Pencarian

Siti Nurbaya 1

Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli Bagian 1


Marah Rusli Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
DAFTAR ISI I. Pulang dari sekolah II. Sutan Mahmud dengan saudaranya yang perempuan
III. Berjalan-jalan ke Gunung Padang
IV. Putri Rubiah dengan saudaranya Sutan Hamzah
V. Samsulbahri berangkat ke Jakarta
VI. Datuk Meringgih VII. Surat Samsulbahri kepada Nurbaya
VIII. Surat Nurbaya kepada Samsulbahri
IX. Sambulbahri pulang ke Padang
X. Kenang-kenangan kepada Samsulbahri
XI. Nurbaya lari ke Jakarta
XII. Percakapan Nurbaya dengan Alimah
XIII. Samsulbahri membunuh diri
XIV. Sepuluh tahun kemudian
XV. Rusuh perkara belasting di Padang
XVI. Peperangan antara Samsulba hri dan Datuk Meringgih
I. PULANG DARI SEKOLAH Kira-kira pukul satu siang, kelihatan dua orang anak muda,
bernaung di bawah pohon ketapang yang rindang, di muka
sekolah Belanda Pasar Ambacang di Padang, seolah-olah mereka
hendak memperlindungkan dirinya dari panas yang memancar
dari atas dan timbul dari tanah, bagaikan uap air yang mendidih.
Seorang dari anak muda ini, ialah anak laki-laki, yang umurnya
kira-kira 18 tahun. Pakaiannya baju jas tutup putih dan celana
pendek hitam, yang berkancing di ujungnya. Sepatunya sepatu
hitam tinggi, yang disambung ke atas dengan kaus sutera hitam
pula dan diikatkan dengan ikatan kaus getah pada betisnya.
Topinya topi rumput putih, yang biasa dipakai bangsa Belanda.
Di tangan kirinya ada beberapa kitab dengan sebuah peta bumi
dan dengan tangan kanannya dipegangnya sebuah belebas, yang
dipukul-pukulkannya ke betisnya.
Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka, anak muda
ini seorang anak Belanda, yang hendak pulang dari sekolah.
Tetapi jika dilihat dari dekat, nyatalah ia bukan bangsa Eropa;
karena kulitnya kuning sebagai kulit langsat, rambut dan
matanya hitam sebagai dawat. Di bawah dahinya yang lebar dan
tinggi, nyata kelihatan alis matanya yang tebal dan hitam pula.
Hidungnya mancung dan mulutnya halus. Badannya sedang, tak
gemuk dan tak kurus, tetapi te gap. Pada wajah mukanya yang
jernih dan tenang, berbayang, bahwa ia seorang yang lurus,
tetapi keras hati; tak mudah dibantah, barang sesuatu maksud-nya. Menilik pakaian dan rumah sekolahnya, nyata ia anak
seorang yang mampu dan tertib sopannya menyatakan ia anak
seorang yang berbangsa tinggi.
Teman anak muda ini, ialah seorang anak perempuan yang
umurnya kira-kira 15 tahun. Pakaian gadis ini pun sebagai
pakaian anak Belanda juga. Rambutnya yang hitam dan tebal itu,
dijalinnya dan diikatnya dengan benang sutera, dan diberinya
pula berpita hitam di ujungnya. Gaunnya (baju nona-nona)
terbuat dari kain batis, yang berkembang merah jambu. Sepatu
dan kausnya, coklat wamanya. Dengan tangan kirinya dipegang-nya sebuah batu tulis dan sebuah kotak yang berisi anak batu,
pensil, pena, dan lain-lain sebagainya; dan di tangan kanannya
adalah sebuah payung sutera kuning muda, yang berbunga dan
berpinggir hijau. Alangkah elok parasnya anak perawan ini, tatkala berdiri
sedemikian! Seakan-akan dagang yang rawan, yang bercintakan
sesuatu, yang tak mudah diperolehnya. Pipinya sebagai pauh
dilayang, yang kemerah-merahan warnanya kena bayang baju
dan payungnya, bertambah merah rupanya, kena panas matahari.
Apabila ia tertawa, cekunglah kedua pipinya, menambahkan
manis rupanya; istimewa pula karena pada pipi kirinya ada tahi
lalat yang hitam. Pandangan mata nya tenang dan lembut, sebagai
janda baru bangun tidur. Hidungnya mancung, sebagai bunga
melur, bibirnya halus, sebagai delima merekah, dan di antara
kedua bibir itu kelihatan giginya, rapat berjejer, sebagai dua
baris gading yang putih. Dagunya sebagai lebah bergantung, dan
pada kedua belah cuping teli nganya kelihatan subang perak,
yang bermatakan berlian besar, yang memancarkan cahaya air
embun. Di lehernya yang jenjang, tergantung pada ranjai emas
yang halus, sebuah dokoh hati-hati, yang bermatakan permata
delima. Jika ia minum, seakan-akan terbayanglah air yang
diminumnya di dalam kerongkongannya. Suaranya lemah-lembut, bagai buluh perindu, memberi pilu yang mendengarnya.
Dadanya bidang, pinggangn
ya ramping. Lengannya dilingkari
gelang ular-ular, yang bermatakan beberapa butir berlian yang
bemyala-nyala sinarnya. Pada jari manis tangan kirinya yang
halus itu, kelihatan sebentuk cincin mutiara, yang besar matanya.
Kakinya baik tokohnya dan jalannya lemah gemulai.
Menurut bangun tubuh, warna kulit dan perhiasan gadis ini,
nyatalah ia bangsa anak negeri di sana; anak orang kaya atau
orang yang berpangkat tinggi. Ba rangsiapa memandangnya, tak
dapat tiada akan merasa tertarik oleh sesuatu tali rahasia, yang
mengikat hati, dan jika mendengar suaranya, terlalailah daripada
sesuatu pekerjaan. Sekalian orang be rsangka, anak ini kelak, jika
telah sampai umurnya, niscaya akan menjadi sekuntum bunga,
kembang kota Padang, yang semerbak baunya sampai ke mana-mana, menjadikan asyik berahi segala kumbang dan rama-rama
yang ada di sana. "Apakah sebabnya Pak Ali ha ri ini terlambat datang"
Lupakah ia menjemput kita"" de mikianlah tanya anak laki-laki
tadi kepada temannya yang perem puan, sambil menoleh ke jalan
yang menuju ke pasar Kampung Jawa.
"Ya, biasanya sebelum pukul satu ia telah ada di sini.
Sekarang, cobalah lihat! Jam di kantor telepon itu sudah hampir
setengah dua," jawab anak perempuan yang di sisinya.
"Jangan-jangan ia tertidur, ka rena mengantuk; sebab tadi
malam ia minta izin kepada ayahku, pergi menonton komidi
kuda. Kalau benar demikian, tentulah kesalahannya ini akan
kuadukan kepada ayahku," kata anak laki-laki itu pula, sebagai
marah rupanya. "Ah, jangan Sam. Kasihanilah orang tua itu! Karena ia bukan
baru sehari dua bekerja pada ay ahmu, melainkan telah bertahun-tahun. Dan di dalam waktu yang sekian lamanya itu, belum ada
ia berbuat kesalahan apa-apa. Bagaimanakah rasanya, kalau kita
sendiri sudah setua itu, masih dimarahi juga" Pada sangkaku,
tentulah ada alangan apa-apa padanya. Jangan jangan ia
mendapat kecelakaan di tengah jalan. Kasihan orang tua itu!
Lebih baik kita berjalan kaki saja perlahan-lahan, pulang ke
rumah; barangkali di tengah ja lan kita bertemu dengan dia
kelak," kata anak perempuan itu pula seraya membuka payung
suteranya dan berjalan perlahan-lahan ke luar pekarangan rumah
sekolah. "Ya, tetapi aku lebih suka naik bendi daripada berjalan kaki,
pulang ke rumah, sebab aku amat lelah rasanya dan hari amat
panas. Lihatlah mukamu, telah me rah sebagai jambu air, kena
panas matahari!" jawab anak laki-laki itu, seakan-akan merengut,
tetapi diikutinya juga temannya yang perempuan tadi.
"Benar hari panas, tetapi tak mengapa. Kaulihat sendiri, aku
ada membawa payung yang boleh kita pakai bersama-sama.
Merah mukaku ini bukan karena panas semata-mata, melainkan
memang sejak dari sekolah sudah merah juga."
"Apa sebabnya" Barangkali engka u dimarahi gurumu," tanya
Sam, demikianlah nama anak laki-laki itu, sambil memandang
kepada temannya. "Bukan begitu, Sam, hanya ... O, itu Pak Ali datang!"
Tiada berapa lama kemudian, berhentilah di muka anak muda
ini sebuah bendi yang ditarik oleh seekor kuda Batak. Rupanya
kuda ini telah lama dipakai, karena badannya basah dengan
peluh. Di atas bendi ini duduk seorang kusir, yang umurnya kira-kira 45 tahun, tetapi badannya masih kukuh. Pada air mukanya,
nyata kelihatan, bahwa ia seorang yang lurus hati dan baik budi,
walaupun ia tiada remaja lagi.
"Pak Ali, mengapa terlam bat datang menjemput kami"
Tahukah, bahwa sekarang ini sudah setengah dua" Setengah jam
lamanya kami harus berdiri di bawah pohon ketapang, sebagai
anak ayam ditinggalkan induknya," kata Sam seakan-akan
marah, sambil menghampiri bendi yang telah berhenti itu.
"Engku muda*), janganlah marah! Bukannya sengaja hamba
terlambat. Sebagai biasa, setengah satu telah hamba pasang
bendi ini, untuk menjemput Engku Muda. Tetapi Engku
Penghulu**) menyuruh hamba pergi sebentar menjemput engku
Datuk Meringgih, karena ada sesuatu, yang hendak dibicarakan.
Kebetulan Engku Datuk itu tak ada di tokonya, sehingga
terpaksa hamba pergi ke Ranah, me ncarinya di rumahnya. Itulah
sebabnya terlambat hamba datang," jawab kusir tua itu dengan
sabar. "Hm ... Marilah Nur, naiklah, supaya lekas kita sampai ke
rumah, sebab perutku telah berteriak minta makan," kata Sam
pula. *) Panggilan kepada anak orang yang
berpangkat di Padang **) Nama pangkat di Padang, yang hampir
sama dengan Wedana di tanah Jawa
Kedua anak muda tadi lalu naiklah ke atas bendi Pak Ali dan
dengan segera berlarilah kuda Batak yang amat tangkas itu,
menarik tuannya yang muda remaja, pulang ke rumahnya di
Kampung Jawa Dalam. Setelah sejurus lamanya berbendi, berkatalah anak laki-laki
tadi, "Nur, belum kanceritakan kepadaku, apa sebabnya mukamu
merah." "O, ya, Sam. Tadi aku diberi hitungan oleh Nyonya Van der
Stier, tentang perjalanan jarum pendek dan jarum panjang, pada
suatu jam. Dua tiga kali kucari hitungan itu, sampai pusing
kepalaku rasanya, tak dapat j uga. Bagaimanakah jalannya
hitungan yang sedemikian""
"Bagaimanakah soalnya"" tanya si Sam.
"Demikian," jawab si Nur. "Pukul 12, jarum pendek dan
jarum panjang berimpit. Pukul be rapa kedua jam itu berimpit
pula, sesudah itu""
"Ah, jalan hitungan yang semaca m ini, hampir sama dengan
jalan hitungan yang telah kuter angkan dahulu kepadamu," jawab
si Sam, "yaitu tentang perjalanan orang yang berjalan kaki dan
naik kuda. Yang terutama harus kau ketahui pada hitungan yang
sedemikian ini, ialah jarak dari angka XII ke angka XII, pada
jam kalau lingkaran itu dibuka dan dijadikan baris yang lurus.
Berapa"" Si Nur terdiam, sebagai berpikir.
"Begini. Cobalah pinjami aku batu tulismu itu!" kata si Sam
pula, seraya mengambil batu tulis si Nur dan membuat sebuah
garis yang panjang di atasnya.
Sejenak kemudian si Nur menjawab, "60 menit."
"Benar, 60 menit atau 60 meter atau 60 pal, sekaliannya itu
sekadar nama saja. Panjang yang 60 menit antara dua angka XII
di jam, boleh kita samakan de ngan panjang jalan yang 60 Km,
antara dua buah negeri, misaln ya antara negeri P dan M.
Sekarang manakah yang lebih cep at, jalan jarum panjangkah
atau jarum pendek"" tanya Sam pula.
"Tentu jarum panjang," jawab si Nur.
"Nah, jarum panjang itu misalkanlah si A, yang menunggang
kuda dari P ke M, dan jarum pendek si B, yang berjalan kaki dari
P ke N." kata si Sam. "Sekarang berapakah kecepatan perjalanan
kedua jarum itu""
"Jarum panjang 60 menit sejam dan jarum pendek 5 menit,"
jawab si Nur. "Jadi berapa perbedaan perjalanan kedua jarum itu dalam
sejam"" "55 menit," jawab si Nur.
"Nah, suruhlah kedua mereka itu sama-sama berangkat! Si A
dari P ke M, dan si B dari P ke N," kata si Sam pula.
"O, ya, benar, benar!" kata si Nur, "sekarang mengertilah
aku." "Ya, kalau tahu rahasia hitungan, mudah benar mencarinya,
bukan"" "Benar. Terima kasih, Sam!" kata anak perempuan tadi
sambil melihat ke hadapan. "Hai , dengan tiada diketahui, kita
telah sampai ke rumah."
Ketika itu berhentilah bendi tadi di muka sebuah rumah kayu,
bercat putih dan beratap genting, yang dihiasi sebagai rumah
Belanda. Anak perempuan tadi turun dari kendaraan Pak Ali,
lalu hendak masuk ke rumah ini.
"O ya, Nur, tunggu sebentar," kata si Sam. "Hampir lupa aku.
Tadi, waktu keluar bermain-main , aku telah bermupakat dengan
si Arifm dan si Bakhtiar, akan pergi esok hari ke gunung Padang,
bermain-main mencari jambu Keling, sebab hari Ahad sukakah
engkau mengikut""
"Tentu sekali suka, Sam," jawab si Nur dengan girang.
"Tetapi aku harus minta izin dahulu kepada ayahku. Jika dapat,
nanti petang kukabarkan kepadamu."
"Baiklah. Tetapi kalau engkau ikut serta, hendaklah kaubawa
apa-apa, yang dapat kita makan bersama-sama di sana.
Perjanjian kami tadi, si Arifin membawa air seterup dan aku
membawa roti. Kalau boleh, aku hendak meminjam bedil angin
si Hendrik, supaya dapat berbur u pula sekali, kalau-kalau ada
burung di sana." "Alangkah senangnya! Kalau d iizinkan aku mengikut, nanti
akan kupikirkanlah apa yang baik kubawa," jawab si Nur.
