Siti Nurbaya 3
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli Bagian 3
balas-berbalas. Segala sesuatu tiada kekal, melainkan bertukar-tukar dan berpindah-pindah j uga. Bulan berputar mengedari
matahari, dan matahari berputar pula mengedari alam. Apakah
yang tetap" Tak ada, melainkan Tuhan Yang Esa j
uga. Kekayaanmu yang dikurniakan Tuhan kepadamu itu tiada
memberi paedah bagi dirimu sendiri, bagi sesamamu manusia
dan bagi isi dunia ini; melainkan mendatangkan kesenangan dan
kedukaan juga kepada mereka sekalian dan kepada dirimu
sendiri pun. Sungguhpun telah adat manusia bersifat loba dan tamak,
walaupun tiada sama pada tiap-tiap orang, karena jika telah ada
yang sejari hendak yang sejengkal, bila telah ada yang sejengkal
hendak sedepa, dan bila ada yang sedepa pun hendak lebih juga
tiada berkeputusan, selagi hayat di kandung badan, dan
walaupun sifat yang demikianlah yang membawa manusia itu ke
padang kemajuan, tetapi hendaklah berhati-ha ti, sebab jalan yang
ditempuh bercabang dua; sebuah jalan kebaikan dan sebuah lagi
jalan kejahatan. Apabila jalan ya ng baik itu kauturut, berhasillah
pekerjaanmu, karena memberi paedah kepada dirimu sendiri dan
sesamamu manusia. Akan tetapi apabila jalan yang jahat itu yang
kautempu,. takkan tiada pekerjaanmu itu akan mendatangkan
bahaya dan bencana juga kepada sesamamu manusia dan kepada
dirimu sendiri pun. Apabila hartamu itu kaupergunakan untuk pembela dirimu,
supaya mendapat kehidupan yang senang, makan minum yang
cukup, rumah tangga dan paka ian yang baik, ataupun akan
engkau habiskan, untuk memuaskan hawa nafsumu yang baik,
sudahlah; karena seharusnyalah tiap-tiap manusia itu berikhtiar
mencari kesenangan dan kemajuan segala hal, asal jangan
melewati batas kebaikan. Sungguhpun demikian, akan lebih berpaedah juga pekerjaan-mu, bila hartamu itu kaupergunakan untuk berbuat baik kepada
sesamamu manusia dan berbuat ba kti kepada Tuhanmu supaya
dapat engkau memperbaiki yang rusak, menyelesaikan yang
kusut, menolong yang kesusahan, melipur yang miskin, jadi
mengurangi azab sengsara dunia ini. Karena ketahuilah olehmu,
bahwa dunia ini terlebih banyak mengandung yang susah
daripada yang senang, yang hina daripada yang mulia, yang,
kurang daripada yang cukup, yang miskin daripada yang kaya,
yang daif daripada yang kuat, yang malang daripada yang mujur.
Apabila tiada daripada engkau da n orang-orang kaya-kaya lain,
yang sebagai engkau, daripada siapakah mereka akan mendapat
pertolongan" Ingatlah! Kekayaan dan kemiskinan, kemuliaan dan
kehinaan, kesusahan dan kesenanga n, ya sekaliannya, datangnya
daripada Tuhan Yang Esa juga. Jika dikehendakinya, dengan
sekejap mata, bertukarlah kekayaan itu menjadi kemiskinan,
kemuliaan menjadi kehinaan, kesukaan menjadi kedukaan dan
tinggilah yang rendah, kayalah yang miskin, mulialah yang hina,
dan tertawalah yang menangis.
Oleh sebab itu, janganlah sombong dan angkuh, karena
beroleh kekayaan, kemuliaan, kesenangan, dan kesukaan
melainkan insyaflah, bahwa sekalian itu selydar pinjaman, yang
setiap waktu boleh diambil kembali oleh yang empunya.
Dan engkau pun yang berasa miskin dan hina, yang selalu
mendapat bahaya, kesengsaraan, dan kesedihan, janganlah putus
asa, melainkan sabar dan tawakallah juga kepada Tuhanmu serta
pohonkan pertolongan dan kurnia-Ny a. Sesudah hujan, niscaya
panas. Yang beruntung janganlah menghinakan yang malang, dan
yang malang janganlah dengki kepada yang beruntung
melainkan berkasih-kasihanlah selama-lamanya, serta tolong-menolong dalam segala hal, karena yang ber"untung perlu
kepada yang malang, dan yang malang perlu pula kepada yang
mujur. Jika tak ada yang malang, niscaya tak ada pula yang
inujur, dan jika tak ada yang be runtung, yang malang pun tak
ada pula. Apabila engkau pergunakan hartamu itu hai Datuk
Meringgih, untuk kebaikan, takkan tiada kebaikan pulalah yang
akan datang kepadamu, yang terlebih daripada kesukaan dan
kesenangan, yang engkau peroleh daripada bunyi dan cahaya
mata bendamu itu: karena suatu perbuatan atau pil.iran pun,
buruk dan baik, tiada hilang, sebagai hujan jatuh ke pasir,
melainkan hidup selama-lamany a dan timbul kembali pada
dirimu atau diri sesamamu.
Apabila kelak datang waktunya engkau akah meninggalkan
dunia ini dan engkau menoleh ke belakang, kepada jalan yang
telah kautempuh, niscaya perasaan yang sejahteralah yang akan
mengikutmu, karena aku ketahui, bahwa hidupmu tiada
kosong, sebagai padi hampa, melainkan banyak mendatangkan jasa
kepada sesamamu manusia. Sungguhpun Datuk Meringgih tiada disukai orang, karena
tabiat dan kelakuannya yang buruk dan loba tamaknya itu, tetapi
ia ditakuti dan disegani orang juga, sebab hartanya yang tiada
ternilai banyaknya itu: lebih-le bih oleh mereka yang acap kali
kesusahan uang. Karena ia lah tempat walaupun dengan
bunganya yang terkadang-kadang sampai separuh dari pinjaman.
Bila telah sampai kepada waktu perjanjian, hutang itu belum
dibayar oleh yang meminjam, niscaya tiada diberi maaf lagi
Datuk Meringgih, melainkan didakwanyalah mereka dan
dirampasnya panjar gadaian itu.
Di manakah diperoleh Datuk Meringgih harta yang sekian
banyaknya itu" Inilah suatu rahasia yang selalu menjadi per-mainan mulut dan buah pikiran isi kota Padang. Acap kali diper-bincangkan, kerapkali diterka-terka, tetapi tiadalah seorang jua
pun yang mengetahui hal itu. Demi kian pula tiada seorang juga
yang tahu, siapakah Datuk Meringgih ini sebenarnya dan dari
mana asalnya. Kira-kira dua puluh tahun yang telah lalu, Datuk ini dikenal
orang di Padang sebagai penjual ikan kering, di pasar di
Kampung Jawa. Tiba-tiba, pada suatu waktu, dibelinya sebuah
kota dan sejak waktu itu sangatlah lekas bertambah-tambah
kekayaannya, sehingga tatkala umurnya telah lebih daripada
empat puluh tahun, ia telah mempunyai beberapa toko-toko yang
besar dan gudang-gudang yang penuh berisi barang-barang
dagangan. Rumah sewaannya berpuluh-puluh, hampir sekalian
tanah di kota Padang ada dala m tangannya. Kebun kelapanya
berbahu-bahu dan sawahnya beratus-ratus piring. Di Muara,
hampir sekalian perahu yang membawa dan mengambil
dagangan, kepunyaannya. Seisi kota Padang heran melihat
kekayaan yang sebanyak itu dan yang bertambah-tambah secepat
itu, dengan tiada diketahui orang bagaimanakah Datuk
Meringgih memperolehnya, karena yang didengar dan dilihat
orang, hanyalah bakhil dan lobanya saja.
Oleh sebab itu, berbagai-bagailah cerita yang kedengaran
tentang asal kekayaan Datuk Meringgih ini. Ada yang berkata ia
mendapat lotere seratus ribu dan ada pula yang berkata ia men-dapat harta yang tersembunyi di dalam tanah. Orang yang keras
beragama menyangka ia telah bertemu dengan Nabi Khaidir
pada malam dua puluh tujuh bulan Ramadhan. Orang yang
percaya kepada takhyul, mengira bersahabat dengan jin. Dan
orang yang benci kepada Datuk ini mengatakan ia memasukkan
candu gelap. Akan tetapi yang sebenarnya, hanyalah Datuk
Meringgih seorang yang mengetahui.
Sekarang marilah kita dekati Datuk Meringgih, yang sedang
duduk di atas kursi malas di serambi belakang rumahnya itu,
untuk mengetahui apakah kerjanya, duduk seorang diri.
Tiada lama datuk meringgih duduk sedemikian itu, hari pun
malamlah dan gelaplah segala yang di darat dan di udara pun
telah masuk ke dalam kanda ng atau sarangnya. Hanya
kelelawarlah yang ke luar te rbang ke sana-sini, mencari
mangsanya. Keluang terbang tinggi beriring-iringan arah selatan,
mencari buah-buahan yang masak. Burung hantu mulai berbunyi
dalam lubang-lubang kayu musang pun bangunlah daripada
tidurnya, lalu mengintip ke sana kemari, akan mengetahui,
tiadakah ada bahaya di luar sarangnya. Ular menjalar di celah-celah batu mengintip katak dan binatang yang kecil-kecil.
Si sebelah barat, langit tertutup oleh awan hitam yang
mengandung hujan, yang mengembang dari laut ke darat. Cuaca
yang terang, menjadi gelap-gulita, sehingga tiada kelihatan
barang sesuatu pun. Bintang-bintang di langit lenyap, sebagai
ditutup tabir hitam. Hari tenang, angin tak ada, tanda topan akan
datang. Di jalan, raya sunyi senyap, sebagai negeri dialahkan
garuda. Terkadang-kadang melintas orang seorang-seorang yang
berjalan cepat-cepat, sebagai takut akan kehujanan. Pada tiap-tiap rumah tiada kelihatan lampu, sebab jendela-jendela telah
ditutup. Walaupun gelap sedemikian, tetapi Datuk Meringgih
tiada menyuruh menerangi serambi belakang rumahnya. Sebab
bakhilnya pulakah atau sebab ya ng lain" Segera akan kita
ketahui. Sekonyong-konyong kelihatanlah sekejap mata, kilat yang
menerangi seluruh alam yang gel
ap gulita itu dan tatkala itu juga
kedengaran halilintar berbunyi bagai membelah bumi, disertai
oleh hujan yang amat lebat, seperti air dicurahkan dari
langit.Tiada lama kemudian daripa da itu bertiuplah angin topan
yang sangat hebat, menumbangkan beberapa pohon kayu yang
besar-besar. Walaupun hari rupanya seakan-akan kiamat, tetapi Datuk
Meringgih tiadalah masuk ke dalam rumahnya, adalah sebagai
sekalian kekacauan alam itu tiada diindahkannya, bahkan
diingininya, karena ia masih duduk termenung di atas kursinya
memikirkan sesuatu hal yang penting.
Tiba-tiba kedengaran di tempat yang gelap, suara orang batuk
tiga kali. Tatkala itu barulah ingat Datuk Meringgih akan
dirinya, lalu melihat ke kanan dan ke kiri, kalau-kalau ada orang
dekat di sana. Kemudian batuk pula ia dua kali. Seketika itu juga
kelihatan, seperti suatu bayang-bayang, bergerak di tempat yang
gelap, kemudian kelihatan seo rang-orang yang memakai serba
hitam, datang menghampiri Datuk Meringgih, lalu masuk
keduanya ke dalam sebuah bilik, di serambi belakang. Pintu bilik
ini segera ditutup rapat-rapat oleh Datuk Meringgih.
Di dalam kamar ini, yang hany a diterangi oleh sebuah pelita
minyak kelapa, ada sebuah tilam da n sebuah peti. Di lantai ada
terbentang sehelai tikar pandan dan di atas tikar inilah duduk
kedua mereka itu. Di sana nyata kelihatan, orang yang baru datang itu memakai
destar hitam yang lembut yang ujungnya dibalikkannya ke
mukanya sehingga dahinya tertutup. Bajunya baju Cina hitam
yang besar lengannya, dan celananya seluar Aceh, yang warna-
nya hitam pula. Sarung yang disandangnya di bahunya, yaitu
sarung Bugis hitam. "Tiada basah engkau, Pendekar Lima"" tanya Datuk
Meringgih perlahan-lahan kepada jamunya ini.
"Tidak, Engku, sebab hamba telah hampir ada di sini, tatkala
hari akan hujan," jawab Pendekar Lima.
"Apa kabar pekerjaan kita yang di Hulu Limau Manis""
"Tidak baik jadinya."
"Tidak baik" Apa sebabnya"" tanya Datuk Meringgih sambil
mengangkat mukanya, menentang Pendekar Lima. Di situ
kelihatan bengis muka Datuk Meringgih.
"Murid-murid kita tiada menurut aturan yang telah diberikan
kepadanya." "Siapa yang menjadi guru waktu itu""
"Si Patah." "Apakah sebabnya, maka tiada engkau sendiri yang mengajar
di sana" Bukankah telah k uperintahkan kepadamu""
"Sebab hamba pada waktu itu harus mengajar di Bukit Putus;
karena di sana pun ada ilmu baru yang datang dari Tanah Jawa,
yang sangat besar harganya."
"Si Patah belum cukup kepandaiannya untuk mengajar
murid-murid pada sasaran yang besar-besar dan ia kurang sabar.
Itulah sebabnya, maka salah ajarannya. Sekarang di mana dia""
"Dalam rumah batu."
"Rumah batu"" tanya Dat uk Meringgih dengan mengangkat
kepalanya pula. "Rumah batu di mana""
"Rumah batu di Lubuk Bagalung, bersama-sama dua orang
murid." "Itulah upah yang patut, bagi orang yang sedemikian. Tetapi
sudahlah diperiksa perkaranya""
"Sudah," jawab pendekar Lima , "dan rupanya ia teguh
memegang sumpahnya, karena tiada disebut-sebutnya nama
hamba." "Cobalah kauceritakan dari mulanya, apa sebabnya maka
sampai jadi sedemikian itu"" ,
"Tatkala hamba ketahui, bahw a hamba tak dapat pergi ke
Hulu Limau Manis," kata Pendekar Lima, "hamba suruhlah
seorang murid tua ke sana, yaitu si Patah, serta hamba katakan
kepadanya aturan yang telah Engku Datuk berikan itu. Mula-mula rupanya ada diturutnya at uran itu, karena sekalian barang-barang, jatuh ke dalam tangannya. Tetapi pendapatan ini tiada
disimpannya pada tempat yang te lah ditetapkan, melainkan hari
itu juga dikirimkannya kemari; dimasukkannya ke dalam
beberapa karung, lalu ditump angkannya pada tukang pedati,
yang berangkat malam itu juga ke sini. Rupanya pedati itu lama
berhenti di Lubuk Bagalung dan di sanalah kedapatan oleh yang
kuning leher*). Oleh sebab tukang pedati itu mengatakan ia
menerima barang-barang itu dari si Patah, hari itu juga ia
ditangkap dengan kedua muridnya."
"Baiklah, tetapi carilah akal, sebelum hukumannya
dijatuhkan, supaya mereka lepas dari rumah batu itu dan bila
telah lepas, suruhlah si Patah pergi ke Terusan atau ke Painan,
untuk sementara bekerja menga
mb il rotan, supaya jangan
kelihatan oleh orang. Dan kedua muridnya, suruh ke bukit
Tambun Tulang, belajar di sana dengan sungguh-sungguh," kata
Datuk Meringgih. "Baiklah, Engku."
"Tentang perkara ilmu yang kaupelajari di Bukit Putus itu,
bagaimana pula" Aku tiada tahu hal itu."
"Sesungguhnya perkara ini belu m hamba kabarkan kepada
Engku, sebab sejak waktu itu belum sempat hamba datang
kemari." "Akan tetapi apakah seba bnya, maka engkau tiada
bermupakat lebih dahulu dengan daku"" tanya Datuk Meringgih
pula. "Sebab tak sempat. Sebenarnya malam itu hamba akan pergi
ke Hulu Limau Manis, menolong si Patah, sebagai telah Engku
katakan. Tetapi tatkala sampai ke Bukit Putus, dapat kabar dari
*) Opas polisi, pada masa dahulunya opas-opas memakai
setrip kuning ada leher bajunya dan pada celananya.
seorang murid di sana, ada ilmu baru, datang dari Jawa, dengan
kapal yang masuk hari itu. Ilmu itu banyak harganya. Karena tak
sempat balik kemari, memberi tahu Engku, khawatir kalau ilmu
itu segera dibawa ke tempat lain, hamba tuntut sendiri ilmu itu,
sebab rupanya tak berapa susah."
"Dan dapatkah ilmu itu""
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dapat, sekarang ditanam dalam tanah, dekat Tanah Merah."
"Kira-kira berapa harganya""
"Kira-kira enam atau tujuh ratus, semuanya emas dan intan.
Itulah yang hendak hamba mupakatkan, karena dua orang murid
yang bersama-sama pergi dengan hamba, minta bagiannya."
"Nanti kuberi seorang lima puluh."
"Jika boleh, ia minta seratus seorang."
"Masakan seratus, karena harga ilmu itu belum tentu sekian
banyaknya dan gajinya tiap-tiap bulan, tiadakah diingatnya"
Sudahlah, aku beri tiap-tiap or ang tujuh puluh lima dan engkau
seratus lima puluh, jika benar ilmu enam atau tujuh ratus
harganya. Janganlah banyak cakap lagi! Bawalah ilmu itu kemari
dahulu! Jika telah kutaksir, tentu segera engkau mendapat
bagianmu masing-masing. Dan bawalah pula tukang mas kita
sekali, supaya lekas dapat dihancurkannya masnya yang
diperbuatnya barang-barang lain ; kemudian berikan kepada
tukang penjaja mas in'tan kita, suruh jual ke negeri lain."
"Baiklah, Engku," jawab Pendekar Lima dengan riangnya,
sedang matanya yang sebagai mata burung hantu itu bercaya-caya, karena mengenangkan upah yang akan diperolehnya. Dari
uang yang tiga rarus rupiah itu, tentulah sekurang-kurangnya dua
ratus dapat olehnya, sehingga dapatlah pula ia beberapa hari
minum candu dan berjudi, sesuka hatinya.
"Suatu lagi yang hendak hamba kabarkan kepada Engku.
Tukang cetak kita, malam kemarin mati," kata Pendekar Lima.
"Mati"" jawab Datuk Meringgih dengan terperanjat. "apa
sebabnya"" "Sakit perut." "Siapa gantinya."
"Itulah yang hendak hamba tanyakan, siapakah yang akan
menggantikannya""
"Temannya si Baso, belumkah dapat bekerja sendiri""
"Sudah," jawab Pendekar Lima. "Pada pikiran hamba, dialah
yang baik pengganti yang mati itu. Tetapi siapakah yang akan
menjadi ganti si Baso pula""
"Carilah seorang yang boleh dipercaya di antara orang-orang
kita!" "Baiklah!" "Hanya sekarang, janganlah terlalu banyak mencetak uang
perak, melainkan uang mas itulah yang harus dilebihkan, sebab
uang perak, lekas dikenal orang."
"Baiklah! Lagi pula tiadakah baik tempat itu dipindahkan"
Sebab hamba baru mendapat sebuah gua batu dalam gunung
yang dekat di sana yang baik rupanya, tersembunyi di pinggir
laut." "Baiklah, nanti kita periksa bersama-sama."
"Perkara toko Bombai itu, bagaimana"" tanya Pendekar
Lima, yang rupanya sangat rajin hendak bekerja, karena
mengenangkan uang dua ratus rupiah tadi. .
"Perkara itu. nantilah; aku hendak mencari muslihat yang
baik dahulu. Sekarang ini ada perkara lain, yang hendak
kukatakan kepadamu."
"Perkara apa, Engku"" jawab Pendekar lima.
"Aku sesungguhnya tiada senang me lihat perniagaan Baginda
Sulaiman, makin hari makin bertambah maju, sehingga berani ia
bersaing dengan aku. Oleh sebab itu hendaklah ia dijatuhkan."
"Akan tetapi bagaimanakah akal kita" Karena barang-barang-nya bukan sedikit, tak dapat diangkat dalam sehari dua. Dan
diambil separuhnya pun, tiadala h dirasainya," kata Pendekar
Lima. "Bukan aku suruh engkau mencur i barang-barangnya, karena
berap akah yang akan terbawa olehmu" Aku bukan bodoh. Aku
tahu akal yang lebih baik, yaitu gudang-gudang dan toko-
tokonya harus dibakar, perahu yang membawa barang-barangnya
dari Painan harus ditenggelamkan dan orang-orang yang ada di
sana dibujuk, supaya jangan mau bekerja dengan dia lagi;
sekalian pohon kelapanya di Ujun g Karang, haruslah diobati,
biar busuk dan tak berbuah," ka ta Datuk Meringgih dengan suara
keras, serta memukul"mukul te lapak tangan kirinya dengan
tangan kanannya, yang dikepalkannya, karena geramnya.
"Esok hari juga engkau mula i bekerja di Ujung Karang!
Beritahukan kepada sekalian murid yang ada di sana! Sekalian
pohon kelapanya hendaklah dibubuh obat, supaya inati.
Kemudian pergilah engkau ke Terusan dan Painan. Bujuklah
sekalian orangnya di sana supaya meninggalkan pekerjaannya
dan masuk kaum kita. Dan buj uklah pula tukang perahunya,
supaya perahu-perahunya, dengan isi-isinya sekali, dikaramkan
di laut. Sudah itu pergilah engkau ke Padang Darat dan ke mana-mana, menghasut sekalian toko yang berlangganan dengan dia,
supaya jangan membeli apa-apa lagi padanya.
Dengan demikian dapat kubeli barang-barangnya itu dengan
harga murah. Biar aku rugi. sedikit, asal Baginda Sulaiman jatuh.
Setelah selesai pekerjaan itu, barulah engkau mulai membakar
toko dan gudangnya."
Pendekar Lima termenung seketika mendengar perintah ini,
karena belum pernah ia mengerjakan yang sedemikian. Pada
pikirannya bukan sedikit belanja dan susahnya pekerjaan itu.
Melihat Pendekar Lima berdiam diri, berkata pula Datuk
Meringgih, "Aku tahu, pekerjaan ini memang tak mudah dan
harus berhati-hati benar melakukannya supaya jangan sampai
diketahui orang. Tetapi ia akan memberi keuntungan berpuluh
ribu kepada kita. Dan pada pi kiranku engkau cakap menjalan-kannya. Oleh sebab itu aku tiada akan memandang berapa biaya
yang berguna; biar aku rugi beribu sekalipun, asal sampai
maksudku ini. Aku tiada senang, kalau di Padang ini masih ada
saudagar yang berani bersaingan dengan daku. Sebelum jatuh ia,
belumlah puas hatiku. Kau boleh memakai duit seberapa sukamu
dan boleh pula menyuruh orang-orangku, kalau perlu."
Mendengar perkataan Datuk Meringgih ini yaitu ia boleh
memakai duit seberapa sukanya, hilanglah takut dan ngeri
Pendekar Lima lalu menjawab dengan gembira, "Baiklah, Engku
Datuk. Jangankan sekian, disuruh membunuh orang senegeri
pun, hamba mau, asal Engku Datuk yang menyuruh."
Dengan berkata demikian, pikirannya melayang kepada uang
beribu-ribu yang akan diterimanya.
"Tetapi ingat!" kata Datuk Meringgih pula. "Kalau tak
sampai maksudku ini, tak perlu engkau datang-datang lagi
kemari." Mendengar perkataan ini berdebarlah hati Pendekar Lima,
karena artinya tentulah ia akan dilepaskan oleh Datuk
Meringgih, apabila maksudnya ini tak sampai. Dan akan
dapatkah ia mencari tuan yang sebagai Datuk Meringgih ini"
Betul ia sangat bakhil, tetapi tiada memandang apa pun, bila ada
sesuatu hajatnya. Oleh sebab itu berjanjilah ia dalam hatinya
akan menjalankan perintah yang berat ini dengan sesungguh-sungguh hati, walaupun apa pun juga yang akan terjadi atas
dirinya. Sementara itu masuklah Datuk Meringgih ke dalam
rumahnya dan seketika lagi keluarlah pula ia lalu berkata, "lni
uang seratus untuk belanjamu seme ntara. Bila habis, uang ini,
boleh kauminta pula kepadaku atau kepada sekalian orangku
yang memegang uang. Nanti kukirimkan surat kepadanya
sekalian." "Terima kasih, Engku!" jawab Pendekar Lima. "Akan tetapi
pekerjaan hamba di sini bagaimana""
"Serahkan kepada Pe ndekar Empat dan suruhlah ia kemari,
supaya kukatakan kepadanya, apa yang harus diperbuatnya."
Tiada berapa lama kemudian daripada itu kelihatanlah
Pendekar Lima keluar dari dalam bilik tadi, lalu hilang di dalam
gelap. VII. SURAT SAMSULBAHRI KEPADA NURBAYA
Tiga bulan Samsulbahri telah berangkat ke Jakarta, meninggal-kan tanah airnya. Tiga bulan lamanya Nurbaya telah bercerai
dengan kekasihnya, tiada melihat wajahnya dan tiada mendengar
suaranya dan tiga bulan pula lamanya ia tiada bermain-main
dengan Samsu dan mengganggu kaka knya ini. Sejak hari per-ceraiannya, sampai
kepada waktu itu, kekasihnya ini tiada hilang
barang sekejap pun dari ingatannya. Biarpun buah hatinya ini
telah hilang dari matanya teta pi makin kelihatan ia dalam
kalbunya, makin nyaring kedengaran bunyi suaranya dan makin
bertambah nyata segala tingkah lakunya.
Mula-mula pada sangkanya mudah akan dapat melipur
pikirannya, apabila kesedihan hatin ya telah hilang. Akan tetapi
setelah sepekan lamanya ia bagaikan demam dan setelah sembuh
pula ia kembali pada lahirnya, pada batinnya bertambah-tambah
ia menanggung kesakitan; makin lama makin larat, makin
dilupakan makin teringat, makin dilipur makin berat, makin
dijauhkan makin dekat. Ketika itulah baru diketahuinya benar-benar, betapa besar harga saudara nya dan kekasihnya itu baginya
karena ketika itulah pula dirasainya benar-benar keberatan
perceraian itu sebagai kata pantun:
Anak Cina bermain wayang,
anak Keling bermain api. Jika siang terbayang-bayang,
jika malam menjadi mimpi.
Terbang melayang kunang-kunang,
anak balam mati tergugur,
jatuh ke tanah ke atas kembang,
kembang kuning bunga cempaka.
Jika siang tak dapat senang,
jika malam tak dapat tidur,
pikiran kusut hati pun bimbang,
teringat kakanda Samsu juga.
Jika datang godaan yang sedemikian itu, dicobanyalah
melipur hatinya dengan pikiran ini: Samsu tiada lama lagi akan
kembali dan tentulah ia akan dapat berteinu pula dengan dia.
Tambahan pula kekasihnya itu pergi untuk menuntut ilmu, yang
kemudian dapat memberi kesenangan dan kemuliaan kepada
dirinya. Apabila Samsu menjadi dokter, tentulah ia akan beroleh
kemuliaan dan kesenangan pula.
"Aduh, alangkah senang hatiku kelak, apabila aku telah
menjadi istri Samsu, kekasihku itu! Memang patut aku duduk
bersama-sama dengan dia, memang dialah jodohku. Bila ia telah
lulus dalam ujiannya, menjadilah aku istri dokter. Jika sakit aku
atau anakku kelak, tak usah memanggil tabib yang lain, karena
suamiku sendiri pandai mengobati kami.
Ya, anakku, kataku. Alangkah senangnya, jika beroleh anak
dari seorang laki-laki yang sebagai suamiku ini! Karena tentulah
anak itu akan baik pula tingkah lakunya, seperti bapaknya dan
rupanya tentulah sebagai pinang dibelah dua dengan bapaknya.
Wahai! Alangkah lncunya kelak Samsu yang kecil itu, suka
bermain-main, sebagai bapaknya dan apabila ia telah besar,
tentulah akan menjadi dokter pula.
Apabila anak itu perempuan, biarlah sebagai rupaku. Jika ia
telah besar, kuajarlah ia seka lian ilmu yang patut diketahui
perempuan; kujadikanlah ia se orang perempuan yang berguna
bagi suaminya kelak, perempua n yang dapat dibawa melarat dan
dapat membantu suaminya di dalam kesukaan dan kedukaan,
supaya menantu itu kelak da pat beroleh kesenangan dan
kesentosaan, sebagai aku akan menyenangkan Samsuku,"
demikianlah kenang-kenangan Nurb aya pada suatu malam Ahad,
tatkala ia duduk di serambi muka rumahnya, sambil memandang
kepada bangku di dalam kebunnya, tempat ia biasa bersenda
gurau dengan kekasihnya itu.
