Pencarian

Terminal Cinta Terakhir 2

Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar Bagian 2


"Repot dong. Sudah biasa sibuk, tiba-tiba menganggur."
"Yah, itulah soalnya."
"Nggak mencoba di bidang lain""
"Apa yang bisa kukerjakan" Dagang" Aku tak berbakat. Juga tak punya modal. Kerja administratif" Aku tak cocok. Dan, lagi pula belum tentu ada yang mau menerima. Serba repot. Barangkali aku harus kembali pada kerjaku yang paling awal."
"Apa"" "Di bengkel." Dan, ingatan Joki berkelebat pada setumpuk besi hitam berminyak di sebuah bengkel di Slipi. Ketika itu, dia baru saja terusir dari rumah Tulang Sahala. Dia datang ke rumah temannya, lalu
diperkenalkan kepada Hutagalung. Hutagalung punya bengkel. Lalu, itulah, dia magang di situ. Hanya dapat uang makan pada mulanya.
Apakah harus kembali pada masa lampau" Joki telah berjuang untuk keluar dari libatan nasib sehingga akhirnya dia layak dianggap sebagai montir yang baik. Karena mendapat gaji yang layak, maka dia berhasil menamatkan SMA-nya.
Kegetiran telah dilaluinya. Lalu dia diajak seorang Batak yang mempunyai bemo, untuk menyopiri bemo itu pada malam hari. Siang hari bemo dijalankan oleh pemiliknya sendiri. Maka Joki pun bisa kuliah. Sehari-hari dia harus melompat dari bengkel ke kampus, dan dari kampus ke jalanan di kota. Sepanjang hari dia mendera dirinya.
Tempo-tempo hatinya menjerit manakala harus menghadapi orang-orang muda yang menserviskan kendaraan mereka ke bengkel. Mereka tak mau keluar dari mobil, dan tak sabar karena menganggap kerja Joki terlalu lambat.
Beberapa tahun yang lalu, akulah yang berada di dalam mobil itu, pikir Joki serta-merta. Beberapa tahun yang lalu, aku serupa dengan kalian. Berdunia ceria. Meloncat dari keasyikan yang satu ke keasyikan yang lain.
Ya, betapa tidak! Ayah Joki seorang yang berada. Seorang direktur PN besar. Apa yang tidak bisa diberikan kepada keluarga" Segalanya bisa. Segalanya. Segalanya seperti memetik dari langit. Joki tak peduli bagaimana langit memberikan segalanya kepada keluarganya. Tak peduli. Tak peduli bagaimana ayahnya memperoleh kedudukan di PN itu.
Bahkan, telah beberapa kali Joki melintas di depan sebuah rumah di Jalan Iskandarsyah.
Langit Kota Medan yang cerah menimpakan sari-sari panasnya ke badan Joki. Tetapi, tak terasakan oleh Joki sebab angin yang berkesiur dari depan sejuk membelai. Derum motor betingkah-tingkah mengikuti permainan gas di tangan lelaki muda itu.
Kemudian dia menemukan nomor rumah yang dicarinya. Sebuah rumah mungil bergordin hijau. Semua jendela rumah itu tertutup. Joki sudah mendapat info bahwa memang demikianlah keadaannya. Rumah itu selamanya tertutup, meski ada penghuni di dalamnya. Seorang gadis cantik, dan gadis itulah yang akan ditemui Joki.
Dada lelaki muda itu berdebur-debur. Telapak kakinya panas. Dia tahu bahwa gadis itu pastilah kesepian. Pasti!
Maka Joki mengetuk pintu. Di pintumu aku mengetuk. Aku tak bisa berpaling lagi. Joki mengulang-ulang sajak yang pernah dihapalnya, dalam hati.
Pintu terbuka. Seraut wajah muncul dari celah daun pintu yang terkuak. Mata gadis itu penuh tanda tanya.
"Ada apa" Cari siapa"" tanyanya.
Sejenak Joki mematung. Telapak kakinya seperti digelitik. Dia kepingin berjingkrak-jingkrak, tetapi ditahannya.
"Aku bawa pesan dari Pak Hotma," kata Joki. Dan, sebagaimana dugaan Joki, gadis itu menguakkan pin
tu lebih lebar, dan katanya cepat-cepat, "Mari masuk, mari masuk."
Lalu pintu tertutup kembali. Hore! Joki ingin bersorak, tetapi ditahannya. Nama Hotma ternyata bisa menjadi mantera simsalabim.
Gadis itu mendahului menuju kursi. Joki tersenyum-senyum mengawasi punggungnya. Pinggangnya yang genting, kontras dengan pinggulnya yang sedang ber-goyang-goyang.
Baru saja pantatnya tertaruh di kursi, Joki langsung membuat mata gadis itu terbelalak karena mendengar, "Hotma Tobing ayahku."
Beberapa saat ketika mereka bertatapan, bibir gadis itu bergerak-gerak. "Nggak usah takut. Nggak apa-apa. Aku bermaksud baik datang ke sini."
"Ya"" kata gadis itu.
Wah, bukan main bagus suaramu, pikir Joki.
"Papa 'kan sudah dua minggu tidak ke sini. Iya, 'kan""
Gadis itu mengangguk. "Masih lama dia datang. Raker-nya di Jakarta satu minggu. Tapi, masih dilanjutkan meninjau ke Filipina. Barangkali sampai dua bulan."
"Ya, aku tahu," kata gadis itu.
Joki menelengkan kepala, mengikuti dentang-dentang jam dinding. Pukul dua. "Enak ya, tinggal di sini"" katanya kemudian. Gadis itu mengangguk.
Beberapa saat ruangan itu hening. Joki bisa mendengarkan suara napasnya sendiri. Juga jantungnya yang menggelepar-gelepar. Seperti merpati disembelih, menerjang-nerjang. Darah pun panas.
"Dari seluruh keluarga, cuma aku yang tahu bahwa Papa sering datang kemari," kata Joki. "Dari mana kau tahu"" "Oho, rahasia."
Gadis itu diam. Matanya menaksir-naksir. "Kamu kesepian, 'kan"" kata Joki. Gadis itu melengak dan tersenyum.
"Papa memang hebat. Hebat berpura-pura. Di rumah, bukan main alimnya, sedangkan di luar... wow!"
Gadis itu tetap tersenyum. Lalu Joki pindah duduk di samping gadis itu. Lalu dia membelai rambut gadis itu.
"Kalau Mama tahu Papa sering kemari, barangkali bisa ramai. Mama galak. Bisa-bisa Papa diimpotenkan."
Gadis itu meledakkan tawanya. Dia menoleh lelaki muda yang duduk di sampingnya. Mereka bersitatap. Dan, gadis itu melihat senyum Joki yang mulus dan segar. Lalu dia ingat masa mudanya yang tersekap bulan demi bulan di rumah mungil itu.
"Tidak ada yang tahu kau kemari tadi"" tanya ga-dis itu.
"Tidak," kata Joki. Dan, dia merasa rumah itu sungguh-sungguh sepi.
Rambut gadis itu bergelombang hingga bahu. Harum. Tubuhnya pun menguarkan parfum, entah Avon atau apa.
Gadis itu ingat bahwa bulan demi bulan dia tersimpan di rumah itu. Disimpan oleh dan untuk seorang lelaki tua. Maka gadis itu menatap lebih nanap lelaki muda di sampingnya. Dia tersenyum. Mereka tersenyum.
Jantung Joki berdenting-denting. Tulang punggungnya menggigil.
Kemudian mereka terpilin-pilin di sofa itu. Kemudian pindah di kamar gadis itu. Kelambunya merah jambu. Halus. Spreinya warna biru muda. Licin. Semuanya menimbulkan imaji sejuk. Tetapi, toh tak menyejukkan darah Joki yang membilas-bilas panas.
Kemudian, kemudian, kemudian... ah, cuma begitu" Joki mengeluh dalam dada. Dia memacu motornya kencang-kencang. Wajahnya panas. Dia masih membayangkan wajah gadis itu. Wajah yang menertawakannya. Dan, wajah Joki bertambah panas. Ya, hanya beberapa saat. Beberapa saat, lalu loyo. Bah, bah, bah!
Tubuh Joki panas. Angin berkesiur di telinganya. Motor yang dipacunya menderum tinggi. Gadis itu tadi tertawa. Pasti menertawakan betapa tidak bermutunya aku, pikir Joki. Bah! Berkobar-kobar seperti kesetanan, tetapi setelah tiba waktunya tak bisa melakukannya seperti yang nampak diblue film itu. Sekejap sekali. Sekejap saja. Bikin malu. Bikin malu. Pasti dia menertawakan aku. Bah!
Dan, gropyak. Bruk! Joki harus masuk rumah sakit. Tulang bahunya patah. Dia menabrak becak dan terbanting di aspal.
Pertama kali menguji dirinya, tetapi pada ujian itu dia terbanting. Itu terjadi pada usianya yang keenambelas. Dan, ujian itu pula yang selalu menghantuinya. Dan, agaknya, itu pula yang menyebabkan dia selalu ragu-ragu menghadapi gadis-gadis. Dia bersedia berkelahi di mana saja, dengan siapa saja, tetapi jangan ditantang membawa gadis ke ranjang. Karena itu, amanlah gadis-gadis yang pernah menjadi pacarnya.
Dan, hatinya menjerit manakala melihat rombongan orang muda dalam mobil. Melihat keceriaan gadis-gadis d
i dalam mobil yang siap berangkat ke Cibogo itu, Joki menarik keluhan tanpa suara. Itu yang tak pernah dinikmatinya. Dia hanya mengenal perkelahian antar geng. Dia hanya berpacaran model anak sekolah. Mobil ayahnya hanya dipakai untuk membawa gengnya dan menyerbu anak-anak Kampung Sukaramai, atau Jalan Antara, atau di mana saja.
Kemudian, ketika dia menservis mobil anak-anak muda yang siap ke Puncak, dia terpaksa menekan kerinduannya pada masa remajanya yang telah lewat. Masa remaja yang tak mungkin terulang. Takkan terulang. Bukan cuma masa remaja itu, melainkan juga kehidupan pada masa itu. Sebab, setelah terjadi G-30-S, kehidupan keluarganya menjadi porak-poranda. Baru dia tahu bahwa kedudukan ayalmya di PN itu lantaran mendapa support dari PKI. Itulah yang menyebabkan ayahnya kemudian ditahan di RTM, dan seluruh kekayaan mereka disita oleh
negara. Dan keluarga perwira menengah Angkatan Darat yang dikaryakan sebagai direktur PN, jatuh menjadi keluarga penghuni RTM sebab dituduh sebagai PKI. Kehidupan yang benar-benar jomplang. Maka Joki harus hidup sebagai montir dan menghirup udara tengik bau oli, di sebuah bengkel di Kota Jakarta.
Udara tengik Kota Jakarta.
Angin pun terasa lebih tajam menusuk kulit. Tetapi di sini tidak. Udara teramat nyaman. Restoran ini ber-AC. Sejuk. Lusi menghirup minuman. Joki mengaduk-aduk bakmi di mangkoknya.
"Ayo, Lusi," katanya.
"Masih panas," kata gadis itu. Ujung pipet bergeser geser di bibirnya. Sesekali Lusi mengisap pipet itu, Bibirnya terlipat. "Apa sih alasan pemecatanmu yang sesungguhnya"" tanya Lusi kemudian.
"Ah, entahlah."
"Jadi, kau sama sekali tak boleh jadi wartawan" Sampai berapa lama"" "Siapa tahu berapa lama"" kata Joki hambar.
"Wah, berabe sekali," kata Lusi. "Kenapa kau tak mencoba jadi pengarang"" "Mana aku bisa" Aku tak berbakat," kata Joki lesu.
Beberapa saat mereka diam. Hanya decap-decap kunyahan Joki terdengar. Gadis itu makan tanpa menimbulkan bunyi. Bibirnya mengerjap-ngerjap. Sesekali lidahnya menjilat bibir.
"Jadi, kau mau kembali kerja di bengkel"" tanya gadis itu tiba-tiba.
"Kalau dalam enam bulan tidak dapat kerja, ya kupikir, begitulah. Pesangon yang kudapat dari perusahaan sebesar enam bulan gaji."
Matahari telah berada di ubun-ubun langit. Tak ada awan yang menghalanginya. Deru lalu-lintas terdengar hingga tempat mereka duduk.
*** Mereka berdiri di pelataran terminal. Joki dan Widuri saling menatap. "Kenapa aku tak boleh ke rumahmu"" kata lelaki itu murung. Widuri lebih murung lagi. Dia menggeleng.
"Karena aku cuma penganggur" Kalau aku seorang manajer yang punya mobil, apakah aku boleh
datang"" Gadis itu menggeleng lagi. Bibirnya terkatup. Sore itu adalah kali kelima mereka bertemu. Artinya, kali kelima pula Joki menunggu Widuri pulang kantor.
Lalu mereka naik bus bersama. Turun di terminal itu.
Widuri mengawasi mata yang menatap ke lantai.
"Bilanglah, apa alasannya kenapa aku tak boleh mengantarmu sampai di rumah." Gadis itu tetap tak menjawab. "Bilanglah kenapa." Widuri menggeleng.
"Atau, kau sudah kawin" Tapi, kau tak pakai cincin kawin." Widuri tetap membisu.
Kemudian mereka berdiri agak ke pinggir agar tidak menghalangi orang berlalu-lalang. "Aku memang seorang penganggur. Tapi, percayalah, aku akan mendapatkan pekerjaan yang
layak." Gadis itu menyangkat kepalanya dan menoleh ke arah lelaki di sampingnya. Tetapi, Joki menatap ke arah bus yang berjejer.
"Bukan itu soalnya. Bukan karena kamu penganggur." Suara Widuri tersekap.
"Jadi, kenapa""
Widuri menggeleng. Pinggiran matanya berkerut. "Rumah saya jelek," katanya kemudian.
"Itu bukan soal."
Widuri diam. "Aku ingin ke rumahmu, tapi aku ingin persetujuanmu. Bilanglah, apakah aku boleh datang." Gadis itu tak menjawab. Keduanya masih berdiri mematung.
"Sebenarnya bisa saja aku mengikutimu diam-diam, untuk mengetahui di mana rumahmu. Bisa saja aku da-tang tiba-tiba, sekali waktu. Tapi, aku tak menginginkan cara begitu. Aku tak mau datang kalau tak kau setujui."
Widuri merasakan gelombang panas merambat di dadanya. Lalu gelombang itu mengalir ke mata. Dia merasa matanya panas. Maka sore itu berwarna ungu
karena hatinya murung. Kau tak boleh datang, kau tak boleh datang, kau tak boleh datang, keluhnya dalam hati. Kau tak boleh mendekatiku. Tak boleh. Tak boleh!
Dan, mulut Widuri tetap terkunci. Matanya... oh, mata lelaki ini, alangkah sendu. Maka mata itu mengingatkan Widuri kepada seseorang di masa lampaunya. Mata yang murung!
Joki berdiri dengan bahu yang layu.
"Baiklah," katanya. "Aku tidak akan memaksa."
Widuri menatap lelaki itu lagi. Bibirnya bergerak, tetapi ucapan yang akan keluar dia telan lagi. Kemudian dia berbalik, dan pergi.
Alangkah dinginnya. Alangkah tegarnya. Bagai gunung yang tak tergeser, keluh Joki. Dia memandang tubuh gadis yang kian menjauh itu.
Dibilang sombong, dia mau bicara. Tapi, dinginnya itu. Ah! Matanya menikamkan dinginnya hati dalam dadanya.
