Tsabita Ilana 4
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati Bagian 4
duduk Arsa. Ayunan itu bergerak maju mundur perlahan. "Jadi, reuninya?"
"Jadilah. Kalo engga ngapain gue kesini. Mending,--"
"Di rumah ya, pacaran sama istri" potong Abrar lalu tertawa. Arsa mengendik jijik.
"Bangun mas, bangun" Arsa memetik jari tepat di depan wajah Abrar. "Gue pacaran atau pun nerima cewek itu, cuma ada di mimpi lo doang, mas. Mendingan gue
ajak Fania ke mall atau travelling ke Curug Leuwihejo. Selain ngeliat surga dunia, gue juga ditemenin bidadarinya langsung"
Abrar mengeleng sambil mengulum senyum. "Gue tahu lo suka sama cewek itu. kalau engga, gak mungkin mas mau nemenin dia di balkon waktu itu. Ya kan?"
"Sok tahu kamu, sa"
"Gue emang tau, mas. Tenang aja, mas. Gue gak punya perasaan apa apa sama Tsabit. Gue cintanya cuma sama Fania malaika. Cuma dia cewek sempurna versi Arsa"
Arsa melepas headset lalu menatap kakaknya serius.
"Kalau bukan karena mama, gue gak mau bela belain nikah muda gini. Gila! 22 tahun man! Arsa masih pengen seneng seneng. Masih pengen pacaran. Mau ngejar
karier juga. Kalaupun harus nikah ya mau nya sama Fania. Bukan sama harimau betina itu" ungkap Arsa masih belum menerima kenyataan.
"Tapi kamu jangan frontal gitu benci sama dia"
"Dia juga benci sama gue, mas"
"Tapi dia masih bisa jaga sikap. Gak kayak kamu yang terang terangan gini. Bisa jadi sesuatu yang buruk menurut kamu adalah yang baik. Begitu juga sebaliknya,
yang kamu anggap baik bisa jadi buruk buat kamu" Arsa malah memalingkan wajah malas.
"Kayaknya yang harusnya nikah sama dia itu mas Abrar, deh. Sama sama alim. Bedanya, mas gak primitif. Masih sedikit kekinian lah. Gue doain deh mas jodoh
sama dia" "Kamu dibilangin baik baik juga" Abrar masih bersikap lembut terhadap adiknya. "Mas pesan ya sama kamu. Seburuk buruknya Tsabit. Dia tetap istri kamu.
Bukan Fania. Dia berhak mendapatkan perlakuan yang pantas dari suami sah nya. Diluar kebencian kamu terhadap dia. Mas yakin, meskipun dia benci sama kamu,
dia tetap memperlakukan kamu layaknya seorang suami"
Arsa diam lalu mengingat sesuatu. Ingatannya membawa dia pada peristiwa semalam ketika memutuskan tidur lebih dulu. Ia ingat malam itu ia tidur dalam keadaan
mengenakan pakaian pengantin lengkap dengan sepatu. Tapi tadi pagi, sepatu itu sudah tergeletak rapi di samping lemari, lengkap dengan kaos kakinya. Lalu
jam tangan berpindah tempat ke meja lampu bersama ponsel miliknya. Dan terakhir, ia mendapati sebuah selimut hangat menutup"tubuhnya rapat rapat. Apa Tsabit
yang melakukan itu semua"
"Sekarang malah mas Abrar yang sok tahu"
"Mas kenal dia sebelum kamu. Dia gak seperti perempuan lain pada umumnya" Abrar menurunkan kakinya.
"Iya. Dia emang gak kayak perempuan lain yang terlahir anggun kayak Fania. Dia itu bringas. Mama udah cerita belum tentang kejadian dia gigit tangan gue?"
Setelah itu Abrar tertawa lebar sambil menepuk paha. Kartika tidak melewatkan sedikitpun peristiwa yang dialami Arsa lalu menceritakannya kepada Abrar.
"Itu sih emang kamu duluan yang cari perkara. Kalau kamu gak nahan dia, gak mungkin dia nekat gigit tangan kamu"
"Belain aja terus"
Kemudian Arsa menutup kedua telinga dengan sepasang headset. Tidak ingin lagi mendengar apa apa yang menyangkut Tsabit. Meski ada perasaan bersalah yang
sekedar mampir didirinya.
*** Tsabit baru saja keluar dari kamar ganti. Bukan dari kamar ganti Kartika, melainkan seorang wanita yang menangkap dirinya sedang memilih pakaian di lemari
Kartika. Dipandangnya pantulan dirinya dari cermin besar. Ia tersenyum menatap diri. Ini pakaian terbaik dibanding pakaian pakaian laknat tadi. Malah ini
pertama kalinya Tsabit mengenakan abaya merah marun yang panjangnya sebatas mata kaki. Lengkap dengan khimar besar sebatas paha. Sangat menutup rapi auratnya.
Ia tersenyum lagi. Terasa menyenangkan memakai pakaian seperti ini.
"Nah! Kalau pakai ini kamu gak cuma terlindungi dari pandangan laki laki. Tapi juga menjaga kehormatan suami kamu, bit" wanita cantik nan baik hati yang
meminjamkannya pakaian ini keluar dari kamar yang sama. Ia memandang penampilan Tsabit dari ujung kaki hingga kepala.
"Iya, mbak. Aku juga suka memakainya. Ketimbang pakaian yang aku pakai malah" pakaian Tsabit sebelumnya tidak se-syar'i ini. Tsabit berasa mirip Oki Setiana
Dewi atau Risty Tagor. "Makasi banyak ya, mbak"
"Kamu jangan bikin aku terlihat tua, dong bit. Kita ini kan seumuran. Panggil Maudy aja kenapa sih" wanita bernama Maudy itu duduk di salah satu kursi
rotan dekat kolam ikan Koi. Pakaian yang dikenakan tidak jauh berbeda dengan yang dipakai Tsabit sekarang. "Sama sama. Bajunya kamu pakai aja sampe rumah.
Buat kamu" "Eh, serius?" Maudy mengangguk sambil tersenyum. "Aku jadi gak enak sama kamu" ujar Tsabit tidak enak hati turut duduk disamping wanita anggun itu.
"Gak apa apa. Sekalian buat kamu belajar. Siapa tahu kamu tertarik memakai pakaian Syar'i buat ke depannya. Ya gak?" kalau melihat Maudy, Tsabit jadi teringat
Aufa. Gaya penampilan keduanya tidak jauh berbeda. Tidak pernah jauh dari gamis dan abaya serta hijab lebar. Mereka sama sama memancarkan aura yang berbeda.
Aura kecantikan yang berasal dari hatinya.
"Kamu terlihat lebih cantik kalau pakai itu, bit. Aku yakin Arsa bakal makin cinta deh sama kamu" Tsabit tersenyum getir. Sayangnya Arsa gak kayak bakal
gitu, mba. Hujan dua hari dua malem yang ada. Tsabit ingin sekali menjawab begitu.
"Oh ya, kata Arsa kamu bekerja di Prams ya?" Tanya Maudy menyuapi anak perempuan kecil yang berdiri disampingnya lalu ia berlari lari ke taman sambil menggendong
boneka. "Iya, dy" Tsabit menyematkan bros berbentuk pita di bagian dada sebelah kanan.
"Bagaimana kabar pak Dana" Dia masih menjabat sebagai kepala Manager, kan?"
"Kabar dia baik. Dan jabatannya masih sama, kok. Ngomong ngomong, Kamu pernah bekerja di Prams juga?" Tanya Tsabit ingin tahu.
Sebelum menjawab, Anak kecil itu muncul lagi dan menerima suapan nasi dan nugget kesukaannya dari tangan Maudy. "Aku baru tahu kalau Arsa punya dua adik
perempuan. Bukannya dia anak bontot ya" ujar Tsabit. Mendengar kesalah pahaman Tsabit, Maudy tertawa kecil.
"Arsa memang anak bontot. Dua bersaudara sama Abrar. Kamu ngira, aku sama Diva itu adiknya Arsa ya?" Tsabit mengangguk hati hati.
"Anak kecil itu putriku. Namanya Diva. Sekaligus anak Abrar" penjelasan singkat Maudy cukup menjadi alasan Tsabit bertanya tanya dalam hati. 'Abrar sudah
berkeluarga"' Bodohnya, Tsabit tidak bertanya lebih dulu tentang status dia di keluarga ini. Bodohnya lagi, Tsabit main asal tebak seenaknya saja. Berarti
wanita anggun nan sholihah ini adalah istri Abrar.
"Kok mukanya bingung gitu?" Tsabit menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal. "Pertanyaan kamu sebelumnya ada hubungannya sama kebingungan kamu"
Daya tanggap Tsabit kian hari makin payah saja. Dia tidak mengerti maksud ucapan wanita itu. Maudy tersenyum manis sekali. Dia tidak tersinggung sedikit
pun akan ketidak tahuan Tsabit.
"Sebelum kamu, yang menjabat sebagai assisten Dana itu ya aku. Dia boss sekaligus cinta pertamaku, bit. Aku kenal Dana sebelum kenal Abrar. Setelah aku
move on dari Dana dikarenakan dia menikah dengan Sina. Kamu kenal Sina kan?" Kak Sina" Tentu saja Tsabit kenal. Ia mengangguk meng-iyakan.
"Dana pun ngenalin aku ke Abrar. Kami dekat selama 6 bulan. Kami mempunyai perasaan yang sama akhirnya, kami memutuskan untuk menikah hingga mempunyai
satu anak perempuan"
Tiba tiba raut Maudy berubah. Kedua alisnya menurun, menampakan wajah sedih. "Sayangnya pernikahan kita gak berjalan lama. Diva menginjak dua tahun, Abrar
menceraikan aku" Maudy memberanikan diri menatap Tsabit. "Aku tahu Abrar tidak akan setega itu menceraikan aku kalau bukan karena bujukan mamanya. Berbeda
dengan Arsa, Abrar tergolong anak yang penurut dan menyayangi mamanya. Saking sayangnya, sampai sampai rela melepas kebahagiaan pernikahan kami"
Maksudnya Kartika" "Mama Tika menganggap pernikahan kami tidak berlandaskan cinta, melainkan karena 'kecelakaan'. Pernikahan yang terkesan tiba tiba membuatnya mengira Abrar
telah menghamili aku lebih dulu. Nyatanya itu semua bohong. Aku masih mempunyai moral. Seharusnya dia percaya anaknya tidak sebejat itu" Tsabit melihat
luka di mata itu. Sosok ceria Maudy berubah menyedihkan sekarang.
"Tapi bagi dia asumsi publik lebih dipercaya ketimbang kenyataan. Aku pun pasrah membiarkan berita miring itu hilang dimakan waktu. Toh, lebih baik aku
hina di mata mereka daripada aku hina di mata Allah" Tsabit membenarkan. Pandangan terhadap sesama manusia tidak lebih penting dibanding pandangan Allah
terhadap hambaNya. "Aku percaya, selama aku berpihak pada Allah, maka Allah akan menguatkanku dari fitnah dunia. Buktinya sampai sekarang, aku masih bisa bertahan merawat
Diva. Dia satu satunya hartaku yang paling berharga" Tsabit melihat ketegaran yang kokoh disana. Ada mata yang berkaca tatkala untaian kata hati itu terlontar.
Tiba tiba Tsabit memikirkan sesuatu yang melintas di hati kecil; apa Kartika akan memperlakukan hal yang sama terhadap dirinya" Menjadi seorang janda tidaklah
enak. Belum tentu ia bisa sekuat Maudy.
"Aduh, maaf ya malah jadi curhat gini" Maudy mengusap kedua pipinya. "Bete ya ngedengernya?"
"Engga kok. Justru aku seneng kalau orang yang baru aku kenal mau terbuka sama aku. Itu artinya aku bisa dipercaya menjaga ceritamu. Aku tahu kamu orang
yang kuat" Tsabit menggenggam erat tangan Maudy. Memberi asupan penyemangat agar ia tidak merasa sendiri.
"Banyak orang tidak bahagia karena terlalu memikirkan perkataan orang lain dan takut untuk melakukan apa yang sebenarnya membuatnya bahagia. Jadi, jangan
lupa bahagia ya" keduanya saling tersenyum hingga kehadiran Diva memecah keharuan.
"Kapan kapan main ya ke rumah. Nanti aku kenalin sama adikku. Dia perempuan juga. Tapi sekarang dia lagi ditugaskan di Wonosobo. Baru kemarin berangkat"
"Insya Allah. Apa profesinya kalau boleh tahu?"
"Dia dokter" Ketika sedang asyik mengobrol, seseorang yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka mulai menampakan diri.
"Tsabit. Ditunggu mama sama Arsa di depan. Mereka udah siap mau berangkat"
"Iya, ka. Aku segera kesana"
Abrar pergi dan Tsabit mohon pamit kepada Maudy dan tak lupa meninggalkan kartu nama pada wanita itu.
"Aku siap dengerin curhat kamu kapan pun" bisiknya setelah akhirnya meninggalkan Maudy dan Diva.
*** "Kenapa tidak pakai baju yang sudah saya siapkan?" Tanya Kartika, setibanya Tsabit di halaman depan.
"Baju yang anda sediakan tidak ada yang menutup aurat. Untung ada Maudy yang mau meminjamkan baju ini ke saya. Anda keberatan, tante?"
Kartika diam. Air mukanya menunjukan rasa tidak suka. "Yasudah, terserah kamu saja" jawabnya lalu memasuki pintu mobil pribadinya. Sudah ada sopir yang
menunggu di kursi kemudi. Sedang Tsabit dan Arsa memakai mobil milik Abrar.
"Gak sekalian pake karung biar ketutup semua" komentar Arsa bersiap menjalankan mobil. Ia memandang sekilas penampilan Tsabit.
Tsabit menoleh lalu menegaskan secara halus, "Kalau memang kamu tidak setuju dengan suatu kebaikan yang mungkin belum kamu pahami, kamu bisa coba untuk
menghargainya" Arsa diam tak membalas. Apa keadaan ini yang disebut 'skak mat'" Tsabit tersenyum anggun.
Perjalanan dari rumah menuju lokasi acara tepatnya di Taman Bunga Wiladatika Cibubur hanya memakan waktu setengah jam. Kalau bukan weekend, pasti jalanan
tidak macet seperti tadi. Mereka pun akhirnya tiba di lokasi Reuni akbar.
Arsa memarkirkan mobil ke area parkir yang tidak begitu ramai. Ia turun lalu berjalan menuju aula. Baru berjalan beberapa langkah, ia terhenti. Ada sesuatu
yang dilupakan. Harusnya ada gadis yang mengekornya. Tapi ketika ia berbalik, Tsabit tidak ada dibelakangnya.
"Pasti maen nyelonong pergi, deh" gerutu Arsa kembali ke mobil.
Setibanya disana, dugaannya salah. Rupanya Tsabit masih di dalam mobil dalam keadaan tertidur. Kenapa Arsa tidak menyadari ya"
Tadinya Arsa ingin membangunkannya melalui jendela. Tapi ia tidak tega. Akhirnya ia masuk ke dalam mobil. Dilihatnya gadis itu duduk bersandar memiringkan
kepala ke arah kanan. "Bit, bangun. Udah sampe" ucap Arsa tanpa mau menyentuh Tsabit. Ia pun duduk di kursi kemudi hendak membangunkannya lagi.
"Tsabit. Bangun wey" akhirnya Arsa memberanikan diri menepuk ringan lengan gadis itu. Alih alih segera bangun, Tsabit malah semakin terlelap dalam tidurnya.
"Cantik cantik kebo juga ya ni cewek" gumamnya sambil menggaruk kepala. Tapi ia langsung tersadar sesuatu. Tsabit pasti kelelahan karena semalam ia tidak
bisa tidur. Terlihat sekali dari wajahnya tadi pagi, nampak tak bersemangat dan menguap berulang ulang. Kalau ia membiarkan Tsabit tidur di mobil, rencana
mama bakal gagal. Mau tidak mau ia berusaha keras agar Tsabit terbangun.
Arsa mendekatkan wajahnya kepada Tsabit. Memberi jarak beberapa centi diantara wajah mereka. Tangannya terulur ke arah pipi gadis itu. Ia bisa melihat
jelas wajah Tsabit dalam jarak sedekat ini. Tidak hanya Fania, Tsabit pun kalau sedang tidur nampak cantik. Sepertinya semua wanita memang ditakdirkan
cantik jika sedang tertidur, begitu penilaian Arsa.
"Lo kalo lagi tidur gini, gak keliatan sangarnya, sumpah!" Ada hembusan hangat yang menguar ke wajah Tsabit saat Arsa mengatakan itu.
Usai memberi penilaian, saat itu juga sepasang mata di depan Arsa terbuka lebar. Dalam hitungan ketiga, Tsabit memekik ketakutan. Suaranya nyaring hampir
memecah gendang telinga. "Kamu mau curi kesempatan, kan! Dasar mesum!" Tsabit mendorong Arsa hingga ia tersungkur ke pintu mobil. "Ketauan kan, kamu. Mulai keliatan busuknya. Jawab
jujur, kamu udah berbuat apa aja ke saya barusan"! Heuh!"
"Nyentuh lo aja kaga. Gimana mau ngapa ngapain" kelit Arsa memalingkan wajah. Sebenarnya ia menahan malu.
"Nah kan! Berarti kamu punya niat mau ngapa ngapain saya, kan" telunjuk Tsabit mengarah tepat ke wajah Arsa sambil menatap curiga. Arsa mengendik keberatan.
"Makanya kalo tidur jangan kayak orang mati. Dibangunin susahnya minta ampun" ungkap Arsa.
"Lah situ apa kabar" Gak mirror?"
"Udah udah. Gak bakal kelar kalo kayak gini terus. Turun cepet. Udah sampe nih"
Mereka pun turun dari mobil. Sehabis menutup pintu mobil, Arsa berjalan cepat menghampiri Tsabit lalu memposisikan dirinya berhadapan dengan istrinya.
Kedua tangan ia taruh di bahu gadis itu.
"Mau ngapain kamu"! Mau kurang ajar lagi" Iya?" Tsabit mendesis ketus sontak melepas diri dari genggaman Arsa. Tapi Arsa sudah siap akan penolakan tersebut
lalu menahannya. Kini ia beralih merapatkan tangan di pipi kanan dan kiri Tsabit, menatapnya intens. Tsabit mendadak ingin ke toilet.
Setelah agak tenang, Arsa berkata, "lo liat ke arah jam 2 jarak kurang lebih 20 meter dari sini" Tsabit menurut. Dengan sedikit menggeser wajahnya ke kanan.
Ia melihat sosok yang bersembunyi di balik semak semak. Untung penglihatannya cukup jeli.
"Udah?" Tsabit mengangguk kecil. Wajahnya masih dalam genggaman Arsa.
"Itu wartawan. Lo tahu kan apa yang harus lo lakuin?"
"Saya?" Tsabit menarik alis satu.
"Kita maksudnya" Arsa membenarkan.
Apa ini saatnya Tsabit harus bersandiwara lagi" Maksudnya bermesraan dengan Arsa, begitu" Dengan Arsa memegangi wajahnya saja, Tsabit sudah dibuat merinding.
Bagaimana kalau harus bermesraan. Kenapa wartawan itu harus ada, sih" Tsabit masih kesal dengan perilaku Arsa tadi.
"Ngerti?" Tanya Arsa memastikan.
"Ngerti" Tsabit melirik kedua tangan yang masih bertengger di pipinya "Yauda lepasin tangan kamu dari wajah saya. Suami istri juga gak gini gini amat,
deh" Arsa kelabakan buru buru melepas posisinya. Setelah itu mereka melancarkan aksinya. Arsa merangkul Tsabit hingga tubuhnya merapat sempurna. Lagi lagi Tsabit
melepas diri dari perlakuan tersebut.
"Musti ngerangkul gitu ya" Gandengan tangan aja gak bisa?" Protes Tsabit
"Pengantin baru biasanya gitu" jawab Arsa enteng.
"Tapi saya risih digituin. Mana sini tangan kamu" perintahnya. Arsa mengulurkan tangan. Dan Tsabit menyambutnya lalu menyisipkan jari disela jemari Arsa.
Kini kedua tangan mereka saling bertautan. Tsabit mendadak merasakan sesuatu yang aneh. Dilihatnya genggaman tangan mereka. Tanpa sadar keduanya saling
menatap genggaman tersebut secara bersamaan.
*** TBC... 12. Yang merugi dan tidak tahu berterimakasih
Hari yang melelahkan. Melewati moment hiperbolis seperti tadi, membuat Tsabit harus mengerutkan dahi berulang ulang. Apa keduniawian seperti ini yang begitu
dibanggakan Kartika kepada orang orang yang memandang kagum padanya. Ia haus akan pujian. Haus akan sanjungan dari sesama manusia. Tanpa ia sadari justru
pujian itu lah yang suatu saat menikamnya secara perlahan.
Acara reuni sekaligus pertemuan Kartika dengan teman teman sosialitannya berakhir dengan lancar. Tsabit dan Arsa berhasil memainkan perannya. Mereka nampak
seperti pengantin baru yang sedang dimabuk cinta. Tapi tidak ada yang tahu keresahan Tsabit selama acara itu berlangsung. Tangan Arsa enggan pergi dari
pinggangnya saat itu. Tubuh mereka begitu rapat bahkan yang menghebohkan, Arsa nekat mencium kening Tsabit tepat di hadapan wanita wanita itu. Cukup memacu
adrenalin Tsabit dan membuang keraguan publik akan pernikahan mereka yang terkesan tiba tiba itu.
Acara berakhir sekitar pukul 3 sore. Tsabit dan Arsa menaiki mobil yang sama. Begitu juga Kartika, ia menaiki mobil yang sebelumnya. Kini mereka berdua
nampak sibuk dengan dunianya masing masing. Tsabit ingin meneruskan tidurnya yang sempat tertunda tadi. Tapi ada sesuatu yang mengalihkan niatan tersebut.
Ya, ciuman di kening itu. Apa rasanya seperti ini" Padahal ia tahu itu tidak lebih dari kepura pura-an Arsa, tapi yang dirasakan Tsabit sama seperti yang
dirasakan wanita lain. Dimana detak jantung dari otak tidak saling seirama. Ia berharap pria yang menciumnya bukanlah Arsa.
"Berhenti di depan sana dulu, ya" Tsabit mengiteruksi Arsa sambil menunjuk ke depan.
"Kemana?" Tanya Arsa seraya menoleh.
"Ke masjid di sana itu. Saya mau sholat Ashar" Tsabit menaruh ponsel beserta charger ke dalam tas.
"Sholat di rumah aja emang gak bisa?" Nada bicaranya keberatan.
"Bisa. Tapi gak keburu. Kemungkinan sampai rumah 15 menit lagi, yang ada saya gak bakal bisa sholat karena kecapekan. Dan saya menghindari itu" jelasnya.
Mau tidak mau akhirnya Arsa memberhentikan mobil tepat di halaman masjid Al maghfirah yang letaknya tak jauh dari lokasi.
"Kamu gak sholat?" Tanya Tsabit ketika akan keluar mobil sambil berbalik sedikit membawa mukena miliknya. Sambil bersandar pada jok, Arsa menjawab enteng.
"Engga" "Kenapa?" Mata gadis itu menyipit.
"Nanti aja" "Engga apa nanti?"
"Ya engga, ya nanti. Udah sih, ngapa jadi lo yang kepo. Lo sholat sholat aja. Gak usah ngajak ngajak gue" ketus Arsa sambil menaikan kaki di atas dashboard
mobil melipat tangan dan memejamkan mata. Tsabit bergumam kecil memutuskan keluar dari mobil, "Peduli dibilang kepo, kebanyakan makan michin ni anak" untungnya
Arsa tidak mendengar. Arsa memilih tidur sejenak didalam mobil selagi menunggu Tsabit melakukan sholat Ashar. Ketika baru setengah sadar, ada seseorang yang mengetuk kaca mobilnya.
Arsa segera tersadar lalu mendapati seorang bapak bapak berbaju koko rapi memakai kopiah tersenyum ramah ketika Arsa menurunkan kaca jendela.
"Ada apa ya pak?"
"Assalamualaikum, A'. Aa' teh tidak sholat?" Tanya bapak itu sopan.
"Engga, pak" jawabnya sambil menggaruk hidung.
"Oh belum. Ya sudah atuh sholat di sini aja. Mumpung di masjid" tawar bapak itu.
"Bukan belum, pak tapi engga. Saya engga sholat"
Bapak itu tersadar, "Oh maaf. Aa non muslim tah?"
"Saya islam, kok" jawab Arsa disertai wajah tak senang. Bapak itu tetap menanggapinya dengan ramah.
"Lalu kenapa tidak sholat?"
"Kayaknya bukan urusan bapak, deh saya sholat apa engga. Surga dan Neraka kan bukan milik bapak"
Meski tersenyum, bapak itu mengucap istighfar dalam hatinya. Pemuda seperti apa yang berada di hadapannya sekarang. "Oh maaf ya A' kalau begitu. Saya teh
hanya mengingatkan saja. Urusan Surga dan Neraka memang hanya Allah yang menentukan. Tapi saling mengajak dalam kebaikan adalah kewajiban sesama umat muslim.
Apalagi perihal ibadah"
"Kalau yang diajak tidak mau, apa sesama muslim dianjurkan saling memaksakan kehendak juga" Engga, kan pak. Tapi terimakasih bapak sudah ngingetin saya"
"Ya sudah kalau begitu. Saya permisi A'. Assalamualaikum"
Dua kali Arsa tidak menjawab salam bapak itu. Ia pun menutup kembali kaca mobil lalu berdecak sebal lalu melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu.
Baru beberapa menit memejamkan mata, ia membuka matanya lagi secara tiba tiba. Menatap sekeliling mobil dengan tatapan janggal. Ia membuka kaca mobil di
kursi tempat Tsabit duduk. Dari sana ia bisa melihat sosok wanita bermukena merah muda sedang sholat. Posisi shaf wanita memang dekat dengan jendela yang
mengarah ke halaman dimana Arsa memarkirkan mobilnya. Akhirnya Arsa memilih tidak melanjutkan tidurnya, melainkan memerhatikan Tsabit yang sedang khusyu'
disana. Dari kejauhan ia bisa melihat setiap gerakan sholat gadis itu. Dari setiap pergerakan yang Tsabit lakukan, memacu keingintahuan Arsa. Terkadang ia memiringkan
kepala seraya memerhatikan dengan seksama. Bahkan kadang ia harus mendongak tatkala Tsabit melakukan gerakan sujud.
Hingga memakan waktu kurang lebih 10 menit, Arsa menghentikan pengamatannya.
"Lama banget" ucap Arsa setibanya Tsabit di dalam mobil tengah merapikan khimar. Di dashboard ia letakan cermin dalam posisi berdiri.
"Itu waktu normal kali" di mulut gadis itu ada jarum pentul. Kedua tangannya lincah merapikan tepian khimar. Matanya melirik Arsa sekilas. "Kamu beneran
gak sholat?" "Nanti aja di rumah"
"Yaudah kalau gitu cepetan nyalain mobilnya biar cepet sampe rumah. Nanti gak keburu sholatnya" seru Tsabit usai memakai khimar merah marun itu. Alih alih
menyalakan mesin mobil, Arsa justru diam menatap lurus kedepan. Tatapannya kosong. Tsabit menautkan alis lalu menolehnya lebih dekat.
"Malah bengong"
Arsa tersadar. Ia menyalakan mobil lalu bersiap untuk melaju.
"Lo sholat biar dapet surga ya?" Pertanyaan Arsa kembali mengerutkan dahi Tsabit. Entah ada angin apa tiba tiba pria itu menanyakan hal ini.
"Surga saya anggap sebagai bonus dari Allah. Banyak alasan lain kenapa saya dan umat muslim lainnya melakukan sholat" Arsa menoleh sekilas. "Apa aja?"
Terdengar bukan seperti pertanyaan. Tapi lebih ke perintah agar Tsabit meyebutkan alasan alasan lainnya perihal kewajiban sholat itu sendiri.
Tsabit diam sejenak. Menarik nafas berat. "Sholat adalah tiang agama. Rasulullah shallalahu a'aliahi wassalam bersabda, 'kepada segala urusan adalah islam
dan tiangnya adalah sholat, sementara puncaknya adalah jihad' hadist riwayat At tirmidzi, Ibnu majah dan Ahmad shahih" jelas Tsabit.
Arsa mengangguk santai. "Lalu?"
"Sholat adalah amal yang pertama kali dihitung di akhirat. Rasulullah SAW pun bersabda, 'yang pertama kali ditanyakan kepada seorang hamba pada hari kiamat
adalah perhatian kepada shalatnya. Jika shalatnya baik, dia akan beruntung. Dan jika shalatnya rusak, dia akan gagal dan merugi' Hadist riwayat Ath Thabrani,
Shahih" "Shalat adalah rukun islam yang kedua setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Rasulullah SAW bersabda, 'Islam dibangun diatas lima pondasi, bersaksi
bahwa tiada Rabb selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah, mendirikan Shalat, menunaikan Zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, serta melaksanakan
ibadah haji jika mampu' Hadist Riwayat Al Bukhari dan Muslim"
Dalam kemudinya. Arsa menyimak penjelasan Tsabit. Sesekali ia menelan ludah.