"Ah, tetapi waktu itu masih la ma lagi," katanya pula dalam
hatinya, "masih tujuh tahun. Adakah dapat aku menunggu
selama itu" Mengapa tidak," jawabnya sendiri pula. "Ingatlah
kata pantun: Lurus jalan ke Payakumbuh,
bersimpang lalu ke Kinali.
Jika hati sama sungguh, kering lautan dapat dinanti.
Betul tetapi hatiku sebenarnya khawatir juga, kalau-kalau ia
kelak tergoda oleh perempuan lain; karena Jakarta negeri besar,
segala godaan ada di sana. Nyonya yang bagus-bagus, tentu tak
kurang dan kabarnya perempuan- perempuan Sunda pun, banyak
pula yang cantik-cantik. Baik aku minta lekas-lekas kawin
dengan dia, supaya terikat ia padaku."
Tetapi sejurus lagi bertukar pula pikirannya dan berkatalah ia
dalam hatinya, "Ah, kurang baik pikiranku ini, sebab ia masih
dalam sekolah kalau-kalau pelajarannya kelak jadi terganggu.
Yang dikejar nanti tak dapat, yang dikandung berceceran. Jangan
terburu nafsu, dengarlah pantun ini!
Encik Amat mengaji tamat,
mengaji Quran di waktu fajar.
Biar lambat asal selamat,
tidak lari gunung dikejar.
Masakan ia akan mengubah janji, mustahil! Tak baik aku
berpikir demikian; aku masih terl alu muda. Bila ia kelak t
elah menjadi dokter, umurku telah dua puluh dua tahun, barulah baik
aku bersuami. Sesungguhnya tak baik kawin muda-muda. Lihatlah putri
Alia, yang dikawinkan oleh orang tuanya, tatkala ia berumur tiga
belas tahun. Badannya tak dapat besar lagi dan anaknya telah
lima orang mati-mati saja. Yang keenam, yang hidup, rupanya
kurang sempurna; badannya lemah, sebagai tiada berdaya.
Tatkala anak ini telah berumur dua tahun, masih belum pandai
jua ia berjalan dan berkata- kata pun rupanya susah. Samsu
kecilku kelak tak boleh sedemikian, harus sehat.dan kukuh
badannya, supaya boleh menjadi orang yang sempurna.
Oleh sebab itu tak boleh aku kawin terlalu muda, tak baik
bagi badanku dan tak baik pul a lagi turunanku. Tentu saja,
masakan biji yang belum sempurna tua, jika ditanam, dapat
tumbuh menjadi pohon yang besar dan baik, yang menghasilkan
buah yang banyak dan besar-besar" Tentu tidak. Tetapi,
kebanyakan ibu-bapa di Padang ini tiada mengingat hal itu. Asal
untungnya lepas, katanya senanglah hatinya, dengan tidak
memikirkan anak cucu dan turunannya di kemudian hari.
Apabila sekalian orang kawin muda, tentulah akhirnya
bangsanya akan berkurang-kurang orangnya atau undur dalam
kesehatannya, besarnya, kepandaiannya dan sifatnya yang lain-lain, sehingga bangsanya menjadi suatu bangsa yang daif. Biasa-nya orang tua-tua kuno tiada memikirkan hal ini atau tiada
sampai ke sana pikirannya. Pa da sangkanya aib, bila anaknya
yang perempuan, tua baru bersuami, sebagai tak laku. Oleh
sebab itu dikawinkannya muda -muda, terkadang-kadang waktu
berumur sebelas tahun. Dan tatkala berumur dua belas tahun,
beranaklah perempuan muda ini. Orang barat yang tiada suka
kawin muda-muda, lihatlah badannya, besar, kukuh, dan sehat."
Tatkala Nurbaya berpikir-pikir sedemikian itu, tiba-tiba di-dengarnya suara, "Surat pos," sehingga terkejutlah ia. Di tangga
rumahnya dilihatnya seorang tukang pos berdiri memegang
sepucuk surat. Segera Nurbaya berdiri mengambil surat itu dan
tatkala dibacanya alamatnya, nyatalah surat itu untuk ia sendiri,
datang dari Samsu, kekasihnya, yang sedang diingat-ingatnya
pada waktu itu. Rupanya surat ini baru datang dengan kapal yang
baru masuk hari itu. Muka Nurbaya berseri, ketika melihat surat itu, karena besar
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hatinya, dan pada bibirnya kelihatan gelak senyum, yang men-cekungkan kedua pipinya, menambah manis rupanya. Ber-tambah-tambah besar hatinya menerima surat ini, karena telah
dua jumat ia tiada mendapat kaba r dari Samsu. Segeralah ia
masuk ke dalam biliknya, lalu dengan hati yang berdebar-debar,
dibukanyalah surat itu. Kelihatan olehnya surat itu amat panjang
dan banyak berisi syair. Demikian bunyinya:
Jakarta, 10 Agustus 1896 Awal bermula berjejak kalam,
Pukul sebelas suatu malam,
Bulan bercaya mengedar alam,
Bintang bersinar laksana nilam.
Langit jernih cuaca terang,
Kota bersinar terang benderang,
Angin bertiup serang-menyerang,
Ombak memecah di atas karang.
Awan berarak berganti-ganti,
Cepat melayang tiada berhenti,
Menuju selatan tempat yang pasti,
Sampai ke gunung lalu berhenti.
Udara tenang hari pun terang,
Sunyi senyap bukan sebarang,
Murai berkicau di kayu arang,
Merayu hati dagang seorang.
Guntur menderu mendayu-dayu,
Pungguk merindu di atas kayu,
Hati yang riang menjadi sayu,
Pikiran melayang ke tanah Melayu.
Angin bertiup bertalu-talu,
Kalbu yang rawan bertambah pilu,
Hati dan jantung berasa ngilu,
Bagai diiris dengan sembilu.
Tatkala angin berembus tenang,
Adik yang jauh terkenang-kenang,
Air mata jatuh berlinang,
Lautan Hindia hendak direnang.
Jika dipikir diingat-ingat,
Arwah melayang terbang semangat,
Tubuh gemetar terlalu sangat,
Kepala yang sejuk berasa angat.
Betapa tidak jadi begini,
Ayam berkokok di sana-sini,
Disangka jiwa permata seni,
Datang menjelang kakanda ini.
Disangka adik datang melayang,
Mengobat kakanda mabuk kepayang,
Hati yang sedih berasa riang,
Kalbu yang tetap rasa tergoyang.
Lipur segala susah di hati,
Melihat adikku emas sekati,
Datang menjelang abang menanti,
Dagang merindu bagaikan mati.
Silakan gusti emas tempawan,
Sila mengobat dagang yang rawan,
Penyakit heb at tidak berlawan, Sebagai kayu penuh cendawan.
Silalah adik, silalah gusti,
Sila mengobat luka di hati,
Jika lambat adik obati, Tentulah abang fana dan mati.
Tatkala sadar hilang ketawa,
Dagang seorang di tanah Jawa,
Rasakan hancur badan dan nyawa,
Nasib rupanya berbuat kecewa.
Di sana teringat badan seorang,
Jauh di rantau di tanah seberang,
Sedih hati bukan sebarang,
Sebagai manik putus pengarang.
Tunduk menangis tercita-cita,
Jatuh mencucur air mata, Lemah segala sendi anggota,
Rindukan adik emas juita.
Teringat adik emas sekati,
Kanda mengeluh tidak berhenti,
Rindu menyesak ke hulu hati,
Rasa mencabut nyawa yang sakti.
Terkenang kepada masa dahulu,
Tiga bulan yang telah lalu,
Bergurau senda dapat selalu,
Dengan adikku yang banyak malu.
Sekarang kakanda seorang diri,
Jauh kampung halaman negeri,
Duduk bercinta sehari-hari,
Kerja lain tidak dipikiri.
Tetapi apa hendak dikata,
Sudah takdir Tuhan semesta,
Sebilang waktu duduk bercinta,
Kepada adikku emas juita.
Setelah jauh sudahlah malam,
Kakanda tertidur di atas tilam,
Bermimpi adik permata nilam,
Datang melipur gundah di dalam.
Datangnya itu seorang diri,
Tidur berbaring di sebelah kiri,
Kakanda memeluk intan baiduri,
Dicium pipi kanan dan kiri.
Tiada berapa lama antara,
Dilihat badan sebatang kara,
Abang terbangun dengan segera,
Hati yang rindu bertambah lara.
Guling kiranya berbuat olah,
Lalu mengucap astagfirullah,
Begitulah takdir kehendak Allah,
Badan yang sakit bertambah lelah.
Memang apa hendak dibilang,
Sudahlah nasib untung yang malang,
Petang dan pagi berhati walang,
Menanggung rindu beremuk tulang.
Walaupun sudah nasib begitu,
Tiada kanda berhati mutu,
Gerak takdir Tuhan yang satu,
Duduk bercinta sebilang waktu.
Jauh malam hampirkan siang,
Mataku tidak hendak melayang,
Di ruang mata adik, terbayang,
Hati dan jantung rasa bergoyang.
Ayam berkokok bersahut-sahutan,
Di sebelah barat, timur, selatan,
Hatiku rindu bukan buatan,
Kepada adikku permata intan.
Di situ terkenang ibu dan bapa,
Adik dan kakak segala rupa,
Handai dan tolan kaya dan papa,
Timbul di kalbu tiada lupa.
Begitulah nasib di rantau orang,
Susah ditanggung badan seorang,
Sakit bertenggang bukan sebarang,
Sebagai terpijak duri di karang.
Setelah siang sudahlah hari,
Berjalan kakanda kian kemari,
Tak tahu apa akan dicari,
Bertemu tidak kehendak diri.
Diambil kertas ditulis surat,
Ganti tubuh badan yang larat
Kesan nasib untung melarat,
Kepada adikku di Sumatra Barat.
Dawat dan kalam dipilih jari,
Dikarang surat di dinihari,
Ganti kakanda datang sendiri,
Ke pangkuan adik wajah berseri.
Wahai adikku indra bangsawan,
Salam kakanda dagang yang rawan,
Sepucuk surat jadi haluan,
Ke atas ribaan emas tempawan.
Mendapatkan adik paduka suri,
Cantik manis intan baiduri,
Di padang konon namanya negeri,
Duduk berdiam di rumah sendiri.
Jika kakanda peri dan mambang,
Tentulah segera melayang terbang,
Menyeberang lautan menyongsong gelombang,
Mendapatkan adik kekasih abang.
Menyerahkan diri kepada adinda,
Tulus dan ikhlas di dalam dada,
Harapan kakanda jangan tiada,
Mati di pangkuan bangsawan muda.
Adikku Nurbaya permata delima,
Dengan berahi sudahlah lama,
Hasrat di hati hendak bersama,
Dengan adikku mahkota lima.
Hendak bersama rasanya cita,
Dengan adikku emas juita,
Jika ditolong sang dewata,
Di dadalah jadi tajuk mahkota.
Tajuk mahkota jadilah tuan,
putih kuning sangat cumbuan,
Menjadikan abang rindu dan rawan,
Laksana orang mabuk cendawan.
Karena menurut cinta di hati,
Asyik berahi punya pekerti,
Sungguhpun hidup rasakan mati,
Baru sekarang kanda mengerti.
Dendam berahi sudahlah pasti,
Tuhan yang tahu rahasia hati,
Kakanda bercinta rasakan mati,
Tidak mengindahkan raksasa sakti.
Siang dan malam duduk bercinta,
Kepada adikku emas juita,
Tiada hilang di hati beta,
Adik selalu di dalam cipta.
Jiwaku manis Nurbaya Sitti,
Putih kuning emas sekati,
Tempat melipur gundah di hati,
Ingin berdua sampaikan mati,
Tidaklah belas dewa kencana,
Memandang kanda dagang yang hina,
Makan tak kenyang tidur tak lena,
Bercintakan adik muda teruna.
Rindukan adik paras yang gombang,*)
Siang dan malam berhati bimbang,
Cinta di hati selalu mengembang,
Laksana perahu diayun gelombang.
Setiap hari berdukacita, Terkenang adinda emas juita,
Sakit tak dapat lagi dikata,
Sebagai bisul tidak bermata.
Tiada dapat kakanda katakan,
Asyik berahi tak terperikan,
Adik seorang kakanda idamkan,
Tiada putus kakanda rindukan.
Rusaklah hati kanda seorang,
Rindukan paras intan di karang,
Dari dahulu sampai sekarang,
Sebarang kerja rasa terlarang.
*) Min: Tampan, gagah. Pekerjaan lain tidak dipikiri,
Karena rindu sehari-hari.
Tiada lain keinginan diri,
Hendak bersama intan baiduri.
Ayuhai adik Sitti Nurani,
Teruslah baca suratku ini,
Ilmu mengarang sudahlah fani,
Disambung syair surat begini.
Tatkala Nurbaya membaca syair ini, berlinang-linanglah air
matanya, karena untungnya pun sedemikian pula.
"Adikku Nurbaya!" demikianlah bunyi surat itu, ketika
terus dibaca oleh Nurbaya, "Begitulah penanggunganku.
Bukan sedikit beratnya perceraian ini rasanya. Bukannya
engkau saja yang terbayang di mataku, tetapi ibu-bapa, handai
tolan, dan teman sejawatku, yang kutinggalkan di Padang,
semuanya tiada hendak luput dari mataku. Dahulu aku
dimanjakan oleh ibu-bapakku. Sekaliannya telah disediakan,
telah diselenggarakan. Akan tetapi sekarang haruslah aku
sendiri mengerjakannya. Pakaianku harus kucuci, kulipat dan
kusimpan sendiri; bilik dan tempat tidurku harus pula
dibersihkan sendiri. Sepatuku pun tak ada orang lain, yang
akan menggosoknya. Kehidupanku tiadalah bebas, karena
tinggal di dalam sekolah. Tidur di dalam sebuah kamar
panjang; bersama-sama dengan teman-teman yang lain,
sebagai serdadu dalam tangsi. Hanya akulah yang dapat
sebuah kamar sendiri sebab tak cukup tempat bersama-sama
dengan yang lain. Pukul sepuluh malam haruslah tidur, tak boleh bercakap-cakap lagi atau bekerja terus. Pukul enam pagi haruslah
bangun; setelah makan, sekolah pun mulai, pukul delapan.
Pelajaran tiada sebagai di sekolah kita di Padang, karena
sekaliannya diserahkan kepada yang belajar sendiri. Bila
hendak pandai rajin-rajinlah; jika tidak, tahu sendiri.. Pukul
satu berhentilah sekolah, akan tetapi terkadang-kadang petang
hari masuk pula. Sesungguhnya aturan ini baik, karena dengan demikian
dapatlah kami belajar hidup sendiri. Apabila kita telah besar
kelak, tentulah begitu juga jadinya. Masakan selalu akan ber-gantung kepada ibu-bapa sahaja"
Sungguhpun demikian, bagiku yang belum biasa hidup
sedemikian berat rasanya. Akan tetapi lama-kelamaan lenyap
juga keberatan itu. Sekarang ini telah mulai biasa aku sedikit
pada aturan itu dan tiadalah berat benar lagi rasanya sebagai
bermula. Barangkali engkau belum tahu, hampir pada tiap-tiap
sekolah tinggi ada suatu adat, yang dinamakan dalam bahasa
Belanda "ontgroening"*).
*) Perpeloncoan.
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adat ini memang ada baiknya, karena maksudnya dengan
bersuka-sukaan, mengajari murid-murid yang baru masuk,
supaya tahu adat-istiadat, tertib sopan kepada teman sejawat-nya atau orang luar pun dan berani atas kebenaran.
Bila ontgroening itu dipandang sebagai permainan saja,
tiadalah mengapa; akan tetapi terkadang-kadang kasar dilaku-kan, sehingga boleh mendatang kan kecelakaan kepada murid-murid yang dipermainkan itu. Permainan yang kasar ini, pada
pikiranku, tak baik diteruskan. Misalnya aku dengar pada
sebuah sekolah menengah, ada permainan yang dinamakan
"melalui selat Gibraltra."
Engkau tentu masih ingat dalam ilmu bumi, selat Gibraltar
itu, ialah suatu selat yang sempit, antara ujung tanah Sepanyol
dan benua Afrika. Demikianlah diperbuat oleh murid-murid kelas tinggi suatu
selat yang sempit, yang dijadikan oleh kira-kira dua puluh
murid yang tua-tua, yang berleret dalam dua baris. Sekalian
rnurid baru, haruslah berjalan seorang-seorang melalui selat ini
dan tiap-tiap murid kelas tinggi yang berdiri itu meninju dan
menyepak murid-murid baru ini, sehingga ia tertolak dari
kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan sampai ke luar dari selat
siksaan itu. Kemudian murid baru itu diangkat bersama-sama,
lalu dicemplungkan ke dalam suatu kolam.
Apakah faedahnya permainan yang kasar serupa ini"
Istimewa pula sebab ia boleh m
endatangkan bahaya. Tambahan lagi, pada sangkaku, dan demikian, murid-murid itu
jadi ber-musuh-musuhan dan berdendam-dendaman. Misalnya
seorang anak Sunda yang kurang suka kepada anak Jawa atau
yang telah mendapat siksaan dari orang anak Jawa, tatkala ia
mula-mula masuk, menaruh dendam dalam hatinya dan berniat
hendak melepaskan dendamnya kelak kepada anak Jawa.
Dengan demikian persahabatan antara kedua suku bangsa ini,
yang diharapkan akan diperoleh karena percampuran dalam
sekolah, boleh menjadi kurang dan akhirnya menjadi putus.
Untunglah permainan yang kasar itu tak ada pada sekolah
kami dan sekalian aturan ontgroening pada sekolah ini,
sesungguhnya permainan atau sesuatu yang memberi paedah,
misalnya murid-murid yang baru itu disuruh bernyanyi, menari
atau memencak, menurut aturan negeri masing-masing, di
hadapan murid kelas tinggi.
Oleh sebab murid-murid yang masuk sekolah ini, sebagai
telah kukatakan dalam suratku dahulu, datang dari beberapa
negeri, seperti Padang, Batak, Deli, Palembang, Jakarta,
Sunda, Jawa; Madura, Ambon, Manado, dan lain-lainnya,
bermacam-macam lagu yang didengar, dinyanyikan dalam
berbagai-bagai bahasa dan bermacam-macam pulalah tari dan
pencak yang dipertunjukkan. Suatu tari yang hebat yaitu tari
orang Manado, yang dinamakan "cakalele," tak ada ubahnya
dengan pencak orang yang hendak perang, dengan tempik
soraknya. Lain daripada permainan yang, telah kuceritakan itu ada
pula permainan yang mengadu kekuatan, misalnya berhela-helaan tali berlumba-lumba, melompat tinggi dan mengadu
kekuatan badan. Yang terlebih lucu ialah disuruh membeli
minyak sesen ke kedai, dalam sebuah botol yang besarnya
hampir sebesar aku. Lucu benar rupanya murid itu berjalan
pulang balik memikul botol yang sebesar itu untuk tempat
minyak harga sesen. Ada pula yang disuruh memburu ayam liar, yang dilepaskan
dalam pekarangan sekolah. Ayam ini harus dapat ditangkap
oleh dua orang murid. Kasihan melihat kedua murid itu
berlelah payah menangkap ayam ini. Akan tetapi untunglah,
setelah tertangkap dipotong dan dimasak atau digoreng.
Ada pula yang disuruh berpakaian yang indah-indah,
seboleh-bolehnya pakaian hitam yang tebal. Kaumaklum Nur,
Jakarta sangat panas hawanya, sehingga murid itu kepanasan
karena pakaiannya itu. Setelah berpakaian indah-indah itu,
disuruhlah ia berjalan sepanjang jalan raya. Tiap-tiap orang
yang tertemu, dengan tiada memandang bangsanya, haruslah
diberinya tabik dengan mengangkat topinya. Sebagai telah
kuceritakan, kota Jakarta itu sangat ramai; orang yang lalu-lintas di jalan raya beratus-ratus banyaknya dengan tiada
berkeputusan. Memberi tabik itu, walaupun tiada seberapa
berat, tetapi karena banyak orang yang bertemu, dalam
setengah jam saja pun telah lelah murid itu.
Orang yang diberi tabik, bermacam-macam kelakuannya.
Yang telah tahu akan permainan ini, tersenyum; tetapi yang
belum tahu terkadang-kadang marah, karena pada sangkanya
ia diperolok-olokkan. Ada yang tiada mengindahkan suatu apa,
ada yang menertawakan muri d itu, ada yang bingung tiada
mengerti itu dan ada pula yang membalas tabik itu dengan
lebih hormat, sebab pada sangkanya bukan permainan, melain-kan sesungguh-nyalah ia diberi hormat oleh orang yang tiada
dikenalnya tetapi sangat memuliakannya. Anak-anak di jalan
raya menyangka murid itu miring otaknya, sehingga diper-main-mainkannya dan diganggunya mereka. Berbagai-bagai-lah ragam orang-orang itu. Mereka itulah yang ditonton oleh
murid-murid kelas tinggi, yang mengikut dari jauh.
Yang kurang lucu, yaitu disuruh makan obat kina, yang
sangat pahit itu atau disuruh mencium sebangsa hawa yang
sangat busuk atau disuruh makan pisang sesisir di hadapan
bangkai. Ada seorang murid yang sangat penjijik, disuruh
makan pisang itu. Jangankan termakan olehnya, bahkah segala
yang ada dalam perutnyalah keluar semua. Kasihan!
Sungguh permainan yang baru kuceritakan itu kurang lucu,
tetapi ada juga mengandung suatu pelajaran. Dokter itu harus
tahan bau busuk dan rasa yang pahit, serta tak boleh takut dan
geli melihat mayat; sebab itulah diajar di sana. Akhirnya
setelah itu disuruh tidur di k
amar mati. Akan tetapi terlebih
dahulu baiklah kuceritakan kepadamu apa bagianku dan
bagian Arifin, daripada permainan yang telah kaudengar tadi,
karena pada sangkaku tentulah engkau ingin juga hendak
mengetahui hal itu. Arifin disuruh memencak, berhela-helaan
tali, membeli minyak dengan botol besar, memburu ayam dan
makan pisang dekat bangkai. Alangkah suka hati Bakhtiar,
apabila dilihatnya Arifin, sebagai anjing mengejar ayam ke
sana kemari! Akan tetapi pada sangkaku, walau perut Bakhtiar
sekalipun, tiadalah 'kan dapat menghabiskan pisang sekian
banyaknya itu di tempat yang sedemikian."
Ketika itu tersenyumlah Nurbaya, sebab teringat kepada
Bakhtiar. "Aku disuruh bernyanyi, menari, makan kina, dan tidur di
kamar mati. Kamar mati ini, ialah bilik tempat menyimpan
mayat. Di sana ada rangka tulang orang (tulang-belulang) yang
gunanya untuk pelajaran, digantungkan pada suatu tiang. Pada
suatu malam, kira-kira pukul setengah sembilan, disuruhlah
aku ke sana dengan murid yang penjijik tadi. Anak ini bukan
penjijik saja, tetapi teramat penakut pula. Aku, meskipun tiada
tahu apa-yang akan terjadi atas diriku, tiadalah aku tinggal saja
dalam bilik ini, beberapa lamanya. Untuk peringatan
permainan saja. Kami duduk di atas kursi dekat sebuah meja,
berhadap-hadapan; aku melihat kepada rangka itu dan temanku
membelakang ke sana. Pada sangka kami, kami hanya disuruh
tinggal saja dalam bilik ini, beberapa lamanya. Untuk
perintang waktu, kami bercakap-cakap menceritakan hal ihwal
masing-masing, kusuruh ceritakan olehnya negerinya dan aku
pun bercerita pula tentang kota Padang.
Sejak asyik kami bercakap-cakap itu, tiba-tiba kulihat
rangka tadi mengangkat tangannya, sebagai menggamit aku
dari jauh, dan matanya sebagai menyala. Walaupun aku tidak
penakut dan yakin, mustahil tulang-belulang pandai bergerak.
tetapi tatkala kulihat hal itu, berdebar juga hatiku. Akan tetapi
heranku itu tiadalah kuperlihatkan kepada temanku, karena aku
khawatir, kalau-kalau ia menjadi takut; lalu kuperbuat pura-pura asyik mendengarkan ceritanya, tetapi mataku acap kali
juga melihat kepada rangka tadi.
Kedua kalinya diangkatnya tangannya, lebih tinggi daripada
bermula, lalu digerak-gerakkannya jarinya, sebagai hendak
memanggil. Melihat hal ini terkejutlah aku, dan karena itu
temanku itu pun menoleh ke belakang.
Tatkala dilihatnya tangan rangka itu bergerak-gerak dan
matanya sebagai berapi, menjeritlah ia sekuat-kuatnya, lalu
melompat memeluk aku, sehingga, terbaliklah kursi dan meja,
yang dekatnya itu. Sebab aku dipeluknya tiba-tiba dengan erat
dan ditariknya ke belakang, terbaliklah pula aku bersama-sama
dengan dia. Akan tetapi leherku tiadalah terlepas dari pelukan
temanku itu, sehingga aku hampir tercekik. Dengan susah
payah, baru dapat kulepaskan tangannya dari leherku.
Setelah terlepas aku dari pelukannya, rebahlah temanku itu
ke lantai, tiada khabarkan dirinya lagi. Mukanya pucat,
peluhnya bercucuran dan badannya gemetar. Tatkala kulihat
halnya yang sedemikian, bingunglah aku, tiada tahu apa yang
hendak kuperbuat. Kemudian larilah aku ke luar, minta tolong. Seketika itu
juga kelihatan olehku dua orang murid kelas tinggi, entah dari
mana datangnya, tiada kuketahui, lalu bertanya mengapa aku
berteriak. Setelah kuceritakan kepadanya, apa yang terjadi,
kami angkatlah bersama-sama murid yang pingsan tadi ke
tempat tidurnya, lalu diobati merekalah temanku itu, sampai
baik pula. Sungguhpun demikian masih belum dapat ia
berkata-kata; rupanya masih sangat terperanjat dan takut.
Kemudian dibujuklah kami oleh kedua murid kelas tinggi tadi.
Dikatakannya, mustahil tulang-belulang orang yang telah mati
dapat bergerak pula. Sekalian yang kami lihat tadi, tentulah
penglihatan karena takut saja, lalu dibawalah aku oleh seorang
dari mereka kepada rangka tadi dan dipegang-peganglah
tulang-tulang itu. Sesungguhnya tiadalah ia dapat bergerak.
Pada keesokan harinya, barulah aku dapat tahu, apa
sebabnya maka rangka itu bergerak. Tangannya diikat dengan
dawai yang halus, lalu ditarik-tarik dari luar, dan matanya
yang menyala itu, karena diberi suatu obat yang bercahay
a di tempat yang gelap. Sungguhpun sekalian itu hanya permainan
yang gunanya akan menghilangkan takut dan untuk menyata-
kan, bahwa segala hantu dan setan itu hanya penglihatan
mereka yang takut saja, tetapi murid yang ketakutan tadi, tiga
hari lamanya demam. Demikianlah percobaan di Sekolah
Dokter Jawa. Ah, ya, hampir lupa aku menceritakan hal ihwal Bakhtiar.
Ia sekarang rupanya kurus sedikit; barangkali sebab terlalu
berat bekerja menggergaji dan mengetam kayu, inilah kerjanya
mula-mula sehari-hari. Makan rupanya tak dapat sekehendak
hatinya. Acap kali aku bertemu dengan dia pada petang hari.
Baginya dan bagi Arifin pun permulaan ini rupanya susah dan
berat. Tetapi tak jadi apa, karena segala permulaan itu tentulah
berat dan susah. Apabila telah biasa kelak, tentulah akan
hilang juga segala kesusahan dan keberatan itu. Kedua mereka
acapkali teringat kepadamu dan kepada ibu-bapaknya serta
handai tolannya di Padang. Mereka berpesan kepadaku supaya
menyampaikan salamnya kepadamu, bila aku berkirim surat
jua kepadamu. Sehingga inilah dahulu, adikku Nurbaya! Dengan segera
engkau akan mendapat kabar pula daripadaku. Jika tiada aral
melintang pada hari Ahad yang akan datang ini, kami akan
ber-jalan jalan ke Bogor, melihat-lihat kots itu dan melihat
istana serta Kebun Raya di sana. Jika jadi perjalanan itu
tentulah akan kuceritakan pula kepadamu sekalian yang telah
kulihat di sana. Tolonglah sampaikan sembah sujudku kepada orang tuamu
dan orang tuaku serta salam tazimku kepada sekalian handai
tolan, teman sejawat kita, dan sambutlah peluk cium dari
kekasihmu yang jauh ini. SAMSULBAHRI Tambahan: Suratmu yang terkirim pada hari Jumat yang telah
lalu, sudah aku terima dengan segala selamatnya dan sangatlah
sedih hatiku mendengar, engkau belum dapat melipur
kesedihan perceraian kita. Oleh sebab itu perbanyaklah sabar
dan tetapkanlah hatimu, Nur, serta tawakal kepada Tuhan
Yang Mahakuasa. Mudah-mudahan lekas hilang segala
kesusahan kita itu dan lekaslah pula disampaikan-Nya segala
maksud dan hajat kita. Dengan kapal ini ada kukirimkan pada
seorang kita yang pulang ke Padang, untuk ayahku buah-buahan sedikit sebagai salak, sauh manila, dan jeruk. Untuk
engkau telah kupisahkan dalam bungkusan itu. Terimalah
pemberianku ini dan makanlah dengan sedapnya. Aku sendiri
yang membeli dan melihatnya, yang lain belum dapat
kukirimkan kepadamu waktu ini.
