Siti Nurbaya 7
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli Bagian 7
mengadang musuh, lalu berperanglah kami dengan bedil, amat
ramainya. Belum berapa lamanya berperang, nyatalah kepadaku,
bahwa kami telah tertutup dart muka, kiri dan kanan. Sejurus
kemudian, terdengar bunyi bedil dari belakang.
Tatkala diketahui oleh serdaduku, bahwa kami telah tertutup
gemparlah mereka, karena tak tahu, apa hendak diperbuatnya.
Ada yang hendak lari, ada yang tak mau mendengar perintah
lagi. Hanya adalah kira-kira sepuluh orang yang masih setia
kepadaku. Kataku kepada serdaduku yang sepuluh itu, "Jangan
alang kepalang! Jika akan mati pun, biarlah karena
berkelahi, jangan karena diazab musuh dalam tawanan. Sandang bedilmu
dan cabutlah kelewangmu, maju ke muka, sambil tertempik.
Hanya satu jalan yang dapat menolong kita, yaitu keluar dari
lingkungan musuh ini."
"Baiklah," jawab sekalian serdadu yang setia itu, lalu ber-tempiklah kami, menyerukan diri dengan kelewang, kepada
musuh yang di muka. Mujur! Sekalian serdadu yang telah
kehilangan akal tadi menurut pula, sehingga pecahlah perang
musuh di muka, undur ke kiri ke kanan.
Tatkala kami akan lari, kudengar musuh berteriak, "Kafir
hitam, Mas! Kafir hitam, Mas!"
Rupanya telah dikenalnya namaku. Lagi pula dalam
peperangan itu Teuku Putih kena kelewang serdaduku. Oleh
sebab itu undurlah musuh selangka h-selangkah, sehingga akhir-nya tiada kedengaran lagi suara bedilnya. Sesudah berperang,
kuhitunglah serdaduku; tinggal 16 orang yang masih dapat
berkelahi. Dan yang 14 orang lagi 10 orang mati dan 4 orang
luka parah. Aku denga n beberapa serdadu yang setia tadi luka
juga, tetapi tiada berbahaya. Ka rena aku khawatir akan diserang
musuh pula, berikhtiarlah aku hendak pulang, tetapi tak tahu
jalan. Kebetulan di antara orang Aceh yang tinggal di sana, ada
seorang yang luka kakinya, tak dapat lari. Aku tanyakanlah
kepadanya ke mana jalan pula ng serta berjanji akan memberi
hadiah kepadanya, bila ia berk ata benar, dan akan menderanya,
bila ia berbuat bohong. Orang itu mau mengabulkan per-mintaanku itu, asal aku menetapi janjiku.
Setelah kuperiksa benar-benar sekalian serdadu yang telah
rubuh itu dan nyata sesungguhnya mereka telah mati, barulah
aku pulang. Keempat serdadu yang luka tadi, kami usunglah ber-
ganti-ganti. Tiada lama berjalan itu, sampailah kami ke jalan yang kami
kenal dan tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, sampai-lah kami ke kota.
Orang Aceh yang luka tadi kuberi hadiah duit dan kulepaskan
di jalan, atas permintaannya. Ada juga kutanyakan kepadanya di
mana tempat Teuku Putih, tetapi katanya ia tiada tahu, sebab
pada sangkanya Teuku itu tak bertempat diam yang tetap,
melainkan mengembara selama-lamanya.
Tatkala hampir sampai ke kota berhentilah kami sejurus, dan
kukatakanlah kepada serdadu yang hendak lari tadi, sekali itu
kuberi maaf kelakuan mereka, tetapi bila kemudian hari di-perbuatnya pula sedemikian, ta kkan tiada kubedil atau kutuntut
mereka. Sekali itu dengan sengaja hendak kuperlihatkan kepada
mereka, bahwa dalam hal terdesak dan terkepung, hanya hati
yang tetap dan pikiran yang te rang itulah, yang acap kali dapat
menolong. Sekalian mereka minta ampun dan bersumpah, tiada
lagi akan berbuat demikian.
Di Sigli itulah gelasku dibedil musuh, sebagai kuceritakan
tadi." "Sesungguhnya hulubalang itu harus tetap hatinya; tak boleh
lekas hilang akal," kata Van Sta.
"Memang! Sekarang hendak minum apa lagi engkau" Karena
aku ingin segelas bir""
"Aku pun bir pula."
Setelah datang bir ini, minumlah pula kedua mereka.
"Rupanya orang Aceh kenal ke padamu," kata Van Sta.
"Barangkali. Sebab aku acap kali beruntung dalam
peperangan, disangkanya aku berilmu, tak dapat dikalahkan."
"Memang, mereka itu sangat pe rcaya kepada takhyul.".
"Yang kedua di Lhokseumawe," kata Letnan Mas
menyambung ceritanya. Akan tetapi waktu itu kelihatan seorang
serdadu datang tergopoh-gopoh kepada mereka. Sesudah
memberi hormat, lalu diunjukkannya sepucuk surat kepada
kedua letnan itu. Setelah dibaca Letnan Mas surat ini, diunjuk-kannyalah kepada sahabatnya sambil berkata, "Mengapa-kah
Tuan Kapitan menyuruh datang kita dengan segera" Ayuh,
marilah kita bera ngkat bangat-bangat!"
Sesudah dibayarnya harga minuman tadi, berjalanlah mereka
ke rumah Kapitan yang memanggilnya. Baru sampai mereka ke
sana, Kapitan itu berkata, "Mas dan Van Sta, aku dapat perintah
menyuruh kamu kedua bersama-sama serdadurnu, segera
berangkat ke Padang. Esok hari juga kamu harus berangkat dari
sini ke Jakarta dan dari sana bersama-sama bala tentara dari
tempat lain-lain, dengan kapal, ke Padang; karena di sana telah
timbul perusuhan, perkara belasting. Beritahulah sekalian
serdadumu, supaya mereka bersiap malam ini juga. Aku harap
engkau di san a akan beruntung pula, sebagai sedia kala," kata
Kapitan itu kepada Letnan Mas, sambil menjabat tangannya.
"Dan engkau, Van Sta, supaya pulang dengan kemenangan."
katanya kepada Van Sta, seraya bersalam pula. "Selamat jalan!"
"Terima kasih Kapitan," jawab kedua letnan ini, lalu keluar
dan berjalan menuju tangsinya, akan mengabarkan perintah itu
kepada sekalian serdadunya.
Serdadu-serdadu ini gempar semalam-malaman, karena
bersiap tergesa-gesa. "Sekarang aku dapat berpera ng bersama-sama dengan engkau
dan dapat belajar padamu," kata Van Sta kepada Letnan Mas.
Akan tetapi perkataan ini tiada didengar oleh Letnan Mas,
sebagai ia sedang memikirkan sesuatu hal yang penting.
Semalam-malaman itu Letnan Mas tiada dapat tidur. Apakah
sebabnya" Takutlah ia pergi be rperang ke Padang" Mustahil!
Letnan Mas yang telah termasyhur gagah beraninya dan telah
berpuluh kali berperang, sel amanya mendapat kemenangan.
Letnan yang tiada takut, melainkan beringin mati itu, tak boleh
jadi 'kan menaruh gentar. Sungguhpun demikian, pucat mukanya
dan gemetar tangannya, sampai jauh malam, belum hendak
hilang. Karena tak dapat tidur, berjalan-jalanlah ia bolak-balik dalam
rumahnya; kemudian duduk di atas kursi, sudah itu berdiri pula
seraya berpikir, sebagai sebenarnya ia takut berperang, sekali itu.
Dengarlah apa katanya! "Belum cukup jugakah azabku, setelah disiksa sedemikian
ini" Sudahlah kesengsaraanku sendiri tak dapat kutanggung
rasanya, sekarang disuruh pula aku membunuh bangsaku. Berapa
yang telah jatuh karena senjataku, berapa yang binasa karena
tanganku, berapa ibu yang ke hilangan anaknya, berapa
perempuan yang kematian suamin ya dan kanak-kanak yang
ditinggalkan bapanya. Berapa kaum yang bercerai, terbuang dan
terhukum dan lumbung yang roboh dan terbakar, kampung dan
desa yang binasa, karena tugasku.
Bilakah aku dapat berhenti dari pekerjaan jahanam ini dan
menjadi algojo bangsaku sendiri" Sesungguhnya untung yang
sebagai untungku ini, agaknya tak adalah bandingannya dalam
dunia ini. Dan apa sebabnya" Apa dosaku maka diazab
sedemikian ini" Mereka yang tiada tahu akan nasibku,
barangkali menyangka, bahwa aku gemar akan pekerjaanku
sekarang ini. Tetapi hanya Tuha nlah yang tahu, betapa hancur
hatiku, melihat berpuluh-puluh perempuan menjadi janda, ber-puluh kanak-kanak menjadi yatim, beratus nyawa yang
melayang, beratus laki-laki remaja menjadi daif, karena
kehilangan kaki atau tangan atau bagian badannya yang lain;
beratus rumah yang roboh dan terbakar, berpuluh kampung dan
desa yang rusak binasa dan beberapa pula harta yang dirampas.
Akan tetapi apa hendak kukatakan" Sebab aku terpaksa berbuat
sedemikian, untuk mendapat kema tianku. Mengapakah sampai
sekarang belum juga kuperoleh keinginan hatiku ini" Mengapa-kah nyawaku ini belum juga dicabut" Masih saja aku dipelihara!
Belumkah juga habis hukumanku" Kini aku bukan disuruh
membunuh bangsaku saja lagi, tetapi disuruh pula membunuh
kaum keluarga, sahabat kenalanku sendiri.
Ya Allah, ya Rabbi! Belumkah juga sampai waktunya
hamba-Mu ini akan dilepaskan dari kesengsaraan ini" Berapa
lamakah lagi hamba-Mu harus bernanti""
Setelah ia berkata demikian itu, sebagai terdengarlah olehnya
suara berkata dalam hatinya, "Sekarang inilah, akan dapat
disampaikan keinginan hatimu itu. Sekarang inilah, akan terlepas
engkau dari azabmu dan sekara ng inilah akan dapat engkau
bercampur kembali dengan sekalia n mereka yang kaucintai!"
Maka terperanjatlah Letnan Mas mendengar jawaban ini, dan
berdebar-debar hatinya, karena pikirannya, "Benarkah suara
yang kudengar itu atau pikiranku pulakah yang tiada sempurna""
Kemudian duduklah ia di atas sebuah kursi, lalu termenung
memikirkan perkataan yang timbul dalam hatinya tadi. Sekalian
kesengsaraannya, sejak dari mulanya sampai kepada waktu itu,
terbayanglah pula di mukanya. Dalam pada itu terlalailah ia
dengan tiada diketahuinya, lalu tertidur di atas kursi ini. Akan
tetapi tiada berapa iamanya ke mudian, terperanjatlah ia bangun
mendengar bunyi selompret, karena hari telah pukul setengah
enam pagi. Dengan segera berdirilah ia, lalu menyuruh bawa
sekali an perkakasnya ke setasiun, dan setelah ia membasuh
mukanya dan minum kopi secangkir, berjalanlah ia ke tangsi.
Tiada beberapa lamanya kemudian, berangkatlah kereta api
yang membawa mereka, nienuju kota Jakarta.
XV. RUSUH PERKARA BELASTING DI PADANG
"Sudahkah Engku Datuk Malelo me ndengar kabar yang kurang
baik itu"" tanya seorang tua, di pasar Bukit Tinggi, kepada
temannya. "Kabar apakah itu, Engku Malim Batuah"" sahut sahabatnya.
"Kompeni akan meminta uang belasting kepada kita," jawab
Malim Batuah. "Uang belasting" Uang apa pula itu"" tanya Datuk Malelo
dengan senyum merengut. "Ada-ada saja kompeni itu, untuk
mencari uang. Dan siapakah yang akan susah karena aturan itu"
Tentulah anak negeri juga. Belumkah cukup uang rodi, uang
jaga, uang ini dan uang itu" Sekarang ditambah pula dengan
uang belasting" Uang apakah artinya itu, Malim""
"Uang belasting, yaitu uang pajak harta benda atau
pencaharian, dalam setahun-set ahun," jawab Malim Batuah.
"Belanda kekurangan duit rupanya, jadi dicari-carinya akal
untuk memperoleh uang. Tetapi perbuatan yang sedemikian, tak
boleh dibiarkan. Kalau diturutkan saja, cobalah Engku Malim
lihat! Sudah ini ada pula lagi uang yang akan dibayar. Di mana
kita peroleh sekalian itu" Dan apakah sebabnya maka kita harus
membayar uang-uang itu" Karena kita budak, bukan tawanan,
bukan pula orang yang membayar upeti kepada kompeni. Dan
lagi apakah gunanya uang itu""
"Hamba pun tak tahu, hanya sekedar mendengar cerita orang
pula. Kabarnya sekalian Tuanku Laras akan dipanggil ke kantor
Tuan Residen, untuk memupakatkan perkara ini. Tentulah kita
akan mendapat kabar yang nyata dari Datuk-Datuk dan Tuanku
kita betapa yang sebenarnya."
"Biar bagaimana sekalipun, hamba tak mupakat dengan
peraturan ini," jawab Datuk Malelo.
Demikianlah anak negeri menyambut kedatangan kabar
perkara belasting ini. Bukan di Padang Hilir dan Padang Hulu
saja, anak negeri berpikir sedemik ian, tetapi pada seluruh negeri,
yang akan menerima aturan baru ini.
Kabar perkara belasting itu segeralah pecah dan kembang
pada seluruh negeri, kota dan lo rong, sampai ke kampung dan
dusun yang kecil-kecil, sehingga tua muda, kecil besar, laki-laki
perempuan, tahulah kabar ini. Sekalian mereka mencomel,
karena berasa kurang adil diperi ntahi Belanda, yang pada pikiran
mereka berbuat sekehendak hatinya, memaksa mereka mem-bayar belasting, untuk menambah kekayaannya.
Oleh sebab Pemerintah merasa khawatir, anak negeri tiada
hendak menurut saja aturan baru ini, melainkan boleh jadi
membantah, bermupakatlah pega wai-pegawai Belanda dengan
pegawai anak negeri. Di Pada ng Hilir dengan Tuanku-Tuanku
Penghulu, di Padang Hulu dengan Tuanku-Tuanku Laras, untuk
mencari akal yang baik, supaya dapat juga menjalankan
belasting itu, dengan amannya.
Sekalian pegawai bumiputra, disuruhlah menyampaikan dan
memperbincangkan perkara in i dengan pegawai-pegawai
kampung dan anak negeri, serta disuruh terangkan pula sebab-sebab dan keperluan belasting itu , supaya mereka jangan salah
sangka. Oleh sebab itu ramailah orang berkumpul-kumpul di
sana-sini, membicarakan hal itu. Tuanku-Tuanku Laras atau
Tuanku-Tuanku Penghulu denga n Kepala-Kepala Negeri,
Kepala-Kepala Negeri dengan anak buahnya dan anak buah
dengan kaum keluarganya. Supaya kita ketahui benar perkara ini, marilah kita turut tiap-tiap permupakatan itu!
Pada suatu hari berkumpulla h di kantor Residen Bukit
Tinggi, sekalian Tuanku Laras keresidenan Padang Hulu*).
Asisten-Asisten Residen dengan Kemendur-Kemendur dan
Aspiran-Aspirannya pun ada serta hadir. Setelah cukup
sekaliannya dalam majelis, berdirila h Tuan Residen, lalu berkata
dalam bahasa Melayu Minangka bau, "Tuan-Tuan dan Tuanku-Tuanku sekalian yang hadir di sini! Sebelum kami nyatakan
*) Pada ketika itu keresidenan Sumatra Barat sekarang ini masih
terbatas atas dua keresidenan: pertama, keresiden Padang Hulu
(Bukit Tinggi) kedua, keresidenan Padang Hilir (Padang).
perintah yang kami teruna, terlebih dahulu kaini ucapkan selamat
datang kepada Tuan-tuan da n Tuanku-Tuanku yang telah
menurut permintaan kami, datang berkumpul
kemari, karena adalah suatu perintah, yang penting dari Pemerintah Agung,
yang hendak kami memupakatkan di sini dengan Tuan-tuan dan
Tuanku-Tuanku sekalian. Sebagai Tuanku-Tuanku ketahui, tanah Hindia ini diperintahi
oleh Pemerintah Belanda. Tuan-tuan tahu pula, tanah Hindia ini
bukan kecil, melainkan sangatlah besar dan luasnya. Beberapa
pulau yang besar-besar, seperti pulau Sumatra, pulau Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, sampai ke pulau Papua, masuk
jajahannya. Lain daripada itu, banyak pula pulau yang kecil-kecil, yang masuk bagiannya, sebagai pulau Bali, Loinbok,
Sumbawa, Flores, Timor, Sumba, Sawu, Roti dan lain-lain
sebagainya. Sekaliannya itu harus dijaga dan diurus oleh
Pemerintah Belanda, sebaik-baiknya, supaya segala penduduk-nya mendapat keselamatan dan kesejahteraan.
Akan menyampaikan maksud ini, diadakan oleh Pemerintah
pegawai-pegawai, cukup dengan alat perkakas, rumah dan
kantornya. Marilah kami sebutkan berapa macam pegawai, akan
jadi misal. Pertama pegawai yang memerintah dan mengemudi-kan negeri, yaitu pegawai sebagai kita sekalian ini. Pegawai ini
bukan sedikit orangnya, perkakasnya, rumahnya dan kantornya.
Beribu orangnya, dari yang berpangkat Residen sampai ke juru
juru tulis dan Kepala Kampung , sedang Gubernur Jenderal pun,
boleh dimasukkan golongan ini.
Kedua, pegawai yang memajukan bumiputra tentang
pengetahuan dan kerajinannya, yaitu guru-guru. Beribu pula
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
banyaknya dengan rumah-rumah sekolahnya, kecil besar;
perkakasnya pun bermacam-macam pula.
Ketiga, pegawai yang memajukan perusahaan tanah dan
perniagaan, sedemikian pula banyak orang tempatnya dan
perkakasnya. Keempat, pegawai yang membuat rumah-rumah, jalan jalan,
serokan-serokan, sungai-sungai dan lain-lain. Pegawai itu pun
tak kurang orang, kantor dan perkakasnya.
Kelima, pegawai yang menjaga keamanan negeri, yaitu bala
tentara. Pegawai inilah yang sangat banyak belanja, tetapi
keperluannya pun sangat besar pula. Bukannya di daratan saja,
tetapi di lautan pun diadakan pula bala tentara, untuk menjaga
keamanan laut, perniagaan dan musuh. Bala tentara ini
dilengkapi dengan kapal-kapal perang dan senjatanya.
Pegawai yang mengurus uang Pemerintah pun diadakan pula.
Lain daripada itu banyak lagi tiada kami sebutkan di sini, sebab
tentulah akan menjadi lanjut percakapan ini. Tuanku-Tuanku
lihat, semuanya diurus dengan sebaik-baiknya; segala yang
berguna, diadakan dan yang tak perlu, dibuang. Jangankari hal
manusia, perkara hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah"tanah,
air-air dan yang lain-lain pun tidak dilupakan. '
Tuanku-Tuanku tentulah maklum, sekalian itu bukan- sedikit
belanjanya, mana penggaji pegawai, niana pembuat tempat atau
rumahnya, mana pembeli perkakasnya, dan mana pula biaya
perjalanannya. Cobalah pikirk an dan hitung belanja sebuah
rumah atau kantor Gubernemen saja, dalam sebulan dengan gaji-gaji orang, biaya perkakas dan la in-lain sebagainya. Di situ
barulah nyata, bahwa belanja ini bukan sedikit. Berpuluh juta
rupiah Pemerintah harus mengeluarkan uang tiap-tiap tahun,
untuk biaya sekaliannya itu.
Di manakah diperoleh uang ya ng sekian banyaknya" Benar
ada hasil dari tanah, dari kopi, da ri perniagaan, dari ini dan dari
itu, tetapi hasil ini sekarang nyata tiada memadai. Bagaimana
akal kini akan mencari uang penambah yang kurang ini" Bila
Tuanku-Tuanku di rumah hendak memakai tikar, lainpu, kursi
dan meja, siapakah yang harus membelinya" Tentu Tuanku
sendiri, bukan" Masakan dapat diminta kepada orang lain"
Demikianlah juga perkara negeri kita ini, tak boleh kita meminta
bantuan kepada kerajaan lain, melainkan kita sendirilah, yang
harus memikulnya. Bukankah aturan itu sejak dahulu kala, telah
ada juga di sini" Segala sesuatu yarig perlu bagi negeri, negeri
itu sendirilah yang mengadakan, dipungut dari anak negeri.
Dahulu penghasilan yang kami sebut tadi, memang cukup,
untuk membiayai sekalian keperluan tadi, tetapi sebab keperluan
itu makin lama makin bertamba h, sebab orang pun kian lama
kian banyak pula, sekarang hasil-hasil itu tak mencukupi lagi.
Barangkali tambahan keperluan itu, di sini belum nyata benar,
tetapi d i negeri-negeri asi ng, terang kelilhatan. Sungguhpun
demikian, harus juga kita bersama-sama menolong. Janganlah
kita berpikir, apa perlunya ditolong negeri asing itu" Sebab
sebagai telah kami katakan ta di, sekalian pulau yang masuk
tanah Hindia, menjadi satu. Biar bangsa Melayu atau Jawa.
Dayak atau Papua. Belanda at aupun Cina, sekalian penduduk
Hindia ini, harus menjadi satu dan harus bersama-sama
memajukan tanah kita. Janganlah tiada percaya, bahwa segala yang diperbuat di
negeri lain, membawa hasil juga ke mana-mana. Lihatlah
Sekolah Dokter Jawa, diadakan hanya di tanah Jawa; tetapi
bukan urang Jawa saja yang beroleh hasil dari sekolah itu; orang
Minangkabau, orang Batak, Menado. Ambun dan lain-lain pun
dapat pula belajar di sana, untuk menjadi dokter. Dalam sekolah
Raja*), di sini, bukannya ba ngsa Minangkabau saja yang dapat
menuntut ilmu guru, tetapi ora ng Tapanuli, Aceh, Palembang-
Lampung, Bengkulu sampai ke Pontianak dan Sambas pun,
*) Kweekshool boleh juga. Demikian pulalah perbaikan-perbaikan yang diada-kan di negeri lain-lain itu, ta k dapat tiada mendatangkan kebai-kan juga kepada kita di sini.
Oleh sebab itu, diputuskanlah oleh Pemerintah Agung,
sekalian penduduk tanah Hindia ini, haruslah bersama-sama,
membantu kekurangan ini. Yang miskin tentulah sedikit, yang
kaya banyak. Uang bantuan itu dinamakan "Uang belasting",
dibayar tiap-tiap tahun. Jadi tak ada ubahnya dengan uang jakat
dan fitrah. Hanya uang belasting, dipakai untuk keperluan kita
bersama dan bukan dihadiahkan kepada orang miskin, untuk
keperluan mereka itu sendiri.
Belasting ini telah dijalankan di mana-mana, baik di negeri di
atas angin atau negeri di bawah angin; sedang di tanah Hindia ini
pun hampir pada segenap tempat dan sekalian penduduknya
menerima aturan ini dengan rela. Hanya di Minangkabau inilah
yang belum lagi. Tuanku-Tuanku tentu maklum, bila orang di
sini dibebaskan dari belasti ng itu, perbuatan Pemerintah ini
niscaya tidak adil. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Tambahan pula, bila orang di sini suka menuntut aturan ini
dengan senang hati. Pemerintah suka membebaskan orang
Minangkabau daripada kontrak menjual kopi kepada
Gubernemen, sehingga kopi boleh dijual kepada orang lain,
dengan harga lima atau enam kali lipat ganda. Apalagi kalau
dipikir benar-benar, nyatalah kont rak menjual kopi itu pada masa
ini tiada adil lagi; tak sesuai dengan zamannya, karena
timbanglah: Siapakah yang bertanam kopi din menjualnya ke
gedung Gubernemen" Bukankah orang-orang peladang, artinya
orang-orang miskin" Orang kaya-kaya, saudagar-saudagar,
adakah berbuat sedemikian" Tidak. Jadi siapakah yang mem-bayar belasting pada hakikinya" Bukankah si miskin" Si kaya
bersenang-senang saja. Inilah maksud kami meminta datang Tuanku sekalian kemari
supaya disampaikan pemerintah ini kepada anak negeri, dengan
diterangkan apa sebabnya dan apa gunanya uang belasting itu.
