Solandra 3
Solandra Karya Mira W Bagian 3
"Percuma beli baju hampir tiga ratus dolar! Dilihat saja enggak!"
"Kamu datang, Andra," desah Paskal penuh kerinduan. Tidak memedulikan kelakar istrinya. Tidak memedulikan benarkah Soiandra yang berada dalam pelukannya. "Akhirnya kita bertemu lagi!"
Didekapnya Soiandra erat-erat. Diciuminya rambutnya. Wajahnya. Bibirnya. Lehernya. Dadanya.
"Jangan pernah meninggalkanku lagi," pinta Paskal sambil membelai rambut istrinya. Rambut yang dikaguminya. Rambut yang memancarkan harum semerbak. "Jangan pergi, Andra!"
Mula-mula Paskal tidak tahu dia berrnimpi,
berkhayal, atau benar-benar berada di alam nyata.
Semuanya terasa begitu nyata. Bukan halusinasi. Bukan mimpi.
Dia seperti memeluk Soiandra. Menciuminya. Membelainya.
Soiandra benar-benar datang ke kamarnya. Tersenyum. Bicara. Tertawa.
Sudah gilakah aku" pikir Paskal ketika semuanya telah berakhir dan dia menemukan dirinya tergolek seorang diri di atas ranjang dalam kamarnya yang sepi.
Tapi kalau menjadi gila memberikan kenikmatan yang demikian dirindukannya, rasanya dia rela gila! Kalau dengan menjadi gila dia dapat bertemu kembali dengan Soiandra, apa ruginya menjadi orang gila"
Sayangnya kegilaan semacam itu tak dapat diulanginya lagi. Berapa hari pun dia menunggu di sana, dia tak pernah lagi mengalami sensasi seperti itu.
Soiandra tidak pernah muncul lagi. Sia-sia Paskal menunggu. Sia-sia dia memohon.
Akhirnya dengan putus asa dia pulang ke
akarta. Menyimpan barang-barangnya di
rumah. Mengabari adiknya dia sudah pulang. Lalu dia langsung ke kuburan. Bersimpuh di depan makam istrinya. Memandang getir nisan Soiandra.
"Aku rindu, Sayang," bisiknya sambil menabur bunga. "Kapan kita bisa bertemu lagi"" " Sehari-semalam Paskal bersimpuh di sana. Sampai ayah dan adiknya datang menjemputnya setelah mencarinya ke sana kemari.
"Rasanya sudah saatnya kita bawa dia ke psikiater, Fa," cetus Paulin iba. Tidak sampai hati melihat keadaan abangnya.
"Tidak," sahut ayahnya tegas. "Paskal tidak gila. Dia kuat. Kalau dia lemah, dia sudah gila sejak tujuh tahun yang lalu. Ketika Soiandra meninggalkannya."
"Bukan cuma orang gila yang memerlukan psikiater, Pa," keluh Paulin pahit.
Akhirnya Agusti mengalah. Dan mengantarkan anaknya ke seorang dokter kenalannya. . Dokter ku mengonsultasikan Paskal kepada seorang psikiater.
Dokter Rosa Andol ini tampil secantik namanya.
Meskipun, usianya sudah empat puluh satu tahun, tidak seorang pun dapat membantah, dia masih sangat menarik. Pakaiannya rapi. Rambutnya tertata dengan baik. Makeup-nya pun pas. Tidak berlebihan. Sesuai dengan umurnya. Sesuai pula dengan profesinya.
Dan karena dia seorang doktet jiwa, pasiennya dari kalangan atas pula, dia tidak perlu berlelah-lelah memeriksa pasien. Dia hanya perlu mengajak mereka bicara.
Tetapi jangan kaget kalau berbicara dengan dia selama dua puluh menit dikenakan biaya konsultasi sebesar dua ratus lima puluh ribu.
Mula-mula Paskal juga menganggap kedatangannya ke sana hanya buang-buang waktu dan uang saja. Apa yang diharapkannya dari dokter wanita itu"
Andolini tidak dapat menyembuhkan jiwanya bagaimanapun pandainya dia. Dokter itu juga tidak dapat melenyapkan kesedihannya betapa pintarnya pun dia bicara. Dan yang paling penting, dia tidak dapat menghadirkan Soiandra! Tidak di kamar praktiknya. Tidak juga di kamar tidur Paskal.
Jadi buat apa dia kemari seminggu dua
Mula-mula Paskal memang hanya ingin mengikuti kehendak ayahnya. Karena dia sudah malas membantah. Malas berdebat. Pulang dari Las Vegas dia memang sudah seperti patung bernyawa. Kalau tidak disuruh makan, tidak makan. Kalau disuruh ke dokter, dia berangkat ke sana tanpa membantah.
Tetapi lama-kelamaan, dia merasa betah juga mengobrol dengan Dokter Andolini. Dia bukan hanya sabar. Siap mendengarkan seluruh keluhan pasiennya. Termasuk kemarahan Paskal terhadap nasib buruk yang menimpa istrinya. Kesedihannya karena kehilangan wanita yang sangat dicintainya. Sampai keraguannya atas kemungkinan adanya hidup yang kedua. Kehidupan setelah kematian.
"Soiandra hadir kembali dalam hidupku. Aku bisa memeluknya. Menciumnya. Aku melihat senyumnya. Mendengar tawanya. Tidak. Itu bukan mimpi! Bukan halusinasi! Dia sungguh-sungguh datang kembali!"
Kelebihan Dokter Andolini bukan hanya kesabarannya mendengarkan. Tapi juga kemahirannya mengikuti arus emosi pasiennya.
Dia tidak membantah pendapat Paskal. Tidak menyela kata-katanya. Tidak menganggap penumpahan perasaannya itu omong kosong belaka. Dan yang paling penting, Dokter Andolini
tidak menganggap pasiennya gila. Sakit jiwa.
Ngawur. "Aku ingin mengulanginya lagi, Dokter. Aku ingin melihatnya kembali. Aku sudah mencoba minum obat-obat psikotogenik untuk menim* bulkan halusinasi. Tapi Soiandra tidak datang dalam halusinasiku."
"Saya mengerti," sahut Dokter Andolini ramah. Simpatik. Penuh pengertian. Dia selalu menempatkan dirinya di pihak pasiennya. Bukan di seberangnya.
Bukan rahasia lagi kalau hampir setiap pasiennya merasa begitu tergantung padanya setelah tetapi mereka berakhir. Pada setiap akhir sesi, mereka merasa lebih lega. Dan ingin datang lagi untuk sesi berikutnya.
Dokter Andolini hampir tidak pernah memberikan obat kepada pasiennya. Apalagi kepada pasien yang dokter seperti Paskal. Yang dilakukannya hanya psikoterapi. Dan setelah enam kali bertemu muka, Paskal merasa gelombang emosinya mulai membaik.
Dia sudah bisa bekerja kembali. Sudah.kernbah ke rutinitas kehidupannya seperti sebelum berangkat ke Las Vegas bulan Jaiu.
Memang masih tetap hidup yang kosong. Tandus. Gersang. Tapi paling tidak, dia tidak gila. Atau tidak ingin menjadi gila.- Hanya karena dia ingin bertemu lagi dengan Soiandra.
Terima kasih telah menyeimbangkan kembali emosi saya, Dok," kata Paskal sore itu di kamar prakak Dokter Andolini yang luas dan sejuk.
Tidak seperti kamar praktik dokter pada umumnya, mang praktik itu lebih mirip ruang tamu yang asri dan menyenangkan. Tidak ada bau obat suntik yang membuat perasaan pasien menjadi tegang. Atau bau lisol yang menyebabkan hidung mendengus.
Pengharum ruangan beraroma pinus, dikom-binasi dengan hijaunya daun-daun wave of love yang panjang melengkung menyejukkan mata, tampil begitu dominan di ruangan itu.
Tidak ada buku yang bertumpuk-tumpuk menyesakkan napas. Tidak ada majalah yang berserakan merusak pemandangan. Semua bukunya tertata rapi di rak buku. Majalah disusun rapi seperti di perpustakaan.
Bukan itu saja. Jika haus tiba-tiba mengganggu di ten
gah-tengah sesi, minuman dapat diambil seenaknya di bar kecil atau di lemari es di sudut ruangan.
Musik lembut mengalun merdu dari perangkat CD. Sementara TV plasma yang tergantung di dinding menampilkan gambar-gambar indah laksana lukisan. Semuanya menyebabkan pasien yang berada di ruangan itu merasa santai.
Biasanya mereka duduk di sofa panjang berjok kulit lembut dengan warna pastel yang nyaman. Sementara Dokter Andolini sendiri duduk agak jauh di kursi putarnya. Tempat dia bisa mengawasi pasiennya dengan baik tanpa pasien itu sendiri merasa diawasi.
"Apa arti kata-kata ini"" Dokter Andolini tersenyum manis. Senyum yang selalu menyejukkan hati pasien-pasiennya. Membuat mereka tidak merasa rugi mengeluarkan uang hanya supaya bisa ngobrol dengan dokter itu. "Tidak ,ada pertemuan berikutnya" Anda sudah merasa sembuh""
Paskal membalas senyum dokter itu dengan menyunggingkan seuntai senyum pahit.
"Saya tidak dapat sembuh kecuali dapat bertemu lagi dengan istri saya."
"Sejak semula, saya yakin Anda tidak sakit, Dokter Paskal. Anda hanya terobsesi untuk bertemu lagi dengan istri Anda."
Terima kasih atas pengertian Anda. Saya juga berterima kasih karena sejak semula Anda . tidak menganggap saya gila."
Ketika Paskal bangkit sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan dokter itu, Rosa Andolini melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangka. Dia bangun dari kursinya. Dan menampar pipi Paskal sekuat-kuatnya.
Paskal terjajar mundur saking kagetnya. Mukanya terasa pedih. Tapi rasa terkejutnya membuat dia hampir tidak memedulikan rasa sakitnya.
"Apa arti tamparan ini"" tanyanya bingung sambil mengelus pipinya. "Salah satu cara pengobatan baru di bidang psikiatri""
'"Supaya Anda merasa sakit," sahut Dokter Andolini tenang. "Dan supaya Anda tahu, bukan hanya Anda yang pernah merasa sakit. Banyak orang yang kehilangan orang yang mereka cintai. Mereka sakit. Tapi mereka berangsur sembuh. Waktu akan menyembuhkan luka mereka."
"Pernyataan ini untuk pasien saja, atau juga untuk dokternya"" tanya Paskal pahit.
"Ternyata saya memang berhadapan dengan seorang dokter," senyum kagum bermain di bibir Dokter Andolini. "Rupanya selama saya memeriksa Anda, Anda juga menganalisis saya."
"Anda juga pernah kehilangan, Dokter" Pernah merasa sakit seperti saya""
"Tiga belas tahun yang lalu, suami saya tewas dalam kecelakaan pesawat terbang." "Anda pasti sangat kehilangan." "Tapi saya tidak luluh dalam kesedihan seperti Anda. Setelah gagal bunuh diri, saya malah memutuskan untuk masuk psikiatri."
"Mungkin suatu saat nanti Anda mau menceritakan kisah Anda pada saya."
"Kenapa tidak sekarang saja"" tantang Dokter Andolini tegas.
Tantangan itu membuat Paskal tertegun. Sekejap dia hanya menatap dokter iru tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
*** Dokter Rosa Andolini mengajak Paskal makan malam di sebuah restoran tua di daerah Menteng.
"Di sini dulu Anda biasa makan malam
dengan suami Anda," cetus Paskal ketika pesanan makanan mereka datang.
"Tidak," sahut Rosa Andolini sambil menyunggingkan seuntai senyum getir. "Kami
tidak "pernah makan di sini. Kecuali pada malam terakhir sebelum dia berangkat."
"Sesudah itu, Anda pernah makan di sini lagi""
Rosa menggeleng. "Baru malam ini."
"Kalau begitu, saya merasa diistimewakan." Bagi Rosa Andolini, Paskal memang pasien istimewa. Dalam enam kali pertemuan, dia sudah merasa dekat dengan pasien yang satu ini. Bukan hanya karena mereka sama-sama dokter, tapi juga katena kisah cinta mereka yang sama-sama beraldur tragis.
"Ketika Bambang pergi, saya sedang hamil enam bulan," kata Rosa tanpa ditanya. "Anak yang begitu kami dambakan dalam tiga tahun perkawinan kami."
"Sebelum Soiandra pergi, dia ingin sekali memberikan seorang anak kepada saya. Tapi harapannya itu tak pernah kesampaian. Anda lebih beruntung dari saya, Dok. Karena ada yang ditinggalkan suami Anda untuk Anda.
"Bagaimana kalau malam ini kita buat perjanjian""
"Perjanjian apa" Maaf. Saya orang yang tidak pandai menepati janji."
"Saya rasa Anda justru orang yang bersedia mati untuk mempertahankan janji Anda."
"Janji apa yang akan kita buat malam ini" Saya hara
p bukan pertemuan untuk terapi berikutnya."
Rosa Andolini tersenyum manis. Matanya bersinar menggoda. Tapi Paskal tidak tergugah. Mata itu bukan mata Soiandra. Bukan mata .yang dikaguminya. Bukan mata yang dipujanya. "Tidak perlu. Anda sudah sembuh." "Jadi""
"Karena Anda bukan pasien saya lagi, tolong jangan panggil saya Dokter."
Sesaat Paskal tertegun. Lalu seuntai senyum merekah di bibirnya.
Alangkah tampannya dia, pikir Rosa kagum. Seandainya saja senyumnya tidak sepahit itu.
"Panggil saya Rosa. Oke" Sekarang kita kolega. Hubungan kita bukan hubungan, doktet-pasien lagi."
"Oke," Paskal mengangguk. "Tapi .sud* lama saya bukan dokter lagi."
"Saya tidak peduli. Kita sama-sama membutuhkan seorang teman. Karena kita punya garis nasib yang hampir sama. Ditinggal oleh orang yang kita cintai."
Sejak makan malam itu, sebenarnya Rosa Andolini sudah membuka lebar-lebar pintu hatinya. Sayangnya, Paskal tidak pernah mengambil peluang yang disodorkan.
Dia tidak menolak diajak makan malam. Tidak menolak diminta menemani menghadiri seminar. Tetapi ketika Rosa Andolini. menghendaki peningkatan hubungan mereka, Paskal menolak.
Padahal setelah minum dua cawan anggur sesudah makan malam di hotel berbintang lima itu, mereka sama-sama merasa terbuai. Hangatnya alkohol bukan hanya meningkatkan libido, sekaligus membuat mereka lebih terbaka.
Paskal mengerti sekali apa yang diinginkan Rosa saat ini. Bukan hanya matanya saja yang memancarkan keinginan itu. Bahasa tubuhnya pun menyatakan demikian.
Tetapi Paskal tidak ingin melayaninya. Dia memilih mengantarkan Rosa pulang daripada berkencan di kamar hotel.
f ~j "Maafkan saya," gumam Paskal dalam mobil ketika keheningan menyelimuti suasana. Dia tahu sekali mengapa Rosa mendadak jadi bisu. Dia pasti sangat kecewa. "Saya belum dapat melakukannya."
"Belum dapat atau tidak mau"" cetus Rosa dingin.
"Saya belum dapat melupakan Soiandra." "Tapi suatu hari kamu harus bisa melupakan-I nFa-"
Bagaimana aku bisa melupakan desah napasku sendiri, keluh Paskal getir. Soiandra mem-bayangiku ke mana pun aku pergi! Bahkan di balik kecantikanmu, Rosa, aku masih melihat Soiandra! Masih membayangkan wajahnya. Tatapan matanya. Senyumnya. " Menghirup aroma parfummu mengingatkan aku pada harumnya tubuh istriku. Harumnya rambutnya. Lipstiknya. Bagaimana aku bisa melupakannya" Bagaimana aku bisa menggeser Soiandra, menggantinya dengan perempuan lain, siapa pun dia"
Paskal tidak pernah datang lagi ke kamar praktik Dokter Rosa Andoiini. Beberapa kali Rosa mencoba menghubunginya. Tetapi Paskai selalu menghindar.
"Apa sih kurangnya dokter itu"" gerutu Paulin, yang sudah merasa gerah melihat dinginnya reaksi abangnya terhadap wanita. 1 Dia tahu sekali sudah berapa kali Dokter Andolini menelepon Paskal. Di rumah. Di kantor. Di ponsel. Tetapi Paskal tidak mau melayaninya. "Nggak ada," sahut Paskal acuh tak acuh. "Lalu kenapa ditolak" Sampai kapan kamu mau begini terus"" "Sejak kapan itu jadi urusanmu"" "Aku khawatir melihat keadaanmu, Paskal!" "Seharusnya kamu khawatir sejak tujuh tahun yang lalu!"
"Kami semua memang khawatir," gerutu Paulin gemas. "Kamu yang tidak peduli!"
"Tidak usah khawatir. Aku tidak apa-apa. Dokter Andolini juga bilang aku sudah sembuh. Tidak usah datang ke tempat praktiknya lagi."
"Kamu jangan berlagak bodoh, Paskal! Kamu bukan nggak tahu kan dokter itu naksir kamu""
"Bukan urusanmu." "Kamu tidak tertarik padanya"" "Tidak termasuk hal yang harus kuiaporkan pada atasan, kan""
"Serius, Paskal! Kami semua berharap kamu jadi manusia lagi! Bukan mayat hidup seperti tujuh tahun terakhir ini!"
"Tapi mayat hidup ini tidak merugikan perusahaan, kan" Atau kamu ingin aku di-PHK""
"Ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan!" Paulin hampir menjerit saking gemasnya. "Kami ingin kamu hidup normal lagi! Punya istri. Punya anak kalau bisa. Punya kehidupan. Punya masa depan____"
"Terima kasih, Paulin," suara Paskal melunak. "Aku tahu apa yang harus kulakukan."
"Jangan sia-siakan kesempatanmu, Paskal. Dokter Andolini pasangan yang cocok untukmu. Dia memahami dirimu. Mengerti kesulit-anmu. Dapat merasakan penderiraanmu. Ka
mu mau tunggu yang seperti apa lagi"" "Yang seperti Soiandra," sahut Paskal mantap. Sesudah itu Paulin tidak mampu membuka mulutnya lagi. Dia kesal. Sekaligus iba pada kakaknya.
*** Sepeninggal Soiandra, Paskai memang tidak memberikan kesempatan kepada perempuan
mana pun untuk masuk daiam hidupnya. Tidak
Dokter Rosa Andoiini. Tidak juga Sania.
Pada hari kematian SoJandra yang kesepuluh, Paskal malah pergi ke rumah mertuanya di Surabaya. Bukan menunggu Sania di kantin I tua di kampusnya.
Di dalam pesawat yang menerbangkannya ke Surabaya, pikirannya melayang sekejap ke Jakarta. Sudah tibakah Sania di sana" Sedang menunggu dengan sia-siakah _dia.. di kantin kampus mereka"
Kasihan. Dia pasti sangat kecewa.
Tapi hidup memang kejam. Tak ada orang yang tak pernah kecewa.
Dan tak ada yang dapat Paskal lakukan untuk menolongnya. Karena Paskal tidak mau bersandiwara. Berpura-pura mencintai Sania hanya supaya dia tidak kecewa.
Maafkan aku, San, desah Paskal pedih. Aku masih belum dapat melupakan Solandra. Belum dapat menggantinya dengan dirimu. Karena dia masih bertakhta di hatiku. Tak ada tempat kosong untukmu.
Pada saat yang sama, di kantin sebuah universitas di Jakarta, Sania sedang mengusap air matanya dengan kecewa.
Kantin itu sudah berubah. Tak ada lagi kantin tua yang membangkitkan kenangan-kenangannya semasa mahasiswa. Nostalgia persahabatannya dengan Paskal. Kantin itu sudah lenyap. Berganti dengan kantin baru yang tidak dikenalnya.
Tetapi kekecewaan Sania bukan hanya karena tidak ada lagi yang dikenalnya di sana. Tetapi juga katena dia tidak menemukan pria yang dicarinya.
Paskal tidak muncul. Sia-sia Sania duduk lima jam lebih di sana. Sampai pemilik kantin itu merasa heran.
Apa yang ditunggu wanita separo baya ini" Seorang teman lama" Bekas pacar"
Mukanya tampak demikian sedih dan kecewa. Tidak datangkah orang yang dinantikannya"
Orang itu pasti bekas pacarnya waktu kuliah dulu. Kalau tidak, masa parasnya begitu muram"
Cinta, desah pemilik kantin itu dalam hati. Indah, sekaligus menyakitkan!
Lihat bagaimana sikapnya waktu membayar minumannya. Lihat bagaimana cara dia radangkah. Tertatih-tatih seperti mengidap penyakit kronis.Sebelum meninggalkan kantin dia masih menoleh sekali lagi. Berpikir sebentar. Seperti mempertimbangkan mau menunggu lagi atau tidak. Akhirnya dia melangkah ke luar dengan paras muram.
Sania memang masih ragu. Tidak datangkah Paskal" Mungkinkah dia lupa" Siapa tahu dia baru ingat nanti malam. Mungkin dia terlalu sibuk.
Daripada harus kembali dengan sia-sia ke Melbourne, Sania memutuskan untuk pergi ke rumah Paskal. Bahkan juga ke kantornya kalau perlu. Ke mana saja. Asal dia dapat menemui lelaki itu.
Tetapi jawaban yang diperolehnya membuat Sania lemas.
Paskal tidak ada di rumah. Tidak ada di kantor. Pembantunya tidak tahu ke mana dia pergi. Adiknya mungkin tahu, tetapi tidak mau mengatakannya:
Akhirnya Sania terpaksa pulang dengan sia-sia. Penantiannya selama sepuluh tahun tidak membuahkan hasil. Rupanya Paskal tetap belum dapat melupakan Solandra. Sampai kapan pun.
Bab XVI ETELAH menghadiri perayaan ulang, tahun ayahnya yang ketujuh puluh tujuh, Paskal langsung berangkat ke Surabaya. Dia menerima sms, ibu Solandra sakit. Dan Elena mengharapkan kedatangannya.
Dia tidak dapat memenuhi janjinya untuk menemui rekan bisnisnya di Tours. Penyakit jantungnya mendadak kambuh. Dokter melarangnya melakukan aktivitas apa pun. Jadi terpaksa untuk pertama kalinya dia minta tolong pada Paskal.
"Pertemuan ini sangat penting," katanya ketika Paskal menjenguknya di rumah sakit. "Penting untuk kelanjutan bisnis Mama."
"Tentu," Paskal menggenggam tangan mertuanya sambil tersenyum lembut. "Kalau tidak, mana pernah Mama minta tolong pada saya""
Sudah empat belas tahun JEJena Mandagie kehilangan anak kesayangannya. Selama itu, Paskal dengan rajin mengunjunginya setiap
enam bulan. Tetapi Elena belum pernah sekali pun minta bantuan menantunya.
"Kata Solandra, kamu tidak menyukai bisnis pakaian.''
"Sekarang saya berkecimpung dalam bisnis pakaian jadi juga, Ma. Tidak sia-sia Andra mengajak saya ke toko Mama saat terakhir kami
mengunjungi Mama di Surabaya."
"Syukurlah kalau begitu," ibu Solandra menghela napas berat. Matanya yang redup menerawang jauh seperti mengenang pertemuannya yang terakhir dengan putrinya. "Supaya Mama punya penerus untuk melanjutkan bisnis ini jika Mama sudah tidak ada." "Mama jangan ngomong begitu ah." "Mama serius, Pas. Mama ingin mewariskan | bisnis ini padamu."
"Mama tidak takut perusahaan yang sudah j Mama bina dari muda ini bangkrut di tangan saya"" Paskal mencoba bergurau untuk mencairkan suasana. "Mama kan tahu kualitas , saya."
"Justru karena Mama tahu kualitasmu. Ayahmu sudah beberapa kali menyampaikan kemajuanmu. Mama bangga mendengarnya." Paskal tersentak kaget. Ditatapnya ibu
Solandra dengan tatapan tidak percaya. "Papa menelepon Mama"" "Malah sudah dua kali datang kemari." "O ya"" Paskal tertegun bingung. "Mama sudah memaafkannya," desah ibu Solandra lirih.
"Kapan, Ma"" desak Paskal tidak percaya. "Kapan Mama memaafkan ayah saya""
"Di pemakaman Solandra. Empat belas tahun yang lalu. Ketika dia datang menyalami Mama. Ketika melihat air mata yang menggenangi matanya, Mama tahu saat itu dia tidak bersandiwara. Dia benar-benar menyesal."
Paskal tidak mampu mengucapkan separah kata pun. Jadi kepergian Solandra ternyata tidak sia-sia. Dia sudah berhasil mendamaikan orangtua mereka!
*** Tours terletak tiga ratus kilometer di selatan Paris. Terletak di daerah yang disebut Chateaux Country, di lembah Loire yang permai. Dan
seperti namanya, di area itu terdapat berbagai chateau yang indah-indah dan bersejarah, seperti Chenenceaux, Amboise, Cheverny, Chambord, dan masih banyak Jagi
Tetapi sepeninggai Solandra, Paskal seperti kehilangan seluruh gairahnya untuk bertualang menyusuri perjalanan sejarah. Kehilangan semangat untuk menyaksikan keindahan yang bertebaran di sekitarnya. Sekarang semua itu tidak menarik lagi baginya. Tanpa Solandra, tak ada lagi keindahan. Yang ada hanya kemuraman dan rutinitas pekerjaan.
Memang membosankan. Tapi apa lagi yang dapat dilakukannya" Tiap hari dia hanya ber- j harap semoga malam cepat datang. Semoga hari ini cepat berlalu. Semoga hari esok cepat muncul. Dan semoga dia semakin dekat ke hari pertemuannya kembali dengan Solandra.
Karena itu Paskal tidak mau membuang-buang waktu. Jalan-jalan ke chateau" Buat apa" Dia kan bukan turis lagi! Buat apa melibat bangunan kuno, melihat ranjang dan meja-kursi yang sudah berumur ratusan tahun"
Yang ingin dilihatnya cuma Solandra.' Tapi dia tidak ada di sana!
g saja menuju Tours untuk
menyelesaikan tugasnya. Bertemu dengan mitra bisnis ibu Solandra di sebuah galeri yang sangat terkenal di kota itu. Dan membicarakan topik bisnis mereka. Pembicaraan itu baru selesai sekitar pukul
tiga siang. Dan Paskal merasa perutnya lapar
sekali. Dia langsung berjalan kaki ke seberang dan masuk ke sebuah kafe. Memesan sepotong cheesecake dan secangkir kopi.
Sambil duduk di bawah payung lebar berwarna merah, dia menikmati kesibukan jalan raya di depannya. Saat itu sudah hampir setengah empat sore. Angin yang berembus sejuk sudah mulai terasa menggoda kulit.
Matahari bersinar malu-malu, mengintai di celah-celah ranting-ranting pohon yang rindang di tepi jalan. Cuaca meredup dan suram. Tapi lampu jalanan berbentuk lima bola yang terpancang di atas tiang di hadapannya belum dinyalakan. Barangkali memang masih terlalu sore.
Selesai menyantap kue dan menghirup kopinya, Paskal melangkah ke depan kafe. Di sana ada sebuah bangku panjang berwarna kelabu yang kebetulan kosong.
skal duduk-duduk di sana menikmati ma nusia yang laiu-laiang di kaki Jima di hadapannya. Di samping kaki lima, ada sebuah jalan kecil yang hanya muat satu mobil. Tapi jalan sesempit itu pun masih sesak dipadati kendaraan.
Paskal melayangkan pandangannya ke seberang, ke gedung megah yang dihiasi delapan pilar dan disebut Palais de Justice. Di halaman depan, air mancur mencipratkan airnya sementara bendera Prancis melambai-lambai di atapnya.
Pukul empat tepat, ketika lonceng di atas 'Hotel De Ville berdentang, sebuah bus berwarna hijau telur asin berhenti di pemberhentian bus. Penumpang berduyun-duyun
turun. Ramai. Tapi tertib. Sebagian menyeberangi jalan. Beberapa di antaranya melangkah ke kaki lima dan melewati tempat Paskal duduk.
Saat itulah mata Paskal tertumbuk pada seorang gadis remaja berpenampilan Melayu. Gadis itu mengenakan celana hipster dengan blus tanktop yang memamerkan pusar dan bahunya, seolah tidak peduli pada sejuknya udara yang menyapa kulitnya. Padahal dia bawa jaket. Jaket biujins itu melongok keluar dari ranselnya.
Paras gadis itu luar biasa cantik. Rambutnya yang hitam lurus tergerai melewati bahunya yang mulus dan terbuka. Sementara pinggangnya yang ramping terayun gemulai laksana dahan pohon yang bergoyang ditiup angin ketika dia melangkah.
Tetapi bukan kecantikan bidadari itu yang mengempaskan naluri Paskal. Dalam empat belas tahun terakhir ini, berapa banyak bidadari yang lewat dalam hidupnya" Tetapi tidak seorang pun yang berhasil menggugah gairahnya!
Namun yang satu ini sungguh berbeda. Bukan kecantikannya. Tapi kemiripannya dengan Solandra!
Seandainya dia lebih tua sepuluh tahun, Paskal pasti tidak ragu lagi, almarhum istrinyalah yang telah menitis ke dalam jasad gadis remaja ini!
Hanya sekejap Paskal sempat bengong. Karena langkah gadis itu begitu cepat. Sebentar saja dia sudah menghilang di antara kerumunan orang yang berjalan di kaki lima.
Bergegas Paskal mengejarnya. Seolah-olah tidak mau melepaskannya lagi. Dia ikut rombongan manusia yang menyeberang di depan
Banque Hervet. Mengikuti gadis itu dari jarak lima meter di belakangnya, v' Dia sendiri tidak tahu mengapa harus mengikuti gadis itu. Apa yang hendak dilakukannya. Dia tidak sempat berpikir lagi. Semuanya berlangsung begitu cepat. Kalau terlalu lama berpikir, gadis itu pasti keburu lenyap.
Jadi Paskal terus saja membuntuti gadis remaja yang mirip Solandra itu.
Makin lama makin sedikit orang yang melangkah searah dengan mereka. Mempermudah Paskal membuntutinya.
Gadis itu masih melangkah cepat-cepat di depannya, tanpa sadar ada seorang laki-laki yang mengikutinya. Atau... dia tahu tapi tidak peduli"
Sudah seringkah dia memperoleh seorang pengagum gelap" Tidak heran kalau melihat "' wajahnya yang demikian cantik dan tubuhnya yang begitu ramping. Apalagi sentuhan oriental di parasnya yang belia menambah daya tarik eksotiknya.
Mau ke mana dia" pikir Paskal ketika gadis itu menyeberang di depan Pharmacie du Progress. Pulang ke rumah" Di sinikah rumahnya" Siapa orangtuanya" Mengapa dia begitu mirip
Solandra" Benarkah dia titisan almarhum istrinya" "
Tetapi-gadis itu tidak berhenti di sana. Dia masih melangkah terus menuju ke arah La Gare SNCF, stasiun kereta api.
Tergesa-gesa Paskal mengikuti gadis itu membeli karcis kereta. Ternyata dia membeli karcis TGV yang menuju ke Montparnasse di Paris. Kereta itu berangkat pukul setengah enam sore. Paskal tidak sempat lagi kembali ke hotelnya untuk mengambil kopernya.
Apa boleh buat, desahnya sambil mengatur napasnya. Aku tidak boleh kehilangan dia. Aku harus tahu benarkah ada reinkarnasi!
Dia begitu mirip dengan Solandra. Segala-galanya. Wajahnya. Tubuhnya. Bahkan gerak-geriknya.
Kalau umur gadis ini tujuh atau delapan tahun saja lebih tua, dia pasti serupa dengan Solandra ketika pertama kali Paskal melihatnya di reuni SMA-nya!
Paskal tidak kebagian bangku di dekat gadis itu dalam TGV yang melaju cepat ke Paris. Karena itu dia kehilangan kesempatan untuk berkenalan. Satu-satunya kesempatan yang dimilikinya hanyalah ketika gadis itu naik Metro.
Untung dia punya karcis Metro untuk tiga hari. KaJau tidak, dia tidak bisa masuk ke stasiun.
Dari jauh dia melihat gadis itu masuk ke kereta yang berhenti di depannya. Dia langsung duduk tanpa memilm-milih bangku lagi.
Bangku di sebelahnya kebetulan kosong. Paskal melompat masuk hanya sesaat sebelum pintu kereta ku tertutup. Dan terhuyung-huyung dia mendaratkan tubuhnya di bangku kosong di sebelah gadis itu.
"Maaf/' cetusnya sambil tersenyum tulus ketika tidak sengaja kaki gadis itu tersentuh oleh kakinya.
Sekarang gadis itu menoleh. Dan matanya bertemu dengan mata Paskal.
Saat itulah untuk pertama kalinya Paskal merasa yakin, gadis ini memang titisan S
olandra! Matanya, gayanya menilai, caranya menatap, persis Solandra! Ya Tuhan!
Itulah pertama kali dalam hidupnya Paskal menyebut nama Tuhan.
Terima kasih karena telah mengirimkan kembali wanita yang sangat kucintai!
Tidak peduli Solandra lahir kembali melalui
reinkarnasi ataupun titisan, gadis di hadapannya ini pasti jelmaan Solandra! Tidak seorang
pun dapat menyangkalnya! "Mengapa mengikuti saya"" tanya gadis itu f ketika melihat laki-laki aneh di sebelahnya menatap dengan berlinang air mata.
