Senja Merindu 6
Senja Merindu Karya Suffynurcahyati Bagian 6
meja. Gadis itu memang pandai menyembunyikan kecerobohan dan petakilannya.
"Alhamdulillah.. akhirnya kamu sadar, nak. Ibu rindu sekali padamu" ujar Diana penuh haru mengekspresikan kebahagiannya. Idzar sendiri hanya mengangguk
sambil tersenyum seadanya. Wajahnya masih pucat. Memandang satu persatu manusia disekelilingnya.
"Idzar..." panggil Aufa lirih tak mampu membendung air mata bahagianya. Idzar menoleh. "Apa yang kamu rasakan" Apa masih terasa sakit?" Tanyanya ragu.
Matanya mengarah pada balutan perban tertutup plester menempel di kening sebelah kanan.
"Tidak" Hanya jawaban itu yang terucap. Itu pun sambil memasang wajah datar. Mungkin Idzar masih syok. Aufa mengerti kondisi suaminya. Sebisa mungkin ia tetap
tersenyum. "Bu Diana. Pak Cokro. Dan kamu, Syihab." mata Idzar menatap orang yang dipanggilnya bergantian. Ketiga orang itu menyahut melalui anggukan. "Bisa tinggalkan
saya berdua dengan wanita ini sebentar?" Pintanya. Mereka mengerti lalu pergi meninggalkan ruangan.
Setelah memastikan bahwa hanya ada dirinya dan Aufa diruangan ini, Idzar menatap tajam istrinya dengan begitu lama. Awalnya Aufa masih sanggup menahan
tatapan mematikan itu, tapi kian lama tatapan itu seperti sedang mengintimidasinya.
"Idzar..?" Aufa menyentuh punggung suaminya.
"Jangan sentuh aku" nada bicaranya aneh. Tidak seperti Idzar yang ia kenal. Ditambah aura dingin yang mengatmosfer dirinya. Tidak ada wajah bersahabat
sama sekali. Ada apa dengan dia"
"Kenapa" Aku kan istrimu"
"Iya aku tahu. Maka dari itu, jangan sentuh aku"
"Tapi kenapa" Kamu adalah mahramku. Kenapa aku tidak boleh menyentuhmu?" Protes Aufa tidak mengerti. Bibirnya nampak mengerucut.
"Ku bilang jangan ya, jangan! Paham?"
Kerucut di bibirnya seketika menipis. Sungguh ini bukan Idzar suaminya. Dia bukan Abidzar Ahda. Dia orang lain. Idzar tidak kasar seperti ini. Idzar tidak
mungkin membentaknya. "Lalu, untuk apa kamu menyuruh mereka keluar dan meninggalkan kita berdua disini?"
"Untuk memberi tahu kamu apa saja yang tidak boleh kamu lakukan selama merawatku disini, sebelum pulang" jawabnya. Tatapan Aufa pada pria itu sangat lama.
Menggeleng frustasi Seolah tak percaya dengan apa yang terjadi pada suaminya. Mengapa Idzar jadi sosok yang menyebalkan" Tapi Bukankah dari dulu dia memang
menyebalkan" Tapi yang ini lebih menyebalkan dari menyebalkan lainnya. Apa dia amnesia seperti yang ia lihat di sinetron sinetron" Si korban amnesia tidak
mengenali istrinya lalu sang istri ditindas lalu,--ah! Itu terlalu mendrama. Kalau Idzar amnesia, dokter Zee pasti sudah memberi tahu sejak awal.
"Kenapa mereka tidak boleh tahu?"
"Karena aku tidak mau mereka tahu"
"Ya, kenapa alasannya?"
"Kalau aku bilang tidak ya tidak" nadanya meninggi. Tidak normal untuk ukuran suara orang yang baru saja pulih. Aufa mengatup bibirnya lalu menunduk karena
takut. "Jangan cengeng! Aku tidak suka istri cengeng. Wanita itu harus kuat" sindir Idzar sinis.?"Aku mau makan" lanjutnya.
Setelah itu Aufa mengusap buliran air mata yang sudah lancang datang tiba tiba, kemudian bersiap menyiapkan makan untuk suaminya. Ia tidak boleh menyerah.
Tetaplah berpikir positif. Mungkin Idzar sedang syok karena kecelakaan yang menimpanya. Anggap saja ini adalah latihan kesabaran menjadi seorang istri
tangguh. Ia yakin Idzar tidak mungkin bersikap seperti itu kalau bukan karena suatu hal.
"Baiklah. Tunggu sebentar"
*** Dokter Zee sibuk menyimak deretan tulisan pada selembar kertas ditangannya. Diperhatikanya setiap kalimat disana. Wajahnya nampak serius. Alisnya menaut
membentuk garis. Sambil duduk bersandar pada kursi kerjanya. Mencerna maksud tulisan disana yang menurutnya jarang sekali ada surat perjanjian macam ini.
Bahkan ia sempat menahan tawa setiap membacanya. andai Aufa tidak berada di hadapannya sekarang, mungkin ia bakal tertawa terpingkal pingkal.
"Bagaimana menurut dokter?" Aufa memecah keseriusan Zee dalam membaca.
"Apa ini pak Abidzar sendiri yang menulisnya?" Diangkatnya kertas perjanjian tersebut ke udara.
"Iya. Bahkan saya yang berada disampingnya saat menulis"
Zee mengangguk. Dibacanya sekali lagi surat perjanjian tersebut.
Surat perjanjian yang harus dilakukan Mufida Aufa selama merawat Abidzar Ahda.
1. Tidak boleh menatap pasien(Abidzar ahda) terlalu lama selama melaksanakan tugas
2. Tidak boleh dibantu perawat lain kecuali terdesak
3. Tidak boleh banyak berbicara dengan pasien selama bertugas
4. Jangan banyak protes 5. Setiap pasien bosan, istri harus inisiatif menghibur pasien
NB: peraturan itu berlaku selama pasien dirawat di rumah sakit ini. Jika ada pelanggaran, akan ada sanksi yang menunggu.
Tertanda. Suamimu "Ini eksploitasi istri namanya" komentar Zee serius. Ini pertama kalinya Zee menemukan kasus pasien seperti ini. Bagaimana mungkin seorang suami memberi
aturan macam ini kepada istrinya. Sungguh, Zee membayangkan jika berada di posisi Aufa, lebih baik ia terbang ke negara api lalu mencari kitab suci.
"Apa suami saya baik baik saja, dok" Anda yakin dia tidak mengalami amnesia atau semacamnya?" Raut khawatir memenuhi garis wajah Aufa. Zee melihat raut
cemas itu. Ia mencoba tersenyum menenangkan Aufa. Mengangkat bahu lalu menaruh lengan diatas meja kerjanya.
"Begini bu Aufa" Zee menghela nafas panjang. "Pak Idzar mengalami trauma yang disebabkan kecelakaan yang menimpanya. Setiap manusia memiliki respon yang
berbeda. Dan kasus yang dialami pak Idzar ini adalah trauma emosional. Dimana si pasien mengalami syok, mudah marah, putus asa, khawatir dan perubahan
suasana hati" Aufa menyimak. Jadi semua ini karena ia masih dalam keadaan syok. Semoga saja ini hanya sementara.
"Menurut hasil pemeriksaan pun, pak Idzar juga mengalami trauma fisik. Seperti, kelelahan, energi tubuh melemah, sering pegal pegal dan nyeri. Trauma kognitif
pun, pak idzar juga mengalami. Salah satunya ialah pelupa" papar Zee jelas padat berisi.
Setidaknya apa yang diperbuat suaminya itu memiliki alasan yang masuk akal. Sekarang Aufa menjadi lebih mengerti kondisi Idzar. Yang awalnya ia sempat
frustasi dan tertekan serta syok karena perubahan sikap idzar, kini ia lebih bisa menerima dan menambah semangat untuk merawat suaminya meski harus terkekang
oleh aturan konyol yang dibuat olehnya. Untung saja aturan tersebut tidak melanggar ajaran islam. Untuk sementara ini, tak apalah ia tidak bisa memandang
suaminya berlama lama. Sejujurnya ia rindu pelukan serta keromantisan Idzar padanya. Mungkin belum saatnya. Dan yang terpenting bagaimana keikhlasan hatinya
menerima itu semua. ia selalu ingat, tidak ada keikhlasan yang mudah. Sama seperti sabar. Keduanya pun berbuah manis.
"Bagaimana cara menanggulangi atau mengobati trauma trauma tersebut, dok?"
"Jaga kesehatan pasien. Itu sudah pasti. Lalu beri dukungan dari orang lain termasuk keluarga dan terutama dari anda. Ia butuh support untuk meneruskan
kehidupannya. Kemudian libatkan dia dalam kegiatan sosialisasi. Jangan lupa alihkan pikiran negatifnya serta buang rasa takut yang acapkali menyerang.
Dan terakhir, berdoa dan memohon perlindungan kepadaNya" Zee tersenyum teduh. Seolah menciptakan ketenangan dari sana. "Saran saya, untuk penanggulangan
ini, dokter Syihab bisa membantu anda. Dia ahli dalam bidang itu" Zee memainkan pulpen di tangannya setelah menulis nulis apa yang ia ucapkan pada selembar
kertas kosong. Anggap itu kisi kisi penanggulangan pasien.
"Saran yang bagus. Mengingat dokter Syihab pernah menjadi dokter yang menangani ibu saya selama hampir lima tahun"
"Lima tahun" Lama sekali ya. Kalau boleh tahu, apa penyakit yang diderita ibu Anda?" Tanpa sadar aksi kepo Zee kumat.
"Dokter bisa tanyakan langsung kepada dokter Syihab" ujar Aufa tersenyum simpul. bagi Aufa masa lalu ibunya merupakan Aib yang tidak boleh orang lain tahu.
Aib ibunya sama saja seperti Aib dirinya sendiri. Kendati manusia itu baik bukan karena mereka baik. Melainkan karena Allah menutup Aib mereka rapat rapat.
Zee paham maksud perkataan Aufa. Diamatinya sekilas gadis muda dihadapannya. Cantik sederhana dan anggun. Pantas saja Syihab menyukainya. Siapapun yang
melihatnya pertama kali pasti akan jatuh cinta. Pak Idzar benar benar beruntung.?" Puji Zee dalam hati. Jika dibandingkan dengan dirinya, ah! Sudahlah.
Siapa yang mau dengan gadis berkulit cokelat ini" Menurut orang orang ia tidak lebih dari manekin wanita berbahan coklat lalu mereka disihir agar hidup
dan bersosialisasi dengan manusia bumi. Sungguh gambaram yang absurd.
"Baiklah. Kalau begitu saya permisi. Terimakasih atas penjelasannya. Jujur, perasaan saya menjadi lebih tenang" ungkap Aufa sumringah.
"Sama sama bu Aufa. Itu sudah bagian dari kewajiban saya"
"Maaf mengganggu waktu anda. Assalamualaikum" Aufa pamit lalu berjalan keluar dari ruang kerja Zee.
"Waalaikumsalam"
*** "Darimana saja?" Sambutan yang didapat Aufa ketika dirinya tiba di ruang melati III. Tempat dimana Idzar dirawat.
"Menebus obat. Ohya, kamu sudah sholat dzuhur?"
"Belum" jawabnya ketus sambil menolehkan wajah.
"Yuk! Kita sholat berjamaah. Kamu imami aku. Mau ya?" Aufa duduk di tepi ranjang suaminya.
"Kamu gak lihat kondisi aku" Sengaja menghina aku ya"
Aufa menarik nafas. Sisi lainnya sedang menyemangati agar jangan menyerah. Mungkin dengan membayangkan senyum Idzar, suasana hatinya mampu menetralisir.
"Aku bukan menghina. Justru aku mengerti sekali kondisi kamu. Islam tidak menyulitkan manusia untuk senantiasa beribadah kepada Allah. Jika kita tidak
sanggup berdiri maka duduklah. Jika tidak sanggup juga, maka berbaringlah. Jika tidak sanggup juga cukup lakukan dengan gerakan mata. Seumpama menggerakan
mata saja tidak bisa, maka yang bergerak seluruhnya adalah isyarat hati. Sakit tidak menjadi udzurnya shalat, karena selagi masih utuh akal dan hatinya,
pasti disana masih ada iman"
Idzar bergeming. Menelaah ketulusan yang terpancar dari wajah istrinya. Gadis itu tersenyum padanya dalam waktu lama. Keduanya tersadar sesuatu lalu menunduk
tiba tiba. "Maaf. Aku lupa peraturan pertama" ucapnya salah tingkah. Idzar sendiri baru menyadari tentang aturan yang dibuatnya.
"Kali ini aku maafin. Kalau begitu, bantu aku berwudhu" jawabnya datar.
"Apa tidak lebih baik bertayamum saja" Bagaimana dengan lukamu?" Gerakannya terhenti ketika akan turun dari ranjang. Idzar kembali ke posisi semula. Pria
itu menurut. Ada secuil kebahagiaan yang muncul menelusup ke dalam hati Aufa. Tak apa sikap dingin nan jutek yang diterimanya selama ia mampu menuntun suaminya agar
berpegang teguh kepada tali agama Allah. Karena hanya itulah yang akan membawa mereka pada kebahagiaan yang abadi. Tapi kalau diperhatikan, kejutekan Idzar
itu kian lama malah menggemaskan. Aufa tersenyum senyum sendiri mengamati Idzar yang tengah melakukan tayamum.
Usai menjalankan kewajibannya, Aufa membantu Idzar melepas baju kokonya. Padahal ia sendiri belum melepas mukenanya.
"Ingin berbaring atau bersandar saja?" Tanyanya.
"Bersandar" Diambilnya dua bantal sebagai penyangga punggung suaminya. Kini Idzar dapat bersandar nyaman. Selagi Aufa melepas mukenanya Idzar sempat memperhatikan.
Rautnya tersentak. "Jangan dilepas!"
Aktifitas Aufa melepas mukena terhenti. Menatap Idzar bingung. "Apanya?"
"Mukena atasnya jangan dilepas. Bawahnya saja"
Aufa meng-oh lalu mengurungkan niatnya membuka mukena atasnya. Kini ia hanya memakai atasan mukena berwarna putih dipadu rok lebar hitamnya. Setelah itu
aufa tidak tahu harus berbuat apa lagi. Suaminya sudah makan siang. Minum obat pun sudah. Badannya juga sudah dibersihkan. Andai perjanjian terkutuk itu
tidak ada, mungkin saat ini ia sudah memeluk Idzar memandang ketampanannya atau memperdengarkan lantunan ayat suci kepadanya. Sayangnya, dalam peraturan
ia tidak boleh banyak berbicara lama kepada pasien. Ia pun memutuskan untuk duduk di sofa mengambil qur'an sakunya bersiap meneruskan surah Al mulk.
"Kamu mau mengaji?" Idzar memerhatikan gerak gerik istrinya daritadi. Gadis itu mengangguk.
"Kenapa disana" Aku juga ingin mendengar. Kamu gak mau berbagi pahala sama aku?"
Ada binaran indah di mata gadis itu. Sontak ia berdiri tegak. "Kamu ingin mendengarku mengaji" Sungguh?"
"Gak usah berlebihan gitu. Aku cuma ingin mendapat pahala" ah, kenapa ketusnya belum pergi juga sih. Aku nya kan jadi makin gemes. Gerutu Aufa dalam hati.
"Baiklah kalau begitu. Apa aku harus membesarkan volume suaraku?" Tawarnya dari jarak sekitar dua meter dari ranjang.
"Tidak usah. Ambil kursi lipat itu, lalu kamu duduk disini" idzar menunjuk kursi yang disandarkan di pojok ruangan.
Aufa bergerak cepat siaga satu. Diletakannya kursi tersebut lalu bersiap untuk mengaji. Tiba tiba Idzar memberi mandat terlebih dahulu
"Kalau aku tertidur, jangan berbuat macam macam sama aku. Seperti mencium atau memeluk. Tetap lanjutkan saja ngajimu sampai selesai"
Sedetik kemudian Aufa berjengit sebal. Siapa juga yang ini memeluknya atau mencium. Jangankan meluk, menatapnya berlama lama saja tidak boleh. Kenapa kenarsisan
Idzar tidak mengalami trauma sih" Seharusnya penyakit over PeDe nya itu yang harus binasa.
"Tenang saja. Aku memegang janjiku kok. Doakan aku agar tidak khilaf"
Aufa menyimpan kekehan geli dalam hati ketika idzar mengirimnya tatapan berbahaya. Sungguh, sampai kapan ia harus mempraktekan diri menjadi perayu ulung
seperti ini" *** TBC... 21. Ikhtiar kedua?" Ruangan itu terasa aneh baginya. Menyeramkan. Sepi. Meskipun ramai akan perlatan medis yang super lengkap mengisi setiap sisi maupun sudut serta titik
tertentu. Gadis itu tak menyangka akhirnya ia berada disini. Duduk di kursi roda menatap sendu seseorang yang sedang terbaring. Memandangnya begitu lama.
Terdian tanpa kata. Seolah mereka percaya dengan kemampuan telepati. Berharap kekuatan super itu benar benar ada di dunia ini.
Gadis itu menarik nafas. Matanya sesekali berkeliling menatap penghuni ruang yang ia tempati sekarang, seolah tengah memerhatikan gerak geriknya. Baik
itu monitor EKG (elektrokardiogram), infussion pump, DC shock, ventilator, syring pump, atau nebulizer dan mesin mesin medis lainnya yang menyeramkan.
Mereka seperti tengah membullynya. Dan dengan mengenakan baju hijau steril yang biasa digunakan untuk penjenguk pasien ruang ICU (insentive care unit),
Acha berusaha menyentuh tangan adiknya. Menatapnya penuh kesedihan mendalam setelah akhirnya ia diizinkan menemui saudara kembarnya semenjak kecelakaan
dua minggu lalu. "Cha, lihat deh. Aku udah pulih. Sebenarnya aku udah bisa jalan. Tapi abang batu banget nyuruh aku pake kursi roda" sungutnya di sela sela perbingan satu
arah yang dilakukanya sejak tadi.
"Maafin aku ya Cha. Gak seharusnya kamu tidur panjang disini. Aku tahu kok yang kamu rasain. Pasti bete, sepi, bored, gabut"
Tak peduli Icha mau menanggapinya atau tidak. Tapi ia yakin Icha pasti mendengar apa yang diucapkan kakaknya. Digenggamnya tangan adiknya itu.
"Cha,.." nadanya berbisik merendah seiring raut sendu yang menyertai. "Abang udah bohong sama kita. dia gak bilang kalau orang yang kita tabrak itu adalah
ka Idzar dan istrinya. Aku sedih, Cha. Kalau kamu tahu kamu pasti juga ikut sedih"
"Kalau aku ga ngotot minta ditemuin sama korban yang udah kita tabrak, mungkin abang gak bakal ngaku. Dan mungkin kita gak bakal tahu yang sebenarnya.
Abang jahat banget ya, Cha" tiba tiba kepalanya menunduk lemah.
"Tapi kita lebih jahat"
Acha meratapi kejadian sebelum dirinya berada di ruang ICU ini. Kejadian dimana akhirnya ia dipertemukan dengan korban pengemudi mobil yang turut mengalami
nasib tragis karena ulahnya. Betapa terkejutnya ia kala itu, bahwa sosok yang ia temui adalah Idzar beserta istrinya. terkejut, sedih, rasa bersalah bersekongkol
menjadi satu tim. Mereka berkerja sama hingga membuat Acha tak sanggup menahan tangis. Ia pun meminta maaf atas kelalaiannya dalam berkendara. Ia menyesali
perbuatannya kepada sosok yang akhir akhir ini menjadi sosok idola barunya.
Beruntung Idzar dan Aufa memiliki hati yang lapang. Dengan kebesaran hati mereka, mereka justru menanggapi permintaan maaf tersebut dengan sikap bersahabat.
Terlebih Aufa, dengan kelembutan hatinya ia segera saja memeluk gadis berusia 17 tahun tersebut dengan erat. Dengan memilih jalan kekelurgaan, membuktikan
bahwa mereka sudah memafkan kesalahan yang dilakukan sepasang saudara kembar tersebut. Lagipula, ini juga bukan mutlak kesalahan Acha, Idzar menjelaskan
bahwa saat itu ia juga dalam keadaan mengantuk hingga terjadilah kecelakaan tersebut.
Dipenghujung rasa menyesal, ada kebahagiaan lain yang menyelinap kedalam diri Acha. Salah satunya ialah sepercik hikmah dari peristiwa ini. Kecelakaan
ini yang membawa Acha bertemu langsung dengan Idzar. Ia berpikir, bahwa Allah mungkin ingin mempertemukan dirinya dengan Idzar tidak hanya sekedar bertemu
begitu saja. Tapi Dia ingin pertemuan tersebut memberi secuil makna yang tertinggal. Sebuah makna yang mengatakan; ketika ujian mendatangimu, rangkulah
dia. Peluklah dia. Maka kamu akan tahu hadiah apa yang dia bawa untukmu.
"Dan kamu tahu gak, cha" Ka Idzar itu aslinya baik banget... ramah banget..." kesedihan itu berangsur pergi berganti menjadi keseruan Acha mendeskripsikan
idola mereka. "Udah ganteng, baik, sholih. Ya ampun Cha, ka Aufa itu beruntung kuadrat deh bisa milikin ka Idzar. Begitu juga sebaliknya. Mereka itu simbiosis
mutualisme. Sama sama saling menguntungkan" ungkapnya.
Acha mendelik menatap langit langit ruangan. Menaruh kedua tangan di atas ranjang. "Coba aja bang Syihab dapet istri yang seperti ka Aufa. Pasti mereka
bakal jadi runner up setelah ka Idzar dan ka Aufa. Dan Ohya! Tau gak"!" Tangan Acha refleks menepuk lengan Icha. Gadis itu sontak menutup mulutnya karena
takut. Lalu mengelus ngelus lengan yang terkena tepukannya.
"Maaf ya, cha. Refleks" Acha cengar cengir tidak jelas. Biasanya ketika mereka asik membicarakan sesuatu. Acha acap kali menepuk bagian tubuh adiknya.
Entah itu lengan ataupun pundak. Sedangkan Icha lebih suka menusuk nusuk bagian pundak Acha dengan telunjuk. Itu hanya gerakan absurd yang menjadi ciri
khas mereka. "Kamu tahu ka Zee kan, cha" Zeefana sahabat abang itu" Ternyata dia bertugas disini. Dia yang menangani ka Idzar sama ka Aufa. Oemji banget kan?"
"Coba aja dia yang nanganin kita. Udah aku comblangin deh mereka" Acha memanyutkan bibirnya. "Eh, tapi gak usah dicomblangin pun kayaknya mereka bakal
jadian deh. Soalnya nih, cha. Ka Zee itu kayaknya suka deh sama abang. Kelihatan banget dari sikapnya"
"Pokoknya kamu harus cepet sembuh ya, cha. Biar kita bisa sama sama comblangin abang sama ka Zee. Kamu gak mau kan abang jadi bujang lapuk" Kasihan dia"
Ada sorot harap yang besar dari matanya yang indah sehingga mampu menyulap tangis yang sempat membendung menjadi senyum haru. Senyum yang menyihir siapapun
yang melihatnya. Termasuk menyihir seseorang yang sedari tadi mengintip aktifitas mereka dari balik pintu berjendela.
*** "Kamu nangis?" Pertanyaan Zee dibalas gelengan keras dari pria yang kini berbalik dari aktifitasnya lalu berangsur duduk di kursi.
"Emang kedengeran?" Zee baru saja mengintip ke ruang ICU lalu menempelkan telinganya pada daun pintu. Setelah itu duduk di sebelah Syihab. "Aku gak dengar
apa apa" Syihab melirik Zee agak menyipit. "Emang gak kedengeran kok"
"Terus kamu nangisin apa barusan?"
"Siapa yang nangis?"
Lagi lagi Zee nenyikut lengan Syihab. "Gak usah pura pura. Aku tahu kamu nangis ngelihat dua adik kamu sedang berinteraksi disana"
"Mereka terlihat begitu saling merindukan. Tanpa perlu mendengarnya, aku tahu apa yang mereka bicarakan" Syihab memandang lurus ke depan. Mengamati pergerakan
angin yang tak nampak. "Menurutmu mereka membicarakan apa?"
Pertanyaan tersebut langsung saja membuat Zee mendapat serangan tatapan aneh dari Syihab. "Kamu mau tahu?"
Zee mengangguk hati hati.
"Mereka pasti membicarakan aku yang sudah berbohong. Kemudian membicarakan kecerobohan kamu, pastinya"
"Kok aku" Salahku apa?" Zee nampak kebingungan sambil menautkan alisnya.
"Kalau kamu gak keceplosan, Acha gak bakal ngotot pengen jenguk Idzar. Sekarang mereka pasti sedang membicarakan kita" Syihab mengusap wajahnya membuang
titik fruastasi. "Mana aku tahu kalau kamu merahasiakan identitas pak Idzar ke adik kamu. Lain kali konfirmasi ke aku dulu makanya. Biar aku bisa silent"
"Kamunya aja yang hiperaktif. Apapun yang menurut kamu menarik kamu ceritakan ke siapapun. Termasuk tentang Idzar ke Acha. Gimana Acha gak kepo akut" gerutu
Syihab. Meski sedang kesal, ia tetap terlihat bersahabat. Mungkin ini bedanya kesalnya orang sabar dengan kesalnya orang normal. Ya, menurut Zee, Syihab
merupakan manusia Abnormal yang memiliki kesabaran unlimited.
"Iya iya.. aku ngaku salah. Sorry" mau tidak mau Zee mengangkat bendera putih terlebih dahulu. Bibirnya menipis sambil mendengus pelan. "Tapi asal kamu
tahu ya, hab. Tanpa menunggu aku keceplosan dulu, kalau memang Allah menakdirkan kebohonganmu terungkap, pasti akan terungkap juga"
Syihab menyandarkan duduknya pada kursi stainless. Mencoba menarik kesimpulan dari apa yang dikatakan Zee.
"Aku cuma gak mau Acha banyak pikiran. Itu akan mempengaruhi kondisinya. Lagipula, aku berniat memberitahu kalau sudah waktunya kok" kelit Syihab.
"Berarti, sebelum niat kamu itu terlaksana dan sebelum aku keceplosan, Allah berkata lain, kan?" Zee berusaha meluruskan pemahaman Syihab. Bahwasanya jangan
pernah menunda untuk sebuah kejujuran. Syihab terdiam.
"Lebih baik suguhi mereka dengan pahitnya kejujuran daripada terlena dengan manisnya kebohongan, hab" tambahnya lagi. Syihab menoleh seiring kesimpulan
yang bisa ia tarik. Zee mengulum senyum berhias gingsul menawan khasnya.
"Untung saja kamu dan Acha sudah kenal cukup lama. Kalau tidak, jangan harap kamu dapet ampun dari dia soal kecerobohan kamu itu"
"Hei, jangan egois. Disini kamu juga salah. Gak sadar?" Zee meninju pundak Syihab. Pria itu agak meringis kesakitan. "Mukulnya gak bisa lebih kenceng lagi?"
Syihab mengusap samar pundaknya.
"Sorry" Zee memasang wajah melas "Yauda. Intinya kita sama sama salah. Kita harus secepatnya minta maaf"
"Oke. Kapan?" "Setelah Acha keluar dari ruangan ini"
"Oke. Deal" Keduanya saling menatap mantap satu sama lain. Mensepakati rencana mereka. Satu tangan mereka mengepal saling dihadapkan. Tanda bahwa rencana ini resmi
akan segera terlaksana. "Kalian lagi ngapain?"
Suara itu memecah aksi peresmian ala ala mereka. Muncullah Acha dari ruang ICU memasag wajah datar seraya mengamati. Otomatis Zee dan Syihab menormalkan
keadaan. Bersikap seperti tidak ada apa apa.
"Hei, manis. sudah menjenguknya?" Sapa Zee ramah lalu berdiri menganbil alih handle kursi roda. "Gimana" Unek uneknya udah dikeluarin" Pasti udah lega
dong ya" Zee membawanya menyusuri koridor menuju ruang anggrek II. Syihab mengekor perjalanan mereka.
"Udah. Aku cerita banyak sama Icha. Semuanya..." ungkap gadis itu puas sambil tersenyum kecil.
"Semuanya" Waw!" Zee membulatkan bibirnya takjub. "Aku boleh tahu gak kamu cerita apa aja?" Sikap ramah Zee belum sebanding dengan mood buruk Acha hari
ini setelah Syihab membohonginya. Alih alih gadis itu menjawab, dia malah memutar bola matanya malas sambil bersendekap.
"dokter yakin mau tahu?" Tanya Acha agak menolehkan kepalanya ke belakang. Zee mengangguk semangat.
"Yakin?" "Iya yakin" "Yakin banget apa yakin aja?" Sambil membelakangi Zee, Acha menyimpan senyum geli. Sedang Zee sibuk berpikir keras karena semakin dibuat penasaran oleh
gadis remaja satu ini. "Yakin pake banget. Puas" Ayo! Kasih tahu" paksanya agak ngotot tapi ada rengekan di pertengahan pintanya.
"Suer?" "Achaa.. jangan iseng" Syihab yang mengekor mulai buka suara mengingatkan.
"Cie ngebelain" celetuk Acha sambil membenarkan kerudung motif polkadotnya.
"Aku cerita ke Icha tentang misi yang bakal kita laksakan. Yaitu nyomblangin bang Syihab sama dokter Zee. just it"
Dan seketika Zee berharap bisa menyulap dirinya menjadi queen elsa lalu membekukan dirinya sendiri menjadi es. Atau mungkin mempunyai pintu kemana saja
milik doraemon kemudian ia akan pergi sejauh mungkin.
