejala seperti Anisa, dan dia ternyata menderita... Sebaiknya kau cari
sendiri jawabannya. Yang jelas, dia pacarmu dan ini menyangkut pacarmu."
Dia tahu! Perempuan itu tahu pusing yang diderita Anisa bukan pusing kepala biasa. Febiola tahu, dan dia telah mencoba mengingatkannya. Tapi Ferry tidak
percaya. Dia tidak percaya ketika Febiola mengingatkannya agar melakukan sesuatu...
Ferry merasa sangat terpukul, juga menyesal. Dan sekarang penyesalan itu terasa menjadi sebuah gumpalan keras, dan menggedor-gedor dalam batinnya. Apa
yang akan terjadi pada Anisa" Apa yang akan terjadi dengannya..."
"Saudara Ferry, saya harus memberitahukan, kanker yang diderita pacar Anda telah mencapai stadium akut. Saya hanya dapat menolongnya, dan kita hanya bisa
berharap..." Ferry menutupkan kedua tangan pada wajahnya dengan hati kacau dan perasaan yang hancur. Seluruh tempat dalam benaknya terisi oleh bayangan Anisa. Kenangan...
Perjalanan waktu... Saat-saat manis... Canda dan tawa mereka... Kebersamaan yang pernah dilalui... Rasa kangen... Perasaan sayang... Tawa ceria... Cinta...
Tanpa terasa Ferry merasakan wajah di balik tangannya telah membasah. Tubuhnya terguncang di atas bangku rumah sakit, menahan isaknya yang lirih. Jangan
ambil dia, Tuhan... Jangan ambil dia... Biarkan dia hidup... Aku masih ingin melihatnya... Biarkan dia hidup, Tuhan...
Di dalam rumah sakit yang lengang malam itu, Ferry tenggelam dalam kesedihan dan kedukaannya.
Di luar rumah sakit, langit masih menangis.
*** Semenjak Anisa masuk rumah sakit, perang yang semula panas di rumah mereka menjadi perang dingin. Indra dan Ferry sama-sama tahu bahwa maut sewaktu-waktu
bisa mendatangi orang yang sama-sama mereka cintai, dan mereka akan kehilangan Anisa. Ini bukan waktu yang pantas untuk melanjutkan peperangan.
Anisa terbangun dari ketidaksadarannya setelah dua hari tiga malam berada di rumah sakit. Setelah itu, kadang-kadang dia sadar beberapa waktu lamanya,
kemudian kehilangan kesadaran kembali.
Sore itu adalah hari keempat Anisa berada di rumah sakit, dan di hari itulah dia baru bisa dijenguk. Indra yang pertama kali datang menjenguknya. Anisa
dalam keadaan sadar. Dia tersenyum lemah menyambut kedatangan Indra. "Indra..." ucapnya lirih.
Indra mendekatkan wajahnya. "Kau tahu aku Indra?"
"Sekarang aku tahu..." jawab Anisa sambil tersenyum lemah.
Indra meraih tangan Anisa, dan menatap wajah perempuan itu. "Maafkan atas semua yang telah terjadi ini..."
Anisa berkata perlahan, "Takdir memang misterius, ya...?"
"Ya," bisik Indra sambil mencoba tersenyum. "Dan kita tidak berdaya di tangannya..."
"Tapi aku bahagia," kata Anisa lirih. "Aku bahagia pernah ada di dalamnya. Mengenalmu..."?
Hari kelima, keadaan Anisa tampak lebih baik dari hari sebelumnya. Saat Ferry datang dan memasuki ruangannya, Anisa terlihat lebih segar, tak sepucat kemarin.
Ferry mengecup keningnya dengan lembut, dan Anisa menginginkan waktu menjadi abadi. Ferry kemudian duduk, dan kemudian menggenggam tangannya.
"Kau sudah agak baikan?" tanya Ferry memperhatikan wajah Anisa. "Kau tampak segar."
