Pencarian

Senja Merindu 4

Senja Merindu Karya Suffynurcahyati Bagian 4


surga atau neraka?" Sedikit berandai andai tentang masa depan tak mengapa.
"Surga" jawaban polos terlontar dari bibir Diana.
"Kalau begitu fida juga ingin tinggal bersama ibu dan ayah di surga nanti. Aamiin" Aufa mengusap wajahnya dengan kedua tangan yang menangkup. Setelah itu
ia mendapat sentuhan lembut di wajahnya. Sentuhan yang berasal dari tangan keriput Diana.
"Meskipun ibu dan ayah telah bercerai, sekalipun?" Ada harapan lain yang tersirat dari ucapan itu. Aufa tidak tahu harus menjawab apa. Tapi kemampuan untuk
ia berpikir tidak butuh waktu lama. Dengan cepat ia bisa menjawab.
"Tentu, bu" meskipun di istana yang berbeda. Aufa melanjutkan kalimat itu dalam hati. Karena mungkin akan lebih baik lagi jika ayah dan ibunya bisa kembali
bersatu, setelah itu bisa menikmati surga di dalam istana yang sama.
Tidak butuh waktu lama, Aufa menambah hobby barunya yakni memeluk Diana setiap saat. Pelukan yang ia anggap sebagai candu yang tidak bisa lepas dari kehidupannya.
Pelukan ternyaman kedua setelah Ayahnya. Sejenak ia berandai andai, jika saja ia bisa merasakan kedua pelukan itu bersamaan. Di waktu dan tempat yang sama.
Tentu tidak akan ada nikmat lain selain merasakan kehangatan dari kedua orang tuanya secara utuh.
"Boleh ibu menanyakan sesuatu?" Diana melepas diri dari tubuh mungil Aufa. Ditatapnya mata onyx putrinya.
"Apa sih yang engga buat ibu" sebuah cengiran sederhana menggemaskan, tercipta dari sana.
"Kalau kamu tidak berjodoh dengan Syihab, apa ada kemungkinan impian ibu yang terdahulu bakal terwujud?"
Impian yang terdahulu" Impian yang mana" Aufa menautkan kedua alisnya. Matanya menyipit kecil. Kerut kerut berlapis sudah seenaknya bertengger di kening.
Kali ini ia akui kepikunannya yang terdahulu belum juga hilang.
"Maaf bu. Fida lupa. Impian ibu yang mana,ya?"
Senyum Diana berubah misterius. Tapi lebih ke seringai jahil.
"Kamu menikah dengan Idzar"
Matanya yang awalnya menyipit kini membulat lebar seperti ingin keluar dan bergelinding dari tempatnya. Aufa mendadak sulit untuk menelan ludah. Senyumnya
berubah aneh lalu hanya bisa yengir nyengir tidak jelas dihadapan Diana.
Tidak disangka, daya ingat Diana lebih dashyat dibanding dirinya. Bukankah impian itu terucap sudah sejak lima tahun lalu" Sewaktu insiden penculikan Sina
waktu itu, kan" Dan ibu masih mengingatnya" Bahkan masih mengharapkannya"
"Sepertinya ada yang menyebut namaku"
*** Allah merupakan satu satunya pengkehendak terbaik dan terjamin kerahasiaannya. Dan takdirnya" Jangan ragukan lagi. Takdir Allah is something unexpected
miracle things. Ya, keajaiban yang menggiring Aufa hingga akhirnya ia berada disini. Di dalam mobil bersama seseorang. Terjebak kebisuan sementara karena
selama itu ia sibuk mengumpat dalam hati betapa tidak inginnya ia berada disini.
Dengan wajah sok serius berusaha tetap fokus pada kemudi. Seseorang ini juga yang sudah lancang tiba tiba masuk ke rumah ibunya lalu menelusup ke dalam
kamar. Lalu dengan santainya mendengar pembicaraan Aufa dengan ibunya. Bukan bermaksud suudzan. Tapi itu pasti. Pasti dia mendengar lalu merekam pembicaraan
tersebut ke otaknya yang dia bilang genius itu. Semoga saja tingkat kenarsisan Idzar tidak meningkat 180 derajat. Mengingat beberapa saat sebelumnya, Diana
amat memuji pria itu. Dan parahnya lagi," dengan mudah mengizinkan putrinya untuk ikut diantar menaiki mobil. Alhasil, motor matic" miliknya harus menganggur
untuk hari ini. Ibu sedang ingin menjadi mak comblang, rupanya.
"udah ketemu kok, barangnya. Keselip di pojok sofa bu Diana, bang" idzar berbicara dengan Dana via telpon. Membicarakan mengenai jam tangan milik kakaknya
yang sempat tertinggal di sana. Maka dari itu ia sempatkan pagi pagi sekali berkunjung untuk mengambil jam tangan tersebut.
"Iya, ini sedang on the way"
Idzar melirik ke kiri. Mendapati Aufa sedang sibuk memanjakan matanya memandang jalanan basah karena sisa hujan semalam.
"Sama Aufa" sahutnya menjawab pertanyaan Dana dari sebrang sana. "Oke, deh. Nanti langsung gua antar ke ruangan lu. Assalamualaikum"
Idzar mengakhiri pembicaraan selullernya lalu kembali memfokuskan diri pada kemudi.
"Kenapa kamu ga hubungin aku aja. Sms atau telpon gitu. Kan aku bisa bawain jam tangan ka Dana yang tertinggal itu" itu kalimat pertama sebagai pembuka
yang Aufa ucapkan. Agak terdengar senewen. Tapi orang yang diajak bicara tetap bersikap tenang dalam pesonanya. Ia nampak mengusap philtrum.
"Aku ga punya banyak waktu buat 15 kali menuhin notif panggilan tidak terjawab di handphone kamu lalu ditambah 5 sms yang belum terbaca" jawaban lugas
dan menohok sendi sendi otot Aufa. Ia meng-oh sambil menahan malu. Bibirnya mencebik, tersadar bahwa handphonenya saat itu ada di dalam tas dan ia lupa
menonaktifkan mode silent. Begitu handphone dikeluarkannya, terdapat 15 missed calls dan 5 new message. Dan semua koneksi itu berasal dari orang yang sama.
Dari pria yang berada disebelahnya. Memasang wajah datar nan kusut macam kemeja yang dijemur berhari hari tanpa sentuhan setrika, tertata rapi oleh wajah
fokus mengemudi. Aufa bisa menebak rona kekesalan disana. Semua notif di handphone nya bisa menjadi bukti atas semua itu. Jika mereka bisa bicara, pasti
sudah memberi kesaksian yang akurat. Pantas saja Idzar nekat masuk ke dalam rumah bahkan menjadi penyusup dadakan hanya untuk mencari sesuatu yang--katanya
tertinggal. "Tapi sedikit waktu untuk mengucapkan salam ketika masuk rumah, ada kan?" Dengan nada mencibir sambil mengendikan bahu berusaha menyudutkan Idzar.
"Ngomong ngomong, sudah di check semua notifnya?" Bisa sekali pria itu mengalihkan pembicaraan.
"Sudah" "Sms nya" Udah dibaca?"
Aufa menaikan satu alisnya. Mencurigai sesuatu dari pertanyaan itu. "Belum. Kenapa?"
"Baca dong" membuang rasa curiga berlebih. Aufa menurut saja lalu mengeluarkan handphone dari tas kulit hitamnya. Memang benar, ada 5 pesan yang belum di buka. Disentuhnya
kolom read disana. Assalamualaikum. Fa, ada jam tangan abang gue yang tertinggal disana"
Fa, bisa minta tolong bawakan jam tangan bang Dana. Atau titipkan ke Sina.
Aku ke rumah kamu sekarang.
Aku didepan rumah. Tapi ga ada yang jawab salam. Pintu tidak dikunci.
Mufida Aufa, jangan salahkan aku kalau aku nekat menjadi penyusup. Urgent!
"Sudah dibaca semua?" Idzar memastikan. Menolehnya sekilas lalu membelokan stir kemudi ke arah kanan. Aufa tidak menjawab. Hanya menggigit bibir bawahnya.
Matanya melirik ke arah lain lalu mengembungkan pipi membuang udara dari sana. Anggap itu reaksi menahan malu yang luar biasa.
"Lain kali, kamu bisa mengaktifkan mode getar. Selain tidak mengganggu karena dering. Kamu masih tetap bisa mengetahui panggilan atau pesan yang sekiranya
penting" terdengar seperti nasehat yang diberikan seorang ayah kepada anaknya. Nada bicaranya yang lembut, perlahan menyurutkan sisi egois Aufa yang mulai
kurang ajar datang seenaknya.
"Aku minta maaf" jemari lentik Aufa bermain main abstrak di atas paha. Ia menunduk sejenak lalu mendongak.
"Mungkin aku juga harus minta maaf. Telingaku sudah lancang mendengar pembicaraan kalian. Kemudian merekamnya, lalu otakku yang jenius ini sudah terlanjur
mengingatnya secara permanent" benar kan, cuma Idzar yang mengakui kejeniusannya.
"Kalau begitu kita impas" tambahnya. Tapi Aufa malah mengernyit setelah itu kedua matanya benderang seperti mendapat ide nakal.
"Siapa bilang kita impas?"
"Ya?" Idzar menatapnya heran.
"Kamu belum mempertanggung jawabkan kesalahan kamu. Sekarang jelaskan, apa aja yang udah kamu dengar" matanya menyorot tajam sambil mengarahkan telunjuk
ke wajah pria itu. Memberinya serangan intimidasi. Anggap saja Idzar adalah seorang buronan yang sedang diincar polisi.
"Kamu sendiri apa kabar" Udah ngerasa bertanggung jawab sama semua notif itu" Cuma sekedar maaf juga ga cukup kali. Itu bisa jadi bukti" Idzar dilawan.
Buaya di kadalin. Batinnya membangga.
"Emang masih kurang, bikin aku malu karena keteledoran aku tentang notif notif itu" Setidaknya aku sudah tahu dimana letak kesalahanku. Sedang kamu" Aku
butuh bukti bahwa kamu memang mendengar semua percakapan kami. Tinggal kasih tahu doang. Gampang, kan?"
"Kok jadi kamu yang ngotot sih?" idzar bergidik sebal. Keningnya berkerut membentuk tautan gradasi dari kulit.
"Siapa yang ngotot?"
"Ya kamulah. Masa aku"
"Nada bicara kamu itu lebih cenderung ngotot. Aku sih santai aja" Aufa berkelit tidak ingin disalahkan. Kali ini ia harus menang. Semoga takdir mengizinkan
dirinya menskakmatt" pria beraura es itu. Idzar diam sejenak. Semoga do'anya terqabul.
"Jadi, mau cerita apa engga" Aku berhak tahu rahasia atau mungkin aib yang seharusnya orang lain ga tahu, tapi diam diam diketahui oleh penyusup dadakan"
tanya Aufa lagi dengan tampang menyebalkan." Setara dengan menyebalkan Idzar yang akut itu.
Idzar menarik nafas pasrah. Dadanya naik turun menciptakan kharisma tersendiri yang terpancar. Kedua matanya terpejam lalu terbuka bersamaan dengan pengakuannya
yang telah dinanti Aufa. "Aku hanya bisa menarik kesimpulannya saja" pesannya, sebelum akhirnya idzar mengalah. Aufa mengangguk mengerti seraya menyilahkan. "Kamu dan Syihab adalah
kakak beradik seayah. Itulah sebabnya" mengapa Ayah Syihab membatalkan sepihak rencana pernikahan kalian"
Dengan segenap rasa perih yang kembali muncul, Aufa mencoba untuk tersenyum tegar. Menutupi kesedihan akibat kenyataan pahit yang harus terdengar lagi
dari mulut orang lain. Idzar terdiam sejenak melihat reaksi yang diberikan Aufa padanya.
"Tak apa. Lanjutkan" titahnya meyakinkan pria itu agar melanjutkan pengakuannya. Bersama keraguan yang menyertai, Idzar mengangguk kecil.
"Dan aku juga mendengar bu Diana menceritakan masa lalunya"
Itu bagian terpahit yang Aufa dengar. Bagaimanapun juga ia harus menanggung resiko atas tuntutannya kepada Idzar. Setiap lontaran yang pria itu ucapkan
seperti ratusan belati yang menghunus jantung dan organ tubuh lainnya. Segenap pertahanan diri ia kumpulkan agar tidak mengulang aksi cengeng yang beberapa
hari ini dikeluhkan Diana padanya.
"Terakhir,.. yang akan selalu aku ingat.." Idzar terdiam sejenak. Menoleh memastikan Aufa masih baik baik saja. "Tentang impian bu Diana yang belum terwujud
oleh kamu" Segelintir perasaan aneh bersorak sorak meneriakinya seakan memaksa untuk jangan bereaksi apapun. Apalagi harus menangis. Cukup dihadapan ibunya saja tangisan
itu ia tumpahkan. Matanya memejam beberapa detik menghirup pasokan energi positif yang bergumul di ruangan mobil berAC itu.
"Jangan ditahan" sebuah tangan terulur ke arahnya menggenggam dua lembar tissue. "Kalau mau nangis, nangis aja" Aufa mengerjap sekali menimbulkan satu
aliran kecil dari mata onyx nya. Ditatapnya tissue dalam genggaman Idzar.
" Aku cuma menuruti permintaan kamu. Sekarang hutangku lunas. Maaf kalau malah membuat kamu sedih" Idzar menoleh padanya sebentar lalu memalingkan ke arah
kaca jendela. "Aku ga nangis. Aku pindah ke bangku belakang aja, boleh?" Padahal warna merah perlahan nampak di mata gadis itu. Otomatis menolak uluran bantuan tissue
dari Idzar. "Memangnya aku sopir kamu. Kenapa" Malu, nangis di depan aku?"
"Dibilang, aku ga nangis. Batu banget sih, kamu" kesedihannya berubah sewot dalam sekejap. Idzar menarik dua sudut bibirnya membentuk cekungan mematikan.
Perlahan bibirnya berkedut menahan tawa.
"Ada yang lucu?" Aufa mendelik curiga. Bibirnya mengerucut keki.
"Ada. Ya kamu itu" akhirnya tawa kecil membuyar seketika. Tawa renyah khas Idzar mengisi ruang kemudi. Tawa itu menampakan sedikit deretan gigi putihnya.
"Lain kali kalau mau marah, marah aja. ga usah ditahan. Kamu malah terlihat lucu kalau marah setengah setengah gitu" sisa sisa tawa itu masih ada.
"Aku marah beneran, Idzar!" Aufa menahan geram. Setengah badanya sudah hampir menghadap idzar. Alih alih idzar akan berbalik memarahi atau melawan, ia
malah terdiam sejenak. Diamnya menyimpan sesuatu yang tidak akan pernah terduga.
