Pencarian

Arus Balik 17

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 17


Mereka harus membikin beberapa ribu buah dalam waktu tiga minggu.
Gendi-gendi yang belum dibakar dijemur berderet di atas jerami, sedang pembakaran bekerja tanpa henti-hentinya.
Dan pada suatu hari dalam kesibukannya Idayu bertanya pada anaknya: Ada bapakmu menengok hari ini"
Belum, Mak. Di sana orang lebih cepat membikin, Mak.
Apakah kau kira kita kurang cepat" Kecuali malam saja kita bisa mengasoh, dan sudah lima hari. Mengasohlah kau, Nak, biar aku balik sendiri jemuran itu nanti.
Tetapi Kumbang menolak dan kembali ke tempat pekerjaan.
Dari kejauhan terdengar Kumbang berseru-seru: Datang lagi, Mak. Mereka datang lagi.
Semua orang yang sedang bekerja menengok ke jurusan tudingan Kumbang, dan mereka melihat serombongan kecil pengangkut lodong bambu muncul di jalanan hutan. Mereka adalah rombongan ketiga dalam seminggu yang mengangkuti minyak-tanah dari pedalaman.
Idayu berdiri dan lari menyongsong. Tetapi ia tak dapatkan Gelar di antara mereka. Uh, sudah berhari-hari ia ingin bertemu. Ia ingin bicara bersungguh-sungguh dan tenang dan mendalam. Dan ia sangat menyesal melayani anaknya seperti yang telah terjadi. Kurang layak. Ia harus tetap berlaku sebagai seorang ibu yang bijaksana, bukan seperti seorang penuduh.
Di mana yang lain-lain" ia bertanya.
Belum bisa pulang, tentara Demak menyergap, kami diungsikan lebih dahulu. Mereka masih terus bertempur.
Idayu berlutut di pinggir jalan memunggungi rombongan yang lewat, la berdoa untuk keselamatan Gelar. Mengapa Kang Gelar, Mak"
Berlututlah, Nak, dan berdoalah untuk keselamatannya. Dan Kumbang pun berlutut, membikin sembah dada dengan kepala menunduk.
Nyi Gede, seseorang mendekati, ada apa" Anakku. Pasukannya disergap Demak. Anak semuda itu.
Orang-orang pun berlutut dan bersama-sama mereka berdoa.
Nyi Gede, tak usah kau ikut kerja. Jangan kuatir. Nyi Gede, semua akan selesai pada waktunya.
Mari bekerja lagi, jawabnya.
Dan ia bekerja lagi, sekarang lebih keras daripada yang sudah-sudah. Ia menyesal tak merestui keberangkatannya. Anak manja itu. Dan bagaimana ia berani merestui seorang yang telah& tak mungkin. Dia patut menerima hukumannya pada umur tuanya. Tapi mengapa yang melakukan harus anakku" anaknya" Mengapa bukan orang lain" Mengapa bukan Galeng" Bahkan Kang Galeng pun nampak terkejut dan tak senang. Bagaimana jadinya anak ini bila perang selesai" Tak ada seorang pun mau diajaknya bergaul. Anak-anak akan takut padanya dan orang-orangtua akan menyingkirinya. Gadis-gadis akan lari daripadanya. Bagaimana akan jadinya" Haruskah dia mengembarai dunia ini seorang diri sampai matinya" Bahkan emaknya sendiri, aku, telah kehilangan kepercayaan terhadapnya, tak mampu hidup di bawah satu atap dengannya. Dan Kang Galeng, bagaimana sikapmu" Betapa sulit bisa bertemu denganmu.
Ia sadar sedang duduk melamun tak kerja waktu Kumbang datang dan menegurnya: Emak tak bekerja" Ia terbangun, tetapi matari sudah hampir tenggelam. Di kejauhan nampak beberapa dapur pembakaran mulai mengepulkan asap tipis ke udara.
0o-dw-o0 43. Tuban Dibebaskan Keterangan tentang Peranggi di Tuban Kota telah lengkap di tangan pimpinan balatentara Tuban. Sudah jelas benteng bawah tanah musuh berpintu hanya sebuah, sedang dinding-dinding berlubang untuk tempat menembak dan untuk jalan udara. Di dalamnya tersimpan obat meriam dan senapan. Satu regu tak henti-hentinya mondar-mandir meronda kota siang dan malam Gedung kadipaten dipergunakan sebagai tempat mengatur patroli, ke sana mereka pulang, dan dari sana mereka berangkat.
Patroli-patroli tak jarang memasuki luar kota dan merampasi ternak dan harta-benda. Tak ada perlawanan, dan mereka dapat berbuat sesukanya.
Kekuatan Peranggi seluruhnya ditaksir 450 orang, prajurit berpengalaman perang di mana-mana. Obat ledaknya yang berkadar tinggi tak dapat dianggap enteng. Tapi yang lebih menggentarkan adalah semangat tinggi dan berkobar mereka dari suatu bangsa muda yang sedang gairah menaklukkan dunia.
Dengan diam-diam Senapati menilai mesiu dan dayaledak tinggi yang jadi sumber keampuhan Peranggi itu harus tetap berdaya-ledak tinggi untuk menghancurkan Peranggi sendiri. Semua rencananya berkisar pada menggunakan kekuatan yang ada pada lawannya sendiri.
Sekarang datang waktunya ia hendak membuktikan, bahwa juga lelananging jagad dapat dimusnahkan. Balatentara Tuban akan dicoba keunggulannya.
Seribu lodong bambu minyak-tanah telah dituang ke dalam beribu botol tanah buatan wanita dan anak-anak. Setiap prajurit yang akan maju ke medan perang adalah juga pembakar. Pada pinggang mereka bergelantungan botol-botol. Laskar pembakar yang khusus dibentuk untuk keperluan itu digelantungi dengan delapan, sedang laskar penyerang tiga di samping perlengkapan yang biasa.
Menjelang senja balatentara Tuban yang beribu-ribu jumlahnya mulai bergerak. Dan mereka berangkat diamdiam tanpa sorak-sorai.
Barisan paling depan yang bergendi delapan sama sekali tidak berperisai. Mereka hanya membawa tombak. Bereguregu di antaranya tidak bersenjata sama sekali. Mereka hanya mengangkuti peluru-peluru cetbang. Dan laskar itu berjalan jauh di selatan Kota menuju ke timur. Mereka memasuki hutan. Waktu keluar lagi mereka telah memikuli kayu kering. Keluar dari hutan malam gelap telah turun, dan dalam lindungannya mereka terus berjalan sampai melewati selatan pinggiran tertimur Kota, membelok ke kiri, ke kiri lagi memasuki Kota. Mereka menggunakan waktu sebaik-baiknya di kala patroli Peranggi sedang kembali untuk berganti di gedung kadipaten.
Dengan gerak cepat mereka tumpuk kayu kering bawaan mereka lima ratus depa di sebelah timur kadipaten, menyelang-nyelingi bagian atas dengan peluru cetbang dan membasahinya dengan minyak-tanah. Tumpukan kayu itu menjadi bukit kecil.
Laskar kedua hanya bersenjatakan panah. Pada pinggang mereka juga bergelantungan delapan gendi. Mereka berangkat setelah yang pertama. Pada waktu barisan pertama melakukan penumpukan kayu mereka menyebar ke sekitar tumpukan dan di dekat sebelah timur kadipaten.
Laskar ketiga, yang merupakan laskar terbesar, berangkat beberapa waktu kemudian, dari barat langsung ke kota melalui darat dan laut. Mereka bersenjata tombak dan pedang dan perisai. Pinggang mereka digelantungi hanya dengan tiga botol. Laskar keempat berjalan menyusuri pantai, diperhitungkan akan tiba terakhir.
Pada waktu yang telah ditentukan tumpukan kayu mulai terbakar. Api cepat menaik dan menjilat-jilat langit. Tak lama kemudian peluru-peluru cetbang berledakan, melesit, beterbangan ke udara, memuntahkan bunga api dan menerangi bumi.
Prajurit-prajurit Portugis di dalam gedung kadipaten keluar. Patroli pengganti berlari-larian ke arah api dan ledakan. Mereka disambut dengan hujan anak panah yang beterbangan dari atas pepohonan. Sama sekali tak menduga adanya pencegatan. Mereka berjatuhan seperti jerami di babat. Tak ada satu orang pun yang tidak kena. Racun telah merembes ke dalam jantung mereka.
Lebih banyak lagi serdadu keluar dari kadipaten. Pencegatan diajukan lebih dekat lagi ke gedung. Panah bersemburan lagi dari atas pepohonan. Sekali lagi serdaduserdadu Peranggi bergelimpangan. Yang selamat melarikan diri masuk lagi dalam pengejaran anak-panah. Sebagian yang dapat melarikan diri menggelimpang pula sebelum mendapat perlindungan.
Ledakan peluru cetbang masih riuh. Lonceng menara benteng bawah-tanah dan kadipaten bertalu tak putusputusnya. Serdadu dari benteng mulai keluar dan berlarian dengan bedil dan pedang, bersiap untuk mendatangi keributan. Aba-aba mereka terdengar bersahut-sahutan Semua serdadu di bandar telah ditarik pula ke benteng. Dan tak lama kemudian mereka berpecahan dalam regu-regu dan menempuh berbagai jalan, bersebaran, berlarian.
