Pencarian

Lovasket 2

Lovasket Karya Luna Torashyngu Bagian 2


"Ada tuh di kamar. Kamu pasti ke sini mo nanyain kenapa dia tadi nggak masuk, ya?"
"Nggg" alasannya pasti sakit, kan?"
Mama Vira kembali mengangguk. "Kalo bukan alasan sakit, pasti Vira udah kena tegur
pihak sekolah karena sering nggak masuk. Iya, kan?" kata mama Vira.
"Iya juga sih?"
*** Karena sudah kenal Niken, mama Vira langsung menyilakan Niken ke kamar Vira.
"Wah, tambah laris ya, Tante," kata Niken saat lewat ruang samping yang disulap jadi
warung. "Ya lumayanlah, untuk kehidupan Tante dan Vira sehari-hari. Kamu pasti tau dari kerupuk
yang udah mau habis, ya?"
Niken tertawa kecil mendengar ucapan wanita itu.
"Kayaknya order Tante perlu ditambah nih?"
"Kamu bisa aja. Bilang aja dari tadi kamu mo nawarin supaya Tante nambah pesanan
kerupuk ke ibu kamu. Iya, kan" Pake basa-basi lagi."
"He" he" he" Tante tau aja."
Pintu kamar Vira ternyata nggak dikunci, jadi Niken bisa langsung masuk, setelah
sebelumnya mengetuk pintu.
Ternyata Vira nggak sakit. Dia lagi baca majalah sambil tiduran. Kedatangan Niken cuma
disambutnya dengan lirikan.
"Kamu"," ujar Vira pendek, sekaligus heran. Walau Niken sering ke rumahnya, tapi dia
jarang bicara dengan Niken. Memang setiap pagi sebelum sekolah, Niken datang mengantar
kerupuk-kerupuk pesanan mama Vira. Tapi, walau Niken datang tiap pagi, Vira nggak pernah
pergi sekolah bareng cewek itu, walaupun mereka sekolah di sekolah yang sama, bahkan satu
kelas. Niken selalu berangkat sekolah naik sepeda gunungnya, sedang Vira naik angkot.
Sekolah mereka nggak begitu jauh dari rumah Vira sekarang, walaupun kalau jalan sih
lumayan juga. Naik angkot sepuluh menit juga udah sampai.
Karena itu, Vira heran saat tiba-tiba Niken ada di depan kamarnya. Walau dia tahu Niken
pasti disuruh mamanya untuk langsung ke kamarnya, tapi itu nggak menghilangkan
keheranan Vira. *** Seharian Rei mikir, siapa cewek yang dimaksud Niken" Cewek yang jago basket tapi nggak
ikut ekskul basket" Sepengetahuan Rei, di mana-mana orang memilih ekskul sesuai hobi dan
bakatnya. Kalau orang itu bisa main basket, apalagi jago, pastilah dia ikut ekskul basket supaya
bisa masuk tim basket sekolah dan ikut pertandingan-pertandingan melawan sekolah lain.
Kalau nggak, skill-nya bakal menurun.
Atau dia ikut ekskul lain" Tapi kan nggak ada peraturan yang melarang siswa ikut lebih
dari satu ekskul, asal dia bisa membagi waktu. Niken emang nggak ngasih info lebih lanjut
cuma bilang cewek itu anak SMA 31 juga. Soal dia kelas berapa dan ciri-cirinya apa, Niken
nggak mau bilang, apalagi ngasih tau namanya.
"Kenapa, Rei?" Suara Willy membuyarkan lamunan Rei.
"Hah?" "Lo kenapa sih" Dari tadi kok cuman bengong?" tanya Willy lagi.
"Nggak papa kok."
"Bener?" "Iya" gue nggak papa."
"Ya udah kalo gitu, bolanya jangan dipegang terus dong! Oper ke sini!"
*** "Pasti Mama yag ngasih tau kamu kalo aku bisa maen basket," ujar Vira acuh tak acuh.
"Iya dan nggak. Mama kamu emang pernah cerita kalo kamu atlet tim basket di SMA kamu
dulu. Selain itu aku juga udah liat piala kamu yang dipajang di ruang tamu."
"Piala itu" padahal udah mo aku buang, tapi kata mama sayang, jadi dipajang di ruang
tamu," sahut Vira. Maksudnya adalah piala yang didapatnya sebagai MVP dan top scorer di
Turnamen Bola Basket Antar-SMA Se-Jawa-Bali dulu. Vira nggak mau lagi liat barang-barang
yang membangkitkan kenangannya dulu di SMA Altavia. Kenangan yang pengin dia lupakan
selama-lamanya, terutama kenangan tentang teman-temannya. Teman-teman yang membuang
dia. Sekarang, di sekolahnya yang baru, sifat Vira berubah total. Dia sekarang jadi Vira yang
tertutup dan nggak suka bergaul. Di kelas, Vira selalu diam, nggak pernah mencoba mengenal
teman-temannya. Penampilannya juga sedikit cuek. Cuma dandan ala kadarnya. Padahal dulu,
Vira paling nggak membutuhkan waktu setengah jam untuk dandan kalau mau ke sekolah.
Sekarang dia cuek aja. Rambutnya yang mulai panjang juga disisir seenaknya. Kadang-kadang
dikucir, kadang-kadang juga dibiarin tergerai bebas. Ini juga suatu perubahan karena dulu Vira
nggak pernah membiarkan rambutnya melewati pundak. Alasannya, ribet saat main basket.
Vira juga sering nggak masuk sekolah tanpa alasan. Kalo udah gitu, mamanya yang sibuk bikin
surat izin dengan alasan sakit, yang biasanya dititipkan ke Niken. Soalnya peraturan di SMA
31, siswa yang tiga kali nggak masuk tanpa alasan selama satu semester bakal mendapat sanksi.
Dan ngobrol agak lama dengan Niken seperti sekarang barulah pertama kali Vira lakukan
sejak mengenal Niken beberapa bulan lalu. Tepatnya setelah ibu Niken mendapat pelanggan
kerupuk baru dari seseorang yang akan membuka warung lotek di rumahnya. Dan karena
pelanggan baru itu rumahnya dekat rumah niken serta pesanannya per hari nggak banyak.
Niken dapet tugas mengantar kerupuk setiap pagi sekaligus berangkat sekolah. Di situ dia
pertama kali mengenal Vira, walau sebelumnya merasa sudah pernah melihat vira. Yang
surprise, ternyata Vira murid baru di kelasnya, kelas 2IPA-1. Tapi sejauh ini Niken belum
pernah ngobrol banyak dengan Vira, karena sifatnya yang tertutup itu.
*** "Nggak," tukas Vira, "aku nggak tau Mama cerita apa aja ke kamu, tapi aku nggak sehebat itu."
"Tapi kamu kan bisa ngebantu yang lain. Kamu bisa bantu bikin tim cewek yang paling
nggak punya kemampuan sama dengan tim cowoknya, atau syukur-syukur lebih bagus. Ini
untuk menolong ekskul basket," Niken mencoba membujuk.
"Aku bukan Tuhan. Basket tuh olahraga tim, bukan perseorangan. Dan kamu kira gampang
bikin tim basket yang bagus" Butuh waktu lama. Lagi pula aku males maen basket dan udah
niat nggak maen lagi. "Selain itu, aku juga nggak peduli apa yang ada di SMA 31. Aku sekolah di sana cuman
untuk dapet nilai, dan mungkin dapet ijazah. Soal yang lainnya, aku nggak peduli, termasuk
ribut-ribut soal ekskul. Itu urusan kalian, bukan siswa baru kayak aku."
Ucapan Vira bikin Niken terenyak. Baru kali ini dia mendengar ucapan seegois itu dari
mulut seseorang. Niken ingat, ada teman sekelasnya waktu kelas 1 yang dianggap sangat egois
dan mau menang sendiri oleh anak-anak lain. Namanya Yani. Tapi seegois-egoisnya Yani,
belum pernah dia ngomong seperti Vira tadi. Yani selalu memakai kata-kata yang lebih halus
untuk menutupi keegoisannya.
"Aku agak pusing, jadi sebaiknya kamu pulang dulu deh," kata Vira lagi.
Ucapan Vira itu bernada mengusir Niken. Tapi anehnya, Niken nggak marah. Dia menatap
Vira sebentar, lalu berdiri dari tempat tidur Vira.
"Ternyata benar, kamu nggak seperti apa yang dibilang mama kamu," ujar Niken lirih.
Sepeninggal Niken, ternyata Vira masih terpaku di tempat tidurnya. Perbincangannya
dengan Niken barusan masih terngiang.
Basket! Sebuah kata yang nggak mau lagi didengar Vira sepanjang hidupnya.
*** Besoknya saat Vira masuk sekolah, Niken kembali berusaha membujuknya. Tapi jawaban Vira
tetap sama seperti kemarin. Nggak!
"Kamu ngobrol apa dengan anak baru itu?" tanya Amalia, teman sebangku Niken yang
juga biasa dipanggil Lia, saat melihat Niken bicara dengan Vira sebelum bel masuk.
"Namanya Vira, Savira Priskila"," sahut Niken.
"Iya, aku tau. Abis dia sendiri gak pernah ngenalin dirinya ke kita-kita. Belagu amat sih.
Kamu kok mau-maunya ngobrol ama dia, padahal dia kan pernah nyakitin kamu. Apa kamu
udah lupa?" "Nggak. Aku nggak bakal lupa. Tapi untuk apa juga aku nginget-nginget soal itu" Kan
kejadiannya udah lama."
"Tapi karena dia kan kamu jadi?"
"Udah deh, pleaseee" jangan ungkit-ungkit kejadian dulu. Oke" Lagi pula dia sekarang juga
sekolah di SMA 31. Duduk di kelas 2IPA-1, sama dengan kita. Jadi dia temen kita juga."
"Kamu emang aneh, Ken." Amalia cuma geleng-geleng.
Niken jadi kehabisan akal sendiri. Apalagi saat Rei menanyakan janjinya pas jam istirahat.
"Belum, Rei. Aku belum ngomong ke dia," jawab Niken.
"Kenapa?" "Hmmm" tadi dia belum masuk," jawab Niken ngasih alasan.
Untungnya Rei percaya, walau jawaban Niken itu menimbulkan pertanyaan baginya.
*** Sepulang sekolah, Vira nggak langsung pulang. Dia mampir dulu ke toko buku, lihat-lihat
majalah terbaru. Sekarang dia nggak mampu beli majalah-majalah yang dulu dilangganinya,
terutama majalah tentang basket dan majalah remaja. Tapi minimal dia bisa ikut baca-baca di
situ (kalau plastik pembungkusnya sudah dibuka).
Saat baru turun dari angkot dan mau nyeberang jalan, sebuah Toyota Kijang terbaru
berwarna perak yang melintas di depan Vira tiba-tiba berhenti beberapa meter darinya. Kaca
jendela belakang Kijang itu terbuka, dan sebuah kepala nongol dari dalam mobil.
"Viraaa!" Sepuluh VIRA duduk di sebuah kafe di areal Bandung Indah Plaza (BIP). Di depannya duduk seseorang
yang sudah lama nggak dilihatnya. Amel!
"Maafin Amel ya"," ujar Amel lirih. "Amel waktu itu nggak sempet ngomong ama kamu.
Nggak sempet belain kamu. Amel takut. Amel nggak tau harus ngapain."
Vira nggak berkata apa-apa. Dia cuma menatap Amel dengan berbagai perasaan. Di satu
sisi, Vira masih kesal pada Amel yang diam saja saat dirinya dipermalukan dan dikeluarkan
dari sekolah. Di sisi lain, Vira bisa ngerti perasaan Amel yang sebenarnya. Vira tahu, walau
anak tentara, perasaan dan sifat Amel sangat halus kalau nggak mau dibilang penakut. Amel
nggak meledak-ledak seperti Vira dulu dan teman-teman yang lainnya. apa yang Amel rasakan
suka disimpan di dalam hatinya, dan setahu Vira, hanya pada dia Amel suka curhat, cerita
tentang apa yang dia rasakan.
"Sepulang sekolah Amel ke rumah kamu. Amel lupa kamu udah pindah, dan nggak tau di
mana rumah kamu sekarang. Diana juga nggak tau. Amel nggak nanya Stella atau Lisa karena
takut, apalagi pada Stella. Baru nyebut nama kamu aja, Stella udah marah-marah."
Nanya mereka berdua juga percuma! batin Vira. Selain Robi, nggak ada yang tahu
rumahnya yang sekarang. Waktu itu Vira belum sempat ngasih tahu anggota The Roses yang
lain. "Jadi Amel nggak sempet minta maaf ke kamu. Kamu pasti marah dan kesal ke Amel, juga
ke yang lain. Untung aja Amel ketemu kamu secara nggak sengaja. Kamu mau kan maafin
Amel?" Melihat wajah Amel yang sudah nggak ditemuinya selama kurang-lebih enam bulan,
kekesalan Vira pada cewek itu berangsur-angsur hilang.
"Aku bisa ngerti. Aku nggak marah ama kamu kok, karena aku tau siapa kamu," kata Vira.
Tentu aja nggak sepenuhnya jujur. "Stella pasti neken kamu, kan?" lanjutnya.
Lama Amel nggak menjawab, tapi Vira tahu jawabannya.
"Sejak Stella bilang The Roses bubar, Amel nggak pernah ngumpul-ngumpul dengan
mereka lagi. Amel tau Stella, Lisa, dan Diana masih sering jalan bareng, tapi mereka nggak
pernah ngajak Amel, dan Amel juga tau diri. Paling Amel beberapa kali ngobrol ama Diana
kalo pas ketemu. Tapi nggak pernah ama Stella atau Lisa. Mereka kayaknya nggak suka ngeliat
Amel," cerita Amel akhirnya.
Vira sebetulnya nggak mau lagi mendengar segala hal tentang SMA Altavia, sekolah yang
membuangnya. Tapi dia nggak melarang Amel cerita soal apa yang terjadi di bekas sekolahnya
itu. "Jadi itu kenapa sekarang kamu pake mobil sendiri?"
"Itu ide Papa, supaya Amel nggak setiap hari naek taksi. Papa membelikan Amel mobil dan
merekrut sopir untuk mengantar-jemput Amel.
"Oya, Stella sekarang jadi ketua ekskul basket. Dia juga pake kaus emas. Amel pernah liat
dia latihan pake kaus itu"," sambung Amel.