"Oke oke. Maaf" Idzar mengangkat satu tangannya ke udara tanda menyerah. Tapi hasrat menertawai Aufa masih sangat besar. sebenarnya ia masih ingin membully
gadis itu, tapi sebentar lagi mobilnya akan segera sampai di gedung sekolah tempat Aufa mengajar.
"Besok besok, jangan buat aku khawatir lagi, bisa?"
Setelah bersungut ria seraya menggerutu, Aufa langsung mengerjap bodoh seperti orang linglung. Mulutnya menganga aneh bak goa. Barusan Idzar mengatakan
apa" Kenapa tiba tiba respon otaknya berjalan seperti siput"
"Mengkhawatirkanmu adalah hal yang paling aku benci"
Setelah berperang melawan segala fungsi tubuh, akhirnya Aufa paham arti ucapan yang terlontar dari Idzar. Membutuhkan kerja keras extra dari otaknya. Perlahan
tubuhnya ingin tumbang begitu saja seperti jelly. Belum lagi ada semburat panas mengisi ruang area pipinya. Ia yakin wajahnya saat ini sudah seperti tomat
segar yang baru dipetik dari perkebunan. Semua reaksi aneh itu berlangsung lama dan menguasai dirinya. Sampai sampai ia tersadar akan sesuatu.
"Mau sampai kapan ngeliatin aku kayak gitu" Ga mau turun emang" Apa masih ingin terus disini sama aku?" Senyum kemenangan terpatri indah di wajah idzar.
Sukses membuat Aufa kelabakan tak berdaya. Dilihatnya gadis itu mengatupkan bibirnya sambil menaikan dagu. Hanya untuk menambah gengsi alias menutupi rapat
rapat kesalah tingkahannya.
"Oh. Eh. Eum.. iya aku tahu. ini aku baru mau turun" gerakan tubuhnya grasa grusu. Bolak balik memutar tubuh ke kanan ke kiri entah sedang mencari apa.
Padahal tas andalannya sedang duduk manis dipangkuannya.
"Mencari apa?" Tanya Idzar menyandarkan tubuhnya di jok dengan posisi miring menghadap Aufa. Memerhatikan kekikukan gadis itu. Ia tahu, akan semakin kikuk
jika diperhatikan seperti ini. Tak apalah. Anggap saja hiburan yang menyenangkan, pikirnya.
"Aku cari tas ku, diman,--" tubuhnya menegap sempurna melihat tas yang dicarinya berada dipangkuannya daritadi. "Eh. Disini rupanya" menyambut cengiran
konyol Aufa, Idzar hanya menarik bibir sambil menggeleng.
"Terimakasih ya tumpangannya. Aku saranin. Lain waktu, ga perlu repot repot menjilat ibu kalau mau anter aku" Aufa bersiap membuka pintu untuk keluar.
"Kalau om Cokro, boleh?"
Aufa menaikan bibir atasnya. "Engga boleh" setelah keluar dari mobil, Idzar kembali menghentikannya pergerakan Aufa dengan mengatakan,
"Aku ga jamin ya. Kalau mereka suka, aku bisa apa?" Ucapnya agak berteriak karena Aufa telah berjalan pergi meninggalkannya. Tapi Idzar yakin kalau ia
mendengarnya. "Maaf, Aufa nya ga denger! Assalamualaikum" sempat sempatnya gadis itu berbalik ketika jaraknya sudah menjauh dari mobil idzar lalu dengan lantang mengatakan
itu. Idzar terkekeh geli di dalam mobil seraya menjawab salam dan bersiap melanjutkan perjalanan.
*** "beneran, om" Wah kalau gitu om kapan selesai baca" Saya mau pinjam" duduk bersandar sambil menggenggam ponsel di telinga kanannya. Meringis geli atau
terkadang tertawa sendiri mendengar apa yang diucapkan si lawan bicara di ponsel pintarnya itu.
"Jangan lama lama ya om. Saya cari buku itu sulit banget soalnya. Aduh! malah jadi saya yang ngatur ya" tangan satunya memainkan bolpoint di udara. Memutar
balikan benda itu. Matanya bergerak melihat apa saja yang tertangkap oleh indera penglihatannya.
"Oh ya. Kalau kapan kapan om mau cari buku. Kabari saya ya, syukur syukur saya bisa join. Kita bisa cari buku tentang Sayyidina Ummar yang lebih lengkap
bareng bareng, bagaimana?" Wajahnya begitu cemerlang dan merona bahagia. Senyum lebar itu tak bosan bermukim disana. Saking asyiknya perbincangannya dengan
Cokro, sampai suara ketukan pintu mengalihkan dunianya. Ditutupnya saluran speaker ponselnya itu menggunakan telapak tangan, lalu mengizinkan si pengetuk
pintu itu masuk. "Permisi, pak" salah satu staff bawahan bagian HRD datang membawa sesuatu. Ia menunduk patuh ketika Idzar memberi instruksi dengan jari agar menunggu sebentar.
"Kalau begitu saya tunggu kabar baiknya, ya om. Kebetulan ada pekerjaan lagi yang harus saya lanjutkan. Mungkin bisa disambung lain waktu"
"Sama sama om. Waalaikumsalam"
Idzar meletakan ponselnya di saku jas. Kemudian membenarkan posisi duduknya menunggu respon salah satu staffnya yang bernama Rudi.
"Maaf mengganggu waktunya, saya hanya ingin memberikan ini, pak. Barusan dari security yang menerimanya dari petugas pos" tangan Rudi mendorong selebaran
kertas tebal di atas meja kaca. Hiasan bunga di tepian benda itu menarik perhatiannya.
"Undangan pernikahan. Kamu mau menikah, Rud?" Celetuk Idzar asal. Jelas saja asal,
Sudah tahu Rudi adalah staff HRD termuda dibagiannya. Umurnya baru menginjak 19 tahun. Rudi sendiri hanya senyum senyum malu sambil menggeleng.
"Dari siapa ya?" Gumam Idzar membuka perekat plastik pada undangan merah muda tersebut.
"Kalau begitu saya permisi pamit, pak?" merasa sudah tidak dibutuhkan, Rudi beranjak dari kursi. Menyadarkan Idzar dari keseriusannya menguliti undangan.
"Oh iya. Terimakasih banyak ya" ia mendongak sekilas dan lalu kembali pada objek ditangannya. Setelah undangan itu ia buka kemudian membaca deretan nama
dengan font yang terukir indah. Ia mengangguk mengerti.
"Oh, si Nanda" sebutnya. namanya Ananda Pramesti. Dia merupakan salah satu partner bekerja Idzar di sekolah alam waktu itu. Idzar tidak menyangka kalau
orang pertama dari angkatannya yang terdahulu, adalah Nanda yang lebih dulu melepas masa lajang.
"Ga kerasa ya. Waktu cepat sekali berputar" dihempaskannya undangan tersebut di atas meja. Ia menyandarkan tubuhnya sambil menaruh kedua tangannya di atas
kepala. Memutar diri di atas kursi empuk yang nyaman.
*** Suara rengekan Biya menggema seantero kediaman Sina. Menarik narik rok ibunya yang sedang sibuk berkutat di dapur. Ia terus merengek meminta sesuatu. Sina
hampir pusing dibuatnya. Andai kepala ini bisa dilepasnya, mungkin akan ia lepas lalu menaruhnya sebentar di lemari pendingin.
Setelah susu sudah jadi diberikannya segelas susu strawberry kepada putrinya itu. Dalam sekejap, rengekan manja itu raib bersama masuknya ujung botol susu
ke dalam mulut biya. Anak itu sekarang asik dengan dunianya bersama susu strawberry kesukaannya dan buku mengaji yang sudah menunggu.
"Sorry ya lama. tadi bikinin Biya susu dulu. Tadi sampai mana?" Sina memotong motong wortel dan kentang sambil mengapit ponsel diantara telinga dan bahunya.
"Sampai aku harus berhasil ajak kamu ke acara pernikahan teman aku. Ayolah, na temenin aku" Sina memutar bola matanya malas. Setelah rengekan Biya berakhir,
sekarang ia harus menghadapi rengekan Aufa yang tiba tiba meneleponnya lalu memintanya menemani Aufa ke acara pernikahan teman mengajar di sekolah alamnya
dulu. "Aduh, fa. Maaf banget ya. Aku kayaknya beneran ga bisa. Bagaimana sama Biya?" Tangannya beralih memotong bakso dan kol. Sesekali ia mengusap peluh yang
membasahi anak rambutnya.
"Memangnya ga bisa sama ayahnya dulu" Cuma sebentar kok" Sina mendengar nada memelas dari sana.
Gerak tangannya begitu gesit meracik bumbu sop. Di tumisnya sebentar, lalu menuang air secukupnya. "Bisa aja sih, emang temen kamu yang mana sih" Aku kenal
ga?" "Kayaknya kenal. Namanya mba Nanda. Ananda Pramesti. Kenal?"
Bibir Sina mengulum seraya mengingat. "Yang pakai kacamata?"
"Bukan. Itumah Ayu. Yang cantik itu, na" Sina menimang lagi.
"Aku ga kenal kayaknya, deh. Trus kapan acaranya?" Selagi menunggu air mendidih, Sina menghampiri Biya yang sedang serius membaca buku mengajinya. Mulutnya
nampak mengucap satu persatu huruf hijaiyyah dengan lucu, ditemani ibunya duduk disebelah.
"Lusa" "Kok mendadak" Bukannya undangam walimah itu disebar maksimal dua minggu sebelum hari H ya?" Ibu muda itu menyahut riang Biya ketika ia memamerkan kemampuan
membacanya. "Kan beda beda, na. BerKhusnudzan" aja sih. Terus bagaimana" Mau ya temenin aku?" Aufa melirik jam tangannya. Masih pukul 12.30, masih ada waktu lima belas
menit untuk menguras tenaga membujuk Sina.
"Aku tanya mas Dana dulu ya. Semoga aja dia ngizinin" kalau Sina sudah menyebut nama suaminya. Otomatis rengekan memohon Aufa pasti musnah. Mau tidak mau.
Karena ia pun tahu, salah satu ketaatan seorang istri ialah meminta izin suami terlebih dahulu ketika hendak pergi kemanapun.
"Aamiin. Feeling aku sih, ka dana pasti ngizinin"
"Sok tahu" setelah air dirasa mendidih, Sina menuju kompor lalu memasukan potongan wortel dan kentang ke dalamnya. "Oh iya! Kenapa ga bareng idzar aja"
Temen kamu kan temen Idzar juga. Dia pasti diundang"
Aufa meniup kasar atap jilbabnya. sengaja dirinya tidak membahas Idzar, malah sepupunya itu yang memulai. Ditambah lagi menawarinya untuk pergi bersama.
Itu sangat tidak mungkin. Sama saja melompat agar jatuh dilubang yang sama. Tubuhnya tidak cukup kuat menahan gejolak aneh jika berada di dekat pria beralis
tebal itu. "Boleh aja. Tapi kamu tetep harus ikut ya?"
"Kok gitu?" Sina mengernyit. Memindahkan ponsel ke telinga kirinya.
"Aku ga mau berduaan sama dia kalau bukan karena terpaksa. Selagi ada kamu kenapa harus berdua?" Bagaimanapun juga, Aufa tidak akan mengulang kejadian
dimana dirinya duduk bersebelah dengan Idzar di dalam mobil. Cukup untuk kedua kalinya saja.
"Yauda. Nanti aku coba izin sama mas Dana ya. Kalau ga dibolehin gimana?"
"Pasti diizinin!" Celetuk Aufa asal. terselip harapan besar disana.
"Yee.. dasar.." akhirnya sajian sop sederhana racikan tangan Sabriana Cahaya batu saja matang. Hidungnya mengendus aroma khas sup yang baru diangkatnya.
"Yauda dilanjut nanti ya. Aku belum nidurin Biya"
Yaudah. Salam buat malaikatku ya. Kabarin secepatnya. Aku tunggu. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Keduanya menutup panggilan dari tempat yang berbeda.
*** TBC.. 14. Diam mu mengajarkanku
Sebuah mobil xenia hitam melaju menyusuri jalanan besar. Menyalip kendaraan di depannya. Seakan berlari mengejar sang waktu. Beruntung jalanan tidak begitu
ramai meski waktu sudah menjelang sore. Dimana di waktu waktu tersebut adalah waktunya para pencari nafkah maupun para adik adik penuntut ilmu bersiap
untuk pulang melepas penat atas apa yang telah mereka perjuangkan selama beberapa jam di hari ini. Begitulah seterusnya roda roda aktifitas manusia selama
berdiri menyambung hidup di atas bumi Allah ini.
Tidak terkecuali pengendara mobil xenia tersebut. duduk tegap di atas kursi kemudi mengendarai kuda besinya. Pandangannya lurus kedepan mengikuti laju
kendaraan. Ketika hampir sampai di persimpangan jalan, volume kecepatannya berkurang dan tepat berhenti ketika lampu lalu lintas disana menyembulkan warna
merah. Ia berdecak kecil karena harus kehilangan beberapa detik waktunya untuk bisa sampai ke suatu tempat yang telah dijanjikan dengan seseorang.
Selagi menunggu, sebuah pesan mengalihkan kefokusannya. Diambilnya ponsel dari saku celana kemudian mengambil posisi duduk bersandar. Ada satu pesan diterimanya.
Kamu dimana" Saya tunggu di pelataran masjid. Tks
Gaya bahasa yang singkat padat jelas. Itulah salah satu ciri khas dari Cokro. Pria yang sudah berjanji akan bertemu dengannya di salah satu masjid yang
lokasinya tidak jauh dari tempat ia bekerja.
Masih di ceger om. Oke. Balasnya singkat. Lalu meneruskan perjalanannya setelah bulatan hijau menyala di lampu lalu lintas.
Jarak dari Ceger menuju masjid At-tin tidak begitu memakan waktu banyak. Tidak sampai lima belas menit, Idzar sudah melintasi area parkir. Ia pun turun
dari mobil dibarengi pijakan kaki dan sapuan mata memandang luas area Masjid peninggalan istri mantan Presiden Soeharto yang bernama ibu Tien Soeharto.
Yang bernama lengkap, Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto. Selain unsur nama itu, nama masjidnya juga terinsipirasi dari surah Al qur'an yakni, surah At-tin.
Masjid tersebut berlokasi di jalan TMII. Letaknya juga tidak jauh dari tempat wisata Taman Mini Indonesia Indah. Hanya berjarak beberapa meter dari sana.
