Pencarian

Hati Yang Memilih 4

Hati Yang Memilih Karya Unknown Bagian 4


"Aku telah membawa jas hujan," kata Indra pada Anisa yang kini telah turun dari jok motor. "Kau ingin kita berteduh di sini, atau langsung pulang?"
"Langsung pulang saja," jawab Anisa dengan masam.
Indra pun mengambil jas hujan, dan sekali lagi Anisa duduk di belakangnya. Dengan agak kaku, Anisa mengangkat jas hujan untuk menutupi tubuhnya. Indra
kembali melajukan motor membelah malam, menerobos hujan yang turun semakin lebat.
Mereka sampai di rumah Anisa bertepatan dengan suara guntur yang menggelegar dan langit yang terang sesaat oleh cahaya kilat. Hujan masih deras mengguyur.
"Aku langsung pulang," kata Indra.
Anisa hanya mengangguk dan bergumam, "Terima kasih."
Besok paginya, Indra merasa tak ingin bangun dari tempat tidurnya. Ia merasakan kepalanya sangat berat dan hidungnya sangat tersumbat. Aku pasti kena flu,
pikirnya. Dengan malas-malasan, Indra pun turun dari tempat tidur dan melangkah ke kamar mandi.
Saat tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk, Indra mendapati ponselnya bernyanyi. Nama Febiola tampak tertera di layar ponselnya.
"Pagi, Fer," sapa Febiola dengan manis saat Indra menerima teleponnya.
"Pagi, Febi," jawab Indra dengan suara agak sengau karena hidungnya tersumbat ingus.
"Fer, nanti siang aku ada acara fashion di Tirta Kencana." Febiola memberitahu. "Kau mau datang?"
"Acara apa?" tanya Indra memastikan.
"Fashion, Fer. Biasa, peragaan busana," jawab Febiola menerangkan. "Ada baju-baju batik model baru yang di-launching, dan agency-ku menerima kontrak untuk
acara itu." Jadi kau fotomodel, pragawati" batin Indra seolah baru menyadari. Pantas saja tubuhmu bagus sekali!
"Bagaimana, Fer" Bisa, kan?" tanya Febiola memastikan. "Aku akan senang sekali kalau kau bisa datang."
"Feb," ujar Indra akhirnya, "aku juga pasti akan senang sekali melihatmu di acara itu. Tapi aku lagi kena flu. Kepalaku berat sekali."
"Mungkin nanti siang kan sudah agak baikan?"
"Semoga saja." Indra tak terlalu berharap. "Jam berapa acaranya dimulai?"
"Jam dua," jawab Febiola pasti.
"Baiklah, akan kucoba."
"Benar ya, Fer."
"Aku tidak janji, tapi akan kuusahakan."
"Baiklah. Semoga cepat sembuh."
Indra meletakkan ponselnya setelah hubungan terputus, dan kemudian berlari ke kamar mandi untuk membuang ingusnya.
"Kau kena flu?" tanya Silvia yang ada di dapur saat melihat Indra sibuk dengan ingusnya.
"Iya, Ma," jawab Indra dengan suara sengau.
"Mungkin karena sering kehujanan, tuh," kata Silvia lagi. "Kau sarapan dulu. Terus langsung minum obat."
Setelah menikmati sarapannya di meja makan yang berdekatan dengan dapur, Indra pun meminum pil pereda flu yang telah disiapkan ibunya.
"Kau sudah mulai menjemput Anisa lagi, Ndra?" tanya Silvia dari dapur.
"Iya, Ma," sahut Indra.
"Pagi ini juga akan mengantarnya ke kampus?" tanya Silvia lagi.
"Anisa tidak ada jadwal ke kampus hari ini." Indra menerangkan. "Tapi nanti siang saya akan mengantarkan ke tempat kerjanya."
Silvia terdiam sesaat, kemudian berkata, "Syukurlah, Mama tuh ingin Anisa bisa menerimamu seperti dia menerima Ferry."
Indra terbengong. "Maksud Mama?"
"Maksudnya, Mama tuh ingin Anisa tidak lagi menjauhimu seperti kemarin-kemarin itu." Lalu, melihat ekspresi Indra yang aneh, Silvia bertanya heran, "Memangnya
kenapa, Ndra?" Indra menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa."
*** Menjelang pukul dua siang, Indra merasakan kepalanya agak ringan meski ingus dari hidungnya tetap saja aktif. Dia mengeluarkan motor dan melaju ke rumah
Anisa. Kini kehadiran Indra sudah dianggap seperti biasa kembali oleh keluarga Anisa. Wahyuni, ibu Anisa, tidak heran lagi dan tetap menyambutnya dengan ramah.
Siang itu pun Wahyuni sudah paham kalau Indra datang untuk mengantarkan putrinya berangkat kerja. "Ditunggu sebentar ya," katanya ramah.
Tak lama kemudian Anisa keluar dari rumah, dan segera mendekati Indra yang telah menunggunya di halaman dengan motornya.
"Aku harap kau tidak keberatan," kata Indra sambil mencoba tersenyum.
"Kenapa suaramu?" tanya Anisa yang mendengar suara Indra agak sengau.
"Pilek," jawab Indra. "Mungkin kena flu."
Anisa tak berkomentar apa-apa. Dia kemudian duduk di belakang Indra, dan mereka pun segera melaju.
Sepulang dari mengantarkan Anisa, Indra kembali meminum pilnya di rumah dengan segelas air. Rumahnya terasa sepi. Ayahnya berada di pabrik, sementara ibunya
tengah tidur siang. Indra melihat jam dinding. Pukul setengah tiga.
Indra ingin istirahat dan tidur-tiduran untuk meredakan sakit flunya, tapi dia merasa enggan. Mau ke pabrik ayahnya, dia merasa malas. Suasana pabrik yang
panas dan pengap pasti akan membuatnya makin menderita. Kemudian Indra teringat undangan Febiola. Mengapa tidak kesana saja, pikirnya kemudian. Pasti menyenangkan
kalau sekarang dia menghibur dirinya dengan menghadiri acara fashion itu. Dan menyaksikan perempuan-perempuan cantik di sana tentunya akan cukup meredakan sakit kepalanya. Ya, mengapa tidak" Sudah lama ia tak punya waktu untuk menghibur diri.
Indra pun berganti pakaian, mengeluarkan mobil dari garasi, kemudian segera melaju ke gedung Tirta Kencana.
*** Gedung Tirta Kencana menyerupai convention hall, hanya saja berukuran lebih luas dan lebih besar. Acara-acara fashion dan peragaan busana berskala besar
seringkali menggunakan gedung ini sebagai tempat pagelarannya. Beberapa konglomerat di Semarang juga terkadang menyewa gedung ini untuk acara pesta perkawinan
anak-anak mereka. Saat akan memasukkan mobil ke lokasi gedung, Indra mendapati dua baliho besar bermotif batik di kanan-kiri pintu gerbang. Beberapa spanduk dari para sponsor
juga tampak melambai-lambai di sekitar area itu. Indra memasukkan mobilnya dan terus menuju ke tempat parkir.
Suasana gedung tampak sangat ramai. Saat turun dari mobil dan mulai melangkah menuju ke ruangan utama tempat acara, Indra menyadari ada banyak pasang mata
yang? memperhatikannya. Indra terus melangkah dan mencari tempat duduk yang masih kosong. Pengunjung sangat ramai dan telah memadati hampir semua kursi di gedung itu. Catwalk
berukuran besar di tengah ruangan tampak masih kosong. Apakah acaranya belum dimulai"
Saat Indra mengedarkan pandangan untuk mencari kursi yang kosong, sebuah suara terdengar memanggilnya, "Nak Ferry..."
Indra menoleh ke arah suara itu, dan mendapati ibu Febiola yang tengah tersenyum cerah kepadanya. "Duduk di sini saja," kata ibu Febiola kemudian sambil
menunjuk kursi di sebelahnya yang kosong.
Indra pun segera menuju ke arah yang ditunjuk, dan menyapa ibu Febiola dengan ramah, "Apa kabar, Tante?"
"Baik," jawab Andini, ibu Febiola, sambil tersenyum dan memandangi Indra. "Kok lama sekali tidak main ke rumah?"
"Iya, Tante," jawab Indra. "Saya agak sibuk, karena sering bantu-bantu Papa di pabrik."
"Anak rajin," sahut Andini. "Bikin batik juga?"
Indra mengangguk. "Papanya Febi juga bikin batik," ujar Andini, kemudian menerangkan dengan semangat, "Baju-baju yang dipagelarkan di sini juga milik papa Febi dan beberapa
rekan bisnisnya." Indra menganggukkan kepalanya. "Febi sudah lama jadi model, Tante?"
"Sejak SMA," jawab Andini dengan ekspresi bangga. "Anak itu tidak ada yang disukainya selain jadi model! Tante sih setuju saja. Siapa tahu ini bisa jadi
batu loncatan Febi untuk bisa jadi seperti saudaramu itu..." Saat mengatakan itu, Andini kemudian tersadar. "Oh ya, Tante sangat sedih sekali waktu mendengar
berita mengenai saudaramu itu. Tante malah sempat tidak percaya..."
Indra mengangguk dan mencoba tersenyum.
"Kau sudah tidak terlalu sedih lagi, kan?" ujar Andini melanjutkan dengan nada prihatin. "Tante tahu, biasanya sesama saudara kembar itu seperti ada ikatan
batin yang sangat kuat..."
"Iya, Tante," jawab Indra akhirnya. "Oh ya, ini acaranya belum dimulai atau masih istirahat?"
"Lagi istirahat sebentar. Mungkin sedang pergantian busana di dalam."
Beberapa saat kemudian, mata seluruh pengunjung di dalam gedung itu seolah tersedot ke tengah-tengah ruangan. Catwalk besar itu kini telah terisi. Beberapa
perempuan bertubuh ramping dengan tinggi badan yang nyaris sama tampak berlenggak-lenggok di atasnya dengan busana batik yang diperagakannya.
Febiola yang juga berada di atas catwalk mendapati kursi di sebelah ibunya yang tadi kosong kini telah terisi. Bibirnya tersenyum saat melihat siapa yang
duduk di kursi itu. Dan Indra melihat senyumnya, kemudian membalasnya. Untuk waktu yang sesaat, Indra lupa pada flu serta sakit kepalanya.
*** Acara peragaan busana itu selesai menjelang maghrib. Febiola segera menghampiri ibunya yang duduk berdampingan dengan Indra.
"Fer," sapanya dengan senyum ceria, "aku senang sekali kau datang!"
Indra tersenyum. "Aku juga senang bisa melihatmu di atas catwalk."
Andini bertanya pada putrinya, "Feb, kau tahu papamu sekarang ada dimana?"
"Tadi di sekitar stage, Ma," jawab Febiola. "Lagi sama Om Jodi dan Om Burhan."
"Mama kesana dulu. Ini sudah mau maghrib, nanti kita kemalaman di jalan." Andini kemudian pergi menuju tempat yang ditunjuk putrinya.
Febiola duduk di samping Indra. "Kau lama sekali tidak main ke rumah?"
Indra tertawa kecil. "Mamamu tadi juga menanyakan itu."
"Oh ya" Dan kau jawab apa?" tanya Febiola dengan ekspresi lucu.
"Aku bilang kalau aku mulai sibuk membantu papaku di pabrik."
"Itu nyata apa fiktif?" Febiola tertawa kecil karena tak percaya.
"Nyata dong, Feb. Masak sih aku membohongi mamamu?"
"Memangnya papamu bikin apa?"
"Sama seperti papamu."
"Wow." Febiola tampak terkejut namun senang.
"Kenapa?" tanya Indra heran.
Febiola tertawa. "Papaku bikin batik dan aku memperagakan batiknya. Papamu juga bikin batik. Kenapa kau tidak ikut memperagakannya?"
Indra ikut tertawa. "Aku belum pernah membayangkannya."
"Sekarang kau harus membayangkannya."
Andini datang dengan tergopoh-gopoh dan berkata pada putrinya, "Feb, papamu belum bisa pulang sekarang, katanya harus menyelesaikan beberapa urusan dulu.
Aduh, padahal Mama sudah ingin pulang!"
Indra, yang memahami maksud ibu Febiola, segera menawarkan diri, "Saya bawa mobil, Tante. Bagaimana kalau saya antarkan Tante dan Febi pulang?"
Andini memandang Indra dengan tatapan terima kasih, sementara Febiola mengulum senyum.
Dan begitulah awalnya. *** Malam hari itu, Semarang kembali diguyur hujan saat Indra melaju ke tempat kerja Anisa untuk menjemputnya. Untunglah dia telah mempersiapkan jas hujan.
Sesampai di sana, Indra mendapati dealer telah tutup, dan Anisa tengah berdiri di depan tempat kerjanya. Ia seperti tampak lega begitu melihat Indra datang.
Tanpa berucap apa-apa, Anisa segera menaiki jok belakang motor dan menarik jas hujan untuk menutupi tubuhnya. Sebelum motor kembali melaju, Anisa ingat
kalau lelaki ini tampak terkena flu saat tadi siang menjemputnya di rumahnya.
"Sakit flu-nya sudah agak baikan, Fer?" tanya Anisa.
"Indra," ralat Indra dengan halus.
"Oh, maaf," kata Anisa kemudian. Tetapi tak melanjutkan pertanyaannya.
Indra pun segera melajukan sepeda motornya menembus hujan.
Di jalanan di bawah jas hujan dengan guyuran air yang dingin, Anisa merasakan pikirannya melayang-layang. Sosok lelaki yang sekarang bersamanya ini bukanlah
Ferry, tapi Indra, saudara kembar kekasihnya. Mengapa dia seperti baru menyadari kenyataan itu" Indra Gunawan, bintang sinetron, artis populer, dan lelaki
itu mau melakukan apa yang sekarang tengah dilakukannya.
Anisa tercekat dan kembali seperti baru tersadar. Ya Tuhan! Anisa merasa dirinya membeku. Tidak ada orang yang tahu kalau Indra si artis terkenal itu masih
hidup. Dan sekarang dia, Anisa, tengah duduk di boncengan motornya.
Perjumpaan di Tirta Kencana itu mendekatkan Indra kembali dengan Febiola. Setelah perjumpaan itu, Febiola beberapa kali meneleponnya, memintanya dolan
ke rumah, atau mengajaknya makan malam. Beberapa kali pula Indra menerima tawaran itu karena tidak enak jika terus menolaknya, dan dia pun menemani Febiola
dengan derita flu yang semakin terasa semakin berat.
Andini, ibu Febiola, selalu menyambut kedatangan Indra dengan penuh keramahan. Indra juga telah bertemu dengan Surya Hadi, ayah Febiola, dan mereka pernah
berbincang sebentar, bahkan ayah Febiola sempat menanyakan kabar ayah Indra. Mereka bergerak dalam bidang usaha yang sama, dan mereka saling mengenal.
Meskipun bersedia memberikan waktunya untuk Febiola, namun Indra juga tak pernah melupakan kewajibannya terhadap Anisa. Dia merasa trauma dengan kelalaiannya
dulu yang sampai menyebabkan Anisa demam karena kehujanan.
Ketika flu yang dirasakannya semakin berat, sementara hujan terus mengguyur Semarang setiap malam, pertahanan tubuh Indra pun akhirnya jebol. Dia jatuh
sakit dan terkapar di kamarnya. Pada awalnya Indra tetap tak mau menghiraukan sakitnya dan bersikeras untuk menjemput Anisa pulang dari tempat kerjanya.