"Baiklah. Tabik, Nur!" .
"Tabik, Sam!" Setelah itu bendi yang membawa kedua anak muda ini,
masuk ke dalam pekarangan rumah si Sam, yang letaknya di
sebelah rumah yang dimasuki anak perempuan tadi. Ketika anak
laki-laki ini sampai ke rumahnya, kelihatan olehnya di muka
rumahnya, ada sebuah kereta berhenti dan ayahnya duduk
bertutur den gan seorang tamu, di beranda muka.
Sebelum diteruskan cerita in i, baiklah diterangkan lebih
dahulu, siapakah kedua anak muda yang telah kita ceritakan tadi,
karena merekalah kelak yang acap kali akan bertemu dengan
kita, di dalam hikayat ini.
Anak laki-laki yang dipanggil Sam oleh temannya tadi, ialah
Samsulbahri, anak Sutan Mahmud Syah, Penghulu di Padang;
seorang yang berpangkat dan berb angsa tinggi. Anak ini telah
duduk di kelas 7 Sekolah Belanda Pasar Ambacang. Oleh sebab
ia seorang anak yang pandai, gurunya telah memintakan kepada
Pemerintah, supaya ia dapat meneruskan pelajarannya pada


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekolah Dokter Jawa di Jakarta.
Ia bukannya seorang anak yang pandai sahaja, tingkah
lakunya pun baik; tertib, sopan santun, serta halus budi
bahasanya. Lagi pula ia lurus hati dan boleh dipercayai.
Walaupun ia rupanya sebagai seorang anak yang lemah-lem"but,
akan tetapi jika perlu, tidak lah ia takut menguji kekuatan dan
keberani"annya dengan siapa saja; lebih-lebih untuk membela
yang lemah. Dalam hal itu, tiadalah ia pandang-memandang
bangsa ataupun pangkat. Itulah sebabnya ia sangat dimalui
teman-temannya. Kalau tak ada alangan apa-apa, tiga bulan lagi
berangkatlah Samsulbahri ke tana h Jawa, untuk menuntut ilmu
yang lebih tinggi. Temannya yang dipanggilnya Nur tadi ialah Sitti Nurbaya,
anak Baginda Sulaiman, seorang saudagar kaya di Padang, yang
mempunyai beberapa toko yang besar-besar, kebun yang lebar-lebar serta beberapa pera hu di laut, untuk pembawa
perdagangannya melalui lautan. Anak ini pun seorang gadis,
yang dapat dikatakan tiada bercacat, karena bukan rupanya saja
yang cantik, tetapi kelakuan dan adatnya, tertib dan sopannya,
serta kebaikan hatinya, tiadalah kurang daripada kecantikan
parasnya. Oleh sebab ia anak seorang yang kaya dan karena ia cerdik.
dan pandai pula, ia disukai dan disayangi pula oleh teman-temannya. Hanya ayahnya, bukan seorang yang berasal tinggi,
sebagai Sultan Mahmud Syah, Penghulu yang tinggal di sebelah
rumahnya. Sungguhpun demikian, Penghulu dan saudagar ini
bukannya dua orang yang bersahabat karib saja, tetapi adalah
sebagi orang yang bersaudara kandung. Hampir setiap hari
saudagar Baginda Sulaiman datang ke rumah Penghulu Sutan
Mahmud Syah. Kalau tidak, tentulah Penghulu itu datang ke
rumah saudagar ini. Jika seorang mempunyai makanan, tak dapat
tiada diberikannya juga sebaha gian kepada sahabatnya. Barang
sesuatu yang akan diperbuatnya, dirundingkannya lebih dahulu
dengan karibnya. Oleh sebab itulah, Samsulbahri dan Nurbaya tiada berasa
orang lain lagi, melainkan serasa orang yang seibu sebapa
keduanya. Istimewa pula, kare na mereka masing-masing anak
yang tunggal tiada beradik, tiada berkakak. Dari kecil, sampai
kepada waktu cerita ini dimulai, kedua remaja itu belumlah
pernah bercerai barang sehar i pun; boleh dikatakan makan
sepiring, tidur sebantal.
Bagaimanakah hal kedua anak muda ini kelak, apabila datang
waktunya, Samsulbahri harus berangkat meninggalkan kampung
halamannya dan ibu-bapa serta handai tolannya" Nantilah akan
diceritakan betapa berat perceraian itu.
Tadi telah dikatakan, tatkala Samsulbahri sampai ke rumah-nya, ayahnya sedang bercakap-cakap dengan seorang jamu, di
serambi muka. Orang ini masuk bilangan sahabat Penghulu itu
juga, sebab ia acap kali ke lihatan makan minum di sana.
Menurut air muka dan rambutnya yang telah putih ditumbuhi
uban, nyatalah ia tiada remaja lagi. Akan tetapi, walaupun ia
telah tua, badannya masih sempur na, kukuh dan sehat, karena ia
seorang yang mampu. Itulah Datuk Meringgih, saudagar Padang yang termasyhur
kayanya, sampai ke negeri-negeri lain. Pada masa itu, di antara
saudagar-saudagar bangsa Melayu di padang, tiada seorang pun
dapat melawan kekayaan Datuk Meringgih ini. Hampir sekalian
toko dan rumah yang besar-besar di Pasar Gedang, kepunyaan-nya. Hampir sekalian tanah di Padang, tertulis di atas namanya.
Sawahnya beratus piring dan kebunnya beratus bahu. Hampir
sekalian perahu yang berlabuh di Muara, di dalam tangannya.
Sekalian rotan dan damar, serta h asil hutan yang lain-lain, yang
datang dari Painan dan Terusan, masuk ke d
alam tempat penyimpanannya. Berkapal-kapal kelapa keringnya, yang
dikirimkannya ke benua Eropah. Bergudang-gudang barang-barang yang dipesannya dari negeri lain-lain.
Siapakah yang tiada mengenal namanya" Sampai ke
Singapura dan Melaka, Datuk Meri nggih diketahui orang. Tak
ada seorang bangsa Eropah atau Cina, Arab atau Keling yang
kaya dan berpangkat di Padang, yang tiada bersahabat dengan
dia. Ia pun sangat pula merapati mereka, terlebih-lebih yang
berpangkat tinggi. Adakah maksudnya berbuat demikian" Atau
sebab memang ia seorang yang baik budi" Kelak akan kita
ketahui juga hal ini. Sungguhpun Datuk Meringgih seorang yang kaya raya, tetapi
tiadalah ia berbangsa tinggi. K onon khabarnya, tatkala mudanya,
ia sangat miskin. Bagaimana ia boleh menjadi kaya sedemikian
itu, tiadalah seorang juga yang tahu , lain daripada ia sendiri.
Suatu sifat yang ada padanya, yang dapat menambah kekayaan-nya itu, ialah ia amat sangat kikir. Perkara uang sesen, maulah ia
rasanya berbunuhan. Jika ia hendak mengeluarkan duitnya,
dibolak-balikkannya dahulu uang itu beberapa kali, sebagai tak
dapat ia bercerai dengan mata uang ini, seraya berkata dalam
hatinya, "Aku berikanlah uang ini atau tidak"" Hanya untuk
suatu perkara saja ia tiada bakhil, yaitu untuk perempuan. Berapa
kali ia telah kawin dan bercerai, tiadalah dapat dibilang. Hampir
dalam tiap-tiap kampung, ada anaknya. Tiada boleh ia melihat
perempuan yang cantik rupanya, tentulah dipinangnya. Walau-pun ia harus mengeluarkan uang seribu rupiah sekalipun, tiada-lah diindahkannya, asal sampai maksudnya. Kebanyakan
perempuan yang jatuh ke dala m tangan Datuk Meringgih ini,
semata-mata karena uangnya itu juga. Sebab lain daripada itu,
tak ada yang dapat dipandang padanya. Rupanya buruk, umurnya
telah lanjut, pakaian dan ru mah tangganya kotor, adat dan
kelakuannya kasar dan bengis, bangsanya rendah, pangkat dan
kepandaianpuntak ada, selain dari pada kepandaian berdagang.
Akan tetapi karena kekuasaan uangnya, yang tinggi menjadi
rendah, yang keras menjadi lunak dan yang jauh men-jadi dekat.
Bukankah besar kekuasaan uang itu" Tentu, apakah yang
lebih daripada uang" Dunia ini berputar mengelilingi uang.
Sekaliannya ujudnya uang.
"Hai, telah pukul satu!" demikian kata Sutan Mahmud,
tatkala dilihatnya anaknya pulang dari sekolah.
"Sudah setengah dua," jawab Datuk Meringgih, setelah
melihat arlojinya, yang besar, yang berantaikan pita berpintal,
dari kantung atas bajunya.
"Jadi Engku Datuk beri pinjam hamba uang yang 3000
rupiah itu"" tanya Sutan Mahmud.
"Tentu," jawab Datuk Meringgih dengan pastinya.
"Tetapi apakah yang akan hamba berikan kepada Engku
Datuk untuk jadi andalan"" tanya Sutan Mahmud.
"Tidak apa-apa. Hamba percaya kepada Tuanku Penghulu,
karena Tuankn bukan baru hamba kenal. Jika orang lain, tentu
hamba minta jaminan."
"Bukan begitu," kata Sutan Mahmud pula. "Hamba banyak
meminta terima kasih kepada Engku Datuk, sebab percaya pada
hamba; tetapi utang harus ada tandanya. Bila besok lusa hamba
meninggal dunia sebelum utang itu lunas dibayar, bagaimana-kah" Oleh sebab itu, kelak akan hamba kirimkan kepada Engku
Datuk, suatu surat perjanjian, bahwa rumah hamba ini dengan
tanah-tanahnya, telah hamba ga daikan kepada Engku dengan
harga 3000 rupiah." "Mana suka Tuankulah; sekara ng hamba minta diri dahulu,
sebab Tuanku tentulah sudah lapar," jawab Datuk Meringgih.
"Tidakkah Engku datuk makan di sini" tanya Sutan Mahmud.
"Tak usah, kemudian marilah," jawab Datuk Meringgih pula,
sambil berdiri. Kedua mereka kelihatan berjabat tangan, lalu Datuk
Meringgih turun dari atas rumah itu dan naik ke atas keretanya.
Seketika lagi, hilanglah ia dari mata Sutan Mahmud.
Waktu itu kelihatan Sutan Mahmud menarik napasnya,
sebagai terlepas daripada sesuatu bahaya, lalu masuk ke dalam
rumahnya, sambil berkata, "Kalau tak dapat kupinjam padanya,
tentulah aku akan terpaksa menjual sawah pusaka. Untung
benar! Kepada Baginda Sulaiman, tak hendak kupinta tolong.
Segan aku, kalau-kalau ia tak mau dibayar kembali."
Tatkala ia sampai ke dalam rurnahnya, kelihatan olehnya
Samsulbahri baru keluar dari dalam biliknya dan telah memakai
baju Cina putih dan celana genggang, yang baru dikenakannya;
penukar pakaian sekolahnya.
Setelah dilihat Samsu ayahnya, lalu dihampirinya orang
tuanya itu, seraya berkata, "Kalau Ayah izinkan, hamba hendak
pergi esok hari bermain- main ke gunung Padang."
"Dengan siapa"" tanya Sutan Mahmud.
"Dengan si Arifin dan si Bakhtiar dan barangkali juga dengan
si Nurbaya," jawab Samsu.
"Dengan si Nurbaya"" tanya Sutan Mahmud pula, sambil
berpikir. "Baiklah, tetapi hati-hati engkau menjaga dirimu dan si
Nurbaya! Jangan sampai ada alangan apa-apa dan jangan berlaku
yang tiada senonoh."
"Baiklah, Ayah," jawab Samsu.
Sejurus lagi, duduklah anak dan bapa, makan di meja
bersama-sama ibu Samsu, ya ng telah lama duduk menanti.
II. SUTAN MAHMUD DENGAN SAUDARANYA
YANG PEREMPUAN P ada senja hari yang baru diceritakan, kelihatan bendi Sutan
Mahmud masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah gedung di
kampung Alang Lawas. Di dalam bendi ini duduk Sutan
Mahmud. Memang gagah rupanya Penghulu ini duduk.di atas bendinya,
bertopangkan tongkat ruyung dengan kedua belah tangannya.
Destamya yang berbentuk "ciling menurun" itu adalah sebagai
suatu mahkota di atas kepalanya. Bajunya jas putih, ber-kancingkan "letter W," dan ujung lengan bajunya itu berpetam
sebagai baju opsir. Celananya celana panjang putih, sedang di
antara baju dan celana kelihatan sarungnya, kain sutera Bugis
hitam, yang terjuntai hampir sampai ke lututnya. Sepatunya
sepatu kasut, yang diperbuat dari kulit perlak hitam.
Rupanya Penghulu ini, tak guna kita rencanakan, karena
adalah sebagai pinang dibelah dua dengan rupa anaknya
Samsulbahri. Di antara Penghul u-penghulu yang delapan di kota
Padang waktu itu, Sutan Mahmud inilah yang terlebih dipandang
orang, karena bangsanya tinggi, rupanya elok, tingkah lakunya
pun baik; pengasih penyayang kepa da anak buahnya, serta adil
dan lurus dalam pekerjaannya.
Tatkala sampai ke muka gedung tadi, berhentilah bendi Sutan
Mahmud, dan Penghulu ini turun dari atas kendaraannya, lalu
naik ke atas rumah ini. Dari jauh telah nyata kelihatan, gedung
ini kepunyaan seorang mampu, karena rupanya sederhana,
pekarangannya besar dan dipagar dengan kayu yang bercat
hitam. Di dalam pekarangan in i, banyak tumbuh-tumbuhan yang
sedang berbuah dan bunga-bungaan yang sedang berkembang.
Jalan masuk ke rumah ini, bentuknya sebagai bulan sebelah,
dan kedua pintunya, dapat ditutup dengan pagar besi yang bercat
putih. Pada bentuknya nyata, ge dung ini buatan lama; karena
bangunnya tinggi, tiangnya besar-besar berukir-ukiran, lantainya
papan, demikian pula dindingnya; atapnya genting dilapisi
dengan rumbia, sehingga tak m udah bocor. Pada dindingnya
yang dicat putih itu, tergantung beberapa gambar Sultan Turki
dengan Wazir-Wazirnya. Kolong di bawah rumah itu, sekeliling-nya berkisi-kisi papan kecil-kecil, yang bercat hitam. Di serambi
muka, yang dipagari kisi-kisi kayu berpahat, ada sebuah lampu
gantung, yang dapat dikerek turun-naik, terbuat dari ukir-ukiran
timah, bertutupkan gelas, sedang di bawah lampu itu adalah
sebuah meja marmar bulat, yang kakinya berukir-ukiran pula, di-kelilingi oleh empat buah kursi goyang, macam dahulu. Serambi
ini tengahnya menganjur ke muka sedikit. Di sanalah bertemu
kedua tangga yang terletak di kanan-kiri serambi.