Di edarkan sepasang matanya mengagumi rumah ibadah termegah kedua menurutnya setelah masjid Istiqlal
Di edarkan sepasang matanya mengagumi rumah ibadah termegah kedua menurutnya setelah masjid Istiqlal. Gaya arsitektur masjid ini berusaha menonjolkan bentuk
anak panah pada dinding di hampir semua sudut dan ornamen yang menghiasinya. Lekukan anak panah ini terlihat jelas pada bagian muka masjid dari arah pintu
masuk. Motif yang ditampilkan pada lekukam tersebut menyerupai tebaran bunga karena dihiasi dejumlah gambar.
Kolam air mancur denfan keramik warna hijau muda juga dibentuk seperti anak panah. Dari arah pintu utama, pengunjun dapat dengan mudah menuju ke lantai
dasar yang digunakan sebagai ruang serbaguna, ruang mushaf, ruang rapat serta perpustakaan. Tepat di depan masjid pun masih ada pelataran yang tak kalah
luas. Di bagian pinggir pelataran tersebut terdapat pohon yang menjulang tinggi dibuat berjarak dari pohon satu dengan satunya. Menambah kesan berbeda
yang didapat oleh Idzar. Pria itu tersenyum damai memanjakan matanya melihat bangunan masjid tersebut. Karena hakikat dari sebuah Masjid ialah hanya berupa
bangunan tapi bagaimana isi dari bangunan itu sendiri. Yakni berkumpulnya orang orang beriman yang Allah serukan untuk melaksanakan perintahnya, yakni
menjalankan sholat lima waktu.
Idzar melangkah maju mencari sosok yang ia yakini sedang menunggu kehadirannya. Matanya berpetualang mencari Cokro yang katanya berada dipelataran Masjid
ini. Karena teralu ramai, sehingga menyulitkan dirinya menemui Cokro. Terlebih sedang ada pameran buku sekaligus tabligh akbar yang diselenggarakan oleh
salah satu stasiun radio swasta.
Melihat seseorang yang melambai ke arahnya, Idzar menarik sudut bibirnya seraya berjalan mantap menuju orang tersebut.
"Sudah lama menunggu ya om?" Idzar sedikit menunduk lalu meraih tangan Cokro kemudian mendaratkan tangan itu ke bibirnya. Cokro menepuk punggung Idzar
untuk membalas salam hormatnya.
"Tidak juga. Kamu sudah sholat ashar?"
"Sudah tadi di kantor"
"Alhamdulillah bagus kalau begitu" Cokro menggiring pria itu ke suatu tempat. "Nah lihat ini.. sesuai janji ku" ujarnya terdengar bersemangat.
Cokro merentangkan sedikit tangannya membiarkan Idzar melihat sesuatu yang ia tunjukan. Deretan stand yang memamerkan buku buku islami terkenal. Idzar
hampir menganga takjub, tapi niat itu ia urungkan karena Cokro berlanjut menunjuk area dimana deretan stand itu tidak hanya ada ditempat ia berdiri. Tapi
juga ada di koridor masjid.


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau yang disana itu bazar buku. Dijual buku buku stock lama dengan harga terjangkau. Tapi jangan salah. Walaupun stock lama, tapi masih dicari banyak
orang" pemaparan Cokro sudah seperti sales yang suka ia temui di mall mall besar. Bedanya, Cokro tidak menyertakan sapaan 'kakak' didalamnya. Bersyukur
Idzar bisa mengenal pria paruh baya itu. Anggap, dia adalah sosok ayah kedua setelah Arga Prama.
"Wah, boleh juga tuh, om" rona bahagia didukung rasa ingin tahu yang besar semakin membuat Cokro lebih bersemangat mengajak Idzar menuju bazar tersebut.
Di rangkulnya pria yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri itu.
"Ya sudah kita kesana dulu, ya"
Idzar menurut. Dan benar. banyak koleksi buku buku karangan penulis favouritenya. Semua karya penulis terkenal ada disana. Bahkan yang karyanya belum dikenal
banyak orang pun ada. Idzar berdecak kagum atas itu semua. Its amazing, man! Ini surga buku namanya. Tanpa menunggu aba-aba, Idzar menenggelamkan dirinya
bersama para pengunjung maupun penggila buku yang juga melakukan hal yang sama. Mengeksplor segala macam buku yang tersuguh disana. Macam taburan gula
yang dikerumuni semut-semut.
Pandangannya menangkap satu buku yang berjudul Laa tahzan. Jangan bersedih karya Abu thalhah Muhammad Yunus Abdu Sattar. Buku tersebut merangkum tentang
segala sesuatu yang tidak boleh dihadapi dengan kesedihan. Tidak ada alasan untuk bersedih. Kurang lebih seperti itu isinya menurut kesimpulan yang berada
di cover belakang buku. Buku tersebut masuk ke dalam daftar incarannya. Digenggamnya buku tersebut.
Satu lagi buku yang menarik perhatiannya. Buku yang berjudul The perfect muslimah karanganAhmad Rifa'i Rif'an. Beliau adalah penulis best seller "Man Sabara
Zafira". Mungkin buku ini cocok untuk Aufa. Idzar menghela nafas panjang. Disaat seperti ini pun, gadis itu sudah kurang ajar melintas di pikirannya.
Dibaliknya buku tersebut. Rupanya buku itu berisi kisah kisah inspiratif dari para muslimah Indonesia. Salah satunya ada kisah tentang perjalanan hidup
gadis yang ingin sekali menikah tetapi Tuhan tak jua mengabulkan pintanya. Ia baru menemukan jodoh terbaiknya saat melaksanakan petuah seorang bijak.
Dan daya tarik buku tersebut mendorong Idzar untuk membawanya bersama satu buah buku yang sudah nangkring di pangkuannya.
Ketika merasa puas dengan dua buku. Rupanya masih ada buku berhasil memanggil manggil namanya untuk dibeli. Idzar memicing lalu menghampiri buku tersebut.
Jika surga dan neraka (tak pernah) ada. Begitu judul yang tertulis disana. Karya Wawan Susetya. Di buku itu terdapat sekitar 40 tulisan- seperti dialog
penduduk Surga dan Neraka, bocoran informasi iblis, kekalnya Surga dan Neraka, peluang kaum wanita meraih Surga atau Neraka dan masih banyak lagi yang
di suguhkan buku itu kepada Idzar lewat tulisan dihalamam belakang. Ia juga membutuhkan ini sebagai penambah keimanannya. Akhirnya tiga buku sudah ia dapat.
Ia menghampiri petugas yang sedari tadi berdiri disekitar rak rak yang mengelilingi.
"Mas, saya beli yang ini"
"Ada lagi akhi, yang mau dibeli?" Tawar si petugas ramah lalu mendapat respon gelengan kecil seraya tersenyum hangat dari Idzar.
"Totalnya jadi, 100ribu"
Dikeluarkannya selembar 100ribu dari dompet. Ketika akan membayar, sesuatu mengahalangi pandangannya. Sesuatu itu berasal dari tangan cokro.
"Saya beli yang ini. Untuk kamu"
Diamatinya benda itu beberapa detik
Diamatinya benda itu beberapa detik. Dan betapa terkejutnya Idzar setelah tahu benda itu. Sebuah kaset original tentang kisah Khulafaur Rasyidin. Jangan
tanya bagaimana reaksi Idzar selanjutnya.
"Kaset ini untuk saya, om?" Kali ini Idzar berhasil menganga tak percaya. Diraihnya kaset tersebut dari tangan cokro dengan hati hati. Cokro mengangguk
seraya menyunggingkan senyum matang.
"Masya Allah om serius. Om membeli ini buat saya?"
"Pengetahuan juga bisa didapat selain lewat membaca. Dengan menonton tayangan ini, akan menambah kekagumanmu terhadap Rasulullah dan para sahabatnya. Insyaa
allah" "Apa ini tidak berlebihan, om" Atau gini aja. Om beli ini di stand mana" Biar saya beli sendiri" Jika ini mimpi, idzar berharap ada seseorang yang segera
membangunkannya atau mencubit pipinya.
"Tidak usah. Lagipula, Itu stock terakhir. Mencari ilmu itu jangan setengah setengah, nak. Ini pemberian sederhanaku. Bukan sesuatu yang lebih. Ekspresi
kamu terlalu hiperbolis" terus saja pria itu merendah diatas perlakuam istimewanya kepada Idzar. Meski menurutnya sederhana, tetap saja bagi Idzar itu
sangat luar biasa. Padahal tujuannya kesini memang untuk mencari buku riwayat Sayyidina Ummar bin Khatab. Karena tak kunjung ketemu, ia berniat mencari
ditempat lain. Tapi kaset berharga ditangannya itu mungkin sudah mengobati pencariannya.
Sambil menunggu waktu maghrib, Idzar dan Cokro duduk tenang di dalam masjid. Waktu itu ia pergunakan untuk bermuroja'ah menggunakan ponselnya. Ketika sedang
seriusnya, ada sesuatu yang menolehkan kepala Idzar kepada pria hebat disebelahnya. Cokro tengah membaca Al qur'an yang disediakan di Masjid. Ditatapnya
pria itu sangat lama. Menelaah sebuah ketulusan yang amat murni yang mungkin saja tersirat dari matanya. Tidak heran, mengapa Aufa begitu menyayangi sosok
Cokro yang ia tahu bukan ayah kandung gadis itu. Siapa yang tidak ingin hidup bersama manusia berhati malaikat ini" Manusia berwajah sangar tapi berhati
Sutra. Berbeda dengan papanya, Prama. dia lebih berwajah hangat tapi keras dan tegas. Bagaimana jika mereka dipersatukan, ya"
Tiba tiba sekelibat imaginasi lain melintas lagi di otaknya. Membayangkan jika dua sosok ayah berada dikehidupannya. Yang satu sebagai sosok Ayah kandung
dan yang satu lagi sebagai Ayah mertua. Heuh! Khayalan apa lagi ini" Seenaknya membikin Idzar tersenyum senyum sendiri dibuatnya.
*** "Kamu kenapa ga ajak aku aja sih, fa?" Dalam langkahnya Tsabit bersungut ria. "Kamu lupa ya masih punya saudara perempuan" Aku kan juga anak tante Diana"
wajahnya ditekuk sejak tadi. Dia, Diana dan juga Aufa berjalan menyusuri blok pemakaman setelah berziarah dari makam Sarah.
"Aku ga kepikiran. Beneran. Tahu gitu juga aku ajak kamu. Aku bukannya lupa. Cuma ga ingat aja" alasan dari Aufa mendapat kerucutan dari bibir Tsabit.
"Sama aja itu mah. Aku kan juga mau ikut kondangan seperti orang orang" gerutu Tsabit memasang wajah menyedihkan. "Ya sudah kalau gitu, kamu batalkan aja
rencana pergi sama ka Sina. Terus pergi sama aku aja. Gimana?"
"Mana bisa neng cantik, sholehah.. suaminya Sina udah terlanjur ngizinin dia pergi sama aku"
Tsabit mencebik pasrah tak berdaya. Tapi jejak jejak kekesalan masih terpancar dari wajahnya. Diana yang sedari tadi hanya menjadi pendengar setia, hendak
angkat bicara. "Kalau kamu ikut Aufa ke pesta pernikahan, yang menemani tante di rumah siapa" Bukannya kamu udah janji mau bantuin tante bikin lasagna" Heum?" Kekesalan
Tsabit berkurang beberapa persen. Perlahan rautnya berubah.
"Tante serius minta bantuan aku" Kalau dapur tante kenapa napa, jangan seret aku ke penjara ya. Aku bisa ledakin dapur soalnya" celetuknya lalu mendapat
tepukan ringan di lengan berasal dari Aufa.
"Hush! Sembarangan kalau bicara"
"Loh, bukannya kamu jago bikin lasagna?" Diana menoleh sebentar ke belakang. Tepat dimana Tsabit mendorong kursi rodanya.
"Siapa yang bilang" Tante mah nyindir aku. Udah tahu aku ga bisa masak. Boro boro bikin lasagna. Masak air aja kudu dicicipin" gerutu Tsabit. Rupanya ekspresi
bahagia itu tidak berlangsung lama. Ia kembali cemberut ria atas ulah ibu dan anak di dekatnya itu. Alih alih menghibur kekecewaannya, malah menambah bete.
Kini Diana dan Aufa tengah menahan tawa.
"Kalau mau ketawa, ketawa aja deh, fa. Gausah ditahan gitu" Tsabit makin sewot. Bibirnya komat kamit menggerutu tidak jelas. Harga dirinya merasa dikuliti.
Untung saja bukan Idzar yang mengulitinya.
"Aku ga ngetawain kamu. Aku ngetawain ibu. Bisa bisanya ibu ngelawak gitu. Garing garing ngeselin. Kamu yang sabar ya, bit" akhirnya tawa itu pecah.
"Iya Tsabit. Maafin tante, ya. Ekspresi polos kamu itu mancing banget buat dibully"
"Ga apa apa kok tan, lanjutin aja ketawanya. Yang diketawain lagi gak ada. Lagi pulang kampung" Tsabit memalingkan wajah disertai mimik sebal. Bibir atasnya
dinaikan lalu mengerucut.
"Bagaimana kalau tante yang buatkan kamu lasagna" tante kasih special, deh" iming iming Diana berhasil mengubah raut tidak bersahabat itu.
"Emangnya tante bisa membuatnya?"
"Ibu ku mah jago. Biar duduk di kursi roda kaya gini juga, Tangannya gesit" timpal Aufa memuji ibunya.
"Sungguh, tante?" Tsabit berhenti, kemudian berpindah mensejajarkan tubuhnya di depan Diana. Mata coklatnya membinar indah. Wanita dihadapannya itu mengangguk
yakin. "Kalau gitu, aku ga jadi ngambek"
Seketika senyum merekah terpancar dari tiga wanita hebat disana. Tidak terasa perjalanan mereka pulang menyusuri paving blok pemakaman berakhir di area
parkir. Tsabit sudah berada di jok kemudi setelah sebelumnya membantu Diana masuk ke dalam mobil dibantu Aufa.
"Eh, tapi kamu hutang budi sama aku ya" Tsabit sibuk mengenakan sabuk pengaman. Berbicara dengan Aufa yang duduk di jok belakang bersama Diana.
"Hutang apaan?"
"Karena kamu ga ngajak aku buat ikut, sebagai gantinya kamu harus mau aku dandanin buat acara besok"
Aufa berjengit ngeri. Kosa kata berdandan begitu asing ditelingannya. Seumur umur, Aufa sama sekali belum pernah menyentuhkan setiap inci wajahnya dengan
make up beserta teman temannya itu. Satu satunya alat perias yang sering ia pakai ketika berpergian hanya bedak tabur, itupun dengan merk terkenal yang
biasa dipakai bayi. dan polesan lip balm berwarna pink. Hanya itu.