Mengerti benarlah hendaknya mereka tentang perkara ini, supaya
jangan sampai mereka berpikir, ua ng itu diminta, sekedar hendak
memenuhi kantung orang Belanda. Sekali-kali negeri tiada
beroleh hasil dari belasting ini, melainkan kita yang di sini
jugalah. Lagi pula janganlah salah sangka. Sekalian kami bangsa
Belanda yang ada di sini, iala h pegawai Gubernemen, sebagai
Tuanku-Tuanku juga, dan yang Gubernemen itu bukanlah
bangsa Belanda atau kerajaan Belanda, sekali-kali tidak lain
melainkan penduduk tanah Hindia in ilah. Bangsa Belanda di sini
sekadar memerintah, menolong mengatur.
Pada rasa hati kami cukuplah itu, untuk menerangkan
maksud kami. Bila ada di antara Tuan-tuan dan Tuanku-Tuanku
yang merasa apa-apa tentang perkara ini, keluarkanlah! Supaya
dapat diperbincangkan bersama-sama."
Lalu Residen duduk di atas kursi, bernanti, adakah orang
yang hendak berkata atau tidak. Tetapi seorang pun tiada yang
hendak mengeluarkan pikirannya, tentang hal ini.
Setelah berdiam-diam sejurus, bertanya pula Residen, "Tak
adakah orang yang hendak berkata apa-apa, tentang hal ini""
Tatkala itu berdirilah seorang Tuanku Laras, yang tertua
daripada sekalian laras yang hadi r, lalu
memberi hormat kepada Residen dan segala yang hadir dalam majelis itu; kernudian
berkatalah ia, "Sepanjang pikiran hamba yang tua ini, tak adalah
yang akan dijawab lagi dalam perkara ini, karena sekaliannya
telah diputuskan oleh Pemerintah Agung. Walaupun ada yang
terasa dalam hati kami, terkalang di mata kami, tetapi pada
sangka hamba, tak ada paedahnya diperkatakan lagi, sebab tak
dapat mengubah aturan yang tela h ditetapkan itu. Tak ada yang
lain yang dapat kami perbuat dalam hal ini, melainkan kami
sampaikan perintah ini kepada an ak negeri serta kami terangkan
kepada mereka, guna dan seba bnya diadakan belasting itu.
Seboleh-bolehnya kami akan berdaya upaya, supaya anak negeri
menurut peraturan ini. Meskipun demikian, tentulah tak dapat
kami pastikan, anak negeri akan menerima aturan ini dengan
senang hati; sebab tiap-tiap yang baru, tiada lekas diterima,
lebih-lebih jika tak nyata kebaikannya. Tambahan pula, aturan
ini, ialah aturan yang mengenai pura*) anak negeri. Oleh sebab
itu marilah kita bersama-sama berikhtiar dan memohon kepada
Tuhan, supaya perintah ini dapat dilangsungkan dengan
selamat." Sekarang marilah kita dengar pula jawab pegawai kampung,
tentang perkara ini, dalam perkumpulan yang diadakan di rumah
atau balairung. Rapat itu dikepalai oleh Tuanku Laras.
Setelah berkumpullah sekalian Datuk, Penghulu, Hulubalang,
orang kaya, besar bertuah, Kepala Negeri, Cerdik pandai dan
lain-lainnya, berkatalah Tuanku Laras, menyampaikan perintah
yang diterimanya dari Residen, serta menerangkan guna dan
sebabnya belasting itu dijalankan. Setelah selesai ia berkata-kata,
menjawablah beberapa orang daripada yang hadir.
"Tentang peraturan Gubernemen ini, belum kami ketahui
buruk baiknya. Tetapi yang mula -mula terasa dalam hati kami
dalarn perkara belasting ini, ia lah orang Belanda rupanya telah
lupa akan janjinya, kepada or ang Minangkabau. Bukankah sudah
ditetapkan dalam "Pelekat Panjang", bahwa kami anak
Minangkabau tak perlu membayar bia, yang sebagai belasting
ini" Apakah sebabnya maka kami disuruh juga membayar,
*) pundi-pundi uang sekarang" Mungkirkah orang Belanda akan janjinya"
Kedua, orang Belanda sudah lupa pula, bahwa kami bukan
orang takluk, yang harus membayar upeti kepada bangsa
Belanda. Negeri kami tiada diambil dengan asap bedil, oleh
orang Belanda, melainkan dengan perjanjian, antara sahabat
dengan sahabat. Ketiga Tuan Residen berkata, orang Belanda di sini
menolong memerintahkan. Tetapi siapakah yang meminta
pertolongan itu" Kami tidak minta tolong diperintah, melainkan
minta tolong mengalahkan paderi di zaman paderi, lain tidak.
Pada pikiran kami, tiada perlu kami diperintahi bangsa asing,
sebab dari nenek moyang kami dahulu kala, kami biasa
diperintah Raja bangsa kami sendiri dan dalam pemerintahan itu
kami pun merasa senang, tiada berasa kurang adil. Oleh sebab
itu, tak perlu kami meminta pertolongan kepada bangsa asing,
untuk memerintahi kami. Keempat, kata Tuan Residen uang belasting itu untuk
menambah kekurangan belanja Pemerintah, sebab banyak
perubahan yang akan diadakan. Pe rubahan apakah itu, tiada kami
ketahui; sebab tiada dimupakatkan dahulu dengan kami,
sehingga kami tak tahu pula sungguhkah perubahan itu berguna
bagi kami. Pada pikiran kami, segala yang ada sekarang ini pun
cukuplah; tak perlu diadakan perubahan lagi. Adapun perubahan,
bukannya untuk kami saja, hany a terutama untuk mereka yang
berpangkat tinggi, yang kaya dan orang kota.
Kelima, Tuan Residen berkata sendiri, keperluan kita tak
boleh diminta kepada orang lain, mengapakah tidak tiap-tiap
kampung atau negeri mengadakan keperluannya sendiri-sendiri"
Mengapakah kami harus menolong orang Selebes, Timor dan
Papua" Melihat rupanya pun kami belum! Dan siapakah yang
akan menanggung, mereka itu kelak akan rnenolong kami pula,
bila kami dapat kesusahan atau ada keperluan apa-apa"
Keenam, Tuan Residen berkata, kita sekalian ini yang
Gubernemen, bukan bangsa Belanda. Mengapakah segala
sesuatu diputuskan dan diperbuat oleh orang Belanda saja; suara
anak negeri sekali-kali tiada dide ngar" Perkara belasting ini pun
t iada dimupakatkan dahulu dengan kami. Setelah terjadi, disuruh
kami menurut, dengan tiada boleh mengatakan tidak. Bagai-manakah kami namanya itu, orang yang diperintahkan atau
orang yang memerintah"
Ketujuh, dikatakan ada pegawa i yang membuat rumah, jalan
dan lain-lain. Rumah siapakah yang dibuatnya" Rumah kami,
kami sendiri yang membuat. Jalan pun kami pula yang
mengerjakan. Apa paedahnya pegawai-pegawai yang diadakan
itu untuk kami" Pegawai perusahaan tanah, belum kami ketahui
di sini dan orang itu tak ada perlunya bagi kami. Apakah yang
akan diajarkannya kepada kami" Bertanam padi" Telah diketahui
nenek moyang kami beratus ta hun yarig telah lalu. Perkara
hewan" Kerbau kami kemba ng biak juga, walaupun tiada
dipelihara benar-benar. Dari dokter itu adakah ia sampai
mengobat ke kampung-kampung kami" Hanya di kota itulah ia
tinggal, di tempat orang yang kaya-kaya. Kami anak kampung,
miskin, tak cakap membayar upahnya.
Balatentara, gunanya yang baru kelihatan oleh kami, lain
tidak akan memaksa kami menurut perintah Kompeni. Musuh
dari darat dan dari laut, siapakah itu" Jika bangsa kami, cukuplah
kami saja yang akan melawannya dan kalau bangsa asing,
apakah gunanya kami lawan" Orang Belanda bukankah bangsa
asing" Perkara sekolah pun demikian pula, adanya hanya di kota
saja, untuk orang kota. Jika anak kami hendak bersekolah,
haruslah ia berjalan berpal-pal jauhnya; sebab di kampung hanya
langgar yang ada." Begitulah jawab kebanyakan Penghulu, Kepala-Kepala
Negeri dan Kepala Kampung atas perintah belasting itu.
Sekarang marilah kita dengar pula pikiran anak negeri
sendiri. Di kampung Kota Tengah, dekat kota Padang, berkumpullah
pada suatu malam, sekalian isi kampung ini, dalam mesjid.
Sesudah sembahyang isya, kelihatanlah beratus-ratus orang di
sana, orang kampung itu dan orang kampung-kampung lain,
yang rupanya telah diberi tahu, bahwa pada malam itu akan
diadakan rapat besar, untuk membicarakan perkara belasting.
Orang yang seakan-akan menjadi kepala permusyawaratan ini,
ialah haji-haji, orang alim, guru agama dan orang tua-tua. Di
antara orang tua-tua itu kelihat anlah Datuk Meringgih, saudagar
yang amat kaya di Padang.
Setelah hadir sekalian, mula ilah Datuk Meringgih membuka
bicara. "Sebabnya maka kami minta datang ninik mamak, adik
kakak, sanak saudara sekalian, malam ini berkumpul di sini,
ialah karena hendak membicarakan aturan baru yang akan
dipikulkan Kompeni kepada kita, yaitu pembayaran uang
belasting. Rupanya orang Belanda, belum puas mengisap darah
kita, memeras tenaga kita menge luarkan keringat kita. Cobalah
pikir, uang rodi, uang jaga, dan beberapa uang yang lain-lain,
sudah kita bayar, katanya unt uk kita; padahal untuk dirinya
sendiri, untuk mengenyangkan perutnya, melepaskan dahaganya
dan mengayakan bangsanya. Bagi kita anak negeri, paedah
apakah yang kita terima dari uang-uang yang telah kita bayar
itu" Adakah di antara saudara yang hadir ini, yang telah
merasainya" Hamba yang telah setua ini, tinggal di dalam kota,
siang malam bercampur gaul dengan Belanda, Cina, Keling,
Arab dan bangsa yang lain-lain, sampai sekarang, belum tahu
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan paedahnya itu. Ke mana pe rginya dan apa gunanya uang
itu, hanya Kompenilah yang tahu. Sebab dilihatnya kita suka saja
membayar uang-uang itu, sekarang dimintanya pula uang
belasting. Kalau belasting ini kita bayar juga esok, ada lagi uang
yang dimintanya dari kita. Ba rangkali rumah tangga, pakaian dan
perkakas, anak-istri kita dibiayainya pula.
Bukankah pepatah kita telah menunjukkan betapa tamak dan
lobanya bangsa Belanda" Bukankah telalt dikatakan seperti
Belanda minta tanah, diberi sejengkal, mau sedepa. Peraturan
yang serupa ini, dalam jajahan bangsa lain seperti bangsa
Inggris, tak ada. Hamba sendiri sudah pergi ke Singapura, Pulau
Pinang, Perak dan Johor, tak ada hamba lihat orang yang mem-bayar belasting di sana. Hanya di sini saja yang ada. Jadi aturan
ini dibuat-buat saja olelt orang Belanda, untuk memeras kita,
supaya kering sekering-keringnya.
Memang kemauan orang Belanda, kita anak negeri, miskin
dan bodoh hendaknya, supaya mudah dipermain-
mainkannya dan bila kita tiada berdaya lagi kelak, tentulah akan dijualnya
seperti budak." Mengapakah Datuk Meringgih ada di situ, mengasut anak
negeri, kepada Pemerintah" Mengapakah ia tiada pada perniaga-
annya" Karena ia mengerti, kala u jadi dijalankan belasting itu,
tentulah ia yang banyak harus membayar. Lagi pula rupanya
Pemerintah di Padang, sedang mengintip perjalanannya, karena
orang makin lama makin kurang percaya akan kelurusan hatinya.
Hal ini diketahui oleh Datuk Meringgih, itulah sebabnya maka
sangat panas hatinya kepada Pe merintah Belanda. Ketika itu,
sebab ada jalan, hendakk dibalaskannya sakit hatinya ini. Oleh
sebab itulah dicarinya akal, supaya maksud Pemerintah ini tiada
sampai. Disuruhnya orang-orangnya ke sana kemari, mengasut
anak negeri, supaya melawan; jangan mau membayar belasting.
Setelah selesai Dat uk Meringgih beikata-kata, berdirilah pula
seorang haji, katanya, "Pada pikiran hamba benarlah kata Engku
Datuk itu, karena hamba telah pergi ke Mekah, Madinah, Jedah,
tetapi di sana pun tak ada hamba dapat aturan sebagai ini.
Memang susah, kalau di bawah perintah kapir; selamanya kita
hendak dianiaya saja. Akhirnya niscaya agama kita akan ditukar-nya dengan agama Nasrani, sehingga menjadi kapirlah kita,
masuk api neraka seperti mereka. Tentu tak senang hati mereka,
melihat kita masuk surga; jadi dicarinya kawan mati."
Mendengar perkataan haji ini, geramlah hati sekalian yang
hadir dan kedengaranlah comel di sana-sini, mengatakan,
"Sesungguhnya tak patut!"
Ada pula yang berkata, "Memang Belanda tak boleh di-
percayai, bicaranya putar balik, sebagai lidah Keling."
Setengahnya berkata pula, "M emang Belanda musuh kita,
dunia akhirat, dalam perkara agama dan perkara yang lain-lain
pun." Datuk Meringgih berseri mukanya melihat kegembiraan hati
sekalian orang itu dan sangatla h benci hatinya, tatkala ada
seorang di antara mereka yang berani menyahut, "Sepanjang
pendengaran hamba, uang itu akan dipergunakan, untuk
keperluan kita juga."
"Keperluan apa"" tanya Datuk Meringgih dengan segera.
"Pembuat jalan jalan, rumah -rumah dan sekolah, kantor-kantor misalnya," jawab yang berkata itu.
"Untuk siapa jalan yang baik, untuk kita atau untuk dia" Kita
tak perlu akan jalan yang baik, te tapi tak mau jalan yang buruk;
sebab itu disuruhnya kita membuat jalan untuk dia. Sekarang
jalan apa pula lagi yang akan dibuat dengan uang belasting itu"
Tentang rumah sekolah itu untuk siapa pula" Anak siapakah
yang banyak bersekolah, anak kita atau anaknya" Ada
beberapakah di antara Engku-Eng ku yang ada di sini, yang sudah
bersekolah Pemerintah" Tahukah Engku-Engku akan maksud
sekolah itu" Supaya anak-anak k ita suka kepadanya dan benci
kepada bangsanya sendiri.
Di mana ada sekolah di kampung ini" Hamba tidak ber-
sekolah tetapi jadi kaya juga. Jadi, apa perlunya sekolah itu
kepada kita" Yang perlu bagi kita, yaitu langgar dan mesjid.
Adakah diperbuatnya itu" Tida k, bukan" Tetapi gerejanya
dibesarkannya, diperbuatnya ba gus-bagus dengan uang kita. Dan
tentang kantor itu, tak perlu hamb a katakan gunanya; setiap hari
Engku-Engku dapat melihat sendiri. Bukankah di sana kita
dihukumnya, terkadang-kadang dengan tiada bersalah" Bila tak
mau menurut kehendaknya, dimasukkannya ke gedung yang
sebuah lagi, yaitu penjara.
"Apa lagi"" tanya Datuk Ma ringgih kepada orang yang men-jawab tadi. "Coba katakan, supaya hamba terangkan yang
sebenar-benarnya. Jangan suka mendengar kata orang saja dan
menurut kata itu dengan tiada dipikirkan dalam-dalam; menjadi
kita burung tiung." Orang yang berkata tadi, tiadalah dapat menjawab lagi lalu
berdiam diri. Setelah berdiam sejuruh, kedengaianlah pula suara Datuk
Meringgih, "Sekarang hendak hamba tanyakan kepada sekalian
saudara-saudara yang hadir ini, haruslah diturut saja perintah ini
dan dibiarkan hidung kita diberi bertali, sebagai kerbau, supaya
dapat ditariknya ke mana sukanya" Kita ini bukan binatang,
melainkan manusia juga, sebagai dia; bermata, berkepala,
berkaki dan bertangan. Mengapakah kita mau diperbodoh orang
datang" Adakah patut, limau dialahkan bendalu""
"Sesungguhnya t ak baik dibiar kan," jawab seorang guru tua,
"jadi bertambah-tambah lalim dia. Akhirnya diusirnya kita dari
negeri kita ini. Ke mana hendak pergi""
"Jadi, jika tiada hendak dibiarkan, bagaimana"" tanya
seorang. "Lawan saja," jawab beberapa anak muda. '
"Melawan itu mudah asal hati sungguh berani dan perkakas
cukup, diadulah untuk kelak," jawab yang bertanya tadi." Tetapi
tak adakah jalan lain-lain yang lebih baik, daripada melawan,
karena pekerjaan berperang it u tak baik dipermudah" Bukan
sedikit kesengsaraan dan kemalangan yang dibawanya. Kita ini
bukan sebatang kara, melainkan beranak beristri, berkaum
keluarga, berkampung, berhalaman. Yang berperang tidak
dipikirkan: esa hidup, kedua mati, namanya anak laki-laki.
Tetapi yang tinggal itulah, yang menjadi pikiran. Betapa hal
mereka kelak, bila kita kalah""
Perkataan itu rupanya mendatangkan pikiran kepada yang
mendengarnya dan hal itu le kas dimaklumi oleh Datuk
Maringgih. Karena itu segeralah ia menjawab; katanya,
"Barangkali Engku takut berhadapan dengan Belanda. Jika dua
hati, tak perlu mengikut; karena tentulah akan mendatangkan
beban kepada kami. Kami bukannya perempuan; tak takut mati.
Yang tinggal itu kami serahkan kepada Tuhan. Dia terlebih
sempurna memelihara daripada kami."
"Bukan hamba takut," jawab orang itu pula. "Jika perlu,
hamba pun rela menyerahkan nyawa hamba. Tetapi yang hendak
hamba katakan, yaitu tak adakah jalan lain, yang lebih baik
daripada melawan, untuk memper oleh maksud kita" Kalau ada,
mengapakah takkan diturut""
"Bagaimanakah jalan itu"" tanya orang banyak, yang rupanya
kurang suka berperang. "Tak baiklah, bila kita pergi bersama-sama kepada
Pemerintah Tinggi di sini, minta diurungkan saja aturan itu""
kata orang tadi pula. "Ha, ha, ha!" tertawa Datuk Meringgih." Engku belum tahu
rupanya adat Belanda, sebab belum bercampur gaul dengan
mereka. Tetapi hamba ini, bukan sehari dua hari kenal pada
Belanda! Berpuluh tahun telah bercampur dengan mereka; sebab
itu tahu benar hamba akan adatnya. Belanda itu tiada nienaruh
kasihan tiada pandang-memandang, tiada tahu membalas guna,
hendak berkeras saja; apa-apa maksudnya harus terjadi.
Bukankah ia katanya bangsa yang memerintah, yaitu bangsa
yang tinggi" Kita ini dipandangnya sebagai budak, sebagai
binatang, tak boleh membuka bicara, melainkan harus buta tuli,
menurut kemauannya. Hamba berani bertaruh, seribu lawan,
serupiah, kalau dikabulkannya permjntaan kita itu. Lagi pula
perintah datangnya dari Jakarta, bukannya dari Pemerintah
Tinggi di sini. Walaupun Pemerintah Tinggi di sini mem-perkenankan permintaan kita, kala u Pemerintah Tinggi di Jakarta
tak suka, masakan boleh jadi. Tambahan lagi siapa tahu,
barangkali perintah itu dari negeri Belanda datangnya. Siapa
yang hendak pergi ke sana, bertemu dengan raja Belanda" Pada
pikiran hamba, jika kita tiada hendak menurut perintah ini,
baiklah ditunjukkan dengan melawan. Itulah jalan yang
sependek-pendeknya. Bila akan dikabulkannya, tentu lekas
diturutnya kemauan kita. Berperang sedikit dikabulkannya, tentu
lekas diturutnya kemauan kita. Berperang sedikit apa salahnya,
permainan anak laki-laki. Untuk beroleh keuntungan, bukankah
harus rugi lebih dahulu""
Muka mereka yang telah mulai sabar sedikit, menjadilah
gembira pula,mendengar kata Datuk Meringgih ini.
"Yang hamba pikirkan, ialah a khir kelaknya. Jika melawan,
adakah akan dapat kemenangan" Karena Belanda banyak
serdadunya dan cukup senjatanya. Kalau tiada terlawan, menjadi
sia-sialah pekerjaan kita dan akhirnya rusak binasa, tiada
bertentu; sedang belasting harus juga dibayar."
"Perkara kalah memang itu tia da dapat ditentukan lebih
dahulu, karena sekaliannya itu takdir Allah. Jika ditolongnya kita
walau berjuta banyaknya serdadu musuh dan berkapal perkakas
dan senjatanya, tentulah kita akan beroleh kemenangan juga. Jika
tak menang pun, tak mengapa, kare na telah kita perlihatkan
kepadanya, bahwa kita bukan pe rempuan, melainkan laki-laki,
yang tak boleh diperbuat sembarang saja. Apabila ia kemudian
hari hendak membuat peraturan baru pula, tentulah akan
dipikirnya baik-baik, sebelum
dijalankannya. Inilah suatti
daripada keuntungan kita. Akan tetapi, kalau kita berdiam diri
saja dan menurut segala kemauannya, niscaya dikatakannya kita
takut dan sebab lemah tentulah akan dititinya benar-benar,
sehingga tiadalah terlepas lagi k ita daripada aniayanya, makin
lama, makin bertambah.berat. Lihatlah orang Aceh! Apa senjata-nya" Tetapi dapat mereka mela wan, sehingga sampai sekarang,
belum juga takluk lagi. Pendeknya asal hati jantan, tentu boleh
menjadi." jawab Datuk Meringgih.
"Benar perkataan Engku Datuk itu," teriak beberapa anak
muda, yang masuk perkumpulan Datuk Meringgih. "Itulah per-kataan laki-laki sejati. Pendeknya sekarang begini saja, barang
siapa yang tak hendak ikut melawan, boleh tinggal di rumah.
Jika hendak menyebelah kepada kapir itu pun, tak dilarang; asal
jangan ada di sini lagi, sebab tentulah takkan kami beri ampun."
Karena perkataan ini, tak adalah lagi yang berani membantah
kamauan Datuk Meringgih ini, sehingga sekaliannya terdiam
sejurus, sampai berkata pula seora ng haji tua, "Berperang dengan
Belanda itu ada akalnya. Jika tak ada perkakas lawan dengan
yang lain." "Akal apa itu" Cobalah nenek ha ji katakan!" teriak beberapa
orang yang kurang berani.
"Akal orang Aceh; bedil dan meriam itu dilawannya dengan
isim; sehingga bedil tak berbunyi atau tak mengenai dan pedang
tak makan." "Tahukan Nenek ilmu itu""
"Jika tak tahu, apa gunanya aku berkata-kata di sini" Bukan
cuma-cuma saja rambutku telah putih. Aku sendiri sudah pergi
ke tanah Aceh, menuntut ilmu itu."
"Kalau begitu tak perlu takut. Tetapkanlah hati, untuk
melawan dan suruhlah dia datang beribu-ribu kemari," kata yang
berani kepada yang tak berdaya.
Demikianlah pikiran kebanyakan anak negeri, tentang
belasting itu. Oleh sebab pada sangkanya, Pe merintah berbuat tak semena-mena kepada mereka, ditetapkann yalah, tiada hendak membayar
belasting dan jika dipaksa juga, tentu melawan.
Sesungguhnya, tatkala seorang menteri di Padang Hulu
datang hendak menangkap beberapa orang, yapg disangka
menjadi kepala dalam perusuhan itu, melawanlah anak negeri
dan dibunuhnyalah menteri ini. Beberapa Datuk yang keras
kepala, dipenjarakan dalam penjara Bukit Tinggi. Pada keesokan
harinya. datanglah beratus-ratus anak negeri, meminta lepaskan
mereka itu. Seorang Tuanku Laras yang dengan keras hendak
menjalankan belasting itu dibunuh; dikatakan menolong bangsa
Belanda. Demikian pula seorang Kemendur, diserang anak
negeri dalam rumahnya. Tatkala ia telah dibunuh, mayatnya
dilembarkan ke dalam api rumahnya yang dibakar. Seorang
Asisten Residen diserang, ketika bekerja dalam kantornya.
Banyak gudang Pemerintah yang berisi kopi, dirampas dan
dibakar begitu juga rumah-rumah dan kantor-kantor Pemerintah.
Dengan demikian, gemparlah seluruh Padang Hulu dan
Padang Hilir. Di mana-mana kedengaran rusuh dan orang
melawan, sebagai mereka telah mupakat lebih da hulu sama-sama
hendak berontak. Serdadu yang ada, tak dapat, disuruh memadamkan huru-hara
itu. sebab tak cukup, lalu disuruh menjaga kota saja. Sekalian
pegawai Pemerintah disuruh berkumpul dalam kota. Di dalam
kota, yang selalu dikelilingi serdadu, dicarilah akal seboleh-bolehnya akan melindungkan diri, bila musuh datang
menyerang. Dan lagi dilarang orang berkumpul-kumpul di sana,
supaya jangan da pat bermupakat.
