Pencarian

Senja Merindu 5

Senja Merindu Karya Suffynurcahyati Bagian 5


"Oh, nantangin ceritanya. Tinggal bilang 'sayang' doang mah gampang" remeh pria itu.
"Yauda sok coba diulang" Aufa hanya ingin merasakan kedamaian yang tercipta dari sapaan sayang suaminya.
"Ada syaratnya. Di dunia ini gak ada yang gratis" jiwa bisnis Idzar rupanya tidak pernah musnah. Bahkan terhadap istrinya sendiri.
"Otak bisnis kamu mulai kumat" Aufa menoyor pelipis Idzar gemas.
"Ih, udah berani pegang pegang aku" ledeknya. "Mau tahu syaratnya gak?"
"Apa?" Dengan wajah sok polos sambil mengulum senyum. Jari telunjuknya menunjuk pipi.
"Satu ciuman disini, Bagaimana?"
Aufa sontak saja berjengit geli. Selain otak bisnis, jiwa mesum abangnya menurun ke dirinya. Ia berdiam sejenak memikirkan cara lain untuk terbebas dari
syarat tersebut. "Ayo dong, sipit. Jangan kelamaan mikir. Suamimu ini ga bisa nunggu terlalu lama" idzar mulai gusar.
Aufa masih diam. Belum memberi respon.
"Jadi, nunggu aku bertindak duluan nih. Oke!"
"NO idzar ! NO!" pekik Aufa mengakhiri perdebatan mereka..
*** TBC... 17. Istri impian Dua hari berlalu tidak membuat Aufa merasa puas untuk tinggal dirumah bersama Cokro. Terlebih, ini adalah hari terakhirnya tinggal di rumah ini. Di rumah
bersejarah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya. Perjalanan kisah cintanya. Rumah ini adalah satu satunya saksi bisu alur kehidupannya. Berjuang menerjang
badai dahsyat yang suatu saat merubuhkan imannya sebagai seorang muslimah. Dan runah ini menjadi satu satunya tempat berlindung ternyaman, karena berpenghuni
manusia berhati malaikat seperti ayahnya.
Setelah menyelesaikan segala berkas pernikahan hingga Idzar dan Aufa kini resmi menjadi suami istri sah di mata agama dan negara. selagi menunggu proses
pembangunan rumah sederhana yang sedang dibangun untuk tempat tinggal mereka, Idzar dan Aufa memutuskan untuk tinggal di rumah Diana. Menemani Diana sebelum
mereka menempati rumah barunya. Pada awalnya Aufa begitu berat hati jika harus meninggalkan ibunya sendiri hanya ditemani biyung. Tapi Idzar sebagai suaminya,
mampu mengatasi kebimbangan istrinya tersebut. Hanya dengan memberinya pengertian bahwa, alangkah baiknya jika sepasang suami istri tinggal terpisah dari
orang tua. Selain melatih kemandirian tapi juga menjadi sarana membangun sebuah cinta. Membangun ikatan yang kuat. Membangun kasih sayang yang akan menguatkan
mereka nanti jika kerikil kerikil berumah tangga perlahan menimpa mereka.
Siang itu, sepulang melaksanakan sholat Dzuhur, Idzar mendapati tiga tas besar tengah duduk manis di sudut ruang tamu. Tak lama Aufa muncul dari arah kamar
membawa tas lagi dengan ukuran yang sama.
"Kamu yakin mau membawa ini semua" Banyak banget,fa." Idzar mengamati empat tas disana. Tas yang menurutnya biasa dipakai orang untuk mudik. Ia menggaruk
tengkuknya kebingungan. "Iya. Engga begitu banyak sih. Aku aja bingung, kok bisa sampe empat tas ya?" Idzar menghembuskan nafas malas." mencium bau bau kecerobohan dari istrinya.
Diraihnya salah satu tas yang berwarna coklat.
"Coba sini aku lihat"
Aufa menurut. Setelah tas coklat itu berada di tangan suaminya. Di keluarkan semua pakaian yang ada disana.
"Kok dikeluarin semua" Kan udah aku rapihin itu, dzar"
Tak mengindahkan protes istrinya, Idzar sibuk memilah milah pakaian. Di pisahkan pakaian tersebut menjadi dua bagian entah untuk alasan apa.
"Hei, yang itu mau dikemanakan?" Aufa menunjuk nunjuk tumpukan pakaian favouritenya sambil memerhatikan kelihaian tangan Idzar memperbaiki lipatan pakaiannya.
Terlihat lebih rapi, memang. Dan tidak memakan tempat pastinya.
"Udah tenang aja. Kalau udah jadi nanti kamu juga kagum sama kegeniusan aku" jawabnya sombong. Bisa dilihat wajah minta di garuknya itu yang menyebalkan.
"Taraaa...!!" Seru Idzar "nih lihat" sambil menyodorkan tas dengan kapasitas isi lebih baik.
Dilihatnya pakaian didalam tas tersebut. Terlihat lebih rapi memang. Bahkan masih menyisakan ruang banyak didalam. Cara melipat Idzar memang unik, lebih
ke menggulung ketimbang melipatnya. Jadi tidak membuatnya kusut. Mau tidak mau Aufa mengakui kegeniusan suaminya itu.
"Ih iya, masih muat banyak. Kok kamu bisa, sih?" Seru Aufa kagum. Senyum mengembang dari bibirnya.
"Itu namanya menghemat tempat. Jadi kamu ga perlu repot repot membawa banyak tas kayak gini" sekarang Idzar mengambil tas satunya melakukan hal yang sama.
"Kan ada kamu yang bawain" celetuk Aufa polos.
"Daripada nenteng tas segini banyak mending aku gendong kamu sekalian. Eh!" Idzar buru buru menutup mulut karena celetuk ngawurnya. Ekspresi palsunya menunjukan
kalau ia sedang keceplosan. Aufa tidak sebodoh itu, dzar.
"Daripada gendong aku, mending kamu ajarin aku cara melipat seperti kamu tadi. Adil kan?" Jawabnya berusaha tidak menanggapi ceplosan suaminya. "Gimana
caranya?" "Sini deh aku ajarin" idzar menggeser posisi duduknya. Memberi ruang agar Aufa bisa duduk di sebelahnya. Aufa menempati ruang tersebut sambil menyimak
langkah langkah yang suaminya perlihatkan.
"Jadi cuma digulung doang"
"Gampang kan?" Aufa mengangguk. "Sebenarnya ada lebih mudah lagi dari ini" tukas idzar menyelesaikan isi tas lalu menumpuknya menjadi dua tumpukan. Menyisakan dua tas kosong.
"Apa?" Kalau Idzar sudah tersenyum senyum tidak jelas seperti ini. Ada bau bau tidak enak yang akan menyerangnya.
"Mencintai kamu"
Benar kan" Idzar sedang berusaha melelehkan istrinya. Tapi bukan respon terpesona atau pujian kagum yang ia dapat, justru hanya wajah datar nan bodoh yang
menyebalkan. "Kok diem?" "Oh, kamu nungguin jawaban aku" Oke" akunya polos. Aufa pun menarik nafas dalam dalam lalu memberi senyum yang menyipitkan matanya. "Ya ampuunn Idzar sayang..
aku bahagia sekali mendengarnyaa.. aku juga mencintai kamuuuu..." Aufa memberi ekspresi hiperbolis dimana gerak tangannya menangkup di dada daj wajah berbinar
sambil mengedip ngedip matanya seperti boneka. Alih alih menyenangkan hati Idzar, pria itu malah merubah rautnya masam.
"Kok bete gitu" Kan udah aku jawab"
"Lebay kamu mah. Dimana mana perempuan kalau aku gombalin tuh, dia senyum senyum malu terus meleleh meleleh gitu" sungutnya sebal.
"Jadi tadi cuma gombal doang" Bukan dari hati kamu?" Balas Aufa balik menyerang ke-bete-annya.
"Itu hanya sebagian isi hati aku. Emang Kamu mau tahu sepenuhnya?" Kali ini tawaran Idzar menjadi sesuatu yang menarik. Mungkin ini yang akan membuat Aufa
meleleh. Entahlah, pria itu selalu punya segudang cara menunjukan kecintaannya. Mulai dari yang bergerilya sampai secara terang terangan.
"Boleh. Apa?" "Tunggu sebentar ya" Idzar beranjak lalu berjalan menuju kamar. Sekembalinya dari kamar, ia membawa sebuah map bersampul kulit warna hitam. Di berikannya
map tersebut kepada istrinya.
"Ini apa, dzar?"
"Buka aja" sambil menyunggingkan senyum penuh arti. Membiarkan Aufa dilanda kebingungan akan isi dari map itu. Isinya sebaris profil lengkap Idzar beserta
foto dirinya bersama Aufa sewaktu kemarin mereka melakukan fotoshoot.
Aufa ingat sekali, sepulang mereka dari kantor urusan agama, rupanya Idzar sudah menyewa fotografer handal untuk mengambil foto dirinya dengan Aufa. Anggap
saja itu seperti foto prewedding pasca menikah. Banyak keromantisan berbeda ketika mereka memeragakan berbagai pose tanpa khawatir bersentuhan dengan pasangannya.
Karena status halal yang menyelamatkan mereka dari fitnah. dan Justru nampak sangat natural.
foto yang Idzar taruh di map tersebut adalah foto favouritenya. Nampak mereka duduk saling menatap satu sama lain dengan rona bahagia yang terpancar. Didukung
pakaian yang berwarna senada semakin menambah keserasian yang alami. Sayangnya foto itu cuma ada satu. Sedang sesi foto kemarin, mereka sempat tiga kali
berganti pakaian. Mungkin Idzar masih menyimpannya.
"Ini proposal ta'aruf ku. Aku menyiapkanya tepat setelah kamu menolak tiga kandidat dari ayahmu waktu itu"
Suasana mendadak hening. Tak ada suara suara menganggu kecuali pengakuan Idzar selanjutnya.
"Sejak dulu aku sudah ingin mengajakmu berta'aruf. Tapi aku takut. Aku takut belum saatnya melakukan itu. Hingga ketakutanku ini malah berbuah pahit. Syihab
melamarmu lalu ayahmu menerimanya. Aku sempat putus asa bahwa gadis sederhana yang aku impikan akan dimiliki orang lain"
nadanya merendah disertai tatapan sayu. Digenggamnya tangan istrinya tersebut. Meyakinkan diri bahwa sekarang. Kepahitan itu berbuah manis. Bersama genggaman
tangan gadis yang akan menjadi bidadari surganya. Sementara Aufa hanya memandang takjub suaminya. Ia tidak menyangka bahwa selama ini, Idzar menyimpan
perasaan yang sama. Ditatapnya ukiran nyata sempurna yang terpatri dihadapannya saat ini. Indah bak ukiran patung dewa dewa yunani yang dibuat sesempurna
mungkin. "Dan kamu masih menyimpannya untuk ditunjukan kepadaku?"
Anggukan polos menyertai kuluman senyum hangat.
"sekarang, kamu lihat mata aku" di arahkannya tubuh Aufa agar menghadap penuh ke dirinya. Kedua mata mereka saling bertemu. "Kamu lihat sesuatu gak?"
Aufa mengamati serius. Diperhatikannya dalam dalam mata elang mematikan itu sekaligus menahan diri. Banyak sihir yang tersorot dari mata itu.
"Ada kornea, pupil, retina, dan selaput,--"
"Serius dikit bisa ga" Aku lagi mau romantis sama kamu, nih" bibirnya mencebik.
"Romantis kok bilang bilang" Aufa buru buru membuang leluconnya ketika kilat mata Idzar menyerangnya.
"oke oke. Maaf. Lanjutkan" ada kekehan geli tersimpan di dalam hatinya. Wajah menyebalkannya itu sungguh menggemaskan, pikirnya.
"Sekali lagi kamu ngerusak suasana. Aku bakal bikin kamu tergila gila sama aku. Mau?" Peringatan tersebut dibarengi tatapan berbahaya.
"Maauuuu.." Aufa malah antusias sekali mendengarnya. Mata onyx nya membinar indah seperti kaca.
"Ga bisa hidup tanpa aku?"
"Mauuu jugaaa..."
"Jatuh cinta setiap hari sama aku?"
"Maauuu banggeett.."
"Memberi aku anak yang banyak?" Pertanyaan itu Terlontar dengan kecepatan super.
"Maa..,-- apa tadi kata kamu?" kerutan rapi menyusuri dahi Aufa.
"Gak ada siaran ulang. Emangnya nonton bola" balasnya cuek sambil bersendekap. Aufa menaikan satu sudut bibirnya agak geram sambil menduga duga. Pasti
tadi idzar ngomong aneh aneh deh, gerutunya.
"Kok ga semangat kayak tadi sih. Ayo dong bilang 'mau bangeeettt' gitu. Tapi pake tambahan sayang ya" ejeknya penuh kemenangan yang tiada tara. Aufa menanggapi
ejekan itu lewat komat kamit bibirnya menggerutu tidak jelas.
"Gausah komat kamit gitu. Seneng ya, bikin aku gak berdaya sama ekspresi ngegemesin kamu?"
Sekarang Aufa butuh tenaga medis untuk segera mencheck sistem jaringan otaknya. Atau mungkin ahli jantung untuk mengatasi pergerakannya yang mulai tidak
stabil. Terakhir, ia butuh pasokan oksigen untuk menyambung sisa sisa nafasnya yang tersumbat. Tak lupa, ia juga membutuhkan polisi untuk menangkap suaminya
yang sudah tega membuat istrinya tidak karuan seperti ini. Menenggelamkan dirinya lewat pesona serta ejekan bodoh yang menyenangkan.
"Terus tadi kamu mau ngomong apa" Katanya mau romantis" tagih Aufa. Untungnya ia masih bisa mengendalikan diri.
"Oh iya lupa, kamu sih ngerusak suasana duluan" keadaan kembali membaik. Dua pasangan tangan itu saling menaut erat. Bersamaan tatapan dalam dari satu
sama lain. " Indah matamu saat kutatap. Seakan menyimpan rahasia tak terungkap. Dalam doa ku selalu berharap, suatu hari nanti kau kan halal untuk kudekap"
Tatapan itu semakin dalam. Menelusuri sesuatu yang Tuhan fitrahkan. Mereka menyebutnya, Cinta.
"Berjuta tanya di hati ini selalu berteriak dan coba pahami. Mutiara hatimu yang tersembunyi. Yang selalu terjaga dan kau tutupi.."
"Dari sinar matamu akupun tahu..
Betapa kuat dan hebatnya kendali hatimu..
Yang tetap tegar di mode zaman baru..
Yang kian bebas terlepas dari putaran sumbu.."
"Sungguh engkaulah istri impianku..
Yang selalu kutunggu hadirmu dalam hidupku..
Kini akupun jatuh dalam pesona indah jiwamu..
Semoga Allah berkenan membukakan hatimu untuku.."
