Pencarian

Solandra 2

Solandra Karya Mira W Bagian 2


"Secepatnya. Rasanya dia bisa mengatur
semuanya untuk kalian." Lalu sesaat sebelum berpisah, Sania menambahkan dalam nada dingin, "Tapi kamu harus tahu, dia bukan
suamiku. Kami belum menikah."
#*+ "Cuti lagi"" sambut direktur rumah sakit tempat Paskal bekerja. Suaranya dingin. "Baru dua bulan yang lalu kan Anda mengambil cuti tahunan."
"Saya harus membawa istri saya berobat, Dok," sahut Paskal datar. Tidak suka mendengar nada suara bosnya.
Masa dia belum mendengar apa yang me- " nimpa istrinya" Atau... dia memang belum mendengar karena terlalu sibuk" Atau mungkin... dia tidak peduli.
Masih banyak pekerjaan lain yang harus di-urusinya. Urusan pribadi karyawannya bukan urusannya.
"Berapa lama"" suaranya tetap tidak simpatik.
Di telinga Paskal yang sedang murung, yang sedang membutuhkan dukungan moral dari kolega-koleganya, suara itu jadi terdengar menyakitkan.
Memang. Barangkali bukan salahnya. Tidak semua orang harus terlibat dengan masalah pribadinya. Itu tanggung jawab PaskaJ sendiri. Tetapi tidak dapatkah dia bersikap lebih lunak, lebih simpatik"
Berapa lama" Pertanyaan yang sulit dijawab. Karena ini bukan perjalanan wisata. Ini perjalanan menu/u ke meja operasi. Mungkin juga perjalanan menuju ambang batas antara hidup dan mati.
"Saya tidak bisa mengatakannya, Dok," sahut Paskal tawar.
Barangkah seharusnya dia bersikap lebih sopan. Lebih mengiba-iba. Barangkah' begitu seharusnya menghadapi atasan. Supaya dikasihani Dan cutinya dikabulkan.
Tetapi dalam kondisi mental seperti yang dialami Paskal sekarang, siapa yang ingat untuk berbasa-basi"
"Saya tidak bisa memberikan cuti terlalu lama," kata atasannya sama datarnya. "Tidak adil terhadap karyawan yang lain."
"Kalau begitu saya mengundurkan diri," 1 sergah Paskal tega". Kemarahan sudah menggumpal di dadanya. "Silakan," sahut atasannya sama tegasnya.
Matanya berkata, Siapa yang butuh kamu" Masih banyak tenaga medis lain yang mengincar tempatmu. Baru juga dokter umum. "Ajukan saja surat permohonan pengunduran
diri." Paskal merasa ditantang. Hatinya sakit sekali. Pada saat dia membutuhkan dukungan moral dan material, yang diterimanya justru perlakuan yang sangat tidak bersahabat.
"Saya akan mengajukan surat pengunduran diri sepulangnya saya dari luar negeri," katanya dingin.
"Sebaiknya sekarang saja," sambut si angkuh sama dinginnya. "Saya tunggu surat Anda di
meja saya besok pagi."
*** Paskal tidak pernah mengatakan kepada Solandra, dia sudah mengundurkan diri. Dia tidak mau menambah beban pikiran istrinya. Sudah cukup berat beban yang harus ditanggungnya.
Tetapi ketika teman-teman sejawatnya mendengar keputusannya untuk mengundurkan . diri, mereka terperanjat.
P"Mengapa sampai sedrastis itu, Pas"" "Aku tidak punya pilihan Jain," sahut PasJcai lesu. "Saat ini yang ada daiam pikiranku cuma menyembuhkan Soiandra."
"Seharusnya dia bisa menunggu sampai kau pulang."
Dan seharusnya dia bisa bersikap Jebih sim"patik. Mereka sudah bertugas bersama di rumah sakit ini cukup lama. Ketika, masih menjadi teman sejawat, hubungan mereka memang tidak pernah akrab. Tapi paiing tidak, sikap si di
rektur angkuh, waktu itu masih berstatus dokter biasa, tidak searogan ini.
Dia malah pernah minta Paskai menggantikannya jaga malam di Unit Gawat Darurat ketika anaknya masuk rumah sakit karena demam berdarah.
Tetapi rupanya masa lalu tinggal masa lalu. Ketika seseorang sudah sampai di puncak, kadang-kadang dia malas melihat ke bawah lagi. Karena kepalanya sudah terlalu besar. Berat untuk digerakkan.
Terus terang, Paskai sendiri sedang bingung memikirkan dana yang haru* dikeluarkan. Me-. nurut Sania, biaya operasi, pemeriksaan dan rawat inap di rumah sakit, dapat berkisar
antara sepuluh sampai lima belas ribu dolar.
Belum termasuk tiket pesawat dan biaya penginapan untuk Paskai sendiri.
"Post op biasanya Soiandra juga harus konsultasi dengan onkolog. Aku bisa merekomendasikan onkolog terkenal. Dia mengambil S3-nya di Amerika."
Itu berarti tambahan biaya. Untuk konsultasi dan biaya sewa apartemen sekeluarnya Soiandra dari rumah sakit.
"Kunjungan pertama sekitar dua ratus dolar," sambung Sania, seperti mengerti kesulitan sahabatnya. "Kunjungan berikutnya delapan puluh sampai seratus. Tapi untuk biaya MRI, bone-scan, dan lain-lain pemeriksaan post op dibutuhkan sekitar dua ribu lagi. Belum lagi kalau diperlukan kemo dan radiasi." ">
"Aku tahu," sahut Paskai lesu. "Soal biaya tidak kupikirkan."
Bohong. Biaya merupakan tambahan pikiran yang harus dipikirkan meskipun Paskai ingin sekali mengenyahkannya dari otaknya."
Cicilan rumah mereka masih lima tahun lagi. Selama ini, semuanya tertutup berkat penghasilannya dan penghasilan Soiandra. Mereka malah dapat leluasa berwisata ke luar negeri untuk merayakan ulang tahun perkawinan mereka.
Tetapi, ketika musibah ini tiba-tiba datang menyapa, Paskai baru menyadari pentingnya memiliki tabungan yang cukup.
Uang memang bukan segala-galanya. Tetapi pada saat-saat seperti ini, uang tidak kalah pentingnya dengan yang lain. Apalagi yang mesti ditanggungnya sekarang bukan hanya biaya operasi. Soiandra menginginkan yang lain. Dia menginginkan anak mereka memiliki surrogate mother. Dan biayanya tidak murah.
Paskai tidak bisa meminjam uang dari ibu Soiandra, karena Soiandra sudah berpesan untuk tidak memberitahu ibunya mengenai penyakitnya. Paskai juga tidak bisa menjual mobilnya supaya tidak membuat hati Soiandra bertambah sedih.
Satu-satunya yang bisa dilakukannya saat ku cuma menemui ayahnya.
*** "Pinjam uang"" Seringai bermain di bibir ayahnya ketika Paskai duduk di depan meja tulis 'di ruang kerjanya yang nyaman. "Sesudah sepuluh tahun menghilang, tanpa mengirim sepucuk surat sekalipun, kamu mau pinjam uang" Bukan main. Ada apa, Boy" Kamu kalah main judi""
Paskai harus mengatupkan rahangnya menahan marah. Kalau bukan untuk Soiandra, dia tidak sudi menemui ayahnya lagi. Apalagi untuk meminjam uang!
Tetapi demi Soiandra, demi kesembuhannya, apa pun akan dilakukannya!
"Tidak masalah untuk apa," sahut Paskai datar. "Papa nggak perlu tahu." "Enak saja," sahut ayahnya angkuh. Sepuluh j tahun tidak mengubah perilakunya. Tidak juga I penampilannya. Dia masih tetap segagah dan sesombong dulu. Hidup nyaman dan liar rupanya merupakan obat awet muda 'baginya., j Barangkali ayahnya juga menyesali penampilan anaknya yang kuyu dan lesu. Jadi dokter rupanya tidak mudah. Dalam sepuluh tahun saja dia sudah tampil jauh lebih tua dan suram. Barangkali melihat orang sakit setiap hari membuat dokter jadi cepat tua. "Pinjam ke bank saja harus mencantumkan untuk apa."
"Papa mau minjamin saya uang atau tidak"" Paskai bangkit dari kursinya dengan sengit.
!" Bukannya marah, ayahnya malah tersenyum lebar. Tidak ada warna mengejek dalam senyumnya. Tapi bagaimanapun. Paskai panas karena merasa terhina. "Kok galakan yang
Sambil mengentakkan kakinya Paskai mendorong kursinya dengan kasar. Lalu dia melangkah ke pintu tanpa menoleh lagi.
Sesampainya di pintu, dia mendengar ayahnya memanggil. Nadanya masih tetap seringan tadi. Tidak mengejek. Tapi entah mengapa, tetap terasa menyakitkan.
"Berapa"" Tiga ratus,'* Naik sebelah alis ayahnya. Tiga ratus apa"" "Juta."
"Cuma segitu""
Kali ini ayahnya tidak menyembunyikan nada terk
ejut dalam suaranya. Cuma segitu.
Paskai tambah merasa terhina. Tiga ratus juta sudah begitu besar untuknya. Tetapi untuk ayahnya, cuma segitu.
Makanya dulu Papa bilang jangan jadi dokter. Jadi pengusaha!
Barangkali begitu yang dikatakan matanya
kalau mata itu bisa bicara. Tetapi di depan Paskai yang parasnya sudah merah padam, ayahnya memang tidak berkata apa-apa. Dia
langsung membuka laci meja tulisnya. Dan mengeluarkan buku ceknya.
Ketika melihat ayahnya sedang menandatangani cek. itu, diam-diam Paskai melangkah kembali ke depan meja tulis. Tetapi dia tidak duduk. Dia hanya berdiri saja menunggu ayahnya selesai menulis cek.
Tetapi ketika dia mengulurkan tangannya untuk mengambil cek itu, ayahnya menariknya kembali.
"Tunggu," cetusnya tiba-tiba.
"Akan saya kembalikan secepatnya," meledak lagi amarah Paskai. "Papa jangan khawatir!"
"Oke! Oke! Tapi bukan itu yang Papa mau."
"Apa lagi"" desis Paskai tersinggung. "Papa butuh jaminan""
"Bukan. Tapi pinjaman ini ada syaratnya."
"Syarat"" Paskai menggebrak meja dengan sengit. Akhir-akhir ini dia memang gampang meledak. Sarafnya sudah tegang sekali. Rasanya sudah hampir sampai ke ambang batas yang
tidak dapat ditolerir Jagi. Mungkin dia sudah butuh obat penenang dan antidepresi.
Terkejut ayahnya ketika melihat reaksi Paskai. Matanya membeiiak kaget.
"Kamu kenapa, Boy"" tanyanya agak bingung. Seperti tidak percaya anaknya bisa bertingkah seperti itu. "Sebenarnya sudah berapa banyak utangmu""
"Papa nggak perlu tahu," sahut Paskai geram. "Sekarang yang penting Papa mau pin-jamin Paskai duit nggak""
"Kasar sekali sikapmu," keluh ayahnya tanpa menyingkirkan perasaan bingungnya. Matanya mengawasi putranya dengan heran. "Seperti bukan kamu yang datang. Bukan anak Papa yang Papa kenal sepuluh tahun yang lalu. Kamu sudah berubah, Boy."
"Bukan urusan Papa. Mana ceknya" Saya boleh ambil sekarang atau besok""
Ayahnya melemparkan ceknya ke atas meja. Cek itu melayang dan mendarat di tepi meja tulisnya. Tanpa permisi-Paskai mengambilnya. "Papa bilang ada syaratnya." "Terserah Papa," sahut Paskai acuh tak acuh. Syarat apa saja. Dia tidak peduli! "Papa ingin kamu bekerja di sini."
Sekejap Paskai tertegun. Ditatapnya ayahnya dengan heran. "Papa sudah ingin pensiun." "Kan ada Paulin."
"Dia tidak punya bakat. Tidak punya naluri dagang. Pekerjaannya tidak ada yang sukses. Terlalu lunak sebagai pengusaha."
"Maksud Papa, dia kurang kejam" Tidak bisa membunuh saingan"" ejek Paskai sinis. "Dia mesti seperti Papa. Berdarah dingin dan bermulut busuk""
"Jangan kurang ajar!" desis ayahnya tersinggung. "Uang yang kamu perlukan itu berasal dari si mulut busuk ini!"
"Akan saya kembalikan," potong Paskai tidak sabar. "Berikut bunganya."
"Jangan sombong. Yang Papa perlukan bukan bunganya. Tapi tenagamu."
"Saya tidak berjiwa dagang. Seperti Paulin. Barangkali turunan Mama. Coba saja Prita. Siapa tahu dia mewarisi bakat Papa."
"Ah, Prita masih suka hura-hura. Belum saatnya terjun ke bisnis. Kamu yang Papa perlukan untuk menggantikan Papa."
"Nanti saya pikirkan," sela Paskai tidak sabar. Sekarang yang penting cuma Soiandra!
Cuma keselamatannya yang ada di kepala
Paskai. Yang lain, urusan nanti. Dia malah tidak tahu masih ingin hidup atau tidak kalau Soiandra sudah... ah, Paskai tidak ingin memikirkannya lagi!
Dibuangnya jauh-jauh pikiran itu. Dia tidak mau memikirkannya. Dia harus membawa Soiandra untuk berobat. Dia harus dapat menyembuhkan penyakit Soiandra, apa pun taruhannya!
"Ada satu syarat lagi," sambung ayahnya sambil mengawasi Paskai dengan tajam.
"Nanti saja kalau saya sudah mengembalikan uang ini" "Kamu mau mengabulkannya"" "Tergantung apa syaratnya." "Lagakmu bukan seperti orang yang pinjam uang." Masa bodoh amat.
*** "Tidak," bantah Soiandra sedih. "Setelah ku- 1 pikir-pikir, aku tidak mau diopetaai, Mas. Aku tidak ingin kehilangan rahimku." "Tapi aku tidak ingin kehilangan kamu,
Andra! Dan operasi adalah satu-satunya jaI lan!"
Soiandra tidak menjawab. Dia membalikkan tubuhnya di tempat tidur. Membelakangi
suaminya. Paskai merangkulnya dari belakang. Melekatkan pipinya ke pipi istrinya yang basah. Di
- "-sekanya air mata yang mengalir dari sudut mata Soiandra dengan ujung jarinya.
Mengapa Tuhan sekejam ini padamu, Sayang" pikir Paskai sedih. Apa dosamu sampai kamu dihukum seperti ini" Kamu perempuan yang sangat baik. Tidak pernah menyakiti siapa pun.
Penyakit bukan hukuman dosa, Mas, kata Soiandra beberapa hari yang lalu. Jangan menyalahkan Tuhan. Kadang-kadang kita sedang diuji. Kita harus tabah dan tetap percaya. Supaya lulus ujian.
Tetapi Paskai tidak percaya. Dia hanya tidak menjawab. Karena tidak ingin tambah menyakiti hati istrinya.
"Tolonglah aku, Andra," pinta Paskai lirih. "Biarkan dokter mengangkat rahimmu. Biarkan dokter menyembuhkanmu. Supaya aku bisa tetap memilikimu."
"Tuhan akan menyembuhkanku, Mas. Mar kita berdoa mohon pertolongan-Nya. Aku yakin, suatu hari mukjizat itu akan datang menghampiriku."
"Tapi bukan berarti kita harus diam saja menunggu datangnya mukjizat, Andra. Kita harus berusaha!"
"Aku tidak ingin kehilangan rahimku, Mas! Aku tidak mau perutku dibuka. Mas kan tahu aku punya bakat keloid. Mas Pas bisa bayangkan jeleknya perutku kalau di bekas insisinya tumbuh keloid""
"Andra!" Paskai membalikkan tubuh istrinya. Kini mereka berbaring berhadapan. Saling tatap. "Aku tidak peduli seperti apa jeleknya tubuhmu! Tidak akan mengurangi cintaku padamu! Kamu dengar" Aku tidak peduli! Seperti apa pun kamu, aku tetap mencintai-; mu!"
Paskai memeluk istrinya erat-erat. "Tolong kabulkan permintaanku, Andra! Kumohon padamu. Biarkan dokter menyembuh-kanmu!"
"Melalui operasi"" "Tidak ada jalan lain!"
Dalam gelap, Paskai mendengar istrinya me142
narik napas. Dalam. Berat. Seperti menyimpan berton-ton beban kesedihan.
"Mas yakin aku masih bisa sembuh"" desah Soiandra lirih.
"Ya, Andra, aku yakin! Asal kamu mau dioperasi!"
Sunyi sejenak sebelum suara Soiandra terdengar lagi. Murung. Getir. "Sania yang akan melakukannya"" "Tidak. Aku akan membawamu ke dosennya. Profesor Lawrence yang akan melakukannya." "Suami Sania""
"Sania sudah menghubunginya. Dia bersedia menerima kita minggu ini juga. Aku minta waktu sampai minggu depan karena harus mengurus visa."
"Tapi dari mana biayanya, Mas""
"Jangan khawatir. Tabunganku cukup____"
"Mas Pas lupa. Itu tabungan bersama. Aku tahu persis jumlahnya. Dan kita baru saja mengurasnya untuk berlibur ke Amerika."
"Aku punya simpanan lain. Kamu tidak tahu."