"Allah mencela orang yang malas melaksanakan shalat. Itu ada dalam surat Maryam ayat 59, 'maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia
nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya maka mereka kelak akan menemui kesesatan'"
Arsa melirik ingin tahu. "Terkhusus untuk ibadah shalat, Allah sendiri yang memerintahkan ibadah ini dengan Nabi Muhammad Shallalahu' a'alaihi wassalam ke langit ke tujuh dalam
peristiwa isra' mi'raj di sidratul muntaha" Tsabit masih akan melanjutkan pemaparannya, tapi Arsa keburu memotongnya.
"Cuma itu aja" Kayaknya kalo gue ninggalin sholat juga gak masalah"
Tsabit sontak memutar posisi 90 derajat tepat menghadap Arsa. Ia menatapnya serius. "Kamu mau tahu, siksa bagi orang yang meninggalkan sholat?" Arsa tidak
menjawab. Tapi tatapan sekilasnya menyilahkan gadis itu.
"Fatimah ra, bertanya kepada Rasulullah Saw, 'wahai ayahku! Apa siksa bagi orang yang meremehkan sholat baik itu laki laki atau perempuan"' Kemudian Rasulullah
menjawab, 'Wahai fatimah, barang siapa yang meremehkan shalat, lelaki maupun perempuan, maka Allah akan memberinya 15 petaka. Enam diantaranya di dunia,
tiga saat kematiannya, tiga di dalam kuburnya, dan tiga pada hari kiamat disaat bangun dari kuburnya" meski menggebu gebu, Tsabit tetap dalam posisi tenang.
Kedua matanya enggan berpaling dari pria yang kini duduk menegang pada kursi kemudi.
"15 petaka tersebut diantaranya adalah, Allah akan mencabut berkah rezekinya, Allah akan menghapus ciri orang shaleh dari wajahnya, semua amal yang dilakukannya
tidak diberi pahala, do'anya tidak terangkat ke langit, dan tidak mendapat bagian di dalam do'a orang orang shaleh"
"Kemudian, hatinya dalam keadaan terhina. Rasa hausnya tersebut tidak akan hilang andaikan ia diberi minum satu aliran sungai secara penuh. Allah akan
menyerahkan kepada malaikat yang menakutkan. Kubur akan menjepitnya. Kuburnya gelap gulita. Allah akan menyerahkannya kepada malaikat dengan siksaan. Malaikat
tersebut akan menyeretnya dengan posisi terbalik dihisab oleh Allah secara detail. Allah tidak akan menoleh padanya dan tidak mensucikannya dan baginya
azab yang pedih" Diam diam Arsa menyimpan ketakutan dalam hati. Kerongkongannya mendadak kering mendengar pemaparan dashyat Tsabit. Tsabit pun mengembalikan posisi duduknya.
Menatap lurus ke jalan. "Bisa kasih gue alasan yang sederhana aja" Itu terlalu menakutkan buat gue"
Bilang aja takut sama azab Allah. Cibir Tsabit dalam hati.
"Kalau mau simple sih gampang. Selain merugi, alasan saya sholat karena saya tidak mau jadi orang yang tidak tahu berterimakasih" selagi bicara, Arsa berulang
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ulang menoleh hanya untuk memerhatika gaya gadis itu bicara. Tetap tenang dan santai.
"Kenapa?" "Banyak nikmat yang Allah berikan kepada saya. Saya diberi nyawa dan nafas, fisik yang baik, otak yang cerdas, kehidupan yang layak, teman teman yang peduli,
dan masih banyak lagi nikmat yang Dia berikan tanpa perlu kita meminta. Dan sholat adalah wujud rasa syukur saya atas apa yang selama ini Dia berikan.
Saya tahu diri sebagai hamba yang miskin, Dia memberinya secara cuma cuma. Bahkan saya yakin, Allah akan memberi saya nikmat lain yang jauh lebih berharga.
Dan itu patut saya syukuri"
Dalam penjelasan ini Arsa bergeming. Otaknya seperti merespon sesuatu. Matanya sesekali melirik ke atas.
"Kalau kamu saja bisa berterimakasih kepada teman atau sahabat yang selalu peduli kepada kamu, atau kepada ibu yang membesarkan kamu hingga menjadi seperti
ini, kenapa berterimakasih kepada Allah saja enggan" Tanpa kamu sadari, banyak nikmat Allah berikan. Termasuk nafas yang setiap detiknya kita hirup. DitanganNya,
bisa saja Allah ambil kembali nafas itu kemudian kamu meninggal dalam keadaan tidak sholat. Dan petaka yang telah saya sebutkan tadi bakal,--"
"Cukup!" Arsa mengarahkan telapak tangan ke arah Tsabit. Sontak saja gadis itu mengatupkan bibirnya. "Gue gak minta lo ceramah disini"
"Lah yang mulai duluan siapa" Kan kamu sendiri yang mau tahu" Tsabit memalingkan wajah ke arah jendela. Menikmati jalanan lebih menyenangkan ketimbang
wajah jutek Arsa yang bikin mual. "Dasar aneh"
Sepanjang perjalanan, mereka kembali diam. Tak lama mobil mereka melewati jalan dimana disana terbentang spanduk yang menampakan tulisan
Apa yang menyebabkan kalian masuk neraka" Mereka menjawab 'dulu kami tidak sholat'
Al quran surat Al muddatstsir: 42-43
Yang pertama kali melihat benda memanjang itu adalah Arsa. Dua detik setelah mengerti maknanya, Arsa melakukan rem mendadak.
"Astaghfirullah!" Pekik Tsabit.
Refleks tersebut menimbulkan guncangan keras sehingga tubuhnya hampir terpental ke depan. Untung ada pengaman yang menahannya. "Kamu kenapa, sih?" Tanya
Tsabit sambil meringis sambil memegangi kening. Hentakan tersebut membuatnya hampir terbentur dashboard mobil. Arsa diam seraya mengatur nafas. Matanya
menegang ketakutan. Tanpa sadar tangan kanannya mengelus dada.
"Kelana, Kamu baik baik aja?" Peka akan reaksi aneh Arsa, Tsabit memberanikan diri menyentuh lengan pria itu. Arsa menoleh.
"I'm ok" jawabnya singkat. Matanya mengarah ke lengan. "Udah boleh dilepas kok tangannya" mendengar perintah menyebalkan itu, Tsabit buru buru melepas
sentuhan tangannya dari lengan Arsa dengan gerakan kaku. Gadis itu kembali memalingkan wajah. Menyembunyikan kesalah tingkahannya.
Sedang Arsa masih sibuk mengembalikan dirinya dari bayang bayang aneh. Ia melanjutkan perjalanan. Selagi mobil itu berjalan, ia lihat lagi spanduk yang
melintang di depan, tapi ia menggeleng samar nan gelisa, lalu mengalihkan perhatian pada jalan. Tsabit bisa melihat kegelisahan tersebut melalui spion
sebelah kiri. Ia memicing.
*** Kumandang Adzan subuh berhasil membangunkan penghuni bumi dari petualangan mimpi mereka. Membinarkan pejaman mata sehingga membuatnya benderang. Menggirng
langkah untuk segera bersuci lalu menghadap padaNya, mengajakNya bercerita dan mengadu di subuh yang khusyu'.
Tsabit melangkah gontai menuju kamar mandi. Dilihatnya sekilas Arsa masih terlelap di atas sofa tak jauh dari ranjang. Ia ingat semalam sebelum tidur,
Arsa mengajaknya melakukan adu suit untuk menentukan siapa yang tidur di ranjang ukuran king size itu. Pria itu tetap ingin berlaku adil, meski kamar yang
mereka pakai adalah kamar pribadi Arsa yang luasnya dua kali ukuran dapur. Tsabit pun memenangkan pertarungan suit tersebut. Hingga akhirnya Arsa yang
harus tidur di sofa. Usai melaksanakan sholat, dilihatnya Arsa masih disana. Terlelap menggenakan kaos oblong putih dan celana tidur panjang. Tsabit mengambil selimut di atas
ranjang lalu menyelimuti suaminya perlahan sehingga membatasi dada. Ketika Arsa menggeliat kecil, Tsabit mematung tanpa bergerak. Setelah itu Arsa kembali
terlelap sempurna. Tsabit berniat ke luar rumah sekedar menghirup udara subuh. Ketika berjalan, langkahnya terhenti melihat beberapa orang di dapur. Ada dua orang wanita
sedang sibuk berkutat di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk penghuni kediaman keluarga besar Dirga. Tsabit membatalkan niatnya ke halaman lalu memutuskan
untuk bergabung bersama mereka.
"Pagi, bu Yati. Wah! Lagi sibuk ya. Boleh aku bantu?" Tsabit mengambil posisi berdiri di samping wanita paruh baya memakai jilbab langsung pakai warna
hitam. Tsabit memanggilnya bu Yati.
"Eh, ada mbak Tsabit. Saya kira siapa" jawab bu Yati ramah sambil mengiris bawang bombay.
"Ibu lagi buat apa?" Tanya Tsabit memerhatikan. Disana juga ada Sari. Pembantu Abrar yang dibawa ke rumah ini. Ia sedang sibuk membantu menyiapkan bumbu.
"Lagi buat nasi goreng, mbak. Mbak'e suka nasi goreng, ndak?" Tsabit tersenyum. "Suka banget. Eh tapi ibu jangan panggil aku mbak. Panggil Tsabit aja ya.
Oke?" "Wah, ndak bisa mbak. Mbak kan istrinya mas Arsa, toh" Kalau ibu manggilnya Tsabit tsabit aja ya ndak hormat namanya" Tsabit menipiskan bibirnya, menggenggam
punduk bu Yati dari belakang. Tubuhnya mengingatkan ia dengan sang mama di rumah. "Gak apa apa, bu. Kan aku yang minta. Mau ya ya?"
Bu yati menunjukan ekspresi keberatan yang jenaka. "Gimana kalo ibu panggil cah ayu, aja" Artinya anak cantik" Tsabit mengerut bibir atasnya seraya berpikir.
"Emangnya aku cantik ya, bu?" Kini ia mengambil alih tugas bu Yati memotong bawang dan sayuran mentah.
"Ya kok pake nanya toh, ndhuk. Ya cantik toh. Udah cantik, berjilbab lagi, weuh mas Arsa nih pinter cari istri" puji bu Yati agak berlebihan. Sayangnya
pujian itu tidak mempengaruhi kenyataan yang sebenarnya.
"Aamiin" ucap Tsabit.
"Loh kok, amin toh, mbak?" tanya Sari yang sedari tadi memerhatikan obrolan mereka. "Bukannya alhamdulillah ya"
"Kata kata adalah do'a. Berarti bu Yati lagi do'ain aku, sar" ia akhiri dengan cengiran polos.
Tsabit berdiri mengamati pekerjaan mereka. Bukan untuk menilai melainkan untuk melakukan sesuatu. Kedua tangannya direntangkan merangkul Sari dan Bu Yati.
"Bu Yati sama Sari mau nolongin aku gak?" Keduanya menoleh bersamaan. "Nolongin opo, toh cah ayu?"
"Ibu sama Sari istirahat aja ya di kamar. Biar aku yang masak. Aku juga bisa bikin nasi goreng" mendengar ide itu, bu Yati dan Sari saling menatap satu
sama lain. Mereka satu pemikiran bahwa tidak mungkin membiarkan sang menantu majikan mengerjakan ini semua. Bisa bisa kena marah Kartika.
"Tapi kita gak enak sama nyonya, mbak. Nanti kalau kita kena omel gimana?" Ucap Sari dengan raut memelas.
"Aku yang tanggung jawab. Lagian aku mau masakin sarapan special buat mas Arsa. Bu Yati sama Sari mau, aku di cap istri durhaka karena gak bisa masak"
Iya?" Pernyataan itu berhasil mengambil hati keduanya. Meski alasan utama Tsabit ialah karena kasihan melihat mereka bekerja. Bukan karena Arsa. Sewaktu ia terbangun
tengah malam, Tsabit sempat melihat Bu yati sedang menyetrika pakaian yang jumlahnya tidak sedikit. Dan Sari membantunya menaruh di keranjang. Jatah istirahat
mereka hanya beberapa jam. Dan paginya mereka harus menyiapkan sarapan pagi.
Kini hanya ada Tsabit dan bahan bahan masakan di dapur. Ia tatap sekeliling dan mengambil salah satu celemek yang menggantung di sudut dapur. Sambil mengucap
basmallah ia gerakan tubuhnya meracik bahan makanan disana menjadi suguhan yang luar biasa. Lupakan kemampuannya yang payah dalam memasak itu. Karena mulai
hari ini kepayahan itu akan terbukti omong kosong.
Dalam waktu satu jam, 4 porsi nasi goreng telah siap di meja makan. Tak hanya itu, ada susu hangat juga menyertai. Tsabit juga menambahkan roti isi sayuran
yang ia kreasikan sendiri berbekal bahan bahan di kulkas. Tsabit menatap puas hasil kerjanya.
"Lho, kok kamu yang nyiapin sarapan, bit?" Abrar datang menyusuri tangga berpakaian rapi sambil menenteng tas hitam, dilengannya ada jaket yang melingkar
sempurna. "Iya. Gak apa apa, kan kalo aku sewa dapur ini sehari" Masakan ku gak kalah enak sama buatan bu Yati kok" jawab Tsabit sambil melepas celemek hello kitty.
"Boleh aja sih, tapi bayar sewanya ke aku ya" Abrar tertawa kecil. Ia menempati salah satu kursi yang kosong, tepat di sebelah Tsabit berdiri. "Wah, kayaknya
enak nih" ia mengabsen satu persatu menu disana. Menatapnya tergiur.
"Eh, gak nunggu yang lain dulu" biar makannya bareng bareng" Tsabit duduk di kursi.
"Kalau nunggu mama sama Arsa, yang ada aku kesiangan. Apalagi Arsa, dia biasa bangun siang" sambil menyuap satu suapan nasi goreng. "Kamu kalau mau makan,
makan aja gak apa apa kok" lantas menyilakan Tsabit makan. Tapi gadis itu menggeleng. "Aku tunggu mama sama Arsa aja kalau gitu"
"Selagi nunggu, temenin aku sarapan, mau?"
*** Tsabit menolak permintaan Abrar untuk menemaninya sarapan. Ia memilih menemui Arsa untuk membangunkan pria itu. Kalau benar ia terbiasa bangun siang, maka
Tsabit akan memusnahkan kebiasaan buruk itu. Ya walaupun kemungkinan berhasil hanya kecil. Tapi, apa salahnya berusaha" Bukankah sesama muslim harus saling
mengingatkan dalam hal kebaikan" Terlebih Arsa adalah suaminya.
Benar kata Abrar. Arsa masih terlelap dalam tidur. Tapi posisi selimutnya sudah berpindah ke sembarang arah. Kemungkinan gaya tidur Arsa tidak bisa diam.
Dia itu tidur apa main futsal, sih" Untungnya tidak sampai terjatuh ke lantai.
"Arsa, bangun. Udah siang" Tsabit menepuk nepuk pergelangan tangan Arsa. Belum ada respon. Ia melipat selimut yang tergeletak di lantai. "Bangun, Sa. Kamu
kuliah, kan hari ini?" Tepukan itu ada lagi, kali ini temponya lebih cepat. Diiringi volume suara yang dibuat lebih besar.
"Gue libur ngampus" jawaban itu terlontar dari mulut Arsa dalam keadaan mata masih terpejam. Ia bergerak sedikit hanya untuk membalikan badan membelakangi
Tsabit. Tangannya dilipat di atas perut.
"Yaudah kalau gitu sholat subuh dulu. Keburu abis waktunya" ya walaupun Tsabit tahu itu tidak akan berhasil. Arsa kan tidak sholat. Bangun pagi saja sulit,
pikirnya. "Udah tadi" Ada kerutan memenuhi kulit diantara sudut mata Tsabit. Ia berdiri tegap menatap Arsa serius. Ia masih berada dalam lelap.
"Kapan?" "Tadi. Pas lo lagi sibuk masak di dapur"
Tsabit mengerucutkan bibir atasnya. Sebenarnya ia masih sanksi akan jawaban Arsa. Bisa aja dia mengigau. Tapi kalau mengigau mana mungkin Arsa tahu kalau
dirinya sibuk membuat sarapan di dapur.
"Kok masih berdiri disitu" Gak percaya gue sholat?" Tsabit memandang ke Arsa. Pria itu masih terpejam. Tapi bisa bisanya menyahut dalam keadaan tertidur.
"Kamu mau ngerjain saya ya" Gak usah pura pura tidur. Ayo bangun! udah siang. Shalat subuh dulu" ada sesuatu yang memberanikan Tsabit menarik tangan Arsa.
Dengan kekuatan seadanya, Tsabit berusaha agar tubuh itu bergerak bangun dari posisi. Sayanganya kekuatan Pria selalu memimpin. Tubuh Arsa tidak mengalami
pergerakan dari aksinya. "Dibilang gue udah shalat subuh. Lo batu banget, sih. Mau narik narik sampe tangan lo putus juga gue gak mau bangun. Gue capek tau"
"Mana buktinya kalau kamu shalat?" Tanpa menjawab, Arsa mengarahkan telunjuknya ke arah kursi di meja belajar. Disana tersampir sajadah hijau miliknya
juga terdapat baju koko putih. Tsabit diam. Ada secuil kebahagiaan setelah tahu Arsa mau melakukan sholat. Ia tersenyum kecil.
"Puas" Gue gak mau di cap manusia yang gak tau terimakasih sama Allah. Gue gak mau masuk neraka"
Senyum di wajah Tsabit semakin memanjang lebar namun tetap manis. "Jadi, kamu,--"
"Lo jangan GR. Gue mau sholat bukan gara gara lo, ya. Inget tuh!" Ucap Arsa masih dalam posisi ya g sama. Bisa bisanya dalam posisi tidur ia mengatakan
itu semua dengan jelas. Tak apa, kalau memang benar Arsa sholat. Hal pertama yang ia lakukan ialah bersyukur sebanyak banyaknya. Setidaknya impian Tsabit
mempunyai suami yang taat beribadah perlahan akan terealisasikan dengan ia terus membimbing Arsa menuju jalanNya. Sebuah proses memang tidaklah mudah.
Tapi Allah akan memudahkan jika berlandaskan ketulusan hati.
"Yaudah kalau gitu. Tapi laki laki hebat itu yang ringan langkahnya berjalan ke masjid untuk sholat berjamaah"
"Gue sholat jama'ah kok"
Tsabit mengerut lagi. "Oh ya" Dimana" Kok saya gak liat kamu?"
"Sibuk ngobrol berdua sama mas Abrar, sih. Jadi gak liat ada gue lewat" cibirnya.
Tsabit mengetuk ngetuk dahi. Mengingat ngingat kejadian sebelumnya. Memangnya sesibuk itu ya, sampai sampai Tsabit tidak melihat keberadaan Arsa tadi.
"Selimut gue mana?" Tanya Arsa lagi mengulurkan tangan ke belakang meminta benda yang dimaksud. "Ada. Kamu mau tidur lagi?"
"Ya iyalah" "Jangan tidur lagi. Kamu harus sarapan, Arsa!" Seru Tsabit menahan selimut dari atas ranjang. "Jangan sampai aku yang kena omel mama kamu ya. Cepetan bangun!"
Ditariknya lagi tangan Arsa sekuat tenaga.
"Kok maksa, sih" Emang ada sarapan apaan?" Penasaran juga rupanya.
"Nasi goreng" Arsa diam beberapa detik. "Yaudah bawain kesini" pintanya seenak jidat. Tsabit buru buru mengendik malas.
"Memangnya saya siapa kamu, minta bawain makanan segala?"
"Istri gue" kini giliran Tsabit yang diam tanpa kata. "Lo kan istri gue. Jadi lo harus melayani suaminya. Bukan begitu, sayang?" Nadanya dibuat sok sok
manja lebay. Tsabit bergidik jijik.
"Kamu gak pantes ngomong sok manis gitu. Malah bikin saya mau muntah, tau gak" Tsabit melempar lipatan selimut di ranjang. Bersiap keluar menuruti kemauan
Arsa sambil bersungut sungut tidak jelas. Bibirnya komat kamit. "Jangan tidur lagi ya. Kalo sampe saya liat kamu tidur lagi, nasi goreng melayang ke wajah
kamu" Tsabit memperingatkan sebelum akhirnya ia membuka pintu. Tapi ia masih bisa mendengar Arsa menyahutnya dengan kalimat,
"Duh, istri ku galak banget"
Tsabit menyempatkan diri berbalik sejenak hanya untuk memperingatkan Arsa. "Berhenti bikin saya muntah ditempat, Arsa! Akting kamu menjijikan, sumpah"
Alih alih Arsa menurut, ia malah terkekeh geli. Berhasil membuat Tsabit jengkel pagi ini. Siapa suruh mengganggu tidurnya. Rasakan pembalasanku, tante.
Ia tertawa jahat dalam hati.
*** TBC... 13. Serangan hati yang perih
Siang hari yang cerah memperlihatkan sang raja cahaya berdiri kokoh memberi terik panas pada permukaan bumi. Cuaca yang sedemikian membuat Kartika enggan
keluar rumah. Ia memilih duduk santai bersilang tungkai di atas sofa kamarnya. ditemani segelas orange juice sambil mengamati serius layar gadgetnya. Membaca
deretan headline berita artikel online yang sejak pagi menarik perhatiannya. Rambutnya ia singkap ke belakang telinga. Menciptakan gerakan anggun yang
indah. TSABITA ILANA. SOSOK WANITA SHOLEHAH MENANTU KELUARGA DIRGA SANTOSO MENARIK PERHATIAN NETIZEN KARENA KECANTIKANNYA.
TIDAK HANYA CANTIK. TSABITA ILANA SANG MENANTU DIRGA SANTOSO DIKENAL RAMAH DAN TIDAK SOMBONG.
ACARA REUNI AKBAR SMA NEGERI 147, JADI AJANG PERKENALAN TSABITA DAN ARSA.
MENGENAL LEBIH DEKAT SIAPA TSABITA ILANA. GADIS SHOLEHAH PENCURI HATI PLAYBOY ARSA.
TERTANGKAP KAMERA; TSABITA ILANA MEMANCARKAN KECANTIKAN ALAMI.
Kartika menarik senyum miring membaca deretan berita fenomenal itu. Tidak hanya berhasil mengalihkan isu. Keberadaan Tsabit berhasil membersihkan nama
baik keluarga Dirga Santoso. Malah sekarang ia menjadi perhatian netizen sejak acara reuni akbar waktu itu.
Kartika ingat sekali, ketika ia mengenalkan Tsabit, teman seangkatannya sudah lebih dulu mengenal gadis kebangsaan Amerika-Sunda itu. Rupanya Tsabit terkenal
dikalangan pengguna instagram berkat video tutorial hijab yang ia peragakan. Peminatnya tak hanya kalangan anak muda, tapi juga kalangan ibu ibu muda sosialita.
Tak heran jika beberapa orang followersnya adalah para ibu ibu muda di acara besar tersebut. Siapa sangka acara reuni itu malah menjadi sorotan berkat
kehadiran Tsabit. Dan pastinya itu akan menjadi ladang menguntungkan bagi Kartika. Selain ketenarannya bertambah, ia juga dipandang hebat sebagai ibu yang
pintar mencarikan menantu cantik yang luar biasa untuk putranya. Siapa yang tidak bangga dengan predikat seperti itu. Terlebih Kartika adalah sosok yang
gila akan pujian. Tapi yang ia tidak habis pikir, apa yang membuat Tsabit nampak istimewa di mata mereka" Baginya, ia tidak lebih dari gadis biasa yang hoby memakai penutup
kepala. Perilaku pun sama seperti yang lain. Ya, walaupun ada sedikit perbedaan yang harus Kartika akui, Tsabit adalah gadis yang konsisten dan memiliki
prinsip. Ia tegas terhadap pilihan hidup yang menurutnya baik. Tapi ya hanya itu. Apa itu yang disebut hebat" Kartika sendiri juga bisa. Lantas, keistimewaan
apa lagi yang Tsabit punya sehingga kepamorannya mengalahkan Kartika.
Ditengah rasa ingin tahunya, perhatian Kartika teralihkan oleh samar samar suara orang yang berdengung. Gerakan tangan di atas layar sempat terhenti, ia
fokuskan pendengarannya yang berasal dari halaman belakang.
"Siapa yang ngaji siang siang gini?" Kartika menaruh tablet ke atas meja lampu lalu beranjak dari sofa berjalan menuju sumber suara. Sesampainya di halaman
belakang, tepat di kursi kayu disertai meja panjang di bawah pohon jambu yang rindang, nampak seorang gadis sedang duduk manis sambil menggenggam Al qur'an
mini di tangan. "Itu siapa yang lagi ngaji, Yati?" Tanya Kartika selagi Bu Yati lewat hendak ke dapur.
"Cah ayu, Nyonya" bu Yati langsung menutup mulut, mendapat tatapan bingung dari Kartika. "Maksud saya, mbak Tsabit, nyonya" setelah mendapat anggukan,
bu Yati pergi menuju dapur sambil tersenyum melihat Tsabit dari kejauhan.
Rasa penasaran Kartika perlahan memaksa kakinya untuk melangkah kesana. Menghampiri Tsabit yang sedang melantunkan ayat suci Al qur'an. Sesampainya disana,
Tsabit masih membaca, tidak menyadari keberadaan Kartika yang sudah duduk manis disebelahnya. Tidak ingin mengganggu, Kartika memilih duduk diam tenang
sembari mendengar ayat ayat indah yang keluar dari mulut menantunya.
Selagi mendengar, tanpa sadar kedua mata Kartika terpejam beberapa saat. Ia seperti merasakan kesejukan dan ketenangan lain yang tidak hanya berasal dari
pepohonan halaman rumahnya, tapi juga dari suara lembut gadis disampingnya. Kartika membuka mata lalu melirik. Tsabit menyudahi aktifitasnya lalu mencium
mushaf qur'an. "Tante, dari tadi ya disini?" Tanya Tsabit kebingungan.
"Iya. Kamu tidak keberatan, kan kalau saya diam diam mendengar kamu mengaji?" Ada senyum menyertai.
"Tentu tidak apa apa, tante. Justru saya senang. Karena Allah subhanahu wata'ala telah menjelaskan dalam beberapa firman-Nya, bahwa orang yang mau mendengarkan
Al-Qur'an, walaupun ia tidak bisa membacanya, akan mendapatkan kasih sayang dan rahmat dari Allah. Dan Allah akan memberikan ketenangan dalam batinnya
serta pahala mendengarkan Al-Qur'an" jawab Tsabit
"Benarkah" Kamu kata siapa?" Tanya Kartika ingin tahu.
"Ada di Al Qur'an ini" lantas Tsabit tersenyum. "Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu
mendapat rahmat. Al qur'an Surat Al A'raf ayat 204" jelas Tsabit.
"Dulu saya bisa mengaji. Tapi sekarang saya sibuk dengan pekerjaan hingga jadwal mengajinya terabaikan begitu saja" ungkap Kartika menyandarkan tubuh di
tepian meja. Menatap lurus halaman dibawah panas terik matahari.
"Sebagai orang yang mengaku muslim, kesibukan demi kesibukan sering membuat kita lalai membuka, membaca dan mentadaburi kitab suci umat muslim itu. Al
Qur'an hanya tergeletak di atas meja atau diam berdebu di tengah-tengah himpitan buku dalam lemari. Memang jika kitab suci Al Qur'an itu jatuh dari tempatnya,
segera sang pemilik rumah mengambil dan menciumnya sebagai tanda bukti cinta. Namun ia tak berniat membuka dan membacanya, ia kembalikan Al Qur'an tersebut
ke tempatnya sebagai pajangan yang melengkapi isi lemari" ada sindiran halus yang menohok Kartika saat itu juga. Ia merasakan kesulitan menelan ludah.
"Saya juga dulu seperti itu" ada kelegaan sedikit dalam diri Kartika. Rupanya tidak hanya dia yang seperti itu, hampir setiap manusia banyak yang melalaikan
Al qur'an. "Tapi saya tidak ingin terjatuh karena meninggalkan Al qur'an. Karena sudah jelas jelas Rasulullah bersabda 'barang siapa yang dalam dirinya
tidak baca Al qur'an, maka ia seperti halnya rumah yang roboh' itu yang menguatkan saya tetap membaca Al qur'an"
"Kalau boleh saya bertanya, menurut kamu, kenapa Tuhan menurunkan Al quran" Ini diluar perannya sebagai kitab suci ya. Bisa kamu kasih saya penjelasan
tentang itu?" Ada sorot keingin tahuan yang besar disana.
"Allah menurunkan Al qur'an untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia. Al quran adalah kitab petunjuk, bukan kitab kedokteran atau teknik, bukan kitab astronomi
atau kimia yang menghimpun berbagai ilmiah ilmu ilmu tersebut. Sekali lagi, Al qur'an hanya kitab hidayah illahi bagi perilaku manusia" Kartika menyimak
dalam sapuan mata menatap sekitar.
"Seperti halnya kita berpergian jauh. Tentu dalam menempuh perjalanan kita membutuhkan peta, bukan" Gunanya untuk apa kalau bukan untuk memberi petunjuk
jalan mana saja yang harus ditempuh agar sampai ke tujuan yang benar" ada anggukan kecil tercipta dari wanita itu.