Setelah dibaca oleh Nurbaya surat itu, lalu diciumnya dan
diletakkannya ke atas dadanya, ke tempat jantungnya yang
berdebar; kemudian disimpannya dalam lemari pakaiannya,
bersama-sama dengan surat yang lain, yang telah diterimanya
dari kekasihnya itu. Tatkala itu datanglah kusir Ali dari rumah Sutan Mahmud
membawa sekarung buah-buahan untuk Sitti Nurbaya. Tak
dapatlah dikatakan girang hatinya menerima kiriman itu, lalu
dengan segera dibukanya dan dilihatnya isinya. Rupanya masih
baik sekali buah-buahan itu, tak ada yang busuk, lalu
dimakannya dan dibagikannya kepa da segala isi rumahnya, serta
dikatakannya buah-buahan itu da tang dari kekasihnya. Sayang
ayahnya pada waktu itu tak ada di rumah, pergi ke Padang
Panjang menguruskan perniagaannya, karena rupa-rupanya
segala toko yang biasa mengambil ba rang-barang dari padanya,
kurang suka lagi memesan apa-apa ke tokonya.
Setelah dimakan oleh Nurbaya buah-buahan itu, berbaring-baringlah ia di atas tempat tidurnya sampai jauh malam,
mengenangkan halnya. Kemudian dikeluarkannyalah segala
surat-surat dari Samsulbahri, lalu dibacanya pula sehelai-sehelai.
Dengan tiada diketahuinya tertidurlah ia.
Tiba-tiba kira-kira pukul dua malam, terbangunlah ia
daripada tidurnya dengan terperanjat, karena didengarnya bunyi
tabuh pada segala tempat sangat dahsyat, memberi tahu ada
rumah terbakar. Mendengar bunyi ta buh itu, melompatlah ia dari
tempat tidurnya, lalu membuka jendela rumahnya akan melihat
dan manakah api itu. Kelihatan olehnya langit di sebelah
tenggara merah warnanya yang menyatakan di sanalah
kebakaran itu, tetapi rupanya jauh. Tatkala itu kelihatan
Penghulu Sutan Mahmud keluar dengan bendinya dari rumah-nya. Rupanya akan pergi ke temp
at kebakaran itu. Supaya dapat kita ketahui di ma na kebakaran ini, marilah kita
tinggalkan Sitti Nurbaya di rumahnya dan kita ikuti Penghulu
Sutan Mahmud. Setelah sampai ia ke pasar Kampung Jawa, ber-tanyalah Penghulu itu kepada or ang jaga yang ada di sana, di
manakah kebakaran itu. Jawab mereka, di Pasar Gedang, lalu
Sutan Mahmud menyuruh mencambuk kudanya ke sana. Di
tengah jalan banyak kelihatan or ang yang telah keluar dari
rumahnya, karena terkejut mende ngar bunyi tabuh. Makin dekat
Sutan Mahmud ke Pasar Geda ng, makin banyaklah orang
tampak di jalan raya. Ada yang berjalan cepat-cepat, ada yang
berlari menuju api itu, ada yang berteriak dan ada pula yang
menangis, takut kalau-kalau rumahnya atau rumah keluarganya
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang terbakar. Pompa air pun telah dikeluarkan, ditarik cepat-cepat menuju kebakaran itu.
Akhirnya tiada dapat lagi Sutan Mahmud berbendi, sebab
terlalu banyak orang di jalan raya, sehingga segala kendaraan
ditahan, tak boleh terus. Sutan Mahmud turun dari atas bendinya,
lalu berjalan kaki, diiringkan oleh seorang-orang jaga, menuju
tempat kebakaran itu. Di situ nyatalah oleh Sutan Mahmud,
bahwa yang terbakar itu ialah toko Baginda Sulaiman, ayah
Nurbaya; yang sebuah telah habis dimakan api, sedang yang
sebuah lagi tengah, terbakar dan ketiga rupanya tak dapat
ditolong lagi, istimewa pula karena pompa tak dapat bekerja,
sebab tak ada air. Barang-barang suatu pun tak dapat di-keluarkan, karena api sangat cepat makannya dan udara di sana
sangat panas, sehingga seorang pun tak ada yang berani men-dekat. Polisi-polisi hanya menjag a dari jauh saja, supaya jangan
terjadi kecelakaan apa-apa. Bunga api bermain ke udara,
sehingga menjadi merahlah langit di sana. Terkadang-kadang
kedengaran bunyi peletusan, disertai oleh bunga api yang mem-bangkit ke atas. Bunyi kayu meletus adalah sebagai mercun
dibakar. Di dalam bunga api yang berkabut itu, kelihatanlah
kelelawar beterbangan ke san a kemari, karena kepanasan.
Sejam kemudian daripada itu, habislah ketiga toko Baginda
Sulaiman terbakar dengan isi- isinya. Tinggal abu dan bekas-bekas rumah saja lagi.
Usaha yang bertahun-tahun, pencarian yang sekian lama,
habis dimusnahkan api dalam se jam. Tatkala itu berembuslah
angin topan, disertai oleh hujan yang sangat lebat sehingga api
dalam sekejap mata pun padamlah.
Terlambat! Bila sejam lebih dahulu datang hujan yang sekian
lebatnya, barangkali dapat juga ketolongan sebuah toko dengan
isinya. Tetapi bukan demikian halnya. Adalah sebagai hendak
dipeliharakan Tuhan sekalian toko lain yang berdekatan di sana,
dan hanya toko Baginda Sulaiman sahaja yang harus dimakan
api. Tatkala datang angin dan hujan ini, sekalian orang yang ada
dekat kebakaran itu, larilah pul ang ke rumahnya masing-masing.
Yang dapat berteduh, berteduhlah dekat-dekat di sana. Hanya
saudagar-saudagar yang telah mengeluarkan barang-barangnya
dari tokonya yang ribut memas ukkan barang-barangnya kembali.
Sutan Mahmud pun dengan segera mencari bendinya, lalu
pulang ke rumahnya dengan pe rasaan yang sedih dan heran.
"Ajaib," katanya dalam hatinya ketika pulang itu." Apakah
sebabnya lekas amat api itu makan, dan apakah sebabnya maka
bukan toko yang kedua terbakar, sesudahnya toko yang pertama"
Bolehkah jadi api itu melompat dari toko yang pertama ke toko
yang ketiga, melalui toko yang di tengah-tengah" Dan apakah
sebabnya maka kedua toko yang diujung itu hampir serentak
terbakar, sebagai disengaja dibakar orang, bukan terbakar
sendiri" Akan tetapi siapa pula yang akan berbuat sedemikian"
Baginda Sulaiman tak ada musuhnya.
Lagi pula apakah sebabnya hujan ini datang, tatkala ketiga
toko itu telah habis terbakar" Mengapakah tidak lebih dahulu"
Apakah sebabnya dan apakah maksudnya sekalian ini""
Demikianlah pikiran Sutan Mahm ud dalam bendinya, karena tak
mengerti akan kejadian yang gan jil ini. Tiada berapa lamanya
kemudian sampailah ia ke rumahnya.
VIII. SURAT NURBAYA KEPADA SAMSULBAHRI
Matahari silam bintang pun terbit, bintang luput fajar
menyingsing siang hilang berganti malam, malam lenyap siang
pun timbul. Hilang hari berganti hari, habis bula
n bersambung bulan! Musim bergilir takkan bertukar, akan tetapi waktu itu
tiadalah mengindahkan perubahan dan pertukaran ini, melainkan
berjalanlah ia terus-menerus dengan tiada berhenti-henti dari hari
ke hari, dari tahun dan dad abad ke abad. Dari manakah datang-nya waktu itu dan ke manakah perginya" Adakah awalnya dan
adakah akhimya" Wallahu alam.
Di Sekolah Dokter Jawa di Jakarta, dalam masa yang hampir
setahun, tiada banyak perubahan. Pelajaran murid-murid, makin
lama makin dilanjutkan, karena tiada berapa lama lagi akan
puasa dan sekolah tentulah akan ditutup, supaya dapatlah
beristirahat murid-murid yang telah mengusahakan dirinya,
belajar bersusah payah dalam setahun itu.
Samsulbahri dan sahabatnya Arifin rupanya adalah maju
dalam pelajarannya. Pada tiap-tiap ujian yang telah dilangsung-kan tahun itu nyatalah, bahwa me reka tiada tertinggal dalam
pelajarannya daripada teman sejawatnya. Keberatan dan
kesusahan yang sangat diderita nya pada mula-mula mereka
datang ke Jakarta, hilanglah s udah dan biasalah mereka pada
kehidupannya yang baru. Hanya i ngatan dan rindu hati Samsul-bahri kepada Nurbayalah yang tiada hendak berkurang-kurang,
bahkan kian hari kian bertambah rasanya, sehingga terkadang-kadang hampir tak dapat ditanggungnya denda yang sedemikian
itu. Terlebih-lebih dalam beberapa hari ini, hatinya sangat rawan
bercampur sedih, dengan tiada diketahuinya apa sebabnya;
sebagai adalah sesuatu mara bahaya, yang telah jatuh ke atas diri
kekasihnya itu. Oleh sebab itu makinlah ia teringat kepada
Nurbaya dan makinlah bertambah ingin hatinya hendak bertemu
dengan adiknya ini. "Heran," katanya dalam hatinya, tatkala ia duduk termenung
seorang diri, di atas sebuah batu, dalam pekarangan sekolah,
"mimpiku yang dahulu itu da tang pula menggoda pikiranku.
Senanglah hatiku, tatkala ingatan kepada mimpi celaka itu mulai
hilang; akan tetapi apakah sebabnya sekarang ini datang pula
sekonyong-konyong menggoda hatiku" Ah, mungkin sebab
pikiranku telah dahulu kembali ke Pa dang, karena tiada lama lagi
hari akan puasa dan di sanalah kelak akan dapat bertemu dengan
kekasihnya itu." Sedang ia berpikir-pikir sedemikian, datanglah Arifin mem-bawa sepucuk surat yang dialam atkan kepada Samsu, lalu
diberikannya surat ini kepada sahabatnya. Tatkala dilihat Samsu
alamat surat itu dan nyata datangnya dari Nurbaya, masuklah ia
ke dalam biliknya, akan membac a surat itu seorang diri. Ketika
akan dibukanya surat ini, berdebarlah hatinya dan ngerilah rasa
badannya, seolah-olah ada sesuatu kabar yang sedih akan
didengarnya; istimewa pula karena kelihatan olehnya, pem-bungkus surat itu, sebagai bekas kena titik air.
"Kena hujankah surat ini atau kena air laut"" tanya Samsu
dalam hatinya. Tatkala akan dikoyaknya pembungkus surat itu, tiba-tiba
jatuhlah gambar Nurbaya yang tergantung pada dinding biliknya,
sehingga hancur kaca dan bingkainya, sedang potret itu sendiri
rusak pula, karena sqbuah daripa da pecahan kaca yang runcing,
menembus dada kekasihnya ini, tentang jantungnya. Potret itu
diangkat oleh Samsu, lalu dica butnya pecahan kaca yang masuk
ke dalam dada Nurbaya perlahan-lahan, takut akan bertambah
rusak gambar itu. Akan tetapi bagaimana pun ia berhati-hati,
kertas potret itu rusak juga tentang dada Nurbaya.
"Ajaib," pikir Samsu dalain hatinya, sambil termenung.
"Apakah artinya alamat ini" Apakah kabar yang akan ku-dengar""
Setelah dibersihkannya pecahan kaca-kaca tadi, lalu diambil-nyalah pula surat yang baru datang itu, dibukanya dengan tangan
yang gemetar dan hati yang berdebar-debar. Ketika itu kelihatan-
lah olehnya surat itu penuh dengan bekas titik air, serta tulisan-nya pun banyak yang kurang terang, sebagai suatu surat yang
tertulis oleh orang yang pikirannya sedang kusut. Demikian
bunyi surat itu: Padang, 13 Mare11897. Kekasihku Samsulbahri! Walaupun kuketahui, bahwa surat yang malang ini, yang
telah kutulis dengan air mata yang bercucuran dan hati yang
sangat sedih lagi pedih, terlebih daripada diiris dengan
sembilu dan dibubuh asam, garam; serta pikiran yang kelam
kabut akan datang membawa kabar yang sangat
dukacita kepadamu, barangkali juga akan memutuskann pengharapan-mu, yang kau amalkan siang dan malam dan walaupun
rasakan putus rangkai jantung hatiku mengenangkan sedih
dan duka nestapa yang akan menimpa engkau karena
mendengar kabar yang malang ini, akan tetapi kugagahilah
juga diriku menulis surat ini, karena takut kalau-kalau engkau
bersangka, bahwa sesungguhnyalah hatiku telah berpaling
daripadamu. Barangkali juga kabar ini akan menimbulkan murka dan
syak wasangka di dalam hatimu, Sam, dan akan meng-hilangkan kepercayaanmu kepadaku dan karena itu tiadalah
hendak kauindahkan lagi aku ini dan kaubuang aku, sebagai
membuang sampah ke pelimbahan, sebab pada sangkamu
sesungguhnyalah aku seorang yang tiada memegang janji dan
tak boleh dipercayai. Oleh sebab itu biarlah aku bersumpah lebih dahulu,
barangkali engkau percaya kembali kepadaku. Wallah wa
nabi, tiadalah hatiku berubah dari sediakala kepadamu dan
tiadalah ada ingatanku, akan menyakiti hatimu dan memutus-kan pengharapanmu. Tuhan Yang Mahakuasa saksiku, dan
apabila tiada benar aku di dalam hal ini, biarlah diazab dan
disiksanya aku dari dunia sampai ke akhirat. Sesungguhnya
aku beribu kali lebih suka mati berkalang tanah daripada
hidup bercermin bangkai sebagai ini, dan jika tiada takut dan
tiada ingat aku akan engkau, pastilah kubunuh diriku, supaya
jangan menanggung sengsara lagi.
Sekarang apa hendak kukatakan" Karena demikianlah
rupanya nasibku yang telah tertimpa. Walaupun bagaimana
juga hendak kutolak atau kuhindarkan diriku daripadanya,
niscaya akan sia-sia belaka pekerjaan itu, karena untung dan
nasib manusia ditentukan, semenjak di rahim bunda kandung.
Bukankah telah kukatakan dalam pepatah: Malang tak
dapat ditolak, mujur tak dapat diraih" Bukankah setahun yang
telah lalu, telah engkau ketahui untungku, karena engkau
telah mendapat mimpi tentang nasibku itu" Sekarang
datanglah waktunya rupanya, aku harus menepati nasibku itu,
tak dapat dimungkiri lagi. Aduhai sia-sialah segala cita-cita
dan kenang-kenanganku, lenyap segala harapanku, putus tali
tempat bergantung dan ..."
Di situ tak dapatlah Samsu me mbaca surat ini lagi, karena
kertasnya rupa-rupanya penuh ke jatuhan air mata, sehingga
menjadi kembang dan huruf yang tertulis di atasnya menjadi
kurang terang. Oleh sebab itu dilampauilah oleh Samsu tulisan
yang kurang terang itu, lalu dibacanya lanjutannya:
"Supaya dapat kauketahui bagaimana anal mulanya
kecelaka-anku ini, kutulislah juga surat ini. Dengan demikian,
dapatlah kautimbang berapa besar kesalahanku dalam perkara
ini. Sebagai telah kuceritakan kepadamu, toko ayahku telah
terbakar sekaliannya. Itulah permulaan sengsaraku; dari
situlah asalnya azabku. Seperti cerita yang kudengar dari
ayahmu pada pemeriksaan yang dijalankan kemudian
daripada itu, ada tanda-tanda yang menyatakan pembakaran
itu perbuatan orang, karena dekat di sana, ada bekas tempat
minyak dan puntung suluh. Sungguhpun demikian, Sam,
sampai sekarang belum juga lagi dapat keterangan, siapa yang
berbuat kejahatan itu. Bertambah-tambah syak hati ayahmu, kebakaran itu per-buatan khianat, sebab yang mula-mula terbakar, dari ketiga
toko itu, ialah kedua toko yang di sisi. Keduanya hampir
serentak dimakan api. Bila toko-toko itu tiada dibakar orang,
bagaimana-kah api itu dapat melompat dari toko yang
pertama ke toko yang ketiga, dengan melampaui toko yang di
tengah-tengah. Jika dapat pun melompat, tentulah toko yang
pertama itu terlebih dahulu hams terbakar benar-benar,
barulah api dapat melompat ke toko yang ketiga. Tetapi
sebagai kukatakan, kedua toko yang di sisi itulah yang mula-mula sama-sama terbakar, barulah toko yang di tengah.
Oleh sebab kebakaran itu perbuatan orang dan api makan
sangat cepatnya, tiadalah dapat ketolongan sepotong barang
pun, karena tatkala diketahui orang api itu, kedua toko itu
telah hampir habis terbakar. Dan karena panas apinya,
seorang pun tak ada yang berani mendekati toko-toko itu.
Itulah juga sebabnya, maka sehelai benang pun tak ada yang
keluar; sekaliannya habis dimusnahkan api. Oleh sebab ketiga
toko itu belum dimasukkan asuransi, rugilah ay
ahku pada malam itu kira-kira lima puluh ribu rupiah.
Suatu lagi yang mengherankan ayahmu, yaitu penjaga toko
itu rupanya tidur nyenyak, sehingga mati kebakaran. Hanya
penjaga toko yang di tengahlah yang terlepas dari bahaya
mati. Akan tetapi jika tiada ditolong, tentulah ia mati pula;
karena tatkala api memakan toko yang di tengah, belum juga
ia terbangun, sehingga ia dihela oleh serdadu ke luar. Di luar,
kelihatan sebagai orang mabuk, tiada insaf akan dirinya.
Sebagai telah kuceritakan kepadamu, ayahku malam itu
tiada ada di rumah, pergi ke Padang Panjang, menguruskan
perniagaannya pada beberapa toko langganannya di sana,
yang rupanya hendak mungkir membayar utangnya dan tak
mau mengambil barang-barang lagi kepada ayahku. Itulah
yang menjadikan pikiran dalam hatiku. Sesungguhnyakah
sekalian itu perbuatan orang" Jika benar, apakah maksudnya
dan siapakah musuh yang tersembunyi ini"
Setelah pulanglah ayahku pada keesokan harinya, sebab
dikirimi surat kawat oleh ayahmu, kuceritakan kecelakaan itu
kepadanya dan kukabarkanlah pula syak hatiku kepada orang
yang telah kaumimpikan itu. Akan tetapi ayahku tiada hendak
mendengar perkataanku ini, karena ia sangat percaya rupanya
kepada orang itu. "Bukannya ia yang berbuat jahat," kata ayahku, "melain-kan nasib kitalah yang sedemikian. Sungguhpun begitu,
janganlah kaususahkan hal itu!" kata ayahku pula, "karena
kebun kelapaku masih ada dan barang-barang hutan yang ku-terima bulan ini, adalah pula lima perahu banyaknya; cukup
bagiku akan memulai berniaga, sebagai dahulu. Jika dengan
tolong Allah, akan kembalilah segala yang telah hilang itu."
Ayahku, karena sabarnya rupanya dengan sepenuh-penuh
hatinya menyerahkan untungnya kepada Tuhan Yang Maha-kuasa dan memohonkan kurnia-Nya. Itulah pula yang me-nimbulkan ajaib hatiku, karena kelak akan nyata kepadamu,
bahwa Tuhan telah meninggalkan kami dan tiada menolong
kami lagi, walaupun tiada kuketahui, apakah dosa dan
kesalahan yang telah kami perbuat. Segala kesangsaraan dan
kecelakaan datangnya bertimpa-timpa, seba gai adalah kutuk
yang telah jatuh ke atas kepala kami; karena dua hari
kemudian daripada itu datanglah anak perahu ayahku yang
biasa membawa dan mengambil barang perniagaan dari
Terusan dan Painan mengabarkan, kelima perahu ayahku
telah karam di laut, dilanggar topan yang berembus, tatkala
malam kebakaran itu. Suatu pun dari muatannya tak ada yang
ketolongan, sedang sekalian anak perahu, niscaya akan mati
di laut, jika tiada ditolong oleh perahu lain.
Bagaimana rasa hati ayahku ketika mendengar kabar itu,
tak dapatlah kuceritakan di sini, melainkan Allah jugalah
yang mengetahuinya. Sungguhpun air mukanya tetap, tiada
berubah, dan rupanya menyerah dan tawakal kepada Tuhan,
tetapi aku tahu, hatinya di dalam remuk redam sebagai kaca
jatuh ke batu. Sejak hari itu kami hidup berhemat-hemat.
Tiada lama kemudian daripada itu, rupanya ayahku
meminjam duit kepada Datuk Meringgih, banyaknya sepuluh
ribu, dengan janji itu bagi ayahku, tiadalah kuketahui.
Barangkali akan pembayar utang atau akan dijalankan pula
membangunkan perniagaannya yang telah jatuh itu. Tetapi
rupanya di dalam tiga bulan itu selalu ia rugi, sehingga
habislah uang itu. Sekalian orangnya di Terusan dan Painan,
lari meninggalkan ayahku dengan membawa uang yang ada
padanya, dan segala toko langganan ayahku di Padang Darat
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu pun mungkir pula tiada hendak membayar utangnya.
Tinggal satu lagi harapan ayahku, yaitu kebun kelapa di
Ujung Karang, tetapi pengharapan ini pun diputuskan pula,
karena kami harus jatuh ke lumpur, tak boleh ditolong lagi.
Iblis yang mendatangkan segala mara bahaya itu rupanya
belum puas melihat kami telah jadi sedemikian. Bukannya
harta kami saja yang akan dilenyapkannya, tetapi jiwa kami
pun akan dicabutnya pula dan bila nasib yang malang ini,
tiada hendak meninggalkan kami, niscayalah maksud
jahanam itu tiada lama lagi akan sampai.
Pohon kelapa yang diharapkan ayahku itu, tiada hendak
berbuah lagi, sedang buahnya yang ada pun, tua muda jadi
busuk, gugur ke tanah. Batangnya pun mati semuanya.
Bagaimanakah boleh jadi kecelakaan datang berti
mpa-timpa sedemikian itu, tak habis kupikir-pikirkan. Pecah
otakku mengenangkan apakah dosa ayahku maka sampai
mendapat hukuman serupa itu" Aku tak percaya, ayahku ada
berbuat sesuatu yang tak baik atau kesalahan yang besar,
sampai disiksa sedemikian itu.
Akan tetapi apa hendak dikata" Jika nasib akan jatuh,
sekaliannya boleh menjadi sebab. Bagiku adalah untung itu
sebagai kata pepatah: Disangka panas sampai petang, kiranya
hujan tengah hari. Di situlah nyata kebesaran Tuhan, yang
boleh menjadi tamsil bagi segala hartawan. Jika dikehendaki-
Nya, harta yang sebagaimana banyaknya pun dapat lenyap
dalam sekejap mata."
Baharu hingga itu terbaca oleh Samsu surat Nurbaya ini,
bercucuranlah air matanya, yang sejak tadi ditahan-tahannya.
"Larilah rupanya bahaya yang kutakutkan itu," pikirnya dalam
hatinya, "Bagaimanakah akhirnya kekasihku ini""
Setelah disapunya air matanya, lalu diteruskannya membaca
surat itu. "Setelah sampailah tiga bulan, datanglah Datuk Meringgih
meminta uang kembali, katanya sebab perlu dipakainya,
tetapi ayahku tiada beruang lagi. Walaupun berapa ayahku
minta janji, tiadalah diperkenan-kannya.
Waktu itulah baru tahu ayahku, bagaimana hati Datuk.
Meringgih sebenarnya kepadanya. Waktu itu berulah ia
berasa, Datuk Meringgih bukan sahabatnya, melainkan
musuhnya; jadi musuh yang sebesar-besarnya. Sekalian
sangkaku yang telah kukatakan kepadanya, mulai dipercayai-nya.
Akan tetapi apa boleh buat, Sam! Gadai telah terlanjur ke
Cina, tak dapat diubah lagi. Siapa tahu, barangkali Datuk
Meringgih inilah yang mendatangkan sekalian malapetaka itu,
sehingga ayahku sampai jatuh sedemikian. Sudah itu dengan
sengaja dipinjaminya ayahku uang, supaya ia jatuh pula ke
dalam tangannya. Jika demikian, sesungguhnyalah Datuk
Meringgih itu penjahat yang sebesar-besarnya, yang mengail
dalam belanga, menggunting dalam lipatan.
Setelah dipinta oleh ayahku dengan susah payah, barulah
diberinya tangguh sepekan lagi, akan tetapi dengan
perjanjian, apabila dalam sepekan itu tiada juga dibayar
hutang itu, tentulah akan disitanya rumah dan barang-barang
ayahku dan ayahku akan dima sukkannya ke dalam penjara.
Hanya bila aku diberikan kepadanya, raksasa buas ini,
bolehlah ayahku membayar utang itu, bila ada uangnya.
Membaca kekejian ini, merah padamlah warna muka Samsu.
Matanya sebagai berapi, urat keningnya membengkak dan
sekujur badannya gemetar. Tangannya dikepalkannya sebagai
hendak menerkam Datuk Meringgih, yang pada penglihatannya
barangkali ada di mukanya.
"Jahanam!" demikianlah perkataan yang keluar dari
mulutnya, "Anjing tua yang tiada berbudi. Ingat rupa dan
umurmu hendak meminta Nurbaya. Dengan hantu, patut engkau
kawin!" Setelah disabarkan Samsu hatinya , lalu dibacanya pula surat
itu, karena sangat ingin ia he ndak mengetahui, apakah jadinya
dengan kekasihnya itu. "Di dalam sepekan itu," demikianlah sambungan surat
Nurbaya," pergilah ayahku ke sana kemari mencari uang,
tetapi tiadalah seorang juga yang percaya lagi kepadanya,
karena ia telah jatuh sengsara. Sedangkan sahabat karibnya,
yang acap kali ditolongnya di dalam kesenangannya, telah
meninggalkannya pula. Rupanya begitulah adat dunia ini,
patut dikiaskan oleh orang Jakarta dengan sindiran: Ada uang
abang sayang, tak ada uang abang melayang. Ya! Kawan
gelak yang banyak, tetapi kawan menangis jarang bersua.
Rupanya uang itulah yang dipandang, ditakuti, dihormati, dan
dicintai orang; uang itulah sahabat kerabat, ibu-bapa dan
sanak saudara. Yang tak beruang akan yatim piatulah, sunyi
daripada sekaliannya, hidup sebatang kara.
Jika demikian, alangkah lanc ungnya dunia ini, alangkah
jahatnya manusia itu! Tetapi sesungguhnya tak ada orang
yang tiada memandang uang di dalam dunia ini" Hormat
karena hormat, takut karena takut, sayang karena sayang, dan
cinta karena cinta" Walaupun aku percaya, tentulah ada juga
orang yang tiada memandang uang, orang yang sebenarnya
orang, di antara penduduk kota Padang ini, tetapi sebab
kecelakaan yang bertimba-timpa ini, menjadilah syak hatiku
dan kurang kepercayaanku.
Sekarang marilah kuteruskan ceritaku, supaya jangan terlalu
panjang surat ini. Kebun kelapa yang di Ujung Karang itu, harta ayahku yang
penghabisan, tak lalai dijual, karena kelapanya sekalian telah
mati." Ketika itu hati Samsu makin bertambah-tambah tak enak,
sehingga ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Oleh sebab itu; tatkala akan sampailah janji ayahku itu
kepada Datuk Meringgih, pada malamnya, datanglah ia
kepadaku, bertanyakan pikiranku tentang hal ini, karena
esoknya tentulah akan datang Datuk ini mendengar
keputusan kami. Aku tiada terkata-kata lagi; sejak terbakar toko ayahku,
hatiku tak dapat kusenangkan. Acap kali menangislah aku
pada malam hari mengenangkan nasibku yang malang ini.
Mimpirnu pun selalu terbayang-bayang di mataku. Setelah
Datuk Meringgih menagih piutangnya, tiadalah aku dapat
tidur setiap malam, melainkan selalu menangis bersedih hati.