"Bohong. Dari mana uang itu, Mas" Pinjam" Atau... dari Mama""
riamu meiarangjku untuk memberitaku Mama tentang penyakitmu, kan""
"Jadi Mas pinjam dari mana"" "Kamu nggak perJu tahu. Pokoknya biayanya ridak usah kamu pikirkan. Yang penting kita harus berjuang untuk mengenyahkan kankermu! Kita harus menang! Kita harus mengalahkannya, Andra!"
"Bagaimana dengan keinginanku yang terakhir, Mas"" ranya Soiandra ragu-ragu. "Anak""
"Mas tidak keberatan, kan""
"Tentu saja aku tidak keberatan punya anak, tapi..."
"Mas sudah tanya Sania""
"Dia akan berkonsultasi dengan suaminya."
"Mas pikir kita akan berhasil""
"Aku lebih mengharapkan keberhasilan operasimu, Andra!" mM
"Sembuh itu suatu mukjizat, Mas," kata Soiandra lambat-lambat. Nadanya khidmat sekali seperti sedang melantunkan doa. "Tapi punya anak darimu juga suatu mukjizat."
Bab X JA hari kemudian, Paskal menerima telepon dari Sania.
"Bisa temui aku di rumah sakit, Pas"" suara Sania terdengar sangat serius. "Oke. Sekarang, San"" "Ya. Ada yang ingin kubicarakan." Paskai datang secepat yang dia mampu. Rasanya napasnya hampir putus ketika dia sampai di depan meja tulis di kamar kerja Sania.
Ada apa" Sania salah diagnosis" Yang diperiksanya bukan contoh jaringan tumor dari rahim Soiandra" Yang ditemukannya bukan sarkoma"
Memang tidak realistis. Tapi harapan-harapan itu mengganggu pikiran Paskai sepanjang perjalanan ke rumah sakit.
Bukan tidak mungkin. Bukan tidak mungkin! Kemungkinan salah diagnosis selalu ada....
145 "Ada apa, San"" tanyanya sambil menahan napas. "Kabar baik""
lolong, berikan kabar baik padaku!
Tergantung penafsiranmu," sahut Sania datar.
"Mengenai apa""
"Surrogate mother."
"Kamu sudah membicarakannya dengan suamimu" Eh, maksudku..."
"Kamu ingin melakukannya di sana""
I "Kamu bisa melakukannya di sini, San" Mungkin prosedurnya lebih mudah. Lebih cepat pak." "Dan lebih murah."
"Kamu bisa melakukannya demi Soiandra, San" Demi persahabatan kita____"
"Kalau kamu izinkan aku mencoba."
"Oke. Lakukanlah secepatnya, San. Supaya kami bisa berangkat lebih cepat ke Melbourne untuk histerektomi. Kamu bisa tolong mengatur semuanya untuk kami""
"Serahkan saja padaku."
"Juga untuk mencari ibu pengganti""
"Akan kuusahakan."
"Dan aspek hukumnya""
"Aku akan menghubungi pengacaraku."
"Pasti tidak mudah. Tapi demi Soiandra..." "Memang belum ada aturan hukum yang mengaturnya. Tapi bisa kita cari celah-celah
hukumnya." "Berapa kira-kira biayanya"" "Jangan dipikirkan dulu. Biar aku yang
mengatur." "Dan menanggung biayanya"" Paskai begitu berterima kasih sampai rasanya dia ingin memeluk Sania. "Terima kasih, San. Semua biayanya pasti aku ganti."
"Nggak apa-apa. Yang penting operasi Soiandra harus sukses. Kamu konsentrasi ke situ saja." "Terima kasih, San. Terima kasih." Sebagai ungkapan terima kasih, Paskai memeluk Sania dengan hangat. Sesaat Sania tidak mampu menolak. Bahkan tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Barangkali bagi Paskai pelukan itu tidak berarti apa-apa. Cuma ungkapan terima kasih. Cuma pelukan seorang sahabat. Tidak lebih.
Tetapi buat Sania, pelukan itu justru me- ; nyalakan kembali bara cintanya yang sudah hampir padam. Dia merasa seluruh tubuhnya . terbakar. Dadanya menggelegak. Darahnya
147 mengalir deras di seluruh pembuluh darahnya. Sampai mukanya terasa panas.
Bahkan pelukan Mike tidak memberikan efek sedahsyat ini, keluh Sania jengah di dalam had.
Ketika Paskai melepaskan pelukannya, se orang perawat memasuki ruangan untuk menaruh sehelai status di meja Sania. Tetapi Paskai tidak peduli. Dia memang tidak merasa bersalah.
Terima kasih, San," katanya terharu. "Akan kukatakan pada Soiandra apa yang akan kamu lakukan untuknya."
Tidak usah," Sania berusaha menyembunyikan parasnya yang memerah. "Itu gunanya sa- I habat, kan""
*** Seperti Paskai, Soiandra juga sangat berterima kasih pada Sania.
"Nggak tahu bagaimana harus membalas budimu, San," kata Soiandra selesai menjalani semua prosedur yang harus dilakukannya.
"Lupakan saja," sahut Sania pendek.
"Kamu yakin bakal berhasil, San""
148 "Akan kuusahakan sedapat mungkin. Aku juga belum pernah melakukannya. Perlu berkonsultasi terus dengan Mike. Tapi berhasil atau tidak, tergantung banyak faktor. Kadang-kadang kita tidak bisa mengatasi semuanya."
"Tapi aku percaya Tuhan akan mengasihani-ku, San. Jika operasiku gagal, Dia pasti akan memberikan gantinya."
"Berdoa sajalah, Dra."
"Kabari aku secepatnya jika sudah berhasil ya, San."
"Apa pun hasilnya, aku akan memberitahu Paskai secepatnya."
"Terima kasih, San." Soiandra memeluk sahabatnya erat-erat.
Ketika sedang merangkul Soiandra, Sania merasa bajunya basah. Dan dia tahu dari mana air yang membasahinya. Tidak terasa, matanya pun ikut berkaca-kaca.
"Sudahlah, Dra. Kamu harus tabah. Jangan stres. Supaya daya tahanmu tetap kuat. Ingatlah, apa pun yang terjadi, tetaplah tegar seperti Soiandra yang selama ini kukenal."
"Aku takut, San," rintih Soiandra pilu. "Aku bukan takut mati. Aku tidak tega meninggalkan Mas Paskai."
"Aku tahu," gumam Sania tersendat. "Jika usaha kita berhasil, kami bisa punya anak, tapi aku tidak mampu mendampinginya sampai besar, maukah kamu menolong Mas Pas menjaga anak kami, San""
"Sudahlah, jangan berpikir yang bukan-bukan. Aku akan berjuang sekuat tenaga supaya kamu dapat melihat dan membesarkan anakmu."
"Aku percaya padamu, San. Beruntung sekali aku memiliki sahabat seperti kamu dan suami seperti Mas Pas. Tuhan begitu baik padaku."
Tentu saja ibu Soiandra heran. Anaknya, baru saja pulang dari Amerika. Sekarang mau pergi lagi" Rasanya baru dua bulan....
"Ke Australia"" dia mengerutkan keningnya. "Jalan-jalan lagi" Perkawinanmu tidak sedang dalam masalah, kan""
"Nggak, Ma. Kami cuma ingin punya anak," sela Paskai sebelum istrinya menjawab.
Sekilas ibu Soiandra menatap menantunya. Wajah Paskai begitu serius. Walaupun dia berusaha menutupinya, ibu Soiandra menemukan
kemu raman melumuri parasnya. Ada apa"
Benarkah masalahnya hanya anak"
Sesudah sepuluh tahun perkawinan anaknya baik-baik saja, dia memang mulai yakin, menantunya berbeda dengan ayahnya yang brengsek itu. Tetapi melihat muramnya paras mereka, secercah kecurigaan mulai menjalari hatinya.
"Suamimu baik-baik saja"" tanya ibu Sojandra hati-hati ketika dia berada berdua saja dengan anaknya.
Baik, Ma, keluh Soiandra dalam hati. Saya
yang sakit! Tetapi di depan ibunya, Soiandra berusaha menampilkan sikap yang setenang mungkin. Seolah-olah memang tidak ada apa-apa.
"Mas Paskai baik-baik saja, Ma."
"Dia tidak macam-macam"" desak ibunya penasaran.
Sekarang Soiandra benar-benar tersenyum. Tulus.
"Mas Paskai suami yang paling baik, Ma. Setia. Jujur. Sangat mengasihi saya."
"Syukur kalau begitu. Hati-hati saja. Lelaki 'di awal empat puluh suka mulai macam-macam. Katanya memasuki masa puber kedua.
Krisis percaya diri sering membawa Jaki-Iakt mencari wanita yang lebih muda. Supaya mereka bisa membuktikan kepada dirinya, sendiri mereka masih tangguh dan jantan." Senyum Soiandra melebar. "Mas Pas tidak seperti itu, Ma. Lagi pula umurnya kan baru tiga lima." "Pulang, Andra"" tanya Paskai yang bara . saja melewati pintu depan.
Dia bara menyuruh taksinya parkir di depan pintu. Supaya Soiandra tidak usah jalan terlalu jauh. Padahal yang namanya jauh itu hanya beberapa meter!
Tapi Paskai memang begitu. Sejak tahu istrinya sakit, Soiandra sama sekali tidak boleh lelah.
"Pulang dulu ya, Ma," gumam Soiandra getir. Dirangkulnya ibunya sambil menahan tangis. "Mama mau oleh-oleh apa dari Australia" Bayi kanguru""
"Bayimu saja," sahut ibunya spontan membalas kelakar anaknya.
Dan dia tidak melihat betapa sedihnya Soiandra mendengar jawaban ibunya. Kalau saja Mama tahu! Dia ke Australia untuk membuang rahimnya!
"Betul kalian tidak mau nginap"" tanya ibunya di depan pintu rumahnya. "Masih banyak yang belum dibereskan, Ma.
Padahal lusa sudah harus berangkat." "Langsung ke bandara"" "Iya, Ma," Paskai yang menjawab. Dia meft-cium tangan mertuanya sebelum membimbing tangan istrinya.
Tetapi Soiandra melepaskan pegangannya. Dan memeluk ibunya sekali lagi.
Ketika anaknya sedang merangkulnya, entah mengapa tiba-tiba saja ibu Soiandra merasa hatinya berdebar tidak enak.
Apa ini, pikirnya ketika sedang mengawasi taksi mereka meninggalkan halaman rumahnya. Firasat apa" Mengapa hatiku terasa begini tidak enak"
*** Dari Jakarta, mereka membutuhkan hampir tujuh jam perjalanan untuk mencapai Sydney. Sesudah transit di bandara, mereka harus terbang satu jam dua puluh menit lagi ke Melbourne.
Sebenarnya Paskai ingin langsung mengungi Profesor Lawrence. Tetapi melihat kondisi j istrinya, dibatalkannya keinginannya.
Soiandra terlihat letih. Padahal waktu fee Amerika, dia sama sekali tidak kelihatan lelah.
Apakah karena suasana hati mereka saat itu" Perjalanan yang demikian jauh, memakan
waktu hampir dua puluh jam, tidak terasa melelahkan.
Betapa cepat masa-masa indah itu berlalu, pikir Paskai ketika sedang membimbing istrinya keluar dari bandara.
Soiandra bukan hanya terlihat lelah. Wajahnya juga pucat. Padahal Paskai tahu, dia masih berusaha keras tampil secantik dan sesegar biasa. Dia tidak mau kelihatan sakit. Untuk suaminya dan untuk dirinya sendiri, dia tetap ingin tampil cantik.
Ketika Paskai ingin minta kursi roda, j Soiandra menolaknya mentah-mentah.
"Aku masih kuat, Mas," bantahnya gigih. "Buat apa kursi roda""
Paskai memang membatalkan niatnya untuk memesan kursi roda sesampainya pesawat di bandara. Tetapi ketika melihat panjangnya antrean di counter imigrasi, dia menyesal sekali telah mengurungkan niatnya.
Sekarang dia melihat betapa lelahnya Soiandra
meskipun dia berusaha keras menutupinya.
Mengapa" pikir Paskai cemas. Mengapa kondisinya menurun secepat itu" Benarkah karena penyakitnya" Atau... dampak psikologis semata-mata"
*** Di Melbourne, mereka menginap di sebuah hotel kasino yang terletak di pusat kota. Di depan hotel itu, Sungai Yarra mengalir tenang. Sementara gedung-gedung pencakar langit tampil sebagai latar belakangnya.
Hotel mereka tidak jauh dari pusa
t perbelanjaan. Tetapi Soiandra sudah kehilangan gairah belanjanya. Dia memilih beristirahat saja di kamarnya.
Sementara Paskai juga sudah kehilangan minatnya untuk bermain judi. Padahal kasino terletak di bawah hotel mereka. B Mengapa hidup begitu cepat berubah" pikir Paskai ketika dia sedang memijati kaki istrinya yang sedang berbaring di tempat tidur. Tubuh Soiandra tidak kelihatan kurus. -Tubuhnya masih seelok dulu. Tapi dengan sedih
Paskai meyakinkan dirinya, di dalam tubuh
istrinya bersarang penyakit yang sangat menakutkan....
Tidak seperti biasa kalau sedang dipijati suaminya, kali ini kelakar Soiandra tidak terdengar sama sekali. Senyum manisnya juga menghilang bersama kemanjaannya. Ketika Paskai baru lima menit memijat, Soiandra sudah tertidur.
Sambil meneruskan pijatannya dengan lebih hari-hari supaya tidak membangunkan istrinya, Paskai mengawasi Soiandra dengan penuh cinta kasih.
Kecantikannya masih memesona. Kulitnya masih semulus biasa. Rambutnya juga masih sehitam dan selebat dulu. letapi sampai kapan Soiandra dapat mempertahankan semuanya"
Aku tidak peduli, Andra, bisik Paskai dalam hati. Aku tidak peduli sejelek apa pun kamu nanti, aku tetap mencintaimu! Dan cintaku tidak akan pernah berubah apa pun yang akan menimpamu!
*** Supaya tidak menambah keletihan Soiandra,
sengaja Paskai memesan makanan di kamar. Dia melarang Soiandra bangun, biarpun hanya
untuk duduk di meja dekat jendela.
Paskai menyusun bantal di ranjang dan memaksa Soiandra duduk bersandar di sana. Lalu dia duduk di sisi tempat tidur untuk menyuapi istrinya.
"Aku belum dioperasi, Mas," gurau Soiandra terharu. "Aku masih bisa makan sendiri." *j
"Tapi aku ingin menyuapimu. Nggak salah, kan" Masa menyuapi istri saja mesti nunggu dioperasi dulu. Aturan mana tuh""
Mereka saling bertukar senyum. Tapi mereka sama-sama tahu, betapa senyum mereka pun telah berubah. Biar masih semesra biasa, senyum itu kini menyimpan kegetiran.
Ketika Paskai sudah menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulut istrinya, Soiandra mengambil sendoknya. Dan menyuapkan sesendok lagi untuk Paskai.
Tidak sampai hati menolak, terpaksa Paskai membuka mulutnya lebar-lebar.


Solandra Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku ingin -ke Vegas lagi, Mas," gumam Soiandra ketika Paskai sedang membersihkan bibirnya dengan serbet. "Aku ingin ke Grand Canyon bersamamu."
157 "Kita akan ke sana," janji Paskai tegas. "Sesudah kamu sembuh."
"Mas bisa dapat cuti iagi""
"Persetan," Paskai keiepasan mengumpat. Sesudah mengumpat, dia baru menyesal. Karena Soiandra agak terperanjat mendengarnya.
"Mas tidak melanggar peraturan rumah sakit, kan"" tanyanya cemas. "Mas diizinkan mengambil cuti lagi" Curi tahunan Mas Pas kan sudah habis."
"Curi luar biasa. Kalau perlu, cuti di luar tanggungan."
Atau, persetan, cuti apa pun. Tidak ada yang dapat" menghalangiku membawamu ke mana pun kamu hendak pergi!
Soiandra memang tidak bertanya lagi. Tetapi dalam hatinya, Paskai ragu apakah dia masih dapat membohongi Soiandra. Jiwa mereka sudah melekat demikian dekat sampai berbohong pun rasanya sulit. Jangan-jangan dia sudah tahu, suaminya sudah berhenti kerja.
Memang tiap pagi Paskai masih berangkat seperti biasa. Seolah-olah dia masih kerja di rumah sakit. Tetapi kalau diperhatikan, pulangnya selalu lebih cepat. Kadang-kadang dia
hanya pergi selama dua jam. Setelah itu, dia
sudah tergopoh-gopoh pulang menemui istrinya.
"Tidak ada kerjaan," ,sahut Paskai kalau Soiandra bertanya mengapa dia bisa pulang
secepat itu. "Daripada godain suster, mendingan pulang godain istri sendiri, kan""
Soiandra hanya tersenyum menyambut kelakar suaminya. Kadang-kadang Paskai bertanya dalam hatinya, sudah tahukah Soiandra" Hanya dia tidak ingin menanyakannya"
*** Profesor Michael Lawrence sama sekali tidak menarik, kecuali dia memiliki sekian banyak titel yang berderet menyemarakkan namanya.
