Pencarian

Menembus Janji Matahari 3

Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin Bagian 3


Dari jalan tol, aku masih belum selesai takjub dan masih belum percaya
sepenuhnya, bahwa aku telah sampai di Hawaii.
Rasa lelah setelah terbang puluhan jam pun terkalahkan dengan rasa
suka cita. Mataku tidak lagi merasa lelah. Asyik menikmati barisan hijau
pegunungan, juga hamparan biru Lautan Pasiik melaui jendela shutle bus
yang sengaja kubuka lebar-lebar. Kali ini tidak ada jepretan kamera, bahkan
dari iPhone. Kamera SLR yang kubawa pun tidak kukeluarkan. Aku hanya
ingin merekam dengan mataku semua keindahan ini. Esok hari, dua hari
setelah itu, seminggu, sebulan sesudahnya, tidak akan ada sejengkal pun dari
pulau ini yang akan luput dari jepretan kameraku. Itu janjiku dalam hati.
Saat sopir memberi tahu bahwa aku telah sampai di area kampus, aku
bersiap-siap. Saat shutle melewati tulisan University of Hawaii at Manoa,
aku lagi-lagi terharu. Aku pernah melamar ke kampus ini. Telah diterima,
namun karena mereka tidak bisa memberikan beasiswa, maka aku tidak jadi
kuliah di kampus ini. Ternyata, Tuhan mempunyai caraNya sendiri untuk
memberikan rezeki kepada mereka yang berusaha. Melalui workshop yang
dibiayai oleh Center for South East Asia dan East West Center, akhirnya langkah
kakiku bisa menjejak di tanah Ratu Lili"uokalani ini.
128 Saat sopir memberitahu bahwa telah sampai di Hale Manoa, aku
mengucapkan terima kasih sambil tak lupa memberikan tip kepada sopir
baik hati itu. Semua pembayaran telah dilakukan online. Dengan dibantu sang
sopir yang membawakan luggage, aku akhirnya sampai di meja resepsionis
Hale Manoa. Sebuah asrama yang diperuntukkan bagi mahasiswa pasca
sarjana dan semua yang terailiasi dengan East West Center (EWC). Seorang
lelaki berambut keriting berkulit kecokelatan menyapaku.
"Aloha, welcome to Hale Manoa. Ada yang bisa dibantu?" sapanya.
Setelah menjelaskan maksud kedatangan, aku mengisi formulir. Aku
diberikan sebuah kartu magnet, akses untuk masuk ke kamar dan Gedung
Hale Kuahine. Asrama satunya, yang juga hanya diperuntukkan untuk mereka
yang terailiasi dengan EWC. Berbeda dengan Hale Manoa yang memiliki 12
lantai, Hale Kuahine hanya terdiri dari empat lantai, namun memiliki empat
wings. Saat aku menarik luggage dari Hale Manoa menuju Hale Kuahine
yang berjarak kira-kira 200 meter, aku baru merasakan penat, namun udara
Hawaii yang sejuk meredakan semua.
Saat kulewati gedung konferensi IMIIN dan sebuah taman Jepang yang
terletak di depan asrama Hale Kuahine, aku tahu, aku telah jatuh cinta pada
tempat ini. Pada University Hawaii of Manoa. Pada Hale Kuahine. Pada Hawaii.
Pada Bukit Manoa. Tiba di depan Gedung Hale Kuahine, aku membuka pintu dengan
memasukkan kartu akses. Akhirnya, setelah dua kali kucoba, aku berhasil
membuka pintu itu. Meja resepsionis nampak kosong.
Mungkin mereka sedang istirahat, pikirku. Masih sedikit kebingungan, aku
melirik kertas yang tertera nomor kamar: 403D. Untungnya, peta gedung ini
terpasang di dinding. Peta yang cukup mudah dipahami. Setelah membaca
selama kurang lebih sepuluh menit, aku segera berbelok kanan, menuju dapur,
129 dan melewati ruang makan bersama. Ruang makan yang memang disediakan
bagi penghuni asrama. Saat kulihat tangga di hadapanku, aku baru menyadari,
bahwa gedung ini tidak memiliki lit. Dan, aku harus ke lantai empat!
Dengan sisa tenaga yang masih kumiliki, aku mengumpulkan tenaga
untuk mengangkat luggage merah milikku. Tepat saat aku merasa siap, tibatiba sebuah tangan menyentuh bahuku. Releks, aku menoleh. Lelaki yang
kira-kira berusia tiga tahun lebih tua dariku, tersenyum. Matanya ramah.
"Aloha. I"m Hikari. I live here. Let me help you." Suara itu begitu hangat
menyapa. Saat otakku masih memproses apa yang sedang terjadi, lelaki itu sudah
dua langkah lebih dulu dariku. Koporku berada di tangannya.
"Kamu tinggal di lantai berapa?" tanyanya lagi.
Aku menyebutkan nomor kamar, tempat aku akan tinggal selama tiga
bulan ke depan. Dengan sigap, laki-laki itu mengangkat kopor milikku. Aku
mengikuti dari belakang. Kesan pertama, aku tahu bahwa aku akan sering
tersesat di gedung ini. Gedung asrama ini memiliki terlalu banyak pintu
dan terlalu banyak sudut. Saat akhirnya tiba di depan pintu kamar, lelaki itu
meletakkan koporku. "Here you are! Semoga kamu suka tinggal di asrama ini." katanya sambil
sedikit membungkuk ala Jepang. Aku mengucapkan terima kasih. Belum
sempat kubalas kalimatnya, lelaki itu sudah berbicara lagi. "Before you enter
your room, I want to give you a litle orientation. Follow me," katanya. Dia ingin
memberiku sedikit orientasi. Aku pun mengekor. Mengikuti langkahnya.
Tidak jauh dari kamarku, kami tiba di sebuah ruang yang memiliki
sofa, beberapa meja, dan beberapa kulkas. Dia membuka suaranya lagi dan
langsung sibuk menerangkan,
130 "Ini ruang tamu yang ada di setiap lantai dan masing-masing wing.
Kami menyebutnya lobi. Itu kulkas milik pribadi. Kulkas yang bisa dipakai
ramai-ramai ada di bawah, di ruang makan. Untuk punya kulkas pribadi, ada
formulir permohonan yang harus kamu isi. Oke, sekarang kita lihat kamar
mandi. Kamu pasti habis terbang jauh, dan perlu mandi, kan?" Suara lelaki itu
begitu jenaka. Bahasa Inggrisnya nyaris tanpa aksen. Tiba di sebuah ruangan
yang paling pojok, lelaki itu lagi-lagi menjelaskan."Ini kamar mandinya. Ada
dua kamar mandi dengan shower dan dua WC, yang dipakai oleh kira-kira
sepuluh orang di wing ini. Seperti lobby, masing-masing wing juga punya
kamar mandi. Jangan khawatir, meskipun tadi aku menyebut sepuluh orang,
tidak semua kamar terisi. Juga, kalau kamu kebelet dan kamar mandi sedang
dipakai, kamu boleh memakai ke kamar mandi di wing atau lantai lain. Tidak
bayar dan tidak dihukum."
Aku tertawa mendengarnya. Ternyata selain baik hati, lelaki ini pandai
melucu. "Okay, I"m going to leave you alone now. Kamu pasti lelah. Saya tinggal di
wing ini juga, tapi di lantai 3. Kita pasti bertemu lagi. Oh by the way, we actually
have a dinner party at Green Room this evening. Everyone in Hale Kuahine is
invited. Semua orang diundang. his is a weekly event. Jika kamu datang, kamu
bisa bertemu teman-teman lain."
Aku mengangguk. Undangan itu menggoda sekali. Aku ingin berkenalan
dengan penghuni asrama ini. Tapi, aku lelah luar biasa setelah puluh jam
perjalanan. "hank you. Jika saya tidak terlalu lelah atau saya sudah cukup beristirahat
nanti, saya akan ikutan," jawabku. Aku sedang tidak membuat alasan. Aku
ingin datang, namun kutahu tubuhku hanya perlu istirahat saat ini.
131 "Tidak apa. Ini acara mingguan. Kamu bisa ikut lain kali. See you."
Lelaki itu seperti tahu apa yang kupikirkan. Ia melambaikan tangan.
Aku membalasnya. Aku menuju kamarku. Setelah selesai unpack kopor, aku
berniat segera mandi. Saat di depan kamar mandi, aku baru sadar bahwa
wing ini hanya diperuntukkan bagi perempuan. Bukan co-ed. Bukan lantai
campuran laki-laki dan perempuan. Aku bernapas lega. Setidaknya, jika aku
selesai mandi dan hanya memakai handuk, aku tidak perlu khawatir. Selesai
mandi, tubuhku meminta haknya untuk istirahat. Aku tidur. Malam pertama
di Hawaii terlalui di atas kasur ukuran single berbalut sprei putih. Kamar
berukuran sempit itu seketika menjadi rumah bagiku. Rumah selama tiga
bulan ke depan. Hari-hari berikutnya di Hawai, kulalui dengan segudang kegiatan.
Lokakarya dengan jadwal padat selama lima hari dalam seminggu pun harus
kulalui. Tiap hari dari jam delapan sampai jam empat, aku pun harus berada
di kelas pelatihan pengajaran bahasa asing dan kepemimpinan. Di sela-sela
kesibukanku, aku tidak lupa untuk mengunjungi tempat-tempat indah di
Hawaii. Sore hari setelah selesai menghadiri lokakarya, aku dan beberapa teman
seprogram tidak lupa untuk sekadar menikmati alunan ombak pantai Ala
Moana. Sambil sesekali menikmati pelangi double atau triple di langit Hawaii
yang membiru indah. Orang Hawaii bilang mereka sudah biasa menikmati
pelangi tiga lapis, apalagi dua lapis. Sudah biasa.
Kali lain, jika tugas tidak begitu menumpuk, aku dan beberapa kawan
berenang di Waikiki. Pantai yang penuh turis ini meskipun ramai, tetap
memiliki daya tariknya sendiri. Aku begitu menikmati kebersamaan dengan
teman-teman baru yang datang dari beberapa universitas di berbagai penjuru
dunia. Aku baru mengenal mereka, tapi sudah mengagumi mereka semua.
132 Asha, seorang wanita cerdas yang telah menjadi guru bahasa Inggris
selama sepuluh tahun, yang berasal dari Mesir. Juga Barbara, gadis cantik
dan tinggi, yang berasal dari Jerman. Ia bekerja untuk United Nations. Asako,
gadis Jepang yang cantik, kuliah di Harvard. Serta beberapa teman lain yang
berasal dari negara yang mewakili semua benua yang ada.
Sejak hari pertama kami bertemu, kami sudah langsung akrab. Seperti
ada magnet di antara kami. Meskipun kami juga akrab dengan kedua puluh
peserta lainnya. Dengan mereka, aku sering belajar bersama mengerjakan
PR atau tugas lainnya. Jika telah selesai dan merasa suntuk, kami berempat
sering kali punya ide spontan untuk naik bus A menuju Waikiki. Sekadar
melihat matahari terbenam atau untuk berenang. Saat sinar merah saga
menghilang perlahan di Barat Pasiik, kami biasanya melangkahkan kaki
untuk kembali ke asrama. Siap untuk menghadapi esok hari. Untuk kembali
berkutat lagi dengan jadwal yang padat.
Biasanya, saat kami sedang asyik berenang di Waikiki atau di Ala Moana,
beberapa pasang mata memerhatikanku. Pasti karena pilihan baju renangku
yang tidak biasa. Meskipun tidak memakai kerudung, namun aku memilih
baju renang yang menutup seluruh tubuh. Sejak kecil aku telah diajarkan
untuk tidak menampakkan anggota tubuh kepada orang lain, apalagi di
tempat umum. Setelah dewasa, pilihan baju renang ini menjadi kebutuhan
bagiku, karena kulitku sangat sensitif terhadap sinar matahari.
Aku membuktikan ucapan Akiko. Kawanku di Athens. Di pulau ini
banyak sekali keturunan Jepang, yang telah tinggal selama beberapa generasi.
Aku pernah bertemu dan berkenalan dengan mahasiswa di UH-Manoa yang
secara isik memang orang Jepang, tetapi namanya sangat Amerika. Gregg
Tucker. Ia tidak bisa bahasa Jepang. Aku lagi-lagi belajar bahwa identitas
adalah sesuatu yang luid, tidak statis. Di negeri ini, aku juga belajar, bahwa
133 isik seringkali tidak berhubungan dengan bahasa yang dikuasai, atau dengan
kewarganegaraan. Seseorang bisa saja terlihat seperti orang Vietnam. Banyak
pula yang menyangka ia mahir berbahasa Vietnam. Tapi ternyata, ia adalah
keturunan ketiga yang lahir dan tumbuh di Amerika Serikat. Bahasa Inggris
adalah bahasa dominan. Bahasa Vietnam biasanya dipelajari setelah dewasa,
saat di bangku kuliah. Benar-benar pengetahuan baru untukku. Ide tentang
bahasa, identitas, dan bentuk isik bisa demikian dinamis di negeri ini.
Aku juga kembali belajar, bahwa tanah Amerika ini memang dibangun
oleh imigran. Tidak hanya orang kulit putih yang disebut orang Amerika.
Mereka yang lahir dan besar, meskipun orangtuanya berasal dari bangsa
Asia, Eropa, Afrika, dan lainnya adalah juga warga negara Amerika. Aku
menjadi lebih tertarik untuk mempelajari tentang identitas dan kebangsaan,
yang buat orang Indonesia sepertinya lebih sering bersifat linear dan ixed.
Bersifat pasti. Orang Indonesia, dengan bentuk isik Indonesia, diharapkan
bisa berbahasa Indonesia. Itu fenomena yang sering ditemukan di tanah air.
Namun, ternyata bisa demikian variatif di negeri ini.
Lokakarya dan hari-hari di Honolulu berjalan begitu cepat. Jadwal yang
padat, tugas yang menumpuk. Meskipun belum genap dua minggu aku
berada di pulau ini, aku sudah menjalani petualangan indah ke Waikiki, Ala
Moana, Kaimana, Kahala, Northshore, dan Diamond Head. Melihat matahari
tenggelam di Waikiki, menjadi rutinitas baru bagiku.
Satu malam, tepat dua minggu aku tiba di Hawaii, aku pulang tepat waktu
ke Hale Kuahine. Barbara, Asha, dan Asako mengajakku ke Waikiki malam
itu, tapi terpaksa kutolak, karena aku terlalu lelah setelah hampir setiap hari
berpetualang setelah selesai lokakarya. Tiba di Hale Kuahine, aku melewati
ruang makan. Aku melihat beberapa anak sedang memasak di dapur utama
dan dapur di wing B. Meskipun tidak kenal, mereka menyapaku ramah. Di
134 dapur B, aku melihat Hikari yang sedang asyik memasak. Saat aku sedang
berbicara dengan Fan, seorang mahasiswa PhD Komunikasi yang berasal
dari China, Hikari memanggilku.
"Aloha, Kelly. Kita ada potluck malam ini. You wanna join?"
Fan juga mengundangku untuk datang ke acara potluck. Malam ini.
Tertarik, aku putuskan untuk bergabung. Setelah menaruh tas dan mandi,
aku bergabung untuk masak bersama di dapur. Aku berkenalan dengan
teman-teman baru yang semuanya adalah mahasiswa master"s dan PhD.
