Pencarian

Arus Balik 11

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 11


Juga semua prajurit ikut memeriksa.
Dayu! Idayu! teriak Wiranggaleng memanggilmanggil.
Hanya gema yang menjawabi kembali.
Seorang mati ditikam keris, Senapatiku! seorang melaporkan.
Mereka memeriksa yang mati terkeris.
Periksa seluruh gua! pekik Senapati. Inilah si keparat Rangga Iskak. Hem. Kaulah ini gerangan" Hanya begini saja akhirmu"
Ia perhatikan letak bangkai yang satu itu dan anggota badan serta luka-luka tikaman yang telah mengeluarkan belatung itu.
Mati terbunuh atau bunuh diri"
Ia cabut pisau yang masih tertancap, diperiksanya, dan mengetahui: pisau dapur.
Rangga Iskak dibunuh oleh perempuan, pikirnya, dan diperintahnya seorang untuk memeriksa apakah di dalam atau di luar gua terdapat sebuah dapur.
Mungkinkah Idayu yang membunuhnya" Dan ia berteriak memanggil-manggil lagi. Juga hanya gaung yang menjawabi.
Prajurit-prajurit yang memeriksa lebih ke dalam menemukan empat bangkai perempuan. Segera ia melaporkan. Senapati bergegas masuk membawa obor dari ranting-ranting kayu dan serangga beterbangan menubrukinya.
la periksa bangkai-bangkai yang rusak itu seorang demi seorang, dan ia ragu tak dapat memastikan. Hanya hatinya yang hilang: itu bukan orang yang kau cari.
Perbanyak obor! perintahnya. Tapi hatinya lebih keras meraung: Kau tak boleh aku temukan dalam keadaan begini, dan tak boleh di sini.
Dan api dari batang-batang bambu tua lapuk menyinari seluruh rongga berlapis papan itu.
Dalam bilik yang lain orang menemukan selembar popok bayi. Senapati itu sendiri masuk ke dalam dan memeriksa popok itu, Satu raungan keluar dari mulurnya, seperti suara orang gila: Anakku, tak bisa lain, pasti anakku!
Nyi Gede Idayu! yang lain-lain mulai berlarian keluar dan memanggil-manggil ke sekitar.
Suara ramai dan keras itu bergema-gema di dalam rongga, juga di dalam rimba.
Prajurit itu pergi untuk mendapatkan dapur.
Yang lain-lain terus mengelilingi sekitar bukit sambil berseru-seru dari atas kudanya. Tetapi hanya gaung yang menjawabi. Mereka hanya mendapati timbunan kotoran burung pada sebuah lekukan tanah. Dalam pembongkaran tak didapatkan bekas kehidupan, tak ada mayat, tak ada tulang, tak ada pakaian. Kemudian didapatkan galian baru, tertimbun tanah yang agak baru. Waktu dibongkar ternyata bekas-bekas dapur. Dalam waktu dekat didapatkan tanah terbakar bekas tempat tungku.
Wiranggaleng itu menyelidiki sekitar bekas tungku, pada cabang-cabang kayu di dekat-dekatnya untuk mendapatkan bekas sesaji: kapur, sirih, beras kuning, pinang. Setidaktidaknya kapur itu tidak akan terganggu oleh binatang ataupun cuaca. Dan ia tidak mendapatkannya. Bukan seorang perempuan yang masak di sini, ia memutuskan, seorang lelaki. Bukan Idayu yang membunuh Rangga Iskak, tapi seorang juru-masak lelaki.
Mereka menemukan sumber air yang mengalir jemih. Di sana mereka membersihkan diri.
Bakar gua itu! perintahnya.
Orang pun mengangkuti kayu dan ranting, menjejalnya di tempat mayat-mayat bergelimpangan. Daun-daun kering ditimbunkan dan kemudian dibakar.
Kembali! perintah Senapati.
Regu itu meninggalkan bukit dan gua Gowong. Hasilnya dua: selembar popok dan kenyataan Rangga Iskak telah mati, ditikam dengan pisau dapur dan tidak jelas siapa menikamnya.
Api di dalam gua itu dengan cepat membubung. Rongga itu tersekat oleh asap dan api, kini tinggal baranya masih juga menganga
Dan popok itu memberi firasat pada Senapati, bahwa anaknya belum mati, juga istrinya.
Gelar duduk di atas bahu Pada alias Mohammad Firman dan tangannya berpegangan pada kepala. Idayu menggendong bayi.
Mereka berjalan di antara pepohonan raksasa dalam rimba belantara itu. Idayu membawa tombak sebilah dan pada pinggangnya tergantung pedang yang terlalu panjang untuknya. Gelar membawa empat bilah tombak. Juga pada pinggangnya tergantung pedang.
Betapa jadinya anak-anak ini, Pada, kalau kau tak datang menolong" bisik Idayu dalam usahanya untuk menyatakan terimakasihnya.
Rimba itu terlalu lebat. Sinar matari tak mampu menembusi. Dengan tombak di tangan dua orang itu selalu waspada. Mata mereka antara sebentar melihat ke atas untuk dapat menghindari ular yang sedang menunggu mangsa. Dan memang ular itu juga musuh yang paling berbahaya. Baunya yang langau memang segera dapat dikenal, tetapi tanpa mata awas boleh jadi orang tak memperhatikan baunya lagi.
Pandang mata Pada bertebaran ke mana-mana, dengan tombak setiap waktu siap untuk dilemparkan. Namun pendengarannya tetap tertuju pada apa saja yang diucapkan oleh wanita pujaan itu.
Dan betapa jadinya , ia menjawab lambat-lambat, kalau Kang Galeng jalankan apa yang diperintahkan padanya" Kau pun tak bakal menemui aku lagi, Mbokayu . Betapa berliku-liku hidup ini , desis Idayu.
Ya, Mbokayu, berliku-liku memang, dan tak ada orang tahu bagaimana bakal jadinya nanti. Yang jelas semua saja menuju ke arah kematian, memasuki akhirat .
Apa gunanya bicara tentang kematian" Yang baru lewat pun sudah seperti itu. Dan yang sekarang: rimba belantara seperti ini .
Bukankah ada Pada di sampingmu" Adakah dia kurang jantan, Mbokayu"
Sunan Rajeg dalam keadaan sendirian seperti itu Pada, tak bisa keluar dari rimba ini"
Tidak akan terlalu lama. Menginap beberapa malam lagi, sebidang bulak rumput, kemudian desa pertama . Dua malam lagi"
Insya Allah, dua malam lagi .
Dan mereka terus berjalan dalam rembang rimba. Rasarasa takkan ada hari baru bakal tiba: kerembangan dan kegelapan abadi. Pohon-pohon raksasa berdesak-desakan memperebutkan setiap ikat sinar matari dari langit, tak sudi berbagi dengan yang di bawahnya. Dan di bawahnya itu justru melata dengan meranyahnya pepohonan petaicina dan kayu baru, mlinjo dan pepohonan buas, juga berdesakdesakan, memperebutkan sisa sinar matari yang mungkin jatuh tercecer dari langit.
Antara sebentar mereka memapasi jalur-jalur bekas jalan babi hutan. Rotan, cacing dan manau, meliputi pepohonan dan cabang-cabangnya yang kering berbulu duri panjang, runcing dan tajam, mengancam di mana-mana. Segala jenis monyet tiada terdapat di bagian rimba ini, walau kaya akan buah-buahan hutan. Musafir di dalamnya tiada kan mati kelaparan. Bila haus orang tinggal menebang batang rotan muda dan menampung kucuran dan tetesan airnya yang berbuih dengan mulut. Umbi-umbian tinggal memilih mana yang disukai. Hanya kacang-kacangan yang tiada. Terhadap binatang buas pada banyak berpengalaman sudah selama mengembara sebagai musafir Demak. Ia tahu cara menghindari atau melawan.
Hanya gangguan nyamuk dan lintah darah sungguh tak tertahankan. Sedang udara hujan yang lembab dari kadar tinggi membikin kantung jadi gangguan tambahan. Berapa anakmu sekarang. Pada"
Seorang pun belum . Kau belum lagi kawin"
Nantilah kalau sudah temukan seorang seperti Mbokayu .
Ah, kau . Kembali mereka terdiam dan berjalan terus sambil mengusiri nyamuk dengan bahu atau gelengan atau gedrugan kaki. Kadang mereka membiarkan sampai lama lintah jatuh sendiri dari tubuh setelah kenyang menghisap. Dan dengung serangga di pepohonan terasa menumpulkan pancaindera.
Apa menurut dugaanmu anakbuah Sunan Rajeg tak keluyuran di sini"
Tidak. Semua telah dikerahkan ke medan perang Gelar telah tertidur duduk di atas bahu Pada dan membungkuki kepala kendaraannya. Diturunkan ia dari atas bahu dan digendongnya. Tangan Pada yang kanan tetap siaga dengan tombaknya.
Ceritai aku sejak kau tinggalkan Tuban .
Begitulah . Pada langsung memulai, Kang Galeng membawa aku naik ke kapal dagang atas perintah Sang Adipati. Itu kau sudah tahu, Mbokayu. Kang Galeng tidak bunuh aku. Diberikannya kembali nyawaku, diberinya aku kesempatan melompat ke laut. Aku melompat dan berenang ke pesisir. Kujelajahi pesisir itu. Ternyata pelayaran itu belum lagi jauh dari Tuban. Aku tiba di Lao Sam, sebuah bandar Tionghoa yang tenang. Penduduknya hanya sedikit dan hampir semua Tionghoa berkuncir. Seorang telah memungut aku jadi anak-angkatnya, Mbokayu, karena dilihatnya aku masih kanak-kanak dan tiada celanya . Dan kanak-kanak yang terlalu nakal .
Ya, terlalu nakal. Mbokayu. Juga karena diketahuinya aku banyak tahu tentang pedalaman gedung kadipaten Tuban. Di rumahnya itu aku belajar masak, karena dia tidak beristri, lagi pula jarang tinggal di rumah. Kau tak dengarkan aku, Mbokayu"
Aku sedang berpikir Pada, sekiranya dulu aku diselir oleh Sang Adipati& kau. Pada, tega juga kau& .
Ah, Mbokayu& semua itu ceritera lama. Dan siapa tidak mengimpikan seorang Idayu dalam hidupnya" Sekalipun dia masih kanak-kanak"
Huh! Aku teruskan ceritaku" mengetahui Idayu tak menjawab ia pun meneruskan untuk melupakan impian masalalu. Dan melihat Idayu nampak tak acuh, ia memberikan perhatian. Kau sudah bosan mendengarkan . Teruskan saja ceritamu .
Kau sajalah yang bercerita . Sudah habis ceritaku, Pada .
Baiklah. Beberapa kali dia bawa aku ke jurusan barat: Juana, Jepara, Demak, dan juga Semarang. Semarang hampir sama dengan Lao Sam. Penduduknya Tionghoa berkucir melulu, tapi kotanya jauh lebih besar, lebih banyak penduduknya dan rumah-rumahnya lebih besar dan bagus, walau pelabuhannya tidak baik. Tuban jauh lebih bagus. Bapak-angkatnya menyuruh aku belajar di Demak. Diberinya aku sangu dan selembar surat bertulisan Tionghoa yang harus aku antarkan pada seseorang di Demak sana. Jadi tinggallah aku di rumah orang yang kuberi surat itu. Bersama dengan banyak pemuda lain di rumahnya aku belajar agama Islam, macam-macamlah, kau tak kan mengerti, juga babad-babad yang tidak sama dengan yang biasa kita ketahui sejak kecil, riwayat para wali, babad Demak. Kemudian kami pindah belajar di mesjid agung Bintoro. Setelah itu kami dikirimkan ke manamana dan aku ditunjuk untuk kembali ke Tuban, pedalaman Tuban maksudku. Pada mulanya aku berpangkalan di Bonang. Pada Sunan Bonanglah aku melaporkan semua kegiatan Sunan Rajeg& sudah bosan, Mbokayu"
Tidak. Ayoh teruskan . Aku yakin kau bisa tertarik mendengar pekerjaanku . Teruskan saja. Pada .
Dan mereka terus berjalan. Lelaki itu tahu Idayu tak tertarik pada ceritanya maka ia berhenti tak meneruskan. Mengapa kau terdiam" Jangan bikin aku mengantuk . Baiklah. Sunan Bonang tidak setuju pada Sunan Rajeg. Ia anggap dia terlalu gegabah, lebih banyak menghancurkan peradaban Jawa daripada menyebarkan agama Islam. Kata Sunan Bonang, orang tak bisa membikin peradaban yang sama sekali baru dalam sepuluh tahun. Ia mengakui Sunan Rajeg pandai bicara, pandai menarik hati, pandai meyakinkan, tapi ia terlalu gegabah dan tak punya kesabaran. Lebih dari itu: dia rakus kekuasaan. Bila tidak, dia akan diajak masuk menjadi anggota Majelis Kerajaan Demak. Mbokayu, akulah sesungguhnya yang ditugaskan untuk mendekatkan dia dengan Demak .
Ternyata kau orang penting Demak, Pada . Tidak, hanya musafir. Apalah artinya seorang Pada" Mengapa kau ceritakan semua itu" Bukankah itu pekerjaan rahasia"
Ya, Mbokayu, rahasia. Sekarang tidak lagi. Sunan Rajeg telah mati, dan tidak lain dari aku sendiri yang membunuhnya. Pengetahuannya terlalu banyak tentang kerajaan-kerajaan di Jawa dan seberang dan Atas Angin sana. Sayang cemburunya sangat besar terhadap Demak. Sebaliknya kerakusannya membikin semua kelebihannya menjadi rusak. Pelitnya luar biasa, berlawanan dengan semua ajaran. Pekerjaan gagal. Hanya berhasil jadi jurumasaknya. Iblis masih mau memberi pada seseorang untuk maksud dan kepentingan sendiri. Sunan Rajeg tak mau kehilangan sesuatu pun dari miliknya. Sesuap nasi pun ia tak pernah berikan pada seseorang. Semua petani membayar upeti tinggi padanya, lebih tinggi daripada desadesa lain kepada Tuban. Benih yang didapatkan dari dia harus diganti dengan empat kali lipat sehabis panen. Sekali memberi makan enak, dia bermaksud membunuh mereka orang-orang yang justru paling setia padanya . Mengapa orang pada mengikutinya tahu dia begitu" Itulah kekeliruan ajaran lama barangkali kerumunilah orang berilmu, ikuti dia, selamatkan dia dan jalani petunjuk dan ajarannya. Kau sendiri tahu ajaran itu, Mbokayu. Anak desa segunung-gunungnya hafal nyanyian itu. Di Demak pun ajaran itu dinyanyikan oleh semua orang .
Lantas siapa yang harus diikuti menurut agamamu yang baru itu. Pada"
Allah yang punya langit dan bumi ini, punya seluruh alam semesta, dengan suruhan dan larangannya, yang diwahyukan pada para nabi dan Nabi Besar Mohammad, di bawahnya lagi adalah Khalifah, yaitu Sultan Al-Fattah, raja Demak. Khalifah mengatur semua orang Islam di tanah Jawa. Maka sekali dalam hidupnya seorang Islam di Jawa harus datang ke Demak, bersembahyang di mesjid agung dan membesarkan nama Sultan .
Makin banyak kata-katamu yang aku tak mengerti . Lama kelamaan kau akan mengerti juga, Mbokayu . Cerita saja tentang hal lain, jangan yang sulit seperti itu .
Celakalah orang Islam Jawa yang tak mematuhi Khalifahnya, dunia dan akhirat .