"Engga mau. Kayak pergi kemana aja. Ini cuma walimah biasa, bit. Lagian aku ga mau jadi pusat perhatian orang banyak, ah" tolak Aufa mentah mentah. Membayangkannya
saja sudah ngeri. Baginya pandangan banyak orang terutama pria, ibarat serangan srigala yang siap menyantapnya. Maka dari itu, Allah memerintahkan Pria
yang lebih dulu berhijab. Dalam arti menghijabkan pandangannya. Menundukan pandangan kepada yang bukan mahramnya. Setelah itu, wanita yang diwajibkan menutup
aurat agar terjaga dirinya dari pandangan yang membahayakan dirinya.
"Yee, siapa juga yang mau merhatiin kamu"
"Yauda, Kan gak ada yang merhatiin aku, buat apa aku repot repot berhias diri atau dandan berlebihan?" Timpal Aufa. "Aku PeDe kok dengan penampilan aku"
"Ayolah, fa. Make up tipis aja. Cuma blash on trus lipstick lalu maskara setelah itu eyeshadow, kemudian,--"
"Engga mau" kalau Aufa tidak segera memotong, akan semakin banyak tetek bengek dari make up yang Tsabit sebutkan yang entah seperti apa rupanya. Tsabit
pun terdiam dalam kemudi dan menyerah. Bukan Aufa namanya kalau tidak kepala batu. Persis seperti Idzar, batinnya menilai.
"Oke okee... kamu menang" Aufa memimpin pertarungan ini.
*** Seorang pria berjalan santai ditemani dua gadis cantik di kanan dan kirinya. Gadis yang satu sibuk dengan handphone sambil menikmati ice crem cup di tangan
satunya dan gadis yang satunya sibuk mengedarkan pandangannya pada butik ataupun toko accessories yang dilewatinya. Matanya menatap kagum disertai hasrat
untuk memiliki salah satu barang barang disana.
Sedang si pria pun melakukan hal yang sama dengan gadis kedua, memanjakan matanya melihat barang barang yang ditawarkan para spg cantik yang menghiasi
setiap toko yang mereka lewati di mall terbesar di Jakarta. Sekedar quality time sederhana ini cukup menghilangkan gejala stress yang ada di dirinya.
Ditapakinya kaki mereka menaiki pijakan eskalator. Kini mereka asyik bersenda gurau di atas tangga berjalan otomatis itu. Sesekali tertawa terpingkal pingkal
karena salah satu ulah diantara mereka mengeluarkan lontaran jenaka. Sehingga tidak mempedulikan pandangan orang sekitar yang menatapnya aneh. Meski ada
beberapa yang memerhatikan mereka, atau lebih tepatnya memerhatikan pria tersebut. Menatapnya kagum seolah olah seperti bertemu seorang artis pemain sinetron
striping yang sering mereka tonton. Sedang yang diperhatikan, tidak merasa dirinya menjadi pusat perhatian. bersikap biasa saja. Tetap tenang membiarkan
pesona ketenangan itu menyebar ke seluruh pasang mata yang melihatnya.
"Bang, beliin Icha ini, dong! Icha udah ngincer ini daridulu" gadis yang bernama Icha itu sontak menarik tangan abangnya dalam gandengan. Membuatnya terpaksa
menurut ke arah yang di tuju. Sebuah toko tas yang menjual tas tas bermerk kelas atas. Ditunjuknya sebuah tas jinjing berbahan kulit warna putih bertengger
manis di dalam etalase toko. Dengan design yang simple. Berukuran sedang dan sangat cocok di pakai untuk seorang gadis feminin seperti Icha.
"Tas kamu udah banyak, cha. Mau beli yang kayak gimana lagi?" Protes Syihab mengamati tas yang ditunjuk adiknya. Rasa rasanya, tas itu sama seperti tas
tas yang lain. Lalu apa yang membedakan"
"Yang kayak gini, bang. Ini tuh limited edition! Ayolah, bang. Mumpung disini masih ada" bujuk Icha memanfaatkan wajah melasnya. Didukung kedatangan salah
seorang pegawai toko yang tentunya meng-iya-kan bahwa tas tersebut memang limited edition.
Di amatinya tas tersebut. Meski hanya lewat kaca etalase, Syihab yakin mengapa tas tersebut begitu mahal. Bukankah yang mahal dan berharga itu tidak mudah
untuk di jamah" Hanya yang benar benar ingin membeli lah yang bisa memilikinya. Seperti bagaimana seorang wanita sholehah yang menutup auratnya. Mata pria
itu tertuju pada label harga yang terpajang. Harganya hampir setara dengan harga jam tangan miliknya.
"Jangan kebanyakan mikir, Bang. Nanti keburu dibeli orang" Icha menyadarkan.
"Yelah, Cha. Tas kayak gini mah, di tanah abang banyak. Murah lagi" Acha mulai angkat bicara. Disambut decak malas Icha seraya memutar bola matanya.
"Ga usah kompor deh, Cha. Selera kamu sama aku beda"
"Ya jelas beda, lah. Selera gue mah yang penting nyaman dipake. Ga harus mahal. Karena yang nyaman itu menyenangkan" Acha mesem mesem sendiri lalu menyuap
sesendok ice cream ditangannya.
"Yee.. dia curhat.. hati hati, yang nyaman justru effeknya lebih parah ketimbang jatuh cinta" cibir Icha sambil mengingatkan. Tak ayal juga mengingatkan
dirinya sendiri. Dan anehnya kenapa topiknya jadi melenceng ke arah sana" kembali ke pertimbangan abangnya. "Jadi, gimana bang?"
Tak ingin membuat adiknya kecewa, Syihab mengeluarkan dompet seraya berkata "mba, tolong bungkus yang ini ya"
Senyum merekah disertai mata berbinar tampak dari wajah Icha. Di peluknya Syihab dari arah samping sebagai ucapan terimakasih.
"Aahh~ abang baik banget. Terimakasih ya abangku yang ganteng kuadrat. Icha sayang abang" ungkap Icha bahagia setelah menerima tas idamannya dari tangan
kasir dalam keadaan terbungkus kotak berlogo merk tas tersebut.
"Sama sama, neng Icha" balas Syihab mengulum senyum. Mengusap puncak kepala adiknya.
"Abang udah ga galau lagi, kan?" Tanya Acha di sela menikmati seporsi nasi dan ayam goreng dihadapanya. Setelah merasa puas mengitari mall sekaligus membeli
barang barang tertentu, kini mereka berada di restaurant cepat saji. Menikmati makanan kesukaannya. Lebih tepatnya, makanan kesukaan kedua adiknya. Kalau
bukan karena mereka, Syihab lebih memilih restaurant yang menyediakan menu sehat, tentunya. Alhasil, dia hanya memesan kentang goreng dan minuman berkarbonasi.
Mungkin hanya sesekali mengonsumsi tak apa, pikirnya.
"Memang siapa yang galau?" Syihab bertanya balik seraya menyuap kentang goreng.
"Ya abanglah. Acha tahu abang galau banget setelah papa membatalkan rencana pernikahan abang sama ka Aufa" ujar Acha sok tahu.
"Engga juga. Emangnya abang, kamu. Bentar bentar galau. Bentar bentar mewek jadi korban friendzone" alih alih membuat Acha marah karena cibiran tersebut.
Ia malah tertawa terbahak bahak. Syihab sempat dibuat bingung.
"Abang kayaknya salah sasaran deh. Lihat deh, ekspresi adik abang yang satunya" mata Acha menjurus ke kursi sebelah kanan Syihab. Didapatinya Icha sedang
bersungut sebal seraya mengerucutkan bibirnya. Matanya mendelik sinis.
"Bang Syihab nyindir Icha?"
Selang beberapa detik, Syihab menyadari bahwa kemampuan membedakan dua adik kembarnya tersebut mulai menurun.
"Bukannya yang semalam curhat sama abang gara gara kena friendzone itu Acha, ya?" Tanyanya dengan raut bodoh. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Itu Icha, bang. Abang mah, buka kartu sih.." Icha semakin sebal dibuatnya. Bibinya yang mengerucut itu bisa disandingkan dengan hidungnya yang mancung.
"Jadi itu, kamu" Astagaa.." umpat Syihab secara tidak langsung mengakui kecerobohannya. Sambil menepuk jidatnya. "Maaf ya. Abang kira kamu Acha. Niat abang
mau bikin gondog dia, jadi kamu yang kena. Maafin abang ya, cantik" pinta syihab dengan segenak rasa bersalahnya diiringi gelak tawa Acha yang membludak
bahagia. "Itu bukti kalau abang masih galau. Kalau ga galau, ga mungkin sampe kumat ga bisa bedain kita" timpal Icha bisa dengan bebas menyalahkan abangnya itu.
Sebenarnya Syihab sendiri tidak begitu yakin apakah dirinya memang galau seperti yang diprediksi dua adiknya itu. Pada awalnya ia memang dibuat dilemma
luar biasa. Ketika berjuang untuk gadis yang begitu ia cintai harus pupus di tengah jalan karena keputusan sepihak papanya. Tapi setelah ia tahu alasan
kuat mengapa Sandy melakukan hal tersebut. Perlahan hati kecilnya sanggup menerima. Menerima kenyataan dimana Aufa adalah kakak tirinya. Sandy sempat meminta
maaf kala itu. Karena masa lalunya yang sebegitu rumit, membuat Sandy harus mengorbankan pengorbanan putranya.
Kalau sudah begini, bergalau galau ria pun tidak ada gunanya. Kehidupan diluar sana sudah menunggu. Apa yang harus di ratapi, selagi Tuhan masih memberi
hambaNya nikmat yang luar biasa hebat.
"Malah bengong" celetukan Icha menyadarkan dirinya dari kesibukan mengenang sederet kenyataan hidup. Pria itu terkesiap kemudian menyuap lagi satu kentang
goreng. "Oh iya, bang. Cowok yang waktu itu sama abang, siapa?" Melupakan konflik dan juga kegondokan terhadap syihab, Icha mengganti topik pembicaraan.
"Yang mana?" "Yang waktu di acara lamaran abang, sebelum kita pulang kan abang sempat papasan sama cowok tuh" jelas Icha sambil mencocol potongan ayam goreng ke saus
tomat lalu melahapnya dengan nikmat.
"Ah! Iya itu. Dari kemarin Acha juga mau nanya ke abang. Tapi lupa mulu" hampir saja nasi yang dimuat di mulut Acha tersembur keluar. Syihab dan Icha hanya
bergidik ngeri. "Cowok yang papasan sama abang itu siapa sih?"
Syihab mengingat sebentar. Matanya melirik ke arah lain. Tak butuh waktu lama, ingatannya menjurus pada sosok Idzar. Ya, siapa lagi kalau bukan Idzar.
"Oh, Idzar. Kenapa?"
Dua gadis kembar itu saling tatap satu sama lain penuh arti disertai seringai nakal.
"Ganteeenggg bangeett..." jawab mereka kompak.
Syihab mengernyit aneh. Keningnya membentuk lapisan. Sejenak berpikir kedua adiknya itu sudah seperti anggota cheeerleader. Bahkan kekompakannya mengalahkan
tim sorak sorak bergembira itu.
"Jadi namanya Idzar" Icha mesem mesem tidak jelas. "Nama panjangnya siapa, bang?" Tanyanya lagi.
"Abang kurang tahu."
"Yah, cari tahu dong, bang" rengek Acha.
"Kok kalian jadi lebay gini" Gantengan mana Idzar sama abang?"
Duo srikandi itu saling bertatapan lagi. Saling bertukar pikiran lewat sorot mata yang memiliki arti. Acha mengangguk memberi isyarat tertentu kepada Icha.
"Gantengan abang kok. Kalau idzar itu manis, bang. Dan orang manis itu gak ngebosenin"
"Jadi maksud kalian,muka abang ngebosenin?"
Sebelum keduanya mendapat murka dari Syihab, Icha dan Acha bersiap untuk segera pergi dari tempat bersama cengiran jahil yang menyebalkan.
*** "Besok kamu pakai baju yang ini aja ya, nak"
Diana mengeluarkan gamis brukat berwarna putih terlapis puring berwarna putih gading dari lemari bajunya. Di amatinya gamis tersebut. Terlihat sederhana
namun elegant. Ada beberapa detail yang mempecantik gamis tersebut. Bordiran pada tepi gamis menggunakan benang warna gold membentuk ukiran memanjang sepanjang
diameter gamis. Aufa melirik sebentar. Lalu meneruskan kesibukannya. Mengerjakan beberapa lembaran kunci jawaban.
"Nah, kalau hijabnya pakai yang ini atau yang ini ya" Menurut kamu gimana?"
Aufa menarik nafas seraya menoleh pada kesibukan ibunya. Padahal yang menghadiri acara adalah Aufa, tapi Diana sudah repot sejak tadi. Dari mulai sibuk
memilih aksesoris, pakaian dan sebagainya.
Diamatinya dua khimar dengan warna dan model yang berbeda. Tidak mau terlalu pusing, Aufa memilih khimar yang senada dengan warna gamisnya saja.
"Kalau fida suka yang di sebelah kanan ibu"
"Yang ini?" Diangkatnya khimar berwarna putih berserta bros bunga daisy yang menghiasi.
Aufa mengangguk kecil. "Bagus juga pilihan kamu. Yauda ibu siapin disini ya. Besok kamu tinggal siap pakai" disampirkannya pakaian tersebut di atas sofa agar besok Aufa tinggal
memakainya. "Iya, makasi banyak ya, bucan"
Diana menautkan alis. "Bucan?"
"Ibu Cantik. Hehe" lelucon tersebut mendapat elusan ringan di wajah Aufa. "Bisa aja kamu ini"
"Oh ya, besok jadi berangkat bareng Sina?" Diana duduk di tepi ranjang menemani Aufa berkutat dengan lembaran tugasnya.
"Jadi. besok Sina jemput aku kesini"
"Sama Idzar juga?"
Jawab. Engga. Jawab. Engga. Jawab. Ah, tinggal jawab doang. Gerutu Aufa dalam hatinya.
"Iya" Tidak ada sahutan ataupun pertanyaan lagi. Keduanya menghening beberapa saat.
"Kapan ya Idzar ngelamar kamu?"
Disela keheningan, Diana kembali membuka suara dengan melontarkan pertanyaan extrim itu. Sontak Aufa berjengit kaget.
"Kok ibu nanyanya gitu?"
"Emang salah, ibu nanya gitu" Jodoh kan gak ada yang tahu. Yaa.. siapa tahu kamu berjodoh dengan Idzar" Diana mulai berandai andai sambil memijat mijat
asal punggung anaknya. Matanya berbinar menatap langit langit kamar. Seolah olah ada sebuah masa depan putrinya disana.
"Kalau jodoh. Kalau engga?"
Dengan gerakan kilat Diana menoleh cepat.
"Mbo' ya bilang 'aamiin' gitu, nak. Emang perasaan kamu ke Idzar itu seperti apa, sih?"