Jadi dia tahu Paskal mengikutinya! Tetapi baik suaranya maupun tatapan matanya sama sekali tidak mencerminkan rasa takut. Dia hanya merasa heran.
Paskal ingin sekali memeluk gadis itu. Ingin membelai rambutnya. Ingin mencium bibirnya. Ingin membisikkan di telinganya betapa dia sangat mencintainya. Merindukannya.
Tetapi sikap gadis, itu yang seperti orang asing, menahan gerakannya. Paskal menjadi ragu.
Mengapa Solandra tidak mengenalinya" Ke mana tatapan matanya yang demikian lembut dan penuh cinta kasih itu setiap kali memandangnya" "Solandra," bisik Paskal getir. Tetapi desahannya yang begitu penuh kerinduan ditelan bising roda Metro yang menjerit menggilas rel. Tak ada yang dapat bicara nyaman dalam Metro yang berlari cepat.
lagi stasiun demi stasiun terasa begitu cepat dilalui. Kalau lalai, tujuan bisa langsung terlewati.
Gadis itu juga sudah tidak mengacuhkannya lagi. Dia turun di Montparnasse Blenvenue, Melangkah cepat-cepat menelusuri lorong-lorong di bawah tanah menuju ke Metro lain yang mengambil jurusan utara.
"Tunggu!" seru Paskal sambil mengejar gadis itu.
Gadis ku menghentikan langkahnya dan ber-balik. Sekarang matanya menatap dengan marah.
"Tolong jangan ganggu saya," katanya dalam bahasa Inggris yang sangat fasih. Walaupun parasnya Melayu, lidahnya tidak. Pengucapan bahasa Inggrisnya sangat sempurna. Sama sekali tidak beraksen Prancis. Mungkin dia bukan orang sini. "Atau saya panggil polisi."
"Saya hanya ingin bertanya."
"Tanya apa""
"Siapa namamu""
"Perlu apa tanya nama saya""
"Saya ingin mengenalmu."
"Saya tidak ingin berkenalan." Gadis itu memasukkan tiket Met***** w _J_
mesin di pintu masuk. Besi penghalang langsung berputar ketika didorong oleh tubuhnya.
"Tunggu!" pinta Paskal memelas. Dia memasukkan tiket Metro-nya ke mesin di samping pintu masuk. Kalau tidak punya tiket, dia tidak bisa mendorong palang besi yang menghalangi langkahnya.
Gadis itu tidak jadi melangkah. Dia berbalik. Dan menunggu beberapa langkah di depannya. Ditatapnya Paskal dengan tidak sabar.
"Boleh saya memperlihatkan selembar foto padamu""; "Saya tidak mau melihat fotomu." "Kalau kamu tidak tertarik, kamu boleh pergi. Saya janji tidak akan mengikutimu lagi."
Gadis itu berpikir sebentar. Lalu dia menunggu. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Paskal cepat-cepat mengeluarkan dompetnya. Dan mengambil foto Solandra yang selalu dibawanya ke mana-mana. Diperlihatkannya foto itu sambil bergumam,
"Sekarang kamu tahu mengapa saya mengejarmu""
Tidak sadar tangan gadis itu terulur mengambil foto di tangan Pasical. Diamat-amatinya I dengan cermat. Lalu tatapannya berpindah Jce f wajah Paskal.
Ketika gadis itu sedang mengawasinya dengan bingung, Paskal ingin menangis. Dia seperti melihat Solandra. Tegak di hadapannya dengan tatapan yang sangat dikenalnya. Tidak sadar dia berdesah pilu, "Solandra...."
Gadis itu mengembalikan fotonya tanpa berkata apa-apa. Tapi dari air mukanya, Paskal tahu, kecurigaannya sudah berkurang.
"Terima kasih," gumam Paskal terharu. "Boleh mengajakmu minum""
"Tidak," sahut gadis itu mantap. "Saya tidak mau minum dengan orang asing. Apalagi malam-malam begini."
"Nama saya Paskal Prakoso," kata Paskal cepat-cepat sambil mengikuti langkah gadis itu. "Saya dokter dari Indonesia."
Tapi saya sudah tidak praktik. Saya hanya ingin kamu menaruh respek. Di mana-mana dokter profesi yang terhormat, kan" Walaupun tidak jarang yang jahat. Atau sakit jiwa sekalian.
Dan ternyata usahanya berhasil. Dugaannya
tidak keliru. Meskipun tidak sakit, bertemu seorang dokter rupanya lebih menenangkan.
"Siapa wanita dalam foto itu"" tanya gadis itu tanpa m
engurangi kecepatan langkahnya memburu kereta Metro yang sudah terdengar gemuruhnya. "Almarhum istri saya. Namanya Solandra." "Mengapa mukanya mirip saya"" "Itu yang ingin saya ketahui. Boleh saya mengenalmu lebih jauh"" "Saya harus pulang. Sudah malam." , "Oke. Saya akan mengantarmu." "Tidak perlu. Saya bisa pulang sendiri." Gadis itu melompat ke dalam Metro. Paskal mengikutinya.
Karena sudah malam, Metro itu nyaris kosong. Biasanya pada jam pulang kantor* alat transportasi yang paling diminati penduduk Paris ini penuh sesak.
Setelah melewati lima pemberhentian, gadis itu turun di Stasiun St. Michel. Paskal segera mengikutinya. Dan mereka berjalan cepat-cepat keluar dari stasiun. Mendaki beberapa undakan. Lalu menghirup udara bebas di luar.
"Mau pakai jaket saya"" tanya Paskal ketika merasa udara malam mulai dingin.
"Tidak usah. Saya punya jaket sendiri. Lagi pula sudah dekat." "Rumahmu di sini"" "Bukan rumah saya."
"Lalu kamu mau ke mana malam-malam begini""
Nada khawatir dalam suara Paskal menyentuh hati gadis itu. Sejak semula dia memang sudah yakin, pria aneh ini bukan orang jahat. Setelah melihat foto istrinya, dia bertambah yakin, hanya kemiripan wajah mereka yang membuat pria itu mengikutinya.
Wajah mereka memang benar-benar mirip. Dan bukan hanya Paskal yang heran dengan kemiripan itu.
"Pernah dengar Program Pertukaran Siswa" Bahasa Prancis saya bagus. Jadi saya yang terpilih dikirim kemaxL Tinggal dengan orang Prancis."
"Dari mana asalmu""
"Goldcoast." "Tinggal dengan orangtua di sana"" "Ya. Ayah saya seorang radiolog." "Lalu yang di Tours"" "Saya menjenguk teman." "Oh, begitu. Berapa umurmu""
"Enam belas." Padahal Solandra meninggal empat belas tahun yang lalu. Jadi dia tidak mungkin titis-annya. Karena waktu gadis ini lahir, Solandra belum meninggal!
Solandra Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kamu percaya reinkarnasi""
Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan mantap.
"Kalau kamu kira saya reinkarnasi istrimu..." "Kalian begitu mirip! Saya seperti melihat istri saya hidup kembali. Saya begitu terharu ketika melihat caramu menatap saya." "Kamu pasti sangat mencintainya." "Dengan segenap jiwa saya." "Dia juga sangat mencintaimu"" 'Dia pernah bilang, seandainya jantungku tidak berdenyut lagi sekalipun, cintaku padamu takkan pernah mati."
Cinta kalian pasti sangat tulus, pikir gadis itu kagum. Cinta abadi. Cinta yang sudah jarang ditemukan saat ini "Kenapa istrimu mati"" "Kanker."
Sesaat gadis itu tertegun. "Dia pasti sangat menderita," gumamnya lirih.
"Tidak. Kami bahagia sampai saat terakhir Dan dia tetap cantik sampai maut datang menjemputnya."
"Kelihatannya kamu sangat memujanya."
Paskal tersenyum getir. Tetapi di dalam senyumnya, gadis itu menemukan cinta yang sangat tulus. Sangat dalam. Tak ternilai.
"Saya sangat mencintainya. Mengaguminya. Memujanya. Merindukannya. Empat belas tahun telah berlalu, saya belum pernah menemukan wanita yang dapat menggantikannya."
"Karena kamu tidak mencarinya," sahut gadis remaja itu dalam nada sok tahu. Entah dari mana dia mempelajarinya. Mungkin dari buku-buku yang dibacanya.
Karena baru seumur dia, bagaimana mungkin dia mengenal cinta abadi" Cinta yang ada di kamusnya baru cinta monyet! Tentu saja itu pendapat Paskal. Berdasarkan pengalaman pribadi.
"Sudah sampai," cetus gadis itu ketika mereka tiba di depan sebuah rumah. "Saya tidak bisa mengajakmu masuk."
"Tentu saja," sahut Paskal sambil tersenyum
ramah. "Saya han V4 ingin tahu namamu."
:AK^^nketerousay -Boleh"" . jarimu"" -fl
-Karena kamu kembali-' Bab XVII %y ASKAL tidak berdusta. Pertemuannya dengan Tracy membuat dia merasa hidup kembali. Dan karena pertemuan itu berlangsung di kota yang seromantis Paris, hubungan mereka menjadi lebih cepat akrab.
Paskal merasa begitu bahagia karena dia dapat memandang kembali mata Solandra. Dapar membelai kembali rambut Solandra. Dapat menyentuh kembali tangan Solandra.
Empat belas tahun dia merindukannya. Sekarang tiba-tiba saja mimpinya menjadi kenyataan. Angan-angannya menjadi daging. Solandra hadir kembali di hadapannya.' Terima kasih, Andra, desahnya hampir di setiap helaan napasnya. Terima kasih karena telah mengabulk
an permohonanku. Terima j kasih karena telah hadir kembali dalam hidupku!
Sekarang aku percaya memang benar ada hidup yang kedua. Karena inilah hidup kedua kita!
Mula-mula Tracy tidak peduli. Dia tidak peduli diperlakukan sebagai Solandra, atau persetan siapa pun.
Lelaki yang sudah pantas jadi ayahnya ini, umurnya pasti tidak kurang dari lima puluh tahun, memperlakukannya dengan sangat baik. Dengan lembut. Dengan manis. Dengan penuh cinta kasih.
Dia melimpahinya dengan begitu banyak hadiah yang tidak mungkin dibeli dengan uang sakunya. Baju. Sepatu. Tas. Perhiasan. Hm, wanita mana yang tidak tergiur" Gadis mana yang tidak suka dimanjakan dengan berbagai hadiah mahal"
Tidak peduli kadang-kadang kelakuannya agak aneh. Misalnya saja dia mati-matian mencari gaun berwarna hijau melon dengan potongan keyhole front dan halter neck. Dia memohon agar Tracy mau mengenakannya. Dan ketika melihat Tracy memakai gaun itu, air matanya langsung berlinang-linang.
"Terima kasih, Andra," bisiknya dalam bahasa yang tidak dimengerti Tracy. "Terima kasih
karena telah memberiku kesempatan melihatmu dalam gaun ini lagi."
Lalu dia memeluk Tracy dengan sangat lembut, seolah-olah Tracy terbuat dari pualam yang mudah pecah.
"Jangan tinggalkan aku lagi, Andra," bisiknya di telinga Tracy. "Jangan pernah meninggalkan aku lagi...."
Lalu dia mencium pipi Tracy dengan ciuman yang sangat hangat.
"Aku merMabtaimu," desahnya dalam bahasa yang tidak dimengerti tetapi dalam nada universal yang dapat dipahami oleh semua wanita di dunia, nada penuh kerinduan.
Itulah pertama kali Tracy menerima ciuman Paskal. Dan tiba-tiba saja dia merasa kehangatan mengalir dari pipi ke dadanya.
Ada yang bergolak di dalam sini. Tracy merasa bergetar. Dan dia merasa hangat. Merasa bergairah. Merasa bergelora.
Dan Paskal tidak berhenti sampai di sana saja. Paskal membawanya ke tempat-tempat yang romantis. Restoran-restoran yang mahal. Kafe dan bistro eksklusif yang bertebaran di seantero Paris.
Lalu dia mulai menceritakan kisah cintanya.
Istrinya. Nasib malang yang menimpa mereka. Tiap malam dia bercerita. Seolah-olah Tracy anaknya yang baru berumur empat tahun. Yang tiap malam harus didongengi sebelum tidur.
Mula-mula Tracy bosan mendengar ceritanya. Dia tidak kenal perempuan yang katanya punya muka yang sangat mirip dengan wajahnya itu. Tetapi lama-kelamaan entah mengapa, Tracy tertarik juga. Dia begitu mengagumi kisah cinta mereka seperti dia mengagumi kisah cinta Romeo dan Juliet.
Jadi setiap malam Tracy menunggu kelanjutan cerita Paskal. Makin lama makin tidak sabar menunggu akhirnya. Dan ketika ending cerita itu tiba, Ttacy ikut menangis bersama Paskal.
Anehnya, setelah mendengar cerita itu, ketika' menyaksikan betapa dalam cinta Paskal pada istrinya, Tracy jadi terpengaruh. Dia jadi ingin punya seorang laki-laki yang memuja dan mengasihinya seperti itu.
Memang benar. Mula-mula Tracy tidak mempunyai perasaan apa-apa. Dia hanya merasa senang karena dimanjakan. Dipuja. Dicintai. | Lelaki itu memperlakukannya dengan sangat baik. Lembut. Sopan. Tidak pernah kurang
ajar. Tidak pernah minta lebih kecuali ciuman di pipi.
Tetapi memasuki minggu yang kedua, setelah ciuman yang begitu hangat di pipinya, setelah mendengar cerita Paskal yang begitu tragis, Tracy mulai merasa berbeda. Dia mulai merindukan pelukan lelaki itu. Merindukan belaian kasihnya di rambutnya. Di pipinya. Bahkan sentuhan ujung jarinya di bibir mulai terasa menggetarkan sukma.
Tracy mulai mendambakan ciumannya. Mengharapkan bisikan cintanya yang begitu lembut dan mesra. Rasanya kalau sehari saja udak bersua, Tracy merasa kehilangan.
Mungkinkah aku jatuh cinta pada pria yang pantas jadi ayahku" pikirnya bingung. Tapi perasaan ini sungguh berbeda dengan perasaan yang pernah kumiliki selama ini.
Aku mengagumi Pierre. Pernah dicium Tony. Tapi jatuh cinta" Rasanya amat berbeda.
Pria ini memperlakukan diriku bukan sebagai gadis remaja enam belas tahun. Dia memper-lakukanku sebagai wanita dewasa. Di tangannya aku merasa menjadi wanita seutuhnya. Di hadapannya aku merasa tersanjung. Dimanja. Dipuja. Dicintai.
Dan suasana P aris yang romantis .sangat mendukung kedekatan mereka. Setelah menyusuri Sungai Seine di atas perahu malam itu, keduanya seperti tidak terpisahkan lagi.
Bateaux Parisiens yang membawa mereka menikmati keindahan lampu-lampu yang berkelap-kelip meronai Menara Eiffel, sinar redup dari Katedral Notredame di kejauhan, kegelapan yang menyungkup sesaat ketika mereka lewat di bawah jembatan Pont Neufj semuanya terasa begitu menggoda. Membenamkan mereka ke dalam pelukan romantisme yang diembuskan oleh suasana yang demikian memukau.
Mereka duduk berpelukan dalam perahu tanpa mengucapkan separah kata pun. Hanya membiarkan mata dan hati mereka menikmati keindahan di luar dan kemesraan di dalam.
"Aku mencintaimu," bisik Paskal lembut, kali ini dalam bahasa Inggris.
Dan Tracy ingin membalasnya dengan sebuah ciuman mesra di bibir Paskal. Tetapi pria itu menolaknya dengan halus.
"Kata Solandra, ciuman di bibir hanya boleh dilakukan sesudah kita menikah."
Tentu saja Tracy kecewa. Dia gadis yang
dibesarkan dalam kultur Barat. Ciuman di bibir tidak ada bedanya dengan ciuman di tempat lain. Hanya pernyataan kasih sayang. 'Lelaki ini. memang bukan hanya aneh. Kadang-kadang naif. Konyol!
Tetapi kalau cinta sudah bicara, yang konyol pun bisa dimaafkan. Tracy dapat memahami prinsip Paskal, betapapun anehnya. Dia memang sudah aneh dari semula, kan"
jadi Tracy tidak memaksa. Tidak mendesak. Meskipun dia begitu ingin mencium bibir lelaki itu. Ditahannya saja keinginannya. Diredamnya baik-baik gairah yang melonjak-lonjak di dadanya.
Dan gairahnya untuk memagut bibir lelaki yang dicintainya itu mereda ketika mendengar pertanyaan yang tidak diduganya.
"Maukah kamu pulang bersamaku ke Jakarta"" bisik Paskal sambil memandang ke dalam mata Tracy. Mata indah yang sangat dikaguminya. Mata Solandra. Miliknya. Pujaan hatinya. Kekasihnya.
Lamatankah. ini" Pria ini melamarnya" Alangkah mesranya'. Dia dilamar dalam perahu yang sedang menyusuri Sungai Seine di kota Paris. Kota paling romantis di dunia!
"Bawalah aku ke mana saja," sahut Tracy seperti dalam mimpi.
Bagi gadis remaja seusianya, cinta adalah segala-galanya. Ketika dia merasa sudah menemukan cinta suci, mengapa harus memikirkan lagi ke mana cinta akan membawanya" Bahkan maut pun akan disongsongnya jika ada yang menentang mereka. Meragukan cinta yang membuhul mereka dalam ikatan yang begitu kuat tak teruraikan.
Dan ketika rintangan itu datang dari Geoffroy Beaufils, pemilik rumah - yang ditinggali Tracy selama di Paris, Tracy memutuskan untuk meninggalkannya hari itu juga.
"Bawalah aku pergi," pintanya kepada Paskal. "Bawa ke mana saja asal kita tidak usah berpisah lagi."
"Biarkan aku bicara dengan Geoffroy," tukas Paskal murung.
Tentu saja dia juga tidak mau berpisah dengan Tracy. Dia ingin membawa gadis itu pulang bersamanya ke Jakarta. Tetapi membawa gadis remaja seusianya tentu tidak mudah. Apalagi secara resmi mereka tidak punya hubungan apa-apa.
Ketika bertemu dengan Geoffroy, Paskal
sudah merasa hubungannya dengan Tracy tidak akan berlangsung mulus. Pria Prancis itu sebaya dengan Paskal. Dan penampilannya menyatakan dia berasal dari kalangan intelek.
"Seharusnya Anda merasa malu," kata Geoffroy terus terang. Khas orang Barat. Suaranya semuram wajahnya. Seserius tatapan matanya. "Berapa umur Anda" Anda tahu berapa usia Tracy" Dia baru enam belas tahun! Anda pantas jadi ayahnya!"
Paskal tertegun bengong. Untuk pertama kalinya kenyataan itu menyentakkan kesadarannya. Selama ini kehadiran kembali Solandra dalam hidupnya telah membutakan dirinya. Dia lupa, Tracy bukan wanita yang sebaya. Dia jauh lebih muda. Umurnya baru enam belas. Dan.benar, dia pantas jadi anaknya!
"Tracy dikirim kemari oleh orangtuanya, oleh sekolahnya, untuk belajar bahasa. Belajar kebudayaan kami. Adat-istiadat kami. Bukan untuk pacaran dengan lelaki yang pantas menjadi ayahnya! Jika terjadi apa-apa dengan dia, Anda menodai kehormatan saya. Keluarga saya. Kami yang bertanggung jawab selama Tracy tinggal di rumah ini."
"Maafkan saya," gumam Paskal dengan suara
tetsendat. "Saya khilaf. Tapi Anda tidak usah khawatir. Saya menghor
mati Tracy. Memujanya. Mencintainya dengan tulus. Saya tidak pernah bermaksud menodainya atau menghina keluarga Anda."
"Saya percaya," suara Geoffroy melunak. "Tracy sering bercerita tentang Anda. Setelah bertemu sendiri, saya yakin, dia benar. Anda orang baik. Saya hanya mohon agar Anda tidak mengganggu Tracy lagi."
Mengganggu" pikir Paskal resah. Aku mencintainya! Mengganggukah namanya mencintai dan memuja seorang wanita dengan segenap I jiwaku"
*** Paskal meninggalkan rumah Geoffroy dengan perasaan hampa. Akhirnya kebahagiaan itu harus berakhir juga. Dua minggu lebih dia seperti memiliki kembali dunianya yang hilang. Dia seperti hidup kembali. Dengan Solandra
di sampingnya, dia seperti bangkit dari kematian.
Kini dia harus kehilangan Solandra lagi. Dia harus kembali ke hidupnya yang kosong. Hidup yang tidak berarti.
Paskal bukan hanya sedih. Dia kecewa. Putus asa.
Tetapi dia tahu, Geoffroy Beaufils yang benar. Siapa pun Tracy, titisan Solandra atau bukan, dia cuma seorang gadis enam belas tahun!
"Anda pantas jadi ayahnya!" kata Geoffroy tadi.
Aku pantas jadi ayahnya! Karena umurku sudah lima dua. Padahal aku begitu ingin jadi kekasihnya. Cintanya. Suaminya! Aku ingin dia jadi Solandra! Solandra-ku! Tidak peduli berapa umurnya! Berapa umurku!
Tetapi angan-angan itu tampaknya akan membentur batu karang. Akan hancur ber- j keping-keping. Sama seperti hatinya! Hancur j berkeping-keping! . "
*** Bateaux Parisiens masih meluncur mulus di atas Sungai Seine. Menara Eiffel masih berkelap-kelip memamerkan lampu-lampunya. Pasangan-pasangan romantis masih saling peluk dalam perahu. Muda-mudi masih berciuman i di atas jembatan Alexander III. Turis yang i
bercampur dengan penduduk Paris masih memenuhi kafe dan bistro di sepanjang Avenue des Champs Elysees.
Sepasang kekasih sedang menikmati pizza yang lezat di bawah udara terbuka di depan kafe. Mata mereka yang bertemu dalam tatapan diam-diam yang mesra penuh cinta, mengingatkan kembali Paskal pada kisah cintanya. Pada kenangan masa lalunya.
Di sudut yang lain, di ujung jalan kecil yang remang-remang, sepasang remaja tengah berpelukan. Bibir mereka melekat dalam pagutan yang mesra penuh gairah.
Hari sudah larut malam. Tapi Paris memang belum terlelap. Aroma cinta terasa dalam helaan napas setiap insan yang menekun malam di sana. Nuansa romantis mengisi jiwa-jiwa yang dahaga. Cinta, nafsu, dan gairah berdesakan seakan minta dipuaskan.
Tetapi Paskal sudah kehilangan jiwanya. Kehilangan matahari hidupnya. Dia tidak terpengaruh oleh kenikmatan di sekelilingnya. Tidak tergiur oleh rangsangan yang ditawarkan.
Dia melangkah dengan perasaan kosong di kaki lima. Tidak tahu ke mana kakinya membawanya.
Kalau mengikuti kata hatinya, dia ingin tinggal lebih lama lagi di Paris. Di sinilah dia
merasa hidup kembali, walaupun hanya sekejap.
Kalau harus mati, dia ingin mati di sini. Supaya pada saat terakhir, dia masih dapat merasakan pelukan Solandra. Tracy pasti datang menjenguknya. Dan dia akan minta gadis itu memeluknya erat-erat. Sampai maut datang menjemputnya. Mungkinkah saat itu Solandra sendiri yang menjemputnya"
"Aku akan membimbingmu," katanya dulu. Betapa indahnya. Solandra yang datang menyambutnya. Membimbingnya ke Taman Firdaus.
. Tetapi berita yang datang tiba-tiba itu menggagalkan rencananya. Memudarkan impiannya. Adiknya menelepon. Ibu Solandra meninggal. Paskal harus pulang. Dia ingin menghadiri pemakaman ibu mertuanya.
Jadi Paskal tidak punya pilihan lain. Dia hams meninggalkan Paris. Meninggalkan Tracy. Meninggalkan semua kenangan indahnya di sini.
Dia sudah memutuskan esok akan pulang kembali ke Indonesia. Melanjutkan hidupnya yang lama. Yang gersang. Yang membosankan.
Yang kosong. Yang sepi. Entah sampai kapan.
Sampai maut menjemputnya.
Entah satu atau dua dasawarsa lagi, mungkin ada titisan Solandra yang lain yang akan ditemuinya. Yang dapat memberinya kebahagiaan walaupun hanya sekejap. Yang dapat memuaskan kerinduannya memandang dan menyentuh wanita yang sangat dicintainya.
Sesudah itu dia akan menutup matanya rapat-rapat. Dan berharap kalau kelak dia membuka matanya lagi, di
a akan menemukan Solandra. Dan mereka tidak akan pernah berpisah lagi.
"Aku akan membimbingmu," kata Solandra dulu. "Ke tempat aku telah menunggumu."
Di mana tempat itu" Tempat yang disebutnya Taman Firdaus" Mungkinkah aku sampai ke sana" Hidupku berlumur dosa. Aku tidak percaya Tuhan. Bagaimana aku dapat menjurai pai Solandra lagi kalau aku tidak dapat mencapai surga"
*** Bandara Charles de Gaulle tidak terlalu ramai pagi itu. Antrean di tempat check in pesaw
juga tidak sepanjang antrean di tax refund, tempat orang-orang antre untuk minta pengembalian pajak barang-barang yang mereka beli di Prancis.
Setelah memperoleh boarding pass, Paskal meninggalkan check in counter. Dia sedang melangkah di antara deretan ttoli kosong tatkala dia mendengar namanya dipanggil. I Ketika Paskal menoleh dengan kaget, dia melihat Tracy mengejarnya dari belakang sambil melambai-lambaikan tangannya.
Paskal serentak melepaskan travel bag yang tergantung di bahunya. Dan membuka kedua lengannya lebar-lebar untuk menerima Tracy dalam pelukannya.
Lama mereka saling dekap tanpa mampu I mengucapkan sepatah kata pun. Cinta dan kerinduan seperti magma dalam perut gunung f berapi yang bergolak, meronta minta dimuntahkan ke luar.
"Jangan tinggalkan aku!" rintih Tracy lirih, mati-matian menahan gairah yang meronta di f dada. Dipeluknya lelaki yang dicintainya erat- j erat. Seolah-olah dia tidak rela melepaskannya J lagi"Maafkan aku, Tracy...." Paskal b ,
melepaskan dirinya dari pelukan Tracy. Tetapi usaha yang paling sulit justru menaklukkan gairahnya sendiri. "Aku harus pulang." ' "Aku mencintaimu!" sergah Tracy menahan tangis. "Aku akan mengikutimu ke mana pun kamu pergi! Bawa aku ke negerimu, Paskal! Jangan tinggalkan aku lagi!"
"Tidak mungkin, Tracy. Kamu masih di bawah umur. Aku tidak bisa membawamu..." "Aku tidak peduli! Jangan tinggalkan aku!" "Tapi..."
"Belikan aku tiket ke Jakarta!" "Tracy!"
"Negerimu memberikan visa on arrival, kan" Artinya aku bisa minta visa di Jakarta""
"Tapi, Tracy..."
"Bawalah aku ke sana!"
"Aku bisa ditahan kalau Geoffroy melaporkan aku menculik anak di bawah umur!"
"Kamu tidak menculik siapa pun! Aku pergi atas kemauanku sendiri!"
"Kamu harus mengatakannya dulu kepada Geoffroy, Tracy. Kalau tidak, dia akan mencarimu ke mana-mana!"
"Aku sudah bilang, aku mau pulang."
"Dia pasti tidak percaya. Dengar, Tracy.
Kamu harus kembali ke rumah Geoffroy. Sehujan lagi, aku akan kembali kemari menjemputmu."
"Sebulan!" pekik Tracy separo histeris. "Sadar-' kah kamu betapa lamanya sebulan" Aku tidak bisa berpisah selama itui Aku bisa gila!"
Aku tahu, keluh Paskal dalam hati. Aku pernah mengalami berpisah dengan orang yang kucintai selama empat belas tahun! Tapi kita tidak punya pilihan lain!
"Aku janji akan kembali ke Paris menjemputmu. Kita akan bersama-sama pulang menjumpai orangtuamu. Oke""
"Kamu akan menjumpai orangtuaku" Buat apa"" m&< I
"Kamu tidak ingin memperkenalkan aku I kepada orangtuamu"" "Buat apa" Minta izin"" "Kamu baru enam belas tahun, Tracy!" "Tapi tidak perlu minta* izin untuk pacar- I an!"
"Tentu, kalau kamu pacaran dengan teman f sekolahmu. Tapi kamu pacaran dengan pria I yang pantas jadi ayahmu!"
"Apa bedanya" Beda umur orangtuaku dua | puluh tahun!"
"Beda umur kita tiga puluh enam tahun, flacy!"
"Peduli apa" Kamu kan sudah duda. Aku masih gadis. Tidak ada yang melarang kita menikah!"
"Siapa yang bicara soal pernikahan" Kamu baru enam belas tahun!"
"Kita kan tidak mau menikah besok! Aku bisa menunggu sepuluh tahun lagi. Yang penting, kita tidak berpisah!"
Paskal menghela napas panjang. Memang sulit bicara dengan remaja. Apalagi remaja yang sedang jatuh cinta.
Tentu saja dia juga tidak ingin berpisah. Bertemu dengan Tracy seperti membangkitkannya dari kematian. Tracy mengembalikan hidupnya bersama Solandra. Tetapi membawa gadis di bawah umur tanpa izin orangtua ke negerinya, sama saja dengan menentang hukum.
Paskal tidak mau hubungannya dengan Tracy menimbulkan masalah. Dia ingin menikmati hubungan yang sah. Bukan yang melanggar
hukum. Karena itu dia ingin Tracy menyelesaikan programnya di sini tepat waktu. Ingin
memperkenalkan dirinya secara baik-baik kepada orangtua Tracy. Ingin mendapat restu mereka kalau mungkin.
Memang, tidak salah kalau orangtua Tracy menentangnya. Orangtua mana yang rela anak gadisnya yang baru berumur enam belas tahun pacaran dengan duda setengah abad"
Tapi kalau Paskal memperlihatkan kesungguhan harinya, kalau dia punya kesempatan untuk bercerita tentang Solandra, mungkinkah masih ada harapan baginya"
Bagaimanapun, dia tidak boleh salah langkah. Membawa Tracy pulang ke Jakarta sekarang, sama saja dengan menculiknya. Sama saja dengan menutup harapannya yang terakhir.
Orangtua Tracy pasti tidak menyukai lelaki yang menculik anaknya, apa pun alasannya!
Untung akhirnya Paskal berhasil menyadarkan Tracy. Berhasil mengubah tekadnya. Berhasil memaksanya berpikir dengan akal sehat.
Setelah belasan kali melafaskan janji akan kembali ke Paris untuk menjemputnya bulan depan, akhirnya Tracy mengizinkan Paskal
pergi. makm aku *** menunggumu di kaki Menara Eiffel - i ' ",
C1"el, kata Tracy sesaat sebelum mereka berpisah. "Kalau kamu tidak kembali juga sampai musim dingin tiba, orang-orang akan menemukan jasadku sudah membeku di sana." walaupun nadanya seperti main-main, Paskal
yakin, Tracy serius dengan ancamannya.
Bab XVIII CpLENA MANDAGIE mewariskan Bintang Kecil, perusahaan konfeksi niiliknya, kepada Paskal Juga rumah beserta semua harta bendanya. Dia tidak punya ahli waris lain setelah anaknya meninggal. Dan dia yakin itu pula yang diinginkan Solandra.
Sudah lama Elena membuat surat wasiatnya. Ketika melihat betapa besar cinta Paskal kepada Solandra, bahkan setelah putrinya meninggal, Elena menyuruh pengacaranya membuat surat wasiat baru, yang mewariskan seluruh kekayaannya kepada Paskal.
Terus terang, Paskal merasa terharu sekaligus terbebani ketika mengetahui isi surat wasiat mertuanya. Sekarang dia dituntut untuk mempertahankan dan menjaga kelangsungan hidup perusahaan ibu Solandra. Padahal selama ini, Paskal tidak punya tanggung jawab apa-apa.
Dia bekerja di perusahaan ayahnya hanya untuk mengisi waktu dan membayar utang. Dia tidak mau mengambil alih perusahaan
ayahnya. Diserahkannya semua kepada adiknya. Tetapi sekarang, dia punya tanggung jawab
baru. Dan dia tidak bisa mengalihkan tanggung jawab itu kepada siapa pun.
Elena Mandagie pasti tidak rela kalau sepeninggalnya perusahaannya amburadul. Solandra juga pasti sedih kalau perusahaan yang dengan susah payah dikelola oleh ibunya bangkrut di tangan suaminya.
Paskal dituntut untuk membuktikan kemampuannya. Dia tidak mau mengecewakan Solandra.
Jangan khawatir, Sayang, desahnya, meskipun dia tidak yakin dia mampu mengambil alih semua tugas mertuanya. Mama memang hebat. Tapi aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan harapannya. Demi kamu, aku akan berjuang supaya sehebat ibumu.
Karena merasa tidak sanggup bekerja di dua perusahaan, Paskal menghadap ayahnya untuk mengajukan permohonan pengunduran diri. Meskipun kecewa, Agusti Prakoso dapat memahami alasan anaknya.
"Papa mengerti," katanya sambil menghela napas panjang. "Tenagamu diperlukan di perusahaan mertuamu. Jadi dengan berat hati Papa melepaskanmu."