Kerap kali aku terkejut, karena sebagai kelihatan olehku
Datuk Meringgih datang menguasai aku. Dengan demikian,
badanku menjadi kurus kering tinggal kulit pembalut tulang:
Jika engkau lihat aku sekarang jni, pastilah tak kenal lagi
engkau kepadaku. Demikianlah perubahan badanku, karena
sedih, susah, takut dan makan hati."
"Aku tahu, Nur, bahwa engkau tiada suka kepada Datuk
Meringgih," kata ayahku pada malam itu kepadaku. "Pertama
umurnya telah tua, kedua karena rupanya tak elok, ketiga
karena tabiatnya keji. Itulah sebabnya ia bukan jodohmu. Dan
aku tahu pula bagaimana hatimu kepada Samsu dan hatinya
kepadamu. Aku pun tiada lain. melainkan itulah yang kucita-citakan dan kuharapkan siang dan malam, yakni akan melihat
engkau duduk bersama-sama dengan Samsu kelak, karena
ialah jodohmu yang sebanding dengan engkau.
Aku percaya pula, bahwa orang tuanya yang waktu ini
sangat bersedih hati melihat halku ini dan terlalu ingin hendak
menolong aku, tetapi karena tak dapat, hanya berawan hati
menjauhkan diri, bahwa Sutan Mahmud pun tiada akan
mengalangi cita-cita kita ini, bahkan akan serta mencukupi
perjodohan itu. Sungguhpun aku tahu akan sekalian itu, tapi
hendak juga kutanyakan pikiranmu, supaya jangan sampai
menjadi sesalan kemudian han, karena engkau sendirilah yang
dapat memutuskan perkara ini. Jika sudi engkau menjadi istri
Datuk Meringgih, selamatlah aku, tak masuk ke dalam
penjara dan tentulah tiada akan terjual rumah dan tanah kita
ini. Akan tetapi jika tak sudi engkau, niscaya aku dan sekalian
kita yang masih ada ini, akan jatuh ke dalam tangannya."
Mendengar perkataan ayahku ini, tiadalah dapat kutahan
lagi sedih hatiku, hancur luluh rasa jantungku, lalu menangis-lah aku tersedu-sedu di dada ayahku, sehingga basahlah baju
dan kainnya, karena air mataku yang bercucuran. Tiadalah
kujawab perkataannya sepatah pun karena dadaku bagaikan
pecah dan leherku bagai terkunci.
Tatkala ayahku melihat halku sedernikian itu, air matanya
tak dapat ditahannya, sehingga keluar berlinang-linang jatuh
ke pipinya, lalu diciumnya kepalaku sambil berkata,
"Nurbaya, sekali-kali aku tiada berniat hendak memaksa
engkau. Jika tak sudi engkau, sudahlah; tak mengapa. Biarlah
harta yang masih ada ini hilang ataupun aku masuk penjara
sekalipun, asal jangan bertambah-tambah pula dukacitamu.
Pada pikiranku tiadalah akan sampai dipenjarakannya aku;
mungkin masih boleh ia dibujuk. Sesungguhnya aku terlebih
suka mati daripada memaksa engkau kawin dengan orang
yang tiada kausukai; dan jika aku tiada ingat akan engkau dan
tiada takut akan Tuhanku, niscaya telah lama tak ada lagi aku
dalam dunia ini. Tetapi engkaulah yang menjadi alanganku.
Bagaimanakah halmu kelak, bila aku tak ada lagi" Siapakah
yang akan memeliharamu""
Ketika itu berlinang-linanglah pula air mata ayahku di
pipinya. Sesungguhnya harta benda itu tiada berguna bagiku,
jika engkau tiada ada. Apa yang akan kubela" Tanggunganku
yang lain tak ada ibumu pun telah lama meninggal dunia.
Pikiran kepadamulah yang membangkitkan hatiku hendak
berniaga, mencari keuntungan yang banyak, supaya engkau
kelak jangan susah dalam Whidupanmu. Tiada lain yang
kuingini dan kuamalkan serta kupohonkan kepada Rabbul-alamin, melainkan kesenangan dan kesentosaanmulah kelak,
bila aku telah berpulang. Sekarang engka
u tak suka pada orang itu, sudahlah! Kewajibarrku telah kujalankan, supaya
jangan engkau menyesali aku pula kelak. Sekarang marilah
kita nanti segala kehendak Tuhan dengan tawakal dan
menyerah!" Mendengar bujukan ayahku ini, barulah dapat aku
mengeluarkan suara lalu bertanya, "Tidakkah cukup untuk
pembayar utang itu, kalau sekalian barang hamba jual dengan
rumah dan tanah Ayah" Karena hamba lebih suka miskin
daripada jadi istri Datuk Me ringgih."
"Tanah tak laku, sebab tak ada orang yang hendak mem-belinya dan harga barang-barangmu dengan rumah ini tentu-lah tak lebih dari.enam tujuh ribu rupiah. Di mana dicari yang
lain dengan bunga uang utang itu" Tetapi sudahlah, jangan
kaupikirkan lagi perkara ini senangkanlah hatimu, dan kita
tunggulah apa yang akan datang."
Semalam-malaman itu tak dapat aku memejamkan mataku
barang sekejap pun; menangis pun tak dapat pula, sebagai
kehabisan air mata. Sungguhpun mataku terbuka, tetapi tak
dapat aku berpikir apa-apa; adalah sebagai otakku telah lelah.
Oleh sebab itu berbaringlah lalu semalam-malaman itu
dengan mata yang terbuka dan pikiran yang kacau-balau.
Halku adalah seperti orang yang tiada khabarkan dirinya,
antara bangun dengan tidur, antara hidup dengan mati.
Berbagai-bagai penglihatan dengan perasaan yang memberi
takut dan dahsyat hatiku, datang menggoda. Dikatakan ber-mimpi, mataku terbuka, dikatakan jaga, pikiranku tiada
hendak menurut kemauanku. Inilah agaknya yang disebut
orang bermimpi dalam bangun.
Setelah menyingsinglah fajar di sebelah timur dan ber-kokoklah ayam berbalas-balas an, barulah sadar aku akan
diriku dan nyatalah kepada hari telah subuh, lalu keluarlah
aku membasahi kepalaku yang masih panas, sebagai besi
menyala. Kemudian aku mandi akan menyegarkan tubuhku.
Sesudah mandi, barulah agak dapat aku berfikir dengan benar.
Tatkala ingatlah pula aku akan halku, kecutlah kembali hatiku
dan berdebar-debarlah jantungku serta gemetar sendi tulang-ku, karena sebentar lagi akan jatuhlah hukumanku atau
hukuman ayahku. Bila aku tiad a diterkamnya, niscaya ayah-kulah yang akan disiksanya, binatang buas itu.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, sesungguhnya
datanglah Datuk Meringgih dengan dua orang Belanda.
Setelah naik ke rumahku dengan tiada duduk lagi, ia bertanya
kepada ayahku, "Bagaimana""
"Tak dapat kubayar utang itu," jawab ayahku, "dan anakku
tak dapat pula kuberikan kepadamu."
Tatkala mendengar perkataan ayahku ini, merentaklah ia
dengan marahnya, lalu berkata, "Jika demikian, tanggunglah
olehmu!" lalu diserahkannya perkara itu kepada pegawai
Belanda, yang datang bersama-sama dengan dia. Seorang
daripada tuan ini berkata, sambil mendekati ayahku,
"Walaupun dengan sedih hati, tetapi terpaksa hamba akan
membawa tuan ke dalam penjara, atas kemauan Datuk
Meringgih." "Dan hamba terpaksa pula menyita rumah dan sekalian
harta tuan hamba," kata pegawai yang lain.
Ayahku tiada dapat menyahut apa-apa lain daripada,
"Lakukan kewajiban tuan-tuan!"
Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara,
sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mata-ku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui,
keluarlah aku, lalu berteriak, "Jangan dipenjarakan ayahku!
Biarlah aku jadi istri Datuk Meringgih!"
Mendengar perkataanku itu, tersenyumlah Datuk Meringgih
dengan senyum, yang pada penglihatanku, sebagai senyum
seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya, dan ter-bayanglah sukacitanya dan berahi serta hawa nafsu hewan
kepada matanya, sehingga terpaksa aku menutup mataku.
Ayahku tiada berkata apa-apa melainkan datang memeluk
aku, sambil bertanya "Benarkah katamu itu"" Seperti suatu
perkakas mengangguklah aku, karena mengeluarkan perkata-an tak dapat lagi.
"Oleh sebab hendak menolong ayahku, anakku menyerah-kan dirinya kepadamu, untuk memuaskan hawa nafsu dan
hatimu, yang sebagai hati binatang itu." kata ayahku kepada
Datuk Meringgih." Sekarang barulah kuketahui bahwa
kejatuhanku ini semata-mata kare na perbuatanmu juga karena
busuk hatimu, dengki dan tak dapat engkau melihat orang lain
berharta pula seperti engkau. Dengan berbuat pura-pura ber-sahabat ka
rib dengan aku, kauperdayakan aku, sampai aku
jatuh ke dalam tanganmu dan harus menurut sebarang
kehendakmu yang keji itu. Tetapi tak apa, Datuk Meringgih!
Tuhan itu tiada buta; lambat-laun tentulah engkau akan
beroleh juga hukuman atas khianatmu ini," lalu ayahku
menuntun aku masuk ke dalam rumah. Sejak waktu itulah
Samsu, aku menjadi istri Datuk Meringgih ...
Di sini tulisan surat itu tiada terang pula, sebab kertasnya
penuh dengan bekas air mata.
Setelah Samsu membaca kecelakaan ini, lalu ia menunduk-kan kepalanya ke atas mejanya, menangis amat sangat, karena
sedih akan nasib kekasihnya dan untungnya sendiri pun. Segala
cita-cita hatinya yang sekian lama diharap-harapkannya, pada
saat itu hilang lenyap, sebagai batu jatuh ke lubuk, hujan jatuh ke
pasir, tak dapat dicari lagi. Pengharapan yang telah sekian lama
berurat berdaging dalam jantungnya, tiba-tiba diputuskan oleh
Datuk Meringgih, dengan putus ya ng tak dapat disambung lagi.
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Inilah jadinya segala kenang-kenanganku yang sekian lama
aku hasratkan! Inilah buah permintaan dan doaku yang kupohon-
kan siang dan malam kepada Tuhan yang Maha Kuasa! Alang-kah malangnya untung nasibku ini!" demikianlah buah tangis
Samsulbahri seorang diri di dalam biliknya.
Setelah menangis amat sedih beberapa lamanya, tiba-tiba
berdirilah ia dengan menggertakkan giginya dan mengepalkan
tangannya. Dengan muka yang pucat dan mata yang bernyala-nyala, karena menahan marahnya, dipegangnyalah potret
Nurbaya yang ada dekatnya sambil mengangkat mukanya ke atas
lalu bersumpah, "Demi Allah, de mi rasul-Nya! Selagi ada napas
di dalam dadaku, akan kubalas jua kejahatan ini! Tiada puas
hatiku sebelum kutuntut bela atas aniayanya ini.
Ya Allah, ya Tuhanku! Perkenankanlah juga permintaanku
ini dan janganlah dicabut nyawaku lebih dahulu, sebelum sampai
maksudku ini." Setelah bersumpah itu, tunduklah Samsu beberapa saat lama-nya, sebagai hendak menahan sedih dan amarahnya; kemudian
terduduklah pula ia ke atas kursinya, tiada berkata-kata barang
sepatah pun. Tatkala sadarlah ia ke mbali akan dirinya, lalu di-teruskannya membaca surat Nurbaya dengan mata yang masih
merah dan basah. "Barangkali tak dapat kaupikirkan. Samsu, bagaimana
hancur hatiku sekarang ini. Pertama karena telah mungkir
janji kepadamu dan memutuskan pengharapanmu; kedua
karena terpaksa duduk dengan seorang-orang yang sebagai
Datuk Meringgih ini; iblis tua yang sangat kubenci. Tiadalah
suatu yang dapat kupandang padanya. Sungguh kaya, rupanya
sama dengan hantu pemburu, bangsanya, Allah yang tahu,
asalnya penjual ikan kering, tabiatnya lebih daripada tabiat
binatang, kelakuannya kasar dan bengis. Lagi pula ialah orang
yang menjatuhkan ayahku dari kekayaan dan namanya; ialah
musuh kami yang sebesar-besarnya dan ialah pula yang akan
menjadi algojoku, untuk mencabut nyawaku. Kepada orang
yang sedemikian itu aku harus menyerahkan diriku. Dengan
dia aku harus hidup bersama-sama. Cobalah kaupikir; Aduh!
Agaknya tak ada orang yang sama sengsaranya dengan aku
dalam dunia ini! Sungguhpun telah kupaparkan sekalian hal ihwalku ini,
barangkali belumlah juga engkau percaya kepadaku dan
masih bersangka, bahwa segala hal itu kuperbuat-buat jua,
untuk memperdayakan engkau. Akan tetapi Allah subhanahu
wata ala saksiku, Sam, dan Dialah juga yang mengetahui
bagaimana rasa hatiku, tatkala aku harus menyerahkan diriku.
Sungguhpun demikian tiadalah boleh juga aku berkecil hati,
bila engkau tiada hendak percaya kepadaku, karena walau
bagaimana sekalipun aku memang teiah mungkir janji, tiada
menurut perkataan dan sumpahku yang telah kukeluarkan.
Dan akulah seorang perempuan yang telah memutuskan peng-harapan kekasihnya. Sekalian itu tak dapat kutidakkan. Akan
tetapi adakah jalan lain yang dapat kuturut di dalam
kecelakaan ini" Oleh sebab tiada terderita olehku penanggungan yang
sebagai ini, timbullah ingatan dalam hatiku hendak mem-bunuh diriku. Itulah hukuman yang berpadanan dengan dosa-ku. Seribu kali lebih suka aku mati berkalang tanah, daripada
hidup bercermin bangkai, sebagai ini. Akan tetapi tatkala aku
hendak memakan racun, datanglah ingatanku,
kalau-kalau perbuatan ini salah pula pada hematku.
Oleh sebab itu kutulislah surat ini, supaya kau ketahui halku
ini dari awal sampai akhirnya dan tahu pula segala sebab-sebab yang telah menjadikan aku sampai mungkir janji. Bila
telah kaubaca surat ini, dapatlah kautimbang hukuman yang
akan kaujatuhkan ke atas diri ku, dan yang akan kuterima
dengan rela dan tulus. Bila dari padamu pun aku tiada akan
mendapat ampun, tahulah aku, bahwa di dalam dunia ini tak
ada harapanku lagi. Oleh sebab itu kupinta kepadamu dengan
sebesar-besar permintaan, kaubalaslah surat ini dengan
segera. Sebagai kaulihat, sebagian daripada mimpimu dahulu itu
telah terjadi, tinggal jatuh ke dalam jurang itu saja lagi. Bila
telah sampai ke sana, tentulah ajalku pun akan sampailah
pula. Jadi kejatuhanku karena Datuk Meringgih ini, tak dapat
kutolak lagi, karena demikianlah sudah untung nasibku. Oleh
sebab itu, di dalam hal ini, terlebih baik bagiku, lekas-lekas
dihabiskan umurku, supaya jangan menanggung terlalu lama.
Suatu yang akan melipur hatiku kelak. apabila aku telah
sampai ke sana, kepada penghabisan mimpimu itu, ialah jatuh
ke dalam jurang itu adalah bersama-sama dengan engkau.
Barangkali di sanalah kita tiada akan bercerai lagi, walaupun
dalam dunia ini masih dapat dipisahkan orang. Di akhiratlah
kita akan bersatu selama-lamanya.
Sehingga inilah dahulu, kekasihku. Kelak, jika masih ada
hayat di kandung badanku, kusambunglah pula cerita yang
malang ini, asal masih sudih engkau melihat bekas tanganku
yang akan melukiskan untungku yang celaka ini. Barangkali
juga aku tiada boleh lagi memanggil engkau kekasihku, tetapi
menjadi abangku, barangkali masih suka engkau dan
sambutlah peluk cium daripada adikmu yang sengsara ini.
NURBAYA Setelah Samsu membaca surat ini, dire bahkannyal ah dirinya
di tempat tidurnya, lalu menelungkup menangis tersedu-sedu
semalam-malaman itu. IX. SAMSULBAHRI PULANG KE PADANG
Lebih dari setahun lamanya kita tinggalkan gunung Padang,
sejak Samsulbahri berjalan-jalan ke sana dengan Nurbaya dan
teman-temannya. Sekarang marilah kita kembali pula ke sana,
karena pada hari ini sangatla h ramai di gunung itu, penuh sesak
dengan beratus-ratus orang laki-laki perempuan, kecil besar, tua
muda. Dekat-dekat pekuburan; di bawah-bawah polion kayu, di
tempat yang teduh-teduh, duduklah mereka berkumpul-kumpul.
Ada yang sedang asyik membaca salawat, untuk sekalian ahli
kubur, ada yang sedang asyik membersihkan kubur orang tua-nya, ada yang sedang meratap menangis di atas kubur anaknya,
yang baharu meninggal dunia dan ada pula yang sedang
menyiramkan air cendana dan menaruh bunga rampai, di atas
kubur saudaranya, yang amat dicintainya. Akan tetapi ada pula
yang hanya duduk bercakap-cakap saja dan banyak pula yang
datang sekedar hendak melihat-lihat atau beramai-ramai saja. Di
jalan ke gunung itu dan di kakinya, penuh dengan orang, sebagai
di pasar rupanya. Ada yang datang, ada yang pergi dan ada pula
yang berhenti melepaskan lelah.
Di batang Arau kelihatan berpuluh-puluh sampan, yang
menyeberangkan mereka pulang balik, sedang di pinggir jalan
raya kelihatan pula berpuluh-puluh bendi berjejer, menunggu
muatan. Fakir dan miskin serta alim ulama, demikian pula haji-haji banyak yang datang, untuk mendoa. Ada yang kedengaran
sedang ratib dan ada pula yang sedang membaca fatihah.
Apakah sebabnya maka ramai sungguh waktu itu di gunung
Padang" O, karena hari itulah penghabisan bulan Sya'ban; esok-nya akan mulai puasa bulan Ramadan. Sebelum masuk ke dalam
bulan yang baik ini, pergilah seisi kota Padang mengunjungi
pekuburan sekalian kaum keluarganya, yang telah berpulang ke
rahmatullah, untuk mendoakan arwahnya dan memohonkan
selamat, supaya yang telah meninggal dan yang masih hidup
pun, semuanya dipelihara Tuhan dalam segala hal.
Oleh sebab tinggal sehari itulah kaum Muslimin boleh makan
siang hari, dipuas-puaskan me rekalah nafsunya dengan segala
makan-makanan yang lezat cita rasanya. Itulah sebabnya maka
dinamakan orang Padang hari itu "hari makan-makan".
Pada petangnya, kelihatan bulan sebagai secarik kertas, me-mancarkan cahay
anya di sebelah barat tiada berapa tingginya
dari muka airlaut. Oleh sebab itu berbunyilah tabuh pada
sekalian langgar dan mesjid akan memberitahukan kepada segala
urnat Islam, bahwa keesokan harinya, puasa akan dimulai.
Setelah tiga hari puasa dijalankan, pada keempat harinya,
masuklah sebuah kapal, yang datang dari Jakarta ke pelabuhan
Teluk Bayur, membawa beberapa murid-murid sekolah Jakarta,
yang asalnya dari Sumatra Barat. Mereka hendak pulang ke
rumahnya mengujungi orang tua dan handai tolannya, karena
dalam bulan puasa sekalian sekolah Bumiputra ditutup.
Di antara murid-murid itu, adalah juga Samsulbahri dengan
sahabatnya Arifin dan Bakhtiar. Tatkala merapatlah sudah kapal
ke pangkalan, naiklah ketiga mereka ke darat, lalu pulang
tergesa-gesa ke rumah orang tuanya masing-masing, karena
sangat rindu hendak bertemu dengan ibu-bapaknya. Hanya
Samsulbahrilah yang sebagai tiada mengindah, karena kekasih-nya yang ditinggalkannya dahulu tak ada lagi. Yang akan
menyambutnya hanya ibu bapaknya saja. Istimewa pula, karena
pulangnya itu niscaya akan membangunkan kembali segala
ingatan kepada waktu yang telah silam.
Setelah sampailah Samsu ke rumah orang tuanya, lalu ber-jabat tanganlah ia dengan ayah nya dan ibunya dipeluknya.
Kemudian masuklah ia ke dalam biliknya, akan menukar
pakaiannya. Sebab itu keluarlah pula, bercakap-cakap dengan
orang tuanya, menceritakan halnya, pelajarannya di Jakarta dan
pelayarannya dengan kapal pulang balik. Tetapi sungguhpun ia
berkata-kata itu hati dan pikirannya tiada di sana, melayang
entah ke mana. Halnya ini diketahui oleh ibunya dan Sitti
Maryam turut berdukacita, mengenangkan nasib anaknya, yang
sebiji mata ini. Sungguhpun de mikian, tiadalah dibayangkan
Samsu, pada mukanya, perasaan hatinya.
"Kasihan," kata Samsu dengan suara yang pilu, karena se-sungguhnya hatinya terlalu sedih, tatkala melihat rumah orang
tuanya dan rumah Nurbaya dengan sekalian yang menimbulkan
ingatan kepada waktu yang te lah lalu, sehingga hampirlah
menyesal ia pulang ke Padang, "hamba melihat seorang
hukuman membuangkan dirinya ke laut sebagai seorang yang
telah putus asa." "Di mana"" tanya ibunya dengan terperanjat, mendengar
kabar yang dahsyat itu, takut kalau-kalau anaknya berbuat
demikian pula. "Di laut Tanjung Cina, malam kemarin dahulu. Tatkala
gelombang amat besar, melompatla h ia dari geladak kapal ke
laut, lalu hilang tiada timbul lagi."
"Ya Allah, ya rabbi, kasihan!" sahut ibunya dengan ngeri.
"Rupanya karena putus asa, lebih suka ia mati di dalam laut
daripada menanggung kesengsaraan, kehinaan dan malu. Patut-lah acap kali hamba lihat ia termenung dan terkadang-kadang
menangis di gisi kapal; makan pun kerap kali tiada suka."
"Barangkali ia hendak lari ," kata Sutan Mahmud.
"Pada pikiran hamba bukan demikian," sahut Samsu, "karena
kapal waktu itu jauh di tengah lautan; daratan tak kelihatan.
Masakan dapat ia mencapai pantai. Lagi pula tangannya
dibelenggu; bagaimanakah ia dapat berenang""
"Sedih amat! Bagaimanakah rasa hati anak-bininya, ibu-bapa
dan sanak saudaranya, bila mendengar kabar itu"" kata Sitti
Maryam pula. "Barangkali ia sebatang kara atau besar kesalahannya," sahut
Sutan Mahmud. "Kesalahan manusia itu, hanya Allah yang mengetahui,"
jawab istrinya. "Kabarnya ia dipersalahkan membunuh orang, sebab itu di-hukum buang dalam rantai lima belas tahun lamanya ke Sawah
Lunto," kata Samsu pula.
"Nah, dengarlah itu! Kalau tak bersalah, masakan dihukum
seberat itu," jawab Sutan Mahmud.
"Biarpun telah dihukum, belum te ntu lagi bersalah, karena
hukuman itu, walau rupanya adil sekalipun, masih hukuman
dunia dan hakimnya manusia, yang gawat dan lemah, sebagai
kita sekalian juga," jawab Sitti Maryam.
"Baik; tetapi hakim itu bukannya orang bodoh, melainkan
orang yang ahli dalam undang-undang, orang yang telah ter-pelajar dan bersekolah tinggi. Lagi pula bukan seorang hakim
yang menghukum itu, melainkan bersama-sama; bagaimana
boleh salah juga"" kata Sutan Mahmud pula.
"Walau demikian sekalipun, belum dapat juga lagi kita
pastikan, orang itu bersalah; ka rena yang batin itu tak dapat
diketa hui manusia," jawab Sitti Maryam.
Samsulbahri tiada hendak me ncampuri pertengkaran ayah
dengan ibunya ini, istimewa pula karena pikirannya tak ada di
sana. "Bagaimana pula engkau ini"" kata Sutan Mahmud,
"masakan hakim menghukum ora ng dengan tiada semena-mena"
Tentulah telah cukup ketera ngannya dengan saksi-saksinya
sekalian, baru dihukum."
"Saksi itulah yang acap kali menyesatkan hakim untuk
mendapat kebenaran. Kakanda ja ngan gusar, karena perkataan
adinda ini. Cobalah dengar misal yang akan adinda ceritakan ini!
Seorang yang kaya atau berpangkat tinggi, hendak membinasa-kan seorang miskin. Dengan uang atau pangkatnya itu, mudah
baginya mengadakan beberapa saksi palsu. Bila hakim hanya
mendengar saksi saja, tentulah si miskin, yang tiada bersalah itu,
akan dihukum. Misal yang kedua. Di tempat yang sunyi, dibunuh oleh
seorang penjahat seorang yang melintas ke qana, karena hendak
merampas harta bendanya. Seorang yang baik dan lurus hati,
yang tiada bersalah suatu apa sampai pula ke sana. Tatkala
dilihatnya orang terhantar di jalan raya, tentulah akan diperiksa-
nya, kalau-kalau masih dapat ditolong. Karena memeriksa itu
pakaiannya kena darah. Ketika itu datang empat orang yang lain
ke sana, lalu tampak olehnya si lurus hati itu ada dekat mayat,
dengan pakaiannya berlumur darah. Tidakkah ia akan didakwa
berbuat kejahatan itu " Sekalian saksi tentu dapat mengaku di
hadapan hakim mereka telah me lihat dengan matanya sendiri
bahwa si lurus hatilah yang ada dekat mayat, dengan berlumuran
darah pakaiannya. Saksi-saksi ini berkata benar, tiada berdusta.
Tidaklah dapat dikatakan cukup keterangan" Yaitu empat lima
saksi-saksi yang berkata benar dan pakaian yang berlumuran
darah" Oleh sebab itu hakim menghukum si lurus hati ini. Akan
tetapi benarkah ia bersalah dalam pembunuhan itu""
Oleh karena mendengar kebenaran perkataan istrinya ini,
bangunlah Sutan Mahmud dari kursinya, lalu pergi duduk di
serambi muka, karena kalah bersoal jawab dengan istrinya, tetapi
malu mengaku kebodohannya.
Setelah keluar Sutan Mahmud, barulah kelihatan oleh Sitti
Maryam, anaknya, Samsulbahri, sedang termenung melihat ke
rumah Nurbaya, lalu ditegurnya dengan pertanyaan, "Samsu,
apakah yang kaumenungkan"" wa laupun telah diketahuinya, apa
yang dipikirkan anaknya pada waktu itu.
"Ah, tidak apa-apa, Bu," sahut Samsu, "ingatan hamba belum
lepas dari kejadian yang telah hamba ceritakan tadi. Rupanya
pengharapan yang putus itu, boleh memberi bahaya, yang amat
sangat kepada manusia."
Mendengar jawaban anaknya ini, berdebarlah Sitti Maryam,
takut kalau-kalau Samsu telah putus asa pengharapan pula. Oleh
sebab itu, bertanyalah ia kepada Samsu, akan menduga hati
anaknya ini, "Sudahkah engkau tahu, bahwa Nurbaya telah
kawin dengan Datuk Meringgih" Ada aku suruh ayahmu
mengabarkan hal itu kepadamu, tetapi entah dikabarkannya
entah tidak, tiadalah kuketahui."
Yang sebenarnya dilarang oleh Sitti Maryam, suaminya
menulis surat kepada Samsu, tentang hal ini, sebab ia takut
anaknya ini akan putus asa.
"Sudah," jawab Samsu dengan pendek, karena tak dapat
rupanya ia mendengar lagi kabar itu.
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Barangkali engkau kurang suka melihat perkawinan ini,
sebab sesungguhnya tak layak saudaramu itu duduk dengan
Datuk Meringgih. Tetapi apa hendak dikata" Sekalian itu takdir
daripada Tuhan semata-mata, tak dapat dibatalkan lagi. Pergilah
engkau ke rumahnya! Ayahandanya telah beberapa hari sakit. Di
sana akan kaudengar, bahwa itulah jalan yang sebaik-baiknya
untuk melepaskan mereka daripada kecelakaannya," kata Sitti
Maryam, membujuk anaknya.
"Sakit apakah Mamanda Baginda Sulaiman"" tanya Samsu.
"Sakit demam dan sakit kepa la," jawab Sitti Maryam.