Sementara itu, Widuri melangkah cepat-cepat ke pangkalan helicak. Cepat-cepat pula dia masuk ke salah satu helicak. Jangan sampai terkesan, jangan sampai dekat, jangan sampai dekat, kata hatinya. Dia menatap ke depan melalui kaca jendela berwarna biru. Dadanya bergemuruh. Darahnya mengalir menyentak. Matanya panas.
Dia pasti menuduh aku sombong. Dia akan menuduh aku angkuh. Ah, biarlah! Biarlah! Apa pun tuduhannya, biarlah! Itu lebih baik. Biar dia tak mendekatiku. Aku tak ingin didekati siapa pun.
Tapi, ah! Mata itu, alangkah murung. Derita apa yang sedang disandangnya hingga menyimpan kemurungan seperti itu" Di dasar hati, harus kuakui: Wiwik, kau menganggap lelaki itu jujur. Bahwa lelaki itu tidak serupa lelaki lain. Bahwa lelaki itu mirip lelaki yang pernah kau kenal. Ya, lelaki yang berasal dari masa lampau yang ingin kau lupakan. Ya, harus kau akui itu, Wiwik.
Dan, Widuri menghembuskan napas keras-keras untuk mengurangi beban yang diakibatkan oleh gejolak hatinya. Helicak yang ditumpanginya gemetar oleh tenaga mesin. Lelaki tadi barangkali masih berdiri di terminal itu, pikir Widuri.
Pertama kali kulihat dia di dalam bus yang meluncur di bawah hujan. Dan, aku tahu pesona apa yang ada dalam dirinya. Barangkali kemurungan di matanya" Barangkali lantaran dia menatap mencuri-curi"
Widuri menyekap keluhan dalam dadanya.
Ah, kenapa aku memikirkannya" Dia harus lenyap. Dia harus musnah. Beberapa hari ini aku selalu memikirkannya. Ini berbahaya! Dia tak boleh meninggalkan kesan apa pun. Dia harus pergi. Tapi, pergi tanpa membenciku. Aku tak ingin dibenci siapa pun. Dia tak harus sakit hati. Biarlah dia pergi lantaran tahu bahwa aku tak memberinya harapan.
Akan halnya Joki" Setelah sekian saat termangu di terminal itu, dia menempelak rasa kecil hatinya. Persetan! Barangkali aku sama sekali tak berarti buatnya. Dia mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku barangkali cuma basa-basi. Ya, sebab dia seorang gadis Jawa yang biasanya memang tak mau menyakiti hati orang lain.
Barangkali aku memang sama sekali tak berharga baginya. Sama sekali tak dipandangnya. Sangat boleh jadi. Aku hanya pungguk. Dia bulan purnama. Pastilah banyak lelaki lain yang mengelilinginya. Barangkali manajer di kantornya. Atau direkturnya. Ya, siapa saja, pokoknya lelaki yang punya kedudukan bagus. Bukan seperti aku, seorang penganggur yang dipecat dari pekerjaannya. Seorang muda yang ayahnya di BT-kan dari Angkatan Darat karena dituduh sebagai PKI sekaligus koruptor. Bayangkan, betapa buruknya aku. Ayahku PKI sekaligus koruptor. Bayangkan!
Dan, Joki benci pada bayangan yang menyusup ke dalam benaknya. Tiap kali mengingat hal itu, dadanya menyentak. Ulu hatinya terguncang-guncang.
Maka Joki cepat-cepat meninggalkan terminal itu. Tapi, lantas mau ke mana" Dia tak tahu harus ke mana dan apa yang harus dikerjakannya.
Sore telah digeser malam. Langit semakin kelam. Sisa cahaya merah telah kian mengabur pudar.
Joki berdiri di pinggir jalan. Di sampingnya, lalu-lintas berpacu. Mata Joki kabur mengikuti larinya kendaraan-kendaraan. Dia berdiri sendiri, di tengah-tengah kesibukan kota. Dia memeluk kemurungannya sementara penghuni kota berpacu dengan kesibukan.
Kemudian dia pergi ke Kota. Dia ingat seorang gadis yang punya mata mirip mata Widuri. Mata yang redup. Di dalam oplet yang lari terseok-seok
, dia membayangkan sepuas-puasnya wajah gadis itu. Apalagi wajah itu sedang letih dan tidur di dekat lehernya. Wajah yang kekanakan, yang terpulas oleh goncangan orgasmus.
Maka Joki tersenyum. Tetapi, dia tidak menemukan gadis itu. Pemilik rumah mengatakan, "Dia pulang ke desanya."
"Kapan kembali""
"Mungkin tak kembali. Kabarnya dia kawin." Joki mengeluh.
"Pakai yang lain saja, Oom," kata pemilik rumah itu.
Pakai yang lain" Joki menatap wajah perempuan gemuk yang berdiri di depannya. Pakai yang lain" Bah, terkutuk! Memangnya mereka pakaian!
Lalu Joki meninggalkan rumah itu. Langkahnya semakin gontai. Lenyap segala-galanya. Jika dia masih di sini, aku ingin mencintainya. Bahkan, kalau dia mau, aku bersedia mengawininya. Kabarnya dia kawin. Bah! Barangkali dia akan dipermainkan lelaki yang mengawininya itu. Padahal, jika dia kawin denganku, aku akan berusaha membahagiakannya. Aku akan cari kerja apa saja. Serabutan pun jadi. Pokoknya dia mau jadi istriku. Matanya yang redup, ah! Mata yang menunggu. Sayang, dia telah pergi.
Tapi, apakah aku berani mengawini pelacur" Ah, kenapa tidak" Toh dia juga perempuan. Mengawini wadam yang tak patut. Dia bukan wadam. Dia selamanya perempuan, kenapa tak pantas dikawini" Peduli setan dengan penilaian orang!
Maka berhari-hari Joki keluyuran di perut Kota Jakarta. Dia kehilangan pegangan. Di rumah tak kerasan, di kampus pun tak bisa menemui teman-temannya. Mereka tak pernah muncul lagi. Hanya anak-anak tingkat di bawahnya yang meramaikan kampus itu. Terkadang dia melewati bekas kantornya. Besar sekali keinginan untuk menjenguk ke dalam. Tetapi, dia khawatir hatinya akan semakin perih. Rasanya akan semakin getir meli-hat teman-teman yang sibuk mentik. Redaksi bagian kebudayaan yang mejanya di sudut ruangan tentunya akan menatapnya dengan rasa iba. Atau redaksi bidang so-sial, yang pasti akan menyodorkan rokok kepadanya. Sebab, dulu mereka sering bergurau tentang kebiasaan mereka berganti-ganti merek rokok. Ya, tergantung se-lera teman yang datang ke meja mereka.
Semuanya tentulah sedang sibuk dikejar-kejar deadline penerbitan. Kalaupun mereka mau menyapa, tentulah hanya sekadar basa-basi semata. Ya, sebab semuanya sedang sibuk. Sibuk. Sibuk. Ah, alangkah nikmatnya kesibukan!
*** Di kantornya, Widuri melengak sebab beberapa sore tak melihat lelaki itu berdiri di bawah pohon mahoni. Lima sore dia pernah ditunggu lelaki itu di bawah pohon sana. Sekarang, lelaki itu tak muncul lagi.
Sakitkah dia" Atau, barangkali dia kecil hati lantaran tak kubolehkan datang ke rumahku" Ah, ya, barangkali. Hatinya pasti tersinggung. Hati yang rapuh itu. Ah, aku sudah menyakiti hati orang yang baik. Tapi, apa mau dibilang" Bukankah itu yang terbaik" Tapi, hatinya kelewat rapuh. Hatinya kelewat peka. Hatinya, hatinya, hatinya, ah! Lebih baik begitu. Lebih baik dia tidak muncul. Tapi, matanya itu! Ah, matanya seperti mata kucing yang tak berdosa.
Dan, Widuri pun menjadi rusuh. Dia tak tahu kenapa harus memikirkan hati lelaki yang tak begitu dikenalnya itu. Tetapi, anehnya dia merasa sangat dekat dengan lelaki itu.
Akhirnya kembali juga Joki ke terminai itu. Dia ingin bertemu dengan Wawan. Burwan Wattimena, teman yang kasar tetapi hatinya baik seperti hati pastor. Hanya si Ambon yang satu itu yang diingatnya jika dia tengah dihimpit kesepian.
Joki mengawasi penumpang-penumpang yang tu-run dari bus. Sudah tiga bus dia awasi, belum juga Wawan tampak. Besar sekali harapan untuk bisa melihat seringai Wawan yang lebar, senyum yang menampilkan giginya yang putih berlatar kulit yang kehitaman. Tetapi, dia tidak muncul. Bus yang keempat datang. Bajingan, dia! Kenapa tak nampak" Biasanya, dia turun di terminal ini setiap sore. Atau berangkat dari terminal ini pagi hari. Cuma, memang lebih gampang menunggu dia kembali daripada menunggu dia berangkat.
Maka Joki duduk melengut kayak sapi di bangku panjang. Kakinya terjulur. Dia berharap sepatunya ditendang oleh Wawan seperti biasanya. Tetapi, harapan itu tak terkabul.
Orang yang melintas lalu-lalang tak mempedulikan seorang lelaki muda yang duduk melamun sepanjang sore. Ribuan
lelaki muda di Kota Jakarta ini merenung-renung. Terutama lelaki-lelaki yang memegang map lu-suh, biasanya mempergunakan terminal sebagai tempat istirahat setelah dibakar matahari selama perjalanan masuk-keluar kantor mencari pekerjaan.
Siapa yang mau mempedulikan kemurungan yang bertengger di hati orang-orang muda Kota Jakarta! Biarlah kegelisahan meroyak dalam ketidakpastian nasib.
Ada bayangan berhenti di depan Joki. Lama. Wawankah ini" Joki melirik sepatu orang yang berdiri di depannya. Bukan sepatu lelaki. Bukan sepatu lelaki, pikir Joki lagi. Dan, betis itu... ah! Alangkah halus. Kuning dan mulus.
Joki menaikkan pandang dan melihat rok warna biru tua. Dadanya bergetar. Lebih ke atas lagi dia menaik-kan pandang matanya. Blus biru muda. Jantungnya menggelepar. Dan... ah, ya, dia berdiri di situ. Widuri!
Gadis itu menatap Joki. "Eh"" Joki tergagap bangkit.
"Kok ngelamun"" kata gadis itu. Suaranya lunak.
"Ya" Ah, tidak, tidak. Baru pulang""
Rambut Widuri bergerak saat dia mengangguk.
Jantung Joki menggelepar-gelepar. Telapak kakinya panas. Dan, telapak tangannya basah. "Lama tak kelihatan. Ke mana"" tanya gadis itu. "Aku... eh, tidak..." Lelaki itu berkata terbata-bata.
Widuri menatapnya nanap. Alangkah gelap kemurungan yang tersekap di matanya, pikirnya. "Lama tak kelihatan," ulang gadis itu. "Sembilan hari. Ya"" "Sembilan hari"" Bah, kau hitung" Dan, mata Joki bersinar.
Maka Widuri melihat secercah matahari di wajah lelaki itu. Seperti langit yang nampak setelah awan disibak angin.
Rambut gadis itu menggelombang hingga bahu. Darah Joki menggelombang mengalir. Untuk beberapa ketika mereka hanya saling menatap.
"Saya kira sakit," kata Widuri.
"Ah, tidak," kata Joki.
"Lalu, kenapa tak pernah kelihatan" Sudah dapat kerja""
"Belum." "Ke mana selama ini"" "Di sini saja."
"Besok kantor saya diperiksa akuntan negara. Kabarnya pemerintah mau menambah modalnya dalamjoint venture ."
"Oh." Joki mengangguk.
"Besok saya pulang lebih awal. Jam satu kantor sudah tutup." "Ooo." Joki mengangguk. Tetapi, kemudian. "Eh"" Dia menatap gadis itu. Widuri menunduk.
"Kalau begitu, aku tunggu di sini jam satu ya" Kita jalan-jalan ya"" kata lelaki itu dengan napas terengah.
Widuri tetap menunduk. "Kalau aku tak boleh ke rumahmu, kita bisa jalan-jalan, 'kan"" Gadis itu tak menjawab.
"Aku ingin omong-omong rileks. Aku ingin omong-omong denganmu. Boleh, 'kan""
Widuri mengangkat kepala, menatap sesaat, lalu mengangguk. "Kutunggu di sini jam satu ya"" "Ya," desah gadis itu.
Dan, jantung Joki menggelepar. Sungguh-sungguh menggelepar. Belum pernah sekeras itu geleparnya.
Lalu gadis itu tersenyum, dan tersenyum lagi. Lalu masuk ke helicak. Tersenyum lagi sebelum menghilang ke perut helicak.
Tersenyumlah langit dalam remang senja. Tersnyumlah bus-bus yang bising. Tersenyumlah penjual rokok. Tersenyumlah sampah. T-e-r-s-e-n-y-u-m!
Maka Joki tersenyum sendirian. Tak tahu Wawan sudah berdiri di hadapannya.
"Wah, kok cerah benar" Sudah dapat kerja""
"Tak perlu kerja!" kata Joki dalam senyum yang tambah mekar.
"Ada apa sih""
"Tak ada apa-apa." "Kenapa kau gembira"" "Karena aku senang." "Kenapa kau senang""
"Karena hari ini bagus. Karena terminal ini teratur. Karena sopir bus berdisiplin. Karena petugas LLJR rapi berpakaian."
"Hah, gila!" "Yah!"
Wawan merengut dan meletakkan pantatnya di bangku panjang.
"Silakan ketawa-ketawa sendirian," katanya. "Tapi, nanti kau harus menghentikan tawamu kalau sudah kuceritakan problemku."
"Problem"" Senyum Joki berangsur lenyap.
"Ya. Aku sedang mengalami hendikep dalam cintaku," kata Wawan sengit. "Bagaimana, bagaimana"" tanya Joki antusias. "Aku sudah ketemu dengan babe Meinar."
"Hm. Lantas"" "Brengsek!"
"Ya, sejak lama aku tahu dia brengsek. Lantas""
"Dia bilang, dia malu kalau anaknya tidak kawin dengan sarjana. Sebab, kolega-koleganya mengawinkan anak mereka dengan sarjana."
"Bah!" "Gila enggak""
"Teramat-sangat gila!"
"Dia bilang, dia tidak mempersoalkan kekayaan. Tapi dia menghargai intelektualitas."
"Hah, taik kucing! Aku cukup kenal dengannya. Tahu betul isi kepalanya. Kenapa dia sok begitu"" kata Joki.
"Itulah," k ata Wawan sembari membanting puntung rokoknya. Sesaat keduanya diam. Tuter bus mengganggu pendengaran. "Meinar, bagaimana sikapnya"" tanya Joki kemudian.
"Baik." "Ada tanda-tanda membalas cintamu""
"Yah. Aku sudah bawa dia ke Bina Ria. Belum kuapa-apakan. Kau tahu di mana dia kucium" Di Ragunan. Di dekat kandang monyet."
Keduanya tertawa mengakak. Tetapi, sekejap saja mereka tertawa sebab Wawan kembali termangu.
"Bagaimana baiknya kulakukan""
"Terus mencintai Meinar. Kalau perlu, kerjain saja. Kalau sudah berisi, mau bilang apa si Tua
itu!" "Wah, aku takut ditembaknya."
"Ah, oom kau 'kan punya pistol juga" Biar mereka berperang. Seru tentu."
"Mana mungkin oomku mau campur tangan soal begitu! Paling-paling aku juga yang kena donder. Tentunya mereka punya solidaritas korps. Mereka sama-sama jenderal. Sejak lama Oom sewot sama aku. Dianggapnya aku merusak nama baiknya. Nama baik apa" Hah, taik!" Wawan bersungut-sungut. "Aku tak punyagodfather ," katanya lesu.