Hujan anak panah bersemburan lagi. Portugis kemudian mengetahui adanya pencegatan. Mereka tembaki semua tajuk pepohonan. Prajurit Tuban mulai bergedebukan jatuh seperti buah nangka, binasa pada malam itu juga.
Dari belakang serdadu Portugis bermunculan pasukan tombak Tuban. Mereka mulai menyerang tanpa pekikan tanpa seruan seakan sepasukan tentara gagu. Tombaktombak lempar berlayangan, bertancapan tepat pada sasaran oleh lemparan tangan-tangan yang ahli dan terlatih. Pekik-jerit kesakitan memenuhi udara dan merangsang pendengaran. Segelombang pasukan Tuban dengan pedang terhunus menyapu lapangan.
Dari atas benteng peluru musket berhamburan seperti hujan, sedang dan dalam benteng sendiri tembakantembakan tiada putus-putusnya. Dan sekarang ganti prajurit Tuban yang berjatuhan atau menjatuhkan diri. 0o-dw-o0
Gelar mendapat tugas paling berbahaya dari semua laskar. Petunjuk dan perintah diterimanya langsung dari Banteng Wareng sebagai penyelaras seluruh balatentara. Tugasnya ialah melakukan penyerangan dan penghancuran benteng bawah-tanah dengan jalan menyusun pantai dan menyerang dari belakang.
la merasa, bahwa ia dikirimkan ke medan pertempuran bagian terberat ini untuk tidak dilihat orang lagi dalam keadaan hidup. Ia merasa telah terjadi persekutuan di antara para pemimpin pasukan untuk menghalaunya dari muka bumi, sebagai hukuman terhadap peristiwa anak-ayah di Tuban Kota. Ia telah merasa tak ada seorang pun yang akan mengampuninya. Tak seorang pun memberikan sokongan batin pada perbuatannya, termasuk Senapati dan emaknya sendiri. Dan ia mencoba berdamai dengan hukuman yang diberikan padanya. Ia harus belajar rela menerimanya. Sebagai anak Senapati ia masih akan tunjukkan dan buktikan pada seluruh Tuban, pada Wiranggaleng dan Idayu, pada bumi dan langit, ia masih memilih mati sebagai pahlawan, la akan mati. Orangtuanya harus ada kebanggaan padanya.
Mati! Mati! suara itu memanggil-manggil mengatasi tindasan hukuman batin yang tak mengenal ampun itu, yang tak pernah diucapkan kepadanya, hanya disiratkan pada pandang mata dan sikap orang.
la bawa pasukan dari tiga ratus orang, mengendap-endap dalam bayang-bayang api di balik pepohonan. Tanpa suara sebagaimana telah diperintahkan.
Didapatinya daerah pelabuhan sudah hampir tiada berpenjagaan, menara pelabuhan telah kosong. Prajurit Tuban telah menjolok penjaganya dengan semburan anak panah. Tetapi menara benteng masih terus menggigil dengan taluan lonceng. Beberapa orang serdadu peninjau sedang melihat ke arah api unggun di kejauhan. Semprotan anak panah mengenai dua orang. Yang seorang tetap memukul lonceng.
Laskar Gelar datang ke benteng waktu serdadu-serdadu di dalamnya telah ditarik keluar untuk menadahi serangan umum Tuban di sekitar kadipaten. Penjagaan yang tak seberapa besar telah kena runduk. Beberapa serdadu yang tidak menduga akan datang gelombang musuh dari pesisir tak sempat lagi menembak melarikan diri dan membuang senjata yang tak dapat dipergunakan. Dan sebelum mereka sempat menggunakan pedang tombak lempar telah berlayangan.
Di kejauhan api semakin menjilat-jilat langit Ledakan peluru cetbang makin lama makin berkurang. Tembakan Portugis juga semakin kendor, semakin jauh dan bersebaran. Orang dapat menduga lelaninging jagad sudah mulai terhalau.
Gelar terheran-heran: tugasnya ternyata tidak seberat yang ia duga. Benteng bawah-tanah itu hampir tak dipertahankan lagi. Pada waktu itu ia baru memahami: Peranggi telah terjebak, tertarik keluar dari benteng dan telah diatur sedemikian rupa sehingga tak dapat kembali berlindung ke benteng jalan-jalan telah digunting dengan pencegatan.
Ia masuki benteng dengan pedang terhunus, diikuti oleh laskarnya. Beberapa belas orang sedang bersiap-siap untuk juga turun ke medan pertempuran. Gendi-gendi minyak dilemparkan pada mereka. Dihujani gendi mereka gugup dalam membela diri, tak sempat menyiapkan musket dan menghunus pedang. Baja beradu baja. Gerak tangan dan kaki telah menyempitkan ruangan. Orang-orang Portugis yang sedikit itu terdesak terus oleh tombak dan pedang dari musuhnya yang berpuluh kali lebih banyak. Mereka disorong ke ujung penghabisan benteng dan berlompatan ke atas peti-peti mesiu. Hujan gendi membikin mereka jadi basah kuyup.
Minyak membasahi semua yang ada, bahkan telah mulai mengalir di lantai.
Keluar! pekik Gelar. Orang berlarian keluar dan gendi-gendi terus juga dilemparkan ke dalam. Tombak berapi melayang memasuki benteng. Benda-benda dari kayu mulai dirambati api, makin lama makin lebar, makin tinggi, seluruh lantai mulai menyala.
Gelar membawa pasukannya lari dari daerah benteng, memasuki sebuah bangunan baru. Ia lihat seorang berjubah putih sedang berlutut di depan sebuah patung kayu. Sebelum ia dapat memastikan rumahyang dimasukinya dan patung apa yang dilututinya, ia menduga orang itu tentu Syahbandar Tuban angkatan Peranggi, botol-botol minyak telah berlayangan membasahi jubah putihnya. Orang itu tetap tidak bergerak dari sikapnya. Seseorang telah lari menghampiri, menyambarkan pedang pada tubuhnya.
Gelar memerintahkan keluar. Bangunan baru pun menjadi unggunan api, tinggi menjilat-jilat langit.
Di tengah-tengah kota balatentara Tuban menguasai seluruh medan. Kadipaten mulai diserbu oleh gelombang besar prajurit. Gendi-gendi beterbangan dan membasahi segala yang dikenalnya.
Orang-orang Portugis yang berhasil meloloskan diri lari tanpa menoleh lagi, masuk ke dalam kegelapan, ke mana saja asal selamat.
Di atas setumpuk tanah yang ketinggian berdiri wanita dan kanak-kanak memandangi api yang menjilat-jilat di kejauhan, di Tuban Kota. Mereka melihat unggun yang hanya sebuah, kemudian menjadi dua, tiga, empat. Letusan dan ledakan diikuti semburat bunga-api ke udara menyebabkan mereka membisu terpukau. Tak seorang pun di antara mereka membuka suara. Mereka tahu maut sedang berjingkrak berpanen nyawa di Tuban Kota. Setiap di antara mereka tak menghendaki orang-orang tercinta dan tersayang tumpas terpaneni oleh sang maut.
Di antara mereka terdapat Idayu. Ia berdiri memegangi bahu Kumbang. Langit menjadi merah dan warnanya melembayung pada wajah. Letusan dan ledakan makin lama makin berkurang.
Idayu menekan bahu anaknya, menyuruhnya berlutut. Memohon, Nak, pada Hyang Widhi, selamatlah hendaknya bapak dan abangmu, bisiknya.
Mak, aku sudah memohon sejak mereka berangkat, bisik kembali Kumbang.
Ia cium anaknya dan berbisik lebih ditujukan pada diri sendiri: Kau masih membutuhkan bapak dan abang. Nak. Tak lama lagi aku pun akan besar, Mak.
Tentu, tak lama lagi. Tapi besar saja belum cukup. Kau membutuhkan bapak seperti bapakmu. Aku sendiri tak tahu dunia, Nak.
Kemudian terdengar ledakan paling dahsyat di Tuban Kota sana. Di atas ledakan itu segala macam berwarna merah menyala terangkat naik ke udara, mengembangkan bunga-api. Hujan percikan ke bawah seperti berasal dari letusan gunung berapi. Setelah itu sunyi-senyap.
Kebakaran di kejauhan makin lama makin surut, kemudian tak kelihatan lagi, tertutup oleh puncak hutan.
Tak ada di antara mereka melihat, bahwa dengan pelanpelan, tanpa bunyi, di samping mereka, jauh di atas tajuk pepohonan hutan, bulan tua sedang memperlihatkan diri.
Semua orang berlutut dan menekur dengan mata tertutup.
Memohon, Nak, memohon, untuk bapak dan abangmu.