Seiring barisan puisi indah itu berakhir, tidak mampu menyelamatkan Aufa dari terjangan bunga bunga yang menenggelamkannya. Tak mampu menyadarkannya dari
sayap sayap semu yang menerbangkan dirinya menuju keindahan tak berujung. Bahkan tidak sanggup menormalkan sendi sendi ototnya sehingga berpengaruh besar
terhadap daya tahan tubuhnya.
Hanya satu gerakan sederhana yang membuatnya kembali ke alam sadar. Sentuhan wajah di kedua pipinya menjadi tanda bahwa keromantisan yang diciptakan suaminya
itu belum berakhir. Idzar terdiam sambil terus menatap wajah istrinya. Seolah sorot mata itu mampu mewakili ucapannya. Perlahan ia mendekatkan wajahnya. Meniadakan jarak diantara
mereka. Tentu saja itu menjadi sinyal bahaya bagi Aufa. Pasrah dengan keadaan, ia memilih memejamkan matanya sambil menunggu apa yang akan dilakukan suaminya
tersebut. "Kenapa merem gitu?"
Aufa membuka satu matanya untuk memastikan. Ia membuka mata satunya lagi dibarengi hembusan nafas lega. Ternyata yang dipikirkannya tidak menjadi kenyataan.
Tapi sungguh disayangkan sekali. Ada harapan lain yang tersirat dihatinya.
" Udah romantis belum puisi aku barusan?"
sambil memalingkan wajah sejenak, Aufa berusaha tidak menunjukan kegugupannya. "Lumayan. Lumayan romantis"
"Cuma itu?" Sambil menaikan satu alisnya.
Gadis itu mengangguk polos dan cepat
"Serius cuma lumayan doang" Gak ada yang lain?" Idzar hampir menunjukan gejala frustasi.
"Iya. Hanya itu. Lumayan romantis. Apalagi memangnya?"
Idzar memutar bola matanya sambil berdecak sebal. Diangkat kedua tangannya ke udara tanda menyerah sambil beranjak untuk pergi.
"Loh, kamu mau kemana?" Tanya Aufa mengkhawatirkan mimik suaminya.
"Mau curhat sama tembok"
Jawaban itu terlontar seiring ia berjalan menuju kamar bersama kegondokannya kepada istrinya. Sedang istrinya tersebut tengah tertawa geli memandang punggung
suaminya. Membayangkan bagaimana raut masam yang nampak jika punggung itu berbalik.
*** "Dasar anak ingusan! Masih bau kencur aja gayanya udah selangit" Tsabit mendengus kasar sambil terus mengumpat sesukanya. "Dia pikir dia siapa. Aduh! mentang
mentang cucu pejabat bisa berceloteh seenaknya. Hellooo~ di atas langit masih ada langit!"
Umpatan umpatan kasar itu masih saja terlontar seiring luapan emosi yang memuncak dari tadi. Tidak garis garis bahagia sedikitpun di setiap inci wajahnya.
Hanya kekesalan dan kekesalan lainya. Mengingat kejadian yang baru menimpanya pagi tadi, yakni harus berhadapan dengan salah satu demostran mahasiswa yang
sedang melakukan orasi di jalan. awalnya hanya perdebatan kecil, tapi lama kelamaan perdebatan tersebut berubah menjadi adu mulut serta caci maki tak berujung.
Kalau bukan karena seorang bapak bapak yang melerainya, ia masih sanggup meladeni mulut kotor anak muda tersebut.
Tsabit meminggirkan mobilnya sejenak. Melepas segala beban dengan memejamkan mata. Kedua tangannya ditaruh menyilang di atas stir kemudi. Menundukan kepalanya
seraya beristghfar berulang ulang. Setelah merasa lebih baik, ia mendongak kemudian mengambil sesuatu di tas nya. sebuah ponsel miliknya yang kini ia gunakan
untuk menghubungi seseorang.
"Waalaikumsalam. Kamu di rumah tante apa ayah?" Raut wajahnya masih kusut karena sisa sisa pertempuran sengit tadi. Bahkan make up diwajahnya perlahan
mulai luntur. "Oke deh. Aku otw ke rumah tante ya"
"Iya. Assalamualaikum"
Setelah panggilan berakhir, Tsabit melesatkan mobilnya meneruskan perjalanan menuju rumah Diana.
Untungnya jalanan tidak semacet tadi, tidak banyak kendaraan yang berbaris atau mungkin peristiwa peristiwa lain yang menyebabkan macet. Sehingga Tsabit
bisa sampai menuju rumah Diana lebih cepat dari prediksinya.
"Nah.. ini dia nih. dua orang ini yang mau nikah ga ngabar ngabarin aku" ucapan itu terdengar bahkan dari jauh ketika Tsabit menginjakan kakinya turun
dari mobil. Ia berjalan masuk menemukan dua sejoli yang sedang asyik menikmati sepiring pastel ditemani segelas es dawet Banjarnegara.
"Assalamualaikum Tsabit" sapa Aufa ramah sekaligus mengingatkan Tsabit.
"Waalaikumsalam. Sorry" Tsabit mengambil posisi duduk berselonjor disamping Aufa yang tengah menikmati segelas minuman dingin itu. "Enak ya sekarang udah
halal. Nikah ga ngabarin aku?" agak ketus. Matanya melirik Aufa dan Idzar bergantian.
"Kan ibu udah ngabarin kamu"
"Iya udah. Tapi sehari setelah kalian ijab qabul. Aku kan juga ingin ngerasain euforia moment ijab qabul kalian" timpalnya. "Terutama aku mau lihat muka
tegangnya Idzar pas ngucap ijab qabul" tambahnya lagi.
"Ijab qabulnya lancar kok. Lantang satu nafas. Justru yang tegang muka wanita disebelah aku ini" akhirnya Idzar angkat bicara lalu melirik istrinya.
"Iya" Tuh kan... aku jadi pengen lihat kalian. Bisa diulang lagi ga adegan kamu ijab qabul?" Sungguh permintaan yang teramat konyol.
"Daripada diulang mending kamu buru buru cari pasangan buat praktekin ijab qabul di depan penghulu" suatu saran yang amat tidak diharapkan Tsabit. Bisa
bisanya Idzar mengatakan seperti itu. Memangnya dia tidak tahu kalau dulu Tsabit pernah nekat melamarnya"
"Kamu sih, waktu itu aku lamar ga mau"
Entah apa maksud ucapannya. Yang jelas setelah celetukan itu terbang bebas dari bibir Tsabit. Suasana seketika menghening. Tsabit buru buru mengunci mulutnya
setelah menyadari perubahan raut pasangan dihadapannya.
"Maaf ya aku nolak lamaran kamu. Aku ga mau menyiksa kamu karena menikah dengan pria yang tidak mencintai kamu. Karena aku tidak mau melepas cinta yang
sudah lima tahun aku tanam ini terbuang dan diambil pria lain" lontaran itu dibarengi genggaman erat tangan Idzar terhadap istrinya. Aufa menatapnya sebentar.
Menatap sorot keyakinan yang terpancar dari sana. Perlakuan itu seperti sihir yang membuatnya merasa lebih baik.
"Haa... kena kan kalian...." keduanya terheran melihat perubahan Tsabit. Tiba tiba ia tertawa terbahak bahak "akhirnya ngaku juga kan kamu, dzar. Sok jual
mahal sama Aufa. Diem diem tapi memendam perasaan hampir lima tahun. Its amazing, man!" Cerca gadis itu bangga karena berhasil membuat keduanya tersenyum
senyum tidak jelas. "Dan kamu juga, fa. Strategi aku sepertinya juga sukses deh. Ga percuma ya aku mancing kamu dengan mengatakan kalau aku bakal lamar idzar lagi segala mau
ajak papa juga" aku Tasbit masih dengan sisa sisa tawanya.
"Ohhh.. jadii itu cuma bagian dari strategi licik kamu" Ya ampun Tsabit nekat juga kamu ya" Aufa menepuk ringan pundak Tsabit wujud geregetan terhadap
sahabatnya itu. "Tapi endingnya aku berhasil kan" Lihat deh pasangan di depanku sekarang. So sweet banget. Kalah Oki setiana dewi sama Orivitrio" celetuk Tsabit bersama
rasa bangganya. "Hadeuhh... iyain aja fa. Biar dia seneng" keluh Idzar menopang kepalanya sambil menggeleng.
"Ada tamu ya, ndhuk" Kok rame seka,---eh ada si cantik" Diana muncul dari ruang tamu menuju teras. tersenyum sumringah. Menyambut kedatangan tamu kesayangannya.
"Assalamualaikum, tante. Tante sehat?" Diana menyambut uluran tangan Tsabit lalu diciumnya tangannya itu.
"Alhamdulillah masih diberi kesehatan sama Allah. Kamu sendiri?"
"Sebenarnya aku kesini mau ngilangin stress aku, tan" ungkap Tsabit mencoba menuang kekesalannya hari ini.
"Bisa stress juga kamu" cibir Idzar mendapat kilat membunuh dari Tsabit. Gadis itu berpindah posisi. Duduk di kursi teras menemani Diana.
"Stress kenapa kamu, sayang?"
"Aku tadi abis berantem tante sama mahasiswa songong. Biasalah mereka lagi orasi di depan gedung DPR. awalnya sih aku cuek aja selama kegiatan mereka gak
merugikan orang lain" cerita Tsabit kali ini terdengar menarik. Ditambah cara ia berbicara begitu menggebu gebu. Idzar dan Aufa pun turut menyimak.
"Intinya sih awal perdebatan kita sehat, tan. Tapi semakin kesini kok makin ngeselin ya. Ngeselinnya kenapa" Dia bawa bawa identitas wanita berjilbab.
Pembicaraan kita jadi melenceng. Ya aku ga terima dong. Aku keluar dari mobil aku dorong dia terus aku maki maki dia" penjelasan tersebut semakin sengit.
Saking seriusnya sampai sampai Idzar melupakan suapan pastel terakhir ditangannya. Sebagai istri yang baik, Aufa mengambil sisa suapan itu lalu menyuap
ke mulut Idzar dengan tangannya.
"Bukannya dia minta maaf. Dia malah nyerang aku balik. Sambil marah marah terus melotot dia bilang gini 'untung lo cewe. Gue anti berhadapan sama cewe'.
Dia gak tahu aja lagi berhadapan dengan siapa"
"Bit,.. istighfar. Minum dulu nih" Aufa menghampiri sambil membawa segelas air putih. Tsabit meminumnya. Alih alih emosinya berakhir, ia malah melanjutkan
orasinya dihadapan Diana.
"Dan yang lebih parah, dia bawa bawa papa nya yang katanya sih pejabat. Yang aku heran, orang berpendidikan kayak dia kok ga sesuai sama omongannya. Aneh"
ungkapnya geram. Lalu hening. Tak ada luapan kekesalan Tsabit. Ia sendiri merasa kelelahan setelah mencurahkan unek uneknya kepada Diana dan siapapun yang mendengarnya.
"Udah marah marahnya?" Idzar memastikan.
"Yes" jawab Tsabit mantap.
"Yaudah" Dengan memasang wajah menyeramkan seolah mengirim pesan kematian kepada Idzar karena sudah mengibarkan bendera perang. Tsabit mengangkat gelas kosong ke
udara. "Udah pernah ngerasain ini melayang ke muka belum?"
"Udah udah.. kok perangnya jadi pindah kesini" kalau Diana tidak memisahkan, mungkin gelas ditangan Tsabit sukses mengenai muka Idzar.
"Tsabit.. dengarkan tante ya. Tante memang tidak punya ilmu apa apa. Tapi semoga nasehat tante ini bermanfaat buat kamu ya" perlahan Tsabit mereda. Mempersiapkan
diri dengan apa yang akan disampaikan Diana kepadanya.
"Iblis menyukai manusia yang tidak bisa menahan amarah. Itu mereka jadikan celah untuk menghasut manusia agar melakukan perbuatan tercela lainnya. Kamu
sebagai wanita yang beragama pasti sudah di ajarkan bagaimana menahan emosi. Tante pernah membaca artikel yang isinya seperti ini. Jika kamu ingin tahu
kualitas seseorang, lihatlah ketika ia marah"
"Dan mengenai tentang identitas wanita yang berhijab, mungkin Aufa atau Idzar bisa memberi sedikit pemahaman"
Idzar mengarahkan pandangan ke Aufa. "Mungkin istriku lebih paham, bu" sahut Idzar yang secara tidak langsung mempersilahkan istrinya.
"ilmu ku juga masih sangat dangkal. Tapi yang aku tahu, hijab memang identitas seorang muslimah. Karena itu yang membedakan wanita muslimah dengan wanita
lainnya. Maka dari itu Allah mewajibkan kaum wanita untuk menutup auratnya. Tapi hijab tersebut tidak menjadi patokan akhlak seseorang. Karena urusan akhlak
hanya antara manusia dengan Tuhannya. Tidak disangkut pautkan dengan hijab. Wanita berhijab memang belum tentu berakhlak, tapi wanita berakhlak sudah pasti
berhijab" Aufa mengakhiri pemaparan sederhananya.
"Aku menambahkan sedikit ya" Idzar bersiap membuka pendapat. "Kalau ada yang mengatakan kelakuan kamu tidak sesuai dengan hijabmu. Lalu menyalahkan perintah
Allah yang satu itu, bilang sama dia, islam itu sempurna islam itu suci, kalau manusia berbuat salah, salahkan manusianya. Bukan agamanya atau hijabnya"
Tsabit memahami setiap masukan yang ia terima dari orang terdekatnya. Merenungi perilaku anakisnya tadi pagi. Kalau diingat ingat, tindakannya kala itu
benar benar diluar image seorang wanita. Ah! Memang anak itu saja yang lemah. Baru di dorong sedikit saja udah rubuh. Sisi lain dirinya menghibur.
Satu hal yang ia pahami, bahwa hijab juga merupakan sarana pembenteng diri. Sarana agar menjadi sebaik baiknya muslimah. Sebagai tanda ketaatan manusia
kepada Tuhannya. *** Malam ini terasa begitu damai. Tak hanya sayup sayup angin malam yang menemani, tapi juga rembulan yang bergelantung indah di langitNya. Memberi cahaya
kehidupan terhadap segala penduduk bumi.
Lantunan surah An naba terdengar indah di telinga seorang gadis. Ia enggan merubah posisinya dari dekapan hangat pria yang menemani. Maka nikmat Tuhan
mana lagi yang kau dustakan. Sekiranya seperti itulah nikmat yang dirasakan Aufa malam ini. Memanjakan telinganya dengan lantunan ayat suci yang diperdengarkan
suaminya. Ia dekatkan posisi tubuhnya menumpu pada dada bidang Idzar. Wajah mungil itu bisa dengan bebas menyapu area tersebut. Menenggelamkan dirinya
disana. Sesekali ditatapnya wajah suaminya itu. Seperti melihat ilustrasi surga yang nyata.
