Sisi Merah Jambu 3
Sisi Merah Jambu Karya Mira W Bagian 3
"Lekasan minta ampun, Tya!" seru Dino lantang. "Sebelon rambut lu copot! Ntar botak lu!"
Tetapi sebelum rambut Tya rontok, Pak Dion keburu datang. Dan dia marah sekali.
Lea melepaskan cengkeramannya di rambut Tya. Dan dia merasa dadanya sakit sekali melihat merahnya muka Pak Dion.
Tya terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang sakit. Air mata sudah membanjiri wajahnya.
"Jadi ini yang kalian berikan untuk Bapak," desah Pak Dion dengan suara pahit.
Seandainya Pak Dion marah-marah. Lea tidak akan sesedih ini. Tetapi Pak Dion tidak marah. Dia sedih. Kecewa. Kesal. Dan sikapnya membuat Lea lebih tersiksa daripada dimarahi.
"Tadinya Bapak kira bisa mengubah sifatmu yang pemberang, Lea," gumam Pak Dion pahit. "Tadinya Bapak kira acara ini bisa mendamaikan kalian. Membuat kalian bersatu demi kebanggaan
bersama. Mengharumkan nama kelas IA. Membuat wali kelas kalian bangga, ternyata harapan Bapak sia-sia. Lebih baik kita bubarkan saja acara ini. Tidak ada gunanya."
Lalu Pak Dion tidak berkata apa-apa lagi. Dia membalikkan tubuhnya. Menyembunyikan kesedihan dan kekecewaan di parasnya. Dengan langkah gontai dia meninggalkan murid-muridnya.
Pak Dion langsung pulang. Hatinya terluka. Kata-kata Bu Kathi di kantor kepala sekolah tadi sudah menyinggung perasaannya. Sekarang dia melihat murid-muridnya berkelahi lagi di tengah-tengah latihan pementasan. Dia bukan hanya kesal. Dia kecewa. Dia merasa gagal.
Dipacunya motornya secepat-cepatnya. Seolah-olah ingin menenggelamkan semua kekesalan itu di balik debu jalanan.
"Jauhi dia sebelum anak itu salah sangka pada sikapmu!" Itu kata-kata terakhir Neni sebelum dia memutuskan hubungan. Neni cemburu. Dia marah karena pacarnya terlalu memerhatikan muridnya.
"Saya harap Bapak tidak menyia-nyiakan kepercayaan saya." Itu kata-kata kepala sekolah tadi. Memang diucapkan dengan sabar. Dengan bijak. Tapi bagaimanapun, ada nada waswas di dalamnya. Curiga jugakah Bu Kathi"
"Katanya Pak Dion memegang tangan Lea di kamar ganti," Pak Tomo yang menyampaikan be rita itu kepadanya. "Rapat guru tadi membahas pengaduan Bu Las."
"Saya hanya ingin membangkitkan semangatnya!" desah Pak Dion tersinggung. "Supaya dia tidak putus asa!"
"Saya percaya," sahut Pak Tomo sambil tersenyum. "Tapi guru-guru yang lain tidak."
Jadi aku sudah salah melangkah, pikir Pak Dion putus asa. Aku salah menangani Lea. Salah mengadakan pendekatan padanya. Rekan-rekanku yang lain salah mengartikan sikapku!
Bukan hanya sesama guru. Pacarku juga. Bahkan mungkin... murid-muridku" Karena itukah mereka tambah memusuhi Lea" Karena mereka menganggap gurunya pilih kasih" Lebih dekat dengan anak baru"
Dan kesadaran itu datang terlambat. Hanya sederik setelah kesadaran itu mampir di benak nya, sebuah bus yang berlari kencang tak terkendali mencium motornya.
*** Bukan hanya Lea yang terpukul melihat sikap Pak Dion. teman-temannya juga. Mereka sama-sama iba melihat wali kelas mereka melangkah pergi dengan lunglai.
Apa sebenarnya yang dimintanya" Dia hanya ingin menampilkan acara yang bagus. Yang membuat kelas mereka bangga. Mengapa mereka tidak dapat membuat wali kelas mereka bangga"
Lea langsung pulang. Dia merasa sedih. Merasa kecewa Padahal dia telah bertekad ingin menyukseskan acara itu. Supaya Pak Dion bangga. Seka-rang semuanya gagal.
"Lebih baik kita bubarkan saja acara ini." Rasanya lebih sakit mendengar kata-kata Pak Dion itu daripada ditampar Vera.
"Jangan sedih, Lea," sapa Guntur yang tahu-tahu sudah melangkah di sampingnya. "Pak Dion cuma lagi jengkel. Besok juga dia udah baik lagi. Kita bisa lanjutin acara kita." "Aku ingin minta maaf," sahut Lea lirih. "Besok kita minta maaf sama-sama. Ntar aku kumpulin temen-temen."
Dan Guntu r menepati janjinya. Dia mengumpulkan teman-temannya. Dan menggerakkan mereka untuk minta maaf begitu Pak Dion muncul di kelas esok pagi.
Vera dan teman-temannya diam saja. Tidak menyetujui. Tidak juga menolak. Mereka juga terpukul melihat sikap Pak Dion. Tapi masih sakit hati pada Lea.
"Selama Pak Dion masih manjain dia, mana bisa kita baikan"" gerutu Nuniek gemas.
"Leak tambah tengil jadinya!" sambar Tya sakit hati. Kepalanya masih nyut-nyutan bekas dijambak. "Dikolok sih!"
Vera diam saja. Tapi dia masih jengkel campur bingung. Mengapa laporan Bu Las seperti tidak ada hasilnya" Mengapa pengaduannya dipeties-kan"
"Gue nggak mau main lagi sama dia," dumal Ita sengit. Lututnya yang kemarin dilumuri obat luka di UKS masih perih kalau kena air. "Mendingan gue main sama gorila sekalian!" "Sabar deh, Ta..." lenguh Dahlan lesu. "Sabar apaan lagi"" damprat Ita gemas. Kalau dia lagi jengkel, memang Dahlan yang selalu jadi tempat menumpahkan kemarahannya. Makanya hubungan mereka awet. Jadi Ita tidak perlu minum obat tekanan darah tinggi. Penyakit turunan di keluarganya.
"Kesian kan Pak Dion. Dia cuma ingin kelas kita bisa tampil..."
"Ah, dia cuma pengin si Leak yang tampil!" "Pokoknya gue nggak mau ikutan lagi," dengus Nuniek jengkel. Dia mengusap-usap pipinya yang ada bendera Jepangnya.
"Emang mendingan lu mundur aja, Niek,"
Dino menyeringai geli. "Sebelon gigi lu pada co-pot, lempar aja handuk putih deh!"
"Diem lu!" bentak Nuniek antara kesal dan malu. Semua temannya sudah tahu dia nangis dijambak Lea. Dan mereka tidak henti-hentinya mengejeknya. Padahal sebelum anak baru itu muncul, siapa yang berani mengejek anggota geng Venti" Makanya dia masuk geng yang dipimpin Vera itu.
Tapi sekarang kelihatannya geng mereka turun pamor. Sebentar lagi barangkali harus dibubarkan! Diganti geng Banci! Dipimpin Bencong Slebor! Oeekk!
BAB X KETIKA Aris melongok ke teras, dia melihar Lea duduk di lantai. Seperti menunggu seseorang.
"Nungguin siapa"" tanyanya sambil duduk berjuntai di tembok teras.
"Pak Dion," sahut Lea lirih. Mukanya muram.
Semuram suaranya. "Dia mo jemput"
Lea cuma mengangguk lesu. Biasanya Pak Dion tidak pernah terlambat, tidak datangkah dia"
"Mo ke mana sih"" .
"Ke tempat Mbak Murni, latihan jalan dan dansa."
"Tumben Pak Dion telat."
Sudah lima hari Pak Dion selalu menjemputnya. Mengantarkan ke tempat Mbak Murni. Lalu menjemputnya lagi nanti malam. Mengantarkannya pulang ke rumah. Dan selama itu, dia tidak pernah terlambat. Dia selalu tepat waktu.
"Nggak datang kali."
"Nggak mungkin lah."
"Tadi Pak Dion marah."
"Pak Dion marah"" Aris tersentak tidak percaya. "Pak Dion mana bisa marah, lagi! Dia kan orangnya sabar banget!"
"Tapi tadi Pak Dion marah. Acara kami di-batalin."
"Kamu berantem lagi""
Lea mengangguk murung. "Digodain lagi" Siapa yang jail" Guntur""
"Bukan." "Guntur sih emang jail. Tapi dia baik. Lagian dia nggak pernah mukul anak perempuan. Abis siapa dong yang jailin kamu" Dahlan""
Lagi-lagi Lea menggeleng.
"Anak perempuan" Si Vera ya" Emang konyol tu anak! Besok gue kerjain dia!"
"Jangan! Kamu kan udah diancem Pak Anwar! Jangan bikin gara-gara lagi deh!"
"Gara-gara dia, kamu berantem lagi, kan"
Makanya Pak Dion ngambek" Udah deh, aku aja yang nganterin." "Nganterin ke mana""
"Ya ke rumah Mbak Murni, lagi! Katanya mo latihan!"
"Naik apa""
"Kalo deket, naik sepeda aja. Kalo jauh, ya taksi. Mang Dahim kan lagi nganterin Panji nge-les."
"Trus kamu nunggu di mana""
"Rumah Dini deket."
"Huu, emang maunya!"
"Nggak apa-apa, kan" Sambil menyelam minum air!"
Bilang sama Ibu nganterin aku padahal pacaran""
"Bonus dong!" "Bonus apaan""
Aris sudah hendak menjawab lagi ketika tiba-tiba telinganya menangkap suara kerukan di pintu gerbang.
"Eh, ada yang ngetok pintu tuh! Pak Dion kali!"
Lea sudah terbang ke pintu gerbang sebelum Aris sempat merosot turun. Dia langsung membuka pintu. Mulurnya sudah siap mengucapkan salam ketika mendadak rahangnya mengejang.
"Guntur"" sapa Ar
is dari belakang tubuh Lea. "Tumben lu ke sini! Jemput Lea ya""
Tapi wajah Guntur begitu muramnya sampai Lea menjadi sangat khawatir. Perasaan tidak enak berkecamuk di hatinya.
"Ada apa, Tur"" tanyanya gelisah.
"Pak Dion, Lea," gumam Guntur lirih.
"Pak Dion kenapa""
"Kecelakaan." Ketika Lea, Aris, dan Guntur sampai di rumah sakit, teman-teman mereka sudah berkumpul di sana. Bu Kathi sedang duduk di bangku panjang ruang tunggu bersama Pak Anwar. Katanya Pak Dion sedang dioperasi.
"Kondisinya mengkhawatirkan," desah Bu Kathi murung. "Motor Pak Dion ditabrak bus. Dia belum sadar sampai sekarang. Tetapi kata dokter, kalau tidak dioperasi segera, nyawanya tidak tertolong."
Lea merasa kakinya lemas sampai tidak kuat lagi menyangga tubuhnya. Dia terhuyung hampir jatuh. Berbareng Aris dan Guntur menopangnya dan membawanya duduk. Tya dan Vera berbareng menggeser tubuh mereka memberi tempat. Sesaat mereka seperti melupakan permusuhan mereka.
Lebih-lebih ketika melihat Bu Neni datang bersama Bu Las. Mata Bu Neni merah berair. Mungkin dia menyesali pertengkaran mereka. Kalau Pak Dion keburu pergi... mereka belum sempat berdamai!
Dari balik tirai air matanya, Bu Neni melihat Lea sedang duduk termenung bersama teman-temannya. Dan penyesalannya semakin bertambah. Anak itu memang manis. Tapi dia masih kecil! Sungguh memalukan mencurigai Dion pacaran dengan anak perempuan itu! Dia masih ABG! Bukan gadis yang pantas dicemburui!
Ah, rasa cemburunya benar-benar buta. Tuli. Gila!
Di seberangnya, Lea juga sedang menyesali diri. Kalau dia tidak menyakiti hati Pak Dion tadi, kalau dia dan teman-temannya tidak mengecewakannya, mungkin Pak Dion tidak mengalami kecelakaan! Mungkin tadi dia pergi dengan sangat marah sampai tidak melihat bus yang tengah meluncur ke arahnya!
Tentu saja dia juga melihat Bu Neni. Tapi saat itu dia ridak sempat mengagumi kecantikannya. Seluruh konsentrasinya tumplek blek pada kondisi Pak Dion!
Teman-temannya juga sama sedihnya. Tak ada gurau yang biasa mewarnai pertemuan mereka. Bahkan geng Venti seperti melupakannya. Tidak seorang anggotanya pun melirik kepadanya.
Menjelang tengah malam baru dokter bedah itu keluar menjumpai mereka. Sampai saat itu, tidak seorang pun dari mereka meninggalkan tempat. Semua duduk menunggu dengan tegang. Beberapa orangtua murid malah ikut hadir. Termasuk Pak Tisna dan Bu Nani.
Mereka menerima telepon dari Aris. Dan Bu Nani menunggu suaminya pulang lalu mengajaknya ke rumah sakit. Mereka duduk di samping Aris dan Lea. Ikut menunggu dengan harap-harap cemas.
"Masa kritisnya belum lewat," kata dokter bedah itu muram. "Kita masih harus menunggu enam jam pascabedah. jika dia bisa melewatinya dan memperoleh kesadarannya kembali, nyawanya dapat tertolong. Tapi kakinya mungkin tidak." "Kakinya"" desis Bu Kathi ngeri. Beberapa jeritan tertahan murid putri terlepas di sana-sini. Lea malah sudah menggigit bibirnya sampai berdarah. Isak Bu Neni terdengar pelan dan getir.
"Karena terjadi fraktur pada tulang belakang setinggi toraks, kemungkinan besar terjadi paraplegia. Kelumpuhan kedua tungkai."
Sesaat ruangan ini menjadi hening seperti kuburan. Semua terdiam. Semua terkejut. Semua shock. Akhirnya tangis Bu Neni pecah tak tertahankan lagi. Bu Las memeluknya dengan sedih.
"Sabar," bisiknya lirih. "Bu Neni harus tegar." "Tidak ada pengobatan untuk menyembuhkannya, Dok"" tanya Bu Kathi gemetar.
"Karena frakturnya belum stabil, kami tidak dapat memastikan. Tapi saya ingin menyampaikan kemungkinan yang terburuk supaya kelak tidak terlalu kecewa."
"Mungkin harus menjalani operasi lagi. Dok""
Setelah masa kritisnya lewat, dokter di bagian ortopedi akan melakukan stabilisasi bedah. Hasilnya tidak dapat kami katakan sekarang, yang penting saat ini adalah menyelamatkan nyawanya dulu."
Lea hampir tidak memercayai apa yang dialaminya. Rasanya semua ini seperti mimpi. Mimpi buruk!
Pak Dion akan lumpuh" tidak dapat berdiri lagi" Berjalan" Berolahraga" Dia akan duduk di kursi roda untuk selama-lamanya" Ya Tuhan!
Penderitaan yang bagaimana
pun jarang membuat Lea menangis. Dia hanya menangis ketika ayah, ibu. dan adiknya meninggal. Tetapi ketika mendengar nasib Pak Dion, air matanya mengalir tak tertahankan lagi.
Ketika melihat Lea menangis, tak sadar Bu Nani merangkulnya. Dan untuk pertama kalinya, Lea merasakan pelukan ibu angkatnya. Tetapi saat itu, hatinya sedang merintih pedih.
Di sampingnya. Pak Tisna menatap dengan penuh haru.
Semalaman itu Lea tidak bisa tidur. Aris dan Oki menemaninya di kamar. Mereka duduk di lantai di samping pembaringan. Meskipun tidak mengucapkan kata-kata hiburan, kehadiran mereka sedikit menghibur Lea. Untuk pertama kalinya dia merasa memiliki teman. Teman yang ada pada saat dia membutuhkan seseorang.
"Aku nyesel banget," keluh Lea sementara air matanya terus mengalir ke pipinya. "Semua gara-gara aku!"
"Aku rasa bukan gara-gara kesel Pak Dion kecelakaan," kata Aris lirih. "Busnya aja yang gila."
"Sopirnya mesti digebukin," gerutu Oki geram. "Mabuk bir oplos kali."
Saat itu pintu terbuka. Kepala Panji melongok ke dalam.
"Ngapain"" tanya Aris kering.
"Boleh ikut duduk"" desah Panji ragu.
Lea mengangguk. Panji duduk di samping adik-adiknya. Di lantai.
Dia tidak berkata apa-apa. Hanya mendengarkan obrolan adik-adiknya. Tapi Aris tahu, itulah pertama kali Panji mau duduk bersama berbagi perasaan. Biasanya dia lebih suka menyendiri di kamar.
Ibulah yang menyuruh mereka tidur ketika jam sudah berdentang dua kali. Tapi saat itu Ibu tidak marah. Suaranya tidak sejudes biasa.
"Besok tidak bisa sekolah," cuma itu yang dikatakannya kepada anak-anaknya.
Ketika Panji dan adik-adiknya keluar. Ibu duduk di tepi pembaringan Lea.
"Bukan hanya kamu yang sedih. Lea," suaranya tidak lembut, tapi tidak sekering biasa. "Pak Dion guru yang disukai. teman-temanmu juga sedih. Sekarang cobalah tidur. Besok kamu harus tetap sekolah."
Buat Ibu, yang terpenting memang sekolah, Tapi... bukankah mungkin itu juga yang di-
kehendaki Pak Dion kalau dia masih bisa bicara"
Dia ingin Lea sekolah. Lea jadi pintar. Lea yang membuat Pak Dion bangga.
Lea yang mengubah penampilannya. Menunjukkan sisi merah jambu dalam dirinya. Halus. Lembut. Feminin. Tidak suka berkelahi. Tidak tomboi, Tidak kasar. Jadi Cinderella yang sempurna....
"Bapak akan membantumu. Kamu harus percaya diri. Bapak yakin, kamu bisa."
Sekarang Pak Dion tidak dapat membantunya lagi!
"Bapak bangga padamu...." Kata-kata itu tak mau hilang juga dari telinganya.
Aku akan membuatmu bangga, Pak Dion, desah Lea dalam hati. Aku tidak akan mengecewa-kanmu!
"Jangan khawatir, Bu," cetus Lea tiba-tiba. Membuat Bu Nani tertegun. Wajah anak itu sudah penuh air mata. Tapi matanya yang merah berair menatap dengan penuh tekad. "Saya tidak akan bolos besok. Saya akan melanjutkan latihan yang dipimpin Pak Dion. Saya ingin membuat Pak Dion bangga."
Bukan hanya Pak Dion, pikir Bu Nani ketika dia sedang meninggalkan kamar Lea. Barangkali ayahmu juga. Ayah angkatmu. Dia yang bangga padamu.
