Pencarian

Arus Balik 12

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 12


Tak lain dari Ratu Aisah sendiri yang mengetahui. Trenggono seorang berhati keras, tak ragu-ragu membunuh abang sendiri untuk dapat melaksanakan impiannya. Ia bukan seorang yang lincah, tidak bisa berbelit-belit. Maka penghadap itu tidak mungkin utusan Trenggono yang sederhana pikirannya itu. Ia menduga orang itu utusan dari pasukatt kuda Demak. Dan bila demikian halnya Trenggono yang kurang cerdik itu terjebak dalam taman pasukan kuda kebanggaannya sendiri. Sultan berada dalam bahaya. Memang!
Ia memutuskan untuk membuat kungkungan balasan. Liem Mo Han mengambil tempat di dekat rana berukir. Ratu duduk sambil mengunyah sirih. Tak ada biti-biti atau inang di sampingnya.
Atas pertanyaannya Babah Liem menerangkan: Kami semua menyokong Gusti Ratu. Bagaimana bisa lain daripada itu Gusti", peranggi adalah juga musuh kami bersama. Mereka mengganggu pelayaran perdagangan kami se-Maluku dan perairannya. Banyak kapal kami ditenggelamkan dengan atau tanpa pembajakan sebelumnya. Itu belum lagi semua. Sekarang mereka membuka pangkalan di Sulawesi utara. Perairan mulai dari situ terus ke utara juga hendak dirajainya. Perairan Tiongkok Selatan sendiri pun sudah mulai digerayangi. Dua bangtjji celaka, Gusti, Peranggi dan Ispanya, harus dihadapi bersama-sama .
Ya, dihadapi bersama seperti pendapat Unus almarhum . Tetapi bukan itu yang diharapkan oleh Ratu Aisah. Yang dikehendakinya adalah bagaimana ia harus hadapi Sultan dalam kemungkinan pembangkangan pasukan kuda. Dan ia tidak berani terang-terangan mengatakan.
Dalam usaha penghalauan Peranggi, Gusti, tak ada orang lain yang mampu melaksanakan kecuali orang yang bernama Wiranggaileng. Telah dia tumpas perusuh Kiai Benggala di Tuban dalam hanya beberapa minggu. Dia pun telah jalankan berbagai tugas dengan baik. Tapi sekarang dia sedang diusir dari praja Tuban .
Dan beralihlah pembicaraan pada Wiranggaleng. Apakah benar pendengaranku, Babah, dia hanya anak desa" Jangankan memimpin pertempuran laut, berlayar pun tak pernah .
Dan Liem Mo Han jadi berkobar-kobar: Tidak benar, Gusti. Orang yang bernama Wiranggaleng pernah ikut gugusan Tuban, ke Malaka mengikuti armada Jepara, Gusti.
Di bawah Raden Kusnan"
Tidak keliru, Gusti. Kalau sahaya tak salah, orang itu pernah memikul tandu almarhum Gusti Kanjeng Unus waktu mendarat di Jepara dari kapal bendera. Dialah yang memimpin pulang gugusan Tuban dari Jepara. Diangkatnya anak desa itu jadi kepala pasukan laut Tuban. Setelah jadi Patih Senapati Tuban dan mengalahkan Kiai Benggala dia di usir dari praja .
Apa kesalahannya, Babah"
Kesalahannya adalah karena dia hanya anak desa . Ya-ya, aku mengerti. Babah. Kau sangat menghargai anak itu. Mungkinkah dia berani menghadapi Peranggi di laut"
Dia pernah perintahkan pasukan pengawal Tuban mengusir kapal Peranggi. Sahaya sendiri ikut menyaksikan. Gusti, kapal itu dipimpin oleh Peranggi berangsangan bernama Francisco de Sa. Peranggi menembaki Tuban dengan meriam& .
Peristiwa itukah yang kau maksudkan"
Ya, Gusti, peristiwa yang menggemparkan semua bandar di Jawa itu. Gusti. Tuban membalas dengan enteng. Bukan karena Tuban dapat menenggelamkan kapal Peranggi itu yang sahaya nilai, tetapi kepandaian Wiranggaleng dalam mengatur dan menggunakan balatentara yang ada padanya bisa menghadapi Peranggi, di laut, di darat, di mana pun .
Jadi dia mungkin berani hadapi Peranggi di laut" Bukankah tak perlu benar Peranggi dihadapi di laut, Gusti" Mereka harus diusir dari darat. Tepat seperti rencana almarhum Gusti Kanjeng Unus, mendarat di utara Malaka, dan dari sana bergerak ke selatan, langsung menyerang sarang Peranggi. Suara Liem Mo Han kehilangan kobarnya dan menjadi rendah berangguh-angguh. Kalau Gusti Ratu menyerahkan tugas pada sahaya untuk membujuk Gusti Adipati Tuban untuk ikut bergabung, sahaya sanggup, Gusti .
Jangan, Babah. Itu bukan urusanmu. Berikan saja padaku Wiranggaleng .
Percakapan itu tidak mencapai maksud sebagaimana diharapkan oleh Ratu Aisah. Ia harus memecahkan sendiri bagaimana sebaiknya menghadapi Sultan. Di bawah tekanan pasukan kuda yang menolak perang laut, ditambah dengan kekerasan hati sultan sendiri sejak kecil bila menginginkan sesuatu pasti Trenggono akan meneruskan niatnya menguasai seluruh Jawa. Ia harus datang berlembut-lembut sebagai seorang ibu kepada anak, bukan sebagai Ratu Aisah terhadap Sultan. Ia akan berusaha membujuknya untuk melaksanakan penyerangan ke Malaka.
0o-dw-o0 Waktu tandunya memasuki perbatasan kota Demak, satu regu pasukan kuda menjemputnya. Mendekati istana, satu rombongan gendang mengelu-elukan bersama dengan sebarisan pembesar. Di alun-alun barisan-barisan berkuda, mungkin terbesar yang pernah di lihat di Jawa selama ini, menyambut kedatangannya. Dan barisan-barisan itu kemudian bergerak mengiringkannya.
Melihat sambutan yang berlebih-lebihan itu Ratu Aisah mengerti, semua telah diatur menurut kehendak pasukan kuda, akan dipaksa untuk bicara secara resmi dalam balairung penghadapan. Sultan Trenggono menyambutnya dari atas singgasana, turun dan membimbingnya duduk di atas singgasana permaisuri.
Wanita tua itu mengelakkan semua basa-basi istana, ia membisu tentang praja. Ia justru menyatakan datang ke Demak hendak menentui cucu-cucunya, dan turunlah ia dari singgasana permaisuri.
Penghadapan bubar dengan kekecewaan.
Trenggono mengikuti Ratu Aisah dari belakang. Dan wanita tua itu langsung menuju ke taman dalam. Juru taman telah menyingkir dan disanalah ia hadapi Sultan sebagai seorang anak.
Trenggono, anakku. katanya lembut. Aku tahu sejak kecil kau kepala batu. Kepala batu memang tidak apa-apa kalau masih kanak kanak. Kau bukan kanak-kanak lagi. Kau seorang Sultan. Majelis sudah tak kau dengarkan lagi. Ibumu sendiri pun tidak. Kau bertanggung jawab atas kematian abangmu. Baiklah kalau itu sudah jadi kehendakmu. Tetapi yang kudengar belakangan ini kau tertekan oleh kehendak pasukan kuda, yang kau sendiri telah perbesar, kau timang-timang dan kau anak emaskan secara menyolok, berlebih-lebihan .
Tidak benar, bunda. Sahaya memang kepala batu. Tapi tidak benar pasukan kuda bisa menekan sahaya, apalagi menelan. Takkan sahaya lupakan ajaran keprajuritan, sekalipun berasal dari jaman jahiliah, bahwa tanpa perang pasukan yang besar akan jadi penyakit praja.
Jadi kau akan segera membuat perang" Trenggono tidak menjawab.
Baiklah kau tak menjawab. Jadi kau akan segera menyerang, itu hak seorang raja. Namun jangan lupa pesanku: Malaka.
Ratu Aisah pulang kembali ke Jepara tanpa penghormatan pasukan kuda. Ia membawa janji Sultan, bahwa ia akan mengirimkan armada ke Malaka dalam jumlah tidak sebagaimana direncanakan oleh Unus.
Ia pun membawa oleh-oleh: seorang cucu perempuan, anak Trenggono .
Tetapi yang terpenting dibawanya adalah kekecewaan: kekuatan yang dijanjikan untuk menyerang Malaka terlalu kecil. Jadi Sultan akan tetap menyerang saudarasaudaranya, tetangganya untuk dapat menguasai Jawa.
Tak ada jalan lain dalam meneruskan cita-cita putranda tercinta Unus daripada sekutu-sekutu perang. Trenggono nyata sudah tak dapat di harapkan. Dengan hendak menguasai Jawa ia justru merusak persekutuan untuk menyerang Malaka. Ia akan tetap mencoba dan berusaha, Bila takkan didapatkannya sekutu Jawa, akan dicobanya di luar Jawa; Sumatra, Sulawesi, Kalimantan. Dan kalau semua toh itu gagal juga, ia masih ada cucu perempuan. Ia akan mendidiknya jadi pelaksana cita-cita Unus.
Demikian ia memasuki Jepara membawa kekecewaan di satu pihak dan harapan di lain pihak. Dan di Jepara yang ditemuinya adalah kesunyian. Persiapan armada telah berhenti, sepi lagi seperti kehabisan angin. Namun ia tetap tidak putus asa, justru makin meluap.
Dengan bantuan Liem Mo Han terjadilah persekutuan rahasia dengan Aji Usup, seorang pengikut Adipati Unus yang setia.
Aji Usup adalah kepercayaan almarhum putranya. Ia mempunyai pengaruh besar di kalangan praja dan golongan agama. Beberapa tahun sebelum penyerbuan Unus ke Jepara ia telah menunaikan rukun Islam ke lima dan telah menjelajah ke negeri Arab. Ia juga penasihat Unus tentang persoalan manca praja.
Liem Mo Han seorang pemuka serikat rahasia Nan Lung, Naga Selatan, yang mengikat para keturunan awak armada Ceng He, juga seorang penghubung Semarang dengan raja-raja di Jawa.
Ratu Aisah adalah seorang tokoh yang sangat dihormati dan didengarkan di seluruh negeri Demak dan Jepara.
Dan persekutuan ini bermaksud hendak meneruskan usaha pembebasan Malaka pada satu pihak dan pada pihak lain hendak menggagalkan rencana Trenggono untuk menindas bupati dan raja-raja merdeka dalam usahanya untuk menguasai Jawa.
Jalan yang ditempuh oleh persekutuan rahasia adalah menyiarkan tentang kejahatan kekuasaan Portugis dan akibat buruknya terhadap Nusantara seluruhnya, jahatnya rencana Trenggono yang hendak memerangi saudarasaudaranya sendiri.
Penyiaran itu dilakukan melalui nakhoda dan awak kapal yang akan berangkat meninggalkan bandar Jepara dan Lao Sam.
Dengan pengaruh yang ada padanya Aji Usup meniupkan semangat baru pada pasukan laut Demak yang berkedudukan di Jepara dan lebih suka disebut pasukan laut Jepara. Ia telah berhasil membikin pasukan laut itu mengambil sikap bila Trenggono tetap menganak-tirikan mereka, mereka akan bikin Jepara memisahkan diri dari Demak, dan membikin Demak jadi segumpal tanah lempung tandus tidak berarti.
Pasukan laut Jepara telah merupakan satu kebulatan. Bila Trenggono mulai menindas bupati-bupati merdeka, mereka pun akan mulai memisahkan diri dari Demak.
Beberapa kali Liem Mo Han memperingatkan Aji Usup agar tidak mengulangi kekandasan armada Dampo Awang yang tidak bisa kembali pulang ke pangkalan. Karena itu pemisahan harus dilakukan tidak pada waktu Trenggono mulai menyerang tetangga-tetangganya, tetapi pada waktu ia menjadi kewalahan. Dalam keadaan demikianlah kemungkinan pemisahan diri dan melepas armada ke Malaka takkan menemui rintangan..
Setelah persekutuan rahasia mendapat kata sepakat dalam semua pokok, Aji Usup meninggalkan Jepara dan menghubungi para bupati merdeka di Jawa, Sumatra dan Sulawesi Selatan.
Dan ia kembali dengan semangat rendah. Pada umumnya para bupati merdeka dan raja-raja, yang dihubunginya, menolak. Mereka tak menyukai kepongahan Trenggono. Dan mereka menilai sultan baru itu kepala batu, dungu, dibandingkan dengan abangnya, dan kegiatan yang terpokok hanya menghancurkan segala yang telah dibangun oleh abangnya. Dan Aji Usup mewakili siapa" Bukankah Jepara pangkalan pasukan laut Demak"
Walau demikian Aji Usup, yang selalu menggunakan nama Trenggono dan Ratu Aisah, telah menerima kesanggupan dari dua orang raja: Bugis dan Aceh. Pada waktu yang akan ditentukan pasukan-pasukan Bugis akan menunggu armada Jepara tiba di Aceh. Sekutu lain Demak, Jambi, dengan menyesal menyatakan takkan dapat ikut serta.
Persekutuan rahasia itu menganggap, kesanggupan Aceh Bugis telah memadai untuk tingkat permulaan. Dan Aji Usup akan menghubungi sekutu lama di Jawa: Tuban.
Persekutuan juga telah sepakat untuk menampilkan Wiranggaleng sebagai pimpinan pasukan-pasukan gabungan dari Jawa.
Mereka tinggal menunggu Trenggono menyerbui tetangganya dan kewalahan.
0o-dw-o0 Trenggono kemudian mengetahui juga sikap pasukan laut di Jepara. Takut pada perpecahan menyebabkan ia menjadi ragu-ragu. Tetapi pasukan kuda terus menerus mendesak untuk segera menyerang, la tahu dirinya mulai tidak berdaya, terjepit di antara dua kekuatan, yang duaduanya sedang bersemangat perang. Tanpa pasukan laut dan tanpa armada, Peranggi sudah lama akan membalaskan dendamnya terhadap Demak. Ia tak boleh melihat Jepara dengan sebelah mata. Sedang pasukan kuda yang terlalu kuat adalah bahaya yang lebih runcing bila semangat perangnya tidak disalurkan.
Dalam keragu-raguannya ia terpaksa mengeluarkan perintah melakukan penyerbuan semua terhadap tetanggatetangganya, yang sebelumnya diawali dengan pemberitahuan, pasukan-pasukan Demak datang bukanlah untuk berperang, hanya mengawasi perbatasan dari kerusuhan para penjahat. Tetapi pertempuran sesungguhnya terjadi juga di sana-sini. Dan ia terpaksa lagi untuk ke dua kalinya menarik kembali pasukanpasukannya. Ia kuatir terjadi pengkhianatan dari pasukan lama.
Dalam keragu-raguan tidak menentu ini datang sepucuk surat dari Mekah padanya, menyatakan bersedia membantu Sultan, baik dalam penyiaran agama Islam maupun dalam usaha perang.
Surat yang tertulis dalam Arab berbahasa Melayu itu berasal dari Fathillah, bekas pemimpin perang di Pasai melawan Portugis. Ia dimasyhurkan di sekitar Selat sebagai cucu Bhre Paramesywara, pendiri Malaka. Dan ia belum lagi tahu, yang disuratinya. Unus, telah wafat.
Dengan sebuah kapal Arab yang kembali melalui sebelah barat Sumatra, balasan Trenggono dibawa. Fathillah datang.