Akhirnya lo berhasil juga nyingkirin gue! batin Vira yang memikirkan Stella.
"Stella pacaran ama Robi, kan?" tebak Vira.
"Kamu tau" Padahal Amel nggak mau ngomong soal itu ke kamu. Takutnya kamu marah."
Itu udah pasti! Nggak mungkin Stella bisa jadi ketua ekskul basket kalo nggak deket ama
Robi. Dan orang seperti Stella mau ngelakuin apa aja agar keinginannya bisa tercapai! batin
Vira. "Amel nggak tau Stella pacaran ama Robi atau nggak. Tapi Amel liat mereka emang lagi
deket. Stella sering ngobrol dengan Robi. Dia bahkan jarang bawa mobil lagi. Pergi dan pulang
sekolah selalu bareng Robi," kata Amel.
Bajingan lo, Rob! Jadi sekarang sasaran lo berikutnya Stella" batin Vira. Tapi anehnya, dia
nggak merasa sakit hati pada Robi atau kasihan pada Stella. Vira nggak punya perasaan lagi
pada dua orang yang dulu pernah dekat dengannya itu.
*** "Aku heran ama kamu," kata Rida saat ngobrol dengan Niken sepulang sekolah. Niken
memang mengajak Rida ngobrol tentang idenya membangkitkan tim basket cewek. Niken
merasa Rida salah satu yang menonjol dan berpengaruh di kalangan tim cewek, setelah anakanak kelas 3 nggak aktif karena sibuk belajar untuk ujian.
"Heran kenapa?" tanya Niken sambil menyedot es kelapanya. Siang-siang gini minum es
kelapa, segaarrr" "Kamu bukan anggota ekskul basket, tapi kok sibuk ngurusin basket sih" Atau kamu
ngelakuin ini ke semua ekskul di SMA 31?"
"Aku kan cuman ngasih ide supaya ekskul basket nggak dihapus. Kamu juga nggak mau
kan kalo basket sampe dihapus?"
"Ya nggak sih" Tapi kamu kan ketua OSIS. Harusnya kamu ada di tengah-tengah. Aku
takutnya, ekskul lain ngira kamu mihak basket."
"Jangan takut, aku nggak mihak siapa-siapa kok," sahut Niken. "Aku kan sekadar ngebantu
ngasih ide. Kalo ekskul lain pengin minta ide atau pendapatku supaya ekskul mereka nggak
dihapus, aku juga pasti bantu."
"Tapi aku tetep ngerasa aneh aja."
Rida menatap Niken dengan tajam.
"Jujur, Ken. Kamu ngelakuin semua ini karena Rei, kan?" tanya Rida sambil tetap menatap
mata Niken. *** "Kamu berubah."
Ucapan Amel itu membuat Vira menghentikan makan hidangan pesanannya, sandwich tuna
dengan taburan keju. "Oya" Apa yang kamu liat dari aku sekarang?"
"Banyak. Kamu sekarang lebih tenang, dan nggak banyak bicara. Bicara kamu juga udah
berubah. Lebih kalem. Juga penampilan kamu?" Amel nggak melanjutkan kata-katanya.
"Kenapa" Berantakan, ya?"
"Maaf ya?" "Nggak papa kok. Mama juga sering bilang penampilan Vira sekarang berantakan."
"Tapi kamu sepertinya udah bisa lepas dari masalah kamu. Kamu sekarang keliatan lebih
santai." "Soalnya apa lagi yang bisa kuperbuat" Ini semua udah kenyataan, udah jalan hidupku.
Cepat atau lambat aku harus bisa menerima semua itu. Kamu juga pasti akan ngelakuin hal
yang sama kalo ngalamin kejadian seperti apa yang kualamin sekarang."
"Amel nggak yakin bakal kuat kalo kejadian ini menimpa keluarga Amel," kata Amel
singkat. *** "Kenapa kamu begitu yakin anak baru itu bisa mengubah tim kita?"
"Nggak tau kenapa, tapi aku punya keyakinan dia bisa berbuat banyak. Kata ibunya dia
pemain hebat dan dulu andalan di SMA Altavia, SMA lamanya."
"SMA Altavia kata kamu?"
"Iya. Kamu nggak tau dia pindahan dari SMA Altavia?"
Rida menggeleng. "SMA Altavia emang jago maen basketnya, terutama di bagian cewek. Tim cewek dan
cowok mereka kan juara Turnamen Antar-SMA Se-Bandung Raya tahun lalu. Tapi walau dia
mungkin sehebat yang kamu bilang, aku tetep nggak yakin dia bisa bikin tim cewek basket kita
jadi lebih bagus. Satu pemain hebat belum tentu bisa membuat satu tim jadi bagus. Contohnya
Rei. Dia jago, lebih daripada yang lain. Tapi tetep aja tim cowok kita keok, kan" Basket kan
olahraga tim, bukan perseorangan," tandas Rida.
"Rasanya aku udah sering denger kalimat itu deh," ujar Niken lirih.
*** "Gimana kabar papa dan mama kamu?" tanya Amel.
"Mama baek-baek aja. Sekarang Mama buka warung makan kecil-kecilan di rumah, untuk
biaya hidup kami sehari-hari. Mama bilang, kami kan nggak mungkin terus mengandalkan
bantuan dari Kakek-Nenek atau saudara-saudara Mama dan Papa."
"Buka warung makan" Pasti laris, ya" Masakan mama kamu kan emang enak. Amel kangen
banget dengan masakan mama kamu."
"Tapi sayur tempenya nggak seenak buatan nenek kamu."
Amel ingat, setiap dia maen ke rumah Vira, pasti selalu ditawarin makan mama Vira.
Masakan mama Vira memang enak, bahkan menurut Amel lebih enak dari masakan neneknya
yang dimakan Amel sehari-hari. Demikian juga kalo Vira ke rumah Amel, pasti dia ditawari
makan oleh nenek Amel. "Kalo papa kamu" Amel kadang-kadang liat di TV soal perkembangan kasus papa kamu,
tapi nggak begitu ngikutin. Kok kasusnya lama banget ya belum disidang?" tanya Amel lagi.
Sebetulnya, salah alamat bila Amel bertanya ke Vira soal kabar papanya. Soalnya, sejak
papanya ditahan enam bulan yang lalu, Vira sama sekali belum pernah ketemu papanya. Dia
nggak pernah mau menjenguk papanya di penjara, meskipun selalu diajak mamanya. Vira
memang sudah bisa menerima peristiwa yang menimpa diri dan keluarganya, tapi dia belum
bisa memaafkan papanya, yang menurut Vira menjadi penyebab semua ini"walau mamanya
bilang berkali-kali bahwa papanya nggak bersalah.


Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untung Vira nggak perlu menjawab pertanyaan Amel, karena saat itu HP Amel berbunyi.
Amel melihat display HP-nya dan wajahnya langsung berubah.
"Dari siapa, Mel?" tanya Vira setelah menunggu Amel menerima telepon itu sekitar tiga
menit. Amel cuma diam. Vira melihat wajah sahabatnya itu tiba-tiba memerah.
"Amel, kamu lagi jatuh cinta, ya?"
Sebelas MENYERAH kayaknya nggak ada dalam kamus hidup Niken. Walau Vira berkali-kali bilang
nggak mau maen basket lagi, Niken nggak mundur untuk lebih kenal dekat dengan cewek
yang dianggapnya misterius di sekolah itu. Niken sekarang sering datang ke rumah Vira di luar
tugasnya mengantar kerupuk, terutama sepulang sekolah atau di hari libur. Ada-ada saja yang
dilakukannya di rumah Vira. Dari mulai ngebantu mama Vira bikin rujak (dan dia sendiri
akhirnya ikut makan) sampai berjam-jam duduk di depan kebun kecil rumah Vira, cuma untuk
mengagumi bunga mawar yang tumbuh di taman kecil itu.
"Bunga mawar adalah bunga kesukaan Vira," kata mama Vira suatu hari. "Tante sengaja
menanam mawar ini, seperti di rumah Tante yang lama, supaya Vira bisa terhibur, jadi ceria,
serta kembali jadi Vira yang dulu. Tante harap, kamu bisa membantu usaha Tante ini."
"Mudah-mudahan, Tante. Niken coba."
*** Usaha Niken akhirnya ada hasilnya juga, Vira akhirnya mulai terbuka. Dia nggak lagi secuek
dulu saat Niken datang. Vira mau ngobrol lama dengan Niken, bahkan lama-lama dia mau
diajak jalan-jalan, keliling kompleks perumahan, atau bahkan ke rumah Niken yang ada di
belakang kompleks perumahan tempat Vira tinggal.
Walau dekat, tapi rumah Niken nggak berada dalam kompleks perumahan, melainkan di
perkampungan biasa di luar tembok kompleks. Rumah Niken lebih kecil dari rumah Vira. Di
situ Niken tinggal bertiga dengan ibu dan adik cowoknya yang masih duduk di kelas 6 SD.
Ayahnya sudah meninggal empat tahun yang lalu. Niken juga punya kakak cowok yang kuliah
di luar Bandung. "Kak Aji kuliah di Australia. Dia dapet beasiswa dari Kedutaan Besar Australia di sini.
Paling bisa pulang kalo liburan," cerita Niken.
Australia" Vira jadi ingat liburannya ke Negeri Kanguru itu saat SMP. Di sana dia
mengunjungi berbagai tempat wisata, mulai dari Batu Monolith di Uluru, Australia Tengah,
sampai Opera House di Sydney. Vira nggak tahu kapan dia bisa ke sana lagi. Mungkin juga
nggak bakal bisa lagi untuk selamanya.
Ibu Niken sangat baik, juga pintar masak seperti mama Vira. Saat pertama kali ke rumah
Niken, Vira langsung ketemu Panji, adik Niken yang mau pergi main. Melihat Vira, Panji
langsung berbisik ke telinga kakaknya.
"Temen Kakak cantik," bisiknya lirih, yang disambut dengan jitakan Niken di kepalanya.
*** Sore hari, Vira disuruh mamanya nganter uang pembayaran kerupuk untuk bulan ini ke rumah
Niken. "Kenapa nggak besok aja sih" Besok pagi juga Niken ke sini nganter kerupuk," protes Vira.
Dia memang ogah-ogahan ke luar, soalnya sore ini panas banget. Matahari yang bersinar terik
menyinari Bandung bikin siapa saja ogah keluar rumah. Bisa-bisa kulit jadi gosong.
"Besok Niken langsung sekolah, jadi nggak mungkin Mama titipin uang ke dia. Kalo harus
balik lagike rumahnya kan kasian."
Huh! Mama kasian ama anak orang, tapi nggak kasian ama anak sendiri! gerutu Vira dalam
hati. "Tapi kan panas, Ma!"
"Sebentar aja. Rumah Niken kan deket."
Deket apanya"! Secara teori rumah Niken memang ada di belakang kompleks rumah Vira.
Tapi praktiknya, untuk ke daerah rumah Niken harus memutar lewat depan kompleks, karena
adanya tembok pembatas antara perkampungan asli dan kompleks perumahan. Dan
memutarnya lumayan jauh. Bisa-bisa Vira bakal mandi keringat begitu sampai ke rumah
Niken. Tapi akhirnya Vira pergi juga. Dia kasihan melihat mamanya yang kelihatan kecapekan
setelah melayani pelanggan yang banyak hari ini. Bahkan saking banyaknya, saat Vira baru
pulang sekolah sekitar jam dua, seluruh makanan di warung udah ludes, termasuk lotek dan
rujak. Padahal biasanya setiap hari selalu ada sisa makanan walau nggak banyak.
"Mungkin karena panas, jadi orang-orang pada males masauk sendiri dan beli makanan ke
sini," kata mamanya saat ditanya Vira. Apa hubungannya"
Untung mamanya sudah menyisihkan sebagian makanan untuk Vira. Kalau nggak, bisabisa sepulang sekolah dia nggak makan siang.
Sekarang Vira udah ada di depan rumah Niken. Rumah itu kelihatan tertutup rapat dan
sepi. Pada ke mana ya" batin Vira. Bahkan ibu Niken yang biasanya selalu ada di warung di
samping rumah juga nggak ada. Warung itu buka, tapi nggak ada yang menunggu. SElain
berjualan kerupuk untuk lotek atau karedok yang dibuat sendiri, ibu Niken juga membuka
warung kecil yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari, juga gorengan seperti tahu
dan pisang goreng, bala-bala (atau biasa juga disebut bakwan), dan cireng (aci yang digoreng).
Niken sendiri secara bercanda pernah bilang ibunya adalah pengusaha multi company di
kampungnya. "Abis semua dijual. Campur aduk," kata Niken saat itu.
Vira mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tapi beberapa kali, nggak ada jawaban,
apalagi orang yang membuka pintu. Vira yakin Niken langsung pulang ke rumah sehabis
bubaran sekolah, karena itu seharusnya ada di rumah. Sepedanya juga kelihatan di samping
warung. Panji juga nggak keliatan. Pasti anak itu lagi main sama teman-temannya.
Setelah beberapa lama, Vira akhirnya berkesimpulan rumah ini lagi nggak ada
penghuninya. Entah pada keluar, atau lagi tidur di dalam. Dalam hati Vira gondok juga. Sudah
panas-panas gini bela-belain ke sini, malah nggak ada orangnya. Sial banget hari ini! batinnya.
Sekali lagi ngetuk pintu, dan Vira memutuskan untuk pergi. Saat itu pintu terbuka.
Bukan Niken, ibunya, atau Panji yang membuka pintu, tapi seorang cowok yang sama
sekali belum dikenal Vira. Cowok itu rambutnya basah, dan cuma pakai kaus singlet serta
celana pendek. Aroma sabun mandi tercium dari badannya. Habis mandi! batin Vira.
"Cari siapa ya?" tanya cowok berambut lurus pendek itu. Vira yang masih kaget nggak bisa
berkata apa-apa. Dia cuma heran sambil berpikir, siapa sih nih cowok"! Tapi" tampangnya
lumayan imut juga. Apalagi kalo lagi bengong melihatku! pikir Vira geli-geli senang. Lihat
"barang bagus" di depannya membuat kekesalan Vira sedikit berkurang.
"Vira" Tumben ke sini sendirian."
Vira menoleh ke asal suara yang menyapanya. Ternyata Niken sudah berdiri di
belakangnya. *** Cowok itu ternyata Aji, kakak Niken yang kuliah di Australia, tepatnya di University of
Sydney. Baru siang tadi dia datang ke Bandung.
