Pencarian

Tembang Yang Tertunda 3

Tembang Yang Tertunda Karya Mira W Bagian 3


"Di mana kau kenal Rama"" bentak Aryanto sengit. lancang benar Rama mengumbar mulutnya pada segala macam kutu busuk begini!
"Rama anakku." sahut Bimo datar. "Ketika aku bercerai, dia ikut istriku.."
Rama anak bajingan ini" Mata Aryanto ter beliak kaget. Betapa sempitnya dunia! "Rama yang memanggilmu"" desis Aryanto gugup. Aku yang menyuruh Rama memanggil iblis ini! Memunculkannya lagi ke dunia!
"Bebas dari penjara, aku tidak punya apa-apa lagi, sambung Bimo dengan suara kering "Aku menumpang di rumah bekas istriku. Rama pergi ke Jakarta untuk mencari kerja. Tidak ada kabar berita sampai tiba-tiba saja dia menelepon ke kantor kelurahan di kampungku. Katanva aku harus datang melamar seorang gadis yang sudah hamil
"Jika tidak kaututup mulutmu, anakmu bisa masuk penjara!" geram Aryanto gusar.
"Aku rela Rama masuk penjara," dengus Bimo dingin. "Di dunia ini, tidak ada perbuatan yang lebih kubenci daripada lelaki yang lari dari tanggung jawab setelah menodai seorang gadis.!"
"Bawa Rama ke kantorku besok!" sergah Aryanto dengan muka merah padam. "Kita bicara di sana!"
"Terlambat," sahut Bimo datar. "Kalau kau ingin tahu di mana Kezia!"
"Di mana anakku"" Aryanto menerjang
Bimo dengan kalap. Tetapi Bimo mengelakkan serangan itu de-ngan mudah. Sekali lagi Aryanto coba menyerangnya. Sekali lagi pula terjangannya mengenai tempat kosong sampai dia jatuh tunggang-langgang.
"Panggil polisi, Ma!" seru Aryanto terengah-engah. "Jangan sampai bajingan ini lolos!"
"Silakan," sahut Bimo tenang. "Istrimu barangkali masih ingat apa yang terjadi pada adiknya dua puluh rabun yang lalu...."
Valerina memekik histeris. Bayangan wajah Ardan yang sudah membiru kembali terlukis di depan matanya. Matanya yang terbuka menatapnya dengan sangat mengerikan. Mara yang telah memutih itu menatap kosong ke arahnya. Sekarang dia ridak dapat membayangkan Kezia... Ya tuhan!
"Kalau kau dendam padaku, kenapa tidak kau bunuh saja aku"" teriak Aryanto kalap. "Kenapa harus anakku""
"Kezia bukan anakmu.!" rintih Valerina yang sudah terpuruk di lantai. Kakinya yang lemas tidak mampu lagi menahan berat badannya.
Arvanto menoleh ke arah istrinya dengan terperanjat.
Tetapi Valerina tidak membalas tatapannya.
Dia justru memandang Bimo.
"Kezia anakmu." desahnya getir. "Kalau
celakakan dia. kamu mencelakakan anakmu
sendiri.!" Sekarang giliran Bimo yang terkesiap. sesudah dia dapat membuka mulutnya lagi, dia memekik panik.
"Bohong! Kau bohong! Kubunuh kau!" Dengan kalap Bimo menyerang Valerina. Mencekik lehernya.
Tetapi Aryanto keburu memukul kepalanya dengan jambangan bunga.
BAB XV Ketika melihat anak bungsunya telah menjadi mayat, ayah Valerina langsung shock. Dia tidak mengira ada manusia yang demikian kejamnya. Tega membunuh seorang anak yang baru berumur lima belas tahun!
"Apa salahnya"" rintihnya sambil menebah dadanya yang terasa sakit seperti ditikam sangkur. "Apa salah Ardan""
Dan dia tidak sempat memperoleh jawab
annya. Karena dia keburu pingsan.
Jantungnya tidak kuat menahan guncangan seberat itu Sudah lama memang jantungnya bermasalah, Karena itu pula sebenarnya Valerina enggan membawa ayahnya mencari Ardan. Dia khawatir ayahnya sakit. Karena itu dia nekat mencari adiknya seorang diri. Ternyata apa yang ditakutinya menjadi
nyataan. Ayahnya tidak kuat menyaksikan kekejaman yang terpapar di depan matanya, Anak laki-lakinya dibunuh. Mayatnya disimpan dalam sebuah gubuk kosong.
Ayah Valerina langsung tidak sadarkan diri begitu melihat mayat anaknya. Dan dia tidak pernah memperoleh kesadarannya kembali.
Ditinggal ayah dan adiknya dalam waktu yang hampir bersamaan merupakan trauma yang amat berat bagi Valerina. Apalagi saat itu dia baru berumur dua puluh satu tahun. Dan dia baru seminggu kembali dari luar negeri.
Tetapi dia mengeraskan hatinya. Dia harus mencari keadilan. Pembunuh adiknya harus dihukum.
Karena itu Valerina bisa tampil tegar di pengadilan. Dia selalu hadir di setiap persidangan. Meskipun setiap kali bukti-bukti kejahatan itu digelar, dia harus menahan perasaannya. Meskipun ketika proses pembunuhan adiknya dipaparkan, dia harus menggigit bibirnya kuat-kuat menahan tangis.
Dalam persidangan itulah Valerina pertama kali berkenalan dengan Aryanto Ranggaperkasa, S.H. Saat itu, dia baru saja meniti kariernya sebagai pengacara muda di Surabaya, tempat sidang pengadilan itu digelar.
Aryanto bertindak selaku pembela Bimo. Tetapi sejak pertama kali melibat Valerina di pengadilan, dia sudah tertarik pada gadis itu. Kesederhanaannya, kecantikannya yang tersembunyi, kesedihannya yang terselubung, sudah memikat hati Aryanto sejak semula.
Dia sangat bersimpati pada gadis yang selalu tampil tegar itu. Dia juga dapat merasakan kesedihan Valerina kehilangan ayah dan adiknya sekaligus.
Jadi meskipun di dalam ruang sidang mereka merupakan pihak yang berseteru, di luar gedung pengadilan hubungan mereka bertambah intim.
Tidak heran ketika akhirnya Bimo dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara, Aryanto ikut merasa lega meskipun sebenarnya dia gagal. Aryanto gagal membuktikan pembunuhan itu tidak direncanakan Bimo. Dia membunuh Ardan karena dorongan impulsnya semata-mata. Karena kotban dianggap sebagai pembunuh adiknya.
Dalam pengakuannya, Bimo malah mengatakan, dia tidak sengaja membunuh Ardan. Dia memaksa Ardan mengakui perbuatannya menodai adiknya, tapi Ardan selalu menyangkal. Bimo menyiksanya untuk mengorek pengakuannya Tapi penyiksaannya kebablasan. Ardan
tewas. Jika Aryanto berhasil meyakinkan hakim bahwa pembunuhan itu tidak direncanakan, hukuman yang dijatuhkan pasti jauh lebih ringan.
Tetapi justru jaksa penuntut umum yang berhasil membuktikan, pembunuhan itu merupakan pembunuhan berencana. Terdakwa telah merencanakan pembunuhan itu.
Dia datang ke rumah paman korban. Memaksa korban ikut ke kuburan adiknya. Mem-bunuhnya Dan menyimpan mayatnya di bekas rumahnya yang sudah bertahun-tahun kosong. Akhirnya Bimo dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara. Dan Aryanto tidak mengajukan banding. Perkara itu selesai begitu saja.
Tetapi Hubungan Valerina dan Aryanto ber lanjut setelah sidang berakhir, Mereka memutuskan untuk menikah setellahh Valerina merasa dia tidak punya pilihan lain. Sesudah menikah. Aryanto pindah ke Jakarta dan membuka kantor pengacara.
Kezia lahir hanya enam bulan setelah mereka menikah. tetapi Aryanto tidak pernah bertanya mengapa bayi mereka lahir prematur meskipun berat bandannya rendah.
baru malam ini. dua puluh tahun kemudian. Aryanto tahu siapa ayah Kezia. "Dia merenggut kehormatan saya sebelum memperlihatkan jenazah Ardan. gumam Valerina lirih. "katanya untuk membalas apa yang diperbuat Ardan pada adiknya."
Pembuluh darah di wajah dan leher Aryanto bersembulan ketika dia mengatupkan rahang-nya kuat-kuat menahan marah. Dengan kalap dia mengangkat kursi di dekatnya. Hendak dihantamkannva ke punggung Bimo yang ma-sih tersungkur tak sadarkan diri setelah kepalanya dihantam jambangan bunga. Tetapi Valerina segera melerainya.
Jangan, pintanya menahan tangis "Dia harus mengatakan di mana Kezia...."
Sesaat Aryanto te rtegun, lalu dia melempar kan kursi itu. dan menangis tersedu-sedu.
"Seharusnya dulu bajingan ini dihukum mati!" ratapnya getir, lalu dia menangis sambil memanggil manggil Kezia.
Melihat Aryanto menangis. Valerina ikut mengucurkan air mata. Dia tidak bisa membayangkan kalau nasib Kezia seperti Ardan! Atau... seperti dirinya"
Bimo menerima hukumannya dengan pasrah Dia sudah merasa puas karena telah berhasil membalas kematian adiknya. Hukuman seberat apa pun tidak disesalinya.
Apa bedanya lagi hidup di balik tembok penjara atau di luar" Dia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Adiknva sudah meninggal. Istri dan anaknya sudah tidak peduli lagi padanya, jadi hidup ini sudah tidak berarti lagi. Di mana pun dia tinggal sama saja.
Belasan tahun hidup di penjara dijalaninya saja dengan apatis. Hatinya yang sudah membeku semakin tak tersentuh. Dia selalu menyendiri. Tak punya teman. Tak punva siapa-siapa. Tak pernah dapat surat. tak pernah pula dikunjungi keluarga.
sekeluarnya dari penjara, Bimo sudah tidak punya apa-apa lagi. Tidak ada rumah. tidak ada pekerjaan. Tidak ada uang. Karena itu dia menumpang di rumah mantan istrinya. Untung saja mantan istrinya merasa iba. dan tidak
menolaknya. Saat Bimo kembali ke rumah, Rama belum berangkat ke Jakarta, dia baru saja diberhentikan dari salon tempatnya bekerja karena ke-tahuan mengintip pelanggan yang sedang lulur. Ketika melihat anaknya yang sudah dewasa, Bimo sudah merasa anaknya bukan pemuda baik-baik. tetapi selama kejahatannya hanya mengemudi tanpa SIM, mengintip pelanggan, menjaili adik kelas, Bimo tidak menggubrisnya.
Dia baru tergugah ketika suatu hari Rama memanggilnya ke Jakarta. Dia menelepon ke kantor kelurahan, berpesan supaya bapaknya siap-siap. karena besok pagi ada mobil yang akan menjemputnya.
Mula-mula tentu saja Bimo heran. Kenapa tiba-tiba lagak anaknya seperti OKB saja" ngirim mobil segala!
Dia baru mengerti ketika Rama menjelaskan segalanya. Ada orang kaya yang menghamili seorang gadis. Rama dibayar untuk menikahi gadis ini. Mengakui anak dalam kandungan gadis itu adalah anaknya!
Kalau ada kejahatan yang paling dibenci Bimo, kejahatan itu adalah menghamili seorang gadis, lalu lari dari tanggung jawab! persis seperti yang telah dilakukan Ardan pada adiknya!
Gara-gara perbuatan pemuda itu, Sundari menjadi korban! Dia mati bunuh diri! Padahal dia anak baik. Lugu. Penurut. Tidak pernah membantah perintah abangnya.
Dan hati Bimo tambah terbakar ketika tahu lelaki durjana itu adalah kenalan lamanya! Aryanto Ranggaperkasa. S.H.!
"Dia membayarmu"" geram Bimo sengit. "Dan kau mau saja menggantikan dia menjadi ayah anaknya"'
"Hanya sampai anak itu lahir. Rama menyeringai lebar. "Kecuali kalau saya ingin terus jadi suaminya!"
"Persetan! Bapak tidak mau melamar gadis itu! Kenapa bukan si Aryanto saja yang mengawininya""
"'Pak Ary kan sudah menikah. Pak. Istrinya orang terkenal. Ada di majalah segala. Saya pernah baca majalahnya di kantor. Heran. Sudah punya istri beken masih main-main sama cecurut!"
Ketika Rama menyebut nama istri Aryanto, Bimo terenyak.
Valerina Krisandini" Apa bukan gadis yang datang mencari adiknya itu" gadis yang... Ah. Pasti dia! Bimo tidak bisa melupakannya sungguhpun dua puluh tahun telah berlalu.
jadi Aryanto Ranggaperkasa, S.H. menikah dengan kakak si Ardan"
Kalau begitu mereka pasti ada main! Pantas saja pengacara itu gagal meringankan hukumannya! Karena dia bersekutu dengan lawannya! Kurang ajar, geram Bimo panas. Awas kau,
pengacara sialan! Kaukhianati aku! Tunggu
pembalasanku! Dengan meredam kemarahannya, Bimo mengikuti anaknya ke rumah orangtua Desi. Di sana, bukannya melamar Desi untuk Rama, dia malah membeberkan dosa-dosa Aryanto!
"Yang menghamili anakmu Aryanto Ranggaperka ,a, S.H., bukan anakku!" sembur Bimo tanpa basa-basi lagi.
Rama sampai melongo bingung. Tapi dia tidak mampu menghentikan ayahnya.
"Apa katamu"" belalak ayah Desi kaget. Gilakah orang ini"
"Pengacara sialan itu membayar anakku untuk menikahi anakmu! Supaya dia lolos dari tanggung jawab menjadi ayah cucumu!"
"Bapak!" sergah Rama marah. "Bapak tahu nggak sih apa yang
bapak lakukan""
"Jadi pengacara itu yang menghamili kamu, Des"" hardik ayah Desi sengit. "Dia membayar orang lain untuk menjadi ayah anakmu" sungguh tak bermoral! biadab!"
Desi tidak mampu menjawab, dia malah tidak mampu membuka mulutnya. semuanya terjadi di luar dugaan. hanya air mata yang menggenangi matanya. dan melihat sikap anaknya, ayah Desi tahu, orang gila itu tidak ngawur! apa yang dikatakannya benar!
sesudah itu ayah desi tidak bisa didekati lagi. tidak bisa diajak bersabar lagi. dia sangat marah. merasa ditipu. dibohongi, diakali.
"Lebih baik kamu aborsi saja daripada kawin sama segala maam sampah begini!"
"Mas!" sergah istrinya kaget. "Mas ngomong apa sih""
"Aku bilang keluarkan saja anak itu daripada anak kita mesti menikah dengan sembarang orang!"
"Tapi anak itu cucu kita, Mas! apa Mas Her tega membunuhnya" Dosa, Mas! Dosa!"
"Lantas kita mesti bagaimana" terima saja apa kemauan pengacara gila itu" enak saja mengawinkan anak orang!"
