Pencarian

Lovasket 3

Lovasket Karya Luna Torashyngu Bagian 3


membuka pintu. "Lho, Niken" Vira kan pergi"," kata mama Vira.
"Pergi, Tante?"
"Iya." "Ke mana?" "Tante juga nggak tau. Tapi setiap malem minggu kan Vira pasti pergi bareng Rei.
Yah" mungkin malem mingguan. Masa kamu nggak tau?"
"Nggak, Tante."
"Tapi kamu kenal Rei, kan" Kata Vira dia temen kamu dari SMP."
"Kenal, Tante."
Rei" Niken nggak nyangka kalo mamanya Vira kenal Rei. Berarti Rei bukan sekalidua kali dateng ke rumah Vira. Tapi kenapa Vira dan Rei nggak pernah cerita ke dia
ya" "Sejak kapan Vira ama Rei pergi setiap malam minggu, Tante?" tanya Niken
penasaran. "Sejak kapan ya" Kira-kira udah sebulan ini deh. Rei selalu datang setiap malam
minggu dan ngajak Vira pergi. Pulangnya paling jam sepuluh atau sebelasan. Tante
nggak tau Rei pacarnya Vira atau bukan. Emang kamu bener-bener nggak tau" Vira
nggak pernah cerita ke kamu?"
Niken cuma bisa menggeleng.
*** Udah sebulan ini Vira dan Rei selalu jalan setiap malam minggu, dan aku nggak tau"
Pertanyaan itu memenuhi kepala Niken saat sedang mengayuh sepedanya pulang ke
rumah. Jadi gosip di sekolahnya bahwa Vira jadian sama Rei itu mungkin benar. Tapi
kenapa mereka berdua nggak pernah cerita ke Niken" Kenapa harus dirahasiain"
Bahkan Rei yang biasanya terbuka sama dia juga nggak cerita apa-apa. Padahal
biasanya Rei selalu cerita apa saja, termasuk kalo lagi deket sama cewek, dan bahkan
kadang-kadang minta pendapat Niken.
Apa Vira dan Rei takut menyinggung perasaannya" Untuk apa dia tersinggung dan
marah" Vira kan temannya, sedang Rei adalah sahabatnya sejak SMP dan sudah
dianggap saudara Niken sendiri. Jadi masa dia harus marah kalau mereka berdua
jadian" Tapi, apa Niken benar-benar ikhlas kalo Rei pacaran dengan Vira"
*** "Ini bagian kamu."
Vira menghitung lembaran uang yang diserahkan Rei, hasil kemenangan mereka
malam ini. Dia lalu mengambil beberapa lembar lima puluh ribuan dan
menyerahkannya kembali ke cowok itu.
"Ini cukup untuk bayar uang pendaftaran?" tanya Vira.
"Hmmm" ditambah sisa uang kas, kayaknya cukup untuk dua tim," jawab Rei
sambil mengambil lagi uang Vira.
Malam ini Rei dan Vira cuma main satu game, nggak dua atau tiga game seperti
biasa. Itu karena Rei mo ngajak Vira makan malam. Vira tentu heran dengan ajakan Rei.
Tadinya dia menolak dengan alasan sudah makan, tapi Rei setengah maksa. Katanya
dia mau ngomong sesuatu yang penting ke Vira. Nggak tahu kenapa, Vira akhirnya
nggak bisa menolak permintaan cowok itu.
Mereka masuk sebuah kafe yang menurut Vira lumayan mahal harga makanannya.
Tapi karena Rei udah janji dia yang traktir, Vira ikut aja. Suasana kafe yang ada di
daerah Dago Atas itu sangat romantis, walau ramai oleh pengunjung. (Maklum malam
minggu. Untung masih ada meja yang kosong.) Dengan penerangan yang dibikin agak
redup, lilin di meja, serta alunan musik berirama mellow, suasana jadi pas untuk candle
light dinner bersama orang yang kita sayangi. Vira sendiri agak risih masuk ke tempat
itu cuma pakai jins dan kaus yang dibungkus jaket, dan bawa-bawa tas ransel. Mana
bau bekas keringat, lagi! Tapi Rei cuek aja.
"Yang penting kan makannya bayar, nggak ngutang!" kata Rei.
"Jadi, kamu mo ngomong apa?" tanya Vira setelah mereka memesan makanan dan
minuman. Anehnya, Rei cuma diam. Kayaknya dia bingung mo ngomong apa. Vira bisa
melihat keringat keluar dari wajah Rei. Padahal tempat ini full AC.
"Rei?" Rei menatap Vira. "Aku mo ngomong jujur ke kamu"," ujar Rei akhirnya sambil menatap mata Vira.
Tatapan Rei itu tentu bikin Vira jadi panas-dingin. Nggak terasa, keringat juga mulai
keluar di wajahnya. "Mo" ngomong apa, Rei?" tanya Vira dengan suara bergetar. Dia juga jadi degdegan. Apa Rei mo ngomong hal yang diduganya?"
Rei tetap menatap tajam mata Vira yang bening.
"Aku suka kamu"," ujar Rei lirih.
Jantung Vira serasa berhenti berdetak!
Delapan Belas KEESOKAN harinya, Vira datang ke rumah Niken. Soalnya dia dikasih tahu mamanya
bahwa tadi malam Niken datang ke rumah. Vira kelihatan ceria hari ini. Wajahnya
berseri-seri. "Sori ya" aku nggak tau kamu mo ke rumah. Kamu sih nggak bilang-bilang dulu."
"Nggak papa kok. Aku cuman mau maen ke rumah kamu. Tadinya juga nggak ada
rencana," jawab Niken. Sebetulnya tadi pagi Niken juga udah ke rumah Vira, nganterin
kerupuk. Tapi Vira masih tidur, dan Niken punya tugas lain di rumah, jadi nggak
sempat ngebangunin Vira walau sudah diminta mama Vira.
Sekarang Niken tahu setiap malam minggu Vira pergi bareng Rei, walau mungkin
belum tahu apa alasan tepatnya. Tapi anehnya, dia diam saja. Sama sekali nggak
nanyain soal Vira dan Rei. Itu malah bikin Vira jadi serbasalah.
"Enggg" kamu jadi mundur dari jabatan ketua OSIS?" tanya Vira membuka
pembicaraan. "Kamu pasti tau dari Rei, ya?" tanya Niken sambil terus nulis draft laporan
pertanggungjawaban yang belum selesai di warungnya. Niken memang disuruh jaga
warung, karena ibunya dari pagi ikut acara pengajian akbar bareng ibu-ibu lain di
lapangan bola dekat kelurahan. Katanya sih yang ceramah itu Ustad Jeffri Al Buchori,
atau yang biasa dipanggil Uje, ustad muda yang sekarang lagi ngetop. Makanya
banyak ibu-ibu yang pengin datang.
"Iya. Aku nggak punya pilihan lain. Daripada mereka ribut terus-terusan, mungkin
mundur dari jabatan ketua OSIS merupakan pilihan terbaik. Toh dengan begitu aku
juga nggak punya beban lagi. Yang penting apa yang kuinginkan udah tercapai. Kamu
bisa masuk tim dan maen basket lagi seperti dulu."
Vira cuma manggut-manggut mendengar kata-kata Niken. Niken memang ada
benarnya. Keinginannya agar Vira main basket lagi dan masuk tim inti sudah tercapai.
Sayang, sekarang tim cewek malah terancam perpecahan. Dan Vira masih merasa itu
semua gara-gara dia. Selain perpecahan tim basket cewek itu, masih ada satu lagi yang mengganjal di hati
Vira. "Kamu nggak marah kan kalo aku pergi ama Rei?" tanya Vira akhirnya. Dia merasa
harus nanyain ini ke Niken, cepat atau lambat. Vira nggak mau persahabatan mereka
retak cuma gara-gara cowok. Soalya sudah banyak kasus kayak gitu, kayak nggak ada
cowok lain aja! (Eh, emang ada cowok lain")
"Kenapa harus marah?"
"Yaa" kamu kan deket ama Rei?"
"Aku dan dia cuman temen kok. Nggak lebih. Sebelum jalan ama kamu, Rei juga
sering jalan ama cewek lain, dan aku nggak pernah marah ama dia."
Ucapan Niken itu membuat Vira menarik napas lega, walau belum seratus persen
yakin Niken jujur. "Menurut kamu, Rei orangnya gimana sih?" tanya Vira lagi.
Niken menghentikan pekerjaannya dan menatap Vira.
"Kamu bener-bener suka ama Rei, ya?" Niken malah balik nanya. Vira cuma
tersenyum. "Menurut kamu dia orangnya gimana" Kan kamu yang akhir-akhir ini bareng ama
dia," lanjut Niken. "Tapi kamu kan yang udah lebih lama kenal Rei. Kamu udah tau sifat-sifat aslinya,
kapan saat dia jaim, dan kapan keluar tanduknya."
"Emangnya Rei setan?"
Vira nyengir. Niken nggak langsung menjawab ucapan Vira. Dia kembali menulis laporan.
"Ken?" "Menurutku?" Niken pura-pura mikir, sambil menggigit ujung bolpoinnya.
"Kayaknya sih klise banget. Tapi Rei emang baik, perhatian, walau sedikit lemot. But,
overall, he"s okay," ujar Niken.
"Bener" Kamu ngomong itu bukan karena Rei sahabat kamu, kan?"
"Nggak lah. Aku ngomong apa adanya. Aku juga nggak bakal nutup-nutupin kok
kejelekan Rei. Dia tuh kadang-kadang suka telmi, apalagi kalo diajak mikir serius. Suka
jorok, kalo makan apa aja yang ada bungkusnya, pasti bungkusnya suka dibuang
sembarangan, suka pipis sembarangan kalo udah kebelet, suka tidur di mana aja kalo
udah ngantuk banget, eh" dia kalo tidur kadang-kadang suka ngorok loh! Trus dia
suka?" "Udah.. udah" masa kamu mo beberin semua kejelekan dia sih?"
"Katanya kamu mo aku bicara jujur tentang Rei."
"Iya, tapi nggak perlu sejujur itu, kan?"
Niken terkekeh mendengar ucapan Vira.
"By the way"," ujar Niken kemudian. "Kamu udah jadian ama Rei?"
Kali ini giliran Vira yang mikir dulu untuk menjawab pertanyaan Niken. Dia mikir,
pertanyaan itu harus dijawab dengan jujur atau nggak"
*** Sudah bisa diduga, mundurnya Niken dari jabatan ketua OSIS menimbulkan
kehebohan di hari Senin. Beritanya langsung jadi hot gossip terbaru, mengalahkan gosip
soal Vira yang jadian dengan Rei. Bahkan mading sekolah juga memasang berita
pengunduran diri Niken sebagai berita utama, lengkap dengan liputan suasana rapat
yang panas pada hari Sabtu dengan judul "Satu Jam yang Menegangkan di Ruang
Rapat." Kayak berita apa aja!
Saat jam istirahat, Nunik, ketua kelas 2IPA-1 sibuk membagikan selembar kertas
pada anak-anak di kelas. Satu per satu menulis sesuatu di kertas tersebut.
"Ada apa sih?" tanya Niken yang baru aja balik dari ruang guru. Dia baru ketemu
Pak Danang untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya.
"Banyak yang nggak setuju kamu mundur. Jadi kita lagi menggalang tanda tangan
dari semua siswa yang masih mendukung kamu. Tiap-tiap ketua kelas ngedarin ini di
kelas masing-masing," jawab Nunik.
"Ya ampuun" sampe segitunya"," ujar Niken sambil geleng-geleng.
"Ide siapa nih?" tanyanya kemudian.
"Bukan ide siapa-siapa. Ini ide spontan dari anak-anak kok. Dan ini sukarela. Yang
masih mendukung kamu, silakan tanda tangan. Yang nggak, ya nggak usah. Tapi awas
aja kalo nggak!" sahut Nunik. Yeee" katanya sukarela, tapi kok pake ngancem!
Niken melihat kertas tanda tangan yang lagi dipegang Vira. Vira melihat kertas itu,
lalu langsung memberikannya ke Asep yang ada di dekatnya, tanpa tanda tangan di
situ! "Heh! Kenapa sih kamu nggak mau tanda tangan" Kamu nggak seneng Niken jadi
ketua OSIS?" hardik Amalia yang kebetulan juga melihatnya.
"Emangnya harus" Bukannya sukarela?"
"Iya, tapi kan Niken temen sekelas kita. Dia juga mundur gara-gara masukin kamu
ke tim basket. Harusnya kamu tau bales budi!"
"Lia!" Niken mendekati Amalia. "Ini kan sukarela. Kamu nggak bisa maksa gitu," kata Niken ke Amalia.
"Kamu masih belain dia! Kamu udah baek ke dia, udah maafin dia walau dulu dia
mecahin patung hadiah kamu! Tapi apa balesan dia ke kamu"! Dia malah nggak
dukung kamu! Bahkan dia udah ngerebut Rei dari kamu!"
Ucapan Amalia tentu aja bikin seluruh kelas tersentak. Mereka emang rata-rata
udah dengar gosip soal hubungan Vira dengan Rei, tapi nggak nyangka ini juga
melibatkan Niken. Niken dan Vira juga nggak kalah kagetnya. Mereka nggak nyangka
Amalia bakal ngomong kayak gitu.
"Kamu salah sangka. Aku udah tau soal Rei dan Vira, dan aku nggak nyalahin Vira,
karena aku dan Rei nggak ada hubungan apa-apa. Kami cuman temen biasa, nggak
lebih!" balas Niken tetap mencoba tenang.
"Kamu emang aneh?"
"Kamu kan udah pernah bilang itu sebelumnya," balas Niken sambil tersenyum.
Amalia lalu pergi ke mejanya tanpa ngomong apa-apa lagi.
"Aku lakukan ini bukan tanpa alasan," ujar Vira.
"Aku tau. Kita udah bahas soal ini kemaren, kan?"
"Tapi soal Lia?"
"Tenang aja. Nanti lama-lama juga dia bisa ngerti. Aku lebih tau siapa kamu
daripada yang lain."
