Pencarian

Tembang Yang Tertunda 2

Tembang Yang Tertunda Karya Mira W Bagian 2


"Tidak semudah itu. Kamu tahu betapa kecewanya aku ketika tidak menemukanmu di sini" Kamu tahu bagaimana sakitnya patah hati""
"Maafkan aku." Valerina menunduk dengan perasaan bersalah.
"Tiap tahun aku kemari. Menunggumu di sini. Tapi kamu tidak pernah muncul."
"Istrimu tahu" Dia tidak bertanya kenapa tiap tahun kamu ke sini""
"Kami bertemu di sini lima belas tahun yang lalu. Dia pramuniaga toko jam tangan. Setelah menikah kami pindah ke Gruyere. Jaraknya cuma dua ratus kilometer dari Tasch. Dia tidak dapat mencegahku bolak-balik ke sini setiap tahun. Aku punya toko kecil di sini. Dan aku punya sumpah yang tak bisa kuralat. Karena meskipun sudah menikah, di hatiku tetap ada kamu.
"Aku menyesal, Tris. Tapi aku tidak bisa melawan nasib. Rasanya ini memang yang terbaik untuk kita."
"Maksudmu tidak jadi menikah, kawin dengan orang lain, dan bercerai""
"Itu sudah nasib kira. Tris."
"Kamu dipaksa menikah oleh orangtuamu""
"Ayahku meninggal hanya seminggu sesudah aku pulang."
"Ibumu"" "Ibu sudah lama meninggal, ketika melahir
kan adikku." Kamu punya adik perempuan"" laki-laki."
"untuk membiayai sekolah adikmu, kamu berkorban menikah dengan orang kaya""
Nada sinis dalam suara Tristan memancing kejengkelan Valerina.
*Kamu sudah lama tidak pulang ke Indo-nesia"" "Kok tanya begitu""
"Di kepalamu, orang Indonesia menikah Hanya dengan alasan itu"" "Alasan seperti itu bukan hanya ada di Indo-
nesia, Val!" "Tapi aku menikah bukan dengan alasan itu."
"Kamu hamil"" Desak Tristan ragu-ragu.
"Kamu menikah anakku punya ayah""
"Tidak." "Kalau begitu mengapa kamu menikah"
mengapa kamu tidak kembali ke sini""
"Aku tidak ingin menjawabnya."
"Kamu harus menjelaskannya! sergah Tristan
keras. "Kamu tidak berhak memaksa!" sahut Valerina
sama kerasnya. "Kamu mencintai suamimu" desak Tristan marah. "Begitu pulang kamu bertemu dengan-nya. jatuh cinta, lalu melupakanku" Melupakan janjimu""
"Aku masih mencintaimu, sahut Valerina menahan perasaannya. Tapi aku tidak bisa kembali untuk menikah denganmu!"
Bohong!" geram Tristan jengkel. "Kamu tidak pandai berdusta!"
Oke, aku berdusta!" sergah Valerina menahan tangis. Katakan saja apa yang ingin kamu katakan!"
"Kamu masih mencintai suamimu"" "Kamu tidak pantas menamakannya!" "Aku pantas untuk tahu! Sembilan belas tahun aku menunggumu di sini!" "Kamu sendiri sudah menikah!" "Setelah empat tahun menunggumu! Setelah aku sadar dibohongi!"
Valerina membuang tatapannya ke jalanan. Tidak sanggup lagi membalas ...tapan Tristan. tetapi Tristan masih penasaran. Dia meraih lengan Valerina yang terkulai di atas meja. Dicengkeramnya kuat-kuat sampai Valerina
mengerutkan wajahnya menahan sakit. tapi Tristan tidak peduli!
Valerina harus tahu bagaimana sakit-dibohongi!
"Ceritakan padaku apa yang terjadi," katanya dingin. "Supaya aku dapat memaafkanmu!"
"Tidak perlu memaafkanku," bantah Valerina sambil menggigit bibirnya menahan tangis, "Maki saja diriku! Cerca aku! Benci diriku!"
"Sudah kulakukan sejak sembilan belas tahun yang lalu! Tapi aku masih belum dapat membunuh cintaku!"
"Lebih baik aku pergi," gumam Valerina pahit. "Sebelum pertemuan ini semakin menyakitkan hati!"
Dia bangkit dari kursinya. Dan meninggalkan Tristan tanpa menoleh lagi.
BAB VIII "Siapa anak lelaki itu, Ndari"" tanya Bimo curiga. "Sudah berapa kali Mas lihat dia mengantarmu pulang sekolah."
"Teman, Mas," sahut Sundari ketakutan. "Teman sekelas."
"Memang kau nggak bisa pulang
sendiri sampai perlu diantar segala" Kalau kau takut pulang sendirian, mulai besok Mas jemput!"
"Nggak usah, Mas," pinta Sundari tambah kecut. "Ndari bisa kok pulang sendiri. Cuma kebetulan saja rumah Ardan searah. Jadi kami pulang bareng. Ardan anaknya baik kok, Mas. Sopan. Pintar, lagi. Dia sering ngajarin Ndari fisika."
Untuk beberapa saat, Bimo memang dapat menerima alasan adiknya. Memang dalam pengamatannya, anak lelaki itu tampaknya tidak berbahaya. Dia bukan jenis anak lelaki
yang suka mengisengi teman perempuannya Tingkah lakunya juga kelihatannya sopan. Dan yang paling penting, dia pintar. Dia bisa meng. ajari Sundari. Membantu pelajarannya. Jadi Sundari tidak perlu mengambil les. Buang-buang uang saja.
Memang sejak ditinggal orangtuanya, Sundari menjadi tanggung jawab Bimo sepenuhnya Dan penghasilannya sebagai montir di bengkel sepeda motor, hanya cukup untuk hidup pas-pasan berdua dengan adiknya.
Untung Sundari tidak pernah merepotkan. Sebagai remaja empat belas tahun, dia tidak pernah minta macam-macam. Dia menyadari dari kalangan mana keluarganya berasal.
Almarhum ayahnya cuma seorang petani miskin yang tidak mewariskan apa-apa ketika meninggal, kecuali sebuah gubuk reyot di kampung. Kakaknya, Bimo, bercerai dengan istrinya ketika anaknya baru berumur dua tahun.
Karena tidak punya keahlian apa-apa kecuali mengutak-atik mesin motor, Bimo mencoba membuka bengkel kecil-kecilan. Tentu saja hasilnya tidak seberapa. Tapi dia tidak putus asa. Dia masih mencari tambahan dengan men-jadi perantara jual-beli motor bekas.
Tentu saja Sundari tahu perjuangan kakaknya untuk dirinya. Bimo bekerja keras untuk menghidupinya. Menyekolahkannya.
Sudah beberapa kali Sundari ingin berhenti sekolah dan mencari pekerjaan. Supaya dapat membantu kakaknya mencari nafkah. Tetapi Bimo selalu mencegahnya.
"Biar aku yang kerja," katanya tegas. "Kau sekolah saja."
Tidak heran kalau Sundari menggunakan kesempatan yang diberikan kakaknya dengan sebaik-baiknya. Dia tahu betapa mahalnya kesempatan itu.
Sundari tidak pernah bolos sekolah. Selalu belajar dengan rajin. Dan tidak pernah minta uang jajan.
"Aku nggak ingin bikin Mas Bim sedih, Dan," katanya kalau sedang mengobrol dengan temannya. "Dia satu-satunya abangku. Pengganti orangtuaku."
"Makanya aku suka gaul dengan kamu, Ndari," sahut Ardan terus terang. "Soalnya kamu nggak pernah macam-macam. Beda sama
teman-temanmu tuh. Hidup sederhana memang sudah menjadi jalan hidup Sundari sejak kecil. Karena itu dia tidak pernah terpengaruh biarpun bergaul dengan anak-anak orang kaya. Justru karena dia sederhana, tidak sombong, dan ramah, temannya banyak. Mereka rata-rata menyukainya.
Tetapi dari sekian banyak temannya, sahabatnya yang paling akrab cuma Ardan. Dengan dialahah Sundari dapat leluasa mencurahkan isi hatinya.
Ardan bukan anak keluarga sederhana seperti Sundari. Ayahnya manajer keuangan di sebuah perusahaan asuransi. Hidup mereka cukup ma-pan.
Tetapi Ardan tidak rombong, tidak ugal-ugalan. Tidak berfoya-foya dengan duit ayah nya. Karerna itu Sundari menyukainya. Dan tidak merasa minder bergaul dengannya.
Pergaulan mereka sudah berlangsung sejak kelas dua SMP. Semakin lama persahabatan mereka semakin erat. Sehingga mereka sudah bertekad untuk melanjutkan pelajaran ke SMA yang sama.
"Nggak tahu deh Dan," gumam Sundari
sedih. "Ayahmu pasti mau kamu sekolah di
SMA favorit. padahal Mas Bimo mana sanggup
bayar uang pangkal untukku"" Mulai besok aku nabung deh," kata Ardan
tegas. "Biarin aku nggak jajan. Supava bisa bantuin kamu bayar uang pangkal!"
Tetapi cita-cita yang luhur itu kandas di tengah jalan.
Valerina membuka pintu kamarnya dengan perasaan pengap. Padahal udara di kamar itu begitu segar. Pintu ke balkon yang memang sengaja tidak ditutup, menebarkan kesegaran ke seluruh kamar. Tetapi tak urung Valerina merasa sesak.
Pertemuan yang tidak disangka-sangka dengan Tristan malah menambah kepedihan harinya. Ternyata luka yang digoreskannya di hati pemuda itu begitu dalam. Tristan serius dengan janjinya. Sangat serius.
Meskipun tampaknya binal, cintanya tidak main-main. Dan sesudah dua puluh
tahun berlalu, tampaknya dia belum berhasil mem bunuh cintanya. Walaupun cinta itu kini dise lubungi dendam. Sakit hati.
Tristan merasa dikhianati. padahal Valerina tidaak sanggup mengungkapkan mengapa dia melanggar janjinya.
Terlalu pedih menceritakan nestapa itu. ter lalu pahit. Bahkan hanya untuk mengingatnya kembali sekalipun!
Tetapi bagaimana menjelaskannya pada Tristan" Bagaimana memulihkan sakit hatinya: Bagaimana menyembuhkan lukanya tanpa menoreh luka baru"
Kamu tidak mengerti, Tristan, keluh Valerina sambil menengadah menelan air matanya yang menyekat di kerongkongan. Kamu tidak mengerti betapa aku merindukanmu. Betapa sakit mengingat janji kita tanpa dapat menepatinya!
Kamulah cinta pertamaku. Kamu cintaku yang sesungguhnya. Kalau boleh memilih, aku pasti sudah kembali kemari sembilan belas tahun yang lalu!
Tapi petaka itu terlalu pahit! Aku tidak sanggup melihat wajahmu lagi. Aku tidak pantas dibawa ke hadapan orangtuamu, karena aku sudah tidak berharga!
Dilemparkannya tasnya ke tempat tidur. lalu dengan langkah gontai dia berjalan ke balkon sambil menyusut air matanya.
Dia ingin duduk lagi di sana. Memejamkan matanya. Dan mencoba melupakan segalanya.
Setelah dikhianati suaminya, kini muncul masalah baru. Lelaki dari masa lalunya muncul kembali. Dan setelah bertemu kembali, ternyata gereget cinta pertama mereka masih terasa.
Dalam kemarahannya, Tristan tidak dapat menyembunyikan sisa-sisa cinta pertamanya. Tapi justru karena itu hati Valerina bertambah sakit.
Seandainya Tristan membencinya, Valerina malah tidak terlalu sedih. Pantas kalau lelaki itu benci padanya. Sakit hati. Valerina telah melanggar janjinya. Memberikan janji palsu. Padahal Tristan sudah menunggunya di sini.
Tetapi justru karena Tristan masih terlihat mencintainya, Valerina jadi bertambah sedih. Dan kesedihan yang memang sudah menumpuk di hatinya sejak berangkat dari Jakarta jadi semakin menggunung.
Mengapa hidup ini begitu kejam kepadanya" Mengapa prahara tidak ada habis-habisnya menyapa dirinya"
Dan Valerina belum sempat menjatuhkan dirinya ke kursi. Matanya terbentur pada sesosok tubuh di bawah sana.
lelaki itu tengah menengadah, dan Valerina
tahu, dia bukan sedang memandangi keindahan
bunga-bunga yang bermekaran di pagar balkonnya. Lelaki itu sedang menatapnya.
Sesaat mereka saling pandang. Sesaat mata mereka seolah-olah berbicara dalam kesunyian Lalu mereka seperti digerakkan oleh tenaga yang sama. Tenaga yang tidak kelihatan. Tenaga yang lahir dari kerinduan yang tak terbendung lagi.
Ketika tubuh lelaki itu menghambur ke dalam hotel, refleks Valerina berlari masuk Dia menerjang ke pintu. Dan membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
Dalam hitungan detik, dia sudah berada dalam pelukan lelaki itu.
Hanya sebulan sesudah Sundari menempuh ujian SMP, dia sadar ada yang berubah dalam dirinya. Perutnya semakin lama semakin besar. Haidnya tidak kunjung datang, tetapi payudaranya semakin padat
Dia tidak berani mengatakannya kepada abangnya. Tubuhnya tidak ada yang terasa sakit. Kepalanya tidak pusing. Muntah-muntah pun tidak. Hanya sekali-dua dia merasa mual.
Tapi keluhan itu hampir tidak berarti apa-apa buat Sundari. Dia malah merasa makin segar. Seolah-olah seluruh organ tubuhnya sedang menanti suatu peristiwa luar biasa.
Satu-satunya tempat pelampiasan isi hatinya hanyalah Ardan. Hanya kepadanyalah Sundari berani berterus terang.
Tetapi Ardan juga cuma seorang remaja lima belas tahun. Dia belum tahu apa-apa. Tapi setelah menduga-duga apa yang menimpa temannya, dia malah lebih takut lagi. Dan ingatannya melayang pada kejadian di rumah Sundari.
Siang itu, hampir tiga bulan yang lalu, mereka baru pulang sekolah. Seperti biasa, dia mengantarkan Sundari pulang ke rumahnya.
Bengkel motor di depan rumah Sundari hari itu sepi. Mas Bimo tidak berada di sana. Mungkin sedang mencoba motor yang baru diperbaikinya.
jadi tidak seperti biasanya, siang itu Sundari mengundangnya masuk- ke rumah. Ketika Sundari sedang mengambil minuman ke dapur, Ardan menemukan majalah pria dewasa milik Bimo, dan membalik lembaran demi lembaran majalah itu membuat gairahnya mem
beludak. Sentuhan ringan Sundari yang sedang meng hidangkan sirop malah merangsang berahinya Padahal biasanya sentuhan tidak sengaja seperti itu hanya membuatnya merasa nvaman.
Ardan mengajak Sundari masuk ke kamar menikmati isi majalah itu bersama-sama. Mula-mula memang sambil tertawa-tawa. Mereka merasa geli melihat gambar-gambar yang di-tampilkan. Sekaligus malu.
Tetapi lama-kelamaan tawa mereka menghilang. Berganti dengan keingintahuan yang dipicu oleh gairah remaja yang mulai menggoda. Tangan Ardan mulai menjelajahi tempat-tempat yang biasanya tidak berani dikunjunginya. Dan sentuhan tangan temannya kali ini membiaskan efek yang berbeda dari biasa. Kalau biasanya Sundari merasa senang, kali ini dia merasa nikmat.