Ia seorang yang bertubuh tinggi, langsing dan berisi, berhidung mancung, berkulit langsat, beralis tebal dan berbulu mata panjang, berkumis bapang. Pandang matanya dalam seakan semua yang dilihatnya hendak dimasukkan ke dalam rongganya. Dan ia berjubah putih dan bersorban putih tanpa perhiasan.
Sekali pandang Trenggono telah berkenan hatinya pada pemimpin perang Pasai itu. Dalam pembicaraan khusus, Trenggono tak segan-segan menyampaikan kesulitankesulitannya menghadapi perpecahan dalam kekuatannya sendiri dan tekanan dari mereka, juga kesulitannya dengan ibunda Ratu Aisah.
Trenggono memang bukan Fathillah. Trenggono menghendaki kekuasaan tak terbatas atas seluruh Jawa. Fathillah mengimpikan penyebaran Islam ke seluruh Jawa dan pembalasan dendam terhadap Portugis. Ia masih tak dapat melupakan kekalahannya di Pasai. Dan di Demak ia melihat ada cukup syarat untuk dapat melaksanakan semua impiannya.
Nampaknya tidak begitu sulit, Baginda Sultan, ia mulai menjelaskan pikirannya, pertentangan dengan pasukan laut ataupun kuda dapat diatasi. Demak akan tetap utuh. Kedua belah akan dan puas dan ibunda Baginda pun akan merestui. Patik berpengalaman perang di darat, dan patik pun pelaut. Apabila Baginda Sultan ada kepercayaan pada patik biarlah semua itu patik urus .
Trenggono menumpahkan kepercayaan padanya. Pada suatu siang yang cerah dengan berkendara kuda dan diiringkan oleh beberapa belas prajurit kuda Fathillah meninggalkan Demak masuk ke Jepara.
Diperiksanya armada dalam persiapan itu, kapal demi kapal. Dan pada malam hari ia menghadap Ratu Aisah, dan menyampaikan dalam Melayu, bahwa Demak telah siap mengirimkan seluruh armada ke Malaka.
Kapan hari besar itu akan terjadi, Panglima" Setiap waktu, Gusti Ratu .
Fathillah memperhatikan segala gerak-gerik dan perubahan airmuka pada wajah wanita tua itu. Ia dapat menangkap kilauan mata Ratu Aisah dan menganggap tugasnya berhasil; pasukan laut akan kembali dapat dikendalikan.
Keesokan harinya ia mengunjungi Aji Usup. Percakapan dilakukan, dalam Arab sehingga para saksi tak ada yang mengerti. Hanya semua orang melihat, bahwa kedua orang itu nampaknya sama-sama puas.
Ketegangan antara Demak dan Jepara nampaknya akan reda.
Tak lebih dari sebulan setelah kunjungan Fathillah, Demak merayakan pesta besar. Oleh Sultan, Fathillah dikawinkan dengan adiknya perempuan.
Juga Ratu Aisah datang menghadiri. Hanya beberapa hari ia di samar kemudian pulang lagi ke Jepara. Demak dirasainya terlalu panas.
Dan apa pun yang terjadi, apakah itu perobahan ataukah janji janji Fathillah yang mewakili Sultan, keputusankeputusan persekutuan rahasia tetap, mereka akan terus menjalankannya. Mereka bertiga menyimpulkan; tidak percaya pada Demak dengan Panglima barunya, yang dengan begitu gampang bisa mendapatkan kepercayaan dari Sultan.
Mereka bertiga menyimpulkan: tidak bisa orang asing pendatang baru itu pandai melayani dan membenarkan semua keinginan pribadi Sultan dan pasti untuk dapat melaksanakan keinginan-keinginan sendiri.
Dan betapa terkejut persekutuan rahasia itu melihat pada suatu hari pasukan kaki Demak yang cukup besar ditempatkan di luar kota Jepara.
Fathillah telah mengetahui rencana kita , Aji Usup berpendapat Mereka datang untuk menghalangi pasukan laut Jepara bertindak.
Dan ia berpendapat pula, hanya karena adanya Ratu Aisah di antara mereka dalam persekutuan, Sultan tidak mengambil sesuatu tindakan. Juga Ratu, juga Liem Mo Han berpendapat demikian pula. Hanya mereka berdua tak sampai hati menyatakan satu kepada yang lain.
Dalam pertemuan terakhir dipusatkan untuk mendapatkan keterangan, kapan Demak akan menggerakkan armada kecil yang dijanjikan oleh Trenggono. Begitu armada akan bergerak mereka sudah harus mendapatkan Wiranggaleng untuk jadi pimpinan dan lansung menuju ke Malaka.
Untuk kepentingan itu Aji Usup harus pergi ke Tuban menghadap Sang Adipati. Dan Liem Mo Han harus kembali ke Lao Sam demi keselamatannya.
Aji Usup berangkat dengan kapal yang sama dengan Liem Mo Han
Dan tinggalah Ratu Aisah seorang diri di Jepara dengan pikiran tuanya, disibuki oleh menantunya Sang Panglima Demak, pendatang baru dari Mekah, putra Pasai, menantu Bhre Paramesywara: Fathillah.
0odwo0 30. Petani Wiranggaleng Sudah beberapa lama Wiranggaleng hidup di desa perbatasan Awis Krambil, menjadi petani seperti penduduk selebihnya. Ia telah dapat melaksanakan impian-mudanya impiannya bersama Idayu. Mereka telah mendirikan pondok beratap injuk berdinding pelupuh. Dan pondok itu berdiri tinggi di atas tiang.
Di waktu senggangnya Pada ikut membantu semua pekerjaan: menebang dan mengangkuti bambu dan pemukulnya jadi pelupuh, membuka huma, menggali saluran, mengangkuti panen. Hanya ia tak pernah membantu menggarap tanah. Untuk itu ia tak punya kesabaran ataupun kesenangan.
Pada telah membuka pengajian di desa itu pula. Persahabatannya dengan Wiranggaleng menyebabkan ia mendapat kepercayaan dari penduduk desa. Dengan bermodalkan kata-kata Wiranggalenglah yang menolong jiwaku dan dibantu oleh kata-kata Idayu Mohammad Firman alias Pada yang menolong jiwaku dan anak-anak Wiranggaleng ia muncul sebagai orang terpandang di desa Awis Krambil. Leluhur Awis Krambil telah mengajarkan: seorang yang telah menolong jiwa orang baik-baik seyogyanya dibalas kebaikannya selama hidupnya oleh semua orang baik-baik sedesa.
Dan Wiranggaleng sendiri tak punya perhatian terhadap kegiatan sehari-hari Firman. Juga ia tidak menganjurkan pada anak-anak desa untuk belajar padanya. Idayu juga tidak pernah menganjurkan.
Tetapi pengalaman Pada yang banyak, pengembaraannya yang cukup luas, pergaulannya dengan banyak orang, dan bakatnya dalam berceritera, telah menarik anak-anak kepadanya. Gubuknya selalu berisi dengan kanak-kanak. Dan gubuk itu didapatkannya sebagai pemberian desa dengan ladang yang cukup luas di belakangnya. Tetapi ia tak pernah tertarik untuk menggarap tanah maka ia pun tidak pernah jadi petani.
Setelah banyak kanak-kanak berkumpul di sekelilingnya ia mulai mendongeng, kemudian memperkenalkan nabinabi yang pernah dipelajarinya di Demak. Tetapi segera seluruh desa tergoncang waktt ia mulai memasukkan aturan yang memisahkan anak-anak lelaki dari perempuan. Orang tua-tua memerlukan datang untuk bertanya: apa salahnya anak-anak perempuan itu" Mengapa mereka dibedakan hanya karena mereka perempuan" Dan ia menjawab, ia seorang bujangan maka tak baik punya murid perempuan. Akibat jawaban itu tidak sedikit orang-orang desa yang tak punya prasangka keagamaan itu, mendesaknya agar ia mengawini salah seorang gadis Awis Krambil. Ia tak pernah menjawab dengan jelas, hanya berdalih-dalih.
Kemudian desa dibikin terheran-heran mengapa pengajiannya tidak mengajarkan baca tulis Jawa, dan bagaimana jadinya kalau anak-anak itu nanti besar dan tidak mengetahui sesuatu tentang ajaran letafttft sendiri" Ia menjawab, tentang itu anak-anak itu nanti bisa belajar sendiri dari guru-guru lama dan dari orang-tuanya.
Kesulitan yang ke sekian mulai dihadapi oleh Pada. Huruf Arab yang diajarkannya terlalu sulit untuk bisa dipergunakan untuk diucapkan. Dan murid-murid itu mulai berguguran seorang demi seorang; Ia sedang menghadapi kegagalan.
Dan Wiranggaleng ataupun Idayu tidak menyokongnya, Bahkan Gelar tidak pernah datang ke pondoknya. Ia mengerti keberatan mereka: pengalaman mereka berdua dengan Kiai Benggala telah cukup tidak menyenangkan dan akan kenang-kenangan buruk sepanjang masa; Maka juga ia tak pernah meminta sokongan itu. Ia harus dapat tegakkan dirinya sendiri.
Satu-satunya jalan untuk mengatasi kegagalan adalah kesabaran. Dimulainya menulis tembang dalam bahasa dan tulisan Arab tentang kisah Rasulullah. Muridnya yang tinggal sedikit telah merambatkan tembang; itu ke seluruh desa Awis Krambil, dan merasa berbahagia dengn suksesnya. Ia dapat dengarkan tulisannya itu dinyanyikan di atas punggung kerbau di padang rumput, atau di malam sepi waktu bulan tiada terbit di rumah-rumah yang tersebar luas dalam kegelapan.
Namun muridnya tidak juga bertambah.
Dan Wiranggaleng ataupun Idayu tak pernah datang menengok gubuknya.
Kesulitan baru datang menantangnya waktu ia mulai mengamatkan tentang larangan-larangan: makanan dan minuman. Kembali orang tua-tua datang kepadanya dan menanyakan apa sebabnya babi dan binatang bertaring lainnya tak boleh dimakan, dan mengapa tuak tak boleh diminum. Ia menjelaskan, bahwa masih terlalu banyak makanan dan minuman kecuali yang dilarang. Orang tuatua itu tidak bisa mengerti dan tidak bisa membiarkan ajaran tentang larangan itu. Dan Pada harus mengatakan atau ia harus keluar dari desa Awis Krambil. Ia mengatakan: boleh makan dan diminum, asal tidak banyak, sedikit saja cukup. Itu pun tak bisa diterima oleh desa. Malah orang mulai mencurigainya hendak mendirikan kekuasaan baru seperti Sunan Rajeg dengan mula-mula membikin peraturan.
Hanya persahabatan dengan Wiranggaleng dan Idayu membikin ia tidak terusir.
Suasana mereda, tapi muridnya kian sedikit, tinggal barang tiga orang. Tiba-tiba goncangan muncul kembali waktu menghadapi pesta panen besar. Pada mengajarkan, cacing tanah tidak boleh dimakan. Tentangan dari orang tua-tua, bahkan seluruh desa, tak dapat dikendalikan lagi. Berabad-abad lamanya cacing tanah jadi makanan pesta yang tak pernah ditinggalkan. Setelah dipurut cacing itu direndam dalam air enau selama sehari, kemudian setiap orang memakannya.
Pada terpaksa menarik ajarannya. Dan ia menjadi orang yang tidak populer di Awis Krambil. Ia harus lebih bersabar lagi. Dalam kesulitan yang amat sangat itu ia datang pada sahabatnya untuk minta perlindungan.
Waktu itu Wiranggaleng sedang di hutan untuk menyadap enau. Ia tak berani naik ke rumah dan menyusul sahabatnya masuk ke dalam hutan.
0o-dw-o0 Dan setiap Pada datang ke gubuk di pinggir hutan, dan Wiranggaleng tak ada, dan ia terus menyusul ke ladang, huma atau hutan, Idayu dapat melihat sinar aneh pada mata orang muda jangkung berkumis dan tidak berjenggot itu.
Sinar mata itu sama dengan yang terpancar waktu ia diambil dari rumah tahanan untuk dibawa ke gua persembunyian, sama dengan waktu mereka berempat menyeberangi padang alang-alang yang menggentarkan itu, melewati hutan muda dan kemudian menyeberangi padang rumput pendek& desa pertama, desa kedua, ketiga dan sampai ke jalan negeri.
Ia masih dapat mengingat waktu mereka berhenti di pertigaan itu. Pada menatap matanya dengan sinar yang aneh itu pula. Jadi Mbokayu tak membelok ke kanan" ke Tuban"
Tidak, Pada . Ke kiri" Awis Krambil"
Ia lihat sinar mata itu tiba-tiba jadi beku dan kepalanya menunduk.
Dan kau sendiri hendak ke mana, Pada" ia bertanya.
Biar aku antarkan sampai Awis Krambil , jawabnya kemudian. Itu-pun kalau Mbokayu tidak merasa terganggu.
Tentu lebih baik begitu. Tentu takkan ada yang mencurigai kau sebagai pelarian pengikut Sunan Rajeg, kecuali kalau kau berganti pakaian. Buang itu yang serba putih .
Ia ikuti orang muda itu minta diri barang sebentar dan pergi menghilang dengan parang telanjang di tangan kanan. Ia menunggu di gaan. Memang agak lama. Kemudian ia datang lagi membawa sir pisang susu matang dan pakaiannya yang serba putih telah menjadi coklat dilumuri getah pisang.
Begini baik, bukan, Mbokayu" Cukup baik .
Mereka mulai membelok ke kiri ke jurusan Awis Krambil.
Waktu ia menengok ke samping ia lihat Pada sedang mengawasinya, kemudian dengan gugup menyembunyikan pandangannya pada pepohonan di kejauhan. Juga sinar matanya aneh, sinar mata seorang yang gandrung kasmaran.
Kau tak pernah ceritakan di mana rumahmu, Pada . Aku adalah seekor burung, Mbokayu, di mana pun bertengger di sanalah rumahku.
Suara lelaki itu terdengar gembira tercampur tawa, dan Idayu tak tahan mendengarnya. Ia merasai di dalamnya terdengar gaung dari hati yang merasa, putus-asa. Mungkin orang muda ini menyebabkan ia takut pada Pada, berjalan lebih cepat dari biasanya dan ragu-ragu untuk memulai percakapan.
Ia berjalan tanpa menoleh ke belakang. Dari suara Gelar yang duduk pada tengkuk ia dapat menduga berapa depa Pada berjalan di belakangnya.
Pagi dan siang sudah lama lewat. Hari telah senja. Sawah dan ladang; tepi desa Awis Krambil telah senyap ditinggalkan oleh semua orang. Hujan pun jatuh rintikrintik. Pintu-pintu rumah desa telah tutup untuk menolak angin dan dingin. Dari atap-atap keluar asap pendiangan ternak atau dapur.
Ia dengan bayi dalam gendongan berhenti di depan gapura rumah orangtuanya. Dan ia ragu-ragu untuk masuk. Seekor kuda coklat dengan becak-becak putih tercancang di samping rumah di dekat pesajian rumah tangga, yang terbuat dari tumpukan batu merah. Abah-abah dan sanggurdi kuda itu masih terpasang.
Ya, Mbokayu, memang kuda Tuban . Pada memperingatkan. Sanggurdinya tak dapat dikelabui, kuningan pipih-lebar. Juga hiasan kepala itu. Kau raguragu, Mbokayu .
Ia memang ragu-ragu untuk masuk.
Dan orang muda itu mendekatinya dengan Gelar masih juga duduk pada tengkuknya. Sekarang ia merasa tak senang di dekat Pada. Ia kalahkan keragu-raguannya dan melewati gapura dengan si bayi dalam gendongan, meninggalkan Pada di belakangnya.
