Pencarian

Siti Nurbaya 6

Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli Bagian 6


lain kehidupan kita melainkan dari rumah ke dapur dan dari
dapur kembali pula ke rumah.
Apabila telah berumur tujuh delapan tahun, mulailah
dikurung sebagai burung, tiada diberi melihat langit dan bumi,
sehingga tiadalah tahu apa yang terjadi sekeliling kita.
Sedangkan pakaian dun makanan, tiada diindahkan, apalagi
kehendak dan kesukaan hati. Sementara itu kita disuruh belajar
memasak, menjahit, menjaga rumah tangga, sekaliannya
pekerjaan yang tiada dapat me nambah kekuatan dan menajam-kan pikiran.
Tetapi anak laki-laki waktu itu, lain
daripada disuruh ke sekolah dan ke langgar, disuruli pula belajar menari, memencak,
berenang, berkuda dan lain-lainnya, untuk menguatkan tubuh
dan menajamkan pikirannya. Jadi sekalian pelajaran dan
pekerjaan itu pada laki-laki selalu menambah kemauan, kekuatan
dan menajamkan pikirannya sedang pada perempuan melemah-kan tubuhnya dun tiada berapa menambah kepandaiannya.
Jadi pekerjaan dan kewajiban kita pula, ialah mengandung
dan menyusukan anak; kepada anak, memelihara, membesarkan
dan mengajari dia; kepada su ami, menjaga rumah tangga meng-atur makanan, pakaian dan lain -lainnya dan kepada ibu-bapa
serta kaum keluarga menurut sebarang kehendaknya. Sekalian
itupun tiada pula menambah kekuatan dan akal kita, sebagai
pada laki-laki. Pekerjaan, pemeliharaan dan kewajiban ini, bukan kita yang
menghendaki; kita terpaksa harus menjauhkannya. Dan untuk
siapa" Untuk laki-laki dengan anaknya. Demikian pula tentang
sifat-sifat perempuan itu, bukan ia yang memintanya. Adalah
patut laki-laki menghinakan dia, sebab kita beroleh sifat-sifat
ini" Pada pikiranku, tentang ke mauan dan akal itu, bila kita
perempuan diberi pelajaran, pe meliharaan, makanan, pendeknya
sekaliannya sama benar-benar dengan laki-laki, tentulah kita tak
akan kalah dari laki-laki."
"Pikiranku pun demikian juga, Nur," jawab Alimah.
"Perbedaan itu adanya, hanya karena berlainan pemeliharaan,
pelajaran, kewajiban dan lain-lainnya."
"Sungguhpun begitu, banyak juga yang asalnya dari
kesalahan perempuan sendiri, maksudku kesalahan ibu. Karena
kurang pikirannya, banyak perbuatannya yang tidak baik. Misal-nya dilarangnya anak perempuannya pergi ke sekolah, sebab
takut anak itu menjadi jahat, karena pandai membaca dan
menulis, sehingga memberi malu. Pikiranku persangkaan ini
salah benar; karena hal itu, bergantung kepada, hati, serta tabiat
kelakuannya dan pelajaran yang diperolehnya. Bila cukup
kepandaian, luas pemandangan dan jauh pendengarannya, hingga
tahu ia membedakan yang baik dengan yang jahat, artinya dapat
ia menimbang buruk dan baik perbuatannya, tentulah tiada
mudah ia terjerumus ke dalam l ubang godaan laki-laki. Di mana
diperolehnya ilmu-ilmu itu, kalau tiada di sekolah"
Sebab itu, haruslah perempuan itu terpelajar, supaya terjauh
ia daripada bahaya, dan terp elihara anak suaminya dengan
sepertinya. Tentu saja kepandaiannya itu dapat juga diper-gunakannya untuk kejahatan. Itulah sebabnya perlu hati yang
baik dan pikiran sempurna. B ila perempuan itu memang tiada
baik tabiatnya atau sebab salah ajarannya, walaupun ia tak ber-kepandaian sekolah sekalipun, dapa t juga ia berbuat pekerjaan
jahat. Tak adalah perempuan ja hat, pada bangsa yang masih
bodoh"" "Jika dipikir dalam-dalam, nyatalah kita perempuan ini,
diperbuat sebagai anak tiri dan laki-laki sebagai anak kandung,
sebab sangat diperbedakan. Dan perempuan tiada pula diberi
tempat bergantung." kata Alimah.
"Memang," jawab Nurbaya, "dari Tuhan kita telah mendapat
alangan yaitu dalam hal mengandung dan menjaga anak,
sehingga tiada dapat melawan laki-laki, tentang apa pun; oleh
agama tiada pula disamakan dengan laki-laki, sebab laki-laki
diizinkan beristri sampai ernpat, tetapi perempuan, ke luar rumah
pun tak boleh; oleh suami dihina dan disia-siakan dan oleh ibu
bapa serta kaum kerabat, dipaksa menwut segala kehendak hati
mereka. Bangsa dan negeri pun tia da pula hendak menolong."
Di situ terhentilah Nurbay a berkata-kata, termenung
memikirkan hal dan nasib bangsanya perempuan.
"Ya seadil-adilnya, tentulah perempuan boleh pula bersuami
dua tiga, kalau laki-laki boleh beristri banyak," kata Alimah.
"Apa, perempuan bersuami banyak. Sedangkan melihat muka
laki-laki lain; tak boleh. Jika hendak ke luar rumah, haruslah
ditutup muka rapat-rapat, begitu pula bagian badan yang lain-lain. Sudah demikian, talak diserahkan pula kepada si laki-laki.
Mengapakah begitu" Mengapa la ki-laki saja yang boleh men-ceraikan dan mengawini perempuan, sesuka hatinya" Apakah
sebabnya maka perempuan tiada boleh berbuat begitu pula"
Perempuan sajakah yang boleh berbuat kesalahan dan menerima
hukuman dari laki-laki" Tiada
kah laki-laki itu boleh pula berbuat
kesalahan kepada istrinya"
Apabila dikatakan kelaliman ini kepada laki-laki, tentulah
mereka akan gelak tersenyum saja, karena pada sangkanya,
itulah yang seadil-adilnya. Bukankah laki-laki itu tuan
perempuan, dan perempuan itu hamba laki-laki" Tentu saja
mereka boleh berbuat sekehendak, hatinya kepada kita; disiksa,
dipukul dan didera dengan tiada diberi belanja yang cukup dan
rumah tangga yang baik; tiada pul a dilepaskan hati kita, tiada
diberi melihat permainan apa pun, yang boleh menyenangkan
hati dan meuambalt penglihatan dan tiada diizinkan pula men-dengar bunyi-bunyian yang menghilangkan kesusahan.
Jika salah sedikit, karena be lum tahu, bukan pelajaran atau
peringatan yang diperoleh, hanya maki dan nistalah yang
diterima; ada kalanya disertai pula oleh pukul dan terjang. Jika
terlambat menyediakan makanan at au pakaian, perkataan yang
hina tentulah kedengaran. Menjawab, sekali-kali tak boleh; apa
yang terasa di hati tak boleh dikeluarkan, harus disimpan saja
dalam dada. Kalau berani melawan, tentulah akan diusir sebagai
anjing. Jika lekas diceraikan, sudahlah, tetapi acip kali,
digantung tak bertali; tiada da n tiada pula dipulang-pulangi*)
sehingga segala maksud, jadi terhalang."
"Sungguhpun demikian, penanggungan itu belumlah
seberapa, jika dibandingkan dengan penanggunga n dipermadu-kan," kata Alimah. "Aku lebih suka dipukul, dikurung atau
dihinakan, daripa da dipermadukan."
"Tentu," jawab Nurbaya, "itulah sebabnya agaknya, engkau
sampai bercerai dengan suamimu."
"Memang," kata Alimah.
"Cobalah ceritakan, bagaimana a salnya perceraian itu!" kata
Nurbaya pula. "Asal mulanya, ialah asutan perempuannya dan maknya.
Kata mereka, aku yang mengasut suamiku, supaya ia benci
kepada mereka, sebab selama ia kawin dengan aku, mereka tiada
dapat berbelanja dari suamiku. Te tapi aku, sekali-kali tiada ber-buat demikian. Hanya ada aku minta kepada suamiku, supaya
*) dikunjung-kunjungi belanja rumah setiap hari, janga n sampai kurang, sebab orang
tuaku bukan hartawan. Mendengar permintaanku ini, diberikan-nya segala pendapatannya kepada ku. Dari uang itu, aku berikan
kepada ibunya sepuluh rupiah da n saudaranya lima belas rupiah
sebulan. Pada sangkaku, jika seked ar makan, cukuplah belanja
sekian itu. Tetapi rupanya kema uan mereka, seka lian pendapatan
suamiku harus diberikan kepada mereka, sebagai tatkala suamiku
belum kawin dengan aku. Mana boleh jadi, sebab orang telah bertambah, rumah telah
dua. Bukanlah telah diketahuinya, sebelum kami kawin, ayahku
bukan orang yang mampu; jadi tak dapat menerirna suamiku,
sebagai menerima anak-anak bangsawan di Padang ini; segala
disediakan dan diadakan, tinggal pulang saja lagi. Lagi pula,
suamiku bukan seorang yang berbangsa tingki. Meskipun
demikian, mula-mula ia hendak dijemput juga. Akan tetapi
tatkala ayahku, berkata, ia tiada beruang, sudilah ia sebagai
biasa, suka sama suka saja.
Sesungguhnya perkawinan itu, atas kemauan mentua dan ipar
perempuanku itulah. Tetapi tatk ala dilihat mereka, pemberian
suamiku berkurang kepadanya, bencilah mereka kepadaku dan
bibujuknyalah suamiku, supaya menceraikan aku.
Setelah dilihat mereka, suamiku tak mau saja menurut asutan
mereka dicarinyalah dukun ke sana kemari, supaya suamiku
benci kepadaku dan aku diceraikannya. Kabarnya mereka sampai
berniat hendak mengerjakan aku, supaya aku menjadi gila atau
mati. Tatkala maksudnya yang jahat ini, dengan jalan demikian,
tak sampai pula, dikawinkannyalah suamiku dengan seorang
perempuan hartawan. Ketika aku mendengar kabar ini, tak
dapatlah kurencanakan, bagaimana rasa hatiku; marah, sedih,
benci bercampur baur tak tentu. Mataku gelap, kepalaku pening,
pendengaran hilang dan perasaan pun lenyap. Bibir dan sekujur
badanku gemetar, hatiku berdeba r-debar, rasakan belah, segala
sendi anggota menjadi lemah, sehi ngga terjatuhlah aku ke tempat
tidurku beberapa lama"ya, tiada khabarkan diri.
Semalam-malam aku menangis, karena tak dapat menahan
hati. Tatkala aku bertemu pula dengan suamiku adalah sebagai
aku melihat binatang rasanya, aku melihat
dia: benci dan marah, datang berganti-ganti. Segala kesukaan dan kasih sayangku
kepadanya, tiada berasa lagi. Jika tiada disabarkan oleh ibuku,
niscaya kukenakanlah tanganku ke kepalanya; begitulah geram
hatiku. Berapa kali aku minta be rcerai, tetapi tiada dikabulkan-nya. Apa dayaku" Karena talak dalam tangannya. Jika aku yang
memegang talak tentulah tak sampai kulihat lagi mukanya,
kujatuhkan talak ttga sekali.
Sejak waktu itu, tiadalah kuindahkan lagi dia, baik tentang
makanannya atau pakaiannya; sebab hatiku telah berubah
kepadanya, tiada lurus lagi. Jika ada laki-laki lain, yang
menggodaku pada waktu itu, agaknya kuturutkan, karena sakit
hatiku. Hendak aku lari, takut , kalau-kalau digantungkan aku
selama-lamanya; tiada diceraikan dan tidak pula dibelanjai.
Path suatu hari tatkala aku berjalan jalan dengan makku,
pada, malarrtd hari di pasar Kampung Jawa, kelihatanlah olehku
suamiku itu, sedang berjalan-jalan bersuka-sukaan, membeli apa-apa dengan maduku itu. Ketika kulihat mereka itu, gelaplah
mataku, tak tahu lagi, apa yang kuperbuat. Kata ibuku, aku terus
memburu perempuan itu, lalu menghela rambut dan bajunya
sambil memaki-makinya, sehingga berkelahilah kami di tengah~
orang banyak, bergumul dan bertarik-tarikkan rambut. Setelah
kami dipisahkan orang, kuberi malulah suamiku itu dengan
perkataan yang keji-keji serta kukata kan ia bukan laki-laki, kalau
tiada berani menceraikan daku. Ituiah sebabnya maka di pasar itu
juga dijatuhkannya talak kepadaku.
Inilah akhirnya perkawinan yang telah menghabiskan
beberapa biaya dan menimbulka n beberapa susah payah, di-sebabkan perkara pemaduan."
"Jadi berapa lamanya kau be rcampur dengan suamimu itu""
tanya Nurbaya." "Tak sampai setahun," jawab Alimah. "Sejak itu aku ber-
sumpah, tiada hendak kawin lagi. Apakah gunanya kawin, jika
untuk menyusahkan hati, meru sakkan badan dan menghabiskan
harta" Maksudku kawin helidak mendapat kesenangan dan
menumpangkan diriku. Jika tiada dapat yang sedemikian, lebih
baik janda sebagai ini; bebas sebagai burung di udara, tiada siapa
dapat mengalangi barang sesuatu maksudku."
"Atau tinggal perawan selama-lamanya." kata Nurbaya.
"Itu tak boleh, karena terlalu aib, bagi kita; dikatakan tak
laku, sebab ada cacat," jawab Alimah.
"Aib itu karena diaibkan. Akan tetapi jika telah banyak yang
berbuat begitu, menjadi biasalah pula," kata Nurbaya.
"Barangkali," jawab Alimah.
Setelah Nurbaya termenung sejurus, berkata pula ia, seraya
mengeluh, "Memang demikianlah nasib kita perempuan. Adakah
akan berubah peraturan kita ini" Adakah kita akan dihargai oleh
laki-laki, kelak" Biar tak banyak, sekadar untuk yang perlu bagi
kehidupan kita saja pun, cukuplah. Aku tiada hendak meminta,
supaya perempuan disamakan benar-benar dengan laki-laki
dalam segala hal; tidak, karena aku mengerti juga, tentu tak
boleh jadi. Tetapi permintaanku, hendaknya laki-laki itu
memandang perempuan, sebagai adiknya, jika tak mau ia
memuliakan dan menghormati perempuannya, sebagai pada
bangsa Eropa. Janganlah dipandangnya kita sebagai hamba atau
suatu makhluk yang hina. Biarlah perempuan menuntut ilmu
yang berguna baginya, biarlah ia diizinkan melihat dan men-dengar segala ,yang boleh menambah pengetahuannya; biarlah ia
boleh mengeluarkan perasaan hatinya dan buah pikirannya,
supaya dapat bertukar-tukar pikira n, untuk menajamkan otaknya.