Tapi ketika suatu malam Silvia mendapatinya terduduk lemas di kursi teras sebelum berangkat, ibunya pun sadar kalau Indra telah sangat lemah.
"Kau sudah sakit, Ndra," kata Silvia. "Kau harus istirahat."
"Saya harus menjemput Anisa, Ma." Indra bersikeras.
"Tapi tubuhmu sudah lemah sekali." Silvia tampak khawatir. "Kau bisa pingsan di jalan kalau tetap berangkat."
Indra sempat memikirkan hal itu. Apa jadinya kalau ia malah pingsan di jalan"
"Sudah," kata Silvia kemudian, "kau istirahat saja, biar Mama menelepon Anisa untuk mengabarkan kalau kau sakit, dan tidak bisa menjemputnya."
Indra tampak khawatir. "Mama yakin dia tidak akan marah?"
Silvia menatap putranya dengan heran. "Mengapa Anisa harus marah" Dulu Ferry juga sering berhalangan dan tidak bisa menjemputnya, dan Anisa tidak pernah
marah. Mama tahu betul wataknya. Kau tidak usah terlalu khawatir begitu."
Silvia meraih pesawat telepon di ruang tengah. Sementara Indra duduk tak jauh dari ibunya.
Saat hubungan dengan Anisa tersambung, Silvia pun memulai kabarnya. Ia sengaja membuka loudspeaker di pesawat telepon agar Indra bisa ikut mendengar pembicaraan
mereka. Dan Indra benar-benar mendengarkannya.
"Anisa," sapa Silvia, "Ibu mau memberi tahu, malam ini Indra tidak bisa menjemputmu, karena sakit flunya semakin parah. Kau tidak apa-apa kan, pulang sendiri?"
"Iya, Bu," jawab Anisa di loudspeaker yang terdengar oleh Indra. "Saya juga sudah bilang itu pada Indra. Dia seperti sangat menderita dengan sakitnya.
Mungkin karena kehujanan beberapa malam ini, Bu."
"Tapi kau tidak ikut-ikutan kena flu, kan?" tanya Silvia sambil tersenyum.
"Tidak, syukurlah," jawab Anisa. "Oh ya, Indra sekarang sedang istirahat?"
Silvia menengok ke arah anaknya yang masih duduk di belakangnya sambil mendengarkan suara dari loudspeaker telepon.
"Dia lagi duduk mendengar Ibu meneleponmu," ujar Silvia sambil tertawa kecil. "Tadi dia bersikeras ingin menjemputmu. Tapi tubuhnya tampak kelelahan sekali.
Makanya sekarang dia ingin diyakinkan kalau Ibu benar-benar meneleponmu, agar kau tidak bingung kalau Indra nanti tidak datang menjemput."
*** Ketika Indra akhirnya benar-benar terkapar sakit, orang yang pertama kali menjenguknya adalah Febiola. Pada mulanya Febiola menelepon beberapa kali dan
terus mendengar suara Indra yang sengau karena pilek, sampai kemudian Indra menyatakan kalau dirinya sedang sakit. Suatu sore, Febiola datang ke rumah
Indra dengan sekeranjang buah-buahan.
Saat membukakan pintu ketika Febiola datang, Silvia tampak bingung. Sejauh yang diingatnya, ia baru melihat gadis cantik ini.
"Saya mau menjenguk Ferry, Tante," sapa Febiola dengan manis. "Kemarin saya menelepon Ferry, dan katanya dia sakit."
Silvia pun segera mempersilakannya masuk dengan ramah. Febiola duduk di ruang tamu. Silvia segera menemui Indra yang terbaring di atas tempat tidur di
kamarnya. "Ndra, ada yang mau menjengukmu," kata Silvia.
"Siapa, Ma?" "Mama baru lihat," jawab ibunya. "Kau yang akan menemuinya di depan, atau dia yang disuruh kemari?"
Indra mencoba mengangkat tubuhnya, namun tampak kepayahan. Ibunya segera memutuskan, "Ya sudah, biar Mama suruh dia ke sini saja."
Tak lama kemudian, Febiola pun telah berdiri di ambang pintu kamar Indra.
"Hei," sapa Febiola dengan manis seperti biasa.
Indra tersenyum lemah dan membalas sapaan Febiola dengan sama lemahnya.
Febiola mendekat ke tempat tidur Indra, meletakkan keranjang buah-buahan yang dibawanya di atas meja, kemudian duduk di pinggir tempat tidur.
"Jadi, kau benar-benar sakit ya?" tanya Febiola sambil tersenyum.
Indra membalas senyum Febiola. "Kau kira aku membohongimu?"
"Kau ingin makan sesuatu" Aku bawakan kau macam-macam, tuh."
Mau tak mau Indra tersenyum melihat keceriaan di wajah Febiola. Perempuan ini seperti tak pernah sedih. Kehadirannya selalu mampu membuat orang lain tersenyum.
"Bawa apa lagi?" tanya Indra yang tertarik dengan tawaran itu.
Febiola memeriksa keranjang besar yang dibawanya, lalu menyebutkan beberapa isinya, "Ada pepaya, mau" Apel, mangga, anggur, pir, sirsak..."
Indra mendengar daftar itu sambil berpikir kamarnya telah menjadi pasar buah-buahan.
"Kenapa kau tidak bawakan durian sekalian, Feb?"
Febiola tertawa kecil. "Aku sih mau-mau saja membawakanmu durian, Fer. Tapi itu kan tidak umum untuk menjenguk orang sakit."
Indra pun tertawa. Kehadiran Febiola seperti meredakan rasa sakitnya.
*** Di sore yang sama, Anisa termenung di tempat kerjanya yang tengah sepi pembeli. Tiga orang kawan kerjanya sedang bercakap-cakap di pojokan dealer, sementara
Anisa duduk termenung sendirian.
Sudah empat hari ini Indra tidak menjemputnya. Sudah empat malam ini Anisa pulang sendirian. Setelah tahu Indra benar-benar sakit dan tak bisa menjemputnya,
Anisa memesan becak yang biasa mangkal di depan dealernya agar setiap malam datang untuk mengantarnya pulang. Itu tidak menjadi masalah bagi Anisa. Dulu
pun ia sering pulang sendirian saat Ferry berhalangan menjemputnya. Tetapi selama empat malam ini, Anisa seperti merasa kehilangan setiap kali keluar dari
dealernya yang telah tutup dan tak mendapati Indra yang tengah menunggunya.
Kini Anisa terbayang pada lelaki itu. Jadi selama tiga bulan ini lelaki yang bersamanya bukanlah Ferry, melainkan Indra. Pernahkah aku menyadari hal itu
sebelumnya meski hanya sedetik" Dua lelaki itu begitu mirip dan identik. Bahkan Anisa yang menjadi kekasih dari salah satunya pun tak mampu membedakan
mereka. Dua-duanya sama-sama tampan dengan sorot mata lembut yang biasa menggetarkannya. Sikap mereka juga sama terhadap dirinya. Sama-sama penuh perhatian.
Anisa tak bisa melupakan saat beberapa malam yang lalu, ketika hujan turun dengan lebat dan ia tengah kebingungan untuk pulang karena rasa pusing di kepalanya
tiba-tiba menyerang, Indra datang tanpa disangka-sangkanya. Dia datang dengan tubuh basah kuyup, dengan wajah yang begitu jelas prihatin dan khawatir dengan
keadaannya. Kemudian lelaki itu menuntunnya duduk, lalu pergi entah kemana untuk mencarikan minuman untuknya...
Apakah aku telah menyadari bahwa lelaki yang datang malam itu adalah Indra" Meski telah diberitahu bahwa Ferry telah meninggal dalam kecelakaan itu, tetapi
sampai detik itu pun Anisa tidak juga menyadari bahwa sosok yang berada bersamanya itu adalah Indra.
Anisa tak akan lupa bagaimana sorot mata Indra yang tampak lega setelah melihatnya meminum teh hangat dalam plastik yang disodorkannya malam itu, juga
sorot kelegaan di wajah Indra saat melihat dirinya mulai reda dari pusing kepalanya. Dan...apa yang dikatakan lelaki itu saat melihatnya tengah memegangi
kepalanya..." "Mungkin kau kena anemia, Nis. Pernah periksa tensi darahmu?"
Tapi waktu itu Anisa tengah merasakan kepalanya yang berat dan berputar-putar hingga tak terlalu menghiraukan ucapan Indra. Sekarang dia mengingatnya.
Bahkan mengingatnya dengan jelas. Dia sama penuh perhatiannya seperti Ferry.
Kemudian angan Anisa terbang ke malam-malam sebelumnya, ke hari-hari sebelumnya. Saat dia demam karena kehujanan, lelaki itu datang dan Anisa sama sekali
tak mengetahui kalau itu bukanlah Ferry. Dia datang dengan kekhawatiran dan wajah penuh prihatin. Kemudian mereka berbincang-bincang di kamarnya tanpa
sedetik pun Anisa menyadari bahwa itu bukanlah kekasihnya. Anisa masih ingat perhatian dan pertanyaannya saat itu...
"Kau ingin sesuatu?"
"Kalau kau tidak ada keperluan lain, aku hanya menginginkan kau tetap di sini."
Dan lelaki itu menuruti keinginannya. Indra yang artis populer itu menemaninya. Membantunya minum, mengupaskan buah-buahan, menyuapi makan untuknya dengan
penuh sayang. Dan kemudian dia melihat bungkusan ponsel baru itu...
Dia melakukan hal yang tepat sama seperti yang biasa dilakukan Ferry untuknya. Bagaimana mungkin Anisa dapat membedakannya..." Hingga beberapa hari setelah
itu, ketika Anisa menyadari ponsel itu telah terbayar...
"Fer, aku selaluuu membuatmu repot dan susah."
"Oh ya" Aku tidak pernah menyadarinya."
"Seharusnya kau tidak melakukan itu, Fer. Itu tanggung jawabku."
"Melakukan apa?"
"Kau tidak perlu mengganti ponsel itu..."
"Oh, itu." "Fer, kau tidak perlu mengganti ponsel itu. Aku sudah berjanji pada Om Kris untuk mencicilnya dengan gajiku."
"Kau tidak perlu melakukannya."
"Kau juga tidak perlu melakukannya. Aku...telah banyak membuatmu susah. Aku..."
"Lupakan saja."
Anisa merasakan sesuatu berdesir dalam hatinya. Waktu itu dia menyangka sosok yang bersamanya adalah Ferry, tetapi ternyata Indra. Bagaimana mungkin aku
tidak menyadarinya selama ini..."
Bayangan demi bayangan kemudian semakin mengaduk-aduk angan Anisa. Saat-saat di UKM Pers, ketika dia merasa hampir pingsan karena merasakan kepalanya yang
tiba-tiba terasa berat, Indra juga menunjukkan kekhawatiran yang sama besarnya seperti yang selalu ditunjukkan oleh Ferry. Anisa juga tak dapat melupakan
saat ia merebahkan kepalanya di paha Indra... Wajah mereka begitu dekat, saat itu, dan Anisa menatap wajah Indra yang menunduk memandanginya... Dan mata
mereka bertatapan... Ya Tuhan, mengapa aku tak menyadari kalau itu bukanlah kekasihku..."
Waktu itu, Anisa merasakan debar yang sama, getar yang sama, juga kebahagiaan yang sama seperti yang biasa dirasakannya saat berdekatan dengan Ferry, saat
bertatapan dengan Ferry. Mengapa alam melakukan kekeliruan seperti ini..."
Anisa meremas jemarinya sendiri dengan gelisah. Apa yang tengah terjadi dengan dirinya" Pada mulanya, Anisa merasa sangat marah pada Indra karena merasa
dipermainkan. Anisa juga merasa benci pada Indra ketika menyadari bahwa Ferry telah meninggal dalam kecelakaan itu karena menggantikan tempatnya di Jakarta.
Anisa merasa telah dibohongi, dikhianati, dan dipermainkan.
Tetapi kemudian, seiring waktu yang berjalan, dan setelah dia berhasil meredakan kesedihannya perlahan-lahan, tangis kehilangannya pun mulai mengendap
menjadi rasa penerimaan terhadap takdir dan kenyataan. Pada saat itu, Anisa pun mulai menyadari bahwa Indra juga merasakan kesedihan yang sama, rasa kehilangan
yang sama, bahkan mungkin juga rasa bersalah yang amat besar karena telah melakukan permainan tukar tempat yang menyebabkan tewasnya Ferry. Dan dalam kecamuknya
perasaan itu, Anisa telah menambah beban batin Indra dengan kemarahannya, dengan sikap kebenciannya. Sekarang Anisa dapat membayangkan tersiksanya hati
Indra di waktu-waktu itu...
Dan sekarang Indra sakit. Anisa yakin itu pasti akibat kehujanan beberapa malam saat ia menjemput dirinya. Sekarang lelaki itu tak bisa menjemputnya lagi.
Anisa merasa kehilangan. Tiba-tiba dia juga merasa bersalah kepadanya.
Anisa kembali meremas jemarinya dengan perasaan tak karuan, sementara senja mulai turun di bumi Semarang.
*** Setelah Febiola berpamitan untuk pulang dan berlalu dari rumahnya, Silvia pun segera menemui Indra di kamarnya.
"Siapa tuh, Ndra?" tanya Silvia.
"Febi, Ma," jawab Indra pendek.
"Siapa tuh Febi?"
"Febiola. Putri Om Surya, pemilik Batik Surya Hadi itu." Indra menjelaskan.


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Silvia mengerutkan kening. Dia tentu saja kenal dengan Surya Hadi, salah satu pengusaha batik besar di Semarang yang juga beberapa kali pernah berhubungan
dengan suaminya. Dia sama sekali tak menyangka kalau tadi itu putrinya.
"Kau kenal dimana?" tanya Silvia kemudian.
"Ferry yang kenal, saya cuma melanjutkan," jawab Indra sambil tersenyum.
"Sudah lama kenalannya?"
"Lumayan." Indra mengambil beberapa butir anggur dari keranjang yang dibawakan Febiola, kemudian mengunyahnya dengan nikmat.
"Kau sepertinya sudah mulai sembuh?" tanya Silvia dengan tersenyum.
Indra pun tersenyum menangkap pandangan ibunya yang tampak ceria. "Mama juga tampak bahagia?"
Silvia tertawa. "Bagaimana Mama tidak bahagia kalau melihatmu mulai sembuh" Oh ya, kau sudah sering dolan ke rumah Febi?"
"Kadang-kadang."
"Sudah bertemu dengan mamanya?" tanya Silvia seperti ingin memastikan.
"Seminggu yang lalu saya malah sempat mengantarkan mereka pulang, waktu Febi ada acara fashion di Tirta Kencana." Indra menuturkan. "Memangnya Mama kenal
sama mama Febi?" "Kami beberapa kali bertemu waktu ada acara kumpulan para pengusaha," Silvia menjelaskan. "Papamu juga beberapa kali menjalin kerjasama dengan papa Febi."
"Jadi Mama kenal sama mereka?" Indra jadi tertarik.
"Orang tua Febi" Papamu juga kenal sama mereka."
Indra kembali memungut beberapa butir anggur dari keranjang, dan kembali mengunyahnya dengan nikmat.
"Ndra, tadi acara apa yang kauceritakan itu?"