Rama juga marah sekali, bukan karena dianggap sampah. diusir seperti pengemis. tapi karena merasa dikhianati ayahnya.
"Gara-gara bapak, saya bisa masuk penjara!"
geram Rama sengit ketika mereka sedang melangkah di kaki lima.
"Jadi pengacara sialan itu mengancam akan memenjarakanmu kalau kau menolak mengawini gadis itu""
"Bapak nggak ngerti!" bentak Rama kesal.
"Saya lagi dituduh mencabuli anak kecil! anak bos saya di kantor! pak Ary yang akan membela saya, kalau saya sampai ditangkap! dia sudah janji akan membebaskan saya, kalau saya bersedia mengawini Desi!"
"Kau memperkosa anak kecil"" geram Bimo kalap. "Apa kau sudah gila""
"Bukan memerkosa! lagian itu cuma fitnah!"
Sanggah Rama uring-uringan, "Tapi sekarang tidak ada gunanya lagi! pak Ary pasti menghukum saya! semua gara-gara bapak!"
Bimo tidak memercayai kata-kata anaknya, sekali lihat saja, dia tahu, Rama berdusta. sekali menatap matanya saja, dia yakin, anaknya bersalah. Jadi benar Rama menodai anak kecil! Dan pengacara sialan itu bersedia membelanya, membebaskannya, asal Rama mau menggantikannya menjadi ayah anak haramnya!
Jahat sekali dia, geram Bimo sengit. Busuk sekali hatinya! Dulu dia mengkhianati kliennya karena ingin menikah dengan perempuan itu! Kini dia mengkhianati hati kecilnya sendiri, membela seorang penjahat busuk, karena ingin lari dari tanggung jawab menghamili seorang gadis!
Sekilas tadi Bimo melihat Desi menangis ketika ayahnya tengah marah-marah. Matanya merah digenangi air mata. Kasihan sekali dia.
Seperti itu jugakah ketakutan Sundari ketika tahu dia hamil" Ketika dia tahu ayah anak dalam kandungannya sudah melarikan din" Ketika dia sadar, lelaki yang telah menodainya tidak mau bertanggung jawab"
Lelaki seperti itu harus diberi pelajaran! Lelaki seperti itu harus dihukum!
Dulu Bimo telah menghukum Ardan. Kini dia harus menghukum Aryanto Ranggaperkasa, S.H.!
Aku akan mencarimu, Aryanto! Akan kubuat kau menyesal tujuh turunan karena mengkhianatiku! Dan karena kau lari dari tanggung jawabmu menghamili seorang gadis! Lalu sehari sesudahnya, Bimo mencari rumah Aryanto. Dan dia melihat dua orang gadis mengendarai mobil mewah keluar dari pekarangan rumahnya.
BAB XVI Bimo tidak pernah mau membuka mulutnya, sekeras apa pun polisi memaksanya bicara. Dia tetap tidak mau menunjukkan di mana dia menyembunyikan Kezia. Dia hanya mau bicara dengan Valerina. Empat mata.
"Biarkan saya menemuinya sendiri, Pak." pinta Valerina kepada polisi yang menyampaikan keinginan Bimo.
"Jangan, Ma!" sanggah Aryanto parau. "Dia gila!"
"Saya harus tahu di mana Kezia," desah Valerina lirih.
Kamu lupa apa yang dilakukannya dulu"" "Saya tidak peduli," Valerina menggigit bibirnya menahan perasaannya. "Seandainya saya harus mengulanginya lagi sekalipun, saya bersedia. Demi Kezia!"
"Kami akan menjaga Ibu. Pak," sela polisi itu penuh pengertian. "Bapak tidak usah khawatir."
"tak ada yang dapat mencegah Valerina jika dia ingin melakukan sesuatu. Aryanto pun tak berhasil menahannya. Sebenarnya dia ingin ikut. Tetapi Valerina mencegahnya.
"Jika dia melihat Papa, dia pasti ngamuk lagi. Dan dia tidak mau bicara."
"Saya rasa Ibu benar, Pak. Suda
h semalaman kami memaksanya bicara. Sudah segala macam cara kami lakukan. Tapi dia tetap bungkam. Padahal sekarang kita sedang berlomba dengan waktu. Kita harus menemukan Kezia secepat-cepatnya! Kami khawatir..." Polisi itu tidak melanjutkan kata-katanya.
Terapi baik Valerina maupun Aryanto tahu sekali apa kelanjutannya. Dan mereka sama-sama merasa dada mereka terkoyak ngilu.
Sekarang Aryanto tahu Kezia bukan anaknya. Tetapi kenyataan itu tidak memadamkan kasih sayangnya pada Kezia. baginya. Kezia tetap anaknya!
Bagi Valerina, Kezia malah lebih penting daripada nyawanya sendiri. karena itu jangankan menemui Bimo seorang diri. Menemui malaikat maut pun dia tidak gentar. demi Kezia. dia rela melakukan segalanya! Tetapi, apakah masih ada gunanya"
Bayangan tragedi mengerikan dua puluh tahun yang lalu itu kembali lagi ke depan matanya, wajah Ardan yang membiru... matanya yang menatap kosong....
"Di mana Kezia"" tanya Valerina lirih.
Bimo yang ditemuinya pagi itu bukan lagi Bimo yang tadi malam. Mukanya babak-belur. Tubuhnya pun telah terkulai lemas. Tak ada lagi mantan napi yang menakutkan. Tak ada lagi pembunuh berdarah dingin yang membunuh adiknya.
Yang tampil di depan mata Valerina kini cuma sesosok pria tak berdaya. Bahkan meng angkat kepalanya saja pun dia sudah hampir
tak mampu. Tetapi kekerasan hati yang ter
pancar dari matanya masih tetap tak tergoyah
kan. Ketika dia memandang Valerina, matanya masih menatap dengan tatapan sekeji tatapan mata yang dilihat Valerina dua puluh tahun yang lalu.
"Aku hanya ingin menghukum suamimu," desisnya dengan suara yang tidak jelas, hampir tidak dapat dimengerti. "dia pengacara busuk!"
"Aku tahu," sahut Valerina sambil menegarkan hatinya.
Dia duduk di depan Bimo. Berusaha membalas tatapan lelaki itu dengan setenang mung-kin. Kilasan peristiwa dua puluh tahun yang lalu bolak-balik mampir di depan matanya seperti kilas balik yang mengerikan. Aroma tubuh lelaki itu mengingatkan Valerina pada kejadian menjijikkan yang harus dialaminya.
Dia ingin memejamkan matanya. Ingin mengusir kenangan pahit itu dari benaknya, tetapi demi Kezia, Valerina menabahkan hatinya. Demi Kezia, dia sanggup duduk di sini. Berhadapan lagi dengan iblis ini! Berada dalam jarak sedekat ini dengan lelaki yang pernah menodainya.... "Tapi yang kamu hukum bukan suamiku." "Benarkah apa yang kaukatakan padaku tadi malam"" tanya Bimo dengan susah payah, seolah-olah sulit sekali baginya membuka mulutnya.
"Kezia anakmu." Valerina tahu sekali ke mana arah pertanyaan Bimo. "Dia lahir hanya enam bulan sesudah aku menikah." Tiba-tiba saja Valerina melihat kesakitan me-rayap di mata Bimo.
"Aku tidak ada bedanya dengan adikmu! Dengan suamimu!" Suaranya berbaur antara sakit dan sesal. Aku malah lebih jahat dari mereka! aku membunuh anak kita!"
Kata-kata Bimo yang terakhir seperti ledakan bom di telinga Valerina.
Aku membunuh anak kita! Valerina tidak tahu lagi apa yang terjadi. Dia merosot ke lantai. Dan kehilangan kesadarannya.
Habislah sudah harapannya. Kezia sudah mati! Kezia-nya! Kesayangannya! Anak kandungnya!
Bimo membunuh Kezia! Kezia! Kezia! Mengapa kamu yang harus dihukum" Kamu tidak bersalah! Kamu baru sembilan belas tahun! Mengapa kamu yang harus menanggung dosa orangtuamu"
Ampuni Mama, Kezia, tangis Valerina ketika dia sudah memperoleh kesadarannya kembali-
Mama meninggalkanmu! Mama datang ter
lambat! Mama tidak bisa menjagamu. Sayang! Aryanto tidak kalah sedihnya. Dia menangis
ketika pengakuan Itu meluncurr dari mulut
Bimo. "Aku melihat Kezia mengemudikan mobil keluar dari rumahnya..." suara Bimo gemetaran. "Lalu aku menguntitnya. menghentikannya di tempat sepi. memukul dan mendorong teman kezia keluar dari mobilnya. aku memaksa kezia mengemudikan mobil itu ke suatu tempat, lalu... lalu... aku... aku mencoba memerkosanya... dia melawan... aku... aku mencekiknya..." Bimo menangis tersedu-sedu. pertahannya runtuh. "Aku membunuh anakku sendiri!"
Papa yang salah, Kezia, tangis Aryanto pilu. Papa yang berdosa!
Bimo memang menunjukkan di mana dia membuang mayat Kezia. tetapi berhari-hari polisi tidak dapat menemukan mayat
nya. selama berhari-hari, Aryanto dan Valerina didera kesedihan yang berbaur dengan perasaan bersalah. Revo yang mendapat kabar tentang malapetaka yang menimpa kakaknya, langsung pulang ke rumah. kehadirannya memang dapat sedikit menghibur hati Valerina. tetapi tidak dapat menyingkirkan seluruh kedukaannya.
"Have fun, Ma." Valerina teringat salah satu sms Kezia. "Jangan pikirin apa-apa lagi. Hepi-hepi aja. Mama berhak menikmati hidup."
Bagaimana Mama bisa hepi, Zia" Kamu meninggalkan Mama dengan cara yang sangat tragis!
"Semuanya gara-gara Papa," geram Revo sambil menahan tangis. "Kezia nggak salah! Kenapa dia yang mati""
Revo tak dapat menahan tangisnya lagi. Sejak datang, dia berusaha tampil tegar. Supaya Mama tidak bertambah sedih. Dia ingin menghibur Mama. Ingin menguatkannya.
Tetapi sekarang dia tidak tahan lagi. Tangisnya meledak. Ingat kakaknya. Ingat pertengkaran-pertengkaran mereka. Ingat canda-canda mereka.
Semua yang ada di rumah ini mengingatkannya pada Kezia. Suaranya. Omelannya. Tawanya, seperti masih menggema di rumah ini. Bayangannya masih melekat di dinding. Aroma parfumnya masih tercium, seolah-olah dia masih berada di dekat Revo.
Valerina meraih putranya ke dalam pelukannya. Dia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Hatinya hancur berkeping-keping. Dulu adiknya. Kini anaknya. Mereka menjadi korban pembunuhan keji. Mengapa hidup sekejam ini padanya" petaka itu selalu datang setelah kebahagiaan menyapanya. Setelah hari-hari yang nikmat bersama Tristan.... "Tristan," desah Valerina seperti baru teringat sesuaru.
"Tunggulah aku di Zermatt, Tris," Valerina teringat lagi pada janjinya. "Sesudah menyelesai-kan masalah Kezia, aku akan membawa anak-anakku menemuimu. Mereka harus tahu, seperti apa lelaki yang akan mendampingi ibunya seumur hidup."
"Oke," Valerina masih dapat merasakan kelembutan ciuman Tristan. "Tanggal dua enam bulan depan. Di hotel kita. Atau kamu lebih suka menemuiku di Gornergrat" Aku akan melamarmu sekali lagi di depan anak-anakmu."
Valerina tidak mau menyuruh Tristan menunggu lagi. Dia tidak mau Tristan mengulangi kekecewaannya karena wanita yang ditunggunya tidak muncul. Karena itu dia langsung menelepon Tristan di ponselnya. sambil me-nangis, Valerina menceritakan kemalangan yang
menimpanya. "Kezia sudah tidak ada, Tris," tangisnya pilu,
"Anakku sudah pergi..."
Aryanto mendengar telepon istrinya. Meski-pun tidak tahu dengan siapa istrinya berbicara, dia dapat menduga kedekatan hubungan mereka. Suara Valerina, caranya bercerita, bahkan nadanya ketika memanggil nama lawan bicaranya, menitikkan kecurigaan di hati Aryanto.
Orang yang sedang berbicara dengan istrinya pasti bukan teman biasa! Orang itu pasti punya hubungan istimewa dengan Valerina. Dengan diakah selama ini Valerina tinggal di Eropa" Sampai sejauh mana hubungan mereka"
Tapi apa hakku lagi untuk bertanya, desah Aryanto sedih. Dia melangkah ke kamar. Tidak mau mendengarkan lagi telepon istrinya. Aku sudah tidak ada harganya lagi. Aku berse-lingkuh dengan pacar anakku. Kini aku menjadi alasan terbunuhnya anakku yang lain!
Dan ingat Kezia, ingat nasibnya, air mata Aryanto tumpah tak terbendung lagi.
Saat-saat terakhir, Kezia memang sangat membenci ayahnya.
"Papa bikin malu aja!" dampratnya ketika tahu perselingkuhan ayahnya.
Sesudah itu pun, Kezia selalu menjauhinya. Dia seperti jijik berdekatan dengan ayahnya. "Kenapa Papa nggak berselingkuh sama sekretaris Papa aja" Kenapa mesti sama pacar
Revo"" Kezia memang tidak pernah dapat menerima
penyelewengan ayahnya. Apalagi dengan pacar
adiknya! Seperti sudah tidak ada perempuan
saja! Sampai pacar anaknya sendiri diserobot
Papa! Sadis! tidak heran kalau Kezia sangat membenci
ayahnya. Kalau dapat, tidak ingin melihatnya
lagi! Karena itu dia jarang di rumah.
Hari-hari setelah ibunya pergi, Kezia malah
selalu pulang sampai larut malam. Seolah-olah dia tidak mau bertemu ayahnya.
"Gue benci Bokap," katanya kepada Olimpia,
orang yang paling sering menerima curahan isi hatinya setelah dia putus dengan pacarnya,
Tomi. "Malu rasanya punya bokap kayak gitu!" "Padahal bo-nyok lu tuh ortu tela
dan, Zia," keluh Olimpia sambil menarik napas panjang. Ikut sebal dengan perselingkuhan yang menggemparkan itu.
"Gara-gara Bokap bikin heboh begini, gue jadi males kuliah. Rasanya malu ngeliat tam-
pang temen-temen." "Ah, jangan gitu, Zia. yang salah kan Bokap lu! ngapain jadi elu yang males kuliah""
"Malu. tau nggak" apalagi ngeliat muka si Tomi! Dia pasti ngeledek gue!"
"Trus lu mau apa" Ngumpet terus di rumah" Udah deh. mendingan kita jalan-jalan aja, cari angin! Biar dada lu nggak nyesek!"
Dan Inilah akibat usul Olimpia. Hampir tiap hari mereka keluyuran sampai malam.