Dan berilah ia kuasa atas segala yang harus dikuasainya, agar
jangan sama ia dengan boneka yang bernyawa saja.
Perkara rumah tangga, pada pikiranku boleh dimisalkan
dengan sebuah negeri, yang diperi ntahi oleh dua orang wazir.
Kedua wazir ini hampir sama besar kekuasaannya. Seorang
wazir perkara dalam negeri, yaitu istri dan seorang pula wazir
perkara luar negeri, yaitu suami. Segala hal dalam negeri, yakni
perkara rumah tangga, penjagaan anak, makanan, perkakas-perkakas dan lain-lainnya, harus dikuasai oleh istri. Oleh sebab
itu harus perempuan faham dalarn se gala hal-hal ini. Perkara luar
negeri, jadi perkara mencari penghidupan, pekerjaan, per-lindungan dan lain-lain, harus dikuasai oleh laki-laki; perempuan
tak boleh campur dalam hal itu. Di dalam segala perkara yang
penting, yang mengenai kewajib an keduanya, tentulah kedua
wazir itu boleh campur-mencampuri kewajiban masing-masing
dan bermupakat kedua, supaya dapat yang sebaik-baiknya."
"Tetapi siapakah yang menjadi raja"" tanya Alimah.
"Raja tak ada; segala sesuatu boleh dimupakatkan berdua,
supaya bertambah-tambah baik negeri. Jika hendak dilebihkan
sedikit kekuasaan wazir luar negeri itu, biarlah, tak mengapa;
sebab pahamnya lebih tua, lebih-lebih dalam memutuskan
perkara yang sukar-sukar, asal jangan lupa ia, pangkatnya
sesungguhnya sama dengan wazir dala m negeri dan janganlah ia
sampai bersangka, bahwa ialah raja, jadi dapat berbuat se-kehendak hatinya kepada temannya itu.
Kedua mereka itu sebenarnya satu, hanya terjadi dari dua
badan. Wazir dalam negeri perlu dapat pertolongan dari wazir
luar negeri, dan kebalikannya, wazir luar negeri harus pula
dibantu oleh wazir dalam negeri, dalam pekerjaan dan
kewajibannya; jadi tolong-menolonglah keduanya, dalam segala
kesusahan dan kesenangan, sebagai kata pepatah: berat sama
dipikul, ringan sama dijinjing. Sekali-kali janganlah masing-masing bersangka, mereka dapat hidup sendiri-sendiri, karena
pekerjaan dan kekuasaannya ya ng berlain-lainan itu.
Sekalian penghasilan laki-laki atau perempuan, tak boleh
disembunyi-sembunyikan; baik dengan sebenar-benarnya
dinyatakan, supaya dapat dikumpulkan jadi satu. Dari jumlah
hasil ini, diberikan sebagian kepada perempuan, untuk belanja
rumah tangga, makanan dan lain-lain sebagainya; sebagian pula
kepada laki-laki, untuk biaya di luar rumah. Jika ada kelebihan,
simpanlah di atas nama berdua atau di atas nama anak. Jika laki-
laki kurang percaya kepada perempuan, sebetulnya tak boleh
laki-laki demikian, sebab laki-istri itu harus percaya-mem-percayai dan harus berhati sama lurus lebih baik janganlah
dicampurkan perkara keuangan itu. Tetapi kalau misalnya pada
sangka laki-laki, istrinya kur ang pandai menjalankan uang
belanja atau pada sangka si pe rempuan, suaminya sangat boros,
tentulah mereka boleh campur-mencampuri tugas dalam perkara
keuangan ini. Lain daripada itu, haruslah masing-masing selalu mencari


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akal, untuk menyenangkan temannya dan selalu menjaga, supaya
jangan sampai sakit menyakiti hati. Jika tumbuh silang selisih,
janganlah masing-masing hendak bera ja di hati dan bersutan di
mata sendiri-sendiri saja, karena jika demikian, menjadi kusutlah
penghidupan. Jika terbit marah, tahanlah hati, jangan ber"kata-kata atau berbuat apa-apa me lainkan dinginkanlah darah yang
panas itu dahulu, supaya ja ngan berbuat atau mengatakan
sesuatu, dalam marah; karena hal itu boleh mendatangkan sesal
yang tak habis kemudian hari. Kalau marah tak hendak hilang,
bawalah tidur atau berjalan-j alan. Setelah habis marah dan
pikiran yang baik timbul pula, bicarakanlah pertikaian itu dengan
sabar bersama-sama, supaya menda pat kebenaran. Tak jua dapat
diputuskan, barulah dibawa kepa da orang tua atau guru, minta
diselesaikan; karena biasanya, mereka banyak mempunyai
pendapat tentang hal ini. Kalau sudah demikian, tak dapat jua
diselesaikan kekusutan itu baiklah bercerai keduanya. Apa boleh
buat. Daripada bercampur dalam neraka, lebih baik bercerai
dalam surga. Tetapi bercerai itu hendaklah dengan baik, jangan
sampai menaruh dendam kesumat. Tatkala kawin dengan baik,
bercerai pun dengan baik pula. Siapa tahu, barangkali jodoh
masih ada: jadi mudah kembali. Biarpun telah habis sekalipun
jodoh, apako gunanya bekas suami atau istri itu dipandang
se,bagai musuh" Karena kita telah bercampur beberapa lamanya;
menjadi satu dengan dia. Bukankah lebih baik ia dipandang
sebagai saudara" Sedangkan hewan yang telah dipelihara, lagi
tak dapat dilupakan dalam sekej ap mata, mengapakah manusia,
yang terkadang-kadang telah terikat kepada kita dengan tali
anak, diperbuat musuh"
Berselisih bermaki-makian, sampai terbuka rahasia yang
penting-penting, berteriak-teriak, sampai gempar orang sebelah-menyebelah, berpukul-pukulan, sampai berluka-lukaan atau cara
lain yang semacam itu bukan saja tak berguna, tetapi menyata-kan kita bu
kan orang yang betertib sopan dan tak tahu peraturan
yang baik. Lagi pula ia boleh mendatangkan, bahaya kepada
badan sendiri. Bukankah lebih baik, kalau hendak berselisilr,
masuk berdua ke dalam bilik, tutup pintu, lalu bicarakan atau
keluarkan apa yang terasa dalam hati, perlahan-lahan, supaya
jangan diketahui orang. Apakah gunanya perselisilran kita,
diperlihatkan kepada orang lain , yang tiada bersangkut paut
dengan hal itu; apalagi karena tiada berapa lama sesudah itu, kita
akaii berdamai pula" Pada rasa hatiku, perkara yang sedemikian,
masuk rahasia rumah tangga kita ; tak ada faedahnya diketahui
orang lain. Lagi pula aib rasanya seperti kelakuan anak kecil,
sebentar berkelahi, sebentar berbai k. Lihatlah anak-anak! Tatkala
berkelahi, bermaki-makian, berpukul-pukulan, seakan-akan
hendak berbunuh-bunuhan rupanya, tetapi sejurus kemudian
berbaik pula, bermain-main, bers ama-sama, sebagai orang yang
berkasih-kasihan. Sedangkan pada anak-anak telah ganjil
rasanya kelakuan yang sedemikian, istimewa pula pada orang
yang telah cukup umurnya.
Perselisilian yang kecil-kecil, terkadang-kadang memang tak
dapat dihindarkan. Tetapi tak mengapa; itulah tanda bercampur
dua barang yang hidup. Sedangkan senduk dengan periuk, ada
kalanya lagi berlaga, kata orang; apa pula manusia, yang
pikirannya tiada selamanya tetap. Dan acap kali perselisihan itu
sebagai garam, menyedapkan makanan; sebab lebih besai
perselisihan, lebih nikmat pula perdamaiannya."
Sedang mereka bercakap-cakap itu, kedengaranlah dari jauh,
tukang jualan kue berteriak, "Eeee bipang, kue kerambil, kue
kacang, wajik lemang, enak-enak eeeii! ... Eee bipang!"
"Hai, telah berapa kali aku de ngar tukang kue itu berteriak-teriak; rupanya sudah ada pula orang berjual kue-kue, pada
malam hari di sini," kata Nurbaya, yang telah mulai lelah ber-kata-kata sedang perutnya mulai merasa lapar pula.
"Benar rupanya; tetapi baru semalam ini kudengar suara itu.
Biasanya tiada kemari jalannya, sebab di sini sunyi. Barangkali
ia sesat," jawab Alimah.
"Mari kita panggil ia, Lim! Barangkali enak-enak kuenya,"
kata Nurbaya pula. "Ah, apa gunanya" Jika engka u hendak makan kue-kue, di
lemari ada, aku sediakan untuk jamu yang datang. Aku
sesungguhnya kurang suka makan kue -kue yang dibeli di jalan
raya, sebab tak tahu, siapa yang membuatnya dan biasanya
barang dagangan itu, tiada diindahkan amat memasaknya;
terkadang-kadang kotor," jawab Alirnah.
"Ah, masakan kotor! Aku di kampung Jawa Dalam, acap kali
membeli kue-kue itu dengan Sams u. Kami makan bersama-sama
dalarn kebun: belum pernah kedapatan yang kotor. Alangkah
senang hatinya, bila ia ada bersama-sama dengan kita sekarang
ini! Marilah kita beli, nanti be rtambah-tambah jauh ia," kata
Nurbaya seraya menarik tangan saudaranya, mengajaknya
keluar, supaya dapat memanggil tukang kue itu.
"Bipang, bawa kemari!" seru Nurbaya.
Setelah hainpir tukang kue itu, bertanyalah Alimah, "Kue
dari mana ini""
"Kue Mak Sati," jawab si penjual.
"Mak Sati di Kampung Jawa"" tanya Nurbaya.
"Saya," jawab tukang kue itu.
"Mengapa belum pernah kulihat engkau di Kampung Jawa""
tanya Nurbaya pula. "Tukang kuenya yang seorang lagi acap kali
berjaja di Kampung Jawa Dalam. Aku kenal benar padanya
Amat namanya, bukan""
"Benar. la berjaja di Kampung Jawa Dalam, hamba di sini,"
jawab tukang kue itu. "Tetapi apa sebabnya, baru sekarang ini, kudengar suaramu"
Selama ini, di mana engkau"" tanya Alimah.
"Hamba baru datang dari Padang Darat," sahut tukang kue
itu, sambil membuka tempat kue nya, akan memperlihatkan
jualannya. "Sebab hamba belum dapat pekerjaan yang baik,
menjadi tukang kuelah hamba sementara."
"Di mana negerimu," tanya Nu rbaya, sambil memeriksa kue-kue itu.
"Di Payakumbuh," jawab tukang kue.
"Kue wajik ini tak ada yang baru"" tanya Nurbaya.
"Tak ada," jawab tukang kue. "Akan tetapi jika Orang Kaya
suka makan lemang bergula, ada yang masih panas."
"Mana"" tanya Nurbaya.
"Ini," jawab tukang kue, seraya membuka tempat kue yang
sebuah lagi dan memilih beberapa lemang yang masih hangaf,
lalu ditunjukkannya kepada Nurbaya.
"Baik, berilah empat buah
lemang itu!" kata Nurbaya pula.
"Apa gunanya banyak-banyak, Nur" Aku sedang tak enak
makan sekarang, nasi pun tiada habis."
Tatkala ifu mengerlinglah tukang kue dengan sudut matanya
kepada Alimah. Jika kelihatan oleh Alimah sudut mata ini,
tentulah nyata kepadanya, tukang kue itu marah rupanya,
mendengar perkataannya ini. Tetapi Alimah tiada melihat
kepadanya dan Nurbaya sedang asyik memilih kue-kue yang
enak-enak. Setelah diambil Nurbaya bebera pa kue yang lain, dibayarnya-lah harga makanan itu, lalu bera ngkatlah tukang kue itu, berjalan
cepat-cepat ke luar pekarangan.
Kedua perempuan muda itu pun pergilah duduk ke serambi
muka, lalu bercakap-cakap pula, sedang Nurbaya membuka
sebuah lemang akan dimakannya.
"Mengapa tiada terdengar lagi suara tukang kue tadi"" tanya
Alimah. "Dipanggil orang yang di rumah muka agaknya," jawab
Nurbaya. "Makanlah kue-kue ini!"
"Tadi sudah kukatakan kepadamu, aku telah beberapa hari
tak enak makan. Berilah wajik itu sebuah! Aku coba-coba."
"Jangan begitu, Lim! Barangkali sekali inilah lagi kita akan
makan bersama-sama. Bila aku telah pergi pula ke Jakarta, tentu
susah kita akan bertemu kembali, sebab Samsu rupanya tak
hendak kembali lagi ke Padang ini. Ia hendak tinggal selama-lamanya di tanah Jawa. Bila aku telah ada di sana, is hendak
menjual segala hartaku yang masih ada di sini, untuk pembeli
rumah di sana. Dan bila aku telah senang kelak, kumintalah
engkau datang. Maukah engkau, Lim"" tanya Nurbaya, sambil
memakan lemang yang telah dikupasnya itu.
"Tentu mau, sebab aku pun ingin hendak melihat tanah Jawa;
lebih-lebih kola Jakarta."
"Hai, mengapakah lemang ini pahit gulanya"" tanya
Nurbaya. "Barangkali gula enaunya kurang baik atau angus memasak-nya," jawab Alimah.
"Barangkali ini enak," kata Nurbaya pula sambil mengupas
sebuah lemang lagi. Yang pertam a tadi, telah habis dimakannya.
"Sesungguhnya kola Jakarta itu sangat besar; sepuluh kali lebih
besar dari kola Padang ini agaknya. Dan ramainya tak dapat
dikatakan; siang malam di jalan raya penuh orang dan kendaraan
serta kereta-kereta, bermacam-macam. Bagusnya pun tak ada
bandingannya; penuh dengan ge dung yang cantik-cantik dan
kedai yang besar-besar. Patut dijadikan ibu negeri, tempat
kedudukan Pemerintah Tinggi. Tetapi istana yang sebenarnya
ada di Bogor, karena hawa negeri ini dingin; sedang di Jakarta
sangat panas. Nanti, bila aku tela h ada di Jakarta pula, tentulah
kami akan berjalan-jalan ke Bogor, kata Samsu.