Pada malam hari tak boleh berjalan di tempat-tempat yang
gelap, dengan tiada membawa api (suluh). Memakai pakaian
serba putih pun dilarang, supaya jangan disangkakan musuh.
Pada malam hari, serdadu-serdadu ronda di dalam kota menjaga
keamanan. Sementara itu dimintal ah serdadu-serdadu datang dari
negeri lain lalu dikirimkan mereka ke tempat-tempat yang yang
berbahaya dan disuruh pula ronda ke luar kota atau ke kampung-kampung. Ada pula yang disuruh menjaga rumah-rumah dan
harta benda Pemerintah. Jalan ke reta api dari pelabuhan Teluk
Bayur sampai ke Padang Hulu pun, dijaga oleh serdadu, supaya
jangan dirusak perusuh. Akan tetapi anak negeri selalu pula berkumpul-kumpul di
luar kota di tempat yang sunyi, bermupakat akan melawan atau
menyerang. Masing-masing bersiap, menyediakan senjata
, untuk berperang. Perempuan-perempaan dan anak-anak dikirim ke
gunung-gunung. Harta benda mereka dikuburkan di dalam tanah
atau disembunyikan di tempat yang sunyi. Utusan dikirim ke
segenap tempat, supaya dapat santa-sama menyerang. Ada yang
dikirim ke Aceh hendak mengajak orang Aceh bersama-sama
melawan dan ada pula yang diutus ke negeri Turki, akan
mengadukan kelaliman Pemerintah Belanda.
XVI. PEPERANGAN ANTARA SAMSULBAHRI DAN
DATUK MERINGGIH Setelah masuklah kapal yang membawa Letnan Mas ke
pelabuhan Teluk Bayur, turunlah sekalian bala tentara itu ke
daiat, lalu langsung berjalan ke kota Padang, Di sana gemparlah
isi kota, melihat bala tentara sekian banyaknya datang; cukup
dengan alat senjata dan meriamnya.
Yang seorang bertanya kepada yang lain:
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapakah didatangkan serdadu sekian banyaknya ini""
"Tidakkah engkau tahu"" jawab yang ditanyai. "Seluruh
tanah jajahan Belanda akan rus uh, sebab anak negeri hendak
melawan; tak mau membayar belasting."
Kabar kedatangan bala tentara, ini, sekejap itu juga pecah ke
sana kemari, sampai ke luar-luar kota, sehingga perempuan dan
anak-anak pun tahu hal ini. Maka ramailah dibicarakan
peperangan yang akan terjadi. Yang penakut, larilah
bersembunyi ke gunung-gunung dengan anak bini dan harta
bendanya; yang berani tinggallah di dalam kota, karena ingin
hendak melihat tamasya perang. Yang kaya, berharta banyak,
khawatir kalau-kalau harta bendanya dirampas orang. Yang
banyak beranak dan bersanak sauda ra, ngeri, takut anak-istri dan
kaum keluarganya terbawa-ba wa mendapat kesusahan. Hanya
bangsa penjahatiah yang gembir a hatinya, karena ada harapan
akan dapat mencuri dan menyam un dengan mudah dan sepuas,
puas hatinya. Saudagar-saudagar pun tak kurang khawatirnya,
sebab pada sangkanya, tentulah perniagaannya akan jatuh,
karena peperangan ini. Begitu pula pegawai-pegawai
Pemerintah, berdebar-debar hatinya, takut kalau-kalau serdadu
kalah. Jika demikian, tentulah mereka tiada akan mendapat
ampunan dari perusuh, karena sekalian yang tiada hendak ikut
melawan, dipandang mereka sebagai musuhnya. Hanya
perusuhlah yang geram melihat, bala tentara Pemerintah datang
sebanyak itu dan panas hatinya, lalu berpikir mencari akal akan
memperdayakan serdadu ini.
Setelah sampailah bala tentara itu ke tangsi Padang, pergilah
Letnan Mas kepada Kapitannya, minta izin akan pergi sebentar
dengan berjanji, segera akan kembali pula, karena adalah suatu
keperluan yang sangat penting baginya.
Mula-mula rupanya kapitannya tiada hendak memberi izin ini
tetapi tatkala dilihatnya Mas me minta amat sangat, diperkenan-kanyalah juga permintaan itu dengan pesan, supaya jangan lewat
daripada pukul enam petang kembali. Sebab pada waktu itu hari
baru pukul setengah lima, berpikirlah Letnan Mas dalam hatinya,
"Tentu tidak terlambat aku kembali."
Dengan segera dipanggilnya sebuah bendi sewaan, lalu
berangkat menuju ke Muara. Sete lah sampailah ia ke sana,
diseberanginyalah sungai Arau dengan perahu dan didakinya
Gunung Padang. Di tengah jalan be rtemulah ia dengan seorang
fakir, yang tinggal di atas gunung itu, lalu ditanyakannya di
mana kubur Baginda Sulaiman, saudagar yang berpulang kira-kira sepuluh tahun telah lalu. Walaupun fakir itu sangat heran
mendengar perkataan ini dan berpikir dalam hatinya, apakah
sebabnya seorang letnan menanyakan kubur seorang Melayu,
tetapi ditunjukkannya juga kubur itu.
Setelah sampai ke makam ini, kelihatanlah oleh Letnan Mas
tiga buah kubur dalam suatu tempat yang berpagar tembok. Dua
buah daripada kubur ini, letaknya berdekat-dekatan; yang sebuah
lagi agak jauh sedikit. Tatkala dibacanya huruf yang tertulis pada
batu nisan kubur yang berdekat-dekatan itu nyatalah kepadanya,
bahwa kubur itulah yang dicarinya. Karena tiada tertahan oleh
Letnan Mas hatinya, segeralah ia masuk ke dalam makam ini,
lalu berlutut di antara kedua kubur yang berjauh-jauhan itu,
sambil memeluk keduanya dengan kedua belah tangannya. Di
situ menangislah ia tersedu- sedu, seraya meratap demikian,
"Aduhai Nurbaya dan Ibu yang sangat hamba cintai!
Mengapakah sampai hati bena r meninggalkan hamba s
eorang diri di atas dunia ini" Berjalan tiada hendak berkata-kata, pergi
tiada hendak membawa-bawa. Mengapakah tiada diajak hamba
pergi bersama-sama dan tiada di nantikan hamba, supaya boleh
hamba temani, dalam perjalanan yang jauh itu" Dan tatkala telah
ditinggalkan, mengapakah tidak lekas dijemput, dibiarkan
sepuluh tahun lamanya hamba me ngembara ke sana kemari,
mencari jalan akan mengikut Bunda dan Adinda, sehingga
sampai kepada waktu ini pekerjaan itu sia-sia belaka.
Aduhai! Bilakah masanya kita akan dapat berjumpa pula dan
bilakah waktunya kita akan dapat berkumpul dan bercakap-cakap, sebagai dahulu" Bunda dan Nur, pintakanlah kepada
Allah subhanahu wataala, supaya jangan dipanjangkan-Nya lagi
umur hamba ini dan lekaslah dipertemukan-Nya kita sekalian;
karena hidup bercinta seperti in i, sesungguhnyalah tiada terderita
oleh hamba. Cukuplah sepuluh tahun lamanya hamba
menanggung siksa dan azab yang tiada tertanggung oleh manusia
dan patutlah sudah hamba dilep askan daripada penjara yang
sedemikian. Aduh Nur, aduh Adikku! Tiada kusangka sekali-kali akan
beginilah akhirnya kita ini. Mengapakah segala pengharapan dan
cita-cita orang dikabulkan, teta pi harapan dan cita-cita kita
dijadikan seperti ini" Apakah salahmu, dan salahku dan salah
kita ini, maka beroleh nasib yang sedemikian ini" Sudahlah di
dunia ini, segala pengharapan dan permintaan kita, yang kita
pohonkan sebilang waktu, tiada dika bulkan, di akhirat kelak ada
akan disampaikan Allah, segala cita-cita itu" Ah, pada rasaku tak
adalah manusia yang malang sebagai kita ini! Sepuluh tahun
lamanya aku menanggung sengsara dan dukacita; sepuluh tahun
pula aku menanggung rindu dendam, kepadamu, tetapi sampai
sekarang ini, belum disampaikan Tuhan juga maksudku ini.
Berapakah lamanya lagi aku harus menunggu"
Tetapi oya, Nur; aku telah beroleh alamat, bahwa aku segera
akan dipertemukan dengan engkau, karena inilah penghabisan
sisaku. Mudah-mudahan demi kianlah hendaknya; doakan
bersama-sama. Suatu yang belum kuketahui, yaitu dapatkah aku menuntut-kan belamu atau tiada" Tetapi biarpun tak dapat, Allah Yang
Maha Kuasa takkan lupa, bahwa tiap-tiap kesalahan itu tiada
akan luput daripada hukumannya. Biarlah bersama-sama kita
kelak menyembahkan kesalahannya ini."
Setelah itu diciumlah oleh Letnan Mas kedua nisan kubur itu,
lalu berdiri perlahan-lahan dan berkata kepada fakir yang masih
tercengang berdiri di sana, melihat kelakuan letnan ini, karena
heran, mengapakah seorang Belanda , menangis di kubur seorang
Islam! "Fakir, mengajilah Tuan di sana, bagi arwah segala yang
telah meninggal itu. Inilah hamba beri sedekah!" lalu
dikeluarkannya uang kertas sepuluh rupiah dari dalam tempat
uangnya, diberikannya kepada fakir ini. Karena seumur
hidupnya, belum pernah fakir ini menerima hadiah sekian
banyaknya, sangatlah sukacita hatinya, lalu mengaji semalam-malaman di makam itu.
Sementara Letnan Mas pergi ke Gunung Padang, datanglah
kabar dari Gubernur Padang, mengatakan malam itu perusuh
akan masuk ke dalam kota, membuat huru-hara. Oleh sebab itu
dimintalah sebagian daripada serdadu yang ada itu, pergi ke luar
kota, mengadang musuh ini, supaya jangan sampai berperang di
dalam kota. Kira-kira pukul tujuh malam, berangkatlah sepasukan
serdadu yang dipimpin oleh Letnan Mas dan Van Sta, ke luar
kota Padang menuju Kota Tengah. Pukul sembilan, sampailah
mereka ke Tabing dan tiada bera pa lama kemudian, hampirlah
mereka ke Kota Tengah. Dari jauh telah kelihatan berpuluh-puluh orang; sekaliannya mema kai serba putih, berkumpul-kumpul di pinggir jalan, di muka sebuah kedai; rupanya mereka
sedang bermusyawarat, baga imana hendak menyerang.
Sekaliannya bersenjata sebuah golok.
Tatkala kelihatan oleh perusuh serdadu datang, gemparlah
sekaliannya; ada yang menga mbil senjatanya, ada yang
menghunus kerisnya, ada yang memencak, ada yang berteriak
memanggil kawan, ada yang memaki-maki dan ada pula yang
mengacu-acukan senjatanya; berbagai-bagai kelakuan mereka.
Setelah hampir kepada mereka ini, Letnan Mas menyuruh
berhenti serdadunya dan membariskan mereka. Seorang
kemendur yang mengikut bersama-sama maju ke muka,
menyuruh perusuh menyerahkan dirinya. Tetapi jangankan di-indahkan mereka, kemendur itulah yang dimaki-makinya, seraya
memencak mengajak berkelahi. Setelah tiga kali kemendur
membujuk dengan lemah-lembut, menyuruh mereka menyerah-kan diri, tiada juga didengar oleh orang-orang itu, diserahkan-nyalah kekuasaan ke tangan Letnan Mas. Letnan Mas menyusun
serdadunya, lalu menyuruh menembak ke udara. Seketika itu
juga berbunyilah kira-kira tiga puluh bedil, sekaligus. Tatkala
didengar perusuh bunyi bedil ini dan dilihatnya, tiada seorang
pun yang kena, bertambah-tambah lah berani mereka, karena
pada sangkanya sesungguhnyalah me reka tiada dimakan anak
bedil lagi, berkah ajimat yang diperolehnya dari gurunya. Maka
bertempiklah mereka bersorak dan ratib mengucap "La illaha
illallah" lalu maju ke muka. Se telah hampirlah mereka, barulah
Letnan Mas memerintahkan membedilnya.
Tatkala berbunyilah bedil kedua kalinya, rebahlah sebaris
orang yang di muka, jatuh ke ta nah. Ada yang menjerit, ada yang
memekik, ada yang meminta tolong dan ada pula yang terus
ratib, tetapi banyak yang tiada bersuara lagi karena terus mati.
Perusuh yang berdiri di belakang, bingunglah sejurus, tiada tahu
apa yang dibuatnya. Ketika berbunyi pula bedil ketiga kalinya,
pecahlah perang perusuh itu, karena banyak yang mati. Mana
yang tinggal larilah cerai-berai kian kemari, membawa dirinya
masing-masing. Akan tetapi seketika itu juga, keluarlah beberapa orang tua-tua dan haji-haji dari dalam se buah rumah, lalu berteriak
memanggil sekalian orang yang lari itu, serta mencabut kerisnya
dan maju ke muka. Karena melihat keberanian ini, berbaliklah
sekalian yang lari, lalu mengikut guru-gurunya dengan
bertempik sorak pula, menyerang serdadu-serdadu dari dua
pihak. Oleh sebab cepat datang mereka menyerbukan dirinya,
serdadu-serdadu Letnan Mas, tiadalah sempat menembak lagi,
lalu mempergunakan bayonetnya. Dengan segera menjadi
ramailah peperangan itu, masing- masing mencari lawannya. Ada
yang bertikam-tikaman, ada yang bertetak-tetakan pedang, ada
yang tangkis-menangkis, ber pukul-pukulan, tangkap-menangkap
dan banting-membantingkan. Yang mati, jatuh, yang luka,
berdarah, yang takut, lari, yang berani mengejar. Ada yang maju,
ada yang mundur, ada yang melompat, berbagai-bagai kelakuan
mereka. Suara pun bermacam -macam kedengaran, gegap
gempita, tiada disangka bunyi lagi, dicampuri pula oleh bedil,
pistol, pedang dan parang. Walaupun bulan terang cahayanya,
tetapi di tempat itu gelap, kare na asap bedil. Dan jika pakaian
mereka tiada sangat berlainan, yakni hitarn dan putih, niscaya
tiadalah tentu lawan kawan. Letn an Mas dengan kepala perusuh,
kelihatan sama-sama mengerahkan bala tenteranya, menyuruh
maju sambil membedil dan menetak.
Tiada berapa lamanya berperang itu, banyaklah yang mati
dan yang luka pada kedua belah pihak. Darah mengalir di jalan
raya dan mayat tersiar-siar di sana-sini. Oleh sebab dari
kampung tiada putus-putusnya datang bantuan perusuh, tiadalah
tertahan oleh Letnan Mas serangan musuhnya, sehingga
disuruhnya serdadunya undur perlahan-lahan. Bila tiada datang
bantuan dari Letnan Van Sta, p astilah pecah perang Letnan Mas.
Untunglah pada waktu itu juga kedengaran tempik sorak serdadu
Letnan Van Sta, yang menyerbukan diri ke medan peperangan.
Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, undurlah perusuh
perlahan-lahan dan akhirnya, tatk ala bantuan mereka tak datang
lagi, pecahlah perang mereka, lalu lari kian kemari,
bertemperasan, diburu oleh serdadu-serdadu kedua letnan itu.
Tatkala mengejar perusuh, kelihatan oleh Letnan Mas,
seorang daripada kepala mereka, bangun badan, perjalanan dan
suaranya serupa benar dengan bangun badan, perjalanan dan
suara Datuk Maringgih, musuhnya yang sekian lama dicari-
carinya. Maka berdebar-debarlah hati Letnan Mas dan gemetar
tangannya serta berubah mukany a, sebagai suka bercampur
duka. Suka karena ada penghara pan akan dapat membalaskan
sakit hatinya, dan duka karena ingat akan segala kejahatan yang
telah diperbuat jahanam itu. Ke tika kepala perusuh ini hendak
me larikan dirinya, diburunyalah orang itu dengan tiada berpikir
panjang lagi. Setelah berhadap-h adapan mereka, nyatalah pada
Letnan Mas, bahwa persangkaannya tadi benar, karena
sesungguhnya Datuk Meringgih, algojo Nurbaya, yang berdiri di
mukanya, lalu berkatalah ia, "Datuk Meringgih! Benarkah
engkau ini"" "Ya, akulah Datuk Meringgih, saudagar yang kaya di Padang
ini," jawab kepala perusuh itu. "Engkau ini siapa, maka kenal
kepadaku" Setelah diamat-amatinya Letnan Mas ini, terperanjatlah ia
lalu surut beberapa langkah ke belakang, seraya berteriak,
"Samsulbahri! Engkau tiada mati" Atau setannyakah ini""
"Seketika itu juga melompatlah ia kembali ke muka, hendak
menetak Letnan Mas. Letnan Mas melompat ke kanan, lalu
berkata, "Tunggu dahulu, Datuk Meringgih! Karena banyak yang
terasa dalam hatiku, yang hendak kukatakan kepadamu, sebelum
aku terpaksa mencabut nyawamu."
Mendengar perkataan ini berdirilah Datuk Meringgih, karena
hendak mengetahui, apakah yang akan dikatakan musuhnya itu.
"Datuk Meringgih! Sesungguhnya akulah Samsulbahri, yang
sepuluh tahun telah lalu, sudah mati, tetapi yang dikeluarkan
kemtali dari dalam kubur, untuk menghukum engkau atas segala
kejahatanmu yang keji itu. Tatkala aku membedil diriku di
Jakarta, karena terlebih suka mati daripada hidup menanggung
sengsara yang asalnya daripada perbuatanmu, tiadalah disampai-kan Tuhan maksudku itu. Rupanya aku terlebih dahulu harus
menuntut bela atas segala kesalahanmu. Itulah sebabnya maka
peluru yang kutujukan ke kepalaku, tiada menembus otakku.
Karena aku terperanjat, mendengar suara sahabatku, Arifin, yang
tatkala itu berteriak, dan tanganku bergoyang, sehingga anak
bedil, sekadar merusakkan tulang kepalaku saja. Ketika aku
sadar akan diriku, kupintalah kepada dokter dan sekalian orang
yang tahu akan halku, supaya kabar aku hidup kembali, tiada
disiarkan ke mana-mana, karena pada pikiranku, lebih baik aku
disangka orang telah mati daripada hidup sedemikian. Beberapa
kali aku mencari kematian, tetapi tiada juga dapat, karena Tuhan
masih memanjangkan umurku, supaya dapat menghukum
engkau atas segala dosamu.
Sepuluh tahun lamanya aku menanggung sengsara dan
dukacita yang tiada terderita , sepuluh tahun pula aku menaruh
dendam dalam hatiku kepadamu. Sekarang barulah disampaikan
Tuhan maksudku itu; sekarang barulah dapat aku menuntutkan
bela sekalian orang yang telah engkau aniaya, hai penjahat yang
sebesar-besarnya! Karena keka yaanmu, menjadilan engkau
sombong dan angkuh serta tekebur kepada Tuhan, yang telah
memberunu kekayaan itu. Pada sangkamu dengan kekayaan itu
tentulah 'kan dapat engkau be rbuat sekehendak hatimu. Yang
tinggi kaujatuhkan, yang mulia kauhinakan, yang kaya kau
miskinkan dengan tiada pandang-memandang, tiada tilik-menilik
dan tiada menaruh belas kasihan, asal nafsumu yang jahat dan
hina itu dapat kaupenuhi.
Hai Datuk durhaka! Kekayaanmu itu tiada memberi paedah
kepada teman sejawatmu, sahabat kenalanmu, sesamamu
manusia dan kepada dirimu sendiri sekalipun, melainkan men-datangkan segala bahaya, sengsara, duka nestapa kepada isi
negeri. Tiada layak engkau dikurniai Tuhan senjata yang sekuat
itu. Dengan kekayaanmu itu kauceraikan anak daripada bapanya,
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adik daripada kakaknya, asyik daripada masyuknya, sahabat
daripada karibnya. De ngan kekayaanmu itu kaujatuhkan Baginda
Sulaiman, sampal berpulang ke rahmatullah, karena dukacita;
dengan kekayaanmu itu kaupaksa anaknya menurut kesukaanmu
yang keji, kekasih dan saudaranya kauaniaya ini sampai hampir
mati di dalam laut. Kemudian kaudakwa ia mencuri barang-
barangmu yang kauperoleh dengan tipu daya, darah keringat
orang lain. Tatkala engkau tiada berdaya lagi akan memaksa
Nurbaya, yang tiada bersalah itu, kaubunuhlah ia dengan racun.
Dengan kekayaanmu itu kaucerai kan aku daripada ibu-bapa
dan kaum keluargaku dan kaup utuskan, pengharapanku akan
menjadi orang baik-baik, sehingga ibuku meninggal dunia
karena kesedihan hati. Sungguh pun demikian, sekalian itu belum
lagi seperseratus dari segala dosamu yang harus kautanggunl.
Hai Datuk Meringgih! Tiadakah terasa olehmu kesalahnmu
itu" Tiadakah takut engkau kepada Tuhan, yang memberikan
segala kekuasaan itu kepadamu" Tiadakah malu engkau kepada
sesamamu manusia, yang engka u perdayakan" Dan tiadalah
belas kasihan engkau kepada sekalian mereka, yang telah
menjadi kurbanmu""
Samsulbahri berhenti sejurus berkata-kata itu, karena penuh
rasa dadanya dan sesak rasa na pasnya, menahan hatinya yang tak
dapat direncanakan di sini.
Datuk Meringgih tiada menjawab sepatah kata pun, sebab
baru dirasanya waktu itu, kebena ran perkataan Samsulbahri ini.
Di situlah baru nyata padanya, bahwa sebenarnya sampai kepada
waktu itu, belumlah lagi ia be rbuat kebaikan dengan hartanya
yang sekian banyaknya itu. Bila ia mati dalam peperangan ini,
tentulah segala hartanya itu akan terbagi-bagi kepada yang
tinggal dan apakah akan dibawanya ke dalam kubur" Tak lain
nama yang jahat, sumpah, umpat dan maki segala mereka yang
telah dianiaya. Dan tentulah sekalian itu akan memberatinya
dalam kuburnya. Bila ada ia berbuat kebaikan, barangkali adalah
juga yang akan mendoakan arwahnya.
Di sana, tatkala ia telah hempir ke pintu kubur, baru
diinsyafinya, bahwa harta dunia itu sangat sedikit harganya,
untuk kehidupannya di negeri ya ng baka. Maka timbullah sesal
dalarn hatinya atas perbuatannya yang telah lalu. Akan tetapi apa
hendak dikata, karena tatkala itu dirasainya, ia tak dapat lagi
memperbaiki kesalahannya itu.
Setelah sejurus berdiam diri, berkatalah pula Samsulbahri
dengan menyapu air matanya, yang tak dapat ditahannya, "Hai
Datuk Meringgih! Sekaranglah akan kuperlihatkan kepadamu,
bahwa ada lagi yang terlebih berkuasa daripada hartamu itu.
Walaupun seratus kali lebih banyak hartamu dari yang ada
sekarang ini, tiadalah akan dapa t ia mengubah pikiranku, hendak
membalas kejahatanmu itu dan tiadalah dapat ia menolong
melepaskan engkau dari dalam tanganku. Terimalah olehmu
hukumanmu!" lalu Samsu mengangkat pestolnya, menembak
Datuk Meringgih. Tetapi tatkala itu juga Datuk Meringgih
melompat ke muka, menetak Samsulbahri dengan parangnya,
sambil berteriak, "Rasailah pula olehmu bekas tanganku, hai
anjing Belanda!" Setelah itu juga rebahlah keduanya ke tanah; Datuk
Meringgih karena kena peluru Samsulbahri, yang menembus
dada dan jantungnya dan Samsul bahri, karena kena parang
Datuk Meringgih kepalanya.
Tatkala diangkat Letnan Mas oleh serdadwrya, kelihatan di
antara mayat-mayat perusuh itu, dua mayat yang memakai serba
hitam yang seorang lehernya hampir putus, rupanya kena
kelewang, yang seorang lagi dada nya tembus kena bayonet.
Itulah mayat Pendekar Lima dan Pendekar Empat, yang beroleh
hukuman daripada Yang Maha Kuasa, atas segala kejahatannya.