Aku berkenalan dengan Ngan yang berasal dari Vietnam, yang malam itu
akan membawa ayam masak jahe khas Vietnam. Aku juga bertemu dengan
Paul yang berasal dari Costarica, yang malam itu membuat makanan penutup
berupa pudding vegan. Hikari menyiapkan miso soup dan sushi. Pauline
memasak mie ayam ala Taiwan. Fan membuat sesame ball berisi kacang
merah. Andrew membuat pizza sayuran. Pete memasak ayam sechuan. Kim
memasak kalbi. Mikiko memasak ikan panggang. Wei memasak tumis sayur
dan salad. Pasangan Dean dan Shin menyiapkan banana bread dan brownies.
Bicho memasak lasagna. Sedangkan aku, memasak nasi goreng ayam tidak
pedas. Kebanyakan orang Amerika tidak tahan pedas. Apalagi pedas dengan
level orang Indonesia seperti diriku.
Harum masakan menyeruak dari tiga titik dapur di Hale Kuahine. Masingmasing kami sibuk menyiapkan masakan. Saat jam menunjukkan pukul 6,
hampir semua hidangan sudah tersaji rapi di meja di Green Room. Ruangan
makan model Asia berkarpet hijau. Tidak ada kursi di Green Room. Hanya ada
dua buah meja bundar di atas karpet hijau. Saat semua hidangan siap, kami
duduk mengitari meja bundar yang sengaja didekatkan. Sebelum makan,
Hikari memintaku untuk memperkenalkan diri. Aku satu-satunya penghuni
baru. Setelah perkenalan, kami semua makan dengan nikmatnya. Sesekali
135 mengobrol. Makan malam multi budaya. Malam yang indah. Makanan nikmat
yang beraneka ragam, dan teman-teman dari latar budaya yang berbeda.
Aku bersyukur memutuskan untuk ikut serta di acara ini. Aku
berkesempatan berkenalan dengan teman-teman baru yang baik, ramah,
dan hampir senasib. Jauh dari kampung halaman tercinta. Rasa inilah yang
menyebabkan kami menjadi cepat akrab satu sama lain. Meskipun itu
adalah pertemuan pertama dengan kebanyakan dari kami, aku sudah seperti
menemukan sekumpulan teman baru seperti di Athens. Setelah selesai
makan, kami masih asyik berbicara satu sama lain. Obrolan yang tidak
pernah membosankan. Tentang sekolah, tentang negara masing-masing,
tentang liburan yang paling berkesan, tentang keadaan politik dunia saat ini.
Meskipun semuanya adalah mahasiswa pasca sarjana, obrolan kami tidak
membosankan sama sekali. Kami tahu menghargai satu sama lain.
Aku mengagumi mereka semua yang begitu fasih menyampaikan
pendapat dalam rangkaian bahasa Inggris yang mengalun lancar. Pilihan
kata mereka tidak pasaran. Aku juga mengagumi cara mereka menyikapi
perbedaan budaya, pendapat, dan pola pikir. he conversation never gets boring
and old. Percakapan yang selalu menyenangkan. Aku menikmati kebersamaan
dengan kawan-kawan baru ini. Tak terasa malam semakin larut. Untungnya,
besok adalah hari Sabtu, sehingga kami tidak perlu bangun awal esok hari.
Saat jam menunjukkan pukul 10, beberapa dari kami pamitan.
Sebelum berpamitan, kami membuat rencana untuk pergi ke Hanauma
Bay di hari Minggu. Ada beberapa yang tidak bisa ikut serta, karena sudah
memiliki rencana lain. Namun sebagian besar bisa. Kami berjanji untuk
bertemu di Green Room pukul 11. Setelah sepakat, beberapa orang pamit.
Sudah lelah. Tinggal aku, Hikari, Ngan, dan Paul yang masih asyik berbicara
tentang feminisme. 136 Itu obrolan panjang pertamaku dengan Hikari. Orang yang telah berbaik
hati menolong di hari pertama kedatanganku. Malam itu aku tahu, bahwa
Hikari telah tinggal selama tiga tahun di Hale Kuahine. Setahun sebelumnya ia
tinggal di Hale Manoa. Ia sedang menyelesaikan program Ph.D-nya di bidang
Geograi. Tumbuh besar di lingkungan keluarga profesor, Hikari menjadi
terbiasa sangat kritis. Ia percaya dengan persamaan gender. Sebaliknya, Paul
yang berasal dari Mainland, Amerika adalah seorang yang sangat konservatif.
Paul mahasiswa PhD tahun pertama pada bidang Sejarah.Ide mereka
tentang gender sangat berlawanan. Aku menikmati cara mereka berdiskusi
dan berdebat. Elegan meskipun bertolak belakang.


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa kali, aku menanggapi ide-ide hebat yang dikemukakan oleh
Ngan, seorang mahasiswa Master"s Second Language Studies (SLS). Gadis
itu percaya, bahwa kodrat wanita untuk berada di dapur sama pentingnya
dengan keberadaan mereka di balik meja kantor. Obrolan yang demikian
seru itu akhirnya harus dihentikan, karena kantuk yang memang sudah
menggelayut di ujung mata. Kami berpamitan.
Di kamar, setelah mengganti baju dengan piyama, aku merebahkan
badan. Segala penat baru terasa sekarang. Aku tidak sempat lagi mengecek
email. Saat sebuah pesan masuk ke iPhone, aku sudah lebih dulu berada di
alam mimpi. Meninggalkan sebuah pesan. Pesan yang baru sempat kubaca
tiga bulan kemudian. Di Athens.
Hari Minggu pun tiba. Sebagian besar penghuni Hale Kuahine berkumpul.
Setelah semuanya hadir, kami mengatur mobil untuk mengakomodir
semuanya. Setelah semua mendapatkan tumpangan, enam mobil
meninggalkan Hale Kuahine menuju Hanauma Bay. Sepanjang perjalanan
yang kira-kira memakan waktu selama 45 menit, mataku dimanjakan
137 dengan hamparan pantai indah. Tidak ada satu spot pun di perjalanan itu
yang luput dari perhatianku. Pegunungan di depan mata, pantai hijau dan
biru di seberangnya adalah satu paket lengkap yang bisa dinikmati tanpa
henti, sebelum sampai ke Hanauma Bay.
Aku duduk di sebelah Fan. Aku tak henti-hentinya mengabadikan
pemandangan spektakuler itu dengan kameraku, sambil sesekali berbicara
dengan Fan yang menahan kantuk. Tingkah polah Fan tak luput dari jepretan
kameraku. Matanya yang mengantuk, ia tahan sedemikian rupa. Gadis itu
bilang, ia ingin sekali-kali tidak tidur dalam perjalanan ke Hanauma Bay. Fan
bercerita bagaimana ia selalu tidur jika sudah berada di mobil. Ia memiliki
motion sickness. Jika ia tidak tidur, maka ia akan merasa mual.
Hari ini, ia ditantang oleh teman-teman di Hale Kuahine untuk tidak
tidur. Jika ia kalah, ia harus bersedia pentas Tarian Hula. Tarian khas Hawaii
yang memang dikuasainya di pesta International Week minggu depan. Fan
yang pemalu, menganggap menari di depan orang banyak sebagai hukuman.
Buatnya, menari adalah jika ia menari untuk dirinya sendiri.
"I dance for myself." Begitu Fan berpendapat. Ia hanya menari untuk
dirinya sendiri. Bukan untuk orang lain.
Namun, jika ia menang, ia tidak perlu memasak selama dua minggu.
Teman-teman Hale Kuahine akan memasak apapun yang ia minta selama
dua minggu. Tawaran yang menarik, bukan"
Perjalanan selama 45 menit menjadi sedemikian lama dan menyiksa
bagi gadis mungil itu. Aku sekuat tenaga menahan tawa. Meskipun aku dan
Fan seperti sedang mengobrol, aku tahu Fan sudah tidak konsentrasi, antara
menahan mual dan menahan kantuk. Kim yang juga duduk di samping
Fan merasa iba. Ia selalu menepuk-nepuk bahu gadis itu jika ia sudah mulai
138 terlihat terkulai. Andrew yang menyetir, sengaja memasang lagu Hawaii
dengan suara ukulele yang begitu merdu dan mengalun lembut. Mungkin
dengan harapan agar Fan tertidur.
Meski baru seminggu tinggal di asrama ini, aku sudah dapat membaca
gerak-gerik Andrew. Aku tahu saat potluck semalam. Andrew menyukai Fan.
Mungkin minggu depan adalah harapan satu-satunya melihat kemahiran Fan
menarikan tarian khas Hawaii, dalam balutan bikini dan rok rumbai-rumbai.
Antara iba dan merasa lucu, aku terus mengajak Fan bicara. Fan yang masih
berjuang menahan kantuknya. Saat mobil berbelok dan plang Hanauma Bay
di depan mata, aku berbisik.
"Hang in there, Fan. It"s almost there. You"re winning." Aku menyemangati Fan.
Sepuluh menit kemudian, Andrew memarkir mobilnya. Mobil anakanak lain sebagian sudah tiba lebih dulu. Sebagian menyusul beberapa menit
kemudian. Fan tergopoh-gopoh keluar mobil. Dari kejauhan, kulihat Fan
terduduk di bawah pohon kelapa sambil sesekali meludah mengeluarkan
rasa mualnya. Aku dan Kim menghampirinya, memastikan gadis itu baikbaik saja. Andrew mendekati dan membantu Fan. Aku dan Kim tahu diri,
dan meninggalkan mereka berdua.
Kutinggalkan Fan dan Andrew. Kunikmati pesona Hanauma Bay dari
atas.Aku menikmati keindahan pantai berwarna torquise yang terletak di
ujung Timur Honolulu ini. Selama lima belas menit, kumanjakan mataku
dengan pemandangan menawan. Barisan pohon palem. Lalu, aku bergabung
dengan teman-teman lain untuk menonton ilm sebelum mulai menyelam.
Sepuluh menit kami menonton, lalu kami bersiap-siap untuk snorkling.
Setelah berganti baju dan menyewa peralatan menyelam, kami berpencar.
Kami berjanji bertemu lagi sejam atau satu setengah jam kemudian.
139 Setelah siap dengan peralatan menyelam, aku sadar, bahwa aku lagilagi menjadi pusat perhatian, karena pakaian yang kukenakan. Saat hendak
menggunakan vest, beberapa mata memandangku sambil tersenyum. Antara
malu dan tidak percaya diri, aku berusaha untuk tidak peduli. Di antara
semua rasa yang menghampiriku, Hikari mengajakku ke tengah pantai.
Lima menit kemudian, kami telah asyik melihat beberapa penyu yang asyik
berenang, kumpulan ikan hias warna-warni di pantai yang airnya bersih,
jernih, dan cukup sejuk. Seperti sedang berada di ilm Finding Nemo atau
National Geographic. Sebenarnya, aku masih agak takut untuk berenang terlalu ke tengah,
namun Hikari menarik tanganku. Aku yang awalnya ragu-ragu, akhirnya
memberanikan diri. Aku tidak menyesali ajakan itu. Pemandangan di tengah
bay sungguh-sungguh mengundang decak kagum. Words just failed me. Tidak
ada kata yang mampu melukiskan bagaimana indahnya pemandangan di
bawah laut yang saat ini kulihat dari jarak dekat. Selama kurang lebih satu
setengah jam, aku menikmati satwa langka penghuni bay ini. Dalam balutan
warna-warni penyejuk mata, aku tidak habis-habisnya menyeru nama Tuhan
akan keindahan yang tersaji di depan mata.
Bersama Hikari yang terus saja berenang di sampingku, aku nikmati tiap
detik berenang bersama ikan-ikan warna-warni ini. Berdansa di tengah laut
bersama kumpulan ikan hias warna-warni, ganggang laut, reef, coral, belut,
dan beberapa penyu yang asyik berenang. Selama hampir dua jam, kupuaskan
diriku dalam air pantai jernih ini. Bersama ratusan penghuni pantai yang
berenang bersamaku. Mataku benar-benar dimanjakan keindahan berbagai
macam ikan hias. Saat selesai, aku baru sadar, bahwa aku telah berenang
sangat jauh dari tepi pantai. Aku tidak selesai-selesainya mengucapkan
terima kasih kepada lelaki baik hati itu.
140 Saat perjalanan pulang, sepertinya hanya sang sopir yang terjaga. Semua
orang kelelahan. Kurang lebih satu setengah jam menyelam. Beberapa teman
ada yang mau melanjutkan ke Makapu"u untuk melihat matahari terbenam.
Sebagian lagi ingin singgah di restoran lokal untuk makan siang dan
menikmati shave ice yang memang terkenal di pulau ini. Aku memutuskan
untuk pulang, karena badanku terasa lelah sekali. Andrew berhasil mengajak
Fan makan siang bersama. Teman-teman Hale Kuahine tersenyum saat
mereka melangkah bersama menuju mobil Andrew. Aku pun bahagia
melihat dua orang itu. Meskipun baru mengenal mereka tadi malam.
Hanya mobil Hikari dan Paul yang menuju Hale Kuahine. Kali ini, aku
ikut mobil Hikari. Bersama Kim, Pauline, dan Ngan, kami duduk di bangku
belakang. Raso, pemuda India yang baru hari itu kukenal, duduk di depan,
di samping Hikari. Aku duduk di belakang bangku sopir. Aku terlelap hanya
setelah lima menit mobil berjalan. Karena jalanan yang berkelok-kelok,
beberapa kali aku terbangun. Saat terbangun, aku kadang mendapati Hikari
yang sedang memerhatikan kulewat kaca depan mobil. Saat mata kami
beradu, aku dan Hikari, aku pura-pura memejamkan mata. Aku takut untuk
membuka mata lagi. Aku paksakan untuk tidur, meskipun beberapa kali
terbangun. Sampai akhirnya kami tiba di Hale Kuahine.
Kim menyentuh bahuku. Kami telah sampai di area kampus. Aku
membuka mata. Aku masih menghindari melihat ke kaca depan. Aku takut
mendapati sepasang mata yang mungkin sedang memerhatikanku.
Sial, kenapa aku harus GR begini, sih! Rutukku dalam hati. Aku
mengarahkan pandanganku ke arah jendela. Mobil telah melewati Teater
Kennedy. Kami sudah sampai di parkiran Hale Kuahine. Hikari memarkir
mobilnya. Pauline, Kim, Ngan, dan aku mengucapkan terima kasih, sambil
141 berpamitan pada Hikari. Aku mengucapkan terima kasih sambil sekilas saja
menatap mata Hikari. Lelaki itu tersenyum ramah.
Saat sampai di kamar, telepon kamar berdering. Dari Asha. Aku agak
tercekat saat mendengar suara Asha yang terdengar seperti habis menangis.
Aku segera menenangkannya, dan berjanji akan segera sampai di kamarnya
di Hale Manoa. Bergegas aku mandi dan berganti pakaian. Meskipun
tubuhku masih lelah, sepuluh menit kemudian, aku sudah sampai di kamar
Asha. Asha kudapati sedang tertelungkup menangis.
Baru minggu lalu aku berada di kamar ini. Mendengarkan keluhan Asha
yang tidak suka tinggal di Hale Manoa. Memang dari kami berempat, hanya
aku dan Asako yang tinggal di Hale Kuahine. Barbara dan Asha mendapatkan
kamar di Hale Manoa. Minggu lalu, Asha menangis karena ditempatkan di
lantai co-ed. Ia harus berbagi kamar mandi dengan mahasiswa laki-laki. Asha
sangat keberatan dengan penempatan itu. Ditambah lagi Hale Manoa terlalu
ramai, berbeda dengan Hale Kuahine yang sepi dan syahdu.