"Acara apa?" tanya Indra yang jadi bingung.
"Itu, yang tadi kauceritakan waktu kau mengantar Febi sama mamanya itu."
"Oh itu, seminggu yang lalu Febi ada acara fashion di Tirta Kencana," Indra menceritakan. "Itu pagelaran batiknya Om Surya. Saya datang kesana karena diundang
Febi. Waktu Febi sama mamanya mau pulang, Om Surya belum bisa langsung pulang karena masih ada urusan. Sementara mama Febi sepertinya sudah tidak betah
di sana. Jadi saya tawarkan untuk mengantarkan mereka pulang."
"Jadi Febi tuh pragawati?" tanya Silvia seperti baru memahami.
"Iya," jawab Indra.
Silvia kemudian membayangkan sosok Febiola yang tadi dilihatnya. Gadis itu memang sangat cantik. Juga penuh keceriaan. Kemudian angannya berganti pada
sosok Anisa yang lembut. Dan mencoba membayangkan keduanya.
Semenjak tahu bahwa Febiola adalah putri konglomerat, sang pengusaha besar Surya Hadi, sambutan Silvia terhadap Febiola pun berubah menjadi lebih ramah.
Dua hari setelah kedatangannya yang pertama, Febiola kembali datang. Kali ini pada suatu pagi menjelang siang, dan kembali membawa sekeranjang besar buah-buahan.
Saat membukakan pintu untuknya, Silvia pun menyambutnya dengan senyum lebar.
"Jadi kau putrinya Pak Surya?" tanya Silvia dengan ramah setelah mempersilakan Febiola masuk.
Febiola mengangguk dan tersenyum manis.
"Tante juga kenal dengan papa-mamamu." Silvia mengatakannya dengan senang. "Sampaikan salam Tante untuk mamamu, ya?"
"Iya, Tante," jawab Febiola dengan senyum manis yang sama.
Silvia pun menuntun Febiola menuju ke kamar Indra.
Indra masih tampak pucat dan tubuhnya masih lemah.
"Hei," sapa Febiola dengan ceria.
"Hei," balas Indra dari tempat tidurnya.
Silvia segera berlalu, dan Febiola duduk di dekat Indra berbaring. Setelah menaruh keranjang besar yang dibawanya ke atas meja, Febiola pun segera menyampaikan
tawarannya seperti kemarin. Apel" Anggur" Pepaya" Mangga"
"Kau bawa durian?" tanya Indra sambil tersenyum.
"Jadi kau benar-benar ingin durian?" Febiola tertawa. "Jangan khawatir. Kalau kau sudah sembuh, kita akan cari durian sebanyak-banyaknya!"
Indra selalu terhibur dengan gaya Febiola yang ceria dan penuh senyum, dan itu kemudian dikatakannya pada Febiola. "Aku jadi merasa lebih sehat kalau sudah
melihatmu." "Wah, bahaya tuh," kata Febiola sambil tersenyum. "Kalau tiap orang sepertimu, apotek bakal bangkrut!"
Indra pun tertawa. "Nah, kau ingin apa sekarang?" Febiola kembali menawarkan. "Anggur" Apel?"
*** Saat Indra sedang bercanda dengan Febiola, Anisa datang ke sana dan kini tengah berjalan di halaman rumah dengan membawa bungkusan di tangannya. Silvia
yang masih duduk-duduk di ruang tamu segera melihatnya, dan segera membukakan pintu untuknya.
"Anisa..." sapa Silvia dengan senyum ramah seperti biasa.
Anisa mencium tangan Silvia, kemudian bertanya, "Indra ada kan, Bu?"
"Tentu saja," jawab Silvia dengan ramah. "Dia ada di kamarnya. Badannya masih lemah. Ayo, Ibu antar kesana."
Silvia pun membawa Anisa menuju kamar Indra. Sesampai di depan pintu kamar yang terbuka, langkah Anisa tertahan tiba-tiba. Indra sedang tertawa-tawa dengan
sesosok perempuan yang tak ia kenal.
"Hei, Nis..." sambut Indra yang melihat kedatangan Anisa.
Anisa tersenyum pada Indra yang masih terbaring di atas tempat tidur, kemudian melangkah ke dalam kamar. Diletakkannya bungkusan yang dibawanya di atas
meja, di sebelah keranjang besar yang sudah ada di sana.
"Sudah agak baikan?" tanyanya kemudian.
"Lumayan," jawab Indra.
Anisa menarik kursi yang ada di bawah meja, kemudian duduk di atasnya. Lalu kamar itu pun sunyi. Tiba-tiba suasana jadi sangat kikuk.
Febiola berpikir, mungkin inilah pacar Ferry. Sementara Anisa sama sekali tak tahu siapa perempuan yang ada di hadapannya, dan dalam hati bertanya-tanya,
apakah ini pacar Indra"
Febiola masih duduk di pinggiran tempat tidur, berdekatan dengan Indra. Tetapi kemudian dia menyadari bahwa tempat yang didudukinya sekarang lebih layak
jika ditempati Anisa. Maka Febiola pun kemudian berdiri dan berkata sesopan mungkin, "Hm, mungkin sebaiknya aku keluar dulu."
Bersamaan dengan itu, Anisa juga melakukan hal yang sama.
Mereka saling berpandangan dengan kikuk, dan salah tingkah. Febiola terlebih dulu sadar dan mengatakan, "Aku sudah dari tadi, kok." Lalu Febiola pun keluar
dari kamar, meninggalkan Indra bersama Anisa.
Anisa tidak berpindah dari tempat duduknya. Ia tetap duduk di kursi yang tadi, dan sekarang menatap ke arah Indra yang masih terbaring dengan wajah agak
pucat. "Terima kasih kau mau datang," kata Indra.
"Maafkan aku baru bisa menjengukmu sekarang," ujar Anisa dengan kikuk. "Kau...kau pasti sakit karena sering kehujanan waktu menjemputku."
"Tidak juga," jawab Indra.
"Aku... aku harus minta maaf atas semua yang terjadi kemarin."
Indra menggelengkan kepalanya. "Kau tidak perlu minta maaf untuk apapun."
"Aku telah banyak menyusahkanmu, Ndra."
Indra tersenyum. Itu sapaan Anisa yang pertama kali terhadap namanya setelah "permusuhan" kemarin. Lalu dia berkata, "Aku pernah mengatakan padamu, aku
selalu senang melakukannya."
"Tapi...akibatnya seperti ini. Kau jadi sakit."
"Paling beberapa hari lagi sudah sembuh," jawab Indra membesarkan hati Anisa.
Mereka terdiam, kemudian Anisa teringat pada bungkusan yang dibawakannya untuk Indra.
"Kau sudah makan?" tanya Anisa. "Aku bawakan makanan untukmu."
Indra seperti tak punya kekuatan untuk menolak. Maka dia pun menganggukkan kepalanya. Anisa mengambil bungkusan yang tadi dibawanya, dan mengeluarkan sebuah
kotak kardus dari dalam plastik. Saat dibukakannya di hadapan Indra, Anisa tersenyum melihat mata Indra yang berbinar. Indra menyaksikan nasi kebuli yang
kelihatan sangat lezat dalam kotak kardus itu.
"Ferry menyukai nasi kebuli," kata Anisa, "dan kupikir...kau mungkin juga menyukainya."
"Aku sangat menyukainya," jawab Indra sambil tersenyum senang.
Anisa pun menyiapkan sendok plastik yang terdapat dalam kotak kardus nasi, sementara Indra mengangkat tubuhnya untuk duduk. Ia kemudian bersandar pada
bantal yang ditegakkan. Anisa memberikan kardus nasi itu, dan Indra menerimanya. Tapi kemudian Indra merasakan tangannya begitu lemah dan merasa berat menyangga kardus nasi. Maka
ia pun bertanya, "Kau mau memegangi kardus ini" Tanganku lemah sekali."
Anisa mengangguk. Indra mulai menyuapkan nasi ke mulutnya, sementara Anisa menyangga kardus di tangannya. Anisa senang melihat Indra yang begitu menikmati
nasi yang dibawakannya. Setelah Indra menghabiskan nasinya, Anisa mengulurkan air putih dalam gelas kepadanya. Indra pun segera meminumnya.
"Besok aku pasti sudah sembuh," kata Indra dengan wajah berbinar. Sekarang wajahnya tak sepucat tadi. "Aku makan banyak sekali..."
Anisa tersenyum. "Besok akan kubawakan lagi."
"Tidak perlu," jawab Indra membalas senyum itu. "Besok aku pasti sudah bisa mengajakmu makan nasi kebuli bersama."
Senyum mereka bertaut. Tatapan mereka bertemu. Dan sekali lagi kamar menjadi sunyi. Ada banyak kata yang diucapkan dari hati ke hati.
*** Sekeluar dari kamar Indra tadi, Febiola melangkah ke ruang tamu, dan sudah berencana untuk pulang. Tetapi di ruang tamu ia bertemu dengan ibu Indra yang
segera saja mengajaknya berbincang-bincang.
Merasa telah cukup akrab, Febiola pun melayani perbincangan itu dengan santai dan lebih terbuka. Beberapa kali mereka bahkan sempat bercanda tentang hal-hal
tertentu. Sementara sampai saat itu, Anisa tetap belum tampak keluar juga dari kamar Indra.
"Yang tadi itu, pacar Ferry ya, Tante?" tanya Febiola kemudian.
Silvia tidak langsung menjawab, namun menatap Febiola dengan sungguh-sungguh. "Febi, Tante boleh tahu kapan kau kenal dengan Ferry?"
"Sudah cukup lama, Tante," jawab Febiola sambil mengingat-ingat waktunya. "Kalau tidak salah, beberapa bulan sebelum saudara kembar Ferry mengalami...
kecelakaan itu." "Febi," ujar Silvia kemudian, "kalau Tante ingin mengatakan sesuatu kepadamu, kau mau menjaganya?"
"Tentu saja, Tante," jawab Febiola meyakinkan.
Silvia menatap Febiola. "Menurutmu, siapa yang telah kautemui di kamar tadi" Indra atau Ferry?"
"Ferry kan, Tante?"
Silvia menggelengkan kepala. "Bukan. Dia Indra."
"Haa?" Buru-buru Febiola menutup mulutnya yang terbuka dengan tangannya. "Mm... maksud Tante?"
"Ferry telah meninggal dunia," kata Silvia dengan halus. "Yang tadi kautemui itu Indra."
"Saya... saya tidak mengerti, Tante."
Kemudian, dengan halus dan runtut, Silvia pun menceritakan kejadian yang sebenarnya. Febiola dengan khusyuk mendengarkan kisah paling mencengangkan yang
belum pernah dibayangkannya.
Ya Tuhan, batin Febiola kemudian, Indra Gunawan masih hidup! Artis sinetron yang populer itu ternyata masih hidup! Dan dia, Febiola, telah berkencan dengan
Indra Gunawan, bahkan menjenguknya saat dia sakit, juga pernah diantarkan pulang bersama mamanya! Ya Tuhan, Indra Gunawan! Bagaimana reaksi mamanya kelak
kalau tahu bahwa putrinya telah berkencan dengan Indra Gunawan yang sangat diidolakannya itu...?""
Febiola merasakan dadanya bergemuruh"suatu gelombang perasaan yang belum pernah dirasakannya.
"Jadi...dia benar-benar Indra...yang di kamar itu?" tanya Febiola terbata-bata setelah Silvia menyelesaikan ceritanya.
Silvia mengangguk dan tersenyum maklum saat melihat Febiola tampak terkejut.
Kalau begitu cewek yang tadi datang itu bukan pacarnya, pikir Febiola sambil menerawang. Cewek tadi itu pacar Ferry, dan bukan pacar Indra. Jadi...
Febiola merasakan berjuta bunga yang tiba-tiba tumbuh di hatinya. Tanpa sadar bibirnya tersenyum mengikuti angannya. Bagaimana mungkin aku bisa seberuntung
ini..." *** Malam itu Anisa banyak termenung di tempat kerjanya. Ada sesuatu yang tengah bergejolak di lubuk hatinya yang tersembunyi. Tadi siang saat menjenguk Indra,
ia telah bertekad untuk memperbaiki hubungannya dengan lelaki itu. Dan ketika siang tadi melangkah memasuki halaman rumah Indra, Anisa merasakan suatu
perasaan d?j? vu"ia merasa sedang menemui Ferry. Entah mengapa, Anisa merasakan debar yang sama, getar yang sama, seperti dulu saat ia akan menemui Ferry.
Indra pun rupanya menempati kamar Ferry. Anisa masih ingat dulu ia pernah menjenguk Ferry saat sakit, dan Ferry juga menempati kamar itu. Namun sekarang
isi kamarnya telah berubah meski sebagian besar barang yang ada di sana masih sama seperti dulu.
Anisa menikmati saat-saat kebersamaannya lagi dengan Indra. Setelah beberapa minggu ini hubungan mereka memburuk, rasanya menyenangkan saat mereka dapat
berbincang kembali seperti dulu, dapat tersenyum dan bercanda kembali seperti semula. Anisa telah membuang semua kemarahan maupun kebenciannya pada Indra.
Saat melihatnya terbaring tak berdaya di atas tempat tidur, semua perasaan marah dan benci Anisa musnah seketika.
Tetapi...siapa perempuan yang tadi ditemuinya itu" Anisa seperti merasa tidak suka saat melihat perempuan itu. Dan saat melihatnya tengah tertawa-tawa
dengan Indra... Mengapa dia ada di sana" Anisa seperti merasakan... Ya Tuhan, dia segera menyadari dengan gugup. Apakah aku cemburu..."
Tetapi pantaskah dia cemburu" Lelaki yang ada di kamar tadi bukan Ferry, dia sosok yang lain. Pantaskah dia cemburu jika Indra memiliki pacar sendiri"
Anisa merasakan suatu nyeri di hatinya membayangkan itu. Apakah perempuan itu pacar Indra"
Tiba-tiba Anisa merasakan dunianya begitu gelap. Dia seperti baru menyadari bahwa sekarang dia bukan hanya kehilangan Ferry. Dia juga merasa telah kehilangan Indra.
Anisa menepati janjinya pada Indra. Keesokan harinya, ia kembali datang dengan membawakan nasi kebuli lagi seperti yang dijanjikannya kemarin. Anisa sengaja
datang menjelang dhuhur, agar sepulangnya nanti bisa sekalian langsung menuju ke tempat kerjanya.
Keadaan Indra sudah lebih baik dibanding kemarin. Wajahnya sudah tampak segar, dan tubuhnya pun tidak selemah sebelumnya. Ketika Anisa menemuinya, ia mendapati
Indra sedang duduk menyandar pada bantal sambil membuka sebuah majalah di tangannya.
"Anisa," sapa Indra dengan senang saat melihatnya datang, dan segera meletakkan majalahnya di atas meja.
Anisa tersenyum. "Aku bawakan nasi kesukaanmu lagi. Kau sudah makan?"
"Untung saja aku belum makan," kata Indra dengan tersenyum.
Anisa segera membuka bungkusan yang dibawanya, mengeluarkan kotak kardus, dan memberikannya pada Indra.
"Perlu kupegangi kardusnya?" tanya Anisa.
"Tidak perlu," jawab Indra. "Aku sudah lebih kuat sekarang."