Yang lain, Pada . Sunan Rajeg, biar pun Islam, karena menentangnya, dia celaka juga .
Dan kau yang membunuhnya. Pada. Apakah itu juga perintah dan Demak"
Sudah lama semestinya aku kerjakan. Dia terlalu kuat dan terjaga. Dia terlalu merugikan Demak dan penyebaran agama Islam. Kalau cara-caranya itu diteruskan juga, rajaraja Jawa akan bangkit melawan Islam, apalagi yang jauh dari pesisir. Guruku bilang: orang Jawa tidak mau kehilangan peradabannya, hanya muballigh bodoh seperti Rangga Iskak yang berani mengawur sejauh itu, pengaruhnya pada suatu saat memang bisa besar, terlalu besar, tapi tidak bisa menetap, sebentar kemudian akan lebih kembali ke dalam alam jahiliah.
Betapa banyak kata-katamu yang sulit . Bukankah Mbokayu juga sudah Islam" Dan Idayu mendengus tertawa.
Kata orang, Mbokayu, Kang Galeng juga sudah masuk Islam. Bukankah itu benar"
Pantas kau mendapat kepercayaan dari Sultan Demak. Kau pun pandai bicara, Pada. Tidak seperti Kang Galeng. Dia hanya pintar gulat .
Dia telah berhasil hancurkan kekuatan Rangga Iskak. Aku harus membantu menyelesaikan sedikit. Mbokayu, tidak benarkah Kang Galeng sudah masuk Islam"
Apakah artinya Islam-tidaknya kami berdua bagimu" Kami hanya orang-orang biasa, hanya ingin jadi petani biasa. Kang Galeng tidak i-ngin jadi apa-apa seperti kau, maka tak perlu bagi kami masuk Islam
Ah, Mbokayu . Dia tak butuh kekuasaan, baik dari manusia, dari para dewa ataupun dari Aliahmu, maka dia tidak ingin membunuh atau dibunuh oleh siapa pun .
Mbokayu! Pada menegah. Mengapa" Jangan gusar. Itulah kami berdua, sikap dan hidup kami. Kami hanya manusia biasa, dan hanya ingin jadi manusia biasa& .
Mbokayu! Lihat, rakus kekuasaan menyebabkan Rangga Iskak ingin menggantikan Sang Adipati. Kerakusan itu juga menyebabkan Demak membunuh Rangga Iskak melalui tanganmu& .
Mbokayu! & Takut kehilangan kekuasaan menyebabkan balatentara Tuban memerangi Rangga Iskak dan Kang Galeng dipaksa jadi Senapati Tuban. Kerakusan menyebabkan matinya begitu banyak orang. Tidak, Pada, kami hanya mau dan ingin jadi manusia biasa .
Ah, Mbokayu, Mbokayu, kau belum mengerti dudukperkara, Pada menyela.
Itulah duduk-perkaranya .
Siapa yang mengajarinya begitu, Mbokayu" Sejak kecil aku tinggal di kota, Pada, di dalam gedung kadipaten, maka tak pernah dengarkan ajaran begitu banyak dari para guru pengembara di desa-desa .
Masih banyakkah guru-pembicara mengembarai desadesa"
Belakangan ini berkurang memang .
Guruku bilang, mereka itu seperti hidup di jaman Daud dan Musa& siapa di antaranya yang paling Mbokayu puja"
Rama Cluring. Suaranya lantang penuh keberanian dan kebesaran .
Tentu dia sudah mati . Ya. Sebelum kami berdua berangkat ke Tuban . Siapakah kiranya yang berhasil membunuhnya" Dia tidak mati terbunuh. Siapakah yang akan membunuh orang sebijaksana itu, penuh kebenaran, tidak rakus akan sesuatu, kecuali menginginkan kesabaran dan kejayaan di kemudian hari untuk sesama orang" Mereka berhenti.
Gelar bangun dari tidurnya. Mereka memunguti buah jambu yang telah dirontokkan oleh kelelawar, dan mereka telah memakannya sampai perut merasa agak isi kemudian berjalan lagi. Tanpa ada yang mengatakan, mereka tahu tak boleh makan buah sampai kenyang.
Gelar berjalan kaki lagi. tetapi kelelahan kemarin yang belum juga habis menyebabkan ia segera juga minta duduk di atas bahu, dan di sana ia menyanyi-nyanyi.
Mengapa Rama Curing harus dibunuh" mendadak Idayu bertanya. Melihat Pada tak menjawab ia bertanya lagi. Demakkah yang menghendaki" Dan kau yang harus kerjakan"
Pada tak menengahi. Setelah mendengarkan ceritamu, Pada, terpaksa aku membayangkan Demak, di sana tentu takkan ada gurupembicara. Semua sudah atau akan mati terbunuh .
Tidak, itu tidak benar. Di mana-mana ada, di kota, di desa. Bukankah aku sendiri juga seorang guru-pembicara" Cuma di Demak namanya musafir Demak .
Tentu, aku percaya. Rasa-rasanya akan tetap lain daripada di desa-desa di luar Demak. Dari ceritamu tadi sekali lagi aku terpaksa membayangkan, Pada,, gurupembicara alias musafir Demak itu bicara untuk mendapat pengikut atau merebut pengikut orang lain. Guru-pembicara kami tidak mencari pengikut, maaf, mereka hanya menyatakan perasaan dan pikirannya. Mereka tak punya apa-apa kecuali pikiran dan pendapat dan perasaannya. Mereka tidak menginginkan kekuasaan seperti kau.
Bukankah kau jadi musafir Demak karena kebencianmu terhadap Sang Adipati" Dan Sang Adipati hendak membunuhmu karena kau merugikannya lebih dahulu" Ia memerlukan menengok ke belakang melihat pada Pada, dan lelaki itu tak membantah. Kata orang, dahulu kala mereka itu adalah guru-guru Buddha. Makanya pun didapatkannya dari para pengagumnya, juga pakaian dan pemondokan. Tak ada raja atau siapa pun menyuruh atau memberinya perlindungan .
Ternyata kau pun pandai bicara, Mbokayu . Kau tak marah padaku setelah menolong kami" Apa harus dimarahkan"
Karena ternyata kita berlainan"
Bagaimana pun kebenaran akan menang, Mbokayu. Untuk sampai pada kebenaran itu ada jalan-jalan tertentu yang harus ditempuh. Lihatlah, kalau ada seribu guru pembicara di desa-desa seperti itu, maka ada seribu macam pendapat, dan kebenaran itu sendiri akan semakin jauh, semakin jauh, sampai takkan ada kebenaran sama sekali .
Di desa-desa, Pada, kau pun tahu sendiri, orang sudah terbiasa memilih satu di antara kebenaran-kebenaran yang paling cocok untuk dirinya. Tak ada orang yang marah karena itu, apalagi membunuhnya. Apakah kata-kataku keliru"
Ah, Mbokayu, selama kebenaran berasal dari manusia, dia meragukan, karena hanya Allah pemilik kebenaran, yang Maha Besar .
Aku pernah dengar tentang Aliahmu. Aku belum mengenal. Orang-tua kami tak mengenalnya sama sekali, karena mendengarnya pun belum. Betapa berdosanya kami kalau harus menganggap mereka tidak mengenal kebenaran, hanya karena tak tahu Aliahmu .
Idayu merasa, ia sudah sampai pada titik di mana pertikaian akan bermula, maka ia tak meneruskan katakatanya. Bila Pada menjadi marah, keadaan diri dan anakanaknya mungkin akan sangat menyedihkan. Juga Pada sengaja tak meneruskan bicaranya. Hanya Gelar tertawatawa dan menyanyi di atas bahu Pada.
0o-dw-o0 Malam itu mereka menginap di dalam rimba. Rantingranting dan dedaunan kering mereka kumpulkan untuk alas tidur. Kayu bakar disediakan bertumpuk dan api unggun dinyalakan. Kelembaban pada ranting dan dedaunan itu membubungkan asap tebal dan kelabu.
Kadang-kadang, kata Pada, datang macan atau ular atau babi hutan mengagumi api. Jangan kuatir. Mereka tak akan menerkam atau mengganggu. Matanya memancarkan gemerlap terkena sinar api. Tak mengeluarkan suara apa pun. Bila sudah puas memandanginya mereka pergi lagi seperti habis menonton tarianmu, Mbokayu.
Dari balik-balik luruhan daun jati basah mereka mengumpulkan sejumlah besar kepompong jati. Mereka membakari binatang kecil-kecil coklat itu dan memakannya dengan senang.
Keesokan harinya mereka berjalan lagi, dan menginap lagi, dan berjalan lagi. Dan kini rimba belantara telah dilalui.
Sebuah padang ilalang membentang di hadapan mereka. Dari kejauhan telah nampak bagian-bagian yang telah terbakar. Dan di suatu tempat bekas bakaran, di mana tumbuh ilalang muda, sekawanan rusa nampak sedang merumput.
Padang alang-alang . Pada memulai, yang paling menakutkan. Apalagi kalau berselang-seling dengan semaksemak. Macan. Mbokayu, sarang macan. Matanya mengintip di mana-mana .
Sudah banyak bekas bakaran kulihat .
Ya, syukur alhamdulillah. Nampaknya Mbokayu belum juga lupa pada nyanyian tentang padang alang-alang itu. Maklumlah penari. Bakarlah alang-alang, petani bukankah begitu"
Tumbuhlah yang muda, Idayu meneruskan. Ribuan rusa berdatangan merumput& .
Lupakan ladang dan sawahmu , Pada menyambung. Macan menerkamnya sehari seekor. Selamatlah perjalananmu Mereka ingat sajak nyanyian itu. Namun mereka tetap kuatir dan masih juga berdiri ragu-ragu tak juga meninggalkan hutan.
Sebelum tentu si macan berhasil menangkap seekor dan si petani sudah lewat melintasi , Pada berkata pelahan pada padang alang-alang di depannya.
Apa guna cerita seperti itu" Pada, kau sudah pergi ke mana-mana. Pernahkah kau dengar cerita tentang suatu bangsa yang suka makan orang"
Pernah. Itulah bangsa jahil, bangsa bodoh, tak tahu ajaran .
Dengan mata ditebarkan ke mana-mana mereka mulai menyeberangi padang alang-alang tinggi, mengikuti jalan setapak yang hampir hilang.
Mengherankan, Idayu meneruskan untuk melupakan kekuatirannya. Orang makan orang. Bagaimana bisa" Sewaktu memakannya tidakkah terbayang orangtua atau anaknya sendiri" Atau tidakkah dia berpikir, pada suatu kali akan dimakan juga oleh yang lain"
Bodoh, kataku, jahil. Pikirannya tak panjang. Itu sebabnya kalau ajaran belum sampai pada mereka .
Mereka berjalan terus sambil melupakan ketakutan sendiri.
Barangkali itu lebih baik . Sambung Idayu. Apa baiknya kebodohan, kejahilan" Pada menolak. Mereka makan-memakan karena lapar, kiraku. Ajaran datang, barangkali melalui kau, mereka hanya bunuhmembunuh, tidak sampai makan-memakan, dan bukan karena lapar. Mungkin salah karena ajaran yang kau bawa .
Pada tak menanggapi. Idayu tahu, ia tersinggung. Kau marah, Pada" di desa-desa takkan ada orang marah karena ucapan seperti itu. Maafkan kalau kau tak bersenang hati. Tak apa, Pada.
Kau memancing-mancing, Mbokayu , Pada menuduh. Tidak. Aku bertanya mengapa orang bisa makan sesamanya. Kau lantas membawa soal ajaran. Jangan hubungkan .
Kita sedang menyeberangi padang yang menggetarkan ini .
Maka kita bicara saja, Pada, biar tak gentar . Sementara mereka berjalan tanpa bicara. Gelar di atas bahu nampaknya juga merasai kegentaran mereka.
Aku pikir, Pada, benarkah barangkali menurut pendapatmu" Mereka itu ingin makan daging, tapi perburuan sulit didapat, sedang orang lebih mudah ditangkap. Hanya dengan kata-kata manis, janji dan bujukan, atau gertakan, tanpa tenaga, daging bisa datang sendiri dengan jinaknya untuk disantap. Bagaimana pendapatmu. Pada"
Dan Pada tak menjawab. Mereka terus berjalan dengan pandang ditebarkan ke mana-mana. Gelar bersorak-sorak di atas bahu Pada melihat sekawanan rusa yang merumput damai di kejauhan. Anak-anak rusa berlompat-lompatan riang. Waktu angin bertiup dan menyampaikan suara manusia dan baunya, binatang-binatang itu terhenti dari kesibukannya. Semua memanjangkan leher dan menegangkan kuping. Moncong hitamnya mereka angkat tinggi. Setelah mengetahui, hanya serombongan manusia berjalan lewat, mereka merumput kembali dan anakanaknya berlompat-lompatan lagi.
Kalau sudah dilewati padang ini, kita akan sampai ke sebuah hutan muda, kemudian padang rumput pendek, dan sampailah di desa pertama. Lantas kau mau ke mana, Mbokayu" Ke kanan berarti ke Tuban, ke kiri ke Awis Krambil .
Ke kiri. Pada, Awis Krambil. Dan Kang Galeng nanti"
Kalau dia masih memerlukan anak dan bininya, tentu dia akan mencari kami di desa, ia betulkan bayinya dan dalam gendongan dan menyusuinya Tak dapat aku tinggal lebih lama di kota. Semua serba menyesakkan . Kasihan Kang Galeng .
Biarlah dia kembali saja ke desa .
Senapati Tuban kembali ke desa" Mau jadi apa" Jangan main-main, Mbokayu. Apa kau suruh dia mencangkul dan membajak"
Mereka berjalan dan berjalan.
Dia tidak menginginkan kekuasaan atas harta dan manusia. Dia akan kembali ke desa.
Kalau tidak" Kalau dia memang dengan semau sendiri jadi Senapati untuk dapat berkuasa"
Idayu mempercepat jalannya.
Kalau dia tidak mau pulang ke desa" Tidak membutuhkan Mbokayu lagi"
Idayu menyusui anaknya sambil mempercepat jalannya. 0o-dw-o0
27. Demak Bergolak Pelayaran di laut Jawa pulih kembali seperti sediakala. Hanya kapal-kapal Atas Angin masih juga tak banyak kelihatan.Kapal-kapal Pribumi mendapat kesibukan luar biasa mengangkuti barang dagangan untuk dibawa ke bandar Banten, untuk memudahkan saudagar-saudagar Atas Angin mendapatkan dagangan.
Maka Banten pun jadilah bandar terbesar dan teramai di Jawa, mengalahkan Gresik, apalagi Tuban. Dan untuk sementara penguasa-penguasa bandar di Jawa tidak mencemburui, mengingat bandar itu kepunyaan sahabat Portugis, kerajaan Hindu Pajajaran. Hanya Demak yang tak bersenang hati. Tetapi saudagar-saudagar Pribumi yang sudah lama terjauh dari keuntungan dengan serta-merta berdatangan untuk berdagang. Juga kapal-kapal Islam dari Atas Angin.
Para saudagar mengira, keadaan yang nisbiah baik akan tetap baik untuk selama-lamanya: rejeki dari laut tidak sesendat selama ini dan cuaca damai menghangati seluruh Jawa.
Orang tak biasa lagi tentang perang.
Di Jepara pembangunan kembali, armada Demak sedang giat dilakukan, seolah-olah kebesaran di Jawa sebelah timur akan dipindahkan ke sebelah tengah.
Tahun 1521 Masehi. Mendadak suatu perubahan yang cepat telah mengubah segala-galanya.