Kuda itu masih berkeringat dan nafasnya masih gelisah. Ia berhenti lagi, ragu-ragu untuk terus. Ia terpaksa menunggu Pada, dan berjalan di belakangnya untuk mendapatkan perlindungan.
Tali abah-abah tempat pengikat tombak-tombak lempar tidak tersimpul. Mungkin penunggang kuda itu membawa tombak-tombak-nya ke dalam rumah.
Mereka tak langsung memasuki pintu, tapi berjalan dari samping rumah. Sebentar mereka berhenti untuk mendengar-dengarkan. Dan tak ada terdengar sesuatu pun dari dalam.
Juga pintu samping itu tak terkunci, Idayu masuk. Kosong tiada suara. Tak ditemuinya seorang pun. Di manakah orangtua dan adik-adiknya" Dan siapa penunggang kuda itu" Dan di mana dia"
Ia masuk ke dapur, dan api sedang menyala riang di dalam tungku. Belanga di atasnya ia buka gulai bebek. Ia buka dandang di sebelahnya: nasi yang belum lagi masak, dalam jumlah yang lebih banyak dari biasa. Dalam belanga di atas tanah dengan penutup tertindih batu telah tersedia daging babi panggang yang telah disayat-sayat. Tapi di mana orang-orang rumah" Dan mengapa anjing-anjing pun tiada"
Ia keluar untuk meninjau rumah-rumah tetangga yang jauh-jauh letaknya. Sayup-sayup terdengar orang tertawatawa ramai dan suara itu dibawa oleh angin sore yang dingin itu. Ia melangkah ke arah kandang sapi. Binatangbinatang itu sedang bersimpuh di tanah di dekat pediangan sambil memamah-biak.
Mungkin semua orang sedang berkumpul di sana, katanya pada diri sendiri.
Ia suruh Pada dan Gelar beristirahat di ambin ruang depan, di mana dulu Rama Cluring ia rawat. Pada dengan Gelar yang tidur dalam gendongan masuk ke ruang depan. Sebelum pergi sinar mata itu dirasainya semakin aneh. Dan untuk pertama kali ia berdebar-debar melihat pancaran mata itu.
Si bayi ia tidurkan di atas ambin dapur dan ia meneruskan masak. Belum lagi masakan selesai terdengar ramai-ramai di depan rumah. Ia lari ke depan, membuka pintu depan dan keluar. Gelar dan Pada terbangun.
Anak desa Awis Krambil jadi Senapati Tuban! bocahbocah berseru mengelu-elukan, Tidak pernah kalah. Terus menerus menang!
Ya-ya, kagumi dia, bocah-bocah! Kagumi, biar kalian jadi orang besar juga kelak. Kagumi!
Di hadapan Idayu satu rombongan besar orang sedang melewati gapura, bocah-bocah dan orang dewasa, laki dan perempuan. Rombongan itu mengiringkan seorang bertubuh dempal perkasa. Dan Idayu tidak keliru. Itulah suaminya: Wiranggaleng. Ia lari menyambutnya. Tanpa bicara ia menubruk, merangkulnya dan menangis tersedansedan.
Dayu, aku tahu kau selamat .
Suaminya mengeluarkan popok dari ikat pinggangnya dan disekakannya pada wajah istrinya, kemudian memapahnya masuk ke rumah. Ia merasa aman di dekat juara gulat ini.
Dengarkan, penduduk Awis Krambil Galeng Senapati Tuban, kembali ke desanya. Sekarang dia telah bertemu dengan isterinya. Dan khusus pada Idayu, Mana Anakku"
Mereka memasuki rumah disambut oleh Pada yang berdiri seperti orang kehilangan akal. Ia melihat lelaki muda itu seperti terpesona oleh kehadiran Wiranggaleng. Matanya tidak lagi memancarkan sinar aneh.
Ia lari masuk ke dapur, mengambil bayi yang tidur nyenyak diatas ambin depan dan menyerahkannya pada bapaknya dengan hangat Inilah anakmu, belum lagi bernama , dan ia seret Gelar dan diberikannya pada Galeng, dan ini Gelar anakku .
Senapati Tuban dalam pembuangan itu menerima bayi itu menciumnya. Pada wajahnya memancar kebahagiaan, kepuasan, syukur dan terima kasih, kemudian menyerahkannya kembali pada ibunya. Kini ia angkat Gelar dan berseru: Kau, Gelar, kau sudah bisa menyanyi" Dia terus menyanyi di atas tengkuk Pada, Kang Air muka Wiranggaleng berubah. Tanpa mengindahkan jawaban bocah itu ia turunkan ke tanah. Matanya mencaricari orang diantara orang sebanyak itu. Airmukanya menjadi keras.
Pada, di mana kau" seru Idayu, dan ia sendiri menjadi kuatir melihat perubahan airmuka suaminya.
Inilah aku , jawab Pada dan meneroboskan diri menghadap pada Senapati. Inilah aku, Kang, adikmu sendiri . Ia menjatuhkan diri, bersujud dan mencium kaki Wiranggaleng.
Dia, Kang, Mohammad Firman alias Pada yang menolong jiwaku dan anak-anak Wiranggaleng .
Tak ada seorang pun yang membuka mulut. Sunyisenyap dalam ruang depan yang sempit oleh manusia sebanyak itu. Dan semua mata tertuju pada Senapati Tuban dan orang yang bersujud di hadapannya.
Tiba-tiba Gelar merangkul leher Pada, bertanya: Mengapa tak bangun-bangun, Paman"
Ya, bangun, kau, Pada . Dan Pada bangun, berdiri. Mukanya pucat seperti habis bangun dari sakit demam sebulan.
Nanti akan kuceritakan di depan semua orang ini bagaimana ia selamatkan kami, Kang.
"Aku datang untuk menyusul kau, Idayu .
Tidak. Aku tak perlu kau susul. Aku takkan kembali ke Tuban .
Tidak. Aku pun takkan kembali lagi ke Tuban, Idayu. Aku kembali jadi si anak desa yang dahulu.
Kang! seru Idayu tak percaya.
Kita akan membuka huma, Idayu, mendirikan gubuk di pinggir hutan, di tepian desa .
Kang! Pada menarik diri dan berdiri diam-diam di pojokan memperhatikan semua kejadian itu.
0o-dw-o0 Berita tentang wafatnya Adipati Unus dan digantikan oleh Trenggono telah memperkukuh niatnya untuk tidak kembali ke Demak. Apalagi setelah ia tahu Sultan baru itu tidak memperhatikan dan tidak membutuhkan jasa para musafir. Bahkan ke Bonang pun ia tak pernah lagi, apalagi menyampaikan laporan.
Tetapi alasan terutama adalah Idayu. Wanita itu membikin ia tak mampu meninggalkan Awis Krambil. Bahkan hanya namanya pun telah menyebabkan ia merasa tergenggam tanpa daya. Dan ia mendengarkan suara hatinya menetap di Awis Krambil.
Ia telah menjadi seorang Ki Aji kecil. Orang sudah mulai memanggilnya Kiai. Dan ia tidak membantah.
Dalam percakapan dengan Wiranggaleng dan Idayu dengan diam-diam ia terpengaruh oleh pandangan yang tidak menginginkan sesuatu kekuasaan atas orang lain pun tidak menginginkan harta-benda orang lain.
Ia tahu beberapa ucapan Idayu padanya dalam perjalanan dulu ada yang tidak cocok dengan& . Ia tak pernah membangkit-bangkitnya kembali. Tapi ia pun tahu betapa perempuan itu berpengaruh terhadap suaminya. Dan mereka berdua begitu cinta-mencintai seakan dunia luar tidak mereka perlukan lagi. Mereka memisahkan diri dari desa dan tidak pernah turun ke balai desa. Hanya karena besarnya kepribadian mereka orang-orang justru datang pada mereka.
Akhirnya ia pun berniat hendak hidup sederhana seperti itu, membuang segala impian tentang kebesaran dan kehormatan. Ia lepaskan sama sekali hubungannya dengan Demak, bahkan juga dalam pikirannya. Ia bertekat hendak hidup sebagai manusia sederhana seperti mereka, menjadi bagian dari kehidupan tanpa menentukan kehidupan. Ia belajar meyakinkan dirinya sendiri: ia berbahagia dengan hidup begini.
Ia pun mengakui dalam hatinya: seorang saja sebenarnya yang telah mengubah jurusan yang semula hendak ditempuhnya, dan mengubah -gaya dan cara hidupnya. Orang itu adalah Idayu. Apa pun yangKtHptitejf buatnya seakan ada benang gaib yang menggerakkan tubuh dan pikirannya. Dan benang itu secara gaib dikendalikan oleh Idayu. la menyadari ia mencintai wanita itu dengan tulus hati. Idayu! istri sahabatnya! ia yang lebih tua daripadanya! ibu dari dua orang anak! istri orang yang telah mengembalikan jiwanya dari tangan Adipati Tuban!. Bila kasadarannya bekerja, ia merasa mengkhianati sahabatnya dengan diam-diam Dan ia pun sadar: bukan mau dirinya sendiri ia mencintai Idayu.
0o-dw-o0 Kemudian datanglah berita itu: balatentara Demak telah membludag. Trenggono akan menyerang ke timur dan barat.
Mendengar itu ia lupa pada pengajiannya, lupa pada persoalan persoalan pribadi. Dan segera ia lari menuju ke gubuk sahabatnya di pinggir desa. Watak lama dari pekerjaan lama telah mengembalikannya jadi Mohammad Firman yang lama.
Ia dapatkan Wiranggaleng sedang menguliti rusa betina yang terperangkap dalam ranjaunya. Tangannya berlumuran darah. Binatang celaka itu tergolek di atas gelaran daun pisang, telanjang tanpa kulit. Dari dalam kandungannya ia keluarkan bayi rusa yang belum cukup tua. diletakkan binatang kecil belum berkulit dan bermata terlalu besar itu di atas telapak tangan.
Pada berjongkok di hadapannya. Suka kau" tanyanya padanya. Pada bergidik.
Dan Galeng memakannya mentah-mentah sampai habis. Darah berlumuran pada mulutnya.
Seperti Trenggono makan pulau Jawa, kata Pada. Wiranggaleng tak memperhatikan siratan kata Pada. Ia meneruskan pekerjaannya, memotong-motong daging binatang celaka itu dan menjajar-jajarnya di atas daun pisang.
Kang Galeng, tak kau dengarkan aku"
Seperti Trenggono makan pulau Jawa, katamu. Mengapa, Pada apa maksudmu"
Mengapa" Masa kau seorang senapati tak punya perhatian"
Apa yang perlu diherani" Dan apa yang perlu diperhatikan" Sebelum Trenggono naik tahta, orang sudah pernah meramalkan hati-hatilah kalian terhadap Demak . Jadi bagaimana kau ini kalau Tuban diserang" Wiranggaleng meneruskan pekerjaan tanpa memperhatikannya.
Kau diam saja. Kang"
Aku hanya orang desa, petani. Pada, jangan macammacam pertanyaanmu .
Tidak benar. Dengan diam-diam kau telah memikirkannya .
Lantas apa kau harapkan daripadaku" Pertahankan Tuban" Serang Demak" Atau pertahankan tanah ini" Huma dan ladang ini, gubuk ijuk ini" ia menuding pada gubuknya.
Kalau hanya begini di mana pun aku bisa dirikan lagi Di mana pun aku bisa dapatkan tanah, mungkin lebih baik dari ini. Kaulah yang semestinya bercerita, Pada, bukan aku. Kau orang Demak.
Aku anak Tuban, Kang, dilahirkan dan dibesarkan di Tuban, seperti kau juga.
Wiranggaleng berhenti bekerja dan menancapkan pisau sayatnya pada daging paha binatang itu.
Itulah persoalanmu. Pada. Kau orang Tuban dan pengabdianmu pada Demak. Bukan persoalanku.
Aku bersungguh-sungguh, Kang. Relakah kau Tuban diterjang Demak"
Aku bersungguh-sungguh. Kang. Lupakah kau pada cerita-ceritamu sendiri tentang Peranggi dan Ispanya" Tentang meriam mereka" Mengapa kau bunuh Sang Patih Tuban dan kau meratapinya untuk sisa hidupmu untuk dapat menghancurkan Kiai Benggala" Tak mungkin kau tak punya perhatian dan pemikiran.
Trenggono bukan Kiai Benggala! Bukan.
Trenggono sama dengan Kiai Benggala. Memang sama.
Lantas apa lagi" Hanya kerusakan saja akibatnya, Kang. Dua-duanya akan melemahkan Jawa dan memudahkan masuknya Peranggi. Bukankah itu ceritamu sendiri" Sekarang Trenggono membuka medan, dan kau enak-enak bertani dan menjebaki rusa dan celeng .
Sudah ada orang lain yang mengurus, Pada. Tak ada yang sebaik kau.
Wiranggaleng mencabut pisau dan meneruskan pekerjaannya.
Pada merampas pisau itu dan menancapkannya pada batang pisang. Aku sungguh-sungguh, Kang.
Mulai kapan kau dapat jabatan untuk mengurus soal perang"
Aku hanya ingin tahu pikiran dan pendapatmu. Mengapa kau yang jadi sibuk" Bukan urusanmu. Gelar datang membawa kranjang. Tubuhnya bongsor. Hampir setinggi ayahnya, sehat, kukuh dan kuat.
Bilang pada makmu, sebagian besar daging supaya didendeng. Dan paha ini saja digantung di dapur.
Ha! seru Pada. Kau sudah bersiap-siap dengan makanan kering. Jadi kau hendak berangkat juga kiranya.
Berangkat ke mana" Cobalah lihat rusa ini, Pada. Pulau Jawa sudah seperti dia, terkuliti, terkeping-keping. Bangkai utuh pun sudah tiada, sudah jadi dendeng dan sayatan yang siap untuk dimasak dan ditelan oleh pelahap. Jadi kau memang sudah memikirkannya, Kang. Sudah lama aku memikirkannya, dan tak ada gunanya untuk memikirkannya lagi.
Kau putus asa, Kang. Aku tak mengharapkan sesuatu. Dulu aku masih punya harapan dulu, sewaktu Gusti Unus belum wafat. Dan hanya seorang saja, duanya. Setelah wafatnya semua nakhoda, pedagang dan orang po...... kiranya tahu: seperti bangkai rusa terkeping-keping itulah nasib Jawa.
Kau putus asa. Kang. Kau, yang sendiri pernah urungkan datangnya si pelahap.
Wiranggaleng berdiri dan tertawa. Pisau-sayat itu ia cabut dari batang, pisang, mengasah kering pada batu asahan, kemudian berjongkok dan meneruskan pekerjaannya. Ketika itu ia teringat pula kata-kata Rama Cluring dalam ajarannya terakhir di balai-desa Awis Krambil: Mengapa kalian terdiam" Kerajaan besar telah runtuh, kerajaan-kerajaan kecil tumbuh di mana-mana.
Seperti panu. Sekarang sudah ada kerajaan raja Demak. Dewa-dewanya bukan dewa kalian. Dewa-dewanya tidak mengenal kalian, dan tidak mengenal dewa-dewa kalian. Hei, kalian yang lebih suka jadi bebal, kelak kalau Demak mulai menyerang kalian, memburu-buru dewa-dewa kalian, menghancurkan mandala dan candi-candi kalian, leluhur kalian pun tak aman lagi tinggal di alam kahyangan kalian sendiri didera mendaran dan meregangkan nyawa, tak sempat diruwat oleh anak-cucu sendiri. Pada waktu itu aku telah lebih dahulu mati. Dan kalian takkan sempat lagi menyesal, takkan sempat lagi bilang padaku: Benar katakatamu, Rama.