Dua hari kemudian daripada peperangan yang tersebut di atas
ini, kelihatanlah dalam rumah sakit di Padang, seorang opsir,
sedang tidur di atas sebuah ranja ng, berselimutkan kain selimut
putih. Rupanya ia sakit keras, ka rena hampir seluruh kepalanya
terbungkus perban putih, sehingga hanya mukanya saja yang
tampak, yang pucat warnanya. Deka t tempat tidur ini, berdirilah
seorang penjaga, yang sedang mengatur gelas-gelas obat,
perlahan-lahan; rupanya ia takut, kalau-kalau si sakit ini terkejut
bangun. Ketika itu masuklah seorang dokter Belanda, hendak
memeriksa keadaan si sakit ini.
Mendengar bunyi sepatu dokter si sakit membuka matanya
dan memandang kepada dokter. Di s itu nyata, mata si sakit telah
kabur warnanya dan pemandangannya telah lemah. Dokter yang
masuk ini segera memberi salam, lalu bertanya, "Apa kabar""
"Perasaan badan ada baik sedikit, walaupun sakit kepala
belum hilang benar," jawab si sakit perlahan-lahan. .
"Memang, sakit kepala itu dalain dua tiga hari ini barangkali
masih ada," lalu dokter memeriksa kulit muda mata dan jalan
darah pada pangkal lengan si sakit. "Berapa panas badannya pagi
ini"" tanya dokter kepada penjaga.
"Ada hamba tuliskan," jawab penjaga, seraya mengunjukkan
sehelai daftar. Setelah doukter melihat daftar ini, terdiamlah ia
sejurus. "Tuan Dokter," kata si sakit pula dengan tiba-tiba.
"Walaupun hamba katakan tadi, perasaan badan hamba senang
sedikit, tetapi kesenangan itu, pada sangka ham
ba, bukan kesenangan karena akan sembuh. Jangan marah, bila hamba
katakan, bahwa hamba tiada lama lagi akan hidup di atas dunia
ini; karena demikianlah perasaan hamba. Janganlah Tuan
sembunyikan pendapatan Tuan kepada hamba, karena misalnya
Tuan kuatir, hamba takut mati. Sekali-kali tidak. Kematian telah
lama hamba ingini dan telah hamba cari di mana-mana. Baru
sekarang hamba peroleh. Syukurlah!
Lagi pula tadi malam hamba telah dikunjungi oleh kekasih
dan ibu hamba, yang telah lama meninggalkan dunia ini. Mereka
berjanji hari ini akan datang kembali menjemput hamba supaya
dapat pergi bersama-sama ke tempat mereka."
Di sini berhentilah si sakit berkata-kata sejurus lamanya
karena percakapan ini rupanya sangat melemahkannya. Kepala-nya dipegangnya, sebagai ia berasa sakit di sana.
"Jika berasa lelah, lebih baik jangan berkata-kata dahulu."
kata dokter. Setelah berdiam sejurus si sakit menggagahi dirinya, untuk
meneruskan perkataannya, "Tak apa-apa Tuan Dokter. Jangan
kuatir! Sakit kepala hamba datang pula sedikit. Sebelum hamba
meninggalkan dunia ini ada suatu permintaan hamba kepada
Tuan." "Permiritaan apa itu" Katakanlah! Jika dapat, tentu akan
hamba kabulkan." sahut dokter.
"Hamba ingin benar hendak be rtemu dengan Sutan Mahmud,
Penghulu di Padang ini. Bolehkah"" tanya si sakit perlahan-lahan
putus-putus suaranya. "Tentu sekali boleh." jawab dokter, walaupun ia tiada
mengerti apakah sebabnya seorang opsir tentara, hendak ber-jumpa dengan seorang Melayu Pada ng. "Dengan segera ia akan
hamba minta datang kemari. Adakah lagi permintaan Tuan""
"Tidak. Hanya itu. Terima kasih!" jawab si sakit.
"Baiklah," kata dokter pula, lalu ke luar, untuk menyuruh
panggil Sutan Mahmud. Setelah keluar dokter, si sakit tertidur kembali, sebagai
kelelahan karena be rkata-kata tadi.
Dua jam kemudian datanglah Sutan Mahmud ke rumah sakit
ini, lalu dibawa penjaga masuk bilik opsir tentara yang sakit tadi.
Tatkala dilihat Sutan Mahmud muka si sakit, sangatlah
terperanjat ia, karena rupa opsir ini tak ubah dengan rupa
anaknya Samsulbahri, yang tela h ineninggal dunia di Jakarta,
sepuluh tahun yang telah lalu.
Dengan tiada dapat ditahannya, berlinang-linang air matanya,
sebab terkenang nasib anaknya yang malang itu, yang telah
membunuh dirinya, karena putus asa. Sekali-kali tiada disangka-nya akan demikian untung anaknya yang sebiji mata itu.
Sebenarnya ia telah lama meny esal akan perbuatannya, yang
tergopoh-gopoh atas anaknya itu. Karena akan perbuatan
anaknya itu berhubung dengan bangsa dan pangkatnya yang
tinggi, diusirnya anaknya ini, sehingga istrinya yang hanya
seorang, mati karena kesediha n hati dan anaknya yang tunggal
mernbunuh diri, karena kedukaan. Setelah meninggal anaknya
ini dan setelah dipikirkannya benar-benar perkara ini, terasa
olehnya, bahwa kesalahan an aknya itu sebenarnya tiada
seberapa. Percintaannya kepada Nurbaya, tak dapat disalahkan; karena
sejak kecil ia bercampur gaul dengan anak sahabatnya ini,
sebagai seorang yang bersaudara kandung. Persangkaannya,
bahkan pengharapannya pun, Nurbaya akan menjadi istri anak-nya. Walaupun Nurbaya tiada berbangsa tinggi, tetapi tak
mengapa. Kecantikan parasnya, kepandaiannya dan tingkah
lakunya yang baik, telah cuku p untuk pengganti kerugian
kebangsawanan Padang. lstrinya, Ibu Samsu, bukan orang
berbangsa, tetapi tiada menjadi alangan apa-apa bagi kehidupan
bersuami-istri. Memang patut Samsu bersanding dengan
Nurbaya, seorang cantik, seorang tangkas. Demikian kenang-kenangan Sutan Mahmud.
Maka terbayanglah di matanya pada waktu itu, anaknya
duduk bersuka-sukaan dengan Nurbaya, sebagai orang yang
bersuami-istri. Samsu sebagai seorang dokter dan Nurbaya,
sedang memangku seorang anak laki-laki, cucunya.
"Ah, kalau tak ada Datuk Meringgih jahanam itu, niscaya
kenang-kenanganku ini buka n cita-cita, melainkan
sebenarnyalah. Dan jika tiada karena bangsa dan pangkatku yang
tinggi, barangkali tiada sampai kuusir anakku yang sebiji mata.
Sekarang apa hendak dikata" Ka rena keduanya tak ada di
dunia ini lagi. Semoga di akhirat dapat disampaikannya sekalian
cita-cita dan hasrat hat inya, yang tiada diperolehnya di dunia
ini." Di situ bercucuran pula air matanya, jatuh berderai dengan
tiada dirasainya. Sesungguhnya demikianlah, hati Sutan Mahmud. Sesal
dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, kata pepatah.
Walaupun engkau menjerit sampai ke langit sekalipun,
kesalahanmu ini tak dapat diperbaiki lagi. Jika tiada tergesa-gesa
engkau menjatuhkan hukurnan atas anakmu waktu itu,
barangkali tiada terjadi kesengsaraan dan kesedihan ini dan
dapatlah kaucapai cita-citamu tadi. Tetapi karena engkau masih
sangat terikat oleh kemegahan pangkat dan bangsamu, jadilah
demikian kesudahannya. Tentu; mulut terdorong, mas padahannya; hukumanmu
terdorong kepada anakmu, keseng saraan dan kematian beberapa
orang balasnya. "Terlebih besar dosamu atas kesalahanmu ini,
karena engkau seorang kepala negeri, ibu-bapa, tempat meminta,
tempat bertanya, tempat berlindung kepanasan, tempat berteduh
kelrujanan, bagi anak buahmu. Engkaulah yang harus
menyelesaikan yang kusut, memperjemih yang keruh dan
memperbaiki yang rusak. Bila engkau kepada anakmu sendiri telah menjatuhkan
hukuman yang seberat itu, hanya karena engkau bersangka harus
berbuat sedemikian, karena kebangsawananmu dan pangkatmu
yang tinggi, betapakah engka u akan melakukan kewajibaumu
dengan seadil-adilnya dan sebaik-baiknya kepada oiang lain''
fiap-tiap kesalahan itu memang ada hukumannya dan inilah
hukuman yang telah dijatuhkan Tuhan ke atas dirimu. Mudah-mudahan dapatlah engkau memetik ibaratnya!
Sementara Sutan Mahmud berdiri termenung memikirkari
untung nasib anaknya yang malang dan merindukannya serta
menyesal akan perbuatan yang tergesa-gesa, menunggu si sakit
bangun, masuklah dokter tadi ke dalam bilik itu dan karena itu si
sakit terjaga daripada tidurnya, lalu membuka matanya dan
menoleh ke kanan ke kiri. Tatkala dililiatnya Sutan Mahmud,
lalu diperhatikannya Penghulu ini sejurus lamanya. Kemudian
ditutupnya pula matanya dan dilambainya Penghulu ini dengan
tangannya, supaya datang mendekatinya. Dokter dan penjaga
berdiri agak jauh sedikit, kare na tiada hendak mendengarkan
percakapan yang mungkin tiada boleh didengar orang lain.
Setelah hampirlah Nenohulu Suta n Mahmud, lalu berkatalah
si sakit perlahan-lahan dengan putus-putus suaranya, "Tuanku
Penghulu! Hamba minta datang Tuanku kemari, karena adalah
suatu rahasia yang hendak hamba bukakan, sebelum hamba
berpulang. Rahasia itu ialah permintaan anak Tuanku sendiri,
Samsulbahri." "Anak hamba Samsulbahri yang telah meninggal dunia di
Jakarta"" tanya Sutan Mahmud dengan terkejut.
"Ya, Samsu itu, yang tiada jadi mati," sahut si sakit.
"Samsu tiada mati. Anak hamba tiada mati"" tanya Sutan
Mahmud dengan tergesa-gesa dan amat herannya.
"Benar," sahut si sakit.
"Jadi ia masih hidup sekarang" Di manakah ia waktu ini" ...
Tetapi betapakah Tuan tahu akan hal ini."
"Sebab hamba waktu itu ada dalam rumah sakit, tempat ia
diobati," lalu diceritakanlah oleh si sakit tentang penembakan
diri Samsu di Jakarta dan apa seb abnya ia dikatakan telah mati.
Kemudian ia masuk tentara, untuk mencari kematian, tetapi tiada
diperolehnya juga. Akhirnya ia disuruh ke Padang untuk
memadamkan huru-hara belasting.
"Jika demikian, ia ada di Padang sekarang ini." kata Sutan
Mahmud dan mukanya bercahaya karena kesukaan.
"Benar ia datang bersama-sama hamba kemari dan berperang
pun bersama-sama hamba pula. Pangkatnya Letnan dan namanya
Mas, yaitu kebalikan namanya yang sebenarnya. Sam."
Karena bercakap-cakap ini rupanya si sakit bertambah lelah
sehingga berkata pun hampir tak dapat. Mukanya semakin pucat
dan acap kali ia memegaug kepalanya, karena kesakitan.
Setelah berhenti sejurus, berkata pula ia sambil mengangkat
kepalanya sedikit, sebagai kuatir, suaranya tiada akan terdengar
oleh Sutan Mahmud. "Inilah pesannya: bila . . . ia ... mati minta ... dikuburkan ...
antara ... ibunya ... dan ... Nurbaya ... Allahu Akbar!"
Tatkala habis perkataan ini, habislah pula napas si sakit, lalu
rebah ke tempat tidurnya dan be rpulanglah ia dengan tenangnya.
Walaupun kamatian si sakit ini amat tenang dan mudah
rupanya, karena muka maya
tnya tiada berubah, sebagai orang
yang tidur biasa saja, sedang pada bibirnya masih berbekas
senyum, seolah-olah suka meninggalkan dunia yang fana ini,
tetapi Sutan Mahmud sangat terperanjat, melihat kematian yang
tiba-tiba ini. Setelah ia berkomat-kamit membaca doa sejurus
lamanya, seraya bertanya, "Kenalkah Tuan, Letnan Mas yang
datang dari Jakarta, bersama-sama Tuan yang baru meninggal
ini" Di manakah ia sekarang ini""
"Letnan Mas"" tanya dokter dengan heran.
"Ya, Letnan Mas, yang datang kemari untuk berperang
dengan perusuh di Padang in i." kata Sutan Mahmud pula.
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tiada lain, melainkan inilah dia, yang baru meninggal dunia
ini." jawab dokter. Tatkala Sutan Mahmud mendengar perkataan dokter ini,
terpekiklah ia, lalu memeluk dan mencium mayat itu, sambil
menangis tersedu-sedu; karena sekarang nyatalah olehnya, si
sakit yang baru meninggal itu, tiada lain melainkan anaknya
sendiri, Samsulbahri, yang tela h sepuluh tahun dirindu-rindukan-
nya, sekarang meninggal di hada pannya, dengan tiada dikenal-nya.
"Aduhai Anakku, biji mataku!! Mengapakah tiada dikatakan
lebih dahulu, sehingga ayahda tiada tahu akan anak sendiri.
Memang sejak terpandang mukamu tadi, ayanda telah syak
wasangka; tetapi tiada berani membenarkan persangkaan itu,
karena mustahil rasanya. Waha i! Mengapakah Ananda tiada
hendak mengaku terus terang, me lainkan menyembunyikan diri,
sampai ananda tak ada lagi. Barangkali ananda masih marah
kepada ayanda, sehingga tiada hendak mengaku bapa lagi
kepada ayanda. Telah lama ayanda rasai dan ketahui kesalahan ayanda,
karena telah menjatuhkan hukuman yang berat, ke atas diri
Ananda, dengart tiada usul periksa yang sebaik-baiknya,
sehingga sesal yang tak kunjung pu tus, telah menggoda ayanda.
Oleh sebab itu, beringin benar ayanda beroleh maaf dari Ananda,
dunia dan akhirat. Aduhai Ananda! Mengapakah tatkala hidup dalam sepuluh
tahun, tiada hendak kembali kepa da ayanda, sehingga ayanda
hanya diberi kesempatan sejurus lamanya, untuk bercakap-cakap
dengan Ananda, yang tiada ayanda kenal lagi, pada penghabisan
umur Ananda" Kesalahan ayanda kepada Ananda memanglah besar, tetapi
patut juga Ananda maklumi kekurangan orang tua, yang terikat
oleh adat istiadat negerinya, seb agai ayanda ini. Sekarang apalah
gunanya ayanda hidup lagi, seorang diri di atas dunia ini, karena
Ananda tak ada lagi; sedang bund a Ananda pun telah lama pula
meninggalkan ayanda. Bawalah ayanda bersama-sama, supaya
dapat pula kita bercampur gaul, sebagai dahulu. Janganlah
ayanda ditinggalkan seorang diri, di atas dunia ini!
"Ya Allah, ya Tuhanku! Lekaslah cabut pula nyawaku ini,
supaya dapat bertemu kembali dengan anak-istriku!"
Maka pingsanlah Sutan Mahmud, tiada khabarkan dirinya
lagi. Pada keesokan harinya diusunglah sebuah jenazah dari rumah
Sutan Mahmud, Penghulu di Padang, yang dipikul oleh empat
orang Kepala Kampung. Jenazah ini, sebagai kebiasaan di
Padang, ditutup dengan kain putih, yang penuh ditaburi bunga-bungaan. Sebelah ke muka, di tengah-tengah dan sebelah ke
belakang, jenazah itu dipayungi dengan payung kuning, tanda
yang meninggal itu seorang bangsawan tinggi. Di muka jenazah,
berjalan dua orang muda. Yang membakar setanggi dan gaharu
dalam perasapan yang ditaruh di atas dulang perak. Yang
seorang lagi membawa bunga-bungaan dan air cendana. Di kiri
kanan jenazah ini, berjalan be berapa pemuda bangsawan, yang
membawa tombak dan perisai, pedang dan panji-panji, dan lain-
lainnya, yang biasa dibawa dala m upacara penguburan anak raja-raja. Hanya gendang dan serunailah yang tiada kedengaran
bunyinya, karena tiada dibenarkan oleh ulama-ulama.
Di belakang jenazah ini, kelihatan haji-haji, syekh-syekh,
ulama-ulama, yang tiada putus- putusnya zikir dan membaca doa.
Di belakang mereka, berjalan pembesar, pegawai-pegawai,
Kepala-Kepala, orang tua-tua, cerdik pandai, kaum bangsawan
dan rakyat biasa. Di belakang itu pula, berbaris serdadu yang
memakai pakaian kebesaran.
Mulanya akan disertakan musik dan penembakan bedil,
menurut aturan tentara, tetapi in i pun tiada dapat dibenarkan oleh
kaum ulama. Sebagai penutup, kelihatan kend
araan pembesar-pembesar kota Padang, dari sekalian bangsa yang berjejer
sampai jauh ke belakang. Jenazah siapakah itu" Itulah jen azah Samsulbahri, anak Sutan
Mahmud, Penghulu Padang yang terkenal, sebagai seorang
bangsawan tinggi, yang dihormati dan dimuliakan orang. Bagi
sahabat kenalannya, Samsulbahri adalah seorang yang baik budi,
peramah pengasih penyayang, penolong dengan tiada menilik
rupa dan bangsa. Dalam tentara ialah Letnan Mas, yang masyhur
gagah beraninya dan telah menolong Pemerintah dalam beberapa
kesukaran peperangan. Itulah sebabnya, tatkala hidupnya
dadanya dihiasi beberapa bintang. Bagi kaum keluarganya, ialah
seorang anak yang disayangi.
Di antara orang yang banyak, yang mengantarkan jenazah
ini, kelihatan seorang tua bungkuk, yang telah berambut putih,
berjalan perlahan-lahan di sisi jenazah, sebentar-sebentar
meminta ikut mendagang jenazah ini, dengan air matanya yang
tergenang di pelupuk matanya, seraya berkata seorang diri, "Ya,
inilah penanggungan orang yang dikurniai Tuhan umur yang
panjang. Segala yang muda-m uda, yang mendahuluinya, harus
diantarkannya seorang ke dalam kubur, sampai datang giliran-nya, ia sendiri diantarkan orang ke makamnya.
"Alangkah beratnya bagi mereka yang harus melihat kekasih-nya dilahirkan dan diambil kembali, oleh Yang Maha Kuasa.
Ibunya kulihat dilahirkan, dan sepuluh tahun yang lalu, kuantar-kan ia kekuburan. Anaknya ini, kulihat pula dilahirkan. Sekarang
harus pula kuantarkan ia ke makamnya. Tetapi aku sendiri,
bilakah datang giliranku" Dan siapakah yang akan mengantarkan
aku ke kuburku"" Demikianlah piki ran orang tua itu, yakni kusir
Ali yang sangat terikat hatinya kepada Samsulbahri dan ibunya.
Di antara perempuan, yang banyak pula pergi mengantarkan,
kelihatan Sitti Alirnah dengan ibu-bapanya, karena teringat akan
Sitti Nurbaya, kekasih yang meninggal ini.
Setelah jenazah Samsulbahr i dibawa ke mesjid dan
disembahyangkan di sana, barulah dibawa ke Gunung Padang,
tempat makam yang diminta oleh yang meninggal. Setelah
sampai ke sana diturunkanlah jenazah Samsulbahri ke dalam
kubur, yang letaknya antara kubur ibunya dan Sitti Nurbaya,
kekasihnya, sebagaimana permintaannya, pada penghabisan
umurnya, lalu diernbangkan dan ditimbunlah liang kubur itu.
Kemudian dibacakan talkin.
Sekalian pembesar Belanda dan bangsa lain turut menimbun
kubur itu dengan sekepal tanah dan akhirnya disiramilah kubur
itu dengan air cendana dan disebarkanlah bunga-bungaan ke
atasnya. Setelah itu berpidatolah seorang pembesar tentara,
memperingati kegagahan dan kesetiaan yang meninggal, kepada
Pemerintah. Ialah anak negeri yang mula-mula dapat mencapai
pangkat yang setinggi itu dalam golongan tentara. Kemudian
diucapkannya, supaya arwa h yang meninggal mendapat
kesentosaan dan kesejahteraan di alam yang baka.
Setelah Sutan Mahmud menguca pkan terima kasih kepada
pembesar ini dan kepada sekalian orang yang telah datang
memperlihatkan kesedihan hatinya, dengan bersusah payah, ikut
serta menyelamatkan jenazah anaknya dan setelah dimintakan-nya maaf atas sekalian dosa kesalahan anaknya ini, yang dapat
memberatinya di dalam kuburnya dan setelah dimintakannya
pula doa sekalian yang hadir kepada Allah taala, untuk
keselamatan Samsulbahri, pulanglah sekaliannya ke rumah
masing-masing. Hanya Sutan Mahmud dengan beberapa hajilah
yang masih tinggal mengaji di sana. Kemudian mereka ini pun
pulang pula dan tinggallah Suta n Mahmud dengan kusir Ali,
termenung duduk di atas sebuah ba tu. Rupanya Sutan Mahmud
terlalu berdukacita karena ke matian anaknya ini dan amat
menyesal akan perbuatannya yang telah lalu.
Setelah malamlah hari, berjal anlah kedua mereka itu dari
sana dan sunyilah di makam itu. Hanya Samsulbahrilah yang
tinggal seorang diri, di tempatnya yang awal dan akhir ini.
Insaflah insan akan dirimu, demi kianlah juga akhirnya akan
jadimu! Dua bulan kemudian, kelihatan pada suatu hari, dua orang
muda naik bendi menuju ke Muara. Walaupun pakaian mereka
cara Eropah, tetapi kopiahnya yang hitam itu menyatakan, bahwa
mereka bangsa Bumiputra, anak negeri di sana.
Seorang daripada mereka, berp
angkat dokter dan seorang
lagi, berpangkat opseter. Keduanya memegang seikat bunga
dalam tangannya. Setelah sampai ke Muara, lalu mereka
menyeberang sungai Arau dan mendaki Gunung Padang. Tatkala
mereka tiba di tempat yang ditujunya, kelihatanlah di sana
olehnya, lima buah kubur sejejer berdekat-dekatan. Kelima
kubur itu sama besar dan sama be ntuknya. Pada tiap-tiap kepala
kubur ini, ada batu nisan dari marmer, yang bertulis dengan
huruf air mas. Di kubur yang pertama tertulis "Inilah kubur
Baginda Sulaiman, meninggal pada tanggal 5 Ramadan, tahun
1315" Pada nisan yang kedua tertulis "Inilah kubur Siti Nurbaya,
binti Baginda Sulaiman meninggal pada tanggal 5 Zulhidjdjah
tahun 1315". Pada nisan yang ketiga tertulis "Inilah kubur Samsulbahri,
anak Sutan Mahmud, Penghulu Padang, meninggal tanggal 5
Syafar, tahun 1326".
Pada nisan yang keempat tertulis, "Inilah kubur Sitti
Maryam, istri Sutan Mahmud, Penghulu Padang, meninggal pada
tanggal 5 Zulhijah 1315."
Pada nisan yang kelima tertulis "Inilah kubur Sutan Mahmud,
Penghulu Padang, meninggal pada tanggal 8 Rabiulawal, tahun
1326". Kedua anak muda tadi, lalu menaburkan bunga yang
dibawanya ke atas kelima kubur ini, terlebih-lebih ke atas kubur
yang kedua dan ketiga, sedang air matanya berlinang-linang.
"Bakhtiar!" kata dokter itu. "Adakah engkau sangka, tatkala
kira-kira sebelas tahun yang lalu, berjalan-jalan dengan Samsu
dan Nurbaya kemari, kita pada waktu ini akan melawat kuburnya
di sini" Masihkah engkau mengingat waktu itu, tiga bulan
sebelum kita berangkat ke Jakarta""
"Sesungguhnya, Arifin," jawab opseter, "tidak kusangka
sekali-kali. Tetapi apa hendak di kata" Karena manusia itu tiada
dapat berbuat sekehendak hatinya, melainkan haruslah menepati
segala janji, yang telah diperbuat. Meskipun demikian, kelima
mereka ini telah nyata dan tetap tempatnya, berdekat-dekatan
kelimanya. Akan tetapi kita ini, belum tentu lagi, entah di mana,
entah dengan siapa."
"Tetapi apakah sebabnya Engku Sutan Mahmud meninggal
dengan tiba-tiba" Apakah sakitnya"" tanya Arifin pula.
"Rindu akan anak-istrinya, menyesal akan perbuatannya,"
jawab Bakhtiar. "Kasihan," sahut Arifin.
Setelah disuruh mereka bebe rapa fakir mengaji di sana,
kembalilah keduanya pulang ke rumahnya. Hanya yang telah
berkubur itu jugalah yang tinggal di sana, untuk selama-lamanya.