*** Tidak buruk bagi Aufa jika harus menjalani aktifitasnya selama kurang lebih 16 hari di rumah sakit. Selama ia menikmati, tentu tidak akan ada beban yang
menyiksa. Allah telah memberinya kesembuhan dan nikmatnya ujian. Tak lupa ujian tambahan lainnya yakni kondisi suaminya. Belum lagi mengenai surat perjanjian
konyol itu. Seumur umur baru ada perjanjian sepihak yang dibuat seorang suami terhadap istri. Tidakkah Idzar tahu bahwa itu amat menyiksa" Selama peraturan
itu terlaksana, Aufa memang menikmatinya. Ia jalani dengan ikhlas Tapi, terkadang ada saat dimana Aufa begitu merindukan suaminya. Merindukan kehangatan
suaminya. Merindukan kasih sayang dari wajah dan senyum yang tercipta dari Idzar. Kapan keindahan itu akan tiba"
Mungkin hari ini. Karena pagi tadi, dokter Zee menyatakan bahwa Idzar sudah bisa pulang. Idzar bisa menjalani proses pemulihan di rumah. Suasana tenang
dan damai, itulah yang dibutuhkannya. Tentu itu suatu kabar baik bagi mereka. Setidaknya, kehangatan Idzar yang Aufa rindukan, perlahan mendekatinya.
"Aku udah hubungi Sina, nanti dia yang akan menjemput kita" ucap Aufa di sela kegiatannya melipat dan memisahkan pakaian Idzar ke dalam tas. Sedari tadi
gadis itu sudah sibuk menyiapkan barang barang yang harus dibawa pulang. Mulai dari selimut, baju ganti, handuk dan lain lain.
"Hm.." "Mama dan papa juga nanti ikut dengan kita. Mereka juga ingin berkunjung ke rumah ibu"
"Hm.."
Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ohya, tadi ka Dana nelpon kamu. Berhubung kamu masih tidur. Aku angkat aja. Katanya sih, dia gak bisa ikut nemenin kamu pulang. Ada rapat penting. Mungkin
sampai malam" "Hm.." "Kata dokter Zee, surat perjanjian itu juga harus ditiadakan secepatnya" khusus pertanyaan yang ini, Aufa memasang wajah jahil.
"Hm,..-- eh! Apa katamu tadi?" Idzar terhentak lalu menoleh.
"Haaa... kena kan, kamu!" Aufa menjentikan telunjuk di depan dengan wajah ceria. "Aku tahu kamu gak memperhatikan ucapan ku dari tadi kan" Cuma bisa ham,
heum, ham, heum aja"
"Aku kan lagi sibuk, fa" Idzar fokus lagi pada ponselnya.
"Sibuk sama handphone kamu?" Sungut Aufa cemberut masam. Idzar tidak menjawab. Cukup dengan menunjukan layar ponsel yang menampakan bacaan surah An naba
disana. Rupanya Idzar tengah bermuroja'ah. Aufa mengangguk sambil mengembungkan pipinya karena malu.
"Aku mau dengar point keempat di surat perjanjian kita" perintahnya dingin. Aufa langsung saja berpikir keras sambil mengingat ngingat. Telunjuknya nampak
mengetuk ngetuk dahi. "Point keempat itu, Jangan banyak protes" jawabnya melemah.
"Pinter! Dan itu yang baru saja kamu lakukan" Idzar mengakhiri muroja'ahnya. Menatap kemalangan istrinya duduk di sofa ditemani tas tas besar berisi pakaian
pribadinya. Ia tahu semua itu Aufa yang mengerjakan. Bahkan karena kesibukannya, Idzar hampir tidak bisa tidur. Ia hanya memejamkan mata sekedarnya. Sesekali
membuka satu mata untuk menyimak aktifitas istrinya semenjak subuh. Kini gadis itu menghela nafas panjang.
"Perjanjian itu seharusnya sudah berakhir. Beberapa jam lagi kita akan pulang, dzar. bahkan kamu masih saja bersikap dingin kayak gitu. Kamu seneng ya
lihat aku tersiksa gini?" Ungkapnya disertai rengekan protes.
"Jadi, kamu gak ikhlas ngelakuinnya?"
"Bukan itu. Kamu gak paham. Kalau aku gak ikhlas, mungkin sejak awal aku udah tolak perjanjian itu. Aku hanya,...." merindukan kamu. ada sesuatu yang tertahan
sehingga Aufa hanya bisa mengatakannya dalam hati.
"Hanya apa?" Idzar menarik sudut bibir kanannya.
"Lupakan" gadis itu menghempas tangan ke udara lalu beranjak hendak berjalan menuju kamar mandi. Namun langkahnya berhenti kemudian menatap protes terhadap
suaminya. "Ohya, Aku heran. Selama perjanjian itu ada, sering kali aku melanggar. Tapi sampai sekarang pun kamu belum memberi ku sanksi apa apa. Kamu lupa
atau memang kamu gak tega sama aku?"
Sambil mengambil jaket levi's lalu mengenakannya dipadu dengan T-shirt berwarna biru dongker ia mengatakan "aku sudah menyiapkan hukuman yang pas buat
kamu" Sambil mengambil jaket levi's lalu mengenakannya dipadu dengan T-shirt berwarna biru dongker ia mengatakan "aku sudah menyiapkan hukuman yang pas buat
kamu" "Oh ya" Hukuman apa?"
"Nanti kamu juga tahu. Dan kamu jangan pernah berharap bisa lepas dari hukuman itu" ancamnya. jika yang mengatakan itu orang lain, Aufa mungkin sudah khawatir.
Tapi berbeda jika Idzar yang mengatakannya. Hukuman seperti apapun jika itu berasal dari suaminya, ia sanggup. Tak perlu takut hukuman seperti apa, ia
yakin suaminya bukan manusia yang kejam atau semacamnya. Terkecuali untuk perjanjian ini.
"Hhh.. baiklah.. aku menunggu" Aufa berusaha cuek atau lebih ke pasrah dan berlalu meninggalkan Idzar.
"Kamu mau kemana?" Tanyanya. Aufa berbalik lagi.
"kamar mandi. Mau ikut?"
Idzar menegakan posisi duduknya didukung wajah menegang seraya berpaling untuk menutupi salah tingkahnya. Selagi memalingkan wajah, tangannya menghempas
hempas ke arah Aufa. bahu gadis itu naik turun menahan tawa geli.
"Ke kamar mandi kok bilang bilang. Ngajak ngajak lagi" gumam Idzar setelah kepergiaan istrinya.
Selang beberapa menit setelah Aufa pergi. tiba tiba terdengar teriakan yang menggema memecah indera pendengaran Idzar. Pria itu terkesiap.
"Ya Allah... Idzar tolongin aku....!!!"
teriakan itu terdengar lagi. Dan itu berasal dari arah kamar mandi. Itu suara istrinya. Buru buru Idzar berjalan cepat menuju sumber suara. Dengan langkah
sedikit tertatih, tak menyurutkan kepanikannya.
"Fa, kamu kenapa?" Tanyanya panik setelah mengetuk pintu kamar mandi berulang ulang.
"Tolong, dzar!!"
"I..iya tolong apa" Kamu gak lagi ngerjain aku, kan?" Idzar semakin panik. Saking paniknya sempat sempatnya ia berpikir negatif terhadap istrinya.
"Engga. Kamu masuk aja. Aku gak bisa bergerak sama sekali" Idzar mencium bahaya dari teriakan itu. Ketika akan membuka pintu, ia terhenti lalu mengurungkan
niatnya. "Sebaiknya kamu pakai baju kamu dulu. Aku gak siap ngelihat kamu dalam keadaan,---"
"Gak usah ngeres! Aku masih pake baju lengkap. Cepetan tolong aku" potong Aufa menggema.
"O..oke!" Jawab Idzar tergagap gagap.
ketika pintu itu terbuka, Idzar mendapati istrinya tengah berusaha keras menahan deras air yang berasal dari pipa. Ia melihat kran air yang tergeletak
di ubin kamar mandi. Kemungkinan krannya mengalami kerusakan sehingga ketika Aufa memutarnya terlepaslah kran tersebut dari saluran air. melihat kondisi
istrinya yang basah kuyup di sekujur tubuh, dengan sigap Idzar mengambil alih aktiftas istrinya itu. Kini giliran Idzar yang berusaha keras menahan air
dari pipa. "Kamu panggil petugas rumah sakit cepet" instruksi Idzar sambil meringis menahan rasa dingin yang perlahan menjalar. Pakaiannya sudah setengah basah. Aufa
berbalik ketika hendak keluar.
"Kamu yakin gak apa apa aku tinggal?" Tanyanya dengan sisa kepanikan.
"Iya gak apa apa"
"beneran?" "iya sayang.. kamu mau kita berdua basah kuyup disini?"
"Oh. Iya iya. Tunggu sebentar ya" kini giliran Aufa tergagap gagap menjawabnya. Ternyata rasa panik itu bisa berkibat fatal ya. termasuk mereka berdua.
Tapi ngomong ngomong, barusan Idzar mengatakan apa" Sayang katanya" Apa ini pertanda baik" Semoga saja. ditengah kepanikannya, Aufa sempat tersenyum ketika
sapaan sayang itu kembali terdengar dari mulut suaminya.
*** "Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. kami berjanji tidak akan ada kejadian seperti tadi. Sekali lagi kami mohon maaf yang sebesar besarnya" ucap
permohonan maaf dari pria sekitar berumur 30 tahun berpakaian seragam. Ia salah satu pihak rumah sakit.
"Tidak apa apa, pak. Saya juga berterimakasih atas bantuan pihak rumah sakit yang sudah menolong saya dan istri saya"
"Sama sama, pak. Kalau begitu kami permisi. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Sepeninggal pria berseragam itu, Idzar menghampiri istrinya. Ia tengah terduduk berkumul selimut tebal. Meski sudah berganti baju pun gadis itu tetap merasa
kedinginan. Idzar menempati sofa disamping istrinya. Menatapnya iba.
"berbaring di ranjang aja ya biar enakan?" Tawarnya. Aufa menggeleng. Bibirnya nampak pucat.
"Kalau aku peluk, mau?" tanyanya lagi. Disertai senyum mematikan khas Idzar yang tidak pernah kadarluarsa sampai sekarang. Bahkan effeknya masih sama.
Menimbulkan reaksi aneh di dalam diri istrinya. Gadis itu menggeleng ragu. Matanya melirik ke kanan kiri.
"Yakin" Emang gak kangen sama aku?" Alis tebal beriring itu saling naik turun. apa tadi katanya" Gak kangen" Mustahil. Hampir tiga minggu Aufa menahan
rasa rindu dari pria Senja kesayangannya. jika ditanya seperti itu, tentu saja Aufa ingin segera memeluk erat tubuh tegap sempurna pria disampingnya.
"kalau kangen bilang aja. pake malu malu. Seneng ya bikin aku gemes sama kamu" Aufa menunduk menutup wajahnya dengan selimut. Hanya untuk menutupi semburan
hangat berwarna merah yang muncul di wajahnya. Idzar tidak boleh melihat ini. Melihat perilaku tersebut Idzar malah terkekeh geli. Moment ini amat ia rindukan.
"Oh, Aku tahu. pasti minta dipeluk duluan"
"Ish! Kata siap,...pa"
pada kata terakhir harus tersendat ketika Aufa mendapati tubuh tegap itu menghambur ke dirinya. entah pada detik keberapa gadis itu sudah berada dalam
pelukan hangat suaminya. Terasa sekali tangan kekar itu melingkar sempurna mengunci tubuh mungil Aufa. Detak jantung yang berdegup kencang saling memacu
diantara keduanya. Aufa masih diam kaku dalam perlakuan tersebut. Jujur, kerinduan ini malah membuatnya semakin tak berdaya. kira kira sudah berapa lama
ia tidak merasakan pelukan ini" Bahkan rasanya masih sama. Hangat dan nyaman. Mata onyx itu mengerjap bodoh.
"Kok diem" gak mau meluk balik?"
Setelah agak terkaget sehingga Aufa refleks mengangkat kedua tangan lalu mendaratkannya pada punggung kokoh suaminya. Di eratkannya pelukan itu. membakar
kobaran rindu yang membara. Menelusupkan kasih dan cinta diantara mereka. gadis itu tersenyum.
"Kenapa gak dari dulu sih, kamu kayak gini" masih dalam posisi memeluk, Aufa menumpahkan kerinduan itu lewat rengekan protes.
"ciee nungguin" Mereka saling menarik diri satu sama lain. Lalu menatap lekat keduanya. "kangen ya dipeluk sama orang ganteng?" Idzar menyeringai jahil.
"Situ ngerasa ganteng?"
"iya dong" "Coba sini aku liat, dimana letak gantengnya" tantang Aufa mengangkat dagu sombong. Bukan Idzar namanya kalau menyerah gitu aja. Dibiarkannya Aufa menangkup
wajah tampan milik pria bernama Abidzar Ahda dengan kedua tangan.
"Nih lihat! Bilang aja mau modus pegang pegang muka aku" cibirnya kemudian mendapat cubitan di pinggangnya. ia meringis kesakitan. "Aduh! Sakit, fa"
Setelah itu hening. Aufa terdiam melihat Idzar sibuk mengusap bekas cubitan istrinya. Ia merasa ada satu hal yang harus ia pertanyakan kebenarannya. Melihat
sikapnya yang kian berubah kembali menjadi sosok Idzar sebenarnya, tentu ada alasan yang membuatnya seperti itu. Apa trauma yang dialaminya telah hilang"
atau karena insiden kamar mandi tadi yang mampu mengusir trauma suaminya itu"
Sambil membantu mengusap pinggang Idzar, Aufa menyiapkan diri menanyakan sesuatu.
"Idzar..." "Ya, hadir" "Tentang surat perjanjian itu,.. bagaimana?" Tanyanya hati hati.
"jam berapa sekarang?" Idzar malah bertanya balik. Aufa menengok ke kanan tepatnya ke sudut dinding. "Jam 11 kurang 15 menit"
"Kita pulang jam berapa?"
"mungkin 15 menit lagi"
"Oh" Hanya jawaban 'oh'" Sedang dia belum menjawab pertanyaan Aufa barusan. gadis itu berjengit aneh. "Kamu belum jawab pertanyaan aku, dzar" Aufa mengingatkan
lagi. "Aku sudah melupakannya"
Jawaban itu tentu saja merangsang gerak bibir Aufa untuk tertarik membentuk sebuah senyuman. Ketika ia ingin mengatakan sesuatu, Idzar keburu melanjutkan
ucapannya "lupakan surat perjanjian itu. Aku akan semakin berdosa jika membuat istriku tersiksa. Aku ingin melupakan semua perjanjian itu. Walaupun sebenarnya
masih ada waktu 15 menit lagi untuk masa berlaku perjanjian itu, tapi aku tidak sanggup menanggung rindu meski menunggu lima belas menit sekalipun. Jadi,
lupain aja ya sayang" jawaban itu seiring bersamaan dengan wajah Idzar yang mendongak bersama senyum hangat.
"Lantas, apa yang kamu ingat saat ini?"
idzar bergeming sejenak. Ada kerutan halus memenuhi keningnya. Matanya berkeliling menatap langit langit. ekspresi berpikirnya itu sungguh memancing minta
dicubit. "Ikhtiar kita yang tertunda"
Dari sekian banyak memory, kenapa hanya itu yang ia ingat" Kini Idzar sedang senyum senyum sendiri tidak jelas. Tak mempedulikan ekspresi terkejut istrinya
yang berlebihan itu. "Eh, tunggu! Ada satu lagi deh" Idzar menarik lagi punggung tangan Aufa menggenggamnya erat. "Apa?"
"Hukuman buat kamu"
"Lah kok gitu" Katanya udah dilupain?" Aufa mengerucutkan bibirnya sebal. Menghempas genggaman ditangannya. Semoga trik ngambek ini bisa membuat Idzar
berubah pikiran. "Yang namanya hukuman tetap aja hukuman. Enak aja mau lari dari hukuman. Menang banyak kamu mah" ah, trik Aufa gagal. Pria itu tetep kekeh dengan pendiriannya.
"Lagian, kamu mau hukum aku kayak gimana sih" Disetrap sambil pegang kuping gitu" Atau lari muterin lapangan" Atau hormat bendera?"
"Terlalu berat itu mah. Kamu kan abis sakit" senyum Idzar kali ini seperti senyum seorang penjilat. Pasti ada makna terselubung dibalik senyum itu.
"Terus apa?" "Gak surprise namanya kalau aku kasih tahu sekarang" mungkin hanya Idzar seorang di dunia ini yang menjadikan sebuah hukuman menjadi kejutan menyenangkan
baginya. "Cuma hukuman kok segala di rahasiain. Kamu tuh aneh tahu gak" gerutu Aufa sambil melipat tangan.
"Tapi suka, kan?" Ekspresinya menggoda. Aufa berbinar.
"Bangeett....."
"Mau lagi?" "Mauuuu....." Aufa mengangguk bahagia nan sumringah.
"Bayar" Seketika sumringah itu melebur bersama kegondokan. "Berapa?"
"Gak terima pembayaran uang" celetuknya sombong. Dengan gaya sok jual mahal. Sedang Aufa nampak kebingungan menunggu penjelasan selanjutnya.
"Tapi pakai ikhtiar kita yang kedua"
Hari itu juga Aufa mendadak ingin menginap saja di rumah sakit. Kelakuan Idzar semakin absurd dan mesum. Bagaimana bisa ikhtiar kedua. Ikhtiar pertama
saja masih dalam rencana.
"I say No!" *** TBC.... 22. Jerat Pesona mu Jika bisa dihitung, entah berapa banyak keindahan yang tercipta di malam ini. Dimulai ketika Senja perlahan pergi meninggalkan singgasana berganti menjadi
kegelapan dalam rembulan. Lalu menjelma semakin larut dan larut. Mereka berjalan hati hati menuju malam sepertiganya. Sepertiga kegelapan yang sunyi. Hanya
sayup sayup angin merasuk ke sumsum tulang. Peredarannya mengintip melalui celah jendela bertirai merah muda. Menerbangkan benda itu bergerak sesukanya.
Sehingga menjadikannya bak alarm yang membangunkan seorang gadis.
Setibanya kembali ke kamar, ditatapnya wajah pria yang sedang terlelap dalam mimpi indahnya. Mengagumi keindahan kelopak matanya, cembung seperti lengkungan
pelangi. Lalu turun ke hidung. Bagian wajah paling disukainya. Tak hanya menawan, tapi juga mempesona. Tak ayal jika ia selalu menjadikan bagian wajah
itu sebagai tempat menuang gemas akan tingkah konyolnya. Ia tersenyum. Kira kira kekonyolan apa lagi yang akan diperbuat" Bahkan gadis itu amat menyukainya.
baginya, itu sebuah keromantisan yang berbeda. Tak harus dilambangkan dengan seikat bunga mawar atau makan malam di restaurant mewah highclass. Cukup dengan
interaksi sederhana yang melibatkan Tuhan diantaranya. Ada yang lebih romantis dari itu" Sepertinya tidak.
"Bangun imam besar.. makmum mu sudah menunggu" bisik gadis itu mendekati telinga lelakinya. Belum ada respon. Hanya liatan liatan kecil tercipta darinya.
"Hei, imam besar.. ini sudah waktunya qiyamul lail. Seneng ya bikin makmum menunggu?" Gadis itu duduk di tepi tempat tidur king size, sehingga menimbulkan
guncangan ringan. Si pria terbangun samar. Melihat sekilas seseorang yang sudah mengganggu tidurnya. Gadis bermukena putih tersenyum manis menatapnya.
Apa ia sedang berada di surga" Ah, bukan. Gadis itu istrinya.
"Lima menit lagi" jawabnya ogah ogahan. Matanya kembali terpejam rapat. Gadis itu menggeleng halus.
"Tapi makmum mu ini tidak bisa menunggu meski satu detik sekalipun. Ayo bangun." Pintanya tetap mempertahankan kelembutannya.
"Lakukanlah Qiyamul lail, karena itu kebiasaan orang sholih sebelum kalian. Bentuk taqarub, penghapus dosa, dan penghalang berbuat salah. Kamu gak lupa
sama Hadist itu kan, dzar?" Diguncangkan perlahan tubuh lelakinya itu. Sehingga beberapa detik kemudian sepasang mata terpejam itu terbuka sedikit. Dalam
keadaan menyipit ia berusaha bangkit dari posisi tidurnya.
"Iya aku ingat. Astaghfirullahaladzim.."
"Nah gitu dong.. yuk! Kita sholat" ajak Aufa sumringah. Ada rasa gemas ketika melihat Idzar dalam keadaan bangun tidur sambil mengucek mata. Terlihat seperti
anak kecil. Setelah penglihatannya benar benar sempurna, Idzar terdiam ditempat menatap istrinya lama. "Malah diem. Ayo ambil wudhu. Mau aku temenin?"
"Kita lagi dimana sih?" Idzar menatap luas kamar mereka. Mengerut kebingungan. "Dikamar. Pasti nyawa kamu belum sepenuhnya ngumpul deh" tebak Aufa gemas.
Idzar meng-oh lalu tersenyum senyum sendiri.
"Aku kira di surga. Lalu, bidadari dihadapanku ini siapa?"
Rayuan di sepertiga malam ini adalah keindahan berikutnya yang Aufa dapat. Bersama senyum yang terpatri rapi menghias wajah Idzar. Ia amati gerakan istrinya
jika sedang malu. Berusaha menyembunyikan rona merah dengan menunduk. Gadis itu yakin sekali bahwa Idzar masih memperhatikan salah tingkahnya. Ia tak habis
pikir, apa selagi tidur ia bermimpi bertemu bidadari"
"Mau sampai kapan tersipunya" Katanya mau nemenin aku wudhu" ucap Idzar. Sukses menyadarkan Aufa dari kecamuk tak berdaya akibat ulah gombalnya. Ia buru
buru beranjak untuk menemani suaminya.
Selagi berjalan menuju kamar mandi, ada sesuatu yang aneh menarik perhatian Idzar. Ia membiarkan Aufa berjalan lebih dulu kesana. Diperhatikannya cara
berjalan gadis itu. Tertatih dan agak pincang.
"Fa,.." gadis itu berbalik. Menyadari bahwa Idzar masih dibelakangnya. "Iya, hadir" gaya menjawab khas Idzar tertular padanya.
"Kaki kamu belum pulih?" Idzar sudah berdiri disamping Aufa. Wajahnya agak khawatir. Takut takut terjadi sesuatu pada istrinya. Aufa menggeleng kikuk sambil
menggigit bibir bawahnya.
"Yakin?" Bukan gelengan atau anggukan, melainkan hanya kebisuan yang diberikan Aufa. Bibirnya mengatup rapat. Seperti menahan sesuatu. Sebenarnya hatinya berkecamuk.
Apa sebaiknya ia katakan saja pada Idzar bahwa saat ini ia sedang merasakan perih pada titik bagian pusat tubuhnya. Itu yang menyebabkan ia berjalan tertatih.
Haruskah Idzar tahu hal ini" Bukankah ini juga hasil perbuatannya semalam"
Ya, malam itu adalah malam dimana mereka melakukan ikhtiar pertamanya. Menautkan ikatan cinta dalam tasbih di bawah naunganNya. Merajut gejolak gejolak
yang membara menjadi penyatuan yang sempurna. Memenuhi setiap hak dan kewajiban dari mereka berdasarkan perintahNya. Berharap pahala dariNya. Dan nikmat
terbesar dariNya. Nikmat yang hanya bisa didapatkan dari sepasang insan kala mereka menyatukan hati dan cinta di atas namaNya.
Idzar baru menyadari satu hal. Yang ia ingat malam itu, ketika istrinya nampak cantik dari biasanya bak seorang putri. Tak hanya cantik tapi juga menggairahkan.
Tapi di hari ini gadis itu kembali anggun berbalut mukena putih. Serupa dengan putih wajahnya. Sosok sholihah yang menawan hati dan memporak porandakan
labirin hatinya. Jika kata kata mampu mendeskripsikan keindahan wanitanya itu, maka Idzar tak punya cukup banyak kamus untuk merangkai ribuan kata guna
mengagumi keindahan tersebut. Wanita yang memberinya pengalaman pertama yang tidak bisa dibayangkan bahkan difilosofikan dengan apapun. Ditatapnya sekali
lagi wanita disampingnya. Meski terbalut senyum, ada kesakitan terlihat samar dari matanya.
"Terasa sakit sekali ya?" Tanya Idzar ingin tahu sambil menebaknya hati hati. Apa semalam ia terlalu kasar" Pikirnya. Kedua alis Aufa mencembung ke atas
seperti merengut. Bibir bawahnya masih tergigit malu. "Sedikit"
Benar dugaan Idzar. Istrinya tengah menahan rasa perih di bagian pusat tubuhnya itu. Itu wajar bagi seorang gadis. Pada awalnya memang seperti itu. Tapi
mungkin untuk selanjutnya tidak lagi. Setidaknya itu yang ia dengar dari pengalaman pertama abangnya, Dana. Idzar tersenyum.
"Lain kali aku bakal lebih lembut lagi" meski hanya kalimat sederhana, tapi itu saja sudah mampu membunuh setengah dari rasa takut Aufa. Didukung senyum
lembut Idzar yang tak pernah jenuh bermukim disana. Bagi Aufa, Idzar seperti pohon rindang yang besar dimana ia bisa berteduh sesukanya.
"Maaf ya. Ini pertama kalinya. Aku amatir sekali" ujar Aufa merendah seraya menunduk (lagi). Idzar berdecak kecil. "Kamu pikir, aku engga" Kamu yang pertama
dan terakhir untukku. Lalu aku yang pertama dan terakhir juga untukmu. Selamanya akan begitu."
Ditaruhnya tangan Idzar mendarat di kedua bahu istrinya. Menatapnya lekat. "Kamu akan ku jadikan satu satunya wanita yang membuat penduduk surga cemburu.
Bahkan bidadari sekalipun. Mengerti?" Bersama mata elangnya, Aufa seperti membeku dalam jerat pesona Idzar. Terlebih ketika lontaran mantra ajaib itu melesat
bebas dari bibirnya. Idzar, kenapa kamu hobby sekali membuatku kehabisan oksigen. Apa kamu tahu kalau harga oksigen itu mehong" Bersyukur Tuhan memberinya
secara cuma cuma. Batin Aufa menggerutu.
"Kok bengong" Belum kelar terpesonanya?"
Mata Aufa masih membulat sesekali mengerjap. Bibirnya agak menganga bodoh. "Aku sedang memikirkan sesuatu" idzar memiringkan wajahnya. Menuntut ingin tahu.
"Kamu kapan mau wudhu?"
Idzar melepas genggaman terhadap istrinya lalu mengangguk pasrah seraya mengangkat kedua tangan ke udara. Sekali lagi ia harus menyadari bahwa seorang
Aufa tidak bisa lama lama di ajak bercumbu rayu. Mungkin kapastitas memory romantismenya hanya terisi beberapa MegaBite.
Usai berwudhu, Idzar menemui Aufa tengah duduk bersimpuh menunggunya. Bersiap mengambil posisi sholat. Ketika akan mulai, Idzar berhenti lalu berbalik.
"Ngomong ngomong, kamu udah 'mandi', kan?" Tanyanya sambil memberi tanda kutip lewat gerakan jari di atas kepala. Aufa bersungut sebal. "Ya udah lah. Kamu
pikir?" Idzar terkekeh geli menutup mulutnya. "Ya,. kali aja kamu ketagihan trus mau lagi biar sekalian mandinya. Aku siap kok"
"Emang sanggup?" Aufa bersendekap sombong. Idzar agak takjub melihat sedikit perkembangan istrinya. Kosa kata memancingnya perlahan meningkat. Jujur, Idzar
suka sekali itu. "Dih, nantangin. Ya sangguplah, mau nyoba lagi?" Sambil menarik turunkan kedua alis bersama seringai nakal, Setelahnya Aufa hanya bisa menahan geram sambil
menangkup wajah dengan telapak tangan.
"Subhanallah Idzar, kapan kita mulai sholat?"" Aufa mengerang menahan sabar.
"Iya sayang iya. Anaknya bu Diana ini ngegemesin banget sih kalau lagi marah" ujarnya bersama sisa tawa yang berakhir.
*** Begitu berat bagi Acha jika harus pulang meninggalkan adiknya disini. Sampai hari ini Icha belum juga sadar dari komanya. Sepanjang hari selama ia menunggu,
ia hanya bisa menghitung hari lalu menebak nebak siapa tahu sebuah keajaiban datang dan membangunkan saudara kembarnya itu. Dokter Rio menyatakan bahwa
Acha sudah boleh pulang. Kondisinya semakin membaik. Dan itu artinya ia harus meninggalkan Icha sendiri di ruang yang ia sebut ruangan menyeramkan itu.
Meskipun mama dan papanya menghibur bahwa Icha tidak akan sendirian, ada mereka yang akan menjenguknya. Tetap saja, kehilangan sosok Icha seperti kehilangan
setengah dari jiwanya. Siapa yang bisa ia ajak bersenda gurau kalau bukan Icha. Siapa yang akan sibuk mengomentari gaya berpakaiannya yang jauh dari kata
kekinian itu kalau bukan Icha. Dan siapa yang bisa ia ajak menggila bersama mengagumi sosok ka Idzar kalau bukan Icha. Dan semua aktifitas gila lainnya.
Kini gadis itu tengah duduk manis memperhatikan ambu tengah merapikan pakaiannya untuk dibawa pulang. Selagi menunggu mama dan papa juga Syihab, Acha dan
ambu masih menunggu di ruang anggrek II ini.
"Mama sama papa kapan dateng sih, mbu" Acha bosen" keluhnya sambil bersandar di sofa meniup kasar ujung lekukan hijabnya.
