Pencarian

Senja Merindu 7

Senja Merindu Karya Suffynurcahyati Bagian 7


aku nemuin saudara kembar ngegemesin kayak kalian. Sekalianya ada, laki laki. Udah tua lagi. Aku gak mungkin meluk pasien ku yang itu" lanjutnya penuh
haru. "Ka,..." panggil Acha dalam pelukan.
"Untung Syihab tidak disini, kalau ada. Aku gak mungkin peluk erat kalian kayak gini. Aku bakal dibully sama dia. Dan pastinya aku gak bakal diizinin deh"
"Kak Zee,..." giliran Icha yang memanggil.
"Besok besok, kalau dokter muda itu gak ada, aku boleh kan peluk kalian lagi?"
"Kak Zee,..." semoga panggilan Icha kali ini berhasil menyadarkan Zee dari ocehannya yang terus berjalan tanpa jeda.
"Iya, kamu mau ngomong apa sayang?"
"Meluknya bisa udahan dulu gak" Kita sesak napas"
Mendengar itu, Zee menarik diri dari pelukan lalu mengatupkan bibirnya. Semua itu terjadi secara cepat. Lagi lagi ia lupa diri kalau sudah tenggelam dalam
moment haru seperti ini. Ia mengelus lengan Icha dengan lembut dan wajah menyesal.
"Kekencengan ya meluknya" Maaf ya" ujar Zee memelas.
"Kalau dokter suka sama"abang, dokter gak usah takut." Ngebully itu tanda sayang, loh" celetuk Acha menimbulkan wajah berbinar beberapa detik setelah kalimat
itu terucap. "Benarkah?" Tanya Zee antusias. Acha mengangguk ringan. Keistimewaan Zee ialah apa yang ia rasakan dapat terlihat dari ekspresi yang diberikan.
Maka dari itu Syihab menyebut dia sebagai gadis hiper ekspresif. Tanpa perlu menebak nebak perasaannya semua orang yang didekatnya akan tahu.
"Apa menindas juga tanda sayang" Syihab suka banget nindas aku. Untung aku strong" ujarnya disertai rasa bangga sambil mengusap philtrum. Tak lama, Zee
terkesiap sendiri lalu menutup mulutnya dengan tangan. Wajahnya menegang.
Entah ini ke berapa kalinya tanpa sadar ia melontarkan kata kata yang sepertinya menjatuhkan harga dirinya sebagai wanita. Seharusnya ia tidak mengatakan
itu. Pasti si kembar bakal berpikiran aneh aneh tentang dirinya.
"Maksud ku, aku sih gak ngaruh dia mau nindas aku seperti apa. Aku tetap gadis kuat. Begitu" ralatnya salah tingkah, lagi.
"Kak Zee ini apa banget sih. Icha sama Acha tahu kok kalau kak Zee suka sama abang" sergah Icha menyomot potongan apel yang disodorkan Acha padanya. "Icha
udah tahu semua. Muka kakak itu gak bisa bohong. Kalau misalkan kita ngerestuin hubungan kalian gimana?"
Zee bergeming. Belum mengeluarkan satu kata pun. Sejujurnya ia tidak tahu harus mengatakan apa. Jangankan mengatakan sesuatu, ia bahkan tidak tahu harus
senang atau sedih mendengar pernyataan dua gadis yang memasuki usia dewasa ini. Mereka benar benar sudah dewasa. Mereka bukan lagi remaja remaja labil
seperti dulu dimana ia belum ditugaskan di luar kota.
"Kalian ini ada ada aja" Zee menggeleng sambil tertawa kecil. "Wah, jam istirahat ku sudah hampir habis. Sebaiknya aku kembali bekerja dulu ya" Zee beranjak
dari kursi mengelus puncak kepala Acha dan Icha dengan lembut. "Dihabiskan ya buahnya" pesannya sebelum ia melangkah pergi.
"Bagaimana dengan tawaran kita, dok?" Tanya Acha mengurungkan niat Zee untuk pergi. Zee berbalik menundukan punggungnya agar sejajar dengan posisi si kembar.
Ia tersenyum. "Kalian tahu dongeng tentang Jin yang bisa mengabulkan segala permintaan?" Keduanya mengangguk polos." "Dia bisa mengabulkan segala permintaan tuannya.
Tapi satu yang tidak bisa ia kabulkan, yaitu mengubah perasaan manusia. Membuat manusia jatuh cinta, misalnya. Karena pada dasarnya, perasaan itu tidak
bisa dipaksakan" Mereka terdiam menyimak kemudian saling berpandangan satu sama lain.
"Sesuatu yang dipaksakan itu tidak sehat. Apalagi perasaan. Suatu saat kalian pasti mengerti" Zee sudah berdiri bersiap untuk pergi. Tapi lagi lagi, Acha
menahannya sambil berkata,
"Tapi kita kan gak minta bantuan sama jin, dok!"
Zee tersenyum seadanya sambil menggeleng kecil. Tak ingin memperpanjang topik, Zee mantap berbalik dan melangkah pergi meninggalkan ruangan setelah mengucapkan
salam sebelumnya. Setelah kepergiaanya meninggalkan ruangan, Zee menarik nafas lalu mendongak, menyeka tetesan kecil yang membendung di matanya sedari
tadi. *** *** Rumah itu nampak sederhana. Jauh dari unsur keangkuhan. Dengan bernuansa serba kayu menambah kenyamanan yang tercipta. Designnya Dibuat seperti rumah panggung
yang tidak terlalu tinggi. Ada 4 anak tangga sebagai pintu menuju teras rumah itu. Teras yang tidak begitu luas tersuguh 2 lampu sebagai penerang. Ubinnya
memakai kayu kokoh untuk menopang beban.
Di sekeliling rumah, terdapat taman yang luas. Si pemilik rumah sengaja memperluas halaman ketimbang rumahnya. Itu agar ia bisa menikmati masa liburnya
hanya dengan berdua bersama sang istri menikmati kesejukan yang dihasilkan dari tumbuhan tumbuhan yang turut meramaikan taman.
Tentu istrinya juga setuju dengan idenya itu. Ia tahu sekali istrinya menyukai sesuatu yang sederhana dan alami. Sesuai dengan kepribadiannya yang sederhana
namun tetap mengagumkan. Ditatapnya taman taman itu seluas mata memandang. Menghirup kesejukan yang ditimbulkan seraya memejamkan kedua mata. pergerakan angin memainkan rambutnya.
Udaranya menghembus keseluruhan wajah tampan nan mempesona itu. Kini ia merentangkan kedua tangan. Seolah menyambut gembira aktifitas alam tersebut. Ditariknya
nafas sekali lagi lalu dihembuskannya melalui mulut.
Ditengah kegiatannya tersebut, ada sesuatu menyentuh permukaan wajahnya, lebih tepatnya bagian matanya. Sesuatu yang halus dan lembut. Idzar mengendus
sedikit. Tercium aroma yang beberapa hari ini menjadi aroma favourit kedua setelah aroma permen. Ia hafal sekali wangi tubuh istrinya. Aroma perpaduan
vanilla dan teh yang menenangkan. Digenggamnya tangan yang masih menutupi matanya.
"Kok mata doang yang ditutup" Bibirnya juga dong, sayang. Tapi pake bibir kamu" ucap Idzar asal, sedetik setelahnya ia mendapat serangan cubitan area pinggang.
"Sakit sayang. Seneng ya liat suaminya kesakitan"
"Makanya jangan usil. Maaf ya. Sakit ya?" Aufa nampak khawatir melihat Idzar mengusap area pinggangnya.
"Lah, yang usil duluan siapa" Yang mancing mancing nutupin mata aku siapa, heum?" Idzar mendongak menghadap penuh istrinya. Mata mereka bertemu. Saling
mengagumi pesona masing masing.
"Yaudah maaf ya" ada genggaman erat menyertai tangan Idzar. Ia tersenyum penuh arti. Alisnya naik satu. "Ada syaratnya"
"Apa" Sanksi lagi?" Tebak Aufa keki. Ada perkembangan baik, bahwa sekarang ia sudah khatam dengan isi otak Idzar. Bibirnya mengerucut.
"Ih, anaknya bu Diana udah pinter sekarang"
"Hahhh.. aku capek ah, sanksi sanksi terus. Ngomong doang kasih sanksi kasih sanksi. Tapi gak ada actionnya. Aku tahu kamu sengaja ngumpulin sanksi sanksi
itu biar aku gak sanggup ngejalaninnya, kan" Ngaku!" Keluh Aufa diakhiri sebuah ancaman sambil berdecak. Dengan tidak tahu dirinya, Idzar senyum senyum
sendiri memandang gerak gerik istrinya. Lebih ke menggemaskan ketimbang menyebalkan.
"Kamu nungguin, toh. Istriku udah gak sabar, rupanya" ejek Idzar mendaratkan kedua tangan tepat di tubuh ramping istrinya. Menatapnya lekat dan tak lupa
memberi senyuman mengandung gula berlebih itu sebagai pemanis. Meskipun sudah khatam dengan isi otak suaminya, sampai saat ini Aufa belum bisa mengendalikan
diri kalau sudah berhadapan dengan sorot mata Idzar. Aufa berasumsi, sepertinya Idzar memakai mantra ajaib yang bisa melumpuhkan siapapun dihadapannya.
Termasuk Aufa sendiri. "Gak gitu juga. Kamu gak bosen, atau kamu gak kasihan sama aku" Dikit dikit sanksi, dikit dikit sanksi" gerutu Aufa. Ia masih menjadi objek menarik suaminya.
"Bisa gak, kita hidup normal aja. Gak usah pake hukuman hukuman segala?" Tanyanya kali ini bernada manja.
"Engga bisa" jawaban singkat yang terlontar terkesan menyebalkan. Idzar memang selalu begitu.
"Alasannya?" Alih alih menjawab, Idzar malah mendekatkan tubuhnya terhadap Aufa. Membawa pinggang istrinya agar dekat dengannya. Matanya belum mau berpindah dari objek
indah berkhimar merah muda itu. Setelah keduanya tiada jarak, Aufa merasa samar samar hangat memenuhi wajahnya. Aroma mint menelusup ke hidungnya seiring
usahanya mengendalikan diri dari pesona dan kharisma yang diciptakan suaminya. Disaat seperti ini, Aufa hanya bisa berharap pompa jantungnya tidak berkhianat.
Biasanya mereka hobby sekali berdegup tidak karuan. Itu jangan sampai terjadi. Idzar tidak boleh melihat kegugupannya saat ini, Bahkan sampai pria itu
berhasil menaruh tangan di kedua pundaknya.
"Karena hukuman itu akan berakhir setelah kita mendapatkan seorang anak, fa" bisik Idzar dengan suara parau. Entah sejak kapan jaraknya sudah lebih dekat
ke telinga istrinya. Aufa merasakan merinding ke area leher. Semoga Idzar tidak bertindak macam macam hari ini. Karena itu akan sangat bahaya. Mengingat,
di rumah baru mereka ini sedang banyak sanak keluarga besar yang hadir. Mereka sedang berada di dalam. Awalnya Aufa berniat mengajak Idzar masuk ke dalam,
tapi siapa sangka Idzar malah mengerjainya dengan membuatnya mematung seperti ini dibawah pesonanya.
Hingga Aufa harus mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Membodohi sikapnya kali ini. Karena akhirnya berkat usaha Idzar, ia terkurung dalam aksi suaminya
itu. Idzar membawa Aufa tenggelam bersama kehangatan yang membekas. Idzar menggelayuti bibir mungil itu dengan lembut. Memainkan setiap inci pergerakan
yang ia ciptakan. Tangannya mulai aktif menggiring tangan istrinya agar melingkar sempurna di lehernya. Seperti dihipnotis, Aufa menurut begitu saja. Ia
bahkan membiarkan Idzar memberi kenyamanan dan kehangatan pada benda tipis memerah nan lembut di wajahnya.