Dalam posisi bersandar, Idzar mengusap lembut kepala istrinya lalu mengecupnya. Mentransfer aliran kasih sayang dan cinta di bawah kuasaNya. Mensyukuri
nikmat sederhana yang begitu istimewa ini.
Selesai menghabiskan juz 29, Idzar menaruh Al quran di atas meja bersebelahan dengan sajadah dan mukena istrinya. Kemudian memiringkan wajahnya sekedar
untuk memastikan bahwa Aufa masih terjaga dalam dekapannya.


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum ngantuk?"
Aufa menggeleng kecil. "Kamu sudah ngantuk ya?" Tebaknya.
Ada jeda diantara mereka. "Lalu?" Tanya Idzar lagi sambil mengelus puncak kepala Aufa. Merasakan kelembutan rambut yang panjang sebatas pinggang. Rambut
yang terikat itu ia biarkan tergerai indah. Agar ia bisa mensyukuri nikmat lain yang tersembunyi di istrinya.
"ohya, menurutmu kita itu seperti apa?" Aufa menusuk nusuk dada Idzar dengan telunjuknya. Ada rasa geli yang tercipta dari aktifitas absurd tersebut.
Idzar mengambil nafas sejenak. Terasa betul dada bidang itu sedang naik turun berirama teratur. "Seperti apa yaa?"" Wajahnya nampak berpikir keras. Tak
peduli seberapa lama istrinya menunggu.
"Kita itu seperti akar dan tanah. Akar yang bagus akan menancap tajam dalam tanah. Sedangkan tanah yang bagus memperkuat tajamnya akar yang mencengkram
dalam. Saling menguatkan satu sama lain. Begitulah kita" paparnya singkat padat jelas.
Sebelum Aufa meng-oh pemaparan Suaminya, ada yang ingin ia tanyakan. "Lalu aku akar atau tanah?"
"Maunya?" "Kalau aku mau dua duanya"
Idzar memiringkan lagi wajahnya guna memandang istrinya yang kadang menyebalkan itu. "Cantik cantik maruk juga ya kamu" gumaman Idzar terdengar jelas di
telinga Aufa. "tapi kalau kamu mau dua duanya sih, gak masalah. Jiwa dan raga kalau perlu aku titipin ke kamu deh" sontak Aufa menarik diri dari dekapan lalu menatap
idzar bingung. "Kok dititipin?"
"Semua ini kan hanya titipan. Termasuk kamu. Kamu itu titipan Allah yang harus aku jaga keimanan dan ketaatannya. Agar kelak aku dipertemukan lagi dengan
kamu di surgaNya. Begitu, sipit" ujar ldzar yang kini sudah punya hobby baru pasca menikah. Yakni mencubit dua pipi chubby istrinya. Walaupun acap kali
mendapat protes dari si pemilik pipi, tetap saja ia terus mengulang. Namanya juga hobby.
"Pasti kamu juga beranggapan kayak aku, deh. Ya kan?" Tebak Idzar dengan begitu PeDenya.
"Engga juga" "Terus?" "Terus apa" Emang aku harus beranggapan seperti kamu juga" Ga kreatif dong namanya"
Sabar idzar... sabar.. orang ganteng selalu ada saja cobaannya. Batin Idzar mengelus dada.
"Ya terus kamu punya nilai apa tentang aku--suami kamu" pada kalimat terakhir ada penekanan yang kuat. Guna menunjukan kesabaran dirinya yang hampir saja
meluap. "Kamu itu ya kamu. Tidak bisa aku samakan dengan apapun bahkan tidak ada yang bisa menfilosofikan keindahan kamu di mataku. Kalau kamu seperti akar, aku
tidak mau kamu mati karena kehabisan air. Kalau kamu seperti tanah, aku juga tidak mau kamu mati karena kekeringan. Aku ingin kamu seperti Abidzar ahda
yang aku cintai. Yang keberaniannya tercemin seperti Amirul mukminin Ummar bin Khatab. Yang kelembutannya tercermin seperti Abu bakar As shidiq. Yang kedermawanan
hatinya tercermin seperti Ustman bin Affan. Yang kerendahan hatinya seperti Ali bin abi thalib" tercipta senyum pelangi yang keindahan warnanya bak penyejuk
kala hujan berakhir. Hanya dengan menatap senyum sederhana itu, sudah mampu membawa Idzar ke dalam dimensi dimana ia bisa berselancar bebas di lengkungannya
yang indah. "Kamu searching darimana kata kata itu?" Tanyanya sok genius. Dia pikir, dia saja yang bisa romantis"
"Aku searching dari sini" Aufa menunjuk dadanya. "Namanya hati. Di hati ini ada ribuan kata kata romantis nan indah. Tapi cuma bisa untuk satu nama doang"
Idzar menaik turunkan alisnya. "Pasti nama aku ya?"
"Engga juga. Jangan over PeDe ah. Ga baik" Aufa menjentikan jarinya di wajah Idzar.
"Emang kenyataan. Kalau aku bener, kamu siap terima resikonya ya?"
"Apa tuh..?" Nadanya dibuat berlebihan.
"Seharian bersamaku didalam kamar dan ga boleh keluar" ucapnya sambil berbisik ditelinga istrinya dengan suara parau dan menggoda.
"Idzar mulai mesum!"
*** TBC... 18. Akhir sebuah senja sehabis waktu subuh, ada pemandangan yang menarik tepatnya di ruang dapur kediaman Diana. Diana yang melihatnya pun sempat ragu melihat dua sosok di dapurnya.
tapi keraguan itu segera terbukti setelah memastikan keduanya. ada rasa bangga tersendiri yang hinggap di benak wanita itu. sosok idzar adalah sosok menantu
idamannya. tidak salah jika lima tahun silam ia begitu menginginkan putrinya Aufa menikah dengan Idzar. di matanya, Idzar adalah sosok laki laki yang bertanggung
jawab. tak hanya itu. ia juga menarik, tampan, berwibawa dan berkharisma. serta satu yang ia lupakan, tidak seperti pria kebanyakan, mungkin Idzar sebagian
kecil dari pria eksekutif muda tampan yang tidak gengsi untuk terlibat dalam aktifitas seorang istri di dapur.
Setelah melaksanakam sholat subuh berjamaah, pria itu sudah berada di dapur menemani sang istri. Diana pun enggan mengganggu proses membangun cinta mereka
dan memilih menyapa tanaman hiasnya pagi ini.
"Fa, sampai kapan aku aduk ini terus?" Idzar mulai menunjukan tanda tanda kebosanan didukung rasa pegal pegal menyelimuti tangan kanannya. Dengan tampang
memelas sambil terus mengaduk jelly aroma leci. Sudah hampir setengah jam pria itu memutar mutar sendok besar di atas cairan jelly.
"Sampai mendidih" jawab Aufa singkat. Ia tengah sibuk memotong motong bahan untuk membuat sayur asem.
"Caranya tahu jelly nya udah mendidih atau belum, gimana?"
"Nanti ada gelembung gelembungnya atau ada berbusa gitu. Pokoknya kamu liatin terus. Jangan sampai berhenti ngaduk" pesan Aufa tanpa harus menoleh ke lawan
bicara. Bahan bahan sayur dihadapannya lebih membutuhkan perhatiannya ketimbang nasib suaminya yang saat ini tak henti mendesah bosan.
Keadaan hening. Hanya terdengar suara suara aktifitas dapur biasanya.
"Kamu lagi buat apa?" Tanya Idzar disela mengaduknya.
"Sayur asem. Kamu suka?"
"Lumayan" diperhatikannya kegiatan istrinya itu. Aufa kini tengah menghaluskan bumbu. "Itu buat bumbunya?"
Aufa mengangguk. "Kenapa ga pakai blender aja" Biar praktis. Kamu ga usah capek capek ngulek gitu"
"Akan lebih enak kalau di ulek dengan tangan sendiri, dzar. Rasanya beda"
"Emang ngaruh?" Idzar menautkan alis ulet bulunya. Matanya menoleh ke jelly sejenak. Belum ada reaksi gelembung gelembung yang dibilang istrinya tadi.
"Ngaruh. Sama seperti membuat tumis kacang panjang. Kamu tahu kan?" Idzar mengangguk paham. "Rasanya bakal beda antara kacang panjang yang dipotong menggunakan
pisau, dengan kacang panjang yang dipotong dengan tangan langsung"
Idzar meng-oh pemaparan istrinya. Tiba tiba timbul ide di otaknya.
"Kayaknya kamu capek. Sini aku aja yang ulek bumbunya"
Idzar mendekatkan dirinya ke samping Aufa. Berusaha mengambil alih tugas istrinya itu. Aufa sempat ragu atas penawaran itu.
"Yakin bisa" Harus sampai halus loh itu" ujar Aufa sangsi.
"Bikin kamu tergila gila sama aku aja bisa, Masa segini doang gak bisa"
Ohya" Ya, tentu saja. Aufa lupa kalau suaminya itu memiliki tingkat kepercayaan diri dan kegeniusan di atas rata rata. Doakan semoga kepercayaan dirinya
yang akut itu terbukti akurat.
Aufa menyerahkan tugasnya itu dengan hati hati seiring tatapan sangsi. "Udah sana kamu ngaduk jellynya. Dilihatin terus ya sampai mendidih" selain genius,
Idzar juga pandai merekam pesan dalam memory lalu mengulangnya kepada orang yang sama. Tapi pesan yang disampaikan kadar menyebalkanya lebih banyak.
"Iya tahu. Beneran sampai halus ya itu"
"Iya sayang.." Setelah kurang lebih lima belas menit Aufa mengambil alih, akhirnya adonan jelly sudah mendidih dan siap dituang ke dalam cetakan. Selagi ia menyiapkan
berbagai macam bentuk cetakan, ia menoleh kepada pria di dekatnya. Memastikan bagaimana hasil racikan suaminya tersebut.
"Sudah jadi?" Idzar mengangguk. Ia berbalik sambil mengangkat cobek yang berisi bumbu. Di hadapkannya kepada Aufa. "Ini sudah cukup halus belum?"
Alih alih memerhatikan bumbunya, Aufa malah salah fokus pada mata Idzar yang tertutup kencang sambil agak meringis.
"Kamu kenapa?" "Mataku perih. Tanganku panas" adunya. Aufa baru menyadari bahwa di dalam bumbunya ia sertakan cabai karena keluarganya memang penyuka makanan pedas. Buru
buru ia menerima cobek pemberian suaminya lalu menaruhnya di meja.
"Kan,.. tahu gitu biar aku aja yang ulek" Aufa menggiring Idzar menuju kran pencuci piring kemudian membasuh wajah suaminya. Setelah itu mencuci tangan
kanan Idzar dengan sabun.
"Selama ada aku, kenapa harus sendiri. Aku kan juga bisa" setelah matanya mampu dibuka, Idzar memilih duduk di meja makan. Aufa menemani sejenak di kursi
sebelahnya. "Tapi aku kan udah biasa masak. Masih perih matanya?" Tanya Aufa khawatir. Memerhatikan kondisi mata suaminya.
"Sedikit. Mungkin bakal hilang kalau kamu yang nyembuhin" adu Idzar lagi.
"Jangan dikucek gitu!" Aufa menepuk tangan Idzar agar tidak mengucek matanya.
"Yaudah, sembuhin makanya" Idzar menyodorkan wajahnya. Lebih tepat menyodorkan matanya. Meniadakan jarak diantara mereka.
"Caranya?" "Tiupin" "Emang ngaruh?" Aufa menarik sudut bibir kanan atasnya.
"Ngaruh" jawab Idzar ragu semakin menambah keraguan Aufa. Tapi demi rasa sayangnya terhadap suaminya. Aufa pun mencoba melakukannya. Ia memegang kepala
dan pelipis Idzar mendekatkan bibir ke arah mata. Meniupkan udara dari mulutnya.
"Jangan berkedip dulu ya" titahnya. Seiring hembusan angin menyibak wajah Idzar. Setiap hembusan yang memenuhi area mata seperti sayup sayup udara kesejukan
kala panas terik melanda. Aroma permen tercium samar dari bibirnya. Satu hal yang Idzar hafal dari istrinya, Aufa menyukai aroma permen. terbukti jika
ia mengingat kejadian malam itu. Malam dimana Idzar pertama kalinya memberi ciuman lembut di sela sela bagian lembut bibir istrinya. Wujud membangun sebuah
cinta di bawah titah Tuhannya. Ingatannya masih menyimpan kuat bagaimana kelembutan yang ia dapat. Kehangatan dekapannya kala itu. Berawal dari bertemunya
mata mereka dalam pelukan hingga memacu Idzar untuk memberi istrinya kenyamanan yang sesungguhnya. Memadu kasih dalam pagutan tasbih. Memilin cinta dalam
ikataNya. Sisa sisa kenyamanan itu rupanya masih membekas. Terlebih ketika wajah bening cemerlang itu berada dihadapannya. Wajah sederhana yang mengagumkan. Sekali
lagi hembusan udara permen menyibak wajah Idzar. Rasanya mata ini masih sanggup perih berlama lama jika terus dimanjakan dengan lukisan nyata Tuhan didepannya
saat ini. "Sudah merasa lebih baik?"
Tidak ada respon. Idzar masih tenggelam dalam pesona indah Mufida Aufa. Dan bodohnya, tangan gadis itu masih betah berada di pelipis area matanya. Tiba
tiba saja Idzar memegang tangan tersebut disertai tatapan lekat. Dan mata elang itu seakan mengintimidasi.
"Belum. Kamu tahu apa yang bisa menyembuhkanku?" Tanya Idzar bernada misterius. Suaranya yang parau seperti memecahkan alarm sinyal berbahaya yang akan
menimpa Aufa. Gadis itu menggeleng kikuk.
"Pejamkan matamu"
Tidak ingin terjadi sesuatu yang belum ia inginkan, Aufa hanya bergeming. Diam tanpa mengikuti instruksi suaminya. "Kamu mau apa?"
"Kamu ga percaya sama aku?" Idzar malah balik bertanya. Aufa menunduk.
"Bukan itu,--" "Percaya sama aku, fa"
Sebelum akhirnya Aufa menurut, ia menghembus nafas pasrah. Membiarkan apa yang terjadi dengannya nanti. Keyakinan Idzar terlalu kuat untuk merubuhkan benteng
ketakutannya. Dan selama mata itu terpejam, Aufa tidak merasakan apapun. Tidak ada pergerakan yang diterima tubuhnya. Entah itu kecupan atau genggaman
tangan. Tunggu! Apa baru saja ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari Idzar" Semoga saja bukan. Tapi sampai sekarang pun, Idzar tidak melakukan apapun
terhadapnya. "Idzar...?" Panggil Aufa memastikan bahwa suaminya itu masih ada.
"Iya, hadir" sahut Idzar menjadi sahutan paling lembut yang pernah Aufa dengar.
"Masih lama?" Tanya Aufa lagi. Selagi memejamkan mata, keningnya mulai nampak kerutan tanya.