"Sabar atuh neng geulis, sebentar lagi juga sampai. Udah kangen sama rumah ya" ejek ambu mengusap punggung Acha lembut. Acha mengangguk tapi detik berikutnya
dia menggeleng. "Percuma di rumah juga kalau gak sama Icha. Gak ada yang bisa di ajak curhat" sambil memanyunkan bibirnya lalu bersendekap.
"Kan bisa curhat ke ambu atau ke mama" ambu melanjutkan kegiatan melipatnya.
"Beda, ambu. Curhat Acha itu urusan cewek"
"Loh, emang ambu sama mama bukan cewek?"
"Ambu sama mama itu wanita. Bukan cewek" kelit Acha. Bagaimana pun juga mencurahkan hati ke sesama wanita yang seumuran akan lebih menyenangkan karena
saling merasakan satu sama lain. Kalau curhat dengan wanita yang lebih tua, yang ada mereka lebih mendominasi pembicaraan. Bisa jadi ujung ujungnya diceramahin.
Dan Acha menghindari itu.
"Ya sudah kalau begitu curhat ke Allah saja atuh. Lebih privasi dan terjaga kerahasiaannya" ambu menyarankan. Acha diam sambil memahami. "Malah bisa dapet
solusi yang insya Allah tepat akurat dan tidak mengecewakan" tambahnya lagi.
"Iya ambu. Makasih ya. Cuma Allah yang mengerti hati Acha seperti apa" gadis itu termenung menatap isi ruangan. Pikiranya entah tengah berlari kemana.
"Udah atuh, jangan sedih lagi. Sebentar lagi neng kan pulang. Nanti ambu masakin rolada kesukaan neng Acha ya"
Acha mengangguk sambil mengulum senyum. Ia pun beranjak dari sofa lalu berjalan mengelilingi ranjang tidur dan meja di sampingnya. Ambu yang melihatnya
terheran heran. "Nyari apa neng?"
"Ambu lihat handphone Acha gak?" Acha menunduk mencarinya di kolong ranjang.
"Oh hape?" Ambu menyebutnya begitu. Biar lebih gampang diucap katanya. "Hape neng ada sama ambu. Tadi pas neng tidur, hapenya mau jatuh. Ya sudah ambu
simpen aja" "Ambu baik banget sih.. makasih ya" setelah menerima ponsel dari ambu, Acha kembali duduk manis di sofa mulai berkutat dengan dunia maya dalam genggamannya.
Tak lama berjumpa dengan akun sosial media, membuat Acha kewalahan menerima puluhan notif yang muncul dari akun akunnya. Kedua tangan itu mulai gesit mengoperasikan
setiap notif yang ada. Mulai dari membalas kommentar di instagram. Membalas chat dari teman temannya di Line dan juga aplikasi BBM.
Tak menunggu waktu lama. Semua notif habis ia tangani. Kini ia beralih melihat beranda instagramnya. Ia lebih suka bermain di dunia instagram karena jangkauannya
lebih luas ketimbang yang lain. Selagi asyik menscroll timeline, kegiatan tangan gadis itu terhenti pada sebuah akun yang menampilkan foto. Itu foto adik
kelas selaku ketua osis di sekolahnya, Mario. dia tengah berfoto dengan seseorang yang sangat familiar di matanya.
"Mario sama siapa nih?" Acha menyipitkan mata guna mempertegas. Di sana terlihat Mario mengenakan kaos abu abu bersama laki laki memakai kaos biru gelap
Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipadu jas hitam. Semakin diperhatikan laki laki itu seperti..
"Ka Idzar" Ka Idzar sama Mario" Kok bisa?" Acha hampir memekik tak percaya
"Ka Idzar" Ka Idzar sama Mario" Kok bisa?" Acha hampir memekik tak percaya. Sampai sampai ambu terkaget karena volume suaranya yang mungkin mencapai sidratul
muntaha. Ambu hanya bisa menggeleng geleng melihat putri majikannya itu kalau sudah berkutat dengan gadget. Dunia seperti miliknya sendiri, yang lain ngekost.
"Ya ampun ka Idzar ganteng banget di sini. Sumpah! Kok mereka bisa kenal sih. Ish! Mario diem diem lo kenal sama gebetan gue" seru Acha semakin histeris.
Disaat seperti ini, ia kembali teringat Icha. Pasti Icha juga merasakan hal yang sama seperti dirinya. Dan mereka pasti akan berteriak histeris melihat
dua cowok ganteng bersatu dalam satu frame. Sangat disayangkan Icha tidak bisa melihat ini semua. Banyak kejutan menyenangkan yang terpaksa ia lewati tanpa
kehadiran Icha disini. "Alhamdulillah..bakti sosial berjalan sukses dan lancar. Syukron buat ikhwan sholeh di samping gue ini. Merinding denger tilawahnya masya Allah. Semoga
ukhuwah terus terjalin ya mas bro. Sukses terus #latepost" Acha membaca caption yang ditulis mario dalam fotonya. Dia menyimpulkan bahwa Idzar menjadi
pengisi tilawah qur'an pada acara bakti sosialnya di salah satu yayasan panti asuhan Al-Maghfirah sekitar beberapa bulan lalu. Ia nampak mengingat ngingat
sesuatu. "Subhanallah.. berarti waktu Mario ngajak gue sama Icha ikut baksos, ada ka Idzar disitu" Dan begonya gue, gue malah nolak buat ikut. Astaghfirullah Acha..
bodoh banget sih lo" runtuk Acha membodoh bodohi dirinya sendiri sambil menepuk jidat.
"Mario, siap siap gue serbu. Gue bakal kepoin lo seharian" gumam Acha. Gerak tangannya begitu cepat menyimpan foto tersebut. Suatu saat foto itu akan ia
tunjukan pada Icha. Terutama Mario. Mau tidak mau, ia harus secepatnya menemui Mario untuk menanyakan kedekatannya dengan Idzar.
"Eh, ngapain nanya ke Mario segala" Mending tanya ka Idzar langsung aja. Sambil menyelam minum air" Acha terkekeh geli sendiri. Kemudian ia menghela nafas
matanya tak henti menatap ketampanan sosok Idzar.
"Ada apa neng" Daritadi ambu liatin neng kadang senyum senyum sendiri terus marah marah sendiri trus ngomong sendiri. Neng sehat?" Ambu selesai merapikan
pakaian ke dalam tas lalu berangsur duduk di sebelah Acha.
"Ambu, liat deh. Ganteng banget ya" Acha menunjukan foto pada layar ponselnya kepada ambu. Wanita hampir lansia itu memerhatikan sambil menyipit. "Yang
mana neng" Kanan apa kiri?"
"Kalau menurut ambu yang ganteng kanan apa kiri?" Acha malah bertanya balik.
Agak lama untuk menyimpulkan bagi ambu. Acha masih sabar menunggu. "Ah, ambu bingung. Dua duanya ganteng. Tapi kalau yang disebelah kanan, mirip sama cucu
ambu dikampung. Namanya Sholeh"
"Kalau menurut Acha gantengan yang kiri, mbu"
"Emang mereka siapa neng" Pacar neng Acha?" Celetuk ambu sambil tersenyum menggoda. Acha hanya cengar cengir jenaka.
"Bukan, ambu. Mereka temen Acha. Lagian Acha gak mau pacaran ah. Acha pengen kayak ka Idzar ini, mbu" kata Acha sambil menunjuk sosok Idzar di foto. "Dia
gak pacaran, tapi langsung menikah. Keren kan" puji Acha sumringah.
"Masya Allah. Ya bagus atuh. Ambu seneng kalau begitu. Mama juga pasti setuju kalau neng punya prinsip kayak gitu. Semoga neng Acha sama neng Icha dapet
jodoh yang sholeh dan bertanggung jawab. Aamiin"
"Jangan lupa ganteng, mbu. Biar gak malu di ajak kondangan. Aamiin" celetuk Acha lalu mengusap tangan ke wajahnya.
"Ada ada aja si neng" ambu mengeleng geleng pasrah sambil tersenyum.
*** "Kamu yakin mau mulai bekerja lagi?"
Ini pertanyaan ketiga kalinya yang dilontarkan Aufa kepada suaminya. Ia tidak yakin dengan kondisi Idzar yang baru saja sembuh. Ia khawatir terjadi sesuatu
pada suaminya itu. Walaupun berulang kali pula Idzar meyakinkan istrinya bahwa ia sudah merasa lebih baik. Ia tidak ingin meninggalkan tanggung jawabnya.
Terlebih, status barunya kini yang mengharuskan ia agar semakin giat mencari nafkah untuk istri dan anaknya kelak.
"Iya sayang. Kamu nanya sekali lagi, aku kasih hadiah. Mau?"
Aufa mengangguk sambil tersenyum. Siapa yang tidak mau hadiah. Pikirnya.
"Kamu yakin mau kerja lagi" Kamu yakin mau kerja lagi" Kamu yakin mau kerja lagi" Kamu yakin mau kerja lagi?" Pertanyaan itu sengaja diulang beberapa kali
sambil memasang wajah meledek.
"Kamu yakin mau kerja lagi" Kamu yakin mau ker,---"
Ocehan itu terhenti begitu saja bersamaan dengan mendaratnya sebuah kecupan singkat pada bibir mungil Aufa. Kecupan yang hanya berdurasi beberapa detik,
tapi menimbulkan effek berhari hari bahkan berbulan bulan. Kecupan singkat dari suaminya itu menjadi akhir celoteh celoteh pertanyaan Aufa yang membuat
Idzar risih. Terbukti, gadis itu tak lagi berceloteh. Bergeming menatap kosong. Ia baru tersadar setelah tangan Idzar mengusap permukaan bibir bawahnya
dengan lembut seraya tersenyum miring.
"Suka sama hadiahnya?"
"Dasar pencuri" desis Aufa menahan malu yang mendera. Ia merasakan hawa panas berputar di sekitar wajahnya saat ini. Dan itu karena ulah Idzar. Ia menarik
nafas panjang lalu berlanjut memakaikan dasi suaminya.
"Biasa aja dong wajahnya. Gak usah di imut imutin gitu"
"Emang udah imut dari lahir. Baru tahu ya"
"Ohyaa?" Waaww" sontak Aufa mengendik aneh melihat gaya hiperbolis suaminya. Nada berlebihannya terlalu ekspresif. Alih alih terkesima, malah terlihat
menyebalkan dimata Aufa. "Untung kamu suami aku, kalau engga.." ancaman Aufa harus bergantung ragu.
"Kalau engga apa" Mau dikasih kayak semalam lagi?"
Mau tidak mau, Aufa harus menggunakan jurus terakhirnya, yakni cubitan ringan yang mendarat di pinggang Idzar hingga pria itu meringis karena geli. "Sakit,
sayang" "Maaf. Abisnya kamu hobby banget godain aku" Aufa telah selesai memakaikan dasi ia beralih merapikan kemeja putih yang membalut tubuh suaminya itu. "Itu
jadi hobby baru ku" "Ohya. Setelah sampai kantor jangan lupa sholat dhuha. Lalu bekalnya dimakan. Jangan pulang terlambat. Hubungi aku kalau sudah tiba di kantor ya." alih
alih menjawab pesan istrinya, Idzar malah tersenyum sendiri menatap kagum gadisnya. Pagi ini terlihat cantik dengan balutan gamis sederhana bermotif bunga
dipadu khimar pet berwarna merah. Sederhana namun istimewa dimatanya. Seperti memandang ornamen nyata buatan Tuhan yang indah. Bak ukiran patung dewi dewi
yang ada dalam novel yang suka ia baca. Memperindah senyum yang setiap pagi menyambutnya kala waktu subuh tiba. Dan akan menyambutnya kala tiba waktu Senja.
Keindahan yang tak pernah habis ia nikmati.
"Kamu dengar aku kan, dzar?" Aufa memastikan dirinya tidak berbicara sendiri
"Kamu dengar aku kan, dzar?" Aufa memastikan dirinya tidak berbicara sendiri.
"Iya ibu negara. Aku dengar. Lalu, apa lagi?" Idzar telah rapi berdiri mantap menghadap istrinya. Menggenggam erat tangannya. Aufa menatap langit langit.
"Jangan lupa mencintai aku setiap hari" ujarnya mengulas senyum sederhana. Idzar membalas dengan tarikan senyun simetris. "Hanya setiap hari" Tidak ingin
selamanya?" Ia mendapat gelengan kecil istrinya.
"tidak ada yang abadi di dunia ini, dzar"
"Kamu lupa adanya akhirat" Satu satunya tempat abadi. Kita bisa abadi disana. Insya Allah"
Sedetik kemudian Aufa berniat mengucapkan sesuatu tapi Idzar keburu mendahuluinya.
"Aku mencintaimu seperti Senja yang membawanya menuju sepertiga malam"
Dan tak ada kalimat penyambung lain. Hanya interaksi mereka melalui sorot mata yang penuh arti. Menyirat ketulusan dan kasih sayang mereka. Saling menyihir
satu sama lain. Saling menebar pesona yang menahan kaki untuk melangkah pergi dari jerat ini. Idzar bahkan tak menyadari bahwa jam bekerjanya hampir habis.
*** TBC... 23. Kembali Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bosan adalah sikap jenuh terhadap sesuatu yang berulang terus menerus. Entah itu sebuah aktifitas maupun keadaan.
Tapi mungkin akan berbeda pemahaman jika sesuatu yang berulang itu terjadi pada kita seperti melakukan bernafas. Pernahkah kita bosan untuk bernafas" Padahal
aktifitas tersebut dilakukan secara terus menerus setiap detik dalam kehidupan sehari hari. Pendapat lain juga mungkin mengatakan bahwa bernafas itu suatu
kebutuhan. Manusia tidak mungkin bosan untuk itu. Karena itu adalah kebutuhan utama makhluk hidup.
Dari sinilah pemahaman tersebut saling berkesinambungan. Ketika kita merasakan kebosanan terhadap sesuatu. Entah itu kegiatan mereka sehari hari yang meyangkut
pekerjaan, misalnya ataupun yang lain. Maka jadikanlah kegiatan tersebut suatu kebutuhan. Kebutuhan yang jika kita tinggalkan sedikit saja akan berpengaruh
terhadap diri kita sendiri. Kurang lebih seperti itulah gambaran sikap kita menghadapi kebosanan yang saat ini merajalela berpetualang ke dalam diri kita.
Dan seperti itulah yang terjadi pada gadis cantik berpashmina biru dongker memakai blezzer hitam senada dengan celana kantornya, sedang duduk manis di
kursi yang--sejak beberapa minggu ini--setia menemaninya. Wajahnya nampak serius menyimak deretan perpaduan huruf dan angka yang terpatri di layar datar
bernama laptop. Jemari lentiknya bergerak teratur diatas papan keyboard mengikuti instruksi otak si gadis. Bibirnya sesekali bergerak gerak mengeja kata
perkata yang tertera di layar itu. Di dekatnya ada banyak tumpukan map berbagai macam warna tengah berdiri seperti sedang menyemangati gadis itu yang perlahan
menampakan raut raut kejenuhan. Ia menghembus nafas berat ketika matanya melirik sekali lagi map map tersebut. Diambilnya satu map berwarna merah untuk
segera dikerjakan. Dua detik kemudian seseorang sudah berdiri disampingnya lalu memerhatikan gadis itu.
"Tsabit" Ia menoleh mendapati pria gagah yang ia sebut sebagai papa muda berada didekatnya. Berdiri sempurna sambil menaruh tangan kebelakang. "Iya, pak Dana. Ada
yang bisa saya bantu?" Tawarnya hormat setelah beranjak dari kursi lalu menatap penuh hormat.
"Setelah jam makan siang, kamu boleh kembali ke posisi kamu sebagai assisten saya" begitu kata kepala menagernya. Mendengar hal itu, Tsabit seperti tengah
menikmati sirup aroma leci kesukaannya ketika dahaganya tidak terkendali. Begitu menyegarkan dan ini yang ia nanti nanti sejak beberapa minggu ini. Betapa
pengertiannya pak Dana. Mungkin ia merasa kasihan dengan nasib assistennya yang tersiksa karena pekerjaan milik sang kepala HRD yang terpaksa ia ambil
alih. Kalau bukan karena pengabdiannya terhadap perusahaan, tentu ia akan menolak pekerjaan itu. Sekarang ia cukup menunggu beberapa jam lagi menuju jam
makan siang. Dan itu masih ada waktu 3 jam lagi.
"Kamu mendengar saya?"
Tsabit terhentak seraya mengerjap. "Dengar pak. Baiklah kalau begitu. Selepas makan siang saya bersiap kembali ke posisi saya" Dana mengangguk.
"Kalau boleh saya tahu, Apa sudah ada pengganti posisi pak Idzar disini, pak?"
"Idzar sudah kembali bekerja. Nanti siang setelah konfirmasi dia akan segera menempati posisinya sebagai kepala HRD"
Ingin rasanya Tsabit melakukan sujud syukur detik ini juga. Mungkin ia lakukan nanti. Dan tidak disini, pastinya. Akhirnya sedikit beban ini berkurang
dengan kembalinya Idzar di perusahaan ini. Bayangkan, selama berminggu minggu sejak dirinya dinyatakan menjadi pengganti sementara Idzar, ia berubah menjadi
workholic sejati. Jatah lembur tak jarang ia dapatkan. Pulang larut malam menjadi makanan sehari hari. Mata pandanya semakin merona jelas. Mesin otaknya
berkali kali mengalamin turun mesin. Anggap saja begitu.
"Kamu bisa siapkan barang barang kamu untuk kembali setelah jam makan siang. Masih ada waktu beberapa jam untuk kamu menyelesaikan laporan Idzar. Setelah
itu bawa ke saya untuk ditanda tangani" perintahnya dalam kecepatan normal bernada tegas. Sama seperti adiknya. Hanya saja, adiknya lebih songong. Batin
Tsabit menilai. "Laporan ini saya yang harus menyelesaikan, pak" Kan pak Idzar sudah kembali" protes Tsabit menatap hati hati. Dana menarik nafas membawa tatapan mata
sayu nya bersiap untuk menyerang ucapan Tsabit.
"Mengerjakan sesuatu itu tidak boleh setengah setengah. Kamu mau, dikasih jodoh setengah pria setengah wanita" Kan gak lucu"
Sama sekali tidak lucu. Kenapa harus mengarah ke jodoh, sih" Apa ada penelitian yang menyambungkan antara pekerjaan dengan jodoh" Kalau ada, bisa tolong
tunjukan hasil resetnya kepada Tsabit. Agar gadis itu tidak bergumam aneh setelah mendengar penyataan Dana.
"Pak Dana ini bisa aja" ia tertawa hambar. "Ya gak mau lah pak. Masa jodoh saya setengah setengah. Nanti cintanya juga setengah setengah lagi" lanjutnya
dengan gaya sok asik. Dana turut tertawa seperlunya. Berusaha mempertahankan kewibawaannya. "Kalau kamu merasa kesulitan, kamu minta bantuan Idzar aja.
Ingat ya, hanya membantu. Laporan itu masih tanggung jawab kamu"
"Iya, pak. Secepatnya akan saya selesaikan" keadaan kembali menegang serius. Akhir akhir ini Dana jadi tidak seasik dulu waktu pertama kali Tsabit bekerja.
Masih ada kekakuan yang muncul. Sangat disayangkan sekali. Padahal bagi Tsabit, sikap bersahabat Dana bisa menjadi pelindungnya dari kesewenang wenangan
Idzar, si kepala HRD menyebalkan itu.
"Ohya, tadi security menitipkan ini kepada saya. Tadinya dia ingin langsung kasih ke kamu. kebetulan saya lewat, saya yang menerimanya. Katanya dari seseorang
yang tidak ingin disebut namanya" Dana menyodorkan sebuah kotak kecil persegi panjang berbungkus kertas berwarna merah muda.
"Dari siapa ya pak?" Tanya Tsabit menerima benda tersebut.
"Sebut saja hamba Allah"
Selagi dirinya sibuk meramal isi kotak tersebut beserta pengirimnya, Dana pamit meninggalkan gadis itu. Sejurus kemudian Tsabit kembali duduk di kursinya
bersamaan terbukanya kertas pembungkus kotak tersebut.
"Apaan nih?" Kotak kemasan kecil itu ia buka lalu menemukan sebuah botol kaca ukuran mini. Dari tulisan yang tertera dibotol itu, Tsabit menyimpulkan bahwa benda hanya
berupa minyak angin roll on dengan merk tertentu.
"Buat apaan minyak angin begini?" Ejek Tsabit menampakan wajah tidak suka sekaligus tidak percaya. "Emangnya gue masuk angin apa?" Gerutunya. Tak lama
ia menemukan sebuah kertas terselip di kotak minyak angin tersebut. Buru buru Tsabit membuka agar tahu siapa si hamba Allah itu yang teramat sangat baik
hati mengirimnya minyak angin terapi ini.
Hallo tante, udah nyampe minyak anginnya" Gue tahu lo alergi AC, so jangan sia siain kebaikan gue ini yang jarang orang dapetin. Lo beruntung, tan ^/^
-Arsa- "Bocah gila! Gue gak ngerasa nikah sama om lo" Umpat Tsabit membuang wajah kesal sambil membanting secarik kertas tersebut di meja. Enak saja alergi AC
katanya. Apa bekerja di ruangan full AC ini belum membuktikan" Tsabit mengerang geram.
"Dasar bocah ingusan!"
*** Dan pada akhirnya, minyak angin tersebut menjadi berguna. Buktinya, benda mungil beraroma terapy itu setia berada dalam genggaman Tsabit bahkan ia memakainya
pada jam makan siang seusai melaksanakan sholat. Setelah menyelesaikan beberapa laporan yang sudah dikejar deadline membuat Tsabit merasa pusing tidak
karuan. Kesehatannya agak menurun akhir akhir ini.
Di kursi salah satu meja cafetaria, ia duduk ditemani segelas teh hangat sambil memainkan ponsel. Tangan satunya sibuk mengoles bagian leher.
"Bisa sakit juga kamu?"
Idzar muncul tiba tiba entah sejak kapan pria itu sudah duduk menempati kursi kosong disebelahnya. Menaruh bekal makan siang yang disiapkan istrinya tadi
pagi. Tsabit mendelik. "Aku gak sakit. Cuma gak enak badan" Jelasnya. "Aih, bahagianya dibawakan bekal makan siang sama istri tercinta. Menu apa hari ini?" Tsabit tersenyum lebar
hampir memperlihatkan gigi grahamnya seraya menaruh minyak aroma terapynya.
"Ralat. Bukan istri tercinta. Tapi istri sholihah" Idzar menyuap satu sendok nasi ditemani oseng oseng jamur kesukaannya beserta sop. Menikmatinya dengan
lahap. "Iya iya, istri sholihahnya pak Idzar. Puas?" Tsabit menipiskan bibirnya mencoba kembali fokus pada ponselnya.
"Oh iya, ini" disela aktifitas makannya, Idzar mengeluarkan tas daur ulang berukuran kecil berwarna putih. "Titipan dari istriku buat kamu. Sebagai tanda
terimakasih katanya" dunia gadget Tsabit harus teralihkan karena kantong yang menggoda itu. Dilihatnya isi kantong tersebut. "Thank ya udah gantiin posisi
aku sewaktu aku dirawat" ucap Idzar tersenyum kecil.
Tsabit masih sibuk dengan isi kantong itu. Ada dua buah coklat batang ukuran besar. Minuman kaleng bersoda dan" buah apel kesukaannya. Ini akan sangat
membantu mengembalikan mood nya yang buruk karena ulah si pengirim minyak angin tadi. "Wah, ada apel juga. Makasi ya. Nanti aku mampir ah, mau bilang makasi
sama istri kamu. Tahu aja aku suka apel" Tsabit langsung mengunyah apel tersebut dengan nikmat. Idzar berdecak. Alih alih menjawab ucapan terimakasihnya
malah bicara apa. "kamu dengar aku ngomong gak sih?"
"Eh, ya" Apa" Tadi kamu ngomong apa?" Ia menoleh dengan wajah tanpa dosa.
"gak jadi. Lupa."
"Dih, ngambek" Tsabit mengendik dalam keadaaan mulut berisi makanan. "Oh, aku ingat. Iya iya sama sama. tapi khusus buat kamu, itu gak gratis" tukasnya.
"Trus itu yang kamu makan apa" pamrih banget" sungut Idzar.
"Ini mah beda. Ini dari Aufa kan" Dari kamu belum"
Idzar menelan makanannya hanya untuk mengatakan "pemerasan" dengan nada dingin. Tsabit menanggapinya dengan santai. Ia sandarkan tubuhnya pada kursi sambil
menyilangkan kaki lalu mengigit lagi apel ditangannya dengan gaya elegan.
"Terserah kamu mau bilang apa. Aku cuma sedang berusaha menghargai jerih payahku. Kamu tahu" Ngerjain laporan kamu itu, kayak ngerjain skripsi yang gak
kelar kelar. Kayak nunggu jodoh yang gak kunjung dateng" ungkapnya mengebu gebu yang berujung curhat terdalam. Idzar menaikan satu alisnya. "nih" liat
mata pandaku! Setiap aku mau tidur, berkas berkas pekerjaan kamu bahkan masuk ke mimpi aku" tingkat stress Tsabit sepertinya mencapai puncak.
"Emang mau imbalan apa sih buat bayar perjuangan kamu itu" Idzar menoleh sejenak dan kembali menikmati makan siangnya.
"Tumben ngalah. Biasanya musti debat dulu baru mau ngalah" cibir Tsabit memangku tangan di atas meja.
"Cepetan, keburu aku berubah pikiran"
"Gak jadi. Mood ku lagi buruk. Lupain aja" dimasukan minyak angin terapy ditangannya ke dalam saku blezzer kemudian menyeruput sekali lagi teh hangat miliknya.
"Labil" Cibiran Idzar kepada Tsabit sungguh tidak berpengaruh dengan mood nya hari ini. Sepertinya ada yang salah dari hari ini. Apa semalam dia mimpi aneh" Atau
kurang piknik karena sibuk bekerja" Harusnya hari ini dia senang karena akhirnya kembali menempati posisi lamanya itu. Kesenangan itu berubah semenjak
kedatangan minyak angin keramat yang dikirimkan dari bocah ingusan yang beberapa hari ini menjadi rivalnya.
Tsabit hanya berdiam duduk dengan bahu merendah. Matanya kosong. Setelah Idzar menyelesaikan makan siangnya, ia beralih pada gadis disampingnya.
"Kalau ada something yang ganjel di hati, cerita aja. wajah kamu gak bisa bohong" ujarnya perhatian.
"Emang keliatan apa?" Idzar mengangguk. "Banget"
"Haahh.....entahlah aku pusing, dzar. Rasanya kepala aku ini pengen dicopot terus diinstal ulang deh" ungkapnya pasrah sambil memainkan sedotan di dalam
gelas. "Kayaknya aku butuh cuti beberapa hari buat nenangin pikiran. Ibarat besi, otakku ini udah karatan"
"Udah sholat belum?" Tanya Idzar mendapat anggukan kecil dari Tsabit.
"Kalau udah sholat tapi pikiran belum tenang juga. Mungkin ada yang salah di pikiran dan hati kamu" Idzar menatap sekeliling. Suasana cafe ini masih sama.
Tidak berubah. Keramaiannya tetap sama. Hanya saja, pandangan kagum yang biasa ia dapat dari para kaum hawa menjadi berkurang. Setelah mereka tahu sosok
pria tampan idaman mereka telah berstatus suami orang. Idzar mendengus kecil menyimpan geli dalam hati.
"Masih ada yang mengganjal?"
"Selama permasalahan aku belum menemukan titik solusi, aku gak bisa berhenti memikirkan itu, dzar" tegas gadis itu.
"Ketika kamu dihadapkan pada suatu masalah, Allah tidak memintamu untuk memikirkan itu. Sholatlah. Pusatkan hati dan pikiranmu kepada Dia"
Tsabit bergeming. Berusaha meyakini kebenaran yang Idzar paparkan padanya. Ia akui memang, ketika sedang menghadap Allah pun, pikiran dan hatinya masih
tertuju pada permasalahannya itu. Harusnya ia tahu, darimana permasalahan serta ujian itu berasal. Seharusnya ia kembalikan kepadaNya.
"Kira kira ada untungnya gak kalau aku ceritain masalahku ke kamu?" Tsabit menyingkirkan gelas kosong di meja.
"Ya gak harus cerita ke aku juga sih. Setidaknya kalau kamu udah ceritain permasalahan kamu kepada orang--yang kamu yakin bisa dipercaya--ada sedikit kelegaan
tersendiri. Hidup itu kan gak cuma habluminallah aja. Harus seimbang sama habluminannas. Ya gak?"
Tsabit mengangguk pelan tapi pasti. Bagi Tsabit, Idzar memang selalu benar. Kalau banyak anak muda sekarang yang beranggapan bahwa wanita selalu benar,
tolong diberi pengecualian. Kecuali pria yang duduk di sampingnya ini. Sama seperti istrinya, Aufa yang selalu menjadi moodboster seorang Tsabita ilana.
Tsabit menarik nafas mantap disertai tatapan pasti.
"Aku bakal ceritain masalah aku ke kamu. Tapi kamu janji jangan bilang ke siapa siapa. Oke?"
"Telat!" Jawab idzar cuek sambil menghempaskan tangannya. Tsabit menautkan alisnya bingung.
"Kok bisa?" "Kamu kelamaan meratapi masalah sih. Aku keburu dapet pencerahan, kan" Idzar mendengus kecil matanya melirik arah lain.
"Pencerahan apa?"