Anisa tersenyum. "Karena aku bisa melihatmu lagi," katanya kemudian dengan perlahan. "Kapan terakhir kali aku melihatmu, Fer?"
Ferry tersenyum. "Mungkin satu abad yang lalu?"
"Ya," kata Anisa lirih. "Sepertinya sudah lama sekali..."
Ferry menggenggam tangan Anisa dengan kedua tangannya, dan ia menginginkan dapat menggenggam tangan itu selamanya.
"Fer..." bisik Anisa.
"Ya...?" "Kau tahu apa yang sekarang paling kuinginkan?"
Ferry mendekatkan wajahnya. "Apa?"
"Aku ingin selalu bisa melihatmu... Selamanya..."
*** Di luar dugaan siapapun, Febiola datang menjenguk Anisa di rumah sakit. Hari itu, ketika Indra baru keluar dari ruangan Anisa, ia berpapasan dengan Febiola
yang tengah berjalan menuju ke arahnya.
"Febi!" sapa Indra dengan terkejut.
"Hei," Febiola tersenyum. "Anisa di ruangan itu?"
"Iya." Indra mengangguk. "Kau... kau mau menjenguk Anisa?"
"Iya, kenapa?" Indra menatap Febiola dengan tatapan bertanya-tanya. "Dari mana kau tahu Anisa dirawat di sini?"
Febiola tersenyum. "Dua hari yang lalu aku menelepon ke rumahmu, karena ponselmu tidak aktif. Kata mamamu, kau masih di rumah sakit menjenguk Anisa. Oh
ya, bagaimana keadaannya?"
Indra mendesah tertahan. "Kadang kondisinya bagus, kadang menurun. Temuilah dia, mungkin kehadiranmu bisa membawa kebaikan untuknya."
Mereka pun berpisah, dan Febiola terus melangkah menuju ke ruangan Anisa dirawat. Saat melihat Febiola, Anisa tampak terkejut, namun segera tersenyum menyambutnya.
"Hei," sapa Febiola dengan ceria. "Kau masih ingat aku?"
Anisa mengangguk. Febiola duduk di dekat tempat tidur Anisa.
"Kau Febi," kata Anisa lirih.
Febiola tersenyum mendengar Anisa menyebut namanya pertama kali. "Bagaimana keadaanmu" Sudah agak baikan?"
"Entahlah," jawab Anisa, "kadang aku merasa lebih sehat, kadang lemas sekali."
Febiola menepuk-nepuk tangan Anisa dengan lembut, dan tersenyum membesarkan hati Anisa. "Aku yakin kau akan sehat kembali."
Anisa tersenyum menatap wajah Febiola. Mengapa monster ini bisa berubah menjadi bidadari"?
Febiola melihat senyum itu, dan bertanya, "Kenapa...?"
Anisa masih tersenyum saat menjawab, "Kau tahu, dulu aku menyangkamu apa?"
"Apa...?" "Dulu, aku pernah menyangkamu monster."
Febiola tertawa. "Dan sekarang?" tanyanya kemudian.
"Kau seperti bidadari," jawab Anisa lirih.
Febiola kembali tertawa. "Kau ada-ada saja," katanya. "Oh ya, kau tahu apa yang kuinginkan kalau kau sudah sehat lagi?"
"Apa...?" "Aku ingin makan martabak bersamamu lagi."
Anisa pun tertawa lirih. "Di bawah hujan?"
"Ya," jawab Febiola. "Dengan segelas teh hangat. Itu pengalaman pertama buatku."
"Juga buatku." *** Besok paginya, Anisa kembali masuk ruang emergency dalam keadaan kritis. Selang-selang kembali bertebaran di sekitar tubuhnya, dan Anisa terbaring dalam
keadaan tidak sadar. Setelah seharian dipantau secara intensif oleh dokter dan para perawat, bunyi kardiografi yang panjang kemudian mengantarkan Anisa
menghembuskan napasnya yang terakhir.
Anisa meninggal dunia pada hari Senin, di suatu senja yang sejuk di Semarang.