Portugis sudah sepuluh tahun menguasai Malaka. Dan pada suatu hari yang sudah diduga orang, Sultan Demak kedua, yang semakin keras juga sakitnya karena serpihan laras cetbang di dalam tubuhnya, wafat.
Satu-satunya penantang Portugis telah wafat. Armada besar yang sedang digalang akan jatuh ke tangan orang lain. Siapa orang lain itu" Dan adakah akan dipergunakan untuk meneruskan cita-cita Unus" Tak ada orang yang bisa menduga tentang teka-teki ini. Jururamal mulai sibuk dengan perhitungan dan ramalannya.
Siapa Sultan Demak ke tiga" Karena Unus tiada berketurunan"
Raja-raja Nusantara ikut berkabung, terutama para saudagar dan pemilik kapal. Perhatian seluruh Jawa, sepanjang pesisir selatan Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, tertuju ke Jawa, ke Demak.
Lain lagi yang terjadi di Malaka. Berita wafatnya Unus disambut dengan sorak berderai. Di darat dan laut anggur pun dibagi melimpah-limpah untuk merayakan kematiannya. Armada Portugis akan dapat menjelajahi semua perairan Nusantara tanpa kekuatiran. Mereka tidak peduli siapa bakal mengganti Sang Penantang, karena hanya ada seorang penantang selama ini, dan ia sudah mati, dan penantang lain tak bakal dilahirkan. Ancaman dari selatan sudah padam.
Untuk sementara tak ada berita tentang penggantinya. Majelis Kerajaan mengambil-alih kekuasaan untuk sementara. Kekosongan Demak untuk waktu yang dianggap terlalu lama itu menyebabkan orang digoda untuk membikin duga-dugaan: Adakah kerajaan yang belum lagi berumur setengah abad ini akan pecah-pecah jadi dusun kembali" Siapa yang bertikai dan dengan siapa maka belum juga ada penobatan baru" Majelis Kerajaan lawan keluarga raja" Ataukah keluarga raja dengan keluarga raja"
Ketegangan merambati seluruh Demak tanpa kepastian. Dari pengalaman berabad orang tahu benar, keadaan tidak menentu demikian biasanya diikuti dengan kerusuhan dan kerusuhan melahirkan perang. Diberanikan oleh kekosongan ini juru tafsir dan ramal sampai-sampai berani menjajakan pikirannya di pasar dan di sepanjang jalan dan di alun-alun dan surau dan di mesjid agung sendiri, tanpa kegentaran. Praja Demak hampir-hampir lumpuh.
Tafsiran dan ramalan kemudian padam: Sultan Demak ke tiga telah dinobatkan dan telah naik ke tahta kerajaan. Orang agak kecewa dengan kenyataan itu, namun itulah kenyataannya: Trenggono, adik Unus.
0o-dw-o0 Sekali lagi Portugis berpesta-pora mendengar Trenggono naik tahta. Mereka tahu betul Sultan baru itu tak punya perhatian terhadap perdagangan, perkapalan, perbandaran, apalagi terhadap Malaka. Rencana baru pun ditempa. Apa lagi" Di perairan bagian belah bumi selatan ini takkan ada halangan lagi selama Unus tak ada. Segera mereka menyerbu Pasai.
Dan Pasai pun jatuh. Banda Aceh kehilangan bandarnya yang sedang kembali berkembang.
Portugis berpesta lagi di Malaka, juga di Pasai, mengetahui, bahwa Trenggono dapat naik ke atas tahta hanya dengan melalui bangkai abangkandungnya sendiri, Pangeran Seda Lepen. Abangnya itu yang akan dinobatkan oleh Majelis Kerajaan, tetapi Sunan Kalijaga menjagoi Treng-gono. Maka Portugis menimbang Sultan baru ini sebagai seorang yang rakus kekuasaan. Terhadap pribadi demikian mereka sama sekali tidak menaruh gentar.
Juga mereka berpesta mengetahui, pemimpin perang balatentara Banda Aceh, Fathillah1 dengan kekalahannya di Pasai telah meninggalkan negerinya. Orang tak tahu pasti ke mana perginya. Dan Portugis lebih tidak peduli lagi.
Anggur diedarkan, bertong-tong ditumpahkan untuk membasahi tenggorokan Peranggi yang haus dan tidak haus, anggur terbaik dari Oran dan Aljazair.
Setelah Pasai jatuh pelayaran dan perdagangan di laut Jawa kembali tergoncang. Pasai menjatuhkan juga pasar lada. Portugis dengan Pasai-nya tidak peduli. Mereka tertawa. Dengan jatuhnya lada mereka akan terpaksa datang ke Pasai atau langsung ke Malaka.
Seluruh kekuasaan atas Selat Semenanjung telah jatuh seluruhnya ke tangan Portugis. Tak satu kapal Pribumi, Atas Angin atau Tionghoa bisa melaluinya tanpa mengakui pernaungan meriam-meriamnya.
Dan kalau lada tak mau datang ke Pasai atau Malaka" Campang. Portugis akan mendatangi sumber-sumbernya. Dan sumber utama lada adalah: Pajajaran dengan ibukotanya Pakuan, dengan bandar-bandamya Banten, Sunda Kelapa dan Cimanuk.
Bila Pajajaran jatuh kelak di tangan Portugis, lada takkan lagi mengalir ke Campa, Tiongkok atau Jepun. Semua akan dibanjirkan ke Eropa. Apakah sulitnya menundukkan Pajajaran yang sendiri sudah merasa membutuhkan perlindungan Portugis, terancam oleh ketidak setiaan kawulanya sendiri di sepanjang pesisir utara, terutama pelarian dari Malaka, Tumasik dan Pasai karena kelainan agama" Pajajaran harus menyerah tanpa perang! Portugis akan memberinya perlindungan . Kuasai bandar Banten dan Sunda Kelapa, maka bukan hanya lada lebih banyak mengalir ke Eropa tanpa henti-hentinya, juga kekuasaan Portugis di Malaka akan semakin kukuh dan kerajaankerajaan bandar di Jawa dan Sumatra akan semakin lemah.
Barang-barang dagangan lain, beras, minyak-minyakan, gula dan garam, dan kayu manis dan kapur barus, untuk kepentingan Asia dan Nusantara sendiri, pun akan jatuh ke tangannya dengan harga lebih murah tanpa saingan. Selanjutnya perairan Sumatra dan Jawa yang sangat ramai itu pun akan dapat dikuasainya.
Portugis dalam usahanya untuk melaksanakan rencananya memutuskan untuk menghubungi kembali sahabat lama Pajajaran dan minta ijin untuk mendirikan kantor dagang di Sunda Kelapa. Dengan adanya kantor dagang Pajajaran tak perlu memiliki meriam sendiri, karena kantor akan melindunginya dari serangan kerajaan-kerajaan lain.
Utusan dikirimkan menghadap Prabu Sedah, raja Pajajaran. Konon jumlah penghadap cukup banyak termasuk beberapa orang padri Nasrani yang mohon perkenan untuk tinggal di Pakuan untuk menyebarkan agamanya.
Tak terkirakan gembira hati Sri Baginda Prabu Sedah. Semua yang disarankan dan dipohon oleh para penghadap diluluskan. Para padri bukan saja boleh tinggal di Pakuan, bahkan diperkenankan mewartakan ajarannya, dan dengan demikian Islam tidak lagi merupakan satu-satunya agama baru di dalam wilayah kekuasaannya.
Pesta besar-besaran diadakan dengan pengerahan penyanyi dan penari terbaik di seluruh negeri.
Dan dengan upacara khidmat pihak Portugis dan Pajajaran menyaksikan dua orang pernahat dari dua belah pihak mulai memahat lambang persetujuan dan persahabatan pada sepotong batu panjang berbentuk penggada.
Demikianlah Portugis kembali ke Malaka membawa kemenangan diplomasi gilang-gemilang tanpa perang dan meninggalkan beberapa orang padri di Pakuan& .
Dalam waktu pendek berita itu tersebar ke seluruh Nusantara. Pajajaran sendiri mempunyai kepentingan menyebarkannya dengan maksud mengendalikan nafsu lawan-lawannya untuk menyerbu negerinya. Dan persahabatan dengan Peranggi adalah juga suatu kebesaran baginya.
Jatuhnya Pasai segera terdesak oleh perjanjian persahabatan Portugis-Pajajaran.
Satu-satunya kerajaan yang membuka mata lebar-lebar terhadap perkembangan baru ini adalah prajawan-prajawan Demak.
Dan di luar istana orang lebih banyak meributkan dan membicarakannya di mesjid, surau, jalanan dan di mana saja. Lama-kelamaan suara itu berkembang dan memuncak menjadi pertikaian-pertikaian.
Mula-mula pertikaian berkisar pada kelakuan Trenggono yang begitu sampai hati membunuh abangnya sendiri, kemudian diperkuat oleh sikapnya yang polos terhadap peristiwa Pakuan. Mengapa Sultan tak juga menyatakan sikap menentang usaha Portugis yang sudah mulai gerayangan ke Jawa" Sikap itu semakin ditunggu semakin tak datang. Para musafir yang sudah tak dapat menahan hati lagi telah bermusyawarah dan membentuk utusan untuk menghadap Sultan. Mereka ditolak dengan alasan: apa yang terjadi di Pajajaran tak punya sangkut paut dengan Demak dan musafir.
Jawaban itu mengecewakan para musafir. Bila demikian, mereka menganggap, sudah tak ada perlunya lagi para musafir mengagungkan Demak, karena keagungannya memang sudah tak ada lagi. Apa gunanya armada besar peninggalan Unus, yang telah dua tahun disiapkan kalau bukan untuk mengusir Portugis dan dengan demikian terjamin dan melindungi Demak sebagai negeri Islam pertama-tama di Jawa" Masuknya Peranggi ke Jawa berarti ancaman langsung terhadap Islam. Kalau Trenggono tetap tak punya sikap, jelas dia tak punya sesuatu urusan dengan Islam.
Segolongan kecil para musafir menolak alasan itu dengan dalih, tugas utama para musafir adalah menyebarkan Islam yang telah dirintis oleh para sunan. Pekerjaannya tak bersangkut-paut dengan kepentingan kerajaan. Tetapi kerajaanlah yang melindungi pekerjaan itu. Kemungkinan dan keleluasaan, karena adanya perlindungan, menyebabkan para musafir berkewajiban memperteduh perlindungan dengan jalan mengagungkan Demak.
Golongan besar musafir menuduh, bila demikian mereka stidah sepenuhnya punggawa perajaan, bukan musafir, bukan pembantu muballigh itu sendiri, dan mempersekutukan agama dengan kekuasaan, dan kekuasaan itu justru telah kehilangan kekhalifahannya yang murni.
Pertikaian kemudian dicampuri oleh kerajaan. Golongan besar dipanggil menghadap. Mereka menolak dan melarikan diri. Golongan kecil yang taat, kehilangan kewibawaannya. Tepat sebagaimana dituduhkan oleh golongan besar, mereka kemudian menjadi punggawa kerajaan belaka.
Sejak itu Demak tak punya musafir lagi.
Mereka yang pada waktu itu sedang bertugas di pedalaman negeri lain atau di seberang, memutuskan hubungan dengan Demak dan menjadi muballigh bebas.
Pertikaian pun tak kurang sengitnya di dalam keluarga Sultan sendiri. Dan ini menjalar juga pada penduduk biasa.
Tak dapat menanggungkan semua pertikaian yang tiada henti-hentinya dan mengancam perpecahan dalam kerajaan Demak sendiri. Trenggono mengambil tindakan untuk menjawab semua itu: pekerjaan persiapan armada besar itu dihentikan sama sekali. Dana dan daya kerajaan Demak ditarik dari pantai dan dipusatkan di pedalaman.
Akibat tindakan itu tak terkirakan besarnya, dan pada umumnya merugikan Demak. Insinyur dan tukang-tukang kembali ke negeri masing-masing dengan berita yang membusuk-busukkan Trenggono,ditampilkan sebagai raja yang bodoh dan mengkhianati amanat almarhum abang dan ayahnya. Bupati-bupati bekas di pedalaman mengejek kembali Demak sebagai kerajaan yang masuk ke pedalaman karena takut pada armada Portugis, lebih suka berkubang dalam lumpur tanah tandur pedalaman daripada menghadapi lawan pokoknya. Bupati-bupati pesisir, yang selama ini menyumbang iuran tahunan untuk pembangunan armada, menyumpah-nyumpah karena merasa tertipu oleh Trenggono. Bupati-bupati pesisir lainnya yang menyatakan berlindung di bawah Demak tanpa pukulan perang, menolak perlindungan dan menyatakan berdiri sendiri kembali dalam kebebasannya. Trenggono naik pitam oleh perkembangan baru ini. Pada suatu pagi, sebelum matari sempat terbit, sebuah tandu diusung meninggalkan Demak. Beberapa puluh orang mengikutinya berjalan kaki di belakangnya, di belakangnya lagi beberapa puluh lagi orang pemikul. Mereka berjalan beriringan dengan diam-diam seakan takut membangunkan yang masih tidur.
Di atas tandu adalah Gusti Ratu Aisah, biasa disebut Ngaisah permaisuri Sultan Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah almarhum. Ia adalah ibunda Adipati Unus dan Trenggono. Dan iring-iringan yang membisu itu menuju ke Jepara.
Orang segera mengerti: pertikaian antara Sultan dan ibunya tertumbuk pada jalan buntu. Gusti Ratu Aisah harus menyingkir karena tak mau tahu lagi tentang Demak. Bahwa Jepara jadi tujuan adalah karena itulah tempat putranya tercinta Unus almarhum. Bahwa Gusti Ratu berpihak pada sikap dan pendirian Unus, bahwa, bahwa, bahwa& .
Orang pun segera mengerti: boyongan agung itu tak lain artinya daripada, bahwa Trenggono tak ada niat untuk menyerang Portugis, baik di Malaka, Pasai atau mana pun, baik di darat atau lautan.
Dan pertanyaan yang tetap tinggal tak terjawab: untuk apakah armada besar yang dipersiapkan itu" Apakah akan dibiarkan tenggelam karena tak terawat"
Belum lagi bayangan agung terlupakan, datang pula berita besar: Majelis kerajaan bubar. Kebenaran berita itu masih banyak disangsikan, karena seorang Sultan di Demak takkan dapat berbuat sesuatu pun tanpa Majelis.
Berita itu disusul oleh desas-desus, Sultan tak suka bermusyawarah, tak mau mendengarkan Majelis, ia telah terjatuh jadi raja Pribumi jahiliah, kafir.
Sebaliknya penyokong Trenggono pun tidak sedikit. Pasukan kuda Demak, pasukan kebanggaan, sepenuhnya menyokongnya. Pasukan itu sendiri belum lagi lama didirikan, karena sebelumnya hampir-hampir tak terdapat kuda di Demak. Sultan Al-Fattah yang membangunkannya
dengan jalan mendatangkan bibit dari Atas Angin dengan bantuan Semarang dan saudagar-saudagar Islam Atas Angin.
Pertikaian belum lagi reda, datang berita besar lagi. Pajajaran mengadakan pesta agung& .
21 Agustus 1522 Serombongan besar orang Portugis telah mendarat di bandar Sunda Kelapa. Di antara mereka terdapat dutanya: Henrique Leme. Ia datang untuk mengesahkan perjanjian Portugis-Pajajaran.
Dalam iringan pasukan pengawal bermusket dan berpedang dan sebarisan pemusik, mereka telah dieluelukan oleh Pangeran Sunda Kelapa sebagai gubernur dan wakil Prabu Sedah.