Semakin lama gairah mereka semakin sulit dikekang. Keberanian Ardan menjelajah semakin membara. Dan kepasrahan Sundari se- | makin mutlak. Dia seperti ikut menikmati semuanya. Dari A sampai Z. Sundari tidak mampu lagi mencegah ke-
inginan Ardan. dan semuanya terjadi begitu
saja. selesai hanya dalam hitungan menit.
"Kamu nyesel, Ndar"" bisik Ardan antara senang dan khawatir.
Sundari menggeleng meskipun dia sedang ketakutan setengah mati. Apa yang baru saja mereka lakukan" Kok bisa ya sampai ke sana"
Hari itu Ardan gembira bukan main. Dadanya membeludak oleh kebahagiaan. Rasanya tubuhnya segar bukan main. Seperti ada sumbat botol yang lepas. Dan semua limbah beracun di tubuhnya mengalir keluar.
Hari itu dia tiba-tiba saja menjelma menjadi penyair. Dia bisa membuat puisi semudah menggambar gunung. Tentu saja puisinya tentang cinta. Dan cuma satu eksemplar. Tapi siapa peduli"
Itu ungkapan isi hatinya ketika kebahagiaan sedang meluap. Ketika semua yang terlihat dan terasa menjadi jauh lebih mengesankan.
Sundari juga merasa kehangatan menyelinap ke hati kecilnya. Dia merasa senang. Nikmat. Puas. Entah apa lagi. tetapi setiap kali ingatannya kembali ke peristiwa itu. dia merasa malu.
Merasa takut. "Nggak apa apa. nggak usah. takut.'" bujuk Ardan lembut- 'Nggak ada yang tau kok.'
Setelah peristiwa itu, mereka merasa semakin
dekat. Seolah-olah tidak ingin dipisahkan lagi. Ardan beberapa kaili minta Sundari melakukan nya lagi. Tetapi Sundari menolak.
Dia takut ketahuan abangnva. Takut keper. gok sedang berduaan dengan Ardan di dalam kamar.
Mas Bimo bisa ngamuk. Dan kalau sudah marah. Mas Bimo bisa tampil mengerikan sekali.
Adat Mas Bimo memang jelek. Tidak heran kalau istrinya tidak tahan hidup bersamanya Kalau sudah bertengkar, dia tidak segan-segan mengasari istrinya. Bahkan anaknya kadang-kadang ikut dipukul kalau rewel.
Setelah merasa tidak tahan lagi, istrinya minta cerai. Dan dia hidup di kampung ber-sama anaknya yang saat itu baru berumur dua tahun. Dia merasa sanggup menghidupi anaknya hanya dengan berjualan gado-gado di depan rumah warisan orangtuanya. Daripada mereka dipukuli terus!
Sementata Bimo membawa adiknya merantau ke Jakarta. Dia membuka bengkel motor di depan rumah kontrakannya.
Dengan susah payah Bimo berjuang menghidupi dan menyekolahkan adiknya hanya Sundari-lah pemicu semangat Bimo
Karena meskipun Bimo kasar, dia sangat menyayangi Sundari. Justru sayangnya yang kadang-kadang berlebihan pada adiknya itulah yang sering memancing pertengkaran dengan istrinya.
Apa pun kesalahan Sundari, di mata abangnya dia tidak pernah salah. Tidak heran kalau istri Bimo sering merasa iri.
"Ndari anak baik," bantah Bimo setiap kali istrinya mengadukan kesalahan adiknya. "Nggak mungkin dia berbuat begitu."
Karena itu Sundari sendiri sebenarnya takut sekali berbuat salah. Dia bukan hanya takut dihukum. Dia takut mengecewakan abangnya.
Makanya ketika Ardan mengajaknya melakukan hubungan intim lagi, Sundari selalu menolak. Alasannya tentu saja karena mereka harus belajar. Ujian sudah di depan mata. Iru alasan yang paling masuk akal, kan" Alasan yang dapat diterima Ardan.
Jadi hampir tiga bulan terakhir itu mereka lewati seperti biasa. Ardan harus menahan gairahnya baik-baik. sementara sundari merasa
semakin mencintai sahabatnya yang kini sudah
resmi menjadi pacarnya. tetapi kini ada sesuatu yang berbeda. ada
sesuat u yang mengganggu pikiran Sundari. dia menyampaikannya kepada Ardan setelah tak mampu lagi menyimpannya seorang diri.
Tapi Ardan juga tidak tahu apa-apa. dia sama bingungnya dengan Sundari. Akhirnya dia mengajak Sundari ke dokter, setelah tak tahu lagi harus bertanya kepada siapa.
"Mendingan kita tanya dokter aja, Ndar," kata Ardan khawatir. "Biar aku yang bayar ongkosnya."
"Tapi aku nggak sakit apa-apa, Dan. Ngapain ke dokter"" "Katanya perutmu tambah besar...." Dan haidku tak kunjung datang, pikir Sundari resah. Sebenarnya dia juga cemas. Tapi dia takut pergi ke dokter. Takut dokter itu mengatakan sesuatu yang mengerikan....
Dan apa yang ditakutinya ternyata benar. Dokter itu mengatakan dia hamil. Hampir dua belas minggu!
Memang kandungannya kecil. Tapi kata dokter, anaknya sehat. Dan yang paling penting, anak itu hidup. Sudah terlambat pula untuk digugurkan!
Bukan main paniknya Sundari. "terus terang dia memang sudah menduga. Ketika perutnya
bertambah besar, dia sudah ketakutan. Kha-watir hamil. Tetapi mendengar kata-kata dokter itu, dia semakin panik. Jadi ketakutannya benar! Dia hamil!
Yang takut dan panik ternyata bukan hanya Sundari. Ardan juga.
Celaka. Benar-benar celaka! Sundari hamil! Tiga bulan!
Sudah terlambat untuk digugurkan, kata dokter itu. Terlambat!
Jadi apa yang harus mereka lakukan" Harus dikemanakan anak itu"
Berhari-hari Ardan menghilang. Waktu itu sekolah memang sudah libur. Pengumuman ujian sudah keluar. Ardan dan Sundari dinyatakan lulus. Tapi Ardan menolak keinginan ayahnya masuk sekolah favorit di Jakarta. Dia malah ingin melanjutkan sekolah ke Surabaya.
Dia sudah lupa pada janjinva kepada Sundari. Lupa janjinya untuk bersama-sama masuk SMA favorit. Lagi pula, kata siapa Sundari masih bisa melanjutkan sekolah" Ardan ngeri membayangkan apa yang bakal
terjadi, perut sundari makin besar. Semua orang tahu dia hamil. Abangnya marah-marah, Dan Sundari melahirkan anak haram...
Ardan tidak berani memikirkannya lagi. yang ada di kepalanya cuma lari! Lari sejauh-jauh nya. Seolah-olah Sundari kini menjadi momok yang menakutkan!
Jadi Ardan minta pada ayahnya agar di sekolahkan di Surabaya saja. Ikut pamannya.
Ayahnya menjadi bingung. Mengapa tiba-tiba anaknya minta disekolahkan di Surabaya" Dia tidak tahu, yang lebih bingung lagi sebenarnya Ardan. Setiap kali memikirkan Sundari, dia merasa resah. Lebih-lebih kalau memikirkan anak dalam kandungannya.
Ardan benar-benar bingung. Apa yang harus dilakukannya" Dia telah menghamili temannya. Bagaimana memecahkan masalah ini"
Ardan tidak mungkin menikahi Sundari. Dia batu lima belas tahun. SMP saja baru lulus!
jadi satu-satunya solusi hanya melarikan diri!
Kalau Ardan bisa lari dari tanggung jawab, tidak demikian halnya dengan Sundari. Dalam
satu bulan saja, perutnya sudah bertambah
besar. Dan dia tidak mungkin menyembunyi
kannya terus dari tatapan orang, terutama
tatapan abangnya. Suatu hari, kebetulan Bimo pulang agak siang. Dia menaruh motornya yang baru ditesnya di bengkel. Lalu dia masuk ke rumah.
Dan dia menemukan adiknya sedang mencuci pakaian. Bajunya basah kuyup. Dan mata Bimo terbelalak ketika baju basah yang melekat di tubuh adiknya itu memetakan dengan jelas perutnya yang menonjol.
"Ndari!" bentaknya antara kaget dan gusar. "Kenapa perutmu" Kau hamil""
Karena Sundari selalu menyangkal, Bimo memaksa adiknya pergi ke dokter. Dan di depan dokter, Sundari tidak bisa mengelak lagi.
Bimo begitu marahnya ketika tahu adiknya hamil. Dia penasaran sekali siapa yang telah menghamili adiknya. Tetapi Sundari tetap mengunci mulutnya rapat-rapat. Dia tidak mau memberitahukan siapa ayah anaknya.
Apalagi saat itu Ardan telah menghilang entah ke mana. Ketika Sundari datang ke rumahnya, yang ada cuma pembantunya. Dan pembantu itu bilang, Ardan bersekolah di Suraba a Dia tinggal di rumah pamannya.
Tetapi pembantu itu tampaknya juga tidak ingin memberitahukan alamat majikannya, "Nggak tahu saya, Non," sahutnya lugu. Mungkin nalurinya sebagai seorang wanita sudah membisikkan, ada sesuatu yang telah terjadi. Sesuatu yang tidak menyenangkan. se suatu yang membuat Ardan taku
t. Sesuatu yang membuat dia ingin menyingkir.
Kalau ridak, kenapa Ardan harus menyembunyikan alamatnya" Kenapa bukan Ardan sendiri yang memberitahu temannya di mana dia tinggal di Surabaya"
Karena itu lebih baik kalau dia tidak usah memberitahukan di mana majikan mudanya berada. Lebih aman. Daripada disalahkan nanti
Tentu saja dia sudah pernah melihat Sundari. Dia pernah melihat Ardan datang dengan temannya ini ke rumah.
Tapi hari ini dia tampak sangar berbeda. Wajah teman Ardan ini bukan hanya memelas. Wajahnya pucat seperti orang sakit. Daripada merepotkan Ardan, lebih baik mereka tidak usah bertemu!
Jangan-jangan anak perempuan ini cuma mau minta tolong. Sakit apa dia" kenapa
mesti minta tolong pada Ardan" Kenapa tidak bilang saja pada orangtuanya" Aneh.
Sundari terpaksa pulang dengan tangan hampa. Dia merasa sangat putus asa. Dalam keadaan terjepit, satu-satunya orang yang diharapkannya dapat membantu malah sudah menghilang entah ke mana.
Sundari merasa dikhianati. Merasa ditinggalkan seorang diri. Tapi cintanya kepada Ardan tidak berubah. Dalam keadaan sesulit apa pun, dia tetap melindunginya. Merahasiakan namanya.
Sementara abangnya setiap hari marah-marah. Setiap hari mendesaknya. Memaksanya memberitahukan siapa ayah anaknya.
Ketika Sundari merasa tidak sanggup lagi mengelak dari gempuran pertanyaan kakaknya, dia memilih jalan singkat untuk mengakhiri semuanya. Sundari membunuh diri. Bimo terlambat menemukan adiknya. Sundari sudah tergantung tanpa nyawa di kamarnya. Lehernya terjerat seutas
BAB IX TRISTAN melepaskan jepitan rambut yang menggelung rambut Valerina.
"Aku melakukannya dua puluh tahun yang lalu sesaat sesudah menciummu untuk pertama kalinya," bisik Tristan sambil membelai rambut
Valerina yang tergerai bebas ke bahunya. "Ingat""
Valerina hanya mampu menganggukkan kepalanya. Hatinya bergetar bahagia, tapi jantungnya berdebar cemas.
"Aku sudah tidak secantik dulu lagi, kan"" desahnya lirih. "Sudut mataku berkerut, dahiku bergaris, pipiku menggelembung seperti balon""
"Kamu masih tetap secantik dulu," Tristan mencium pipi Valerina dengan lembut. Matanya menjelajahi sekujur paras yang memerah
malu itu. 'Aku masih tetap mengagumimu.
Memujamu. "Kamu pasti berdusta," Valerina memaling-kan wajahnya ke samping. "Umurku sudah empat satu. Pinggangku sudah delapan puluh lima senti. Berat badanku..."
Tristan menutup mulut Valerina dengan me-magut bibirnya dan mengulumnya mesra sampai Valerina tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dia mendesah lirih. Kakinya terasa lemas sampai punggungnya yang melekat di dinding merosot ke bawah kalau lengan Tristan tidak segera menangkap pinggangnya dan memeluknya erat-erat.
"Jangan ucapkan kata-kata itu lagi," bisik Tristan, terengah menahan gairahnya. "Bagiku kamu tidak pernah berubah, abadi seperti Matterhorn...."
Dan tembang yang dipersembahkan Tristan hati itu memang tidak berubah. Nadanya masih semerdu dua puluh tahun yang lalu. Nuansanya masih seindah nirwana yang pernah mereka gapai dulu.
Dan dia tidak mengizinkan Valerina me nutup tirai. Tidak mengabulkan permintaan wanita itu untuk menggelapkan kamar. Tristan malah sengaja membelai dan memandangi tu-buh kekasihnya sepuas-puasnya setelah melucuti
seluruh benang yang melekat di tubuh Valerina.
Mula-mula tentu saja Valerina merasa malu. Merasa cemas. Merasa direndahkan oleh postur tubuhnya yang sudah tidak prima lagi. Tetapi ketika memandang mata Tristan, ketika melihat kekaguman yang bersorot dalam tatapannya,
perlahan-lahan perasaan itu menghilang dengan
sendirinya. Bersamaan dengan lenyapnya perasaan itu, lenyap pula perasaan yang menggayutinya sejak dia mengetahui suaminya bercumbu dengan seorang gadis belasan tahun.
Perasaan rendah diri dan terhina. Perasaan seorang wanita di awal empat puluh yang merasa dirinya sudah tidak berharga lagi. Tubuhnya sudah tidak elok lagi. Kecantikannya sudah tidak dapat dibandingkan lagi dengan seorang gadis remaja.
Karena itu suaminya berselingkuh.! Karena di kamar tidurnya sendiri, dia sudah tidak terangsang lagi oleh tubuh istrinya yang tambun!
"Untung ranjang ini masih kuat men
ampung tubuh kita," gumam Valerina ketika mereka terkapar nikmat di atas tempat tidur setelah
tembang itu usai. "Badan kita sudah tidak seramping waktu kita berumur dua puluh satu, kan""
"Rasanya gemuk sudah menjadi obsesimu," Tristan membelai-belai rambut Valerina dengan lembut. "Padahal badanmu belum seperti karung beras. Buah melonmu masih segar berisi. Pantatmu masih kenyal. Lemakmu belum bertebaran seperti ilalang. Apa sebenarnya yang kamu takuti, Val" Menjadi tua itu wajar. Kamu bukan bukan selebriti. Buat apa menutupi aging process""
"Suamiku menghamili pacar anakku," terlepas begitu saja kata-kata itu dari celah-celah bibir Valerina. Suaranya geram menahan rasa marah yang sudah sekian lama terpendam. "Gadis itu baru berumur tujuh belas atau delapan belas tahun! Barangkali bersama remaja seumurnya, Mister Bond suamiku bisa beraksi lagi. Karena bersamaku, sudah hampir dua tahun dia tidak berdaya. Sekarang kamu dapat merasakan sakit hatiku" Bagaimana aku merasa terhina dan dilecehkan"
"Arschloch!" dengus Tristan antara gusar dan jijik. "Jika aku boleh menemuinya, akan ku-patahkan hidungnya"
"Tidak mengembalikan harga diriku yang terkoyak."