Sekarang ramalan itu memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi kenyataan.
Baru ia menjawab, pelahan, dengan gaya Rama Cluring: Waktu itu masih dimungkinkan. Sekarang lain, Pada. Sekali seorang raja bernafsu menguasai Jawa, perang akan terus menerus berkobar, takkan henti hentinya. Sampai si rakus itu mati tua, kalau dia selamat dari sekian banyak medan perang, cita-citanya takkan terlaksana. Dan begitu si rakus mati, taklukannya akan bangkit lagi melawan, mungkin mengantikan si rakus itu sendiri. Dan seterusnya, Pada, tak ada habis-habisnya. Suaranya jadi sayu dan murung, Waktu itu sudah lewat, waktu orang dapat mempersatukan Nusantara. Nusantara, Pada, bukan hanya Jawa. Dalam hanya empat puluh, barangkali juga cuma tiga puluh atau dua puluh tahun orang dapat mempersatukan Nusantara. Sampai jambulnya beruban Trenggono takkan dapat menguasai Jawa. Ia tak punya syarat untuk itu.
Pada senang mendengar juara gulat ini bicara, karena ia bicara dengan seluruh kehadirannya, dengan hati dan dengan otot-ototnya.
Kau bicara tentang syarat, Kang. Tentu, semua ada syaratnya. Barangkali di Demak kau tak pernah pelajari itu. Coba dengarkan kata-kata Rama Cluring, yang kau mendapat perintah untuk membunuhnya itu: Jawa bisa dipersatukan hanya dalam kesatuan Nusantara. Kesatuan Nusantara bisa digalang hanya oleh jiwa besar, berpandangan luas, meliputi luasnya Nusantara dengan darat dan lautnya. Orang itu adalah Gajah Mada. Kita tak bicarakan Trenggono lagi. Pada.
Kau bicara tentang syarat, Kang. Aku hanya bertanya, bagaimana kalau Trenggono menyerang Tuban"
Kami akan mengungsi dengan orang-orang sedesa. Buka daerah baru. Gelar! pekik Galeng, tiada kau jamu pamanmu ini"
Gelar yang memasuki umurnya yang ke lima belas itu datang berlarian.
Mengapa tidak, Bapak" Aku pun sedang membantu masak, ia tertawa pada Pada kemudian lari menghilang.
Wiranggaleng pergi ke sumur untuk mencuci tangan dan kaki, dan Pada mengikutinya dari belakang.
Pada! tiba-tiba Galeng menengok padanya. Mengapa kau tak juga kawin" Kami berdua hidup berbahagia. Aku lihat sudah terlalu lama kau mencintai istriku.
Kang! Pada terpekik, dan pekikannya sama seperti yang disuarakannya di atas kapal dagang dulu. Matamu tak dapat bohongi aku, Pada. Kang, Pada menyebut lemah.
Kau terlalu muda baginya. Lagi pula dia bukan Islam. Dia mencintai anak-anaknya. Bahkan aku sendiri tak mendapat bagian dari cintanya. Lebih baik kau tinggalkan Awis Krambil, Pada. Pergilah kau ke kota. Carilah kabar yang betul di sana sambil cari-cari calon istri. Bukan salahku, Pada, kalau di seluruh Tuban hanya ada seorang Idayu. Juga bukan salahku mengapa aku tak juga mati. Ya, Kang, aku akan ke kota, Kang.
Kau sudah dilupakan oleh Sang Adipati. Carilah Liem Mo Han. Dia lebih banyak tahu dari hanya berita desasdesus.
Setelah makan Pada minta diri. Ia berjalan lambatlambat tanpa menoleh.
Idayu, Wiranggaleng, Gelar dan Kumbang mengantarkan sampai batas sawah. Kemudian suami-istri itu mengikutinya dengan pandang, sampai ia hilang di balik semak-semak petai cina. Gelar lari pulang,dan balik lagi membawa kuda, melompat ke atasnya.
Biar aku antarkan dia sampai ke desa ke dua! katanya pada Wiranggaleng, dan tanpa menunggu jawaban ia memacu kudanya.
Tinggallah suami-istri itu dan anaknya yang bungsu. Mari naik, Idayu mengajak.
Dia mencintai kau, Idayu, bisik suaminya. Kasihan. Begitu muda, jawab Idayu dan membuang muka.
Siapakah lagi yang jatuh cinta padamu"
Idayu naik ke atas tangga rumah, tak sudi meneruskan percakapan seperti itu. Dan suaminya mengikutinya cepatcepat dari belakang.
Jadi kau sudah tahu" tanyanya.
Dia takkan pergi ke kota. Dia masih takut pada hukumannya. Mungkin ke Lao Sam .
Makin jauh dari sini makin baik untuknya sendiri. Kumbang! Ayoh naik! seru Idayu. Jangan jauh-jauh pergi. Abang mu tak ada. Macan-macan itu selalu menghindari jebakan.
Sudah kukatakan padanya, sayang hanya ada satu Idayu, suaminya meneruskan.
Apa kau bicarakan ini" Idayu memprotes.
Tapi Wiranggaleng menariknya dan dibawanya ia ke beranda gubuk yang menghadap ke jalan. Di kejauhan, kepala kuda dan Gelar dan Pada masih kelihatan di atas tajuk semak-semak petai cina.
Macan itu tak mau memasuki jebakan. Babinya bodoh dan macannya malas. Begitulah jadinya, kata Idayu pada Kumbang. Pondok itu berdiri tinggi di atas tiang kayu nangka kuning, tetapi selebihnya terbuat daripada bambu. Dapurnya pun berada di atas. Dan dari atas pula pandangan nampak sampai jauh-jauh di sekitar rumah, sampai ke batas hutan dan sawah dan ladang. Duduk di lantai beranda begini Gateng merasa seperti di atas panggung gajah.
Dan kini para penunggang kuda mulai timbul dan tenggelam di balik semak-semak. Mereka masih juga mengikuti dengan pandangan sampai mereka hilang sama sekali.
Kau tahu apa yang dibawa Pada" Mana aku tahu"
Tiada sesuatu, kecuali pemujaannya kepadamu. Idayu melengos kemudian masuk ke dalam bilik, Wiranggaleng menarik Kumbang dan memangkunya. Pandangnya masih juga pada mereka yang lenyap di balikbalik semak, la berbisik pada Kumbang: Kenalkah kau siapa Idayu"
Emak, Bapak. Apa lagi"
Penari tanpa tandingan, Bapak. Apa lagi"
Mak! Mak! Kumbang berseru memanggil-manggil. Apa lagi, Mak"
Husy! jangan minta bantuan makmu. Dengarkan: jangan sampai lupa; orang tercantik di seluruh negeri Tuban, Kumbang, di seluruh jagad raya.
Dan Kumbang tertawa-tawa senang, kemudian meloncat dari pangkuan bapaknya untuk mengadu pada emaknya. Tak lama kemudian terdengar dari dalam bilik suara Idayu: Husy, jangan dengarkan bapakmu.
Dan Wiranggaleng duduk seorang diri di beranda menunggu kedatangan Gelar. Sementara itu ia mulai memikirkan kemungkinan benar-tidaknya berita Pada. Tidak! Trenggono tidak boleh memulai perang tanpa akhir ini, kalau berita itu benar. Seorang Sultan harus lebih bijaksana. Mungkin dia memang bukan orang bukan bijaksana. Kalau tidak dia takkan membunuh abang sendiri untuk jadi raja. Atau haruskah dia membunuh saudara sekandung justru untuk dapat melepaskan nafsu tanpa kendali" Takkan ada orang lagi seperti Unus. Dengan alasan Islam ia persatukan raja-raja untuk menggempur Peranggi, dan kalah. Trenggono tak bisa menggunakan Islam jadi alasan. Hanya ada satu kerajaan Islam di Jawa. Ia tak bisa cari sekutu. Kalau benar ia hendak kuasai Jawa, ia akan kehabisan nafas dan darah. Kalau betul ia hanya kerakusan belaka ingin lebih banyak tanah, lebih banyak orang yang takut takluk, mendengarkan dan menjalankan perintahnya. Sekali seorang raja memulai& . Tak pernah Jawa dipersatukan tanpa persatuan seluruh Nusantara, kata Rama Cluring. Itu adalah ketentuan Maha Dewa, Hyang Widhi, kata Rama pula.
Dari kejauhan nampak kepala Gelar timbul tenggelam dari atas tajuk semak-semak. Makin lama makin mendekat, kemudian muncul seluruh badannya dan kuda tunggangannya di ujung jalan sana.
Dia lebih pandai menunggang kuda daripada aku, anak semuda ini. Tanpa guru.
0o-dw-o0 Selang tiga bulan kemudian Pada datang. Langsung ia temui. Wiranggaleng di hutan sedang menurunkan air enau dari pohon. Kemudian ia menolongnya memikulkan lodong-lodong bambu ke rumah.
Bersama-sama mereka memasaknya agak jauh dari pondok, menggunakan kuali tanah besar.
Pada waktu memasak itu bekas musafir Demak itu mulai bercerita tentang usaha Aji Usup menghubungi para raja di seberang untuk duduk dalam armada gabungan memukul Malaka.
Wiranggaleng mendengarkan dengan diam-diam. la gembira tapi tidak menunjukkan pada tamunya.
Liem Mo Han telah menceritakan segala-galanya untuk diteruskan pada sahabatnya itu kecuali satu hal: pertikaian antara Ratu Aisah dan Sultan Trenggono. Dalam hati ia mengucapkan syukur telah ada kesepakatan bulat di Demak untuk mengirimkan armada raksasa, lebih besar daripada beberapa belas tahun yang lalu. Aceh juga akan menyumbangkan pasukan di samping sendiri akan berusaha mengusir Peranggi dari Pasai.
Dan, Kang Galeng, sekali ini pasukan Bugis-Makasar yang gagah berani itu akan ikut serta juga. Mereka akan berangkat lebih dahulu dan menunggu di Aceh. Aku lihat kau bersinar-sinar, Kang.
Gelar dan Kumbang berlarian mendapatkan Pada. Paman kelihatan kurus! tegur Gelar.
Dan kau nampak semakin gagah, Gelar. Hai, Kumbang, sudahkah ada makanan buat paman kurus yang kelaparan ini"
Tunggu! sambut Kumbang, dan ia lari mendaki tangga Terdengar ia berseru-seru pada emaknya.
Idayu muncul di beranda pondok dan menegur keraskeras: Pada Kaukah itu"
Akulah ini, Mbokayu. Kalau masak hati-hati, Pada memperingatkan.
Tentu, babi takkan tercampur dalam makananmu. Gelar, kayu bakar itu sudah cukup kering, bawa ke bawah rumah Wiranggaleng memerintahkan anaknya.
Seluruh kekuatan akan didaratkan. Perang laut akan dihindari
Tak bisa lain. Memang harus begitu, Senapati Tuban itu mengangguk dan matanya bersinar-sinar, lupa bahwa ia hanyalah seorang petani di sebuah desa perbatasan. Dan diulanginya kata-kata yang disukainya itu, Benar kata Rama Cluring, Jawa bisa dipersekutukan hanya dalam kesatuan Nusantara. Betapa aulia dia. Tapi benarkah Trenggono pewaris cita-cita Unus" Mungkinkah itu"
Bukankah berita terdahulu ia hendak menguasai seluruh Jawa" Apakah bukan kau yang salah dengar"


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itu cerita Babah Liem. Kau sendiri mengenal siapa dia. Kau ragu-ragu terhadapnya"
Apa pun keraguanku, Pada, penghalauan Peranggi dan Malaka adalah kunci, kunci segala.
Bayangkan, Kang Galeng, berpuluh-puluh kapal dan Jepara bergabung dengan kapal dari mana-mana, membeludag di atas laut. Siapakah takkan berbesar hati jadi laksamananya" Pada diam.
Lelaki yang sedang mengaduk air enau mendidih di depannya itu termenung-menung.
Dan barangkali juga Tuban ikut serta di dalamnya, sambungnya. Ia lihat Wiranggaleng menggeleng tak kentara. Kapal Jepara takkan kurang dari tujuh puluh! Baik, itu baik. Gelar, mari aku bantu. Teruskan mengaduk, Pada . Ditinggalkannya Pada mengaduk bubur gula. Ia sendiri mengangkati kayu bakar membantu anaknya. Tak lama kemudian ia berseru-seru ke atas: Jangan terlambat, Dayu. Sudah siap-belum kelapa parutan"
Idayu turun dari rumah membawa kelapa parutan di atas daun pisang, menghampiri Pada, melemparkan kelapa itu ke dalam bubur gula. Dari tempatnya Wiranggaleng dapat menangkap pandang Pada yang membelai wajah dan tubuh istrinya. Tiba-tiba hatinya diliputi oleh perasaan duka merasakan kepahitan hidup sahabatnya. Cepat-cepat pikirannya ia alihkan pada Trenggono jauh di sebelah barat sana.
Dalam hati-kecilnya ia masih belum yakin Sultan Demak dapat berbalik pikir begitu cepat. Raja itu orang yang tidak mampu memegang, tidak mungkin bisa bermufakat dengan orang lain. Kalau tidak dia takkan sampai membunuh abangnya sendiri. Tak mudah orang dapat meninggalkan kerakusan. Bila toh benar Trenggono hendak mengirimkan armada besar ke Malaka, barang tentu telah terjadi sesuatu. Dan apakah sesuatu itu" Adakah muncul orang tertentu yang begitu berpengaruh terhadap Sultan"
Selesai mengangkuti kayu ia kembali menghampiri Pada. Dan Idayu sedang membariskan cetakan gula dari potongan-potongan ruas bambu.
Apakah Liem Mo Han pernah menghadap Sultan" Itu aku tak tahu.
Sudah, tinggalkan cetakan itu, biar kuteruskan. Idayu pergi dan naik ke atas rumah.
Barangkali sudah terjadi sesuatu yang baru di Demak" Memang ada, Kang Galeng, datangnya Fathillah, sekarang ipar Sultan.
Aku kenal nama itu. Teruskan, Pada.
Kabarnya ia telah diangkat jadi Panglima Demak. Seluruh pasukan darat kecuali pasukan kuda berada di tangannya, juga seluruh armada Demak.
Dan berceritalah Pada tentang segala yang diketahuinya sambil tak melepaskan perhatian pada airmuka Senapati Tuban akhirnya: Hm tampaknya kau tak percaya pada keampuhan Fatahillah. Kang, dia orang dari Pasai.
Ya, aku tahu. Dia pernah dikalahkan Peranggi di Pasai, Dia telah tinggalkan negerinya, makin jauh dari Peranggi. Mungkin semakin jauh begitu dia akan semakin berani. Mungkinkah setelah semakin jauh begitu dia akan berani mendatangi Malaka" Aku ragu, Pada.
Tujuh puluh kapal, Kang Galeng, paling tidak dapat memuat sepuluh ribu prajurit
Demak takkan punya kekuatan sebanyak itu. Kau mengimpi. Padas .
Siapa dapat melihat dalamnya telor, Kang Galeng. Dan itu belum lagi yang bakal bergabung. Dengan armada semacam itu ayam pun berani menyerbu Malaka.
Wiranggaleng tetap termangu-mangu. Pikirannya bekerja seakan ia kembali jadi Senapati Tuban. Tujuh puluh kapal besar, ditambah dengan yang bakal bergabung! Laut. Meriam. Armada Peranggi semua tiba-tiba jadi masalahnya pribadi. Dan kapal-kapal itu dirasakan seperti kulit tubuhnya sendiri, dan layar sebagai paru-parunya sendiri. Dan pikiran itu selalu menjondil bila nama Trenggono masuk kedalamnya. Mungkinkah telah terjadi perubahan pada Sultan" Tetapi pemipin pasukan kuda Demak tetap di tangannya& .