Anisa pun duduk, dan Indra memulai makan siang lezatnya. Duduk sambil memandangi Indra yang sedang makan seperti itu membuat Anisa teringat kembali pada
Ferry. Dan sekali lagi Anisa merasakan d?j? vu. Dulu dia pernah mengalami saat-saat seperti ini. Saat masih memiliki Ferry, saat kekasihnya sakit dan ia
menjenguknya dan membawakan makanan kesukaannya...
"Kok melamun?" tegur Indra.
Anisa menggelengkan kepalanya. "Tidak. Lanjutkan makanmu."
Untuk menghindari lamunan seperti tadi, Anisa pun mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar itu, menikmati suasana baru yang diciptakan Indra di kamar
yang dulu milik Ferry. Anisa melihat tempat tidurnya masih sama. Lemari dan mejanya juga sama. Hanya sekarang ada beberapa perubahan pada hiasan dinding.
Dulu Ferry menempelkan hiasan etnik seperti topeng suku Indian dan beberapa lukisan abstrak, namun sekarang hiasan dindingnya telah berganti dengan poster-poster
group musik berukuran besar.
Saat mengikuti pandangannya melewati poster demi poster yang tertempel di dinding, Anisa merasa tercekat. Kemarin saat masuk ke kamar ini dia tidak sempat
memperhatikannya, namun sekarang dia melihatnya. Salah satu poster yang tertempel di situ bukan poster group musik. Juga bukan poster artis. Itu adalah
poster fotonya! "Kau tidak keberatan, kan?" tanya Indra tiba-tiba saat melihat Anisa masih memandangi poster dirinya yang tertempel di dinding itu.
Anisa menoleh ke arah Indra dan menyahut dengan tergagap, "Aku...eh, aku tidak menyadari kalau ada poster fotoku di situ." Kemudian Anisa kembali mengarahkan
pandangannya ke poster itu. "Apakah Ferry yang membuatnya?"
Indra mengambil sesuatu dari balik keranjang buah yang ada di atas meja dekat tempat tidurnya. Anisa melihat sebuah bingkai foto dirinya. Anisa tahu itu
adalah bingkai foto yang dulu juga ada di kamar ini saat Ferry yang menempatinya.
"Aku menemukan ini di meja," kata Indra sambil memperlihatkan bingkai foto itu. "Lalu kubawa ke studio untuk diperbesar jadi poster. Kau tidak keberatan, kan?"
"Aku... eh, tidak..." jawab Anisa kebingungan. "Tapi... tapi... mengapa?"
Indra tersenyum. Kemudian menatap ke arah poster itu, dan menjawab, "Karena aku suka memandangmu."
Saat hari semakin siang dan jarum jam telah hampir menunjuk angka dua, Anisa pun pamit pulang karena harus berangkat ke tempat kerjanya. Indra melepasnya
dengan berat. Ketika keluar dari pintu rumah, entah mengapa Anisa merasakan hatinya berbunga-bunga.
Tetapi ketika langkahnya sampai di depan pintu gerbang rumah Indra, kebahagiaan Anisa langsung runtuh. Ia melihat perempuan yang kemarin ditemuinya tampak
baru turun dari mobil yang berhenti di depan rumah Indra, dengan membawa sekeranjang besar buah-buahan.
Sekali lagi ada suatu perasaan yang menusuk di ulu hatinya. Ketika akhirnya ia berpapasan dengan perempuan itu, Anisa hanya dapat tersenyum tipis.
"Barusan jenguk Indra ya?" tanya Febiola dengan senyum ramah.
Anisa hanya mengangguk. Jadi dia juga tahu kalau cowok yang mereka jenguk itu Indra! Anisa meneruskan langkahnya dengan gontai.
*** Indra masih duduk menyandar pada bantal di atas tempat tidurnya sambil menatap ke poster Anisa yang tertempel di dinding kamarnya. Dia memang sengaja membesarkan
foto Anisa ketika mulai menyadari telah jatuh cinta pada perempuan itu. Dan Indra bersyukur telah melakukan itu. Beberapa hari selama sakit, ia tak dapat
bertemu Anisa, dan ia bisa sedikit terhibur dengan menatap posternya, mengobati rasa kangennya.
Pintu kamarnya terbuka, dan ibunya memberitahukan kedatangan Febiola.
Lalu Febiola pun muncul di ambang pintu kamar dan tersenyum manis. Silvia segera berlalu.
"Halo, Indra," sapa Febiola dengan ceria seperti biasa.
Indra tercekat. "Kau...kau sudah tahu...?"
Febiola mendekat dan kemudian duduk di dekat Indra setelah menaruh keranjang besarnya di atas meja. "Sudah tahu kalau kau Indra?" tanyanya kemudian dengan
senyum ceria. "Dari mana kau tahu?" tanya Indra dengan bingung.
"Mamamu yang memberitahuku."
Indra menghela napas, kemudian bertanya, "Kau... kau sudah dengar apa lagi?"
"Semuanya, Ndra," jawab Febiola, masih dengan senyumnya. Dan ketika melihat wajah Indra tampak khawatir, buru-buru Febiola menambahkan, "Tak perlu khawatir.
Mamamu sudah berpesan agar aku menjaga rahasia ini, dan mamamu tahu aku bisa menjaganya."
"Mamamu juga tidak tahu?" Indra masih menuntut.
Kali ini Febiola tersenyum menggoda. "Saat ini belum."
"Jadi kau sudah ada rencana untuk memberitahu mamamu?"
"Kalau waktunya sudah tepat," jawab Febiola.
Indra benar-benar menyayangkan ibunya menceritakan hal itu pada Febiola.
*** Ketika akhirnya sembuh dari sakitnya, Indra merasa sudah tak sabar lagi untuk kembali melakukan rutinitas yang telah ditinggalkannya selama sakit. Siang
itu pun, Indra telah sampai di depan pintu rumah Anisa.
Anisa yang sama sekali tak menyangka Indra akan datang terlihat sangat terkejut. "Indra..."!" pekiknya.
Indra tersenyum senang melihat keterkejutan Anisa. "Kaget, ya?" tanyanya kemudian.
"Kau sudah sembuh?" tanya Anisa sambil memperhatikan Indra.
"Kau dan nasi kebuli yang kaubawa membuatku cepat sembuh." Setelah terdiam sesaat, Indra melanjutkan, "Dan...aku juga sudah ingin kembali melakukan sesuatu
yang selalu kusukai."
"Maksudmu, hobimu?" Anisa bertanya tak paham.
"Lebih dari sekadar hobi. Aku sudah kangen ingin kembali mengantar dan menjemputmu seperti biasa."
Maka tahulah Anisa kalau kedatangan Indra hari itu adalah untuk mengantarkannya ke tempat kerja.
"Kau tidak perlu memaksakan diri, Ndra," kata Anisa merasa bersalah.
Tetapi Indra menjawabnya dengan senyum yang membesarkan hati. "Aku jelas harus memaksakan diri, Nis, karena aku sudah sangat ingin kembali melakukannya..."
Maka begitulah, rutinitas yang biasa itu pun kembali dilakukan, dan Anisa mulai menikmatinya. Siang hari, Indra akan datang untuk mengantarkan Anisa ke
tempat kerja, dan malamnya ia kembali datang menjemputnya dari tempat kerja untuk mengantarkannya pulang ke rumah.
Suatu hari, Indra datang untuk menjemput Anisa seperti biasa, namun hari itu Anisa libur. Dealer tempat kerja Anisa tidak mengenal hari libur, kecuali
hari-hari besar. Karenanya tidak ada hari libur tetap untuk para karyawannya. Masing-masing karyawan diberi hari libur berdasarkan giliran di antara mereka,
yang ditentukan sendiri berdasarkan kesepakatan setiap minggunya. Indra tidak tahu hari itu Anisa mengambil libur karena semalam Anisa terlupa memberitahunya.
Ketika Indra datang ke rumahnya, Anisa pun merasa bersalah.
"Maaf, Ndra," katanya, "semalam aku lupa memberi tahu kalau hari ini aku libur."
"Tidak apa-apa," jawab Indra sambil duduk di ruang tamu. "Jadi, hari ini kau tidak berangkat kerja?"
Anisa menggeleng. "Kau ada acara?" tanya Indra lagi.
"Hm... acaraku sudah selesai semua."
"Wow, banyak acara hari ini?"
"Macam-macam," jawab Anisa sambil tersenyum. "Nyuci baju, bersih-bersih kamar dan rumah, mencabuti rumput halaman..."
Indra pun tertawa kecil. "Tidak ada acara keluar?"
Anisa kembali menggeleng.
"Tidak keberatan kalau aku mengajakmu keluar?"
"Kemana?" tanya Anisa.
"Kemana yang kauinginkan?"
"Lho, kan kau yang punya rencana?"
Indra tampak berpikir sesaat. "Hm, mungkin ajakan makan siang sudah terlambat ya. Hmm... kau suka batagor?"
Anisa tertawa kecil, kemudian bertanya dengan senyumnya, "Artis terkenal mengajakku makan batagor?"
Indra pun tertawa. "Kenapa tidak" Aku selalu suka jajan batagor. Itu salah satu makanan favoritku."
"Aku juga suka."
Maka mereka pun berangkat.
*** Suasana di gerai batagor itu agak sepi karena jam makan siang sudah lewat, dan Indra sangat menikmati kebersamaannya dengan Anisa.
"Sepertinya kau sudah sering kesini, Ndra," ujar Anisa.
"Tidak juga," jawab Indra. "Ferry yang mengenalkanku pada tempat ini."
Mendengar nama Ferry disebut, Anisa pun jadi terdiam.
Indra segera menyadari hal itu. "Maaf, aku tidak bermaksud mengingatkanmu..."
Anisa menggeleng dan menjawab lirih, "Tidak apa-apa..."
Pesanan mereka datang. Dua porsi batagor dengan dua buah teh botol.
"Ndra," kata Anisa setelah menyedot minumannya, "sejujurnya aku merasa tidak enak denganmu..."
"Kenapa?" Indra mengangkat wajahnya dan menatap Anisa.
"Seperti yang pernah kukatakan dulu, seharusnya kau tidak perlu mengantar dan menjemputku dari tempat kerja."
"Kau keberatan?"
Anisa menggeleng. "Aku... aku hanya merasa tidak enak terus-menerus merepotkanmu."
Indra menyedot minumannya, kemudian berkata dengan halus, "Maksudmu, itu kewajiban Ferry, dan sama sekali bukan kewajibanku?"
Anisa terdiam beberapa lama sebelum kemudian menjawab, "Ndra, aku tidak ingin kau memaksakan diri. Aku tidak mau itu jadi beban bagimu. Sejujurnya, aku
merasa sangat-sangat tidak enak..."


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anisa," kata Indra. "Percayalah, aku senang melakukannya untukmu..."
Kini piring-piring mereka telah kosong dan minuman dalam botol hampir habis. Sekelompok remaja berseragam SMA tampak berdatangan dan menempati salah satu
sudut ruangan di sana. Indra menyadari ada cukup banyak pasang mata dari anak-anak SMA itu yang terarah kepadanya.??
"Mereka pasti menyangkamu Indra," kata Anisa sambil tersenyum.
Indra tertawa. "Lho, memang aku Indra, kan?"
"Oh, iya ding," jawab Anisa. "Jadi mereka pasti menyangkamu saudara kembarnya."
Indra merasa tidak enak mendengar itu. Ia jadi kembali merasakan suatu rasa bersalah yang beberapa waktu lalu menggayuti hatinya.
"Nis," katanya kemudian, "kau benar-benar telah merelakan kepergian Ferry?"
Anisa menunduk. Terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab perlahan, "Kau tahu bagaimana beratnya aku melakukannya. Tapi... ya, sekarang aku sudah
mulai bisa melakukannya."
"Maafkan aku," kata Indra.
Anisa menggelengkan kepala dan mencoba tersenyum. "Tidak apa-apa," desahnya kemudian.
Setelah puas duduk-duduk di gerai batagor, Indra kemudian mengajak Anisa ke sebuah mall.
"Mau menemani aku belanja?" tanyanya sebelum masuk mall yang terlihat cukup ramai.
Anisa tidak menolak, dan mereka pun kemudian asyik menelusuri lorong-lorong pakaian, dari satu lantai ke lantai lain. Indra memilih beberapa t-shirt dan
celana. Setelah selesai dengan belanjanya, Indra membawa Anisa ke bagian pakaian wanita.
"Nah, sekarang giliranmu," kata Indra.
"Hei, aku kan tidak ada niat untuk belanja," jawab Anisa.
"Sekarang kau ada niat untuk belanja," sahut Indra sambil terus membawa Anisa mengitari tempat itu. "Kau suka yang ini?" tanyanya kemudian sambil meraih
sebuah baju cantik yang terpasang di salah satu hanger.
"Ndra, aku... kau tidak perlu..." Anisa jadi merasa serba salah.
"Atau yang ini...?" Indra bertanya lagi tanpa peduli dengan ucapan Anisa.
Anisa semakin serba salah.
"Nah, bagaimana kalau yang ini?" tanya Indra lagi sambil mempertunjukkan sebuah gaun panjang berwarna biru yang tampak sangat indah.
"Ndra!" Mau tak mau Anisa jadi tersenyum. "Rupanya kau suka maksa, ya?"
Indra balas tersenyum "Kau memang kadang perlu dipaksa, kan" Nah, kau setuju dengan yang ini?" Indra masih memegangi gaun panjang warna biru itu.
Anisa jadi tertarik, dan mulai memperhatikan gaun di tangan Indra.
"Aku sudah membayangkan kau pasti sangat cantik dengan gaun ini," kata Indra sambil menatap Anisa.
Sekali lagi Anisa memperhatikan gaun yang masih dipegangi Indra. Gaun itu memang indah, dan Anisa pun ikut membayangkan dirinya mengenakan gaun itu.
"Aku... aku boleh mencobanya dulu?" tanya Anisa kemudian.
Indra tersenyum senang. "Tentu saja kau boleh mencobanya." Kemudian diberikannya gaun itu pada Anisa.
Anisa membawanya ke salah satu kamar pas, mengenakannya, kemudian menatap cermin. Anisa pun segera menyadari gaun panjang biru itu begitu pas di tubuhnya.
Anisa mematut dirinya kembali di cermin, dan semakin menyukai apa yang dilihatnya. Dia kemudian merapikan rambutnya, lalu tersenyum. Pilihan Indra benar-benar
tepat untuknya. Saat Anisa keluar dari kamar pas dan meminta komentar Indra atas gaun yang sekarang tengah dikenakannya, Indra segera tersenyum dan mendekati Anisa. Lalu
ia berbisik, "Kau tahu, kau seperti baru turun dari langit!"
Maka Anisa pun semakin menyukai gaun panjang warna biru itu.
Beberapa saat kemudian, setelah puas berbelanja, mereka pun menuju eskalator untuk turun ke lantai satu. Indra berdiri berdampingan dengan Anisa di salah
satu undakan eskalator yang turun, dengan membawa tas belanja di tangannya.
Sambil bercakap-cakap dengan Anisa di sisinya, tanpa sengaja Indra menengok ke eskalator yang tengah naik di sebelah eskalator mereka. Tampak Febiola tengah
berdiri di sana seorang diri, menuju ke lantai dua. Febiola pun melihat mereka, dan Indra menyapanya.
Anisa, yang mulai menyadari kehadiran Febiola di dekat mereka, kembali merasakan perasaan tak suka seperti yang biasa dirasakannya. Dan saat ia memandang
ke arah perempuan itu, Anisa menyaksikan Febiola tengah menatapnya dengan pandangan yang tak dapat diartikannya.