Pemakaman itu terasa lengang. Para pelayat yang mengantarkan jenazah Anisa telah meninggalkan makam satu persatu. Pagi itu begitu hening. Yang terdengar
hanya suara burung yang bersahutan di ranting-ranting pohon. Air hujan yang turun semalam membasahi tanah, namun sebagian telah terserap oleh matahari
yang bersinar cerah. Beberapa kuntum bunga kamboja berguguran, berserak di tanah makam, kelopak-kelopaknya tampak sangat segar.
Indra dan Ferry duduk terpekur di kanan-kiri makam Anisa, di dekat nisan putihnya.
Angin berhembus perlahan, menyibakkan dedaunan, dan matahari sesaat menyinari tempat mereka. Beberapa kuntum kamboja kembali berguguran. Sebagian kelopaknya
basah karena air hujan semalam.
Indra mengulurkan tangannya.
Ferry melihatnya, dan dia menyambut uluran tangan itu.
Bunga-bunga kamboja kembali berguguran. Beberapa kuntumnya terjatuh di gundukan tanah makam Anisa.
Indra bangkit berdiri, sudah saatnya untuk pulang. Ferry pun bangkit dari tempatnya, dan menatap sejenak pada makam di hadapannya. Kemudian mereka melangkah.
Burung-burung masih bersahutan di ranting pohon.
Langit seperti baru dibersihkan.
*** Dua bulan kemudian. Sore itu Ferry masih asyik mengobrol dengan Indra dalam kamarnya, ketika ponsel di dekat Indra berbunyi. Indra meraihnya, dan melihat sederet nomor di
layar ponselnya. "Halo," sapa Indra.
"Indra"!" suara di seberang sana. "Apa kabar" Ini Elisha!"
Indra terkejut karena tak pernah membayangkan. "Elisha! Senang sekali bisa mendengar suaramu! Kabarku baik. Kau?"
"Luar biasa baik!" Elisha terdengar sangat bahagia. "Oh ya, aku dapat nomor ponselmu dari Dimas. Beberapa kali aku menghubungi nomormu yang lama, tapi
tidak pernah nyambung. Kau masih di Semarang?"
"Ya," jawab Indra. "Bagaimana kabar Jakarta?"
"Seperti biasa! Sibuk, macet, kacau!" Elisha tertawa. "Tapi aku senang di sini. Hei, aku ingin mengabarkan, sekarang impianku telah tercapai, Ndra!"
"Ya?" "Aku sudah syuting sinetron!" Elisha terdengar bersemangat.
"Oh ya" Aku senang mendengarnya!"
Elisha lalu berkata, "Waktu aku di rumah sakit dan kau menjengukku, kau sudah banyak memberikan motivasi dan semangat buatku. Thanks untuk saat itu, Ndra.
Kau sudah membantu mengobarkan kembali semangatku, dan... seperti yang kaubilang, aku akhirnya bisa meraih impianku."
Indra sejenak mengerutkan kening. Mungkin bukan dia yang menjenguknya. Itu pasti Ferry. Waktu itu dia masih di Semarang.
Elisha melanjutkan, "Kau tahu apa yang kulakukan setelah keluar dari rumah sakit" Aku ikut kursus akting sepulang kuliah. Capek banget, sih. Setengah hari
di kampus, lalu pergi untuk kursus sampai malam. Tapi aku menikmatinya."
"Dan sekarang kau sudah menikmati hasilnya," kata Indra.
"Ya," jawab Elisha sambil tertawa. "Kau tahu siapa sutradara sinetron pertamaku?"
"Siapa?" "Kau pasti terkejut," sahut Elisha. "Big Bobby!"
"Oh ya?" Indra benar-benar terkejut.
"Ya." Elisha lalu menuturkan, "Bobby sekarang membuka PH sendiri, dan ini sinetron pertama produksinya. Waktu jadwal kasting dibuka, peminatnya banyak
sekali! Aku nekat ikut lagi. Aku sudah nyaris pingsan waktu melihat Bobby di sana, tapi waktu itu aku sudah nekat. Dan aku sukses, Man! Kau tahu bagaimana
komentar Bobby setelah aku selesai kasting?"