Aku setuju. Namun demi membesarkan hati Asha, aku yakinkan bahwa
kamarnya memiliki pemandangan indah. Kamarnya menghadap Diamond
Head dan Sky Line Honolulu. Lampu-lampu dari gedung pencakar langit
Honolulu bisa dinikmati dari jendela kamarnya. Setiap Jumat, ia juga bisa
menikmati kembang api gratis yang berpusat di Shangrilla Honolulu.
Sesungguhnya jika boleh ditukar, aku tidak akan keberatan dengan kamar
Asha. Kamar dengan pemandangan luar biasa, apalagi jika malam telah tiba.
Lampu-lampu dari Sky Line Honolulu itu menjelma demikian indah dari
jendela kamar lantai 12. Namun aku juga tahu, bahwa aku sudah mulai mencintai kamarku di
Hale Kuahine. Hale Kuahine yang syahdu. Kamar yang menghadap Bukit
142 Manoa. Gerimis Bukit Manoa bisa kunikmati dalam hikmat dari kamar yang
tidak terlalu luas itu. Sore ini, Asha menangis setelah mendapatkan email dari tunangannya.
Tunangan yang telah menjadi kekasihnya selama hampir sepuluh tahun.
Tunangan yang meminta maaf dan meminta pengertiannya. Maka
mengalirlah cerita Asha. Tentang bagaimana kisah cinta mereka yang dimulai
sejak masa kuliah. Kisah yang dimulai dari persahabatan, sampai akhirnya
mereka memutuskan untuk menjadi kekasih. Asha mencintai tunangannya
itu. Lelaki itu segala-galanya. Terlalu sempurna untuknya. Berasal dari
keluarga terpandang dan berpendidikan, hubungan mereka ditentang
keluarga sang kekasih. Asha berasal dari keluarga sederhana.
Bisa mencintai dan dicintai oleh lelaki ini adalah mimpi menjadi nyata
bagi Asha. Maka saat lelaki itu meminta untuk berhubungan lebih jauh,
Asha tanpa keraguan melakukannya. Menerobos semua nilai yang ia yakini.
Asha menilai dirinya sebagai pemeluk agama yang taat. Sikap lelaki ini pun
masih sama baiknya setelah kejadian itu. Hal yang awalnya tabu pun menjadi
demikian biasa bagi keduanya.
Saat Asha mendapatkan beasiswa program EWC selama tiga bulan,
lelaki ini meskipun keberatan, tetap mendukung keinginannya. Peristiwa
yang terjadi dengan sahabat Asha adalah bagian dari naluri lelakinya yang
kesepian. Itu pengakuan kekasihnya. Mereka sebelumnya tidak pernah
berpisah demikian lama. Air mata Asha tak henti-hentinya mengalir. Ia masih
tidak menyangka, bahwa kekasihnya bisa mengkhianati. Bahkan dengan
sahabatnya sendiri. Ia seperti dikhianati bertubi-tubi.
Hatiku basah. Tak sadar aku juga menangis bersama Asha. Teman yang
baru dua minggu kukenal. Entah mengapa, aku bisa merasakan luka hati
143 gadis itu. Mungkin solidaritas sesama perempuan. Mungkin rasa gemas
terhadap ego lelaki. Aku mendengarkan semua keluh kesah dan ratapan
Asha sampai gadis itu tertidur. Ia menangis sampai lelah. Sebelum pergi,
aku menyelimuti Asha. Lalu, menutup jendela kamarnya. Udara Honolulu
sedikit lebih dingin dari biasanya.
Aku menatap wajah gadis Mesir itu. Raut wajah khas Timur Tengah yang
cantik. Mata yang bulat dengan alis tebal dan hitam dan bulu mata yang lentik.
Asha yang baru kukenal merupakan gadis cerdas yang masih memegang
budaya Timur Tengahnya. Namun, ia juga adalah seorang gadis yang sangat
open minded. Sambil berjingkat pelan-pelan, khawatir membangunkan gadis
malang itu, aku beranjak meninggalkan kamar Asha. Lalu, meninggalkan
Hale Manoa. Sepanjang perjalanan antara Hale Mano dan Hale Kuahine, aku berbelok
menuju taman Jepang dan menjatuhkan diri di atas rerumputan di depan
kolam ikan. Saat merebahkan diri, aku menatap langit Hawaii yang malam
itu bertabur bintang. Sambil menikmati langit Manoa menjelang jam
delapan malam, aku membiarkan hati dan pikiranku mengembara. Kepalaku
penuh dengan petualangan hari ini. Kejadian dengan Hikari. Curahan hati
Asha barusan. Entah mengapa Asha memilih menelepon diriku, bukan
Barbara atau Asako. Mungkin Barbara dan Asako sedang pergi atau berada
di perpustakaan. Apapun alasannya, aku bersyukur. Aku bisa terpilih dan
mendengarkan cerita Asha.
Selalu ada hikmah dan pelajaran di mana saja dan dari siapa saja. Peristiwa
ini tidak ayal meninggalkan sebuah pelajaran bagi diriku. Tentang hubungan
manusia. Tentang budaya. Tentang perempuan yang masih mengalami
penindasan dalam bentuk lain. Tentang kesetiaan dan cinta. Tentang hati
yang bisa memaakan. Tentang manusia yang mencintai, namun bisa
144 mengkhianati. Tentang ego lelaki. Tentang kelemahan lelaki. Semua berputar
di kepalaku. Kalau saja angin Manoa tidak menusuk sendi-sendi pertulanganku,
mungkin aku akan tidur sampai pagi di taman itu. Saat kurasakan seluruh
tubuhku kedinginan karena aku hanya memakai kaos dan celana selutut
tanpa balutan sweater. Tak rela, aku berdiri, untuk kemudian beranjak menuju
Hale Kuahine. ?"" Esok pagi di kelas, aku tidak mendapati Asha di kursi yang biasa ia tempati.
Barbara bilang, bahwa Asha sakit. Saat istirahat, kami menyempatkan diri
untuk datang menjenguk Asha yang terlihat pucat.
"hank you for coming , my riends. Aku hanya perlu istirahat hari ini.
Besok saya akan masuk kelas lagi. I"ll be back." Suara Asha terdengar pelan,
namun tegas. Aku tidak tahu apakah Barbara dan Asako mengerti apa yang sedang
terjadi pada Asha. Kami tidak ingin membahas atau menyinggungnya.
Waktu satu jam itu kami pakai untuk memasak di dapur lantai 12 yang
menghadap Diamond Head. Barbara memasak ayam schnitzel untuk menu
makan siang hari ini. Kami berempat menikmati masakan Barbara yang luar
biasa lezatnya. "Resep turunan dari nenek," kata Barbara sambil tertawa, saat kami
memuji hasil masakannya. Kebersamaan kami siang itu berhasil memberikan energi positif untuk
Asha. Wajah gadis itu tidak lagi terlalu pucat dan sudah bisa menyuguhkan
senyum. 145 Sore hari selesai pelatihan, aku menyempatkan diri datang lagi menjenguk
Asha. Asha menyambutku dengan gembira. Ia perlu teman untuk berbicara.
Selama hampir dua jam kami berbicara dari hati ke hati. Aku pelan-pelan
memberi sedikit masukan padanya.
"If you don"t mind, I would love to share something with you. Something that I
do when life hits me."
"Go ahead, Kelly. I am all ears,"sambut Asha sambil berbaring.
Mentari di langit Honolulu masih melukiskan semburat kuning
kemerahan. Dari jendela kamar Asha, aku bisa menikmati gedung-gedung
kampus University of Hawaii at Manoa, stadium universitas, asrama mahasiswa
S-1, dan gedung-gedung pencakar langit lainnya.
"Setiap aku bertemu masalah yang serius, aku akan selalu berusaha
memberi jarak antara diriku dan masalah yang sedang kuhadapi. Lalu, aku
akan merenung dan berpikir atas apa yang sedang terjadi. Di saat merenung,
aku memikirkan langkah apa saja yang harus kuambil. I"ll make a list for the
pros if I choose to do things, and another list if I decide not to do it. hen, I"ll compare
between the two. Once I give it a logical thought, I"ll consult my heart. Tanya hati
itu penting buatku. Mungkin ini bukan solusi untuk semua orang, tapi kamu
bisa mencobanya.Try to give yourself some time to think and some space to clear


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

your head. Beri waktu untuk otak dan hatiku berpikir." Aku berujar panjang.
Aku berkali-kali menjalankan ini saat harus mengambil keputusan berat
dalam hidupku. Salah satu di antaranya, saat pernikahan pernah begitu dekat
dengan hidupku. Asha nampak khusyuk mendengarkan, sambil sesekali mengangguk.
Tidak ada air mata hari ini. Mungkin sudah selesai ditumpahkan sejak
malam lalu. Kali ini, aku berhadapan dengan seorang gadis tegar yang
146 sepertinya siap untuk mengambil keputusan. Aku tidak berani membantu
gadis itu memutuskan. Semua terserah Asha. Apakah ia harus putus, atau
tetap terus menjalankan hubungan dengan tunangannya. Bagiku, keputusan
itu mutlak milik Asha. Tidak seorang pun berhak mengintervensi keputusan
itu, bahkan tunangannya sekali pun.
Matahari beranjak pergi dan meninggalkan langit Honolulu yang hanya
ditemani lampu-lampu gemerlap. Kami yang berbeda bangsa ini berpelukan,
untuk kemudian saling berpisah. Aku harus kembali ke Hale Kuahine. Aku
harus menyelesaikan tugas dan paper untuk workshop esok hari.
Hari-hari di Manoa semakin sibuk. Selain harus berada di kelas dari Senin
sampai Jumat, aku juga harus mengerjakan paper dan tugas di Perpustakaan
Hamilton dan Sinclair. Di tengah semua himpitan tugas akademik, aku
tidak lupa untuk melepaskan lelah di Waikiki, Ala Moana, atau sekadar
memandang Bukit Manoa dari kedai kopi di Manoa. Menghadiri potluck
mingguan penghuni Hale Kuahine. Ikut serta dalam International Week East
West Center. Menemani Asako, Asha, dan Barbara yang gemar makan es krim
di Cold Stone Waikiki. "Apalagi yang terbaik di dunia ini selain menikmati es krim enak, sambil
memandang tubuh kekar para surfers yang nampak sexy di Waikiki."
Kali lain, aku kebagian menjadi sober buddy saat Asha, Barbara, dan Asako
terlalu banyak minum hampir di setiap Jumat malam.
"Kelly, make sure, aku tidak tidur di kamar orang lain ya?" Itu permintaan
Asako saat ia mulai minum dan akhirnya mabuk.
Aku menemani mereka sambil menikmati orange juice. Aku tersenyumsenyum melihat tingkah Asako dan Barbara yang bertolak belakang saat
mabuk. Asako yang biasanya pendiam, akan menajadi super cerewet jika
147 sudah mulai mabuk. Barbara yang biasanya lumayan banyak bicara, akan
menjadi pendiam sambil sesekali mengedip-ngedipkan matanya. Asha
biasanya hanya minum segelas atau dua gelar bir. Ia punya high tolerance
terhadap alkohol sehingga aku dan Asha biasa menjadi sober buddies. Tugas
kami menjaga kedua teman yang masih terus melakukan aksi-aksi unik di
meja kami, karena sudah di bawah pengaruh alkohol.
Tepat jam 11 malam, akhirnya kami pulang dengan naik taksi. Tiba di
depan Hale Manoa, Asha memapah Barbara yang sudah tidak sadarkan diri.
Lima menit kemudian, taksi tiba di depan Hale Kuahine. Aku membantu
Asako. Tiba di depan pintu Hale Kuahine, aku kepayahan membuka pintu.
Tanganku memegang Asako. Beruntung saat itu ada Kim yang baru saja
pulang dari perpustakaan. Dengan sigap membantuku memapah sampai ke
kamar Asako di lantai tiga, wing B. Setelah mengucapkan terima kasih kepada
Kim, aku menyelimuti Asako. Aku menuju kamarku.
Sebelum tidur, aku menyempatkan diri untuk mandi, karena bau
alkohol dari Asako dan Barbara seperti menempel di bajuku. Aku mencuci
badan dan rambutku. Setelah selesai mandi, aku menuju kamarku. Tiba di
depan pintu kamar, aku menjadi panik luar biasa mendapati pintu kamarku
tertutup. Semua pintu di Hale Manoa dan Hale Kuahine memang didesain
untuk menutup secara otomatis. Sebenarnya, ini bukan kali pertama buatku.
Di minggu pertama kedatanganku, aku sudah beberapa kali lupa mengganjal
pintu saat ke toilet. Baru kali ini setelah mandi. Biasanya aku ke resepsionis
dan meminta kartu pass baru, namun kali ini keadaannya berbeda. Aku hanya
memakai handuk saja! Aku sungguh panik. Tidak mungkin ke resepsionis dengan hanya
memakai handuk. Apalagi resepsionis Hale Kuahine sudah tutup jam segini.
Aku harus ke resepsionis di Hale Manoa. Aku masih terpaku di depan pintu
148 untuk berpikir. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh hall di lantai
empat. Saat kulihat satu kamar yang diganjal pintu, aku bernapas lega.
Artinya ada orang di dalamnya! Orang itu kemungkinan masih terjaga di
tengah malam ini. Aku melangkahkan kaki. Mengetuk pintu kamar 404 itu.
Saat dibuka oleh pemiliknya, aku lega bukan kepalang!
Perempuan yang akhirnya kutahu bernama Nan itu dengan sigap
membantuku. Ia segera mengambil jaket kamarnya, dan memintaku untuk
menunggu di kamarnya. Ia mengambil kartu pass di Hale Manoa. Sebelumnya,
aku menelepon resepsionis menjelaskan situasinya. Untungnya, sang
resepsionis mengenalku dan Nan dengan baik. Nan akhirnya diperbolehkan
menjemput kartu pass untukku. Menurut aturan, kartu pass hanya dapat
diambil oleh sang pemilik kamar.
Nan tinggal di kamar double yang ia huni dengan roommate-nya yang
berasal dari Iowa, yang malam itu sedang menginap di rumah temannya.
Aku merapatkan handuk dan duduk di atas kursi meja belajar Nan yang
menghadap Bukit Manoa. Memandangi Bukit Manoa yang telah gelap dan
dipayungi oleh bulan sabit. Merutuki kecerobohanku. Lima belas menit
kemudian, Nan datang sambil membawakan kartu pass untukku.
Aku tak putus-putusnya mengucapkan terima kasih kepada Nan atas
semua kebaikannya. Nan si gadis baik hati, tersenyum.
"No worries, Kelly. Saya pernah ada di situasi itu. My irst year staying here
is full of dramas like you just had. Kamu tidak akan pernah membayangkan
betapa banyak cerita di tahun pertama saya tinggal di asrama ini," katanya
sambil tertawa. "Pintu ini memang menyebalkan. Aman sih, karena ia
selalu otomatis terkunci jika kita lupa. Tetapi kalau kita lupa mengganjal,
sudah deh. Kita akan terkunci dari luar. Kita mesti minta kartu baru untuk
membukanya. Mereka hanya beri tiga kartu, lagi. Selebihnya harus bayar.
149 Aku sudah minta lima kali. Untungnya aku belum pernah kejadian tengah
malam seperti kamu." Nan menceritakan pengalamannya dengan kartu pass,
saat ia baru saja tinggal di asrama ini.