"Bagaimana Lea"" tanya Pak Tisna ketika istrinya masuk ke kamar. "Tidak apa-apa. Dia anak yang kuat." Sekejap Pak Tisna menatap istrinya. Tidak ada kekesalan yang biasa melumuri suaranya kalau dia membicarakan Lea. Pak Tisna kenal sekali istrinya. Saat ini dia tidak memusuhi anak itu lagi.
"Terima kasih," cetusnya setelah lama terdiam.
Bu Nani mengangkat alisnya. Ditatapnya suaminya dengan heran. "Buat apa"" "Menerima Lea."
"Dia sudah jadi keluarga kita," sahut Bu Nani sambil naik ke tempat tidur. Suaranya datar. Tapi tidak ada kekesalan lagi di dalamnya. "Anak-anak juga sudah menerimanya."
"Lebih mudah bagi anak-anak untuk menerima orang asing daripada orangtuanya. Karena mereka masih polos."
"Bapak menyindirku""
"Ibu mencurigai dia, kan""
Bu Nani tidak menyahut. Tapi Pak Tisna mengerti walaupun istrinya tidak menjawab.
"Lea bukan anak gelapku. Bu. Aku mengadopsinya semata-mata untuk membayar utangku pada si Jabrik."
"Aku percaya." sahut Bu Nani sambil menghela napas. "Maafkan aku, Pak."
"Sudah lama aku memaafkan Ibu. Mulai hari
ini, tolong jangan memusuhi Lea lagi karena ke-curigaanmu padaku, Bu. Kasihan Lea. Apalagi kini dia kehilangan Pak Dion. Satu-satunya guru yang memahami dirinya."
Bu Nani terdiam sesaat. Teringat pada kata-kata Lea yang terakhir tadi.
"Katanya dia ingin membuat Pak Dion bangga."
"Apa maksudnya""
"Dia ingin melanjutkan latihan operetnya." Pak Tisna mengeluh berat. "Mudah-mudahan dia berhasil. Dan mudah-mudahan Pak Dion masih dapat melihatnya."
Pagi itu tidak ada bedanya dengan kemarin. Dan kemarinnya lagi. Tetapi pagi ini tidak ada Pak Dion. Tidak ada guru favorit yang kehadirannya selalu ditunggu murid-muridnya. Tidak ada sapaannya yang khas.
"Selamat pagi.... Ada PR"" Tidak ada senyumnya yang paten. Yang menyejukkan jantung murid-muridnya. Yang membuat hati beberapa orang remaja berdebar hangat.
Tidak ada seribu tawon yang berdengung menyambut salamnya. Tidak ada koor dari seluruh kelas. "Banyaaakk, Pak...."
Dan Lea tidak dapat menahan dirinya lagi. Dia maju ke depan kelas. Teman-temannya mendadak diam. Menatapnya dengan penuh keingintahuan. Kelas serentak jadi hening.
"Saya ingin minta partisipasi seluruh kelas IA untuk menyukseskan acara kita dalam pentas seni bulan depan," suara Lea terdengar basah tapi tegas.
"Ngaco!" cetus Vera gemas. "Lu mabok ganja ya"
"Udah nggak ada Pak Dion, siapa yang mim-pin kita"" sambung Guntur ragu. "Dipimpin dia aja kita nggak bisa-bisa!"
"Gue nggak mau ikutan lagi!" dengus Nuniek muak.
"Gue juga!" sambar Tya jengkel. "Biar aja dia jadi Cinderella kesepian! Main deh lu sendirian! Biar diketawain cecak!"
"Kita akan melanjutkan latihan." kata Lea tegas. "Dengan pemain yang dipilih Pak Dion."
Lalu di luar dugaan, dia menghampiri Vera. Ketika Lea mendekatinya, bergegas Vera bangkit. Wajahnya tegang. Siaga satu menghadapi banjir bandang. Tangannya refleks meraih penggaris.
"Aku minta maaf. Vera." Lea mengulurkan tangannya. Membuat Vera melongo bingung. Penggaris terlepas dengan sendirinya. "Kalau kamu mau jadi Cinderella, aku mau tukar tempat. Asal kita bisa terus latihan."
Semua temannya tertegun sesaat. Tidak menyangka si Lea bikin kejutan lagi. Guntur-lah yang paling dulu bisa membuka mulutnya. Dan bertepuk tangan.
"Ayo, jabat tangan Lea, Ver!" sergahnya bersemangat. "Awas lu kalau masih sok!"
Tepuk tangan Guntur diikuti Dino. Hadi. Soni. Dan akhirnya seluruh kelas termasuk Dahlan. Tentu saja setelah dia melirik Ita dulu dan ternyata pacarnya tidak membeliak gusar seperti biasa.
Ragu-ragu Vera menyambuti uluran tangan Lea. Mereka berjabatan tangan diiringi tempik sorak teman-temannya. Lalu Lea menyalami Tya, Nuniek, dan Ita.
"Aku minta maaf," kata Lea tenang. "Habis pentas seni bulan depan, kalian boleh mukulin
aku lagi. Tapi sekarang kita bersatu dulu. Demi Pak Dion."
"Kalo nggak konyol sih, lu boleh aja jadi sohib kita," dengus Nuniek ketus. Pipinya masih sakit. Tapi keberanian Lea minta maaf dan mengajak berdamai menggugah hatinya. Selama ini, apa sebenarnya kesalahan Lea" Dia cuma tomboi. Suka berkelahi. Tapi kalau mau jujur, bukan Lea yang mengajak bermusuhan duluan!
Semua gara-gara Vera. Dia yang cemburu karena sudah lama naksir Pak Dion. Dia merasa Pak Dion menganakemaskan Lea. Jadi dia merasa tersisih. Dia yang selalu mengajak gengnya memusuhi Lea.
Ajakannya disambuti Tya. Karena dia merasa Guntur lebih menyukai Lea. Padahal sebelum Lea datang, dialah favorit Guntur.
Ita cuma ikut-ikutan. Karena dia memang judes. Dan merasa harus solider dengan gengnya.
Selama ini memang mereka berempat yang menguasai kelas IA. Sebenarnya bukan hanya IA. IB juga. Semua anak perempuan takut kepada mereka. Geng Venti jadi penguasa. Semua takluk. Semua harus patuh. Kalau perlu, bayar pampasan perang. Apa saja yang mereka miliki. Apa saja yang dikehendaki geng Venti. Lalu muncul Lea. Anak baru yang aneh. Anak perempuan titisan Dewi Bencong. Dan dia tidak mau takluk. Dia melawan. Karena itu dia dikucilkan. Dimusuhi.
"Jadi gimana nih acaranya setelah gencatan senjata"" sela Dino. "Gue perlu ganti batere lagi" Supaya denta
ng gue tetep kenceng! Nyaring! Garing! Dan Cinderella nggak kesiangan bangun!"
"Mendingan kepala lu di-charge aja biar tokcer!" Dahlan memukul kepala Dino dengan penggaris yang diraihnya dari atas meja Vera.
"Pulang sekolah kita harus latihan," kata Lea tegas tanpa menghiraukan seloroh teman-temannya. "Siapa yang mau jadi Cinderella silakan. Aku mau jadi apa aja asal acara ini bisa sukses."
"Nggak usah," dengus Vera datar. "Lu aja yang jadi Cinderella. Pak Dion kan mau gitu. Sekarang yang penting, siapa yang gantiin Pak Dion mimpin kita"" "Istirahat nanti aku menghadap Bu Las." Bu Las"" sergah teman-temannya kaget. "Dia kan udah keki! Mana mau mimpin kita lagi""
"Bu Las cuma jengkel sama aku. Kalau dia mau mimpin kita lagi, aku rela dikeluarin."
"Nggak bisa! protes Guntur. "Kamu kan Cinderella pilihan Pak Dion!"
"Bukan Cinderella impian lu, Tur"" sindir Dino geli.
"Pokoknya biar Bu las yang mutusin," kata Lea tegas. Dalam keadaan seperti itu, jiwa pemimpinnya mendadak keluar. "Biar aku yang menghadap nanti."
"Kita menghadap sama-sama," sanggah Guntur sama tegasnya. "Biar Bu Las tau, ini keputusan ia. Bukan cuma permintaan kamu."
Dan mereka bersama-sama menghadap Bu Las di ruang guru. Tentu saja setelah menghabiskan setengah persediaan siomai di kantin. Guntur yang traktir. Katanya supaya mereka kuat kalau mendadak Bu Las kumat dan memberondong mereka.
"Lebih kuat lagi kalo kita dijatah ini nih. Tur!" Dino mengambil sebotol minuman berenergi dari atas rak minuman. "Pasti tenaga dalam kita dobel! Dan gue nggak perlu ganti batere lagi!"
"Huuu, aji mumpung!" sindir Tya. "Kenapa nggak minta air aki aja sekalian""
"Aki gue nggak pake air." menyeringai Dino. "Aki kering sih. tapi kalo kuah bakso nggak no-lak. Tambah ekstra bakso dua biji juga boleh."
"Boleh aja," sahut Guntur santai. "tapi bayar sendiri!"
"Gimana kalo lu yang bayar separo, Lan" Lu kan bawa empat cewek! Si Guntur cuma satu!"
"Oke. masuk bon gue." sahut Dahlan tenang. "Tapi abis bulan. lu yang bayar!"
"Huuu, itu sih sama aja boong! Lu kira gue si Ita. kena aja dikibulin""
"Udah deh. pada cepetan makannya!" sentak Ita tidak sabar. "Ntar Bu Las keburu cabut tuh!"
Selesai makan bergegas mereka menuju ke ruang gum. Lea yang mengetuk pintu. Tentu saja Lea. Vera yang nyuruh. Supaya kalau angin jahat Bu Las bertiup, Lea yang mental duluan.
Lea mau saja dikorbankan. Dia mengetuk perlahan. Dan membukanya dengan hati-hati seolah-olah takut pintu itu mendadak meledak.
"Ada apa" Suara Bu Las masih tetap dingin. Dia memang beruang es. Tapi di telinga murid-muridnya, suara itu tidak sejudes biasa.
"Kami ingin mengajukan permohonan, Bu," sahut Lea sopan.
Dia berdiri paling depan. Di belakangnya berderet Guntur, Dino, dan Vera. Dahlan bersama Tya, Ita, Rita, dan Nuniek menunggu di luar. Karena kalau mereka masuk semua. Bu Las pasti marah-marah. Dan mereka digebah keluar.
"Tidak mengikuti pelajaran"" dengus Bu Las judes. Nah, sudah kembali ke nada dasar. "Mau nengok Pak Dion""
"Kami mohon Ibu sudi memimpin dan melatih kami menuntaskan operet Cinderella. Kami ingin tampil dalam pentas seni bulan depan dengan sebaik-baiknya. Sesuai keinginan Pak Dion."
Mendadak Bu Las tertegun. Ditatapnya murid-muridnya yang selalu membuatnya jengkel itu dengan tatapan tidak percaya. Dan di mata Guntur yang nakal, di mata Vera yang genit, bahkan di mata Lea yang selalu dingin, dia menemukan sesuatu yang lain. Sesuatu yang ditemukan di semua mata anak-anak bandel yang tengah menatapnya dengan penuh permohonan.
Pak Dion, bisiknya dalam hati. Barangkali harus diakui, metode mengajarmu yang benar.
"Baik." Bu Las berusaha secepatnya mengusir keharuan yang bersorot di matanya.
Dia tidak mau murid-muridnya melihat kelemahannya. Tapi kelemahankah namanya memperlihatkan perasaan" Jika mata itu jendela hati, mengapa tidak seorang muridnya pun boleh me longok ke sana" Mengapa hanya kekerasan, kemarahan, kejudesan, dan kegalakan yang pantas diungkapkan oleh seorang guru" Karena hanya semua itu yang dapat menegakkan wibawa" Hari
ini. Pak Dion telah membuktikan kebalikannya!
"Saya akan melatih kalian, tapi hanya kalau kalian mau bekerja keras, berlatih sungguh-sung-
guh. Dan ingat, tidak boleh bercanda! Tidak ada perkelahian lagi! Sanggup""
"Sanggup. Bu!" jawab semua muridnya sekom-pak paduan suara.
Bu Las tidak mengganti Lea walaupun Lea sudah rela menyerahkan perannya. Ketika dia mengusulkan, dia malah dibentak-bentak.
"Kamu yang minta saya melatih kalian, sekarang kamu sendiri mau mundur""
"Bukan mundur, Bu. Saya ingin memberikan peran saya kepada teman yang lebih berbakat. Saya merasa sudah gagal memerankan Cinderella. Takut Ibu kecewa."
"Saya lihat dulu aktingmu," sahut Bu Las datar. "Kalau jelek, pasti saya ganti! Dan kamu boleh duduk di bangku cadangan!"
Tetapi Bu Las terperanjat ketika melihat penampilan Lea dalam latihan hari itu.
Dalam lima hari saja, Pak Dion telah berhasil mengubah Lea. Bukan hanya penampilan luarnya saja. Aktingnya juga. Bahkan caranya melangkah sudah berubah total. Bukan lagi seperti pelawak pria yang berperan sebagai wanita! Ketika tiga hari kemudian Bu Las melatih adegan Cinderella berdansa dengan Pangeran, dia harus menahan rasa herannya karena Lea sudah bisa menguasai latihannya dengan cepat. Sepertinya dia sudah mempelajari dasar-dasarnya di tempat lain.
Memang sejak Pak Dion tidak ada, Aris yang mengantarkan Lea ke rumah Mbak Murni. Dan ketika Mbak Murni mendengar tentang apa yang menimpa Pak Dion, dia lebih antusias lagi melatih Lea.
"Dalam dua hari ini kita harus bekerja keras," kata Mbak Murni tegas. "Kalau perlu, tidak tidur!"
Jadi tidak heran kalau Bu Las agak bingung melihat kemajuan anak itu. Lebih-lebih melihat partisipasi teman-teman Lea. Mereka seperti kesetanan mengikuti latihan.
Kalau aku tidak tahu Pak Dion masih hidup, barangkali kupikir arwahnya yang menghantui anak-anak ini, pikir Bu i as resah. Mereka berlatih dengan sangar bersemangat!
Tak ada gurau berlebihan. tak ada olok-olok. Bahkan tak ada pertengkaran. Perkelahian. Mereka dapat bekerja sama dengan baik! Bukan main! Mereka benar-benar telah berubah! Hanya karena ingin membuat guru kesayangan mereka bangga!
Tebersit sepercik iri di hati Bu Las ketika menyaksikan anak-anak itu melakukan geladi resik Bukan karena penampilan mereka yang nyaris prima. Bukan karena acara ini bahkan mungkin akan lebih sukses daripada acara yang ditampilkan kelasnya sendiri. Tapi karena Bu Las tahu motiyasi mereka bermain sebaik ini.
Tiga minggu lebih anak-anak itu telah bekerja keras. Pulang latihan, mereka pergi makan bersama. Lalu bersama-sama pula menengok Pak Dion di rumah sakit.
Menurut Guntur, itu cara yang bagus untuk menggalang kebersamaan. Karena urat yang menyatukan mereka memang Pak Dion. Dan tentu saja bakso urat kedoyanannya. Jadi kalau sudah capek latihan dan perut menagih, harus cepat dibayar lunas sebelum didenda.
Mereka bergantian membayar makanan. Yang mereka makan, juga yang mereka beli untuk dibawa ke rumah sakit. Sungguh mengherankan melihat bagaimana kerukunan bisa cepat tercapai dalam kesedihan.
Lea tidak punya uang jajan. Tapi kalau giliran dia bayar, Guntut selalu menyelipkan selembar uang ke sakunya. Sebenarnya bukan hanya Guntur. Karena Aris juga sudah memberikan uang jajannya. Bahkan Oki dengan rela memberikan uang untuk membeli komiknya.
Dengan kedua saudaranya itu Lea memang sudah dekat. Cuma dengan Panji dia belum terlalu rapat. Karena Panji memang belum terlalu mau mendekat.
Cuma dari jauh dia memandang Lea. Itu pun dia akan buru-buru berpaling kalau Lea kebetulan menoleh dan mata mereka bertemu. Seolah-olah dia tidak mau beradu pandang.
Tetapi paling tidak, dia sudah tidak pernah menjadi Lea lagi. Tidak pernah mengejek adik angkatnya lagi.
Sikapnya memang kaku. Tidak bebas seperti Aris. Tidak terbuka seperti Oki. Tapi itu memang sifat Panji.
Aneh, gerutu Lea dalam hati. Tapi dia tidak peduli. Nggak mau terlalu dekat ya sudah! Masa bodoh amat! Yang penting, dia sudah tidak jail lagi!
Bu Nani juga tidak pernah memarahinya lagi. Sikapnya memang masih belum
sehangat seorang ibu. Tetapi Lea merasa. ibu angkatnya sudah menerimanya.
Dan perlahan-lahan, Lea mulai merasa betah di rumah.
* * * Kondisi Pak Dion sudah berangsur pulih. Kesadarannya sudah tidak berkabut lagi. Dia dapat mencerna cerita murid-muridnya yang kadang-kadang berebutan channel sampai tumpang tindih tidak keruan.
Kesehatan fisiknya juga mulai berangsur membaik. Tetapi kondisi kakinya masih tetap menyedihkan. Kata dokter, Pak Dion menderita paraplegia. Kedua tungkainya lumpuh. Dia harus duduk di kursi roda.
Mula-mula diagnosis dokter itu sangat mengejutkan Pak Dion. Dia merasa sangat terpukul. Ketika orangtuanya datang dari Pekanbaru, Pak Dion malah minta dibawa pulang saja. Biar dia tidak usah melihat murid-muridnya lagi.
Pak Dion tidak mau melanjutkan kariernya sebagai guru. Guru cacat. Duduk di kursi roda! Rasanya dia tidak punya kepercayaan diri lagi.
Lebih baik dia pulang ke Pekanbaru. Di sana ayahnya punya toko yang menjual hasil bumi di pasar. Barangkali pekerjaan itu lebih cocok untuknya. Menjaga toko. Di atas kursi roda.
Pak Dion menolak bedah ortopedik yang dianjurkan dokter bedahnya. Karena menurut dokter hasilnya juga meragukan sementara risikonya cukup besar, Pak Dion memilih menolak operasi. Dan membiarkan kakinya tetap lumpuh.
Tak dapat diragukan ketabahan Pak Dion-lah yang akhirnya mengembalikan keinginannya untuk survive. Tapi tak dapat dipungkiri pula, ada faktor lain yang mendorong semangatnya. Kehadiran murid-muridnya. Kebersamaan mereka.
"Sayang Bapak nggak bisa nonton acara kami, Pak!" cetus Guntur di samping pembaringan gurunya. "Bu Las aja sampe nggak bisa merem!"
"Tadi waktu geladi resik, Bu Las mujiin kami, Pak!" sambung Dahlan gembira.
"Iya, Pak," sambar Ita. "Padahal biasanya kan dia pelit banget ama pujian!"