"Kak Aji emang gitu. Disuruh jaga warung dulu, eh malah mandi. Padahal akukan cuman
sebentar ke depan. Kalo ada yang beli atau ada maling gimana?" sungut Niken.
"Ibu kamu ke mana?" tanya Vira.
"Pengajian di masjid."
"Ooo?" "Aku kan mo pergi"," jawab Aji yang tiba-tiba nongol di ruang tamu. Cowok itu sudah
berpakaian rapi, dengan kemeja dan jins. Rambutnya juga sudah disisir, nggak kayak tadi yang
masih acak-acakan. "Ya kan cuman sebentar. Lagian Kakak mo pergi ke mana sih" Baru juga nyampe," tanya
Niken. "Ada perlu." "Halah" paling juga mo ke rumah Mbak Dian. Udah kangen nih ceritanya?"
Aji cuma bisa nyengir mendengar ucapan Niken.
"Mbak Dian tuh pacarnya Kak Aji. Sekarang kuliah di UNPAD. Jadi kalo kamu naksir
kakakku, siap-siap aja kecewa, soalnya mereka udah pacaran sejak SMA, dan kayaknya serius
banget. Kak Aji sangat setia dan sayang ke Mbak Dian," kata Niken sambil setengah tertawa.
Tentu saja dia ngomong gitu setelah kakaknya pergi. Vira cuma tersenyum kecil menanggapi
gurauan Niken. *** Setelah ibunya pulang dari pengajian, Niken ikut Vira pulang. Sekalian JJS (Jalan-Jalan Sore).
Dia membawa ransel yang agak melembung.
Saat melewati lapangan basket yang ada di dekat kompleks rumah Vira, Niken berubah
arah, dia menuju ke tengah lapangan yang kosong. Di tengah lapangan, cewek itu
mengeluarkan sesuatu dari ransel yang dibawanya. Ternyata bola basket.
"Ajarin aku maen basket!" seru Niken pada Vira yang masih ada di pinggir lapangan. "Kalo
kamu nggak mau masuk tim, ajarin aku maen basket. Jadi aku bisa masuk tim basket dan
ngebantu mereka!" Niken melemparkan bola ke ring. Tapi karena jaraknya masih jauh dan lemparannya nggak
kuat, bola nggak masuk ring.
"Wah" nggak nyampe"," kata Niken sambil nyengir.
"Maksud kamu apa sih"!" tanya Vira, membuat Niken menoleh ke arahnya. "Kenapa sih
kamu terus maksa" Aku kan udah bilang aku nggak peduli lagi dengan yang namanya
basket!!" Habis ngomong itu, Vira langsung pergi, meninggalkan Niken yang cuma bisa terpaku di
tempat. *** Vira lagi ngerjain PR matematika, saat pintu kamarnya diketuk.
"Boleh Mama masuk?" tanya mamanya dari luar.
"Nggak dikunci kok, Ma?"
Mama Vira masuk kamar. Tersenyum melihat anaknya belajar. Dalam hati. Dia senang
melihat kondisi mental Vira yang berangsur-angsur pulih, walau belum sepenuhnya.
"Ada apa, Ma?" tanya Vira.
"Nggak. Mama cuman pengin ngobrol ama kamu. Kamu lagi belajar, ya?" kata mamanya
sambil duduk di pinggir tempat tidur Vira.
Ngobrol" Vira mengernyitkan dahi. Nggak biasanya mamanya nyediain waktu khusus
untuk ngobrol. Setiap hari juga mereka ngobrol kok, walau sambil lewat atau melakukan
kegiatan masing-masing. "Udah selesai kok," jawab Vira, lalu menutup buku tulisnya dan duduk di sebelah
mamanya. "Ada apa sih" Kok tumben?"
"Kata Niken, kamu nggak mau masuk tim basket sekolah. Kenapa?"
Dia lagi, dia lagi! batin Vira kesal. Terus terang, dia nggak mengerti jalan pikiran Niken.
Niken nggak ikut ekskul basket, bahkan main basket juga nggak bisa. Tapi kenapa dia yang sok
sibuk pengin supaya tim basket berprestasi dan nggak dihapus dari daftar ekskul SMA 31"
Malah yang ikut ekskul basket juga nggak sesibuk Niken, termasuk Rei, sang ketua ekskul
basket dan kapten tim cowok.
Vira yakin, Niken melakukan semua itu bukan untuk dirinya sendiri. Dia melakukannya
untuk orang lain. "Vi?" Suara mamanya membuyarkan lamunan Vira.
"Kok kamu nggak jawab pertanyaan Mama?"
"Vira lagi males maen basket, Ma. Vira pengin belajar yang bener. Vira sadar dulu Vira
nggak pernah belajar jadi nilai Vira berantakan. Sekarang Vira pengin ngubah semua itu,"
jawab Vira ngasih alasan.
Mama Vira tertegun mendengar jawaban Vira. Dia nggak menyangka ucapan seperti itu
bakal keluar dari mulut anaknya. Kalau yang diucapkan Vira barusan benar, tentu aja ini
perubahan besar. Wanita itu masih ingat Vira yang dulu, yang hampir tiap malam nggak ada di
rumah dan selalu pulang di atas jam dua belas malam. Vira yang hampir nggak pernah
membuka buku pelajaran di rumah. Tapi Vira yang dulu juga Vira yang bisa menghabiskan
waktu berjam-jam kalau sudah latihan basket di lapangan basket mini di halaman belakang
rumahnya. Vira yang dulu adalah Vira yang menyempatkan waktu untuk berolahraga dan
menjaga kebugaran tubuh walau malamnya habis dugem. Semua itu nggak ada pada diri Vira
yang sekarang, yang lebih senang menghabiskan waktu luangnya untuk tidur daripada
olahraga. "Mama ingat, waktu kamu SMP, kamu lebih suka maen basket daripada tidur siang
sepulang sekolah. Mama harus sering marahin kamu, karena kamu lebih suka nonton NBA di
TV daripada belajar. Mama juga ingat, saat kita pertama kali pindah ke Bandung, kamu
ngambek, nggak mau pindah dari sekolah kamu di Jakarta. Untuk membujuk kamu, Papa
terpaksa merombak kolam renang di halaman belakang jadi lapangan basket. Dan itu cukup
ampuh. Kamu jadi nggak ngambek lagi."
Mamanya membelai rambut Vira.
"Keluarga kita memang sedang mengalami masa-masa sulit. Ini cobaan dari Tuhan, dan
kita sebagai manusia harus bisa melaluinya. Kita memang harus berubah untuk menghadapi
semua ini, tapi bukan berarti mengubah diri kita seluruhnya. Terus terang, Mama lebih suka
anak Mama yang dulu. Vira yang selalu ceria, punya banyak teman, dan selalu nggak ada
beban dalam hidupnya. Walau begitu Mama tetap nggak suka kebiasaan kamu dulu yang
selalu pergi ke diskotek dan pulang pagi."
Vira tersenyum kecil mendengar ucapan mamanya.
"Tapi kalo Vira maen basket lagi, Vira selalu ingat kenangan dulu, Ma. Gara-gara basket,
Vira jadi punya musuh yang mau ngelakuin apa aja untuk nyingkirin Vira."
"Tapi karena basket, kamu jadi dikenal orang. Kamu jadi punya kebanggaan. Siapa pun
lebih mengenal kamu sebagai ratu basket, bukan ratu dugem. Iya, kan?"
"Mama bisa aja."
"Jadi, kenapa kamu harus menjauhkan diri dari olahraga yang sudah jadi darah daging
dalam diri kamu" Mama denger kamu juga jadi tertutup di sekolah. Kamu nggak mau bergaul
dengan temen-temen baru kamu. Cuman Niken yang deket ama kamu, itu juga karena dia yang
pertama nyapa kamu."
"Vira udah nggak percaya dengan apa yang disebut temen. Nggak percaya apa yang
disebut sahabat. Selama ini, orang jadi teman Vira cuman karena pengin ngambil keuntungan
dari Vira. Mereka jadi sahabat Vira karena ada maunya. Saat Vira udah nggak berguna lagi
untuk mereka, mereka lalu membuang Vira dan seakan-akan nggak pernah kenal Vira."
Mama Vira menghela napas mendengar ucapan putrinya. Dia tahu, Vira sekarang nggak
lagi percaya dengan yang namanya persahabatan.
"Mama tau perasaan kamu saat temen-temen kamu ninggalin kamu, dan seakan-akan
nggak mau peduli dengan keadaan kamu. Mama bisa ngerasain, hati kamu pasti sakit sekali
saat ini. Karena itu, Mama nggak pernah maksa kamu untuk langsung menerima kenyataan
yang menimpa keluarga kita. Mama membiarkan kamu bersikap sesuai perasaan kamu,
dengan harapan suatu saat kamu bisa kembali menjadi Vira yang dulu. Mama nggak pernah
maksa kamu menjenguk Papa di penjara, walau Papa sering nanyain kamu. Piala, poster, dan
bola basket kesayangan kamu juga nggak Mama buang waktu kamu minta begitu, dengan
harapan siapa tau suatu saat kamu akan menaruhnya lagi di kamar kamu. Tapi harapan Mama
ternyata salah. Kamu jadi terbawa dengan perasaan kamu yang sekarang. Untung ada Niken
yang mau jadi temen kamu, dan?"
"Niken juga sama aja!" potong Vira. "Dia ngedeketin Vira, mau jadi temen Vira karena
pengin Vira masuk tim basket sekolah. Kalo nggak butuh Vira, dia nggak bakal mau kenal Vira.
Dia nggak bakal mau negur Vira duluan."
Mamanya tersenyum kecil mendengar ucapan Vira. "Apa yang kamu katakan tadi tentang
Niken nggak sepenuhnya benar," ujarnya pendek, bikin Vira heran.
"Maksud Mama?" "Terus terang, Mama kagum pada Niken. Kalo dengar cerita ibunya, kehidupan
keluarganya hampir sama dengan kita, bahkan lebih sulit daripada kita. Saat Niken masih SMP,
ayahnya yang bekerja sebagai pedagang tertipu habis-habisan. Rumah dan semua harta
bendanya disita bank untuk melunasi utang-utang yang uangnya dibawa kabur oleh rekan
bisnis ayahnya. Itu membuat ayah Niken stres, dan akhirnya bunuh diri. Niken dan kakaknya
sempat down saat kematian ayahnya. Dan sejak itu, ibunya harus kerja keras untuk membiayai
kehidupannya beserta ketiga anaknya. Tapi lama-kelamaan mereka bisa melewati semua itu.
Niken kembali ceria dan selalu menghadapi hidup ini dengan gembira. Kakaknya bahkan bisa
mendapat beasiswa untuk kuliah di Australia sampai lulus. Ini sedikit meringankan kehidupan
keluarga mereka." Vira memang pernah sedikit mendengar kehidupan keluarga Niken. Tapi dia nggak
nyangka Niken pernah mengalami hal seperti dirinya sekarang, bahkan lebih sulit. Kehilangan
salah satu anggota keluarga yang disayangi, sekaligus tulang punggung keluarga untuk
selamanya. Sedang dia mungkin hanya akan kehilangan papanya selama beberapa tahun, jika
papanya terbukti bersalah. Diam-diam Vira berharap agar papanya nggak melakukan apa yang
dilakukan ayah Niken. "Setelah mendengar cerita tentang keluarga Niken, Mama lalu minta bantuan dia untuk
membantu kamu. Membantu mengembalikan diri kamu. Dan kebetulan, Niken juga pengin
kenal kamu, sejak pertama melihat kamu di sini. Apalagi setelah dia tau kalo kamu sekelas
dengan dia. Tapi melihat sikap kamu yang tak acuh, dia jadi ragu-ragu. Butuh waktu lama bagi
Mama untuk meyakinkan Niken siapa kamu sebenarnya?" Mamanya berhenti sejenak,
menghela napas sebelum melanjutkan ceritanya.
"Mama juga yang ngusulin ide ke Niken supaya ngajak kamu bergabung ke tim basket
sekolah. Apalagi Niken bilang, ketua ekskul basket adalah sahabatnya, dan mereka memang
butuh pemain bagus untuk meningkatkan prestasi tim sekolah. Dan Niken pernah cerita ke
Mama usahanya untuk masukin kamu ke tim basket. Sebagai ketua OSIS dia dituding nggak
netral karena memihak satu ekskul tertentu. Belum lagi usahanya meyakinkan anggota tim
basket kalo kamu adalah pemain yang bagus dan bisa mengangkat tim. Ditambah lagi dengan
penolakan kamu. Tapi yang Mama salut, Niken nggak menyerah. Dia tetap berusaha supaya
kamu bisa maen basket lagi, walau Mama pernah bilang ke dia supaya nggak usah
memaksakan dirinya. Mama akhirnya tau, Niken nggak bisa berusaha seorang diri, dan Mama
harus membantunya." Cerita mamanya membuat Vira tercenung. Dia emang udah mengira, apa yang dilakukan
Niken yang sok sibuk membujuk dirinya masuk ke tim basket sekolah adalah untuk orang lain.
Tapi Vira nggak menyangka Niken melakukan semua ini untuk dirinya, atas permintaan
mamanya. Tadinya dia kira Niken melakukannya untuk Rei, teman SMP-nya.
"Terima kasih atas cerita Mama. Tapi Vira belum bisa kembali seperti dulu, Ma. Vira
mungkin bisa nerima Niken sebagai teman. Tapi Vira belum bisa maen basket lagi. Vira belum
bisa kembali ceria seperti dulu, seperti yang Mama harapkan. Maafin Vira, Ma?"


Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mama Vira kembali membelai rambut anaknya.
"Mama juga nggak bakal maksa kamu untuk secepatnya kembali seperti dulu. Mama ingin
itu semua berasal dari diri kamu sendiri. Tapi Mama harap kamu juga memerhatikan omongan
Mama tadi, soalnya mama melakukan ini semua untuk kebaikan kamu, karena Mama sayang
sama kamu." Vira mengangguk, lalu memeluk mamanya.
"Makasih Ma. Vira juga sayang Mama," ujar Vira.
"Rambut kamu udah panjang, nggak dipotong?" tanya mamanya. Dia ingat, dulu Vira pasti
ribut kalo rambutnya sudah melebihi pundaknya. Katanya panas dan bikin gerakan nggak
bebas kalo maen basket! Rasanya saat itu dia pengin mindahin salon ke rumah. Tapi sekarang,
panjang rambutnya sudah sepunggung, dan Vira cuek aja.