"Kalau kamu mau curhat, lebih baik ke sesama wanita aja. Ke istriku, misalnya" jelas Idzar penuh pengertian. "Aku khawatir, timbul perasaan yang seharusnya
tidak ada. Aku gak mau dilamar ketiga kali sama kamu. Nanti kamu makin gak bisa move on lagi"
Kebingungan Tsabit memberi sinyal ke otaknya. Sepertinya hari ini Idzar belum pernah merasakan bogem mentah melayang ke wajah tampannya itu. Ia pun memberi
Idzar tatapan membunuh. "Hellow~ mas tolong mirror ya. Siapa juga yang bakal punya perasaan sama kamu. Aku juga nyesel pernah khilaf ngelamar kamu. Lagian kamu itu gak cakep cakep
banget, dzar. Aku sih lebih suka pria dewasa kayak pak Dana" cibir Tsabit dengan aksen meremehkan. Wajahnya sengaja dibuat nyolot guna memancing emosi
Idzar. Biar pria itu mau mengurangi sedikit saja kenarsisannya.
"Kok kamu jadi sewot sih. Omonganku benar kan?"
"Iya benar. Tapi ujungnya gak enak banget" Tsabit memalingkan wajah sejenak sambi melipat tangan sebal. "Udah ah sana. Kamu bikin mood aku makin buruk.
Pergi sana. Hush! Hush!" Tsabit mengibas ngibas tangan ke arah Idzar mengusirnya pergi. Pria itu tertawa penuh kemenangan lalu bangkit dari kursi.
"Gak usah disuruh juga bakal pergi. Kelamaan disini malah bikin aku risih jadi pusat perhatian sekumpulan perempuan disana, noh!" Dagu Idzar mengarah pada
sekumpulan gadis berpakaian putih hitam tengah duduk sambil menikmati snack dihadapan mereka. Dari warna pakaiannya, menandakan status mereka,yakni sebagai
karyawan training di perusahaan ini. Sedari tadi sekumpulan gadis disana memang mencoba menarik perhatian Idzar dengan bertingkah yang berlebihan. Mulai
dari tertawa lah atau perilaku aneh lainnya. Dan itu justru membuat Idzar bergidik ngeri melihatnya. Jangankan Idzar, Tsabit pun melihatnya aneh. Mereka
tergolong masih anak ABG yang baru menginjak dewasa.
"Yakin risih" Bukannya seneng diliatin cewek cewek cantik?" Goda Tsabit bersama seringainnya. "Aku telpon Aufa, ah. Tiba tiba aku kangen dia. aku mau cerita
banyak deh sama dia" mata Tsabit melayang layang di udara lalu berputar putar sambil menggerakan bibirnya ke kanan dan ke kiri.
Mencium aroma mencurigakan, Idzar menarik satu alisnya kemudian tersenyum miring. "Mau ngadu" Silakan. Istriku gak cuma sholihah dan cantik. Tapi juga
pinter ngebedain mana yang jujur mana yang cuma adu domba." setelah itu Idzar tertawa pongah. Tsabit mencebik keki.
"Selamat. Kamu berhasil bikin mood ku ancur. Udah sana, ah! Gengges banget" kalau Tsabit sudah uring uringan seperti itu. Tandanya ia menyerah. Dan score
mereka berakhir 1-0 dengan Idzar (selalu) memimpin.
*** Hujan tak kunjung reda hingga siang ini. Mereka seperti tak putus asa jika harus jatuh berkali kali membasahi daratan bumi Allah ini. Membasahi tanah tanah
yang mengering. Mengairi bunga bunga maupun tumbuhan hijau yang hidup di permukaannya. Memberi sentuhan aroma hujan yang khas disertai sayup sayup angin
menerpa bersama rasa dingin yang menguliti tubuh. Begitulah rotasi kehidupan ciptaanNya. Saling memberi saling menerima dan saling memberi manfaat satu
sama lain. Sekali lagi Aufa menatap keluar. Melongokan kepala ke luar jendela memastikan apakah hujan masih mengguyur atap rumahnya. Rupanya masih. Ia menghela nafas
kemudian menarik diri dari jendela. Berjalan mondar mandir seraya memikirkan sesuatu. Tanganya mengetuk ngetuk dahi berusaha memikirkan cara agar bisa
tiba ke rumah ayah dan ibu mertuanya hari ini. Mengingat beberapa hari yang lalu Andita, selaku ibu mertuanya, Tapi Aufa biasa memanggilnya mama, memintanya
untuk mengunjunginya. Katanya ia merasakan kesepian ditinggal dua brondong kesayangannya, Dana dan Idzar. Belum lagi sang suami alias papa mertuanya harus
ke luar kota selama beberapa minggu untuk urusan pekerjaan. Tentu Aufa dengan senang menerima ajakan mama mertuanya itu. Mengingat dua hari setelah akad
nikahnya dengan Idzar, ia resmi mengundurkan diri dari pekerjaan mengajarnya. Keputusan yang berat, memang. Tapi keinginannya mengalahkan itu semua. Aufa
memiliki keinginan menjadi wanita yang bilamana suami pulang bekerja ia menjadi satu satunya wanita yang menyambutnya penuh kasih dan cinta. Menjamunya
dengan ketulusan yang tak berwujud. Menjadi pendengar yang baik kala keluh kesah sang suami terucap bersama penat penat yang membebaninya. Itu baru sebagian
kecil dari mimpinya pasca menikah. Mimpi seorang gadis Senja.
"Hallo, assalamualaikum, dzar" akhirnya Aufa memutuskan menghubungi idzar sekedar mengabari sesuatu. Setelah panggilan tersambung, terdengar salam dan
sapaan sayang menyambut salam yang ia berikan dari sana. Ia tersipu. Dasar perayu.
"Hari ini aku jadi ya ke rumah mama. Naik motor aja" Aufa berdiri di tepi ranjang sambil merapikan khimar berwarna gold-nya di depan cermin. "Masih hujan
sih, tapi gak apa apa. Aku pake mantel kok" jawabnya sambil menoleh ke arah jendela lagi. Hujan masih mengguyur lebat.
"Jangan lebay deh. Aku udah biasa pergi kemana mana naik motor. Bahkan ujan ujanan sekalipun" ada bau bau berat hati dari pembicaraan mereka. Aufa duduk.
Mendengarkan suaminya berbicara panjang lebar. Sesekali keningnya berkerut sesekali pula wajahnya merona. Idzar selalu punya cara membahagiakan istrinya
walau hanya sekedar umpatan romantis bersifat spontanitas.
"ojek online" Aku gak punya aplikasinya" Idzar menawarkan agar istrinya memakai jasa ojek online agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Begitu
alasannya. "Justru kalau naik ojek online, kamu mau, aku bersentuhan dengan yang bukan mahramku" Coba kalau tiba tiba abangnya ngerem mendadak?" Mereka nampak saling
berdebat. Padahal hanya masalah sepele. Hingga tanpa terasa perdebatan mereka memakan waktu hampir 20 menit. Tidak ada yang mau mengalah. Idzar tidak ingim
istrinya pergi sendirian tanpa seseorang yang menemani. Sedangkan Aufa ngotot ingin pergi sekarang juga, toh ia merasa bisa menjaga dirinya sendiri. Sungguh,
hari ini Aufa bahkan melupakan bagaimana seorang istri haruslah patuh terhadap perintah suaminya. Terlebih itu tidak menyalahkan syariat islam dan demi
kebaikan ia sendiri. Mau tidak mau Aufa pun menggunakan strategi lain.
Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa, dzar" Apa" Duh.. aku gak denger. Suaranya kok kresek kresek ya" sambil meringis aneh bergaya seolah ia seperti sedang kewalahan menghadapi sinyal--yang
kenyataannya tidak mengalami gangguan apa apa. "Tadi kamu ngomong apa" Suaranya putus putus. Duh.. aku matiin aja ya"
Kini hanya terdengar suara panggilan yang terputus.
*** Dengan perasaan yang sedari tadi mengganjal pikirannya, akhirnya Aufa memutuskan untuk berangkat sekarang juga. Terbesit dipikirannya tentang sikapnya
tadi. Apa ia terlalu berlebihan telah bersikap seperti itu terhadap suaminya" Pasti Idzar kesal istrinya berpura pura tidak mendengar. Aufa menarik nafas
seraya mengucap basmallah kemudian melangkah keluar.
Ketika akan menarik handle pintu rumahnya, suara ketukan memberhentikan tangannya yang berada di sana. Ia mengerjap ketika ketukan itu berbunyi kedua kalinya.
Kali ini dibarengi salam dari suara seorang wanita.
"Waalaikumsalam" jawab Aufa setelah membuka pintu menyambut seorang wanita berjilbab hitam mengenakan jaket kulit dan celana longgar panjang berwarna biru
dongker. Ia tersenyum ramah sambil menyengka keringat di area pelipisnya.
"Selamat siang" sapa wanita itu terdengar ngos ngosan. Aufa melihat sebuah helm dikepit diantara tangan kanan dan pinggangnya. "Siang, maaf anda siapa
ya?" "perkenalkan, nama saya Yuyun. Yuyun indrawati. Boleh saya bertemu dengan bu,..." wanita yang bernama yuyun itu nampak mengeluarkan ponsel. Dari benda
itu, Yuyun mengeja sebuah nama "Mufi..mufida Aufa" yuyun mendongak lalu tersenyum berbinar.
"Itu nama saya. Ada perlu apa ya, mbak?" Aufa tersadar sesuatu. "Ohya. Maaf. Mari silakan masuk" Aufa merentangkan tangan menyilakan Yuyun untuk masuk
tapi Yuyun menyergah perlakuan itu. "Maaf bu. Pak Idzar pesan kalau sebaiknya kita segera berangkat saja. Mumpung hujannya masih rintik rintik"
Aufa mengerutkan dahi kebingungan. Memangnya siapa wanita bernama yuyun ini" Wajahnya yang basah karena keringat atau mungkin hujan, nampak keibuan, tapi
tetap cantik. Diperkirakan usianya ya sekitar 30 sampai 35 lah. Kulitnya sawo matang khas kulit wanita Asia.
"Kalau boleh tahu, anda---"
Aufa mengatupkan bibirnya sambil menarik nafas ketika sebuah suara dering memotong ucapannya. Suara itu berasal dari saku jacket kulit Yuyun. Dengan gesit,
wanita itu mengambil ponsel lalu menerima panggilan tersebut. Aufa hanya berdiam memerhatikan sambil memasang telinga. Bukan maksud untuk menguping, tapi
pembicaraan antara Yuyun dengan si penelepon terdengar begitu jelas. Aufa menyimpulkan, sepertinya Yuyun tengah berbicara dengan atasannya. Mungkinkah
itu pak Idzar yang ia maksud"
"Maaf bu, pak Idzar ingin bicara dengan ibu" benar kan, itu dari Idzar. Kebetulan sekali. Aufa butuh kejelasan dari suaminya, terutama tentang kedatangan
Yuyun ke sini. "Hallo, istriku" sapaan itu terdengar hiperbola. Ia hafal sekali intonasi meledek itu milik siapa. Sudah pasti milik laki laki yang beberapa menit lalu
ia dzalimi karena sikap egoisnya menutup telpon begitu saja.
"Assalamualaikum" salam Aufa sekaligus mengingatkan suaminya tentang betapa pentingnya sebuah salam. "Iya, waalaikumsalam. Maaf"
"Gimana" Orang suruhan aku sudah datang" Kapan kamu mau berangkat?" Tanya Idzar dari sana. Sebelum menjawab, Aufa menyilahkan Yuyun untuk masuk terlebih
dahulu menggunakan bahasa tubuhnya. Yuyun mengangguk mengerti kemudian ia berjalan masuk ke dalam rumah setelah melepas jacketnya yang basah.
"Sudah aku duga, ini pasti ulah kamu. Coba dijelasin maksudnya kirim mbak Yuyun kesini apa?" Aufa duduk bersandar di sofa. Melirik sekilas Yuyun yang duduk
manis di sofa sebelahnya. Ia hanya menunduk sopan.
"Sebelum aku jawab, gimana kalau kamu jelasin ke aku dulu, tentang pembicaraan kita di telpon tadi. Kalau pakai nomor mbak Yuyun kok suaranya gak kresek
kresek kayak tadi ya?" Idzar sukses membuat Aufa menegakan posisi duduknya karena terkesiap. Bibir bawahnya tergigit menahan malu. Ia langsung menunduk
memegangi ponsel ke telinga.
"Maaf" hanya kata itu yang terlontar dari bibir Aufa. Tangan kirinya sibuk memilin milin khimar. Ia melirik Yuyun lagi. Wanita itu seperti menahan sesuatu
di mulutnya. Ah, pasti dia menahan tawa.
" maaf untuk?" "Aku cuma menghindari perdebatan kita. Berdebat itu tidak sehat" menyadari pembicaran mereka bersifat pribadi, Aufa berangsur pamit sejenak ke kamar kepada
Yuyun. Untung dia pengertian sekali. Kalau ada Diana, mungkin Yuyun sudah ada teman mengobrol. Sayangnya, Diana sedang keluar menghadiri pengajian dekat
rumah. "Sekarang aku tanya deh. Kalau misalkan kamu mencuri tapi uang hasil mencuri itu kamu sumbangkan ke yayasan yatim piatu, misalnya. Itu baik atau tidak?"
"Tidak" Aufa berdiri dibalik pintu kamar. Bersandar disana.
"Alasannya?" "Karena sebaik apapun niatnya kalau ditempuh dengan cara yang tidak baik, akan menjadi tidak baik. Berarti uang yang disumbangkan adalah uang haram" jawaban
lugas padat dan jelas terucap dengan wajah polos khas Aufa. Andai Idzar bisa melihat ekspresi polos itu. Jangan harap kedua pipinya selamat dari serangan
cubitan Idzar. "Cerdas. Itu artinya, kalau niat kamu baik, yakni menghindari perdebatan kita, tapi kalau cara kamu menghindar dengan cara seperti tadi, tentu akan menjadi
buruk. Apalagi pakai alasan suara putus putus"
Aufa menarik nafas berat. Ia akui sikapnya tadi memang keterlaluan. Ia sendiri jika diperlakukan seperti itu pasti akan kesal. Bahkan tidak ada salam yang
mengakhiri pembicaraan mereka tadi. Sungguh, penyesalan itu selalu datang di akhir. Kalau datang di awal, tentu manusia akan merdeka dari kesalahan. Selagi
menunggu istrinya berbicara, Idzar hanya diam. Ia sendiri juga merenungi apa apa yang sekiranya menyakiti hati dan perasaan istrinya.
"Fa,..." panggil Idzar lembut. Suaranya di telepon dengan suara asli tidak ada yang beda. Idzar memiliki jenis suara serak serak basah yang sedap didengar.
"Iya. Aku minta maaf. Aku janji gak akan ngulangin lagi" Suaranya merendah.
"Biasanya sebelum ada janji. Ada sanksi yang harus dijalani"
Jangan sebut Idzar kalau hidupnya tidak pernah lepas dari sebuah sanksi. Padahal sama istri sendiri. Aufa mendesah pasrah. "Iya aku tahu. Kali ini sanksi
apa lagi?" Tidak ada sahutan. Aufa tidak mendengar apa apa dari ponsel di tangannya. Cukup lama hingga Aufa memastikan bahwa suaminya masih berada dalam panggilan.
"Idzar,.." "Iya, hadir" "Sanksi apa?" "Maunya?" "Kok malah nanya balik. Aku sih maunya gak usah ada sanksi segala. Hehehe"
"Kamu menang banyak dong"
Aufa mendengus panjang lalu membuka sedikit pintu kamar. "Yauda kasih tahu sekarang. Aku udah harus berangkat. Kasihan mama nungguin. Mbak Yuyun juga keburu
jadi ager tuh di depan"
"Yauda, sana berangkat. Hati hati di jalan ya sayang"
"Loh sanksinya gimana?" Aufa mengendik. Andai ia tahu kalau suaminya itu sedang menyimpan tawa geli sekarang. "Nanti sepulang kerja aku kasih tahu. Asal
kamu siap" "Insya Allah, siap" Aufa bersiap menutup pembicaraan tapi Idzar keburu menahannya. Gadis itu memutar bola matanya lalu kembali fokus pada panggilan.
"Iya, Apalagi?"
"Aku mencintaimu siang ini dan nanti malam lalu malam malam berikutnya. Assalamualaikum"
Terukir sebuah senyum sederhana penuh arti dari wajah Aufa seraya menutup panggilannya. Tiba tiba otaknya kembali bekerja mengenai sanksi yang dijanjikan
suaminya. Hatinya menebak nebak sanksi konyol apalagi yang akan diberikan. Semoga bukan hal hal aneh. Padahal sanksi hukuman sebelumnya sewaktu Idzar dirawat
pun belum diberi tahu oleh suaminya tersebut. Mungkin hukuman hukuman membuat kehidupannya menjadi lebih berwarna. Who knows"
*** TBC... 24. Cintanya penghuni surge
Kertas kalender itu bergerak cepat merobek diri dan menyisakan tanggal baru. Tepat hari ini, tepat 30 hari sudah, dia terkurung dalam tidur panjang. Terpenjara
dalam kelopak mata yang menutup. Beristirahat dalam kurun waktu tertentu di ruangan menyeramkan ini. Siapa yang ingin berada disini" Tentu tidak ada. Rasanya
tidak enak. Seperti berteman sepi dan berkawan sunyi.
Dalam gelap dia melihat dua orang datang menghampirinya. Dua orang wanita cantik berbeda usia memakai baju serba putih dan jilbab yang menutup aurat mereka.
Keduanya cantik. Icha kenal betul dengan salah satunya. Dia Acha. Bersama wanita yang lebih cantik dari kakaknya itu. Wajahnya bersih putih seperti memiliki
cahaya di setiap garis wajahnya.
"Kak, kenalin dia adikku Icha" Acha mengenalkan adiknya pada wanita cantik yang kini berada dihadapannya. Icha terkesima melihat kecantikannya.
"Assalamualaikum Icha. Yuk! Ikut kita. Kamu pasti lelah tidur terus" wanita itu menggenggam erat tangan Icha. Tangan satunya masih menggenggam tangan Acha.
Icha masih tenggelam dalam kecantikan wanita itu.
"Kamu siapa?" Melupakan kewajibannya menjawab salam, Icha bertanya canggung.
"Aku Aufa" Icha tahu nama itu. Kenapa ia bisa lupa ya" Tapi sungguh, ia tidak mengenali wajah wanita bernama Aufa itu. Hanya tahu namanya saja.
"Ka Aufa?" Aufa mengangguk sembari mengulum senyum.
"Icha mau dibawa kemana?" Icha mempertahankan genggaman di tangannya sebelum ia tahu akan dibawa kemana dirinya.
"Udah, ikut aja Cha. Aku janji gak bakal ninggalin kamu lagi. Kamu gak bakal sendirian lagi disini. Aku sengaja ajak ka Aufa buat nemenin kita. Yuk!" Ajakan
Acha sukses memboyong langkah adiknya bergerak maju bersama langkahnya. "Kamu janji kan, gak bakal ninggalin aku lagi" Aku takut disini. Disini sepi" ungkap
Icha selagj berjalan bergandengan menyusuri jalan yang ia tidak tahu dimana. Jalanan itu seperti transparan. Tidak terlihat wujud daratan yang ia tapaki.
Ia seperti melayang. Semuanya putih. Tidak ada setitik pun warna yang mengotori tempat ia berada. Apa ini surga" Tentu saja bukan. Ia belum mati. Buktinya
kakaknya datang menemuinya untuk menjemput. Lalu ini dimana"
"Udah ya Cha, aku cuma bisa anter sampe sini aja. Kamu gak apa apa kan?" Mereka bertiga berhenti. Di tempat yang nuansanya sama. Sejauh mereka berjalan
tidak ada yang berubah. "Kita kan belum sampai, kamu mau ajak aku pulang kan" Ayo! Kita lanjutkan perjalanan" Icha menarik tangan kakaknya juga Aufa agar terus berjalan. Sayangnya,
keduanya tidak menanggapi. Mereka berdiri mematung sambil memasang waah sayu penuh rasa iba.
"Kenapa diem" Ayo kita pulang, Cha. Ka Aufa, ayo kita pulang"
"Maaf Cha. Kamu gak bisa ikut" ucap Acha sedih.
"Kenapa?" Mereka tidak menjawab. Hanya saling memandang satu sama lain. Setelah itu mereka pergi meninggalkan Icha sendiri ditempat. "Acha! Ka Aufa! Tunggu, Icha
ikut!" Icha berteriak sekuat mungkin mengiringi kepergian dua wanita itu. "Acha! Tunggu.. jangan tinggalin aku disini. Icha mau ikut.." teriakan itu berubah
lirih yang menyayat hati. Matanya menatap jauh mengikuti sosok yang perlahan menjauh semakin jauh dan mengecil lalu hilang seperto terbawa angin.
"Achaa........!!!"
"Astaghfirullah" teriakan itu membangunkan seseorang yang sedang terlelap dalam posisi duduk. Keadaan matanya menyipit karena kaget. Lalu ia mengucek kedua
matanya hingga pandangannya mulai jelas. Dan semakin jelas, ia mendapati sesuatu yang membuatnya semakin tersadar.
"Icha" Kamu sadar?"
Semoga ini bukan mimpi bunga tidurnya. Diperhatikan lagi sosok di ranjang hadapannya. Dan ini bukan mimpi. Icha terbangun dari komanya secara tiba tiba.
Bahkan tubuhnya mengangkat hingga kini ia berada dalam posisi duduk meluruskan kaki.
"Bang Syihab. Acha mana?"
*** Sekali lagi, sebuah do'a mampu mengalahkan takdir. Mereka saling tarik menarik hingga kekuatan do'a yang besar mengubah takdir suram yang menimpa manusia.
Ketika sebuah harapan pupus diterjang takdir buruk, maka do'a menjadikan satu satunya jalan terbaik.
Begitu yang terjadi pada Annisa atau Icha. Setelah selama hampir 1 bulan dirinya mengalami tidur panjang, akhirnya atas izinNya ia kembali sadar. Setelah
dokter Rio memeriksa kondisinya, Icha dinyatakan sadar total tanpa meninggalkan cacat. Syihab sempat pesimis, karena faktor utama yang menyebabkan adiknya
koma adalah adanya cedera di kepalanya. Besar kemungkinan tingkat kesadaran akan memakan waktu lebih lama bahkan menimbulkan cacat otak. Tapi berkat do'a
yang terus menerus dan tiada henti, keajaiban itu datang.
Kini perlahan Icha sudah bisa di ajak berkomunikasi meski hanya obrolan ringan yang tidak mengeluarkan banyak tenaga. Seluruh keluarga Syihab menyambutnya
dengan haru. Terutama Acha, ketika Syihab mengabari bahwa adiknya telah siuman, gadis itu segera menuju rumah sakit seorang diri. Karena mama dan Syihab
memang sudah berada disana sejak semalam. Dia dan ambu hanya berdua di rumah.
Setibanya di rumah sakit, betapa terharunya dia ketika mendapati adik yang dia sayangi tengah berbincang dengan Syihab. Terulas senyum kecil saat matanya
menangkap tawa kecil yang diciptakan adiknya itu. Ini adalah anugerah yang indah.
Setelah hampir satu jam keduanya kembali bercengkrama, membicarakan hal hal absurd atau membahas apa apa yang selama ini Icha lewatkan. Icha begitu antusias
ketika mengetahui tentang kedekatan Mario dengan Idzar.
"Aku kok gak percaya, ya?" ujar Icha dalam posisi duduk meluruskan kaki di ranjang berbicara dengan Acha. Sedangkan Syihab menemani mamanya mengurus administrasi
pembayaran. "Awalnya juga aku gak percaya. Tapi kamu lihat sendiri kan, foto yang aku tunjukin" Itu bukti kalau dua manusia ganteng itu saling kenal, Cha"
"Mereka sedekat apa?"
"Aku gak tahu" jawab Acha sambil menaikan bahu. "Niatnya aku mau interogasi Mario. Kamu mau ikut gak, Cha?" Raut antusias Icha berubah muram. Bahunya melemas.
"Tunggu aku pulih ya. Gak apa apa kan?"
Disaat itu juga Acha merasa bersalah. Harusnya ia tahu kondisi adiknya. Sekarang lihat, Icha hanya menunduk sambil menghela nafas berat sambil memilin
milin kerudung panjangnya. Acha tersenyum hangat.
"Kamu tenang aja. Kalau perlu, aku bawa Mario kesini" janji Acha mantap. "Lagian dia kan belum jenguk kamu. Juga aku" tambahnya.
"Kita kan gak kenal deket sama dia, Cha"
"Siapa bilang?"
"Aku barusan" Acha senang melihat adiknya sudah bisa terkekeh geli melontarkan celetuk menyebalkan.
"Yeh, serius juga" ia mencolek lengan Icha dengan sikut. "Tapi beneran deh. Aku bakal bawa Mario kesini. Walaupun kita gak kenal deket, tapi kalau aku
ceritain tentang ka Idzar, dia pasti mau. Serahin semua ke aku, Cha" Acha menepuk nepuk dadanya bangga sambil menarik sudut bibirnya.
"Iya deh iya" Begitulah seterusnya obrolan santai mereka hingga munculah seseorang dari arah pintu. Seorang gadis yang Icha kira adalah dokter pengganti dokter Rio.
Rupanya bukan. Gadis itu adalah dokter Zee. Ia berjalan sumringah menghampiri dua bocah kembar disana. Di tangannya membawa parsel buah untuk Icha.
"Assalamualaikum, duo cantik" sapanya sambil mengambil kursi lipat lalu membawanya di tepi ranjang, tepat di sebelah Acha.
"Waalaikumsalam" jawab mereka kompak. Khusus untuk Icha, ia memandang dokter Zee dengan tatapan aneh. Meskipun ia tahu dari Acha bahwa dokter hitam manis
dihadapannya ini adalah sahabat abangnya.
"Dokter Zee, mau ketemu abang ya" Abang lagi ke luar sama mama" tebak Acha asal. Dilihatnya Zee tengah menaruh buah bawaannya sebelum akhirnya ia duduk
di tempat yang ia siapkan.
"Aku mau ketemu kalian. Terutama sama si mungil ini" goda Zee. Matanya mengarah kepada Icha sembari tersenyum manis. Icha suka sekali melihat gingsul yang
muncul di sela gigi sebelah kanan dokter itu. "Bagaimana" Sudah merasa lebih baik?"
"Masih suka pusing dan terasa nyeri di bagian kaki, dok" jelas Icha kaku. Maklum, sudah lama semenjak Zee ditugaskan di Aceh, Icha masih harus menyesuaikan
diri dengannya. "Yang kuat ya. Lama lama itu akan hilang, kok. Selama kamu rajin minum obat dan,.." Zee sengaja menghentikan kalimatnya hanya untuk melihat wajah penasaran
dua bersaudara itu. Ia mengulum senyum misterius.
"Dan apa dokter?" Acha tidak sabaran memasang wajah malas.
"Dan selalu tersenyum setiap hari. Yeay! Semangat!" Seru Zee penuh semangat. Kedua tangannya mengepal diangkat ke udara layaknya seorang guru TK yang sedang
menyemangati muridnya. Alih alih menghangatkan suasana, aksi Zee malah mendapat respon datar dari Acha dan Icha.
Mereka saling perbandangan satu sama lain, seolah mempunyai pikiran yang sama. Tidakkah Zee tahu bahwa dua adik Syihab ini sudah akan beranjak dewasa.
Mereka tidak butuh penyemangat seperti itu. Mereka bukan lagi anak kecil.
"Aku garing ya?" Tanya Zee salah tingkah sambil menggaruk tengkuknya. Tidak ada jawaban, Zee menjelaskan lagi "aku biasa seperti itu kalau menyemangati
pasien. Aku kira ini berhasil" jelasnya diakhiri tawa hambar menahan malu.
"Ka Zee apa kabar" Icha seneng deh ketemu kakak lagi" sepertinya Icha tahu kesalah tingkahan yang dialami Zee, sehingga ia mengambil topik lain untuk menyelamatkannya.
Zee sempat bingung ketika sapaan 'kakak' tertuju kepadanya.
"Aku?" Icha mengangguk lalu tersenyum ramah.
"Eung,. Kabarku,.kabarku alhamdulillah baik" jawab Zee dengan sisa kebingungannya. Seingatnya, dulu ia pernah akrab dengan Acha dan Icha. Panggilan akrab
mereka padanya ya 'kak Zee' itu. Zee tidak menyangka kalau Icha masih mengingatnya. Berarti daya ingat Icha masih sangat baik. Berbeda dengan Acha, ia
belum terbiasa memanggil sapaan kakak kepada dokter yang mengidolakan abangnya itu. Tapi Zee tidak masalah akan hal itu.
"Kak Zee seneng gak ketemu Icha" Icha mau dong dipeluk sama kakak"
Bagi Zee, ini lebih dari menghadapi murid murid Taman Kanak kanak. Mereka butuh penyemangat yang sedikit berbeda. Dan siapa yang tahu bahwa sekarang Zee
merasakan bahagia yang luar biasa. Zee menyayangi mereka sejak dirinya bersahabat dengan Syihab. Ia menganggap Acha dan Icha seperti adiknya sendiri. Dan
ketika Icha memintanya untuk dipeluk, tentu Zee dengan senang hati menghamburkan dirinya ditubuh mungil Icha. Ini moment yang ia tunggu sejak dulu. Ia
juga ingat, terakhir kali memeluk mereka saat ia berpamitan kepada keluarga Syihab menuju Negeri Serambi Makkah. Kini ia kembali merasakan kehangatan peluk
dari mereka. Terlebih ketika Acha juga turut melibatkan diri dalam tautan tersebut.
"Dari kemarin sebenarnya aku pengen banget peluk kalian. Tapi aku takut" aku Zee masih memeluk Acha dan Icha. "Aku kangen sama kalian. Di Aceh, jarang
Sarjana Misterius 1 Pendekar Riang Karya Khu Lung Cewek 6
meja. Gadis itu memang pandai menyembunyikan kecerobohan dan petakilannya.