*** Menjelang siang, total tanda tangan dari para siswa yang menolak pengunduran diri
Niken mencapai 883 tandatangan dari total 1000 lebih siswa SMA 31. Kertas-kertas
berisi tanda tangan tersebut lalu diserahkan pada Pak Danang. Intinya, sebagian besar
siswa-siswi SMA 31 masih mendukung Niken sebagai ketua OSIS dan menolak
penguduran dirinya. Niken sendiri kelihatan tenang-tenang saja. Kayaknya dia nggak mau pusing
masalah OSIS lagi. Malah sepulang sekolah, dia langsung cabut dengan sepedanya,
nggak peduli walau Andi bilang dia dicari-cari Pak Danang. Niken juga nggak
ngomong apa-apa, termasuk dengan Vira yang lagi menunggu Rei keluar dari
kelasnya. Sembilan Belas HARI Minggu pagi, Rida baru saja pulang jogging, saat melihat sesuatu yang nggak
biasa dan nggak disangka-sangka di ruang tamu rumahnya.
"Kamu?" tanya Rida pada Vira yang sudah agak lama menunggunya. Walau
sikapnya masih dingin, tapi nada bicaranya nggak sejutek saat dia ngomong di sekolah.
Tadinya Rida mau tanya, dari mana Vira tahu alamat rumahnya. Tapi hal itu
diurungkannya karena dia bisa menebak Vira pasti tahu alamatnya dari Rei.
"Aku mo ngomong ke kamu," kata Vira.
"Soal apa?" "Soal kita." *** Vira ngajak Rida ke C-tra Arena, GOR khusus untuk pertandingan basket yang terbesar
di Bandung. Mereka pergi naik motor bebek Rida (sebetulnya sih punya kakak
ceweknya, tapi lebih sering dipakai Rida karena kakaknya kalau pergi kuliah atau ke
mana saja lebih sering bareng cowoknya yang punya mobil).
Anehnya, walau nggak tahu tujuan Vira ngajak ke C-tra Arena, dan lagi sebel sama
Vira, Rida mau saja diajak Vira. Padahal Vira juga ngajak Rida ke situ bukan untuk
main basket. Mereka cuma pakai kaus dan celana panjang. Rida malah cuma pakai
sandal. Dan satu lagi, saat masuk ke C-tra Arena, Vira kelihatan hati-hati banget. Celingakcelinguk ke sana ke sini, seolah nggak pengin ada yang melihat kedatangannya. Vira
juga pakai topi hitam yang menutupi sebagian wajahnya.
Saat masuk, Rida melihat ada belasan orang di lapangan, dan kebanyakan dari
mereka cewek. Kayaknya ada tim cewek yang latihan di sini. Tapi Vira bukannya
ngajak Rida kelapangan, malah ngajak dia ke tribun penonton. Vira lalu memilih
duduk di salah satu sudut tribun yang agak gelap, hingga mereka berdua nggak begitu
kelihatan. Selain Vira dan Rida, ada juga beberapa orang yang duduk di tribun, dan
mereka menyebar secara berjauhan. Dengan begitu nggak ada yang memerhatikan dua
cewek ini. "Yang di lapangan itu tim basket SMA Altavia. Mereka punya jadwal latihan di sini
setiap Minggu, kecuali kalo dipake untuk pertandingan. Pagi dipake untuk latihan tim
cewek, sedang sorenya tim cowok," Vira menjelaskan. Dia mengenal semua yang ada
di lapangan, termasuk Stella yang memakai kaus emas. Itulah sebabnya tadi Vira
bersikap hati-hati saat masuk. Dia nggak pengin ada anak SMA Altavia yang
mengenalinya. Bisa panjang urusannya!
Rida membayangkan, untuk menyewa C-tra Arena sebagai tempat latihan, pasti
mengeluarkan uang yang nggak sedikit. C-tra Arena adalah GOR yang usianya masih
muda, dibangun khusus untuk menggelar pertandinganb asket. Karena masih baru,
fasilitas di dalamnya terbilang masih bagus dan berstandar internasional, termasuk
lapangan basketnya. Karena itu harga sewanya pasti mahal. Nggak semua tim bisa
latihan di sini, apalagi kalau sekadar tim sekolah. Rida sendiri belum pernah main di
lapangan C-tra Arena, karena selama dia ikut ekskul basket, tim basket cewek SMA 31
belum pernah sekali pun ikut pertandingan resmi karena dianggap nggak bakal
mampu bersaing dengan SMA-SMA lain. Lagi pula biasanya pertandingan antar-SMA
berlangsung di GOR Padjadjaran yang punya dua lapangan basket walau fasilitasnya
nggak selengkap dan semewah C-tra Arena. Tapi tahun ini, penyelenggaraan
Turnamen Basket Antar-SMA Se-Bandung Raya rencananya bakal diselenggarakan di
dua tempat. Babak penyisihan sampai perempat final dimainkan di GOR Padjadjaran,
sedang babak semifinal yang biasa disebut Final Four dan babak final dimainkan di
C-tra Arena. "Kebetulan mereka lagi latihan game. Kamu bisa lihat langsung permainan mereka,"
ujar Vira. Saat ini lagi berlangsung simulasi pertandingan. Tim basket cewek SMA Altavia
dibagi dua dan berhadapan. Rida menjadi saksi betapa hebatnya permainan cewekcewek dari SMA elite itu.
"Mereka hebat," puji Rida, nggak bisa menahan kekagumannya. Dia pernah melihat


Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permainan Vira dan terus terang, dari hati kecilnya Rida mengaku teknik bermain Vira
lebih baik daripada dirinya. Sekarang, Rida melihat ada dua sampai tiga pemain SMA
Altavia yang skill-nya mungkin setara dengan Vira, terutama yang memakai kaus emas.
Selain itu, pemain lainnya juga kemampuannya nggak beda jauh, minimal setara Rida
sendiri. Dari segi permainan, permainan SMA Altavia lebih rapi dan terorganisasi. Para
pemain seakan selalu tau di mana posisi masing-masing, dan kapan harus bermain
secara tim, kapan harus bermain secara individual. Nggak heran, SMA Altavia kan
punya pelatih khusus. Seorang pria setengah baya yang nggak henti-hentinya berteriak
di pinggir lapangan, memberi instruksi bagi kedua tim.
"SMA Altavia memang hebat"," ujar Vira memuji bekas timnya, ?"tapi bukan
berarti mereka nggak bisa dikalahkan."
"Iya, tapi aku nggak yakin tim SMA 2 dan SMA 3 bisa ngalahin mereka sekarang.
Kemaren aku liat permainan SMA 3 jauh dari ini."
"Kenapa harus SMA lain yang ngalahin mereka" Kita juga bisa kok."
"Kita" Maksud lo, tim SMA 31?"
Vira mengangguk. "Jangan mimpi. Kamu mungkin punya keyakinan bisa ngalahin mereka, tapi aku
lebih realistis. Lawan SMA Tirta Bakti kemaren aja kalian kalah, padahal SMA Tirta
Bakti maennya biasa-biasa aja," kata Rida. Tiga hari yang lalu tim cewek SMA 31
memang bertanding melawan SMA Tirta Bakti, dan kalah tipis.
"Kamu liat pertandingan itu?"
Rida mengangguk. "Kamu liat sendiri, kan" Vira juga nggak bisa berbuat apa-apa sendirian. Tim tetep
butuh pemain-pemain kayak kamu, Debi, Mia, dan yang lainnya. Kalian yang bikin tim
ini tambah kuat." Rida nggak menanggapi ucapan Vira. Dia cuma memandang ke depan, ke arah
lapangan. "Ngalahin SMA Altavia bukan mimpi. Kita bisa ngalahin mereka, asal tau kekuatan
dan kelemahan mereka. Dan aku tau semua kelemahan mereka.
"Dulu, saat aku baru masuk tim basket SMA Altavia, mereka belum terlalu hebat,
walau bisa dibilang lumayan. Angkatan kami yang membawa perubahan dalam tim.
Kami mengubah pola dan cara bermain tim, hingga mengagetkan lawan-lawan kami.
Sampai sekarang aku liat, cara bermain mereka tetap sama. Jadi aku yakin
bisa mengalahkan mereka. Basket kan olahraga tim, bukan perorangan."
"Tapi tetep aja kemampuan individu memengaruhi. Kalo pemainnya hebat-hebat,
gampang membentuk tim yang bagus," tukas Rida.
"Karena itulah, aku nggak bisa melakukannya sendirian. Aku butuh bantuan yang
lain, termasuk kamu, Debi, dan yang lainnya," sergah Vira.
Lagi-lagi Rida cuma terdiam.
"Aku tau, kamu mungkin nggak suka aku, walau aku nggak tau apa alasannya, dan
aku nggak bermaksud mengorek alasan kamu itu. Pertengkaran terakhir kita emang
belum bisa diselesaikan. Karena itu, aku juga mo minta maaf, kalo kemaren aku
menyinggung perasaan kamu. Aku waktu itu emang emosi, mungkin karena aku orang
baru, belum tau suasana dalam tim, tapi aku mencoba menyamakan suasana seperti di
tim lamaku. Waktu itu aku hanya bermaksud supaya tim kita bisa menang. Nggak
lebih." Ucapan Vira terdengar pelan, tapi cukup membuat Rida tertegun. Sedikit demi
sedikit, sikap dinginnya mulai mencair.
"Aku nggak berharap kamu langsung maafin aku, lalu bersikap baik padaku. Tapi
aku mohon, kamu berpikir untuk tim. Kalo kamu nggak mau maen basket karena aku,
cobalah untuk maen basket karena sekolah kita. Tim kita sangat membutuhkan pemain
yang bisa mengangkat tim dan membuat prestasi, hingga ekskul basket nggak dihapus
tahun depan. Aku yakin kamu juga nggak pengin kan ekskul basket dihapus?" lanjut
Vira. "Kemaren Rei udah mendaftar tim cowok dan cewek untuk ikut Turnamen Basket
Antar-SMA se-Bandung Raya. Dan dia minta aku jadi kapten tim cewek. Tapi aku
nggak mau." "Kenapa" Bukannya kamu paling jago dan paling berpengalaman di tim" Selain itu,
Niken pernah bilang dulu kamu hampir jadi kapten tim SMA Altavia, kalo aja, kamu
nggak keburu pindah...," akhirnya Rida ngomong lagi.
"Itu benar. Tapi untuk jadi kapten bukanlah pemain yang permainannya paling
hebat atau paling berpengalaman, tapi haruslah pemain yang bisa menjaga keutuhan
tim, dihormati yang lainnya, dan bisa memotivasi teman-temannya. Kejadian dulu
membuktikan aku bukan kapten tim yang pantas. Ada orang yang lebih pantas menjadi
kapten tim cewek SMA 31, yaitu kamu."
Ucapan Vira yang panjang-lebar rupanya bisa membuat Rida mikir panjang-lebar
juga. *** Menjelang siang, latihan basket SMA Altavia sudah hampir selesai. Jadi Vira dan Rida
harus cepat-cepat keluar dari C-tra Arena sebelum ketahuan.
"Eh, lo Vira, kan?"
Oh my God! Apa yang ditakutkan Vira terjadi juga. Dua anggota ekskul basket SMA
Altavia berpapasan dengan Vira dan Rida di pintu keluar. Vira nggak tau ada dua anak
basket yang ada di luar dan masuk lagi saat mereka berdua mau keluar. Walau Vira
pakai topi, tapi dari jarak sedekat ini, tetap saja dia bisa dikenali.
Vira cepat menarik tangan Rida. Mereka berdua harus cepat-cepat pergi sebelum
semua anak basket SMA Altavia tahu kehadiran mereka.
Tapi terlambat! Saat Rida mau nyalain motornya, sebuah suara yang sudah dikenal
Vira terdengar dari arah pintu GOR.
"Mo kabur"!"
Stella berjalan cepat ke arah Vira dan Rida, diikuti anak-anak basket yang lain.
Sebetulnya, nggak semua anak basket memusuhi Vira, terutama anak kelas 1 yang
sempat dilatihnya. Tapi mereka semua nggak berdaya di bawah pengaruh Stella.
Apalagi setelah Stella dekat dengan Robi dan jadi ketua ekskul basket, pengaruhnya
makin kuat di SMA Altavia, terutama di tim basket cewek.
Vira merasa dia nggak bisa menghindar lagi. Pikirannya sekarang cuma satu,
menyelamatkan Rida supaya nggak ikut terlibat. Tapi bagaimana caranya"
"Apa pun ucapan mereka ke kamu, jangan ditanggepin. Biar aku yang ngadepin
mereka. Kamu diem aja," ujar Vira lirih pada Rida. Dia lalu berbalik menghadapi Stella.
"Gue nggak pernah kabur dari lo," kata Vira sambil menatap tajam pada Stella.
"Heh! Si anak koruptor masih punya nyali juga buat ngomong ama gue," ejek Stella.
Tapi Vira tetap tenang. Pikirnya, konyol banget kalau saat ini dia terbawa emosi.
Dia cuma berdua RIda yang kelihatan sedikit tegang. Pak Andryan, pelatih basket SMA
Altavia yang dulu dekat dengan Vira nggak kelihatan di sekitar situ. Mungkin udah
pulang. Ada sih penjual minuman dan makanan di sekitar C-tra Arena, tapi Vira tahu
mereka nggak bakal ikut campur, kecuali keadaan berubah jadi gawat dan nggak bisa
dikendalikan. "Asal lo tau, gue juga nggak pernah takut sama lo! Buat apa gue takut ama orang
licik yang bisanya cuman nikam orang dari belakang, nggak berani dari depan!"
Ucapan Vira itu bikin hati Stella panas.
"Trus" Ngapain lo kabur?"
"Gue nggak kabur. Gue cuman mo pulang karena urusan gue di sini udah selesai."
"Urusan" Urusan apa" Mata-matain kita" Atau kangen maen di sini?" tanya Stella
setengah mengejek. "Apa pun urusan gue di sini, itu bukan urusan lo. GOR ini tempat umum. Siapa
pun berhak ada di sini."
"Tapi saat ini kami menyewa tempat ini! Jadi kami yang menentukan siapa yang
berhak ada di sini!" sentak Stella.
"Kami atau lo?"
Stella mulai terpancing ucapan Vira. DIa lalu memandang Rida yang cuma diam.