"Anaknya naik kelas aja diomelin!" gurau Dino. "Bu Las bilang," dia menirukan suara gurunya, "kenapa nggak jadi ranking satu""
Teman-temannya tertawa riuh. Pak Dion tersenyum menanggapi kelakar murid-muridnya.
Ah, betapa dia merindukan gelak tawa dan keceriaan anak-anak ini! Sehari saja tidak mendengar celoteh mereka, dia merasa kesepian! Untung setiap sore sepulang latihan mereka menjenguknya!
Mereka selalu membawakan penganan untuknya. Dan bukan hanya membawakan. Mereka ikut makan bersama, sampai rasanya lebih banyak yang dimakan mereka daripada yang disantap Pak Dion!
Remah-remah bekas nasi, ceceran saus sate, kulit kacang, biji rambutan berserakan di bawah ranjang. Untung perawat tidak tahu. Sebelum pulang, mereka harus bersih-bersih dulu. Tapi tentu saja tidak terlalu bersih. Mereka menyisakan untuk petugas kebersihan besok.
Pasien di sebelah Pak Dion pernah protes karena merasa terlalu berisik setiap jam kunjungan, sampai dia tidak bisa ngobrol dengan istrinya. Dia juga protes karena banyak biji rambutan di kolong tempat tidurnya, padahal dia tidak makan rambutan sebiji pun.
Tetapi pihak rumah sakit tidak bisa apa-apa. Anak-anak itu sudah berulang-ulang ditegur. Tapi menegur anak sekolah seperti menegur kera di pohon. Mereka cuma menjerit-jerit sambil melompat-lompat.
"Pindah aja ke kelas satu, Pak!" usul Vera ketus kepada pasien itu.
"Atau ke kuburan!" sambung Guntur geli. "Di sana sepi! Dijamin nggak ada yang makan rambutan!"
Teman-temannya tertawa gelak-gelak. Dino malah tertawa keras dengan jurus tertawa meruntuhkan gunung sampai ranjang bergoyang.
Tentu saja goyang karena pasien itu hendak bergegas turun. Hendak menghajar anak-anak itu. Tapi istrinya buru-buru mencegah. Melawan ABG. Percuma saja. Buang-buang napas. Nggak bakal menang!
Sisi Merah Jambu Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah," Pak Dion-lah yang melerai mereka. "Kalian mau Bapak yang dipindahkan ke halaman""
"Emangnya Bapak salah apa sampe disuruh Bu Kathi menghadap Batara Surya"" gurau Guntur. "Itu kan jatah kami, Pak!"
Pak Dion hanya tersenyum. Dan matanya bertemu dengan mata Lea. Sejak tadi dia diam saja. Hanya ikut tertawa kalau teman-temannya ter-gelak-gelak. Tapi matanya terus-menerus mengawasi gurunya. Apa yang dipikirkannya"
"Kalau saja Bapak bisa melihat operet k
alian," desah Pak Dion lirih. Kalau saja saya bisa melihatmu memerankan Cinderella!
"Jangan khawatir, Pak!" cetus Guntur bersemangat. "Kami bisa main di sini kok!"
"Malah bisa minta duit receh dari pasien lain, Pak!" sambung Dino.
"Tapi bapak di kapling sebelah disumpal dulu kupingnya pake petasan, Pak!" usul Tya.
"Hus!" bentak Vera gemas. "Pak Dion serius nih!"
"Ntar kalo Bapak udah bisa jalan, kita tampil-in lagi operet kira. Pak!" hibur Nuniek. "Maka-nya Bapak cepet bisa jalan ya."
"Trus ngajar kita lagi. Pak! Matematika sama Pak Tomo imposibel. Pak! Kayak ngitung duit koruptor!"
"Olahraga sama Pak Bemo bosen. Pak! Kita cuma disuruh senam kayak senam pagi di departemen saban Jumat!"
"Nggak boleh izin, lagi, Pak!" sela Ita dongkol.
"Padahal Ita kan ratunya cuti haid! Sebulan tiga kali! Hihihi!"
"Kamu bagaimana, Lea"" tanya Pak Dion sambil tersenyum lembut. "Kelihatannya teman-teman sudah menerima kamu."
"Ya diterima dong, Pak!" sambar Dino gesit. "Masa dibuang" Ntar ada yang mungut!" Dia menyikut rusuk Guntur. "Trus dibawa pulang! Dikantongin kayak sepatunya!"
"Bagaimana di rumah"" sambung Pak Dion tanpa mengacuhkan canda murid-muridnya.
"Baik, Pak," sahut Lea lunak. "Ibu sudah jarang marah, kecuali kalau kami malas belajar."
"Oh, itu sih penyakit kronis semua ibu, Lea!" sambar Dino. "Nggak ada obatnya!" "Bagaimana saudara-saudaramu""
"Cuma sama Panji saya belum bisa dekat Pak."
"Oh, Panji sih cuma bisa dideketin sama nyamuk!" dengus Dahlan. "Mendingan suruh Vera buka sumbatnya!"
"Sumbat apaan"" belalak Vera jengkel. "Emang gue bukaan botol""
"Maksud si Dahlan, cuma sama elu kan dia mau buka mulut""
"Kapan lu liat si Panji buka mulutnya ke Vera"" ejek Guntur sambil terkekeh-kekeh. "Lu pernah liat mereka ciuman ya""
Dengan gemas Vera memukulkan tas kecilnya ke kepala Guntur. Karena Guntur lari menghindar, Vera mengejarnya. Dan kakinya tersandung tiang tirai pemisah.
Tirai beroda itu tergeser ke sudut ruangan. Si bapak sebelah yang sedang dicium keningnya oleh istrinya membeliak marah. Anak-anak yang menontonnya tertawa geli.
BAB XI KETIKA Lea dan teman-temannya masih di kamar ganti, mereka sudah mendengar kegaduhan di aula yang sudah disulap menjadi pentas.
"Ada apaan tuh"" tanya Dino bingung. "Kok kayaknya rame banget""
"Masa sih sambutan buat IIB begitu meriah"" desah Vera cemas.
"Kamu nggak tau aja, gebukan drumnya si Rolan kan maut banget tuh!" sahut Dahlan sok tahu. "Dia bisa lempar stik sampe kena kepalanya si Jen yang lagi nyanyi. Pletak! Gedubrak! lang-sung deh si Jen fly."
"Waduh! Jangan-jangan sejarah berulang! Si Jen melayang ke bulan lagi!"
Cepat-cepat Dino melongok dari balik layar. Dan kegembiraannya meledak. Bergegas dia berlari-lari ke kamar ganti. "Tebak siapa yang datang!" serunya riang. Teman-temannya menoleh dan menatapnya dengan bingung.
"Mantan pacar Bu Kathi," cetus Guntur asal saja. "Yang udah pikun!"
"Pak Dion!" Dino bersorak gembira. "Pak Dion datang!"
Teman-teman putrinya berteriak histeris. Tanpa menghiraukan make-up mereka yang belum selesai, mereka berlari-lari keluar. Lea ikut mencopot sepatunya dan menjinjing ujung gaun panjangnya. Dan dia bisa berlari paling cepat. Maklum pengalaman tiga belas tahun mengejar kambing. Untung bukan dikejar macan.
Lca sampai paling dulu di depan Pak Dion. Dia sedang duduk di atas kursi rodanya. Disalami Bu Kathi dan guru-guru yang lain.
"Pak Dion!" teriak Lea dan teman-temannya berbareng.
Pak Dion menoleh kepada murid-muridnya sambil tersenyum.
"Horee, Pak Dion datang!" sorak Guntur bersemangat. "Mau nonton saya jadi pangeran ya, Pak" Bapak pasti nanti malam nggak perlu obat tidur lagi!"
Pak Dion membalas jabatan tangan murid-muridnya yang berebutan meraih tangannya.
"Saya belum terlambat, kan"" tanyanya dengan suara yang belum sekuat biasa.
"Kita baru saja mau mulai. Pak!" jawab Vera terharu.
"Kamu sudah siap, Lea"" Pak Dion menoleh dan menghadiahkan seuntai senyum khusus untuk Lea. "Siap merebut hati semua pangeran yang hadir di sin
i"" Lea mengangguk dengan mata berkaca-kaca.
"Sudah waktunya siap-siap," kata Bu Las yang baru tiba di tempat mereka. "Habis ini giliran kalian tampil."
Putri, anak kelas tiga yang ditugasi ngemsi, sudah nongol lagi. Siap memanggil peserta berikutnya.
"Ayo, teman-teman!" seru Guntur bersemangat. "Kita tunjukkan ke Pak Dion!"
Sorakannya disambut tepuk tangan seluruh murid kelas IA yang hadir. Guntur menyodorkan kepalan tangannya. Dino menaruh tangannya di atasnya diikuti Dahlan. Lalu Lea dan teman-teman putrinya ikut menimpali.
"Buat IA!" seru mereka bersemangat. "Buat Pak Dion!"
Serentak anak-anak itu menarik tangan mereka lalu berlari ke kamar ganti.
Begitu layar terbuka, Guntur muncul. Sudah dalam busana pangeran yang gemerlapan. Yang membuat dia tampil gagah sehingga mendapat tepukan kagum dan siulan menggoda dari penonton yang sebagian besar murid-murid SMP.
"Selamat pagi," dia menirukan suara dan gaya Pak Dion kalau masuk kelas. "Ada PR""
Salam pembukaannya mendapat sambutan riuh penonton. Bu Neni yang duduk di samping Pak Dion melihat mata pacarnya berkaca-kaca menahan haru.
"Sekian acara persembahan dari kelas IA. Sampai berjumpa di kantor kepala sekolah!"
Guntur terbirit-birit lari ke belakang dan layar turun diiringi tempik sorak dan gelak tawa penonton.
"Cuma segitu"" Pak Tisna menoleh bingung kepada istrinya. Mereka duduk di kursi kehormat an untuk orangtua yang muridnya ikut pementasan.
"Mereka hanya bercanda." sahut Bu Nani man-tap. "Kan Lea belum muncul."
Dugaannya benar. Karena semenit kemudian, layar terbuka kembali. Dan mereka mulai dengan pementasan Cinderella. Cerita klasik yang disajikan dengan nyanyian. musik, dan tarian yang tak pernah lekang oleh waktu.
Pementasan itu sangat memesona. Bu Las sebagai koreografer sekaligus pengarah acara yang andal telah membuktikan kemampuannya memimpin murid-muridnya menampilkan operet yang tidak memalukan untuk kategori anak-anak SMP.
Pilihan lagu-lagunya juga tidak mengecewakan. Bukan hanya enak didengar, gampang dibawakan, tapi sekaligus tepat dan jenaka.
Tidak heran kalau banyak penonton yang ikut berdendang karena sudah familier dengan lagu-lagu yang ditampilkan.
Tetapi puncak acara memang saat Cinderella berdansa bersama Pangeran Tampan. Ketika melihat Lea saat itu, air mata Pak Dion meleleh tak tertahankan lagi. Dia benar-benar tak dapat membayangkan seperti apa anak itu beberapa bulan yang lalu!
Ketika Pak Dion masih dibuai perasaannya sendiri, tiba-tiba dia merasa tangan Neni menyentuh lembut lengannya.
"Murid-muridmu luar biasa," bisik Neni sambil mencondongkan tubuhnya ke arah kursi roda Pak Dion. "Kamu harus bangga."
Pak Dion hanya mampu menganggukkan kepalanya. Dibalasnya genggaman tangan Neni. Dan tangan mereka saling remas dengan hangat.
Barangkali itulah isyarat Neni bahwa dia telah memaafkan pacarnya. Dan bahwa dia menginginkan hubungan mereka dilanjutkan.
Tetapi bagi Pak Dion, masa depan hubungan mereka masih tanda tanya. Barangkali Neni memang sudah memaafkannya. Sudah memahami dedikasinya sebagai guru. Sudah mengerti dia telah salah paham. Tetapi masih sudikah Neni menjadi calon istri seorang pria yang cacar"
Sementara itu pementasan sudah menjelang akhir. Pangeran Tampan sudah menemukan putri yang didambakannya. Yang kakinya cocok dengan sepatu yang dibawanya.
"Bukan main," desis Pak Tisna tidak ada habis-habisnya. "Kadang-kadang aku tidak percaya itu Lea, Bu!"
Bu Nani tidak menjawab, tetapi di depan matanya terbayang seorang anak yang dikiranya laki-laki. dengan baju yang bukan main kotornya, yang beberapa bulan yang lalu dibawa suaminya ke rumahnya. Anak mirip gembel itulah yang kini menjelma jadi seorang putri!
Duduk di antara teman-temannya, Aris juga ikut terpesona. Dia masih tidak percaya, beberapa bulan yang lalu dia merasa malu punya adik angkat seperti Lea! Sekarang ketika teman-temannya sedang memuji dengan kagum, tak urung Aris merasa hatinya mekar karena bangga.
"Ris, bener si Lea belon punya cowok"" tanya Aji separo bergurau, separonya lagi seriu
s. "Siapa bilang"" bantah Aris congkak. "Calonnya udah ngantre! SMS buat dia udah mbludak tuh di HP gue!"
"Tapi gue dapet prioritas kan, Ris" Gue kan sohib elu!"
"Dasar mental KKN! Penyakit warisan keluarga lu ya""
Dan layar diturunkan diiringi tepukan riuh seluruh penonton. Tepuk tangan dan suitan yang seperti tidak mau berhenti.
Ketika layar terbuka kembali, Lea dan teman-temannya membungkuk memberi hormat ke arah penonton.
Tak pelak lagi, sebelum seluruh acara ditampilkan, juri sudah menduga, acara dari kelas IA-lah
yang bakal jadi pemenang. Memang acara dari lima kelas yang lain tak mungkin menyaingi suguhan Lea dan kawan-kawannya.
Bukan karena acaranya lebih kolosal, tapi karena penampilan mereka yang all-out.
Rasanya bukan hanya Pak Anwar yang tidak percaya anak-anak nakal itu bisa tampil demikian prima. Guru-guru yang lain juga.
Bahkan Bu Kathi dalam kata sambutannya ketika memberikan piala, menyatakan dengan terus terang, waktu menonton tadi, dia lupa siapa yang main.
"Karena biasanya kalau menghadap Ibu, kami cuma napi!" seloroh Guntur. "Kalau tidak dihukum di kursi panas, dikirim menghadap Batara Surya!"
Kelakarnya disambut gelak tawa teman-temannya dan para guru. Hari itu rupanya guru dan murid punya persepsi yang sama.
"Karena itu dengan bangga saya persembahkan piala pentas seni tahun ini kepada kelas IA!"
Seluruh murid kelas IA bersorak riuh. Mereka melompat-lompat. Memukuli apa saja yang ada. Untung tidak ada kucing lewat.
Lea berpelukan dengan teman-temannya. Sekejap mereka melupakan semua permusuhan yang selama ini membakar mereka. Vera dan teman-temannya saling rangkul sambil tertawa gembira.
Guntur dan Dino melompat-lompat sambil menari berputar-putar. Dahlan menggunakan ke-sempatan emas untuk memeluk Ita. Padahal di kursi kehormatan ada ortunya.
Tapi siapa peduli" Semua sedang gembira. Semua sedang hanyut. Tidak ada yang peduli kalau dua ekor tikus berpelukan, kan" Kalau nyolong ikan baru mereka dikejar-kejar.
Bu Kathi memanggil Lea untuk menerima piala. Dan ketika melihat Lea melangkah anggun ke atas panggung, bukan hanya Pak Dion yang terkesiap. Bukan hanya dia yang tidak menduga, Lea dapat berubah sedrastis itu!
Langkahnya demikian feminin. Demikian gemulai Tak ada lagi sosok setengah badut yang selalu ditertawakan teman-temannya.
"Kamu berhasil," bisik Bu Neni kepada Pak Dion, Dia tahu sekali apa yang kini dirasakan pacarnya. Dia tahu perasaan apa yang mengharu biru benak Pak Dion ketika melihat muridnya melangkah anggun untuk menerima piala.
"Selamat Lea, kata Bu Kathi, masih sedikit bingung seperti orang lain. Bagaimana Lea dapat bermetamorfosis begini cepat" "Selamat juga untuk teman-temanmu. selamat untuk kelas IA.
Iea mengucapkan terima kasih. Menerima pialanya. Mengangkatnya tinggi-tinggi kepada teman-temannya yang bertepuk tangan riuh. lalu dia mengirim isyarat kepada teman-temannya.
Guntur, Dahlan, dan Dino menghampiri Pak Dion. Minta izin membawanya ke depan. Sementara Vera, Tya, Ita, dan Nuniek melangkah ke arah Lea.
Tempik sorak semakin menggemuruh ketika kursi roda Pak Dion didorong ke depan.
"Piala ini kami persembahkan untuk Pak Dion! kata Lea sambil memberikan piala itu kepada Vera yang menyerahkannya ke tangan wali kelas mereka.
"Tetaplah jadi wali kelas kami. Pak," pinta Vera menahan tangis.
Lalu air matanya bercucuran tak tertahankan lagi ketika dia melihat mara gurunya berkaca-kaca.
Tya, Nuniek, dan Ita juga langsung menangis ketika Pak Dion menjabat tangan mereka tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Di sudut lain, mata Bu Kathi dan guru-guru wanita juga ikut berkaca-kaca.
"PR, Pak"" Guntur mencairkan keharuan de ngan banyolannya. "Banyaaakk. Pak!"
Pak Dion menoleh ke arahnya sambil tersenyum. tawa kecil pecah di sana-sini.
"Ada laporan, Pak"" sambung Dino sambil meraih mik dan menyorongkannya ke tangan gurunya. "Pengaduan kenakalan kelas IA hari ini""
Pak Dion menerima mik itu sambil mengucapkan terima kasih dan berpaling ke arah penonton.
Ruangan yang hiruk-pikuk itu sere
ntak menjadi hening. Semua mata ditujukan kepada Pak Dion yang sedang berusaha menekan keharuannya.
"Saya sangat terharu," katanya lirih. "Sekaligus sangat bangga...."
Guntur tak dapat menahan kegembiraannya lagi. Dia bertepuk tangan dan lari memeluk Pak Dion. Tindakan gilanya lebih gila lagi diikuti oleh kedelapan temannya yang sama gilanya.
"Saya ingin membagikan kebahagiaan ini kepada Bu Las," kata Pak Dion setelah bisa bicara lagi. "Karena sebenarnya, kepada beliaulah piala ini harus dipersembahkan. Beliau telah membuktikan kepiawaiannya memimpin anak-anak saya, sampai dapat menampilkan acara yang sebagus ini."
Dalam gemuruh tempik sorak penonton, Bu Las bangkit dari kursinya. Tapi dia tidak mau maju ke depan.
"Memang Pak Dion-lah yang harus menerima piala itu," katanya mantap. "Karena mereka melakukannya untuk Pak Dion. Kaku bukan demi Pak Dion, jangankan saya, Bu Kathi pun tidak mampu menyuruh mereka berlatih operet! Kerja mereka hanya bercanda dan berkelahi!"