"Vira belum siap untuk kembali seperti dulu, Ma"," Vira mengulangi kata-katanya sambil
menatap mamanya. "Baiklah, udah malam. Kamu besok harus sekolah, kan?"
Mamanya lalu berdiri dan menuju pintu kamar.
"Satu lagi, Mama yakin persahabatan sejati itu masih ada. Kamu butuh sahabat untuk
membantu kamu. Mama lupa bilang, Niken dulu bisa melewati masa-masa sulitnya karena ada
yang membantunya. Ada sahabatnya yang selalu menghibur dan mengembalikan semangat
hidupnya." *** Sore ini sedang ada kegiatan ekskul basket di sekolah. Anak-anak cowoknya sedang maen mini
game di salah satu sisi lapangan, sedang ceweknya melakukan latihan dasar di sisi lapangan
lainnya. Mereka kelihatan serius latihan, terutama di bagian cowok, sebagai persiapan
menghadapi Turnamen Antar-SMA Se-Bandung Raya beberapa bulan lagi, sekalipun
merupakan perjudian terakhir mereka yang menentukan kelangsungan ekskul basket di SMA
31. Saking seriusnya berlatih, para anggota ekskul basket itu nggak tahu sedari tadi ada yang
memerhatikan latihan mereka dari kejauhan. Vira berdiri di salah satu sudut sekolah yang
luput dari perhatian. Dia sengaja pake topi dan jaket, supaya nggak ada yang mengenali.
Rambutnya yang panjang dilipat dan disembunyikan di balik topi dan jaket. Dia memerhatikan
latihan basket anak-anak SMA 31 dengan sangat serius.
Gue belum siap untuk ini! batin Vira.
Dua Belas SEJAK kejadian di lapangan basket, Niken nggak pernah lagi nyinggung-nyinggung soal basket
di hadapan Vira. Bahkan sekarang dia jarang ngobrol dengan Vira, karena sibuk bikin evaluasi
awal tentang ekskul-ekskul di SMA 31. Belum lagi adanya peristiwa nggak terduga di SMA 31;
empat anggota PA SMA 31 hilang ketika mencoba mendaki Gunung Burangrang saat weekend.
Untunglah, dua hari kemudian mereka berhasil ditemukan Tim SAR dalam keadaan selamat,
hanya kedinginan dan kelaparan. Tentu saja Niken sebagai ketua OSIS ikut sibuk, karena walau
pergi atas nama Pecinta Alam SMA 31, keempat temannya itu pergi tanpa izin sekolah. Dan
alasan mereka naik Gunung Burangrang dalam cuaca yang buruk hanya ingin membuktikan
bahwa ekskul PA SMA 31 punya prestasi yang bisa dibanggakan. Mereka nekat tetap naik
walaupun sudah dilarang penduduk setempat, bahkan mencoba membuka jalur baru. Ini
membuat Niken sedikit merasa bersalah karena dia pernah bilang ke anak-anak PA untuk
mencoba membuat sesuatu yang berbeda yang bisa bikin harum nama sekolah.
"Ini bukan salah kamu. Kamu kan bilang itu ke semua ekskul, nggak cuman PA," kata Rei
mencoba menghibur Niken saat mereka menjenguk teman-teman mereka di Rumah Sakit
Hasan Sadikin. "Walau begitu aku tetap merasa nggak enak. Seakan-akan aku yang nyuruh mereka naek
gunung. Pake buka jalur baru lagi," sahut Niken, masih tetap dengan wajah sedih. Rei
merangkul Niken untuk sekadar menenangkan hati cewek itu.
*** Vira sengaja bangun agak siang di hari Minggu ini. Malas rasanya bangun pagi-pagi. Itu pun
dia baru bangun setelah pintu kamarnya diketuk dari luar.
"Vira, ada yang mo ketemu kamu," kata mamanya dari luar pintu kamar.
"Siapa, Ma" Niken?"
"Kamu temuin aja dulu."
Siapa sih" Ngeganggu rencana orang untuk tidur sampe siang aja! tanya Vira dalam hati.
Tadinya dia berpikir yang datang Niken. Tapi kalau Niken, mamanya pasti langsung ngasih
tahu. Atau Amel" Sejak ketemu secara nggak sengaja di dekat BIP, Amel memang beberapa kali
datang ke rumah Vira, sekadar untuk maen atau curhat. Tapi biasanya Amel menelepon dulu
kalau mau dateng lewat HP pemberiannya untuk Vira.
*** "Amel harap, kamu nggak punya pikiran kalo Amel ngasih HP ke kamu karena kasihan ama kamu. Amel
cuman minta tolong ke kamu, supaya mau jadi temen curhat Amel lagi. Dan Amel kan nggak bisa setiap
saat ke rumah kamu. Jadi dengan HP ini, Amel bisa setiap saat ngobrol ama kamu. Itu juga kalo kamu
nggak keberatan dan mau nolongin Amel," kata Amel saat ngasih HP ke Vira.
Vira nggak bisa menolak permintaan Amel. Walau begitu, wajahnya masih diliputi keraguan.
"Tapi, Mel. Kamu kan tau keadaanku sekarang. Aku nggak bisa pake HP ini sembarangan. Mungkin
juga nggak setiap saat bisa ngisi pulsa?"
"Amel tau kok. Kamu jangan khawatir. Nomor di HP ini adalah nomor pascabayar, dan tagihannya
dialamatin ke Amel. Pake aja HP ini sesuka kamu, jangan pikirin soal pulsa."
"Tapi?" "Kamu mau kan tetep jadi sahabat Amel?"
* * * Penasaran, Vira bangun dari tempat tidurnya. Dia pengin lihat siapa orang yang berani kurang
ajar ngeganggu tidurnya. Kalau itu Niken, Vira jadi punya satu lagi alasan untuk nggak
berbaikan dengan cewek itu. Dengan mata masih setengah tertutup dan rambut acak-acakan
kayak kuntilanak kesiangan, Vira keluar dari kamarnya.
"Di mana, Ma?" tanya Vira.
"Di teras." Tangan Vira tiba-tiba dicekal mamanya.
"Ada apa?" "Kamu cuci muka dulu atau apa kek. Masa berantakan gitu mo keluar?"
"Ntar deh, Ma. Vira pengin liat siapa sih yang dateng. Emang Mama nggak kenal?"
"Kenal sih, tapi Mama pikir kamu sebaiknya liat sendiri," jawab mamanya, bikin Vira
tambah penasaran. Di teras depan, Vira baru mendapat jawaban dari rasa penasarannya.
"Elo?" *** "Gue hamil, Vi?"
Suara Diana sangat lirih. Itu sengaja supaya nggak terdengar mama Vira yang lagi melayani
pembeli di warungnya. Padahal mereka berdua sudah ada dalam kamar Vira. Itu atas
permintaan Diana yang pengin ngobrol private dengan Vira. Walau rada ogah-ogahan ketemu
Diana, Vira akhirnya mau menuruti permintaan itu.
Vira sama sekali nggak kaget mendengar ucapan Diana. Dia menanggapinya dengan
dingin. Tentu saja, soalnya Vira masih sakit hati dengan sikap Diana saat hari-hari terakhirnya
di SMA Altavia. Diana malah lebih memihak Stella daripada dirinya.
"So" Kenapa lo dateng ke gue" Emangnya gue dokter?" balas Vira dingin.
Diana terdiam mendengar ucapan Vira yang jutek itu. Setelah beberapa lama, baru dia
ngomong lagi, "Gue tau lo marah, atau bahkan ngebenci gue. Gue juga sebetulnya malu dateng
ke lo. Malu karena gue baru dateng saat gue punya masalah sendiri. Tapi gue betul-betul nggak
tau siapa lagi orang yang bisa gue ajak curhat selain lo. Dan gue dapet alamat rumah lo dari
Amel." "Bagaimana dengan Stella" Lisa" Kan lo masih sahabat mereka?"
"Lo sendiri tau sifat mereka berdua. Gue cuman jadi sahabat mereka kalo lagi senengseneng. Kalo gue lagi susah, mereka nggak sedikit pun mau bantuin. Stella malah nyalahin gue
karena nggak hati-hati, dan nyuruh gue aborsi."
"Apa lo pikir gue nggak bakal nyuruh lo aborsi juga?"
"Vi?" Mata Diana mulai berkaca-kaca. Dia nggak bisa menahan perasaannya lagi. "Lo boleh benci
gue, tapi jangan suruh gue aborsi. Gue nggak mau ngelakuin itu. Gue takut, Vi."
Melihat wajah Diana, hati Vira jadi luruh. Kebenciannya perlahan-lahan berubah jadi rasa
kasihan. "Kalo nggak gitu, lo bakal dikeluarin dari sekolah," kata Vira lirih.
"Itulah, Vi. Gue bingung harus bagaimana. Gue masih pengin sekolah, tapi gue juga takut
ngegugurin kandungan gue."
"Gimana dengan bokap-nyokap lo?"
"Mereka belum tau. Gue nggak berani ngasih tau soal ini. Kalo sampe tau, ortu gue pasti
marah besar, bahkan mungkin mecat gue jadi anak. Tapi cepat atau lambat mereka pasti tau."
Diana mengelus-elus perutnya. Perutnya emang belum kelihatan membesar karena menurut
Diana usia kehamilannya baru sekitar dua bulan.
"Siapa?" tanya Vira.
"Hah?" "Siapa yang ngehamilin lo" Andre" Lo masih pacaran ama dia, kan?"
Diana nggak menjawab pertanyaan itu.
"Na?" "Gue udah putus ama Andre tiga bulan lalu."
"Trus, siapa?" "Terus terang, gue juga bingung. Mungkin Yanuar, cowok gue sekarang, tapi mungkin juga
Ridwan, Ferdi" atau bahkan Robi."
Nama yang disebut terakhir bikin Vira sedikit terkejut.
"Robi" Lo juga tidur ama dia?"
Diana mengangguk pelan. "Maafin gue, Vi. Sebetulnya gue udah lama ngelakuin ini dengan Robi, bahkan ketika Robi
masih jadi cowok lo. Gue lakuin ini supaya gue bisa mulus jadi kapten cheers. Gue harap lo mau
maafin gue?" Itu ucapan kedua Diana yang bikin Vira terkejut. Tapi dia masih bisa menguasai diri.
"Mungkin lo sekarang ngira gue udah jadi perek atau cewek gampangan. Gue terima itu.
Gue juga minta maaf karena nggak pernah denger kata-kata lo dulu. Dulu lo pernah bilang
supaya gue jangan terlalu bebas dan bisa sedikit membatasi diri. Lo pernah bilang kalo gue
jangan terlalu gampang kenalan dan pergi ama cowok, apalagi yang baru gue kenal. Tapi gue
nggak pernah mau dengerin semua ucapan lo. Sekarang gue baru sadar kata-kata lo ada
benarnya?" "Lo udah kasih tau mereka" Kasih tau cowok-cowok yang pernah berhubungan ama lo?"
potong Vira. "Gue udah bilang Yanuar?"
"Trus, dia bilang apa?"
"Yanuar menolak kalo kandungan gue adalah janinnya. Dia udah tau soal hubungan gue
dengan cowok-cowok lain, dan nuduh gue mo ngejebak dia. Dan sama seperti Stella, dia juga
nyuruh gue aborsi." Dasar cowok brengsek! batin Vira. Vira kenal yanuar, anak kelas 3IPS-1 yang termasuk
salah satu temen Robi. Sama brengseknya dengan Robi. Heran juga kenapa Diana bisa pacaran
ama dia. Padahal dulu Vira selalu ngelarang Diana deket dengan cowok yang menurut
pandangannya brengsek. Mungkin setelah dirinya nggak ada, Diana jadi lebih bebas dan nggak
ada yang ngasih tahu. Stella dan Lisa nggak mungkin peduli seperti dirinya.
"Ngapain gue bilangin Diana" Dia kan udah gede, udah bisa milih yang terbaik untuk
dirinya sendiri. Kalo gue bilangin dia, ntar dikiranya gue ikut campur, atau sirik ama dia. Kalo
ada apa-apa kan ntar dia yang tanggung sendiri." Begitu jawaban Stella dulu saat Vira minta
supaya dia juga ikut memerhatikan pergaulan Diana.
"Gue juga udah bilang Robi," kata Diana lagi.
"Robi juga udah tau?" tanya Vira.
Diana mengangguk. Lo udah menggali lubang kubur lo sendiri! batin Vira sambil menatap Diana dengan iba.
Tiga Belas SETELAH kedatangannya di hari Minggu, Vira nggak mendapat kabar apa pun lagi soal Diana.
Dia juga nggak berniat menelepon, sekadar bertanya soal kehamilannya. Vira belum benarbenar bisa melupakan sikap Diana padanya dulu. Dan lagi, dia pikir Diana baik-baik saja
karena nggak pernah menghubunginya lagi.
Sampe lima hari setelah kedatangan Diana, saat akan berangkat sekolah, HP Vira berbunyi.
Dari Diana! "Halo?" "Vi, gue dikeluarin dari sekolah"," suara Diana terdengar lirih dan bergetar. Sepertinya
dia ngomong sambil nangis.
"Na?" "Mereka bilang gue bikin malu nama sekolah. Tanpa mau denger penjelasan gue, mereka
langsung ngeluarin gue."
"Na, lo di mana?"
"Kalo mereka menganggap gue bikin malu nama sekolah, gue akan bener-bener bikin malu
nama sekolah. Makasih, Vi, lo mau dengerin semua curhat gue kemarin, walau gue tau lo
masih benci ama gue. Gue juga mohon lo maafin semua kesalahan gue ke lo. Bagi gue, lo tetep
sahabat terbaik yang pernah gue punya. Gue seneng punya sahabat kayak lo. Selamat tinggal,
Vi. Jaga diri lo baik-baik?"
Setelah itu Diana memutuskan hubungan telepon.
"Halo" Diana?"
"Dari siapa?" tanya mamanya yang ada di deket Vira.
"Dari Diana, Ma."
Heran dan penasaran dengan ucapan Diana, terutama kata-kata terakhirnya, Vira mencoba
menghubungi HP Diana. Tersambung, tapi nggak diangkat. Dia mencoba beberapa kali, tapi
sama saja, hingga akhirnya terdengar suara mailbox yang mengatakan nomor yang dihubungi
nggak aktif atau di luar jangkauan.