"Kamu tahu, kenapa Tuhan mengizinkan aku mencintai kamu?" Tanya Idzar seusai menarik perlahan tautan lembut itu seiring tatapan tajam miliknya. Aufa menggeleng
kecil. Masih ada sisa sisa rona di wajahnya.
"Karena ketika aku memilih kamu, Dia hadir untukku dan agamaku. Begitu juga ketika aku memilih Dia, kamu hadir untukku dan agamaku"
Aufa mencerna kata kata yang mungkin ini tergolong kalimat romantis versi Idzar.
"Bersama dengan mu, Tuhan seperti menjanjikan sebuah Istana yang akan kita bangun. Dan bersama denganNya, kamu akan kujadikan bidadari yang menemaniku
di surga nanti. Tetaplah disini. Berjuang bersama ku untuk Dia"
Tak ada kalimat penyerta lain selain sayup sayup angin yang terdengar samar di telinga. Tatapan penuh arti menemani keduanya. Mereka tersenyum. Hingga
sesuatu yang dikhawatirkan Aufa terjadi.
"Aduh... pengantin baru enak banget ya. Dunia serasa milik berdua. Yang lain ngungsi" Celetukan Sina membuyarkan suasana mereka. Lalu mereka tertawa bahagia
seraya bergandeng tangan.
*** Usai melaksanakan sholat Isya berjamaah, Idzar mendapati Aufa tengah duduk di ranjang merapikan pakaian yang akan ia taruh ke dalam lemari. Seharian ini
mereka sibuk menata ruang rumah baru mereka. Tak terasa dalam kurun waktu setahun rumah sederhana impian mereka terwujud juga akhirnya.
Untung saja tadi siang ada sanak keluarga yang hadir membantu merapikan beberapa perabotan rumah. Jadi, Aufa tinggal merapikan sisanya, yakni pakaian dan
segala sesuatu yang bersifat pribadi.
Idzar mengambil posisi duduk di sebelah istrinya. Mengamati aktifitas gadis itu sambil menopang dagu. "Gak bisa di selesaikan besok aja, fa?"
"Gak bisa, dzar. Besok aku bakal lebih sibuk lagi. Nanti aku keteteran. Kamu juga besok ada briefing pagi, kan?" Idzar mengangguk. "Nah, aku harus bangun
lebih pagi lagi buat nyiapin sarapan kamu"
Ada tangan lain yang turut hadir di sela aktifitas Aufa. Tangan itu meraih lalu menggenggam tangan Aufa. Aufa mengarahkan pandangan ke asal tangan tersebut.
"Tapi kamu juga butuh istirahat. Jangan terlalu capek" ujarnya lembut.
"Kalau aku capek, aku juga langsung istirahat kok. Sampai saat ini, aku masih sanggup ngejalaninnya. Ini belum seberapa, dzar. Masih ada kelelahan lain
yang akan kita tempuh. Terutama dengan hadirnya anak kita kelak. Insya Allah" ujarnya lembut sembari tersenyum hangat.
Mendengar hal itu, ada segelintir rasa bangga Idzar terhadap istrinya. Tak hanya bangga, tapi juga kesyukuran yang luar biasa. Betapa Allah mengirimnya
seorang perhiasan dunia yang akan menemani perjalanan hidupnya hingga nyawa meninggalkan badan.
"Mau berbagi lelah sama aku gak?"
"Boleh. Kalau kamu sanggup"
"Pasti sanggup dong. Aku cuma gak sanggup kalau kehilangan kamu aja"
"Mulai deh. Kumat. Malam ini gak terima rayuan atau gombal gombalan, ah" sungut Aufa menyisakan satu tumpuk pakaian yang harus dirapikan.
"Kalau nerima yang lain, mau?"
"Engga" "Yah.. mau dong" Idzar mulai merengek berlebihan. Peristiwa tadi siang mengajarkan Aufa jangan sekali lagi terpengaruh oleh mulut manis Idzar. Ia sudah
cukup malu dibuatnya setelah mengetahui bahwa Sina sempat melihat aktifitas berciuman mereka. Itu rekor kejadian memalukan yang paling atas diantara daftar
kecerobohan Aufa lainnya.
"Engga mau, Idzar sayang. Kamu gak lihat aku sedang sibuk?" Kali ini ketegasan Aufa berhasil membuat Idzar diam menyerah. Bukan menyerah, Idzar hanya menurut
kemudian ikut serta membantu istrinya merapikan pakaian.
Selang beberapa menit, Aufa malah jadi kasihan melihat wajah memelas suaminya itu. Sungguh, tidak biasanya Idzar jadi penurut seperti ini. Apa dia sedang
ada masalah" Dan rasanya Aufa sudah keterlaluan menyikapi suaminya. Sambil menggigit bibir bawahnya, Aufa hendak mengatakan sesuatu.
"Idzar,..." "Iya sayang, kenapa?" Jawabnya tanpa perlu menoleh. Pakaian pakaian itu masih asyik dikerjakan olehnya.
"Kamu baik baik aja kan?" Aufa memiringkan wajahnya guna melihat raut suaminya. Sekedar memastikan bahwa ia baik baik saja.
"Keliatannya?" "Engga baik baik aja"
"Itu tahu" Benar kan, perasaannya. Pasti Idzar sakit hati atas sikap Aufa barusan. Buru buru ia menghentikan pekerjaannya lalu berangsur menatap suaminya.
"Astaghfirullah. Maaf. Sikap ku keterlaluan ya. Please jangan kasih sanksi lagi" pinta Aufa memelas belas kasih suaminya. Genggaman itu semakin erat. Ia
takut mengecewakan Idzar seperti tempo hari.
"Baru sadar ya kalau kamu keterlaluan"
"Jadi, kamu beneran marah" Aku kira bercanda"
"Marah ya marah. Bercanda ya bercanda. Gak bisa bedain?" dibalik nada ketus itu, Idzar menyimpan tawa yang terpendam. Padahal kalau mau jujur, Idzar tidak
bisa marah berlama lama kepada Aufa. Merindukannya saja sudah menyiksa apalagi kalau mengacuhkannya berhari hari, Idzar tidak pandai dalam hal itu. Anggap
saja ini hanya sebagian dari trik liciknya.
"Maafin aku" hanya kata itu yang Idzar dapat. Disertai wajah menunduk sambil memainkan ujung jilbab. Antara ingin tertawa dan tidak tega, Idzar menahan
perasaan itu semua. "Cuma itu doang?"
Aufa segera berpikir keras. Mungkin kalimat permintaan maafnya kurang panjang. Ia pun menarik nafas panjang.
"Idzar, Aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Aku udah ngebentak kamu. Tapi itu bukan ngebentak. Aku cuma mau tegas sama kamu. Aku masih malu sama peristiwa
tadi siang. Aku seneng kok dirayu kamu. Aku seneng kok digombalin kamu. Pokoknya apapun yang kamu lakuin ke aku, insya Allah aku senang. Sekarang, kamu
mau ya maafin aku?" Idzar menarik satu alisnya, menatap langit langit belagak" berpikir. Bibirnya bergerak ke kanan ke kiri dengan menyebalkan. "Gimana ya, aku gak lihat keikhlasan
maaf kamu, deh" "Aku ikhlas kok. Insya Allah. Tapi bukankah ikhlas itu tidak berwujud" Seperti hal nya surah al ikhlas yang tidak ada kata ikhlas di dalamnya. Tapi aku
sungguh sungguh minta maaf sama kamu. Dan aku benar benar menyesal. Aku mencintai kamu setulus Khadijah mencintai Nabi Muhammad Saw. Aku mencintaimu seperti
Fatimah mencintai Sayyidina Ali bin Abi thalib. Aku juga,...."
Belum sempat Aufa menuntaskan permintaan maafnya itu, Idzar menutup mulutnya dengan ciuman penuh cinta. Mereka pun melakukam ibadah bersama, membaca basmallah,
memadu cinta penuh gairah, sehangat gairah para penghuni surga tatkala bercinta denga bidadarinya. Keringat menyatu dan merembes dalam sprei hijau tosca
yang halus, wangi dan indah. Inilah mahabbah. Inilah mawwadah. Inilah rahmah. Tasbih mengiring desah, hamdalah merona wajah. Inilah setitik karunia Allah
yang diperkenankan untuk dinikmati orang orang yang bercinta sebagai ayat, sebagai tanda, bahwa kelak di surga ada kenikmatan yang luar biasa agungnya.
Disediakan hanya untuk mereka yang menjaga kebersihan cinta dan kesucian jiwa.
*** TBC... 25. Sang gadis senja ENDING * * * * * * * Terkadang, sesuatu akan sangat berarti ketika kita harus kehilangan sesuatu tersebut. Untuk apa saja, bisa materi, seseorang, bahkan perasaan. Untuk yang
terakhir, mungkin terdengar aneh. Tapi nyatanya sebuah perasaan kehilangan akan muncul tiba tiba tanpa memberi alarm atau kode kode, ketika seseorang yang
dipikir tidak terlalu berarti, pergi begitu saja. Setelah itu, apa lagi" Mungkin saja hanya tersisa penyesalan bersama harapan agar kelak Tuhan mau berbaik
hati mempertemukan keduanya di bawah langit yang lain. Tapi tetap di atas bumi yang sama.
Sedari tadi Zee tidak melihat keberadaan Syihab disini. Hatinya dilanda gelisah. Ditatapnya dua koper yang setia menemani. Matahari yang begitu terik menyorot
tajam aktifitas manusia di sana. Di Terminal bis Kampung Rambutan Jakarta Timur, tersuguhkan pemandangan yang banyak dijumpai para pemudik seperti dirinya.
Mulai dari kerumunan calo yang menawarkan tiket ilegal, pedagang asongan yang menjual minuman berkarbonasi, dan pedagang pedagang lainnya. Profesi profesi
tersebut lebih mendominasi suasana. Namanya juga mencari sesuap nasi, apapun mereka jual selama itu berguna dan halal. Bahkan Zee sempat melihat pedagang
keliling yang menjual beberapa majalah dan koran. Ketika pedagang tersebut menawari barang dagangannya pada Zee, ia hanya melihat lihat saja. Ternyata
majalah dan koran disana sudah lama atau sudah tidak berlaku masa nya. Terbukti ketika Zee melihat tanggal edisi yang tertera di pojok kanan atas majalah.
Zee hanya menggeleng samar sambil tersenyum kecil. Betapa sulitnya mengais hidup di ibu kota. Akhirnya Zee membeli satu majalah remaja edisi lama, ia membeli
seharga 10ribu rupiah saja. Siapa tahu benda itu berguna untuknya dikemudian hari.
Setelah melirik jam tangan, Zee berdecak kecil. Waktu menunjukan pukul 9 pagi. Sedangkan bis keberangkatan menuju Wonosobo akan berangkat 1 jam lagi.
"Maaf, aku terlambat"
Suara itu mampu menolehkan kepala Zee ke belakang. Pria yang ia tunggu kehadirannya, berjalan menghampiri sambil melepas jaket kulit hitamnya lalu disampirkan
di lengan. "Aku kira lewat jalan centex gak bakal semacet ini, harusnya tadi lewat jalan mahakam aja" keluh Syihab sambil menghembuskan udara ke sembarang arah.
"Kok sendiri" Gak sama si kembar?" Tak menanggapi keluhan Syihab, Zee malah sibuk mencari sosok lain yang ia harapkan. Tentu saja kehadiran Acha dan Icha.
"Mereka gak bisa ikut. Icha masih harus banyak istirahat di rumah. Dan dia gak bisa kalau gak ditemani kakaknya" jelas Syihab cukup membuat Zee menghela
nafas berat. Rautnya memelas pasrah. Mencoba tersenyum tegar di hadapan Syihab.
"Mereka titip ini buat kamu"
Sebuah kotak berbentuk kubus terbungkus rapi dengan kertas kado berukuran sedang, terulur dari tangan Syihab. Tak sampai beberapa menit untuk menegaskan
benda tersebut, Zee menerimanya.