Komentar bercampur kelakar yang tidak disangka-sangka keluar dari mulut seorang Bu Las, malah menjadi pemicu tepukan yang paling gegap gempita. Semua kenal Bu Las. Kalau sampai dia saja punya komentar seperti itu, apalagi orang lain!
BAB XII SETELAH acara pentas seni selesai, Pak Dion didaulat makan bersama di kantin. Mereka mengajak juga Bu Neni. Tapi seperti mengerti anak-anak ingin merayakan kemenangan mereka bersama Pak Dion, Bu Neni menolak. Dia beralasan ada acara lain yang harus dihadiri. Padahal dia cuma pergi ke WC.
"Boleh ambil apa aja ya, Tur"" cetus Dino sesampainya di kantin. "Kayak biasa, kita yang makan, lu yang bayar""
"Semua yang di atas meja!" sahut Guntur gagah. "Jangan yang di bawah! Kesian tuh kucingnya Bu Kantin!"
Vera meletakkan piala kemenangan mereka di atas meja. Dengan bangga dia bilang sama Bu Kantin,
"Kita menang, Bu! Ini pialanya!"
"Bagus ya"" Bu Kantin tersenyum lebar. "Berapa mangkok baksonya""
Yang membuat dia tersenyum lebar memang baksonya. Bukan piala. Tiap tahun juga ada kelas yang dapat piala. Tapi tidak semua merayakannya di kantinnya.
"Bakso buat semua orang di kantin ini, Bu," kata Guntur congkak. "Tapi buat Dino dan Dahlan, baksonya satu aja. Kasih kuah aja sepanci!"
"Curang lu!" damprat Dahlan. "Pangeran apa-an pelit gitu! Jangan mau sama dia, Lea! Mendingan sama Dino tuh! Biar kere nggak pelit! Iya, kan, Din""
"Kalo kere, nggak pelit juga percuma aja!" Nuniek tersenyum masam. "Bokek! Saban ke kantin cuma minta air es!"
"Kok kamu tau aku cuma minta air es"" Dino mengedip Jenaka. "Naa, ketauan ni yee...! Kamu suka ngintip!"
"Yee... siapa bilang" Ada yang ngomong, tau!
"Udah deh, kalo mo cubit-cubitan di luar aja sana!" gebah Guntur sambil tertawa geli. "Ada Pak Dion tuh!"
"Gimana rencananya. Pak"" tanya Vera tanpa menghiraukan canda teman-temannya. "Bapak nggak jadi pulang, kan" Di sini aja deh sama kita. Pak!"
Teman-teman yang lain ikut membujuk. Cuma Lea yang diam saja. Tetapi Pak Dion tahu. Lea juga sedang menanti dengan harap-harap cemas.
Pak Dion meraih minumannya sebelum men-jawab. Tya dan Ita berebut mengambilkan gelas-nya. Pak Dion tersenyum melihat kelakuan murid-muridnya.
"Kalau Bapak tetap di sini, kalian akan melayani Bapak terus seperti ini""
"Pasti dong, Pak!" jawab mereka ramai-ramai. Dahlan malah berteriak paling keras sampai kucing Bu Kantin terbirit-birit kabur. Dikiranya ada tikus bermutasi jadi jin.
"Kecilin dong volume suara lu!" Dino menggebuk bahu sahabatnya. "Kirain masih di pentas""
"Makanya Bapak sungkan jadi guru kalian lagi," sahut Pak Dion lirih.
"Lho, kok gitu. Pak"" Murid-muridnya me longo bingung seperti memecahkan soal mate matika yang sulit.
"Karena Bapak cacat."
"Bagi kami nggak ada bedanya, Pak!" sergah Vera pahit. Bapak tetap guru favorit kami!"
"Yang harus kalian bantu karena cacat""
"Bapak cuma perlu latihan," potong Lea mantap. "Saya yakin, Pak Dion bisa. Kami bangga pada Bapak."
Mendengar Lea menyitir kata-katanya dulu. keharuan meleleh di hati Pak Dion. Ditatapnya murid k
esayangannya itu dengan getir.
Lea membalas tatapan gurunya dengan penuh keyakinan.
"Kami percaya, biar cacat. Pak Dion bisa mandiri."
"Dan bisa ngajar matematika lebih baik dari Einstein!" sambung Guntur setengah bergurau.
"Dan bisa mendamaikan kami!" cerus Ita sambil melirik Lea.
"Dan menjinakkan Bu Las...." sambar Dahlan.
"Hus!" Tya menyikut pinggangnya. "Masih nggak berterima kasih juga! Pementasan kita suk ses kan gara gara Bu Las juga!"
"Eh, ngomong-ngomong udah denger kabar gembira"" sela Dino menahan tawa.
"Bu Las hamil"" cetus Guntur pura-pura kaget.
"Ngaco! Kawin juga belon!"
"Emang mesti kawin dulu baru hamil""
"Buat elu sih urutannya terbalik ya, Tur""
"Kuponnya menang hadiah utama"" desak Nuniek penasaran. "Bu Las dapat mobil""
"Bukan mobil! Sepeda gunung!"
Tawa mereka meledak tak tertahankan lagi. Pak Dion hanya tersenyum menyaksikan keriangan murid-muridnya. Diam-diam dia membayangkan betapa sepi hidupnya di toko ayahnya sana.
Selesai makan bersama yang riang itu, mereka beramai-ramai mengantarkan Pak Dion ke depan sekolah. Guntur menghentikan sebuah taksi.
Ketika Dahlan dan Dino sedang membantu Pak Dion naik ke taksi, sementara Guntur mengangkat kursi rodanya ke bagasi bersama sopir, Taruna dan temannya lewat. Mereka melihat Pak Dion yang sedang dibantu naik ke dalam taksi. Dan tawa melecehkan Taruna pecah tak tertahankan lagi.
"Guru timpang, murid belang!" ejeknya sambil melangkah terpincang-pincang. "Guru cacat, murid bejat!" Tawanya meledak makin keras diikuti teman-temannya.
Tanpa berkata apa-apa, Lea mencopot sepatunya. Menghampiri Taruna. Dan menjotos mukanya. Kaget karena tidak menyangka, apalagi sedang berpura-pura pincang, Taruna terjajar mundur setelah wajahnya terpukul telak.
Teman-temannya tertawa gelak-gelak melihat Taruna dihajar seorang gadis.
"Salah apa lu"" ejek salah seorang di antara mereka. "Dia bunting ya""
Dan tawanya belum selesai ketika tidak disangka-sangka Lea bergerak sangat cepat menendang kutub selatan tubuhnya. Dia mengaduh kesakitan. Dan teman-temannya langsung maju hendak mengeroyok si cewek buas.
Guntur yang paling dulu melompat ke depan Lea.
"Mo ngeroyok cewek ya"" Dia menangkis pukulan anak yang paling depan. "Nggak tau malu! Cicipin dulu nih!"
Tindakan Guntur segera diikuti Dino. Sementara Dahlan, seperti biasa, menengok dulu pada Ita.
Tapi yang dilihatnya kali ini benar-benar mencengangkan. Vera sudah mengomando geng Venti untuk maju tak gentar. Termasuk Ita. Mereka ikut-ikutan menyerang. Mengambil apa saja yang ada dan memukuli teman-teman Taruna.
Karena bingung melihat barisan melati menyerang kalang kabut begitu, teman-teman Taruna
tidak melawan. Mereka cuma menghindar sambil melindungi diri dengan tangan.
Pak Dion-lah yang melerai mereka. Dari dalam taksinya dia berteriak menyuruh murid-muridnya berhenti berkelahi. Dan seperti mendengar suara dewa. Lea dan teman-temannya langsung patuh. Mereka mundur. Menghampiri gurunya yang masih duduk di dalam taksi dengan pintu terbuka.
Sementara dari dalam sekolah. Pak Anwar dan guru-guru yang lain sudah melangkah keluar dengan garang.
Melihat gelagat makin jelek. Taruna dan teman-temannya mengambil langkah seribu. Mereka tidak mau berurusan lagi dengan polsek.
"Ada apa ini"" bentak Pak Anwar marah. "Mau tawuran lagi""
"Mereka cuma ingin membela saya," sahut Pak Dion murung. "Biarkan saya yang menyelesaikan-nya dengan anak-anak saya, Pak Anwar."
"Membela Pak Dion"" Sekarang Pak Anwar ikut beringas "Anak-anak seberang mengejek Bapak""
"Biar saya kejar mereka!" Pak Tomo ikut terbakar.
"Lebih baik besok saya lapor kepada kepala sekolah mereka!" sambung Bu Las geram.
"Mereka tidak berhak menghina Pak Dion!" gerutu Pak Bemo sengit. "Menghina Pak Dion berarti menghina kita semua! Menghina sekolah kita!"
Wah, sekarang guru-guru juga mau ikut tawuran!
"Tidak perlu, Pak," bantah Pak Dion sedih.
"Saya malah merasa lebih terhina lagi!"
BAB XIII BERBEDA dengan waktu makan di kantin tadi, suasana kali ini tidak
ceria lagi. Tidak ada seorang pun yang bicara. Bahkan Pak Dion lebih banyak diam. Dia kelihatan sangat terpukul.
Selama dalam taksi maupun setelah tiba di tempat kosnya, Pak Dion cenderung membisu. Lea dan Vera yang ikut dalam taksi bersama Bu Neni tidak mampu mencairkan kebekuan yang membelenggu suasana.
Lea tidak tahan lagi melihat sikap gurunya. Saat itu mereka duduk di ruang tamu tempat kos Pak Dion. Guntur membeli minuman untuk mereka semua. Sementara Bu Neni menyajikan pisang goreng. Tapi suasana riang yang menyelimuti mereka di kantin tadi tidak terulang kembali.
Guntur seperti kehilangan semangat berkelakar-nya. Sementara kerewelan Vera dan teman-teman putrinya juga ikut raib.
Mereka lebih banyak diam dibius oleh kebisuan Pak Dion. Mereka seperti dapat merasakan kesedihan gurunya.
"Saya minta maaf, Pak," cetus Lea lirih. "Saya cuma nggak tahan mereka menghina Bapak...."
"Mereka nggak boleh ngehina Pak Dion!" geram Vera gemas. "Emang mereka punya hak apa"
"Kalian malu punya guru cacat"" Pak Dion menatap murid-muridnya dengan sedih.
"Siapa bilang"" bantah Tya dan Ita berbareng. "Kami nggak malu punya guru kayak Pak Dion!"
"Buktinya kalian marah ada yang menghina Bapak, kan""
"Masa kami nggak boleh marah ada yang menghina guru kami, Pak""
"Dan kalian mau berkelahi tiap hari karena punya guru lumpuh""
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Mereka tepekur diam. Dalam hati masih memprotes, Tapi tak tahu harus menjawab apa.
"Bapak memang lumpuh. Cacat. Bukan cuma Bapak yang harus menerima itu. kalau kalian mau Bapak tetap menjadi guru kalian, kalian juga harus bisa menerima kenyataan itu."
"Maafkan kami. Pak." kata Vera dengan mata berkaca-kaca. "Kami ingin Bapak tetap jadi guru kami."
"Dalam kondisi apa pun," sambung Dino serius. Padahal dia jarang sekali bersikap serius. Waktu rumahnya kebakaran saja dia masih bisa bercanda. Untung dia tidak dicokok karena dikira piromania.
* * * Vera menggerakkan teman-temannya untuk berdemo. Bukan minta uang sekolah turun. Atau mengganti kepala sekolah yang tidak disukai. Tapi mendesak agar Pak Dion mau mengajar kembali.
Usulnya langsung diterima dengan suara bulat. Dan ketika Aris mendengar rencana itu dari Lea, dia langsung memengaruhi teman-temannya untuk ikut pula menggelar unjuk rasa.
Akhirnya rencana itu menjalar ke semua kelas. Dan karena Pak Dion mengajar matematika dari kelas satu sampai kelas tiga, pagi itu semua murid berbaris rapi di depan pintu. Ada yang menggelar spanduk, Ada yang membawa kertas, Ada yang hanya menulisi baju mereka dengan spidol.
"Apa lagi ini"" gerutu Pak Anwar berang. Bagi Pak Anwar memang tidak ada hari tanpa perang. Sesuai dengan mata pelajaran yang diasuhnya. Dalam sejarah, memang rak ada perdamaian abadi.
"Mereka hanya minta Pak Dion mengajar lagi," sahut Pak Tomo menenangkan rekannya. "Biar kan saja anak-anak itu menyalurkan aspirasinya. Ini kan cara mereka belajar demokrasi. Daripada main gebuk-gebukan terus."
"Tapi tidak perlu dengan cara begini." dumal Pak Anwar kesal. "Saya harus membubarkan mereka sebelum Bu Kathi datang. Mereka harus kembali ke kelas."
"Apa salahnya bergerombol di depan sekolah sendiri" Toh jam pelajaran belum mulai."
"Berkumpul-kumpul begini sangat berbahaya. Kalau ada yang menyulut, mereka bisa langsung tawuran!"
"Mereka tidak ada niat berkelahi. Mereka hanya ingin menyampaikan aspirasi mereka. Men cegah Pak Dion mundur. Hari ini kan Pak Dion akan datang untuk membuat keputusan. Meng undurkan diri. Atau mengajar terus."
"Pokoknya saya tidak setuju cara mereka! Mereka harus dibubarkan dan kembali ke kelas sekarang juga!" "Tidak perlu. Pak Anwar." Berbareng Pak Anwar dan Pak Tomo menoleh ke pintu. Bu Las muncul di sana dengan membawa sebuah spanduk.
"Ini spanduk yang dibuat para guru. Kami juga akan berdiri di depan. Di samping anak-anak kami."
Bu Las membentangkan spanduk itu. Dan Pak Anwar terbelalak.
*** Pak Dion tidak menyangka sambutan yang diterimanya hari ini begitu mengejutkan.
Begitu taksinya berhenti di depan sekolah, Gunt
ur dan Dino sudah lari membukakan pintu. Mereka membantu Pak Dion turun. Dahlan membantu sopir taksi menurunkan kursi roda.
Di atas kursi rodanya, Pak Dion tertegun menatap barisan yang menyongsongnya.
Lea mengisyaratkan teman-temannya membentangkan spanduk. Vera memimpin teman-temannya bernyanyi.
Kasih pasti lemah lembut Kasih pasti memaafkan Kasih pasti murah hati Kasihmu, kasihku, Pak Dion
Kau ajari kami saling menyayangi
Kau ajari kami saling memaafkan
Kau ajari kami saling mendukung
Kau ajari kami saling membantu
Entah karena tersentuh oleh nyanyian murid-muridnya yang begitu jelek tidak keruan, entah karena terdorong oleh semangatnya sendiri, tiba-tiba Bu Las maju ke depan. Dan dia mulai memimpin murid-muridnya bernyanyi sambil mengayun-ayunkan tangannya.
Vera dan teman-temannya tertawa gembira sambil bertepuk tangan riuh. Mereka saling pandang dan tatapan mata mereka seperri isyarat untuk bernyanyi lebih bagus lagi. Lebih keras. Dan lebih bersemangat.
Ajarilah kami bahasa cintamu
Agar kami bisa meneladanimu
Ajarilah kami bahasa cintamu
Agar kami slalu bersatu Pak Dion mengawasi suguhan tak terduga itu dengan mata berkaca-kaca. Tadinya tekadnya sudah bulat untuk mengundurkan diri. Sudah semalaman dia berpikir. Rasanya dia tidak sanggup lagi menjadi guru. Dia memilih pulang ke kota kelahirannya. Menjadi penjaga toko ayahnya.
Pagi-pagi Neni sudah datang ke tempat kosnya. Pak Dion sudah mengutarakan maksudnya. Dan Neni tidak berusaha mencegah.
"Jika itu niatmu, aku tidak akan menghalang-halangi." katanya sabar. Sejak kecelakaan itu, Neni juga berubah. Dia menjadi lebih sabar. lebih penuh pengertian.
"Kapan mau ke sekolah""
"Ke sekolah""
"Kamu harus memberitahu Bu Kathi, kan" Supaya dia bisa cepat mencari penggantimu." "Lebih baik pagi ini."
"Rasanya memang lebih cepat lebih baik, Aku akan panggil taksi. Kita sekalian jalan."
"Hari ini kamu masuk""
Neni tersenyum tipis. "Hari ini bukan libur nasional, kan"" Murid-muridmu yang mungil-mungil itu pasti kehilangan kalau ibu gurunya berhenti."
"Siapa bilang gurunya mau berhenti""
"Kamu tidak mau ikut aku ke Pekanbaru""
"Pernahkah aku mendengarmu mengajakku"" Mereka saling tatap sambil mengulum senyum.
"Belum terlambat kalau aku sekarang mengajak mu""
"Ke Pekanbaru""
"Ke sekolah."
Sisi Merah Jambu Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Neni memukul lengan pacarnya dengan gemas.
"Kamu memang jahat! Heran murid-muridmu begitu sayang padamu."
Dan saat ini baik Pak Dion maupun Bu Neni melihat ungkapan kasih sayang yang belum pernah terjadi selama sekolah ini berdiri.
"Selama saya jadi kepala sekolah." ungkap Bu Kathi terus terang, "saya belum pernah melihat kejadian seperti ini. jadi izinkan saya menjadi penyambung lidah anak-anak saya. Pak Dion. Seperti yang tertulis di spanduk mereka. Jangan pergi, Pak Dion!"
Dan akhirnya Pak Dion memang tidak jadi pergi. Dia sadar, di sinilah dunianya. Di sisi anak didiknya, bagaimanapun kondisinya sekarang, dia memang milik mereka.
Hubungannya dengan Lea masih tetap istimewa. Meskipun hanya terbatas pada hubungan seorang guru dengan muridnya. Ketika Pak Dion menikah dengan Bu Neni beberapa bulan kemudian, Lea dan teman-temannya ikut sibuk membantu pestanya.
Semakin hari Lea memang semakin dewasa. Dia sudah menemukan jati dirinya. Dan semakin memperlihatkan kecantikannya.
Kini dia tumbuh sebagai seorang gadis yang feminin tetapi tetap tangguh dan tidak cengeng. Sisi lain dirinya yang telah berhasil digali Pak Dion kini mewarnai penampilannya.
Sekarang dia tidak canggung lagi memakai rok dan sepatu tinggi. Walaupun masih lebih suka memakai celana jins dan sepatu kets. Dia sudah pintar berhias. Rajin ke salon. Tapi tetap menyukai olahraga. Pelajaran ilmu bela diri dan permainan basketnya semakin gemilang. Dia masuk tim sekolah dan menjadi anggota yang disegani.
Guntur semakin giat mendekatinya. Dengan sabar dia menunggu sampai Lea bersedia menjadi pacarnya.
"Pokoknya sampe kapan pun, sebelah sepatunya tetep aja gue kantongin!"