Aku mengangguk-angguk saat mendengar penjelasan dan curahan hati
gadis yang baru pertama kali kujumpai ini. Setelah sekali lagi mengucapkan
terima kasih, aku berpamitan. Setelah sholatIsya, aku memejamkan mata.
Tak lupa seuntai Al-Fatihah kukirimkan untuk Bapak.
Tak terasa, sudah sebulan aku tinggal di Hawaii. Aku merasa Hawaii telah
menjadi rumah yang nyaman. Ada kejadian yang agak menarik akhir-akhir
ini. Beberapa kali aku tidak sengaja masak dan makan malam bersama Hikari
di Green Room. Semua terjadi begitu saja, tanpa direncanakan. Obrolanobrolan dengan Hikari selalu saja menarik dan menyenangkan. Awal
ketidaksengajaan itu akhirnya menjadi waktu yang kadang kutunggu. Kami
seperti sudah paham jam memasak dan makan malam. Kami selalu bertemu
di dapur dan di ruang makan. Sering juga ada beberapa teman lain yang ikut
makan bersama sambil mengobrol.
Hikari banyak bercerita tentang masa kecilnya yang ia habiskan di
Australia saat menemani ayahnya yang mengambil Ph.D di Australian
National University. Ia juga banyak bercerita tentang ibunya yang seorang
pelukis. Adik satu-satunya yang saat ini kuliah di Oxford, Inggris.
Obrolan-obrolan sederhana itu lama-kelamaan menjadi demikian
istimewa, setidaknya bagiku. Aku mulai mencari, saat tidak kujumpai
Hikari di dapur atau di ruang makan. Aku juga bahagia saat berpapasan
dengan lelaki itu di taman Perpustakaan Hamilton. Mungkin aku telah
jatuh hati, mungkin juga tidak.
Aku hanya tiga bulan di sini. Kebersamaan ini hanya kebersamaan dua
orang teman baru. Tidak kurang, tidak lebih. Hari-hari berikutnya, aku
150 merasakan bahwa Hikari mulai memberikan perhatian yang agak lebih
kepadaku. Saat aku sakit perut karena masalah wanita, tiba-tiba aku sudah
mendapati semangkuk sup hangat di depan pintu dengan note kecil yang
ditulis Hikari agar aku cepat sembuh. Aku hanya mampu bersyukur dan
berterima kasih. Esok harinya, aku memasakkan satu masakan Indonesia
untuk lelaki baik hati itu.
Aku selalu tidak lupa untuk mengingatkan diri sendiri, bahwa kisah ini tidak
boleh dimulai. Aku percaya, bahwa aku bisa berteman dengan banyak orang,
dari berbagai penjuru dunia. Tetapi, aku sudah pastikan dalam hati, bahwa aku
tidak akan berjodoh dengan siapa pun. Sekuat apapun pesona Hikari yang
hadir di depanku saat ini, sekuat itu pula aku menarik diri agar tidak terjatuh
dalam pendaran pesona itu. Aku sadar sepenuhnya, bahwa memulai sebuah
kisah dengan Hikari adalah sebuah kemustahilan. Meskipun rasa ini belum
tertanam begitu dalam, aku tahu aku tidak boleh memulainya.
Pertanyaan yang selalu mengusikku adalah tanggung jawabku sebagai
anak Bapak dan Ibu. Sejauh apapun kakiku melangkah, ke benua apapun
itu, aku akan terus menjadi anak Ibu dan almarhum Bapak. Dengan semua
identitas yang telah melekat dalam diriku sejak kecil. Bagaimana aku harus
hadapi almarhum Bapak kelak, jika suatu hari kami bertemu di taman surga,
dan bercerita bahwa aku telah jatuh hati pada seorang yang tidak satu iman
denganku" Aku tahu pertanyaan ini akan menjadi tidak penting untuk
kebanyakan orang. Namun bagiku, ini adalah salah satu hal terpenting dalam
hidup. Hal yang sudah Bapak tanamkan sejak aku kecil. Buatku, melihat
Bapak bersedih adalah hal terakhir yang akan kulakukan.
?"" 151 Minggu itu tiba juga. Minggu terakhir di Manoa. Aku semakin sibuk.
Jadwalku ditambah dengan undangan makan malam perpisahan dengan
beberapa teman baru. Makan malam dengan teman-teman Kuahine. Dengan
teman lokakarya. Dengan ketiga sahabat baruku. Dengan Nan. Dan masih
banyak lagi. Di tengah kepenatanku, aku tidak lupa untuk selalu menelepon
Ibu dan Uni di akhir minggu. Mengecek email dan bertukar kabar dengan
teman-teman Linguistics. Tapi lupa untuk berkirim kabar dengan sahabatsahabatku di tanah air. Yahoo Messenger dan iPhone sama sekali lupa
kusentuh. Pesta perpisahan dengan teman satu program sudah direncanakan di
dua malam akhir. Sebelum masing-masing dari kami kembali ke tanah air
dan universitas masing-masing. Perpisahan demi perpisahan, tak pelak
adalah mesin air mata paling ampuh bagiku. Aku tidak pernah menyangka,
persahabatan yang baru kujalin sejak tiga bulan lalu itu bisa meninggalkan
kesan yang begitu mendalam. Malam-malam perpisahan menjadi malammalam penuh janji untuk selalu bertukar kabar, meskipun kami akan terpisah
jauh. Buatku, perpisahan selalu menyisakan retakan hati. Menjalaninya tidak
pernah terasa mudah. Tiba-tiba saja perpisahan dan pertemuan menjadi
rutinitas baru bagiku. Aku bukan manusia tegar. Maka sudah bisa ditebak,
aku sedih selama berhari-hari.
Malam itu, pesta perpisahan untukku diadakan oleh teman-teman Hale
Kuahine. Mereka semua memasak untukku. Sungguh luar biasa rasanya.
Pertemanan ini bisa menempati satu ruang istimewa di hatiku. Kami
ngobrol-ngobrol sambil menikmati hidangan makan malam yang sangat
nikmat. Pembicaraan yang seru dan terlepas dari rasa sedih. Kami berjanji
untuk tetap kontak melalui email.
152 Saat menjelang malam, satu per satu berpamitan. Lama-kelamaan,
hanya aku dan Hikari yang tinggal. Pembicaraan dengan Hikari menjadi
sedikit istimewa dari biasanya. Kami berdua tetap memilih untuk tidak
memperlihatkan kesedihan masing-masing. Kami hanya bercerita tentang
Hale Kuahine, Hawaii, teman-teman, tanpa pernah sekali pun menyinggung
tentang hal pribadi. Aku bersyukur, bahwa Hikari adalah orang yang sangat
tahu menghargai orang lain. Menjelang pukul 10 malam, saat aku pamit
karena sudah lelah, Hikari menarik tanganku.
"Kelly, if you were not a Moslem, would it be possible to marry an agnostic?"
Aku terkejut. Tidak menyangka Hikari akan menanyakan itu. Ia bertanya
apakah mungkin bagiku untuk menikahi seorang yang tidak percaya Tuhan,
mengingat aku adalah seorang muslim. Di detik terakhir kebersamaan kami.
Aku masih terdiam. Hikari melepaskan tanganku. "No, don"t answer it. Gak
usah dijawab ya. Aku hanya bercanda. You know I like to make some jokes."
Ia tertawa dan menyuruhkukembali ke kamar.Ia memintaku ke kamar
tanpa perlu membantunya membersihkan Green Room dan mencuci piring.
Aku beranjak sambil menaiki tangga dalam langkah pelan. Pikiranku
masih buntu, dan berusaha mencerna pertanyaan yang tiba-tiba saja
ditanyakan Hikari. Out of the blue. Selama ini kami tidak pernah berbicara halhal yang pribadi. Hanya hal-hal umum saja. Kebanyakan dengan beberapa
teman Hale Kuahine. Esok paginya, saat mengantar ke bandara, Hikari bersikap seperti temanteman yang lain. Aku menarik napas lega. Sejak semalam, aku agak pusing
memikirkan, bagaimana harus bersikap di depannya jika kami bertemu pagi
ini. Untungnya, Hikari cukup dewasa, sehingga perpisahan hari itu berjalan
apa adanya. Semua teman yang mengantar memelukku ala orang Amerika.
153 Time to say goodbye. Saatnya berpisah. Aku dan Asako terbang di hari yang
sama. Barbara dan Asha sudah kembali ke negara mereka masing-masing
kemarin. Selamat tinggal, Honolulu. Semoga suatu hari kita bertemu lagi! ucapku
dalam hati, saat pesawat tinggal landas meninggalkan kota indah yang
menyimpan banyak cerita selama tiga bulan ini.
Hari itu adalah pertemuan dan kontak terakhir dengan lelaki baik hati
itu. Malaikat penolong di hari kedatanganku di asrama. Yang menemani hari
keberuntunganku melihat penyu di Hanauma Bay. Janji untuk bertukar kabar
melalui email, tidak terlaksana. Satu kisah lagi telah kulalui. Hanya dengan
Hikari aku tidak berkirim kabar. Dengan yang lain, beberapa menjadi teman
baikku hingga saat ini. Cerita musim panas di Hawaii terlalui seperti mimpi. Aku kembali
menjalani hari-hari nyata, namun masih di dunia impian, kembali ke
Athens" ?"" 154 8.Arti Sahabat 155 Athens, Pertengahan Agustus, 2007
Kembali ke Athens di minggu kedua Agustus. Dua minggu lagi, Fall
Quarter akan mulai. Satu lagi pengalaman hidup telah kulewati. Pulang ke
Athens, kembali ke daerah daratan tanpa pantai. Selain teman-teman sekelas,
aku ternyata merindukan ketiga oicemates, Yuki-san dari Jepang, Yulin dari
Cina, dan Verena dari Jerman. Buatku, berbagi space di Gordy dengan mereka
benar-benar perpaduan antara Timur dan Barat. Tahun pertama, saat diberi
tahu oleh sekretaris departemen untuk menempati ruangan Gordy 357, aku
ingat hanya Yulin yang menyambutku saat itu. Dua rekan lain sedang pulang
kampung. Departmenku ini memiliki sepuluh ruangan dengan layout yang sama.
Masing-masing ruangan ditempati oleh empat anak Linguistik. Prioritas
utama memang diberikan kepada para TA. Masing-masing ruangan berisi
empat meja, sebuah Mac 21 inci keluaran terbaru dan sebuah lemari buku.
Prioritas ini diberikan kepada para mahasiswa yang memang juga mengajar.
Beberapa mahasiswa memang ada yang mendapatkan beasiswa penuh
dari Ford Foundation, Fulbright, dan lain-lain sehingga mereka tidak perlu
mengajar. Tapi, aku dan beberapa teman harus mengajar sebagai bagian dari
beasiswa kami. Tahun lalu, di ruangan 357 itu, hanya aku yang merupakan mahasiswa
tingkat pertama. Saat itu belum terbayang, bahwa aku akan menghabiskan
bermalam-malam dan bersubuh-subuh di sini. Kami-Yulin, Yuki, dan akumemang acap kali menghabiskan waktu di kantor mungil ini. Hanya Verena
yang selalu pulang sebelum pukul tujuh malam. Ia hanya bisa belajar di
rumah. Maka Yulin, Yuki, dan aku merajut pertemanandi ruangan ini. Dalam
24 jam, kami menghabiskan rata-rata 10 sampai 15 jam di 357. Hampir
setiap hari. 156 Beberapa murid lain menggoda, supaya kami tidak perlu menyewa
apartemen. Sejak dari pagi sekitar jam delapan, kami datang untuk mengajar.
Lalu kuliah sampai sore, setelah itu membuat bahan ajar, grading pekerjaan
siswa dan segala persiapan mengajar, dan kuliah. Bahkan makan malam lebih
banyak di Gordy, ketimbang di apartemen kami sendiri.
Tidak jarang kami tertidur di atas meja. Para profesor sudah lebih dari
maklum. Mereka paham saat melihat murid-muridnya sedang mencuri
waktu tidur di antara jam kuliah. Meskipun hanya sekitar lima belas menit.
Tak jarang, para profesor mengurungkan niatnya dan meninggalkan pesan,
saat melihat muridnya yang kelelahan membagi waktu antara kuliah dan
mengajar. Aku dan Yuki sudah terkenal sebagai sofa sleeper. Kami kerap


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali tertidur di sofa di ruang tamu departemen. Foto-foto kami tak
jarang bermunculan di laman LSOU dengan gaya tidur yang lucu, tetapi
memalukan. Kadang dengan mulut menganga, kadang mata membuka.
Jika sedang jenuh, kami biasanya ke Alden Library, atau ke Donkey
Cofeshop, atau Baker Student Center. Di salah satu pojokan gedung ini, lantai
empat dan lima adalah tempat favoritku dan Yuki. Kami bisa dengan santai
bekerja sambil selonjoran kaki, sambil ditemani cofee late atau mocchacino.
Dua minggu lagi, saat aku kembali ke Gordy untuk memulai aktivitas,
aku tidak akan menemukan lagi wajah lelah Yuki atau Yulin, yang meski
lelah tetap selalu ceria, atau Verena yang keibuan dan sangat baik hati. Yulin,
Yuki, dan Verena, kakak kelas yang diterima setahun lebih dulu dariku, telah
diwisuda awal musim panas lalu. Mereka telah kembali ke negara masingmasing untuk memulai karier sebagai dosen.
Malam terakhir sebelum aku terbang ke Honolulu, Yuki datang ke
apartemen untuk memberikan sebuah kartu. Hari itu ia nampak letih sekali,
157 karena baru saja tiba dari Boston. Tapi, ia sengaja datang demi bertemu
dengan aku, yang esok Subuh harus terbang ke Honolulu. Aku menyesal
tidak sempat makan malam dengan Yulin. Jadwal kami sama-sama penuh.
Gadis putih mungil itu mengirimkan sebuah kartu dari Washington DC.
Saat membacanya, aku tak sanggup menahan air mata. Satu kalimat penutup
di kartu merah jambu itu benar-benar membuat bobol pertahanan air
mataku.Di akhir kalimat, Yulin menuliskan:
I will really miss you, Kelly. You are a great person and riend. I will miss our
time in Gordy. Masih menyusut air mata, aku mulai membuka kartu yang dituliskan
oleh Yuki. Membaca kalimat demi kalimatnya cuma menambah deras
air mata. hey both are really good writers and these two leter are indeed tear
jerker. Keduanya adalah penulis yang baik. Surat yang mereka tulis untukku
sanggup membuatku menangis tersedu.
I was planning to write you later but now you are leaving and it"s time to tell you
something... I was the luckiest person to have you as a great person and oicemate.
Waktu yang kita habiskan bersama sangat berarti bagiku. We shared a lot in the
small room and I will never forget it. Our dinner time at our oice, ater long and
tiring days, our conversation about life and diferences, I enjoyed every moment
of it. Let"s have this riendship to eternity. I learned a lot rom you, about your
religion, about our diferences which I thought would be hard to understand, but
they just taught me that life is about accepting and respecting diferences. Semoga
pertemanan ini abadi ya. Walaupun kita berbeda, kita akan tetap saling berteman
sampai kapan pun. Love, Yuki. Begitu tulis Yuki di bagian akhir suratnya yang panjang.
158 Yuki akan selalu menempati satu ruang dalam hatiku. Meskipun hanya
setahun kebersamaan kami. Kebersamaan dengannya bisa dibilang sangat
unik dan meninggalkan kesan mendalam. Aku sangat mengagumi Yuki
yang jarang sekali terlihat emosinya. Ia benar-benar tipe wanita Jepang yang
pekerja keras, namun juga reserved (tidak terlalu memperlihatkan emosinya).