Idayu memohon lagi. Tetapi, bila doanya dipanjatkannya untuk keselamatan Gelar, dia macat. Ada suatu perasaan melintang di dalam hati dan pikirannya. Ia hentikan usahanya. Pikirannya bergumul kacau, mengapa hati tak rela berdoa untuk anak sendiri. Dan mengunci kegagalannya ia berkata pada Kumbang: Ledakan terakhir berarti perang selesai, Nak. Hanya kepunyaan Peranggi bisa meledak menandingi petir dewa. Bapak dan abangmu selamat.
Tetapi Kumbang telah tersedat ke alam mimpi. Kepalanya telah rebah pada pangkuan emaknya.
Ia berdiri sambil mengangkat bangun Kumbang. Dan orang-orang lain mengikuti contohnya berdiri juga. Bersama-sama mereka berjalan pulang ke bedeng perumahan.
Dia belum lagi bertemu dengan bapaknya, gumam Idayu.
Abangmu. Sekarang ke mana, Mak"
Pulang. Mengasoh. Menunggu bapakmu. Tinggal di kota lagi, Mak"
Tidak. Mak tak pernah suka di sana. Kau suka" Kumbang sudah tak dengar. Dalam berjalan ia melayang-layang dalam alam impian. Ia telah berusaha untuk tetap jaga, tapi kelelahan dan kantuk sudah tak dapat ditawarnya. Dalam sekejap dari usahanya ia masih sempat bertanya: Bapak akan tinggal di desa lagi, Mak" Mana emak tahu" Tanyalah nanti padanya sendiri. Kumbang tersedot sepenuhnya dalam alam mimpi. Dan kakinya tetap bergerak terpimpin oleh tangan emaknya.
Seakan Idayu mendengar suara anaknya masih bertanya dengan suara sangat, sangat pelan: Mengapa tak suka tinggal di kota"
Mengapa" jawab Idayu. Emak lebih suka jadi orang biasa, orang desa biasa, tak menghendaki sesuatu yang berlebih-lebihan dari apa pun dan siapa pun, bekerja seperti yang lain-lain. Ia bicara terus, pelahan, sambil berbisik, tak menyedari ia sedang bicara dengan diri sendiri. Menari, menyanyi dan menangis bersamaan dengan yang lain-lain. Bersuka dan berduka seperti dan dengan yang lain-lain. Tak pernah aku mengimpikan kekayaan dan kekuasaan. Sejak ada dua-duanya, bapakmu menjadi jauh dari Emak, dan Emak jadi jauh dari dia, bukan hanya tempatnya, juga hatinya. Apakah arti kasih-sayang yang terpisahkan oleh dua-duanya" Mana ada manusia suka dengan pecahan dan gumpilan kasih-sayang"
Sudah tak keluar bisikan kata dari mulut Idayu. Suara itu bergema-gema hanya dalam hati sendiri: Perang, kekuasaan, kekayaan, seperti api unggun dalam kegelapan dan orang beterbangan untuk mati tumpas di dalamnya.
Wanita dan kanak-kanak itu masuk ke dalam bedeng pembikin gerabah.
Pembakaran baru sudah tiada. Beberapa hari yang lalu apinya sudah padam.
Idayu menaikkan Kumbang ke ambin. Ditutupnya pintu. Ia pun rebahkan diri di samping anaknya, di samping wanita dan kanak-kanak yang lain.
Menangkah kita" wanita di sampingnya bertanya. Menang, jawab Idayu.
Bagaimana Nyi Gede bisa tahu"
Kalau orang kalah di negerinya sendiri, apa lagikah yang bisa diharapkan"
Sunyi-senyap di perumahan pembikin gerabah itu. Matari baru saja terbit. Pasukan kuda di bawah pimpinan Banteng Wareng telah memenuhi jalanan kota. Mayatmayat bergelimpangan di mana-mana, Portugis dan Tuban.
Dan mereka sama sekali tak menemukan musuh yang masih hidup.
Meriam-meriam tak sempat ditembakkan berjajar-jajar di lapangan kadipaten seperti mainan kanak-kanak tanpa dosa. Barang-barang itu berdiri mati di atas roda masingmasing, moncong sedikit mendongak.
Orang memerlukan turun dari kuda untuk melihat-lihat dan merabanya. Dingin, tak berdaya, mati. Lebih dingin daripada mayat yang bergelimpangan di dekat-dekatnya. Dan jari-jari peraba meninggalkan bekas pada embun. Peluru besi, bulat-bulat sebesar kepalan, bertebaran seperti batu hitam di tepi kali. Sungguh tak masuk di akal bendabenda seperti itu sudah banyak menenggelamkan kapal, menghancurkan dan merobohkan rumah, dan menjadi sendi kekuasaan dan kekuatan Peranggi.
Seorang penunggang kuda berkendara tenang-tenang di antara reruntuhan rumah diiringkan oleh satu regu prajurit berkuda yang bersiaga dengan tombak. Antara sebentar ia berhenti, menebarkan pandang ke mana-mana, bicara pada pengawalnya yang terdekat sambil menuding-nuding. Ia berdaster dengan ikatan longgar. Rambutnya jatuh berurai di atas punggung. Mukanya mesum oleh kumis dan jenggot yang tak terpelihara. Selembar kain batik melingkari leher dan kedua ujungnya jatuh di punggung pula. Bila berpacu baik ujung-ujung batik mau pun rambutnya berkibar-kibar seperti bendera.
Sebagaimana halnya dengan para pengiringnya ia pun menyandang pedang pada pinggang. Berbeda dari yang lain-lain, sebilah keris terselit melintang di bawah dada. Hulu keris itu dari mas berukiran gambar kupu-tarung. Juga sarung kerisnya terbuat daripada mas. Itulah Senapati Tuban Wiranggaleng.
Kemudian Senapati berpacu berpacu ke pelabuhan. Ia periksa bekas benteng bawah-tanah, kini jadi lubang besar panjang, dengan kepulan asap di sana-sini. Di sekitarnya bergelimpangan mayat prajurit Tuban di antara sejumlah Portugis.
Bandar telah jadi tumpukan arang, dengan asap yang masih berkepulan.
Dengar semua kalian! katanya pada para pengiring. Mereka takkan mencoba datang kemari lagi. Untuk sepanjang masa Tuban akan bebas dari Peranggi. Itulah berkah semua temanmu yang tewas pada malam tadi. Pada hari ini aku nyatakan musuh telah kalah dan kita menang.
Satu-dua tembakan masih terdengar sayup-sayup di kejauhan.
Tembakan itu sebentar lagi akan padam sama sekali. Kalian lihat: Tak ada kapal mereka nampak berlabuh. Masih ada di antara mereka yang sempat lari meninggalkan yang lain-lain dalam cengkeraman maut. Ingat-ingat ini: juga lelananging jagad ini kenal takut dan dapat digebah punah dalam semalam.
Kami akan selalu mengingat-ingat. Senapatiku, seorang pengiring berjanji.
Dan sampaikan pada anak-anakmu, pada temantemanmu, bahkan juga pada musuh-musuhmu. Kami akan lakukan. Senapatiku.
Tapi kalian jangan sampai lupa, kemenangan di Tuban sangat kecil, belum berarti.
Kita sudah menang. Senapatiku, kemenangan gilanggemilang tiada tara.
Kau keliru. Kalian belum berhak bergirang-girang, dengarkan aku baik-baik: selama Peranggi belum terusir dari Selat dan Semenanjung, belum terusir dari Malaka dan Pasai, urat-nadi kehidupan Tuban, Jawa dan seluruh Nusantara, tetap berada dalam kekuasaan mereka. Kami akan selalu mengingat-ingat. Senapatiku. Dan selama mereka masih menguasai Maluku, kemakmuran takkan lagi menyinggahi Tuban. Senapatiku.
Terserah pada kalian. Adakah Tuban akan bangkit kembali atau tidak. Bila ya, perang masih panjang, pengusiran atas Peranggi dari seluruh Nusantara dan Semenanjung.
Demak tetap mengancam. Senapatiku. *
Melawan Demak lain lagi. Itu perang melawan kebodohan.
Kami belum mengerti. Senapatiku.
Musuh Demak sesungguhnya Peranggi. Trenggono mencari kebesaran dengan mencari musuh yang dianggapnya tidak kuat. Dengan begitu ia bisa bebas lari dari musuhnya yang utama: Peranggi.
Bukankah Demak telah mengusir mereka dari Sunda Kelapa, Senapatiku" pengawal terdekat bertanya.
Siapa saja dapat mengusir Peranggi kalau jumlahnya hanya beberapa gelintir, habis ditimpa bencana laut pula. Ayoh, jalan!
Mereka bergerak melalui jalan raya negeri, kemudian membelok ke timur dan berpacu mendekati arah datang suara tembakan satu-satu. Sampai di suatu tempat bunyi tembakan itu padam sama sekali. Di jalanan mereka berpapasan dengan prajurit-prajurit Tuban yang berjalan dalam bondongan sedang kembali ke pusat Kota. Mereka mengangkat tombak masing-masing, bersorak-sorak menyambut Senapati. Wajah mereka berseri-seri gembira penuh kepercayaan pada pemimpinnya.
Mereka meneruskan perjalanan masing-masing. Prajuritprajurit yang pulang itu sudah tak nampak lagi. Hanya sorak-sorai kemenangannya masih saja terdengar.