"Begini saja. Jangan pusingkan si Tua itu. Kalau anaknya mau sama kau, semuanya bisa kita bereskan. Aku akan cari akal."
"Bagaimana""
"Aku 'kan bekas wartawan" Jelek-jelek aku punya banyak relasi. Aku akan cari rahasia si Tua
itu." "Oho, Mafia-mafiaan""
"Ya. Kalau rahasianya sudah kita pegang, dia mau bilang apa" Kalau masih mau sok, kita tekan
dia." "Wah, mainblack-mail " Ah, aku takut."
"Taik lu! Cinta 'kan tidak mengenal takut."
"Kau pikir dia punya rahasia"" tanya Wawan pelan-pelan.
"Setiap manusia punya rahasia. Apalagi orang se-tua itu."
"Salah-salah kita ditangkap."
"Boleh dia coba. Asal dia mau di-belejetin."
"Rahasianya di bidang apa kira-kira. Korupsi""
"Hah! Korupsi bukan lagi jadi rahasia zaman sekarang."
"Jadi"" "Seks. Dia memang sudah tua. Tapi, aku tahu betul dia masih kuat. Padahal istrinya sudah tua. Dan, aku tahu adat orang Batak. Kalau sudah tua, soal seks itu dianggap memalukan. Aku yakin dia akan cari-cari daun muda di luar rumah. Berlagak main golf-lah. Berlagak rapat-lah."
"Kau tahu tempatnya""
"Di daerah G ini ada wisma yang biasa dipakai Bapak-Bapak. Aku pernah menemui seorang bapak ke situ. Kabarnya oomku juga sering datang ke situ. Nanti aku pinjam tustel seorang teman. Tustel mini yang sangat tajam lensanya. Bisa motret di tempat gelap tanpa blitz. Asal mata bisa menangkap, itu tustel bisa memotret."
"Jadi, kau akan memotret dia""
"Ya." "Apa mungkin""
"Kenapa tidak" Aku sudah kenal dengan pemilik wisma itu. Tentu saja tidak setahu oomku aku memotret. Pokoknya serahkan padaku. Kau tahu beres."
"Andai berhasil dipotret, lantas bagaimana""
"Aku ancam dia. Akan kutunjukkan potret itu pada istrinya. Pasti dia kalang-kabut. Dalam adat Batak, orang takut sekali rame-rame dalam rumah tangga. Apalagi kalau sudah tua. Nah, aku akan tekan dia agar tidak menghalangi kau mengawini Meinar. Sip, 'kan""
Wajah Wawan mulai bersinar. Dia mengetuk-ngetuk lututnya.
*** Ternyata lelaki itu tidak menunggu di terminal. Ketika Widuri melihat ke luar lewat jendela kantornya, lelaki itu nampak di bawah pohon di pinggir jalan. Andainya pohon tempat dia bersandar itu tidak berakar kuat, tentu sudah doyong sejak tadi.
Di dekat kaki Joki berserakan empat puntung rokok kretek. Tak tahu entah sejak pukul berapa dia berada di situ. Yang jelas, Joki merasa menit demi menit berla-lu terlalu lambat.
Sesekali dia melontarkan pandang ke kantor Widuri. Matahari malas sekali beringsut.
Akhirnya dia mau juga, pikir Joki. Akhirnya dia cair juga. Kebekuan itu akhirnya berakhir juga. Dan, Joki ingat bagaimana gadis itu tertunduk di pelataran terminal. Gadis itu menggigit bibir setelah berkata, "Besok saya pulang lebih awal. Pukul satu kantor sudah tutup."
Ah, alangkah lamanya waktu bergerak. Alangkah banyaknya semut di sini. Alangkah bisingnya tuter bus. Alangkah brengseknya knalpot motor anak-anak muda. Alangkah, alangkah, dan alangkah.
Cuma, apalah artinya itu semua dibandingkan dengan kesediaan Widuri untuk berjalan-jalan denganku siang dan sore ini! Bayangkan! Sepanjang siang dan sore hari, berada di dekat gadis bersuara lembut itu. Bayangkan!
Aku akan berusaha sebaik mungkin agar
dia merasa senang selama berada di dekatku. Harus aku usahakan agar kemurungan di matanya tersibak. Dengan menyibak kemurungannya, bukankah berarti akan menghilang-kan kemurunganku pula"
Maka Joki menghela napas dalam-dalam, dan menganggap kesialan yang melibatnya hari-hari belakangan ini sama sekali tidak ada artinya. Tak perlu lagi meratapi nasib malang jika gadis lembut itu bisa kutarik dari libatan kesepiannya!
Joki mengangkat kepala, dan gadis itu telah berada di depannya.
Bibir Widuri terkuak, mau mengucapkan sesuatu, tetapi tak ada suara. Barangkali dia bilang 'Hai', atau 'Hallo', atau 'Joki', atau 'Sayang', atau apa saja untuk menyalami.
Gadis itu tidak memakai baju biru muda seperti bia-sanya. Blusnya berwarna kuning telur, dan yurk-nya ber-warna coklat. Dan, tidak kelihatan murung seperti bia-sanya pula. Cuma, tetap malu-malu. Warna kuning dan coklat membuat hari lebih cerah dari hari kapan pun yang pernah dihuni Joki di dunia ini.
"Ke mana kita"" kata gadis itu. Suaranya berdesah. Seperti suara Iin Parlina Bimbo.
"Ke mana kau ingin""
Widuri menggeleng. "Terserah," katanya kemudian.
"Aku ingin ke pantai," kata Joki.
Mata gadis itu menyala sekejap.
"Kau suka"" lanjut Joki.
Gadis itu mengangguk cepat.
"Kau sudah ke Cilincing"" Gadis itu menggeleng.
"Saya belum ke mana-mana selama di Jakarta ini." katanya.
"Agak jauh. Tapi, tempat itu sudah dilupakan orang-orang Jakarta. Orang-orang lebih senang ke Bina Ria. Pantai itu tidak murni. Cilincing, memang jalan ke sana jelek, tapi itulah pantai di Jakarta yang paling asli. Di sana sisa Betawi bisa dijumpai." "Ayolah ke sana," kata Widuri.
"Jalannya jelek."
"Tidak apa-apa."
Mereka melangkah. "Saya senang melihat laut," kata Widuri. "Sewaktu di Yogya duiu, hanya beberapa kali saya ke Pantai Parangtritis. Tapi, laut di sana ombaknya keras."
"Waktu di daerahku, aku sering ke Pantai Cermin. Pantainya landai," kata Joki. "Pantai Cermin" Dekat Medan ya" Kau berasal dari Medan""
"Ya. Kau" Asli Yogya""
"Tidak. Orang tua saya dari Magelang. Tapi, masih masuk desa. Jauh dari kota." "Orang tuamu masih di situ"" "Tidak." Suara gadis itu mengambang. "Orang tuamu masih lengkap""
"Tidak ada lagi. Ibu saya meninggal waktu saya masih kecil. Bapak meninggal setahun yang
lalu." "Ooo," kata Joki dengan suara lunak, mengimbangi murungnya suara Widuri.
Mereka duduk di dalam bus yang tidak berdesakan penumpangnya. Kondektur bus berpakaian rapi. Seragam yang bersih. Sopirnya pun halus dalam mengemudikan bus. Sementara itu, jalan yang ditempuh mulus bagai papan tulis di depan kelas.


Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nanti kita masih naik oplet," kata Joki.
Widuri tak menjawab. Angin dari jendela bus mengibar-ngibarkan rambutnya. Mereka melewati jalan yang di kiri-kanannya berdiri gedung-gedung pencakar langit.
"Perhatikanlah bangunan-bangunan megah itu. Nanti bandingkan dengan gubuk-gubuk reyot rakyat Cilincing sana," kata Joki.
"Gubuk reyot""
"Ya, reyot. Berdinding gedek yang bocor, beratap rumbia tua. Bandingkanlah nanti, bagaimana kontrasnya kehidupan kota yang akan kita tinggalkan dengan kampung nelayan yang akan kita
lihat." "Kau sering ke sana""
"Sering. Kalau pikiran ruwet, biasanya aku pergi ke kampung-kampung miskin." "Ngapain di situ""
"Tak ngapa-ngapain. Soalnya, aku sering tertekan batin. Waktu jadi wartawan dulu, dalam menjalankan tugas, aku naik motor inventaris kantor. Sering hampir terserempet mobil-mobil luks. Dan, sering berurusan dengan orang-orang gede. Melihat kemewahan mereka, hatiku jadi gampang terbakar. Aku menyesali nasibku, kenapa harus sekonyol itu. Kadang-kadang ada hasutan dalam diriku agar aku mencari uang sebanyak-banyaknya. Jalan untuk itu tidak sulit. Sebagai wartawan, aku bisa mendapatkan uang secara gampang, kalau aku mau. Kau pernah dengar istilah Wartawan Amplop""
Widuri menyangguk seraya menoleh.
"Nah, itulah godaan yang paling besar. Tapi, jika godaan itu semakin kuat datangnya, aku biasanya lantas lari ke kampung-kampung nelayan atau petani miskin. Dan, godaan setan itu pun reda. Sebab, kemudian aku malu pada diriku sendiri setelah melihat penderitaan orang-orang miskin itu. Ternyata hid
upku masih lebih senang dibandingkan mereka. Gaji yang kuterima dari kantorku ternyata masih membuat kehidupanku lebih layak sebagai manusia. Jika aku hanya memikirkan kesenangan diriku, sedang ribuan bahkan jutaan manusia lain terbungkuk-bungkuk memikul beban penderitaan, manusia macam apa aku ini" Apa artinya diriku sebagai orang muda jika nyatanya melupakan nasib orang-orang yang sengsara itu" Ya, sebab kesengsaraan itu bukan sebab lantaran mereka malas. Lebih dari itu, lantaran nasib mereka yang malang. Mereka sengsara karena mereka dilupakan di negeri ini."
"Ya," kata Widuri. "Di desa saya juga banyak petani miskin."
"Kadang-kadang kita terlalu memikirkan yang besar-besar di negeri ini, sedangkan melupakan orang-orang kecil."
"Ya," kata gadis itu lagi.
"Tapi... ah, kenapa ngomong serius begini"" kata Joki sembari tertawa. Widuri pun tertawa.
"Lebih baik ngomong tentang dirimu," kata Joki. "Atau tentang dirimu"" kata Widuri.
"Tentang aku sudah tadi, 'kan" Pokoknya aku kacau-balau." "Saya juga."
Beberapa helai rambut gadis itu mengelus-elus leher Joki. Maka lelaki itu berterima kasih kepada angin yang menerpa-nerpa. Parfum Widuri menyelinap-nyelinap keharumannya ke hidung Joki.
"Kenapa kau diberhentikan dari kantormu"" tanya gadis itu tiba-tiba.
Joki menatap ke luar melalui jendela oplet yang berjalan di tanah berbatu.
"Dianggap terlalu banyak ikut ambil bagian dalam demonstrasi-demonstrasi mahasiswa." kata lelaki itu hambar.
"Kau masih kuliah""
"Yah, tapi sambilan."
Widuri tersenyum samar. Lantas dia menatap pucuk-pucuk pohon kelapa. Bau lumpur pantai mulai tercium. Mata gadis itu nanap, ke kejauhan. Ke masa lampau. Ke kehidupan kampus yang sudah tertinggal. Ke kehidupan yang manis sekaligus getir.
Tubuh oplet yang tua itu terlonjak-lonjak.
Mereka melintasi gerumbulan-gerumbulan pohon nipah. Kilau permukaan laut mengerdip-ngerdip. Mereka berjalan di bawah pohon-pohon kelapa. Sepatu Widuri terbenam dalam pasir. Langkahnya berat. Lantas Joki memegang tangannya. Tangan gadis itu lunak. Halus. Hangat.
Mereka menyusuri pantai. Lidah laut menjilat-jilat ke dekat kaki mereka. Joki menendang-nendang sarung siput laut.
"Desa saya jauh di pedalaman," kata Widuri.
Joki menjawab dengan gumaman. Telapak tangan gadis itu nyaman di telapak tangannya. Dan, kenyamanan itu mengkilik-kilik lekuk hati Joki, membuat dadanya berdeburan, dan jantung gemetaran.
Widuri pun merasakan hal serupa. Malahan lebih keras lagi. Tak pernah dia mengalami saat-saat seperti ini. Masa lalunya berjalan dalam sepi. Masa remajanya selalu diisi oleh keragu-raguan. Tak pernah dia tahu betapa hangat telapak tangan lelaki. Alangkah dingin masa lalu. Mengenang masa lalunya, Widuri merasa bagai ma-suk ke dalam ruangan yang lembab, tanpa hawa, dan kelam.
Alangkah terlambatnya, keluh gadis itu diam-diam. Alangkah lambat tibanya saat-saat seperti ini. Tapi, apakah memang benar terlambat"
Maka Widuri menarik napas sepenuh dada. Dan, dadanya yang menyekap keluhan itu terasa sesak. Dia menoleh ke arah lelaki di sampingnya. Lelaki itu berbuat hal serupa sehingga Widuri cepat-cepat menatap pasir.
"Ada apa"" Lelaki itu memijit jari Widuri.
"Ah, tidak," jawab Widuri.
"Ada yang kau pikirkan""
"Ah, tidak." Mereka bertatapan. Oh, jangan pandang begitu! Mata lelaki itu menghunjam dengan pandangan nanap. Oh, Jangan menatap begitu!
Widuri cepat-cepat mengawasi sepatunya. Pasir beserpihan tertendang ujung sepatu. Mereka meninggalkan jejak yang memanjang di belakang mereka.
"Aku haus," kata Joki. "Ayo, kita cari minuman." Gadis itu tak menjawab.
Matahari membuat permukaan laut berkilauan. Pasir yang putih pun mengkilat. Mereka melintasi nelayan-nelayan yang sedang memperbaiki jaring. Anak-anak kecil berlarian tanpa baju. Ada yang sama sekali telanjang.
"Apa yang sebenarnya aku lakukan ini"" kata hati Widuri. "Aku ingin jauh dari lelaki ini, tetapi aku merasa senang berada di dekatnya. Apa sebenarnya yang terjadi dalam diriku" Aku senang melihat matanya yang tidak lagi semurung pertama kali dia kulihat" Ya, mata itu tidak selayu
dulu." Lantas Widuri ingat pada lelaki dari masa lamp
aunya. Andainya hati lelaki itu dapat kusibak, pikirnya. Barangkali takkan terjadi kegetiran yang menghimpitku selama ini. Andainya lelaki dari masa lampau itu tahu hatiku, tentulah matanya tak semurung itu bila menatapku pada hari-hari yang kami lalui di Kampus Gadjah Mada.
Maka gadis itu melibat mata Joki, bayangan lelaki yang pernah singgah di hatinya. Ya, ampun, alangkah membingungkan kenyataan ini.
Dan, Widuri semakin takut jika Joki semakin masuk ke hatinya. Dia takut jika Joki semakin dekat pada kesepiannya. Dia ingin jauh, ingin jauh. Tetapi, ya ampun, dia tak kuasa untuk mengatakan itu kepada dirinya sendiri. Sebab:
Sore berikutnya, Joki telah menunggunya lagi di dekat kantornya. Lalu mereka minum di kafe kecil di Kebayoran Baru. Tak kuasa Widuri menolak sebab dia pun ingin menatap mata lelaki itu. Menatapnya walau kemudian dia harus tertunduk begitu menerima hunjaman pandangan lelaki itu.
Dan, mereka berpisah di terminal, di celah kesibukan warga kota.
Dan, esok sorenya lagi Joki telah tegak di bawah pohon itu. Tetapi, Widuri berharap tidak melihat lelaki itu. Tetapi, kemudian, dia senang bertemu lelaki itu.