Tapi... benarkah Olimpia yang salah" Benarkah karena dia mengajak Kezia keluar rumah, Bimo dapat menemukan dan mencelakakan mereka"
Tidak, sanggah Aryanto pilu. Akulah yang salah! Kalian tidak bersalah! Kalian anak-anak yang masih suci. Tidak tahu apa-apa!
Ketika Tristan melihat Valerina menyambutnya di Bandara Soekarno-Hatta, dia begitu trenyuh melihat perubahan wajah kekasihnya. Dalam seminggu saja, wajah Valerina sudah berubah. Tak ada lagi sinar di parasnya, lak ada lagi kegembiraan. Kehangatan. Kebahagiaan. Yang ada hanya kesedihan. Kemurungan. Kesakitan.
Mereka berpelukan erat erat. Bukan lagi dengan pelukan penuh kemesraan. Bukan lagi untuk menumpahkan kerinduan. tapi untuk berbagi kesedihan.
Valerina langsung menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Dan air matanya tumpah membasahi baju Tristan. Tristan tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Hatinya sakit dikoyakkan sembilu kedukaan. Dia dapat merasakan kesedihan Valerina. Kesedihan yang mendalam sampai ke rulang sumsumnya.
Tristan tahu bagaimana Valerina mencintai anak-anaknya. Untuk mereka, dia rela ber-korban. Untuk mereka, dia rela melakukan apa saja.
Kini salah seorang anaknya terbunuh. Justru pada saat dia tidak berada di rumah. Pada
saat dia sedang berkasih-kasihan dengan lelaki
lain! Valerina pasti merasa sangat bersalah. Tristan dapat merasakannya.
Ingin dia membisikkan di telinga kekasihnya, Semua bukan salahmu. Sayang! tapi waktu nya tidak tepat. dia harus menunggu. menunggu sampai Valerina mampu menguasai emosinya.
Tristan membawa Valerina duduk di sebuah kafe. Mengajakmu minum. Dan menunggu Valerina menenangkan dirinya.
"Ceritakan padaku apa yang terjadi. Val." bisik Tristan setelah tangis Valerina mereda. Aku harus tahu mengapa ada orang gila yang ingin menyingkirkan Kezia."
sesaat Valerina tidak mampu membuka mu-lutnya. Karena setiap kali dia membuka mulut-nya. tangisnya meledak lagi. Tristan meraihnya ke dalam pelukannya. Dan Valerina terisak dalam dekapannya.
Valerina masih memerlukan beberapa saat lagi sebelum dia dapat menguasai emosinya. Sebelum minuman itu menenangkannya. Se-belum dia dapat menceritakan semuanya.
Ketika ceritanya selesai, ponselnya berbunyi.
Aryanto mengabarkan polisi sudah menemukan mayat Kezia.
Aryanto menatap dengan tatapan hampa. Dia melihat istrinya datang dengan seorang laki-laki. Dan laki-laki itu merangkul Valerina. Membimbingnya dengan lengan-lenganya yang kokoh.
Paras lelaki itu sangat murung. tetapi kemuraman seperti apa-pun tidak mampu me-menyembunyikan ketampanan wajahnya. dalam usia empat puluhan, pria itu tampil sangat memikat. Dewasa. Percaya diri. Macho. Tahu apa yang harus dilakukan.
Pantas saja Valerina terlihat lebih terhibur dalam pelukannya. Meskipun sedang menangis, dia terlihat lebih tabah.
Ketika melihat ibunya datang. Revo langsung lari mendapatkannya. Dia sudah membuka lengannya untuk memeluk ibunya. Ingin me-nabahkannya. Menguatkannya sebelum Mama melihat mayat Kezia.
Tetapi selangkah sebelum memeluk ibunya, langkah Revo terhenti. Tiba-tiba dia sadar, ibunya sedang berada dalam pelukan lelaki lain. Lelaki yang tidak dikenalnya.
Dan lelaki itu tampaknya tidak berniat melepaskan pelukannya. Mama pun tampaknya tidak ingin dilepaskan.
Mama tidak peduli Papa ada di sana. Hanya beberapa langkah di depan mereka. Mama malah seolah-olah tidak melihat Papa, Atau dia melihat, tapi tidak perduli"
Ketika melihat Revo tertegun di depannya, Valerina meraih anaknya ke dalam pelukannya.
"Tabah ya, Ma," bisik Revo lirih. "Mama mau Revo ikut
masuk"" Valerina mengangguk. Dia ingin Revo di sampingnya pada saat yang paling getir dalam hidupnya. Pada saat dia melihat mayat anaknya!
Dia juga ingin Tristan yang memeluknya ketika dia jatuh pingsan nanti. Tapi dia tahu, hanya orangtua dan keluarga yang diizinkan masuk ke kamar jenazah untuk identifikasi korban.
"Aku menunggumu di sini," kata Tristan ketika dia melepaskan lengannya dari bahu Valerina. "Aku ingin melihatmu kokoh seperti Matterhorn."
Valerina mengangguk sedikit. Lalu dalam rangkulan Revo, dia melangkah masuk. Aryanto mengikutinya di belakang dengan kepala tunduk. Hatinya yang sedih bertambah terpukul. Isttinya sama sekali tidak memerhatikannya. Bahkan Aryanto ragu Valerina tahu dia berada di sana.
Tetapi kesedihannya karena seolah terlupakan tidak bertahan lama. Kamar mayat yang dingin membeku menyambutnya. Dan matanya melayang ke jenazah yang terbujur kaku di sudut sana. Sehelai kain putih menutupinya sampai ke ujung kepala.
polisi yang menangani kasus pembunuhan Kezia sudah berdiri di samping jenazah ber-sama seorang petugas. Dia menunggu kedatangan keluarga korban dengan sabar. Dia memahami perasaan mereka. Karena itu dia tidak berkata apa-apa ketika Valerina mendadak berhenti melangkah. Ketika tiba-tiba ibu korban meringkuk dalam pelukan anak laki-lakinya. Seolah-olah tidak berani mendekat. Tidak berani melihat sesuatu yang paling mengerikan dalam hidupnya.
Aryanto memegang bahu Valerina. Ingin menabahkan istrinya. Tetapi sentuhannya seperti tidak berarri apa-apa. Apalagi Revo kelihatannya tidak suka ibunya dipegang.
Revo langsung memeluk ibunya erat-erat dan membawanya mendekati jenazah. Dia merasa tubuh ibunya menggeletar dalam pelukannya. Terapi Revo sendiri ragu, benarkah hanya tubuh Mama yang menggeletar"
Di sana terbaring Kezia. Kezia yang sudah jadi mayat! Tidak ada lagi bidadari yang cerewet. Lawan nya bertengkar. temannya bercanda.
Kezia sudah jadi mayat! dia sudah terdiam untuk selama-lamanya!
Revo ragu dia sanggup melihat mayat Kezia, Apalagi ibunya!
"Biar saya saja yang melihatnya. Pak," pinta Revo kepada polisi yang sedang menunggu mereka di samping jenazah. "Ibu saya..."
"Tidak!" bantah Valerina gemetar menahan tangis. "Mama mau lihat Kezia. Mau memeluknya...."
Aryanto menyusut air yang mengalir terus dari hidung dan matanya.
Maafkan Papa, Kezia, bisiknya dalam hati. Kalau saja Papa bisa menggantikanmu....
Ketika keluarga korban sudah berada di depan jenazah, polisi mengisyaratkan petugas untuk membuka kain putih yang menyelimutinya.
Perlahan-lahan petugas membuka kain yang menutupi wajah korban.
Revo memeluk ibunya erat-erat. Bersiaga kalau ibunya langsung jatuh pingsan setelah melihat mayat Kezia
Aryanto menggigit bibirnya sambil memejamkan matanya sekejap. dan lapat-lapat dia mendengar desahan kaget istrinya "Dia bukan Kezia!"
BAB XVII Tristan mengira dia akan melihat Valerina dipapah keluar karena tidak mampu lagi melangkah. Atau digotong karena jatuh pingsan.
Dia sudah bersiap untuk menggendong kekasihnya meskipun hanya dengan sebelah lengannya yang sehat. Tidak peduli suaminya ada di sana. Tidak peduli anak lelakinya keberatan.
Tristan merasa dia berhak berada di dekat Valerina pada saat yang paling tragis dalam hidupnya. Bukankah sekarang dia orang yang paling dekat dengan Valerina"
Tristan juga sudah melihat lelaki yang menjadi suami Valerina. pasti lelaki separo baya yang tegak tak berapa jauh dari tempat mereka. lelaki yang masuk bersamanya ke kamar jenazah.
Dan Tristan tidak peduli kalau lelaki itu gusar karena istrinya dipeluk lelaki lain. Kalau dia marah atau memukulnya, ku lebih baik lagi. Tristan memang ingin mematahkan rahangnya. Membocorkan hidungnya. Biar dia tahu, masih ada orang yang mampu menghajarnya!
Lelaki tidak tahu diri! Sudah tua, jelek, masih berlagak lagi! Punya istri secantik Valerina, masih gatal menodai pacar anaknya sendiri!
Semua bencana ini kan gara-gara dia. Kalau dia tidak berulah, tragedi ini tidak akan terjadi! Kezia tidak bakal mati. Dan Valerina tidak usah kabur ke Eropa... tapi kalau Valerina tidak kabur, mereka tidak pernah berjumpa lagi
! Mereka tidak punya kesempatan lagi untuk melanjutkan tembang mereka yang tertunda! Dan Tristan tertegun kaget. Valerina tidak dipapah. Tidak digotong. Dia malah berlari keluar. Menghambur mendapatkannya.
"Bukan Kezia, Tris!" desahnya sambil memeluk kekasihnya. "Dia bukan Kezia!"
Tristan melongo heran.

Tembang Yang Tertunda Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mayat itu memang sudah membusuk. tetapi bagaimanapun berubahnya wajahnya, Valerina
masih dapat mengenalinya. tak ada yang lebih
kenal wajah seorang anak kecuali ibunya sen-diri!
Dan wajah mayat itu bukan wajah Kezia! Harapan Valerina terbit kembali. Kalau mayat itu bukan Kezia, artinya ada kemung-kinan anaknya belum meninggal.! Kezia masih hidup! Di mana dia"
Satu-satunya orang yang dapat menjawab pertanyaan itu hanyalah Bimo. Tetapi Bimo sudah tidak dapat ditanya lagi. Dia sudah sekarat.
Ketika Valerina bergegas menemuinya, tubuhnya sudah terhantar lemah di ranjang klinik di samping penjara.
"Bunuh diri," kata sipir yang ditemui Valerina. "Memotong nadinya sendiri. Perdarahannya banyak sekali."
"Saya bersedia menyumbangkan darah saya, Dok," desah Valerina gugup. "Darah saya go-
longan A..." "Tidak ada yang dapat menolongnya lagi, Bu," sahut dokter yang merawat Bimo tegas.
"Tidak juga darah ibu. lagi pula darah Bimo golongan O."
Saya bersedia membiayai pengobatannya, Dok. Mungkin dia perlu dibawa ke rumah sakit""
Tidak ada lagi yang dapat dilakukan, Bu. Dia sudah sekarat. Kesadarannya sudah sangat menurun. Demikian juga tekanan darahnya. Dia akan segera pergi.'"
Bimo memang sudah hampir meninggal. Kata-kata terakhir yang diucapkan bibirnya hanyalah gumaman lemah,
Aku... bunuh... anakku... sendiri...." Sia-sia Valerina mencoba menjelaskan, bukan Kezia yang dibunuhnya.
Bimo meninggalkan dunia ini dengan beban penyesalan yang dibawanya ke liang kubur. Dia telah membunuh anaknya sendiri.
Padahal dia hanya ingin membalas dendam pada Aryanto Ranggaperkasa, S.H.! Dia hanya ingin memerkosa Kezia. Memberikan pelajaran pada ayahnya yang telah menodai seorang gadis! Bagaimana sakitnya kalau anak perempuannya
sendiri yang diperkosa"
"Jadi itu sebabnya kamu tidak kembali ke Zermatt sembilan belas tahun yang lalu," kata Tristan lunak ketika dia sedang makan malam berdua dengan Valerina. Sudah beberapa hari Valerina tidak bisa makan. Dia hanya minum. Kadang-kadang menyantap sepotong biskuit. Itu pun setelah dipaksa-paksa. Malam ini, Tristan memaksanya makan. "Temani aku," katanya sore itu. "Kamu harus kuat. Ada tugas berat di depan mata. Mencari Kezia. Kalau tidak makan, kamu bisa sakit."
Akhirnya Valerina ikut. Setelah minta izin pada suaminya. Ah, sebenarnya bukan minta izin. Dia hanya bilang. Dan Aryanto tidak berkata apa-apa. Dia diam saja. Tidak memperlihatkan hatinya yang tergores pedih.
Istrinya makan dengan pria lain. Dan pria iru bukan mitra bisnisnya. Bukan pelanggan. Bukan teman arisan. Pria itu teman istimewa Valerina.
Tapi apa bedanya dengan dirinya" Hampir setahun dia pergi makan siang dengan Desi. Dan dia tidak pernah mengatakannya pada Valerina. Tidak pernah minta izin.! Dia merahasiakan pertemuannya!
tentu saja Valerina dapat membaca kesedih an suaminya. tetapi dia tidak punya pilihan lain. Tristan cuma minta ditemani makan. Padahal selama di Eropa, bukankah Tristan telah memberikan segala-galanya" Melayaninya dengan sempurna. Apa salahnya menemaninya makan malam"
"Mengapa tidak kamu katakan saja kamu sedang mengandung anak bajingan itu"" tanya Tristan lembut.
"Aku tidak punya pilihan lain," sahut Valerina pahit. "Kalau aku menunggu sampai bulan Juli delapan enam, anakku keburu lahir."
"'Menyesal aku tidak memberimu nomor telepon kami di Bern," desah Tristan sambil menghela napas berat. "Supaya aku tahu apa yang terjadi. Dan kamu punya seseorang tempat mengadu."
"Aku tidak akan meneleponmu," sahut Valerina sedih. "Aku sudah tidak pantas lagi dibawa ke depan orangtuamu."
"Itu pernyataan paling bodoh yang pernah kudengar!" sergah Tristan kesal.
"Tapi itu yang kurasakan dulu. Aku merasa sudah tidak berharga lagi. Ketika Mas Ary melamarku, aku tidak punya pilihan lain. Aku ingin anakku punya ayah. Dan aku tidak ingin Kez
ia tahu, ayahnya seorang narapidana."
"Seharusnya kamu minta pendaparku dulu!" geram Tristan gemas. "Menyesal sekali tidak kutanyakan alamat dan teleponmu! Soalnya aku yakin sekali akan ketulusan cinta kita. Aku yakin dua ratus persen, kamu pasti kembali! Kita pasti bertemu lagi di Zermatt! Tidak ada gadis yang kabur dari pelukanku. Biasanya aku yang melarikan diri karena sudah bosan!"