Pada mulai menuang bubur gula ke dalam cetakan. Busa bubur itu telah surut terkena kelapa parutan dan kini mulai mengental.
Ada yang belum dikatakan padamu, Kang. Jangan kau terkejut. Putra-putra Semenanjung sendiri juga akan ikut bergabung. Dan, dan, ada juga armada kecil Tiongkok yang akan datang dari utara. Perang telah juga mengganggu perairan Tiongkok, selamat Kang.
Wiranggaleng mendengarkan dengan hati-hati dan tetap dengan keragu-raguan pada pasukan Kuda Demak.
Waktu makan bersama Senapati Tuban itu telah tenggelam dalam pikirannya. Ia belum dapat mempercayai seluruhnya. Ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada Trenggono, karena dialah kunci Nusantara sekarang.
Tak ada sesuatu yang baik yang dapat diharapkan keluar dari perbuatan seorang pembunuh saudara. Idayu memperhatikan raut muka dua orang lelaki itu bergantiganti. Dan ia mencoba mengalihkan suasana dengan bicara soal makanan dan perburuan dan perladangan. Tak berhasil.
Setelah selesai makan, kecuali Pada, semua minum tuwak.
Dan orang lelaki itu kemudian menarik diri dan bertiduran di geladak serambi. Dan waktu matari mulai condong ke barat Senapati Tuban membangunkan tamunya, memberitahukan sudah tiba waktu baginya untuk bersembahyang.
Dan akan terus turun ke sawah. Pada, Gelar! Kau yang membawa sapi!
Aku ikut, kata Pada. Kau belum lagi bersembahyang. Nanti di sawah sana.
Dan mereka pun turun, berangkat ke sawah. Yang tertinggal di rumah hanya Idayu dan Kumbang.
Sawah itu bersambungan dengan sawah desa. Dari air buangan itu ia menggenangi sawahnya sendiri. Dan tidak dapat dikatakan luas, kurang dari satu bahu dan ditanami sekali saja dalam setahun untuk menghasilkan beras selama setahun penuh, bahkan berlebihan. Di musim kering ia berladang dan sawah ia tinggalkan jadi padang rumput.
Pada dan Gelar menggaru bergantian. Wiranggaleng menghancurkan bongkahan tanah di pojokan petak sawah yang tak terkena garu. Dan bongkah-bongkah tanah yang terkena mata garu itu pecah dan larut jadi lumpur. Anjing tanah dan kelabang dan jengkerik berapungan, berenang mencari daratan kering di tanggul-tanggul, menyelamatkan diri dari kebinasaan. Gelar mencambuki binatang-binatang itu sambil menyanyi menyenggaki Pada di atas luku yang sedang mendendangkan kisah para nabi.
Di sawah desa tiada seorang pun nampak bekerja, karena memang belum waktunya.
Dalam mencangkul seorang diri di pojokan petak pikiran Wiranggaleng tetap tercencang pada Trenggono. Muka dan seluruh badannya bergelimang lumpur. Orang takkan mengenalnya lagi. Antara sebentar ia cuci mukanya dengan air lumpur yang agak bening, tapi tak lama kemudian lumpur menutup mukanya lagi.
Orang yang tak pernah mencangkul tanahnya sendiri itu yang justru paling banyak tingkah mengurusnya, pikirnya kemudian. Kalau Trenggono pernah mencangkul begini, mungkin tak ada pikiran padanya untuk merayah tanah orang lain.
Dan pada waktu itu datang seorang penunggang kuda, berseru-seru lantang: Senapatiku! Senapatiku!
Wiranggaleng mencaup air yang nampak agak bening, menyeka mukanya, dan dari balik pemandangan yang agak kabur dilihatnya seorang prajurit pengawal Tuban dan menghampiri.
Sini! balas Wiranggaleng. Dengan masih membawa cangkul ia naik ke atas pematang.
Prajurit itu melompat turun dari kuda, lari mendapatkannya, bersujud dan menyembah.
Bangun! bentak Senapati Tuban. Apa artinya semua ini"
Sahaya mengawal Gusti Patih Tuban Sang Wirabumi, datang untuk mengunjungi Senapatiku. Gajahnya masih agak jauh di belakang
Dengan gajah. Dia datang sebagai Patih Tuban, pikir Wiranggaleng,
Urus kudamu. Kemudian ia menceburkan diri ke dalam saluran sawah, mandi di dalam air kuning itu, menggosok badan dengan celana yang habis dicucinya.
Tani begini, prajurit, tak pernah berkulit bersih. Senapatiku, sahaya pun anak petani.
Dan kau lebih suka jadi prajurit pengawal daripada tani, bukan"
Sahaya, Senapatiku. Jangan panggil aku Senapati, aku si petani kotor, katanya sambil mengenakan celananya yang basah dan melompat naik ke atas tangguk
Masa Senapatiku lupa pada bidai keprajuritan: Selama musuh ada, belum ada atau sudah dikalahkan, Senapati tetap Senapati" Marilah Senapatiku, datang menyongsong Gusti Patih Kala Cuwil Sang Wirabumi
Berangkat kau dulu, Prajurit! Aku tak menyongsong siapa pun.
Ampun, Senapatiku, bukan maksud sahaya& . Berangkat! perintahnya.
Prajurit itu mengangkat sembah, menuntun kudanya dan pergi ke arah datangnya.
Ada sesuatu yang sedang terjadi di Tuban, Kang, Pada menukas Tuban membutuhkan seorang Wiranggaleng. Husy!
Dan sekali ini aku pasti akan ikut denganmu. Tidak untuk kau suruh melompat ke laut.
Gelar mengikuti percakapan itu tanpa mengerti duduk perkara.
Lebih baik kau pergi sekarang, Kang. Kami berdua akan selesaikan petak ini.
Pergi dengan seluar basah begini" Betul juga.
Dari kejauhan terdengar sorak orang-orang desa. Itulah barangkali Gusti Patih Tuban, Gelar naik ke tanggul dan mendengar-dengarkan.
Hari ini kita bekerja sampai di sini Paman, mari mandi. Wiranggaleng pergi meninggalkan mereka berdua.
Setelah keluar dari hutan muda dari kejauhan nampak olehnya gajah kendaraan Sang Patih diapit oleh prajuritprajurit berkuda bersenjatakan tombak. Kala Cuwil berdiri di atas bentengan kayu menerima sembah penduduk desa, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan menjawabi sembah dengan lambaian tidak kentara. Destarnya gemerlapan karena intan-intan yang menghiasinya sedang bercumbuan dengan sinar matari senja.
Dan di belakangnya orang-orang desa segera berdiri dari sujud dan sembah dan kemudian bersorak riuh.
Ia berhenti sejenak untuk melihat Kala Cuwil dengan kebesarannya, menggeleng-geleng, tersenyum, kemudian langsung menuju ke pondoknya. Dilihatnya Idayu dan Kumbang telah turun dari rumah untuk menyambut, dan ia menggabungkan diri dengan anak dan istrinya.
Di hadapan mereka membentang panjang jalanan yang dibikin oleh desa sampai ke depan pondok. Dan gajah itu telah memasuki jalanan baru itu. Pasukan pengawal kadipaten itu mengedrap kudanya seiringan dengan gajah yang berjalan lambat. Di belakangnya semua penduduk desa mengiringkan.
Makin lama gajah itu makin dekat, makin mendekati pondok. Pengawal yang di depan melepaskan diri dari barisan dan seperti melayang menghampiri pondok, berhenti di hadapan Wiranggaleng dan mengangkat tombak mereka. Seorang di antaranya berseru: Senapatiku! Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi berkenan datang untuk berkunjung.
Wiranggaleng sudah menunggu, jawab Senapati. Prajurit-prajurit itu serentak menurunkan tombaknya dan kembali menggabungkan diri pada barisannya.
Gajah itu semakin dekat, makin dekat. Dua puluh depa dari pondok binatang dalam apitan barisan itu berhenti.
Kala Cuwil berdiri dalam bentengan, mengangkat tangan kanan dan berseru: Senapatiku! Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi datang berkunjung.
Masuklah, Sang Wirabumi! Gajah itu berlutut, kemudian mendekam. Kala Cuwil turun dan mengangkat sembah dada pada Senapati. Dan Wiranggaleng tidak membalasnya. Idayu berlutut menyembahnya dan Kumbang bersimpuh, menyembah pula.
Jalanan itu telah penuh dengan semua penduduk desa, juga dari desa-desa lain. Kepala dan tetua desa keluar dari rakyatnya, menghampiri Sang Patih, bersujud dan mencium kaki bergantian.
Kala Cuwil dan Wiranggaleng serta keluarga naik ke rumah. Dari bentengan kayu di atas gajah orang menurunkan kranjang-kranjang garam dan ikan asin dan trasi dan memasukkannya ke pondok Idayu. Penduduk desa masih pada duduk di jalanan menunggu perintah dari Sang Patih Tuban.
Kau datang sebagai Patih Tuban dengan segala kebesaran, Kala Cuwil, Wiranggaleng memulai. Tetap sebagai teman, Senapatiku. Kau harus menginap. Sebentar lagi malam. Ya, kami semua harus menginap.
Kepala desa nanti akan mengatur segalanya. Bagaimana kesehatan Senapatiku dan keluarga" Samalah dengan Sang Patih Tuban.
ah Nampaknya kau sudah sangat berkuasa, Kala Cuwil. Keris Senapatiku yang bikin aku jadi patih ini. Wiranggaleng merasa tersinggung mendengar jawaban itu. Ia tidak menduga tamunya sudah begitu berubah dan mabok kekuasaan, sehingga kematian Sang Patih lama dianggapnya sebagai pendukung atas kekuasaannya.
Kala Cuwil memperhatikan pakaian tuan rumah yang kuning tercampur lumpur. Kemudian terdengar suaranya yang di ucapkan dengan gaya pembesar terhadap bawahan: Mana Gelar, anak Senapatiku" !
Uah, anak desa, masih di sawah. Senja ini baru akan pulang
Dan Kala Cuwil belum juga mengatakan apa maksud kedatangannya, Wiranggaleng memperhatikan airmuka tamunya dengan waspada. Patih Tuban itu mendekatinya, membisikkan sesuatu, kemudian tertawa terbahak. Tetapi tuan rumah tidak menyertainya tertawa.
Aku bisa bayangkan, Senapati mengangguk-angguk, betapa suli melayani orang tua yang semakin bawel dan bertingkah. Lihat, akan kau biarkan kawulamu, penduduk desa ini bersimpuh menghormati begitu rupa" Tiada kulihat mereka.
Kau hanya melihat ke atas. Kala Cuwil, ia turun, menyuruh penduduk pulang, menyiapkan santapan malam dan penginapan untuk tamu agung. Ia memberikan petunjuk khusus pada kepala desa.
Waktu ia naik kembali Sang Patih sedang bicara dengan Idayu terdengar olehnya buntut kata-kata Idayu: Si Kumbang belum cukup dia keloni. Gusti.
Wiranggaleng menghentikan langkahnya. Ia lihat Idayu dengan terburu-buru seperti orang marah, menarik Kumbang, memeluknya kemudian dibawanya masuk ke dalam bilik. Ia masih sempat melihat Kala Cuwil membalikkan badan untuk menunggu kedatangaannya. Kemudian dari dalam bilik terdengar olehnya suara istrinya; Nasibmu, Nak, nasibmu.
Wiranggaleng mengawasi Sang Patih dengan mata curiga Bukan maksudku, juga bukan kehendakku. Senapatiku. Sang Adipati memanggil kembali Sang Senapati. Senapati telah diangkat jadi pimpinan gugusan Tuban untuk ke Malaka. Lima ratus orang ada Senapatiku, seperti beberapa belas tahun yang lalu.
Wiranggaleng terduduk di ambin. Ia terpukau. pada sesuatu yang justru tidak dilihatnya. Tangannya mendekam paha kemudian berubah jadi tinju.
Senapatiku! Aku datang sebagai Patih Tuban Sang Wirabumi.
Wiranggaleng tak menjawab. Bibirnya tertarik lempang dan menghembuskan nafas desis.
Bukankah Senapatiku masih kawula Tuban" Wiranggaleng menarik kedua belah lengannya jadi sikusiku dan menompangkan tinju pada kedua belah pahanya. Duduknya tegak, giginya berkerut. Dari dalam bilik dia dengar suara istrinya, tak jelas.
Senapatiku belum juga menjawab.
Tuan rumah bangkit berdiri, melangkah cepat-cepat masuk ke dalam bilik, dan tamu itu mendengar suatu percakapan pelahan antara suami dan istri. Agak lama. Kemudian, tanpa diduganya, terdengar suara Idayu kesal: Semua yang berbahaya dan berat diberikan kepadamu. Bakal mendapat apa anak-anak ini nantinya"
0odwo0 31. Kembali ke Malaka Memang berbeda dengan peristiwa tahun 1275 Masehi. Dahulu itu bandar Tuban penuh dengan umbul-umbul dan sorak-sorai yang berkumandang seperti guruh. Pendetapendeta Buddha dengan jubah kuning menggemerincingkan giring-gliing naik-turun ke kapal-kapal, tiga puluh buah banyaknya, untuk memberikan restu. Sri Baginda Kartanegara, raja Singosari sendiri mengantarkan berangkatnya armada yang dipimpin oleh Raden Wijaya dan seorang admiral yang kelak terkenal dengan nama Mahesa Anabrang. Baginda bersabda: Ekspedisi militer ini harus berhasil, harus, demi Maha Buddha. Kalau tidak, Jawa akan remuk dilindas kekuatan Jenghis Khan.
Dan berangkatlah armada itu untuk memasuki daerahdaerah yang diperkirakan bisa jadi pangkalan armada kerajaan langit Jenghis Khan! Sekali armadanya berhasil menusuk ke selatan, memuntahkan balatentaranya yang termasyhur penunggang kuda dan lebih masyhur juga akan keganasannya, maka Jawa dan Nusantara takkan bangun lagi. Maka Sri Baginda Kartanegara telah memerintahkan: persatukan Nusantara. Setiap pulau harus jadi benteng terhadap serangan dari utara: Dan dengan demikian armada Singosari muncul dengan segala kebesaran negerinegeri Melayu.
Dua ratus tiga puluh tiga tahun kemudian, pada 1523 Masehi, berangkat pula sebuah armada ekspedisi militer. Tidak ke daerah Melayu, tetapi ke Malaka. Tidak dengan umbul-umbul dan upacara, tanpa pendeta-pendeta Buddha membawa giring-giring, tidak dengan tiga puluh kapal perang tetapi dengan tiga puluh buah jung! Tidak diantarkankan Sang Adipati Tuban, hanya oleh Patih Sang Wirabumi. Tidak ada sorak sorai. Semua yang mengantarkan, semua penduduk kota menonton dengan diam-diam, dan curiga. Bahkan Sang Adipati menolak menyerahkan dua pucuk meriam. Juga dalam dada mereka yang mengantarkan tanpa sorak telah terjalari perasaan umum: mereka pergi untuk tidak kan kembali. Mereka balatentara dari gugusan Tuban itu.
Baik, kata Wiranggaleng pada Kala Cuwil yang berdiri di dermaga. Kami akan berangkat sebagai hukuman.
Patih Tuban tidak menghukum siapa pun, Senapatiku. Semua atas perintah langsung Sang Adipati.