"Sama halnya dengan Al qur'an. Selama manusia hidup di bumi Allah, kita memiliki tujuan yakni Akhirat, yang sifatnya abadi. Kita bakal hidup disana. Untuk
menempuh menuju sana tentu kita tidak punya petunjuk apa apa selain Al qur'an. Karena dari Al qur'an lah kita bisa tahu jalan kebenaran menuju jalanNya.
Islam sudah mengatur dengan baik bagaimana selayaknya menjadi umat yang taat kepada Tuhannya. Dan semua itu telah di terpapar jelas di Al qur'an. Semua
yang menyangkut kehidupan di dunia dan di akhirat ada disana. Kehidupan beribu abad silam bahkan hingga sekian tahun ke depan, Allah merancangnya disana"
Dalam diam, Kartika membenarkan. Ada secuil penyesalannya mengingat dulu hingga sekarang, keluarganya sangat jauh dari agama. Bahkan ia menomor sekiankan
agama ketimbang pendidikan akademik di luar sana. Matanya mengerjap sekali, lalu menoleh.
"Apa buktinya kalau di dalam Al quran ada peristiwa di kehidupan masa depan?"
Tsabit diam. Ia mengingat ngingat beberapa cerita yang pernah Rayyan ceritakan padanya. Ia pun memetik jari, pertanda ingatannya kembali. "Ketika beberapa
pilot atau astronot ditanya bagaimana perasaan dia ketika terbang atau menambah ketinggiannya" Mereka menjawab, kami merasakan semakin sesaknya dada kami
setiap kali mereka menambah ketinggian di udara sampai sampai kami merasa tercekik karena tidak mampu bernafas akibat semakin berkurang kadar oksigen"
"Lantas?" Kartika menatapnya penasaran. Tetap dalam peringai tenang.
"Satu hal yang ajaib, pada zaman Nabi Muhammad belum ada yang namanya pilot ataupun astronot. Akan tetapi, coba pahami arti ayat yang saya baca;
"Barang siapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya (untuk memeluk agama) islam. Dan barang siapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit , seolah olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa
kepada orang orang yang tidak beriman. Surat Al an' am ayat 125"
Kartika bukan orang yang bodoh. Jika dikaitkan memang ada saling berkesinambungan antara pengakuan astronom tersebut dengan ayat yang dibacakan Tsabit.
Barangsiapa berhak disesatkan Allah swt karena amal-amalnya yang buruk dan permusuhannya terhadap Islam, maka Allah swt. menjadikan dadanya sempit bila
mendengar mauizhah (nasihat) yang mengingatkannya tentang kebenaran Islam seperti sempitnya dada orang yang naik ke langit. Hal ini tidak diketahui manusia
yang tidak beriman sebelum mereka menggunakan pesawat terbang. Lalu apakah Nabi Muhammad saw. memiliki pesawat khusus untuk menyampaikan informasi ini"
Atau apakah yang disampaikan semata wahyu yang berasal dari ilmu Allah swt"!
"Mengapa kamu bisa tahu semua itu" Bukankah setahu saya kamu seorang muallaf?"
"Saya memang seorang muallaf. Tapi itu sudah lima tahun yang lalu. Kini saya adalah seorang muslimah. Saya ingin menjadi hamba Allah yang taat. Bukan hanya
sekedar muallaf. Hidup dan mati saya hanya untuk Allah" senyum sederhana itu mampu menarik Kartika agar ikut tersenyum meski separuhnya.
"Memang, apa yang Allah berikan kalau kita membaca dan mengamalkan Al qur'an" Saya lihat kamu begitu bersemangat sekali"
"Banyak sekali, tante" ada binaran mata indah menyapa Kartika. Dan sentuhan lembut menggenggam tangannya. "Diantaranya; Allah akan menjadikan kita sebaik
baiknya manusia. Dalam hadist riwayat Bukhari menjelaskan, 'sebaik baiknya kalian adalah siapa yang mempelajari Al quran dan mengamalkannya. Lalu pahala
yang berlipat. Seperti Rasulullah saw bersabda, 'siapa saja membaca satu huruf dari kitab Allah (Al quran), maka baginya satu kebaikan, dengan satu kebaikan
itu dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Hadist riwayat At tirmidzi"
Kartika ingin mengatakan sesuatu, baru membuka mulut, genggaman Tsabit ditangannya semakin erat seiring antusiasnya menjelaskan keutamaan membaca Al quran.
Persis seperti tingkah anak kecil yang menceritakan suasana di sekolah barunya.
"Dan ada lagi, tante. Pembaca Al quran akan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam Surga. Dan tidak hanya itu, dengan membaca Al quran, saya bisa memuliakan
kedua orang tua saya di hari kiamat kelak. 'Siapa saja membaca Al quran, mempelajarinya dan mengamalkannya maka dipakaikan kepada kedua orang tuanya pada
hari kiamat mahkota dari cahaya dan sinarnya bagaikan sinar matahari, dan dikenakannya pada kedua orang tuanya dua perhiasan yang nilainya tak tertandingi
oleh dunia. Kedua orang tuanya pun bertanya, 'bagaimana dipakaikan kepada kami ini semua"' Dijawab 'karena anakmu telah membawa Al quran'" Tsabit ingat
sekali itu hadist pertama yang ia tahu dari Idzar sewaktu ia tengah mengagumi sosok hafiz cilik yang sering ia lihat di televisi. Sampai sekarang ia tidak
pernah bosan menonton aksi hafiz hafiz tersebut melalui akun youtubenya. Malah menjadikannya konsumsi sehari hari.
Kartika merasa merinding luar biasa. Bulu tengkuknya berdiri kaku. Ia mengusap bagian itu dengan perasaan lain. Alih alih Tsabit ingin membuat mertuanya
terperangah karena keistimewaan Al quran, ia malah membuat Kartika diam membisu seperti orang ketakutan. Apa nada bicaranya tadi menyeramkan" Atau ada
yang salah dari ucapannya barusan"
"Tante?" Tsabit melepas genggamam seraya memerhatikan raut wajah Kartika. "Tante, baik baik saja" Saya salah ngomong ya" Maaf."
Kartika tersadar. "Tidak Tsabit. Kamu tidak salah bicara. Saya yang salah" ia tersenyum tidak enak hati.
"Tante salah apa memangnya?" Tsabit menggaruk garuk hidung dengan wajah polos.
"Karena sudah tega membawa gadis sesuci kamu ke dalam kehidupan hedonis saya yang menyesatkan" andai Kartika bisa mengatakan itu, pasti ia akan mengucapkannya.
Sayangnya, kalimat itu hanya bisa ia simpan dalam hati, membiarkan Tsabit menunggu.
"Tante?" Kartika tersadar lagi.
"Ah, iya" Maaf" ia merapikan rambut dengan mengusapnnya. "Saya harus kembali ke kamar. Kepala saya mendadak pusing"
"Mau saya antar?"
"Tidak perlu. Kamu lanjutkan saja mengajinya" ujarnya tersenyum sambil berjalan meninggalkan Tsabit dalam kecemasan. Tak lama ia berbalik hanya untuk mengatakan,
"Mulai hari ini jangan panggil saya 'tante'. Saya lebih suka kamu memanggil saya dengan sebutan 'mama'"
Ada semburat merah memenuhi wajah Tsabit. Ia mengulum senyum menatap kepergian Kartika yang perlahan hilang dari peredaran mata.
*** Seorang gadis nampak gelisah di sudut taman. Wajahnya menampakan kekhawatiran sembari melirik jam tangan. Diletakannya tas berbentuk bibir miliknya ke
atas paha, lalu mengambil ponsel. Rangkaian pesan singkat ia kirim kepada seseorang disana.
Setelah memutar lehernya ke kanan dan ke kiri, sosok yang ia tunggu pun datang menghampiri. Sebuah pelukan hangat menyambut keduanya. Dalam tautan yang
erat mereka menuang rindu yang semakin tidak tahu diri. Datang begitu saja tanpa memikirkan bagaimana caranya untuk pergi. Itulah rindu yang mereka rasakan.
"Aku rindu pelukan ini. Rasanya tidak berubah. Tetap hangat dan menenangkan. Aku rindu orang yang setiap harinya memberi pelukan ini" ungkap si gadis dalam
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelukan erat sang kekasih.
"Aku pun begitu sayang. Bersabarlah sampai waktu yang akan mempertemukan kita dalam ikatan yang lain. Missing you like crazy, babe"
Mereka saling melepas pelukan perlahan. "Kapan kamu menceraikan dia" Melihat kamu bersanding di pelaminan dengan perempuan itu, cukup berhasil membuat
luka aku, Sa! Aku terluka melihat kamu sama dia" ungkap Fania menahan tangis.
"Kamu bersabar ya sayang, aku pasti tepatin janji aku. Kita bakal menikah secepatnya. Tapi aku mohon kamu mau bersabar sedikit aja. Mau ya?" Arsa mengecup
lembut genggaman tangannya kepada Fania.
"Tapi sampai kapan aku harus bersabar, ay" Aku tersiksa ngeliat berita kemesraan kamu di media. Sakit banget rasanya" akhirnya tangis itu terjun menuruni
pipi kemerahan Fania. Ada sentuhan lembut mengusap aliran bening itu.
"Secepatnya. Semua akan indah pada waktunya. Percaya sama aku" ucap Arsa mantap.
Mereka kembali berpelukan. Sayangnya itu tidak bertahan lama. Arsa kebur teringat sesuatu. Kepalanya berputar mengitari sekeliling taman.
"Kamu kenapa, ay?" Tanya Fania melihat raut cemas Arsa seusai melepas pelukan keduanya.
"Sebaiknya kita cari tempat lain yang lebih aman. Aku takut ada wartawan yang ngikutin kita. Bisa bahaya kalau aku ketahuan pergi sama kamu"
Fania mengusulkan suatu tempat yang ia yakin tidak ada yang tahu. Mereka pun pergi menuju tempat tersebut. Selagi berjalan, tercipta seringai tipis dari
wajah gadis itu. *** Tsabit bersiap menyalakan mesin mobilnya. Setelah semua telah siap, mulai dari isi tas, pakaian yang dikenakan pun telah rapi, tak lupa izin dari Kartika
untuk dirinya pergi keluar mengunjungi Aufa.
Sebelum menginjak pedal gas, muncul ide iseng Tsabit. Sambil terkekeh geli, ia keluarkan ponsel pintarnya, membuka ikon kamera lalu menghadapkannya ke
arah wajah. Dalam satu jepretan, ponsel tersebut berhasil menampilkan satu gambar wajah dirinya. Berbekal senyum sederhana sambil memperlihatkan giginya,
membuat gadis itu nampak cantik apalagi dengan memakai pashmina wolfis motif bunga dahlia ungu.
Berbekal senyum sederhana sambil memperlihatkan giginya, membuat gadis itu nampak cantik apalagi dengan memakai pashmina wolfis motif bunga dahlia ungu
"Hihihi.. kantung mataku begini banget. Tapi lucu sih" ucap Tsabit agak tertawa, setelah melihat hasil jepretannya. Tangannya sibuk memegang area kantung
mata. Tidak memakan waktu lama untuk Tsabit menempuh perjalanan menuju kediaman Aufa. Sesampainya disana, Tsabit disambut kondisi Aufa yang sedikit berbeda.
Perutnya semakin membesar. Terlihat sekali dalam balutan gamis berwarna hitam andalannya.
"Baru 8 minggu kok gede banget ya, fa" Kayaknya anak kamu nanti gemuk, deh" ucap Tsabit asal sambil mengunyah kue nastar suguhan Aufa.
"Kayaknya sih. Tapi gak apa apa lah. Mau Allah kasih gimana aku tetep bersyukur dia bisa lahir ke dunia nanti" jawab Aufa lembut memegangi permukaan perut.
Setelah itu ia menoleh. "Kamu kok sendirian kesini" Suamimu mana?" Aufa ikut menikmati nastar di toples.
"Lagi pergi ketemu temennya. Biasalah nongkrong nongkrong"
"Oh iya aku lupa. Kamu kan nikah sama brondong ya" ledek Aufa dengan muka imut imut nyebelin khasnya. Tsabit mencebik keki.
"Becanda ya, sayang" Aufa merangkul pundak Tsabit.
"Gak apa apa kok. Emang bener sih aku nikah sama brondong, nyebelin lagi orangnya" ucapnya santai.
"Biar nyebelin juga suami kamu. Kunci surga kamu ada sama dia, bit"
"Gimana mau megang kunci surga, sholatnya aja harus,..." Tsabit tersentak lalu menutup mulutnya otomatis menghentikan ucapannya di tengah jalan. Ia ingat
pesan mama, bahwa Aib suami adalah aib dirinya juga. Seorang istri harus bisa menjaga aib suami seburuk apapun, dimana pun, dan kapan pun. Tsabit menepuk
jidat setelah itu. Aufa mengerut heran. "Kok berhenti?"
"Eh, gak apa apa. Oh ya, suami kamu belum pulang?" Tsabit mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Belum. Masih lama. Dia lembur terus sekarang. Akunya kesepian,deh" keluh Aufa. Beberapa hari ini Idzar memang disibukan dengan pekerjaan. Bahkan dalam
sebulan setiap minggunya ia harus masuk. Kalaupun ada libur, hanya ada beberapa hari saja. Disaat Aufa membutuhkan perhatian lebih sang suami, justru Idzar
harus menghadapi lembur. "Lembur dua jam apa empat jam?"
"Dua jam lah. Kalau empat jam aku gak sanggup deh" kalau lembur dua jam, biasanya sampai pukul 6 sore. Sedangkan lembur 4 jam bisa sampai jam 9 malam.
"Kamu ambil cuti berapa hari?" Tanya Aufa lagi.
"Seminggu doang" Tsabit beralih menikmati kue biji ketapang, yang katanya hasil buatan tangan Aufa.
"Eh, kamu nemenin aku ya disini, sampe Idzar pulang, gimana?" Sambil memeluk lengan Tsabit satunya Aufa memohon. Sambil mengunyah Tsabit memasang wajah
sok berpikir. "Mmm, gimana ya" Mau gak yaa?"
"Ayo dong, temenin. Sampai bada' maghrib doang, kok. Nanti kamu sholat maghrib disini aja" rengek Aufa. Maklum ibu hamil apa apa harus dituruti.
"Yauda deh aku mau. Tapi aku izin ke mertua aku dulu. Terus kue biji ketapangnya aku abisin, gak apa apa ya?" Tawar Tsabit sambil menaik turunkan alisnya
menyeringai jahil. Aufa menipiskan bibir seraya membuang nafas, lalu menggeleng.
"Abisin aja. Kalau perlu nastarnya kamu bawa pulang juga boleh"
"Beneran" Asyik!" Seru Tsabit girang. Anggap saja itu imbalan Tsabit menemaninya hari ini. Orang seperti Tsabit tergolong tidak menyusahkan. Kalau ada
apa apa, cukup jejelin makanan yang banyak juga diem.
*** Dalam perjalanan pulang, Tsabit menyalakan musik pada tape di mobil. Alunan musik gambus mengiringi perjalanannya. Sayangnya jalanan menuju pulang agak
sepi. Terlebih ketika ia melewati jalan yang tidak biasa ia lewati. Kata Aufa kalau lewat jalan sini, bisa memotong jalan. Memang sih, bisa motong jalan.
Tapi kalau jalanan sepi seperti ini juga lebih baik Tsabit lewat jalan biasanya.
Ketika mobil itu melintasi jalan besar yang di kiri dan kanannya terdapat kebun pisang. Mungkin bukan jalan besar, lebih tepatnya gang besar kali ya. Karena
jalanan ini tidak cukup dilewati dua mobil. Bagaimana kalau ada mobil datang dari arah berlawanan" Apa yang harus Tsabit katakan pada Kartika. Masih untung
dia mau meminjamkan mobilnya. Itu pun belum termasuk sopir.
"Astaghfirullah. Kenapa perasaan jadi gak enak gini ya?" Tsabit bergumam dalam kemudi fokus pada jalanan. Kalau tahu begitu, ia terima saja tawaran Idzar
mengantarnya. Tentu bersama Aufa juga yang menemani. Sayangnya ia tidak mau mengganggu keduanya. Idzar pasti lelah seharian bekerja. Dan Aufa sedang hamil,
takut terjadi apa apa. Dan saat itu juga, ada sebuah sepeda motor yang diisi dua orang berhenti tiba tiba di depan mobilnya. Tsabit menegang siaga. Ia buru buru mengunci pintu
dan jendela mobil. Pasti mereka orang jahat.
Dugaanya benar. Setelah dua orang itu turun dari mobil mereka langsung menyerang mobil yang dikendarai Tsabit dengan mengetuk ngetuk kasar kaca jendela.
"Woy! Woy! Buka buka! Cepet!" Salah satu dari mereka yang bernampilan sangar layaknya preman berteriak kasar. Ditangannya terdapat pisau. Tsabit panik
sambil mengelus dada. Dalam hati ia membaca ayat kursi.
"Eh! Gue bilang buka buka! Jangan sampe gue pecahin ni kaca!" Ancam pria satunya yang memakai topi kupluk hitam. Wajahnya biasa saja. Tapi suaranya berat
dan menyeramkan. Tsabit menarik nafas berusaha tetap tenang. Ingat! Allah bersama kita. Bismillah.
"Kalian mau apa?" Tantang Tsabit usai membuka pintu lalu menutupnya. Ia sempatkan tangan satunya untuk mengunci pintu mobil dari luar dengan posisi menghadap
mereka. "Serahin barang berharga lu. Duit, hape, perhiasan, laptop, semua yang lu punya, cepet!" Si Pria sangar menodongnya dengan pisau. Tsabit menarik wajah
siaga menatap pisau di dekatnya.
"Enak aja. Kerja dong, mas. Saya susah susah kerja banting tulang masa hasilnya buat situ!"
Tsabit cari perkara. Ah, masa bodoh. Mempertahankan barang berharga milik kita juga dianjurkan. Tapi sayangnya, Tsabit lupa hadistnya.
"Lo nantangin"! Ini kita lagi kerja, bego"!!" Pisau itu didorongnya tapi tidak sampai menyentuh wajah Tsabit.
"Kerja tuh yang halal, mas. Mas gak kasian sama anak istri dirumah" Dikasih makan hasil uang haram. Beraninya sama perempuan lagi. Coba bayangin kalo istri
mas di posisi saya?" Ancam Tsabit menaikan dagu dengan gaya sok berani. Padahal mah hatinya was was tidak karuan. Tidak cuma ayat kursi, dua kalimat syahadat,
dan tahlil pun ia lantunkan dalam hati. Takut takut kalau nyawanya melayang, setidaknya dalam keadaan mati syahid.
"Eh, lo berani sama gua"! Gua gak butuh ceramah! Jangan banyak bacot lu, cepetan serahin barang barang lu! Atau gua sobek muka lu, cepet!" Tsabit diam.
Si pria sangar itu mengintruksi rekan sesama preman berkupluk untuk membuka pintu mobil, sedang ia menahan Tsabit. Gadis itu melirik.
Merasa ada kesempatan, Tsabit menginjak kuat kuat kaki pria sangar yang menahannya. Setelah ia meringis kesakitan, ia semprotkan gas air mata yang sudah
ia siapkan dalam genggaman ke mata pria itu. Sontak saja preman sangar itu mengaduh perih sambil mengusap matanya.
"Emang enak" cibir Tsabit. Tinggal preman satunya yang harus ia tangani. "Sialan nih cewek!" Umpatnya bersiap menyerang Tsabit dengan tonjokan. Tapi Tsabit
lebih gesit menghindar dari serangan tersebut dengan menunduk. Lalu ia melayangkan tinju ke perutnya. Preman berkupluk itu hanya mengaduh sekali. Sayangnya
kekuatan pria lebih mendominasi. Tonjokannya sama sekali tidak berpengaruh.
Ia berjalan misterius mendekati Tsabit sambil menyeringai bahaya. Tsabit berjalan mundur perlahan sambil memasang kuda kuda.
"Mas jangan macem macem! Maju sedikit, saya bakal teriak!" Ancam Tsabit mulai panik.
"Teriak aja sono! Paling yang nyahut kuntilanak pohon pisang" preman itu tertawa puas. Tsabit menatap sekeliling. Ketika pria itu semakin dekat lalu hendak
mengepungnya, Tsabit menggelindingkan tubuhnya menghindar dari serangan tersebut.
"Ni cewek minta di ajak seneng seneng, rupanya" gumam pria itu sambil mengusap bibir bawah, menatapnya bak serigala yang siap menikmati mangsa.
"Cemen banget lu, beraninya sama cewek! Besok tukeran daster aje sama bini lu!"
Teriak seseorang dari arah lain. Si preman berkupluk mencari cari asal suara. "Lo yang cemen! Sini kalo berani lawan gua! Gua abisini ni cewek" tantang
preman itu mengedarkan pandangan ke segala arah.
"Mata lo buta"! Gua disini!"
Si preman maupun Tsabit mengarahkan pandangan ke arah ujung jalan dekat semak semak. Sontak saja Tsabit membulatkan kedua matanya lebar lebar.
"Lah, Arsa" Katanya lagi mau nongkrong sama temen di Cafe" bisik Tsabit terheran heran.
"Jiah! Gue suruh lawan bocah ingusan macem begini. Mending pulang lu, tong! Cuci kaki cuci tangan bobok!" Ledek si preman tertawa terpingkal pingkal menepuk
pahanya kegirangan. Kalau lawannya seperti ini, disentil sedikit juga terbang, pikirnya.
"Ngomong doang digedein. Kalo takut bilang, banci!" Untuk urusan bacot membacot Tsabit akui, Arsa jagonya. Ilmunya sudah khatam.
Tidak terima dikatai banci, preman berkupluk itu langsung saja menyerang Arsa hingga mereka terlibat pertarungan sengit. Ini pertama kalinya Tsabit melihat
pertarungan langsung dua pria. Dan salah satunya adalah suaminya sendiri. Harusnya Tsabit bangga atau khawatir" Aih, kenapa jadi memikirkan itu, sih"
Ketika asyik mengamati pertarungan dihadapannya, Tsabit lupa bahwa preman berwajah sangar bakal sadar karena efek gas air mata itu tidak bertahan lama.
Dan sebelum Tsabit bertindak, preman yang dimaksud sudah lebih dulu ambil posisi menahan pergelangan tangan Tsabit ke belakang lengkap dengan pisau mengepungnya
dekat leher. "Woy! Ceweknya udah sama gue nih!" Teriak preman sangar itu memberi tahu rekannya. Arsa mendengar seraya mengarahkan pandangan ke arah dimana Tsabit di
kepung olehnya. "Tsabit" gumam Arsa cemas menatap gadis itu dari tempatnya bertarung.
"Arsa awas! Dibelakang kamu!" Sergah Tsabit mengingatkan, karena kefokusan pria itu teralihkan sehingga dengan mudah preman berkupluk melayangkan pukulan
ke punggung. Arsa langsung menghantamnnya dengan tinju yang tak kalah kuat.
"Gile! Jago juga pacar lu" ucap preman sangar yang menahan Tsabit.
"Iya lah. Hebat kan"! Dia suami saya, mas. Juara satu taekwondo tingkat Asia" disaat seperti ini sempat sempatnya Tsabit membanggakan sang suami. Tapi
nyatanya, pujian itu berhasil membuat preman sangar itu was was. Takut kalau temannya kalah.
"Mampus lo! Masih bocah mau lawan gue!"
Apa tadi katanya" Arsa kenapa" Perhatian Tsabit tertuju pada sosok terkulai tak berdaya di atas tanah merah. Ia melihat pria itu meringis kesakitan memegangi dadanya. Arsa terkena pukulan
keras di bagian dada sehingga ia tak mampu mempertahankan diri.
"Pacar lo baru segitu aja udah K.O! Payah!"
Seperti mendapat kekuatan lain, usai menatap Arsa dalam ketidak berdayaannya. Tsabit menatap dua preman jahat itu dengan geram. Sambil mengumpulkan segenap
kekuatan, Tsabit menarik nafas lalu langsung saja menggigit lengan yang mengepungnya dengan sekuat tenaga. Disaat preman itu kesakitan, Tsabit berhasil
melepas diri lalu merebut pisau dari tangannya.
"Lo udah bikin suami gue kayak gitu. Sekarang giliran lo yang gue bikin mati. Sini kalo berani!" Tsabit menunjukan wujud aslinya. Ia menatap dua preman
itu dengan bengis sambil menodongkan pisau ke arah mereka.
Ketika dua preman itu menyerang bersamaan, Tsabit sudah bersiap menyerangnya. Kaki kanan ia gunakan untuk menendang selangkangan preman sangar, lalu tangan
kiri ia gunakan untuk menyemprotkan gas air mata secara terus menerus ke arah mata preman berkupluk. Beruntung saraf motoriknya sangat peka sehingga ia
bisa bergerak lebih cepat dari mereka.
Keduanya mengaduh kesakitan dan kepanasan. Tsabit mendorong preman sangar hingga ia terjerembat ke kubangan air keruh bertanah merah lalu ia menamparnya
bolak balik sambil berkata, "Jangan mentang mentang gue cewek ya. Sekarang lo pilih, rumah sakit atau kuburan. Liat tuh temen lo udah semaput matanya sama
gue!" Si preman sangar itu mengaduh kesakitan lalu minta ampun berulang ulang. Tamparan Tsabit rupanya lebih menyiksa ketimbang pukulan tinju. Sampai akhirnya
beberapa warga sekitar datang menghampiri untuk menolong. Yang terbesit pertama di pikiran Tsabit adalah, siapa sudah yang menghubungi warga sebanyak ini"
*** "Arsa, bangun, sa" Tsabit menepuk nepuk pipi Arsa yang belum tersadar. Tidak ada respon. Ada lebam di area pipi dan hidungnya mengeluarkan darah. Tsabit
semakin panik. Sedangkan warga semuanya menyeret dua preman ke pihak yang berwajib. Tersisa dirinya dan Arsa. Tapi,..
"Astaga sayang. Kamu kenapa bisa kayak gini"
Telinga Tsabit menangkap suara dari arah dimana mobil Arsa terparkir di ujung jalan. Seorang wanita berlari kecil menghampiri Arsa dengan kecemasan yang
sama. "Sayang, bangun. Kamu gak boleh mati. Kamu apain dia sampai kayak gini?" Tanya gadis cantik itu menangis sejadi jadinya melihat kondisi Arsa. Alih alih
menjawab, Tsabit hanya diam menatap Fania dalam kecemasannya.
"Kamu dengar aku, kan sayang" Kamu tenang ya, aku udah telepon polisi buat urus penjahat itu" Fania menguncangkan tubuh Arsa sambil sesekali memeluk pria
itu dalam pangkuan. Tsabit masih diam bergeming tak berdaya sejak kedatangan Fania ditengah mereka. Bibirnya bergetar samar. Ada gelanyar perih yang menyerang
tubuh bagian hati. Perihnya bak luka baru yang ditetesi air garam.
Dilihatnya lagi Fania mengusap lembut rambut Arsa. Tetesan air matanya bahkan menetes membasahi wajah Arsa. Di dekapnya pria itu dalam pangkuan hangat.
Tsabit benci interaksi mereka. Bukan karena hal lain, tapi Arsa adalah suaminya. Gadis itu tidak berhak memegang atau bahkan menyentuhnya dengan intim.
Tidak ingin suaminya berlama lama dalam pelukan Fania, Tsabit berinisiatif mengangkat tubuh Arsa dengan menyalipkan tangan kanan diantara tengkuk leher
dan punggung. Tangan satunya ia salipkan di lipatan kaki suaminya. Fania terkesiap.
"Mau kamu bawa kemana?"
"Arsa bisa mati kalau hanya terus terusan ditangisi. Dia harus dibawa ke rumah sakit" kalimatnya berhasil menyindir Fania. Sambil susah payah ia berusaha
membopong tubuh Arsa. Nyatanya Tsabit hanya bisa memapahnya sambil berjalan. Tubuh Arsa kelewat besar.
"Aku ikut" Fania beranjak dari duduk simpuhnya seraya merapikan dress mini merah seksinya. Tsabit menoleh ke belakang. "Tidak perlu. Mendingan kamu pulang.
Sebelum ada preman lain melakukan hal yang sama terhadap kamu"
Fania mendegus pendek seraya menyibak rambut ke belakang lalu melipat tangan angkuh. "Tapi aku pacarnya Arsa" ucapan itu terdengar lantang di telinga Tsabit.
Ketika akan melanjutkan perjalanan, Tsabit menoleh lagi.
"Dan saya istri sahnya Arsa"
Ada penekanan pada tiga kata terakhir yang Tsabit ucapkan. Sukses membuat Fania diam tak bersuara lalu memilih pergi dengan berjalan menghentak hentakan
kaki sebal. Sebelum masuk ke dalam mobil, dilihatnya lagi dari jauh Tsabit sedang bersusah payah membawa Arsa menuju mobil. Dan seringai tipis itu kembali
muncul. *** TBC... 14. Mutiara yang tersembunyi
Pintu mobil itu terbuka lebar. Sosok pria paruh bayah berpakaian safari berjalan buru buru memutari separuh mobil menuju pintu penumpang lalu membukanya.