"Papa masih punya Paulin," ujar Paskal lirih, menyadari untuk pertama kalinya betapa sudah tuanya ayahnya sekarang. Penampilannya sudah tidak se-mocbo dulu lagi. Biarpun masih berusaha tampil tegar, Agusti Prakoso tidak dapat meredam proses ketuaan yang mulai menggerogoti dirinya. "Dia CEO yang hebat."
"Papa tahu," sahut Agusti datar. "Papa bangga dengan keberhasilan Paulin. Akhirnya dia berhasil membuktikan kehebatannya." "Dia mewarisi bakat Papa." Tidak. Justru itu yang tidak dimilikinya. Dia punya ilmu yang hebat. Punya pengalaman segudang. Tapi dia tidak punya intuisi yang tajam. Tidak punya kekerasan hati seorang bisnismen. Paulin tidak mewarisi bakat Papa. Justru kamu yang mewarisinya, Boy."
Sudah lama ayahnya tidak menyebutnya dengan panggilan itu. Apalagi sesudah Paskal memasuki umur separo baya. Dulu panggilan itu tidak berarti apa-apa. Tapi sekarang, justru ketika sudah sekian lama Paskal/ tidak mendengar ayahnya memanggilnya dengan sebutan itu, Paskal me
rasa tersentuh. "Sebenarnya Papa ingin kamu yang menggantikan Papa memegang kendali perusahaan ini."
Karena meskipun sudah tujuh tahun menyatakan mengundurkan diri, sebenarnya Agusti Prakoso tetap memegang kendali perusahaannya dari balik layar. "Saya tidak sanggup, Pa." "Papa tahu. Kamu sudah memilih. Perusahaan Elena lebih kecil dari perusahaan kita. Tapi kamu memilihnya juga. Karena Solandra, kan" Untuk dia kamu rela melakukan apa saja. Su- -dah kamu temukan penggantinya" Kata Prita, kamu lama di Paris karena menemukan seseorang yang mirip Solandra. Benar""
"Dia mirip segala-galanya, Pa," sahut Paskal terus terang. "Saya merasa seperti Solandra hidup kembali."
"Lalu tunggu apa lagi" Kembali ke sana, bawa dia pulang."
"Umurnya baru enam belas tahun, Pa." Agusti Prakoso tercengang. Dia sampai tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
paskal menatap ayahnya dengan tatapan
t I ganjil sebelum lambat-lambat membuka mulutnya.
"Papa percaya reinkarnasi"" "Tidak," sahut Agusti tegas. "Tapi kalau dia baru berumur enam belas, kamu harus menunggu lama sekadi!"
"Kalau Papa punya anak perempuan berumur enam belas tahun, Papa mengizinkan dia pacaran dengan duda berumur lima puluh dua tahun""
"Tidak," jawaban ayahnya sama tegasnya. "Tapi yang memutuskan bukan orangtuanya. Kalian sendiri." Paras ayahnya berubah ketika dia melanjutkan kata-katanya. "Ketika ibumu , melahirkanmu, umurnya baru enam belas tahun,"
Sekarang giliran Paskal yang tercengang I mengawasi ayahnya. J
"Ibumu meninggal ketika, melahirkanmu."
Paskal .tambah bengong. Jadi,., ibu Paulin J bukan ibunya" Perempuan yang ketika dia kecil dulu dipanggilnya Mama bukan ibunya" I Perempuan yang meninggalkan ayahnya untuk j lari dengan lelaki lain itu bukan ibu kandung- I nya"
jadi aku anak haram, pekik Paskal dalam hati. Ibuku belum menikah ketika melahirkan aku!
"Ketika menikah dengan ibu Paulin, Papa
membawamu." "Dan Elena Mandagie"" gumam Paskal pahit. "Papa menikahinya juga""
"Sesudah menikah dengan ibu Paulin. Tapi kami tidak benar-benar menikah. Karena surat nikah yang Papa berikan kepadanya palsu." * "Tega Papa memperlakukan wanita seperti itu. Jangan sampai Paulin dan Prita kena karma, ada lelaki yang menipu mereka kayak begitu!"
"Waktu itu Elena sudah janda. Dia sudah punya Solandra..."
"Nggak peduli! Dia tetap seorang wanita! Papa nggak pantas..."
"Iya, Papa sudah nyesal kok. Tidak perlu dimarahi lagi. Elena juga sudah memaafkan . Papa."
"Kalau begitu, memang Paulin yang berhak mewarisi perusahaan Papa. Dia anak Papa yang
sah." "Siapa bilang kamu anak tidak sah" Kamu surat lahir yang sah!"
Pa Tentu, Papa bisa melakukan segalanya." Perusahaan" ini akan kamu warisi juga, Paskal. Paulin tidak bisa menguasainya sendiri."
"Tidak usah, Pa. Anggap saja warisan saya sebagai pengganti sisa utang saya." "Utangmu sudah lunas." "Warisan ibu Solandra sudah lebih dari cukup untuk saya, Pa. Warisan Papa biar untuk adik-adik saja. Saya datang hanya untuk menyampaikan surat permohonan pengunduran diri."
Agusti tidak menjawab. Dia hanya menghela napas berat. Sesudah terdiam beberapa saat, dia baru membuka mulutnya kembali. ' "Kapan kamu berangkat lagi"" "Ke mana""
"Ke mana kamu harus menjemput pacar remajamu""
Paskal tidak menjawab. Wajahnya berubah murung. Ayahnya mengawasinya dengan cermat.
"Jangan sia-siakan umurmu, Boy," gumam ayahnya perlahan-lahan. "Carilah yang realistis. Lupakan bayangan yang tak mungkin lagi kamu kejar."
*** Bayangan itu masih menunggunya di kaki Menara Eiffel. Dalam kegelapan, siluet tubuhnya yang tinggi ramping tampil begitu memesona. Di belakangnya, tak kalah menariknya, menjulang Menara Eiffel yang megah bermandikan cahaya.
Dalam kegelapan Paskal tidak dapat melihat wajah Tracy. Tetapi dia dapat membayangkan air mukanya yang berubah berlumur bahagia dan haru ketika dari kejauhan dia melihat laki-laki yang ditunggunya melangkah tergesa-gesa menghampirinya.
Tracy tidak menunggu sampai Paskal tiba di dekatnya. Dia berlari menghampiri. Sementara Paskal pun mempercepat langkahnya sampai setengah berlari.
Mereka menghambur ke pelukan masing-masing seperti dilemp
arkan oleh tangan raksasa yang tidak kelihatan.
Paskal merasa tubuh yang dingin itu menggeletar dalam pelukannya. Tetapi geletar itu pasti bukan karena dinginnya udara malam. Geletar yang merambah di sekujur kulit lengannya adalah derai keharuan dan kebahagiaan yang tak terperi.
-Tj-acy membenamkan wajahnya di dada lelaki
yang dicintainya. Membiarkan laki-laki jtu menciumi rambutnya dengan penuh kasih sayang.
Paskal membelai-belai rambut yang hitam lurus itu dengan penuh kerinduan. Membiarkan harumnya aroma rambut itu menjelajah ke seluruh pelosok hatinya.
Solandra, bisiknya dengan cinta dan rindu yang pedih. Betapa aku kehilangan dirimu!
"Jangan tinggalkan aku lagi, Paskal," desah Tracy menahan tangis. "Atau aku mati!"
"Aku tidak akan meninggalkanmu lagi," bisik Paskal di telinga gadis itu. Dikecupnya telinganya dengan penuh kasih sayang. * "janji"" desah Tracy sambil menggeliat menahan gairah yang bergejolak di dadanya. Darah mudanya meluncur cepat di seluruh pembuluh darah tubuhnya. Membuat dirinya seperti terbakar panasnya api yang berkobar. "Janji akan membawaku ke mana pun kamu per- i gi""
Paskal hanya dapat menganggukkan kepalanya, i "Kamu sudah makan""
Siapa yang memikirkan makan dalam ke-rti ini" Dia sudah hampir seminggu
tidak makan. Hanya minum dan sekali-sekaK
menyantap crepes atau burger. "Kamu pasti belum makan." Suara itu! Suara yang selembut suara seorang ayah! Kadang-kadang Tracy benci diperlakukan seperti itu. Dia tidak butuh ayah! Dia butuh laki-laki!
"Kita makan, ya. Nanti kamu sakit." "Jangan perlakukan aku seperti anak kecil!" protes Tracy manja.
"Tapi bukan cuma anak kecil yang perlu makan, kan"" bujuk Paskal sambil tersenyum lembut.
Ya Tuhan, senyum itu! Tracy tidak mungkin lagi melupakannya! Dia begitu merindukan senyum itu! Senyum yang merekah" begitu menawan di bibir lelaki yang dicintainya!
Rasanya dia tidak mungkin menolak apa pun permintaan pria ini. Jangankan hanya diajak makan. Diajak lebih dari itu pun dia mau. Dibawa ke mana pun dia tidak akan membantah. Diminta menyerahkan apa pun dia rela!
Tetapi Paskal tidak mengambil apa yang diinginkannya. Bagaimanapun rindunya dia kepada tubuh Solandra, betapapun inginnya dia
mempersatukan tubuhnya dengan tubuh wa-mta dicintainya, dia menahan dirinya
mati-matian agar tidak menodai gadis remaja dalam pelukannya ini.
"Jangan perlakukan aku seperti anak kecil," protes Tracy ketika Paskal berhenti sampai di sana. "Aku seorang wanita. Bukan anak-anak lagi."
Tracy ingin mengatakan meskipun umurnya baru enam belas tahun, dia sudah mengerti apa yang diinginkan Paskal. Apa yang didambakan pasangan seperti mereka dalam keadaan seperti ini. Dan dia memahami pula akibatnya. Tidak ada yang perlu ditakuti. Tidak ada pula yang perlu disesah.
"Solandra ingin kami melakukannya di malam pengantin," sahut Paskal lembut. "Aku juga ingin melakukannya pada malam itu. Kalau ada malam semacam itu dalam hidup kita."
*** Seminggu kemudian, Tracy membawa Paskal ke rumahnya untuk menemui orangtuanya. Meskipun yakin orangtua Tracy akan menolaknya, Paskal tidak punya pilihan lain. Dia harus mencoba. Atau dia akan kehilangan gadis ini untuk selama-lamanya.
Rumah orangtua Tracy terletak di area perumahan mewah di Goldcoast, negara bagian Queensland, yang terletak di sebelah timur Australia. Meskipun harga tanah di daerah itu sangat mahal, rumah-rumah yang berada di area itu tidak mencerminkan kemewahan yang berlebihan.
Tetapi ketika melihat rumah orangtua Tracy, Paskal bertambah yakin, misinya akan gagal total.
Orangtua mana yang sudi anak tunggalnya menikah dengan lelaki yang pantas jadi ayahnya" Apalagi dia berasal dari dunia ketiga. Negeri berkembang yang sering dilecehkan sebagai sarang teroris dan gudang koruptor.
Orangtua Tracy ternyata bukan orang sem-barangan. Bukan berasal dari orang kebanyakan. Bukan keluarga sederhana.
Ayahnya yang dokter ahli radiologi pasti orang terpandang- di sini. Relakah dia putrinya jadi gunjingan orang karena menikah dengan lelaki yang pantas jadi ayahnya" Atau... orang-orang di sini tidak senahg bergunjing"
Ah, rasanya tidak mungkin. Karena go
sip di mana pun manis rasanya. Disukai orang di seluruh dunia. Tidak peduli bagaimanapun majunya negaranya. Bagaimanapun inteleknya penduduknya.
Jadi meskipun Tracy tampak begitu bersemangat, Paskal pasrah saja. Dia menurut saja ketika Tracy menarik tangannya, mengajaknya masuk ke dalam. Tidak ditampakkan-nya pesimisme yang melanda hatinya. Dia mencoba memperlihatkan wajah yang secerah mungkin. Siapa tahu dengan begitu dia tampak lebih muda sepuluh tahun!
"Mom!" teriak Tracy, dari ambang pintu. "Lihat siapa yang datang!"
Perempuan itu muncul dari ruang dalam. Tubuhnya tinggi kurus. Sangat kurus. Rambutnya sudah berwarna dua. Mukanya tirus dan pucat. Tetapi seperti apa pun berubahnya dia sekarang, Paskal tetap mengenalinya.
Dan melihat ibu Tracy, tiba-tiba saja tabir yang melingkupi misteri itu tersibak.
Bab XIX 'Y jylNDl itu sebabnya Tracy begitu mirip Solandra!" cetus Paskal dengan gigi terkatup menahan geram. Ditatapnya Sania dengan tatapan penuh dendam. "Kamu membohongi kami, Sania! Kamu berkhianat pada Solandra! Ovulasi itu berhasil! Tracy anak kami!"
"Ada apa ini"" sergah Tracy heran. Dia tidak mengerti sepatah pun kata-kata Paskal. Karena pria itu menggunakan bahasa Indonesia.
Ditatapnya Paskal dengan hetan. Belum pernah dia melihat Paskal semarah itu. Matanya yang biasanya bersorot lembut, kini seperti bola api yang terbakar dalam panasnya neraka. Ketika dia menoleh ke arah ibunya, dia menjadi lebih bingung lagi.
Solandra Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ibunya yang biasanya keras dan tegas itu kini seperti pesakitan yang ketakutan menanti hukuman. Matanya bukan hanya bers
takut. Mata itu memancarkan rasa bersalah yang sangat dalam. "Mom"" desis Tracy bingung. Tetapi ibunya sudah membalikkan tubuhnya untuk menyembunyikan wajahnya. Walaupun. tidak melihat, Tracy tahu, ibunya sedang menangis: Padahal selama enam belas tahun hidupnya, berapa kali dia melihat ibunya menitikkan air mata"
Sekarang aku bukan hanya tidak memperoleh cinta pria yang diam-diam kucintai, pikir Sania sambil menahan sedu sedannya. Sekarang aku malah menuai kebencian yang amar sangat! Lihat bagaimana cara Paskal menatapku! Dia seperti hendak membunuhku!
"Paskal"" Tracy menoleh kembali ke arah pria yang masih menatap ibunya dengan penuh kegusaran itu.
Ketika mendengar suaranya, Paskal seperti i tersentak dari kemarahan yang membiusnya. i Dia berpaling ke arah Tracy. Dan sorot mata- j nya kembali berubah lembvtt. Tapi bukan ke- \ lembutan yang biasa. Bukan cinta yang Tracy j kenal. / <
Kini pria itu memandangnya dengan cinta I dan kelembutan yang berbeda. Amat berbeda. i
Seandainya ada Solandra kecil yang dapat menemanimu sesudah aku pergi....
"Tracy..." desah Paskal lirih dilibat keharuan. Matanya terasa panas. Dia ingin menangis.
Diraihnya gadis itu ke dalam pelukannya. Didekapkannya kepalanya erat-erat ke dadanya. Dibelai-belainya rambutnya dengan penuh kasih sayang. Tapi bahkan belaian itu pun terasa berbeda. Tak ada lagi kemesraan. Tak ada lagi kerinduan. Tak ada lagi gairah. Yang tertinggal hanya kehangatan dan kasih sayang.
"Paskal!" cetus Tracy penasaran. Direnggang-kannya tubuhnya. Ditatapnya pria itu dengan jjpran. "Apa yang terjadi" Kamu kenal ibuku"" ' "Kami bersahabat sejak di uni," sahut Paskal |etir.
Diraihnya kembali gadis itu ke dalam pelukannya. Tetapi kali ini Tracy menolak.
"Ceritakan padaku!" desaknya penasaran. "Punya hubungan apa kalian!"
"Kamu anakku, Tracy!" desis Paskal gemetar menahan emosinya. "Ibumu menyembunyikan kamu..."
"Tidak!" protes Tracy histeris. Dilepaskannya pelukan Paskal dengan panik. Matanya menatap liar.
101 Tidafcf- lelaki ini bukan ayahnya.' Lelaki _ kekasihnya.' Satu-satunya pria yang dicintainya.'
"Maafkan aku, Tracy," desah Paskal pilu. "Aku ayahmu;..."
"Tidak!" jerit Tracy menahan tangis. Dia menoleh ke arah ibunya seolah-olah minta pertolongan. "Mom!"
Teriris hati Sania ketika mendengar suara putrinya. Seperti itu juga suaranya kalau dia jatuh ketika kecil dulu. Dia "kesakitan. Dan dia minta tolong pada ibunya!
Tapi bagaimana dia harus menolong anaknya" Tidak ada lagi yang dapat dilakukannya! Bahkan untuk keluar dari kumparan dosanya pun d
ia sudah tidak mampu! Dosanya sudah terlalu besar! w(-'"-1
"Mom! Dia bohong, kan"" desak Tracy getir. Melihat sikap ibunya dia sebenarnya sudah tahu, Paskal benar. Dia tidak berdusta! Tapi I dia masih tetap berharap ibunya dapat menolongnya. Seperti yang selama ini selalu di- / lakukannya!
"Tracy," Sania memandang putrinya dengan j air mata berlinang. "Ada yang harus Mommy ceritakan padamu..."
"Tidak perlu!" potong Tracy gemas. "Bilang
saja aku bukan anaknya!" '
"Dia memang ayahmu, Tracy," gumam Sania lirih. Dia menoleh ke arah Paskal. Dan menatapnya dengan getir. "Aku berutang penjelasan padamu..."
"Tidak ada lagi yang perlu kamu jelaskan!" sergah Paskal jijik. "Kamu mencuri embrio kami! Jelaskan saja pada Solandra kalau kamu bertemu dia nanti! Solandra benar. Jika mukjizat yang pertama gagal, mukjizat yang kedua pasti berhasil. Aku sudah melihatnya sekarang. Tracy adalah mukjizat yang dinantikan Solandra sampai akhir hidupnya. Kamu yang dengan kejam merenggut kesempatan Solandra untuk melihat anaknya! Anak kami!"
Sambil menahan emosinya Paskal memutar tubuhnya. Langkahnya telah terayun untuk meninggalkan tempat itu ketika suara Tracy melengking di belakangnya. "Paskal!"
Paskal menoleh. Dan matanya bertemu dengan mata putrinya yang berlinang air mata.
"Panggil aku Daddy, Tracy," pintanya lirih. "Sekali saja dalam hidupku aku ingin mendengar anakku memanggilku Daddy."
Tidak!" jerit Tracy gemas. "Kamu bukan
ayahku.' Kamu bohongi Kukira kamu begitu mencintai istrimu" Ternyata kamu tega juga mengkhianatinya dengan menodai ibuku!"
Sejenak Paskal terperangah. Jadi Tracy telah salah sangka! Dia mengira dia lahir karena hubungan gelap Paskal dengan ibunya!
"Tracy! Kamu salah mengerti____ Solandralah ibumu""
"Bohong" Perempuan itu yang mengandung dan melahirkanku"" jarinya menunjuk ke arah Sama dengan geram. "Hanya saja aku tidak tahu, kamulah yang menebarkan benih di rahimnya! Kamu Busuk, Paskal! Selama ini kukira kamu lelaki paling suci dan paling baik di seantero jagat! Ternyata kamu tidak ada bedanya dengan lelaki lain!" "Dengar dulu, Tracy..." Tetapi Tracy sudah tidak mau mendengarnya lagi. Dia menghambur masuk meninggalkan Paskal dengan ibunya. Sekarang Paskal menoleh i ke arah Sania dengan tatapan jijik.
"Jadi kamulah ibu pengganti itu," desisnya j muak. "Kamu menanamkan embrio kami di j rahimmu sendiri!"
- "Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya, i Pas," pinta Sania pilu.
i "Tidak perlu! Semuanya sudah sangat jelas!
Jika aku tidak kebetulan bertemu dengan Tracy, aku malah tidak pernah tahu kami punya anak! Kamu melanggar sumpah doktermu, Sania. Kamu membohongi dan menipu pasienmu! Sekaligus sahabat yang sangat menyayangi dan menghormatimu!"
Dengan jijik Paskal memutar tubuhnya. Dan melangkah ke pintu.
Di pintu, dia masih sempat mendengar suara Sania, getir dan penuh penyesalan.
"Maafkan aku, Pas. Kalau saja kamu beri aku kesempatan untuk menjelaskannya...."
"tapi memang tidak perlu lagi penjelasan. Semuanya sudah jelasf Tracy anaknya. Anaknya dengan Solandra. Anak yang begitu diinginkan Solandra untuk mendampingi Paskal sepeninggal dirinya.
Itukah arti mimpinya selama ini" Solandra ingin mengatakan padanya mereka punya anak" Tetapi Solandra tidak mampu menyampaikannya pada Paskal. Karena di antara yang hidup dan yang mati, ada batas yang tidak mungkin ditembus.
Mereka tidak bisa berkomunikasi lagi. Solandra tidak bisa.mengatakan di mana Tracy.
Tetapi nasib telah menuntunnya ke sana. Mempertemukannya dengan anaknya.
Paskal bergidik ketika membayangkan apa jadinya jika hubungan mereka berlanjut ke jenjang yang lebih -intim.
Dia akan menodai anaknya sendiri! Aib yang tak terhapus. Dosa yang tak berampun!
Sekarang pun dia sudah sangat menyesal. Telah mencintai dan memperlakukan anaknya seperti seorang kekasih. Seperti dia telah memperlakukan Solandra!
Selama ini dia mengira Tracy adalah titisan Solandra. Ternyata dia keliru.
Tracy memang duplikat Solandra. Karena dia anak mereka! .
Seandainya kamu punya kesempatan untuk melihatnya, Andra, desah Paskal lirih dalam perjalanan pulang. Kamu pasti sangat bahagia!
Atau... kamu s udah melihatnya" Karena itu kamu begitu ingin memberitahukannya padaku"
Dia sangat cantik, Andra. Dia begitu mirip kamu! Kamu pasti bangga punya anak seperti
dia.... Seandainya saja kamu bisa menimangnya... membelainya... mengecupnya....
Semua gara-gara Sania! Dia yang dengan keji membantai harapanmu untuk memberikan seorang anak padaku!
Mengapa manusia dapat berubah sedrastis itu" Sania yang baik. Yang setia. Yang selalu siap membantu. Mengapa dia berubah" Karena... dia jatuh cinta padaku" Karena dia baru sadar sebenarnya sudah lama dia mencintaiku"
Karena itu dia menginginkan anakku setelah sia-sia merebut hatiku"
Aku harus mengambil Ttacy kembali. Tekad itu lahir begitu saja malam itu. Tepat tengah malam. Setelah Paskal sia-sia mencoba tidur. Dia bukan hanya benci pada Sania. I Panas. Sakit hati. Dendam.
Tetapi dia juga menginginkan Tracy. Kali ini dengan keinginan seorang ayah. Kerinduan seorang bapak. Bukan lagi kerinduan yang penuh gairah seperti yang selama ini dirasa-| kannya.
Aku harus mengambil anakku kembali. Itu keinginan terakhir Solandra. Dia ingin memberikan seorang anak padaku. Supaya dapat
mendampingiku. Menggantikannya merawatku. Menemaniku.
.Solandra pasti tidak rela Tracy menjadi anak Sania dan Mike. Tapi... masinkah Sania menjadi istri Mike" Menurut cerita Tracy, ayahnya ahli radiologi. Bukan ahli kandungan.
Mungkinkah Sania sudah berpisah dengan Mike dan menikah dengan lelaki lain" Karena ku dia pindah ke Goldcoast.
Tapi persetan! Peduli apa siapa pun suaminya! Paskal akan menempuh jalur hukum untuk menuntut anaknya kembali. Sekarang dia memiliki cukup uang untuk melakukannya. Berapa pun mahalnya harga yang harus dibayar, akan dijalaninya juga.
Paskal yakin dengan pemeriksaan DNA, dia pasti dapat membuktikan Tracy bukan anak Sania. Tracy anaknya. Anaknya dengan Solandra!
Paskal hanya perlu mencari bukti-bukti yang dapat menguatkan tuntutannya. Dan itu tidak terlalu sulit. Dia dapat minta bantuan sejawar-nya di Jakarta. Di rumah sakit tempar dulu Sania bertugas. Perawat yang dulu mendampinginya juga masih bertugas di sana.
Mungkin yang sulit adalah menembus pintu hukum di Australia karena Sania dan Tracy adalah warga negara mereka. Tetapi Paskal yakin, bila dia memakai pengacara dari negara itu, jalannya menjadi lebih mudah.
Pendek kata, apa pun akan dilakukannya untuk merebut Tracy kembali. Bukan semata-mata untuk membalas dendam pada Sania. Tapi untuk memenuhi keinginan Solandra yang terakhir. Sekaligus untuk mengambil anaknya. Miliknya. Haknya.
Tetapi... bisakah seorang anak dimiliki" Berhakkah dia menentukan jalan hidup Tracy, siapa pun dia"
Jika Tracy lebih suka hidup di Australia," jika dia memilih tetap menjadi anak Sania, berhakkah Paskal menggugatnya"
Tidakkah tindakannya malah akan menambah penderitaan Tracy"
Aku harus menanyakan kehendak Tracy dulu, pikirnya sambil menghela napas berat. Dia sudah cukup besar untuk berpikir dan memilih. Tracy bukan anak kecil lagi. Mungkin sudah terlambat untuk menuntutnya sekarang.
Dengan tekad itu, keesokan harinya Paskal datang lagi ke rumah Tracy. Kali ini yang
menjumpainya bukan hanya Sania. Tapi juga suaminya.
Dokter Peter Thomson yang ahli radiologi ku sudah berumur tujuh puluh dua tahun. Tetapi penampilannya masih seperti pria yang berumur enam puluh tahun. Rambutnya memang sudah menipisi Nyaris botak. Tetapi tubuhnya belum renta. Masih terlihat kokoh. Diam-diam Paskal jadi ingat ayahnya. Barangkali waktu mudanya dokter tua ini juga senang bertualang. Di dunia olahraga. Atau dunia yang lain.
"Jadi Andalah dokter dari Indonesia yang mengacaukan keluarga saya," sambutannya sangat kering. Bahkan dia tidak menyambuti salam Paskal.
Sania-lah yang mengenalkan suaminya. Dan dia tidak mengatakan di mana Mike Lawrence. Suaminya yang pertama.
"Bukan saya yang mengacaukan keluarga Anda," sahut Paskal sama dinginnya. "Sudah tanya pada istri Anda apa yang dilakukannya pada keluarga saya""
"Paskal, please," pinta Sania menahan tangis. "Tolonglah aku!"
Tolong kamu" Ingatkah kamu, suatu waktu
dulu, kami pernah minta pertolonganmu" Apa yang telah kamu lakukan untuk
menolong kami" "Aku memang bersalah padamu dan... Solandra...." Ketika menyebut nama itu, Sania tersedu. "Jika kamu beri aku waktu untuk menjelaskannya..." "Tidak perlu. Semua sudah jelas." "Aku ingin bicara denganmu berdua saja, Pas. Please, demi masa lalu kita."
Masih adakah yang tersisa dari masa lalu kecuali pengkhianatan dan dusta"
"Tapi sekarang yang penting, kita hams memikirkan Tracy...."
"Aku datang bukan untuk menemuimu atau minta maaf pada suamimu. Aku kemari untuk bicara dengan Tracy. Aku akan menjelaskan semuanya. Jika dia bersedia, aku akan menempuh semua jalan untuk menuntut anakku kembali."
"Ngomong apa dia"" potong Peter kesal. Matanya menatap istrinya dengan ridak sabar. "Dia tahu di mana Tracy""
"Tracy kabur"" sergah Paskal kaget.
"Sejak kemarin sore dia tidak pulang. Peter dan aku sudah mencarinya ke mana-mana...."
Tracy menghilang" Paskal tertegun kaku. Jika Tracy pergi, hanya ada satu tempat... *
"Kamu tahu ke mana kira-kira dia pergi, Pas"" suara Sania begitu penuh permohonan. Seperti itu jugakah suara Solandra dulu" Ketika dia memohon sahabatnya untuk menolongnya"
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Paskal memutar tubuhnya. Di belakangnya, dia mendengar Perer mengomel. Tetapi dia tidak peduli.
"Pas!" Sania mengejarnya sampai ke halaman. Paskal berhenti melangkah. Tapi tidak ber-i'balik.
"Kamu tahu di mana Tracy""
Tanpa menjawab, Paskal melanjutkan langkahnya. Sania mengejarnya terus tanpa memedulikan panggilan suaminya.
*** Sebenarnya Paskal sudah tidak ingin mendengar lagi apa pun yang dikatakan Sania. Tetapi Sania tidak mau melepaskannya lagi. Dia mengikuti Paskal terus. Juga ketika Paskal duduk di pinggir laut di Surfer's Paradise. Menatap laut yang membiru luas di depannya.
"Aku terdorong melakukannya, Pas," gumam
Sania lirih. "Ketika melihat ovulasi itu berhasil, aku tergoda melakukannya. Dan ketika dari hari ke hari aku merasakan embrio itu tumbuh di rahimku, aku merasa tidak mau kehilangan dia lagi. Berbulan-bulan aku menghidupinya, fetus itu seperti sudah menyatu dengan diriku, Pas, meskipun dia bukan berasal dari tubuh-' ku...." Sania menyusut air matanya. "Kamu mungkin tidak bisa mengerti, karena kamu bukan seorang wanita. Kamu tidak punya naluri keibuan. Kamu tidak dapat merasakan Sakitnya jika anak yang kamu kandung harus kamu berikan kepada ibu lain...."
"Tapi ibu lain itu Solandra, San!" bentak Paskal hampir berteriak. "Yang sakit kanker! Yang umurnya tidak lama lagi! Yang begitu mengharapkan pada saat terakhir dapat memberikan seorang anak untuk mendampingi dan menghibur suaminya! Yang kamu khianati itu Solandra, sahabatmu! Yang begitu memercayai-mu!"
"Aku menyesal, Pas...."
"Tidak ada gunanya lagi sesal itu! Kamu melenyapkan satu-satunya kesempatan Solandra untuk menimang dan mencium anaknya!"
"Aku rela melakukan apa saja untuk menebus dosaku, Pas____"
"Akan kutanyakan pada Tracy apa yang diinginkannya. Kalau dia ingin ikut aku, kamu harus rela menyerahkannya padaku."
"Tidak mungkin, Pas! Suamiku bisa membunuhku! Selama ini dia tidak tahu..."
"Sudah saatnya dia tahu siapa istrinya!"
"Kasihani aku, Pas...."
"Kamu tidak kasihan pada Solandra! Buat apa aku mengasmanimu""
"Paling tidak kasihanilah aku! Sahabatmu! Kalau kamu tidak bisa memberikan cinta padaku, berikanlah rasa ibamu! Cuma itu yang bisa kuharapkan darimu sekarang!"
"Dari dulu juga kamu tahu, cintaku hanya untuk Solandra! Aku tidak pernah membo-hongimu. Pura-pura mencintaimu. Memberikan harapan palsu padamu. Aku hanya menganggapmu sahabat. Teman yang kuhormati. Kuhargai. Tapi apa balasanmu" Kamu mengkhianati Solandta, sahabat karibmu sendiri!" "Tidak ada lagi yang dapat kita lakukan
untuk Solandra! Tapi kamu bisa menolongku
dan Tracy! Kamu mau dia tahu masa lalunya"
Kamu mau Tracy membenci ibunya kalau dia
tahu apa yang ibunya pernah lakukan""
"Bukan hanya Tracy! Aku ingin suamimu
dan semua pasienmu tahu betapa bejatnya moralmu sebagai dokter dan sahabat!" :
"Sudah cukup kamu sakiti aku, Pas," desah Sania menahan tangis. "Kenapa tidak kamu
bunuh saja aku""
"Karena aku bukan pembunuh," sahut Paskal dingin. "Dan aku masih in
gin bertemu Solandra di Taman Firdaus-nya."
"Peter bukan Mike. Dia pasti langsung men-ceraikanku jika tahu riwayat kelahiran Tracy."
"Di mana Mike" Kalian bercerai""
"Mike sudah meninggal. Tapi sampai sekarang Peter mengira Tracy anakku dengan Mike."
"Dia harus tahu betapa bejatnya masa lalu istrinya."
"Kalau kamu melakukannya untuk membalas dendam padaku..."
"Aku membalas dendam untuk Solandra. Sekalian membuka mata Tracy. Dia hams tahu siapa ibunya yang sebenarnya. Aku akan membawanya ke makam Solandra."
"Oke jika itu yang kamu kehendaki," Sania menyeka air matanya dengan pasrah. "Hidupku memang sudah tidak berharga lagi. Aku orang
aoa\ n; sepanjang hidupku aku men- . yang gae<"cinta. Tapi sampai di ujung hidupku, aku tidak pernah menemukannya."
"Kalau tidak mencintai Mike, buat apa kawin dengan dia" Buat apa menikah dengan User""
"Aku menikahi Mike supaya Tracy punya ayah. Karena waktu itu mentalku masih Timur. Aku lupa aku tinggal di negeri yang walaupun letak geografisnya di timur, tapi mental penduduknya Barat. Mereka tidak peduli jika se-j andainya waktu ku aku menjadi single parent sekalipun."
"Dan Peter""
"Ketika Mike meninggal, Tracy sangat kehilangan ayahnya. Karena itu aku ingin memberinya seorang pengganti."
"Peter ayah yang baik"" Paskal tidak ingin menanyakannya. Tapi lidahnya terdorong juga untuk bertanya.
"Tidak sebaik Mike. Tapi paling tidak, Tracy punya ayah."
Dan sekarang dia punya aku! Dia harus tahu akulah ayah biologisnya! Ayahnya yang sebenarnya! Tapi... maukah Tracy menganggapku ayahnya" Dia sudah telanjur menganggapku kekasihnya!