Aku masih ingat, bagaimana ia beberapa kali mengantarku pulang. Saat kami
pulang dari Gordy jam tiga pagi, dan saat itu winter. Perjalanan Yuki menjadi
lebih jauh jika harus melewati kompleks apartemenku, apalagi di tengah
udara dingin yang menggigit, namun Yuki selalu mengantarku, sambil
berkali-kali bilang, "I am worried about you, Kelly. Kamu sudah kuanggap
seperti adikku sendiri."
Kebersamaan itu akhirnya menjadi kian samar tertinggal di belakang.
Aku tahu pasti, saat kembali ke Gordy, aku akan merindukan kehadiran
mereka di 357. Kebersamaan di Gordy, di Donkey Caf?, di Baker Center,
di Alden. Semua kian menjauh, walau masih terukir nyata. Di ingatanku,
kebersamaan itu sederhana, namun sangat berbekas. Aku memajang kartukartu itu di meja belajar, bersama dengan kartu yang kudapat dari Verena,
Barbara, Asha, dan Asako.
Kusudahi lamunan, aku beranjak merebus air untuk menyeduh secangkir
kopi. IPhone-ku berbunyi. Ah, rasanya sudah lama sekali tidak mendengarnya
berdering. Selama di Hawaii, aku tidak terlalu sering menyalakannya. Sering
kali malah meninggalkannya di laci kamar. Aku mengangkat iPhone-ku.
"Hello, Mark, what"s up?"
"Ehm, Kel. Kamu baik-baik saja?" Pertanyaan Mark terdengar sedikit aneh
di telingaku. "Maksudnya gimana, Mark" Saya baik-baik. Kenapa?" Aku menjawab
dengan penuh kebingungan.
159 "Ehm?" Hanya itu yang terdengar di ujung sana. Aku menunggu sampai
Mark berbicara lagi. "Kamu tidak marah, kan" Kamu masih ingat telepon saya saat kamu mau
berangkat ke Hawaii?" Suara Mark masih terbata-bata.
"Oh, Mark. Come on. Tidak apa. Saya baik-baik saja. Saya sudah bilang
kan, bahwa saya tidak marah sama sekali" Saya mengerti." Aku akhirnya
mengerti mengapa Mark terbata-bata dan tidak seperti biasanya.
"So, we"re cool?" tanya Mark. Ada nada kelegaan dari suaranya.
"We are. We"re riends. Forever riends." Aku menegaskan.
Kami tertawa. Mark kemudian mengajakku bertemu besok pagi untuk
brunch bersama tunangannya yang masih akan tinggal di Athens sampai
minggu depan. "Okay, sounds good. I"ll see you at 10 tomorrow. Bye." Aku menutup
telepon. Aku bersyukur, setelah kejadian di semester lalu, Mark menelepon,
meskipun agak canggung pada mulanya. Mudah-mudahan saat kami
bertemu nanti, kami tidak akan kaku satu sama lain.
Sinar mentari sudah tidak lagi menembus jendela kamar. Matahari
musim gugur tidak seagresif musim panas. Udara musim gugur di bulan
Agustus tidak lagi terlalu panas, malah cenderung sejuk. Dari balik jendela
kamar, aku menatap Bukit Hocking yang ternyata kurindui, setelah hampir
tiga bulan tidak melihatnya. Aku menyeduh teh. Untuk kunikmati sambil
menikmati bukit ini. Saat aku hendak menaruh iPhone-ku, aku baru sadar, ada satu pesan yang
sudah kuterima sejak masih di Honolulu. Karena kesibukan yang begitu
padat dan adaptasi dengan dunia baru, aku menjadi lengah untuk sekadar
160 mengecek SMS yang dikirim beberapa teman SMA. IPhone tidak pernah
kunyalakan. Di saat aku selalu keep up dengan kehidupan baruku, tidak sadar aku
perlahan meninggalkan rutinitas lamaku. Sejak aktif di group teman-teman
Linguistics, tanpa kusadari, aku telah jarang membaca group teman-teman
SMA-ku. Aku perlahan menjadi makhluk asing untuk satu dunia yang dulunya
kuakrabi. Saat aku mengejar dan menangkapi jutaan pesona yang ditawarkan
oleh dunia baru, aku merasa kesulitan kembali ke dunia yang lebih dari dua
puluh tahun kuhirup udaranya. Maybe this is what we call as growing apart. We
all grow, but we grow apart. Aku menyadari sepenuhnya, bukan jarak yang
membuat sebuah hubungan menjadi hambar, tetapi perbedaan kedua pihak
dalam menyikapi satu permasalahan. Satu ide tentang hidup.
Tidak jarang, aku merasa terasing sendiri dengan topik yang temanteman SMA diskusikan. Aku merasa hal itu tidak lagi penting. Lain waktu,
aku menjadi terbungkam, karena sadar betul pendapatku hanya akan
menyebabkan outlet emosi beberapa teman terbakar. Maka aku menjadi
pembaca, tanpa mengeluarkan pendapat. Saat itu aku ingin sebuah obrolan
ringan saja, setelah demikian penat dengan hari-hariku. Di lain pihak, aku
dan duniaku sudah bergerak ke arah yang berbeda. Aku merasa, aku dan
beberapa teman seperti tidak lagi mempunyai satu irisan yang sama. Satusatunya yang masih mengikat adalah kenyataan, bahwa kami telah berbagi
hidup. Berbagi pengalaman bersama selama periode tujuh tahun hidupku.
Saat aku ingin berbagi tentang dunia yang sedang kuhadapi, aku tahu
respon yang kuharapkan tidak akan pernah kudengar. Kata-kata yang menjadi
keseharian dalam hidupku, tanpa disadari adalah kata-kata yang sedemikian
asing bagi beberapa teman. Aku merasa termarjinalisasi dari kumpulan ini.
161 Aku harus mendengarkan, agar tidak terlalu banyak hal yang keluar dari
mulutku. Aku lakukan itu agar jarak di antara kami tidak membesar. Aku
tidak siap dicap sombong. Untungnya, mereka yang benar-benar sahabatku
masih sama hangatnya. Aku buka SMS itu. Kubaca. Aku tahu, aku belum siap kehilangan
kehangatan pertemanan teman-teman dari masa laluku. Mereka mungkin
hadir di satu bagian masa lalu, tetapi mereka tidak pernah menjadi bagian
yang ingin kuhapus. Sama sekali tidak. Aku belum bisa kehilangan canda tawa
dan obrolan-obrolan mereka di benua sana, saat kejenuhan melingkupiku.
Aku masih selalu merindukan guyonan Novi, candaan jayus ala Dika,
seriusnya postingan Rima, dan sejuta kelucuan lainnya. Saat kubaca pesan
yang dikirim Lisa, aku tak kuasa menahan sedih dan terkejut. Malam itu
menjadi satu malam yang begitu menyedihkan. SMS itu berisi kabar duka
yang dikirim oleh Lisa dan Kiki.
Panik dan sedih. Aku mencoba menelepon nomor Lisa dan Kiki di
Indonesia dan beberapa teman lainnya, tetapi tidak ada jawaban. Mungkin
karena masih Subuh di sana. Lisa bilang, ia sudah beberapa kali mencoba
meneleponku, juga Raisha, namun tidak ada satu pun balasan. Ia juga sudah
meninggalkan pesan di YM. Sampai saat ini, aku masih belum sempat log
in ke akun YM. Cepat aku log in ke email yahoo. Email yang sudah berbulanbulan tidak kubuka.
Aku membalas email Lisa. Air mataku tak mampu kubendung. Aku
menyesal. Kusalahkan diri sendiri. Aku terlalu sibuk, sampai lupa untuk
sekadar menoleh sebentar ke satu bagian penting dalam hidup. Aku telah
kehilangan tiga bulan. Rena mengalami kecelakaan saat perjalanan tugas di
Papua. Sampai saat ini dalam keadaan koma.
162 Meski terlambat, aku mengirimkan email dan memesan sekeranjang
bunga mawar putih dari sebuah website. Lengkap dengan kartu. Kudoakan
agar Rena lekas sembuh dan kembali pulih.
Entah teman macam apa aku ini. Seorang teman dekat sedang meregang
nyawa di belahan dunia sana, aku terlambat tahu sampai berbulan-bulan
lamanya. Di antara semua kegundahan, aku ingin sekali mengadukan
perasaanku. Saat kulihat Lantana online, aku dengan releks memilih nama itu
sebagai outlet untuk mengungkapkan perasaanku. Aku tidak tahu mengapa
nama itu lagi yang terpilih.
Salam, Lanta. Kamu lagi apa" Aku lagi sedih. Rena kecelakaan tiga bulan lalu.
Sampai saat ini masih koma dan hidupnya tergantung dengan mesin. Dan aku
baru tahu malam ini, padahal Lisa dan beberapa teman lain sudah mengirimkan
pesannya sejak tiga bulan lalu. Aku jahat banget. Aku kejar kehidupan baru di
depan mataku, namun aku seperti kehabisan napas untuk menoleh ke belakang.
Apakah aku pantas mendapatkan perhatian sedemikian banyak dari sahabatsahabatku, yang sejak dulu telah berbagi cerita denganku"
Mereka yang telah menjalani kisah pertemanan denganku hampir sepertiga
usiaku ini, aku pinggirkan tanpa pernah kusadari. Aku harusnya dihukum. Tapi
aku juga tahu, aku tidak akan pernah sanggup jika mereka meninggalkanku. Aku
harus gimana, Lanta" Saat aku tahu Rena mengalami kecelakaan, aku terlambat
tahu tiga bulan! Tiga bulan! Kalau Rena mau memecatku dari datar sahabatnya,
rasanya aku tidak bisa menguggat, dan memang tidak punya hak untuk itu. Aku
harus gimana, Lanta" Aku tahu Rena akan selalu memaakanku jika ia bangun
nanti. Hatinya seluas samudra. Sikapnya selalu bijaksana dari dulu. Kamu masih
ingat Rena, kan" Kita sering rapat di rumahnya saat sekolah dulu. Dan saat aku di
sini, meskipun tidak terlalu intens, kami masih suka bertukar kabar lewat email.
163 Memang tidak seintens seperti dengan Raisha, tetapi Rena tetap memiliki
ruangannya sendiri di hatiku. Ia yang bolak-balik datang menjenguk Ibu dan
memastikan Beliau baik-baik saja, saat Bapak telah meninggal. Ia juga yang
membantu mengurus pemakaman Bapak, mengirim makanan saat tujuh hari,
empat puluh hari Bapak. Ia juga yang mengantar Ibu saat Ibu sakit. Karena
kebaikannya, aku semakin merasa tidak pantas menjadi sahabatnya. Saat ia
mengalami satu kejadian yang paling kritis dalam hidupnya, aku tidak ada
di sisinya. Dan lebih buruknya, aku baru tahu tiga bulan kemudian. Aku harus
gimana, Lanta" Kepada Lanta, aku bisa mengungkapkan semuanya. Bahkan dengan
pertanyaan yang sama dan itu-itu saja. Isi cangkir teh itu hampir habis, seperti
energi pemiliknya. Dan seperti yang lalu, email itu pun urung dikirimkan.
?"" 164 9.Ode untuk Bapak 165 Aku asyik menulis di senja ini, di sebuah warung kopi lokal. Sambil melihat
jendela dan jalanan yang lengang. Kadang ada 2-3 orang berjalan. Sejak
pertama kali diajak Yuki ke kedai kopi ini, aku tahu aku akan kembali ke sini.
Donkey Cofeshop, itulah namanya. Sebuah kedai kopi yang sangat dicintai
oleh mahasiswa kampus ini, juga oleh penduduk lokal. Selain nyaman,
mereka juga menyediakan berbagai jenis kopi fair trade dan berbagai kue.
Kopi ini terletak di Downtown Athens. Tempat favorit mahasiswa belajar
dan hang out. Jumlah pengunjung Donkey akan bertambah dua kali lipat saat
ujian tengah dan akhir semester. Kedai ini buka 24 jam. Mocha Sumatera
adalah salah satu jenis kopi yang paling diminati di kedai ini. Aku jadi bangga
juga saat membacanya. Awal musim gugur. Hujan sudah turun sejak satu jam tadi. Ditemani
empat mahasiswa lain yang juga sedang berjibaku dengan pekerjaan mereka
masing-masing, aku asyik menulis sambil ditemani lagu-lagu Ebiet. Entah
kenapa, Ebiet yang di-shule oleh iPod-ku sore hari ini. Mungkin karena
aku rindu Bapak. Rindu teramat sangat. Aku rindu obrolan kami. Bapak
yang mencintai Ebiet. Aku yang mencintai Bapak. Entah mengapa, sore ini
pikiranku hanya untuk Bapak.
Persembahan cinta bagi seorang sosok sederhana. Seorang guru SD yang
tidak bergaji besar. Alhamdulillah, cukup untuk hidup. Aku di sini sekarang,
saat ini, menempuh hidup dan berusaha mewujudkan cita-citaku. Mungkin
tidak pernah terlintas di benak Bapak, bahwa salah satu anaknya akan berada
sangat jauh dari tanah air tercinta. Tidak pernah.
Aku memandangi iPod-ku. Lamunanku membawa pada kenangan masa
lalu, saat aku merengek minta dibelikan walkman. Saat aku baru masuk kelas
1 SMA, aku ingat hampir semua anak memiliki walkman. Hanya aku yang
belum punya. Aku sadar betul, sekolah ini penuh dengan anak-anak orang
166 kaya. Namun, aku tidak pernah tumbuh menjadi anak yang minder. Aku
bukan berasal dari keluarga yang berkelebihan, tapi juga tidak berkekurangan.
Saat aku minta walkman, Bapak yang sejak kecil mengajarku untuk menabung,
memintaku untuk menabung selama 3 bulan. Aku juga membantu di warung
selama hari Sabtu dan Minggu, demi mendapat upah. Upah itulah yang aku
simpan selama tiga bulan, sampai akhirnya aku bisa membeli sebuah walkman.
Bapak yang mengantar ke Pasar Agung untuk membelinya. Sebuah walkman
merek Aiwa warna abu-abu hasil jerih payahku.
Kini aku sudah memiliki iPod. Yang kudapat sebagai hadiah dari membeli
macbook. Hasil beasiswa dan bekerja di dining hall dan perpustakaan,
meskipun hanya part timer.
Lamunan tentang Bapak ternyata belum selesai sampai di situ. Mungkin
sore yang basah karena hujan, dan Athens yang dingin dan berkabut,
membuat suasana hatiku menjadi demikian sendu. Aku meninggalkan
laptopku dan berjalan mendekati jendela, sambil menghirup kopi espressoku. Aku kembali mengingat Bapak. Mengingat Bapak adalah mengingat
kesederhanaan Beliau. Bapak selalu mengajarkan aku dan Uni untuk selalu
menabung jika kami ingin membeli sesuatu. Bapak juga tidak pernah marah
jika aku berbuat salah. Bapak akan datang ke kamarku. Mengajakku bicara
dari hati ke hati. Aku masih ingat benar bagaimana wajah Bapak begitu sedih saat aku
meminta sebuah komputer untuk kepentingan kuliahku, dan Bapak cuma
bisa bilang, "Kalau Bapak ada uang, pasti Bapak belikan, Nak. Tapi Bapak
tidak ada uang. Unimu sebentar lagi akan menikah dan pasti perlu uang.