Sekarang inilah baru berasa senang benar hatiku, Lim, karena
tak ada alangan apa-apa lagi. Tambahan pula, tatkala aku di
Jakarta, nyata benar olehku, hati Samsu sekali-kali tiada berubah
kepadaku. Alangkah senangnya rasa hatiku, ketika berjalan jalan
dengan dia, bersiar-siar dam be rputar-putar, naik bendi dan
kereta, melihat kola Jakarta... Ah, mengapa pening kepalaku ini
rasanya"" "Barangkali kurang tidur tadi malam," jawab Alimah.
"Tidak, siang tadi, lama aku tidur. Hai, seperti berputar
penglihatanku." "Marilah masuk, coba tidurkan!"
"Ya," jawab Nurbaya, lalu be rdiri, hendak masuk ke ruang
tengah, tetapi tiba-tiba jatuhlah ia. Oleh sebab itu dipeluklah oleh
Alimah pinggangnya, lalu di bawanya masuk ke bilik dan
ditidurkannya di alas tilam.
"Tolong pijit sedikit kepalaku ini, Lim! Barangkali benar aku
masuk angin." "Baiklah," jawab Alimah; lalu dipijitnya kepala Nurbaya.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, tertidurlah Nurbaya
rupanya. Tatkala memijit itu berpikir Alimah dalam hatinya,
"Mengapakah Nurbaya tiba-tiba jadi pening" Apakah yang
diperbuatnya tadi" Pukul setengah sebelas ia telah tidur. Biasa-nya sampai jauh malam is masih bercerita-cerita dan bercakap-cakap."
Walaupun Nurbaya telah terlena, masih dipijit juga oleh
Alimah kepalanya, sampai beberapa lamanya. la takut adiknya
itu akan terbangun pula karena kurang enak rasa badannya;
apalagi karena Nurbaya rupanya senang kena pijitnya, sebab
lekas ia tertidur. Ketika ia berdiri hendak pergi tidur pula, diperhatikannya
muka adiknya itu. Sangatlah is terperanjat melihat Nurbaya,
sebagai tiada bernafas lagi, lalu diguncangkannya badan
Nurbaya, su paya bangun. Tetapi sesungguhnyalah, perempuan
yang malang itu, tak ada lagi.
Maka menjeritlah Alimah, meratap menangis amat sangat,
sehingga ibu bapanya terperanjat bangun dan datang berlari-lari.
Tatkala dilihat Fatimah, Nurbaya terhantar di tempat tidurnya,
tiada bergerak lagi, lalu berter iaklah pula ia menangis dengan
merentak-rentak dan memukul-mukulkan tangannya, sehingga
ramailah bunyi ratap di rumah itu. Orang sebelah-menyebelah
pun gempar datang, hendak mengeta hui, apa yang terjadi di situ.
Tetapi seorang pun tak dapat me mberi keterangan yang nyata,
selainnya daripada Nurbaya telah meninggal. Malam itu juga
Ahmad Maulana pergi memanggil dokter dan dua jam kemudian
datanglah dokter itu,lalu memeriksa Nurbaya dan nyatalah
kepadanya, bahwa Nurbaya me mang telah meninggal. Walaupun
dokter mencobakan sekalian ilmunya, untuk menolong Nurbaya,
tetapi sia-sia belaka. Karena menurut cerita Alimah, Nurbaya berasa badannya tak
enak sesudah memakan lemang itu, diambillah oleh dokter
lemang yang tinggal lagi dengan kue-kue lain, akan disuruh
diperiksanya. Pada keesokan harinya nyatalah kepadanya, bahwa
Nurbaya termakan racun. Itulah yang menyebabkan mautnya.
Meskipun perkara terserah ke tangan polisi, tetapi yang
bersalah, tiada kedapatan.
Untuk mengetahui penjahat ini, marilah kita kembali meng-ikuti tukang kue tadi.
Setelah sampai ia ke jalan besar, tiba-tiba keluarlah seseorang
yang memakai serba hitam dari balik pohon kayu, lalu
menghampiri tukang kue itu. Setelah dekat bertanyalah ia,
"Bagaimana Pendekar Empat""
"Dibelinya, dan aku berikan yang bergula enau."
"Bagus! Sekarang marilah kita pe rgi kelas-lekas dari sini."
"Tetapi peti kue ini bagaimana"" tanya Pendekar Empat.
"Nanti; di rumah kosong itu ada sumur yang tiada dipakai
lagi. Ke sanalah kaumasukkan pe ti ini," jawab Pendekar Lima.
"Tetapi aku khawatir juga, kalau-kalau yang lain pun kena
pula," kata Pendekar Empat.
"Ada siapa lagi di sana"" tanya Pendekar Lima.
"Alimah; tetapi katanya ia tak mau memakan kue-kue, sebab
perutnya tak enak. Itulah sebabnya dilarangnya Nurbaya mem-beli banyak-banyak. Panas hatiku mendengar perkataannya itu.
Jika tidak di rumahnya, kuterjang ia, supaya mulutnya jangan
dapat berkata-kata lagi," sahut Pendekar Empat.
"Berapa buah dibelinya lemangmu"" tanya Pendekar Lima
pula. " "Empat buah;" jawab Pendekar Empat.
"Masakan keempatnya dimakan Nurbaya sebab sebuah
lemang pun cukup untuk membawa dua tiga orang ke pintu
kubur. Akan tetapi, tahu benarkah engkau, keempatnya berisi
gula"" "Tahu, sebab yang berisi gula itu, kupisahkan."
"Jika demikian, tentulah sampai maksud kita, sekali ini," kata
Pendekar Lima. "Turutlah aku!" lalu hilanglah keduanya pada tempat yang
gelap. Pada keesokan harinya, tatk ala sampai kabar kematian
Nurbaya ini kepada Sitti Maryam, yang sedang sakit keras di
Kampung Sebelah, karena terkejut ditinggalkan anaknya Samsu,
tiba-tiba berpulanglah pula ibu Samsulbahri ini, sebab kabar itu
rupanya sangat menyedihkan hatinya.
Pada hari itu, kelihatanlah dua jenazah, dibawa ke gunung
Padang. Kedua perempuan yang sangat dicintai Samsu ini,
dikuburkan dekat makam Baginda Sulaiman, ayah Sitti Nurbaya.
XIII. SAMSULBAHRI MEMBUNUH DIRI
"Arifin, aku belum menceritaka n penglihatanku tadi malam,
kepadamu bukan"" kata Samsulbahri kepada sahabatnya, pada
keesokan harinya daripada malam Nurbaya kena racun, kira-kira
pukul dua siang, tatkala mereka itu pulang dari rumah tempatnya
membayar makan. "Penglihatan apa, Sam"" tanya Arifin.


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ajaib benar! Sampai kepada waktu ini belum habis kupikir-kan, karena belum juga kuketahui, apa itu dan apa maksudnya""
"Cobalah ceritakan; " kata Arifin pula.
"Sebagai biasa," kata Samsu, "pukul sepuluh malam, pergilah
aku tidur. Kira-kira pukul dua be las dengan tiada kuketahui apa
sebabnya, tiba-tiba terbangunlah aku dengan terperanjat, seperti
ada yang membangunkan. Tatkala kubuka mataku, kelihatan
olehku dekat meja tulisku, sesuat u bayang-bayang putih, berdiri
di belakang kursiku. Sangatlah terperanjat aku, ketika melihat
bayang-bayang itu, sebab pada sangkaku, ia pencuri atau pen-
jahat, yang telah masuk ke dalam bilikku."
"Tetapi kalau pencuri atau penjahat, mengapakah berpakaian
putih"" kata Arifin.
"Itulah sebabnya maka terpikir pula olehku, barangkali aku
bermimpi; lalu kupijitlah pahaku, beberapa kali. Akan tetapi,
tatkala telah nyata benar kepada ku, bahwa aku tiada tidur lagi,
barang yang putih itu masih kelihatan juga."
"Barangkali pemandangan tiada benar," kata Arifin, yang
belum hendak percaya akan cerita sahabatnya ini.
"Oleh sebab itu, kugosoklah mata ku beberapa lamanya; tetapi
yang putih itu tak hendak hilang."
"Barangkali engkau takut. atau tatkala hendak tidur, banyak
mengingat perkara setan dan hantu; jadi segala yang kaulihat,
rupanya sebagai setan," sahut Arifin pula.
"Engkau tahu sendiri, Arifin, ak u tiada penakut kepada segala
yang demikian. Lagi pula, tatkala baru saja kubuka mataku, telah
kelihatan bayang-bayang yang putih itu olehku. Betapa orang
yang baru bangun tidur akan takut, jika ia tiada bermimpi yang
dahsyat!" "Bagaimana bentuknya"" tanya Arifin, yang rupanya mulai
percaya akan cerita Samsu ini.
"Sebagai manusia, berkepala, berbadan, bertangan, dan
berkaki," sahut Samsu, "serta memakai pakaian sutera putih,
yang jarang." "Sebagai manusia"" tanya Arifin yang mulai berasa takut,
walaupun hari pada waktu itu pukul dua siang dan orang penuh
di jalan besar. "Hih! Seram buluku mendengar ceritamu:"
"Sesungguhnya," jawab Samsu. "Melihat hal yang ajaib ini,
meskipun berapa beraniku, berdebar juga hatiku dan sejurus
lamanya, tiadalah tahu aku, apa yang hendak kuperbuat. Hendak
berteriak, malu rasanya. Lagi pula suaraku tak hendak keluar,
sebagai dicekik orang. Hendak be rdiri, badan dan kaki berat
rasanya. Dibiarkan saja, takut ka lau-kalau dianiaya aku. Walau-pun kuberanikan hatiku, badanku serasa kembang dan
punggungku sebagai terkena air dingin."
"Sudah itu"" tanya Arifin, yang makin bertambah-tambah
takut. "Tatkala kuamat-amati benar bayang-bayang yang putih itu,
kelihatanlah mukanya seperti muka Nurbaya."
"Nurbaya"" tanya Arifin dengan heran.
"Ya, tak ada ubahnya; hanya wajah mukanya pucat sedikit.
Sebab itu meskipun hatiku masih khawatir, dapatlah juga
kuberanikan diriku, akan mengeluarkan perkataan, lalu bertanya,
"Siapa ini" "Dan apa jawabnya"" tanya Arifin dengan lekas.
"Tak ada apa-apa. la diam saja dan tiada pula bergerak-gerak
dari tempatnya." "Kemudian"" tanya Arifin pula.
"Kemudian melumpatlah aku, hendak mengambil pestolku
dari dalam lemari dan sudah itu , hendak kudekati dia. Tetapi
tatkala itu juga hilanglah bayang-bayang itu; entah ke mana
perginya tiada kuketahui."
"Betul berani benar engkau," kata Arifin.
"Tatkala itu datanglah takutku dan menolehlah aku ke
segenap tempat kalau-kalau diceki knya aku dari belakang. Tetapi
tak kelihatan suatu apa lagi. Lalu kupasanglah lampu dan
kuambil pestolku dari dalam lemari. Ketika itu barulah berani
aku memeriksa ke sana kemari, ke bawah tempat tidur, ke bawah
meja dan ke belakang lemari, tetapi suatu pun tiada kelihatan,
sedang jendela dan pintu pun masih terkunci."
"Jika aku bertemu yang sedemik ian, tentulah aku menjerit
minta tolong, kalau masih dapat, berteriak. Kalau tiada tentulah
aku akan kaku di sana juga, karena ketakutan."
"Setelah kututup lampu itu dengan kertas, supaya terangnya
jangan kelihatan dari luar dan kutaruh pestolku di bawah
bantalku, berbaringlah pula a ku. Tetapi sesudah itu tiadalah
dapat aku tidur lagi; pertama ka rena takut akan didatanginya
kembali dalam tidurku, kedua sebab memikirkan penglihatan
yang ajaib itu. Apakah itu dan apakah takbir! Itulah setan atau
hantu!" "Tetapi kalau hantu, mengapa kah rupanya seroman dengan
Nurbaya" Yang menjadi hantu itu, bukankah orang yang telah mati,
kata orang"" jawab Arifin.
"Sesungguhnya, seumur hidupku, baru sekali itu aku melihat
bayang-bayang yang sedemikian," jawab Samsu, yang sekali-kali
tiada mengira, bahwa Nurbaya te lah mati. "Bukan mimpi tetapi
sebenar-benarnya penglihatan itu."
"Sungguh ajaib penglihatanmu itu. Tetapi kuharap janganlah
aku sampai bertemu dengan penglihatan yang serupa itu; takut
dapat celaka." "Karena tak dap at tidur lagi, terkenanglah aku akan Nurbaya
dan ibuku, negeri dan kampung halaman kita, serta timbullah
hasrat yang amat sangat dalam hatiku, hendak pulang menemui
mereka sekalian dan menyesallah aku, tiada dapat pergi meng-antarkan Nurbaya pulang ke Padang, baru-baru ini. Belum
pernah keinginan hatiku hendak pulang sekeras tadi malam. Di
mukaku terbayang pula segala kesukaan dan kesusahan, yang
telah kurasai, sejak kita berjalan jalan ke gunung Padang. Makin
kuingat Nurbaya, makin khawatir hatiku dan makin terasa pula
olehku alpa dan lengahku, melepa skan dia seorang diri, kembali
ke dalam mulut harimau itu. Terkadang-kadang khawatir hatiku
itu menimbulkan perasaan, sebagai benar Nurbaya mendapat
celaka pula." "Ah, masakan begitu! Tak berapa lama lagi, tentulah ia pula
di sini. Jika tiada, baik kaujemput saja; perkaranya tentulah telah
selesai," jawab Arifin.
"Maksudku pun demikian juga. Ka lau hari Sabtu yang akan
datang ini belum juga ia sampai kemari, tentulah akan kujemput
sendiri ia ke Padang."
Dengan bercakap-cakap demikian , tibalah kedua mereka di
rumah Sekolah Dokter Jawa, lalu terus menuju bilik masing-masing. Sejurus kemudian daripada itu, datanglah seorang opas
pos membawa dua helai surat kawat, untuk Samsulbahri.
Ditanyakannya kepada Arifin, di mana Samsulbahri, lalu
ditunjukkanlah oleh Arifin bilik sahabatnya ini.
Tatkala Arifin, setengah jam sesudah itu, pergi ke bilik
Samsu, hendak menanyakan surat kawat apakah yang
diterimanya tadi dua sekali, kelihatan olehnya pintu dan jendela
bilik itu telah tertutup. Pada sangkanya, Samsu tentulah telah
tidur, untuk melepaskan kantuknya , karena kurang tidur malam.
Oleh sebab ia tiada hendak mengganggu sahabatnya itu,
ditunggunyalah sampai Samsu bangun kembali.