Di terminal mereka berpisah. Perpisahan yang semakin tidak nyaman. Ingin rasanya waktu yang mereka pakai bersama terulur lebih lama.
Ah, ini berbahaya. Ini berbahaya. Ini berbahaya. Berbahaya! Berbahaya! Berbahaya! Tetapi, tak kuasa gadis itu mencegah dirinya agar tidak merasa senang bertemu dengan Joki.
Dia bernama Joki Tobing. Seorang bekas wartawan. Lantas, apa lagi" Pasti Widuri tahu maksud lelaki itu. Sebagai gadis dewasa, pasti Widuri tahu makna tatapan lelaki itu. Tetapi, kenapa tak di-tampik"
Sepimu, Widuri, adalah sepi pasir kering dalam menunggu tetesan hujan. Sepimu, Widuri, adalah sepi perempuan yang bertahun-tahun merindukan cinta seorang lelaki. Sepimu, Widuri, adalah sepi gadis remaja yang tak pernah sempat bercinta. Sepimu, Widuri, adalah sepi perempuan yang beranjak tua tanpa pernah menikmati manisnya cinta. Sepimu, Widuri, adalah sepi perempuan yang selalu bertanya-tanya bagaimana rasanya tubuh lelaki yang kau cintai.
Ah! Maka Widuri mengawasi tubuh jangkung lelaki itu. Tubuh yang tinggi. Dan, mulutnya berwarna coklat-ungu. Pastilah berbau rokok. Bau khas seorang jantan.
Joki pun mengawasi gadis itu. Tidak seperti biasa, gadis itu tidak mengenakan baju untuk ke kantor.
Mereka bertemu di terminal itu. Ini perjanjian. Pada Sabtu sore yang cerah, mereka janji bertemu setelah Widuri lebih dulu pulang ke rumah. Setelah Widuri berganti pakaian. Lalu mereka akan pergi. Terminal itu hanya sebagai tempat berpisah dan bertemu. Sekarang mereka bertemu setelah sepanjang malam dan sepanjang siang keduanya gelisah.
Bagi Widuri, pada usianya yang mendekati dua puluh tujuh tahun itu, sesungguhnya sore itu merupakan kencan pertamanya dengan lelaki. Alangkah mendebarkan!
Mereka pergi ke TIM. Ada pementasan dramanya Putu Wijaya.
Botak planetarium cemerlang ditimpa cahaya lampu.
"Pementasan masih lama," kata Joki. "Bagaimana kalau kita melihat planet-planet dulu"" "Ya, saya juga kepingin melihat. Saya belum pernah masuk ke dalam."
Bintang-bintang melintas di atas mereka. Suara operator yang menjelaskan planet-planet yang diproyeksikan, tak menarik perhatian Joki. Bukan lantaran dia sudah kerap melihat, melainkan lantaran dadanya berdebar-debar. Tangannya hangat menggenggam telapak tangan gadis itu. Rambut gadis itu menempel di pipi Joki sebab kepala mereka rapat berendeng. Rambut gadis yang harum, bedak yang wangi, membuat jantung lelaki itu meloncat-loncat.
Widuri pun mengalami hal yang sama. Telapak kakinya panas. Darahnya mengalir menyentak-nyentak. Berdesir-desir darah yang panas itu. Lebih-lebih ketika napas lelaki itu hangat meniup lehernya. Dan, pipi mereka bergesekan. Dada gadis itu terperangah.
"Aku kepingin menciummu, tapi aku khawatir rambutmu kusut," bisik Joki.
Terperangah, dan terperangah. Dada gadis itu seakan meluap. Tetapi, dia membisu. Napas lelaki itu hangat meniup pipinya. Wajah lelaki itu bergeser. Joki merasa telapak kakinya bagai digelitik. Widuri merasa bulu romanya meremang.
Oh, mulut lelaki itu menempel di bibir Widuri. Widuri merasakan kehangatan bibir lelaki itu. Mulut lelaki itu mengisap bibirnya. Widuri membalasnya. Mula-mula ragu, tetapi kemudian kuat pula isapannya manakala langit cekung berwarna kelam. Ruangan itu gelap-gulita.
Angin menggoyang daun pohon Palma di Plaza TIM. Widuri masih merasakan sisa-sisa gemetar tubuhnya ketika mereka berjalan di antara pohon-pohon itu. Dia berjalan sambil menekuri sepatunya. Tak berani dia menatap lelaki yang berjalan di sampingnya. Joki menggenggam jemari gadis itu erat-erat.
Ciuman yang pertama yang datang dari lelaki yang aku ingin dia menciumku, pikir Widuri. Kehangatan pertama yang diterima bibirku pada usiaku yang mulai me-rambati senja. Pada senja usiaku. Tidakkah ini terlambat"
Mereka menonton Grup Drama Putu Wijaya. Lakon-nya bagus. Tetapi Joki masih mengenang-ngenang bibir gadis yang duduk di sisinya. Betapa hangat. Betapa manis. Betapa harum. Betapa kenyal.
Mereka berjalan memijak rumput. Di antara rumpun bunga di dekat Sanggar TIM, Joki menahan langkah gadis itu. Mereka berhenti. Maka Widuri tengadah menatap. Lalu Joki menciumnya.
Bulan bergayut di langit. Sinarnya yang kuning menghampar di tanah. Tetapi, keduanya terlindung oleh kerindangan pohon. Tubuh gadis itu gemetar dalam rangkulan Joki. Tubuh lelaki itu menggigil dalam pelukan Widuri. Rambut gadis itu mengelus wajah lelaki itu.
Semula Widuri ingin berpisah di terminal seperti biasanya, tetapi, "Itu tidak pantas," kata Joki. "Biarlah aku antar kau ke rumahmu."
"Oh, jangan!" kata Widuri terengah.
Joki tak mau merusak keindahan malam itu. Maka katanya, "Baiklah. Aku antar sampai mulut gang tempat kau tinggal. Ya""
Gadis itu mengangguk. Joki merangkul bahunya, melindungi gadis itu dari angin yang meniup giris.
*** "Beberapa kali kami datang ke sini. Kau tak pernah di rumah ini."
Dan, Joki terpaku. Di depannya, berdiri ibunya, ditemani Monang, abang Meinar.
"Kapan Mama datang"" tanya Joki terbata-bata. Dia mengusap-usap matanya.
"Sudah sepuluh hari."
"Di mana tinggal""
"Di mana lagi" Tentu saja di rumah tulangmu, Sahala," kata perempuan tua itu. Joki mengawasi Monang yang duduk merokok.
"Sulit sekali mencari alamatmu. Untung Monang kebetulan datang dari Bandung. Kalau tidak, sampai kiamat pun alamatmu tak akan bisa Mama cari."
Joki membisu. "Keadaan kita sudah berubah," lanjut ibunya. "Maksud Mama"" Joki mengangkat kepala.
"Papa sudah direhabilitir. Tak ada cukup alasan un-tuk menganggap dia terlibat PKI."
"Hm." Joki bergumam.
"Kekayaan kita pun telah dikembalikan."
Joki memandang muka ibunya yang berseri-seri.
"Untuk itu Mama datang ke Jakarta ini, untuk mengucapkan terima kasih kepada teman-teman papamu yang telah membantu melepaskannya dari tuduhan itu."
"Sambil membawa upeti"" kata Joki.
Ibunya menatapnya tajam-tajam. Kemudian perempuan tua itu mengedarkan pandangan ke seputar ruangan. Rumah itu berperabot sederhana. Dindingnya papan, dan kapurnya sudah mulai lepas.
"Kebetulan sekali kebun-kebun kita dikembalikan, sebab harga cengkeh sekarang sedang naik," kata ibunya.
Joki tetap tak acuh. Entah kenapa, tak sekelumit pun rasa senang melintas di hatinya. Tak tahu kenapa, dia tak tergugah oleh pertemuan itu. Kedatangan ibunya sama sekali tidak mendatangkan kegirangan. Cuma kaget, itu saja.
Biar harga cengkeh naik, peduli apa" Biar saham di perkebunan kelapa sawit sekarang bernilai tinggi, peduli apa" Toh, semua itu hasil dari korupsi! Toh, karena kemualanku pada setiap tindakan penyelewengan yang menyebabkan aku bersemangat menulis berita-berita demonstrasi mahasiswa. Toh, karena itu semua aku mengalami kesengsaraan ini. Toh, karena itu semua pintu terhempas di depan hidungku, di rumah Tulang Sahala itu.
Lantas Joki melirik Monang. Lelaki muda itu sedang menatap gambar peragawati di kalender. Dan, Joki ingat foto-foto yang tersimpan di laci mejanya. Dan, dia ingat Tulang Sahala.
Sebentar lagi kau akan terpukul hancur, pikirnya. Joki melirik Monang lagi. Bagaimana pendapatnya jika melihat foto-foto itu"
"Bagaimana keadaanmu sekarang""
Ha" Baru sekarang ditanyakan" Mama lebih ingat untuk men
ceritakan harta yang sudah dikembalikan itu rupanya.
"Baik-baik saja," jawab Joki datar.
"Kau tak pernah ke rumah tulang-mu""
"Sudah lama tak ke sana."
"Tulang-mu sudah menceritakan semuanya."
"Ooo," kata Joki bernada tak acuh.
"Mama harap kau mau mengerti apa yang diharapkannya. Jangan membuat gara-gara yang menyulitkan dirimu sendiri."
"He-eh," kata Joki tetap tak acuh.
"Lebih baik kerja yang menghasilkan uang. Kau harus memikirkan masa depanmu." Joki tak bereaksi.
"Nah, Mama mau pergi dulu. Datang nanti sore ke rumah Tulang Sahala. Banyak yang mau Mama bicarakan."
"Sore ini nggak bisa."
"Kenapa"" "Ada kerja." "Kau sudah dapat kerja"" "Maksudku, ada urusan." "Kalau begitu, besok sore." "Sore nggak bisa," ulang Joki. "Jadi, kapan kau bisa"" "Kapan-kapan saja."
Ibunya menatap tajam wajah Joki. Tatapan sembilu. "Jangan kurang ajar, Joki. Kau harus datang ke rumah tulangmu!" katanya tandas.
"Aku belum punya waktu."
"Itu bukan alasan! Kau belum punya pekerjaan sekarang!"
"Apa orang yang tak punya pekerjaan lantas dianggap tak punya urusan"" kata Joki datar.
"Bagaimanapun kau harus datang ke rumah tulangmu! Kau harus minta maaf kepadanya. Jangan melanggar adat!"
"Kenapa harus minta maaf""
"Kau menyakiti hatinya. Kau menuduh dia korup-tor. Apakah itu pantas" Pada tulang-mu sendiri, adik ibu-mu, kau bilang begitu! Kekurangajaran apa lagi yang bisa menandingi itu""
"Karena dia bilang, aku membawa penyakit ke dalam rumahnya. Karena dia bilang, aku orang berbahaya."
"Apa pun yang dibilangnya, itu pasti benar sebab dia tulang-mu! Kau tak boleh melawan tulang. Tahu""
Joki menggigit bibir. "Sejak kecil kau berandalan. Melawan Papa, melawan guru. Sekarang kau melawan tulang, orang yang harus paling kau hormati secara adat. Kalau dia pun tak kau hargai, siapa lagi yang patut kau hormati di dunia ini""
"Aku hanya akan menghormati orang yang jujur. Bukan koruptor seperti Papa. Bukan guru yang bisa disuap agar aku bisa naik kelas. Atau, bukan tulang yang hanya bisa mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya itu."
"Tiap orang harus memikirkan masa depannya. Kau juga harus mengumpulkan kekayaan untuk jaminan hari tuamu, untuk anak-anakmu, kalau bisa malah untuk cucu-cucumu."
"Kalau mau kaya, jadilah pedagang. Bukan jadi pegawai pemerintah, bukan jadi guru!"
"Sudah! Kau merasa pintar sekarang. Pokoknya kau harus datang ke rumah tulang. Kalau tidak, kau tak kuanggap anakku lagi! Paham""
Sekejap Joki menatap ibunya. Hm, mulai keluar sifatnya yang otoriter, pikirnya. Sifat yang membuat suami tidak berkutik di rumah, tetapi binal di luar rumah.
Leher Joki bersimbah peluh. Di dalam bus itu udara begitu pengap. Dia di dalam bus yang menuju Grogol. Kampus Trisakti sudah dilewatinya. Apakah Pataniari, tokoh mahasiswa itu, masih kuliah di sini ya" Lama tak bertemu dengan tokoh-tokoh mahasiswa. Hari demi hari asyik memikirkan gadis bermata teduh: Widuri! Gadis berwajah selembut kain sutera.
Joki turun sebelum terminal. Dia ke rumah Wawan. Matahari membakar ubun-ubunnya. Sesekali dia meraba amplop dalam saku bajunya. Berisi foto-foto. Dia langsung masuk ke kamar Wawan begitu pintu dibukakan oleh pelayan.
Wawan sedang memperbaiki amplifier yang baru dihubungkannya dengan speaker.
Kendati rumah itu pakai AC, rupanya tak cukup kuat mengantar dinginnya ke kamar yang centang-prenang itu.
"Apanya yang rusak""
"Ah, enggak. Aku cuma bikin eksperimen. Aku mau bikin lampu kayak disko. Yang bisa mati berdasarkan alunan musik," jawab Wawan.
"Kau malah tak bisa belajar nanti."
"Alaaah, belajar 'kan soal gampang. Itu cuma soal kemauan. Di mana ada nafsu, di situ ada kemauan. Ada kemauan, bisa belajar. Iya to""
"Tapi, kalau kau, di mana ada nafsu, di situ ada birahi!" kata Joki.
Wawan tertawa mengakak. "Tumben lu nongol. Ada info""
"Yah," kata Joki sembari menyodorkan amplop yang dibawanya. Wawan cepat-cepat membuka. Lalu terlompat.
"Wow!" Matanya membelalak mengamati foto-foto itu satu persatu. Kemudian, "Lantas"" tanyanya.
"Aku akan ke rumahnya. Kau masih sering ketemu Meinar""
"Ya." "Bagus. Sudah pakai cinta-cinta"" "Sudah, tapi belum bicara soal kawin."
"Itu urusan b elakang. Pokoknya dia mau membalas cinta kau. Iya to""
Wawan mengangguk-angguk. Beberapa saat mereka berdua mengamati foto-foto itu lagi.
"Tapi, hatiku agak kecut, Jok. Ngeri menghadap bapaknya," kata Wawan kemudian.
"Karena itu biar aku yang maju perang. Aku kepingin tahu, mau bikin apa dia pada diriku. Aku kepingin membuat dia KO."
"Okelah. Mudah-mudahan berhasil. Aku cuma bisa menunggu saja."
"Oke." Lantas Joki beranjak. Genderang perang akan terdengar, pikirnya. Ingin kulihat bagaimana wajah si Tua itu jika melihat foto-foto ini. Ingin kulihat kegarangannya yang menakutkan slagorde bawahannya. Ingin kulihat apakah julukannya Harimau Revolusi itu masih layak melekat pada dirinya. Ingin kulihat apakah wibawanya sebagai tulang masih akan dimilikinya nanti. Ingin kulihat apakah Tulang Sahala cukup tangguh menghadapi pertempuran ini.
Begitulah. Peperangan itu sebetulnya bukan semata-mata un-tuk kepentingan Burwan Wattimena, melainkan lebih merupakan perang antara seorang bere yang sakit hati terhadap tulangnya. Perang antara kemenakan dengan pamannya. Ini adalah pemberontakan seorang muda terhadap orang tua. Wawan dan Meinar hanyalah peluang yang tersedia, tak lebih.
Sebentar lagi kantor tutup. Joki melirik jam dinding dan kembali dia menoleh pada portir di dekat pintu. Dan portir itu memberikan isyarat.