TAMAT tamat Duri Bunga Ju 4 Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Tugas Tugas Hercules 5
mengadang musuh, lalu berperanglah kami dengan bedil, amat
ramainya. Belum berapa lamanya berperang, nyatalah kepadaku,
bahwa kami telah tertutup dart muka, kiri dan kanan. Sejurus
kemudian, terdengar bunyi bedil dari belakang.
Tatkala diketahui oleh serdaduku, bahwa kami telah tertutup
gemparlah mereka, karena tak tahu, apa hendak diperbuatnya.
Ada yang hendak lari, ada yang tak mau mendengar perintah
lagi. Hanya adalah kira-kira sepuluh orang yang masih setia
kepadaku. Kataku kepada serdaduku yang sepuluh itu, "Jangan
alang kepalang! Jika akan mati pun, biarlah karena
berkelahi, jangan karena diazab musuh dalam tawanan. Sandang bedilmu
dan cabutlah kelewangmu, maju ke muka, sambil tertempik.
Hanya satu jalan yang dapat menolong kita, yaitu keluar dari
lingkungan musuh ini."
"Baiklah," jawab sekalian serdadu yang setia itu, lalu ber-tempiklah kami, menyerukan diri dengan kelewang, kepada
musuh yang di muka. Mujur! Sekalian serdadu yang telah
kehilangan akal tadi menurut pula, sehingga pecahlah perang
musuh di muka, undur ke kiri ke kanan.
Tatkala kami akan lari, kudengar musuh berteriak, "Kafir
hitam, Mas! Kafir hitam, Mas!"
Rupanya telah dikenalnya namaku. Lagi pula dalam
peperangan itu Teuku Putih kena kelewang serdaduku. Oleh
sebab itu undurlah musuh selangka h-selangkah, sehingga akhir-nya tiada kedengaran lagi suara bedilnya. Sesudah berperang,
kuhitunglah serdaduku; tinggal 16 orang yang masih dapat
berkelahi. Dan yang 14 orang lagi 10 orang mati dan 4 orang
luka parah. Aku denga n beberapa serdadu yang setia tadi luka
juga, tetapi tiada berbahaya. Ka rena aku khawatir akan diserang
musuh pula, berikhtiarlah aku hendak pulang, tetapi tak tahu
jalan. Kebetulan di antara orang Aceh yang tinggal di sana, ada
seorang yang luka kakinya, tak dapat lari. Aku tanyakanlah
kepadanya ke mana jalan pula ng serta berjanji akan memberi
hadiah kepadanya, bila ia berk ata benar, dan akan menderanya,
bila ia berbuat bohong. Orang itu mau mengabulkan per-mintaanku itu, asal aku menetapi janjiku.
Setelah kuperiksa benar-benar sekalian serdadu yang telah
rubuh itu dan nyata sesungguhnya mereka telah mati, barulah
aku pulang. Keempat serdadu yang luka tadi, kami usunglah ber-
ganti-ganti. Tiada lama berjalan itu, sampailah kami ke jalan yang kami
kenal dan tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, sampai-lah kami ke kota.
Orang Aceh yang luka tadi kuberi hadiah duit dan kulepaskan
di jalan, atas permintaannya. Ada juga kutanyakan kepadanya di
mana tempat Teuku Putih, tetapi katanya ia tiada tahu, sebab
pada sangkanya Teuku itu tak bertempat diam yang tetap,
melainkan mengembara selama-lamanya.
Tatkala hampir sampai ke kota berhentilah kami sejurus, dan
kukatakanlah kepada serdadu yang hendak lari tadi, sekali itu
kuberi maaf kelakuan mereka, tetapi bila kemudian hari di-perbuatnya pula sedemikian, ta kkan tiada kubedil atau kutuntut
mereka. Sekali itu dengan sengaja hendak kuperlihatkan kepada
mereka, bahwa dalam hal terdesak dan terkepung, hanya hati
yang tetap dan pikiran yang te rang itulah, yang acap kali dapat
menolong. Sekalian mereka minta ampun dan bersumpah, tiada
lagi akan berbuat demikian.
Di Sigli itulah gelasku dibedil musuh, sebagai kuceritakan
tadi." "Sesungguhnya hulubalang itu harus tetap hatinya; tak boleh
lekas hilang akal," kata Van Sta.
"Memang! Sekarang hendak minum apa lagi engkau" Karena
aku ingin segelas bir""
"Aku pun bir pula."
Setelah datang bir ini, minumlah pula kedua mereka.
"Rupanya orang Aceh kenal ke padamu," kata Van Sta.
"Barangkali. Sebab aku acap kali beruntung dalam
peperangan, disangkanya aku berilmu, tak dapat dikalahkan."
"Memang, mereka itu sangat pe rcaya kepada takhyul.".
"Yang kedua di Lhokseumawe," kata Letnan Mas
menyambung ceritanya. Akan tetapi waktu itu kelihatan seorang
serdadu datang tergopoh-gopoh kepada mereka. Sesudah
memberi hormat, lalu diunjukkannya sepucuk surat kepada
kedua letnan itu. Setelah dibaca Letnan Mas surat ini, diunjuk-kannyalah kepada sahabatnya sambil berkata, "Mengapa-kah
Tuan Kapitan menyuruh datang kita dengan segera" Ayuh,
marilah kita bera ngkat bangat-bangat!"
Sesudah dibayarnya harga minuman tadi, berjalanlah mereka
ke rumah Kapitan yang memanggilnya. Baru sampai mereka ke
sana, Kapitan itu berkata, "Mas dan Van Sta, aku dapat perintah
menyuruh kamu kedua bersama-sama serdadurnu, segera
berangkat ke Padang. Esok hari juga kamu harus berangkat dari
sini ke Jakarta dan dari sana bersama-sama bala tentara dari
tempat lain-lain, dengan kapal, ke Padang; karena di sana telah
timbul perusuhan, perkara belasting. Beritahulah sekalian
serdadumu, supaya mereka bersiap malam ini juga. Aku harap
engkau di san a akan beruntung pula, sebagai sedia kala," kata
Kapitan itu kepada Letnan Mas, sambil menjabat tangannya.
"Dan engkau, Van Sta, supaya pulang dengan kemenangan."
katanya kepada Van Sta, seraya bersalam pula. "Selamat jalan!"
"Terima kasih Kapitan," jawab kedua letnan ini, lalu keluar
dan berjalan menuju tangsinya, akan mengabarkan perintah itu
kepada sekalian serdadunya.
Serdadu-serdadu ini gempar semalam-malaman, karena
bersiap tergesa-gesa. "Sekarang aku dapat berpera ng bersama-sama dengan engkau
dan dapat belajar padamu," kata Van Sta kepada Letnan Mas.
Akan tetapi perkataan ini tiada didengar oleh Letnan Mas,
sebagai ia sedang memikirkan sesuatu hal yang penting.
Semalam-malaman itu Letnan Mas tiada dapat tidur. Apakah
sebabnya" Takutlah ia pergi be rperang ke Padang" Mustahil!
Letnan Mas yang telah termasyhur gagah beraninya dan telah
berpuluh kali berperang, sel amanya mendapat kemenangan.
Letnan yang tiada takut, melainkan beringin mati itu, tak boleh
jadi 'kan menaruh gentar. Sungguhpun demikian, pucat mukanya
dan gemetar tangannya, sampai jauh malam, belum hendak
hilang. Karena tak dapat tidur, berjalan-jalanlah ia bolak-balik dalam
rumahnya; kemudian duduk di atas kursi, sudah itu berdiri pula
seraya berpikir, sebagai sebenarnya ia takut berperang, sekali itu.
Dengarlah apa katanya! "Belum cukup jugakah azabku, setelah disiksa sedemikian
ini" Sudahlah kesengsaraanku sendiri tak dapat kutanggung
rasanya, sekarang disuruh pula aku membunuh bangsaku. Berapa
yang telah jatuh karena senjataku, berapa yang binasa karena
tanganku, berapa ibu yang ke hilangan anaknya, berapa
perempuan yang kematian suamin ya dan kanak-kanak yang
ditinggalkan bapanya. Berapa kaum yang bercerai, terbuang dan
terhukum dan lumbung yang roboh dan terbakar, kampung dan
desa yang binasa, karena tugasku.
Bilakah aku dapat berhenti dari pekerjaan jahanam ini dan
menjadi algojo bangsaku sendiri" Sesungguhnya untung yang
sebagai untungku ini, agaknya tak adalah bandingannya dalam
dunia ini. Dan apa sebabnya" Apa dosaku maka diazab
sedemikian ini" Mereka yang tiada tahu akan nasibku,
barangkali menyangka, bahwa aku gemar akan pekerjaanku
sekarang ini. Tetapi hanya Tuha nlah yang tahu, betapa hancur
hatiku, melihat berpuluh-puluh perempuan menjadi janda, ber-puluh kanak-kanak menjadi yatim, beratus nyawa yang
melayang, beratus laki-laki remaja menjadi daif, karena
kehilangan kaki atau tangan atau bagian badannya yang lain;
beratus rumah yang roboh dan terbakar, berpuluh kampung dan
desa yang rusak binasa dan beberapa pula harta yang dirampas.
Akan tetapi apa hendak kukatakan" Sebab aku terpaksa berbuat
sedemikian, untuk mendapat kema tianku. Mengapakah sampai
sekarang belum juga kuperoleh keinginan hatiku ini" Mengapa-kah nyawaku ini belum juga dicabut" Masih saja aku dipelihara!
Belumkah juga habis hukumanku" Kini aku bukan disuruh
membunuh bangsaku saja lagi, tetapi disuruh pula membunuh
kaum keluarga, sahabat kenalanku sendiri.
Ya Allah, ya Rabbi! Belumkah juga sampai waktunya
hamba-Mu ini akan dilepaskan dari kesengsaraan ini" Berapa
lamakah lagi hamba-Mu harus bernanti""
Setelah ia berkata demikian itu, sebagai terdengarlah olehnya
suara berkata dalam hatinya, "Sekarang inilah, akan dapat
disampaikan keinginan hatimu itu. Sekarang inilah, akan terlepas
engkau dari azabmu dan sekara ng inilah akan dapat engkau
bercampur kembali dengan sekalia n mereka yang kaucintai!"
Maka terperanjatlah Letnan Mas mendengar jawaban ini, dan
berdebar-debar hatinya, karena pikirannya, "Benarkah suara
yang kudengar itu atau pikiranku pulakah yang tiada sempurna""
Kemudian duduklah ia di atas sebuah kursi, lalu termenung
memikirkan perkataan yang timbul dalam hatinya tadi. Sekalian
kesengsaraannya, sejak dari mulanya sampai kepada waktu itu,
terbayanglah pula di mukanya. Dalam pada itu terlalailah ia
dengan tiada diketahuinya, lalu tertidur di atas kursi ini. Akan
tetapi tiada berapa iamanya ke mudian, terperanjatlah ia bangun
mendengar bunyi selompret, karena hari telah pukul setengah
enam pagi. Dengan segera berdirilah ia, lalu menyuruh bawa
sekali an perkakasnya ke setasiun, dan setelah ia membasuh
mukanya dan minum kopi secangkir, berjalanlah ia ke tangsi.
Tiada beberapa lamanya kemudian, berangkatlah kereta api
yang membawa mereka, nienuju kota Jakarta.
XV. RUSUH PERKARA BELASTING DI PADANG
"Sudahkah Engku Datuk Malelo me ndengar kabar yang kurang
baik itu"" tanya seorang tua, di pasar Bukit Tinggi, kepada
temannya. "Kabar apakah itu, Engku Malim Batuah"" sahut sahabatnya.
"Kompeni akan meminta uang belasting kepada kita," jawab
Malim Batuah. "Uang belasting" Uang apa pula itu"" tanya Datuk Malelo
dengan senyum merengut. "Ada-ada saja kompeni itu, untuk
mencari uang. Dan siapakah yang akan susah karena aturan itu"
Tentulah anak negeri juga. Belumkah cukup uang rodi, uang
jaga, uang ini dan uang itu" Sekarang ditambah pula dengan
uang belasting" Uang apakah artinya itu, Malim""
"Uang belasting, yaitu uang pajak harta benda atau
pencaharian, dalam setahun-set ahun," jawab Malim Batuah.
"Belanda kekurangan duit rupanya, jadi dicari-carinya akal
untuk memperoleh uang. Tetapi perbuatan yang sedemikian, tak
boleh dibiarkan. Kalau diturutkan saja, cobalah Engku Malim
lihat! Sudah ini ada pula lagi uang yang akan dibayar. Di mana
kita peroleh sekalian itu" Dan apakah sebabnya maka kita harus
membayar uang-uang itu" Karena kita budak, bukan tawanan,
bukan pula orang yang membayar upeti kepada kompeni. Dan
lagi apakah gunanya uang itu""
"Hamba pun tak tahu, hanya sekedar mendengar cerita orang
pula. Kabarnya sekalian Tuanku Laras akan dipanggil ke kantor
Tuan Residen, untuk memupakatkan perkara ini. Tentulah kita
akan mendapat kabar yang nyata dari Datuk-Datuk dan Tuanku
kita betapa yang sebenarnya."
"Biar bagaimana sekalipun, hamba tak mupakat dengan
peraturan ini," jawab Datuk Malelo.
Demikianlah anak negeri menyambut kedatangan kabar
perkara belasting ini. Bukan di Padang Hilir dan Padang Hulu
saja, anak negeri berpikir sedemik ian, tetapi pada seluruh negeri,
yang akan menerima aturan baru ini.
Kabar perkara belasting itu segeralah pecah dan kembang
pada seluruh negeri, kota dan lo rong, sampai ke kampung dan
dusun yang kecil-kecil, sehingga tua muda, kecil besar, laki-laki
perempuan, tahulah kabar ini. Sekalian mereka mencomel,
karena berasa kurang adil diperi ntahi Belanda, yang pada pikiran
mereka berbuat sekehendak hatinya, memaksa mereka mem-bayar belasting, untuk menambah kekayaannya.
Oleh sebab Pemerintah merasa khawatir, anak negeri tiada
hendak menurut saja aturan baru ini, melainkan boleh jadi
membantah, bermupakatlah pega wai-pegawai Belanda dengan
pegawai anak negeri. Di Pada ng Hilir dengan Tuanku-Tuanku
Penghulu, di Padang Hulu dengan Tuanku-Tuanku Laras, untuk
mencari akal yang baik, supaya dapat juga menjalankan
belasting itu, dengan amannya.
Sekalian pegawai bumiputra, disuruhlah menyampaikan dan
memperbincangkan perkara in i dengan pegawai-pegawai
kampung dan anak negeri, serta disuruh terangkan pula sebab-sebab dan keperluan belasting itu , supaya mereka jangan salah
sangka. Oleh sebab itu ramailah orang berkumpul-kumpul di
sana-sini, membicarakan hal itu. Tuanku-Tuanku Laras atau
Tuanku-Tuanku Penghulu denga n Kepala-Kepala Negeri,
Kepala-Kepala Negeri dengan anak buahnya dan anak buah
dengan kaum keluarganya. Supaya kita ketahui benar perkara ini, marilah kita turut tiap-tiap permupakatan itu!
Pada suatu hari berkumpulla h di kantor Residen Bukit
Tinggi, sekalian Tuanku Laras keresidenan Padang Hulu*).
Asisten-Asisten Residen dengan Kemendur-Kemendur dan
Aspiran-Aspirannya pun ada serta hadir. Setelah cukup
sekaliannya dalam majelis, berdirila h Tuan Residen, lalu berkata
dalam bahasa Melayu Minangka bau, "Tuan-Tuan dan Tuanku-Tuanku sekalian yang hadir di sini! Sebelum kami nyatakan
*) Pada ketika itu keresidenan Sumatra Barat sekarang ini masih
terbatas atas dua keresidenan: pertama, keresiden Padang Hulu
(Bukit Tinggi) kedua, keresidenan Padang Hilir (Padang).
perintah yang kami teruna, terlebih dahulu kaini ucapkan selamat
datang kepada Tuan-tuan da n Tuanku-Tuanku yang telah
menurut permintaan kami, datang berkumpul
kemari, karena adalah suatu perintah, yang penting dari Pemerintah Agung,
yang hendak kami memupakatkan di sini dengan Tuan-tuan dan
Tuanku-Tuanku sekalian. Sebagai Tuanku-Tuanku ketahui, tanah Hindia ini diperintahi
oleh Pemerintah Belanda. Tuan-tuan tahu pula, tanah Hindia ini
bukan kecil, melainkan sangatlah besar dan luasnya. Beberapa
pulau yang besar-besar, seperti pulau Sumatra, pulau Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, sampai ke pulau Papua, masuk
jajahannya. Lain daripada itu, banyak pula pulau yang kecil-kecil, yang masuk bagiannya, sebagai pulau Bali, Loinbok,
Sumbawa, Flores, Timor, Sumba, Sawu, Roti dan lain-lain
sebagainya. Sekaliannya itu harus dijaga dan diurus oleh
Pemerintah Belanda, sebaik-baiknya, supaya segala penduduk-nya mendapat keselamatan dan kesejahteraan.
Akan menyampaikan maksud ini, diadakan oleh Pemerintah
pegawai-pegawai, cukup dengan alat perkakas, rumah dan
kantornya. Marilah kami sebutkan berapa macam pegawai, akan
jadi misal. Pertama pegawai yang memerintah dan mengemudi-kan negeri, yaitu pegawai sebagai kita sekalian ini. Pegawai ini
bukan sedikit orangnya, perkakasnya, rumahnya dan kantornya.
Beribu orangnya, dari yang berpangkat Residen sampai ke juru
juru tulis dan Kepala Kampung , sedang Gubernur Jenderal pun,
boleh dimasukkan golongan ini.
Kedua, pegawai yang memajukan bumiputra tentang
pengetahuan dan kerajinannya, yaitu guru-guru. Beribu pula
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
banyaknya dengan rumah-rumah sekolahnya, kecil besar;
perkakasnya pun bermacam-macam pula.
Ketiga, pegawai yang memajukan perusahaan tanah dan
perniagaan, sedemikian pula banyak orang tempatnya dan
perkakasnya. Keempat, pegawai yang membuat rumah-rumah, jalan jalan,
serokan-serokan, sungai-sungai dan lain-lain. Pegawai itu pun
tak kurang orang, kantor dan perkakasnya.
Kelima, pegawai yang menjaga keamanan negeri, yaitu bala
tentara. Pegawai inilah yang sangat banyak belanja, tetapi
keperluannya pun sangat besar pula. Bukannya di daratan saja,
tetapi di lautan pun diadakan pula bala tentara, untuk menjaga
keamanan laut, perniagaan dan musuh. Bala tentara ini
dilengkapi dengan kapal-kapal perang dan senjatanya.
Pegawai yang mengurus uang Pemerintah pun diadakan pula.
Lain daripada itu banyak lagi tiada kami sebutkan di sini, sebab
tentulah akan menjadi lanjut percakapan ini. Tuanku-Tuanku
lihat, semuanya diurus dengan sebaik-baiknya; segala yang
berguna, diadakan dan yang tak perlu, dibuang. Jangankari hal
manusia, perkara hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah"tanah,
air-air dan yang lain-lain pun tidak dilupakan. '
Tuanku-Tuanku tentulah maklum, sekalian itu bukan- sedikit
belanjanya, mana penggaji pegawai, niana pembuat tempat atau
rumahnya, mana pembeli perkakasnya, dan mana pula biaya
perjalanannya. Cobalah pikirk an dan hitung belanja sebuah
rumah atau kantor Gubernemen saja, dalam sebulan dengan gaji-gaji orang, biaya perkakas dan la in-lain sebagainya. Di situ
barulah nyata, bahwa belanja ini bukan sedikit. Berpuluh juta
rupiah Pemerintah harus mengeluarkan uang tiap-tiap tahun,
untuk biaya sekaliannya itu.
Di manakah diperoleh uang ya ng sekian banyaknya" Benar
ada hasil dari tanah, dari kopi, da ri perniagaan, dari ini dan dari
itu, tetapi hasil ini sekarang nyata tiada memadai. Bagaimana
akal kini akan mencari uang penambah yang kurang ini" Bila
Tuanku-Tuanku di rumah hendak memakai tikar, lainpu, kursi
dan meja, siapakah yang harus membelinya" Tentu Tuanku
sendiri, bukan" Masakan dapat diminta kepada orang lain"
Demikianlah juga perkara negeri kita ini, tak boleh kita meminta
bantuan kepada kerajaan lain, melainkan kita sendirilah, yang
harus memikulnya. Bukankah aturan itu sejak dahulu kala, telah
ada juga di sini" Segala sesuatu yarig perlu bagi negeri, negeri
itu sendirilah yang mengadakan, dipungut dari anak negeri.
Dahulu penghasilan yang kami sebut tadi, memang cukup,
untuk membiayai sekalian keperluan tadi, tetapi sebab keperluan
itu makin lama makin bertamba h, sebab orang pun kian lama
kian banyak pula, sekarang hasil-hasil itu tak mencukupi lagi.
Barangkali tambahan keperluan itu, di sini belum nyata benar,
tetapi d i negeri-negeri asi ng, terang kelilhatan. Sungguhpun
demikian, harus juga kita bersama-sama menolong. Janganlah
kita berpikir, apa perlunya ditolong negeri asing itu" Sebab
sebagai telah kami katakan ta di, sekalian pulau yang masuk
tanah Hindia, menjadi satu. Biar bangsa Melayu atau Jawa.
Dayak atau Papua. Belanda at aupun Cina, sekalian penduduk
Hindia ini, harus menjadi satu dan harus bersama-sama
memajukan tanah kita. Janganlah tiada percaya, bahwa segala yang diperbuat di
negeri lain, membawa hasil juga ke mana-mana. Lihatlah
Sekolah Dokter Jawa, diadakan hanya di tanah Jawa; tetapi
bukan urang Jawa saja yang beroleh hasil dari sekolah itu; orang
Minangkabau, orang Batak, Menado. Ambun dan lain-lain pun
dapat pula belajar di sana, untuk menjadi dokter. Dalam sekolah
Raja*), di sini, bukannya ba ngsa Minangkabau saja yang dapat
menuntut ilmu guru, tetapi ora ng Tapanuli, Aceh, Palembang-
Lampung, Bengkulu sampai ke Pontianak dan Sambas pun,
*) Kweekshool boleh juga. Demikian pulalah perbaikan-perbaikan yang diada-kan di negeri lain-lain itu, ta k dapat tiada mendatangkan kebai-kan juga kepada kita di sini.
Oleh sebab itu, diputuskanlah oleh Pemerintah Agung,
sekalian penduduk tanah Hindia ini, haruslah bersama-sama,
membantu kekurangan ini. Yang miskin tentulah sedikit, yang
kaya banyak. Uang bantuan itu dinamakan "Uang belasting",
dibayar tiap-tiap tahun. Jadi tak ada ubahnya dengan uang jakat
dan fitrah. Hanya uang belasting, dipakai untuk keperluan kita
bersama dan bukan dihadiahkan kepada orang miskin, untuk
keperluan mereka itu sendiri.
Belasting ini telah dijalankan di mana-mana, baik di negeri di
atas angin atau negeri di bawah angin; sedang di tanah Hindia ini
pun hampir pada segenap tempat dan sekalian penduduknya
menerima aturan ini dengan rela. Hanya di Minangkabau inilah
yang belum lagi. Tuanku-Tuanku tentu maklum, bila orang di
sini dibebaskan dari belasti ng itu, perbuatan Pemerintah ini
niscaya tidak adil. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Tambahan pula, bila orang di sini suka menuntut aturan ini
dengan senang hati. Pemerintah suka membebaskan orang
Minangkabau daripada kontrak menjual kopi kepada
Gubernemen, sehingga kopi boleh dijual kepada orang lain,
dengan harga lima atau enam kali lipat ganda. Apalagi kalau
dipikir benar-benar, nyatalah kont rak menjual kopi itu pada masa
ini tiada adil lagi; tak sesuai dengan zamannya, karena
timbanglah: Siapakah yang bertanam kopi din menjualnya ke
gedung Gubernemen" Bukankah orang-orang peladang, artinya
orang-orang miskin" Orang kaya-kaya, saudagar-saudagar,
adakah berbuat sedemikian" Tidak. Jadi siapakah yang mem-bayar belasting pada hakikinya" Bukankah si miskin" Si kaya
bersenang-senang saja. Inilah maksud kami meminta datang Tuanku sekalian kemari
supaya disampaikan pemerintah ini kepada anak negeri, dengan
diterangkan apa sebabnya dan apa gunanya uang belasting itu.