Maksud Samsu sebelum menerima kedua surat kawat tadi,
sesungguhnya hendak pergi gidur; jendelanya pun telah ditutup-nya. Setelah diterimanya surat itu, ditutupnyalah pula pintunya,
karena hendak membaca kabar itu seorang diri; lebih-lebih,
karena kedua surat kawat itu sangat memberi khawatir hatinya.
"Dari siapakah kabar kawat ini, dan bagaimanakah
bunyinya"" katanya dalam hatinya. "O, barangkali dari Nurbaya,
memberi tahu ia akan datang kemari.
"Tetapi yang sebuah lagi, dari siapa pula"" Demikianlah
pertanyaan yang timbul dalam hatinya.
Sambil berpikir-pikir demikian, dibukanyalah kedua surat
kawat itu dengan tangan yang geme tar. Setelah dibacanya kedua
surat itu, jatuhlah ia pingsan, tiada khabarkan dirinya, sebab
kedua surat itulah yang membawa kabar kematian Nurbaya dan
ibunya. Berapa lamanya ia terbaring pingsan itu, tiadalah
diketahuinya. Ketika ia sadarkan dirinya pula, adalah halnya
seperti seorang yang gila, tak dapat berpikir dan berkata-kata.
Menangis pun tiada kuasa, sebagai tak berair lagi matanya.
Sesudah termenung sejurus lamanya, diambilnya kertas, dan
kalam, lalu ditulisnya sepucuk surat kepada ayahnya.
Begini bunyinya: Jakarta, 13 Juli 1879. Paduka Ayahanda! Sebelum ananda menuliskan maksud ananda dan
mencurahkan segala yang terasa di hati ananda
kepada Ayahanda dalam surat ini, terlebih dahulu
ananda memohonkan ampun beribu-ribu ampun ke
bawah ribaan Ayahanda, atas kesalahan ananda
yang telah ananda perbuat dahulu dan kesalahan
ananda sekarang ini, karena telah berani
memanggil Ayah pula kepada Ayahanda, walaupun
Ayahanda tiada sudi lagi mengaku anak kepada
ananda. Ananda maklum, tentulah sangat susah bagi
Ayahanda, seorang yang berbangsa dan berpangkat
tinggi, akan menarik surut perkataan yang telah
terlanjur. Tetapi sebab permintaan ini, ialah
permintaan yang penghabisan bagi ananda,
permintaan seorang yang tiada lama lagi akan
hidup di dunia ini, seorang yang akan segera
meninggalkan negeri yang fana ini dan pada
penghabisan umurnya, tia da lain pengharapannya,
hanya akan beroleh ampun dan maaf dari ayah-bunda, sanak saudara dan k aum kerabatnya, maka
besar gunung kata orang, tetapi lebih besarlah lagi
pengharapan ananda, supaya permintaan ananda
ini, Ayahanda kabulkan juga.
Bukankah orang yang akan dihukum mati itu,
diturut kehendaknya dan diberi permintaannya yang
akhir" Sekali inilah lagi ananda akan meminta
kepada Ayahanda dan sekali inilah pula lagi,
Ayahanda akan meluluskan permintaan ananda;
karena bilamana Ayahanda membaca surat ini,
lamalah sudah ananda tiada dalam dunia ini,
melainkan telah sujud ke hadirat Tuhan
rabbulalamin, akan memohonkan ampun ata!O
sekalian dosa ananda yang amat besar itu; karena
rupanya dalam dunia yang fana ini, tiadalah boleh
ananda mendapat ampun itu, meskipun ananda telah
mengaku kesalahan ananda dan telah pula
mendapat hukuman yang berat.
Ayahanda, mengapakah begitu hal dunia ini"
Mengapakah ananda tiada boleh mendapat
keadilan" Bukankah ananda ini manusia juga,
sebagai orang lain'" Buka nkah manusia itu bersifat
lupa, berhati lemah dan berfikir yang tiada tetap"
Hanya Allah yang bersifat kadim" Bukankah
manusia itu suatu maliluk yang tiada boleh berbuat
sekehendak hatinya, bila tiada dengan izin Tuhan
Yang Maha Kuasa" Bukankah nasib manusia itu tak
dapat dibuat-buat, karena sekalian itu telah
terdaftar di lauhmahfut dan sudah dijanjikan,
sebelum dilahirkan ke dunia" Dan bukankah tiap-
tiap kesalahan itu, walau bagaimanapun besarnya,
ada juga ampunannya" Akan tetapi mengapakah
dunia ini tiada menimbang dengan adil, melainkan
melemparkan segala kesalahan kepada ananda"
Meskipun ananda insyaf dan mengaku sekalian
kesalahan itu, tetapi bukan ampunan atau hukuman
yang enteng yang ananda peroleh, melainkan
sebagai ditambah siksaan yang diberikan kepada
ananda. Sesungguhnya kesalahan ananda itu, bukanlah
suatu kesalahan yang ringan, melainkan kesalahan
yang memberi aib nama ayah-bunda, kaum keluarga
dan kampung halaman serta mendatangkan duka
nestapa kepada beberapa manusia, memutusasakan
beberapa orang, tetapi se harusnyalah hakim yang
adil, mendengarkan kedua belah pihak dan tidak
menuduh sebelah pihak saja.
Jangankan hati manusia yang memang lemah dan
lembut, sedangkan batu yang keras, dapat juga
ditembus air yang lunak, apabila selalu ia jatuh
bertitik-titik ke atasnya. Bukankah besi keras, tetapi
mengapakah dapat juga ia ditajamkan dengan batu
yang rapuh" Dan apakah yang lebih keras daripada
intan" Tetapi dapat juga ia diasah. Apalagi ananda,
seorang laki-laki muda, yang memang bersifat
mudah jatuh ke dalam jaring yang sedemikian;
bagaimana dapat menahan hati" Tambahan pula
memanglah hati ananda yang lemah itu, tak dapat
melihat kesusahan dan kesengsaraan atau kelaliman
orang; terlebih-lebih bila yang teraniaya itu teman
ananda sendiri, kawan bermain dari kecil, sahabat
yang lebih daripada saudara kandung. Bagaimana
dapat ananda membiarkan teraniaya"
Bukannya pula ananda akan menjatuhkan segala
kesalahan ke atas Nurbaya, sekali-kali tidak.
Memang ananda merasa, bahwa hati Nurbaya telah
lama tersangkut pada ananda, dan pada sangka
ananda pun takkan tiada, tentu ialah kelak yang
akan menjadi istri ananda. Pada pikiran ananda,
persangkaan ini bukanlah pada ananda saja
adanya, tetapi pada Ayahanda dan sekalian mereka
yang kenal akan kami pun, tentulah ada pula.
Sekarang bolehkah kita b erkecil hati atau marah,
apabila seekor burung yang telah dipelihara itu,
meskipun dengan pemeliharaan yang sempurna
sekalipun, diberi sangkar yang bagus, makanan dan
minuman yang cukup, pada suata hari, tatkala ia
dilepaskan, terus terbang kembali ke tempatnya asli,
ke dalam hutan" Bukankah, kesenangan dan
kesentosa " an itu tiada selamanya disebabkan oleh
uang atau harta" Buk ankah terkadang-kadang
seorang kuli, boleh merasa lebih senang dan sentosa
daripada seorang raja; Bagaimanakah boleh disalahkan perbuatan
seorang yang telah putus asa, sebagai Nurbaya
waktu itu, karena melihat maksud dait keinginannya,
yang sejak dari kecil telah diidamkannya, tiba-tiba


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan paksa dihilangkan orang, sehingga tak
dapat berharap lagi"
Orang yang mendapat kecelakaan amat sangat,
sehingga terpaksa menjalankan pekerjaan yang
terlebih ditakutinya daripada mati, pikirannya
tiadalah benar lagi dan segala perbuatannya tak
dapat disalahkan. Herankah kita, bila seorang yang
teramat dahaga, tak berpikir panjang lagi dan tak
mengindahkan segala kese ngsaraan yang akan
diperolehnya kela k, karena perbuatannya, tetapi
dengan segera meminum air telaga, yang baru
dijumpainya" Jadi siapakah yang salah dalam hal ini"
Nurbaya" Tidak! Ananda" Tidak! Tiada seorang
pun jua; sebab masing-masing sekadar menurut
jalan yang telah tentu, yang akan ditempuhnya juga.
Datuk Meringgih sekalipun tak boleh disesali pula,
sebab ia sekadar mengerjakan yang lazim dijalan-kan di tanah air kita. Walaupun ia telah memaksa
Nurbaya, dengan jalan yang keji dan memperguna-kan berbagai tipu muslihat untuk menyampaikan
sekalian maksudnya yang keji, tak juga boleh
disalahkan; karena ia tak tahu kepada yang baik.
Pada sangkanya tiada jahat perbuatannya itu.
Apakah gunanya uangnya yang sebanyak itu,
kalau harta itu tiada akan dapat menyampaikan
segala maksudnya, walau yang hina sebagaimana
jua pun" Apakah pedulinya kesusahan orang lain,
putusnya pengharapan or ang, karena kelakuannya,
kesengsaraan orang, karena perbuatannya, asal ia
dapat beroleh kesenangan da n dapat melepaskan
hawa nafsunya" Bukankah sekalian orang berbuat
demikian" Jangankan manusia, sedangkan hewan
yang hina, lagi berbuat begitu. Bukankah sekalian
maliluk di atas dunia ini kerjanya selalu bunuh-
membunuh, celaka-mencelakakan, untuk membela
dirinya sendiri" Mengapakah Datuk Meringgih tak
boleh berbuat sedemikian" Terlebih-lebih pula
kepada perempuan, yang memang di mata bangsa
kita, bukan manusia, melainkan boneka bernyawa,
yang harus menurut se gala kemauan suaminya
dengan tiada boleh berpikir., berkata, melihat,
mendengar, mencium dan merasai. Disuruh bekerja,
haruslah bekerja, jika disuruh sakit, haruslah sakit
dan jika disutuh mati sekalipun haruslah mati.
Tentu, sebab budak namanya, boleh diperbuat
sesuka hati. Jadi apakah salahnya, jika laki-laki yang telah
putih rambutnya, telah habis giginya, telah bungkuk
punggungnya, karena tuanya, dikawinkan dengan
seorang perawan yang sebaya dengan cucunya'"
Dan apakah alangannya, jika laki-laki itu beristri
lebih daripada seorang" Lihatlah ayam jantan!
Betinanya pun lebih pada seekor. Kalau seekor
binatang boleh berbuat sedemikian, mengapakah
manusia yang terlebih mulia, terlebih berkuasa,
terlebih cerdik dan pandai, tak boleh berbuat
sebagai binatang itu" Tentu saja boleh, seharusnya
lebih dari itu. Jika diberikan kepada seekor bapa
kuda, sepuluh atau dua puluh kuda betina, menurut
perbandingan, masih kurang, jika diizinkan kepada
manusia beristri sampai seratus dua ratus
sekalipun." Samsu berhenti sejurus menyurat, untuk menahan hatinya
yang geram. Tak puas ia, sebab segala yang terasa dalam hatinya
waktu itu hanya dapat dituliskannya dalam surat itu saja: itu pun
tiada pula sempurna. Kemudian diteruskanyalah menulis surat
itu: Supaya surat ini jangan terlalu panjang, baiklah
ananda ceritakan penan ggungan ananda, sejak
ananda tiada berbapa lagi. Hukuman dan deraan,
azab dan sengsara yang telah ananda rasai, tak
dapat ananda uraikan dengan secukupnya dalam
surat ini. Sejak ananda menjadi yatim, tiada
berayah berkaum keluarga, tiada berkampung
berhalaman dan tiada berumah bertanah air,
sampai kepada waktu ini, belumlah ananda merasai
kesenangan. Setiap waktu pikiran digoda sesal yang
tak putus dan kenang-kenangan yang dahsyat. Pada
siang hari terbayang-bayanglah di mata ananda
segala kelakuan ananda yang keji itu; adalah
sebagai hal itu baru terjadi. Muka Ayahanda yang
murka, nyata kelihatan; suara Ayahanda yang
garang, nyata terdengar oleh ananda sehingga
kecutlah hati dan seramlah bulu ananda, seperti
seorang yang akan dihukum gantung.
Apabila telah hilanglah penglihatan dan
pendengaran ini, terbayanglah pula muka Bunda
ananda yang sangat berdukacita, karena putus asa:
bagai sampan hilang pengayuh, bagai ayam hilang
induknya. Pada mukanya itu nyata tergambar,
betapa sedih dan sesal hatinya, melihat anak
kandungnya, yang sebiji mata, buah hatinya, tempat
pengharapannya berkumpul, mendapat mara
bahaya yang amat besar, sehingga luput dari
matanya. Hancur luluh hati ananda melihat
kesedihannya, yang tak dapat ananda lipur. .
Setelah itu berdirilah pula di muka ananda
sekalian kaum keluarga, yang memandang ana
nda dengan benci dan merengut, sebagai melihat seekor
anjing yang mencuri tulang. Penglihatan yang
sedemikian, sangatlah memberi malu ananda,
sehingga hampirlah tak berani ananda memperlihat-
kan diri. Pada malam hari, bertukarlah kenang-kenangan
dan ingatan tadi dengan mimpi yang dalisyat.
Sekalian hal yang telah terjadi, melintas kembali,
sebagai sebenarnya terjadi pula sekali lagi. Rasanya
Datuk Meringgih datang membawa sebilah pedang
yang terhunus, hendak memancung leher ananda.
Oleh sebab itu, berteriaklah ananda di dalam tidur
dan terbangunlah teman-teman yang dekat dengan
ananda. Apabila ananda bermimpikan Nurbaya,
menangislah ananda di waktu tidur, karena tak
tahan melihat sedih hatinya, yang disebabkan oleh
nasibnya yangmalang. Demikianlah hal ananda siang malam digoda
pikiran dan mimpi yang jahat. Jangankan belajar,
makan dan minum pun hampir tak dapat, karena
nasi dimakan serasa sekam, air diminum rasakan
duri. Apabila Ayahanda melihat ananda pada waktu
menulis surat ini, barangkali tiadalah kenal lagi
Ayahanda kepada ananda, karena badan ananda
sangat berubah. Terkadang-kadang timbul niat di dalam hati
hendak membunuh diri; tetapi ingatan kepada
Bunda dan Nurbayalah yang mengalangi 'maksud
itu, sebab takut, kalau-kalau bertambah pula
dukacita mereka, oleh perbuatan ananda ini. Akan
tetapi walaupun ananda belum melekatkan senjata
ke badan sendiri, jika demikian saja godaan-godaan
yang datang, tentulah akhirnya akan ke sana juga
perginya. Inilah pula yang menambahkan susah
hati, sebab waktu itu ananda belum boleh
meninggalkan dunia ini; bukan untuk ananda
sendiri, melainkan untuk Bunda dan Nurbaya, yang
telah ananda celakakan itu.