"Jadi ini salah satu temen lo" Emang pantes. Anak koruptor berteman dengan anak
kampung! Gue denger lo juga ikut tim basket di sekolah baru lo" Dan sekarang lo mo
mata-matain kami untuk turnamen, kan?"
Sekarang giliran Rida yang jadi panas mendengar ucapan Stella. Tapi tangan Vira
menekan tangan Rida yang dipegangnya, seakan mengingatkan Rida untuk nggak
bertindak bodoh. "Apa sih mau lo" Cepet bilang, atau biarin gue pergi!" kata Vira. Dia nggak mau
lama-lama berurusan dengan Stella.
"Belagu amat sih lo!" Stella mendorong Vira. Untung Vira nggak terjatuh. Dia cuma
mundur beberapa langkah. "Lo kira bisa seenaknya aja pergi dari sini setelah mata-matain kami?" bentak Stella.
"Jadi, apa mau lo!?"
"Mau gue?" Stella menatap Vira dengan pandangan mata penuh kebencian.
*** Lima menit kemudian Vira sudah ada di tengah lapangan. Dia nggak sendiri. Ada
Stella di hadapannya. Mereka berdua akan bertanding 1 on 1. Untung aja Vira pakai
celana basket di balik celana panjangnya. Cuman emang dia nggak pake sepatu
basketnya. Tapi bagi Vira, itu bukan masalah.
"Peraturan yang sama?" tanya Vira.
"Ya. Peraturan yang sama," jawab Stella.
Vira melirik ke arah Rida yang duduk di pinggir lapangan sambil memandang ke
arahnya. Salah seorang anggota tim SMA Altavia, Alexandra atau biasa dipanggil Alexa,
maju sambil memegangi bola di antara Vira dan Stella. Dia melemparkan bola ke atas.
Dan pertandingan pun dimulai!
*** 1 on 1 adalah permainan basket yang sering dimainkan di SMA Altavia. Biasanya
dimainkan di waktu senggang. Walau begitu kadang-kadang 1 on 1 dimainkan untuk
menentukan suatu keputusan, seperti menentukan pemegang kaus emas untuk enam
bulan ke depan. Peraturan 1 on 1 sangat sederhana. Dengan cuma memakai salah satu sisi lapangan,
pemain yang mendapat bola pertama berusaha memasukkan bola ke ring, dan pemain
lainnya berusaha menghalang-halangi. Kalo masuk, pemain penyerang akan mendapat
jatah menyerang lagi, sampai bolanya berhasil direbut oleh pemain bertahan. Pemain
pertahan yang berhasil merebut bola harus menuju garis tiga angka dulu, baru mulai
menyerang. Sistem skornya juga agak beda, satu angka untuk tembakan dari sisi dalam
garis tiga angka, dan dua angka untuk tembakan dari sisi luar garis tiga angka.
Pemenangnya adalah yang lebih dulu mencapai skor yang udah disepakati
sebelumnya, biasanya 21. Segala peraturan basket seperti technical dan personal foul juga
berlaku, tapi nggak begitu ketat seperti dalam pertandingan.
Dulu, dua orang yang sering bertanding 1 on 1 adalah Stella dan Vira, walau hanya
untuk latihan dan sambil bercanda. Tapi sekarang kayaknya mereka berdua nggak
dalam suasana bercanda. Masing-masing punya sesuatu yang dipertaruhkan. Salah
satunya adalah prestise dan semangat saling menjatuhkan, terutama untuk Stella yang
merasa masih di bawah bayang-bayang Vira. Walau sekarang jadi ketua ekskul basket,
kapten tim cewek, dan memakai kaus emas sebagai pemain cewek terbaik SMA
Altavia, tapi Stella belum puas. Dia merasa teman-temannya masih membandingkan
kemampuannya dengan Vira. Dia juga memakai kaus itu setelah Vira pergi dan nggak
pernah merebutnya secara langsung dari Vira. Sekarang Stella pengin membuktikan dia
memang pantes memakai kaus emas. Dialah yang terbaik di tim basket cewek SMA
Altavia. Tubuh Stella lebih tinggi, jadi dia bisa mengambil bola pertama. Vira segera menuju
zona pertahanan, sementara Stella mulai menyerang diiringi sorak-sorai anak-anak
SMA Altavia. Vira mencoba menghadang gerakan Stella di dekat garis tiga angka, tapi Stella
memutar sambil mendribel bola. Vira memasukkan tangannya di antara kedua tangan
Stella, mencoba merebut bola. Stella melakukan gerakan seolah akan menembak bola
langsung ke ring. Anehnya, Vira nggak terpancing gerakan Stella itu. Dia tahu Stella
nggak bakal menembak bola di luar garis tiga angka karena Stella lemah di situ. Betul
aja, Stella nggak langsung menembak. Dia malah menundukkan tubuh, dan mencoba
menerobos lewat bawah. Kali ini Vira nggak bisa menahan gerakan Stella yang
menggunakan kekuatan tubuh untuk mendorong dirinya. Vira hampir terjengkang,
dan itu dimanfaatkan Stella. Dia berhasil masuk hingga ke bawah ring, dan
memasukkan bola ke ring dengan mudah. Angka pertama untuk Stella!
Selanjutnya, semua terlihat lebih mudah bagi Stella. Dia berhasil memasukkan bola
lima kali berturut-turut, hingga kedudukan menjadi 6-0. Tapi Vira tetap tenang. Dia
nggak kelihatan panik. Saat Stella mencoba memasukkan bola untuk ketujuh kalinya, Vira berhasil
memblok tembakannya. Dia berhasil menguasai bola. Serangan Stella berakhir.
Giliran Vira menyerang. Vira melakukan sebuah tindakan yang nggak disangkasangka. Dia langsung melakukan tembakan tiga angka saat Stella belum siap
menghadang gerakannya. Stella dan yang lainnya nggak menyangka Vira akan
melakukan hal itu. Bola masuk dengan mulus. Skor sekarang berubah jadi 6-2, masih
untuk keunggulan Stella. Pertandingan berjalan semakin menarik. Keduanya saling kejar dalam perolehan
skor. Tapi kemudian terlihat Vira sedikit lebih unggul dari Stella. Serangannya lebih
bervariasi dan terarah. Nggak heran bila Vira bisa memperkecil ketinggalannya, dan
bahkan bisa sedikit mengungguli angka Stella. Itu membuat Stella sedikit frustasi. Dia
mulai melakukan segala cara untuk menahan Vira, dari menarik baju Vira sampe
mendorongnya hingga terjatuh. Tentu itu pelanggaran, dan Vira berhak mendapat
lemparan bebas (free throw). Dua kali Vira mendapat lemparan bebas, dan
melakukannya dengan baik. Skor sekarang 12-15 untuk keunggulan Vira.
Saat itulah semua tiba-tiba berubah. Dimulai dari kegagalan Vira melakukan
tembakan, Stella langsung merebut bola, dan kembali melakukan serangan. Entah
kenapa, Vira mendadak seperti kehilangan kemampuannya. Dia membiarkan Stella
mencetak angka demi angka dengan mudah, bahkan satu di antaranya didapat melalui
tembakan tiga angka, yang selama ini nggak pernah bisa dilakukan Stella. Vira sempat
mencuri bola dari Stella dan ganti menyerang, tapi nggak lama karena serangannya
keburu dipatahkan Stella. Giliran Stella menyerang dan dia kembali berhasil menipu
Vira dengan mudah. Dengan dihalangi Vira, Stella melompat dan menembak dari
sudut sempit di sebelah kanan ring. Bola sempat mengenai tepi ring, dan bergulir
masuk. Skor berubah jadi 21-15. Stella memenangkan pertandingan.
"Udah gue duga, ternyata bergaul dengan tim kampung bikin kemampuan lo jadi
payah! Sekarang gue udah nggak penasaran lagi ama lo!" kata Stella sambil tersenyum
sinis pada Vira yang terduduk di lapangan, terjatuh karena dorongan badan Stella saat
akan menembak. Vira nggak membalas ucapan Stella. Dia hanya menunduk sambil
mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Stella lalu meninggalkan Vira, langsung keluar
dari C-tra Arena diikuti anak-anak lain. Sekarang tinggal Rida dan Vira yang masih ada
di sana. Rida mendekati Vira yang masih duduk di lapangan.
"Kamu nggak papa?" tanya Rida. Vira cuma mengangguk perlahan.
*** Sore harinya, Vira terlambat datang ke latihan karena ketiduran. Pertandingan lawan
Stella tadi cukup menguras tenaganya walau cuma sebentar, dan bikin dia ngantuk.
Jadi Vira baru datang setelah latihan berjalan hampir satu jam.
Nggak disangka, Rida ternyata ada di sana. Dia sudah ikut latihan lagi. Dan nggak
cuma Rida, ada juga Debi dan sebagian anak yang tadinya memboikot latihan.
"Akhirnya kamu bergabung lagi," kata Vira pada Rida yang lagi mengikat tali
sepatu di sebelahnya, sedang Vira bersiap-siap ikut latihan.
"Aku bergabung bukan karena aku udah mau jadi temen kamu, tapi karena aku
nggak mau tim basket SMA 31 dihina oleh cewek-cewek borjuis itu," sahut Rida tanpa
melihat Vira. Pandangannya tetap pada tali sepatu yang sedang diikatnya.
"Apa kamu yakin kita bisa mengalahkan mereka" Kamu aja udah kalah melawan
salah seorang dari mereka," tanya Rida.
"Yakin sekali. Dan soal tadi, jangan khawatir. Aku tadi sengaja ngalah kok."
"Kenapa?" "Kalo tadi aku menang, kita nggak bakal bisa keluar dari sana hidup-hidup," tandas
Vira. RIda dan anak-anak basket lainnya memang udah kembali berlatih. Tapi Vira masih
melihat ada sesuatu yang kurang. Nggak ada Niken di sini. Padahal dia biasanya selalu
rajin datang untuk nonton latihan. Walau bukan ketua OSIS lagi dan nggak memantau
tim basket, tapi Vira nggak yakin itu alasan Niken untuk nggak datang. Dari kemarin,
Vira memang belum ketemu Niken lagi. Bahkan kata mamanya, pagi tadi bukan Niken
yang nganterin kerupuk, melainkan orang suruhan ibunya, entah Niken ke mana.
Kira-kira di mana Niken sekarang ya"
Dua Puluh WEEKEND ini Niken memang nggak ada di rumahnya. Sepulang sekolah, dia langsung
pergi ke Lembang, ke rumah salah satu teman SMP-nya yang tinggal di sana. Nggak
tahu alasannya, katanya sih kangen ama temennya itu. Ibunya mengizinkan karena
tahu akhir-akhir ini Niken kelihatan agak stres dengan masalah di OSIS. Jadi siapa tahu
dia bisa refreshing di sana. Pada ibunya Niken juga pesan agar jangan memberitahu ke
mana dia pergi pada siapa pun, termasuk ke Vira dan Rei.
"Tapi nanti kalo mereka nanya kamu ke mana?" tanya ibunya.
"Ibu bisa bilang Niken nginep di rumah temen, tapi jangan kasih tau di mana.
Bilang aja nggak tau," jawab Niken.
Sekarang, di malam minggu yang cerah ini, Niken duduk di depan api unggun yang
dibuatnya sendiri di sisi kolam yang banyak ditumbuhi bunga teratai. Dia terus
memandang api unggun yang menyala di hadapannya. Sepertinya lagi ada yang jadi
pikiran cewek itu. Dinginnya udara Lembang di malam hari membuat Niken tetap
bergeming. Untung aja cuaca cerah, hingga udara nggak bertambah dingin. Bulan


Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlihat terang bersinar di langit, dikelilingi bintang-bintang yang berkerlap-kerlip
memancarkan sinarnya. "Nih" udah mateng."
Seorang cewek yang usianya sebaya dengan Niken duduk di sampingnya.
Rambutnya yang panjang dikepang dua. Namanya Sekar, teman satu kelas Niken saat
SMP dulu dan merupakan salah satu yang jadi teman dekatnya. Dia memberikan satu
dari dua jagung bakar yang dibawanya pada Niken.
"Aku kan dari dulu udah bilang, kamu tuh harus terus terang ke Rei kalo kamu
sayang dia. Eh kamu malah diem aja. Padahal aku juga yakin Rei sebetulnya sayang
ama kamu. Kalo nggak, dia nggak mungkin mau mati-matian ngebantu kamu," kata
Sekar sambil makan jagung bakarnya.
"Aku nggak bisa. Aku kan cewek, masa aku harus ngomong duluan kalo aku suka
ama dia?" "Jadi kamu nunggu Rei yang ngomong duluan" Sekarang udah bukan zamannya
cowok nembak duluan, Non?"
"Bukan gitu, aku cuman nggak yakin bagaimana perasaan Rei. Kamu tau dia, kan"
Dari dulu dia nggak pernah ngomongin soal-soal kayak gini. Dan sampe sekarang juga
begitu. Jadi aku nggak tau bagaimana perasaan dia. Siapa tau dia emang menganggap
aku sebagai sahabatnya doang, nggak lebih."
"Tapi ama cewek lain dia bisa ngungkapin perasaannya, termasuk ama temen kamu
itu" siapa namanya?"
"Vira." "Iya Vira. Sekarang mereka pacaran. Padahal kamu bilang Vira juga sahabat kamu,
kok dia sampe nggak tau soal kamu dan Rei sih?"
"Jangan salahin Vira. Dia juga pernah tanya soal aku dan Rei, dan aku bilang kami
cuman temen. "Dan itu yang bikin aku ragu-ragu. Rei bisa ngungkapin perasannya ke cewek lain,
tapi dia nggak begitu ke aku," lanjut Niken.
"Apa kamu yakin Rei yang ngomong duluan ke cewek lain" Bukan cewek itu yang
ngomong duluan?" tanya Sekar. Niken cuma diam.
"Dari dulu kamu selalu gitu. Saat dulu aku tanya hubungan kamu dan Rei, jawaban
kamu juga sama. Nggak ada apa-apa. Untung aku tau hubungan kalian berdua, dan
aku nggak yakin akan jawaban kamu. Jadi aku mutusin untuk nggak ngedeketin Rei
demi kamu," ujar Sekar lagi.