"Perasaan ini sama seperti dulu, bu. Seperti lima tahun lalu sejak mengenalnya. Bahkan masih utuh" sayangnya kalimat itu hanya berani ia ucapkan di dalam
hati. Dibalik sikap diamnya setelah Diana menanyakan hal tersebut.
"Fida,.." Diana memanggil. Memastikan putrinya baik baik saja. Gadis itu menyambutnya dengan senyuman sederhana.
"Bu,.. fida ngantuk. Fida tidur duluan ya. Ibu belum ngantuk memangnya?"
Diana menipiskan bibirnya lalu mengeluarkan nafas panjang. Mencoba mengerti bahwa putrinya tersebut tidak ingin menjawab pertanyaannya.
"Lumayan sih. Yasudah, kamu tidur ya. Segera rapikan tugas tugasmu setelah itu minum air putih lalu berwudhu dan jangan lupa berdoa" pesannya berirama
lembut. "Iya. Ibu juga ya"
Tak lama setelah Diana keluar dari kamar, terdengar bunyi dering dari arah meja samping tempat tidur. Suara itu berasal dari handphone Aufa. Rupanya ada
satu pesan yang baru saja ia terima. Pesan itu dari Pria yang baru saja menjadi topik hangat obrolannya dengan Diana. Apa ada barangnya yang tertinggal
lagi" Batin Aufa mencibir. Dibacanya isi pesan tersebut.
Diam mu mengajarkanku untuk berpikir..
*** TBC... 15. Petir yang memecah Senja
Tirai tirai indah bergelayut rapi di langit langit. Perpaduan warna putih dan merah muda mempermanis dekor yang menyertai. Rangkaian bunga mawar dengan
warna beraneka turut hadir mengisi sudut sudut pilar yang terlapisi yang berwarna senada dengan tenda yang menanungi.
Lagu lagu indah mengiringi suasana moment sakral dimana menyatunya dua hati sang insan dalam ikatan suci pernikahan. Mereka menebar senyum kebahagiaan
yang terpancar. Menularkan kepada siapapun yang berada disekitar. Seolah tak ingin menyimpan sendiri nikmat yang Allah berikan kepada hambaNya.
Aufa, Sina dan juga Idzar berjalan di atas karpet merah menuju kursi pelaminan dimana kerabatnya Ananda Pramesti telah berdiri bersama pria--yang telah
menjadi suaminya itu--menyambut kehadiran mereka sebagai tamu yang begitu diharapkan kedatangannya.
"Akhirnya yang aku tunggu dateng juga" sambutan hangat Nanda menyambut Idzar yang berdiri paling depan lalu menangkup kedua tangannya. Pria itu tersenyum
lebar. "Oh nungguin, toh" balasnya. "Ngomong ngomong barakallah ya Nan, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah dan warahmah. Ga nyangka dari angkatan kita
kamu duluan" lanjutnya ramah sambil lalu menyalami mempelai Pria.
"Alhamdulillah. kamu cepat nyusul makanya.." tak lama, sapaan hangat itu berpindah pada tamu di belakang Idzar.
"Haii pengantin cantik.." Aufa memberi senyum terbaiknya kepada Nanda yang menyambut dengan pelukan serta ciuman pipi kanan dan kiri.
"Hai juga jomblo cantik. Terimakasih udah mau hadir"
"Ga apa apa deh jomblo yang penting cantik" setelah itu Aufa berjingkrak kegirangannya sambil memegang kedua tangan Nanda. "Aaa~ selamat menempuh hidup
baru ya mba Nanda. Semoga diberi keberkahan dan berjodoh dunia dan akhirat. Aamiin. Hari ini mba Cantik banget beneran. Aku sampe pangling" ungkapnya haru
melihat kebahagiaan yang terpancar dari teman lamanya itu.
"terimakasih ya sayangku... kamu cepetan nyusul ya. Aku yakin kamu bakal lebih cantik dari aku"
"Insya Allah. Doain aja ya mba pokoknyaa" jawab Aufa lanjut memberi selamat kepada mempelai pria.
Nanda pun turut menyambut ucapan selamat dari Sina yang ternyata sempat mengenalnya meski harus menguras ingatannya beberapa detik. Rupanya mereka pernah
bertemu sewaktu Idzar mengajaknya bersama Maudy kala itu. Setidaknya pertemuan ini, kembali menjalin tali sillaturahim diantara keduanya yang belum sempat
tersambung menjadi ikatan kuat.
"Kamu dandan ya?" Tanya Idzar di sela kegiatannya menyendok menu makanan yang telah di suguhkan pada meja yang memanjang.
"Engga. Kata siapa?" Jawab Aufa melakukan hal yang sama dengan Pria yang membelakanginya.
"Keliatan banget"
"Oh, Idzar merhatiin ceritanya"
celetukan itu berasal dari wanita di belakang Aufa. Pria itu baru menyadari kalau Sina ikut bersamanya. Siap siap tahan banting kalau begitu. Karena kehadiran
Sina akan berperan menjadi gadis kompor yang tugasnya memanasi mereka berdua. Idzar berdecak kecil.


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh. Kakak ipar laper ya" Pantes rese'" tangan Idzar menyendok ikan marlin berbumbu saus tiram. Cibiran itu berbalas kekehan kecil dari Sina.
"Emang mukaku kayak pake make up, gitu" tanyanya disertai rasa ingin tahu yang besar.
"Lah, merah merah di pipi itu artinya apa?" Aufa terdiam sambil mengernyit sebentar. Mulutnya sedikit menganga. Mencerna beberapa kosa kata yang mengganggu
pikirannya. Mengalahkan keyakinannya sendiri bahwa memang ia bersih keras untuk tidak dandan berlebih. Untuk memakai blush on pun tidak terpikirkan. Lantas,
merah merah darimana"
Mereka bertiga duduk di salah satu meja bundar yang letaknya berada di luar gedung. Tepatnya di taman yang telah di dekor sedemikian cantiknya.
"Mungkin mata kamu yang bermasalah. Orang aku ga dandan"
"Oh yauda kalau gitu. Biasa aja ah jawabnya. Ga usah pake merona gitu" jawaban menyebalkan itu sontak merangsang gerak tangan Aufa untuk memeriksa kedua
pipinya yang memanas. Menepuk nepuknya berkali kali, berusaha rona rona panas yang Idzar bilang itu segera musnah dan tidak membuatnya malu.
"Gak usah nyiksa diri sendiri. Jangan bikin aku ngakak di acara ini gara gara ngeliat tingkah kamu" alih alih ingin memusnahkan serangan rona merah itu,
Aufa malah berniat ingin menelan Idzar mentah mentah. Celetukannya benar benar tidak bisa dimaafkan. Aufa mendengus kasar lalu berusaha mengembalikan selera
makannya yang sempat hilang itu.
"Modus mulu dah. Modusin ayahnya berani, ga" Kasihan anak orang di cengin mulu" itu pasti Sina. Pikir Idzar. Seperti yang ia prediksi. Kehadiran kakak
iparnya itu memang akan membuatnya ingin segera berpindah ke negara api.
"Dih, siapa yang modus?" Protes Idzar berjengit.
"Tenang, fa. Hari ini aku bakal lindungin kamu dari pria bermulut manis kayak dia" bela Sina menunjuk nunjuk pria yang duduk dihadapannya sambil mengunyah
makanan. Kebiasaan buruk Sina yang satu itu bahkan masih menempel hingga sekarang. Tak peduli pada status ibu yang menyertainya. Idzar sempat menggeleng
lalu bernafas pendek. "Coba itu makanannya ditelen dulu, bisa" Masih aja" Balasnya tak kalah sinis. Sina menurut. Ia menelan makanan dalam kunyahannya lalu meminum segelas air
mineral kemasan di pangkuannya.
"Kalau berani, temuin ayahnya terus bilang 'Om, saya boleh modusin anaknya ga"' Kalau ayahnya bilang ga boleh, kamu jawab 'tapi kalau meminang anaknya
boleh, kan"' Tuh.. gue ajarin dzar" mendengar tips tips ala Sina yang justru terdengar alay malah membuat Idzar ingin mengeluarkan seluruh isi perutnya.
Menurutnya itu cara merayu terburuk yang pernah ia dengar. Ia menaikan salah satu sudut bibirnya.
"Ajaran lu sesat, kakak ipar"
"Sesat darimananya" Itu cara modusin ayahnya. Daripada modusin anaknya mulu. Dinikahin, engga. Di bikin baper, iya"
Sepertinya upaya Sina melindungi Aufa dari serangan Idzar berhasil. Buktinya pria itu tidak bisa berkutik. Ia mulai diam seribu bahasa sambil menyimpan
senyum geli. Sedang Aufa berusaha sekuat mungkin untuk tidak menumpahkan tawa yang sedari tadi bergerilya di dalam dirinya. Melihat idzar tak berdaya di
tangan sepupunya adalah pemandangan yang jarang sekali ia temui. Sekarang Kedua gadis itu saling menatap satu sama lain lalu terkekeh geli.
Tak lama kemudian datang seseorang yang sedari tadi mengawasi Idzar dari kejauhan.
"Tuh kan bener! Udah gue duga pasti Idzar" tebak orang itu.
"Sadam?" Pria yang disebut namanya, mengangguk lalu memberi tonjokan ringan di lengan Idzar.
"Bukan. Gue Lee min ho" jawab Sadam asal, sontak membuat dua sejoli yang sempat terpisah itu saling merangkul melepas kerinduan mereka. Setelah hampir
bertahun tahun semenjak satu persatu dari mereka mengundurkan diri dari sekolah alam dan sibuk dengan kehidupan masing masing. Dan di moment inilah mereka
kembali dipertemukan. "Yasalam.. apa kabar lo, sob" Bersyukur banget gue bisa ketemu lo lagi disini"
"Alhamdulillah masih ganteng gue. Lo sendiri gimana, masih jomblo?" Sahabat Idzar yang satu ini memang punya sisi humoris tingkat menyebalkan. Celetukan
ringannya itu lucu, tapi nyakitin. Kebayang bagaimana ekspresi mendenganya.
"Tapi ganteng lo masih dibawah gue. Jomblo gue mah jomblo berkelas, sob" kelit Idzar tak mau kalah.
"Wah, kalau lu masih jomblo juga sampe sekarang. Berarti kegantengan lu turun dibawah gue. Soalnya gue udah ga jomblo" suatu kabar baik yang menyudutkan
Idzar tentunya. Terlebih dihadapan kakak ipar juga Aufa. Mereka lebih asyik menjadi penonton Setia dua pria di hadapannya.
"Kalau lu udah ga jomblo, ga masalah. Tapi kalau kegantengan lu mau nyaingin gue, lu kebanyakan tidur. Bangun dam, bangun" balasnya.
"Sial lu!" Umpat Sadam lalu duduk di salah satu bangku kosong tepat di samping Idzar. "Ngomong ngomong, lu sama siapa kesini?"
Idzar menjawab lewat pandangan wajahnya yang mengarah ke dua orang gadis disebelahnya.
"Weis, bawa dua partner sekaligus, nih" tapi tiba-tiba wajah Sadam berubah.
"Eh! Tunggu. Lu mufida Aufa kan" Aufa?" Tebak Sadam dengan mimik serius.
Aufa mengangguk lalu tersenyum hingga menciptakan dua garis dari matanya yang menyipit.
"Apa kabar dam?" Sapanya.
"Masya Allah.. ini beneran Aufa.." Jadi cantik ya sekarang" satu pujian yang terucap dari mulut Sadam, menimbulkan tatapan siaga dari pria bernama Idzar.
Sedang Aufa sudah menunduk sejak pujian itu ditujukan kepadanya.
"Ah! Sayang banget gue udah taken" gumam Sadam sambil menepuk pahanya sendiri mengekspresikan raut penyesalan. "Coba aja kita dipertemukan lebih dulu.
Mungkin gue,--" ungkapan demi ungkapan yang terlontar akhirnya harus terpotong dari sahutan pria disebelahnya.
"Allah tidak menyukai hambaNya yang suka berandai andai. Itu sama aja seperti mereka tidak menerima apa yang Dia kehendaki" sindiran yang berasal dari
Idzar sontak membuat Sadam menoleh cepat kepada Idzar yang memang tidak menatapnya langsung. Hanya lirikan hati hati yang ia dapat.
"Gue bukan berandai andai, dzar. Gue menyisipkan khayalan ketika gue memuji seorang wanita" kelit Sadam dengan mimik jenaka.
"Intinya ada harapan dari pujian itu, kan" Hati hati kalau memuji seseorang. Rasulullah pun pernah memuji. Tapi pujian yang memotivasi dan berdasarkan
kenyataan" wajah Idzar mendadak serius. Tiba tiba pandangannya mengarah pada gadis yang enggan untuk mendongak dari tadi.
"Dan untuk seseorang yang dipuji, hendaklah dia tidak terlena akan pujian tersebut. Karena akan menimbulkan rasa bangga terhadap dirinya sendiri" kali
ini Aufa berhasil mendongak. Mengerti akan sinyal buruk yang menimpa dirinya. Sadam yang mendengar hal itu hanya bisa melongo bodoh. Menganggap Idzar sedang
kumat atau mendadak butuh piknik.
"Hai, Sadam" dengan gaya sok" asik, Sina membuka suara. Memberi senyum bersahabat. Mungkin lebih tepatnya, senyum mengajak bekerja sama
"Ucapan Idzar ada benarnya kok. Tapi lo tenang aja. dia ngomong gitu karena dia cemburu. Ya.. lo tahu kan.." masih dengan nada ala ala anak gaul zaman
sekarang sambil memasang wajah aneh seolah memberi isyarat tertentu. Bahunya dinaikan sedikit. Sadam pun tidak bodoh. Otaknya merangsang cepat reaksi yang
diberikan Sina padanya. "Oh jadi Idzar cemburu?" Ucapannya dibuat dengan volume tinggi dan lantang. Semua itu dilakukan dengan sengaja guna memancing Idzar, pastinya.
Rencananya pun sukses membuat Idzar memberi tatapan berbahaya kepada sahabatnya itu dan juga kepada Sina, tentu saja. Tugasnya sebagai gadis kompor hari
ini berhasil. "Siapa yang cemburu" Kalian berdua sekongkol ya. Cocok nih kalau bikin duo group" idzar menatap Sadam dan Sina bergantian setelah itu memalingkan wajahnya
sekilas. "Ya adik ipar ku inilah" sahut Sina.
"Pake ngalihin topik segala lagi. Udah pinter ya sohib gue yang ganteng ini" Sadam kembali merangkul Idzar ditatapnya sahabatnya itu dengan lucu.
"Ini apaan nih ngerangkul rangkul" Sana ah, gue masih normal, dam" idzar mendorong dorong tubuh Sadam dengan wajah jijik.