"Alhamdulillah.. akhirnya kamu sadar, nak. Ibu rindu sekali padamu" ujar Diana penuh haru mengekspresikan kebahagiannya. Idzar sendiri hanya mengangguk
sambil tersenyum seadanya. Wajahnya masih pucat. Memandang satu persatu manusia disekelilingnya.
"Idzar..." panggil Aufa lirih tak mampu membendung air mata bahagianya. Idzar menoleh. "Apa yang kamu rasakan" Apa masih terasa sakit?" Tanyanya ragu.
Matanya mengarah pada balutan perban tertutup plester menempel di kening sebelah kanan.
"Tidak" Hanya jawaban itu yang terucap. Itu pun sambil memasang wajah datar. Mungkin Idzar masih syok. Aufa mengerti kondisi suaminya. Sebisa mungkin ia tetap
tersenyum. "Bu Diana. Pak Cokro. Dan kamu, Syihab." mata Idzar menatap orang yang dipanggilnya bergantian. Ketiga orang itu menyahut melalui anggukan. "Bisa tinggalkan
saya berdua dengan wanita ini sebentar?" Pintanya. Mereka mengerti lalu pergi meninggalkan ruangan.
Setelah memastikan bahwa hanya ada dirinya dan Aufa diruangan ini, Idzar menatap tajam istrinya dengan begitu lama. Awalnya Aufa masih sanggup menahan
tatapan mematikan itu, tapi kian lama tatapan itu seperti sedang mengintimidasinya.
"Idzar..?" Aufa menyentuh punggung suaminya.
"Jangan sentuh aku" nada bicaranya aneh. Tidak seperti Idzar yang ia kenal. Ditambah aura dingin yang mengatmosfer dirinya. Tidak ada wajah bersahabat
sama sekali. Ada apa dengan dia"
"Kenapa" Aku kan istrimu"
"Iya aku tahu. Maka dari itu, jangan sentuh aku"
"Tapi kenapa" Kamu adalah mahramku. Kenapa aku tidak boleh menyentuhmu?" Protes Aufa tidak mengerti. Bibirnya nampak mengerucut.
"Ku bilang jangan ya, jangan! Paham?"
Kerucut di bibirnya seketika menipis. Sungguh ini bukan Idzar suaminya. Dia bukan Abidzar Ahda. Dia orang lain. Idzar tidak kasar seperti ini. Idzar tidak
mungkin membentaknya. "Lalu, untuk apa kamu menyuruh mereka keluar dan meninggalkan kita berdua disini?"
"Untuk memberi tahu kamu apa saja yang tidak boleh kamu lakukan selama merawatku disini, sebelum pulang" jawabnya. Tatapan Aufa pada pria itu sangat lama.
Menggeleng frustasi Seolah tak percaya dengan apa yang terjadi pada suaminya. Mengapa Idzar jadi sosok yang menyebalkan" Tapi Bukankah dari dulu dia memang
menyebalkan" Tapi yang ini lebih menyebalkan dari menyebalkan lainnya. Apa dia amnesia seperti yang ia lihat di sinetron sinetron" Si korban amnesia tidak
mengenali istrinya lalu sang istri ditindas lalu,--ah! Itu terlalu mendrama. Kalau Idzar amnesia, dokter Zee pasti sudah memberi tahu sejak awal.
"Kenapa mereka tidak boleh tahu?"
"Karena aku tidak mau mereka tahu"
"Ya, kenapa alasannya?"
"Kalau aku bilang tidak ya tidak" nadanya meninggi. Tidak normal untuk ukuran suara orang yang baru saja pulih. Aufa mengatup bibirnya lalu menunduk karena
takut. "Jangan cengeng! Aku tidak suka istri cengeng. Wanita itu harus kuat" sindir Idzar sinis.?"Aku mau makan" lanjutnya.
Setelah itu Aufa mengusap buliran air mata yang sudah lancang datang tiba tiba, kemudian bersiap menyiapkan makan untuk suaminya. Ia tidak boleh menyerah.
Tetaplah berpikir positif. Mungkin Idzar sedang syok karena kecelakaan yang menimpanya. Anggap saja ini adalah latihan kesabaran menjadi seorang istri
tangguh. Ia yakin Idzar tidak mungkin bersikap seperti itu kalau bukan karena suatu hal.
"Baiklah. Tunggu sebentar"
*** Dokter Zee sibuk menyimak deretan tulisan pada selembar kertas ditangannya. Diperhatikanya setiap kalimat disana. Wajahnya nampak serius. Alisnya menaut
membentuk garis. Sambil duduk bersandar pada kursi kerjanya. Mencerna maksud tulisan disana yang menurutnya jarang sekali ada surat perjanjian macam ini.
Bahkan ia sempat menahan tawa setiap membacanya. andai Aufa tidak berada di hadapannya sekarang, mungkin ia bakal tertawa terpingkal pingkal.
"Bagaimana menurut dokter?" Aufa memecah keseriusan Zee dalam membaca.
"Apa ini pak Abidzar sendiri yang menulisnya?" Diangkatnya kertas perjanjian tersebut ke udara.
"Iya. Bahkan saya yang berada disampingnya saat menulis"
Zee mengangguk. Dibacanya sekali lagi surat perjanjian tersebut.
Surat perjanjian yang harus dilakukan Mufida Aufa selama merawat Abidzar Ahda.
1. Tidak boleh menatap pasien(Abidzar ahda) terlalu lama selama melaksanakan tugas
2. Tidak boleh dibantu perawat lain kecuali terdesak
3. Tidak boleh banyak berbicara dengan pasien selama bertugas
4. Jangan banyak protes 5. Setiap pasien bosan, istri harus inisiatif menghibur pasien
NB: peraturan itu berlaku selama pasien dirawat di rumah sakit ini. Jika ada pelanggaran, akan ada sanksi yang menunggu.
Tertanda. Suamimu "Ini eksploitasi istri namanya" komentar Zee serius. Ini pertama kalinya Zee menemukan kasus pasien seperti ini. Bagaimana mungkin seorang suami memberi
aturan macam ini kepada istrinya. Sungguh, Zee membayangkan jika berada di posisi Aufa, lebih baik ia terbang ke negara api lalu mencari kitab suci.
"Apa suami saya baik baik saja, dok" Anda yakin dia tidak mengalami amnesia atau semacamnya?" Raut khawatir memenuhi garis wajah Aufa. Zee melihat raut
cemas itu. Ia mencoba tersenyum menenangkan Aufa. Mengangkat bahu lalu menaruh lengan diatas meja kerjanya.
"Begini bu Aufa" Zee menghela nafas panjang. "Pak Idzar mengalami trauma yang disebabkan kecelakaan yang menimpanya. Setiap manusia memiliki respon yang
berbeda. Dan kasus yang dialami pak Idzar ini adalah trauma emosional. Dimana si pasien mengalami syok, mudah marah, putus asa, khawatir dan perubahan
suasana hati" Aufa menyimak. Jadi semua ini karena ia masih dalam keadaan syok. Semoga saja ini hanya sementara.
"Menurut hasil pemeriksaan pun, pak Idzar juga mengalami trauma fisik. Seperti, kelelahan, energi tubuh melemah, sering pegal pegal dan nyeri. Trauma kognitif
pun, pak idzar juga mengalami. Salah satunya ialah pelupa" papar Zee jelas padat berisi.
Setidaknya apa yang diperbuat suaminya itu memiliki alasan yang masuk akal. Sekarang Aufa menjadi lebih mengerti kondisi Idzar. Yang awalnya ia sempat
frustasi dan tertekan serta syok karena perubahan sikap idzar, kini ia lebih bisa menerima dan menambah semangat untuk merawat suaminya meski harus terkekang
oleh aturan konyol yang dibuat olehnya. Untung saja aturan tersebut tidak melanggar ajaran islam. Untuk sementara ini, tak apalah ia tidak bisa memandang
suaminya berlama lama. Sejujurnya ia rindu pelukan serta keromantisan Idzar padanya. Mungkin belum saatnya. Dan yang terpenting bagaimana keikhlasan hatinya
menerima itu semua. ia selalu ingat, tidak ada keikhlasan yang mudah. Sama seperti sabar. Keduanya pun berbuah manis.
"Bagaimana cara menanggulangi atau mengobati trauma trauma tersebut, dok?"
"Jaga kesehatan pasien. Itu sudah pasti. Lalu beri dukungan dari orang lain termasuk keluarga dan terutama dari anda. Ia butuh support untuk meneruskan
kehidupannya. Kemudian libatkan dia dalam kegiatan sosialisasi. Jangan lupa alihkan pikiran negatifnya serta buang rasa takut yang acapkali menyerang.
Dan terakhir, berdoa dan memohon perlindungan kepadaNya" Zee tersenyum teduh. Seolah menciptakan ketenangan dari sana. "Saran saya, untuk penanggulangan
ini, dokter Syihab bisa membantu anda. Dia ahli dalam bidang itu" Zee memainkan pulpen di tangannya setelah menulis nulis apa yang ia ucapkan pada selembar
kertas kosong. Anggap itu kisi kisi penanggulangan pasien.
"Saran yang bagus. Mengingat dokter Syihab pernah menjadi dokter yang menangani ibu saya selama hampir lima tahun"
"Lima tahun" Lama sekali ya. Kalau boleh tahu, apa penyakit yang diderita ibu Anda?" Tanpa sadar aksi kepo Zee kumat.
"Dokter bisa tanyakan langsung kepada dokter Syihab" ujar Aufa tersenyum simpul. bagi Aufa masa lalu ibunya merupakan Aib yang tidak boleh orang lain tahu.
Aib ibunya sama saja seperti Aib dirinya sendiri. Kendati manusia itu baik bukan karena mereka baik. Melainkan karena Allah menutup Aib mereka rapat rapat.
Zee paham maksud perkataan Aufa. Diamatinya sekilas gadis muda dihadapannya. Cantik sederhana dan anggun. Pantas saja Syihab menyukainya. Siapapun yang
melihatnya pertama kali pasti akan jatuh cinta. Pak Idzar benar benar beruntung.?" Puji Zee dalam hati. Jika dibandingkan dengan dirinya, ah! Sudahlah.
Siapa yang mau dengan gadis berkulit cokelat ini" Menurut orang orang ia tidak lebih dari manekin wanita berbahan coklat lalu mereka disihir agar hidup
dan bersosialisasi dengan manusia bumi. Sungguh gambaram yang absurd.
"Baiklah. Kalau begitu saya permisi. Terimakasih atas penjelasannya. Jujur, perasaan saya menjadi lebih tenang" ungkap Aufa sumringah.
"Sama sama bu Aufa. Itu sudah bagian dari kewajiban saya"
"Maaf mengganggu waktu anda. Assalamualaikum" Aufa pamit lalu berjalan keluar dari ruang kerja Zee.
"Waalaikumsalam"
*** "Darimana saja?" Sambutan yang didapat Aufa ketika dirinya tiba di ruang melati III. Tempat dimana Idzar dirawat.
"Menebus obat. Ohya, kamu sudah sholat dzuhur?"
"Belum" jawabnya ketus sambil menolehkan wajah.
"Yuk! Kita sholat berjamaah. Kamu imami aku. Mau ya?" Aufa duduk di tepi ranjang suaminya.
"Kamu gak lihat kondisi aku" Sengaja menghina aku ya"
Aufa menarik nafas. Sisi lainnya sedang menyemangati agar jangan menyerah. Mungkin dengan membayangkan senyum Idzar, suasana hatinya mampu menetralisir.
"Aku bukan menghina. Justru aku mengerti sekali kondisi kamu. Islam tidak menyulitkan manusia untuk senantiasa beribadah kepada Allah. Jika kita tidak
sanggup berdiri maka duduklah. Jika tidak sanggup juga, maka berbaringlah. Jika tidak sanggup juga cukup lakukan dengan gerakan mata. Seumpama menggerakan
mata saja tidak bisa, maka yang bergerak seluruhnya adalah isyarat hati. Sakit tidak menjadi udzurnya shalat, karena selagi masih utuh akal dan hatinya,
pasti disana masih ada iman"
Idzar bergeming. Menelaah ketulusan yang terpancar dari wajah istrinya. Gadis itu tersenyum padanya dalam waktu lama. Keduanya tersadar sesuatu lalu menunduk
tiba tiba. "Maaf. Aku lupa peraturan pertama" ucapnya salah tingkah. Idzar sendiri baru menyadari tentang aturan yang dibuatnya.
"Kali ini aku maafin. Kalau begitu, bantu aku berwudhu" jawabnya datar.
"Apa tidak lebih baik bertayamum saja" Bagaimana dengan lukamu?" Gerakannya terhenti ketika akan turun dari ranjang. Idzar kembali ke posisi semula. Pria
itu menurut. Ada secuil kebahagiaan yang muncul menelusup ke dalam hati Aufa. Tak apa sikap dingin nan jutek yang diterimanya selama ia mampu menuntun suaminya agar
berpegang teguh kepada tali agama Allah. Karena hanya itulah yang akan membawa mereka pada kebahagiaan yang abadi. Tapi kalau diperhatikan, kejutekan Idzar
itu kian lama malah menggemaskan. Aufa tersenyum senyum sendiri mengamati Idzar yang tengah melakukan tayamum.
Usai menjalankan kewajibannya, Aufa membantu Idzar melepas baju kokonya. Padahal ia sendiri belum melepas mukenanya.
"Ingin berbaring atau bersandar saja?" Tanyanya.
"Bersandar" Diambilnya dua bantal sebagai penyangga punggung suaminya. Kini Idzar dapat bersandar nyaman. Selagi Aufa melepas mukenanya Idzar sempat memperhatikan.
Rautnya tersentak. "Jangan dilepas!"
Aktifitas Aufa melepas mukena terhenti. Menatap Idzar bingung. "Apanya?"
"Mukena atasnya jangan dilepas. Bawahnya saja"
Aufa meng-oh lalu mengurungkan niatnya membuka mukena atasnya. Kini ia hanya memakai atasan mukena berwarna putih dipadu rok lebar hitamnya. Setelah itu
aufa tidak tahu harus berbuat apa lagi. Suaminya sudah makan siang. Minum obat pun sudah. Badannya juga sudah dibersihkan. Andai perjanjian terkutuk itu
tidak ada, mungkin saat ini ia sudah memeluk Idzar memandang ketampanannya atau memperdengarkan lantunan ayat suci kepadanya. Sayangnya, dalam peraturan
ia tidak boleh banyak berbicara lama kepada pasien. Ia pun memutuskan untuk duduk di sofa mengambil qur'an sakunya bersiap meneruskan surah Al mulk.
"Kamu mau mengaji?" Idzar memerhatikan gerak gerik istrinya daritadi. Gadis itu mengangguk.
"Kenapa disana" Aku juga ingin mendengar. Kamu gak mau berbagi pahala sama aku?"
Ada binaran indah di mata gadis itu. Sontak ia berdiri tegak. "Kamu ingin mendengarku mengaji" Sungguh?"
"Gak usah berlebihan gitu. Aku cuma ingin mendapat pahala" ah, kenapa ketusnya belum pergi juga sih. Aku nya kan jadi makin gemes. Gerutu Aufa dalam hati.
"Baiklah kalau begitu. Apa aku harus membesarkan volume suaraku?" Tawarnya dari jarak sekitar dua meter dari ranjang.
"Tidak usah. Ambil kursi lipat itu, lalu kamu duduk disini" idzar menunjuk kursi yang disandarkan di pojok ruangan.
Aufa bergerak cepat siaga satu. Diletakannya kursi tersebut lalu bersiap untuk mengaji. Tiba tiba Idzar memberi mandat terlebih dahulu
"Kalau aku tertidur, jangan berbuat macam macam sama aku. Seperti mencium atau memeluk. Tetap lanjutkan saja ngajimu sampai selesai"
Sedetik kemudian Aufa berjengit sebal. Siapa juga yang ini memeluknya atau mencium. Jangankan meluk, menatapnya berlama lama saja tidak boleh. Kenapa kenarsisan
Idzar tidak mengalami trauma sih" Seharusnya penyakit over PeDe nya itu yang harus binasa.
"Tenang saja. Aku memegang janjiku kok. Doakan aku agar tidak khilaf"
Aufa menyimpan kekehan geli dalam hati ketika idzar mengirimnya tatapan berbahaya. Sungguh, sampai kapan ia harus mempraktekan diri menjadi perayu ulung
seperti ini" *** TBC... 21. Ikhtiar kedua?" Ruangan itu terasa aneh baginya. Menyeramkan. Sepi. Meskipun ramai akan perlatan medis yang super lengkap mengisi setiap sisi maupun sudut serta titik
tertentu. Gadis itu tak menyangka akhirnya ia berada disini. Duduk di kursi roda menatap sendu seseorang yang sedang terbaring. Memandangnya begitu lama.
Terdian tanpa kata. Seolah mereka percaya dengan kemampuan telepati. Berharap kekuatan super itu benar benar ada di dunia ini.
Gadis itu menarik nafas. Matanya sesekali berkeliling menatap penghuni ruang yang ia tempati sekarang, seolah tengah memerhatikan gerak geriknya. Baik
itu monitor EKG (elektrokardiogram), infussion pump, DC shock, ventilator, syring pump, atau nebulizer dan mesin mesin medis lainnya yang menyeramkan.
Mereka seperti tengah membullynya. Dan dengan mengenakan baju hijau steril yang biasa digunakan untuk penjenguk pasien ruang ICU (insentive care unit),
Acha berusaha menyentuh tangan adiknya. Menatapnya penuh kesedihan mendalam setelah akhirnya ia diizinkan menemui saudara kembarnya semenjak kecelakaan
dua minggu lalu. "Cha, lihat deh. Aku udah pulih. Sebenarnya aku udah bisa jalan. Tapi abang batu banget nyuruh aku pake kursi roda" sungutnya di sela sela perbingan satu
arah yang dilakukanya sejak tadi.
"Maafin aku ya Cha. Gak seharusnya kamu tidur panjang disini. Aku tahu kok yang kamu rasain. Pasti bete, sepi, bored, gabut"
Tak peduli Icha mau menanggapinya atau tidak. Tapi ia yakin Icha pasti mendengar apa yang diucapkan kakaknya. Digenggamnya tangan adiknya itu.
"Cha,.." nadanya berbisik merendah seiring raut sendu yang menyertai. "Abang udah bohong sama kita. dia gak bilang kalau orang yang kita tabrak itu adalah
ka Idzar dan istrinya. Aku sedih, Cha. Kalau kamu tahu kamu pasti juga ikut sedih"
"Kalau aku ga ngotot minta ditemuin sama korban yang udah kita tabrak, mungkin abang gak bakal ngaku. Dan mungkin kita gak bakal tahu yang sebenarnya.
Abang jahat banget ya, Cha" tiba tiba kepalanya menunduk lemah.
"Tapi kita lebih jahat"
Acha meratapi kejadian sebelum dirinya berada di ruang ICU ini. Kejadian dimana akhirnya ia dipertemukan dengan korban pengemudi mobil yang turut mengalami
nasib tragis karena ulahnya. Betapa terkejutnya ia kala itu, bahwa sosok yang ia temui adalah Idzar beserta istrinya. terkejut, sedih, rasa bersalah bersekongkol
menjadi satu tim. Mereka berkerja sama hingga membuat Acha tak sanggup menahan tangis. Ia pun meminta maaf atas kelalaiannya dalam berkendara. Ia menyesali
perbuatannya kepada sosok yang akhir akhir ini menjadi sosok idola barunya.
Beruntung Idzar dan Aufa memiliki hati yang lapang. Dengan kebesaran hati mereka, mereka justru menanggapi permintaan maaf tersebut dengan sikap bersahabat.
Terlebih Aufa, dengan kelembutan hatinya ia segera saja memeluk gadis berusia 17 tahun tersebut dengan erat. Dengan memilih jalan kekelurgaan, membuktikan
bahwa mereka sudah memafkan kesalahan yang dilakukan sepasang saudara kembar tersebut. Lagipula, ini juga bukan mutlak kesalahan Acha, Idzar menjelaskan
bahwa saat itu ia juga dalam keadaan mengantuk hingga terjadilah kecelakaan tersebut.
Dipenghujung rasa menyesal, ada kebahagiaan lain yang menyelinap kedalam diri Acha. Salah satunya ialah sepercik hikmah dari peristiwa ini. Kecelakaan
ini yang membawa Acha bertemu langsung dengan Idzar. Ia berpikir, bahwa Allah mungkin ingin mempertemukan dirinya dengan Idzar tidak hanya sekedar bertemu
begitu saja. Tapi Dia ingin pertemuan tersebut memberi secuil makna yang tertinggal. Sebuah makna yang mengatakan; ketika ujian mendatangimu, rangkulah
dia. Peluklah dia. Maka kamu akan tahu hadiah apa yang dia bawa untukmu.
"Dan kamu tahu gak, cha" Ka Idzar itu aslinya baik banget... ramah banget..." kesedihan itu berangsur pergi berganti menjadi keseruan Acha mendeskripsikan
idola mereka. "Udah ganteng, baik, sholih. Ya ampun Cha, ka Aufa itu beruntung kuadrat deh bisa milikin ka Idzar. Begitu juga sebaliknya. Mereka itu simbiosis
mutualisme. Sama sama saling menguntungkan" ungkapnya.
Acha mendelik menatap langit langit ruangan. Menaruh kedua tangan di atas ranjang. "Coba aja bang Syihab dapet istri yang seperti ka Aufa. Pasti mereka
bakal jadi runner up setelah ka Idzar dan ka Aufa. Dan Ohya! Tau gak"!" Tangan Acha refleks menepuk lengan Icha. Gadis itu sontak menutup mulutnya karena
takut. Lalu mengelus ngelus lengan yang terkena tepukannya.
"Maaf ya, cha. Refleks" Acha cengar cengir tidak jelas. Biasanya ketika mereka asik membicarakan sesuatu. Acha acap kali menepuk bagian tubuh adiknya.
Entah itu lengan ataupun pundak. Sedangkan Icha lebih suka menusuk nusuk bagian pundak Acha dengan telunjuk. Itu hanya gerakan absurd yang menjadi ciri
khas mereka. "Kamu tahu ka Zee kan, cha" Zeefana sahabat abang itu" Ternyata dia bertugas disini. Dia yang menangani ka Idzar sama ka Aufa. Oemji banget kan?"
"Coba aja dia yang nanganin kita. Udah aku comblangin deh mereka" Acha memanyutkan bibirnya. "Eh, tapi gak usah dicomblangin pun kayaknya mereka bakal
jadian deh. Soalnya nih, cha. Ka Zee itu kayaknya suka deh sama abang. Kelihatan banget dari sikapnya"
"Pokoknya kamu harus cepet sembuh ya, cha. Biar kita bisa sama sama comblangin abang sama ka Zee. Kamu gak mau kan abang jadi bujang lapuk" Kasihan dia"
Ada sorot harap yang besar dari matanya yang indah sehingga mampu menyulap tangis yang sempat membendung menjadi senyum haru. Senyum yang menyihir siapapun
yang melihatnya. Termasuk menyihir seseorang yang sedari tadi mengintip aktifitas mereka dari balik pintu berjendela.
*** "Kamu nangis?" Pertanyaan Zee dibalas gelengan keras dari pria yang kini berbalik dari aktifitasnya lalu berangsur duduk di kursi.
"Emang kedengeran?" Zee baru saja mengintip ke ruang ICU lalu menempelkan telinganya pada daun pintu. Setelah itu duduk di sebelah Syihab. "Aku gak dengar
apa apa" Syihab melirik Zee agak menyipit. "Emang gak kedengeran kok"
"Terus kamu nangisin apa barusan?"
"Siapa yang nangis?"
Lagi lagi Zee nenyikut lengan Syihab. "Gak usah pura pura. Aku tahu kamu nangis ngelihat dua adik kamu sedang berinteraksi disana"
"Mereka terlihat begitu saling merindukan. Tanpa perlu mendengarnya, aku tahu apa yang mereka bicarakan" Syihab memandang lurus ke depan. Mengamati pergerakan
angin yang tak nampak. "Menurutmu mereka membicarakan apa?"
Pertanyaan tersebut langsung saja membuat Zee mendapat serangan tatapan aneh dari Syihab. "Kamu mau tahu?"
Zee mengangguk hati hati.
"Mereka pasti membicarakan aku yang sudah berbohong. Kemudian membicarakan kecerobohan kamu, pastinya"
"Kok aku" Salahku apa?" Zee nampak kebingungan sambil menautkan alisnya.
"Kalau kamu gak keceplosan, Acha gak bakal ngotot pengen jenguk Idzar. Sekarang mereka pasti sedang membicarakan kita" Syihab mengusap wajahnya membuang
titik fruastasi. "Mana aku tahu kalau kamu merahasiakan identitas pak Idzar ke adik kamu. Lain kali konfirmasi ke aku dulu makanya. Biar aku bisa silent"
"Kamunya aja yang hiperaktif. Apapun yang menurut kamu menarik kamu ceritakan ke siapapun. Termasuk tentang Idzar ke Acha. Gimana Acha gak kepo akut" gerutu
Syihab. Meski sedang kesal, ia tetap terlihat bersahabat. Mungkin ini bedanya kesalnya orang sabar dengan kesalnya orang normal. Ya, menurut Zee, Syihab
merupakan manusia Abnormal yang memiliki kesabaran unlimited.
"Iya iya.. aku ngaku salah. Sorry" mau tidak mau Zee mengangkat bendera putih terlebih dahulu. Bibirnya menipis sambil mendengus pelan. "Tapi asal kamu
tahu ya, hab. Tanpa menunggu aku keceplosan dulu, kalau memang Allah menakdirkan kebohonganmu terungkap, pasti akan terungkap juga"
Syihab menyandarkan duduknya pada kursi stainless. Mencoba menarik kesimpulan dari apa yang dikatakan Zee.
"Aku cuma gak mau Acha banyak pikiran. Itu akan mempengaruhi kondisinya. Lagipula, aku berniat memberitahu kalau sudah waktunya kok" kelit Syihab.
"Berarti, sebelum niat kamu itu terlaksana dan sebelum aku keceplosan, Allah berkata lain, kan?" Zee berusaha meluruskan pemahaman Syihab. Bahwasanya jangan
pernah menunda untuk sebuah kejujuran. Syihab terdiam.
"Lebih baik suguhi mereka dengan pahitnya kejujuran daripada terlena dengan manisnya kebohongan, hab" tambahnya lagi. Syihab menoleh seiring kesimpulan
yang bisa ia tarik. Zee mengulum senyum berhias gingsul menawan khasnya.
"Untung saja kamu dan Acha sudah kenal cukup lama. Kalau tidak, jangan harap kamu dapet ampun dari dia soal kecerobohan kamu itu"
"Hei, jangan egois. Disini kamu juga salah. Gak sadar?" Zee meninju pundak Syihab. Pria itu agak meringis kesakitan. "Mukulnya gak bisa lebih kenceng lagi?"
Syihab mengusap samar pundaknya.
"Sorry" Zee memasang wajah melas "Yauda. Intinya kita sama sama salah. Kita harus secepatnya minta maaf"
"Oke. Kapan?" "Setelah Acha keluar dari ruangan ini"
"Oke. Deal" Keduanya saling menatap mantap satu sama lain. Mensepakati rencana mereka. Satu tangan mereka mengepal saling dihadapkan. Tanda bahwa rencana ini resmi
akan segera terlaksana. "Kalian lagi ngapain?"
Suara itu memecah aksi peresmian ala ala mereka. Muncullah Acha dari ruang ICU memasag wajah datar seraya mengamati. Otomatis Zee dan Syihab menormalkan
keadaan. Bersikap seperti tidak ada apa apa.
"Hei, manis. sudah menjenguknya?" Sapa Zee ramah lalu berdiri menganbil alih handle kursi roda. "Gimana" Unek uneknya udah dikeluarin" Pasti udah lega
dong ya" Zee membawanya menyusuri koridor menuju ruang anggrek II. Syihab mengekor perjalanan mereka.
"Udah. Aku cerita banyak sama Icha. Semuanya..." ungkap gadis itu puas sambil tersenyum kecil.
"Semuanya" Waw!" Zee membulatkan bibirnya takjub. "Aku boleh tahu gak kamu cerita apa aja?" Sikap ramah Zee belum sebanding dengan mood buruk Acha hari
ini setelah Syihab membohonginya. Alih alih gadis itu menjawab, dia malah memutar bola matanya malas sambil bersendekap.
"dokter yakin mau tahu?" Tanya Acha agak menolehkan kepalanya ke belakang. Zee mengangguk semangat.
"Yakin?" "Iya yakin" "Yakin banget apa yakin aja?" Sambil membelakangi Zee, Acha menyimpan senyum geli. Sedang Zee sibuk berpikir keras karena semakin dibuat penasaran oleh
gadis remaja satu ini. "Yakin pake banget. Puas" Ayo! Kasih tahu" paksanya agak ngotot tapi ada rengekan di pertengahan pintanya.
"Suer?" "Achaa.. jangan iseng" Syihab yang mengekor mulai buka suara mengingatkan.
"Cie ngebelain" celetuk Acha sambil membenarkan kerudung motif polkadotnya.
"Aku cerita ke Icha tentang misi yang bakal kita laksakan. Yaitu nyomblangin bang Syihab sama dokter Zee. just it"
Dan seketika Zee berharap bisa menyulap dirinya menjadi queen elsa lalu membekukan dirinya sendiri menjadi es. Atau mungkin mempunyai pintu kemana saja
milik doraemon kemudian ia akan pergi sejauh mungkin.