"Sebentar lagi"
"Kamu lagi ngapain sih?" Aufa mulai gusar. Mulutnya terus saja berbicara yang tidak jelas. Siapa yang tahu kalau sedari tadi Idzar memang tidak melakukan
apapun. Hanya dengan asyik memandang gadis dihadapannya sambil meminum segelas air putih yang disediakan istrinya, sudah menjadi obat paling manjur. Sambil
menopang kepalanya di atas meja tersenyum santai. Seperti memandang sebuah lukisan langka terindah. Dan itu berlangsung sangat lama. Jangan salahkan Aufa
jika tiba tiba salah satu mata gadis itu yang terpejam, terbuka perlahan.
"Kamu lagi ngapain sih, dzar?" Tanya Aufa dengan kondisi mata satu terbuka. Persis seperti pembawa acara kuis dangdut yang mempunyai ciri khas menutup
satu matanya Bibir Idzar berkedut menahan tawa.
"Aku masih harus memasak. sayur asem ku belum selesai. Jelly ku juga keburu dingin. Belum aku tuang ke cetakan. Ibu pasti laper, dzar. Trus nanti kamu
mau makan apa?" Aufa mulai nyerocos tidak karuan. "Lagian aku kira mau ngapain suruh tutup mata segala"
"Emang kamu maunya diapain?" Serangan mata Idzar seperti ribuan palu yang menghantam otaknya sehingga menyulitkan dirinya untuk berpikir jernih.
"Udah ya. Aku mau lanjut masak. Aku bisa kena diabetes kalau terus diginiin sama kamu" Aufa mengerang frustasi beranjak dari kursinya.
"Diginiin apa" Yang jelas dong" akhirnya tawa Idzar pecah.
"tunggu pembalasan aku ya, Abidzar Ahda Prama,--"
"Sayang. Jangan lupa pake tambahan 'sayang'" tambah Idzar meneruskan sekaligus memotong ucapan istrinya. Aufa hanya melengos pergi sambil memutar bola
mata. *** "Tante, Biya lagi diapain, sih?"
"Tante mau bikin kamu cantik seperti bunda. Mau?"
Gadis berpipi gempal itu mengangguk patuh. Pasrah ketika sepasang manusia tengah mendandani dirinya. Memakainkan gamis berwarna ungu lalu dipadukan hijab
segiempat berwarna serupa, dipakai memanjang seperti cara si tante memakainya. Gadis kecil itu resmi menjadi mainan om dan tantenya semenjak mereka tiba
di kediaman Sina. Sejak kemarin mereka memang berniat untuk menemui Sina dan keponakan centilnya itu.
"Nah, sentuhan terakhir" kali ini Idzar berinisiatif memberi tas jinjing berukuran kecil sebagai pemanis penampilannya.
"Nah, sentuhan terakhir" kali ini Idzar berinisiatif memberi tas jinjing berukuran kecil sebagai pemanis penampilannya
Keduanya berbinar menatap kagum keponakan kesayangannya, Shabiya. Dilihatnya gadis kecil itu tersenyum menggemaskan sambil mengamati dirinya yang berbeda.
Sambil berputar putar membiarkan bagian ujung gamis yang berenda itu bergerak indah.
"Aku udah cantik kayak bunda ya, om"
"Tentu dong. Malah cantikan kamu daripada bunda" puji Idzar. "Sini dong peluk om. Udah lama Biya ga peluk om lagi"
Biya berjalan lincah memeluk om gantengnya tersebut. Keduanya saling berpelukan hangat. Terjalin kedekatan antara paman dan keponakannya. Aufa yang melihatnya
pun merasa terjalin ikatan kuat diantara mereka. Sejenak ia ingin merasakan memiliki keturunan seperti sepupunya itu. Alangkah bahagianya jika kehadiran
malaikat kecil mengisi hari hari mereka. Menambah kebahagian yang luar biasa. Dan tentunya menambah cinta dan kasih yang semakin kokoh dalam biduk rumah
tangga mereka. "Terus kita kapan punya kaya gini?"
Tiba tiba lamunan itu buyar karena ulah Idzar. Seusai memeluk keponakannya, Idzar beralih kepada istrinya. Seperti biasa, tidak ada hal yang lebih menyenangkan
selain mencubit pipi gembung Aufa dalam sehari sekali, lalu menggodanya.
"Anak?" Idzar mengangguk semangat.
"Kita berdoa saja biar segera diberi anak selucu Biya. Ya kan Biya sayang?" Aufa mendekap Biya gemas. Memainkan pipi gempalnya yang memerah. Persis seperti
bundanya. Sina juga punya ciri khas warna memerah di pipi.
"Ikhtiar aja belum. Gimana do'anya bisa diqabul" celetuk idzar sambil melengoskan wajahnya menatap langit langit sambil berharap Aufa peka dengan kode
kodenya. Tapi mustahil Aufa bisa peka dalam waktu kilat. Lihat saja sekarang, gadis itu malah melongo dengan mulut menganga bak goa.
"Mulai lola deh" Idzar bergumam gemas. Dan ciri khas istrinya yang sampai sekarang ini belum berhasil Idzar musnahkan ialah ke-Lola-annya. Alias loading
lama. "Lalu semalam itu bukan ikhtiar namanya?" Dengan pertanyaan itu malah membuat Idzar hampir membludakan tawa gelinya. Berhubung ada Biya diantara mereka,
Idzar tidak mungkin mengatakan sesuatu yang tabu dihadapan anak lima tahun itu. Kemampuan berpikir Biya sedang berkembang. Sehingga Idzar menarik tangan
Aufa agar duduk mereka lebih dekat. Misi selanjutnya ialah mengecilkan volume bicara.
"Memangnya semalam kita melakukan apa" Heum?" Tanya Idzar sedikit berbisik.
"Ikhtiar" jawabnya polos
"Ikhtiar apanya" Orang kita cuma berciuman doang di kamar"
Aufa agak bergidik geli mendengar pernyataan frontal Idzar. ia sadari, setelah menikah, perubahan besar yang ia alami dari suaminya tersebut ialah, lebih
mesum, meskipun idzar menyebutnya mesum yang berkelas. Tidak seperti abangnya, Dana. Dan tingkat menyebalkan Idzar pun semakin bertambah dua kali lipat.
Akhirnya Aufa sendiri yang harus mengalah kalau sudah berdebat dengan suaminya itu. Untuk sisi romantis, Idzar menaruh itu di urutan ke sekian. Ia sadar
keromantisan dirinya tidak seprofesional kakak laki lakinya.
"Emangnya iya ya" Kok aku ga sadar"
"Kamu terlalu menikmati sih" cibir Idzar mendapat pukulan ringan di lengannya. "Aaw! Sakit, fa" sambil meringis lalu mengelus lengannya. Aufa sendiri hanya
bisa menahan rona di wajah dengan kedua tangannya.
"Terus gimana?"
"Gimana apanya?" Aufa balik bertanya.
"Kapan kita melakukan ikhtiar yang sesungguhnya?" Idzar mengulum senyum. Tersirat harapan besar di matanya. "Kamu lihat Biya deh. Lucu ya" Apalagi anak
kita nanti. Pasti kalau perempuan cantik kayak mamanya. Kalau laki laki ganteng kayak papanya" anggap saja itu bagian dari trik mulut manis Idzar. Dari
segala macam rayuan sudah di pergunakan.
"Tapi aku maunya anak laki laki, dzar" pinta Aufa mengiba.
"Itu sih tergantung Allah mau kasih kita anak laki laki atau perempuan. Yang terpenting itu Ikhtiarnya dulu sayang" Idzar melingkarkan penuh kedua tangannya
ditubuh Aufa. Tak peduli jika Biya-- yang sedang sibuk dengan mainan dan bukunya itu--melihat kemesraan mereka.
"Kamu ga malu dilihat biya?"
"Dia kan lagi sibuk sama mainannya" kini Idzar beralih menghirup aroma parfum permen di sekitar jilbab istrinya. Ini akan ia jadikan aroma favouritenya.
Menambah volume pelukannya.
"Biyaa.. kamu disini rupa....nya" kedatangan Sina menjadi penggerak otomatis dua sejoli disana kemudian bersikap seolah tidak terjadi apa apa. Sina terperangah
melihat penampilan putrinya. "Wah! Anak bunda cantik sekali" di tatapnya anak itu mengabsen dari kepala hingga kaki.
"Biya mau kayak bunda"
"Emang bunda itu kayak apa ya, nak?" Sina menguji pendapat Biya. Menatapnya hangat.
"Bunda cantik sama pintel" jawaban polos nan menggemaskan itu sontak membuat siapapun disekitarnya tersenyum bahagia. Terlebih gaya cadelnya itu.
"Na, tanya dong siapa yang dandanin Biya" usul Idzar
"Emang siapa yang bikin anak bunda jadi cantik gini?" Selalu ada yang menarik dari putrinya itu yang memaksa sina untuk terus memeluk lalu menciumnya.
"Om ijal sama tante Fa"
Jawaban itu disertai pandangan Sina menuju ke sepasang suami istri di sebelahnya. Sambil memicingkan mata kemudian memutar telunjuk di wajah. Tatapannya
misterius penuh arti. "Kenapa lu lihat lihat kita begitu" Ekspresi lu gak banget, kakak ipar"
Sina tersenyum jail. "Pengen punya kayak gini juga ya?"
Keduanya berjengit. Saling menatap satu sama lain bergantian.
"Iya lah. Emangnya bang Dana aja yang bisa. Ya kan, sayang?" Kelakuan absurd idzar kumat. Tangannya merangkul Aufa dari samping sambil nyengir menggoda.
Aufa hampir dibuat mual oleh tingkahnya itu. "Jangan kumat, dzar" gumam Aufa agar didengar suaminya.
"Kumat apa sih sayang... kamu juga mau kan" Duh.. aku jadi ga sabar" kali ini Idzar melakukan aksinya. Bersikap seolah dia pria paling romantis. Mempererat
rangkulan terhadap istrinya. Menganggap dunia dan seisinya ini hanya milik mereka, yang lain ngontrak. Sekarang lihat ekspresinya Idzar selanjutnya. Senyum
manis mematikannya itu belum kadarluarsa ternyata. Masih menimbulkan effek beracun. Selain diam pasrah menahan malu, apa lagi yang bisa Aufa lakukan"
"Ga sabar apa?"
Sedangkan Sina hanya bisa mengindikan bahu melihat kelakuan adik iparnya itu. Jomblo gak jomblo, sama aja absurdnya. Begitu pikir Sina.
"Kok gue mendadak ingin muntah ya" celetuk Sina sambil menuntun Biya menuju pintu keluar. "Gue harus amankan Biya biar ga terkontaminasi sama kalian kayaknya.
Ayo nak!" "Enak aja.. emangnya kita racun" sahut Idzar. berhubung waktu hampir sore, Aufa dan Idzar pun bersiap untuk pulang.
"Yauda gue pamit pulang ya. mau berikhtiar di rumah" idzar melirik istrinya. Disambut ringisan aneh seolah berkata 'tunggu pembalasanku, wahai Idzar!'
"Silakan.. selamat berikhtiar ya. Aku tunggu kehadiran Idzar juniornya. Syukur syukur sih gak seperti papanya. Mirip mamanya aja lah" ucap Sina dari arah
dapur. "Biya.. tante sama om pulang dulu ya. Assalamualaikum Shabiya sayang" pamit Aufa mencium keponakannya. Mereka pun berjalan keluar menuju pulang.
*** Dua orang gadis berjalan lunglai menuju luar pekarangan. Wajahnya lesu tak bersemangat. Persis seperti peserta kompetisi menyanyi yang gagal lolos audisi.
Gadis satunya menendang nendang dedaunan yang berserakan. Gadis satunya lagi sibuk berkutat dengan ponsel pintarnya.
"Kenapa kita ga nungguin di sana aja sih" Siapa tahu ka Idzar sebentar lagi pulang" gerutu Acha kesal. Menghentakan kakinya di tanah.
"Ga keburu, Cha. Kalau sebentar lagi pulang sih gapapa. Kalau masih lama, gimana?" Balas Icha tak kalah sewot. Sambil mengutak ngatik ponselnya entah menghubungi
siapa. "Ga apa apa lama. Yang penting rencana kita ketemu sama orang ganteng itu terealisasikan, Cha"
"Yee.. gak gitu juga. Emang orang ganteng di dunia ini cuma ka idzar doang" Icha mengenakan kembali cardigan pinknya.
"Emang iya" jawabnya mantap. "Pertama kali lihat ka Idzar itu.. asumsi gue tentang cowok ganteng itu pindah ke dia. Dia itu ganteng paket lengkap, Cha.
Udah ganteng, cool, berkharisma, mempesona, charming, ah! Pokoknya dia perfect kuadrat" ungkapnya menggebu gebu.
"Kalau dibandingin sama adik kelas kita Mario, gantengan siapa?" Icha menarik satu alisnya. Mencoba membandingkan Idzar dengan sosok adik kelasnya yang
terkenal dan disinyalir merupakan keturunan brad pitt karena mempunyai wajah yang sedikit mirip aktor tampan tersebut.
"Ya jelas ka Idzar kemana mana lah. Mario mah gak ada setengahnya ka Idzar. Lagian kita kan udah tinggal nunggu kelulusan, udahlah jangan ngarepin adek
kelas lagi. Dan faktanya, cowok dewasa itu lebih sedap dipandang, cha" walaupun rencana dua srikandi itu harus pupus, yakni menemui sosok Idzar yang kini
menjabat sebagai sosok idola mereka. Yang ia temui hanya Diana, tadinya mereka masih ingin menunggu Idzar, tapi Icha tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
"Bener juga ya kamu. Tuh kan! Aku jadi nyesel" sesal Icha menghentikan kegiatan memakai helmnya.
"Yauda ayo kita kesana lagi. Masih ada waktu kok. Siapa tahu ka Idzar sebentar lagi balik" bujukan Acha kali ini harus berhasil. Demi menemui pangeran
tampan idola mereka. Bahkan ia melupakan bahwa sosok idolanya itu telah beristri.
"Tetap gak bisa, Cha. Kamu lupa kita kan belum daftar perguruan tinggi. Mau, kamu dimarahin mama?"
Raut antusias Acha pun berubah seketika. "Ah! Kamu mah pake diingetin segala. Udah sengaja aku lupain juga" Acha mengerucutkan bibirnya sebal. Kembali
mengenakan helm dan bersiap untuk pulang.
"Niat kamu aja udah jelek. Pantesan Allah gak ngizinin kita buat ketemu ka Idzar"
Mereka pun melesat pergi menaiki motor matic melewati jalan besar menuju daerah pulang. Jalanannya tidak begitu ramai. Tidak seperti hari biasanya. Otomatis
Acha menambah volume kecepatan motornya. Didukung kondisi yang jauh dari kata macet.