Dengan upacara penyambutan besar mereka diiringkan beristirahat di pesanggrahan Sang Pangeran. Dan pada keesokan harinya dengan iringan pesta besar sebagian dari para tamu memudiki kali Ciliwung menuju ke Pakuan, menghadap Sri Baginda.
Di Pakuan pesta kehormatan besar menyambut mereka. Henrique Leme mempersembahkan terimakasih atas perlindungan dan karunia berupa tanah dan rumah dan tenaga pekerja kepada para padri-padri Portugis di Pakuan sehingga mereka dapat bergerak dengan leluasa dan telah mulai membuka rumah penampungan untuk janda dan yatim-piatu.
Acara khusus telah disediakan oleh para tamu untuk mendengarkan musik Portugis di mana Prabu Sedah dan permaisuri dan keluarga raja berkenan ikut menyaksikan. Dan itulah untuk pertama kali Pakuan mendengar musik dari Eropa.
Mereka turun balik ke Sunda Kelapa diiringkan oleh Pangeran Sunda Kelapa.
Di bandar Sunda Kelapa sendiri telah didirikan sebuah umpak batu hitam berbentuk kerucut terpotong. Di atasnya didirikan batu perjanjian Portugis-Pajajaran, pahatan bersama antara dua belah pihak.
Henrique Leme dengan regu musik yang sangat sederhana dan pengawal berbaris di satu pihak dan Pangeran Sunda Kelapa dengan para pengawal di lain pihak. Mereka saling menyampaikan pesan dengan terjemahan Melayu.
Dengan demikian perjanjian Portugis-Pajajaran telah menjadi kenyataan.
Pihak Portugis mendapat sebidang tanah dan berkenan untuk mendirikan kantor dagang . Pihak Pajajaran mendapatkaan jaminan bantuan militer bila mendapat serangan dari luar.
Pesan-memesan selesai. Ratusan gadis beterbangan seperti bunga-bungaan di atas kolam raksasa yang ditiup oleh angin puyuh. Mereka bertaburan di sekeliling para tamu, kemudian bertaburan lagi dan berlarian mengitari tugu, menari sambil menyanyi dan menebarkan bunga-bungaan, dengan latar belakang laut, kapal-kapal Pribumi dan Peranggi, perahu-perahu nelayan. Latar belakang sebelah selatan adalah kehijauan dedaunan dan di sana-sini tajuk, rumpunan bakau-bakau mengintip dari balik bibir rawa-rawa. Di atas adalah langit yang cerah, biru dengan awan berarak putih-putih, kemudian di bawahnya pegunungan yang tiada habishabisnya.
Selesai upacara di mana seorang pendeta Hindu mentahbiskan tugu, pihak Portugis segera memainkan musik yang menggelora& .
Itulah berita yang kembali menggoncangkan Demak. Pertikaian yang belum lagi reda merebak kembali. Orang pada menunggu-nunggu sikap Trenggono, sikap yang agak jantan. Orang sudah mulai berbisik: apakah dia hanya berani membunuh saudara kandung sendiri, dan tetap tidak berani terhadap Peranggi" Bukankah perbuatan Portugis di Pakuan dan Sunda Kelapa tak lain dari tantangan terhadap Islam, dan karenanya terhadap khalifah Demak" Dan apa pula gunanya armada besar yang telah makan biaya begitu banyak"
Ternyata orang perlu begitu lama harus menunggu. Dari atas singgasananya Sultan Trenggono bersabda: Kita, manusia, hidup dan mati di atas tanah yang dikaruniakan oleh Allah s.w.t. kepada kita. Maka tanah karunia ini harus kita bela, berapa pun harganya. Selama tanah ini di dalam genggaman, tak ada suatu bahaya pun bakal mengancam, kita akan membelanya, karena modal pertama adalah tanah. Tanpa tanah orang tak bisa berbuat sesuatu.
Belum lagi orang habis terheran-heran mengapa Sultan bicara tentang tanah, bukan tentang agama dan Peranggi sebagai musuhnya, bukan tentang kekhilafan yang ditantang, dan mengapa hanya tanah, tanah belaka sekalipun ia karunia Allah, orang semakin terheran-heran karena ada terdengar suara wanita, dan wanita itu sudah tua, suaranya sayup-sayup datang dari Jepara. Wanita tua itu adalah Gusti Ratu Aisah: Bukan hanya tanah, seluruh alam diserahkan oleh Allah pada manusia. Kalau orang tak tahu artinya alam, inilah dia: semua-semua saja kecuali Allah sendiri. Tanah ini, Jawa ini, kecil, lautnya besar. Barang siapa kehilangan air, dia kehilangan tanah, barang siapa kehilangan laut dia kehilangan darat. Jangan lupa, Unus yang mengatakan itu .
Pertikaian itu kemudian berpusat dalam keluarga raja sendiri, diwakili oleh Trenggono di satu pihak dan Gusti Ratu Aisah di lain pihak.
Seluruh Jawa tunduk mendengarkan. Setiap kata dari kedua orang itu jadi renungan dan bahan pembicaraan, menjadi bahan pemikiran pra-jawan di mana-mana air dan tanah, laut dan darat.
Setelah terdengar suara ibunya Trenggono diam, tidak membalas Dalam membisu ia perbesar pasukan daratnya, terutama pasukan kuda, dengan biaya yang semestinya untuk menyelesaikan armada agung. Tanpa menyatakan pada siapa pun, tak menunggu pendapat Majelis Kerajaan yang semakin menjadi lemah, ia hendak membuktikan, bahwa ibunya keliru. Bahwa tanpa laut pun Demak akan jadi besar dan jaya.
Tetapi dari Jepara ibundanyalah yang membuka suara lebih dulu: Ketahuilah, hanya dengan armada saja orang dapat menghalau Peranggi, musuhnya, dengan pasukan darat orang cuma akan memerangi saudara-saudaranya sendiri, bukan musuhnya .
Suara wanita tua itu berpendar-pendar di darat maupun laut. Tiba-tiba para bupati merdeka menjadi sadar, bahaya dari Demak sedang di ambang pintu: Demak akan meluaskan daerah kekuasaannya dengan pukulan perang. Dan perang akan segera berkecamuk. Di luar Demak wanita tua itu terus-menerus ditunggu-tunggu kata-katanya selanjurnya. Ia didengar, diperhatikan dan dihormati. Juga di Demak sendiri.
Tapi apakah yang dilakukan wanita yang telah kehilangan kewibawaan terhadap Sultan, putranya"
Dengan diamnya Ratu Aisah, berbondong-bondong utusan menghadap ke Jepara membawa persembahan, sekedar hanya untuk mendapatkan kata-katanya yang kuat bijaksana dan petunjuk tentang apa yang bakal terjadi. Dan wanita tua itu justru membisu.
Di desa-desa pinggiran negeri Demak, penduduk mulai pada mengungsi untuk melarikan diri dari wajib perang. Sebaliknya, terbujuk oleh janji jarahan dan rampasan terhadap hak milik kafir, pemuda-pemuda desa meninggalkan kampung halaman menuju ke ibukota untuk menggabungkan diri jadi prajurit tetap pasukan darat Demak. Bahkan yang punya kuda sendiri langsung menggabungkan diri bersama kudanya pada pasukan kuda.
Orang menarik kesimpulan dari perkembangan terakhir: antara anak dan ibu takkan ada perdamaian lagi. Dan pertanyaan kemudian yang timbul: Adakah Sultan akan mengambil tindakan terhadap ibunya sendiri sebagaimana ia telah melakukannya terhadap abang-kandungnya. Pangeran Seda Lepen"
Orang menunggu dan menunggu dengan perasaan prihatin terhadap keselamatan wanita tua itu.
Sultan Trenggono tak mengambil sesuatu tindakan terhadap ibunya. Ia makin kranjingan membangun pasukan daratnya. Hampir setiap hari orang dapat melihat ia berada di tengah-tengah pasukan kuda kebanggaannya, baik dalam latihan, sodor, mau pun ketangkasan berpacu sambil memainkan pedang menghajar boneka yang digantungkan pada sepotong kayu. Ia sendiri ikut dalam latihan-latihan ini.
Dan dalam salah satu kesempatan semacam ini pernah ia berkata secara terbuka: Tak ada yang lebih ampuh daripada pasukan kuda. Lihat, kawula kami semua!
Dan para perwira pasukan kuda pada berdatangan dan merubungnya, semua di atas kuda masing-masing.
Pada suatu kali, kaki kuda Demak akan mengepulkan debu di seluruh bumi Jawa. Bila debunya jatuh kembali ke bumi, ingat-ingat para kawula, akan kalian lihat, takkan ada satu tapak kaki orang Peranggi pun nampak. Juga tapaktapaknya di Blambangan dan Pajajaran akan musnah lenyap tertutup oleh debu kuda kalian.
Berapalah kuatnya Blambangan dan Pajajaran" Mereka tak punya pasukan kuda. Dan tanpa kuda, kedua-duanya hanya tumpukan bangkai. Siapa tidak percaya" Barangsiapa tidak percaya, jangan terburu mati, saksikan Trenggono dengan sumpahnya ini& .
Sekaligus orang mengerti ucapan itu ditujukan pada ibundanya sendiri. Tapi para bupati lebih mengerti, kebebasan mereka sedang dalam ancaman.
Di rumah-rumah orang kebanyakan orang pada membicarakan. Orang tua-tua pada mengelus dada bagaimana bisa seorang anak, sekalipun raja, bisa berkata begitu kasar terhadap ibunya, melalui orang-orang lain" Tak sukakah Sultan melihat ibunya yang tua dan terhormat itu meninggal dalam kedamaian" Tidakkah ia bisa membisu tanpa mengatakan sesuatu"
Ratu Aisah tidak menjawab putranya pada ketika mendengarnya. Tetapi pada kesempatan lain, di tengahtengah pasar bandar Jepara, ia berkata: Tidak percuma wanita ditakdirkan melahirkan anak. Tapi memang banyak yang merasa percuma mempunyai ibu .
Di tengah-tengah pasukan kuda yang habis berlatih Trenggono memanggil perwira-perwiranya dan berkata keras: Tidak percuma seorang anak punya ayah. Almarhum Sultan Al-Fattah pun tak percuma menyebarkan ratusan musafir, ke timur, barat, utara dan selatan. Setiap musafir mendatangkan doa seratus hati yang rela untuk kejayaan Demak. Siapa yang belum pernah dengar nama Demak di pulau Jawa ini" Dia tuli! Seluruh tanpa kecuali .
Dalam suatu pelantikan pasukan kuda baru ia mengatakan: Sungguh bodoh pikiran lama yang hendak mendepai Jawa dengan kapal. Langkahi dia dengan kudamu! Sekali langkah Blambangan pecah. Balik, dan melangkah tiga kali. Pajajaran belah .
Wanita tua itu tak menjawab. Dan orang mulai lebih memperhatikan Sultan Trenggono yang suaranya makin keras melantang. Trenggono punya kekuatan bersenjata, Aisah hanya punya kebijaksanaan.
Walau demikian orang tetap bertanya-tanya, mengapa suara-suara itu tak didengungkan dari atas tahta dan hanya di lapangan" Adakah dengan demikian nilainya bukan keprajaan" Bukan sabda seorang Sultan" Hanya ucapan pribadi semata"
Trenggono tidak menjawab teka-teki itu dengan katakata, tetapi dengan perbuatan: Majelis kerajaan tak didengarkannya lagi. Ia mengikuti kemauannya sendiri. Bahkan kata orang: Majelis yang harus mendengarkan dia.
Suaranya semakin gencar. Tak ada yang lebih sia-sia daripada kekecilan, kekerdilan. Raja kecil dengan kerajaan kecil, apalah artinya dilihat oleh burung-burung dari langit dan oleh ular di darat" Burung segan hinggap dan ular pun segan melatai untuk tempat bercengkerama pun kerajaan itu tidak aman. Bukankah kalian tahu juga: rawa kecil hanya menghasilkan ikan kecil" Tapi raja besar dan kuat menguasai tanah untuk merebut laut. Bila tanah telah dikuasainya, musuh takkan menikam dari belakang, apalagi dari depan. Demak bukan Malaka, bukan Pasai. Pada suatu kali Juana akan jadi ibukota, menentang dan menentang setiap kapal Peranggi. Kawulanya akan masyhur di manamana. Bikin semua orang tahu, siapa Sultan Trenggono: darat akan dikuasai, laut akan dirajai, karena& Gusti Ratu Aisah tidak sia-sia melahirkannya& .
Ucapan yang lantang itu didengarkan oleh para pengiring dalam suatu perburuan harimau di pedalaman Demak.
Pengepungan itu semakin rapat. Ratusan kawula bersorak-sorak menggiring dengan bambu runcing, mengeluarkan dari rumpun bambu.
Seekor harimau betina yang sedang membawa anaknya mengamuk di tengah-tengah kepungan ratusan orang bertombak bambu runcing.
Trenggono berdiri pada sanggurdi dan berkokok: Saksikan bagaimana macan Peranggi akan terguling di bawah tombak Trenggono, Sultan Demak .
Ia lemparkan tombaknya, melayang indah ke jurusan jantung perburuan. Tetapi binatang itu tak meneruskan jalannya dan mata tombak itu menancap pada leher. Sang harimau menjondil, mengaum dalam kegeraman. Tak peduli pada beratus tombak yang mengepungnya ia melompat dan menerkam, dan menggigit, dan menyobek dan menggaruk. Beberapa orang mengepung rebah bermandi darah dan kepungan rantas.
Binatang itu menyerang kembali dari belakang untuk menyelamatkan anaknya. Didapatinya anaknya telah tewas tertembusi tombak: la angkat anaknya dengan gigitan pada tengkuk, sekali lagi menyerang kepungan dan hilang ke dalam hutan bambu dengan tombak-tombak pada badannya sendiri dan anaknya yang telah mati.
Bagaimana pun ia akan mati oleh tombak Trenggono Demak. Serahkan binatang itu pada kami.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang melihat wajah Trenggono pucat. Ia balikkan kudanya dan tanpa bicara lagi langsung pulang menuju ke ibukota. Dan orang menganggap kejadian itu sebagai perlambang kekuasaan Trenggono yang akan datang, dan nasib Demak yang takkan dapat diingkari: kandas di tengah jalan, takkan menyelesaikan garapan.
Setelah perburuan itu agak lama Sultan tak bicara. Dan karena Ratu Aisah sudah lama pun tidak bicara lagi, seakan sudah membisu untuk selama-lamanya, orang menganggap pertikaian sudah selesai.
Ternyata tidak demikian. Pada suatu penutupan lomba sodor, seorang pembesar telah menyebabkan Trenggono bicara lagi.
Sembah pembesar itu: Sudahkah Gusti Kanjeng Sultan pertimbangkan nasib Sunan Rajeg yang ditumpas hanya oleh seorang anak desa bernama Wiranggaleng"
Sejenak Trenggono termangu-mangu untuk menjawab. Ia tarik-tarik dagunya, kemudian menjawab lantang: Bukankah itu sama halnya dengan Kuti ditumpas oleh Gajah Mada di jaman jahiliah dulu" Ingat-ingat kesalahan Kiai Benggala itu: dia tidak berbuat sesuatu pun untuk kejayaannya sendiri. Semua orang lain yang harus bekerja dan mati untuk dia. Ajaran dipergunakannya sebagai modal, dan ia hanya memungut bunga dari modal yang diberikan oleh Allah kepadanya. Tuban mengutuknya. Ilmu dan pengaruhnya sangat, sangat tinggi di tengah-tengah padang semak belukar. Maka bila bukan petir yang menyambarnya, hanya seekor oret mematahkan batangnya. Walhasil dia roboh juga. Itulah nasib semua penguasa yang dalam segala hal, kecuali cebok dan berak tergantung pada jasa orang lain. Ingat-ingat semua itu, karena Sultan Trenggono tidak akan pernah demikian .