Sambil menunduk hormat, ia persilakan seorang wanita keluar dari sana. Ia tidak sendiri, setelahnya ada sosok pria lalu kemudian ada sosok gadis yang keluar
terakhir dari sana. Dua wanita itu menuntun seorang pria berjalan secara tertatih. Masing masing dari mereka mengerat dua lengan kekar si pria yang nampak kokoh dari luar,
namun begitu rapuh setelah musibah yang menimpanya kemarin.
Sesampainya mereka di depan kamar, ada pria lain yang keluar menyambut mereka.
"Selama masa perawatan, kamu istirahat di kamar ini aja. Mas udah suruh Sari bersihin semuanya. Untuk sementara kamu tidur disini. Kamar kamu dikosongin
aja dulu ya" katanya.
"Gue gak mau tidur di sana, mas. Gue mau tidur di kamar gue aja" tolak Arsa begitu saja. Ia hendak berjalan menuju kamarnya, namun dua wanita yang memegangi
tangannya menahan dengan tatapan menuntut.
"Kamu jangan keras kepala, Arsa. Mas Abrar sudah repot repot bantuin Sari siapin kamar perawatan khusus buat kamu. Masa kamu mau tidur di kamar lain, sih"
ujar Kartika. "Itu kan kamar aku, ma. Masa aku gak boleh tidur disana, sih" sungut Arsa protes.
"Yang bilang gak boleh siapa" Boleh. Tapi nanti kalau kamu udah pulih, nak" Kartika begitu sabar menghadapi kekeraskepalaan Arsa. Gadis satunya yang memegangi
lengan Arsa yang lain, hanya menyimak perdebatan mereka.
"Lagian kan sama aja kamar yang ini sama yang itu" balasnya lagi.
"Kamar ini lebih steril dan lebih luas. Nanti perawat yang merawat kamu juga nyaman ngurusin kamu. Coba kalo pake kamar kamu yang itu. Udah sempit, gak
terawat lagi" mungkin bagi Kartika ukuran luas menurutnya seluas lapangan bola. Padahal kamar Arsa termasuk kamar terbesar yang pernah Tsabit temui. Dan
wanita itu lupa satu hal, pasti sejak pernikahannya dengan Tsabit, Kartika belum mengecheck kamar Arsa. Kamar itu nampak lebih baik dari sebelumnya. Sejak
keberadaan Tsabit disana. Tidak ada selimut maupun sprei berserakan. Meja meja terlihat lebih berisi dan tetap terjaga kerapihannya. Bagian kolong tempat
tidur juga tidak lagi berdebu karena jarang tersentuh sapu ataupun vacum cleaner. Tsabit merawat kamarnya dengan sangat baik. Baginya kamar suami adalah
kamar ia juga. "Aku gak mau pake perawat"
Kartika menatapnya heran. "Lantas siapa yang akan merawat kamu kalau bukan perawat, sa?"
"Dia" kepala Arsa menoleh ke arah kanan. Tepat ke seorang gadis yang begitu setia menemani Arsa di rumah sakit selama seharian ini." Tsabit menatap tidak
percaya. "Saya?" Bisik Tsabit mengerjap bodoh sambil menunjuk dirinya." Arsa sebal sekali dengan respon itu. Ekspresi minta dijitak.
"Ya iyalah. Siapa lagi" Fania?"
"Gak boleh!" Sahut Tsabit dalam tempo cepat. "Oke. Saya mau." Sontak saja ketika Arsa mengucap nama itu, Tsabit langsung cekatan menerima permintaan Arsa
menjadi perawatnya seraya mengerat kuat genggaman di lengannya.
"Nah gitu dong" Arsa menyimpan geli dalam hati. Saking tidak kuat menahan, tercipta senyum kecil samar.
Sampai mati pun, Tsabit tidak akan membiarkan Fania menyentuh Arsa kedua kalinya. Masa bodoh dengan status mereka. Pacaran kan tidak diridhoi Allah, buat
apa Tsabit takut melawan sesuatu yang dibenci Allah. Dan spontanitas yang terjadi barusan karena Tsabit ingin menjaga Arsa dari dosa. Apa jadinya kalau
nanti Fania yang merawat Arsa selama sakit" Dan jangan kaitkan dengan perasaan cemburu. Itu berbeda. Tsabit tidak cemburu. Mungkin, belum.
Didalam kamar hanya ada Arsa dan Kartika. Wanita itu meminta waktu untuk berbicara empat mata dengan Arsa sebentar. Ketika Arsa berada di posisi nyaman,
bersandar pada punggung ranjang meluruskan kaki yang tertutupi selimut, Kartika berdiri menyambar sebuah koran dari meja.
"Baca ini!" Perintahnya memposisikan koran berdiri tepat di hadapan Arsa menunjukan headline yang tertera disana dalam tulisan besar.
KEPERGOK; SEBELUM DILARIKAN KE RUMAH SAKIT, ARSA DIPEREBUTKAN DUA WANITA.
"Dan baca ini juga" setelah menaruh koran, Kartika menyodorkan tablet miliknya.
BELUM LAMA MENIKAH, HUBUNGAN ARSA DAN TSABIT DILANDA ISU ORANG KETIGA. SIAPA DIA"
Setelah kiranya Arsa usai membaca rangkaian berita disana, Kartika menarik kembali tablet lalu duduk di tepi ranjang menatap Arsa serius. "Kamu udah berani
ya bohongin mama. Hebat! Diem diem pergi menemui Fania. Ingat status kamu, sa"
Arsa menghela seraya memalingkan wajah, "Mama juga harus inget. Status aku sama Tsabit bukan pernikahan yang serius. Engga lebih dari sekedar pembersihan
nama baik, ya kan?" "Tapi karena ulah kamu, nama baik kita yang awalnya bersih berkat keberadaan Tsabit, harus kembali tercoreng oleh berita murahan ini" Kartika memberi kilatan
pada mata. "Kamu udah berjanji, meskipun status pernikahan ini hanya main main, bukan berarti kamu juga bisa main main seenaknya. Ini bukan perkara sepele.
Kamu harus serius memainkan peran kamu, Arsa"
Arsa diam. Masih terlihat lebam biru di pipi sebelah kiri bekas pukulan preman waktu itu.
"Jauhi Fania. Paling tidak selama status kamu masih seorang suami. Hargai posisi Tsabit sebagai istri kamu, sekaligus kunci penolong kita. Dia sudah banyak
berkorban demi pernikahan ini"
Arsa memberi tatapan menilai. "Aku mencium bau bau ketertarikan mama terhadap personality Tsabit. Jangan bilang mama mulai menyukai cewek primitif itu"
tebak Arsa seraya menyipit curiga. Kartika membuang nafas berat lalu berdiri.
"Terkadang untuk mendapatkan mutiara murni, kita harus menyelam lautan lebih dalam. Dan tidak selamanya apa yang kita lihat adalah apa yang menggambarkannya.
Seperti kamu melihat sampah. Kalau kita tidak ingin tahu, kita tidak akan tahu bahwa sampah itu bisa didaur ulang menjadi sesuatu yang nilainya lebih berharga"
lantas ia memilh pergi berjalan keluar kamar, meninggalkan teka teki yang membuat Arsa berpikir keras.
Setelah keluar kamar, Kartika mendapati Tsabit berjalan dari arah dapur membawa mangkuk kecil berisi sesuatu.
"Apa itu, Tsabit?"
"Ini ramuan tradisional. Mama saya biasa pakaikan ini ke saya kalau dada terasa sakit" Kartika meng-oh lalu menyilakan Tsabit menemui Arsa di kamar.
*** Sesampainya di kamar, Tsabit melihat keberadaan Arsa di tempat tidur sedang duduk bersila sambil menggerak gerakan lengannya secara perlahan. Gerakannya
seperti orang mengangkat barble.
"Masih sakit, ya?" Tanya Tsabit ingin tahu, menduduki kursi lipat yang didekatkan ke ranjang. Arsa menoleh sedikit.
"Engga, cuma pegel. Tapi ini mah gak seberapa. Gue pernah ngelawan 3 preman sekaligus" gaya bicaranya sok paling jago.
"Trus kamu menang?"
"Ya menang lah. Ini karena lagi apes aja gue sampe pingsan. Besok besok lo sodorin preman ke gue juga langsung K.O" tingkat percaya diri Arsa sudah sangat
berlebihan. Semakin Tsabit menanggapi akan semakin sombong dia. Iyakan saja biar dia senang, pikir Tsabit
"Buka kemeja kamu" perintah Tsabit mendekatkan diri ke arah Arsa. Pria itu mengambil siaga sambil mengamati mangkuk yang dibawa Tsabit. "Mau ngapain lo"
apaan tuh" makanan?" Tanyanya gusar.
"Ini kencur yang ditumbuk pakai air hangat. Gunanya mengurangi rasa sakit di dada kamu" jelas Tsabit.
"Dimakan?" "Engga. Cuma dilumurin di area dada. Nanti sore baru dibersihkan" tangan Tsabit gesit mengaduk ngaduk ramuan kencur untuk siap diaplikasikan di tubuh suaminya.
"Buka kemejanya buruan"
"Kok bau gitu, sih?" Arsa menatap jijik ramuan tersebut sambil menutup hidung.
"Namanya juga obat tradisional. Udah deh gak usah bawel. Mau sembuh gak?" Tsabit geregetan sendiri dibuatnya. Arsa pun menurut. Ia membuka satu satu kancing
kemejanya. Tubuh atletis Arsa terlihat jelas di penglihatan Tsabit. Bagaimana tidak. Ini pertama kalinya Tsabit melihat langsung pria bertelanjang dada. Padahal maksud
Tsabit membuka kancing kemejanya saja. Bukan bertelanjang dada seperti ini. Jangan salahkan siapa siapa kalau Tsabit mendadak salah tingkah ketika melumuri
ramuan kencur ke area dada pria itu.
"Adem banget ya" ungkap Arsa merasakan effek dari ramuan yang merata di dadanya.
"Emang iya. Nanti lama lama jadi hangat. Ntar badan kamu jadi enakan, deh"
Tsabit tidak berani menatap wajah Arsa. Kalau ia mendongak sedikit saja, maka wajah innocent itu akan menyapanya lalu menyihirnya perlahan. Dalam aktifitasnya,
berkali kali Tsabit mengatur nafas diam diam. Jangan sampai Arsa tahu kalau dirinya sedang menahan perasaan aneh yang mengganjal. Selama pengobatan itu
berlangsung, hanya keheningan menemani mereka.
Berbeda dengan Tsabit. Justru Arsa secara terang terangan mengamati pergerakan tangan Tsabit ditubuhnya. Sesekali ia menatap keseriusan gadis itu dalam
merawatnya. Dalam pengamatannya, ia juga sambil menelaah maksud ucapan Kartika tadi tentang personality Tsabit. Apa yang dimaksud Kartika, mutiara murni
itu adalah Gadis primitif ini" Tanyanya dalam hati.
"Lo masih marah ya sama gue?" Tanya Arsa di sela aktifitas, mengganggu konsentrasi Tsabit. Ia melirik sedikit ke atas.
"Marah untuk?"
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yaelah masa harus gue jelasin, sih. Gue udah bikin salah sama lo"
"Kesalahan yang mana" Kesalahan kamu kan banyak. Saya gak inget satu satu" Arsa mencebik sebal.
"Yaelah, sebanyak apa sih. Baru bohongin lo doang kan waktu itu"
"Itu salah satunya"
"Terus yang lain?" Arsa menegakan tubuh penasaran.
"Kan udah saya bilang. Saya gak inget satu persatu kesalahan kamu. Gak penting juga"
Arsa mengatupkan bibir, lalu mengembungkan mulutnya sambil menghembuskan udara. Ia jadi serba salah sendiri ingin meminta maaf kepada Tsabit. Respon gadis
itu sangat dingin. Sudah diduga, pasti Tsabit marah karena ia sudah membohonginya. Alih alih pergi menemui temannya, malah pergi kencan dengan Fania. Perempuan
kalau sudah banyak diam, itu pertanda kiamat. Diamnya perempuan itu horor.
"Selesai" Tsabit melepas tangan dari tubuh Arsa. "Abis ini jangan lupa diminum obatnya" pesan Tsabit usai melumurkan kencur di dada lalu beranjak dari
kursi. Ketika akan mengambil langkah keluar, ada genggaman melingkar sempurna di pergelangan tangan Tsabit, menahan kepergian gadis itu. Tsabit menoleh
ke belakang. "Temenin gue disini ya. Gue janji gak bakal bohongin lo lagi atau bikin lo kesel. Suer!" Ucap Arsa sungguh sungguh, disertai jari membentuk huruf V dari
tangannya. Ada senyum tersungging dari bibirnya.
*** Di salah satu rumah sakit besar di daerah perbatasan Jakarta dan Bogor, bernama Rumah sakit Tumbuh kembang. Aufa dan Idzar baru saja keluar ruang periksa
usai melakukan check up rutin kandungan istrinya.
"Kok bete gitu mukanya" " tanya Idzar melihat wajah istrinya ditekuk berlipat lipat.
"Iya aku bete. Masa belum bisa di USG, sih" Aku kan pengen liat kondisi bayi aku, dzar" sungut Aufa berjalan menyusuri koridor rumah sakit.
"Ya belum bisa lah. Kandungan kamu kan baru dua bulan, sayang. Belum dikasih roh juga" Idzar mengapit lengan istrinya di ketiak. Beruntung hari ini Idzar
bisa meminta absen sehari untuk mengantar Aufa periksa kandungan. Sebenarnya itu harus ada ritual ngambek dulu baru Idzar mau mengorbankan satu hari bekerjanya
demi sang istri. "Harusnya bisa, dzar" Idzar mengulum senyum, mengusap kepala Aufa penuh cinta.
"Ya sabar. Kamu nunggu aku peka sama perasaan kamu aja sanggup masa nunggu kandungan gak sanggup, sih" canda Idzar mencubit hidung Aufa gemas.
"Aduh! Sakit, dzar" ringis Aufa kesakitan mengusap ngusap hidungnya.
Selagi berjalan, tiba tiba seseorang dari arah berlawanan berjalan tergesa gesa sehingga tanpa sengaja menabrak Idzar. Pundak mereka saling bertabrakan.
Keduanya tersentak kaget.
"Astaghfirullah" ucap Idzar pelan sambil memegangi pundaknya.
"Maaf mas, maaf" ucap orang itu yang ternyata seorang gadis cantik berambut panjang. Idzar hanya mengangguk tersenyum. Ketika gadis itu mengulurkan tangan
hendak berjabat minta maaf, Idzar menanggapinya dengan menangkup telapak tangan di dada. Gadis itu menarik canggung tangannya.
"Maaf ya mas, mbak" gadis itu menatap Idzar dan Aufa bergantian. "Saya buru buru soalnya"
"Iya mbak gak apa apa" sahut Aufa sopan sambil tersenyum. Gadis itu pun pergi meninggalkan Aufa dan Idzar.
Selagi ia berjalan menjauh, Aufa memerhatikan kepergian gadis itu sambil memasang wajah bingung." Keningnya berkerut mengingat sesuatu.
"Kenapa lagi muka kamu?"
"Aku kayak pernah lihat perempuan itu, deh dzar. Kamu tahu gak?" Idzar turut memandang jauh gadis itu. Ia berjalan menuju ruang check up kandungan.
"Engga tahu. Cuma perasaan kamu doang kali, sayang" Idzar mengangkat bahu lalu menggiring Aufa berjalan menuju parkir.
*** Tsabit memasuki kamar dengan membawa berbagai macam potongan buah yang dilumuri susu di atasnya. Seharian ini Arsa sukses menjadikan Tsabit perawat dadakannya.
Mulai dari mengobati dada, hingga membantunya minum obat sampai menyiapkan buah buahan kesukaan Arsa sebagai cemilan.
Untuk merawatnya memberi makan atau yang lain, Tsabit mungkin sanggup. Tapi kalau untuk membantunya minum obat, Tsabit memilih lambaikan tangan ke kamera
saja. Bayangkan, menyuruh Arsa minum obat tidak jauh berbeda seperti membujuk anak TK. Tsabit harus susah payah membujuk rayu Arsa agar obat obatan itu
mau ditelannya. Ini aneh! Padahal belum lama ia bertingkah sok jagoan memamerkan kehebatannya melawan tiga preman hingga K.O. Tapi kalau begini caranya,
Tsabit wajib meragukan Arsa yang katanya bisa melawan tiga preman tersebut. Minum obat saja susah. Alasannya pahit katanya. Itu sih, anak usia dibawah
lima tahun juga tahu. Dan yang lebih parah adalah kejadian barusan.
"Pokoknya gue gak mau minum obat yang itu. Bodo!" teriak Arsa sambil menutup mulutnya rapat rapat menatap ngeri cairan merah di sendok yang dibawa Tsabit.
"Ini tuh gampang, tinggal telan doang, Arsa. Gak kayak tablet tadi. Masa gitu aja gak mau, sih" bujuk Tsabit menahan sabar.
"Tapi gue gak suka, bit. Warnanya merah gitu kayak darah. Lo gak jijik apa" Lagian gue kan udah gede. Masa dikasih obat sirop. Emangnya gue bocah apa"
cercanya ngedumel tidak jelas sambil menjauhkan diri dari Tsabit yang semakin dekat menyodorkan obat.
"Justru karena kamu udah gede, harusnya gak perlu takut minum sirop. Yang penting kan khasiatnya. Kamu mau sembuh gak sih" Masa kalah sama ponakan sepupu
saya yang masih kecil udah berani minum obat" bujukan ini persis seperti waktu Tsabit membujuk keponakannya, Sammy untuk makan sayur. Harus dibanding bandingkaan
dulu dengan anak yang lain baru dia mau makan sayur. Tapi justru Arsa melebihi keponakannya yag terkenal bandel itu.
"Bodo amat. Emang harus ya gue minum yang sirop itu" Kalau yang tablet tablet gue mau deh. Tapi kalo yang sirop, gue ogah banget" ungkap Arsa.
"Masya Allah kura kura ninja. Inget umur dong. Ini cuma sirop. Tinggal telen juga gak berasa pahitnya. Malah manis"
Arsa menggeleng masa bodoh. "Pokoknya gue gak mau. Singkirin tangan lo dari obat itu. Cepet!" ancamnya sambil menunjuk nunjuk.
Tsabit mendesah pasrah. Ia turunkan tangannya yang masih memegang tangan berisi sesendok obat sirop. Arsa pun perlahan bisa duduk tenang di atas ranjang.
Ia bisa bernafas lega terhindar dari ancaman sirop menjijikan itu.
Bukan Tsabit namanya kalau tidak punya segudang akal. Arsa tidak tahu kalau dibawah tempat tidur tangan Tsabit masih memegang sendok yang berisi sirop.
Sikapnya tetap tenang bak air sungai.
"Nanti lo bilang ya ke mama, sirop merah itu disingkirin aja. Kalau engga, gue gak bakal minum obat selamanya, gitu. Ya?" Pesan Arsa tanpa curiga sedikitpun.
Tsabit mengangguk. "Iya deh. Nanti saya bilang ke mama"
"Eh, di kening kamu ada apaan tuh" Kayak serangga gitu ya?" Mata Tsabit mengarah ke kening Arsa. "Mana" Disini?" Arsa hendak memegang keningnya tapi Tsabit
keburu menahannya. "Jangan dipegang! Kayaknya itu beracun, deh. Katanya kamarnya steril, kok bisa ada serangga sih. Mana gede lagi" ucap Tsabit mengada
ada. "Serius lo" ucap Arsa tidak percaya.
"Iya serius. Bentar ya saya ambilin. Kamu diem jangan bergerak"
Arsa menurut saja. Ketika Tsabit perlahan memajukan tubuhnya mendekat tapi ia tetap menyembunyikan tangan kanan dibawah ranjang. "Diem ya. Jangan bergerak"
Sebelum terlalu jauh ia mendekat, Tsabit langsung saja mencubit keras keras lengan Arsa sekuat mungkin.
"Aaaaaaaa.......!!!"
Teriak Arsa kesakitan. Dan Tsabit memakai kesempatan itu untuk memasukan sirop yang telah disiapkan ke mulut yang terbuka lebar secara bersamaan. Setelah
masuk, Tsabit langsung merapatkan bibir Arsa dengan telunjuk dan jempolnya sambil berkata, "Nanggung udah masuk mulut. Telen aja" mau tidak mau Arsa menelan
sirop tersebut dengan wajah menyedihkan.
"Nah gitu dong. Duh anak manis pinter minum obat" Tsabit melepas jepitan tangannya sambil tersenyum sok manis. Kemudian ia menyodorkan segelas air putih
kepada Arsa. Pria itu meminumnya dalam sekali teguk.
"Stres lo ya" Suami sendiri digituin. Bisa gue laporin ke Komnas HAM, kalo gini caranya" Arsa mengusap bibir seraya mengembalikan gelas.
"Laporin aja. Kalau kamu siap menanggung malu mah. Paling nanti media menertawakan kamu. Sosok Kelana Arsalais takut minum obat" ada kekehan geli menyertai.
Arsa mendengus kesal sekesal kesalnya.
Kini mereka sibuk dengan dunia masing masing. Arsa sibuk bermain game di ponselnya. Sambil berseru kegirangan atau kadang berteriak sendiri ketika jagoan
kesayangannya kalah dalam pertandingan disana. Sedangkan Tsabit duduk di kursi dekat tepi ranjang menemani Arsa sambil membaca buku hadiah pernikahan dari
Aufa dan Idzar, yang berjudul Khadijah. Meski berdekatan, mereka seperti berjauhan karena tidak lagi saling berbicara. Keasyikan pada benda kesayangan
membuat mereka tidak mempedulikan sekitar.
Keasyikan Arsa bermain game akhirnya teralihkan melihat keseriusan Tsabit membaca buku. Dalam posisi duduk menjadikan ranjang sebagai meja, kepalanya ditidurkan
dalam posisi miring membelakangi Arsa. Pria itu melirik aktifitasnya sedikit, menaikan alisnya.
"Lo baca buku apaan?"
Tsabit tidak menjawab. Masih serius membaca dalam keheningan.
"Istriku, kamu baca buku apa?" Ulangnya sok mendayu lalu terkekeh tanpa suara. Tsabit mendelik lalu mengangkat tangan yang memegang buku tanpa perlu menoleh
ke belakang," menunjukan judul buku yang tertera. "Jangan mulai. Saya lagi gak mood buat muntah di depan muka kamu" tegas Tsabit. Ia sedang tidak ingin
diajak bercanda hari ini.
"Bacaan lo berat banget, sih" Lo gak suka teenlite atau novel fanfiction, gitu?"
Arsa harus menggigit jari karena Tsabit tidak memberi respon apa apa lagi. Sebegitu pentingnya kah buku yang dia baca" Sampai sampai melupakan keberadaan
pria dibelakangnya. "Lo kan kesini buat nemenin gue, bit. Bukan buat ngacangin gue" ucap Arsa.
"Kamu sendiri, sibuk sama hape. Apa bedanya?" Arsa langsung mematikan ponsel lalu menaruhnya di atas meja lampu. Tsabit mendengar samar pergerakan pria
itu. "Tuh! Handphone udah gue taro. Sekarang tutup buku lo sekarang" seru Arsa duduk bersila sambil melipat tangan menunggu respon Tsabit. Gadis itu pun bergerak
malas. Menutup buku, menaruhnya bersama ponsel dalam satu meja, lalu berbalik menghadap Arsa. Kini mereka saling berhadapan.
"So" " "Terkadang untuk mendapatkan mutiara murni, kita harus menyelam lautan lebih dalam. Dan tidak selamanya apa yang kita lihat adalah apa yang menggambarkannya.
Seperti kamu melihat sampah. Kalau kita tidak ingin tahu, kita tidak akan tahu bahwa sampah itu bisa didaur ulang menjadi sesuatu yang nilainya lebih berharga"
Ucapan Kartika kembali terngiang ngiang di pikiran Arsa selagi menatap lurus wajah gadis yang berstatus istrinya itu. Apa yang menyebabkan Tsabit begitu
istimewa di mata mereka. Orang orang yang bahkan belum mengenal jauh tentangnya tapi sudah berani berasumsi bahwa Tsabit adalah gadis yang berbeda. Termasuk
mamanya sendiri. "Kalau cuma mau diem dieman kayak gini, mending saya keluar aja ya"
"Jangan!" Arsa menahan Tsabit agar jangan pergi. "Yauda iya kita ngobrol. Ngambek mulu. Cepet tua loh" cibirnya.
"Emang udah tua. Puas?"
Arsa tak sanggup menahan tawa. Akhirnya tawanya lepas. Tawa renyah serenyah kerupuk bawang buatan Liana. Tsabit malah sebal melihat tawanya itu.
"Gak usah jujur juga kali. Lo tetep cantik kok. Sepadan lah sama gue. Gak sampe dikira tante sama brondongannya"
Jangan ada rona roan-an. Jangan ada baper baper-an. Tsabit harus tahan banting. Arsa itu selain jago bacot, jago gombal juga. Itu tadi buktinya. Tsabit
hanya mengerucutkan bibirnya masam.
"Gue mau nanya, deh. Kenapa sih, lo mau nikah sama gue" Padahal kan kita tinggal pura pura pacaran aja lebih gampang. Gak perlu ada ikatan yang serius.
Kalo alasan lo karena takut dosa, gue rasa Allah juga maklum kali. Dia pasti ngerti keadaan terdesak gini"
"Gak ada kata maklum buat Dosa. Kalaupun terdesak untuk dilakukan, itu karena tidak ada pilihan lain. Nikah adalah pilihan dan solusi terbaik daripada
pacaran. Apalagi pura pura. Pacaran aja udah dosa, ditambah pura pura alias ngebohongin orang banyak. Dosanya berlipat"
"Terus kenapa Allah ngelarang pacaran. Iya gue tahu kok, karena sudah ada ayat yang menjelaskan. Surat Al isra ayat 32, kan?" Arsa menjeda seraya meyakinkan
Tsabit bahwa ayat yang ia sebut benar. Tsabit mengangguk. "Tapi Allah pasti punya alasan kenapa pacaran itu bagian dari zina. Kenapa pacaran itu dilarang.
Pasti ada kan alasannya?" Ujar Arsa enteng.
"Pacaran itu selain dosa tapi juga bikin rugi bandar. Allah itu menjaga banget hubungan antara laki laki dan perempuan. Khususnya perempuan, Allah amat
menjaga dan mengistimewakan mereka. Sampai sampai ketika Rasulullah ditanya siapa orang yang harus di hormati. Beliau menjawab ibumu, ibumu, ibumu, lalu
ayahmu. Derajat seorang ibu tiga tingkat dibanding ayah. Itu karena wanita itu istimewa. Mereka memang lemah, maka Allah lah menguatkan."
"Maka dari itu, Allah tidak ingin adanya interaksi sembarangan antara laki laki dan perempuan. Karena pertama, pandangan laki laki terhadap wanita itu
berbahaya. Apalagi jika menimbulkan syahwat. Sehingga hijabnya seorang lelaki adalah menundukan pandangan. Sedang wanita menutup auratnya. Kedua, bersentuhan
terhadap yang bukan mahram pun dilarang karena dalam pelajaran kajian ilmu fiqih. Yang pertama kali dibahas adalah tentang thaharah atau bersuci. Artinya
kesucian seorang muslim amat diutamakan. Tidak hanya suci secara fisik. Tapi suci dalam hati juga dalam menjaga kesucian tersebut. Coba kalau kamu, saya
kasih dua permen. Permen yang pertama sudah terbuka bungkusnya dan dikerumuni lalat. Dan permen kedua masih terbungkus rapi. Kamu pilih yang mana?"
"Yang masih baru lah. Masa mau makan permen bekas" jawaban Arsa terdengar sengak.
"Walaupun dua duanya dalam keadaan masih baru?"
"Ya pasti milih yang masih kebungkus lah. Ada ada aja sih nanyanya"
"Permen aja lebih baik yang terbungkus rapi. Bagaimana manusia?" Arsa mulai paham. Terlihat ia manggut manggut sok ngerti. Tak lama ia kembali mengatakan,
"Ya jangan samain lah, istriku" Tsabit mengirim tatapan bahaya mendengar sapaan Arsa yang semakin bikin mual itu. Sayangnya Arsa tetap bodo amat. "Kalo
permen kan beda sama perempuan. Perempuan itu kalau tertutup gak bakal keliatan keindahannya. Justru kalau terbuka orang bakal ngeliatnya kagum"
"Yakin cuma kagum" gak melenceng ke arah lain" Allah maha tahu apa yang kamu gak tahu. Kali aja mereka melihatnya pake nafsu. Kamu sendiri juga pasti gitu
kan kalau liat perempuan seksi" Ngaku!"
"Iya lah. Gimana gak nafsu. Paha kemana mana. Dada diumbar umbar, kaki,--"
"Stop! Otak ngeres kamu perlu diinstal ulang kayaknya deh" Tsabit segera memotong. Takut omongan Arsa mulai kemana mana. Kemudian ia melanjutkan, "Itu
lah awalnya mengapa banyak terjadi seks bebas dan kasus semacamnya. Allah sudah mengatur semuanya, karena Dia maha tahu segalanya. Perhiasan dunia itu
Pendekar Guntur 17 Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam Petualangan Pria Paris 1
duduk Arsa. Ayunan itu bergerak maju mundur perlahan. "Jadi, reuninya?"