*** Febiola mengutuk perjumpaannya dengan Indra di mall beberapa hari yang lalu. Sekarang dia semakin menyadari bahwa rupanya Indra telah jatuh hati pada perempuan
pacar Ferry. Apakah memang saudara kembar juga punya selera pacar yang kembar" Febiola tak tahu. Yang ia tahu, dia merasa harapannya mulai terkikis perlahan-lahan
seiring kesadarannya bahwa ia merasa sulit menjangkau hati Indra.
Dia telah mencoba. Dia telah mencobanya dengan banyak cara yang biasa digunakannya untuk menjerat lelaki di manapun. Febiola tahu dirinya memiliki pesona
yang luar biasa sebagai perempuan, dan dia pun tahu bagaimana cara menggunakannya. Tetapi sekarang, menghadapi Indra, Febiola merasa semua keindahan yang
dimilikinya telah meleleh. Indra benar-benar tak mampu dijeratnya. Dan Febiola pun tahu perempuan pacar Ferry itu telah menjadi dinding penghalang antara
dirinya dengan Indra. Febiola menyadari kehadiran perempuan itulah yang membuat Indra terus menjaga jarak dengan dirinya.
Febiola telah mengetahui hal itu. Ia telah mengetahuinya sejak pertama kali? diberitahu bahwa lelaki yang ia kira Ferry itu bukanlah Ferry. Didorong oleh
keinginannya yang besar untuk dapat memiliki lelaki itu, dia pun telah menyelidiki segalanya. Febiola tahu Indra biasa menjemput dan mengantar perempuan
itu ke kampus dan ke tempat kerjanya. Febiola telah mengetahui perempuan itu bekerja sebagai karyawan paruh waktu di sebuah dealer ponsel yang cukup besar
di daerah selatan Semarang. Febiola juga tahu Indra selalu menjemputnya setiap malam, saat perempuan itu akan pulang dari sana.
Jadi itulah sebabnya mengapa Indra memiliki waktu yang amat terbatas untuk dirinya. Febiola menyadari bahwa perempuan itu telah merenggut sebagian besar
waktu milik Indra yang menurut Febiola bisa digunakan untuk menyadari kehadiran serta keindahan Febiola.
Dan kemarin dia mendapati mereka tengah berbelanja di mall. Febiola sama sekali tak menyangka akan terjadi pertemuan seperti itu. Febiola masih merasakan
rasa tidak sukanya saat melihat Anisa yang tampak bahagia di samping Indra, tempat yang menurut Febiola seharusnya diisi olehnya.
Mengapa harus ada perempuan itu, batin Febiola kesal sambil membayangkan Anisa. Perempuan itu harus disadarkan, pikirnya lagi dengan suatu bayangan dalam
pikirannya. *** Malam itu pembeli tak seramai biasanya. Para karyawan pun duduk-duduk santai sambil ngobrol-ngobrol. Saat Anisa menengok jam di dinding, jarumnya telah
menunjukkan pukul setengah sembilan. Sebentar lagi Indra datang, batin Anisa dengan perasaan senang.
Tetapi kemudian yang datang bukan Indra seperti yang dibayangkannya. Ketika sebuah mobil tampak berhenti tepat di depan dealernya, jantung Anisa berdebar.
Ia ingat itu adalah mobil milik perempuan yang menjenguk Indra beberapa waktu yang lalu, perempuan yang beberapa hari kemarin berpapasan dengannya di mall.
Dugaan Anisa memang benar. Febiola tampak turun dari mobil, melangkah menuju dealer, dan tiba-tiba Anisa merasakan perasaannya tidak enak. Apa yang akan
dilakukan perempuan ini"
Febiola mendekat ke counter. Seorang karyawan segera beranjak untuk melayaninya. Ketika si karyawan menyapanya dengan ramah dan bertanya apa yang bisa
dibantunya, Febiola menatap ke arah Anisa dan menjawab dengan suara yang angkuh, "Aku ingin dilayani dia."
Anisa pun bangkit dari tempatnya dengan kening berkerut. Dia mendekati Febiola dan bertanya seramah yang ia bisa, "Ada yang bisa kubantu?"
Febiola menginginkan sebuah ponsel seri terbaru"dengan fitur paling lengkap dan teknologi paling canggih, plus dengan bentuk yang paling cantik. Anisa
membawanya menuju etalase tempat ponsel-ponsel terbaru dipajang. Febiola mengikuti Anisa dengan langkah-langkahnya yang angkuh.
"Ada yang diminati?" tanya Anisa setelah Febiola cukup lama memperhatikan deretan ponsel di etalase.
"Kenapa kau tidak sabar sekali?" tanggap Febiola dengan dingin.
"Oh, maaf." Dan dia pun bertekad untuk menutup mulutnya.
Febiola mengulur-ulur waktu. Mengambil sebuah ponsel, meletakkannya kembali, mengambil yang lain, dan meletakkannya lagi. Ia menikmati detik-detik penyiksaannya.
Dan Anisa benar-benar tersiksa dengan yang tengah dihadapinya ini. Ia sudah terbiasa menghadapi pembeli yang terlalu cerewet, tapi rasanya lebih mudah
sekaligus lebih nyaman menghadapi seorang pembeli yang secerewet apapun, daripada menghadapi monster yang hanya diam dan sangat dingin ini.
Setelah puas menyiksa korbannya, dan setelah puas bermain-main dengan ponsel yang sejak tadi ditimang-timangnya, Febiola memutuskan, "Aku ambil yang ini."
Anisa mengangguk, mengambil buku daftar harga, dan menyebutkan harganya yang tiga juta lebih.
"Aku bayar pakai kartu kredit," kata Febiola dengan angkuh.
Tanpa banyak kata, Anisa pun mengantarkan Febiola menuju meja Om Kris untuk pelayanan kartu kreditnya. Lalu segera kembali ke tempatnya semula untuk menyiapkan
nota pembelian ponsel tersebut, dan berharap agar si monster segera enyah dari dealernya.
Tetapi Febiola ternyata tak langsung pergi setelah transaksi pembelian itu selesai. Ia kembali ke tempat Anisa berada.
Sekali lagi Anisa melayaninya dengan sikap yang ramah. Febiola menginginkan voucher pulsa yang seratus ribu rupiah. Anisa pun mengambilkannya. Di dealernya,
voucher pulsa seratus ribu dihargai sembilan puluh ribu rupiah.
"Pakai kartu kredit juga?" tanya Anisa nekat.
Febiola hanya melotot. Ia mengangsurkan selembar uang seratus ribuan. Anisa mengambil uang kembalian, tapi Febiola telah melangkah keluar.
"Kembaliannya..." Anisa mengingatkan Febiola.
"Buatmu!" jawab Febiola sambil melambaikan tangannya dengan angkuh. Ia terus melangkah keluar dealer.
Anisa terduduk di atas kursinya dengan perasaan tak karuan, menatap hampa pada mobil Febiola yang berlalu.
*** Indra datang selang beberapa menit setelah itu. Dealer baru saja tutup, dan Anisa muncul dari dalam. Wajahnya terlihat keruh. Ia pun segera melangkah ke
tempat Indra yang telah menunggunya.
"Ada masalah?" tanya Indra melihat Anisa tidak secerah biasanya.
"Tidak apa-apa," jawab Anisa pendek. Tapi nada suaranya menunjukkan ada masalah.
"Pasti ada apa-apa," tanggap Indra. "Keberatan kalau aku tahu?"
Anisa terdiam sesaat, kemudian berujar, "Barusan cewekmu datang kemari."
"Cewekku?" Indra terbelalak. "Cewekku siapa?"
"Itu, maksudku, cewek yang menjengukmu waktu kau sakit," jawab Anisa.
"Febi?" "Jadi namanya Febi?" Anisa baru tahu.
"Namanya Febiola. Dia bukan cewekku." Indra menegaskan.
Anisa tak berkomentar. Indra jadi penasaran. "Hei, mengapa Febi kemari dan kemudian kau jadi keruh begitu?"
Anisa jadi tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Kau ada-ada saja!"
"Tapi benar, kan" Mau apa Febi tadi kemari?"
"Mau apa lagi" Dia beli ponsel," jawab Anisa singkat.
"Jadi, Febi ke sini dan beli ponsel, lalu wajahmu jadi keruh?" Indra bertanya sambil tersenyum.
"Dia... dia sepertinya tak menyukaiku," jawab Anisa kemudian dengan serba salah.
*** Kedekatan yang terbangun kembali antara Indra dengan Anisa kini terjalin dengan lebih dekat dibanding sebelumnya. Anisa telah menyadari sepenuhnya bahwa
sosok yang bersamanya sekarang adalah Indra, bukan Ferry, bukan kekasihnya yang dulu.
Dari kedekatan yang semakin erat itu pulalah Indra semakin yakin dengan perasaannya. Ia tahu sejak pertama kali bahwa itu perasaan cinta, hanya saja selama
ini ia ragu untuk mengakuinya. Dan sekarang, setelah yakin dengan perasaannya, Indra pun bertekad untuk menyatakannya.
Maka begitulah, suatu malam saat menjemput Anisa dari tempat kerjanya, Indra mengajak Anisa ke sebuah rumah makan yang cukup romantis, dan mereka pun menikmati
makan malam dengan suasana yang hening.
"Tidak biasanya kita kesini," kata Anisa setelah mereka menyelesaikan makan.
"Sekali-sekali aku ingin menikmati suasana yang lebih hening bersamamu," jawab Indra. Mereka duduk berhadapan, dipisahkan sebuah meja bundar dengan dua
gelas yang hampir kosong di atasnya.
Indra tidak tahu harus memulai ungkapan hatinya dengan cara bagaimana, dan sekarang ia terdiam dengan wajah bingung. Sementara jarum jam terus berdetak
dan malam semakin merayap. Indra hanya menatap wajah Anisa.
"Ada sesuatu?" tanya Anisa kemudian karena suasana yang terlalu hening.
"Ya," jawab Indra tiba-tiba, "ada sesuatu...yang ingin kukatakan kepadamu."
"Tentang...?" Indra menatap mata Anisa, "Tentang hatiku."
Anisa tak lagi membalas tatapan indra. Ia menundukkan wajahnya.
"Anisa," kata Indra perlahan, "aku merasa... aku harus menyatakan kepadamu. Aku mencintaimu..."
Anisa mengangkat wajahnya, sejenak membalas tatapan Indra, kemudian menunduk kembali.
Indra berkata, "Aku tahu mungkin aku tak layak mengungkapkan ini kepadamu, karena kau kekasih Ferry. Aku tahu Ferry telah menyita semua ruang di hatimu.
Tapi, maukah kau menyisakan sebagian ruang itu untukku?"
"Ndra, aku merasa tak mungkin menggantikan Ferry dengan orang lain," kata Anisa perlahan, "tapi aku juga menyadari, sebesar apapun cintaku pada Ferry,
dia telah berlalu..."
"Bolehkah aku menetap di tempat yang dulu milik Ferry di hatimu?" tanya Indra perlahan. "Bukan sebagai penggantinya, tapi sebagai cinta yang baru...?"
Anisa merasakan debaran jantungnya bergemuruh sebelum ia dapat menganggukkan kepalanya.
*** Semenjak kejujuran hati itu diungkapkan, kebersamaan Indra dengan Anisa pun mengalami banyak perubahan. Mereka tak lagi sekadar dekat, namun juga mesra.
Kedekatan itu pun tercium orang tua Indra. Suatu hari, ibunya menanyakan hal itu.
"Ndra, Mama lihat kau sepertinya makin dekat dengan Anisa," kata Silvia memulai.
Indra menjawabnya dengan singkat, "Kami sudah jadian, Ma."
"Kau sungguh-sungguh?" Silvia seperti tak percaya pada jawaban itu.
Indra mengangguk dengan yakin.
Silvia berkata serius, "Kau tidak cuma ingin main-main seperti dulu, kan?"
"Ma, saya tidak ada niat main-main dengan Anisa," jawab Indra sungguh-sungguh.
"Dan Febiola...?" tanya Silvia mengingatkan.
"Ada apa dengan Febi?"
"Dia bukan pacarmu?"
Indra tertawa kecil. "Ma, saya kan bukan artis seperti dulu. Saya tidak ada hubungan apa-apa dengan Febi."
Silvia menatap Indra. "Kau benar-benar serius dengan Anisa?"
Indra berucap pasti, "Mama bisa pegang janji saya."
Indra pun benar-benar menepati janjinya. Setelah meyakini bahwa Anisa cinta sejatinya, Indra meminta keluarganya untuk melamar Anisa. Itu hanya berselang
satu bulan sejak dia menyatakan cintanya.
Kemudian, selang dua bulan kemudian, kedua orang tua masing-masing mulai membicarakan waktu perkawinan mereka.
*** Febiola merasa dikalahkan"dan dia tidak terbiasa dikalahkan. Semenjak menyadari keindahan yang dimilikinya, Febiola tahu bagaimana caranya menang dan menjadi
pemenang. Ia tahu bagaimana cara menjadi perempuan sejati, dan ia pun tahu bagaimana menundukkan lelaki manapun yang ia inginkan. Ia tidak biasa dikalahkan,
apalagi dikalahkan seorang perempuan seperti Anisa. Indra benar-benar buta, pikirnya. Bagaimana mungkin dia bisa menyisihkan dirinya dari perempuan kampungan
macam itu" Semenjak SMA, Febiola tahu semua karakter laki-laki, dan ia pun tahu cara menundukkannya. Tetapi Indra seperti benteng tak tertembus. Ada kalanya Febiola
merasa telah menyentuh inti kelemahan lelaki itu, namun ada kalanya pula ia merasa tak yakin. Febiola tahu bahwa kesulitannya yang terutama adalah karena
kehadiran Anisa, yang seharusnya telah hilang seiring dengan tiadanya Ferry.
Dulu, saat pertama kali melihat Ferry di rumah sakit, Febiola benar-benar terkejut karena tidak tahu Indra punya saudara kembar. Ia mengira itu benar-benar
Indra. Tetapi Febiola tahu, tak peduli itu Indra atau pun saudara kembar Indra, dia menginginkannya. Dan jika Febiola menginginkannya, dia harus memperolehnya.
Maka ketika waktunya sudah dirasa tepat, Febiola pun menghubunginya. Di luar dugaannya, lelaki yang dulu terkesan dingin itu meresponnya. Ia datang ke
rumahnya, dan mereka berkencan. Siapa yang menyangka kalau lelaki yang menemuinya ternyata benar-benar Indra dan bukan Ferry yang di rumah sakit itu"
Ketika mengetahui kenyataan itu, Febiola pun tahu dia menginginkan Indra. Bukan sekadar untuk menjadi pasangan sementara, Febiola ingin menjadikannya sebagai
kekasih yang sesungguhnya. Siapa yang tidak ingin menjadi kekasih Indra Gunawan yang terkenal"
Tetapi kemudian muncul Anisa, dan kehadirannya benar-benar menghalangi jalan Febiola menembus dinding pertahanan Indra. Apa sebenarnya yang dimiliki cewek
itu" Lalu ia mendengar berita yang amat mengejutkannya. Seorang kawannya yang tinggal satu komplek dengan Anisa mengabarkan bahwa keluarga Indra telah datang
melamar perempuan itu, dan mereka telah bertunangan. Jadi cowok itu benar-benar buta! Tetapi tak peduli Indra buta atau tidak, Febiola merasa telah dikalahkan.