Ketika Valerina pulang ke rumah, malam belum larut. Baru pukul sembilan. Valerina memang minta langsung diantarkan pulang setelah makan. Dan Tristan mematuhi permintaannya, Dia tahu, tidak pantas mengajak Valerina berkencan dalam keadaan seperti ini. Karena itu dia menahan kerinduannya. Dan kembali ke hotelnya setelah mengantarkan Valerina pulang.
Ketika Valerina masuk ke rumahnya, Aryanto belum tidur. Dia sedang duduk termenung di depan televisi yang ridak dihidupkan.
Ketika istrinya masuk, dia menoleh. Matanya yang suram menatap istrinya dengan tatapan hampa.
"Belum tidur, Pa"" tanya Valerina datar. "Tidak ada kabar tentang Kezia"" Aryanto menggeleng.
"Polisi barusan menelepon. Mereka sudah mengidentifikasi mayat itu."
Tidak sadar Valerina duduk di dekat suami-nva. Kakinya terasa lemas.
"Mavat siapa, Pa"" desahnya gemetar. "Olimpia. teman Kezia." "Ya Tuhan!"
"Kasihan anak itu," Aryanto menundukkan kepalanya. Suaranya terdengar sendu. Berat digayuti penyesalan. "Dia tidak punya dosa apa-apa. Dia hanya berada di tempat yang salah...."
"Mungkin saat itu Olimpia yang menyetir mobil Mama. Bimo mengira dia anak kita!"
"Polisi juga bilang begitu. Mereka sedang mengintensifkan pencarian di rumah sakit dan klinik-klinik kecil."
"Mudah-mudahan Kezia hanya luka ya, Pa," rintih Valerina ketakutan. "Tapi mengapa dia
tidak bisa menghubungi kita""
"Kata polisi, mungkin Hp-nya hilang. mungkin pula dia menderita amnesia karena benturan di kepalanya."
"Maksud Papa..." mata Valerina menyipit ngeri, "Bimo memukul kepalanya""
"Bisa jadi juga kepala Kezia terbentur aspal waktu Bimo membuangnya."
Valerina mendesah cemas. Ketakutan dan kekhawatiran mulai mencengkeram hatinya lagi. Padahal setengah harian ini, perasaannya agak mendingan. Dia masih punya harapan Kezia masih hidup. Dia hanya tersesat. Luka. Dan pasti dapat ditemukan.
Sekarang ketakutannya muncul lagi. Mungkinkah Kezia juga sudah...
"Sudahlah, Ma," Aryanto terdorong menghibur istrinya ketika melihat keadaan Valerina. Tak sadar dipegangnya tangannya. Diremasnya dengan lembut. "Jangan berpikir yang bukan-bukan. Papa yakin, Kezia masih hidup."
Valerina ridak menolak tangan suaminya. Keyakinan Aryanto sedikit menenangkan hatinya.
"Betul, Pa"" gumam Valerina harap-harap cemas Ditumpahkannya harapannya pada kata-kata suaminya. "Papa yakin Kezia nggak apa-apa""
"Mungkin dia luka, Sedang dirawat di
rumah sakit. mungkin dia menderita amnesia.
Jadi lupa siapa dirinya. Makanya Kezia tidak bisa menghubungi kita. Ma."
kan Papa sudah mencari ke rumah sakit"" "Tapi tidak secermat polisi kan, Ma. Papa kan cuma mencari ke rumah sakit di sekitar sini. Radiusnva tidak sejauh pencarian polisi." "Mudah-mudahan Kezia selamat ya, Pa." "Papa yakin kok." Aryanto menggenggam tangan istrinva. Dan menepuk-nepuknya dengan tangannya yang lain.
"Terima kasih, Pa," gumam Valerina terharu. "Papa masih bisa menghibur Mama. Padahal Papa sendiri sama takutnya dengan Mama. Sama sedihnya."
"Mungkin malah lebih sedih dari Mama," sahut Aryanto lirih. "Papa merasa bersalah. Semua ini gara-gara dosa Papa. Seperti Revo bilang." "Di mana Revo, Pa""
"Dari tadi belum pulang. Mungkin ke rumah temannya. Mungkin ikut mencari Kezia dengan gengnya. Dia kan tidak mau ngomong lagi sama Papa.
"Sabarlah, Pa, tidak tahu Valerina mengapa dia harus menghibur suaminya, tapi melihat Aryanto, tiba-tiba saja dia merasa iba. "Suatu hari sikapnya pasti berubah. Beri dia waktu"
"Papa tidak menyalahkannya, Ma, tukas Aryanto sedih. "Bukan salah Revo kok. Papa yang salah. Dosa Papa sangat besar. Gara-gara Papa, masa depan Desi rusak. Gara-gara Papa, Kezia hilang. Gara-gara Papa, Olimpia terbunuh."
Valerina tidak menjawab. Dia hanya menghela napas panjang.
"B oleh Papa tanya, Ma"" cetus Aryanto setelah mereka sama-sama berdiam diri. "Jangan jawab kalau Mama nggak mau."
"Tristan Putradewa"" desis Valerina datar. "Dia yang Papa mau tanya, kan"" "Dia bukan teman biasa, kan"" "Tristan pacar saya sebelum menikah dengan Papa. Saya pernah berjanji akan menemuinva kembali di suatu tempat di Eropa sembilan belas tahun yang lalu. Tapi saya melanggar janji saya."
"Mama menerima lamaran Papa karena Kezia,
kan"" "Papa menyesal""
"Tidak Ma." sahut Aryanto tulus. Itu ke-putusan papa yang paling baik. menikah dengan Mama dan memiliki dua orang anak yang sangat papa cintai."
Air mata perlahan-lahan mengalir di pipi Aryanto. Valerina tidak sampai hati melihatnya. dia memalingkan wajahnya sambil menggigit bibir.
"Kesalahan Papa hanyalah karena Papa tidak dapat menahan nafsu birahi. papa berdosa pada Revo, berdosa pada Desi. papa merusak hubungan anak papa sendiri. merusak masa depan gadis secantik Desi..."
"Mengapa papa menolak bertanggung jawab"" tanya Valerina tawar. "Mengapa malah berbuat dosa lagi dengan menyuruh orang lain menggantikan papa" mengapa mesti menipu ayah Desi""
"Yang papa pikirkan saat itu cuma memiliki mama kembali," sahut Aryanto lirih. "Dari satu dosa papa jatuh ke dosa berikutnya. padahal pada saat yang sama, mama sudah jatuh ke pelukan laki-laki lain."
"Dia bukan laki-laki lain. mama memnag masih mencintainya," sahut Valerina jujur.
"Tristan cinta saya yang pertama."
"Mama akan menikah dengan dia"" Aryanto menatap istrinya dengan getir.
"Papa mengizinkan"" Valerina balas bertanya.
"Papa mau menceraikan saya""
"Tidak," sahut Aryanto pahit, "Kalau mama tanya, papa mau bercerai atau tidak. jawabannya pasti tidak, "Tetapi kalau mama mencintai lelaki itu. papa rela kehilangan mama dan anak-anak. Mama boleh menikah dengan dia. kalau itu memang yang mama inginkan."
Valerina tidak mampu membuka mulutnya , didesak rasa haru. ternyata malam ini, telah ditemukannya kembali laki-laki yang telah dua puluh tahun menjadi suaminya.
BAB XVIII BEBERAPA hari kemudian, polisi berhasil menemukan Kezia. Dia ditemukan di sebuah rumah sakit kecil yang sudah tidak termasuk wilayah Jakarta lagi.
Seperti dugaan polisi, Kezia dirawat karena luka-lukanya yang sebenarnya tidak terlalu parah. Tapi dokter tidak tahu ke mana harus mengirim gadis itu karena dia kehilangan ingatannya.
Akhirnya mereka melapor ke polsek terdekat setelah berhari-hari amnesia Kezia belum pulih juga.
Polisi memberi tahu Aryanto agar datang bersama mereka ke rumah sakit itu untuk mengenali putrinya. Dan kerika Valerina melihat Kezia sedang duduk separo berbaring di ranjang rumah sakit, tidak dapat menahan air matanya lagi.
Sambil memanggil nama anaknya, Valerina menghambur memeluknya. Tertatih-tatih Aryanto mengikuti langkah istrinya. Dia memegang tangan Kezia dengan air mata berlinang.
"Maafkan Papa, Kezia," gumamnya lirih. Dosa Papa sangat besar." Tapi Kezia tidak menyahut. Tidak menarik tangannya yang dipegang ayahnya. Tidak menolak pelukan ibunya yang masih sesenggukan sambil membelai-belai kepalanya dengan lem-but.
Dia tidak tahu siapa mereka. Jangankan mereka. Siapa dirinya saja dia tidak tahu. Tetapi nalurinya mengatakan, mereka adalah orang-orang yang dekat dengan dirinya. Orang-orang yang mencintainya.
"Mereka orangtuamu," kata dokter yang selama ini merawatnya dengan lega. Akhirnya dia tahu juga siapa nama gadis ini. "Kata mereka, namamu Kezia."
Dokter Hendardi teringat lagi kejadian malam itu. Perawat memanggilnya di kamar jaga kirena ada seorang gadis yang diangkat ramai-ramai oleh penduduk ke Unit gawat Darurat. gadis itu ditemukan terhantar di selokan
dalam keadaan tidak sadarkan diri. Karena tasnya hilang, mereka tidak tahu siapa dia.
Karena luka-lukanya tidak terlalu patah, tulang kepalanya juga tidak ada yang retak, Dokter Hendardi tidak mengirimnya ke rumah sakit yang lebih besar. Dia hanya perlu melakukan transfusi darah malam itu juga, karena luka robek di kaki gadis itu mengalami perdarahan cukup banyak. Dan perdarahan itu tampaknya sudah berlangsung cukup lama.
Dokter Hendardi sendiri yang menjahit dan
membalut luka pasiennya. Dia tidak ingin menyerahkan tugas itu kepada asisten atau perawatnya.
Setelah dirawat dan diobati, luka-lukanya memang menyembuh dengan cepat. Tidak ada komplikasi yang mengkhawatirkan. Tetapi dia menderita amnesia. Mungkin karena benturan pada kepalanya.
Dokter Hendardi berusaha mengembalikan ingatan pasiennya. tapi sudah berhari-hari dirawat, pasien itu tetap tidak tahu siapa dirinya.
Akhirnya Dokter Hendardi melapor ke polsek terdekat. Dan baru hari ini laporannya mendapat jawaban.
Orangtua gadis itu datang. Dan mereka mengenalinya.
"Terima kasih, Dok," kata ayah Kezia dengan penuh terima kasih. "Anda bukan hanya telah menyelamatkan nyawa putri saya. Anda telah menyelamatkan nyawa kami juga."
"Oh, itu memang tugas saya, Pak," sahut Hendardi sambil tersenyum. "Kezia tidak merepotkan kok. Dia sudah menjadi pasien primadona kami. Perawat-perawat sangat menyukainya. Kami semua gembira akhirnya kami tahu siapa namanya."
Mudah-mudahan bukan cuma perawat yang menyukainya, pikir Valerina sambil memeluk Kezia.
Nalurinya sebagai seorang ibu mengatakan, sudah terjalin hubungan yang lebih erat dari sekadar hubungan dokter-pasien di antara mereka. Dan Valerina mensyukurinya. Bukan karena pria ini seorang dokter muda. Tapi karena tampaknya dia laki-laki yang baik. Bahkan mungkin, lebih baik dari Tomi.
"Kami sudah boleh membawa Kezia pulang, Dok""
"Oh, tentu boleh, Bu. Kezia sudah tidak apa-apa. saya yakin amnesianya akan lebih cepat sembuh bila dia berada di lingkungan yang lebih dikenalnva."
"Bagaimana lukanya. Dok"" "Sudah mulai mengering. Tidak ada komplikasi.'"
"Perlu kontrol"" Saya bisa datang ke rumah jika Ibu izinkan." Tentu saja kuizinkan, pikir Valerina lega. "Kezia tidak perlu transfusi darah lagi, Dok"" sela Aryanto khawatir. "Mukanya pucat sekali. Jika perlu, saya bersedia donor. Darah saya A."
"Oh, tidak usah. Pak. Transfusi yang lalu juga hanya satu kolf. Saya hanya melakukan tindakan preventif. Lagi pula darah Kezia golongan B."
Kezia masih memerlukan waktu beberapa minggu sebelum memperoleh ingatannya kembali. Valerina merawatnya dengan sabar. Dengan penuh puji syukur kepada Tuhan.
Kadang-kadang kalau sedang memeluk anaknya, kalau sedang membelai-belai kepalanya, Valerina hampir tidak percaya, dia masih boleh memiliki Kezia.
Kezia seperti diberi hidup yang kedua. Seperti dilahirkan kembali.
Tidak heran kalau Valerina merawat dan menjaga anaknya seperti dia menjaga Kezia ketika masih bayi dulu.
Selama itu, Aryanto mendampinginya dengan telaten. Dia ikut menjaga Kezia dengan penuh kasih sayang.
Amnesia Kezia memang mempunyai sisi positif. Kezia jadi tidak ingat dosa ayahnya. Dia bisa menerima kehadiran ayahnya dengan lebih baik.
Kezia juga tidak tahu apa yang menimpa sahabatnya. Olimpia yang telah tewas menggantikan dirinya, hanya karena dia berada di tempat yang salah. Hari itu, Olimpia yang mengemudikan mobil ibu Kezia. Dan Bimo mengira, Olimpia-lah putri Aryanto.
Amnesia itu juga membawa Kezia lebih dekat pada Dokter Hendardi. Dengan alasan menjenguk pasiennya yang belum pulih seratus persen, dokter muda itu jadi sering datang ke rumah. Dan karena tanggapan Kezia dan
orangtuanya baik. Dokter Hendardi jadi ber
tambah berani mengunjungi pasien yang telah memikat hatinya.
Revo juga sudah kembali ke Swiss untuk melanjutkan studinya. Hubungannya dengan ayahnva belum pulih. Tapi Aryanto berharap, suatu hari nanti, anaknya akan memaafkannya.
Ketika Tristan melihat bagaimana Valerina merawat Kezia, dia tahu, harapannya telah pupus.
Jika seorang wanita telah menjadi ibu, anak adalah yang terpenting baginya. Demi anak, seorang ibu akan merelakan segala-galanya. Termasuk mengorbankan kebahagiaannya sendiri
"Kezia membutuhkanku, Tris. kata Valerina
pada hari tetakhir Tristan di Indonesia. Malam
ku untuk pertama kalinya sejak Tristan datang,
Valerina singgah di kamar hotelnya. "Lebih
daripada kamu membutuhkanku."
"Aku tahu," sahut Tristan tenang. "Rupanya
tembang kita memang bukan hanya tertunda.
Tapi tak pernah berakhir."
"Aku mencintaimu, Tris," gumam Valerina dengan air mata berlinang, "Kalau k
amu izinkan aku mau berteriak di luar sana, seperti apa yang kamu lakukan di balkon kamar hotel kita dua puluh tahun yang lalu."
"Tidak usah," Tristan melepaskan jepit rambut yang menggelung rambut Valerina. Dan mengecup lehernya dengan lembut. "Aku tahu kamu mencintaiku. Kamu tidak perlu lagi membuktikannya."