Rupanya Sutan Mahmud telah biasa masuk rumah ini, karena
ia terus berjalan ke serambi belakang. Di sana kelihatan olehnya
seorang anak gadis yang berumur kira-kira 15 tahun, sedang
duduk menjahit di atas tikar pandan dekat sebuah pelita.
Tatkala Sutan Mahmud melihat anak perempuan ini, ber-hentilah ia sejurus, lalu bertanya, "Ke mana ibumu, Rukiah""
Mendengar perkataan ini, terperanjatlah anak perempuan itu,
lalu mengangkat mukanya menol eh, kepada Sutan Mahmud.
Tatkala dilihatnya Penghulu ini be rdiri di belakangnya, segeralah
diletakkannya jahitannya, lalu berdiri, sambil berkata, "Sedang
sembahyang, Mamanda." Kemudian ia hendak masuk ke dalam
sebuah bilik, akan melihat, sudahkah ibunya sembahyang.
"Sudahlah, biarlah! Aku nanti sebentar," kata Sutan Mahmud,
lalu duduk di atas s ebuah kursi makan, di sisi sebuah meja
marmar kecil. Tatkala itu terdengarlah suara seorang perempuan bertanya
dari dalam bilik, tempat perawan tadi akan masuk, "Siapakah itu,
Rukiah"" "Mamanda Penghulu," jawab Rukiah.
"O, tunggulah sebentar! Kukenakan pakaianku dahulu,
karena aku baru sudah sembahyang."
Sementara itu bertanyalah Sutan Mahmud kepada Rukiah,
"Apakah yang kaujahit itu, Rukiah""
"Baju kerawang, Mamanda," ja wab Rukiah, seraya berkemas,
untuk menyimpan penjahitannya.
"Coba kulihat!" kata Sutan Mahmud pula. Rukiah, membawa
jahitannya, talu memperlihatkannya kepada Sutan Mahmud.
"Bagus benar buatanmu ini," kata Sutan Mahmud. "Untuk
siapa baju ini""
Mendengar pertanyaan sedemikian, terdiamlah Rukiah, lalu
tunduk kemalu-maluan. "Untuk siapa-siapa saja yang suka,"
jawabnya. "Yang suka, tentu banyak. Aku misalnya, ingin sekali
memakai baju kerawang yang sedem ikian," kata Sutan Mahmud,
akan mempermain-mainkan gadis ini.
"Kalau Mamanda suka, bolehlah Mamanda ambil. Tetapi rasa
hamba baju ini kecil bagi Mamanda."
"Pada sangkaku pun demikian juga, Rukiah. Orang yang
akan memakai baju ini, tentulah remaja yang sebaya dengan
engkau, dan yang badannya ser amping badanmu; bukannya laki-laki tua tambun, sebagai aku ini," jawab Sutan Mahmud dengan
tersenyum. Rukiah tunduk kembali kemalu-maluan, serta merah muka-nya. Tatkala itu keluarlah seorang perempuan yang umurnya
kira-kira 45 tahun, dari dalam bilik tadi, memakai baju kebaya
panjang, dari cela hitam dan kain Bugis. Rupanya perempuan ini
hampir seroman dengan Sutan Mahmud: hanya badannya kurus
sedikit. Pada air mukanya yang agak berlainan dengan wajah
muka Sutan Mahmud, terbayang tabiatnya yang kurang baik,
yaitu dengki dan bengis. Tatkala dilihatnya Sutan Mahmud duduk di atas kursi lalu
ditegurnya, "Engkau, Penghulu! Alangkah besar hatiku melihat
engkau ada pula di rumah ini; ka rena telah sekian lama engkau
tiada datang kemari. Hampir a ku bersangka, engkau telah lupa
kepada kami." "Bukan demikian, Kakanda! Ma klumlah hal kami pegawai
Pemerintah! Pekerjaan tiada berkeputusan: rodi, ronda, perkara
jalan, perkara polisi, perkara in i dan itu, tidak berhenti," jawab
Sutan Mahmud. "Ya, tentu; tetapi ... Rukiah, pergilah masak air panas, untuk
mamandamu ini! Masih adakah kue-kue dalam lemari""
"Ada, Bunda," jawab Rukiah.
"Ah, tak usah, karena aku baru minum teh di rumah, Rukiah,"
kata Sutan Mahmud pula.

Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa" Tidakkah sudi lagi engkau makan di sini" Tidak-kah percaya lagi engkau kepada saudaramu"" tanya perempuan
itu, seraya rnengangkat mukanya, sebagai hendak marah.
"Ah, apakah sebabnya Kakanda berkata demikian" Masakan
hamba menaruh syak wasangka pada Kakanda" Kalau tiada
Kakanda, siapa lagi yang boleh hamba percayai"" jawab Sutan
Mahmud dengan tenangnya, tetapi , senyumnya mulai hilang dari
bibirnya. "Pergilah Rukiah masak air, tetapi kopinya jangan terlalu
keras!" kata perempuan itu pula.
Setelah itu, anak perawan ini lalu pergi ke dapur, mengerja-kan apa yang telah dikatakan ibunya.
"Jangan engkau marah, apabila aku berkata demikian kepada-mu, karena sesungguhnya engkau rupanya makin lama makin
kurang kepada kami. Dahulu setiap hari engkau datang kemari,
makan dan minum di sini dan kadang-kadang tidur pula di sini.
Baran apa yang kaukehendaki, en gkau minta atau kauambil
sendiri. Rumah ini kaupandang sebagai ramahmu sendiri. Akan
tetapi sekarang ini, jangankan tidur di sini, menjaga kami, datang
melihat kami kemari sekali sejumat pun tidak.
Apabila kuberikan apa-apa kepadamu, tak hendak kaumakan,
sebagai takut dan tak percaya engkau kepada rumah ini dan
isinqa; padahal di sinilah tumpah darahmu, di sinilah tumpah
darahku dan di sinilah pula orang tua-tua kita tinggal telah lebih
dari 80 tahun dan di sini pula ayah-bunda kita berpulang ke
rahmatullah. Bagaimana boleh sampai hatimu sedemikian itu,
tiadalah dapat kupikirkan," kata putri Rubiah, seraya menyapu
air matanya, yang berlinang-linang di pipinya.
Melihat kakandanya menangis, menjadi lemahlah kembali
hati Sutan Mahmud yang tadi mulai panas, lalu ia menjawab,
"Janganlah Kakanda berkecil hati
, sebab tidaklah ada hamba
berhati sedemikian itu; hanya maklumlah Kakanda, Tuan
Kemendur ini baru, perintahnya keras; jadi harus berhati-hati
memegang pekerjaan, supaya jangan mendapat nama yang
kurang baik. Kakanda tahu sendiri, sejak dari nenek moyang
kita, yang semuanya bekerja pada kompeni, belum ada yang
mendapat nama jahat, melainkan pujianlah yang diperoleh
selama-lamanya. Alangkah sayangnya dan malunya hamba, bila
nama yang baik itu, pada hamba menjadi kurang baik!"
"Ah, tetapi pada sangkaku, walaupun engkau tiada menjadi
Penghulu sekalipun, engkau akan lupa juga kepada kami dan
rumah ini," kata putri Rubiah pula. "Semenjak engkau telah
kawin dan beranak, tiadalah lain yang kaupikirkan anak dan
istrimu, serta rumah tanggamu saja."
"Jika tiada begitu, bagaimana pula" Kalau tiada hamba yang
harus memelihara anak istri hamba, siapa lagi," tanya Sutan
Mahmud dengan tercengang.
"Lihatlah! Memang benar sangka ku, pikiranmu telah berubah
daripada yang diadatkan di Padang ini. Istrimu sudahlah, sebab
ia tinggal di rumahmu, tetapi anakmu" Bukanlah ada mamanda-
nya, saudara istrimu" Buka nkah anakmu itu kemenakannya"
Bukankah dia yang harus memelihara anakmu, menurut adat
kita"" mendakwa putri Rubiah. "Atau telah lupa pula engkau
adat nenek moyang kita itu""
"Benar, tetapi si Marhum ta k berapa pendapatannya dan
banyak pula tanggungannya yang la in; jadi malu hamba, kalau si
Samsu hamba serahkan ke tangannya," jawab Sutan Mahmud.
"Ya, tetapi apabila kemenakanmu yang menjadi tanggungan-mu sendiri tersia-sia, tiada engkau malu," kata putri Rubiah pula.
"Tersia-sia bagaimana"" tanya Sutan Mahmud.
"Tidakkah tersia-sia namanya itu" Tidak dilihat-lihat dan
tidak diindahkan. Entah berbaju entah tidak, entah kelaparan
entah kesusahan, entah sakit entah mati. Anakmu kaumasukkan
ke sekolah Belanda, kauturut segala kehendaknya, makan tak
kurang, pakaian cukup. Jika hendak pergi, bendimu telah ter-sedia akan membawanya, dan tiada lama lagi akan engkau kirim
pula ia ke Jakarta, meneruskan pe lajarannya. Dari situ barangkali
ke negeri Belanda pula karena kepandaian di sana, belumlah
memadai baginya. Kalau ada sekolah untuk menjadi raja,
tentulah. ke sana pula kauserahkan anakmu itu, sebab ia tak
boleh menjadi orang sebarang saja, melainkan harus menjadi
orang yang berpangkat tinggi. Bukankah sekalian itu memakan
biaya" Untuk anakmu selalu ada uangmu, untuk anakku
selamanya tak ada." "Rukiah tidak bersekolah itu bukan salah hamba, melainkan
salah Kakanda sendiri. Sudah be rapa kali hamba minta kepada
Kakanda, supaya anak itu disekolahkan, tetapi Kakandalah yang
tak suka, karena tak baik, kata Kakanda, anak perempuan pandai
menulis dan membaca; suka me njadi jahat. Sekarang hamba
yang disalahkan. Lagi pula hamba sekolahkan si Samsu bukan
karena apa-apa, melainkan sebab pada pikiran hamba, kewajiban
bapaklah memajukan anaknya," kata Sutan Mahmud sambil
merengut. "Bukan kewajibanmu, melainkan kewajiban mamaknya*)"
jawab putri Rubiah. "Untung ana kku perempuan, tak banyak me-rugikan engkau. Akan tetapi walaupun ia laki-laki sekalipun,
belum tentu juga akan kauserahka n ke sekolah, karena orang ber-sekolah itu orang yang hina dan miskin, yang tak dapat makan,
kalau tiada berkepandaian. Anakku putri, bangsanya tinggi, tak
perlu bekerja untuk mencari makan. Biarpun ia bodoh, masih
banyak orang kaya dan bangsawan yang suka kepada ketinggian
bangsanya. Anakmu bukan demikian halnya; ia hanya marah
karena ibunya orang kebanyakan. Kalau tak berkepandaian, tentu
tak laku..." kata putri Rubiah dengan keras suaranya, lalu ber-henti sejurus, sebagai tak dapat meneruskan sesalannya.
*) Saudara ibu yang laki-laki
"Sampai sekarang aku belum me ngerti, bagaimana pikiran-mu, tatkala mengawini perempuan itu. Apanya yang kau
pandang" Bagusnya itu saja" Apa gunanya beristri bagus, kalau
bangsa tak ada, Serdadu Belanda bagus juga, tetapi siapa yang
suka menjemputnya"" *)
"Rupanya bagi Kakanda, perempuan itu haruslah berbangsa
tinggi, baru dapat diperistri. Pikiran hamba tidak begitu; bahwa
kawin dengan siapa saja, asal pere mpuan itu hamba su
kai dan ia suka pula kepada hamba. Tiada hamba pandang bangsa, rupa
atau kekayaannya," jawab Sutan Mahmud yang mulai naik
darahnya. "Memang adat dan kelakuanmu telah berubah benar. Tiada
lama lagi tentulah akan kautukar pula agamamu dengan agama
Nasrani," kata putri Rubiah.
Sutan Mahmud tiada menjawab melainkan mengangkat
bahunya, seraya menoleh ke tempat lain.
"Pekasih**) apakah yang telah diberikan istrimu itu kepada-mu, tidaklah kuketahui; hingga tidak tertinggalkan olelunu
perempuan itu; sebagai telah te tikat kaki tanganmu olehnya.
Sekalian Penghulu di Padang ini beristri dua tiga, sampai empat
orang. Hanya engkau sendirilah yang dari dahulu, hanya
*) Memberi uang tatkala kawin
**) Ilmu supaya dikasihi atau dicintai, biasanya
memakai obat-obatan (guna-guna di tanah
Jawa). perempuan itu saja istrimu tidak berganti-ganti, tiada bertambah-tambah. Bukankah harus orang besar itu beristri banyak"
Bukankah baik orang berbangsa itu beristri berganti-ganti,
supaya kembang keturunannya" Bukankah hina, jika ia beristri
hanya seorang saja" Sedangkan orang kebanyakan, yang tiada
berpangkat dan tiada berbangsa, terkadang-kadang sampai empat
istrinya, mengapa pula engkau tiada""
"Pada pikiranku, hanya hewan yang banyak bininya, manusia
tidak," jawab Sutan Mahmud dengan merah mukanya. "Kalau
perempuan tak boleh bersuami dua tiga, tentu tak harus laki-laki
beristri banyak." "Cobalah dengar perkataannya itu! Adakah layak pikiran
yang sedemikian" Tiap-tiap laki-laki yang berbangsa dan ber-pangkat tinggi, malu beristri seora ng, tetapi engkau malu beristri
banyak. Bukankah sttdah bertuka r benar pikiranmu itu" Sudah
lupakah engkau, bahwa engka u seorang yang berbangsa dan
berpangkat tinggi" Malu sangat rasanya aku, bila kuingat
saudaraku, sebagai seorang yang tak laku kepada perempuan,
kepada putri dan Sitti-Sitti Pa dang ini, walaupun bangsa dan
pangkatnya tinggi," kata putri Rubiah. "Dan bukankah rugi itu"
Tentu saja tak sampai-menyampai belanjamu, bila gajimu saja
yang kauharapkan. Cobalah lihat adikmu! Walaupun tiada
bergaji, tetapi tidak pernah kekurangan uang. Belum tahu ia
kemari dengan tiada memberi aku dan kemanakannya. Wahai,
kasihan Anakku! Celaka benar untungnya. Sudah tiada
diindahkan oleh mamandanya, jodohnya pun tak dapat pula
dicarikannya. Anak orang umur 12 atau 13 tahun, setua-tuanya
umur 14 tahun, telah dikawinkan, tetapi anakku, hampir beruban,
masih perawan juga. Kalau masih hidup ayahnya, tentulah tiada
akan dibiarkannya anaknya sedemikian ini, walaupun akan
digadaikannya kepalanya. Da n aku ini mengapalah sampai
begini nasibku" Berbeda benar dengan untung perempuan yang
lain. Meskipun ada saudaraku yang berpangkat tinggi, tetapi aku
adalah sebagai anak dagang, yang tiada berkaum keluarga. Tiada
diindahkan, tiada dilihat-lihat; belanja dan pakaian pun tak
diberi. Kepada siapakah aku akan meminta lagi, jika tiada
kepadamu, Mahmud"" kata putri Rubiah, sambil menangis
bersedih hati. Sutan Mahmud yang mulai merah mukanya, karena marah
mendengar umpatan yang sedemikian, hatinya menjadi reda
kembali, tatkala melihat saudaranya menangis.