Joki memenuhi dadanya dengan udara sebelum melangkah masuk ke ruang kerja pamannya. Tulang Sahala menatapnya penuh tanda tanya.
"Horas!" kata Joki tanpa nada menghormat.
Alis lelaki tua yang duduk di belakang meja mengkilat itu terangkat.
Sebelum dipersilakan, Joki telah duduk di depan le-laki tua itu, dan berkata dalam bahasa Batak, "Aku ingin bicara empat mata."
Tulang Sahala menatapnya untuk beberapa saat. Lalu memberikan isyarat kepada pembantu pribadinya yang duduk di pojok ruangan agar keluar. Pembantu pribadi itu keluar tanpa menimbulkan suara.
"Ada apa"" tanya Tulang Sahala dalam bahasa Ba-tak pula. "Tentang Wawan. Burwan Wattimena." "Hm"" Mata Tulang Sahala mengerjap. "Aku mewakilinya untuk melamar Meinar."
Tulang Sahala terperangah. Dia menyandarkan tubuhnya yang gemuk ke sandaran kursi.
"Apa-apaan ini" Siapamu dia""
Mereka tetap menggunakan bahasa daerah mereka.
"Dia temanku." Dan, tawa Tulang Sahala meledak. Perutnya terguncang-guncang. Joki tetap mengawasinya dengan pandangan dingin. Seperti gaya Don Corleone ketika menghadapi musuh. Ini memang perang mafia, pikirnya. Dia membiarkan tawa pertama pamannya itu meledak-ledak. Tawa pertama itu akan ditutup dengan ratapan panjang. Dan, ratapan pertama akan diakhiri dengan tawa lama.
Maka Joki menyalakan kreteknya dengan sikap tak acuh.
"Adat apa yang kaupakai ini" Kau melamar ke tulang-mu untuk orang lain" Wah, wah, wah!" Tulang Sahala berkata di sela tawanya.
"Ini adat zaman modern. Kota Jakarta ini membuat kita harus menggunakan adat seperti ini."
"Tidak." Joki tersenyum. "Jangan terlampau gampang menolak, Tulang," katanya.
"Kubilang 'tidak'! Apa yang sudah kau sampaikan padanya, pada... siapa namanya" Ah, tak soal siapa namanya. Adat akan berlaku sampai kapan pun."
"Mereka saling mencintai."
"Huh!" Tulang Sahala cuma mendengus.
"Lebih baik Tulang menerimanya. Sebab, kalau tidak, akan sulit sendiri Tulang." "Bah! Kau mengancam""
"Siapa pula yang berani mengancam orang seperti Tulang"" Joki menyandarkan tubuhnya pula sehingga mereka berhadapan seperti Mohammad Ali dengan George Foreman.
Inilah lelaki yang mengusirku dari rumahnya tatkala aku tercampak dari pekerjaanku, pikir Joki. Inilah lelaki yang menghempaskan pintu di depan hidungku tatkala aku tak bisa diharapkan menulis yang baik untuk peru-sahaannya di koranku. Inilah lelaki yang menganggap diriku hanya obyek yang bisa dimanfaatkan untuk ke-pentingannya.
"Aku tak mau bicara panjang-lebar," kata Joki. "Tapi, sebelum aku ketemu dengan Nantulang, lebih baik Tulang mengubah sikap."
"Bah! Tak perlu dibawa-bawa Nantulang dalam persoalan ini! Sikapku sudah jelas, aku tak setuju Meinar berhubungan dengan lelaki itu. Jelas""
Joki tertawa kecil. "Bagaimanapun urusan ini akan sampai pada Nantulang, sebab satu tempo a
ku akan menemuinya." Lalu Joki berdiri, mengeluarkan amplop dari kantongnya, dan menyodorkan ke hadapan tulang-nya. "Silakan periksa. Aku masih menyimpan negatifnya. Aku tak tahu apa yang akan terjadi kalau foto-foto itu sampai pada Nan-tulang. Apalagi kalau yang menyampaikan bere-nya sendiri."
Tulang Sahala kebingungan. Dia mengawasi amplop yang menggeletak di meja.
"Horas, Tulang," kata Joki, tetap dalam nada tak menghormat. Dia melangkah ke luar tanpa menoleh lagi.
Selesai. Apakah dia masih punya pertahanan lagi" Joki bersiul-siul sambil melambaikan tangan menyalami portir.
Kalau ingin melihat tubuh besar yang loyo, silakan masuk ke dalam, pikirnya dalam bahasa Indonesia.
Inilah peperangan orang Italia-nya Indonesia, kata hati Joki. Dia tulang-ku, tapi bukan godfather-ku. Aku tak perlu membungkuk-bungkuk menghormatinya. Seorang tulang akan dipuja hanya jika dia bersikap sebagai godfather terhadap bere-nya. Kalau tidak, biarlah darah Sisilia Daratan Toba yang ada dalam tubuhku bahkan dapat menghancurkannya! Jika seseorang yang tidak punya hubungan darah denganku berbuat kejam terhadapku, itu bisa aku maklumi. Tetapi, jika seseorang itu masih dialiri darah yang sama namun berbuat kejam terhadapku, itu tak dapat kuampuni. Dia harus dihan-curkan! Harus! Harus! Agar leluhur tahu bahwa aku telah berjuang sebagaimana layaknya lelaki sejati! Aku mewakili leluhur untuk memberikan hajaran buat keturunan yang berbuat nista. Harus dihancurkan kesombong-annya itu!
Lantas Joki Tobing menyibak rambut yang menutupi keningnya. Rambut itu basah oleh peluh. Lalu dia melompat ke dalam bus yang kondekturnya berteriak. "Garogol! Garogol! Garogol!"
Kondektur mengisyaratkan kepada Joki bahwa masih ada kursi kosong di belakang. Joki duduk di samping lelaki yang berbau brut dan deodoran. Joki mem-bayangkan bagaimana cerahnya wajah Wawan nanti. Barangkaii secerah wajahku, pikirnya.
Ya, siang itu terasa cerah kendati matahari tak alang-kepalang teriknya. Dan, hawa di rumah Wawan nyaman. Lagu Trio Golden Heart dari kamar Wawan menyusup-nyusup lunak. Nyanyian Batak. Ah, sejak kapan si Ambon ini senang lagu-lagu Batak"
Joki menerobos masuk. Dan... uf! Joki menghentikan langkahnya. Dia berdehem. Tetapi, suaranya ditelan Trio Golden Heart. Maka dikecilkannya volume kaset.
Kepala Wawan berputar. Dia menyeringai. Lalu kepala Meinar menjauh. Dia tersipu sambil merapikan rambutnya.
"Sorry ya"" kata Joki sembari membuka tutup botol Coca-cola.
Meinar menyodorkan pipet, tetapi Joki menggeleng. Dia minum langsung dari mulut botol. Matanya tajam memperhatikan wajah Meinar sehingga membuat gadis itu tersipu.
"Tambah cakep kau," kata Joki.
"Ah, cakep kepalamu!" kata Meinar dongkol.
"Bagaimana, Jok"" tanya Wawan.
"Beres." "Apa"" tanya Meinar. "Tak apa-apa," jawab Joki.
"Apa, Wan""
"Tak apa-apa." "Ah!" Bahu Meinar merentak.
"Akan kita lihat hasilnya dalam beberapa hari ini," kata Joki. "Estimasimu bagaimana""
"Kita akan berhasil. Dia terpukul. Tak ada lagi halangan bagi kalian."
"Apa sih"" Meinar agak merajuk.
"Kalian tak usah lagi takut sama papamu."
Kelopak mata Meinar terangkat.
"Dia sudah setuju hubungan kalian."
"Bagaimana kau tahu"" tanya gadis itu.
"Itu bukan urusanmu. Pokoknya, dia tidak akan menghalangi kalian mulai hari ini."
"Sungguh""
Joki menelengkan kepala seraya menghirup Coca-colanya.
Wawan mempergosokkan kedua belah telapak tangannya. Matanya berpindah-pindah dari Joki ke Meinar.
Gadis itu mengawasi Joki. Dia berusaha bisa menemukan rahasia yang tersimpan di balik mata lelaki itu. Tetapi, Joki tetap tak acuh.
"Pokoknya kau tak perlu lagi takut pada papa Meinar," kata Joki kepada Wawan.
Wawan mengangguk. Ludah di kerongkongannya terasa seret. Lalu dia menyandarkan badan ke sandaran kursi.
Batu telah tergeser. Silakan lewat, kata hati Joki. Bukan hanya karena kau sahabatku, Wawan, jika kulakukan ini semua, melainkan karena aku ingin memukul si Tua Sahala itu. Barangkali, karena aku menyayangi Meinar. Aku berharap dia bahagia dengan kau!
Maka Joki tersenyum diam-diam.
*** Menggusur Kasih Sayang Widuri menjilat bibirnya. Di depannya, tegak Dimas, man
ajer perencanaan di kantor itu. Dia tak berani menatap muka lelaki itu. Sebab, di mata lelaki ini, dia menangkap keramahan yang memukau. Mata Dimas menyimpan kejenakaan yang membuat siapa pun akan senang bercanda dengannya. Inilah yang membuat Wi-duri takut.
Sebagai atasan, Dimas memang terlalu baik. Tetapi, kebaikan ini yang justru membuat Widuri takut. Dia waswas, bagai anak rusa yang diramahtamahi pemburu.
"Beberapa hari ini kau kelihatan cerah," kata Dimas.
"Ah, biasa saja," jawab Widuri.
"Tidak biasa. Aku perhatikan, beberapa hari ini kau sering senyum-senyum sendirian." "Ah!" Dada Widuri terperangah.
Dimas tersenyum. Matanya yang hitam dirasa menikam oleh Widuri. Maka Widuri menunduk, pura-pura asyik membuka-buka map di mejanya.
"Habis kantor nanti aku ingin mengajakmu minum," kata Dimas.
"Oh, saya ada janji," kata Widuri cepat-cepat. Saking cepatnya, napasnya terasa sesak.
Dimas tersenyum lagi. "Kalau begitu, lain kali saja. Oke""
Widuri tak menjawab. Dia menekuni kertas-kertas di depannya. Dia tak berani menatap Dimas yang melangkah kembali ke ruang kerjanya.
Maka gadis itu resah. Mata lelaki itu menimbulkan rasa waswas. Lantas Widuri ingat cerita Linda, teman-nya di bagian purchasing. Kata Linda, Dimas playboy.
"Perhatikan saja sepatunya. Dia sering memakai sepatu putih," tambah Linda.
"Ah, masakan dari sepatu saja bisa ditarik kesimpulan"" bantah Widuri waktu itu.
"Ya memang bukan dari situ saja."
"Lantas dari mana lagi""
Linda hanya tersenyum. Dimas kembali menempati mejanya. Ruangan itu sejuk. Wangi parfum dari gagang telepon mengambang.
Gadis itu lebih cerah dari biasanya, pikirnya. Kalau tak salah, sejak ada lelaki yang menunggunya habis jam kantor.
Ya, Dimas tahu itu semua. Dia senang memperhatikan gadis-gadis staf di kantornya. Tetapi, selama ini perhatiannya terhadap Widuri hanya selintas. Banyak gadis yang menarik untuk diperhatikan. Untuk diberinya perhatian khusus. Barangkali karena make-up Widuri sangat tipis maka dia kelihatan anggun. Lantas membuat Dimas hormat kepadanya. Atau barangkali juga
lantaran matanya yang dingin, atau senyumnya yang murung, yang membuat gadis itu mempunyai perbawa untuk di hormati. Atau, barangkali lantaran gadis yang satu ini tak pernah tertawa lebar sehingga Dimas tak sampai ha-ti untuk memperlakukannya sebagaimana gadis yang lain.
Tetapi, setelah Widuri kelihatan gelisah beberapa sore ini, setelah gadis itu ditunggui lelaki di bawah pohon sana, maka Dimas melihatnya sebagai gadis yang tidak lagi bersenyum getir. Matanya, jika siang hari tiba, sering melintas ke jendela. Dimas menganggap gadis itu sema-kin cantik dan tidak sekadar indah. Pikiran yang selama ini tak pernah singgah di benaknya, mulai mengganggunya. Jika ada lelaki yang bisa mendapatkannya, kenapa aku tidak" Apa kelebiban lelaki itu dari aku" Kenapa dia bisa menaklukkan Widuri" Ya, sebab gadis itu bukan dewi. Toh gadis itu perempuan biasa. Cuma, dia lebih bisa membalut dirinya dengan misteri yang tak terduga. Itu saja bedanya dengan gadis yang lain.


Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka Dimas menatap lewat pintu angin yang menghubungkan ruangan itu dengan ruang kerja Widuri. Tetapi, sayang sekali gadis itu terlindung di pojok ruangan.
Lelaki itu menghela napas dalam-dalam. Ah, kenapa tidak sejak dulu kuperhatikan gadis itu" Kenapa cuma Linda, Susi, atau Hedi yang kuperhatikan" Padahal, Widuri yang pendiam itu, jelas tak kalah dengan mereka. Cuma, dia memang kurang atraktif. Ibarat show dia Idris Sardi, bukan Emilia Contesa. Parfumnya terlalu lembut. Kurang merangsang,Eyeshadow -nya tidak membuat matanya erotis. Berbeda dengan mata Linda atau yang lain-lain yang selamanya menantang.
Lelaki itu menyalakan rokoknya. Apa yang harus kulakukan" Tentu saja teknik-teknik yang lazim tidak akan berlaku untuk gadis yang satu ini. Dia tidak serupa dengan gadis yang lain. Teknik mengajakliften , tak akan mempan. Apalagi jika lelaki itu masih menunggunya di bawah pohon mahoni sana, Widuri tidak akan mau diajak pulang semobil denganku. Nah, lalu apa"
Dimas mengetuk-ngetuk mejanya dengan ujung jari. Di kaca yang melapisi mejanya, dia melihat dagunya yang
bersih. Dagu yang kukuh. Dia mengusap rambutnya yang rapi. Hawa di ruangan itu sejuk. Bertambah nyaman lagi sebab deodoran di ketiak dan lotion di mukanya mengambangkan keharuman yang segar.
Seperti film slide, wajah demi wajah para gadis melintas di depannya. Berapa orang" Ah, dia sendiri pun tak mampu mengingatnya satu persatu atau dengan jelas. Bayangan gadis-gadis itu melintas baur. Hanya beberapa orang yang tajam terbayang. Ini disebabkan oleh pengalaman yang istimewa dengan mereka. Gadis-gadis yang memiliki pesona pada tubuh mereka. Itulah yang mengendap dalam kenangan sementara gadis-gadis lain terlewat begitu saja.
Linda atau siapa lagi hanya gadis biasa. Malahan bisa dikategorikan ke dalam jenis batang pisang. Tahu batang pisang" Kelihatannya menyegarkan, tetapi sesungguhnya dingin dan tak bereaksi.
Berbeda dengan Hedi, atau beberapa gadis yang lain. Nah, mereka ini baru bukan main! Bagai kuda binal. Menggebu-gebu. Tubuhnya yang kenyal selamanya melawan. Seluruh bagian tubuh bagaikan menyimpan pegas. Bibirnya, dadanya, pahanya, semuanya menyimpan pegas yang dapat berdenyut-denyut. Itulah yang menyebabkan Hedi dan sejenisnya masuk dalam kenangan Dimas.