"Cha, pelan pelan. Jangan ngebut" Icha menepuk pundak saudaranya itu seraya mengingatkan. Sayangnya, nasehat itu tidak dihiraukannya. "Tenang aja. Kamu
lagi dibonceng sama adiknya Valentino Rossi"
"Emang Rossi punya adik?"
"Punya. Ini lagi didepan kamu sekarang" sahut Acha remeh sambil terus menjalankan motornya dengan leluasa. Setiap kendaraan dihadapannya ia salip dengan
lincah. Tak peduli kekhawatiran yang ditimbulkan Icha saat ini. Gadis itu hanya bisa diam menegang sambil memegang kuat pinggang saudaranya. Bibirnya komat
kamit membaca istghfar setiap kali Acha menyalip mobil lalu berpapasan dengan mobil besar.
"Cha. Aku bilang pelan pelan"


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nasehat Icha dianggap angin lalu yang tertiup bersama udara yang menyertai mereka. Merasa seperti Rossi, Acha malah menambah kecepatan motornya.
"Acha! Aku takut" genggaman pinggang Icha semaki kencang. Tagannya bergetar. Bibir bawahnya tergigit. Matanya terpejam kuat mengantipasi jika sesuatu yang
tidak diinginkan menimpa mereka.
Acha mulai diluar kendali. Motor yang dinaikinya seperti melayang di atas aspal. Ia seperti buta. Tidak melihat kondisi jalan yang kian lama kian ramai.
Termasuk tanda warna yang dimunculkan oleh lampu lalu lintas di persimpangan jalan.
"Acha, berhenti! lampu merah!" Teriak Icha mulai panik.
Mungkin Acha juga mendadak tuli. Bahkan ia seperti tidak mendengar teriakan adiknya dari belakang. Dan tepat ketika kalimat itu berakhir, berakhir pula
aksi kebut mereka. "Braakkkk!!!" Seperti kilatan kecepatan cahaya. Sebuah mobil melesat tepat di hadapan mereka menuju arah utara. Karena kedua kakak beradik itu menerobos lampu merah,
otomatis sebuah mobil yang berjalan dihadapannya menjadi sasaran empuk motornya yang melesat begitu cepat. Motor yang dikendarai mereka terpental jauh.
Sedang mobil xenia yang ditabraknya nampak berputar putar di jalan tidak menentu. Lalu mendarat pada trotoar dan menghantam keras tiang jalan.
"Idzaaarr awaaassss !!!!!"
Kini hanya terdengar riuh keramaian. Ditambah suara gemuruh pengendara lain. Asap asap mengepul mengudara bersama angin menuju Senja itu. Manusia mulai
beramai ramai mengerumuni lokasi. Bak ribuan semut yang mengerjar serpihan gula. Begitu juga dari jarak tujuh meter dari lokasi mobil itu. Keramaian tak
kalah menyertai. Para warga sekitar berkumpul melingkari kondisi motor yang ringsek serta keadaan si pengendara yang nampak mengenaskan. Ada beberapa yang
berinisiatif untuk menolong namun juga ada yang hanya sekedar melihat. Beberapa diantaranya juga ada yang tengah sibuk mengetuk ngetuk kaca jendela mobil
memastikan apa pengemudi mobil beserta penumpangnya masih bisa diselamatkan atau tidak.
*** TBC... 19. ikhtiar yang tertunda
Seseorang tengah memasuki ruang yang--untuk pertama kalinya--ia benci. Bertahun tahun ia berkecimbung di ruang tersebut. Bahkan menganggapnya sebagai rumah
keduanya. Tapi sejak dua hari yang lalu, setiap kali ia akan memasuki ruangan bernama Anggrek II itu, selalu timbul kebencian dan kekhawatiran lain.
Dengan langkah yang dipaksa, ia masuk satu langkah menuju ruang tersebut. Belum ada pergerakan lain selain menyapu pandangannya ke dalam isi ruangan tersebut.
Masih dalam keraguan yang mengakar tunjang. Kesedihan masih bergelayut di dalam dirinya. Pria itu menunduk sejenak. Membuang segenap ketakutan sia sia
yang dialaminya. Ia mendongak bersamaan dengan langkah mantap menuju ranjang besi dimana seseorang tengah menunggunya dalam keadaan setengah terlentang.
Kepalanya bersandar pada kepala ranjang.
"Hei, anak manis. Bete ya sendirian disini?" Sapanya pertama kali. Mengambil kursi lalu memposisikannya di tepi ranjang. Menatap hangat seorang gadis yang
mengenakan mukena hijau tosca diselaraskan dengan bawahan celana piyama khas rumah sakit. Gadis itu mengangguk lemah.
"Banget. Abang free kan hari ini" Temenin Acha ya" rengek gadis itu menarik lengan kemeja pria yang menemaninya.
"Asal kamu mau jamin gak bakal bicara ngaco lagi seperti semalam. Gimana?" Tawar Syihab. Cukup membuat Acha berpikir lama. "Acha gak bisa jamin. Selama
Icha belum pulih, Acha gak yakin bisa jalanin tawaran abang" jawabnya pesimis. Genggaman tangan di kemeja Syihab perlahan mengendur. "Kalau abang memang
keberatan nemenin Acha, abang boleh kok pergi. Biarin Acha sendiri disini. Ditemenin sama bau rumah sakit yang bikin pusing" nadanya begitu ketus. Satu
hal yang Syihab sadari dari perkataan adiknya ialah, semenjak kecelakaan menimpa kedua adiknya itu, begitu langka Syihab menemukan keceriaan mereka. Dan
itu membuatnya semakin tidak berdaya. Ada kesedihan luar biasa. Mengetahui keceriaan yang seharusnya selalu ada untuknya kini harus enyah dari kehidupan
keluarganya. Syihab menarik nafas menahan kesabaran.
"Oke. Abang bakal nemenin kamu. Fix! Tanpa syarat apapun" Syihab menegaskan. Semua itu ia lakukan demi adik tercintanya. "Sekarang abang minta kamu senyum.
Atau masih gak mau juga" Musti ngancem abang kayak tadi dulu, baru mau senyum?" Gaya bicaranya dibuat agak tegas. Terlalu lembut pun juga salah. Setidaknya
dengan satu senyuman tulus dari Acha, mampu mengurangi sedikit beban Syihab.
"Yang tulus dong senyumnya" komplain Syihab melihat reaksi senyum yang dibuat paksa oleh adiknya itu. Acha menarik lagi sudut bibirnya hingga menimbulkan
cembulan dari pipinya yang chubby. "Ini udah cukup tulus belum" Kalau masih kurang tulus juga, minta aja sama Raisa atau Isyana"
Syihab tertawa geli mendengar lelucon garing tersebut. Setidaknya ada harapan bahwa ia masih sanggup menjalani hari harinya kedepan. Diusapnya puncak kepala
adiknya itu. "Bang, ngomong ngomong kapan Icha sadar dari komanya?" Pertanyaan itu kembali terlontar dan lagi menciptakan sebuah hening mengakhiri sebuah tawa.
"Dokter sendiri pun belum bisa memprediksi, cha. Kamu yang sabar ya"
"Abang kan dokter, abang aja yang check kondisi Icha. Abang bisa kan" Abang bisa kasih prediksi kan?" Ini yang Syihab tidak suka. Permintaan ini seperti
permintaan terberat dalam hidupnya. Meskipun profesinya sebagai dokter, bukan berarti ia bisa seenaknya mengambil alih tugas dokter di rumah sakit ini.
Termasuk menangani kondisi Icha yang kini terbaring koma di ruang berbeda.
"Acha kangen sama Icha. Acha nyesel bang. Ayo bangunin Icha. Bawa Icha kesini bang. Acha mau minta maaf sama dia" lengan Syihab diguncang guncangkannya.
Semakin menambah ketidak berdayaannya. Tak ingin adiknya terus terusan meraung memohon seperti itu, Syihab menghentikan tindakan tersebut lalu menatapnya
dalam. "Kalau kamu paksa abang kayak gini, abang gak janji bisa ambil alih tugas dokter Rio buat nanganin Icha" tak ada guncangan, lagi. Gadis itu tertegun. "Dokter
Rio juga bukan dokter sembarangan. Percaya sama dia. Tapi kalau suatu saat kepercayaan kamu terhadapnya pupus, maka percayakan kepada yang mempunyai kuasa
penuh atas adikmu. Allah."
Rengekan itu berubah sendu. Acha menundukan kepalanya. Menahan gejolaknya sekaligus meng-iya-kan apa yang barusan diucapkan kakak laki-lakinya. Tapi untuk
membuang perasaan bersalah ini, sunguh mustahil. Karena kesalahan dia lah yang membuat Icha berakhir koma. Karena perbuatan dia lah yang memaksa mereka
berada disini. Dalam keadaan seperti ini. Baginya, ini bukan takdir yang Tuhan beri. Tapi takdir yang disebabkan kecerobohannya. Kalau saja ia mau menurut
perkataan adiknya, tentu ia tidak akan mencium bau rumah sakit yang memabukan ini. Baunya seperti bau obat obatan.
"Kalau Icha sadar, apa dia bakal maafin Acha, bang?"
Syihab tersenyum penuh arti. Menyiratkan keyakinan kepada adiknya. "Kamu ingat, nasehat yang pernah abang berikan kepada kalian tentang dahsyatnya memaafkan
kesalahan seseorang?"
Acha mengangguk kecil. "Kalau begitu, Icha pun juga pasti mengingatnya" setidaknya, ada gelintir ketenangan perlahan menemani kekhawatiran Acha saat ini. Mata gadis itu beralih
pada sepasang kaki dalam balutan perban. Lutut kanannya mengalami pergeseran tulang. Sedangkan bagian kiri kakinya,tepatnya bagian dari mata kaki ke bawah
mengalami luka luka yang cukup parah. Acha menatap dirinya nanar. Baginya ini belum cukup mengenaskan ketimbang yang dialami adiknya. Belum lagi, kondisi
penumpang yang berada di dalam mobil yang ia tabrak saat itu. Tiba tiba saja kerja otaknya bekerja cepat mengenai hal itu. Bagaimana nasib pengemudi mobil
tersebut" "Bang Syihab, bagaimana keadaan pengemudi mobil yang Acha tabrak" Abang sudah menjenguknya?"
Syihab sudah menduga adiknya akan menanyakan hal tersebut. Tidak mungkin ia mengatakan yang sesungguhnya, bahwa mobil yang ia maksud adalah mobil yang
dikendarai Idzar, sosok yang baru baru ini adiknya idolakan. Syihab mengetahui hal itu setelah dua hari lalu ketika dimana ia tengah berlari tergesa gesa
menuju ruang kedua adiknya dirawat, ia melihat dua orang yang sedang dibawa petugas rumah sakit menuju ruang UGD. Salah satu dari mereka yang ia lihat
sangat jelas adalah Idzar. Pria itu terbaring tak sadarkan diri. kondisinya begitu menyedihkan. Setelah bertanya kepada beberapa petugas, ia pun menyimpulkan
bahwa Idzar adalah korban dari mobil yang ditabrak oleh adiknya. Acha benar benar tidak boleh mengetahui hal ini.
"Belum. Abang belum menjenguknya" ia berhenti sejenak. Menjeda kebohongannya. "Mungkin nanti setelah kamu benar benar pulih. Kamu juga bisa ikut menjenguknya
sama abang" "Kenapa harus nunggu Acha bang. Abang jenguk dia sekarang aja. Sekalian abang sampein permohonan maaf Acha ke dia" gadis itu mengusap philtrumnya kasar.
Kembali merengek manja. "Mau ya, bang?"
"Tapi abang udah janji gak bakal ninggalin kamu sendiri disini" elaknya. "Kamu bisa jamin, bisa bertahan sama bau rumah sakit yang nyebelin ini?" Timpalnya
lagi. "Acha jamin" ujarnya mantap. "sebenarnya sih kehadiran abang disini juga gak berpengaruh sama sekali. Bau enek rumah sakit masih ada tuh"
Syihab merubah rautnya seketika. Menautkan alis sambil meringis lalu mendengus pendek. "Kok kamu jadi labil gini sih" Tadi ngotot banget pengen abang disini
pake segala ngancem. Sekarang malah ngusir abang"
"Hidup itu pilihan bang. Ketika kita ditempatkan pada satu titik ternyaman lalu dihadapkan pada pilihan lain yang mengharuskan kamu meninggalkan titik
tersebut. Maka pilihlah yang kedua" mungkin ini bagian dari hikmah kecelakaan yang dialami Acha. Gadis itu mendadak kaya akan kalimat bijak. Atau mungkin
otaknya mengalami pergeseran sehingga menjadikannya seperti sosok Mario Teguh.
Syihab sibuk meramal isi otak adiknya itu. Menatapnya begitu lama. Tak peduli ekspresi bodoh yang diperlihatkan. Tetap tidak melunturkan kewibawaan yang
berselimuti sebuah pesona.
"Tapi kayaknya pilihan pertama lebih menarik. Sesuatu yang nyaman itu indah. Abang pilih pilihan pertama aja kalau gitu"
"Ish! Gak bisa gitu, bang" sewot Acha mendesis kesal.
"Loh, kenapa?" "Abang harus pilih yang kedua. Sesuatu yang nyaman itu tidak selamanya baik. Kalau menurut abang baik tapi kalau tidak menurut Allah, gimana" Bukankah
Allah pernah berfirman, bisa jadi sesuatu yang baik untukmu adalah yang buruk. Dan bisa jadi sesuatu yang buruk bagimu adalah yang baik. Dan Allah maha
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"
Bersama keheningan menyertai, Syihab tertegun menyirat makna yang melesat bebas dari mulut adik manjanya. Ada sesuatu dilidahnya yang sulit untuk ia telan.
Ada niat buruk yang menimpanya, yakni berharap Acha memperpanjang masa sakitnya jika itu menjadikan dirinya sosok yang mature.
"Sayangnya, abang gak punya stock kata kata bijak seperti kamu. Jadi untuk hari ini, princessnya abang menang. Selamat" Syihab mengangkat diri dari kursi.
Diiringi cengiran kemenangan tersembul dari wajah Acha.
"Semangat abang" serunya. Syihab membalas lewat usapan lembut di puncak kepala.
"Jangan modusin dokter Rio. Jangan kemana mana tanpa sepengetahuan abang" pesannya sebelum melangkah pergi.
"Iyaa... *hwaiting oppa saranghae !!"
*** Dengan membawa buah buahan yang dikemas dalam bentuk parsel, Syihab melangkah ragu menuju ruang dimana Idzar dan Aufa dirawat. Dari kejauhan ia melihat
dua orang melangkah masuk ke ruangan yang sama. Itu tante Diana dan Sina. Hatinya menebak.
Kini jarak dirinya dari ruangan itu hanya sekitar beberapa langkah. Syihab belum berani melangkah masuk. Sulit sekali rasanya memantapkan hati hanya untuk
sekedar menjenguk. Ada beban lain yang hinggap di hatinya saat ini.