"Bagaimana?" Indra benar-benar ingin mendengarnya.
Elisha tertawa. "Dia menatapku seperti terpana, dan berkata, "Hei, Nak, apakah kau dilahirkan kembali?""
Indra tertawa sambil membayangkan Bobby. Ia jadi merasa kangen dengan sutradara itu.
"Omong-omong, Ndra," lanjut Elisha, "kapan kau akan kembali ke Jakarta?"
Indra mendesah. "Aku belum tahu, Elisha. Aku bahkan tidak tahu apakah akan kembali ke sana atau tidak."
"Ndra, kau harus kembali," kata Elisha. "Hidupmu ada di sini."
Indra tertawa lagi. "Kau mengingatkanku pada Dimas. Dia juga mengatakan seperti itu."
"Kalau Dimas yang mengatakan, kau harus mendengarkan," ujar Elisha sungguh-sungguh.
"Entahlah, Elisha." Indra terdiam sesaat, lalu, "Aku sudah banyak kehilangan sahabat di Jakarta."
"Kau masih memiliki aku, Ndra," kata Elisha. "Aku tetap sahabatmu, ingat?"
"Tentu saja aku selalu ingat."
Sebenarnya, Indra pun sudah memikirkan hal itu sejak satu bulan yang lalu. Satu bulan setelah kematian Anisa, Indra merasakan Semarang menjadi sepi.
Indra pun lalu menguatkan tekadnya. Ia memang harus kembali ke Jakarta. Seperti yang dikatakan Dimas, dunianya ada di sana. Atau seperti yang dikatakan
Elisha, hidupnya ada di sana. Indra pun menyadari, ia harus melanjutkan kehidupannya sendiri. Takdir memang kadang mengambil hidup orang-orang yang terdekat
dengannya, namun Indra pun tahu dia harus tetap melanjutkan dan mengisi hidupnya sendiri.
Indra kini ingat ucapan Bobby yang pernah didengarnya dulu, "Aku pun yakin kelak kau akan menjadi aktor besar, Nak..."
Ya, siapa tahu..." *** Maka malamnya, saat duduk di sofa dalam kamar Ferry, Indra pun mengatakan hal itu.
"Jadi, kau benar-benar akan kembali ke Jakarta?" tanya Ferry.
"Ya." Indra mengangguk. "Sudah saatnya aku kembali."
"Aku ngeri membayangkan duniamu, Ndra," kata Ferry. "Selama menggantikanmu di sana, aku terus-menerus shock dengan yang terjadi dalam duniamu..."
"Aku tahu," sahut Indra. "Tapi aku juga tahu di sana pun ada orang-orang baik seperti Bobby, Dimas, Elisha, dan yang lainnya. Sekelam apapun, selalu ada
orang-orang yang tetap menjaga dirinya agar tetap baik."
"Kau tentu tidak termasuk," canda Ferry.
Indra tertawa lagi. "Ya, barangkali. Tapi aku sudah bertekad untuk hidup lebih baik, Fer. Sahabat-sahabatku yang dulu sudah tak ada lagi. Mungkin aku bisa
menggantinya dengan sahabat-sahabat baru yang lebih baik."
Ferry mengambil minuman di atas meja, dan sesaat mereka terdiam.
"Bagaimana denganmu, Fer?" tanya Indra kemudian setelah Ferry meletakkan gelasnya kembali.
"Aku?" Ferry tertawa. "Tentu saja aku akan kembali ke kampus, menyelesaikan kuliahku!"
"Hei, jangan lupa, kau sudah dipecat dari kampusmu, Fer."
Ferry kembali tertawa. "Kau yang lupa. Mereka memecatmu, bukan aku."
Indra mengerutkan kening. "Tapi mereka tidak tahu kalau itu aku, kan" Mereka yakin telah memecatmu."