Aneh! batin Vira. Tiba-tiba perasaannya jadi nggak enak.
*** "Udah nyerah nih?"
Suara Rei membuat Niken yang lagi membuat catatan nggak jelas di perpustakaan sepulang
sekolah menoleh. "Jangan sekarang deh, Rei," balas Niken. Wajahnya keliatan suntuk.
Rei duduk di sebelah Niken.
"Ada apa sih?" tanya Rei.
"Mosi nggak percaya," jawab Niken pendek.
"Hah?" "Pengurus ekskul yang lain pada protes, kenapa aku nggak pernah ngelongok kegiatan
ekskul mereka lagi. Mereka pikir aku berat sebelah, selalu ngutamain basket. Apalagi setelah
mereka denger usahaku bikin tim basket cewek jadi bagus. Padahal udah aku jelasin kalo
pemantauan kegiatan ekskul tuh nggak dilakukan aku sendiri, tapi udah dibagi-bagi ke setiap
pengurus OSIS. Misalnya PA oleh Andi, voli oleh Rika, sedang aku sendiri memantau basket.
Tapi mereka nggak mau ngerti. Bagi yang lain, mungkin nggak afdal kalo kegiatannya nggak
dilongok Ketua OSIS, walau aku udah ngomong panjang-lebar bahwa siapa pun orangnya,
bobot penilaiannya tetap sama. Hasil pemantauan tiap-tiap ekskul nanti akan dibahas
semuanya dalam rapat OSIS sebelum kita membuat laporan ke Pak Atmo. Jadi nggak ada yang
diistimewakan, termasuk basket sekalipun."
"Dan mereka tetep nggak mau ngerti. Iya, kan?"
Niken mengangguk. "Mereka mo bilang soal ini ke Pak Danang. Bahkan ada yang mo usul untuk ngadain
pemilihan ulang Ketua OSIS."
Mendengar itu, Rei menggeleng-geleng. "Konyol banget sih mereka, kayak anak-anak aja.
Ngambek kalo nggak diperhatiin. Padahal ekskul mereka justru lebih punya harapan daripada
basket. Justru kami yang lebih ketar-ketir." Rei terdiam sejenak. "Kalo gitu, sebaiknya kamu
nggak usah ikut lagi bantuin basket. Urungin aja niat kamu bikin tim cewek jadi lebih bagus.
Lagian Vira juga nggak mau kan masuk ekskul basket?"
"Kamu tau Vira orangnya?"
"Rida yang bilang?"
Dasar Rida ember, nggak bisa pegang rahasia! rutuk Niken dalam hati.
"Sori, tapi aku tetap akan berusaha masukin dia ke tim. Aku akan berusaha supaya dia
maen basket lagi. Biarin aja yang lain bikin mosi nggak percaya. Nanti juga terbukti tuduhan
mereka sama sekali nggak bener," tukas Niken.
"Kamu kenapa sih ngotot gitu?"
"Karena aku udah janji."
"Janji" Janji ke siapa" Kamu nggak pernah janji ke aku."
"Bukan ama kamu?" Niken menatap Rei. "Aku janji ke seseorang. Janji untuk
mengembalikan hidup Vira seperti semula," tandas Niken.
*** Acara pemakaman Diana Riantanu baru selesai saat Vira datang. Dia emang memutuskan
datang ke acara pemakaman di saat-saat terakhir, dengan konsekuensi bakal ketemu bekas
teman-teman dan guru-gurunya di SMA Altavia. Tapi hari ini Vira memang sial. Saat lagi buruburu, angkot yang ditumpanginya kebanyakan ngetem di pinggir jalan, nunggu penumpang
lain. Belum lagi jalanan yang mendadak macet karena ditutup saat ada rombongan presiden
lewat. Jadinya dia terlambat.
Diana emang dimakamkan sore itu juga, setelah pagi harinya bunuh diri dengan melompat
dari atap gedung SMA Altavia yang berlantai tiga, tepat setelah menelepon Vira. Vira sendiri
baru tahu dua jam setelah kejadian, setelah Amel menelepon. Itu menjawab pertanyaan kenapa
HP Diana nggak aktif saat balik ditelepon Vira. HP-nya dibuang dulu ke bawah sebelum Diana
menyusul melompat. Apa yang ditakuti Vira akhirnya terjadi juga. Dia berpapasan dengan Stella bareng temanteman sekelasnya. Stella kelihatan kaget juga melihat Vira, apalagi melihat rambut panjangnya.
"Lo! Ngapain lo ke sini"!" bentak Stella.
"Gue pengin menghadiri pemakaman temen gue!" balas Vira nggak kalah sangar, walau
dengan suara yang lebih pelan.
"Temen" Siapa temen lo" Diana" Lo kira lo pantes jadi temen dia"!"
"Oya?" Vira menatap tajam ke arah Stella. Pengin rasanya dia menampar cewek itu lagi,
tapi keinginan itu ditahannya.


Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu ke mana temen-temen Diana saat dia butuh bantuan" Ke mana temen-temen Diana
saat dia lagi bingung dan tertekan karena tau dirinya hamil dan nggak ada yang mau tanggung
jawab" Ke mana temen-temen Diana saat dia butuh dukungan dan bukannya malah nyuruh dia
aborsi?" Stella cuma diam. Vira segera meninggalkan Stella dan teman-temannya. Dia nggak pengin
lama-lama melihat wajah yang paling dibencinya itu.
"Dari mana dia tau semua tentang Diana?" tanya Lisa pada Stella.
"Dari siapa lagi?" Stella menatap Vira yang sedang memeluk Amel.
"Lo mo ngerjain Amel, Stel" Gue saranin jangan. Robi aja nggak berani macem-macem ke
dia." Stella nggak menanggapi ucapan Lisa.
*** Meninggalnya Diana bikin perasaan Vira jadi terpukul. Dia menyesal karena bersikap sedikit
tak acuh saat Diana datang ke rumahnya. Bahkan yang gawat, Vira menganggap sikapnya itu
menjadi salah satu penyebab Diana bertindak nekat. Sampe dua hari Vira mengurung diri di
kamar cuma melamun sambil memandangi foto-foto Diana bareng dirinya, dan bareng anggota
The Roses lainnya. Dia bahkan sampai nggak sekolah. Bagaimanapun, Diana adalah temen
yang paling deket setelah Amel saat Vira masih di SMA Altavia.
"Aku cuek aja pas dia butuh bantuan. Kalo aja waktu itu aku nolong Diana dan
membangkitkan semangat dia, pasti Diana nggak bakal bunuh diri," kata Vira saat Amel
datang ke rumahnya. Vira lalu meneteskan air mata dalam pelukan Amel, sambil memandangi
foto yang dipegangnya. Foto The Roses saat mereka berlima pergi ke Dufan.
"Kamu nggak salah. Diana juga nggak nyalahin kamu. Bukannya kata kamu, di saat-saat
terakhirnya, Diana bilang kamu adalah sahabat terbaiknya" Itu berarti, dia menganggap kamu
udah nolong dia?" Mendengar ucapan Amel, Vira melepas pelukan sahabatnya.
"Diana juga bilang, sekolah ngeluarin dia karena dianggap bikin malu nama sekolah. Dan
dia bener-bener akan bikin malu nama sekolah," kata Vira.
"Kalo itu Amel nggak tau maksudnya."
"Gampang aja. Berita bunuh diri Diana tersebar di mana-mana. Beritanya ada di setiap
koran, bahkan hingga ke TV. Dan mau nggak mau, nama SMA Altavia pasti disorot. Diana
bener-bener bikin malu nama sekolah."
"Ya" tadi aja masih banyak wartawan di luar pager sekolah, di samping polisi yang masih
masang garis kuning di tempat Diana jatuh," ujar Amel.
Tapi Vira nggak mendengar kata-kata Amel. Dia sibuk memikirkan ucapan terakhir Diana
di HP sebelum bunuh diri.
Bikin malu SMA Altavia" Kenapa nggak" pikir Vira.
*** Suatu sore, Niken sendirian berada di tengah lapangan basket dekat rumahnya. Beberapa kali
dia mencoba memasukkan bola ke ring. Tapi selalu gagal. Bahkan lemparannya dari jarak
normal juga nggak bisa sampe ke ring, walau dia udah melempar sekuat tenaga.
Ternyata susah juga maen basket! kata Niken dalam hati. Padahal kalau dia melihat
pertandingan NBA di TV, enak banget para pemainnya mempermaikan bola sekehendak hati,
melempar serta menembak bola ke ring kayak melempar batu saja.
Emang udah beberapa hari ini Niken latihan basket sendiri. Dia pengin juga bisa main
basket, walau mungkin cuma dasarnya. Niken tadinya minta Vira buat melatih dirinya, tapi
Vira malah marah-marah. Niken juga malu untuk minta Rei melatihnya (padahal dia nggak
malu waktu pinjem bola ke Rei waktu itu).
Setelah mengambil napas, Niken siap-siap menembak bola ke ring lagi. Kali ini dia nggak
langsung melempar, tapi memerhatikan dulu ring sasarannya. Tangannya yang memegang
bola pun mulai terangkat, dan"
"Jangan pake kekuatan pergelangan tangan. Pake kekuatan lengan kamu untuk mendorong
bola, pasti bolanya bakal nyampe ke ring."
Suara lembut itu berasal dari belakang Niken, membuat dia menoleh. Niken setengah
nggak percaya begitu melihat siapa orang yang baru "ngajarin" dia.
"Kamu?" Empat Belas MINGGU soree" Anak-anak ekskul basket sudah berkumpul di lapangan basket sekolah. Walau hari
Minggu, ekskul basket emang tetap latihan sore karena paginya lapangan yang juga bisa
berfungsi sebagai lapangan voli ini dipake latihan ekskul voli, dan siangnya kadang-kadang
dipake taekwondo atau karate.
Niken juga ada di antara anak-anak basket. Walau sebetulnya bukan hal aneh lagi dia
sering nongkrong di situ, tapi kehadirannya kali ini sedikit istimewa, karena Niken juga lagi
nunggu seseorang. "Belum dateng juga?" tanya Rendy pada Niken.
"Belum. Rei juga belum dateng?"
"Tadi Rei nelepon, katanya dia agak terlambat karena ada perlu dulu. Dia juga pesen
latihan dimulai dulu aja tanpa dia. Lima menit lagi kita mulai latihan," jawab Rendy yang
menjabat wakil ketua ekskul basket.
Niken mengangguk. Ke mana dia" tanya Niken dalam hati.
Lima belas menit kemudian, yang ditunggu Niken baru datang, membuat wajah cewek itu
jadi ceria. *** Dari arah pintu gerbang sekolah, Vira berjalan ke lapangan. Surprise! Satu hal yang bikin Niken
baru bisa ngenalin Vira saat jaraknya sudah dekat adalah rambut Vira yang dipotong pendek!
Rambut yang sehari sebelumnya masih panjang terurai itu sekarang dipotong pendek, mirip
potongan rambut Yulia Volkova, salah satu personil grup t.A.T.u yang rambutnya mirip cowok
itu. Kedatangan Vira tentu bikin suasana latihan jadi sedikit heboh. Cowok-cowok berhenti
latihan dan semuanya memandang ke arah Vira.
"Itu yang ditunggu Niken" Bukannya itu Vira" Anak baru di kelas 2IPA-1?"
"Iya. Tapi kok jadi beda ya" nggak kayak biasanya?"
"Setuju! Dia jadi imut dan cakep! Gileee?"
Rambut baru Vira memang membuat wajahnya berubah. Wajah Vira sekarang kelihatan
lebih fresh. Rambutnya itu juga membuat dia kelihatan lebih tinggi dan langsing. Apalagi Vira
sekarang pake training pack yang bikin bentuk badannya sedikit terlihat.
Nggak cuma cowok-cowok yang seperti tersihir melihat penampilan baru Vira. Sebagian
cewek yang ada di sekitar lapangan juga menatap Vira dengan pandangan nggak percaya,
termasuk Niken. "Sori, aku telat. Abis tadi potong rambut dulu ke salon, dan salonnya penuh," sapa Vira
pada Niken sambil menggerak-gerakkan kepalanya. Aroma sampo menyebar dari rambutnya.
"Nggak papa kok. Latihannya juga baru mulai," jawab Niken. Lalu dia memanggil Rendy.
"Ini formulir biodata anggota ekskul basket. Kamu isi lalu balikin ke Rei, aku, atau Dini
beserta pasfoto ukuran 3 X 4 dua lembar. Boleh berwarna atau hitam-putih," Rendy
menerangkan sambil menyerahkan selembar kertas berisi formulir yang harus diisi Vira.
"Balikin ke Rei atau Dini aja, Vi, biar aman," potong Niken sambil ngintip isi formulir yang
dikasih Rendy. Rendy cuma garuk-garuk kepala mendengar ucapan Niken sambil nyengir.
"Tapi balikinnya nggak harus sekarang, kan" Soalnya aku nggak bawa bolpoin dan pasfoto.
Besok ya?"" "Nggak papa kok. Kamu bisa balikin kapan aja, asal jangan kelamaan. Ini sekadar
formalitas doang." "Kamu bisa serahin ke aku, ntar aku yang kasih ke Rei atau Dini," kata Niken.
"Oke, thanks." "Jadi, mo langsung latihan?" tanya Rendy.
Vira mengangguk. "Tunggu dulu!" Suara itu berasal dari Rida. Kemudian dia, Dini, dan beberapa anggota tim basket cewek
mendekati Vira. "Ren, sejak kapan anggota baru bisa langsung masuk tim tanpa diliat kemampuannya
dulu?" tanya Rida. "Da, ini kan udah kesepakatan kemaren?"
"Bener, tapi itu kan kesepakatan antara kita, bukan dengan seluruh anggota ekskul basket.
Dan aku cuman nggak mau anak-anak yang lain ngelihat ini sebagai tindakan sewenangwenang dari pengurus."
"Kamu jangan berlebihan gitu dong?"
"Betul, Ren. Kita kan belum tau kemampuan dia. Kalo dia langsung masuk tim inti tanpa
kita tau kemampuannya, kasian dong anak-anak yang lain. Mereka selalu latihan keras supaya
bisa masuk tim inti, eh tau-tau ada orang baru yang langsung masuk tanpa seleksi dulu","
sambung Dini. "Walau tim cewek boleh dibilang nggak sebagus tim cowok, tapi bukan berarti kita bisa
seenaknya aja masukin orang ke tim inti, meskipun katanya dia pemain hebat. Kita harus liat
buktinya dulu, kan?" tukas Rida lagi.