Valerina berbalik dan memeluk kekasihnya sambil menahan tangis. "Kamu yang mengembalikan kepercayaan diriku. Ketika harga diriku hancur, kamu yang memulihkannya, Tris. Kamu berada di sam-pingku pada saat aku sangat membutuhkan seseorang untuk menyembuhkan lukaku." "Aku tahu," Tristan merenggangkan pelukannya dan menatap mata Valerina dengan lembur. "Jangan ucapkan apa-apa lagi. Karena aku tabu semua yang ingin kamu katakan." "Kamu tahu berapa berharganya dirimu"" "Aku tahu. Aku juga tahu pengorbananmu untuk anak anakmu. Untuk merekalah kamu rela kembali kepada suamimu, meskipun dia telah menghinamu."
"Tempat seorang istri memang di samping suaminya, Tris."
"Juga kalau dia telah menukar tempatmu dengan pacar anaknya"" "Aku telah memaafkannya." Aku tahu. Jika seorang suami berselingkuh dan minta maaf, istrinya selalu bersedia menerimanya kembali."
"Kamu tidak" Jika bekas istrimu kembali dan minta maaf, kamu tidak mau menerimanya kembali""
Tristan melepaskan pelukannya sambil tersenyum pahit.
"Rasanya lebih baik aku mencari wanita lain Yang lebih muda. Lebih cantik. Dan lebih setia."
Valerina menghela napas lega. Jika Tristan sudah dapat bergurau lagi, Valerina merasa lebih terhibur. Walaupun dia sadar, jauh di dalam hatinya, Tristan pasti merasa sangat nyeri. Ke mana kamu pergi sepulangnya dari
sini, Tris" tanya Valerina setelah lama mereka
berdiam diri. "Ke Lugano" Gruyere" Atau...
Zermatt"" "Aku ingin main ski di Tiefenbach." "Di Austria""
"Ingatanmu masih bagus. Tiefenbach terletak di Soelden."
"Aku tahu. Di Tyrol. Dekat Innsbruck, kan"" "Sayang kita tidak ke sana waktu itu ya." "Kenapa tidak main ski di St. Moritz saja"" Takut tidak bisa meluncur. Ingat terus pada muridku yang bodoh." Valerina tersenyum pahit menyambut kelakar Tristan. Ingatannya melayang kembali ke masa-masa bahagia mereka di St. Moritz. Ketika padang salju yang licin dan curam menjadi saksi cinta mereka.
"Dari Tyrol kamu langsung pulang" Ke mana"" "Aku sudah memikirkannya. Rasanya aku ingin menunggumu di Zermatt. Siapa tahu, suatu hari aku menemukanmu di sana, sedang menggigit bratwurst di pinggir jalan. Saat itu mungkin mataku sudah lamur. Tapi aku pasti masih ingat aroma parfummu."
Mereka bertukar senyum. Tapi kali ini, senyum yang berlumur kesedihan. Kepahitan. Keputusasaan.
Valerina merasakannya di balik canda Tristan. Walaupun bibir pria itu masih menyunggingkan senyum. Dan dia merasa dadanya sakit. sakit sekali.
"Masih adakah maafmu untukku, Tris""
desahnya lirih, "setelah dua kali aku meng khianati janjiku" *
"Cinta selalu memaafkan, Val. Bagaimanapun sakitnya belati yang kamu tikamkan ke jantungku."
Valerina merangkul kekasihnya dengan terharu. Dia dapat merasakan betapa nyerinya luka di hati Tristan. Dia juga dapat merasakan betapa dalam cinta yang dimilikinya.
Tristan balas memeluknya. Mendekap wanita yang dicintainya erat-erat.
Dia sadar, mungkin inilah saat terakhir dia dapat memeluk Valerina. Tapi hidup serba tak terduga. Siapa tahu, dua puluh tahun lagi, dia mendapat kesempatan ketiga untuk mengalunkan tembang mereka" Di ujung hidupnya nanti, mungkinkah dia masih punya kesempatan untuk memeluk kekasihnya"
Di anjungan keberangkatan Bandara Soekarno-Hatta, untuk terakhir kalinya Tristan memeluk kekasihnya.
"Selamat tinggal, Sayang," bisiknya lembut.
terima kasih untuk tembang terindah dalam hidup kita."
"Selamat jalan, Tris, balas Valerina dengan mata berlinang. "Terima kasih untuk hari-hari terindah yang telah kita lewati bersama."
Ketika Tristan berbalik untuk melangkah meninggalkannya, Valerina merasa lelaki itu membawa juga sebagian hatinya. Sebelah jiwanya. Dan seluruh cintanya. Di pintu yang memisahkan mereka, Tristan menoleh sekali lagi. Dan melambaikan tangan-nya.
Ditatapnya untuk terakhir kalinya wanita yang dicintainya
. Wanita yang menyimpan hatinya. Memenjarakan jiwanya dalam manis-pahit-nya cinta.
Ketika melihat mata yang berlinang air mata itu menatapnya dengan redup, Tristan tahu, dibutuhkan waktu yang lama sekali untuk melupakan tatapan itu. Terapi dengan mengatup-kan rahangnya kuat-kuat, dia memalingkan wajahnya. Mengayunkan langkahnya. Dan men cegah keinginannya untuk menoleh lagi.
Di luar, Valerina tepekur dalam kesedihan Ketika dilihatnya wajah kekasihnya untuk ter akhir kalinya, dia berusaha menahan tangisnya.
Direkamnya wajah yang dicintainya itu dalam benaknya. Akan disimpannya di sana untuk selama-lamanya.
Lalu Tristan menghilang di dalam sana. Dan Valerina menangis.
Dia tidak tahu berapa lama dia telah tegak di sana sambil melelehkan air mata ketika seseorang menyentuh bahunya.
Ketika Valerina menoleh, dia melihat Aryanto tegak di belakangnya. Matanya bersorot penuh penyesalan. Penuh pengertian. Penuh kasih sayang.
"Mari kita pulang, Ma," katanya lemah lembut. Dibimbingnya tangan istrinya. Menyeberangi jalan di depan bandara. Dan melangkah ke mobil mereka.
Kali ini, Valerina tidak menolak. Dia diam saja. Membiarkan air matanya meleleh satu-satu ke pipinya.
Aryanto membukakan pintu mobil untuk istrinya. Lalu dia masuk dari pintu yang lain. Duduk di balik kemudi.
Diambilnya secarik tisu. Dikeringkannya air mata yang meleleh ke pipi istrinya.
Valerina meraih tisu itu. Dan menghapus air matanya.
Sesaat Aryanto menatap istrinya sebelum bertanya dengan hati-hati, "Kalau Mama mencintainya, mengapa Mama biarkan dia pergi sendirian"" "Karena Kezia masih membutuhkan Mama." "Sebenarnya bukan hanya Kezia yang membutuhkan Mama."
"Tapi Papa rela bercerai kalau Mama menginginkannya."
"Itu karena Papa sangat mencintaimu, Ma. Papa rela kehilangan Mama dan anak-anak kalau memang itu yang Mama inginkan." Justru karena itu aku tahu kualitas cintamu, pikir Valerina pahit. Karena kamu rela melepaskan anak-istri yang kamu cintai asal aku bahagia.
"Kalau Mama tanya, Papa mau bercerai atau tidak, jawabannya pasti tidak. Tetapi kalau Mama mencintai lelaki itu, Papa rela kehilangan Mama dan anak-anak. Mama boleh menikah dengan dia, kalau itu memang yang Mama inginkan."
Sejak malam itu, kata-kata suaminya selalu terngiang di telinganya. Valerina tahu dia men-cintai Tristan. Tapi dia tidak sampai hati men-ceraikan suami yang begitu mencintainya, yang rela bercerai asal istrinya bahagia. Yang melakukan apa saja, dari yang baik sampai yang paling busuk, untuk mempertahankan perkawinannya.
jika suaminya rela berkorban seperti itu, Valerina pun rela mengorbankan kebahagiaannya. Dia hanya merasa bersalah pada Tristan. Tapi dia tahu. lelaki itu tidak perlu dikasihani. Karena dia lelaki perkasa. Penderitaan tidak akan mampu menghancurkan hidupnya.
Terima kasih karena telah memaafkan Papa, Ma." cetus Aryanto sambil menggandeng tangan istrinya memasuki rumah mereka.
"Bukan hanya Papa yang bersalah," sahut Valerina jujur. Mama juga sudah berseling-kuh." Mama melakukannya untuk membalas perbuatan Papa.
"Tidak. Mama melakukannya karena Mama masih mencintai dia."
"Kalau perselingkuhan itu menyembuhkan luka di hati Mama, Papa tidak marah.
Bukan hanya menyembuhkan luka, pikir Valerina sambil menghela napas berat. Tapi
sekaligus mengembalikan kepercayaan diriku, Membuat aku mampu tegak kembali.
"Terima kasih karena masih memberi Papa kesempatan kedua, Ma," kara Aryanto lirih sesampainya mereka di kamar tidur. "Papa tahu bagaimana besarnya pengorbanan Mama."
"Mama tidak berani menjanjikan apa-apa, pa," sahut Valerina sambil merapikan letak bantal di tempat tidur mereka. "Jika Desi melahirkan, dan tidak seorang pun mau menjadi ayah anaknya, Papa sampai hati melihat anak Papa menjadi anak haram""
Aryanto menjatuhkan dirinya dengan lesu di tempat tidur. "Papa masih berusaha mendekati ayah Desi,
Ma. Mencoba meluluhkan hatinya." "Maksud Papa, menikahkan anak Bimo de-ngan Desi""
"Hanya sampai anak itu lahir." "Pa, sadarkah Papa, anak itu bukan hanya anak Desi" Dia anak Papa juga!" "Tapi Papa tidak bisa menikahi Desi.!" "Karena Papa tidak mau menceraikan Mama"" gumam Va
lerina pahit. "Karena Mama tidak mau dimadu!"
"Tidak ada wanita yang mau diduakan, Pa. tapi demi anak Papa, mama rela bercerai."
Tidak ada gunanva. Ma! Ayah Desi juga tidak mau anaknya menjadi istri Papa!" "Tapi dia rela anaknva jadi istri Rama"" "Itu yang sedang Papa usahakan. Hanya sampai anak itu lahir!" "Bagaimana kalau Rama tidak mau bercerai"" "Dia harus mau! Dia sudah menandatangani surat pernyataan!"
"Apa artinya surat pernyataan seperti itu dibandingkan surat nikah yang sah menurut hukum" Papa seorang pengacara. Papa pasti tahu konsekuensinya."
Jangan takut, Ma." Senyum Aryanto merekah lebar. "Papa tahu bagaimana harus menghadapi Rama."
"Papa tidak khawatir"" "Khawatir apa"" "Rama anak Bimo...." "Kezia juga anak Bimo!" Tapi pergaulan mereka berbeda!" sanggah Valerina tersinggung. "Mama tidak bilang anak penjahat pasti jahat...."
"Tentu saja tidak," sela Aryanto dalam nada minta maaf. Dia tahu, dia sudah kelepasan bicara. "Bukan itu maksud Papa
"Mama hanya kasihan sama Desi." Suara Valerina terdengar dingin. "Kalau lelaki itu jahat-"
"Rama tidak berani. Dia sudah janji kok tidak akan menggauli Desi sampai mereka bercerai kembali."
"Dia mau"" gumam Valerina ragu. "Ada lelaki yang mau berjanji seperti itu""
"Sudah Papa beri uang. Rama sudah bersedia. Asal ayah Desi tidak keberatan." Uang. Kata itu menoreh hati kecil Valerina.
Aryanto memberi Rama uang untuk menjadi ayah anaknya! Sungguh menjijikkan!
*** "Apa yang harus Desi lakukan, Oom"" keluh Desi sedih. "Rasanya Desi sudah putus asa."
Hari itu Aryanto mengajak Desi bertemu lagi. Dia harus membujuk gadis itu. Harus mendesaknya menerima rencananya.
Perut Desi sudah bertambah besar. Sebentar lagi kehamilannya tidak dapat disembunyikan lagi.
"jangan rusak masa depanmu, Des." bujuk Aryanto. "Jangan biarkan anakmu menjadi anak haram."
"Tapi desi mesti ngapain lagi, Oom!"
"Ayahmu tetap tidak mau menerima Rama""
"Papa tidak rela Desi kawin sama orang lain, padahal Oom-lah ayah anak Desi!"
"Besok Oom akan ke rumahmu lagi, tapi Oom tidak tahu apa lagi yang dapat Oom tawarkan kecuali uang."
"jangan sebut-sebut uang lagi, Oom, kalau nggak mau papa tambah marah! papa tersinggung kalau ada orang kaya yang menyangka uang dapat membereskan segalanya!"
"Jadi Oom mesti gimana" istri Oom tidak mau dimadu, dan Oom tidak mau bercerai."
sejak valerina memaafkan perselingkuhannya, harapan Aryanto memang menjadi bertambah besar. semangatnya untuk mempertahankan perkawinannya dengan taruhan apapun, menjadi semakin menggebu-gebu.
dia harus mendesak Desi untuk menikah dengan Rama, tidak ada pilihan lain.
"Oom yakin Rama dapat dipercaya""
"Seratus persen! dia sudah menandatangani surat pernyataan, nasibnya berada di tangan Oom!"
Akhirnya berkat keuletannya, Aryanto berhasil meyakinkan ayah Desi, Rama tidak akan menyentuh Desi, dan mereka akan bercerai begitu anak Desi lahir.
Aryanto menunjukkan surat pernyataan yang telah ditandatangani Rama, dan setelah dapat berpikir dengan kepala dingin, berkat bujukan istrinya juga, ayah Desi menyetujui pernikahan semu itu.
"Hanya sampai anak itu lahir," tandasnya bengis. "dan dia tidak akan menyentuh putriku!"
"Rama sudah menyanggupi. tidak usah khawatir."
Aryanto juga menambahkan, dia yang akan mengurus pernikahan Desi, orangtuanya tidak usah mengeluarkan biaya, semua menjadi tanggungan Aryanto.
Dia juga memberikan mas kawin dalam jumlah besar, tentu saja atas nama Rama. dia yang mau menikah, kan"
Tetapi baik Desi maupun orangtuanya tahu, semua itu bukan berasal dari Rama. tapi dari Aryanto.
Rama juga sudah disuruh Aryanto mendekati Desi.
"Ajak dia ngomong. Ajak jalan-jalan ke mal Makan. Nonton. Apa saja."
"Bapak yang bayar"" Rama menyeringai busuk. "Uang yang Bapak berikan sudah habis. Saya belikan perlengkapan." "Motor baru maksudmu"" sindir Aryanto sinis. Padahal dia hanya menyuruh Rama membeli pakaian. Sepatu. Supaya pantas dilihat ayah Desi.
"Masa saya harus bawa Desi naik bus, Pak"" Rama berkelit cerdik. "Gengsi dong, Pak!"