*** Tidak buruk bagi Aufa jika harus menjalani aktifitasnya selama kurang lebih 16 hari di rumah sakit. Selama ia menikmati, tentu tidak akan ada beban yang
menyiksa. Allah telah memberinya kesembuhan dan nikmatnya ujian. Tak lupa ujian tambahan lainnya yakni kondisi suaminya. Belum lagi mengenai surat perjanjian
konyol itu. Seumur umur baru ada perjanjian sepihak yang dibuat seorang suami terhadap istri. Tidakkah Idzar tahu bahwa itu amat menyiksa" Selama peraturan
itu terlaksana, Aufa memang menikmatinya. Ia jalani dengan ikhlas Tapi, terkadang ada saat dimana Aufa begitu merindukan suaminya. Merindukan kehangatan
suaminya. Merindukan kasih sayang dari wajah dan senyum yang tercipta dari Idzar. Kapan keindahan itu akan tiba"
Mungkin hari ini. Karena pagi tadi, dokter Zee menyatakan bahwa Idzar sudah bisa pulang. Idzar bisa menjalani proses pemulihan di rumah. Suasana tenang
dan damai, itulah yang dibutuhkannya. Tentu itu suatu kabar baik bagi mereka. Setidaknya, kehangatan Idzar yang Aufa rindukan, perlahan mendekatinya.
"Aku udah hubungi Sina, nanti dia yang akan menjemput kita" ucap Aufa di sela kegiatannya melipat dan memisahkan pakaian Idzar ke dalam tas. Sedari tadi
gadis itu sudah sibuk menyiapkan barang barang yang harus dibawa pulang. Mulai dari selimut, baju ganti, handuk dan lain lain.
"Hm.." "Mama dan papa juga nanti ikut dengan kita. Mereka juga ingin berkunjung ke rumah ibu"
"Hm.."
Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ohya, tadi ka Dana nelpon kamu. Berhubung kamu masih tidur. Aku angkat aja. Katanya sih, dia gak bisa ikut nemenin kamu pulang. Ada rapat penting. Mungkin
sampai malam" "Hm.." "Kata dokter Zee, surat perjanjian itu juga harus ditiadakan secepatnya" khusus pertanyaan yang ini, Aufa memasang wajah jahil.
"Hm,..-- eh! Apa katamu tadi?" Idzar terhentak lalu menoleh.
"Haaa... kena kan, kamu!" Aufa menjentikan telunjuk di depan dengan wajah ceria. "Aku tahu kamu gak memperhatikan ucapan ku dari tadi kan" Cuma bisa ham,
heum, ham, heum aja"
"Aku kan lagi sibuk, fa" Idzar fokus lagi pada ponselnya.
"Sibuk sama handphone kamu?" Sungut Aufa cemberut masam. Idzar tidak menjawab. Cukup dengan menunjukan layar ponsel yang menampakan bacaan surah An naba
disana. Rupanya Idzar tengah bermuroja'ah. Aufa mengangguk sambil mengembungkan pipinya karena malu.
"Aku mau dengar point keempat di surat perjanjian kita" perintahnya dingin. Aufa langsung saja berpikir keras sambil mengingat ngingat. Telunjuknya nampak
mengetuk ngetuk dahi. "Point keempat itu, Jangan banyak protes" jawabnya melemah.
"Pinter! Dan itu yang baru saja kamu lakukan" Idzar mengakhiri muroja'ahnya. Menatap kemalangan istrinya duduk di sofa ditemani tas tas besar berisi pakaian
pribadinya. Ia tahu semua itu Aufa yang mengerjakan. Bahkan karena kesibukannya, Idzar hampir tidak bisa tidur. Ia hanya memejamkan mata sekedarnya. Sesekali
membuka satu mata untuk menyimak aktifitas istrinya semenjak subuh. Kini gadis itu menghela nafas panjang.
"Perjanjian itu seharusnya sudah berakhir. Beberapa jam lagi kita akan pulang, dzar. bahkan kamu masih saja bersikap dingin kayak gitu. Kamu seneng ya
lihat aku tersiksa gini?" Ungkapnya disertai rengekan protes.
"Jadi, kamu gak ikhlas ngelakuinnya?"
"Bukan itu. Kamu gak paham. Kalau aku gak ikhlas, mungkin sejak awal aku udah tolak perjanjian itu. Aku hanya,...." merindukan kamu. ada sesuatu yang tertahan
sehingga Aufa hanya bisa mengatakannya dalam hati.
"Hanya apa?" Idzar menarik sudut bibir kanannya.
"Lupakan" gadis itu menghempas tangan ke udara lalu beranjak hendak berjalan menuju kamar mandi. Namun langkahnya berhenti kemudian menatap protes terhadap
suaminya. "Ohya, Aku heran. Selama perjanjian itu ada, sering kali aku melanggar. Tapi sampai sekarang pun kamu belum memberi ku sanksi apa apa. Kamu lupa
atau memang kamu gak tega sama aku?"
Sambil mengambil jaket levi's lalu mengenakannya dipadu dengan T-shirt berwarna biru dongker ia mengatakan "aku sudah menyiapkan hukuman yang pas buat
kamu" Sambil mengambil jaket levi's lalu mengenakannya dipadu dengan T-shirt berwarna biru dongker ia mengatakan "aku sudah menyiapkan hukuman yang pas buat
kamu" "Oh ya" Hukuman apa?"
"Nanti kamu juga tahu. Dan kamu jangan pernah berharap bisa lepas dari hukuman itu" ancamnya. jika yang mengatakan itu orang lain, Aufa mungkin sudah khawatir.
Tapi berbeda jika Idzar yang mengatakannya. Hukuman seperti apapun jika itu berasal dari suaminya, ia sanggup. Tak perlu takut hukuman seperti apa, ia
yakin suaminya bukan manusia yang kejam atau semacamnya. Terkecuali untuk perjanjian ini.
"Hhh.. baiklah.. aku menunggu" Aufa berusaha cuek atau lebih ke pasrah dan berlalu meninggalkan Idzar.
"Kamu mau kemana?" Tanyanya. Aufa berbalik lagi.
"kamar mandi. Mau ikut?"
Idzar menegakan posisi duduknya didukung wajah menegang seraya berpaling untuk menutupi salah tingkahnya. Selagi memalingkan wajah, tangannya menghempas
hempas ke arah Aufa. bahu gadis itu naik turun menahan tawa geli.
"Ke kamar mandi kok bilang bilang. Ngajak ngajak lagi" gumam Idzar setelah kepergiaan istrinya.
Selang beberapa menit setelah Aufa pergi. tiba tiba terdengar teriakan yang menggema memecah indera pendengaran Idzar. Pria itu terkesiap.
"Ya Allah... Idzar tolongin aku....!!!"
teriakan itu terdengar lagi. Dan itu berasal dari arah kamar mandi. Itu suara istrinya. Buru buru Idzar berjalan cepat menuju sumber suara. Dengan langkah
sedikit tertatih, tak menyurutkan kepanikannya.
"Fa, kamu kenapa?" Tanyanya panik setelah mengetuk pintu kamar mandi berulang ulang.
"Tolong, dzar!!"
"I..iya tolong apa" Kamu gak lagi ngerjain aku, kan?" Idzar semakin panik. Saking paniknya sempat sempatnya ia berpikir negatif terhadap istrinya.
"Engga. Kamu masuk aja. Aku gak bisa bergerak sama sekali" Idzar mencium bahaya dari teriakan itu. Ketika akan membuka pintu, ia terhenti lalu mengurungkan
niatnya. "Sebaiknya kamu pakai baju kamu dulu. Aku gak siap ngelihat kamu dalam keadaan,---"
"Gak usah ngeres! Aku masih pake baju lengkap. Cepetan tolong aku" potong Aufa menggema.
"O..oke!" Jawab Idzar tergagap gagap.
ketika pintu itu terbuka, Idzar mendapati istrinya tengah berusaha keras menahan deras air yang berasal dari pipa. Ia melihat kran air yang tergeletak
di ubin kamar mandi. Kemungkinan krannya mengalami kerusakan sehingga ketika Aufa memutarnya terlepaslah kran tersebut dari saluran air. melihat kondisi
istrinya yang basah kuyup di sekujur tubuh, dengan sigap Idzar mengambil alih aktiftas istrinya itu. Kini giliran Idzar yang berusaha keras menahan air
dari pipa. "Kamu panggil petugas rumah sakit cepet" instruksi Idzar sambil meringis menahan rasa dingin yang perlahan menjalar. Pakaiannya sudah setengah basah. Aufa
berbalik ketika hendak keluar.
"Kamu yakin gak apa apa aku tinggal?" Tanyanya dengan sisa kepanikan.
"Iya gak apa apa"
"beneran?" "iya sayang.. kamu mau kita berdua basah kuyup disini?"
"Oh. Iya iya. Tunggu sebentar ya" kini giliran Aufa tergagap gagap menjawabnya. Ternyata rasa panik itu bisa berkibat fatal ya. termasuk mereka berdua.
Tapi ngomong ngomong, barusan Idzar mengatakan apa" Sayang katanya" Apa ini pertanda baik" Semoga saja. ditengah kepanikannya, Aufa sempat tersenyum ketika
sapaan sayang itu kembali terdengar dari mulut suaminya.
*** "Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. kami berjanji tidak akan ada kejadian seperti tadi. Sekali lagi kami mohon maaf yang sebesar besarnya" ucap
permohonan maaf dari pria sekitar berumur 30 tahun berpakaian seragam. Ia salah satu pihak rumah sakit.
"Tidak apa apa, pak. Saya juga berterimakasih atas bantuan pihak rumah sakit yang sudah menolong saya dan istri saya"
"Sama sama, pak. Kalau begitu kami permisi. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Sepeninggal pria berseragam itu, Idzar menghampiri istrinya. Ia tengah terduduk berkumul selimut tebal. Meski sudah berganti baju pun gadis itu tetap merasa
kedinginan. Idzar menempati sofa disamping istrinya. Menatapnya iba.
"berbaring di ranjang aja ya biar enakan?" Tawarnya. Aufa menggeleng. Bibirnya nampak pucat.
"Kalau aku peluk, mau?" tanyanya lagi. Disertai senyum mematikan khas Idzar yang tidak pernah kadarluarsa sampai sekarang. Bahkan effeknya masih sama.
Menimbulkan reaksi aneh di dalam diri istrinya. Gadis itu menggeleng ragu. Matanya melirik ke kanan kiri.
"Yakin" Emang gak kangen sama aku?" Alis tebal beriring itu saling naik turun. apa tadi katanya" Gak kangen" Mustahil. Hampir tiga minggu Aufa menahan
rasa rindu dari pria Senja kesayangannya. jika ditanya seperti itu, tentu saja Aufa ingin segera memeluk erat tubuh tegap sempurna pria disampingnya.
"kalau kangen bilang aja. pake malu malu. Seneng ya bikin aku gemes sama kamu" Aufa menunduk menutup wajahnya dengan selimut. Hanya untuk menutupi semburan
hangat berwarna merah yang muncul di wajahnya. Idzar tidak boleh melihat ini. Melihat perilaku tersebut Idzar malah terkekeh geli. Moment ini amat ia rindukan.
"Oh, Aku tahu. pasti minta dipeluk duluan"
"Ish! Kata siap,...pa"
pada kata terakhir harus tersendat ketika Aufa mendapati tubuh tegap itu menghambur ke dirinya. entah pada detik keberapa gadis itu sudah berada dalam
pelukan hangat suaminya. Terasa sekali tangan kekar itu melingkar sempurna mengunci tubuh mungil Aufa. Detak jantung yang berdegup kencang saling memacu
diantara keduanya. Aufa masih diam kaku dalam perlakuan tersebut. Jujur, kerinduan ini malah membuatnya semakin tak berdaya. kira kira sudah berapa lama
ia tidak merasakan pelukan ini" Bahkan rasanya masih sama. Hangat dan nyaman. Mata onyx itu mengerjap bodoh.
"Kok diem" gak mau meluk balik?"
Setelah agak terkaget sehingga Aufa refleks mengangkat kedua tangan lalu mendaratkannya pada punggung kokoh suaminya. Di eratkannya pelukan itu. membakar
kobaran rindu yang membara. Menelusupkan kasih dan cinta diantara mereka. gadis itu tersenyum.
"Kenapa gak dari dulu sih, kamu kayak gini" masih dalam posisi memeluk, Aufa menumpahkan kerinduan itu lewat rengekan protes.
"ciee nungguin" Mereka saling menarik diri satu sama lain. Lalu menatap lekat keduanya. "kangen ya dipeluk sama orang ganteng?" Idzar menyeringai jahil.
"Situ ngerasa ganteng?"
"iya dong" "Coba sini aku liat, dimana letak gantengnya" tantang Aufa mengangkat dagu sombong. Bukan Idzar namanya kalau menyerah gitu aja. Dibiarkannya Aufa menangkup
wajah tampan milik pria bernama Abidzar Ahda dengan kedua tangan.
"Nih lihat! Bilang aja mau modus pegang pegang muka aku" cibirnya kemudian mendapat cubitan di pinggangnya. ia meringis kesakitan. "Aduh! Sakit, fa"
Setelah itu hening. Aufa terdiam melihat Idzar sibuk mengusap bekas cubitan istrinya. Ia merasa ada satu hal yang harus ia pertanyakan kebenarannya. Melihat
sikapnya yang kian berubah kembali menjadi sosok Idzar sebenarnya, tentu ada alasan yang membuatnya seperti itu. Apa trauma yang dialaminya telah hilang"
atau karena insiden kamar mandi tadi yang mampu mengusir trauma suaminya itu"
Sambil membantu mengusap pinggang Idzar, Aufa menyiapkan diri menanyakan sesuatu.
"Idzar..." "Ya, hadir" "Tentang surat perjanjian itu,.. bagaimana?" Tanyanya hati hati.
"jam berapa sekarang?" Idzar malah bertanya balik. Aufa menengok ke kanan tepatnya ke sudut dinding. "Jam 11 kurang 15 menit"
"Kita pulang jam berapa?"
"mungkin 15 menit lagi"
"Oh" Hanya jawaban 'oh'" Sedang dia belum menjawab pertanyaan Aufa barusan. gadis itu berjengit aneh. "Kamu belum jawab pertanyaan aku, dzar" Aufa mengingatkan
lagi. "Aku sudah melupakannya"
Jawaban itu tentu saja merangsang gerak bibir Aufa untuk tertarik membentuk sebuah senyuman. Ketika ia ingin mengatakan sesuatu, Idzar keburu melanjutkan
ucapannya "lupakan surat perjanjian itu. Aku akan semakin berdosa jika membuat istriku tersiksa. Aku ingin melupakan semua perjanjian itu. Walaupun sebenarnya
masih ada waktu 15 menit lagi untuk masa berlaku perjanjian itu, tapi aku tidak sanggup menanggung rindu meski menunggu lima belas menit sekalipun. Jadi,
lupain aja ya sayang" jawaban itu seiring bersamaan dengan wajah Idzar yang mendongak bersama senyum hangat.
"Lantas, apa yang kamu ingat saat ini?"
idzar bergeming sejenak. Ada kerutan halus memenuhi keningnya. Matanya berkeliling menatap langit langit. ekspresi berpikirnya itu sungguh memancing minta
dicubit. "Ikhtiar kita yang tertunda"
Dari sekian banyak memory, kenapa hanya itu yang ia ingat" Kini Idzar sedang senyum senyum sendiri tidak jelas. Tak mempedulikan ekspresi terkejut istrinya
yang berlebihan itu. "Eh, tunggu! Ada satu lagi deh" Idzar menarik lagi punggung tangan Aufa menggenggamnya erat. "Apa?"
"Hukuman buat kamu"
"Lah kok gitu" Katanya udah dilupain?" Aufa mengerucutkan bibirnya sebal. Menghempas genggaman ditangannya. Semoga trik ngambek ini bisa membuat Idzar
berubah pikiran. "Yang namanya hukuman tetap aja hukuman. Enak aja mau lari dari hukuman. Menang banyak kamu mah" ah, trik Aufa gagal. Pria itu tetep kekeh dengan pendiriannya.
"Lagian, kamu mau hukum aku kayak gimana sih" Disetrap sambil pegang kuping gitu" Atau lari muterin lapangan" Atau hormat bendera?"
"Terlalu berat itu mah. Kamu kan abis sakit" senyum Idzar kali ini seperti senyum seorang penjilat. Pasti ada makna terselubung dibalik senyum itu.
"Terus apa?" "Gak surprise namanya kalau aku kasih tahu sekarang" mungkin hanya Idzar seorang di dunia ini yang menjadikan sebuah hukuman menjadi kejutan menyenangkan
baginya. "Cuma hukuman kok segala di rahasiain. Kamu tuh aneh tahu gak" gerutu Aufa sambil melipat tangan.
"Tapi suka, kan?" Ekspresinya menggoda. Aufa berbinar.
"Bangeett....."
"Mau lagi?" "Mauuuu....." Aufa mengangguk bahagia nan sumringah.
"Bayar" Seketika sumringah itu melebur bersama kegondokan. "Berapa?"
"Gak terima pembayaran uang" celetuknya sombong. Dengan gaya sok jual mahal. Sedang Aufa nampak kebingungan menunggu penjelasan selanjutnya.
"Tapi pakai ikhtiar kita yang kedua"
Hari itu juga Aufa mendadak ingin menginap saja di rumah sakit. Kelakuan Idzar semakin absurd dan mesum. Bagaimana bisa ikhtiar kedua. Ikhtiar pertama
saja masih dalam rencana.
"I say No!" *** TBC.... 22. Jerat Pesona mu Jika bisa dihitung, entah berapa banyak keindahan yang tercipta di malam ini. Dimulai ketika Senja perlahan pergi meninggalkan singgasana berganti menjadi
kegelapan dalam rembulan. Lalu menjelma semakin larut dan larut. Mereka berjalan hati hati menuju malam sepertiganya. Sepertiga kegelapan yang sunyi. Hanya
sayup sayup angin merasuk ke sumsum tulang. Peredarannya mengintip melalui celah jendela bertirai merah muda. Menerbangkan benda itu bergerak sesukanya.
Sehingga menjadikannya bak alarm yang membangunkan seorang gadis.
Setibanya kembali ke kamar, ditatapnya wajah pria yang sedang terlelap dalam mimpi indahnya. Mengagumi keindahan kelopak matanya, cembung seperti lengkungan
pelangi. Lalu turun ke hidung. Bagian wajah paling disukainya. Tak hanya menawan, tapi juga mempesona. Tak ayal jika ia selalu menjadikan bagian wajah
itu sebagai tempat menuang gemas akan tingkah konyolnya. Ia tersenyum. Kira kira kekonyolan apa lagi yang akan diperbuat" Bahkan gadis itu amat menyukainya.
baginya, itu sebuah keromantisan yang berbeda. Tak harus dilambangkan dengan seikat bunga mawar atau makan malam di restaurant mewah highclass. Cukup dengan
interaksi sederhana yang melibatkan Tuhan diantaranya. Ada yang lebih romantis dari itu" Sepertinya tidak.
"Bangun imam besar.. makmum mu sudah menunggu" bisik gadis itu mendekati telinga lelakinya. Belum ada respon. Hanya liatan liatan kecil tercipta darinya.
"Hei, imam besar.. ini sudah waktunya qiyamul lail. Seneng ya bikin makmum menunggu?" Gadis itu duduk di tepi tempat tidur king size, sehingga menimbulkan
guncangan ringan. Si pria terbangun samar. Melihat sekilas seseorang yang sudah mengganggu tidurnya. Gadis bermukena putih tersenyum manis menatapnya.
Apa ia sedang berada di surga" Ah, bukan. Gadis itu istrinya.
"Lima menit lagi" jawabnya ogah ogahan. Matanya kembali terpejam rapat. Gadis itu menggeleng halus.
"Tapi makmum mu ini tidak bisa menunggu meski satu detik sekalipun. Ayo bangun." Pintanya tetap mempertahankan kelembutannya.
"Lakukanlah Qiyamul lail, karena itu kebiasaan orang sholih sebelum kalian. Bentuk taqarub, penghapus dosa, dan penghalang berbuat salah. Kamu gak lupa
sama Hadist itu kan, dzar?" Diguncangkan perlahan tubuh lelakinya itu. Sehingga beberapa detik kemudian sepasang mata terpejam itu terbuka sedikit. Dalam
keadaan menyipit ia berusaha bangkit dari posisi tidurnya.
"Iya aku ingat. Astaghfirullahaladzim.."
"Nah gitu dong.. yuk! Kita sholat" ajak Aufa sumringah. Ada rasa gemas ketika melihat Idzar dalam keadaan bangun tidur sambil mengucek mata. Terlihat seperti
anak kecil. Setelah penglihatannya benar benar sempurna, Idzar terdiam ditempat menatap istrinya lama. "Malah diem. Ayo ambil wudhu. Mau aku temenin?"
"Kita lagi dimana sih?" Idzar menatap luas kamar mereka. Mengerut kebingungan. "Dikamar. Pasti nyawa kamu belum sepenuhnya ngumpul deh" tebak Aufa gemas.
Idzar meng-oh lalu tersenyum senyum sendiri.
"Aku kira di surga. Lalu, bidadari dihadapanku ini siapa?"
Rayuan di sepertiga malam ini adalah keindahan berikutnya yang Aufa dapat. Bersama senyum yang terpatri rapi menghias wajah Idzar. Ia amati gerakan istrinya
jika sedang malu. Berusaha menyembunyikan rona merah dengan menunduk. Gadis itu yakin sekali bahwa Idzar masih memperhatikan salah tingkahnya. Ia tak habis
pikir, apa selagi tidur ia bermimpi bertemu bidadari"
"Mau sampai kapan tersipunya" Katanya mau nemenin aku wudhu" ucap Idzar. Sukses menyadarkan Aufa dari kecamuk tak berdaya akibat ulah gombalnya. Ia buru
buru beranjak untuk menemani suaminya.
Selagi berjalan menuju kamar mandi, ada sesuatu yang aneh menarik perhatian Idzar. Ia membiarkan Aufa berjalan lebih dulu kesana. Diperhatikannya cara
berjalan gadis itu. Tertatih dan agak pincang.
"Fa,.." gadis itu berbalik. Menyadari bahwa Idzar masih dibelakangnya. "Iya, hadir" gaya menjawab khas Idzar tertular padanya.
"Kaki kamu belum pulih?" Idzar sudah berdiri disamping Aufa. Wajahnya agak khawatir. Takut takut terjadi sesuatu pada istrinya. Aufa menggeleng kikuk sambil
menggigit bibir bawahnya.
"Yakin?" Bukan gelengan atau anggukan, melainkan hanya kebisuan yang diberikan Aufa. Bibirnya mengatup rapat. Seperti menahan sesuatu. Sebenarnya hatinya berkecamuk.
Apa sebaiknya ia katakan saja pada Idzar bahwa saat ini ia sedang merasakan perih pada titik bagian pusat tubuhnya. Itu yang menyebabkan ia berjalan tertatih.
Haruskah Idzar tahu hal ini" Bukankah ini juga hasil perbuatannya semalam"
Ya, malam itu adalah malam dimana mereka melakukan ikhtiar pertamanya. Menautkan ikatan cinta dalam tasbih di bawah naunganNya. Merajut gejolak gejolak
yang membara menjadi penyatuan yang sempurna. Memenuhi setiap hak dan kewajiban dari mereka berdasarkan perintahNya. Berharap pahala dariNya. Dan nikmat
terbesar dariNya. Nikmat yang hanya bisa didapatkan dari sepasang insan kala mereka menyatukan hati dan cinta di atas namaNya.
Idzar baru menyadari satu hal. Yang ia ingat malam itu, ketika istrinya nampak cantik dari biasanya bak seorang putri. Tak hanya cantik tapi juga menggairahkan.
Tapi di hari ini gadis itu kembali anggun berbalut mukena putih. Serupa dengan putih wajahnya. Sosok sholihah yang menawan hati dan memporak porandakan
labirin hatinya. Jika kata kata mampu mendeskripsikan keindahan wanitanya itu, maka Idzar tak punya cukup banyak kamus untuk merangkai ribuan kata guna
mengagumi keindahan tersebut. Wanita yang memberinya pengalaman pertama yang tidak bisa dibayangkan bahkan difilosofikan dengan apapun. Ditatapnya sekali
lagi wanita disampingnya. Meski terbalut senyum, ada kesakitan terlihat samar dari matanya.
"Terasa sakit sekali ya?" Tanya Idzar ingin tahu sambil menebaknya hati hati. Apa semalam ia terlalu kasar" Pikirnya. Kedua alis Aufa mencembung ke atas
seperti merengut. Bibir bawahnya masih tergigit malu. "Sedikit"
Benar dugaan Idzar. Istrinya tengah menahan rasa perih di bagian pusat tubuhnya itu. Itu wajar bagi seorang gadis. Pada awalnya memang seperti itu. Tapi
mungkin untuk selanjutnya tidak lagi. Setidaknya itu yang ia dengar dari pengalaman pertama abangnya, Dana. Idzar tersenyum.
"Lain kali aku bakal lebih lembut lagi" meski hanya kalimat sederhana, tapi itu saja sudah mampu membunuh setengah dari rasa takut Aufa. Didukung senyum
lembut Idzar yang tak pernah jenuh bermukim disana. Bagi Aufa, Idzar seperti pohon rindang yang besar dimana ia bisa berteduh sesukanya.
"Maaf ya. Ini pertama kalinya. Aku amatir sekali" ujar Aufa merendah seraya menunduk (lagi). Idzar berdecak kecil. "Kamu pikir, aku engga" Kamu yang pertama
dan terakhir untukku. Lalu aku yang pertama dan terakhir juga untukmu. Selamanya akan begitu."
Ditaruhnya tangan Idzar mendarat di kedua bahu istrinya. Menatapnya lekat. "Kamu akan ku jadikan satu satunya wanita yang membuat penduduk surga cemburu.
Bahkan bidadari sekalipun. Mengerti?" Bersama mata elangnya, Aufa seperti membeku dalam jerat pesona Idzar. Terlebih ketika lontaran mantra ajaib itu melesat
bebas dari bibirnya. Idzar, kenapa kamu hobby sekali membuatku kehabisan oksigen. Apa kamu tahu kalau harga oksigen itu mehong" Bersyukur Tuhan memberinya
secara cuma cuma. Batin Aufa menggerutu.
"Kok bengong" Belum kelar terpesonanya?"
Mata Aufa masih membulat sesekali mengerjap. Bibirnya agak menganga bodoh. "Aku sedang memikirkan sesuatu" idzar memiringkan wajahnya. Menuntut ingin tahu.
"Kamu kapan mau wudhu?"
Idzar melepas genggaman terhadap istrinya lalu mengangguk pasrah seraya mengangkat kedua tangan ke udara. Sekali lagi ia harus menyadari bahwa seorang
Aufa tidak bisa lama lama di ajak bercumbu rayu. Mungkin kapastitas memory romantismenya hanya terisi beberapa MegaBite.
Usai berwudhu, Idzar menemui Aufa tengah duduk bersimpuh menunggunya. Bersiap mengambil posisi sholat. Ketika akan mulai, Idzar berhenti lalu berbalik.
"Ngomong ngomong, kamu udah 'mandi', kan?" Tanyanya sambil memberi tanda kutip lewat gerakan jari di atas kepala. Aufa bersungut sebal. "Ya udah lah. Kamu
pikir?" Idzar terkekeh geli menutup mulutnya. "Ya,. kali aja kamu ketagihan trus mau lagi biar sekalian mandinya. Aku siap kok"
"Emang sanggup?" Aufa bersendekap sombong. Idzar agak takjub melihat sedikit perkembangan istrinya. Kosa kata memancingnya perlahan meningkat. Jujur, Idzar
suka sekali itu. "Dih, nantangin. Ya sangguplah, mau nyoba lagi?" Sambil menarik turunkan kedua alis bersama seringai nakal, Setelahnya Aufa hanya bisa menahan geram sambil
menangkup wajah dengan telapak tangan.
"Subhanallah Idzar, kapan kita mulai sholat?"" Aufa mengerang menahan sabar.
"Iya sayang iya. Anaknya bu Diana ini ngegemesin banget sih kalau lagi marah" ujarnya bersama sisa tawa yang berakhir.
*** Begitu berat bagi Acha jika harus pulang meninggalkan adiknya disini. Sampai hari ini Icha belum juga sadar dari komanya. Sepanjang hari selama ia menunggu,
ia hanya bisa menghitung hari lalu menebak nebak siapa tahu sebuah keajaiban datang dan membangunkan saudara kembarnya itu. Dokter Rio menyatakan bahwa
Acha sudah boleh pulang. Kondisinya semakin membaik. Dan itu artinya ia harus meninggalkan Icha sendiri di ruang yang ia sebut ruangan menyeramkan itu.
Meskipun mama dan papanya menghibur bahwa Icha tidak akan sendirian, ada mereka yang akan menjenguknya. Tetap saja, kehilangan sosok Icha seperti kehilangan
setengah dari jiwanya. Siapa yang bisa ia ajak bersenda gurau kalau bukan Icha. Siapa yang akan sibuk mengomentari gaya berpakaiannya yang jauh dari kata
kekinian itu kalau bukan Icha. Dan siapa yang bisa ia ajak menggila bersama mengagumi sosok ka Idzar kalau bukan Icha. Dan semua aktifitas gila lainnya.
Kini gadis itu tengah duduk manis memperhatikan ambu tengah merapikan pakaiannya untuk dibawa pulang. Selagi menunggu mama dan papa juga Syihab, Acha dan
ambu masih menunggu di ruang anggrek II ini.
"Mama sama papa kapan dateng sih, mbu" Acha bosen" keluhnya sambil bersandar di sofa meniup kasar ujung lekukan hijabnya.