Ucapan Sekar membuat Niken menoleh ke arahnya.
"Kamu juga naksir Rei?" tanya Niken sambil menatap mata Sekar dalam-dalam.
"Eh" itu dulu, waktu SMP. Tapi lalu aku putuskan untuk nggak ngedeketin Rei,
sebab aku nggak mau kamu marah. Itu udah lama" dan sekarang aku kan udah nggak
pernah ketemu Rei lagi. Jangan curiga gitu dong?"
"Tenang" aku nggak curiga ke kamu kok. Aku juga tau kamu tuh sahabatku yang
paling baiiik dan yang paling ngerti aku."
"Selain Rei, kan?"
Niken tersenyum. "Sampe kapan kamu begini terus?" tanya Sekar lagi.
"Maksud kamu?" "Sampe kapan kamu nyembunyiin perasaan kamu ke Rei" Kapan kamu akan terus
terang ke dia?" "Aku nggak tau. Mungkin nggak akan?"
"Nggak akan?" "Sekar" Rei sekarang keliatan bahagia bersama Vira, dan aku nggak mau ngerusak
kebahagiaan mereka."
"Emangnya kamu kira Rei bakal pacaran dengan Vira selamanya" Kita ini semua
masih SMA" Masih jauh kalo mikir soal hubungan yang serius?"
"Mudah-mudahan. Sebab aku rasa Rei cocok dengan Vira. Vira orangnya cantik,
badannya bagus. Dan yang penting, dia punya hobi sama dengan Rei, yaitu basket.
Vira juga lebih lembut dari aku, dan dia nggak sebawel aku. Rei tentu aja suka ama
dia," ujar Vira. "Kamu emang nggak pernah berubah. Selalu aja mikirin orang lain, nggak pernah
mikirin diri kamu sendiri," kata Sekar.
"Yah" mungkin aku emang selamanya nggak akan berubah," tandas Niken sambil
memandang bintang-bintang di langit.
*** Seninnya, Niken udah masuk sekolah lagi. Dan nggak seperti hari Sabtu, wajahnya
kembali ceria. Bahkan dia sempat ngasih sontekan PR ke Vira yang tadi malem nggak
sempat ngerjain karena ketiduran.
"Ketiduran atau nggak bisa?" sindir Niken sambil terkekeh. Vira cuma nyengir.
Niken lalu ke mejanya, dan bergabung dengan Amalia, Dina, dan anak-anak cewek lain
yang asyik ngerumpi di situ.
Vira mandang ke arah Niken. Walau heran dengan perubahan sikap Niken selama
dua hari ini, tapi Vira senang, karena Niken sudah kembali ceria, kembali jadi Niken
yang dulu. *** Ulangan umum yang biasa disebut TPB (Tes Prestasi Belajar) udah dimulai. Karena itu
semua siswa SMA 31 mulai sibuk berpusing-pusing ria menghadapi soal-soal tes, dan
untuk itu semua kegiatan ekskul diliburkan sementara, termasuk basket. Menghadapi
TPB ini, Vira sering belajar bareng Niken di rumahnya, karena otak Niken lumayan
encer juga. Walau belum pernah jadi juara kelas, dia selalu masuk sepuluh besar di
kelas. Kadang-kadang Rei juga ikut nimbrung belajar, walau biasanya kalau ada Rei,
mereka malah jadi nggak konsen belajar, karena Niken masih agak kagok di depan Rei
sekarang, dan Vira biasanya bersikap jaim di depan cowoknya.
Vira dan Rei juga nggak pernah ikut streetball lagi. Bukan karena mereka sibuk
belajar untuk TPB, tapi karena minggu lalu arena streetball digerebek polisi karena
disinyalir jadi arena perjudian terselubung. Untung waktu itu Rei dan Vira baru dateng
dan belum sempat main, jadi bisa lolos dari penggerebekan. Dan ide Rei memarkir
motornya jauh dari arena streetball ternyata ada benarnya juga. Mereka jadi bisa pulang
dengan bebas, sedang yang motornya berada dalam arena streetball ikut ditahan dan
dibawa ke kantor polisi. Menurut Rei, sejak penggerebekan itu, arena streetball dibongkar warga sekitar.
Polisi pun masih sesekali datang ke daerah itu, siapa tau dipake buat judi lagi.
"Tapi tenang aja, sekarang temen-temen lagi nyari arena baru. Kalo udah dapet ntar
aku pasti dikasih tau," kata Rei.
*** Seusai tes Kimia dan bahasa Inggris yang bikin pusing kepala, Vira nggak langsung
pulang. Dia pergi sendirian ke C-tra Arena. Begitu masuk, Vira celingukan. Dia seperti
mencari seseorang. Apa di dalam ada latihan basket tim SMA Altavia lagi" Ternyata
nggak. Saat itu di dalam C-tra Arena sedang ada latihan salah satu tim basket asal
Bandung yang akan mengikuti kompetisi IBL (Indonesia Basket League). Dan setelah
celingak-celinguk agak lama, Vira akhirnya bisa menemukan orang yang dicarinya.
Setengah jam kemudian, Vira mengikuti Pak Andryan menuju mobilnya yang
diparkir di halaman GOR. Selain melatih di SMA Altavia, sudah sekitar tiga bulan ini
Pak Andryan menjadi asisten pelatih klub IBL asal Bandung tersebut.
Pak Andryan membuka pintu belakang Avanza-nya, dan mengambil setumpuk
buku yang ditaruh di jok belakang.
"Ini"," kata Pak Andryan sambil menyerahkan tumpukan buku pada Vira. "Ini
buku-buku dan diktat yang Bapak dapat dari beberapa kursus kepelatihan, termasuk
saat Bapak ikut kursus yang diselenggarakan NBA di New York. Di dalamnya
beberapa strategi permainan, termasuk formasi-formasi basket dan taktik-taktiknya.
Mudah-mudahan bisa membantu tim kamu."
Tumpukan buku itu lumayan berat juga bagi Vira, hingga dia sedikit membungkuk
saat menerimanya. Vira lalu memasukkan buku-buku itu ke ranselnya.
"Makasih, Pak. Setelah saya fotokopi, nanti saya kembalikan lagi ke Bapak," ujar
Vira. "Tenang aja. Nggak usah buru-buru. Bapak juga udah jarang membaca buku-buku
itu lagi kok. Dan ini?" Pak Andryan memberikan sebuah buku tulis yang kelihatannya
udah agak kusam. "Ini hasil coretan-coretan Bapakk. Isinya tentang strategi dan formasi yang Bapak
pake dalam permainan, termasuk strategi yang dipake SMA Altavia."
Kali ini Vira nggak langsung menerima buku dari Pak Andryan, malah menatap ke
arah bekas pelatihnya itu.
"Tapi, Pak" Bukannya itu berarti Bapak membocorkan strategi permainan SMA
Altavia" Bapak nggak takut SMA kita kalah dari SMA Vira kalo nanti ketemu?"
"Jangan khawatir. Kamu juga tau kan SMA Altavia punya beberapa strategi
permainan, jadi kamu nggak bakal tau mana yang Bapak pake saat menghadapi timtim lain. Bapak sarankan, kamu jangan terpaku pada strategi yang ada di buku. Siapa
tau Bapak menemukan strategi baru kalo ketemu tim kamu."
Ucapan Pak Andryan membuat Vira akhirnya mau menerima buku yang ada di
tangan Pak Andryan dan memasukkannya ke tas.
"Sekali lagi makasih, Pak. Saya nggak nyangka Pak Andryan masih mau menolong
saya. Padahal mungkin aja nanti SMA Vira ketemu SMA Altavia di turnamen."
"Nggak masalah. Hanya ini yang Bapak bisa lakukan untuk kamu. Bapak nggak
mungkin kan jadi pelatih untuk tim basket sekolah kamu?" Pak Andryan memegang
pundak Vira dengan tangan kanannya.
"Kamu pemain yang berbakat. Bapak juga menyesali kepindahan kamu saat itu.
Susah mendapatkan pemain seperti kamu di SMA Altavia," sambung Pak Andryan.
"Bapak terlalu memuji. Bukannya banyak pemain yang bagus di SMA Altavia"
Stella misalnya?" "Tapi nggak ada yang seperti kamu. Stella memang berbakat, maennya bagus. Tapi
dia nggak bermain basket dengan hatinya. Stella bermain basket hanya untuk mengejar
kemenangan dan prestise. Dia nggak menikmati permainan basket itu sendiri. Yang
lain juga rata-rata begitu. Cuman kamu orang yang Bapak lihat begitu menikmati
bermain basket. Orang seperti kamu yang bisa membuat basket jadi permainan yang
begitu indah dan menarik untuk ditonton. Kalo aja kamu cowok, Bapak udah
rekomendasikan kamu untuk bergabung dengan salah satu tim IBL atau Kobatama.
Permainan kamu udah setingkat dengan mereka."
"Bapak bisa aja, saya masih harus banyak belajar. Stella aja udah lebih unggul dari
saya." "Pertandingan 1 on 1 beberapa hari yang lalu" Kamu sengaja ngalah, kan?"
"Bapak tau dari mana?"
"Bapa liat pertandingan itu dari jauh. Yang Bapak liat, kemarin itu bukanlah Vira
yang sebenarnya. Kamu tiba-tiba menurunkan kemampuan kamu saat udah unggul.
Bapak nggak tau alasannya, dan kamu nggak perlu cerita ke Bapak soal itu."
Vira nggak berkata apa-apa. Pak Andryan melihat jam tangannya.
"Oke" Bapak harus kembali ke dalam. Kamu mau ke dalam lagi?"
"Nggak, Pak. Saya pulang aja, soalnya besok masih TPB."
"Baiklah kalo begitu. Semoga kamu bisa sukses, dan mudah-mudahan tim kamu
bertemu dengan tim SMA Altavia di final."
"Mudah-mudahan, Pak. Dan sekali lagi, terima kasih?"
*** Pulang sekolah, Vira melihat mamanya lagi bersiap-siap pergi. Mamanya akan
menengok papa Vira di penjara.
"Mama pergi nengok papa kamu dulu ya" Kalo kamu mo makan, udah Mama
sediain di meja," kata mamanya.
"Bisa tunggu Vira nggak, Ma" Vira mo ganti baju dulu," balas Vira.
"Nunggu kamu ganti baju" Kenapa?"
"Karena?" Vira terdiam sejenak. "Vira mo ikut Mama nengok Papa di penjara,"
ujar Vira lirih, tapi membuat mamanya membelalakkan matanya karena nggak percaya.
"Bener kamu mo ikut Mama" Kamu mo nengok papa kamu di penjara?" tanya
mama Vira, bener-bener belum percaya dengan apa yang baru didengarnya.
Vira mengangguk. "Vira udah lama nggak ketemu Papa. Vira kangen."
Mamanya nggak bisa berkata apa-apa lagi. Matanya mulai berkaca-kaca. Dia hanya
mengangguk perlahan. Sampai Vira masuk ke kamarnya, wanita itu masih belum
percaya putri tunggalnya ini akhirnya mau ketemu papanya setelah sekian lama.
Terima kasih Tuhan! batinnya.
Dua Puluh Satu TPB sudah selesai, tapi bukan berarti Vira bisa santai. Dia dan tim basket SMA 31 harus
bersiap-siap menghadapi Turnamen Basket Antar-SMA se-Bandung Raya yang
berlangsung hanya dua hari setelah TPB.
Berbeda dengan tahun lalu, kejuaraan kali ini menggunakan beberapa peraturan
liga basket profesional Amerika Serikat yang biasa disebut NBA, di antaranya waktu
pertandingan yang bukan 2 x 20 menit lagi tapi 4 x 12 menit, dan waktu menembak ke
ring lawan yang 24 detik, bukan 30 detik seperti biasanya.
Tim cowok SMA 31 memang lagi sial. Di babak pertama mereka sudah harus
ketemu finalis tahun lalu, SMA 2. Mungkin karena status mereka yang bukan
unggulan, jadi harus ketemu salah satu tim unggulan di babak pertama. Tim ceweknya
lebih beruntung, mereka ketemu SMA 15 yang bukan salah satu tim unggulan. Tapi
walau begitu harus hati-hati juga, karena mereka belum pernah melawan SMA 15, jadi
nggak tahu kekuatannya. Waktu masih bermain untuk SMA Altavia, Vira juga belum
pernah ketemu mereka. "Yang penting kita maen cepet aja dulu, kumpulin angka sebanyak-banyaknya dari
awal, juga untuk sedikit menjatuhkan mental mereka," kata Vira yang juga merangkap
sebagai pelatih tim cewek, bertugas mengatur strategi tim.
Ucapan Vira terbukti. Permainan cepat SMA 31 membuat tim SMA 15 jadi grogi.
Mental mereka langsung goyah. Pertandingan baru berjalan tiga menit, SMA 31 sudah
unggul 6-0 melalui tembakan-tembakan Vira dan Rida. Setelah itu, tim SMA 31 pun
praktis menguasai pertandingan. Quarter pertama berakhir dengan keunggulan SMA
31, 23-12. Quarter kedua, SMA 31 nggak gampang lagi mencetak angka. Pemain-pemain SMA
15 sekarang mulai menjaga Vira, Rida, juga Debi yang merupakan pemain kunci SMA
31, hingga mereka nggak bebas lagi bergerak. Walau begitu SMA 31 bisa
mempertahankan keunggulannya, walau nggak setelak quarter pertama.
Sampai menit kedelapan quarter kedua, SMA 31 masih unggul 32-21. Rida
mendribel bola setelah menerima operan dari Mia, saat dia dihadang pemain lawan
yang menempelnya dengan ketat. Rida nggak bisa masuk lagi, padahal dia berada di
pinggir lapangan. Dia melihat Vira dan Dini yang berposisi sebagai forward berada
dalam penjagaan ketat pemain-pemain lawan. Nggak mungkin memberikan bola pada
mereka berdua tanpa dihadang pemain lawan yang menjaga mereka.
Sekonyong-konyong mata Rida melihat Debi berlari dari arah belakang.