"Yakin" Kamu ga mau nemenin aku malam ini, mas"
"Sadam stress!" Umpat Idzar mendorong kasar tubuh pria cungkring itu hingga hampir saja ia terpental. Gelak tawa pun tercipta dari mereka.
*** Sebelum waktu Ashar, Aufa Sina dan juga Idzar sudah harus tiba dirumah untuk mengejar sholat Ashar. Setelah mereka pamit dari acara, merekapun bersiap
untuk pulang. Setibanya di parkiran, tiba tiba Sina merasakan sesuatu yang aneh di tubuhnya.
"Eh. Tunggu!" Idzar yang tadinya bersiap untuk menyalakan mesin mobil harus terhenti kemudian menoleh ke jok belakang.
"Kenapa?" "Aku kebelet pipis. Di gedung sana ada toilet ga ya?" Tanyanya cemas sambil menahan panggilan alam di tubuhnya itu.
"Ada kok. Mau aku temenin?" Tawar Aufa turut khawatir. Tapi tawaran itu langsung di tolak Sina dan ia bergegas menuju toilet yang berada di gedung pernikahan.
Mencium keadaan berbahaya," Aufa turut keluar dari mobil dan memilih berdiri di depan pintu mobil yang terbuka. Setidaknya membiarkan idzar sendiri disana
selagi menunggu Sina. "Sms ku yang semalam sudah kamu baca?"
Aufa menoleh sebentar. "Iya sudah. Maaf ga aku bales. Aku ga paham sama isi pesan kamu" jawabnya singkat.
"Iya ga apa apa. Aku ngerti"
"Ngerti apa?" "Ngerti, kalau otak kamu belum nyampe buat memahami isi pesan itu. Sama kayak Sina. Loadingnya lama" Aufa mendelik protes.
"Kamu mau bilang aku bodoh?" Sekarang gadis itu berbalik. Mengirim tatapan membunuh terhadap Idzar.
"Kamu yang bilang ya. Bukan aku"
Idzar minta di mutilasi rupanya. Sayangnya tidak ada Sina disini. Kalau ada, mungkin pria itu sudah habis dimaki olehnya. Tapi bukan berarti Aufa tidak
bisa bertindak apa apa. Siapa yang tahu kalau sekarang otaknya sedang menerima amunisi berharga untuk siap menyerang balik pria itu.
"Aku yang memang bodoh, atau memang jalan pikiran kamu yang sulit dimengerti?"
Idzar diam. Entah mengapa pikirannya menangkap arti lain. Dilihatnya Aufa dari balik spion mobil sebelah kanan.
"Mungkin keduanya. Tapi ada yang lebih sulit dimengerti selain jalan pikiranku. Yaitu kamu"
Dengan seluruh keberanian yang dipaksa, akhirnya Aufa mengalihkan pandangan kepada pria yang masih duduk santai di kursi kemudi.
"Dan yang lebih sulit aku mengerti adalah semua teka teki bodoh yang kamu berikan. Dari mulai puisi Senja mu itu sampai sms yang sama sekali tidak aku
mengerti" ucapannya nampak menggebu gebu. Seperti mengeluarkan segelintir pesan pesan yang sempat tersumbat dalam palung jiwanya yang terdalam.
"Aku bukan gadis yang pandai memainkan kata demi kata hanya untuk menyampaikan maksudku. Aku juga bukan gadis cerdas yang bisa dengan cepat tanggap akan
isyarat isyarat yang menurutku,.." sempat sempatnya ia merasakan kelu di lidah. Aufa segera menggeleng cepat seraya mendesis.
"Lupakan saja. Iya, kamu benar. Aku memang bodoh"
Dibalik raut pasrah yang nampak dari gadis itu, Idzar perlahan mampu membacanya. Membaca jelas apa yang tersirat dari sana. Menelaah kejujuran yang gadis
itu ciptakan meski dengan caranya yang sembunyi sembunyi
"Percayalah pada waktu. Ia akan senang hati membawa mu pada kepastian yang indah"
Aufa memutar bola matanya malas seraya mendesah. Upayanya mengajukan protes tidak berpengaruh sama sekali. Dan yang lebih menyebalkan adalah ketika teka
teki yang diberikan Idzar padanya belum terpecahkan, sekarang muncul lagi kalimat misterius baru. Mungkin selain mengidolakan Sayyidina Ummar, Idzar juga
terobsesi menjadi Shinichi kudo yang nyatanya tokoh kartun itu pun juga terobsesi menjadi sherlock holmes.
"Ya ya ya... aku tunggu kata kata misteriusmu selanjutnya"
*** Cokro menarih ponsel jadulnya ke atas meja lalu menyandarkan diri pada kursi goyang yang menemani lamunannya. Ia menghela nafas berat sambil menatap langit
langit terasnya. Ditemani segelas kopi menikmati sore yang begitu cerah. Sembari menunggu kedatangan putrinya yang sudah beberapa hari ini menginap di
rumah ibunya. Berharap setelah ia mengirim pesan ke putrinya agar segera pulang, ia sudah siap mengatakan sesuatu yang sudah beberapa hari ini di tahannya.
"Kamu yakin ga mau mampir?" Tawar Aufa kedua kalinya sebelum ia membuka pintu mobil.
"Engga dulu deh, fa. Makasih. Next tima aja ya. Mas Dana udah nelpon mulu soalnya" Aufa mengangguk mengerti.
"Aku ga ditawarin mampir?" Tolehan kepala Idzar muncul dari balik jok kemudi.
"Pengen banget?" Cibir Sina.
"Kalau Sina ga mampir. Berarti Kamu juga engga. Anggap aja jawaban Sina sudah mewakili" tidak ingin berlama lama menguras emosi, Aufa bersiap membuka pintu.
"Ya siapa tahu jawabanku beda. Yakin nih, ga mau nawarin aku?" Idzar mungkin tidak tahu kalau ada sesuatu yang berat sedang memukul mukul jantung Aufa
sehingga kecepatan memompanya lebih cepat dari biasanya. Dan itu terjadi setiap Idzar melempar senyum beracun yang berbahaya. Senyum yang bisa membuat
siapa saja yang melihatnya seketika kehilangan nyawa karena jantungnya meledak. Penggambaran konyol yang pernah terbayang olehnya.
"Kamu mau mampir dulu ga, Abidzar Ahda?" Nadanya dibuat lembut. Mungkin lebih ke mengejek sebagai wujud menuruti permintaan yang mulia. Pikirnya.
"Mampir ga yaa.." Dengan gaya sok berpikir sambil memasang ekspresi menyebalkan, berhasil membuat Aufa hampir ingin mengulitinya hidup hidup. Sengaja membuat
dua gadis disana menunggu keputusannya.
"engga juga deh. Mungkin lain waktu aja. Sorry ya"
Bukan Idzar namanya kalau tidak semenyebalkan ini. Bukan Idzar namanya kalau tidak bisa membuat gondok orang lain, termasuk Aufa dan juga Sina.
"Eh, adik ipar durhaka! Aku mewakili Aufa ya. Untung hadiah sabar itu Surga. Kalau kipas angin, kamu udah kita ceburin ke segitiga bermuda biar ilang entah
kemana tahu" segenap kegondokan Aufa tersalurkan oleh amarah Sina yang juga turut kesal karena ulah Idzar.
"Ngapain minta ditawarin kalau ujung ujungnya jawabannya sama" Belum pernah ngerasain sepatu hak 12 centi melayang ke muka ya?"
"Kok jadi anda yang sewot" Aufa aja ga protes" sungut Idzar sok polos.
Tiba tiba pertengkaran itu berakhir ketika seseorang menyapanya dari arah teras rumah Aufa.
"Loh, nak Idzar sama Sina ga turun dulu" Mampir sejenak" sapaan itu berasal dari Cokro.
"Engga dulu ya, om. Biya nungguin di rumah sama mas Dana" Cokro mengangguk paham disusul Aufa yang telah keluar dari mobil setelah sebelumnya berpamitan
dengan Sina dan idzar. "Pamit ya, om. Kapan kapan saya mampir. Assalamualaikum" pamit Idzar mewakili dirinya juga Sina sambil memutar stir mobil. Dilambaikannya tangan Idzar
menatap Cokro diiringi senyum cemerlang khas iklan merk pasta gigi.
*** Menjelang waktu maghrib adalah waktu terindah dimana Tuhan tengah melukis langit dengan tanganNya. Memberi gradasi indah perpaduan warna jingga dan birunya
langit hingga membentuk kesatuan lukisan langit yang nyata. Seperti lukisan tiga dimensi yang indah. Dan Aufa menyebutnya waktu Senja.
Mereka berarak saling menyambung, sampai ketika waktu akan melenyapkan mereka menjadi malam yang gelap.
Tak ayal gadis itu memilih berdiri menatap keindahanNya seraya melantunkan pujian terhadap Si Pembuat lukisan alam yang nyata ini. Mengagungkan dalam alunan
dzikir. Membesarkan namaNya dalam untaian takbir. Dan menyeru namaNya berulang kali sampai tiada nafas yang terhembus selain hanya untukNya.
Sekembalinya, ia masuk ke dalam rumah berbalut mukena putih disambut pria yang muncul dari kamar mengenakan sarung dipadu kaos partai sederhana andalannya.
"Ayah mau sholat berjamaah di masjid?" Tanya Aufa duduk di ruang tamu sembari tangannya menggengam tasbih hitam.
"Iya nih. Tapi sebelum ayah berangkat, ayah ingin membicarakan hal penting denganmu sebentar ya ndhuk" nada bicaranya serius. Aufa memerhatikan gerak tubuh
ayahnya tersebut. Tersimpan rasa ingin tahu yang besar. Untuk sementara ini belum ada perasaan tidak enak yang menyambut.
"Langsung saja ya. Karena adzan maghrib akan segera tiba" titahnya. Sebelum melanjutkan ucapannya, Cokro menarik nafas terlebih dahulu. "Sekitar tiga atau
empat hari yang lalu, tepatnya setelah pembatalan rencana pernikahanmu dengan Syihab, seseorang datang menemuiku"
Dan perasaan tidak enak yang sebelumnya belum hadir. Kini berjalan perlahan menghampiri dirinya. Aufa menegang. Setiap ucapan ayahnya tak ayal ia kaitkan
dengan prediksi aneh yang ia ciptakan sendiri.
"Dia datang dengan maksud untuk melamarmu, nak" Cokro memberi jeda sejenak. Menunggu reaksi apa yang akan muncul dari raut putrinya. Gadis itu masih bergeming.
Membiarkan ayahnya meneruskan kalimatnya.
"Awalnya ayah ragu untuk menjawab lamaran tersebut. Karena ayah tidak ingin kamu terjatuh dalam lubang yang sama. Lalu ayah pun menolak lamaran pria itu"
Aufa menyimak kalimat per kalimat yang terucap. Tak ingin sedikitpun satu kata terlewat dari indera pendengarnya. Meski konsentrasinya sedikit terganggu
dengan pikiran yang dipenuhi tanda tanya tentang siapa pria yang dimaksud ayahnya itu.
"Ayah pikir, setelah ayah menolaknya, urusan selesai. Tapi ternyata tidak. Tepat sekitar dua hari setelah ayah menolaknya. Dia kembali menemui ayah" Cokro
memandang wajah putrinya. Sekedar memastikan bahwa gadis itu masih baik baik saja."
"Dengan kegigihan yang luar biasa dan niat yang tulus, dia kembali melamarmu, nak"
"Dan ayah menerimanya?" Entah mendapat dorongan darimana tiba tiba saja Aufa ingin segera tahu apa keputusan ayahnya terhadap lamaran pria itu.
"Ya" jawabnya dengan suara parau dan berat. Seperti terlepasnya sebuah beban berat yang menyumbat hati kecilnya. Ditatapnya sekali lagi wajah sendu gadis
dihadapannya. Menerka nerka apakah ia mau menerima keputusan ayahnya ini.
"Ayah pikir, keputusan yang seharusnya ada di tanganmu, masih menjadi hak ayah. Karena kamu belum menarik hak tersebut kan?"
Aufa mengangguk "Fida percaya apapun keputusan yang ayah berikan, meski keputusan tersebut pernah hadir untuk memberi luka yang membekas sekalipun" sempat terbesit penyesalan
terberat di hati Cokro ketika mengingat keputusannya menerima Syihab kala itu.
"Maafkan ayah yang sudah mengambil keputusan yang salah, nak"
"Tidak apa. Mungkin Allah belum terlibat penuh pada keputusan ayah, sehingga Dia merubah jalan takdir Fida" tak ingin ayahnya dilanda rasa bersalah, ia
pun tersenyum seolah luka itu segera pergi dari tempatnya.
"Lantas, siapa pria yang ayah maksud itu" Apa Fida mengenalnya"
Cokro menatap Aufa penuh arti. "Kamu akan segera mengetahuinya selepas bada' isya, nak. Dia akan datang kesini menemuimu bersama dua orang saksi"
Bagaikan sambaran petir di waktu Senja, mampu memecah keheningannya yang suci. Membelah dua gradasi warna indah yang ia kagumi. Semua itu datang begitu
cepat. Tanpa ditunggu kehadiran tanpa diharap pula kepergiannya. Mengapa bisa secepat ini" Dan dua orang saksi yang dikatakan Cokro barusan" Apa secepat
itu ia harus melepas status sucinya"
Rasa rasanya, baru tadi dirinya menjadi korban celetuk celetuk menyakitkan Idzar. Menguras ribuan kesabaran ketika berhadapan dengannya. Bahkan baru baru
ini Aufa merasakan titik kelegaan karena mampu mengeluarkan gelanyar ketidak sanggupan dirinya menghadapi teka teki bodoh idzar. Mungkin itu akan menjadi
moment terakhir Idzar dengannya. Dan celetukan tadi, akan menjadi celetukan terakhir yang ia dapat. Lagi lagi, rasa kecewa itu muncul bersama ingatannya
mengenang kedekatannya dengan Idzar.
Sejenak ia berpikir bahwa Tuhan suka sekali bermain dengan hambaNya yang Dia sayangi. Mempertemukan dua insan yang saling menyanyangi tapi tidak untuk
menyatukannya. Atau mungkin Dia memang sengaja membiarkan hambaNya tersebut terpisah lalu mempertemukannya kembali di jalan yang Dia ridhoi.
*** TBC.... 16. Senja yang kurindukan
* * * * Sore itu, sepulang mengantar Dana beserta istri dan anaknya, masih tersisa satu orang yang harus Idzar antar sepulang dari rumah Diana seusai menghadiri
acara lamaran Aufa yang harus gagal karena suatu hal. Idzar masih harus mengantar Cokro. Setelah merasa cukup memberi penyemangat kepada putrinya lalu
meminta maaf atas kesalahan karena telah memilih pria yang salah sehingga menyebabkan adanya pembatalan rencana pernikahan ini. Cokro tidak menyangka hal
ini bisa terjadi. Entah alasan apa yang membuat ayah Syihab tiba tiba saja membatalkan rencana tersebut. Tak hanya dirundung malu, tapi juga penyesalan
hebat yang ia terima, terutama kepada Aufa, putrinya.