"Kamu boleh membukanya selama di perjalanan. Itu pesan mereka" sebuah senyum terpatri di wajah Syihab mengiringi kotak itu segera masuk ke dalam tas jinjing
si penerima. Entah kenapa, antara Zee dan Syihab tercipta sebuah keheningan yang sia sia. Tak ada obrolan lain apa pun. Bahkan sekedar basa basi pun enggan mampir di
antara keduanya. Mereka terjebak dalam kebisuan yang membunuh.
Ya, membunuh. Membunuh kerinduan yang suatu saat akan menyerang mereka. Zee harus berpindah tugas lagi. Di salah satu kota di Jawa tengah, tepatnya Wonosobo.
Zee juga senang ketika tahu akan ditugaskan disana, karena lokasi prakteknya tidak jauh dari kampung halaman ibunya. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan
sang nenek dan kakeknya di sana. Tapi dibalik kesenangan tersebut, ada hal lain yang mengganjal di hatinya.
Ia harus kembali berpisah dengan sosok pria dihadapannya saat ini. Sosok pria cuek yang baik hati tapi bodoh. Sangat bodoh, sampai sampai pria itu tidak
mampu membaca perasaannya.
Haruskah ia memulai duluan" Ah, itu akan membuatnya terlihat rendah di mata Syihab.
" "Kamu baik baik ya disana. Jangan buat keributan. Jangan ceroboh" Syihab berusaha memecah kebisuan. Mereka duduk di salah satu kursi memanjang dekat
stand penjualan tiket resmi.
"Siap. Aku udah jadi perempuan kalem kok sekarang. Tapi tetap strong" Zee terkekeh lalu meminum susu kotak di tangannya. "Ohya, kapan mulai bertugas lagi?"
Tanyanya. "Lusa. Icha sudah bisa aku tinggal bekerja. Dia udah gak bakal ngerengek rengek minta temenin lagi. Aku bisa tenang sekarang" Syihab menoleh menatap gadis
di sebelahnya seraya menjelaskan.
"Kalau aku gak pindah tugas, aku siap nemenin mereka" Zee menjeda dengan nafas berat. "Semoga ditempat tugas baru ku nanti, ada pasien kembar kayak mereka.
Setidaknya buat pengobat rindu" ungkapnya dengan kepala menunduk. Kakinya berayun ayun di atas kursi.
"Loh, waktu di Aceh bukannya kamu juga bertemu pasien kembar juga, kata Icha"
"Itu beda, hab. Mereka laki laki. Aku gak mungkin meluk mereka. Udah tua pula" sungut Zee. Bibirnya mencebik. Syihab tertawa tanpa suara. "Kalau tahu mereka
gak ikut kesini, sewaktu di rumah kamu, aku sekalian pamitan aja ya sama mereka. Kepergiaan ku kan jadi gak berkesan gini. Biar kayak di sinetron gitu"
"Gak usah drama"celetuk Syihab. Matanya menyapu suasana terminal yang kian ramai. Bis bis dengan tujuan tertentu berdatangan disambut pemudik yang berjalan
cepat menghampiri, takut tidak kebagian tempat duduk. "Perpisahan kayak gini belum apa apa. Perpisahan sebenarnya itu, kalau kita udah beda tempat di akhirat,
yakni antara surga dan neraka" Syihab melirik Zee sekilas. "Yang penting, jaga keselamatan diri kamu" ada ketulusan yang terpancar dari matanya. Tapi Zee
menerima maksud lain dari tatapan itu. Seperti rasa kehilangan, mungkin. Atau ini hanya perasaannya saja. Zee memang mudah baper akhir akhir ini.
"Insya Allah. Kali ini simpen nomor ku baik baik. Jangan sampai seperti tahun lalu. Aku kira sillahturahim kita bener bener lose, gara gara kamu gak hubungi
aku" Zee memperingatkan setelah membuang kotak susu kosong ke dalam tong sampah, pandangan tegasnya beralih kepada Syihab.
"Ya maaf. Nomor kamu gak sengaja ke apus. Mendingan kamu juga save nomor ku, biar kalau aku lupa, kamu bisa hubungi aku dulu" saran Syihab. Mengingat beberapa
minggu lalu, sewaktu mengetahui keberadaan Zee di rumah sakit tempat adiknya di rawat, ia langsung meminta nomor ponsel Zee. Setelah sebelumnya ia harus
mendapat gerutuan dan makian dari gadis itu karena kecerobohannya. Ia berjanji setelah ini tidak ada kecerobohan lain.
"Udah aku save sejak pertama kali kamu telpon aku mencari ruang anggrek II"
"Bagus. Kamu namain siapa nomorku?" Zee mengendik aneh. Alisnya bertaut. Penting ya", pikirnya.
"Ya nama kamu lah. Syihabuddin Akmal. Tapi karena nama kamu kepanjangan, aku singkat jadi Dr. Syihab, keren kan?" Zee tersenyum lebar seolah memamerkan
gigi gingsul uniknya. "Kalau kamu, namain nomor ku siapa?"
Belum sempat Syihab menjawab, Zee sudah memotong dengan tebakan tebakan konyolnya. Syihab menyipitkan mata heran.
"Pasti Zee cantik atau.. Zeefana Alika menawan" Tunggu! Atau mungkin kamu namain princess Zee, ya kan" Diantara tiga itu, kan?" Dengan PeDe-nya Zee menebak
bangga. Dan dari semua nominasi nama yang ia tebak, sangat jauh dari kenyataan aslinya.
"Sebuah nama yang gak pernah kamu bayangkan"
Mendengar kalimat sederhana itu, tentu saja mata Zee membinar indah bak rembulan. Senyumnya semakin lebar bak peredaran pelangi yang melengkung. Kedua
tangannya mengepal di dada sambil berkata,
"Sudah ku duga kamu bakal mengistimewakan aku. Seneng banget rasanya kalau perasaan ini akhirnya terbalas. Aku gak nyangka kamu bisa seromantis itu sama,---"
"Perempuan angin"
Merasa ucapannya terpotong, Zee menoleh sambil memiringkan wajah.
"Kamu bilang apa barusan?"
"Perempuan angin" ulang Syihab turut menoleh hingga mempertemukan dua pasang mata di sana. Yang satu memberi tanda tanya yang besar, yang satu memberi
tatapan penuh arti. "Siapa?" "Ya, kamu. Siapa lagi?"
"Maksud mu, aku perempuan angin begitu?"
Syihab mengangguk. "Gak terbayang kan, aku bakal ngasih nama itu"
Zee bergeming. Menyerap berbagai macam spekulasi yang perlahan hadir. Otaknya sedang bekerja untuk mengetahui mengapa Syihab menamai dirinya dengan sebutan
'perempuan angin' "Aneh banget namanya. Gak ada yang lebih natural lagi" Kenapa harus angin?" Protes Zee mengangkat bahu cuek.
"Soalnya kamu seperti angin yang terus bergerak pergi kesana kemari. Terbang membawa debu berhamburan. Memindahkan guguran daun daun yang bersembunyi lalu
membawanya ke alam bebas. Membuat segala sesuatu di sekitarnya bergerak seolah menari mengikuti jalan hidupnya."
Zee mengangguk sekali. Bibirnya mengatup seraya menipis. "Kalau begitu aku juga akan menamai mu dengan panggilan,.." matanya berputar putar ke langit langit.
"eh, sesuatu yang tidak bisa digerakan oleh angin apa saja contohnya?"
"Kayu,.. atau akar, mungkin?" Jawab Syihab ragu.
"Ah, itu terlalu bagus buat kamu. Gimana kalau manusia besi" Ya, itu cocok buat kamu" Zee menyetujui usulnya sendiri sambil manggut manggut.
"Emangnya angin gak bisa menggerakan sebuah besi ya?"


Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sepertinya begitu" Zee melihat jam tangan seraya berdiri karena sebentar lagi bus yang akan ia tumpangi segera datang. "Aku udah harus berangkat. Jangan
dipikirin soal manusia besi tadi. Bagiku, kamu tetap lelaki lembut dan baik hati yang pernah aku kenal" ujarnya lagi sambil memberi senyum hangat.
Ketika gadis itu melangkah pergi, Syihab mengekor di belakang, mengantarnya menuju bus sambil membawa satu koper lain milik Zee.
"Kamu gak punya rasa ambisius buat mendapatkan balasan dari perasaan kamu itu?" Tanya Syihab di perjalanan menuju Bus yang berada cukup jauh.
"Aku tahu diri" jawab Zee singkat tanpa menoleh dan terus berjalan.
"Kalau kamu mau menunggu, aku siap untuk datang bertemu kedua orang tua kamu. Kapan kamu selesai bertugas di Wonosobo?"
"Gak usah bercanda"
"Aku gak punya selera humor kayak kamu. Buat apa aku bercanda di saat seperti ini" Aku serius, Zee"
Syihab tersentak kaget dan berhenti tiba tiba ketika gadis di depannya menghentikan langkahnya lalu berbalik. Zee menyerang Syihab dengan tatapan intimidasi.
Tatapan menuntut?" Syihab akan pernyataannya barusan. Mereka terdiam dalam beberapa detik tepat di depan pintu bus.
"Aku tahu kamu gak punya selera humor tinggi kayak aku. Tapi kamu gak perlu maksain buat bikin aku tertawa terbahak bahak. Itu sama sekali gak lucu, hab"
bahkan hingga saat ini, Zee belum mempercayai kesungguhan Syihab. Karena sudah terlalu lama memendam perasaan tak berbalas, mengakibatkan Zee harus terjebak
dalam pesimis yang mendarah daging.
"Jadi, kamu tetap anggap ini lelucon" Oke. Sekarang aku bakal mengatakan lelucon yang tak kalah garing" Syihab mendengus panjang dari arah lain kemudian
berangsur menatap penuh gadis bersweater pink di depannya. "Aku ingin menikah dengan kamu. Aku siap menunggu kamu bertugas. Paham?"
Lagi lagi Zee bergeming. Ia dibuat tak berkutik sedikitpun. Walaupun Syihab mengatakan bahwa ini hanya sebuah lelucon garing, tapi mata itu sungguh tak
mampu berbohong. Ada banyak kejujuran di sana. Zee melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang selama bertahun tahun ia nantikan kehadirannya. Semoga ini bukan
sekedar kata kata penghibur atau kalimat pengiring perpisahan semata. Zee berharap banyak dari setiap kata yang terlontar dari bibir dokter muda itu.
"Lelucon yang bagus. Aku suka. Aku harap kamu bisa mempertanggung jawabkannya seusai aku bertugas" tersirat sebuah harapan di sana. Syihab mengulum senyum
seiring banyaknya penumpang yang berdatangan menaiki Bus. Begitu juga Zee, setelah mengucapkan salam perpisahan, ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam
bus kemudian duduk di salah satu bangku dekat jendela. Dari sana ia melihat Syihab masih berdiri di samping bus. Zee tersenyum kecil sambil melongokan
kepalanya keluae jendela.
"Hei, manusia besi" panggilnya. Syihab mendongak matanya tertuju pada jendela dimana suara itu berasal. "Do'a kan aku agar bisa sabar menanti janji mu
ya. Kamu tahu aku kan?"
Syihab cukup membalasanya dengan kuluman senyum mematikan. "Kalau kamu gak sabar, aku yang akan kesana menjemput kamu. Kamu siap?"
"Selalu" Bersama melajunya bus perlahan meninggalkan tempat, Zee melambaikan tangan. Tersenyum cemerlang memandang pria masa depannya dari tempat ia duduk. Wajah
kebahagiaan yang menghiasi kepergiannya. Ini perpisahan yang ia harapkan. Perpisahan yang tidak melibatkan drama di dalamnya tapi begitu membekas di hati.