Kalau tidak dalam keadaan tertekan, Paskai pasti bertanya-tanya bagaimana Sania bisa jatuh hati pada laki-laki seperti ini. Matanya tidak melukiskan kecerdasannya. Tatapannya terlalu lunak. Kepalanya nyaris botak. Bibirnya tebal. Pipinya bulat. Perutnya, gendut. Tubuhnya pun pasti tidak lebih tinggi
dari Sania. Pendeknya, untuk urusan penampilan, kategorinya minus. Belum lagi umurnya, yang .
paling sedikit berbeda dua puluh tahun dengan Sania.
Jadi apa yang menarik dalam dirinya yang membuat Sania terpikat" Padahal Sania begitu pemilih. Kalau tidak, masa dia masih melajang sampai berumur tiga puluhan"
Kesepian" Atau... kebersamaan yang mereka jalani sehari-hari"
Profesor Lawrence tidak banyak bicara. Tetapi baik kata-katanya maupun caranya melakukan pemeriksaan menunjukkan profesionalitasnya. Paskai langsung menaruh respek dan kepercayaan padanya. Dia merasa mendapat harapan lagi. Harapan kesembuhan bagi Soiandra.
"Aku percaya padanya, Andra," kata Paskai dalam taksi yang membawa mereka ke laboratorium untuk memeriksa darah. "Aku yakin dia dapat menyembuhkanmuv"
"Aku percaya pada Tuhan, Mas," sahut Soiandra mantap seperti biasa. "Kalau Dia j mau, Dia dapat menyembuhkanku. Walaupun tanpa operasi."
"Tuhan akan meminjam tangan Profesor Lawrence," sergah Paskai cepat. "Karena Tuhan tidak bisa turun tangan sendiri membedah
"Tuhan tidak perlu membedah. Dia hanya
perlu mengacungkan jari-Nya." Ya sudah,*kata Paskai dalam hati. Apa pun
katamu. Tapi operasi sudah disiapkan. Harinya sudah ditentukan. Hari Senin minggu depan. Dan Soiandra kelihatan sedih walaupun dia berusaha menutupinya.
Profesor Lawrence sudah menjelaskan prosedur operasinya. Sudah menjelaskan apa saja yang harus dilakukan menjelang hari operasi. Kapan Soiandra mesti masuk rumah sakit. Apa saja yang harus dipersiapkan.
Dia juga sudah menjelaskan dengan gamblang berapa biaya yang dibutuhkan. Tidak peduli mereka teman-teman baik perempuan yang pernah jadi teman sekamarnya. Tidak peduli mereka seprofesi. Dalam hal ini, dokter-dokter di Indonesia memang masih lebih murah hati. Banyak di antara mereka yang masih menghargai etika profesi. Membebaskan teman sejawat dari biaya pengobatan.
Jumlah biaya yang dibutuhkan untuk operasi Soiandra hampir setara dengan jumlah biaya yang diperkirakan Sania. Jadi Paskai tidak khawatir. Dia'sudah siap. Soiandra yang agak
Menyesal juga dia tidak mengizinkan Paskai memberitahu ibunya. Kaiau uangnya sampai kurang, kepada siapa suaminya* harus berutang"
"Jangan pikirkan biayanya," sahut Paskai tenang tapi mantap. "Sania sudah memperkirakan berapa biaya yang dibutuhkan. Jadi aku sudah siap." Tapi dari mana Mas dapat uangnya"" "Jangan khawatir. Kamu tahu beres saja. Jangan penuhi pikiranmu dengan yang tidak perlu. Supaya daya tahanmu tidak turun. *
Paskai memang mempersiapkan istrinya dengan sebaik-baiknya menjelang hari operasi. Dia memberikan makanan yang terbaik. Memaksa Soiandra makan sebanyak-banyaknya biarpun dia tidak matt
"Lupakan dietmu. Kamu harus makan i banyak supaya kuat."
"Dan jadi gendut supaya Mas tambah nggak suka"" Soiandra pura-pura merajuk. "Sudah perutnya penuh parut, gembrot lagi."
"Siapa bilang" Aku suka kok yang berisi. Supaya mantap kalau dipeluk." "Mas mau memelukku"" tanya Soiandra hotel mereka.
"Kenapa tidak" Ini permintaan yang kutunggu-tunggu." "Tapi aku punya perasaan, Mas agak takut
memelukku malam ini. Takut keterusan ya""
"Siapa bilang tidak boleh begituan menjelang operasi" Kalau tidak terlalu capek, tidak dilarang kok."
"Tapi aku cuma ingin dipeluk, Mas. Supaya bisa tidur nyenyak. Tidak diganggu mimpi buruk."
Tanpa diminta lagi, Paskai memeluk istrinya. Ya, memang cuma itu yang dapat dilakukannya malam ini, seandainya pun dia ingin lebih. Perdarahan Soiandra masih banyak. Rasanya perdarahan itu tidak pernah berhenti satu hari pun.
Soiandra membalas pelukan suaminya. Dan dia dapat merasakan ketakutan Paskai. Ketakutannya akan kehilangan istrinya.
Ya Tuhan, bisik Soiandra dalam hati. Jika mungkin, jangan renggut aku dari pelukan suamiku. Aku tidak tega meninggalkannya. Tapi jika itu bukan kehendak-Mu, biarlah ke-hendak-Mu saja yang terjadi.
Rumah sakit tempat Soiandra dioperasi tidak terlalu besar. Juga tidak menampilkan kemegahan apalagi kemewahan. Dibandingkan dengan rumah sakit kelas satu di Jakarta, hampir tidak ada artinya.
Tetapi rumah sakit itu bersih. Dan tenaga medis maupun paramedisnya mena
mpilkan profesionalitas yang tinggi. Meskipun terkesan agak materialistis karena pasiennya orang asing yang tidak membayar dengan asuransi, Paskai tidak peduli. Dia tidak sempat menganalisis karena sedang tegang menunggu saat operasi.
Paskai memegang tangan Soiandra ketika brankarnya didorong masuk ke kamar perawatan. Kamar itu tidak terlalu besar. Dan diperuntukkan bagi dua orang pasien.
Soiandra mendapat ranjang di dekat pintu masuk Di dekat jendela, berbaring wanita separo baya yang tampaknya baru menjalani operasi.
Di seberang ranjang Soiandra ada WC merangkap kamar mandi. Sementara di atas kepaknya, agak jauh ke arah kaki, tergantung TV berukuran dua puluh satu inci.
Di samping tempat tidur ada meja kecil, lemari, dan kursi. Paskai duduk di sana selama
perawat mempersiapkan Soiandra untuk operasi esok pagi.
Profesor Lawrence tidak muncul malam itu. Tetapi ahli anestesi dan dokter jaga datang untuk, mengajukan beberapa pertanyaan dan melakukan pemeriksaan singkat.
Lalu Paskai harus meninggalkan istrinya di sana. Dan pulang ke hotelnya.
Ketika sedang naik taksi seorang diri ke hotel, tak tertahankan air mata yang selama ini dipendamnya baik-baik meleleh ke pipinya.
*** Kamar hotelnya terasa sangat sepi. Begitu masuk, Paskai seperti masih mencium aroma parfum istrinya. Ketika duduk di tepi tempat tidur, bayangan tubuh Soiandra pun masih serasa jelas terbaring di sana.
Baju tidurnya. Kopernya. Alat-alat makeup-nya. Semuanya mengingatkan Paskai padanya.
Bagaimana aku bisa kehilangan kamu, pikir Paskai sedih. Semua benda mengingatkanku padamu. Kamu terbayang ke mana pun mataku memandang. Kamu hadir di setiap helaan napasku!
Tanpa membuka bajunya lagi Paskai membaringkan tubuhnya di ranjang. Dia merasa letih. Tapi yang paling dirasakannya bukan itu.
Dia merasa kesepian. Kehilangan. Tidak tahu harus melakukan apa.
Tidur rasanya tidak mungkin. Nonton TV tidak kepingin. Bahkan main judi pun tidak menarik lagi. Tidak ada semangat. Untuk mengisi perut sekalipun. Padahal sejak siang dia belum makan.
Paskai tertelentang bisu di tempat tidurnya. Menatap kosong ke langit-langit kamarnya.
Apa yang harus kulakukan tanpa Soiandra" Berpisah semalam saja rasanya aku sudah kehilangan seluruh gairah hidupku! Malas melakukan apa pun.
Sedang apa Soiandra sekarang" Bisa tidur nggak kamu, Sayang"
Paskai membayangkan istrinya berbaring seorang diri di ranjang rumah sakit. Tegang, mungkin juga takut, menunggu hari esok.
Ah, seandainya dia boleh menemani! Seandainya mereka bisa tidur bersama malam Seandainya dia bisa memeluk Soiandra.
Membisikkan dia akan selalu berada di dekatnya....
Dalam pakaian rumah sakit yang berwarna putih, wajah Soiandra tampak begitu pucat ketika ditinggalkan tadi. Matanya menyimpan kesedihan yang bercampur kecemasan ketika mereka harus berpisah.
Tetapi dia masih berusaha tampil tegar. Masih berusaha menyembunyikan kesedihannya. Mungkin untuk menghibur suaminya. Supaya Paskai tidak bertambah sedih. Supaya dia bisa lebih tenang meninggalkannya.
Soiandra tahu sekali bagaimana perasaan suaminya. Dia dapat merasakannya.
"Pulanglah," pinta Soiandra ketika Paskai belum mau juga meninggalkannya. Belum mau juga melepaskan tangannya. "Sudah malam. Jauh juga kan ke hotel kita."
"Besok aku pindah ke apartemen yang lebih dekat," sahut Paskai sambil mencium tangan istrinya. "Supaya bisa lebih lama berada di dekatmu. Kalau tidak diusir, aku mau tidur di luar."
"Jangan, Mas. Pulang saja. Istirahat. Nanti Mas sakit. O ya, Mas Pas belum makan, kan" Makan, ya" Janji""
Paskai hanya mengangguk. Padahal dia tidak peduli sudah makan atau belum. Perutnya tidak terasa lapar sama sekali.
"Mas pulang sekarang, ya" Supaya bisa istirahat. Hawanya dingin begini, takut sakit. Jangan lupa berdoa ya, Mas. Minta Tuhan menolong kita."
Benarkah Tuhan mau menolongmu" pikir Paskai skeptis. Kalau Tuhan sayang padamu, mengapa kamu harus sakit" Kamu terlalu baik untuk dihukum seberat ini!
Lagi pula... di mana Tuhan berada" Ke mana aku harus mencari-Nya" Bagaimana aku bisa minta sesuatu pada yang tidak kelihatan"
Bab XI ERASI Soiandra berlangsung sukses. Profe
sor Lawrence sangat puas dengan keberhasilannya.
Dia sudah siuman," katanya sekeluarnya dari teater, istilah mereka untuk ruang operasi. Kondisinya cukup baik. Sebentar lagi dia dibawa ke kamar. Anda boleh tunggu di sana" "Terima kasih, Dok," sahut Paskai lega. Rasanya dia ingin melompat-lompat untuk menyatakan kegembiraannya. Tapi dia takut diusir keluar. Suasana di sana sangat sepi. Hanya tiga orang yang sedang duduk di ruang tunggu. Dan mereka tampaknya sangat tenang. Sangat diam. Tidak ada yang bicara. Tidak ada yang membuat keributan.
Semuanya sedang duduk membaca seperti di ruang perpustakaan. Sekali-sekali ada perawat yang berjalan keluar. Tetapi bahkan langkah sepatunya tidak terdengar.
"Berapa lama rencana perawatannya, Dok""
"Lima hari kalau tidak ada komplikasi." '
Lima hari. Paskai menarik napas lega. Sesudah itu mereka akan berkumpul lagi. Dan tidak akan berpisah untuk selamanya____
Bergegas dia melangkah ke kamar Soiandra. Tempat tidurnya masih kosong. Paskai duduk menunggu dengan gelisah di kursi di sisi tempat tidur.
Suara roda tempat tidur yang membawa Soiandra ke kamar hampir tidak terdengar. Tetapi bahkan ketika Soiandra masih berada sepuluh meter jauhnya, Paskai sudah dapat merasakan kehadirannya.
Dia sudah bangkit sebelum pintu kamar terbuka. Dan ketika tempat tidur itu didorong masuk, dia sudah menghambur ke pintu.
Ketika pertama kali melihat Soiandra terbaring dengan mata terpejam di atas tempat tidurnya, Paskai hampir menjerit saking takutnya.
Wajah Soiandra begitu pucat. Belum pernah Paskai melihat parasnya sepucat itu, bahkan ketika dia baru selesai menjalani laparoskopi. Tanpa menghiraukan perawat-perawat yang
menyertainya, Paskai maju mendekat untuk memegang tangan istrinya.
"Sayang," bisiknya dengan suara tersekat di tenggorokan. Rasanya dia ingin menangis. Ingin meratap saking sedihnya.
Tangan Soiandra begitu dingin. Dan dia tidak bereaksi. Seolah-olah dia tidak mendengar panggilan orang yang paling disayanginya. I
Tetapi ketika perawat memeriksa kateternya, dia melenguh seperti merasa sakit. .'Paskai menggenggam tangannya erat-erat seolah-olah hendak memberitahu istrinya, dia berada di sampingnya.
Soiandra hanya membuka matanya sekejap. Ketika mata mereka berpapasan, Paskai seperti dapat merasakan kesakitan yang terpancar dari mata itu. Tidak sadar dia ikut mengeluh. Ikut merasa sakit di perutnya. Di dadanya. Di sekujur tubuhnya.
Ketika Soiandra memejamkan lagi matanya, Paskai ingin memeluknya erat-erat. Ingin mengguncang lengannya. Ingin mencegahnya terlelap kembali. Dia takut mata Soiandra takkan pernah terbuka kembali. Dia takut Soiandra meninggalkannya. Dia takut Soiandra takkan pernah sadar lagi....
Rasanya sikapnya saat itu bukan sikap pro-ionai seorang dokter. Dia lebih mirip orang awam yang panik. Orang yang tidak tahu apa-apa Yang ada di kepalanya cuma rasa takut. Takut istrinya tidak pernah siuman lagi. Takut Soiandra tidak bisa mengatasinya. Paskai begitu takut kehilangan dia!
Paskai menunggu di sisi pembaringan istrinya sampai tengah malam. Kondisi Soiandra pasca-bedah tidak terlalu baik. Kesadarannya masih berkabut. Menjelang malam suhu tubuhnya malah cenderung naik.
Dokter dan perawat silih berganti memonitor keadaannya. Menjelang tengah malam dia diberi transfusi darah dan oksigen.
Paskai cemas sekali melihat kondisi istrinya. Dia sudah memohon agar dibiarkan menunggu di samping pembaringan Soiandra. Tetapi perawat melarangnya. Dia dipersilakan meninggalkan kamar.
Terpaksa Paskai duduk di ruang tunggu. Karena dia tidak mau pulang. Dia ingin berada di dekat Soiandra. Sedekat yang diizinkan.
Udara malam itu sangat dingin. Paskai harus merapatkan jaketnya untuk mengusir hawa dingin yang menusuk tulang. Dia ingin menekuk kakinya untuk menghangatkan badan. Tetapi tungkainya terlalu panjang. Kursi sekecil itu tidak muat untuk tempat kakinya, jadi
terpaksa Paskai merosot di kursi. Sekadar meluruskan pinggangnya.
Semalaman Paskai tidak dapat tidur. Pikiran-l^a terus melayang kepada istrinya.
Bagaimana keadaan Soiandra" Mampukah dia melewati masa kritis pascabedah"
Ah, seandainya ada seseorang di sampingnya! Ada seseorang tempatnya berkeluh kesah. Seandainya Sania ada di sini!
Sania. Tiba-tiba saja dia teringat sahabatnya. Mengapa dia belum memberi kabar juga" Berhasilkah ovulasi in vitro yang dilakukannya"
Ketika Paskai menanyakannya sesaat sebelum berangkat ke Melbourne, Sania seperti .menghindar. Dia seperti tidak ingin memberitahukan hasilnya.
"Masih kuusahakan," katanya mengelak. "Tunggu saja hasilnya."
Burukkah hasilnya" Sania hanya tidak ingin mengatakannya supaya tidak menurunkan semangat Soiandra"
"Konsentrasikan saja pikiran kalian pada operasi Soiandra," katanya ketika Paskai mendesak terus. "Yang lain serahkan padaku."
Gagalkah pembuahan itu" Atau... memang belum saatnya diketahui hasil akhirnya" Kadang-kadang proses yang kelihatannya bakal gagal, malah berhasil ketika dokter sudah hampir putus asa.
Sembuh itu suatu mukjizat, Mas. Tapi punya anak darimu juga suatu mukjizat.
ku keyakinan Soiandra. Diucapkannya dengan mantap. Dengan penuh keyakinan.
Mungkinkah Tuhan mengabulkan kedua-duanya" Kalau boleh memilih, rasanya Paskai akan memilih yang pertama. Karena kesembuhan Solandnttidak dapat dibandingkan dengan apa pon!
Tentu saja Paskai ingin- punya anak. Tapi apa artinya anak tanpa kehadiran Soiandra" Mampukah dia merawat anak itu, .membesarkannya, dan membahagiakannya"
Bagaimana dia mampu mengurus orang lain, anaknya sekalipun, kalau mengurus diri sendiri saja dia sudah enggan" Tanpa Soiandra, Paskai rasanya sudah tidak ingin hidup lagi!