"Kamu mengira dia melakukannya karena kamu sudah gemuk dan tidak cantik lagj" Dengar, pandir! Dia akan tetap melakukannya biarpun kecantikanmu abadi seperti Dayang Sumbi! Karena anjing tetap makan sampah di jalanan biarpun di rumah disediakan bistik!"
"Bukan main! Orang Swiss masih ingat Dayang Sumbi!"
"Itu nama anjing Saint Bernard-ku. Sejak kecil aku mengagumi Sangkuriang."
"Tapi kamu tidak mengidap Sangkuriang kompleks, kan""
"Masih perlu tanya lagi" Kamu pikir aku bisa melakukan seperti tadi kalau aku mencintai ibuku" Kalian sama sekali tidak mirip!" "Ibumu cantik""
"Tidak secantik kamu. Suamimu ganteng"" "Tidak seganteng kamu." "Kalau begitu, kenapa kawin dengan dia"" "Saat itu aku tidak punya pilihan." "Kenapa tidak balik kemari" Lanjutkan studimu, lalu tepati janjimu. Temui aku di sini." "Ayahku meninggal."
"Kamu tidak punya duit untuk beli tiket kemari""
"Banyak masalah." Valerina menarik napas berat. "Aku tidak ingin membuka luka lama."
"Tapi luka lamaku belum sembuh kalau kamu belum menceritakan alasanmu ingkar janji, Val!"
"Juga sesudah tubuh dan jiwa kita bersatu seperti tadi"" Valerina menatap Tristan dengan getir. "'Kupikir kamu telah memaafkanku. Kalau tidak, bagaimana kamu dapat melakukan-nya""
"Karena aku masih mencintaimu," sahut Tristan jujur. "Dan cinta tidak pudar sekalipun disakiti."
Valerina tidak dapat menahan air matanya mendengar kata-kata lelaki itu. Bukan untuk pertama kalinya dia menyesali pengkhianatannya. Tetapi ketika mendengar kara-kata Tristan, dia merasa sangat berdosa sampai tak mampu lagi membuka mulutnya.
Ternyata lelaki itu masih sangat mencintainya. Pertemuan jiwa dan rubuh mereka sesaat tadi masih seindah dua puluh tahun yang lalu Padahal sudah lama Valerina tidak pernah menikmati lagi keindahan seperti itu.
Hubungannya dengan suaminya hanya masa lah rutinitas dan kewajiban. Pada awalnya dia masih dapat merasakan Kenikmatannya. Tetapi sepuluh tahun terakhir, semuanya berlangsung seperti meeting di kantor. Dua tahun terakhir ini malah dia tidak pernah menggapai orgas-mus lagi. Karena Aryanto jarang dapat menyelesaikannya. Kalaupun selesai, semuanya berlangsung terlalu cepat sampai Valerina ridak keburu menikmatinya.
Dengan Tristan. semuanya berbeda. Dia seperti masuk ke sebuah rumah yang dikenalnya. Ketika pintu terbuka, seisi rumah menyambutnya seolah-olah dia ratu yang kembali ke istana.
Musik yang didengarnya, aroma yang diciumnya, kenikmatan yang disentuhnya, semua seperti miliknya. Meluncur tanpa hambatan ke dalam pelukannya. Dirinya seperti digulung kain sutra halus dibenamkan dalam larutan sabun harum semerbak, dibelai belasan tangan bidadari yang mengangkat dirinya ke atas awan. Melayang dan menari dalam rengkuhan kebahagiaan yang tak pernah berakhir.
Mungkinkah semua itu terjadi bila tak ada cinta"
Tetapi kalaupun benar dia masih mencintai Tristan Putradewa, cintanya yang pertama, apa bedanya lagi dia dengan suaminya" Aryanto mengg
auli Desi. Bukankah Valerina pun me nyerahkan dirinya pada Tristan"
Bahkan Aryanto mungkin tidak pernah mencintai pacar anaknya itu.
"Semuanya terjadi begitu saja," katanya dalam aroma penyesalan yang pekat.
Aryanto melakukannya tanpa sengaja. Dia khilaf.
Terapi Valerina melakukan perselingkuhan ini dengan sengaja! Dan hari ini dia juga menyadari suatu hal lagi. Jauh di relung hatinya yang paling gelap, dia masih menyimpan seorang laki-laki. Dan lelaki itu bukan suaminya.!
Tetapi bukankah perselingkuhan ini justru mengembalikan harga dirinya, kepercayaan dirinya" Dengan seorang pria yang masih memuja dirinya sampai sedemikian rupa. bukankah harga dirinya yang terkoyak oleh perselingkuh-an suaminya justru kembali dimilikinya"
Dan Tristan melakukannya bukan hanya sekali, Dia melakukannya setiap hari sampai
Valerina lupa dalam tiga tahun terakhir ini
berat badannya telah naik sepuluh kilo!
"Aku merasa sangat tersanjung." katanya terus terang ketika Tristan sedang membuka jepit yang menggelung rambutnva. Membiarkan helai-helai rambutnva tergerai ke bahu. Dan mencium lehernya dengan penuh gairah sampai Valerina menggeliat geli. "Dalam usia empat puluh satu tahun, masih ada seorang laki-laki yang memuja dan mengagumi ku seperti ini."
"Kamu yang kurang percaya diri," sahut Tristan sambil tersenyum. "Sekali dikhianati suami kamu sudah merasa tidak berharga seperti sampah. Padahal kamu masih cantik kok. Apalagi kalau wajahmu tidak murung seperti patung singa sekarat di Lucerne itu. Nggak percaya" Coba tersenyum... ayo, tersenyum! Tersenyumlah kepada dunia! Kepada semua orang! Dan mereka akan bilang, suamimu kalau tidak gila pasti buta!'
Valerina tersenyum mendengar kelakar Tristan. Dan Tristan langsung meraih dagunya. Mengangkatnya. Memaksa Valerina membalas tatapannya yang penuh gairah.
"Benar, kan" Kamu masih cantik kalau ter-senyum. Biarpun umurmu sudah delapan satu."
"Kamu masih mengagumiku kalau umurku sudah delapan satu""
"Biarpun mataku sudah rabun!" cetus Tristan spontan.
"Lalu bagaimana kamu bisa mengagumiku kalau tidak melihat""
"Aku masih bisa mencium harumnya aroma parfummu, kan""
"Kalau begitu cium saja sebotol minyak wangi!"
Mereka tertawa terpingkal-pingkal. Suasana terasa begitu ceria.


Tembang Yang Tertunda Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Persis seperti dua puluh tahun yang lalu. Ketika mereka sedang bertualang bersama. Ketika mereka masih sama-sama muda. Ketika cinta sedang membakar jiwa. Ketika hidup ini masih seindah Serenade. Ketika bahkan hari esok masih begitu penuh harapan. Tak ada badai. Tak ada petaka. Tak ada pengkhianatan.
Hari-hari yang kemudian mereka lalui terasa semanis dulu. Seolah-olah mereka' seperti dilemparkan kembali ke masa dua puluh tahun yang lalu.
Tristan bukan hanya menyanjung Valerina. Melimpahinya dengan cinta kasih. Dia juga membelikan wanita itu sebentuk cincin ber-mata berlian. dan di Gornergrat, di ketinggian
lebih dari tiga ribu meter, ketika mereka sedang memandangi puncak Matterhorn yang dikalungi awan putih. tristan menyelipkan cincin itu dijari manis Valerina.
hampir titik air mata valerina ketika dia melihat cincin yang melingkari jari manisnya itu.
"aku sudah menyiapkan cincin untukmu sembilan belas tahun yang lalu," gumam tristan sambil menahan emosinya. "setiap tahun selama empat tahun berturut-turut aku membawa cincin itu ke Zermatt. ketika kamu tidak muncul juga, kutukar cincin itu dengan cincin kawin istriku. tapi bahkan ketika sedang memakaikan cincin itu di jarinya, aku masih membayangkan dirimu."
"Maafkan aku, Tris," desah Valerina sedih.
"Kalau aku tahu begitu berat penderitaanmu..."
"Kamu tidak dapat membayangkannya." dengus Tristan kering. "Karena saat itu kamu masih dalam pelukan hangat suamimu!"
bukan seperti yang kamu sangka, jerit valerina dalam hati.
dia memalingkan wajahnya. supaya tristan tidak melihat air matanya. di depan sana, puncak matterhorn yang berbentuk piramida semakin tersembunyi di balik awan. tetapi manusia yang duduk-duduk di tepi tebing memandanginya malah semakin banyak.
seperti itu jugakah dirinya sekarang" dalam belitan prahara, ternyata semakin banyak pula lelaki yang menginginkan dirinya.
" Maafkan Papa, Ma," terngiang di telinganya permohonan maaf suaminya. "beri saya kesempatan sekali lagi. saya berjanji akan mengembalikan keutuhan rumah tangga kita."
"Aku akan memaafkanmu kalau kamu bersedia melanjutkan tembang kita yang tertunda, Val," Tristan memeluk wanita itu dengan lembut. "lupakan suamimu. tinggallah di sini bersamaku. aku punya toko di sini. kita bisa mengelolanya bersama-sama. kamarnya bisa direnovasi. tidak sebagus kamar hotel, tapi aku jamin, pasti nyaman."
"Dari mana uangnya, Tris""
"tidak usah kamu pikirkan. tidak ada yang terlalu mahal untuk cinta."
"Rasanya aku diciptakan hanya untuk menyusahkan hidupmu."
"Tidak, Val. kamu diciptakan untuk membahagiakan diriku. sekarang jangan pikirkan apa-apa lagi. pikirkan saja kebahagiaan kita. masa depan kita. cinta kita."
"Anak-anakku masih membutuhkan diriku, Tris.
"Mereka sudah besar-besar, kan" Yang sulung sembilan belas. Yang bungsu delapan belas. Di sini kalau mereka masih tinggal dengan orangtua. mereka malah dianggap aneh."
Tapi aku yakin anak-anakku bukan seperti itu. Mereka masih membutuhkan diriku. Biarpun Kezia sudah di uni, Revo sudah di luar negeri, mereka masih memerlukan aku. Apalagi setelah ayah mereka melakukan perbuatan yang demikian tercela!
Tinggal denganku bukan berarti menghilang ke Planet Mars, kan"" bujuk Tristan malam itu, ketika dia mengajak Valerina ke tokonya. Sebuah toko kecil yang menjual segala macam keperluan ski dan panjat tebing. "Kamu masih bisa melihat mereka. Mengunjungi anak-anakmu. Dan mereka masih bisa menghubungimu. Menemuimu. Tapi kamu tidak perlu tinggal lagi bersama suamimu. Tinggalkan saja dia
bersama gadis remaja nya. Supaya Mister Bond
nya bertambah perkas."
Aku memang ingin meninggalkan mas Ary.
Tapi aku tidak ingin meninggalkan anak-anakku!
daptkah meereka menerima kehadiran Tristan" apakah mereka tidak memilih me-
maafkan ayah mereka dan minta mama juga kembali kepada Papa"
Di sini, semua memang terasa berbeda. Karena di sini tidak ada Kezia. Tidak ada Revo. di sini hanya ada dia dan Tristan.
Tristan telah membuatnya melupakan semua kesedihannya. Sakit hatinya. Kekecewaannya. Bahkan anak-anaknya.
"Jika aku memutuskan untuk melanjutkan tembang kita, aku ingin mengakhirinya dalam sebuah perkawinan, Tris," kata Valerina jujur. "Bukan perselingkuhan."
"Bagiku yang terpenting kebersamaan," sahut Tristan apa adanya. "Apa artinya selembar kertas kalau jiwa kita tidak terbungkus rapat
di dalamnya"" "Kita akan membungkusnya rapat-rapat.Tris. Sampai tak ada celah untuk orang ketiga."
"Oke, kalau itu maumu. di mana kamu Ingin menikah" Di sini" Atau di Jakarta"" "Aku harus membicarakannya dulu dengan
anak-anakku." "Minta izin maksudmu""
"Aku sekarang bukan hanya seorang wanita, Tris. Aku seorang ibu. Anak-anakku sudah besar. Aku harus mendengar suara mereka"
"Aku mengerti. Dan aku yakin, anak-anak mu juga pasti mengerti keinginan ibu mereka. Sekarang jangan pikirkan apa-apa lagi. Mari kita masuki episode baru dalam hidup kita. Flashback ke tahun delapan lima."
Tristan membawa Valerina keliling Swiss. Napak tilas perjalanan mereka dua puluh tahun yang lalu. Tapi kali ini mereka tinggal di hotel. Mereka bisa bermesraan setiap malam.
Tristan juga mengajaknya ke St. Moritz untuk main ski. Mengajarinya meluncur di salju. Dan setelah dua minggu jatuh-bangun, Valerina merasa berat badannya sudah menyusut dua kilo. Tapi tubuhnya terasa jauh lebih segar. Wajahnya lebih bersinar. Dan semangatnya hidup kembali. sampai suatu hari mereka terpaksa turun
karena hujan yang tak kunjung berhenti. Banjir mulai menyerbu daratan Eropa termasuk Swiss.
Begitu hebatnya banjir yang terjadi kali ini,
sampai jembatan kayu dari abad keempat belas
di Lucerne pun hampir terendam.
Tadinya Tristan ingin membawa Valerina ke
Bern. tetapi karena Bern-pun terendam banjir,
Tristan mengubah tujuannya.
"Aku akan membawamu mengungsi ke Italia," kata Tristan, cerah seperti biasa. baginya tak ada mendung, tak ada banjir. selam Valerina masih dalam pelukannya, matahari hidupnya masih tetap bersinar.
Dan Tristan membawa Valerina naik kereta api dari Lucern
e ke Venesia. kali ini mereka membeli tiket kelas satu.
BAB X BUKAN main terperanjatnya Ardan ketika melihat lelaki itu tegak di depan pintu rumah pamannya. Sekejap dia merasa kakinya lemas. Mukanya pucat pias.
"Mas Bimo" sapanya terbata-bata. "Ada apa""
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu," sahut Bimo pendek. Suaranya dingin. Sedingin tatapannya.
"MAsuk saja, Mas," Ardan buru-buru me lebarkan pintu. "Kita ngobrol di dalam. Ndari baik, Mas""
"Kenapa baru naya sekarang"" Suara lelaki
itu melukiskan sakit hati yang amat Sangat.
mata Ardan terbeliak takut. ditatapnya Bimo dengan resah.
"Ndari sakit, Mas"" tanyanya gugup.
"Dia selalu menanyakanmu." "Di mana dia, Mas" Dia ikut kemari""
"Mau menemuinya sekarang""
tentu saja Ardan tidak mau! Untuk meng hindari bertemu lagi dengan Sundari-lah dia
kabur kemari! tetapi bagaimana menolak per
mintaan Bimo" bagaimana menghindari ke curigaannya"
"Tentu, Mas. Tapi jangan sekarang, ya. Saya harus tunggu Paman pulang dulu. Minta izin."
"Tidak perlu. Kita hanya pergi sebentar."
Dan Bimo memang sulit dibantah. Apalagi dalam keadaan seperti ini.
"Ndari sehat kan. Mas"" desak Ardan gelisah.