Bab XX ^ ^RACY merasa hidupnya hancur. Cintanya terkubur. Harapannya lebur.
Satu-satunya pria yang dicintainya, dipuja, dikagumi, ternyata ayahnya sendiri!
Semua cerita yang indah-indah itu cuma dongeng belaka!
Tak ada cinta suci. Tak ada cinta yang tak ternoda!
Kalau dikiranya cinta Paskal kepada istrinya begitu tulus, dia bohong!
Dia sama saja dengan lelaki lain. Dia telah menodai perempuan lain. Dia menghamili ibunya!
Oh, kenapa harus ibunya" Kenapa bukan perempuan lain saja"
Tracy sudah telanjur mencintai Paskal. Sudah telanjur mengaguminya.
"Maafkan aku, Tracy. A
Kata-kata itu seperti bekti yang menikam perutnya. Bles! Sakitnya terasa begitu menyengat!
"Ada yang barm Mommy ceritakan padamu..." Lebih sakit lagi mendengar suara ibunya. Lebih sakit 'lagi menarik belati yang menghunjam di perutnya!
Mengapa mereka begitu jahat" Mengapa mereka tega menyakiti hatinya" "Maafkan aku, Tracy. Aku ayahmu." Kata-kata itu seperti halilintar yang berulang-ulang menyambar. Gemanya tak mau hilang dari telinga Tracy.
Aku ayahmu.... Aku ayahmu.... Aku ayahmu....
Paskal pasti tidak berdusta. Ibunya menguatkan kata-katanya. Mereka terselingkuh. Mereka busuk! Mereka jahat!
Apa lagi yang mau diceritakan ibunya" Dusta apa lagi yang ingin dikarangnya" Sebagus apa pun dongengnya, pasti tidak mampu menutupi dosa mereka!
Karena dosa mereka Tracy terpuruk dalam kenistaan. Bercinta dengan ayahnya sendiri! Ayahnya! Cinta pertamanyaj^|^(i.
Air mata Tracy mengalir lagi kalau ingat
kemesraan yang dirasakannya di Paris. Semua
begitu indah. Tapi semua begitu cepat berlalu! "Aku mencintaimu," bisik Paskal ketika perahu
beratap kaca itu menyusuri Sungai Seine.
Suaranya begitu mesra. Begitu lembut. Membuat hati Tracy berbunga-bunga. Hangat. Nyaman.
"Jangan pernah meninggalkanku lagi," pinta Paskal ketika dia memeluknya dengan sangat lembut. Ketika itu Tracy tengah mengenakan gaun hijau melon seperti permintaannya.
Saat itu Tracy merasa sangat .bahagia. Sorot mata lelaki itu begitu memuja. Begitu mengagumi, seolah-olah dia melihat bidadari turun dari kahyangan.
Sekarang kebahagiaan Tracy pupus sudah. Kenangan indah di Paris itu cuma ilusi Semuanya palsu! Tak ada cinta abadi. Tak ada cinta yang suci murni!
Lebih baik aku mati, tangis Tracy pilu. Lebih baik aku lenyap untuk selama-lamanya!
Biar mereka menyesal. Biar mereka menyesal seumur hidup!
terang Paskal khawatir sekali. Biarpun belum punya anak, dia mengerti sekali psikologi remaja yang putus cinta. Apalagi yang cintanya direnggut dengan begitu kejam
dan mendadak seperti Tracy.
Bagi remaja seusianya, cinta adalah segala-galanya. Putus cinta bisa sangat menghancurkan. Menyedihkan, lapi harus memutuskan cinta karena lelaki yang dicintainya adalah ayah kandungnya sendiri, lebih memilukan lagi kalau bukan mematikan.
Apalagi Tracy mengira Paskal menghamili ibunya. Dia tidak tahu apa yang sesungguhnya -terjadi. Dan Paskal belum sempat menjelaskan perbuatan busuk Sania. Tracy tidak memberinya waktu. Dia seperti tidak mau mendengar apa-apa lagi.
Tracy sudah putus asa. Kekasihnya ternyata ayahnya sendiri! Apa lagi yang harus didengarnya"
Tracy sedang berada pada titik yang sangat foods. Orang-orang yang dicintainya, dipujanya, dihormatinya, ternyata cuma kutu busuk!
Ibunya, idolanya selama belasan tahun, ternyata tidak ada bedanya dengan pelacur!
nya, cuma seorang pembual! Kata-katanya
sama murahnya dengan perbuatannya. Sama
kotornya dengan debu di tanah!
Paskal gelisah sekali. Jantungnya meronta liar dicengkeram rasa takut.
Akan berbuat nekatkah Tracy" Dia masih begitu muda. Masih hijau. Jiwanya masih terlalu labil. Dia belum dapat berpikir panjang.
Bunuh diri mungkin dirasanya sebagai pelepasan yang paling tepat! Supaya dia tidak usah merasa sakit lagi!
Tolong lindungi anak kita, Andra, pinta Paskal sepanjang perjalanan ke Paris. Satu-satunya tempat yang mungkin dituju Tracy. Jika dia ingin bunuh diri, di sanalah tempat yang dirasanya paling tepat. Karena di sanalah dia pertama kali jatuh cinta.
Di Paris cintanya bersemi. Di Paris pula dia ingin mengakhiri cintanya.
Setibanya di Paris, Paskal langsung mencarinya di Menara Eiffel. Tapi Tracy tidak ada di sana. Sia-sia dia bersusah payah mencari anaknya di antara kerumunan sekian banyak manusia yang
sedang mengagumi menara yang paling terkenal di dunia itu.
Sia-sia dia mencarinya sampai ke puncak menara. Tracy tidak ada di mana-mana.
Dengan resah Paskal menyusuri tepian Sungai Seine. Tapi di sana pun Tracy tidak ditemuinya. Tracy tidak ada di jembatan. Tidak ada pula dalam perahu yang hilir-mudik di sungai itu. Percuma Paskal duduk-duduk di sana menunggui1 turis yang pergi-datang dengan perahu.
Rasanya sudah hampir semua tempat yang pernah mereka kunjungi sudah didatanginya.
Bahkan Avenue des Champs Eiysees^ sudah ditelusurinya dari ujung ke ujung. Setiap kafe di pinggir jalan dHongoknya. Setiap toko yang pernah disinggahinya dimasukinya. Setiap gadis yang ditemuinya diperhatikannya baik-baik. Yang dari belakang punya potongan tubuh seperti Tracy dikejarnya supaya dapat melihat wajahnya.
Seluruh kebun Jardin du Luxembourg, tempat mereka pernah berjalan sambil bergandengan tangan, sudah diperiksanya. Boulevard St Michel yang merupakan jalanan yang paling kerap mereka lewati juga sudah ditelusurinya.
f Ke mana lagi dia harus mencari Tracy" f Akhirnya Paskal mencoba mencarinya di f rumah Geoffroy. Tapi yang ditemuinya cuma sebentuk wajah yang gersang..
"Buat apa mencarinya di sini" Tracy tidak pernah kemari lagi."
Jadi ke mana dia" pikir Paskal bingung. Salahkah dugaanku" Tracy tidak pergi ke Paris" Dia masih ada di Goldcoast"
Kata Sania, Tracy membawa tas dan travel %-nya. Sania tidak tahu di mana paspornya. Mungkin dibawa. Mungkin pula tidak.
Dia membawa semua uang tabungannya. Percuma Peter memblokir kartu kredit dan ATM-nya. Uang Tracy cukup untuk membeli tiket ke mana pun.
Yang dapat dilakukan Peter hanyalah mencoba menelusuri daftar penumpang pesawat yang meninggalkan Bandara Coolangatta. Dari sana dia bisa terbang ke Sydney. Sulitnya, Tracy dapat juga naik bus ke Brisbane dan berangkat melalui bandara internasional di sana. Jika naik bus, dia hanya perlu waktu satu jam untuk mencapai Brisbane. MttjiSj
Sementara Peter dan istrinya masih berkutat mencari ke mana Tracy pergi, Paskal sudah
tiba di Paris. Malangnya, sampai malam dia mencari Tracy ke tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi, gadis itu tidak ditemukan juga.
Paskal sudah hampir putus asa ketika hampir pukul satu malam itu dia kembali ke kaki Menara Eiffel. Jantungnya tersengat ketika dari kejauhan dia mengenali bayangan gadis yang tengah menggigil kedinginan di
sana. Cuaca saat itu memang sudah mulai dingin. Kalau Tracy sudah beberapa jam berada di sana dalam pakaian seperti itu, dia bisa menderita hipo-termia!
"Tracy!" seru Paskal tanpa ragu sedikit pun. Dia yakin sekali siapa yang sedang tegak seorang diri dalam kegelapan di sana.
Mendengar suaranya, gadis itu langsung menoleh. Tetapi berbeda dengan dulu, Tracy tidak langsung menghambur ke dalam pelukannya. Dia malah lari menjauhi.
"Tracy! Tunggu!" seru Paskal cemas. Dia khawatir sekali melihat keadaan anaknya. Larinya sudah limbung. Mungkin benar dia sudah menderita hipotermia!
Paskal tidak memerlukan waktu lama untuk meraih.putrinya. Begitu tubuh Tracy terbenam
dalam pelukannya, dia dapat merasakan tapa dinginnya kulit gadis itu.
"Tracy," sergah Paskal cemas. "Kamu bisa sakit!"
Bukan hanya sakit. Kalau bipotermianya sudah lanjut, dia bisa mati!
Tracy tidak menjawab. Bukan karena tidak mau. Tapi karena tidak mampu lagi. Bibirnya yang sudah membiru menggeletar kedinginan. Dia mendesah. Bergumam. Tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak jelas lagi.
Tanpa membuang waktu lagi, Paskal menggendong anaknya, menghentikan taksi, dan membawanya ke hotel yang terdekat.
'Anda perlu dokter"" tanya resepsionis hotel itu ketika melihat keadaan Tracy.
"Saya dokter," sahut Paskal mantap. "Saya tahu bagaimana menolong anak saya."
Tujuh belas tahun Paskal tidak pernah menolong pasien. Sejak dia meninggalkan profesi dokternya karena merasa tidak mampu menolong istrinya sendiri.
Sekarang dia dituntut untuk menyelamatkan anaknya. Dan dia tahu, dia harus bergerak cepat. Karena suhu tubuh Tracy sudah turun sekali. Dia bukan hanya merasa tangan-kakibenya yang kedinginan. Tapi sekujur tubuhnya. Dadanya. Perutnya. Punggungnya.
Lupa dirinya berada di hotel bukan di rumah sakit, lupa mereka cuma resepsionis dan pelayan bukan perawat, Paskal langsung memerintahkan mereka membantunya.
Dia menyuruh pelayan mengisi bak mandi dengan air hangat. Menghangatkan temperatur kamar secepat-cepatnya. Dan menyediakan minuman panas.
Paskal sendiri yang menggendong putrinya ke kamar mandi. Melucuti pakaiannya yang basah. Dan merendam tubuh Tracy dalam air hangat. Diangkatnya tangan dan kakinya agar lebih tinggi dari tubuhnya. Lalu dia berlutut di sisi bak mandi.
"Tracy," bisiknya di telinga putrinya. Dibelai-belainya pipinya dengan penuh kasih sayang. Ditenangkannya anaknya yang mulai panik ketika merasa kaki-tangannya tidak terasa lagi. "Jangan takut. Papa ada di sini. Di sampingmu. Papa akan menolongmu."
Ketika Paskal menggendong putrinya keluar dari kamar mandi, dia melihat dokter hotel sudah menunggu di samping tempat tidur.
*** Kalau menuruti kata hatinya, Paskal tidak ingin menelepon Sania. Biar saja dia kelabakan mencari putrinya. Tapi ketika keesokan harinya dia menanyakan pendapat Tracy, keputusannya
berubah. Tracy memang belum mau bicara. Tidak mengucapkan sepatah kata pun walau Paskal yakin dia sudah sadar penuh. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Dan kondisinya sudah membaik. Umurnya yang masih muda dan kondisi fisiknya yang baik membuat pemulihan tubuhnya berlangsung cepat.
Tetapi sejak terjaga pagi itu, dia belum mau bicara. Bahkan melihat ke arah Paskal pun dia segan.
Wajahnya tetap murung. Dan sikapnya sangat kaku.
Tetapi ketika Paskal bertanya apakah dia ingin, memberitahu ibunya, Tracy mengangguk
lemah. "Oke," Paskal menyodorkan notes kecil di samping tempat tidur. "Tulis saja nomor teleTidak banyak yang Paskal katakan kepada Sania. Dia hanya berkata singkat,
"Aku sudah menemukan Tracy. Dia di Paris." Lalu Paskal menyebutkan nama hotel dan nomor kamarnya.
Dua hari kemudian Sania sudah tiba di sana. Begitu melihat kondisi anaknya, dia amat terguncang. Dikiranya Tracy sakit.
Sania sudah memburu hendak merangkul Tracy ketika Paskal mencegahnya.
"Jangan!" perintahnya tegas. "Dia sedang tidur. Dia perlu istirahat."
"Kenapa dia, Pas"" sergah Sania cemas. "Hipotermia. Dia membiarkan dirinya membeku di kaki Menara Eiffel."
"Ya Tuhan!" desis Sania sambil menutup mulutnya menahan kepiluan hatinya. Anaknya mencoba bunuh diri! "Jangan sebut nama Tuhan," d
esis Paskal dingin. "Kamu tidak pantas mengucapkannya."
Sania tertegun. Dia menoleh ke arah Paskal. Dan matanya bertemu dengan mata yang dingin itu. Hatinya kembali tercabik oleh kekecewaan yang amat sangat. Nyerinya terasa sampai ke ujung kaki.
Itukah orang yang pernah dicintainya" Seperti itukah kini tatapan mata sahabatnya"
Paskal demikian membencinya. Sorot matanya yang berlumur kebencian meluluhlantakkan
harga dirinya. Tubuhnya tiba-tiba terasa lemas tak bertenaga. Dia merosot lemah. Bersimpuh di sisi tempat tidur. Pandangannya kembali ke arah" putrinya yang sedang tertidur lelap.
Wajahnya memang demikian mirip Solandra. Seperti hendak menghukumnya, Solandra sengaja menitipkan wajahnya pada putrinya. Supaya setiap kali Sania melihatnya, dia teringat pada pengkhianatannya. Dosanya. Ke-kejiannya.
(Hanya Sania yang tahu betapa dia mencintai Tracy. Tapi hanya Sania pula yang tahu betapa tersiksa dirinya setiap kali memandang anaknya! "Tracy harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Paskal dingin. "Tidak adil membiarkan dia menuduhku berselingkuh dengan kamu. Tracy bukan anak haram!" "Beri aku waktu, Pas..." "Katakan saja siapa yang harus mengatakannya," potong Paskal geram. "Kamu. Atau aku." "Kalau Tracy sudah cukup kuat, aku akan . menceritakan segalanya."
Tetapi sudah dua hari mereka tinggal di
hotel itu, Sania belum menceritakannya juga. Padahal kondisi fisik Tracy sudah pulih. Hanya mentalnya yang masih tertekan. Dia belum
mau bicara. Lebih suka berbaring di tempat tidur sambil memejamkan matanya.
"Beri dia kesempatan, Pas," pinta Sania ketika Paskal mendesaknya terus. "Jiwanya belum cukup kuat untuk mendengar yang sebenarnya."
"Atau kamu yang belum cukup kuat menceritakan dosamu"" sindir Paskal jengkel. "Kutunggu sampai besok. Kalau kamu belum men-. ceritakannya juga, aku yang akan membuka aibmu."
"Mengapa kamu sekejam ini padaku"" keluh Sania lirih.
"Pantaskah kamu dikasihani" Kekejamanmu pada Solandra sudah tidak terampuni!" "Kamu akan menyesal, Pas..&" "Aku memang menyesal," geram Paskal. "Menyesal membawa Solandra padamu!"
Aku juga menyesal membawamu ke pesta reuni kami, keluh Sania dalam hati. Menyesal memperkenalkan Solandra padamu!
ketika Paskal mengeluarkan kunci kamar Tracy untuk membuka pintu, seorang pelayan room service sudah keburu membuka pintu dari dalam. Dia mendorong kereta makanannya ke luar dan memberi hormat kepada Paskal.
Paskal masuk ke dalam dan membiarkan pintu tertutup sendiri di belakang tubuhnya. Ketika mengayunkan langkahnya, dia mendengar suara Peter. Dan dia tertegun di depan pintu kamar mandi yang terletak di fiyer.
Sejak kapan Peter datang ke sini" Untuk diakah Sania memesan makanan" Ketika Paskal meninggalkan kamar ini tadi pagi, Peter belum ada di sana. Dan Sania tidak pernah mengatakan suaminya akan menyusul kemari. Dia malah bilang terpaksa datang sendiri karena Peter sangat sibuk.
Solandra Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang ternyata Peter menyusulnya. Karena Sania" Atau... karena Tracy"
Dia meninggalkan semua kesibukannya untuk menyusul mereka ke Paris.
"Ketika Mike meninggal, Tracy sangat kehilangan ayahnya. Karena itu aku ingin memberinya seorang pengganti."
arena itu Sania menikah dengan Peter. Karena dia ingin memberikan seorang ayah untuk Tracy setelah sia-sia menunggu Paskal.
Sania sudah datang ke Jakarta. Sudah menunggu di kantin di kampus mereka. Tetapi Paskal tidak muncul juga.
Sania masih mencoba datang ke rumah Paskal. Masih mencoba menggapai cintanya. Tetapi dia tidak dapat menemukan Paskal.
Sania sudah menunggu selama sepuluh tahun. Berharap semoga Paskal sudah berubah. Semoga Paskal kini dapat menerima cintanya.
Terapi Paskal tetap menolak. Karena cintanya memang hanya untuk Solandra. Dia tidak pernah mencintai Sania.
Seandainya saat itu Sania berterus terang, maukah Paskal menjadi suaminya, menjadi ayah Tracy"
Tetapi bagaimana mengatakan siapa Tracy sebenarnya tanpa membuat Paskal geram" 'Bagaimana memohon Paskal menjadi ayah Tracy, karena sebenarnya dia memang ayah anak itu!
- "Ibumu tidak bersalah, Tracy," suara Peter terdengar begitu lembut.
I Paskal melihat tangan lelaki itu mengelus-elus r
ambut Tracy dengan kelembutan seorang
ayah. Melihat hal itu, secercah perasaan ganjil
menyusup ke hati Paskal. "Ketika peristiwa itu terjadi, dia belum menikah. Dia tidak berselingkuh. Dia tidak mengkhianati siapa pun. Kamu tidak patut membencinya. Dia tidak membuangmu ketika tahu I dia hamil. Dia malah mencari seorang laki-I laki yang dapat menjadi ayahmu. Karena lelaki yang menjadi ayah biologismu sudah punya [ istri."
Kurang ajar, geram Paskal gemas. Punya hak apa dia menjelaskan sesuatu yang tidak diketahuinya" Atau... memang itu yang dikatakan Sania kepadanya" Itu dustanya yang terakhir untuk melengkapi kebohongan yang telah diperbuatnya!
Tetapi belum sempat Paskal mendampratnya, Peter mengucapkan dua kalimat lagi yang membuat Paskal terenyak.
"Kasihanilah ibumu, Tracy. Hidupnya tidak lama lagi."
Tracy menatap ayahnya dengan nanar. Perer membelai pipinya dengan lembur. "Ketika kamu di Paris, Dokrer Young menemukao kanker stadium tiga B di paru-parunya. Sudah terlambat untuk dioperasi."
Sekarang Tracy menoleh kepada ibunya. Matanya menatap ngeri.
Sania memeluk anaknya sambil menahan tangis.
"Mommy tidak mau kamu pulang karena mendengar kabar itu. Makanya kami belum memberitahu kamu."
"Mom!" itulah kata pertama yang terlompat dari mulut Tracy setelah beberapa hari membisu. Pasti itu pula kata pertamanya ketika bayi dulu. Lalu dia memeluk ibunya dan menangis.
Saat itu Peter melakukan sesuatu yang membuat langkah Paskal tertahan. Dia merangkul anak-istrinya erat-erat.
Rangkulan itu pasti rangkulan hangat seorang ayah. Seorang suami. Ketika melihat cara Peter merangkul Sania dan Tracy, perasaan ganjil itu kembali merambah di hati Paskal.
Lelaki itu pasti menyayangi Tracy. Menyayangi Sania. Dan sekarang, kehadirannya pasti lebih chbutuhkan daripada kehadiran Paskal.
Paskal tidak sampai hati merenggut sisa kebahagiaan Sania. Kalau benar ada kebahagiaa0 di akhir hidupnya. Dia juga sudah merasa,
Tracy akan memilih mendampingi ibunya daripada ikut Paskal. Ibunya sedang sekarat. Tracy
pasti tidak mau meninggalkannya.
Siapa pun Sania, bagi Tracy, dialah ibunya. Ibu kandungnya. Yang mengandung dan melahirkannya!
Perlahan-lahan Paskal memutar tubuhnya. Meninggalkan kamar itu. Dan menutup pintu kamar.
Bab XXI f-1 kei am ASKAL kembali ke Jakarta tanpa menunggu sampai Sania menceritakan rahasianya kepada Tracy. Dan karena Tracy tidak mau melihatnya lagi, Paskal hanya menitipkan sepucuk surat dan sebentuk kalung emas untuk putrinya. Di bandul kalung itu terikat batu hitam mengilat yang dipungut Solandra hampir dua puluh tahun yang lalu di Grand Canyon.
Tadinya Peter melarang Sania memberikan surat dan kalung itu pada Tracy.
"Buat apa"" gerurunya kesal. "Dia cuma mengganggu Tracy saja. Mengacaukan emosi Tracy yang sudah mulai tenang."
Tetapi Sania percaya, Paskal tidak sejahat itu. Dia percaya, Paskal menyayangi anaknya seperti mereka mengasihi Tracy. Jadi Sania ber-;eras memberikan kalung dan surat itu kepada aknya ketika mereka meninggalkan Paris.
"Kamu bakal menyesal," dumal Peter gemas.
Makin tua dia memang makin nyinyir. Tapi satu hal yang tak dapa't dibantah. Dia juga menyayangi Tracy.
Dan pada saat Sania sadar hidupnya sudah tidak lama lagi, dia bertambah membutuhkan Peter. Karena dia memerlukan seorang ayah " untuk Tracy. Seseorang yang mengasihinya. Seseorang yang akan melindunginya sepeninggal Sania.
"Kamu lihat bandul kalung itu" Batu apa itu" Jangan-jangan black magid"
Sania juga tidak tahu batu apa yang tergantung di kalung itu. Paskal menyuruh toko perhiasan mengikatnya di sana, pasti batu itu sangat berharga baginya. Mungkin semacam jimat. Pengusir bala. Pembawa keberuntungan. Atau apa pun juga. Yang pasti, Paskal tidak akan memberikan benda pembawa sial kepada anaknya.
Mula-mula Tracy juga tidak mau memakai kalung itu. Bahkan menerimanya saja dia segan. Tetapi selesai membaca surat ayahnya di pesawat, Sania melihat matanya berkaca-kaca. Dan dia menyimpan kalung itu di rasnya.
"Terimalah kalung ini sebagai tanda mata
ayah-ibumu, Tracy. Ibumu, Solandra, memungut batu hitam itu di Grand Canyon tujuh belas tahun yang lalu,
ketika cinta sedang merambah ke seluruh pembuluh darah kami.
"Batu itu bukan batu mulia yang mahal harganya. Batu ku cuma batu biasa. Terbuang dan terhantar di tanah kotor selama ratusan mungkin pula ribuan tahun. Diinjak puluhan ribu kaki manusia dan binatang. Tapi artinya buat kami sangat besar. Karena seperti batu yang telah ribuan tahun teronggok abadi di sana, seperti itu jugalah cinta suci kami. Kekal dan abadi untuk selamanya. Tak lekang oleh waktu. Tak luntur oleh maut.
"Ada satu hal lagi yang ingin kukatakan padamu, Tracy. Jika kamu kka proses kelahiranmu berlumur dosa, kamu keliru. Kamu bukan anak haram, Tracy. Kamu tidak lahir dari perselingkuhanku dengan ibu yang mengandung dan melahirkanmu.
"Kamu lahir dari sebuah mukjizat. "Tuhan mengabulkan permintaan terakhir hamba-Nya yang sangat setia. Karena Solandra begitu yakin, jika mukjizat kesembuhan yang dimintanya tidak dikabulkan Tuhan, Dia akan emberikan mukjizat yang lain.
"Kamulah mukjizat itu, Tracy. "Ketika aku tahu kamu anakku, untuk pertama kalinya aku percaya, Tuhan memang ada. Karena kalau bukan Dia, siapa lagi yang dapat memberikan mukjizat semacam itu"
"Saat ini, hanya ada satu permintaan lagi yang kupanjatkan pada Tuhan. Aku berdoa, semoga suatu hari nanti, entah sepuluh tahun I lagi, dua puluh tahun, atau tiga puluh tahun, aku dapat melihatmu lagi. Datang bersujud di depan nisan ibumu, Solandra. Dan menghampiriku dengan kalung tanda mata dari orangtuamu melingkar di lehermu sambil me-| manggilku Daddy.
"Aku berharap saat itu aku masih dapat melihatmu. Menyentuhmu. Dan menciummu.
"Tetapi jika Tuhan baru mengabulkannya setelah jasadku terbujur dalam peti mati, aku tetap bersyukur, Tracy.
"Karena Solandra selalu mengajarkan, yang jadi adalah kehendak Tuhan. Bukan kehendak 1 kita.
"Dia memang wanita yang sangat istimewa, Tracy. Wanita yang berhati mulia. Wanita yang punya iman yang sangat teguh. Tidak ada cobaan yang dapat melunturkan kepercayaannya kepada Tuhan.
"Aku beruntung memiliki dua orang wanita yang sangat berharga dalam hidupku. Kamu, anakku. Dan Solandra, belahan jiwaku.
"Sekarang aku baru sadar, sebenarnya memiliki Solandra dan kamu juga sebuah mukjizat.
"Sekarang aku tinggal menunggu mukjizat, yang terakhir dalam hidupku."
*** Dan mukjizat itu akhirnya datang juga. Bukan sepuluh tahun. Bukan dua puluh tahun. Bukan pula tiga puluh tahun.
Baru tiga tahun berlalu ketika Tracy muncul di rumahnya. Hari itu tepat hari ulang tahun perkawinannya yang ketiga puluh. Paskal baru saja hendak berangkat ke pemakaman Solandra ketika, gadis itu tiba-tiba muncul di ambang jpintu.
Paskal hampir tidak memercayai penglihatannya. Sekejap dia mengira Solandra-Jah yang datang.
Sekarang, ketika kedewasaan telah menyen-ih dirinya, Tracy malah menjadi semakin mirip engan Solandra, sampai Paskal hampir tidak
dapat lagi menemukan perbedaannya. Satu-satunya yang membuat Paskal tahu wanita di
hadapannya ini bukanlah Solandra hanyalah karena wanita itu mengenakan kalung itu di lehernya. Kalung emas dengan bandul batu hitam yang Paskal berikan kepada anaknya tiga tahun yang lalu.
Sesaat mereka sama-sama tertegun. Saling pandang tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tracy berusaha meredam kerinduan yang bersorot di matanya. Tetapi ketika dia gagal menyembunyikannya dari tatapan ayahnya, dia menunduk sambil menahan tangis.
Ketika Paskal melihatnya, matanya menjadi berkaca-kaca. Dan dia tahu apa yang telah terjadi walaupun Tracy tidak sanggup mengucapkannya.
Paskal menghampiri putrinya sambil membuka lengannya. Meraih Tracy ke dalam pelukannya. Dan mendekapkannya erat-erat ke dadanya.
"Tracy," bisiknya penuh kerinduan. "Terima kasih mau menemuiku lagi...." Betapa bahagianya aku kalau kamu mau memanggilku Daddy.
Tetapi Tracy mungkin belum mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kesedihan masih
membelenggu jiwanya. Dia membutuhkan beberapa menit sebelum mampu membuka bibirnya yang- gemetar.
"Mommy...." desah Tracy sambil menahan tangis.
Tapi sekuat apa pun dia berusaha menahan tangisnya, tanggul air. matanya bobol juga. Dia menangis sesenggukan di bahu Paskal. Membuat baju P
askal basah diguyur air matanya.
"Aku tahu," bisik Paskal sambil membelai-belai rambut anaknya dengan lembut. Cinta dan kerinduan menjalari kedua lengannya yang mendekap putrinya. Cinta yang menghangatkan dadanya. Hatinya. Jiwanya.
Dia tahu, Sania telah pergi. Dan dia tahu walaupun belum mendengar, Sania telah menceritakan rahasianya sebelum pergi. Dia tidak mungkin sanggup bertemu Solandra sebelum membayar lunas utangnya.
Akhirnya mukjizat yang terakhir datang juga.
"Mommy minta aku datang hari ini, Ayah. Katanya ini hari istimewa." Ayah"
Paskal merenggangkan pelukannya dan menatap anaknya dengan kaget.
Tracy balas menatap dengan sama kagetnya.
"Kenapa"" cetusnya bingung. Matanya yang indah berkilauan di balik tirai air matanya. Mata anaknya. Mata Solandra. Mata yang dirindukannya. "Kata Mommy, ayah dalam bahasa Indonesia artinya daddy."
Tentang Pengarang f -WAL karier Mira W. sebagai penulis dimulai pada tahun 1975, ketika cerpennya yang pertama, berjudul Benteng Kasti, dimuat di majalah Femina. Sesudah itu, cerpen-cerpennya banyak dimuat di majalah-majalah Ibukota.
Pada tahun 1977, novelnya yang pertama, Dokter Nona Friska, dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Dewi, dibukukan dan difilmkan dengan judul Kemilau Kemuning Senja pada tahun 1981.
Bukunya yang pertama, Sepolos Cinta Dini, diterbitkan oleh Penerbit Gramedia pada tahun 1978, setelah sebelumnya dimuat sebagai cerber di Harian Kompas.
Sampai sekarang bukunya telah berjumlah 70 buah, sebagian besar telah difilmkan dan dibuat sebagai miniseti maupun sinetron di layar televisi.
Selain menulis, Mira W juga menekuni profesinya yang lain sebagai seorang dokter.
Buku-buku karya Mira W selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Sepolos Cinta Dini 2. Cinta Tak Pernah Berutang 3- Permainan Bulan Desember
4. Tatkala Mimpi Berakhir
5. Matahari di Batas Cakrawala
6. Kuduslah Cintamu, Dokter
7. Ketika Cinta Harus Memilih
. Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi
9. Kemilau Kemuning Senja
10. Benteng Kasih (Kumpulan Cerpen) M
11. Firdaus yang Hilang 12. Cinta di Awal Tiga Puluh
13. Seandainya Aku Boleh Memilih
14. Masih Ada Kereta yang Akan Lewat
15. Dari Jendela SMP 16. Tak Cukup Hanya Cinta
17. Seruni Berkubang Duka
18. Saat Genta Cemburu Berdentang (Kumpu Cerpen)
19- Relung-Relung Gelap Hati Sisi
20. Tak Selamanya Gelap Itu Gulita (Kumpulan Novelet)
21. Jangan Pergi, Lara 22. Merpati Tak Pernah Ingkar Janji
23. Memburu Jodoh (Kumpulan Cerpen)
24. Galau Remaja di SMA 25. Cinta Cuma Sepenggal Dusta
26. Kidung Cinta buat Pak Gum
27. Di Tepi Jeram Kehancuran
28. Perisai Kasih yang Terkoyak
29. Bilur-Bilur Penyesalan .
30. Satu Cermin Dua Bayang-Bayang
31. Sematkan Rinduku di Dadamu (Kumpulan Novelet)
32. Luruh Kuncup Sebelum Berbunga
33. Dakwaan dari Alam Baka
34. Biarkan Kereta Itu Lewat, Arini
35. Tersuruk dalam Lumpur Cinta
36. Perempuan Kedua 37. Cinta Seindah Tatapan Pertama
38. Trauma Masa Lalu 39. Di Bahumu Kubagi Dukaku
40. Sekelam Dendam Marisa
41. Jangan Biarkan Aku Melangkah Seorang Diri
42. Kuukir Pelangi Kasih di Hatimu
43. Mahligai di Atas Pasir
44.. Sampai Maut Memisahkan Kita
45. Di Ujung Jalan Sunyi 46. Segurat Bianglala di Pantai Senggigi
47. limbah Dosa 48. Nirwana di Balik Petaka
49- Perempuan Tanpa Masa Lalu (Kumpulan Nove
50. Bukan Cinta Sesaat 51. Deviasi 52. Delusi 53- Jangan Ucapkan Cinta 54. Semburat Lembayung di Bombay
55. Dunia Tanpa Warna (Kumpulan Novelet)
56. Cinta Menyapa dalam Badai (Buku I dan II)
57. Cinta Berkalang Noda 58. Cinta Tak Melantunkan Sesal 59- Dan Cinta Pun Merekah Lagi
60. Mekar Menjelang Malam
61. Titian ke Pintu Hatimu
62. Semesra Bayanganmu 63- Jangan Renggut Matahariku
64. Di Bibirnya Ada Dusta
65. Dikejar Masa Lalu 66. Bukan Istri Pengganti
67. Bila Hatimu Terluka 68. Pintu Mulai Terbuka 69- Di Sydney Cintaku Berlabuh 70. Sola
tamat Tujuh Pembunuh 2 Lupus Bunga Untuk Poppi Pembunuhan Di Orient Ekspress 4
"Percuma beli baju hampir tiga ratus dolar! Dilihat saja enggak!"