Seharusnyalah bagi ananda, mengangkat mereka
kembali dari lumpur, tempat mereka ananda
jatuhkan. Itulah sebabnya maka ananda kembali ke
Jakarta, dengan maksud akan mencoba meneruskan
pelajaran ananda. Tetapi apa hendak dikata, Ayahanda" Rupanya
hukuman dan penderitaan yang telah ananda
tanggung, belumlah cukup untuk pembayar utang
kesalahan ananda. Karena tatkala ananda baru
berasa bebas sedikit dari godaan ini dan mulai
biasa menanggung kesakitan, dan ketika ananda
mulai beroleh pengharapan, akan dapat melawan,
segala siksaan dan percobaan ini, sehingga dapat
juga menyampaikan maksud ananda, yakni akan
menyenangkan Bunda dan Nurbaya lebih dahulu,
sebelum berpindah ke alam lain, ketika itulah pula
datang hukuman ananda y ang sebenar-benarnya.
Ketika itulah jatuh pedang yang menceraikan badan
dari kepala ananda, menembus dada dan jantung
ananda, menghancurkan hati dan tulang ananda
seluruh tubuh; karena waktu itulah datang surat
kawat, yang membawa kabar Ibu ananda dan
Nurbaya, dua orang perempuan yang masih sayang
kepada ananda, tatkala ananda telah jatuh ke dalam
lumpur, telah meninggal dunia ini ...
Aduhai! Di situlah putus pengharapan, habis
sabar dan hilang akal ananda. Sekaranglah ananda
menjadi yatim piatu, tiada beribu, tiada berbapa,
tiada bersanak atau saudara, tiada berkaum
kerabat, kampung halaman dan tanah air lagi. Oleh
sebab itu, apal4h gunanya ananda hidup juga"
Daripada hidup bercermin bangkai, baiklah mati
berkalang tanah." Tatkala sampai ke sana Samsu menulis, jatuhlah kalam dari
tangannya, sebagai ia tiada berdaya lagi, memegang kayu yang
sekerat kecil itu, dan penuhlah surat itu berlumur dawat. Air
matanya pun jatuh pula bercucuran, membasahi kertas yang
disuratnya. Karena terlalu amat sedih hatinya, menangkuplah ia
ke meja tulisnya dan menangis tersedu-sedu beberapa lamanya.
"Ya, nasib! Tiadakah engkau menaruh iba kasihan kepada
bani Adam yang muda remaja itu" Bukankah ia baru akan
mengenal kesenangan, kemuliaan dan kekayaan dunia ini,
sebagai sekuntum bunga yang baru hendak mengembangkan
kelopaknya akan menghamburkan baunya yang semerbak, dan
mempertunjukkan warnanya yang cantik, kepada segala kupu-kupu yang melintas dekatnya. Dengan kekerasan dan
kekejaman, telah kaubantun ia dari tangkainya, sehingga putus
lalu gugur ke tanah, menjadi hancur."
Setelah bersedih hati sedemikia n itu diangkatlah oleh Samsu
kepalanya, lalu disapunya air matanya, diambil
nya pula kalamnya dan diteruskannya menulis suratnya tadi:
Ya, Ayahanda! Rupanya pengharapan yang
ananda peroleh sedikit itu, ialah suatu tanda yang
menyatakan, bahwa kesudahan nasib ananda akan
datang. Sejak Ayahanda membuang ananda, kutuk
telah jatuh bertubi-tubi ke atas kepala ananda dan
sejak waktu itu, tiadalah ditinggalkannya lagi
ananda barang sekejap pun, melainkan selalu
diturutnya jejak ananda, sebagai bayang-bayang di
waktu malam, menanti saat yang baik dan ketika
yang sempurna, untuk menerkam ananda.
Sejak waktu itulah ananda dipermain-mainkan-nya, seperti kucing mempermainkan tikus; ditangkap
dan dilepaskannya pula. Gelak senyum ia agaknya
melihat ananda, tatkala beroleh pengharapan yang
sedikit tadi. Direnggangkannya sedikit cakarnya
yang panjang dan tajam itu dari badan ananda,
karena pada pikirannya, "Kelak akan masuklah
cakarku ini ke dalam dagingmu yang lembut itu,
untuk meleburkan tubuhmu, bila engkau coba
hendak melepaskan dirimu."
Sesungguhnya, Ayahanda, maksudnya itu telah
dapat dilangsungkannya. Ananda telah diremasnya
dalam cakarnya yang runcing dan panjang itu.
Tinggal menunggu hancur luluh saja lagi ...
Tentang perbuatan ananda yang akhir ini pun,
ananda pohonkanlah ampun dan maaf, dunia
akhirat kepada Ayahanda jangan jadi keberatan
atas perjalanan ananda dalam menuruti Bunda dan
Nurbaya, yang telah berangkat lebih dahulu. Moga-moga dapatlah kami bersama-sama menghadap ke
hadirat Tuhan yang amat add.
Akhirnya ananda mintalah pula terima kasih
banyak-banyak kepada Ayahanda serta kaum
kerabat kita, atas susah payah, karena telah sudi
memelihara ananda dari kecil sampai besar. Akan
kebaikan itu, tiada lain, melainkan Allahlah yang
akan membalasnya, karena balasan yang telah
ananda berikan, adalah jahat semata-mata, sebagai
air susu dengan air tuba. Tetapi apa hendak dikata"
Karena sekalian itu pun takdir daripada Tuhan
juga. Terimalah sembah sujud yang penghabisan dari
ananda. Selamat tinggal! SAMSULBAHRI Tatkala Samsu hendak menyuratkan perkataan "selamat
tinggal" itu gemetarlah tangannya, sehingga hampir-hampir tak
dapat ditulisnya tanda tangannya. Napasnya sesak dan mukanya
pucat karena nemahan sedih yang memenuhi dadanya. Kepala
pening dan penglihatannya berputar, terlebih-lebih sebab
matanya penuh dengan air mata yang tak dapat ditahannya.
Maka menangislah pula Samsu dengan amat rawannya, sambil
menutup mukanya dengan kedua belah tangannya dan
menangkup ke atas meja. Beberapa lamanya ia bersedih hati itu, tiadalah diketahuinya,
hanya tatkala ia sadarkan dirinya pula, didengarnyalah lonceng
setengah enam telah berbunyi. Maka berdirilah ia melihat surat
itu dan memasukkameya ke dalam sebuah pembungkus surat.
Surat itu dialamatkannya kepada ayahnya. Kemudian
dicucinyalah mukanya, supaya hilang merah matanya, bekas
menangis, lalu dipakainya pakaiannya.
Setelah itu ditulisnya pula sepucuk surat, untuk guru dan
teman sejawatnya yang demikian bunyinya:
Sekalian guru dan teman sekolah hamba!


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Janganlah Tuan-tuan heran bila mendengar kabar,
hamba dengan paksa telah membawa diri ke pintu
kubur. Tuan-tuan sekalian tentu maklum, bahwa
kehidupan tiap-tiap manusia di atas dunia ini tiada
sama. Ada yang beruntung, ada yang malang, ada
pula yang berganti-ganti beroleh kesenangan dan
kesusahan. Walaupun nasib mereka berlain-lainan,
tetapi ada juga yang bersamaan pada mereka, yaitu
maksud dan harapan yang ada pada tiap-tiap
manusia yang hidup. Bukankah tiap-tiap pekerjaan
itu ada sebab dan tujuannya" Akan tetapi, apabila
maksud itu telah hilang dan pengharapan telah
putus, apakah gunanya hidup lagi" Daripada
memenuh-menuhkan kampung, menghabis-habiskan
makanan dan menyusahk an orang, dengan tiada
berguna, baiklah mati. Hal yang sedemikian, telah jatuh ke atas diri
hamba. Oleh sebab itu, pada sangka hamba, tak ada
gunanya hamba hidup lama lagi di atas dunia ini.
Hamba harap cukuplah ini bagi Tuan-tuan untuk
mengetahui sebab perbuatan hamba ini. Sungguhpun
hamba berbuat begitu, hamba pohonkan siang dan
malam, janganlah ada di antara teman-teman
hamba, yang berniat hendak meniru perbuatan
hamba ini dan terjauh jugalah hendaknya mereka
daripada segala kecelakaan yang telah menimpa diri
hamba. Kemudian hamba pohonkan banyak terima kasih
kepada sekalian guru dan teman sejawat, atas
sekalian pelajararn dan kasih sayang, yang telah
dilimpahkan kepada hamba.
Sambutlah sembah sujud dan salam maaf dari
murid dan teman Tuan yang malang ini.
SAMSULBAHRI Tambahan: Sekalian barang-barang dan perkakas
hamba, haraplah dibagi-bagikan kepada segala teman
sekolah hamba, untuk menjadi-tanda mata dari
hamba. Setelah dilipatnya surat ini, diletakkannya di atas meja
tulisnya, lalu pergilah ia membuka lemarinya, mengambil suatu
benda yang kecil. Setelah dipe riksanya benda itu baik-baik,
dimasukkannyalah ke dalam kocek celananya. Kemudian
dibukanya pintu biliknya, lalu ke luar. Di luar dilihatnya Arifin
hendak mengetuk pintu biliknya. Air matanya hendak keluar
pula, karena teringat, tiada berapa saat lagi, akan bercerailah ia
dengan sahabat karibnya ini.
Lama ia termenung memikirkan hal itu, sampai didengarnya
suara Arifin yang berkata sambil menghampirinya, "Alangkah
lamanya engkau tidur hari ini, Sam. Lihatlah matamu masih
merah! Kabar apa yang kau terima dari Padang tadi" Aku harap,
kabar baik." "Ya," jawab Samsu dengan susah payah mengeluarkan
perkataan ..., Ibuku telah sembuh kembali."
"Syukur! Alangkah senangnya hatiku, mendengar kabar yang
baik ini! Tetapi surat kawat ya ng sebuah lagi dan siapa"" tanya
Arifin pula. "Dari Mamanda, mengabarkan hal itu juga," jawab Samsu
seraya membuang mukanya ke pintu biliknya dengan segera,
supaya jangan kelihatan oleh Arifin dukacitanya.
Tatkala pintu bilik ini akan d itutupnya, diperhatikannyalah
biliknya ini dengan sekalian perkakas yang ada di dalamnya,
yakni segala benda, yang telah dipergunakannya sekian lama.
Setelah itu ditariknyalah pintu ini dengan keras, sebagai takut ia
lama-lama memandang sekalian perkakas yang akan ditinggal-kannya itu.
"Engkau hendak ke mana sekarang, Sam" Rupanya hendak
berjalan"" tanya Arifin.
"Ke kantor pos, akan mema sukkan sepucuk surat untuk
ayahku," jawab Samsu.
"Tentulah akan membalas kawat tadi, bukan""
"Ya," jawab Samsu dengan pendek.
"Jika demikian, marilah aku temani engkau ke sana, sebab
maksudku pun hendak berjalan-jal an juga," kata Arifin.
Samsu tiada dapat menjawab permintaan sahabatnya ini
dengan segera, sebab tak tahu, apa yang akan diperbuatnya.
Kalau dibawanya Arifin, tentulah tak dapat dilangsungkannya
maksudnya dan jika tak dikabulkannya permintaan ini, takut ia,
sahabatnya ini akan menduga niatnya; karena belum pernah ia ke
luar rumah, tidak bersama-sama dengan Arifn. Tampak seorang,
tampak keduanya. Setelah berpikir sejurus, berkatalah ia, "Baik benar; tetapi di
kantor pos kita kelak harus bercerai, sebab ada maksudku yang
lain." Walaupun Arifin heran mendengar jawab Samsu ini, karena
belum pernah ia berbuat sesuatu yang tiada boleh diketahuinya,
tetapi dengan tersenyum dijawabnya perkataan Samsu itu.
"Tentu aku tiada akan mengala ngi engkau, bila engkau ada
keperluan yang lain."
. Meskipun ia tersenyum, tetapi hatinya tiada senang. Bukan
saja karena melihat perubahan kelakuan Samsu, tetapi karena
nyata kepadanya, tatkala menghampiri sahabatnya ini. Samsu
baru saja menangis. Tambahan pula, bila benar kabar yang baru
diterimanya, menyatakan ibunya telah sembuh dari penyakitnya,
mengapakah dikawatkan dan de ngan dua surat kawat sekali
sebagai suatu kabar yang amat penting dan segera. Mengapakah
tidak dengan surat biasa saja"
Oleh sebab itu ditetapkannyalah hatinya, hendak mengetahui
rahasia ini. Takut ia, kalau- kalau karena mendapat sesuatu
kesusahanlah, maka sahabatnya sampai menangis. Dalam hal itu,
tentulah akan dicobanya melipur duka nestapa Samsu.
Di tengah jalan khawatir Arifin ini makin bertambah-tambah,
sebab dilihatnya Samsu sebagai seorang yang sedang memikir-kan sesuatu hal yang sangat penting; karena acap kali tiada
didengarnya perkataan Arifin dan jawabannya pun banyak yang
salah, bila ia bertanyakan barang sesuatu kepadanya. Dan lagi
apakah sebabnya lama benar dipandang Samsu mukanya tadi"
Dan pintu biliknya ditut upnya dengan keras, sebagai orang
takut" Mengapa pula lama ia berhenti di muka sekolah, memper-hatikan sekolah itu, sebagai orang yang baru melihatnya"
Tiada berapa lamanya berjalan itu, sampailah kedua mereka
ke kantor pos. Segera Samsu menghampiri tempat memasukkan
surat, lalu mengeluarkan surat yang hendak dikirimkannya
kepada ayahnya itu dari dalam koceknya. Lama dipandangnya
surat itu, sebagai ia memperhatikan alamatnya, barulah
dimasukkannya perlahan-lahan ke dalam lubang surat, seolah-olah sayang ia rupanya hendak mengirimkannya.
Sekalian kelakuan Samsu ini diintip oleh Arifin dari sisinya,
sambil pura-pura membaca suatu surat yang tergantung di
dinding kantor pos itu. Tiba"tiba menolehlah ia kepada
sahabatnya ini, sebab didengarn ya Samsu berkata, "Sekarang
engkau jangan marah, Rif, sebab aku akan meninggalkan
engkau. Bukan karena tak suka berjalan bersama-sama dengan
engkau, hanya sebab aku telah berjanji, akan pergi ke rumah
seorang tuan, seorang diri saja; jadi kurang baik, bila aku bawa
engkau, dengan tiada memberi ta hu lebih dahulu kepada yang
punya rumah. Kelak, bila aku pergi pula ke sana, tentulah akan
kuminta kepadanya, supaya kita boleh pergi bersama-sama ke
situ." "Ah, tak jadi apa itu. Aku pun tentu tak berani ke sana, kalau
tiada dipanggil. Hanya kuharap, janganlah engkau lupa pulang
kelak, karena asyik bercakap-cakap," kata Arifin dengan pura-pura tersenyum, supaya jangan syak hati Samsu kepadanya.