Tetapi, Widuri agaknya tak bisa digolongkan ke dalam jenis Linda maupun Hedi. Dia benar-benar lain macamnya. Dari tubuhnya, apalah yang bisa diharap. Dia tidak seseksi Linda. Dada dan pantatnya tidak bisa menandingi Hedi. Itu jelas. Cuma saja, rasa-rasanya ada keistimewaan yang lain pada gadis itu. Keistimewaan yang tidak ada pada tubuh Linda, Hedi, atau sejenisnya. Sebab, keistimewaan itu memang bukan pada tubuh. Tetapi, pada apanya" Kurang jelas. Dimas
tidak tahu pasti apa yang menyebabkan Widuri menarik-narik perhatiannya masa belakangan ini.
Dan, sore itu Dimas pulang lebih lambat dari hari biasa. Dari kaca jendela ruang kerjanya, dia bisa melihat ke jalan raya. Teduhnya di bawah kerindangan pohon di pinggir jalan menggamit-gamit perasaan lelaki ini, membuatnya berkeinginan bahwa dialah yang berdiri di bawah pohon itu. Dia ingin menyalakan rokok hingga berbatang-batang, sampai kemudian Widuri muncul menemui. Dia ingin tertawa lebar menyambut Widuri, lalu menggandeng tangannya, dan meninggalkan tempat itu. Tetapi, kenyataannya" Dia tetap berada di ruangan ber-AC dan berbau harum. Di sini, sendirian. Sekalipun stafnya mengucapkan 'selamat sore' dengan sopannya, ramah, atau genit, toh dia tetap sendirian. Walaupun Hedi memancing-mancing agar diajak pulang, tetap saja Dimas sendirian di belakang meja dan memandang ke arah jalan raya, dengan hati yang sepi.
Dan, sesuatu bagai tercabut dari dirinya manakala Widuri digandeng lelaki itu. Ah, dewi itu ternyata bisa dipetik. Maka Dimas merasa sesuatu bagai meninggalkan dirinya dengan kejam.
Persis perasaannya ketika duduk di SMA jauh tahun berselang. Ketika itu, dia mengajak seorang gadis mendatangi pesta, tetapi gadis itu menolak karena ada janji dengan lelaki lain. Dan, di pesta itu, Dimas yang datang sendirian bertemu dengan gadis itu. Gadis itu berdansa dengan lelaki yang membawanya. Dia menolak ajakanku lantaran dia ingin berdansa pipi dengan lelaki itu di depanku. Maka pesta itu menjadi kelewat sepi bagi Dimas. Itulah pesta terakhir baginya sebelum dia lulus universitas dan lalu bekeria.
Pikir Dimas waktu itu, dia menolakku karena dia mau datang bersama lelaki yang punya mobil. Dia menolakku karena aku tidak punya mobil!
Selalu kenangan itu melintas dengan getir di benak Dimas. Bahkan ketika dia sudah mempunyai kedudukan bagus, bayangan gadis yang berdansa rapat di depannya itu selalu menghantuinya.
Sekarang aku sudah punya kedudukan bagus. Lebih bagus dari lelaki yang menyebabkan aku dihimpit sepi pada pesta di masa SMA-ku dulu. Lantas, masihkah aku mengalami hal serupa itu"
Pandangan Dimas kabur. Kantor itu telah sepi. Hening. Serta-merta mata lelaki itu terasa panas. Widuri dan lelaki yang menjemputnya telah jauh. Tak ada lagi siapa-siapa di jalan itu. Walau lalu-lintas sibuk, bagi Dimas tak ada siapa-siapa di sana.
Akan halnya Widuri" Dia merasakan hangatnya genggaman jari-jari Joki. Karena di kantor tadi dia m
erasa rusuh, maka dalam jemari lelaki ini dia merasa aman.
Langkah mereka beraturan menuju terminal Blok M.
Di dalam bus yang melaju, Widuri membisu. Joki juga membisu. Widuri masih memikirkan Dimas dengan matanya yang membuatnya waswas. Berbeda dengan mata lelaki yang kini duduk di sampingnya. Mata yang membuatnya merasa tenteram. Mata yang membuatnya berani menatap sebab sangat akrab perasaannya. Adapun mata Dimas" Ah, terasa asing. Sangat asing.
Lelaki ini baru beberapa minggu kukenal, tetapi rasanya sudah sangat dekat. Bahkan mulutnya pun sudah sangat kukenal karena pernah teraba oleh lidahku.
Widuri melirik Joki. Kebetulan lelaki itu berbuat yang sama. Maka Widuri tersenyum. Joki juga tersenyum. Lalu, "Kok diam saja"" tanya Widuri.
"Yah" Ah, iya, ya" Kenapa aku diam saja"" kata Joki terbata-bata.
"Kau kelihatan sedang bingung."
"Ah, tidak." "Iya, kau bingung. Kenapa""
"Aku tidak bingung."
"Pasti bingung. Kelihatan dari matamu."
Joki mengalihkan pandangan. Matanya terhunjam ke kursi di depannya. Ada corengan-corengan pakai spidol di sandaran kursi itu. I Love You, Myrna. Utahgirl. Lalu ada gambar hati terpanah. Gambar wajah perem-puan. Gambar kemaluan lelaki. Juga corengan-corengan tumpang-tindih yang tak jelas.
"Aku ingin ke rumahmu, Wik," kata Joki lambat-lambat. "Ah!" Napas Widuri sesak. "Jangan!"
"Sampai hari ini aku tak tahu apa alasanmu yang sesungguhnya, kenapa aku tak boleh ke rumahmu."
"Toh kita bisa ketemu tiap hari. Apakah itu tidak cukup""
"Bukan itu soalnya. Aku bingung dengan kenyataan ini. Aku bertemu dengan kau pada hari Kamis, ketika hujan, pada bulan Maret yang lalu. Tepatnya tiga puluh lima hari yang lalu. Sampai sekarang, kau masih berupa misteri bagiku. Aku ingin kau bukan misteri lagi. Aku ingin kau kenyataan bagiku. Aku ingin kau yang jelas segala-galanya. Aku pun akan begitu. Aku ingin merupakan seseorang yang sangat jelas buat kau. Bukan misteri lagi. Toh hidupku bukan sesuatu yang misterius. Kau sudah tahu itu. Aku wartawan yang dipecat dari pekerjaanku. Aku seorang mahasiswa abadi. Kalau kau mau, kau boleh datang ke tempatku mondok. Biar kau bisa melihat kemiskinanku. Aku tak bisa berpura-pura. Itu sebabnya bertahun-tahun aku tak pernah berani punya gadis. Setelah mengenalmu, aku merasa dan tahu bahwa kau berbeda dari gadis-gadis yang lain. Aku berani datang kepadamu dengan kemiskinanku."
Suara lelaki itu murung diterima telinga Widuri sehingga Widuri merasa dadanya bagai ditindih batu semeter kubik. Napasnya sesak. Angin bertiup dari jendela bus, tetapi dia tetap tersengal.
"Aku ingin ke rumah kau," kata Joki. "Kenapa tidak boleh""
Cepat-cepat Widuri membuang pandang ke luar jendela, menatap bangunan-bangunan yang berlari kencang.
Joki menghela napas berat. Widuri tetap tak bereaksi.
"Ibuku sekarang ada di Jakarta sini," kata Joki. "Kalau kau ingin bertemu dengannya.... "
"Oh..." Widuri terperangah.
Joki menatapnya, tetapi gadis itu melarikan matanya ke luar jendela bus. Sementara itu, deruman mesin beraturan menyertai larinya bus.
"Kalau kau tak mau, aku tidak akan memaksa," kata Joki murung.
"Oh, bukan itu soalnya," kata Widuri tersengal.
"Karena kita baru tiga puluh lima hari saling mengenal."
"Oh, bukan itu soalnya," ulang gadis itu.
"Kau sangat baik padaku, itu saja sudah cukup bagiku."
Pelupuk mata Widuri terasa panas. Dia mengusap, berpura-pura matanya perih terterpa angin. Lalu dia memakai kaca mata peneduh.
Tangan gadis itu terletak di paha dan tengah meremas-remas saputangan. "Kita turun di sini dulu," katanya kemudian.
"Untuk apa""
"Saya haus." Lalu mereka turun. Langkah dadis itu pasti menuju sebuah restoran Tionghoa. Joki mengikutinya tetap dengan kemurungan.
"Janganlah kau singgung-singggung soal mau ke rumah saya. Toh kita bisa ketemu tiap hari," kata Widuri.
Joki membisu. "Saya senang ketemu kamu." Widuri meneruskan.
"Barangkali aku menginginkan lebih dari itu. Barangkali aku memang tak tahu diri," kata Joki.
Mereka bertatapan. Loudspeaker restoran itu distel keras. Lagunya nyanyian Mandarin yang berasal dari lagu Barat. Judul aslinyaBeautiful Sunday . Setelah digubah, enta
h apa judulnya. Tetapi, lagu itu tak mereka pedulikan. Mereka duduk berdampingan di pojok restoran itu.
Jika kita ketemu beberapa tahun yang lalu, tetapi aku dengan keberanianku yang sekarang, barangkali persoalannya jadi lain, pikir Widuri. Jika aku seberani sekarang pada masa remajaku dulu, barangkali kita ma-lah tidak bertemu. Barangkali aku sudah berdampingan dengan lelaki lain. Barangkali lelaki di masa lampau itu tidak menyekap perasaannya diam-diam. Tentunya, ke-adaanku akan sangat lain dengan sekarang. Pada usiaku yang keduapuluhtujuh ini, aku tentunya tidak akan mengalami persoalan segetir ini.
Widuri menoleh ke samping. Joki sedang mengaduk-aduk es juice-nya.
"Saya tidak bisa memberikan alasan kenapa kamu tidak boleh datang ke rumah saya. Tak bisa. Tak bisa," kata Widuri dengan akhir kalimat dalam desah.
Joki tetap menunduk. "Bukan karena dirimu, melainkan karena diri saya. Diri saya. Barangkali karena itu pula maka suatu waktu nanti kita harus memutuskan segalanya. Saya harus menjauhkan diri dari kamu. Kamu masih muda. Saya tidak ingin menimbulkan problem buat kamu."
Alis Joki terangkat. Kerut-merut di jidat itu membuatnya nampak lebih tua belasan tahun dari usia sebenarnya.
"Aku tak mengerti," katanya hampir tak terdengar. "Saya punya problem pribadi."
"Setiap problem bisa dipecahkan. Apalagi kalau kau mau mengajak aku untuk memikirkan pemecahannya."
"Problem ini dalam diri saya sendiri. Tak mungkin orang lain ikut. Saya tidak ingin orang lain
tahu." Bahu Joki tertekuk layu. Dia menghirup minuman-nya, tetapi terasa tawar. "Apakah karena ada lelaki lain"" tanyanya sepatah-sepatah. "Oh, tidak. Bukan itu. Problem pribadi. Sungguh. Di dalam diri saya sendiri." "Aku tambah tak mengerti," kata Joki.
"Saya sulit menjelaskan. Pokoknya saya tidak ingin kamu tahu terlalu banyak tentang diri saya. Biarlah kita ketemu di jalan saja. Terserah apa penilaianmu. Selama kamu masih mau bergaul dengan cara begitu, saya senang sekali. Barangkali kamu menganggap saya perempuan jalanan. Apa boleh buat. Saya tak punya pilihan lain."
"Apa sebenarnya yang kau rahasiakan itu, Wiwik""
"Ah, tidak. Tidak! Tidak!" Mata Widuri memandang gelisah. Seperti mata binatang rimba yang terperangkap oleh jebakan. Ketakutan. Waswas. Bingung. Dan, semacamnya.
"Berapa lama harus begini""
"Terserah berapa lama kau ingin bergaul dengan saya. Begitu kamu tak suka, kamu bebas untuk tidak menemui saya."
"Kalau begitu... kalau begitu... aku memang sama sekali tak berarti," kata Joki terbata-bata. "Oh, bukan begitu, bukan begitu, bukan begitu," kata gadis itu cepat. "Barangkali aku berharap terlalu berlebihan." "Bukan itu maksud saya."
"Aku berharap, kau menjadi orang yang sangat berarti buatku. Tentunya kau paham apa maksudku. Jika kau bilang bahwa pergaulan kita hanya untuk iseng sa-ja, lebih baik aku mundur saja dengan baik-baik."
"Saya tidak bilang begitu. Saya tidak bilang begitu!"
Napas Widuri terengah. "Sama saja, Wiwik. Bagimu, barangkali pergaulan kita memang hanya merupakan satu lintasan sederhana saja. Tapi, untukku tidak. Karena itu aku ingin mengenalmu sejelas-jelasnya. Apa pun macamnya kau, bagiku kau tetap Widuri."
"Saya... saya... saya... " Ucapan Widuri tersekat di tenggorokan.
"Kalau kau bilang kau tidak mau lagi ketemu dengan aku, aku tidak akan muncul mengganggumu lagi."
"Oh, bukan itu maksud saya."
"Jadi, apa""
"Oh..." Dada Widuri berombak.
"Baiklah. Biarlah kau tetap merupakan misteri bagiku. Biarlah kau tetap menjadi gadis yang sangat baik buatku. Walaupun aku sama sekali tak berarti buatmu, tetapi aku sangat berterima kasih pada kau. Sebab, kau sangat baik terhadapku di saat semua orang menyisihkan aku."
"Ah, kenapa jadi begini" Kenapa jadi begini"" Suara gadis itu bergetar. "Saya tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Saya hanya mau bilang bahwa saya tak ingin dikenal terlalu dalam. Saya tidak ingin orang lain mengetahui problem saya."
"Ya, aku mengerti," kata Joki pelahan.
Widuri berusaha menatap mata lelaki itu, tetapi Joki menyembunyikannya dengan cara menunduk, pura-pura menikmati minumannya.
"Saya senang bergaul dengan kau."
Jo ki tak bereaksi. "Walaupun kamu lebih muda dari saya, saya senang bergaul dengan kamu," ulang Widuri. Joki mengangkat kepalanya.
"Ya, saya lebih tua tentunya dari kamu. Usia saya dua puluh tujuh tahun sekarang. Kamu""
Joki tak menjawab. "Berapa usia kamu"" desak Widuri.
Joki tetap membisu. "Nah, pasti kamu lebih muda. Paling banyak, kamu baru dua puluh lima." "Bukan itu soalnya," kata Joki datar.
"Ya, mungkin memang bukan soal. Seperti saya bilang tadi, saya senang bergaul dengan kamu." "Hanya bergaul saja""
Widuri mengangkat kepala, tetapi kemudian membuang pandang cepat-cepat. Mata lelaki itu tajam meng-hunjam, membuat hatinya giris.
"Jika aku hanya jadi badut di kala senggang, apa boleh buat," kata Joki tak bernada.
"Bukan itu maksud saya. Oh, kamu tak mengerti. Kamu tak mengerti maksud saya. Saya senang bergaul dengan kamu, tapi saya punya problem pribadi. Problem pribadi, Joki. Sungguh! Problem pribadi yang tak mungkin saya beritahukan kepada siapa pun."
"Kepadaku juga"" "Ya, padamu juga."
"Kalau begitu, salahkah jika aku menganggap diriku sama sekali tidak berarti buatmu"" "Oh, bukan begitu." Napas gadis itu kembali sesak.
Matanya pun kembali gelisah. Kelopak matanya berkedip-kedip. Bingung. "Kamu tak boleh mengetahui problem pribadi saya. Tak boleh!"
"Kenapa"" "Karena saya manusia jelek. Oh!" Gadis itu menekap mulutnya. Dan, matanya bagai mata anak sapi yang lumpuh dan kedinginan.
Kening Joki berkerut lima atau tujuh lapis. Dia berusaha menemukan misteri dalam diri gadis itu, tetapi tak sesuatu pun bisa ditemukannya. Kecuali kesedihan, kemurungan, yang bercampur pekat dengan kebingungan. Di matanya yang hitam, di matanya yang jernih, hanya nampak ketakutan yang berlebihan.