"Kadang takdir suka datang seenaknya tanpa memikirkan rencana rencana manusia yang sudah tersusun rapi" di tengah keheningan di dalam mobil, Cokro membuka
suara. Idzar melirik dalam kemudi.
"Manusia adalah perencana yang baik, tapi Allah adalah Penentu terbaik, om" tukasnya menghibur kegundahan Cokro kala itu.
"Iya. Kamu benar. Dari peristiwa ini, aku belajar untuk lebih banyak melibatkanNya dalam segala urusan duniawi. Bodohnya aku, saking terlalu bahagia mendengar
putriku akan segera menikah, aku lupa bahwa si pemberi kebahagiaan itu adalah Dia" ungkapnya terselip tawa kecil. Sejenis tawa remeh. Yakni meremehkan
dirinya sendiri. "Dan mungkin Allah menegurku, lalu merubah jalan takdirku hingga sedemikian rumit ini"
"Segala sesuatu di dunia ini menyimpan banyak hikmah yang kadang manusia belum menyadari lalu memetiknya. Sama seperti Allah menciptakan Dunia, kalau bukan
untuk manusia berteduh lalu menanam amal sebagai bekal di akhirat, untuk apa Dia menciptakan" Dunia yang mereka bilang nerakanya orang orang mukmin" Idzar
menoleh ke kanan lalu membuka kaca mobil. Menyapa ramah tetangga cokro yang nampak sedang berkumpul di area jalan menuju rumahnya. Menandakan bahwa mereka
hampir sampai dirumah Cokro.
"Kalau sudah mendengar kamu berkata bijak, aku merasa melihat diriku di masa muda" mereka tertawa ringan sambil melepas sabuk pengaman.
"Mampirlah dulu. Kita ngobrol ngobrol, sekalian menemani aku mengurangi penat. Kamu tidak keberatan kan, nak?" Tawaran Cokro terdengar seperti permintaan
yang tidak bisa ditolak. Idzar mengangguk hormat menerima permintaan tersebut.
"Hhh... beberapa hari ini aku akan kesepian. Karena Aufa harus menginap di rumah ibunya" keluh Cokro duduk di sofa menlonjorkan kaki melepas penat ditubuhnya.
"Ohya, kamu mau minum apa?"
"Tidak usah repot repot, om. Nanti kalau haus, saya bisa ambil sendiri. Om duduk saja disini" tolak Idzar secara halus. tahu akan kondisi Cokro. Sedang
pria itu menurut akan penolakan tersebut. "Baiklah kalau begitu. Kalau kamu ingin minum kopi, kopi dan gulanya ada di lemari kayu samping kulkas ya" pesan
Cokro jika nanti Idzar ingin minum. Wajahnya nampak lelah.
Mereka terjebak dalam kebisuan. Cokro sibuk mengatur nafas. Sementara Idzar duduk nampak menimang sesuatu. Sesuatu yang sedikit mengganjal di pikirannya
semenjak Syihab memberi tatapan peringatan padanya. Meski kemampuannya dalam menerawang seseorang sudah masuk kategori ahli. Tapi untuk hal yang satu ini
termasuk pengecualian. Mimik yang diberikan Syihab kepadanya seperti mengandung arti. Diingatnya lagi bagaimana sorot mata tajam yang ia tangkap tadi siang.
"Ingin rasanya aku menyerah lalu mengembalikan hak yang fida berikan kepadaku. Tanggung jawab ini begitu berat" ungkapan itu menyadarkan Idzar dari lamunan
semu nya lalu mencoba menyimak apa yang dibicarakan Cokro.
"Bagaimana pun juga, pernikahan tetap dia yang menjalani. Bukan aku. Bagaimana mungkin putriku bisa menjalani kehidupan barunya bersama pria yang aku tidak
tahu seberapa besar cintanya kepada fida?" Anggap saja ungkapan tersebut adalah curahan hati seorang ayah yang ingin putrinya bahagia walau dengan cara
yang rumit. Idzar masih menyimak. Membiarkan pria bersahaja itu menumpahkan ketidakberdayaannya.
"Kalau pun pernikahan antara fida dan Syihab benar benar terjadi, aku tidak yakin dia bisa bahagia bersama dokter itu" seringai menyedihkan muncul perlahan
dari wajah Cokro mendorong inisiatif Idzar.
"Mungkin definisi bahagia antara om dengan Aufa berbeda. Kalau menurut om, Aufa tidak akan bahagia bersama pria yang om yakini tidak dia cintai. Berbeda
dengan Aufa, mungkin saja Aufa meyakini bahwa kebahagiaannya adalah kebahagian om dan bu Diana. Selama om dan bu Diana bahagia atas pilihannya, tidak menutup
kemungkinan Aufa merasakan dampak dari kebahagiaan dari sana" setelah berbicara cukup panjang. Idzar menatap Cokro hati hati. "Itu menurut sudut pandang
saya" "Bukankah kebahagiaan adalah sebuah proses" Bukan pencapaian" Jika dalam prosesnya saja dia harus terluka karena keputusanku, bagaimana dia bisa mencapai
kebahagiaan" Terutama aku. Melihat fida bersedih saja, aku tidak sanggup. Andai kesedihan itu berwujud manusia, akan ku bunuh satu persatu dari mereka
agar tidak menyakiti putriku satu satunya" dari sana Idzar meyakini kekuatan cinta seorang Ayah yang begitu dalam. Nampak dari rautnya yang berkecamuk.
Rahangnya mengeras kala hasrat membunuh kesedihan itu muncul. Betapa tidak inginnya dia membiarkan satu tetes pun air mata kesedihan yang mengalir di wajah
putrinya tersebut. Lagi lagi Idzar diam. dengan wajah tenangnya, sudah cukup meyakini Cokro bahwa pria itu mengerti maksud ucapannya.
"Entah pria mana lagi yang akan datang menemuiku untuk tujuan yang sama. Aku tidak yakin bisa menerima mereka" ujar Cokro pasrah sambil mengubah posisi
duduknya. Mata Idzar enggan dari setiap inci pergerakan pria bernama belakang Raharjo itu. Lagi lagi ada sesuatu yang melintas di pikirannya meminta untuk
ditindak lanjuti. Dengan mimik hati hati, Idzar memfokuskan diri. Menyiapkan dirinya akan sesuatu yang hendak ia katakan.
"Om Cokro. Bagaimana jika hari ini, ada pria lain yang datang menemui anda untuk tujuan yang sama, seperti yang om katakan barusan?"
Cokro bergeming. "Siapa?" Memberi keyakinan yang mantap, Idzar merajam rasa ingin tahu Cokro dengan wajah menegang.
"Saya" Otomatis pergerakan Cokro berubah. Ia memutar posisinya 90 derajat hingga kini tubuhnya menghadap penuh terhadap pria muda dihadapannya.
"Kamu ingin melamar putriku?"
Idzar mengangguk mantap "Bahkan di saat ia sedang terluka?" Ada keraguan yang muncul dari nada pertanyaannya.
Idzar mengangguk lagi. Anggukannya perlahan namun memancarkan arti berbeda. Belum lagi disertai tatapan tajam dari matanya.
"Apa yang membuatmu yakin?"
"Tidak ada keyakinan apapun. Yang saya tahu, meski saya tidak bisa membahagiaannya, setidaknya saya tidak akan membiarkan dia terluka atau tersakiti" Idzar
masih akan melanjutkan. Ia mengambil nafas pendek. "Jika om berniat membunuh satu persatu kesedihan Aufa, maka saya bersedia menjadi satu satunya prajurit
yang melakukannya" Siapa yang tahu, pernyataan pernyataan lantang dan tegas itu hampir merobohkan dinding keputus asaan Cokro. hampir menghancurkan benteng keraguan Cokro.
Bahkan keadaan pria itu masih antara sadar dan tidak sadar. Ucapan Idzar seperti kalimat pengantar yang membawanya ke masa depan putrinya yang indah. Sorot
matanya seolah menembus ketidakberdayaan Cokro kala ia merasa tidak sanggup menanggung tanggung jawab yang diberikan Aufa padanya.


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seorang wanita yang mengalami kegagalan menuju pernikahan ibarat sebuah telur. Mereka terlihat kuat dari luar, tapi jika sekali saja telur itu jatuh,
maka pecahlah sudah. Tidak ada yang bisa menjamin kebahagiaan seseorang. Setiap orang memiliki pencapaian bahagia masing masing" idzar belum memahami tanggapan
tersebut. Kemampuan Cokro berteka teki lebih lihai ketimbang dirinya.
"Dan demi kebahagiaan putriku. Aku hanya bisa mengatakan, maaf nak"
Seketika raut Idzar berubah pucat. Seperti ada benda tajam yang memotong urat nadinya dengan cepat. Nafasnya tercekat begitu saja.
"Aku menolak lamaran mu terhadap putriku, Aufa" idzar mulai meragukan indera pendengarannya. Semoga yang ia dengar saat ini bukan suara suara bising yang
menganggu. "Aku merasa kamu terlalu cepat mengambil keputusan. Aku takut itu hanya sekedar emosi sesaat mu saja. Karena kasihan dengan keadaanku dan putriku"
Yang benar saja. Terlalu cepat bagaimana" Hampir lima tahun Idzar memendam perasaan berbahaya ini. Hampir setiap hari dirinya dilanda dilemma luar biasa
ketika berhadapan dengan gadis sederhana yang sudah meluluh lantakan kehidupannya. Tak lelah ia memohon tatkala bercumbu denganNya di sepertiga malam hanya
untuk satu nama. Mengikhlaskan cintanya demi cinta yang lebih abadi. Merelakan gejolak kepada makhlukNya lalu berpaling pada penciptanya.
"Om yakin dengan keputusan itu" Tidak ingin mempertimbangkannya terlebih dahulu?" Tanya Idzar dilanda kecemasan luar biasa. Sayangnya, hanya respon anggukan
yang ia dapat. Idzar hanya tidak ingin kembali merasakan kehilangan yang tak berwujud. Kehilangan yang seharusnya menjadi miliknya. Sejenak ia berpikir, apakah keputusan
ini begitu membahayakan gadis yang bernama Mufida Aufa itu" Gadis yang sudah kurang ajar memporak porandakan labirin hatinya menjadi tak menentu.
"Baiklah. Tak apa. Saya menerima keputusan om Cokro"
*** Di bawah atap masjid yang diisi dengan lampu lampu gantung yang menghasilkan cahaya indah menambah kekhusyukan jamaah yang hadir disana. Ditambah gaya
arsitektur dengan aksen membentuk anak panah sama seperti pada hiasan pintu utama menjadi ciri khas masjid tersebut.
Ditambah gaya arsitektur dengan aksen membentuk anak panah sama seperti pada hiasan pintu utama menjadi ciri khas masjid tersebut
Diantara banyaknya jamaah yang tengah menunggu waktu maghrib, mereka mengisi kegiatannya dengan membaca Al quran. Ada yang tenggelam dalam kekhusyukan
berdzikir dan ada pula yang serius bermuroja'ah melalui ponsel pintarnya.
Tidak terkecuali Idzar yang berada disana menemani seseorang. Menyimak lantunan yang diperdengarkan seseorang tersebut. Seseorang yang dengan begitu baiknya
memberi Idzar sesuatu yang menurutnya amat berharga. Meski hanya sekeping CD, tapi memiliki nilai yang istimewa baginya. Ditambah lagi barang tersebut
diberikan dari seorang pria bersahaja yang ia kagumi setelah papanya.
Ketika sedang sibuk membaca qur'an, tiba tiba ada sesuatu yang menarik perhatian Cokro. Sebuah benda kecil berwarna merah yang baru saja dikeluarkan Idzar
dari sakunya. Ditaruhnya benda itu dihadapan Cokro. Otomatis menghentikan aktifitas Cokro lalu menoleh menatap si pemilik benda tersebut.
"Apa ini?" Tanya Cokro. Padahal ia tahu isi dari kotak beludru berwarna merah itu. Orang bodoh pun tahu kalau ada sebuah cincin didalamnya.
Sebelum menjawab, Idzar tersenyum lebih dulu, guna menyamarkan ketegangannya.
"Lima tahun yang lalu, saya pernah melamar seorang gadis. Gadis yang saya pikir akan menjadi jodoh saya. Tapi rupanya Allah berkata lain. Ketika saya datang
melamar gadis itu kepada ayahnya, lamaran saya ditolak. Ternyata gadis itu sudah di jodohkan dengan pria lain. Setelah sebelumnya si ayah mengatakan bahwa
jika dia menerima lamaran saya, akan semakin menyakitkan diri saya sendiri, begitu katanya"
Cokro menyimak lalu menyudahi kegiatan membacanya. Ditutupnya kitab suci tersebut lalu menciumnya dan kini kitab itu sudah tertata rapi di dalam lemari
kaca. "Cincin ini adalah saksi perjalanan saya mencari tulang rusuk saya yang hilang. Setelah lima tahun berlalu, benda ini begitu setia berada di saku celana
saja. Seolah ia tengah duduk manis didalam sana menunggu gadis mana yang jarinya akan ia sematkan" selagi berbicara, Idzar hanya bisa mendongak menatap
langit langit masjid yang indah. Seolah keindahan mereka mampu mendengar curahan hatinya yang terdalam. Itu tak berlangsung lama. Pria itu menormalkan
pandangannya. Lurus menghadap mimbar.
Cokro memandang kotak merah dihadapannya sejenak tanpa menyentuhnya. Menelusuri makna yang terucap dari si pemilik benda tersebut. Untuk sementara, ia
belum mau menanggapi apapun. Indera pendengarannya masih ingin mendengar lebih jauh isi hati anak muda dihadapanya saat ini.
"Dan selama lima tahun berjalan, adalah dimana proses saya mengenal sosok gadis sederhana. Dia tidak cantik, tapi memiliki kepribadian yang menarik. Andai
ada kesempurnaan kedua setelah Tuhan, maka saya mencalonkan dia sebagai kandidat utama. Andai Tuhan tidak bisa cemburu, saya akan terus memujinya disetiap
waktu, bahkan pujian melalui untaian kata pun belum cukup untuk melukiskan keindahan akhlak yang terpancar darinya" seiring kata kata itu berlalu, Idzar
menoleh perlahan. Menebar pesonanya dalam jiwa yang tenang. Dalam ketenangannya yang menghayutkan setiap prasangka. Didukung sorot mata elang yang melumpuhkan.
"Dan saya menyebutnya si gadis senja"
Cokro merasa dirinya tidak sedang berhadapan dengan sosok idzar. Ia terus saja bergeming. Terperangah akan anak muda dihadapannya saat ini.