"Nah, Sam, aku harap engkau akan banyak beroleh kesukaan
dan kesenangan di sana!" kata Arifin pula, sambil keluar dari
kantor pos. Setelah sampai ke jalan besar, di muka kantor pos
itu, menolehlah ia kebelakang. Dengan terperanjat dilihatnya
Samsu masih berdiri di kantor pos itu sambil memandang ia
berjalan dan nyata tampak oleh nya, air mata sahabatnya ini
berlinang-linang di pipinya, dengan tiada dirasainya rupanya.
Ketika itu barulah Samsu ingat akan dirinya, lalu
memalingkan mukanya dan berjalan cepat-cepat menuju arah ke
barat. Melihat hal yang sedemikian, bertambah-tambahlah keras
sangka Arifin, Samsu berniat ak an berbuat pekerjaan yang
penting, yang tiada boleh diketahui orang; siapa tahu barangkali
perbuatan yang boleh mencelakakan dirinya. Sekarang yakinlah
nyata kepadanya, bahwa segala perkataan Samsu tadi tiada
benar. Oleh sebab itu semangkin keraslah keinginannya hendak
mengetahui maksud sahabatnya ini dan kalau benar ia berniat
jahat, seboleh-bolehnya hendak dicegahnya.
Akan menyembunyikan dirinya, segeralah ia masuk ke dalam
suatu kedai, pura-pura hendak membeli apa-apa, tetapi sebenar-nya akan mengintai ke mana tujuan perjalanan sahabatnya itu.
Setelah nyata olehnya Samsu berjalan menuju ke barat dengan
tiada menoleh-noleh ke belakang, keluarlah Arifin dari kedai itu,
lalu mengikut Samsu dari jauh. Sebentar-bentar ia bersembunyi
di balik pohon kayu atau kereta, takut terlihat oleh Samsu, kalau
ia menoleh ke belakang. Setelah beberapa lamanya berj alan itu, kelihatanlah olehnya
Samsu masuk ke dalam suatu kebun bunga dan di sana luputlah
ia dari pemandangan Arifin. Oleh sebab itu Arifin mempercepat
langkahnya, mengejar temannya. Akan tetapi tatkala ia sampai
ke kebun itu, tiadalah kelihatan olehnya Samsulbahri, karena hari
telah mulai gelap. Hati Arifin berdebar dan kha watirnya bertambah-tambah,
sebagai ada sesuatu bahaya, yang mengancam sahabatnya.
Karena tak tahu ke mana akan dicarinya Samsu, berdirilah ia
sejurus akan mendengarkan, adakah bunyi orang berjalan atau
tidak. Tetapi lain daripada ri but di jalan besar, tiadalah
kedengaran apa-apa olehnya. Sebab itu berjalanlah ia cepat-cepat
ke sana kemari, sambil memandang ke kiri dan ke kanan.
Setelah sejurus ia mencari, kelihatanlah olehnya dari jauh
sebagai orang duduk di atas sebuah bangku, membelakang
kepadanya. Tangannya yang kanan diangkatnya ke kepalanya,
seperti hendak memberi tabik. Tatkala diperhatikan Arifin benar-benar orang ini, nyatalah yang duduk itu Samsu, yang sedang
mengacungkan sebuah pestol ke kepalanya. Dengan tiada
berpikir lagi menjeritlah ia, "Samsu, ingat akan dirimu!" sambil
melompat memburu sahabatnya
itu. Akan tetapi terlambat, karena tatkala itu juga didengarnya
bunyi pestol dan dilihatnya Samsu rebah ke bangku. Segera
Arifin lari ke bangku itu dan di sana dilihatnya sahabatnya ini
tiada ingatkan diri lagi dan kepa lanya berlumuran darah. Arifin
tiadalah terkata-kata dan tak ta hu apa yang akan diperbuatnya,
lalu berteriak minta tolong.
Tiada berapa lama kemudian, penuhlah orang di tempat itu
dan kabar orang menembak diri, pecahlah ke sana kemari. Polisi
datang akan memeriksa. Setelah diceritakan Arifin kejadian itu
dibawalah mayat Samsu ke rumah sakit.
Keesokan harinya tersiarlah di surat kabar, seorang muda
anak Padang, murid Sekolah Dokter Jawa telah menembak diri
di kebun kembang Jakarta. Entah apa sebabnya belum diketahui.
XIV. SEPULUH TAHUN KEMUDIAN
Walaupun waktu itu telah diberi berukuran, seperti detik, menit,
jam, hari, Jumat, bulan, tahun dan abad, tetapi tiadalah sama juga
ia pada yang setahun. Bagi kebanyakan orang, waktu itu
sesungguhnya setahun lamanya, yaitu 12 bulan atau 52 Jumat
atau 365 hari. Akan tetapi ada juga orang yang merasa waktu itu
365 X 24 jam atau 364 X 1440 menit lamanya dan akhirnya ada
pula yang meyangka setahun itu lebih lama lagi sebagai sepuluh
tahun atau seabad. Kebalikannya, ada pula yang berkata, waktu
yang setahun itu tiada seberapa lama, hanya sebulan atau sejumat
saja. Orang-orang kaya, yang setia p hari beroleh kesenangan,
kesukaan dan kemuliaan dan seumur hidupnya belum pernah
merasai atau mengenal keseng saraan, dan belum pula ditimpa
mara bahaya dan kecelakaan dunia, tentulah tiada akan merasai
perjalanan waktu itu. Bagi mereka, waktu itu sebagai melompat,
dari pagi ke petang, dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun.
Pada orang yang mencari penghidupannya dengan harus
membanting tulang, atau orang yang asyik akan pekerjaannya,
waktu itu tiadalah sampai-menyampai. Orang inilah yang tahu
menimbang mahal harga waktu itu. Acap kali mereka mengeluh,
karena kekurangan waktu. "Alangkah baiknya bila siang itu lebih daripada 12 jam
lamanya," katanya. Akan tetapi bagi insan yang mengandung kedukaan dan
kesengsaraan atau dendam dan pengharapan, yang tak mudah
diperolehnya, terkadang-kadang waktu itu suatu penggoda yang
amat sangat tiada terhingga. Itulah sebabnya, maka sehari serasa
setahun, yang setahun serasa seabad.
Sungguhpun waktu itu tiada sama, pada perasaan tiap-tiap
manusia, tetapi janganlah alpa, bahwa waktu itu sangat mahal
'harganya, bila tahu menghargakannya dan sangatlah berpaedah,
bila tahu mempergunakannya. Terl ebih-lebih, karena tiap-tiap
makhluk, telah ditetapkan waktu yang diperolehnya daripada
Allah taala, guna hidup di atas dunia ini. Bila waktu yang telah
diberikan itu telah dilalui, tak dapat tiada, haruslah makhluk itu
meninggalkan dunia ini, berpulang ke negeri yang baka. Pada
waktu itulah kebanyakan manusia baru insyaf akan dirinya dan
menoleh ke belakang, melihat jalan yang jauh, yang telah
ditempuhnya. Oleh mereka yang beruntung baik, tiadalah lain
yang dilihatnya sepanjang jalan itu, melainkan pohon rimbun
daun, yang melindungi sekalian yang lalu-lintas di situ, dari
panas matahari; serta pula bebe rapa tempat perhentian untuk
berteduh, melepaskan lelah. Buah-buahan yang lezat citarasanya,
yang menghilangkan lapar dan da haga dan bunga-bungaan yang
cantik molek warnanya, yang me nyedapkan pemandangan mata
dan yang harum baunya, menyegarkan perasaan badan, ber-gantungan dan berkembangan pada segala tempat. Telaga yang
jernih dan sejuk airnya, terdapat sepanjang jalan.
Akan tetapi, mereka yang malang dan celaka, tiadalah lain
yang diperolehnya di jalan itu, melainkan panas terik atau hujan
lebat dan angin topan, yang disertai oleh kilat dan petir. Dan
adalah jalan itu sangat berbelok-belok, sehingga tak mudah
ditempuh serta turun-naik dengan susahnya. Oleh sebab itu
sebelum sampai kita ke ujung jalan ini, baiklah diingat, bahwa
jalan itu kelak akan ditempuh juga oleh anak cucu, kaum
kerabat, handai tolan kita atau sesama manusia. Bukankah
kewajiban kita, yang dahulu menempuh jalan ini, untuk berbuat
barang sesuatu, yang mendatangk
an faedah kepada mereka kelak, lebih-lebih kepada yang bernasib malang"
Tanamlah di pinggir jalan yang belum sempurna itu, pohon-pohonan yang rindang dan buah-buahan yang dapat dimakan.
Perbuatlah bangku-bangku tempat berhenti, galilah telaga yang


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berair sejuk, adakanlah taman bunga-bungaan yang menyedap-kan pemandangan mata dan menyenangkan pikiran, serta ubah-lah jalan itu, supaya menjadi jalan yang datar dan lurus lagi
mudah ditempuh; jalan yang tiada memberi bahaya dan
keselamatan kepada barang siapa yang melaluinya. Apabila telah
sampai lagi, karena jalan it u tiada akan ditempuh pula.
Sepuluh tahun sesudah Samsulbahri menembak diri di
Jakarta, kelihatanlah pada suatu hari, kira-kira pukul lima
petang, dua orang posir, berjalan perlahan-lahan serta bercakap-cakap, menuju setasiun kerera api di Cimahi. Walaupun kedua
mereka itu sama-sama petah lid ahnya berkata dalam bahasa
Belanda dan pakaiannya serupa pula, tetapi dari jauh, telah nyata
sangat berlainan. Yang seorang tubuhnya pendek dan gemuk,
tanda kuat tenaganya. Rambutnya perang, matanya biru, hidung-nya mancung, tiada bermisai atau berjanggut dan kulitnya pun
putih, menyatakan ia bukan anak negeri di sana, melainkan
bangsa di atas angin. Yang seorang lagi, badannya tinggi
semampai, tanda cepat dan lentuk; rambut dan matanya hitam
hidungnya sedang, bermisai dan berjanggut yang runcing dan
kulitnya kuning, menyatakan ia bangsa anak Indonesia. Lain
daripada itu adalah pula perbedaannya yang nyata benar
kelihatan, yaitu air muka kedua mereka itu. Opsir barat itu,
cahaya mukanya riang dan lucu; kelakuannya pun bersetujuan
benar dengan air mukanya, ka rena selalu bersukacita dan
berolok-olok, seolah-olah tidak dikenalnya kedukaan hati dan
kesusahan dunia, melainkan kesukaan dan keriangan itulah yang
selalu diingat dan dipikirkannya.
Katanya, "Apa gunanya aku berdukacita, bila dapat
bersukacita" Apa gunanya aku me nangis bila dapat tertawa"
Bukankah menangis itu menyedihkan hati dan sedih itu
merusakkan badan" Tetapi tertawa menambah kesehatan tubuh.
Apalah gunanya sejengkal, dipikirkan sampai sedepa" Bukankah
lebih baik digulung, jadi pende k dan disimpul sampai mati"
Apakah gunanya dipikirkan hal yang akan terjadi pada esok
lusa, sebulan atau setahun lagi" Karena hal itu belum ada dan
belum tentu. Jika terjadi juga, bagaimana nanti saja. Ada umur,
ada rezeki. Dan lagi, apa faeda hnya diingat juga sekalian yang
telah lalu" Bukankah barang yang telah terjadi, tiada dapat
diubah lagi, walau dikejar sekara ng ini saja terjadi, tiada dapat
diubah lagi, walau dikejar de ngan kuda sembrani sekalipun"
Tidakkah lebih baik hal yang sekarang ini saja yang dipikirkan
dan dibuat seboleh-boleh, supa ya menjadi hal yang dapat
menyenangkan hati dan menyentosakan pikiran""
Demikianlah pikir opsir putih itu. Segala kesusahan dan
kemalangan tiada diindahkan dan dipikirkannya benar-benar
melainkan kesukaan dan kesenangan itulah yang dicintainya.
Pikirannya ini benar juga, kare na dalam pekerjaannya waktu itu
di mana sekalian keperluan hidu p telah ada, memang dapat ia
berbuat sedemikian. Sesungguhnya. tabiat yang semacam ini acap kali
menyenangkan hati, menggemukkan badan dan memudakan
rupa. Akan tetapi tiada sekalian orang dapat berbuat begitu.
Orang yang harus bekerja dahulu, baru mendapat sesuap nasi,
susah akan meniru kelakuan yang sedemikian; kerena halnya,
tiada seperti pada tentara; makanan, pakaian dan rumah tangga
telah tersedia. Sungguhpun demi kian, baik juga barang sesuatu
itu dipikirkan dengan sempurna, karena: pikir itu pelita hati; asal
jangan dilebih-lebih. Sebab piki ran yang banyak dan bercabang-cabang, tiada dapat menyehatkan tubuh.
Jika dipandang muka opsir Bumiputra tadi, nyata kelihatan,
bahwa ia tiada seriang temannya, bahkan pendiam, sebagai
seorang yang telah tua fahamnya. Acap kali juga ia tersenyum,
bila sahabatnya tadi berolok-olok tetapi pada air mukanya terang
berbayang, bahwa ia seorang yang telah banyak menanggung
azab sengsara dan senantiasa digoda oleh suatu kedudukan, yang
tak dapat dilipur lagi. Sungguhpun pada kedua mere ka banyak yang
sangat berbeda, tetapi ada juga ya ng bersamaan. Lain daripada
pangkatnya, banyak tabiat dan kelakuannya yang sepadan,
misalnya: baik, lurus daq rendah hati, lagi berani. Sifat-sifat yang
sama inilah, yang mempertalikan mereka, sehingga jadi
bersahabat karib. Walaupun percampuran keduanya baru enam
bulan, tetapi tali silaturrahim antara mereka, telah sangat teguh,
sebagai persahabatan yang sudah bertahun-tahun lamanya.
"Alangkah baik hari ini! Segar rasanya badanku berjalan
jalan." kata opsir Barat.