"Baiklah, segera hamba pergi ke sana," kata Samsu, lalu
masuk ke biliknya akan menuka r pakaiannya. Tatkala itu
datanglah sais Ali membawa sekalian buah-buaha n yang dibawa
Samsu dari Jakarta. Renjana Pendekar 14 Roro Centil 21 Manusia Srigala Hantu Lima Centi Meter 1
balas-berbalas. Segala sesuatu tiada kekal, melainkan bertukar-tukar dan berpindah-pindah j uga. Bulan berputar mengedari
matahari, dan matahari berputar pula mengedari alam. Apakah
yang tetap" Tak ada, melainkan Tuhan Yang Esa j
uga. Kekayaanmu yang dikurniakan Tuhan kepadamu itu tiada
memberi paedah bagi dirimu sendiri, bagi sesamamu manusia
dan bagi isi dunia ini; melainkan mendatangkan kesenangan dan
kedukaan juga kepada mereka sekalian dan kepada dirimu
sendiri pun. Sungguhpun telah adat manusia bersifat loba dan tamak,
walaupun tiada sama pada tiap-tiap orang, karena jika telah ada
yang sejari hendak yang sejengkal, bila telah ada yang sejengkal
hendak sedepa, dan bila ada yang sedepa pun hendak lebih juga
tiada berkeputusan, selagi hayat di kandung badan, dan
walaupun sifat yang demikianlah yang membawa manusia itu ke
padang kemajuan, tetapi hendaklah berhati-ha ti, sebab jalan yang
ditempuh bercabang dua; sebuah jalan kebaikan dan sebuah lagi
jalan kejahatan. Apabila jalan ya ng baik itu kauturut, berhasillah
pekerjaanmu, karena memberi paedah kepada dirimu sendiri dan
sesamamu manusia. Akan tetapi apabila jalan yang jahat itu yang
kautempu,. takkan tiada pekerjaanmu itu akan mendatangkan
bahaya dan bencana juga kepada sesamamu manusia dan kepada
dirimu sendiri pun. Apabila hartamu itu kaupergunakan untuk pembela dirimu,
supaya mendapat kehidupan yang senang, makan minum yang
cukup, rumah tangga dan paka ian yang baik, ataupun akan
engkau habiskan, untuk memuaskan hawa nafsumu yang baik,
sudahlah; karena seharusnyalah tiap-tiap manusia itu berikhtiar
mencari kesenangan dan kemajuan segala hal, asal jangan
melewati batas kebaikan. Sungguhpun demikian, akan lebih berpaedah juga pekerjaan-mu, bila hartamu itu kaupergunakan untuk berbuat baik kepada
sesamamu manusia dan berbuat ba kti kepada Tuhanmu supaya
dapat engkau memperbaiki yang rusak, menyelesaikan yang
kusut, menolong yang kesusahan, melipur yang miskin, jadi
mengurangi azab sengsara dunia ini. Karena ketahuilah olehmu,
bahwa dunia ini terlebih banyak mengandung yang susah
daripada yang senang, yang hina daripada yang mulia, yang,
kurang daripada yang cukup, yang miskin daripada yang kaya,
yang daif daripada yang kuat, yang malang daripada yang mujur.
Apabila tiada daripada engkau da n orang-orang kaya-kaya lain,
yang sebagai engkau, daripada siapakah mereka akan mendapat
pertolongan" Ingatlah! Kekayaan dan kemiskinan, kemuliaan dan
kehinaan, kesusahan dan kesenanga n, ya sekaliannya, datangnya
daripada Tuhan Yang Esa juga. Jika dikehendakinya, dengan
sekejap mata, bertukarlah kekayaan itu menjadi kemiskinan,
kemuliaan menjadi kehinaan, kesukaan menjadi kedukaan dan
tinggilah yang rendah, kayalah yang miskin, mulialah yang hina,
dan tertawalah yang menangis.
Oleh sebab itu, janganlah sombong dan angkuh, karena
beroleh kekayaan, kemuliaan, kesenangan, dan kesukaan
melainkan insyaflah, bahwa sekalian itu selydar pinjaman, yang
setiap waktu boleh diambil kembali oleh yang empunya.
Dan engkau pun yang berasa miskin dan hina, yang selalu
mendapat bahaya, kesengsaraan, dan kesedihan, janganlah putus
asa, melainkan sabar dan tawakallah juga kepada Tuhanmu serta
pohonkan pertolongan dan kurnia-Ny a. Sesudah hujan, niscaya
panas. Yang beruntung janganlah menghinakan yang malang, dan
yang malang janganlah dengki kepada yang beruntung
melainkan berkasih-kasihanlah selama-lamanya, serta tolong-menolong dalam segala hal, karena yang ber"untung perlu
kepada yang malang, dan yang malang perlu pula kepada yang
mujur. Jika tak ada yang malang, niscaya tak ada pula yang
inujur, dan jika tak ada yang be runtung, yang malang pun tak
ada pula. Apabila engkau pergunakan hartamu itu hai Datuk
Meringgih, untuk kebaikan, takkan tiada kebaikan pulalah yang
akan datang kepadamu, yang terlebih daripada kesukaan dan
kesenangan, yang engkau peroleh daripada bunyi dan cahaya
mata bendamu itu: karena suatu perbuatan atau pil.iran pun,
buruk dan baik, tiada hilang, sebagai hujan jatuh ke pasir,
melainkan hidup selama-lamany a dan timbul kembali pada
dirimu atau diri sesamamu.
Apabila kelak datang waktunya engkau akah meninggalkan
dunia ini dan engkau menoleh ke belakang, kepada jalan yang
telah kautempuh, niscaya perasaan yang sejahteralah yang akan
mengikutmu, karena aku ketahui, bahwa hidupmu tiada
kosong, sebagai padi hampa, melainkan banyak mendatangkan jasa
kepada sesamamu manusia. Sungguhpun Datuk Meringgih tiada disukai orang, karena
tabiat dan kelakuannya yang buruk dan loba tamaknya itu, tetapi
ia ditakuti dan disegani orang juga, sebab hartanya yang tiada
ternilai banyaknya itu: lebih-le bih oleh mereka yang acap kali
kesusahan uang. Karena ia lah tempat walaupun dengan
bunganya yang terkadang-kadang sampai separuh dari pinjaman.
Bila telah sampai kepada waktu perjanjian, hutang itu belum
dibayar oleh yang meminjam, niscaya tiada diberi maaf lagi
Datuk Meringgih, melainkan didakwanyalah mereka dan
dirampasnya panjar gadaian itu.
Di manakah diperoleh Datuk Meringgih harta yang sekian
banyaknya itu" Inilah suatu rahasia yang selalu menjadi per-mainan mulut dan buah pikiran isi kota Padang. Acap kali diper-bincangkan, kerapkali diterka-terka, tetapi tiadalah seorang jua
pun yang mengetahui hal itu. Demi kian pula tiada seorang juga
yang tahu, siapakah Datuk Meringgih ini sebenarnya dan dari
mana asalnya. Kira-kira dua puluh tahun yang telah lalu, Datuk ini dikenal
orang di Padang sebagai penjual ikan kering, di pasar di
Kampung Jawa. Tiba-tiba, pada suatu waktu, dibelinya sebuah
kota dan sejak waktu itu sangatlah lekas bertambah-tambah
kekayaannya, sehingga tatkala umurnya telah lebih daripada
empat puluh tahun, ia telah mempunyai beberapa toko-toko yang
besar dan gudang-gudang yang penuh berisi barang-barang
dagangan. Rumah sewaannya berpuluh-puluh, hampir sekalian
tanah di kota Padang ada dala m tangannya. Kebun kelapanya
berbahu-bahu dan sawahnya beratus-ratus piring. Di Muara,
hampir sekalian perahu yang membawa dan mengambil
dagangan, kepunyaannya. Seisi kota Padang heran melihat
kekayaan yang sebanyak itu dan yang bertambah-tambah secepat
itu, dengan tiada diketahui orang bagaimanakah Datuk
Meringgih memperolehnya, karena yang didengar dan dilihat
orang, hanyalah bakhil dan lobanya saja.
Oleh sebab itu, berbagai-bagailah cerita yang kedengaran
tentang asal kekayaan Datuk Meringgih ini. Ada yang berkata ia
mendapat lotere seratus ribu dan ada pula yang berkata ia men-dapat harta yang tersembunyi di dalam tanah. Orang yang keras
beragama menyangka ia telah bertemu dengan Nabi Khaidir
pada malam dua puluh tujuh bulan Ramadhan. Orang yang
percaya kepada takhyul, mengira bersahabat dengan jin. Dan
orang yang benci kepada Datuk ini mengatakan ia memasukkan
candu gelap. Akan tetapi yang sebenarnya, hanyalah Datuk
Meringgih seorang yang mengetahui.
Sekarang marilah kita dekati Datuk Meringgih, yang sedang
duduk di atas kursi malas di serambi belakang rumahnya itu,
untuk mengetahui apakah kerjanya, duduk seorang diri.
Tiada lama datuk meringgih duduk sedemikian itu, hari pun
malamlah dan gelaplah segala yang di darat dan di udara pun
telah masuk ke dalam kanda ng atau sarangnya. Hanya
kelelawarlah yang ke luar te rbang ke sana-sini, mencari
mangsanya. Keluang terbang tinggi beriring-iringan arah selatan,
mencari buah-buahan yang masak. Burung hantu mulai berbunyi
dalam lubang-lubang kayu musang pun bangunlah daripada
tidurnya, lalu mengintip ke sana kemari, akan mengetahui,
tiadakah ada bahaya di luar sarangnya. Ular menjalar di celah-celah batu mengintip katak dan binatang yang kecil-kecil.
Si sebelah barat, langit tertutup oleh awan hitam yang
mengandung hujan, yang mengembang dari laut ke darat. Cuaca
yang terang, menjadi gelap-gulita, sehingga tiada kelihatan
barang sesuatu pun. Bintang-bintang di langit lenyap, sebagai
ditutup tabir hitam. Hari tenang, angin tak ada, tanda topan akan
datang. Di jalan, raya sunyi senyap, sebagai negeri dialahkan
garuda. Terkadang-kadang melintas orang seorang-seorang yang
berjalan cepat-cepat, sebagai takut akan kehujanan. Pada tiap-tiap rumah tiada kelihatan lampu, sebab jendela-jendela telah
ditutup. Walaupun gelap sedemikian, tetapi Datuk Meringgih
tiada menyuruh menerangi serambi belakang rumahnya. Sebab
bakhilnya pulakah atau sebab ya ng lain" Segera akan kita
ketahui. Sekonyong-konyong kelihatanlah sekejap mata, kilat yang
menerangi seluruh alam yang gel
ap gulita itu dan tatkala itu juga
kedengaran halilintar berbunyi bagai membelah bumi, disertai
oleh hujan yang amat lebat, seperti air dicurahkan dari
langit.Tiada lama kemudian daripa da itu bertiuplah angin topan
yang sangat hebat, menumbangkan beberapa pohon kayu yang
besar-besar. Walaupun hari rupanya seakan-akan kiamat, tetapi Datuk
Meringgih tiadalah masuk ke dalam rumahnya, adalah sebagai
sekalian kekacauan alam itu tiada diindahkannya, bahkan
diingininya, karena ia masih duduk termenung di atas kursinya
memikirkan sesuatu hal yang penting.
Tiba-tiba kedengaran di tempat yang gelap, suara orang batuk
tiga kali. Tatkala itu barulah ingat Datuk Meringgih akan
dirinya, lalu melihat ke kanan dan ke kiri, kalau-kalau ada orang
dekat di sana. Kemudian batuk pula ia dua kali. Seketika itu juga
kelihatan, seperti suatu bayang-bayang, bergerak di tempat yang
gelap, kemudian kelihatan seo rang-orang yang memakai serba
hitam, datang menghampiri Datuk Meringgih, lalu masuk
keduanya ke dalam sebuah bilik, di serambi belakang. Pintu bilik
ini segera ditutup rapat-rapat oleh Datuk Meringgih.
Di dalam kamar ini, yang hany a diterangi oleh sebuah pelita
minyak kelapa, ada sebuah tilam da n sebuah peti. Di lantai ada
terbentang sehelai tikar pandan dan di atas tikar inilah duduk
kedua mereka itu. Di sana nyata kelihatan, orang yang baru datang itu memakai
destar hitam yang lembut yang ujungnya dibalikkannya ke
mukanya sehingga dahinya tertutup. Bajunya baju Cina hitam
yang besar lengannya, dan celananya seluar Aceh, yang warna-
nya hitam pula. Sarung yang disandangnya di bahunya, yaitu
sarung Bugis hitam. "Tiada basah engkau, Pendekar Lima"" tanya Datuk
Meringgih perlahan-lahan kepada jamunya ini.
"Tidak, Engku, sebab hamba telah hampir ada di sini, tatkala
hari akan hujan," jawab Pendekar Lima.
"Apa kabar pekerjaan kita yang di Hulu Limau Manis""
"Tidak baik jadinya."
"Tidak baik" Apa sebabnya"" tanya Datuk Meringgih sambil
mengangkat mukanya, menentang Pendekar Lima. Di situ
kelihatan bengis muka Datuk Meringgih.
"Murid-murid kita tiada menurut aturan yang telah diberikan
kepadanya." "Siapa yang menjadi guru waktu itu""
"Si Patah." "Apakah sebabnya, maka tiada engkau sendiri yang mengajar
di sana" Bukankah telah k uperintahkan kepadamu""
"Sebab hamba pada waktu itu harus mengajar di Bukit Putus;
karena di sana pun ada ilmu baru yang datang dari Tanah Jawa,
yang sangat besar harganya."
"Si Patah belum cukup kepandaiannya untuk mengajar
murid-murid pada sasaran yang besar-besar dan ia kurang sabar.
Itulah sebabnya, maka salah ajarannya. Sekarang di mana dia""
"Dalam rumah batu."
"Rumah batu"" tanya Dat uk Meringgih dengan mengangkat
kepalanya pula. "Rumah batu di mana""
"Rumah batu di Lubuk Bagalung, bersama-sama dua orang
murid." "Itulah upah yang patut, bagi orang yang sedemikian. Tetapi
sudahlah diperiksa perkaranya""
"Sudah," jawab pendekar Lima , "dan rupanya ia teguh
memegang sumpahnya, karena tiada disebut-sebutnya nama
hamba." "Cobalah kauceritakan dari mulanya, apa sebabnya maka
sampai jadi sedemikian itu"" ,
"Tatkala hamba ketahui, bahw a hamba tak dapat pergi ke
Hulu Limau Manis," kata Pendekar Lima, "hamba suruhlah
seorang murid tua ke sana, yaitu si Patah, serta hamba katakan
kepadanya aturan yang telah Engku Datuk berikan itu. Mula-mula rupanya ada diturutnya at uran itu, karena sekalian barang-barang, jatuh ke dalam tangannya. Tetapi pendapatan ini tiada
disimpannya pada tempat yang te lah ditetapkan, melainkan hari
itu juga dikirimkannya kemari; dimasukkannya ke dalam
beberapa karung, lalu ditump angkannya pada tukang pedati,
yang berangkat malam itu juga ke sini. Rupanya pedati itu lama
berhenti di Lubuk Bagalung dan di sanalah kedapatan oleh yang
kuning leher*). Oleh sebab tukang pedati itu mengatakan ia
menerima barang-barang itu dari si Patah, hari itu juga ia
ditangkap dengan kedua muridnya."
"Baiklah, tetapi carilah akal, sebelum hukumannya
dijatuhkan, supaya mereka lepas dari rumah batu itu dan bila
telah lepas, suruhlah si Patah pergi ke Terusan atau ke Painan,
untuk sementara bekerja menga
mb il rotan, supaya jangan
kelihatan oleh orang. Dan kedua muridnya, suruh ke bukit
Tambun Tulang, belajar di sana dengan sungguh-sungguh," kata
Datuk Meringgih. "Baiklah, Engku."
"Tentang perkara ilmu yang kaupelajari di Bukit Putus itu,
bagaimana pula" Aku tiada tahu hal itu."
"Sesungguhnya perkara ini belu m hamba kabarkan kepada
Engku, sebab sejak waktu itu belum sempat hamba datang
kemari." "Akan tetapi apakah seba bnya, maka engkau tiada
bermupakat lebih dahulu dengan daku"" tanya Datuk Meringgih
pula. "Sebab tak sempat. Sebenarnya malam itu hamba akan pergi
ke Hulu Limau Manis, menolong si Patah, sebagai telah Engku
katakan. Tetapi tatkala sampai ke Bukit Putus, dapat kabar dari
*) Opas polisi, pada masa dahulunya opas-opas memakai
setrip kuning ada leher bajunya dan pada celananya.
seorang murid di sana, ada ilmu baru, datang dari Jawa, dengan
kapal yang masuk hari itu. Ilmu itu banyak harganya. Karena tak
sempat balik kemari, memberi tahu Engku, khawatir kalau ilmu
itu segera dibawa ke tempat lain, hamba tuntut sendiri ilmu itu,
sebab rupanya tak berapa susah."
"Dan dapatkah ilmu itu""
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dapat, sekarang ditanam dalam tanah, dekat Tanah Merah."
"Kira-kira berapa harganya""
"Kira-kira enam atau tujuh ratus, semuanya emas dan intan.
Itulah yang hendak hamba mupakatkan, karena dua orang murid
yang bersama-sama pergi dengan hamba, minta bagiannya."
"Nanti kuberi seorang lima puluh."
"Jika boleh, ia minta seratus seorang."
"Masakan seratus, karena harga ilmu itu belum tentu sekian
banyaknya dan gajinya tiap-tiap bulan, tiadakah diingatnya"
Sudahlah, aku beri tiap-tiap or ang tujuh puluh lima dan engkau
seratus lima puluh, jika benar ilmu enam atau tujuh ratus
harganya. Janganlah banyak cakap lagi! Bawalah ilmu itu kemari
dahulu! Jika telah kutaksir, tentu segera engkau mendapat
bagianmu masing-masing. Dan bawalah pula tukang mas kita
sekali, supaya lekas dapat dihancurkannya masnya yang
diperbuatnya barang-barang lain ; kemudian berikan kepada
tukang penjaja mas in'tan kita, suruh jual ke negeri lain."
"Baiklah, Engku," jawab Pendekar Lima dengan riangnya,
sedang matanya yang sebagai mata burung hantu itu bercaya-caya, karena mengenangkan upah yang akan diperolehnya. Dari
uang yang tiga rarus rupiah itu, tentulah sekurang-kurangnya dua
ratus dapat olehnya, sehingga dapatlah pula ia beberapa hari
minum candu dan berjudi, sesuka hatinya.
"Suatu lagi yang hendak hamba kabarkan kepada Engku.
Tukang cetak kita, malam kemarin mati," kata Pendekar Lima.
"Mati"" jawab Datuk Meringgih dengan terperanjat. "apa
sebabnya"" "Sakit perut." "Siapa gantinya."
"Itulah yang hendak hamba tanyakan, siapakah yang akan
menggantikannya""
"Temannya si Baso, belumkah dapat bekerja sendiri""
"Sudah," jawab Pendekar Lima. "Pada pikiran hamba, dialah
yang baik pengganti yang mati itu. Tetapi siapakah yang akan
menjadi ganti si Baso pula""
"Carilah seorang yang boleh dipercaya di antara orang-orang
kita!" "Baiklah!" "Hanya sekarang, janganlah terlalu banyak mencetak uang
perak, melainkan uang mas itulah yang harus dilebihkan, sebab
uang perak, lekas dikenal orang."
"Baiklah! Lagi pula tiadakah baik tempat itu dipindahkan"
Sebab hamba baru mendapat sebuah gua batu dalam gunung
yang dekat di sana yang baik rupanya, tersembunyi di pinggir
laut." "Baiklah, nanti kita periksa bersama-sama."
"Perkara toko Bombai itu, bagaimana"" tanya Pendekar
Lima, yang rupanya sangat rajin hendak bekerja, karena
mengenangkan uang dua ratus rupiah tadi. .
"Perkara itu. nantilah; aku hendak mencari muslihat yang
baik dahulu. Sekarang ini ada perkara lain, yang hendak
kukatakan kepadamu."
"Perkara apa, Engku"" jawab Pendekar lima.
"Aku sesungguhnya tiada senang me lihat perniagaan Baginda
Sulaiman, makin hari makin bertambah maju, sehingga berani ia
bersaing dengan aku. Oleh sebab itu hendaklah ia dijatuhkan."
"Akan tetapi bagaimanakah akal kita" Karena barang-barang-nya bukan sedikit, tak dapat diangkat dalam sehari dua. Dan
diambil separuhnya pun, tiadala h dirasainya," kata Pendekar
Lima. "Bukan aku suruh engkau mencur i barang-barangnya, karena
berap akah yang akan terbawa olehmu" Aku bukan bodoh. Aku
tahu akal yang lebih baik, yaitu gudang-gudang dan toko-
tokonya harus dibakar, perahu yang membawa barang-barangnya
dari Painan harus ditenggelamkan dan orang-orang yang ada di
sana dibujuk, supaya jangan mau bekerja dengan dia lagi;
sekalian pohon kelapanya di Ujun g Karang, haruslah diobati,
biar busuk dan tak berbuah," ka ta Datuk Meringgih dengan suara
keras, serta memukul"mukul te lapak tangan kirinya dengan
tangan kanannya, yang dikepalkannya, karena geramnya.
"Esok hari juga engkau mula i bekerja di Ujung Karang!
Beritahukan kepada sekalian murid yang ada di sana! Sekalian
pohon kelapanya hendaklah dibubuh obat, supaya inati.
Kemudian pergilah engkau ke Terusan dan Painan. Bujuklah
sekalian orangnya di sana supaya meninggalkan pekerjaannya
dan masuk kaum kita. Dan buj uklah pula tukang perahunya,
supaya perahu-perahunya, dengan isi-isinya sekali, dikaramkan
di laut. Sudah itu pergilah engkau ke Padang Darat dan ke mana-mana, menghasut sekalian toko yang berlangganan dengan dia,
supaya jangan membeli apa-apa lagi padanya.
Dengan demikian dapat kubeli barang-barangnya itu dengan
harga murah. Biar aku rugi. sedikit, asal Baginda Sulaiman jatuh.
Setelah selesai pekerjaan itu, barulah engkau mulai membakar
toko dan gudangnya."
Pendekar Lima termenung seketika mendengar perintah ini,
karena belum pernah ia mengerjakan yang sedemikian. Pada
pikirannya bukan sedikit belanja dan susahnya pekerjaan itu.
Melihat Pendekar Lima berdiam diri, berkata pula Datuk
Meringgih, "Aku tahu, pekerjaan ini memang tak mudah dan
harus berhati-hati benar melakukannya supaya jangan sampai
diketahui orang. Tetapi ia akan memberi keuntungan berpuluh
ribu kepada kita. Dan pada pi kiranku engkau cakap menjalan-kannya. Oleh sebab itu aku tiada akan memandang berapa biaya
yang berguna; biar aku rugi beribu sekalipun, asal sampai
maksudku ini. Aku tiada senang, kalau di Padang ini masih ada
saudagar yang berani bersaingan dengan daku. Sebelum jatuh ia,
belumlah puas hatiku. Kau boleh memakai duit seberapa sukamu
dan boleh pula menyuruh orang-orangku, kalau perlu."
Mendengar perkataan Datuk Meringgih ini yaitu ia boleh
memakai duit seberapa sukanya, hilanglah takut dan ngeri
Pendekar Lima lalu menjawab dengan gembira, "Baiklah, Engku
Datuk. Jangankan sekian, disuruh membunuh orang senegeri
pun, hamba mau, asal Engku Datuk yang menyuruh."
Dengan berkata demikian, pikirannya melayang kepada uang
beribu-ribu yang akan diterimanya.
"Tetapi ingat!" kata Datuk Meringgih pula. "Kalau tak
sampai maksudku ini, tak perlu engkau datang-datang lagi
kemari." Mendengar perkataan ini berdebarlah hati Pendekar Lima,
karena artinya tentulah ia akan dilepaskan oleh Datuk
Meringgih, apabila maksudnya ini tak sampai. Dan akan
dapatkah ia mencari tuan yang sebagai Datuk Meringgih ini"
Betul ia sangat bakhil, tetapi tiada memandang apa pun, bila ada
sesuatu hajatnya. Oleh sebab itu berjanjilah ia dalam hatinya
akan menjalankan perintah yang berat ini dengan sesungguh-sungguh hati, walaupun apa pun juga yang akan terjadi atas
dirinya. Sementara itu masuklah Datuk Meringgih ke dalam
rumahnya dan seketika lagi keluarlah pula ia lalu berkata, "lni
uang seratus untuk belanjamu seme ntara. Bila habis, uang ini,
boleh kauminta pula kepadaku atau kepada sekalian orangku
yang memegang uang. Nanti kukirimkan surat kepadanya
sekalian." "Terima kasih, Engku!" jawab Pendekar Lima. "Akan tetapi
pekerjaan hamba di sini bagaimana""
"Serahkan kepada Pe ndekar Empat dan suruhlah ia kemari,
supaya kukatakan kepadanya, apa yang harus diperbuatnya."
Tiada berapa lama kemudian daripada itu kelihatanlah
Pendekar Lima keluar dari dalam bilik tadi, lalu hilang di dalam
gelap. VII. SURAT SAMSULBAHRI KEPADA NURBAYA
Tiga bulan Samsulbahri telah berangkat ke Jakarta, meninggal-kan tanah airnya. Tiga bulan lamanya Nurbaya telah bercerai
dengan kekasihnya, tiada melihat wajahnya dan tiada mendengar
suaranya dan tiga bulan pula lamanya ia tiada bermain-main
dengan Samsu dan mengganggu kaka knya ini. Sejak hari per-ceraiannya, sampai
kepada waktu itu, kekasihnya ini tiada hilang
barang sekejap pun dari ingatannya. Biarpun buah hatinya ini
telah hilang dari matanya teta pi makin kelihatan ia dalam
kalbunya, makin nyaring kedengaran bunyi suaranya dan makin
bertambah nyata segala tingkah lakunya.
Mula-mula pada sangkanya mudah akan dapat melipur
pikirannya, apabila kesedihan hatin ya telah hilang. Akan tetapi
setelah sepekan lamanya ia bagaikan demam dan setelah sembuh
pula ia kembali pada lahirnya, pada batinnya bertambah-tambah
ia menanggung kesakitan; makin lama makin larat, makin
dilupakan makin teringat, makin dilipur makin berat, makin
dijauhkan makin dekat. Ketika itulah baru diketahuinya benar-benar, betapa besar harga saudara nya dan kekasihnya itu baginya
karena ketika itulah pula dirasainya benar-benar keberatan
perceraian itu sebagai kata pantun:
Anak Cina bermain wayang,
anak Keling bermain api. Jika siang terbayang-bayang,
jika malam menjadi mimpi.
Terbang melayang kunang-kunang,
anak balam mati tergugur,
jatuh ke tanah ke atas kembang,
kembang kuning bunga cempaka.
Jika siang tak dapat senang,
jika malam tak dapat tidur,
pikiran kusut hati pun bimbang,
teringat kakanda Samsu juga.
Jika datang godaan yang sedemikian itu, dicobanyalah
melipur hatinya dengan pikiran ini: Samsu tiada lama lagi akan
kembali dan tentulah ia akan dapat berteinu pula dengan dia.
Tambahan pula kekasihnya itu pergi untuk menuntut ilmu, yang
kemudian dapat memberi kesenangan dan kemuliaan kepada
dirinya. Apabila Samsu menjadi dokter, tentulah ia akan beroleh
kemuliaan dan kesenangan pula.
"Aduh, alangkah senang hatiku kelak, apabila aku telah
menjadi istri Samsu, kekasihku itu! Memang patut aku duduk
bersama-sama dengan dia, memang dialah jodohku. Bila ia telah
lulus dalam ujiannya, menjadilah aku istri dokter. Jika sakit aku
atau anakku kelak, tak usah memanggil tabib yang lain, karena
suamiku sendiri pandai mengobati kami.
Ya, anakku, kataku. Alangkah senangnya, jika beroleh anak
dari seorang laki-laki yang sebagai suamiku ini! Karena tentulah
anak itu akan baik pula tingkah lakunya, seperti bapaknya dan
rupanya tentulah sebagai pinang dibelah dua dengan bapaknya.
Wahai! Alangkah lncunya kelak Samsu yang kecil itu, suka
bermain-main, sebagai bapaknya dan apabila ia telah besar,
tentulah akan menjadi dokter pula.
Apabila anak itu perempuan, biarlah sebagai rupaku. Jika ia
telah besar, kuajarlah ia seka lian ilmu yang patut diketahui
perempuan; kujadikanlah ia se orang perempuan yang berguna
bagi suaminya kelak, perempua n yang dapat dibawa melarat dan
dapat membantu suaminya di dalam kesukaan dan kedukaan,
supaya menantu itu kelak da pat beroleh kesenangan dan
kesentosaan, sebagai aku akan menyenangkan Samsuku,"
demikianlah kenang-kenangan Nurb aya pada suatu malam Ahad,
tatkala ia duduk di serambi muka rumahnya, sambil memandang
kepada bangku di dalam kebunnya, tempat ia biasa bersenda
gurau dengan kekasihnya itu.