Ingat-ingat ini: Wiranggaleng takkan kembali ke negeri ini sebelum Sang Adipati mati.
Senapatiku, Kala Cuwil tak bisa berbuat apa-apa. Ada! Katakan padaku, jung-jung siapa semua ini" Jung-jung para pedagang Tionghoa, Senapatiku, ditarik dari mana-mana bandar oleh Liem Mo Han. Senapatiku nanti akan bertemu dengannya di Lao Sam. Sang Adipati tak sudi menyerahkan kapal barang sebuah pun.
Lima ratus orang diserahkan untuk jadi perburuan kapal Peranggi! Kami diharapkan jadi makanan hiu. Tak dapat bertahan sedikit pun terhadap Peranggi. Baik, kami jalani hukuman mati ini.
Kala Cuwil tak dapat berbuat apa-apa.
Wiranggaleng tak menggubris ulangan itu. Dengan geram ia memasuki jungnya diiringkan oleh Pada. Sunyisenyap di dalam jung itu: ia jatuhkan perintah berangkat. Dan jung-jung itu mulai bertolak. Tiada orang bicara.
Prajurit laut yang diberangkatkan bertanya-tanya dalam hati: Apa kesalahan maka Sang Adipati berlaku demikian terhadap kawula sendiri, dan siapa sesungguhnya yang mengajukan namanya untuk menyertai ekspedisi ini"
Mereka sendiri saksikan betapa geram pemimpinnya, Senapati Wiranggaleng. Dan orang melihat, tak seorang pun di antara keluarga Senapati datang menguntapkan keberangkatannya. Orang pun mengetahui: Idayu telah menyatakan seumur hidup takkan sudi menginjakkan kaki di ibukota negeri Tuban. Bahkan anaknya memasuki umur lima belas itu tidak mengantarkan suatu hal yang dianggap tidak patut bagi seorang anak Senapati. Dan ditambah lagi dengan sumpah Wiranggaleng sendiri yang takkan kembali lagi ke Tuban sebelum Sang Adipati mati.
Setiap orang punya pikirannya sendiri. Juga Senapati. Ia masih sempat mengenangkan peristiwa manis sebelum berangkat meninggalkan Awis Krambil. Anak-anak itu bersimpuh dan mencium kakinya, berjanji akan menemani, membantu dan membela ibu mereka. Dan Idayu, ah, wanita yang selalu ditinggalkannya itu ia tak bicara apaapa. Hanya mata merahnya mengatakan segala-galanya; protes keras tak terucapkan terhadap Sang Adipati. Dan seluruh penduduk desa datang untuk mengucapkan selamat jalan. Wanita pada menangis untuk Idayu, dan pria menekur mengherani keputusan Sang Adipati mondarmandir terhadap anak desa yang perwira itu. Ia naik ke atas benteng penduduk: Jaga Nyi Gede Idayu dan anakanaknya. Urus keselamatan dan kesejahteraan mereka.
Di Tuban Kota Sang Adipati menolak dihadap. Dan sekarang jung-jung, bukan kapal perang untuk berangkat ke medan perang.
Lain lagi halnya dengan Pada. Berkali-kali ia mengucapkan syukur alhamdulillah karena keberangkatannya. Setidak-tidaknya ia merasa mendapatkan kembali kemerdekaannya. Semakin jauh jung-jung bendera itu meninggalkan pantai, semakin mudah ia dapat menyusun pikirannya.
Di Awis Krambil ia merasa otak dan hatinya terbelenggu. Salah seorang isi rumah di pinggir hutan itu terus juga mendayu-dayu memanggilnya. Kalaulah tidak disuruh Wiranggaleng tak bakal ia dapat meninggalkan desa perbatasan itu untuk menemui Liem Mo Han.
Pada hari pertama kedatangannya di Lao Sam ia diajak Liem Mo Han beiialan-jalan sepanjang Dusun, menikmati pemandangan pantai yang dijaga oleh bukit-bukit rumah. Suara Gabah Liem tinggi menusuk. Sekalipun dalam tiupan angin keras terus-menerus, suaranya tetap tak menyenangkan masuk ke pendengarannya. Dan ia ingat sepatah demi sepatah. Memang banyak bandar-bandar yang menolak bergabung, kira-kira takut pada pembalasan Peranggi bila serangan gagal. Memang sulit untuk dapat meramalkan. Semestinya Malaka dengan mudah bisa dijatuhkan. Ada suatu kelemahan umum pada mereka: penjagaannya di belakang tidak serapi yang di depan. Penyerangan dari barisan punggungnya akan membikin mereka kocar-kacir. Kita akan lakukan itu.
Dan ia bertanya: Kita" Maksud Babah Tiongkok juga akan ikut serta"
Dan Liem Mo Han menjawab: Tidak, kami hanya perantauan buangan dari Tiongkok. Kami hanya bisa membantu dengan apa saja yang dapat kami bantukan. Kami hanya pedagang, bukan prajurit. Aku sudah usahakan agar ada kesatuan Tiongkok ikut bergabung. Mereka menyanggupi dan akan diturunkan dari Teluk Tonkin. Siapa mereka itu"
Liem Mo Han tak menjawab, hanya berkata, Aku sebenarnya malu tak mampu menyertai di medan perang nanti. Sudah diserukan di mana-mana negeri supaya orangorang Tionghoa punya perhatian dan ikut bergabung dalam penyerangan umum. Belum jelas apa jadinya nanti. Kesatuan Tiongkok akan serta. Semoga berhasil.
Kata-kata itu sama sulitnya untuk dapat ia pahami dengan tingkah hatinya sendiri yang mengimpikan Idayu, istri dari seorang sahabat Wiranggaleng, dan berharga bagi dirinya sendiri.
Seluruh awak jung yang tiga puluh buah itu tak berbahasa Jawa atau Melayu. Semua orang Tionghoa totok, dan nampaknya semua mereka menghindari percakapan dengan para prajurit. Bila terpaksa hanya bahasa gerak yang dipergunakan.
Sebagian kecil dari awak kapal beragama Islam dan pada setiap kesempatan ikut berjemaat.
Di Lao Sam armada jung itu berlabuh.
Liem Mo Han menjemput Wiranggaleng dan menemukan Pada ikut serta.
Tak perlu lama-lama berlabuh di sini, pesan Babah Liem. Senapatiku bisa tertinggal oleh armada Jepara.
Sementara itu dari dermaga dipunggah ke dalam jungjung itu bahan makanan, pakaian dan senjata.
Juga tidak perlu bermalam di Jepara. Bila sudah sampai di Semenanjung, memantai sebelah barat Sumatra, Senapatiku mendarat di mana saja di sebelah utara Malaka. Pasukan-pasukan Aceh sudah tahu di mana harus mendarat. Bila Senapatiku sampai di Aceh, pasukan gabungan Aceh-Bugis sudah menunggu di sana.
Wiranggaleng terheran-heran mengapa kata-kata sahabatnya begitu kacau, dan mengapa dia yang memberikan petunjuk kemiliteran dan bukan Panglima Demak Fathillah. Ia tatap sahabatnya dengan pandang tidak mengerti.
Melihat itu Liem Mo Han meneruskan dengan gugup: Ya, Senapatiku, sahaya hanya meneruskan pesan Gusti Ratu Aisah, Ibunda Sultan. Tuban, Aceh dan Bugis akan merupakan satu kesatuan tersendiri. Demak akan menyerang dari sebelah selatan sebagai kesatuan tersendiri pula, dan akan melakukan pendaratan dari sebelah timur Semenanjung. Boleh jadi armada Demak sudah berangkat terlebih dahulu. Atau lebih kemudian.
Wiranggaleng semakin terheran-heran. Bagaimana bisa demikian" Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia curiga. Ia anggap Liem Mo Han tak mempunyai sesuatu hak untuk memberinya petunjuk barang sedikit pun di bidang ini. Dan ia menatapnya dengan curiga.
Dan Liem Mo Han berusaha untuk tidak bicara lagi, mencari dalih untuk segera dapat menghindarinya.
Senapati Tuban mengucapkan terima kasih atas usahanya mendapatkan jung sebanyak itu.
Pada berusaha menyertai bicara, tetapi Liem Mo Han hanya menghormatinya dengan sopan kemudian mengundurkan diri, dengan dalih yang tidak masuk di akal.
Armada jung meneruskan pelayaran. Suasana tetap: suram bertanya-tanya.
Walau telah dipesan oleh Liem Mo Han agar tak bermalam di Jepara, Wiranggaleng memutuskan untuk singgah dan mencari keterangan yang benar. Ia ingin mendapatkan petunjuk dan perintah langsung dari Fathillah. Ia melihat Pada nampak bingung, kuatir dibangkit-bangkit, maka ia sengaja tak hendak bertanya padanya.
Sedang Pada sendiri pun tidak mengerti mengapa Liem Mo Han menjadi begitu aneh. Terhadap dirinya pun ia bersikap seolah tak mengenal, seakan bukan lagi seorang ayah angkat. Dan nampak olehnya orang itu gugup dan ingin segera pergi mengakhiri pertemuan itu.
Armada jung itu berlayar terus dalam suasana muram. Kosong! seru Wiranggaleng waktu dari jung bendera ia melihat pelabuhan Jepara kosong.
Hanya sebuah kapal perang nampak, dan itulah kapal bendera Adipati Unus yang dipajang di pelabuhan.
Tak kelihatan barang sebuah pun kecuali yang satu itu! serunya geram.
Bekas kapal bendera itu bergeleng-geleng lemah. Berbelas tahun lamanya menjalankan perintah Unus untuk jadi tontonan ummat manusia sebagai kapal yang pernah bertempur melawan Peranggi silelananging jagad. Sekalipun kalah dan dikalahkan dia pernah melawan!
Dan kapal pameran itu seakan dimaksudkan sebagai lambang kapal mana pun bisa melawan Peranggi.
Adipati Unus telah melarang diadakannya perbaikan setelah 1513.
Tiang-tiang layar dibiarkan patah, haluannya terpenggal, bahkan kaki cetbangnya terbalik dengan tubuh tinggal sebagian kecil. Dindingnya yang complak tinggal menganga. Perbaikan yang diperkenankan hanya atas kerusakan yang bisa membikin kapal itu tenggelam. Dan semua orang diperkenankan naik ke atasnya untuk menonton.
Sultan Trenggono tak suka melihatnya. Ia tak pernah memerintahkan untuk menenggelamkannya. Hanya pekerjaan perawatan tak diperkenankan diteruskan.
Dengan demikian bekas kapal bendera itu dinamaikan satu itu.
Lima ratus prajurit laut Tuban yang bersemangat rendah sejak mancal, melihat kekosongan Jepara seperti melihat bekas pesta. Di mana-mana nampak daun bekas pembungkus yang bersebaran dan bermain-main ditiup angin. Dan kalau selama pelayaran mereka banyak termenung-menung, sekarang mereka mulai berteriakteriak: Kurangajar! Tak tahu diuntung!
Wiranggaleng dapat mengerti perasaan anakbuahnya. Perasaan mereka adalah juga perasaannya sendiri. Ia telah menduga ada pengkhianatan tersembunyi dalam perintah pemberangkatan ini. Ia belum tahu apa dan bagaimana. Bahkan ia pun mulai mencurigai Pada. Bagaimanapun sahabatnya itu bekas seorang musafir Demak, dan mungkin masih tetap seorang musafir Trenggono.
Jung bendera mulai melewati yang satu itu, memasuki selat antara pulau Kelar dan pulau Panjang. Senapati Tuban itu memerlukan mengangkat sembah pada gambaran gaib Adipati Unus. Dan jung menuju langsung ke pelabuhan.
Bandar itu sunyi walaupun di mana-mana terpasang umbul-umbul segala warna. Galangan dan bengkel sama sekali berhenti bekerja. Bahkan Syahbandar pun tak nampak menjemput, sebaliknya seorang wanita tua berpayung hitam, berdiri, bersama seorang gadis, di samping sebuah tandu yang tergeletak di atas tanah. Para penandu nampak duduk-duduk di kejauhan menonton berlabuhnya armada aneh itu. Wiranggaleng mendarat dengan wajah merah padam.
Anakku, tegur wanita tua berpakaian serba hitam itu. Sudah kami duga kau akan singgah.
Senapati Tuban segera teringat pada wanita tua itu. Ia bersimpuh dan menyembah: Gusti Ratu, patik singgah.
Armada Jepara telah berangkat mendahului. Tentu Babah Liem sudah sampaikan segalanya padamu, Wiranggaleng, Senapati Tuban. Jangan berkecil hati, karena kau, anakku, akan membentuk kesatuan sendiri dengan Aceh dan Bugis. Terimalah ini, cincin yang pernah dibawa dan dikenakan almarhum Unus waktu menyerang Malaka, pertanda kau diberi wewenang oleh Jepara dan Demak. Sri Baginda Sultan Trenggono merestui kau. Senapati Tuban. Allah akan memimpin dan memberkati dan melindungi kau dan semua anakbuahmu, demi doa kami. Insya Allah selamat dan berhasil.
Wanita tua itu minta Wiranggaleng mengulurkan tangan-kanannya, kemudian memasangkan cincin. Dan Senapati membalas dengan sembah dan beribu terimakasih dengan kepercayaan itu.
Ia memberanikan diri mengangkat muka dan bertanya: Ya, Gusti Ratu, apakah gerangan sebabnya pasukan kami diangkut dengan jung Tionghoa, bukan dengan kapal perang sebagaimana layaknya"
Jangan bertanya, anakku, karena itulah kiriman Allah dan bukan sekedar manusia yang mengusahakan.
Bagaimanakah jung-jung ini tanpa barisan pendayung untuk bisa bergabung dengan armada Jepara-Demak"
Jalan dan tugasmu telah ditentukan, anakku. Lepaskan armada Jepara-Demak dari pikiranmu.
Armada jung ini takkan dapat lari dari Peranggi, Gusti Ratu, tak dapat melawan sedikit pun di laut.
Kau takkan dikejar Peranggi, juga tidak melawan di laut. Tugasmu melakukan pendaratan.
Wanita tua itu naik ke atas tandu bersama cucunya. Dan para penandu lari menghampiri, menyembah, kemudian mengangkatnya, bergerak meninggalkan bandar.
Wiranggaleng tertinggal berlutut di atas pasir. Ia makin tidak mengerti. Ia perintahkan para peratus untuk segera mendarat: Sampaikan pada anakbuah kalian, jangan berkecilhati. Apa pun yang terjadi dan tersedia, kita bertekat untuk menggempur Malaka. Jangan pikirkan yang lain.
Orang mulai berdatangan di pelabuhan untuk melihat armada aneh armada jung berbendera Majapahit. Armada apakah ini gerangan" Armada dagang membawa beras ke Pasai" Dan tidak lain dari Wiranggaleng juga yang merasa jengkel armada-anehnya jadi tontonan, dianggap sebagai keanehan jaman yang perlu disaksikan.
Dari suatu tempat yang terlindung. Ratu Aisah di atas tandunya mengantarkan armada jung itu dengan pandang yang memendungi selaput awan.
Nenenda, panggil cucunya, ke mana mereka belayar"
Malaka, mengusir Peranggi. Mengapa nenenda menangis"
Kapal-kapal besar dan kuat dan mewah bikinan pamanmu. Upik, semestinya mengangkut mereka. Ya, nenenda, tapi mengapa nenenda menangis" Upik, kadang ada gunanya orang menangis untuk mengucapkan syukur, kadang untuk mengucapkan doa dan diri merasa demikian rendahnya di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Masih kau ingat pamandamu, Unus, penantang Peranggi"
Tentu, nenenda. Paman Adipati Unus, penantang Peranggi.