Dan jika Febiola dikalahkan, ia pun tahu bagaimana cara membalas kekalahannya.
Sekarang, di lantai kamarnya bertebaran beberapa majalah serta tabloid mingguan. Mata Febiola tertuju pada sebuah tabloid. Metro Minggu. Itu adalah tabloid
yang dibaca paling luas di kotanya dan sekitarnya. Dia juga mengenal beberapa wartawan tabloid itu, karena beberapa kali menjadi model untuk sampul tabloid
mereka. Setiap minggu, tabloid itu menyuguhkan berita-berita paling diminati, dan laporan yang mereka suguhkan hampir selalu menjadi buah bibir masyarakat.
Dan sekarang, Febiola tengah membayangkan bagaimana reaksi para pembaca serta kegemparan yang akan ditimbulkannya kelak, jika tabloid itu menurunkan berita
bahwa artis populer Indra Gunawan masih hidup"namun menyamar sebagai saudara kembarnya.
Febiola telah menyusun semua rencananya, dan kini ia mengangkat telepon untuk menghubungi Johan, pemimpin redaksi tabloid Metro Minggu. Febiola tahu lelaki
workaholic itu pasti sedang lembur seperti biasa.
"Febiola!" sapa Johan dengan ceria. Ia sudah beberapa kali menggunakan gadis cantik itu menjadi model sampul tabloidnya. "Senang sekali bisa mendengar
suaramu!" "Aku tahu kau pasti lembur seperti biasa," ujar Febiola dengan ceria.
"Itu makanan pokokku, Febi, dan aku selalu menyukainya." Johan menjawab dengan senang. "Nah, tentunya kau tidak cuma iseng meneleponku malam-malam begini, kan?"
Febiola memulai, "Kalau aku memberikan suatu berita yang eksklusif untuk tabloidmu, kau mau memuatnya?"?
"Tentu saja!" jawab Johan langsung. "Kami selalu mencari yang seperti itu. Nah, bisa dimulai beritanya?"
"Kau memang selalu tak sabaran," kata Febiola sambil tertawa.
"Ratusan ribu orang menunggu tabloidku setiap minggu, Febi, dan waktu deadline tak pernah mau bersabar."
"Kalau berita ini muncul di tabloidmu, mungkinkah ada follow up oleh media lain yang lebih menasional?"
"Tentu saja!" Johan lalu menjelaskan, "Kalau berita itu memang eksklusif seperti yang kaukatakan, media-media yang lain pun akan segera datang dan berebutan
seperti lalat!" "Atau nyamuk!" canda Febiola.
"Apapun istilahmu," sahut Johan. "Kalau tabloidku bisa menjadi yang pertama, aku bisa menjanjikan traktiran paling mewah untukmu."
"Dan identitasku terlindungi?" Febiola memastikan.
"Kami selalu menjaga setiap narasumber kami, Febi." Johan memberikan jaminan. "Nama-nama mereka dijamin dengan leherku! Nah, aku siap mendengarkan..."
Febiola pun memulai. "Ini tentang Indra."
"Siapa...?" "Indra. Indra Gunawan, artis sinetron terkenal asal Semarang itu."
"Nah, ada apa dengan almarhum Indra Gunawan?"
Febiola pun menceritakan semuanya.
Siang itu, saat sedang tidur-tiduran di sofa setelah mengantarkan Anisa ke tempat kerjanya, Indra mendengar ponselnya berdering. Saat mengambilnya, Indra
melihat sederet nomor tak dikenal tertera di layar ponselnya.
"Halo," sapa Indra setelah membuka hubungan telepon.
"Halo, Indra?" suara di seberang sana.
"I-iya," jawab Indra dengan ragu-ragu. Siapa yang tahu kalau yang di Semarang ini Indra" "Hm...siapa ini?"
"Ndra, ini Ferry."
"SIAPA?" teriak Indra tanpa sadar.
"Ferry, Ndra, saudaramu!"
"Kau bercanda"!" Indra bertanya jengkel. "Siapa ini?"
"Aku Ferry, Ndra! Masak kau tidak mengenali suaraku?"
Indra menajamkan telinganya. "Tidak mungkin!"
"Ndra, sekarang panggilkan Mama, biar Mama meyakinkanmu kalau aku benar-benar Ferry!"
Sekarang Indra mulai mengenal suara itu. Suara yang mirip dengan suaranya sendiri. "Tapi... kau... Fer... kau..." Indra jadi gugup tak karuan.
Suara di seberang sana terdengar tertawa. "Aku tahu, aku tahu. Kau pasti menyangka aku telah mati!"
"Tapi kau benar-benar telah mati, Fer," kata Indra dengan bingung. "Berita di televisi juga majalah-majalah itu..."
"Semua itu berita sialan!"
Indra semakin bingung. Ia kemudian bicara seperti tanpa sadar, "Tapi aku melihat penguburanmu, Fer, juga Papa dan Mama. Kami telah melihat kau dikubur..."
"Ndra, sekarang aku meneleponmu, dan aku ingin kau yakin aku masih hidup! Besok aku akan pulang ke Semarang!"
"Kau akan... apa?" Indra seperti belum juga sadar dari kebingungannya.
"Aku akan pulang ke Semarang dan mengakhiri permainan kita, Ndra. Sekarang aku menyadari permainan yang kita lakukan ini adalah permainan paling bodoh
sedunia!" Begitu meletakkan ponselnya setelah hubungan terputus, Indra seperti linglung. Apakah barusan ia berhalusinasi" Ataukah hanya mimpi" Tetapi ini bukan mimpi,
dan Indra yakin yang baru saja didengarnya juga bukan halusinasi. Indra membuka ponselnya kembali dan melihat record nomor-nomor telepon yang telah menghubunginya,
dan ia masih mendapati nomor Jakarta yang aneh itu.
Ferry... Benarkah orang yang meneleponnya itu Ferry" Indra tidak yakin. Tetapi jika mengingat suaranya, nada bicaranya, Indra tahu itu milik Ferry. Itu
suara yang tak tergantikan. Tetapi bukankah Ferry telah mati" Indra telah menyaksikan penguburannya. Indra masih dapat mengingat kedua orang tuanya yang
berdiri terpaku saat jasad Ferry dimasukkan ke liang lahat, sementara ribuan orang yang melayat tampak menyemut. Indra juga masih ingat bagaimana berita
itu menjadi kehebohan di media massa, dan orang-orang menangisi kepergiannya. Semua berita dan semua orang meyakini artis Indra Gunawan telah mati, tewas
dalam kecelakaan yang tragis. Dan mereka semua tak ada yang tahu bahwa itu adalah Ferry. Tetapi sekarang Ferry masih hidup dan baru saja meneleponnya...
Indra merasakan kepalanya berputar-putar, dan pandangannya berkunang-kunang. Ya Tuhan, apa yang tengah terjadi ini..."
Saat Indra memejamkan mata di atas sofa sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut-denyut, ibunya lewat dan melihatnya.
"Kenapa, Ndra?" tanya Silvia, khawatir kalau Indra sakit.
Indra membuka mata dan memandang ibunya. "Ma, Ferry masih hidup."
"Jangan ngawur. Yang sudah lalu tidak usah diingat-ingat lagi, Ndra," ujar Silvia dengan lirih.
"Tapi Ferry benar-benar masih hidup, Ma!"
Silvia mengerutkan kening. "Kau kena demam lagi?" Lalu menyentuhkan punggung tangannya ke dahi Indra. "Tapi keningmu dingin, Ndra," ujar Silvia kemudian.
"Ma, saya tidak apa-apa!" Indra tidak tahu bagaimana cara membuat ibunya percaya. "Saya cuma ingin memberi tahu kalau Ferry masih hidup, dan barusan dia
menelepon saya!" Silvia kini tampak tidak sabar. "Ndra, tanggal perkawinanmu dengan Anisa sudah ditentukan, dan tak lama lagi kau akan menikah. Jangan menunjukkan tanda-tanda
keanehan yang bisa membatalkan pernikahanmu."
Indra memegangi kepalanya lagi. "Oh, bagaimana saya harus membuat Mama percaya?"?"
"Mama sudah merelakannya, Ndra," jawab Silvia perlahan. "Mama pun berharap kau juga merelakannya. Ferry sudah tak ada, dan kau tidak perlu terus mengingatkannya..."
"Tapi besok dia akan pulang, Ma!" Indra bersikeras. "Tadi Ferry mengatakan, besok dia akan kemari!"
Silvia tersenyum letih. "Sebaiknya kau istirahat. Mungkin kau agak tegang menunggu hari perkawinanmu."
Seperti yang dijanjikannya lewat telepon kemarin, Ferry benar-benar pulang ke Semarang. Ia turun dari sebuah taksi di depan rumahnya, tepat saat jarum
jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Dia kemudian melangkah dan membuka pintu gerbang rumahnya, dan terus melangkah memasuki halaman.
Indra sudah menantikannya di ruang tamu dengan perasaan berdebar-debar sejak subuh tadi. Semalaman dia tak bisa tidur. Dan sekarang sebuah sosok yang mirip
dirinya tampak berjalan memasuki halaman rumah dengan baju yang agak lusuh. Apakah itu hantu" Atau roh gentayangan" Tetapi ini jam sembilan pagi!
Indra membukakan pintu rumah dengan perasaan tak karuan.
Ferry melangkah menuju pintu, dan Indra berdiri mematung tak mampu bergerak. Ferry tersenyum melihat Indra yang seperti membeku. Saat jarak mereka tinggal


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiga meter, Indra tersadar dari keterkejutannya. Dia segera menyongsong saudara kembarnya dengan perasaan tak karuan, dengan jantung yang berdetak tak
beraturan. "Ya Tuhan, Ferry...!!!" pekiknya saat telah yakin sosok yang ada di depannya itu benar-benar Ferry. Kemudian, didorong perasaannya yang meluap-luap, Indra
segera memeluknya erat-erat. "Ferry! Kau benar-benar Ferry...! Ya Tuhan...!" Indra pun merasakan air matanya yang tiba-tiba meleleh tanpa bisa ditahannya.
Ada berbagai perasaan mengaduk-aduk di dalam dirinya, dan Indra tak bisa menguasai dirinya.
Ferry memeluk saudara kembarnya dengan kerinduan yang sama. Detik-detik berlalu. Kemudian menit demi menit.
Indra berkata parau, "Kau harus menjelaskan semuanya ini..."
"Aku tahu," jawab Ferry lirih.
Mereka kemudian memasuki rumah, dan Indra berteriak memanggil ibunya yang masih di dapur.
"Maaa, sekarang Mama akan buktikan kalau Ferry benar-benar masih hidup!" kata Indra sambil terus membawa Ferry ke arah dapur.
"Sudahlah Ndraa, kau perlu istirahaaat," teriak ibunya pula dari dapur.
Ketika Indra sampai di pintu dapur dan menggandeng seseorang di sampingnya, Silvia berdiri membeku. Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka. Sebuah garpu
yang dipegangnya terjatuh tanpa disadarinya, dan waktu seolah berhenti berjalan.
"Ya Tuhan, Fer... Ferry...!!!"
Kemudian Silvia terjatuh, pingsan.
*** Di sebuah kantor yang berlokasi di salah satu sudut pusat kota Semarang, Johan"sang pemimpin redaksi tabloid Metro Minggu"sedang bergairah memberikan intruksi
kepada para wartawannya. Objek buruan mereka kali ini benar-benar luar biasa, dan eksklusif seperti yang dikatakan Febiola saat tadi malam meneleponnya.
Artis Indra Gunawan masih hidup" Johan tahu berita yang akan mereka rilis untuk edisi minggu ini akan jadi berita yang amat menggemparkan.
Selama bertahun-tahun bekerja di belakang penerbitan media massa, Johan selalu tahu mana berita yang akan laku dan mana yang hanya akan menjadi sampah.
Dia selalu dapat mengendus berita yang akan menjadi gempar, dan mana yang akan segera basi. Dia telah bekerja mati-matian untuk tabloid yang dipimpinnya
ini, dan Johan rela melakukan apapun demi tabloid yang amat dicintai sekaligus dibanggakannya ini.
Dia telah terbiasa bekerja sehari semalam, dan semua orang yang bekerja padanya memahami kalau pimpinan mereka seorang yang gila kerja. Johan selalu bergairah
menyusun berita-beritanya, dia selalu merasa horny jika membayangkan wajah tabloidnya yang akan terbit. Bahkan Johan seperti merasakan orgasme jika salah
satu edisi tabloidnya memperoleh respon yang bagus dan membuat kegemparan di masyarakat.
Dan berita yang akan dirilisnya sekarang adalah berita yang dapat menjanjikan orgasme seperti yang biasa dirasakannya. Tabloidnya akan menjadi media pertama
yang akan menuliskan berita itu. Johan sudah dapat membayangkan bagaimana kelak berita di tabloidnya itu akan di-follow up secara besar-besaran oleh media-media
massa yang lain. Johan sudah tak sabar untuk merasakan orgasmenya.
Keluarga itu berkumpul kembali. Setelah kedua orang tuanya sadar dari keterkejutan dan mulai menyadari kenyataan yang terjadi, kehadiran Ferry yang seperti
bangkit dari kuburnya pun perlahan-lahan mengendap dalam kesadaran mereka. Pada mulanya ini seperti kenyataan yang amat mengerikan"suatu perasaan yang
tak dapat dijelaskan. Satu-satunya orang yang bisa tahan saat pertama kali melihat Ferry "hidup lagi" hanya Indra. Ibunya langsung pingsan. Sementara Muladi, ayahnya, tampak
sangat shock. Mereka telah melihat jasad Ferry saat dikuburkan.
Tetapi sekarang, lebih menakjubkan dari sulap manapun, Ferry yang diyakini telah mati itu datang kembali ke rumah. Bahkan sekarang ada di tengah-tengah
mereka, seperti dulu, seperti sebelumnya.
Kini mereka duduk di ruang keluarga, dan baik Indra maupun kedua orang tuanya sudah tak sabar ingin mendengarkan apa yang telah terjadi.
Ferry pun menceritakannya.
Sebuah cerita yang tak terbayangkan, menembus labirin gelap, melintasi ruang-ruang dan waktu-waktu...
*** Cerita itu dimulai ketika Ferry menerima undangan acara ulang tahun Hasnan Wibowo, produser Matra Cinema, setengah tahun yang lalu.
"Sore itu aku berangkat bersama Rafli, Daniel, Nathan, dan seorang cewek teman kencan Nathan," kata Ferry.
Sesampai di Bogor, Nathan mengajak mereka ke villa keluarganya terlebih dulu sebelum menghadiri acara ulang tahun produser mereka.
Acara ulang tahun Hasnan Wibowo dimulai pada pukul 19:30 malam itu. Ferry dan kawan-kawannya yang telah berdandan rapi menghadiri acara itu, sementara
cewek teman kencan Nathan memilih tinggal di villa. Ferry mendapati acara ulang tahun itu tak ubahnya sebagai pesta selebriti. Di villa yang luas itu,
artis-artis terkenal yang biasa ditontonnya di televisi tampak berkumpul di sana, merayakan ulang tahun kelima puluh produser mereka.?