*** Idzar nampak uring uringan seminggu ini. Wajahnya nampak tak bersemangat tak ada gairah. Kantung mata kian hari kian menebal bak bola salju yang menggelinding
ke bawah. Semangat hidupnya menurun. Tidak ada yang tahu apa yang menimpanya hingga ia menjadi seperti itu, termasuk rekan rekan kerjanya. Idzar memang
pandai menyembunyikan rahasia yang dialami kepada orang lain hingga mereka menganggap Idzar baik baik saja.
Ketika sedang duduk melamun di sofa, ada tangan lain yang menaruh sekaleng minuman di meja di depannya.
"Belum ada perubahan?"
Pertanyaan itu hanya mendapat respon gelengan kepala dari Idzar. Sedang ia sibuk bersandar di sofa menatap langit langit plafon seperti melakukan telepati
pada benda mati tersebut. Siapa tahu dapat memberi pencerahan terhadap masalahnya.
"Gue juga pernah ngalamin kayak lu. Tapi gak se-mainstream ini" ungkap Dana tentang hal yang di alaminya sewaktu Sina menjauhi dirinya selama kurang lebih
dua hari saja. Itu lah yang dialami Idzar selama seminggu ini, bahkan lebih. Tiba tiba saja istrinya, Aufa berubah menjadi sosok wanita yang super menyebalkan. Jadi mudah
cengeng, sensitif, mudah emosi, baper, cerewet. Untuk cerewet bisa masuk daftar pengecualian. Sejak dulu istrinya memang cerewet, tapi itu yang idzar suka.
Aufa terlihat lebih seksi kalau sedang cerewet, menurutnya.
Keluhan lainnya yang tak kalah mainstream yakni, sejak seminggu ini, sudah tiga kali Idzar tidak tidur bersama istrinya. Berulang kali ia menanyakan alasannya,
tapi dari seribu alasan yang didapat, tidak ada yang masuk akal. Salah satu alasan terkonyol yang didengar saat itu adalah "Aku mau berlatih jadi istri
yang mandiri, Dzar. Jadi kalau suatu saat kamu dapat tugas ke luar kota lalu menginap, aku bakal terbiasa tidur tanpa kamu"
Alasan macam apa itu" Dengan polosnya Aufa berkata seperti itu terhadap suaminya. Idzar sempat keberatan dengan sikapnya tersebut. Tapi setiap ia ingin
menasehati, yang ada justru sebaliknya. Yang dinasehati malah lebih galak. Ujung ujungnya nangis. Cobaan apalagi yang kini menimpa dirinya. Bahkan ia sempat
berpikir kalau Aufa sedang selingkuh, tapi pikiran buruk itu segera ia tepis. Aufa tidak mungkin jatuh cinta kepada pria lain selain dirinya. Karena satu
satunya pria tampan di dunia hanyalah Idzar seorang. Begitu pikirnya.
Pikiran buruk lain juga melintas di otaknya. Apa ia mau balas dendam tentang surat perjanjian sewaktu dia sakit" Itu bisa jadi alasan kuat. Tapi, lagi
lagi keyakinannya mengalahkan prasangka prasangka tersebut. Entah prasangka apa lagi yang akan hinggap di pikirannya, selama Aufa masih menjadi wanita
menyebalkan. "Jangan jangan Aufa hamil"
Itu praduga lainnya. Kali ini berasal dari Dana. Setelah akhirnya ia memilih menceritakan keluh kesahnya pada abangnya itu. Hingga Dana menyimpulkan bahwa
Aufa hamil. Tapi, apa mungkin"
"Waktu Sina hamil juga kayak gitu. Gue di jauhin abis abisan. Bilangnya sih aroma tubuh gue gak banget. Udah ganti parfum pun juga gak ngaruh. Tiap deket
gue, dia pasti muntah muntah. Beberapa hari gue tidur di sofa. Tapi gak nyampe seminggu lebih kayak lo gitu. Yang paling mainstrem sih, gue pernah seharian
nyari bakso seukuran bola kasti buat dia. Udah jauh jauh muterin jakarta, tau taunya itu bakso di jual gak jauh dari rumah. Dan yang lebih nyebelinnya,
Sina udah tahu dimana tuh bakso dijual, entah dia mau ngerjain gue atau apa, dia bilangnya sih lupa" ungkap Dana jadi ikut ikutan frustasi. Kepalanya menggeleng.
Idzar masih diam. Otaknya bekerja menanggapi kesimpulan sekaligus curhat terselubung Dana. terdengar berlebihan. Tapi, apa mungkin semua perubahan Aufa
dikarenakan ia tengah hamil" Memangnya seperti itu ya gejala gejala wanita hamil"
"Coba lu tanya Aufa baik baik. Feeling gue sih dia hamil" Dana menepuk pundak adiknya.
"Kalau orang hamil emang harus senyebelin itu ya, bang" Kalau dia beneran hamil, berarti selama 9 bulan gue harus tersiksa dijauhin istri gue sendiri,
dong" setelah itu Idzar berdecak. Dana terkekeh tanpa suara mendengar keluhan tersebut.
"Ya gak sampe 9 bulan juga kali. Ada masa nya kok. Lu harus sabar. Jadilah suami yang siaga, kayak gue" tawanya dibuat sombong, keduanya bahu bergetar.
Idzar meringis aneh melihat kelakuan abangnya itu.
"Muka lu ga enak banget sih. Bukannya seneng istri hamil. Katanya mau punya Idzar junior"
"Itu kan baru spekulasi lu doang, bang. Lagian kalau Aufa hamil dia pasti udah ngasih tahu suaminya"
Dana lupa satu hal, sifat keras kepala Idzar rupanya masih melekat di dirinya. Atau mungkin sudah mendarah daging. Bagi Idzar, sebelum ada bukti jelas,
ia tidak mau berasumsi apa apa. Kejelasan itu sangat diperlukan. Kalau pun yang diucapkan abangnya benar, Idzar akan bahagia bukan kepalang.
"Lu kayak gak tau perempuan aja. Misterius. Penuh teka teki. Penuh kejutan. Kalau lu gak pinter baca perasaan mereka, lu bakal susah buat mengerti mereka"
entah mendapat teori darimana, tapi Idzar akui, ucapan Dana ada benarnya. Semua itu berlaku semenjak Aufa bermetamorfosis menjadi wanita super nyebelin.
Mereka terdiam dalam kebisuan. Selagi Idzar berdiam dan berpikir, Dana menerima sebuah panggilan dari ponselnya. Idzar menebak kalau itu panggilan dari
istri abangnya tersebut. Dan ternyata benar. Dana terlihat serius berbicara dengan Sina di telepon. Diam diam Idzar juga memasang kuping dari pembicaraan
tersebut. Dilihatnya Dana membelakanginya sambil senyum senyum sendiri. Pasti sedang merayu istrinya, batin Idzar keki. Setelah itu ia melihat Dana mengucap
syukur berkali kali seraya mengusap wajah dengan telapak tangan. Wajahnya nampak bahagia bersama senyum melebar. Sempat mengalihkan pikiran Idzar lalu
berubah penasaran. Mereka sedang membicarakan apa ya"
"Alhamdulillah, dzar. Do'a gue terkabul" Dana kembali duduk di sebelah adiknya sambil menggenggam erat tangan Idzar. Menatapnya haru bahagia. "Kenapa,
bang?" "Biya bakal punya adik"
"Maksud lo, Sina hamil lagi?"
Anggukan Dana menjadi penyemangat Idzar untuk memberanikan diri bertanya kepada Aufa tentang kehamilannya--jika itu benar. Padahal baru saja Dana menyimpulkan
Aufa bakal hamil, ternyata kehamilan tersebut menimpa istrinya sendiri. Idzar sempat bingung, kenapa Dana tidak mengalami hal yang sama dengan dirinya"
Kenapa dia tidak stress menghadapi kelakuan istrinya" Dan kenapa Sina tidak mengalami metamorfosis menjadi wanita menyebalkan seperti istrinya"
"Aufa sayang,.. kenapa kamu hobby banget bikin kejutan, sih" Seneng ya bikin aku khawatir" gumam Idzar berbicara sendiri.
*** "Jadi, kamu mau menikah?"
Suara yang terdengar begitu kencang, mungkin bisa mencapai sidratul muntaha. Cukup memecah gendang telinga siapa pun yang mendengarnya.
"Kamu abis ngunyah to'ak ya" Pelan pelan apa ngomongnya. Nanti kalau kedengeran suamimu gimana?" Keluh Tsabit dari seberang sana sambil menggenggam ponsel
di telinganya. "Idzar belum pulang kok. Paling sebentar lagi" jawab Aufa setelah menengok jam dinding di ruang tamu. "Eh, kamu mau nikah sama siapa" Beneran besok lusa"
Kok mendadak?" Lanjut Aufa sambil menikmati snack gandum di pangkuannya. Tak jauh dari ia duduk, terdapat bungkus bungkus snack gandum lainnya bertebaran
dimana mana. Sudah ada 4 bungkus disana. Hitung saja jadi 5 termasuk snack yang ia makan sekarang.
"Panjang ceritanya. Kamu bakal kaget kalau aku ceritain kronologi pernikahan kita. Jauh dari bayangan gadis gadis di luar sana yang ingin menikah dengan
pangeran surga yang tampan" jelas Tsabit.
"Terus kapan mau cerita" Keburu kamu nikah nanti gak sempet cerita ke aku" Aufa merubah posisinya. Dengan menaikan kedua kaki di atas sofa lalu meluruskannya
setelah itu ia bisa nyaman bersandar pada ujung sofa. Disuapnya lagi snack gandum dengan rasa cokelat tersebut.
"Tenang aja. setelah menikah pun, aku masih bisa bebas melakukan apa pun yang aku mau." Jawaban Tsabit cukup membuat kening Aufa berkerut sekian lapis.
"Emang kamu mau nikah sama siapa, sih?"
"Sama cowok lah"
"Malah ngelawak"
"Siapa yang ngelawak" Buktinya kamu gak ketawa" kelit Tsabit menyimpan tawa geli.
"Yaudah kalau mau di rahasiakan dulu calonnya. Aku paham kok" Aufa melihat jam lagi. Raut kekhawatiran mulai nampak di wajahnya. "Kamu masih di kantor"
Kok belum pulang?" "Masih. Sebentar lagi juga pulang. Kenapa" Kangen suami?" Tebak Tsabit sambil membereskan berkas berkas. "Kangen juga kan akhirnya. Siapa suruh ngediemin
suami sendiri. Dosa loh"
"Aku gak ngediemin dia ya. Mood ku emang lagi gak bagus aja akhir akhir ini. Gak tahu kenapa, aku juga heran" bertambah lagi satu bungkus snack gandum
yang bertebaran. Aufa bergerak gusar mencari sesuatu untuk dimakan. Setelah berulang kali memutar tubuh di atas sofa. Akhirnya ia menemukan roti strawberry
yang sudah ia siapkan sejak tadi. "Emang Idzar curhat ya ke kamu?" Tanya Aufa memastikan bahwa suaminya tidak nekat curhat kepada selain mahramnya.
"Engga. Tapi aku tahu dia lagi banyak masalah. Keliatan sih dari mukanya. Uring uringan, kerjaan salah mulu, bolak balik ke musholla. Ujung ujungnya aku
jadi korban amarah dia" sungut Tsabit dengan polosnya.
Aufa hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Alisnya menaut memelas. Memikirkan nasib suaminya. Pasti amat menyedihkan.
"Aku boleh pesan sesuatu gak ke kamu?"
"Apa tuh?" "Kalau nanti pulang ketemu Idzar, tolong bilang ke dia,..."
Belum sempat ia meneruskan misi kepada Tsabit, Aufa dikagetkan dengan kedatangan seseorang yang mampu menghentikan kemampuan bicara. Tiba tiba nafasnya
terhenti seperti ada yang mengganjal lidahnya untuk sulit menelan. Aufa segera merapatkan bibirnya ketika seseorang itu sudah berdiri di hadapannya.
"Telpon dari siapa?"