Wiranggaleng berhenti melihat ke suatu jurusan. Di kejauhan ia melihat seorang prajurit Peranggi sedang berlutut menghadap pada sebatang pohon kayu, barangkali sedang bersembahyang. Dua belah tangannya terangkat di tentang dada.
la jalankan kudanya dan mendekatinya peiahan-lahan. Mengetahui ada seorang musuh, para pengiring memacu kuda, mengepung serdadu itu. Tombak-tombak pun teracu siap untuk dijojohkan.
jangan ganggu dia! pekik Senapati menegah. Orang pun menarik tombaknya kembali tetapi tetap mengepungnya. Dan Wiranggaleng berpacu menghampiri.
jangan ganggu. Lihat baik-baik. Dia lagi bersembahyang pada dewanya. Tarik kembali semua tombak. Ingat-ingat kalian, prajurit Tuban, jangan sampai kalian meletakkan mata senjata pada seseorang yang takkan bisa melawan dan tak mampu melawan-Barangsiapa sedang bersembahyang, dia tidak menghadapi manusia. Menyingkir kalian dari dia.
Orang pun menyingkir. Dari belakangnya seseorang membantah: dan Senapati menoleh, berkata: Dia musuh sewaktu memusuhi kau. Sewaktu dia tiada berdaya dan tenaga untuk bermusuhan, samalah keadaannya dengan bayi atau istri yang sedang menyusui.
Kalau kemudian dia memusuhi lagi, Senapatiku" Kembali kau harus memeranginya. Lebih baik dibunuh sekalian, Senapatiku.
Kalau begitu kau bukan prajurit, tapi pembunuh, ia menengok ke kiri dan kanan. Itu tak boleh terjadi. Maka kalian harus tetap waspada. Artinya kalian harus selalu tegak dan tetap perwira.
Orang Peranggi itu telah selesai bersembahyang. Dengan kudanya Wiranggaleng makin mendekati. Orang itu pucat. Mukanya penuh dengan jenggot, kumis dan cambang. Ia tidak berdiri dan tak nampak bermaksud untuk beranjak dari tempatnya. Ditengadahkan wajahnya yang pucat itu pada Senapati.
Mengerti Melayu" tanya Wiranggaleng.
Sekarang orang Portugis itu mencoba bangun, tapi jatuh berlutut kembali. Dan orang melihat darah pada kaki dan pahanya. Sedikit, ya. Tuan.
Mengapa kau tak selamatkan jiwamu"
Kaki tak bisa dibawa lari. Maut tak dapat dihindari. Telah kuserahkan semua pada Tuhan, jawabnya sambil membuat salib.
Bawa dia. Peliharakan dia sampai baik, Senapati memerintahkan. Tak ada orang boleh ganggu atau sakiti dia. Bila sudah sembuh, sediakan perahu layar, persediaan makan untuk tiga minggu, dan bebaskan dia.
Orang Portugis itu sekali lagi mencoba bangun dan gagal untuk kedua kalinya. Pakaiannya yang compang-camping melambai-lambai tertiup angin. Ia angkat kedua belah tangan ke arah langit, mengucapkan syukur, dan sekali lagi membikin gerakan salib. Kemudian dengan suara lemah: Semoga kebaikan Tuan akan terbalas.
Semoga Dewa Batara melindungi kau, Peranggi. Siapa namamu selengkapnya"
Sylyester da Costa, Tuan.
Kosta! Senapati mengulangi dan Portugis itu mengangguk. Setelah mengangkat tangan memberi restu Senapati menarik kendali. Binatang itu menengok dan berjalan berputar kemudian meninggalkan Da Costa yang terluka. Sebagian pengiring tertinggal untuk menjalankan perintahnya.
Sylyester da Costa ditolong naik ke atas kuda. Seseorang menuntun binatang itu. Yang lain-lain tetap di atas kuda masing-masing. Dan mereka berjalan diam-diam penuh pikiran, mencoba memahami maksud dan ucapan Senapati.
Waktu iring-iringan itu sampai di jalan raya negeri, baru terdengar seseorang bicara: Mungkinkah kiranya Sang Senapati marak jadi raja"
Dengan dia kita selalu menang. Coba, menang melawan Peranggi!
Bisakah seorang anak desa jadi raja"
Mengapa tidak" Raja-raja besar pun keturunan orang desa semata.
Sedang pada musuh yang tak berdaya dia begitu pengasih dan penyayang, apa pun pada kawula sendiri bila marak.
Mungkin ada rencana baru terhadap Demak. Uh, apakah kita masih akan berperang terus-menerus begini" Bisa habis kita ini bakalnya.
Bukankah kita harus mengingat-ingat selalu" Semenanjung, Selat, Pasai, Malaka dan Maluku, seluruh Nusantara" Selama Peranggi masih berkuasa& . Dan Demak tetap mengintai.
Hei, Kosta, mengapa kalian tak mau pergi dari Semenanjung" seseorang bertanya dalam Melayu.
Apakah aku ini" Hanya orang kecil tak menentu, jawab Sylyester da Costa dalam Melayu pula.
Semua orang kecil. Hanya satu-dua orang besar. Tapi yang besar kecil juga dulu-dulunya.
Kalau aku yang orang besar, Da Casta meneruskan. Kau caplok semua pulau Jawa ini.
Dan jadi kedodoran sepanjang jaman, orang lain menambahi.
Iring-iringan berjalan terus dan kembali tenggelam dalam kediaman.
Di kejauhan, di pusat Kota, kedengaran orang bersoraksorai, berderai-derai, dan mengguruh seakan hendak meruntuhkan langit. Waktu iring-iringan mulai menginjak daerah Kota, mereka dapati mayat-mayat telah tersingkirkan. Seluruh balatentara Tuban berkumpul di alun-alun, di depan puing kadipaten dan bersorak-sorak gembira.
Mereka menyambut pernyataan Senapati: Portugis telah ditumpas dari bumi Tuban; balatentara Tuban keluar sebagai pemenang. Walau demikian kesulitan masih tetap banyak: Selat, Semenanjung, Pasai, Malaka dan Maluku, dan& Demak.
Sorak-sorai padam seketika dalam renungan umum. Ya, dalam renungan umum semata-mata& .
0o-dw-o0 44. Arus Balik Selesai ucapan pernyataan kemenangan rombongan Senapati berpacu ke selatan meninggalkan Kota. Mereka: Senapati dan para pemimpin pasukan. Mereka langsung menuju ke sebuah bukit kecil, turun dari kuda masingmasing, duduk menghadap Senapati.
Tempat itu terlindung oleh semak-semak telekan dan dipayungi oleh pokok laban.
Beberapa saat lamanya mereka semua menunduk diamdiam dalam ucapan syukur. Ketenangan sekitarnya dan kecerahan alam membikin suasana menjadi syahdu.
Aku bawa kalian ke mari, Sang Senapati memulai, karena ada sesuatu yang kalian patut ketahui. Kita telah kalahkan Peranggi dengan penyerangan cepat dan mendadak. Kalian harus ketahui watak musuh yang sangat berbahaya ini: mereka hendak menguasai urat nadi kehidupan kehidupan hanya untuk diri mereka sendiri, dan semua harus mengabdi untuk kepentingan itu, dan: mereka tak sudi kalah untuk kedua kedinya. Mereka takkan datang lagi ke Tuban, bukan saja karena telah dikalahkan di sini, juga karena nadi-kehidupan telah dialihkan dari Tuban ke tempat lain. Peganglah ini sebagai ketentuan.
Jangan bosan-bosan mendengar kata yang sering kuulang ini: kemenangan ini belum banyak artinya, selama Peranggi menguasai jalan rempah-rempah, merekalah yang menguasai dunia, dan kita hanya menduduki pojokan yang gelap, ia teringat pada kata-kata lamanya.
Senapati mengangkat telunjuk memberi peringatan: Makin kuat mereka menguasai jalan rempah-rempah, makin gelap pojokan kita. Apabila mereka tak dihalau dari tempat-tempat mereka berkuasa sekarang ini, bahkan dibiarkan semakin kuat juga, nasib Jawa dan Nusantara sudah dapat ditentukan ambruk entah sampai berapa keturunan.
Senapatiku! Banteng Wareng angkat bicara setelah beberapa saat Senapati berdiam diri sambil mengunyah sirih. Bagaimana menghalau mereka"
Tunggu, tegah Wiranggaleng, biar aku ceritai kalian. Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya semua, itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.
Tidak mungkin. Senapatiku! bantah Kala Cuwil. Tidak mungkin asal kalian menguasai jalan laut lagi. Selama mereka yang menguasai, mereka takkan menenggang kapal kita, akan menghancurkannya sama sekali. Sampai kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita sendiri di pesisir dan gunung.
Aku telah ceritakan pada kalian jahatnya arus balik dari utara ke selatan. Dalam hidup kita, ada seorang yang bukan hanya menyedari ini, bahkan membendungnya. Bukan hanya membendung, bahkan melawan. Orang itu adalah Gusti Kanjeng Adipati Unus. Mulialah beliau sepanjang jaman. Beliau adalah perpaduan antara brahmana dan satria, seorang aulia yang akan dihormati sampai akhir jaman. Itu sebabnya bukan suatu kebetulan lambangnya berbentuk kupu-tarung.