Pukul lima pagi, Paskai sudah diizinkan menengok istrinya. Dia setengah berlari ke kamar
Soiandra. Dan melihat kondisi istrinya yang sudah jauh lebih baik dari tadi malam, Paskai
merasa bersyukur sekali. Soiandra sudah sadar penuh. Hanya masih lemah. Ketika melihat siapa yang datang, dia mengulurkan tangannya. Tetapi tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. "
Paskai menggenggam tangan, istrinya. Membawanya ke mulutnya dengan hati-hati. Dan menciumnya dengan penuh kasih sayang.
"Penyakit laknat itu sudah lenyap dari tubuhmu, Andra," bisik Paskai lembut. "Mulai hari ini kita mulai babak kedua hidup kita. Babak yang lebih indah dari babak pertama yang pernah kita alami bersama."
Soiandra tidak menjawab. Tapi sorot matanya mengatakan, dia mengerti apa yang dikatakan suaminya. Dan dia merasa sangat bersyukur.
Setelah mengalami begitu banyak penderitaan, setelah melewati puncak ketakutan di ambang pintu bedah, Soiandra memang menjadi jauh lebih kuat. Lebih tabah. Lebih tegar. Seperti tidak ada lagi yang ditakutinya.
Tetapi ketika Paskai membawanya pulang
ke apartemen sewaan mereka lima hari kemudian, tak urung Soiandra tak dapat menyembunyikan lagi kesedihannya.
"Aku bukan lagi wanita yang sempurna, Mas," desahnya lirih ketika Paskai membaringkannya di tempat tidur. Begitu hati-hati seolah-olah khawatir menyakiti bekas operasi di perut istrinya.
"Kamu ngomong apa sih"" keluh Paskai berlagak kesal meskipun dia tahu apa maksud Soiandra. "Kalau aku belum merasakan nikmatnya ciumanmu di taksi tadi, kukira kamu masih dipengaruhi efek obat bius."
"Aku tidak bisa lagi menjadi ibu anak-anakmu, Mas," gumam Soiandra getir tanpa menghiraukan seloroh suaminya. "Apa artinya perempuan tanpa rahim, tanpa indung telur, seperti aku ari""
"Aku tidak peduli kamu tidak punya apa-apa lagi sekalipun, Andra," Paskai mencium bibir istrinya dengan penuh kasih sayang. "Asal jantungmu masih berada di -adamu untuk tempatku berlabuh,"
"Aku ingin ada yang menggantikanku mendampingimu jika aku harus pergi, Mas."
"Kamu tidak akan pergi ke mana-mana
tanpa aku." Tapi saat itu pun Soiandra seperti sudah punya firasat, waktunya tidak akan lama lagi. Perjanjiannya dengan Tuhan sudah hampir tiba. Dia harus kembali ke rumah Tuhan yang sangat dikasihinya.
Soiandra menolak keinginan suaminya untuk menemui onkolog yang dianjurkan Sania. Menolak rencana terapi lanjutan yang seharusnya dijalaninya sesudah pembedahan.
"Aku ingin pulang, Mas," desahnya lirih. Ingin tahu apakah spermamu sudah berhasil membuahi ovumku. Sania tidak mengirim kabar, kan""
"Ah, dia pasti repot," sahut Paskai mantap. "Sania mema
ng begitu. Gampang lupa. Apalagi sekarang, sesudah pasiennya numpuk."
"Tapi teleponmu tidak diterima. Aku khawatir____"
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku yakin Sania pasti berhasil. Heran, dulu dia tidak pintar-pintar amat. Kenapa sekarang jadi pandai ya" Apa ketularan suaminya yang botak
itu"" Tetapi Soiandra tidak membalas kelakar
suaminya seperti biasa. Dia berkeras ingin pulang.
'Tentu. Kita bisa puJang sesudah terapimu selesai."
"Aku ingin pulang sekarang, Mas. Ingin menikmati sisa hidupku bersamamu. Bukan bersama dokter."
Tentu saja," Paskai pura-pura tertawa cerah. Tapi karena dia tidak pandai menyembunyikan perasaannya, tawanya malah terdengar sumbang. "Dokter mana yang bisa dibandingkan dengan suamimu" Nggak level, kan""''_'
Akhirnya Paskai terpaksa membawa istrinya pulang ke Jakarta. Dan hal pertama yang ingin dilakukan Soiandra sesudah sampai di rumah adalah menjumpai Sania.
"Besok kita temui dia di rumah sakit," kata Paskai ketika dia sedang memandikan istrinya. . Hatinya pedih ketika melihat bekas jahitan yang baru saja dibuka di perut istrinya. Tetapi disembunyikannya matanya. Supaya tatapannya tidak membocorkan perasaannya. "Sania pasti tidak bisa bersembunyi lagi. Biar kita jitak kepalanya. Siapa suruh tidak mau menerima telepon kita."
"Mungkin dia cuma tidak ingin menyampaikan kabar buruk kepada kita, Mas." "Ah, Sania justru terbalik," sahut Paskai
sambil tersenyum. Dikeringkannya tubuh istrinya. Direkatkannya perban baru di bekas jahitan operasi di perut Soiandra. "Sania yang kukenal malah selalu menyembunyikan kabar baik. Menundanya supaya kita tambah gemas."
Tetapi Sania yang mereka temui keesokan harinya tidak menyembunyikan kabar baik. Setelah tidak mampu menghindar lagi, dia terpaksa berterus terang.
"Maafkan aku, Andra," katanya tanpa berani membalas tatapan sahabatnya. Tatapan yang begitu penuh harapan. "Aku tidak ingin me-ngecewakanmu. Apalagi pada saat kamu tidak boleh stres."
"Kami gagal"" desis Soiandra pahit. Bibirnya bergetar. Air matanya berlinang.
Paskai melingkarkan lengannya di bahu istrinya. Tidak sampai hati menyaksikan kekecewaan Soiandra.
"Bukan kamu yang gagal, Dra," gumam Sania lirih. "Aku."
"Bukan salahmu, San. Barangkali ovumku' memang jelek."
Ovulasinya yang gagal, San"" tanya Paskai urung. "Atau nidasinya"" Ovulasinya," sahut Sania tersendat. "Maafkan aku."
"Bukan saiahmu, San," sela Soiandra sambil menyentuh tangan sahabatnya dan menggenggamnya dengan tulus. "Kamu sudah berusaha Barangkali memang Tuhan belum menghendakinya. Jangan menyalahkan curimu, San." .
"Katamu dulu kalau mukjizat yang pertama gagal, Tuhan pasti akan memberikan mukjizat yang kedua, kan"" Paskai meraih tubuh istrinya ke dalam pelukannya dan mengecup pipinya dengan lembut. "Nah, kita sedang merasakan mukjizat yang kedua. Kamu sudah sembuh. Kamu sudah lahir kembali, Andra. Jangan sia-siakan hidup kedua kita. Mari kita nikmati seoptimal mungkin."
Bab XII t7 ASKAL menepati janjinya. Dia meninggalkan segalanya. Pekerjaan. Hobi. Teman-teman. Dia menghabiskan waktu hanya bersama istrinya.
Soiandra juga sudah meninggalkan praktik-nya. Dia mengisi hidupnya hanya dengan suami dan Tuhan-nya.
Mereka sengaja tidak memberitahu siapa pun. Mereka merahasiakan penyakit Soiandra. Tidak mengatakannya kepada keluarga maupun teman.
Supaya tamu tidak berbondong-bondong datang menjenguk. Teman-teman tidak menelepon tanpa henti. Keluarga tidak datang menemani dari pagi sampai malam.
Mungkin maksud mereka memang baik. Menyatakan simpati. Perhatian. Doa.
Tapi buat orang yang menderita penyakit
Seperti Soiandra, didatangi banyak orang bukan selalu berarti hiburan. Kadang-kadang melayani mereka sangat melelahkan. Dan harus mengulangi riwayat penyakitnya kepada setiap tamu yang menjenguk, sungguh bukan hal yang menyenangkan.
Paskai dan Soiandra memilih menutup mulut. Menyembunyikan penyakit Soiandra. Dan menikmati hidup berdua saja.
Hari-hari terakhir mereka terasa sangat berkesan. Setiap hari mereka merasa semakin dekat.
Soiandra bersyukur kepada Tuhan untuk setiap hari yang ditambahkan pada umurnya. Dia juga bersyukur masih
diberi kesempatan melayani suaminya. Masih diberi waktu untuk melimpahkan kasih sayang padanya.
Hidup terasa begitu indah. Sekaligus begitu cepat berlari. Pada akhir tahun yang kedua, anak sebar kanker Soiandra sudah mencapai paru-parunya. Dia memang tidak merasakan apa-apa, kecuali batuk yang tak kunjung sembuh. Tetapi dia tetap menolak segala macam terapi yang dianjurkan dokter.
Sayangnya saat itu Sania sudah kembali ke Australia. Dia rujuk dengan pasangannya hanya dua bulan sesudah operasi Soiandra. Paskai
jadi tidak punya teman untuk membantunya
membujuk Soiandra berobat.
"Buat apa lagi," katanya lirih. "Buat apa menambah beberapa bulan umurku kalau harus menderita""
"Tapi beberapa bulan itu sangat berarti untuk kita, Andra!" sergah Paskai antara marah dan sedih.
Marah karena merasa hidup ini begitu kejam padanya. Pada istrinya. Pada mereka. Sedih karena saat yang paling ditakutinya itu sudah menghadang, di depan mata. Saat perpisahan dengan orang yang paling dicintainya.1 Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa!
"Justru karena saat-saat terakhir ini. sangat berharga untuk kita, Mas," bisik Soiandra lembut. "Aku tidak mau kehilangan sedetik pun kebersamaan kita!"
"Tapi kita tidak boleh menyerah begitu saja, Andra!" desah Paskai putus asa. "Kita harus terus berusaha menyingkirkan penyakit jahanam ini!"
"Dengan meredam sakit, kurus kering, dan botak" Tidak, Mas. Kalau aku harus pergi, aku ingin meninggalkanmu secantik ketika pertama kali Mas melihatku."
"5ofandraJ" Paskai hampir tidak mampu lagi menahan air matanya.
Mengapa hidup begitu kejam pada mereka" Apa salah mereka sebenarnya" Cinta mereka begitu tulus. Mengapa justru harus diakhiri setragis ini"
"Jangan sedih, Mas," Soiandra membelai wajah suaminya dengan penuh kasih sayang.
Ketika merasakan jari-jemari istrinya yang halus itu, Paskai harus menggigit bibirnya erat-erat supaya air matanya tidak mengalir. Berapa lama lagi dia dapat merasakan kelembutan belaian tangan istrinya" Ke mana dia harus mencari belaian yang demikian dirindukannya kalau Soiandra sudah pergi nanti"
"Aku tidak mau kehilangan kamu, Andra.'" desis Paskai getir.
"Jika sudah sampai waktunya, tidak seorang pun dapat mencegahnya, Mas. Waktu yang sudah dijanjikan itu tidak dapat diundur sedetik pun..."
"Omong kosong!" sergah Paskai geram. "Kaku begitu buat apa manusia berobat" Buat apa ada dokter""
Buat apa aku susah payah belajar" -Buat apa
aku berjuang untuk menjadi dokter" Menyembuhkan istriku sendiri saja aku tidak mampu!
Bahkan mengundurkan saat kematiannya saja
aku tidak bisa! "Manusia bisa berusaha, Mas," sahut Soiandra lembut. Bahkan pada saat terakhir hidupnya, ketika Tuhan yang sangat dipercayainya pun seolah sudah meninggalkannya, dia masih tetap memperlihatkan keteguhannya. Kepercayaannya. Kesabarannya. Penyakit yang seganas apa pun tampaknya tidak mampu meruntuhkan imannya. Tidak mampu membuatnya lebur dalam ketakutan dan keputusasaan. "Tapi Tuhan juga yang menentukan."
"Kalau begitu jangan menyerah, Andra," pinta Paskai pilu. "Biarkan aku membawamu berobat."
"Tidak ada gunanya lagi, Mas. Jika Tuhan ingin menyembuhkanku, aku bisa sembuh tanpa obat apa pun. Tapi jika waktuku sudah sampai, aku tidak takut menghadap ke hadiratNya."
"Aku yang takut, Andra! Aku takut kehilangan kamu!"
"Jangan takut, Mas. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Karena seandainya jantung
ini berhenti berdenyut sekalipun, cintaku padamu takkan pernah matt,"
Akhirnya Paskai menyerah. Dia membiarkan Soiandra memilih cara yang diinginkannya untuk menikmati saat-saat terakiiir hidupnya.
Paskai menjual apa saja yang masih dapat dijualnya. Dan dia memakai uang yang dimilikinya untuk membahagiakan istrinya.
Dia tidak memedulikan panggilan ayahnya yang sudah berbulan-bulan menuntut janjinya.
"Suatu hari aku akan datang ke kantornya,." katanya pada adiknya yang sudah berkali-kali menelepon untuk menyampaikan pesan ayah mereka. Karena Paskai memang selalu menghindar kalau ayahnya yang menelepon. "Saat itu Papa boleh menyuruhku berbuat apa saja."
Karena saat itu aku memang sudah mati. Hidupku tidak berarti lagi. Persetan Papa i
ngin menyuruhku bekerja di mana saja. Sebagai apa. Digaji berapa. Aku tidak peduli!
"Papa bilang kamu pengecut," sambung Paulin kesal. Bosan karena disuruh-suruh terus
mengontak kakaknya. "Berani berutang, takut
bertanggung jawab!" "Bilang Papa, utangnya pasti kubayar lunas!" geram Paskai sengit.
"Bagaimana mau bayar, kalau datang saja kamu takut""
"Bukan takut, tapi aku tidak punya waktu!"
Paskai memang tidak punya waktu untuk mengunjungi ayahnya, kecuali ketika suatu hari Soiandra mengajukan suatu permohonan selesai mereka bermesraan.
"Mas, boleh aku minta sesuatu""
"Mintalah apa saja, Sayang," bisik Paskai mesra. "Akan kuberikan apa pun yang kamu minta."
Kecuali kesembuhan! Karena aku tidak mampu menyembuhkanmu! Aku tidak berguna! Mengalahkan penyakitmU saja aku tidak mampu biarpun aku seorang dokter!
"Bilang terus terang kaku permintaanku terlalu berat ya, Mas""
"Asal jangan minta aku kawin lagi," Paskai tersenyum pahit. "Karena dari sekarang sampai aku mati, istriku cuma kamu."
"Mas boleh menikah lagi kalau aku sudah tidak ada," Soiandra menyunggingkan seuntai
senyum haru. "Bukan berarti Mas Pas sudah tidak mencintaiku jika kelak Mas menemukan pengganti diriku..."
Tidak akan pernah," potong Paskai tegas. Tidak ada seorang pun yang dapat mengganti-kanmu."
"Aku malah lebih lega kalau ada seseorang yang dapat menggantikanku, Mas," kata Soiandra tulus.
"Bohong! Mana ada wanita yang mau disaingi."
"Mungkin selagi masih hidup, Mas. Tapi kalau sudah mati, aku malah senang kalau ada wanita yang bisa mencintai Mas Paskai. Mengurusmu. Memberimu anak..."
"Sudahlah! Hentikan omong kosongmu! Sekarang apa permintaanmu" Duren" Aku akan mencarinya sampai ke Thailand biarpun lagi nggak musim!"
Soiandra tersenyum manis. Diciumnya pipi suaminya dengan mesra. Paskai membalas ciuman istrinya dengan penuh kasih sayang. *
"Aku ingin ke Grand Canyon, Mas," bisik Soiandra lembut. "Apa permintaanku terlalu berat" Tabungan kita sudah habis, kan""
Sesaat Paskai tertegun. Soiandra jarang sekali
mengajukan permintaan. Apalagi kalau dia tahu permintaannya akan memberatkan Paskai. Tetapi saat ini dia minta sesuatu. Dan dia tahu, permintaan itu tidak mudah. Soiandra tahu uang mereka tidak banyak lagi.
Apakah... waktunya sudah hampir tiba" Apakah Soiandra sudah merasa... mereka hampir berpisah" Karena itu dia ingin berada di suatu tempat yang sangat berkesan bagi mereka"
Ketika melihat suaminya tertegun, Soiandra salah sangka. Dia mengira Paskai memikirkan biayanya. Karena itu sambil tersenyum manis dia merangkul suaminya.
"Maafkan aku, Mas," bisiknya di telinga Paskai. "Aku yang tidak tahu diri. Jangan pikirkan lagi permintaanku tadi. Di mana pun kita berada, asal bersamamu, aku sudah merasa bahagia. Lupakan Grand Canyon. Besok kita ke Surabaya, ya" Sudah kangen sama Mama." "Kita akan ke sana," sahut Paskai tegas. Seandainya aku harus merampok sekalipun, akan kukabulkan permintaanmu yang terakhir! "Minggu depan kita ke Grand Canyon. Mau cari batu kali lagi, kan""
Didekapnya istrinya erat-erat. Dipejamkan-nya matanya. Dan dibulatkannya tekadnya.
Tak seorang pun dapat mencegahnya lagi. Tak seorang pun mampu melerainya mengabulkan permintaan terakhir istrinya!
**" "Akhirnya!" cetus ayahnya sinis ketika melihat Paskai muncul di kamar kerjanya. "Akhirnya kamu berani datang juga! Sudah siap membayar utangmu" Bukan cara jantan bersembunyi seperti itu!"