"Dari Tsabit,." Aufa mengangkat telapak tangan seolah memberi isyarat kepada Idzar. Pria itu mengerjap sekali tanda mengerti. "Udah dulu ya. Suamiku udah
pulang. Assalamualaikum" nadanya dibuat berlebihan. Sengaja, memang. Bisa bisanya Tsabit berbohong. Katanya sebentar lagi pulangnya, kenapa Idzar bisa
tiba tiba ada di sini" Apa dia memiliki kekuatan teleportasi"
"Assalamualaikum"
"Kamu pulang cepet ya" Kok Tsabit masih di kantor?" Aufa beringsut meraih jas yang bertengger di lengan suaminya.
"Assalamualaikum, sayang" Idzar mengulang salam dengan irama syahdu dipadu nada lembut dari bibirnya. Ia duduk di sofa seraya menarik nafas lalu membuang
segala penat yang bercampur.
"Waalaikumsalam" jawab Aufa sambil berjalan menuju dapur dan sekembalinya, ia membawa segelas air putih hangat. Diminumkannya minuman tersebut kepada suaminya
dengan penuh perhatian. Setelah meneguk minumannya dalam sekali tengguk, Idzar mengamati perilaku istrinya dengan bingung. Seperti ada yang salah di sana.
"Kok ngeliatinnya begitu" Aku tahu aku belum mandi. Kamu mau bilang aku jelek, kan?" Belum apa apa Idzar sudah menjadi seorang tertuduh yang menyedihkan
nasibnya. Perkiraannya meleset. Ia kira sikap Aufa sudah berubah seperti semula, rupanya sama saja.
"Kamu cantik kok, sayang"
"Jangan bohong, deh. Kalau aku gak ngomong gitu, kamu gak bakal bilang aku cantik, kan?"
"Engga kok, fa. Sudah mandi atau belum mandi pun, istriku tetap terlihat cantik natural seperti sekarang" Idzar mencoba tersenyum manis di tengah menahan
kesabarannya. "Sekarang doang" Kemarin terus kemarinnya lagi aku gak cantik, gitu?"
"Kemarin, hari ini dan besok sampai seterusnya kamu tetap wanita ku yang paling cantik. Cuma kamu seorang" Dengan segala kesabaran seluas semesta alam,
Idzar menuangkan kata kata romantisnya dengan nada panjang berlebihan. Guna meyakinkan istrinya.
"Kok nadanya kayak gak ikhlas gitu. Kamu ikhlas gak sih bilang aku cantik"
Astaghfirullah.. sabar Idzar. Kamu lelaki kuat dan tangguh. Batin Idzar memberi suplemen semangat yang berkobar. Untung saja hadiah Sabar adalah surga,
kalau payung cantik mungkin Idzar sudah menelan istrinya hidup hidup sekarang.
Idzar menarik nafas seraya beristighfar dalam hati berulang ulang. Kemudian mengusap wajahnya penuh frustasi. Sekilas ia menatap keadaan ruang tamunya
saat ini. Ada banyak sampah bekas makanan ringan bertebaran mengisi sudut sofa. Sejak kapan Aufa hobby ngemil" bahkan sampai sebanyak ini. Idzar mempertegas
penglihatan pada salah satu bungkus snack. Gandum" Bukankah Aufa tidak menyukai makanan berbau gandum" Apa ini yang disebut ngidam" Selagi berpikir, Aufa
menepuk ringan lengan suaminya.
"Kok kamu diem" Diem tandanya iya. Kamu ga ikhlas kan bilang aku cantik. Aku tahu aku gak secantik teman teman kantor kamu. Tapi aku kan istri kamu" keluhan
Idzar terhadap istrinya mulai kumat. Idzar suka kalau Aufa cerewet, tapi bukan cerewet yang seperti ini.
"Sayang,.. izinin aku istirahat dulu ya. Nanti setelah aku mandi lalu sholat lalu makan malam, aku ingin bicara sesuatu sama kamu. Boleh ya sayang?" Idzar
mengeluarkan jurus mautnya. Tidak sia sia kemampuannya sewaktu masih mengajar di sekolah alam, menaklukan anak anak dengan kelembutan, kesabaran dan keramahannya.
Dan hari ini, ia pergunakan kemampuan tersebut kepada istrinya. Kalau ini berhasil, Idzar mungkin bakal sujud syukur.
"Baiklah. Setelah mencuci kaki kamu, aku bakal siapin air hangat buat kamu mandi" Idzar bisa bernafas lega sekarang. Dilihatnya wajah istrinya sembari
tersenyum. Sungguh kecantikannya semakin bertambah jika menjadi gadis penurut seperti itu. Ia merindukan kehangatan istrinya.
"Oh ya. Aku buatkan kamu susu cokelat hangat. Nanti sebelum mandi, diminum dulu ya susunya biar ga keburu dingin"
Idzar menghembus nafas frustasi seolah mengatakan "sejak kapan gue suka susu cokelat?"
*** Malamnya, usai menyelesaikan segala urusan duniawi. Usai pula melaksanakan kewajiban sholat lima waktu, Idzar sudah duduk manis bersandar di dashboard
tempat tidur. Kakinya ia luruskan agar sejajar dengan kaki istrinya. dadanya dibiarkan melapang sebagai tempat bersandar Aufa. Gadis itu bersembunyi dalam
dekapan Idzar sambil melantunkan ayat suci. Berbekal kitab Al qur'an di tangan, senandung ayat ayat suci itu bergema mengisi ruang dimana hanya ada mereka
dan Si pemilik jiwa. Idzar memejamkan mata menghayati ayat per ayat yang masuk ke dalam telinga kemudian merasuk ke dalam jiwa kemudian menenangkan di dalam hati. Tangan kirinya
tidak menganggur begitu saja. Ia gunakan untuk mengelus lembut puncak kepala istrinya yang masih dalam dekapan. Tak ada yang lebih menyejukan hati selain
lantunan ayat suci yang menggetarkan.
Dan kehangatan ini yang ia butuhkan. Kehangatan ini yang Idzar rindukan. Entah mengapa tiba tiba saja Aufa meminta dirinya mendekap erat tubuh mungil tersebut.
Dengan alasan ia ingin menyelesaikan satu surat bersama suaminya. Seusai merampungkan satu surat, Aufa mencium lembut mushaf Al qur'an seraya memejamkan
mata kemudian memeluk kitab suci tersebut dalam dekapan.
"Tumben kamu baca surat yusuf"
Aufa mendongak sedikit. Mempertemukan jarak wajahnya dengan wajah segar Idzar yang masih basah karena sisa air wudhu.
"Aku ingin anakku kelak setampan Nabi Yusuf AS" mendengar hal itu, Idzar seperti menemukan sesuatu di otaknya. Sesuatu yang harusnya malam ini ia tanyakan
kepada Aufa. "Fa, aku boleh nanya sesuatu sama kamu?" Aufa mengangguk lembut.
"Kamu ngerasa mual mual atau seperti masuk angin atau semacamnya gak?" Aufa tidak heran dengan pertanyaan itu. Dengan enteng ia menjawab "iya. Malah tadi
siang aku muntah lagi"
Ada sedikit titik terang atas kegundahan Idzar. Ia bersiap menanyakan hal lain lagi.
"Terus sejak kapan kamu doyan ngemil" Snack gandum lagi. Kamu kan gak doyan makanan yang berbahan gandum" pertanyaan kali ini dijawab berupa gelengan lemah.
"Aku juga gak tahu. Seharian ini aku pengen banget makan snack gandum. Ternyata rasanya itu enak banget loh, dzar. Tadi siang aku habis memakan 5 snack
gandum ditambah roti strawberry" ungkap Aufa bersemangat. Idzar menarik nafas lagi. Dari bukti itu, ia mendapat kekuatan untuk menanyakan inti dari pertanyaan
tersebut. "Kamu kenapa nanyain itu ke aku" Kamu mau snack gandum juga" Aku masih nyimpen kok satu dus. Aku ambilin ya"
"Eee.. gak usah sayang, gak usah" Idzar menahan pergerakan istrinya yang hendak mengambilkan snack untuknya "aku masih kenyang kok"
"Oh. Yaudah" Aufa kembali bersembunyi dalam dekapan dada Idzar. Terasa sekali alunan naik turun yang tercipta dari dada bidang tersebut. Dengan keisengannya
sempat sempatnya ia memainkan telunjuk di permukaan tempat ternyaman milik suaminya.
"Kamu udah gak sensi sama aku lagi, kan" Malam ini aku boleh tidur sama kamu lagi kan?" Sebelum bertanya pada inti pertanyaan, Idzar terlebih dahulu memastikan
bahwa Aufa dalam keadaan aman terkendali. Jangan sampai ia salah bicara lalu berujung tuduhan konyol dari istrinya.
"Udah engga kok. Justru malam ini dan seterusnya aku mau tidur sama kamu lagi. Tidur sendirian itu gak enak" keluhnya.
"Iya lah gak enak. Orang gak ada ngangetin kamu" Aufa menyikut lengan Idzar malu malu. Setelah itu hening. Selagi hening, Idzar bersiap menanyakan inti
dari pertanyaan sebelumnya. Setelah menarik nafas dalam dalam, Idzar mengatakannya dengan hati hati.
"Kamu hamil ya, fa?"
Aufa segera menarik diri dari dekapan. Menatap Idzar dengan intens. Setelah lama tatapan itu berpendar, ia kembali memeluk suaminya dengan erat.
"Belum, Dzar. Maafin aku ya. Aku tahu kamu begitu menginginkan kehadiran anak di tengah tengah kita. Apa kamu sudah sangat rindu dengan kehadiran mereka?"
Idzar memeluk balik istrinya dengan erat. Rupanya ia tengah dihadapkan dengan kekecewaan. Ia menyesal karena sudah terlalu berharap. Ia pun menyesal sudah
terpengaruh sugesti Dana. Sekarang, justru ia malah membuat istrinya bersedih. Walaupun pada dasarnya Idzar menanyakan itu semua karena ia penasaran dengan
sikap Aufa yang berubah drastis. Ia hanya ingin tahu penyebabnya. Hanya itu. Bukan untuk membuat istrinya bersedih seperti ini.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu percaya takdir Allah" Allah punya segudang rahasia terbaik buat kita. Tinggal kita menjemputnya dengan do'a" ucap
Idzar lembut bersama belaian yang mengiringi hangat tubuh istrinya dalam pelukan.
"Apa mungkin ikhtiar kita yang kurang maksimal ya, dzar?"
"Mungkin. Udah kamu tenang aja ya. Kita kan berumah tangga masih seumur jagung. Siapa tahu di bulan bulan berikutnya Allah bakal mengabulkan do'a kita.
Yang penting tetap bekhusnudzan sama Allah. Oke sayang?" Idzar mencolek genit dagu lancip istrinya. Aufa kembali kumat dengan serangan memerah di wajahnya
seperti udang rebus. Setidaknya, Aufa sudah kembali seperti semula. Itu sudah sangat menenangkan hati Idzar. Kehadiran seorang anak biarlah Tuhan yang mengaturnya seperti apa.
Mereka cukup berikhtiar semaksimal mungkin. Tapi berbicara mengenai ikhtiar, terbesit sesuatu yang nakal melewati jalan pikirannya.
"Tadi kamu bilang, ikhtiar kita yang kurang" Gimana kalau kita berikhtiar lagi?" Kedua alis Idzar saling naik turun disertai seringai aneh. Aufa mendengus
kecil. Sudah lama Idzar tidak mengerjainya seperti ini. Jujur, Aufa menyukainya.
"Gimana" Ayo dong sayang. Dalam mencapai suatu tujuan, kita tidak tahu usaha mana yang akan berhasil. Sama seperti do'a. Kita tidak tahu do'a mana yang
akan Allah kabulkan. Maka dari itu, perbanyak lah keduanya"
Tanpa pikir panjang Aufa langsung mengangguk pasti sambil tersenyum malu malu menyanggupi usul suaminya. Lucunya, ketika ia hendak beranjak bangun dari
posisi, Idzar menarik halus lengan Aufa agar tak usah berpindah tempat. Untungnya Aufa sudah siaga lebih dulu.