Ratu Aisah tetap membisu.
Wanita tua itu mempunyai kesibukan sendiri. Setelah wafatnya putra tercinta orang sering melihatnya ditandu ke Mantingan dari Jepara.
Pembangunan itu sendiri dilakukan oleh tukang bukan Tionghoa berkuncir yang didatangkan dari Semarang, bahkan juga tatabangun diserahkan pada mereka. Tukangtukang Pribumi oleh Unus diperintahkan belajar bagaimana membikin batu dan membangun rumah dari batu. Maka mesjid itu akan jadi bangunan batu yang ke tiga di seluruh Jepara. Dan ke tiga-tiganya dibangun oleh tukang-tukang dari Semarang. Bangunan ke dua adalah gedung batu berlantai rendah di Welahan. Pada mulanya masyarakat Tionghoa akan mempersembahkannya pada Sultan Unus untuk dijadikan pesanggrahan. Dengan wafatnya mereka membatalkan niat itu.
Mesjid Mantingan didirikan dengan lantai tinggi ditutup dengan ubin bikinan Tiongkok, dan demikian juga undakundakannya. Semua didatangkan dari Makao. Bangun atap termasuk hubungan adalah gaya Tiongkok. Dinding luar dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru sedang dinding sebelah tempat iman dan khatib dihiasi dengan relief-relief persegi bergambar margasatwa dan penari-penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua.
Pengawas pekerjaan baik di Welahan maupun Mantingan tak lain daripada Babah Liem Mo Han.
Pada suatu hari dalam pertemuan antara Ratu Aisah dengan Liem Mo Han, di dalam mesjid yang hampir selesai itu, terjadi suatu percakapan yang kembali membangunkan pada lain orang pada pertikaian antara ibu dan anak.
Seorang raja di Jawa yang kuat dalam pendirian dan terhormat dalam tindakan adalah yang seperti almarhum Unus. Sayang Allah belum mengijinkan, cedera badan menghalangi rencananya. Siapa lagi sekarang penantang Peranggi" Babah mengenal sendiri putraku almarhum. Sendiri naik ke Malaka dan memimpin pertempuran. Dia gagal, tapi pendengarnya tidak pernah gagal, tapi pandangannya tidak pernah kalah, tidak pernah gagal. Barangsiapa raja tidak pernah kalah, tidak pernah gagal. Barangsiapa raja tidak berpandangan seperti dia, dia sudah kalah sebelum menghadapi Peranggi itu sendiri. Peranggi bisa dihalau dan dikalahkan, kata putraku almarhum, dengan persekutuan semua raja di Jawa, Sumatra, Melayu, Sulawesi dan Kalimantan dan Nusa Tenggara dan Maluku sendiri, dan Tionghoa. Tindakan yang sebaliknya akan berakibat panen yang sebaliknya .
Liem Mo Han tidak menyela, hanya mendengarkan dengan menunduk. Dan ia tahu tak boleh mencampuri pikiran Gusti Ratu. Lagi pula ia menganggap wanita tua itu sedang melepaskan pikirannya sendiri tak menghendaki tanggapan. Kata-katanya sampai juga ke Demak.
Kembali orang tergugah oleh pertikaian lama antara ibu dan anak. Dan berita itu sampai juga ke Pasai dan Malaka.
Portugis menarik kesimpulan: Trenggono terang bukan Unus. Armada Unus dalam persiapan mereka anggap memang sudah tenggelam sebelum diturunkan ke laut. Dan Portugis memutuskan untuk memadamkan pengaruh Ratu Aisah.
Maka terjadilah apa yang mereka kehendaki. 0o-dw-o0
Pagi itu matari belum lagi setinggi pohon pisang. Bangku kayu jati terukir dalam itu tidak lagi kosong seperti biasanya. Ratu Aisah duduk di atasnya. Telunjuknya yang tua menutas surat bertulisan Arab dan berbahasa Jawa. Di bawahnya duduk seorang perempuan Melayu.
Dengan suara tuanya yang masih juga lantang ia berkata dalam Melayu: Bagaimanakah, perempuan Melayu, istri seorang Peranggi Malaka, Sibarani itu seberangi laut jauh, datang pada kami, hanya untuk menyampaikan surat Peranggi yang sehina ini isinya" Tidak, perempuan Melayu, tak patut kami balas surat ini. Pulanglah kau kembali. Sampaikan pada Peranggimu, entah di Malaka, entahlah di Pasai, entah di mana lagi tak ada perselisihan antara kami dengan Gusti Kanjeng Sultan dapat menguasai seluruh Jawa. Gusti Kanjeng Sultan tak membutuhkan meriam Peranggi. Bahkan sekiranya Aisah ini pula, kami sendiri akan datang menggambar Malaka .
Tidak tercentakan lagi bagaimana kisah perempuan Melayu itu. Apakah ia balik ke negerinya atau tidak, pun tiada yang tahu. Ada berita tentang penghadapan itu pecah sejadi-jadinya ke seluruh dan semua bandar di Nusantara.
Di Jawa sendiri para bupati merasa lega dari ketegangan melawan Trenggono. Walau demikian mereka tetap bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Perbedaan antara Unus dan Trenggono terlalu besar. Dan berapa bedanya dua orang dari satu orang tua dan satu pendidikan itu. Sekiranya Unus masih hidup dan berseru para bupati untuk melakukan serangan gabungan ke Malaka, mereka akan bergabung tanpa ragu-ragu. Tetapi Trenggono mengancam mereka dengan perang perluasan kekuasaan yang takkan menyatu akibatnya.
O0dwoO Walaupun utusannya pada Ratu Aisah tak membuahkan sesuatu hasil, Portugis di Malaka untuk sementara waktu berpegangan pada kata-kata wanita tua itu tak ada pertikaian mendalam antara Trenggono dengan ibunya; wanita itu bukan telah berani bicara atas nama Sultan menolak tawaran meriam.
Tolakan sedang bermuslihat dengan gembar-gembornya, pura-pura hendak menguasai Jawa dan menutup terhadap Peranggi. Pada dasarnya ia sama dengan abangnya: Malakalah justru yang akan dibikinnya jadi bulan-bulanan.
Maka diputuskanlah: belum masanya untuk melaksanakan pembukaan kantor dagang di Jawa, di Sunda Kelapa pun belum walau tempatnya jauh dari Demak. Pengaruh Unus masih tetap kuat.
Rencana Sunda Kelapa harus ditangguhkan. Kedatangan wanita Melayu mengadap Ratu Aisah dan berita tentang penolakan tawaran meriam itu benar-benar mengejutkan Trenggono. Ia sama sekali tidak menduga wanita tua itu bisa berkata yang begitu indah, menyelamatkan namanya dari kecaman umum. Tetapi ia pun menjadi murka karena perempuan itu berani begitu lancang bicara atas namanya.
Para pembesar telah mencoba-coba mengetahui tanggapannya atas ucapan Ratu Aisah. Dan ia merasa harus mengendalikan diri. Bagaimanapun suara itu berasal dari seorang ibu, dan bagaimanapun kedudukannya sendiri adalah seorang anak.
Ucapan, bahwa tak ada pertikaian antara ibu dan anak, akan dipergunakannya sebaik-baiknya. Ia harus belajar mengambil manfaat dan setiap hal yang menguntungkan.
Maka pada suatu hari yang tak terduga-duga, dalam iringan pasukan kuda. Sultan Trenggono berangkat ke Jepara untuk bersujud pada Gusti Ratu Aisah. Orang harus mengerti, tak ada apa-apa antara ibu dan anak, tak ada pertikaian, tak ada perselisihan, hanya ada kedamaian dan perdamaian.
Pasukan kuda itu berbaris dengan segala kebesaran dan kemewahan. Mereka semua bersenjata tombak tunggal dengan umbai-umbai berwarna-warni pada persambungan antara paksi dengan tangkai. Dada mereka yang tertutup baju kutang putih. Dan pedang pendek menghiasi setiap pinggang. Juga kepala kuda dihiasi dengan warna-warni bunga-bungaan sedang abah-abah dengan kuningan dan perunggu. Umbul-umbul kecil berkibar-kibar di tengahtengah, di depan Sultan.
Tak pernah Demak, apalagi Jepara, menyaksikan pasukan kuda berbaris sepanjang dan seindah itu. Dan mereka berangkat tanpa sepengetahuan Majelis Kerajaan.
Di Jepara sebagian besar pasukan berpawai ke sekeliling kota suatu pameran kekuatan darat yang tak pernah sebelumnya dalam sejarah Jepara.
Sebagian kecil pasukan mengiringkan Sultan untuk mendapat Gusti Ratu Aisah.
Trenggono disambut oleh ibunya di pendopo. Pasukan kuda yang mengiringkan berbaris mengelilingi rumah itu seakan sedang mengepungnya.
Ratu Aisah duduk di atas bangku kayu berukir. Di lantai duduk para inang, sedang Trenggono duduk di atas kursi di hadapannya lebih tinggi, karena dialah Sultan.
Ratu Aisah mengenakan kain batik, kemben wulung dan selendang batik. Pada kepalanya seperti biasa, menghias kerudung batik pula. Sultan mengenakan jubah sutra kuning dan bersorjan kuning pula. Sorban itu berhiasan rantai mas dengan intan bertaburan pada jumbai balik di atas kening juga bernama kuning. Ratu Aisah bertelanjang kaki. Sultan mengenakan terompah kulit.
Pertemuan ini adalah suatu kejadian yang akan menentukan nasib Jawa dan Nusantara di waktu dekat mendatang dan jauh di kemudian hari pertemuan antara ibu dan anak, perbenturan antara dua pandangan dan pendapat.
Ratu Aisah memutar-mutarkan tangkai bunga kuning dengan jari-jari tuanya. Bunga itu bermain-main di atas pangkuannya, bolak-balik seperti roda kereta Dengan senyum pada bibir yang dihiasi merah sirih dan dengan suara lemah ia berkata: Sembah dan sujud putranda Baginda Sultan adalah laksana siraman air sejuk di hati bunda dalam terik berapa tahun. Alhamdulillah Baginda Sultan tiada malu menengok si tua-renta ini. Maklum Baginda Sultan adalah putra Sultan dan Khalifah, sedang si tua-renta ini hanya anak seorang guru agama di pesisir.
Ah. ibunda Ratu. seakan kata-kata itu telah ibunda pilih agar tak terulang lagi yang telah ibunda Ratu ucapkan pada kakanda Unus almarhum. Apakah kasih ibunda Ratu pada almarhum harus mengurangi kasih pada sahaya"
Jangan menjadikan kecil hati Baginda Sultan. Seorang ibu mengasihi semua putranya , jawab Ratu Aisah, dan tangannya masih terus juga memutar-mutar tangkai bunga itu.
Ada terasa di hati besarnya kasih tiada sama, ibunda Ratu.
Apa hendak dikata. Kadang ada seorang putra yang lebih memesrai seorang ibu, kadang seorang ibu lebih dimesrai, kadang seorang putra lebih dimesrai karena apa yang telah dipersembahkannya pada ibunya.
Berilah sahaya waktu dan kesempatan, Ibunda Ratu, untuk mendapatkan kemesraan yang merestui itu, kata Trenggono dan ditudingnya pasukan kuda yang berbaris di luar. Pasukan kuda, Ibunda Ratu, kebanggaan Trenggono dan Demak .
Syukurlah ada pasukan kuda peninggalan ayahanda almarhum dan dikembangkan oleh kakanda Baginda Sultan Unus almarhum: Sungguh patut jadi kebanggaan . Baru di tangan Trenggono mendapatkan bentuknya . Syukurlah. Allah telah mengabulkan .
Ibunda Ratu, Kakanda Unus almarhum telah mempersembahkan pertempuran Malaka ke bawah kaki Ibunda Ratu. Trenggono akan persembahkan seluruh Jawa ke bawah duli kaki Ibunda. Tidak akan lama lagi, ibunda Ratu, dan seluruh Jawa akan sujud padamu. Insya Allah. Kalau tangan seorang raja Demak mulai menggenggam tanah, tak sebutir pun pasir akan lolos dari jari-jarinya.
Butir-butir pasir pesisir itu bukanlah gumpalan tanah lempung pegunungan, Putranda Baginda Sultan. Putranda Sultan tidak dilahirkan di pantai seperti ibunda ini, tapi di atas gumpalan tanah lempung pegunungan. Ibunda dilahirkan di pesisir Gresik maka tahu tentang pasir.
Trenggono tak mengindahkan dan meneruskan: Tak sebutir pasir pun akan lolos. Sebutir pun Peranggi takkan memperolehnya.
Pasir telah tergenggam di tangan Peranggi di sebelah utara sana.
Yang di utara takkan berarti tanpa selatan. Mungkinkah Putranda Baginda Sultan" Mungkinkah tangan itu dapat mengepal menggenggam kalau darah kehidupan tak ada di dalamnya"
Tangan Trenggono bukan tangan bangkai! Trenggono memotong gusar.
& karena nadi darah kehidupan mengalir adalah selat Semenanjung di utara sana"
Sultan Trenggono tak pernah mengatakan nadi darah kehidupan ada di selat, karena Demaklah jantung kehidupan .
Apalah artinya jantung tanpa darah kehidupan" Dan dapatkah jari-jari menggenggam mengepal tanpa darah" Karena tanah dapat digenggam, dan air tidak . Kalau orang menolak air, pasir takkan didapatnya, darah pun hanya sekedar untuk bertumpu agar tak tenggelam. Bukankah laut lebih luas dan lepas dari pada darat"
Sekali lagi Trenggono tak mengindahkan. Ia kepalkan tangan jadi tinju dan diusap-usapnya di hadapan ibunya. Betapa indah tangan yang sudah terkepal jadi tinju . Putranda Baginda Sultan, bayi lahir dengan mengepalkan tinju, o-rang mati meregangkan jari-jari. Dia takkan mengepal lagi. Tapi bayi itu tidak mengepal tanah. Dia mengepal hari depan. Apakah juga indah kalau kepalan itu dihadapkan pada seorang wanita, dan wanita itu ibundanya sendiri, dan tak ada hari depan di dalamnya"
Ampun, Ibunda. Dijauhkan putranda ini hendaknya dari menghadapkan pada Ibundanya sendiri. Tapi tinju ini memang dihadapkan, insya Allah, dikodratkan, insya Allah, ditakdirkan, insya Allah, untuk mengepal pulau Jawa, Ibunda Ratu, dan tidak lain dari restu Ibunda Ratu jua sahaya pohon.
Dengarkan kata-kata seorang ibu, biarpun putranya telah raja, kata Ratu Aisah terburu-buru, kuatir Sultan akan segera pergi karena marah, tak ada indahnya sebuah kepalan, sebuah tinju, kalau mata tidak melihat. Mata yang jeli lebih indah, putranda Baginda Sultan, karena tiada mata, jangankan satu, satu laksa tinju pun takkan dapat merebahkan batang jarak, mereka tak tahu tempatnya, tak tahu sasarannya. Dia pun takkan mengepal, apalagi meninju. Dia hanya akan gerayangan.