"Ah, tetapi waktu itu masih la ma lagi," katanya pula dalam
hatinya, "masih tujuh tahun. Adakah dapat aku menunggu
selama itu" Mengapa tidak," jawabnya sendiri pula. "Ingatlah
kata pantun: Lurus jalan ke Payakumbuh,
bersimpang lalu ke Kinali.
Jika hati sama sungguh, kering lautan dapat dinanti.
Betul tetapi hatiku sebenarnya khawatir juga, kalau-kalau ia
kelak tergoda oleh perempuan lain; karena Jakarta negeri besar,
segala godaan ada di sana. Nyonya yang bagus-bagus, tentu tak
kurang dan kabarnya perempuan- perempuan Sunda pun, banyak
pula yang cantik-cantik. Baik aku minta lekas-lekas kawin
dengan dia, supaya terikat ia padaku."
Tetapi sejurus lagi bertukar pula pikirannya dan berkatalah ia
dalam hatinya, "Ah, kurang baik pikiranku ini, sebab ia masih
dalam sekolah kalau-kalau pelajarannya kelak jadi terganggu.
Yang dikejar nanti tak dapat, yang dikandung berceceran. Jangan
terburu nafsu, dengarlah pantun ini!
Encik Amat mengaji tamat,
mengaji Quran di waktu fajar.
Biar lambat asal selamat,
tidak lari gunung dikejar.
Masakan ia akan mengubah janji, mustahil! Tak baik aku
berpikir demikian; aku masih terl alu muda. Bila ia kelak t
elah menjadi dokter, umurku telah dua puluh dua tahun, barulah baik
aku bersuami. Sesungguhnya tak baik kawin muda-muda. Lihatlah putri
Alia, yang dikawinkan oleh orang tuanya, tatkala ia berumur tiga
belas tahun. Badannya tak dapat besar lagi dan anaknya telah
lima orang mati-mati saja. Yang keenam, yang hidup, rupanya
kurang sempurna; badannya lemah, sebagai tiada berdaya.
Tatkala anak ini telah berumur dua tahun, masih belum pandai
jua ia berjalan dan berkata- kata pun rupanya susah. Samsu
kecilku kelak tak boleh sedemikian, harus sehat.dan kukuh
badannya, supaya boleh menjadi orang yang sempurna.
Oleh sebab itu tak boleh aku kawin terlalu muda, tak baik
bagi badanku dan tak baik pul a lagi turunanku. Tentu saja,
masakan biji yang belum sempurna tua, jika ditanam, dapat
tumbuh menjadi pohon yang besar dan baik, yang menghasilkan
buah yang banyak dan besar-besar" Tentu tidak. Tetapi,
kebanyakan ibu-bapa di Padang ini tiada mengingat hal itu. Asal
untungnya lepas, katanya senanglah hatinya, dengan tidak
memikirkan anak cucu dan turunannya di kemudian hari.
Apabila sekalian orang kawin muda, tentulah akhirnya
bangsanya akan berkurang-kurang orangnya atau undur dalam
kesehatannya, besarnya, kepandaiannya dan sifatnya yang lain-lain, sehingga bangsanya menjadi suatu bangsa yang daif. Biasa-nya orang tua-tua kuno tiada memikirkan hal ini atau tiada
sampai ke sana pikirannya. Pa da sangkanya aib, bila anaknya
yang perempuan, tua baru bersuami, sebagai tak laku. Oleh
sebab itu dikawinkannya muda -muda, terkadang-kadang waktu
berumur sebelas tahun. Dan tatkala berumur dua belas tahun,
beranaklah perempuan muda ini. Orang barat yang tiada suka
kawin muda-muda, lihatlah badannya, besar, kukuh, dan sehat."
Tatkala Nurbaya berpikir-pikir sedemikian itu, tiba-tiba di-dengarnya suara, "Surat pos," sehingga terkejutlah ia. Di tangga
rumahnya dilihatnya seorang tukang pos berdiri memegang
sepucuk surat. Segera Nurbaya berdiri mengambil surat itu dan
tatkala dibacanya alamatnya, nyatalah surat itu untuk ia sendiri,
datang dari Samsu, kekasihnya, yang sedang diingat-ingatnya
pada waktu itu. Rupanya surat ini baru datang dengan kapal yang
baru masuk hari itu. Muka Nurbaya berseri, ketika melihat surat itu, karena besar
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hatinya, dan pada bibirnya kelihatan gelak senyum, yang men-cekungkan kedua pipinya, menambah manis rupanya. Ber-tambah-tambah besar hatinya menerima surat ini, karena telah
dua jumat ia tiada mendapat kaba r dari Samsu. Segeralah ia
masuk ke dalam biliknya, lalu dengan hati yang berdebar-debar,
dibukanyalah surat itu. Kelihatan olehnya surat itu amat panjang
dan banyak berisi syair. Demikian bunyinya:
Jakarta, 10 Agustus 1896 Awal bermula berjejak kalam,
Pukul sebelas suatu malam,
Bulan bercaya mengedar alam,
Bintang bersinar laksana nilam.
Langit jernih cuaca terang,
Kota bersinar terang benderang,
Angin bertiup serang-menyerang,
Ombak memecah di atas karang.
Awan berarak berganti-ganti,
Cepat melayang tiada berhenti,
Menuju selatan tempat yang pasti,
Sampai ke gunung lalu berhenti.
Udara tenang hari pun terang,
Sunyi senyap bukan sebarang,
Murai berkicau di kayu arang,
Merayu hati dagang seorang.
Guntur menderu mendayu-dayu,
Pungguk merindu di atas kayu,
Hati yang riang menjadi sayu,
Pikiran melayang ke tanah Melayu.
Angin bertiup bertalu-talu,
Kalbu yang rawan bertambah pilu,
Hati dan jantung berasa ngilu,
Bagai diiris dengan sembilu.
Tatkala angin berembus tenang,
Adik yang jauh terkenang-kenang,
Air mata jatuh berlinang,
Lautan Hindia hendak direnang.
Jika dipikir diingat-ingat,
Arwah melayang terbang semangat,
Tubuh gemetar terlalu sangat,
Kepala yang sejuk berasa angat.
Betapa tidak jadi begini,
Ayam berkokok di sana-sini,
Disangka jiwa permata seni,
Datang menjelang kakanda ini.
Disangka adik datang melayang,
Mengobat kakanda mabuk kepayang,
Hati yang sedih berasa riang,
Kalbu yang tetap rasa tergoyang.
Lipur segala susah di hati,
Melihat adikku emas sekati,
Datang menjelang abang menanti,
Dagang merindu bagaikan mati.
Silakan gusti emas tempawan,
Sila mengobat dagang yang rawan,
Penyakit heb at tidak berlawan, Sebagai kayu penuh cendawan.
Silalah adik, silalah gusti,
Sila mengobat luka di hati,
Jika lambat adik obati, Tentulah abang fana dan mati.
Tatkala sadar hilang ketawa,
Dagang seorang di tanah Jawa,
Rasakan hancur badan dan nyawa,
Nasib rupanya berbuat kecewa.
Di sana teringat badan seorang,
Jauh di rantau di tanah seberang,
Sedih hati bukan sebarang,
Sebagai manik putus pengarang.
Tunduk menangis tercita-cita,
Jatuh mencucur air mata, Lemah segala sendi anggota,
Rindukan adik emas juita.
Teringat adik emas sekati,
Kanda mengeluh tidak berhenti,
Rindu menyesak ke hulu hati,
Rasa mencabut nyawa yang sakti.
Terkenang kepada masa dahulu,
Tiga bulan yang telah lalu,
Bergurau senda dapat selalu,
Dengan adikku yang banyak malu.
Sekarang kakanda seorang diri,
Jauh kampung halaman negeri,
Duduk bercinta sehari-hari,
Kerja lain tidak dipikiri.
Tetapi apa hendak dikata,
Sudah takdir Tuhan semesta,
Sebilang waktu duduk bercinta,
Kepada adikku emas juita.
Setelah jauh sudahlah malam,
Kakanda tertidur di atas tilam,
Bermimpi adik permata nilam,
Datang melipur gundah di dalam.
Datangnya itu seorang diri,
Tidur berbaring di sebelah kiri,
Kakanda memeluk intan baiduri,
Dicium pipi kanan dan kiri.
Tiada berapa lama antara,
Dilihat badan sebatang kara,
Abang terbangun dengan segera,
Hati yang rindu bertambah lara.
Guling kiranya berbuat olah,
Lalu mengucap astagfirullah,
Begitulah takdir kehendak Allah,
Badan yang sakit bertambah lelah.
Memang apa hendak dibilang,
Sudahlah nasib untung yang malang,
Petang dan pagi berhati walang,
Menanggung rindu beremuk tulang.
Walaupun sudah nasib begitu,
Tiada kanda berhati mutu,
Gerak takdir Tuhan yang satu,
Duduk bercinta sebilang waktu.
Jauh malam hampirkan siang,
Mataku tidak hendak melayang,
Di ruang mata adik, terbayang,
Hati dan jantung rasa bergoyang.
Ayam berkokok bersahut-sahutan,
Di sebelah barat, timur, selatan,
Hatiku rindu bukan buatan,
Kepada adikku permata intan.
Di situ terkenang ibu dan bapa,
Adik dan kakak segala rupa,
Handai dan tolan kaya dan papa,
Timbul di kalbu tiada lupa.
Begitulah nasib di rantau orang,
Susah ditanggung badan seorang,
Sakit bertenggang bukan sebarang,
Sebagai terpijak duri di karang.
Setelah siang sudahlah hari,
Berjalan kakanda kian kemari,
Tak tahu apa akan dicari,
Bertemu tidak kehendak diri.
Diambil kertas ditulis surat,
Ganti tubuh badan yang larat
Kesan nasib untung melarat,
Kepada adikku di Sumatra Barat.
Dawat dan kalam dipilih jari,
Dikarang surat di dinihari,
Ganti kakanda datang sendiri,
Ke pangkuan adik wajah berseri.
Wahai adikku indra bangsawan,
Salam kakanda dagang yang rawan,
Sepucuk surat jadi haluan,
Ke atas ribaan emas tempawan.
Mendapatkan adik paduka suri,
Cantik manis intan baiduri,
Di padang konon namanya negeri,
Duduk berdiam di rumah sendiri.
Jika kakanda peri dan mambang,
Tentulah segera melayang terbang,
Menyeberang lautan menyongsong gelombang,
Mendapatkan adik kekasih abang.
Menyerahkan diri kepada adinda,
Tulus dan ikhlas di dalam dada,
Harapan kakanda jangan tiada,
Mati di pangkuan bangsawan muda.
Adikku Nurbaya permata delima,
Dengan berahi sudahlah lama,
Hasrat di hati hendak bersama,
Dengan adikku mahkota lima.
Hendak bersama rasanya cita,
Dengan adikku emas juita,
Jika ditolong sang dewata,
Di dadalah jadi tajuk mahkota.
Tajuk mahkota jadilah tuan,
putih kuning sangat cumbuan,
Menjadikan abang rindu dan rawan,
Laksana orang mabuk cendawan.
Karena menurut cinta di hati,
Asyik berahi punya pekerti,
Sungguhpun hidup rasakan mati,
Baru sekarang kanda mengerti.
Dendam berahi sudahlah pasti,
Tuhan yang tahu rahasia hati,
Kakanda bercinta rasakan mati,
Tidak mengindahkan raksasa sakti.
Siang dan malam duduk bercinta,
Kepada adikku emas juita,
Tiada hilang di hati beta,
Adik selalu di dalam cipta.
Jiwaku manis Nurbaya Sitti,
Putih kuning emas sekati,
Tempat melipur gundah di hati,
Ingin berdua sampaikan mati,
Tidaklah belas dewa kencana,
Memandang kanda dagang yang hina,
Makan tak kenyang tidur tak lena,
Bercintakan adik muda teruna.
Rindukan adik paras yang gombang,*)
Siang dan malam berhati bimbang,
Cinta di hati selalu mengembang,
Laksana perahu diayun gelombang.
Setiap hari berdukacita, Terkenang adinda emas juita,
Sakit tak dapat lagi dikata,
Sebagai bisul tidak bermata.
Tiada dapat kakanda katakan,
Asyik berahi tak terperikan,
Adik seorang kakanda idamkan,
Tiada putus kakanda rindukan.
Rusaklah hati kanda seorang,
Rindukan paras intan di karang,
Dari dahulu sampai sekarang,
Sebarang kerja rasa terlarang.
*) Min: Tampan, gagah. Pekerjaan lain tidak dipikiri,
Karena rindu sehari-hari.
Tiada lain keinginan diri,
Hendak bersama intan baiduri.
Ayuhai adik Sitti Nurani,
Teruslah baca suratku ini,
Ilmu mengarang sudahlah fani,
Disambung syair surat begini.
Tatkala Nurbaya membaca syair ini, berlinang-linanglah air
matanya, karena untungnya pun sedemikian pula.
"Adikku Nurbaya!" demikianlah bunyi surat itu, ketika
terus dibaca oleh Nurbaya, "Begitulah penanggunganku.
Bukan sedikit beratnya perceraian ini rasanya. Bukannya
engkau saja yang terbayang di mataku, tetapi ibu-bapa, handai
tolan, dan teman sejawatku, yang kutinggalkan di Padang,
semuanya tiada hendak luput dari mataku. Dahulu aku
dimanjakan oleh ibu-bapakku. Sekaliannya telah disediakan,
telah diselenggarakan. Akan tetapi sekarang haruslah aku
sendiri mengerjakannya. Pakaianku harus kucuci, kulipat dan
kusimpan sendiri; bilik dan tempat tidurku harus pula
dibersihkan sendiri. Sepatuku pun tak ada orang lain, yang
akan menggosoknya. Kehidupanku tiadalah bebas, karena
tinggal di dalam sekolah. Tidur di dalam sebuah kamar
panjang; bersama-sama dengan teman-teman yang lain,
sebagai serdadu dalam tangsi. Hanya akulah yang dapat
sebuah kamar sendiri sebab tak cukup tempat bersama-sama
dengan yang lain. Pukul sepuluh malam haruslah tidur, tak boleh bercakap-cakap lagi atau bekerja terus. Pukul enam pagi haruslah
bangun; setelah makan, sekolah pun mulai, pukul delapan.
Pelajaran tiada sebagai di sekolah kita di Padang, karena
sekaliannya diserahkan kepada yang belajar sendiri. Bila
hendak pandai rajin-rajinlah; jika tidak, tahu sendiri.. Pukul
satu berhentilah sekolah, akan tetapi terkadang-kadang petang
hari masuk pula. Sesungguhnya aturan ini baik, karena dengan demikian
dapatlah kami belajar hidup sendiri. Apabila kita telah besar
kelak, tentulah begitu juga jadinya. Masakan selalu akan ber-gantung kepada ibu-bapa sahaja"
Sungguhpun demikian, bagiku yang belum biasa hidup
sedemikian berat rasanya. Akan tetapi lama-kelamaan lenyap
juga keberatan itu. Sekarang ini telah mulai biasa aku sedikit
pada aturan itu dan tiadalah berat benar lagi rasanya sebagai
bermula. Barangkali engkau belum tahu, hampir pada tiap-tiap
sekolah tinggi ada suatu adat, yang dinamakan dalam bahasa
Belanda "ontgroening"*).
*) Perpeloncoan.
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adat ini memang ada baiknya, karena maksudnya dengan
bersuka-sukaan, mengajari murid-murid yang baru masuk,
supaya tahu adat-istiadat, tertib sopan kepada teman sejawat-nya atau orang luar pun dan berani atas kebenaran.
Bila ontgroening itu dipandang sebagai permainan saja,
tiadalah mengapa; akan tetapi terkadang-kadang kasar dilaku-kan, sehingga boleh mendatang kan kecelakaan kepada murid-murid yang dipermainkan itu. Permainan yang kasar ini, pada
pikiranku, tak baik diteruskan. Misalnya aku dengar pada
sebuah sekolah menengah, ada permainan yang dinamakan
"melalui selat Gibraltra."
Engkau tentu masih ingat dalam ilmu bumi, selat Gibraltar
itu, ialah suatu selat yang sempit, antara ujung tanah Sepanyol
dan benua Afrika. Demikianlah diperbuat oleh murid-murid kelas tinggi suatu
selat yang sempit, yang dijadikan oleh kira-kira dua puluh
murid yang tua-tua, yang berleret dalam dua baris. Sekalian
rnurid baru, haruslah berjalan seorang-seorang melalui selat ini
dan tiap-tiap murid kelas tinggi yang berdiri itu meninju dan
menyepak murid-murid baru ini, sehingga ia tertolak dari
kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan sampai ke luar dari selat
siksaan itu. Kemudian murid baru itu diangkat bersama-sama,
lalu dicemplungkan ke dalam suatu kolam.
Apakah faedahnya permainan yang kasar serupa ini"
Istimewa pula sebab ia boleh m
endatangkan bahaya. Tambahan lagi, pada sangkaku, dan demikian, murid-murid itu
jadi ber-musuh-musuhan dan berdendam-dendaman. Misalnya
seorang anak Sunda yang kurang suka kepada anak Jawa atau
yang telah mendapat siksaan dari orang anak Jawa, tatkala ia
mula-mula masuk, menaruh dendam dalam hatinya dan berniat
hendak melepaskan dendamnya kelak kepada anak Jawa.
Dengan demikian persahabatan antara kedua suku bangsa ini,
yang diharapkan akan diperoleh karena percampuran dalam
sekolah, boleh menjadi kurang dan akhirnya menjadi putus.
Untunglah permainan yang kasar itu tak ada pada sekolah
kami dan sekalian aturan ontgroening pada sekolah ini,
sesungguhnya permainan atau sesuatu yang memberi paedah,
misalnya murid-murid yang baru itu disuruh bernyanyi, menari
atau memencak, menurut aturan negeri masing-masing, di
hadapan murid kelas tinggi.
Oleh sebab murid-murid yang masuk sekolah ini, sebagai
telah kukatakan dalam suratku dahulu, datang dari beberapa
negeri, seperti Padang, Batak, Deli, Palembang, Jakarta,
Sunda, Jawa; Madura, Ambon, Manado, dan lain-lainnya,
bermacam-macam lagu yang didengar, dinyanyikan dalam
berbagai-bagai bahasa dan bermacam-macam pulalah tari dan
pencak yang dipertunjukkan. Suatu tari yang hebat yaitu tari
orang Manado, yang dinamakan "cakalele," tak ada ubahnya
dengan pencak orang yang hendak perang, dengan tempik
soraknya. Lain daripada permainan yang, telah kuceritakan itu ada
pula permainan yang mengadu kekuatan, misalnya berhela-helaan tali berlumba-lumba, melompat tinggi dan mengadu
kekuatan badan. Yang terlebih lucu ialah disuruh membeli
minyak sesen ke kedai, dalam sebuah botol yang besarnya
hampir sebesar aku. Lucu benar rupanya murid itu berjalan
pulang balik memikul botol yang sebesar itu untuk tempat
minyak harga sesen. Ada pula yang disuruh memburu ayam liar, yang dilepaskan
dalam pekarangan sekolah. Ayam ini harus dapat ditangkap
oleh dua orang murid. Kasihan melihat kedua murid itu
berlelah payah menangkap ayam ini. Akan tetapi untunglah,
setelah tertangkap dipotong dan dimasak atau digoreng.
Ada pula yang disuruh berpakaian yang indah-indah,
seboleh-bolehnya pakaian hitam yang tebal. Kaumaklum Nur,
Jakarta sangat panas hawanya, sehingga murid itu kepanasan
karena pakaiannya itu. Setelah berpakaian indah-indah itu,
disuruhlah ia berjalan sepanjang jalan raya. Tiap-tiap orang
yang tertemu, dengan tiada memandang bangsanya, haruslah
diberinya tabik dengan mengangkat topinya. Sebagai telah
kuceritakan, kota Jakarta itu sangat ramai; orang yang lalu-lintas di jalan raya beratus-ratus banyaknya dengan tiada
berkeputusan. Memberi tabik itu, walaupun tiada seberapa
berat, tetapi karena banyak orang yang bertemu, dalam
setengah jam saja pun telah lelah murid itu.
Orang yang diberi tabik, bermacam-macam kelakuannya.
Yang telah tahu akan permainan ini, tersenyum; tetapi yang
belum tahu terkadang-kadang marah, karena pada sangkanya
ia diperolok-olokkan. Ada yang tiada mengindahkan suatu apa,
ada yang menertawakan muri d itu, ada yang bingung tiada
mengerti itu dan ada pula yang membalas tabik itu dengan
lebih hormat, sebab pada sangkanya bukan permainan, melain-kan sesungguh-nyalah ia diberi hormat oleh orang yang tiada
dikenalnya tetapi sangat memuliakannya. Anak-anak di jalan
raya menyangka murid itu miring otaknya, sehingga diper-main-mainkannya dan diganggunya mereka. Berbagai-bagai-lah ragam orang-orang itu. Mereka itulah yang ditonton oleh
murid-murid kelas tinggi, yang mengikut dari jauh.
Yang kurang lucu, yaitu disuruh makan obat kina, yang
sangat pahit itu atau disuruh mencium sebangsa hawa yang
sangat busuk atau disuruh makan pisang sesisir di hadapan
bangkai. Ada seorang murid yang sangat penjijik, disuruh
makan pisang itu. Jangankan termakan olehnya, bahkah segala
yang ada dalam perutnyalah keluar semua. Kasihan!
Sungguh permainan yang baru kuceritakan itu kurang lucu,
tetapi ada juga mengandung suatu pelajaran. Dokter itu harus
tahan bau busuk dan rasa yang pahit, serta tak boleh takut dan
geli melihat mayat; sebab itulah diajar di sana. Akhirnya
setelah itu disuruh tidur di k
amar mati. Akan tetapi terlebih
dahulu baiklah kuceritakan kepadamu apa bagianku dan
bagian Arifin, daripada permainan yang telah kaudengar tadi,
karena pada sangkaku tentulah engkau ingin juga hendak
mengetahui hal itu. Arifin disuruh memencak, berhela-helaan
tali, membeli minyak dengan botol besar, memburu ayam dan
makan pisang dekat bangkai. Alangkah suka hati Bakhtiar,
apabila dilihatnya Arifin, sebagai anjing mengejar ayam ke
sana kemari! Akan tetapi pada sangkaku, walau perut Bakhtiar
sekalipun, tiadalah 'kan dapat menghabiskan pisang sekian
banyaknya itu di tempat yang sedemikian."
Ketika itu tersenyumlah Nurbaya, sebab teringat kepada
Bakhtiar. "Aku disuruh bernyanyi, menari, makan kina, dan tidur di
kamar mati. Kamar mati ini, ialah bilik tempat menyimpan
mayat. Di sana ada rangka tulang orang (tulang-belulang) yang
gunanya untuk pelajaran, digantungkan pada suatu tiang. Pada
suatu malam, kira-kira pukul setengah sembilan, disuruhlah
aku ke sana dengan murid yang penjijik tadi. Anak ini bukan
penjijik saja, tetapi teramat penakut pula. Aku, meskipun tiada
tahu apa-yang akan terjadi atas diriku, tiadalah aku tinggal saja
dalam bilik ini, beberapa lamanya. Untuk peringatan
permainan saja. Kami duduk di atas kursi dekat sebuah meja,
berhadap-hadapan; aku melihat kepada rangka itu dan temanku
membelakang ke sana. Pada sangka kami, kami hanya disuruh
tinggal saja dalam bilik ini, beberapa lamanya. Untuk
perintang waktu, kami bercakap-cakap menceritakan hal ihwal
masing-masing, kusuruh ceritakan olehnya negerinya dan aku
pun bercerita pula tentang kota Padang.
Sejak asyik kami bercakap-cakap itu, tiba-tiba kulihat
rangka tadi mengangkat tangannya, sebagai menggamit aku
dari jauh, dan matanya sebagai menyala. Walaupun aku tidak
penakut dan yakin, mustahil tulang-belulang pandai bergerak.
tetapi tatkala kulihat hal itu, berdebar juga hatiku. Akan tetapi
heranku itu tiadalah kuperlihatkan kepada temanku, karena aku
khawatir, kalau-kalau ia menjadi takut; lalu kuperbuat pura-pura asyik mendengarkan ceritanya, tetapi mataku acap kali
juga melihat kepada rangka tadi.
Kedua kalinya diangkatnya tangannya, lebih tinggi daripada
bermula, lalu digerak-gerakkannya jarinya, sebagai hendak
memanggil. Melihat hal ini terkejutlah aku, dan karena itu
temanku itu pun menoleh ke belakang.
Tatkala dilihatnya tangan rangka itu bergerak-gerak dan
matanya sebagai berapi, menjeritlah ia sekuat-kuatnya, lalu
melompat memeluk aku, sehingga, terbaliklah kursi dan meja,
yang dekatnya itu. Sebab aku dipeluknya tiba-tiba dengan erat
dan ditariknya ke belakang, terbaliklah pula aku bersama-sama
dengan dia. Akan tetapi leherku tiadalah terlepas dari pelukan
temanku itu, sehingga aku hampir tercekik. Dengan susah
payah, baru dapat kulepaskan tangannya dari leherku.
Setelah terlepas aku dari pelukannya, rebahlah temanku itu
ke lantai, tiada khabarkan dirinya lagi. Mukanya pucat,
peluhnya bercucuran dan badannya gemetar. Tatkala kulihat
halnya yang sedemikian, bingunglah aku, tiada tahu apa yang
hendak kuperbuat. Kemudian larilah aku ke luar, minta tolong. Seketika itu
juga kelihatan olehku dua orang murid kelas tinggi, entah dari
mana datangnya, tiada kuketahui, lalu bertanya mengapa aku
berteriak. Setelah kuceritakan kepadanya, apa yang terjadi,
kami angkatlah bersama-sama murid yang pingsan tadi ke
tempat tidurnya, lalu diobati merekalah temanku itu, sampai
baik pula. Sungguhpun demikian masih belum dapat ia
berkata-kata; rupanya masih sangat terperanjat dan takut.
Kemudian dibujuklah kami oleh kedua murid kelas tinggi tadi.
Dikatakannya, mustahil tulang-belulang orang yang telah mati
dapat bergerak pula. Sekalian yang kami lihat tadi, tentulah
penglihatan karena takut saja, lalu dibawalah aku oleh seorang
dari mereka kepada rangka tadi dan dipegang-peganglah
tulang-tulang itu. Sesungguhnya tiadalah ia dapat bergerak.
Pada keesokan harinya, barulah aku dapat tahu, apa
sebabnya maka rangka itu bergerak. Tangannya diikat dengan
dawai yang halus, lalu ditarik-tarik dari luar, dan matanya
yang menyala itu, karena diberi suatu obat yang bercahay
a di tempat yang gelap. Sungguhpun sekalian itu hanya permainan
yang gunanya akan menghilangkan takut dan untuk menyata-
kan, bahwa segala hantu dan setan itu hanya penglihatan
mereka yang takut saja, tetapi murid yang ketakutan tadi, tiga
hari lamanya demam. Demikianlah percobaan di Sekolah
Dokter Jawa. Ah, ya, hampir lupa aku menceritakan hal ihwal Bakhtiar.
Ia sekarang rupanya kurus sedikit; barangkali sebab terlalu
berat bekerja menggergaji dan mengetam kayu, inilah kerjanya
mula-mula sehari-hari. Makan rupanya tak dapat sekehendak
hatinya. Acap kali aku bertemu dengan dia pada petang hari.
Baginya dan bagi Arifin pun permulaan ini rupanya susah dan
berat. Tetapi tak jadi apa, karena segala permulaan itu tentulah
berat dan susah. Apabila telah biasa kelak, tentulah akan
hilang juga segala kesusahan dan keberatan itu. Kedua mereka
acapkali teringat kepadamu dan kepada ibu-bapaknya serta
handai tolannya di Padang. Mereka berpesan kepadaku supaya
menyampaikan salamnya kepadamu, bila aku berkirim surat
jua kepadamu. Sehingga inilah dahulu, adikku Nurbaya! Dengan segera
engkau akan mendapat kabar pula daripadaku. Jika tiada aral
melintang pada hari Ahad yang akan datang ini, kami akan
ber-jalan jalan ke Bogor, melihat-lihat kots itu dan melihat
istana serta Kebun Raya di sana. Jika jadi perjalanan itu
tentulah akan kuceritakan pula kepadamu sekalian yang telah
kulihat di sana. Tolonglah sampaikan sembah sujudku kepada orang tuamu
dan orang tuaku serta salam tazimku kepada sekalian handai
tolan, teman sejawat kita, dan sambutlah peluk cium dari
kekasihmu yang jauh ini. SAMSULBAHRI Tambahan: Suratmu yang terkirim pada hari Jumat yang telah
lalu, sudah aku terima dengan segala selamatnya dan sangatlah
sedih hatiku mendengar, engkau belum dapat melipur
kesedihan perceraian kita. Oleh sebab itu perbanyaklah sabar
dan tetapkanlah hatimu, Nur, serta tawakal kepada Tuhan
Yang Mahakuasa. Mudah-mudahan lekas hilang segala
kesusahan kita itu dan lekaslah pula disampaikan-Nya segala
maksud dan hajat kita. Dengan kapal ini ada kukirimkan pada
seorang kita yang pulang ke Padang, untuk ayahku buah-buahan sedikit sebagai salak, sauh manila, dan jeruk. Untuk
engkau telah kupisahkan dalam bungkusan itu. Terimalah
pemberianku ini dan makanlah dengan sedapnya. Aku sendiri
yang membeli dan melihatnya, yang lain belum dapat
kukirimkan kepadamu waktu ini.