Paskai tidak memedulikan ejekan ayahnya. Wajahnya sangat serius sampai ayahnya mengerutkan dahi.
Paskai duduk di kursi di depan meja tulis ayahnya. Dan meraih pulpen yang tergeletak di dekatnya.
"Saya butuh tiga ratus juta lagi, Pa," katanya sungguh-sungguh sambil menyodorkan pulpen ayahnya, "Kalau Papa ingin saya menandatangani surat perjanjian apa pun, saya akan menandatanganinya tanpa membaca isinya lagi."
"Khas penjudi yang kalah main," sindir ayahnya setelah rasa kagetnya hilang.
"Apa pun kata Papa," sahut Paskai dingin. "Ucapkan saja."
"Asal kamu dapat uang," sambung ayahnya sinis. "Tidak. Kali ini Papa tidak sudi memberimu uang lagi. Papa tidak rela perusahaan "R bangkrut untuk melunasi utang judimu!
" "Papa tahu tidak bakal bangkrut kalau hanya memberi saya tiga ratus juta!"
"Memang. Tapi Papa tidak mau memberimu uang lagi. Tidak sepeser pun!" Paskai menggebrak meja dengan kasar. "Papa mau lihat saya mati"" "Percuma mengancam ayahmu." Sekarang Paskai bangkit dari kursinya. Dia melangkah ke jendela. Dan mengangkat sebuah kursi di dekatnya. Ketika dia mengayunkan kursi itu ke jendela, ayahnya tahu, Paskai serius. Dia tidak main-main dengan ancamannya.
Kamar kerjanya terletak di tingkat dua puluh. Kalau Paskai membuang dirinya ke bawah, tak ada lagi yang dapat menolongr


Solandra Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya____ "Tunggu!" seru Agusti Prakoso antara marah dan cemas. "Kenapa kamu senekat ini"" "Papa sudah tahu jawabannya!" Paskai melemparkan kursinya dengan sengit. "Kalau Papa
lebih suka melihat mayat saya terkapar di bawah kantor Papa..."
"Berapa sebenarnya utangmu"" geram ayahnya penasaran. "Di mana kamu berjudi" Papa dengar kamu sudah tidak kerja, tidak praktik. Istrimu yang seperti malaikat itu tidak bisa mencu'dikmu" Mencegahmu main judi""
"Jangan sebut Soiandra seperti itu!" teriak Paskai gemas. "Atau saya hancurkan kantor ini!"
"Seperti apa"" balas ayahnya sama gemasnya. Lho, siapa dia sampai berani mengancam ayahnya seperti itu" "Papa kan bilang istrimu seperti malaikat! Tidak salah, kan" Katamu dulu dia sangat cantik, baik, dan suci! Dia tidak bisa memuaskanmu lagi sampai kamu harus memuaskan dirimu di meja judi""
"Papa mau berikan uang itu atau tidak""
"Ini yang terakhir!" Ayahnya menarik laci meja tulisnya dengan geram*. "Sesudah ini, masa bodoh di mana kamu mau bunuh diri, Papa tidak peduli!"
Agusti mengeluarkan buku ceknya. Dan menandatanganinya. Lalu dengan kasar dilemparkannya cek kosong itu ke atas meja.
"Kamu boleh mengisinya sendiri," katanya datar. "Asal kamu tahu saja, dananya tidak melebihi satu M."
"Mana kertas yang harus saya tanda tangani""
"Kertas apa""
"Kertas kosong. Papa boleh mengisinya apa saja."
' "Tidak perlu," sahut ayahnya dingin. "Tanda tangan penjudi apa artinya" Tanda tanganmu tidak berharga sepeser pun!"
Dengan sengit Paskai meraih sehelai kertas di atas meja tulis ayahnya. Lalu digoreskannya tanda tangannya di atas kertas kosong itu.
"Saya masih punya rumah," dengusnya kering. "Papa boleh memilikinya kalau saya tidak bisa membayar utang."
"Rumah yang masih kredit"" seringai di bibir ayahnya begitu menyakitkan. "Kalau bisa dijual, rumah itu pasti sudah ludes juga!"
Kata-kata ayahnya memang sangat mengiris hati. Tetapi paling tidak, ayahnya masih menyayanginya. Dia tidak rela Paskai bunuh diri di hadapannya. Dan dia masih sudi meminjamkan uangnya.
Dengan uang itu, Paskai dapat mengabt
gin an terakhir Soiandra. Membawanya Ice Pantai Barat Amerika. Tempat mereka mengecap bulan madu yang sangat berkesan.
Tetapi ketika Paskai hendak memulai perjalanan mereka seperti dulu, Soiandra menolak. Dia minta diantarkan langsung ke Las Vegas. Meskipun Soiandra tidak mengatakan alasannya, Paskai tahu apa sebabnya.
Soiandra takut dia tidak kuat lagi. Meskipun selama setahun terakhir ini dia tidak kelihatan sakit, Paskai tahu, tubuh istrinya semakin lemah.
"Kamu tidak mau berbasah-basahan lagi de- , ngan suamimu di Universal Studio""
"Takut masuk angin, "sahut Soiandra sambil tersenyum tipis.
"Bukan takut suamimu akan mematahkan rahang orang yang menertawakan bajumu yang basah""
"Soiandra tertawa kecil seraya membelai pipi suaminya dengan penuh kasih sayang. Kalau biasanya Paskai merasa nikmat, kali ini dia merasa sedih.
Pertanyaan itu tiba-tiba saja meruyak hatinya.
Siapa yang akan membelainya lagi jika
Soiandra sudah tidak ada" Ke mana dia harus mencari belaian sayang itu jika kekasihnya sudah pergi jauh"
"Aku ingin pergi ke mana saja bersamamu, Mas," gumam Soiandra lembut. "Tapi aku khawatir menyusahkanmu."
"Aku akan menggendongmu kalau kamu capek."
"Gendong saja aku ke bibir Grand Canyon." Tetapi Soiandra tidak perlu digendong. Dia hanya perlu dibimbing untuk mencapai tepi
jeram. Paskai sendiri merasa heran. Tiba-tiba saja dia seperti melihat Soiandra yang dulu. Kuat. Lincah. Riang. Entah dari mana dia memperoleh tenaganya. Padahal
perjalanan yang mereka tempuh cukup sulit. Dan panasnya matahari siang itu sangat menyengat.
Soiandra bukan saja mampu melangkah di jalan setapak yang berpasir panas dan licin. Dia juga sanggup melompat dari batu ke batu untuk mencapai bibir jeram.
Keringat bercucuran di wajah dan lehernya. Tetapi dia tidak tampak terlalu lelah. Dari mana dia memperoleh tenaganya" Benarkah sudah terjadi keajaiban"
ts a "Aku merasa berdiri di batas antara bumi
dan langit, Mas," gumamnya sambil memandang jauh Jce jurang terjaJ di bawah sana. Sinar matahari memantulkan aneka warna bebatuan. Ungu. Cokelat. Merah. "Jika Tuhan bisa menciprakan keindahan yang begini me- "mukau di bumi, Dia pasti memiliki Taman Firdaus yang lebih indah lagi di surga...."
"Buat apa berada di taman yang bagaimanapun indahnya kalau tidak bersama suamimu"" keluh Paskai parau sambil merangkul pinggang " istrinya.
Soiandra seperti baru terjaga dari pesona yang memukaunya. Dia menoleh. Dan menatap suaminya dengan mesra.
"Suatu hari kita akan berada bersama-sama di sana, Mas," bisiknya lembut. "Aku akan selalu menunggumu."
"Jangan ngomong begitu, Andra," bantah Paskai pahit. "Aku tidak ingin berada di mana pun tanpa kamu! Berjanjilah kamu akan sembuh dan selalu berada di sini, di sampingku!"
"Bukan aku yang menentukan saatnya, Mas." "Tuhan akan memberikan mukjizatl Mustahil Dia begitu kejam padamu, Andra! Kamu begitu baik! Begitu setia! Begitu taat kepada-Nya!"
"Dia sudah memberiku mukjizat, Mas," kata Soiandra khidmat. "Kalau tidak, mustahil aku bisa berada di sini."
Barangkali Soiandra benar. Hari itu dia tidak kelihatan lelah. Tidak kelihatan seperti orang sakit. Bahkan batuknya seperti menghilang entah ke mana. Padahal biasanya mengerjakan' pekerjaan yang ringan saja napasnya sudah memburu. Dia pasti merasa sesak napas walaupun di depan Paskai dia selalu berusaha menyembunyikannya.
Mereka menghabiskan sehari-semalam di Grand Canyon of Colorado sebelum kembali ke Las Vegas. Mereka menempati hotel yang dulu. Tetapi Soiandra tidak memuaskan hasrat belanjanya.
"Buat apa," katanya sambil tersenyum ketika Paskai menanyakannya. "Aku sudah punya segalanya. Mas tidak main""
"Katamu judi itu dosa, kan" Lebih baik aku menemani istriku saja. Supaya malaikatmu tidak repot mencatat daftar dosaku."
Mereka menghabiskan waktu bersama-sama. Tidak berpisah sekejap pun. Tetapi ketika
sedang mencumbu istrinya malam itu, untuk pertama kalinya Paskal merasa, saatnya sudah dekat.
Soiandra seperti tidak ingin Paskal melepaskan pelukannya meskipun kemesraan itu sudah berakhir. Dia bahkan seperti minta mereka mengulangi semuanya dari awal lagi. Padahal dua tahun terakhir ini mereka tidak pernah melakukannya secara maraton lagi. Paskal ta-kut istrinya terlalu lelah.
"Peluk aku erat-erat, Mas," desah Soiandra, masih terengah dalam kenikmatan. "Aku ingin terlelap dalam pelukanmu."
"Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Sayang," bisik Paskal sambil memeluk istrinya erat-erat dalam rengkuhan lengan-lengannya. "Takkan kubiarkan kamu pergi."
"Kalau suatu hari aku harus pergi sendiri, Mas, aku ingin tidak ada air mata yang mengiringi kepergianku," pinta Soiandra lemah lembut. "Supaya aku tidak usah menoleh ke belakang dan merasa berat meninggalkanmu."
"Kamu tidak akan pergi, Andra. Kamu tidak akan pernah pergi tanpa akut".
"Aku harus pergi lebih dulu, Mas. Ke tempat yang lebih indah dan abadi. Berjanjilah suatu
hari kamu akan menyusulku ke sana. Supaya tidak sia-sia penantianku."
Aku tidak tahu ke mana harus menyusulmu, tangis Paskal dalam hati. Karena aku tidak percaya ada hidup yang kedua!
Seperti memahami perasaan suaminya* Soiandra membelai pipi Paskal. Tetapi kali ini Paskal menangkap tangannya. Tidak tahan merasakan belaian yang dulu amat dinikmatinya. Digenggamnya tangan Soiandra erat-erat. Dikatupkannya rahangnya menahan perasaannya.
"Aku akan membimbingmu ke sana^ Mas," bisik Soiandra lembut. "Aku akan menunjukkan jalannya."
*** Paskal ingin membawa istrinya ke San Francisco. Ingin membawanya bermalam ke sebuah hotel mewah yang tarifnya ribuan dolar semalam. Mereka pernah melewati hotel itu du
lu. Pernah berangan-angan suatu saat kelak akan mencicipinya. Dan kini Paskal ingin menikmati angan-angan itu. Tetapi Soiandra minta diantarkan pulang.
- bahkan minta diantarkan ke rumah ibunya dua hari setelah mereka sampai di Jakarta.
"Kamu ingin mengatakannya pada Mama"" tanya Paskal murung.
"Tidak," sahut Soiandra tegas. "Biar Mama tidak usah tahu sampai saat terakhir."
Tapi Mama pasti menyesal, Andra. Mama akan menyalahkanku karena tidak sempat menikmati saat-saat terakhir bersamamu."
"Ini bukan saat untuk ditangisi, Mas. Aku tidak ingin bersedih melihat air mata Mama."
"Tapi lebih baik Mama menyiapkan diri daripada mendadak menerima kabar buruk." "Bukan kabar buruk, Mas." "Bukan kabar burukkah kehilangan kamu"" "Kalian tidak akan kehilangan aku, Mas. Aku akan selalu berada di dekatmu. Kamu akan merasakannya walaupun tidak melihat."
Kata-kata Soiandra memang semakin aneh. Seperti kelakuannya juga. Suatu hari Paskal menemukan istrinya sedang membereskan baju-bajunya dan memasukkannya ke dalam koper.
"Kamu mau ke mana, Andra"" cetus Paskal heran. "Mau jalan-jalan lagi""
Soiandra mengangkat wajahnya dan tersenyum manis. Melihat senyum itu, Paskal harus
mengakui, tak ada yang berubah dalam dirinya.
Dia masih tetap secantik ketika pertama kali
Paskal melihatnya. Soiandra memang ingin tampil seperti itu sampai saat terakhir hidupnya. Dan tampaknya keinginannya yang satu ini terkabul.
Tubuhnya masih tetap ramping dan seksi. Tidak berubah menjadi kurus kering seperti pasien-pasien yang mengidap penyakit yang sama. Wajahnya tetap ayu dan mulus. Rambutnya hitam dan lebat seperti yang selama ini dikagumi Paskal. Bahkan senyumnya masih tetap semanis dulu. Penderitaan seakan-akan tak pernah menyentuhnya.
"Mau ke mana lagi, Mas"" balasnya lembut. "Kan sudah pergi ke tempat-tempat nostalgia kita."
"Bilang saja kamu mau ke mana, Andra. Aku akan membawamu ke sana. Katamu kamu ingin melihat Machu Pichu, kan" Mari kita ke sana, biar aku harus menggendongmu sekalipun."
"Rasanya sudah terlambat, Mas. Yang kuinginkan sekarang cuma bermalas-malasan di rumah bersama suamiku."
Tapi aku tidak mau menunggu maut
:u-di di rumah saja, Andra! Mari kita berjuang mencari kesembuhanmu.' Jika medis sudah tidak
mampu, kita cari pengobatan alternatif) Tetapi Soiandra tetap menoiak. "Jika Tuhan ingin aku sembuh, Dia mampu menyembuhkanku tanpa pengobatan apa pun. Dia hanya perlu menjentikkan jari-Nya. Tapi jika saatku sudah riba, aku sudah siap."
Soiandra mungkin sudah siap. Dia sudah pergi ke tempat yang diinginkannya. Dia sudah menemui ibunya. Sudah tinggal seminggu di sana sambil mengobrol panjang-lebar sampai Mama sendiri heran.
"Ada apa, Dra"" tanya ibunya seperti punya firasat buruk.
"Ada apa kenapa, Ma"" balas Soiandra berlagak bodoh.
"Kamu kelihatannya lain." ; i
"Lain bagaimana, Ma". Masa nggak boleh ngobrol sama Mama" Sudah lama kita nggak ketemu, kan" Andra kangen sama Mama."
Mama juga kangen. Tapi kenapa rasanya ada sesuatu yang berbeda" Bahkan cara Soiandra memeluknya terasa berbeda. Soiandra seperti ingin menyampaikan sesuatu. Atau... dia bukan saja ingin menyampaikan sesuatu.
Dia ingin memeluk ibunya untuk... untuk
apa" Ada sesuatu dalam pelukan anaknya yang
membuat ibu Soiandra merasa resah. Firasatnya sebagai seorang ibu terusik ketika Soiandra memeluknya demikian erat dan lama. Bahkan air muka putrinya yang begitu tenang mengganggu perasaannya.
Ada apa" Mengapa tiba-tiba saja dia merasa... takut"
"Boleh besok Andra ikut Mama ke toko"" cetus Soiandra ketika dia melepaskan pelukannya.
"Ngapain"" tanya ibunya sambil berusaha menyembunyikan perasaannya. Perasaan apa ini" Bingung" Takut" "Sudah bosan jadi dokter gigi" Mama dengar kamu sudah nggak praktik."
"Cuma pengen santai, Ma."
"Suamimu tidak mengizinkan kamu praktik" Supaya lebih banyak istirahat" Ini masalah anak, kan""
" "Bukan masalah apa-apa, Ma. Andra cuma ingin ikut Mama ke toko. Lihat Mama kerja. Masa nggak boleh sih""
"Biasanya kamu nggak ketarik sama baju."
"Orang bisa berubah, kan"" "Betul kamu mau ke toko""
"Betul ya, Mas"" Soiandra menoleh manja kepada suaminya. "Mas juga ma
u ikut, kan" Nggak alergi sama bau baju baru di toko""
Ke mana pun kamu pergi, aku ikut, Andta. Sampai ke tapal batas aku tidak bisa lagi menyertaimu!
Paskal memang belum siap. Dia belum bisa menerima takdir. Takdir yang akan memisahkan mereka.
Tetapi ketika akhirnya takdir itu datang, tak seorang pun dapat menolaknya. Tidak juga Paskal.
Bab XIII itu tidak ada bedanya dengan hati lain. Soiandra menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, seperti yang telah bertahun-tahun dilakukannya. Dia sudah rapi ketika Paskal bangun dan menciumnya seperti biasa.
"Pagi, Sayang," bisik Paskal sambil merengkuh bahu istrinya dan membawanya ke meja makan. "Kenapa sih kamu nggak bisa bangun "angan dikit""
"Karena aku ingin .menyiapkan sarapan untuk suamiku," sahut Soiandra sambil menyunggingkan seuntai senyum manis.