"Kamu datang, Andra," desah Paskal penuh kerinduan. Tidak memedulikan kelakar istrinya. Tidak memedulikan benarkah Soiandra yang berada dalam pelukannya. "Akhirnya kita bertemu lagi!"
Didekapnya Soiandra erat-erat. Diciuminya rambutnya. Wajahnya. Bibirnya. Lehernya. Dadanya.
"Jangan pernah meninggalkanku lagi," pinta Paskal sambil membelai rambut istrinya. Rambut yang dikaguminya. Rambut yang memancarkan harum semerbak. "Jangan pergi, Andra!"
Mula-mula Paskal tidak tahu dia berrnimpi,
berkhayal, atau benar-benar berada di alam nyata.
Semuanya terasa begitu nyata. Bukan halusinasi. Bukan mimpi.
Dia seperti memeluk Soiandra. Menciuminya. Membelainya.
Soiandra benar-benar datang ke kamarnya. Tersenyum. Bicara. Tertawa.
Sudah gilakah aku" pikir Paskal ketika semuanya telah berakhir dan dia menemukan dirinya tergolek seorang diri di atas ranjang dalam kamarnya yang sepi.
Tapi kalau menjadi gila memberikan kenikmatan yang demikian dirindukannya, rasanya dia rela gila! Kalau dengan menjadi gila dia dapat bertemu kembali dengan Soiandra, apa ruginya menjadi orang gila"
Sayangnya kegilaan semacam itu tak dapat diulanginya lagi. Berapa hari pun dia menunggu di sana, dia tak pernah lagi mengalami sensasi seperti itu.
Soiandra tidak pernah muncul lagi. Sia-sia Paskal menunggu. Sia-sia dia memohon.
Akhirnya dengan putus asa dia pulang ke
akarta. Menyimpan barang-barangnya di
rumah. Mengabari adiknya dia sudah pulang. Lalu dia langsung ke kuburan. Bersimpuh di depan makam istrinya. Memandang getir nisan Soiandra.
"Aku rindu, Sayang," bisiknya sambil menabur bunga. "Kapan kita bisa bertemu lagi"" " Sehari-semalam Paskal bersimpuh di sana. Sampai ayah dan adiknya datang menjemputnya setelah mencarinya ke sana kemari.
"Rasanya sudah saatnya kita bawa dia ke psikiater, Fa," cetus Paulin iba. Tidak sampai hati melihat keadaan abangnya.
"Tidak," sahut ayahnya tegas. "Paskal tidak gila. Dia kuat. Kalau dia lemah, dia sudah gila sejak tujuh tahun yang lalu. Ketika Soiandra meninggalkannya."
"Bukan cuma orang gila yang memerlukan psikiater, Pa," keluh Paulin pahit.
Akhirnya Agusti mengalah. Dan mengantarkan anaknya ke seorang dokter kenalannya. . Dokter ku mengonsultasikan Paskal kepada seorang psikiater.
Dokter Rosa Andol ini tampil secantik namanya.
Meskipun, usianya sudah empat puluh satu tahun, tidak seorang pun dapat membantah, dia masih sangat menarik. Pakaiannya rapi. Rambutnya tertata dengan baik. Makeup-nya pun pas. Tidak berlebihan. Sesuai dengan umurnya. Sesuai pula dengan profesinya.
Dan karena dia seorang doktet jiwa, pasiennya dari kalangan atas pula, dia tidak perlu berlelah-lelah memeriksa pasien. Dia hanya perlu mengajak mereka bicara.
Tetapi jangan kaget kalau berbicara dengan dia selama dua puluh menit dikenakan biaya konsultasi sebesar dua ratus lima puluh ribu.
Mula-mula Paskal juga menganggap kedatangannya ke sana hanya buang-buang waktu dan uang saja. Apa yang diharapkannya dari dokter wanita itu"
Andolini tidak dapat menyembuhkan jiwanya bagaimanapun pandainya dia. Dokter itu juga tidak dapat melenyapkan kesedihannya betapa pintarnya pun dia bicara. Dan yang paling penting, dia tidak dapat menghadirkan Soiandra! Tidak di kamar praktiknya. Tidak juga di kamar tidur Paskal.
Jadi buat apa dia kemari seminggu dua
Mula-mula Paskal memang hanya ingin mengikuti kehendak ayahnya. Karena dia sudah malas membantah. Malas berdebat. Pulang dari Las Vegas dia memang sudah seperti patung bernyawa. Kalau tidak disuruh makan, tidak makan. Kalau disuruh ke dokter, dia berangkat ke sana tanpa membantah.
Tetapi lama-kelamaan, dia merasa betah juga mengobrol dengan Dokter Andolini. Dia bukan hanya sabar. Siap mendengarkan seluruh keluhan pasiennya. Termasuk kemarahan Paskal terhadap nasib buruk yang menimpa istrinya. Kesedihannya karena kehilangan wanita yang sangat dicintainya. Sampai keraguannya atas kemungkinan adanya hidup yang kedua. Kehidupan setelah kematian.
"Soiandra hadir kembali dalam hidupku. Aku bisa memeluknya. Menciumnya. Aku melihat senyumnya. Mendengar tawanya. Tidak. Itu bukan mimpi! Bukan halusinasi! Dia sungguh-sungguh datang kembali!"
Kelebihan Dokter Andolini bukan hanya kesabarannya mendengarkan. Tapi juga kemahirannya mengikuti arus emosi pasiennya.
Dia tidak membantah pendapat Paskal. Tidak menyela kata-katanya. Tidak menganggap penumpahan perasaannya itu omong kosong belaka. Dan yang paling penting, Dokter Andolini
tidak menganggap pasiennya gila. Sakit jiwa.
Ngawur. "Aku ingin mengulanginya lagi, Dokter. Aku ingin melihatnya kembali. Aku sudah mencoba minum obat-obat psikotogenik untuk menim* bulkan halusinasi. Tapi Soiandra tidak datang dalam halusinasiku."
"Saya mengerti," sahut Dokter Andolini ramah. Simpatik. Penuh pengertian. Dia selalu menempatkan dirinya di pihak pasiennya. Bukan di seberangnya.
Bukan rahasia lagi kalau hampir setiap pasiennya merasa begitu tergantung padanya setelah tetapi mereka berakhir. Pada setiap akhir sesi, mereka merasa lebih lega. Dan ingin datang lagi untuk sesi berikutnya.
Dokter Andolini hampir tidak pernah memberikan obat kepada pasiennya. Apalagi kepada pasien yang dokter seperti Paskal. Yang dilakukannya hanya psikoterapi. Dan setelah enam kali bertemu muka, Paskal merasa gelombang emosinya mulai membaik.
Dia sudah bisa bekerja kembali. Sudah.kernbah ke rutinitas kehidupannya seperti sebelum berangkat ke Las Vegas bulan Jaiu.
Memang masih tetap hidup yang kosong. Tandus. Gersang. Tapi paling tidak, dia tidak gila. Atau tidak ingin menjadi gila.- Hanya karena dia ingin bertemu lagi dengan Soiandra.
Terima kasih telah menyeimbangkan kembali emosi saya, Dok," kata Paskal sore itu di kamar prakak Dokter Andolini yang luas dan sejuk.
Tidak seperti kamar praktik dokter pada umumnya, mang praktik itu lebih mirip ruang tamu yang asri dan menyenangkan. Tidak ada bau obat suntik yang membuat perasaan pasien menjadi tegang. Atau bau lisol yang menyebabkan hidung mendengus.
Pengharum ruangan beraroma pinus, dikom-binasi dengan hijaunya daun-daun wave of love yang panjang melengkung menyejukkan mata, tampil begitu dominan di ruangan itu.
Tidak ada buku yang bertumpuk-tumpuk menyesakkan napas. Tidak ada majalah yang berserakan merusak pemandangan. Semua bukunya tertata rapi di rak buku. Majalah disusun rapi seperti di perpustakaan.
Bukan itu saja. Jika haus tiba-tiba mengganggu di ten
gah-tengah sesi, minuman dapat diambil seenaknya di bar kecil atau di lemari es di sudut ruangan.
Musik lembut mengalun merdu dari perangkat CD. Sementara TV plasma yang tergantung di dinding menampilkan gambar-gambar indah laksana lukisan. Semuanya menyebabkan pasien yang berada di ruangan itu merasa santai.
Biasanya mereka duduk di sofa panjang berjok kulit lembut dengan warna pastel yang nyaman. Sementara Dokter Andolini sendiri duduk agak jauh di kursi putarnya. Tempat dia bisa mengawasi pasiennya dengan baik tanpa pasien itu sendiri merasa diawasi.
"Apa arti kata-kata ini"" Dokter Andolini tersenyum manis. Senyum yang selalu menyejukkan hati pasien-pasiennya. Membuat mereka tidak merasa rugi mengeluarkan uang hanya supaya bisa ngobrol dengan dokter itu. "Tidak ,ada pertemuan berikutnya" Anda sudah merasa sembuh""
Paskal membalas senyum dokter itu dengan menyunggingkan seuntai senyum pahit.
"Saya tidak dapat sembuh kecuali dapat bertemu lagi dengan istri saya."
"Sejak semula, saya yakin Anda tidak sakit, Dokter Paskal. Anda hanya terobsesi untuk bertemu lagi dengan istri Anda."
Terima kasih atas pengertian Anda. Saya juga berterima kasih karena sejak semula Anda . tidak menganggap saya gila."
Ketika Paskal bangkit sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan dokter itu, Rosa Andolini melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangka. Dia bangun dari kursinya. Dan menampar pipi Paskal sekuat-kuatnya.
Paskal terjajar mundur saking kagetnya. Mukanya terasa pedih. Tapi rasa terkejutnya membuat dia hampir tidak memedulikan rasa sakitnya.
"Apa arti tamparan ini"" tanyanya bingung sambil mengelus pipinya. "Salah satu cara pengobatan baru di bidang psikiatri""
'"Supaya Anda merasa sakit," sahut Dokter Andolini tenang. "Dan supaya Anda tahu, bukan hanya Anda yang pernah merasa sakit. Banyak orang yang kehilangan orang yang mereka cintai. Mereka sakit. Tapi mereka berangsur sembuh. Waktu akan menyembuhkan luka mereka."
"Pernyataan ini untuk pasien saja, atau juga untuk dokternya"" tanya Paskal pahit.
"Ternyata saya memang berhadapan dengan seorang dokter," senyum kagum bermain di bibir Dokter Andolini. "Rupanya selama saya memeriksa Anda, Anda juga menganalisis saya."
"Anda juga pernah kehilangan, Dokter" Pernah merasa sakit seperti saya""
"Tiga belas tahun yang lalu, suami saya tewas dalam kecelakaan pesawat terbang." "Anda pasti sangat kehilangan." "Tapi saya tidak luluh dalam kesedihan seperti Anda. Setelah gagal bunuh diri, saya malah memutuskan untuk masuk psikiatri."
"Mungkin suatu saat nanti Anda mau menceritakan kisah Anda pada saya."
"Kenapa tidak sekarang saja"" tantang Dokter Andolini tegas.
Tantangan itu membuat Paskal tertegun. Sekejap dia hanya menatap dokter iru tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
*** Dokter Rosa Andolini mengajak Paskal makan malam di sebuah restoran tua di daerah Menteng.
"Di sini dulu Anda biasa makan malam
dengan suami Anda," cetus Paskal ketika pesanan makanan mereka datang.
"Tidak," sahut Rosa Andolini sambil menyunggingkan seuntai senyum getir. "Kami
tidak "pernah makan di sini. Kecuali pada malam terakhir sebelum dia berangkat."
"Sesudah itu, Anda pernah makan di sini lagi""
Rosa menggeleng. "Baru malam ini."
"Kalau begitu, saya merasa diistimewakan." Bagi Rosa Andolini, Paskal memang pasien istimewa. Dalam enam kali pertemuan, dia sudah merasa dekat dengan pasien yang satu ini. Bukan hanya karena mereka sama-sama dokter, tapi juga katena kisah cinta mereka yang sama-sama beraldur tragis.
"Ketika Bambang pergi, saya sedang hamil enam bulan," kata Rosa tanpa ditanya. "Anak yang begitu kami dambakan dalam tiga tahun perkawinan kami."
"Sebelum Soiandra pergi, dia ingin sekali memberikan seorang anak kepada saya. Tapi harapannya itu tak pernah kesampaian. Anda lebih beruntung dari saya, Dok. Karena ada yang ditinggalkan suami Anda untuk Anda.
"Bagaimana kalau malam ini kita buat perjanjian""
"Perjanjian apa" Maaf. Saya orang yang tidak pandai menepati janji."
"Saya rasa Anda justru orang yang bersedia mati untuk mempertahankan janji Anda."
"Janji apa yang akan kita buat malam ini" Saya hara
p bukan pertemuan untuk terapi berikutnya."
Rosa Andolini tersenyum manis. Matanya bersinar menggoda. Tapi Paskal tidak tergugah. Mata itu bukan mata Soiandra. Bukan mata .yang dikaguminya. Bukan mata yang dipujanya. "Tidak perlu. Anda sudah sembuh." "Jadi""
"Karena Anda bukan pasien saya lagi, tolong jangan panggil saya Dokter."
Sesaat Paskal tertegun. Lalu seuntai senyum merekah di bibirnya.
Alangkah tampannya dia, pikir Rosa kagum. Seandainya saja senyumnya tidak sepahit itu.
"Panggil saya Rosa. Oke" Sekarang kita kolega. Hubungan kita bukan hubungan, doktet-pasien lagi."
"Oke," Paskal mengangguk. "Tapi .sud* lama saya bukan dokter lagi."
"Saya tidak peduli. Kita sama-sama membutuhkan seorang teman. Karena kita punya garis nasib yang hampir sama. Ditinggal oleh orang yang kita cintai."
Sejak makan malam itu, sebenarnya Rosa Andolini sudah membuka lebar-lebar pintu hatinya. Sayangnya, Paskal tidak pernah mengambil peluang yang disodorkan.
Dia tidak menolak diajak makan malam. Tidak menolak diminta menemani menghadiri seminar. Tetapi ketika Rosa Andolini. menghendaki peningkatan hubungan mereka, Paskal menolak.
Padahal setelah minum dua cawan anggur sesudah makan malam di hotel berbintang lima itu, mereka sama-sama merasa terbuai. Hangatnya alkohol bukan hanya meningkatkan libido, sekaligus membuat mereka lebih terbaka.
Paskal mengerti sekali apa yang diinginkan Rosa saat ini. Bukan hanya matanya saja yang memancarkan keinginan itu. Bahasa tubuhnya pun menyatakan demikian.
Tetapi Paskal tidak ingin melayaninya. Dia memilih mengantarkan Rosa pulang daripada berkencan di kamar hotel.
f ~j "Maafkan saya," gumam Paskal dalam mobil ketika keheningan menyelimuti suasana. Dia tahu sekali mengapa Rosa mendadak jadi bisu. Dia pasti sangat kecewa. "Saya belum dapat melakukannya."
"Belum dapat atau tidak mau"" cetus Rosa dingin.
"Saya belum dapat melupakan Soiandra." "Tapi suatu hari kamu harus bisa melupakan-I nFa-"
Bagaimana aku bisa melupakan desah napasku sendiri, keluh Paskal getir. Soiandra mem-bayangiku ke mana pun aku pergi! Bahkan di balik kecantikanmu, Rosa, aku masih melihat Soiandra! Masih membayangkan wajahnya. Tatapan matanya. Senyumnya. " Menghirup aroma parfummu mengingatkan aku pada harumnya tubuh istriku. Harumnya rambutnya. Lipstiknya. Bagaimana aku bisa melupakannya" Bagaimana aku bisa menggeser Soiandra, menggantinya dengan perempuan lain, siapa pun dia"
Paskal tidak pernah datang lagi ke kamar praktik Dokter Rosa Andoiini. Beberapa kali Rosa mencoba menghubunginya. Tetapi Paskai selalu menghindar.
"Apa sih kurangnya dokter itu"" gerutu Paulin, yang sudah merasa gerah melihat dinginnya reaksi abangnya terhadap wanita. 1 Dia tahu sekali sudah berapa kali Dokter Andolini menelepon Paskal. Di rumah. Di kantor. Di ponsel. Tetapi Paskal tidak mau melayaninya. "Nggak ada," sahut Paskal acuh tak acuh. "Lalu kenapa ditolak" Sampai kapan kamu mau begini terus"" "Sejak kapan itu jadi urusanmu"" "Aku khawatir melihat keadaanmu, Paskal!" "Seharusnya kamu khawatir sejak tujuh tahun yang lalu!"
"Kami semua memang khawatir," gerutu Paulin gemas. "Kamu yang tidak peduli!"
"Tidak usah khawatir. Aku tidak apa-apa. Dokter Andolini juga bilang aku sudah sembuh. Tidak usah datang ke tempat praktiknya lagi."
"Kamu jangan berlagak bodoh, Paskal! Kamu bukan nggak tahu kan dokter itu naksir kamu""
"Bukan urusanmu." "Kamu tidak tertarik padanya"" "Tidak termasuk hal yang harus kuiaporkan pada atasan, kan""
"Serius, Paskal! Kami semua berharap kamu jadi manusia lagi! Bukan mayat hidup seperti tujuh tahun terakhir ini!"
"Tapi mayat hidup ini tidak merugikan perusahaan, kan" Atau kamu ingin aku di-PHK""
"Ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan!" Paulin hampir menjerit saking gemasnya. "Kami ingin kamu hidup normal lagi! Punya istri. Punya anak kalau bisa. Punya kehidupan. Punya masa depan____"
"Terima kasih, Paulin," suara Paskal melunak. "Aku tahu apa yang harus kulakukan."
"Jangan sia-siakan kesempatanmu, Paskal. Dokter Andolini pasangan yang cocok untukmu. Dia memahami dirimu. Mengerti kesulit-anmu. Dapat merasakan penderiraanmu. Ka
mu mau tunggu yang seperti apa lagi"" "Yang seperti Soiandra," sahut Paskal mantap. Sesudah itu Paulin tidak mampu membuka mulutnya lagi. Dia kesal. Sekaligus iba pada kakaknya.
*** Sepeninggal Soiandra, Paskai memang tidak memberikan kesempatan kepada perempuan
mana pun untuk masuk daiam hidupnya. Tidak
Dokter Rosa Andoiini. Tidak juga Sania.
Pada hari kematian SoJandra yang kesepuluh, Paskal malah pergi ke rumah mertuanya di Surabaya. Bukan menunggu Sania di kantin I tua di kampusnya.
Di dalam pesawat yang menerbangkannya ke Surabaya, pikirannya melayang sekejap ke Jakarta. Sudah tibakah Sania di sana" Sedang menunggu dengan sia-siakah _dia.. di kantin kampus mereka"
Kasihan. Dia pasti sangat kecewa.
Tapi hidup memang kejam. Tak ada orang yang tak pernah kecewa.
Dan tak ada yang dapat Paskal lakukan untuk menolongnya. Karena Paskal tidak mau bersandiwara. Berpura-pura mencintai Sania hanya supaya dia tidak kecewa.
Maafkan aku, San, desah Paskal pedih. Aku masih belum dapat melupakan Solandra. Belum dapat menggantinya dengan dirimu. Karena dia masih bertakhta di hatiku. Tak ada tempat kosong untukmu.
Pada saat yang sama, di kantin sebuah universitas di Jakarta, Sania sedang mengusap air matanya dengan kecewa.
Kantin itu sudah berubah. Tak ada lagi kantin tua yang membangkitkan kenangan-kenangannya semasa mahasiswa. Nostalgia persahabatannya dengan Paskal. Kantin itu sudah lenyap. Berganti dengan kantin baru yang tidak dikenalnya.
Tetapi kekecewaan Sania bukan hanya karena tidak ada lagi yang dikenalnya di sana. Tetapi juga katena dia tidak menemukan pria yang dicarinya.
Paskal tidak muncul. Sia-sia Sania duduk lima jam lebih di sana. Sampai pemilik kantin itu merasa heran.
Apa yang ditunggu wanita separo baya ini" Seorang teman lama" Bekas pacar"
Mukanya tampak demikian sedih dan kecewa. Tidak datangkah orang yang dinantikannya"
Orang itu pasti bekas pacarnya waktu kuliah dulu. Kalau tidak, masa parasnya begitu muram"
Cinta, desah pemilik kantin itu dalam hati. Indah, sekaligus menyakitkan!
Lihat bagaimana sikapnya waktu membayar minumannya. Lihat bagaimana cara dia radangkah. Tertatih-tatih seperti mengidap penyakit kronis.Sebelum meninggalkan kantin dia masih menoleh sekali lagi. Berpikir sebentar. Seperti mempertimbangkan mau menunggu lagi atau tidak. Akhirnya dia melangkah ke luar dengan paras muram.
Sania memang masih ragu. Tidak datangkah Paskal" Mungkinkah dia lupa" Siapa tahu dia baru ingat nanti malam. Mungkin dia terlalu sibuk.
Daripada harus kembali dengan sia-sia ke Melbourne, Sania memutuskan untuk pergi ke rumah Paskal. Bahkan juga ke kantornya kalau perlu. Ke mana saja. Asal dia dapat menemui lelaki itu.
Tetapi jawaban yang diperolehnya membuat Sania lemas.
Paskal tidak ada di rumah. Tidak ada di kantor. Pembantunya tidak tahu ke mana dia pergi. Adiknya mungkin tahu, tetapi tidak mau mengatakannya:
Akhirnya Sania terpaksa pulang dengan sia-sia. Penantiannya selama sepuluh tahun tidak membuahkan hasil. Rupanya Paskal tetap belum dapat melupakan Solandra. Sampai kapan pun.
Bab XVI ETELAH menghadiri perayaan ulang, tahun ayahnya yang ketujuh puluh tujuh, Paskal langsung berangkat ke Surabaya. Dia menerima sms, ibu Solandra sakit. Dan Elena mengharapkan kedatangannya.
Dia tidak dapat memenuhi janjinya untuk menemui rekan bisnisnya di Tours. Penyakit jantungnya mendadak kambuh. Dokter melarangnya melakukan aktivitas apa pun. Jadi terpaksa untuk pertama kalinya dia minta tolong pada Paskal.
"Pertemuan ini sangat penting," katanya ketika Paskal menjenguknya di rumah sakit. "Penting untuk kelanjutan bisnis Mama."
"Tentu," Paskal menggenggam tangan mertuanya sambil tersenyum lembut. "Kalau tidak, mana pernah Mama minta tolong pada saya""
Sudah empat belas tahun JEJena Mandagie kehilangan anak kesayangannya. Selama itu, Paskal dengan rajin mengunjunginya setiap
enam bulan. Tetapi Elena belum pernah sekali pun minta bantuan menantunya.
"Kata Solandra, kamu tidak menyukai bisnis pakaian.''
"Sekarang saya berkecimpung dalam bisnis pakaian jadi juga, Ma. Tidak sia-sia Andra mengajak saya ke toko Mama saat terakhir kami
mengunjungi Mama di Surabaya."
"Syukurlah kalau begitu," ibu Solandra menghela napas berat. Matanya yang redup menerawang jauh seperti mengenang pertemuannya yang terakhir dengan putrinya. "Supaya Mama punya penerus untuk melanjutkan bisnis ini jika Mama sudah tidak ada." "Mama jangan ngomong begitu ah." "Mama serius, Pas. Mama ingin mewariskan | bisnis ini padamu."
"Mama tidak takut perusahaan yang sudah j Mama bina dari muda ini bangkrut di tangan saya"" Paskal mencoba bergurau untuk mencairkan suasana. "Mama kan tahu kualitas , saya."
"Justru karena Mama tahu kualitasmu. Ayahmu sudah beberapa kali menyampaikan kemajuanmu. Mama bangga mendengarnya." Paskal tersentak kaget. Ditatapnya ibu
Solandra dengan tatapan tidak percaya. "Papa menelepon Mama"" "Malah sudah dua kali datang kemari." "O ya"" Paskal tertegun bingung. "Mama sudah memaafkannya," desah ibu Solandra lirih.
"Kapan, Ma"" desak Paskal tidak percaya. "Kapan Mama memaafkan ayah saya""
"Di pemakaman Solandra. Empat belas tahun yang lalu. Ketika dia datang menyalami Mama. Ketika melihat air mata yang menggenangi matanya, Mama tahu saat itu dia tidak bersandiwara. Dia benar-benar menyesal."
Paskal tidak mampu mengucapkan separah kata pun. Jadi kepergian Solandra ternyata tidak sia-sia. Dia sudah berhasil mendamaikan orangtua mereka!
*** Tours terletak tiga ratus kilometer di selatan Paris. Terletak di daerah yang disebut Chateaux Country, di lembah Loire yang permai. Dan
seperti namanya, di area itu terdapat berbagai chateau yang indah-indah dan bersejarah, seperti Chenenceaux, Amboise, Cheverny, Chambord, dan masih banyak Jagi
Tetapi sepeninggai Solandra, Paskal seperti kehilangan seluruh gairahnya untuk bertualang menyusuri perjalanan sejarah. Kehilangan semangat untuk menyaksikan keindahan yang bertebaran di sekitarnya. Sekarang semua itu tidak menarik lagi baginya. Tanpa Solandra, tak ada lagi keindahan. Yang ada hanya kemuraman dan rutinitas pekerjaan.
Memang membosankan. Tapi apa lagi yang dapat dilakukannya" Tiap hari dia hanya ber- j harap semoga malam cepat datang. Semoga hari ini cepat berlalu. Semoga hari esok cepat muncul. Dan semoga dia semakin dekat ke hari pertemuannya kembali dengan Solandra.
Karena itu Paskal tidak mau membuang-buang waktu. Jalan-jalan ke chateau" Buat apa" Dia kan bukan turis lagi! Buat apa melibat bangunan kuno, melihat ranjang dan meja-kursi yang sudah berumur ratusan tahun"
Yang ingin dilihatnya cuma Solandra.' Tapi dia tidak ada di sana!
g saja menuju Tours untuk
menyelesaikan tugasnya. Bertemu dengan mitra bisnis ibu Solandra di sebuah galeri yang sangat terkenal di kota itu. Dan membicarakan topik bisnis mereka. Pembicaraan itu baru selesai sekitar pukul
tiga siang. Dan Paskal merasa perutnya lapar
sekali. Dia langsung berjalan kaki ke seberang dan masuk ke sebuah kafe. Memesan sepotong cheesecake dan secangkir kopi.
Sambil duduk di bawah payung lebar berwarna merah, dia menikmati kesibukan jalan raya di depannya. Saat itu sudah hampir setengah empat sore. Angin yang berembus sejuk sudah mulai terasa menggoda kulit.
Matahari bersinar malu-malu, mengintai di celah-celah ranting-ranting pohon yang rindang di tepi jalan. Cuaca meredup dan suram. Tapi lampu jalanan berbentuk lima bola yang terpancang di atas tiang di hadapannya belum dinyalakan. Barangkali memang masih terlalu sore.
Selesai menyantap kue dan menghirup kopinya, Paskal melangkah ke depan kafe. Di sana ada sebuah bangku panjang berwarna kelabu yang kebetulan kosong.
skal duduk-duduk di sana menikmati ma nusia yang laiu-laiang di kaki Jima di hadapannya. Di samping kaki lima, ada sebuah jalan kecil yang hanya muat satu mobil. Tapi jalan sesempit itu pun masih sesak dipadati kendaraan.
Paskal melayangkan pandangannya ke seberang, ke gedung megah yang dihiasi delapan pilar dan disebut Palais de Justice. Di halaman depan, air mancur mencipratkan airnya sementara bendera Prancis melambai-lambai di atapnya.
Pukul empat tepat, ketika lonceng di atas 'Hotel De Ville berdentang, sebuah bus berwarna hijau telur asin berhenti di pemberhentian bus. Penumpang berduyun-duyun
turun. Ramai. Tapi tertib. Sebagian menyeberangi jalan. Beberapa di antaranya melangkah ke kaki lima dan melewati tempat Paskal duduk.
Saat itulah mata Paskal tertumbuk pada seorang gadis remaja berpenampilan Melayu. Gadis itu mengenakan celana hipster dengan blus tanktop yang memamerkan pusar dan bahunya, seolah tidak peduli pada sejuknya udara yang menyapa kulitnya. Padahal dia bawa jaket. Jaket biujins itu melongok keluar dari ranselnya.
Paras gadis itu luar biasa cantik. Rambutnya yang hitam lurus tergerai melewati bahunya yang mulus dan terbuka. Sementara pinggangnya yang ramping terayun gemulai laksana dahan pohon yang bergoyang ditiup angin ketika dia melangkah.
Tetapi bukan kecantikan bidadari itu yang mengempaskan naluri Paskal. Dalam empat belas tahun terakhir ini, berapa banyak bidadari yang lewat dalam hidupnya" Tetapi tidak seorang pun yang berhasil menggugah gairahnya!
Namun yang satu ini sungguh berbeda. Bukan kecantikannya. Tapi kemiripannya dengan Solandra!
Seandainya dia lebih tua sepuluh tahun, Paskal pasti tidak ragu lagi, almarhum istrinyalah yang telah menitis ke dalam jasad gadis remaja ini!
Hanya sekejap Paskal sempat bengong. Karena langkah gadis itu begitu cepat. Sebentar saja dia sudah menghilang di antara kerumunan orang yang berjalan di kaki lima.
Bergegas Paskal mengejarnya. Seolah-olah tidak mau melepaskannya lagi. Dia ikut rombongan manusia yang menyeberang di depan
Banque Hervet. Mengikuti gadis itu dari jarak lima meter di belakangnya, v' Dia sendiri tidak tahu mengapa harus mengikuti gadis itu. Apa yang hendak dilakukannya. Dia tidak sempat berpikir lagi. Semuanya berlangsung begitu cepat. Kalau terlalu lama berpikir, gadis itu pasti keburu lenyap.
Jadi Paskal terus saja membuntuti gadis remaja yang mirip Solandra itu.
Makin lama makin sedikit orang yang melangkah searah dengan mereka. Mempermudah Paskal membuntutinya.
Gadis itu masih melangkah cepat-cepat di depannya, tanpa sadar ada seorang laki-laki yang mengikutinya. Atau... dia tahu tapi tidak peduli"
Sudah seringkah dia memperoleh seorang pengagum gelap" Tidak heran kalau melihat "' wajahnya yang demikian cantik dan tubuhnya yang begitu ramping. Apalagi sentuhan oriental di parasnya yang belia menambah daya tarik eksotiknya.
Mau ke mana dia" pikir Paskal ketika gadis itu menyeberang di depan Pharmacie du Progress. Pulang ke rumah" Di sinikah rumahnya" Siapa orangtuanya" Mengapa dia begitu mirip
Solandra" Benarkah dia titisan almarhum istrinya" "
Tetapi-gadis itu tidak berhenti di sana. Dia masih melangkah terus menuju ke arah La Gare SNCF, stasiun kereta api.
Tergesa-gesa Paskal mengikuti gadis itu membeli karcis kereta. Ternyata dia membeli karcis TGV yang menuju ke Montparnasse di Paris. Kereta itu berangkat pukul setengah enam sore. Paskal tidak sempat lagi kembali ke hotelnya untuk mengambil kopernya.
Apa boleh buat, desahnya sambil mengatur napasnya. Aku tidak boleh kehilangan dia. Aku harus tahu benarkah ada reinkarnasi!
Dia begitu mirip dengan Solandra. Segala-galanya. Wajahnya. Tubuhnya. Bahkan gerak-geriknya.
Kalau umur gadis ini tujuh atau delapan tahun saja lebih tua, dia pasti serupa dengan Solandra ketika pertama kali Paskal melihatnya di reuni SMA-nya!
Paskal tidak kebagian bangku di dekat gadis itu dalam TGV yang melaju cepat ke Paris. Karena itu dia kehilangan kesempatan untuk berkenalan. Satu-satunya kesempatan yang dimilikinya hanyalah ketika gadis itu naik Metro.
Untung dia punya karcis Metro untuk tiga hari. KaJau tidak, dia tidak bisa masuk ke stasiun.
Dari jauh dia melihat gadis itu masuk ke kereta yang berhenti di depannya. Dia langsung duduk tanpa memilm-milih bangku lagi.
Bangku di sebelahnya kebetulan kosong. Paskal melompat masuk hanya sesaat sebelum pintu kereta ku tertutup. Dan terhuyung-huyung dia mendaratkan tubuhnya di bangku kosong di sebelah gadis itu.
"Maaf/' cetusnya sambil tersenyum tulus ketika tidak sengaja kaki gadis itu tersentuh oleh kakinya.
Sekarang gadis itu menoleh. Dan matanya bertemu dengan mata Paskal.
Saat itulah untuk pertama kalinya Paskal merasa yakin, gadis ini memang titisan S
olandra! Matanya, gayanya menilai, caranya menatap, persis Solandra! Ya Tuhan!
Itulah pertama kali dalam hidupnya Paskal menyebut nama Tuhan.
Terima kasih karena telah mengirimkan kembali wanita yang sangat kucintai!
Tidak peduli Solandra lahir kembali melalui
reinkarnasi ataupun titisan, gadis di hadapannya ini pasti jelmaan Solandra! Tidak seorang
pun dapat menyangkalnya! "Mengapa mengikuti saya"" tanya gadis itu f ketika melihat laki-laki aneh di sebelahnya menatap dengan berlinang air mata.