-Tamat- Dewa Sinting 2 Pendekar Rajawali Sakti 60 Badai Di Lembah Tangkar Petualangan Manusia Harimau 3
"Lekasan minta ampun, Tya!" seru Dino lantang. "Sebelon rambut lu copot! Ntar botak lu!"
Tetapi sebelum rambut Tya rontok, Pak Dion keburu datang. Dan dia marah sekali.
Lea melepaskan cengkeramannya di rambut Tya. Dan dia merasa dadanya sakit sekali melihat merahnya muka Pak Dion.
Tya terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang sakit. Air mata sudah membanjiri wajahnya.
"Jadi ini yang kalian berikan untuk Bapak," desah Pak Dion dengan suara pahit.
Seandainya Pak Dion marah-marah. Lea tidak akan sesedih ini. Tetapi Pak Dion tidak marah. Dia sedih. Kecewa. Kesal. Dan sikapnya membuat Lea lebih tersiksa daripada dimarahi.
"Tadinya Bapak kira bisa mengubah sifatmu yang pemberang, Lea," gumam Pak Dion pahit. "Tadinya Bapak kira acara ini bisa mendamaikan kalian. Membuat kalian bersatu demi kebanggaan
bersama. Mengharumkan nama kelas IA. Membuat wali kelas kalian bangga, ternyata harapan Bapak sia-sia. Lebih baik kita bubarkan saja acara ini. Tidak ada gunanya."
Lalu Pak Dion tidak berkata apa-apa lagi. Dia membalikkan tubuhnya. Menyembunyikan kesedihan dan kekecewaan di parasnya. Dengan langkah gontai dia meninggalkan murid-muridnya.
Pak Dion langsung pulang. Hatinya terluka. Kata-kata Bu Kathi di kantor kepala sekolah tadi sudah menyinggung perasaannya. Sekarang dia melihat murid-muridnya berkelahi lagi di tengah-tengah latihan pementasan. Dia bukan hanya kesal. Dia kecewa. Dia merasa gagal.
Dipacunya motornya secepat-cepatnya. Seolah-olah ingin menenggelamkan semua kekesalan itu di balik debu jalanan.
"Jauhi dia sebelum anak itu salah sangka pada sikapmu!" Itu kata-kata terakhir Neni sebelum dia memutuskan hubungan. Neni cemburu. Dia marah karena pacarnya terlalu memerhatikan muridnya.
"Saya harap Bapak tidak menyia-nyiakan kepercayaan saya." Itu kata-kata kepala sekolah tadi. Memang diucapkan dengan sabar. Dengan bijak. Tapi bagaimanapun, ada nada waswas di dalamnya. Curiga jugakah Bu Kathi"
"Katanya Pak Dion memegang tangan Lea di kamar ganti," Pak Tomo yang menyampaikan be rita itu kepadanya. "Rapat guru tadi membahas pengaduan Bu Las."
"Saya hanya ingin membangkitkan semangatnya!" desah Pak Dion tersinggung. "Supaya dia tidak putus asa!"
"Saya percaya," sahut Pak Tomo sambil tersenyum. "Tapi guru-guru yang lain tidak."
Jadi aku sudah salah melangkah, pikir Pak Dion putus asa. Aku salah menangani Lea. Salah mengadakan pendekatan padanya. Rekan-rekanku yang lain salah mengartikan sikapku!
Bukan hanya sesama guru. Pacarku juga. Bahkan mungkin... murid-muridku" Karena itukah mereka tambah memusuhi Lea" Karena mereka menganggap gurunya pilih kasih" Lebih dekat dengan anak baru"
Dan kesadaran itu datang terlambat. Hanya sederik setelah kesadaran itu mampir di benak nya, sebuah bus yang berlari kencang tak terkendali mencium motornya.
*** Bukan hanya Lea yang terpukul melihat sikap Pak Dion. teman-temannya juga. Mereka sama-sama iba melihat wali kelas mereka melangkah pergi dengan lunglai.
Apa sebenarnya yang dimintanya" Dia hanya ingin menampilkan acara yang bagus. Yang membuat kelas mereka bangga. Mengapa mereka tidak dapat membuat wali kelas mereka bangga"
Lea langsung pulang. Dia merasa sedih. Merasa kecewa Padahal dia telah bertekad ingin menyukseskan acara itu. Supaya Pak Dion bangga. Seka-rang semuanya gagal.
"Lebih baik kita bubarkan saja acara ini." Rasanya lebih sakit mendengar kata-kata Pak Dion itu daripada ditampar Vera.
"Jangan sedih, Lea," sapa Guntur yang tahu-tahu sudah melangkah di sampingnya. "Pak Dion cuma lagi jengkel. Besok juga dia udah baik lagi. Kita bisa lanjutin acara kita." "Aku ingin minta maaf," sahut Lea lirih. "Besok kita minta maaf sama-sama. Ntar aku kumpulin temen-temen."
Dan Guntu r menepati janjinya. Dia mengumpulkan teman-temannya. Dan menggerakkan mereka untuk minta maaf begitu Pak Dion muncul di kelas esok pagi.
Vera dan teman-temannya diam saja. Tidak menyetujui. Tidak juga menolak. Mereka juga terpukul melihat sikap Pak Dion. Tapi masih sakit hati pada Lea.
"Selama Pak Dion masih manjain dia, mana bisa kita baikan"" gerutu Nuniek gemas.
"Leak tambah tengil jadinya!" sambar Tya sakit hati. Kepalanya masih nyut-nyutan bekas dijambak. "Dikolok sih!"
Vera diam saja. Tapi dia masih jengkel campur bingung. Mengapa laporan Bu Las seperti tidak ada hasilnya" Mengapa pengaduannya dipeties-kan"
"Gue nggak mau main lagi sama dia," dumal Ita sengit. Lututnya yang kemarin dilumuri obat luka di UKS masih perih kalau kena air. "Mendingan gue main sama gorila sekalian!" "Sabar deh, Ta..." lenguh Dahlan lesu. "Sabar apaan lagi"" damprat Ita gemas. Kalau dia lagi jengkel, memang Dahlan yang selalu jadi tempat menumpahkan kemarahannya. Makanya hubungan mereka awet. Jadi Ita tidak perlu minum obat tekanan darah tinggi. Penyakit turunan di keluarganya.
"Kesian kan Pak Dion. Dia cuma ingin kelas kita bisa tampil..."
"Ah, dia cuma pengin si Leak yang tampil!" "Pokoknya gue nggak mau ikutan lagi," dengus Nuniek jengkel. Dia mengusap-usap pipinya yang ada bendera Jepangnya.
"Emang mendingan lu mundur aja, Niek,"
Dino menyeringai geli. "Sebelon gigi lu pada co-pot, lempar aja handuk putih deh!"
"Diem lu!" bentak Nuniek antara kesal dan malu. Semua temannya sudah tahu dia nangis dijambak Lea. Dan mereka tidak henti-hentinya mengejeknya. Padahal sebelum anak baru itu muncul, siapa yang berani mengejek anggota geng Venti" Makanya dia masuk geng yang dipimpin Vera itu.
Tapi sekarang kelihatannya geng mereka turun pamor. Sebentar lagi barangkali harus dibubarkan! Diganti geng Banci! Dipimpin Bencong Slebor! Oeekk!
BAB X KETIKA Aris melongok ke teras, dia melihar Lea duduk di lantai. Seperti menunggu seseorang.
"Nungguin siapa"" tanyanya sambil duduk berjuntai di tembok teras.
"Pak Dion," sahut Lea lirih. Mukanya muram.
Semuram suaranya. "Dia mo jemput"
Lea cuma mengangguk lesu. Biasanya Pak Dion tidak pernah terlambat, tidak datangkah dia"
"Mo ke mana sih"" .
"Ke tempat Mbak Murni, latihan jalan dan dansa."
"Tumben Pak Dion telat."
Sudah lima hari Pak Dion selalu menjemputnya. Mengantarkan ke tempat Mbak Murni. Lalu menjemputnya lagi nanti malam. Mengantarkannya pulang ke rumah. Dan selama itu, dia tidak pernah terlambat. Dia selalu tepat waktu.
"Nggak datang kali."
"Nggak mungkin lah."
"Tadi Pak Dion marah."
"Pak Dion marah"" Aris tersentak tidak percaya. "Pak Dion mana bisa marah, lagi! Dia kan orangnya sabar banget!"
"Tapi tadi Pak Dion marah. Acara kami di-batalin."
"Kamu berantem lagi""
Lea mengangguk murung. "Digodain lagi" Siapa yang jail" Guntur""
"Bukan." "Guntur sih emang jail. Tapi dia baik. Lagian dia nggak pernah mukul anak perempuan. Abis siapa dong yang jailin kamu" Dahlan""
Lagi-lagi Lea menggeleng.
"Anak perempuan" Si Vera ya" Emang konyol tu anak! Besok gue kerjain dia!"
"Jangan! Kamu kan udah diancem Pak Anwar! Jangan bikin gara-gara lagi deh!"
"Gara-gara dia, kamu berantem lagi, kan"
Makanya Pak Dion ngambek" Udah deh, aku aja yang nganterin." "Nganterin ke mana""
"Ya ke rumah Mbak Murni, lagi! Katanya mo latihan!"
"Naik apa""
"Kalo deket, naik sepeda aja. Kalo jauh, ya taksi. Mang Dahim kan lagi nganterin Panji nge-les."
"Trus kamu nunggu di mana""
"Rumah Dini deket."
"Huu, emang maunya!"
"Nggak apa-apa, kan" Sambil menyelam minum air!"
Bilang sama Ibu nganterin aku padahal pacaran""
"Bonus dong!" "Bonus apaan""
Aris sudah hendak menjawab lagi ketika tiba-tiba telinganya menangkap suara kerukan di pintu gerbang.
"Eh, ada yang ngetok pintu tuh! Pak Dion kali!"
Lea sudah terbang ke pintu gerbang sebelum Aris sempat merosot turun. Dia langsung membuka pintu. Mulurnya sudah siap mengucapkan salam ketika mendadak rahangnya mengejang.
"Guntur"" sapa Ar
is dari belakang tubuh Lea. "Tumben lu ke sini! Jemput Lea ya""
Tapi wajah Guntur begitu muramnya sampai Lea menjadi sangat khawatir. Perasaan tidak enak berkecamuk di hatinya.
"Ada apa, Tur"" tanyanya gelisah.
"Pak Dion, Lea," gumam Guntur lirih.
"Pak Dion kenapa""
"Kecelakaan." Ketika Lea, Aris, dan Guntur sampai di rumah sakit, teman-teman mereka sudah berkumpul di sana. Bu Kathi sedang duduk di bangku panjang ruang tunggu bersama Pak Anwar. Katanya Pak Dion sedang dioperasi.
"Kondisinya mengkhawatirkan," desah Bu Kathi murung. "Motor Pak Dion ditabrak bus. Dia belum sadar sampai sekarang. Tetapi kata dokter, kalau tidak dioperasi segera, nyawanya tidak tertolong."
Lea merasa kakinya lemas sampai tidak kuat lagi menyangga tubuhnya. Dia terhuyung hampir jatuh. Berbareng Aris dan Guntur menopangnya dan membawanya duduk. Tya dan Vera berbareng menggeser tubuh mereka memberi tempat. Sesaat mereka seperti melupakan permusuhan mereka.
Lebih-lebih ketika melihat Bu Neni datang bersama Bu Las. Mata Bu Neni merah berair. Mungkin dia menyesali pertengkaran mereka. Kalau Pak Dion keburu pergi... mereka belum sempat berdamai!
Dari balik tirai air matanya, Bu Neni melihat Lea sedang duduk termenung bersama teman-temannya. Dan penyesalannya semakin bertambah. Anak itu memang manis. Tapi dia masih kecil! Sungguh memalukan mencurigai Dion pacaran dengan anak perempuan itu! Dia masih ABG! Bukan gadis yang pantas dicemburui!
Ah, rasa cemburunya benar-benar buta. Tuli. Gila!
Di seberangnya, Lea juga sedang menyesali diri. Kalau dia tidak menyakiti hati Pak Dion tadi, kalau dia dan teman-temannya tidak mengecewakannya, mungkin Pak Dion tidak mengalami kecelakaan! Mungkin tadi dia pergi dengan sangat marah sampai tidak melihat bus yang tengah meluncur ke arahnya!
Tentu saja dia juga melihat Bu Neni. Tapi saat itu dia ridak sempat mengagumi kecantikannya. Seluruh konsentrasinya tumplek blek pada kondisi Pak Dion!
Teman-temannya juga sama sedihnya. Tak ada gurau yang biasa mewarnai pertemuan mereka. Bahkan geng Venti seperti melupakannya. Tidak seorang anggotanya pun melirik kepadanya.
Menjelang tengah malam baru dokter bedah itu keluar menjumpai mereka. Sampai saat itu, tidak seorang pun dari mereka meninggalkan tempat. Semua duduk menunggu dengan tegang. Beberapa orangtua murid malah ikut hadir. Termasuk Pak Tisna dan Bu Nani.
Mereka menerima telepon dari Aris. Dan Bu Nani menunggu suaminya pulang lalu mengajaknya ke rumah sakit. Mereka duduk di samping Aris dan Lea. Ikut menunggu dengan harap-harap cemas.
"Masa kritisnya belum lewat," kata dokter bedah itu muram. "Kita masih harus menunggu enam jam pascabedah. jika dia bisa melewatinya dan memperoleh kesadarannya kembali, nyawanya dapat tertolong. Tapi kakinya mungkin tidak." "Kakinya"" desis Bu Kathi ngeri. Beberapa jeritan tertahan murid putri terlepas di sana-sini. Lea malah sudah menggigit bibirnya sampai berdarah. Isak Bu Neni terdengar pelan dan getir.
"Karena terjadi fraktur pada tulang belakang setinggi toraks, kemungkinan besar terjadi paraplegia. Kelumpuhan kedua tungkai."
Sesaat ruangan ini menjadi hening seperti kuburan. Semua terdiam. Semua terkejut. Semua shock. Akhirnya tangis Bu Neni pecah tak tertahankan lagi. Bu Las memeluknya dengan sedih.
"Sabar," bisiknya lirih. "Bu Neni harus tegar." "Tidak ada pengobatan untuk menyembuhkannya, Dok"" tanya Bu Kathi gemetar.
"Karena frakturnya belum stabil, kami tidak dapat memastikan. Tapi saya ingin menyampaikan kemungkinan yang terburuk supaya kelak tidak terlalu kecewa."
"Mungkin harus menjalani operasi lagi. Dok""
Setelah masa kritisnya lewat, dokter di bagian ortopedi akan melakukan stabilisasi bedah. Hasilnya tidak dapat kami katakan sekarang, yang penting saat ini adalah menyelamatkan nyawanya dulu."
Lea hampir tidak memercayai apa yang dialaminya. Rasanya semua ini seperti mimpi. Mimpi buruk!
Pak Dion akan lumpuh" tidak dapat berdiri lagi" Berjalan" Berolahraga" Dia akan duduk di kursi roda untuk selama-lamanya" Ya Tuhan!
Penderitaan yang bagaimana
pun jarang membuat Lea menangis. Dia hanya menangis ketika ayah, ibu. dan adiknya meninggal. Tetapi ketika mendengar nasib Pak Dion, air matanya mengalir tak tertahankan lagi.
Ketika melihat Lea menangis, tak sadar Bu Nani merangkulnya. Dan untuk pertama kalinya, Lea merasakan pelukan ibu angkatnya. Tetapi saat itu, hatinya sedang merintih pedih.
Di sampingnya. Pak Tisna menatap dengan penuh haru.
Semalaman itu Lea tidak bisa tidur. Aris dan Oki menemaninya di kamar. Mereka duduk di lantai di samping pembaringan. Meskipun tidak mengucapkan kata-kata hiburan, kehadiran mereka sedikit menghibur Lea. Untuk pertama kalinya dia merasa memiliki teman. Teman yang ada pada saat dia membutuhkan seseorang.
"Aku nyesel banget," keluh Lea sementara air matanya terus mengalir ke pipinya. "Semua gara-gara aku!"
"Aku rasa bukan gara-gara kesel Pak Dion kecelakaan," kata Aris lirih. "Busnya aja yang gila."
"Sopirnya mesti digebukin," gerutu Oki geram. "Mabuk bir oplos kali."
Saat itu pintu terbuka. Kepala Panji melongok ke dalam.
"Ngapain"" tanya Aris kering.
"Boleh ikut duduk"" desah Panji ragu.
Lea mengangguk. Panji duduk di samping adik-adiknya. Di lantai.
Dia tidak berkata apa-apa. Hanya mendengarkan obrolan adik-adiknya. Tapi Aris tahu, itulah pertama kali Panji mau duduk bersama berbagi perasaan. Biasanya dia lebih suka menyendiri di kamar.
Ibulah yang menyuruh mereka tidur ketika jam sudah berdentang dua kali. Tapi saat itu Ibu tidak marah. Suaranya tidak sejudes biasa.
"Besok tidak bisa sekolah," cuma itu yang dikatakannya kepada anak-anaknya.
Ketika Panji dan adik-adiknya keluar. Ibu duduk di tepi pembaringan Lea.
"Bukan hanya kamu yang sedih. Lea," suaranya tidak lembut, tapi tidak sekering biasa. "Pak Dion guru yang disukai. teman-temanmu juga sedih. Sekarang cobalah tidur. Besok kamu harus tetap sekolah."
Buat Ibu, yang terpenting memang sekolah, Tapi... bukankah mungkin itu juga yang di-
kehendaki Pak Dion kalau dia masih bisa bicara"
Dia ingin Lea sekolah. Lea jadi pintar. Lea yang membuat Pak Dion bangga.
Lea yang mengubah penampilannya. Menunjukkan sisi merah jambu dalam dirinya. Halus. Lembut. Feminin. Tidak suka berkelahi. Tidak tomboi, Tidak kasar. Jadi Cinderella yang sempurna....
"Bapak akan membantumu. Kamu harus percaya diri. Bapak yakin, kamu bisa."
Sekarang Pak Dion tidak dapat membantunya lagi!
"Bapak bangga padamu...." Kata-kata itu tak mau hilang juga dari telinganya.
Aku akan membuatmu bangga, Pak Dion, desah Lea dalam hati. Aku tidak akan mengecewa-kanmu!
"Jangan khawatir, Bu," cetus Lea tiba-tiba. Membuat Bu Nani tertegun. Wajah anak itu sudah penuh air mata. Tapi matanya yang merah berair menatap dengan penuh tekad. "Saya tidak akan bolos besok. Saya akan melanjutkan latihan yang dipimpin Pak Dion. Saya ingin membuat Pak Dion bangga."
Bukan hanya Pak Dion, pikir Bu Nani ketika dia sedang meninggalkan kamar Lea. Barangkali ayahmu juga. Ayah angkatmu. Dia yang bangga padamu.