Dan ingat-ingatlah satu nama lagi: Wiranggaleng. Dia pun menantang Peranggi. Kau masih terlalu kecil untuk dapat mengingat wajah pamanmu almarhum. Tapi Wiranggaleng kau sudah lihat sendiri. Jangan sampai kau lupa seumur hidup.
Yang dikaruniai cincin tadi, nenenda"
Ya, yang tadi itulah. Lihatlah ke sana sekarang, antarkan armadanya dengan doa selamat, cucunda. Sertai nenenda mengucapkan doa untuk kemenangannya.
Wanita itu mengucapkan sebaris kalimat doa dan cucunya mengulangi. Kalimat demi kalimat sehingga selesai. Kemudian dengan suara dalam karena perasaan tertekan ia meneruskan: Kelak kalau orang-orang seumur aku telah dipanggil Tuhan, cucunda, orang-orang seumurmu masih harus mengingat satu nama itu, dan satu lagi itu. Kalau kelak negerimu aman, makmur dan sentausa, adil dan sejahtera, adalah karena mereka. Kalau yang sebaliknya yang terjadi mereka gagal. Ya-ya, kelak kau akan mengerti, musuh negeri dan bangsamu bersaf-saf, berlapis-lapis. Aaa, kau tidak dengarkan.
Tandu itu berangkat lagi dengan mengirimkan doa pada armada jung dan cericau cucu tentang umbul-umbul dan rombongan penonton di pelabuhan.
Setelah bersembahyang magrib Ratu Aisah berdoa sampai menjelang isya, doa terpanjang yang pernah diucapkan di dalam khalwat. Dengan berlinangan airmata ia memohon kedamaian dan kemampuan untuk memaafkan putranya Sultan Trenggono, karena armada Jepara-Demak telah dilarang oleh putranya menerima penggabungan Tuban, dan berangkat satu hari sebelum waktu yang dijanjikan. Dan bukan sebagian armada yang berangkat, seluruhnya dan dengan seluruh pasukan laut ditambah dengan pasukan kaki. Ia sendiri tak percaya armada itu menuju ke Malaka. Maka ia berdoa agar Allah menggerakkan putranya untuk menggerakkan armada itu langsung ke sasaran. Tapi hatinya tidak yakin.
Setelah bersembahyang isya ia menengok cucunya yang ternyata belum lagi tidur, dan direbahkan tubuh tuanya di samping cucunya.
Mengapa nenenda begitu terlambat" tegur cucunya. Sekarang, cucunda bacalah surah-surah yang kau sudah hafal.
Cucu itu mulai mengulang-ulang dari surah hafalan sambil bertidur-an. Suaranya semakin lama semakin lemah untuk kemudian terhenti dan disambung dengan nafasnya yang teratur.
Ratu Aisah bangkit dan keluar dari bilik.
Makan malam itu tak dijamahnya. Ia pergi ke taman, memandangi bintang-bintang bertaburan di langit gelap. Jiwa yang telah tua itu meraung-raung pada antariksa, memanggil-manggil, berseru-seru, terhisak-hisak dalam kekuatiran, dan menjolak-jolak dengan harapan. Ia rasai buminya tiada keteguhan lagi, setapak tanah pun tak lagi kekukuhan untuk berpijak. Ambillah makhluk-Mu ini, habisilah kesia-siaannya, seorang wanita, tua dan tanpa daya. Hidupi terus cucuku, dengan semangat yang sudah dimulai oleh pamannya. Segala sudah aku tempuh, aku usahakan. Janganlah datangkan jaman sebagaimana aku dan orang-orang sebelum aku tiada menghendaki, karena jaman yang itu akan membikin sia-sia segala dan semua yang telah umat-Mu taburkan di bagian bumi ini. Ya Allah, ya Allah.
Tengah malam ia baru masuk ke dalam rumah. Para inang masih juga menunggui. Makan malam telah dihangatkan lagi. Ia tak juga datang untuk menjamah.
Terdengar percikan air. Ratu Aisah mengambil air wudhu, kemudian kelihatan ia masuk ke dalam khalwat kembali dan bersembahyang tahajjud sampai subuh.
Dengan susah-payah armada jung itu berlayar ke arah utara untuk mendapatkan angin yang lebih menguntungkan.
Dan Wiranggaleng masih juga tenggelam dalam pembisuannya. Tak ada yang berani mengganggunya. Orang melihat keterangan telah memperkosa airmukanya. Orang-orang yang datang untuk menunggu perintah tinggal duduk-duduk menunggu dan menunggu Bahkan tak ada orang yang berani menyilakannya makan.
Tempat kesukaannya adalah lambung kiri. Di sana ia berdiri dengan pandang ditebarkan pada pantai Jawa yang serasa tiada kan habis-habis-nya, siang dan malam.
Dan sekali ini ia sengaja mengenangkan kembali pidato Rama Cluring yang terakhir itu, sewaktu cengkaman gurupembicara pada hadirin mulai mengendor, dan di sana-sini orang mulai terdengar mendehem dan terbatuk-batuk. Dan tiba-tiba semua pandang terarah pada Idayu yang angkat bicara: Rama, aku tak begitu tertarik pada kata-katamu yang belakangan itu. Ceritai saja kami tentang jaman kejayaan yang kau agung-agungkan itu.
Rama Cluring menengok ke arah Idayu, tersenyum dan mengangguk: Permintaan yang bijaksana. Gadis, agar kalian tahu perbandingan dengan jaman kalian sendiri sekarang ini. Dengarkan, Gadis: Dalam seluruh pengembaraanku, aku selalu mengagungkan jaman kejayaan itu, biar orang tua-tua sekarang ini tahu sampai di mana mereka sudah merosot, ya sampai ke lutut dibandingkan dengan nenek-moyangnya sendiri. Sayang sekali. Gadis, orang-orang tua itu kalau diceritai, hanya mengangakan mulut seperti buaya berjemur menunggu lalat. Pengelihatannya dan pendengarannya sudah tak peka lagi. Kau anak berbahagia, Gadis. Memang aku lebih suka melayani pertanyaan dan permintaan gadis dan perjaka, karena jaman ini adalah permulaan dari jamannya, dan kalian sendiri, bukan orangtua kalian yang sudah berlengahlengah tak sanggup membiakkan kelapa itu.
Kau sendiri sudah menyia-nyiakan jamanmu sendiri, Rama, seseorang memprotes.
Itu menurut kau. Soalnya karena kalian sejak dulu tak mau mendengarkan aku. Sampai berbulu putih begini aku masih terus bicara dan kalian masih juga menganga menunggu datangnya lalat.
Mulailah dengan cerita itu! Idayu mendesak. Baik, sambar Rama Cluring untuk meninggalkan pertengkaran secepat mungkin. Dahulu adalah seorang anak desa, Nala namanya. Dia berasal dari sebuah kampung nelayan di Tuban. Seorang bocah yang oleh para dewa dikaruniai dengan banyak cipta. Untuk Majapahit dia ciptakan kapal-kapal besar dari lima puluh depa panjang dan sepuluh depa lebar, bisa mengangkut sampai delapan ratus o-rang prajurit dan dua ratus tawanan, kapal-kapal besar, terbesar di dunia ini, di seluruh jagad ini. Pada tiang agungnya selalu terpasang bendera merah-putih yang berkibar tak jemu-jemunya. Seperti bendera kapal-kapal kecil Tuban sekarang ini, hanya lebih pendek.
Beratus-ratus kapal semacam itu dibuat di galangangalangan Majapahit di Tuban, Gresik, Kawal, Panarukan, Pasuruan, Pacitan, Juana& aku kira jumlahnya takkan kurang dari tiga ribu. Penuhlah laut dengan armada Majapahit. Setiap di antaranya pasti akan kalian sangka istana Dewi lautan. Dan setiap kapal pimpinan selalu berlayar sutra kuning gemerlapan.
Apakah Rama pernah melihat dan menaikinya" Idayu bertanya lagi.
Waktu muda, ya, dari Gresik sampai ke Nalagasari, dari Malaka sampai ke utara sana, memudiki Kali Mutiara. Tak ada yang menyamai besar dan kelajuannya. Kapalkapal Atas Angin itu, huh, apalah artinya, seperti kambing di sebelah kuda. Dan bila semua layar telah dikembangkan, laksana elang ia meluncur meninggalkan di belakangnya semua bikinan manusia yang terapung di atas laut. Seribu bajak takkan dapat memburu apalagi mengepungnya. Ya, Gadis, aku pernah ikut berlayar dengan sisa jenis kapal Majapahit ini. Tak ada lagi yang bisa membikinnya sekarang.
Mengapa tak bisa" Bukankah di bandar-bandar orang terus menggalang" Idayu merangsang. Aku sendiri pernah berkunjung ke sebuah galangan Tuban setahun yang lalu.
Tidak bisa. Gadis. Sudah lebih seratus tahun orang tak dapat membikinnya lagi. Orang yang dapat mengetahui kayu lunas yang dipergunakan oleh Mpu Nala sudah tiada.
Bocah dari kampung nelayan Tuban itu bukan saja seorang Mpu kapal, ia pun seorang ahli kayu. Memang ia pernah ke kepulauan cengkeh dan pala. Hanya sebuah saja katanya, yang menghasilkan. Pulau itu tidak begitu besar dengan sebuah gunung berapi. Kira-kira seratus tahun setelah Mpu Nala wafat, orang memang masih membangunkan kapal Majapahit, karena masih ada persediaan kayu lunas. Setelah habis, habis pula kemungkinan.
Pada suatu kali, Rama Cluring meneruskan. Airmukanya nampak lunak, dan ia tidak mempedulikan kegelisahan yang masih juga berkuasa di dalam hati setengah orang, Sebuah iring-iringan kapal datang ke sana, begitu menurut cerita guruku dulu. Ternyata gunung itu telah meletus, menghancurkan semua hewan, manusia dan tetumbuhan di atasnya. Yang tertinggal hanya seperlima dari pulau itu, putih, tinggal pasir dan karang semata.
Kalau begitu kayu itu sekarang sudah tumbuh lagi di sana, Galeng mencoba menyertai.
Mungkin kau tak salah, Perjaka. Tapi orang sudah tak tahu lagi kayu yang mana, pada umur berapa baru bisa diteras dan ditebang, bagaimana merawatnya sebelum dan sesudah ditebang. Lagi pula orang datang ke sana bukan untuk mencari kayu, tapi rempah-rempah semata. Ia diam sebentar untuk minum. Memang tidak semudah itu. Mpu Nala telah merahasiakannya. Kalau setiap orang tahu, semua kerajaan di dunia ini bisa juga, maka kapal-kapal Majapahit bukan lagi satu-satunya yang menguasai laut.
Mengapa kau tak bicara lagi, Kang" Idayu berbisik pada Galeng.
Dan Galeng hanya menggeleng, tenggelam dalam cerita guru itu.
Beruntunglah aku pernah ikut berlayar dengannya. Lunasnya masih tetap utuh, biarpun badannya telah berkali diganti. Kata guruku, sebelum kayu dibentuk jadi lunas, beberapa bulan lama direndam dalam lumpur larutan sesuatu. Orang tak tahu ramuannya. Pewaris tunggal ramuan adalah anaknya, juga seorang Mpu kapal. Sayang, ia menghembuskan nafas keluh, ia tewas dalam pertempuran laut di sebelah utara Singaraja dalam perang Paregreg. Ah, jaman silam! Kapal-kapal megah yang mampu membawa ratusan prajurit begitu, dan perlengkapan, dan perbekalan, dan tawanan. Kalau kapalkapal semacam itu masih ada, dan sebanyak dulu, tak bakal ada kapal Parsi, Arab dan Benggala berkeliaran ke mari.
Satu demi satu kapal itu binasa dalam Perang Paregreg. Kapal dari satu jenis berhadap-hadapan, dengan senjata satu jenis: cetbang. Tenggelam terkubur di dasar laut akhirnya semuanya.
Sebuah kapal dari jenis ini pernah dilarikan dari Tuban ke Malaka. Yang melarikan ialah suami kaisar Suhita. Dengan diiringkan oleh beberapa buah kapal kecil Pangeran Bhre Paramesywara itu marak jadi raja di Malaka, tetapi tak pernah dapat membangunkan sendiri kapal Majapahit. Apa yang dijanjikannya tak pernah ditepati. Kalau Majapahit tak mampu hidup di Selatan, kami akan hidupkan dia di utara, kata Pangeran Bhre Paramesywara. Ternyata Malaka tidak pernah melahirkan Mpu Nala. Bandarnya tak lebih baik dan tak lebih besar ataupun bagus daripada Tuban, namun merugikan bandar-bandar di bawahnya, dan tinggal jadi bandar dagang dan persinggahan. Majapahit runtuh di selatan dan tak bangun di utara.
Rama, seseorang menegur, sebenarnya kau hendak bicara tentang apa" Bicaramu tidak menentu. Kau mengagungkan kejayaan Majapahit.
Yang kau agungkan runtuh. Di mana pula kejayaannya" Bicaramu melompat-lompat seperti katak diburu ular!
Uah! kau benar, Rama during mengangkat dagu tinggi-tinggi, mukanya telah berkilat-kilat karena keringat. Ada kalanya katak berlompatan dikejar ular. Ada kalanya dia mati kena terkam. Namun sebagian terbesar dari hidupnya yang pendek dia mengagungkan hidup bukan mati. Hanya kau, yang dalam hidupmu melihat katak cuma dalam buruan ular. Mengerti kau apa maksudku" Boleh jadi kau sedang menunggu-nunggu datangnya kata-kataku yang bisa memperluas hatimu. Puh! Rama CIuring bukan si pengluas hati.
Tak ada yang berkeberatan Rama seorang pengeluas hati atau tidak. Bukankah tahu juga kau, mayat orang baikbaik dibakar, hanya orang-orang tak menentu ditanam" Yang dibakar nyawanya terbang ke Suralaya, yang ditanam hancur dimakan cacing dan nyawanya jadi dedemit. Kau bicara tentang yang sudah mati, Rama, penyanggah itu menetak gencar. Katakanlah, kau bicara tentang suralaya atau kerajaan dedemit"
Suralaya dan kerajaan dedemit dan nirwana aku tak tahu. Itulah perkara parabiksu, pandita dan pedanda. Aku tak bicara tentang kema-tian. tentang kehidupan, tentang hidup dan bercipta dan mencipta. Majapahit kehilangan Mpu Nala, dan Malaka tidak melahirkannya. Di Suralaya dan di kerajaan dedemit dia tidak ada. Kalau ada kapalkapalnya sudah pasti akan datang di bandar-bandar seluruh dunia. Tetapi, dengarkan, kau yang tak mengerti tentang kebesaran dan kejayaan. Dengarkan yang baik, kau pembantah, negeri dengan bandar begini,& orang cukup duduk seminggu di pelabuhan, melihat-lihat besar dan banyaknya kapal sendiri yang mondar-mandir pergi dan datang& orang akan tahu sampai berapa artinya negeri itu. Hanya orang hidup dari kekecilan negeri ini yang tidak bakal mengerti maksudku. Dan barangkali karena katakataku ini bukan saja seorang tapi banyak Mpu Nala, karena panggilan ini, membenih dalam guagarba perawanperawan yang ada di dalam balai-desa sekarang ini/
Rama CIuring diam dan berdoa. Juga Galeng mengangkat sembah. Kata-kata Rama yang terakhir itu menggelora berseru-seru dalam hatinya. Segera ia akan kawini Idayu. Dan kelak anak-anaknya juga harus jadi Mpu penggalang kapal, pendiri kebesaran dan kajayaan.