Mengapa kupu-tarung" Dua ekor kupu bertarung adalah lambang dua kekuatan, dua arus yang sama-sama lebih yang sedang berbenturan, bukan berkasih-kasihan, memperebutkan kasih dan madu dari sang bunga, sari kehidupan. Kedua-duanya sama indah di hadapan sang surya, sama tergila-gila pada kemampuan sayap sendiri, sama lemah terhadap perkisaran angin, sama berasal dari ulat yang hina-dina.
Sebenarnya kupu yang satu, kita ini, sama sekali tak perlu kalah karena lawannya juga tidak kuat. Kalian telah dapat halau Peranggi dari bumi kalian. Bagiku, kita lebih banyak baru menang atas ketakutan terhadap mereka, daripada menang atas Peranggi itu sendiri. Kita belum mengalahkannya sama sekali dari jalan laut.
Jangan sela aku. Biar dapat kuteruskan dengan tenang. Kalau kupu yang satu itu, arus selatan itu, kalah, bukanlah karena kupu Peranggi, arus utara itu, lebih kuat. Hanyalah karena kupu yang satu itu dungu, tak tahu tentang diri dan persoalannya. Dia hindari Peranggi, arus utara itu, dengan berbagai dalih dan kegiatan. Dan bila kegiatan itu justru seperti dilakukan oleh Trenggono, Jawa dan Nusantara akan tenggelam. Surya akan segan memberkahi dengan sinarnya yang menghidupi.
Benarkah sikap dan perbuatan kita terhadap Demak" Banteng Wareng bertanya.
Itulah teka-teki buah si malakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati, jawab Wiranggaleng sedih. Kalian hadapi Demak, kalian menjadi lemah di hadapan Peranggi, kalian tidak hadapi, kalian dilindas olehnya dan jadi lemah juga di hadapan Peranggi
Memang persoalannya tak lain dari menghadapi Peranggi, Banteng Wareng membetulkan pertanyaannya.
Bagaimana harus menghadapi Peranggi, Senapati" sekarang Kala Cuwil bertanya.
Majapahit telah memberikan jawaban pada kalian: kesatuan Nusantara. Singosari telah memberikan jawaban: kesatuan Nusantara. Bukankah Singosari telah memberikan jawaban terhadap ancaman kaisar dari utara dulu: kesatuan Nusantara! Dan dikirimkan Raden Wijaya untuk usaha penyatuan itu" Memang pernah dulu ada seorang Gajah Mada yang dapat melaksanakan cita-cita Sri Baginda Kartanegara dari Singosari dan Raden Wirang dari Majapahit&
Engkaulah Gajah Mada! Kala Cuwil berseru. Senapatiku, kaulah Gajah Mada! Braja memperkuat Kami semua sependapat! Rangkum menambahi. Tidak bisa lain, bisik Banteng Wareng seperti doa. Sang Senapati menunduk. Orang melihat gelombang dukacita menyaputi wajahnya, dan semua menjadi terdiam.
Semua menunduk seperti kembali mengulangi upacara syukur. Rasa-rasanya nafas sendiri pun dapat didengar.
Gajah Mada dimunculkan tidak di jaman kita. Kalian wajib mengetahui. Pada waktu itu hanya ada satu kerajaan yang kuat, dan kerajaan itu mempunyai cita-cita. Kerajaan yang kuat sekarang adalah Demak, mempunyai balatentara dan armada yang hebat, dalam bilangan hari bisa menaklukkan bandar-bandar, dia pun punya cita-cita, hanya untuk tidak berhadapan dengan Peranggi sendiri. Tanpa raja yang bijaksana dan kuat tidak mungkin lahir seorang Gajah Mada.
Setelah Trenggono melancarkan gerakannya yang dungu, tak seorang pun raja di Nusantara menaruh kepercayaan padanya, tak ada kekuatan gabungan bisa dibina karena jaman kita ini memerlukan kekuatan gabungan sebagaimana dicita-citakan Gusti Kanjeng Adipati Unus. Mulialah nama beliau sepanjang jaman.
Ingatkah kalian pada sejarah lahirnya armada Jepara- Demak" Beberapa kerajaan di Jawa dan seberang telah bersumbang untuk pembangunan itu. Akhirnya armada megah itu digunakan Trenggono bukan untuk kepentingan Nusantara, hanya untuk menguasai Jawa. Sejak itu tak akan ada lagi raja yang bisa diajak bersekutu dan bergabung kekuatan. Nasib Jawa dan Nusantara telah ditentukan. Kaulah Gajah Mada! ulang Kala Cuwil.
Tidak. Aku hanya seorang anak desa bernama Galengtahu takkan mampu membendung perkembangan kemerosotan ini. Pengalaman Malaka yang terakhir adalah bukti tak terbantahkan. Boleh jadi akulah saksi hidup bagaimana satu balatentara telah jadi rusak dan merosot karena kehilangan pegangan.
Ia mengangkat kepala dan memandangi Kala Cuwil: Kau, Kala Cuwil, kau yang tertua di antara semua kepala pasukan, lepaskan destarmu dan gelar di hadapan kita.
Kala Cuwil terheran-heran dan memandangi Senapati dengan mata bertanya-tanya.
Tidak, bukan untuk mengurangi kehormatanmu. Dengan ragu Sang Patih melepas destar, menggelarnya di hadapan Wiranggaleng dan merapikan ujung-ujungnya yang keriput.
Hanya melepas destar pun kau ragu-ragu, Sang Wirabumi, tegur Wiranggaleng. Lebih banyak lagi yang bakal dipinta dari dirimu.
Senapatiku. Nah, dengarkan baik-baik sekarang. Jangan sampai sepatah kata pun terlupa atau tiada terdengar oleh kalian, karena aku takkan mengulangi lagi.
Senapatiku! pekik Rangkum.
Dengarkan! perintah Senapati. Telah aku baktikan masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biar pun hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya. Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih. Ya, Dewa Batara, kau tak beri aku kekuatan untuk menyedarkan raja dan sultan sehingga jadi gelombang raksasa, bukan sekedar yang mendesak arus balik dan utara, bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga kelangsungannya untuk selama-lamanya. Gajah Mada, anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbakimbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan Gajah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri dan terhadap diri sendiri.
Jaman Gajah Mada, jaman anak desa dapat mengedepankan pendapatnya pada Kaisar, telah lewat. Kita tak pernah lagi punya Kaisar selama ini. Raja-raja semakin jadi kedi dan anak, anak desa jadi lebih kecil lagi.
Aku menyedari tak ada kemampuan membendung arus utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah orang yang paling menderita karena kesedaran ini. Jaman bukan hanya tak membantu, bahkan melawan kita. Itu sebabnya akan kutinggalkan pada kalian, dan semua kuserahkan pada kalian.
Senapatiku! Banteng Wareng menyela.
Aku sadar tak ada kemampuan untuk pekerjaan besar itu. Aku tak ada kemampuan mempersatukan raja-raja dan para sultan. Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, dan semua kuserahkan pada kalian. Setelah ini kalian harus atur dan urus semua tanpa aku. jangan berdukacita, karena surya enggan memancarkan rahmatnya pada yang berdukacita.
Wiranggaleng melepas bungkusan di punggung dan meletakkan di hadapannya. Semua mata mengawasi bungkusan itu.
Lihatlah ini, katanya lagi dan membuka bungkusan, dan meletakkan isinya satu per satu di atas destar Kala Cuwil, cincin, kalung, destar, kain, ikat pinggang, tilam, semua bertanda kupu-tarung. Hanya kasut tidak ada, hilang karena keteledoran pembawanya. Nah, ini gelang, kemudian Senapati menarik keris dari pinggang, dan ini keris bersarung dan berbulu mas dengan kupu-tarung pula. Kalian tahu lambang siapa ini. Jangan pegang. Lihat saja baik-baik.
Dan semua menjalankan apa yang diperintahkan.
Kutinggalkan dan kuserahkan semua ini pada kalian peninggalan Gusti Kanjeng Adipati Unus, melalui Gusti Ratu Aisah, melalui Pada alias Mohammad Firman, melalui aku, Wiranggaleng, Senapati Tuban& .
Nah, kalian, empat orang, masing-masing pegangi sudut apa yang diperintahkan. Benda-benda itu menggelantung di tengah destar.
Pegangi terus dan jangan lepaskan. Barangsiapa di antara kalian, ia pandangi para pemimpin pasukan itu seorang demi seorang dapat memahami kata-kataku, memahami arus utara dan selatan, dapat menyelami arus balik dan pesan Gusti Kanjeng Unus, ambillah dan pergunakanlah semua peninggalan itu. Tegakkan Tuban, usahakan mengusir Peranggi dari jalan laut, Pasai, Selat, Semenanjung, Malaka dan Maluku. Lepaskan arus selatan ke utara bergelombang-gelombang sepanjang jaman.