"Bagaimana Lea"" tanya Pak Tisna ketika istrinya masuk ke kamar. "Tidak apa-apa. Dia anak yang kuat." Sekejap Pak Tisna menatap istrinya. Tidak ada kekesalan yang biasa melumuri suaranya kalau dia membicarakan Lea. Pak Tisna kenal sekali istrinya. Saat ini dia tidak memusuhi anak itu lagi.
"Terima kasih," cetusnya setelah lama terdiam.
Bu Nani mengangkat alisnya. Ditatapnya suaminya dengan heran. "Buat apa"" "Menerima Lea."
"Dia sudah jadi keluarga kita," sahut Bu Nani sambil naik ke tempat tidur. Suaranya datar. Tapi tidak ada kekesalan lagi di dalamnya. "Anak-anak juga sudah menerimanya."
"Lebih mudah bagi anak-anak untuk menerima orang asing daripada orangtuanya. Karena mereka masih polos."
"Bapak menyindirku""
"Ibu mencurigai dia, kan""
Bu Nani tidak menyahut. Tapi Pak Tisna mengerti walaupun istrinya tidak menjawab.
"Lea bukan anak gelapku. Bu. Aku mengadopsinya semata-mata untuk membayar utangku pada si Jabrik."
"Aku percaya." sahut Bu Nani sambil menghela napas. "Maafkan aku, Pak."
"Sudah lama aku memaafkan Ibu. Mulai hari
ini, tolong jangan memusuhi Lea lagi karena ke-curigaanmu padaku, Bu. Kasihan Lea. Apalagi kini dia kehilangan Pak Dion. Satu-satunya guru yang memahami dirinya."
Bu Nani terdiam sesaat. Teringat pada kata-kata Lea yang terakhir tadi.
"Katanya dia ingin membuat Pak Dion bangga."
"Apa maksudnya""
"Dia ingin melanjutkan latihan operetnya." Pak Tisna mengeluh berat. "Mudah-mudahan dia berhasil. Dan mudah-mudahan Pak Dion masih dapat melihatnya."
Pagi itu tidak ada bedanya dengan kemarin. Dan kemarinnya lagi. Tetapi pagi ini tidak ada Pak Dion. Tidak ada guru favorit yang kehadirannya selalu ditunggu murid-muridnya. Tidak ada sapaannya yang khas.
"Selamat pagi.... Ada PR"" Tidak ada senyumnya yang paten. Yang menyejukkan jantung murid-muridnya. Yang membuat hati beberapa orang remaja berdebar hangat.
Tidak ada seribu tawon yang berdengung menyambut salamnya. Tidak ada koor dari seluruh kelas. "Banyaaakk, Pak...."
Dan Lea tidak dapat menahan dirinya lagi. Dia maju ke depan kelas. Teman-temannya mendadak diam. Menatapnya dengan penuh keingintahuan. Kelas serentak jadi hening.
"Saya ingin minta partisipasi seluruh kelas IA untuk menyukseskan acara kita dalam pentas seni bulan depan," suara Lea terdengar basah tapi tegas.
"Ngaco!" cetus Vera gemas. "Lu mabok ganja ya"
"Udah nggak ada Pak Dion, siapa yang mim-pin kita"" sambung Guntur ragu. "Dipimpin dia aja kita nggak bisa-bisa!"
"Gue nggak mau ikutan lagi!" dengus Nuniek muak.
"Gue juga!" sambar Tya jengkel. "Biar aja dia jadi Cinderella kesepian! Main deh lu sendirian! Biar diketawain cecak!"
"Kita akan melanjutkan latihan." kata Lea tegas. "Dengan pemain yang dipilih Pak Dion."
Lalu di luar dugaan, dia menghampiri Vera. Ketika Lea mendekatinya, bergegas Vera bangkit. Wajahnya tegang. Siaga satu menghadapi banjir bandang. Tangannya refleks meraih penggaris.
"Aku minta maaf. Vera." Lea mengulurkan tangannya. Membuat Vera melongo bingung. Penggaris terlepas dengan sendirinya. "Kalau kamu mau jadi Cinderella, aku mau tukar tempat. Asal kita bisa terus latihan."
Semua temannya tertegun sesaat. Tidak menyangka si Lea bikin kejutan lagi. Guntur-lah yang paling dulu bisa membuka mulutnya. Dan bertepuk tangan.
"Ayo, jabat tangan Lea, Ver!" sergahnya bersemangat. "Awas lu kalau masih sok!"
Tepuk tangan Guntur diikuti Dino. Hadi. Soni. Dan akhirnya seluruh kelas termasuk Dahlan. Tentu saja setelah dia melirik Ita dulu dan ternyata pacarnya tidak membeliak gusar seperti biasa.
Ragu-ragu Vera menyambuti uluran tangan Lea. Mereka berjabatan tangan diiringi tempik sorak teman-temannya. Lalu Lea menyalami Tya, Nuniek, dan Ita.
"Aku minta maaf," kata Lea tenang. "Habis pentas seni bulan depan, kalian boleh mukulin
aku lagi. Tapi sekarang kita bersatu dulu. Demi Pak Dion."
"Kalo nggak konyol sih, lu boleh aja jadi sohib kita," dengus Nuniek ketus. Pipinya masih sakit. Tapi keberanian Lea minta maaf dan mengajak berdamai menggugah hatinya. Selama ini, apa sebenarnya kesalahan Lea" Dia cuma tomboi. Suka berkelahi. Tapi kalau mau jujur, bukan Lea yang mengajak bermusuhan duluan!
Semua gara-gara Vera. Dia yang cemburu karena sudah lama naksir Pak Dion. Dia merasa Pak Dion menganakemaskan Lea. Jadi dia merasa tersisih. Dia yang selalu mengajak gengnya memusuhi Lea.
Ajakannya disambuti Tya. Karena dia merasa Guntur lebih menyukai Lea. Padahal sebelum Lea datang, dialah favorit Guntur.
Ita cuma ikut-ikutan. Karena dia memang judes. Dan merasa harus solider dengan gengnya.
Selama ini memang mereka berempat yang menguasai kelas IA. Sebenarnya bukan hanya IA. IB juga. Semua anak perempuan takut kepada mereka. Geng Venti jadi penguasa. Semua takluk. Semua harus patuh. Kalau perlu, bayar pampasan perang. Apa saja yang mereka miliki. Apa saja yang dikehendaki geng Venti. Lalu muncul Lea. Anak baru yang aneh. Anak perempuan titisan Dewi Bencong. Dan dia tidak mau takluk. Dia melawan. Karena itu dia dikucilkan. Dimusuhi.
"Jadi gimana nih acaranya setelah gencatan senjata"" sela Dino. "Gue perlu ganti batere lagi" Supaya denta
ng gue tetep kenceng! Nyaring! Garing! Dan Cinderella nggak kesiangan bangun!"
"Mendingan kepala lu di-charge aja biar tokcer!" Dahlan memukul kepala Dino dengan penggaris yang diraihnya dari atas meja Vera.
"Pulang sekolah kita harus latihan," kata Lea tegas tanpa menghiraukan seloroh teman-temannya. "Siapa yang mau jadi Cinderella silakan. Aku mau jadi apa aja asal acara ini bisa sukses."
"Nggak usah," dengus Vera datar. "Lu aja yang jadi Cinderella. Pak Dion kan mau gitu. Sekarang yang penting, siapa yang gantiin Pak Dion mimpin kita"" "Istirahat nanti aku menghadap Bu Las." Bu Las"" sergah teman-temannya kaget. "Dia kan udah keki! Mana mau mimpin kita lagi""
"Bu Las cuma jengkel sama aku. Kalau dia mau mimpin kita lagi, aku rela dikeluarin."
"Nggak bisa! protes Guntur. "Kamu kan Cinderella pilihan Pak Dion!"
"Bukan Cinderella impian lu, Tur"" sindir Dino geli.
"Pokoknya biar Bu las yang mutusin," kata Lea tegas. Dalam keadaan seperti itu, jiwa pemimpinnya mendadak keluar. "Biar aku yang menghadap nanti."
"Kita menghadap sama-sama," sanggah Guntur sama tegasnya. "Biar Bu Las tau, ini keputusan ia. Bukan cuma permintaan kamu."
Dan mereka bersama-sama menghadap Bu Las di ruang guru. Tentu saja setelah menghabiskan setengah persediaan siomai di kantin. Guntur yang traktir. Katanya supaya mereka kuat kalau mendadak Bu Las kumat dan memberondong mereka.
"Lebih kuat lagi kalo kita dijatah ini nih. Tur!" Dino mengambil sebotol minuman berenergi dari atas rak minuman. "Pasti tenaga dalam kita dobel! Dan gue nggak perlu ganti batere lagi!"
"Huuu, aji mumpung!" sindir Tya. "Kenapa nggak minta air aki aja sekalian""
"Aki gue nggak pake air." menyeringai Dino. "Aki kering sih. tapi kalo kuah bakso nggak no-lak. Tambah ekstra bakso dua biji juga boleh."
"Boleh aja," sahut Guntur santai. "tapi bayar sendiri!"
"Gimana kalo lu yang bayar separo, Lan" Lu kan bawa empat cewek! Si Guntur cuma satu!"
"Oke. masuk bon gue." sahut Dahlan tenang. "Tapi abis bulan. lu yang bayar!"
"Huuu, itu sih sama aja boong! Lu kira gue si Ita. kena aja dikibulin""
"Udah deh. pada cepetan makannya!" sentak Ita tidak sabar. "Ntar Bu Las keburu cabut tuh!"
Selesai makan bergegas mereka menuju ke ruang gum. Lea yang mengetuk pintu. Tentu saja Lea. Vera yang nyuruh. Supaya kalau angin jahat Bu Las bertiup, Lea yang mental duluan.
Lea mau saja dikorbankan. Dia mengetuk perlahan. Dan membukanya dengan hati-hati seolah-olah takut pintu itu mendadak meledak.
"Ada apa" Suara Bu Las masih tetap dingin. Dia memang beruang es. Tapi di telinga murid-muridnya, suara itu tidak sejudes biasa.
"Kami ingin mengajukan permohonan, Bu," sahut Lea sopan.
Dia berdiri paling depan. Di belakangnya berderet Guntur, Dino, dan Vera. Dahlan bersama Tya, Ita, Rita, dan Nuniek menunggu di luar. Karena kalau mereka masuk semua. Bu Las pasti marah-marah. Dan mereka digebah keluar.
"Tidak mengikuti pelajaran"" dengus Bu Las judes. Nah, sudah kembali ke nada dasar. "Mau nengok Pak Dion""
"Kami mohon Ibu sudi memimpin dan melatih kami menuntaskan operet Cinderella. Kami ingin tampil dalam pentas seni bulan depan dengan sebaik-baiknya. Sesuai keinginan Pak Dion."
Mendadak Bu Las tertegun. Ditatapnya murid-muridnya yang selalu membuatnya jengkel itu dengan tatapan tidak percaya. Dan di mata Guntur yang nakal, di mata Vera yang genit, bahkan di mata Lea yang selalu dingin, dia menemukan sesuatu yang lain. Sesuatu yang ditemukan di semua mata anak-anak bandel yang tengah menatapnya dengan penuh permohonan.
Pak Dion, bisiknya dalam hati. Barangkali harus diakui, metode mengajarmu yang benar.
"Baik." Bu Las berusaha secepatnya mengusir keharuan yang bersorot di matanya.
Dia tidak mau murid-muridnya melihat kelemahannya. Tapi kelemahankah namanya memperlihatkan perasaan" Jika mata itu jendela hati, mengapa tidak seorang muridnya pun boleh me longok ke sana" Mengapa hanya kekerasan, kemarahan, kejudesan, dan kegalakan yang pantas diungkapkan oleh seorang guru" Karena hanya semua itu yang dapat menegakkan wibawa" Hari
ini. Pak Dion telah membuktikan kebalikannya!
"Saya akan melatih kalian, tapi hanya kalau kalian mau bekerja keras, berlatih sungguh-sung-
guh. Dan ingat, tidak boleh bercanda! Tidak ada perkelahian lagi! Sanggup""
"Sanggup. Bu!" jawab semua muridnya sekom-pak paduan suara.
Bu Las tidak mengganti Lea walaupun Lea sudah rela menyerahkan perannya. Ketika dia mengusulkan, dia malah dibentak-bentak.
"Kamu yang minta saya melatih kalian, sekarang kamu sendiri mau mundur""
"Bukan mundur, Bu. Saya ingin memberikan peran saya kepada teman yang lebih berbakat. Saya merasa sudah gagal memerankan Cinderella. Takut Ibu kecewa."
"Saya lihat dulu aktingmu," sahut Bu Las datar. "Kalau jelek, pasti saya ganti! Dan kamu boleh duduk di bangku cadangan!"
Tetapi Bu Las terperanjat ketika melihat penampilan Lea dalam latihan hari itu.
Dalam lima hari saja, Pak Dion telah berhasil mengubah Lea. Bukan hanya penampilan luarnya saja. Aktingnya juga. Bahkan caranya melangkah sudah berubah total. Bukan lagi seperti pelawak pria yang berperan sebagai wanita! Ketika tiga hari kemudian Bu Las melatih adegan Cinderella berdansa dengan Pangeran, dia harus menahan rasa herannya karena Lea sudah bisa menguasai latihannya dengan cepat. Sepertinya dia sudah mempelajari dasar-dasarnya di tempat lain.
Memang sejak Pak Dion tidak ada, Aris yang mengantarkan Lea ke rumah Mbak Murni. Dan ketika Mbak Murni mendengar tentang apa yang menimpa Pak Dion, dia lebih antusias lagi melatih Lea.
"Dalam dua hari ini kita harus bekerja keras," kata Mbak Murni tegas. "Kalau perlu, tidak tidur!"
Jadi tidak heran kalau Bu Las agak bingung melihat kemajuan anak itu. Lebih-lebih melihat partisipasi teman-teman Lea. Mereka seperti kesetanan mengikuti latihan.
Kalau aku tidak tahu Pak Dion masih hidup, barangkali kupikir arwahnya yang menghantui anak-anak ini, pikir Bu i as resah. Mereka berlatih dengan sangar bersemangat!
Tak ada gurau berlebihan. tak ada olok-olok. Bahkan tak ada pertengkaran. Perkelahian. Mereka dapat bekerja sama dengan baik! Bukan main! Mereka benar-benar telah berubah! Hanya karena ingin membuat guru kesayangan mereka bangga!
Tebersit sepercik iri di hati Bu Las ketika menyaksikan anak-anak itu melakukan geladi resik Bukan karena penampilan mereka yang nyaris prima. Bukan karena acara ini bahkan mungkin akan lebih sukses daripada acara yang ditampilkan kelasnya sendiri. Tapi karena Bu Las tahu motiyasi mereka bermain sebaik ini.
Tiga minggu lebih anak-anak itu telah bekerja keras. Pulang latihan, mereka pergi makan bersama. Lalu bersama-sama pula menengok Pak Dion di rumah sakit.
Menurut Guntur, itu cara yang bagus untuk menggalang kebersamaan. Karena urat yang menyatukan mereka memang Pak Dion. Dan tentu saja bakso urat kedoyanannya. Jadi kalau sudah capek latihan dan perut menagih, harus cepat dibayar lunas sebelum didenda.
Mereka bergantian membayar makanan. Yang mereka makan, juga yang mereka beli untuk dibawa ke rumah sakit. Sungguh mengherankan melihat bagaimana kerukunan bisa cepat tercapai dalam kesedihan.
Lea tidak punya uang jajan. Tapi kalau giliran dia bayar, Guntut selalu menyelipkan selembar uang ke sakunya. Sebenarnya bukan hanya Guntur. Karena Aris juga sudah memberikan uang jajannya. Bahkan Oki dengan rela memberikan uang untuk membeli komiknya.
Dengan kedua saudaranya itu Lea memang sudah dekat. Cuma dengan Panji dia belum terlalu rapat. Karena Panji memang belum terlalu mau mendekat.
Cuma dari jauh dia memandang Lea. Itu pun dia akan buru-buru berpaling kalau Lea kebetulan menoleh dan mata mereka bertemu. Seolah-olah dia tidak mau beradu pandang.
Tetapi paling tidak, dia sudah tidak pernah menjadi Lea lagi. Tidak pernah mengejek adik angkatnya lagi.
Sikapnya memang kaku. Tidak bebas seperti Aris. Tidak terbuka seperti Oki. Tapi itu memang sifat Panji.
Aneh, gerutu Lea dalam hati. Tapi dia tidak peduli. Nggak mau terlalu dekat ya sudah! Masa bodoh amat! Yang penting, dia sudah tidak jail lagi!
Bu Nani juga tidak pernah memarahinya lagi. Sikapnya memang masih belum
sehangat seorang ibu. Tetapi Lea merasa. ibu angkatnya sudah menerimanya.
Dan perlahan-lahan, Lea mulai merasa betah di rumah.
* * * Kondisi Pak Dion sudah berangsur pulih. Kesadarannya sudah tidak berkabut lagi. Dia dapat mencerna cerita murid-muridnya yang kadang-kadang berebutan channel sampai tumpang tindih tidak keruan.
Kesehatan fisiknya juga mulai berangsur membaik. Tetapi kondisi kakinya masih tetap menyedihkan. Kata dokter, Pak Dion menderita paraplegia. Kedua tungkainya lumpuh. Dia harus duduk di kursi roda.
Mula-mula diagnosis dokter itu sangat mengejutkan Pak Dion. Dia merasa sangat terpukul. Ketika orangtuanya datang dari Pekanbaru, Pak Dion malah minta dibawa pulang saja. Biar dia tidak usah melihat murid-muridnya lagi.
Pak Dion tidak mau melanjutkan kariernya sebagai guru. Guru cacat. Duduk di kursi roda! Rasanya dia tidak punya kepercayaan diri lagi.
Lebih baik dia pulang ke Pekanbaru. Di sana ayahnya punya toko yang menjual hasil bumi di pasar. Barangkali pekerjaan itu lebih cocok untuknya. Menjaga toko. Di atas kursi roda.
Pak Dion menolak bedah ortopedik yang dianjurkan dokter bedahnya. Karena menurut dokter hasilnya juga meragukan sementara risikonya cukup besar, Pak Dion memilih menolak operasi. Dan membiarkan kakinya tetap lumpuh.
Tak dapat diragukan ketabahan Pak Dion-lah yang akhirnya mengembalikan keinginannya untuk survive. Tapi tak dapat dipungkiri pula, ada faktor lain yang mendorong semangatnya. Kehadiran murid-muridnya. Kebersamaan mereka.
"Sayang Bapak nggak bisa nonton acara kami, Pak!" cetus Guntur di samping pembaringan gurunya. "Bu Las aja sampe nggak bisa merem!"
"Tadi waktu geladi resik, Bu Las mujiin kami, Pak!" sambung Dahlan gembira.
"Iya, Pak," sambar Ita. "Padahal biasanya kan dia pelit banget ama pujian!"
"Anaknya naik kelas aja diomelin!" gurau Dino. "Bu Las bilang," dia menirukan suara gurunya, "kenapa nggak jadi ranking satu""
Teman-temannya tertawa riuh. Pak Dion tersenyum menanggapi kelakar murid-muridnya.