"Dia nggak sakit"" "Nggak. Kenapa kaupikir dia sakit" Karena
ditinggal begitu saja"" "Ayah mau saya sekolah di sini, Mas." sahut Ardan gugup.
"Oh, jadi ayahmu yang menyuruhmu sekolah di sini!" seringai Bimo begitu mengerikan. "Padahal baru saja ayahmu bilang. dia tidak tahu kenapa kau mendadak mau sekolah di Surabaya!"
Segurat perasaan tidak enak yang tadi meng gores hati Ardan menoreh makin dalam. tiba
tiba saja ketakutan yang amat sangat menggerogoti hatinya.
Sudah tahukah Bimo" sudah bilangkah sundari" untuk itukah dia datang ke sini" untuk minta pertanggungjawabannya"
Tetapi Bimo tidak memberinya kesempatan untuk berpikir. apalagi menyingkir.
"Ayo ikut," kata Bimo tegas.
"Ke mana, Mas"" desah Ardan ketakutan.
"Menemui sundari. kemana lagi""
"Saya harus pamit dulu, Mas..."
"Tidak usah. ayo ikut!"
Kata-kata Bimo tidak mungkin dibantah lagi. dia akan makin curiga kalau Ardan tidak mau ikut.
jadi terpaksa dia menggunakan jurus terakhir.
"Saya tukar baju dulu ya, Mas."
"Tidak perlu. sundari sudah tidak sabar ingin menemuimu."
"Saya harus pamit..."
"Sama dia juga kau nggak pamit!"
"Mas Bimo..." "Ayo, ikut!" Sekarang Bimo mencengkeram lengan Ardan dan menghelanya keluar. "Kenapa kau mendadak takut ketemu Sundari""
"Bukan takut, Mas. tapi..."
"Kalian bertengkar""
jadi dia belum tahu, pikir Ardan dengan secuil perasaan lega. Dia belum tahu Sundari
hamil! "Ya, Mas. Kami bertengkar sedikit." "Karena itu kau kabur ke Surabaya"" Bimo memaksa Ardan naik ke boncengan motornya. Lalu dia melarikan motor itu dengan kecepatan yang menggila. Membuat Ardan bertambah ketakutan.
"Sundari bilang apa, Mas"" desisnya di sela-sela deru motor Bimo. "Nggak bilang apa-apa." "Di mana dia sekarang"" Di tempat kita akan menemuinya." "Di rumah""
"Apa bedanya dia di rumah atau di warung menunggumu"" "Kenapa dia begitu ngotot mau ketemu saya,
Mas"" "Kau tidak ingin ketemu" Nggak kangen"" Tentu saja Ardan kangen. Tapi dia takut. "Ndari ngomong apa, Mas"" "Nggak ngomong apa-apa." "Mas nggak nanya kenapa dia ngotot mau
ketemu saya"" "Tanya saja sendiri," sahut Bimo dingin.
"Kalau kau ketemu dia nanti."
"Saya akan membebaskanmu kalau kau sampai ditangkap." kata Aryanto tegas. "Tapi ada syaratnya."
"Berapa, pak"" tanya pria itu ketakutan.
"Bapak kan tahu saya nggak punya uang,"
"Kau tidak perlu membayar jasa saya. saya akan menjadi pembelamu. tapi kau harus membantu saya."
"Apa yang dapat saya bantu, pak"" lelaki itu mengawasi Aryanto Ranggaperkasa, S.H. dengan bingung. di balik meja tulisnya yang lebar dan kokoh, dia tampak begitu perkasa seperti namanya. apa yang dapat diperbuatnya untuk menolong orang sehebat dia"
"Tanda tangani surat ini," Aryanto mengeluarkan secarik kertas kosong dari dalam laci meja tulisnya. "di atas materai."
pria itu mengawasi kertas kosong di hadapannya dengan bengong.
"Apa yang harus saya tulis, pak""
"Kau tidak usah menulis apa-apa. tanda tangani saja."
sekali lagi laki-laki itu menatap Aryanto dengan bingun
g. "Kau mau saya bantu atau tidak"" sergah Aryanto tidak sabar. "Kalau mau, tanda tangani. jangan banyak tanya lagi. kalau tidak, tinggalkan kamar kerja saya. cari pengacara lain untuk membela kasusmu!"
"Saya mau, pak," gumam lelaki itu putus asa. dia meraih kertas itu dan membubuhkan tanda tangannya tanpa berpikir lagi.
"Oke," Aryanto mengambil kertas itu dan menyimpannya di laci meja tulisnya. "Sekarang, serahkan semuanya kepada saya."
"Tapi... apa yang saya harus lakukan, pak" bagaimana saya dapat membalas jasa bapak""
"Kau bakal tahu nanti, kalau saatnya sudah tiba."
Kalau saatnya sudah tiba" apa maksudnya"
"Ini uang untuk membeli baju baru,"
Aryanto mendorong setumpuk uang yang diambilnya dari balik buku yang terbuka di hadapannya. "Mulai sekarang kau harus tampil rapi. cukur rambutmu. beli sepatu baru. dan
berhenti bertanya. oke" besok kita ketemu lagi. saya tidak mau lihat kau kumal begini!"
karena besok Aryanto akan membawa pemuda itu ke rumah Desi. dia akan berpura-pura mewakili ayahnya untuk menemui ayah Desi.
besok mereka akan membicarakan perkawinan Desi. membicarakan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi supaya Desi dapat melahirkan anaknya dengan tenang.
Aryanto harus bergerak cepat. kehamilan Desi sebentar lagi tak dapat disembunyikan. dan dia ingin menyelesaikan segalanya secepat mungkin. supaya dia dapat segera memanggil Valerina pulang.
"Semuanya beres," begitu ditulisnya sms untuk istrinya. "Desi akan segera menikah dengan seorang laki-laki yang bersedia jadi ayah anaknya."
Tetapi Aryanto kecewa. sms-nys tidak berbalas. seperti biasa, sia-sia dia menunggu jawaban istrinya. Valerina sudah menghilang entah kemana.
pukul dua belas lewat dua puluh menit. Tristan masih sempat mengajak Valerina makan siang sebelum naik kereta. tapi Valerina menolak.
"Belikan aku hot dog saja," katanya sambil tersenyum pahit. "Rasanya lebih enak kalau badanku lebih enteng."
"Oke, kalau kamu mau kurus seperti cecak."
"Aku cuma pengin lebih langsing. nggak dosa, kan""
"Selama lenganku masih bisa memeluk pinggangmu, artinya kamu masih langsing."
"Kamu pasti juri yang paling pintar membual."
"Tapi paling kamu sayangi, kan"" Tristan mencium bibir Valerina dengan lembut. "Tunggu disini, ya. aku beli makanan dulu."
"Jangan banyak-banyak! sayang kalau dibuang!"
"Kalau dibuang ke perutku kan tidak apa-apa! sekarang jaga barang kita baik-baik. jangan meleng ya! jangan kira di sini tidak ada copet!"
Kali ini mereka memang hanya membawa sebuah travel bag. mereka mengemas barang-barang mereka jadi satu.
"Praktis," kata Tristan sambil menjejalkan baju-bajunya ke dalam travel bag Valerina "Kamu yang berbenah. Aku yang gendong Oke""
"Nggak perlu digendong kok. Ada rodanya."
"Tapi nggak bisa naik sendiri ke atas rak di kereta api, kan" Atau mau minta tolong orang lain" Barangkali ada pemuda nganggur di kabin kita""
Valerina tersenyum ketika membayangkan kembali pertemuan mereka dua puluh tahun yang lalu.
Kabin mereka kali ini memang berbeda. Dalam satu kabin hanya ada enam tempat duduk yang saling berhadapan. Kursinya besar. Joknya berwarna merah.
Kaca jendelanya sangat lebar. Tirainya biru bersih. Dari tempat duduk mereka di samping jendela, mereka bisa melihat ke luar dengan leluasa.
Tetapi memang tidak perlu duduk di dekat jendela. Karena kebetulan, kabin mereka hari itu kosong, jadi Valerina bisa duduk di kursi dekat pintu. Dan berlunjur menghadap ke jendela.
Tristan gembira sekali seperti anak kecil
dapat permainan baru. Dionggokkannya travel bag-nya begitu saja di depan pintu. "Ah, rupanya dewi fortuna berada di pihak kita," gumamnya gembira ketika dia tahu kabin mereka kosong. "Kita jadi bisa berduaan. Asyik!"
"Naikkan saja barang kita ke atas, Tris. Takut ada penumpang yang naik di stasiun berikutnya."
"Oke. Kamu ingin tahu aku masih sekuat dulu atau tidak" Atau kangen mau lihat otot-ototku""
"Tidak perlu. Aku sudah melihat semuanya." "Tapi kamu tidak tahu otot biceps-ku sudah turun, kan" Aku tidak bisa lagi mengangkat barang yang terlalu berat." "Bohongi"
"Nggak percaya"" Tristan menyodorkan lengan kanannya. Ditekuknya lengannya
di siku. Di-perlihatkannya ototnya.
Valerina tertegun kaget ketika melihat otot yang dikaguminya dua puluh tahun yang lalu itu sudah tidak berada di tempatnya lagi. "Kecelakaan," Tristan tersenyum pahit. "Jadi sekarang kamu tahu, bukan cuma tubuhmu yang berubah. Aku juga tidak seperti dulu
lagi. Tap, aku tidak kehilangan kepercaan diriku."
"Kenapa baru bilang sekarang"" Valerina membelai lengan pria itu dengan penuh pe nyesalan. "Sakit""
"Nggak terasa apa-apa." senyum Tristan melebar. "Tapi supava bisa dapat belaian seperti ini tiap hari, aku harus bilang apa" Sakit sekali""
"Tristan!" Valerina menampar pipi laki-laki itu dengan lembut sambil tersenyum masam.
"Kapan kamu berhenti bergurau"" sambung Tristan cerah. "Itu pertanyaanmu dua puluh tahun yang lalu! Ingat apa jawabanku waktu itu"
Tentu saja Valerina ingat. Tapi dia pura-pura lupa.
"Kalau aku melamarmu," Tristan melanjutkan kata-katanya sambil mengecup bibir Valerna. "Sekarang aku melamarmu, Val"
"Di sini"" belalak Valeina pura-pura terkejut, "Di atas kereta api""
"Na und"" Ketika Vaierina mendengar kat iru, air matanya langsung menitik. Kalau saja Tristan tahu, betapa dia pernah sangar merindukan
mndengar kata itu lagi belasan tahun yang lalu!
"Apa maksudmu Ardan tidak tidak pulang"" Suara ayah Ardan di telepon terdengar gemetar.
"Ardan pergi sejak kemarin sore!" Suara paman Ardan sama cemasnya. "Sampai sekarang dia belum pulang! Dia tidak pulang ke Jakarta, Mas""
"Dia malah tidak memberi kabar apa-apa! Sudah kamu cari di rumah teman-temannya""
"Dia kan belum punya teman. Sekolahnya juga belum ada dua minggu. Tapi aku sudah ke sekolahnya, Mas. Sudah bertanya kepada guru-gurunya. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi." "Kemarin dia masih sekolah"" "Ya. Tetangga sebelah juga melihat dia pulang sekolah. Langsung masuk ke rumah. Tetapi tidak ada yang melihat ke mana dia pergi. "Ardan tidak meninggalkan pesan"" "Pamit saja tidak! Padahal Lastri kan ada di
belakang, Mas!" Jadi ke mana anak itu pergi" pikir ayah Ardan resah. Kenapa dia tidak pamit" Kenapa dia tidak meninggalkan pesan" Bikin susah saja! Sudah menumpang, malah bikin repot!
Kecemasan ayah Ardan bertambah ketika sampai tiga hari kemudian anaknya belum pulang juga. Tidak ada kabar berita. Tidak ada pesan. Ardan seperti menghilang begitu saja. Ke mana dia"
Kelakuannya akhir-akhir ini memang agak aneh. Dia berani mengancam ayahnya, tidak mau sekolah kalau tidak diizinkan masuk SMA di Surabaya.
Untung pamannya, adik ayah Ardan, bersedia menerimanya. Mereka memang tidak dikaruniai anak. Jadi kehadiran Ardan diterima dengan tangan terbuka oleh paman-bibinya. Sayangnya, baru sebentar tinggal di sana, dia sudah bikin susah!
Tapi benarkah Ardan sengaja menghilang" Tidak mungkinkah dia memang tidak bisa kembali" Kecelakaan atau..."
Ingatan ayah Ardan yang sedang kalut tiba-tiba saja kembali pada sore itu. Ketika dia baru pulang kerja.
Ada seorang laki-laki yang tidak dikenalnya menunggu di depan rumahnya. dia masih muda. Umurnya barangkali baru dua lima. Bisa lebih. Mungkin juga kurang.
Pakaiannya sederhana. Sesederhana penampilannya. Tetapi wajahnya muram. Bukan itu saja. Ada sesuatu di mata pria itu yang melukiskan kesedihan. Kesedihan yang amat sangat.
"Saya kakaknya Sundari, teman sekelas Ardan," katanya datar. "Apakah saya boleh ketemu Ardan""
"Ardan di Surabaya," sahut ayah Ardan tanpa prasangka apa-apa. "Dia ingin melanjutkan sekolah di sana."
Ada yang berubah di mata yang suram itu. Sayang ayah Ardan kurang tanggap. Dia tidak merasa curiga sedikit pun. Padahal mestinya dia sudah waspada. "Boleh saya tahu alamatnya, Pak"" "Dia tinggal di rumah pamannya." "Adik saya sudah dua rahun bersahabat dengan Ardan," kata lelaki itu tawar. "Dia tidak betah di sekolahnya yang baru. kalau saya bisa menemui Ardan. barangkali saya bisa minta
tolong." "Mencarikan sekolah"" tanya ayah Ardan tanpa kecurigaan sedikit pun.
Apakah anak perempuan yang kata pem. bantunva pernah datang kemari itu" Katanya mukanya murung sekali. Pucat seperti orang sakit! Mungkin dia tidak mau berpisah dengan Ardan!
"Adik saya ingin melanjutkan di
SMA yang sama." Ayah Ardan tersenyum bijak. "Barangkali hubungan mereka sudah lebih dari sahabat," katanya setengah berkelakar, "Adik Anda tentu merasa kehilangan sekali." "Saya hanya ingin membantu adik saya." "Oh, tentu saja. Saya kira Ardan juga gembira kalau sahabatnya datang. Mungkin dia bisa bertambah betah di sana."
"Boleh tahu alamat paman Ardan, Pak"" Sekilas ayah Ardan bimbang. Maukah Ardan menerima kehadiran anak perempuan itu" Mungkin gadis itu naksir dia. Tapi Ardan tidak menyukainya. Makanya dia menghindar. Kalau sekarang gadis itu muncul lagi di sekolahnya...
"Tolonglah, Pak," pinta laki-laki itu ketib membaca keraguan di paras ayah Ardan. "Sebenarnya saya tidak mau ikut campur urusan anak-anak. Tapi adik saya tidak mau sekolah
lagi bila tidak satu sekolahan dengan anak Bapak. Orangtua kami sudah lama meninggal. Adik saya menjadi tanggung jawab saya, Pak. Saya ingin dia menjadi sarjana...."
Tanpa ragu-ragu lagi ayah Ardan memberikan alamat adiknya. Ardan kan laki-laki. Masa dia takut dikejar-kejar cewek" Dan sekarang dia menyesal sekali! "Mungkinkah dia yang membawa Ardan
pergi"" desahnya panik. "Saya akan coba menghubungi teman-teman
Ardan, Pa," kata anak sulungnya. "Barangkali
saja mereka tahu. Siapa nama teman Ardan
tadi"" "Sundari."