"Sudahlah Kakanda, jangan me nangis lagi! Memang maksud
hamba datang ini hendak membicarakan hal Rukiah."
"Apakah gunanya dibicarakan juga lagi" Menambah sedih
hatiku saja. Kalau engkau tak beruang, masakan ia mau.
Sudahlah, biarlah anakku menjadi perawan tua. Bukan aku saja
yang akan malu, tetapi terlebih-lebih engkau; karena tentulah
orang akan berkata, "Seorang Penghulu tiada sanggup mencari-kan suami kemanakannya!"
"Berapa uang jemputan yang dimintanya"" tanya Sutan
Mahmud pula dengan tiada mengindahkan perkataan saudaranya
itu. "Sudah beberapa kali kukatakan 300 rupiah*)," jawab
perempuan itu. "Tak mau ia kurang" 200 atau 250 rupiah misalnya"" tanya
Sutan Mahmud. "Kalau kepada tukang ikan ia akan dikawinkan, tentu tak
usah menjemput sedikit jua pun. Tetapi engkau tentu maklum,
anakku tak boleh dan tak suka kukawinkan dengan sebarang
orang saja. Apakah jadinya dengan keturunan kita kelak""
"Baiklah, apa lagi permintaannya"" tanya Sutan Mahmud
dengan s abar. "Arloji mas dengan rantainya, cincin berlian sebentuk,
pakaian selengkapnya, dengan bebe rapa helai kain sarung Bugis
dan kain batik Jawa, bendi dengan kudanya," jawab putri
Rubiah. "Astaga! Dari mana akan hamba peroleh sekaliannya itu""
kata sutan Mahmud. *) Harga uang dulu tinggi dari uang sekarang
"Bukankah sudah kukatakan; kalau tak cakap engkau
mengadakan permintaan orang itu, janganlah dibicarakan juga
perkara ini. Apa gunanya engkau menyedihkan hatiku" Laki-laki
lain, aku tak suka."
"Sudahlah, apa boleh buat! Jemputlah dia!" kata Sutan
Mahmud, sambil mengeluh. "Perkara bendi itu gampang; jika tak
ada, boleh ambil bendiku."
"Benar"" tanya putri Rubiah, dan matanya terang kembali
karena mendengar perkataan ini.
"Benar," jawab Sutan Mahmud dengan pendek.
"Di mana engkau dapat uang"" tanya perempuan itu pula.
"Dari Datuk Meringgih," jawab Sutan Mahmud. "Berapa""
"3000 rupiah," jawab Sutan Mahmud.
"O, kalau sekian, tentu c ukup; sebab engkau maklum,
perkakas Rukiah untuk penyambut' suaminya, tentu harus cukup.
Ranjangnya tentulah sekurang-kurangnya tiga lapis kelambunya,
daripada sutera. Dan bantal seraga (bantal tinggi) harus dari
sutera pula, diberi bertekat benang Makau sekaliannya harus
diadakan. Belanja alat yang tujuh hari tujuh malam, dengan
biaya perarakan dan gajah mena*) tidak sedikit."
Tatkala itu datanglah putri Rukiah membawa suatu hidangan,
yang berisi semangkuk kopi dengan ku e-kue, ke hadapan Sutan
*) Kendaraan atau usung-usungan untuk
pengantin, bentuknya semacam ikan laut
Mahmud, lalu diletakkannya di atas meja. Kemudian masuklah
ia ke dalam biliknya. Rupanya ia mengerti, bahwa orang tuanya
itu sedang memperbincangkan hal yang tak boleh didengarnya,
sebab ketika ia sampai ke sana, tiba-tiba kedua mereka berhenti
sejurus berkata-kata. Tetapi ada juga didengarnya namanya
disebut. "Barangkali mereka me mperbincangkan perkara per-kawinanku," pikir putri Rukiah dalam hatinya. Tetapi tatkala itu
juga ia berkata dalam hatinya, sebagai hendak melenyapkan
pikiran yang demikian, "Ah, tak layak bagi seorang anak
perawan, memikirkan hal ini."
"Jadi bilakah maksud Kaka nda hendak melangsungkan
pekerjaan itu"" tanya Sutan Mahmud, tatkala putri Rukiah tak
ada lagi, sambil mengangkat mangkuk kopinya.
"Kehendak hatiku selekas-lekasnya," jawab putri Rubiah.
"Tetapi engkau tentu maklum, pekerjaan ini tak dapat diburu-burukan. Tiga bulan lagi, barulah dapat pada sangkaku, karena
tentulah aku harus bersedia-sedia lebih dahulu. Pakaian Rukiah
belum ada dan pakaian penerimaan Sutan Mansyur, yang bakal
menjadi suaminya itu pun belum cukup. Perkakas ranjang dan
bantal-bantal seraga pun belum disediakan, demikian pula kue-kue. Lagi pula tentulah sekalian kaum keluarga sahabat kenalan
kita yang dekat dan yang jauh, harus diberi tahu lebih dahulu."
"Kepada sanak saudara yang jauh jauh, boleh hamba tulis
surat, tetapi kepada yang dekat-dekat biarlah si Hamzah saja
memberitahukan," kata Sutan Mahmud.
Belum sampai habis diminum kopi itu oleh Penghulu Sutan
Mahmud, tiba-tiba kedengaranlah dari jauh katuk-katuk ber-bunyi, alamat ada orang mengamuk. Sutan Mahmud segera
mengangkat kepalanya, akan mendengarkan benar-benar bunyi
itu. Katuk-katuk itu makin lama makin keras dan makin cepat
bunyinya, dan sejurus kemudian disahutinya oleh katuk-katuk
rumah jaga yang dekat dari sana.
"Orang mengamuk!" kata Sutan Mahmud, sambil berdiri
hendak pergi ke luar. "Ya," kata putri Rubiah dengan gemetar suaranya, "tetapi
janganlah kaupergi ke sana."
"Mesti," jawab Sutan Mahmud, "barangkali dalam daerah
hamba." Tatkala itu juga putri Rukiah keluar dan dalam biliknya,
lalu pergi kepada mamandanya, sarnbil memegang tangan Sutan
Mahmud, dan berkata dengan gemetar dan pucat mukanya,
"Jangan Mamanda pergi! Hamba sangat takut, kalau-kalau orang
itu masuk ke dalam rumah ini."
"Ah, barangkali di kampung Jawa atau di Olo; bukan di
kampung ini," sahut Sutan Mahmud akan menghilangkan takut
kemanakannya. "Tetapi janganlah pergi! Sebab di sini tak ada laki-laki. Si
Lasa sakit dan si Hamzah tak ada," kata putri Rubiah pula.
Sutan Ma hmud terdiri sejurus, tak tahu apa yang akan
diperbuatnya. Pergilah ia menjalankan kewajibannya atau


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggalkan menjaga saudaranya dan kemanakannya.
"Ke mana si Hamzah"" tanyanya, setelah berdiam seketika.
"Entahlah," jawab saudaranya, "jangan jangan ia yang men-dapat bahaya."
Ketika itu kedengaran suara orang cepat-cepat naik tangga
rumah. Kedua perempuan ini makin bertambah-tambah takut,
lalu datang menghampiri Sutan Mahmud dan berdiri di
belakangnya. "Siapa itu"" tanya putri Ru biah kepada Sutan Mahmud.
"Ah, barangkali si Ali akan memberitahukan hal ini," jawab
Sutan Mahmud. "Engkau Ali"" tanyanya. Tiada beroleh jawaban.
Tiada lama kemudian daripada itu berdiri seorang-orang
muda di hadapan mereka, yang rupanya hampir serupa dengan
Sutan Mahmud. Hanya umurnya lebih muda. Anak muda ini
memakai baju putih berkerawang, kain Palembang, selop hitam,
topi sutera hitam yang miring letaknya di atas kepalanya.
Bibirnya merah sebagai baru makan sirih. Di kocek bajunya ter-gantung rantai arloji naga-naga, yang terbuat daripada mas. Buah
bajunya pun dari mas pula. Pada jari manisnya kelihatan se-
bentuk cincin yang bermata intan. Menurut wajah mukanya,
kecil badannya, bangsa dan mampu, yang dari kecilnya belum
pernah merasai kesengsaraan dan kesusahan. Oleh sebab itu
tiadalah lain yang diketahuinya, melainkan bersuka-suka dan
bersenang-senangan. Perkara yang akan datang dan hal yang
telah lalu tiadalah pernah dipikirkannya.
Apabila ada uangnya 100 rupiah, sehari itu juga dihabiskan-nya, diboroskannya atau diperjudikannya. Jika tak beruang, di-jual atau digadaikannya segala barang yang ada padanya. Itulah
sebabnya maka kehidupannya tak te ntu; terkadang-kadang ada ia
beruang, terkadang-kadang tak ada. Akan tetapi sebab ia seorang
yang "pandai hidup", sebagai kata peribahasa Melayu, selalulah
rupanya seperti orang yang tak pernah kekurangan.
"Ha, untung engkau datang, Hamzah! Kalau tidak, tak tahu
aku apa yang akan diperbuat wa ktu ini. Tetapi dari mana
engkau"" tanya Sutan Mahmud.
"Dari tanah lapang, hendak kema ri. Tatkala sampai ke rumah
jaga, di ujung jalan ini, kede ngaran oleh hamba bunyi katuk-katuk; sebab itu hamba berlari-lari kemari."
"Di mana orang mengamuk"" tanya Sutan Mahmud.
"Entah! Orang jaga pun tak ta hu pula," jawab Sutan Hamzah.
"Baiklah, tinggallah engkau di sini, sebab aku hendak pergi
memeriksa pengamukan ini."
"Ah jangan, Mahmud! Biarlah mereka berbunuh-bunuhan di
sana. Apa pedulimu"" kata putri Rubiah.
"Tak boleh demikian. Seorang Kepala Negeri harus
mengetahui dan memeriksa hal ini; lebih-lebih kalau
pengamukan itu terjadi dalam kampung pegangan hamba," jawab
Sutan Mahmud. "Lebih sayangkah kepada pangkatmu daripada kepada
jiwamu"" tanya putri Rubiah pula.
"Ah, jangan kuatir! Belum tentu hamba mati."
"Kalau di dalam pegangan Kakanda terjadi pengamukan itu,
sedang Kakanda tak ada, tentulah Kakanda dapat nama kurang
baik," kata Sutan Hamzah mencampuri percakapan ini.
Oleh sebab tiada tertahan rupanya oleh putri Rubiah maksud
saudaranya ini, berkatalah ia, "Baiklah, tetapi hati-hati menjaga
diri! Pangkat dapat dicari, tetapi nyawa tak dapat disambung dan
bawalah keris pusaka Ayah itu besar tuahnya."
"Baiklah," jawab Sutan Mahmud, "mana dia""
"Tunggu!" kata. utri Rubiah, lalu masuk ke biliknya.
Sebentar lagi keluarlah putri Rubiah membawa sebilah keris
tua, yang dibungkus dengan kain putih, lalu diberikannya kepada
Sutan Mahmud: "Hamzah, tutuplah pintu dan tinggallah engkau
di sini! Jaga rumah baik-baik!"
Sambil berkata demikian, Sutan Mahmud pun keluarlah, lalu
turun dan melompat naik bendi nya, yang berangkat waktu itu
juga. III. BERJALAN-JALAN KE GUNUNG PADANG
P ada keesokan harinya, pukul lima pagi. Samsulbahri terperanjat
bangun dari tidurnya, karena mendengar bunyi lonceng jam yang
ada di rumahnya, lima kali memukul. Dengan segera diangkat-nya kepalanya lalu menoleh ke celah-celah dinding biliknya,
akan melihat, sudah adakah cahaya matahari yang masuk ke
dalam rumahnya atau belum. Rupanya ia takut kesiangan. Akan
tetapi walaupun ia menoleh ke sana kemari dan mendengar hati-hati, kalau-k
alau ada suara orang, tiadalah lain yang dilihatnya
daripada sinar lampu biliknya sendiri. Sekaliannya masih sunyi
senyap; orang yang telah , meninggalkan tempat tidurnya, belum
ada. Hanya dari jauh kedengaran olehnya kokok ayam jantan
bersahut-sahutan di segala pihak, sebagai orang bersorak ber-ganti-ganti, karena berbesar hati menyambut kedatangan fajar.
Dari sebelah timur, kedengaran bunyi puput kereta api di
setasiun Padang sekali-sekali, sebagai hendak memberi ingat
kepada mereka yang hendak menumpang dan berangkat pagi-pagi. Dari sebelah barat kedengaran ombak yang memecah di
tepi pantai, sebagai guruh pagi hari, yang menyatakan hari akan
hujan sehingga kecillah hati Samsu mendengar bunyi ini, takut
kalau-kalau maksudnya, akan bermain-main ke gunung Padang,
tiada dapat disampaikannya. Dari surau yang dekat di sana,
kedengaran orang bang, member i ingat kepada sekalian yang
hendak berbuat ibadat kepada Allah subhanahu wataala, bahwa
subuh telah ada. Oleh sebab nyata oleh Samsu, bahwa hari baru pukul lima
pagi, direbahkannyalah kembali badannya ke atas tilamnya;
bukannya hendak tidur pula, melainkan sekadar berbaring-baring, menunggu hari siang. Akan tetapi ia gelisah, karena
pikirannya telah digoda oleh kenang-kenangan akan pergi
bersuka-sukaan itu. Sebentar-bentar berbaliklah ia ke kanan dan
ke kiri, sebagai berduri tempat tidurnya. Akhirnya, karena tak
dapat menahan hati, bangunlah ia dari tempat tidurnya, lalu
dibukanya pintu biliknya perlahan-lahan, karena kuatir kalau-kalau ayahnya yang sedang tidur, terbangun pula.
Tatkala sampailah ia ke luar, kelihatan olehnya cuaca amat
terang, bukan karena sinar mata hari, melainkan karena cahaya
bulan, yang hampir tenggelam di sebelah barat. Di langit banyak
bintang-bintang yang gemerlapan cahayanya, seakan-akan
embun di tengah padang yang luas, mengilat di celah-celah
rumput. Akan tetapi bintang timur, mulai pudar cahayanya,
diliputi cahaya fajar yang telah menyingsing di sebelah timur.