Mengerti benarlah hendaknya mereka tentang perkara ini, supaya
jangan sampai mereka berpikir, ua ng itu diminta, sekedar hendak
memenuhi kantung orang Belanda. Sekali-kali negeri tiada
beroleh hasil dari belasting ini, melainkan kita yang di sini
jugalah. Lagi pula janganlah salah sangka. Sekalian kami bangsa
Belanda yang ada di sini, iala h pegawai Gubernemen, sebagai
Tuanku-Tuanku juga, dan yang Gubernemen itu bukanlah
bangsa Belanda atau kerajaan Belanda, sekali-kali tidak lain
melainkan penduduk tanah Hindia in ilah. Bangsa Belanda di sini
sekadar memerintah, menolong mengatur.
Pada rasa hati kami cukuplah itu, untuk menerangkan
maksud kami. Bila ada di antara Tuan-tuan dan Tuanku-Tuanku
yang merasa apa-apa tentang perkara ini, keluarkanlah! Supaya
dapat diperbincangkan bersama-sama."
Lalu Residen duduk di atas kursi, bernanti, adakah orang
yang hendak berkata atau tidak. Tetapi seorang pun tiada yang
hendak mengeluarkan pikirannya, tentang hal ini.
Setelah berdiam-diam sejurus, bertanya pula Residen, "Tak
adakah orang yang hendak berkata apa-apa, tentang hal ini""
Tatkala itu berdirilah seorang Tuanku Laras, yang tertua
daripada sekalian laras yang hadi r, lalu
memberi hormat kepada Residen dan segala yang hadir dalam majelis itu; kernudian
berkatalah ia, "Sepanjang pikiran hamba yang tua ini, tak adalah
yang akan dijawab lagi dalam perkara ini, karena sekaliannya
telah diputuskan oleh Pemerintah Agung. Walaupun ada yang
terasa dalam hati kami, terkalang di mata kami, tetapi pada
sangka hamba, tak ada paedahnya diperkatakan lagi, sebab tak
dapat mengubah aturan yang tela h ditetapkan itu. Tak ada yang
lain yang dapat kami perbuat dalam hal ini, melainkan kami
sampaikan perintah ini kepada an ak negeri serta kami terangkan
kepada mereka, guna dan seba bnya diadakan belasting itu.
Seboleh-bolehnya kami akan berdaya upaya, supaya anak negeri
menurut peraturan ini. Meskipun demikian, tentulah tak dapat
kami pastikan, anak negeri akan menerima aturan ini dengan
senang hati; sebab tiap-tiap yang baru, tiada lekas diterima,
lebih-lebih jika tak nyata kebaikannya. Tambahan pula, aturan
ini, ialah aturan yang mengenai pura*) anak negeri. Oleh sebab
itu marilah kita bersama-sama berikhtiar dan memohon kepada
Tuhan, supaya perintah ini dapat dilangsungkan dengan
selamat." Sekarang marilah kita dengar pula jawab pegawai kampung,
tentang perkara ini, dalam perkumpulan yang diadakan di rumah
atau balairung. Rapat itu dikepalai oleh Tuanku Laras.
Setelah berkumpullah sekalian Datuk, Penghulu, Hulubalang,
orang kaya, besar bertuah, Kepala Negeri, Cerdik pandai dan
lain-lainnya, berkatalah Tuanku Laras, menyampaikan perintah
yang diterimanya dari Residen, serta menerangkan guna dan
sebabnya belasting itu dijalankan. Setelah selesai ia berkata-kata,
menjawablah beberapa orang daripada yang hadir.
"Tentang peraturan Gubernemen ini, belum kami ketahui
buruk baiknya. Tetapi yang mula -mula terasa dalam hati kami
dalarn perkara belasting ini, ia lah orang Belanda rupanya telah
lupa akan janjinya, kepada or ang Minangkabau. Bukankah sudah
ditetapkan dalam "Pelekat Panjang", bahwa kami anak
Minangkabau tak perlu membayar bia, yang sebagai belasting
ini" Apakah sebabnya maka kami disuruh juga membayar,
*) pundi-pundi uang sekarang" Mungkirkah orang Belanda akan janjinya"
Kedua, orang Belanda sudah lupa pula, bahwa kami bukan
orang takluk, yang harus membayar upeti kepada bangsa
Belanda. Negeri kami tiada diambil dengan asap bedil, oleh
orang Belanda, melainkan dengan perjanjian, antara sahabat
dengan sahabat. Ketiga Tuan Residen berkata, orang Belanda di sini
menolong memerintahkan. Tetapi siapakah yang meminta
pertolongan itu" Kami tidak minta tolong diperintah, melainkan
minta tolong mengalahkan paderi di zaman paderi, lain tidak.
Pada pikiran kami, tiada perlu kami diperintahi bangsa asing,
sebab dari nenek moyang kami dahulu kala, kami biasa
diperintah Raja bangsa kami sendiri dan dalam pemerintahan itu
kami pun merasa senang, tiada berasa kurang adil. Oleh sebab
itu, tak perlu kami meminta pertolongan kepada bangsa asing,
untuk memerintahi kami. Keempat, kata Tuan Residen uang belasting itu untuk
menambah kekurangan belanja Pemerintah, sebab banyak
perubahan yang akan diadakan. Pe rubahan apakah itu, tiada kami
ketahui; sebab tiada dimupakatkan dahulu dengan kami,
sehingga kami tak tahu pula sungguhkah perubahan itu berguna
bagi kami. Pada pikiran kami, segala yang ada sekarang ini pun
cukuplah; tak perlu diadakan perubahan lagi. Adapun perubahan,
bukannya untuk kami saja, hany a terutama untuk mereka yang
berpangkat tinggi, yang kaya dan orang kota.
Kelima, Tuan Residen berkata sendiri, keperluan kita tak
boleh diminta kepada orang lain, mengapakah tidak tiap-tiap
kampung atau negeri mengadakan keperluannya sendiri-sendiri"
Mengapakah kami harus menolong orang Selebes, Timor dan
Papua" Melihat rupanya pun kami belum! Dan siapakah yang
akan menanggung, mereka itu kelak akan rnenolong kami pula,
bila kami dapat kesusahan atau ada keperluan apa-apa"
Keenam, Tuan Residen berkata, kita sekalian ini yang
Gubernemen, bukan bangsa Belanda. Mengapakah segala
sesuatu diputuskan dan diperbuat oleh orang Belanda saja; suara
anak negeri sekali-kali tiada dide ngar" Perkara belasting ini pun
t iada dimupakatkan dahulu dengan kami. Setelah terjadi, disuruh
kami menurut, dengan tiada boleh mengatakan tidak. Bagai-manakah kami namanya itu, orang yang diperintahkan atau
orang yang memerintah"
Ketujuh, dikatakan ada pegawa i yang membuat rumah, jalan
dan lain-lain. Rumah siapakah yang dibuatnya" Rumah kami,
kami sendiri yang membuat. Jalan pun kami pula yang
mengerjakan. Apa paedahnya pegawai-pegawai yang diadakan
itu untuk kami" Pegawai perusahaan tanah, belum kami ketahui
di sini dan orang itu tak ada perlunya bagi kami. Apakah yang
akan diajarkannya kepada kami" Bertanam padi" Telah diketahui
nenek moyang kami beratus ta hun yarig telah lalu. Perkara
hewan" Kerbau kami kemba ng biak juga, walaupun tiada
dipelihara benar-benar. Dari dokter itu adakah ia sampai
mengobat ke kampung-kampung kami" Hanya di kota itulah ia
tinggal, di tempat orang yang kaya-kaya. Kami anak kampung,
miskin, tak cakap membayar upahnya.
Balatentara, gunanya yang baru kelihatan oleh kami, lain
tidak akan memaksa kami menurut perintah Kompeni. Musuh
dari darat dan dari laut, siapakah itu" Jika bangsa kami, cukuplah
kami saja yang akan melawannya dan kalau bangsa asing,
apakah gunanya kami lawan" Orang Belanda bukankah bangsa
asing" Perkara sekolah pun demikian pula, adanya hanya di kota
saja, untuk orang kota. Jika anak kami hendak bersekolah,
haruslah ia berjalan berpal-pal jauhnya; sebab di kampung hanya
langgar yang ada." Begitulah jawab kebanyakan Penghulu, Kepala-Kepala
Negeri dan Kepala Kampung atas perintah belasting itu.
Sekarang marilah kita dengar pula pikiran anak negeri
sendiri. Di kampung Kota Tengah, dekat kota Padang, berkumpullah
pada suatu malam, sekalian isi kampung ini, dalam mesjid.
Sesudah sembahyang isya, kelihatanlah beratus-ratus orang di
sana, orang kampung itu dan orang kampung-kampung lain,
yang rupanya telah diberi tahu, bahwa pada malam itu akan
diadakan rapat besar, untuk membicarakan perkara belasting.
Orang yang seakan-akan menjadi kepala permusyawaratan ini,
ialah haji-haji, orang alim, guru agama dan orang tua-tua. Di
antara orang tua-tua itu kelihat anlah Datuk Meringgih, saudagar
yang amat kaya di Padang.
Setelah hadir sekalian, mula ilah Datuk Meringgih membuka
bicara. "Sebabnya maka kami minta datang ninik mamak, adik
kakak, sanak saudara sekalian, malam ini berkumpul di sini,
ialah karena hendak membicarakan aturan baru yang akan
dipikulkan Kompeni kepada kita, yaitu pembayaran uang
belasting. Rupanya orang Belanda, belum puas mengisap darah
kita, memeras tenaga kita menge luarkan keringat kita. Cobalah
pikir, uang rodi, uang jaga, dan beberapa uang yang lain-lain,
sudah kita bayar, katanya unt uk kita; padahal untuk dirinya
sendiri, untuk mengenyangkan perutnya, melepaskan dahaganya
dan mengayakan bangsanya. Bagi kita anak negeri, paedah
apakah yang kita terima dari uang-uang yang telah kita bayar
itu" Adakah di antara saudara yang hadir ini, yang telah
merasainya" Hamba yang telah setua ini, tinggal di dalam kota,
siang malam bercampur gaul dengan Belanda, Cina, Keling,
Arab dan bangsa yang lain-lain, sampai sekarang, belum tahu
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan paedahnya itu. Ke mana pe rginya dan apa gunanya uang
itu, hanya Kompenilah yang tahu. Sebab dilihatnya kita suka saja
membayar uang-uang itu, sekarang dimintanya pula uang
belasting. Kalau belasting ini kita bayar juga esok, ada lagi uang
yang dimintanya dari kita. Ba rangkali rumah tangga, pakaian dan
perkakas, anak-istri kita dibiayainya pula.
Bukankah pepatah kita telah menunjukkan betapa tamak dan
lobanya bangsa Belanda" Bukankah telalt dikatakan seperti
Belanda minta tanah, diberi sejengkal, mau sedepa. Peraturan
yang serupa ini, dalam jajahan bangsa lain seperti bangsa
Inggris, tak ada. Hamba sendiri sudah pergi ke Singapura, Pulau
Pinang, Perak dan Johor, tak ada hamba lihat orang yang mem-bayar belasting di sana. Hanya di sini saja yang ada. Jadi aturan
ini dibuat-buat saja olelt orang Belanda, untuk memeras kita,
supaya kering sekering-keringnya.
Memang kemauan orang Belanda, kita anak negeri, miskin
dan bodoh hendaknya, supaya mudah dipermain-
mainkannya dan bila kita tiada berdaya lagi kelak, tentulah akan dijualnya
seperti budak." Mengapakah Datuk Meringgih ada di situ, mengasut anak
negeri, kepada Pemerintah" Mengapakah ia tiada pada perniaga-
annya" Karena ia mengerti, kala u jadi dijalankan belasting itu,
tentulah ia yang banyak harus membayar. Lagi pula rupanya
Pemerintah di Padang, sedang mengintip perjalanannya, karena
orang makin lama makin kurang percaya akan kelurusan hatinya.
Hal ini diketahui oleh Datuk Meringgih, itulah sebabnya maka
sangat panas hatinya kepada Pe merintah Belanda. Ketika itu,
sebab ada jalan, hendakk dibalaskannya sakit hatinya ini. Oleh
sebab itulah dicarinya akal, supaya maksud Pemerintah ini tiada
sampai. Disuruhnya orang-orangnya ke sana kemari, mengasut
anak negeri, supaya melawan; jangan mau membayar belasting.
Setelah selesai Dat uk Meringgih beikata-kata, berdirilah pula
seorang haji, katanya, "Pada pikiran hamba benarlah kata Engku
Datuk itu, karena hamba telah pergi ke Mekah, Madinah, Jedah,
tetapi di sana pun tak ada hamba dapat aturan sebagai ini.
Memang susah, kalau di bawah perintah kapir; selamanya kita
hendak dianiaya saja. Akhirnya niscaya agama kita akan ditukar-nya dengan agama Nasrani, sehingga menjadi kapirlah kita,
masuk api neraka seperti mereka. Tentu tak senang hati mereka,
melihat kita masuk surga; jadi dicarinya kawan mati."
Mendengar perkataan haji ini, geramlah hati sekalian yang
hadir dan kedengaranlah comel di sana-sini, mengatakan,
"Sesungguhnya tak patut!"
Ada pula yang berkata, "Memang Belanda tak boleh di-
percayai, bicaranya putar balik, sebagai lidah Keling."
Setengahnya berkata pula, "M emang Belanda musuh kita,
dunia akhirat, dalam perkara agama dan perkara yang lain-lain
pun." Datuk Meringgih berseri mukanya melihat kegembiraan hati
sekalian orang itu dan sangatla h benci hatinya, tatkala ada
seorang di antara mereka yang berani menyahut, "Sepanjang
pendengaran hamba, uang itu akan dipergunakan, untuk
keperluan kita juga."
"Keperluan apa"" tanya Datuk Meringgih dengan segera.
"Pembuat jalan jalan, rumah -rumah dan sekolah, kantor-kantor misalnya," jawab yang berkata itu.
"Untuk siapa jalan yang baik, untuk kita atau untuk dia" Kita
tak perlu akan jalan yang baik, te tapi tak mau jalan yang buruk;
sebab itu disuruhnya kita membuat jalan untuk dia. Sekarang
jalan apa pula lagi yang akan dibuat dengan uang belasting itu"
Tentang rumah sekolah itu untuk siapa pula" Anak siapakah
yang banyak bersekolah, anak kita atau anaknya" Ada
beberapakah di antara Engku-Eng ku yang ada di sini, yang sudah
bersekolah Pemerintah" Tahukah Engku-Engku akan maksud
sekolah itu" Supaya anak-anak k ita suka kepadanya dan benci
kepada bangsanya sendiri.
Di mana ada sekolah di kampung ini" Hamba tidak ber-
sekolah tetapi jadi kaya juga. Jadi, apa perlunya sekolah itu
kepada kita" Yang perlu bagi kita, yaitu langgar dan mesjid.
Adakah diperbuatnya itu" Tida k, bukan" Tetapi gerejanya
dibesarkannya, diperbuatnya ba gus-bagus dengan uang kita. Dan
tentang kantor itu, tak perlu hamb a katakan gunanya; setiap hari
Engku-Engku dapat melihat sendiri. Bukankah di sana kita
dihukumnya, terkadang-kadang dengan tiada bersalah" Bila tak
mau menurut kehendaknya, dimasukkannya ke gedung yang
sebuah lagi, yaitu penjara.
"Apa lagi"" tanya Datuk Ma ringgih kepada orang yang men-jawab tadi. "Coba katakan, supaya hamba terangkan yang
sebenar-benarnya. Jangan suka mendengar kata orang saja dan
menurut kata itu dengan tiada dipikirkan dalam-dalam; menjadi
kita burung tiung." Orang yang berkata tadi, tiadalah dapat menjawab lagi lalu
berdiam diri. Setelah berdiam sejuruh, kedengaianlah pula suara Datuk
Meringgih, "Sekarang hendak hamba tanyakan kepada sekalian
saudara-saudara yang hadir ini, haruslah diturut saja perintah ini
dan dibiarkan hidung kita diberi bertali, sebagai kerbau, supaya
dapat ditariknya ke mana sukanya" Kita ini bukan binatang,
melainkan manusia juga, sebagai dia; bermata, berkepala,
berkaki dan bertangan. Mengapakah kita mau diperbodoh orang
datang" Adakah patut, limau dialahkan bendalu""
"Sesungguhnya t ak baik dibiar kan," jawab seorang guru tua,
"jadi bertambah-tambah lalim dia. Akhirnya diusirnya kita dari
negeri kita ini. Ke mana hendak pergi""
"Jadi, jika tiada hendak dibiarkan, bagaimana"" tanya
seorang. "Lawan saja," jawab beberapa anak muda. '
"Melawan itu mudah asal hati sungguh berani dan perkakas
cukup, diadulah untuk kelak," jawab yang bertanya tadi." Tetapi
tak adakah jalan lain-lain yang lebih baik, daripada melawan,
karena pekerjaan berperang it u tak baik dipermudah" Bukan
sedikit kesengsaraan dan kemalangan yang dibawanya. Kita ini
bukan sebatang kara, melainkan beranak beristri, berkaum
keluarga, berkampung, berhalaman. Yang berperang tidak
dipikirkan: esa hidup, kedua mati, namanya anak laki-laki.
Tetapi yang tinggal itulah, yang menjadi pikiran. Betapa hal
mereka kelak, bila kita kalah""
Perkataan itu rupanya mendatangkan pikiran kepada yang
mendengarnya dan hal itu le kas dimaklumi oleh Datuk
Maringgih. Karena itu segeralah ia menjawab; katanya,
"Barangkali Engku takut berhadapan dengan Belanda. Jika dua
hati, tak perlu mengikut; karena tentulah akan mendatangkan
beban kepada kami. Kami bukannya perempuan; tak takut mati.
Yang tinggal itu kami serahkan kepada Tuhan. Dia terlebih
sempurna memelihara daripada kami."
"Bukan hamba takut," jawab orang itu pula. "Jika perlu,
hamba pun rela menyerahkan nyawa hamba. Tetapi yang hendak
hamba katakan, yaitu tak adakah jalan lain, yang lebih baik
daripada melawan, untuk memper oleh maksud kita" Kalau ada,
mengapakah takkan diturut""
"Bagaimanakah jalan itu"" tanya orang banyak, yang rupanya
kurang suka berperang. "Tak baiklah, bila kita pergi bersama-sama kepada
Pemerintah Tinggi di sini, minta diurungkan saja aturan itu""
kata orang tadi pula. "Ha, ha, ha!" tertawa Datuk Meringgih." Engku belum tahu
rupanya adat Belanda, sebab belum bercampur gaul dengan
mereka. Tetapi hamba ini, bukan sehari dua hari kenal pada
Belanda! Berpuluh tahun telah bercampur dengan mereka; sebab
itu tahu benar hamba akan adatnya. Belanda itu tiada nienaruh
kasihan tiada pandang-memandang, tiada tahu membalas guna,
hendak berkeras saja; apa-apa maksudnya harus terjadi.
Bukankah ia katanya bangsa yang memerintah, yaitu bangsa
yang tinggi" Kita ini dipandangnya sebagai budak, sebagai
binatang, tak boleh membuka bicara, melainkan harus buta tuli,
menurut kemauannya. Hamba berani bertaruh, seribu lawan,
serupiah, kalau dikabulkannya permjntaan kita itu. Lagi pula
perintah datangnya dari Jakarta, bukannya dari Pemerintah
Tinggi di sini. Walaupun Pemerintah Tinggi di sini mem-perkenankan permintaan kita, kala u Pemerintah Tinggi di Jakarta
tak suka, masakan boleh jadi. Tambahan lagi siapa tahu,
barangkali perintah itu dari negeri Belanda datangnya. Siapa
yang hendak pergi ke sana, bertemu dengan raja Belanda" Pada
pikiran hamba, jika kita tiada hendak menurut perintah ini,
baiklah ditunjukkan dengan melawan. Itulah jalan yang
sependek-pendeknya. Bila akan dikabulkannya, tentu lekas
diturutnya kemauan kita. Berperang sedikit dikabulkannya, tentu
lekas diturutnya kemauan kita. Berperang sedikit apa salahnya,
permainan anak laki-laki. Untuk beroleh keuntungan, bukankah
harus rugi lebih dahulu""
Muka mereka yang telah mulai sabar sedikit, menjadilah
gembira pula,mendengar kata Datuk Meringgih ini.
"Yang hamba pikirkan, ialah a khir kelaknya. Jika melawan,
adakah akan dapat kemenangan" Karena Belanda banyak
serdadunya dan cukup senjatanya. Kalau tiada terlawan, menjadi
sia-sialah pekerjaan kita dan akhirnya rusak binasa, tiada
bertentu; sedang belasting harus juga dibayar."
"Perkara kalah memang itu tia da dapat ditentukan lebih
dahulu, karena sekaliannya itu takdir Allah. Jika ditolongnya kita
walau berjuta banyaknya serdadu musuh dan berkapal perkakas
dan senjatanya, tentulah kita akan beroleh kemenangan juga. Jika
tak menang pun, tak mengapa, kare na telah kita perlihatkan
kepadanya, bahwa kita bukan pe rempuan, melainkan laki-laki,
yang tak boleh diperbuat sembarang saja. Apabila ia kemudian
hari hendak membuat peraturan baru pula, tentulah akan
dipikirnya baik-baik, sebelum
dijalankannya. Inilah suatti
daripada keuntungan kita. Akan tetapi, kalau kita berdiam diri
saja dan menurut segala kemauannya, niscaya dikatakannya kita
takut dan sebab lemah tentulah akan dititinya benar-benar,
sehingga tiadalah terlepas lagi k ita daripada aniayanya, makin
lama, makin bertambah.berat. Lihatlah orang Aceh! Apa senjata-nya" Tetapi dapat mereka mela wan, sehingga sampai sekarang,
belum juga takluk lagi. Pendeknya asal hati jantan, tentu boleh
menjadi." jawab Datuk Meringgih.
"Benar perkataan Engku Datuk itu," teriak beberapa anak
muda, yang masuk perkumpulan Datuk Meringgih. "Itulah per-kataan laki-laki sejati. Pendeknya sekarang begini saja, barang
siapa yang tak hendak ikut melawan, boleh tinggal di rumah.
Jika hendak menyebelah kepada kapir itu pun, tak dilarang; asal
jangan ada di sini lagi, sebab tentulah takkan kami beri ampun."
Karena perkataan ini, tak adalah lagi yang berani membantah
kamauan Datuk Meringgih ini, sehingga sekaliannya terdiam
sejurus, sampai berkata pula seora ng haji tua, "Berperang dengan
Belanda itu ada akalnya. Jika tak ada perkakas lawan dengan
yang lain." "Akal apa itu" Cobalah nenek ha ji katakan!" teriak beberapa
orang yang kurang berani.
"Akal orang Aceh; bedil dan meriam itu dilawannya dengan
isim; sehingga bedil tak berbunyi atau tak mengenai dan pedang
tak makan." "Tahukan Nenek ilmu itu""
"Jika tak tahu, apa gunanya aku berkata-kata di sini" Bukan
cuma-cuma saja rambutku telah putih. Aku sendiri sudah pergi
ke tanah Aceh, menuntut ilmu itu."
"Kalau begitu tak perlu takut. Tetapkanlah hati, untuk
melawan dan suruhlah dia datang beribu-ribu kemari," kata yang
berani kepada yang tak berdaya.
Demikianlah pikiran kebanyakan anak negeri, tentang
belasting itu. Oleh sebab pada sangkanya, Pe merintah berbuat tak semena-mena kepada mereka, ditetapkann yalah, tiada hendak membayar
belasting dan jika dipaksa juga, tentu melawan.
Sesungguhnya, tatkala seorang menteri di Padang Hulu
datang hendak menangkap beberapa orang, yapg disangka
menjadi kepala dalam perusuhan itu, melawanlah anak negeri
dan dibunuhnyalah menteri ini. Beberapa Datuk yang keras
kepala, dipenjarakan dalam penjara Bukit Tinggi. Pada keesokan
harinya. datanglah beratus-ratus anak negeri, meminta lepaskan
mereka itu. Seorang Tuanku Laras yang dengan keras hendak
menjalankan belasting itu dibunuh; dikatakan menolong bangsa
Belanda. Demikian pula seorang Kemendur, diserang anak
negeri dalam rumahnya. Tatkala ia telah dibunuh, mayatnya
dilembarkan ke dalam api rumahnya yang dibakar. Seorang
Asisten Residen diserang, ketika bekerja dalam kantornya.
Banyak gudang Pemerintah yang berisi kopi, dirampas dan
dibakar begitu juga rumah-rumah dan kantor-kantor Pemerintah.
Dengan demikian, gemparlah seluruh Padang Hulu dan
Padang Hilir. Di mana-mana kedengaran rusuh dan orang
melawan, sebagai mereka telah mupakat lebih da hulu sama-sama
hendak berontak. Serdadu yang ada, tak dapat, disuruh memadamkan huru-hara
itu. sebab tak cukup, lalu disuruh menjaga kota saja. Sekalian
pegawai Pemerintah disuruh berkumpul dalam kota. Di dalam
kota, yang selalu dikelilingi serdadu, dicarilah akal seboleh-bolehnya akan melindungkan diri, bila musuh datang
menyerang. Dan lagi dilarang orang berkumpul-kumpul di sana,
supaya jangan da pat bermupakat.