"Deb!" Rida melakukan operan memantul di lapangan yang segera disambut Debi. Saat itu
seorang pemain lawan yang ada di dekat Debi berusaha membayanginya, tapi kalah
cepat dari Debi yang berlari sambil mendribel bola. Saat melewati garis tiga angka, tibatiba langkah Debi melemah. Dan tanpa diduga, lawannya yang membayanginya
berhasil merebut bola darinya, lalu memasukkan operan ke pemain lain yang ada di
depan. SMA 15 melakukan serangan balik saat SMA 31 nggak siap. Mia yang sendirian
di belakang gagal menahan laju salah seorang forward SMA 15 yang punya kemampuan
lumayan bagus. Sekali tembak, bola masuk ke ring. Skor 32-23, masih untuk
keunggulan SMA 31. "Debi jatuh!" Seketika itu pertandingan berhenti. Wasit dan para pemain SMA 31 segera berlari ke
arah Debi yang tergeletak di lapangan. Juga beberapa anggota tim SMA 31 yang ada di
pinggir lapangan, termasuk Niken, para anggota ekskul PMR yang diminta bantuannya
sebagai seksi kesehatan tim, dan nggak ketinggalan Rendy, cowok Debi.
Debi terbaring di tengah lapangan. Dia masih sadar, tapi wajahnya membiru.
Napasnya tersengal-sengal. Dia seperti kesulitan bernapas.
"Asmanya kambuh," ujar Rida. Ucapannya itu membuat Vira menoleh ke arahnya.
"Debi punya penyakit asma" Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?" tanya Vira.
"Apa itu penting" Lagi pula Debi bilang nggak masalah karena selama ini asmanya
jarang kambuh." Petugas medis dari panitia masuk ke lapangan. Mereka memberi oksigen buatan
pada Debi dan memandunya keluar lapangan.
"Minta time-out!" bisik Vira pada Rida.
"Apa?" "Kamu kaptennya! Minta time-out!"
*** Debi segera dibawa ke ruang kesehatan untuk mendapat perawatan didampingi oleh
Niken, Rendy, dan beberapa anak PMR. Sementara itu perdebatan kecil terjadi antara
Vira dan Rida saat time-out.
"Kenapa Rena" Dia kan forward" kenapa nggak Tria?" protes Rida.
"Justru itu. Kamu nggak liat kalo serangan balik mereka langsung diarahkan ke
depan" Kita butuh guard yang bisa mengimbangi kecepatan serangan mereka."
"Iya, tapi Rena?"
"Rena menggantikan posisiku. Aku akan menggantikan posisi Debi."
"Kamu?" "Iya. Saat ini posisi kita agak tertekan. Kita harus bisa pertahankan keunggulan ini."
"Tapi bukan berarti kamu harus mundur ke belakang."
"Percaya aja deh. Ingat kan kesepakatan kita?"
Rida terdiam. Tim memang sudah sepakat. Rida akan bertindak sebagai kapten, dan
Vira akan jadi pengatur strategi serta taktik permainan. Itu karena SMA 31 nggak
punya pelatih seperti tim lain. Bahkan guru-guru juga nggak mau ikut campur sama
sekali dalam tim. Jadi segala sesuatunya harus dilakukan mereka sendiri termasuk soal
strategi dan pergantian pemain. Untuk cowok, pengatur strateginya adalah Rei,


Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekaligus sebagai kapten tim.
Akhirnya Rena masuk menggantikan Debi. Dia punya bakat bermain basket paling
menonjol di antara anak kelas 1 lainnya. Tingginya hampir sama dengan Vira, cuma
tubuhnya agak lebih kurus.
Untunglah tanpa Debi permainan tim cewek SMA 31 nggak menurun. Rena
ternyata bisa menggantikan posisi Vira sebagai power forward, sehingga Vira bisa main
sebagai shooting guard dengan tenang. Dan ternyata, bergeser ke belakang nggak
menurunkan produktivitas Vira. Terbukti dia tetap bisa mencetak banyak angka dari
tembakan-tembakan tiga angka. Bahkan saat Vira diganti Tria di quarter ketiga,
produktivitasnya nggak bisa dilewati pemain lain. Vira masuk lagi di menit keempat
quarter terakhir dan memastikan kemenangan SMA 31, 64-48. Mereka bisa melangkah
ke babak selanjutnya. Tentu aja kemenangan itu disambut gembira tim cewek SMA 31
dan segelintir pendukungnya yang hadir di GOR Padjadjaran, termasuk Debi yang
sudah ada di pinggir lapangan (tapi masih harus pake oksigen mini untuk melancarkan
napasnya), juga sebagian anggota tim cowok yang baru akan main sore nanti. Ini
pertama kalinya tim basket cewek SMA 31 bisa melewati babak pertama, sepanjang
sejarah berdirinya ekskul ini.
"Mudah-mudahan kalian juga bisa menang ntar sore," kata Vira ke Rei.
"Jangan terlalu berharap," balas Rei datar.
*** Hari-hari berikutnya terasa lebih mudah. Vira dan kawan-kawannya berhasil
mengatasi lawan-lawannya, bahkan dengan angka lebih telak. Kerja sama tim mereka
semakin padu, walau sebetulnya beberapa kali ada perdebatan antara Rida dan Vira,
terutama soal pergantian pemain. Rida kadang-kadang suka nggak bisa begitu saja
menerima keputusan Vira yang dianggapnya aneh. Vira suka seenaknya mengubah
posisi-posisi pemain. Kata Vira sih, itu disesuaikan dengan tipe permainan lawannya,
tapi tetap saja Rida kadang-kadang nggak terima, seperti waktu Vira memutuskan
nggak lagi memasukkan nama Debi dalam daftar starter"pemain yang main pertama
kali. "Kenapa Debi nggak bisa jadi starter lagi?" tanya Rida dengan nada nggak puas.
Tentu saja, Debi kan sahabatnya, dan Rida nggak bisa melihat wajah Debi yang
kelihatan kecewa karena namanya tergusur jadi pemain cadangan.
"Apa kamu nggak liat kemaren" Kamu nggak kasian ke Debi kalo sampe asmanya
kambuh lagi?" balas Vira.
"Tapi Debi bilang asmanya jarang kambuh. Kemaren itu kebetulan aja"," Rida
tetap ngotot. "O iya" Apa kamu dan Debi bisa menjamin asmanya nggak kambuh lagi saat
pertandingan" Aku hanya bisa menjamin asma Debi nggak kambuh, kalo dia nggak
maen. Tapi walau begitu, Debi tetap jadi masuk tim sebagai cadangan. Mungkin suatu
saat kita emang bener-bener butuh dia."
"Tapi kasian Debi, dia pengin banget maen."
"Kalo dibentuk atas dasar kasian, tim ini nggak akan jadi tim yang kuat. Percayalah,
Debi nggak bakal apa-apa. Nanti aku sendiri yang bicara ke dia. Aku yakin suatu saat
Debi akan jadi bagian penting dalam tim."
"Apa ini termasuk dalam strategi kamu?"
"Boleh dibilang" iya."
Rida nggak bisa berkata apa-apa lagi.
*** SMA 31 jadi "kuda hitam". Untuk pertama kalinya mereka berhasil lolos ke babak Final
Four. Permainan cewek-cewek dari SMA "pinggiran" itu pun termasuk yang disukai
penonton. Mereka berhasil memainkan permainan basket yang indah, dengan kerja
sama tim yang memikat, nggak kalah dengan tim-tim unggulan lainnya seperti SMA
Altavia, SMA 2, dan SMA 3. Sekarang, setiap SMA 31 main, penonton pasti memenuhi
GOR Padjadjaran, termasuk siswa-siswi SMA 31 sendiri yang tadinya cuek dengan
turnamen ini, dan beberapa guru yang nggak punya tugas mengisi rapor siswa. Dan
siapa lagi pemain yang jadi favorit penonton selain Vira" Dia jadi favorit penonton
karena aksi-aksinya yang memikat, walau untuk mencetak angka, Vira masih kalah
dengan Rida. Vira memang nggak terlalu memprioritaskan dirinya untuk mencetak
angka. Dia lebih berkonsentrasi sebagai pengatur serangan tim. Bagi Vira, mencetak
angka bisa dilakukan siapa saja, tapi membangun serangan yang baik nggak bisa
dilakukan semua orang. *** "Kayaknya kita juga harus memperhitungkan mereka," kata Alexa pada Stella saat
melihat pertandingan SMA 31 melawan SMA Yudhawastu di babak perempat final,
yang akhirnya dimenangkan SMA 31 dengan skor 76-52. Setelah pertandingan ini,
giliran SMA Altavia yang main di lapangan yang sama, jadi beberapa pemainnya
menyempatkan diri untuk nonton, termasuk Stella, juga Lisa.
"Heh" lo takut amat sih! Mereka nggak ada apa-apanya," sahut Stella.
"Tapi permainan mereka lumayan. Vira kayaknya juga lagi maen bagus. Kita jangan
pandang enteng mereka," sambung Dessy, salah satu pemain SMA Altavia yang
mencetak cukup banyak angka, satu peringkat di bawah Stella.
"Vira keliatan maen bagus karena lawannya cemen semua. Lo semua liat kan waktu
gue lawan dia" Dia udah nggak ada apa-apanya. Lagi pula sejak kapan Vira bisa jadi
guard?" Stella ingat, dulu dia dan Vira memang merupakan "pasangan maut" dari SMA
Altavia. Stella sebagai center, dan Vira sebagai power forward. Mereka berdua
menghasilkan sebagian besar angka kemenangan dalam setiap pertandingan SMA
Altavia. Dalam hati kecilnya, Stella harus mengakui sampai saat ini belum ada pemain
lain yang bisa bekerja sama dengannya sebagus Vira dulu.
Pandangan Stella terarah pada Amel yang nonton dan duduk di sebelah Niken.
Amel memang sudah kenal Niken, dikenalin Vira.
"Lama-lama gue enek juga liat tuh anak. Maunya apa sih dia" Saat tim sekolahnya
main, dia nggak nonton. Giliran tim sekolah lain yang maen, dia malah nonton. Di
bangku paling depan lagi!" ujar Stella sambil menatap Amel dengan pandangan marah.
"Sabar, Stel. Lo kan tau anak siapa dia. Jangan macem-macem ama dia kalo nggak
mau susah. Lagian Amel kan emang deket ama Vira. Dan gue denger, sekarang dia
juga udah deket dengan beberapa anak SMA 31," kata Lisa berusaha menenangkan
Stella. "Kalo nggak inget bokapnya, udah gue tendang juga dia keluar dari Altavia.
Nendang dia keluar jauh lebih gampang dari nendang Vira," gumam Stella sambil
menahan perasaan geramnya.
*** Malam harinya, Vira baru sampai di depan rumahnya, tentu saja dengan diantar Rei.
"Masuk dulu, Rei"," tawar Vira setelah turun dari motor Rei.
"Makasih. Kamu pasti capek. Sebaiknya istirahat aja. Pertandingan bisa jauh lebih
berat daripada pertandingan kalian sebelumnya," kata Rei.
"Makasih ya"," balas Vira sambil tersenyum.
Masuk ke halaman rumahnya, Vira nggak merasakan sesuatu yang aneh. Begitu
juga saat membuka pintu rumah. Memang ada yang agak aneh, karena pintu rumahnya
nggak dikunci. Biasanya mamanya selalu mengunci pintu rumah dan mencabut
kuncinya, untuk jaga-jaga kalau dia ketiduran, sedangkan Vira belum pulang. Vira
sendiri selalu bawa kunci duplikat hingga nggak perlu membangunkan mamanya
kalau pulang malam. Walau agak aneh, Vira masih berpikir ini hal yang wajar. Mungkin mamanya belum
tidur, jadi belum mengunci pintu. Vira langsung membuka pintu.
"Ma"," panggil Vira sambil menuju kamarnya.
"Vira!" Itu suara yang dikenal Vira, tapi bukan suara mamanya. Vira menoleh ke arah suara
yang berasal dari kamar mamanya.
Papanya berdiri di depan pintu kamar mamanya!
Dua Puluh Dua SORE harinya, Niken mendapati rumah Vira dalam keadaan kosong. Penghuni rumah
itu kelihatannya lagi pergi. Ini bisa dilihat dari warung di samping rumah yang juga
ditutup dan pagar dalam keadaan digembok. Niken juga nggak mengantar kerupuk
tadi pagi karena kata ibunya, mama Vira nggak langganan kerupuk lagi.
"Kenapa, Bu" Apa mama Vira udah nggak jualan lotek lagi?" tanya Niken waktu
itu. Ibunya cuma mengangkat bahu tanda nggak tahu.
Tadi Vira juga nggak ada di sekolah. Sekolah memang sudah nggak belajar lagi
karena sudah selesai TPB, dan lagi menunggu pembagian rapor. Absen di kelas tidak
ada lagi, dan paling anak-anak datang ke sekolah karena ada kegiatan PORAK (Pekan
Olahraga Antar-Kelas) atau sekadar ngumpul bareng yang lain. Tapi hari ini tim basket
cewek rencananya mau kumpul-kumpul, membahas strategi pertandingan besok. Rei
yang menghubungi HP Vira juga nggak tahu alasan Vira nggak dateng, karena Vira
nggak mau bilang. Vira cuma bilang dia ada keperluan keluarga, dan besok pasti ikut
bertanding. Sudah bisa ditebak, yang paling sewot dengan ketidakhadiran Vira adalah
Rida. "Dia sendiri yang nyuruh kita dateng, eh malah sendirinya nggak dateng," omel
Rida. *** Setelah berdiri sekitar lima menit di depan rumah Vira, Niken memutuskan pulang.
Tapi baru dia mau mengayuh sepedanya, sebuah sedan Peugeot 307 berhenti di depan
rumah Vira, atau tepatnya di depan Niken. Pengemudi mobil itu lalu membunyikan
klaksonnya sekali, mungkin ditujukan kepada Niken. Niken nggak begitu jelas melihat
wajah si pengemudi mobil, karena silau kena pantulan cahaya matahari sore pada kaca
depan sedan silver tersebut.