"Sabar atuh neng geulis, sebentar lagi juga sampai. Udah kangen sama rumah ya" ejek ambu mengusap punggung Acha lembut. Acha mengangguk tapi detik berikutnya
dia menggeleng. "Percuma di rumah juga kalau gak sama Icha. Gak ada yang bisa di ajak curhat" sambil memanyunkan bibirnya lalu bersendekap.
"Kan bisa curhat ke ambu atau ke mama" ambu melanjutkan kegiatan melipatnya.
"Beda, ambu. Curhat Acha itu urusan cewek"
"Loh, emang ambu sama mama bukan cewek?"
"Ambu sama mama itu wanita. Bukan cewek" kelit Acha. Bagaimana pun juga mencurahkan hati ke sesama wanita yang seumuran akan lebih menyenangkan karena
saling merasakan satu sama lain. Kalau curhat dengan wanita yang lebih tua, yang ada mereka lebih mendominasi pembicaraan. Bisa jadi ujung ujungnya diceramahin.
Dan Acha menghindari itu.
"Ya sudah kalau begitu curhat ke Allah saja atuh. Lebih privasi dan terjaga kerahasiaannya" ambu menyarankan. Acha diam sambil memahami. "Malah bisa dapet
solusi yang insya Allah tepat akurat dan tidak mengecewakan" tambahnya lagi.
"Iya ambu. Makasih ya. Cuma Allah yang mengerti hati Acha seperti apa" gadis itu termenung menatap isi ruangan. Pikiranya entah tengah berlari kemana.
"Udah atuh, jangan sedih lagi. Sebentar lagi neng kan pulang. Nanti ambu masakin rolada kesukaan neng Acha ya"
Acha mengangguk sambil mengulum senyum. Ia pun beranjak dari sofa lalu berjalan mengelilingi ranjang tidur dan meja di sampingnya. Ambu yang melihatnya
terheran heran. "Nyari apa neng?"
"Ambu lihat handphone Acha gak?" Acha menunduk mencarinya di kolong ranjang.
"Oh hape?" Ambu menyebutnya begitu. Biar lebih gampang diucap katanya. "Hape neng ada sama ambu. Tadi pas neng tidur, hapenya mau jatuh. Ya sudah ambu
simpen aja" "Ambu baik banget sih.. makasih ya" setelah menerima ponsel dari ambu, Acha kembali duduk manis di sofa mulai berkutat dengan dunia maya dalam genggamannya.
Tak lama berjumpa dengan akun sosial media, membuat Acha kewalahan menerima puluhan notif yang muncul dari akun akunnya. Kedua tangan itu mulai gesit mengoperasikan
setiap notif yang ada. Mulai dari membalas kommentar di instagram. Membalas chat dari teman temannya di Line dan juga aplikasi BBM.
Tak menunggu waktu lama. Semua notif habis ia tangani. Kini ia beralih melihat beranda instagramnya. Ia lebih suka bermain di dunia instagram karena jangkauannya
lebih luas ketimbang yang lain. Selagi asyik menscroll timeline, kegiatan tangan gadis itu terhenti pada sebuah akun yang menampilkan foto. Itu foto adik
kelas selaku ketua osis di sekolahnya, Mario. dia tengah berfoto dengan seseorang yang sangat familiar di matanya.
"Mario sama siapa nih?" Acha menyipitkan mata guna mempertegas. Di sana terlihat Mario mengenakan kaos abu abu bersama laki laki memakai kaos biru gelap
Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipadu jas hitam. Semakin diperhatikan laki laki itu seperti..
"Ka Idzar" Ka Idzar sama Mario" Kok bisa?" Acha hampir memekik tak percaya
"Ka Idzar" Ka Idzar sama Mario" Kok bisa?" Acha hampir memekik tak percaya. Sampai sampai ambu terkaget karena volume suaranya yang mungkin mencapai sidratul
muntaha. Ambu hanya bisa menggeleng geleng melihat putri majikannya itu kalau sudah berkutat dengan gadget. Dunia seperti miliknya sendiri, yang lain ngekost.
"Ya ampun ka Idzar ganteng banget di sini. Sumpah! Kok mereka bisa kenal sih. Ish! Mario diem diem lo kenal sama gebetan gue" seru Acha semakin histeris.
Disaat seperti ini, ia kembali teringat Icha. Pasti Icha juga merasakan hal yang sama seperti dirinya. Dan mereka pasti akan berteriak histeris melihat
dua cowok ganteng bersatu dalam satu frame. Sangat disayangkan Icha tidak bisa melihat ini semua. Banyak kejutan menyenangkan yang terpaksa ia lewati tanpa
kehadiran Icha disini. "Alhamdulillah..bakti sosial berjalan sukses dan lancar. Syukron buat ikhwan sholeh di samping gue ini. Merinding denger tilawahnya masya Allah. Semoga
ukhuwah terus terjalin ya mas bro. Sukses terus #latepost" Acha membaca caption yang ditulis mario dalam fotonya. Dia menyimpulkan bahwa Idzar menjadi
pengisi tilawah qur'an pada acara bakti sosialnya di salah satu yayasan panti asuhan Al-Maghfirah sekitar beberapa bulan lalu. Ia nampak mengingat ngingat
sesuatu. "Subhanallah.. berarti waktu Mario ngajak gue sama Icha ikut baksos, ada ka Idzar disitu" Dan begonya gue, gue malah nolak buat ikut. Astaghfirullah Acha..
bodoh banget sih lo" runtuk Acha membodoh bodohi dirinya sendiri sambil menepuk jidat.
"Mario, siap siap gue serbu. Gue bakal kepoin lo seharian" gumam Acha. Gerak tangannya begitu cepat menyimpan foto tersebut. Suatu saat foto itu akan ia
tunjukan pada Icha. Terutama Mario. Mau tidak mau, ia harus secepatnya menemui Mario untuk menanyakan kedekatannya dengan Idzar.
"Eh, ngapain nanya ke Mario segala" Mending tanya ka Idzar langsung aja. Sambil menyelam minum air" Acha terkekeh geli sendiri. Kemudian ia menghela nafas
matanya tak henti menatap ketampanan sosok Idzar.
"Ada apa neng" Daritadi ambu liatin neng kadang senyum senyum sendiri terus marah marah sendiri trus ngomong sendiri. Neng sehat?" Ambu selesai merapikan
pakaian ke dalam tas lalu berangsur duduk di sebelah Acha.
"Ambu, liat deh. Ganteng banget ya" Acha menunjukan foto pada layar ponselnya kepada ambu. Wanita hampir lansia itu memerhatikan sambil menyipit. "Yang
mana neng" Kanan apa kiri?"
"Kalau menurut ambu yang ganteng kanan apa kiri?" Acha malah bertanya balik.
Agak lama untuk menyimpulkan bagi ambu. Acha masih sabar menunggu. "Ah, ambu bingung. Dua duanya ganteng. Tapi kalau yang disebelah kanan, mirip sama cucu
ambu dikampung. Namanya Sholeh"
"Kalau menurut Acha gantengan yang kiri, mbu"
"Emang mereka siapa neng" Pacar neng Acha?" Celetuk ambu sambil tersenyum menggoda. Acha hanya cengar cengir jenaka.
"Bukan, ambu. Mereka temen Acha. Lagian Acha gak mau pacaran ah. Acha pengen kayak ka Idzar ini, mbu" kata Acha sambil menunjuk sosok Idzar di foto. "Dia
gak pacaran, tapi langsung menikah. Keren kan" puji Acha sumringah.
"Masya Allah. Ya bagus atuh. Ambu seneng kalau begitu. Mama juga pasti setuju kalau neng punya prinsip kayak gitu. Semoga neng Acha sama neng Icha dapet
jodoh yang sholeh dan bertanggung jawab. Aamiin"
"Jangan lupa ganteng, mbu. Biar gak malu di ajak kondangan. Aamiin" celetuk Acha lalu mengusap tangan ke wajahnya.
"Ada ada aja si neng" ambu mengeleng geleng pasrah sambil tersenyum.
*** "Kamu yakin mau mulai bekerja lagi?"
Ini pertanyaan ketiga kalinya yang dilontarkan Aufa kepada suaminya. Ia tidak yakin dengan kondisi Idzar yang baru saja sembuh. Ia khawatir terjadi sesuatu
pada suaminya itu. Walaupun berulang kali pula Idzar meyakinkan istrinya bahwa ia sudah merasa lebih baik. Ia tidak ingin meninggalkan tanggung jawabnya.
Terlebih, status barunya kini yang mengharuskan ia agar semakin giat mencari nafkah untuk istri dan anaknya kelak.
"Iya sayang. Kamu nanya sekali lagi, aku kasih hadiah. Mau?"
Aufa mengangguk sambil tersenyum. Siapa yang tidak mau hadiah. Pikirnya.
"Kamu yakin mau kerja lagi" Kamu yakin mau kerja lagi" Kamu yakin mau kerja lagi" Kamu yakin mau kerja lagi?" Pertanyaan itu sengaja diulang beberapa kali
sambil memasang wajah meledek.
"Kamu yakin mau kerja lagi" Kamu yakin mau ker,---"
Ocehan itu terhenti begitu saja bersamaan dengan mendaratnya sebuah kecupan singkat pada bibir mungil Aufa. Kecupan yang hanya berdurasi beberapa detik,
tapi menimbulkan effek berhari hari bahkan berbulan bulan. Kecupan singkat dari suaminya itu menjadi akhir celoteh celoteh pertanyaan Aufa yang membuat
Idzar risih. Terbukti, gadis itu tak lagi berceloteh. Bergeming menatap kosong. Ia baru tersadar setelah tangan Idzar mengusap permukaan bibir bawahnya
dengan lembut seraya tersenyum miring.
"Suka sama hadiahnya?"
"Dasar pencuri" desis Aufa menahan malu yang mendera. Ia merasakan hawa panas berputar di sekitar wajahnya saat ini. Dan itu karena ulah Idzar. Ia menarik
nafas panjang lalu berlanjut memakaikan dasi suaminya.
"Biasa aja dong wajahnya. Gak usah di imut imutin gitu"
"Emang udah imut dari lahir. Baru tahu ya"
"Ohyaa?" Waaww" sontak Aufa mengendik aneh melihat gaya hiperbolis suaminya. Nada berlebihannya terlalu ekspresif. Alih alih terkesima, malah terlihat
menyebalkan dimata Aufa. "Untung kamu suami aku, kalau engga.." ancaman Aufa harus bergantung ragu.
"Kalau engga apa" Mau dikasih kayak semalam lagi?"
Mau tidak mau, Aufa harus menggunakan jurus terakhirnya, yakni cubitan ringan yang mendarat di pinggang Idzar hingga pria itu meringis karena geli. "Sakit,
sayang" "Maaf. Abisnya kamu hobby banget godain aku" Aufa telah selesai memakaikan dasi ia beralih merapikan kemeja putih yang membalut tubuh suaminya itu. "Itu
jadi hobby baru ku" "Ohya. Setelah sampai kantor jangan lupa sholat dhuha. Lalu bekalnya dimakan. Jangan pulang terlambat. Hubungi aku kalau sudah tiba di kantor ya." alih
alih menjawab pesan istrinya, Idzar malah tersenyum sendiri menatap kagum gadisnya. Pagi ini terlihat cantik dengan balutan gamis sederhana bermotif bunga
dipadu khimar pet berwarna merah. Sederhana namun istimewa dimatanya. Seperti memandang ornamen nyata buatan Tuhan yang indah. Bak ukiran patung dewi dewi
yang ada dalam novel yang suka ia baca. Memperindah senyum yang setiap pagi menyambutnya kala waktu subuh tiba. Dan akan menyambutnya kala tiba waktu Senja.
Keindahan yang tak pernah habis ia nikmati.
"Kamu dengar aku kan, dzar?" Aufa memastikan dirinya tidak berbicara sendiri
"Kamu dengar aku kan, dzar?" Aufa memastikan dirinya tidak berbicara sendiri.
"Iya ibu negara. Aku dengar. Lalu, apa lagi?" Idzar telah rapi berdiri mantap menghadap istrinya. Menggenggam erat tangannya. Aufa menatap langit langit.
"Jangan lupa mencintai aku setiap hari" ujarnya mengulas senyum sederhana. Idzar membalas dengan tarikan senyun simetris. "Hanya setiap hari" Tidak ingin
selamanya?" Ia mendapat gelengan kecil istrinya.
"tidak ada yang abadi di dunia ini, dzar"
"Kamu lupa adanya akhirat" Satu satunya tempat abadi. Kita bisa abadi disana. Insya Allah"
Sedetik kemudian Aufa berniat mengucapkan sesuatu tapi Idzar keburu mendahuluinya.
"Aku mencintaimu seperti Senja yang membawanya menuju sepertiga malam"
Dan tak ada kalimat penyambung lain. Hanya interaksi mereka melalui sorot mata yang penuh arti. Menyirat ketulusan dan kasih sayang mereka. Saling menyihir
satu sama lain. Saling menebar pesona yang menahan kaki untuk melangkah pergi dari jerat ini. Idzar bahkan tak menyadari bahwa jam bekerjanya hampir habis.
*** TBC... 23. Kembali Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bosan adalah sikap jenuh terhadap sesuatu yang berulang terus menerus. Entah itu sebuah aktifitas maupun keadaan.
Tapi mungkin akan berbeda pemahaman jika sesuatu yang berulang itu terjadi pada kita seperti melakukan bernafas. Pernahkah kita bosan untuk bernafas" Padahal
aktifitas tersebut dilakukan secara terus menerus setiap detik dalam kehidupan sehari hari. Pendapat lain juga mungkin mengatakan bahwa bernafas itu suatu
kebutuhan. Manusia tidak mungkin bosan untuk itu. Karena itu adalah kebutuhan utama makhluk hidup.
Dari sinilah pemahaman tersebut saling berkesinambungan. Ketika kita merasakan kebosanan terhadap sesuatu. Entah itu kegiatan mereka sehari hari yang meyangkut
pekerjaan, misalnya ataupun yang lain. Maka jadikanlah kegiatan tersebut suatu kebutuhan. Kebutuhan yang jika kita tinggalkan sedikit saja akan berpengaruh
terhadap diri kita sendiri. Kurang lebih seperti itulah gambaran sikap kita menghadapi kebosanan yang saat ini merajalela berpetualang ke dalam diri kita.
Dan seperti itulah yang terjadi pada gadis cantik berpashmina biru dongker memakai blezzer hitam senada dengan celana kantornya, sedang duduk manis di
kursi yang--sejak beberapa minggu ini--setia menemaninya. Wajahnya nampak serius menyimak deretan perpaduan huruf dan angka yang terpatri di layar datar
bernama laptop. Jemari lentiknya bergerak teratur diatas papan keyboard mengikuti instruksi otak si gadis. Bibirnya sesekali bergerak gerak mengeja kata
perkata yang tertera di layar itu. Di dekatnya ada banyak tumpukan map berbagai macam warna tengah berdiri seperti sedang menyemangati gadis itu yang perlahan
menampakan raut raut kejenuhan. Ia menghembus nafas berat ketika matanya melirik sekali lagi map map tersebut. Diambilnya satu map berwarna merah untuk
segera dikerjakan. Dua detik kemudian seseorang sudah berdiri disampingnya lalu memerhatikan gadis itu.
"Tsabit" Ia menoleh mendapati pria gagah yang ia sebut sebagai papa muda berada didekatnya. Berdiri sempurna sambil menaruh tangan kebelakang. "Iya, pak Dana. Ada
yang bisa saya bantu?" Tawarnya hormat setelah beranjak dari kursi lalu menatap penuh hormat.
"Setelah jam makan siang, kamu boleh kembali ke posisi kamu sebagai assisten saya" begitu kata kepala menagernya. Mendengar hal itu, Tsabit seperti tengah
menikmati sirup aroma leci kesukaannya ketika dahaganya tidak terkendali. Begitu menyegarkan dan ini yang ia nanti nanti sejak beberapa minggu ini. Betapa
pengertiannya pak Dana. Mungkin ia merasa kasihan dengan nasib assistennya yang tersiksa karena pekerjaan milik sang kepala HRD yang terpaksa ia ambil
alih. Kalau bukan karena pengabdiannya terhadap perusahaan, tentu ia akan menolak pekerjaan itu. Sekarang ia cukup menunggu beberapa jam lagi menuju jam
makan siang. Dan itu masih ada waktu 3 jam lagi.
"Kamu mendengar saya?"
Tsabit terhentak seraya mengerjap. "Dengar pak. Baiklah kalau begitu. Selepas makan siang saya bersiap kembali ke posisi saya" Dana mengangguk.
"Kalau boleh saya tahu, Apa sudah ada pengganti posisi pak Idzar disini, pak?"
"Idzar sudah kembali bekerja. Nanti siang setelah konfirmasi dia akan segera menempati posisinya sebagai kepala HRD"
Ingin rasanya Tsabit melakukan sujud syukur detik ini juga. Mungkin ia lakukan nanti. Dan tidak disini, pastinya. Akhirnya sedikit beban ini berkurang
dengan kembalinya Idzar di perusahaan ini. Bayangkan, selama berminggu minggu sejak dirinya dinyatakan menjadi pengganti sementara Idzar, ia berubah menjadi
workholic sejati. Jatah lembur tak jarang ia dapatkan. Pulang larut malam menjadi makanan sehari hari. Mata pandanya semakin merona jelas. Mesin otaknya
berkali kali mengalamin turun mesin. Anggap saja begitu.
"Kamu bisa siapkan barang barang kamu untuk kembali setelah jam makan siang. Masih ada waktu beberapa jam untuk kamu menyelesaikan laporan Idzar. Setelah
itu bawa ke saya untuk ditanda tangani" perintahnya dalam kecepatan normal bernada tegas. Sama seperti adiknya. Hanya saja, adiknya lebih songong. Batin
Tsabit menilai. "Laporan ini saya yang harus menyelesaikan, pak" Kan pak Idzar sudah kembali" protes Tsabit menatap hati hati. Dana menarik nafas membawa tatapan mata
sayu nya bersiap untuk menyerang ucapan Tsabit.
"Mengerjakan sesuatu itu tidak boleh setengah setengah. Kamu mau, dikasih jodoh setengah pria setengah wanita" Kan gak lucu"
Sama sekali tidak lucu. Kenapa harus mengarah ke jodoh, sih" Apa ada penelitian yang menyambungkan antara pekerjaan dengan jodoh" Kalau ada, bisa tolong
tunjukan hasil resetnya kepada Tsabit. Agar gadis itu tidak bergumam aneh setelah mendengar penyataan Dana.
"Pak Dana ini bisa aja" ia tertawa hambar. "Ya gak mau lah pak. Masa jodoh saya setengah setengah. Nanti cintanya juga setengah setengah lagi" lanjutnya
dengan gaya sok asik. Dana turut tertawa seperlunya. Berusaha mempertahankan kewibawaannya. "Kalau kamu merasa kesulitan, kamu minta bantuan Idzar aja.
Ingat ya, hanya membantu. Laporan itu masih tanggung jawab kamu"
"Iya, pak. Secepatnya akan saya selesaikan" keadaan kembali menegang serius. Akhir akhir ini Dana jadi tidak seasik dulu waktu pertama kali Tsabit bekerja.
Masih ada kekakuan yang muncul. Sangat disayangkan sekali. Padahal bagi Tsabit, sikap bersahabat Dana bisa menjadi pelindungnya dari kesewenang wenangan
Idzar, si kepala HRD menyebalkan itu.
"Ohya, tadi security menitipkan ini kepada saya. Tadinya dia ingin langsung kasih ke kamu. kebetulan saya lewat, saya yang menerimanya. Katanya dari seseorang
yang tidak ingin disebut namanya" Dana menyodorkan sebuah kotak kecil persegi panjang berbungkus kertas berwarna merah muda.
"Dari siapa ya pak?" Tanya Tsabit menerima benda tersebut.
"Sebut saja hamba Allah"
Selagi dirinya sibuk meramal isi kotak tersebut beserta pengirimnya, Dana pamit meninggalkan gadis itu. Sejurus kemudian Tsabit kembali duduk di kursinya
bersamaan terbukanya kertas pembungkus kotak tersebut.
"Apaan nih?" Kotak kemasan kecil itu ia buka lalu menemukan sebuah botol kaca ukuran mini. Dari tulisan yang tertera dibotol itu, Tsabit menyimpulkan bahwa benda hanya
berupa minyak angin roll on dengan merk tertentu.
"Buat apaan minyak angin begini?" Ejek Tsabit menampakan wajah tidak suka sekaligus tidak percaya. "Emangnya gue masuk angin apa?" Gerutunya. Tak lama
ia menemukan sebuah kertas terselip di kotak minyak angin tersebut. Buru buru Tsabit membuka agar tahu siapa si hamba Allah itu yang teramat sangat baik
hati mengirimnya minyak angin terapi ini.
Hallo tante, udah nyampe minyak anginnya" Gue tahu lo alergi AC, so jangan sia siain kebaikan gue ini yang jarang orang dapetin. Lo beruntung, tan ^/^
-Arsa- "Bocah gila! Gue gak ngerasa nikah sama om lo" Umpat Tsabit membuang wajah kesal sambil membanting secarik kertas tersebut di meja. Enak saja alergi AC
katanya. Apa bekerja di ruangan full AC ini belum membuktikan" Tsabit mengerang geram.
"Dasar bocah ingusan!"
*** Dan pada akhirnya, minyak angin tersebut menjadi berguna. Buktinya, benda mungil beraroma terapy itu setia berada dalam genggaman Tsabit bahkan ia memakainya
pada jam makan siang seusai melaksanakan sholat. Setelah menyelesaikan beberapa laporan yang sudah dikejar deadline membuat Tsabit merasa pusing tidak
karuan. Kesehatannya agak menurun akhir akhir ini.
Di kursi salah satu meja cafetaria, ia duduk ditemani segelas teh hangat sambil memainkan ponsel. Tangan satunya sibuk mengoles bagian leher.
"Bisa sakit juga kamu?"
Idzar muncul tiba tiba entah sejak kapan pria itu sudah duduk menempati kursi kosong disebelahnya. Menaruh bekal makan siang yang disiapkan istrinya tadi
pagi. Tsabit mendelik. "Aku gak sakit. Cuma gak enak badan" Jelasnya. "Aih, bahagianya dibawakan bekal makan siang sama istri tercinta. Menu apa hari ini?" Tsabit tersenyum lebar
hampir memperlihatkan gigi grahamnya seraya menaruh minyak aroma terapynya.
"Ralat. Bukan istri tercinta. Tapi istri sholihah" Idzar menyuap satu sendok nasi ditemani oseng oseng jamur kesukaannya beserta sop. Menikmatinya dengan
lahap. "Iya iya, istri sholihahnya pak Idzar. Puas?" Tsabit menipiskan bibirnya mencoba kembali fokus pada ponselnya.
"Oh iya, ini" disela aktifitas makannya, Idzar mengeluarkan tas daur ulang berukuran kecil berwarna putih. "Titipan dari istriku buat kamu. Sebagai tanda
terimakasih katanya" dunia gadget Tsabit harus teralihkan karena kantong yang menggoda itu. Dilihatnya isi kantong tersebut. "Thank ya udah gantiin posisi
aku sewaktu aku dirawat" ucap Idzar tersenyum kecil.
Tsabit masih sibuk dengan isi kantong itu. Ada dua buah coklat batang ukuran besar. Minuman kaleng bersoda dan" buah apel kesukaannya. Ini akan sangat
membantu mengembalikan mood nya yang buruk karena ulah si pengirim minyak angin tadi. "Wah, ada apel juga. Makasi ya. Nanti aku mampir ah, mau bilang makasi
sama istri kamu. Tahu aja aku suka apel" Tsabit langsung mengunyah apel tersebut dengan nikmat. Idzar berdecak. Alih alih menjawab ucapan terimakasihnya
malah bicara apa. "kamu dengar aku ngomong gak sih?"
"Eh, ya" Apa" Tadi kamu ngomong apa?" Ia menoleh dengan wajah tanpa dosa.
"gak jadi. Lupa."
"Dih, ngambek" Tsabit mengendik dalam keadaaan mulut berisi makanan. "Oh, aku ingat. Iya iya sama sama. tapi khusus buat kamu, itu gak gratis" tukasnya.
"Trus itu yang kamu makan apa" pamrih banget" sungut Idzar.
"Ini mah beda. Ini dari Aufa kan" Dari kamu belum"
Idzar menelan makanannya hanya untuk mengatakan "pemerasan" dengan nada dingin. Tsabit menanggapinya dengan santai. Ia sandarkan tubuhnya pada kursi sambil
menyilangkan kaki lalu mengigit lagi apel ditangannya dengan gaya elegan.
"Terserah kamu mau bilang apa. Aku cuma sedang berusaha menghargai jerih payahku. Kamu tahu" Ngerjain laporan kamu itu, kayak ngerjain skripsi yang gak
kelar kelar. Kayak nunggu jodoh yang gak kunjung dateng" ungkapnya mengebu gebu yang berujung curhat terdalam. Idzar menaikan satu alisnya. "nih" liat
mata pandaku! Setiap aku mau tidur, berkas berkas pekerjaan kamu bahkan masuk ke mimpi aku" tingkat stress Tsabit sepertinya mencapai puncak.
"Emang mau imbalan apa sih buat bayar perjuangan kamu itu" Idzar menoleh sejenak dan kembali menikmati makan siangnya.
"Tumben ngalah. Biasanya musti debat dulu baru mau ngalah" cibir Tsabit memangku tangan di atas meja.
"Cepetan, keburu aku berubah pikiran"
"Gak jadi. Mood ku lagi buruk. Lupain aja" dimasukan minyak angin terapy ditangannya ke dalam saku blezzer kemudian menyeruput sekali lagi teh hangat miliknya.
"Labil" Cibiran Idzar kepada Tsabit sungguh tidak berpengaruh dengan mood nya hari ini. Sepertinya ada yang salah dari hari ini. Apa semalam dia mimpi aneh" Atau
kurang piknik karena sibuk bekerja" Harusnya hari ini dia senang karena akhirnya kembali menempati posisi lamanya itu. Kesenangan itu berubah semenjak
kedatangan minyak angin keramat yang dikirimkan dari bocah ingusan yang beberapa hari ini menjadi rivalnya.
Tsabit hanya berdiam duduk dengan bahu merendah. Matanya kosong. Setelah Idzar menyelesaikan makan siangnya, ia beralih pada gadis disampingnya.
"Kalau ada something yang ganjel di hati, cerita aja. wajah kamu gak bisa bohong" ujarnya perhatian.
"Emang keliatan apa?" Idzar mengangguk. "Banget"
"Haahh.....entahlah aku pusing, dzar. Rasanya kepala aku ini pengen dicopot terus diinstal ulang deh" ungkapnya pasrah sambil memainkan sedotan di dalam
gelas. "Kayaknya aku butuh cuti beberapa hari buat nenangin pikiran. Ibarat besi, otakku ini udah karatan"
"Udah sholat belum?" Tanya Idzar mendapat anggukan kecil dari Tsabit.
"Kalau udah sholat tapi pikiran belum tenang juga. Mungkin ada yang salah di pikiran dan hati kamu" Idzar menatap sekeliling. Suasana cafe ini masih sama.
Tidak berubah. Keramaiannya tetap sama. Hanya saja, pandangan kagum yang biasa ia dapat dari para kaum hawa menjadi berkurang. Setelah mereka tahu sosok
pria tampan idaman mereka telah berstatus suami orang. Idzar mendengus kecil menyimpan geli dalam hati.
"Masih ada yang mengganjal?"
"Selama permasalahan aku belum menemukan titik solusi, aku gak bisa berhenti memikirkan itu, dzar" tegas gadis itu.
"Ketika kamu dihadapkan pada suatu masalah, Allah tidak memintamu untuk memikirkan itu. Sholatlah. Pusatkan hati dan pikiranmu kepada Dia"
Tsabit bergeming. Berusaha meyakini kebenaran yang Idzar paparkan padanya. Ia akui memang, ketika sedang menghadap Allah pun, pikiran dan hatinya masih
tertuju pada permasalahannya itu. Harusnya ia tahu, darimana permasalahan serta ujian itu berasal. Seharusnya ia kembalikan kepadaNya.
"Kira kira ada untungnya gak kalau aku ceritain masalahku ke kamu?" Tsabit menyingkirkan gelas kosong di meja.
"Ya gak harus cerita ke aku juga sih. Setidaknya kalau kamu udah ceritain permasalahan kamu kepada orang--yang kamu yakin bisa dipercaya--ada sedikit kelegaan
tersendiri. Hidup itu kan gak cuma habluminallah aja. Harus seimbang sama habluminannas. Ya gak?"
Tsabit mengangguk pelan tapi pasti. Bagi Tsabit, Idzar memang selalu benar. Kalau banyak anak muda sekarang yang beranggapan bahwa wanita selalu benar,
tolong diberi pengecualian. Kecuali pria yang duduk di sampingnya ini. Sama seperti istrinya, Aufa yang selalu menjadi moodboster seorang Tsabita ilana.
Tsabit menarik nafas mantap disertai tatapan pasti.
"Aku bakal ceritain masalah aku ke kamu. Tapi kamu janji jangan bilang ke siapa siapa. Oke?"
"Telat!" Jawab idzar cuek sambil menghempaskan tangannya. Tsabit menautkan alisnya bingung.
"Kok bisa?" "Kamu kelamaan meratapi masalah sih. Aku keburu dapet pencerahan, kan" Idzar mendengus kecil matanya melirik arah lain.
"Pencerahan apa?"