Seusai acara pesta sekitar pukul 22:30, Ferry dan rombongannya pun kembali ke villa Nathan, dan berencana menginap di sana. Di villanya, Nathan membongkar
krat minuman keras. "Biar badan tidak terlalu dingin," ujarnya, yang langsung diamini kawan-kawannya. Dan mereka pun mabuk.?
Ferry yang tak biasa minum minuman keras jadi agak grogi ketika Nathan menyodorkan gelas piala yang penuh minuman keras kepadanya. Pada awalnya Ferry masih
bisa menolak dengan berbagai alasan, namun ketika teman-temannya sudah sangat mabuk dan tak bisa lagi berbicara dengan sopan, Ferry pun mulai meneguk cairan
asing dari gelas yang disodorkan kepadanya. Tenggorokannya terasa terbakar dan perutnya terasa diaduk-aduk. Apa yang tengah kulakukan ini..."
Semalaman mereka mabuk hingga tertidur. Nathan tidur bersama teman kencannya di salah satu kamar, sementara Ferry bersama Daniel dan Rafli di kamar lain.
Menjelang subuh, salah satu ponsel milik mereka berdering. Ferry tidak lagi ingat itu ponsel milik siapa, namun yang jelas dialah yang kemudian mengambilnya.
Disodorkannya pada Rafli, dan Rafli pun menerima telepon itu.
"Nathan...?" suara di seberang sana.
"Rafli..." jawab Rafli dengan suara berat.
"Kau bersama Nathan?" suara itu kembali bertanya.
"Yeah... Siapa nih?"
"Ini Irfan. Sampaikan pada Nathan, Doni meninggal dunia..."
"Apa"!" Kini kesadaran Rafli seperti dipaksa untuk segera kembali.
"Doni meninggal dunia," suara itu kembali menegaskan. "Katakan pada Nathan, acara pemakamannya akan dilaksanakan besok pagi."
"Doni... Dugem?" Rafli ingin memastikan.
"Ya, Doni itu!"
Maka Rafli pun kemudian membangunkan Daniel yang masih tertidur, juga mengetuk pintu kamar Nathan untuk memberitahukan kabar itu. Sahabat mereka yang paling
dekat telah mati dan akan dikuburkan besok pagi!
Butuh waktu cukup lama untuk mengembalikan kesadaran Nathan dan Daniel yang telah dibawa oleh minuman keras. Ketika kemudian mereka mulai sadar dengan
apa yang terjadi, Rafli pun mengeluarkan ultimatum, "Kita harus segera pulang ke Jakarta. Acara pemakaman Doni dilakukan besok pagi, dan kita semua harus
hadir di acara pemakamannya."
Maka menjelang subuh itu, dengan tubuh yang letih dan agak sempoyongan serta mata yang masih mengantuk serta kepala yang berat, mereka pun keluar dari
villa. Ferry telah memanaskan mesin mobil, sementara Nathan mengunci pintu villanya. Perempuan teman kencan Nathan juga akan ikut pulang ke Jakarta.
Rafli menempati kursi di belakang setir, dan mobil pun melaju menembus dinginnya udara Bogor, menuruni jalan berliku menuju Jakarta. Di dalam mobil, Ferry
masih merasakan kepalanya agak berat, dan pikirannya agak kacau. Nathan dan teman kencannya tampak terkantuk-kantuk dengan sisa-sisa mabuknya, sementara
Daniel yang duduk di jok belakang tampak merokok untuk memerangi rasa kantuk di matanya. Rafli yang menyetir di depan juga tampak terus-menerus mengepulkan
asap rokoknya sambil mengemudi. Tak ada yang punya niat untuk mengeluarkan suara.
Kemudian bencana itu mulai muncul. Saat melintasi jalan yang terus menurun dan berbelok-belok, Rafli yang belum sepenuhnya sadar dari mabuknya mulai tampak
kewalahan mengendalikan mobil. Laju mobil itu terasa semakin cepat dan semakin cepat, sementara Nathan dan teman kencannya tampak makin pulas dalam tidur
mereka. Daniel mulai berteriak-teriak dari belakang, sementara Ferry sangat risau.
"Lambatkan, Raf!" teriak Daniel berkali-kali dari jok belakang. "Lambatkan!"
"Remnya blong!" teriak Rafli pula dengan panik. "Atau kakiku yang blong!"
Dan mobil itu melaju semakin tak karuan melintasi jalan di depannya. Pada awal-awalnya Rafli masih berupaya mengendalikan mobil itu sekaligus mengendalikan
kesadarannya dari rasa mabuk. Namun ketika jalan yang dilalui semakin menurun tak beraturan, dan mobil semakin sulit dikendalikan, Rafli pun mulai tampak
pasrah. Daniel yang pertama kali sadar bahwa di salah satu tikungan jalan yang menurun itu ada sebuah jurang menganga. Tetapi kesadarannya telah terlambat. Rafli
tetap tak mampu mengendalikan setir, dan mobil itu pun terus melaju tak terkendali menuju jurang yang sejak tadi ditakutkan Daniel. Ferry yang semenjak
tadi diam mulai mencari cara menyelamatkan diri.
Ketika akhirnya mata Ferry menyaksikan jurang di bawah yang dikatakan Daniel tadi, Ferry pun segera tahu bahwa mobil ini akan segera "transit" di sana.
Rafli jelas tak mampu menghentikan mobil ini, dan semua kawannya akan diajaknya menuju ke jurang itu. Saat mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi menuju
jurang, Ferry nekat membuka handel pintu dan mendorongnya dengan tubuhnya. Detik-detik yang amat kritis itu pun terlewati. Pintu samping mobil terbuka,
tubuh Ferry terlempar keluar dari dalam mobil, sementara mobil yang membawa semua kawannya terus melaju menuju jurang.
Dalam jatuhnya yang amat keras dari dalam mobil, kepala Ferry membentur sesuatu. Secara spontan jarinya meraba belakang kepalanya, dan dia merasakan darah
yang mengalir. Kepala Ferry semakin terasa berat. Pandangannya mulai kabur. Dia merasakan tubuhnya berada di hamparan rumput yang empuk, dan pandangannya
yang makin kabur menyaksikan hamparan langit yang mulai menyembunyikan bintang-bintang.
Perlahan-lahan kesadarannya mulai menghilang. Dan sebelum semua kesadarannya lenyap ditelan kabut yang amat gelap dirasakannya, Ferry mendengar suara ledakan
dari dasar jurang... Ferry tidak tahu berapa jam, atau berapa hari, atau berapa abad, dia terbaring di atas rerumputan itu. Tetapi ketika membuka matanya kembali, dia mendapati
sebuah ruangan yang asing, suasana yang asing, suatu kehidupan yang asing. Dia terbaring di atas sebuah tempat tidur, dan mendapati beberapa alat aneh
di dekatnya. Alat-alat yang asing. Tempat yang asing. Beberapa saat dia membuka mata, namun kekuatan tubuhnya tak mengijinkannya. Ferry kembali tak sadar.
Beberapa jam atau beberapa hari atau beberapa abad kemudian, Ferry kembali terbangun dari ketidaksadaran, dan matanya kembali terbuka. Sekali lagi ia mendapati
semua yang serba asing melingkupi dirinya. Suatu kehidupan yang asing...
Lalu muncul seseorang berpakaian putih datang menghampirinya. Ferry merasakan kehadiran sesuatu yang asing. Siapa orang ini" Di manakah aku..." Tempat
apa ini..." Ferry sempat membayangkan kehidupannya, kematiannya. Apakah dia telah sampai di surga" Atau neraka" Dan siapakah sosok yang kini mendekatinya itu" Tempat
apa ini sebenarnya" Di manakah aku..." Siapakah orang itu" Dan yang lebih penting dari semuanya, siapakah aku..."
Ferry merasakan ingatannya telah hilang, memorinya lenyap, otaknya meleleh. Dan ketika pintu ruangan itu terbuka kembali, Ferry melihat sesosok wajah asing
yang belum pernah dilihatnya. Wajah itu tampak tersenyum menyeringai ke arahnya. Siapa itu" Wajah siapakah itu..." Apakah itu malaikat maut..."
Ferry sama sekali tidak ingat itu adalah wajah Hasnan Wibowo.
*** Hasnan Wibowo turun dari villanya tak lama setelah kepergian Ferry dan kawan-kawannya waktu itu. Dia juga telah dikabari meninggalnya Doni, salah satu
artisnya. Maka dia pun meninggalkan villanya pagi itu, kemudian melaju bersama sopirnya menuju Jakarta.
Karena kabut dan keadaan yang masih gelap, Hasnan Wibowo meminta sang sopir tak terlalu kencang melajukan mobilnya. Lebih dari itu, dia pun ingin menikmati
perjalanannya. Pesta ulang tahunnya yang kelima puluh telah berjalan dengan sukses, dan dia merasa bahagia, sekaligus merasakan dirinya semakin muda. Dia
tak perlu terburu-buru. Dia ingin menikmati perjalanannya.
Hasnan Wibowo duduk sambil larut dengan pikirannya sendiri, merencanakan banyak hal untuk proyek-proyek produksi yang dibayangkannya, sampai kemudian,
tanpa sengaja, mendapati sesosok tubuh yang tengah terbaring tak bergerak pinggir jalan, di atas rerumputan. Apa yang terjadi dengan bocah itu"
Hasnan Wibowo meminta sopirnya menghentikan mobil. Dia turun dan mendekati sesosok tubuh yang tengah terbaring itu. Jantung Hasnan Wibowo berdebar tak
karuan ketika mendapati sosok yang terbaring pingsan dengan kepala berdarah itu adalah Indra, salah satu artis kesayangannya. Apa yang terjadi dengan bocah
ini" Hasnan Wibowo mencoba menggugah kesadaran tubuh yang pingsan itu, namun Indra tak juga sadar. Dengan dibantu sopirnya, Hasnan Wibowo pun kemudian
mengangkat tubuh itu dan membawanya ke dalam mobilnya.
Di saat itulah kemudian dia baru menyadari adanya asap hitam yang membubung tak jauh dari tempatnya berdiri. Hasnan Wibowo tahu ada sebuah jurang di sisi
tikungan jalan. Otaknya segera menyimpulkan apa yang telah terjadi, dan hubungannya dengan bocah yang sekarang berada dalam mobilnya.
Hasnan Wibowo segera masuk kembali ke dalam mobilnya, dan memerintahkan sopirnya untuk melaju. Bukan menuju ke Jakarta, tapi kembali ke villanya.
Perkiraan Hasnan Wibowo tak melenceng jauh. Hari itu seluruh siaran televisi mengabarkan berita yang sama. Empat orang artis muda yang populer tewas secara
bersamaan dalam sebuah kecelakaan tragis. Ketika semua orang digemparkan oleh berita itu, sosok tubuh yang diyakini sebagai Indra masih tampak pingsan
dan belum sadar. Ia ada di sebuah kamar, di salah satu ruangan villa Hasnan Wibowo. Beberapa kali produser itu mencoba kembali menggugah kesadarannya,
namun sia-sia. Dia seperti sudah coma, tidak sekadar pingsan seperti yang dibayangkannya. Tapi yang jelas, dia masih hidup.
Jadi mereka berempat, pikir Hasnan Wibowo setelah memahami seluruh berita di televisi yang ditontonnya. Sebelumnya dia mengira Indra hanya bermobil seorang
diri. Tetapi baginya, semua itu tak ada bedanya. Yang jelas, apa yang telah diramalkannya benar-benar menjadi kenyataan. Semua berita di televisi dan di
koran-koran yang terbit sesudahnya dengan jelas mengabarkan bahwa artis Indra Gunawan tewas dalam kecelakaan itu.
Biarkan saja berita-berita itu berkobar, pikir Hasnan Wibowo sambil tersenyum. Dan sementara orang-orang di luar sana memberitakan serta menangisinya,
dia akan menyimpan bocah terkenal itu di villanya, sambil menunggu kesadarannya pulih kembali.
Hasnan Wibowo memahami, semua kehebohan yang ditimbulkan dari berita itu karena Indra meninggal tepat saat berada di puncak popularitasnya. Semua artis
yang dikenang abadi selalu mati pada saat popularitasnya tengah mencapai puncak, dan Hasnan Wibowo tersenyum membayangkan itu. Marilyn Monroe mati saat
di puncak popularitasnya. Elvis Presley mati saat namanya menjadi pujaan di seluruh dunia. Curt Cobain mati saat anak-anak muda sedunia menggilainya.
Sekarang Indra Gunawan, salah satu artisnya, juga mati saat berada di puncak popularitasnya. Hasnan Wibowo tahu tak lama lagi akan ada acara pemakaman
besar, dengan pelayat berjumlah besar, dan kemudian empat orang artis itu akan dikuburkan dengan iringan tangis duka beribu-ribu penggemarnya. Dan setelah
itu, Hasnan Wibowo akan membangkitkan kembali salah satu di antara mereka. Dia akan membuat artis Indra Gunawan hidup kembali.
Makin ia membayangkan rencananya, Hasnan Wibowo merasa semakin bergairah. Dia sudah dapat meramalkan kegemparan macam apa yang kelak akan terjadi jika
orang-orang mendapati Indra pujaan mereka hidup kembali, muncul di sinetron lagi.
*** Ternyata sosok tubuh yang ia yakini sebagai Indra itu memang coma. Hasnan Wibowo mengetahui hal itu ketika akhirnya dia memanggil seorang dokter yang ia
percaya untuk memeriksa keadaannya. Dia meminta dokter itu untuk tutup mulut atas keberadaan si pasien, serta merahasiakan semua yang ada di villanya.
Dokter itulah yang kemudian menangani perawatan si pasien. Saat diketahuinya pasien itu butuh perawatan yang lebih intensif karena luka-luka di kepalanya,
dokter itu pun memanggil seorang perawat untuk membantunya. Maka villa itu pun kini ditempati seorang pasien, seorang dokter, dan seorang perawat. Si perawat
pun diminta untuk tutup mulut atas semua yang dilihatnya di villa itu.
Ketika si pasien akhirnya sadar dari coma-nya, Hasnan Wibowo diberitahu kalau pasien itu mengalami amnesia. Benturan yang amat keras menghantam kepalanya
saat ia terjatuh, dan mengakibatkan luka yang serius di dalam kepalanya. Bagian memori di otaknya mengalami cedera, dan sampai sekarang pasien itu belum
mampu mengembalikan ingatannya.
"Dia mengalami amnesia, kehilangan memori." Dokter itu menjelaskan pada Hasnan Wibowo. "Ingatan dalam memorinya hilang untuk sementara waktu, namun akan
kembali setelah beberapa waktu kemudian."
"Berapa lama beberapa waktu kemudian itu, Dok?" tanya Hasnan Wibowo.
"Saya tidak bisa memastikannya, Pak," sahut si dokter. "Masing-masing penderita amnesia memiliki jangka waktu yang berbeda dalam mengembalikan memorinya.
Ada yang cepat, ada pula yang lambat. Itu sangat tergantung kondisi otaknya, dan seberapa parah kerusakan memorinya."
"Berapa lama biasanya waktu yang paling cepat, Dokter?" tanya Hasnan Wibowo lagi.
Sang dokter tersenyum menenangkan. "Ada yang hanya satu minggu sudah mampu mengembalikan memorinya."
"Dan yang lama?"
"Kadang sampai satu tahun."
Hasnan Wibowo mengerutkan keningnya.