Nggak lama kemudian, seteah mematikan mesin mobil, pengemudinya membuka
pintu dan keluar. Dan Niken benar-benar nggak menyangka pengemudi mobil sedan
itu adalah" "Hai"," sapa Vira sambil tersenyum dan mendekati Niken. "Udah lama?"
tanyanya lagi. Niken cuman menggeleng. Dia hampir-hampir nggak mengenali Vira
yang sekarang berdiri di hadapannya. Vira yang ada di hadapannya adalah Vira yang
memakai kaus Volcom dan jins Levi"s, yang harganya mahal. Rambutnya yang mulai
mencapai bahu memakai bando putih. Pokoknya Vira kelihatan cantik sore ini, walau
gayanya masih kelihatan santai dan kasual.
"Kebetulan ketemu kamu di sini. Ikut yuk!" ajak Vira sambil membuka gembok
pintu pagar. "Ke mana?" "Ikut aja" ntar juga kamu tau. Sepeda kamu taruh di dalem rumah aja. Atau mo
pulang dulu?" "Hmm" Aku pulang dulu deh. Sekalian ganti baju," jawab Niken. Dia jadi rada
nggak pede juga kalau harus naik mobil bagus dengan kaus seadanya dan celana
selutut. "Ya udah" Ntar aku ke rumah kamu."
*** Niken benar-benar nggak tahu tujuan Vira. Temannya itu nggak mau cerita dia mau
membawa Niken ke mana. Niken juga nggak tahu kenapa Vira bisa pakai baju dan naik
Peugeot 307. Dari mana semua ini" Dia hanya bisa menduga-duga, tapi nggak
menemukan jawaban yang masuk akal atas pertanyaannya.
"Kamu baca koran hari ini?" Vira malah balik nanya saat Niken menanyakan tujuan
mereka. Niken menggeleng. Mau baca koran di mana" Wong keluarga mereka jarang beli
koran, cuma ibunya saja yang sesekali pinjam tabloid gosip dari tetangga.
"Ya udah, kalo gitu liat aja ntar," ujar Vira sambil tersenyum, penuh misteri.
Peugeot 307 yang dikemudikan Vira memasuki sebuah kompleks perumahan elite
di daerah Cikutra, dan berhenti di depan sebuah rumah mewah. Vira memarkir
mobilnya di depan rumah itu, di belakang sebuah sedan dan sebuah minibus.
"Ini rumah siapa?" tanya Niken saat turun dari mobil.
"Rumahku," jawab Vira.
"Rumah kamu?" "Ya" ini rumahku dulu, sebelum pindah ke kompleks deket rumah kamu. Nanti
aku ceritain detailnya di kamar deh. Yuk!"
Masuk ke rumah mewah itu, Niken disambut mama Vira yang penampilannya juga
berubah. Lebih modis dan rapi.
"Niken" nggak nyangka Vira bakal langsung ngajak kamu ke sini," sapa mama
Vira yang langsung memeluk Niken.
"Iya, Tante. Kebetulan tadi ketemu di jalan."
Niken juga sempat ketemu dan kenalan dengan papa Vira. Hanya karena papa Vira
lagi ada tamu, dia nggak bisa ngobrol lama-lama. Vira lalu ngajak Niken ke kamarnya
di lantai atas. "Kamu udah makan" Tante masih bikin lotek loh" cuman kali ini untuk dimakan
sendiri," tawar mama Vira.
"Makasih, Tante. Niken baru aja makan," tolak Niken halus.
*** Di dalam kamar, barulah Vira cerita semuanya. Ternyata kemarin, papa Vira
dibebaskan dari tahanan, karena lima hari yang lalu, polisi berhasil menangkap
pengusaha yang merupakan pelaku utama pembobolan Bank Central Buana. Dari
pengakuan pengusaha tersebut, terungkap jelas siapa sebenarnya yang terlibat dalam
pembobolan bank pemerintah itu, dan papa Vira ternyata bukan salah satu di
antaranya. Karena pengakuan itu disertai bukti-bukti yang memang dari dulu kurang
mendukung keterlibatan papa Vira, dia akhirnya dilepaskan dari segala tuduhan, dan
semua kekayaan dan harta bendanya yang disita Kejaksaan dikembalikan. Itulah
kenapa sekarang Vira bisa tinggal lagi di rumahnya yang mewah, bisa memakai lagi
Peugeot 307-nya, bisa tidur lagi di springbed empuk dalam kamar yang ber-AC, dan bisa
memakai lagi baju-bajunya yang bermerek mahal.
"Kalo begitu, papa kamu jadi direktur Bank Central Buana cabang Bandung lagi?"
tanya Niken. "Nggak. Jabatan itu kan udah diisi orang lain. Papa udah nggak kerja lagi di Bank
Central Buana," jawab Vira.
"Tapi papa kamu kan udah terbukti nggak bersalah?"
"Iya" tapi kan Papa dulu udah dikeluarin, dan nggak semudah itu masuk lagi.
Lagi pula Papa kayaknya nggak mau kerja di sana lagi. Dia udah nggak mau bekerja
sama dengan orang-orang yang dulu memfitnahnya, para direksi bank itu."
"Jadi sekarang papa kamu kerja di mana?"
"Sekarang sih masih nganggur. Tapi sebetulnya, saat baru bebas, Papa udah
menerima berbagai tawaran dari teman-teman dan mitra kerjanya dulu untuk bekerja
di perusahaan atau bank milik mereka. Temen-temen Papa udah tau kemampuan Papa
mengelola perusahaan, dan yakin Papa adalah orang yang bersih, jadi mereka nggak
ragu-ragu nawarin berbagai macam jabatan ke Papa, bahkan sampe jadi salah satu
direksi. Cuman Papa nggak langsung menerima begitu aja. Selain sekarang pengin
lebih selektif dan hati-hati dalam menerima pekerjaan, Papa juga kayaknya masih
pengin menikmati kebebasannya setelah hampir satu tahun di dalam penjara. Mungkin
ntar kalo duit tabungan kami udah abis, baru Papa mikir mo kerja lagi," jawab Vira
sambil terkekeh. Niken mengamati sekeliling kamar Vira. Benar-benar kamar yang luas dan mewah.
Seluruh perabotan di kamar ini kelihatannya luks banget. Ada TV 29 inci di depan
tempat tidur Vira, lengkap dengan pemutar DVD dan sound system canggih. Nggak
ketinggalan PS2 berwarna putih yang tergeletak dengan manis di samping TV. Niken
yakin, kalau Panji ada dalam kamar ini, pasti dia nggak mau pulang. Dia bakal betah
main PS2 seharian di sini. Wong main PS2 di rental dekat rumahnya saja dia bisa lupa
waktu, sampai Niken sering sewot karena pasti dia yang disuruh ibunya buat nyuruh
Panji pulang, dan Panji suka susah kalo disuruh pulang, sampai Niken kadang-kadang
harus marah-marah di situ.
"Jadi, kamu bakal pindah di sini" Kita nggak sering ketemu lagi dong"," ujar
Niken. "Kamu ngomong apa sih" Kita kan masih satu sekolah, jadi pasti sering ketemu.
Dan lagi, aku juga tetep bakal sering maen ke rumah kamu kok. Atau kalo kamu mau,
kamu bisa dateng ke sini kapan aja," sahut Vira.
"Tapi kan rumah kamu ini lumayan jauh. Harus tiga kali naek angkot. Dan betisku
bisa jadi gede kalo naek sepeda ke sini."
*** "Selamat yaaa" kamu udah bisa kembali ke rumah kamu dan mendapatkan milik
kamu lagi"," kata Amel lewat telepon malem harinya.
"Makasih, Mel. By the way, anak-anak Altavia yang lain udah tau?"
"Udah kok. Hampir satu sekolah udah tau. Bokap Silvi kan kepala Kejaksaan
Tinggi. Dari situ anak-anak yang lain bisa tau papa kamu udah dibebasin, dan semua
harta benda keluarga kamu udah dibalikin. Dan sekarang, ada yang jadi takut dan
cemas." "Takut" Kenapa?"
"Mereka takut kamu bakal balas dendam ke mereka, apalagi yang dulu ngerjain
kamu di sekolah dan ngejek kamu. Kamu kan kadang-kadang suka sadis, apalagi kalo
inget dulu semasa kamu masih jadi ketua The Roses."
Vira terkekeh mendengar ucapan Amel.
"Mereka takut karena merasa bersalah. Jangan khawatir, aku nggak bakal balas
dendam kok. Menurutku buang-buang tenaga aja dan nggak ada gunanya."
"Kamu emang udah berubah?"
"Eh, tapi jangan bilang-bilang ke mereka kalo aku nggak bakal balas dendam. Biar
mereka punya perasaan bersalah yang terus menghantui mereka. Itu juga pelajaran
buat mereka, supaya jangan suka seenaknya aja ngerendahin orang lain."
"Ternyata kamu belum sepenuhnya berubah."
Vira cuma ngikik. Dua Puluh Tiga

Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

PERTANDINGAN Final Four dilaksanakan di C-tra Arena. Tim cewek SMA 31 akan
melawan tim cewek SMA 2. Pertandingan ini juga boleh dibilang sebagai ajang revans,
karena tim cowok SMA 2 udah ngalahin tim cowok SMA 31 di babak penyisihan.
"SMA 2 punya penembak-penembak bagus. Ada tiga pemain mereka yang jago
three point shot. Karena itu kita jangan sampe memberi mereka ruang tembak dari batas
three point. Sesuai dengan tim, aku dan Mia akan berusaha menempel ketat penembakpenembak SMA 2. Sementara aku harap Rida lebih konsen di pertahanan. Dini dan
Rena tetap di posisinya, dan siap untuk serangan balik. Di quarter pertama ini kita
jangan buru-buru menyerang. Kita sebisa mungkin tahan mereka untuk mencetak
angka melalui tembakan-tembakan tiga angka. Kalo tembakan mereka gagal terus,
mereka akan jadi frustasi, dan permainannya bisa kacau," kata Vira memberi instruksi
sebelum pertandingan. Dia sudah pernah bertanding melawan SMA 2 saat masih
membela SMA Altavia, jadi tahu kekuatan dan kelemahan mereka.
Kedua tim memasuki lapangan. Para penonton yang memenuhi hampir seluruh
kapasitas C-tra Arena bersorak mendukung tim favoritnya. Percaya atau nggak,
sebagian besar penonton malah mendukung SMA 31, terutama Vira. Dan bukan
kebetulan kalau Vira hari ini kelihatan cantik, dengan rambut mulai panjang yang
dikucir kuda. Bahkan, penampilan cheerleaders SMA 2 di pinggir lapangan yang
kostumnya bisa bikin cowok panas-dingin nggak bisa mengalahkan pesona Vira yang
memukau penonton. "Vira cantik banget ya, Rei?" ujar Niken yang duduk di sebelah Rei. Mendengar
ucapan Niken, Rei menoleh tanpa berkata apa-apa.
Di antara penonton, juga ada anak-anak basket SMA Altavia, terutama tim
ceweknya. Tim cewek SMA Altavia sendiri sudah memastikan tempat di final setelah
mengalahkan tim cewek SMA 3 di pertandingan sebelumnya, sedang tim cowoknya
baru bertanding di babak Final Four besok. Walau sudah selesai bertanding, ternyata
tim cewek SMA Altavia nggak langsung pulang. Mereka menonton pertandingan SMA
31 melawan SMA 2. Untuk mengamati calon lawan mereka di final nanti.
"Lo nggak ngira kalo SMA 31 bakal jadi lawan kita di final, kan?" tanya Julia pada
Stella. "Justru itu, gue berharap mereka maju ke final," sahut Stella. Dia masih penasaran
ingin melawan Vira lagi walau sudah pernah mengalahkan Vira saat pertandingan 1 on
1. Pertandingan dimulai. Seperti sudah dibilang Vira, SMA 2 langsung melakukan
serangan. Empat pemain mereka langsung masuk ke zona pertahanan SMA 31 dan
bergantian melakukan operan-operan pendek untuk memecah konsentrasi pertahanan
lawan. Vira berusaha merebut bola dari pemain lawan di dekatnya, tapi si lawan berhasil
mengelak dan memberikan operan pada temannya di tengah garis tiga angka.
"Rida!" Rida berusaha menahan pemain SMA 2 untuk menembak. Tapi dia tertipu.
Bukannya menembak, pemain lawan itu malah mengoper kembali bola pada temannya
yang ada di sisi kanan. Dengan gerakan cepat, pemain yang membawa bola itu
mendekati ring dan menembak dari jarak dekat. Masuk! Angka pertama untuk SMA 2.
Shit! batin Vira. Dia nggak menyangka pertahanan mereka dapat ditembus secepat
ini. Vira segera menerima bola dari Mia, dan menyuruh teman-temannya maju. Dia
sendiri mendribel bola. Saat VIra baru melewati garis tengah, seorang pemain SMA 2
menghadangnya. Vira melakukan gerakan memutar, tapi pemain yang menempelnya
nggak mau melepaskan dirinya. Saat itu Vira melihat Rida meminta bola. Dia segera
mengoper, tapi ternyata tangkapan Rida nggak sempurna. Pemain lawan di dekatnya
bisa mencuri bola dan melakukan sprint, cepat menusuk langsung ke jantung
pertahanan SMA 31. Mia yang ada di belakang berusaha melawan, tapi dia melakukan
satu kesalahan, mendorong pemain yang berusaha melewatinya. Peluit wasit pun
berbunyi. Lemparan ke dalam untuk SMA 2!
Selanjutnya, SMA 31 seakan benar-benar bukan lawan sepadan bagi SMA 2. Angka
demi angka pun diraih SMA 2. Para pemain SMA 31 seperti berada di bawah
penampilan terbaiknya. Kecuali Vir dan Rida, yang lain seperti baru belajar maen
basket. Bahkan pergantian pemain juga nggak membawa hasil banyak. Sampai akhir
quarter pertama, skor 29-11 untuk SMA 2.
"Payah! Bener-bener nggak imbang! Masa sih mereka bisa masuk Final Four dengan
permainan kayak gini?" celetuk Alexa. Demikian juga pendapat anak-anak SMA
Altavia dan mungkin sebagian besar penonton. Tapi nggak bagi Stella. Dia tetap yakin
SMA 31 bakal masuk final.