"Kalo kalian mo protes, protes ke Rei kalo dia udah dateng"," sergah Rendy.
"Mereka benar," potong Vira tiba-tiba. "Setiap anggota baru emang harus dites dulu,
apalagi kalo mo masuk tim inti."
"Tapi, Vi, kata Rei?"
Vira membuka tas yang dibawanya dan mengambil sebuah bola basket dari dalamnya. Bola
basket berwarna hitam dengan hiasan garis merah itu dibelinya saat nonton Chicago Bulls
langsung di Chicago. Yang istimewa, bola basket itu dihias tanda tangan asli Michael Jordan
dengan spidol perak. Vira memang kebetulan ketemu pemain legendaris NBA itu di sana.
Walau saat itu Michael Jordan sudah pensiun jadi pemain, tanda tangannya tetep diburu para
penggemar basket. Itu bola basket kesayangan Vira yang nggak dipegangnya selama enam
bulan terakhir. Bola itu disimpan oleh mamanya, dan baru tadi siang dikasih lagi ke Vira.
Sambil mendribel bola dengan pelan, Vira mendekati ring basket terdekat. Di dekat garis
tiga angka (three point line), dia berhenti, dan melihat ring basket sebentar. Dengan satu gerakan,
Vira mengangkat bola dan menembaknya tanpa mengukur lagi. Bola meluncur deras dari
tangan Vira dan masuk ke ring dengan mulus tanpa sama sekali menyetuh pinggir ring.
Dasar pamer! batin Niken. Tapi dia geli juga melihat Rida dan yang lainnya melongo
melihat apa yang dilakukan Vira. Itu hanya bisa dilakukan pemain yang punya skill tinggi.
"Jadi, seleksi apa yang harus dijalani anak baru untuk bisa masuk tim?" tanya Vira sambil
menoleh ke arah Rida dan teman-temannya.
*** Pulang sekolah, Vira jalan-jalan di BSM. Dia mau mencari sepatu baru untuk main basket,
karena ternyata sepatunya yang lama"yang dibelinya di Singapura"termasuk ikut disita
dulu. Tadinya Vira mengajak Niken buat nemenin, tapi Niken nggak bisa karena harus jagain
warung, karena ibunya mau pergi untuk suatu keperluan.
Baru di pelataran BSM, Vira seperti melihat seseorang yang dikenalnya.
Itu kan Kak Aji" batin Vira.
Kakak cowok Niken itu nggak sendirian. Dia berjalan bersama cewek yang wajahnya
lumayan, kalau nggak bisa dibilang cantik. Tubuhnya tinggi langsing, bahkan bisa dibilang
sedikit lebih tinggi dari Aji.
Apa itu Dian, ceweknya" tanya Vira dalam hati.
Kayaknya sih gitu. Tapi kalau itu ceweknya Aji, kok jalannya misah gitu sih" Aji jalan
sedikit di belakang ceweknya, dan mereka nggak gandengan atau rangkulan seperti layaknya
orang pacaran. Pandangan Vira mengikuti Aji dan ceweknya sampai mereka berdua masuk
mal. Ah, kok gue jadi usil gini, mo tau urusan orang! pikir Vira. Dia lalu masuk mal lewat pintu
lain. *** Vira berdiri di etalase sebuah toko olahraga. Dia memandang sepatu basket berwarna putih
campur hitam yang dipajang di sana. Itu sepatu basket yang mirip dengan punya Vira dulu,
cuma ini model terbaru. Tapi melihat harga yang tertera di labelnya, Vira sadar, dia nggak
mungkin membeli sepatu itu sekarang. Kalau dulu mungkin tanpa pikir-pikir lagi, Vira pasti
langsung masuk ke toko dan mengeluarkan kartu kreditnya untuk membeli sepatu apa pun
yang diinginkan. Tapi sekarang, dia nggak bisa melakukan hal itu. Boro-boro punya kartu
kredit, uang di dompetnya aja sekarang cuma ada 200 ribu. Itu juga dikasih mamanya yang
tahu Vira nggak punya sepatu yang layak untuk main basket. Vira memang nggak punya niat
beli sepatu di toko olahraga di BSM. Pasti harganya nggak terjangkau karena rata-rata yang
dijual di sini adalah barang impor. Dia ke BSM cuma mau melihat-lihat model-model sepatu
terbaru. Paling nanti belinya di Pasar Kosambi, di sana banyak dijual sepatu-sepatu bekas atau
sepatu bajakan. Kalo beruntung, dia bisa dapat sepatu bekas yang masih bagus dengan harga
murah. "Kamu naksir sepatu itu, ya?"
Nggak tahu dari mana, Rei tiba-tiba sudah berdiri di samping Vira. Vira sampai kaget.
Kenapa Rei bisa ada di sini"
"Nike model terbaru. Emang bagus sih. Nyaman lagi dipakenya," komentar Rei.
"Kamu punya?" tanya Vira.
"Yang model lama. Biasanya aku pake kalo ada pertandingan. Sayang kalo cuman dipake
untuk latihan," jawab Rei.
"Dulu juga aku punya yang model lama untuk cewek."
"Trus, sekarang ke mana" Udah rusak?"
Vira menatap Rei, berpikir akan ngomong yang sebenarnya atau nggak. Tapi akhirnya dia
mengangguk pelan. "Kan bisa dibenerin. Kebetulan aku kenal tukang sepatu yang bisa ngebenerin sepatu
basket. Lumayan loh hasilnya, hampir sama dengan baru."
"Hilang, Rei"," sahut Vira.
"Hilang" Kok bisa?"
"Karena lama nggak dipake, jadi aku taruh sembarangan aja. Tau-tau ilang," lanjut Vira
tanpa memedulikan keheranan Rei. Untung Rei nggak mendesaknya lagi.
"Kamu pengin beli sepatu itu?" tanya Rei lagi.
"Kalo ada duitnya sih?"
"Bener pengin beli?"
Vira kembali menatap cowok yang ada di sampingnya. Wajah Rei emang imut, dan banyak
disukai cewek-cewek. Tapi bukan itu yang bikin Vira betah menatap Rei. Dia heran dengan
kata-kata terakhir cowok ini. Apa maksudnya" tanya Vira dalam hati. Apa Rei mo beliin sepatu
itu" "Mau nggak?" "Tentu aja mau. Tapi aku kan nggak punya uang. Emang kamu mau beliin?"
Rei cuma nyengir. "Kamu mau melakukan apa aja untuk bisa beli sepatu itu?"
Pertanyaan itu bikin Vira heran. Apalagi maksud ucapan cowok ini" Jangan-jangan"
"Kok bengong sih?"
"Rei, maksud kamu apa?"
Rei tersenyum. "Jangan khawatir, aku nggak bakal minta kamu ngelakuin hal-hal yang jelek kok. Tapi kalo
kamu mau, kamu bisa dapet uang untuk beli sepatu ini. Bahkan bisa lebih. Gimana?"
"Emang aku harus ngapain?"
"Pokoknya ada deh. Dan kamu pasti suka, karena ini sesuai dengan kemampuan kamu.
Kalo kamu mau, nanti aku jemput ke rumah kamu malem Minggu."
"Rei, kamu nggak bakal minta aku macem-macem, kan?"
"Nggaklah. Aku kan udah bilang, nggak bakal celakain kamu. Percaya deh!"
Walau masih sedikit ragu-ragu, nggak tahu kenapa, Vira percaya kata-kata Rei. Dia lalu
mengangguk pelan. "Oke, ntar aku jemput malam Minggu, ya" Bisa, kan?"
Vira lagi-lagi mengangguk. Rei melihat jam tangannya.
"Kalo gitu aku cabut dulu deh! Soalnya sebetulnya aku lagi nemenin nyokap belanja di
lantai bawah," kata Rei. "See you?" Setelah ngomong begitu, Rei pergi meninggalkan Vira
yang masih terpaku di tempatnya, penuh dengan berbagai pertanyaan.
Sebenernya Rei pengin gue ngelakuin apa" Di mana" Dan lagi, kenapa harus malem
Minggu" Tunggu! Apa Rei ngajak gue nge-date"
*** "Hei!" Vira yang lagi jalan sambil bengong menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Dan, oh my
God! Cowok yang tadi diperhatikannya ternyata sekarang sudah ada di belakangnya.
"Dari mana?" tanya Aji sambil tersenyum.
"Ehm" jalan-jalan aja, Kak," jawab Vira. Iseng dia memerhatikan sekeliling Aji. Nggak ada
cewek yang tadi bersamanya. Ke mana dia"
"Nggak bareng Niken?"
"Nggak. Katanya dia harus jaga warung."
Mendengar itu, Aji menggaruk-garuk kepalanya.
"Ntar pasti Niken marah-marah deh ke aku," gumamnya. "Kamu sekarang mo ke mana?"
tanyanya lagi. "Pulang." "Ooo" udah makan?"
Vira menggeleng. "Makan yuk. Kebetulan aku juga mo makan di foodcourt," tawar Aji.
"Makasih, Kak, tapi Vira makan di rumah aja."
"Ayolah" aku traktir. Kebetulan aku mau tanya sesuatu ke kamu."
"Tanya apa?" "Nanti aku tanya sambil makan. Yuk!"
Vira akhirnya nggak bisa menolak ajakan Aji. Kebetulan dia juga udah lama nggak makan
di foodcourt. Lima Belas MALAM minggu" Seperti janjinya, Rei menjemput Vira di rumahnya. Yang aneh, Rei minta Vira bawa baju
dan celana basket, lengkap dengan sepatunya. Itu yang bikin Vira heran. Memangnya dia mau
main basket malem-malem"
Rei cuma nyengir saat Vira nanya untuk kesekian kalinya mereka mau ke mana.


Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada deh" pokoknya kamu bakal enjoy di sana."
"Kamu nggak ke rumah Niken?"
Kali ini cowok itu terdiam mendengar pertanyaan Vira.
"Ngapain ke rumah Niken?" jawabnya kemudian.
"Lho" bukannya kamu dan dia?"
"Niken tuh temenku dari SMP. Kami cuman temenan kok."
"Ooo" gitu?"
*** Rei membawa Vira ke daerah di sekitar Jalan Braga. Di daerah situ banyak bertebaran karaoke,
diskotek, dan pub-pub malam. Sebagai bekas anak dugem, Vira pernah memasuki hampir
sebagian besar di antaranya.
Rei memarkir motornya di halaman parkir salah satu pub malam.
"Kita mo ke sini, Rei?" tanya Vira.
"Nggak. Aku parkir motor di sini karena tempatnya harus lewat gang. Lebih aman parkir di
sini." Lebih aman" tanya Vira dalam hati. Tapi dia nggak mau bertanya lebih lanjut. Soalnya pasti
Rei nggak mau jawab. Mereka menyelusuri gang yang sempit dan gelap di sebelah pub. Setelah berjalan sekitar
tiga ratus meter, akhirnya Vira dan Rei sampai ke tujuan mereka.
Ternyata di balik gang-gang sempit di daerah itu terdapat lapangan basket, walau hanya
berukuran setengah dari ukuran lapangan yang sebenarnya. Ring basketnya juga cuma satu.
Lapangan basket itu terang benderang disinari lampu-lampur sorot yang ada di setiap sisinya.
Sisi lapangan basket dikelilingi pagar ram dari kawat.
"Streetball?" tanya Vira lirih.
"Kamu udah tau, kan?" jawab Rei.
"Setiap malem minggu, arena ini selalu penuh dengan pecinta streetball. Mereka
membentuk komunitas tersendiri. Sebetulnya setiap hari sih selalu ada yang maen, siang atau
malam. Tapi biasanya malem minggu yang paling rame," lanjutnya.
Vira memang melihat ada puluhan orang berkerumun di sekitar lapangan, yang disebut
arena oleh Rei. Sementara itu di dalam arena, ada enam orang lagi bermain basket.
"Biasanya kami maen 3 on 3, walau kadang-kadang juga bisa 2 on 2 atau 1 on 1. Tergantung
kesepakatan aja," Rei menjelaskan. Mereka duduk di sebuah bangku yang ada di sekitar arena.
"Apa masyarakat sini nggak terganggu?"
"Nggak. Tempat ini dikelilingi pub malam, diskotek, dan karaoke. Suara-suara dari sini
tenggelam ama suara-suara musik dari tempat-tempat itu. Kalo warga sekitar protes, tempattempat itu yang bakal kena protes duluan. Nah, itu yang resminya. Paling nggak yang
diketahui warga sekitar sini," kata Rei.
"Maksud kamu?" "Warga sekitar sini taunya tempat ini sebagai tempat latihan basket dan kumpul-kumpul di
malam minggu." "Trus, yang nggak resmi?"
"Seperti itu?" Rei menunjuk seorang cowok dengan rambut ala Bob Marley yang berdiri
nggak jauh darinya. Orang itu sibuk menerima uang dari beberapa orang. Di sampingnya ada
cowok bertubuh kurus yang sibuk menulis sesuatu di selembar kertas.
"Banyak yang ngerasa, bertanding kayaknya kurang seru kalo nggak pake taruhan," ujar
Rei. "Tapi itu kan judi."
"Makanya aku parkir motor di depan. Buat jaga-jaga aja kalo tempat ini digrebek," balas Rei
sambil nyengir. "Tapi paling nggak, ini lebih baik daripada judi kartu atau judi-judi yang lain.
Di sini kita kan berusaha untuk bisa menang, sekaligus olahraga. Kalopun nggak dapet
uangnya, ya minimal badan kita jadi seger. Kalo dapet uangnya, ya anggap aja itu bonus.
Gimana" Kamu masih mau beli sepatu nggak?" tanya Rei.
Vira melihat ke sekelilingnya. Emang ada juga cewek di tempat ini. Tapi hampir semuanya
cuma jadi penonton atau mungkin cuma ikut cowoknya ke tempat ini. Nggak ada yang jadi
pemain. "Tapi aku belum pernah maen streetball. Katanya peraturannya beda dengan basket biasa."
"Nggak beda jauh kok. Basic-nya sama aja. Kamu pasti bakal bisa cepet nyesuaiin."