"Aku mau ke toilet sebentar ya"
Sambil mengangguk pasrah Idzar menurut. Selagi menunggu istrinya, Idzar juga turut bangkit dari tempat tidur hendak menuju dapur untuk mengambil segelas
air putih. Ketika baru dua langkah menuju pintu kamar, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Berkat rasa penasarannya yang besar, Idzar mengurungkan niat
sebelumnya kemudian mengambil benda pipih nan tipis yang tergeletak di atas sebuah buku yang ditaruh di nakas. Ia memainkan benda tersebut ke udara seraya
meneliti benda apakah ini. Ada dua garis merah di ujung benda tersebut. Ia seperti pernah melihatnya. Tapi dimana ya"
Setelah cukup lama berpikir keras, yang Idzar ingat, terakhir kali ia melihat benda ini sewaktu ia iseng membuka akun facebook lalu ada postingan salah
satu sahabatnya yang menunjukan" foto benda tersebut dengan caption; 'alhamdulillah Allah memberi ku amanah. Akan ku jaga malaikat ini agar kelak menjadi
hambaMu yang taat. Aamiin' kurang lebih begitu isi postingannya.
Itu artinya," Ketika sibuk menerka nerka, Aufa keluar dari kamar mandi. Idzar menyambutnya dengan tatapan kosong sambil memegang benda misterius itu.
"Fa,.. ini punya siapa ya?"
Aufa menyipitkan mata untuk mempertegas. Keningnya berkerut ratusan lapis. Bibirnya agak mengerucut sambil berjalan mendekati Idzar. Diamatinya benda di
tangan suaminya. Ketika menyimak dengan seksama, sel sel jaringan otak Aufa seperti dipompa habis habisan. Otaknya terus berpikir keras seraya mengingat
sesuatu. Sementara Idzar dalam keadaan menegang menunggu jawaban istrinya. Kenapa jantungnya jadi tidak stabil seperti ini" Keringat perlahan mengucur deras di
dahi. "Subhanallah, Idzar! Aku inget sekarang! Itu tespack punya ku. Itu tespack yang sudah seminggu ini aku cari cari ya Allah. Kamu ketemu ini dimana?" Seru
Aufa justru semakin membuat Idzar tambah bingung.
"Dari kemarin aku bawaannya pengen marah marah terus. Mendadak sensi pula, itu karena aku sebel sama diri aku sendiri. Aku mencari sesuatu yang aku tidak
tahu apa dan dimana. Setelah kamu nemuin benda ini, aku jadi inget. Ini yang aku cari, dzar. Makasi ya Idzar sayang" segera saja Aufa memeluk erat suaminya
dalam keadaan terpaku dengan wajah bodoh. Jujur, sepanjang Aufa berbicara, banyak yang Idzar tidak mengerti. Tidak mendapat respon yang sama, Aufa menarik
diri dari pelukan. "Kenapa bengong gitu?"
"Bisa tolong jelasin pelan pelan" Aku bingung. Asli!"
Aufa menjelaskan secara detail. Mulai dari pertama kali ia kebingungan cara menggunakan tespack, lalu ketika benda penting itu hilang tiba tiba setelah
di gunakan padahal ia berjanji akan menunjukan itu kepada Idzar, kemudian berlanjut dengan emosinya yang mulai tidak stabil sejak seminggu itu sehingga
mengorbankan sang suami, sampai kebiasaan barunya saat saat ini, seperti hobby ngemil, mendadak menyukai makanan berbahan gandum dan hobby hobby baru lainnya
yang menanti. Diantara semua kenyataan kenyataan tersebut, ada satu yang cukup membuat Idzar menepuk jidat berkali kali.
"Jadi, selama seminggu ini, kamu lupa kalau kamu hamil" Kalau aku gak nemuin testpack itu, kamu gak bakal inget kalau kamu sekarang tengah hamil?"
Aufa mengangguk polos sambil memainkan jemari suaminya. "Aku beneran lupa, dzar. Aku stress karena benda itu hilang. Aku juga sedih sampai harus mengorbankan
kamu. Aku minta maaf" pintanya dengan nada manja.
Idzar menggeleng maklum. Ia tidak habis pikir, keunikan Aufa lainnya adalah moment malam ini. Baru kali ini ia temui seorang calon ibu yang lupa bahwa
ia tengah hamil. Malah tidak ada sedikit pun kecurigaan dengan kebiasaan barunya yang dialami dirinya sendiri. Padahal mungkin saja itu tanda tanda kehamilan.
Atau mungkin Aufa terlalu banyak memikir mencari sesuatu yang menyita otaknya sehingga apa apa yang hadir dalam tubuhnya, menjadi hal yang biasa saja.
Tapi mendengar keluhannya barusan, Idzar jadi tidak tega menuang kekesalan serta kekecawannya atas perilaku istrinya tersebut. Di balik sifat pelupa akutnya,
kecerobohannya, atau sifat sifat absurd lainnya, Aufa tetaplah Sang gadis Senjanya yang menawan.
Dengan susah payah gadis itu mengingat ngingat benda terpenting dalam hidup mereka, sehingga mengorbankan kondisinya saat ini.
"Tak perlu minta maaf. Kamu adalah gadis senja ku yang tangguh. Dibalik kerapuhan mu, kamu menyimpan beton beton kokoh untuk melindungi surga dalam rumah
tangga kita" "Terimakasih sudah menjadi istriku yang tidak bisa aku bandingkan dengan apa apa. Termasuk bidadari sekalipun"
Idzar mendaratkan kecupan lembut di kening Aufa. Mentrasfer kasih sayang yang berkobar tanpa lelah. Memamerkan kepada Tuhan bahwa apa yang Dia titipkan
kepadanya, akan selalu ia jaga hingga surga menyambut. Menunjukan kesungguhan dengan mencintai amanahNya sepenuh hati dan cinta yang hadir dan mendayu
dalam sepertiga malam. Menyalurkan untaian tasbih cinta dalam setiap malamNya merajut diri membentuk generasi yang taat kepada titahNya.
"Itu artinya, sebentar lagi aku bakal terbebas dari hukuman hukuman kamu dong"
*** The End.. 26. Extra Part

Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara berisik khas dapur menggema mengisi seluruh sudut ruang. Segala benda benda disana seolah menutup telinga berkat suara suara amatir yang sejak dua
hari ini memecah telinga mereka. Belum lagi kepulan asap berbau masakan yang tidak biasa melintas di indera penciuman mereka, membuatnya merindukan sosok
wanita yang biasa hadir beraktifitas di ruang bernama Dapur ini.
Kepulan asap itu muncul lagi mengudara ke atas. Berasal dari wajan panas berisi kuah berwarna kekuningan, aromanya begitu menusuk ke tulang tulang hidung.
Idzar menyeka peluh yang bermukim di wajahnya. Ia nampak serius berkonsentrasi dengan olahan resep yang diperoleh dari artikel salah satu situs internet
dengan susah payah. Itu dikarenakan Aufa dengan teganya tidak mau memberi sedikit resep resep makanan kepadanya. Padahal itu buat kebaikan dia sendiri,
dan juga untuk kebaikan calon bayi dalam kandungannya. Dengan dalih yang menurut Idzar tidak masuk akal, Ketika Idzar meminta resep makanan, dengan enteng
Aufa menjawab, "Ini permintaan si kecil. Gimana dong" Aku sih mau mau aja kasih tahu. Tapi kalau calon bayi kita kenapa napa gimana?" Kalau Aufa sudah menunjukan ekspresi
memelas dan rengekan manja, Idzar bisa apa" Dengan segala ketabahan akhirnya ia mengangguk pasrah memilih untuk mengalah. Wanita memang selalu benar.
Kata Dana, Idzar harus menjadi suami yang siaga, yakni Siap Antar jaGa. Maka dari itu, sejak Aufa dinyatakan hamil oleh bidan Endang, yakni bidan yang
menangani kehamilan Aufa hingga masa kelahiran, Idzar menjadi sosok pria yang protektif kuadrat dan juga memiliki stock kesabaran unlimited.
Terbukti bagaimana sabarnya Idzar menuruti permintaan konyol istrinya yang terdengar aneh, tapi ia sendiri juga tidak bisa menolak karena dalih permintaan
sang bayi. Seperti contoh, pukul 12 malam tadi, tiba tiba Aufa terbangun lalu merengek meminta nasi kotak. Nasi dalam kemasan kotak dipadu Ayam dan sayur
beserta lauk pauk di dalamnya. Siapa yang tidak akan menganga dengan permintaan itu di malam selarut ini.
"Jam segini nyari nasi kotak dimana, sayang?" Tanya Idzar saat itu dalam keadaan masih setengah sadar. Matanya masih terpejam samar.
"Mana aku tahu. Aku pengen makan nasi kotak, dzar" Aufa mengguncangkan lengan Idzar agar suaminya itu tersadar.
"Tapi ini udah malem" kepala Idzar menoleh menuju jam weker di atas nakas. "Udah jam 12 tengah malem, fa. Gak bisa ditunda dulu permintaannya" Nanti siang
pasti langsung aku beliin. Kamu sabar dulu ya" Idzar masih mempertahankan kelembutannya sebagai seorang suami. Aufa menggeleng sambil mengerucutkan bibir.
"Aku maunya sekarang"
Idzar sempat menolak permintaan itu lalu kembali tidur dalam selimut. Sekali kali menolak ngidamnya istri tidak apa. Toh, lama lama keinginan itu juga
pasti hilang kalau Aufa tidur lagi. Tapi, kenyataan tak pernah sesuai dengan harapan, alih alih Aufa menyerah, justru sekarang ia berhasil menggugah hati
suaminya agar menuruti permintaannya.
"Ini bukan mau ku, dzar. Tapi kemauan si jabang bayi. Kalau kamu gak mau sih gak apa apa. Kamu tega" Paling nanti dia nendang nendang aku, terus kontraksi,
terus perut aku,--" "Oke. Aku jalan sekarang"
Idzar bangkit dari kumulan selimut dengan gerak super cepat kemudian mengambil jaket dan kunci mobil bersiap untuk mencari nasi kotak. Ia tidak percaya
akan melakukan ini semua. Idzar berjanji, setelah anaknya lahir lalu tumbuh besar, ia segera menginterogasi anaknya itu lalu menanyakan tentang kebenaran
permintaan ini. Apa benar selama dalam kandungan kamu pengen makan nasi kotak saat tengah malam" Begitu janji Idzar dalam hati.
Dan masih banyak permintaan aneh aneh lainnya. Tepat siang ini, untung saja Idzar sedang libur bekerja. Aufa ingin makan opor ayam. Its oke, kalau untuk
permintaan itu Idzar menyanggupi. Tapi, sekali lagi, bukan ngidam namanya kalau tidak ada unsur aneh di dalamnya. Aufa ingin agar Idzar sendiri yang membuat
opor ayam tersebut. Please, Jangan dibayangkan akan seperti bagaimana jika sosok Idzar memasak opor ayam. dalam hidup Idzar, hanya dua yang bisa ia masak,
yakni Air dan mie instan. Itu pun dulu sebelum adanya mesin dispenser. Sekarang" Entahlah.
Dengan segala jerih payah usaha yang dilakukan, dari membujuk Aufa agar mengganti permintaannya, lalu menawarkan jenis makanan lain yang sekiranya Idzar
bisa memasaknya, seperti mie instan (lagi), misalnya. Tapi itu tidak mungkin. Kemudian ia mencoba menyanggupi asal Aufa memberi resep cara membuatnya.
Sayangnya itu juga tidak mungkin. Dengan dalih lupa, akhirnya Idzar mengambil keputusan terakhir yang memberatkan. Yakni memasak opor ayam dengan tangannya
sendiri ditemani ponsel pintar yang menunjukan resep resep dari internet. Semoga Allah membimbing Idzar demi istri dan calon anaknya.