Dan informasi yang mereka temukan sungguh mengejutkan.
Ardan pacar Sundari. Dan gadis itu sudah meninggal. Membunuh diri karena hamil!
Pukul empat lewat tiga puluh lima menit, kereta api tiba di milan, Tristan dan Valerina harus pindah kereta. mereka turun di stasiun Milan yang padat dan sangat ramai.
Sempat kebingungan karena tidak paham bahasa Italia, mereka mencari-cari kereta api jurusan Venesia. Petugas yang ditanya hanya mengacungkan jarinva menunjuk papan ke-berangkatan, tanpa menjelaskan apa-apa. Padahal di papan itu ada dua kereta yang menuju ke Venesia.
Akhirnya setelah repot mencari dan bertanya, mereka menemukan kereta yang mereka ari. Tristan dan Valerina naik ke gerbong kelas satu. Lalu mencari kabin yang telah mereka pesan.
Kabin mereka hampir sama dengan kabin di kereta sebelumnya. Hanya saja jok bangkunya berwarna kelabu. Sama dengan warna tirai jendelanya.
Bedanya, di sini mereka tidak sendirian. Ada dua orang penumpang lain. Yang satu gemuk sekali sampai Tristan yang duduk di sebelahnya merasa pengap. Untung dia turun di Verona.
"Kalau sudah segemuk itu, kamu baru boleh diet!" kelakar Tristan sambil menghela napas lega.
"Kalau sudah segemuk itu, aku sudah tidak mau makan'." sahut Valerina spontan
Saat itu sudah hampir pukul tujuh malam, tapi cuaca masih terang. Valerina melayangkan tatapannya ke luar jendela. Deretan rumah-rumah sederhana dan tumbuhan liar di sekitarnya berlari berkejaran di samping kereta.
Mereka masih menempuh kira-kira satu jam lagi sebelum tiba di Venesia. Dan karena Tristan mengambil kereta api yang berhenti di Stasiun Santa Lucia, begitu turun dari tangga stasiun, mereka langsung disuguhi pemandang-an Grand Canal yang menakjubkan.
"Sekarang aku tahu kenapa Venesia begitu terkenal," gumam Valerina takjub.
"Kotanya seperti terendam banjir ya," kelakar Tristan sambil menyeret travel bag-nya mendaki jembatan di depan stasiun.
Karena jembatan di Venesia kebanyakan melengkung membentuk kubah, sesudah mendaki belasan undakan mereka harus turun lagi di sisi yang lain. Roda travel bag mereka terantuk-antuk membentur undakan sampai Valerina khawatir bannya lepas. tapi Tristan tidak peduli. dia enak saja menyeret tasnya.
Sementara matanya menatap nyalang ke seberang.
"Nanti malam kita duduk-duduk di bawah tenda sana. Makan pizza sambil menikmati malam di pinggir Grand Canal. Syukur-syukur kalau ada yang ngamen. O Sole Mio. Atau Santa Lucia. Pendeknya tambah romantislah."
"Terima kasih telah membawaku kemari, Tris," Valerina memeluk kekasihnya dan mencium pipinya.
"Eit! Tunggu dulu! Simpan ciumanmu buat nanti malam! Kalau kita naik gondola menyusuri kanal-kanal ini. Di bawah Jembatan Rialto, kamu boleh menciumku. Kata orang, kalau kita ciuman di sana, cinta kita bisa abadi!"
Valerina tidak tahu dia dibohongi lagi atau tidak. Tapi bohong atau
tidak, dia tidak peduli! Dia sangat menikmati panorama dan suasana yang dialaminya di Venesia!
Lebih-lebih ketika Tristan membawanya menginap di hotel kecil di depan Grand Canal. Hotel itu sudah sangat tua. Jendelanya yang terbuat dari kayu berwarna hijau, tampaknya sudah lapuk. Begitu Tristan membukanya, gerendelnya lepas dan jatuh ke bawah.
"Oops!" cetus Tristan sambil menyeringai geli. "Untung nggak kena kepala orang'" Valerina menghampirinya dari belakang Dari jendela kamar mereka di tingkat dua, Valerina bisa menatap lepas ke seluruh kanal yang melintas di depan hotelnya.
Perahu motor, bus air, gondola, hilir-mudik di sana. Sementara di seberang, puluhan turis dari mancanegara berbaur dengan penduduk, memenuhi kaki lima.
Hawa yang panas masih terasa walaupun malam mulai turun. Tapi tak ada yang merasakannya. Semua seperti tersihir oleh keunikan kota air yang mereka kunjungi.
Valerina menghampiri bingkai jendela. Melongok ke bawah. Toko yang menjual kaus, topi, dan topeng khas Venesia masih ramai dikunjungi pembeli. Ada yang langsung membeli. Ada yang hanya melihat-lihat.
Valerina tertarik sekali. Rasanya dia sudah gatal ingin ikut meramaikan. Melihat-lihat barang yang dijajakan. Dan membeli beberapa suvenir yang disukainya.
Tetapi Tristan tidak mengizinkan. Sambil memeluk pinggang Valerina dari belakang, dikecupnya lehernya dengan mesra.
"Besok masih ada waktu unruk shopping," katanya lembut. "Sekarang, kita belanja yang lain saja.
"Aku kepingin naik gondola. Tris," pinta
Valerina sambil menggeliat geli. "Boleh, ya""
"Tentu. Apa namanya ke Venesia kalau tidak
naik gondola" Tapi sekarang aku menginginkan
yang lain. Boleh, va""
Dan Tristan memang tidak dapat dicegah lagi.
BAB XI Ayah Desi sangat marah ketika mengetahui putrinya hamil. Lebih-lebih ketika pemuda yang mengaku menghamili anaknya datang dengan seorang pengacara!
"Mengapa dia tidak datang dengan orangtua-nya"" geram ayah Desi gusar. Sementara ibunya tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Matanya masih sembap karena tangis.
Berita itu datang seperti petir di siang bolong. Anaknya hamil! Ibu mana yang tidak sedih" Ibu mana yang tidak kecewa" Ibu mana yang tidak hancur"
"Ayahnya tidak mau datang, Pa." sahut Desi ketakutan. "Tapi, Rama tetap mau bertanggung jawab. Karena itu dia minta tolong bosnya yang kebetulan pengacara."
"Omong kosong!" bentak ayah Desi sengit. "Papa minta ayahnya yang datang ke sini!
Bukan segala macam pengacara! Memangnya kamu mau dibeli!" "Sudah bagus dia mau tanggung jawab, Pa!"
sela kakak Desi kesal. "Papa jangan jual mahal, lagi!"
"Diam kamu!" ayah Desi membeliak gusar ke arah putri sulungnya. "Jangan ikut campur!"
"Cuma ikut ngomong, Pa! Masa nggak boleh"" Lalu dia menoleh ke arah adiknya dengan penasaran. "Cowok lu yang ini yang punya hak cipta, Des" Bukan si Revo yang punya kerjaan""
Tidak heran kalau kakak Desi bingung. Soalnya dia belum pernah melihat Rama. Kapan pacarannya"
Tetapi Desi tidak menjawab. Dia cuma meringkuk ketakutan di dekat ibunya.
"Pokoknya Papa mau bapaknya yang datang!" Suara ayah Desi menggelegar lagi. "Habis perkara!"
"Ayah Rama pasti ke sini, Pak," potong Aryanto dengan gayanya yang khas. Gaya yang meyakinkan. Gaya seorang profesional. Gaya yang suatu waktu dulu pernah sangat dikagumi Desi. "Saya akan memaksanya datang. Tapi untuk menghindari kekisruhan, saya datang lebih dulu mewakilinya."
"Anda tidak berhak mewakilinya'." bantah ayah Desi tegas. "Yang akan kami bicarakan pernikahan anak-anak kami'." "Justru untuk itu saya datang," sahut Aryanto tenang. "Saya bukan hanya bosnya. Saya juga kerabatnya. Karena itu Rama minta saya menyampaikan kepada Bapak, dia bersedia bertanggung jawab. Dia bersedia menikahi Desi."
Ayah Desi menggebrak meja dengan sengit. Dia menatap Rama dengan geram seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat.
Sialan, maki Rama dalam hati. Kenapa orang lain yang makan nangkanya aku yang kena getahnya"
Tetapi di depan ayah Desi, dia masih bisa bersandiwara. Pura-pura menekuk muka ketakutan. Bukankah begitu yang diajarkan Pak Aryanto"
"Berapa umurnya" Apa pekerjaannya" Berani-beranian
dia menodai putriku lalu berlagak mau bertanggung jawabi"
"Umur Rama dua puluh empat. Dia sudah bekerja di kantor saya. Gajinya cukup untuk menghidupi anak-istrinya. Tetapi jika Bapak menolaknya, kami tidak punya pilihan lain."
"Apa kami masih punya pilihan"" geram ayah Desi kesal.
"Bapak bicara seolah-olah hanya Rama yang salah," suara Aryanto berubah dingin. "Kami datang untuk mencari jalan yang rerbaik buat anak-anak kita. Tetapi kalau Bapak belum dapat menerima kami, oke. Tidak ada masalah. Kami akan kembali kalau Bapak sudah dapat memutuskan yang terbaik untuk Desi. Selamat siang.


Tembang Yang Tertunda Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan gayanya yang meyakinkan, Aryanto mengisyaratkan Rama untuk bangkit dan mengikutinya keluar.
Tertatih-tatih Rama mengikuti Aryanto dengan patuh. Dia memberi hormat kepada ayah Desi. Dan melirik gadis manis yang sedang tepekur di samping ayahnya itu.
"Boleh tanya, Pak"" tanya Rama setelah dia duduk di dalam mobil Aryanto.
"Tidak," sahut Aryanto tegas. "Tugasmu hanya mengikuti apa yang kuperintahkan."
"Saya hanya heran. Apa bubungan Bapak dengan gadis itu"" Mata Rama menatap Aryanto dengan tatapan menyelidik. "Bayi dalam perut gadis itu... anak Bapak"
"Diam atau kulempar kau keluar!" bentak Aryanto berang. Dia benar-benar merasa malu.
Apa bedanya dia dengan sampah ini" Mereka sama-sama menodai seorang gadis! Bedanya hanyalah gadis yang dinodai Rama baru berumur tujuh tahun!
"Gadis itu mau saja dinikahkan dengan saya"" desak Rama penasaran. "Berapa Bapak membayarnya""
"Sekali lagi kau bertanya, aku tidak mau menjadi pembelamu kalau kau ditangkap."
"Jangan khawatir, Pak," Rama menyeringai lega. "Antara kita sudah ada saling pengertian. Lagi pula saya tidak merasa rugi kok menikah dengan gadis secantik itu. Semua biaya Bapak juga yang tanggung, kan""
Tentu saja Rama tidak keberatan. Yang protes justru Desi. Dia yang dengan nekat mengunjungi Aryanto di rumahnya sampai pengacara itu panik bukan main. Soalnya Kezia sebentar lagi pulang! Apa tanggapannya kalau dia melihat ayahnya bersama Desi"
"Ngapain kamu kemari"" geram Aryanto gemas. "Kan Oom sudah bilang, lebih baik kita tidak usah bertemu dulu!"
"Siapa lelaki itu, Oom"" sergah Desi penasaran. "Kenapa dia mau saja disuruh kawin sama cewek yang sudah bunting""
"Bukan urusanmu." sahut Aryanto kering "Bukan urusan sava" Dia bakal jadi Suami saya, Oom!"
"Habis kamu mau bagaimana lagi" cuma dia yang mau jadi suamimu.' Ayah anakmu! Kamu mau anakmu lahir tanpa ayah" Jadi anak haram" Kamu sanggup menghadapi ayah mu""
"Tapi bukan berarti saya mau saja kawin sama orang sembarangan, Oom.! Kalau dia sadis, junkie, atau lebih celaka lagi, AIDS, saya nggak mau, Oom.!"
"Tentu saja tidak. Kan Oom sudah bilang, dia salah seorang karyawan Oom." "Kerja apa"" "Administrasi." "Orangnya oke""
"Oom jamin, dia tidak bakal macam-macam." "Tapi Desi takut, Oom!" "Takut apa""
"Desi kan nggak kenal sama dia!"
"Dia sudah menandatangani surat perjanjian. Hanya menikahimu sampai anakmu lahir."
Anakmu! Bukankah anak dalam perutku ini anaknya juga" Sudah lupakah dia."
"Dia tidak akan menggaulimu. Dia hanya suami pulasan."
"Kalau dia mungkir"" "Oom akan menuntutnya." "Kalau dia memerkosa saya"" "Sudahlah! Jangan bikin kepala Oom tambah pusing! Sekarang pergilah. Oom mohon! Sebentar lagi Kezia pulang!" "Emang kenapa kalau Kezia pulang"" "Kenapa" Oom nggak mau dia melihat kita sedang berduaan di sini!"
"Apa lagi yang mau diumpetin, Oom" Dia sudah tahu semua, kan" Dia tahu saya bunting! Dia juga tahu anak di perut saya anak Oom!" "Desi!" geram Aryanto gemas. Kenapa bukan Oom saja yang kawin sama saya""
"Kamu sakit, Desi! Oom sudah punya keluarga!"
"Tapi Oom-lah ayah anak saya! Seharusnya Oom yang tanggung jawab! Bukan karyawan
Oom!" "Oom tidak bisa, Desi. Oom masih mencintai istri Oom. Belum ingin hercerai- tolonglah. Cobalah mengerti. Lelaki berselingkuh itu biasa. tapi tidak harus menceraikan istri. kan""
Tapi Oom punya kewajiban menikahi saya! Menjadi ayah anak saya! Biarlah kita bercerai lagi sesudah anak kita lahir. Atau jadi istri muda pun sava rela. Oom!" "Ayahmu pasti keberatan, Des!" "Mungkin tidak kalau Oom ber
terus terang Lebih baik Papa punya mantu pengacara yang sudah beristri daripada bujangan yang nggak ketahuan dari mana asalnya!"
Dan Aryanto terlambat menyadari, Kezia sudah di depan pintu gerbang. Sorot lampu mobilnya menyinari beranda. Dan klaksonnya meraung tak sabar.
Bergegas Mbok Nah berlari membuka pintu. Dan lagi-lagi Aryanto terlambat. Dia terlambat mengusir Desi.
Ketika Kezia melihat siapa yang sedang bersama ayahnya di beranda depan rumahnya, dia meludah dengan sengit. Lalu masuk ke rumah tanpa menoleh lagi.
"Boleh tanya sesuatu, Tris"" tanya Valerina ketika mereka sedang duduk-duduk di sebuah
cafe di pinggir Grand Canal sambil menikmati
sepiring pizza Neopolitan. "Berapa ukuran Mister Bond-ku"" gurau
Tristan sambil menyeringai.
"Heran, kamu tetap saja konyol seperti dulu!" geram Valerina gemas. "Mudah-mudahan saja anakmu tidak seperti kamu!"
"Kalau kamu tiga puluh tahun lebih muda, kamu pasti naksir dia!"
"Anakmu cakep""
"Bukan cakep lagi. Tahu Brad Pirt""
"Anakmu seperti dia"" desis Valerina kagum. "Biarpun baru empat belas tahun"" "Tidak," seringai Tristan makin lebar. Tidak mirip sama sekali. Istriku kan "tidak main sama dia."