"Jadilah. Kalo engga ngapain gue kesini. Mending,--"
"Di rumah ya, pacaran sama istri" potong Abrar lalu tertawa. Arsa mengendik jijik.
"Bangun mas, bangun" Arsa memetik jari tepat di depan wajah Abrar. "Gue pacaran atau pun nerima cewek itu, cuma ada di mimpi lo doang, mas. Mendingan gue
ajak Fania ke mall atau travelling ke Curug Leuwihejo. Selain ngeliat surga dunia, gue juga ditemenin bidadarinya langsung"
Abrar mengeleng sambil mengulum senyum. "Gue tahu lo suka sama cewek itu. kalau engga, gak mungkin mas mau nemenin dia di balkon waktu itu. Ya kan?"
"Sok tahu kamu, sa"
"Gue emang tau, mas. Tenang aja, mas. Gue gak punya perasaan apa apa sama Tsabit. Gue cintanya cuma sama Fania malaika. Cuma dia cewek sempurna versi Arsa"
Arsa melepas headset lalu menatap kakaknya serius.
"Kalau bukan karena mama, gue gak mau bela belain nikah muda gini. Gila! 22 tahun man! Arsa masih pengen seneng seneng. Masih pengen pacaran. Mau ngejar
karier juga. Kalaupun harus nikah ya mau nya sama Fania. Bukan sama harimau betina itu" ungkap Arsa masih belum menerima kenyataan.
"Tapi kamu jangan frontal gitu benci sama dia"
"Dia juga benci sama gue, mas"
"Tapi dia masih bisa jaga sikap. Gak kayak kamu yang terang terangan gini. Bisa jadi sesuatu yang buruk menurut kamu adalah yang baik. Begitu juga sebaliknya,
yang kamu anggap baik bisa jadi buruk buat kamu" Arsa malah memalingkan wajah malas.
"Kayaknya yang harusnya nikah sama dia itu mas Abrar, deh. Sama sama alim. Bedanya, mas gak primitif. Masih sedikit kekinian lah. Gue doain deh mas jodoh
sama dia" "Kamu dibilangin baik baik juga" Abrar masih bersikap lembut terhadap adiknya. "Mas pesan ya sama kamu. Seburuk buruknya Tsabit. Dia tetap istri kamu.
Bukan Fania. Dia berhak mendapatkan perlakuan yang pantas dari suami sah nya. Diluar kebencian kamu terhadap dia. Mas yakin, meskipun dia benci sama kamu,
dia tetap memperlakukan kamu layaknya seorang suami"
Arsa diam lalu mengingat sesuatu. Ingatannya membawa dia pada peristiwa semalam ketika memutuskan tidur lebih dulu. Ia ingat malam itu ia tidur dalam keadaan
mengenakan pakaian pengantin lengkap dengan sepatu. Tapi tadi pagi, sepatu itu sudah tergeletak rapi di samping lemari, lengkap dengan kaos kakinya. Lalu
jam tangan berpindah tempat ke meja lampu bersama ponsel miliknya. Dan terakhir, ia mendapati sebuah selimut hangat menutup"tubuhnya rapat rapat. Apa Tsabit
yang melakukan itu semua"
"Sekarang malah mas Abrar yang sok tahu"
"Mas kenal dia sebelum kamu. Dia gak seperti perempuan lain pada umumnya" Abrar menurunkan kakinya.
"Iya. Dia emang gak kayak perempuan lain yang terlahir anggun kayak Fania. Dia itu bringas. Mama udah cerita belum tentang kejadian dia gigit tangan gue?"
Setelah itu Abrar tertawa lebar sambil menepuk paha. Kartika tidak melewatkan sedikitpun peristiwa yang dialami Arsa lalu menceritakannya kepada Abrar.
"Itu sih emang kamu duluan yang cari perkara. Kalau kamu gak nahan dia, gak mungkin dia nekat gigit tangan kamu"
"Belain aja terus"
Kemudian Arsa menutup kedua telinga dengan sepasang headset. Tidak ingin lagi mendengar apa apa yang menyangkut Tsabit. Meski ada perasaan bersalah yang
sekedar mampir didirinya.
*** Tsabit baru saja keluar dari kamar ganti. Bukan dari kamar ganti Kartika, melainkan seorang wanita yang menangkap dirinya sedang memilih pakaian di lemari
Kartika. Dipandangnya pantulan dirinya dari cermin besar. Ia tersenyum menatap diri. Ini pakaian terbaik dibanding pakaian pakaian laknat tadi. Malah ini
pertama kalinya Tsabit mengenakan abaya merah marun yang panjangnya sebatas mata kaki. Lengkap dengan khimar besar sebatas paha. Sangat menutup rapi auratnya.
Ia tersenyum lagi. Terasa menyenangkan memakai pakaian seperti ini.
"Nah! Kalau pakai ini kamu gak cuma terlindungi dari pandangan laki laki. Tapi juga menjaga kehormatan suami kamu, bit" wanita cantik nan baik hati yang
meminjamkannya pakaian ini keluar dari kamar yang sama. Ia memandang penampilan Tsabit dari ujung kaki hingga kepala.
"Iya, mbak. Aku juga suka memakainya. Ketimbang pakaian yang aku pakai malah" pakaian Tsabit sebelumnya tidak se-syar'i ini. Tsabit berasa mirip Oki Setiana
Dewi atau Risty Tagor. "Makasi banyak ya, mbak"
"Kamu jangan bikin aku terlihat tua, dong bit. Kita ini kan seumuran. Panggil Maudy aja kenapa sih" wanita bernama Maudy itu duduk di salah satu kursi
rotan dekat kolam ikan Koi. Pakaian yang dikenakan tidak jauh berbeda dengan yang dipakai Tsabit sekarang. "Sama sama. Bajunya kamu pakai aja sampe rumah.
Buat kamu" "Eh, serius?" Maudy mengangguk sambil tersenyum. "Aku jadi gak enak sama kamu" ujar Tsabit tidak enak hati turut duduk disamping wanita anggun itu.
"Gak apa apa. Sekalian buat kamu belajar. Siapa tahu kamu tertarik memakai pakaian Syar'i buat ke depannya. Ya gak?" kalau melihat Maudy, Tsabit jadi teringat
Aufa. Gaya penampilan keduanya tidak jauh berbeda. Tidak pernah jauh dari gamis dan abaya serta hijab lebar. Mereka sama sama memancarkan aura yang berbeda.
Aura kecantikan yang berasal dari hatinya.
"Kamu terlihat lebih cantik kalau pakai itu, bit. Aku yakin Arsa bakal makin cinta deh sama kamu" Tsabit tersenyum getir. Sayangnya Arsa gak kayak bakal
gitu, mba. Hujan dua hari dua malem yang ada. Tsabit ingin sekali menjawab begitu.
"Oh ya, kata Arsa kamu bekerja di Prams ya?" Tanya Maudy menyuapi anak perempuan kecil yang berdiri disampingnya lalu ia berlari lari ke taman sambil menggendong
boneka. "Iya, dy" Tsabit menyematkan bros berbentuk pita di bagian dada sebelah kanan.
"Bagaimana kabar pak Dana" Dia masih menjabat sebagai kepala Manager, kan?"
"Kabar dia baik. Dan jabatannya masih sama, kok. Ngomong ngomong, Kamu pernah bekerja di Prams juga?" Tanya Tsabit ingin tahu.
Sebelum menjawab, Anak kecil itu muncul lagi dan menerima suapan nasi dan nugget kesukaannya dari tangan Maudy. "Aku baru tahu kalau Arsa punya dua adik
perempuan. Bukannya dia anak bontot ya" ujar Tsabit. Mendengar kesalah pahaman Tsabit, Maudy tertawa kecil.
"Arsa memang anak bontot. Dua bersaudara sama Abrar. Kamu ngira, aku sama Diva itu adiknya Arsa ya?" Tsabit mengangguk hati hati.
"Anak kecil itu putriku. Namanya Diva. Sekaligus anak Abrar" penjelasan singkat Maudy cukup menjadi alasan Tsabit bertanya tanya dalam hati. 'Abrar sudah
berkeluarga"' Bodohnya, Tsabit tidak bertanya lebih dulu tentang status dia di keluarga ini. Bodohnya lagi, Tsabit main asal tebak seenaknya saja. Berarti
wanita anggun nan sholihah ini adalah istri Abrar.
"Kok mukanya bingung gitu?" Tsabit menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal. "Pertanyaan kamu sebelumnya ada hubungannya sama kebingungan kamu"
Daya tanggap Tsabit kian hari makin payah saja. Dia tidak mengerti maksud ucapan wanita itu. Maudy tersenyum manis sekali. Dia tidak tersinggung sedikit
pun akan ketidak tahuan Tsabit.
"Sebelum kamu, yang menjabat sebagai assisten Dana itu ya aku. Dia boss sekaligus cinta pertamaku, bit. Aku kenal Dana sebelum kenal Abrar. Setelah aku
move on dari Dana dikarenakan dia menikah dengan Sina. Kamu kenal Sina kan?" Kak Sina" Tentu saja Tsabit kenal. Ia mengangguk meng-iyakan.
"Dana pun ngenalin aku ke Abrar. Kami dekat selama 6 bulan. Kami mempunyai perasaan yang sama akhirnya, kami memutuskan untuk menikah hingga mempunyai
satu anak perempuan"
Tiba tiba raut Maudy berubah. Kedua alisnya menurun, menampakan wajah sedih. "Sayangnya pernikahan kita gak berjalan lama. Diva menginjak dua tahun, Abrar
menceraikan aku" Maudy memberanikan diri menatap Tsabit. "Aku tahu Abrar tidak akan setega itu menceraikan aku kalau bukan karena bujukan mamanya. Berbeda
dengan Arsa, Abrar tergolong anak yang penurut dan menyayangi mamanya. Saking sayangnya, sampai sampai rela melepas kebahagiaan pernikahan kami"
Maksudnya Kartika" "Mama Tika menganggap pernikahan kami tidak berlandaskan cinta, melainkan karena 'kecelakaan'. Pernikahan yang terkesan tiba tiba membuatnya mengira Abrar
telah menghamili aku lebih dulu. Nyatanya itu semua bohong. Aku masih mempunyai moral. Seharusnya dia percaya anaknya tidak sebejat itu" Tsabit melihat
luka di mata itu. Sosok ceria Maudy berubah menyedihkan sekarang.
"Tapi bagi dia asumsi publik lebih dipercaya ketimbang kenyataan. Aku pun pasrah membiarkan berita miring itu hilang dimakan waktu. Toh, lebih baik aku
hina di mata mereka daripada aku hina di mata Allah" Tsabit membenarkan. Pandangan terhadap sesama manusia tidak lebih penting dibanding pandangan Allah
terhadap hambaNya. "Aku percaya, selama aku berpihak pada Allah, maka Allah akan menguatkanku dari fitnah dunia. Buktinya sampai sekarang, aku masih bisa bertahan merawat
Diva. Dia satu satunya hartaku yang paling berharga" Tsabit melihat ketegaran yang kokoh disana. Ada mata yang berkaca tatkala untaian kata hati itu terlontar.
Tiba tiba Tsabit memikirkan sesuatu yang melintas di hati kecil; apa Kartika akan memperlakukan hal yang sama terhadap dirinya" Menjadi seorang janda tidaklah
enak. Belum tentu ia bisa sekuat Maudy.
"Aduh, maaf ya malah jadi curhat gini" Maudy mengusap kedua pipinya. "Bete ya ngedengernya?"
"Engga kok. Justru aku seneng kalau orang yang baru aku kenal mau terbuka sama aku. Itu artinya aku bisa dipercaya menjaga ceritamu. Aku tahu kamu orang
yang kuat" Tsabit menggenggam erat tangan Maudy. Memberi asupan penyemangat agar ia tidak merasa sendiri.
"Banyak orang tidak bahagia karena terlalu memikirkan perkataan orang lain dan takut untuk melakukan apa yang sebenarnya membuatnya bahagia. Jadi, jangan
lupa bahagia ya" keduanya saling tersenyum hingga kehadiran Diva memecah keharuan.
"Kapan kapan main ya ke rumah. Nanti aku kenalin sama adikku. Dia perempuan juga. Tapi sekarang dia lagi ditugaskan di Wonosobo. Baru kemarin berangkat"
"Insya Allah. Apa profesinya kalau boleh tahu?"
"Dia dokter" Ketika sedang asyik mengobrol, seseorang yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka mulai menampakan diri.
"Tsabit. Ditunggu mama sama Arsa di depan. Mereka udah siap mau berangkat"
"Iya, ka. Aku segera kesana"
Abrar pergi dan Tsabit mohon pamit kepada Maudy dan tak lupa meninggalkan kartu nama pada wanita itu.
"Aku siap dengerin curhat kamu kapan pun" bisiknya setelah akhirnya meninggalkan Maudy dan Diva.
*** "Kenapa tidak pakai baju yang sudah saya siapkan?" Tanya Kartika, setibanya Tsabit di halaman depan.
"Baju yang anda sediakan tidak ada yang menutup aurat. Untung ada Maudy yang mau meminjamkan baju ini ke saya. Anda keberatan, tante?"
Kartika diam. Air mukanya menunjukan rasa tidak suka. "Yasudah, terserah kamu saja" jawabnya lalu memasuki pintu mobil pribadinya. Sudah ada sopir yang
menunggu di kursi kemudi. Sedang Tsabit dan Arsa memakai mobil milik Abrar.
"Gak sekalian pake karung biar ketutup semua" komentar Arsa bersiap menjalankan mobil. Ia memandang sekilas penampilan Tsabit.
Tsabit menoleh lalu menegaskan secara halus, "Kalau memang kamu tidak setuju dengan suatu kebaikan yang mungkin belum kamu pahami, kamu bisa coba untuk
menghargainya" Arsa diam tak membalas. Apa keadaan ini yang disebut 'skak mat'" Tsabit tersenyum anggun.
Perjalanan dari rumah menuju lokasi acara tepatnya di Taman Bunga Wiladatika Cibubur hanya memakan waktu setengah jam. Kalau bukan weekend, pasti jalanan
tidak macet seperti tadi. Mereka pun akhirnya tiba di lokasi Reuni akbar.
Arsa memarkirkan mobil ke area parkir yang tidak begitu ramai. Ia turun lalu berjalan menuju aula. Baru berjalan beberapa langkah, ia terhenti. Ada sesuatu
yang dilupakan. Harusnya ada gadis yang mengekornya. Tapi ketika ia berbalik, Tsabit tidak ada dibelakangnya.
"Pasti maen nyelonong pergi, deh" gerutu Arsa kembali ke mobil.
Setibanya disana, dugaannya salah. Rupanya Tsabit masih di dalam mobil dalam keadaan tertidur. Kenapa Arsa tidak menyadari ya"
Tadinya Arsa ingin membangunkannya melalui jendela. Tapi ia tidak tega. Akhirnya ia masuk ke dalam mobil. Dilihatnya gadis itu duduk bersandar memiringkan
kepala ke arah kanan. "Bit, bangun. Udah sampe" ucap Arsa tanpa mau menyentuh Tsabit. Ia pun duduk di kursi kemudi hendak membangunkannya lagi.
"Tsabit. Bangun wey" akhirnya Arsa memberanikan diri menepuk ringan lengan gadis itu. Alih alih segera bangun, Tsabit malah semakin terlelap dalam tidurnya.
"Cantik cantik kebo juga ya ni cewek" gumamnya sambil menggaruk kepala. Tapi ia langsung tersadar sesuatu. Tsabit pasti kelelahan karena semalam ia tidak
bisa tidur. Terlihat sekali dari wajahnya tadi pagi, nampak tak bersemangat dan menguap berulang ulang. Kalau ia membiarkan Tsabit tidur di mobil, rencana
mama bakal gagal. Mau tidak mau ia berusaha keras agar Tsabit terbangun.
Arsa mendekatkan wajahnya kepada Tsabit. Memberi jarak beberapa centi diantara wajah mereka. Tangannya terulur ke arah pipi gadis itu. Ia bisa melihat
jelas wajah Tsabit dalam jarak sedekat ini. Tidak hanya Fania, Tsabit pun kalau sedang tidur nampak cantik. Sepertinya semua wanita memang ditakdirkan
cantik jika sedang tertidur, begitu penilaian Arsa.
"Lo kalo lagi tidur gini, gak keliatan sangarnya, sumpah!" Ada hembusan hangat yang menguar ke wajah Tsabit saat Arsa mengatakan itu.
Usai memberi penilaian, saat itu juga sepasang mata di depan Arsa terbuka lebar. Dalam hitungan ketiga, Tsabit memekik ketakutan. Suaranya nyaring hampir
memecah gendang telinga. "Kamu mau curi kesempatan, kan! Dasar mesum!" Tsabit mendorong Arsa hingga ia tersungkur ke pintu mobil. "Ketauan kan, kamu. Mulai keliatan busuknya. Jawab
jujur, kamu udah berbuat apa aja ke saya barusan"! Heuh!"
"Nyentuh lo aja kaga. Gimana mau ngapa ngapain" kelit Arsa memalingkan wajah. Sebenarnya ia menahan malu.
"Nah kan! Berarti kamu punya niat mau ngapa ngapain saya, kan" telunjuk Tsabit mengarah tepat ke wajah Arsa sambil menatap curiga. Arsa mengendik keberatan.
"Makanya kalo tidur jangan kayak orang mati. Dibangunin susahnya minta ampun" ungkap Arsa.
"Lah situ apa kabar" Gak mirror?"
"Udah udah. Gak bakal kelar kalo kayak gini terus. Turun cepet. Udah sampe nih"
Mereka pun turun dari mobil. Sehabis menutup pintu mobil, Arsa berjalan cepat menghampiri Tsabit lalu memposisikan dirinya berhadapan dengan istrinya.
Kedua tangan ia taruh di bahu gadis itu.
"Mau ngapain kamu"! Mau kurang ajar lagi" Iya?" Tsabit mendesis ketus sontak melepas diri dari genggaman Arsa. Tapi Arsa sudah siap akan penolakan tersebut
lalu menahannya. Kini ia beralih merapatkan tangan di pipi kanan dan kiri Tsabit, menatapnya intens. Tsabit mendadak ingin ke toilet.
Setelah agak tenang, Arsa berkata, "lo liat ke arah jam 2 jarak kurang lebih 20 meter dari sini" Tsabit menurut. Dengan sedikit menggeser wajahnya ke kanan.
Ia melihat sosok yang bersembunyi di balik semak semak. Untung penglihatannya cukup jeli.
"Udah?" Tsabit mengangguk kecil. Wajahnya masih dalam genggaman Arsa.
"Itu wartawan. Lo tahu kan apa yang harus lo lakuin?"
"Saya?" Tsabit menarik alis satu.
"Kita maksudnya" Arsa membenarkan.
Apa ini saatnya Tsabit harus bersandiwara lagi" Maksudnya bermesraan dengan Arsa, begitu" Dengan Arsa memegangi wajahnya saja, Tsabit sudah dibuat merinding.
Bagaimana kalau harus bermesraan. Kenapa wartawan itu harus ada, sih" Tsabit masih kesal dengan perilaku Arsa tadi.
"Ngerti?" Tanya Arsa memastikan.
"Ngerti" Tsabit melirik kedua tangan yang masih bertengger di pipinya "Yauda lepasin tangan kamu dari wajah saya. Suami istri juga gak gini gini amat,
deh" Arsa kelabakan buru buru melepas posisinya. Setelah itu mereka melancarkan aksinya. Arsa merangkul Tsabit hingga tubuhnya merapat sempurna. Lagi lagi Tsabit
melepas diri dari perlakuan tersebut.
"Musti ngerangkul gitu ya" Gandengan tangan aja gak bisa?" Protes Tsabit
"Pengantin baru biasanya gitu" jawab Arsa enteng.
"Tapi saya risih digituin. Mana sini tangan kamu" perintahnya. Arsa mengulurkan tangan. Dan Tsabit menyambutnya lalu menyisipkan jari disela jemari Arsa.
Kini kedua tangan mereka saling bertautan. Tsabit mendadak merasakan sesuatu yang aneh. Dilihatnya genggaman tangan mereka. Tanpa sadar keduanya saling
menatap genggaman tersebut secara bersamaan.
*** TBC... 12. Yang merugi dan tidak tahu berterimakasih
Hari yang melelahkan. Melewati moment hiperbolis seperti tadi, membuat Tsabit harus mengerutkan dahi berulang ulang. Apa keduniawian seperti ini yang begitu
dibanggakan Kartika kepada orang orang yang memandang kagum padanya. Ia haus akan pujian. Haus akan sanjungan dari sesama manusia. Tanpa ia sadari justru
pujian itu lah yang suatu saat menikamnya secara perlahan.
Acara reuni sekaligus pertemuan Kartika dengan teman teman sosialitannya berakhir dengan lancar. Tsabit dan Arsa berhasil memainkan perannya. Mereka nampak
seperti pengantin baru yang sedang dimabuk cinta. Tapi tidak ada yang tahu keresahan Tsabit selama acara itu berlangsung. Tangan Arsa enggan pergi dari
pinggangnya saat itu. Tubuh mereka begitu rapat bahkan yang menghebohkan, Arsa nekat mencium kening Tsabit tepat di hadapan wanita wanita itu. Cukup memacu
adrenalin Tsabit dan membuang keraguan publik akan pernikahan mereka yang terkesan tiba tiba itu.
Acara berakhir sekitar pukul 3 sore. Tsabit dan Arsa menaiki mobil yang sama. Begitu juga Kartika, ia menaiki mobil yang sebelumnya. Kini mereka berdua
nampak sibuk dengan dunianya masing masing. Tsabit ingin meneruskan tidurnya yang sempat tertunda tadi. Tapi ada sesuatu yang mengalihkan niatan tersebut.
Ya, ciuman di kening itu. Apa rasanya seperti ini" Padahal ia tahu itu tidak lebih dari kepura pura-an Arsa, tapi yang dirasakan Tsabit sama seperti yang
dirasakan wanita lain. Dimana detak jantung dari otak tidak saling seirama. Ia berharap pria yang menciumnya bukanlah Arsa.
"Berhenti di depan sana dulu, ya" Tsabit mengiteruksi Arsa sambil menunjuk ke depan.
"Kemana?" Tanya Arsa seraya menoleh.
"Ke masjid di sana itu. Saya mau sholat Ashar" Tsabit menaruh ponsel beserta charger ke dalam tas.
"Sholat di rumah aja emang gak bisa?" Nada bicaranya keberatan.
"Bisa. Tapi gak keburu. Kemungkinan sampai rumah 15 menit lagi, yang ada saya gak bakal bisa sholat karena kecapekan. Dan saya menghindari itu" jelasnya.
Mau tidak mau akhirnya Arsa memberhentikan mobil tepat di halaman masjid Al maghfirah yang letaknya tak jauh dari lokasi.
"Kamu gak sholat?" Tanya Tsabit ketika akan keluar mobil sambil berbalik sedikit membawa mukena miliknya. Sambil bersandar pada jok, Arsa menjawab enteng.
"Engga" "Kenapa?" Mata gadis itu menyipit.
"Nanti aja" "Engga apa nanti?"
"Ya engga, ya nanti. Udah sih, ngapa jadi lo yang kepo. Lo sholat sholat aja. Gak usah ngajak ngajak gue" ketus Arsa sambil menaikan kaki di atas dashboard
mobil melipat tangan dan memejamkan mata. Tsabit bergumam kecil memutuskan keluar dari mobil, "Peduli dibilang kepo, kebanyakan makan michin ni anak" untungnya
Arsa tidak mendengar. Arsa memilih tidur sejenak didalam mobil selagi menunggu Tsabit melakukan sholat Ashar. Ketika baru setengah sadar, ada seseorang yang mengetuk kaca mobilnya.
Arsa segera tersadar lalu mendapati seorang bapak bapak berbaju koko rapi memakai kopiah tersenyum ramah ketika Arsa menurunkan kaca jendela.
"Ada apa ya pak?"
"Assalamualaikum, A'. Aa' teh tidak sholat?" Tanya bapak itu sopan.
"Engga, pak" jawabnya sambil menggaruk hidung.
"Oh belum. Ya sudah atuh sholat di sini aja. Mumpung di masjid" tawar bapak itu.
"Bukan belum, pak tapi engga. Saya engga sholat"
Bapak itu tersadar, "Oh maaf. Aa non muslim tah?"
"Saya islam, kok" jawab Arsa disertai wajah tak senang. Bapak itu tetap menanggapinya dengan ramah.
"Lalu kenapa tidak sholat?"
"Kayaknya bukan urusan bapak, deh saya sholat apa engga. Surga dan Neraka kan bukan milik bapak"
Meski tersenyum, bapak itu mengucap istighfar dalam hatinya. Pemuda seperti apa yang berada di hadapannya sekarang. "Oh maaf ya A' kalau begitu. Saya teh
hanya mengingatkan saja. Urusan Surga dan Neraka memang hanya Allah yang menentukan. Tapi saling mengajak dalam kebaikan adalah kewajiban sesama umat muslim.
Apalagi perihal ibadah"
"Kalau yang diajak tidak mau, apa sesama muslim dianjurkan saling memaksakan kehendak juga" Engga, kan pak. Tapi terimakasih bapak sudah ngingetin saya"
"Ya sudah kalau begitu. Saya permisi A'. Assalamualaikum"
Dua kali Arsa tidak menjawab salam bapak itu. Ia pun menutup kembali kaca mobil lalu berdecak sebal lalu melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu.
Baru beberapa menit memejamkan mata, ia membuka matanya lagi secara tiba tiba. Menatap sekeliling mobil dengan tatapan janggal. Ia membuka kaca mobil di
kursi tempat Tsabit duduk. Dari sana ia bisa melihat sosok wanita bermukena merah muda sedang sholat. Posisi shaf wanita memang dekat dengan jendela yang
mengarah ke halaman dimana Arsa memarkirkan mobilnya. Akhirnya Arsa memilih tidak melanjutkan tidurnya, melainkan memerhatikan Tsabit yang sedang khusyu'
disana. Dari kejauhan ia bisa melihat setiap gerakan sholat gadis itu. Dari setiap pergerakan yang Tsabit lakukan, memacu keingintahuan Arsa. Terkadang ia memiringkan
kepala seraya memerhatikan dengan seksama. Bahkan kadang ia harus mendongak tatkala Tsabit melakukan gerakan sujud.
Hingga memakan waktu kurang lebih 10 menit, Arsa menghentikan pengamatannya.
"Lama banget" ucap Arsa setibanya Tsabit di dalam mobil tengah merapikan khimar. Di dashboard ia letakan cermin dalam posisi berdiri.
"Itu waktu normal kali" di mulut gadis itu ada jarum pentul. Kedua tangannya lincah merapikan tepian khimar. Matanya melirik Arsa sekilas. "Kamu beneran
gak sholat?" "Nanti aja di rumah"
"Yaudah kalau gitu cepetan nyalain mobilnya biar cepet sampe rumah. Nanti gak keburu sholatnya" seru Tsabit usai memakai khimar merah marun itu. Alih alih
menyalakan mesin mobil, Arsa justru diam menatap lurus kedepan. Tatapannya kosong. Tsabit menautkan alis lalu menolehnya lebih dekat.
"Malah bengong"
Arsa tersadar. Ia menyalakan mobil lalu bersiap untuk melaju.
"Lo sholat biar dapet surga ya?" Pertanyaan Arsa kembali mengerutkan dahi Tsabit. Entah ada angin apa tiba tiba pria itu menanyakan hal ini.
"Surga saya anggap sebagai bonus dari Allah. Banyak alasan lain kenapa saya dan umat muslim lainnya melakukan sholat" Arsa menoleh sekilas. "Apa aja?"
Terdengar bukan seperti pertanyaan. Tapi lebih ke perintah agar Tsabit meyebutkan alasan alasan lainnya perihal kewajiban sholat itu sendiri.
Tsabit diam sejenak. Menarik nafas berat. "Sholat adalah tiang agama. Rasulullah shallalahu a'aliahi wassalam bersabda, 'kepada segala urusan adalah islam
dan tiangnya adalah sholat, sementara puncaknya adalah jihad' hadist riwayat At tirmidzi, Ibnu majah dan Ahmad shahih" jelas Tsabit.
Arsa mengangguk santai. "Lalu?"
"Sholat adalah amal yang pertama kali dihitung di akhirat. Rasulullah SAW pun bersabda, 'yang pertama kali ditanyakan kepada seorang hamba pada hari kiamat
adalah perhatian kepada shalatnya. Jika shalatnya baik, dia akan beruntung. Dan jika shalatnya rusak, dia akan gagal dan merugi' Hadist riwayat Ath Thabrani,
Shahih" "Shalat adalah rukun islam yang kedua setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Rasulullah SAW bersabda, 'Islam dibangun diatas lima pondasi, bersaksi
bahwa tiada Rabb selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah, mendirikan Shalat, menunaikan Zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, serta melaksanakan
ibadah haji jika mampu' Hadist Riwayat Al Bukhari dan Muslim"
Dalam kemudinya. Arsa menyimak penjelasan Tsabit. Sesekali ia menelan ludah.