"Tapi motor yang kamu beli terlalu mahal! Kenapa tidak beli motor yang lebih murah" Motor Cina atau motor seken""
Kat a Bapak, saya harus memikat hati camer saya! Motornya juga masih kredit, Pak! Tapi dia kan nggak tahu!"
Rama memang mematuhi perintah Aryanto. Membawa Desi berjalan-jalan. Membelikan baju. Mengajak makan di restoran mahal.
Tapi setelah beberapa kali keluar bersama, Desi merasa kesal.
"udah lagaknya norak, ngomongnya nggak nyambung, lagi!" gerutunya ketika dia mengadu pada Aryanto. "Beda banget sama Oom! Dia kerja apa sih" Apa pendidikannya""
"Lulus SMA," sahut Aryanto hati-hati. "Dia kerja di bagian administrasi. Kadang-kadang disuruh-suruh juga."
"Disuruh-suruh apa pesuruh"" sela Desi sengit.
"Ya bukan pesuruh dong. Cuma tempo-tempo jadi kurir."
"Tapi seleranya payah banget, Oom. Nggak level."
"Mungkin dia masih rikuh sama kamu, Des. Lama-lama gaul sama kamu, seleranya pasti naik tingkat. Lagi pula, dia kan cuma jadi suamimu sampai anakmu lahir. Sesudah itu, kamu bebas milih pacar lagi."
Ya kalau masih ada yang mau!
*** Akhirnya Aryanto dapat menghela napas lega. Terlepas dari beban pikiran yang melelahkan. Terlepas dari tanggung jawab yang selalu mengejarnya.
"Semuanya sudah selesai, Ma," kata Aryanto gembira. "Orangtua Desi sudah setuju."
"Mereka setuju menikahkan Desi dengan anak Bimo"" desah Valerina dengan perasaan tidak enak. "Berapa Bapa membayar mereka""
"Lho, jangan berprasangka buruk, Ma!"
"Tadinya ayah Desi keberatan, kan" Kenapa sekarang dia mendadak setuju""
"Dia tidak punya pilihan lain. Perut Desi sudah bertambah besar. Sebentar lagi kehamilannya tidak mungkin disembunyikan lagi!"
Jadi mereka terpaksa menerima siapa saja untuk menjadi ayah bayi dalam perut Desi! Kasihan.
"Kapan mereka menikah""
"Sabtu depan." "Papa yang membiayai semuanya"" "Siapa lagi" Rama mana punya uang"" "Apa sebenarnya pekerjaannya, Pa"" "Oh, dia kerja di bagian administrasi." "Mudah-mudahan dia tidak mengecewakan." Bayangan Bimo kembali lagi ke depan mata Valerina. Tidak sadar dia menggigil sedikit. Ingat peristiwa tragis dua puluh tahun yang lalu. Ketika laki-laki itu membunuh adiknya. Dan merampas kehormatannya. "Mudah-mudahan dia tidak mirip ayahnya. Tidak mewarisi sifat-sifatnya yang impulsif destruktif."
"Oh, tentu saja tidak. Bimo sudah meninggalkan Rama ketika dia baru berumur dua tahun. Sifat seseorang kan bukan hanya diturunkan secara genetik. Tapi dipengaruhi juga oleh lingkungan dan pendidikan." "Rama tidak menyalahkan Papa"" "Menyalahkan Papa"" "Papa kan penyebab tidak langsung kematian ayahnya""


Tembang Yang Tertunda Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tampaknya dia tidak peduli. Rama tidak punya hubungan emosional dengan ayahnya." Atau dia memang tidak punya perasaan, keluh Valerina cemas. Manusia macam apakah dia" Tidak khawatirkah Mas Ary menikahkan manusia seperti Rama dengan Desi" Tidak khawatirkah dia kalau lelaki seperti itu menjadi ayah anaknya" Atau... Mas Ary tidak peduli"
Dia sedang sangat gembira karena rencananya berhasil. Karena misinya sukses. Akhirnya orangtua Desi berhasil dibujuknya untuk menerima Rama sebagai menantunya. Meskipun hanya sampai cucu mereka lahir.
"Papa lega sekali, Ma" gumam Aryanto sam bil menghela napas panjang. "Akhirnya badai berlalu juga. semua prahara sudah lewat. semuanya sudah selesai."
"Tetapi ternyata, semuanya belum selesai. Aryanto hanya sempat menarik napas lega beberapa hari saja. Dosanya terus membayangi
nya. Mengejarnya dari belakang.
Ketika upacara pernikahan Desi sedang ber langsung. Rama ditangkap polisi.
BAB XIX Rama ditangkap karena polisi sudah berhasil menemukan bukti yang menguatkan kecurigaan mereka.
Bukti itu diperoleh dari pengakuan Ninik. Berkat kesabaran dan pengertian orangtuanya yang bekerja sama dengan seorang psikiater, akhirnya Ninik berani menceritakan apa yang terjadi malam itu, ketika ayahnya sedang meeting.
Penangkapan Rama di tengah-tengah upacara pernikahannya bukan hanya membuat heboh. Sekaligus membuat malu Desi dan keluarganya,
hadirin yang jumlahnya memang tidak se berapa, sebagian besar para Tetangga, rekan kerja ayah Desi, dan teman-teman sekolah Desi sendiri, menjadi panik. Mereka saling bisik dengan bingung ketika melihat polisi memasuki ruangan. Apalagi ketika melihat
polisi-polisi itu l angsung menghampiri mempelai pria dan menunjukkan surat perintah penahanan.
"Apa salah menantu saya, Pak"" protes ayah Desi menahan malu.
Nanti saja Bapak tanyakan di polres," sahut petugas yang membawa surat penangkapan itu dengan tegas. "Kami hanya menjalankan perintah."
"Barangkali ada kekeliruan, Pak!" Desi ikut mengajukan protes sambil menahan tangis. "Bapak salah tangkap!"
"Tidak. Kami ditugasi menangkap Bapak Rama Wisesa. Dua puluh empat tahun. Petugas kebersihan dan pesuruh PT Cahaya Agung Gemilang. Alamat..."
"Tapi suami saya bekerja di Bagian Administrasi Ranggaperkasa Law Firm, Pak!" bantah Desi penuh harap. Pasti ada kekeliruan! Pasti. "Kalau tidak percaya, saya bisa menghubungi Bapak Aryanto Ranggaperkasa, S.H. Pengacara terkenal itu bosnya Rama...."
"Silakan saja Adik menghubungi beliau," sahut polisi itu sambil memborgol tangan Rama. "Tugas kami hanya membawa tersangka ke rumah tahanan."
"Kamu ngomong dong, Rama!" sergah Desi penasaran. "Jangan diam aja!"
Desi memang penasaran sekali. Lebih-lebih melihat suaminya bukan membantah, malah diam saja seperti patung! Mukanya memang sudah berubah pucat pasi. Apalagi ketika tangannya diborgol. Tetapi tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
"Kami sedang melakukan upacara pernikahan putri kami, Pak." protes ayah Desi antara marah dan malu. "Saat yang paling penting dalam hidup mereka. Beri kami waktu untuk menyelesaikannya."
Kepada Desi, ayahnya mengisyaratkan agar segera menghubungi Aryanto Ranggaperkasa, S.H. Dia pasti tahu apa yang harus dilakukan.
Tetapi para petugas hukum itu tidak dapat dicegah lagi.
"Maaf, Pak," kara polisi yang membawa surat penahanan itu. "Kami tidak bisa menunggu lagi karena takut tersangka melarikan diri. Silakan menyelesaikan upacara. Tapi kami harus menunggu di sini. Mengawasi tersangka." Apa artinya lagi melanjutkan upacara per-nikahan kalau harus menanggung malu" memperpanjang acara hanya menambah penderitaan Desi dan orangtuanya.
Karena itu ayah Desi langsung membubar-kan upacara. Dia tidak berani muncul lagi. Tidak kuat menanggung malu.
Hanya Desi yang masih berusaha minta tolong pada Aryanto. Dia yakin sekali ada kekeliruan. Masa suaminya dibilang petugas kebersihan!
"Tolong saya, Oom!" pinta Desi menahan tangis. Hanya Aryanto satu-satunya harapannya. Pengacara itu memang tidak hadir di pestanya Tapi Desi langsung meneleponnya meminta datang. Dia masih percaya Oom Ary dapat menyelesaikan segalanya. "Rama ditangkap polisi!"
Saat itu Rama sudah digelandang keluar ruangan dengan tangan diborgol. Semua yang hadir menyaksikan dengan bengong.
Malam itu, Aryanto baru saja makan malam dengan istrinya. Untuk pertama kalinya setelah perselingkuhannya terbongkar, Aryanto berhasil mengajak Valerina makan malam di luar.
Mereka pulang tidak terlalu malam karena Valerina tidak mau meninggalkan Kezia terlalu lama.
"Kan ada Mbok Nah," protes Aryanto kecewa. "Kita juga perlu waktu untuk berdua kan, Ma."
"Di rumah juga bisa berdua," sahut Valerina tegas. "Mama tidak tenang meninggalkan Kezia hanya dengan Mbok Nah."
Akhirnya mereka pulang. Dan ternyata Kezia sudah tidur.
"Betul kan Papa bilang," dumal Aryanto ketika Valerina masuk ke kamar tidur mereka. "Mbok Nah bisa dipercaya kok. Mama saja yang terlalu khawatir."
"elama Kezia masih mengidap amnesia, Mama tidak tega meninggalkannya lama-lama."
"Iya, Papa tahu," kata Aryanto sabar. "Mama sayang sekali sama anak-anak. Kadang-kadang sampai melupakan kebutuhan Mama sendiri."
Tapi itu memang kodrar seorang ibu, pikir Valerina tanpa rasa bersalah. Seorang ibu selalu ingin berada di dekat anaknya yang sedang
Sakit. Ketika dia naik ke tempat tidur, Aryanto memeluknya. tetapi Valerina langsung menolaknya
"Rasanya saya masih perlu waktu," gumamnya lirih. "Tolong, Pa, jangan sekarang. Beri saya waktu."
"Oke," sahut Aryanto sabar. "Nggak apa, Ma. Papa ngerti."
Tentu saja Aryanto kecewa. Tapi dia mengerti. Dia paham kenapa istrinya menolaknya. Valerina masih merasa rikuh. Mungkin karena dia belum dapat menghilangkan bayangan Desi dari benaknya. Apalagi malam ini. Ketika Desi sedang menikah dengan orang
lain. Rasanya memang belum saatnya.
"Kita ngobrol saja, ya" Atau Mama mau nonton TV"'
Belum sempat Valerina menjawab, ponsel Aryanto berbunyi.
Siapa yang menelepon malam-malam begini ke HP-nya, pikir Valerina jengkel.
Aryanto sama jengkelnya dengan isrrinya. Apalagi ketika melihat di layar ponselnya siapa yang meneleponnya.
"Ada apa lagi"" geramnya gemas. "Masa kamu masih menelepon Oom di malam pengan tinmu""
Tetapi jawaban Desi membungkam mulut Aryanto. Valerina melihat paras suaminya langsung memucat.
Penangkapan Rama membuka semua rahasianya. Sekarang Desi dan orangtuanya tahu siapa Rama.
"Mencabuli anak kecil!" geram ayah Desi, hampir semaput karena marah dan malu. "Orang seperti itu yang dijodohkan dengan kamu, Des! Jahat sekali pengacara sialan itu!" Ayah Desi pantas untuk marah. Untuk kedua kalinya dia merasa ditipu. Kali ini malah lebih menyakitkan lagi. Karena lebih memalukan.
Di tengah-tengah upacara pernikahan yang begitu khidmat, mempelai pria tiba-tiba ditangkap polisi!
Bukan itu saja. Kartunya jelas-jelas dibuka di depan umum. Kebohongan Rama ditelanjangi di depan begitu banyak kenalan ayah Desi. Di depan teman-teman sekolah Desi yang menyaksikan drama memalukan itu.
ternyata Rama bukan pegawai administrasi di sebuah firma hukum terkenal. Dia cuma petugas kebersihan merangkap pesuruh kantor!
Kehebohan yang melanda para undangan hampir tak dapat dicegah lagi. Kehebohan itu menjalar cepat sekali. Dalam bilangan jam saja, seluruh RT sudah tahu! Malam itu juga, semua bekas teman sekolah Desi sudah mendengarnya. Suami Desi ditangkap polisi! Entah apa salah pesuruh kantor yang mengaku-aku jadi pegawai administrasi itu!
Telepon di rumah mereka hampir tidak henti-hentinya berdering. Ponsel Desi juga berbunyi terus.
Tetapi Desi dan keluarganya memilih membisu. Sampai ada kejelasan kasus Rama. Dan ketika ayah Desi mendapat informasi mengapa Rama ditangkap, kemarahannya meledak seperti letusan gunung berapi.
Aryanto tidak menyangka proses penangkapan Rama secepat itu. Dia mengira Rama baru akan ditahan setelah dia menikah. Itu pun kalau bukti-buktinya ada. Dan tidak bisa dimentahkannya kembali.
Aryanto sudah menyiapkan segalanya agar Rama bisa dibebaskan. paling tidak dihukum seringan mungkin. Itu janjinya pada Rama, bukan"
Ternyata yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Rama ditangkap justru pada malam pengantinnya! Benar-benar sial!
Aryanto harus bertindak cepat. Dia harus menyelesaikan semuanya secepat mungkin.
Keesokan harinya Aryanto mampir ke rumah Desi setelah mengunjungi Rama di rumah tahanan.
"Jangan khawatir," katanya mantap. "Saya akan membebaskan Rama."
Tetapi jawaban ayah Desi sungguh di luar dugaan. Dia menolak kedatangan Aryanto. Dia malah mengusir lelaki itu dengan geram.
Jangan ke sini lagi.!" bentaknya sengit. "Juga kalau anakmu lahir nanti! Kau tidak berhak melihat anak itu! Kalau kau tidak puas, silakan menuntut! Kau pengacara beken, kan"" "Apa salah saya"" protes Aryanto kesal. "Masih tanya apa salahmu" Menjodohkan anakku dengan lelaki bejat yang menzalimi bocah tujuh tahun!" Sialan! jadi bapaknya si Desi sudah tahu! "Rama hanya difitnah! Saya akan buktikan, dia tidak bersalah!"
"Itu urusanmu! Aku tidak mau lihat mukamu lagi! Bawa saja klienmu ke neraka!"
"Tapi saya hanya mencari jalan yang terbaik untuk kita semua!"
"Terbaik untuk siapa"" geram ayah Desi gemas. "Untukmu" Karena kau bisa memiliki istrimu kembali" Karena kau tidak usah bertanggung jawab atas anak dalam perut Desi" Cis! Aku tidak sudi melihat muka lelaki itu lagi! Dia tidak boleh tinggal di sini! Tidak boleh menjadi suami anakku!"
"Bapak tidak berhak mencegah Rama kembali. Dia sudah menjadi suami Desi!"
"Oke! Silakan tuntut haknya di pengadilan! Aku tidak takut! Pokoknya dia tidak boleh ke sini lagi!"