Pada malam hari tak boleh berjalan di tempat-tempat yang
gelap, dengan tiada membawa api (suluh). Memakai pakaian
serba putih pun dilarang, supaya jangan disangkakan musuh.
Pada malam hari, serdadu-serdadu ronda di dalam kota menjaga
keamanan. Sementara itu dimintal ah serdadu-serdadu datang dari
negeri lain lalu dikirimkan mereka ke tempat-tempat yang yang
berbahaya dan disuruh pula ronda ke luar kota atau ke kampung-kampung. Ada pula yang disuruh menjaga rumah-rumah dan
harta benda Pemerintah. Jalan ke reta api dari pelabuhan Teluk
Bayur sampai ke Padang Hulu pun, dijaga oleh serdadu, supaya
jangan dirusak perusuh. Akan tetapi anak negeri selalu pula berkumpul-kumpul di
luar kota di tempat yang sunyi, bermupakat akan melawan atau
menyerang. Masing-masing bersiap, menyediakan senjata
, untuk berperang. Perempuan-perempaan dan anak-anak dikirim ke
gunung-gunung. Harta benda mereka dikuburkan di dalam tanah
atau disembunyikan di tempat yang sunyi. Utusan dikirim ke
segenap tempat, supaya dapat santa-sama menyerang. Ada yang
dikirim ke Aceh hendak mengajak orang Aceh bersama-sama
melawan dan ada pula yang diutus ke negeri Turki, akan
mengadukan kelaliman Pemerintah Belanda.
XVI. PEPERANGAN ANTARA SAMSULBAHRI DAN
DATUK MERINGGIH Setelah masuklah kapal yang membawa Letnan Mas ke
pelabuhan Teluk Bayur, turunlah sekalian bala tentara itu ke
daiat, lalu langsung berjalan ke kota Padang, Di sana gemparlah
isi kota, melihat bala tentara sekian banyaknya datang; cukup
dengan alat senjata dan meriamnya.
Yang seorang bertanya kepada yang lain:
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapakah didatangkan serdadu sekian banyaknya ini""
"Tidakkah engkau tahu"" jawab yang ditanyai. "Seluruh
tanah jajahan Belanda akan rus uh, sebab anak negeri hendak
melawan; tak mau membayar belasting."
Kabar kedatangan bala tentara, ini, sekejap itu juga pecah ke
sana kemari, sampai ke luar-luar kota, sehingga perempuan dan
anak-anak pun tahu hal ini. Maka ramailah dibicarakan
peperangan yang akan terjadi. Yang penakut, larilah
bersembunyi ke gunung-gunung dengan anak bini dan harta
bendanya; yang berani tinggallah di dalam kota, karena ingin
hendak melihat tamasya perang. Yang kaya, berharta banyak,
khawatir kalau-kalau harta bendanya dirampas orang. Yang
banyak beranak dan bersanak sauda ra, ngeri, takut anak-istri dan
kaum keluarganya terbawa-ba wa mendapat kesusahan. Hanya
bangsa penjahatiah yang gembir a hatinya, karena ada harapan
akan dapat mencuri dan menyam un dengan mudah dan sepuas,
puas hatinya. Saudagar-saudagar pun tak kurang khawatirnya,
sebab pada sangkanya, tentulah perniagaannya akan jatuh,
karena peperangan ini. Begitu pula pegawai-pegawai
Pemerintah, berdebar-debar hatinya, takut kalau-kalau serdadu
kalah. Jika demikian, tentulah mereka tiada akan mendapat
ampunan dari perusuh, karena sekalian yang tiada hendak ikut
melawan, dipandang mereka sebagai musuhnya. Hanya
perusuhlah yang geram melihat, bala tentara Pemerintah datang
sebanyak itu dan panas hatinya, lalu berpikir mencari akal akan
memperdayakan serdadu ini.
Setelah sampailah bala tentara itu ke tangsi Padang, pergilah
Letnan Mas kepada Kapitannya, minta izin akan pergi sebentar
dengan berjanji, segera akan kembali pula, karena adalah suatu
keperluan yang sangat penting baginya.
Mula-mula rupanya kapitannya tiada hendak memberi izin ini
tetapi tatkala dilihatnya Mas me minta amat sangat, diperkenan-kanyalah juga permintaan itu dengan pesan, supaya jangan lewat
daripada pukul enam petang kembali. Sebab pada waktu itu hari
baru pukul setengah lima, berpikirlah Letnan Mas dalam hatinya,
"Tentu tidak terlambat aku kembali."
Dengan segera dipanggilnya sebuah bendi sewaan, lalu
berangkat menuju ke Muara. Sete lah sampailah ia ke sana,
diseberanginyalah sungai Arau dengan perahu dan didakinya
Gunung Padang. Di tengah jalan be rtemulah ia dengan seorang
fakir, yang tinggal di atas gunung itu, lalu ditanyakannya di
mana kubur Baginda Sulaiman, saudagar yang berpulang kira-kira sepuluh tahun telah lalu. Walaupun fakir itu sangat heran
mendengar perkataan ini dan berpikir dalam hatinya, apakah
sebabnya seorang letnan menanyakan kubur seorang Melayu,
tetapi ditunjukkannya juga kubur itu.
Setelah sampai ke makam ini, kelihatanlah oleh Letnan Mas
tiga buah kubur dalam suatu tempat yang berpagar tembok. Dua
buah daripada kubur ini, letaknya berdekat-dekatan; yang sebuah
lagi agak jauh sedikit. Tatkala dibacanya huruf yang tertulis pada
batu nisan kubur yang berdekat-dekatan itu nyatalah kepadanya,
bahwa kubur itulah yang dicarinya. Karena tiada tertahan oleh
Letnan Mas hatinya, segeralah ia masuk ke dalam makam ini,
lalu berlutut di antara kedua kubur yang berjauh-jauhan itu,
sambil memeluk keduanya dengan kedua belah tangannya. Di
situ menangislah ia tersedu- sedu, seraya meratap demikian,
"Aduhai Nurbaya dan Ibu yang sangat hamba cintai!
Mengapakah sampai hati bena r meninggalkan hamba s
eorang diri di atas dunia ini" Berjalan tiada hendak berkata-kata, pergi
tiada hendak membawa-bawa. Mengapakah tiada diajak hamba
pergi bersama-sama dan tiada di nantikan hamba, supaya boleh
hamba temani, dalam perjalanan yang jauh itu" Dan tatkala telah
ditinggalkan, mengapakah tidak lekas dijemput, dibiarkan
sepuluh tahun lamanya hamba me ngembara ke sana kemari,
mencari jalan akan mengikut Bunda dan Adinda, sehingga
sampai kepada waktu ini pekerjaan itu sia-sia belaka.
Aduhai! Bilakah masanya kita akan dapat berjumpa pula dan
bilakah waktunya kita akan dapat berkumpul dan bercakap-cakap, sebagai dahulu" Bunda dan Nur, pintakanlah kepada
Allah subhanahu wataala, supaya jangan dipanjangkan-Nya lagi
umur hamba ini dan lekaslah dipertemukan-Nya kita sekalian;
karena hidup bercinta seperti in i, sesungguhnyalah tiada terderita
oleh hamba. Cukuplah sepuluh tahun lamanya hamba
menanggung siksa dan azab yang tiada tertanggung oleh manusia
dan patutlah sudah hamba dilep askan daripada penjara yang
sedemikian. Aduh Nur, aduh Adikku! Tiada kusangka sekali-kali akan
beginilah akhirnya kita ini. Mengapakah segala pengharapan dan
cita-cita orang dikabulkan, teta pi harapan dan cita-cita kita
dijadikan seperti ini" Apakah salahmu, dan salahku dan salah
kita ini, maka beroleh nasib yang sedemikian ini" Sudahlah di
dunia ini, segala pengharapan dan permintaan kita, yang kita
pohonkan sebilang waktu, tiada dika bulkan, di akhirat kelak ada
akan disampaikan Allah, segala cita-cita itu" Ah, pada rasaku tak
adalah manusia yang malang sebagai kita ini! Sepuluh tahun
lamanya aku menanggung sengsara dan dukacita; sepuluh tahun
pula aku menanggung rindu dendam, kepadamu, tetapi sampai
sekarang ini, belum disampaikan Tuhan juga maksudku ini.
Berapakah lamanya lagi aku harus menunggu"
Tetapi oya, Nur; aku telah beroleh alamat, bahwa aku segera
akan dipertemukan dengan engkau, karena inilah penghabisan
sisaku. Mudah-mudahan demi kianlah hendaknya; doakan
bersama-sama. Suatu yang belum kuketahui, yaitu dapatkah aku menuntut-kan belamu atau tiada" Tetapi biarpun tak dapat, Allah Yang
Maha Kuasa takkan lupa, bahwa tiap-tiap kesalahan itu tiada
akan luput daripada hukumannya. Biarlah bersama-sama kita
kelak menyembahkan kesalahannya ini."
Setelah itu diciumlah oleh Letnan Mas kedua nisan kubur itu,
lalu berdiri perlahan-lahan dan berkata kepada fakir yang masih
tercengang berdiri di sana, melihat kelakuan letnan ini, karena
heran, mengapakah seorang Belanda , menangis di kubur seorang
Islam! "Fakir, mengajilah Tuan di sana, bagi arwah segala yang
telah meninggal itu. Inilah hamba beri sedekah!" lalu
dikeluarkannya uang kertas sepuluh rupiah dari dalam tempat
uangnya, diberikannya kepada fakir ini. Karena seumur
hidupnya, belum pernah fakir ini menerima hadiah sekian
banyaknya, sangatlah sukacita hatinya, lalu mengaji semalam-malaman di makam itu.
Sementara Letnan Mas pergi ke Gunung Padang, datanglah
kabar dari Gubernur Padang, mengatakan malam itu perusuh
akan masuk ke dalam kota, membuat huru-hara. Oleh sebab itu
dimintalah sebagian daripada serdadu yang ada itu, pergi ke luar
kota, mengadang musuh ini, supaya jangan sampai berperang di
dalam kota. Kira-kira pukul tujuh malam, berangkatlah sepasukan
serdadu yang dipimpin oleh Letnan Mas dan Van Sta, ke luar
kota Padang menuju Kota Tengah. Pukul sembilan, sampailah
mereka ke Tabing dan tiada bera pa lama kemudian, hampirlah
mereka ke Kota Tengah. Dari jauh telah kelihatan berpuluh-puluh orang; sekaliannya mema kai serba putih, berkumpul-kumpul di pinggir jalan, di muka sebuah kedai; rupanya mereka
sedang bermusyawarat, baga imana hendak menyerang.
Sekaliannya bersenjata sebuah golok.
Tatkala kelihatan oleh perusuh serdadu datang, gemparlah
sekaliannya; ada yang menga mbil senjatanya, ada yang
menghunus kerisnya, ada yang memencak, ada yang berteriak
memanggil kawan, ada yang memaki-maki dan ada pula yang
mengacu-acukan senjatanya; berbagai-bagai kelakuan mereka.
Setelah hampir kepada mereka ini, Letnan Mas menyuruh
berhenti serdadunya dan membariskan mereka. Seorang
kemendur yang mengikut bersama-sama maju ke muka,
menyuruh perusuh menyerahkan dirinya. Tetapi jangankan di-indahkan mereka, kemendur itulah yang dimaki-makinya, seraya
memencak mengajak berkelahi. Setelah tiga kali kemendur
membujuk dengan lemah-lembut, menyuruh mereka menyerah-kan diri, tiada juga didengar oleh orang-orang itu, diserahkan-nyalah kekuasaan ke tangan Letnan Mas. Letnan Mas menyusun
serdadunya, lalu menyuruh menembak ke udara. Seketika itu
juga berbunyilah kira-kira tiga puluh bedil, sekaligus. Tatkala
didengar perusuh bunyi bedil ini dan dilihatnya, tiada seorang
pun yang kena, bertambah-tambah lah berani mereka, karena
pada sangkanya sesungguhnyalah me reka tiada dimakan anak
bedil lagi, berkah ajimat yang diperolehnya dari gurunya. Maka
bertempiklah mereka bersorak dan ratib mengucap "La illaha
illallah" lalu maju ke muka. Se telah hampirlah mereka, barulah
Letnan Mas memerintahkan membedilnya.
Tatkala berbunyilah bedil kedua kalinya, rebahlah sebaris
orang yang di muka, jatuh ke ta nah. Ada yang menjerit, ada yang
memekik, ada yang meminta tolong dan ada pula yang terus
ratib, tetapi banyak yang tiada bersuara lagi karena terus mati.
Perusuh yang berdiri di belakang, bingunglah sejurus, tiada tahu
apa yang dibuatnya. Ketika berbunyi pula bedil ketiga kalinya,
pecahlah perang perusuh itu, karena banyak yang mati. Mana
yang tinggal larilah cerai-berai kian kemari, membawa dirinya
masing-masing. Akan tetapi seketika itu juga, keluarlah beberapa orang tua-tua dan haji-haji dari dalam se buah rumah, lalu berteriak
memanggil sekalian orang yang lari itu, serta mencabut kerisnya
dan maju ke muka. Karena melihat keberanian ini, berbaliklah
sekalian yang lari, lalu mengikut guru-gurunya dengan
bertempik sorak pula, menyerang serdadu-serdadu dari dua
pihak. Oleh sebab cepat datang mereka menyerbukan dirinya,
serdadu-serdadu Letnan Mas, tiadalah sempat menembak lagi,
lalu mempergunakan bayonetnya. Dengan segera menjadi
ramailah peperangan itu, masing- masing mencari lawannya. Ada
yang bertikam-tikaman, ada yang bertetak-tetakan pedang, ada
yang tangkis-menangkis, ber pukul-pukulan, tangkap-menangkap
dan banting-membantingkan. Yang mati, jatuh, yang luka,
berdarah, yang takut, lari, yang berani mengejar. Ada yang maju,
ada yang mundur, ada yang melompat, berbagai-bagai kelakuan
mereka. Suara pun bermacam -macam kedengaran, gegap
gempita, tiada disangka bunyi lagi, dicampuri pula oleh bedil,
pistol, pedang dan parang. Walaupun bulan terang cahayanya,
tetapi di tempat itu gelap, kare na asap bedil. Dan jika pakaian
mereka tiada sangat berlainan, yakni hitarn dan putih, niscaya
tiadalah tentu lawan kawan. Letn an Mas dengan kepala perusuh,
kelihatan sama-sama mengerahkan bala tenteranya, menyuruh
maju sambil membedil dan menetak.
Tiada berapa lamanya berperang itu, banyaklah yang mati
dan yang luka pada kedua belah pihak. Darah mengalir di jalan
raya dan mayat tersiar-siar di sana-sini. Oleh sebab dari
kampung tiada putus-putusnya datang bantuan perusuh, tiadalah
tertahan oleh Letnan Mas serangan musuhnya, sehingga
disuruhnya serdadunya undur perlahan-lahan. Bila tiada datang
bantuan dari Letnan Van Sta, p astilah pecah perang Letnan Mas.
Untunglah pada waktu itu juga kedengaran tempik sorak serdadu
Letnan Van Sta, yang menyerbukan diri ke medan peperangan.
Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, undurlah perusuh
perlahan-lahan dan akhirnya, tatk ala bantuan mereka tak datang
lagi, pecahlah perang mereka, lalu lari kian kemari,
bertemperasan, diburu oleh serdadu-serdadu kedua letnan itu.
Tatkala mengejar perusuh, kelihatan oleh Letnan Mas,
seorang daripada kepala mereka, bangun badan, perjalanan dan
suaranya serupa benar dengan bangun badan, perjalanan dan
suara Datuk Maringgih, musuhnya yang sekian lama dicari-
carinya. Maka berdebar-debarlah hati Letnan Mas dan gemetar
tangannya serta berubah mukany a, sebagai suka bercampur
duka. Suka karena ada penghara pan akan dapat membalaskan
sakit hatinya, dan duka karena ingat akan segala kejahatan yang
telah diperbuat jahanam itu. Ke tika kepala perusuh ini hendak
me larikan dirinya, diburunyalah orang itu dengan tiada berpikir
panjang lagi. Setelah berhadap-h adapan mereka, nyatalah pada
Letnan Mas, bahwa persangkaannya tadi benar, karena
sesungguhnya Datuk Meringgih, algojo Nurbaya, yang berdiri di
mukanya, lalu berkatalah ia, "Datuk Meringgih! Benarkah
engkau ini"" "Ya, akulah Datuk Meringgih, saudagar yang kaya di Padang
ini," jawab kepala perusuh itu. "Engkau ini siapa, maka kenal
kepadaku" Setelah diamat-amatinya Letnan Mas ini, terperanjatlah ia
lalu surut beberapa langkah ke belakang, seraya berteriak,
"Samsulbahri! Engkau tiada mati" Atau setannyakah ini""
"Seketika itu juga melompatlah ia kembali ke muka, hendak
menetak Letnan Mas. Letnan Mas melompat ke kanan, lalu
berkata, "Tunggu dahulu, Datuk Meringgih! Karena banyak yang
terasa dalam hatiku, yang hendak kukatakan kepadamu, sebelum
aku terpaksa mencabut nyawamu."
Mendengar perkataan ini berdirilah Datuk Meringgih, karena
hendak mengetahui, apakah yang akan dikatakan musuhnya itu.
"Datuk Meringgih! Sesungguhnya akulah Samsulbahri, yang
sepuluh tahun telah lalu, sudah mati, tetapi yang dikeluarkan
kemtali dari dalam kubur, untuk menghukum engkau atas segala
kejahatanmu yang keji itu. Tatkala aku membedil diriku di
Jakarta, karena terlebih suka mati daripada hidup menanggung
sengsara yang asalnya daripada perbuatanmu, tiadalah disampai-kan Tuhan maksudku itu. Rupanya aku terlebih dahulu harus
menuntut bela atas segala kesalahanmu. Itulah sebabnya maka
peluru yang kutujukan ke kepalaku, tiada menembus otakku.
Karena aku terperanjat, mendengar suara sahabatku, Arifin, yang
tatkala itu berteriak, dan tanganku bergoyang, sehingga anak
bedil, sekadar merusakkan tulang kepalaku saja. Ketika aku
sadar akan diriku, kupintalah kepada dokter dan sekalian orang
yang tahu akan halku, supaya kabar aku hidup kembali, tiada
disiarkan ke mana-mana, karena pada pikiranku, lebih baik aku
disangka orang telah mati daripada hidup sedemikian. Beberapa
kali aku mencari kematian, tetapi tiada juga dapat, karena Tuhan
masih memanjangkan umurku, supaya dapat menghukum
engkau atas segala dosamu.
Sepuluh tahun lamanya aku menanggung sengsara dan
dukacita yang tiada terderita , sepuluh tahun pula aku menaruh
dendam dalam hatiku kepadamu. Sekarang barulah disampaikan
Tuhan maksudku itu; sekarang barulah dapat aku menuntutkan
bela sekalian orang yang telah engkau aniaya, hai penjahat yang
sebesar-besarnya! Karena keka yaanmu, menjadilan engkau
sombong dan angkuh serta tekebur kepada Tuhan, yang telah
memberunu kekayaan itu. Pada sangkamu dengan kekayaan itu
tentulah 'kan dapat engkau be rbuat sekehendak hatimu. Yang
tinggi kaujatuhkan, yang mulia kauhinakan, yang kaya kau
miskinkan dengan tiada pandang-memandang, tiada tilik-menilik
dan tiada menaruh belas kasihan, asal nafsumu yang jahat dan
hina itu dapat kaupenuhi.
Hai Datuk durhaka! Kekayaanmu itu tiada memberi paedah
kepada teman sejawatmu, sahabat kenalanmu, sesamamu
manusia dan kepada dirimu sendiri sekalipun, melainkan men-datangkan segala bahaya, sengsara, duka nestapa kepada isi
negeri. Tiada layak engkau dikurniai Tuhan senjata yang sekuat
itu. Dengan kekayaanmu itu kauceraikan anak daripada bapanya,
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adik daripada kakaknya, asyik daripada masyuknya, sahabat
daripada karibnya. De ngan kekayaanmu itu kaujatuhkan Baginda
Sulaiman, sampal berpulang ke rahmatullah, karena dukacita;
dengan kekayaanmu itu kaupaksa anaknya menurut kesukaanmu
yang keji, kekasih dan saudaranya kauaniaya ini sampai hampir
mati di dalam laut. Kemudian kaudakwa ia mencuri barang-
barangmu yang kauperoleh dengan tipu daya, darah keringat
orang lain. Tatkala engkau tiada berdaya lagi akan memaksa
Nurbaya, yang tiada bersalah itu, kaubunuhlah ia dengan racun.
Dengan kekayaanmu itu kaucerai kan aku daripada ibu-bapa
dan kaum keluargaku dan kaup utuskan, pengharapanku akan
menjadi orang baik-baik, sehingga ibuku meninggal dunia
karena kesedihan hati. Sungguh pun demikian, sekalian itu belum
lagi seperseratus dari segala dosamu yang harus kautanggunl.
Hai Datuk Meringgih! Tiadakah terasa olehmu kesalahnmu
itu" Tiadakah takut engkau kepada Tuhan, yang memberikan
segala kekuasaan itu kepadamu" Tiadakah malu engkau kepada
sesamamu manusia, yang engka u perdayakan" Dan tiadalah
belas kasihan engkau kepada sekalian mereka, yang telah
menjadi kurbanmu""
Samsulbahri berhenti sejurus berkata-kata itu, karena penuh
rasa dadanya dan sesak rasa na pasnya, menahan hatinya yang tak
dapat direncanakan di sini.
Datuk Meringgih tiada menjawab sepatah kata pun, sebab
baru dirasanya waktu itu, kebena ran perkataan Samsulbahri ini.
Di situlah baru nyata padanya, bahwa sebenarnya sampai kepada
waktu itu, belumlah lagi ia be rbuat kebaikan dengan hartanya
yang sekian banyaknya itu. Bila ia mati dalam peperangan ini,
tentulah segala hartanya itu akan terbagi-bagi kepada yang
tinggal dan apakah akan dibawanya ke dalam kubur" Tak lain
nama yang jahat, sumpah, umpat dan maki segala mereka yang
telah dianiaya. Dan tentulah sekalian itu akan memberatinya
dalam kuburnya. Bila ada ia berbuat kebaikan, barangkali adalah
juga yang akan mendoakan arwahnya.
Di sana, tatkala ia telah hempir ke pintu kubur, baru
diinsyafinya, bahwa harta dunia itu sangat sedikit harganya,
untuk kehidupannya di negeri ya ng baka. Maka timbullah sesal
dalarn hatinya atas perbuatannya yang telah lalu. Akan tetapi apa
hendak dikata, karena tatkala itu dirasainya, ia tak dapat lagi
memperbaiki kesalahannya itu.
Setelah sejurus berdiam diri, berkatalah pula Samsulbahri
dengan menyapu air matanya, yang tak dapat ditahannya, "Hai
Datuk Meringgih! Sekaranglah akan kuperlihatkan kepadamu,
bahwa ada lagi yang terlebih berkuasa daripada hartamu itu.
Walaupun seratus kali lebih banyak hartamu dari yang ada
sekarang ini, tiadalah akan dapa t ia mengubah pikiranku, hendak
membalas kejahatanmu itu dan tiadalah dapat ia menolong
melepaskan engkau dari dalam tanganku. Terimalah olehmu
hukumanmu!" lalu Samsu mengangkat pestolnya, menembak
Datuk Meringgih. Tetapi tatkala itu juga Datuk Meringgih
melompat ke muka, menetak Samsulbahri dengan parangnya,
sambil berteriak, "Rasailah pula olehmu bekas tanganku, hai
anjing Belanda!" Setelah itu juga rebahlah keduanya ke tanah; Datuk
Meringgih karena kena peluru Samsulbahri, yang menembus
dada dan jantungnya dan Samsul bahri, karena kena parang
Datuk Meringgih kepalanya.
Tatkala diangkat Letnan Mas oleh serdadwrya, kelihatan di
antara mayat-mayat perusuh itu, dua mayat yang memakai serba
hitam yang seorang lehernya hampir putus, rupanya kena
kelewang, yang seorang lagi dada nya tembus kena bayonet.
Itulah mayat Pendekar Lima dan Pendekar Empat, yang beroleh
hukuman daripada Yang Maha Kuasa, atas segala kejahatannya.