"Aku kan bisa nunggu. Janji besok kita bangun sama-sama, ya""
"Nggak ah," Soiandra bergayut manja ke lengan suaminya. "Takut terusnya diajak mandi bareng. Nanti tidak selesai-selesai sarapannya." Paskal tertawa lunak. Dikecupnya pipi istrinya dengan mesra. Ketika ciumannya turun ke leher, Soiandra menggeliat manja.
Harumnya aroma parfum istrinya merangsang gairah Paskal. Membuat nafsu makannya surut. Berganti dengan selera yang lain.
Tetapi berbeda dari biasanya, kali ini Soiandra menolak dengan halus. Dia tidak menolak pelukan suaminya. Tidak menolak ciumannya yang panas. Tapi ketika Paskal hendak melanjutkannya, Soiandra-mengelak.
"Mas," desahnya sambil membelai pipi suaminya dengan penuh kasih sayang. "Mas tidak marah kalau saya minta sesuatu""
"Mintalah apa saja, Sayang," sahut Paskal dengan perasaan tidak enak yang tiba-tiba meruyak ke hatinya. Perasaan yang dengan susah payah berusaha disingkirkannya. "Mas mau kan bawa saya ke rumah sakit"" Kata-kata itu seperti petir yang tiba-tiba menyambar. Membuat gairah Paskal langsung hilang. Berganti dengan kecemasan yang luar biasa.
Direngkuhnya bahu istrinya. Ditatapnya wajahnya dengan khawatir.
"Kamu kenapa, Andra" Apa yang terasa"" "Nggak rasa apa-apa," sahut Soiandra dengan
2o6 ketenangan yang luar biasa. "Cuma dada saya terasa sakit, Mas. Nggak terlalu sih. Mas tidak perlu khawatir."
Tentu saja Soiandra berdusta. Dia tidak akan minta diantarkan ke rumah sakit kalau tidak terasa apa-apa. Paskal tahu sekali, rasa sakit di dadanya kali ini pasti sudah tidak tertahankan. Bohong kalau Soiandra mengaku tidak terlalu sakit. Kalau rasa sakitnya masih dapat diatasinya dengan obat-obatan yang diam-diam diminumnya sendiri seperti biasa, dia pasti tidak akan mengatakannya.
Karena itu Paskal membawanya secepat mungkin ke rumah sakit. Dan hasil foto rontgen sito yang dilakukan saat itu juga menjelaskan segalanya.
Gambaran paru-paru Soiandra sudah tidak berwarna hitam lagi. Hampir seluruh parunya sudah berwarna putih. Artinya sudah hampir tidak ada jaringan paru yang sehat. Seluruhnya sudah tertutup oleh jaringan tumor.
"Bising napasnya sudah tidak terdengar," kata sejawat Paskal yang melakukan pemeriksaan auskultasi. "Sungguh mengherankan Soiandra baru mengeluh sekarang."
Daya tahannya memang luar biasa. Bar
kali bukan hanya daya tahannya. Tapi juga ketabahannya.
Soiandra seperti ingin menanggung sendiri penderitaannya. Tidak ingin membaginya dengan siapa pun. Termasuk dengan suaminya. Orang yang paling dekat dengannya.
Sampai saat terakhir, dia ingin berjuang sendirian. Tidak mau membuat suaminya ikut merasakan penderitaannya.
Dia masih berkeras ingin melangkah dengan tenaganya sendiri sesampainya di rumah sakit. Paskal harus memaksanya menunggu kursi roda yang dimintanya dari Unit Gawat Darurat..
"Saya masih kuat kok, Mas," katanya sambil berusaha menyembunyikan napasnya yang mulai memburu. Wajahnya tampak agak pucat membiru.
Paskal sendiri heran betapa cepatnya segalanya berubah. Ketika ditemuinya di ruang makan tadi pagi, Soiandra masih tampak se- ; cantik dan sesegar kemarin.
Tidak ada tanda-tanda dia sakit. Tubuhnya masih seharum biasa. Rambutnya masih serapi dulu. Bahkan riasan wajahnya masih begitu memesona. Seolah-olah Soiandra tidak ingin tampil beda sampai saat terakhir hidupnya.
Di a ingin tampak cantik untuk selama-lamanya. Dengan penampilan secantik itulah dia ingin dikenang oleh suaminya.
Mungkin karena itu pula Soiandra tidak ingin berlama-lama berbaring di atas ranjang rumah sakit. Tidak ingin berlama-lama menyiksa Paskal yang harus berjaga siang-malam di sisi pembaringannya.
Malam itu juga keadaan umumnya langsung memburuk. Sesak napasnya menghebat meskipun sudah diberi bantuan oksigen.
Keringat membanjiri wajahnya. Tangannya yang berada dalam genggaman Paskal terasa dingin. Mukanya pucat dan mengerut seperti menahan sakit.
Soiandra memang tidak mengucapkan se-patah kata pun. Tetapi Paskal dapat merasakan penderitaannya. Dia kesakitan. Dan napasnya sesak sekali.
Malam itu juga dokter ICU minta izin untuk melakukan intubasi.
Paskal dihadapkan pada pilihan yang amat berat. Tetapi dia memang harus memilih.
Dan melihat keadaan istrinya saat itu, dia tidak punya pilihan lain.
Paskal tidak ingin Soiandra menderita. Sudah
ip penderitaannya. Jangan diperpanjang
p Untuk pertama kalinya Paskal terpaksa merelakan kepergian wanita yang dicintainya. Dia tidak tahan lagi menyaksikan penderitaan istrinya Daripada Soiandra harus menderita sehebat ini, lebih baik dia pergi. Pergi ke tempat yang dirindukannya. Tempat di mana tak ada lagi penderitaan.
Tempat yang selalu disebutnya. Tempat yang bahkan masih disinggungnya pada saat terakhir mereka bermesraan.
"Aku akan menunggumu di sana, Mas," bisiknya ketika merasakan ketakutan suaminya Ketakutan Paskal kehilangan istrinya. Kehilangan wanita yang sangat dicintainya. Kehilangan kemesraan yang takkan pernah diperolehnya lagi. Kehilangan kebersamaan yang j takkan pernah mereka nikmati lagi. "Di tempat di mana tak ada. lagi yang lain kecuali kebahagiaan."
"Tidak bahagiakah kita sekarang, Andra"" desah Paskal getir. Suaranya parau menahan tangis. "Di sepanjang hidup perkawinan kita, pernahkah kita tidak merasakan kebahagiaan" Kamu membuat hidupku berlumur madu.
Kamu membuat aku tidak ingin merasakan hidup yang lain. Hidup kita sudah terlalu indah. Terlalu nyaman untuk digantikan dengan hidup yang bagaimanapun menariknya."
"Hidup kita memang sudah nyaris sempurna, Mas," bisik Soiandra lembut. "Tapi tidak ada hidup yang sempurna seperti hidup di surga."
Tidak peduli apa pendapatmu, Andra, bantah Paskal pahit. Bagiku hidup kita sudah sempurna! Sangat sempurna! Aku tidak ingin ada hidup yang lain!
"Seandainya aku dapat memberimu anak, Mas," bisik Soiandra ketika mereka sedang berpelukan di atas tempat tidur menunggu datangnya kantuk. "Seandainya ada Soiandra kecil yang dapat menemanimu sesudah aku pergi."
Tidak ada yang dapat menggantikanmu, Andra! Tidak juga anak kita!
Sejak diintubasi, Soiandra tidak pernah memperoleh kesadarannya kembali. Dia seperti sedang tidur lelap. Napasnya teratur. Air mukanya tenang. Kecuali endotrakheal tube yang mencuat dari mulutnya dan infus yang menghunjam lengannya, Soiandra tidak ada bedanya
dengan Soiandra yang setiap malam berbaring di sisinya. Paskal sepetti melihat istrinya sedang tidur.
Wajahnya tetap cantik. Rambutnya yang tergerai hitam di atas bantal tetap mengundang belaian. Tak bosan-bosannya Paskal membelai-belai rambut istrinya. Bahkan menciumnya. Dia seperti masih dapat mengendus harumnya aroma rambut Soiandra.
Perawat yang menyaksikan tingkah laku Paskal sampai tidak tahan melihatnya.
"Belum pernah aku melihat suami yang begitu mencintai istrinya seperti Dokter Paskal," keluhnya kepada sejawatnya di luar ruang ICU. Tak sadar dia mengusap air mata yang menggenangi matanya.
"Aku juga belum pernah berdoa untuk pasienku, Na," sahut sejawatnya h'rih. "Biasa- i nya pasien ICU kan sudah pasien lost case. \ ICU cuma tempat transisi antara dunia dan akhirat. Tapi tadi malam aku berdoa untuk j istri Dokter Paskal. Mudah-mudahan Tuhan mengasihani mereka dan membuat keajaiban. Mudah-mudahan dia termasuk pasien yang berhasil keluar dari pintu itu tidak di atas brankar kamar mayat." .
Tetapi harapan perawat itu pun tampaknya
sia-sia belaka. Sama sia-sianya dengan harapan Paskal. Harapan ibu Soiandra yang .menunggu di luar. Harapan teman
-teman mereka yang bergantian datang.
Sia-sia Paskal menunggu di samping tubuh istrinya sambil memegangi tangannya. Menunggu mata istrinya terbuka kembali
Mata yang indah itu tidak pernah memandangnya lagi. Barangkali Soiandra tidak ingin Paskal melihat kesakitan yang membayang di matanya. Atau dia ingin suaminya tetap membayangkan matanya seindah dulu"
Soiandra mengembuskan napasnya yang jet* akhir empat hari kemudian. Satu jam sebelum Soiandta pergi, Paskal sudah merasa saatnya hampir tiba. Tekanan darah Soiandra menurun terus. Denyut jantungnya melemah. Paskal melarang dokter yang merawatnya melakukan resusitasi. Dia ingin istrinya pergi dalam damai.
Tak ada lagi yang dapat dilakukan manusia. Biarlah Soiandra pergi dengan tenang. Paskal yakin kalau istrinya masih dapat bicara, dia akan minta seperti itu juga. Soiandra akan minta dibiarkan pergi dengan tenang.
"Pergilah, Sayang," bisik Paskal lembut di telinga istrinya. DibeJai-beJainya rambutnya dengan penuh kasih sayang. "Aku sudah reia. Jangan merasa berat lagi meninggalkan suamimu. Berjalanlah ke Taman Firdaus-mu. Kamu sudah hampir sampai, Sayang. Aku janji tidak akan menangisi kepergianmu."
Sambil menggigit bibirnya kuat-kuat menahan tangis, Paskal mencium dahi istrinya. Mesra dan lama.
Sampai tiba-tiba dia merasa, Soiandra telah pergi. Telah meninggalkannya untuk selama-lamanya, hanya sedetik sebelum dengung monitor menyadarkannya, saat itu telah tiba. Saat perpisahan.
Paskal merasa dadanya sakit seperti, dikoyak-kan sebilah belati. Nyerinya terasa sampai ke puncak kepala dan ke ujung jari kaki. Sekujur tubuhnya seperti dirajam belasan batu. Kulitnya laksana disayat seribu sHet. Sakitnya hampir tak tertahankan lagi. Tetapi Paskal tetap menahan air matanya. Karena itulah permintaan Soiandra.
"Kalau" suatu hari aku harus pergi sendiri, Mas, aku ingin tidak ada air mata yang mengiringi kepergianku," pinta Soiandra pada malam
terakhir mereka bermesraan di Las Vegas.
"Supaya aku tidak usah menoleh ke belakang dan merasa berat meninggalkanmu."
Paskal memenuhi permintaan istrinya. Dia sedih. Dia hancur. Tetapi dia menahan air matanya.
Paskal hanya mencium bibir istrinya untuk terakhir kalinya setelah alat bantu pernapasan dicabut dari mulutnya. Dan dia terkenang kepada malam pertama mereka. Malam dia pertama kali mencium bibir Soiandra. Merasakan kelembutan bibirnya. Merasakan gairah yang membakar hatinya. Dan merasakan cinta yang merambah ke sekujur tubuhnya.
Malam itu adalah malam pengantin mereka. Saat pertama kali mereka menyatukan tubuh mereka dalam gulungan kasih yang menggelora. Saat pertama kali mereka menikmati kepuasan yang sempurna.
"Terima kasih, Andra," bisik Paskal bahagia setelah kenikmatan itu berakhir dalam sebuah dekapan yang hangat dan lama. "Terima kasih karena telah menganugerahkan malam yang begini indah dalam hidupku."
Paskal mencium bibir istrinya dengan mesra. Setelah bibir mereka saling melepaskan, Paskal
masih mengusap bibir yang ranum itu dengan penuh cinta kasih.
Kenangan akan malam pertama mereka itu tiba-tiba saja menyeruak kembali ke benak Paskal. Justru pada saat Soiandra sudah meninggalkannya. Sudah tak dapat membalas ciumannya lagi.
Tetapi bibirnya yang menggurat indah di wajahnya yang begitu manis dan damai tak pernah berubah sampai saat napas terakhir meninggalkannya. Di mata Paskal, Soiandra masih tetap secantik seperti pertama kali dia melihatnya.
Diusapnya bibir Soiandra dengan ujung jarinya. Dibelainya rambutnya. Dikecupnya pipinya sambil memeluk tubuhnya untuk terakhir kalinya.
Entah sudah berapa ratus kali dia memeluk tubuh Soiandra. Merasakan kedua tubuh mereka menyatu dalam gulungan cinta. Kini dia telah sampai pada saat terakhir dia dapat memeluk tubuh istrinya. Sesudah ini tak ada lagi pelukan. Tak-ada lagi Soiandra. Tak ada lagi wanita yang sangat dicintainya. Dipuja. DiSolandra telah pergi. Dia telah melangkah ke tempat yang sangat jauh.
Ke mana Paskal harus menyalurkan cintanya setelah Soiandra pergi" Ke mana dia harus mencari kalau rindunya sudah tidak tertahankan lagi"
Rasanya Paskal ingin mati saat ku juga.
Ingin meng ejar istrinya. Mengikuti jejaknya.
Buat apa hidup tanpa Soiandra" Buat apa
bangun esok pagi kalau sudah tidak ada yang
ingin dilihatnya lagi" Saat ini tak ada lagi yang diinginkannya.
Rasanya dia ingin membanting tubuhnya ke lantai dan menangis sampai mati. Tapi Paskal sadar, bukan itu yang diinginkan- Soiandra. Seperti dia ingin terlihat cantik dan tegar sampai saat terakhir, dia juga ingin melihat suaminya tampil tabah dan kuat setelah saat perpisahan itu tiba.
Jadi sambil mengatupkan rahangnya kuat' .. kuat, Paskal tegak di sisi pembaringan. Menyaksikan dengan tabah perawat yang tengah menyiapkan keberangkatan Soiandra ke k
mayat. Dibiarkannya ibu Soiandra terisak di s.
ban sambil memeluk Soiandra. Kata-kata- nya begitu mengharukan. Menambah sedih had Paskal.
; "Kenapa bukan Mama saja yang mati, Dra"" rintihnya dengan suara memilukan. "Kenapa harus kamu" Kamu baru tiga delapan! Masih muda sekahT
Paskai dapat merasakan hancurnya hati seorang ibu yang kehilangan anak tunggalnya.
rapi Paskai tidak menangis. Hanya air mata yang menggenangi matanya.
Dia berusaha tabah. Berusaha tampil tegar di depan semua orang. Sejak dari ICU sampai ke ruang jenazah. Juga ketika sejawat- , sejawatnya menyalaminya. Termasuk Ibu Direktur. Yang hari itu tampak berbeda. Bukan j hanya kelihatan terharu. Dia juga tampil penuh penyesalan, :>
"Jangan balaskan sakit hatimu, Mas," pinta Soiandra ketika akhirnya dia mengetahui pertikaian suaminya dengan direktur rumah sakit tempatnya bekerja. "Karena balas dendam hanya akan membuatmu menderita. Jika Mas mengampuni, Mas akan merasa damai."
Karena ingat pesan istrinya, Paskai menerima uluran tangan direktur rumah sakit tanpa perasaan benci. Juga ketika ayahnya datang menemuinya dengan paras penuh sesal.
"Kenapa tidak bilang," keluhnya sambil merengkuh bahu putranya. "Kamu kan bisa terus
terang sama Papa." Paskal tidak menyahut. Tetapi untuk pertama kalinya sejak dia meningkat dewasa, dia memeluk ayahnya.
Ketika merasakan pelukan putranya, untuk pertama kalinya pula setelah sekian puluh tahun, ayahnya menitikkan air mata.
*** Sania muncul pada saat pemakaman Soiandra. Dia langsung terbang ke Jakarta untuk menghadiri upacara pemakaman sahabatnya. Begitu melihat Paskal, air matanya langsung luruh. Tanpa dapat menahan tangisnya lagi, dia memeluk Paskal.
Tak ada kata-kata yang dapat diucapkannya. Hanya air mata dan isak tangisnya yang mewarnai pertemuan mereka.
Paskal berusaha mati-matian menahan air matanya. Hanya supaya dia dapat memenuhi keinginan istrinya. Mengabulkan permintaan-yang terakhir.
'Jangan ada air mata, San," gumam Paskal
pahit. Suaranya parau. Matanya basah. Tetapi dia ingin tetap tampil tegar. Demi Soiandra. "Andra tidak ingin ada air mata yang mengiringi kepergiannya."