"Apa kamu yakin aku bakal bisa" Keliatannya yang maen jago-jago," tanya Vira sambil
memerhatikan arena. "Pasti bisa. Aku yakin. Dan kamu juga bisa sekalian latihan, kan" Jadi kamu bisa
menambah jam terbang kamu. Asal kamu tau, banyak pemain basket NBA awalnya juga
pemain streetball. Banyak pemain streetball yang punya skill bagus, bahkan lebih bagus dari
pemain klub atau pemain nasional."
Kalo itu sih Vira sudah tau. Dia juga pernah mendengar kemampuan pemain streetball
kadang-kadang nggak kalah dari pemain klub profesional. Biasanya mereka nggak suka terikat,
dan menganggap basket sebagai hobi saja, jadi nggak masuk klub mana pun.
"Gimana?" tanya Rei lagi.
"Apa cewek juga boleh ikut maen?" Vira balik bertanya. Sebagai jawaban Rei menepuk
pundak Vira sambil tersenyum.
"Kamu pasti akan suka?"
*** Rei benar. Walaupun awalnya Vira kagok main basket bareng cowok (apalagi ini streetball, di
mana peraturan kontak fisik lebih longgar. Bentoran keras atau didorong lawan sampai
ngebentur ram sih udah biasa) dan kalah, tapi lama-lama dia bisa beradaptasi. Bareng Rei dan
salah seorang temannya, Vira menang di game berikutnya. Bahkan penampilannya yang bisa
mengungguli pemain cowok membuat kagum penonton. Dalam semalam, Vira udah jadi
favorit penonton di situ.
"Lumayan, Rei," kata Vira saat sampai di depan rumahnya. Keringat melelehi wajahnya,
walau begitu Vira kelihatan senang. Dia menemukan kembali dunianya. Bisa menikmati
permainan basket yang sesungguhnya yang bahkan nggak dia dapatkan saat masih di SMA
Altavia. "Udah bisa buat beli sepatu, kan?" tanya Rei.
"Masih kurang dikit sih" tapi no problem lah. Mungkin minggu depan baru bisa kebeli."
"Kamu mau maen lagi di sana minggu depan?"
Vira menatap wajah Rei yang sebagian masih tertutup helm. Cuma matanya yang kelihatan.
"Kenapa" Kamu mo ngajak aku lagi, kan?"
"Kalo kamu mau, kenapa nggak" Lagian kalo minggu depan aku nggak bawa kamu, bisa
dimarahin ama yang lain. Kamu kan udah jadi favorit penonton."
"Bisa aja kamu," Vira memukul pelan bahu Rei. "Udah yaa" udah malem. Kamu nggak
masuk dulu?" "Nggak deh" salam aja buat ibu kamu."
"Ya udah kalo gitu. Sampe ketemu besok di latihan."
Vira lalu membuka pintu pagar rumahnya.
"Vi"," panggil Rei tiba-tiba, membuat Vira menoleh. Rei membuka helmnya.
"Kamu nggak usah nunggu minggu depan untuk beli sepatu. Besok aja belinya," ujar Rei.
"Maunya sih" tapi kan duitnya belum cukup."
Rei mengeluarkan dompet dari saku celananya.
"Ambil aja uang kemenanganku," katanya sambil menyodorkan beberapa lembar uang
pecahan lima puluh dan seratus ribuan pada Vira.
Vira tertegun sambil memandang uang pemberian Rei.
"Nggak, Rei. Aku nggak mau nerima uang kamu. Itu jatah kamu," kata Vira.
"Nggak papa kok. Aku kan belum begitu butuh sekarang. Kalo kamu nggak mau terima,
anggap aja ini utang. Minggu depan kamu bayar dari uang kemenangan kamu. Gimana?"
"Enggg" tapi?"
"Udah" nggak usah mikir. Ntar keburu sepatunya dibeli orang, kamu nyesel lho!"
Setelah berpikir cukup lama, Vira akhirnya memutuskan menerima uang dari Rei. Pikirnya,
toh sama aja, minggu depan dia bakal membayar utangnya kalau menang.
"Makasih ya?" Rei cuma tersenyum. Enam Belas SEJAK itu, Vira jadi akrab dengan Rei. Nggak cuma saat malam Minggu, di sekolah mereka
juga ngobrol kalau ketemu, bahkan sampai lama dan cekikikan. Itu sudah cukup bikin gosip
berkembang di sekolah bahwa Rei ada apa-apa dengan Vira. Apalagi penampilan Vira
sekarang bikin dia langsung masuk ke jajaran cewek favorit di SMA 31, bikin cowok-cowok jadi
punya target baru. Hampir tiap hari ada saja cowok-cowok anak kelas 3 dan 2 yang cari-cari
kesempatan buat kenalan dan ngobrol dengan Vira, tapi sejauh ini Vira cuek-cuek saja!
Mungkin ini juga berlaku untuk Rei. Biar bagaimanapun kan dia cowok normal yang bisa
tertarik kalau lihat cewek cakep.
"Vira lagi ngobrol ama Rei di kantin tuh," lapor Amalia ke Niken di kelas, saat dia baru
balik dari kantin saat jam istirahat.
Niken nggak merespons laporan Amalia. Dia masih asyik nulis di bukunya.
"Ken!" panggil Amalia di dekat kuping Niken, bikin dia kaget.
"Ada apa sih?" tanya Niken agak keras.
"Kamu denger nggak tadi aku ngomong?"
"Denger. So what?"
"Kamu nggak jealous liat Vira akrab ama Rei?"
"Jealous" Kenapa harus jealous" Emang apa hubunganku ama Rei" Kami cuman temen kok.
Dan kalo Rei emang suka ama Vira, ya biarin aja. Itu hak dia."
"Tapi?" Niken segera berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke pintu kelas.
"Mo ke mana?" tanya Amalia.
"Ke ruang OSIS!"
*** Hari ini emang ada yang aneh dengan Niken. Sikapnya agak jutek ke semua orang, nggak
seperti biasa. Tentu bukan karena dia cemburu dengan kedekatan Rei dan Vira, tapi karena
masalah lain. Mosi nggak percaya yang dilakukan sejumlah ekskul rupanya sudah sampai ke
Pak Danang, pembina OSIS SMA 31. Kemarin Niken dipanggil Pak Danang untuk menjelaskan
semuanya. Akhirnya Pak Danang minta Niken untuk membatasi kehadirannya di ekskul
basket. Posisi pemantau ekskul basket pun diminta untuk diserahkan ke orang lain. Pendeknya,
Niken hanya menerima laporan saja dari pengurus OSIS lain.
Tapi, apa betul Niken nggak cemburu pada Vira" Apa dia memang menganggap Rei cuma
sebagai temen" Nggak jelas juga. Soalnya di ruang OSIS, bukannya konsentrasi bikin draft
laporan yang tadi lagi dikerjain, Niken malah kebanyakan melamun. Ucapan Amalia di kelas
tadi ternyata jadi pikirannya juga.
Masa sih aku cemburu ama Vira" Rei kan aku anggap cuman temen, dia juga nganggap aku
temen. Lagi pula wajar kalo Rei suka ama Vira. Vira lebih cantik dan mereka punya hobi sama,
yaitu maen basket. Tapi" apa bener Rei suka ama Vira" Dan apa Vira juga suka ama Rei"
Saking khusyuknya melamun, Niken sampai nggak mendengar bel tanda masuk sudah
berbunyi lima menit yang lalu.
*** "Apa sebaiknya aku ngundurin diri aja jadi ketua OSIS?" tanya Niken pada Vira saat mereka
berdua latihan basket di lapangan dekat kompleks. Selain latihan di sekolah, Vira memang
sering latihan bareng Niken di sore hari, sekalian ngajarin Niken main basket. Ternyata Niken
lumayan berbakat juga. Paling nggak dia sudah bisa beberapa teknik dasar seperti dribble,
shooting, dan passing, walau belum bisa disebut jago.
"Alasannya apa?" tanya Vira.
"Lho" kalo pada udah nggak percaya ke aku, buat apa aku tetap jadi ketua OSIS" Lagi
pula sebetulnya, aku emang dari dulu nggak punya niat kok jadi ketua OSIS, cuman tementemen aja yang rame-rame nyalonin aku saat pemilihan. Aku nggak mau ngecewain mereka,
makanya aku maju aja, dan kupikir juga nggak bakal menang. Eh malah jadi wakil ketua, trus
jadi ketua." "Nah" itu masalahnya?" Vira memasukkan bola ke ring. "Berapa orang sih yang ngajuin
mosi nggak percaya ama kamu" Dan kalo dihitung-hitung, berapa total dari anggota ekskul itu
yang nggak percaya ama kamu, dibanding mereka yang masih percaya dan tetap ngarepin
kamu jadi ketua OSIS" Kamu harus perhatiin juga mereka, jangan cuman perhatiin mereka
yang protes ama kamu."
Ucapan Vira membuat Niken jadi mikir juga.
"Bener juga ya kata kamu. Makasih ya atas masukannya," ujar Niken kemudian.
Vira memerhatikan Niken yang mencoba memasukkan bola ke ring.
"Ken" aku mo minta maaf," kata Vira. Ucapan itu bikin Niken menghentikan apa yang
sedang dilakukannya. "Minta maaf" Minta maaf apa?" tanya Niken heran. Setahu dia Vira nggak punya salah ke
dirinya. "Mungkin kamu udah lupa. Peristiwa dulu, saat kita tabrakan di IP. Kamu jatuh, dan benda
yang kamu bawa pecah."
"Kamu masih ingat itu?" tanya Niken. Vira mengangguk.
Sebetulnya Vira bohong. Dia sama sekali sudah lupa kejadian di IP dulu, kalau saja Aji
secara nggak sengaja cerita soal adiknya yang waktu itu pengin membelikan dia kenangkenangan saat akan berangkat ke Australia. Untuk itu Niken memesan patung dirinya sendiri
dari kristal, dan memakai hampir seluruh uang tabungannya. Pesanan patung itu selesai dalam
waktu seminggu, dan saat diambil oleh Niken, dia malah tabrakan dengan murid SMA lain,
hingga patung yang dibawanya jatuh dan pecah.
"Niken nangis seharian setelah kejadian itu, sampe aku harus ngebujuk dia dengan bilang,
patung itu bukan apa-apa, yang penting perhatian dia, dan aku senang punya adik yang
perhatian seperti dia. Walau kadang-kadang Niken bawel dan suka sewot ama aku, dia
sebetulnya perhatian," kata Aji waktu makan bareng Vira di foodcourt BIP itu.
Kata-kata Aji itu bikin ingatan Vira terbuka. Pantas saat pertama kali bertemu Niken di
rumahnya, Vira merasa pernah melihat Niken sebelumnya.
Niken melangkah ke pinggir lapangan sambil memegang bola basket tanpa berkata apaapa. Sikap Niken itu bikin Vira ragu-ragu. Apa Niken mau maafin dia" atau jangan-jangan dia
marah karena jadi ingat peristiwa dulu"
"Ken, kamu mau maafin aku, kan?" tanya Vira lagi.
Niken duduk di bangku semen di pinggir lapangan.
"Kamu masih marah, ya?"
Niken menatap Vira yang masih berdiri di tengah lapangan.
"Kalo aku nggak maafin kamu, aku nggak bakal masukin kamu ke tim basket. Aku nggak
mungkin juga mau berteman ama kamu."
"Maksud kamu?" "Aku nggak pernah lupa kok kejadian itu. Saat pertama kali liat kamu, aku juga udah inget
kamu." "Jadi, kamu nggak pernah lupa" Kamu inget aku udah dari dulu?"
Niken tersenyum. "Kenapa kamu nggak ngomong dari dulu?"
"Untuk apa" Kalo aku ngomong pada sosok Vira yang dulu, apa akhirnya dia akan berubah
seperti sekarang?" Dalam hati, Vira membenarkan kata-kata Niken.
"Lalu gimana dengan Lia?"
"Dia juga masih ingat. Tapi jangan khawatir. Aku udah kasih pengertian ke dia. Dia juga
udah maafin kamu kok."
"Termasuk maafin Diana juga" Aku juga minta maaf atas nama Diana, yang udah marahmarah ke kamu dan Lia waktu itu."
"Diana itu temen kamu yang baru aja meninggal, kan?"
Vira mengangguk. "Kami udah maafin semuanya. Dan aku juga udah ngelupain soal itu. Jangan dibahas lagi
yaaa?" Vira lagi-lagi cuma bisa mengangguk sambil tersenyum, membalas senyuman Niken.
Kak Aji benar, Niken emang bawel, tapi dia penuh perhatian ke siapa aja! batin Vira.
*** Malam harinya, mama Vira heran melihat pintu kamar Vira nggak tertutup rapat. Nggak
biasanya Vira kalo tidur kamarnya nggak ditutup! katanya dalam hati.
Penasaran, mama Vira mendatangi kamar putrinya. Melalui pintu, dia melihat Vira tertidur
lelap. Kayaknya dia kecapekan, karena tidurnya masih mengenakan baju yang dipakainya dari
sore. Tapi pada wajah Vira yang kecapekan itu, ada seulas senyum kecil. Senyum kebahagiaan.
Terima kasih Niken! Kamu udah mengembalikan kehidupan Vira, bahkan lebih baik dari
Vira yang dulu! batin mama Vira. Nggak terasa, air mata keluar membasahi kedua pipinya.
Selama menjalani kehidupan berat dalam beberapa bulan terakhir ini, baru kali ini hati mama
Vira dipenuhi kebahagiaan.
Sekarang tinggal satu hal lagi yang harus dilakukannya untuk Vira. Ini jauh lebih berat, dan
mama Vira sendiri nggak tahu bagaimana caranya.
Tujuh Belas SORE ini ada pertandingan persahabatan antara tim basket cewek SMA 31 melawan
tim basket cewek SMA 23 selaku tuan rumah. Baru babak pertama aja, SMA 31 udah
ketinggalan 23-12. "Kenapa sih nggak pada ngoper ke aku?" tanya Vira saat istirahat. Dia pantas
bertanya begitu, karena sepanjang babak pertama, cuma beberapa kali dia megang bola,
boro-boro masukin ke ring. Walau begitu Vira menyumbangkan 4 dari 12 angka SMA
31. "Nggak ngoper gimana" Kamu selalu dijaga lawan. Lagian kita kan nggak setiap
saat merhatiin kamu," bantah Rida.