Maka kata Joki datar, "Sudahlah."
"Saya tak ingin kamu mengetahui persoalan saya, Joki. Saya tak ingin," kata gadis itu kemudian. Dari ma-tanya mengalir air bening. Pipinya basah.
"Sudahlah," kata Joki. Hatinya terasa ditusuk-tusuk. Ketrenyuhan menghunjam ke lekuk hati. Lalu dia mengusap air mata gadis itu dengan hati-hati. "Sudahlah. Kalau kau tak mau membagi persoalanmu, biarlah. Aku tak bermaksud membuat kau sedih. Aku malah ingin menanggung persoalanmu kalau memang ada."
"Terima kasih, Joki. Terima kasih. Tapi, saya ingin tetap seperti hari-hari yang lalu saja." "Ya, aku mengerti."
"Saya tidak keberatan kamu menemui saya, tapi untuk pergaulan biasa saja, Joki."
"Ya, aku mengerti," ulang lelaki itu dalam satu ke-luhan. "Tapi, sampai berapa lama""
"Terserah kamu, Joki."
"Terserah aku," kata Joki kepada diri sendiri.
Gadis itu mengeringkan pipinya dengan saputangan.
"Matamu merah," kata Joki.
"Ah, tak apa." Lalu gadis itu memberikan isyarat kepada pelayan. Joki mau membayar, tetapi gadis itu lebih cepat mengangsurkan uangnya. Katanya, "Biar saya saja, Joki."
"Aku juga punya duit."
"Simpan saja sampai kamu punya kerja."
"Ah, beberapa kali kau yang membayar minuman. Aku jadi malu."
"Kenapa harus malu" 'Kan sekarang saya punya pekerjaan tetap. Dan, gaji saya gede lho," ujar gadis itu.
Joki tertawa pahit. Dan, mereka meninggalkan restoran itu. Dan, Joki dilindas kegetiran.
Dan, Joki menghitung hari-harinya sebagai penganggur.
Dan, Joki kembali sadar pada realita hidupnya sehingga bayangan Widuri tak disinggahkan ke dalam khayalnya.
Dan, sore pun menjadi sepi buat Widuri. Sebab, Joki tak pernah lagi muncul. Sejak sore yang berair mata itu Joki tak datang lagi menunggunya di bawah pohon di dekat kantor.
Pada sore pertama yang sepi itu, Widuri masih mengharapkan kemunculan lelaki itu. Barangkali saja dia memang terlambat muncul. Barangkali lalu-lintas macet. Dan, barangkali lain masih menyelinap di kepala gadis itu.
Maka dia memperlambat langkahnya. Bahkan dia sengaja tegak beberapa saat di bawah pohon tempat Joki biasa menunggu.
Dimas, yang sejak tadi mengawasinya, tiba-tiba telah berada di dekatnya. Kepala terjulur melalui jendela mobil.
"Ayo, aku antar pulang," katanya.
"O, terima kasih. Saya menunggu teman."
"Oh, ya"" Tatapan lelaki itu menyelidik.
"Ya," desah Widuri sembari menunduk.
"Ooo." Dimas tersenyum sebelum meluncurkan mobilnya.
Yang ditun ggu ternyata tak muncul. Begitu pula besok sorenya. Begitu pula besok sorenya lagi. Dan, Widuri merasa kian sepi.
Sepi itu menghimpit karena Widuri senang jika lelaki itu tidak muncul lagi. Tetapi, sepi itu bahkan menghimpit iagi karena Widuri ingin bertemu dengan lelaki itu.
Lantas, sepi macam apakah ini" Bukankah ini layak dinamakan pilihan buah simalakama"
Joki tak pernah kelihatan lagi. Barangkali dia kecewa padaku, pikir Widuri. Tetapi, bukankah itu lebih baik adanya" Jika dia mengetahui keadaan diriku yang sesungguhnya, bukankah dia akan lebih kecewa lagi" Lebih baik kecewa sebelum kemanisan terlalu banyak direguk. Sebab, kekecewaan awal ini akan lebih gampang hilang.
Jika dia kecewa sebab tahu bahwa aku seorang wanita yang tidak cocok buatnya, itulah yang kuharap. Tapi, bagaimana kalau kekecewaan itu tumbuh lantaran dia menganggapku tak menghargainya" Bagaimana kalau dia merasa bahwa aku tidak menghargainya, merendahkan
dirinya" Padahal, ah, bagaimana mungkin aku bisa merendahkannya! Dia bagiku adalah lelaki yang pernah kupunyai pada masa lampauku.
Dia sensitif sekali. Peka bagai gelas yang rapuh. Barangkali akibat dari kepahitan hidup yang dialaminya. Dia mengalamimental-breakdown yang parah. Dia mengalami guncangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Dia tak punya kepercayaan pada dirinya sendiri. Bukankah dengan keadaan semacam itu dia akan gampang tersing-gung" Dia mengira semua orang menyisihkannya. Dia mengira setiap orang meremehkannya semenjak dia terbuang dari pekerjaannya. Karena itu, bukan mustahil jika dia mengira aku tak menghargainya. Padahal, kalau dia tahu perasaanku, kalau aku tidak punya problem pribadi, ah, ah, ah!
Dan, Widuri tak pernah lagi bertemu Joki sementara Dimas semakin gencar mendekatinya.
"Hati-hati kau, Wik," kata Linda suatu hari.
Widuri hanya tersenyum. "Jangan tersenyum dulu. Menghadapi siPlayboy itu, kau harus punya pertahanan diri yang
kuat." "Ya, Lin," kata Widuri, "Saya tahu."
"Mulutnya bukan main manis. Kita tak tahu mana yang bohong-bohongan, mana yang sungguhan. Rayu-annya maut."
Widuri tak bereaksi. "Aku sudah mengalaminya sendiri," kata Linda murung. "Dia memang layak dirindukan," lanjut gadis itu.
"Kau mencintainya""
"Ah, entahlah. Barangkali ya. Tapi, karena aku tahu tabiatnya, aku jadi membencinya." Linda mengamati kukunya yang merah. "Semula kupikir aku bisa menguasainya," katanya meneruskan.
"Kau ingin menguasainya""
"Ya. Sejak Semula aku tahu dia seorangplayboy . Aku tahu, sudah banyak gadis yang jadi korbannya. Tapi, kupikir aku bisa menaklukkannya. Bukankah kalau aku bisa menaklukkannya berarti aku seorang yang jenius" Pada mulanya seolah-olah dia mencintaiku. Maka aku mengira sudah berhasil. Tapi, ternyata" Palsu! Aku menjadi korban ambisiku sendiri. Aku ingin dipandang hebat. Aku ingin lebih dibanding gadis-gadis lain. Dan, barangkali gadis-gadis yang jadi korbannya juga punya perasaan sepertiku, merasa sudah berhasil menaklukkannya. Memang, jika berhasil, kita akan bangga sekali, menjadi pelabuhan terakhir perahu tanpa kendali itu."
Widuri mengangguk takzim.
Kelopak mata Linda berkedip-kedip sehingga eyeshadownya semakin nampak biru, dan alisnya yang tercukur lentik membuat matanya semakin galak. Sapuan lipstik di bibir Linda juga mengesankan kekenyalan bibir itu. Tak mengherankan jika menimbulkan keinginan lelaki untuk menciumnya.
Jika kau mengira bahwa untuk menaklukkan lelaki adalah dengan jalan menyerahkan diri, maka kau memang layak menjadi korban. Jika kau mengira dapat memancing cinta seorang lelaki dengan jalan mengumpankan tubuhmu, maka kau memang bernasib untuk menjadi korbannya. Tidakkah kau tahu bahwa setiap lelaki punya insting binatang buas" Tidakkah kau tahu bahwa secara naluriah lelaki ingin menjadi penguasa" Dia akan menguasai dirimu, untuk kemudian meninggalkanmu jika dia memang tidak mencintaimu. Hanya cinta yang membuat hubungan lelaki dan perempuan tidak menimbulkan keinginan untuk saling menguasai. Begitukah" Ah, Widuri terdiam dalam perbincangan dengan hatinya sendiri. Linda telah kembali ke ruang kerjanya sejak tadi.
Gerimis memercik-merci k dari langit. Awan hitam memendungkan angkasa. Widuri menoleh ke atas berkali-kali. Hujan akan semakin deras.
"Mari, aku antar." Suara di samping menyadarkan Widuri. Dimas berdiri sambil memutar-mutar kunci mobilnya.
"Ah, terima kasih. Saya ingin pulang sendiri." "Sebentar lagi hujan tambah deras." "Tak apa-apa. Saya lebih senang naik bus." "Bus akan penuh-sesak." "Saya sudah biasa."
"Biarlah aku antar. Kenapa sih menolak terus"" "Saya masih mau singgah ke beberapa tempat." "Tak apa-apa. Biar aku antar ke mana kau mau pergi." Widuri menoleh ke arah lelaki itu.
"Apa salahnya aku antar" Kau tak percaya padaku"" kata Dimas terpatah-patah.
"Oh, bukan begitu."
"Berapa kali kau aku ajak naik mobilku, tetapi kau menolak" Kenapa sih""
"Ah, tidak." Lalu Dimas membuka pintu mobilnya untuk Widuri. "Ayolah," katanya mempersilakan.
Sesaat Widuri menatap muka lelaki itu. Mata lelaki itu kelihatannya jujur. Baiklah. Lantas Widuri masuk ke dalam mobil. Dimas menarik napas panjang.
Rintik-rintik hujan semakin kerap. Wiper mobil itu berderit-derit di kaca depan. Dimas bercerita soal rencana-rencana perusahaanya. Widuri hanya mengiyakan sesekali. Selebihnya,
dia lebih banyak membisu. Matanya nanap memandang ke depan. Di sampingnya, Dimas berbicara terus.
Hujan sudah lebat. Bukan lagi gerimis. Pandangan ke depan kabur. Di depan mereka, bus kota menggeleyot berjalan. Penumpangnya berjejalan hingga pintu. Dari knalpot bus itu keluar asap hitam. Pastilah di dalam bus itu pengap udaranya.
Dan, Widuri ingat Joki. "Mana temanmu yang biasa menjemput itu"" Tiba-tiba suara Dimas mengejutkannya.
"Ya"" "Temanmu yang biasa menjemput. Sudah beberapa hari dia tidak nampak."
"Ooo." Widuri meredakan sesak di dadanya. "Dia kerja sore," katanya kemudian dengan terbata-bata.
"Ooo," gumam Dimas.
Di manakah dia sekarang" Di manakah Joki sekarang" Maka Widuri berusaha meredakan keresahan yang menggeliat-geliat di dadanya.
"Eh, kok ke sini"" tanyanya kaget.
"Kita minum dulu," kata Dimas.
"Ah, saya harus buru-buru pulang," kata Widuri.
"Alaaa, sebentar saja." Dimas memarkir mobilnya "Ayolah," kata lelaki itu. "Saya harus cepat pulang."
"Nanti aku kebut di jalan. Kita minum sebentar saja. Kau tidak akan terlambat tiba di rumah." "Tidak. Saya tidak ingin minum."
"Aduuuh. Cuma menemani aku, tidak mau" Baru sekali ini aku mengajakmu." "Bukan tidak mau. Tapi, sore ini saya ada janji."
"Percayalah, kau tidak akan terlambat. Ayolah, sebentar saja. Tak sampai tujuh menit. Kita minum segelas kopi."
"Biar saya tunggu di sini."
"Waaah, bagaimana mungkin"" Lalu Dimas keluar dari mobil. Hujan menerkam tubuhnya. "Ayolah." Hujan membasahi pakaiannya.
Widuri bingung. Hujan semakin membasahi lelaki itu. Widuri memandang berkeliling, tetapi tak ditemukannya sesuatu yang bisa menolongnya keluar dari situasi ini.
"Ayolah," kata Dimas lagi.
Widuri menghembuskan napas kuat-kuat, lalu keluar dari mobil.
Mereka minum di sebuah kafe yang di depannya ditumbuhi rimbun bogenvil. Apa saja yang dibicarakan Dimas, tak jelas ditangkap telinga Widuri.
Hujan menimpa rimbunan bunga. Tetes-tetesnya mengalir ke tanah. Dan, genangan air di tanah mengalir deras, membawa daun-daun kering menuju selokan.
Dan, ingatan gadis itu terhanyut seperti halnya daun-daun kering itu. Dia ingat bagaimana Joki berdiri canggung di dekatnya dalam bus kota yang meluncur dari Ke-bayoran Baru ketika hujan menerpa bus kota itu. Dia juga ingat hujan di Yogya. Di situ genangan air cepat mere-sap ke dalam tanah. Tanah di Yogya berpasir. Tak pernah puas mengisap tetesan air. Dia ingat pelosok Mage-lang. Pada sawah yang berdesau dalam hujan. Genangan air di tanah menutup lumpur merah. Dia ingat hujan di Kampus Gadjah Mada. Tetes-tetesnya di pohon flam-boyan. Ketika Mapram, cama-cami basah-kuyup, dan masih juga menerima bentakan dari para senior mere-ka. Dia ingat hujan di mana saja. Di mana saja, hujan adalah hujan. Hujan bisa membawa kesengsaraan atau kenangan indah. Tetapi, sekarang, ah, ah, ah!
Widuri menatap lelaki yang duduk di depannya. Sejak tadi Dimas mengawasi gadis itu. Kopi di gelas ting-gal separo. Hujan masih berd
erai. Widuri berkali-kali menatap ke jalan.
"Oke, kita pergi," kata Dimas.
"Ya," kata Widuri cepat-cepat berdiri. Pakaiannya agak lembab. Pakaian lelaki itu malahan basah-kuyup. Widuri tetap membisu di dalam mobil yang meluncur. Knalpot VW Kodok itu meledak berkali-kali, tetapi tetap menerjang hujan. Semakin jauh berjalan, sema-kin Widuri ingin tiba di rumah.
*** Joki menghempaskan badannya di divan. Kakinya yang pegal, karena dibawa berjalan jauh, lima menit kemudian mulai mengendor. Darah kembali mengalir ke atas secara normal.
Sudah beberapa hari ini dia tidak menunggu Widuri. Enam hari atau lima hari, dia tidak ingat pasti. Dia memang tidak mau mengingat-ingat. Dia ingin agar ingatan terhadap gadis itu hanyalah sebuah mimpi yang gampang dilupakan.
Tetapi, ternyata tidak semudah itu. Dia tak mampu mengusir bayangan gadis itu. Semakin dia berusaha melupakan, semakin kuat keinginannya untuk bertemu dengan gadis itu.
Maka dia melarikan diri dengan jalan bergentayangan ke mana saja. Keluyuran di daerah-daerah pelacuran. Dia ingin bertemu dengan perempuan yang mirip Widuri. Tetapi, dia tak menemukan apa yang diharapkannya. Tak ada pelacur yang menyerupai gadis itu. Tak ada. Jika pun ada, itu dulu. Tetapi, Euis sekarang entah di mana. Barangkali benar dia telah kawin. Dia telah menjadi seorang istri. Mudah-mudahan saja dia senang di samping suaminya.
Joki memperhatikan sarang laba-laba di pojok kamar. Ada seekor laba-laba beringsut pelahan. Tentunya laba-laba itu sedang menunggu mangsa. Nanti, jika ada nyamuk yang meleng, pasti terperangkap. Biar meron-ta, takkan bisa lepas.
Aku pun bagai nyamuk yang terperangkap, pikir Joki. Semakin aku meronta untuk melepaskan diri, semakin jaring-jaring kenangan menjeratku.