"Kalau kamu mau curhat, lebih baik ke sesama wanita aja. Ke istriku, misalnya" jelas Idzar penuh pengertian. "Aku khawatir, timbul perasaan yang seharusnya
tidak ada. Aku gak mau dilamar ketiga kali sama kamu. Nanti kamu makin gak bisa move on lagi"
Kebingungan Tsabit memberi sinyal ke otaknya. Sepertinya hari ini Idzar belum pernah merasakan bogem mentah melayang ke wajah tampannya itu. Ia pun memberi
Idzar tatapan membunuh. "Hellow~ mas tolong mirror ya. Siapa juga yang bakal punya perasaan sama kamu. Aku juga nyesel pernah khilaf ngelamar kamu. Lagian kamu itu gak cakep cakep
banget, dzar. Aku sih lebih suka pria dewasa kayak pak Dana" cibir Tsabit dengan aksen meremehkan. Wajahnya sengaja dibuat nyolot guna memancing emosi
Idzar. Biar pria itu mau mengurangi sedikit saja kenarsisannya.
"Kok kamu jadi sewot sih. Omonganku benar kan?"
"Iya benar. Tapi ujungnya gak enak banget" Tsabit memalingkan wajah sejenak sambi melipat tangan sebal. "Udah ah sana. Kamu bikin mood aku makin buruk.
Pergi sana. Hush! Hush!" Tsabit mengibas ngibas tangan ke arah Idzar mengusirnya pergi. Pria itu tertawa penuh kemenangan lalu bangkit dari kursi.
"Gak usah disuruh juga bakal pergi. Kelamaan disini malah bikin aku risih jadi pusat perhatian sekumpulan perempuan disana, noh!" Dagu Idzar mengarah pada
sekumpulan gadis berpakaian putih hitam tengah duduk sambil menikmati snack dihadapan mereka. Dari warna pakaiannya, menandakan status mereka,yakni sebagai
karyawan training di perusahaan ini. Sedari tadi sekumpulan gadis disana memang mencoba menarik perhatian Idzar dengan bertingkah yang berlebihan. Mulai
dari tertawa lah atau perilaku aneh lainnya. Dan itu justru membuat Idzar bergidik ngeri melihatnya. Jangankan Idzar, Tsabit pun melihatnya aneh. Mereka
tergolong masih anak ABG yang baru menginjak dewasa.
"Yakin risih" Bukannya seneng diliatin cewek cewek cantik?" Goda Tsabit bersama seringainnya. "Aku telpon Aufa, ah. Tiba tiba aku kangen dia. aku mau cerita
banyak deh sama dia" mata Tsabit melayang layang di udara lalu berputar putar sambil menggerakan bibirnya ke kanan dan ke kiri.
Mencium aroma mencurigakan, Idzar menarik satu alisnya kemudian tersenyum miring. "Mau ngadu" Silakan. Istriku gak cuma sholihah dan cantik. Tapi juga
pinter ngebedain mana yang jujur mana yang cuma adu domba." setelah itu Idzar tertawa pongah. Tsabit mencebik keki.
"Selamat. Kamu berhasil bikin mood ku ancur. Udah sana, ah! Gengges banget" kalau Tsabit sudah uring uringan seperti itu. Tandanya ia menyerah. Dan score
mereka berakhir 1-0 dengan Idzar (selalu) memimpin.
*** Hujan tak kunjung reda hingga siang ini. Mereka seperti tak putus asa jika harus jatuh berkali kali membasahi daratan bumi Allah ini. Membasahi tanah tanah
yang mengering. Mengairi bunga bunga maupun tumbuhan hijau yang hidup di permukaannya. Memberi sentuhan aroma hujan yang khas disertai sayup sayup angin
menerpa bersama rasa dingin yang menguliti tubuh. Begitulah rotasi kehidupan ciptaanNya. Saling memberi saling menerima dan saling memberi manfaat satu
sama lain. Sekali lagi Aufa menatap keluar. Melongokan kepala ke luar jendela memastikan apakah hujan masih mengguyur atap rumahnya. Rupanya masih. Ia menghela nafas
kemudian menarik diri dari jendela. Berjalan mondar mandir seraya memikirkan sesuatu. Tanganya mengetuk ngetuk dahi berusaha memikirkan cara agar bisa
tiba ke rumah ayah dan ibu mertuanya hari ini. Mengingat beberapa hari yang lalu Andita, selaku ibu mertuanya, Tapi Aufa biasa memanggilnya mama, memintanya
untuk mengunjunginya. Katanya ia merasakan kesepian ditinggal dua brondong kesayangannya, Dana dan Idzar. Belum lagi sang suami alias papa mertuanya harus
ke luar kota selama beberapa minggu untuk urusan pekerjaan. Tentu Aufa dengan senang menerima ajakan mama mertuanya itu. Mengingat dua hari setelah akad
nikahnya dengan Idzar, ia resmi mengundurkan diri dari pekerjaan mengajarnya. Keputusan yang berat, memang. Tapi keinginannya mengalahkan itu semua. Aufa
memiliki keinginan menjadi wanita yang bilamana suami pulang bekerja ia menjadi satu satunya wanita yang menyambutnya penuh kasih dan cinta. Menjamunya
dengan ketulusan yang tak berwujud. Menjadi pendengar yang baik kala keluh kesah sang suami terucap bersama penat penat yang membebaninya. Itu baru sebagian
kecil dari mimpinya pasca menikah. Mimpi seorang gadis Senja.
"Hallo, assalamualaikum, dzar" akhirnya Aufa memutuskan menghubungi idzar sekedar mengabari sesuatu. Setelah panggilan tersambung, terdengar salam dan
sapaan sayang menyambut salam yang ia berikan dari sana. Ia tersipu. Dasar perayu.
"Hari ini aku jadi ya ke rumah mama. Naik motor aja" Aufa berdiri di tepi ranjang sambil merapikan khimar berwarna gold-nya di depan cermin. "Masih hujan
sih, tapi gak apa apa. Aku pake mantel kok" jawabnya sambil menoleh ke arah jendela lagi. Hujan masih mengguyur lebat.
"Jangan lebay deh. Aku udah biasa pergi kemana mana naik motor. Bahkan ujan ujanan sekalipun" ada bau bau berat hati dari pembicaraan mereka. Aufa duduk.
Mendengarkan suaminya berbicara panjang lebar. Sesekali keningnya berkerut sesekali pula wajahnya merona. Idzar selalu punya cara membahagiakan istrinya
walau hanya sekedar umpatan romantis bersifat spontanitas.
"ojek online" Aku gak punya aplikasinya" Idzar menawarkan agar istrinya memakai jasa ojek online agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Begitu
alasannya. "Justru kalau naik ojek online, kamu mau, aku bersentuhan dengan yang bukan mahramku" Coba kalau tiba tiba abangnya ngerem mendadak?" Mereka nampak saling
berdebat. Padahal hanya masalah sepele. Hingga tanpa terasa perdebatan mereka memakan waktu hampir 20 menit. Tidak ada yang mau mengalah. Idzar tidak ingim
istrinya pergi sendirian tanpa seseorang yang menemani. Sedangkan Aufa ngotot ingin pergi sekarang juga, toh ia merasa bisa menjaga dirinya sendiri. Sungguh,
hari ini Aufa bahkan melupakan bagaimana seorang istri haruslah patuh terhadap perintah suaminya. Terlebih itu tidak menyalahkan syariat islam dan demi
kebaikan ia sendiri. Mau tidak mau Aufa pun menggunakan strategi lain.
Senja Merindu Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa, dzar" Apa" Duh.. aku gak denger. Suaranya kok kresek kresek ya" sambil meringis aneh bergaya seolah ia seperti sedang kewalahan menghadapi sinyal--yang
kenyataannya tidak mengalami gangguan apa apa. "Tadi kamu ngomong apa" Suaranya putus putus. Duh.. aku matiin aja ya"
Kini hanya terdengar suara panggilan yang terputus.
*** Dengan perasaan yang sedari tadi mengganjal pikirannya, akhirnya Aufa memutuskan untuk berangkat sekarang juga. Terbesit dipikirannya tentang sikapnya
tadi. Apa ia terlalu berlebihan telah bersikap seperti itu terhadap suaminya" Pasti Idzar kesal istrinya berpura pura tidak mendengar. Aufa menarik nafas
seraya mengucap basmallah kemudian melangkah keluar.
Ketika akan menarik handle pintu rumahnya, suara ketukan memberhentikan tangannya yang berada di sana. Ia mengerjap ketika ketukan itu berbunyi kedua kalinya.
Kali ini dibarengi salam dari suara seorang wanita.
"Waalaikumsalam" jawab Aufa setelah membuka pintu menyambut seorang wanita berjilbab hitam mengenakan jaket kulit dan celana longgar panjang berwarna biru
dongker. Ia tersenyum ramah sambil menyengka keringat di area pelipisnya.
"Selamat siang" sapa wanita itu terdengar ngos ngosan. Aufa melihat sebuah helm dikepit diantara tangan kanan dan pinggangnya. "Siang, maaf anda siapa
ya?" "perkenalkan, nama saya Yuyun. Yuyun indrawati. Boleh saya bertemu dengan bu,..." wanita yang bernama yuyun itu nampak mengeluarkan ponsel. Dari benda
itu, Yuyun mengeja sebuah nama "Mufi..mufida Aufa" yuyun mendongak lalu tersenyum berbinar.
"Itu nama saya. Ada perlu apa ya, mbak?" Aufa tersadar sesuatu. "Ohya. Maaf. Mari silakan masuk" Aufa merentangkan tangan menyilakan Yuyun untuk masuk
tapi Yuyun menyergah perlakuan itu. "Maaf bu. Pak Idzar pesan kalau sebaiknya kita segera berangkat saja. Mumpung hujannya masih rintik rintik"
Aufa mengerutkan dahi kebingungan. Memangnya siapa wanita bernama yuyun ini" Wajahnya yang basah karena keringat atau mungkin hujan, nampak keibuan, tapi
tetap cantik. Diperkirakan usianya ya sekitar 30 sampai 35 lah. Kulitnya sawo matang khas kulit wanita Asia.
"Kalau boleh tahu, anda---"
Aufa mengatupkan bibirnya sambil menarik nafas ketika sebuah suara dering memotong ucapannya. Suara itu berasal dari saku jacket kulit Yuyun. Dengan gesit,
wanita itu mengambil ponsel lalu menerima panggilan tersebut. Aufa hanya berdiam memerhatikan sambil memasang telinga. Bukan maksud untuk menguping, tapi
pembicaraan antara Yuyun dengan si penelepon terdengar begitu jelas. Aufa menyimpulkan, sepertinya Yuyun tengah berbicara dengan atasannya. Mungkinkah
itu pak Idzar yang ia maksud"
"Maaf bu, pak Idzar ingin bicara dengan ibu" benar kan, itu dari Idzar. Kebetulan sekali. Aufa butuh kejelasan dari suaminya, terutama tentang kedatangan
Yuyun ke sini. "Hallo, istriku" sapaan itu terdengar hiperbola. Ia hafal sekali intonasi meledek itu milik siapa. Sudah pasti milik laki laki yang beberapa menit lalu
ia dzalimi karena sikap egoisnya menutup telpon begitu saja.
"Assalamualaikum" salam Aufa sekaligus mengingatkan suaminya tentang betapa pentingnya sebuah salam. "Iya, waalaikumsalam. Maaf"
"Gimana" Orang suruhan aku sudah datang" Kapan kamu mau berangkat?" Tanya Idzar dari sana. Sebelum menjawab, Aufa menyilahkan Yuyun untuk masuk terlebih
dahulu menggunakan bahasa tubuhnya. Yuyun mengangguk mengerti kemudian ia berjalan masuk ke dalam rumah setelah melepas jacketnya yang basah.
"Sudah aku duga, ini pasti ulah kamu. Coba dijelasin maksudnya kirim mbak Yuyun kesini apa?" Aufa duduk bersandar di sofa. Melirik sekilas Yuyun yang duduk
manis di sofa sebelahnya. Ia hanya menunduk sopan.
"Sebelum aku jawab, gimana kalau kamu jelasin ke aku dulu, tentang pembicaraan kita di telpon tadi. Kalau pakai nomor mbak Yuyun kok suaranya gak kresek
kresek kayak tadi ya?" Idzar sukses membuat Aufa menegakan posisi duduknya karena terkesiap. Bibir bawahnya tergigit menahan malu. Ia langsung menunduk
memegangi ponsel ke telinga.
"Maaf" hanya kata itu yang terlontar dari bibir Aufa. Tangan kirinya sibuk memilin milin khimar. Ia melirik Yuyun lagi. Wanita itu seperti menahan sesuatu
di mulutnya. Ah, pasti dia menahan tawa.
" maaf untuk?" "Aku cuma menghindari perdebatan kita. Berdebat itu tidak sehat" menyadari pembicaran mereka bersifat pribadi, Aufa berangsur pamit sejenak ke kamar kepada
Yuyun. Untung dia pengertian sekali. Kalau ada Diana, mungkin Yuyun sudah ada teman mengobrol. Sayangnya, Diana sedang keluar menghadiri pengajian dekat
rumah. "Sekarang aku tanya deh. Kalau misalkan kamu mencuri tapi uang hasil mencuri itu kamu sumbangkan ke yayasan yatim piatu, misalnya. Itu baik atau tidak?"
"Tidak" Aufa berdiri dibalik pintu kamar. Bersandar disana.
"Alasannya?" "Karena sebaik apapun niatnya kalau ditempuh dengan cara yang tidak baik, akan menjadi tidak baik. Berarti uang yang disumbangkan adalah uang haram" jawaban
lugas padat dan jelas terucap dengan wajah polos khas Aufa. Andai Idzar bisa melihat ekspresi polos itu. Jangan harap kedua pipinya selamat dari serangan
cubitan Idzar. "Cerdas. Itu artinya, kalau niat kamu baik, yakni menghindari perdebatan kita, tapi kalau cara kamu menghindar dengan cara seperti tadi, tentu akan menjadi
buruk. Apalagi pakai alasan suara putus putus"
Aufa menarik nafas berat. Ia akui sikapnya tadi memang keterlaluan. Ia sendiri jika diperlakukan seperti itu pasti akan kesal. Bahkan tidak ada salam yang
mengakhiri pembicaraan mereka tadi. Sungguh, penyesalan itu selalu datang di akhir. Kalau datang di awal, tentu manusia akan merdeka dari kesalahan. Selagi
menunggu istrinya berbicara, Idzar hanya diam. Ia sendiri juga merenungi apa apa yang sekiranya menyakiti hati dan perasaan istrinya.
"Fa,..." panggil Idzar lembut. Suaranya di telepon dengan suara asli tidak ada yang beda. Idzar memiliki jenis suara serak serak basah yang sedap didengar.
"Iya. Aku minta maaf. Aku janji gak akan ngulangin lagi" Suaranya merendah.
"Biasanya sebelum ada janji. Ada sanksi yang harus dijalani"
Jangan sebut Idzar kalau hidupnya tidak pernah lepas dari sebuah sanksi. Padahal sama istri sendiri. Aufa mendesah pasrah. "Iya aku tahu. Kali ini sanksi
apa lagi?" Tidak ada sahutan. Aufa tidak mendengar apa apa dari ponsel di tangannya. Cukup lama hingga Aufa memastikan bahwa suaminya masih berada dalam panggilan.
"Idzar,.." "Iya, hadir" "Sanksi apa?" "Maunya?" "Kok malah nanya balik. Aku sih maunya gak usah ada sanksi segala. Hehehe"
"Kamu menang banyak dong"
Aufa mendengus panjang lalu membuka sedikit pintu kamar. "Yauda kasih tahu sekarang. Aku udah harus berangkat. Kasihan mama nungguin. Mbak Yuyun juga keburu
jadi ager tuh di depan"
"Yauda, sana berangkat. Hati hati di jalan ya sayang"
"Loh sanksinya gimana?" Aufa mengendik. Andai ia tahu kalau suaminya itu sedang menyimpan tawa geli sekarang. "Nanti sepulang kerja aku kasih tahu. Asal
kamu siap" "Insya Allah, siap" Aufa bersiap menutup pembicaraan tapi Idzar keburu menahannya. Gadis itu memutar bola matanya lalu kembali fokus pada panggilan.
"Iya, Apalagi?"
"Aku mencintaimu siang ini dan nanti malam lalu malam malam berikutnya. Assalamualaikum"
Terukir sebuah senyum sederhana penuh arti dari wajah Aufa seraya menutup panggilannya. Tiba tiba otaknya kembali bekerja mengenai sanksi yang dijanjikan
suaminya. Hatinya menebak nebak sanksi konyol apalagi yang akan diberikan. Semoga bukan hal hal aneh. Padahal sanksi hukuman sebelumnya sewaktu Idzar dirawat
pun belum diberi tahu oleh suaminya tersebut. Mungkin hukuman hukuman membuat kehidupannya menjadi lebih berwarna. Who knows"
*** TBC... 24. Cintanya penghuni surge
Kertas kalender itu bergerak cepat merobek diri dan menyisakan tanggal baru. Tepat hari ini, tepat 30 hari sudah, dia terkurung dalam tidur panjang. Terpenjara
dalam kelopak mata yang menutup. Beristirahat dalam kurun waktu tertentu di ruangan menyeramkan ini. Siapa yang ingin berada disini" Tentu tidak ada. Rasanya
tidak enak. Seperti berteman sepi dan berkawan sunyi.
Dalam gelap dia melihat dua orang datang menghampirinya. Dua orang wanita cantik berbeda usia memakai baju serba putih dan jilbab yang menutup aurat mereka.
Keduanya cantik. Icha kenal betul dengan salah satunya. Dia Acha. Bersama wanita yang lebih cantik dari kakaknya itu. Wajahnya bersih putih seperti memiliki
cahaya di setiap garis wajahnya.
"Kak, kenalin dia adikku Icha" Acha mengenalkan adiknya pada wanita cantik yang kini berada dihadapannya. Icha terkesima melihat kecantikannya.
"Assalamualaikum Icha. Yuk! Ikut kita. Kamu pasti lelah tidur terus" wanita itu menggenggam erat tangan Icha. Tangan satunya masih menggenggam tangan Acha.
Icha masih tenggelam dalam kecantikan wanita itu.
"Kamu siapa?" Melupakan kewajibannya menjawab salam, Icha bertanya canggung.
"Aku Aufa" Icha tahu nama itu. Kenapa ia bisa lupa ya" Tapi sungguh, ia tidak mengenali wajah wanita bernama Aufa itu. Hanya tahu namanya saja.
"Ka Aufa?" Aufa mengangguk sembari mengulum senyum.
"Icha mau dibawa kemana?" Icha mempertahankan genggaman di tangannya sebelum ia tahu akan dibawa kemana dirinya.
"Udah, ikut aja Cha. Aku janji gak bakal ninggalin kamu lagi. Kamu gak bakal sendirian lagi disini. Aku sengaja ajak ka Aufa buat nemenin kita. Yuk!" Ajakan
Acha sukses memboyong langkah adiknya bergerak maju bersama langkahnya. "Kamu janji kan, gak bakal ninggalin aku lagi" Aku takut disini. Disini sepi" ungkap
Icha selagj berjalan bergandengan menyusuri jalan yang ia tidak tahu dimana. Jalanan itu seperti transparan. Tidak terlihat wujud daratan yang ia tapaki.
Ia seperti melayang. Semuanya putih. Tidak ada setitik pun warna yang mengotori tempat ia berada. Apa ini surga" Tentu saja bukan. Ia belum mati. Buktinya
kakaknya datang menemuinya untuk menjemput. Lalu ini dimana"
"Udah ya Cha, aku cuma bisa anter sampe sini aja. Kamu gak apa apa kan?" Mereka bertiga berhenti. Di tempat yang nuansanya sama. Sejauh mereka berjalan
tidak ada yang berubah. "Kita kan belum sampai, kamu mau ajak aku pulang kan" Ayo! Kita lanjutkan perjalanan" Icha menarik tangan kakaknya juga Aufa agar terus berjalan. Sayangnya,
keduanya tidak menanggapi. Mereka berdiri mematung sambil memasang waah sayu penuh rasa iba.
"Kenapa diem" Ayo kita pulang, Cha. Ka Aufa, ayo kita pulang"
"Maaf Cha. Kamu gak bisa ikut" ucap Acha sedih.
"Kenapa?" Mereka tidak menjawab. Hanya saling memandang satu sama lain. Setelah itu mereka pergi meninggalkan Icha sendiri ditempat. "Acha! Ka Aufa! Tunggu, Icha
ikut!" Icha berteriak sekuat mungkin mengiringi kepergian dua wanita itu. "Acha! Tunggu.. jangan tinggalin aku disini. Icha mau ikut.." teriakan itu berubah
lirih yang menyayat hati. Matanya menatap jauh mengikuti sosok yang perlahan menjauh semakin jauh dan mengecil lalu hilang seperto terbawa angin.
"Achaa........!!!"
"Astaghfirullah" teriakan itu membangunkan seseorang yang sedang terlelap dalam posisi duduk. Keadaan matanya menyipit karena kaget. Lalu ia mengucek kedua
matanya hingga pandangannya mulai jelas. Dan semakin jelas, ia mendapati sesuatu yang membuatnya semakin tersadar.
"Icha" Kamu sadar?"
Semoga ini bukan mimpi bunga tidurnya. Diperhatikan lagi sosok di ranjang hadapannya. Dan ini bukan mimpi. Icha terbangun dari komanya secara tiba tiba.
Bahkan tubuhnya mengangkat hingga kini ia berada dalam posisi duduk meluruskan kaki.
"Bang Syihab. Acha mana?"
*** Sekali lagi, sebuah do'a mampu mengalahkan takdir. Mereka saling tarik menarik hingga kekuatan do'a yang besar mengubah takdir suram yang menimpa manusia.
Ketika sebuah harapan pupus diterjang takdir buruk, maka do'a menjadikan satu satunya jalan terbaik.
Begitu yang terjadi pada Annisa atau Icha. Setelah selama hampir 1 bulan dirinya mengalami tidur panjang, akhirnya atas izinNya ia kembali sadar. Setelah
dokter Rio memeriksa kondisinya, Icha dinyatakan sadar total tanpa meninggalkan cacat. Syihab sempat pesimis, karena faktor utama yang menyebabkan adiknya
koma adalah adanya cedera di kepalanya. Besar kemungkinan tingkat kesadaran akan memakan waktu lebih lama bahkan menimbulkan cacat otak. Tapi berkat do'a
yang terus menerus dan tiada henti, keajaiban itu datang.
Kini perlahan Icha sudah bisa di ajak berkomunikasi meski hanya obrolan ringan yang tidak mengeluarkan banyak tenaga. Seluruh keluarga Syihab menyambutnya
dengan haru. Terutama Acha, ketika Syihab mengabari bahwa adiknya telah siuman, gadis itu segera menuju rumah sakit seorang diri. Karena mama dan Syihab
memang sudah berada disana sejak semalam. Dia dan ambu hanya berdua di rumah.
Setibanya di rumah sakit, betapa terharunya dia ketika mendapati adik yang dia sayangi tengah berbincang dengan Syihab. Terulas senyum kecil saat matanya
menangkap tawa kecil yang diciptakan adiknya itu. Ini adalah anugerah yang indah.
Setelah hampir satu jam keduanya kembali bercengkrama, membicarakan hal hal absurd atau membahas apa apa yang selama ini Icha lewatkan. Icha begitu antusias
ketika mengetahui tentang kedekatan Mario dengan Idzar.
"Aku kok gak percaya, ya?" ujar Icha dalam posisi duduk meluruskan kaki di ranjang berbicara dengan Acha. Sedangkan Syihab menemani mamanya mengurus administrasi
pembayaran. "Awalnya juga aku gak percaya. Tapi kamu lihat sendiri kan, foto yang aku tunjukin" Itu bukti kalau dua manusia ganteng itu saling kenal, Cha"
"Mereka sedekat apa?"
"Aku gak tahu" jawab Acha sambil menaikan bahu. "Niatnya aku mau interogasi Mario. Kamu mau ikut gak, Cha?" Raut antusias Icha berubah muram. Bahunya melemas.
"Tunggu aku pulih ya. Gak apa apa kan?"
Disaat itu juga Acha merasa bersalah. Harusnya ia tahu kondisi adiknya. Sekarang lihat, Icha hanya menunduk sambil menghela nafas berat sambil memilin
milin kerudung panjangnya. Acha tersenyum hangat.
"Kamu tenang aja. Kalau perlu, aku bawa Mario kesini" janji Acha mantap. "Lagian dia kan belum jenguk kamu. Juga aku" tambahnya.
"Kita kan gak kenal deket sama dia, Cha"
"Siapa bilang?"
"Aku barusan" Acha senang melihat adiknya sudah bisa terkekeh geli melontarkan celetuk menyebalkan.
"Yeh, serius juga" ia mencolek lengan Icha dengan sikut. "Tapi beneran deh. Aku bakal bawa Mario kesini. Walaupun kita gak kenal deket, tapi kalau aku
ceritain tentang ka Idzar, dia pasti mau. Serahin semua ke aku, Cha" Acha menepuk nepuk dadanya bangga sambil menarik sudut bibirnya.
"Iya deh iya" Begitulah seterusnya obrolan santai mereka hingga munculah seseorang dari arah pintu. Seorang gadis yang Icha kira adalah dokter pengganti dokter Rio.
Rupanya bukan. Gadis itu adalah dokter Zee. Ia berjalan sumringah menghampiri dua bocah kembar disana. Di tangannya membawa parsel buah untuk Icha.
"Assalamualaikum, duo cantik" sapanya sambil mengambil kursi lipat lalu membawanya di tepi ranjang, tepat di sebelah Acha.
"Waalaikumsalam" jawab mereka kompak. Khusus untuk Icha, ia memandang dokter Zee dengan tatapan aneh. Meskipun ia tahu dari Acha bahwa dokter hitam manis
dihadapannya ini adalah sahabat abangnya.
"Dokter Zee, mau ketemu abang ya" Abang lagi ke luar sama mama" tebak Acha asal. Dilihatnya Zee tengah menaruh buah bawaannya sebelum akhirnya ia duduk
di tempat yang ia siapkan.
"Aku mau ketemu kalian. Terutama sama si mungil ini" goda Zee. Matanya mengarah kepada Icha sembari tersenyum manis. Icha suka sekali melihat gingsul yang
muncul di sela gigi sebelah kanan dokter itu. "Bagaimana" Sudah merasa lebih baik?"
"Masih suka pusing dan terasa nyeri di bagian kaki, dok" jelas Icha kaku. Maklum, sudah lama semenjak Zee ditugaskan di Aceh, Icha masih harus menyesuaikan
diri dengannya. "Yang kuat ya. Lama lama itu akan hilang, kok. Selama kamu rajin minum obat dan,.." Zee sengaja menghentikan kalimatnya hanya untuk melihat wajah penasaran
dua bersaudara itu. Ia mengulum senyum misterius.
"Dan apa dokter?" Acha tidak sabaran memasang wajah malas.
"Dan selalu tersenyum setiap hari. Yeay! Semangat!" Seru Zee penuh semangat. Kedua tangannya mengepal diangkat ke udara layaknya seorang guru TK yang sedang
menyemangati muridnya. Alih alih menghangatkan suasana, aksi Zee malah mendapat respon datar dari Acha dan Icha.
Mereka saling perbandangan satu sama lain, seolah mempunyai pikiran yang sama. Tidakkah Zee tahu bahwa dua adik Syihab ini sudah akan beranjak dewasa.
Mereka tidak butuh penyemangat seperti itu. Mereka bukan lagi anak kecil.
"Aku garing ya?" Tanya Zee salah tingkah sambil menggaruk tengkuknya. Tidak ada jawaban, Zee menjelaskan lagi "aku biasa seperti itu kalau menyemangati
pasien. Aku kira ini berhasil" jelasnya diakhiri tawa hambar menahan malu.
"Ka Zee apa kabar" Icha seneng deh ketemu kakak lagi" sepertinya Icha tahu kesalah tingkahan yang dialami Zee, sehingga ia mengambil topik lain untuk menyelamatkannya.
Zee sempat bingung ketika sapaan 'kakak' tertuju kepadanya.
"Aku?" Icha mengangguk lalu tersenyum ramah.
"Eung,. Kabarku,.kabarku alhamdulillah baik" jawab Zee dengan sisa kebingungannya. Seingatnya, dulu ia pernah akrab dengan Acha dan Icha. Panggilan akrab
mereka padanya ya 'kak Zee' itu. Zee tidak menyangka kalau Icha masih mengingatnya. Berarti daya ingat Icha masih sangat baik. Berbeda dengan Acha, ia
belum terbiasa memanggil sapaan kakak kepada dokter yang mengidolakan abangnya itu. Tapi Zee tidak masalah akan hal itu.
"Kak Zee seneng gak ketemu Icha" Icha mau dong dipeluk sama kakak"
Bagi Zee, ini lebih dari menghadapi murid murid Taman Kanak kanak. Mereka butuh penyemangat yang sedikit berbeda. Dan siapa yang tahu bahwa sekarang Zee
merasakan bahagia yang luar biasa. Zee menyayangi mereka sejak dirinya bersahabat dengan Syihab. Ia menganggap Acha dan Icha seperti adiknya sendiri. Dan
ketika Icha memintanya untuk dipeluk, tentu Zee dengan senang hati menghamburkan dirinya ditubuh mungil Icha. Ini moment yang ia tunggu sejak dulu. Ia
juga ingat, terakhir kali memeluk mereka saat ia berpamitan kepada keluarga Syihab menuju Negeri Serambi Makkah. Kini ia kembali merasakan kehangatan peluk
dari mereka. Terlebih ketika Acha juga turut melibatkan diri dalam tautan tersebut.
"Dari kemarin sebenarnya aku pengen banget peluk kalian. Tapi aku takut" aku Zee masih memeluk Acha dan Icha. "Aku kangen sama kalian. Di Aceh, jarang
Sarjana Misterius 1 Pendekar Riang Karya Khu Lung Cewek 6