Jadi dia tahu Paskal mengikutinya! Tetapi baik suaranya maupun tatapan matanya sama sekali tidak mencerminkan rasa takut. Dia hanya merasa heran.
Paskal ingin sekali memeluk gadis itu. Ingin membelai rambutnya. Ingin mencium bibirnya. Ingin membisikkan di telinganya betapa dia sangat mencintainya. Merindukannya.
Tetapi sikap gadis, itu yang seperti orang asing, menahan gerakannya. Paskal menjadi ragu.
Mengapa Solandra tidak mengenalinya" Ke mana tatapan matanya yang demikian lembut dan penuh cinta kasih itu setiap kali memandangnya" "Solandra," bisik Paskal getir. Tetapi desahannya yang begitu penuh kerinduan ditelan bising roda Metro yang menjerit menggilas rel. Tak ada yang dapat bicara nyaman dalam Metro yang berlari cepat.
lagi stasiun demi stasiun terasa begitu cepat dilalui. Kalau lalai, tujuan bisa langsung terlewati.
Gadis itu juga sudah tidak mengacuhkannya lagi. Dia turun di Montparnasse Blenvenue, Melangkah cepat-cepat menelusuri lorong-lorong di bawah tanah menuju ke Metro lain yang mengambil jurusan utara.
"Tunggu!" seru Paskal sambil mengejar gadis itu.
Gadis ku menghentikan langkahnya dan ber-balik. Sekarang matanya menatap dengan marah.
"Tolong jangan ganggu saya," katanya dalam bahasa Inggris yang sangat fasih. Walaupun parasnya Melayu, lidahnya tidak. Pengucapan bahasa Inggrisnya sangat sempurna. Sama sekali tidak beraksen Prancis. Mungkin dia bukan orang sini. "Atau saya panggil polisi."
"Saya hanya ingin bertanya."
"Tanya apa""
"Siapa namamu""
"Perlu apa tanya nama saya""
"Saya ingin mengenalmu."
"Saya tidak ingin berkenalan." Gadis itu memasukkan tiket Met***** w _J_
mesin di pintu masuk. Besi penghalang langsung berputar ketika didorong oleh tubuhnya.
"Tunggu!" pinta Paskal memelas. Dia memasukkan tiket Metro-nya ke mesin di samping pintu masuk. Kalau tidak punya tiket, dia tidak bisa mendorong palang besi yang menghalangi langkahnya.
Gadis itu tidak jadi melangkah. Dia berbalik. Dan menunggu beberapa langkah di depannya. Ditatapnya Paskal dengan tidak sabar.
"Boleh saya memperlihatkan selembar foto padamu""; "Saya tidak mau melihat fotomu." "Kalau kamu tidak tertarik, kamu boleh pergi. Saya janji tidak akan mengikutimu lagi."
Gadis itu berpikir sebentar. Lalu dia menunggu. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Paskal cepat-cepat mengeluarkan dompetnya. Dan mengambil foto Solandra yang selalu dibawanya ke mana-mana. Diperlihatkannya foto itu sambil bergumam,
"Sekarang kamu tahu mengapa saya mengejarmu""
Tidak sadar tangan gadis itu terulur mengambil foto di tangan Pasical. Diamat-amatinya I dengan cermat. Lalu tatapannya berpindah Jce f wajah Paskal.
Ketika gadis itu sedang mengawasinya dengan bingung, Paskal ingin menangis. Dia seperti melihat Solandra. Tegak di hadapannya dengan tatapan yang sangat dikenalnya. Tidak sadar dia berdesah pilu, "Solandra...."
Gadis itu mengembalikan fotonya tanpa berkata apa-apa. Tapi dari air mukanya, Paskal tahu, kecurigaannya sudah berkurang.
"Terima kasih," gumam Paskal terharu. "Boleh mengajakmu minum""
"Tidak," sahut gadis itu mantap. "Saya tidak mau minum dengan orang asing. Apalagi malam-malam begini."
"Nama saya Paskal Prakoso," kata Paskal cepat-cepat sambil mengikuti langkah gadis itu. "Saya dokter dari Indonesia."
Tapi saya sudah tidak praktik. Saya hanya ingin kamu menaruh respek. Di mana-mana dokter profesi yang terhormat, kan" Walaupun tidak jarang yang jahat. Atau sakit jiwa sekalian.
Dan ternyata usahanya berhasil. Dugaannya
tidak keliru. Meskipun tidak sakit, bertemu seorang dokter rupanya lebih menenangkan.
"Siapa wanita dalam foto itu"" tanya gadis itu tanpa m
engurangi kecepatan langkahnya memburu kereta Metro yang sudah terdengar gemuruhnya. "Almarhum istri saya. Namanya Solandra." "Mengapa mukanya mirip saya"" "Itu yang ingin saya ketahui. Boleh saya mengenalmu lebih jauh"" "Saya harus pulang. Sudah malam." , "Oke. Saya akan mengantarmu." "Tidak perlu. Saya bisa pulang sendiri." Gadis itu melompat ke dalam Metro. Paskal mengikutinya.
Karena sudah malam, Metro itu nyaris kosong. Biasanya pada jam pulang kantor* alat transportasi yang paling diminati penduduk Paris ini penuh sesak.
Setelah melewati lima pemberhentian, gadis itu turun di Stasiun St. Michel. Paskal segera mengikutinya. Dan mereka berjalan cepat-cepat keluar dari stasiun. Mendaki beberapa undakan. Lalu menghirup udara bebas di luar.
"Mau pakai jaket saya"" tanya Paskal ketika merasa udara malam mulai dingin.
"Tidak usah. Saya punya jaket sendiri. Lagi pula sudah dekat." "Rumahmu di sini"" "Bukan rumah saya."
"Lalu kamu mau ke mana malam-malam begini""
Nada khawatir dalam suara Paskal menyentuh hati gadis itu. Sejak semula dia memang sudah yakin, pria aneh ini bukan orang jahat. Setelah melihat foto istrinya, dia bertambah yakin, hanya kemiripan wajah mereka yang membuat pria itu mengikutinya.
Wajah mereka memang benar-benar mirip. Dan bukan hanya Paskal yang heran dengan kemiripan itu.
"Pernah dengar Program Pertukaran Siswa" Bahasa Prancis saya bagus. Jadi saya yang terpilih dikirim kemaxL Tinggal dengan orang Prancis."
"Dari mana asalmu""
"Goldcoast." "Tinggal dengan orangtua di sana"" "Ya. Ayah saya seorang radiolog." "Lalu yang di Tours"" "Saya menjenguk teman." "Oh, begitu. Berapa umurmu""
"Enam belas." Padahal Solandra meninggal empat belas tahun yang lalu. Jadi dia tidak mungkin titis-annya. Karena waktu gadis ini lahir, Solandra belum meninggal!
Solandra Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kamu percaya reinkarnasi""
Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan mantap.
"Kalau kamu kira saya reinkarnasi istrimu..." "Kalian begitu mirip! Saya seperti melihat istri saya hidup kembali. Saya begitu terharu ketika melihat caramu menatap saya." "Kamu pasti sangat mencintainya." "Dengan segenap jiwa saya." "Dia juga sangat mencintaimu"" 'Dia pernah bilang, seandainya jantungku tidak berdenyut lagi sekalipun, cintaku padamu takkan pernah mati."
Cinta kalian pasti sangat tulus, pikir gadis itu kagum. Cinta abadi. Cinta yang sudah jarang ditemukan saat ini "Kenapa istrimu mati"" "Kanker."
Sesaat gadis itu tertegun. "Dia pasti sangat menderita," gumamnya lirih.
"Tidak. Kami bahagia sampai saat terakhir Dan dia tetap cantik sampai maut datang menjemputnya."
"Kelihatannya kamu sangat memujanya."
Paskal tersenyum getir. Tetapi di dalam senyumnya, gadis itu menemukan cinta yang sangat tulus. Sangat dalam. Tak ternilai.
"Saya sangat mencintainya. Mengaguminya. Memujanya. Merindukannya. Empat belas tahun telah berlalu, saya belum pernah menemukan wanita yang dapat menggantikannya."
"Karena kamu tidak mencarinya," sahut gadis remaja itu dalam nada sok tahu. Entah dari mana dia mempelajarinya. Mungkin dari buku-buku yang dibacanya.
Karena baru seumur dia, bagaimana mungkin dia mengenal cinta abadi" Cinta yang ada di kamusnya baru cinta monyet! Tentu saja itu pendapat Paskal. Berdasarkan pengalaman pribadi.
"Sudah sampai," cetus gadis itu ketika mereka tiba di depan sebuah rumah. "Saya tidak bisa mengajakmu masuk."
"Tentu saja," sahut Paskal sambil tersenyum
ramah. "Saya han V4 ingin tahu namamu."
:AK^^nketerousay -Boleh"" . jarimu"" -fl
-Karena kamu kembali-' Bab XVII %y ASKAL tidak berdusta. Pertemuannya dengan Tracy membuat dia merasa hidup kembali. Dan karena pertemuan itu berlangsung di kota yang seromantis Paris, hubungan mereka menjadi lebih cepat akrab.
Paskal merasa begitu bahagia karena dia dapat memandang kembali mata Solandra. Dapar membelai kembali rambut Solandra. Dapat menyentuh kembali tangan Solandra.
Empat belas tahun dia merindukannya. Sekarang tiba-tiba saja mimpinya menjadi kenyataan. Angan-angannya menjadi daging. Solandra hadir kembali di hadapannya.' Terima kasih, Andra, desahnya hampir di setiap helaan napasnya. Terima kasih karena telah mengabulk
an permohonanku. Terima j kasih karena telah hadir kembali dalam hidupku!
Sekarang aku percaya memang benar ada hidup yang kedua. Karena inilah hidup kedua kita!
Mula-mula Tracy tidak peduli. Dia tidak peduli diperlakukan sebagai Solandra, atau persetan siapa pun.
Lelaki yang sudah pantas jadi ayahnya ini, umurnya pasti tidak kurang dari lima puluh tahun, memperlakukannya dengan sangat baik. Dengan lembut. Dengan manis. Dengan penuh cinta kasih.
Dia melimpahinya dengan begitu banyak hadiah yang tidak mungkin dibeli dengan uang sakunya. Baju. Sepatu. Tas. Perhiasan. Hm, wanita mana yang tidak tergiur" Gadis mana yang tidak suka dimanjakan dengan berbagai hadiah mahal"
Tidak peduli kadang-kadang kelakuannya agak aneh. Misalnya saja dia mati-matian mencari gaun berwarna hijau melon dengan potongan keyhole front dan halter neck. Dia memohon agar Tracy mau mengenakannya. Dan ketika melihat Tracy memakai gaun itu, air matanya langsung berlinang-linang.
"Terima kasih, Andra," bisiknya dalam bahasa yang tidak dimengerti Tracy. "Terima kasih
karena telah memberiku kesempatan melihatmu dalam gaun ini lagi."
Lalu dia memeluk Tracy dengan sangat lembut, seolah-olah Tracy terbuat dari pualam yang mudah pecah.
"Jangan tinggalkan aku lagi, Andra," bisiknya di telinga Tracy. "Jangan pernah meninggalkan aku lagi...."
Lalu dia mencium pipi Tracy dengan ciuman yang sangat hangat.
"Aku merMabtaimu," desahnya dalam bahasa yang tidak dimengerti tetapi dalam nada universal yang dapat dipahami oleh semua wanita di dunia, nada penuh kerinduan.
Itulah pertama kali Tracy menerima ciuman Paskal. Dan tiba-tiba saja dia merasa kehangatan mengalir dari pipi ke dadanya.
Ada yang bergolak di dalam sini. Tracy merasa bergetar. Dan dia merasa hangat. Merasa bergairah. Merasa bergelora.
Dan Paskal tidak berhenti sampai di sana saja. Paskal membawanya ke tempat-tempat yang romantis. Restoran-restoran yang mahal. Kafe dan bistro eksklusif yang bertebaran di seantero Paris.
Lalu dia mulai menceritakan kisah cintanya.
Istrinya. Nasib malang yang menimpa mereka. Tiap malam dia bercerita. Seolah-olah Tracy anaknya yang baru berumur empat tahun. Yang tiap malam harus didongengi sebelum tidur.
Mula-mula Tracy bosan mendengar ceritanya. Dia tidak kenal perempuan yang katanya punya muka yang sangat mirip dengan wajahnya itu. Tetapi lama-kelamaan entah mengapa, Tracy tertarik juga. Dia begitu mengagumi kisah cinta mereka seperti dia mengagumi kisah cinta Romeo dan Juliet.
Jadi setiap malam Tracy menunggu kelanjutan cerita Paskal. Makin lama makin tidak sabar menunggu akhirnya. Dan ketika ending cerita itu tiba, Ttacy ikut menangis bersama Paskal.
Anehnya, setelah mendengar cerita itu, ketika' menyaksikan betapa dalam cinta Paskal pada istrinya, Tracy jadi terpengaruh. Dia jadi ingin punya seorang laki-laki yang memuja dan mengasihinya seperti itu.
Memang benar. Mula-mula Tracy tidak mempunyai perasaan apa-apa. Dia hanya merasa senang karena dimanjakan. Dipuja. Dicintai. | Lelaki itu memperlakukannya dengan sangat baik. Lembut. Sopan. Tidak pernah kurang
ajar. Tidak pernah minta lebih kecuali ciuman di pipi.
Tetapi memasuki minggu yang kedua, setelah ciuman yang begitu hangat di pipinya, setelah mendengar cerita Paskal yang begitu tragis, Tracy mulai merasa berbeda. Dia mulai merindukan pelukan lelaki itu. Merindukan belaian kasihnya di rambutnya. Di pipinya. Bahkan sentuhan ujung jarinya di bibir mulai terasa menggetarkan sukma.
Tracy mulai mendambakan ciumannya. Mengharapkan bisikan cintanya yang begitu lembut dan mesra. Rasanya kalau sehari saja udak bersua, Tracy merasa kehilangan.
Mungkinkah aku jatuh cinta pada pria yang pantas jadi ayahku" pikirnya bingung. Tapi perasaan ini sungguh berbeda dengan perasaan yang pernah kumiliki selama ini.
Aku mengagumi Pierre. Pernah dicium Tony. Tapi jatuh cinta" Rasanya amat berbeda.
Pria ini memperlakukan diriku bukan sebagai gadis remaja enam belas tahun. Dia memper-lakukanku sebagai wanita dewasa. Di tangannya aku merasa menjadi wanita seutuhnya. Di hadapannya aku merasa tersanjung. Dimanja. Dipuja. Dicintai.
Dan suasana P aris yang romantis .sangat mendukung kedekatan mereka. Setelah menyusuri Sungai Seine di atas perahu malam itu, keduanya seperti tidak terpisahkan lagi.
Bateaux Parisiens yang membawa mereka menikmati keindahan lampu-lampu yang berkelap-kelip meronai Menara Eiffel, sinar redup dari Katedral Notredame di kejauhan, kegelapan yang menyungkup sesaat ketika mereka lewat di bawah jembatan Pont Neufj semuanya terasa begitu menggoda. Membenamkan mereka ke dalam pelukan romantisme yang diembuskan oleh suasana yang demikian memukau.
Mereka duduk berpelukan dalam perahu tanpa mengucapkan separah kata pun. Hanya membiarkan mata dan hati mereka menikmati keindahan di luar dan kemesraan di dalam.
"Aku mencintaimu," bisik Paskal lembut, kali ini dalam bahasa Inggris.
Dan Tracy ingin membalasnya dengan sebuah ciuman mesra di bibir Paskal. Tetapi pria itu menolaknya dengan halus.
"Kata Solandra, ciuman di bibir hanya boleh dilakukan sesudah kita menikah."
Tentu saja Tracy kecewa. Dia gadis yang
dibesarkan dalam kultur Barat. Ciuman di bibir tidak ada bedanya dengan ciuman di tempat lain. Hanya pernyataan kasih sayang. 'Lelaki ini. memang bukan hanya aneh. Kadang-kadang naif. Konyol!
Tetapi kalau cinta sudah bicara, yang konyol pun bisa dimaafkan. Tracy dapat memahami prinsip Paskal, betapapun anehnya. Dia memang sudah aneh dari semula, kan"
jadi Tracy tidak memaksa. Tidak mendesak. Meskipun dia begitu ingin mencium bibir lelaki itu. Ditahannya saja keinginannya. Diredamnya baik-baik gairah yang melonjak-lonjak di dadanya.
Dan gairahnya untuk memagut bibir lelaki yang dicintainya itu mereda ketika mendengar pertanyaan yang tidak diduganya.
"Maukah kamu pulang bersamaku ke Jakarta"" bisik Paskal sambil memandang ke dalam mata Tracy. Mata indah yang sangat dikaguminya. Mata Solandra. Miliknya. Pujaan hatinya. Kekasihnya.
Lamatankah. ini" Pria ini melamarnya" Alangkah mesranya'. Dia dilamar dalam perahu yang sedang menyusuri Sungai Seine di kota Paris. Kota paling romantis di dunia!
"Bawalah aku ke mana saja," sahut Tracy seperti dalam mimpi.
Bagi gadis remaja seusianya, cinta adalah segala-galanya. Ketika dia merasa sudah menemukan cinta suci, mengapa harus memikirkan lagi ke mana cinta akan membawanya" Bahkan maut pun akan disongsongnya jika ada yang menentang mereka. Meragukan cinta yang membuhul mereka dalam ikatan yang begitu kuat tak teruraikan.
Dan ketika rintangan itu datang dari Geoffroy Beaufils, pemilik rumah - yang ditinggali Tracy selama di Paris, Tracy memutuskan untuk meninggalkannya hari itu juga.
"Bawalah aku pergi," pintanya kepada Paskal. "Bawa ke mana saja asal kita tidak usah berpisah lagi."
"Biarkan aku bicara dengan Geoffroy," tukas Paskal murung.
Tentu saja dia juga tidak mau berpisah dengan Tracy. Dia ingin membawa gadis itu pulang bersamanya ke Jakarta. Tetapi membawa gadis remaja seusianya tentu tidak mudah. Apalagi secara resmi mereka tidak punya hubungan apa-apa.
Ketika bertemu dengan Geoffroy, Paskal
sudah merasa hubungannya dengan Tracy tidak akan berlangsung mulus. Pria Prancis itu sebaya dengan Paskal. Dan penampilannya menyatakan dia berasal dari kalangan intelek.
"Seharusnya Anda merasa malu," kata Geoffroy terus terang. Khas orang Barat. Suaranya semuram wajahnya. Seserius tatapan matanya. "Berapa umur Anda" Anda tahu berapa usia Tracy" Dia baru enam belas tahun! Anda pantas jadi ayahnya!"
Paskal tertegun bengong. Untuk pertama kalinya kenyataan itu menyentakkan kesadarannya. Selama ini kehadiran kembali Solandra dalam hidupnya telah membutakan dirinya. Dia lupa, Tracy bukan wanita yang sebaya. Dia jauh lebih muda. Umurnya baru enam belas. Dan.benar, dia pantas jadi anaknya!
"Tracy dikirim kemari oleh orangtuanya, oleh sekolahnya, untuk belajar bahasa. Belajar kebudayaan kami. Adat-istiadat kami. Bukan untuk pacaran dengan lelaki yang pantas menjadi ayahnya! Jika terjadi apa-apa dengan dia, Anda menodai kehormatan saya. Keluarga saya. Kami yang bertanggung jawab selama Tracy tinggal di rumah ini."
"Maafkan saya," gumam Paskal dengan suara
tetsendat. "Saya khilaf. Tapi Anda tidak usah khawatir. Saya menghor
mati Tracy. Memujanya. Mencintainya dengan tulus. Saya tidak pernah bermaksud menodainya atau menghina keluarga Anda."
"Saya percaya," suara Geoffroy melunak. "Tracy sering bercerita tentang Anda. Setelah bertemu sendiri, saya yakin, dia benar. Anda orang baik. Saya hanya mohon agar Anda tidak mengganggu Tracy lagi."
Mengganggu" pikir Paskal resah. Aku mencintainya! Mengganggukah namanya mencintai dan memuja seorang wanita dengan segenap I jiwaku"
*** Paskal meninggalkan rumah Geoffroy dengan perasaan hampa. Akhirnya kebahagiaan itu harus berakhir juga. Dua minggu lebih dia seperti memiliki kembali dunianya yang hilang. Dia seperti hidup kembali. Dengan Solandra
di sampingnya, dia seperti bangkit dari kematian.
Kini dia harus kehilangan Solandra lagi. Dia harus kembali ke hidupnya yang kosong. Hidup yang tidak berarti.
Paskal bukan hanya sedih. Dia kecewa. Putus asa.
Tetapi dia tahu, Geoffroy Beaufils yang benar. Siapa pun Tracy, titisan Solandra atau bukan, dia cuma seorang gadis enam belas tahun!
"Anda pantas jadi ayahnya!" kata Geoffroy tadi.
Aku pantas jadi ayahnya! Karena umurku sudah lima dua. Padahal aku begitu ingin jadi kekasihnya. Cintanya. Suaminya! Aku ingin dia jadi Solandra! Solandra-ku! Tidak peduli berapa umurnya! Berapa umurku!
Tetapi angan-angan itu tampaknya akan membentur batu karang. Akan hancur ber- j keping-keping. Sama seperti hatinya! Hancur j berkeping-keping! . "
*** Bateaux Parisiens masih meluncur mulus di atas Sungai Seine. Menara Eiffel masih berkelap-kelip memamerkan lampu-lampunya. Pasangan-pasangan romantis masih saling peluk dalam perahu. Muda-mudi masih berciuman i di atas jembatan Alexander III. Turis yang i
bercampur dengan penduduk Paris masih memenuhi kafe dan bistro di sepanjang Avenue des Champs Elysees.
Sepasang kekasih sedang menikmati pizza yang lezat di bawah udara terbuka di depan kafe. Mata mereka yang bertemu dalam tatapan diam-diam yang mesra penuh cinta, mengingatkan kembali Paskal pada kisah cintanya. Pada kenangan masa lalunya.
Di sudut yang lain, di ujung jalan kecil yang remang-remang, sepasang remaja tengah berpelukan. Bibir mereka melekat dalam pagutan yang mesra penuh gairah.
Hari sudah larut malam. Tapi Paris memang belum terlelap. Aroma cinta terasa dalam helaan napas setiap insan yang menekun malam di sana. Nuansa romantis mengisi jiwa-jiwa yang dahaga. Cinta, nafsu, dan gairah berdesakan seakan minta dipuaskan.
Tetapi Paskal sudah kehilangan jiwanya. Kehilangan matahari hidupnya. Dia tidak terpengaruh oleh kenikmatan di sekelilingnya. Tidak tergiur oleh rangsangan yang ditawarkan.
Dia melangkah dengan perasaan kosong di kaki lima. Tidak tahu ke mana kakinya membawanya.
Kalau mengikuti kata hatinya, dia ingin tinggal lebih lama lagi di Paris. Di sinilah dia
merasa hidup kembali, walaupun hanya sekejap.
Kalau harus mati, dia ingin mati di sini. Supaya pada saat terakhir, dia masih dapat merasakan pelukan Solandra. Tracy pasti datang menjenguknya. Dan dia akan minta gadis itu memeluknya erat-erat. Sampai maut datang menjemputnya. Mungkinkah saat itu Solandra sendiri yang menjemputnya"
"Aku akan membimbingmu," katanya dulu. Betapa indahnya. Solandra yang datang menyambutnya. Membimbingnya ke Taman Firdaus.
. Tetapi berita yang datang tiba-tiba itu menggagalkan rencananya. Memudarkan impiannya. Adiknya menelepon. Ibu Solandra meninggal. Paskal harus pulang. Dia ingin menghadiri pemakaman ibu mertuanya.
Jadi Paskal tidak punya pilihan lain. Dia hams meninggalkan Paris. Meninggalkan Tracy. Meninggalkan semua kenangan indahnya di sini.
Dia sudah memutuskan esok akan pulang kembali ke Indonesia. Melanjutkan hidupnya yang lama. Yang gersang. Yang membosankan.
Yang kosong. Yang sepi. Entah sampai kapan.
Sampai maut menjemputnya.
Entah satu atau dua dasawarsa lagi, mungkin ada titisan Solandra yang lain yang akan ditemuinya. Yang dapat memberinya kebahagiaan walaupun hanya sekejap. Yang dapat memuaskan kerinduannya memandang dan menyentuh wanita yang sangat dicintainya.
Sesudah itu dia akan menutup matanya rapat-rapat. Dan berharap kalau kelak dia membuka matanya lagi, di
a akan menemukan Solandra. Dan mereka tidak akan pernah berpisah lagi.
"Aku akan membimbingmu," kata Solandra dulu. "Ke tempat aku telah menunggumu."
Di mana tempat itu" Tempat yang disebutnya Taman Firdaus" Mungkinkah aku sampai ke sana" Hidupku berlumur dosa. Aku tidak percaya Tuhan. Bagaimana aku dapat menjurai pai Solandra lagi kalau aku tidak dapat mencapai surga"
*** Bandara Charles de Gaulle tidak terlalu ramai pagi itu. Antrean di tempat check in pesaw
juga tidak sepanjang antrean di tax refund, tempat orang-orang antre untuk minta pengembalian pajak barang-barang yang mereka beli di Prancis.
Setelah memperoleh boarding pass, Paskal meninggalkan check in counter. Dia sedang melangkah di antara deretan ttoli kosong tatkala dia mendengar namanya dipanggil. I Ketika Paskal menoleh dengan kaget, dia melihat Tracy mengejarnya dari belakang sambil melambai-lambaikan tangannya.
Paskal serentak melepaskan travel bag yang tergantung di bahunya. Dan membuka kedua lengannya lebar-lebar untuk menerima Tracy dalam pelukannya.
Lama mereka saling dekap tanpa mampu I mengucapkan sepatah kata pun. Cinta dan kerinduan seperti magma dalam perut gunung f berapi yang bergolak, meronta minta dimuntahkan ke luar.
"Jangan tinggalkan aku!" rintih Tracy lirih, mati-matian menahan gairah yang meronta di f dada. Dipeluknya lelaki yang dicintainya erat- j erat. Seolah-olah dia tidak rela melepaskannya J lagi"Maafkan aku, Tracy...." Paskal b ,
melepaskan dirinya dari pelukan Tracy. Tetapi usaha yang paling sulit justru menaklukkan gairahnya sendiri. "Aku harus pulang." ' "Aku mencintaimu!" sergah Tracy menahan tangis. "Aku akan mengikutimu ke mana pun kamu pergi! Bawa aku ke negerimu, Paskal! Jangan tinggalkan aku lagi!"
"Tidak mungkin, Tracy. Kamu masih di bawah umur. Aku tidak bisa membawamu..." "Aku tidak peduli! Jangan tinggalkan aku!" "Tapi..."
"Belikan aku tiket ke Jakarta!" "Tracy!"
"Negerimu memberikan visa on arrival, kan" Artinya aku bisa minta visa di Jakarta""
"Tapi, Tracy..."
"Bawalah aku ke sana!"
"Aku bisa ditahan kalau Geoffroy melaporkan aku menculik anak di bawah umur!"
"Kamu tidak menculik siapa pun! Aku pergi atas kemauanku sendiri!"
"Kamu harus mengatakannya dulu kepada Geoffroy, Tracy. Kalau tidak, dia akan mencarimu ke mana-mana!"
"Aku sudah bilang, aku mau pulang."
"Dia pasti tidak percaya. Dengar, Tracy.
Kamu harus kembali ke rumah Geoffroy. Sehujan lagi, aku akan kembali kemari menjemputmu."
"Sebulan!" pekik Tracy separo histeris. "Sadar-' kah kamu betapa lamanya sebulan" Aku tidak bisa berpisah selama itui Aku bisa gila!"
Aku tahu, keluh Paskal dalam hati. Aku pernah mengalami berpisah dengan orang yang kucintai selama empat belas tahun! Tapi kita tidak punya pilihan lain!
"Aku janji akan kembali ke Paris menjemputmu. Kita akan bersama-sama pulang menjumpai orangtuamu. Oke""
"Kamu akan menjumpai orangtuaku" Buat apa"" m&< I
"Kamu tidak ingin memperkenalkan aku I kepada orangtuamu"" "Buat apa" Minta izin"" "Kamu baru enam belas tahun, Tracy!" "Tapi tidak perlu minta* izin untuk pacar- I an!"
"Tentu, kalau kamu pacaran dengan teman f sekolahmu. Tapi kamu pacaran dengan pria I yang pantas jadi ayahmu!"
"Apa bedanya" Beda umur orangtuaku dua | puluh tahun!"
"Beda umur kita tiga puluh enam tahun, flacy!"
"Peduli apa" Kamu kan sudah duda. Aku masih gadis. Tidak ada yang melarang kita menikah!"
"Siapa yang bicara soal pernikahan" Kamu baru enam belas tahun!"
"Kita kan tidak mau menikah besok! Aku bisa menunggu sepuluh tahun lagi. Yang penting, kita tidak berpisah!"
Paskal menghela napas panjang. Memang sulit bicara dengan remaja. Apalagi remaja yang sedang jatuh cinta.
Tentu saja dia juga tidak ingin berpisah. Bertemu dengan Tracy seperti membangkitkannya dari kematian. Tracy mengembalikan hidupnya bersama Solandra. Tetapi membawa gadis di bawah umur tanpa izin orangtua ke negerinya, sama saja dengan menentang hukum.
Paskal tidak mau hubungannya dengan Tracy menimbulkan masalah. Dia ingin menikmati hubungan yang sah. Bukan yang melanggar
hukum. Karena itu dia ingin Tracy menyelesaikan programnya di sini tepat waktu. Ingin
memperkenalkan dirinya secara baik-baik kepada orangtua Tracy. Ingin mendapat restu mereka kalau mungkin.
Memang, tidak salah kalau orangtua Tracy menentangnya. Orangtua mana yang rela anak gadisnya yang baru berumur enam belas tahun pacaran dengan duda setengah abad"
Tapi kalau Paskal memperlihatkan kesungguhan harinya, kalau dia punya kesempatan untuk bercerita tentang Solandra, mungkinkah masih ada harapan baginya"
Bagaimanapun, dia tidak boleh salah langkah. Membawa Tracy pulang ke Jakarta sekarang, sama saja dengan menculiknya. Sama saja dengan menutup harapannya yang terakhir.
Orangtua Tracy pasti tidak menyukai lelaki yang menculik anaknya, apa pun alasannya!
Untung akhirnya Paskal berhasil menyadarkan Tracy. Berhasil mengubah tekadnya. Berhasil memaksanya berpikir dengan akal sehat.
Setelah belasan kali melafaskan janji akan kembali ke Paris untuk menjemputnya bulan depan, akhirnya Tracy mengizinkan Paskal
pergi. makm aku *** menunggumu di kaki Menara Eiffel - i ' ",
C1"el, kata Tracy sesaat sebelum mereka berpisah. "Kalau kamu tidak kembali juga sampai musim dingin tiba, orang-orang akan menemukan jasadku sudah membeku di sana." walaupun nadanya seperti main-main, Paskal
yakin, Tracy serius dengan ancamannya.
Bab XVIII CpLENA MANDAGIE mewariskan Bintang Kecil, perusahaan konfeksi niiliknya, kepada Paskal Juga rumah beserta semua harta bendanya. Dia tidak punya ahli waris lain setelah anaknya meninggal. Dan dia yakin itu pula yang diinginkan Solandra.
Sudah lama Elena membuat surat wasiatnya. Ketika melihat betapa besar cinta Paskal kepada Solandra, bahkan setelah putrinya meninggal, Elena menyuruh pengacaranya membuat surat wasiat baru, yang mewariskan seluruh kekayaannya kepada Paskal.
Terus terang, Paskal merasa terharu sekaligus terbebani ketika mengetahui isi surat wasiat mertuanya. Sekarang dia dituntut untuk mempertahankan dan menjaga kelangsungan hidup perusahaan ibu Solandra. Padahal selama ini, Paskal tidak punya tanggung jawab apa-apa.
Dia bekerja di perusahaan ayahnya hanya untuk mengisi waktu dan membayar utang. Dia tidak mau mengambil alih perusahaan
ayahnya. Diserahkannya semua kepada adiknya. Tetapi sekarang, dia punya tanggung jawab
baru. Dan dia tidak bisa mengalihkan tanggung jawab itu kepada siapa pun.
Elena Mandagie pasti tidak rela kalau sepeninggalnya perusahaannya amburadul. Solandra juga pasti sedih kalau perusahaan yang dengan susah payah dikelola oleh ibunya bangkrut di tangan suaminya.
Paskal dituntut untuk membuktikan kemampuannya. Dia tidak mau mengecewakan Solandra.
Jangan khawatir, Sayang, desahnya, meskipun dia tidak yakin dia mampu mengambil alih semua tugas mertuanya. Mama memang hebat. Tapi aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan harapannya. Demi kamu, aku akan berjuang supaya sehebat ibumu.
Karena merasa tidak sanggup bekerja di dua perusahaan, Paskal menghadap ayahnya untuk mengajukan permohonan pengunduran diri. Meskipun kecewa, Agusti Prakoso dapat memahami alasan anaknya.
"Papa mengerti," katanya sambil menghela napas panjang. "Tenagamu diperlukan di perusahaan mertuamu. Jadi dengan berat hati Papa melepaskanmu."
"Papa masih punya Paulin," ujar Paskal lirih, menyadari untuk pertama kalinya betapa sudah tuanya ayahnya sekarang. Penampilannya sudah tidak se-mocbo dulu lagi. Biarpun masih berusaha tampil tegar, Agusti Prakoso tidak dapat meredam proses ketuaan yang mulai menggerogoti dirinya. "Dia CEO yang hebat."