Setelah dibaca oleh Nurbaya surat itu, lalu diciumnya dan
diletakkannya ke atas dadanya, ke tempat jantungnya yang
berdebar; kemudian disimpannya dalam lemari pakaiannya,
bersama-sama dengan surat yang lain, yang telah diterimanya
dari kekasihnya itu. Tatkala itu datanglah kusir Ali dari rumah Sutan Mahmud
membawa sekarung buah-buahan untuk Sitti Nurbaya. Tak
dapatlah dikatakan girang hatinya menerima kiriman itu, lalu
dengan segera dibukanya dan dilihatnya isinya. Rupanya masih
baik sekali buah-buahan itu, tak ada yang busuk, lalu
dimakannya dan dibagikannya kepa da segala isi rumahnya, serta
dikatakannya buah-buahan itu da tang dari kekasihnya. Sayang
ayahnya pada waktu itu tak ada di rumah, pergi ke Padang
Panjang menguruskan perniagaannya, karena rupa-rupanya
segala toko yang biasa mengambil ba rang-barang dari padanya,
kurang suka lagi memesan apa-apa ke tokonya.
Setelah dimakan oleh Nurbaya buah-buahan itu, berbaring-baringlah ia di atas tempat tidurnya sampai jauh malam,
mengenangkan halnya. Kemudian dikeluarkannyalah segala
surat-surat dari Samsulbahri, lalu dibacanya pula sehelai-sehelai.
Dengan tiada diketahuinya tertidurlah ia.
Tiba-tiba kira-kira pukul dua malam, terbangunlah ia
daripada tidurnya dengan terperanjat, karena didengarnya bunyi
tabuh pada segala tempat sangat dahsyat, memberi tahu ada
rumah terbakar. Mendengar bunyi ta buh itu, melompatlah ia dari
tempat tidurnya, lalu membuka jendela rumahnya akan melihat
dan manakah api itu. Kelihatan olehnya langit di sebelah
tenggara merah warnanya yang menyatakan di sanalah
kebakaran itu, tetapi rupanya jauh. Tatkala itu kelihatan
Penghulu Sutan Mahmud keluar dengan bendinya dari rumah-nya. Rupanya akan pergi ke temp
at kebakaran itu. Supaya dapat kita ketahui di ma na kebakaran ini, marilah kita
tinggalkan Sitti Nurbaya di rumahnya dan kita ikuti Penghulu
Sutan Mahmud. Setelah sampai ia ke pasar Kampung Jawa, ber-tanyalah Penghulu itu kepada or ang jaga yang ada di sana, di
manakah kebakaran itu. Jawab mereka, di Pasar Gedang, lalu
Sutan Mahmud menyuruh mencambuk kudanya ke sana. Di
tengah jalan banyak kelihatan or ang yang telah keluar dari
rumahnya, karena terkejut mende ngar bunyi tabuh. Makin dekat
Sutan Mahmud ke Pasar Geda ng, makin banyaklah orang
tampak di jalan raya. Ada yang berjalan cepat-cepat, ada yang
berlari menuju api itu, ada yang berteriak dan ada pula yang
menangis, takut kalau-kalau rumahnya atau rumah keluarganya
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang terbakar. Pompa air pun telah dikeluarkan, ditarik cepat-cepat menuju kebakaran itu.
Akhirnya tiada dapat lagi Sutan Mahmud berbendi, sebab
terlalu banyak orang di jalan raya, sehingga segala kendaraan
ditahan, tak boleh terus. Sutan Mahmud turun dari atas bendinya,
lalu berjalan kaki, diiringkan oleh seorang-orang jaga, menuju
tempat kebakaran itu. Di situ nyatalah oleh Sutan Mahmud,
bahwa yang terbakar itu ialah toko Baginda Sulaiman, ayah
Nurbaya; yang sebuah telah habis dimakan api, sedang yang
sebuah lagi tengah, terbakar dan ketiga rupanya tak dapat
ditolong lagi, istimewa pula karena pompa tak dapat bekerja,
sebab tak ada air. Barang-barang suatu pun tak dapat di-keluarkan, karena api sangat cepat makannya dan udara di sana
sangat panas, sehingga seorang pun tak ada yang berani men-dekat. Polisi-polisi hanya menjag a dari jauh saja, supaya jangan
terjadi kecelakaan apa-apa. Bunga api bermain ke udara,
sehingga menjadi merahlah langit di sana. Terkadang-kadang
kedengaran bunyi peletusan, disertai oleh bunga api yang mem-bangkit ke atas. Bunyi kayu meletus adalah sebagai mercun
dibakar. Di dalam bunga api yang berkabut itu, kelihatanlah
kelelawar beterbangan ke san a kemari, karena kepanasan.
Sejam kemudian daripada itu, habislah ketiga toko Baginda
Sulaiman terbakar dengan isi- isinya. Tinggal abu dan bekas-bekas rumah saja lagi.
Usaha yang bertahun-tahun, pencarian yang sekian lama,
habis dimusnahkan api dalam se jam. Tatkala itu berembuslah
angin topan, disertai oleh hujan yang sangat lebat sehingga api
dalam sekejap mata pun padamlah.
Terlambat! Bila sejam lebih dahulu datang hujan yang sekian
lebatnya, barangkali dapat juga ketolongan sebuah toko dengan
isinya. Tetapi bukan demikian halnya. Adalah sebagai hendak
dipeliharakan Tuhan sekalian toko lain yang berdekatan di sana,
dan hanya toko Baginda Sulaiman sahaja yang harus dimakan
api. Tatkala datang angin dan hujan ini, sekalian orang yang ada
dekat kebakaran itu, larilah pul ang ke rumahnya masing-masing.
Yang dapat berteduh, berteduhlah dekat-dekat di sana. Hanya
saudagar-saudagar yang telah mengeluarkan barang-barangnya
dari tokonya yang ribut memas ukkan barang-barangnya kembali.
Sutan Mahmud pun dengan segera mencari bendinya, lalu
pulang ke rumahnya dengan pe rasaan yang sedih dan heran.
"Ajaib," katanya dalam hatinya ketika pulang itu." Apakah
sebabnya lekas amat api itu makan, dan apakah sebabnya maka
bukan toko yang kedua terbakar, sesudahnya toko yang pertama"
Bolehkah jadi api itu melompat dari toko yang pertama ke toko
yang ketiga, melalui toko yang di tengah-tengah" Dan apakah
sebabnya maka kedua toko yang diujung itu hampir serentak
terbakar, sebagai disengaja dibakar orang, bukan terbakar
sendiri" Akan tetapi siapa pula yang akan berbuat sedemikian"
Baginda Sulaiman tak ada musuhnya.
Lagi pula apakah sebabnya hujan ini datang, tatkala ketiga
toko itu telah habis terbakar" Mengapakah tidak lebih dahulu"
Apakah sebabnya dan apakah maksudnya sekalian ini""
Demikianlah pikiran Sutan Mahm ud dalam bendinya, karena tak
mengerti akan kejadian yang gan jil ini. Tiada berapa lamanya
kemudian sampailah ia ke rumahnya.
VIII. SURAT NURBAYA KEPADA SAMSULBAHRI
Matahari silam bintang pun terbit, bintang luput fajar
menyingsing siang hilang berganti malam, malam lenyap siang
pun timbul. Hilang hari berganti hari, habis bula
n bersambung bulan! Musim bergilir takkan bertukar, akan tetapi waktu itu
tiadalah mengindahkan perubahan dan pertukaran ini, melainkan
berjalanlah ia terus-menerus dengan tiada berhenti-henti dari hari
ke hari, dari tahun dan dad abad ke abad. Dari manakah datang-nya waktu itu dan ke manakah perginya" Adakah awalnya dan
adakah akhimya" Wallahu alam.
Di Sekolah Dokter Jawa di Jakarta, dalam masa yang hampir
setahun, tiada banyak perubahan. Pelajaran murid-murid, makin
lama makin dilanjutkan, karena tiada berapa lama lagi akan
puasa dan sekolah tentulah akan ditutup, supaya dapatlah
beristirahat murid-murid yang telah mengusahakan dirinya,
belajar bersusah payah dalam setahun itu.
Samsulbahri dan sahabatnya Arifin rupanya adalah maju
dalam pelajarannya. Pada tiap-tiap ujian yang telah dilangsung-kan tahun itu nyatalah, bahwa me reka tiada tertinggal dalam
pelajarannya daripada teman sejawatnya. Keberatan dan
kesusahan yang sangat diderita nya pada mula-mula mereka
datang ke Jakarta, hilanglah s udah dan biasalah mereka pada
kehidupannya yang baru. Hanya i ngatan dan rindu hati Samsul-bahri kepada Nurbayalah yang tiada hendak berkurang-kurang,
bahkan kian hari kian bertambah rasanya, sehingga terkadang-kadang hampir tak dapat ditanggungnya denda yang sedemikian
itu. Terlebih-lebih dalam beberapa hari ini, hatinya sangat rawan
bercampur sedih, dengan tiada diketahuinya apa sebabnya;
sebagai adalah sesuatu mara bahaya, yang telah jatuh ke atas diri
kekasihnya itu. Oleh sebab itu makinlah ia teringat kepada
Nurbaya dan makinlah bertambah ingin hatinya hendak bertemu
dengan adiknya ini. "Heran," katanya dalam hatinya, tatkala ia duduk termenung
seorang diri, di atas sebuah batu, dalam pekarangan sekolah,
"mimpiku yang dahulu itu da tang pula menggoda pikiranku.
Senanglah hatiku, tatkala ingatan kepada mimpi celaka itu mulai
hilang; akan tetapi apakah sebabnya sekarang ini datang pula
sekonyong-konyong menggoda hatiku" Ah, mungkin sebab
pikiranku telah dahulu kembali ke Pa dang, karena tiada lama lagi
hari akan puasa dan di sanalah kelak akan dapat bertemu dengan
kekasihnya itu." Sedang ia berpikir-pikir sedemikian, datanglah Arifin mem-bawa sepucuk surat yang dialam atkan kepada Samsu, lalu
diberikannya surat ini kepada sahabatnya. Tatkala dilihat Samsu
alamat surat itu dan nyata datangnya dari Nurbaya, masuklah ia
ke dalam biliknya, akan membac a surat itu seorang diri. Ketika
akan dibukanya surat ini, berdebarlah hatinya dan ngerilah rasa
badannya, seolah-olah ada sesuatu kabar yang sedih akan
didengarnya; istimewa pula karena kelihatan olehnya, pem-bungkus surat itu, sebagai bekas kena titik air.
"Kena hujankah surat ini atau kena air laut"" tanya Samsu
dalam hatinya. Tatkala akan dikoyaknya pembungkus surat itu, tiba-tiba
jatuhlah gambar Nurbaya yang tergantung pada dinding biliknya,
sehingga hancur kaca dan bingkainya, sedang potret itu sendiri
rusak pula, karena sqbuah daripa da pecahan kaca yang runcing,
menembus dada kekasihnya ini, tentang jantungnya. Potret itu
diangkat oleh Samsu, lalu dica butnya pecahan kaca yang masuk
ke dalam dada Nurbaya perlahan-lahan, takut akan bertambah
rusak gambar itu. Akan tetapi bagaimana pun ia berhati-hati,
kertas potret itu rusak juga tentang dada Nurbaya.
"Ajaib," pikir Samsu dalain hatinya, sambil termenung.
"Apakah artinya alamat ini" Apakah kabar yang akan ku-dengar""
Setelah dibersihkannya pecahan kaca-kaca tadi, lalu diambil-nyalah pula surat yang baru datang itu, dibukanya dengan tangan
yang gemetar dan hati yang berdebar-debar. Ketika itu kelihatan-
lah olehnya surat itu penuh dengan bekas titik air, serta tulisan-nya pun banyak yang kurang terang, sebagai suatu surat yang
tertulis oleh orang yang pikirannya sedang kusut. Demikian
bunyi surat itu: Padang, 13 Mare11897. Kekasihku Samsulbahri! Walaupun kuketahui, bahwa surat yang malang ini, yang
telah kutulis dengan air mata yang bercucuran dan hati yang
sangat sedih lagi pedih, terlebih daripada diiris dengan
sembilu dan dibubuh asam, garam; serta pikiran yang kelam
kabut akan datang membawa kabar yang sangat
dukacita kepadamu, barangkali juga akan memutuskann pengharapan-mu, yang kau amalkan siang dan malam dan walaupun
rasakan putus rangkai jantung hatiku mengenangkan sedih
dan duka nestapa yang akan menimpa engkau karena
mendengar kabar yang malang ini, akan tetapi kugagahilah
juga diriku menulis surat ini, karena takut kalau-kalau engkau
bersangka, bahwa sesungguhnyalah hatiku telah berpaling
daripadamu. Barangkali juga kabar ini akan menimbulkan murka dan
syak wasangka di dalam hatimu, Sam, dan akan meng-hilangkan kepercayaanmu kepadaku dan karena itu tiadalah
hendak kauindahkan lagi aku ini dan kaubuang aku, sebagai
membuang sampah ke pelimbahan, sebab pada sangkamu
sesungguhnyalah aku seorang yang tiada memegang janji dan
tak boleh dipercayai. Oleh sebab itu biarlah aku bersumpah lebih dahulu,
barangkali engkau percaya kembali kepadaku. Wallah wa
nabi, tiadalah hatiku berubah dari sediakala kepadamu dan
tiadalah ada ingatanku, akan menyakiti hatimu dan memutus-kan pengharapanmu. Tuhan Yang Mahakuasa saksiku, dan
apabila tiada benar aku di dalam hal ini, biarlah diazab dan
disiksanya aku dari dunia sampai ke akhirat. Sesungguhnya
aku beribu kali lebih suka mati berkalang tanah daripada
hidup bercermin bangkai sebagai ini, dan jika tiada takut dan
tiada ingat aku akan engkau, pastilah kubunuh diriku, supaya
jangan menanggung sengsara lagi.
Sekarang apa hendak kukatakan" Karena demikianlah
rupanya nasibku yang telah tertimpa. Walaupun bagaimana
juga hendak kutolak atau kuhindarkan diriku daripadanya,
niscaya akan sia-sia belaka pekerjaan itu, karena untung dan
nasib manusia ditentukan, semenjak di rahim bunda kandung.
Bukankah telah kukatakan dalam pepatah: Malang tak
dapat ditolak, mujur tak dapat diraih" Bukankah setahun yang
telah lalu, telah engkau ketahui untungku, karena engkau
telah mendapat mimpi tentang nasibku itu" Sekarang
datanglah waktunya rupanya, aku harus menepati nasibku itu,
tak dapat dimungkiri lagi. Aduhai sia-sialah segala cita-cita
dan kenang-kenanganku, lenyap segala harapanku, putus tali
tempat bergantung dan ..."
Di situ tak dapatlah Samsu me mbaca surat ini lagi, karena
kertasnya rupa-rupanya penuh ke jatuhan air mata, sehingga
menjadi kembang dan huruf yang tertulis di atasnya menjadi
kurang terang. Oleh sebab itu dilampauilah oleh Samsu tulisan
yang kurang terang itu, lalu dibacanya lanjutannya:
"Supaya dapat kauketahui bagaimana anal mulanya
kecelaka-anku ini, kutulislah juga surat ini. Dengan demikian,
dapatlah kautimbang berapa besar kesalahanku dalam perkara
ini. Sebagai telah kuceritakan kepadamu, toko ayahku telah
terbakar sekaliannya. Itulah permulaan sengsaraku; dari
situlah asalnya azabku. Seperti cerita yang kudengar dari
ayahmu pada pemeriksaan yang dijalankan kemudian
daripada itu, ada tanda-tanda yang menyatakan pembakaran
itu perbuatan orang, karena dekat di sana, ada bekas tempat
minyak dan puntung suluh. Sungguhpun demikian, Sam,
sampai sekarang belum juga lagi dapat keterangan, siapa yang
berbuat kejahatan itu. Bertambah-tambah syak hati ayahmu, kebakaran itu per-buatan khianat, sebab yang mula-mula terbakar, dari ketiga
toko itu, ialah kedua toko yang di sisi. Keduanya hampir
serentak dimakan api. Bila toko-toko itu tiada dibakar orang,
bagaimana-kah api itu dapat melompat dari toko yang
pertama ke toko yang ketiga, dengan melampaui toko yang di
tengah-tengah. Jika dapat pun melompat, tentulah toko yang
pertama itu terlebih dahulu hams terbakar benar-benar,
barulah api dapat melompat ke toko yang ketiga. Tetapi
sebagai kukatakan, kedua toko yang di sisi itulah yang mula-mula sama-sama terbakar, barulah toko yang di tengah.
Oleh sebab kebakaran itu perbuatan orang dan api makan
sangat cepatnya, tiadalah dapat ketolongan sepotong barang
pun, karena tatkala diketahui orang api itu, kedua toko itu
telah hampir habis terbakar. Dan karena panas apinya,
seorang pun tak ada yang berani mendekati toko-toko itu.
Itulah juga sebabnya, maka sehelai benang pun tak ada yang
keluar; sekaliannya habis dimusnahkan api. Oleh sebab ketiga
toko itu belum dimasukkan asuransi, rugilah ay
ahku pada malam itu kira-kira lima puluh ribu rupiah.
Suatu lagi yang mengherankan ayahmu, yaitu penjaga toko
itu rupanya tidur nyenyak, sehingga mati kebakaran. Hanya
penjaga toko yang di tengahlah yang terlepas dari bahaya
mati. Akan tetapi jika tiada ditolong, tentulah ia mati pula;
karena tatkala api memakan toko yang di tengah, belum juga
ia terbangun, sehingga ia dihela oleh serdadu ke luar. Di luar,
kelihatan sebagai orang mabuk, tiada insaf akan dirinya.
Sebagai telah kuceritakan kepadamu, ayahku malam itu
tiada ada di rumah, pergi ke Padang Panjang, menguruskan
perniagaannya pada beberapa toko langganannya di sana,
yang rupanya hendak mungkir membayar utangnya dan tak
mau mengambil barang-barang lagi kepada ayahku. Itulah
yang menjadikan pikiran dalam hatiku. Sesungguhnyakah
sekalian itu perbuatan orang" Jika benar, apakah maksudnya
dan siapakah musuh yang tersembunyi ini"
Setelah pulanglah ayahku pada keesokan harinya, sebab
dikirimi surat kawat oleh ayahmu, kuceritakan kecelakaan itu
kepadanya dan kukabarkanlah pula syak hatiku kepada orang
yang telah kaumimpikan itu. Akan tetapi ayahku tiada hendak
mendengar perkataanku ini, karena ia sangat percaya rupanya
kepada orang itu. "Bukannya ia yang berbuat jahat," kata ayahku, "melain-kan nasib kitalah yang sedemikian. Sungguhpun begitu,
janganlah kaususahkan hal itu!" kata ayahku pula, "karena
kebun kelapaku masih ada dan barang-barang hutan yang ku-terima bulan ini, adalah pula lima perahu banyaknya; cukup
bagiku akan memulai berniaga, sebagai dahulu. Jika dengan
tolong Allah, akan kembalilah segala yang telah hilang itu."
Ayahku, karena sabarnya rupanya dengan sepenuh-penuh
hatinya menyerahkan untungnya kepada Tuhan Yang Maha-kuasa dan memohonkan kurnia-Nya. Itulah pula yang me-nimbulkan ajaib hatiku, karena kelak akan nyata kepadamu,
bahwa Tuhan telah meninggalkan kami dan tiada menolong
kami lagi, walaupun tiada kuketahui, apakah dosa dan
kesalahan yang telah kami perbuat. Segala kesangsaraan dan
kecelakaan datangnya bertimpa-timpa, seba gai adalah kutuk
yang telah jatuh ke atas kepala kami; karena dua hari
kemudian daripada itu datanglah anak perahu ayahku yang
biasa membawa dan mengambil barang perniagaan dari
Terusan dan Painan mengabarkan, kelima perahu ayahku
telah karam di laut, dilanggar topan yang berembus, tatkala
malam kebakaran itu. Suatu pun dari muatannya tak ada yang
ketolongan, sedang sekalian anak perahu, niscaya akan mati
di laut, jika tiada ditolong oleh perahu lain.
Bagaimana rasa hati ayahku ketika mendengar kabar itu,
tak dapatlah kuceritakan di sini, melainkan Allah jugalah
yang mengetahuinya. Sungguhpun air mukanya tetap, tiada
berubah, dan rupanya menyerah dan tawakal kepada Tuhan,
tetapi aku tahu, hatinya di dalam remuk redam sebagai kaca
jatuh ke batu. Sejak hari itu kami hidup berhemat-hemat.
Tiada lama kemudian daripada itu, rupanya ayahku
meminjam duit kepada Datuk Meringgih, banyaknya sepuluh
ribu, dengan janji itu bagi ayahku, tiadalah kuketahui.
Barangkali akan pembayar utang atau akan dijalankan pula
membangunkan perniagaannya yang telah jatuh itu. Tetapi
rupanya di dalam tiga bulan itu selalu ia rugi, sehingga
habislah uang itu. Sekalian orangnya di Terusan dan Painan,
lari meninggalkan ayahku dengan membawa uang yang ada
padanya, dan segala toko langganan ayahku di Padang Darat
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu pun mungkir pula tiada hendak membayar utangnya.
Tinggal satu lagi harapan ayahku, yaitu kebun kelapa di
Ujung Karang, tetapi pengharapan ini pun diputuskan pula,
karena kami harus jatuh ke lumpur, tak boleh ditolong lagi.
Iblis yang mendatangkan segala mara bahaya itu rupanya
belum puas melihat kami telah jadi sedemikian. Bukannya
harta kami saja yang akan dilenyapkannya, tetapi jiwa kami
pun akan dicabutnya pula dan bila nasib yang malang ini,
tiada hendak meninggalkan kami, niscayalah maksud
jahanam itu tiada lama lagi akan sampai.
Pohon kelapa yang diharapkan ayahku itu, tiada hendak
berbuah lagi, sedang buahnya yang ada pun, tua muda jadi
busuk, gugur ke tanah. Batangnya pun mati semuanya.
Bagaimanakah boleh jadi kecelakaan datang berti
mpa-timpa sedemikian itu, tak habis kupikir-pikirkan. Pecah
otakku mengenangkan apakah dosa ayahku maka sampai
mendapat hukuman serupa itu" Aku tak percaya, ayahku ada
berbuat sesuatu yang tak baik atau kesalahan yang besar,
sampai disiksa sedemikian itu.
Akan tetapi apa hendak dikata" Jika nasib akan jatuh,
sekaliannya boleh menjadi sebab. Bagiku adalah untung itu
sebagai kata pepatah: Disangka panas sampai petang, kiranya
hujan tengah hari. Di situlah nyata kebesaran Tuhan, yang
boleh menjadi tamsil bagi segala hartawan. Jika dikehendaki-
Nya, harta yang sebagaimana banyaknya pun dapat lenyap
dalam sekejap mata."
Baharu hingga itu terbaca oleh Samsu surat Nurbaya ini,
bercucuranlah air matanya, yang sejak tadi ditahan-tahannya.
"Larilah rupanya bahaya yang kutakutkan itu," pikirnya dalam
hatinya, "Bagaimanakah akhirnya kekasihku ini""
Setelah disapunya air matanya, lalu diteruskannya membaca
surat itu. "Setelah sampailah tiga bulan, datanglah Datuk Meringgih
meminta uang kembali, katanya sebab perlu dipakainya,
tetapi ayahku tiada beruang lagi. Walaupun berapa ayahku
minta janji, tiadalah diperkenan-kannya.
Waktu itulah baru tahu ayahku, bagaimana hati Datuk.
Meringgih sebenarnya kepadanya. Waktu itu berulah ia
berasa, Datuk Meringgih bukan sahabatnya, melainkan
musuhnya; jadi musuh yang sebesar-besarnya. Sekalian
sangkaku yang telah kukatakan kepadanya, mulai dipercayai-nya.
Akan tetapi apa boleh buat, Sam! Gadai telah terlanjur ke
Cina, tak dapat diubah lagi. Siapa tahu, barangkali Datuk
Meringgih inilah yang mendatangkan sekalian malapetaka itu,
sehingga ayahku sampai jatuh sedemikian. Sudah itu dengan
sengaja dipinjaminya ayahku uang, supaya ia jatuh pula ke
dalam tangannya. Jika demikian, sesungguhnyalah Datuk
Meringgih itu penjahat yang sebesar-besarnya, yang mengail
dalam belanga, menggunting dalam lipatan.
Setelah dipinta oleh ayahku dengan susah payah, barulah
diberinya tangguh sepekan lagi, akan tetapi dengan
perjanjian, apabila dalam sepekan itu tiada juga dibayar
hutang itu, tentulah akan disitanya rumah dan barang-barang
ayahku dan ayahku akan dima sukkannya ke dalam penjara.
Hanya bila aku diberikan kepadanya, raksasa buas ini,
bolehlah ayahku membayar utang itu, bila ada uangnya.
Membaca kekejian ini, merah padamlah warna muka Samsu.
Matanya sebagai berapi, urat keningnya membengkak dan
sekujur badannya gemetar. Tangannya dikepalkannya sebagai
hendak menerkam Datuk Meringgih, yang pada penglihatannya
barangkali ada di mukanya.
"Jahanam!" demikianlah perkataan yang keluar dari
mulutnya, "Anjing tua yang tiada berbudi. Ingat rupa dan
umurmu hendak meminta Nurbaya. Dengan hantu, patut engkau
kawin!" Setelah disabarkan Samsu hatinya , lalu dibacanya pula surat
itu, karena sangat ingin ia he ndak mengetahui, apakah jadinya
dengan kekasihnya itu. "Di dalam sepekan itu," demikianlah sambungan surat
Nurbaya," pergilah ayahku ke sana kemari mencari uang,
tetapi tiadalah seorang juga yang percaya lagi kepadanya,
karena ia telah jatuh sengsara. Sedangkan sahabat karibnya,
yang acap kali ditolongnya di dalam kesenangannya, telah
meninggalkannya pula. Rupanya begitulah adat dunia ini,
patut dikiaskan oleh orang Jakarta dengan sindiran: Ada uang
abang sayang, tak ada uang abang melayang. Ya! Kawan
gelak yang banyak, tetapi kawan menangis jarang bersua.
Rupanya uang itulah yang dipandang, ditakuti, dihormati, dan
dicintai orang; uang itulah sahabat kerabat, ibu-bapa dan
sanak saudara. Yang tak beruang akan yatim piatulah, sunyi
daripada sekaliannya, hidup sebatang kara.
Jika demikian, alangkah lanc ungnya dunia ini, alangkah
jahatnya manusia itu! Tetapi sesungguhnya tak ada orang
yang tiada memandang uang di dalam dunia ini" Hormat
karena hormat, takut karena takut, sayang karena sayang, dan
cinta karena cinta" Walaupun aku percaya, tentulah ada juga
orang yang tiada memandang uang, orang yang sebenarnya
orang, di antara penduduk kota Padang ini, tetapi sebab
kecelakaan yang bertimba-timpa ini, menjadilah syak hatiku
dan kurang kepercayaanku.
Sekarang marilah kuteruskan ceritaku, supaya jangan terlalu
panjang surat ini. Kebun kelapa yang di Ujung Karang itu, harta ayahku yang
penghabisan, tak lalai dijual, karena kelapanya sekalian telah
mati." Ketika itu hati Samsu makin bertambah-tambah tak enak,
sehingga ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Oleh sebab itu; tatkala akan sampailah janji ayahku itu
kepada Datuk Meringgih, pada malamnya, datanglah ia
kepadaku, bertanyakan pikiranku tentang hal ini, karena
esoknya tentulah akan datang Datuk ini mendengar
keputusan kami. Aku tiada terkata-kata lagi; sejak terbakar toko ayahku,
hatiku tak dapat kusenangkan. Acap kali menangislah aku
pada malam hari mengenangkan nasibku yang malang ini.
Mimpirnu pun selalu terbayang-bayang di mataku. Setelah
Datuk Meringgih menagih piutangnya, tiadalah aku dapat
tidur setiap malam, melainkan selalu menangis bersedih hati.