Ferry tidak membutuhkan waktu sampai satu tahun untuk mengembalikan memorinya. Selama berbulan-bulan dalam perawatan intensif, keadaan Ferry pun berangsur-angsur
membaik dan luka dalam kepalanya teratasi. Tetapi sampai beberapa bulan, Ferry belum juga dapat mengembalikan memorinya. Dia tidak ingat apapun, bahkan
dia tidak ingat siapa dirinya.
Dalam kebingungannya, Ferry hanya menatap hampa setiap kali Hasnan Wibowo mendatanginya, menyebut-nyebut sebuah nama, dan Ferry pun akan bergumam, "Indra..."
Indra" Siapa Indra...?"
Ketika memorinya kembali perlahan-lahan, Ferry pun mulai menyadari dirinya sendiri, juga mulai mengenali sosok Hasnan Wibowo yang biasa menemuinya. Pada
awalnya dia kebingungan ketika orang itu berkali-kali memanggilnya Indra. Dia tahu dirinya adalah Ferry, tapi mengapa dia dipanggil Indra" Ferry sudah
berulang kali menyangkal dan mengatakan dia Ferry, tetapi orang itu hanya tersenyum dan menepuk-nepuk bahunya.
Sampai kemudian, ketika memorinya berangsur-angsur semakin lengkap, tahulah Ferry mengapa dia dipanggil Indra. Sekarang dia bisa mengingat kembali permainan
tukar tempat yang dilakukannya dengan Indra beberapa waktu yang lalu. Ferry pun telah mengingat kembali pecahan-pecahan kisah yang terjadi, yang menyebabkan
dia sampai berada di tempat ini. Pertukaran tempat itu... hingga kecelakaan itu...
Suatu sore, saat Hasnan Wibowo kembali mendatanginya, Ferry pun sudah siap dengan peran yang tengah dimainkannya. Dia mengakui sebagai Indra, dan produser
itu tampak sangat senang.
"Om, saya boleh tahu sudah berapa lama saya di sini?" tanya Ferry penasaran.
"Tentu saja kau harus tahu." Hasnan Wibowo masih tampak bahagia karena kesadaran Ferry telah kembali. "Kau telah tinggal di sini selama enam bulan."
"Enam bulan!" pekik Ferry tertahan.
"Ya," bisik Hasnan Wibowo. Lalu dengan senyumnya ia berkata, "Dan tak lama lagi kita akan membuat orang-orang gempar dengan kehadiranmu..."
*** Ferry merasa terperangkap. Hasnan Wibowo benar-benar yakin kalau dia adalah Indra, artisnya, dan sekarang produser itu mulai sibuk mempersiapkan rencana
sinetron yang akan diperankannya. Ketika mengetahui hal itu, Ferry segera saja panik dan mencoba menyatakan dengan jujur bahwa sebenarnya dia bukanlah
Indra. Tetapi Hasnan Wibowo hanya tersenyum, dan berujar dengan nada bijak, "Sepertinya amnesiamu cukup parah. Beristirahatlah, agar kau segera sembuh."
Ini konyol, pikir Ferry. Dia tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Produser itu harus percaya bahwa dia bukanlah Indra, dan rencana gilanya harus dibatalkan.
Ketika pagi itu Hasnan Wibowo mendatanginya seperti biasa, Ferry pun berkata dengan sungguh-sungguh, "Om, saya harus menceritakan yang sebenarnya. Sesungguhnya
saya bukan Indra"saya Ferry, saudara kembarnya."
Ferry pun akhirnya menceritakan permainan yang dilakukannya dengan Indra, sejak dari kepulangan Indra ke Semarang, sampai saat kecelakaan itu terjadi.
Dia menutup ceritanya dengan berkata, "Saya tidak tahu sekarang Indra ada dimana, tapi kemungkinan besar dia ada di rumah, di Semarang. Jika Om masih sulit
untuk percaya, cobalah hubungi rumah saya."
Melihat kesungguhan di wajah Ferry, dan mendengar ucapannya yang terdengar normal, Hasnan Wibowo pun mau tak mau jadi terpengaruh. Setelah terdiam dan
menatap wajah Ferry beberapa saat, ia berkata, "Berapa nomor rumahmu?"
Ini menjadi masalah, karena sialnya, entah mengapa Ferry sama sekali terlupa pada nomor telepon rumahnya, bahkan nomor ponselnya sendiri. Amnesia yang
dideritanya benar-benar sudah melenyapkan ingatannya pada angka-angka.
Ketika dengan jujur Ferry menyatakan hal itu, Hasnan Wibowo berkata dengan serius, "Kau benar-benar yakin kau bukan Indra?"
"Tentu saja saya yakin!" jawab Ferry. "Saya sekarang sudah sehat dan ingatan saya sudah pulih. Saya ingat betul Indra ada di rumah, karena kami bertukar
tempat. Seharusnya permainan ini sudah diakhiri kalau tidak ada kejadian kecelakaan itu."
Hasnan Wibowo terpekur, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Mungkin Dimas akan dapat mengenali apakah kau memang Indra atau bukan," katanya kemudian.
Dimas, manajer Indra, segera berangkat ke Bogor, menuju villa Hasnan Wibowo, ketika produser itu menghubunginya dan mendesaknya agar segera datang. Urusan
yang sangat penting, katanya.
Hasnan Wibowo menyambutnya, dan segera mengajaknya ke ruang dalam. Ketika melihat seseorang yang sedang duduk di atas sofa dan menatapnya, Dimas merasa
jantungnya berhenti berdetak.
"Indra!" pekiknya tanpa sadar.
Hasnan Wibowo berkata pada Dimas, "Kau yakin dia benar-benar Indra?"
"Tentu saja saya yakin!" jawab Dimas. "Saya manajernya"tak ada yang lebih mengenalnya dibanding saya!"
Tetapi keyakinan Dimas runtuh ketika Ferry mulai menceritakan kejadian yang sesungguhnya.
"Jadi kalian bertukar tempat," kata Dimas kemudian seperti merenung setelah Ferry selesai bercerita. "Lalu siapa yang telah bertemu denganku waktu keluarga
kalian datang ke Jakarta pada hari pemakaman itu?"
"Itu Indra," jawab Ferry pasti. "Dia berperan sebagai aku."
Dimas terpekur seperti orang bingung. "Kenapa Indra tak mengatakan hal yang sebenarnya kepadaku...?" tanyanya kemudian, seperti pada diri sendiri.
Hal itu juga menjadi bahan pertanyaan Ferry. Tetapi kemudian Ferry membayangkan bagaimana kalutnya perasaan Indra waktu itu"kehilangan dirinya yang ia
sangka telah tewas, kerisauan memikirkan identitas yang tertukar, kebingungan menghadapi Anisa...
"Dim," ujar Ferry kemudian, "aku perlu menghubungi keluargaku di Semarang. Mungkin kau masih menyimpan nomor telepon rumahku?"
Dimas membuka ponselnya. "Aku sempat menyimpan nomor Ferry, maksudku Indra, waktu dia menemuiku pada hari pemakaman itu." Lalu disodorkannya ponselnya
pada Ferry. Ferry memandangi sederet angka di ponsel itu, dan perlahan-lahan ia seperti ingat kembali bahwa itu adalah nomor ponselnya"nomor ponsel yang pastinya sekarang
dipegang Indra. Ferry pun menghubungi nomor itu, dan Ferry bersyukur Indra yang menerima teleponnya.
Setelah merasa yakin dengan identitas Ferry, bahwa dia bukan Indra Gunawan, juga bahwa Indra yang asli masih hidup dan tinggal di Semarang, Hasnan Wibowo
dan Dimas pun membantu mempersiapkan kepulangan Ferry. Mereka juga mulai mempersiapkan keperluan konferensi pers untuk menjelaskan masalah ini. Orang-orang
harus segera diberitahu bahwa Indra Gunawan masih hidup.
*** Cerita yang dituturkan Ferry itu pun perlahan-lahan mengendap ke dalam kesadaran keluarganya. Silvia kembali menangis setelah menyadari bahwa dia tidak
kehilangan putranya, tidak kehilangan Ferry. Kali ini ia menangis dengan senyumannya.
"Nah," kata Ferry kemudian sambil tersenyum menatap Indra, "apakah kau menjaga pacarku dengan baik selama aku tidak ada?"
Indra tak mampu berucap apa-apa. Sementara kedua orang tua mereka saling pandang dengan wajah kebingungan.
*** Ketika menyadari apa yang telah terjadi pada Indra dan Anisa, Ferry langsung meradang dan tak terima. Dia mengamuk dan kehilangan kendali.
"Kau tidak bisa melakukannya, Ndra!" teriaknya. "Dia pacarku, kau tahu itu!"
"Tapi kau telah mati, Fer!" balas Indra sambil berteriak pula. "Aku mencintainya, dan kami bertunangan karena menyangka kau telah mati. Aku tidak mengkhianati
kepercayaanmu!" "Sekarang kau tahu aku belum mati!" Ferry membentak. "Kau tidak bisa meneruskan pertunangan itu!"
"Fer," Indra menurunkan suaranya, "aku mencintainya, dan dia menerimaku. Kami telah bertunangan, dan kami..."
"Kau tidak bisa meneruskannya, Ndra!" potong Ferry dengan marah. "Dia pacarku, dan kami saling mencintai. Kami belum putus, dan tidak akan pernah putus!"
"Tapi dia menerimaku, Fer!"
"Itu karena kau tidak tahu malu! Merebut pacar saudaramu sendiri!"
"Bagaimana aku tahu kalau kau masih hidup"!" balas Indra dengan marah. "Kau lenyap sampai setengah tahun! Setengah tahun! Siapa yang menyangkamu masih
hidup"! Bahkan semua orang pun tahu kau sudah mati!"
"Tapi kau tahu aku sekarang masih hidup!" Ferry makin meradang. "Dan aku meminta pertunangan itu dibatalkan! Kau tidak bisa merebut Anisa dariku!"
"Fer, kau tidak bisa melakukan itu!" Indra tetap bersikukuh. "Kau telah menjadi bagian masa lalu Anisa, dan kau tidak layak memaksanya kembali padamu!
Dia telah jadi milikku!"
"Aku pacarnya, Ndra!"
"Tapi aku tunangannya, Fer!"
Ferry yang sudah kalap segera menerjang ke arah Indra dengan kemarahan yang jelas tampak di matanya. Ayahnya segera menarik dan memeganginya. Sementara
Indra yang masih mampu mengendalikan diri, kini terduduk kembali karena dipegangi ibunya yang menangis.
"Pokoknya aku minta pertunangan itu dibatalkan!" Ferry kembali berteriak. Kali ini suaranya parau karena amarah dan kesedihan.
"Aku tidak akan melakukannya!" jawab Indra dengan pasti.
Sejak tadi kedua orang tua mereka yang menyaksikan pertengkaran itu hanya diam karena juga bingung untuk menentukan apa yang harus dilakukan. Siapa yang
harus dibela" Siapa yang harus dibenarkan dan disalahkan" Kedua putra mereka merasa memiliki hak, dan kalau masing-masing dari mereka menuntut haknya,
hak siapa yang harus diberikan..."
Muladi yang masih memegangi Ferry kemudian berkata perlahan, "Sudah, Fer. Kau toh tidak bisa marah-marah terus begitu pada Indra, karena dia sama sekali
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi selama kau tidak ada."
"Tapi sekarang saya sudah ada, Pa!" jawab Ferry kukuh.
"Ya, kau sudah ada," tanggap ayahnya, "dan kita bisa membicarakannya dengan lebih baik dan lebih dingin, kan?"
Ferry belum dingin. Ia masih berteriak, "Tapi pertunangan itu harus dibatalkan!"
Indra yang sudah mau dingin jadi memanas kembali. "Fer, aku bisa meyakinkanmu kalau aku tidak akan membatalkan pertunangan itu!"
"Kau memang bangsat!" teriak Ferry kalap kembali.


Hati Yang Memilih Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Fer!" tegur ayahnya dengan keras.
Silvia segera menarik Indra untuk menjauh dari tempat itu. Digiringnya Indra untuk masuk ke ruang belakang. Silvia mendudukkannya di dekat meja makan,
kemudian mengambil segelas air putih yang dingin.
"Minumlah, agar kau lebih dingin," kata Silvia sambil duduk di hadapan Indra.
Indra meminum air itu, kemudian menatap ibunya. "Ma, Ferry tidak bisa menuntut seperti itu..."
"Mama tahu, Ndra," hibur Silvia. "Mama sendiri juga bingung. Kau merasa berhak, sementara Ferry juga sama."
"Tapi saya mencintai Anisa, Ma," kata Indra sungguh-sungguh. "Saya sangat mencintainya."
Silvia menjawab bijak, "Mama percaya kau mencintai Anisa sebesar Ferry mencintainya."
"Saya juga tidak ingin kehilangan dia," suara Indra makin lemah. "Saya belum pernah merasakan cinta seperti yang sekarang saya rasakan..."
Silvia menepuk-nepuk punggung tangan Indra di atas meja. "Mama tahu..."
Indra mulai berharap. Dia menatap wajah ibunya dan berkata, "Jadi, Mama setuju pertunangan itu diteruskan" Mama setuju Anisa tetap dengan saya?"
Silvia menjawab, "Seperti yang tadi Mama bilang, Mama juga bingung untuk memutuskan hal itu. Kalian berdua menginginkan hak yang sama, sementara Anisa
hanya satu. Jadi biarlah besok Mama akan undang Anisa kemari. Biarlah dia yang akan menentukan siapa yang harus dipilihnya."
*** Hari itu semua media massa menyiarkan berita yang sama, mengabarkan artis Indra Gunawan yang disangka telah tewas dalam kecelakaan ternyata masih hidup.
Berita itu pun menjadi sajian utama di televisi dan koran-koran.
Sementara itu, di salah satu sudut pusat kota Semarang, Johan tengah terkantuk-kantuk di atas kursi dalam kantornya setelah semalam tak tidur lagi. Hidupnya
dari waktu ke waktu hanya dihabiskan untuk pekerjaannya, dan dia sama sekali tak berminat menjenguk dunia di luar kantornya. Dia masih asyik menghitung
hari. Tabloidnya terbit hari Minggu, sementara ini hari Kamis. Tiga hari lagi tabloidnya akan terbit dan akan menciptakan kehebohan. Johan merasa sudah
tak sabar lagi untuk merasakan orgasme yang biasa dirasakannya, saat melihat tabloidnya menciptakan kegemparan seperti biasa. Dia harus berterima kasih
pada gadis itu, pada Febiola, atas informasi luar biasa yang telah diberikannya.
Karena merasa gatal dengan hasratnya yang terasa sangat menggebu, Johan mengangkat telepon di meja dan menghubungi kantor percetakannya, menanyakan waktu
selesainya cetakan tabloid mereka.
"Seperti biasa, Bos. Tiga hari lagi," jawab petugas di percetakan. "Sabtu sore sudah masuk ke pasar."
"Kalau bisa, aku ingin itu dipercepat, Gun!" kata Johan dengan bernafsu. "Aku sudah tak sabar melihatnya terbit dan menciptakan kegemparan!"
"Bos," sahut si petugas percetakan, "sebaiknya Anda sekarang menonton televisi."
"Aku tidak perlu membuang waktu untuk nonton televisi!" sahut Johan dengan pedas. "Aku sudah terlalu sibuk dengan kerjaku!"
Memburu Yeerk Kembar 2 Pedang Siluman Darah 15 Sumpah Si Durjana Sepasang Pedang Iblis 1
^