Kalau tahun depan, bisa" Insya Allah Bapak nanti menabung lagi."
"Kelly kan nggak pernah minta beli apapun, Pak. Komputer ini, Kelly
perlu. Waktu walkman pun, selain kerja di warung Bapak, Kelly juga menabung
167 uang jajan. Makanya Kelly jalan kaki ke sekolah dan kalau istirahat memilih
tidak makan. Kelly juga nggak pernah meminta sepatu Nike, Reebook, dan
Adidas seperti yang dipakai teman Kelly. Kelly nggak protes saat beberapa
teman mencemooh sepatu merek lokal yang dipakainya. Kelly nggak pernah


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyusahin Bapak atau Ibu, kan" Kelly juga nggak pernah jajanin uang sekolah
atau uang kursus demi beli sepatu atau tas mahal. Kelly nggak pernah, Pak.
Sekarang Kelly perlu sekali komputer. Dan Kelly tahu Bapak ada uang. Tapi
Bapak malah belain pernikahan Uni." Tangisku pecah.
Waktu itu aku merasa Bapak tidak adil. Aku marah. Aku menolak untuk
mengerti. Aku membanting pintu kamarku. Aku mogok bicara selama dua
hari. Itulah episode terburuk selama hubunganku dengan Bapak. Belum
pernah sebelumnya. Saat esok hari pulang dari Rawamangun, kulihat
punggung tua Bapak yang membawa beras dari becak yang mengantarnya
dari pasar. Beras untuk dijual di warung. Aku tak kuasa menahan tangis.
Bapak yang sampai umur 50 tahun masih saja harus bekerja keras demi Uni
dan diriku. Esok sampai Minggu, saat aku di Depok, aku melihat Bapak dan
Ibu bangun lebih pagi. Macam jajanan di rumah ditambah. Bukan hanya satu
dua buah kue, tapi menjadi lima bahkan enam jenis kue. Es mambo bukan
hanya satu, tapi lima jenis. Bapak dan Ibu harus tidur lebih larut dan bangun
setidaknya jam tiga pagi demi itu semua.
Saat aku pulang minggu berikutnya, aku mendapati sebuah note di meja
belajar. Tulisan tangan Bapak.
Nak, sabar ya. Insya Allah kurang dari setahun. Insya Allah
Bapak belikan komputernya. Maafkan Bapak yang tidak mengerti
kebutuhan kamu, ya. 168 Aku tersedu-sedu membaca surat itu. Surat dari Bapak. Bapak yang tidak
pernah marah padaku. Bapak yang selalu mendengarkan ceritaku. Sejak saat
itu, aku bertekad untuk tidak merepotkan. Aku bertekad membantu Bapak
dan Ibu agar mereka tidak perlu lagi bekerja demikian keras. Aku mulai
menerima les privat dan mengajar di sebuah lembaga bahasa bergengsi. Aku
ikuti semua tes penerimaan. Selalu diterima dengan hasil gemilang. Masih
terbayang bagaimana bangganya Bapak saat kuberitahu tentang itu. Dengan
gaji pertamaku, aku akhirnya bisa membeli sendiri komputer pertama. Bapak
ingin ikut menyumbang saat itu.
"Terima ya, Nak. Kamu kan masih tanggung jawab Bapak."
Aku mengambil amplop yang Bapak kasih. Aku tahu itu hanya
menutupi seperempat saja dari harganya. Tetapi melihat Bapak yang ingin
membahagiakan anaknya, aku tak sampai hati menolaknya. Uang itu yang
kemudian kupakai untuk membuka tabungan haji buat Bapak sebelum aku
pergi ke Amerika Serikat. Walau akhirnya tidak pernah dipakai oleh Bapak.
?"" 169 170 10.Ramadhan dan Alunan Rindu 171 Awal Ramadhan, Akhir Musim Panas, dan Awal Musim
Gugur, 2007 Dua minggu lagi, aku akan menjalani Ramadhan kedua di negeri jauh.
September yang harusnya ceria. Rasanya buatku tidak demikian. Untuk kali
kedua, aku harus merasakan lagi Ramadhan tanpa sahur yang hangat dan
kebersamaan saat berbuka puasa. Ramadhan tanpa kepulan nasi hangat Ibu.
Tanpa sepiring rendang. Tanpa sepanci gulai ayam. Tanpa sepiring daging
balado. Ramadhan yang kujalani hampir 15 jam, di tengah suhu Kota Athens
yang menghangat. Aku masih ingat pengalaman pertama bulan Ramadhan
jauh dari rumah, setahun lalu. Ramadhan tanpa kolak ubi, tanpa suara bedug,
dan tanpa suara azan dari masjid. Kerinduan akan suasana Ramadhan di
Depok begitu menyayat. Aku rindu mendengar azan yang syahdu. Aku
rindu suasana kebersamaan. Aku rindu melihat barisan anak kecil yang
berbondong-bondong ke mushola. Aku rindu.
Aku masih ingat, aku menangis saat menyiapkan sahur sendiri di tengah
malam, setelah pulang dari Gordy. Aku teringat akan Ibu yang tidak pernah
lupa memasakkan seluruh keperluan Ramadhan untukku, Bapak, dan Uni.
Aku juga tidak dapat menahan kesedihan, saat mengingat Ibu dan Uni yang
sahur dan berbuka tanpa kehadiran Bapak. Sambil menggoreng, aku tidak
kuasa mengingat Ibu yang bangun mulai dari jam dua pagi. Demi memasak
ayam goreng balado dan gulai daun singkong kesukaan kami.
Saat harus makan sahur sendiri untuk pertama kalinya, aku masih saja
menangis. Kuhapus air mataku mengingat kenangan Ramadhan terakhir
bersama Bapak. Bapak yang selalu memimpin doa sebelum kami makan
bersama. Ramadhanku kali ini harus kujalani sendiri dan dalam sepi.
Kebersamaan bersama almarhum Bapak, Ibu, dan Uni masih terbayang jelas
di benakku. 172 Dalam sujud panjangku Subuh itu, saat mendengar suara burung yang
asyik berkicau di balik jendela,aku meminta pada Tuhan, agar Ramadhanku
kali ini terjalani dengan lancar dan berkah.
"Tuhan, ini aku datang padamu. Aku yang pernah lupa akan kuasamu
dan lalai mengingatmu. Kuatkan dan mudahkan aku Tuhan dalam menjalani
Ramadhan di negeri jauh. Di saat suhu sedang terasa panas sekali dan
puasaku yang teramat panjang."
Aku masih asyik menghabiskan malam dalam sujud panjangku. Hanya
ada aku dan Tuhanku. Sampai mentari datang dan langit Athens perlahan
mulai terang. Aku tahu aku menyimpan kerinduan teramat sangat pada
kampung halaman, pada Ibu, pada Uni, juga terhadap almarhum Bapak. Saat
semua gundah menyelimutiku, aku masih saja mengingat sosok yang selama
beberapa hari terakhir ini muncul lagi dan mengusik hariku. Satu sosok yang
selalu ingin kuceritakan tentang sedihku, gundahku, dan kerinduanku,
Dear kamu, Entah siapa pun kamu, suatu saat nanti catatan tentang hidup, perjalanan, dan
pertualanganku, aku ingin kamu membacanya. Kali ini, aku ingin bercerita tentang
kerinduanku pada Depok. Pada suasana Ramadhan yang hanya bisa dinikmati
seutuhnya di sana, bersama Ibu, bersama Bapak, Uni, bersama keluarga.
Ramadhanku kali ini akan terlalui lagi tanpa kolak pisang atau semangkuk soto
ayam, rendang, atau ayam balado yang selalu menjadi menu utama awal puasa.
Segelas sirop yang selalu tak sama rasanya bila aku atau Uni yang membuat.
Uni selalu bilang,"Kenapa ya, kok rasa siropnya beda kalau Ibu yang bikin?"
173 Ramadhanku kali ini, seperti beberapa tahun lalu, akan terlewati tanpa
sambal goreng atau kerupuk mie buatan Ibu. Tapi seperti Ramadhan di tahuntahun lalu, Ramadhanku tidak akan terlewati kecuali tanpa doa Ibu.
Diary merah jambu memiliki lagi satu lembar kisah.
Esoknya, Lantana mengirimkan sebuah pesan pendek di Yahoo
Messenger-ku. LantanaRaya: Kelly, bangun sahur. Sudah jam 3
kan, di sana" Aku temenin sambil kuliah.
Atau kali lain, LantanaRaya: Kelly, sudah sahur" Jangan lupa
Subuhnya, ya. Aku temenin sambil programming.
Biasanya, aku akan membalas dengan ucapan terima kasih. Tapi kali ini
aku enggan. Bukan karena aku tidak ingin ngobrol dengan Lantana. Tetapi,
aku selalu kehabisan kata dan ide jika berbicara dengannya. Aku hanya
melihat sekilas, untuk kemudian tidur lagi.
Puasa di negeri ini memang berat. Harus dijalani sendiri. Lebih panjang
waktunya. Lingkungan tidak ada yang berpuasa, tetapi aku menikmati setiap
harinya. Tak terasa tiga minggu sudah terlewat, minggu depan sudah Idul
Fitri. Hari-hari berjalan seperti biasa. Beberapa temanku datang padaku.
174 "Ada yang bisa kubantu, Kelly" Agar kamu lebih mudah dalam
menjalankan puasamu."
hue, Mark, Bai, Diego, Alice dan Rose lagi-lagi membuatku terharu.
Aku menggeleng. "Tidak ada. Terima kasih, ya. Aku tidak ingin puasaku merepotkan orang
lain. Aku tidak minta diperlakukan istimewa. Kalian tetap bisa makan dan
minum seperti biasa di depanku. Jangan karena aku berpuasa, kalian menjadi
menahan makan dan minum juga. Itu bukan makna berpuasa. Tetaplah
kalian berlaku seperti biasa, itu malah membantuku menambah pahala,"
kataku sambil tersenyum. Aku terharu dengan perhatian mereka.
Hari ini hari Sabtu. Biasanya aku ke Donkey. Tetapi karena sedang
berpuasa, maka aku putuskan untuk bekerja di studioku saja. Di antara paperku, kusempatkan menelepon Ibu dan Uni. Juga, chat dengan teman-teman
di belahan dunia sana. Di tengah chat-ku dengan Inoy, Lisa, dan Windi. Ada
pesan lain yang tiba-tiba muncul.
LantanaRaya: Assalamu"alaikum, Kelly. Udah lama
kita nggak ngobrol ya"
Kelly_2907: Wassalam, Lanta. Iya. Elo yang tibatiba hilang. Apa kabar"
LantanaRaya: Iya, maaf ya. Waktu itu tiba-tiba
Mamaku telepon dari Indonesia. Aku jadi lupa
pamit ke kamu. 175 Kelly_2907: Nggak apa-apa.
Pembicaraan itu berjalan dengan membosankan. Lantana masih saja
Lantana yang dulu, yang tidak tahu mesti ngomong apa. Padahal, dia yang
menyapa terlebih dahulu. Biasanya aku selalu inisiatif agar pembicaraan
tetap berjalan. Aku paham dia pendiam, juga pemalu. Tapi hari ini aku tibatiba malas. Aku jadi ingat, aku pernah dituduh mengejar-ngejar Lantana.
Gadis-gadis yang satu organisasi dengan Lantana dulu mengira akulah
yang mengejar-ngejar Lantana. Mereka tidak tahu bahwa Lantanalah yang
mengajakku makan siang di hari ulang tahun kami. Lantana juga datang
ke rumahku di Sabtu siang, dengan alasan mau mengerjakan PR bersama.
Tapi aku selalu tidak yakin dengan semua sikapnya. Sikap Lantana terlalu
ambigu. Dari luar, kecuali sahabatnya, semua akan berpikir bahwa Lantana
bersikap biasa saja kepadaku. Malahan, aku yang nampak seperti tergila-gila
pada lelaki bermata tenang itu. Dari dulu sampai saat ini, Lantana juga tidak
pernah berkata apa-apa padaku. Tidak sedikit pun.
Akhirnya pembicaraan kami terhenti. Aku sebenarnya masih ingin
bertanya tentang banyak hal. Tentang kado. Tentang sikap Lantana yang tibatiba menjauh dan sekarang tiba-tiba datang lagi. Tapi semua hanya terhenti
di tenggorokanku. Ehm, kado. Ya, kado itu masih misteri hingga saat ini.
Pembicaraan di malam Ramadhan penghabisan itu, menjadi
pembicaraan terakhir di minggu ini. Sampai saat malam takbiran, aku
menerima sebuah email yang dikirim oleh Lantana. Tidak khusus untuk
diriku. Lantana mengirimkan ke beberapa teman lain. Ucapan selamat Idul
Fitri dan permintaan maaf lahir dan batin.
Hari Idul Fitri pun tiba. Lagi-lagi aku harus merayakannya tanpa Ibu,
tanpa Uni. Tentu saja tanpa Bapak juga. Lebaran tanpa opor dan ketupat
176 sayur Ibu. Di antara rasa rinduku terhadap keluarga dan tanah air, aku tetap
merasa bersyukur bisa merayakan hari itri ini. Dalam perayaan sederhana.
Hari itu, 12 Oktober 2007, sholat Ied kedua jauh dari rumah. Sholat Ied
di Islamic Center di Athens, kota kecil di negara bagian Ohio. Untuk kedua
kali aku merayakan bersama komunitas muslim di kota ini. Komunitas
yang terdiri dari pelajar ataupun keluarga dari Timur Tengah, Indonesia,
dan Malaysia. Islamic Center kota ini tidak terlalu besar. Bagian wanita dan
pria terpisah. Tempat sholat wanita ada di bagian atas. Setelah selesai sholat
Idul Fitri, kami menyantap makanan dengan beberapa keluarga. Keluarga
ini secara sukarela menyumbangkan beberapa makanan. Makanannya
lumayan variatif, mulai dari cookies, jus, makanan besar khas Timur Tengah.
Meskipun tidak semeriah perayaan di Indonesia, tetapi aku cukup bersyukur
bisa merayakan hari ini. Lebaran di Athens kali ini adalah saat hari perkuliahan. Setelah selesai
beramah-tamah sebentar sambil menikmati hidangan yang tersaji, aku tidak
bisa berlama-lama di masjid. Sholat dimulai pukul 9 pagi lalu saat selesai
jam 10, aku sudah harus bersiap untuk mengajar jam 11. Untungnya muridmurid kelas pagi paham, sehingga aku akan mengajar mereka sore ini. Kelas
pengganti. Setelah selesai bersalaman dan mengucapkan Selamat Idul Fitri
dengan beberapa teman Indonesia dan kawan dari Timur Tengah, aku
bergegas menuju kampus. Di perjalanan antara masjid dan kampus, aku
membayangkan betapa meriahnya perayaan di Depok. Mengunjungi sanak
keluarga dengan makanan yang tumpah ruah.
Di sini, di negeri ini, setelah selesai sholat pun, aku harus beraktivitas
seperti biasa. Tidak ada yang istimewa. Alam sekitarku tidak gempita
menyambut hari istimewa ini. Aku rindu. Rindu pada bau hujan di tanah
lapang tempatku bersujud. Rindu pada orang-orang berwajah ceria dalam
177 pakaian terbaik mereka. Rindu suara takbir yang berkumandang semenjak
malam takbiran. Aku rindu pada anak-anak kecil yang berkeliling kampung
bertakbir memuji nama Tuhan. Aku rindu pada suara azan. Suara memuji
kebesaran Tuhan. Ah, Aku rindu!