Ah, betapa dia merindukan gelak tawa dan keceriaan anak-anak ini! Sehari saja tidak mendengar celoteh mereka, dia merasa kesepian! Untung setiap sore sepulang latihan mereka menjenguknya!
Mereka selalu membawakan penganan untuknya. Dan bukan hanya membawakan. Mereka ikut makan bersama, sampai rasanya lebih banyak yang dimakan mereka daripada yang disantap Pak Dion!
Remah-remah bekas nasi, ceceran saus sate, kulit kacang, biji rambutan berserakan di bawah ranjang. Untung perawat tidak tahu. Sebelum pulang, mereka harus bersih-bersih dulu. Tapi tentu saja tidak terlalu bersih. Mereka menyisakan untuk petugas kebersihan besok.
Pasien di sebelah Pak Dion pernah protes karena merasa terlalu berisik setiap jam kunjungan, sampai dia tidak bisa ngobrol dengan istrinya. Dia juga protes karena banyak biji rambutan di kolong tempat tidurnya, padahal dia tidak makan rambutan sebiji pun.
Tetapi pihak rumah sakit tidak bisa apa-apa. Anak-anak itu sudah berulang-ulang ditegur. Tapi menegur anak sekolah seperti menegur kera di pohon. Mereka cuma menjerit-jerit sambil melompat-lompat.
"Pindah aja ke kelas satu, Pak!" usul Vera ketus kepada pasien itu.
"Atau ke kuburan!" sambung Guntur geli. "Di sana sepi! Dijamin nggak ada yang makan rambutan!"
Teman-temannya tertawa gelak-gelak. Dino malah tertawa keras dengan jurus tertawa meruntuhkan gunung sampai ranjang bergoyang.
Tentu saja goyang karena pasien itu hendak bergegas turun. Hendak menghajar anak-anak itu. Tapi istrinya buru-buru mencegah. Melawan ABG. Percuma saja. Buang-buang napas. Nggak bakal menang!
Sisi Merah Jambu Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah," Pak Dion-lah yang melerai mereka. "Kalian mau Bapak yang dipindahkan ke halaman""
"Emangnya Bapak salah apa sampe disuruh Bu Kathi menghadap Batara Surya"" gurau Guntur. "Itu kan jatah kami, Pak!"
Pak Dion hanya tersenyum. Dan matanya bertemu dengan mata Lea. Sejak tadi dia diam saja. Hanya ikut tertawa kalau teman-temannya ter-gelak-gelak. Tapi matanya terus-menerus mengawasi gurunya. Apa yang dipikirkannya"
"Kalau saja Bapak bisa melihat operet k
alian," desah Pak Dion lirih. Kalau saja saya bisa melihatmu memerankan Cinderella!
"Jangan khawatir, Pak!" cetus Guntur bersemangat. "Kami bisa main di sini kok!"
"Malah bisa minta duit receh dari pasien lain, Pak!" sambung Dino.
"Tapi bapak di kapling sebelah disumpal dulu kupingnya pake petasan, Pak!" usul Tya.
"Hus!" bentak Vera gemas. "Pak Dion serius nih!"
"Ntar kalo Bapak udah bisa jalan, kita tampil-in lagi operet kira. Pak!" hibur Nuniek. "Maka-nya Bapak cepet bisa jalan ya."
"Trus ngajar kita lagi. Pak! Matematika sama Pak Tomo imposibel. Pak! Kayak ngitung duit koruptor!"
"Olahraga sama Pak Bemo bosen. Pak! Kita cuma disuruh senam kayak senam pagi di departemen saban Jumat!"
"Nggak boleh izin, lagi, Pak!" sela Ita dongkol.
"Padahal Ita kan ratunya cuti haid! Sebulan tiga kali! Hihihi!"
"Kamu bagaimana, Lea"" tanya Pak Dion sambil tersenyum lembut. "Kelihatannya teman-teman sudah menerima kamu."
"Ya diterima dong, Pak!" sambar Dino gesit. "Masa dibuang" Ntar ada yang mungut!" Dia menyikut rusuk Guntur. "Trus dibawa pulang! Dikantongin kayak sepatunya!"
"Bagaimana di rumah"" sambung Pak Dion tanpa mengacuhkan canda murid-muridnya.
"Baik, Pak," sahut Lea lunak. "Ibu sudah jarang marah, kecuali kalau kami malas belajar."
"Oh, itu sih penyakit kronis semua ibu, Lea!" sambar Dino. "Nggak ada obatnya!" "Bagaimana saudara-saudaramu""
"Cuma sama Panji saya belum bisa dekat Pak."
"Oh, Panji sih cuma bisa dideketin sama nyamuk!" dengus Dahlan. "Mendingan suruh Vera buka sumbatnya!"
"Sumbat apaan"" belalak Vera jengkel. "Emang gue bukaan botol""
"Maksud si Dahlan, cuma sama elu kan dia mau buka mulut""
"Kapan lu liat si Panji buka mulutnya ke Vera"" ejek Guntur sambil terkekeh-kekeh. "Lu pernah liat mereka ciuman ya""
Dengan gemas Vera memukulkan tas kecilnya ke kepala Guntur. Karena Guntur lari menghindar, Vera mengejarnya. Dan kakinya tersandung tiang tirai pemisah.
Tirai beroda itu tergeser ke sudut ruangan. Si bapak sebelah yang sedang dicium keningnya oleh istrinya membeliak marah. Anak-anak yang menontonnya tertawa geli.
BAB XI KETIKA Lea dan teman-temannya masih di kamar ganti, mereka sudah mendengar kegaduhan di aula yang sudah disulap menjadi pentas.
"Ada apaan tuh"" tanya Dino bingung. "Kok kayaknya rame banget""
"Masa sih sambutan buat IIB begitu meriah"" desah Vera cemas.
"Kamu nggak tau aja, gebukan drumnya si Rolan kan maut banget tuh!" sahut Dahlan sok tahu. "Dia bisa lempar stik sampe kena kepalanya si Jen yang lagi nyanyi. Pletak! Gedubrak! lang-sung deh si Jen fly."
"Waduh! Jangan-jangan sejarah berulang! Si Jen melayang ke bulan lagi!"
Cepat-cepat Dino melongok dari balik layar. Dan kegembiraannya meledak. Bergegas dia berlari-lari ke kamar ganti. "Tebak siapa yang datang!" serunya riang. Teman-temannya menoleh dan menatapnya dengan bingung.
"Mantan pacar Bu Kathi," cetus Guntur asal saja. "Yang udah pikun!"
"Pak Dion!" Dino bersorak gembira. "Pak Dion datang!"
Teman-teman putrinya berteriak histeris. Tanpa menghiraukan make-up mereka yang belum selesai, mereka berlari-lari keluar. Lea ikut mencopot sepatunya dan menjinjing ujung gaun panjangnya. Dan dia bisa berlari paling cepat. Maklum pengalaman tiga belas tahun mengejar kambing. Untung bukan dikejar macan.
Lca sampai paling dulu di depan Pak Dion. Dia sedang duduk di atas kursi rodanya. Disalami Bu Kathi dan guru-guru yang lain.
"Pak Dion!" teriak Lea dan teman-temannya berbareng.
Pak Dion menoleh kepada murid-muridnya sambil tersenyum.
"Horee, Pak Dion datang!" sorak Guntur bersemangat. "Mau nonton saya jadi pangeran ya, Pak" Bapak pasti nanti malam nggak perlu obat tidur lagi!"
Pak Dion membalas jabatan tangan murid-muridnya yang berebutan meraih tangannya.
"Saya belum terlambat, kan"" tanyanya dengan suara yang belum sekuat biasa.
"Kita baru saja mau mulai. Pak!" jawab Vera terharu.
"Kamu sudah siap, Lea"" Pak Dion menoleh dan menghadiahkan seuntai senyum khusus untuk Lea. "Siap merebut hati semua pangeran yang hadir di sin
i"" Lea mengangguk dengan mata berkaca-kaca.
"Sudah waktunya siap-siap," kata Bu Las yang baru tiba di tempat mereka. "Habis ini giliran kalian tampil."
Putri, anak kelas tiga yang ditugasi ngemsi, sudah nongol lagi. Siap memanggil peserta berikutnya.
"Ayo, teman-teman!" seru Guntur bersemangat. "Kita tunjukkan ke Pak Dion!"
Sorakannya disambut tepuk tangan seluruh murid kelas IA yang hadir. Guntur menyodorkan kepalan tangannya. Dino menaruh tangannya di atasnya diikuti Dahlan. Lalu Lea dan teman-teman putrinya ikut menimpali.
"Buat IA!" seru mereka bersemangat. "Buat Pak Dion!"
Serentak anak-anak itu menarik tangan mereka lalu berlari ke kamar ganti.
Begitu layar terbuka, Guntur muncul. Sudah dalam busana pangeran yang gemerlapan. Yang membuat dia tampil gagah sehingga mendapat tepukan kagum dan siulan menggoda dari penonton yang sebagian besar murid-murid SMP.
"Selamat pagi," dia menirukan suara dan gaya Pak Dion kalau masuk kelas. "Ada PR""
Salam pembukaannya mendapat sambutan riuh penonton. Bu Neni yang duduk di samping Pak Dion melihat mata pacarnya berkaca-kaca menahan haru.
"Sekian acara persembahan dari kelas IA. Sampai berjumpa di kantor kepala sekolah!"
Guntur terbirit-birit lari ke belakang dan layar turun diiringi tempik sorak dan gelak tawa penonton.
"Cuma segitu"" Pak Tisna menoleh bingung kepada istrinya. Mereka duduk di kursi kehormat an untuk orangtua yang muridnya ikut pementasan.
"Mereka hanya bercanda." sahut Bu Nani man-tap. "Kan Lea belum muncul."
Dugaannya benar. Karena semenit kemudian, layar terbuka kembali. Dan mereka mulai dengan pementasan Cinderella. Cerita klasik yang disajikan dengan nyanyian. musik, dan tarian yang tak pernah lekang oleh waktu.
Pementasan itu sangat memesona. Bu Las sebagai koreografer sekaligus pengarah acara yang andal telah membuktikan kemampuannya memimpin murid-muridnya menampilkan operet yang tidak memalukan untuk kategori anak-anak SMP.
Pilihan lagu-lagunya juga tidak mengecewakan. Bukan hanya enak didengar, gampang dibawakan, tapi sekaligus tepat dan jenaka.
Tidak heran kalau banyak penonton yang ikut berdendang karena sudah familier dengan lagu-lagu yang ditampilkan.
Tetapi puncak acara memang saat Cinderella berdansa bersama Pangeran Tampan. Ketika melihat Lea saat itu, air mata Pak Dion meleleh tak tertahankan lagi. Dia benar-benar tak dapat membayangkan seperti apa anak itu beberapa bulan yang lalu!
Ketika Pak Dion masih dibuai perasaannya sendiri, tiba-tiba dia merasa tangan Neni menyentuh lembut lengannya.
"Murid-muridmu luar biasa," bisik Neni sambil mencondongkan tubuhnya ke arah kursi roda Pak Dion. "Kamu harus bangga."
Pak Dion hanya mampu menganggukkan kepalanya. Dibalasnya genggaman tangan Neni. Dan tangan mereka saling remas dengan hangat.
Barangkali itulah isyarat Neni bahwa dia telah memaafkan pacarnya. Dan bahwa dia menginginkan hubungan mereka dilanjutkan.
Tetapi bagi Pak Dion, masa depan hubungan mereka masih tanda tanya. Barangkali Neni memang sudah memaafkannya. Sudah memahami dedikasinya sebagai guru. Sudah mengerti dia telah salah paham. Tetapi masih sudikah Neni menjadi calon istri seorang pria yang cacar"
Sementara itu pementasan sudah menjelang akhir. Pangeran Tampan sudah menemukan putri yang didambakannya. Yang kakinya cocok dengan sepatu yang dibawanya.
"Bukan main," desis Pak Tisna tidak ada habis-habisnya. "Kadang-kadang aku tidak percaya itu Lea, Bu!"
Bu Nani tidak menjawab, tetapi di depan matanya terbayang seorang anak yang dikiranya laki-laki. dengan baju yang bukan main kotornya, yang beberapa bulan yang lalu dibawa suaminya ke rumahnya. Anak mirip gembel itulah yang kini menjelma jadi seorang putri!
Duduk di antara teman-temannya, Aris juga ikut terpesona. Dia masih tidak percaya, beberapa bulan yang lalu dia merasa malu punya adik angkat seperti Lea! Sekarang ketika teman-temannya sedang memuji dengan kagum, tak urung Aris merasa hatinya mekar karena bangga.
"Ris, bener si Lea belon punya cowok"" tanya Aji separo bergurau, separonya lagi seriu
s. "Siapa bilang"" bantah Aris congkak. "Calonnya udah ngantre! SMS buat dia udah mbludak tuh di HP gue!"
"Tapi gue dapet prioritas kan, Ris" Gue kan sohib elu!"
"Dasar mental KKN! Penyakit warisan keluarga lu ya""
Dan layar diturunkan diiringi tepukan riuh seluruh penonton. Tepuk tangan dan suitan yang seperti tidak mau berhenti.
Ketika layar terbuka kembali, Lea dan teman-temannya membungkuk memberi hormat ke arah penonton.
Tak pelak lagi, sebelum seluruh acara ditampilkan, juri sudah menduga, acara dari kelas IA-lah
yang bakal jadi pemenang. Memang acara dari lima kelas yang lain tak mungkin menyaingi suguhan Lea dan kawan-kawannya.
Bukan karena acaranya lebih kolosal, tapi karena penampilan mereka yang all-out.
Rasanya bukan hanya Pak Anwar yang tidak percaya anak-anak nakal itu bisa tampil demikian prima. Guru-guru yang lain juga.
Bahkan Bu Kathi dalam kata sambutannya ketika memberikan piala, menyatakan dengan terus terang, waktu menonton tadi, dia lupa siapa yang main.
"Karena biasanya kalau menghadap Ibu, kami cuma napi!" seloroh Guntur. "Kalau tidak dihukum di kursi panas, dikirim menghadap Batara Surya!"
Kelakarnya disambut gelak tawa teman-temannya dan para guru. Hari itu rupanya guru dan murid punya persepsi yang sama.
"Karena itu dengan bangga saya persembahkan piala pentas seni tahun ini kepada kelas IA!"
Seluruh murid kelas IA bersorak riuh. Mereka melompat-lompat. Memukuli apa saja yang ada. Untung tidak ada kucing lewat.
Lea berpelukan dengan teman-temannya. Sekejap mereka melupakan semua permusuhan yang selama ini membakar mereka. Vera dan teman-temannya saling rangkul sambil tertawa gembira.
Guntur dan Dino melompat-lompat sambil menari berputar-putar. Dahlan menggunakan ke-sempatan emas untuk memeluk Ita. Padahal di kursi kehormatan ada ortunya.
Tapi siapa peduli" Semua sedang gembira. Semua sedang hanyut. Tidak ada yang peduli kalau dua ekor tikus berpelukan, kan" Kalau nyolong ikan baru mereka dikejar-kejar.
Bu Kathi memanggil Lea untuk menerima piala. Dan ketika melihat Lea melangkah anggun ke atas panggung, bukan hanya Pak Dion yang terkesiap. Bukan hanya dia yang tidak menduga, Lea dapat berubah sedrastis itu!
Langkahnya demikian feminin. Demikian gemulai Tak ada lagi sosok setengah badut yang selalu ditertawakan teman-temannya.
"Kamu berhasil," bisik Bu Neni kepada Pak Dion, Dia tahu sekali apa yang kini dirasakan pacarnya. Dia tahu perasaan apa yang mengharu biru benak Pak Dion ketika melihat muridnya melangkah anggun untuk menerima piala.
"Selamat Lea, kata Bu Kathi, masih sedikit bingung seperti orang lain. Bagaimana Lea dapat bermetamorfosis begini cepat" "Selamat juga untuk teman-temanmu. selamat untuk kelas IA.
Iea mengucapkan terima kasih. Menerima pialanya. Mengangkatnya tinggi-tinggi kepada teman-temannya yang bertepuk tangan riuh. lalu dia mengirim isyarat kepada teman-temannya.
Guntur, Dahlan, dan Dino menghampiri Pak Dion. Minta izin membawanya ke depan. Sementara Vera, Tya, Ita, dan Nuniek melangkah ke arah Lea.
Tempik sorak semakin menggemuruh ketika kursi roda Pak Dion didorong ke depan.
"Piala ini kami persembahkan untuk Pak Dion! kata Lea sambil memberikan piala itu kepada Vera yang menyerahkannya ke tangan wali kelas mereka.
"Tetaplah jadi wali kelas kami. Pak," pinta Vera menahan tangis.
Lalu air matanya bercucuran tak tertahankan lagi ketika dia melihat mara gurunya berkaca-kaca.
Tya, Nuniek, dan Ita juga langsung menangis ketika Pak Dion menjabat tangan mereka tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Di sudut lain, mata Bu Kathi dan guru-guru wanita juga ikut berkaca-kaca.
"PR, Pak"" Guntur mencairkan keharuan de ngan banyolannya. "Banyaaakk. Pak!"
Pak Dion menoleh ke arahnya sambil tersenyum. tawa kecil pecah di sana-sini.
"Ada laporan, Pak"" sambung Dino sambil meraih mik dan menyorongkannya ke tangan gurunya. "Pengaduan kenakalan kelas IA hari ini""
Pak Dion menerima mik itu sambil mengucapkan terima kasih dan berpaling ke arah penonton.
Ruangan yang hiruk-pikuk itu sere
ntak menjadi hening. Semua mata ditujukan kepada Pak Dion yang sedang berusaha menekan keharuannya.
"Saya sangat terharu," katanya lirih. "Sekaligus sangat bangga...."
Guntur tak dapat menahan kegembiraannya lagi. Dia bertepuk tangan dan lari memeluk Pak Dion. Tindakan gilanya lebih gila lagi diikuti oleh kedelapan temannya yang sama gilanya.
"Saya ingin membagikan kebahagiaan ini kepada Bu Las," kata Pak Dion setelah bisa bicara lagi. "Karena sebenarnya, kepada beliaulah piala ini harus dipersembahkan. Beliau telah membuktikan kepiawaiannya memimpin anak-anak saya, sampai dapat menampilkan acara yang sebagus ini."
Dalam gemuruh tempik sorak penonton, Bu Las bangkit dari kursinya. Tapi dia tidak mau maju ke depan.
"Memang Pak Dion-lah yang harus menerima piala itu," katanya mantap. "Karena mereka melakukannya untuk Pak Dion. Kaku bukan demi Pak Dion, jangankan saya, Bu Kathi pun tidak mampu menyuruh mereka berlatih operet! Kerja mereka hanya bercanda dan berkelahi!"