"Sungguh katamu itu, Yan," jawab opsir Bumiputra, "karena
hari baru hujan, tiada terlalu lebat, sehingga lumpur tak ada,
tetapi debu hilang. Ke mana kita berjalan-jalan""
"Marilah kita ke setasiun kereta api dahulu, kemudian
berputar lalu ke ruinah bola," jawab Letnan Yan Van Sta.
"Baiklah," jawab Letnan Bumiputra.
"Tadi pagi ke mana engkau pe rgi dengan serdadumu, Mas""
tanya Yan Van Sta. "Menembak, ke padang pembedekan," jawab Letnan Mas.
"Siapa yang beroleh ros"" *) tanya Van Sta pula.
"Ada beberapa orang: Vander Ha, de Kuip, Lewikawang,
Mahutu, Suwoto dan Prawira," jawab Mas.
"Memang kudengar, mereka pandai benar menembak. Acap
kali mendapat ros." "Tangan dan hati mereka rupany a tetap, tiada gemetar, dan
pemandangannya pun tajam. Itulah sifat-sifat yang terutama
sekali bagi orang yang masuk gol ongan bala tentara. Dengan
serdadu sedemikian, mudali mera mpas benteng yang kukuh dan
mengalahkan musuh yang kuat. Telah kurasai sendiri, tatkala aku
di Aceh." *) Pusat pembedekan (alamat).
"Nah, kejadian itu nanti kuceritakan kepadaku, Mas! Banyak
pendengaran, banyak pula penge tahuan. Itulah sebabnya maka
aku tak putus-putus bertutur dan bercakap-cakap dengan
engkau." "Baiklah," jawab Mas dengan te rsenyum. "Nanti, bila kita
telah duduk bersenang-senang di rumah bola atau rumah sendiri!
Tetapi cerita ini, hanya cerita peperangan yang biasa saja."
"Biar bagaimanapun biasanya, acap kali banyak juga
pelajaran yang dapat dipetik dari dalamnya; terlebih-lebih bagiku
yang baru datang ke Indonesia ini. Aku belum tahu adat dan
peraturan orang di sini," kata Van Sta.
"Hai,dengan tiada kita ketahui , kita telah ada di setasiun.
Marilah kita masuk sebentar, sebab kebetulan ada kereta api
yang hendak ke Bandung. Barangkali ada kupu-kupu Bandung,
yang hendak pulang ke sarangnya," kata Van Sta pula, sambil
tersenyum. "Walaupun ada hendak kauapa kan" Sebab ia dalam
perjalanan. Masakan dapat dipegang, burung di udara'."jawab
Mas. "Dengan tangan tentu tidak, seb ab tentulah tanganku harus
berpuluh meter, panjangnya. Tetapi dengan pemegangnya,
misalnya bedil atau jerat. Dan biar tak dapat memegangnya,
melihat pun cukuplah. Mata pun hendak senang pula," jawab
Van Sta. Maka masuklah kedua mereka ke dalarn setasiun. Di sana
seNungguuhnya kelihatan oleh mereka, seorang nona yang
cantik parasnya, duduk seorang diri di kelas satu.
"Nah, apa kataku!" bisik Van Sta kepada Mas. "Memang tak
salah sangkaku. Lihatlah olehmu bidadari yang duduk di kelas
satu itu. Alangkah manis pemandangan matanya. Lihat!
Ditentangnya aku. Matilah gua*)."
Ketika itu, berbunyilah lonceng tiga, dan tiada berapa saat
kemudian, keluarlah kereta api dengan mengembus ke kiri ke
kanan, dari setasiun Cimahi, menuju Bandung, diikuti dengan
mata oleh Letnan Van Sta.
"Hai, Mas, bila kita pergi ke Bandung" Aku telah beberapa
lamanya tiada tamasya ke sana," kata Van Sta dengan tiba-tiba,
tatkala permainan matanya tela h lenyap dari pemandangannya,
seraya mengajak sahabatnya ke luar setasiun.
"Bila saja engkau suka, aku menurut" jawab Mas.
"Malam Ahad ini,' kata Van Sta pula.
"Baik," jawab Mas. "Tetapi Yan, mengapakah engkau tiada
hendak beristri. Bukankah lebi h baik beristri, daripada
membujang sedemikian ini""
"Aku beristri"" tanya Van Sta dengan tersenyum, sambil
menunjuk dadanya. "Ha ha, ha! Yang akan menjadi istriku itu,
* Saya belum ddahirkan lagi."
"Mengapakah begitu'" Masakan tak ada perempuan yang
baik bagimu"" kata Mas.
"Jika aku mencari istri, bukan kecantikannya saja yang
kupandang, tetapi yang terutama bagiku, ialah kelakuan dan
kesayangannya kepadaku karena ak
u kawin, bukan sebab hendak
berperempuan, tetapi sebab he ndak beristri. Perempuan mudah
diperoleh, tetapi sukar didapat. Yang cantik banyak di jalan,
yang baik susah dicari. Bagiku biar buruk, asal baik, biar bodoh
asal pandai." "Hai, hai! Apa pula artinya itu"" jawab Mas. "Masakan yang
buruk itu boleh baik dan yang bodoh itu pandai pula. Ada-ada
saja peribahasamu." "Boleh, mengapa tidak" Sebab buruk dan baik itu hanya
perkataan orang. Jika buruk dikatakan, menjadi buruklah ia, dan
jika baik dikatakan, menjadi baik lah pula ia. Misalnya nona tadi,
jika dibandingkan dengan orang yang cantik-cantik di Eropa,
buruk kata kita; tetapi jika dibandingkan dengan orang Papua,
amat cantik ia, kurang baik rupanya asal kelakuannya dan
hatinya baik kepadaku; biar kurang pandai dalatu ilmu yang lain-lain, asal cakap mengurus aku dan anakku serta rumah
tanggaku." "Benar katamu itu, Yan. Pikiranku pun demikian pula,"
jawab Mas. "Akan tetapi meskipun ada yang seperti itu waktu ini
belumlah juga aku hendak kawin."
"Mengapa tidak"" tanya Mas.
"Kawin itu adalah suatu perkara yang penting, terlebih-lebih
bangsa Eropa; sebab kami terikat oleli beberapa perjanjian,
sehingga tak mudah bercerai. Bila dapat yang sesungguhnya
baik, sudahlah. Tetapi jika tidak, bagaimana""
"Itulah gunanya bertunangan dahulu, supaya yang seorang
kenal benar yang lain, bukan""
"Benar, walaupun tiada selamanya memadai; karena ter-kadang-kadang dalam bertunangan itu, bukan kelakuan dan hati
sejati, yang diperlihatkan, melainkan kedua-duanya bermain
komidi, sehingga sesudah kawin, baharulah diketahui, bahwa
mereka sama-sama tertipu. Akan tetapi yang menjadi alangan
besar bagiku, ialah karena badan terikat, apalagi telah kawin;
bukan untuk sementara, melainkan untuk hidup.
Sesungguhnya beristri itu ada kebaikannya, tetapi kejahatan-nya ada pula. Kebaikannya yaitu: kehidupan tetap, uang jika
habis pun ada bekasnya, rumah tangga terpelihara, yang suka
beranak, dapat beroleh anak akan penghiburkan hatinya. Istri
yang baik, memang terlebih menyenangkan daripada menyusah-kan suaminya. Tetapi kejahata nnya yang amat sangat bagiku,
yaitu kita tidak bebas lagi; segala kehendak hati tak dapat
diturutkan. Terkadang-kadang harus minta izin pula kepada si
nyonya, kalau hendak berbuat apa-apa. Dan jika dapat istri yang
cemburu, sudah, rusuhlah negeri! Dan terikatlah kaki tangan."
"Tetapi, Yan, cemburu itu buka nkah tanda cinta" Bila engkau
tiada cinta kepada istrimu, masakan engkau cemburu" Tentu
katamu: Biar diambil orang, aku tak perduli; kucari yang lain,"
kata Mas. "Benar, tak salah katamu itu! Tetapi kalau terlalu cemburu,
menjadi tak baik juga. Enakkah itu, apabila tak boleh berkata-kata dengan atau melihat perempuan lain" Tak boleh berjalan ke
rumah bola atau ke mana-mana""
'"Ah, kalau terlalu, tentulah menjadi buruk. Segala yang
terlalu memang tak baik. Terlalu penuh melimpah, terlalu baik
dipermainkan orang, kata pepatah Belanda."
"Benar, benar, benar! Itulah sebabnya, maka aku tak hendak
beristri sekarang ini. Jika dapat istri yang sedemikian, celakalah
aku. Bila aku telah tua kelak, hendak dikurung pun boleh, tetapi
tatkala masih muda ini, masih cinta aku kepada kemerdekaan:
tak hendak aku diikat-ikat pere mpuan. Bila telah puas mem-bujang, biarlah terikat."
"Bila engkau telah tua, perempuan mana pula yang Ian suka
mengikut engkau" Yang suka kepadamu pun barangkali tak ada
lagi," kata Mas, sambil tertawa. "Tambahan pula, apabila engkau
telah tua, tentu tak diikat lagi, sebab biasanya yang tua itu tak
suka lari, karena kakinya telah lemah dan ia tak kuat berjalan
lagi. Yang diikat itu, ialah yang muda, yang kakinya masih kuat
akan melarikan dirinya..."
"Aha, itulah yang kusukai, Mas!" jawab Van Sta. "Makin
lama, engkau makin riang. Barangkali tadi malam engkau dapat
mimpi yang baik. Itulah yang sebaik-baiknya. Nyahkan segala
waswas dan pikiran yang kusut, ganti dengan kesukaan! Turutlah
fahamku, riang selama-lamanya. Hidup keriangan!"
"Sungguhpun dernikian, hidup sendiri-sendiri, bukanlah
hidup sejati," kata Mas pula, sebagai tak mengindahkan kesukaan hati
sahabatnya. "Sebab perempuan harus bersuami dan laki-laki
harus beristri. Bukankah kewajiban sekalian makhluk yang
hidup, mengembangkan bangsanya " Bagaimanakah akhirnya
dunia ini, bila sekalian orang hendak hidup bebas, sebagai
engkau"" "Di tanah Eropah telah mulai ba nyak yang berbuat begitu,"
jawab Van Sta. "Ya, tapi pikiran yang sebagai itu, tak hendak kawin seumur
hidup, tak dapat kubenarkan. Bila ada sesuatu cacat di badan,
misalnya penyakit atau celaan yang lain, sudahlah; tak mengapa.
Tetapi jika membujang itu, karena hendak menurutkan kesukaan
hati saja, kurang baik. Bagaim anakah jadinya manusia itu
kelak"" "Jadinya, ialah laki-laki dan perempuan terlebih merdeka
daripada sekarang ini dalam perkara perkawinan. Jika hendak
berhubung atau bercerai dengan siapa pun, dapat pada sebilang
waktu, dengan tiada ada alangan apa-apa, asal suka sama suka."
"Ya, itulah yang hendak kukatakan! Bukankah itu yang
dinamakan percintaan rahasia atau percintaan b9bas, bukan"
Yaitu perhubungan antara laki-laki dan perempuan, yang tiada
dipertalikan oleh perkawinan" Perempuan tak tentu suaminya,
laki-laki pun tak tentu istrinya; masing-masing hidup dengan
kekasihnya. Bila telah jemu dengan yang seorang, dibuang,
dicari pula yang lain. Dan anak yang dilahirkan, tak tentu
bapanya. Wahai! Kalau begitu, akhirnya berbaliklah kita kepada
zaman purbakala, tatkala manusia belum berpakaian, hidup
biadab sebagai binatang."
Tatkala itu sampailah kedua letnan ini ke rumah bola, lalu
duduk di luar, di tempat yang sunyi.
"Perhatikanlah dahulu. perbantahan kita ini," kata Van
Sta,."dan katakan"lah apa yang hendak kauminum""
"Wiski soda," jawab Mas.
Van Sta lalu meminta dua gelas wiski soda kepada bujang


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

iumah bola. Sementara itu Letnan Mas mengeluarkan serutunya; sebatang
diberikannya kepada sahabatnya dan sebatang diisapnya sendiri.
Setelah datang minuman yang diminta mereka, rriin`umlah
keduanya. "Sebuah lagi yang tak dapat kubenarkan pikiran perempuan
dewasa ini, yaitu hendak menjabat pekerjaan laki-laki dan
bekerja sebagai laki-laki. Kalau sekalian perempuan berbuat
demikian, apakah kelak akan pekerjaan laki-laki" Harus ke
dapurkah mereka, mengurus rumah tangga dan menjaga anak"
Berbalik hujan ke langit.
Bertambah besar bahayanya, karena kebanyakan orang yang
memberi pekerjaan, suka memakai perempuan; sebab perempuan
mau menerima gaji sedikit. Itulah suatu hal yang menambahkan
perempuan tak suka bersuami. Pikirannya, apakah gunanya
bersuami lagi, karena pendapat an telah cukup untuk kehidupan"
Akan tetapi adakah benar pikiran ini" Kita hidup di atas dunia
ini, tak boleh dengan mengingat keperluan diri sendiri saja,
melainkan harus juga mengingat keperluan umum. Sebagai
seorang laki-laki, harus mempuny ai kewajiban atas anak dan
istrinya, sehingga tak boleh membela dirinya sendiri saja,
demikian pula tiap-tiap manusia, harus berkewajiban atas
sesamanya manusia. Pada sangkaku pikiran perempuan tadi salah. Apa gunanya
perempuan menuntut kepandaian laki-laki dan memegang
pekerjaan laki-laki" Bukankah sesuatu pekerjaan itu ada
maksudnya" Dalam hal itu yang diutamakari ialah kehidupan
dan kesenangan. Apabila maksud in i dapat diperoleh dari suami,
apakah perlunya perempuan hendak mencari sendiri" Bukan aku
cemburu dan dengki, perempuan akan sepandai laki-laki; tidak
sekali-kali! Lebih dalam, lebi h tinggi dan lebih banyak ilmu
perempuan, lebih baik, asal jangan lupa ia akan kewajibannya
yang asli." "Apakah kewajibannya yang asli itu"" tanya Van Sta.
"Perkara anak, perkara rumah tangga dan perkara makanan."