Burung murai mulai berkicau di pokok kayu, lalu terbang ke
tanah akan menangkap ulat-ulat dan cengkerik yang alpa, belum
masuk bersembunyi ke dalam lubangnya.
Burung-burung yang lain pun mulai pula meninggalkan
sarangnya, ke luar mencari mangsanya. Ada yang melompat-lompat dari cabang ke cabang pohon yang segar rupanya,
ditimpa embun pagi. Ada pula yang bersiul dan berbunyi,
sebagai riang menyambut kedatangan cahaya matahari, yang
memberi kehidupan kepada segala makhluk di atas dunia ini.
Dan ada pula yang memberi makan anaknya, rezeki yang
diperolehnya pagi-pagi itu, sehingga ramailah bunyi mencicit-cicit kedengaran dalam sarangnya. Kemudian ada pula yang
bertengger di atas cabang, membersihkan bulunya, sebagai
mandi mencucikan badannya. Kelelawar mengirap ke sana
kemari dengan deras jalannya, mencari tempat yang gelap,
sebagai orang yang takut kesiangan di tengah jalan. Ayam betina
keluar dari kandangnya, sambil memimpin anaknya, berbunyi-bunyi memanggil dan mengumpulkan yang ketinggalan atau
yang pergi ke tempat, lain, takut biji matanya akan sesat di jalan
yang masih gelap. Ayam jantan berlari ke sana kemari memburu
ayam betina, lalu berdiri sejurus, mengangkat kepalanya dan
berkokok dengan tangkasnya, seolah-olah seorang hulubalang
yang sedang mengerahkan laskarny a di medan peperangan. Di
jalan besar mulai kelihatan ora ng, seorang dua, berjalan tergesa-gesa, sebagai ada yang diburunya . Gerobak yang ditarik kerbau
dan lembu atau disorong orang, kedengaran berbunyi gentanya,
sebagai menyatakan hari telah siang. Sesungguhnya di sebelah
timur mulailah tampak cahaya matahari, yang memancar ke sana
kemari menerangi sekalian benda yang ditimpanya.
Samsu pergi ke bilik kusir tuanya Pak Ali, lalu diketuknya
pintu bilik ini sambil bcrkata, "Pak Ali, bangunlah! Hari telah
siang." Sejurus kemudian terbukalah pintu bilik ini dan kelihatan Pak
Ali mengeluarkan kepalanya dari pintu ini, sambil menggosok-gosok matanya, sebagai hendak menerangkan pemandangannya.
"Pukul berapa sekarang, Engku Muda"" tanya kusir ini.
"Hampir pukul enam," jawab Samsu.
Mendengar jawab ini, keluarlah sais A
li dari biliknya, masuk ke kandang kudanya akan membersihkan bendi, pakaian kuda,
dan kandangnya. Sementara itu pergilah Samsu mandi ke sumur.
Tatkala ia masuk kembali ke rumahnya, kelihatan olehnya
ayahnya sudah bangun, duduk di kursi malas, serambi belakang.
"Lekas benar engkau bangun pagi ini," kata ayahnya.
"Supaya jangan terlalu kepanasan di jalan, Ayah," jawab
Samsu. "Jadi juga engkau pergi"" tanya ayahnya pula.
"Jadi, Ayah," sahut Samsu.
"Nurbaya pergi pula"" tanya Sutan Mahmud..
"Pergi, katanya tadi malam," jawab Samsu.
"Hati-hati engkau menjaga anak orang, he!"
"Ya, Ayah," jawab Samsu pula.
"Baiklah," kata Sutan Mahmud, seraya berdiri, lalu turun ke
bawah. Kira-kira pukul enam lewat seperempat, kelihatanlah
Samsulbahri dengan Nurbaya dalam bendi, yang dikemudikan
sais Ali ke luar pekarangan rumahnya, menuju ke Muara. Di
tengah jalan bertanya Ali kepada Samsu, dengan tiada menoleh
ke belakang, "Terus ke Muara, Engku Muda""
"Tidak, Pak Ali, ke rumah Arif in dahulu, ke jalan Gereja."
Karena mendengar jawab ini, ditujukan oleh sais Ali bendi-nya ke jalan Gereja.
"Nyaris aku kesiangan, Sam," kata Nurbaya dalam bendi itu,
"karena tadi malam aku hampir tak dapat tidur sebab takut
mendengar bunyi katuk-katuk."
"Aku pun ngeri mendengar bunyi tanda bahaya itu, sehingga
pukul dua malam, tatkala ayahku telah datang, barulah aku dapat
tidur. Tetapi pukul lima pagi a ku telah terbangun pula," jawab
Samsu. "Di mana orang mengamuk itu"" tanya Nurbaya.
"Aku pun tak tahu," jawab Samsu. "Katuk-katuk kedengaran
berbunyi pada segenap pihak dan lama pula bunyinya."
Tengah bercakap-cakap demikian, dengan tiada diketahui
mereka, berhentilah bendi itu di hadapan rumah Kopjaksa Sutan
Pamuncak, di Kampung Sebelah. Di muka ini telah berdiri dua
orang anak muda laki-laki, yang umurnya hampir sama dengan
Samsu. Tatkala dilihat mereka bendi Samsu berhenti, lalu
dihampirinya seraya berkata, "Hai! Nurbaya mengikut pula""
Sebab dilihatnya Nurbaya ada be rsama-sama Samsu. "Baiklah!
Lebih banyak orang, lebih girang."
"Mengapa Tiar" Tak bolehkah aku mengikut, sebab aku
perempuan"" kata Nurbaya, sambil tersenyum.
"Ah, masakan tak boleh, Nona," jawab anak muda, yang
dipanggil Tiar oleh Nurbaya. "Aku berkata demikian bukan
karena tak suka bahkan karena suka hatiku, melihat engkau ada
bersama-sama." "Bohong! Karena ia kuatir tak cukup akan mendapat kue-kue
yang kita bawa," menyela Arifin.
"Baiklah, kalau benar engka u bersuka hati melihat aku
mengikut, niscaya engkau kelak takkan takut memanjat pohon
jambu Keling untuk aku," sahut Nurbaya sambil tersenyum pula
untuk membujuk Bakhtiar, yang mulai merengut mendengar
perkataan Arifin. "Boleh kaulihat sendiri nanti, mana yang lebih pandai
memanjat, aku atau kera," jawab Bakhtiar dengan bangganya.
"Kalau untuk makan si Tiar memang lebih pandai memanjat
dari kera," mengusik pula Arifin.
Sementara itu kedua anak m uda tadi, naiklah ke bendi
Samsu, yang langsung berangkat ke Muara.
Kedua anak muda yang baru kita kenali itu, ialah
Zainularifin, anak Hopjaksa Sutan Pamuncak dan Muhammad
Bakhtiar anak guru kepala sekolah Bumiputra kelas II di
Belakang Tangsi. Keduanya teman sekolah Samsulbahri, yang
tiga bulan lagi akan pergi bersama-sama dengan dia ke Jakarta,
meneruskan pelajarannya; Arifin pada Sekolah Dokter Jawa,
Bakhtiar pada Sekolah Opseter (KWS).
"Pada sangkaku aku terlambat," kata Arifin, setelah ia duduk
dekat Samsu. "Biarpun engkau terlambat, tentu akan kutunggu juga, sebab
demikian perjanjian kita," jawab Samsu.
"Apa sebabnya engkau akan terlambat"" tanya Nurbaya.
"Sebab aku memang seorang yang suka tidur, apalagi sebab
tadi malam aku tak dapat lekas-lekas tidur," jawab Arifin.
"Mengapa" Ada keramaiankah di rumahmu tadi malam""
tanya Samsu. "Ya, memang ada. Keramaian yang amat besar. Sampai
pukul dua belas malam masih jaga aku," jawab Arifin, sambil
menutup mulutnya menahan kuapnya.
"Cobalah lihat, Sam, baik hatinya Arifin ini! Ada keramaian
di rumahnya, tiada dipanggil-panggilnya kita," kata Nurbaya
mengumpat. "Ah masakan engkau tiada dapat panggilan!" ujar Arifin
pula. "Benar tidak," jawab Nurbaya. "Jika demikian, tiada sampailah panggilan itu kepadamu."
"Mengapa tidak"" mendakwa Bakhtiar. "Sebab panggilan itu
dijalankan dengan katuk-katuk."
"Dengan katuk-katuk"" tanya Nurbaya sambil tercengang.
"Macam baru, memanggil ora ng dengan tanda bahaya."
Mendengar olok-olok Arifin ini Samsu tersenyum. Akan
tetapi Nurbaya belum mengerti sindiran perkataan Arifm itu.
"Tiadakah kaudengar bunyi katuk-katuk tadi malam"" tanya
Arifin pula. "Betul ada, tetapi pada sangkaku, sebab ada orang
mengamuk," jawab Nurbaya.
"Ya, itulah dia! Bukankah tiap- tiap ada orang mengamuk, di
rumahku ada keramaian besar, sebab orang yang mengamuk,
orang yang diamuk, opas-opas, saksi-saksi, kepala-kepala dan
ketua-ketua kampung dan lain-lainnya, begitu pula orang yang
menonton, sekaliannya datang berkumpul ke rumahku, untuk
memberi selamat kepada kami"" kata Arifin pula seraya ter-
senyum. "Ah, itu maksudmu. Kusangka, benar engkau beralat," jawab
Nurbaya kemalu-maluan sebab ia baru merasa telah dipermain-kan oleh Arifin.
"Beralat tidak, tetapi keramaian ada," jawab Arifin sambil
tertawa. "Memang kau tukang olok-olok; pa tut jadi alan-alan," jawab
Nurbaya Sambil tertaWa pula.
"Siapa yang mengamuk tadi malam dan di mana ia
mengamuk"" tanya Samsu.
"Siapa yang mengamuk itu tiada kuketahui, tetapi rupanya
sebagai penjahat, kulihat."
"Kaulihat orangnya"" ta nya Bakhtiar, mencampuri
percakapan ini. "Tentu, sebab ia dibawa ke rumahku, sebelum
dimasukkan ke dalam penjara," jawab Arifin.


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cobalah kauceritakan kepada kami, bagaimana asalnya dan
kejadiannya pengamukan itu!" kata Bakhtiar pula.
"O, oleh sebab engkau sekalian minta supaya kuceritakan hal
ini, itulah tandanya engkau sekalian ingin hendak mendengar-nya, bukan" Akan tetapi oleh sebab kita hampir sampai ke
Muara, kutahan keinginan hatimu itu, sampai nanti, kalau kita
telah mendaki, penawar lelah mendaki," kata Arifin.
"Coba lihat, kikirnya Arifin," jawab Bakhtiar yang hendak
membalas dendam pada Arifin. "Sudah tiada dipanggilnya kita,
tatkala ada keramaian di rumahnya, sekarang ditahannya pula
keinginan hati henda k mengetahui keramaian itu. Dimahalkan-nya harga barangnya, sebab diketahuinya banyak yang suka
membeli." "Benar engkau berani" Engkau memang dengan sengaja tiada
kupanggil, sebab aku tahu, engkau lebih suka pergi ke tempat
keramaian yang ada kue-kue, daripada ke tempat keramaian yang
ada darah," jawab Arifin.
Bakhtiar sebagai merengut mendengar sindiran sahabatnya
ini. "Pada sangkaku lebih baik Arifin menjadi seorang saudagar
daripada menjadi seorang dokter, karena saudagar memang
demikian adatnya. Apabila diketahuinya, orang suka kepada
barang perniagaan, ditahannya barang itu dan dinaikkannya
harganya," kata Samsu. Akan tetapi tatkala itu juga ia merasa
menyesal, telah mengeluarkan perk ataan itu, takut kalau-kalau
Nurbaya menjadi gusar kepadanya. Dengan sudut matanya
dikerlingnya Nurbaya, yang duduk di sisinya, tetapi rupanya
gadis ini tiada mendengar celaan itu, karena ia sedang asyik
melihat beberapa perahu kail, yang baru masuk ke muara sungai
Arau. Sesungguhnya keempat anak muda itu telah sampai ke dekat
sebuah rumah jaga di Muara. Di belakang rumah jaga ini
kelihatan beberapa kuda tambang, sedang dimandikan oleh
kusirnya di pinggir pantai, tempat sungai Arau bermuara ke laut.
Dekat tempat mandi kuda ini adalah sebuah pangkalan, yang
menganjur sampai ke tepi sungai, tempat berlabuh kapal-kapal
api kecil, yang berlayar ke Terusan. Di sebelah pangkalan ini,
berlabuh beberapa perahu kail, yang baru datang dari lapt
membawa ikan-ikan, yang dapat dikailnya pada malam itu. Di
muka pangkalan ini, adalah sebuah rumah tempat pengail-pengail menjual ikannya, dan di sebelah baratnya menjulang
gunung Padang, sebagai kepala seekor ular Naga yang timbul
dari dalam laut. Yang menjadi leher Naga ini ialah bagian yang
rendah, tempat orang naik me ndaki gunung Padang. Makin ke
selatan makin bertambah besar gunung ini; itulah badan ular
Naga yang membelok ke timur, diiringkan oleh sungai Arau,
yang mengalir di kakinya.
Di sebelah selatan pangkalan yang diperkatakan tadi,
adalah kantor bea perahu-perahu yang masuk sungai Arau atau kapal-kapal yang berlabuh di pulau Pisang, pelabuhan kota Padang
dahulu yang sekarang telah dipindahkan ke Teluk Bayur. Sejak
dari kantor bea ini, kelihatan di pinggir sungai Arau, yang
menceraikan gunung Padang dari kota Padang, beberapa perahu
besar dan kapal api kecil; berlabuh berleret-leret, sepanjang tepi
su,ngai, yang ditembok dengan batu. Sejajar dengan tembok ini
adalah jalan kereta api da n jalan besar untuk mengangkut
barang-barang ke kota Padang. Pa da sebelah utara jalan ini,
berleretlah beberapa gudang, disambung toko-toko, sampai jauh
ke kampung Cina dan Pasar Gedang.
Tempat ini memang bagian kota Padang yang amat indah;
oleh sebab itu kerap kali dikunjungi oleh mereka yang suka
berjalan jalan pada petang hari, tatkala matahari hampir silam,
untuk mengambil hawa yang baik; karena tempat ini baik
letaknya dan banyak memberi pemandangan yang elok-elok.
Lagi pula tiada terlalu ramai, sehingga mereka yang berjalan
jalan di sana, tiada terganggu oleh lalu-lintas. Hanya pada waktu
hari raya, sampai dua tiga hari sesudah puasa, jalan ini hampir
tiada dapat ditempuh orang yang be rjalan kaki, karena berpuluh-puluh bendi dengan berbuka tenda , berlumba-lumba di sana,
mengadu deras lari kudanya. Itulah suatu kesukaan yang sangat
digemari anak muda-muda kota Padang.