Joki menyeka peluhnya. Di luar rumah, masih terdengar suara anak-anak bermain kejar-kejaran. Teve tetangga menyiarkan warta berita. PSSI kalah lagi. Gempa bumi di Argentina. Krisis kabinet Muangthai. Target akseptor KB di Kabupaten Jepara sudah tercapai. Menteri PUTL meresmikan jalan baru di Sumatera Barat. Si Penjol berhasil ditangkap teman-temannya. Sekarang dia yang harus mengejar teman-temannya. Si Penjol disoraki teman-temannya. Kata mereka, "Jol, Penjol, kepalanya penjol, nyak-nya gendut njendol, babe-nya seneng jengkol. Hai!"
Joki membalik badannya, menatap langit-langit. Kusamnya dinding menambah pengap ruangan itu. Lampu dua puluh lima watt bersinar redup.
Dia sangat ingin bertemu gadis itu. Matanya yang redup, ah, alangkah lunak. Bibirnya yang mungil, ah, alangkah lembut. Dan, Joki menghela napas berat. Dan, tiba-tiba pintu kamarnya terkuak. Dia kaget. Terasa mengejutkan sekali. Barangkali lantaran aku melamun, pikirnya.
Monang tegak di kusen pintu itu.
Joki bangkit tergesa. "Ada apa, Monang"" tanyanya.
"Namboru menyuruh kau datang."
"Oh, kupikir Mama sudah pulang ke Medan."
"Belum. Namboru agak kurang sehat."
"Oh, ya"" "Ya," kata Monang menegaskan. Matanya meng-hunjam dalam-dalam ke wajah Joki sebab dia menang-kap ketakacuhan lelaki itu. "Barangkali karena Namboru terlalu memikirkan kau," lanjutnya.
"Ah, kenapa pula harus memikirkan aku"" kata Joki. "Dia sangat ingin ketemu kau." "Masih lama 'kan Mama di Jakarta ini""
"Itu aku tak tahu. Katanya, kalau urusannya dengan kau sudah beres, dia akan pulang." "Urusan dengan aku" Urusan apa""
"Entahlah." Suara Monang mengambang. Matanya menyelidik-nyelidik. Joki menyusut-nyusut rambutnya.
"Apa urusannya dengan aku"" tanyanya kepada dirinya sendiri. "Nanti tentunya kau akan tahu. Ayolah, ke rumah." "Tulang ada di rumah""
"Tidak." "Ke mana dia""
"Tokyo." "Hm. Meinar""
"Ada," kata Monang. Matanya menyelidik-nyelidik lagi. "Bagaimana hubungannya dengan Burwan" Sudah disetujui Tulang"" "Itu aku tak tahu. Aku tak pernah mencampuri urusan-urusan Meinar." "Tapi, dia adikmu."
"Dia cukup dewasa untuk mengurusi dirinya sendiri. Aku sendiri punya banyak persoalan."
Joki merapikan abu rokok di asbak.
"Aku malas ketemu Mama," katanya lambat-lambat.
"Aku disuruh menjemput kau. Apa nanti yang harus kubilang""
"Bilang saja kau tak ketemu aku. Habis perkara."
"Tapi, nyatanya aku ket
emu kau." "Ah, bohong sedikit apa salahnya""
"Tapi, mama kau sendiri yang mau ketemu."
"Iyalah. Mama sendiri. Karena itu aku bebas untuk ketemu atau tidak."
"Namboru sangat ingin ketemu dengan kau. Barangkali ada hal yang sangat penting. Dan lagi, dia agak kurang sehat sekarang."
"Kapan-kapan aku datang. Besok atau lusa. Aku masih sibuk sekarang." "Kau 'kan sedang tiduran sekarang"" "Iya, tapi aku capek sekali."
Monang menggeleng. Dia duduk di kursi. Kursi berkeriyut menahan badan Monang yang berat.
"Aku akan menunggu sampai kau mau sama-sama aku datang ke rumah. Aku mendapat perintah tadi dari Namboru, harus berhasil mencarimu." Monang memperenak duduknya. Dia mengangkat kakinya ke meja.
"Aku akan datang, Monang. Tapi, tidak sekarang."
"Bah! Aku mendapat perintah hari ini. Kau tahulah sendiri sifat Namboru. Tentunya kau lebih mengenalnya. Dia mama kau."
Joki menghembuskan napas kuat-kuat.
Monang mengangkat bahu. "Okelah," kata Joki kemudian. Lalu dia berganti pakaian.
"Kau kurus sekarang," kata Monang sembari memperhatikan kaki Joki.
Joki membisu. Dia cuma merentakkan ritsluiting celananya hingga terkancing.
"Apa yang mau dibicarakan Mama rupanya"" tanya Joki sambil mengunci pintu.
Monang mengangkat bahu. "Perasaanku kok tak enak," kata Joki.
Monang diam. Dia men-start mobilnya. Mesin mobil menderum. "Sejak tadi pagi mataku yang kiri bergerak-gerak saja," kata Joki. Monang tetap membisu. Dia mengganti persneling. "Mama sakit, kata kau tadi, Monang." "Hm-hm," gumam Monang.
"Sakit apa""


Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, mungkin masuk angin. Hari Minggu yang lalu Namboru ke Bogor dengan Mama. Barangkali karena terkena hujan."
"Tapi, perasaanku tak enak. Apa sebenarnya yang mau dibicarakan""
"Aku tak tahu. Kau 'kan tahu sendiri aku kurang mengikuti perkembangan keadaan di rumah. Aku lebih sering di Bandung."
Lalu keduanya membisu. Deru mesin mobil semakin tinggi. Angin di Bypass berkesiur tajam. Lampu-lampu mobil berderet panjang.
"Masak kau sama sekali tak mendengar apa maunya Mama"" kata Joki mengusik suasana diam yang menyungkup mereka berdua.
"Ah, entahlah."
"Aku tak senang ketemu dengan Mama. Dia kelewat otoriter. Tiap kali berhadapan dengan dia, aku membayangkan akan mendapat marah. Seingatku, belum pernah dia bicara denganku tanpa diakhiri dengan kemarahan. Dia selamanya mau memaksakan kehendaknya pada kami, anak-anaknya. Aku tak tahu apakah karena kami semua berbakat pemberontak, atau memang karena sifat Mama yang keras."
Monang cuma melirik selintasan. Lampu lalu lintas masih berwarna merah. Penjual koran mengusik mereka
"Tak satu pun di antara kami, anak-anaknya, mengikuti kemauan Mama. Abang Pungka diharapkan jadi dokter oleh Mama, tapi dia malah jadi pelaut. Abang Porman diharapkan jadi insinyur, tapi dia jadi pedagang. Aku sendiri, kau tahu diharapkan jadi apa""
Monang menoleh ke arah Joki.
"Diharapkan jadi pegawai duane!" Dan, Joki tertawa pahit. Lampu telah hijau. Kendaraan mulai bergerak kembali.
"Dan, Mama memang keras. Barangkali dia memang penganut Machiavelli. Itu tanpa dia sadari. Dia akan melakukan apa saja untuk yang diinginkannya. Dia memaksa abang-abangku agar masuk universitas walau untuk itu harus menyogok. Aku, sejak SMA selalu diiming-iming untuk masuk ke sekolah duane. Kalau perlu, main sogok. Karena kehidupan kami yang berubah saja maka Mama tak kuasa mendesakku lagi. Kalau tidak, aku takkan kuasa keluar dari kehendaknya."
Monang tetap membisu. Sesekali dia mengisap rokoknya.
"Tidak enak menjadi anak seorang ibu yang mau menciptakanideal-type -nya pada anak-anaknya. Dia tak akan mempedulikan bakat dan kemampuan. Dia hanya terpaku pada bayangan indah ideal-type-nya itu."
Dan, mereka tiba di tempat tujuan. Perasaan tak enak menyelinap lagi dalam dada Joki. Kalau bisa memilih, dia akan memilih pulang saja. Tetapi, mereka telah ber-diri di depan pintu.
Menunggu pintu terbuka, Joki bertanya lagi, "Soal apa yang mau dibicarakan Mama, Monang""
"Barangkali soal Meinar."
"Meinar"" Monang tak menanggapi lagi. Pintu telah terbuka. Di situ tegak Meinar. Wajah gadis itu kelihatan letih. Matanya bersorotkan kegelisahan.
"Hai, Mei," sap
a Joki. "Hai, Jok," balas gadis itu. "Masuk. Namboru menunggumu."
Joki melintasi ruangan tengah yang dihampari permadani Persia. Meinar melangkah tanpa suara. Berbeda dengan biasanya.
Joki menghentikan langkahnya. Dia telah tiba di hadapan ibunya. Dan, Joki ingin tertawa sebab tiba-tiba dia ingat sebuah film yang meriwayatkan maharani. Ibunya duduk dipeluk kursi besar. Karena sandaran kursi itu demikian tinggi, perempuan tua itu kelihatan sungguh-sungguh terbenam. Barangkali karena beberapa tahun terbanting ke dalam kehidupan yang pahit maka sekarang dia lebih bergaya sebagai orang besar. Bergaya angker. Bergaya khidmat. Tetapi, rasa geli malah menggeliat di hati Joki. Dia bukannya takut.
"Duduk, Joki," kata ibunya.
Joki tak mengeluarkan suara. Dia duduk di hadapan ibunya. Kursinya lebih kecil dibanding kursi yang diduduki ibunya, dan berkaki rendah. Maka dia pun bagai menghadap maharani dari Kerajaan Antahberantah.
"Ada hal penting yang mau dibicarakan."
Joki mengangguk. "Pertama soal sikapmu terhadap tulang-mu. Sampai saat ini kau belum meminta maaf padanya."
Joki mengangkat kepala. Dan, matanya bersamplokan dengan mata nantulang-nya. Istri tulangnya itu cepat-cepat mengalihkan pandang.
"Soal kedua"" tanya Joki datar.
Ibunya menatap tajam. "Soal kedua, kau semakin kurang ajar. Kau mengelak-elak untuk bertemu dengan Mama. Mama beberapa kali ke rumahmu, kau tak pernah ada."
Joki tak menjawab. Dia kembali menatap nantulangnya. Perempuan tua itu pun terbenam dalam kursi yang didudukinya. Tubuhnya nampak lebih kecil dibanding tubuh ibu Joki.
"Kalau kau memang mau jadi anak durhaka, terserah," kata ibunya.
Joki menelan ludah. "Kau anakku yang keempat, tapi lebih durhaka dari saudara-saudaramu. Si Pungka memang sering melawan, tapi bagaimanapun dia masih menghargai orang tua. Atau si Pordam. Dia suka membantah, tapi belum pernah menyakiti hatiku seperti yang kaulakukan sekarang."
Joki ingin keadaan itu cepat berakhir.
"Karena memikirkan kau maka jantungku jadi kumat."
Joki sangat tak suka mendengar perihal penyakit. Maka ruangan yang sejuk itu tiba-tiba terasa pengap baginya.
Beberapa ketika tempat itu hening. Jam dinding berdetak-detak. Macan yang diawetkan menatap nanap dan pojok ruangan.
"Sekarang Mama ingin membicarakan tentang dirimu."
Joki mengangkat kepala. Matanya memandang bergantian dari ibunya ke nantulang-nya. Kedua perempuan tua itu menghunjamkan tatapan lekat-lekat, membuat Joki gelisah.
"Mama sudah membicarakan dengan tulang dan nantulang-mu."
Sesaat perempuan tua itu mencari reaksi dari wajah Joki. Tetapi Joki sedingin arca di candi-candi.
"Kami semua sudah setuju."
Joki mengangkat alisnya hingga jidatnya berkerut.
"Kau dan Meinar akan dikawinkan."
Jantung Joki menggelepar. Napasnya sesak.
"Bah, aha do na dihatai on (apa pula yang dibicarakan ini)"" katanya terengah. Ibunya mengangkat alis.
"Ya, kami semua sudah setuju. Kau dan Meinar jadi suami-istri."
"Mama! Ini terlalu. Kalian tak pernah mencek diri kami." "Ini untuk kebaikan kalian sendiri."
"Kami tidak saling mencintai. Lebih-lebih lagi Meinar, dia sudah ada yang dicintai dan mencintainya. Kalian jangan sewenang-wenang."
"Siapa yang sewenang-wenang" Ini untuk kebahagiaan kalian."
"Tunggu dulu, Mama," kata Joki gemetaran. "Usul siapa ide gila ini""
"Ide gila" Maksud baik orang-orang tuamu kauanggap ide gila" Bah!"
"Usul siapa ini"" kata Joki lebih menggigil.
"Usul Mama sendiri, dan tulang-mu sangat setuju."
Dada Joki gemuruh. Darah mengalir menyentak-nyentak. Telapak tangannya panas dan berkeringat. Telinganya panas. Pening.
"Mama, Meinar sudah mencintai seseorang. Aku sangat kenal lelaki itu. Dia sangat baik. Nantulang, Meinar sangat mencintai lelaki itu. Aku tahu betul. Jangan kecewakan mereka."
Tetapi, kedua perempuan itu tak bereaksi.
"Aku tidak mencintai Meinar. Bagiku, dia tak lebih dari seorang adik."
Kedua perempuan itu cuma menatapnya tajam. Dan, macan di pojok ruangan itu tetap menyeringai. Taringnya mengkilat.
"Aku tak mungkin kawin dengan Meinar. Aku tahu hatinya. Dia sangat mencintai lelaki itu."
"Tak usah mewakili Meinar. Dia bisa bicara send
iri tentang dirinya. Sekarang Mama ingin tahu dirimu sendiri. Bagaimana jawabmu""
"Sudah jelas, aku tak mungkin kawin dengan Meinar. Dia tak mencintaiku." "Lantas, kau sendiri""
"Aku tak punya perasaan apa-apa kecuali perasaan terhadap adik." "Dia boru tulang-mu, Joki. Kau yang paling berhak mengawininya." "Itu adat kuno, Mama!"
"Kuno atau tidak, tapi itu masih berlaku. Bagaimana kalau Meinar sendiri tak keberatan untuk menjadi istri-mu""
Jantung Joki menggelepar lagi. Napasnya terperangah.
"Itu tak mungkin. Itu tak mungkin. Itu tak mungkin," katanya dalam napas yang memburu. "Dia tak menolak ketika tulang dan nantulang-mu menanyakan."
"Dia tak menolak"" ucap Joki terbata-bata. "Itu tak mungkin. Pasti ada paksaan. Aku tahu betul sifat Tulang. Pasti Meinar dipaksa. Pasti! Pasti! Pasti! Oh!" Joki me-ngepal tinju dan memukul lengan kursi. "Tak mungkin!" katanya hampir berteriak.
"Jadi, kau menolak"" Suara ibunya mengancam.
Joki menatap sengit ibunya.
"Ya!" katanya dalam volume tinggi. Lalu dia berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Sembari berjalan, dia berharap bertemu Meinar di koridor. Tetapi, gadis itu tak nampak. Maka Joki keluar dengan darah yang masih menjilam-jilam.
Angin malam membelainya. Namun, darah Joki masih saja panas. Kenapa jadi se-absurdini" Kenapa jadi sekacau ini" Langkahnya tambah bergegas. Rumah itu bagai neraka baginya.
Mungkinkah ini ide Tulang Sahala" Ya, barangkali dia mau memukulku dengan cara lain. Barangkali. Barangkali. Bangsat!
Joki melompat ke dalam bus.
Jika ini ide Tulang Sahala, berarti dia berhasil memberiku pukulan balasan. Tapi, apa mau dibuatnya jika aku menolak" Bah! Ingin kulihat apa yang bisa diperbuat olehnya. Dia memang bisa memaksa anaknya. Tapi aku" Lebih baik hancur! Hancur! Hancur! Hancur dan hancur!
Petualang Asmara 4 Godfather Terakhir The Last Don Karya Mario Puzo Kitab Mudjidjad 8
^