"Kalian kenapa sih" Kayak baru belajar maen basket aja!" sungut Vira pada yang
lain, saat istirahat menjelang quarter kedua. Rida yang biasanya selalu membantah
ucapan Vira kali ini terpaksa menyetujui ucapan temannya itu. Permainan anak-anak
SMA 31 malam ini memang payah! Bahkan mereka kadang-kadang melakukan
kesalahan dasar yang nggak seharusnya dilakukan pemain basket yang sudah mahir,
misalnya Rena yang melakukan travelling (membawa bola lebih dari tiga langkah tanpa
mendribel), Mia yang terlalu ragu menembak bola hingga melewati waktu yang telah
ditentukan (shot clock), sampai Dini yang melewati garis tengah lapangan, lalu
mengoper bola pada Vira yang masih ada di belakang garis tengah karena gugup
melihat pemain lawan mendekat. Dalam permainan, mengoper bola ke belakang
melewati garis tengah adalah pelanggaran. Pokoknya beda banget deh permainan
mereka hari ini dengan hari-hari sebelumnya. Nggak heran kalau sebagian penonton
mencemooh permainan anak-anak SMA 31.
"Sori, tapi kita emang bukan tandingan SMA 2. Mo dipaksain juga percuma. Emang
kamu ngerasa kalo kamu jago, tapi yang lain" Mereka terlalu hebat, maennya cepet,"
tiba-tiba Mia juga ikut-ikutan ngomong. Dia nggak terima juga dimarahin Vira, padahal
merasa sudah berusaha keras.
"Mereka nggak begitu hebat. Kita bisa kalahin mereka."
"Tapi gimana caranya" Kamu tau nggak?" tanya Dini.
"Vi"," tiba-tiba terdengar suara Rei. "Aku mo ngomong sebentar ama kamu,"
lanjutnya sambil menarik tangan Vira. Vira terpaksa mengikuti Rei, menjauh sedikit
dari yang lainnya. "Ada apa sih?" tanya Vira.
"Mereka bukannya nggak bisa maen. Mereka cuman gugup," timpal Rei.
"Gugup" Lawan kita cuman SMA 2. Kalo gini caranya, mereka bakal mati ketakutan
saat melawan SMA Altavia," balas Vira.
"Bukan soal lawannya"," jawab Rei. "Tapi soal tempat pertandingannya. Kamu
nggak sadar kalo selain kamu, yang lain baru kali ini maen di C-tra Arena" Mereka
baru kali ini maen di lapangan yang punya standar internasional, dan ditonton ribuan
orang, nggak heran mereka jadi gugup dan tegang. Kecuali Rida, semua kehilangan
kemampuan teknik yang mereka punya."
Mendengar ucapan Rei, Vira menepuk keningnya. Dia baru sadar ucapan Rei benar.
Rida nggak ikut gugup, karena pernah masuk C-tra Arena bareng Vira, dan walau
nggak main di lapangannya, Rida sudah terbiasa dengan suasana gedung ini.
"Jadi, aku harus bagaimana?" tanya Vira.
"Kamu harus membangkitkan rasa percaya diri yang lain."
"Caranya?" "Kamu pasti tau caranya."
*** Quarter kedua akan dimulai. Tim SMA 2 masuk dengan kepercayaan tinggi, seolah
mereka sudah memenangi pertandingan. Apalagi dukungan dari cheerleaders dan
suporter SMA 2 yang jauh lebih banyak dari SMA 31, membuat kepercayaan diri
mereka semakin bertambah.
Untuk quarter kedua, ada perubahan pemain di SMA 31. Tria dan Irma masuk
menggantikan Rena dan Dini.
"Kamu yakin?" tanya Rida pada Vira. Vira hanya mengangguk perlahan.
"Ini satu-satunya cara. Dan aku harap kamu mendukung."
"Tapi aku nggak yakin bisa."
"Pasti bisa. Percaya deh."
Saat pertandingan mulai, formasi pemain SMA 31 berubah.
"Vira jadi center?" tanya Alexa.
"Kita lihat, sebagus apa dia jadi center. Kelihatannya dia bakal show off," sahut Stella.
Dugaan Stella benar. Untuk membangkitkan semangat dan kepercayaan diri yang
lain, Vira memutuskan show off, yaitu sebanyak mungkin melakukan aksi individu
untuk berusaha mencetak banyak angka ke ring lawan. Pikirnya, kalau dia berhasil
memperkecil ketinggalan atau mungkin menyamakan kedudukan, rasa percaya diri
anggota tim lainnya akan muncul kembali. Keputusan Vira ini sedikit berisiko karena
dia bisa saja kehabisan tenaga di tengah-tengah permainan, atau cidera karena
kecapekan dan selalu jadi sasaran penjagaan lawan. Tapi Vira nggak menemukan cara
lain untuk membangkitkan kepercayaan diri teman-temannya, jadi dia mengambil
keputusan ini. Posisi center adalah posisi terbaik untuk show off, karena itu Vira
mengambil posisi Rida, sementara Rida sendiri jadi forward.
Benar juga, mulai dari awal quarter kedua, Vira langsung menampilkan kemampuan
individunya. Skill-nya yang meman di atas rata-rata pemain SMA 2 membuat lawanlawannya kesulitan menghentikannya. Angka demi angka pun dicetak Vira. Walau
begitu dia nggak selalu show off. Untuk mengatur tenaga supaya nggak cepat habis,
kadang-kadang Vira kembali ke permainan tim. Permainan tim SMA 31 memang
sedikit membaik. Paling nggak mereka nggak lagi melakukan kesalahan dasar. Rida
beberapa kali juga mencetak angka, juga Irma, Mia, dan Tria. Bahkan saat Dini kembali
masuk ke lapangan menggantikan Mia, dia juga bisa mencetak empat angka.
Karena kesulitan menghadang Vira, anak-anak SMA 2 mulai melakukan permainan
keras. Beberapa kali mereka melakukan pelanggaran saat mencoba menghentikan VIra,
yang tentu saja berbuah lemparan bebas.
"Kamu nggak papa?" tanya Rida pada Vira yang untuk kesekian kalinya didorong
oleh lawan hingga terjatuh di quarter ketiga.
"Nggak. Nggak papa kok," jawab Vira sambil mengatur napas. Padahal Vira masih
merasakan sakit di perutnya karena disiku lawan beberapa menit sebelumnya.
Sekarang, lengannya perih. Ternyata sikunya lecet tergesek lapangan saat jatuh.
"Kamu diganti yaa" istirahat dulu?"
Vira melihat ke arah papan skor. Skor sekarang 51-47. Empat angka lagi, dan
mereka bisa menyamakan kedudukan. Quarter ketiga tersisa sekitar tiga menit lagi.
"Nggak usah. Aku nggak papa kok. Tanggung. Quarter ketiga kan udah mau
selesai." *** "Nggak nyangka, Vira hebat juga. Show off selama dua quarter. Waktu di SMA Altavia
dia nggak pernah kayak gitu. Lo bisa kayak gitu juga kan, Stel?" tanya Julia.
Stella nggak menjawab pertanyaan Julia. Dia sibuk memerhatikan Vira.
Sialan lo! Kenapa waktu itu lo nggak serius!" geram Stella dalam hati, sadar bahwa
saat pertandingan 1 on 1 kemarin Vira sengaja mengalah. Permainannya menurun
bukan karena dia kecapekan. Buktinya dia kuta bermain secara individual selama dua
quarter! *** Di quarter keempat, SMA 2 mengubah strategi. Tahu bahwa Vira sudah kecapekan,
mereka merapatkan pertahanan, berusaha mempertahankan keunggulan tipis mereka,
dan menjaga ketat Vira. Tapi Vira juga tahu mental tim SMA 2 sudah goyah, karena
lawan yang tadinya tertinggal jauh, bisa mendekati mereka. Dia pun mengubah
posisinya lagi, sekarang sebagai forward, posisinya dulu di SMA Altavia. Vira yakin,
kepercayaan diri timnya sudah muncul lagi. Permainan mereka sudah kembali ke
normal. Itu semakin bikin SMA 2 grogi.
"Stel, Vira jadi forward tuh!" seru Alexa.
Tiba-tiba Stella berdiri dari tempat duduknya.
"Lo mo ke mana?" tanya Julia.
"Pulang." "Pulang" Kan pertandingan belum selesai?"
"Bagi gue udah. SMa 2 udah abis."
"Kok lo yakin" Kan SMA 2 masih unggul?"
Stella tersenyum sinis mendengar ucapan Julia.
"Buka mata lo. Kalo Vira nggak cedera, siapa yang bisa nahan dia di posisinya
sebagai forward" Sebaiknya lo cari cara buat nahan dia di pertandingan final, karena kita
akan ketemu anak-anak SMA kampung itu," tukas Stella. Walau memusuhi Vira, tapi
Stella mau nggak mau harus mengakui rival yang juga mantan sahabatnya itu punya
kemampuan yang luar biasa. Bukan cuma bisa bermain di berbagai posisi dengan baik,
tapi juga bisa membangkitkan semangan teman-temannya yang sempat down. Stella
sebetulnya heran juga, kenapa Vira nggak jadi kapten basket di SMA 31"
Sebagai forward, Stella merasa Vira masih yang terbaik, bahkan jauh lebih baik
daripada Dessy yang menggantikan posisinya di tim SMA Altavia. Stella juga belum
menemukan partner yang cocok dan sehati dalam permainan seperti Vira. Entah
kenapa, dalam hati kecilnya, dia rindu bermain lagi bareng Vira, saat dirinya bisa
menikmati permainan basket bersama bekas sahabatnya itu, bukan sekadar mengejar
kemenangan seperti sekarang.
Tapi perasaan "rindu" Stella itu kembali tertutup emosi dan ego yang selama ini
menguasai dirinya. Stella lalu meninggalkan C-tra Arena, tanpa menoleh lagi ke
belakang. *** Ucapan Stella betul. Kepercayaan diri pemain-pemain SMA 31 yang sudah pulih
membuat tim SMA 2 tambah tertekan. Mereka kini nggak cuma menghadapi serangan
dari Vira dan Rida seperti di babak-babak sebelumnya, tapi juga serangan dari tiga
pemain lainnya. Walau sempat mencuri angka melalui beberapa serangan balik, secara
permainan, tim SMA 2 udah habis. Mereka hanya mampu bertahan. Anak-anak SMA
31 juga cuek. Walau beberapa kali kecolongan dan lawan masih unggul, mereka terus
bermain ofensif. "Jangan pedulikan kalo lawan mencetak angka. Pokoknya kita harus mencetak
angka lebih banyak dari mereka! Mereka udah tertekan!" seru Vira membangkitkan
semangat teman-temannya. Secara teknis individu, SMA 31 sebetulnya kalah dari SMA
2. Selain Vira dan Rida, kemampuan individu yang lain rata-rata masih kalah dari
kemampuan pemain-pemain SMA 2. Tapi SMA 2 nggak punya pemain yang bisa jadi
motor tim, sekaligus membangkitkan semangat yang lain saat sedang tertekan seperti
Vira. Itulah sebabnya mereka nggak bisa keluar dari tekanan.
Angka terus bergerak cepat. Dan lima menit sebelum pertandingan berakhir, SMA
31 mendadak unggul satu angka atas SMA 2, hasil lay-up Rena yang memanfaatkan
kelengahan lawan yang sibuk menjaga Vira dan Rida. Seluruh pendukung SMA 31
bersorak menyambut angka dari Rena. Keadaan ini terus berlangsung, hingga saat
pertandingan berakhir, skor menunjukkan 76-69 untuk kemenangan SMA 31.
"Kita masuk final!" seru Dini sambil memeluk Vira yang bersimpuh di tengah
lapangan karena kecapekan. Pemain lain pun ikut-ikutan memeluk Vira, sampai cewe
itu jadi sesak napas. Di antara mereka ada yang sampai nggak kuat menahan air mata,
menangis terharu. Wajar saja, ini prestasi terbesar SMA 31 selama ekskul basket berdiri.
Masuk ke babak final Turnamen Basket Antar-SMA Se-Bandung, melawan banyak
SMA yang punya tim basket bagus, dalam keikutsertaan tim putri yang pertama, lagi.
Ini bakal dicatat dalam sejarah SMA 31. Bahkan kalaupun nanti mereka kalah di final
dan ekskul basket dihapus tahun depan, itu nggak akan dapat menghapus kenyataan
SMA 31 pernah punya tim basket cewek terbaik sepanjang sejarah SMA itu, yang
mungkin nggak akan terulang di angkatan-angkatan selanjutnya. Pemain yang nggak
cuma punya skill bagus, tapi juga semangat juang yang tinggi dan pantang menyerah.
Mata Rida juga berkaca-kaca. Setelah menerima ucapan selamat dari beberapa orang
pemain SMA 2, kapten tim SMA 31 itu bersujud dan mencium lapangan sambil
mengucap syukur. Para pendukung SMA 31 juga bersorak-sorai tanpa henti, seakan
SMA 31 sudah jadi juara. Setelah berdiri, Rida mendekati Vira yang juga sudah berdiri.
"Aku pernah bilang, aku masuk lagi ke tim bukan karena mau berteman dengan
kamu, tapi cuman demi sekolah. Tapi hari ini, aku punya satu alasan lagi untuk tetap
ada di dalam tim ini," kata Rida sambil menatap Vira. Ekspresinya serius. Melihat itu,
beberapa orang yang ada di dekat mereka mengalihkan pandangannya. Sebagian
dengan berbagai pertanyaan. Ada apa lagi dengan Rida"
"Oya" Apa lagi alasan kamu sekarang?" tanya Vira.
"Sekarang alasanku tetap di tim ini" Karena tim ini punya seorang pemain hebat,
yang bisa mewujudkan mimpi dan harapan pemain lainnya jadi kenyataan," jawab
Rida, lalu dia tersenyum dan memeluk Vira. Perang dingin di antara mereka akhirnya
mencair juga. Semua yang melihat kejadian itu merasa lega.
"Rida" bikin jantungan aja," gumam Mia yang ada di samping Tria.
"Saat final besok, aku mau kamu yang memimpin tim ini untuk menuntaskan
mimpinya. Kamu akan jadi kapten tim," lanjut Rida setelah melepaskan pelukannya.