"Sekarang mereka telah tahu," jawab Ferry santai. "Mereka tentu sudah berkali-kali nonton televisi atau baca berita di koran, dan mengetahui aku yang asli
ada di Jakarta waktu pemecatan itu."
Indra seperti baru memahami. "Kau yakin mereka mau menerimamu kembali ke kampus?"
"Aku tahu bagaimana caranya," jawab Ferry. "Dan aku memang harus kembali ke sana. Di sanalah duniaku."
Setelah beberapa saat terdiam, Ferry seperti baru teringat sesuatu. "Omong-omong, Ndra, bagaimana dengan Febi" Febiola?"
"Ada apa dengannya?" Indra bertanya sambil menatap hampa.
"Kau akan membawa dia ke Jakarta?"
Indra terkejut. "Memangnya dia barang bawaan?"
"Maksudku, bagaimana hubunganmu dengan cewek itu?"
"Entahlah, Fer," jawab Indra sambil membaringkan tubuhnya di sofa. "Dulu, waktu kita masih perang terus, aku sempat mencoba untuk mencintainya. Yeah, mencoba
menjadikan dia pacarku, biar kau tidak memusuhi aku terus. Tapi... tak tahulah, sampai sekarang pun aku masih ragu..."
"Dia pasti sangat mengharapkanmu, Ndra," kata Ferry. "Sikapnya manis sekali."
Indra tertawa. "Kau belum melihat mamanya, Fer! Kalau kau sudah bertemu mamanya, kau akan merasa sudah jadi menantunya!"
Ferry jadi penasaran. "Ndra, aku boleh mengenalnya?"
"Kau sudah mengenalnya sebelum aku," jawab Indra. "Aku bahkan kenal dia karena kau. Omong-omong, kenapa dulu kau tidak menyimpan nomornya di ponselmu?"
"Aku tidak minat," jawab Ferry. "Dia mengerikan. Tipe destroyer, kau tahu?"
Indra tertawa ngakak mendengar istilah itu. "Tapi dia juga baik, Fer. Dia memiliki kepribadian yang luar biasa."
"Terlalu luar biasa!" sahut Ferry. "Dimana pun dia berada, orang selalu tersedot kepadanya."
"Karena dia memang pesona yang luar biasa, Fer," jawab Indra sungguh-sungguh. "Nah, kau jadi mau mengenalnya...?"
"Juga boleh mendekatinya?"
Indra tertawa. "Jadikan saja dia pacarmu!"
"Itu tidak akan terjadi, Ndra," jawab Ferry dengan tampang serius.
"Kenapa?" "Karena kalau dia sampai jadi pacarku, kau pasti akan datang lagi dan kemudian membuat semuanya jadi kacau!"
Mereka pun tertawa, menertawakan diri mereka sendiri dan segala yang pernah terjadi"sesuatu yang kini dapat mereka kenang sambil tersenyum.
"Kau trauma untuk tukar tempat lagi?" tanya Indra di sela-sela tawanya. "Kau bisa menyamar jadi aku, dan mengencani Febiola..."
Dua hari setelah bincang-bincang sampai larut malam itu, Indra berangkat dari rumahnya untuk kembali ke Jakarta. Dia telah menghubungi Dimas, manajernya,
dan Dimas pun mendengarnya dengan gembira. Ia menjanjikan menyambut Indra di rumahnya, dengan makan malam yang paling lezat.
Taksi yang akan mengantarkannya ke bandara sudah menunggu. Keluarganya berdiri di depan rumah, melepas kepergiannya. Saat Indra dan Ferry berjabat tangan
untuk berpisah, seorang dari mereka tampak mengedipkan sebelah matanya.
Ketika taksi yang membawa Indra telah berlalu, Silvia baru memperhatikan sosok yang ada di dekatnya. "Lho, kenapa kau yang di sini, Ndra?" tanyanya keheranan.
Ferry tertawa sambil menatap wajah ibunya.
(TAMAT) Terkurung Di Perut Gunung 1 Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram Dewi Olympia Terakhir 3
^