"Allah mencela orang yang malas melaksanakan shalat. Itu ada dalam surat Maryam ayat 59, 'maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia
nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya maka mereka kelak akan menemui kesesatan'"
Arsa melirik ingin tahu. "Terkhusus untuk ibadah shalat, Allah sendiri yang memerintahkan ibadah ini dengan Nabi Muhammad Shallalahu' a'alaihi wassalam ke langit ke tujuh dalam
peristiwa isra' mi'raj di sidratul muntaha" Tsabit masih akan melanjutkan pemaparannya, tapi Arsa keburu memotongnya.
"Cuma itu aja" Kayaknya kalo gue ninggalin sholat juga gak masalah"
Tsabit sontak memutar posisi 90 derajat tepat menghadap Arsa. Ia menatapnya serius. "Kamu mau tahu, siksa bagi orang yang meninggalkan sholat?" Arsa tidak
menjawab. Tapi tatapan sekilasnya menyilahkan gadis itu.
"Fatimah ra, bertanya kepada Rasulullah Saw, 'wahai ayahku! Apa siksa bagi orang yang meremehkan sholat baik itu laki laki atau perempuan"' Kemudian Rasulullah
menjawab, 'Wahai fatimah, barang siapa yang meremehkan shalat, lelaki maupun perempuan, maka Allah akan memberinya 15 petaka. Enam diantaranya di dunia,
tiga saat kematiannya, tiga di dalam kuburnya, dan tiga pada hari kiamat disaat bangun dari kuburnya" meski menggebu gebu, Tsabit tetap dalam posisi tenang.
Kedua matanya enggan berpaling dari pria yang kini duduk menegang pada kursi kemudi.
"15 petaka tersebut diantaranya adalah, Allah akan mencabut berkah rezekinya, Allah akan menghapus ciri orang shaleh dari wajahnya, semua amal yang dilakukannya
tidak diberi pahala, do'anya tidak terangkat ke langit, dan tidak mendapat bagian di dalam do'a orang orang shaleh"
"Kemudian, hatinya dalam keadaan terhina. Rasa hausnya tersebut tidak akan hilang andaikan ia diberi minum satu aliran sungai secara penuh. Allah akan
menyerahkan kepada malaikat yang menakutkan. Kubur akan menjepitnya. Kuburnya gelap gulita. Allah akan menyerahkannya kepada malaikat dengan siksaan. Malaikat
tersebut akan menyeretnya dengan posisi terbalik dihisab oleh Allah secara detail. Allah tidak akan menoleh padanya dan tidak mensucikannya dan baginya
azab yang pedih" Diam diam Arsa menyimpan ketakutan dalam hati. Kerongkongannya mendadak kering mendengar pemaparan dashyat Tsabit. Tsabit pun mengembalikan posisi duduknya.
Menatap lurus ke jalan. "Bisa kasih gue alasan yang sederhana aja" Itu terlalu menakutkan buat gue"
Bilang aja takut sama azab Allah. Cibir Tsabit dalam hati.
"Kalau mau simple sih gampang. Selain merugi, alasan saya sholat karena saya tidak mau jadi orang yang tidak tahu berterimakasih" selagi bicara, Arsa berulang
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ulang menoleh hanya untuk memerhatika gaya gadis itu bicara. Tetap tenang dan santai.
"Kenapa?" "Banyak nikmat yang Allah berikan kepada saya. Saya diberi nyawa dan nafas, fisik yang baik, otak yang cerdas, kehidupan yang layak, teman teman yang peduli,
dan masih banyak lagi nikmat yang Dia berikan tanpa perlu kita meminta. Dan sholat adalah wujud rasa syukur saya atas apa yang selama ini Dia berikan.
Saya tahu diri sebagai hamba yang miskin, Dia memberinya secara cuma cuma. Bahkan saya yakin, Allah akan memberi saya nikmat lain yang jauh lebih berharga.
Dan itu patut saya syukuri"
Dalam penjelasan ini Arsa bergeming. Otaknya seperti merespon sesuatu. Matanya sesekali melirik ke atas.
"Kalau kamu saja bisa berterimakasih kepada teman atau sahabat yang selalu peduli kepada kamu, atau kepada ibu yang membesarkan kamu hingga menjadi seperti
ini, kenapa berterimakasih kepada Allah saja enggan" Tanpa kamu sadari, banyak nikmat Allah berikan. Termasuk nafas yang setiap detiknya kita hirup. DitanganNya,
bisa saja Allah ambil kembali nafas itu kemudian kamu meninggal dalam keadaan tidak sholat. Dan petaka yang telah saya sebutkan tadi bakal,--"
"Cukup!" Arsa mengarahkan telapak tangan ke arah Tsabit. Sontak saja gadis itu mengatupkan bibirnya. "Gue gak minta lo ceramah disini"
"Lah yang mulai duluan siapa" Kan kamu sendiri yang mau tahu" Tsabit memalingkan wajah ke arah jendela. Menikmati jalanan lebih menyenangkan ketimbang
wajah jutek Arsa yang bikin mual. "Dasar aneh"
Sepanjang perjalanan, mereka kembali diam. Tak lama mobil mereka melewati jalan dimana disana terbentang spanduk yang menampakan tulisan
Apa yang menyebabkan kalian masuk neraka" Mereka menjawab 'dulu kami tidak sholat'
Al quran surat Al muddatstsir: 42-43
Yang pertama kali melihat benda memanjang itu adalah Arsa. Dua detik setelah mengerti maknanya, Arsa melakukan rem mendadak.
"Astaghfirullah!" Pekik Tsabit.
Refleks tersebut menimbulkan guncangan keras sehingga tubuhnya hampir terpental ke depan. Untung ada pengaman yang menahannya. "Kamu kenapa, sih?" Tanya
Tsabit sambil meringis sambil memegangi kening. Hentakan tersebut membuatnya hampir terbentur dashboard mobil. Arsa diam seraya mengatur nafas. Matanya
menegang ketakutan. Tanpa sadar tangan kanannya mengelus dada.
"Kelana, Kamu baik baik aja?" Peka akan reaksi aneh Arsa, Tsabit memberanikan diri menyentuh lengan pria itu. Arsa menoleh.
"I'm ok" jawabnya singkat. Matanya mengarah ke lengan. "Udah boleh dilepas kok tangannya" mendengar perintah menyebalkan itu, Tsabit buru buru melepas
sentuhan tangannya dari lengan Arsa dengan gerakan kaku. Gadis itu kembali memalingkan wajah. Menyembunyikan kesalah tingkahannya.
Sedang Arsa masih sibuk mengembalikan dirinya dari bayang bayang aneh. Ia melanjutkan perjalanan. Selagi mobil itu berjalan, ia lihat lagi spanduk yang
melintang di depan, tapi ia menggeleng samar nan gelisa, lalu mengalihkan perhatian pada jalan. Tsabit bisa melihat kegelisahan tersebut melalui spion
sebelah kiri. Ia memicing.
*** Kumandang Adzan subuh berhasil membangunkan penghuni bumi dari petualangan mimpi mereka. Membinarkan pejaman mata sehingga membuatnya benderang. Menggirng
langkah untuk segera bersuci lalu menghadap padaNya, mengajakNya bercerita dan mengadu di subuh yang khusyu'.
Tsabit melangkah gontai menuju kamar mandi. Dilihatnya sekilas Arsa masih terlelap di atas sofa tak jauh dari ranjang. Ia ingat semalam sebelum tidur,
Arsa mengajaknya melakukan adu suit untuk menentukan siapa yang tidur di ranjang ukuran king size itu. Pria itu tetap ingin berlaku adil, meski kamar yang
mereka pakai adalah kamar pribadi Arsa yang luasnya dua kali ukuran dapur. Tsabit pun memenangkan pertarungan suit tersebut. Hingga akhirnya Arsa yang
harus tidur di sofa. Usai melaksanakan sholat, dilihatnya Arsa masih disana. Terlelap menggenakan kaos oblong putih dan celana tidur panjang. Tsabit mengambil selimut di atas
ranjang lalu menyelimuti suaminya perlahan sehingga membatasi dada. Ketika Arsa menggeliat kecil, Tsabit mematung tanpa bergerak. Setelah itu Arsa kembali
terlelap sempurna. Tsabit berniat ke luar rumah sekedar menghirup udara subuh. Ketika berjalan, langkahnya terhenti melihat beberapa orang di dapur. Ada dua orang wanita
sedang sibuk berkutat di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk penghuni kediaman keluarga besar Dirga. Tsabit membatalkan niatnya ke halaman lalu memutuskan
untuk bergabung bersama mereka.
"Pagi, bu Yati. Wah! Lagi sibuk ya. Boleh aku bantu?" Tsabit mengambil posisi berdiri di samping wanita paruh baya memakai jilbab langsung pakai warna
hitam. Tsabit memanggilnya bu Yati.
"Eh, ada mbak Tsabit. Saya kira siapa" jawab bu Yati ramah sambil mengiris bawang bombay.
"Ibu lagi buat apa?" Tanya Tsabit memerhatikan. Disana juga ada Sari. Pembantu Abrar yang dibawa ke rumah ini. Ia sedang sibuk membantu menyiapkan bumbu.
"Lagi buat nasi goreng, mbak. Mbak'e suka nasi goreng, ndak?" Tsabit tersenyum. "Suka banget. Eh tapi ibu jangan panggil aku mbak. Panggil Tsabit aja ya.
Oke?" "Wah, ndak bisa mbak. Mbak kan istrinya mas Arsa, toh" Kalau ibu manggilnya Tsabit tsabit aja ya ndak hormat namanya" Tsabit menipiskan bibirnya, menggenggam
punduk bu Yati dari belakang. Tubuhnya mengingatkan ia dengan sang mama di rumah. "Gak apa apa, bu. Kan aku yang minta. Mau ya ya?"
Bu yati menunjukan ekspresi keberatan yang jenaka. "Gimana kalo ibu panggil cah ayu, aja" Artinya anak cantik" Tsabit mengerut bibir atasnya seraya berpikir.
"Emangnya aku cantik ya, bu?" Kini ia mengambil alih tugas bu Yati memotong bawang dan sayuran mentah.
"Ya kok pake nanya toh, ndhuk. Ya cantik toh. Udah cantik, berjilbab lagi, weuh mas Arsa nih pinter cari istri" puji bu Yati agak berlebihan. Sayangnya
pujian itu tidak mempengaruhi kenyataan yang sebenarnya.
"Aamiin" ucap Tsabit.
"Loh kok, amin toh, mbak?" tanya Sari yang sedari tadi memerhatikan obrolan mereka. "Bukannya alhamdulillah ya"
"Kata kata adalah do'a. Berarti bu Yati lagi do'ain aku, sar" ia akhiri dengan cengiran polos.
Tsabit berdiri mengamati pekerjaan mereka. Bukan untuk menilai melainkan untuk melakukan sesuatu. Kedua tangannya direntangkan merangkul Sari dan Bu Yati.
"Bu Yati sama Sari mau nolongin aku gak?" Keduanya menoleh bersamaan. "Nolongin opo, toh cah ayu?"
"Ibu sama Sari istirahat aja ya di kamar. Biar aku yang masak. Aku juga bisa bikin nasi goreng" mendengar ide itu, bu Yati dan Sari saling menatap satu
sama lain. Mereka satu pemikiran bahwa tidak mungkin membiarkan sang menantu majikan mengerjakan ini semua. Bisa bisa kena marah Kartika.
"Tapi kita gak enak sama nyonya, mbak. Nanti kalau kita kena omel gimana?" Ucap Sari dengan raut memelas.
"Aku yang tanggung jawab. Lagian aku mau masakin sarapan special buat mas Arsa. Bu Yati sama Sari mau, aku di cap istri durhaka karena gak bisa masak"
Iya?" Pernyataan itu berhasil mengambil hati keduanya. Meski alasan utama Tsabit ialah karena kasihan melihat mereka bekerja. Bukan karena Arsa. Sewaktu ia terbangun
tengah malam, Tsabit sempat melihat Bu yati sedang menyetrika pakaian yang jumlahnya tidak sedikit. Dan Sari membantunya menaruh di keranjang. Jatah istirahat
mereka hanya beberapa jam. Dan paginya mereka harus menyiapkan sarapan pagi.
Kini hanya ada Tsabit dan bahan bahan masakan di dapur. Ia tatap sekeliling dan mengambil salah satu celemek yang menggantung di sudut dapur. Sambil mengucap
basmallah ia gerakan tubuhnya meracik bahan makanan disana menjadi suguhan yang luar biasa. Lupakan kemampuannya yang payah dalam memasak itu. Karena mulai
hari ini kepayahan itu akan terbukti omong kosong.
Dalam waktu satu jam, 4 porsi nasi goreng telah siap di meja makan. Tak hanya itu, ada susu hangat juga menyertai. Tsabit juga menambahkan roti isi sayuran
yang ia kreasikan sendiri berbekal bahan bahan di kulkas. Tsabit menatap puas hasil kerjanya.
"Lho, kok kamu yang nyiapin sarapan, bit?" Abrar datang menyusuri tangga berpakaian rapi sambil menenteng tas hitam, dilengannya ada jaket yang melingkar
sempurna. "Iya. Gak apa apa, kan kalo aku sewa dapur ini sehari" Masakan ku gak kalah enak sama buatan bu Yati kok" jawab Tsabit sambil melepas celemek hello kitty.
"Boleh aja sih, tapi bayar sewanya ke aku ya" Abrar tertawa kecil. Ia menempati salah satu kursi yang kosong, tepat di sebelah Tsabit berdiri. "Wah, kayaknya
enak nih" ia mengabsen satu persatu menu disana. Menatapnya tergiur.
"Eh, gak nunggu yang lain dulu" biar makannya bareng bareng" Tsabit duduk di kursi.
"Kalau nunggu mama sama Arsa, yang ada aku kesiangan. Apalagi Arsa, dia biasa bangun siang" sambil menyuap satu suapan nasi goreng. "Kamu kalau mau makan,
makan aja gak apa apa kok" lantas menyilakan Tsabit makan. Tapi gadis itu menggeleng. "Aku tunggu mama sama Arsa aja kalau gitu"
"Selagi nunggu, temenin aku sarapan, mau?"
*** Tsabit menolak permintaan Abrar untuk menemaninya sarapan. Ia memilih menemui Arsa untuk membangunkan pria itu. Kalau benar ia terbiasa bangun siang, maka
Tsabit akan memusnahkan kebiasaan buruk itu. Ya walaupun kemungkinan berhasil hanya kecil. Tapi, apa salahnya berusaha" Bukankah sesama muslim harus saling
mengingatkan dalam hal kebaikan" Terlebih Arsa adalah suaminya.
Benar kata Abrar. Arsa masih terlelap dalam tidur. Tapi posisi selimutnya sudah berpindah ke sembarang arah. Kemungkinan gaya tidur Arsa tidak bisa diam.
Dia itu tidur apa main futsal, sih" Untungnya tidak sampai terjatuh ke lantai.
"Arsa, bangun. Udah siang" Tsabit menepuk nepuk pergelangan tangan Arsa. Belum ada respon. Ia melipat selimut yang tergeletak di lantai. "Bangun, Sa. Kamu
kuliah, kan hari ini?" Tepukan itu ada lagi, kali ini temponya lebih cepat. Diiringi volume suara yang dibuat lebih besar.
"Gue libur ngampus" jawaban itu terlontar dari mulut Arsa dalam keadaan mata masih terpejam. Ia bergerak sedikit hanya untuk membalikan badan membelakangi
Tsabit. Tangannya dilipat di atas perut.
"Yaudah kalau gitu sholat subuh dulu. Keburu abis waktunya" ya walaupun Tsabit tahu itu tidak akan berhasil. Arsa kan tidak sholat. Bangun pagi saja sulit,
pikirnya. "Udah tadi" Ada kerutan memenuhi kulit diantara sudut mata Tsabit. Ia berdiri tegap menatap Arsa serius. Ia masih berada dalam lelap.
"Kapan?" "Tadi. Pas lo lagi sibuk masak di dapur"
Tsabit mengerucutkan bibir atasnya. Sebenarnya ia masih sanksi akan jawaban Arsa. Bisa aja dia mengigau. Tapi kalau mengigau mana mungkin Arsa tahu kalau
dirinya sibuk membuat sarapan di dapur.
"Kok masih berdiri disitu" Gak percaya gue sholat?" Tsabit memandang ke Arsa. Pria itu masih terpejam. Tapi bisa bisanya menyahut dalam keadaan tertidur.
"Kamu mau ngerjain saya ya" Gak usah pura pura tidur. Ayo bangun! udah siang. Shalat subuh dulu" ada sesuatu yang memberanikan Tsabit menarik tangan Arsa.
Dengan kekuatan seadanya, Tsabit berusaha agar tubuh itu bergerak bangun dari posisi. Sayanganya kekuatan Pria selalu memimpin. Tubuh Arsa tidak mengalami
pergerakan dari aksinya. "Dibilang gue udah shalat subuh. Lo batu banget, sih. Mau narik narik sampe tangan lo putus juga gue gak mau bangun. Gue capek tau"
"Mana buktinya kalau kamu shalat?" Tanpa menjawab, Arsa mengarahkan telunjuknya ke arah kursi di meja belajar. Disana tersampir sajadah hijau miliknya
juga terdapat baju koko putih. Tsabit diam. Ada secuil kebahagiaan setelah tahu Arsa mau melakukan sholat. Ia tersenyum kecil.
"Puas" Gue gak mau di cap manusia yang gak tau terimakasih sama Allah. Gue gak mau masuk neraka"
Senyum di wajah Tsabit semakin memanjang lebar namun tetap manis. "Jadi, kamu,--"
"Lo jangan GR. Gue mau sholat bukan gara gara lo, ya. Inget tuh!" Ucap Arsa masih dalam posisi ya g sama. Bisa bisanya dalam posisi tidur ia mengatakan
itu semua dengan jelas. Tak apa, kalau memang benar Arsa sholat. Hal pertama yang ia lakukan ialah bersyukur sebanyak banyaknya. Setidaknya impian Tsabit
mempunyai suami yang taat beribadah perlahan akan terealisasikan dengan ia terus membimbing Arsa menuju jalanNya. Sebuah proses memang tidaklah mudah.
Tapi Allah akan memudahkan jika berlandaskan ketulusan hati.
"Yaudah kalau gitu. Tapi laki laki hebat itu yang ringan langkahnya berjalan ke masjid untuk sholat berjamaah"
"Gue sholat jama'ah kok"
Tsabit mengerut lagi. "Oh ya" Dimana" Kok saya gak liat kamu?"
"Sibuk ngobrol berdua sama mas Abrar, sih. Jadi gak liat ada gue lewat" cibirnya.
Tsabit mengetuk ngetuk dahi. Mengingat ngingat kejadian sebelumnya. Memangnya sesibuk itu ya, sampai sampai Tsabit tidak melihat keberadaan Arsa tadi.
"Selimut gue mana?" Tanya Arsa lagi mengulurkan tangan ke belakang meminta benda yang dimaksud. "Ada. Kamu mau tidur lagi?"
"Ya iyalah" "Jangan tidur lagi. Kamu harus sarapan, Arsa!" Seru Tsabit menahan selimut dari atas ranjang. "Jangan sampai aku yang kena omel mama kamu ya. Cepetan bangun!"
Ditariknya lagi tangan Arsa sekuat tenaga.
"Kok maksa, sih" Emang ada sarapan apaan?" Penasaran juga rupanya.
"Nasi goreng" Arsa diam beberapa detik. "Yaudah bawain kesini" pintanya seenak jidat. Tsabit buru buru mengendik malas.
"Memangnya saya siapa kamu, minta bawain makanan segala?"
"Istri gue" kini giliran Tsabit yang diam tanpa kata. "Lo kan istri gue. Jadi lo harus melayani suaminya. Bukan begitu, sayang?" Nadanya dibuat sok sok
manja lebay. Tsabit bergidik jijik.
"Kamu gak pantes ngomong sok manis gitu. Malah bikin saya mau muntah, tau gak" Tsabit melempar lipatan selimut di ranjang. Bersiap keluar menuruti kemauan
Arsa sambil bersungut sungut tidak jelas. Bibirnya komat kamit. "Jangan tidur lagi ya. Kalo sampe saya liat kamu tidur lagi, nasi goreng melayang ke wajah
kamu" Tsabit memperingatkan sebelum akhirnya ia membuka pintu. Tapi ia masih bisa mendengar Arsa menyahutnya dengan kalimat,
"Duh, istri ku galak banget"
Tsabit menyempatkan diri berbalik sejenak hanya untuk memperingatkan Arsa. "Berhenti bikin saya muntah ditempat, Arsa! Akting kamu menjijikan, sumpah"
Alih alih Arsa menurut, ia malah terkekeh geli. Berhasil membuat Tsabit jengkel pagi ini. Siapa suruh mengganggu tidurnya. Rasakan pembalasanku, tante.
Ia tertawa jahat dalam hati.
*** TBC... 13. Serangan hati yang perih
Siang hari yang cerah memperlihatkan sang raja cahaya berdiri kokoh memberi terik panas pada permukaan bumi. Cuaca yang sedemikian membuat Kartika enggan
keluar rumah. Ia memilih duduk santai bersilang tungkai di atas sofa kamarnya. ditemani segelas orange juice sambil mengamati serius layar gadgetnya. Membaca
deretan headline berita artikel online yang sejak pagi menarik perhatiannya. Rambutnya ia singkap ke belakang telinga. Menciptakan gerakan anggun yang
indah. TSABITA ILANA. SOSOK WANITA SHOLEHAH MENANTU KELUARGA DIRGA SANTOSO MENARIK PERHATIAN NETIZEN KARENA KECANTIKANNYA.
TIDAK HANYA CANTIK. TSABITA ILANA SANG MENANTU DIRGA SANTOSO DIKENAL RAMAH DAN TIDAK SOMBONG.
ACARA REUNI AKBAR SMA NEGERI 147, JADI AJANG PERKENALAN TSABITA DAN ARSA.
MENGENAL LEBIH DEKAT SIAPA TSABITA ILANA. GADIS SHOLEHAH PENCURI HATI PLAYBOY ARSA.
TERTANGKAP KAMERA; TSABITA ILANA MEMANCARKAN KECANTIKAN ALAMI.
Kartika menarik senyum miring membaca deretan berita fenomenal itu. Tidak hanya berhasil mengalihkan isu. Keberadaan Tsabit berhasil membersihkan nama
baik keluarga Dirga Santoso. Malah sekarang ia menjadi perhatian netizen sejak acara reuni akbar waktu itu.
Kartika ingat sekali, ketika ia mengenalkan Tsabit, teman seangkatannya sudah lebih dulu mengenal gadis kebangsaan Amerika-Sunda itu. Rupanya Tsabit terkenal
dikalangan pengguna instagram berkat video tutorial hijab yang ia peragakan. Peminatnya tak hanya kalangan anak muda, tapi juga kalangan ibu ibu muda sosialita.
Tak heran jika beberapa orang followersnya adalah para ibu ibu muda di acara besar tersebut. Siapa sangka acara reuni itu malah menjadi sorotan berkat
kehadiran Tsabit. Dan pastinya itu akan menjadi ladang menguntungkan bagi Kartika. Selain ketenarannya bertambah, ia juga dipandang hebat sebagai ibu yang
pintar mencarikan menantu cantik yang luar biasa untuk putranya. Siapa yang tidak bangga dengan predikat seperti itu. Terlebih Kartika adalah sosok yang
gila akan pujian. Tapi yang ia tidak habis pikir, apa yang membuat Tsabit nampak istimewa di mata mereka" Baginya, ia tidak lebih dari gadis biasa yang hoby memakai penutup
kepala. Perilaku pun sama seperti yang lain. Ya, walaupun ada sedikit perbedaan yang harus Kartika akui, Tsabit adalah gadis yang konsisten dan memiliki
prinsip. Ia tegas terhadap pilihan hidup yang menurutnya baik. Tapi ya hanya itu. Apa itu yang disebut hebat" Kartika sendiri juga bisa. Lantas, keistimewaan
apa lagi yang Tsabit punya sehingga kepamorannya mengalahkan Kartika.
Ditengah rasa ingin tahunya, perhatian Kartika teralihkan oleh samar samar suara orang yang berdengung. Gerakan tangan di atas layar sempat terhenti, ia
fokuskan pendengarannya yang berasal dari halaman belakang.
"Siapa yang ngaji siang siang gini?" Kartika menaruh tablet ke atas meja lampu lalu beranjak dari sofa berjalan menuju sumber suara. Sesampainya di halaman
belakang, tepat di kursi kayu disertai meja panjang di bawah pohon jambu yang rindang, nampak seorang gadis sedang duduk manis sambil menggenggam Al qur'an
mini di tangan. "Itu siapa yang lagi ngaji, Yati?" Tanya Kartika selagi Bu Yati lewat hendak ke dapur.
"Cah ayu, Nyonya" bu Yati langsung menutup mulut, mendapat tatapan bingung dari Kartika. "Maksud saya, mbak Tsabit, nyonya" setelah mendapat anggukan,
bu Yati pergi menuju dapur sambil tersenyum melihat Tsabit dari kejauhan.
Rasa penasaran Kartika perlahan memaksa kakinya untuk melangkah kesana. Menghampiri Tsabit yang sedang melantunkan ayat suci Al qur'an. Sesampainya disana,
Tsabit masih membaca, tidak menyadari keberadaan Kartika yang sudah duduk manis disebelahnya. Tidak ingin mengganggu, Kartika memilih duduk diam tenang
sembari mendengar ayat ayat indah yang keluar dari mulut menantunya.
Selagi mendengar, tanpa sadar kedua mata Kartika terpejam beberapa saat. Ia seperti merasakan kesejukan dan ketenangan lain yang tidak hanya berasal dari
pepohonan halaman rumahnya, tapi juga dari suara lembut gadis disampingnya. Kartika membuka mata lalu melirik. Tsabit menyudahi aktifitasnya lalu mencium
mushaf qur'an. "Tante, dari tadi ya disini?" Tanya Tsabit kebingungan.
"Iya. Kamu tidak keberatan, kan kalau saya diam diam mendengar kamu mengaji?" Ada senyum menyertai.
"Tentu tidak apa apa, tante. Justru saya senang. Karena Allah subhanahu wata'ala telah menjelaskan dalam beberapa firman-Nya, bahwa orang yang mau mendengarkan
Al-Qur'an, walaupun ia tidak bisa membacanya, akan mendapatkan kasih sayang dan rahmat dari Allah. Dan Allah akan memberikan ketenangan dalam batinnya
serta pahala mendengarkan Al-Qur'an" jawab Tsabit
"Benarkah" Kamu kata siapa?" Tanya Kartika ingin tahu.
"Ada di Al Qur'an ini" lantas Tsabit tersenyum. "Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu
mendapat rahmat. Al qur'an Surat Al A'raf ayat 204" jelas Tsabit.
"Dulu saya bisa mengaji. Tapi sekarang saya sibuk dengan pekerjaan hingga jadwal mengajinya terabaikan begitu saja" ungkap Kartika menyandarkan tubuh di
tepian meja. Menatap lurus halaman dibawah panas terik matahari.
"Sebagai orang yang mengaku muslim, kesibukan demi kesibukan sering membuat kita lalai membuka, membaca dan mentadaburi kitab suci umat muslim itu. Al
Qur'an hanya tergeletak di atas meja atau diam berdebu di tengah-tengah himpitan buku dalam lemari. Memang jika kitab suci Al Qur'an itu jatuh dari tempatnya,
segera sang pemilik rumah mengambil dan menciumnya sebagai tanda bukti cinta. Namun ia tak berniat membuka dan membacanya, ia kembalikan Al Qur'an tersebut
ke tempatnya sebagai pajangan yang melengkapi isi lemari" ada sindiran halus yang menohok Kartika saat itu juga. Ia merasakan kesulitan menelan ludah.
"Saya juga dulu seperti itu" ada kelegaan sedikit dalam diri Kartika. Rupanya tidak hanya dia yang seperti itu, hampir setiap manusia banyak yang melalaikan
Al qur'an. "Tapi saya tidak ingin terjatuh karena meninggalkan Al qur'an. Karena sudah jelas jelas Rasulullah bersabda 'barang siapa yang dalam dirinya
tidak baca Al qur'an, maka ia seperti halnya rumah yang roboh' itu yang menguatkan saya tetap membaca Al qur'an"
"Kalau boleh saya bertanya, menurut kamu, kenapa Tuhan menurunkan Al quran" Ini diluar perannya sebagai kitab suci ya. Bisa kamu kasih saya penjelasan
tentang itu?" Ada sorot keingin tahuan yang besar disana.
"Allah menurunkan Al qur'an untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia. Al quran adalah kitab petunjuk, bukan kitab kedokteran atau teknik, bukan kitab astronomi
atau kimia yang menghimpun berbagai ilmiah ilmu ilmu tersebut. Sekali lagi, Al qur'an hanya kitab hidayah illahi bagi perilaku manusia" Kartika menyimak
dalam sapuan mata menatap sekitar.
"Seperti halnya kita berpergian jauh. Tentu dalam menempuh perjalanan kita membutuhkan peta, bukan" Gunanya untuk apa kalau bukan untuk memberi petunjuk
jalan mana saja yang harus ditempuh agar sampai ke tujuan yang benar" ada anggukan kecil tercipta dari wanita itu.