Di luar dugaan, Vira menggeleng. "Aku nggak mau. Kamu adalah kapten yang pas
untuk tim ini. Kalo bukan kamu kaptennya, kita nggak akan bisa sejauh ini," sahut
Vira. "Tapi?" "Jangan berdebat lagi. Kita tetep seperti semula. Kamu kapten, aku yang mengatur
strategi permainan. Kita semua membentuk tim yang hebat!" tegas Vira, membuat Rida
nggak bisa ngomong apa-apa lagi.
Sore ini, seluruh anak SMA 31 dan para guru yang hadir di C-tra Arena larut dalam
kebahagiaan dan rasa terharu, termasuk Niken dan Amel yang duduk di sebelahnya.
Mereka berdua juga nggak mampu menahan rasa haru, khususnya Niken. Niken
merasa bahagia, karena perjuangan dan pengorbanannya selama ini nggak sia-sia.
Cuman kamu yang bisa begini, Vira! batin Niken sambil mengusap matanya yang
mulai berkaca-kaca. Dua Puluh Empat AKIBAT terlalu memforsir tenaga di Final Four, besoknya Vira benar-benar kecapekan.
Tubuhnya serasa habis digilas panser Jerman yang gede-gede itu. Remuk semua deh


Lovasket Karya Luna Torashyngu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

badannya. Kemarin belum terasa karena saat itu Vira mashi larut dalam kegembiraan
bersama yang lain. Pas bangun tidur tadi pagi, baru deh Vira menderita. Jangankan
untuk bangun dari tempat tidur, menggerakkan tangan saja dia sudah kesakitan.
Padahal hari ini penerimaan rapor, dan Vira sudah janji setelah itu mau ke rumah
Niken. Rencananya dia mo ngasih PS2-nya untuk Panji, jadi adik Niken itu nggak lagi
harus ke rental buat maen. Selain karena sayang melihat Panji menghabiskan uang
sekitar lima ribu perak per hari cuma untuk main PS2 di rental, Vira rencananya
memang mau beli PS3, yang baru keluar tahun ini. Jadi daripada PS2-nya dijual,
mending dikasih ke Panji, pasti dia senang.
Untung Vira masih bisa menelepon Niken, ngasih tahu keadaannya. Oya, Niken
sekarang sudah punya HP, yaitu bekas HP Amel yang dulu dikasih ke VIra. Dan
karena HP Vira udah balik lagi, atas izin Amel, HP Amel itu dikasih ke Niken, cuma
nomornya ganti, nggak pakai nomor dari Amel, tapi nomor dari Vira. Walau mulanya
Niken menolak, tapi Vira memaksa dengan alasan yang hampir sama dengan alasan
Amel waktu ngasih HP itu ke dia. Alasan seperti itu memang kayaknya majur banget
ke semua orang, termasuk Niken.
Untung juga Niken bisa mengerti kondisi Vira. Bahkan katanya setelah terima
rapor, dia mau datang ke rumah Vira. Tapi sampai siang, Niken belum juga dateng.
Mama Vira yang baru pulang ngambil rapor Vira juga nggak tahu saat ditanya apa
Niken ikut ke rumah. "Nggak tuh! Mama emang ketemu Niken dan ibunya di sekolah, tapi Niken nggak
bilang apa-apa." "Mama cerita soal keadaan Vira sekarang, kan?" tanya Vira.
"Cerita" tapi Niken bilang kamu udah nelepon dia."
Yang nongol malah Amel yang juga baru terima rapor di sekolahnya.
"Kamu sih kemaren maennya terlalu semangat, jadi sekarang lepas semua deh
tulang-tulang kamu," goda Amel. Saat dia datang, Vira sudah rada mendingan. Tadi
pagi dia sudah dipijat oleh tukang pijat langganan mamanya yang tinggal dekat
kompleks rumah mereka. Hampir sekujur tubuh Vira dibalur obat yang katanya bisa
melemaskan otot-otot yang tegang. Tapi tetep saja pegal-pegal di sekujur badannya
belum hilang. Vira bersyukur karena ada jeda sehari sebelum partai final besok. Tapi
dia juga harus berusaha memulihkan tubuhnya. Kalo nggak, bisa gawat!
"Kalo nggak gitu, kita bakal kalah, Mel," bela Vira sambil menarik selimut yang
menutup tubuhnya. Sehabis dibalur obat, Vira memang belum berpakaian lagi, karena
pakaiannya bisa ikut bau obat yang aromanya menyengat itu. Jadi dia cuma pakai
selimut untuk menutupi tubuh. Mana kamarnya pake AC yang lumayan dingin, lagi!
Vira sampai minta Amel buat menaikkan suhu AC-nya, supaya nggak terlalu dingin.
Bisa-bisa ntar pegelnya hilang, eh dia malah masuk angin!
"Tapi Amel salut banget ama perjuangan temen-temen kamu. Amel rasa, semangat
mereka jauh lebih gede daripada semangat tim Altavia."
"Itu karena mereka belum pernah juara. Semangat bertanding orang yang belum
pernah juara pasti bakal lebih gede daripada yang udah pernah ngerasain juara.
Apalagi kalo mereka udah deket dengan tangga juara, seperti di Final Four kemaren,"
kata Vira. Dia jadi ingat, saat dirinya pertama kali membawa SMA Altavia
mempertahankan gelar juara se-Bandung Raya, setahun lalu. Dia, Stella, dan anggota
tim lainnya yang masih kelas 1 sangat gembira, walau bagi anggota tim lain yang sudah
kelas 2 dan 3 saat itu, gelar juara se-Bandung Raya bukan barang baru lagi. Tapi
kegembiraan dirinya dan Stella saat itu, juga kegembiraan tim basket cewek SMA
Altavia saat jadi juara basket se-Jawa-Bali untuk pertama kalinya dua bulan kemudian,
masih kalah dengan kegembiraan anggota tim SMA 31 kemarin. Itu karena kemarin
nggak cuma seluruh anggota tim basket cewek SMA 31 yang merayakan kemenangan,
tapi juga hampir semua anak SMA 31 yang juga menonton pertandingan Final Four
tersebut. Jadi bisa dibayangin deh gimana rasanya!
*** Suara interkom di kamar Vira menyela obrolannya dengan Amel.
"Ada Niken!" terdengar suara mama Vira dari lewat interkom.
"Suruh langsung ke kamar aja, Ma!"
"Udah Mama suruh. Dia lagi naek tangga bareng Rei!"
Rei" Niken dateng bareng Rei"
"Bareng Rei!" Kenapa Mama suruh langsung ke kamar!?" seru Vira sedikit panik.
Gila aja kalau Rei tiba-tiba masuk ke kamarnya dan melihat Vira dalam keadaan nudis
begini! Dia langsung menyuruh Amel mengunci pintu kamarnya, takut Niken tiba-tiba
nyelonong membuka pintu kamar, seperti biasa.
"Emang kamu lagi ngapain di kamar?" tanya mamanya.
"Vira belum pake baju!!"
*** Malam harinya, Vira mendapat tamu yang nggak disangkanya. Robi!
"Berani bener lo dateng ke sini!?" tanya Vira ketus. Sebetulnya dia nggak mau
melihat tampang iblis Robi lagi. Apalagi kalau ingat perlakuan cowok itu padanya
dulu. Tapi mamanya membujuk Vira untuk menemui Robi, karena kata Robi
kedatangannya ini karena sesuatu yang penting. Mama Vira juga bilang kita harus
selalu menerima tamu yang datang ke rumah dengan tangan terbuka, walau nggak
suka dengan orangnya. "Itu etiket sebagai tuan rumah. Tamu yang datang secara baik-baik harus kita
sambut baik-baik juga, walau ada masalah di antara kita," kata mamanya. "Mungkin
Robi ingin minta maaf ke kamu. Walau Mama tahu kamu masih marah, tapi nggak ada
salahnya kan kamu dengerin apa yang akan dikatakannya?"
Vira menatap mamanya. Mamanya memang tahu soal hubungannya dengan Robi
yang kandas setelah kasus yang menimpa papa Vira, tapi mamanya sama sekal inggak
tahu perbuatan Robi pada Vira di hari-hari terakhir Vira di SMA Altavia, dari mulai
mencoba memperkosanya sampe mempermalukan dirinya di sekolah. Vira memang
nggak pernah cerita soal itu pada mama-papanya, jadi mereka mengira hubungannya
dengan Robi berakhir cuma karena masalah kasus yang menimpa papa Vira dan
pertengkaran remaja biasa. Vira yakin, kalau kedua orangtuanya tahu apa yang pernah
Robi coba perbuat padanya, mereka pasti akan segera menendang cowok itu keluar
dari rumah ini. Akhirnya setelah sedikit "diceramahin" mamanya, Vira mau juga nemuin Robi.
Mereka ngobrol di gazebo di halaman depan rumah. Di situ ada bangku yang cukup
untuk duduk dua orang. Tapi Vira nggak mau duduk bareng Robi. Dia memilih berdiri,
walau tubuhnya masih pegal-pegal.
"Lo belum maafin gue?" tanya Robi. Ucapan itu bikin Via memelototinya.
"Maafin lo" Setelah semua yang lo lakuin terhadap gue" Lo hampir aja ngancurin
hidup gue, dan kalo gue maafin lo begitu aja, berarti gue manusia paling bodoh di
muka bumi ini. Asal lo tau, gue nggak cerita soal perbuatan lo dulu ke ortu gue. Kalo
mereka tau, sikap mereka nggak bakal seramah tadi. Bahkan lo pasti udah ditendang
keluar dari sini." Muka Robi memerah mendengar ucapan Vira. Emosinya mulai naik, tapi dia
mencoba menahan diri. Ya, dia harus bisa menahan dirinya atau tujuannya datang ke
rumah Vira malam ini akan gagal.
"Oke, Rob! Gue nggak mau lama-lama ngobrol ama lo! Sekarang to the point aja deh,
apa maksud lo dateng ke sini. Lo nggak dateng cuman buat minta maaf ke gue, kan"
Karena gue tau siapa lo."
Kebetulan Vira ngomong gitu. Robi juga sebetulnya nggak mau berlama-lama di
tempat ini. Serasa berada di kandang macan. Macan betina yang siap menelannya
hidup-hidup. "Baik kalo itu mau lo"," sahut Robi. "Walau dulu gue pernah nyakitin lo, tapi
bukan gue atau Papi yang ngusulin untuk ngeluarin lo dari sekolah. Itu usul pengurus
yayasan yang lain, yang khawatir nama sekolah tercemar karena kasus yang menimpa
bokap lo. Papi gue udah membela lo dengan mengatakan lo adalah atlet basket paling
berbakat dan baik yang dimiliki SMA Altavia. SMA Altavia akan rugi kalo lo sampe
keluar. Papi juga bermaksud memberikan keringanan biaya sekolah ke lo, agar lo tetap
bisa sekolah di sana. Papi yakin bokap lo nggak bersalah, karena dia kenal bokap lo.
Tapi pengurus yayasan yang lain tetap bersikeras ngeluarin lo dari SMA Altavia, dan
papi gue nggak bisa berbuat apa-apa kecuali menandatangani surat pengeluaran lo,"
lanjutnya. Sepertinya Robi mulai menyatakan maksud kedatangannya.
Apa peduli gue" kata Vira dalam hati. Buktinya dia tetap dikeluarin, dan nggak
seorang pun membelanya saat itu.
"Terus terang, gue juga baru tau soal ini kemaren, setelah Papi cerita. Tadinya gue
kira, Papi yang ngusulin pengeluaran lo. Ngedenger itu, gue jadi nyesel. Gue nyesel
udah bersikap jahat dan nyakitin lo. Kalo dulu gue tau yang sebenarnya, gue pasti akan
mati-matian membela lo, terlepas dari sikap gue malam sebelumnya. Saat itu gue
emang khilaf, lepas kendali."
"Rob?" "Apa?" "Gue nggak peduli akan kelakuan lo dulu, dan apa yang lo omongin sekarang. Yang
gue mau tau, apa maksud lo dateng ke sini" Tolong jangan berbelit-belit. Udah malem.
Gue capek dan ngantuk, sedangkan besok gue harus bertanding, " tegas Vira.
Dua Puluh Lima THE BATTLE HAS BEGAN! TULISAN itu terpampang di setiap sudut C-tra Arena, baik di spanduk, banner,
bendera, atau papan di sekitar GOR. Kalimat itu merupakan tagline dari Turnamen
Basket Antar-SMA se-Bandung Raya tahun ini dan terasa pas untuk menggambarkan
pertandingan final putri, antara SMA Altavia sebagai juara bertahan melawan SMA 31
yang untuk pertama kalinya maju ke final. Ini bukan sekadar pertandingan untuk
memperebutkan gelar juara, atau pertandingan antar sekolah negeri melawan sekolah
swasta, tapi lebih merupakan "pertempuran" dari dua sekolah yang boleh dibilang
berbeda 180 derajat satu sama lain. SMA Altavia boleh dibilang mewakili sekolah
mewah yang terletak di pusat kota, sekolah yang siswa-siswanya adalah anak-anak
kaum jetset dan elite kota ini dengan fasilitas belajar yang serbalengkap. Sekolah
impian bagi sebagian anak di negeri ini. Sedangkan SMA 31 yang terletak di pinggir
kota mewakili gambaran sebagian besar sekolah di Indonesia. Bangunan yang kusam,
fasilitas belajar seadanya, dan siswa-siswinya yang sebagian besar adalah anak-anak
yang berasal dari keluarga golongan menengah ke bawah, yang kadang-kadang sering
menunggak uang SPP karena ortu mereka nggak punya uang. Pertarungan antara dua
sekolah yang berbeda "kasta" ini juga merupakan pertarungan pribadi antara dua
pemain yang boleh dibilang pemain basket SMA terbaik di Bandung, Stella Winchest
dari SMA Altavia, dan Savira Priskila dari SMA 31 yang merupakan mantan siswi SMA
Altavia dan sering disebut-sebut sebagai pemain terbaik di bekas SMA-nya itu. Ini
pertarungan untuk membuktikan siapa yang pantas disebut "Best of the Best".
Walau pertandingan final basket putri baru dimulai jam tiga sore, dua jam sebelum
Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 3 Pendekar Bodoh 5 Ksatria Seribu Syair Dalam Lorong Pencoleng 1
^