Ia sendiri, seperti yang lain-lain, telah banyak mendengar tentang kebesaran dan kejayaan Majapahit Majapahit yang kini telah mati tinggal jadi cerita itu. Doa Rama CIuring ia rasai seakan tertuju pada dirinya semata: kau, kau munculkan dia dari guagarba haridepan.
Ketika ia menengok pada Idayu, perawan itu sedang tersenyum melirik dari samping. Ia betulkan letak kain kerudung pada bahu pacarnya. Kemudian tangannya mencari tangan Idayu, dan mereka berpegangan tangan seakan tiada kan lepas lagi untuk selama-lamanya. Panas bisik Idayu.
Mereka namai dia seorang dewa haridepan, gumamnya. Tanpa pikir panjang, hanya untuk menyatakan penghargaannya, ia angkat kata: Rama, kau tahu tentang jaman lewat, kau sendiri hidup dalam jaman kemerosotan ini seperti kau sendiri telah katakan, maka kau berseru-seru pada jaman mendatang, seakan kau hendak memberikan pada kami tiga-tiga jaman itu tidak berpisahan seperti banyak orang bergandeng-gandengan dalam suatu permainan.
Tidak pernah berpisahan, Perjaka, bersambungan dan bergandengan tak putus-putusnya.
Ya, bersambungan terus-menerus. Tapi tidakkah kau keliru. Rama, atau sengaja membodohi kami, atau memang melebih-lebihkan, atau barangkali kau seorang tua pembohong, waktu kau mengatakan lunas kapal Mpu Nala jauh lebih tahan dari badan kapal yang berkali diganti, sampai kapal itu mencapai umur lebih dari seratus tahun" Indah sekali pertanyaan itu, Perjaka. Memang aku tak dapat membuktikan karena barangnya sudah tidak ada. Kau boleh tuduh aku bodoh, bohong dan melebih-lebihkan. Kau sendiri pun takkan dapat membuktikan kebohonganku. Di jaman jaya dulu memang seorang pembicara harus bisa buktikan kebenaran omongannya, kalau diminta. Itu aturan dulu. Dalam jaman kemerosotan ini aturan itu hilang dengan sendirinya.
Rama Cluring menggerakkan tangan untuk melukiskan bentuk lunas.
Rama, kau tidak memanggil kebesaran pada guagarba haridepan. Kau memanggil balatentara Tuban untuk menumpas kami& , seseorang menuduh.
Orang tua itu tidak peduli dan meneruskan: Mpu Nala bukan sekedar hanya mendapatkan kayu itu. Dia punya sumber cipta agung. Dia juga yang membuat aturan sehingga puluhan kapal yang bersebaran di permukaan laut dapat bicara satu-sama-lain seperti aku dan kalian sekarang ini.
Rama, karena kau sudah bilang para guru-pembicara sekarang ini tak dikenakan aturan membuktikan kebenaran kata-katanya, terbebaslah kau, jadi kau boleh membohong sekuat mulutmu. Kau hanya ngomong, ngobrol, tak lebih.
Orang tua yang serba putih itu terhenyak. Matanya menyala-nyala. Mukanya yang keriput makin berkerutkerut dalam, seakan sedang menyiapkan ledakan. Dan ledakan itu ternyata tiada. Ia menuding pada para pendengar yang duduk berbanjar-banjar. Ia menelan ludah. Tak ada keluar kata-kata dari mulut.
Dari beberapa tempat mulai terdengar orang mengejek. Dan mereka yang arif dapat segera melihat, guru-pembicara itu merasa tersinggung. Mereka yang sudah mengenal wataknya tahu, singgungan terhadap kebesaran dan kejayaan Majapahit adalah juga singgungan terhadap kehormatan pribadi Rama.
Mengapa terdiam" Mengapa tidak memekik dan berjingkrak"
Jangan menangis, Rama, seorang dari banjar tengah melengking ria, memang orang-orang muda wajib menghormati orang tua, tapi jangan kau kira kau boleh semburkan abab semau sendiri.
Rama Cluring belum juga menjawab. Nampak benar ia sedang bergulat untuk menindas perasaannya.
Tak lain dari Idayu yang berusaha menyelamatkan Rama. Berseru ia keras-keras: Aku menghargai Rama. Idayu berdiri, seakan menantang semua orang. Sekali lagi Galeng menarik duduk. Pemuda-pemudi desa berseru-seru menyokong Idayu dan membenarkannya.
Baru kemudian keluar kata-kata Rama yang berat dan sepatah-sepa-tah: Kalian datang di hadapanku untuk apa" Untuk mendengarkan aku. Pekerjaanku memang bicara. Suara itu bernada rendah memohon simpati& . Seorang diri aku berseru-seru: Jangan biarkan anak-anak kalian tenggelam dalam kemerosotan jaman. Bangkit: Lawan kemerosotan. Lebih dua puluh tahun aku bicara. Tetapi orang masih juga tak mau mengerti.
Sekarang suaranya mengambil nada semula, cepat dan bersemangat: Tugasku adalah bicara agar kalian mengerti, jaman sudah beralih dari kejayaan pada kemerosotan sekarang ini. Kalau kemerosotan tak dapat ditahan, yang bakal datang tak lain dari kebinasaan.
Kalau begitu. Rama, Galeng memaksa bicara hanya untuk menunjukkan simpati. Ceritai kami bagaimana orang membangkitkan kejayaan, menahan kemerosotan. Jangan gubris mereka yang hanya tahu mengejek, yang tak mampu mengerti. Kau jadi panas, Kang" Idayu berbisik memperingatkan. Para pengejek itu tak hanya sekelompok buaya. Suasana berubah waktu gadis anak kepala desa datang membawa nampan berisi gendi, meletakkannya di hadapan Rama, dan mengambil cawan yang telah kosong, kemudian pergi lagi.
Guru itu nampak sangat haus. Ia ambil gendi dan minum dari kucuran cucuknya.
Dengarkan kalian yang ikut bersama kemerosotan jaman ini! Orang bijaksana mengetahui berubahnya jaman dari pengertian-pengertiannya. Guru-pembicara seperti aku ini hanya menyampaikan pengertian. Orang yang tidak bijaksana, yang bebal, baru tahu jaman sudah atau sedang berganti kalau cambukan perang telah mendera-dera pada punggungnya. Tetapi darah dan keringat yang dikucurkannya sudah sia-sia belaka bakalnya. Dia akan meregangkan nyawa di mana saja, di ladang, sawah, jalanan, laut atau darat, untuk kesia-siaan itu. Kesalahannya hanya: bebal, tak punya kebijaksanaan.
Tiba-tiba Rama Cluring meringis. Tangannya menelusuri perutnya. Sakit perut! orang menduga. Kemudian nampak Rama mengerutkan gigi. Dan begitu wajahnya cerah kembali ia melanjutkan kata-katanya, cepat-cepat: Dengarkan, kau Perjaka, bagaimana orang telah membangkitkan kejayaan, dan itu lebih berarti daripada hanya sekedar menahan kemerosotan.
Kembali ia meringis. Tangannya gelisah menelusuri perut.
Ada seorang anak desa, seorang anak lurah, katanya cepat-cepat. Anak ini diemong oleh bujangnya, seorang prajurit pelarian balatentara Tatar Kublai Khan. Dari pengemongannya si bocah belajar membikin senjata-api penangkap rusa dan babi hutan. Bocah bukan sembarang bocah. Dia pun punya cipta dan dayacipta besar. Aku akan perbaiki senjata-api ampuh ini, dibuat sebanyak-banyaknya, dan balatentara yang menggunakannya akan menjadi pemenang tunggal di atas bumi manusia ini.
Ia bertekad menjadi orang besar untuk dapat menggunakan senjatanya. Setelah dewasa ia tinggalkan desa dan orangtua dan pengemongnya, dan masuk ia ke pusat kerajaan Majapahit. Dengan ilmu berkelahi dari pengemongnya dengan mudah ia dapat hancurkan kepala banteng dengan sebelah tangan, dan jadilah ia perwira pengawal Sri Baginda Jayanegara. Ia mendapat nama militer: Gajah Mada.
Wajah Rama kelihatan pucat. Tapi ia berkukuh meneruskan ceritanya: Dengan daya cipta besar ia berhasil meningkat jadi Mahapatih. Uh, pemberontakan Kuti itu sangat berarti bagi seorang seperti dia. Pada waktu itulah ia kembangkan senjata-api yang kini kalian kenal dengan nama cetbang. Dan dengan kapal-kapal Mpu Nala yang dipersenjatai cetbang armada Majapahit tak pernah menemui perlawanan. Bila pelurunya berledakan di udara, kerajaan-kerajaan bandar pada takluk dan menyerah. Kembali ia meringis dan menekan-nekan perut. Idayu bangkit untuk menolongnya.
Rama CIuring meneruskan: Tidak menemui perlawanan di mana pun. Di setiap bandar kerajaan di seberang, raja-raja pada turun dari singgasana, datang menyongsong armada di bandarnya. Peluru-peluru cet-bang yang berledakan di udara, seperti kilat dan guruh sekaligus, membikin Majapahit jadi penguasa tunggal atas Nusantara suatu yang pernah dicapai oleh Sriwijaya selama tiga ratus tahun. Di tengah laut peluru-pelurunya berluncuran di atas permukaan air membinasakan armada-armada perampok dan bajak laut. Maka darat dan laut aman.
Dalam sepuluh tahun kemudian Majapahit mulai jadi kekaisaran. Kemudian seluruh Nusantara bersatu di bawah bendera merah-putihnya.
Ia menguruti perut, dan dada dan leher. Suaranya kehilangan kekuatannya, namun ia masih tetap meneruskan: Waktu itu hanya ada dua kaisar. Kaisar Tiongkok di utara dan Kaisar Majapahit di selatan& .
Kebesaran dan kejayaan masa lalu, Wiranggaleng bergumam, kemudian menghembuskan nafas dalam. Kapal besar, kapal pemenang di seluruh jagad. Dan sekarang aku hanya dengan jung& jung Tiongkok pula& .
Malam datang. Dingin mulai tak tertahankan. Ia lepas kain penutup celana, selembar kain batik buatan istrinya, dan dibuatnya jadi penutup dada.
Sekarang ia terkenang pada rusa yang malam ini mungkin pada berbaris menyerang ladang-ladang petani. Entah sudah berapa puluh saja binatang itu telah memasuki jebakan ranjaunya. Semua telah ia kuliti, ia potong-potong, didendeng. Rusa-rusa itu makhluk yang tak berbahagia di negerinya sendiri. Setiap ekor pada suatu kali mengalami seperti itu. Ya, tidak berbahagia di negeri sendiri. Sedang yang bijaksana tak dapat berbuat apa-apa, hanya bisa bicara di desa-desa. Yang dungu mempunyai segala-galanya dan dapat mengerahkan semua untuk berperang dan mati buat kesukaannya.
Makin malam makin riuh pergolakan dalam dirinya. Bukan bayangan yang memburu-buru, bukan rusa bukan kijang, tapi tanya dan duga yang tiada putus-putusnya.
Bagaimana mereka jadinya dalam sepuluh tahun mendatang" Apakah serba kebalikan daripada impian Rama Cluring impianku pribadi" Bagaimana bakalnya nasib Gelar dan Kumbang" Apakah mereka akan lebih buta dan lebih tidak berdaya, tidak berkemampuan, daripada aku" Apakah mereka akan hanya jadi korban kesia-siaan raja-raja yang dungu"
Dan Pada yang terus mendampinginya menjadi gelisah melihat perkembangan sahabatnya yang jadi aneh itu. Ia memberanikan diri bertanya: Bukankah kita tetap menuju ke Malaka, Kang"
Jangan pikirkan yang lain-lain, ia ulangi perintahnya pada para peratus di bandar Jepara. Kita akan gempur Malaka.
Tengah hari waktu itu. Pesisir pulau Jawa nampak dari kejauhan sebagai garis putih yang gemerlapan, bersambung naik dengan hijau-kelam hutan dan gunung-gemunung, dengan puncak-puncaknya yang semakin tinggi semakin cerah menantang laut.
Kau ingat rumah, Kang"
Belum lagi kau selesaikan ceritamu tentang Trenggono dan Fathillah.
Jung-jung ini takkan mungkin dapat memburu armada Fathillah, Pada mengalihkan percakapan.
Trenggono dan Fathillah, Pada, Wiranggaleng memperingatkan.
Ya, Trenggono dan Fathillah. Apa lagi perlunya kita fikirkan, Kang. Hanya Malaka tujuan kita. Mereka hanya Sultan dan Panglimanya, laksamananya, mereka hanya ipar dengan ipar. Kita bukan apa-apanya. Urusan kita tetap Malaka, Kang.
Mengapa Liem Mo Han tak ramah terhadapmu" Juga tidak padamu. Urusan kita tetap Malaka, Kang. Armada jung aneh itu tidak menyinggahi bandar-bandar kecil. Dan prajurit-prajurit laut ini berlayar semata-mata dengan kekuatan angin. Setiap hari mereka tak mempunyai banyak kerja, dan mencoba melupakan tugas tidak menentu dengan mengobrol, bercerita mendalang atau berlaku sebagai seorang guru-pembicara. Bergurau pun tidak terjadi, kuatir bisa menimbulkan salah duga pada pemimpin mereka.
Ketiga armada jung akan melalui bandar Banten, dari kejauhan nampak armada Jepara-Demak seperti sebarisan camar yang sedang mengapung di permukaan air, putihkelabu dengan layar keperakan, dan dua buah kapal berlayar dengan layar kuning gemerlapan.
Semua orang memerlukan meninjau. Dan mereka tidak bersorak, seakan sedang melihat sesuatu yang sama sekali tidak mereka harapkan.
Kembangkan semua layar. Tambah kalau bisa! perintah Wiranggaleng. Ia sendiri malu memerintahkan untuk mengejar. Yang demikian-memang tidak mungkin.
Orang menghindarkan pandang dari bandar Banten dan membutakan hati pada kerinduan pada darat. Semua layar dipasang penuh, bahkan layar-layar tambahan mulai dikembangkan pula. Titik-titik bersayap keperakan dan keemasan itu makin lama makin kecil. Memang tak mungkin dapat menyusul. Namun pengejaran yang sia-sia diteruskan juga, sedang hati membisu dan hati digumul jengkel.
Dari jung paling belakang orang berseru-seru bersama: Aaaaa! dan armada Jepara-Demak membelok ke kiri, memantai pesisir barat Banten menuju ke selatan, ke Ujung Kulon.
Khianat! Benar ada pengkhianatan, gumam Wiranggaleng pada diri sendiri. Tiba-tiba ia tersenyum: begitu juga barangkali yang dirasakan oleh Adipati Unus waktu Tuban tidak juga muncul untuk bergabung.
Sekarang ia telah dapat menangkap gambaran selengkapnya: semua harapan tentang Jepara-Demak harus dilepaskan. Dan bahwa ia dikirimkan dari Tuban untuk mati di laut, atau di daratan orang, atau di mana saja, asal mati, bersama lima ratus orang yang tak ada merasa bersalah pada Sang Adipati. Gila!
Armada Jepara-Demak di bawah Panglima Laksamana Fathillah telah membelok ke kiri, memantai sepanjang barat Banten.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para prajurit laut Jepara terheran-heran: mengapa tidak ke Utara" Mereka bertanya-tanya satu pada yang lain: apa sesungguhnya sedang terjadi" Tetapi semua isyarat dari kapal-kapal yang ditujukan pada kapal bendera tidak berjawab.
Cinta Di Dalam Gelas 3 Manusia Harimau Marah Karya S B. Chandra Terbang Harum Pedang Hujan 15
^