"Konyol!" Valerina tersenyum masam. Dia sampai lupa tadi ingin menanyakan apa. "Kamu mau tanya apa"" "Lupa."
"Bohong. Kamu cuma malu. Aku kan bisa membaca maumu. Ada tulisannya, bohong!
"Aku cuma ingin tahu."
"itu gunanya orang nanya, kan""
"Istrimu cantik""
Tristan tertawa gelak-gelak. Valerina gemas sekali. Merasa ditertawakan. Padahal dia serius. "Khas wanita," cetusnya geli. "Nggak usah jawab kalau nggak mau!" dumal Valerina kesal.
"Tentu saja istriku cantik," sahut Tristan mantap. Senyum masih melumuri bibirnya. "Kalau jelek, masa sih aku mau" Memangnya sepeninggalmu aku cuci gudang" Summer sale, gitu""
"Kenapa kamu menceraikannya""
"Dia berselingkuh," sahut Tristan enteng.
Valerina tertegun. Tidak berani bertanya lagi. Tetapi Tristan melanjutkan dengan lancar. Tanpa beban.
"Sepulangnya dari Zermatt, kupergoki dia dengan pacarnya di kamarku. Dikiranya aku belum pulang hari itu."
"Sori," desah Valerina penuh penyesalan. Dia menyesal karena menanyakannya. Tetapi Tristan seperti tidak merasa sakit.
"Aku cuma sebal karena dia memakai jas kamarku! Tidur di ranjangku. Kencing di kamar mandiku!"
"Bukan karena dia meniduri istrimu" Kamu jadi merasa dilecehkan""
"kami memang sudah tidak saling mencintai lagi. Sudah terlalu banyak perbedaan. Rasanya lebih baik kami berjalan sendiri-sendiri. Perselingkuhan itu cuma casus belli."
"Bukan karena kamu masih memikirkanku"" desak Valerina ragu.
"Setelah sekian belas tahun"" Tristan tersenyum pahit. "Rasanya tidak. Aku memang belum melupakanmu. Tapi sudah tidak mengharapkanmu lagi. Rasanya mustahil meraihmu kembali. Sama mustahilnya seperti memanjat Matterhorn dalam usiaku sekarang."
"Kalau kita jadi menikah sembilan belas tahun yang lalu, kamu juga akan menceraikanku" Karena bosan. Atau karena aku sudah tua"" Tristan tertawa renyah. Tergantung pelayananmu," katanya serengah bergurau. "Kalau masih enak seperti tadi. rasanya aku belum perlu cari yang lain.
"Jangan bercanda terus ah!" geruru Vaierina gemas. "Aku serius! Kalau seorang wanita menjadi tua, tidak cantik lagi. tidak seksi lagi, suaminya akan mencari pengganti yang lebih muda" Supaya tidak kehilangan kejantanannya""
"Seperti suamimu"" potong Tristan mantap. "Tidak semua laki-laki. Val, ibuku sudah gemuk seperti sapi Swiss. Tapi ayahku masih tetap mengaguminva. Mereka masih jadi suami-istri waktu ayahku meninggal."
"Mudah-mudahan kamu mewarisi sifat ayah mu."
"Jangan semuanva. Ayahku gemar bicara politik. Kamu pasti pusing."
"Ibumu tidak pusing""
"Ibuku gemar bicara apa saja. Kalau tidak ada yang bicara, dia malah pusing."
"Ah, kamu selalu bercanda!"
"Tapi kamu nggak usah takut. Aku tidak akan meninggalkanmu biarpun kamu sudah gemuk!"
"Seperti sapi Swiss"" Valerina tersenyum masam.
"Jangan mengejek sapi Swiss! Mereka binatang yang paling beruntung! Kerjanya cuma makan-tidur dan menghasilkan susu. Di musim dingin sekalipun, di puncak mana saja mereka berada, mereka tetap bisa makan enak
!" Ketika Ardan tahu ke mana Bimo membawanya, dia sudah ketakutan setengah mati.
Nalurinya membisikkan ada bahaya yang sangat besar tengah menanti di hadapannya.... Tetapi dia tidak bisa lari ke mana-mana!
"Ke mana kita, Mas"" tanyanya lirih. "Kenapa saya dibawa kemari""
"Kau mau ketemu Sundari, kan"" gumam Bimo dingin sambil menyeret Ardan dengan kasar. "Nah, di sini dia menunggumu!"
Dengan sengit Bimo mendorong tubuh Ardan sampai jatuh tunggang-langgang ke tanah. Saking takutnya, tanpa menghiraukan rasa sakitnya, secepat kilat Ardan bangkit untuk melarikan diri.
Tetapi Bimo yang sudah siaga langsung menendangnya sampai Ardan tersungkur lagi. Kali ini hidungnya menyentuh gundukan ranah basah di hadapannya.
Ketika Ardan berusaha merayap bangun, dia melihat sebuah nisan terpancang di depannya. Dan matanya terbeliak membaca nama yang tertera di atas nisan itu.
"Ndari!" pekiknya lirih.
Jadi... Sundari sudah mati! Dia sudah mati!
MATI! kenapa Bimo membawanya kemari" ke kuburannya"
"Kau mau ketemu Sundari, kan" Nah, di sini dia menunggumu!"
Suara Bimo begitu dingin. Begitu penuh dendam. Mengapa dia begitu sakit hati" Mengapa dia menyeretnya kemari"
Mungkinkah abang Sundari mengira Ardan-lah yang menyebabkan kematian adiknya! Dan... Sundari! Mengapa dia mati"
Dia memang hamil! Tapi tidak perlu mati! Berapa banyak perempuan yang hamil" Mereka tidak mati!
"Sundari menggantung diri," suara Bimo terdengar kejam. Bengis seperti suara iblis. Tatapan matanya sedingin es. Parasnya membeku. "Setelah sia-sia menunggumu! Kau bajingan laknat! Kaunodai adikku! Dan kautinggalkan dia begitu saja! Sekarang bilang padaku, kau masih mau mungkir""
Ardan tidak mampu menyangkal. Bahkan tidak mampu membela diri. Dia sudah kehilangan seluruh harapannya. Dia merintih putus asa memohon ampun.
Di depannya, Bimo tegak dengan wajah sedingin mayat.
Diiringi Santa Lucia yang merdu, gondola Tristan menelusuri kanal-kanal sempit dan gelap di antara rumah-rumah tua dengan dinding yang telah berlumut. Penyanyi yang disewa Tristan mengalunkan suaranya sambil memetik gitar. Sementara di haluan, si pengayuh gondola yang memakai kaus bergaris-garis hitam-putih dan seutas pita merah melilit di topinya, sekali-sekali ikut berdendang.
Valerina duduk di bangku yang terletak di buritan. Menyandarkan kepalanya ke dada Tristan. Sekali-sekali Tristan menciumnya. Terutama kalau gondola mereka sedang menyusup ke bawah jembatan.
Suasana malam di Venesia, di atas gondola yang meluncur tenang menyusuri kanal, diiringi suara tenor penyanyi yang tengah melantunkan lagu-lagu klasik Italia, tidak dapat dibandingkan dengan suasana di belahan bumi mana pun. Orang yang paling tidak romantis sekalipun, pasti akan tergugah oleh nuansa yang demikian membelai sukma. Lebih-lebih bila mereka adalah dua msan yang sedang dibeli cinta seperti Tristan dan
Valerina. Rasanya seperti sudah tidak berada
di bumi lagi. "Jangan biarkan tembang kita tertunda lagi Val," bisik Tristan lembut, ketika O Sole Mio mengalun di keheningan malam. Nadanya demikian melankolis. "Tinggallah bersamaku. Jangan sia-siakan lagi umur kita. Dan akan kita buktikan, tak ada kata terlambat untuk cinta."
Tentu saja bukan hanya Tristan yang meng inginkannya. Valerina juga mendambakannya. Setelah tiga minggu bersama Tristan, dia sadar, cintanya hanya untuk lelaki itu.
Dia tidak pernah merindukan Aryanto. Bahkan mengingatnya saja dia sudah tidak mau. Karena setiap kali teringat pada suaminya, dia merasa jijik. Merasa nyeri. Merasa hina.
"Papa pacaran sama Desi, Ma!" Valerina tidak dapat melupakan ungkapan perasaan Revo ketika dia tahu perselingkuhan ayahnya. Matanya merah. Entah karena marah. Entah karena malu. "Kalo mau ngedobel, ngapain juga sama Desi" Kan Papa bisa cari cewek
laini" "Malu-maluin aja!" dengus Kezia tidak kalah jijiknya. "Papa menghina kita, Ma! Semua orang udah tau! Semua ngeledek Kezia!"
justru untuk menghindari penghinaan itu Valerina menyingkir. Dia pergi ke Eropa untuk penyendiri. Untuk merenung. Untuk mengobati lukanya. Tetapi kini yang diperolehnya bukan hanya kesembuhan. Dia sudah memperoleh jaw
aban. Dia sudah mengambil keputusan.
Valerina akan kembali ke Jakarta. Mengajukan permohonan cerai. Dan kembali kemari untuk menemui Tristan.
Dia tidak sanggup lagi melanjutkan pernikahannya. Tidak sanggup hidup bersama suami yang sudah tidak mendapat respek lagi dari istri dan anak-anaknya. Lebih baik mereka berpisah sebelum keadaan menjadi lebih buruk lagi. Sebelum mereka lebih saling menyakiti
Valerina yakin, anak-anaknya akan mengerti. Mereka sudah cukup dewasa untuk memahami
keputusan yang diambil ibunya. Mama tidak bersalah. Mama berhak untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Terlalu berat dosa Papa. terlalu dalam luka yang ditorehkan-
Tetapi sebelum Valerina menerima lamaran Tristan, dia mendapat sms dari Revo. Dan
Valerina terenyak kaget, seperti dibangunkan dari mimpi indah yang seolah tak pernah berakhir.
"Ma, Papa minta Mama pulang, Kezia kabur dari rumah."
BAB XII "Saya kakak Ardan," kata gadis itu hati-hati. "Ayah saya menyuruh saya menanyakan pada Mas, di mana Ardan"" Bimo mengawasi gadis itu dengan dingin. "Kenapa tanya saya"" tanyanya tawar. "Saya sudah tahu apa yang menimpa Sundari. Saya dan ayah saya ikut berdukacita. Menyesal kami tidak mendengar lebih cepat. Tidak dapat mengantar Sundari ke peristirahat-annya yang terakhir. Di mana dia dimakamkan, Mas""
"Di tempat kelahirannya." sahut Bimo datar. "Di kampung halamannya."
"Mas sudah menemui Ardan" Dia mungkin
belum tahu..." "Sekarang dia sudah tahu. Anuni"
"Kalau begitu Mas tahu di mana Ardan!" "Dia sedang menyesali dosanya."
"Dosa"" "Dia yang menghamili Sundari." "Tidak mungkin!" "Dia yang membunuh Sundari." Tidak!"
"Ardan bilang dia menyesal." "Belum berarti dia yang melakukan perbuatan itu! Mungkin Ardan menyesal karena tidak datang lebih cepat menemui Sundari!" "Siapa lagi kalau bukan dia"" 'Di mana dia sekarang"" "Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya."
"Tapi Sundari telah meninggal! Apa lagi yang dapat Ardan perbuat"" "Hukuman tidak terhapus dengan kematian. "Saya harus menemui adik saya! Tolong, Mas, bawa saya pada Ardan!"
Bimo mengabulkan permintaan gadis itu. Dia membawa kakak Ardan ke kuburan Sundari.
"Dia menggantung diri dengan janin berumur empat bulan dalam rahimnya," desis Bimo getir. "Satu-satunya adik saya. Orang yang paling saya cintai."
"Tapi saya mencari Ardan, Mas! Di mana dia""
"Jika Sundari tidak bertemu adikmu, dia belum meninggal." Air mata menggenangi Bimo. "Jika adikmu mau bertanggung jawab, Sundari tidak menggantung diri!"
"Saya menyesal, Mas. Saya rasa Ardan juga sudah menyesal. Di mana dia""
"Di suatu tempat," mata Bimo menerawang jauh. "Tempat dia menyesali perbuatannya seumur hidup."
"Jangan siksa adik saya, Mas! Dia baru lima belas tahun! Mari kita bicarakan baik-baik penyelesaiannya. Bawa saya ke sana. Biarkan saya bicara dengan Ardan."
"Terlambat. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan."
"Di mana ayahmu tinggal" Dia masih hidup"" tanya Aryanto ketika dia menyerahkan selembar cek lagi untuk Rama.
"Masih di kampung, Pak."
"Panggil kemari."
"Buat apa. Pak""
"Ayah Desi tetap dengan pendiriannya. Dia ingin bapakmu yang datang melamar anaknya.
Kepala orang tua itu kerasnya seperti batu. Kata Desi, ayahnya tersinggung kalau pengacara yang datang. Biarpun aku sudah mengaku kerabatmu."
"Jadi saya harus memanggil bapak saya""
"Bawa ke rumah Desi. Atur semuanya, jangan sampai gagal."
"Bagaimana kalau bapak saya tidak mau, Pak""
"Harus mau. Beri dia uang. Ajari apa yang harus dikatakannya kepada ayah Desi."
"Tapi saya tidak boleh ke luar kota kan, Pak! Bagaimana saya bisa menjemput bapak saya""
"Surati saja. Telepon. Atau terserah apa saja. Pokoknya dia harus kemari secepatnya. Aku sudah menyiapkan pernikahanmu minggu depan."
"Secepat itu"" Rama melongo heran. Wali pengacara kondang ini rupanya sudah benar benar kelimpungan didesak waktu!
"Tunggu apa lagi"" Mau tunggu sampai Desi keburu melahirkan" Dasar bodoh! "Kasus saya bagaimana, Pak"" "Kasus apa" Kau belum ditahan. Belum ada bukti."
"Kalau saya ditangkap""
"Kau tahu beres saja."
"Maksud Bapak, saya tidak bakal diseret ke pengadilan""
"Kalau itu sampai terjadi, ak
an kuusahakan hukumanmu seringan mungkin. Atau malah bebas mumi. Lihat saja nanti." "Mereka bersedia berdamai"" "Tentu saja tidak. Ini kasus pidana. Bukan perdata."
"Jadi apa yang akan Bapak lakukan"" "Bukan urusanmu."
"Tapi saya yang diadili, Pak. Saya yang bakal
di dihukum!" "Serahkan saja kasusmu kepada pengacaramu. Tugasmu cuma membereskan Desi!" "Membereskan Desi"" "Maksudku menikahi dia!" tukas Aryanto tegas. Jangan sampai bajingan ini salah mengelu. Nanti dikira dia harus melenyapkan gadis itu! Tambah runyam jadinya. "Sampai Desi melahirkan. Sesudah itu kalian bercerai. Dan kau bisa hidup bebas lagi!" "Kalau kami tidak mau bercerai"" "Harus! ku syaratnya. Kau sudah menandatangani surat perjanjian. Jika melanggar isinya, kau kutuntut!"
Tapi gadis itu cantik sekali, pikir Rama sambil melangkah ke warnet. Ayahnya me mang tidak terlalu kaya. Cuma karyawan perusahaan konfeksi. Tetapi bagaimanapun hidup sebagai menantunya pasti lebih ter jamin daripada meneruskan hidupku sebagai office boy.