"Kita harus tanya Desi, Pak! Dia yang berhak menentukan!"
Tetapi Desi pun sudah tidak sudi melihat Rama lagi. Sejak mengetahui orang macam apa yang dijodohkan dengannya, Desi merasa benci pada Aryanto. Benci sekali!
Mencabuli bocah berumur tujuh tahun! Najis benar mempunyai suami seperti itu, biarpun cuma untuk enam bulan! Biarpu
n kata Oom Ary, Rama belum tentu bersalah. Dia hanya difitnah.
"Jangan ke sini lagi, Oom," desisnya muak. "Desi jijik melihat muka Oom!"
Sekarang memang tidak ada lagi yang ditakutinya. Semua orang akan segera tahu dia hamil di luar nikah. Bukankah suaminya sudah masuk penjara sebelum malam pengantin mereka" Jadi tidak mungkin anak dalam perutnya anak Rama!
Semua orang bakal tahu, Rama hanya suami pulasan. Jadi apa lagi yang harus disembunyikan"
Anaknya bakal jadi anak haram" Apa lagi yang bisa dilakukannya untuk mencegah stempel itu" Barangkali memang sudah nasibnya!
Tapi kata siapa anak haram lebih rendah dari anak halal" Desi bersumpah, dia akan menjadikan anaknya orang terhormat! Supaya tidak ada orang yang berani menghinanya lagi!
Dengan Oom Ary, dia tidak mau berhubungan lagi. Tega-teganya dia menjodohkan dirinya dengan lelaki sakit jiwa!
Rupanya untuk menyelamatkan perkawinan-ny, Oom Ary rela melakukan apa saja! Tidak peduli dia harus mengorbankan siapa pun!
Aryanto pulang ke rumah dengan perasaan malu. Semua rencananya gagal total.
Dan dia tambah tertekan setelah istrinya mengetahui perbuatannya. Valerina begitu ma-rahnva sampai matanya memerah saga.
"Dosa apa lagi yang Papa perbuat"" geramnya jijik. "Menjodohkan Desi dengan klien Papa yang mencabuli anak tujuh tahun""
Aryanto tidak mampu menjawab. Tidak mampu lagi menyangkal. Dia sudah pasrah menerima hukumannya.
Tetapi memang tak ada lagi yang dapat diperbuatnya. Aryanto sudah terhukum oleh perbuatannya sendiri. Seumur hidup menanggung nista.
"Anak di perut Desi kan anak Papa juga. Seperti Kezia dan Revo. Teganya Papa mencarikan ayah sebejat itu untuknya. Biarpun cuma ayah di atas kertas!"
"Papa khilaf, Ma," keluh Aryanto antara sedih dan malu. "Rasanya Papa mau melakukan apa saja asal bisa memperoleh Mama kembali!" Khilaf. Benarkah kali ini Mas Ary khilaf lagi"
Ketika menggauli Desi, mungkin dia khilaf. Tidak sengaja meniduri gadis itu. Hanya terdorong oleh nafsu sesaat.
Tetapi menjodohkan Desi dengan Rama itu bukan perbuatan sesaat! Perbuatan itu butuh rencana! Butuh pemikiran yang matang! Tidak mungkin hanya karena dia khilaf!
Bagaimana Valerina bisa menaruh respek lagi pada suami seperti itu" Suami yang tega mengorbankan orang lain, bahkan anaknya sendiri, asal kebahagiaannya tak usah dikorbankan" Asal tujuannya tercapai"
Jika seorang istri wajib menghormati suami, masih mampukah Valerina membungkam hati kecilnya, supaya dia masih dapat mempertahankan mahligai perkawinannya"
Akhirnya Aryanto Ranggaperkasa, S.H. mengundurkan diri sebagai pembela Rama. Sekaligus sebagai pengacara.
Dia melepaskan profesi yang telah disandangnya selama puluhan tahun. Dia berharap pengorbanannya itu dapat sedikit menebus dosanya.
Tetapi dosa terbesarnya pada istri dan anak-anaknya, pada Desi dan anak dalam kandungannya, belum dapat ditebusnya.
Perselingkuhannya tetap meninggalkan bekas. Karena Desi tidak mau menggugurkan anaknya.
Sementara ayahnya sudah menyuruh Desi mengajukan permohonan cerai. Lebih baik Desi mengandung anak haram daripada melanjutkan pernikahannya dengan seorang lelaki bejat seperti Rama.
Seumur hidup Aryanto, anak haramnya akan menjadi stigma sosialnya. Karena anak itu akan menjadi stempel perselingkuhannya.
Ada lagi pukulan terberat yang harus diterima Aryanto. Istrinya mengajukan permohonan cerai.
"Saya sudah memaafkan Papa karena ber-selingkuh," katanya tawar. "Tapi saya tidak bisa memaafkan perbuatan Papa pada Desi."
BAB XX SETELAH ingatan Kezia pulih, dia bertekad untuk melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Dia seperti sengaja menghindari ayahnya. Dan menghindari semua yang mengingatkannya pada tragedi itu. Kematian Olimpia sangat melukai hatinya. Dan membekas di jiwanya. Karena itu dia memilih meninggalkan semua yang mengingatkannya pada Olimpia, sahabat karibnya.
Peristiwa malam itu menjadi trauma terberat dalam hidupnya. Dia tidak mau mengingat-ingat lagi peristiwa itu.
Kezia juga tidak mau mendengar lagi sepak terjang ayahnya yang begitu memalukan. Biarpun ayahnya sudah tidak tinggal serumah lagi, biarpun Papa sudah mengundurkan diri sebagai pem
bela Rama, cerita-cerita miring mengenai dirinya masih saja terdengar.
Sebenarnya Kezia iba pada ibunya. Dia berat meninggalkan Mama. Tidak tega membiarkan Mama menanggung penderitaannya seorang diri.
Apalagi Mama sedang menghadapi proses perceraian. Dia pasti butuh seseorang untuk mendampinginya. Butuh tempat untuk mencurahkan perasaan.
Tetapi Mama masih tetap Mama yang dikenal Kezia. Dia tegar. Tangguh. Tidak ingin dikasihani.
"Jangan pikirkan Mama," katanya ketika mendengar Kezia ingin melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Tentu saja dia tahu mengapa Kezia tidak betah lagi tinggal di Jakarta. Trauma itu terlalu berat. Kezia tidak bisa cepat melupakannya kalau dia tidak pergi jauh. "Mama sanggup mengatasinya seorang diri. Jangan sia-siakan masa depanmu, Zia."
Kezia merasa lega mendengarnya. Dia percaya, Mama tidak berdusta. Mama sanggup mengatasinya. Dia perempuan yang tegar.
Kezia juga tidak ragu-ragu meninggalkan Dokter Hendardi yang kini sudah menjadi pacarnya.
"Kalau memang jodoh kan nggak ke mana-mana, Ma," katanya santai ketika ibunya menanyakan hubungannya dengan dokter itu. "Ya sementara ini, cinta long distance-lah." Pokoknya tekad Kezia sudah bulat. Dia ingin studi di luar negeri. Dan Kezia memilih Zurich.
Ketika Valerina tahu kota apa yang dipilih anaknya, dia terdiam sesaat.
Benarkah Kezia ingin studi di Swiss" Atau... dia cuma ingin membahagiakan ibunya" Karena dia tahu, Mama telah menitipkan hatinya di sana"
"Apa hubungan lelaki itu dengan Kezia, Ma"" pernah Kezia bertanya demikian ketika dia sudah dapat berpikir lagi.
"Tidak ada," sahut Valerina tegas.
"Jadi siapa ayah Kezia sebenarnya"" "Papa."
Valerina tahu, Kezia akan lebih puas kalau ibunya mengakuinya dengan terus terang. Kezia putri Tristan. Bukan Bimo.
Karena dari Dokter Hendardi, Valerina tahu, golongan darah Kezia B. Seorang wanita bergolongan darah A. tidak mungkin mempunyai anak bergolongan darah B dari laki-laki yang golongan darahnya O seperti Bimo. Jadi satu-satunya kemungkinan hanya Tristan. karena Valerina sudah hamil ketika dia menikah dengan Aryanto.
Tetapi untuk suatu alasan yang dia sendiri tidak tahu. Valerina ingin menyimpan rahasia itu untuk dirinya sendiri.
"Mama ngantar Kezia ke sana"" tanya Aryanto tawar ketika Valerina menyampaikan keinginan Kezia.
Saat itu proses perceraian mereka sedang berlangsung. Dan mereka sudah pisah rumah. Valerina kembali ke rumah almarhum ayahnya. Dan dia tinggal bersama Kezia.
Aryanto tinggal sendiri di rumahnya yang lama. Hanva ditemani oleh Mbok Nah.
Tetapi ketika Kezia menyatakan keinginannya untuk studi di luar negeri, Valerina masih menelepon Aryanto. Mengabarkan niat anak mereka. "Kalau proses perceraian kita sudah selesai." "Papa bisa mengaturnya supaya selesai lebih cepat. Kapan Mama mau pergi""
"Secepatnya. betul papa nggak apa-apa""
"Pergilah, Ma," pinta Aryanto tulus. "Mama kan suka jalan-jalan ke Swiss,"
Suaranya sama sekali tidak bernada mengejek. Apalagi menyindir.
"Papa ikut"" tanya Valerina datar. "Hitung-hitung ngantar Kezia."
"Biar Mama saja yang menemani Kezia," kata Aryanto sambil menyembunyikan kepedihan hatinya. "Mama kan yang pintar bahasa Jerman. Lagi pula Kezia belum tentu mau kalau Papa ikut."
Aryanto benar. Kezia pasti keberatan kalau ayahnya ikut. Seperti adiknya juga, Kezia belum dapat memaafkan ayahnya.
Sampai sekarang Kezia masih menganggap kematian Olimpia adalah kesalahan ayahnya. Karena itu dia tidak keberatan ketika ibunva menanyakan pendapatnya tentang perceraian mereka.
"Itu hak Mama." jawabnya tegas. "Tidak seorang pun berhak menyuruh Mama mempertahankan perkawinan kalau Mama sendiri sudah
tidak menginginkannya."
Setelah resmi bercerai, Valerina berangkat bersama Kezia ke Swiss.
Di Bandara Zurich, Revo yang memerlukan datang dari Montreux, menyambut kedatangan ibu dan kakaknya dengan terharu. Dia tahu bagaimana beratnva arti perceraian untuk ibunya. Apalagi kalau pernikahan itu sudah berusia dua puluh tahun. Dan Mama sudah terpilih sebagai ibu dan istri teladan.
"Jangan sedih ya, Ma," bisik Revo ketika dia sedang memeluk ibunya. "Kan ada Revo."
Valerina hany a mengangguk. Dia merasa matanya panas.
Ketika melihat air mata menggenangi mata ibunya, tak sadar Kezia ikut memeluknya.
Dalam rangkulan kedua anaknya, Valerina merasa terharu. Sekaligus bangga. Anak-anaknya sudah berubah. Prahara sudah mengubah mereka. Menempa mereka menjadi lebih dewasa. Kini mereka tampil begitu kokoh sebagai pelindung ibunya.
Setelah melepaskan pelukannya, Revo mulai mencari-cari Tristan dengan matanya. Dia heran mengapa Tristan tidak datang untuk menjemput ibunya.
"Teman Mama kok nggak nongol"" tanya Revo heran. "Mama nggak bilang kita datang""
"Mama pernah janji akan membawa kalian ke Zermatt."
"Dia nunggu kita di sana"" tanya Kezia tak sabar.
"Dia tidak tahu kita datang." "Jadi Mama mau bikin kejutan"" Valerina hanya tersenyum tipis. "Buat orang setua Mama, tidak ada lagi kejut-kejutan. Mama cuma tidak mau bikin repot dia."
"Bohong," goda Revo separo bercanda. "Mama pasti mau bikin surprise. Biar lebih asyik!" "Kita ikut Mama ke Zermatt"" "Nggak usah. Mama bisa jalan sendiri." "Iya dong," sambar Revo sambil memukul bahu kakaknya. "Kezia nih kayak yang nggak pernah muda aja!"
"Katanya Mama udah janji mau bawa pasukan ke Zermatt""
"Itu dulu, Sayang!" gurau Revo sambil ter-senyum lebar. "Nyadar dong, Kezia! Tu otak masih mangkal di tempatnya nggak sih""
Kezia sudah bergerak hendak memukul adiknya. Tapi Valenna mencegahnya.
"Sudah, ah." desahnya jengah. Bercanda
melulu. kita ke hotel dulu, yuk."
"Kalau Mama mau, kita rela ngawal Mama ke Zermatt."
"Nggak usah. Dia juga belum tentu ada di sana."
"Telepon dong, Ma."
"Aduh, Kezia!" cetus Revo berlagak mengurut dada. "Udah heng melulu, mendingan PC di kepala lu ditukar tambah aja deh!"
"Kalo Mama udah jauh-jauh ke Zermatt trus dia nggak ada di sana, gimana dong, Ma"" tanya Kezia tanpa menghiraukan kelakar adiknya.
"Katanya sih dia mau main ski dulu di Tiefenbach. Sudah itu baru pulang ke Zermatt. Dia punya toko kecil di sana...."
"Tiefenbach"" desis Revo kaget. Senyum lenyap dari bibirnya. Parasnya tegang. "Maksud Mama, glasier Tiefenbach di Tyrol""
"Kamu pernah ke sana""
"Kapan dia ke sana, Ma"" tanya Revo seperti tidak mendengar pertanyaan ibunya.
"Sepulangnya dari Jakarta."
"Awal September""
"Ada apa"" tanya Valerina dengan perasaan tidak enak.
"Kita duduk dulu yuk, Ma."
"Kenapa"" "Revo haus."
Tapi Valerina tahu, bukan itu alasan Revo mengajaknya duduk. Putranya tidak kelihatan haus. Dan kegembiraannya lenyap seketika. Pasti ada yang disembunyikannya. Tetapi Valerina tidak dapat menerka masalah apa yang membuat Revo gundah. Dia tidak kenal Tristan, kan" Mereka hanya pernah bertemu di Jakarta. Mengobrol saja tidak pernah.
Seperti mengerti kegundahan adiknya, Kezia juga tidak banyak tanya. Tanpa memprotes, dia mengikuti adiknya ke counter minuman. "Kenapa sih, Vo"" bisiknya ketika mereka sedang memesan tiga gelas jus jetuk.
"Nggak dengar"" bisik Revo sambil melirik ibunya yang sedang duduk tak jauh dari mereka. "Apa""
"Ada kecelakaan di glasier Tiefenbach awal
September lalu." Valerina hampir tidak memercayai pendengarannya. Matanya mengawasi putranya dengan nanar.
"Mama jangan kaget, ya." Meskipun Revo memulai kata-katanya seperti itu, Valerina tetap saja terperanjat. Dia malah cemas. Takut mendengar kabar buruk yang akan disampaikan putranya. Di sisinya, Kezia mencekal lengan ibunya erat-erat. Seolah-olah ingin menenteramkan perasaan Mama. "Mungkin sih nggak ada sangkut pautnya. Bisa aja kan teman Mama nggak jadi ke Tiefenbach. Atau dia nggak ke sana hari itu..."