Orang melihat Trenggono menjadi gugup. Sudah beberapa bentar ibunya berhenti bicara. Ia masih juga belum menemukan kata. Sunyi-senyap di seluruh pendopo. Dan Ratu Aisah tetap memutar-mutar tangkai bunga.
Ibunda Ratu , terdengar Trenggono bicara dengan nada rendah, biarlah mata yang jeli itu melihat sebaik-baiknya, dan biarlah tangan itu mengepal dan meninju sebaikbaiknya, pula.
Trenggono berpaling ke belakang pada para pembesarnya. Seorang pun tak membantunya bicara. Dan Ratu Aisah mengawasi putranya dari tempat duduknya.
Ibunda Ratu, katanya lagi. Jari-jari putranda akan mencengkam ke arah matari terbit dan ke arah matari tenggelam, agar surya tetap memancar di atas kepala, di atas bumi Demak. Kakanda Unus almarhum& Peranggi tidak dikalahkan, tangannya kosong, jari-jarinya terburu merenggang. Tak ada air dan tak ada tanah pernah digenggamnya.
Dan pada waktu itu Kakandamu Unus almarhum pulang membawa kekalahan. Peranggi belum lagi sekuat sekarang. Maka dibangunkannya armada perkasa, dan kekalahan dan cedera dibawanya pulang ke Jepara. Sekarang Peranggi lebih kuat, kata Ratu Aisah tanpa bahasa kias lagi, selat mutlak di tangan dia, menutup hari depan Jawa dan Nusantara. Kecuali bagi dia yang berani, tabah, dan bermata jeli, dapat jadi penantangnya. Jawa dan Nusantara tanpa selat, apalah artinya" Mata jeli pun tidak berguna bila tinju memukul saudara-saudaranya sendiri bukan musuhnya .
Ibunda Ratu& . Dengarkan Kakandamu almarhum: Barangsiapa berpendapat menguasai Jawa lebih penting daripada menghancurkan Peranggi dia akan dikutuk oleh anak-cucu, karena sudah tahu sebelumnya, pendapatnya itu telah menyerahkan si anak-cucu untuk jadi terkaman Peranggi sudah sejak dalam kandungan ibunya.
Peranggi akan dihadapi di darat. Hampir setiap bocah mengatakan begitu .
Maka darat harus dikuasai , sekali lagi Trenggono menengok ke belakang. Kalian! Persembahkan sampai di mana kesanggupan kalian .
Kepala dan hati patik sekalian sudah patik pertaruhkan untuk mempersembahkan seluruh Jawa ke bawah duli Kanjeng Gusti Sultan , seseorang mempersembahkan.
Begitu Unus wafat . Ratu Aisah meneruskan tanpa mempedulikan kata persembahan pembesar pasukan kuda Demak. Pasai segera direbutnya. Sekarang Peranggi sudah mencoba-coba di Sunda Kelapa dan Blambangan. Apa bakal terjadi lusa"
Lusa Sunda Kelapa dalam genggaman Trenggono, Ibunda Ratu. Jangan kuatir. Sultan Demak menjanjikan: Peranggi takkan mengusik pulau Jawa selama dia masih hidup .
Ratu Aisah bangkit dari bangkunya, mendekati Trenggono menyerahkan tangannya untuk dicium.
Suasana hening tanpa perbenturan itu, menampilkan mereka seperti seorang ibu muda dengan seorang anak bayinya. Wanita tua itu memegangi kedua belah pipi Sultan dan menatap wajah Sultan dengan mata sayu, dan mata itu berkaca-kaca.
Trenggono tak berani menentang mata itu dan menunduk. Rasa-rasanya pertikaian telah punah, tak ada lagi jarak antara ibu dan anak.
Percakapan terbuka dan terdengar setiap orang yang hadir kini berubah jadi bisikan, dimulai oleh Ratu Aisah: Putranda Baginda Sultan, waspadalah terhadap racun. Biar setitik raksasa pun bisa binasa, jari tak dapat bergerak lagi apa pula tangan. Dan setiap pikiran yang keliru adalah racun, bisa membunuh setiap raja. Barang siapa tak waspada, dia bisa tewas sepuluh kali sebelum mati. Dan racun itu selamanya bersumber pada pikiran sendiri.
Trenggono melepas kedua belah tangan ibunya dari mukanya Mukanya masih tetap menunduk.
Ibunda Ratu, bisiknya kembali, mata yang jeli dikodratkan untuk melihat, dan apa guna jari-jari dan tangan kuat kalau bukan untuk menggenggam" Mata yang jeli dan tangan yang kuat diketahui hanya pikiran yang jernih.
Tak taulah aku kapan Allah akan memanggil diri. Rasarasanya tidak akan lama. Sebelum panggilan datang, Trenggono, anakku, hapuskan darah abangmu yang kau kucurkan di bumi Allah ini. Tanpa ampun-Nya takkan ada sesuatu dari pekerjaanmu mendapat berkah. Persembahkan suatu kebahagiaan semua orang dan para almarhum dan pada Tuhanmu sendiri: satu perang pengusiran atas Peranggi dari Malaka, Pasai dan Nusantara. Armada raksasa Unus janganlah dibiarkan tenggelam sebelum menempuh perang. Masuki semenanjung, jangan kecewakan setiap dan semua orang.
Waktu Aisah menolakkan bahu Sultan supaya pergi, orang melihat mata wanita tua itu semakin berkaca-kaca. Bunga di tangannya jatuh di lantai tanpa disadarinya. 0odwo0
28. Tuban dalam Suasana Baru
Seluruh Tuban kembali dalam ketenangan dan kedamaian kota dan pedalaman. Sang Patih Tuban mendiang telah digantikan oleh Kala Cuwil, pemimpin pasukan gajah. Nama barunya: Wirabumi. Panggilannya yang lengkap: Gusti Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi. Dan sebagai patih ia masih tetap memimpin pasukan gajah, maka Kala Cuwil tak juga terhapus dalam sebutan.
Pasar kota dan pasar bandar ramai kembali seperti sediakala. Lalu lintas laut, kecuali dengan Atas Angin, pulih kembali.
Sang Adipati telah menjatuhkan titah: kapal-kapal Tuban mendapat perkenan untuk berlabuh dan berdagang di Malaka ataupun Pasai.
Tapi penghasilan bandar tetap saja tak dapat lagi menutup kemerosotan besar.
Semua pengaturan praja dilalukan oleh Kala Cuwil. Sang Adipati sendiri telah kehilangan perhatiannya terhadap segala-galanya. Ia tak pernah lagi memeriksa bandar atau berburu, bahkan tak pernah lagi keluar dari kadipaten. Bercengkerama di taman kesayangan di tentang kandang gajah pribadi pun tak lagi. Beberapa kali pesta tahunan seni dan olah raga dan pesta laut berlalu tanpa perhatiannya.
Dan di kadipaten sendiri Idayu tak pernah muncul lagi dari tariannya.
Sejak padamnya pemberontakan Rangga Iskak Sang Adipati tak pernah sehat, telah kehilangan semua kegesitan dan kesegarannya. Ia nampak sudah sangat tua. Semangat dan dayanya hilang. Jalannya telah tertatih-tatih dan sudah tidak bisa tegak lagi.
Rangga Iskak telah nyata tewas, kekuatannya telah tumpas. Semestinya sudah tak ada lagi sesuatu yang merusuhi pikirannya. Tapi tidak, pikiran lain selalu datang mengganggunya: penyesalan karena saudara sepupunya yang muda itu Patih Tuban yang terbunuh secara tidak layak tanpa perlawanan oleh seorang anak desa bernama Wiranggaleng. Juga penyesalannya telah membohongi Adipati Unus mendiang tak pernah dapat dibohonginya dengan alasan, bahwa Unus ini juga yang telah merampas Jepara dari tangannya. Penyesalan lain yang juga merusuhi pikirannya: ia tak dapat mengambil sesuatu tindakan sebagaimana ia sendiri kehendaki terhadap Wiranggaleng. Semestinya anak itu tidak dikaruniai dengan sesuatu jabatan, tak perlu ditampilkan hanya untuk menaikkan nama Idayu. Semestinya dia segera ditumpas setelah adanya persembahan tentang persekongkolannya dengan Rama Cluring mendiang. Dan cemburunya masih juga dapat dirasainya karena anak itu ternyata dihormati, dicintai dan didengarkan oleh kawula Tuban. Malah pemimpin-pemimpin pasukan seperti orang kehilangan akal mendengarkan dan mematuhinya. Anak desa yang lancang itu& .
Sebagai seorang penguasa mutlak tanpa seorang pun dapat menghalangi kehendaknya, ia sungguh merasa malu tak dapat berbuat sebagaimana ia inginkan terhadap anak desa keparat yang mengangkat diri jadi Patih Senapati Tuban itu. Masih sering terbayang-bayang dalam ingatannya peristiwa yang satu itu. Waktu itu hari penghadapan pertama setelah padamnya kerusuhan Rangga Iskak. Balairung itu pun sudah lama kosong tanpa penghadap. Kadipaten sunyi bahkan mulai terancam bahaya kelaparan. Balatentara Tuban telah ditarik kembali ke Tuban Kota oleh Wiranggaleng. Namun pendopo itu tetap tiada berpenghadap.
Pada hari itu, ya pada hari itu, tiba-tiba semua berubah. Pasukan pengawal mulai menduduki tempat-tempatnya yang semula. Gapura kadipaten telah berdiri kembali dan rupa-rupanya telah ditukangi orang pada malam hari. Bahan makanan masuk lagi ke dalam gudang perbekalan kadipaten. Dan: Punggawa-punggawa praja, para pembesar dan kepala-kepala pasukan, juga Wiranggaleng, datang bersimpuh menghadap.
Seorang punggawa telah datang menghadap padanya, mempersembahkan datangnya para penghadap.
Jantung tuanya berdebar-debar. Pada punggawa itu bertanya adakah anak desa itu datang menghadap juga. Dan punggawa itu mempersembahkan ada. Ia rasai kekuatan baru bergolak di dalam tubuhnya. Ia harus tumpas anak desa yang lancang itu. Harus! Tak boleh ada selembar rumput pun di dalam praja kadipaten Tuban, yang bisa menghalangi keturunannya sendiri untuk menggantikan dirinya sebagai adipati.
Ia perintahkan jururias melakukan pekerjaannya, dan kembalilah ia jadi Sang Adipati yang dulu juga, hanya telah berubah jadi kakek dengan rambut seluruhnya telah putih dan jalan tak tegak lagi.
Seseorang harus membantunya naik ke atas singgasana gading itu. ia sudah tak kuat mengangkat kakinya setinggi itu.
Tanpa melihat pun ia tahu para penghadap terkejut melihat perubahan pada dirinya itu. Bahkan jari-jarinya pun kini terus menggeletar tanpa semaunya sendiri. Matanya redup kehilangan sinar hidup. Pipi cekung kempot dan tergantung.
Begitu duduk di atas singgasana, ia tak menanyai patihnya, karena dia sudah tiada. Juga ia tidak menanyai seorang tertentu. Langsung ia bertanya pada siapa saja. pada siapa saja, pada semua.
Bagaimana kerusakan yang diderita oleh kawula kami di pedalaman"
Dan semua penghadap melihat pada Wiranggaleng, Sang Patih Senapati Tuban.
Dengan hati berat Wiranggaleng, Patih Senapati tanpa pengangkatan itu, mempersembahkan, kerusakan tidaklah sebesar yang diharapkan oleh Sunan Rajeg, kemudian meneruskan dengan sangat hati-hati: Sunan Rajeg telah kedapatan tewas dalam gua Gowong beserta pengikutpengikutnya terakhir. Gusti Adipati Tuban sembahan patik.
Siapa mempersembahkan itu"
Patik, Gusti, Syahbandar-muda, kepala pasukan laut, si Wiranggaleng .
Adakah kau sudah jadi patih maka jadi orang pertama yang mempersembahkan"
Telah hamba bunuh Patih Tuban karena keraguraguannya.
Maka itu kau anggap dirimu Patih Tuban" Ampun. Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, Kala Cuwil menengahi. Adapun Sang Patih Senapati Tuban Wiranggaleng telah tumpas kerusuhan besar itu, Gusti. Ampunilah dia karena tiada tahunya tentang adat praja maka telah menyebutkan nama kotor si perusuh itu di hadapan duli Gusti Adipati. Ampun, Gusti, memang besar keragu-raguanlah yang telah menewaskan Gusti Patih almarhum. Dan itulah sesungguhnya bea untuk kemenangan Tuban. Maka itu sudah sepatutnya Sang Patih Senapati Tuban Wiranggaleng dikukuhkan oleh Gusti Adipati akan jabatannya itu .
Ampun. Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, tidak lain dari Senapati Wiranggaleng yang merajang-rajang balatentara perusuh yang terlampau kuat itu sampai berkeping-keping, Gusti, tak berdaya dan binasa, musnah . Banteng Wareng menambahkan.
Adakah kalian mengira. Adipati Tuban bersinggasana pada hari ini untuk mendengarkan puji-pujian untuk si pelancang , suaranya lambat dan pelahan. gemetar namun tegap.
Suasana penghadapan untuk ke sekian kalinya menjadi tegang. Seorang yang telah memimpin mereka ke arah kemenangan sedang menghadapi keruntuhan di hadapan penguasa mutlak yang tak pernah dapat ditawar keputusannya itu. Semua mata tertuju pada anak desa, yang masih juga duduk menekur tak tahu apa harus diperbuatnya.
Siapakah orangnya yang menempatkan dia di tempat terhormat itu"
Wiranggaleng menyembah, kemudian beringsut-ingsut duduk dengan para kepala pasukan.
Dan semua menjadi gelisah memperhatikan Sang Senapati tanptt pengangkatan itu duduk menunduk di samping rangkum.
Siapakah orangnya yang mendapatkan dia pada barisan kepala pasukan" Sang Adipati menetak lagi dengan suara lambat, perlahan gemetar namun tegap dan dingin.
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik , kata Kala Cuwill adapun Wiranggaleng telah menempati tempatnya sendiri sebagai kepala pasukan laut .
Adakah patut seorang pelancang mendapat kehormatan semacam itu"
Sekali lagi anak desa itu mengangkat sembah dan beringsut ke barisan di belakangnya lagi, barisan pembesar praja. Tak ada di antara kepala pasukan berani bersembah.
Suasana yang tegang dan menggelisahkan terasa begitu lama dan tak bakal habis.
Tiba-tiba terdengar seseorang bicara dalam Melayu, dan semua mata terarah kepadanya.
Tiada patut di mana pun dalam kadipaten ini, ya Gusti Adipati Tuban yang bijaksana. Yang berdosa tidak mungkin berjasa, yang berjasa tidak mungkin berdosa, kata pantun nasihat .
Kau benar, Tuan Syahbandar Tuban .
Dan Wiranggaleng mengangkat sembah lagi, beringsut ingsut jauh dan lama meninggalkan pendopo, duduk di pelataran.
Majulah kau. Kala Cuwil, di hadapan kami, karena kaulah Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi. Dan perhatikan semua titah kami lakukan semua urusan Tuban dan prajanya. Jangan sampai ada pelancang mendapat kesempatan bagaikan durjana temukan mangsa. Dengan kau tiada kan ada ancaman terhadap Tuban .
Kala Cuwil beringsut maju sambil menyembah. Sengaja kami biarkan jenasah Sang Patih melekang di alun-alun sebagai hukuman bagi si pembangkang. Beruntunglah dia karena keluarganya tiada ikut tertumpas. Dan apakah hukuman yang patut bagi si pelancang"
Sang Adipati menunggu sokongan dari semua penghadap. Berkali-kali ia tebarkan pandang ke seluruh penghadapan. Dan ia lihat setiap kepala menunduk. Tak ada sembah terangkat, la tahu tak mendapatkan sokongan. Kemudian ia berpaling pada Kala Cuwil Sang Wirabumi dan minta pendapatnya.