Masih dalam rindu. Aku sampai di kampus. Setelah selesai mengajar,
aku menerima banyak ucapan selamat Idul Fitri dari teman-temanku yang
datang dari berbagai latar budaya dan negara. Juga dari para profesor. Mark,
hue, Elma, dan Bai memberikan sebuah kartu cantik dan balon-balon
yang ditaruh di mejaku. Aku sangat terharu saat melihat kejutan itu. Akiko
memberikan satu buah origami berbentuk burung. Alice memberikan
sebuah ucapan yang ditulis di atas foto yang dicetak. Foto Kota Koln di
Jerman. Kota cantik yang selalu ingin kukunjungi.
Perhatian semua teman sanggup membuat mataku berkaca-kaca. Aku
terharu. Saat Mark dan hue datang, aku tak kuasa untuk tidak memeluk
mereka. Antara menahan haru dan kerinduan akan suasana lebaran di
kampung halaman, juga atas perhatian teman-teman baikku ini. Aku
menangis sesenggukan. Mark dan hue menepuk-nepuk pundakku. Sekitar
10 menit. Keduanya membiarkan sampai diriku tenang.
"Are you okay, now?" Suara hue yang halus menyadarkanku untuk kembali
kepada kenyataan. Aku mengangkat wajah dan menyusut air mataku.
"Sorry. I am just so touched with you all. he cards, the balloons. Everything.
And I also miss my family. It"s a big day today. People celebrate it to the fullest.
Eating lots of good food, meeting families, and relatives. I miss that. Too much." Aku
terbata-bata. Aku rindu keluargaku dan suasana Idul Fitri di Indonesia yang
meriah. hue dan Mark menggamit lenganku, mengajakku ke kelas Research
Methods. Setelahnya, meeting dengan Linguistics Society. Sampai jam empat
178 sore, aku baru selesai. Hari ini terlalui dengan banyak rasa. Kerinduanku
pada rumah. Pada keluarga. Pada suasana Idul Fitri di tanah air. Bagaimana
pun, identitasku sebagai seorang muslim dari Indonesia melekat dengan
erat. Aku tidak bisa pungkiri, bahwa saat aku bangun pagi menuju ke Islamic
Center pagi ini, hatiku menjerit kenapa aku harus berada di benua ini hari ini,
saat ini" Kenapa aku tidak bersama keluargaku" Lebaran di negeri ini akan
terlalui seperti hari-hari biasa. Mungkin ini yang disebut sebagai cultural
shock, aku mencoba berteori. Aku tahu aku harus mulai bisa mengajak
komunikasi perasaan dan tubuhku untuk tidak terlalu banyak protes. I need
to embrace this whole diferent situation and articulate it well within my own mind.
Saat selesai sholat tadi, sesaat sebelum khatib naik mimbar, aku tidak lupa
memanjatkan doa. Untuk kelancaran studi dan kesehatanku. Untuk Bapak.
Untuk Ibu. Untuk Uni. "Well, Kelly, this is something that you have to pay. Ini pergorbanan. Tapi
akan ada hasil yang baik yang menunggumu."
Kataku mencoba menguatkan diri. Ini jalan yang aku pilih. Jalan yang
telah kuperjuangkan selama beberapa tahun. Mungkin ini yang dinamakan
pengorbanan. Dari kampus, aku tidak lupa mampir ke Donkey. Espresso, minuman
yang ingin kunikmati saat ini. Saat aku sedang sedikit gundah dan rindu.
Beruntung, aku memiliki teman-teman yang sangat perhatian. Aku masih
terharu dengan semua perhatian mereka. Setidaknya mereka membuatku
sedikit lupa pada sedihku.
Di Donkey, sambil duduk di bagian dalam kedai kopi nyaman ini, aku
memerhatikan pengunjung yang memenuhi tempat duduk. Sebagian dari
mereka sedang membaca. Sebagian lagi asyik dengan laptop mereka masingmasing. Sebagian lain sedang main game board dengan temannya. Sebagian lain
179 sedang membaca novel. Panggung yang biasanya diisi dengan pertunjukan gitar,
puisi, sore itu masih kosong. Mungkin nanti malam akan ada pertunjukan. Aku
menghabiskan tetes terakhir espresso. Lalu, beranjak pulang. Matahari sebentar
lagi akan meninggalkan langit Kota Athens. Langit merah saga itu sebentar lagi
akan ditemani oleh sang rembulan.
Setiba di Court Street, saat menyeberang jalan, aku melihat seorang
bapak tua yang sedang kampanye tentang perdamaian dunia. Bapak yang
simpatik dan selalu tersenyum. Aku beberapa kali menyapanya. Beliau akan


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membalas dengan sangat ramah. Banyak mahasiswa yang mengajaknya
mengobrol. Bapak tua yang hobi berkeliling dunia, membantu anak-anak
kecil, gemar berdialog tentang agama. Aku melambaikan tanganku. Bapak
tua itu mengeluarkan spanduk lainnya dari kantong jaketnya bertuliskan
Happy Eid, my Muslim riends.
Aku tersenyum sambil mulutku mengucapkan "hank you."
Pasti bukan hanya diriku. Ada ratusan teman muslim dari berbagai
negara yang terharu dengan ucapan simpatik itu. Begitulah seharusnya umat
manusia dalam menyikapi perbedaan. Bukan dengan angkat senjata, tapi
dengan saling menghormati.
Matahari sudah benar-benar meninggalkan langit Kota Athens. Ditemani
lampu temaram di depan gedung-gedung kuliah, aku akhirnya sampai di
kompleks Riverpark. Tiba di studion, aku segera mandi bersiap-siap makan
malam. Makan malam dengan Elma, Mark, Bai, Rose, Diego, Bastian, dan
hue. Untuk merayakan Idul Fitri kata mereka.
Saat makan malam, lagi-lagi aku terharu dengan persahabatan
antarbenua. Persahabatan yang meninggalkan banyak kesan dalam diriku.
Bertemu sebagai teman sekelas di departemen yang sama, kami datang dari
berbagai negara. Amerika, Rusia, China, Ukrainia, Panama, Peru, Jepang,
180 Kenya, Burkina Faso, Nigeria, Mesir, Lebanon, Brazil, Indonesia, dan
hailand untuk kemudian menjadi sahabat yang demikian compatible satu
sama lain. Cocok. Akrab. Hubungan persahabatan yang hangat.
Dengan mereka, aku bisa menjadi nyaman terhadap diriku sendiri.
Semua pun sama. Tidak ada yang ingin tahu akan urusan orang lain.
Tidak judgmental. Semua mengalir indah. Tidak dibuat-buat. Dalam
waktu kurang dari setahun, kami bisa menjadi demikian akrab. Seperti
teman lama, yang telah bersahabat selama puluhan tahun. Tidak ada
yang akan memandang aneh pada kelainan kulitku. Sungguh rasanya ini
adalah sebuah keajaiban. Setelah hampir sepuluh tahun hidup bersama kelainan ini, aku seperti
sudah punya cara sendiri untuk melihat apakah aku bisa berteman dengan
nyaman dengan seseorang atau tidak. Tanpa dipungkiri, semua orang yang
baru saja berkenalan denganku, mata mereka secara otomatis akan melihat
ke kulitku. Dari sorot mata mereka, aku bisa melihat sedikit, apakah mereka
akan menjadi teman baik atau sekadar kolega atau hi-riend saja. Dengan
teman-temanku ini, aku sama sekali tidak merasakan mata mereka yang jijik
saat memandang kulitku. Sama sekali tidak. Mereka memperlakukan aku
seperti bisa. Tidak ada yang istimewa.
Aku ingat, saat pertama kali bertemu, tidak pernah sekali pun mereka
membahas atau bertanya ada apa dengan kulitku. Kulit belang-belang karena
kehilangan pigmen. Semua berjalan normal saja seperti biasa. Sungguh bisa
bertemu dan berteman dengan mereka adalah salah satu berkah yang tak
putus aku panjatkan syukur kepada Allah.
Makan malam berjalan sangat akrab dan menyenangkan. Pilihan
kali ini adalah restoran Timur-Tengah. Aku dan Bai menikmati hummus
plate, pilihan kami malam ini. Elma dan Mark nampak menikmati kebab
181 yang mereka pilih. Bai dan Rose menimati couscous tabouli. Bastian hanya
memesan hummus salad. Ia tidak makan selain sayuran dan buah setelah
jam tujuh malam. Diego dan hue masing-masing memesan beef and chicken
shawarma. Mereka toast sambil mengucapkan "Happy Eid" untukku. Mereka
nampak menikmati red wine yang mereka pesan. Kali ini, aku memesan jus
anggur putih. Bentuknya seperti wine, namun tanpa alkohol. Diego bilang,
aku tidak boleh toast dengan air putih. Bad luck.
Mungkin yang kunikmati kali ini bukanlah sepiring opor ayam, atau
sepiring rendang, tapi kebersamaan ini mampu menyelimuti hatiku hangat.
Hangat sekali. Sampai tetes air mataku masih saja jatuh, saat mengingat
kebaikan teman-temanku. Teman-teman baru berbeda keyakinan. Berbeda
latar budaya. Pengertian dan toleransi mereka atas perbedaan lagi-lagi
membuatku terharu. ?"" 182 11.Pertanyaan Ajaib 183 Jadwal pagi ini, aku harus observasi kelas ESL (English as Second
Language), kelas bahasa Inggris untuk anak-anak internasional sampai
jam 10.00. Kemudian mengajar satu kelas Reading in ESL untuk program
persiapan anak-anak international menuju graduate school. Jam 12.00-13.00,
janjian makan siang dengan Rebecca. Seorang teman yang baru kukenal.
Jam 13.30 sampai 14.00 sore, kelas Language Testing. Aku membaca rentetan
kegiatan hari ini. Nanti malam aku harus zumba atau berenang, untuk
rereshing. Tiba di Gedung Gordy, aku menarik napas panjang. Mendaki Bukit
Morton ternyata belum menjadi kebiasaan yang menyenangkan bagiku,
hingga hari ini. Saat kubuka pintu utama, sebuah tangan menyentuh bahuku.
hue, temanku yang cerdas sedang tersenyum padaku. Tiba-tiba ,perasaanku
tidak enak. "Hello, let"s climb the stairs," sapanya dengan mata berbinar-binar.
Ah, I knew it! Kataku dalam hati. Aku benci naik tangga sampai ke lantai
tiga. Apalagi setelah mendaki Bukit Morton barusan. Aku mencoba meminta
belas kasihan lewat tatapan mataku. Sengaja kubuat sendu.
"Nope. I don"t give any mercy." hue menarik tanganku menuju tangga
sebelah kanan gedung. "hueyyyy, I just climbed that Morton Hill and am still out of breath. I wanna
take the elevator, please"." rayuku pada hue.
"Kelly, if you want to build endurance for your body, you need to do it
simultenously. Ayo naik tangga!Kalau kamu mau pingsan, nanti aku gotong."
hue masih berusaha meyakinkanku.
"Kalau aku pingsan atau kalau aku mau mati!" Aku memanyunkan
mulutku. hue tertawa. 184 "Okay, you can count on me. Come on, it"s only six lights of stairs away to the
third loor. It"s good for your heart." hue masih saja mencoba persuasif.
"Ya, ya, ya, memang bagus untuk jantungku, sih, tapi kan capek!", kataku lagi.
Aku berjalan pasrah, saat hue menarik tanganku menuju tangga. Aku
tahu bahwa hue sayang padaku. Tetapi, aku memang merasa ingin pingsan.
Mendaki Bukit Morton, lalu naik tangga menuju kantorku. hue sadar dan
paham betul dengan kondisiku. Ia tidak juga melepaskan tanganku. Dari
lantai satu sampai lantai tiga, hue terus memberikan motivasi agar aku tidak
kehilangan semangat. "You can do it, Dear Kelly." hue terus memberikan dukungan.
Terengah-engah aku melangkah. Saat kulihat cuma satu anak tangga
yang tersisa, aku mengumpulkan napas dan semangatku lagi. Wajahku sudah
terasa engap dan napasku sudah tidak karuan rasanya. Kalau saja hue tidak
memegang tanganku sejak awal tadi, aku pasti akan kabur! Sekarang aku
sudah mau pingsan! Napasku sudah habis.
"One more Kelly, and you"ll be proud of yourself."
Kata-kata hue terdengar samar-samar. Aku benar-benar hampir pingsan.
Jika tidak pingsan, aku hanya ingin merebahkan tubuhku sekarang, saat ini.
"hue, I"ll die. I"ll die. Soon. Right now."
Napasku tinggal satu-satu. Saat tiba di anak tangga terakhir, aku
menjejakkan kakiku pelan. hue pun bersorak. Aku mampu mengucap
syukur. Akhirnya aku sampai di depan pintu menuju lantai tiga. Aku masih
terengah-engah mengambil napas.
"Thue, ne-xt ti-me, don"t make me" do this." Aku berkata sambil
mengatur napas. 185 "I will continue doing this, of course. It was hard for you today, but it"ll be easier
by the day." hue mencoba meyakinkanku. Aku masih mengatur napas lagi.
"Yeah, but Morton Hill is too much already." Aku mencoba mengelak.
"Jika napas dan tubuhmu kuat, kamu harus melakukan dua-duanya,
mendaki Bukit Morton dan naik tangga di Gordy dari lantai 1 sampai lantai
3. Setiap hari!" hue kembali mengulang kata-kata yang sama.
"Okay. I"ll try to avoid you tomorrow!" kataku serius. Tidak bercanda.
Semoga aku tidak berpapasan dengan hue di depan gerbang besok pagi.
hue tersenyum, lalu tertawa. Aku menyeringai. Kami bersiap untuk
mengajar kelas ESL di jam pertama pagi itu.
Aku selesai dengan rangkaian kelas pagi. Saat makan siang, aku bersiap
ke food court di Baker Center. Aku ada janji dengan Rebecca, kawanku dari
Multicultural Center. Saat aku mengambil jaket dan syal dari balik pintu, aku
berpapasan dengan Haruka, teman sekantorku yang baru.
"Hi, Haruka, ogenki desuka" I didn"t see you earlier this morning."
Haruka tersenyum ramah. "Hi, Kelly-san. Genki desu. Yeah, saya tidak ada
jadwal mengajar pagi ini. Jadi saya datang agak siang. Saya begadang di Gordy
sampai jam 3 malam."
"Woooo, sugoi desu ne. Tapi, kamu tidurkan?"
"Tidur sedikit. Sekarang saya harus membaca untuk kelas Dr. Mike. Bye!
Ada nada mengantuk dari suara Haruka.
"Take care, Haru-san. Sampai ketemu satu jam lagi. Gotago now. Saya ada
janji makan siang dengan teman."
"Oh, enjoy, Kelly-san."
Bergegas aku menuju Baker Center.