"Benar, tetapi perempuan, lain pula katanya. Untuk menjaga
rumah tangga ada bujang, untuk memasak ada juru masak, untuk
menjahit ada tukang jahit, untuk menjaga anak ada babu, untuk
mencuci ada tukang cuci dan untuk menjaga kebun ada tukang
kebun. Masakah sekalian itu ia sendiri yang harus mengerjakan-nya""
"Tentu tidak. Akan tetapi m eskipun ada bujang, juru masak
babu dan lain-lain, perempuan, harus juga faham dalam segala
hal itu, karena sekalian orang-orangnya tadi sekadar pekerja,
yang harus bekerja, yang akan mengatur dan memeri
ntah, tentulah ia sendiri. Dapatkah didikan anaknya, diserahkannya
kepada babunya yang bodoh itu"
Lagi pula perkara berbujang, berjuru masak, berbabu itu,
hanya dapat dilakukan oleh orang yang mampu saja, walau
bangsa Eropah sekalipun. Jika tak dapat berbuat sedemikian,
bagaimana" Ingatlah, manusia itu terlebih banyak yang miskin
daripada yang kaya. Si laki-lakilah pula yang harus mengerjakan
pekerjaan babu, juru masak, tukang kebun dan lain-lain itu, bila
ia telah letih karena membanti ng tulang, pulang dari pekerjaan-nya" Dan apakah pekerjaan si perempuan" Menjadi bunga dalam
rumah sajakah" Tak adil benar pembagian kerja yang seperti itu.
Herankah kita, bila laki-laki yang kurang maju, kelak akan takut
beristri dan berpikir pula, "Apakah faedahnya aku beristri, jika
akan menambah susah badanku sendiri dan tiada dapat
menolongku dalam kehidupanku sehari-hari" Lebih baik aku
membujang, karena jika perempua n itu saja, banyak di jalan."
Kalau demikian, bukankah jadi bertambah dalam, jurang
yang menceraikan laki-laki dengan perempuan.
Bila laki-laki itu kaya, seharusnyalah ia memenuhi segala
keinginan istrinya dan haruslah ia menjadikan perempuan, putri
dalam istana. Akan tetapi jika laki-laki itu sungguh tak cakap
mengadakan sekalian permintaan istrinya, janganlah dipaksa.
Keadaan suaminya harus ditim bang juga oleh perempuan.
Jangan membuta tuli, mengingat yang senang untuk diri sendiri
saja!" "Ya, tetapi perempuan bers uami, karena hendak mendapat
penghidupan dan kesenangan pula. Jika akan susah juga, apa
gunanya bersuami" Lebih baik bekerja, mencari penghidupan
sendiri," jawab Van Sta.
'"Inilah yang hendak kukatakan. Pikiran semacam inilah yang
tak boleh ada, baik pada laki -laki ataupun pada perempuan;
sebab itulah tanda mereka hany a mengingat keperluan sendiri
saja, tiada mengindahkan keperluan bersama. Kalau diteruskan
peraturan yang begitu, tentulah akan bermusuh-musuhan suami
dengan istri dan akhirnya akan terjadilah peperangan antara
perempuan dengan laki-laki. Itulah sebabnya maka aku
sesungguhnya khawatir, kalau kepandaian segenapnya
diturunkan kepada perempua n dengan tiada mengindahkan
keadaan dan kewajiban perempuan. Sebab karena kepandian itu,
bukannya menjadi benar, melai nkan menjadi salah pikiran;
misalnya tak dapat hidup cara biasa lagi, sebagai adatnya
sediakala melainkan hendak hid up besar. Bercampur, dengan
orang biasa saja tak dapat pula. Jika hendak bersuami, haruslah
yang kaya atau yang berpangkat tinggi Tetapi sebab laki-laki itu,
lebih-lebih pada bangsaku, belum banyak yang sedemikian,
tentulah perempuan yang telah pandai itu akan lari kepada
bangsa lain, umpamanya kepada bangsamu atau bangsa Cina,
sehingga akhirnya akan hilanglah bangsa sendiri. Dan jika
sekalian perempuan, yang telah terp elajar berbuat begitu apakah
yang tinggal pada bangsanya sendiri dan bagaimanakah akhirnya
bangsaku itu" Siapakah yang akan memajukannya lagi"
Sesungguhnya tak baik perempuan atau laki-laki menaruh
pikiran hendak hidup sendiri-se ndiri, berebut-rebutan pekerjaan,
atas mengatasi kepandaian da n bermusuh-musuhan dalam
penghidupan, karena laki-laki dan perempuan itu satu, tak boleh
bercerai, harus tolong-menolong. Laki-laki perlu kepada
perempuan dan perempuan perlu pula kepada laki-laki. Bukan-kah telah dikatakan dalam bah asa Belanda: seia sekata itu men-datangkan kekuatan, akan tetapi perselisihan itu memecah belah
tenaga. Peperangan kehidupan di atas dunia ini memang tak
mudah. Apa gunanya diperbuat lagi dengan perselisihan antara
perempuan dan laki-laki""
"Memang, memang," jawab Van Sta, sambil meminum wiski
sodanya. "Ada lagi yang masih terasa di hatiku," kata Mas, setelah
meminum wiskinya pula. "Apa itu""
"Yaitu tentang pelajaran anak perempuan bangsaku. Oleh
sebab kewajiban perempuan memang tiada sama dengan
kewajiban laki-laki, pada pikiranku tak perlu segala ilmu laki-
laki dipelajari oleh perempua n. Laki-laki pun tak perlu pula
mempelajari kepandaian perempuan, yang tak perlu baginya,
misalnya ilmu menjahit atau memasak, kalau ia tiada harus
menjadi tukang jahit atau tukang
masak. Apa gunanya kepandaian insinyur dan hakim misalnya bagi perempuan"
Bukankah lebih baik dipelaja rinya kepandaian yang berguna
baginya" Aku katakan sekalian itu kepadamu, Yan, sebab sesungguh-nya hatiku khawatir perempuan Indonesia ini dengan buta tuli
meniru segala aturan dan pikiran perempuan Eropah, dengan
tiada menimbang baik-baik, sebenarnyakah berguna sekalian
aturan dan pikiran itu bagi perempuan di sini" Pada pikiranku,
tidak sekalian yang baik bagi perempuan Eropah, baik pula bagi
perempuan Indonesia. Ada yang baik di sana, tak baik di sini dan
kebalikannya ada yang berguna di sini tak berguna di sana. Yang
sesungguhnya baik ambillah, tirulah dan pakailah!"
"Baiklah Mas! Sekalian pikiranmu telah kudengar, hanya ada
suatu yang belum kuketahui. Tadi engkau suruh aku beristri dan
kaucacat niatku hendak membujang, tapi mengapakah engkau
sendiri tiada hendak beristri""
Mendengar pertanyaan ini, terkejutlah Letnan Mas Wiski
yang diangkatnya ke mulutnya, tiada jadi diminumnya,
melainkan diletakkannya kembali, lalu termenunglah ia sejurus
lamanya, tiada berkata-kata. Kemudian menunduklah ia dan
tatkala itu jatuhlah setitik air mata kepangkuannya.
Van Sta sangat heran melihat ke lakuan sahabatnya ini, karena
tiada diketahuinya, apakah sebabnya ia tiba-tiba jadi demikian.
Oleh sahabat itu bertanyalah ia, "Apakah sebabnya engkau
sekonyong-konyong berdiam diri. Mas" Tak enakkah badanmu""
"Bukan begitu," jawab Mas, seraya mengangkat kepalanya
kembali. "Sudahlah, jangan kautanyakan lagi hal itu! Tak apa-apa."
Sebab nyata oleh Van Sta, muka Mas sesungguhnya menjadi
muram, karena mendengar pertanyaan tadi, tiadalah hendak
dipanjangkannya perkara itu, lalu diputarnya haluan percakapan-nya.
"Telah sepuluh tahun lamanya aku masuk bala tentara, mulai
di Aceh. Bagaimana ceritanya""
"O, ya" jawab Mas. Sungguhpun dicobanya hendak
melenyapkan muram durja yang terbayang di mukanya, tetapi
tiadalah dapat, karena pikiran, yang menyebabkan ia bermuram
durja, tiada hendak hilang dari kalbunya; adalah sebagai luka
lama yang hampir sembuh, terbuka kembali. "Hampir lupa aku
akan janjiku itu. Dengarlah! Tetapi baiklah kumulai mencerita-kan halku dahulu supaya terang ceritanya ini. Hanya kuminta
kepadamu, janganlah engkau gusar mendengar cerita ini, karena
banyak mengandung kesedihan."
Dalam berkata-kata itu, rupanya muka Letnan Mas, makin
lama makin bertambah muram, sehingga segala keriangan hati-nya tadi, tiadalah kelihatan sedikit juga lagi.
"Pada mukaku tentu telah nyata kepadamu, aku ini bukan
bangsa Eropah, melainkan anak Indonesia," demikian permulaan
cerita Letnan Mas. "Tadi engkau berjanji akan menceritakan peperanganmu dari
serdadu sampai kepada pangkatku sekarang ini. Aku masuk jadi
bala tentara ini bukan karena ap a, hanya karena hendak ..." di
situ terhenti Letnan Mas bercakap, sebagai tak dapat ia
mengeluarkan perkataannya ..." mencari kematian."
"Apa katamu"" tanya Van Sta dengan takjub.
"Mencari kematian, kataku," jawab Mas dengan sedih.
"Tetapi sekarang, belumlah kuperoleh maksudku ini. Rupanya
benar kata pepatah Melayu: seb elum ajal, berpantang mati.
Telah beberapa kali kucoba hendak mendapat maut, tetapi
ada-ada saja alangannya, sehingga tak sampailah maksudku.
Barangkali belum boleh aku meninggalkan dunia ini, sebelum
aku menyampaikan janjiku. Oleh sebab itu tawakal aku, sambil
menunggu waktu itu. Ketika itulah kuketahui benar, bahwa
manusia tak dapat berbuat sekehendak hatinya, jika tiada dengan
gerak Tuhan. Berapa orang yang tiada hendak mati, karena takut
atau karena masih perlu hidup, te tapi dicabut nyawanya. Tetapi
aku ini yang beringin benar akan maut itu dan di atas dunia ini
tiada berguna lagi, masih dipeliharakan.
Barangkali engkau tiada percaya ceritaku ini, dan bersangka,
bahwa aku sangat percaya kepada segala takhyul. Atau engkau
berpikir, bila kutembak kepalaku, tentulah aku mati; tiada siapa
dapat melarang. Itu pun telah kucoba, tetapi ada saja yang
melepaskan aku dari bahaya. Liha tlah, ini tandanya di kepalaku,
bahwa aku telah menembak kepalaku."
Lalu Letnan Mas memperlihatkan suatu tan
da luka, pada kepalanya sebelah kanan. "Pada suatu hari hendak kugantung diriku. Terlebih dahulu
kuperiksa tali dan tiang tempat aku akan menggantung diriku itu,
karena aku takut ka lau-kalau tiada berhasil pula pekerjaanku.
Rupanya tali dan tiang itu kuat; tetapi apakah sebabnya, tatkala
aku tergantung di sana, tiang itu patah, roboh bersama-sama aku
ke tanah, sehingga maksudku itu tiada sampai pula. Ketiga
kalinya hendak kumakan racun. Akan tetapi ketika gelas itu
sampai ke mulutku, berbunyilah bedil musuh yang ditembakkan-nya kepadaku. Pelurunya melalui jendela kacaku dan meng-hancurkan gelas yang ada dalam tanganku. Keempat kalinya aku
terjun ke dalam air, pada tempat yang kusangka sunyi. Tetapi
mengapakah tiada kelihatan olehku, di sana ada orang mengail
tersembunyi di tempat gelap! Si pengail itulah yang menolong-ku, tatkala aku akan tenggelam. Lain daripada itu membabi buta
dalam peperangan. Itu pun tak juga menyampaikan hajatku,
karena aku sampai sekarang belum mati, melainkan bintanglah
yang diberikan kepadaku, sebab sangka orang, aku gagah berani
dan dinaikkanlah pula pangkatku sampai menjadi letnan."
"Memang keberanaianmu dan hadi ah yang kauperoleh dari
Pemerintah, acap kali dipercakapkan orang."
"Bukan sebab keberanian da n kegagahanku, maka aku
beroleh hadiah dan pangkat itu ; hanya semata-mata karena
untung. Kepadaku yang tiada beringin apa-apa lagi, diberikan
pangkat dan hadiah ini. Kepada orang lain yang bercinta akan anugerah itu, tiada
diberikan bukan..." Sekarang te ntulah maklum engkau, apa
sebabnya aku tiada beristri.
Orang yang putus asa, sebagai aku tak boleh beristri. Apakah
jadinya kelak dengan anak dan is triku, bila kuperoleh keinginan
hatiku tadi"" "Tetapi siapa tahu, barangkali, dapat dilipur oleh anak dan
istrimu." "Tak boleh, tak boleh aku berbuat demikian! Karena aku
telah bersumpah, selekas-lekasnya akan meninggalkan dunia
ini." Maka termenunglah pula Letnan Mas, sedang air matanya
pun berlinang-linang kembali.
"Sangat ajaib ceritamu ini!" kata Van Sta dengan sangat
sedih melihat hal temannya. Sebenarnya ingin hatinya hendak
mengetahui, apa sebab sahabatnya ini, jadi putus asa sedemikian
itu. Tetapi tiadalah berani ia bertanya, karena terasa olehnya,
tentulah sebabnya itu sangat penting; barangkali melukakan
hatinya pula, apabila disuruh menceritakan. Karena itu
diputarnyalah haluan percakapan itu.
"Tetapi perkara peperangan itu, bagaimana pulakah"" tanya
Van Sta akan membawa Mas dari kenang-kenangan yang meng-hancurkan hatinya.
"Ah, ya; kejadian itu belum juga lagi kuceritakan. Demikian
riwayatnya. Akan tetapi ada suatu yang hendak kupinta kepada-mu sebelum kita meninggalkan perkara yang sedih ini, yakni
janganlah kaubukakan rahasiaku in i kepada orang lain. Engkau-lah baru sahabatku yang mengetahui halku ini."
"Masakan gila aku akan mencer itakannya, bila tak boleh,"
jawab Van Sta. "Dengarlah," kata Letnan Mas. "Pada suatu hari, tatkala aku
di Aceh, dapatlah aku perintah pergi memeriksa beberapa
kampung dekat Sigli, dengan tiga puluh orang serdadu marsose,
karena kabarnya di sana banyak musuh membuat ribut, dikepalai
oleh Teuku Putih. Penunjuk jalan kami, rupanya belum tahu
benar jalan-jalan di sana; jadi sesatlah kami. Ketika hampir
malam, belum juga dapat jalan pulang.
Kira-kira pukul tujuh malam bertemulah kami dengan bala
tentara Teuku Putih, lebih kurang 150 orang banyaknya. Mula-mula sangkaku musuh tiada sebanyak itu, karena hari gelap, tak
dapat ditaksir. Oleh sebab itu kukerahkanlah serdaduku ke muka,
Iblis Pulau Keramat 2 Sherlock Holmes - Petualangan Tiga Garrideb Serahkan Saja Pada Jennings 2
^