"Kalau boleh tahu, siapa gadis yang kamu maksud itu?" Hanya itu yang bisa Cokro tanyakan. Diluar perasaan aneh yang menggelayutinya.
"Dia putri anda. Mufida Aufa"
Sebegitu indahkah putrinya dimata anak itu" Batin Idzar terkesima. Dilihatnya Idzar mengambil posisi mantap. Dimana ia memutar arah duduknya agar bisa
berhadapan dengan Cokro. Hingga bertemulah dua pasang mata dalam satu garis lurus.
"Pak Cokro Raharjo. Untuk kedua kalinya saya meminta" ada jeda sejenak. Memberi ruang pada nafasnya yang tiba tiba menghimpit.
"Izinkan saya menyematkan cincin ini di jari manis putri anda"
Suara yang ditimbulkan begitu parau namun tegas. Terdengar mantap disertai intonasi dalam satu tarikan nafas.
"Izinkan saya mencintai putri anda melalui jalan yang diridhoiNya. Izinkan saya menyayangi putri anda lewat ikatan suciNya. Dan izinkan saya menjadikan
anda sosok ayah kedua yang begitu saya kagumi kesahajaannya"
Lagi lagi Cokro dibuat terperangah. Sosok pria lembut yang ia kenal, nampak berbeda. Kharismanya begitu kuat. Ketegasan dalam tutur kata yang terlontar
begitu mencolok. Bahkan membumi hanguskan segala virus virus keraguan yang bergumul di dalam dirinya.
"Dan untuk yang terakhir, izinkan saya menjadi satu satunya prajurit anda, yang siap berperang melawan kesedihan putri anda"
Pada permintaan yang terakhir, Cokro ingat sekali bahwa ia pernah mengatakan hal tersebut dua hari yang lalu. Ingatan Idzar sungguh membuat hatinya terenyuh.
tanpa ia sadari gumpalan cairan bening menyatu membentuk permukaan kaca di kedua matanya. Untuk sementara, bendungan itu masih sanggup ia tampung.
"Tentu, nak. Tentu" hingga akhirnya pertahanan itu rubuh seketika. Seiring bergetarnya bahu pria paruh baya itu. Ada sesuatu yang ditahannya. Seperti isak
tangis, misalnya. "Kamu berhasil membunuh keraguanku padamu"
Untuk pertama kalinya Idzar menemui pemandangan dimana Cokro menitikan air mata.
"Atas izinNya, aku menerimamu, nak. Aku menerima khitbahmu untuk putriku, Mufida aufa"
Dan masjid tempat mereka bernaung menjadi saksi. Disertai langit langit indah yang perlahan menampakan cahaya benderangnya. Seolah mereka menyambut kemenangan
seorang insan yang berhasil memperjuangkan hati di atas ridhoNya. Mempertahankan cinta Tuhannya kala jiwa tak henti meneriakan nama selain diriNya. Hingga
dimana Dia menunjukan kebesaranNya menunjukan bahwa tiada yang berhak atas sebuah hati kecuali Dia sang maha pembolak balik hati.
Tidak ingin menahan kebahagiaan yang tercurah, Idzar segera menghamburkan dirinya memeluk Cokro. Memelukanya dengan erat sebagai wujud rasa terimakasihnya.
Ada kesamaan yang Cokro rasakan ketika tubuhnya berada di pelukan Idzar. Pelukan itu seperti pelukan putrinya kala ia tengah malu malu mengakui bahwa ia
sedang merasakan jatuh cinta.
*** Waktu seakan berputar begitu cepat membawa seorang gadis bernama Aufa berjalan dari undakan teras masjid menuju masuk ke dalam rumah ibadah tersebut. Ditemani
dua wanita kesayangannya Diana dan Sina--yang sejak mengetahui kabar bahwa ada pria misterius yang melamarnya itu--mendadak menjadi perias dadakan. Meski
hanya sentuhan make up yang sangat sederhana itu pun atas permintaan Aufa, namun tidak menghilangkan aura kecantikan yang terpancar dari wajahnya.
Dituntunnya Aufa menemui sosok pria yang telah menunggunya. Sejauh ini hanya terlihat punggung indah berbalut setelan jas hitam dan kopiah hitam berdiri
kokoh di kepalanya. Pria itu masih duduk membelakanginya selagi Aufa berjalan perlahan menuju pria itu.
Jika saat mendebarkan yang ia rasakan pertama kali adalah ketika keluarga Syihab datang menemuinya. Kali ini hatinya berdebar lebih kencang. Jantungnya
seakan ingin mencuat ingin keluar dari peredaran. Tenggorokannya seakan sulit menelan ludah ketika moment sakral dimana ia akan melepas status sucinya
ini akan berlangsung. Satu kalimat terus saja menari nari indah di otaknya. Siapa pria itu"
"kamu masih melantunkan i'tiraf kan nak?" Bisik Diana membuyarkan tanda tanya di pikiran Aufa. Gadis itu mengangguk kecil.
"Jangan gugup ya. Tenangkan pikiranmu" dilanjut bisikan dari sina berusaha menenangkan.
Sesampainya di tengah beberapa orang yang hadir, Aufa memposisikan dirinya duduk bersimpuh dihadapan seorang laki laki berpakaian rapi memiliki wajah kebapakan.
Orang yang bertindak memimpin jalannya proses ijab qabul atau sebagai penghulu. Dan disebelahnya ada pria bertubuh kurus berperan sebagai wali hakim. Mengingat
statusnya adalah anak hasil diluar nikah. Dan jika ibu biologisnya menikah dengan pria lain yang bukan dengan ayah biologisnya Maka, wali nikahnya adalah
wali hakim atau pegawai Kantor Urusan Agama. Walaupun menurut mazhab Hanafi bisa dinasabkan pada suami si ibu kalau mengakui sebagai anak. Berhubung pernikahan
ini untuk sementara dilangsungkan agar sah di mata agama tapi setelah mereka telah sah menjadi suami Istri, Idzar berjanji akan mengurus berkas berkas
pernikahan mereka agar sah dimata Negara. Sedang Sandy--ayah biologisnya--tidak mendapatkan hak apapun. Baik nasab atau sebagai wali nikah. Karena statusnya
adalah lelaki yang menzinahi ibunya, Diana. Begitu juga Cokro sebagai ayah tirinya, dia tidak mendapat peran sebagai wali putrinya bahkan nasab sekalipun.
Sehingga nasab Aufa ada pada ibu yang melahirkannya.
Aufa merasakan kegugupan yang luar biasa. Tangannya berubah dingin. Dengan segenap keberanian yang ia kumpulkan, Aufa mencoba menarik bola matanya ke arah
kanan dimana pria--yang akan menjadi suaminya itu--sedang duduk menegap sempurna.
"Surprise" Seringai nakal menyambut wajah bodoh Aufa ketika tahu bahwa pria yang menikahinya adalah,
"Idzar?" "Iya, hadir" Ini bukan mimpi, kan" Ini bukan bunga tidur di siang bolong kan" Berharap siapa saja tolong beritahu bahwa ini bukan parodi atau sandiwara musikal.
Dengan mulut yang menganga serta bola mata yang membulat sempurna bahkan sempat meragukan idzar bahwa Aufa tidak selamanya bermata sipit itu menjadi tanda
bahwa gadis yang sedang bersamanya itu tidak percaya dengan kehadirannya.
"Jadi, kamu?" Ungkap Aufa tak percaya seiring pergerakan Matanya yang mengerjap bodoh.
"Kamu ga berniat bikin aku terpesona karena ekspresi terkejut kamu itu, kan?" Sahut Idzar sambil agak berbisik.
"Baiklah, bisa kita mulai ijab qabul ini?" Suara berat penghulu memecah suasana.
"Bismillahirahmanirahim.. ya Abidzar ahda prama Bin Arga prama. Saya nikahkan engkau dengan Mufida Aufa binti Diana dengan mas kawin cincin emas dibayar
tunai" "Saya terima nikah dan kawinnya Mufida Aufa binti Diana dengan mas kawin tersebut dibayar tunai"
"Saya terima nikah dan kawinnya Mufida Aufa binti Diana dengan mas kawin tersebut dibayar tunai"
"Sah?" "Sah... sah...sah..."
"Alhamdulillah"
Lantunan do'a mengiringi usainya ijab qabul yang terucap lantang satu nafas dari pria bernama Abidzar Ahda. Pria yang kini berstatus suami dari Mufida
Aufa. di sela do'a yang berlangsung, dua insan disana mencoba saling menarik bola matanya lewat sudut mata. Mempertemukan sorot mata bahagia diantara keduanya.
Menegaskan hati Aufa terutama, bahwa pria yang kini menjadi suaminya adalah pria yang sejak lima tahun lalu bermukim di istana hatinya. Yang mengajaknya
bermain dengan teka teki bodoh atau puisi senjanya. mungkin setelah ini ia berjanji akan menagih penjelasan tentang semua kode kode absurd yang acap kali
membuatnya dirundung dilemma itu.
Satu kecupan lembut mendarat di kening Aufa setelah cincin emas tersemat di jari manisnya. Kini cincin itu sudah menemukan tuan rumahnya. Dan Idzar pun
sudah menemukan tulang rusuknya yang hilang.
Dan Idzar pun sudah menemukan tulang rusuknya yang hilang
Tangan Idzar bergerak meraih dua tangan istrinya. Di genggamnya tangan mungil tersebut seiring tatapan lembut. Senyum merekah enggan melepas diri dari
bibirnya. Disambut satu lengkungan sempurna membentuk sebuah senyum sederhana yang memabukan.
"Aku adalah kata yang kesepian. Kamu adalah kata ganti untuk seluruh perihal sederhana yang indah. Dan kita adalah novel panjang yang tak pernah selesai
aku baca sendiri" Tak ingin menyimpan sendiri titik kebahagian yang di rasakan, Aufa mencoba untuk membalas dengan untaian kalimat sederhana.
"Kau.. yang telah menawanku melalui Syahdu iqamatNya"
Tidak ada yang buruk ketika kita memilih mencintai makhlukNya dalam diam. Memang akan terasa menyakitkan. Tapi percayalah pada waktu yang dengan senang
hati akan membawa cinta pada kepastian yang indah.
Ada kalanya kita berpisah untuk ketaatan membentuk pribadi yang jauh lebih baik, melawan kerasnya sifat egois dan nafsu.
Ada kalanya kita berpisah dan bertemu sesuai dengan caraNya.
Jalan yang Allah berikan tiada batas dariNya.
Sampai Dia mempertemukan kembali di penghujung waktu dengan hati yang siap menyatu.
Sampai Dia mempertemukannya kembali di penghujung rindu bersama senja turut menyerta. Bersama hati yang telah bersih yang tidak akan terpisahkan meski
beribu ujian menyerbu. *** Malam semakin malam. Semakin gelap di terangi sang rembulan yang menemani. Udara dingin perlahan menembus kulit lalu merasuk melewati pori pori tubuh.
Anginnya tidak putus asa berhembus membuat segala tumbuhan bergerak gerak mengikuti alur hidupnya. Pergerakan mereka menemani dua insan yang tengah dimabuk
cinta bersama keheningan yang bersemayam.
"Kamu hutang penjelasan sama aku, dzar. Kamu harus tanggung jawab" Aufa baru saja tiba dikamar membawa segelas air putih untuk suaminya.
"Penjelasan apa lagi, fa" Apa ijab qabul tadi belum cukup menjelaskan, heum?" Disambutnya minuman tersebut lalu meminumnya perlahan. Ditepi ranjang, ada
Aufa yang duduk menemani lalu menaruh gelas bekas minum suaminya di atas nakas. Tiba tiba ada sesuatu yang melintas di otaknya.
"ohya, kamu ga berniat mengganti sapaan panggilan kita, gitu. Semacam panggilan..." Aufa menggigit bibir bawahnya.
"Panggilan sayang maksudnya?" Idzar tertawa kecil melihat kepolosan wajah istrinya itu. Gadis itu mengangguk seraya mengulum senyum malu.
"Kamu sendiri aja masih panggil aku Idzar"
"Yauda, kamu mau memanggil ku apa?" Aufa nampak begitu bersemangat.
Memasang wajah berpikir seraya menimang nimang. membuat Aufa terus menunggu. "Apa yaaa...?"
"Gimana kalau sipit aja. Mata kamu kan sipit tuh. Kadang aku suka gemes pengen cubit mata kamu yang suka hilang kalau lagi nyengir itu"
"masa sipit?" Ada kerucut yang terbentuk dari bibir Aufa.
"Terus maunya apa" Sayang" Udah pasaran" Idzar selalu punya cara untuk ngeles. Pantas saja butuh waktu lama menunggu dia peka. Cueknya itu sudah akut sepertinya.
"Gak ada yang lebih konyol selain sipit" Itu kan bawa bawa fisik, dzar" protes Aufa.
"Yauda, kalau tembem gimana" Atau Chubby" Atau.."
"Stop!" Ucapan idzar terpotong begitu saja. "Dasar ulet bulu!"
"Wah. Bawa bawa fisik" gantian Idzar yang tidak terima. Ia mengusap wajahnya sambil memasang wajah protes.
"Kamu sendiri apa kabar manggil aku sipit?" Aufa terkekeh geli lalu menuang gelak tawa hingga tanpa sadar ada sepasang tangan mendarat di wajahnya.
"Aufa ku sayang.." sepasang mata elang menangkap kegugupan Aufa. Wajah sempurna Idzar kini berada dihadapannya dalam jarak yang begitu dekat. Gadis itu
tercekat mendapat perlakuan tersebut. Doakan semoga jantungnya tidak tega mengkhianatinya malam ini.
"Dengarkan aku ya.. panggilan apapun yang kamu tujukan ke aku atau pun sebaliknya, Aku tidak mempedulikan itu. Yang aku utamakan saat ini adalah mengamankan
kesetiaanku dan mengaminkan kesetianmu. Itu sudah cukup"
Gadis itu diam seribu bahasa. Terlalu sibuk mengabsen keindahan pesona suaminya. Sehingga mendadak lupa cara untuk mengucap kosa kata. Padahal hanya kalimat
sederhana yang terucap dari mulut Idzar tapi bereffek fatal terhadap fungsi tubuhnya.
"Tapi kamu baru saja menyebutku 'sayang'" balas Aufa hati hati.
"Mau aku ulang?" Alis tebal bak semut beriring itu saling naik turun bersamaan. Diikuti seringai jahil khas idzar.
"Emangnya berani?" Aufa mencebik. Menaikan dagu sombong menantang keberanian suaminya.
Takbir Cinta Zahrana 1 Penumpang Ke Frankfurt Passenger To Frankfurt Karya Agatha Christie Pendekar Sakti Suling Pualam 2
^