Kerap kali aku terkejut, karena sebagai kelihatan olehku
Datuk Meringgih datang menguasai aku. Dengan demikian,
badanku menjadi kurus kering tinggal kulit pembalut tulang:
Jika engkau lihat aku sekarang jni, pastilah tak kenal lagi
engkau kepadaku. Demikianlah perubahan badanku, karena
sedih, susah, takut dan makan hati."
"Aku tahu, Nur, bahwa engkau tiada suka kepada Datuk
Meringgih," kata ayahku pada malam itu kepadaku. "Pertama
umurnya telah tua, kedua karena rupanya tak elok, ketiga
karena tabiatnya keji. Itulah sebabnya ia bukan jodohmu. Dan
aku tahu pula bagaimana hatimu kepada Samsu dan hatinya
kepadamu. Aku pun tiada lain. melainkan itulah yang kucita-citakan dan kuharapkan siang dan malam, yakni akan melihat
engkau duduk bersama-sama dengan Samsu kelak, karena
ialah jodohmu yang sebanding dengan engkau.
Aku percaya pula, bahwa orang tuanya yang waktu ini
sangat bersedih hati melihat halku ini dan terlalu ingin hendak
menolong aku, tetapi karena tak dapat, hanya berawan hati
menjauhkan diri, bahwa Sutan Mahmud pun tiada akan
mengalangi cita-cita kita ini, bahkan akan serta mencukupi
perjodohan itu. Sungguhpun aku tahu akan sekalian itu, tapi
hendak juga kutanyakan pikiranmu, supaya jangan sampai
menjadi sesalan kemudian han, karena engkau sendirilah yang
dapat memutuskan perkara ini. Jika sudi engkau menjadi istri
Datuk Meringgih, selamatlah aku, tak masuk ke dalam
penjara dan tentulah tiada akan terjual rumah dan tanah kita
ini. Akan tetapi jika tak sudi engkau, niscaya aku dan sekalian
kita yang masih ada ini, akan jatuh ke dalam tangannya."
Mendengar perkataan ayahku ini, tiadalah dapat kutahan
lagi sedih hatiku, hancur luluh rasa jantungku, lalu menangis-lah aku tersedu-sedu di dada ayahku, sehingga basahlah baju
dan kainnya, karena air mataku yang bercucuran. Tiadalah
kujawab perkataannya sepatah pun karena dadaku bagaikan
pecah dan leherku bagai terkunci.
Tatkala ayahku melihat halku sedernikian itu, air matanya
tak dapat ditahannya, sehingga keluar berlinang-linang jatuh
ke pipinya, lalu diciumnya kepalaku sambil berkata,
"Nurbaya, sekali-kali aku tiada berniat hendak memaksa
engkau. Jika tak sudi engkau, sudahlah; tak mengapa. Biarlah
harta yang masih ada ini hilang ataupun aku masuk penjara
sekalipun, asal jangan bertambah-tambah pula dukacitamu.
Pada pikiranku tiadalah akan sampai dipenjarakannya aku;
mungkin masih boleh ia dibujuk. Sesungguhnya aku terlebih
suka mati daripada memaksa engkau kawin dengan orang
yang tiada kausukai; dan jika aku tiada ingat akan engkau dan
tiada takut akan Tuhanku, niscaya telah lama tak ada lagi aku
dalam dunia ini. Tetapi engkaulah yang menjadi alanganku.
Bagaimanakah halmu kelak, bila aku tak ada lagi" Siapakah
yang akan memeliharamu""
Ketika itu berlinang-linanglah pula air mata ayahku di
pipinya. Sesungguhnya harta benda itu tiada berguna bagiku,
jika engkau tiada ada. Apa yang akan kubela" Tanggunganku
yang lain tak ada ibumu pun telah lama meninggal dunia.
Pikiran kepadamulah yang membangkitkan hatiku hendak
berniaga, mencari keuntungan yang banyak, supaya engkau
kelak jangan susah dalam Whidupanmu. Tiada lain yang
kuingini dan kuamalkan serta kupohonkan kepada Rabbul-alamin, melainkan kesenangan dan kesentosaanmulah kelak,
bila aku telah berpulang. Sekarang engka
u tak suka pada orang itu, sudahlah! Kewajibarrku telah kujalankan, supaya
jangan engkau menyesali aku pula kelak. Sekarang marilah
kita nanti segala kehendak Tuhan dengan tawakal dan
menyerah!" Mendengar bujukan ayahku ini, barulah dapat aku
mengeluarkan suara lalu bertanya, "Tidakkah cukup untuk
pembayar utang itu, kalau sekalian barang hamba jual dengan
rumah dan tanah Ayah" Karena hamba lebih suka miskin
daripada jadi istri Datuk Me ringgih."
"Tanah tak laku, sebab tak ada orang yang hendak mem-belinya dan harga barang-barangmu dengan rumah ini tentu-lah tak lebih dari.enam tujuh ribu rupiah. Di mana dicari yang
lain dengan bunga uang utang itu" Tetapi sudahlah, jangan
kaupikirkan lagi perkara ini senangkanlah hatimu, dan kita
tunggulah apa yang akan datang."
Semalam-malaman itu tak dapat aku memejamkan mataku
barang sekejap pun; menangis pun tak dapat pula, sebagai
kehabisan air mata. Sungguhpun mataku terbuka, tetapi tak
dapat aku berpikir apa-apa; adalah sebagai otakku telah lelah.
Oleh sebab itu berbaringlah lalu semalam-malaman itu
dengan mata yang terbuka dan pikiran yang kacau-balau.
Halku adalah seperti orang yang tiada khabarkan dirinya,
antara bangun dengan tidur, antara hidup dengan mati.
Berbagai-bagai penglihatan dengan perasaan yang memberi
takut dan dahsyat hatiku, datang menggoda. Dikatakan ber-mimpi, mataku terbuka, dikatakan jaga, pikiranku tiada
hendak menurut kemauanku. Inilah agaknya yang disebut
orang bermimpi dalam bangun.
Setelah menyingsinglah fajar di sebelah timur dan ber-kokoklah ayam berbalas-balas an, barulah sadar aku akan
diriku dan nyatalah kepada hari telah subuh, lalu keluarlah
aku membasahi kepalaku yang masih panas, sebagai besi
menyala. Kemudian aku mandi akan menyegarkan tubuhku.
Sesudah mandi, barulah agak dapat aku berfikir dengan benar.
Tatkala ingatlah pula aku akan halku, kecutlah kembali hatiku
dan berdebar-debarlah jantungku serta gemetar sendi tulang-ku, karena sebentar lagi akan jatuhlah hukumanku atau
hukuman ayahku. Bila aku tiad a diterkamnya, niscaya ayah-kulah yang akan disiksanya, binatang buas itu.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, sesungguhnya
datanglah Datuk Meringgih dengan dua orang Belanda.
Setelah naik ke rumahku dengan tiada duduk lagi, ia bertanya
kepada ayahku, "Bagaimana""
"Tak dapat kubayar utang itu," jawab ayahku, "dan anakku
tak dapat pula kuberikan kepadamu."
Tatkala mendengar perkataan ayahku ini, merentaklah ia
dengan marahnya, lalu berkata, "Jika demikian, tanggunglah
olehmu!" lalu diserahkannya perkara itu kepada pegawai
Belanda, yang datang bersama-sama dengan dia. Seorang
daripada tuan ini berkata, sambil mendekati ayahku,
"Walaupun dengan sedih hati, tetapi terpaksa hamba akan
membawa tuan ke dalam penjara, atas kemauan Datuk
Meringgih." "Dan hamba terpaksa pula menyita rumah dan sekalian
harta tuan hamba," kata pegawai yang lain.
Ayahku tiada dapat menyahut apa-apa lain daripada,
"Lakukan kewajiban tuan-tuan!"
Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara,
sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mata-ku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui,
keluarlah aku, lalu berteriak, "Jangan dipenjarakan ayahku!
Biarlah aku jadi istri Datuk Meringgih!"
Mendengar perkataanku itu, tersenyumlah Datuk Meringgih
dengan senyum, yang pada penglihatanku, sebagai senyum
seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya, dan ter-bayanglah sukacitanya dan berahi serta hawa nafsu hewan
kepada matanya, sehingga terpaksa aku menutup mataku.
Ayahku tiada berkata apa-apa melainkan datang memeluk
aku, sambil bertanya "Benarkah katamu itu"" Seperti suatu
perkakas mengangguklah aku, karena mengeluarkan perkata-an tak dapat lagi.
"Oleh sebab hendak menolong ayahku, anakku menyerah-kan dirinya kepadamu, untuk memuaskan hawa nafsu dan
hatimu, yang sebagai hati binatang itu." kata ayahku kepada
Datuk Meringgih." Sekarang barulah kuketahui bahwa
kejatuhanku ini semata-mata kare na perbuatanmu juga karena
busuk hatimu, dengki dan tak dapat engkau melihat orang lain
berharta pula seperti engkau. Dengan berbuat pura-pura ber-sahabat ka
rib dengan aku, kauperdayakan aku, sampai aku
jatuh ke dalam tanganmu dan harus menurut sebarang
kehendakmu yang keji itu. Tetapi tak apa, Datuk Meringgih!
Tuhan itu tiada buta; lambat-laun tentulah engkau akan
beroleh juga hukuman atas khianatmu ini," lalu ayahku
menuntun aku masuk ke dalam rumah. Sejak waktu itulah
Samsu, aku menjadi istri Datuk Meringgih ...
Di sini tulisan surat itu tiada terang pula, sebab kertasnya
penuh dengan bekas air mata.
Setelah Samsu membaca kecelakaan ini, lalu ia menunduk-kan kepalanya ke atas mejanya, menangis amat sangat, karena
sedih akan nasib kekasihnya dan untungnya sendiri pun. Segala
cita-cita hatinya yang sekian lama diharap-harapkannya, pada
saat itu hilang lenyap, sebagai batu jatuh ke lubuk, hujan jatuh ke
pasir, tak dapat dicari lagi. Pengharapan yang telah sekian lama
berurat berdaging dalam jantungnya, tiba-tiba diputuskan oleh
Datuk Meringgih, dengan putus ya ng tak dapat disambung lagi.
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Inilah jadinya segala kenang-kenanganku yang sekian lama
aku hasratkan! Inilah buah permintaan dan doaku yang kupohon-
kan siang dan malam kepada Tuhan yang Maha Kuasa! Alang-kah malangnya untung nasibku ini!" demikianlah buah tangis
Samsulbahri seorang diri di dalam biliknya.
Setelah menangis amat sedih beberapa lamanya, tiba-tiba
berdirilah ia dengan menggertakkan giginya dan mengepalkan
tangannya. Dengan muka yang pucat dan mata yang bernyala-nyala, karena menahan marahnya, dipegangnyalah potret
Nurbaya yang ada dekatnya sambil mengangkat mukanya ke atas
lalu bersumpah, "Demi Allah, de mi rasul-Nya! Selagi ada napas
di dalam dadaku, akan kubalas jua kejahatan ini! Tiada puas
hatiku sebelum kutuntut bela atas aniayanya ini.
Ya Allah, ya Tuhanku! Perkenankanlah juga permintaanku
ini dan janganlah dicabut nyawaku lebih dahulu, sebelum sampai
maksudku ini." Setelah bersumpah itu, tunduklah Samsu beberapa saat lama-nya, sebagai hendak menahan sedih dan amarahnya; kemudian
terduduklah pula ia ke atas kursinya, tiada berkata-kata barang
sepatah pun. Tatkala sadarlah ia ke mbali akan dirinya, lalu di-teruskannya membaca surat Nurbaya dengan mata yang masih
merah dan basah. "Barangkali tak dapat kaupikirkan. Samsu, bagaimana
hancur hatiku sekarang ini. Pertama karena telah mungkir
janji kepadamu dan memutuskan pengharapanmu; kedua
karena terpaksa duduk dengan seorang-orang yang sebagai
Datuk Meringgih ini; iblis tua yang sangat kubenci. Tiadalah
suatu yang dapat kupandang padanya. Sungguh kaya, rupanya
sama dengan hantu pemburu, bangsanya, Allah yang tahu,
asalnya penjual ikan kering, tabiatnya lebih daripada tabiat
binatang, kelakuannya kasar dan bengis. Lagi pula ialah orang
yang menjatuhkan ayahku dari kekayaan dan namanya; ialah
musuh kami yang sebesar-besarnya dan ialah pula yang akan
menjadi algojoku, untuk mencabut nyawaku. Kepada orang
yang sedemikian itu aku harus menyerahkan diriku. Dengan
dia aku harus hidup bersama-sama. Cobalah kaupikir; Aduh!
Agaknya tak ada orang yang sama sengsaranya dengan aku
dalam dunia ini! Sungguhpun telah kupaparkan sekalian hal ihwalku ini,
barangkali belumlah juga engkau percaya kepadaku dan
masih bersangka, bahwa segala hal itu kuperbuat-buat jua,
untuk memperdayakan engkau. Akan tetapi Allah subhanahu
wata ala saksiku, Sam, dan Dialah juga yang mengetahui
bagaimana rasa hatiku, tatkala aku harus menyerahkan diriku.
Sungguhpun demikian tiadalah boleh juga aku berkecil hati,
bila engkau tiada hendak percaya kepadaku, karena walau
bagaimana sekalipun aku memang teiah mungkir janji, tiada
menurut perkataan dan sumpahku yang telah kukeluarkan.
Dan akulah seorang perempuan yang telah memutuskan peng-harapan kekasihnya. Sekalian itu tak dapat kutidakkan. Akan
tetapi adakah jalan lain yang dapat kuturut di dalam
kecelakaan ini" Oleh sebab tiada terderita olehku penanggungan yang
sebagai ini, timbullah ingatan dalam hatiku hendak mem-bunuh diriku. Itulah hukuman yang berpadanan dengan dosa-ku. Seribu kali lebih suka aku mati berkalang tanah, daripada
hidup bercermin bangkai, sebagai ini. Akan tetapi tatkala aku
hendak memakan racun, datanglah ingatanku,
kalau-kalau perbuatan ini salah pula pada hematku.
Oleh sebab itu kutulislah surat ini, supaya kau ketahui halku
ini dari awal sampai akhirnya dan tahu pula segala sebab-sebab yang telah menjadikan aku sampai mungkir janji. Bila
telah kaubaca surat ini, dapatlah kautimbang hukuman yang
akan kaujatuhkan ke atas diri ku, dan yang akan kuterima
dengan rela dan tulus. Bila dari padamu pun aku tiada akan
mendapat ampun, tahulah aku, bahwa di dalam dunia ini tak
ada harapanku lagi. Oleh sebab itu kupinta kepadamu dengan
sebesar-besar permintaan, kaubalaslah surat ini dengan
segera. Sebagai kaulihat, sebagian daripada mimpimu dahulu itu
telah terjadi, tinggal jatuh ke dalam jurang itu saja lagi. Bila
telah sampai ke sana, tentulah ajalku pun akan sampailah
pula. Jadi kejatuhanku karena Datuk Meringgih ini, tak dapat
kutolak lagi, karena demikianlah sudah untung nasibku. Oleh
sebab itu, di dalam hal ini, terlebih baik bagiku, lekas-lekas
dihabiskan umurku, supaya jangan menanggung terlalu lama.
Suatu yang akan melipur hatiku kelak. apabila aku telah
sampai ke sana, kepada penghabisan mimpimu itu, ialah jatuh
ke dalam jurang itu adalah bersama-sama dengan engkau.
Barangkali di sanalah kita tiada akan bercerai lagi, walaupun
dalam dunia ini masih dapat dipisahkan orang. Di akhiratlah
kita akan bersatu selama-lamanya.
Sehingga inilah dahulu, kekasihku. Kelak, jika masih ada
hayat di kandung badanku, kusambunglah pula cerita yang
malang ini, asal masih sudih engkau melihat bekas tanganku
yang akan melukiskan untungku yang celaka ini. Barangkali
juga aku tiada boleh lagi memanggil engkau kekasihku, tetapi
menjadi abangku, barangkali masih suka engkau dan
sambutlah peluk cium daripada adikmu yang sengsara ini.
NURBAYA Setelah Samsu membaca surat ini, dire bahkannyal ah dirinya
di tempat tidurnya, lalu menelungkup menangis tersedu-sedu
semalam-malaman itu. IX. SAMSULBAHRI PULANG KE PADANG
Lebih dari setahun lamanya kita tinggalkan gunung Padang,
sejak Samsulbahri berjalan-jalan ke sana dengan Nurbaya dan
teman-temannya. Sekarang marilah kita kembali pula ke sana,
karena pada hari ini sangatla h ramai di gunung itu, penuh sesak
dengan beratus-ratus orang laki-laki perempuan, kecil besar, tua
muda. Dekat-dekat pekuburan; di bawah-bawah polion kayu, di
tempat yang teduh-teduh, duduklah mereka berkumpul-kumpul.
Ada yang sedang asyik membaca salawat, untuk sekalian ahli
kubur, ada yang sedang asyik membersihkan kubur orang tua-nya, ada yang sedang meratap menangis di atas kubur anaknya,
yang baharu meninggal dunia dan ada pula yang sedang
menyiramkan air cendana dan menaruh bunga rampai, di atas
kubur saudaranya, yang amat dicintainya. Akan tetapi ada pula
yang hanya duduk bercakap-cakap saja dan banyak pula yang
datang sekedar hendak melihat-lihat atau beramai-ramai saja. Di
jalan ke gunung itu dan di kakinya, penuh dengan orang, sebagai
di pasar rupanya. Ada yang datang, ada yang pergi dan ada pula
yang berhenti melepaskan lelah.
Di batang Arau kelihatan berpuluh-puluh sampan, yang
menyeberangkan mereka pulang balik, sedang di pinggir jalan
raya kelihatan pula berpuluh-puluh bendi berjejer, menunggu
muatan. Fakir dan miskin serta alim ulama, demikian pula haji-haji banyak yang datang, untuk mendoa. Ada yang kedengaran
sedang ratib dan ada pula yang sedang membaca fatihah.
Apakah sebabnya maka ramai sungguh waktu itu di gunung
Padang" O, karena hari itulah penghabisan bulan Sya'ban; esok-nya akan mulai puasa bulan Ramadan. Sebelum masuk ke dalam
bulan yang baik ini, pergilah seisi kota Padang mengunjungi
pekuburan sekalian kaum keluarganya, yang telah berpulang ke
rahmatullah, untuk mendoakan arwahnya dan memohonkan
selamat, supaya yang telah meninggal dan yang masih hidup
pun, semuanya dipelihara Tuhan dalam segala hal.
Oleh sebab tinggal sehari itulah kaum Muslimin boleh makan
siang hari, dipuas-puaskan me rekalah nafsunya dengan segala
makan-makanan yang lezat cita rasanya. Itulah sebabnya maka
dinamakan orang Padang hari itu "hari makan-makan".
Pada petangnya, kelihatan bulan sebagai secarik kertas, me-mancarkan cahay
anya di sebelah barat tiada berapa tingginya
dari muka airlaut. Oleh sebab itu berbunyilah tabuh pada
sekalian langgar dan mesjid akan memberitahukan kepada segala
urnat Islam, bahwa keesokan harinya, puasa akan dimulai.
Setelah tiga hari puasa dijalankan, pada keempat harinya,
masuklah sebuah kapal, yang datang dari Jakarta ke pelabuhan
Teluk Bayur, membawa beberapa murid-murid sekolah Jakarta,
yang asalnya dari Sumatra Barat. Mereka hendak pulang ke
rumahnya mengujungi orang tua dan handai tolannya, karena
dalam bulan puasa sekalian sekolah Bumiputra ditutup.
Di antara murid-murid itu, adalah juga Samsulbahri dengan
sahabatnya Arifin dan Bakhtiar. Tatkala merapatlah sudah kapal
ke pangkalan, naiklah ketiga mereka ke darat, lalu pulang
tergesa-gesa ke rumah orang tuanya masing-masing, karena
sangat rindu hendak bertemu dengan ibu-bapaknya. Hanya
Samsulbahrilah yang sebagai tiada mengindah, karena kekasih-nya yang ditinggalkannya dahulu tak ada lagi. Yang akan
menyambutnya hanya ibu bapaknya saja. Istimewa pula, karena
pulangnya itu niscaya akan membangunkan kembali segala
ingatan kepada waktu yang telah silam.
Setelah sampailah Samsu ke rumah orang tuanya, lalu ber-jabat tanganlah ia dengan ayah nya dan ibunya dipeluknya.
Kemudian masuklah ia ke dalam biliknya, akan menukar
pakaiannya. Sebab itu keluarlah pula, bercakap-cakap dengan
orang tuanya, menceritakan halnya, pelajarannya di Jakarta dan
pelayarannya dengan kapal pulang balik. Tetapi sungguhpun ia
berkata-kata itu hati dan pikirannya tiada di sana, melayang
entah ke mana. Halnya ini diketahui oleh ibunya dan Sitti
Maryam turut berdukacita, mengenangkan nasib anaknya, yang
sebiji mata ini. Sungguhpun de mikian, tiadalah dibayangkan
Samsu, pada mukanya, perasaan hatinya.
"Kasihan," kata Samsu dengan suara yang pilu, karena se-sungguhnya hatinya terlalu sedih, tatkala melihat rumah orang
tuanya dan rumah Nurbaya dengan sekalian yang menimbulkan
ingatan kepada waktu yang te lah lalu, sehingga hampirlah
menyesal ia pulang ke Padang, "hamba melihat seorang
hukuman membuangkan dirinya ke laut sebagai seorang yang
telah putus asa." "Di mana"" tanya ibunya dengan terperanjat, mendengar
kabar yang dahsyat itu, takut kalau-kalau anaknya berbuat
demikian pula. "Di laut Tanjung Cina, malam kemarin dahulu. Tatkala
gelombang amat besar, melompatla h ia dari geladak kapal ke
laut, lalu hilang tiada timbul lagi."
"Ya Allah, ya rabbi, kasihan!" sahut ibunya dengan ngeri.
"Rupanya karena putus asa, lebih suka ia mati di dalam laut
daripada menanggung kesengsaraan, kehinaan dan malu. Patut-lah acap kali hamba lihat ia termenung dan terkadang-kadang
menangis di gisi kapal; makan pun kerap kali tiada suka."
"Barangkali ia hendak lari ," kata Sutan Mahmud.
"Pada pikiran hamba bukan demikian," sahut Samsu, "karena
kapal waktu itu jauh di tengah lautan; daratan tak kelihatan.
Masakan dapat ia mencapai pantai. Lagi pula tangannya
dibelenggu; bagaimanakah ia dapat berenang""
"Sedih amat! Bagaimanakah rasa hati anak-bininya, ibu-bapa
dan sanak saudaranya, bila mendengar kabar itu"" kata Sitti
Maryam pula. "Barangkali ia sebatang kara atau besar kesalahannya," sahut
Sutan Mahmud. "Kesalahan manusia itu, hanya Allah yang mengetahui,"
jawab istrinya. "Kabarnya ia dipersalahkan membunuh orang, sebab itu di-hukum buang dalam rantai lima belas tahun lamanya ke Sawah
Lunto," kata Samsu pula.
"Nah, dengarlah itu! Kalau tak bersalah, masakan dihukum
seberat itu," jawab Sutan Mahmud.
"Biarpun telah dihukum, belum te ntu lagi bersalah, karena
hukuman itu, walau rupanya adil sekalipun, masih hukuman
dunia dan hakimnya manusia, yang gawat dan lemah, sebagai
kita sekalian juga," jawab Sitti Maryam.
"Baik; tetapi hakim itu bukannya orang bodoh, melainkan
orang yang ahli dalam undang-undang, orang yang telah ter-pelajar dan bersekolah tinggi. Lagi pula bukan seorang hakim
yang menghukum itu, melainkan bersama-sama; bagaimana
boleh salah juga"" kata Sutan Mahmud pula.
"Walau demikian sekalipun, belum dapat juga lagi kita
pastikan, orang itu bersalah; ka rena yang batin itu tak dapat
diketa hui manusia," jawab Sitti Maryam.
Samsulbahri tiada hendak me ncampuri pertengkaran ayah
dengan ibunya ini, istimewa pula karena pikirannya tak ada di
sana. "Bagaimana pula engkau ini"" kata Sutan Mahmud,
"masakan hakim menghukum ora ng dengan tiada semena-mena"
Tentulah telah cukup ketera ngannya dengan saksi-saksinya
sekalian, baru dihukum."
"Saksi itulah yang acap kali menyesatkan hakim untuk
mendapat kebenaran. Kakanda ja ngan gusar, karena perkataan
adinda ini. Cobalah dengar misal yang akan adinda ceritakan ini!
Seorang yang kaya atau berpangkat tinggi, hendak membinasa-kan seorang miskin. Dengan uang atau pangkatnya itu, mudah
baginya mengadakan beberapa saksi palsu. Bila hakim hanya
mendengar saksi saja, tentulah si miskin, yang tiada bersalah itu,
akan dihukum. Misal yang kedua. Di tempat yang sunyi, dibunuh oleh
seorang penjahat seorang yang melintas ke qana, karena hendak
merampas harta bendanya. Seorang yang baik dan lurus hati,
yang tiada bersalah suatu apa sampai pula ke sana. Tatkala
dilihatnya orang terhantar di jalan raya, tentulah akan diperiksa-
nya, kalau-kalau masih dapat ditolong. Karena memeriksa itu
pakaiannya kena darah. Ketika itu datang empat orang yang lain
ke sana, lalu tampak olehnya si lurus hati itu ada dekat mayat,
dengan pakaiannya berlumur darah. Tidakkah ia akan didakwa
berbuat kejahatan itu " Sekalian saksi tentu dapat mengaku di
hadapan hakim mereka telah me lihat dengan matanya sendiri
bahwa si lurus hatilah yang ada dekat mayat, dengan berlumuran
darah pakaiannya. Saksi-saksi ini berkata benar, tiada berdusta.
Tidaklah dapat dikatakan cukup keterangan" Yaitu empat lima
saksi-saksi yang berkata benar dan pakaian yang berlumuran
darah" Oleh sebab itu hakim menghukum si lurus hati ini. Akan
tetapi benarkah ia bersalah dalam pembunuhan itu""
Oleh karena mendengar kebenaran perkataan istrinya ini,
bangunlah Sutan Mahmud dari kursinya, lalu pergi duduk di
serambi muka, karena kalah bersoal jawab dengan istrinya, tetapi
malu mengaku kebodohannya.
Setelah keluar Sutan Mahmud, barulah kelihatan oleh Sitti
Maryam, anaknya, Samsulbahri, sedang termenung melihat ke
rumah Nurbaya, lalu ditegurnya dengan pertanyaan, "Samsu,
apakah yang kaumenungkan"" wa laupun telah diketahuinya, apa
yang dipikirkan anaknya pada waktu itu.
"Ah, tidak apa-apa, Bu," sahut Samsu, "ingatan hamba belum
lepas dari kejadian yang telah hamba ceritakan tadi. Rupanya
pengharapan yang putus itu, boleh memberi bahaya, yang amat
sangat kepada manusia."
Mendengar jawaban anaknya ini, berdebarlah Sitti Maryam,
takut kalau-kalau Samsu telah putus asa pengharapan pula. Oleh
sebab itu, bertanyalah ia kepada Samsu, akan menduga hati
anaknya ini, "Sudahkah engkau tahu, bahwa Nurbaya telah
kawin dengan Datuk Meringgih" Ada aku suruh ayahmu
mengabarkan hal itu kepadamu, tetapi entah dikabarkannya
entah tidak, tiadalah kuketahui."
Yang sebenarnya dilarang oleh Sitti Maryam, suaminya
menulis surat kepada Samsu, tentang hal ini, sebab ia takut
anaknya ini akan putus asa.
"Sudah," jawab Samsu dengan pendek, karena tak dapat
rupanya ia mendengar lagi kabar itu.
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Barangkali engkau kurang suka melihat perkawinan ini,
sebab sesungguhnya tak layak saudaramu itu duduk dengan
Datuk Meringgih. Tetapi apa hendak dikata" Sekalian itu takdir
daripada Tuhan semata-mata, tak dapat dibatalkan lagi. Pergilah
engkau ke rumahnya! Ayahandanya telah beberapa hari sakit. Di
sana akan kaudengar, bahwa itulah jalan yang sebaik-baiknya
untuk melepaskan mereka daripada kecelakaannya," kata Sitti
Maryam, membujuk anaknya.
"Sakit apakah Mamanda Baginda Sulaiman"" tanya Samsu.
"Sakit demam dan sakit kepa la," jawab Sitti Maryam.
"Baiklah, segera hamba pergi ke sana," kata Samsu, lalu
masuk ke biliknya akan menuka r pakaiannya. Tatkala itu
datanglah sais Ali membawa sekalian buah-buaha n yang dibawa
Samsu dari Jakarta. Renjana Pendekar 14 Roro Centil 21 Manusia Srigala Hantu Lima Centi Meter 1