Komentar bercampur kelakar yang tidak disangka-sangka keluar dari mulut seorang Bu Las, malah menjadi pemicu tepukan yang paling gegap gempita. Semua kenal Bu Las. Kalau sampai dia saja punya komentar seperti itu, apalagi orang lain!
BAB XII SETELAH acara pentas seni selesai, Pak Dion didaulat makan bersama di kantin. Mereka mengajak juga Bu Neni. Tapi seperti mengerti anak-anak ingin merayakan kemenangan mereka bersama Pak Dion, Bu Neni menolak. Dia beralasan ada acara lain yang harus dihadiri. Padahal dia cuma pergi ke WC.
"Boleh ambil apa aja ya, Tur"" cetus Dino sesampainya di kantin. "Kayak biasa, kita yang makan, lu yang bayar""
"Semua yang di atas meja!" sahut Guntur gagah. "Jangan yang di bawah! Kesian tuh kucingnya Bu Kantin!"
Vera meletakkan piala kemenangan mereka di atas meja. Dengan bangga dia bilang sama Bu Kantin,
"Kita menang, Bu! Ini pialanya!"
"Bagus ya"" Bu Kantin tersenyum lebar. "Berapa mangkok baksonya""
Yang membuat dia tersenyum lebar memang baksonya. Bukan piala. Tiap tahun juga ada kelas yang dapat piala. Tapi tidak semua merayakannya di kantinnya.
"Bakso buat semua orang di kantin ini, Bu," kata Guntur congkak. "Tapi buat Dino dan Dahlan, baksonya satu aja. Kasih kuah aja sepanci!"
"Curang lu!" damprat Dahlan. "Pangeran apa-an pelit gitu! Jangan mau sama dia, Lea! Mendingan sama Dino tuh! Biar kere nggak pelit! Iya, kan, Din""
"Kalo kere, nggak pelit juga percuma aja!" Nuniek tersenyum masam. "Bokek! Saban ke kantin cuma minta air es!"
"Kok kamu tau aku cuma minta air es"" Dino mengedip Jenaka. "Naa, ketauan ni yee...! Kamu suka ngintip!"
"Yee... siapa bilang" Ada yang ngomong, tau!
"Udah deh, kalo mo cubit-cubitan di luar aja sana!" gebah Guntur sambil tertawa geli. "Ada Pak Dion tuh!"
"Gimana rencananya. Pak"" tanya Vera tanpa menghiraukan canda teman-temannya. "Bapak nggak jadi pulang, kan" Di sini aja deh sama kita. Pak!"
Teman-teman yang lain ikut membujuk. Cuma Lea yang diam saja. Tetapi Pak Dion tahu. Lea juga sedang menanti dengan harap-harap cemas.
Pak Dion meraih minumannya sebelum men-jawab. Tya dan Ita berebut mengambilkan gelas-nya. Pak Dion tersenyum melihat kelakuan murid-muridnya.
"Kalau Bapak tetap di sini, kalian akan melayani Bapak terus seperti ini""
"Pasti dong, Pak!" jawab mereka ramai-ramai. Dahlan malah berteriak paling keras sampai kucing Bu Kantin terbirit-birit kabur. Dikiranya ada tikus bermutasi jadi jin.
"Kecilin dong volume suara lu!" Dino menggebuk bahu sahabatnya. "Kirain masih di pentas""
"Makanya Bapak sungkan jadi guru kalian lagi," sahut Pak Dion lirih.
"Lho, kok gitu. Pak"" Murid-muridnya me longo bingung seperti memecahkan soal mate matika yang sulit.
"Karena Bapak cacat."
"Bagi kami nggak ada bedanya, Pak!" sergah Vera pahit. Bapak tetap guru favorit kami!"
"Yang harus kalian bantu karena cacat""
"Bapak cuma perlu latihan," potong Lea mantap. "Saya yakin, Pak Dion bisa. Kami bangga pada Bapak."
Mendengar Lea menyitir kata-katanya dulu. keharuan meleleh di hati Pak Dion. Ditatapnya murid k
esayangannya itu dengan getir.
Lea membalas tatapan gurunya dengan penuh keyakinan.
"Kami percaya, biar cacat. Pak Dion bisa mandiri."
"Dan bisa ngajar matematika lebih baik dari Einstein!" sambung Guntur setengah bergurau.
"Dan bisa mendamaikan kami!" cerus Ita sambil melirik Lea.
"Dan menjinakkan Bu Las...." sambar Dahlan.
"Hus!" Tya menyikut pinggangnya. "Masih nggak berterima kasih juga! Pementasan kita suk ses kan gara gara Bu Las juga!"
"Eh, ngomong-ngomong udah denger kabar gembira"" sela Dino menahan tawa.
"Bu Las hamil"" cetus Guntur pura-pura kaget.
"Ngaco! Kawin juga belon!"
"Emang mesti kawin dulu baru hamil""
"Buat elu sih urutannya terbalik ya, Tur""
"Kuponnya menang hadiah utama"" desak Nuniek penasaran. "Bu Las dapat mobil""
"Bukan mobil! Sepeda gunung!"
Tawa mereka meledak tak tertahankan lagi. Pak Dion hanya tersenyum menyaksikan keriangan murid-muridnya. Diam-diam dia membayangkan betapa sepi hidupnya di toko ayahnya sana.
Selesai makan bersama yang riang itu, mereka beramai-ramai mengantarkan Pak Dion ke depan sekolah. Guntur menghentikan sebuah taksi.
Ketika Dahlan dan Dino sedang membantu Pak Dion naik ke taksi, sementara Guntur mengangkat kursi rodanya ke bagasi bersama sopir, Taruna dan temannya lewat. Mereka melihat Pak Dion yang sedang dibantu naik ke dalam taksi. Dan tawa melecehkan Taruna pecah tak tertahankan lagi.
"Guru timpang, murid belang!" ejeknya sambil melangkah terpincang-pincang. "Guru cacat, murid bejat!" Tawanya meledak makin keras diikuti teman-temannya.
Tanpa berkata apa-apa, Lea mencopot sepatunya. Menghampiri Taruna. Dan menjotos mukanya. Kaget karena tidak menyangka, apalagi sedang berpura-pura pincang, Taruna terjajar mundur setelah wajahnya terpukul telak.
Teman-temannya tertawa gelak-gelak melihat Taruna dihajar seorang gadis.
"Salah apa lu"" ejek salah seorang di antara mereka. "Dia bunting ya""
Dan tawanya belum selesai ketika tidak disangka-sangka Lea bergerak sangat cepat menendang kutub selatan tubuhnya. Dia mengaduh kesakitan. Dan teman-temannya langsung maju hendak mengeroyok si cewek buas.
Guntur yang paling dulu melompat ke depan Lea.
"Mo ngeroyok cewek ya"" Dia menangkis pukulan anak yang paling depan. "Nggak tau malu! Cicipin dulu nih!"
Tindakan Guntur segera diikuti Dino. Sementara Dahlan, seperti biasa, menengok dulu pada Ita.
Tapi yang dilihatnya kali ini benar-benar mencengangkan. Vera sudah mengomando geng Venti untuk maju tak gentar. Termasuk Ita. Mereka ikut-ikutan menyerang. Mengambil apa saja yang ada dan memukuli teman-teman Taruna.
Karena bingung melihat barisan melati menyerang kalang kabut begitu, teman-teman Taruna
tidak melawan. Mereka cuma menghindar sambil melindungi diri dengan tangan.
Pak Dion-lah yang melerai mereka. Dari dalam taksinya dia berteriak menyuruh murid-muridnya berhenti berkelahi. Dan seperti mendengar suara dewa. Lea dan teman-temannya langsung patuh. Mereka mundur. Menghampiri gurunya yang masih duduk di dalam taksi dengan pintu terbuka.
Sementara dari dalam sekolah. Pak Anwar dan guru-guru yang lain sudah melangkah keluar dengan garang.
Melihat gelagat makin jelek. Taruna dan teman-temannya mengambil langkah seribu. Mereka tidak mau berurusan lagi dengan polsek.
"Ada apa ini"" bentak Pak Anwar marah. "Mau tawuran lagi""
"Mereka cuma ingin membela saya," sahut Pak Dion murung. "Biarkan saya yang menyelesaikan-nya dengan anak-anak saya, Pak Anwar."
"Membela Pak Dion"" Sekarang Pak Anwar ikut beringas "Anak-anak seberang mengejek Bapak""
"Biar saya kejar mereka!" Pak Tomo ikut terbakar.
"Lebih baik besok saya lapor kepada kepala sekolah mereka!" sambung Bu Las geram.
"Mereka tidak berhak menghina Pak Dion!" gerutu Pak Bemo sengit. "Menghina Pak Dion berarti menghina kita semua! Menghina sekolah kita!"
Wah, sekarang guru-guru juga mau ikut tawuran!
"Tidak perlu, Pak," bantah Pak Dion sedih.
"Saya malah merasa lebih terhina lagi!"
BAB XIII BERBEDA dengan waktu makan di kantin tadi, suasana kali ini tidak
ceria lagi. Tidak ada seorang pun yang bicara. Bahkan Pak Dion lebih banyak diam. Dia kelihatan sangat terpukul.
Selama dalam taksi maupun setelah tiba di tempat kosnya, Pak Dion cenderung membisu. Lea dan Vera yang ikut dalam taksi bersama Bu Neni tidak mampu mencairkan kebekuan yang membelenggu suasana.
Lea tidak tahan lagi melihat sikap gurunya. Saat itu mereka duduk di ruang tamu tempat kos Pak Dion. Guntur membeli minuman untuk mereka semua. Sementara Bu Neni menyajikan pisang goreng. Tapi suasana riang yang menyelimuti mereka di kantin tadi tidak terulang kembali.
Guntur seperti kehilangan semangat berkelakar-nya. Sementara kerewelan Vera dan teman-teman putrinya juga ikut raib.
Mereka lebih banyak diam dibius oleh kebisuan Pak Dion. Mereka seperti dapat merasakan kesedihan gurunya.
"Saya minta maaf, Pak," cetus Lea lirih. "Saya cuma nggak tahan mereka menghina Bapak...."
"Mereka nggak boleh ngehina Pak Dion!" geram Vera gemas. "Emang mereka punya hak apa"
"Kalian malu punya guru cacat"" Pak Dion menatap murid-muridnya dengan sedih.
"Siapa bilang"" bantah Tya dan Ita berbareng. "Kami nggak malu punya guru kayak Pak Dion!"
"Buktinya kalian marah ada yang menghina Bapak, kan""
"Masa kami nggak boleh marah ada yang menghina guru kami, Pak""
"Dan kalian mau berkelahi tiap hari karena punya guru lumpuh""
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Mereka tepekur diam. Dalam hati masih memprotes, Tapi tak tahu harus menjawab apa.
"Bapak memang lumpuh. Cacat. Bukan cuma Bapak yang harus menerima itu. kalau kalian mau Bapak tetap menjadi guru kalian, kalian juga harus bisa menerima kenyataan itu."
"Maafkan kami. Pak." kata Vera dengan mata berkaca-kaca. "Kami ingin Bapak tetap jadi guru kami."
"Dalam kondisi apa pun," sambung Dino serius. Padahal dia jarang sekali bersikap serius. Waktu rumahnya kebakaran saja dia masih bisa bercanda. Untung dia tidak dicokok karena dikira piromania.
* * * Vera menggerakkan teman-temannya untuk berdemo. Bukan minta uang sekolah turun. Atau mengganti kepala sekolah yang tidak disukai. Tapi mendesak agar Pak Dion mau mengajar kembali.
Usulnya langsung diterima dengan suara bulat. Dan ketika Aris mendengar rencana itu dari Lea, dia langsung memengaruhi teman-temannya untuk ikut pula menggelar unjuk rasa.
Akhirnya rencana itu menjalar ke semua kelas. Dan karena Pak Dion mengajar matematika dari kelas satu sampai kelas tiga, pagi itu semua murid berbaris rapi di depan pintu. Ada yang menggelar spanduk, Ada yang membawa kertas, Ada yang hanya menulisi baju mereka dengan spidol.
"Apa lagi ini"" gerutu Pak Anwar berang. Bagi Pak Anwar memang tidak ada hari tanpa perang. Sesuai dengan mata pelajaran yang diasuhnya. Dalam sejarah, memang rak ada perdamaian abadi.
"Mereka hanya minta Pak Dion mengajar lagi," sahut Pak Tomo menenangkan rekannya. "Biar kan saja anak-anak itu menyalurkan aspirasinya. Ini kan cara mereka belajar demokrasi. Daripada main gebuk-gebukan terus."
"Tapi tidak perlu dengan cara begini." dumal Pak Anwar kesal. "Saya harus membubarkan mereka sebelum Bu Kathi datang. Mereka harus kembali ke kelas."
"Apa salahnya bergerombol di depan sekolah sendiri" Toh jam pelajaran belum mulai."
"Berkumpul-kumpul begini sangat berbahaya. Kalau ada yang menyulut, mereka bisa langsung tawuran!"
"Mereka tidak ada niat berkelahi. Mereka hanya ingin menyampaikan aspirasi mereka. Men cegah Pak Dion mundur. Hari ini kan Pak Dion akan datang untuk membuat keputusan. Meng undurkan diri. Atau mengajar terus."
"Pokoknya saya tidak setuju cara mereka! Mereka harus dibubarkan dan kembali ke kelas sekarang juga!" "Tidak perlu. Pak Anwar." Berbareng Pak Anwar dan Pak Tomo menoleh ke pintu. Bu Las muncul di sana dengan membawa sebuah spanduk.
"Ini spanduk yang dibuat para guru. Kami juga akan berdiri di depan. Di samping anak-anak kami."
Bu Las membentangkan spanduk itu. Dan Pak Anwar terbelalak.
*** Pak Dion tidak menyangka sambutan yang diterimanya hari ini begitu mengejutkan.
Begitu taksinya berhenti di depan sekolah, Gunt
ur dan Dino sudah lari membukakan pintu. Mereka membantu Pak Dion turun. Dahlan membantu sopir taksi menurunkan kursi roda.
Di atas kursi rodanya, Pak Dion tertegun menatap barisan yang menyongsongnya.
Lea mengisyaratkan teman-temannya membentangkan spanduk. Vera memimpin teman-temannya bernyanyi.
Kasih pasti lemah lembut Kasih pasti memaafkan Kasih pasti murah hati Kasihmu, kasihku, Pak Dion
Kau ajari kami saling menyayangi
Kau ajari kami saling memaafkan
Kau ajari kami saling mendukung
Kau ajari kami saling membantu
Entah karena tersentuh oleh nyanyian murid-muridnya yang begitu jelek tidak keruan, entah karena terdorong oleh semangatnya sendiri, tiba-tiba Bu Las maju ke depan. Dan dia mulai memimpin murid-muridnya bernyanyi sambil mengayun-ayunkan tangannya.
Vera dan teman-temannya tertawa gembira sambil bertepuk tangan riuh. Mereka saling pandang dan tatapan mata mereka seperri isyarat untuk bernyanyi lebih bagus lagi. Lebih keras. Dan lebih bersemangat.
Ajarilah kami bahasa cintamu
Agar kami bisa meneladanimu
Ajarilah kami bahasa cintamu
Agar kami slalu bersatu Pak Dion mengawasi suguhan tak terduga itu dengan mata berkaca-kaca. Tadinya tekadnya sudah bulat untuk mengundurkan diri. Sudah semalaman dia berpikir. Rasanya dia tidak sanggup lagi menjadi guru. Dia memilih pulang ke kota kelahirannya. Menjadi penjaga toko ayahnya.
Pagi-pagi Neni sudah datang ke tempat kosnya. Pak Dion sudah mengutarakan maksudnya. Dan Neni tidak berusaha mencegah.
"Jika itu niatmu, aku tidak akan menghalang-halangi." katanya sabar. Sejak kecelakaan itu, Neni juga berubah. Dia menjadi lebih sabar. lebih penuh pengertian.
"Kapan mau ke sekolah""
"Ke sekolah""
"Kamu harus memberitahu Bu Kathi, kan" Supaya dia bisa cepat mencari penggantimu." "Lebih baik pagi ini."
"Rasanya memang lebih cepat lebih baik, Aku akan panggil taksi. Kita sekalian jalan."
"Hari ini kamu masuk""
Neni tersenyum tipis. "Hari ini bukan libur nasional, kan"" Murid-muridmu yang mungil-mungil itu pasti kehilangan kalau ibu gurunya berhenti."
"Siapa bilang gurunya mau berhenti""
"Kamu tidak mau ikut aku ke Pekanbaru""
"Pernahkah aku mendengarmu mengajakku"" Mereka saling tatap sambil mengulum senyum.
"Belum terlambat kalau aku sekarang mengajak mu""
"Ke Pekanbaru""
"Ke sekolah."
Sisi Merah Jambu Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Neni memukul lengan pacarnya dengan gemas.
"Kamu memang jahat! Heran murid-muridmu begitu sayang padamu."
Dan saat ini baik Pak Dion maupun Bu Neni melihat ungkapan kasih sayang yang belum pernah terjadi selama sekolah ini berdiri.
"Selama saya jadi kepala sekolah." ungkap Bu Kathi terus terang, "saya belum pernah melihat kejadian seperti ini. jadi izinkan saya menjadi penyambung lidah anak-anak saya. Pak Dion. Seperti yang tertulis di spanduk mereka. Jangan pergi, Pak Dion!"
Dan akhirnya Pak Dion memang tidak jadi pergi. Dia sadar, di sinilah dunianya. Di sisi anak didiknya, bagaimanapun kondisinya sekarang, dia memang milik mereka.
Hubungannya dengan Lea masih tetap istimewa. Meskipun hanya terbatas pada hubungan seorang guru dengan muridnya. Ketika Pak Dion menikah dengan Bu Neni beberapa bulan kemudian, Lea dan teman-temannya ikut sibuk membantu pestanya.
Semakin hari Lea memang semakin dewasa. Dia sudah menemukan jati dirinya. Dan semakin memperlihatkan kecantikannya.
Kini dia tumbuh sebagai seorang gadis yang feminin tetapi tetap tangguh dan tidak cengeng. Sisi lain dirinya yang telah berhasil digali Pak Dion kini mewarnai penampilannya.
Sekarang dia tidak canggung lagi memakai rok dan sepatu tinggi. Walaupun masih lebih suka memakai celana jins dan sepatu kets. Dia sudah pintar berhias. Rajin ke salon. Tapi tetap menyukai olahraga. Pelajaran ilmu bela diri dan permainan basketnya semakin gemilang. Dia masuk tim sekolah dan menjadi anggota yang disegani.
Guntur semakin giat mendekatinya. Dengan sabar dia menunggu sampai Lea bersedia menjadi pacarnya.
"Pokoknya sampe kapan pun, sebelah sepatunya tetep aja gue kantongin!"
-Tamat- Dewa Sinting 2 Pendekar Rajawali Sakti 60 Badai Di Lembah Tangkar Petualangan Manusia Harimau 3