Ampun, Gusti, tak ada pelancang di antara kawula Sang Adipati sembah Kala Cuwil.
Tiadakah kau sendiri dengar titah kami: apa hukuman yang patut bagi pelancang" Dengarkan semua: bagaimana pembangkang harus jalani hukumannya"
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Sang Patih Tuban almarhum , Kala Cuwil bersembah dengan gugup, telah menjalani hukumannya sebagai pembangkang, tewas di ujung keris. Patik sebagai Patih Tuban Sang Wirabumi tidak akan sanggup melaksanakan dan menjatuhkan hukuman yang dititahkan terhadap senapatinya, kecuali bila Senapati menentukah sendiri hukumannya dengan sukarela .
Apa hukuman yang patut untuknya" Kala Cuwil berpaling ke belakang dan berseru: Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi bertanya padamu. Senapatiku, Wiranggaleng, apakah hukuman yang patut untukmu"
Dari tempatnya di pelataran pendopo Wiranggaleng menjawab dengan suara lantang: Tidak ada yang patut. Hanya, bila Wiranggaleng ini akan dihukum juga , serunya, perkenankan dia menanam mayat Sang Patih almarhum dengan sebaik-baiknya dulu .
Usir dia dari Tuban! bisik Sang Adipati gemetar. Direjam sampai mati, Gusti Adipati yang bijaksana , Tholib Sungkar Az-Zubaid bersembah, seorang pelancang adalah juga pengkhianat .
Sang Adipati melambaikan tangan pada Kala Cuwil Sang Wirabumi, dan memerintahkan padanya untuk menolong turun dari singgasana. Dan orang pun terheranheran melihat Syahbandar Tuban meninggalkan tempatnya dan ikut masuk ke dalam kadipaten.
Kala Cuwil kembali ke pendopo, menghadapi pada penghadap dan memerintahkan mereka bubar. Mereka membubarkan diri dan mengerumuni Wiranggaleng. Semua menawarkan tenaga untuk membantu merawat sisa-sisa jenasah Sang Patih Tuban.
Ia menolak. Biar aku kerjakan sendiri. Tak lain dari aku yang lebih mengetahui betapa aku menghormatinya sampai ke dasar hatiku. Kata-katanya yang terakhir jadilah perintahnya terakhir untukku: anak desa akan kembali ke desa. Aku akan kembali .
Kami akan antarkan . Apakah yang dapat kami sumbangkan" Senapatiku! Senapatiku!
Terimakasih, semua. Beri aku seekor kuda yang baik dengan abah-abahnya yang baik pula .
0o-dw-o0 Setelah melaksanakan pembakaran sisa-sisa jenasah dengan saksi para pembesar praja, para kepala pasukan dan semua yang mencintainya, ia dekati Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi, yang sedang memegangi kendali kuda.
Sepeninggalku, Kala Cuwil , ia berpesan pada sahabatnya awaslah pada Demak. Guruku, Rama Cluring, sudah lebih dahulu memperingatkan .
Panglimaku! Kala Cuwil tak mampu meneruskan. Wiranggaleng melompat ke atas kudanya. Senapatiku, mari kami antar .
Jangan . Senapatiku tak membawa sesuatu pun, pedang tidak, tombakpun tidak.
Orang mengulurkan cambuk perang. Ia tak menerimanya.
Anak desa pulang ke desa. Dia tak memerlukan senjata .
Kala Cuwil merangkul kaki Senapati, dan berbisik: Tak mungkin Tuban tanpa Senapatiku .
Wiranggaleng mencambuk kudanya dan hilang di balik debu jalanan di kejauhan.
0o-dw-o0 Peristiwa pengusiran itu selalu merusuhkan hati Sang Adipati. Betapa ingin ia menumpas sama sekali orang itu seorang anak desa yang langsung menghabisi jiwa seorang ningrat keturunan maha Majapahit. Dia berani mengangkat diri jadi Sang Patih Senapati Tuban. Bila dibiarikan semua aturan akan rusak binasa. Dan pengusiran adalah hukuman terkeras yang ia bisa lakukan. Tak bisa lebih. Semua kepala pasukan berontak terhadap dirinya.
Beban lain yang memberati hati Sang Adipati adalah hilangnya pafit putra yang mengabdi pada Demak. Menengok ke Tuban mereka tiadak lagi, apalagi menghadap. Beritanya pun tiada pernah sampai lagi. Dan ia sendiri sudah merasa tua. Siapakah Adipati Tuban setelah dirinya" Siapakah dia, yang berhak mendapatkan gelar Adipati" Ia tak mampu bayangkan. Kemenakankemenakannya ditimbangnya terlalu lemah, bukan pribadi yang bakal mampu jadi penguasa Tuban yang berat dipikul berat pula dijinjing. Dan ia tak rela Tuban jatuh ke tangan salah seorang dari kepala-kepala pasukan yang semua bukan berdarah ningrat. Apalagi Wiranggaleng, si lancang. Dan justru yang akhir ini orang yang paling akhir dapat menggenggam Tuban. Tidak, ia tak rela.
Hari-harinya yang sunyi ia lewatkan di dalam harem. Atau ia rebahkan diri di peraduan dan memanggil Tholib Sungkar Az-Zubaid untuk mendongengkan kisah seribu satu malam atau berita berangkai dari cerita Amir Hamzah, yang langsung dilisankannya ke dalam Melayu. Atau ia minta diceritai tentang negeri-negeri jauh di atas Atas Angin.
Dan Syahbandar Tuban seorang yang pandai bercerita. Gerak tangannya yang mempesonakan dan turun naik bongkoknya memberi hidup pada ceritanya. Pada bagianbagian tegang ia melambai-lambaikan tangan dan bertepuktepuk dan menyebut-nyebut, seakan ia sendirilah saksi hidup atas ceritanya. Dan bila cerita itu sampai pada bagian asyik-masuk, ia berkecap-kecap dan meremas-remas tangan, dan bila sampai pada antiklimaks, seakan-akan ia melolong meratapi.
Ia sendiri memang suka bercerita, dan mungkin terlalu lama hidup di alam troubadour dusun-dusun di Ispanya, Zanggi dan bukan Zanggi.
Sekali ia pernah bercerita tentang negeri kelahirannya, Ispanya, tentang bangsanya yang periang dan penari dan tentang sejarah negeri itu, dan tentang penyerbuan pasukan Arab dan tentang Al Tarik yang menyerbu dengan kudanya, dengan kudanya pula memasuki rumah-rumah dan istana. Dan ia bercerita tentang pembangunan mesjid dan istanaistana di Ispanya, terindah yang pernah dilihatnya dalam hidupnya. Ia takkan melewatkan cerita tentang gadis-gadis Zanggi perbegu yang menari seperti kesetanan, dan tentang peramal-peramal Zanggi, dan tentang jatuhnya kekuasaan Muawiyah di Iberia.
Sekali ia pernah bercerita tentang bangunnya armada Peranggi dan Ispanya. Dan ia tetap tak pernah bercerita tentang dirinya sendiri.
Apabila ia minta diri, ia tiada mendapat sesuatu jawaban dari Sang Adipati, karena pendengar-tunggalnya telah berkeruh dalam tidurnya.
Sekali peristiwa waktu ia minta diri terdengar olehnya Sang Adipati merintih dan mengeluh. Ia mendekat dan menanyakan apa yang dideritanya.
Ah, Tuan Sayid , jawabnya, sekiranya diri masih muda& dengan kekuatan utuh dan badan penuh& . Gusti Adipati masih muda, belum tua .
Membawa diri sendiri pun sudah tak mampu, Tuan Sayid. Betapa indahnya hidup muda& .
Dan dengan demikian Syahbandar Tuban jadi penghadap tetap dalam kadipaten.
Orang menduga, orang Moro itu akan mendapatkan kekuasaan yang lebih besar lagi dari Sang Adipati. Ternyata dugaan itu keliru. Penguasa Tuban itu tetap membatasi wewenang Tholib Sungkar Az-Zubaid. Apalagi setelah Kala Cuwil Wirabumi tampil menjadi patih.
Dari sehari ke sehari, dari tahun ke tahun keadaan Sang Adipati tidak menjadi lebih baik, juga tidak lebih buruk. Ia tak pernah melalaikan ramuan-ramuan yang dipersembahkan kepadanya. Dan Tholib Sungkar Az- Zubaid terus juga menghadap untuk bercerita. Dan setelah cerita yang diketahuinya habis, mulailah ia mendongeng tentang khayal yang tumbuh sendiri dalam kepalanya. Dan waktu daya khayalnya akhirnya kering juga, sebagai air bah mengalirlah segala kebohongannya.
Syahbandar itu sudah tak tahu lagi mana yang benar. Sang Adipati yang membutuhkan ceritanya atau dirinya sendiri yang ta. Ia membutuhkan waktu sampai Portugis celaka yang tak juga muncul dengan armadanya datang ke Tuban, dan barulah ia merasa aman.
Di pembaringan juga Sang Adipati menerima utusan atau duta-duta kabupaten atau kerajaan lain, dengan atau tidak disertai oieh sang Patih. Penghadapan hanya sebentar saja dihadirinya sebagai syarat, kemudian Sang Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi dititahkan meneruskan segala urusan.
Sang waktu dirasainya terlalu lama beredar. Hari-hari menunggu datangnya Sang Maut, dan ia akan menyambutnya dengan senang hati dan perasaan terimakasih. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Dan yang datong justru yang lain lagi: seorang utusan dari Jepara.
Orang itu adalah Aji Usup yang dahulu pernah diterimanya di taman kesayangan di tentang kandang gajah pribadi.
Gusti Adipati Tuban yang mulia , ia bersembah. Demak dan Jepara ikut berprihatin dengan gering Gusti. Itulah sebabnya patik datang: menghadap, menyampaikan salam dan hormat dan doa segera sehat kembali dengan karunia Allah dari Gusti Ratu Aisah, serta dibenarkan oleh Gusti Kanjeng sultan Trenggono .
Sang Adipati melambaikan tangan menitahkan semua orang keluar dari bilik peraduan kecuali Sang Duta. Juga Kala Cuwil pergi setelah mengangkat sembah.
Aji Usup mempersembahkan beribu terimakasih dan syukur dengan hati dan bibirnya memperoleh kesempatan untuk menghadap tanpa disertai oleh siapa pun.
Tuan Duta, persembahan apa yang Tuan bawa di dalam hati. Dekat dekatlah sini, agar kami dapat mendengarkan Tuan dengan terang
Aji Usup mendekat sambil membawa tempolong ludah, mempersembahkan dan Sang Adipati membuang ludah sirih ke dalamnya kemudian berbaring lagi.
Dalam keadaan Gusti gering begini, patik merasa tidak patut menyampaikan sesuatu yang penting, Gusti .
Gering begini kami tetap masih Adipati Tuban, Tuan Duta. Kesempitan kesempitan dari hati Tuan .
Ampun, Gusti Adipati, sebagai duta, patik ingin mendapat amanat dari Gusti, adalah kiranya Gusti Adipati Tuban berkenan sudi sekali lagi melayangkan minat pada suatu persekutuan membentuk armada gabungan untuk menggempur Malaka, menghalau Peranggi"
Mendengar itu Adipati Tuban mencoba duduk di pembaringan dan Aji Usup membantunya.
Ulangi lagi persembahan Tuan Duta .
Dan Aji Usup mengulangi kata-katanya: Sang Adipati kini menggantungkan kaki keluar dari pembaringan, mengangguk-angguk dan pada mata tuanya yang memburam itu memancar sinar hidup.
Aji Usup buru-buru menyorongkan bangku kaki dengan bantal kaki di atasnya. Nampaknya Sang Adipati sangat berkenan melihat pada kebaikan duta itu.
Lama Adipati Tuban tidak menjawab. Ia kerahkan pikiran tuanya untuk kembali bekerja mengurus praja. Dengan pandang tertuju ke arah pintu tanpa sesuatu pun dilihatnya, ia kenangkan kembali keberangkatan gugusan Tuban ke Malaka untuk menenggang laksamana Adipati Unus dan sekaligus untuk membalaskan dendamnya dengan kebohongan melanggar janji. Kemudian ia menyesal untuk selama-lamanya. Sesal kemudian memang tak berguna. Sekarang duta ini pula menawarkan persekutuan membentuk armada gabungan lagi. Ia menawarkan jalan untuk dapat membebaskan dari sesalan di haritua. Hari-harinya telah dapat dihitung, dan kesempatan ini mungkin takkan datang lagi sampai matinya. Dan ia tak begitu rela mati dengan banyak sesalan. Kini ia akan mendapat kesempatan bagaimana sesalannya bisa tertebus, boleh jadi ia sempat pula menyaksikan gugusan Tuban pulang ke pangkalan dengan kemenangan. Dan namanya takkan jatuh di mata kawula Tuban. Dengan cepat ia dapat temukan cara memberangkatkan gugusan itu sehingga tidak akan merusakkan namanya di mata Ispanya ataupun Peranggi. Ia mengakui masih mengimpikan datangnya persahabatan dari dua bangsa itu. Hanya sekarang, sekarang ini, dengan kesempatan ini, ia tidak akan menomer-satukan lagi. Ia mulai menomor-duakannya. Ispanya dan Peranggi toh tak juga datang membawa persahabatan.
Ketahuilah, Tuan Duta Aji Usup yang terhormat , katanya lunak, telah lama kami pikirkan kemungkinan itu .
Dan Aji Usup segera mempersembahkan terimakasihnya.
Tuban, Tuan Duta, sudah lama bersedia untuk menggunakan kesempatan itu .
Ya, Gusti Adipati Tuban yang mulia, kesertaan gugusan Tuban insya Allah akan menjamin kemenangan, Gusti, semoga Allah s.w.t. merah-mati Gusti dengan kesehatan, kenikmatan dan panjang usia .
Hanya kami tak mampu menyediakan kapal . Aji Usup menyembunyikan kekecewaannya. Tapi Sang Adipati dapat menangkap perubahan pada airmukanya.
Berdasarkan pengalaman yang lalu, Tuan Duta yang terhormat, kamu merasa malu mengirimkan kapal-kapal kami yang takdapat tiba waktunya, tak mampu mengejar keterlambatan. Dapatkah Tuan memahami kelemahan kami"
Besarlah sudah kemurahan Gusti Adipati Tuban. Berapakah kiranya besarnya pasukan yang Gusti relakan untuk armada gabtungan itu, Gusti"
Lima ratus, tidak kurang seorang pun, Tuan Duta, tepat seperti dahulu. Hanya kami memang merasa malu menggunakan kapal-kapal kami sendiri yang sudah tua, jauh tertinggal dari kapal-kapal bikinan Jepara . Dan Aji Usup masih juga belum dapat bayangkan bagaimana harus mendapatkan kapal untuk mengangkut lima ratus orang dengan persenjataan dan perbekalan. Ia termangu-mangu.
Kapal perang Tuban cukup baik, Gusti Adipati, sebagaimana pernah patik saksikan, malahan patik pernah membawa sendiri guguasan dari Banten sampai di atas Tumasik ,
Tidak, Tuan Duta, kami sudah cukup mendapat malu dengan kapal-kapal itu, sedang yang baru kami belum lagi bikin. Keadaan laut tidak begitu memberanikan kami membikin yang baru. Janganlah berkecil hati karena prajurit laut Tuban adalah sesungguh-sungguh prajurit .