Rama memang gampang sekali terpikat pada wajah cantik. Tidak peduli berapa pun umur-nva. Tidak heran kalau dia selalu berpindah-pindah pekerjaan. Bukan karena bosan. Tapi karena dipecat oleh majikannya.
Diberhentikan dari sekolah ketika masih duduk di kelas dua SMP karena ketahuan berbuat mesum dengan adik kelasnya, Rama langsung disuruh ibunya mencari pekerjaan.
Mula-mula dia bekerja sebagai kernet truk antarkota. Dua tahun bekerja, dia dipecat karena coba-coba mengemudikan truk majikannya. Truk itu menubruk pohon sampai ringsek. Dia masuk penjara.
Keluar dari penjara, dia bekerja di sebuah salon kecantikan sebagai petugas kebersihan.
Tetapi di sini pun Rama tidak bisa bertahan lama karena ketahuan sering mengintip pelanggan salon yang sedang lulur.
Akhirnya dia merantau ke Jakarta karena di tempat kelahirannya dia tidak mungkin lagi memperoleh pekerjaan. Mula-mula dia bekerja sebagai tukang kebun. Baru bekerja tiga bulan dia sudah diusir karena mencabuli anak majikannya yang masih ABG.
Setelah berganti-ganti pekerjaan beberapa kali, akhirnya dia mendapat pekerjaan sebagai office boy di sebuah gedung perkantoran. Di sini pun dia tidak lama bertahan.
Suatu hari, kepala Bagian Personalia di kantornya, Pak Burhan, bertengkar dengan istrinya. Karena istri Pak Burhan mengungsi ke rumah orangtuanya, terpaksa Pak Burhan membawa anaknya yang baru berumur tujuh tahun ke kantor setiap kali dia menjemputnya pulang sekolah.
Selama beberapa hari, Ninik mengisi waktunya dengan bermain-main di kantor sambil menunggu ayahnya selesai bekerja. Karyawan-karyawan di kantor ayahnya sangat menyukai Ninik. dia bukan saja manis dan lucu. sekali-gus lincah dan manja. tidak heran kalau semua karyawan berebutan ingin memanjakan-nya. Termasuk Rama.
Dia tidak hanya berkali-kali menyuguhkan kue-kue dan minuman. Dia juga berani membelikan stiker. Gelang karet. Kadang-kadang malah buku komik.
Pendeknya Ninik betah sekali di kantor ayahnya. Soalnya semua orang memanjakannya.
Sampai suatu sore, ayahnya harus meeting sampai malam. Ninik dititipkan pada Rama, karena memang cuma dia yang masih berada di kantor. Karyawan yang tidak ikut meeting sudah pulang.
Rama menawarkan dirinya untuk menjaga Ninik Dan Pak Burhan sangat berterima kasih padanya. Diselipkannya selembar uang dua puluh ribuan ke saku Rama. Tentu saja maksudnya sebagai ucapan terima kasih.
Tetapi Rama memakai uang itu untuk membelikan Ninik sehelai celana pendek. Mula-mula mereka hanya duduk bersama sambil nonton TV. Ninik duduk di pangkuan Rama. Dan Rama membelai-belai Ninik dengan hangat. lama-kelamaan belaian nya semakin panas. Dan tangannya semakin kurang ajar menjelajah ke sana kemari.
Lalu Rama membawa gadis kecil itu ke kamar kerja ayahnya. Dan menyuruhnya memakai celana yang baru saja dibelikannya.
Ketika Ninik sedang menukar celananya tanpa prasangka apa-apa. Rama menontonnya dengan asyik. Lalu dia tidak dapat mengekang gairahnya lagi. Dia mengunci pintu kamar kerja dari dalam. Menurunkan tirai jendela. Dan memadamkan lampu.
"Kok dimatiin lampunya, Bang"" protes Ninik ketakutan. "Kan gelap!"
"Kita bobok dulu, ya" Kan Ninik capek main terus dari tadi" Udah malem nih!"
"Tapi Ninik belon ngantuk!"
"Nggak apa-apa. Kita ngobrol aja sembari boboan di kursi."
"Kalo Ninik ketiduran""
"Ntar Bang Rama gendong ke mobil Bapak."
Tentu saja Ninik yang baru berumur tujuh tahun tidak mengerti apa maksud Rama. Bahkan sesudah peristiwa itu terjadi pun dia tidak mengerti apa yang salah. Dia hanya berubah menjadi pendiam. Dan beberapa hari murung terus. Kalau buang air kecil, dia malah menangis kesakitan.
Akhirnya Pak Burhan membawa anaknya ke dokrer. Dan setelah mengetahui peristiwa menjijikkan yang menimpa anaknya, dia lang sung mengadu ke atasannya.
Semua karyawan dipanggil menghadap. Dan Ninik diminta menunjuk siapa yang melaku kan perbuatan mesum padanya. Tetapi Ninik tidak berani menunjuk siapa pun. Dia hanya menangis makin keras.
Akhirnya peristiwa itu dilaporkan kepada yang berwajib. Dan polisi langsung mencurigai Rama. Sayangnya dia bukan seorang sekretor. Dan peristiwa itu sudah beberapa hari berlalu.
Jika seorang pria termasuk golongan sekretor, maka dalam cairan maninya dapat ditemukan substansi golongan darahnya. Karena Rama bukan termasuk golongan sekretor, pembuktiannya menjadi sulit.
Karena belum ada bukti, untuk sementara Rama belum ditahan. Tetapi dia tetap dijadikan tersangka utama.
Ketika Rama sedang diinterogasi di polsek, Aryanto melihatnya. Kebetulan dia sedang mengunjungi salah seorang kliennya. dan tiba-tiba saja dia merasa menemukan mangsa. Walaupun tidak berpakaian rapi, penampilan Rama tidak memalukan. Tampangnya bukan tampang kuli. Bukan pula tampang kriminal. Badannva juga tidak memalukan. Tidak mirip papan setrika. Tidak mirip juga tiang jemuran. Pokoknya lumayanlah.
Kalau dibenahi sedikit, pasti tidak sulit menyamarkannya sebagai mahasiswa. Atau karyawan kantor.
Beberapa hari ini Aryanto memang sedang mencari seseorang yang bersedia menjadi ayah bayinya. Dia sudah berhasil mendesak Desi. Sudah berhasil membujuk gadis itu supaya menerima solusinya.
Menikah dengan seorang pemuda sampai anaknya lahir, lalu bercerai kembali.
"Dia tidak akan menggaulimu," kata Aryanto mantap. "Pokoknya kamu tidak akan kehilangan apa-apa. Sesudah bayimu lahir, kamu boleh langsung bercerai. Serahkan semuanya pada Oom. Kamu tahu beres saja."
Akhirnya Desi terpaksa menerima usul avah Revo. Dia tidak punya pilihan lain. Perutnya semakin hari semakin besar. Dia takut suatu hari rahasianya terbongkar. Ibu tahu kalau dia hamil. Wah. ayahnya pasti ngamuk! Jangan-jangan dia diusir dari rumah!
Ayah Desi memang keras. Ketika kakaknya ketahuan pacaran sampai melampaui batas, dia dilarang pacaran lagi. Padahal yang dilaku kannya hanya ciuman di depan pintu Cuma sekilas. Sudah larut malam pula. Tidak ada orang yang melihat mereka. Tapi bagi ayah Desi, itu sudah keterlaluan.
Nah, bagaimana kalau sampai ayahnya tahu, yang dilakukan Desi sudah lebih dari itu" Desi bukan hanya ciuman. Dia sudah hamil!
Tidak heran kalau Desi bingung. Nyaris panik Bagaimana menyembunyikan kehamilannya" Bagaimana menyembunyikannya dari mata ayahnya"
Solusi kedua yang ditawarkan Aryanto sudah ditolaknya mentah-mentah. Ayah Revo bersedia membiayai aborsinya. Tetapi Desi takut.
Bagaimana kalau aborsi itu gagal" Bagaimana kalau rahimnya robek" Bagaimana kalau terjadi komplikasi" Bagaimana kalau dia... ah, mati"
Sebenarnya Desi lebih suka menjadi istri Oom Ary. Istri kedua pun dia rela. Tapi Oom Ary tidak mau. Lagi pula Desi khawatir ayahnya tidak setuju. Lelaki itu masih punya istri, Umurnya juga sudah hampir setengah abad. Ayahnya bisa mencak-mencak!
"Rama cocok untukmu, Des," bujuk Aryanto setelah mendapat persetujuan Rama. Dia memang harus bersikap sedikit keras kepada pemuda itu. Tetapi menghadapi orang semacam Rama sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari. Aryanto tahu sekali bagaimana cara menghadapinya. "Umurnya baru dua empat. Tampangnya boleh juga. Penampilannya oke. Dan dia sudah bekerja."
Tentu saja Aryanto tidak mengatakan apa pekerjaan Rama. Pokoknya kalau semua berjalan lancar, Aryanto bersedia mempekerjakan Rama di kantornya. Tentu saja bukan s
ebagai office boy lagi. Rama akan diberi pekerjaan yang lebih bermartabat di mata ayah Desi.
Apa pun akan dilakukan Aryanto asal dia dapat terlepas dari Desi. Apa pun akan dilaku-kannya asal dia bisa berdamai kembali dengan istrinya.
Memang ketika mengetahui apa kasus Rama, dia agak tertegun. Hati nuraninya berontak, haruskah dia membela seseorang yang meng-idap pedofilia seperti lelaki itu" Kalau benar Rama melakukan apa yang dituduhkan kepadanya, dia benar-benar tidak pantas dibelai Dengan mencabuli Ninik, dia
telah merusak kehormatan dan masa depan
seorang anak kecil yang tidak berdosa!
Alangkah keji perbuatannya. tidak pantas dia dibebaskan. Dia malah harus dihukum seberat-beratnya!.
Tetapi bukankah dia belum tentu bersalah" Lagi pula membela seorang tersangka memang tugas seorang pengacara, kan". Itu memang pekerjaannya!
"Kau boleh berbohong di depan semua orang." kata Aryanto ketika untuk pertama kalinya dia berhadapan dengan Rama. tapi di depan pembelamu, kau harus jujur. Jadi jawab pertanyaan saya dengan benar."
"Iya. Pak." sahut Rama patuh seperti anak sekolah. Dia menundukkan kepalanya dalam dalam.
"Coba angkat kepalamu. Lihat saya." Rama mematuhi perintah pembelanya. Dia mengangkat kepalanya, dan membalas tatapan Aryanto dengan lugu.
Kalau dia bisa berakting seperti ini di pengadilan, pikir Aryanto dengan pengalamannya yang segudang. Jangankan hakim. Jaksa pun bisa terkecoh! "Betul kau mencabuli anak itu""
"Tidak, Pak. sahut Rama tegas, "Saya cu,a difitnah."
Meskipun naluri Aryanto sebagai pengacara kondang tidak mempercayai pernyataan itu dia terpaksa merelakan dirinya sebagai pembela Rama. Dia tidak punya pilihan lain. Waktunya sudah sangat mendesak. Sulit mencari orang yang lebih tepat dari Rama untuk menggantikan dirinya.
Jadi untuk meloloskan dirinya dari tanggung jawab. Aryanto membungkam hati kecilnya. Padahal selama dua puluh tahun lebih bertugas sebagai pengacara, dia selalu menolak membela kasus yang dianggapnya tidak pantas dibela.
Tugas seorang pengacara memang berjuang membebaskan kliennya. Tetapi jika dia tahu kliennya bersalah, haruskah dia melawan keadilan hanya demi tuntutan profesi"
Di ujung sana ada seorang anak kecil yang baru berumur tujuh tahun. Yang masa depan nya telah dirusak akibat tindakan tak bermoral seorang lelaki durjana.
Ninik belum mengerti apa yang terjadi. tetapi dia sudah merasakan ketidaknyamanan-nya. dan seumur hidup. peristiwa itu akan membayanginya.
Semua itu terjadi akibat perbuatan menjijik kan seorang lelaki bejat seperti Rama! Masih pantaskah dia dibela" Tapi aku harus mencari jalan untuk mem bela diriku sendiri, pikir Aryanto resah, ketika bau kecilnya sedang berperang. Ketika nuraninya sedang berlaga. Kalau bukan aku, siapa lagi yang dapat menyelamatkan rumah tanggaku"
BAB XIII Valerina langsung pulang begitu mendapat sms dari Revo. Tidak ada yang lebih penting bagi seorang ibu kecuali keselamatan anaknya. Valerina rela meninggalkan seluruh kebahagiaannya demi Kezia. Tak ada yang dapat menahannya lagi. Tidak juga Tristan dan semua kenikmatan yang ditawarkannya.
Meskipun kecewa, Tristan bisa memahami keputusan Valerina.
"Aku akan menunggumu di sini, Val," katanya sesaat sebelum mereka berpisah di Bandara Zurich.
"Tunggulah aku di Zermatt, Tris." pinta Valerina sambil memeluk kekasihnya. "Sesudah menyelesaikan masalah Kezia. aku akan mem-bawa anak-anakku menemuimu. Mereka harus tahu. seperti apa lelaki yang akan mendampingi ibunya seumur hidup."
"Oke." Tristan mencium bibir Valerina dengan lembut. "Tanggal dua enam bulan depan, Di hotel kita. Atau kamu lebih suka menemui ku di Gornergrat" Aku akan melamarmu sekali lagi di depan anak-anakmu."
"Terima kasih untuk semuanya, Tris," bisik Valerina terbaru.
"Untuk apa" Untuk dua puluh tahun penantianku"" Tristan tersenyum pahit. "Dan kamu masih tega menyuruhku menunggu lagi" Menunda tembang kita sekali lagi""
"Untuk semua yang telah kamu lakukan untukku. Untuk kebersamaan yang begitu indah. Untuk waktu yang telah kita lewati bersama Untuk pengertianmu. Dan sekali lagi, untuk penantianmu."
"Jangan pernah mengecewakank
u lagi, Val" pinta Tristan sambil memegang dagu wanita itu dan menatap matanya dalam-dalam. Sesaat tatapan mereka terkunci dalam segurat janji tanpa kata-kata.
Lalu Valerina meninggalkan Tristan tanpa menoleh lagi. Hatinya serasa sudah di Jakarta. Dia ingin buru-buru menemui suaminya. Ingin buru-buru menanyakan apa yang terjadi. Valerina tahu Kezia jengkel pada ayahnya.
melihatnya. Dia pasti enggan berada di rumah. Seperti ibu dan adiknya juga. Tapi kabut" Itu masalah lain!
Sesaat ketika berada di dalam pesawat, tepercik pikiran itu ke kepala Valerina.
Mungkinkah Mas Ary berdusta" Mungkinkah dia membesar-besarkan masalah supaya Valerina cepat pulang"
Mungkin mereka cuma bertengkar sedikit. Kezia marah. Ngambek. Namanya juga anak sedang kesal. Sedang kecewa. Mungkin dia kabur ke rumah temannya. Tinggal semalam-dua di rumah Olimpia, sahabat karibnya.
Tapi untuk memancing istrinya pulang, Mas Ary sengaja membesar-besarkan masalah. Kezia kabur, katanya. Kenapa harus kabur"
Sesaat Valerina agak ragu. Benarkah keputus-annya untuk cepat-cepat pulang" Tidakkah semua ini hanya ulah suaminya"
Valerina baru sempat membuka sms dari suaminya. Sudah berderet-deret sms Mas Ary yang tidak pernah dibacanya dalam inbox di HP-nya. Salah sarunya berbunyi.