"Assalamualaikum, dokter. Kenapa tidak masuk?" Seseorang yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Syihab akhirnya memberanikan diri untuk menegurnya.
Syihab gelagapan. "Eh,eum..waalaikumsalam" Syihab menjilat bibirnya. "Sebentar lagi. Apa kamu juga ingin menjenguk?" Tanyanya. Tsabit menunjukan tentengan di tangannya.
Buah buahan yang sama seperti yang dibawa Syihab padanya. Syihab mengangguk.
"Kalau begitu mari kita sama sama masuk ke dalam" Syihab mengulurkan tangan ke arah pintu mempersilahkan Tsabit agar masuk lebih dulu. "Lady's first" katanya.
"Tapi saya lebih menyukai emansipasi" kata Tsabit tersenyum sambil lalu melewati Syihab yang mengekor langkahnya menuju ruangan.
Setibanya di sana. Syihab mendapati dua sosok yang tengah terbaring dalam tidur lelapnya. Anggap saja begitu. Karena terlalu menyedihkan jika Syihab menyadari
bahwa dua sosok disana tidak sedang tidur. Melainkan belum tersadar sejak dua hari lalu, yakni sejak kecelakaan itu terjadi. Sebagai seorang dokter, menjumpai
seorang pasien yang sedang kritis atau pun meninggal adalah pemandangannya sehari hari. Terkecuali pemandangan dihadapannya saat ini. Dua sosok yang ia
kenal. Dan salah satunya ialah seorang wanita yang--sampai saat ini--masih menduduko tahta kerajaan hatinya. Gadis itu tengah terbaring lemah bersama alat
bantu pernapasan dan selang infus yang mengelilingi.
Matanya beralih pada dua wanita yang menemani. Sina tengah melantunkan ayat suci Al quran melalui qur'an selullernya. Sementara Diana hanya berdiam duduk
menatap pedih anak dan menantunya. Ia sengaja meminta pihak rumah sakit agar putri dan menantunya itu di tempatkan dalam satu ruang. Bagaimanapun keadaannya,
mereka tidak boleh terpisah. Ia meyakini, kekuatan cinta mereka tetap akan kokoh meski dalam keadaan kritis sekalipun. Terkecuali ajal yang suatu saat
memisahkan mereka. "Apa sudah ada perkembangan, ka?" Tsabit menempati sofa panjang dan duduk disamping Sina. Wanita itu menggeleng lemah. Terlihat kantung matanya yang membesar.
Gurat gurat kelelahan mulai nampak dari wajahnya. Sepertinya Sina semalaman menemani Aufa dan Idzar disini.
"Bagaimana hasil pemeriksaan terakhir?" Syihab membaurkan diri terlibat dalam pembicaraan mereka. Setelah sebelumnya ia menyapa Diana terlebih dulu lalu
menanyakan kabar, tapi wanita paruh baya itu hanya diam tak merespon. Syihab mengerti sekali kondisi wanita itu.
"Semua fungsi organ tubuh berjalan normal. Hanya tinggal menunggu keduanya sadar. Dokter memprediksi, mereka akan sadar lebih cepat. Tapi nyatanya sampai
hari ini, belum ada perkembangan lagi" jawab Sina dengan wajah datar. Menyudahi bacaan lalu mencium mushaf qur'an. Matanya kosong seperti manusia yang
enggan untuk mencicipi kehidupan.
"Polisi sempat datang kesini untuk meminta keterangan" pandangannya beralih menatap Tsabit dan Syihab bergantian.
"Lalu?" Sina menatap sinis mengarah kepada Syihab. "Sungguh Kamu ingin tahu" Bukankah kamu sudah mengetahui siapa pelaku yang menyebabkan kecelakaan ini" aku harap
kedatanganmu kesini tidak hanya sekedar menjenguk, tapi juga meminta maaf"
"Sina!" Tudingan Sina kepada Syihab memancing Diana untuk melibatkan diri. Ditatapnya tajam keponakannya itu. Ia tidak ingin ada perselisihan dalam kondisi
ini. "Biar, Tante" gadis itu tetap tenang dalam balutan emosi yang terbungkus rapi. "Kenapa baru sekarang kamu kesini" Kemana saja kamu dua hari yang lalu sejak
adik dan sepupuku terbaring tak berdaya. Apa kamu baru menyesalinya sekarang?" Tuding Sina lagi. Kilatan matanya merajam Syihab yang hanya bisa berdiri
terpaku menerima tudingan atas perbuatan kedua adiknya.
"Saya,--" "Nak Syihab, tolong. Jangan kamu dengarkan perkataannya. Kami sudah menerimanya dengan ikhlas" sergah Diana lembut
"Tante ikhlas, putri kesayangan tante mengalami kondisi seperti ini" Mereka baru saja menikah. Kebahagian yang seharusnya mereka dapatkan, tante. Bukan
penderitaan ini!" Sina melirik Syihab Sinis sambil mendengus pendek. Mengalami penekanan pada akhir kalimat guna menyudutkan Syihab agar ia semakin merasa
bersalah. Pria itu nampak menarik nafas teratur.
"Dari perkataanmu, aku menyimpulkan bahwa kebahagiaan bagimu adalah sebuah pencapaian" Diana membalikan tubuh. Membelakangi Aufa dalam posisi duduk. Menyapu
pandangannya. "Kebahagiaan adalah proses,Bukan pencapaian. Dan itu yang dialami putriku saat ini"
Tidak menggubris perkataan Diana, Sina turut beranjak dari sofa. Bersandar pada meja sambil bersendekap sinis mengabsen pandangan ke arah Syihab dari bawah
hingga ke ujung kepala. "Kenapa diam" Lupa caranya meminta maaf" Oh, aku tahu" ia berjalan perlahan penuh kemantapan disertai aura menyeramkan. Melupakan
apa itu lapang dada dan kebesaran hati. "Bukan kamu. Tapi kedua adikmu"
Tsabit menghela nafas. "Ka Sina, sepertinya kakak butuh istirahat. Ohya, apa kakak sudah sholat Dzuhur?" Sesungguhnya Tsabit tidak tega melihat perlakuan
Sina terhadap Syihab. Pria itu nampak rapuh. Pasti rasanya tidak enak berada diposisi dia, iba Tsabit dalam batinnya.
Sina menjauhkan diri dari sentuhan tangan Tsabit. Menyergah perlakuan tersebut. Tsabit mengerti. Dilihatnya lingkaran hitam menghiasi area mata ibu muda
itu. "Mana adikmu, dokter"!"
Syihab menegakan tubuhnya. Menatap mantap tiga wanita dihadapannya bergantian dan berakhir pada wanita yang sedari tadi berusaha menguji kesabarannya.
"Adikku Icha mengalami koma karena kecelakaan itu. Sedangkan Acha mengalami patah tulang pada kakinya. Acha yang memaksaku untuk kesini. Dia ngotot agar
aku mewakilinya meminta maaf kepada kalian. Itupun kalau dia bisa berjalan menuju tempat ini. Sayangnya tidak." sederet pengakuan tersebut perlahan menambah
amunisi keberanian Syihab. Diucapkannya dengan nada merendah serendah rendahnya. Menyingkirkan rasa untuk membalas lontaran yang ditujukan kepada kedua
adiknya. Keadaan masih hening. Seolah ingin tahu apa lagi yang akan utarakan dokter tampan itu.
"Ka Sina benar. Kedatangan saya kesini tidak hanya sekedar menjenguk. Tapi juga meminta maaf atas musibah yang menimpa keluarga anda. Termasuk saya" Syihab
tersenyum getir. Sejenak ia memikirkan kondisi adiknya saat ini. Bagaimana jika Acha yang berada diposisinya saat ini" Syihab yakin adiknya itu tidak akan
sanggup menerima cercaan demi cercaan yang menimpanya. Terlebih, orang yang mencercanya adalah keluarga dari sosok pria yang begitu diidolakannya.
"Atas nama kedua adikku Hafsah Akmalia dan Annisa Akmalia, saya meminta maaf. Saya menyesal"
Seiring permintaan maaf tersebut, Sina menurunkan gelanyar benci yang sempat membahayakan dirinya. Emosi yang baru saja berkobar perlahan mengundurkan
diri. Berganti menjadi rasa iba. Ada titik penyesalan dalam dirinya. Ternyata Syihab sendiri bernasib sama seperti dirinya. Betapa bodohnya ia sudah mengintimidasi
pria itu. "Sebelum kamu meminta maaf, kami sudah memaafkan. Ini hanya ujian kecil dari Allah yang akan membawa kita menuju level ujian terberat selanjutnya. Percayalah."
tidak ada yang lebih menenangkan hati Syihab kecuali kata perkata yang diucapkan Diana. Baginya itu seperti semburan air segar ditengah kemarau panjang
tak berkesudahan. Sebuah senyum mengembang sempurna di wajahnya.
"Terimakasih, nyonya,--"
"Panggil aku ibu. Ibu Diana" potongnya lembut. Wajahnya yang hangat mampu mengurangi kadar memanas yang terjadi di ruangan tersebut. "Terimakasih, Nyo,--
maksudku bu Diana" balas Syihab kikuk.
"Lantas, bagaimana keadaan adikmu sekarang" Sudah membaik?" Sina mengeleng sekali seraya mendesis kecil. "maafkan sikapku tadi. Aku tidak tahu kalau adikmu
mengalami nasib yang menyedihkan. Semoga apa yang menimpanya menjadi penghapus segala dosanya"
Berbekal stock kesabaran yang tak pernah habis, Syihab selalu merasakan buah termanis dari kesabaran tersebut. Wajar jika Aufa menjulukinya pria yang tidak
bisa marah. Terbukti sewaktu dirinya merawat Diana kala itu. Dengan segala kesabaran didukung dedikasinya sebagai seorang dokter. Sekarang, berkat kesabarannya
dalam menahan amarah. Seseorang yang beberapa menit lalu menyudutkannya kini melunak lalu meminta maaf padanya. Sungguh tidak ada buah termanis selain
buah kesabaran. "Tidak apa" ia tersenyum "Icha masih terbaring koma. Sedangkan Acha masih harus,---"
"Allahu akbar!"
Sontak semua yang berada disana menoleh pada satu suara. Bukan satu suara, melainkan satu gerakan tangan mengulur menuju ke arah dimana Aufa terbaring.
"Aku lihat tangan Aufa bergerak! Sungguh." Seru Tsabit tergagap gagap. Wajahnya menegang sambil terus menunjuk nunjuk tangan Aufa. Pernyataannya otomatis
membuat Diana dan Sina bergerak cepat. Mereka mendekat guna memastikan bahwa apa yang Tsabit lihat benar adanya.
"Fida.. kamu dengar ibu, nak" Jawab ibu sayang.." Lirih Diana cemas. Mengusap pipi anaknya disertai tangis haru. Berharap keajaiban benar benar berpihak
padanya. "Lebih baik kita panggil dokter penjaga. Saya akan memanggilnya"
"Tunggu!" Panggil Sina menghentikan langkah Syihab menuju keluar. Ia berbalik bada. "Bukankah kamu juga seorang dokter?"
"Aufa membutuhkan dokter yang lebih profesional" setelah itu ia kembali berbalik kemudian berlari kecil meninggalkan ruangan.
*** Dan cahaya putih berseri memancarkan keindahannya. Menerangi seisi ruangan besar tanpa tiang penyangga. terdengar deru deru angin membawa pergi awan awan
yang saling berarak teratur. Menciptakan lukisan terindahNya.
Tempat itu terasa sepi dan sunyi. Seperti kota tak berpenghuni. Seperti kota yang telah mati. Ilalang ilalang bergerak gerak tertiup angin. Menari nari
sesuka hatinya. Menyoraki sepasang kekasih disana. Mungkin mereka satu satunya penghuni yang menempati tempat tersebut.
"Kamu ga lelah tidur selama dua hari ini?" Aufa bertanya disela kegiatannya memainkan rambut hitam suaminya. Memberi kenyaman pada setiap anggota tubuh
yang dijadikannya sandaran.
"Jangankan dua hari, seribu tahun pun aku sanggup. Selama ada kamu yang menemani" jawabnya lembut. Dibarengi gerakan tangannya mengelus bagian perut istrinya.
"Belum puas ya bikin aku diebetes?"
"Aku ga bermaksud bikin kamu diabetes kok. Aku cuma mau bikin kamu hamil. Udah itu aja." Tukas Idzar polos. "Aku ingin ada sesuatu yang menendang nendang
disini" tangan Idzar belum berpindah dari perut istrinya. Terbungkus gamis lebar berwarna putih. Warna yang sama seperti baju koko yang dikenakan Idzar.
"Bagaimana dengan ikhtiar kita" Mau dilanjutkan?" Kali ini Aufa yang memulai duluan. Pertama kalinya pun ia menunjukan seringai jahil menggemaskan. Suatu
perkembangan yang bagus tentunya bagi Idzar.
"Tentu. Sekarang?" Idzar bangun dari posisinya menatap lekat istrinya disertai cengiran antusias "disini" Aku siap" serunya lagi.
Aufa mendesis seraya memutar bola mata. "Kalau soal ini kok otak kamu connectnya cepet banget sih" gerutunya sambil menoyor pelipis Idzar.
"Demi mencapai suatu tujuan, mempercepat proses itu lebih baik. daya tanggap otakku ga salah dong" kelitnya percaya diri. Mendekatkan posisinya agar dekat
dengan Aufa. "Bukan begitu, istriku?" Disusul gerakan mencium perut istrinya tersebut.
Jika ini dunia animasi, mungkin sekarang juga Aufa meleleh seketika menjadi lumeran ice cream coklat. Atau mendadak menjadi jelly yang tumbang bergoyang
goyang. Atau melebur menjadi bongkahan es yang di hancurkan.
"Yaudah mari kita laksanakan ikhtiar kita. Asalkan kamu segera bangun dari tidurmu sekarang juga" persetujuan itu diakhiri isyarat mutlak yang tidak bisa
diganggu gugat. "Aku tidak janji"
Dan bayang bayang itu pergi seiring bersama terpaan angin. Membawanya kemana mereka suka tanpa meninggalkan jejak.
*** Setelah sadar dari tidur panjangnya, Aufa menjadi sedikit pendiam dan tidak banyak bicara. Berbicara hanya seperlunya. Itupun jika tidak bisa dijawab dengan
anggukan atau gelekan kepala. Wajahnya masih pucat pasi. Setidaknya perkembangan ini yang dinanti Diana. Kini mereka berdua berada di ruang perawatan.
Sina pamit pulang untuk mengurus anaknya. Untung saja Dana mau mengerti. Sebagai seorang ayah yang super sibuk, tidak menjadikan ia ayah yang lepas tanggung
jawab. Baginya, keluarga tetap nomor satu. Karena kesibukan bekerja tidak mampu membayar kenikmatan bersama keluarga tercinta. Begitu prinsipnya.