Perhatikan barang-barang itu dan jangan perhatikan Wiranggaleng, Senapati kalian. Wiranggaleng sekarang sudah tidak ada. Sekarang dia hanya seorang petani bernama Galeng. Tinggallah kalian dalam kerukunan, karena perpecahan adalah pembunuh kalian yang pertama. Aku akan pergi dan jangan kalian cari. Hanya bila Peranggi datang lagi, Wiranggaleng akan datang untuk memusnahkannya.
Senapati itu berdiri. Ia tinggalkan kepala-kepala pasukan yang masing-masing memegangi ujung destar Kala Cuwil. Ia melompat ke atas punggung kuda, dan kuda itu melangkah pelan-pelan menuruni bukit, kemudian berpacu ke selatan.
Tiada antara lama seorang penunggang kuda lain berpacu, lebih cepat lagi dan mencoba mengejarnya. Yang dikejar terus berpacu tanpa menengok. Sesampai di sebidang padang rumput tak seberapa luas pengejar itu berseru-seru.
Galeng menghentikan kuda dan menengok. Dilihatnya seorang prajurit Tuban berkuda datang menghampiri. Seluruh badannya telah bersalut debu.
Prajurit itu melompat turun, berjalan berjongkok dengan cepat dan mengangkat sembah mendekati kaki kuda Senapati. Suaranya gemetar dan meletup-letup jadi pekikan tak terkendali: Senapatiku! Bapak! Tiadakah aku patut lagi bersujud padamu dan mencium kakimu"
Siapa kau" Gelar, Bapak, anakmu. Kuterima sujud dan sembahmu dari atas kuda ini, Gelar.
Senapatiku, Bapakku, adakah aku, ia terhisak-hisak. Aku, aku, aku masih patut jadi& , hisakannya semakin keras, jadi, jadi, jadi anakmu"
Kuberikan restuku padamu setiap saat kau teringat padaku dan melakukan segala yang baik dan benar, yang tidak mendatangkan kutukan dari Maha Buddha, jawab Senapati dari atas kudanya dengan pandang terarah lurus ke selatan.
Tidak patutkah aku mendapat kata lebih banyak lagi, Senapatiku" Bapakku" kembali ia terhisak dengan punggung terangguk-angguk ke atas.
Segala yang telah kulakukan selama ini sudah bersuara dan bergema dan bergaung dalam hatimu. Engkau sudah tahu dan mengerti.
Ya, Bapak. Ciumlah kakiku, dan kembali kau pada pasukanmu. Patuhlah pada suara dan gaung hatimu. Wiranggaleng bukan Senapati, dia hanya petani biasa. Kutunggu kau di desa, setelah segala yang kau citakan tercapai
Gelar berdiri membungkuk, melepas sembah, memeluk kaki kiri penunggang kuda itu dan menciumnya.
Beberapa bentar kemudian Galeng merenggutkan kaki, menggerakkan kuda, berpacu terus ke selatan.
Gelar tertinggal bersujud di atas tanah dan menangismeraung sekerasnya sampai suara dan airmatanya habis. Dengan punggung masih terangguk-angguk karena hisak ia bangun, berdiri dan memeluk leher kudanya.
Sultan, sebutnya, tinggal kaulah sekarang padaku. Seorang demi seorang telah pergi daripadaku. Tak seorang pun mengajak aku. Sultan, bawalah aku ke mana kau suka.
Ia naik ke atas kuda tanpa mengindahkan sesuatu. Ia turun lagi dan melepas kendali dan abah-abah, dan dibuangnya ke rumputan. Kuda itu telanjang seperti bukan kuda balatentara. Ia naik lagi. Dan kuda itu berjalan lambat-lambat sekehendak hatinya.
Mata Gelar terundukkan ke bawah, bahkan mengiringkan Senapati dengan pandangnya pun tidak.
Senapati itu sendiri terus berpacu ke selatan. Di sebuah jalanan hutan ia berhasil menyusul Idayu dan Kumbang dan turun dari kuda.
Bapak! seru Kumbang. Wiranggaleng mengangkatnya dan menaikkannya di atas punggung binatang itu. Ia berjalan di samping Idayu, pelanpelan tanpa bicara.
Bapak ikut pulang ke desa" tanya Kumbang. Ya, Nak, ikut pulang, jawabnya.
Idayu melirik pada suaminya. Hanya sekilas. Mak, Mak, Bapak ikut pulang.
Ya, Nak, biar sekali-sekali menengok rumah, jawab Idayu dan melirik pada suaminya lagi.
Kau tak membawa perlengkapan perang, Kang" Tidak.
Demak setiap waktu menyerang lagi, Kang. Sekarang Galeng hanya petani, Idayu.
Idayu berhenti berjalan dan memegangi tangan suaminya, memandanginya dengan mata berkaca-kaca. Mereka berbisik-bisik, kemudian berjalan lagi, makin lama makin jauh memasuki daerah hutan dan hilang di balik kehijauan abadi& .
Demikianlah cerita tentang seorang anak desa lain yang mengemban cita-cita menahan arus balik. Berbeda dari anak desa yang lain, yang seorang ini tidak berhasil, patah di tengah jalan, namun ia telah mencoba.
0odwo0 Penutup Sylyester da Costa tak dapat melupakan pengalamannya. Di Tuban waktu balatentara Portugis terjebak oleh tipuan balatentara Pribumi. Peranggi telah terpancing oleh api unggun raksasa dan ledakan, lengah keheranan. Dan sebelum tahu pasti apa sedang terjadi, balatentara Pribumi datang dari kegelapan, menyambar-nyambar seperti elang rajawali. Dalam satu malam itu juga ia ikut menyaksikan bagaimana balatentara tumpas. Benteng bawah-tanah siasia, bahkan didekati pun tak bisa. Meledak.
Francisco de Sa kebetulan sedang berlayar ke Maluku. Pengawalan meriam dari laut tak ada. Dibandingkan dengan di Banda, pertahanan Peranggi di Tuban sungguhsungguh lapuk.
Berbahagialah de Britto, tulis Sylyester da Costa, berbahagialah Antonia Galyano. Celakalah kami. Tulisnya selanjurnya dalam buku hariannya: Aku kira hanya beberapa belas orang saja dapat melarikan diri ke timur, hanya untuk dapat mencari kuburannya sendiri yang agak lebih jauh dari teman-temannya.
Prajurit-prajurit Pribumi memburu kami tanpa ampun. Aku sendiri terguling di pinggir jalan, kemudian merangkak menjauh. Tak mampu melarikan diri lagi. Sepucuk anak panah telah menembusi pahaku. Masih beruntung tidak terkena nadi karangan maut. Setiap gerak mendatangkan nyeri tak tertahankan. Anak panah itu terbuat daripada bambu, matanya dari tulang, entah babi entahlah sapi. Entah bagaimana keterangannya, yang menembusi pahaku itu tidak berbisa. Kaki kananku telah memar tertumbuk pada bongkahan batu.
Satu-satunya jalan bagiku hanya tinggal berdoa untuk keselamatan sendiri. Di mana musket dan pedangku aku sudah tak tahu lagi. Pakaianku compang-camping seakan aku seorang pengemis di depan salah sebuah gereja di Lisboa, bukan lagi prajurit Portugis kebanggaan negeri, raja Portugis.
Lengan bajuku telah kuputus untuk menghentikan jalan darah pada lukaku. Rasa-rasanya, bila tak ada Tuhan, tak ada Kristus, tinggal malam saja melindungi aku dari maut.
Ah, betapa menggeletar ketakutan hati ini waktu bulan muncul dengan pelannya. Suara prajurit Pribumi yang bersorak-sorak memburu dan menumpas masih kedengaran di mana-mana. Mereka akan temukan aku juga. Puji kepada-Mu, sorak-sorai kemudian semakin lama semakin menjauh. Kesunyian menyusul.
Dalam kesakitan, ketakutan, kegentaran dan sebatang kara di medan perang yang telah sunyi ditinggalkan begini, terkenang aku pada orang-tuaku, pada saudara-saudaraku yang sudah sejak semula tak setuju aku berlayar ke Umur. Terkenang aku pada malam sebelum mancal. Ayah mewejang: memang mulia cita-cita menaklukan negerinegeri kafir dan mentaubatkan mereka sesuai dengan keputusan Tahta Suci. Aku sendiri bangga. Ibu tak hentihentinya memandangi anak lelakinya yang bungsu, aku inilah, anak tersayang dan termanja. Seakan mata itu tertuju pada Tuhan Kristus sendiri dan bertanya bagaimana nasib anak bungsunya kelak. Beginilah keadaanku sekarang.
Pagi-pagi benar mereka temukan juga aku.
Matilah aku sekarang, pikirku. Ketakutan telah menghilangkan rasa nyeri.
Satu regu berkuda balatentara Pribumi, barangkali sedang melakukan pemeriksaan medan sehabis serangan malam, telah menemukan aku yang sedang bersembahyang menyerahkan jiwaku kepada Tuhan, Bapak. Aku tahu, hanya itu jalan bagiku. Maka kupersiapkan diri untuk mati di dalam pengampunan-Nya.