"Papa tahu," sahut Agusti datar. "Papa bangga dengan keberhasilan Paulin. Akhirnya dia berhasil membuktikan kehebatannya." "Dia mewarisi bakat Papa." Tidak. Justru itu yang tidak dimilikinya. Dia punya ilmu yang hebat. Punya pengalaman segudang. Tapi dia tidak punya intuisi yang tajam. Tidak punya kekerasan hati seorang bisnismen. Paulin tidak mewarisi bakat Papa. Justru kamu yang mewarisinya, Boy."
Sudah lama ayahnya tidak menyebutnya dengan panggilan itu. Apalagi sesudah Paskal memasuki umur separo baya. Dulu panggilan itu tidak berarti apa-apa. Tapi sekarang, justru ketika sudah sekian lama Paskal/ tidak mendengar ayahnya memanggilnya dengan sebutan itu, Paskal me
rasa tersentuh. "Sebenarnya Papa ingin kamu yang menggantikan Papa memegang kendali perusahaan ini."
Karena meskipun sudah tujuh tahun menyatakan mengundurkan diri, sebenarnya Agusti Prakoso tetap memegang kendali perusahaannya dari balik layar. "Saya tidak sanggup, Pa." "Papa tahu. Kamu sudah memilih. Perusahaan Elena lebih kecil dari perusahaan kita. Tapi kamu memilihnya juga. Karena Solandra, kan" Untuk dia kamu rela melakukan apa saja. Su- -dah kamu temukan penggantinya" Kata Prita, kamu lama di Paris karena menemukan seseorang yang mirip Solandra. Benar""
"Dia mirip segala-galanya, Pa," sahut Paskal terus terang. "Saya merasa seperti Solandra hidup kembali."
"Lalu tunggu apa lagi" Kembali ke sana, bawa dia pulang."
"Umurnya baru enam belas tahun, Pa." Agusti Prakoso tercengang. Dia sampai tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
paskal menatap ayahnya dengan tatapan
t I ganjil sebelum lambat-lambat membuka mulutnya.
"Papa percaya reinkarnasi"" "Tidak," sahut Agusti tegas. "Tapi kalau dia baru berumur enam belas, kamu harus menunggu lama sekadi!"
"Kalau Papa punya anak perempuan berumur enam belas tahun, Papa mengizinkan dia pacaran dengan duda berumur lima puluh dua tahun""
"Tidak," jawaban ayahnya sama tegasnya. "Tapi yang memutuskan bukan orangtuanya. Kalian sendiri." Paras ayahnya berubah ketika dia melanjutkan kata-katanya. "Ketika ibumu , melahirkanmu, umurnya baru enam belas tahun,"
Sekarang giliran Paskal yang tercengang I mengawasi ayahnya. J
"Ibumu meninggal ketika, melahirkanmu."
Paskal .tambah bengong. Jadi,., ibu Paulin J bukan ibunya" Perempuan yang ketika dia kecil dulu dipanggilnya Mama bukan ibunya" I Perempuan yang meninggalkan ayahnya untuk j lari dengan lelaki lain itu bukan ibu kandung- I nya"
jadi aku anak haram, pekik Paskal dalam hati. Ibuku belum menikah ketika melahirkan aku!
"Ketika menikah dengan ibu Paulin, Papa
membawamu." "Dan Elena Mandagie"" gumam Paskal pahit. "Papa menikahinya juga""
"Sesudah menikah dengan ibu Paulin. Tapi kami tidak benar-benar menikah. Karena surat nikah yang Papa berikan kepadanya palsu." * "Tega Papa memperlakukan wanita seperti itu. Jangan sampai Paulin dan Prita kena karma, ada lelaki yang menipu mereka kayak begitu!"
"Waktu itu Elena sudah janda. Dia sudah punya Solandra..."
"Nggak peduli! Dia tetap seorang wanita! Papa nggak pantas..."
"Iya, Papa sudah nyesal kok. Tidak perlu dimarahi lagi. Elena juga sudah memaafkan . Papa."
"Kalau begitu, memang Paulin yang berhak mewarisi perusahaan Papa. Dia anak Papa yang
sah." "Siapa bilang kamu anak tidak sah" Kamu surat lahir yang sah!"
Pa Tentu, Papa bisa melakukan segalanya." Perusahaan" ini akan kamu warisi juga, Paskal. Paulin tidak bisa menguasainya sendiri."
"Tidak usah, Pa. Anggap saja warisan saya sebagai pengganti sisa utang saya." "Utangmu sudah lunas." "Warisan ibu Solandra sudah lebih dari cukup untuk saya, Pa. Warisan Papa biar untuk adik-adik saja. Saya datang hanya untuk menyampaikan surat permohonan pengunduran diri."
Agusti tidak menjawab. Dia hanya menghela napas berat. Sesudah terdiam beberapa saat, dia baru membuka mulutnya kembali. ' "Kapan kamu berangkat lagi"" "Ke mana""
"Ke mana kamu harus menjemput pacar remajamu""
Paskal tidak menjawab. Wajahnya berubah murung. Ayahnya mengawasinya dengan cermat.
"Jangan sia-siakan umurmu, Boy," gumam ayahnya perlahan-lahan. "Carilah yang realistis. Lupakan bayangan yang tak mungkin lagi kamu kejar."
*** Bayangan itu masih menunggunya di kaki Menara Eiffel. Dalam kegelapan, siluet tubuhnya yang tinggi ramping tampil begitu memesona. Di belakangnya, tak kalah menariknya, menjulang Menara Eiffel yang megah bermandikan cahaya.
Dalam kegelapan Paskal tidak dapat melihat wajah Tracy. Tetapi dia dapat membayangkan air mukanya yang berubah berlumur bahagia dan haru ketika dari kejauhan dia melihat laki-laki yang ditunggunya melangkah tergesa-gesa menghampirinya.
Tracy tidak menunggu sampai Paskal tiba di dekatnya. Dia berlari menghampiri. Sementara Paskal pun mempercepat langkahnya sampai setengah berlari.
Mereka menghambur ke pelukan masing-masing seperti dilemp
arkan oleh tangan raksasa yang tidak kelihatan.
Paskal merasa tubuh yang dingin itu menggeletar dalam pelukannya. Tetapi geletar itu pasti bukan karena dinginnya udara malam. Geletar yang merambah di sekujur kulit lengannya adalah derai keharuan dan kebahagiaan yang tak terperi.
-Tj-acy membenamkan wajahnya di dada lelaki
yang dicintainya. Membiarkan laki-laki jtu menciumi rambutnya dengan penuh kasih sayang.
Paskal membelai-belai rambut yang hitam lurus itu dengan penuh kerinduan. Membiarkan harumnya aroma rambut itu menjelajah ke seluruh pelosok hatinya.
Solandra, bisiknya dengan cinta dan rindu yang pedih. Betapa aku kehilangan dirimu!
"Jangan tinggalkan aku lagi, Paskal," desah Tracy menahan tangis. "Atau aku mati!"
"Aku tidak akan meninggalkanmu lagi," bisik Paskal di telinga gadis itu. Dikecupnya telinganya dengan penuh kasih sayang. * "janji"" desah Tracy sambil menggeliat menahan gairah yang bergejolak di dadanya. Darah mudanya meluncur cepat di seluruh pembuluh darah tubuhnya. Membuat dirinya seperti terbakar panasnya api yang berkobar. "Janji akan membawaku ke mana pun kamu per- i gi""
Paskal hanya dapat menganggukkan kepalanya, i "Kamu sudah makan""
Siapa yang memikirkan makan dalam ke-rti ini" Dia sudah hampir seminggu
tidak makan. Hanya minum dan sekali-sekaK
menyantap crepes atau burger. "Kamu pasti belum makan." Suara itu! Suara yang selembut suara seorang ayah! Kadang-kadang Tracy benci diperlakukan seperti itu. Dia tidak butuh ayah! Dia butuh laki-laki!
"Kita makan, ya. Nanti kamu sakit." "Jangan perlakukan aku seperti anak kecil!" protes Tracy manja.
"Tapi bukan cuma anak kecil yang perlu makan, kan"" bujuk Paskal sambil tersenyum lembut.
Ya Tuhan, senyum itu! Tracy tidak mungkin lagi melupakannya! Dia begitu merindukan senyum itu! Senyum yang merekah" begitu menawan di bibir lelaki yang dicintainya!
Rasanya dia tidak mungkin menolak apa pun permintaan pria ini. Jangankan hanya diajak makan. Diajak lebih dari itu pun dia mau. Dibawa ke mana pun dia tidak akan membantah. Diminta menyerahkan apa pun dia rela!
Tetapi Paskal tidak mengambil apa yang diinginkannya. Bagaimanapun rindunya dia kepada tubuh Solandra, betapapun inginnya dia
mempersatukan tubuhnya dengan tubuh wa-mta dicintainya, dia menahan dirinya
mati-matian agar tidak menodai gadis remaja dalam pelukannya ini.
"Jangan perlakukan aku seperti anak kecil," protes Tracy ketika Paskal berhenti sampai di sana. "Aku seorang wanita. Bukan anak-anak lagi."
Tracy ingin mengatakan meskipun umurnya baru enam belas tahun, dia sudah mengerti apa yang diinginkan Paskal. Apa yang didambakan pasangan seperti mereka dalam keadaan seperti ini. Dan dia memahami pula akibatnya. Tidak ada yang perlu ditakuti. Tidak ada pula yang perlu disesah.
"Solandra ingin kami melakukannya di malam pengantin," sahut Paskal lembut. "Aku juga ingin melakukannya pada malam itu. Kalau ada malam semacam itu dalam hidup kita."
*** Seminggu kemudian, Tracy membawa Paskal ke rumahnya untuk menemui orangtuanya. Meskipun yakin orangtua Tracy akan menolaknya, Paskal tidak punya pilihan lain. Dia harus mencoba. Atau dia akan kehilangan gadis ini untuk selama-lamanya.
Rumah orangtua Tracy terletak di area perumahan mewah di Goldcoast, negara bagian Queensland, yang terletak di sebelah timur Australia. Meskipun harga tanah di daerah itu sangat mahal, rumah-rumah yang berada di area itu tidak mencerminkan kemewahan yang berlebihan.
Tetapi ketika melihat rumah orangtua Tracy, Paskal bertambah yakin, misinya akan gagal total.
Orangtua mana yang sudi anak tunggalnya menikah dengan lelaki yang pantas jadi ayahnya" Apalagi dia berasal dari dunia ketiga. Negeri berkembang yang sering dilecehkan sebagai sarang teroris dan gudang koruptor.
Orangtua Tracy ternyata bukan orang sem-barangan. Bukan berasal dari orang kebanyakan. Bukan keluarga sederhana.
Ayahnya yang dokter ahli radiologi pasti orang terpandang- di sini. Relakah dia putrinya jadi gunjingan orang karena menikah dengan lelaki yang pantas jadi ayahnya" Atau... orang-orang di sini tidak senahg bergunjing"
Ah, rasanya tidak mungkin. Karena go
sip di mana pun manis rasanya. Disukai orang di seluruh dunia. Tidak peduli bagaimanapun majunya negaranya. Bagaimanapun inteleknya penduduknya.
Jadi meskipun Tracy tampak begitu bersemangat, Paskal pasrah saja. Dia menurut saja ketika Tracy menarik tangannya, mengajaknya masuk ke dalam. Tidak ditampakkan-nya pesimisme yang melanda hatinya. Dia mencoba memperlihatkan wajah yang secerah mungkin. Siapa tahu dengan begitu dia tampak lebih muda sepuluh tahun!
"Mom!" teriak Tracy, dari ambang pintu. "Lihat siapa yang datang!"
Perempuan itu muncul dari ruang dalam. Tubuhnya tinggi kurus. Sangat kurus. Rambutnya sudah berwarna dua. Mukanya tirus dan pucat. Tetapi seperti apa pun berubahnya dia sekarang, Paskal tetap mengenalinya.
Dan melihat ibu Tracy, tiba-tiba saja tabir yang melingkupi misteri itu tersibak.
Bab XIX 'Y jylNDl itu sebabnya Tracy begitu mirip Solandra!" cetus Paskal dengan gigi terkatup menahan geram. Ditatapnya Sania dengan tatapan penuh dendam. "Kamu membohongi kami, Sania! Kamu berkhianat pada Solandra! Ovulasi itu berhasil! Tracy anak kami!"
"Ada apa ini"" sergah Tracy heran. Dia tidak mengerti sepatah pun kata-kata Paskal. Karena pria itu menggunakan bahasa Indonesia.
Ditatapnya Paskal dengan hetan. Belum pernah dia melihat Paskal semarah itu. Matanya yang biasanya bersorot lembut, kini seperti bola api yang terbakar dalam panasnya neraka. Ketika dia menoleh ke arah ibunya, dia menjadi lebih bingung lagi.
Solandra Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ibunya yang biasanya keras dan tegas itu kini seperti pesakitan yang ketakutan menanti hukuman. Matanya bukan hanya bers
takut. Mata itu memancarkan rasa bersalah yang sangat dalam. "Mom"" desis Tracy bingung. Tetapi ibunya sudah membalikkan tubuhnya untuk menyembunyikan wajahnya. Walaupun. tidak melihat, Tracy tahu, ibunya sedang menangis: Padahal selama enam belas tahun hidupnya, berapa kali dia melihat ibunya menitikkan air mata"
Sekarang aku bukan hanya tidak memperoleh cinta pria yang diam-diam kucintai, pikir Sania sambil menahan sedu sedannya. Sekarang aku malah menuai kebencian yang amar sangat! Lihat bagaimana cara Paskal menatapku! Dia seperti hendak membunuhku!
"Paskal"" Tracy menoleh kembali ke arah pria yang masih menatap ibunya dengan penuh kegusaran itu.
Ketika mendengar suaranya, Paskal seperti i tersentak dari kemarahan yang membiusnya. i Dia berpaling ke arah Tracy. Dan sorot mata- j nya kembali berubah lembvtt. Tapi bukan ke- \ lembutan yang biasa. Bukan cinta yang Tracy j kenal. / <
Kini pria itu memandangnya dengan cinta I dan kelembutan yang berbeda. Amat berbeda. i
Seandainya ada Solandra kecil yang dapat menemanimu sesudah aku pergi....
"Tracy..." desah Paskal lirih dilibat keharuan. Matanya terasa panas. Dia ingin menangis.
Diraihnya gadis itu ke dalam pelukannya. Didekapkannya kepalanya erat-erat ke dadanya. Dibelai-belainya rambutnya dengan penuh kasih sayang. Tapi bahkan belaian itu pun terasa berbeda. Tak ada lagi kemesraan. Tak ada lagi kerinduan. Tak ada lagi gairah. Yang tertinggal hanya kehangatan dan kasih sayang.
"Paskal!" cetus Tracy penasaran. Direnggang-kannya tubuhnya. Ditatapnya pria itu dengan jjpran. "Apa yang terjadi" Kamu kenal ibuku"" ' "Kami bersahabat sejak di uni," sahut Paskal |etir.
Diraihnya kembali gadis itu ke dalam pelukannya. Tetapi kali ini Tracy menolak.
"Ceritakan padaku!" desaknya penasaran. "Punya hubungan apa kalian!"
"Kamu anakku, Tracy!" desis Paskal gemetar menahan emosinya. "Ibumu menyembunyikan kamu..."
"Tidak!" protes Tracy histeris. Dilepaskannya pelukan Paskal dengan panik. Matanya menatap liar.
101 Tidafcf- lelaki ini bukan ayahnya.' Lelaki _ kekasihnya.' Satu-satunya pria yang dicintainya.'
"Maafkan aku, Tracy," desah Paskal pilu. "Aku ayahmu;..."
"Tidak!" jerit Tracy menahan tangis. Dia menoleh ke arah ibunya seolah-olah minta pertolongan. "Mom!"
Teriris hati Sania ketika mendengar suara putrinya. Seperti itu juga suaranya kalau dia jatuh ketika kecil dulu. Dia "kesakitan. Dan dia minta tolong pada ibunya!
Tapi bagaimana dia harus menolong anaknya" Tidak ada lagi yang dapat dilakukannya! Bahkan untuk keluar dari kumparan dosanya pun d
ia sudah tidak mampu! Dosanya sudah terlalu besar! w(-'"-1
"Mom! Dia bohong, kan"" desak Tracy getir. Melihat sikap ibunya dia sebenarnya sudah tahu, Paskal benar. Dia tidak berdusta! Tapi I dia masih tetap berharap ibunya dapat menolongnya. Seperti yang selama ini selalu di- / lakukannya!
"Tracy," Sania memandang putrinya dengan j air mata berlinang. "Ada yang harus Mommy ceritakan padamu..."
"Tidak perlu!" potong Tracy gemas. "Bilang
saja aku bukan anaknya!" '
"Dia memang ayahmu, Tracy," gumam Sania lirih. Dia menoleh ke arah Paskal. Dan menatapnya dengan getir. "Aku berutang penjelasan padamu..."
"Tidak ada lagi yang perlu kamu jelaskan!" sergah Paskal jijik. "Kamu mencuri embrio kami! Jelaskan saja pada Solandra kalau kamu bertemu dia nanti! Solandra benar. Jika mukjizat yang pertama gagal, mukjizat yang kedua pasti berhasil. Aku sudah melihatnya sekarang. Tracy adalah mukjizat yang dinantikan Solandra sampai akhir hidupnya. Kamu yang dengan kejam merenggut kesempatan Solandra untuk melihat anaknya! Anak kami!"
Sambil menahan emosinya Paskal memutar tubuhnya. Langkahnya telah terayun untuk meninggalkan tempat itu ketika suara Tracy melengking di belakangnya. "Paskal!"
Paskal menoleh. Dan matanya bertemu dengan mata putrinya yang berlinang air mata.
"Panggil aku Daddy, Tracy," pintanya lirih. "Sekali saja dalam hidupku aku ingin mendengar anakku memanggilku Daddy."
Tidak!" jerit Tracy gemas. "Kamu bukan
ayahku.' Kamu bohongi Kukira kamu begitu mencintai istrimu" Ternyata kamu tega juga mengkhianatinya dengan menodai ibuku!"
Sejenak Paskal terperangah. Jadi Tracy telah salah sangka! Dia mengira dia lahir karena hubungan gelap Paskal dengan ibunya!
"Tracy! Kamu salah mengerti____ Solandralah ibumu""
"Bohong" Perempuan itu yang mengandung dan melahirkanku"" jarinya menunjuk ke arah Sama dengan geram. "Hanya saja aku tidak tahu, kamulah yang menebarkan benih di rahimnya! Kamu Busuk, Paskal! Selama ini kukira kamu lelaki paling suci dan paling baik di seantero jagat! Ternyata kamu tidak ada bedanya dengan lelaki lain!" "Dengar dulu, Tracy..." Tetapi Tracy sudah tidak mau mendengarnya lagi. Dia menghambur masuk meninggalkan Paskal dengan ibunya. Sekarang Paskal menoleh i ke arah Sania dengan tatapan jijik.
"Jadi kamulah ibu pengganti itu," desisnya j muak. "Kamu menanamkan embrio kami di j rahimmu sendiri!"
- "Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya, i Pas," pinta Sania pilu.
i "Tidak perlu! Semuanya sudah sangat jelas!
Jika aku tidak kebetulan bertemu dengan Tracy, aku malah tidak pernah tahu kami punya anak! Kamu melanggar sumpah doktermu, Sania. Kamu membohongi dan menipu pasienmu! Sekaligus sahabat yang sangat menyayangi dan menghormatimu!"
Dengan jijik Paskal memutar tubuhnya. Dan melangkah ke pintu.
Di pintu, dia masih sempat mendengar suara Sania, getir dan penuh penyesalan.
"Maafkan aku, Pas. Kalau saja kamu beri aku kesempatan untuk menjelaskannya...."
"tapi memang tidak perlu lagi penjelasan. Semuanya sudah jelasf Tracy anaknya. Anaknya dengan Solandra. Anak yang begitu diinginkan Solandra untuk mendampingi Paskal sepeninggal dirinya.
Itukah arti mimpinya selama ini" Solandra ingin mengatakan padanya mereka punya anak" Tetapi Solandra tidak mampu menyampaikannya pada Paskal. Karena di antara yang hidup dan yang mati, ada batas yang tidak mungkin ditembus.
Mereka tidak bisa berkomunikasi lagi. Solandra tidak bisa.mengatakan di mana Tracy.
Tetapi nasib telah menuntunnya ke sana. Mempertemukannya dengan anaknya.
Paskal bergidik ketika membayangkan apa jadinya jika hubungan mereka berlanjut ke jenjang yang lebih -intim.
Dia akan menodai anaknya sendiri! Aib yang tak terhapus. Dosa yang tak berampun!
Sekarang pun dia sudah sangat menyesal. Telah mencintai dan memperlakukan anaknya seperti seorang kekasih. Seperti dia telah memperlakukan Solandra!
Selama ini dia mengira Tracy adalah titisan Solandra. Ternyata dia keliru.
Tracy memang duplikat Solandra. Karena dia anak mereka! .
Seandainya kamu punya kesempatan untuk melihatnya, Andra, desah Paskal lirih dalam perjalanan pulang. Kamu pasti sangat bahagia!
Atau... kamu s udah melihatnya" Karena itu kamu begitu ingin memberitahukannya padaku"
Dia sangat cantik, Andra. Dia begitu mirip kamu! Kamu pasti bangga punya anak seperti
dia.... Seandainya saja kamu bisa menimangnya... membelainya... mengecupnya....
Semua gara-gara Sania! Dia yang dengan keji membantai harapanmu untuk memberikan seorang anak padaku!
Mengapa manusia dapat berubah sedrastis itu" Sania yang baik. Yang setia. Yang selalu siap membantu. Mengapa dia berubah" Karena... dia jatuh cinta padaku" Karena dia baru sadar sebenarnya sudah lama dia mencintaiku"
Karena itu dia menginginkan anakku setelah sia-sia merebut hatiku"
Aku harus mengambil Ttacy kembali. Tekad itu lahir begitu saja malam itu. Tepat tengah malam. Setelah Paskal sia-sia mencoba tidur. Dia bukan hanya benci pada Sania. I Panas. Sakit hati. Dendam.
Tetapi dia juga menginginkan Tracy. Kali ini dengan keinginan seorang ayah. Kerinduan seorang bapak. Bukan lagi kerinduan yang penuh gairah seperti yang selama ini dirasa-| kannya.
Aku harus mengambil anakku kembali. Itu keinginan terakhir Solandra. Dia ingin memberikan seorang anak padaku. Supaya dapat
mendampingiku. Menggantikannya merawatku. Menemaniku.
.Solandra pasti tidak rela Tracy menjadi anak Sania dan Mike. Tapi... masinkah Sania menjadi istri Mike" Menurut cerita Tracy, ayahnya ahli radiologi. Bukan ahli kandungan.
Mungkinkah Sania sudah berpisah dengan Mike dan menikah dengan lelaki lain" Karena ku dia pindah ke Goldcoast.
Tapi persetan! Peduli apa siapa pun suaminya! Paskal akan menempuh jalur hukum untuk menuntut anaknya kembali. Sekarang dia memiliki cukup uang untuk melakukannya. Berapa pun mahalnya harga yang harus dibayar, akan dijalaninya juga.
Paskal yakin dengan pemeriksaan DNA, dia pasti dapat membuktikan Tracy bukan anak Sania. Tracy anaknya. Anaknya dengan Solandra!
Paskal hanya perlu mencari bukti-bukti yang dapat menguatkan tuntutannya. Dan itu tidak terlalu sulit. Dia dapat minta bantuan sejawar-nya di Jakarta. Di rumah sakit tempar dulu Sania bertugas. Perawat yang dulu mendampinginya juga masih bertugas di sana.
Mungkin yang sulit adalah menembus pintu hukum di Australia karena Sania dan Tracy adalah warga negara mereka. Tetapi Paskal yakin, bila dia memakai pengacara dari negara itu, jalannya menjadi lebih mudah.
Pendek kata, apa pun akan dilakukannya untuk merebut Tracy kembali. Bukan semata-mata untuk membalas dendam pada Sania. Tapi untuk memenuhi keinginan Solandra yang terakhir. Sekaligus untuk mengambil anaknya. Miliknya. Haknya.
Tetapi... bisakah seorang anak dimiliki" Berhakkah dia menentukan jalan hidup Tracy, siapa pun dia"
Jika Tracy lebih suka hidup di Australia," jika dia memilih tetap menjadi anak Sania, berhakkah Paskal menggugatnya"
Tidakkah tindakannya malah akan menambah penderitaan Tracy"
Aku harus menanyakan kehendak Tracy dulu, pikirnya sambil menghela napas berat. Dia sudah cukup besar untuk berpikir dan memilih. Tracy bukan anak kecil lagi. Mungkin sudah terlambat untuk menuntutnya sekarang.
Dengan tekad itu, keesokan harinya Paskal datang lagi ke rumah Tracy. Kali ini yang
menjumpainya bukan hanya Sania. Tapi juga suaminya.
Dokter Peter Thomson yang ahli radiologi ku sudah berumur tujuh puluh dua tahun. Tetapi penampilannya masih seperti pria yang berumur enam puluh tahun. Rambutnya memang sudah menipisi Nyaris botak. Tetapi tubuhnya belum renta. Masih terlihat kokoh. Diam-diam Paskal jadi ingat ayahnya. Barangkali waktu mudanya dokter tua ini juga senang bertualang. Di dunia olahraga. Atau dunia yang lain.
"Jadi Andalah dokter dari Indonesia yang mengacaukan keluarga saya," sambutannya sangat kering. Bahkan dia tidak menyambuti salam Paskal.
Sania-lah yang mengenalkan suaminya. Dan dia tidak mengatakan di mana Mike Lawrence. Suaminya yang pertama.
"Bukan saya yang mengacaukan keluarga Anda," sahut Paskal sama dinginnya. "Sudah tanya pada istri Anda apa yang dilakukannya pada keluarga saya""
"Paskal, please," pinta Sania menahan tangis. "Tolonglah aku!"
Tolong kamu" Ingatkah kamu, suatu waktu
dulu, kami pernah minta pertolonganmu" Apa yang telah kamu lakukan untuk
menolong kami" "Aku memang bersalah padamu dan... Solandra...." Ketika menyebut nama itu, Sania tersedu. "Jika kamu beri aku waktu untuk menjelaskannya..." "Tidak perlu. Semua sudah jelas." "Aku ingin bicara denganmu berdua saja, Pas. Please, demi masa lalu kita."
Masih adakah yang tersisa dari masa lalu kecuali pengkhianatan dan dusta"
"Tapi sekarang yang penting, kita hams memikirkan Tracy...."
"Aku datang bukan untuk menemuimu atau minta maaf pada suamimu. Aku kemari untuk bicara dengan Tracy. Aku akan menjelaskan semuanya. Jika dia bersedia, aku akan menempuh semua jalan untuk menuntut anakku kembali."
"Ngomong apa dia"" potong Peter kesal. Matanya menatap istrinya dengan ridak sabar. "Dia tahu di mana Tracy""
"Tracy kabur"" sergah Paskal kaget.
"Sejak kemarin sore dia tidak pulang. Peter dan aku sudah mencarinya ke mana-mana...."
Tracy menghilang" Paskal tertegun kaku. Jika Tracy pergi, hanya ada satu tempat... *
"Kamu tahu ke mana kira-kira dia pergi, Pas"" suara Sania begitu penuh permohonan. Seperti itu jugakah suara Solandra dulu" Ketika dia memohon sahabatnya untuk menolongnya"
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Paskal memutar tubuhnya. Di belakangnya, dia mendengar Perer mengomel. Tetapi dia tidak peduli.
"Pas!" Sania mengejarnya sampai ke halaman. Paskal berhenti melangkah. Tapi tidak ber-i'balik.
"Kamu tahu di mana Tracy""
Tanpa menjawab, Paskal melanjutkan langkahnya. Sania mengejarnya terus tanpa memedulikan panggilan suaminya.
*** Sebenarnya Paskal sudah tidak ingin mendengar lagi apa pun yang dikatakan Sania. Tetapi Sania tidak mau melepaskannya lagi. Dia mengikuti Paskal terus. Juga ketika Paskal duduk di pinggir laut di Surfer's Paradise. Menatap laut yang membiru luas di depannya.
"Aku terdorong melakukannya, Pas," gumam
Sania lirih. "Ketika melihat ovulasi itu berhasil, aku tergoda melakukannya. Dan ketika dari hari ke hari aku merasakan embrio itu tumbuh di rahimku, aku merasa tidak mau kehilangan dia lagi. Berbulan-bulan aku menghidupinya, fetus itu seperti sudah menyatu dengan diriku, Pas, meskipun dia bukan berasal dari tubuh-' ku...." Sania menyusut air matanya. "Kamu mungkin tidak bisa mengerti, karena kamu bukan seorang wanita. Kamu tidak punya naluri keibuan. Kamu tidak dapat merasakan Sakitnya jika anak yang kamu kandung harus kamu berikan kepada ibu lain...."
"Tapi ibu lain itu Solandra, San!" bentak Paskal hampir berteriak. "Yang sakit kanker! Yang umurnya tidak lama lagi! Yang begitu mengharapkan pada saat terakhir dapat memberikan seorang anak untuk mendampingi dan menghibur suaminya! Yang kamu khianati itu Solandra, sahabatmu! Yang begitu memercayai-mu!"
"Aku menyesal, Pas...."
"Tidak ada gunanya lagi sesal itu! Kamu melenyapkan satu-satunya kesempatan Solandra untuk menimang dan mencium anaknya!"
"Aku rela melakukan apa saja untuk menebus dosaku, Pas____"
"Akan kutanyakan pada Tracy apa yang diinginkannya. Kalau dia ingin ikut aku, kamu harus rela menyerahkannya padaku."
"Tidak mungkin, Pas! Suamiku bisa membunuhku! Selama ini dia tidak tahu..."
"Sudah saatnya dia tahu siapa istrinya!"
"Kasihani aku, Pas...."
"Kamu tidak kasihan pada Solandra! Buat apa aku mengasmanimu""
"Paling tidak kasihanilah aku! Sahabatmu! Kalau kamu tidak bisa memberikan cinta padaku, berikanlah rasa ibamu! Cuma itu yang bisa kuharapkan darimu sekarang!"
"Dari dulu juga kamu tahu, cintaku hanya untuk Solandra! Aku tidak pernah membo-hongimu. Pura-pura mencintaimu. Memberikan harapan palsu padamu. Aku hanya menganggapmu sahabat. Teman yang kuhormati. Kuhargai. Tapi apa balasanmu" Kamu mengkhianati Solandta, sahabat karibmu sendiri!" "Tidak ada lagi yang dapat kita lakukan
untuk Solandra! Tapi kamu bisa menolongku
dan Tracy! Kamu mau dia tahu masa lalunya"
Kamu mau Tracy membenci ibunya kalau dia
tahu apa yang ibunya pernah lakukan""
"Bukan hanya Tracy! Aku ingin suamimu
dan semua pasienmu tahu betapa bejatnya moralmu sebagai dokter dan sahabat!" :
"Sudah cukup kamu sakiti aku, Pas," desah Sania menahan tangis. "Kenapa tidak kamu
bunuh saja aku""
"Karena aku bukan pembunuh," sahut Paskal dingin. "Dan aku masih in
gin bertemu Solandra di Taman Firdaus-nya."
"Peter bukan Mike. Dia pasti langsung men-ceraikanku jika tahu riwayat kelahiran Tracy."
"Di mana Mike" Kalian bercerai""
"Mike sudah meninggal. Tapi sampai sekarang Peter mengira Tracy anakku dengan Mike."
"Dia harus tahu betapa bejatnya masa lalu istrinya."
"Kalau kamu melakukannya untuk membalas dendam padaku..."
"Aku membalas dendam untuk Solandra. Sekalian membuka mata Tracy. Dia hams tahu siapa ibunya yang sebenarnya. Aku akan membawanya ke makam Solandra."
"Oke jika itu yang kamu kehendaki," Sania menyeka air matanya dengan pasrah. "Hidupku memang sudah tidak berharga lagi. Aku orang
aoa\ n; sepanjang hidupku aku men- . yang gae<"cinta. Tapi sampai di ujung hidupku, aku tidak pernah menemukannya."
"Kalau tidak mencintai Mike, buat apa kawin dengan dia" Buat apa menikah dengan User""
"Aku menikahi Mike supaya Tracy punya ayah. Karena waktu itu mentalku masih Timur. Aku lupa aku tinggal di negeri yang walaupun letak geografisnya di timur, tapi mental penduduknya Barat. Mereka tidak peduli jika se-j andainya waktu ku aku menjadi single parent sekalipun."
"Dan Peter""
"Ketika Mike meninggal, Tracy sangat kehilangan ayahnya. Karena itu aku ingin memberinya seorang pengganti."
"Peter ayah yang baik"" Paskal tidak ingin menanyakannya. Tapi lidahnya terdorong juga untuk bertanya.
"Tidak sebaik Mike. Tapi paling tidak, Tracy punya ayah."
Dan sekarang dia punya aku! Dia harus tahu akulah ayah biologisnya! Ayahnya yang sebenarnya! Tapi... maukah Tracy menganggapku ayahnya" Dia sudah telanjur menganggapku kekasihnya!
Bab XX ^ ^RACY merasa hidupnya hancur. Cintanya terkubur. Harapannya lebur.