Dua hari kemudian daripada peperangan yang tersebut di atas
ini, kelihatanlah dalam rumah sakit di Padang, seorang opsir,
sedang tidur di atas sebuah ranja ng, berselimutkan kain selimut
putih. Rupanya ia sakit keras, ka rena hampir seluruh kepalanya
terbungkus perban putih, sehingga hanya mukanya saja yang
tampak, yang pucat warnanya. Deka t tempat tidur ini, berdirilah
seorang penjaga, yang sedang mengatur gelas-gelas obat,
perlahan-lahan; rupanya ia takut, kalau-kalau si sakit ini terkejut
bangun. Ketika itu masuklah seorang dokter Belanda, hendak
memeriksa keadaan si sakit ini.
Mendengar bunyi sepatu dokter si sakit membuka matanya
dan memandang kepada dokter. Di s itu nyata, mata si sakit telah
kabur warnanya dan pemandangannya telah lemah. Dokter yang
masuk ini segera memberi salam, lalu bertanya, "Apa kabar""
"Perasaan badan ada baik sedikit, walaupun sakit kepala
belum hilang benar," jawab si sakit perlahan-lahan. .
"Memang, sakit kepala itu dalain dua tiga hari ini barangkali
masih ada," lalu dokter memeriksa kulit muda mata dan jalan
darah pada pangkal lengan si sakit. "Berapa panas badannya pagi
ini"" tanya dokter kepada penjaga.
"Ada hamba tuliskan," jawab penjaga, seraya mengunjukkan
sehelai daftar. Setelah doukter melihat daftar ini, terdiamlah ia
sejurus. "Tuan Dokter," kata si sakit pula dengan tiba-tiba.
"Walaupun hamba katakan tadi, perasaan badan hamba senang
sedikit, tetapi kesenangan itu, pada sangka ham
ba, bukan kesenangan karena akan sembuh. Jangan marah, bila hamba
katakan, bahwa hamba tiada lama lagi akan hidup di atas dunia
ini; karena demikianlah perasaan hamba. Janganlah Tuan
sembunyikan pendapatan Tuan kepada hamba, karena misalnya
Tuan kuatir, hamba takut mati. Sekali-kali tidak. Kematian telah
lama hamba ingini dan telah hamba cari di mana-mana. Baru
sekarang hamba peroleh. Syukurlah!
Lagi pula tadi malam hamba telah dikunjungi oleh kekasih
dan ibu hamba, yang telah lama meninggalkan dunia ini. Mereka
berjanji hari ini akan datang kembali menjemput hamba supaya
dapat pergi bersama-sama ke tempat mereka."
Di sini berhentilah si sakit berkata-kata sejurus lamanya
karena percakapan ini rupanya sangat melemahkannya. Kepala-nya dipegangnya, sebagai ia berasa sakit di sana.
"Jika berasa lelah, lebih baik jangan berkata-kata dahulu."
kata dokter. Setelah berdiam sejurus si sakit menggagahi dirinya, untuk
meneruskan perkataannya, "Tak apa-apa Tuan Dokter. Jangan
kuatir! Sakit kepala hamba datang pula sedikit. Sebelum hamba
meninggalkan dunia ini ada suatu permintaan hamba kepada
Tuan." "Permiritaan apa itu" Katakanlah! Jika dapat, tentu akan
hamba kabulkan." sahut dokter.
"Hamba ingin benar hendak be rtemu dengan Sutan Mahmud,
Penghulu di Padang ini. Bolehkah"" tanya si sakit perlahan-lahan
putus-putus suaranya. "Tentu sekali boleh." jawab dokter, walaupun ia tiada
mengerti apakah sebabnya seorang opsir tentara, hendak ber-jumpa dengan seorang Melayu Pada ng. "Dengan segera ia akan
hamba minta datang kemari. Adakah lagi permintaan Tuan""
"Tidak. Hanya itu. Terima kasih!" jawab si sakit.
"Baiklah," kata dokter pula, lalu ke luar, untuk menyuruh
panggil Sutan Mahmud. Setelah keluar dokter, si sakit tertidur kembali, sebagai
kelelahan karena be rkata-kata tadi.
Dua jam kemudian datanglah Sutan Mahmud ke rumah sakit
ini, lalu dibawa penjaga masuk bilik opsir tentara yang sakit tadi.
Tatkala dilihat Sutan Mahmud muka si sakit, sangatlah
terperanjat ia, karena rupa opsir ini tak ubah dengan rupa
anaknya Samsulbahri, yang tela h ineninggal dunia di Jakarta,
sepuluh tahun yang telah lalu.
Dengan tiada dapat ditahannya, berlinang-linang air matanya,
sebab terkenang nasib anaknya yang malang itu, yang telah
membunuh dirinya, karena putus asa. Sekali-kali tiada disangka-nya akan demikian untung anaknya yang sebiji mata itu.
Sebenarnya ia telah lama meny esal akan perbuatannya, yang
tergopoh-gopoh atas anaknya itu. Karena akan perbuatan
anaknya itu berhubung dengan bangsa dan pangkatnya yang
tinggi, diusirnya anaknya ini, sehingga istrinya yang hanya
seorang, mati karena kesediha n hati dan anaknya yang tunggal
mernbunuh diri, karena kedukaan. Setelah meninggal anaknya
ini dan setelah dipikirkannya benar-benar perkara ini, terasa
olehnya, bahwa kesalahan an aknya itu sebenarnya tiada
seberapa. Percintaannya kepada Nurbaya, tak dapat disalahkan; karena
sejak kecil ia bercampur gaul dengan anak sahabatnya ini,
sebagai seorang yang bersaudara kandung. Persangkaannya,
bahkan pengharapannya pun, Nurbaya akan menjadi istri anak-nya. Walaupun Nurbaya tiada berbangsa tinggi, tetapi tak
mengapa. Kecantikan parasnya, kepandaiannya dan tingkah
lakunya yang baik, telah cuku p untuk pengganti kerugian
kebangsawanan Padang. lstrinya, Ibu Samsu, bukan orang
berbangsa, tetapi tiada menjadi alangan apa-apa bagi kehidupan
bersuami-istri. Memang patut Samsu bersanding dengan
Nurbaya, seorang cantik, seorang tangkas. Demikian kenang-kenangan Sutan Mahmud.
Maka terbayanglah di matanya pada waktu itu, anaknya
duduk bersuka-sukaan dengan Nurbaya, sebagai orang yang
bersuami-istri. Samsu sebagai seorang dokter dan Nurbaya,
sedang memangku seorang anak laki-laki, cucunya.
"Ah, kalau tak ada Datuk Meringgih jahanam itu, niscaya
kenang-kenanganku ini buka n cita-cita, melainkan
sebenarnyalah. Dan jika tiada karena bangsa dan pangkatku yang
tinggi, barangkali tiada sampai kuusir anakku yang sebiji mata.
Sekarang apa hendak dikata" Ka rena keduanya tak ada di
dunia ini lagi. Semoga di akhirat dapat disampaikannya sekalian
cita-cita dan hasrat hat inya, yang tiada diperolehnya di dunia
ini." Di situ bercucuran pula air matanya, jatuh berderai dengan
tiada dirasainya. Sesungguhnya demikianlah, hati Sutan Mahmud. Sesal
dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, kata pepatah.
Walaupun engkau menjerit sampai ke langit sekalipun,
kesalahanmu ini tak dapat diperbaiki lagi. Jika tiada tergesa-gesa
engkau menjatuhkan hukurnan atas anakmu waktu itu,
barangkali tiada terjadi kesengsaraan dan kesedihan ini dan
dapatlah kaucapai cita-citamu tadi. Tetapi karena engkau masih
sangat terikat oleh kemegahan pangkat dan bangsamu, jadilah
demikian kesudahannya. Tentu; mulut terdorong, mas padahannya; hukumanmu
terdorong kepada anakmu, keseng saraan dan kematian beberapa
orang balasnya. "Terlebih besar dosamu atas kesalahanmu ini,
karena engkau seorang kepala negeri, ibu-bapa, tempat meminta,
tempat bertanya, tempat berlindung kepanasan, tempat berteduh
kelrujanan, bagi anak buahmu. Engkaulah yang harus
menyelesaikan yang kusut, memperjemih yang keruh dan
memperbaiki yang rusak. Bila engkau kepada anakmu sendiri telah menjatuhkan
hukuman yang seberat itu, hanya karena engkau bersangka harus
berbuat sedemikian, karena kebangsawananmu dan pangkatmu
yang tinggi, betapakah engka u akan melakukan kewajibaumu
dengan seadil-adilnya dan sebaik-baiknya kepada oiang lain''
fiap-tiap kesalahan itu memang ada hukumannya dan inilah
hukuman yang telah dijatuhkan Tuhan ke atas dirimu. Mudah-mudahan dapatlah engkau memetik ibaratnya!
Sementara Sutan Mahmud berdiri termenung memikirkari
untung nasib anaknya yang malang dan merindukannya serta
menyesal akan perbuatan yang tergesa-gesa, menunggu si sakit
bangun, masuklah dokter tadi ke dalam bilik itu dan karena itu si
sakit terjaga daripada tidurnya, lalu membuka matanya dan
menoleh ke kanan ke kiri. Tatkala dililiatnya Sutan Mahmud,
lalu diperhatikannya Penghulu ini sejurus lamanya. Kemudian
ditutupnya pula matanya dan dilambainya Penghulu ini dengan
tangannya, supaya datang mendekatinya. Dokter dan penjaga
berdiri agak jauh sedikit, kare na tiada hendak mendengarkan
percakapan yang mungkin tiada boleh didengar orang lain.
Setelah hampirlah Nenohulu Suta n Mahmud, lalu berkatalah
si sakit perlahan-lahan dengan putus-putus suaranya, "Tuanku
Penghulu! Hamba minta datang Tuanku kemari, karena adalah
suatu rahasia yang hendak hamba bukakan, sebelum hamba
berpulang. Rahasia itu ialah permintaan anak Tuanku sendiri,
Samsulbahri." "Anak hamba Samsulbahri yang telah meninggal dunia di
Jakarta"" tanya Sutan Mahmud dengan terkejut.
"Ya, Samsu itu, yang tiada jadi mati," sahut si sakit.
"Samsu tiada mati. Anak hamba tiada mati"" tanya Sutan
Mahmud dengan tergesa-gesa dan amat herannya.
"Benar," sahut si sakit.
"Jadi ia masih hidup sekarang" Di manakah ia waktu ini" ...
Tetapi betapakah Tuan tahu akan hal ini."
"Sebab hamba waktu itu ada dalam rumah sakit, tempat ia
diobati," lalu diceritakanlah oleh si sakit tentang penembakan
diri Samsu di Jakarta dan apa seb abnya ia dikatakan telah mati.
Kemudian ia masuk tentara, untuk mencari kematian, tetapi tiada
diperolehnya juga. Akhirnya ia disuruh ke Padang untuk
memadamkan huru-hara belasting.
"Jika demikian, ia ada di Padang sekarang ini." kata Sutan
Mahmud dan mukanya bercahaya karena kesukaan.
"Benar ia datang bersama-sama hamba kemari dan berperang
pun bersama-sama hamba pula. Pangkatnya Letnan dan namanya
Mas, yaitu kebalikan namanya yang sebenarnya. Sam."
Karena bercakap-cakap ini rupanya si sakit bertambah lelah
sehingga berkata pun hampir tak dapat. Mukanya semakin pucat
dan acap kali ia memegaug kepalanya, karena kesakitan.
Setelah berhenti sejurus, berkata pula ia sambil mengangkat
kepalanya sedikit, sebagai kuatir, suaranya tiada akan terdengar
oleh Sutan Mahmud. "Inilah pesannya: bila . . . ia ... mati minta ... dikuburkan ...
antara ... ibunya ... dan ... Nurbaya ... Allahu Akbar!"
Tatkala habis perkataan ini, habislah pula napas si sakit, lalu
rebah ke tempat tidurnya dan be rpulanglah ia dengan tenangnya.
Walaupun kamatian si sakit ini amat tenang dan mudah
rupanya, karena muka maya
tnya tiada berubah, sebagai orang
yang tidur biasa saja, sedang pada bibirnya masih berbekas
senyum, seolah-olah suka meninggalkan dunia yang fana ini,
tetapi Sutan Mahmud sangat terperanjat, melihat kematian yang
tiba-tiba ini. Setelah ia berkomat-kamit membaca doa sejurus
lamanya, seraya bertanya, "Kenalkah Tuan, Letnan Mas yang
datang dari Jakarta, bersama-sama Tuan yang baru meninggal
ini" Di manakah ia sekarang ini""
"Letnan Mas"" tanya dokter dengan heran.
"Ya, Letnan Mas, yang datang kemari untuk berperang
dengan perusuh di Padang in i." kata Sutan Mahmud pula.
Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tiada lain, melainkan inilah dia, yang baru meninggal dunia
ini." jawab dokter. Tatkala Sutan Mahmud mendengar perkataan dokter ini,
terpekiklah ia, lalu memeluk dan mencium mayat itu, sambil
menangis tersedu-sedu; karena sekarang nyatalah olehnya, si
sakit yang baru meninggal itu, tiada lain melainkan anaknya
sendiri, Samsulbahri, yang tela h sepuluh tahun dirindu-rindukan-
nya, sekarang meninggal di hada pannya, dengan tiada dikenal-nya.
"Aduhai Anakku, biji mataku!! Mengapakah tiada dikatakan
lebih dahulu, sehingga ayahda tiada tahu akan anak sendiri.
Memang sejak terpandang mukamu tadi, ayanda telah syak
wasangka; tetapi tiada berani membenarkan persangkaan itu,
karena mustahil rasanya. Waha i! Mengapakah Ananda tiada
hendak mengaku terus terang, me lainkan menyembunyikan diri,
sampai ananda tak ada lagi. Barangkali ananda masih marah
kepada ayanda, sehingga tiada hendak mengaku bapa lagi
kepada ayanda. Telah lama ayanda rasai dan ketahui kesalahan ayanda,
karena telah menjatuhkan hukuman yang berat, ke atas diri
Ananda, dengart tiada usul periksa yang sebaik-baiknya,
sehingga sesal yang tak kunjung pu tus, telah menggoda ayanda.
Oleh sebab itu, beringin benar ayanda beroleh maaf dari Ananda,
dunia dan akhirat. Aduhai Ananda! Mengapakah tatkala hidup dalam sepuluh
tahun, tiada hendak kembali kepa da ayanda, sehingga ayanda
hanya diberi kesempatan sejurus lamanya, untuk bercakap-cakap
dengan Ananda, yang tiada ayanda kenal lagi, pada penghabisan
umur Ananda" Kesalahan ayanda kepada Ananda memanglah besar, tetapi
patut juga Ananda maklumi kekurangan orang tua, yang terikat
oleh adat istiadat negerinya, seb agai ayanda ini. Sekarang apalah
gunanya ayanda hidup lagi, seorang diri di atas dunia ini, karena
Ananda tak ada lagi; sedang bund a Ananda pun telah lama pula
meninggalkan ayanda. Bawalah ayanda bersama-sama, supaya
dapat pula kita bercampur gaul, sebagai dahulu. Janganlah
ayanda ditinggalkan seorang diri, di atas dunia ini!
"Ya Allah, ya Tuhanku! Lekaslah cabut pula nyawaku ini,
supaya dapat bertemu kembali dengan anak-istriku!"
Maka pingsanlah Sutan Mahmud, tiada khabarkan dirinya
lagi. Pada keesokan harinya diusunglah sebuah jenazah dari rumah
Sutan Mahmud, Penghulu di Padang, yang dipikul oleh empat
orang Kepala Kampung. Jenazah ini, sebagai kebiasaan di
Padang, ditutup dengan kain putih, yang penuh ditaburi bunga-bungaan. Sebelah ke muka, di tengah-tengah dan sebelah ke
belakang, jenazah itu dipayungi dengan payung kuning, tanda
yang meninggal itu seorang bangsawan tinggi. Di muka jenazah,
berjalan dua orang muda. Yang membakar setanggi dan gaharu
dalam perasapan yang ditaruh di atas dulang perak. Yang
seorang lagi membawa bunga-bungaan dan air cendana. Di kiri
kanan jenazah ini, berjalan be berapa pemuda bangsawan, yang
membawa tombak dan perisai, pedang dan panji-panji, dan lain-
lainnya, yang biasa dibawa dala m upacara penguburan anak raja-raja. Hanya gendang dan serunailah yang tiada kedengaran
bunyinya, karena tiada dibenarkan oleh ulama-ulama.
Di belakang jenazah ini, kelihatan haji-haji, syekh-syekh,
ulama-ulama, yang tiada putus- putusnya zikir dan membaca doa.
Di belakang mereka, berjalan pembesar, pegawai-pegawai,
Kepala-Kepala, orang tua-tua, cerdik pandai, kaum bangsawan
dan rakyat biasa. Di belakang itu pula, berbaris serdadu yang
memakai pakaian kebesaran.
Mulanya akan disertakan musik dan penembakan bedil,
menurut aturan tentara, tetapi in i pun tiada dapat dibenarkan oleh
kaum ulama. Sebagai penutup, kelihatan kend
araan pembesar-pembesar kota Padang, dari sekalian bangsa yang berjejer
sampai jauh ke belakang. Jenazah siapakah itu" Itulah jen azah Samsulbahri, anak Sutan
Mahmud, Penghulu Padang yang terkenal, sebagai seorang
bangsawan tinggi, yang dihormati dan dimuliakan orang. Bagi
sahabat kenalannya, Samsulbahri adalah seorang yang baik budi,
peramah pengasih penyayang, penolong dengan tiada menilik
rupa dan bangsa. Dalam tentara ialah Letnan Mas, yang masyhur
gagah beraninya dan telah menolong Pemerintah dalam beberapa
kesukaran peperangan. Itulah sebabnya, tatkala hidupnya
dadanya dihiasi beberapa bintang. Bagi kaum keluarganya, ialah
seorang anak yang disayangi.
Di antara orang yang banyak, yang mengantarkan jenazah
ini, kelihatan seorang tua bungkuk, yang telah berambut putih,
berjalan perlahan-lahan di sisi jenazah, sebentar-sebentar
meminta ikut mendagang jenazah ini, dengan air matanya yang
tergenang di pelupuk matanya, seraya berkata seorang diri, "Ya,
inilah penanggungan orang yang dikurniai Tuhan umur yang
panjang. Segala yang muda-m uda, yang mendahuluinya, harus
diantarkannya seorang ke dalam kubur, sampai datang giliran-nya, ia sendiri diantarkan orang ke makamnya.
"Alangkah beratnya bagi mereka yang harus melihat kekasih-nya dilahirkan dan diambil kembali, oleh Yang Maha Kuasa.
Ibunya kulihat dilahirkan, dan sepuluh tahun yang lalu, kuantar-kan ia kekuburan. Anaknya ini, kulihat pula dilahirkan. Sekarang
harus pula kuantarkan ia ke makamnya. Tetapi aku sendiri,
bilakah datang giliranku" Dan siapakah yang akan mengantarkan
aku ke kuburku"" Demikianlah piki ran orang tua itu, yakni kusir
Ali yang sangat terikat hatinya kepada Samsulbahri dan ibunya.
Di antara perempuan, yang banyak pula pergi mengantarkan,
kelihatan Sitti Alirnah dengan ibu-bapanya, karena teringat akan
Sitti Nurbaya, kekasih yang meninggal ini.
Setelah jenazah Samsulbahr i dibawa ke mesjid dan
disembahyangkan di sana, barulah dibawa ke Gunung Padang,
tempat makam yang diminta oleh yang meninggal. Setelah
sampai ke sana diturunkanlah jenazah Samsulbahri ke dalam
kubur, yang letaknya antara kubur ibunya dan Sitti Nurbaya,
kekasihnya, sebagaimana permintaannya, pada penghabisan
umurnya, lalu diernbangkan dan ditimbunlah liang kubur itu.
Kemudian dibacakan talkin.
Sekalian pembesar Belanda dan bangsa lain turut menimbun
kubur itu dengan sekepal tanah dan akhirnya disiramilah kubur
itu dengan air cendana dan disebarkanlah bunga-bungaan ke
atasnya. Setelah itu berpidatolah seorang pembesar tentara,
memperingati kegagahan dan kesetiaan yang meninggal, kepada
Pemerintah. Ialah anak negeri yang mula-mula dapat mencapai
pangkat yang setinggi itu dalam golongan tentara. Kemudian
diucapkannya, supaya arwa h yang meninggal mendapat
kesentosaan dan kesejahteraan di alam yang baka.
Setelah Sutan Mahmud menguca pkan terima kasih kepada
pembesar ini dan kepada sekalian orang yang telah datang
memperlihatkan kesedihan hatinya, dengan bersusah payah, ikut
serta menyelamatkan jenazah anaknya dan setelah dimintakan-nya maaf atas sekalian dosa kesalahan anaknya ini, yang dapat
memberatinya di dalam kuburnya dan setelah dimintakannya
pula doa sekalian yang hadir kepada Allah taala, untuk
keselamatan Samsulbahri, pulanglah sekaliannya ke rumah
masing-masing. Hanya Sutan Mahmud dengan beberapa hajilah
yang masih tinggal mengaji di sana. Kemudian mereka ini pun
pulang pula dan tinggallah Suta n Mahmud dengan kusir Ali,
termenung duduk di atas sebuah ba tu. Rupanya Sutan Mahmud
terlalu berdukacita karena ke matian anaknya ini dan amat
menyesal akan perbuatannya yang telah lalu.
Setelah malamlah hari, berjal anlah kedua mereka itu dari
sana dan sunyilah di makam itu. Hanya Samsulbahrilah yang
tinggal seorang diri, di tempatnya yang awal dan akhir ini.
Insaflah insan akan dirimu, demi kianlah juga akhirnya akan
jadimu! Dua bulan kemudian, kelihatan pada suatu hari, dua orang
muda naik bendi menuju ke Muara. Walaupun pakaian mereka
cara Eropah, tetapi kopiahnya yang hitam itu menyatakan, bahwa
mereka bangsa Bumiputra, anak negeri di sana.
Seorang daripada mereka, berp
angkat dokter dan seorang
lagi, berpangkat opseter. Keduanya memegang seikat bunga
dalam tangannya. Setelah sampai ke Muara, lalu mereka
menyeberang sungai Arau dan mendaki Gunung Padang. Tatkala
mereka tiba di tempat yang ditujunya, kelihatanlah di sana
olehnya, lima buah kubur sejejer berdekat-dekatan. Kelima
kubur itu sama besar dan sama be ntuknya. Pada tiap-tiap kepala
kubur ini, ada batu nisan dari marmer, yang bertulis dengan
huruf air mas. Di kubur yang pertama tertulis "Inilah kubur
Baginda Sulaiman, meninggal pada tanggal 5 Ramadan, tahun
1315" Pada nisan yang kedua tertulis "Inilah kubur Siti Nurbaya,
binti Baginda Sulaiman meninggal pada tanggal 5 Zulhidjdjah
tahun 1315". Pada nisan yang ketiga tertulis "Inilah kubur Samsulbahri,
anak Sutan Mahmud, Penghulu Padang, meninggal tanggal 5
Syafar, tahun 1326".
Pada nisan yang keempat tertulis, "Inilah kubur Sitti
Maryam, istri Sutan Mahmud, Penghulu Padang, meninggal pada
tanggal 5 Zulhijah 1315."
Pada nisan yang kelima tertulis "Inilah kubur Sutan Mahmud,
Penghulu Padang, meninggal pada tanggal 8 Rabiulawal, tahun
1326". Kedua anak muda tadi, lalu menaburkan bunga yang
dibawanya ke atas kelima kubur ini, terlebih-lebih ke atas kubur
yang kedua dan ketiga, sedang air matanya berlinang-linang.
"Bakhtiar!" kata dokter itu. "Adakah engkau sangka, tatkala
kira-kira sebelas tahun yang lalu, berjalan-jalan dengan Samsu
dan Nurbaya kemari, kita pada waktu ini akan melawat kuburnya
di sini" Masihkah engkau mengingat waktu itu, tiga bulan
sebelum kita berangkat ke Jakarta""
"Sesungguhnya, Arifin," jawab opseter, "tidak kusangka
sekali-kali. Tetapi apa hendak di kata" Karena manusia itu tiada
dapat berbuat sekehendak hatinya, melainkan haruslah menepati
segala janji, yang telah diperbuat. Meskipun demikian, kelima
mereka ini telah nyata dan tetap tempatnya, berdekat-dekatan
kelimanya. Akan tetapi kita ini, belum tentu lagi, entah di mana,
entah dengan siapa."
"Tetapi apakah sebabnya Engku Sutan Mahmud meninggal
dengan tiba-tiba" Apakah sakitnya"" tanya Arifin pula.
"Rindu akan anak-istrinya, menyesal akan perbuatannya,"
jawab Bakhtiar. "Kasihan," sahut Arifin.
Setelah disuruh mereka bebe rapa fakir mengaji di sana,
kembalilah keduanya pulang ke rumahnya. Hanya yang telah
berkubur itu jugalah yang tinggal di sana, untuk selama-lamanya.
TAMAT tamat Duri Bunga Ju 4 Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Tugas Tugas Hercules 5