Kafir-kafir itu mengerahkan tombak-tombaknya padaku. Derap kudanya tak lagi terdengar. Jelas mereka sedang melingkar mengepung aku. Puji kepada Tuhan, karena berkah permohonanku suatu mukjijat telah terjadi.
Pemimpin regu Pribumi itu telah menunjukkan kemuliaan hatinya. Ia perintahkan agar aku dirawat. Dirawatlah aku, mungkin perawatan terbaik menurut setahu mereka.
Mereka naikkan aku ke atas kuda sambil bercakap-cakap dalam bahasanya sendiri. Di sebuah rumah mereka bius aku dengan obat yang aku tak tahu namanya. Waktu aku siuman kembali anak panah itu telah tercabut dari pahaku. Sebagai gantinya kulihat bebatan dari kain tenun berwarna kuning. Kakiku yang memar telah tertutup dengan selapisan obat berwarna putih yang membubungkan bau sedap. Bau yang membikin aku selalu mengantuk.
Tiga bulan aku dirawat. Selama itu mulai aku mengerti sedikit Jawa. Walau tidak banyak, ada juga dapat kumengerti tentang cerita dan percakapan mereka.
Waktu aku sudah sembuh mereka beritahukan padaku: aku harus meninggalkan Tuban. Aku pun bersiap-siap hendak pergi untuk mencari bangsaku, entah di Malaka entahlah di Maluku.
Sebagai seorang Kristen, orang Portugis, orang Eropa, yang lebih tinggi peradabannya daripada kafir-kafir itu, tentu aku merasa berhutang budi, terutama pada pemimpin regu yang menyelamatkan jiwaku. Tanpa perlindungannya barangkali aku sudah mati, biar pun tak terkena mata tombak. Jadi sebelum berangkat aku perlukan menyampaikan terimakasih pada mereka. Juga aku utarakan keinginanku hendak menghadap pemimpin regu yang dulu itu.
Dia sudah pergi, mereka bilang. Tak ada yang tahu. Baiklah, barangkali memang aku tak boleh bertemu. Paling tidak aku harus ketahui namanya. Siapa tahu, tidak sekarang kelak pun mungkin dapat aku lakukan bila Tuhan menghendaki.
Namanya Wiranggaleng, tanpa gelar. Bawahannya memanggilnya Senapatiku. Aku ingat-ingat benar nama itu. Rasa-rasanya aku pernah dengar sebelumnya.
Mereka sediakan untukku sebuah perahu layar kecil, lengkap dengan perbekalan, kayu bakar, air tawar, baja, batu dan kaul, juga pakaian. Di tengah-tengah laut ada teringat olehku sesuatu: bukankah dia orang yang membikin balatentara Portugis tak dapat keluar lebih jauh dari kota Malaka" Kira-kira memang dia. Hang Wira Malaka itu. Hang Wira -Wiranggaleng. Barangkali, aku tak tahu betul. Agaknya terlalu jauh.
Setelah sampai di Maluku, kubuat ini jadi pekerjaan. Aku mulai bertanya-tanya. Kemudian tak lain kesimpulanku: Hang Wira memang Wiranggaleng itu juga, penumpas kami di Tuban.
Sekiranya dalam hidupku aku tak ada kesempatan berterimakasih padanya&
Dalam tulisan yang sudah banyak rusak dan hampirhampir tak terbaca disebutkan ia telah dipecat dari dinasnya, dan selanjutnya: Orang Portugis siapa pun akan lebih suka tinggal di Banda daripada di mana saja di Maluku ini. Nampaknya aku akan terpakukan di negeri ini dan jadi penduduk sini sampai mati. Berbahagialah kau, Magelhaen, dapat mendarat dan mancal sesukamu, mengelilingi dunia, melaksanakan impianmu. Sayang kekasaran Portugismu kau bawa ke mana-mana sehingga kau tewas oleh anak panah Pribumi Filipina. Aku sendiri tersekat dari pulau yang satu ke yang lain di Maluku, dan masih selamat sampai sekarang ini.
Banda akhirnya harus kutinggalkan juga. Begitu Ruy Yaz Pereira jadi panglima di Malaka tahun ini, 1544, aku harus meninggalkan Banda, ditunjuk jadi juruborong di Halmahera. Tetapi keadaan di sini mencurigakan. Setiap waktu bisa terjadi Tuban kedua. Telah aku coba dekati Pribumi. Nampaknya mereka tak suka pada orang kulit putih.
Aku minta pindah, dan diperintahkan ke Temate, 1548. Istriku menolak kubawa serta. Bersama dengan anakanaknya, wanita Pribumi Ambon, mereka pulang ke kampungnya di Ambon. Tak mengerti aku mengapa ia menolak ke Temate, boleh jadi karena ia takut pada orang Islam.
Maka sudah sejak di kapal dapat kurasai betapa kan sunyi kehidupanku sebagai juruborong di sana.
Waktu aku mendarat, penyambutku hanya seorang Pribumi. Atau bukan Pribumi Temate" Aku belum tahu pasti. Setidak-tidaknya dialah yang mengangkuti barangbarang ke loji. Ternyata dia tukang kebun, seorang Kristen yang kelihatan saleh dan kemudian kuketahui tak pernah melewatkan hari kebaktian. Pakaiannya selalu rapi, bersih dan baik. Setiap ke gereja ia mengenakan setelan Portugis sekalipun tidak bersepatu dan hanya bercakar ayam. Ia menerima pakaian itu dari bekas tuannya, Gonsalyes Mateo, juruborong untuk Temate.
Tukang kebun itu tidak beristri dan dengan sendirinya tidak beranak. Ia bernama Paulus. Tak ada sahabat atau teman padanya. Nampaknya ia pemurung dan pemenung. Bila sudah sampai pada puncak kesepiannya ia memukul tetabultan, yang di Maluku sini disebut totobuang, sebuah alat musik yang biasa dipergunakan dan kelihatan di Tuban.
Tukang kebun ini menarik perhatianku. Bukan saja lagu yang dibunyikannya tidak sama dengan lagu pribumi sini, juga wajahnya tidak ada kesamaan dengan Melayu gereja daripada Pribumi. Aku menduga dia seorang Moro.
Pada suatu malam sedang dia memukul totobuang aku datangi dia di kamarnya di ujung gandok dekat dapur. Tak dilihatnya aku masuk. Wajahnya murung seperti biasa. Betul, lagu yang dimainkannya pernah kudengar di Tuban sana. Maka setelah selesai ia kaget melihat aku. Nampak ia seperti& benarkah dia seorang Moro"
Aku pernah dengar lagu seperti itu, kataku, dulu di Tuban"
Ia pucat dan pemukulnya jatuh dari tangan. Ia menutup mulut seperti hendak menindas jeritnya sendiri. Dan sejak itu ia selalu ketakutan bila melihat aku.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berhati-hati aku mencoba meramahi dia. Waktu kuulangi pertanyaanku dulu ia nampak tidak lagi terkejut.
Ya, Tuan Besar. Semua telah kuserahkan pada kandungan gereja. Sudah tak tersisa sesuatu pun dari masa laluku.
Seorang yang banyak mengalami penderitaan seperti aku ini segera dapat menangkap, ia mempunyai beban pada punggung dan hatinya. Dugaanku tidak salah. Setelah mulai bisa diajak bicara aku dapat menangkap ia seorang pedosa besar, atau setidak-tidaknya ia merasa demikian, seorang pembohong besar, yang hanya dalam Kristus saja dapat memperoleh damai.
Setahun kemudian baru dapat kukumpulkan kalimatkalimat yang sedikit itu yang pernah dikatakannya, yaitu setelah ia mendapat keyakinan pihak Portugis takkan menghukumnya.
Ia kelahiran Tuban, mengaku pernah membunuh ayahnya sendiri. Mula-mula ia tak mau mengaku mengapa. Lama-kelamaan, dengan ragu-ragu ia mengatakan, pembunuhan itu ia lakukan dengan sengaja dan dengan rencana, karena ayahnya menyebabkan penderitaan ibunya, terutama sekali karena ayahnya berpihak pada Portugis dan mengkhianati Tuban.
Tidak ada Pribumi Tuban berpihak pada Portugis, bantahku.
Ia menerangkan ayahnya bukan Pribumi, tetapi seorang Moro, Syahbandar Tuban. Semua orang Portugis di Maluku tahu cerita gila tentang Moro gila bernama Tholib Sungkar Az-Zubaid. Inilah rupa-rupanya anaknya. Ibunya seorang Pribumi, seorang penari kenamaan, katanya. Ia bercerita tentang kelahirannya yang tak diharapkan oleh siapa pun. Namun ibunya mengasihinya sampai terjadinya pembunuhan itu. Setelah itu bukan hanya ibunya, seluruh masyarakat mengucilkannya. Mereka tak dapat menenggang dan mempercayai seorang pembunuh orangtua, pemeluk-pemeluk Buddha itu.
Ia mengembara ke mana-mana. Setelah kudanya mati tua ia tak bisa berbuat lain kecuali menggabungkan diri dengan balatentara Demak.