Sedangkan Tsabit menunggu diluar sambil berusaha menghubungi Cokro yang sedari tadi sulit dihubungi. Dan setelah menemui dokter penjaga, Syihab pamit untuk
kembali ke ruang dimana Acha di rawat.
"Satu suap lagi ya?"
Hanya gelengan lemah yang merespon. Hingga akhirnya Diana menyerah. Ditaruhnya mangkuk berisi sisa bubur di atas nakas. Lalu mengambil segelas air mineral
untuk diminumkan pada gadis yang sedari tadi hanya duduk bersandar di atas ranjang. Mata gadis itu menatap kosong kepada seorang pria yang sedang berbaring
di ranjang sebelahnya. Bahkan tolehan kepalanya enggan melihat hal lain selain pemandangan suaminya itu. Pemandangan yang menyedihkan. Melihat Idzar terbaring
tak berdaya. Bersama wajah sendu dan kesedihan yang tergurat, mampu meyakini Diana bahwa putrinya sedang merasa kehilangan. Kehilangan sosok yang begitu
dicintainya. "Kamu istirahat lagi ya, nak. Berbaringlah" Diana menuntun Aufa untuk segera merubah posisinya. Aufa menahan tubuhnya. Menolak perlakuan itu. tak peduli
bagaimana rasa sakit yang menimpa. Asal Idzar selalu dalam pengawasannya.
"Fida kangen sama dia, bu. Laki laki disana yang sedang terbaring menunggu fida" tatapan matanya menunjukan kepada siapa pria yang ia maksud. Suaranya
begitu pelan. Seperti gumaman tapi tetap lembut. Dan itu rekor kalimat terpanjang semenjak dirinya siuman. Diana belum menjawab. Ia tahu masih ada perasaan
lain yang akan diungkapkan putrinya.
"Kemarin Idzar bilang sama fida kalau dia akan tidur seribu tahun lagi selama fida yang menemani dia. Tapi kenapa Tuhan membangunkan fida lebih dulu" Pasti
Idzar sedih karena fida udah ninggalin dia" Diana mencoba menelaah apa yang diucapkan Aufa. Sungguh ia tidak mengerti. Seribu tahun apa maksudnya" Wanita
itu masih diam. "Fida ingin terus bersama Idzar, bu. Aku mencintainya" sedetik kemudian terdengar isak tangis kecil. Ditundukannya kepala gadis itu. Membiarkan setetes
cairan bening dari matanya terjun bebas begitu saja. Membasahi kerudung magentanya. Bahunya bergetar seirama isakan yang mengiringi. Diana menarik perlahan
tubuh Aufa membawanya ke dalam pelukan. Menghangatkan tubuhnya yang dingin karena suhu ruangan yang menusuk.
"Pasrahkan kepadaNya, ndhuk. Yakinkan bahwa ini hanya bagian kecil dari skenarioNya. Dia yang mengatur segalanya. Istighfar sayang... Idzar akan baik baik
saja" usapan lembut di punggung Aufa mampu menjadi obat manjur sehingga meniadakan isak tangis diantara mereka.
"Ketahuilah, bahwa malam paling gelap adalah sebelum terbitnya fajar dan masa keputusasaan adalah saat terdekat untuk terbitnya fajar harapan. Sesungguhnya
jika musibah musibah itu telah mencapai puncak dan intinya, berarti masa kelonggaran dan hilangnya musibah telah dekat" mereka saling menarik diri lalu
menatap satu sama lain. Digenggamnya pipi merona anak gadisnya itu seraya tersenyum dalam sisa sisa tangis. "Setelah itu, akan lahirlah fajar baru yang
diliputi kebahagiaan, kegembiraan, cahaya dan kesejahteraan. Maka, janganlah bersedih karena musibah itu tidak akan abadi" Aufa menarik sedikit dua sudut
bibirnya. Mengartikan bahwa usaha Diana untuk menenangkan hatinya telah sukses tanpa celah.
"Kamu tetap cantik kalau sedang menangis seperti itu" puji Diana mengagumi wajah kemerahan putrinya. "Tapi akan lebih cantik kalau bibir ini" ia menunjuk
sudut bibir Aufa memberi gerakan menarik. "melengkung seperti pelangi. Lalu tersenyum manis menyambut suamimu kelak ia tersadar dari sakitnya"
"Ibu gombal" Aufa tersipu malu. Ia menunduk menutupi salah tingkahnya disusul menatap lagi sang pangeran tidur yang ia yakini juga sedang memerhatikan
dirinya. *** Dokter wanita yang menangani Aufa juga Idzar berjalan seirama mengiringi langkah dari sepatu pantofelnya. Ia baru saja keluar dari ruangan menuju suatu
tempat. Pandangannya lurus kedepan sambil menyembunyikan kedua tangan dalam saku pakaian dokter. Semakin lama langkahnya dibuat cepat. Raut datarnya berubah
menciptakan tautan diantara alis. Namun tetap stabil dalam peringai tenang yang diciptakan. Diambilnya ponsel dari saku ketika deringnya merangsang indera
pendengaran. "Dimana?" Satu kata tanya mengawali panggilannya. Pandangannya tetap mengarah kedepan membawa aura tersendiri yang memancar.


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Waalaikumsalam" ia memutar bola matanya sambil mengendus panjang. "Sekarang kamu dimana?" Detik berikutnya si penelepon memberi tahu lokasi dia berada.
Selama itu pula pembicaraan mereka belum terputus menemani perjalanan si gadis menyusuri koridor menuju tempat tujuannya.
Tak butuh waktu lama, gerakan langkah merendah kemudian berhenti di depan pintu salah satu ruang pasien.
"Ruang anggrek II" Betul?"
Ia berdiri tepat di depan pintu ruangan yang ia sebut. Kepalanya masih mendongak membaca papan nama ruangan guna memastikan.
"Hei, kamu dengar aku ga?" Merasa tak ada jawaban dalam panggilan via telponnya. "Syihab, aku bilang jangan tutup telponnya dulu. Aku peringatkan padamu"
ancam gadis itu. Dua detik kemudian pintu di hadapannya terbuka lebar.
"Aku tahu kamu banyak pulsa. Tapi jangan terlalu boros. Ngerti" gadis itu menganga dalam keadaan memegang ponsel di telinga. Hanya satu kerjapan yang menunjukan
bahwa ia masih dalam keadaan sadar setelah mendapati seseorang dihadapannya saat ini.
Syihab mengambil begitu saja ponsel yang digenggaman gadis itu kemudian dimasukan ke saku celana hitamnya. Beruntung, tidak ada respon penolakan dari si
pemilik ponsel. "Masih belum sadar juga" Helloo... Zee.. can you hear me?" Syihab melambaikan telapak tangan tepat di hadapan wajah coklat eksotis gadis bernama Zee.
Zee gelagapan. Kepalanya terhentak tersadar dari lamunan semu. Sesekali ia menggeleng kecil. Setelah itu ia baru tersadar sesuatu.
"Kembalikan handphone ku" pintanya ketus.
"Kamu harus mengambilnya sendiri" Syihab berbalik masuk ke dalam ruangan seraya memainkan ponsel Zee di udara. Zee mengerang kecil sambil menarik nafas
kemudian memantapkan langkahnya masuk.
"Sekarang kembalikan hand,-- hei,.. aku kira kamu sedang bertugas sendirian disini. Apa dia pacarmu" Selera kamu bagus juga" Zee menyikut lengan Syihab
sambil mengerling genit. "biar aku tebak. Pasti masih 17 tahun. Benar kan?"
Syihab menjawab tatapan tanya Acha yang dibuat bingung oleh keberadaan dokter cantik didekatnya. ia mendesah maklum menoleh kepada gadis yang tingginya
hanya sebatas leher. "Dia adikku. Acha. Kamu lupa?" Jawabnya malas.
Zee mengangga (lagi). Kali ini ditambah gerakan menutup mulutnya dengan kedua tangan yang menangkup. Ekspresi terkesimanya sungguh hiperbolis.
"Jadi, kamu Acha" Hafsah" Si kembar?" Zee melangkah gusar mendekati Acha. "kamu sudah besar. Sudah gadis ya. Cantik pula. Ngomong ngomong, dimana kembaranmu,
Icha?" Tidak ada jawaban. Syihab dan Acha hanya bisa saling pandang penuh arti.
"Kok hening" "
"Gimana nasib handphone kamu?"
"Oh ya!" Zee menepuk keningnya. "Mana hape ku" Balikin cepat!" Beruntung Syihab bisa mengalihkan pembicaraan. Ada untungnya juga sahabat kecilnya itu belum
membuang kepikunan yang dibawa sejak lahir. Gadis itu tidak berubah. Image ceroboh dan pikun sudah mendarah daging di dirinya. Tapi dari segi penampilan,
ia mengalami metamorfosis yang sempurna. Ia terlihat lebih feminin. Kapan lagi Syihab bisa melihat Zee dalam keadaan memakai rok span sepanjang mata kaki.
Dan kapan lagi Syihab bisa melihat Zee mengenakan hijab. Terlihat lebih kalem.
"Kamu gak menyilahkan aku untuk duduk" Jam istirahatku hanya setengah loh" tawarnya polos sambil menarik bahu ke atas.
"Silakan duduk nona Zeefana Alika" Syihab mendaratkan kursi lipat didekat Zee lalu disambutnya kursi tersebut.
"Thank. Ohya, apa kabar dokter ganteng satu ini?" Zee sangat hobby menyikut lengan Syihab dari dulu. Dan kebiasaan itu masih sangat melekat. Di lipatkan
kaki kanan menumpu kaki kiri. Bergaya sok asik. Jauh dari penampilannya.
"Sebelum aku jawab. Aku mau nanya dulu sama kamu"
"Apa tuh?" "Kamu sudah berhijrah" Sudah lama berhijab?"
Zee tersenyum lebar. Memperlihatkan deretam giginya yang rapi. "Cantik ya aku?" Godanya.
"Aku nanya apa dijawab apa"
"Oke oke" gadis itu tertawa kecil. "Semenjak aku ditugaskan di Aceh, aku mulai berhijab. Awalnya hanya sekedar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
disana. Tapi setelah tugasku selesai, hijab ini rupanya betah di kepalaku. Aku jadi terbiasa memakainya. Apa ini yang disebut Hidayah ya?" Ungkapnya sambil
membenarkan posisi pashmina hitam favoritnya. Berkaca lewat layar ponsel dengan sangat percaya diri. Tak peduli sedari tadi tatapan tidak suka yang berasal
dari Acha menyertai aktifitas gadis itu.
"Boleh gantian kamu jawab pertanyaanku?"
"Kabar ku alhamdulillah baik. Kecuali..." Syihab menggantung ucapannya dilanjutkan dengan pandangan yang mengarah ke adiknya. Zee paham betul maksud pandangan
tersebut. "Kamu ini gimana sih, hab. Tentu saja adikmu ini juga baik baik saja" sebuah tepukan yang cukup keras mendarat di punggung pria itu. "Selama Tuhan masih
memberinya nafas, harus tetap kita syukuri. Kamu tahu harga oksigen sekarang berapa" Sedangkan Tuhan memberinya cuma cuma" tidak terdengar seperti kalimat
penghibur semata. Tapi ucapan Zee memang ada benarnya. Acha pun menganggap ucapannya itu bukan sekedar penyemangat yang monoton. Ia mengangguk kecil.
"Besok besok, kalau abangmu masih pesimis nan cemen kayak gini, segera hubungi aku ya, manis. Biar aku tempeleng dia" sungut Zee kepada Acha seraya melirik
sinis abangnya. Tatapan tidak suka Acha pun perlahan surut.
"Kamu tuh jadi cewek gak ada lembut lembutnya banget sih. Casingnya doang pake rok. Tapi dalemnya masih sangar"
"Perempuan kalau gak sangar, bakal ditindas, hab. Jadi perempuan itu harus strong, kuat seperti nursaibah yang ikut berperang bersama Rasulullah. Dia satu
satunya wanita yang maju paling depan untuk membela Rasulullah"
"Engga sangar juga kali Zee, nursaibah pun juga mempunyai sisi lembut seorang wanita. Pasti kamu masih jomblo, kan?"
"Kenapa jadi melenceng ke status jomblo, sih?" Zee melipat tangan sambil mendengus keki.
"Gimana gak jomblo, setiap cowok yang mau deketin kamu keburu takut tahu gak"
"Termasuk kamu?"
Syihab terkesiap. Ia menarik satu alisnya membentuk prosotan taman kanak kanak. Zee menunggu jawaban dari celetukan asalnya itu.
"Bang Syihab sukanya sama ka Aufa"
Itu Acha yang berbicara. Membuat Zee terhenyak beberapa detik.
"Oh. Begitu ya" jawab Zee seadanya. Sikapnya tidak seperti tadi. Menjadi agak kaku sekarang. Bahunya melemah.
"Tapi sayang, ka Aufa nya udah nikah sama cowok lain"
Detik berikutnya kekakuan itu menghilang. Senyum merekah menghiasi gigi gingsulnya. "Haa... kasiaann bangettt... " andai saja Zee bisa membaca pikiran,
mungkin ia bisa sadar diri bahwa sedari tadi kehadiran gadis itu disini menjadi objek tebak tebakan Acha. Detik pertama ia menilai tentang keanggunan seorang
zeefana alika. Tapi di detik berikutnya gadis itu berubah menjadi gadis petakilan yang tidak mempunyai sisi anggun. Ada ya dokter petakilan kayak dia"
Sekarang Acha melihat dokter cantik itu tengah tertawa terpingkal pingkal sambil menepuk nepuk pahanya. Jauh dari kata angun. Semoga saja rok span itu
tidak robek. "Eh! Tunggu! Jam berapa sekarang?" Zee melihat jam tangan dipergelangan tangan kanannya.
"Yasalam jam 3. Aku harus kembali bertugas" ia bangkit dari kursi "Apa kalian tidak keberatan kalau pembicaraan ini disambung nanti?"
Syihab dan Acha hanya saling menatap bergantian lalu memandang Zee.
"Tidak sama sekali" jawaban itu kompak terlontar dari sepasang adik kakak dihadapannya.
"Baiklah. Aku permisi. Assalamualaikum"
"Waalaikum,--" "Brugh! Auww!" Dimana letak wibawa dokter itu" Bisa bisanya menubruk sudut meja. Padahal meja tersebut berada di depannya.
"Im fine. Gak usah khawatir. Aku baik baik saja kok" cengiran konyol sambil meringis menahan sakit mengiringi kepergiannya menuju keluar ruangan.