Apabila kembali kita, menurut jalan yang telah diceritakan
tadi, arah ke utara, sampailah kita ke pantai laut Padang.
Sepanjang pesisir pantai ini, kira-kira sepal jauhnya, adalah suatu
taman bunga-bungaan, yang dihiasi oleh beberapa jalan kecil-kecil. Pada beberapa tempat , di bawah pohon ketapang yang
rindang, adalah bangku-bangku tempat berhenti mereka yang
lelah karena perjalanannya. Kira-k ira, di.tengah taman ini adalah
sebuah rumah punjung yang bundar dan cantik bangunnya,
diperbuat di atas suatu gunung-gunungan, sebagai suatu mahligai
di dalam istana. Tiadalah heran kita, apabila taman ini menjadi
suatu tempat yang sangat menarik hati bangsa Eropah, yang
tinggal di kota Padang; kare na sesungguhnya amat senang
perasaan-dan indah pemandangan, apabila pada petang hari
duduk di sana, melihat matahari terbenam di sebelah barat.
Misalkanlah oleh pembaca yang belum ke sana, tempat ini
suatu taman bunga-bungaan yang permai tetapi sunyi senyap. Di
atas sebuah bangku yang ada dalam mahligai yang letaknya di
tengah-tengah taman itu, bern aung di bawah pohon kayu yang
rindang, duduk seorang anak muda yang sedang termenung-menung ke sebelah barat, kepada suatu kolam yang amat luas,
yang membentahg di sisi taman itu, sedang ombaknya memecah
di kaki anak muda tadi, menyiram bunga-bungaan yang di sana.
Jauh di sebelah barat di tengah-tengah kolam ini, kelihatan
beberapa buah pulau, yang berler et"leret letaknya sebagai pagar
kolam ini. Di balik pulau-pulau itu adalah suatu mestika yang
bundar, sebagai sebuah bola mas, yang menyala-nyala, me-mancarkan cahayanya yang kilau-kemilau ke muka air kolam,
yang seakan-akan suatu kaca besar, membalikkan cahaya yang
jatuh ke atasnya, ke dalam taman tadi, menyinari segala pohon-
pohonan dan bunga-bungaan yang ada di sana.
Perlahan-lahan, dengan tak kelihatan jalannya turunlah
mestika itu ke bawah, sebagai ditarik oleh seorang jin, yang tiada
kelihatan sehingga akhirnya tenggelamlah ia ke dalam kolarn
yang ujungnya bagaikan bersabung dengan langit, meninggalkan
gambar-gambar, yang rupanya seakan-akan timbul dari dalam
air. Ada yang sebagai Naga yang sedang berjuang, ada yang
sebagai kuda yang sedang berlari, ada pula yang sebagai kapal
tengah berlayar atau pulau yang merapung di atas air dan lain-lain sebagaiya.
Mereka yang menaruh pilu dan sedih, janganlah ke sana,
pada waktu itu, karena sejauh te pi langit dari tepi kolam itu,
sejauh itu pulalah kelak pikiran dan kenang-kena ngan mereka.*)
Tetapi bagi mereka yang berkasih-kasihan tempat itu, pada
waktu terang bulan, adalah sebagai dengan sengaja diperbuatnya.
Sayang di ujung selatan tanian ini ada rumah penjara dan di
ujung utaranya ada kantor pengadilan, keduanya tempat yang
mendatangkan dahsyat dan sedih ha ti, apabila diingat beberapa
orang yang telah dipenjarakan karena mendapat hukuman di
sana, yang barangkali ada juga di antaranya tiada bersalah.
Sekarang marilah kita kembali mengikuti keempat sahabat
kita, yang kita tinggalkan di atas bendi tadi, sebab kalau terlalu
lama kita berhenti di taman ini, pastilah takkan dapat lagi kita
*) Sayang taman itu sampai sekarang tak dipelihara lagi
susul keempat anak muda itu.
"Bukan demikian," jawab Arifin, tatkala mendengar per-kataan Samsu. "Ada beberapa sebabnya, maka aku tak mau men-ceritakan hal yang sangat penting ini, kepadamu sekalian.
Pertama supaya kamu dapat belajar menahan hati, karena itulah
suatu sifat yang baik benar bagi manusia. Orang yang sabar dan
dapat menahan keinginan hatin ya, jarang salah barang per-buatannya. Ingatlah cerita perempuan dengan kucingnya dan
cerita ayam yang bertelur emas itu!"
"Bagaimanakah ceritanya"" tanya Nurbaya.
"Tidak tahukah engkau cerita itu, Nur" Nanti aku ceritakan,"
jawab Samsu. "Kedua..." kata Arifin pula, akan menyambung uraiannya.
"Hai, kita sudah sampai," kata Bakhtiar, dan seketika itu juga
bendi mereka berhenti dekat sebuah gudang.
"Ya," jawab Samsu, "baiklah kita turun."
Sekaliannya turunlah dari atas bendi, sambil membawa
bekal-masing-masing, lalu pergi ke pinggir sungai Arau, akan
mencari sebuah sampan tambangan, yang dapat membawa
mereka ke seberang. "Pukul bqrapa Engku Muda pulang"" tanya Pak Ali.
"O ya," jawab Samsu, sambil menoleh ke belakang, "datang
sajalah pukul dua belas."
"Baiklah," jawab Pak Ali, lalu memutar kudanya pulang ke
rumahnya. Tatkala keempat anak muda itu sampai ke pinggir sungai
Arau, datanglah beberapa sampan mendekat ke sana.
"Di sampanku inilah! Di sini baik, sampan tak oleng! Di sini
seduit seorang!" demikianlah kata tukang-tukang sampan.
"Lebih baik kita tunggu sampan yang datang itu, karena
sampan itu besar, jadi tak oleng," kata Nurbaya.
"Benar," jawab Samsu.
Seketika lagi sampan yang besar itu pun sampailah ke
pinggir, lalu keempat anak muda tadi naik dan didayungkan ke
seberang. "Kedua," kata Arifin di atas sampan ini tiba-tiba, untuk
menyambung cerita tadi, ' jika kita sangat ingin kepada barang
sesuatu dan lekas kita peroleh keinginan hati kita itu, boleh
mendatangkan penyakit kepada kita.
Ketiga, kebesaran hati karena segera beroleh keinginan itu,
tiada lama, sebab lekas jemu akan benda yang diingini itu.
Misalnya: kita umpamakan, Bakhtiar amat suka kepada kue-kue.
Tetapi itu hanya perumparnaan saja, Bakhtiar, jangan marah,"
kata Arifin pura-pura bersungguh-sungguh tetapi sebenarnya,
akan mempermainkan temannya ini; sehingga dalam hatinya ia
tertawa. "Walaupun sebenarnya kaukataka n aku suka kue aku tidak
juga akan marah," kata Bakhtiar, "sebab memang suka kue-kue."
"Ya, itulah sebabnya kuambil perumpamaan ini, supaya tepat
kenanya," jawab Arifin. "Kalau misalnya si Bakhtiar dalam
setahun tiada dipertemukan dengan idamannya kue-kue, tentulah
keinginannya hendak memakan kue -kue itu tak dapat_dikatakan
besarnya." "Biar kujual kepalaku untuk pembeli kue-kue," jawab
Bakhtiar. "Tetapi kalau engkau tak berkepala lagi, bagaimana pula
engkau dapat memakan kue-kue itu "" tanya Arifin sambil ter-tawa, sehingga seisi sampan sekaliannya ikut tertawa pula.
"Memang tak tepat jawabanku," kata Bakhtiar, sambil ter-tawa pula bersama-sama. "
"Setelah setahun tak makan kue, tiba-tiba si Bakhtiar dibawa
ke toko kue nyonya Jansen, dan dikatakan kepadanya, "Boleh
kaumakan, apa yang kausukai!" kata Arifin pula.
"Tentulah perkataan itu tak kusuruh ulang lagi," jawab
Bakhtiar dan sesungguhnya, air ludahnya bagaikan keluar,
karena mengingat kue-kue yang enak itu, "dan dengan segera ku-terkam kue tar, bolu, sepekuk, yang lezat cita rasanya itu."
"Sedikitkah atau banyakkah kaumakan kue-kue itu"" tanya
Arifin. "Sepuas-puas hatiku, sampai tak termakan lagi," jawab
Bakhtiar. "Nah, itulah dia! Oleh sebab terlalu kenyang, boleh jadi kau
mendapat penyakit atau jemu kepada kue-kue atau tak bernafsu
makan lagi. Bukankah tak baik itu"" kata Arifin.
"Ya, benar," jawab Samsu.
"Jemu katamu" Aku jemu
kepada kue kue" Pada sangkaku
jika habis sekalipun umurku, belum juga habis nafsuku kepada
kue-kue," jawab Bakhtiar.
"Aku belum mengerti orang yang tak berumur lagi, masih
bernafsu kepada kue-kue," kata Arifin.
"Bakhtiar, Bakhtiar!" sahut Nurbaya, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lebih baik engkau jadi tukang kue saja,
seperti nyonya Jansen, supaya kenyang perutmu."
"Di dalam. sepekan, tentulah jatuh tokoku itu, sebab habis
kumakani segala kueku. Tiap-tiap orang yang hendak membeli
kue-kueku, kuusir, supaya makanari itu jangan habis olehnya,"
kata Bakhtiar. Sekalian yang mendengar tertawa.
"Keempat," kata Arifin pula, "acap kali merusakkan badan.
Ingatlah kalau kuda terlalu,panas, jadi terlalu haus, atau orang
yang telah empat lima hari tiada minum, tiba-tiba diberi minum
terlalu banyak, boleh mendatangkan ajalnya.
Yang kelima, yaitu yang terutama sekali, yang hampir lupa
kusebutkan, yakni supaya ke lak jangan engka u rasai lelah
mendaki, karena ingatanmu telah diikat oleh ceritaku yang amat
menarik." "Keenam," menyela Bakhtiar, "sebab kita telah sampai ke
seberang, haruslah kita bayar sewa sampan orang," seraya ia
mengeluarkan uang empat sen dari koceknya dan memberikan
uang itu kepada tukang sampan, lalu melompat ke darat. Ketiga
temannya pun melompat pula mengikutiny,a.
"Di kedai itu aku lihat ada tebu, marilah kita beli! Tentu kita
nanti akan haus di jalan," kata Samsu.
"Aku ada membawa seterup dua botol," jawab Bakhtiar.
"Kalau cukup; kalau tak cukup, di mana kita cari air nanti""
kata Samsu pula. Sesudah membeli tebu, mulailah keempat anak muda ini
mendaki. Gunung Padang yang tingginya kira-kira 322 M, ialah ujung
sebelah utara gunung-gunung rendah, yang memanjang di
sebelah selatan kota Padang. Itulah sebabnya, maka pinggir laut
di situ pada beberapa tempat curam dan jarang didiami orang.
Asalnya gunung-gunung ini pada Bukit Barisan, yang
memanjang di tengah-tengah pul au Sumatera dari ujung barat
laut ke ujung tenggara. Gunung Padang adalah sebagai suatu
cabang Bukit Barisan itu, yang menganjur ke barat, sampai ke
tepi laut kota Padang. Orang Belanda menamai Gunung Padang ini Apenberg
(gunung kera*), sebab di puncaknya banyak kera yang jinak
jinak, yang memberi kesukaan kepada mereka yang mendaki
gunung itu. Apabila dipanggil dan di beri pisang, datanglah kera-kera itu berpuluh-puluh banyaknya, memperebut-rebutkan
makanan ini. Kera yang besar-besar, terkadang-kadang berani
merampas pisang atau makanan lain, dari tangan orang.
Sungguhpun demikian., tak ada orang yang berani berbuat apa-apa atas kera-kera ini, sebab pada sangka anak negeri kota
Padang, kera-kera itu keramat, tak boleh diganggu-ganggu. Jika
dibunuh, tentulah yang membunuh itu akan mati pula, dan jika
ditangkap, tentulah yang menangkap itu tak dapat mencari jalan
pulang. Ada pula yang bersangka, bahwa kera-kera itu asalnya
dari sekalian orang yang telah mati, yang dikuburkan di gunung
itu, hidup kembali sebagai kera jadi jadian.
Memang di gunung itu banyak kuburan, sedang di puncaknya
adalah sebuah makam, di dalam suatu gua batu, tempat orang
berkaul dan bernazar. Sekali setahun, tatkala akan masuk puasa
dan pada waktu hari raya, penuhl ah gunung itu dengan laki-laki
dan perempuan, yang datang mengunjungi kuburan sanak
saudaranya, yang telah meninggalkan dunia, untuk mendoakan
*) Sebenarnya yang dinamakan Apenberg itu sebuah daripada
puncaknya, yang dekat ke tepi laut, tingginya 108 m.
arwahnya. Walaupun gunung ini pada hakikatnya tempat sedih dan duka


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cita, akan tetapi sebab pemandangan di atas puncaknya sangat
indah, dijadikanlah, ia tempat be rmain-main. Jalan naik ke atas
bertangga-tangga, supaya pada musim hujan, mudah juga dapat
didaki. Di puncaknya didirikan tiang bendera yang tinggi. Pada
tiap-tiap hari Ahad, berkibarlah bendera pada ujung tiang ini.
Dekat tiang bendera itu, diperbuat sebuah rumah punjung yang
bundar, cukup dengan bangku dan mejanya, tempat melepaskan
lelah. Akan menyejukkan badan yang panas karena mendaki,
diperbuatlah pula ayun-ayunan, tempat berangin-angin, ganti
kipas. Sekaliannya ini dijaga d
an dibersihkan oleh orang
hukuman. Oleh sebab hal yang sedem ikian, pada tiap-tiap hari
Ahad, dikunjungilah tempat ini oleh mereka yang hendak
berjalan jalan mencari kesenangan dan kesehatan tubuhnya,
seraya membawa makanan-makanan dan minuman-minuman.
Ketika Nurbaya dengan teman-temannya sampai ke per-tengahan gunung itu, pada suatu pendakian yang curam, ber-katalah ia sambil mencari batu besar tempat duduk, "Alangkah
baiknya; apabila ada kendaraan yang dapat ditunggang ke atas
ini!" "Bagaimana" Belum sampai separuh jalan, telah lelah," kata
Arifin, seraya membuka buah bajunya, akan melepaskan hawa
panas yang keluar dari badannya.
"Kalau tulangku sebesar tulangmu, aku tidak akan berkata
sedemikian," jawab Nurbaya.
"Ha, pada sangkaku sekarang datang waktunya, aku akan
menceritakan, betapa asal mulanya keramaian di rumahku tadi
malam, sebab kulihat kamu sekalian berteriak, karena
kelelahan," kata Arifm.
"Ya, ya," jawab Bakhtiar, "mulailah!"
"Baik, dengarlah dan perhatikan benar-benar!" kata Arifin
pula, lalu bercerita, "Tatkala berbunyi katuk-katuk, aku sedang
ada dengan orang tuaku di serambi belakang, hendak makan.