"Sama halnya dengan Al qur'an. Selama manusia hidup di bumi Allah, kita memiliki tujuan yakni Akhirat, yang sifatnya abadi. Kita bakal hidup disana. Untuk
menempuh menuju sana tentu kita tidak punya petunjuk apa apa selain Al qur'an. Karena dari Al qur'an lah kita bisa tahu jalan kebenaran menuju jalanNya.
Islam sudah mengatur dengan baik bagaimana selayaknya menjadi umat yang taat kepada Tuhannya. Dan semua itu telah di terpapar jelas di Al qur'an. Semua
yang menyangkut kehidupan di dunia dan di akhirat ada disana. Kehidupan beribu abad silam bahkan hingga sekian tahun ke depan, Allah merancangnya disana"
Dalam diam, Kartika membenarkan. Ada secuil penyesalannya mengingat dulu hingga sekarang, keluarganya sangat jauh dari agama. Bahkan ia menomor sekiankan
agama ketimbang pendidikan akademik di luar sana. Matanya mengerjap sekali, lalu menoleh.
"Apa buktinya kalau di dalam Al quran ada peristiwa di kehidupan masa depan?"
Tsabit diam. Ia mengingat ngingat beberapa cerita yang pernah Rayyan ceritakan padanya. Ia pun memetik jari, pertanda ingatannya kembali. "Ketika beberapa
pilot atau astronot ditanya bagaimana perasaan dia ketika terbang atau menambah ketinggiannya" Mereka menjawab, kami merasakan semakin sesaknya dada kami
setiap kali mereka menambah ketinggian di udara sampai sampai kami merasa tercekik karena tidak mampu bernafas akibat semakin berkurang kadar oksigen"
"Lantas?" Kartika menatapnya penasaran. Tetap dalam peringai tenang.
"Satu hal yang ajaib, pada zaman Nabi Muhammad belum ada yang namanya pilot ataupun astronot. Akan tetapi, coba pahami arti ayat yang saya baca;
"Barang siapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya (untuk memeluk agama) islam. Dan barang siapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit , seolah olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa
kepada orang orang yang tidak beriman. Surat Al an' am ayat 125"
Kartika bukan orang yang bodoh. Jika dikaitkan memang ada saling berkesinambungan antara pengakuan astronom tersebut dengan ayat yang dibacakan Tsabit.
Barangsiapa berhak disesatkan Allah swt karena amal-amalnya yang buruk dan permusuhannya terhadap Islam, maka Allah swt. menjadikan dadanya sempit bila
mendengar mauizhah (nasihat) yang mengingatkannya tentang kebenaran Islam seperti sempitnya dada orang yang naik ke langit. Hal ini tidak diketahui manusia
yang tidak beriman sebelum mereka menggunakan pesawat terbang. Lalu apakah Nabi Muhammad saw. memiliki pesawat khusus untuk menyampaikan informasi ini"
Atau apakah yang disampaikan semata wahyu yang berasal dari ilmu Allah swt"!
"Mengapa kamu bisa tahu semua itu" Bukankah setahu saya kamu seorang muallaf?"
"Saya memang seorang muallaf. Tapi itu sudah lima tahun yang lalu. Kini saya adalah seorang muslimah. Saya ingin menjadi hamba Allah yang taat. Bukan hanya
sekedar muallaf. Hidup dan mati saya hanya untuk Allah" senyum sederhana itu mampu menarik Kartika agar ikut tersenyum meski separuhnya.
"Memang, apa yang Allah berikan kalau kita membaca dan mengamalkan Al qur'an" Saya lihat kamu begitu bersemangat sekali"
"Banyak sekali, tante" ada binaran mata indah menyapa Kartika. Dan sentuhan lembut menggenggam tangannya. "Diantaranya; Allah akan menjadikan kita sebaik
baiknya manusia. Dalam hadist riwayat Bukhari menjelaskan, 'sebaik baiknya kalian adalah siapa yang mempelajari Al quran dan mengamalkannya. Lalu pahala
yang berlipat. Seperti Rasulullah saw bersabda, 'siapa saja membaca satu huruf dari kitab Allah (Al quran), maka baginya satu kebaikan, dengan satu kebaikan
itu dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Hadist riwayat At tirmidzi"
Kartika ingin mengatakan sesuatu, baru membuka mulut, genggaman Tsabit ditangannya semakin erat seiring antusiasnya menjelaskan keutamaan membaca Al quran.
Persis seperti tingkah anak kecil yang menceritakan suasana di sekolah barunya.
"Dan ada lagi, tante. Pembaca Al quran akan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam Surga. Dan tidak hanya itu, dengan membaca Al quran, saya bisa memuliakan
kedua orang tua saya di hari kiamat kelak. 'Siapa saja membaca Al quran, mempelajarinya dan mengamalkannya maka dipakaikan kepada kedua orang tuanya pada
hari kiamat mahkota dari cahaya dan sinarnya bagaikan sinar matahari, dan dikenakannya pada kedua orang tuanya dua perhiasan yang nilainya tak tertandingi
oleh dunia. Kedua orang tuanya pun bertanya, 'bagaimana dipakaikan kepada kami ini semua"' Dijawab 'karena anakmu telah membawa Al quran'" Tsabit ingat
sekali itu hadist pertama yang ia tahu dari Idzar sewaktu ia tengah mengagumi sosok hafiz cilik yang sering ia lihat di televisi. Sampai sekarang ia tidak
pernah bosan menonton aksi hafiz hafiz tersebut melalui akun youtubenya. Malah menjadikannya konsumsi sehari hari.
Kartika merasa merinding luar biasa. Bulu tengkuknya berdiri kaku. Ia mengusap bagian itu dengan perasaan lain. Alih alih Tsabit ingin membuat mertuanya
terperangah karena keistimewaan Al quran, ia malah membuat Kartika diam membisu seperti orang ketakutan. Apa nada bicaranya tadi menyeramkan" Atau ada
yang salah dari ucapannya barusan"
"Tante?" Tsabit melepas genggamam seraya memerhatikan raut wajah Kartika. "Tante, baik baik saja" Saya salah ngomong ya" Maaf."
Kartika tersadar. "Tidak Tsabit. Kamu tidak salah bicara. Saya yang salah" ia tersenyum tidak enak hati.
"Tante salah apa memangnya?" Tsabit menggaruk garuk hidung dengan wajah polos.
"Karena sudah tega membawa gadis sesuci kamu ke dalam kehidupan hedonis saya yang menyesatkan" andai Kartika bisa mengatakan itu, pasti ia akan mengucapkannya.
Sayangnya, kalimat itu hanya bisa ia simpan dalam hati, membiarkan Tsabit menunggu.
"Tante?" Kartika tersadar lagi.
"Ah, iya" Maaf" ia merapikan rambut dengan mengusapnnya. "Saya harus kembali ke kamar. Kepala saya mendadak pusing"
"Mau saya antar?"
"Tidak perlu. Kamu lanjutkan saja mengajinya" ujarnya tersenyum sambil berjalan meninggalkan Tsabit dalam kecemasan. Tak lama ia berbalik hanya untuk mengatakan,
"Mulai hari ini jangan panggil saya 'tante'. Saya lebih suka kamu memanggil saya dengan sebutan 'mama'"
Ada semburat merah memenuhi wajah Tsabit. Ia mengulum senyum menatap kepergian Kartika yang perlahan hilang dari peredaran mata.
*** Seorang gadis nampak gelisah di sudut taman. Wajahnya menampakan kekhawatiran sembari melirik jam tangan. Diletakannya tas berbentuk bibir miliknya ke
atas paha, lalu mengambil ponsel. Rangkaian pesan singkat ia kirim kepada seseorang disana.
Setelah memutar lehernya ke kanan dan ke kiri, sosok yang ia tunggu pun datang menghampiri. Sebuah pelukan hangat menyambut keduanya. Dalam tautan yang
erat mereka menuang rindu yang semakin tidak tahu diri. Datang begitu saja tanpa memikirkan bagaimana caranya untuk pergi. Itulah rindu yang mereka rasakan.
"Aku rindu pelukan ini. Rasanya tidak berubah. Tetap hangat dan menenangkan. Aku rindu orang yang setiap harinya memberi pelukan ini" ungkap si gadis dalam
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelukan erat sang kekasih.
"Aku pun begitu sayang. Bersabarlah sampai waktu yang akan mempertemukan kita dalam ikatan yang lain. Missing you like crazy, babe"
Mereka saling melepas pelukan perlahan. "Kapan kamu menceraikan dia" Melihat kamu bersanding di pelaminan dengan perempuan itu, cukup berhasil membuat
luka aku, Sa! Aku terluka melihat kamu sama dia" ungkap Fania menahan tangis.
"Kamu bersabar ya sayang, aku pasti tepatin janji aku. Kita bakal menikah secepatnya. Tapi aku mohon kamu mau bersabar sedikit aja. Mau ya?" Arsa mengecup
lembut genggaman tangannya kepada Fania.
"Tapi sampai kapan aku harus bersabar, ay" Aku tersiksa ngeliat berita kemesraan kamu di media. Sakit banget rasanya" akhirnya tangis itu terjun menuruni
pipi kemerahan Fania. Ada sentuhan lembut mengusap aliran bening itu.
"Secepatnya. Semua akan indah pada waktunya. Percaya sama aku" ucap Arsa mantap.
Mereka kembali berpelukan. Sayangnya itu tidak bertahan lama. Arsa kebur teringat sesuatu. Kepalanya berputar mengitari sekeliling taman.
"Kamu kenapa, ay?" Tanya Fania melihat raut cemas Arsa seusai melepas pelukan keduanya.
"Sebaiknya kita cari tempat lain yang lebih aman. Aku takut ada wartawan yang ngikutin kita. Bisa bahaya kalau aku ketahuan pergi sama kamu"
Fania mengusulkan suatu tempat yang ia yakin tidak ada yang tahu. Mereka pun pergi menuju tempat tersebut. Selagi berjalan, tercipta seringai tipis dari
wajah gadis itu. *** Tsabit bersiap menyalakan mesin mobilnya. Setelah semua telah siap, mulai dari isi tas, pakaian yang dikenakan pun telah rapi, tak lupa izin dari Kartika
untuk dirinya pergi keluar mengunjungi Aufa.
Sebelum menginjak pedal gas, muncul ide iseng Tsabit. Sambil terkekeh geli, ia keluarkan ponsel pintarnya, membuka ikon kamera lalu menghadapkannya ke
arah wajah. Dalam satu jepretan, ponsel tersebut berhasil menampilkan satu gambar wajah dirinya. Berbekal senyum sederhana sambil memperlihatkan giginya,
membuat gadis itu nampak cantik apalagi dengan memakai pashmina wolfis motif bunga dahlia ungu.
Berbekal senyum sederhana sambil memperlihatkan giginya, membuat gadis itu nampak cantik apalagi dengan memakai pashmina wolfis motif bunga dahlia ungu
"Hihihi.. kantung mataku begini banget. Tapi lucu sih" ucap Tsabit agak tertawa, setelah melihat hasil jepretannya. Tangannya sibuk memegang area kantung
mata. Tidak memakan waktu lama untuk Tsabit menempuh perjalanan menuju kediaman Aufa. Sesampainya disana, Tsabit disambut kondisi Aufa yang sedikit berbeda.
Perutnya semakin membesar. Terlihat sekali dalam balutan gamis berwarna hitam andalannya.
"Baru 8 minggu kok gede banget ya, fa" Kayaknya anak kamu nanti gemuk, deh" ucap Tsabit asal sambil mengunyah kue nastar suguhan Aufa.
"Kayaknya sih. Tapi gak apa apa lah. Mau Allah kasih gimana aku tetep bersyukur dia bisa lahir ke dunia nanti" jawab Aufa lembut memegangi permukaan perut.
Setelah itu ia menoleh. "Kamu kok sendirian kesini" Suamimu mana?" Aufa ikut menikmati nastar di toples.
"Lagi pergi ketemu temennya. Biasalah nongkrong nongkrong"
"Oh iya aku lupa. Kamu kan nikah sama brondong ya" ledek Aufa dengan muka imut imut nyebelin khasnya. Tsabit mencebik keki.
"Becanda ya, sayang" Aufa merangkul pundak Tsabit.
"Gak apa apa kok. Emang bener sih aku nikah sama brondong, nyebelin lagi orangnya" ucapnya santai.
"Biar nyebelin juga suami kamu. Kunci surga kamu ada sama dia, bit"
"Gimana mau megang kunci surga, sholatnya aja harus,..." Tsabit tersentak lalu menutup mulutnya otomatis menghentikan ucapannya di tengah jalan. Ia ingat
pesan mama, bahwa Aib suami adalah aib dirinya juga. Seorang istri harus bisa menjaga aib suami seburuk apapun, dimana pun, dan kapan pun. Tsabit menepuk
jidat setelah itu. Aufa mengerut heran. "Kok berhenti?"
"Eh, gak apa apa. Oh ya, suami kamu belum pulang?" Tsabit mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Belum. Masih lama. Dia lembur terus sekarang. Akunya kesepian,deh" keluh Aufa. Beberapa hari ini Idzar memang disibukan dengan pekerjaan. Bahkan dalam
sebulan setiap minggunya ia harus masuk. Kalaupun ada libur, hanya ada beberapa hari saja. Disaat Aufa membutuhkan perhatian lebih sang suami, justru Idzar
harus menghadapi lembur. "Lembur dua jam apa empat jam?"
"Dua jam lah. Kalau empat jam aku gak sanggup deh" kalau lembur dua jam, biasanya sampai pukul 6 sore. Sedangkan lembur 4 jam bisa sampai jam 9 malam.
"Kamu ambil cuti berapa hari?" Tanya Aufa lagi.
"Seminggu doang" Tsabit beralih menikmati kue biji ketapang, yang katanya hasil buatan tangan Aufa.
"Eh, kamu nemenin aku ya disini, sampe Idzar pulang, gimana?" Sambil memeluk lengan Tsabit satunya Aufa memohon. Sambil mengunyah Tsabit memasang wajah
sok berpikir. "Mmm, gimana ya" Mau gak yaa?"
"Ayo dong, temenin. Sampai bada' maghrib doang, kok. Nanti kamu sholat maghrib disini aja" rengek Aufa. Maklum ibu hamil apa apa harus dituruti.
"Yauda deh aku mau. Tapi aku izin ke mertua aku dulu. Terus kue biji ketapangnya aku abisin, gak apa apa ya?" Tawar Tsabit sambil menaik turunkan alisnya
menyeringai jahil. Aufa menipiskan bibir seraya membuang nafas, lalu menggeleng.
"Abisin aja. Kalau perlu nastarnya kamu bawa pulang juga boleh"
"Beneran" Asyik!" Seru Tsabit girang. Anggap saja itu imbalan Tsabit menemaninya hari ini. Orang seperti Tsabit tergolong tidak menyusahkan. Kalau ada
apa apa, cukup jejelin makanan yang banyak juga diem.
*** Dalam perjalanan pulang, Tsabit menyalakan musik pada tape di mobil. Alunan musik gambus mengiringi perjalanannya. Sayangnya jalanan menuju pulang agak
sepi. Terlebih ketika ia melewati jalan yang tidak biasa ia lewati. Kata Aufa kalau lewat jalan sini, bisa memotong jalan. Memang sih, bisa motong jalan.
Tapi kalau jalanan sepi seperti ini juga lebih baik Tsabit lewat jalan biasanya.
Ketika mobil itu melintasi jalan besar yang di kiri dan kanannya terdapat kebun pisang. Mungkin bukan jalan besar, lebih tepatnya gang besar kali ya. Karena
jalanan ini tidak cukup dilewati dua mobil. Bagaimana kalau ada mobil datang dari arah berlawanan" Apa yang harus Tsabit katakan pada Kartika. Masih untung
dia mau meminjamkan mobilnya. Itu pun belum termasuk sopir.
"Astaghfirullah. Kenapa perasaan jadi gak enak gini ya?" Tsabit bergumam dalam kemudi fokus pada jalanan. Kalau tahu begitu, ia terima saja tawaran Idzar
mengantarnya. Tentu bersama Aufa juga yang menemani. Sayangnya ia tidak mau mengganggu keduanya. Idzar pasti lelah seharian bekerja. Dan Aufa sedang hamil,
takut terjadi apa apa. Dan saat itu juga, ada sebuah sepeda motor yang diisi dua orang berhenti tiba tiba di depan mobilnya. Tsabit menegang siaga. Ia buru buru mengunci pintu
dan jendela mobil. Pasti mereka orang jahat.
Dugaanya benar. Setelah dua orang itu turun dari mobil mereka langsung menyerang mobil yang dikendarai Tsabit dengan mengetuk ngetuk kasar kaca jendela.
"Woy! Woy! Buka buka! Cepet!" Salah satu dari mereka yang bernampilan sangar layaknya preman berteriak kasar. Ditangannya terdapat pisau. Tsabit panik
sambil mengelus dada. Dalam hati ia membaca ayat kursi.
"Eh! Gue bilang buka buka! Jangan sampe gue pecahin ni kaca!" Ancam pria satunya yang memakai topi kupluk hitam. Wajahnya biasa saja. Tapi suaranya berat
dan menyeramkan. Tsabit menarik nafas berusaha tetap tenang. Ingat! Allah bersama kita. Bismillah.
"Kalian mau apa?" Tantang Tsabit usai membuka pintu lalu menutupnya. Ia sempatkan tangan satunya untuk mengunci pintu mobil dari luar dengan posisi menghadap
mereka. "Serahin barang berharga lu. Duit, hape, perhiasan, laptop, semua yang lu punya, cepet!" Si Pria sangar menodongnya dengan pisau. Tsabit menarik wajah
siaga menatap pisau di dekatnya.
"Enak aja. Kerja dong, mas. Saya susah susah kerja banting tulang masa hasilnya buat situ!"
Tsabit cari perkara. Ah, masa bodoh. Mempertahankan barang berharga milik kita juga dianjurkan. Tapi sayangnya, Tsabit lupa hadistnya.
"Lo nantangin"! Ini kita lagi kerja, bego"!!" Pisau itu didorongnya tapi tidak sampai menyentuh wajah Tsabit.
"Kerja tuh yang halal, mas. Mas gak kasian sama anak istri dirumah" Dikasih makan hasil uang haram. Beraninya sama perempuan lagi. Coba bayangin kalo istri
mas di posisi saya?" Ancam Tsabit menaikan dagu dengan gaya sok berani. Padahal mah hatinya was was tidak karuan. Tidak cuma ayat kursi, dua kalimat syahadat,
dan tahlil pun ia lantunkan dalam hati. Takut takut kalau nyawanya melayang, setidaknya dalam keadaan mati syahid.
"Eh, lo berani sama gua"! Gua gak butuh ceramah! Jangan banyak bacot lu, cepetan serahin barang barang lu! Atau gua sobek muka lu, cepet!" Tsabit diam.
Si pria sangar itu mengintruksi rekan sesama preman berkupluk untuk membuka pintu mobil, sedang ia menahan Tsabit. Gadis itu melirik.
Merasa ada kesempatan, Tsabit menginjak kuat kuat kaki pria sangar yang menahannya. Setelah ia meringis kesakitan, ia semprotkan gas air mata yang sudah
ia siapkan dalam genggaman ke mata pria itu. Sontak saja preman sangar itu mengaduh perih sambil mengusap matanya.
"Emang enak" cibir Tsabit. Tinggal preman satunya yang harus ia tangani. "Sialan nih cewek!" Umpatnya bersiap menyerang Tsabit dengan tonjokan. Tapi Tsabit
lebih gesit menghindar dari serangan tersebut dengan menunduk. Lalu ia melayangkan tinju ke perutnya. Preman berkupluk itu hanya mengaduh sekali. Sayangnya
kekuatan pria lebih mendominasi. Tonjokannya sama sekali tidak berpengaruh.
Ia berjalan misterius mendekati Tsabit sambil menyeringai bahaya. Tsabit berjalan mundur perlahan sambil memasang kuda kuda.
"Mas jangan macem macem! Maju sedikit, saya bakal teriak!" Ancam Tsabit mulai panik.
"Teriak aja sono! Paling yang nyahut kuntilanak pohon pisang" preman itu tertawa puas. Tsabit menatap sekeliling. Ketika pria itu semakin dekat lalu hendak
mengepungnya, Tsabit menggelindingkan tubuhnya menghindar dari serangan tersebut.
"Ni cewek minta di ajak seneng seneng, rupanya" gumam pria itu sambil mengusap bibir bawah, menatapnya bak serigala yang siap menikmati mangsa.
"Cemen banget lu, beraninya sama cewek! Besok tukeran daster aje sama bini lu!"
Teriak seseorang dari arah lain. Si preman berkupluk mencari cari asal suara. "Lo yang cemen! Sini kalo berani lawan gua! Gua abisini ni cewek" tantang
preman itu mengedarkan pandangan ke segala arah.
"Mata lo buta"! Gua disini!"
Si preman maupun Tsabit mengarahkan pandangan ke arah ujung jalan dekat semak semak. Sontak saja Tsabit membulatkan kedua matanya lebar lebar.
"Lah, Arsa" Katanya lagi mau nongkrong sama temen di Cafe" bisik Tsabit terheran heran.
"Jiah! Gue suruh lawan bocah ingusan macem begini. Mending pulang lu, tong! Cuci kaki cuci tangan bobok!" Ledek si preman tertawa terpingkal pingkal menepuk
pahanya kegirangan. Kalau lawannya seperti ini, disentil sedikit juga terbang, pikirnya.
"Ngomong doang digedein. Kalo takut bilang, banci!" Untuk urusan bacot membacot Tsabit akui, Arsa jagonya. Ilmunya sudah khatam.
Tidak terima dikatai banci, preman berkupluk itu langsung saja menyerang Arsa hingga mereka terlibat pertarungan sengit. Ini pertama kalinya Tsabit melihat
pertarungan langsung dua pria. Dan salah satunya adalah suaminya sendiri. Harusnya Tsabit bangga atau khawatir" Aih, kenapa jadi memikirkan itu, sih"
Ketika asyik mengamati pertarungan dihadapannya, Tsabit lupa bahwa preman berwajah sangar bakal sadar karena efek gas air mata itu tidak bertahan lama.
Dan sebelum Tsabit bertindak, preman yang dimaksud sudah lebih dulu ambil posisi menahan pergelangan tangan Tsabit ke belakang lengkap dengan pisau mengepungnya
dekat leher. "Woy! Ceweknya udah sama gue nih!" Teriak preman sangar itu memberi tahu rekannya. Arsa mendengar seraya mengarahkan pandangan ke arah dimana Tsabit di
kepung olehnya. "Tsabit" gumam Arsa cemas menatap gadis itu dari tempatnya bertarung.
"Arsa awas! Dibelakang kamu!" Sergah Tsabit mengingatkan, karena kefokusan pria itu teralihkan sehingga dengan mudah preman berkupluk melayangkan pukulan
ke punggung. Arsa langsung menghantamnnya dengan tinju yang tak kalah kuat.
"Gile! Jago juga pacar lu" ucap preman sangar yang menahan Tsabit.
"Iya lah. Hebat kan"! Dia suami saya, mas. Juara satu taekwondo tingkat Asia" disaat seperti ini sempat sempatnya Tsabit membanggakan sang suami. Tapi
nyatanya, pujian itu berhasil membuat preman sangar itu was was. Takut kalau temannya kalah.
"Mampus lo! Masih bocah mau lawan gue!"
Apa tadi katanya" Arsa kenapa" Perhatian Tsabit tertuju pada sosok terkulai tak berdaya di atas tanah merah. Ia melihat pria itu meringis kesakitan memegangi dadanya. Arsa terkena pukulan
keras di bagian dada sehingga ia tak mampu mempertahankan diri.
"Pacar lo baru segitu aja udah K.O! Payah!"
Seperti mendapat kekuatan lain, usai menatap Arsa dalam ketidak berdayaannya. Tsabit menatap dua preman jahat itu dengan geram. Sambil mengumpulkan segenap
kekuatan, Tsabit menarik nafas lalu langsung saja menggigit lengan yang mengepungnya dengan sekuat tenaga. Disaat preman itu kesakitan, Tsabit berhasil
melepas diri lalu merebut pisau dari tangannya.
"Lo udah bikin suami gue kayak gitu. Sekarang giliran lo yang gue bikin mati. Sini kalo berani!" Tsabit menunjukan wujud aslinya. Ia menatap dua preman
itu dengan bengis sambil menodongkan pisau ke arah mereka.
Ketika dua preman itu menyerang bersamaan, Tsabit sudah bersiap menyerangnya. Kaki kanan ia gunakan untuk menendang selangkangan preman sangar, lalu tangan
kiri ia gunakan untuk menyemprotkan gas air mata secara terus menerus ke arah mata preman berkupluk. Beruntung saraf motoriknya sangat peka sehingga ia
bisa bergerak lebih cepat dari mereka.
Keduanya mengaduh kesakitan dan kepanasan. Tsabit mendorong preman sangar hingga ia terjerembat ke kubangan air keruh bertanah merah lalu ia menamparnya
bolak balik sambil berkata, "Jangan mentang mentang gue cewek ya. Sekarang lo pilih, rumah sakit atau kuburan. Liat tuh temen lo udah semaput matanya sama
gue!" Si preman sangar itu mengaduh kesakitan lalu minta ampun berulang ulang. Tamparan Tsabit rupanya lebih menyiksa ketimbang pukulan tinju. Sampai akhirnya
beberapa warga sekitar datang menghampiri untuk menolong. Yang terbesit pertama di pikiran Tsabit adalah, siapa sudah yang menghubungi warga sebanyak ini"
*** "Arsa, bangun, sa" Tsabit menepuk nepuk pipi Arsa yang belum tersadar. Tidak ada respon. Ada lebam di area pipi dan hidungnya mengeluarkan darah. Tsabit
semakin panik. Sedangkan warga semuanya menyeret dua preman ke pihak yang berwajib. Tersisa dirinya dan Arsa. Tapi,..
"Astaga sayang. Kamu kenapa bisa kayak gini"
Telinga Tsabit menangkap suara dari arah dimana mobil Arsa terparkir di ujung jalan. Seorang wanita berlari kecil menghampiri Arsa dengan kecemasan yang
sama. "Sayang, bangun. Kamu gak boleh mati. Kamu apain dia sampai kayak gini?" Tanya gadis cantik itu menangis sejadi jadinya melihat kondisi Arsa. Alih alih
menjawab, Tsabit hanya diam menatap Fania dalam kecemasannya.
"Kamu dengar aku, kan sayang" Kamu tenang ya, aku udah telepon polisi buat urus penjahat itu" Fania menguncangkan tubuh Arsa sambil sesekali memeluk pria
itu dalam pangkuan. Tsabit masih diam bergeming tak berdaya sejak kedatangan Fania ditengah mereka. Bibirnya bergetar samar. Ada gelanyar perih yang menyerang
tubuh bagian hati. Perihnya bak luka baru yang ditetesi air garam.
Dilihatnya lagi Fania mengusap lembut rambut Arsa. Tetesan air matanya bahkan menetes membasahi wajah Arsa. Di dekapnya pria itu dalam pangkuan hangat.
Tsabit benci interaksi mereka. Bukan karena hal lain, tapi Arsa adalah suaminya. Gadis itu tidak berhak memegang atau bahkan menyentuhnya dengan intim.
Tidak ingin suaminya berlama lama dalam pelukan Fania, Tsabit berinisiatif mengangkat tubuh Arsa dengan menyalipkan tangan kanan diantara tengkuk leher
dan punggung. Tangan satunya ia salipkan di lipatan kaki suaminya. Fania terkesiap.
"Mau kamu bawa kemana?"
"Arsa bisa mati kalau hanya terus terusan ditangisi. Dia harus dibawa ke rumah sakit" kalimatnya berhasil menyindir Fania. Sambil susah payah ia berusaha
membopong tubuh Arsa. Nyatanya Tsabit hanya bisa memapahnya sambil berjalan. Tubuh Arsa kelewat besar.
"Aku ikut" Fania beranjak dari duduk simpuhnya seraya merapikan dress mini merah seksinya. Tsabit menoleh ke belakang. "Tidak perlu. Mendingan kamu pulang.
Sebelum ada preman lain melakukan hal yang sama terhadap kamu"
Fania mendegus pendek seraya menyibak rambut ke belakang lalu melipat tangan angkuh. "Tapi aku pacarnya Arsa" ucapan itu terdengar lantang di telinga Tsabit.
Ketika akan melanjutkan perjalanan, Tsabit menoleh lagi.
"Dan saya istri sahnya Arsa"
Ada penekanan pada tiga kata terakhir yang Tsabit ucapkan. Sukses membuat Fania diam tak bersuara lalu memilih pergi dengan berjalan menghentak hentakan
kaki sebal. Sebelum masuk ke dalam mobil, dilihatnya lagi dari jauh Tsabit sedang bersusah payah membawa Arsa menuju mobil. Dan seringai tipis itu kembali
muncul. *** TBC... 14. Mutiara yang tersembunyi
Pintu mobil itu terbuka lebar. Sosok pria paruh bayah berpakaian safari berjalan buru buru memutari separuh mobil menuju pintu penumpang lalu membukanya.