Dalam pasukan kuda ia bersahabat dengan seorang prajurit pengawal yang cantik, lebih cantik dari seorang wanita, katanya, kelahiran Trenggono, sebuah tempat di Semenanjung, anak paman Paulus sendiri yang menetap di sana. Pamannya itu juga kelahiran Tuban. Dan anak cantik ini. Jafar, mungkin karena kecantikannya ditarik oleh Sultan Trenggono jadi pengawal pribadi dan pelayan. Karena keistimewaan kedudukannya ia dijuluki Juru Taman, menjuru tamani Sultan.
Sekali peristiwa Paulus mendapat perintah untuk melakukan pekerjaan telik di Blambangan. Trenggono telah sampai di batas kerajaan Hindu Blambangan. Untuk dapat melakukan serangan gilang-gemilang dan mematikan.
Sultan telah memanggil Fathillah untuk memimpin serangan umum atas Blambangan. Paulus tentu saja waktu itu ia tidak bernama demikian, entah apa mendapat perintah untuk mengumpulkan keterangan.
Dalam penyusupannya di Blambangan pada suatu pagi ia mendapatkan sebuah gubuk di tengah-tengah huma dalam kepungan rimba-belantara, daerah yang terlalu banyak macannya. Ia mengagumi penghuni, suami-istri yang sudah tua itu. Perawakan lelaki itu tegap katanya. Ia mendekatinya. Lelaki tua itu mengawasinya dengan curiga.
Dua-duanya berhadap-hadapan. Paulus segera menjatuhkan diri pada kaki orang tua itu dan memanggilmanggil: Senapatiku! Senapatiku!
Sampai pada bagian ini aku menajamkan perhatian. Panggilan Senapatiku itu segera kukenal.
Wiranggaleng" tanyaku.
Paulus terkejut. Ditatapnya aku lama-lama. Aku mencoba meredakannya dan masih juga ditatapnya aku. Suaranya sangat pelan waktu bertanya: Kenalkah Tuan Besar pada nama itu"
Seorang kafir yang berbudi, jawabku.
Ia menjadi sentimentil. Suaranya makin pelan dan muncul kekafirannya yang lama dalam ia membantah: Bukan, Tuan Besar, Senapatiku bukan kafir. Memang aku tak dapat mengatakan apakah ia Islam, ataukah Buddha, Syiwa atau Wisynu. Menurut cerita ibuku dia lulusan perguruan Buddha. Jangan sebut dia kafir, Tuan Besar, karena itu menyakiti hati barangsiapa pernah mengenalnya. Dia seorang yang perwira dalam kemenangan dan kekalahan.
Paulus pernah bercerita bagaimana ia mencintai kudanya.
Waktu binatang itu telah kehabisan tenaga karena tuanya dan menjelang kematiannya, ia merawatnya di tengahtengah hutan. Bangkainya ia timbuni dengan rantingranting dan dedaunan, dan kayu-kayu kering kemudian dibakarnya dengan penghormatan. Maka orang yang dapat begitu setia pada binatangnya barangkali dapat mencintai manusia dengan sedalam-dalam cinta.
Ternyata Wiranggaleng adalah ayahnya yang resmi. Ia bertanya pada ayahnya mengapa ia tinggal di hutan menyendiri seperti pertapa.
Aku tinggal di luar jamanku. Dalam jaman ini tenagaku terlalu kecil untuk membendung kemerosotan besar. Entah di jaman lain kelak. Di tengah hutan ini aku bisa memandang sampai batas-batas tebangan itu dengan bebas dan lega. Di luar batas itu, selama ada manusia, di situlah kemerosotan. Aku tak perlu melihat. Kau datang kemari bukankah tidak dengan sengaja"
Paulus menceritakan tugasnya. Senapati menganggukangguk.
Betul dugaanku. Kalau begitu kau belum mencapai citacitamu, karena kau memang tidak mempunyai cita-cita. Bukankah aku dulu bilang akan menunggumu di rumah kalau cita-citamu telah tercapai" Kau datang kemari sebagai telik Demak!
Senapati memanggil istrinya, seorang wanita yang juga sudah nampak tua tapi sehat.
Inilah anakmu, datang untuk bersujud padamu. Paulus bersujud pada kaki ibunya. Ia tak dapat mengatakan sesuatu. Kata-kata yang keluar dari mulutnya justru yang bukan dimaksudkannya: Di manakah Kumbang, Mak"
Kusuruh dia mencari ilmu untuk mengalahkan musuhmusuh bapaknya. Dia pergi ke Giri Dahanapura, kemudian di sana dia ikut dengan orang Peranggi. Bertahun-tahun dia sudah pergi. Terakhir datang dia minta diri akan berlayar dengan kapal Peranggi, ke negeri Peranggi. Sejak itu dia belum pernah datang lagi. Dan kau, sekarang kau hanya hamba seorang sultan yang dijijikkan Senapati.
Mendengar itu Paulus mengerti, Wiranggaleng, masih juga belum dapat berdamai dengan persoalannya, dan karena itu semestinya juga jijik terhadap dirinya. Setelah menyembah ia minta diri dan meneruskan perjalanan tanpa singgah ke gubuk.
Setelah tugasnya selesai dan ia kembali ke pesanggrahan tentara Demak tetaplah sudah hatinya: ia harus bunuh Sultan Trenggono. Emak dan Senapati harus dapat mengampuninya. Mahluk yang menjijikkan mereka itu harus hapus dari muka bumi.
Pada sahabatnya, Jafar, ia ceritakan semua persoalan yang lalu. Jafar si Juru Taman pun sudah muak terhadap kelakuan Sultan atas dirinya. Suatu persekutuan rahasia terjadi. Jafar si Juru Taman akan mengeris Sultan dan Paulus akan menjaga keselamatannya.
Di depan pesanggrahan balatentara Demak peristiwa itu terjadi. Jafar menikam rajanya sebagaimana direncanakan. Para prajurit pengawal di selingkungan Suitan ternyata lebih lincah. Trenggono memang mati seketika. Tapi Jafar si Juru Taman juga tertembusi tombak-tombak waktu hendak mencabut keris dari tubuh korbannya.
Karena, ya, karena seorang satria takkan meninggalkan keris pada tubuh korbannya.
Melihat itu Paulus lari. Ia melompat ke atas salah seekor dari dua kuda yang telah disiapkannya, menghindari hujan tombak yang terarah padanya. Sekali ia sempat menengok dan melihat pemuda cantik itu telah hancur berkepingkeping.
Jafar si Juru Taman seorang yang mengalahkan Demak. Balatentaranya mundur, intinya pulang ke Demak, sisanya buyar ke tempat asalnya masing-masing. Dengan matinya Trenggono, juga Demak sebagai kerajaan runtuh dan tak bangun lagi!
Paulus masuk ke Blambangan dan mewartakan pada penduduk: Trenggono sudah mati! Kubunuh dia dengan kerisku!
Raja Blambangan mengangkatnya jadi perwira. Dengan segala kebesaran ia berkunjung pada orangtuanya di tengah hutan. Dengan sorak-sorai penuh kemenangan dalam hati ia wartakan pada mereka di dalam gubuk: Bapak, Emak, telah aku selesaikan apa yang sudah sewajarnya harus kuselesaikan untuk membendung kemerososotan besar. Telah aku bunuh Sultan Trenggono di Pasuruan.
Betapa lukahatinya melihat kedua mereka hanya memandanginya dengan iba. Suatu rangsang marah tibatiba menjompak seperti perjaka tertolak kasih oleh idaman hati. Tangannya meraba keris. Sekilas itu pula ia sadar, keluar dari gubuk dan kembali ke Blambangan. Hatinya remuk-redam. Semua telah kehilangan arti kembali. Ia tinggalkan Blambangan dan berlayar ke Maluku.
Menurut ceritanya, entah benar entahlah bohong, ia pernah sempat menjamah jubah Franciscus Xaverius, dan sejak itu, ia mengakui mendapat kedamaian hati& .
Itulah Paulus, seorang yang bisa lakukan perbuatan besar, tetapi, seperti dikatakan oleh Senapatinya sendiri, tidak mempunyai cita-cita, hidup di bawah kebesaran orangtuanya. Suatu tragedi kehidupan.
Rupa-rupanya ia menyesal telah menceritakan semua itu. Ia ingin hilang-lenyap tiada berbekas. Seorang saja mengetahui riwayatnya, semua akan mengetahui. Tidak, Paulus, takkan kuceritakan ini pada siapa pun.
Kembali ia tak dapat berdamai dengan hatinya. Pada suatu kali ia minta diri untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada Kristus.
Ia tinggalkan Temate, entah ke mana, mungkin ke Sangir, mungkin Manado, mungkin juga ke pulau Kai.
Ia turun naik ke atas kapal Portugis dengan pakaian pemberian Gonsalyes Mateo. Ia pergi sebelum aku sempat mengucapkan terimakasih untuk ayahnya yang resmi, Senapati Tuban, Wiranggaleng& .
END Kisah Si Naga Langit 12 Animorphs - 43 Percobaan The Test Rahasia Sumur Tua 2
^