Besarlah kemurahan Gusti Adipati. Tuban akan melimpahi Gusti dengan berkah, yang insya Allah tiada kan putus-putusnya. Ampun Gusti, apabila Gusti berkenan bolehkah patik mengetahui siapa gerangan calon Panglima gugusan Tuban"
Tentu, dengan panglimanya sekali, panglima tanpa tandingan tuan Duta Wi-rang-ga-leng, Senapati Tuban .
Aji Usup mengangkat sembah tiga kali untuk menyatakan terimakasihnya. Hilang semua keraguraguannya. Wiranggaleng jadi lebih berharga daripada lima buah kapal perang Tuban. Dia pun kepala pasukan laut Tuban, Tuan Duta . Hampir-hampir duta itu tak dengar kata-kata Sang Adipati yang terakhir. Ia sedang mengenangkan mendapat Liem Mo Han Wiranggaleng, itulah pimpinan perang tanpa tandingan untuk melaksanakan rencana Persekutuan. Ia pernah menyatakan lebih suka mendapat orang itu dengan atau tanpa pasukan, bahkan tanpa kapal sebuah pun. Duta itu memohon diri dengan bersuka cita! Malam itu Sang Adipati tidur nyenyak tanpa cerita Tholib Sungkar Az-Zubaid, Syahbandar Tuban. 0odwo0
29. Lahirnya Persekutuan Rahasia
Sebelum Aji Usup menghadap Adipati Tuban sebenarnya telah terjadi sesuatu yang penting baik di Jepara maupun Demak. Dan kejadian itu adalah demikian: Memang tiada seorang pernah menduga, Sultan Trenggono sudi bersujud pada kaki Ratu Aisah, bahkan mencium kaki tua itu tiga kali berturut-turut. Ia masih tetap bersujud waktu Ratu Aisah telah pergi meninggalkannya.
Sultan menegakkan badan dan agak lama masih juga diam berlutut. Waktu ia berdiri orang melihat matanya merah. Tanpa bicara dan hanya dengan menuding dengan cambuk kuda ia menuju ke luar rumah diiringkan oleh semua pembesar pasukan kuda.
Sampai di pelataran Sultan masih memerlukan menghadap pada rumah itu dan sekali lagi mengangkat sembah dalam tegak berdiri. Kemudian ia menaiki kudanya.
Dan pasukan kuda itu pulang ke Demak meninggalkan kepulan debu tanah Jepara di belakangnya.
Tak ada yang tahu apa sesungguhnya telah dibisikkan oleh ibu dan anak yang nampaknya begitu mesra itu. Perdamaian, orang menduga. Kalau perdamaian itu tak lain artinya daripada terjadi kompromi antara dua pandangan dan dua pendapat. Bagaimana bentuk kompromi itu" Orang pun tak tahu. Dan orang menduga-duga, armada Demak akan jadi menyerang Malaka sedang pasukan darat yang tertinggal akan mencekam seluruh pulau Jawa, dari Blambangan sampai Pajajaran. Kompromi kira-kira, orang menduga, adalah pedang bermata dua: Demak akan menyerang Malaka sekaligus menguasai Jawa.
Dugaan-dugaan itu terbantah sendiri oleh keraguan bahwa Demak takkan mungkin mengeluarkan biaya sebanyak itu.
Tetapi di luar Demak, kecuali Tuban yang masih dalam keadaan lelah sehabis perang dalam negeri, ada kompromi atau tidak antara Sultan dengan Ratu Aisah. Demak tetap dianggap sebagai kepundan yang setiap waktu akan melanda seluruh Jawa. Mereka menegangkan kesiagaan dan melatih balatentaranya masing-masing. Seluruh Jawa, kecuali Tuban, siap dengan persiapan perang. Beberapa orang bupati -apalagi mereka yang punya ikatan darah atau perkawinan sudah pada membikin persekutuan militer untuk menanggulangi muntahnya kepunday. Dengan adanya persiapan-persiapan itu orang menaksir Tuban sebagai negeri yang paling lemah, akan menjadi mangsa pertama dari Trenggana.
Para bupati pesisir sudah pada mengeluarkan larangan kapalnya untuk menyinggahi Jepara. Akibatnya Jepara terkena boikot dari Jawa sendiri.
Di Malaka, berbulan-bulan lamanya para pembesar Portugis mencoba menemukan apa sesungguhnya diucapkan dalam babak terakhir muan antara Sultan dan Ratu. Mereka berpendapat, berlainan umumnya di Jawa, bila ibu dan anak itu berdamai dalam kesepakatan berarti bersatunya dua pendapat: persekutuan antara raja-raja Nusantara seperti diimpikan oleh Unus ada kemungkinan bisa terlaksana, dan bila demikian halnya nasib belah bumi bagian selatan ini sudah dapat diramalkan.
Portugis akan terusir dari Malaka, Pasai, maluku dan seluruh perairan nya. Perdagangan rempah-rempah sampai Goa seluruhnya akan jatuh ke tangan Pribumi atau saudagar Atas Angin. Perdagangan dan jalanlftra antara Jawa dan Malaka boleh jadi akan jatuh seluruhnya ke tangan Pribumi.
Berdasarkan pendapat itu mereka mengambil tindakan membatasi lagi pelayarannya ke Maluku, tidak lagi memasuki perairan Jawa, dan dipusatkan kekuatannya pada garis Pasai-Malaka, membentuk bentengan laut yang tak bakal kena terjang.
Di Demak sendiri berita-berita tentang pertikaian antara Sultan dan Ratu menjadi padam.
Apakah benar Trenggono akan melaksanakan perang dengan pedang bermata dua" Mengapa Sultan tiba-tiba nampak tak begitu peduli pada pasukan kuda dan pasukan kaki" Sebaliknya, mengapa Jepara sekarang jadi sibuk lagi dan penggalangan kapal-kapal perang digiatkan kembali seakan armada itu sudah akan terangkatkan dalam setengafctujgR mendatang" Bila benar demikian, bukan itu berarti kemenangan mutlak bagi Ratu Aisah" Sebaliknya juga berarti kekalahan bagi Trenggono" sedang bila Ratu yang menang mengapakah belum juga nampak ada usaha kearah persekutuan dengan raja-raja Nusantara.
Maka orang pun dengan cucuknya menunggu-nunggu apakah amanat Sultan Demak.
Dan benar, Sultan mengeluarkan amanat, yang berseru pada para raja dan bupati di Jawa dan Nusantara untuk bersahabat dengan Demak dan untuk bersekutu melawan Peranggi.
Tetapi para penguasa di Jawa tak ada yang menanggapi seruan itu. Mereka pada umumnya menganggap seruan itu sebagai suara khianat dari neraka. Pendapat umum di kalangan prajawan di Jawa adalah: dengan armada gabungan yang akan dibentuk Demak akan dapat mengurangi penggunaan kekuatannya sendiri, memperbanyak kekuatan darat yang ditinggalkannya dan akan menerkam tetangga-tetangganya sendiri dari punggung mereka. Khianat! Khianat! Bukan saja mereka tidak menggubrisnya, bahkan memperuncing kewaspadaannya.
Hanya Adipati Tuban tidak menanggapi semua itu. Ia sibuk dengan persoalan pribadinya sambil menunggu datangnya Sang Maut. Ia sama sekali tidak tahu. Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi telah membikin persiapan-persiapan di perbatasan untuk menggasak membeludaknya pasukan darat Demak. Ia tahu Demak pada suatu kali akan menyerang. Maka ia pasang pasukan kaki dari penduduk sebelah barat Tuban yang dikenakan wajib militer. Ia sama sekali tak gentar terhadap Demak, yang dinilainya tak punya kekuatan gajah. Ia tak tahu, bahwa Demak menganggap enteng pasukan gajah Tuban, yang takkan mungkin menempuh jarak jauh untuk mempertahankan perbatasan. Tapi Kala Cuwil juga yakin dari bukti-bukti dalam sejarah, bahwa pasukan kuda yang sekuat-kuatnya tak pernah bisa menghancurkan pasukan gajah. Demak tak punya dasar untuk menentang Tuban. Hanya raja gila atau nekad berani berbuat demikian. Apalagi pedalaman Tuban sudah mulai pulih kembali dan bandar pun mulai sedikit hidup.
Sang Adipati yang hanya sibuk dengan persoalannya sendiri merasa sangat aman dalam penjagaan Kala Cuwil. Wiranggaleng merasa telah diusirnya tanpa ampun ke desanya kembali. Jauh dari para kepala pasukan ia takkan berdaya sedikit pun. Dia sudah pergi dan para kepala pasukan tak dapat berbuat apa-apa. Dia pun takkan berbuat apa-apa. Dia pun tak bisa berbuat apa-apa di pedalaman sana. Dia akan kembali jadi petani biasa tambah tanpa sesuatu kekuasaan dan pengaruh. Tetapi ia teringat pada Gajah Mada dan Ken Arok kadang timbul pernyataan dalam hatinya: siapa dapat meramalkan apa akan diperbuat, oleh seorang anak desa dungu dan pelancang justru karena dungunya" Dan ia serahkan semua persoalan pada Kala Cuwil juga. Patih yang bijaksana itu akan tahu apa harus diperbuatnya. Biar demikian sesalannya, bahwa anak desa pelancang itu justru dicintai dan dihormati para kawula suka menyesakkan dadanya. Dan ia mengakui tak berani menyingkirkan dari muka bumi.
Maka sekarang ini, sekiranya Demak datang padanya minta tenaga untuk keperluan apa pun, untuk menggempur Malaka, Blambangan ataupun Pajajaran, ia akan serahkan anak desa itu agar tumpas di negeri orang. Barulah duri ini akan hilang dari hari-harinya yang terakhir.
Kala Cuwil mempersembahkan amanat seruan Sultan Trenggono dalam kamar peraduan. Seruan itu adalah laksana lambaian tangan dari sorga. Ia titahkan Sang Patih untuk menunggu datangnya utusan resmi. Tuban tak perlu menjawab. Hanya utusan yang bisa jadi bukti adalah Demak menghormati Tuban atau tidak. Bila dia datang, ia akan mengia kan dengan baik. Tapi sekiranya Demak memukul Tuban secara khianat ia pun sudah sediakan jawabannya: Wiranggaleng akan diangkatnya secara resmi sebagai Senapati Tuban.
Di Demak sendiri, tak lain dari Trenggono yang puas melihat reda nya desas-desus dan pertikaian anak di antara kawulanya. Sekarang yang harus menanggalkan anggapan, bahwa ia seorang anak yiang mursal terhadap ibu. Reda, reda di Demak. Sekarang ia tinggal menunggu kunjungan balasan dari Gusti Ibunda Ratu. Bila itu terjadi, insya Attain semua pendapat akan menyokongnya, di Jawa maupun di luarnya. Kemenangan mutlak akan jatuh ke tangannya.
Di Jepara Ratu Aisah meneruskan kesibukannya dengan masjid Mantingan. Bangunan itu masih juga belum dibuka. Ia akan membukanya nanti sebagai peringatan berangkatnya armada gabungan menyerang Malaka, mungkin juga Pasai, sebagai kenang-kenangan.
Pada salah satu kunjungannya pada mesjid yang belum dibuka itu ia dapatkan Liem Mo Han sudah berdiri menunggunya.
Wanita tua itu menyukai tembikar, apalagi yang tipis seperti kain dengan gambar biru yang nampak bukan berasal dari dunia. Sebalik-nya Babah Liem suka bercerita tentangnya, bagaimana membuatnya, apa bahan-bahannya, dan warna cat tembikar mana yang mengandung racun.
Juga sekali ini: Sahaya sudah banyak menjelajah negeri orang lain Gusti, juga negeri Peranggi sendiri. Belum ada bangsa lain selain leluhur sahaya yang bisa bikin tembikar semacam ini, yang membikin cniipp ini lebih indah dan berharga. Tembikar-tembikar ini, Gusti, dibikin menurut kesukaan Gusti Ratu, bukan hal dibikin dan dipasang. Maka jadilah semua ini lambang, bahwa semua orang Tionghoa di semua Bandar di Jawa menyokong Gusti Ratu, sama seperti kami menyokong Gusti Kanjeng Sultan Al- Fattah dan Gusti Kanjeng Unus almarhum .
Ratu Aisah senang mendengar keterangan itu. Mata tuanya bersinar sinar. Bagaimana pun nama-nama itu begitu dekat dengan hatinya, la mencintai suaminya almarhum dan putranya almarhum.
Kiranya tak ada yang salah dalam kata-kata persembahan sahaya Gusti Ratu. Semua ada terentang dalam khasanah Kelenting Sam Po Khong di Semarang. Tulisan tidak berubah, Gusti, biarpun kata lisan bisa berganti dan berbeda-beda. Juga kami menyokong penghalauan atas Peranggi dari belah bumi bagian selatan ini .
Mereka masuk ke dalam bangunan, meneliti relief itu satu per satu untuk ke sekian kali. Kemudian mereka berhenti pada sebuah relief yang menggambarkan seorang wanita yang sedang menari. Kembali Liem Mo Han mempersembahkan keterangan.
Ini, Gusti Ratu, yang baru dipasang adalah gambar seorang penari dari Mantingan ini juga, yang pertama-tama taubat dan menjadi Islam. Di negeri leluhur sahaya. Gusti, wanita juga suka menari seperti di sini: Kadang-kadang juga tampil sebagai panglima perang .
Mendengar kata-kata terakhir itu Ratu Aisah tak jadi bicara tentang gambar penari itu.
Pernah kami berangsur-angsur, Babah, bisiknya, ah, terengah-engah, sekarang ia tertawa, berangsur-angsur sekiranya jadi pria. Tidak, bukan kami hendak menyalahi ketentuan Allah s.w.t. hanya berangan-angan& sekiranya kami pria, ada praja di tangan& .
Dengan kewibawaan Gusti Ratu, tanpa Gusti sendiri . Liem Mo Han menggarami, Kanjeng Gusti Unus almarhum sudah melaksanakan .
Kau betul Babah . Kanjeng Gusti Itu sudah mempersiapkan armada besar dulu, sudah menyerang Malaka. Sebelum wafat dipersiapkannya lagi, lebih besar. Bukankah hanya dengan kewibawaan Gusti Ratu armada itu bisa bergerak, berlayar, dan membawa tugas yang megah dan agung" Menyelesaikan yang belum terselesaikan oleh Kanjeng Gusti Unus Bukankah armada itu tidak akan diubah jadi armada nelayan, Gusti" Sampai punya pikiran begitu macam"
Ampun. Gusti, jangan menjadi kegusaran Gusti, karena sayang sekali bila demikian nanti akan jadinya .
Armada itu adalah amanat, wasiat, untuk dikirimkan ke Malaka, Babah .
Seorang calon penunggu mesjid mendengarkan semua pembicaraan itu. Melalui dialah berita tentang percakapan itu tersebar ke seluruh negeri, membangkitkan kegusaran pada pasukan kuda dan pasukan kaki Demak.
Tidak lebih dari lima belas hari kemudian seorang yang tidak dikenal telah menghadap pada Ratu Aisah, mempersembahkan: Demak berada dalam keadaan gelisah. Setiap saat Sultan Trenggono bisa jatuh karena pembangkangan. Bahwa sumber kegelisahan adalah Gusti Ratu Aisah sendiri yang pernah menyatakan Demak akan menyerbu Malaka, menyalahi persetujuan Sultan dan Ratu dalam pertemuan terakhir.
Ksatria Negeri Salju 2 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Sepasang Naga Lembah Iblis 5
^