"Taraa... !! Opor ayam ala chef Idzar sudah siap!!" Seru Idzar dari dapur membawa semangkuk opor. Dengan sumringah ia berjalan mantap menghampiri Aufa
yang tengah duduk melantunkan ayat suci alquran di ruang tamu.
"Kamu cicipin deh" Idzar sudah duduk di samping Aufa. Gadis itu menghentikan kegiatannya, lalu menatap suaminya sekilas. Lebih tepatnya mengamati penampilan
suaminya. Aufa baru saja menahan tawa ketika melihat Idzar nampak berbeda mengenakan celemek berwarna hijau garis garis miliknya. Warnanya begitu kontras
dengan kaos merah yang ia kenakan. Belum lagi wajahnya dipenuhi keringat berkat uap uap masakan. Wujud cinta kepada sang istri hingga ia rela berpeluh
peluh berkutat di dapur seorang diri. Aufa menyibak anak rambut Idzar yang mulai memanjang sambil tersenyum.
"Makasih banyak ya, Cabi"
"Kok cabi?" "Kan, calon Abi" ada kekehan geli menyertai mereka. Setelah itu, Aufa menyendok satu suap kuah opor buatan Idzar. Setelah suapan itu masuk ke dalam mulut
lalu mengalami proses pengecapan di lidah, beberapa detik kemudian timbulah reaksi aneh dari wajah Aufa. Ia nampak meringis menyipitkan mata lalu menautkan
alisnya. Berulang ulang ia mengecap ngecap sesuatu di mulutnya. Melihat wajah masam itu, Idzar bertanya, "gimana" Enak kan?"
Sebenarnya Idzar sendiri juga tidak yakin akan hasil kerjanya. Maka dari itu ia sengaja agar Aufa lebih dulu yang mencicipi. Tapi dari reaksi aneh istrinya,
Idzar patut mengambil siaga satu. Ini sinyal bahaya. Pasti ada yang salah dari masakannya.
"Gak enak ya?" tanyanya lagi ragu.
Pasti ga enak lah. Ini pertama kalinya Idzar memasak masakan berat secara otodidak. Cuma bermodal niat dan kuota internet, dan kesabaran, pastinya. Tangan
Idzar mulai iseng memainkan anak rambut Aufa lalu memilinnya. Anggap saja itu aktifitas untuk menghilangkan kekhawatirannya saat ini.
"Kamu kasih garam seberapa?" Aufa bertanya, lalu Idzar mengeluarkan ponsel dari kantung celemek. "Satu setengah sendok makan" jawab Idzar membaca resep
yang dipakainya tadi. Aufa mengangguk. Lalu menyuap mencicipi potongan ayam.
"Bumbu dapurnya dipakai semua?"
"Iya" "Kamu kasih sedikit gula gak?"
"Kasih kok" berasa diinterogasi chef ternama, Idzar hanya menjawab seadanya sambil mengulum bibir ditambah wajah polos.
Aufa mencicipi lagi. Sudah ada 4 sendok ia menyuap masakan tersebut. Ia melirik Idzar sekilas. Pria itu sedang memerhatikan dirinya dengan raut menegang.
Tak lama Aufa kembali tersenyum.
"Coba kamu yang cicipin, deh" tangan Aufa menyiapkan satu suapan. Ketika hendak menyuapi Idzar, pria itu menahan pergerakan tangan Aufa. "Kamu aja deh,
fa. Kan kamu yang lebih tahu rasanya enak apa engga. Aku percayain ke kamu aja ya, sayang" sambil tersenyum hambar cengar cengir berusaha agar dirinya
tidak mencicipi masakannya sendiri. Belum apa apa nyali Idzar sudah menciut duluan. Sungguh, di saat ini juga, tingkat kepercayaan dirinya menurun drastis.
"Kalau kamu gak tahu rasanya, kamu gak bakal tahu gimana lezatnya opor ini"
Kok terdengar ngeledek ya" Lezat darimana. Keasinan iya. Bahkan batin Idzar sudah merendah serendah rendahnya lebih dulu. Hingga akhirnya ia benar benar
mencicipi masakan buatannya. Sesaat setelah suapan itu mendarat di mulut, Idzar nampak mengecap ngecap sambil mencerna sebuah rasa yang menurut istrinya
lezat itu. Tak lama rasa lezat itu sepertinya benar benar ada. Tak yakin dengan dirinya, Idzar menyuap lagi. Kali ini dua kali suapan, hanya untuk menegaskan
bahwa penilaian Aufa bukan kalimat penghibur semata.
Ternyata Aufa benar. Opor ini terasa lezat. Rasa asinnya pun pas. Ini benar benar enak. Seperti opor buatan mamanya. Walau tidak seenak dan selezat persis
buatannya. Aufa tidak berbohong masalah rasa. Jika rasa opor tidak selezat ini, apa ia akan tetap berkata jujur" Seharusnya Idzar percaya akan kejujuran
istrinya. Bukankah ia adalah gadis yang apa adanya"
Kembali ke misi. Sampai saat ini Idzar sendiri belum percaya kalau ia mempunyai keahlian memasak secara otodidak. Dia patut bangga. Statusnya tak hanya
suami siaga, tapi juga suami serba bisa. Aufa pun juga harusnya bangga mempunyai suami seperti dirinya. Tidak hanya mengandalkan fisik yang amat teramat
rupawan itu, tapi juga kelebihan lain yang mungkin jarang di miliki pria lain. Lagi lagi Idzar membangga sendiri sekaligus menaikan kembali tingkat kepercayaan
dirinya yang sempat menyurut itu.
"Aku rasa, dia tahu kalau ayahnya punya keahlian tersembunyi. Selamat ya" Idzar menatap gadis yang berbicara kepadanya sambil mengelus perut yang mulai
membesar berisi janin yang telah berusia 6 bulan. Ia tersenyum lembut lalu menatapnya lekat.
*** "Idzar, lihat ini deh. Lucu ya"
"Iya lucu" "Kalau yang ini menurut kamu gimana" Bagus gak?"
"Hm.. bagus kok"
Tanpa perlu menatap si lawan bicara, Idzar cukup mengiyakan apa apa yang ditunjukan istrinya melalui lembaran demi lembaran majalah katalog perlengkapan
bayi yang di bawanya tadi pagi.
"Menurut kamu bagusan warna pink atau hijau?" Idzar melirik sekilas majalah di pangkuan istrinya. Memperlihatkan warna box bayi beserta kelambu yang menyertai
bergelantung indah di bagian atas.
"Pink, lumayan juga"
"Tapi aku sukanya warna hijau"
"Yaudah hijau aja, fa"
"Tapi warna pink juga bagus sih" ada hembusan nafas pendek yang terdengar samar dari mulut. Ia semakin paham bahwa wanita memang diciptakan dengan dua
mulut. Bahkan ketika menangis, secara spontanitas mereka menutup mulutnya. Berbeda dengan pria yang jika menangis cenderung menutup matanya. Seolah dari
sanalah dosa dosa mereka tercipta.
Merasa diacuhkan, Aufa menutup majalahnya kemudian berangsur menghadap sang suami. Mengamati aktifitasnya bersama lembaran lembaran kertas yang menumpuk.
Itu pasti tugas kantor yang ia bawa pulang karena dikejar deadline. Biasanya alasan itu yang di pakai Idzar sebagai dalih kesibukannya.
"Idzar.." "Iya, sayang" meskipun jawaban yang diberikan begitu lembut dan berirama, tetap saja kalau tidak dibarengi tatapan mata langsung, ia beranggapan kalau
pekerjaan lebih penting dari segalanya, termasuk sang istri yang sedari tadi memandangnya sangat lama.
"Idzar.." "Iya apa" "Aku mau bicara"
"Bicara aja. Aku dengar kok"
Hening sebentar. Aufa sengaja tidak berkata lagi agar Idzar bosan menunggu lalu segera menoleh padanya. Mana enak bicara tanpa menghadap lawan bicara.
Idzar adalah suaminya, bukan tembok.
"Kok diem" Kamu mau bicara apa, sayang?" Tak perlu menunggu lama, Idzar menoleh lalu dihadiahi sebuah kecupan singkat dari istrinya. Kecupan penuh cinta
yang menghangatkan area bibir dan sekitarnya. Diawal Idzar dibuat terkejut terhadap aksi itu, tapi nalurinya sebagai pria dewasa tak mampu menolak tindakan
istrinya yang kian hari kian agresif, terutama sejak masa kehamilannya. Tak apa, pikirnya. Allah akan memuliakan para istri yang memberikan kebahagiaan
batin kepada suami suami mereka.
Seiring berakhirnya kecupan tersebut, keduanya saling mempertemukan dua pasang mata dalam garis horizontal.
"Kamu tahu kan, aku paling gak bisa mengendalikan diri kalau kamu udah kayak gini" Aku masih harus menunggu sekitar 3 bulan lagi untuk bisa,.." tersirat
sebuah harapan yang menggantung dari ucapannya yang juga menggantung.
"Aku cuma sedang merindukan kamu"
Idzar menarik nafas panjang sambil menarik bibir membentuk seringai. "Aku juga. Seberapa besar?"
"Se....." Aufa menyatukan jari telunjuk dan ibu jari tapi diberi sedikit jarak. "....gini" Idzar buru buru mengendik "segitu doang?"
"Liat dulu makanya. Kan belum selesai" Aufa membawa tautan jarinya itu ke bagian dada Idzar dimana Tuhan meletakan sebuah hati di dalamnya.
"Ini ukuran rindu ku kepadamu. Tidak besar juga tidak kecil. Hanya sebagaimana besarnya hati yang kamu berikan untuk aku. Kamu sendiri?"
Idzar berpikir sejenak, setelah sebelumnya merapikan tumpukan tugas pengganggu yang ia bawa dari kantor sekaligus benda penyita suasana itu. "Rindu ku
tak bisa diukur seberapa besar. Tapi kamu tahu seberapa dalam cinta yang aku berikan"
Sukses! Idzar tersenyum kemenangan namun tetap menciptakan unsur kehangatan di dalamnya. Kini kedua tangannya beralih menangkup perut cembung sang istri.
Ditatapnya penuh cinta yang begitu dalam.
"Kamu dengar itu kan, nak" Ummi kamu udah jago gombal sekarang. Masa Abi dirayu terus sama dia. Dicium cium lagi" seolah Idzar mengajak bicara sang calon
bayi dalam perut. Tangannya aktif mengelus elus permukaan perut besar yang terbalut gamis krem.
"Kan Abi nya yang ngajarin"
"Ada gitu, murid lebih jago dari gurunya"
"Banyak. Aku salah satunya"
"Eh! Mulai terasa ada yang nendang nendang nih. Kamu ngerasain gak?" Keduanya tersentak lalu fokus pada objek di dalam perut. Idzar berdiam sambil meraba
permukaan mencoba mengetahui keberadaan sang bayi.
"Iya terasa. Kamu sabar ya nak. Insya Allah tiba saatnya kamu lahir dan tumbuh menjadi anak sholeh yang taat kepada Tuhan dan orang tua" petuah tersebut
diakhiri kecupan lembut darinya. Aufa turut menyatukan kedua tangannya di atas perut menyertakan diri dalam tautan penuh kasih. Menanti lahirnya generasi
baru yang akan menjadi penerus hamba Allah yang senantiasa beriman hanya kepadaNya.
*** Idzar baru saja mengakhiri pembicaraannya dengan seorang wanita pegawai toko pakaian. Tak lama setelah itu, ia nampak berbincang lagi dengan SPG produk
kecantikan. Bukan untuk mengajak berkenalan, tapi menanyakan keberadaan seorang wanita berhijab panjang warna abu abu, memakai abaya hijau muda sambil
menggendong anak laki laki berusia 2 tahun. Sang SPG itu tersenyum ramah lalu menggeleng. Artinya ia tidak melihat keberadaan istri juga anaknya di sekitar
sini. Apa idzar sebaiknya naik ke lantai 4 saja" Siapa tahu Aufa dan Ummar ada di sana.