Sangat terkejut kami, sebab bunyi katuk-katuk itu datang dari
rumah jaga, yang tiada berapa jauhnya dari rumah kami. Ayahku
lalu melompat dari kursinya dan berteriak kepada opasnya,
"Saban, suruh pasang bendi!" kemudiap masuklah ia ke dalam
biliknya akan menukar pakaiannya. Seketika lagi, keluarlah pula
ia, lalu berteriak, sambil mengancingkan bajunya, "Sudah,
Saban"" "Sudah, Engku," jawab opas ini.
Ayahku lalu turun, sambil berkata kepada ibuku, "Masuk ke
dalam dan tutup pintu!"
Ibuku yang rupanya sangat terkejut, tak dapat berkata apa-apa, hanya, "Hati-hati!" tatkala dilihatnya ayahku turun.
"Jangan khawatir!" jawab ayahku, lalu melompat ke atas
bendinya. Maka tinggallah kami dengan si Baki, sebab tukang kuda tak
ada di rumah. Katuk-katuk itu bunyinya kian lama kian keras,
sehingga kami makin lama makin bertambah takut. Maka
disuruhlah oleh ibuku tutup pintu dan jendela, lalu kami masuk
ke dalam bilik. Karena takut, tiadalah kami ingat akan lapar
kami. "Ya, benar," kata Samsu, "Kam i di rumah pun demikian pula;
hanya bertiga dengan bujang saja. Ayahku sejak pukul lima
petang tak ada di rumah. Coba kalau ada apa-apa, bagaimana
dapat melawan" Untunglah ayah Nurbaya datang ke rumahku,
mengatakan kami tak usah takut, sebab pengamukan itu jauh.
Dan lagi kalau ada apa-apa ia segera datang."
"Itulah yang menjadikan khawatir hatiku," kata Arifin pula,
"sebab memang orang yang memegang pekerjaan sebagai ayah
kita, lebih banyak musuhnya daripada sahabatnya. Walaupun
kucoba menghilangkan takutku dengan berkata ini dan itu
kepada ibuku atau membaca buku, tetapi ngeri itu tiadalah
hendak meninggalkan pikiranku; istimewa pula sebab kadang-kadang kedengaran suara ribut di jalan raya.
Sebentar-sebentar bunyi katuk katuk itu bertambah keras,
sebagai hendak menyatakan, ada pula seorang lagi yang kena
tikam si pengamuk. Dua jam lamanya kami di dalam ketakutan
dan kira kira pukul sebelas, barulah mulai kurang bunyi katuk-katuk itu. Tiada lama sudah itu, hilanglah bunyi ini sekaliannya,
hingga heboh tadi jadi sunyi senyap. Ketika itu, barulah agak
hilang takutku, karena kuketahui si pengamuk tentulah sudah
dapat ditangkap. Tetapi ayahku belum juga pulang. Mataku
mulai mengantuk dan dengan tiada kuketahui tertidurlah aku di
atas kursi. Ibuku, pada sangkaku, tiada dapat memejamkan mata-nya, sebab memikirkan ayahku, takut kalau-kalau ia mendapat
celaka." "Memang pekerjaan polisi sangat berbahaya," jawab Samsu,
"dan acap kali kita dimusuhi orang pula."
"Tetapi kalau kita baik dengan anak negeri," kata Bakhtiar,
"masakan dimusuhinya."
"Tentu lebih disukainya daripada orang yang jahat kepada
mereka. Akan tetapi, walaupun demikian, masih saja dibenci.
Ada juga jalannya, supaya tiada dimusuhi orang, yaitu: yang
bersalah jangan ditangkap, jangan dihukum dan diturutkan
segala kemauannya; sebab meskipun bagaimana berat atau
ringan kesalahan mereka, dihukum tentu mereka tak suka. Dan
apabila dijalankan juga hukuman, te
ntulah mereka akan menaruh
dendam dalam hatinya. Istimewa pula kalau yang dihukum itu
seorang yang berbangsa tinggi atau kaya, dan yang menghukum,
orang kebanyakan saja."
"Kalau begitu, kita namanya bukan pegawai, melainkan
seorang yang tiada menurut sumpah dan janjinya, orang yang
memperdayakan Pemerintah atau orang yang makan gaji buta
atau pencuri gaji. Kalau tahu Pemerintah kelakuan kita yang
demikian, tentulah kita akan dipecat daripada pekerjaan kita,"
sahut Arifin. "Lagi pula bagaimana akan da pat menurut kemauan sekalian
orang" Sedangkan kehendak dua orang yang berlawanan, lagi
tak dapat diturut. Misalnya seorang yang tak alim, tidak suka
langgar dibangun dekat rumahnya, sebab terlalu ribut katanya;
tetapi orang sebelah rumahnya , yang keras memegang agama,
minta langgar itu diperbuat di sana, supaya mudah pergi berbuat
ibadat. Betapa dapat menurut ke dua kesukaan yang berlawanan
ini"" "Tentu tak dapat," jawab Sa msu. "Memang bagi seorang
pegawai, hal yang sedemikian seperti kata pepatah: Bagai
bertemu buah si mala kamo*). Dimakan, mati bapak, tidak
dimakan, mati mak. Mana yang hendak dipilih""
"Kalau aku, barangkali tidak kumakan buah itu," kata
Bakhtiar mencampuri perbincangan ini.
"Jadi kau rupanya lebih sayang kepada ayahmu, daripada
kepada ibumu," sahut Nurbaya.
*) Buah perumpamaan, yang hanya ada dalam peribahasa
"Bukan begitu, Nur," jawab Bakhtiar, "kalau perkara sayang,
tentu aku lebih sayang kepada i buku daripada kepada ayahku,
sebab ibuku suka memberi aku kue-kue, tetapi ayahku suka
memberi aku tempeleng. Dan pada rasaku, kue-kue lebih enak
daripada tempeleng. Tetapi ka lau ayahku mati, ibuku tak dapat
mencari kehidupan sebagai ayahku. Betul ia boleh bersuami
pula, tetapi masakan ayah tiriku akan sayang kepadaku seperti
ayah kandungku. Jadi bagaimanakah halku kelak" Dapatkah juga
aku akan meneruskan pelajaranku""
"Baik, tetapi kalau ayahmu kawin pula, sesudah ibumu
meninggal, bagaimana"" tanya Nurbaya.
"Tidak mengapa, sebab ayahku masih ada, yang dapat
membantu aku," jawab Bakhtiar.
"Kalau mak tirimu itu sayang ke padamu; tapi kalau ia benci
kepadamu, sebagai acap kali terjadi di negeri kita ini, tentulah
akan diasutnya ayahmu, sampai ayahmu pun benci pula
kepadamu. Bagaimana" Mak hilang, ayah benci. Akan tetapi,
kalau makmu masih hidup, walaupun ia tak dapat menolong
kamu ataupun ia bersuami pula, sayangnya tetap padamu. Ia tak
dapat diasut-asut. Bukankah suda h dikatakan dalam peribahasa:
Sayang ayah kepada anaknya sepanjang penggalah, jadi ada
hingganya, tetapi sayang ibu kepada anaknya sepanjang jalan,
tak berkeputusan." "Ya, benar katamu itu, Nur, " jawab Bakhtiar dengan kuatir
rupanya, serasa banar akan terjadi hal itu atas dirinya: "Yang
sebaik-baiknya janganlah aku bertemu dengan buah jahanam itu
dan biarlah ibu-bapakku hidup sampai aku ada pekerjaan, yang
dapat memberi penghidupan kepadaku."
"Sebenarnya orang yang menjadi pegawai Pemerintah," kata
Samsu pula, seakan-akan hendak melenyapkan ingatan yang
kurang enak itu dari dalam hati Bakhtiar, "dalam pekerjaannya
harus dapat berbuat dirinya seperti suatu mesin, yang sebetul-betulnya menjalankan dan memperbuat segala apa yang harus
diperbuatnya. Artinya, tiada pandang-memandang, tiada me-naruh kasihan, tiada berat sebelah , tiada dapat tergoda oleh uang
atau pemberian dan lain-lain sebagainya."
"Tetapi adakah orang yang sedemikian"" tanya Arifin.
"Dalam seratus, jarang seorang agaknya," jawab Samsu.
"Sebab hal itu sangat susahnya."
"Jika begitu apa sebabnya, maka masih banyak saja orang
yang mau bekerja di kantor polisi" Ada pula yang tiada dapat
gaji, walaupun ia harus berpakaian yang patut, datang ke tempat
pekerjaannya. Sesudah beberapa tahun, barulah dapat uang
bantuan 5 atau 10 rupiah dan beberapa tahun kemudian, barulah
diangkat jadi juru tulis. Akhirn ya, apabila telah tua, barulah
dapat jadi menteri polisi atau ajung jaksa," tanya Arifin pula.
"Sebabnya ada bermacam-macam. Ada yang bekerja se-sungguhnya karena hendak me ncari kehidupan dengan tiada
mempunyal maksud lain. Itulah yang baik. Tetapi ada pula yang
memandang pangkat saja, sebab pada sangkanya, apabila ia telah
menjadi pegawai, telah tinggilah pangkatnya dengan diharmati
dan ditakuti orang. Lain daripa da itu dapat pula ia berbuat
sekehendak hatinya kepada anak negerinya. Tetapi sangkaku
orang yang sedemikian, rnemang orang yang tiada dipandang
dan dihormati orang. Apabila ia seorang yang memang telah
dipandang dan dihormati orang, te ntulah ia tidak berkehendak
lagi akan pandangan dan kehormata n, dan tiadalah pula ia akan
bersusah payah, berhabis uang, untuk mendapat pangkat dan
kemuliaan itu; istimewa pula, sebab dalam hal ini, bukan
orangnya melainkan pangkatnya yang dihormati dan dimuliakan.
Oleh sebab itu acap kali, kita lihat, semasa di dalam berpangkat,
sangat dihormati dan dimuliakan orang, tetapi bila telah berhenti,
tiada diindahkan orang lagi. Se baik-baiknya kehormatan dan
kemuliaan itu jangan timbul dari kekuasaan, melainkan dari hati
yang suci, disebabkan oleh kebaikan kita sendiri.
Ada pula orang yang memang dengan maksud jahat, mencari
pangkat, sebab diketahuinya, pa ngkat itu besar kuasanya; dengan
demikian lekas dan mudah diperolehnya segala maksudnya.
Akan tetapi pikiran yang semacam ini, hanya ada pada mereka
yang tiada lurus hatinya. Mereka yang mengerti, tentulah akan
tahu, bahwa kekuasaannya tak lebih daripada kekuasaan anak
negerinya dan pangkatnya sebenarnya rendah daripada pangkat
orang yang tiada makan gaji. Karena orang ini bebas, boleh
berbuat sekehendak hatinya, tak perlu menurut perintah, sebab
tak menerima upah. Kalau ia bersalah yang menghukum
bukannya pegawai itu melainkan undang-undang juga. Pegawai
hanya seorang yang digaji Pemerintah, untuk menjalankan
sesuatu kekuasaan, yang tak bersalah, tentu tak dapat
dihukumnya dengan lurus. Untung benar tiada sekalian pegawai
demikian kelakuannya. Banyak yang semata-mata dengan
maksud baik menjabat pekerjaan. Dan sesungguhnya, banyak
kebaikan yang dapat diperbuat mereka, karena kekuasaan tadi."
"Ah, aku tiada memandang kehormatan, kekuasaan, dan
pangkat," jawab Bakhtiar tiba-tiba, "asal cukup dapat uang,
pekerjaan apa pun tiada kuindahkan. Boleh orang memanggil
kuli kepadaku, asal diberinya gaji yang cukup."
"Supaya jangan sampai ke kurangan kue-kue, bukan"
Dipanggil hantu kue pun tak mengapa," kata Arifm sambil
tertawa-tawa mengganggu sahabatnya ini.
"Apalagi yang kaucari dalam dunia ini, lain daripada
keenakan dan kesenangan" Engkau belajar sekarang ini dengan
maksud supaya kemudian mendapat kesusahankah"" jawab
Bakhtiar. "Tentu tidak," kata Samsu pula, yang rupanya hendak
menyabarkan kedua sahabatnya, yang seakan-akan bermusuh-musuhan itu. "Tetapi di manakah tinggalnya ceritamu tadi,
Arifin" Cobalah teruskan!"
"Benar, tetapi yang terlebih baik ialah kita teruskan
perjalanan kita ini, sebab kalau kita masih berhenti di sini,
sampai hari kiamat pun belum juga kita akan sampai ke atas. Di
jalan kelak kusambung cerita itu."
Keempat anak muda ini mendakilah pula. Setelah sejurus
lamanya mereka mendaki jalan menanjak, berceritalah pula
Arifin, "Belum berapa lama aku tidur, terperanjatlah aku bangun,
karena aku dengar suara orang berkata, "Jangan banyak cakap!
Nanti kupukul kepalamu, sampai engkau tak dapat bergerak
lagi!" Maka gemetarlah seluruh tubuhku, karena pada sangkaku,
tentulah suara itu suara si pengamuk yang telah menangkap
bujangku, supaya mudah melakuka n niatnya yang jahat kepada
kami. Istimewa pula, karena tatkala itu kedengaran suara orang
naik tangga rumahku, lalu menge tuk pintu, menyuruh bukakan
pintu. Sebab takutku, tak tahulah aku apa yang hendak
kuperbuat. Walaupun aku hendak berdiri mencari senjata akan
membela diriku dan ibuku, melawan orang itu tetapi tak dapat
karena kakiku berat rasanya, sebagai terpaku pada lantai. Ketika
aku hendak berteriak minta tol ong, suaraku tak hendak keluar,
sebab leherku serasa dicekik or ang. Untunglah ibuku berani
bertanya, "Siapa itu""
"Aku," jawab dari luar.
Walaupun suara itu rupanya sebagai suara ayahku, ibuku
belum percaya juga, sebab ia bertanya pula, "Aku siapa""
"Engku Hop (hoofd), orang kaya," jawab opas ayahku.
Ketika itu bar ulah nyata benar kepadaku, bahwa ayahku ada
di luar. Setelah ibuku berkata, "Bukalah pintu, Arifin," barulah
aku dapat bangun dari kursiku, lalu pergi membuka pintu; tetapi
palangnya tiada kulepaskan dari tanganku, supaya dapat
kupergunakan jadi pemukul, bila yang masuk itu bukan ayahku,
sebab khawatirku belum hilang. Tetapi rupanya benar ayahku
yang masuk. Tatkala dilihatnya aku masih jaga, ia bertanya,
"Hai, belum tidur""
"Belum, Ayah," jawabku, "sebab takut, jadi hilang kantuk."
"Patut engkau jadi hulubalang besar," kata ayahku pula
dengan tersenyum, serta menyuruh pasang lampu kantornya.