Sambil menunduk hormat, ia persilakan seorang wanita keluar dari sana. Ia tidak sendiri, setelahnya ada sosok pria lalu kemudian ada sosok gadis yang keluar
terakhir dari sana. Dua wanita itu menuntun seorang pria berjalan secara tertatih. Masing masing dari mereka mengerat dua lengan kekar si pria yang nampak kokoh dari luar,
namun begitu rapuh setelah musibah yang menimpanya kemarin.
Sesampainya mereka di depan kamar, ada pria lain yang keluar menyambut mereka.
"Selama masa perawatan, kamu istirahat di kamar ini aja. Mas udah suruh Sari bersihin semuanya. Untuk sementara kamu tidur disini. Kamar kamu dikosongin
aja dulu ya" katanya.
"Gue gak mau tidur di sana, mas. Gue mau tidur di kamar gue aja" tolak Arsa begitu saja. Ia hendak berjalan menuju kamarnya, namun dua wanita yang memegangi
tangannya menahan dengan tatapan menuntut.
"Kamu jangan keras kepala, Arsa. Mas Abrar sudah repot repot bantuin Sari siapin kamar perawatan khusus buat kamu. Masa kamu mau tidur di kamar lain, sih"
ujar Kartika. "Itu kan kamar aku, ma. Masa aku gak boleh tidur disana, sih" sungut Arsa protes.
"Yang bilang gak boleh siapa" Boleh. Tapi nanti kalau kamu udah pulih, nak" Kartika begitu sabar menghadapi kekeraskepalaan Arsa. Gadis satunya yang memegangi
lengan Arsa yang lain, hanya menyimak perdebatan mereka.
"Lagian kan sama aja kamar yang ini sama yang itu" balasnya lagi.
"Kamar ini lebih steril dan lebih luas. Nanti perawat yang merawat kamu juga nyaman ngurusin kamu. Coba kalo pake kamar kamu yang itu. Udah sempit, gak
terawat lagi" mungkin bagi Kartika ukuran luas menurutnya seluas lapangan bola. Padahal kamar Arsa termasuk kamar terbesar yang pernah Tsabit temui. Dan
wanita itu lupa satu hal, pasti sejak pernikahannya dengan Tsabit, Kartika belum mengecheck kamar Arsa. Kamar itu nampak lebih baik dari sebelumnya. Sejak
keberadaan Tsabit disana. Tidak ada selimut maupun sprei berserakan. Meja meja terlihat lebih berisi dan tetap terjaga kerapihannya. Bagian kolong tempat
tidur juga tidak lagi berdebu karena jarang tersentuh sapu ataupun vacum cleaner. Tsabit merawat kamarnya dengan sangat baik. Baginya kamar suami adalah
kamar ia juga. "Aku gak mau pake perawat"
Kartika menatapnya heran. "Lantas siapa yang akan merawat kamu kalau bukan perawat, sa?"
"Dia" kepala Arsa menoleh ke arah kanan. Tepat ke seorang gadis yang begitu setia menemani Arsa di rumah sakit selama seharian ini." Tsabit menatap tidak
percaya. "Saya?" Bisik Tsabit mengerjap bodoh sambil menunjuk dirinya." Arsa sebal sekali dengan respon itu. Ekspresi minta dijitak.
"Ya iyalah. Siapa lagi" Fania?"
"Gak boleh!" Sahut Tsabit dalam tempo cepat. "Oke. Saya mau." Sontak saja ketika Arsa mengucap nama itu, Tsabit langsung cekatan menerima permintaan Arsa
menjadi perawatnya seraya mengerat kuat genggaman di lengannya.
"Nah gitu dong" Arsa menyimpan geli dalam hati. Saking tidak kuat menahan, tercipta senyum kecil samar.
Sampai mati pun, Tsabit tidak akan membiarkan Fania menyentuh Arsa kedua kalinya. Masa bodoh dengan status mereka. Pacaran kan tidak diridhoi Allah, buat
apa Tsabit takut melawan sesuatu yang dibenci Allah. Dan spontanitas yang terjadi barusan karena Tsabit ingin menjaga Arsa dari dosa. Apa jadinya kalau
nanti Fania yang merawat Arsa selama sakit" Dan jangan kaitkan dengan perasaan cemburu. Itu berbeda. Tsabit tidak cemburu. Mungkin, belum.
Didalam kamar hanya ada Arsa dan Kartika. Wanita itu meminta waktu untuk berbicara empat mata dengan Arsa sebentar. Ketika Arsa berada di posisi nyaman,
bersandar pada punggung ranjang meluruskan kaki yang tertutupi selimut, Kartika berdiri menyambar sebuah koran dari meja.
"Baca ini!" Perintahnya memposisikan koran berdiri tepat di hadapan Arsa menunjukan headline yang tertera disana dalam tulisan besar.
KEPERGOK; SEBELUM DILARIKAN KE RUMAH SAKIT, ARSA DIPEREBUTKAN DUA WANITA.
"Dan baca ini juga" setelah menaruh koran, Kartika menyodorkan tablet miliknya.
BELUM LAMA MENIKAH, HUBUNGAN ARSA DAN TSABIT DILANDA ISU ORANG KETIGA. SIAPA DIA"
Setelah kiranya Arsa usai membaca rangkaian berita disana, Kartika menarik kembali tablet lalu duduk di tepi ranjang menatap Arsa serius. "Kamu udah berani
ya bohongin mama. Hebat! Diem diem pergi menemui Fania. Ingat status kamu, sa"
Arsa menghela seraya memalingkan wajah, "Mama juga harus inget. Status aku sama Tsabit bukan pernikahan yang serius. Engga lebih dari sekedar pembersihan
nama baik, ya kan?" "Tapi karena ulah kamu, nama baik kita yang awalnya bersih berkat keberadaan Tsabit, harus kembali tercoreng oleh berita murahan ini" Kartika memberi kilatan
pada mata. "Kamu udah berjanji, meskipun status pernikahan ini hanya main main, bukan berarti kamu juga bisa main main seenaknya. Ini bukan perkara sepele.
Kamu harus serius memainkan peran kamu, Arsa"
Arsa diam. Masih terlihat lebam biru di pipi sebelah kiri bekas pukulan preman waktu itu.
"Jauhi Fania. Paling tidak selama status kamu masih seorang suami. Hargai posisi Tsabit sebagai istri kamu, sekaligus kunci penolong kita. Dia sudah banyak
berkorban demi pernikahan ini"
Arsa memberi tatapan menilai. "Aku mencium bau bau ketertarikan mama terhadap personality Tsabit. Jangan bilang mama mulai menyukai cewek primitif itu"
tebak Arsa seraya menyipit curiga. Kartika membuang nafas berat lalu berdiri.
"Terkadang untuk mendapatkan mutiara murni, kita harus menyelam lautan lebih dalam. Dan tidak selamanya apa yang kita lihat adalah apa yang menggambarkannya.
Seperti kamu melihat sampah. Kalau kita tidak ingin tahu, kita tidak akan tahu bahwa sampah itu bisa didaur ulang menjadi sesuatu yang nilainya lebih berharga"
lantas ia memilh pergi berjalan keluar kamar, meninggalkan teka teki yang membuat Arsa berpikir keras.
Setelah keluar kamar, Kartika mendapati Tsabit berjalan dari arah dapur membawa mangkuk kecil berisi sesuatu.
"Apa itu, Tsabit?"
"Ini ramuan tradisional. Mama saya biasa pakaikan ini ke saya kalau dada terasa sakit" Kartika meng-oh lalu menyilakan Tsabit menemui Arsa di kamar.
*** Sesampainya di kamar, Tsabit melihat keberadaan Arsa di tempat tidur sedang duduk bersila sambil menggerak gerakan lengannya secara perlahan. Gerakannya
seperti orang mengangkat barble.
"Masih sakit, ya?" Tanya Tsabit ingin tahu, menduduki kursi lipat yang didekatkan ke ranjang. Arsa menoleh sedikit.
"Engga, cuma pegel. Tapi ini mah gak seberapa. Gue pernah ngelawan 3 preman sekaligus" gaya bicaranya sok paling jago.
"Trus kamu menang?"
"Ya menang lah. Ini karena lagi apes aja gue sampe pingsan. Besok besok lo sodorin preman ke gue juga langsung K.O" tingkat percaya diri Arsa sudah sangat
berlebihan. Semakin Tsabit menanggapi akan semakin sombong dia. Iyakan saja biar dia senang, pikir Tsabit
"Buka kemeja kamu" perintah Tsabit mendekatkan diri ke arah Arsa. Pria itu mengambil siaga sambil mengamati mangkuk yang dibawa Tsabit. "Mau ngapain lo"
apaan tuh" makanan?" Tanyanya gusar.
"Ini kencur yang ditumbuk pakai air hangat. Gunanya mengurangi rasa sakit di dada kamu" jelas Tsabit.
"Dimakan?" "Engga. Cuma dilumurin di area dada. Nanti sore baru dibersihkan" tangan Tsabit gesit mengaduk ngaduk ramuan kencur untuk siap diaplikasikan di tubuh suaminya.
"Buka kemejanya buruan"
"Kok bau gitu, sih?" Arsa menatap jijik ramuan tersebut sambil menutup hidung.
"Namanya juga obat tradisional. Udah deh gak usah bawel. Mau sembuh gak?" Tsabit geregetan sendiri dibuatnya. Arsa pun menurut. Ia membuka satu satu kancing
kemejanya. Tubuh atletis Arsa terlihat jelas di penglihatan Tsabit. Bagaimana tidak. Ini pertama kalinya Tsabit melihat langsung pria bertelanjang dada. Padahal maksud
Tsabit membuka kancing kemejanya saja. Bukan bertelanjang dada seperti ini. Jangan salahkan siapa siapa kalau Tsabit mendadak salah tingkah ketika melumuri
ramuan kencur ke area dada pria itu.
"Adem banget ya" ungkap Arsa merasakan effek dari ramuan yang merata di dadanya.
"Emang iya. Nanti lama lama jadi hangat. Ntar badan kamu jadi enakan, deh"
Tsabit tidak berani menatap wajah Arsa. Kalau ia mendongak sedikit saja, maka wajah innocent itu akan menyapanya lalu menyihirnya perlahan. Dalam aktifitasnya,
berkali kali Tsabit mengatur nafas diam diam. Jangan sampai Arsa tahu kalau dirinya sedang menahan perasaan aneh yang mengganjal. Selama pengobatan itu
berlangsung, hanya keheningan menemani mereka.
Berbeda dengan Tsabit. Justru Arsa secara terang terangan mengamati pergerakan tangan Tsabit ditubuhnya. Sesekali ia menatap keseriusan gadis itu dalam
merawatnya. Dalam pengamatannya, ia juga sambil menelaah maksud ucapan Kartika tadi tentang personality Tsabit. Apa yang dimaksud Kartika, mutiara murni
itu adalah Gadis primitif ini" Tanyanya dalam hati.
"Lo masih marah ya sama gue?" Tanya Arsa di sela aktifitas, mengganggu konsentrasi Tsabit. Ia melirik sedikit ke atas.
"Marah untuk?"
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yaelah masa harus gue jelasin, sih. Gue udah bikin salah sama lo"
"Kesalahan yang mana" Kesalahan kamu kan banyak. Saya gak inget satu satu" Arsa mencebik sebal.
"Yaelah, sebanyak apa sih. Baru bohongin lo doang kan waktu itu"
"Itu salah satunya"
"Terus yang lain?" Arsa menegakan tubuh penasaran.
"Kan udah saya bilang. Saya gak inget satu persatu kesalahan kamu. Gak penting juga"
Arsa mengatupkan bibir, lalu mengembungkan mulutnya sambil menghembuskan udara. Ia jadi serba salah sendiri ingin meminta maaf kepada Tsabit. Respon gadis
itu sangat dingin. Sudah diduga, pasti Tsabit marah karena ia sudah membohonginya. Alih alih pergi menemui temannya, malah pergi kencan dengan Fania. Perempuan
kalau sudah banyak diam, itu pertanda kiamat. Diamnya perempuan itu horor.
"Selesai" Tsabit melepas tangan dari tubuh Arsa. "Abis ini jangan lupa diminum obatnya" pesan Tsabit usai melumurkan kencur di dada lalu beranjak dari
kursi. Ketika akan mengambil langkah keluar, ada genggaman melingkar sempurna di pergelangan tangan Tsabit, menahan kepergian gadis itu. Tsabit menoleh
ke belakang. "Temenin gue disini ya. Gue janji gak bakal bohongin lo lagi atau bikin lo kesel. Suer!" Ucap Arsa sungguh sungguh, disertai jari membentuk huruf V dari
tangannya. Ada senyum tersungging dari bibirnya.
*** Di salah satu rumah sakit besar di daerah perbatasan Jakarta dan Bogor, bernama Rumah sakit Tumbuh kembang. Aufa dan Idzar baru saja keluar ruang periksa
usai melakukan check up rutin kandungan istrinya.
"Kok bete gitu mukanya" " tanya Idzar melihat wajah istrinya ditekuk berlipat lipat.
"Iya aku bete. Masa belum bisa di USG, sih" Aku kan pengen liat kondisi bayi aku, dzar" sungut Aufa berjalan menyusuri koridor rumah sakit.
"Ya belum bisa lah. Kandungan kamu kan baru dua bulan, sayang. Belum dikasih roh juga" Idzar mengapit lengan istrinya di ketiak. Beruntung hari ini Idzar
bisa meminta absen sehari untuk mengantar Aufa periksa kandungan. Sebenarnya itu harus ada ritual ngambek dulu baru Idzar mau mengorbankan satu hari bekerjanya
demi sang istri. "Harusnya bisa, dzar" Idzar mengulum senyum, mengusap kepala Aufa penuh cinta.
"Ya sabar. Kamu nunggu aku peka sama perasaan kamu aja sanggup masa nunggu kandungan gak sanggup, sih" canda Idzar mencubit hidung Aufa gemas.
"Aduh! Sakit, dzar" ringis Aufa kesakitan mengusap ngusap hidungnya.
Selagi berjalan, tiba tiba seseorang dari arah berlawanan berjalan tergesa gesa sehingga tanpa sengaja menabrak Idzar. Pundak mereka saling bertabrakan.
Keduanya tersentak kaget.
"Astaghfirullah" ucap Idzar pelan sambil memegangi pundaknya.
"Maaf mas, maaf" ucap orang itu yang ternyata seorang gadis cantik berambut panjang. Idzar hanya mengangguk tersenyum. Ketika gadis itu mengulurkan tangan
hendak berjabat minta maaf, Idzar menanggapinya dengan menangkup telapak tangan di dada. Gadis itu menarik canggung tangannya.
"Maaf ya mas, mbak" gadis itu menatap Idzar dan Aufa bergantian. "Saya buru buru soalnya"
"Iya mbak gak apa apa" sahut Aufa sopan sambil tersenyum. Gadis itu pun pergi meninggalkan Aufa dan Idzar.
Selagi ia berjalan menjauh, Aufa memerhatikan kepergian gadis itu sambil memasang wajah bingung." Keningnya berkerut mengingat sesuatu.
"Kenapa lagi muka kamu?"
"Aku kayak pernah lihat perempuan itu, deh dzar. Kamu tahu gak?" Idzar turut memandang jauh gadis itu. Ia berjalan menuju ruang check up kandungan.
"Engga tahu. Cuma perasaan kamu doang kali, sayang" Idzar mengangkat bahu lalu menggiring Aufa berjalan menuju parkir.
*** Tsabit memasuki kamar dengan membawa berbagai macam potongan buah yang dilumuri susu di atasnya. Seharian ini Arsa sukses menjadikan Tsabit perawat dadakannya.
Mulai dari mengobati dada, hingga membantunya minum obat sampai menyiapkan buah buahan kesukaan Arsa sebagai cemilan.
Untuk merawatnya memberi makan atau yang lain, Tsabit mungkin sanggup. Tapi kalau untuk membantunya minum obat, Tsabit memilih lambaikan tangan ke kamera
saja. Bayangkan, menyuruh Arsa minum obat tidak jauh berbeda seperti membujuk anak TK. Tsabit harus susah payah membujuk rayu Arsa agar obat obatan itu
mau ditelannya. Ini aneh! Padahal belum lama ia bertingkah sok jagoan memamerkan kehebatannya melawan tiga preman hingga K.O. Tapi kalau begini caranya,
Tsabit wajib meragukan Arsa yang katanya bisa melawan tiga preman tersebut. Minum obat saja susah. Alasannya pahit katanya. Itu sih, anak usia dibawah
lima tahun juga tahu. Dan yang lebih parah adalah kejadian barusan.
"Pokoknya gue gak mau minum obat yang itu. Bodo!" teriak Arsa sambil menutup mulutnya rapat rapat menatap ngeri cairan merah di sendok yang dibawa Tsabit.
"Ini tuh gampang, tinggal telan doang, Arsa. Gak kayak tablet tadi. Masa gitu aja gak mau, sih" bujuk Tsabit menahan sabar.
"Tapi gue gak suka, bit. Warnanya merah gitu kayak darah. Lo gak jijik apa" Lagian gue kan udah gede. Masa dikasih obat sirop. Emangnya gue bocah apa"
cercanya ngedumel tidak jelas sambil menjauhkan diri dari Tsabit yang semakin dekat menyodorkan obat.
"Justru karena kamu udah gede, harusnya gak perlu takut minum sirop. Yang penting kan khasiatnya. Kamu mau sembuh gak sih" Masa kalah sama ponakan sepupu
saya yang masih kecil udah berani minum obat" bujukan ini persis seperti waktu Tsabit membujuk keponakannya, Sammy untuk makan sayur. Harus dibanding bandingkaan
dulu dengan anak yang lain baru dia mau makan sayur. Tapi justru Arsa melebihi keponakannya yag terkenal bandel itu.
"Bodo amat. Emang harus ya gue minum yang sirop itu" Kalau yang tablet tablet gue mau deh. Tapi kalo yang sirop, gue ogah banget" ungkap Arsa.
"Masya Allah kura kura ninja. Inget umur dong. Ini cuma sirop. Tinggal telen juga gak berasa pahitnya. Malah manis"
Arsa menggeleng masa bodoh. "Pokoknya gue gak mau. Singkirin tangan lo dari obat itu. Cepet!" ancamnya sambil menunjuk nunjuk.
Tsabit mendesah pasrah. Ia turunkan tangannya yang masih memegang tangan berisi sesendok obat sirop. Arsa pun perlahan bisa duduk tenang di atas ranjang.
Ia bisa bernafas lega terhindar dari ancaman sirop menjijikan itu.
Bukan Tsabit namanya kalau tidak punya segudang akal. Arsa tidak tahu kalau dibawah tempat tidur tangan Tsabit masih memegang sendok yang berisi sirop.
Sikapnya tetap tenang bak air sungai.
"Nanti lo bilang ya ke mama, sirop merah itu disingkirin aja. Kalau engga, gue gak bakal minum obat selamanya, gitu. Ya?" Pesan Arsa tanpa curiga sedikitpun.
Tsabit mengangguk. "Iya deh. Nanti saya bilang ke mama"
"Eh, di kening kamu ada apaan tuh" Kayak serangga gitu ya?" Mata Tsabit mengarah ke kening Arsa. "Mana" Disini?" Arsa hendak memegang keningnya tapi Tsabit
keburu menahannya. "Jangan dipegang! Kayaknya itu beracun, deh. Katanya kamarnya steril, kok bisa ada serangga sih. Mana gede lagi" ucap Tsabit mengada
ada. "Serius lo" ucap Arsa tidak percaya.
"Iya serius. Bentar ya saya ambilin. Kamu diem jangan bergerak"
Arsa menurut saja. Ketika Tsabit perlahan memajukan tubuhnya mendekat tapi ia tetap menyembunyikan tangan kanan dibawah ranjang. "Diem ya. Jangan bergerak"
Sebelum terlalu jauh ia mendekat, Tsabit langsung saja mencubit keras keras lengan Arsa sekuat mungkin.
"Aaaaaaaa.......!!!"
Teriak Arsa kesakitan. Dan Tsabit memakai kesempatan itu untuk memasukan sirop yang telah disiapkan ke mulut yang terbuka lebar secara bersamaan. Setelah
masuk, Tsabit langsung merapatkan bibir Arsa dengan telunjuk dan jempolnya sambil berkata, "Nanggung udah masuk mulut. Telen aja" mau tidak mau Arsa menelan
sirop tersebut dengan wajah menyedihkan.
"Nah gitu dong. Duh anak manis pinter minum obat" Tsabit melepas jepitan tangannya sambil tersenyum sok manis. Kemudian ia menyodorkan segelas air putih
kepada Arsa. Pria itu meminumnya dalam sekali teguk.
"Stres lo ya" Suami sendiri digituin. Bisa gue laporin ke Komnas HAM, kalo gini caranya" Arsa mengusap bibir seraya mengembalikan gelas.
"Laporin aja. Kalau kamu siap menanggung malu mah. Paling nanti media menertawakan kamu. Sosok Kelana Arsalais takut minum obat" ada kekehan geli menyertai.
Arsa mendengus kesal sekesal kesalnya.
Kini mereka sibuk dengan dunia masing masing. Arsa sibuk bermain game di ponselnya. Sambil berseru kegirangan atau kadang berteriak sendiri ketika jagoan
kesayangannya kalah dalam pertandingan disana. Sedangkan Tsabit duduk di kursi dekat tepi ranjang menemani Arsa sambil membaca buku hadiah pernikahan dari
Aufa dan Idzar, yang berjudul Khadijah. Meski berdekatan, mereka seperti berjauhan karena tidak lagi saling berbicara. Keasyikan pada benda kesayangan
membuat mereka tidak mempedulikan sekitar.
Keasyikan Arsa bermain game akhirnya teralihkan melihat keseriusan Tsabit membaca buku. Dalam posisi duduk menjadikan ranjang sebagai meja, kepalanya ditidurkan
dalam posisi miring membelakangi Arsa. Pria itu melirik aktifitasnya sedikit, menaikan alisnya.
"Lo baca buku apaan?"
Tsabit tidak menjawab. Masih serius membaca dalam keheningan.
"Istriku, kamu baca buku apa?" Ulangnya sok mendayu lalu terkekeh tanpa suara. Tsabit mendelik lalu mengangkat tangan yang memegang buku tanpa perlu menoleh
ke belakang," menunjukan judul buku yang tertera. "Jangan mulai. Saya lagi gak mood buat muntah di depan muka kamu" tegas Tsabit. Ia sedang tidak ingin
diajak bercanda hari ini.
"Bacaan lo berat banget, sih" Lo gak suka teenlite atau novel fanfiction, gitu?"
Arsa harus menggigit jari karena Tsabit tidak memberi respon apa apa lagi. Sebegitu pentingnya kah buku yang dia baca" Sampai sampai melupakan keberadaan
pria dibelakangnya. "Lo kan kesini buat nemenin gue, bit. Bukan buat ngacangin gue" ucap Arsa.
"Kamu sendiri, sibuk sama hape. Apa bedanya?" Arsa langsung mematikan ponsel lalu menaruhnya di atas meja lampu. Tsabit mendengar samar pergerakan pria
itu. "Tuh! Handphone udah gue taro. Sekarang tutup buku lo sekarang" seru Arsa duduk bersila sambil melipat tangan menunggu respon Tsabit. Gadis itu pun bergerak
malas. Menutup buku, menaruhnya bersama ponsel dalam satu meja, lalu berbalik menghadap Arsa. Kini mereka saling berhadapan.
"So" " "Terkadang untuk mendapatkan mutiara murni, kita harus menyelam lautan lebih dalam. Dan tidak selamanya apa yang kita lihat adalah apa yang menggambarkannya.
Seperti kamu melihat sampah. Kalau kita tidak ingin tahu, kita tidak akan tahu bahwa sampah itu bisa didaur ulang menjadi sesuatu yang nilainya lebih berharga"
Ucapan Kartika kembali terngiang ngiang di pikiran Arsa selagi menatap lurus wajah gadis yang berstatus istrinya itu. Apa yang menyebabkan Tsabit begitu
istimewa di mata mereka. Orang orang yang bahkan belum mengenal jauh tentangnya tapi sudah berani berasumsi bahwa Tsabit adalah gadis yang berbeda. Termasuk
mamanya sendiri. "Kalau cuma mau diem dieman kayak gini, mending saya keluar aja ya"
"Jangan!" Arsa menahan Tsabit agar jangan pergi. "Yauda iya kita ngobrol. Ngambek mulu. Cepet tua loh" cibirnya.
"Emang udah tua. Puas?"
Arsa tak sanggup menahan tawa. Akhirnya tawanya lepas. Tawa renyah serenyah kerupuk bawang buatan Liana. Tsabit malah sebal melihat tawanya itu.
"Gak usah jujur juga kali. Lo tetep cantik kok. Sepadan lah sama gue. Gak sampe dikira tante sama brondongannya"
Jangan ada rona roan-an. Jangan ada baper baper-an. Tsabit harus tahan banting. Arsa itu selain jago bacot, jago gombal juga. Itu tadi buktinya. Tsabit
hanya mengerucutkan bibirnya masam.
"Gue mau nanya, deh. Kenapa sih, lo mau nikah sama gue" Padahal kan kita tinggal pura pura pacaran aja lebih gampang. Gak perlu ada ikatan yang serius.
Kalo alasan lo karena takut dosa, gue rasa Allah juga maklum kali. Dia pasti ngerti keadaan terdesak gini"
"Gak ada kata maklum buat Dosa. Kalaupun terdesak untuk dilakukan, itu karena tidak ada pilihan lain. Nikah adalah pilihan dan solusi terbaik daripada
pacaran. Apalagi pura pura. Pacaran aja udah dosa, ditambah pura pura alias ngebohongin orang banyak. Dosanya berlipat"
"Terus kenapa Allah ngelarang pacaran. Iya gue tahu kok, karena sudah ada ayat yang menjelaskan. Surat Al isra ayat 32, kan?" Arsa menjeda seraya meyakinkan
Tsabit bahwa ayat yang ia sebut benar. Tsabit mengangguk. "Tapi Allah pasti punya alasan kenapa pacaran itu bagian dari zina. Kenapa pacaran itu dilarang.
Pasti ada kan alasannya?" Ujar Arsa enteng.
"Pacaran itu selain dosa tapi juga bikin rugi bandar. Allah itu menjaga banget hubungan antara laki laki dan perempuan. Khususnya perempuan, Allah amat
menjaga dan mengistimewakan mereka. Sampai sampai ketika Rasulullah ditanya siapa orang yang harus di hormati. Beliau menjawab ibumu, ibumu, ibumu, lalu
ayahmu. Derajat seorang ibu tiga tingkat dibanding ayah. Itu karena wanita itu istimewa. Mereka memang lemah, maka Allah lah menguatkan."
"Maka dari itu, Allah tidak ingin adanya interaksi sembarangan antara laki laki dan perempuan. Karena pertama, pandangan laki laki terhadap wanita itu
berbahaya. Apalagi jika menimbulkan syahwat. Sehingga hijabnya seorang lelaki adalah menundukan pandangan. Sedang wanita menutup auratnya. Kedua, bersentuhan
terhadap yang bukan mahram pun dilarang karena dalam pelajaran kajian ilmu fiqih. Yang pertama kali dibahas adalah tentang thaharah atau bersuci. Artinya
kesucian seorang muslim amat diutamakan. Tidak hanya suci secara fisik. Tapi suci dalam hati juga dalam menjaga kesucian tersebut. Coba kalau kamu, saya
kasih dua permen. Permen yang pertama sudah terbuka bungkusnya dan dikerumuni lalat. Dan permen kedua masih terbungkus rapi. Kamu pilih yang mana?"
"Yang masih baru lah. Masa mau makan permen bekas" jawaban Arsa terdengar sengak.
"Walaupun dua duanya dalam keadaan masih baru?"
"Ya pasti milih yang masih kebungkus lah. Ada ada aja sih nanyanya"
"Permen aja lebih baik yang terbungkus rapi. Bagaimana manusia?" Arsa mulai paham. Terlihat ia manggut manggut sok ngerti. Tak lama ia kembali mengatakan,
"Ya jangan samain lah, istriku" Tsabit mengirim tatapan bahaya mendengar sapaan Arsa yang semakin bikin mual itu. Sayangnya Arsa tetap bodo amat. "Kalo
permen kan beda sama perempuan. Perempuan itu kalau tertutup gak bakal keliatan keindahannya. Justru kalau terbuka orang bakal ngeliatnya kagum"
"Yakin cuma kagum" gak melenceng ke arah lain" Allah maha tahu apa yang kamu gak tahu. Kali aja mereka melihatnya pake nafsu. Kamu sendiri juga pasti gitu
kan kalau liat perempuan seksi" Ngaku!"
"Iya lah. Gimana gak nafsu. Paha kemana mana. Dada diumbar umbar, kaki,--"
"Stop! Otak ngeres kamu perlu diinstal ulang kayaknya deh" Tsabit segera memotong. Takut omongan Arsa mulai kemana mana. Kemudian ia melanjutkan, "Itu
lah awalnya mengapa banyak terjadi seks bebas dan kasus semacamnya. Allah sudah mengatur semuanya, karena Dia maha tahu segalanya. Perhiasan dunia itu
Pendekar Guntur 17 Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam Petualangan Pria Paris 1