Ah, terlalu lama berpikir, lebih baik langsung saja Idzar menaiki tangga eskalator menerobos beberapa pengunjung mall di depannya dengan tergesa gesa.
Wajahnya mulai menampakan kekhawatiran yang hebat. Keringat mengucur di kening karena kelelahan berlari mengitari sudut sudut pusat perbelanjaan ini.
Setibanya di lantai paling atas, Idzar belum menemukan keberadaan Aufa. Kemana perginya mereka" Padahal Idzar hanya meninggalkannya sebentar ke toilet.
Ketika Idzar usai membersihkan kemejanya yang terkena ompol Ummar, dia tidak mendapati Aufa juga Ummar di tempat.
Idzar mengambil ponsel dari saku celana kemudian mentouch tombol angka pada layar datar tersebut. Setelah nada sambung terdengar, ada suara wanita menyambutnya.
"Waalaikumsalam. Kamu dimana, fa" Kok ninggalin aku gitu aja?" Idzar mendengus pendek seraya mengatur napas. Dadanya naik turun menormalkan pergerakan
udara yang masuk. Saking capeknya, Aufa bisa mendengar nafas ngos ngosan Idzar yang begitu nyaring di telinga.
"Jelasinnya nanti aja. Sekarang kamu dimana?" Ia mengusap peluh dengan punggung tangan. "Yaudah. Aku segera kesana. Jangan kemana mana. Dan jangan terima
bantuan selain dari aku. Jangan bengong"
Panggilan berakhir. Idzar segera menuruni dua lantai dari tempatnya berada. Katanya Aufa ada di lantai dua. Setibanya di sana, Idzar kembali memainkan
kejelian indera penglihatannya mencari Aufa dan putra pertamanya, Ummar Ahda Prama.
Tak sampai bermenit menit, mata Idzar menangkap satu sosok wanita tengah berjalan santai sambil menggendong anak kecil di depannya. Anak itu di posisikan
membelakangi si wanita. Tangan si wanita cukup kuat menopang tubuh si anak dengan mengapitkan paha dan perut anak tersebut. Anak itu tersenyum lebar melihat
keberadaan Idzar dari kejauhan. Idzar yang melihatnya pun turut tersenyum. Seolah rasa lelah bercampur cemas hilang begitu saja melihat tawa bahagia Ummar
yang berada dalam gendongan ibunya. Ibunya sendiri masih mengedarkan pandangan sambil mengerucutkan bibir. Ia nampak jenuh menunggu sang suami yang tak
kunjung hadir. Sesekali ia menggerutu atau sekedar curhat kepada Ummar.
"Abi kamu lama banget, sih nak" Aufa bersungut sungut melangkah malas di atas lantai dingin Mall Graha Cijantung. "Pokoknya kalau nanti kita ketemu abi,
kamu akting nangis nangis minta di gendong ya, sayang. Oke?" Ummar hanya tertawa tawa girang menatap sosok di depannya dari jauh. Tangan gempalnya bergerak
gerak. Seolah bersorak gembira melihat kehadiran Idzar yang sudah hampir mendekat. Idzar mengulum senyum sambil menggeleng melihat dua malaikat nyatanya
nampak menggemaskan. Termasuk sang istri yang benar benar tidak menyadari keberadaannya di sini.
"Kamu lihat apa sih, sayang. Kok seneng banget" mata Aufa menjurus kepada sosok yang menjadi pusat perhatian Ummar. Idzar tengah berjalan mendekat. "Oh,
pantes girang banget. Ngeliat Abi ya, nak?"
"Kamu lama banget, sih. muter muter dulu ya" tuduh Aufa belum melepas ekspresi sebalnya. Bibir itu masih mengerucut lima senti.
"Iya lah aku muter muter dulu nyari kamu sama Ummar. Kamu ngapain pake acara ngilang segala, heum?" Ada sesuatu mencubit pipi Aufa yang mengembung itu.
Aufa meringis. "Tadi pas kamu ke toilet, Ummar pipis lagi. Aku bawa dia ke toilet wanita buat ganti celananya. Eh, pas aku keluar kamu udah gak ada di tempat. Aku cari
kamu di toilet pria juga gak ada. Kamu kemana?" Jelas Aufa setelah ia juga Idzar dan Ummar telah sampai di lantai satu. Idzar beralih menggendong Ummar
sambil menjelaskan bahwa ternyata mereka saling mencari satu sama lain. Sebenarnya mereka sama sama berada di toilet. Tapi karena Idzar lebih dulu sampai
lalu mendapati ketiadaan Aufa yang memang masih di dalam toilet, sehingga Idzar mengira Aufa pergi meninggalkannya.
"Lain kali, kalau mau kemana mana bilang dulu sama aku. Seneng ya bikin aku panik kayak tadi" Kalau Ummar diculik, gimana?" Cerca Idzar tanpa henti dari
tadi sambil memasang sabuk pengaman Aufa kemudian memastikan kalau Ummar aman berada di pangkuan sang ibu.
"Kalau Ummar sama aku pasti aman. Harusnya yang kamu khawatirkan itu aku. Gimana kalau aku yang diculik?"
"Ya biarin aja"
Aufa mengendik tak senang. "biarin aja?" Ia mengulang memastikan pendengarannya tidak mengalami gangguan.
"Iya" "Kamu suka ya kalau aku diculik. Terus aku di iket tangannya sama preman preman serem, terus aku gak dikasih makan dua hari. Kamu seneng" Iya?" Tuduhan
Aufa terlontar bertubi tubi kemudian bersungut sungut ria dalam mobil. Ummar hanya berceloteh tidak jelas sambil mengemut ngemut biskuit gandum kesukaannya.
"Lagian siapa juga yang mau nyulik kamu. Kamu makannya banyak. Yang mau nyulik juga mikir seribu kali dulu, deh" celetuk Idzar menimbulkan reaksi murka
sang istri. "Jahat!" "Biasakan mendengar sampai tuntas dong. Aku belum selesai ngomong" tangan kiri Idzar sempat mengelus pipi Ummar. Hari ini ia tidak rewel. Tahu sekali kalau
Abi dan Ummi nya sedang terlibat perang.
"Kalau orang lain mungkin bakal mikir 1000 kali buat nyulik kamu. Tapi aku, gak perlu pikir panjang. Langsung culik kamu terus aku ajak hidup bersama mengarungi
bahtera rumah tangga dan abadi di SurgaNya" setelah itu Idzar cengengesan dalam kemudi. Aufa menarik sudut bibir membentuk garis simetris. Idzar memang
paling bisa kalau urusan ini. Aufa tidak pernah dibuat ngambek berlama lama karena Idzar punya segudang cara untuk mengatasinya. Idzar juga beruntung.
Aufa memang gampang ngambek, tapi gampang reda juga.
Melihat kedua orangtuanya telah akur, Ummar kembali tertawa tawa sendiri
Melihat kedua orangtuanya telah akur, Ummar kembali tertawa tawa sendiri. Mulutnya terus berceloteh tidak karuan. Perkembangan bicara Ummar memang agak
lambat. Menginjak 8 bulan, ia sudah bisa berjalan. Genap 1 tahun, giginya mulai tumbuh. Sudah ada 4 gigi seri. Dua bagian atas dan dua bagian bawah. Aufa
dan Idzar tak kenal lelah mengajaknya berbicara. Membimbingnya mengucapkan kata 'abi' dan 'ummi'
"Eh, anak Ummi ketawa lagi. Seneng ya liat Abi dan Umminya akur?" Melihat tingkah Ummar, Aufa tak tahan untuk ingin terus memeluk jagoannya itu. Jagoan
tampan yang tangguh seperti ayahnya. Dan lembut seperti ibunya.
"Ummi dan Abi sayang Ummar. Ummar sayang ummi abi gak?"
Lagi lagi hanya celotehan menggemaskan yang merespon. Mereka menganggap itu jawaban Ummar yang artinya, "Ummar juga sayang sama Ummi dan Abi"
Idzar tak berhenti mengembangkan senyum bahagianya. Melihat tautan antar ibu dan anak di sebelahnya, mengingatkan idzar pada peristiwa dua tahun lalu.
Dimana sang istri berjuang mempertaruhkan nyawa demi sang buah hati.
Tepat pukul 04:15 pagi waktu itu. Saat saat menjelang waktu subuh. saat itu, Idzar melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Aufa berjuang keras
mempertaruhkan hidup dan matinya demi buah hati tercinta. Idzar sempat ingin menangis karena tidak tega melihat kondisi istrinya pucat pasi berkeringat
susah payah mengeluarkan Ummar. Dibantu bidan dan perawat yang berulang kali mengintruksi Aufa agar tidak tegang dan panik. Untungnya Aufa adalah wanita
yang kuat. Ia tidak menangis sedikit pun. Berbeda dengan Idzar. Genggaman tangannya kepada Aufa enggan untuk dilepas. Kalimat kalimat penyemangat bahkan
lantunan ayat suci melesat bebas dari bibirnya demi sang istri dan buah hati tercinta.
Idzar mengingat kebodohannya kala itu. Karena panik, tissue yang seharusnya ia gunakan untuk mengusap peluh Aufa justru ia pakai untuk mengelap keringatnya
sendiri. Karena kondisinya benar benar berbalik. Kepanikan Idzar mengalahkan segalanya.
"Kok kamu yang pake tissue nya?" Tanya Aufa disela aktifitas mengedennya.
"Astaghfirullah. Maaf, sayang. Aku panik. Aku lupa" Idzar gelagapan. Bodohnya lagi, Tissue bekas ia pakai malah ia gunakan untuk mengelap kening Aufa.
Idzar mengumpat dirinya sendiri ketika tersadar, kemudian mengambil tissue baru untuk istrinya. Ini sungguh diluar bayangannya.
"Bapak jangan ikutan panik" pesan salah seorang perawat.
Ada yang bilang, bayi yang lahir pada waktu subuh, pertanda kebaikan yang abadi. Ia akan tumbuh menjadi pribadi yang disenangi banyak orang. Tapi Aufa
dan Idzar tidak terlalu memikirkan hal itu. Bagi mereka, kapan pun waktunya, kelahiran Ummar Ahda Prama adalah anugerah terindah dan nikmat yang luar biasa.
Tak ada yang lebih menggetarkan hati dan jiwa kala kumandang adzan ia perdengarkan di telinga Ummar. Ada yang mengatakan, bahwa jarak hidup dan mati seseorang
itu sangat tipis. Hanya kumandang adzan yang memisahkan. Keduanya sama sama di-adzan-kan.
Kecerobohan Idzar lainnya juga terjadi sewaktu Aufa sudah dibolehkan pulang. Idzar berinisiatif untuk menggendong Ummar seusai melaksanakan shalat subuh
berjamaah. Bahkan belum sempat berganti pakaian. Masih mengenakan baju koko putih dan sarung, Idzar berusaha menggendong Ummar dengan sangat hati hati.
Pada awalnya tidak ada yang salah. Tapi entah karena kaku atau belum terbiasa, tanpa sadar lengan kiri Idzar yang seharusnya di gunakan untuk menopang
kepala dan leher Ummar mengendur. Alhasil kepala Ummar yang masih lemah waktu itu karena baru berumur sekitar 5 hari menjadi mendongak ke atas. Kata Aufa
itu berbahaya untuk pertumbuhan tulangnya.
Dan sejak itu, setiap kali Idzar ingin menggendong Ummar, harus ada Aufa yang mengawasi
Dan sejak itu, setiap kali Idzar ingin menggendong Ummar, harus ada Aufa yang mengawasi. Tapi itu dulu, berkat kegigihannya, Idzar sudah terbiasa membawa
Ummar dalam posisi gendong apapun.
*** Harpa Iblis Jari Sakti 2 Animorphs - 50 The Ultimate From Darkest Side 2
^