186 Aku menikmati makan siang bersama Rebecca. Seorang kawan baru
yang sangat antusias mengenal Indonesia. Rebecca berasal dari satu kota
di Ohio, Cincinnati lebih tepatnya. Sejak ia kecil, ia dan keluarga sudah
gemar berjalan-jalan ke benua lain, seperti Eropa, Afrika, Australia,
beberapa negara di Pasifik, dan beberapa negara Asia. Namun, ia
belum pernah ke Indonesia. Pernah ke Malaysia. Saat kami bertemu di
pertemuan Global Connection, Rebecca mendekatiku. Kami pun berjanji
untuk makan siang bersama. Makan siang yang sangat seru, Rebecca
gadis Amerika yang teramat terbuka pikirannya. Mungkin karena dia
generasi ketiga yang menempuh pendidikan tinggi. Ia berasal dari
keluarga terdidik. Ia teramat sensitif dengan masalah dunia. Pendidikan,
kelaparan di Afrika, persamaan hak di Saudi Arabia, dan lain-lain. She is
very well-read. Ia sangat suka membaca buku.
Aku terkagum-kagum padanya. Selama makan siang, kami berdiskusi
tentang peranan wanita yang masih dianggap sebagai kaum marjinal di
beberapa negara dan sektor tertentu. Makan siang satu jam terlewati dengan
cepat. Tanpa terasa, sudah lebih dari satu jam kami berdiskusi hangat. Aku
harus kembali ke Gordy. Kuliahku sebentar lagi mulai. Sebelum pergi, kami
berjanji untuk bertemu kembali dua minggu lagi.
Aku meninggalkan Baker Center dengan perasaan bahagia. Khawatir
terlambat, aku memeriksa jam, masih ada 10 menit sebelum kelas dengan
Dr. Javier dimulai. Saat aku melihat iPhone-ku, aku melihat sebuah pesan dari
Yahoo Messenger. LantanaRaya: Kelly, kapan nih kita ngobrol lagi"
Oh ya, kamu lulus kapan" Nanti aku bakal dapat
undangannya,nggak" 187 Aku mengernyitkan kening. Undangan" Undangan apa sih" Masih
bingung, aku memasukkan kembali iPhone ke jaket. Nanti malam saja
kubalas pesan yang tidak lazim ini.
Aku berjalan cepat menuju Gordy, lima menit lagi perkuliahan mulai.
Aku tidak ingin terlambat ke perkuliahan. Tiba di Gordy, aku melirik kanan
kiri untuk memastikan tidak ada hue. Saat kurasakan keadaan aman, aku
bergegas menuju elevator sambil bernapas lega. Aku pasti akan terengahengah di kelas kalau saja tadi bertemu hue. Di lit, aku tersenyum-senyum.
Saat tiba di lantai tiga, aku keluar dari pintu lit. Dan kulihat seseorang yang
membawa folder dan berjalan ke arahku.
"hat"s okay. Kelly. Tomorrow, you"ll climb the stairs again." hue tertawa.
Aku meringis lagi. "Okay, see you in class soon." Aku bergegas ke kantor untuk mengambil
buku dan menuju ruang 301.
Ruang 301 sudah penuh. Kelas ini memang tidak hanya mata kuliah wajib
bagi anak DepartemenLinguistik. Tetapi juga untuk mahasiswa curriculum
and instruction. Karena level 600, maka hanya graduate students (mahasiswa
pasca sarjana) yang boleh mengambilnya. Aku duduk di antara Elma, Mark,
dan hue. Kami berbincang seadanya, sebelum Dr. Javier datang.
Ruang kelas 301 ini adalah ruangan yang paling kusuka. Ruangan
ini terletak di paling ujung. Yang membuatnya istimewa adalah ruang ini
memiliki banyak jendela. Aku sering memandang jendela dari tempat
dudukku. Juga hari ini. Hari yang mendung. Penghujung musim gugur. Suhu
sudah mencapai minus celsius. Pohon yang tumbuh tepat di depan Gedung
Gordy masih cantik. Semua daunnya sudah berubah warna menjadi merah.
Saat mataku masih asyik menikmati indahnya pohon berwarna merah itu,
aku mendengar Elma bergumam lumayan keras.
188 "OH MY GOD, he is so hot."
Aku mengalihkan pandanganku ke depan kelas, Dr. Javier berjalan di
depan kelas dengan memakai sweater marun. Profesor yang satu ini memang
selain produktif, juga goodlooking. Tiap tahun Beliau menghasilkan buku dan
puluhan artikel yang di-published di jurnal internasional. Tidak heran jika
banyak yang kagum, suka, bahkan jatuh cinta pada profesor produktif nan
baik hati ini. Aku memerhatikan wajah beberapa temanku yang masih melongo
memerhatikan penampilan Dr. Javier yang lagi-lagi lain dari biasanya.
Kejadian dua kuarter lalu terulang lagi. Kejadian turtle neck abu-abu.
Beliau yang biasa memakai kemeja lengan panjang dan tidak
menampilkan kegagahan tubuhnya, hari ini memang lain daripada yang lain.
Sweater marun itu mampu mencuri perhatian mahasiswi dan mahasiswa
yang hadir di kelas. "OH MY GOD." Itu suara Jessica yang matanya tidak lepas memandang
ke arah Dr. Javier. Aku cekikikan pelan. Aku menoleh pada Jessica yang kali ini tidak
mengucapkan apa-apa selain melongo. Mulut mungilnya terbuka lebar
selama beberapa menit. Sungguh sebuah hiburan sendiri jika melihat kawan
sekelas yang demikian head over heels pada dosen satu ini. Kulirik hue yang
asyik memandang bagian lain dari Dr. Javier.
"Hey, what are you looking at?" tanyaku pelan.
"His pants. He"s wearing a new pair of pants." hue menjawab sambil
matanya tak lepas memandang ke arah celana dosen tampan itu.
"Haha, you are crazy. Everyone is looking at his sweater, you"re checking out his
pants." Aku menggodanya.
189 "Yes, that"s the most important part of him." Thue mengedipkan matanya
ke arahku. Aku tak sanggup menahan tawa. Saat aku tertawa, tepat saat Dr. Javier
membuka kuliahnya. "Good aternoon all. How are you" I hope you had a great weekend. Is there any
question, Kelly" Are you okay?" Dr. Javier bertanya dengan ramah, sambil tak
lupa bibirnya menyunggingkan senyum kepadaku.
Aku terdiam. Aku merasa tidak enak hati. Cepat aku menguasai keadaan.
"Oh, I"m sorry. I"m ine. I don"t have any questions."
Aku melirik hue. hue masih asyik memandang celana baru Dr. Javier.
Aku membuka folder, lalu mencatat penjelasan Dr. Javier. Kuliah yang
menarik tentang beberapa jenis tes di kelas bahasa.
Saat sedang mencatat, mataku tertahan pada seorang anak yang duduk
di tengah dan memakai topi. Aku mencolek Mark dan hue. Tidak lama
kemudian, kami tertawa-tawa di balik buku catatan kami. Untuk kesekian
kalinya di kelas ini, kami selalu asyik menyaksikan Yumiko. Mahasiswa dari
Departemen Education, yang selalu tidur di balik topi yang dipakainya. Yang
membuat kami selalu tertawa adalah keberanian gadis Jepang ini untuk selalu
duduk di tengah kelas. Bukan memilih duduk di belakang jika memang ia selalu
merasa mengantuk. Kepala Yumiko masih terantuk-antuk dengan topi yang ia
sengaja pakai untuk menutupi sebagian wajahnya. Mark, hue, dan aku pun tak
habis-habis menahan senyum. Aku sudah tidak bisa menahan tawa. Aku pamit
ke restroom, untuk sekadar melepaskan tawa. Di kamar mandi, aku puaskan
ketawaku sejadi-jadinya. Tawa yang tertahan atas sweater Dr. Javier, kelakuan


Menembus Janji Matahari Karya Nelly Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teman-teman sekelas, mata hue yang tak habis-habisnya memandangi celana
baru Dr. Javier, dan Yumiko yang tertidur di tengah kelas.
190 Hari itu pun terlalui dengan banyak cerita. Tepat jam lima, aku
meninggalkan Gordy untuk ke pertemuan mahasiswa international di
Perpustakaan Alden. Setelah pertemuan itu selesai, aku bersiap pulang.
?"" 191 192 12. Apakah Kamu Nyata" 193 Untuk makan malam, aku selalu berusaha untuk makan sehat. Kali ini,
aku membuat jus kiwi, wortel, dan seledri. Setelah semua dimasukkan ke
dalam blender, aku menyalakan laptop untuk sekadar mendengarkan musik
saat makan malam. Sebuah pesan dari Yahoo Messenger pun popped up. Dari
Lantana. Pesan yang tadi siang sudah kubaca. Sosok itu muncul lagi. Lalu,
aku pun membalasnya. Kelly_2907: Hi, Lantana. Sorry baru bales. Gue
baru sampe rumah nih, dari kampus seharian. Biasanya juga masih sampe subuh sih di kampus,
tapi hari ini capek banget, jadi pulang cepet.
Itu undangan apa ya" Undangan sunatan" Apa undangan ulang tahun" Gue nggak pernah dirayain
tuh ultahnya, hehehee. Aku membaca lagi jawabanku. Merasa takjub aku bisa menjawab
selugas itu. Tanpa dipikir lagi, aku mengirimkannya. Tak lama kemudian,
lelaki itu membalas lagi sampai akhirnya kami terlibat pembicaraan
dunia maya antarbenua. LantanaRaya: Hi, Kelly. Nggak apa-apa. Wah capek
banget dong ya. Sibuk banget. Ehm, undangan pernikahan dong, hehe. Abis baca milis teman kita
nih barusan, udah banyak yang kirim undangan ya.
Kamu kapan, Kel" 194 Kelly_2907: Hehehehe, gue belum tau. Pacar aja
belum ada. Lantana tidak langsung menjawab. Aku menunggu beberapa saat.
Belum ada jawaban. Aku beranjak mengambil jus. Makan malamku. Sampai
aku selesai mandi, membaca paper, belum ada balasan dari Lantana. Aku
mengantuk dan log out dari laptop.
Esok paginya, aku memulai aktivitas seperti biasa. Untungnya pagi ini
aku tidak ada kelas mengajar sehingga aku bisa ke kampus setelah makan
siang. Masih bermalas-malasan di kasur, aku menyalakan laptop. Mengecek
email. Ada 10 pesan yang belum kubaca sejak kemarin. Satu di antaranya dari
panitia Konferensi Bilingualism di Swedia. Ternyata, pengumuman abstract
adalah hari ini. Aku diterima. Aku melonjak kegirangan.
Saat aku hendak mengabarkan hal ini kepada adviser-ku, Prof. hompson,
sebuah pesan di Yahoo Messenger kembali masuk.
LantanaRaya: Assalamu"alaikum, Kelly. Selamat pagi.
Kelly_2907: Wassalam. Hi, Lantana. Selamat siang. Jam 3
ya di sana" Kamu di kota apa sih" Amsterdam ya"
LantanaRaya: Oh, aku di Eindhoven. Kira-kira 45 menit
naik kereta dari Amsterdam. Mau ke sini"
195 Kelly_2907: Mungkin bulan November, bulan depan.
Baru dapat email, abstrak gue diterima nih. Utrecht
jauh dari Eindhoven"
LantanaRaya: Oh, nggak sih. Utrecht di tengahtengah. Eindhoven itu di Utara. Kira-kira 30 menit
kalau naik kereta. Kelly_2907: Duh, Belanda enak banget ya. Kemana-mana
terasa dekat, karena bisa naik kereta.
LantanaRaya: Iya, sih. Di Amerika nggak gitu ya"
Kelly_2907: Hanya di negara bagian tertentu aja sih.
Sayangnya di tempat gue nggak ada.
LantanaRaya: Kamu kapan ke sininya"
Kelly_2907: Pas Thanksgiving nih. Pas sih, jadi
lagi libur di sini, nggak perlu izin kuliah dan
mengajar. Sebenarnya presentasinya di Swedia, cuma
pengen mampir ke Utrecht kalau sempat, soalnya ada
teman di sana. Tapi nggak tahu sempat atau nggak.
Kalau nggak, yah paling ke Amsterdam aja sih,
soalnya udah lihat-lihat tiketnya tadi, dan rata-
196 rata layover-nya antara 5-8 jam di Amsterdam,
jadi tadi dipikir-pikir lebih baik jalan-jalan
di Amsterdam. Ketemuan yuk, Lanta"
LantanaRaya: Itu tanggal berapa ya"
Kelly_2907: Gue sih paling sehari, ehm pas layover
saja di sana. Sisanya di Swedia. Jadi mungkin berangkat
Selasa malam, sampai Amsterdam Rabu. Pesawatku Rabu
malam dari Schipol dan sampai di Swedia hari Kamis
pagi. Presentasinya sih hari Jumat.
LantanaRaya: Nanti deh, ya, aku kabarin. Aku juga
mesti ke Italia, satu minggu di bulan November.
Cuma aku belum tahu kapannya. Aku lupa, mesti cek
agendaku lagi. Nanti aku kabarin ya.
Pembicaraan kali ini cukup panjang. Aku kaget juga. Ini pembicaraan
terlama kami. Tidak ada lagi perasaan kesal saat itu. Ah, perasaanku terhadap
Lanta selalu naik turun. Sebal. Senang. Kesal. Senang lagi. Bergantian saja.
Pembicaraan selanjutnya dua hari kemudian, saat aku sedang merasa
sedih. Beberapa teman lama sepertinya tidak terlalu bahagia dengan
pencapaianku saat ini. Semua komentar yang mereka tulis di Facebook cukup
membuatku sakit hati. Saat aku merasa sedih dan down, tanpa berpikir lagi,
aku langsung mengeluarkan uneg-unegku pada lelaki itu. Kebetulan kulihat
ia sedang online. 197 Saat itu jam tiga pagi di Eindhoven. Balasan lelaki itu kudapatkan hanya
sepuluh menit setelah kukirimkan curahan hatiku melalui YM. Lelaki itu
membalasnya lewat email. Kel, orang lain tidak akan melihat proses, mereka hanya melihat hasil. Saat
kita berada di satu titik yang buat mereka pantas disebut sebagai sebuah prestasi
atau kita mendapatkan sebuah pencapaian, mereka hanya akan berpikir antara
kita terlahir jenius atau kita hanya beruntung. Mereka tidak melihat bagaimana
kamu, saya, kita, dan semua yang sedang berjuang di negeri jauh melewati
perjuangan yang berat. Mereka tidak tahu bagaimana kita masih saja terjaga di
saat orang lain tertidur. Kita melewatkan makan malam dan makan siang demi
menyiapkan semua aplikasi, essai, belajar untuk TOEFL, berburu informasi
beasiswa, berburu surat referensi dengan risiko ditolak karena kesibukan dosendosen kita di Indonesia. Mereka tidak tahu bagaimana sakitnya hati kita saat
menerima surat penolakan, dan mereka juga tidak tahu bahwa setelah jatuh, kita
dengan susah payah berdiri untuk kemudian bangkit dan mencoba lagi. Mereka
tidak merasakan saat tersulit. Saat terjatuh untuk kemudian bangkit lagi. Susah
payah. Penuh perjuangan dan pengorbanan. Mereka tidak mengerti bahwa di saat
mereka sedang asyik bersantai dengan teman-teman mereka, kita sedang berpikir
satu kalimat untuk leter of objective beasiswa kita.
Semua itu hanya kita yang tahu. Proses jatuh-bangun, tangisan suka-duka,
hanya kita simpan sendiri dalam catatan perjalanan kita. Lalu, jika orang tidak
tahu ini membuat satu kalimat berdasarkan ketidaktahuan mereka, layakkah
kita sakit hati dan bersedih" Kalau kamu tanya aku, maka jawabanku adalah,
Halilintar Di Singosari 3 Wiro Sableng 074 Dendam Di Puncak Singgalang Kabut Di Bumi Singosari 1
^