Tetapi tangis Sania tidak dapat dilerai. Dia menangis terus. Bahkan sesudah upacata pemakaman selesai. Sania masih berlutut sambil menangis di depan gundukan tanah yang membukit di hadapannya.
"Maafkan aku, Dra," desahnya getir. "Aku tidak bisa menolongmu...."
Di kaki makam, Paskal bersimpuh sambil tertegun lirih mengawasi taburan bunga yang menyemai di atas gundukan tanah merah. Di bawah sana, berbaring istrinya yang cantik. Wanita yang sangat dikasihinya. Belahan jiwanya.
Bagaimana dia sanggup meninggalkan istrinya seorang diri di sini" Sejak menikah, mereka belum pernah berpisah semalam pun. Kecuali ketika Soiandra berada di rumah sakit. Saat itu mereka memang berpisah. Tapi Soiandra tidak sendirian. Ada dokter dan perawat yang menungguinya.
Sekarang siapa lagi yang menemaninya"
Hanya mayat-mayat dingin dan kaku yang
berbaring di sebelahnya! Karena itu Paskal tidak ingin beranjak dari sana. Dia ingin berada di sana terus. Ingin menemani istrinya. Ke mana dia harus pergi tanpa Soiandra"
Ayahnyalah yang menyentuh bahunya menyadarkannya.
"Sudah saatnya pergi, Boy," katanya lembut. Suara Papa yang paling lembut yang pernah Paskal dengar. "Biarkan Soiandra beristirahat dalam damai."
"Saya tidak mau meninggalkannya sendirian," desah Paskal getir.
"Dia tidak sendirian." Papakah yang bicara itu" Atau malaikatkah yang membisikka
nnya" Karena belum pernah Paskal mendengar ayahnya bicara seperti itu! '"Soiandra sudah dikelilingi malaikat-malaikat."
Benarkah ada malaikat" Benarkah ada hidup yang kedua" Benarkah ada Tuhan" Benarkah ada surga" Benarkah Soiandra sudah sampai di sana" Atau cerita itu cuma dongeng penghiburan untuk orang yang ditinggalkan"" Harapan palsu yang ditanamkan bagi yang putus asa" Supaya ada harapan mereka suatu saat dapat bertemu kembali"
Katakan padaku, Sayang, pinta Paskal dalam mobil ayahnya yang membawanya pulangi Katakan padaku kamu sudah sampai di sana. Di Taman Firdaus. Katakan kamu sudah bertemu Tuhan-mu. Katakan kepercayaanmu tidak sia-sia. Katakan kamu tidak sendirian di sana. Katakan! Supaya hatiku tenang. Dan aku dapat menerima kepergianmu dengan lebih tabah!
Tetapi Soiandra tidak datang. Suaranya yang lemah lembut itu tidak pernah terdengar lagi di telinga Paskal.
Tak ada lagi Soiandra. Tak ada lagi istrinya yang cantik. Yang sangat dicintainya.
Yang ditemuinya di sana hanya rumah kosong. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada yang menyambutnya. Tidak ada yang memeluknya. Tidak ada yang menganugerahinya senyum manis yang sangat menyejukkan.
Jadi buat apa dia pulang" Buat apa dia tinggal di rumah"
Semua benda di rumah ini mengingatkannya pada Soiandra!
" Lebih baik aku pergi, desis Paskal dalam hati. Lebih baik aku tidak berada di tempat yang penuh kenangan manis bersamamu! Karena hatiku sangat sakit!
Sepeninggal ayahnya Paskal langsung pergi. Dia mengendarai mobilnya entah -ke mana. Sampai dia sudah merasa sangat lelah. Begitu lelahnya sampai membuka matanya pun terasa berat.
Dia turun di sebuah hotel. Dan memesan sebuah kamar.
Ketika masuk ke kamar dan melihat tempat tidur yang kosong, hatinya terkoyak lagi. Dia ingin menangis.
Dengan siapa dia tidur di sana" Siapa yang akan menemaninya" Siapa yang memeluknya" Menciumnya dengan penuh kasih sayang mengucapkan selamat tidur"
Akhirnya Paskal masuk ke kamar mandi. Dia ingin merendam tubuhnya di dalam bak. Biar esok pagi dia ditemukan mati beku di sana.
Tetapi kamar mandi pun mengingatkannya pada Soiandra. Pada tubuhnya yang basah dan hangat dalam pelukannya di bawah pancuran. Pada rambutnya yang basah tergerai. Pada shampoo yang dibalurkannya di atas rambut itu.
Aku bisa gila! pekik Paskal. Tidak tahu pekikan itu hanya dalam hatinya atau benar-benar telah diteriakkannya.
Soiandra telah memiliki setiap inci tubuhnya Merasuki -seluruh jiwanya. Bagaimana Paskal dapat mengusirnya" Dapat melupakannya biarpun hanya dalam mimpi"
Akhirnya Paskal membeli obat tidur. Minum begitu banyaknya sampai dia heran dia masih hidup setelah menelan obat sebanyak itu. Atau... dia sudah mati" Setankah yang mengetuk pintunya" Menyeret tubuhnya dan menjebloskannya ke neraka kalau benar ada neraka di bawah sana!
Ketukan pintu sudah berubah menjadi gedoran. Tetapi Paskal tidak mampu menggerakkan tubuhnya. Atau dia bukan tidak mampu" Dia tidak mau!
Persetan siapa yang mengetuk pintu! Buat apa dibuka" Pasti bukan Soiandra yang berdiri di depan pintu!
Soiandra sudah pergi. Dia sudah pergi jauh. Bahkan dalam mimpi pun dia tidak datang! , Akhirnya pintu itu terbuka juga. Dan Paskal melihat seorang wanita samar-samar tegak di sampmg pembaringannya.
Tapi perempuan itu bukan Soiandra! Dia
Perempuan itu duduk di s'&i pembaringannya Entah apa yang dikatakannya. Dia melakukan beberapa pemeriksaan singkat. Dokterkah dia"
Persetanl Buat apa dokter datang kemari" Dokter yang paling pintar pun tidak dapat membawa Soiandra ke sinil Dokter tidak dapat menyembuhkan Soiandra! Dia sudah mati! Mati! M-a-t-i...! MATI!


Solandra Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bab XIV i" ERNAHKAH engkau merasa hidup begitu hampanya, kosong melompong seperti selembar kertas putih yang belum ditulisi"
Pernahkah engkau bangun pagi dan merasa tidak tahu apa yang harus engkau kerjakan hari ini"
Pernahkah engkau demikian segannya pulang ke rumah karena tidak ada siapa-siapa di sana"
Pernahkah engkau begitu malasnya membuka kelopak matamu karena tidak ada lagi yang ingin kaulihat"
Ketika Sania membaca kertas coretan Paskal yang ditemukan perawat di tempat tidurnya di rumah sakit, air m
atanya menitik lagi. Dia dapat merasakan kesedihan Paskai. Dapat merasakan kehancurannya. Keputusasa-annya.
Dan Sania merasa bertambah sedih karena dia tidak dapat menolong sahabatnya.
Paskai sudah hancur. Dia hampir mati karena kebanyakan menelan obat tidur. Ketika Sania membawanya ke rumah sakit pagi itu, dia sudah cemas sekali. Khawatir tidak dapat menolong jiwa sahabatnya.
Tetapi Paskal selamat. Fisiknya dapat disembuhkan. Psikisnya yang tidak.
Dia seperti sudah tidak mempunyai gairah hidup. Sudah kehilangan semangat.
"Waktu yang akan menyembuhkannya," kata dokter yang merawatnya.
Tapi Sania tidak percaya. Dia tidak percaya Paskal dapat melupakan Soiandra. Sampai kapan pun.
Cinta mereka begitu kuat. Begitu murni. Begitu indah.
Sania selalu iri pada kisah cinta sahabatnya. Cinta itu seperti tak pernah berakhir.
Siapa bilang nasibku lebih baik dari nasibmu, Dra, keluh Sania dalam hati. Kamu punya seorang suami yang begitu memujamu. Mencintaimu. Dalam usiamu yang begitu pendek, kamu punya hidup yang sangat berharga. Sangat indah. Yang tidak mungkin ditukar dengan kebahagiaan yang seperti apa pun juga.
Bukan kebetulan Sania menemukan Paskal ;' " di kamar hotel itu. Dia memang membuntuti Paskai terus sejak dari pemakaman. Sejak semula dia sudah merasa khawatir. Paskal memang tidak menangis. Tapi itu bukan berarti dia tidak sedih. Kadang-kadang menangis malah lebih baik. Supaya kesedihan mempunyai tempat penyaluran.
Ketika Paskal masuk- ke hotel, Sania ikut bermalam di hotel itu. Ketika sampai siang dia tidak keluar-keluar juga dari kamar, dia menemui manajer hotel itu sambil menunjukkan identitas dokternya.
Lalu mereka bersama-sama masuk ke kamar dan menemukan Paskal di sana. Masih hidup. Tetapi sudah hampir sekarat.
"Soiandra pasti tidak menginginkan kamu seperti ini, Pas," keluh Sania ketika menemukan sahabatnya hampir mati. "Dia tidak mau kamu bunuh diri."
- Tapi Paskal memang tidak bermaksud bunuh diri. Dia hanya ingin tidur. Ingin melupakan segalanya. Ingin menemui Soiandra dalam mimpi.
"Dia tidak datang," celoteh Paskal dalam perjalanan ke rumah sakit.
"Siapa yang datang, Pas"" tanya Sania meskipun dia tidak memerlukan jawaban. "Dia tidak datang," gumam Paskal seperti
meracau. "Tidak juga dalam mimpiku."
Soiandra memang tidak pernah datang. Tidak dalam alam nyata. Tidak juga dalam alam mimpi.
Paskal hanya dapat membayangkannya. Mengenangnya. Dan merindukannya.
Yang muncul setiap hari di hadapannya hanyalah Sania. Dia yang dengan kesetiaan seorang sahabat selalu menemani. Menghibur. Dan mengobati. Bahkan sesudah Paskal keluar dari rumah sakit.
"Kenapa kamu nggak pulang, San," keluh Paskal dengan perasaan bersalah. "Kamu sudah terlalu lama menemaniku. Nanti suamimu marah."
"Dia bisa mengerti kok," sahut Sania asal saja. Padahal jawaban yang sebenarnya hanyalah, aku tidak peduli.
Sudah lama cinta Sania padanya padam. Atau... bukan padam" Cintanya terhadap Mike memang tak pernah bersemi. Mike hanya pelarian. Atau lebih celaka lagi, pengisi kesepiCintanya yang sesungguhnya hanya untuk Paskal. Tetapi dia tidak beruntung karena Paskal justru jatuh cinta pada Soiandra. Paskal tak pernah mencintainya. Dia malah tak pernah tahu Sania menaruh hati padanya.
Kalaupun akhirnya Sania menikah dengan Mike, itu hanya karena mereka sudah punya anak. Dan Sania ingin anaknya punya ayah.
Ternyata Mike sangat menyayangi anak mereka. Meskipun bukan suami yang baik, dia ternyata ayah yang nyaris sempurna. " Mungkin di hari tuanya, Mike merasa begitu beruntung ketika akhirnya ada seorang bocah lucu yang memanggilnya "Daddy". Tidak heran kalau Mike mencurahkan seluruh kasih sayangnya kepada anak mereka.
Justru itulah alasan Sania tidak mengajukan permohonan cerai meskipun semakin hati dia semakin merasakan ketidakcocokan dalam hubungan pernikahan mereka. Sania rela hidup dalam perkawinan yang gersang demi kebahagiaan anaknya.
Dia rela menunggu sampai Mike meninggal. Supaya anaknya tidak usah merasakan trauma perceraian orangtuanya.
Ketika Sania mendengar kabar kematian
Soiandra, dia langsung terbang ke Jakarta. Yang diingatnya saat itu hanyala
h Paskal. Dia pasti sangat sedih. Mampukah dia mengat penderitaannya sendirian"
Apa yang dilihatnya memang sesuai dengan kecemasannya. Apa yang ditakutinya terbukti. Ternyata Paskal amat kehilangan. Kesedihan hampir membunuhnya.
Sania tidak sampai hati melihat penderitaan laki-laki yang dicintainya. Dia ingin membantu menyembuhkan bukan hanya fisik Paskal. Tapi juga luka di hatinya.
Sayangnya, Paskal tetap tidak menyambuti uluran kasih sayangnya. Bahkan sepeninggal Solandta, dia masih tetap menolak cinta Sania. Paskal hanya menganggapnya sahabat. Tidak lebih.
Padahal Sania sudah mencoba berterus te-. rang. Sudah berusaha menyatakan cintanya ketika dalam suatu kesempatan berdua di rumahnya, Sania terdorong memeluknya dari belakang.
Saat itu Paskal sedang tegak termenung di depan lukisan Soiandra yang tergantung di dinding ruang tengah rumahnya. Tiba-tiba saja dia merasa seseorang memeluknya dari belaI kang kejap
Hangatnya tubuh yang meJekat ke punggungnya membangkitkan gairahnya. Sekejap dia merasa seolah-olah Solandra-lah yang merangkulnya seperti yang biasa dilakukannya kalau Paskal sedang mengagumi lukisannya.
Serentak Paskal berbalik dan balas merangkul.
" "Andra," desahnya hangat, penuh kerinduan.
Lalu Paskal menyadari, dia keliru. Tidak ada wangi parfum beraroma melati itu. Tidak | ada rambut hitam panjang yang menebarkan harum semerbak.
Yang dipeluknya bukan Soiandra!
Tidak ada Soiandra, Tidak ada istri yang dicintainya; Wanita yang dirindukannya. Yang dipeluknya Sania. Sahabatnya. Sahabat istrinya.
"Maafkan aku, San," desisnya dengan perasaan bersalah. "Sekejap tadi kukira kamu..."
Paskal belum sempat melepaskan pelukannya. Karena Santa juga tampaknya tidak ingin dilepaskan. Dia malah melingkarkan kedua belah lengannya di leher Paskal. Dan mencium bibirnya dengan lembut.
Paskal terkejut sekali. Tidak menyangka Sania berani melakukannya.
Sania memang sudah berubah. Dia kini
seorang wanita dewasa. Dan dia lama hidup
dalam lingkungan yang sangat terbuka dalam
menyatakan kasih sayang. Sania tidak ragu-ragu lagi menyatakan pe-. rasaannya. Apalagi Paskal kini seorang duda.' Soiandra sudah meninggal. Tak ada lagi yang menghalangi Sania menyatakan cintanya.
"Sania," Paskal melepaskan bibirnya dengan perasaan tidak enak. "Tidak seharusnya kita melakukan ini...."
"Sudah lama aku ingin mengatakannya, Pas," Sania melepaskan pelukannya dan membalikkan tubuhnya. Memunggungi Paskal. "Sudah lama aku sadar, aku mencintaimu. Aku memendamnya baik-baik demi Soiandra. Demi persahabatan kami."
Sekejap Paskal tertegun. Dia terkejut. Sangat terkejut. Sania mencintainya" Rasanya tidak masuk akal!
"Tapi aku tidak pernah mencintaimu, San," keluh Paskal ketika mulutnya sudah dapat dibuka kembali. "Bagiku, kamu sahabatku. Sahabat sejati. Sampai kapan pun."
"Juga sesudah Soiandra meninggal"" gumam Sania lirih. Hatinya sakit sekali sampai rasanya dia ingin menangis.
I "Tak ada yang dapat menggantikan Soiandra,
r San. Tidak juga kamu."
"Tidak ada harapan Jagi bagiku" Juga kalau aku rela menunggu sepuluh tahun lagi"" "Sampai kapan pun," sahut Paskal tegas " tapi pahit.
Sania menjatuhkan dirinya ke kursi di dekatnya. Dia merasa lemas. Luruh. Hancur.
Bahkan sampai saat terakhir Paskal tetap menolaknya. Kehilangan Soiandra tidak membuatnya membutuhkan seorang pengganti.
Paskal menghampirinya dari belakang. Tegak di belakang kursinya. Dan memegang kedua belah bahunya. Meremasnya dengan simpatik.
"Ada apa dengan Mike,. San"" tanyanya penuh pengertian. "Kalian bertengkar lagi"" "Kami tidak pernah cocok." "Karena itu kamu lari padaku"" "Kamu bukan tempat pelarian, Pas," Sania memegang lengan sahabatnya dengan sedih. "Kamu cintaku yang pertama. Sayang aku terlambat menyadarinya."
"Maafkan aku, San," Paskal membelai bahu sahabatnya dengan sentuhan seorang teman.
SDia merasa terharu mendengar pengakuan sahabatnya. Tetapi cinta tidak dapat dipaksa
lahir dari sebuah keharuan. "Dari dulu sampa sekarang, kamu sahabatku. Aku menyayangimu. Tapi hanya sebagai teman. Karena cintaku hanya untuk Soiandra. Aku tidak bisa memindahkannya. Biarpun dia telah meninggal."
"Pas," Sania menengadahkan kepalanya. Menatap Paskal dengan tatapan berlinang air mata. "Maukah kamu mengabulkan satu permintaanku""
"Apa saja, San," sahut Paskal lirih. "Asal aku bisa mengabulkannya."