"Ada apa, Revo"" potong Valerina panik. "Kamu mau ngomong apa""
Awal September, ada gondola jatuh di Soelden, Ma. Sembilan orang tewas...."
"Ya Tuhan!" desah Valerina lirih. Mukanya pucat pasi.
Mungkinkah Tristan berada di sana" Mungkinkah dia berada di dalam gondola itu" Mungkinkah dia...
"Tidak!" rintih Valerina dengan air mata berlinang. Tristan tidak berada di sana! Dia tidak jatuh! Dia tidak mati! Tidak mungkin!
"Ma, coba telepon dia," pinta Kezia hati-hati.
Tetapi Valerina tidak mampu menggerakkan tangannya. Bahkan untuk mengambil ponsel-nya Seluruh tenaganya seperti tiba-tiba terku
ras habis. Tersedot ke dalam kubangan yang sangat dalam.
"Kezia coba ya, Ma"" Kezia mengambil pon-sel ibunya walaupun Mama belum sempat menjawab. Sebenarnya itu bekas ponselnya sendiri yang dihibahkannya kepada ibunya setahun yang lalu. "Mama pencet memorinya, ya" Biar Kezia yang ngomong."
Valerina mengulurkan tangannya yang gemetar Menekan tombol nomor sembilan.
Kezia menekan tombol hijau. Dan melekatkan ponsel itu ke telinganya. Tetapi tidak terdengar bunyi apa-apa. Berkali-kali dia mencoba. Gagal.
"Kali dia ganti HP, Ma," hibur Kezia sambil menyembunyikan kecemasannya. "Atau ganti SIM card."
"Kita ke rumahnya aja, Ma," ajak Revo sama cemasnya. "Mama bilang dia punya toko di Zermart, kan""
Tetapi di Zermatt pun Tristan tidak ada. Tokonya tutup.
"Sudah sebulan Tristan pergi," Kata pemilik toko di sebelahnya. "Sejak awal September. Kalau tidak salah, mau main ski di Austria."
Kezia dan Revo bertukar pandang dengan cemas. Mereka khawatir sekali melihat keadaan ibunya. Bercerai saja sudah merupakan trauma untuk Mama. Kini dia mendapat trauma yang lebih berat lagi!
Kekasihnya mungkin sudah tewas! "Tristan... desah Valerina pilu. "Tega kamu tinggalkan aku dengan cara seperti ini...."
Valerina melarang anak-anaknya mengikutinya. Dia ingin berada seorang diri di sana. Di Gornergrat. Di ketinggian antara bumi dan langit. Di depan puncak Matterhorn. Lambang cinta kasih mereka.
Tetapi Kezia dan Revo tidak tega membiarkan Mama pergi seorang diri. Karena itu diam-diam mereka mengikuti dari kejauhan.
Ketika Mama naik kereta api, mereka ikut menyelusup ke kereta yang sama, meskipun di gerbong yang lain. Ketika Mama turun di Stasiun Gornergrat, mereka ikut turun. Mereka terus membuntuti Mama dari kejauhan.
Tatkala Mama melangkah ke bibir tebing, Revo sudah ketakutan.
"Jangan-jangan Mama nekat!" bisiknya ce-mas"
"Mama bukan cewek kembang tahu!" sanggah Kezia mantap. "Nggak bakalan Mama terjun Jbebas!"
Dan keyakinan Kezia terbukti.
Mereka melihat Mama hanya duduk me-
renung di tepi tebing. Memandangi puncak
Matterhorn di seberang sana. Mama tidak berbuat apa-apa. Hanya tepekur.
Termenung menatap ke kejauhan. Seperti ini jugakah perasaanmu sembilan
belas tahun yang lalu, Tris, desah Valerina pilu.
Ketika kamu menyadari kita tidak mungkin
bertemu lagi" "Aku sudah menyiapkan cincin untukmu sembilan belas tahun yang lalu. Setiap tahun selama empat tahun berturut-turut aku membawa cincin itu ke Zermatt. Ketika kamu tidak muncul juga, kutukar cincin itu dengan cincin kawin istriku. Tapi bahkan ketika sedang memakaikan cincin itu di jarinya, aku masih membayangkan dirimu."
Suara Tristan masih terdengar begitu Gaungnya seolah-olah bergema di dinding-dinding tebing terjal di sekitarnya.
Valerina menatap cincin yang sengaja di-pakainva ketika naik kereta ke sini. Dan air matanya meleleh tak tertahankan lagi.
Dia tahu Tristan sangat mencintainya. Tetapi kini. ketika dia sudah tidak ada, cintanya terasa lebih menggigit.
Tanggal dua enam bulan depan. Di hotel kita. Atau kamu lebih suka menemuiku di Gornergrat" Aku akan melamarmu sekali lagi di depan anak-anakmu."
Ciuman Tristan masih terasa di bibirnya. Begitu lembut. Begitu hangat. Begitu mesra.
"Aku akan melamarmu sekali lagi di depan anak-anakmu."
Itu janji Tristan. Janji yang tak pernah kesampaian!
Tetapi memang bukan salah Tristan. Valerina yang memusnahkan harapannya. Dia yang memutuskan hubungan mereka.
"Selamat tinggal, Sayang" itulah kata-kata Tristan yang terakhir, ketika mereka berpisah di Soekarno-Hatta. "Terima kasih untuk tembang terindah dalam hidup kita."
"Selamat jalan, Tris," Valerina mengulangi kata-katanya yang terakhir untuk kekasihnya.
"Terima kasih untuk hari-hari terindah yang telah kita lewati bersama." Lalu dia menyeka air matanya.
Zermatt masih seperti dua puluh tahun yang lalu. Ketika malam itu mereka melangkah berdua sambil berpelukan. Ketika mereka duduk saling impit mendengarkan Serenade. Ketika Tristan mencium bibirnya untuk pertama kalinya. Ketika dia melepaskan ikatan rambutnya.
Resor itu masih setemaram ketika Valerina tiba kembali di sini tiga bulan yang lal
u. Turis-turis masih lalu-lalang dengan santainya. Jepretan kamera mereka masih berkilauan mengabadikan keindahan di sekitarnya.
Kafe-kafe di pinggir jalan masih ramai dipenuhi pasangan yang sedang menikmati cerahnya udara malam. Penjual bratwurst masih asyik menggoreng sosisnya.
tetapi bagi Valerina, semuanya tidak sama
lagi. Semuanya sudah berbeda. karena Tristan
sudah tidak berada di sana lagi.
"Rasanya aku ingin menunggumu di Zermatt, Siapa tahu. suatu hari aku menemukanmu di sana, sedang menggigit bratwurst di pinggir jalan. Saat itu mungkin mataku sudah lamur. Tapi aku pasti masih ingat aroma parfummu."
Saat itu. sungguh mati, Valerina tidak ingin makan. Perutnya tidak lapar.
Tetapi ketika melihat penjual bratwurst itu, dia langsung berhenti di depannya. Membeli sebuah bratwurst. Dan menggigitnya meskipun masih terasa sangat panas.
"Val"" Suara Tristan begitu jelas menerpa telinga Valerina. Dia sampai harus memejamkan matanya menahan kenyerian yang menikam jantungnya. "Valerina""
Dia ada di sini, pikir Valerina getir. Dia ada di sini! Di tempat yang paling disukainya! Di tempat kenangan kami! Tempat yang selalu membangkitkan nostalgia.
"Jangan pergi, Tris," pinta Valerina lirih. "Temani aku di sini. Jangan biarkan aku melewati malam ini sendirian! Aku sudah me nyemprotkan parfum kesayanganmu. Kamu masih ingat kan aromanya" Katamu, biar mata mu sudah lamur sekalipun...
Dan Valerina tidak dapat melanjutkannya lagi. Air matanya meleleh tak tertahankan.
"Datanglah. Tris, desahnya pilu. lepaskan gelung rambutku. Cium leherku...."
Valerina tidak peduli jika dia dikira gila karena bicara seorang diri. Apa salahnya menjadi gila sesaat karena kesedihan yang luar biasa"
Berapa banyak orang yang bertingkah seperti gila karena ditinggal kekasih"
Valerina bukan hanya ditinggal kekasih!. Kekasihnya pergi untuk selama-lamanya. Tristan sudah tidak ada! Tristan sudah mati!
Tokonya dikunci. Tutup. Sudah beberapa kali Valerina bolak-balik ke sana. Tapi toko itu tetap terkunci.
"Sudah sebulan Tristan pergi." Kata-kata pemilik toko sebelah terngiang terus di telinganya.
Sudah sebulan Tristan pergi! Tristan meninggalkannya! Tak mungkin ditemuinya lagi di sini!
Ada tangan yang menyentuh lengannya.
Pasti si penjual bratwurst. Dia mau bilang, Maaf, Nyonya. Saus tomatnya berceceran ke bajumu!
persetan! Siapa peduli"
Valerina membuka matanya. Dan dia terenyak.
Bratwurst terlepas dari tangannya.
"Kamu betul Valerina!" desah Tristan gembira.
"Tristan"" sapa Valerina gemetar. Ditatapnya lelaki itu dengan tatapan tidak percaya.
Yang tegak dengan tongkat penyangga di ketiak kirinya itu memang Tristan Putradewa!
"Ada apa, Val"" tanya Tristan bingung. "Kenapa kamu melihatku seperti hantu""
Valerina tidak dapat menjawab. Karena tangis segera menyerbu tenggorokannya. Dia menghampiri Tristan. Dan memeluknya dengan hati-hati.
"Aku menyakitimu"" bisiknya lembut. "Tidak," Tristan tertawa bahagia. "Kamu membuat semua rasa sakitku lenyap seketika!"
"Apa yang terjadi"" tanya Valerina sambil melepaskan pelukannya. Ditatapnya kekasihnya dengan cemas. "Kenapa kakimu"" "Biasa," Tristan tersenyum tipis. "Kecelakaan." "Main ski"" "Apa lagi""
"Kapan kamu baru mau berhenti cari penyakit""


Tembang Yang Tertunda Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seharusnya kamu bersyukur masih bisa melihatku tertawa!"
"Aku memang bersyukur," Valerina membelai pipi Tristan dengan penuh kasih sayang. "Kukira kamu berada dalam gondola yang jatuh di Tiefenbach."
"Aku tidak jadi ke sana," Tristan menyeringai lebar. "Pada saat terakhir, aku ingat kamu. Jadi aku pergi ke St. Moritz. Main ski sambil melamun."
Ya Tuhan!" Valerina memejamkan matanya mengucap syukur.
"Kamu kira aku mengalami kecelakaan" Karena itu kamu kemari" Mau menabur bunga di makamku""
"Ke mana HP-mu"" sergah Valerina gemas. Kenapa aku tidak bisa menghubungimu"" Jatuh bersama tubuhku. Tergelincir di glasier sejauh empat ratus meter, Bedanya tubuhku ditemukan. HP-ku tidak." "Serius, Tris!"
"Kata siapa aku main-main""
"Kamu tahu betapa takutnya aku ketika tidak bisa menghubungimu" Ketika melihat tokomu tutup dan tetanggamu bilang kamu ke Austria sebulan yang lalu""
"Aku harus bagaimana"" Tristan menahan tawa. "Menghubungimu di Jakarta" Bilang aku tidak jadi ke Tyrol" Jadi tidak usah bawa bunga kemari""
"Tidak ada yang berubah dalam dirimu!" gerutu Valerina gemas. "Kamu masih tetap konyol!"
Tristan mendekatkan wajahnya sambil tersenyum. Ketika dia mengendus aroma parfum kekasihnya, senyumnya melebar penuh gairah.
"Kamu tidak ingin aku berubah, kan"" bisiknya sambil menatap mesra ke mata Valerina. "Aku masih tetap mengenali parfummu biarpun mataku sudah lamur nanti!"
Valerina pura-pura melayangkan tangannya untuk menampar pipi Tristan. Tapi ketika Tristan tidak mengelak, tangan Valerina mendarat di pipinya dalam sebuah sentuhan lembut penuh kehangatan.
"Kapan sih kamu pernah serius, sekali saja""
"Kalau aku melamarmu," sahut Tristan mesra.
"Kalau begitu," pinta Valerina lembut, selembut tatapan matanya, "lamarlah aku. Sekarang."
Mata Tristan membulat. Ditatapnya Valerina dengan tatapan tidak percaya.
"Melamarmu" Di sini"" desisnya agak bingung.
"Na und"" Ketika Tristan mendengar kata itu diucapkan Valerina persis seperti gayanya, tatapan Tristan berubah antara haru dan bahagia.
Dirangkulnya Valerina dengan mesra. Diciumnya bibirnya dengan hangat.
Ketika bibir yang dirindukannya itu menyentuh bibirnya, menyalurkan kehangatan yang tak terperi ke relung-relung hatinya, air mata Valerina menitik didesak kebahagiaan.
"Jangan pernah meninggalkanku lagi, Tris," bisiknya gemetar.
"Aku tidak pernah meninggalkanmu," sahut Tristan sambil mendekap kekasihnya dengan sebelah lengannya. "Kamu yang meninggalkanku. Tiga kali. Ingat"" "Sekarang aku tidak ingin pergi lagi." "Juga kalau kamu rindu suami dan anak-anakmu""
"Aku sudah bercerai." "Val!" cetus Tristan antara kaget dan gembira. Dilepaskannya pelukannya. Ditatapnya kekasihnya dengan tatapan setengah tak percaya. "Bukan karena dia pacaran dengan pacar anakmu lagi, kan""
Valerina menggeleng. "Anak-anakmu" Ikut kamu""
"Mereka ada di sini. Revo akan kembali ke Montreux. Kezia ingin studi di Zurich."
"Karena itu kamu kemari""
"Tidak." sabut Valerina tegas. "Aku ke sini karena kamu."
"Karena ingin menyambangi kuburanku""
"Karena cinta."
"Val," Tristan mengedipkan sebelah matanya dengan gembira. "Kamu tahu, nggak""
"Jangan," cegah Valerina sambil tersenyum. Tahu apa yang akan dilakukan Tristan. "Tidak perlu meneriakkan lagi cintamu. Karena cintamu sudah menjadi milikku."
"Aku ingin semua orang tahu!"
"Tidak perlu. Yang perlu tahu cuma aku dan anak-anakku!"
"Kalau begitu aku akan berteriak di depan mereka!"
"Tidak perlu berteriak. Mereka tidak tuli." "Di mana mereka""
"Kami di sini."
Ketika Tristan dan Valerina menoleh, mereka
melihat Kezia dan Revo tegak tidak jauh dari
tempat mereka. Tristan sudah membuka mulutnya lebar-lebar untuk meneriakkan cintanya. tetapi Valerina keburu membekap mulutnya.
TAMAT tamat Perkampungan Misterius 3 Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka Parit Kematian 1
^