Sesudah makan, diperiksalah perkara pengamukan tadi. "Di
sinilah kulihat si pengamuk itu."
"Bagaimana rupanya"" tanya Nurbaya.
"Ah, sebagai orang yang biasa saja. Hidungnya satu, matanya
dua," jawab Arifin. "Ya, tentu. Tetapi maksudku bukan demikian; serupa
penjahatkah atau serupa orang baik-baikkah ia, tuakah atau
masih mudakah, orang sinikah atau orang lain negerikah"" kata


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nurbaya pula. "Pada sangkaku bangsa penjudi tetapi masih muda.
Tangannya dibelenggu, bajunya koyak-koyak dan berlumur
darah, mukanya pucat, badannya gemetar dan matanya berputar-putar, sebagai masih marah," jawab Arifin dengan suara yang
seram. "Hi! Alangkah takutku, kalau me lihat orang yang demikian,"
kata Nurbaya, sambil mengecutkan badannya, karena berdiri
bulu romanya. "Memang, aku pun tak berani dekat. Takut kalau-kalau
datang pula nafsunya hendak me ngamuk dan dapat dipatahkan-nya belenggunya."
"Ya, tetapi kalau tak ada pisau, bagaimana mengamuk""
dakwa Bakhtiar, yang hendak mengejek Arifin.
"Dengan tangan dan gigi, sep erti engkau mengamuk kue-kue," jawab Arifin dengan te rtawa, sebab ia dapat pula
mengganggu sahabatnya ini.
"Orang mana ia dan apa mulany a, maka ia sampai berbuat
demikian"" tanya Nurbaya, sebagai hendak memadamkan per-
selisihan Bakhtiar dengan Arifin.
"Rupanya ia anak kampung Sawahan. Asal perkelahian,
perkara main judi. Sebab ia bany ak kalah, matanya jadi gelap,"
sahut Arifin, dengan tiada mengindahkan sahabatnya, Bakhtiar
yang mengerut dahinya. "Berapa orang yang diamuknya"" tanya Samsu.
"Dua orang; yang seorang ma ti, sebab kena dadanya; yang
seorang lagi luka parah di kepa lanya, lalu dibawa ke rumah
sakit." "Kasihan!" kata Nurbaya.
"Apa sebabnya, maka lama benar baru ia tertangkap"" tanya
Samsu pula. "Sebab mula-mula ia lari menyembunyikan dirinya, dan
tatkala hendak ditangkap, ia melawan. Tetapi sebab banyak
orang yang memburunya, jadi dapat juga ia dipersama-samakan," jawab Arifin. "Sesudah itu diperiksa oleh ayahku, si
pengamuk terus dibawa ke penjara."
"Bagaimanakah agaknya keputusan perkara itu"" tanya
Nurbaya. "Pada sangkaku, si pengamuk itu akan dihukum buang,
sekurang-kurangnya sepuluh tahun," jawab Arifin.
"Hura!" demikianlah bunyi sorak Bakhtiar tiba-tiba, "kita
telah sampai." Sesungguhnya keempat anak muda itu, dengan tiada
dirasainya, telah hampir sampai ke puncak Gunung Padang,
karena tiang bendera dan rumah perhentian yang ada di sana,
telah kelihatan. Tiada lama kemudian daripada itu, Nurbaya
merebahkan dirinya ke atas sebuah bangku, dalam.rumah
perhentian ini, sambil berkata, "Akhirnya sampai juga kita
kemari!"' "Asal sabar, yakin dan tawakkal, tentulah sampai maksud
yang kekal," jawab Bakhtiar dengan perlahan-lahan, sebagai
seorang yang alim. "Tetapi kalau tiada diusahakan diri, bagaimana"" tanya Arifin
yang masih menentang Bakhtiar. "Bolehkah Tuan Guru sampai
kemari, jika tiada berjalan lebih dahulu" Dapatkah Tuan Guru
yang sangat alim ini mengaji Quran, apabila tiada dipelajari lebih
dahulu" Dan dapatkah menjadi tukang tambur, sebab perut tiada
diisi lebih dahulu dengan kue-kue, melainkan dengan sabar,
yakin dan tawakkal saja""
"Ah, dengan engkau memang tak dapat bercakap-cakap;
lebih baik aku pergi ke sana," sahut Bakhtiar dengan sebalnya
lalu keluar rumah perhentian itu, pergi ke buaian.
"Ya, pergilah ke sana dan bercakap-cakap dengan kayu-kayuan itu! Tentu tiada dibatalkannya perkataanmu, sebab ia tak
pandai menjawab. Dengan demikian, dapatlah engkau berkata
sesuka hatimu, tetapi seorang diri,
seperti orang ... hm," sahut
Arifin, lalu pergi pula ke tempat lain.
Tatkala itu Samsulbahri masih berdiri, rupanya sedang asyik
memandang ke sebelah timur, kemudian memutar kepalanya
perlahan-lahan ke sebelah utara dan akhirnya ke sebelah barat.
Pikirannya sebagai tak ada de kat teman-temannya, melainkan
jauh di balik gunung yang tinggi, di seberang lautan yang dalam.
Bagaikan ada suatu suara yang berbisik di telinganya, demikian:
"Samsulbahri, pandang dan tilik serta perhatikanlah benar-benar olehmu tanah lahirmu ini, tempat tumpah darahmu, karena
tiada berapa lama lagi engka u akan berangkat meninggalkan
sekaliannya; berangkat jauh ke ra ntau orang, berjalan bukan
untuk sehari dua, bahkan berbulan dan bertahun. Siapa tahu,
barangkali engkau tak dapat kemba li pulang, karena nasib tiap-tiap makhluk yang di atas dunia ini ada di dalam tangan Allah,
dan nyawanya adalah sebagai tergantung pada sehelai benang
sutera, yang halus dan rapuh, sehingga terkadang-kadang angin
yang bertiup sepoi-sepoi pun dapat memutuskan tali per-gantungan itu."
Entah pikiran yang sedemikia n, entah keelokan pemandangan
puncak gunung itu yang memberi asyik hati anak muda ini,
tiadalah dapat dilihat pada ai r mukanya yang bermuram-muram
durja, sebagai mengandung suka dengan duka.
Memang pemandangan di atas Gunung Padang sangat elok,
karena dari sana, nyata kelihat an pertemuan antara daratan
dengan lautan, sebagai garis: pu tih yang terbentang dari kaki
Gunung Padang arah ke utara, melalui jalan yang berbelok-belok, yang terkadang-kadang jauh menganjur ke laut, sehingga
terjadilah pada beberapa tempat , di kanan-kiri tanjung-tanjung
ini, teluk yang permai. Pada beberapa tempat, rupanya baris pinggir laut itu sebagai
bergeiak-gerak, disebabkan oleh ombak, yang memecah di tepi
pantai yang menimbulkan buih yang putih warnanya. Orang
yang memukat ikan, kelihatan sebagai semut berkerumun di sana
sini. Alangkah elok rupanya per hubungan daratan dan lautan itu,
dua benda yang menjadikan dun ia ini, tetapi yang sangat
berlainan warna, sifat, hal, dan isinya.
Di sebelah barat dan utara kelihatan lapangan yang sangat
luas dan datar, yang kebiru-bir uan warnanya dan yang pada
beberapa tempat sebagai dierami oleh pulau-pulau kecil, yang
berjejer letaknya, dari utara ke selatan, adalah seakan-akan suatu
telaga yang amat besar, yang berdindingkan langit putih di
sebelah barat. Pada sangka ah li bumi, pulau-pulau itu dahulu
kala, berhubungan dengan pulau Sumatera. Karena keruntuhan
di dasar lautan, tenggelamlah perhubungan itu, meninggalkan
beberapa pulau. Di sebelah timur, kelihatan daratan yang hijau warnanya,
yang penuh ditumbuhi pohon kelapa dan pohon yang lain-lain,
adalah seakan-akan sebuah kebun yang amat luas layaknya. Pada
beberapa tempat kelihatan pohon cemara dan pohon ketapang
yang tinggi-tinggi, sebagai menjulangkan puncaknya dari
tindihan pohon kelapa yang bany ak itu, supaya dapat menangkap
angin dan cahaya matahari. Di sana-sini tampak atap rumah yang
merah atau putih warnanya, sebagai mengintip. dari celahcelah
daun kayu. Hanya pada bagian yang dekat ke kaki Gunung
Padang itulah yang banyak ruma h dan jalan-jalannya yang ber-baris-baris, sejajar dengan sungai Arau.
Jauh di sebelah timur, kebun yang besar itu dipagari oleh
gunung-gunung yang memtujur pulau Sumatera, yaitu sebagian
daripada Bukit Barisan yang letaknya di tengah-tengah pulau
Sumatera, memanjang dari barat laut ke tenggara. Di belah timur
laut dan utara, kelihatan beberapa puncak gunung yang tinggi-tinggi, sebagai ujung tiang pagar tadi. Di antara puncak-puncak
ini, di balik awan yang putih, kelihatan puncak Gunung Merapi
di Padang Panjang, yang terk adang-kadang nyata nampak
asapnya mengepul ke atas, bila cuaca amat terang.
Walaupun di sebelah timur, sekalian mahluk yang mendiami
daratan akan mendapat kehidupan dan kesenangan, di sebelah
barat tiada lain yang akan dipe rolehnya daripada bahaya dan
maut. Demikian pula kebalikannya jika dibawa sekalian yang
mendiami bagian yang di sebelah barat, ke timur, tentulah segera
akan sampai ajalnya. Di sebelah timur dapatlah m
anusia berpijak tanah, tetapi di sebelah barat akan luluslah ia ke dasar lautan.
Setelah sejurus lamanya Samsulbahri termenung sedemikian
itu, tiba-tiba terperanjatlah ia, sebagai terbangun daripada
tidurnya, karena dirasainya bahunya dipegang orang dari
belakang dan didengarnya suara Nurbaya berkata, "Apakah yang
kaulihat, Sam""
"Ah, tidak, Nur," jawab Samsu, "penglihatan di sini
sesungguhnya amat elok: Liha tlah pohon-pohon kelapa itu,
hampir tak ada hingganya dan di antaranya. Lihatlah pula bukit
barisan yang jauh menghijau samar-samar di sebelah timur itu!
Dan lihatlah tepi pantai negeri Pariaman, Tiku, dan Air Bangis,
yang menggaris terang sampai ke utara."
"Ya, sesungguhnya amat indah," jawab Nurbaya. "Hanya di
laut kurang pemandangan. Manakah pulau Pandan, dan manakah
pulau Angsa Dua""
"Itulah, yang jauh itu, pulau Pandan, dan yang sebelah
kemari, pulau Angsa Dua," kata Samsu pula, sambil menunjuk
dua buah pulau yang berleret letaknya di sebelah ke muka dan
sebelah lagi di sebelah belakang.
"Jadi sesungguhnya sebagai dalam pantun.
Pulau Pandan jauh di tengah,
di balik pulau Angsa Dua,"
kata Nurbaya pula. "Memang benar," jawab Samsu. "Tetapi bagaimanakah
sambungan pantun itu"" tanya Samsu.
"Ah, masakan kau tak tahu. Jangan: Kura-kura di dalam
perahu, pura-pura sebagai tak tahu," sahut Nurbaya.
"Sebenarnya pantun itu pantun tua, yang demikian bunyinya:
Pulau Pandan jauh di tengah,
di balik pulau Angsa Dua,
Hancur badan di kandung tanah,
guna baik diingat jua."
kata Samsu pula. "Tetapi oleh anak-anak muda sekarang
ditukar menjadi: Pulau Pandan jauh di tengah;
di balik pulau Angsa Dua,
Hancur badanku di kandung tanah,
cahaya matamu kuingat jua."
"Ya, tentu, begitu pun boleh juga; bagaimana kehendak yang
berpantun saja," jawab Nuibaya.
Sungguhpun ia berkata demikian, tetapi di dalam hatinya
buah pantun ini menimbulkan suatu pikiran; hanya tiada diper-lihatkannya itu, dan dibuangnya lah mukanya menoleh ke darat
serta bertanya, "Gunung yang tinggi itu, gunung apakah
namanya"" "Gunung Merapi, sangkaku," jawab Samsu.
"Gunung Merapi yang dekat Padang Panjang"" tanya
Nurbaya. "Ya, antara Bukit Tinggi dan Padang Panjang," jawab Samsu.
"Dan tahukah pula engkau pa ntun yang berhubungan dengan
kota Padang Panjang itu""
"Tidak," jawab Nurbaya, dengan hati yang agak berdebar.
"Begini," kata Samsu.
"Padang Panjang dilingkar bukit,
bukit dilingkar kayu jati,
Kasih sayang bukan sedikit,
dari mulut sampai ke hati."
Mendengar pantun Samsu ini, berubahlah warna muka
Nurbaya, menjadi kemerah-merahan, lalu tunduklah ia melihat
ke tanah, akan menyembunyikan perubahan wajah mukanya ini.
Apabila waktu itu tiada kedengara n suara Bakhtiar minta tolong,
niscaya terbukalah rahasia hati Nurbaya, yang menyebabkan air
mukanya jadi berubah. Tatkala Samsu mendengar suara sahabatnya minta tolong,
tiadalah ia berpikir panjang lagi, lalu melompat berlari ke tempat
suara itu kedengaran, takut kalau-kalau Bakhtiar mendapat
sesuatu kecelakaan. Apabila sampailah ia ke tempat itu,
kelihatan olehnya, sahabat ini sedang diserang oleh beberapa
kera yang besar-besar, yang hendak merampas pisang yang ada
dalam tangannya. Walaupun Samsu dengan segera membantu memukul kera-kera ini dengan sekerat kayu, tetapi karena banyaknya, tak
dapatlah dihalaukan sekaliannya, sehingga terpaksa ia me-ninggalkan pisang-pisangnya dan me nuntun Bakhtiar, keluar dari
kepungan penyamun yang berekor panjang itu, lalu membawa
sahabatnya ini ke rumah perhentian, tempat ia berdiri tadi. Di
tengah jalan bertemulah mereka dengan Nurbaya, yang mengikut
dari belakang hendak membantu pula. Dan sejurus kemudian,
keluarlah Arifin dari dalam semak-semak, berlari-lari menuju
mereka dengan menjinjing suatu bungkusan dalam tangannya.
Tatkala ia sampai kepada mereka, lalu bertanyalah ia dengan ter-gopoh-gopoh, "Siapa yang berteriak" Ada apa""
Setelah diceritakan oleh Sams u hal Bakhtiar diserang oleh
kera-kera itu, tertawalah ia ge lak-gelak seraya menekan perut-nya, karena tiada tertahan ge li hatinya. Walaupun ia sangat lelah
Tusuk Kondai Pusaka 17 Wiro Sableng 115 Rahasia Perkawinan Wiro Bulan Jatuh Dilereng Gunung 2
^