*** TBC... 20. Surat perjanjian Waktu berjalan begitu cepat. Sudah hampir seminggu ini tidak ada sedikitpun kabar baik mengenai perkembangan Idzar. Ia masih setia berbaring di atas ranjang
rumah sakit. Memejamkan mata dalam waktu yang cukup lama. Seolah tak mempedulikan bagaimana khawatirnya seseorang yang selalu setia menemaninya setiap
saat. Pagi siang hingga malam lalu berganti pagi lagi hingga malam lagi dan begitulah seterusnya sampai tiada kata bosan yang mendominasi sang istri untuk
menunggu. Keadaan Aufa semakin membaik. Bahkan dalam waktu seminggu setelah ia sadar, ia sudah bisa berjalan meski agak tertatih. Tapi itu tidak menyurutkan tekadnya
untuk sembuh. Dokter sempat menyarankan agar menggunakan kursi roda, tapi Aufa menolak dengan halus. Ia tidak mau bergantung pada benda tersebut. Lagipula,
ia menikmati sensasi sakit itu sendiri. Bukankah sakit itu bagian dari penggugur dosa" Ia bersyukur. Dengan diberi kesembuhan yang lebih dulu, dengan begitu,
Aufa bisa leluasa merawat suaminya. Mulai dari menemaninya. Membacakan lantunan ayat suci kala waktu luang. Mengelap tubuhnya. Bahkan hal termanis yang
ia lakukan adalah memberi kecupan selamat pagi dan selamat malam. Itu ia jadikan kebiasaan rutinnya.
"Assalamualaikum. Selamat pagi" sapa perawat cantik datang membawa parsel buah di tangan kanannya.
"Waalaikumsalam, suster. Apa ini waktunya pemeriksaan rutin?" Aufa baru saja selesai merapikan selimut di atas sofa. Tempat ia tidur semalam.
"Belum, ka. Saya mengantarkan ini dari seseorang. Dia menitipkan ini kepada saya" melupakan sapaan 'ka' yang ditujukan padanya, Aufa menerima parsel buah
tersebut. "Dari siapa, sus?" Aufa membolak balik parsel tersebut. Barangkali terselip memo atau nama pengirimnya.
"Kalau tidak salah namanya Tsabit,... ya Tsabit" perawat itu mencoba mengingat ngingat. Aufa meng-oh penjelasan itu. Ia tahu akhir akhir ini Tsabit sedang
disibukan dengan pekerjaannya. Belum lagi, kata Dana, gadis itu menggantikan posisi suaminya sementara. Bayangkan betapa repotnya dia. Bahkan disela kesibukannya
ia menyempatkan mengirim parsel ini. Aufa mengulum senyum.
"Terimakasih banyak suster"
"Sama sama, ka"
Sepeninggal perawat tersebut. Aufa beralih ke kamar mandi guna menyiapkan air hangat untuk mengelap ngelap wajah suaminya. Setibanya dari kamar mandi dengan
membawa air hangat beserta waslap, dibukanya kancing atas kemeja berlabel rumah sakit yang dikenakan Idzar. Sedikit agak kesulitan menopang kepalanya yang
lemas tapi dengan segala kekuatan dan kesabaran, Aufa mampu mengatasinya. Ini sebuah berkat kekuatan cintaNya. Demi ketaatnnya kepada suaminya. Si pemilik
kunci surganya kelak insya Allah.
"Sudah atau belum mandi pun, kamu tetap terlihat tampan" Aufa mengurai senyum. Tangannya bergerak aktif mengusap area wajah Idzar hingga leher. "Tapi jangan
Ge'er ya" ia terkekeh.
"Ohya, hari ini kamu ingin ku bacakan surat apa?"
Menganggap seolah olah Idzar menyahut ucapannya. "Bagaimana kalau surah Al mulk" Aku tahu kamu begitu menyukai surat itu sampai kamu membacanya setiap
malam ditelingaku. Kamu ingat kan?"
Gerakannya beralih mengusap telinga. Sesekali ia mencium kening suaminya hanya untuk menuang segenap kerinduannya. Sebisa mungkin ia mencoba untuk tidak
menangis. "Kamu berhutang padaku ya, dzar. Setelah sembuh aku akan menagihnya. Kamu harus menciumku setiap hari. Bahkan setiap saat. Titik." Titahnya agak merengek.
Anggap saja Idzar mengangguk atas permintaan tersebut.
"Aku mencintaimu" bisiknya di sela sela kegiatan mengusap telinga.
Setelah semuanya selesai. Aufa duduk di tepi ranjang. Menatap dalam suaminya itu. Menghitung hitung barangkali pada hitungan kesekian,sepasang mata yang
terpejam itu terbuka lebar. Nyatanya nihil. Padahal ini sudah hitungan ke seratus sekian. Aufa pun mengganti hitungannya dengan lantunan dzikir. Berbekal
ruas jari sebagai alat hitung ia terus mengucap dzikir dengan lirih. Mulut itu bergerak mengikuti setiap ucapan yang terlontar. Tangan satunya menggenggam
tangan suaminya. Berharap ada pergerakan yang tercipta dari genggaman itu. Mata onyx itu tak henti mengawasi detail wajah suaminya. Memandang keteduhan
yang abadi. Selagi asyik dengan kesibukannya, seseorang datang tanpa mengetuk pintu. Feelingnya mengatakan, seseorang itu mungkin dokter Zee atau perawat lagi. Kalau
ibu, ia pasti mengucap salam terlebih dahulu.
"Pagi nyonya muda" sapanya berjalan menghampiri Aufa. Gadis itu menoleh. Oh ternyata Syihab. Semenjak Aufa hampir pulih, Syihab menjadi satu satunya pria
yang tidak pernah absen mengunjunginya. Alasannya, sekalian menjenguk si kembar.
"Pagi, dokter.. terimakasih sudah menjenguk lebih awal. Ini bahkan belum masuk waktu dhuha" Syihab menengok jam dinding di sudut ruangan.
"Wah, maaf kalau begitu. Apa aku mengganggu waktu kalian berdua?" Tanya Syihab tidak enak hati.
"Tidak. Aku baru selesai membersihkan Idzar"
Syihab mengangguk. Dalam hati memuji kagum gadis dihadapannya. Betapa beruntungnya Idzar memiliki istri tangguh nan sholih seperti Aufa. Tak hanya cantik,
kesederhanaan yang alami seakan mutlak menempel pada imagenya. Itulah yang membuatnya istimewa.
"Ohya, aku membawakan ini. Aku yakin kamu pasti belum sarapan, ya kan?" Tebaknya seraya menyodorkan sekantung plastik berisi roti gandum ukuran besar beserta
susu kemasan kotak. Dilengkapi buah juga disana.
"gak usah repot repot dok, aku masih kenyang" tolak Aufa lembut.
"Kenyang makan apa?"
Alih alih menjawab, Aufa malah mengarahkan pandangannya ke arah suaminya. "Dengan melihatnya seperti ini, rasa lapar dan lelah pun seakan enyah begitu
saja. Bagiku, dia seperti kue bakpao yang lezat. Melihatnya saja sudah cukup mengenyangkan" Aufa tersenyum sendiri. Membayangkan jika Idzar mendengar pengakuannya
pasti dia semakin besar kepala.
Sementara Syihab mengatupkan bibirnya. Seperti menahan segurat rasa perih yang menjalar. Dibalik pujian terhadap Aufa, rupanya sisa sisa perasaan yang
lalu belum mau pergi. Tidakkah ia tahu bahwa sangat sulit membuang perasaan itu" Ia bahkan melupakan statusnya yang tak lain adalah adik tiri Aufa.
"Tapi kondisi perut kosongmu itu suatu saat tidak bisa berbohong. Mereka akan demo nanti. Coba aja kamu bayangin ratusan mahasiswa demo, kamu sodorin cowok
ganteng kayak Idzar. Apa mereka bakal berhenti demonya" Engga kan?" Ini benar benar lelucon konyol. Membayangkan sosok Idzar ditengah tengah puluhan mahasiswa
yang tengah berteriak lantang di depan gedung DPR.
"Siapa bilang" Mereka justru langsung berhenti demo saat itu juga" Syihab sontak mengerutkan dahinya heran.
"Kenapa gitu?" "Iyalah, mereka minder karena kalah ganteng sama Idzar" tawa kecil mengakhiri celetukannya.
Tidak ingin memperpanjang" topik mengenai imaginasi absurd tersebut, Syihab menarik nafas panjang lalu membuangnya ke sembarang arah. "Jadi kamu mau sarapan
atau tidak?" Masih dengan sisa tawa, Aufa berusaha menormalkan keadaan. "Iya nanti aku makan. Taruh saja di meja. terimakasih banyak ya"
"Ohya, dokter Zee datang jam berapa?" Syihab melihat jam tangannya.
"Mungkin sebentar lagi sampai. Tadi sih, dia bilang sedang on the way"
"Kayaknya kamu dekat sekali ya dengan dokter Zee. Seperti mengenalnya sudah lama" Aufa berdiri menata bungkusan makanan dan buah di atas meja. Tubuhnya
membelakangi Syihab. "Dia sahabat kecilku. Sejak SD, SMP, SMA bahkan sampai kuliah kedokteran pun kami selalu bersama" jawab Syihab.
"Ohya" Cukup lama juga ya" Aufa sambil mengupas apel.
"Begitulah. Semenjak kami ditugaskan ditempat berbeda disitulah pertama kalinya kami tidak bersama sama. Zee ditugaskan di Aceh. Hingga akhirnya kami dipertemukan
lagi disini" ungkapnya lagi.
"Dokter, tahu tidak?"
"Ya?" "Persahabatan yang terjalin selama 7 tahun atau lebih, dipastikan persahabatan itu akan abadi hingga akhirat. Insya Allah aamiin."
"Benarkah?" Syihab menyipit. Dibalas anggukan semangat. "Semoga saja. aamiin" Syihab tersenyum seadanya.
"Apa dokter tidak berniat menjadikan dokter Zee sebagai teman hidup" Kalian terlihat cocok" Usulan yang sangat tidak mungkin bagi Syihab. Dia menganggap
Zee sudah seperti adiknya sendiri. Meskipun orang yang belum tahu, akan mengira mereka adalah sepasang suami istri. karena kedekatannya, sosok Zee bisa
jadi seorang Sahabat, Bisa jadi seorang ibu yang tingkat kecerewetannya mengalahkan mamanya sendiri, bisa jadi seorang musuh kala keduanya tengah bersaing
dalam hal ilmu pengetahuan atau kompetisi yang sering mereka ikuti. Dan kepeduliannya melebihi seorang gadis kepada kekasihnya. Begitulah mereka.
"Aku tidak mau merusak persahabatan ini"
"Alasan yang sangat klise" Aufa memutar bola matanya. "Yang merusak persahabatan menurutku adalah, jika kamu dan Zee memutuskan untuk berpacaran. Lalu
kalian putus maka rusaklah persahabatan kalian. Itu kan, yang kamu pikirkan?"
Syihab terhenyak sejenak. Rautnya seolah meng-iyakan apa yang diutarakan Aufa padanya.
"Beda hal nya dengan menikah. Dengan kalian menikah, ikatan kalian akan semakin kuat. Kalian sudah tahu karakter masing masing. Aku rasa sebagai modal
awal itu sudah cukup untuk kalian belajar saling mengerti dan mengisi"
Syihab berdecak. Tidak semudah itu. Bagaimana dengan perasaan" Syihab tidak ingin membunuh perasaan Zee jika kelak mereka menikah, dan Syihab masih menyimpan
perasaan terhadap Aufa. Bukankah sebuah pernikahan tidak boleh terjadi jika hanya menyakiti satu pihak"
"Kamu tidak mengerti"
Aufa menoleh. Menarik bahu lalu diturunkannya seraya hembusan nafas panjang kemudian kembali memandangi wajah suaminya. "Iya. Kamu benar. Aku memang tidak
mengerti. Maaf sudah ikut campur" ia menelusuri lengan suaminya dengan hentakan jari telunjuk. "Yang seharusnya aku pikirkan adalah keadaan suamiku. Aku
begitu merindukannya" ucapnya melemah. Rona sendu kembali hadir menguasai diri gadis itu. Meruntuki dirinya sendiri bahwa tidak seharusnya ia mencampuri
urusan pribadi Syihab. Terlebih mengenai pasangan hidup untuknya. Ia membayangkan jika Idzar melihat perbincangan ini pasti ia akan sangat cemburu.
"Lihat dia. Dia pasti lelah karena tidur terlalu lama. Aku janji setelah ia sadar aku akan memijat punggungnya agar tidak pegal pegal" selagi Aufa berbicara
sendiri, Syihab berjalan pelan menghampiri dan menatapnya sangat lama. Wajahnya menegang seperti menahan sesuatu.
"Idzar, kalau kamu kangen sama aku, maka bangunlah,-"
"Aufa,.." Syihab sudah berdiri disamping gadis itu.
"Ya?" Ia menoleh. Didapatinya Syihab tengah berdiri terpaku dihadapannya. "Kenapa, dok?" Aufa memiringkan kepalanya terheran heran.
"Ada sesuatu yang harus kamu tahu" Aufa menipiskan bibirnya. Menunggu kalimat Syihab selanjutnya. "Tentang perasaan yang sempat,---"
"Allah...." Itu terdengar seperti rintihan seseorang memotong ucapan Syihab. Setelah mendengar samar rintihan kecil itu, Aufa mempertegas pendengarannya.
Sedetik.. Dua detik.. Tiga detik.. Tidak ada intihan itu lagi. Ia menoleh ke ranjang. Dilihatnya gerakan kecil yang diciptakan oleh Idzar. Aufa melihat jelas pergerakan itu. Jari Idzar bergerak
meski hanya beberapa detik.
"Masya allah.. dokter.. Idzar sadar!! Cepat panggil dokter Zee!!"
*** Setelah menjalani pemeriksaan pernapasan, jalur napas atau breathing, tekanan darah atau nadi, kemampuan berkomunikasi(disablillity), serta genggaman tangan
pasien agar tidak terkena hiportemia(exposure). Akhirnya Idzar dinyatakan siuman. Kemampuan berkomunikasinya pun membaik.
Aufa, Syihab, Cokro dan Diana berdiri mengelilingi Idzar di atas ranjang sedang duduk bersandar. Mereka nampak bahagia setelah hampir seminggu lebih menanti
kepulihan Idzar, Sosok yang mereka sayangi. Karena terlalu bahagia Aufa sempat menangis haru ketika suaminya sedang menjalani pemeriksaan tadi. Baginya,
ini kebahagiaan kedua setelah moment Idzar mengucap ijab qabul untuknya. Betapa inginnya ia memeluk erat tubuh tegap itu. Mendekapnya hangat menumpahkan
kebahagiaan serta kerinduan yang tak terkendali ini.
"Kalau begitu, saya permisi. Semoga cepat membaik pak Abidzar" dokter Zee tersenyum ramah lalu pamit meninggalkan ruangan.
"Terimakasih banyak dokter" ucap Aufa sambil mengusap sisa air mata yang membekas.
"Sama sama. Itu sudah kewajiban saya" jawabnya penuh wibawa. Berbeda sekali dengan sikapnya waktu menemani Acha. Syihab bahkan masih ingat ketika ia tersandung
Mestika Golok Naga 2 Touche Alchemist Karya Windhy Puspitadewi Pendekar Super Sakti 4
^