Satu-satunya pria yang dicintainya, dipuja, dikagumi, ternyata ayahnya sendiri!
Semua cerita yang indah-indah itu cuma dongeng belaka!
Tak ada cinta suci. Tak ada cinta yang tak ternoda!
Kalau dikiranya cinta Paskal kepada istrinya begitu tulus, dia bohong!
Dia sama saja dengan lelaki lain. Dia telah menodai perempuan lain. Dia menghamili ibunya!
Oh, kenapa harus ibunya" Kenapa bukan perempuan lain saja"
Tracy sudah telanjur mencintai Paskal. Sudah telanjur mengaguminya.
"Maafkan aku, Tracy. A
Kata-kata itu seperti bekti yang menikam perutnya. Bles! Sakitnya terasa begitu menyengat!
"Ada yang barm Mommy ceritakan padamu..." Lebih sakit lagi mendengar suara ibunya. Lebih sakit 'lagi menarik belati yang menghunjam di perutnya!
Mengapa mereka begitu jahat" Mengapa mereka tega menyakiti hatinya" "Maafkan aku, Tracy. Aku ayahmu." Kata-kata itu seperti halilintar yang berulang-ulang menyambar. Gemanya tak mau hilang dari telinga Tracy.
Aku ayahmu.... Aku ayahmu.... Aku ayahmu....
Paskal pasti tidak berdusta. Ibunya menguatkan kata-katanya. Mereka terselingkuh. Mereka busuk! Mereka jahat!
Apa lagi yang mau diceritakan ibunya" Dusta apa lagi yang ingin dikarangnya" Sebagus apa pun dongengnya, pasti tidak mampu menutupi dosa mereka!
Karena dosa mereka Tracy terpuruk dalam kenistaan. Bercinta dengan ayahnya sendiri! Ayahnya! Cinta pertamanyaj^|^(i.
Air mata Tracy mengalir lagi kalau ingat
kemesraan yang dirasakannya di Paris. Semua
begitu indah. Tapi semua begitu cepat berlalu! "Aku mencintaimu," bisik Paskal ketika perahu
beratap kaca itu menyusuri Sungai Seine.
Suaranya begitu mesra. Begitu lembut. Membuat hati Tracy berbunga-bunga. Hangat. Nyaman.
"Jangan pernah meninggalkanku lagi," pinta Paskal ketika dia memeluknya dengan sangat lembut. Ketika itu Tracy tengah mengenakan gaun hijau melon seperti permintaannya.
Saat itu Tracy merasa sangat .bahagia. Sorot mata lelaki itu begitu memuja. Begitu mengagumi, seolah-olah dia melihat bidadari turun dari kahyangan.
Sekarang kebahagiaan Tracy pupus sudah. Kenangan indah di Paris itu cuma ilusi Semuanya palsu! Tak ada cinta abadi. Tak ada cinta yang suci murni!
Lebih baik aku mati, tangis Tracy pilu. Lebih baik aku lenyap untuk selama-lamanya!
Biar mereka menyesal. Biar mereka menyesal seumur hidup!
terang Paskal khawatir sekali. Biarpun belum punya anak, dia mengerti sekali psikologi remaja yang putus cinta. Apalagi yang cintanya direnggut dengan begitu kejam
dan mendadak seperti Tracy.
Bagi remaja seusianya, cinta adalah segala-galanya. Putus cinta bisa sangat menghancurkan. Menyedihkan, lapi harus memutuskan cinta karena lelaki yang dicintainya adalah ayah kandungnya sendiri, lebih memilukan lagi kalau bukan mematikan.
Apalagi Tracy mengira Paskal menghamili ibunya. Dia tidak tahu apa yang sesungguhnya -terjadi. Dan Paskal belum sempat menjelaskan perbuatan busuk Sania. Tracy tidak memberinya waktu. Dia seperti tidak mau mendengar apa-apa lagi.
Tracy sudah putus asa. Kekasihnya ternyata ayahnya sendiri! Apa lagi yang harus didengarnya"
Tracy sedang berada pada titik yang sangat foods. Orang-orang yang dicintainya, dipujanya, dihormatinya, ternyata cuma kutu busuk!
Ibunya, idolanya selama belasan tahun, ternyata tidak ada bedanya dengan pelacur!
nya, cuma seorang pembual! Kata-katanya
sama murahnya dengan perbuatannya. Sama
kotornya dengan debu di tanah!
Paskal gelisah sekali. Jantungnya meronta liar dicengkeram rasa takut.
Akan berbuat nekatkah Tracy" Dia masih begitu muda. Masih hijau. Jiwanya masih terlalu labil. Dia belum dapat berpikir panjang.
Bunuh diri mungkin dirasanya sebagai pelepasan yang paling tepat! Supaya dia tidak usah merasa sakit lagi!
Tolong lindungi anak kita, Andra, pinta Paskal sepanjang perjalanan ke Paris. Satu-satunya tempat yang mungkin dituju Tracy. Jika dia ingin bunuh diri, di sanalah tempat yang dirasanya paling tepat. Karena di sanalah dia pertama kali jatuh cinta.
Di Paris cintanya bersemi. Di Paris pula dia ingin mengakhiri cintanya.
Setibanya di Paris, Paskal langsung mencarinya di Menara Eiffel. Tapi Tracy tidak ada di sana. Sia-sia dia bersusah payah mencari anaknya di antara kerumunan sekian banyak manusia yang
sedang mengagumi menara yang paling terkenal di dunia itu.
Sia-sia dia mencarinya sampai ke puncak menara. Tracy tidak ada di mana-mana.
Dengan resah Paskal menyusuri tepian Sungai Seine. Tapi di sana pun Tracy tidak ditemuinya. Tracy tidak ada di jembatan. Tidak ada pula dalam perahu yang hilir-mudik di sungai itu. Percuma Paskal duduk-duduk di sana menunggui1 turis yang pergi-datang dengan perahu.
Rasanya sudah hampir semua tempat yang pernah mereka kunjungi sudah didatanginya.
Bahkan Avenue des Champs Eiysees^ sudah ditelusurinya dari ujung ke ujung. Setiap kafe di pinggir jalan dHongoknya. Setiap toko yang pernah disinggahinya dimasukinya. Setiap gadis yang ditemuinya diperhatikannya baik-baik. Yang dari belakang punya potongan tubuh seperti Tracy dikejarnya supaya dapat melihat wajahnya.
Seluruh kebun Jardin du Luxembourg, tempat mereka pernah berjalan sambil bergandengan tangan, sudah diperiksanya. Boulevard St Michel yang merupakan jalanan yang paling kerap mereka lewati juga sudah ditelusurinya.
f Ke mana lagi dia harus mencari Tracy" f Akhirnya Paskal mencoba mencarinya di f rumah Geoffroy. Tapi yang ditemuinya cuma sebentuk wajah yang gersang..
"Buat apa mencarinya di sini" Tracy tidak pernah kemari lagi."
Jadi ke mana dia" pikir Paskal bingung. Salahkah dugaanku" Tracy tidak pergi ke Paris" Dia masih ada di Goldcoast"
Kata Sania, Tracy membawa tas dan travel %-nya. Sania tidak tahu di mana paspornya. Mungkin dibawa. Mungkin pula tidak.
Dia membawa semua uang tabungannya. Percuma Peter memblokir kartu kredit dan ATM-nya. Uang Tracy cukup untuk membeli tiket ke mana pun.
Yang dapat dilakukan Peter hanyalah mencoba menelusuri daftar penumpang pesawat yang meninggalkan Bandara Coolangatta. Dari sana dia bisa terbang ke Sydney. Sulitnya, Tracy dapat juga naik bus ke Brisbane dan berangkat melalui bandara internasional di sana. Jika naik bus, dia hanya perlu waktu satu jam untuk mencapai Brisbane. MttjiSj
Sementara Peter dan istrinya masih berkutat mencari ke mana Tracy pergi, Paskal sudah
tiba di Paris. Malangnya, sampai malam dia mencari Tracy ke tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi, gadis itu tidak ditemukan juga.
Paskal sudah hampir putus asa ketika hampir pukul satu malam itu dia kembali ke kaki Menara Eiffel. Jantungnya tersengat ketika dari kejauhan dia mengenali bayangan gadis yang tengah menggigil kedinginan di
sana. Cuaca saat itu memang sudah mulai dingin. Kalau Tracy sudah beberapa jam berada di sana dalam pakaian seperti itu, dia bisa menderita hipo-termia!
"Tracy!" seru Paskal tanpa ragu sedikit pun. Dia yakin sekali siapa yang sedang tegak seorang diri dalam kegelapan di sana.
Mendengar suaranya, gadis itu langsung menoleh. Tetapi berbeda dengan dulu, Tracy tidak langsung menghambur ke dalam pelukannya. Dia malah lari menjauhi.
"Tracy! Tunggu!" seru Paskal cemas. Dia khawatir sekali melihat keadaan anaknya. Larinya sudah limbung. Mungkin benar dia sudah menderita hipotermia!
Paskal tidak memerlukan waktu lama untuk meraih.putrinya. Begitu tubuh Tracy terbenam
dalam pelukannya, dia dapat merasakan tapa dinginnya kulit gadis itu.
"Tracy," sergah Paskal cemas. "Kamu bisa sakit!"
Bukan hanya sakit. Kalau bipotermianya sudah lanjut, dia bisa mati!
Tracy tidak menjawab. Bukan karena tidak mau. Tapi karena tidak mampu lagi. Bibirnya yang sudah membiru menggeletar kedinginan. Dia mendesah. Bergumam. Tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak jelas lagi.
Tanpa membuang waktu lagi, Paskal menggendong anaknya, menghentikan taksi, dan membawanya ke hotel yang terdekat.
'Anda perlu dokter"" tanya resepsionis hotel itu ketika melihat keadaan Tracy.
"Saya dokter," sahut Paskal mantap. "Saya tahu bagaimana menolong anak saya."
Tujuh belas tahun Paskal tidak pernah menolong pasien. Sejak dia meninggalkan profesi dokternya karena merasa tidak mampu menolong istrinya sendiri.
Sekarang dia dituntut untuk menyelamatkan anaknya. Dan dia tahu, dia harus bergerak cepat. Karena suhu tubuh Tracy sudah turun sekali. Dia bukan hanya merasa tangan-kakibenya yang kedinginan. Tapi sekujur tubuhnya. Dadanya. Perutnya. Punggungnya.
Lupa dirinya berada di hotel bukan di rumah sakit, lupa mereka cuma resepsionis dan pelayan bukan perawat, Paskal langsung memerintahkan mereka membantunya.
Dia menyuruh pelayan mengisi bak mandi dengan air hangat. Menghangatkan temperatur kamar secepat-cepatnya. Dan menyediakan minuman panas.
Paskal sendiri yang menggendong putrinya ke kamar mandi. Melucuti pakaiannya yang basah. Dan merendam tubuh Tracy dalam air hangat. Diangkatnya tangan dan kakinya agar lebih tinggi dari tubuhnya. Lalu dia berlutut di sisi bak mandi.
"Tracy," bisiknya di telinga putrinya. Dibelai-belainya pipinya dengan penuh kasih sayang. Ditenangkannya anaknya yang mulai panik ketika merasa kaki-tangannya tidak terasa lagi. "Jangan takut. Papa ada di sini. Di sampingmu. Papa akan menolongmu."
Ketika Paskal menggendong putrinya keluar dari kamar mandi, dia melihat dokter hotel sudah menunggu di samping tempat tidur.
*** Kalau menuruti kata hatinya, Paskal tidak ingin menelepon Sania. Biar saja dia kelabakan mencari putrinya. Tapi ketika keesokan harinya dia menanyakan pendapat Tracy, keputusannya
berubah. Tracy memang belum mau bicara. Tidak mengucapkan sepatah kata pun walau Paskal yakin dia sudah sadar penuh. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Dan kondisinya sudah membaik. Umurnya yang masih muda dan kondisi fisiknya yang baik membuat pemulihan tubuhnya berlangsung cepat.
Tetapi sejak terjaga pagi itu, dia belum mau bicara. Bahkan melihat ke arah Paskal pun dia segan.
Wajahnya tetap murung. Dan sikapnya sangat kaku.
Tetapi ketika Paskal bertanya apakah dia ingin, memberitahu ibunya, Tracy mengangguk
lemah. "Oke," Paskal menyodorkan notes kecil di samping tempat tidur. "Tulis saja nomor teleTidak banyak yang Paskal katakan kepada Sania. Dia hanya berkata singkat,
"Aku sudah menemukan Tracy. Dia di Paris." Lalu Paskal menyebutkan nama hotel dan nomor kamarnya.
Dua hari kemudian Sania sudah tiba di sana. Begitu melihat kondisi anaknya, dia amat terguncang. Dikiranya Tracy sakit.
Sania sudah memburu hendak merangkul Tracy ketika Paskal mencegahnya.
"Jangan!" perintahnya tegas. "Dia sedang tidur. Dia perlu istirahat."
"Kenapa dia, Pas"" sergah Sania cemas. "Hipotermia. Dia membiarkan dirinya membeku di kaki Menara Eiffel."
"Ya Tuhan!" desis Sania sambil menutup mulutnya menahan kepiluan hatinya. Anaknya mencoba bunuh diri! "Jangan sebut nama Tuhan," d
esis Paskal dingin. "Kamu tidak pantas mengucapkannya."
Sania tertegun. Dia menoleh ke arah Paskal. Dan matanya bertemu dengan mata yang dingin itu. Hatinya kembali tercabik oleh kekecewaan yang amat sangat. Nyerinya terasa sampai ke ujung kaki.
Itukah orang yang pernah dicintainya" Seperti itukah kini tatapan mata sahabatnya"
Paskal demikian membencinya. Sorot matanya yang berlumur kebencian meluluhlantakkan
harga dirinya. Tubuhnya tiba-tiba terasa lemas tak bertenaga. Dia merosot lemah. Bersimpuh di sisi tempat tidur. Pandangannya kembali ke arah" putrinya yang sedang tertidur lelap.
Wajahnya memang demikian mirip Solandra. Seperti hendak menghukumnya, Solandra sengaja menitipkan wajahnya pada putrinya. Supaya setiap kali Sania melihatnya, dia teringat pada pengkhianatannya. Dosanya. Ke-kejiannya.
(Hanya Sania yang tahu betapa dia mencintai Tracy. Tapi hanya Sania pula yang tahu betapa tersiksa dirinya setiap kali memandang anaknya! "Tracy harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Paskal dingin. "Tidak adil membiarkan dia menuduhku berselingkuh dengan kamu. Tracy bukan anak haram!" "Beri aku waktu, Pas..." "Katakan saja siapa yang harus mengatakannya," potong Paskal geram. "Kamu. Atau aku." "Kalau Tracy sudah cukup kuat, aku akan . menceritakan segalanya."
Tetapi sudah dua hari mereka tinggal di
hotel itu, Sania belum menceritakannya juga. Padahal kondisi fisik Tracy sudah pulih. Hanya mentalnya yang masih tertekan. Dia belum
mau bicara. Lebih suka berbaring di tempat tidur sambil memejamkan matanya.
"Beri dia kesempatan, Pas," pinta Sania ketika Paskal mendesaknya terus. "Jiwanya belum cukup kuat untuk mendengar yang sebenarnya."
"Atau kamu yang belum cukup kuat menceritakan dosamu"" sindir Paskal jengkel. "Kutunggu sampai besok. Kalau kamu belum men-. ceritakannya juga, aku yang akan membuka aibmu."
"Mengapa kamu sekejam ini padaku"" keluh Sania lirih.
"Pantaskah kamu dikasihani" Kekejamanmu pada Solandra sudah tidak terampuni!" "Kamu akan menyesal, Pas..&" "Aku memang menyesal," geram Paskal. "Menyesal membawa Solandra padamu!"
Aku juga menyesal membawamu ke pesta reuni kami, keluh Sania dalam hati. Menyesal memperkenalkan Solandra padamu!
ketika Paskal mengeluarkan kunci kamar Tracy untuk membuka pintu, seorang pelayan room service sudah keburu membuka pintu dari dalam. Dia mendorong kereta makanannya ke luar dan memberi hormat kepada Paskal.
Paskal masuk ke dalam dan membiarkan pintu tertutup sendiri di belakang tubuhnya. Ketika mengayunkan langkahnya, dia mendengar suara Peter. Dan dia tertegun di depan pintu kamar mandi yang terletak di fiyer.
Sejak kapan Peter datang ke sini" Untuk diakah Sania memesan makanan" Ketika Paskal meninggalkan kamar ini tadi pagi, Peter belum ada di sana. Dan Sania tidak pernah mengatakan suaminya akan menyusul kemari. Dia malah bilang terpaksa datang sendiri karena Peter sangat sibuk.
Solandra Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang ternyata Peter menyusulnya. Karena Sania" Atau... karena Tracy"
Dia meninggalkan semua kesibukannya untuk menyusul mereka ke Paris.
"Ketika Mike meninggal, Tracy sangat kehilangan ayahnya. Karena itu aku ingin memberinya seorang pengganti."
arena itu Sania menikah dengan Peter. Karena dia ingin memberikan seorang ayah untuk Tracy setelah sia-sia menunggu Paskal.
Sania sudah datang ke Jakarta. Sudah menunggu di kantin di kampus mereka. Tetapi Paskal tidak muncul juga.
Sania masih mencoba datang ke rumah Paskal. Masih mencoba menggapai cintanya. Tetapi dia tidak dapat menemukan Paskal.
Sania sudah menunggu selama sepuluh tahun. Berharap semoga Paskal sudah berubah. Semoga Paskal kini dapat menerima cintanya.
Terapi Paskal tetap menolak. Karena cintanya memang hanya untuk Solandra. Dia tidak pernah mencintai Sania.
Seandainya saat itu Sania berterus terang, maukah Paskal menjadi suaminya, menjadi ayah Tracy"
Tetapi bagaimana mengatakan siapa Tracy sebenarnya tanpa membuat Paskal geram" 'Bagaimana memohon Paskal menjadi ayah Tracy, karena sebenarnya dia memang ayah anak itu!
- "Ibumu tidak bersalah, Tracy," suara Peter terdengar begitu lembut.
I Paskal melihat tangan lelaki itu mengelus-elus r
ambut Tracy dengan kelembutan seorang
ayah. Melihat hal itu, secercah perasaan ganjil
menyusup ke hati Paskal. "Ketika peristiwa itu terjadi, dia belum menikah. Dia tidak berselingkuh. Dia tidak mengkhianati siapa pun. Kamu tidak patut membencinya. Dia tidak membuangmu ketika tahu I dia hamil. Dia malah mencari seorang laki-I laki yang dapat menjadi ayahmu. Karena lelaki yang menjadi ayah biologismu sudah punya [ istri."
Kurang ajar, geram Paskal gemas. Punya hak apa dia menjelaskan sesuatu yang tidak diketahuinya" Atau... memang itu yang dikatakan Sania kepadanya" Itu dustanya yang terakhir untuk melengkapi kebohongan yang telah diperbuatnya!
Tetapi belum sempat Paskal mendampratnya, Peter mengucapkan dua kalimat lagi yang membuat Paskal terenyak.
"Kasihanilah ibumu, Tracy. Hidupnya tidak lama lagi."
Tracy menatap ayahnya dengan nanar. Perer membelai pipinya dengan lembur. "Ketika kamu di Paris, Dokrer Young menemukao kanker stadium tiga B di paru-parunya. Sudah terlambat untuk dioperasi."
Sekarang Tracy menoleh kepada ibunya. Matanya menatap ngeri.
Sania memeluk anaknya sambil menahan tangis.
"Mommy tidak mau kamu pulang karena mendengar kabar itu. Makanya kami belum memberitahu kamu."
"Mom!" itulah kata pertama yang terlompat dari mulut Tracy setelah beberapa hari membisu. Pasti itu pula kata pertamanya ketika bayi dulu. Lalu dia memeluk ibunya dan menangis.
Saat itu Peter melakukan sesuatu yang membuat langkah Paskal tertahan. Dia merangkul anak-istrinya erat-erat.
Rangkulan itu pasti rangkulan hangat seorang ayah. Seorang suami. Ketika melihat cara Peter merangkul Sania dan Tracy, perasaan ganjil itu kembali merambah di hati Paskal.
Lelaki itu pasti menyayangi Tracy. Menyayangi Sania. Dan sekarang, kehadirannya pasti lebih chbutuhkan daripada kehadiran Paskal.
Paskal tidak sampai hati merenggut sisa kebahagiaan Sania. Kalau benar ada kebahagiaa0 di akhir hidupnya. Dia juga sudah merasa,
Tracy akan memilih mendampingi ibunya daripada ikut Paskal. Ibunya sedang sekarat. Tracy
pasti tidak mau meninggalkannya.
Siapa pun Sania, bagi Tracy, dialah ibunya. Ibu kandungnya. Yang mengandung dan melahirkannya!
Perlahan-lahan Paskal memutar tubuhnya. Meninggalkan kamar itu. Dan menutup pintu kamar.
Bab XXI f-1 kei am ASKAL kembali ke Jakarta tanpa menunggu sampai Sania menceritakan rahasianya kepada Tracy. Dan karena Tracy tidak mau melihatnya lagi, Paskal hanya menitipkan sepucuk surat dan sebentuk kalung emas untuk putrinya. Di bandul kalung itu terikat batu hitam mengilat yang dipungut Solandra hampir dua puluh tahun yang lalu di Grand Canyon.
Tadinya Peter melarang Sania memberikan surat dan kalung itu pada Tracy.
"Buat apa"" gerurunya kesal. "Dia cuma mengganggu Tracy saja. Mengacaukan emosi Tracy yang sudah mulai tenang."
Tetapi Sania percaya, Paskal tidak sejahat itu. Dia percaya, Paskal menyayangi anaknya seperti mereka mengasihi Tracy. Jadi Sania ber-;eras memberikan kalung dan surat itu kepada aknya ketika mereka meninggalkan Paris.
"Kamu bakal menyesal," dumal Peter gemas.
Makin tua dia memang makin nyinyir. Tapi satu hal yang tak dapa't dibantah. Dia juga menyayangi Tracy.
Dan pada saat Sania sadar hidupnya sudah tidak lama lagi, dia bertambah membutuhkan Peter. Karena dia memerlukan seorang ayah " untuk Tracy. Seseorang yang mengasihinya. Seseorang yang akan melindunginya sepeninggal Sania.
"Kamu lihat bandul kalung itu" Batu apa itu" Jangan-jangan black magid"
Sania juga tidak tahu batu apa yang tergantung di kalung itu. Paskal menyuruh toko perhiasan mengikatnya di sana, pasti batu itu sangat berharga baginya. Mungkin semacam jimat. Pengusir bala. Pembawa keberuntungan. Atau apa pun juga. Yang pasti, Paskal tidak akan memberikan benda pembawa sial kepada anaknya.
Mula-mula Tracy juga tidak mau memakai kalung itu. Bahkan menerimanya saja dia segan. Tetapi selesai membaca surat ayahnya di pesawat, Sania melihat matanya berkaca-kaca. Dan dia menyimpan kalung itu di rasnya.
"Terimalah kalung ini sebagai tanda mata
ayah-ibumu, Tracy. Ibumu, Solandra, memungut batu hitam itu di Grand Canyon tujuh belas tahun yang lalu,
ketika cinta sedang merambah ke seluruh pembuluh darah kami.
"Batu itu bukan batu mulia yang mahal harganya. Batu ku cuma batu biasa. Terbuang dan terhantar di tanah kotor selama ratusan mungkin pula ribuan tahun. Diinjak puluhan ribu kaki manusia dan binatang. Tapi artinya buat kami sangat besar. Karena seperti batu yang telah ribuan tahun teronggok abadi di sana, seperti itu jugalah cinta suci kami. Kekal dan abadi untuk selamanya. Tak lekang oleh waktu. Tak luntur oleh maut.
"Ada satu hal lagi yang ingin kukatakan padamu, Tracy. Jika kamu kka proses kelahiranmu berlumur dosa, kamu keliru. Kamu bukan anak haram, Tracy. Kamu tidak lahir dari perselingkuhanku dengan ibu yang mengandung dan melahirkanmu.
"Kamu lahir dari sebuah mukjizat. "Tuhan mengabulkan permintaan terakhir hamba-Nya yang sangat setia. Karena Solandra begitu yakin, jika mukjizat kesembuhan yang dimintanya tidak dikabulkan Tuhan, Dia akan emberikan mukjizat yang lain.
"Kamulah mukjizat itu, Tracy. "Ketika aku tahu kamu anakku, untuk pertama kalinya aku percaya, Tuhan memang ada. Karena kalau bukan Dia, siapa lagi yang dapat memberikan mukjizat semacam itu"
"Saat ini, hanya ada satu permintaan lagi yang kupanjatkan pada Tuhan. Aku berdoa, semoga suatu hari nanti, entah sepuluh tahun I lagi, dua puluh tahun, atau tiga puluh tahun, aku dapat melihatmu lagi. Datang bersujud di depan nisan ibumu, Solandra. Dan menghampiriku dengan kalung tanda mata dari orangtuamu melingkar di lehermu sambil me-| manggilku Daddy.
"Aku berharap saat itu aku masih dapat melihatmu. Menyentuhmu. Dan menciummu.
"Tetapi jika Tuhan baru mengabulkannya setelah jasadku terbujur dalam peti mati, aku tetap bersyukur, Tracy.
"Karena Solandra selalu mengajarkan, yang jadi adalah kehendak Tuhan. Bukan kehendak 1 kita.
"Dia memang wanita yang sangat istimewa, Tracy. Wanita yang berhati mulia. Wanita yang punya iman yang sangat teguh. Tidak ada cobaan yang dapat melunturkan kepercayaannya kepada Tuhan.
"Aku beruntung memiliki dua orang wanita yang sangat berharga dalam hidupku. Kamu, anakku. Dan Solandra, belahan jiwaku.
"Sekarang aku baru sadar, sebenarnya memiliki Solandra dan kamu juga sebuah mukjizat.
"Sekarang aku tinggal menunggu mukjizat, yang terakhir dalam hidupku."
*** Dan mukjizat itu akhirnya datang juga. Bukan sepuluh tahun. Bukan dua puluh tahun. Bukan pula tiga puluh tahun.
Baru tiga tahun berlalu ketika Tracy muncul di rumahnya. Hari itu tepat hari ulang tahun perkawinannya yang ketiga puluh. Paskal baru saja hendak berangkat ke pemakaman Solandra ketika, gadis itu tiba-tiba muncul di ambang jpintu.
Paskal hampir tidak memercayai penglihatannya. Sekejap dia mengira Solandra-Jah yang datang.
Sekarang, ketika kedewasaan telah menyen-ih dirinya, Tracy malah menjadi semakin mirip engan Solandra, sampai Paskal hampir tidak
dapat lagi menemukan perbedaannya. Satu-satunya yang membuat Paskal tahu wanita di
hadapannya ini bukanlah Solandra hanyalah karena wanita itu mengenakan kalung itu di lehernya. Kalung emas dengan bandul batu hitam yang Paskal berikan kepada anaknya tiga tahun yang lalu.
Sesaat mereka sama-sama tertegun. Saling pandang tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tracy berusaha meredam kerinduan yang bersorot di matanya. Tetapi ketika dia gagal menyembunyikannya dari tatapan ayahnya, dia menunduk sambil menahan tangis.
Ketika Paskal melihatnya, matanya menjadi berkaca-kaca. Dan dia tahu apa yang telah terjadi walaupun Tracy tidak sanggup mengucapkannya.
Paskal menghampiri putrinya sambil membuka lengannya. Meraih Tracy ke dalam pelukannya. Dan mendekapkannya erat-erat ke dadanya.
"Tracy," bisiknya penuh kerinduan. "Terima kasih mau menemuiku lagi...." Betapa bahagianya aku kalau kamu mau memanggilku Daddy.
Tetapi Tracy mungkin belum mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kesedihan masih
membelenggu jiwanya. Dia membutuhkan beberapa menit sebelum mampu membuka bibirnya yang- gemetar.
"Mommy...." desah Tracy sambil menahan tangis.
Tapi sekuat apa pun dia berusaha menahan tangisnya, tanggul air. matanya bobol juga. Dia menangis sesenggukan di bahu Paskal. Membuat baju P
askal basah diguyur air matanya.
"Aku tahu," bisik Paskal sambil membelai-belai rambut anaknya dengan lembut. Cinta dan kerinduan menjalari kedua lengannya yang mendekap putrinya. Cinta yang menghangatkan dadanya. Hatinya. Jiwanya.
Dia tahu, Sania telah pergi. Dan dia tahu walaupun belum mendengar, Sania telah menceritakan rahasianya sebelum pergi. Dia tidak mungkin sanggup bertemu Solandra sebelum membayar lunas utangnya.
Akhirnya mukjizat yang terakhir datang juga.
"Mommy minta aku datang hari ini, Ayah. Katanya ini hari istimewa." Ayah"
Paskal merenggangkan pelukannya dan menatap anaknya dengan kaget.
Tracy balas menatap dengan sama kagetnya.
"Kenapa"" cetusnya bingung. Matanya yang indah berkilauan di balik tirai air matanya. Mata anaknya. Mata Solandra. Mata yang dirindukannya. "Kata Mommy, ayah dalam bahasa Indonesia artinya daddy."
Tentang Pengarang f -WAL karier Mira W. sebagai penulis dimulai pada tahun 1975, ketika cerpennya yang pertama, berjudul Benteng Kasti, dimuat di majalah Femina. Sesudah itu, cerpen-cerpennya banyak dimuat di majalah-majalah Ibukota.
Pada tahun 1977, novelnya yang pertama, Dokter Nona Friska, dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Dewi, dibukukan dan difilmkan dengan judul Kemilau Kemuning Senja pada tahun 1981.
Bukunya yang pertama, Sepolos Cinta Dini, diterbitkan oleh Penerbit Gramedia pada tahun 1978, setelah sebelumnya dimuat sebagai cerber di Harian Kompas.
Sampai sekarang bukunya telah berjumlah 70 buah, sebagian besar telah difilmkan dan dibuat sebagai miniseti maupun sinetron di layar televisi.
Selain menulis, Mira W juga menekuni profesinya yang lain sebagai seorang dokter.
Buku-buku karya Mira W selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Sepolos Cinta Dini 2. Cinta Tak Pernah Berutang 3- Permainan Bulan Desember
4. Tatkala Mimpi Berakhir
5. Matahari di Batas Cakrawala
6. Kuduslah Cintamu, Dokter
7. Ketika Cinta Harus Memilih
. Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi
9. Kemilau Kemuning Senja
10. Benteng Kasih (Kumpulan Cerpen) M
11. Firdaus yang Hilang 12. Cinta di Awal Tiga Puluh
13. Seandainya Aku Boleh Memilih
14. Masih Ada Kereta yang Akan Lewat
15. Dari Jendela SMP 16. Tak Cukup Hanya Cinta
17. Seruni Berkubang Duka
18. Saat Genta Cemburu Berdentang (Kumpu Cerpen)
19- Relung-Relung Gelap Hati Sisi
20. Tak Selamanya Gelap Itu Gulita (Kumpulan Novelet)
21. Jangan Pergi, Lara 22. Merpati Tak Pernah Ingkar Janji
23. Memburu Jodoh (Kumpulan Cerpen)
24. Galau Remaja di SMA 25. Cinta Cuma Sepenggal Dusta
26. Kidung Cinta buat Pak Gum
27. Di Tepi Jeram Kehancuran
28. Perisai Kasih yang Terkoyak
29. Bilur-Bilur Penyesalan .
30. Satu Cermin Dua Bayang-Bayang
31. Sematkan Rinduku di Dadamu (Kumpulan Novelet)
32. Luruh Kuncup Sebelum Berbunga
33. Dakwaan dari Alam Baka
34. Biarkan Kereta Itu Lewat, Arini
35. Tersuruk dalam Lumpur Cinta
36. Perempuan Kedua 37. Cinta Seindah Tatapan Pertama
38. Trauma Masa Lalu 39. Di Bahumu Kubagi Dukaku
40. Sekelam Dendam Marisa
41. Jangan Biarkan Aku Melangkah Seorang Diri
42. Kuukir Pelangi Kasih di Hatimu
43. Mahligai di Atas Pasir
44.. Sampai Maut Memisahkan Kita
45. Di Ujung Jalan Sunyi 46. Segurat Bianglala di Pantai Senggigi
47. limbah Dosa 48. Nirwana di Balik Petaka
49- Perempuan Tanpa Masa Lalu (Kumpulan Nove
50. Bukan Cinta Sesaat 51. Deviasi 52. Delusi 53- Jangan Ucapkan Cinta 54. Semburat Lembayung di Bombay
55. Dunia Tanpa Warna (Kumpulan Novelet)
56. Cinta Menyapa dalam Badai (Buku I dan II)
57. Cinta Berkalang Noda 58. Cinta Tak Melantunkan Sesal 59- Dan Cinta Pun Merekah Lagi
60. Mekar Menjelang Malam
61. Titian ke Pintu Hatimu
62. Semesra Bayanganmu 63- Jangan Renggut Matahariku
64. Di Bibirnya Ada Dusta
65. Dikejar Masa Lalu 66. Bukan Istri Pengganti
67. Bila Hatimu Terluka 68. Pintu Mulai Terbuka 69- Di Sydney Cintaku Berlabuh 70. Sola
tamat Tujuh Pembunuh 2 Lupus Bunga Untuk Poppi Pembunuhan Di Orient Ekspress 4