Semuanya beres. Desi aikan segera menikah dengan seorang laki-laki yang bersedia jadi ayah anaknya.
Jadi Mas Ary sudah berhasil mencari peng gantinya. Mencari lelaki yang akan menikahi Desi dan mengaku menjadi ayah anak dalam kandungannya. lelaki macam apa yang bersedia melakukan hai seperti itu" Berapa Mas Ary membayarnya" Maukah Desi menerima lelaki yang tidak dikenalnya menjadi suaminya" Atau dia terpaksa" Karena dia sudah tidak punya pilihan lain!
Tapi persetan! Apa hubungannya dengan kaburnya Kezia" Apakah Kezia memergoki ayahnya masih berhubungan dengan Desi" Sia-sia Valerina berusaha menghubungi Kezia melalui HP-nya. Padahal selama dia di Eropa, beberapa kali Kezia mengirim sms, bahkan menelepon sekali-sekali. Mengabarkan dia baik-baik saja. Dia malah masih dapat menghibur ibunya.
"Have fun, Ma," tulisnya selalu. "Jangan pi-kirin apa-apa lagi. Hepi-hepi aja. Mama berhak menikmati hidup."
Selalu titik air mata Valerina kalau menerima sms dari anak-anaknya. Bahkan Revo yang sedang suntuk karena pacarnya digaet ayahnya masih dapat menghiburnya. "Jangan pikirin Papa lagi, Ma. Papa udah useless. Makin dipikirin ntar Mama makin bete. Be happy, Ma. Dont worry! Biar Mama makin montok. Revo nggak mau kalo ketemu Mama lagi, Mama udah kurus kering kayak galah (tapi juga jangan kayak gajah ya, Ma!)."
Valerina selalu membalas sms anak-anaknya. Dengan mereka, hubungannya memang tak pernah terputus.
"Jangan khawatir," tulisnya singkat. "Mama bisa jaga diri."
Jadi kalau Kezia cuma kabur ke rumah Olimpia, mestinya dia dapat membalas sms-ku, pikir Valerina resah. Ke mana HP-nya"
Teleponnya juga tak pernah berbalas. Bahkan tak pernah ada yang menjawab. Ke mana HP-nya" Dicuri orang" Hilang"
Rasanya mustahil membayangkan anak-anak sekarang tanpa HP! Kalau HP-nya hilang, dalam bilangan hari Kezia pasti sudah memiliki yang baru!
Menghubungi Olimpia juga sama saja. Seolah-olah anak itu ikut-ikutan hilang! Ke mana
mereka" "Apa yang terjadi"" tanya Valerina tak sabar begitu dia bertemu suaminya yang menjemputnya di bandara.
Tidak dihiraukannya ciuman rindu Suami nya. Bahkan Valerina sengaja mengelak supaya ciuman Aryanto hanya menyerempet pipinya "Kezia kabur," sahut Aryanto sambil mengambil ras pakaian istrinya dan menariknya, "Sudah Papa cari ke mana-mana...."
Aryanto belum dapat melenyapkan kekagumannya. Dalam sebulan saja, istrinya tampak begitu berubah. Penampilannya jelas berbeda. Dia bukan hanya bertambah ramping. Tapi sekaligus bertambah menarik. Parasnya terlihat lebih cantik. Lebih segar. Lebih bercahaya.
Rambutnya bergelombang seperti baru dikeriting. Modelnya memang tidak berubah. Masih tetap digelung dengan penjepit rambut Tapi mengapa di mata Aryanto rambut itu tampak lebih memikat"
Pakaiannya juga tampak berbeda. Seolah-olah dia baru saja menemukan baju yang pas dengan bentuk tubuhnya yang
sekarang. Mungkin justru potongan bajunya itu yang membuat dia tampak lebih ramping!
Bukan itu saja. Penampilannya juga membuktikan dia sudah menemukan kembali ke-percayaan dirinya.
Apa yang terjadi di Eropa" pikir Aryanto gelisah. Apakah dia menemukan seorang... ah.


Tembang Yang Tertunda Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rasanya tak patut dia mencemburui istrinya kalau ingat apa yang telah dilakukannya dengan Desi!
Tetapi bagaimanapun Aryanto berusaha menghapus kecurigaan itu dari benaknya, dia tetap saja resah. Tetap saja... cemburu.
"Sudah dicari ke rumah Olimpia"" potong Valerina cemas. Sama sekali tidak menghiraukan sikap suaminya. Yang ada dalam pikirannya hanya Kezia. Kezia. Kezia!
"Olimpia juga tidak ada di rumah. Kata orangtuanya, dia juga tidak bilang apa-apa. Olimpia lenyap pada hari yang sama dengan Kezia."
"Mungkinkah mereka pergi berdua ke suatu tempat""
"Itu yang sedang kita selidiki. Ayah Pia sedang mencari ke rumah, teman-temannya."
"Belum lapor polisi"" cetus Valerina dengan ketakutan yang tiba-tiba merayap ke hatinya. "Mereka bawa mobil" Mungkin..."
"Kecelakaan" Papa sudah cari ke tiap rumah
sakit." "Jadi ke mana mereka"
"Ayah Pia masih menganggap anaknya pergi berdua dengan Kezia. Mungkin dengan pacar mereka."
"Kezia kan baru putus dengan Tomi. Sudah papa hubungi si Tomi""
"Dia tidak tahu apa-apa. Katanya sudah lama mereka tidak hubungan lagi.
"Jadi ke mana kezia"" desah Valerina resah, "Apa yang Papa lakukan p padanya" Dia dimarahi""
"Tidak"" bantah Aryanto kaget. Malah dia yang marah sama Papa!"
*Papa menyakiti hatinya lagi"" sergah Valerina kesal.
"Cuma Kebetulan waktu Kezia pulang malam itu. Desi ada di rumah..,"
"Dia berani ke rumah kita lagi"" sela Valerina marah. "Pantas saja Kezia ngambek!"
"Kami cuma membicarakan pernikahan Desi dengan Rama, calon suaminya." Sahut Aryanto
terbata-bata. Dia menjulurkan tangannya untuk mem bimbing tangan istrinya ketika menyebrangi jalan di depan bandara. tetapi Valerina menepiskan tangannya dengan segera.
sesudah melakukannya Valerina memang agak menyesal. dia tidak ingin menyinggung perasaan suaminya. tetapi dia tidak sempat minta maaf lagi. Yang ada dalam pikirannya cuma Kezia. Ke mana dia"
Walaupun kecewa, Aryanto tidak memper lihatkan perasaannya. dia berjalan di samping istrinya menuju ke mobil mereka. Membuka-kan pintu untuk Valerina. Dan menyimpan travel bag istrinya di bagasi.
Rama sudah bersedia menjadi suami Desi sampai anaknya lahir, kata Aryanto ketika dia sudah duduk di belakang kemudi. "Mereka akan segera menikah."
Aku tidak peduli, geram Valerina dalam hati. Yang penting bagiku sekarang cuma anak anakku!
Setelah urusan ini beres Papa harap Mama mau kembali ke rumah. Kita bina kembali rumah tangga kita seperti dulu ya, Ma. Aryanto mengulurkan tangannyaa untuk meraih tangan istrinya.
Kali itu Valerina tidak menolak. Dia diam saja. Membiarkan suaminya meremas tangan
nya dengan hangat. "Papa sudah rindu, Ma." desah Aryanto
lembut. "Sudah ingin semuanya berjalan seperti dulu lagi," Tidak ada yang seperti dulu lagi, keluh Valerina dalam hati. Karena semuanya sudah berubah. aku sudah berubah. Anak-anak sudah berubah."
"Papa harap Mama sudah memaafkan Papa," lanjut Aryanto lirih. "Papa janji tidak akan mengulangi kebodohan itu lagi."
Kebodohankah namanya menghamili gadis yang menjadi pacar anakmu" Gadis itu dipaksa menikah dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya. Dipaksa seorang diri melahirkan dan membesarkan anaknya. Kebodohankah itu namanya"
Ketika melihat istrinya diam saja, membeku dalam kubangan perasaannya sendiri, Aryanto sadar, dia harus menunggu lebih lama lagi. Dia harus bersabar sampai istrinya bisa memaafkannya dan melupakan penyelewengannya.
Memang bukan salah Valerina. terlalu sakit luka yang ditorehkannya. Terlalu dalam penderitaan yang dibebankannya.
Tetapi Aryanto berjanji, dia akan bersabar. Dia akan menunggu sampai istrinya memaafkannya. Sampai kapan pun!
tidak ada yang bicara selama perjalanan Jari bandara ke rumah, kampaknya mereka sedang dibuat pikiran masing-masing. Valerina memikirkan Kezia. Aryanto memikirkan istri nya.
Entah mengapa, sejak pertama kali melihatnya di bandar
a tadi, hati kecilnya berkata, istrinya sudah menemukan seorang pengganti. Seorang laki-laki yang dapat menghiburnya. Mengobati sakit hatinya. Mungkin seorang laki-laki yang mengaguminya. Lelaki yang berhasil mengembalikan kepercayaan dirinya.
Ketika mobil mereka berhenti di depan pintu gerbang, Mbok Nah sudah menunggu di sana.
"Ada yang cari, Pak, katanya gugup. "Itu lagi nunggu di teras.
"Siapa"" gerutu Aryanto agak kesal. "Kok dikasih masuk"" "Katanya bawa berita dari Non Kezia, Pak.'" Valerina tidak menunggu sampai Mbok Nah selesai bicara dia sudah membuka pintu mobil dan melompat turun.
Ada berita dan Kezia" Ya Tuhan! Apa yang terjadi" Apa yang menimpa anaknya"
Valerina setengah berlari melintasi halaman depan rumahnya. Dia menghambur Secepat cepatnya untuk mendapatkan tamu itu. Lampu di terasnya tidak terlalu terang, tapi
cukup menyoroti wajah lelaki yang baru
bangkit dari kursinya itu.
Ketika melihat wajahnya, sekejap Valerina tertegun.
BAB XIV "Di mana adik saya, Mas"" desak Valerina
ketakutan. "Di mana Ardan"" Bimo mengawasinya dengan dingin. Di
matanya Valerina melihat bayangan mata iblis.
Dan dia merasa lemas. Sekarang dia yakin,
Ardan dalam bahaya! Bawa saya kepadanya, Mas," pinta Valerina lirih. "Biarkan saya bicara padanya. Saya kakaknya satu-satunya. Sudah dua tahun lebih kami tidak bertemu. Saya batu kembali dari luar negeri minggu lalu. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Tidak tahu apa yang diperbuat Ardan. Tapi jika bertemu saya, dia pasti mau berterus terang!"
"Dia menodai adik saya satu-satunya," sahut Bimo dingun. "Begitu tahu Sundari hamil, dia melarikan diri ke Surabaya."
"Kalau benar Ardan yang menodai Sundari..."
"Mereka sudah lama pacaran.!" bentak Bimo sengit. "Siapa lagi yang menghamili Sundari kalau bukan pacarnya" Kaukira adikku lonte"" "Maksud saya...."
"Ndari anak baik.'" Sekarang mata lelaki itu digenangi air mata. "sopan. Patuh. Lugu. Tega adikmu merusaknya! Dan meninggalkannya begitu saja seperti seonggok sampah busuk!" "Saya menyesal tidak datang lebih cepat...." "Untuk melindungi adikmu, Ndari nekat bunuh diri! Supaya dia tidak usah bilang padaku siapa yang menodainya.!"
"Mas yakin bukan orang lain"" desak Valerina resah. "Ardan sudah mengakui perbuatannya""
"Tidak sebelum kupaksa," geram Bimo sengit.
"Ardan..." Sekarang Valerina benar-benar khawatir. "Ardan... sudah... mengaku"" "Dia tidak bisa menyangkal lagi!" "Tolong saya, Mas," pinta Valerina ngeri. "Bawa saya padanya!"
Sekarang Bimo menatapnya dengan tajam. Valerina ngeri sekali melihat tatapan lelaki itu.
Sebenarnya Bimo bukan sosok yang mengerikan. Tubuhnya memang tegap. Tetapi wajahnya tidak sangar. Tampangnya bukan kriminal.
yang membuat dia tampil demikian menakut-kan adalah aroma dendam yang terpancar kuat dari sekujur tubuhnya. Mimiknya. Sorot matanya.
Tetapi demi keselamatan adiknya, Valerina nekat mendesak lelaki itu untuk menunjukkan di mana dia menyembunyikan Ardan. Valerina yakin sekali, Bimo telah menculik Ardan. Mungkin dia telah mengurungnya di suatu tempat. Untuk menyiksanya. Mendesak pengakuannya. Bahkan mungkin membalas dendam.
"Ayah kami telah melaporkan kehilangan Ardan kepada polisi," kata Valerina dalam nada memperingatkan. Bukan mengancam.
Tetapi lelaki itu sama sekali tidak kelihatan takut. Dia malah menyeringai kaku.
"Mereka boleh membunuhku," katanya kering. "Tidak seorang pun bisa menemukan dia." "Di mana Mas sembunyikan Ardan"" Sekali lagi Bimo menatapnya lekat-lekat. "Kau betul-betul ingin tahu"" Valerina mengangguk. "Dengan satu syarat."
"Berapa"" Seringai pahit itu bermain lagi di bibir Bimo.
"Bukan uang. Orang kaya selalu menganggap uang bisa membeli segalanva.
"Apa lagi syaratnva kalau bukan uang"" "Kau betul-betul ingin melihat adikmu"" "Di mana Ardan""
Seringai pahit itu masih serupa dengan seringai yang dilihatnya di bibir Bimo dua puluh tahun yang lalu. Dan melihat seringai itu, bayangan tragedi mengerikan dua puluh tahun yang lalu menyeruak lagi ke benak Valerina.
Dia masih dapat membayangkan dengan jelas wajah adiknya yang telah menjadi mayat. Dan kini, setelah dua puluh tahun berlalu,
setelah Valerina berjuang keras untuk melupakan peristiwa mengerikan itu, tiba-tiba saja bayangan hitam dari masa lalunya ini muncul kembali!
Dan teringat pada kata-kata Mbok Nah tadi, Valerina hampir pingsan saking takutnya, "Katanya bawa berita dan Non Kezia, Pak!" Kezia! Apa hubungannya dengan Kezia Tahukah Bimo di mana Kezia" Dari mana dia tahu Kezia hilang kalau bukan...
dan Aryanto sudah keburu tiba di belakang nya. Sesaat Aryanto terenyak ketika mengenali sosok di hadapannya.
"Aryanto Rangga perkasa, S.H.!" cetus Bimo setengah mengejek. Seringainya melebar. "Sudah lama kita tidak bertemu, sejak Bapak menjadi pembela saya."
"Ada urusan apa kemari" tanya Aryanto dengan perasaan tidak enak. "Kalau ada yang perlu dibicarakan, datang saja ke kantor saya besok.
"Bersama Rama"" ejek Bimo sinis. Rama" Aryanto tertegun bengong. Apa hubungannya bajingan ini dengan Rama" Mengapa tiba-tiba saja dia jadi tahu segalanya"
Pengacara kondang yang terkenal lurus, ternyata tidak ada bedanya dengan pengacara iblis!" Bimo tertawa sumbang. "Demi menyelamatkan perkawinannya, rela membayar orang lain, asal dia bisa lolos dari tanggung jawab menghamili seorang gadis!"
Pahlawan Harapan 2 5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng Piala Api 9
^