"Nggak mungkin. Aku beberapa kali ada dalam posisi bebas. Nggak ada pemain
lawan yang ngejaga, dan aku udah sering teriak-teriak minta bola, tapi kamu nggak
ngasih-ngasih." "Jadi kamu bilang aku sengaja nggak ngasih bola ke kamu" Gitu"!" suara Rida
mulai meninggi. "Mungkin?" "Jangan sembarangan ngomong ya!"
"Vira benar?" Rei yang ada di situ akhirnya menengahi. "Dia berada dalam posisi
bebas, dan nggak ada pemain lawan yang ngejaga, tapi kenapa kalian nggak pada mo
ngoper ke dia?" "Jadi kamu juga belain Vira, Rei?" Rida berdiri dari duduknya.
"Bukan belain, tapi aku lihat begitu di lapangan. Yang lain juga."
"Dan kamu nuduh aku dan yang lainnya egois. Maen sendiri-sendiri. Iya, kan?"
"Aku nggak bilang gitu?"
"Kamu pasti belain Vira, karena kamu suka ama dia!"


Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Vira dan Rei sama-sama tercekat mendengar ucapan Rida. Niken yang ada di situ
ikut jadi pucat. Tadinya dia nggak pengin mencampuri perdebatan di dekatnya karena
di pikir itu masalah teknis, dan dia bukan anggota ekskul basket. Tapi ucapan terakhir
Rida itu bikin telinganya merah juga. Untungnya Niken masih bisa menahan diri dan
tetap di tempat duduknya.
Sehabis ngomong gitu, Rida keluar dari anggota tim basket yang ngumpul di
pinggir lapangan. "Kamu mo ke mana?" tanya Rei.
"Pulang." "Pertandingan belum selesai?"
"Bagi aku udah. Aku nggak bisa maen bareng orang yang punya ambisi untuk
nguasain tim sendirian."
Nguasain tim" batin Vira. Apa maksudnya"
"Rida! Kamu salah?"
"Deb, kamu mo tetep maen?" tanya Rida pada Debi, memotong ucapan Vira. Debi
yang merupakan teman sekelas dan sahabat Rida jadi bingung. Dia sebetulnya masih
pengin ikut main, tapi nggak enak ke Rida. Debi menatap Rei, lalu Rendy yang
merupakan cowoknya. Tapi Rendy juga nggak tahu harus berbuat apa.
"Sori, Rei"," ujar Debi, lalu ikut ninggalin tim.
"Biar aku yang urus Debi," bisik Rendy ke telinga Rei. Rei cuma bisa mengangguk.
Untungnya, yang lain masih mau main. Permainan SMA 31 mulai membaik di
babak kedua. Vira yang merasa anggota tim yang lain juga punya perasaan yang sama
dengan Rida pada dirinya memutuskan untuk bermain lebih individual. Untung aja
pemain SMA 23 nggak ada yang skill-nya terlalu menonjol. Dan akibat "aksi-aksi" Vira,
SMA 31 dapat mengejar ketertinggalannya. Dari ketinggalan 25-12, mereka bisa
mengejar hingga skor 38-34. Bahkan di tiga menit terakhir, SMA 31 berbalik unggul 4645. Dan keunggulan itu mereka pertahankan. Pertandingan berakhir dengan
keunggulan SMA 31 dengan skor 55-49, dan dua pertiga angka SMA 31 dibuat Vira. Ini
kemenangan pertama tim basket cewek SMA 31 lawan sekolah lain sejak ekskul basket
dibentuk. "Kamu hebat," puji Niken pada Vira.
"Kalo lawan SMA 23 sih aku masih bisa show off, tapi lawan SMA Altavia, janga
harap." "Emang mereka jago-jago, ya?"
Vira tersenyum kecil. "Ada dua atau tiga orang yang punya kemampuan sama denganku. Yang lainnya
juga punya kemampuan yang hampir merata. Aku sendiri nggak tau perkembangan di
sana, tapi kurasa kekuatan mereka masih sama dengan tujuh bulan yang lalu," ujar
Vira lirih. *** Besoknya, kabar perpecahan tim basket cewek SMA 31 udah tersebar ke seluruh
sekolah. Anggota ekskul basket terpecah jadi dua. Satu pihak mendukung Vira, yang
lainnya mendukung Rida dan Debi. Pas latihan pun, nggak semua anggota ekskul
basket cewek yang dateng, termasuk Rida dan Debi. Yang dateng kebanyakan anggota
dari anak kelas 1 yang kagum akan permainan Vira, sedang anak kelas 2 kebanyakan
memihak Rida. Walau begitu ada beberapa anak kelas 2 yang dateng, dan bersikap
netral seperti Dini, sekretaris ekskul basket, anak 2IPS-1. Anak kelas 3 sudah nggak ada
karena lagi sibuk siap-siap ujian.
"Maafin aku Rei, aku nggak nyangka kejadiannya bakal panjang gini," kata Vira
saat istirahat latihan. Dia jadi merasa bersalah karena bikin masalah di ekskul yang
baru diikutinya. "Ini bukan salah kamu kok. Rida aja yang kelewat emosi. Ntar lama-lama kalo dia
udah tenang juga bakal latihan lagi," jawab Rei.
"Debi gimana, Ren?" tanya Rei ke Rendy.
"Kamu tau Debi, kan" Dia kan soulmate-nya Rida dari kelas 1. Di mana ada Rida,
pasti ada Debi. Dulu, kalo nggak atas persetujuan Rida, aku juga nggak bakal jadian
ama Debi. Dia sih gimana Rida aja. Kalo Rida latihan lagi, ya dia ikut. Kalo nggak ya
nggak," jawab Rendy sambil mantul-mantulin bola basket ke tembok sekolah. Kurang
kerjaan banget tuh anak. Kalau ketahuan Pak Asep, penjaga sekolah ini, dia pasti
dimarahin. Bikin kotor tembok sekolah saja.
"Gimana kalo Rida bener-bener keluar dari tim" Juga Debi" Kejuaraan kan tinggal
sebentar lagi," kata Vira.
"Kalo gitu kita terpaksa bikin tim baru. Kan masih ada Dini, Indah, dan Irma. Bila
perlu kita masukin anak-anak kelas 1 dalam tim. Mereka ada yang bagus kok,
contohnya seperti Rena."
"Nggak semudah itu"," ujar Vira. Dia ingat waktu lawan SMA 23 kemaren, walau
menang, tapi dirinya kecapekan setengah mati. Kalau ada Rida dan Debi, tugasnya jadi
lebih enteng. Walau kemampuan keduanya masih di bawah Vira, permainan mereka
lebih bagus daripada yang lainnya. Belum lagi anggota tim lain seperti Mia dan Tria
juga not bad. "Oya, ngomong-ngomong soal turnamen, besok pendaftaran Turnamen Bola Basket
Se-Bandung Raya udah dibuka. Tim cewek tetap mo ikut?" tanya Rei.
"Tentu, tapi tanpa Rida dan pemain inti lain, peluangnya jadi lebih berat."
"Aku percaya kamu bisa kok."
"Bagaimana dengan tim cowok?" Vira balik bertanya.
"Itulah" aku malah bingung."
"Bingung kenapa?"
"Kalo tim cowok ikut, kamu tau kan peluangnya gimana. Nggak langsung kalah aja
udah untung. Dipikir-pikir, cuman buang duit aja. Uang pendaftarannya lumayan loh!
Lima ratus ribu per tim. Dan sekarang kas basket udah tipis."
Vira tertegun mendengar kata-kata Rei. Saat dia masih di SMA Altavia, uang lima
ratus ribu atau satu juta sih kedengarannya seperti uang recehan. Kas ekskul basket
SMA Altavia berisi jauh lebih banyak daripada itu, karena selain mendapat dana
subsidi dari sekolah dan iuran anggotanya (yang juga kayaknya paling mahal
dibanding sekolah lain), juga ada subsidi dari para sponsor. Itulah kenapa SMA Altavia
bisa mengontrak seorang pelatih basket khusus untuk melatih tim mereka. Di Bandung,
cuma segelintir SMA yang bisa mengontrak pelatih untuk tim basket mereka. SMA
yang lain kebanyakan memakai tenaga guru olahraga sebagai pelatih atau berlatih
sendiri dipandu oleh senior-senior, seperti di SMA 31 ini. Dari segi fasilitas juga beda.
Selain lapangan dan ring basket SMA Altavia dibuat sesuai standar NBA dan setiap
tahun selalu diperbarui, saat latihan pun hampir setiap sudut lapangan dipenuhi bola
basket. Kayaknya setiap anak pegang satu bola. Sedang di SMA 31, yang Vira lihat, bola
basket yang tersedia setiap latihan nggak lebih dari lima biji. Itu juga karena Vira dan
Rei biasanya bawa bola sendiri. Lapangan juga kayaknya sudah lama nggak direnovasi.
Di beberapa bagian betonnya mengelupas dan garis-garisnya sudah tipis dan bahkan
ada yang mulai hilang. Rei nggak tahu kapan lapangan basket itu direnovasi karena
saat dia masuk ke sini, keadaannya sudah kayak gini. Belum lagi ring-nya yang jalanya
udah sobek-sobek, dan papannya yang terbuat dari kayu yang catnya mulai hilang.
Pokoknya perbedaannya seperti bumi dan langit deh dengan fasilitas SMA Altavia.
"Tapi sayang kan kalo tim cowok nggak ikut. Mungkin aja ini turnamen terakhir
bagi kita, sebelum tahun depan basket dihapus," tukas Vira.
"Iya juga sih! Ntar aku bicarain dulu deh ama yang lain."
"Kalo kurang, pake duit hasil streetball aja?"
"Ssst?" Rei menaruh jari telunjuk di depan mulutnya. "Jangan sampai yang lain
tau soal ini." "Kenapa" Kamu malu kalo ketahuan ikut streetball?"
"Bukan?" Rei menoleh ke arah teman-temannya yang lain. "Kalo yang lain tau,
pasti pada pengin ikutan juga. Jangan sampe kita tambah saingan. Nanti makin susah
aja menangnya," sahut Rei.
Vira cuma terkekeh mendengar ucapan Rei. Rei" Rei" kirain ada apa.
*** Masalah ternyata nggak cuma ada di ekskul basket. Niken juga lagi pusing. Hari Sabtu,
sepulang sekolah dia mengadakan pertemuan dengan seluruh pengurus OSIS dan
ketua masing-masing ekskul. Pertemuan ini untuk membahas soal mosi nggak percaya
yang diajukan beberapa ekskul.
Dari sembilan belas ekskul yang ada di SMA 31, ternyata ada delapan ekskul yang
mengajukan mosi nggak percaya, yaitu pecinta alam, voli, karate, Pramuka, seni lukis,
bahasa Inggris, kabaret, dan angklung. Ekskul-ekskul tersebut umumnya adalah ekskul
yang merasa waswas masuk daftar yang bakal dihapus tahun ajaran depan.
Nggak disangka, acara rapat malah berubah jadi ajang debat panas, antara ekskul
yang mengajukan mosi nggak percaya dengan ekskul yang mendukung Niken sebagai
Ketua OSIS. Penjelasan panjang-lebar Niken sebelumnya tentang cara pemantauan
ekskul-ekskul oleh OSIS nggak digubris sama sekali.
"Baiklah," kata Niken mengambil alih pembicaraan, "karena sebagian teman di sini
nggak percaya lagi pada saya sebagai Ketua OSIS, saya mengambil keputusan untuk
mengundurkan diri sebagai Ketua OSIS SMA 31 mulai minggu depan. Senin besok saya
akan menghadap Pak Danang untuk menyerahkan mandat sebagai Ketua OSIS, dan
terserah pihak sekolah apakah akan mengadakan pemilihan ulang ketua OSIS atau
menunjuk langsung ketua OSIS yang baru hingga saat pemilihan beberapa bulan lagi.
Soal pemantauan ekskul sekolah juga akan saya serahkan kembali ke pihak sekolah.
Jadi saya harap keputusan saya ini dapat memuaskan semua pihak. Dengan ini rapat
saya tutup. Selamat siang, and happy weekend. Untuk pengurus OSIS harap jangan
meninggalkan ruangan dulu."
Sehabis Niken bicara, suasana ruang rapat jadi kembali ramai. Masing-masing sibuk
ngomong sendiri. Sampe Niken harus mengetok meja di depannya dengan keras untuk
menengahi suara. "Rapat udah selesai! Selain pengurus OSIS, saya harap yang lain meninggalkan
ruangan. Kami akan mengadakan rapat internal untuk terakhir kalinya!" kata Niken
dengan suara agak keras. *** Malam minggu ini benar-benar hari yang melelahkan bagi Niken. Rapat OSIS di
sekolah baru selesai menjelang magrib, dan Niken merasa badannya seolah remuk.
Belum lagi pikirannya yang lagi suntuk.
Tapi Niken nggak bisa langsung istirahat. Dia harus nyelesaiin laporan
pertanggungjawabannya sebagai ketua OSIS selama beberapa bulan ini, sebelum
diserahkan ke Pak Danang hari Senin. Sebetulnya kalau sekadar bikin laporan
pertanggungjawaban sih gampang. Seperti usul Andi, tinggal nyontek laporan
pertanggungjawaban ketua OSIS sebelumnya, edit sana-sini sesuai kebutuhan. Tapi itu
bukan gaya Niken. Niken yang perfeksionis, selalu ingin sempurna dalam ngerjain
sesuatu. Niken nggak akan pernah puas kalau apa yang lagi dikerjakan dia anggap
masih kurang. Biar nggak terlalu suntuk, malamnya Niken pergi ke rumah Vira. Di sana dia bisa
cerita-cerita soal masalahnya, dan siapa tahu Vira bisa membantu ngasih saran. Apalagi
di rumah juga Niken kesepian lagi. Aji sudah balik ke Australia, lebih cepat dari
rencana semula, karena dia baru putus dari Dian, dan nggak mau lama-lama tinggal di
Bandung karena merasa dirinya bakal tambah patah hati. Sementara Panji mana bisa
diajak curhat. Kerjanya main mulu. Ibunya juga sudah tidur karena capek.
Niken memang sudah lama nggak ke rumah Vira saat malam minggu, tapi dia
yakin pasti Vira ada di rumah seperti biasa. Vira kan jomblo.
Tapi keyakinannya langsung hilang saat sampai di rumah Vira. Mama Vira yang
Tabib Sakti Pulau Dedemit 2 Animorphs - 52 Pengorbanan The Sacrifice Pedang Awan Merah 4
^