"Bolehkah aku menunggumu sepuluh tahun
lagi"" Aku tidak ingin meracuni hidupmu." "Lebih baik hidup menyandang harapan daripada tidak memiliki harapan sama sekali, kan"" "Perkawinanmu tidak mungkin diperbaiki
lagi"" "Mike ayah yang baik. Tapi bukan suami yang dapat diharapkan."
"Bukan karena kamu istri yang tidak setia" Kamu memikirkan lelaki lain selama menjadi istrinya""
"Aku tidak ingin mengatakannya," sahut Sania pahit. Dia melepaskan tangan Paskal
"Karena aku tidak ingin menghina lelaki yang f telah menjadi suamiku, seperti apa pun dia." " "Mungkin dia tidak dapat memuaskan batin- 1 mu- Tapi bukan hanya itu tujuan perkawinan, j San."
"Tahu kenapa kami belum bercerai sampai j sekarang"" dengus Sania pahit. "Karena anakku." j
"Anak alasan yang baik untuk memper- j tahankan perkawinan."
"Selama ini aku bersabar demi anakku. Tapi setelah berjumpa lagi denganmu, keputusanku berubah. Aku memutuskan untuk bercerai, kalau anakku sudah cukup besar untuk menerimanya."
"Mudah-mudahan saat itu pikiranmu sudah
berubah lagi." "Mudah-mudahan kamu juga sudah berubah, Pas," Sania bangkit dari kursinya. Memutar tubuhl&ya. Dan menatap Paskal dengan penuh harapan. "Sepuluh tahun lagi. Mungkinkah sudah ada secuil tempat kosong di hatimu untuk aku""
Paskal menghela napas panjang. Dadanya terasa sakit setiap kali menarik napas.
"Jangan terlalu berharap, San," gumamnya lesu. "Aku tidak ingin mengecewakanmu lagi;
"Kecewa sudah menjadi jalan hidupku. Kuharap jalan itu berakhir sepuluh tahun lagi. Kalau aku menemukanmu berdiri di sana. Pada hari peringatan kematian Soiandra yang kesepuluh." "Di mana""
"Ingat kantin tua di kampus kita" Tunggu aku di sana kalau kamu sudah bisa menerimaku. Aku bersumpah akan menggantikan, tempat Soiandra di hatimu."
Kamu akan kecewa lagi, San, desah Paskal dalam hati. Karena sejak dulu sampai kapan pun, tempat di hatiku hanya untuk Solandta! Hanya dia yang boleh berada di sana!
*** Dan Paskal menepati janjinya. Dia tidak pernah menikah lagi. Bahkan tidak pernah bergaul intim dengan seorang wanita pun. "
Hidupnya hanya diisinya dengan pekerjaan. Dan karena dia tidak mau lagi menjadi dokter setelah gagal menyembuhkan istrinya, dia bekerja di perusahaan ayahnya. Sekalian membayar utang.
Mula-mula pekerjaannya memang amburadul
sampai ayahnya merugi beberapa ratus juta. Ayahnya sudah berpikir-pikir untuk memecat-nya daripada perusahaannya bangkrut. Tetapi hanya sebulan sebeium ayahnya memecatnya, Paskal berhasil memulihkan dirinya.
Pekerjaannya mulai membaik sehingga ayahnya berniat memberinya kesempatan beberapa bulan lagi.
"lasanya memang hanya pekerjaan yang dapat menyembuhkannya," kata Agusti ketika menerima laporan stafnya. "Cuma dengan bekerja dia dapat melupakan almarhum istrinya."
"Papa keliru kalau mengira dia dapat melupakan Soiandra," keluh Paulin lirih. "Nggak gila saja sudah bagus, Pa."
"Kamu tidak punya teman wanita yang dapat kamu kenalkan pada abangmu, Lin""r
"Boro-boro teman wanita, Pa," gerutu Paulin pahit. "Papa jangan mimpi deh."
"Tapi sampai kapan Paskal mau begini terus""
"Sudah nasibnya kali, Pa. Kita pasrah sajalah." "Di dunia ini perempuan bukan cuma satu, Lini"
"Tahu, Pa! Tapi perempuan yang dicintai Paskal justru sudah nggak ada di dunia!"
"Lalu bagaimana kita bisa menolongnya""
Paulin tidak tahu. Prita juga tidak. Tidak ada yang tahu. Bahkan ayah mereka yang pintar itu pun tidak tahu. Tidak ada yang dapat mengubah Paskal. Tidak ada yang dapat
membuatnya melupakan Soiandra.
Setiap malam dia masih merindukannya. Membayangkannya. Memimpikannya. "
Setiap pagi dia masih bangun dengan kepala pusing. Dengan lesu. Tidak bergairah.
Setahun telah berlalu ketika akhirnya Soiandra singgah dalam mimpinya. Tetapi kehadirannya hanya memuaskan sebagian kerinduan Paskal karena dia dapat melihat istrinya lagi.
Dia tidak dapat menyentuh Soiandra. Tidak dapat menciumnya. Tidak dapat menggaulinya Bahkan tidak dap
at mengajaknya ngobrol. Soiandra sudah berbeda. Dia seperti berada di dunia lain. Bisa dilihat. Tapi tak dapat disentuh.
Pada akhir tahun yang kedua, Soiandra semakin kerap datang dalam mimpinya. Hampir setiap malam. Tetapi tidak ada yang dikatakannya walaupun tatapannya seperti ingin m< ngatakan sesuatu. Paskal kenal sekali tatapa
almarhum istrinya. Kaiau Soiandra memandangnya seperti itu, biasanya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Setiap kali terjaga dari mimpinya Paskal selalu memikirkan apa artinya pertemuannya dengan Soiandra tadi. Mengapa Soiandra tidak * berkata apa-apa" Benarkah dia sudah sampai di Taman Firdaus" Benarkah ada surga" Benarkah ada Tuhan"
Mengapa tatapan Soiandra tampaknya begitu sedih" Apa yang ingin diungkapkannya" Sedihkah dia melihat keadaan Paskal" * Tetapi aku harus bagaimana, keluh Paskal getir. Tak ada kegembiraan lagi di dunia untukku, Andra! Tanpa kamu, yang ada dalam hidupku sekarang cuma penderitaan! Lebih bak ajak aku ke sana. Bawa aku bersamamu!
*** "Pekerjaanmu mulai bagus," kata ayahnya empat tahun kemudian. Dia orang yang peht dengan pujian. Tetapi melihat hasil kerja anak' nya, dia tidak dapat mencegah mulutnya lagi untuk memuji. "Papa bangga padamu. Ingin memberikan penghargaan untuk prestasimu."
"Simpan saja hadiahnya, Pa," sahut Paskal
datar. "Buat nyicil utang Paskal."
"Kamu tidak mau menerima hadiah dari Papa"" "Tidak."
Agusti Prakoso mengerutkan dahinya. Makin khawatir melihat sikap anaknya. Mengapa seperti tidak ada hal yang dapat membuat Paskal gembira" Bahkan pujian ayahnya dianggapnya angin lalu saja! Padahal dalam hidupnya, be-' rapa kali ayahnya sempat memuji"
"Sudah boleh pergi, Pa"" tanya Paskal jemu. "Masih banyak kerjaan." "Tidak kamu tanya dulu apa hadiahnya"" "Tidak ada lagi yang dapat menggembirakan saya."
"Juga kalau hadiahnya tiket ke Las Vegas dan uang buat berjudi di sana""
Las Vegas! Tempat terakhir yang dikunjunginya bersama Soiandra! Tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan!
Tentu saja Paskal mau ke sana. Tetapi hanya* bersama Soiandra. Dan bukan untuk berjudi!
Bukan karena sekarang dia takut malaikat mencatat dosanya. Tapi karena judi sudah tidak dapat memuaskan dirinya lagi.
; Lagi pub dia sudah berjanji ketika Soiandra sakit, dia tidak akan menyentuh permainan itu lagi. Paskal tidak mau membuat Soiandra sedih. Dari tempatnya yang tinggi di atas sana, kalau benar ada surga di atas langit sana, Soiandra pasti sedih kalau melihat Paskal berjudi lagi. Jadi persetan dengan tawaran ayahnya! Papa tahu sekali kegemarannya. Ingin menyenangkan hatinya dengan memberikan hadiah itu. Tapi Papa tidak tahu, semua sudah berubah. Sekarang, tak ada lagi yang dapat menyenangkan hatinya. Karena sebenarnya dia sudah mati.
"Sudah saatnya kamu mengubah hidupmu," ayahnya mencoba menasihati. Agusti cemas sekali melihat kondisi anaknya. Dalam usia empat puluh dua tahun, dia seperti sudah tiga kali mati. Tidak ada sinar secuil pun di wajahnya. "Wajah itu selalu muram. Matanya redup. Dan senyum hampir tidak pernah hadir lagi di bibirnya. Mau jadi apa dia" Mayat hidup" "Hidup ini begitu indah. Sayang kalau disia-siakan."
Ya, hidup ini memang indah. Tapi selama Soiandra berada di sampingnya. Sesudah dia pergi, hidup ini seperti neraka'.
"Ambil cuti. Pergilah berlibur. Manjakan diri- .
mu. Kamu punya segalanya."
Kecuali satu. Soiandra. Dan itu yang utama! Itu yang terpenting! Tanpa Soiandra, hidupnya tidak berarti lagi1.
"Sumbangkan saja hadiah Papa ke rumah yatim-piatu, Pa," cetus Paskal tawar. "Barangkali di sana masih ada kegembiraan." Dan Papa bisa meringankan dosa! "Benarkah tidak ada lagi yang dapat Papa perbuat untuk menyenangkan hatimu"" keluh Agusti Prakoso sedih.
Hanya kalau Papa dapat menghidupkan-Soiandra kembali! Dan membawanya kepada saya!
"Papa tahu kamu sangat mencintai istrimu. Tapi Soiandra sudah empat tahun meninggal. Kamu sudah harus mulai melupakannya dan mencari penggantinya." v^jfl
Kalau saja semuanya semudah itu, Pa! Tapi sampai kapan pun saya tidak dapat melupakan Soiandra. Karena dia belahan jiwa saya. Dia berada dalam hati saya. Jantung saya. Mata
saya. Kepala saya. Napas saya!
Kalau saya mengusirnya dari sana, saya ikut mati\
Bab XV bibir tebing terjal di Grand Canyon of Colorado, Paskai tegak tepekur mengawasi kebesaran alam. Tapi kali ini dia mengaguminya seorang diri. Tak ada lagi wanita yang sangat 'dikasihinya Yang biasanya tegak di sisinya dengan pinggangnya yang ramping dalam rengkuhan lengannya.
Tak ada wanita cantik yang sangat dikaguminya. Yang menguasai segenap cinta yang dimilikinya. Sang kehadirannya membuat hidupnya terasa indah. Kali ini dia tegak seorang diri di sini. Dengan nostalgia yang sangat menyakitkan.
"Aku merasa berdiri di batas antara bumi dan langit, Mas," gumam Soiandra ketika terakhir kalinya dia berada di tempat ini. Matanya memandang jauh ke jurang terjal di bawah emantulkan aneka warna
bebatuan. Ungu. Cokelat. Merah. "Jika Tuhan bisa menciptakan keindahan yang begini memukau di bumi, Dia pasti memiliki Taman Firdaus yang lebih indah lagi di surga."
Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang kedua puluh. Paskal pernah berjanji untuk membawa istrinya kemari lagi. Paskal tidak ingin mengingkari janjinya. Lebih-lebih janji pada wanita yang sangat'dicintainya. . "Mas janji kita akan ke sini lagi pada hari ulang tahun perkawinan kita yang kedua puluh"" terngiang kembali di telinga Paskal pertanyaan Soiandra. Diucapkannya dengan manja ketika mereka sedang menikmati hotdog berdua di kedai cepat saji, dalam perjalanan dengan bus dari Las Vegas ke Los Angeles sepuluh tahun yang lalu.
Paskal bukan hanya ingin menepati janjinya. Pada hari istimewa ini, dia memang ingin berada di sini. Di tempat yang paling disukai Soiandra. Di tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan indah. Di tempat Paskal ingin mengenang istrinya.
Sudah sepuluh tahun berlalu. Tapi kata-kata Soiandra masih terngiang jelas di telinga Paskai.
di sini. Paskal malah masih bisa mengenang dengan jelas harumnya parfum istrinya ketika l dia merangkul tubuh Soiandra dari belakang.
Paskal begitu merindukan Soiandra. Dia 1 ingin bisa memeluk tubuhnya lagi. Mencium bibirnya lagi. Membelai rambutnya lagi.
"Aku ingin menikmati saat-saat seperti ini sepuluh tahun lagi, Mas." Suara Soiandra seperti I
berembus di telinga Paskal. Padahal tidak ada |
angin. Tidak ada kabut. Tidak ada apa-apa.
Tetapi mengapa dia seperti mendengar suara
Soiandra" Ada di sinikah dia sekarang" Mengapa aku tak dapat melihatnya"
Datanglah, Andra, pinta Paskal lirih. Temani suamimu. Muncullah sekali saja. Supaya dapat kurengkuh tubuhmu. Kubenamkan dalam
pelukanku____ Tetapi Soiandra tidak muncul. Dia tidak datang. Bayangannya pun tidak. Bahkan suaranya yang lembut itu tidak berembus lagi. Semuanya hening. Semua sunyi.
Sia-sia Paskal menunggu. Sia-sia dia berpanas-panas di sana. Tak ada Soiandra. Tak ada istrinya yang cantik. Yang sangat dicintainya. Bahkan sesudah tujuh tahun berlalu, cinta
itu tak lekang juga. Cintanya masih tetap seperti dulu. Seutuh dulu. Cinta yang abadi. Yang tak tergantikan.
Paskal masih menunggu beberapa saat lagi sampai dia yakin, Soiandra tidak datang. .
Soiandra sangat mengagumi tempat ini! Dia senang tegak di sini. Di antara langit dan bumi. Tapi sekarang dia memilih tempat yang lebih indah. Taman Firdaus, katanya. Begitu betahkah dia di sana sampai tak mau datang menjenguk suaminya"
Atau... dia tidak bisa datang" Dia ingin. Tapi tak mampui
*** Paskal pulang dengan kecewa ke hotelnya. Hotel yang terakhir ditempatinya bersama
Soiandra. Senja sudah turun di Las Vegas. Tetapi panasnya masih tetap seperti di padang pasir. Membuat Paskal ingin buru-buru masuk ke hotelnya.
Dia melewati lobi hotelnya yang luas. Yang dipenuhi mesin-mesin dan meja judi. Tetapi
gemennting uang iogam tidak memikat hatinya " lagi. Tumpukan chips tidak menantang se-r* mangat judinya lagi. Dia lewat saja dengan lesu. Menolefi saja tidak.
Meskipun haus, ke coffee tidak memancing seleranya lagi. Come Back to Sorrento yang membuai lembut malah menambah pedih luka di hatinya.
Dia langsung menuju ke kamarnya. Kamar i yang sepi. Kamar yang kosong menyiksa.... j
Paskal membuka pintu kamarnya tanpa j mengharapk
an sambutan. Dia mengira akan j mengendus udara kamarnya yang sejuk tapi I kosong.
Tetapi begitu pintu terbuka, yang membelai I hidungnya justru aroma parfum yang sudah sangat dikenalnya. Aroma yang selalu mem-buarnya mabuk kepayang. Campuran harum I melati yang lembut dan aroma sitrus yang j menggoda.
Dan Paskal belum sempat menutup pintu ketika makhluk yang amat memesona itu mun- ' cul begitu saja entah dari mana.
"Hai," sapanya lembut mendayu bagai angin berembus.
Paskal membuka matanya lebar-lebar.
Hampir tidak memercayai penglihatannya sendiri.
Wanita cantik itu tegak di hadapannya bagai bidadari yang turun dari kahyangan. Rambutnya yang hitam lurus tergerai bebas sedikit melewati bahunya yang terbuka. Gaunnya yang berwarna hijau melon dengan keyhole front dan halter neck memamerkan bahunya yang putih mulus mengundang belaian. Sementara sabuk hitam yang meliliti pinggangnya yang ramping semakin membius Paskal. Membuatnya sampai lupa menutup pintu. "Andra!" desah Paskal hampir tercekik. Soiandra menyunggingkan seuntai senyum manis yang memabukkan. Dia memutar tubuhnya di depan suaminya. Membuat kerinduan Paskal semakin menggelegak tak tertahankan.
"Bagaimana"" Senyum Soiandra begitu menggoda. "Bagus nggak bajunya""
Pertanyaan yang sama! Benarkah ini peristiwa nyata" Atau cuma halusinasinya semata-mata"
Dia begitu mendambakan istrinya sampai khayalan itu muncul dari alam bawah sadarnya, menembus ke alam nyata"
Tetapi halusinasi atau bukan, Paskai tidak
hendak melepaskannya lagi. Dia tidak mau kehilangan Soiandra lagi!
Diraihnya istrinya dengan penuh kerinduan ke dalam pelukannya. Dikecupnya bahunya yang terbuka dengan mesra. Ketika bibirnya mulai merambah ke leher dan tangannya mulai melepaskan gaun istrinya, Soiandra menggeliat manja sambil tertawa lembut.
Pendekar Aneh Naga Langit 26 Cinta Tak Semudah Kata C.i.n.t.a Karya Azizah Attamimi Suling Emas Dan Naga Siluman 2
^