Pencarian

Ayahku Bukan Pembohong 3

Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye Bagian 3


cerita?kan potongan paling gelap dalam sejarah suku Penguasa
Angin. Ketika langit bukan lagi milik mereka, ketika padang
penggembalaan bukan lagi tempat ternak mereka, ketika tanah
kelahiran bukan lagi tempat tinggal yang permai, dan keluarga
mereka sendiri bukan lagi milik mereka.
"Dua ratus silam, penjajah tiba di dataran luas separuh benua
itu. Dengan persenjataan mutakhir, satu per satu mereka me?
naklukkan penguasa setempat. Dalam hitungan bulan, dua
negara dari tiga pemilik teritorial padang penggembalaan tunduk,
dan kaum penjajah terus merangsek masuk hingga ke sudutsudut padang. Strategi mereka licik, mengalahkan lawan dengan
candu, mengubah hamparan rumput subur menjadi ladang
tembakau mahaluas, menghasilkan jutaan batang candu, dan
dijual penuh paksaan pada penduduk setempat. Pemuda gagah,
para penggembala perkasa dengan mudah dikalahkan saat sibuk
mengurus diri sendiri, terlena oleh kenikmatan sesaat candu.
Anak-anak penggembala malas belajar, tidak peduli masa depan,
apalagi berpikir untuk membalas dan memerdekakan diri.
Dengan cepat, kekuasaan penjajah mencengkeram seluruh
padang penggembalaan. Pabrik candu berdiri di mana-mana,
menjadi industri mengerikan."
Aku menelan ludah, menghela napas pelan. Ayah benar, itu
mengerikan. Sejak kecil aku benci melihat para perokok. Mem?
156 Isi-Ayahku.indd 156 3/23/11 2:29:33 PM bayangkan penjajah menggunakan strategi itu, aku kehilangan
kalimat untuk menyela cerita Ayah.
"Dua ratus tahun lalu, hanya satu klan besar tersisa di seluruh
padang rumput, suku Penguasa Angin. Penjajah mengepung per?
kampungan mereka, bersiap meluluhlantakkan tenda-tenda suku.
Leluhur Tutekong, tetua paling bijak pada masa itu, di luar
dugaan memutuskan tidak melawan. Dia meminta kesempatan
be?runding. Sembilan tuntutan dari penjajah dipenuhi, termasuk
membiarkan padang penggembalaan mereka menjadi ladang
tembakau. Tidak ada lagi permainan layang-layang oleh anakanak (langit sudah jadi milik penjajah). Perkampungan mereka
diawasi penuh. Semua kegiatan harus memiliki izin, dan ber?
bagai peraturan yang hakikatnya merampas kemerdekaan.
Leluhur Tutekong menyetujuinya, hanya memberikan satu tuntut?
an, mereka dibiarkan hidup dengan budaya suku.
"Mereka bukan suku pengecut, Dam. Mereka tidak takut mati
demi membela kehormatan, tetapi buat apa" Suku Penguasa
Angin terlalu bijak untuk melawan kekerasan dengan kekerasan.
Membalas penghinaan dengan penghinaan. Apa bedanya kau
dengan penjajah, jika sama-sama saling menzalimi, saling me?
rendahkan" Leluhur Tutekong memutuskan akan menjaga ke?
bijakan hidup mereka selama mungkin. Mendidik anak-anak
mereka untuk mencintai alam, hidup bersahaja, dan membenci
ladang-ladang tembakau itu. Rasa benci yang tidak harus ber?
ubah menjadi perlawanan. Rasa benci yang justru menjadi se?
mangat, menjadi keyakinan bahwa mereka akan bertahan lebih
lama dibandingkan keserakahan penjajah. Kau ingat itu, Dam,
keyakinan bahwa suku mereka akan bertahan lebih lama di?
bandingkan rasa tamak dan bengis."
157 Isi-Ayahku.indd 157 3/23/11 2:29:34 PM "Dua ratus tahun energi itu tumbuh tidak terbilang. Dua
ratus tahun suku Penguasa Angin masih berdiri tegak di padang
penggembalaan mereka, beranak-pinak, mekar menjadi sembilan
perkampungan tanpa kehilangan identitas. Penjajah mulai cemas.
Silih berganti panglima perang, puluhan ribu tentara datang dan
pergi, padang penggembalaan itu tidak kunjung sempurna
mereka kuasai. Jenderal terakhir tidak sabar, merobek perjanjian
berusia dua ratus tahun itu, memutuskan membawa alat-alat
berat, meriam penghancur. Ribuan tentara mengepung suku
Penguasa Angin, hendak membumihanguskan.
"Adalah kakek Tutekong yang menerima jenderal itu di tenda?
nya. Dia tersenyum lembut, bilang tidak perlu memuntahkan
sebutir peluru jika hanya ingin mengusir mereka. Tidak perlu
setitik darah tumpah jika sudah tidak tahan lagi bertetangga
dengan baik. Kakek Tutekong mengusulkan sebuah pertandingan,
yang sebenarnya dikuasai oleh penjajah. Bertanding siapa paling
cepat mengirimkan pesan dari perkampungan suku Penguasa
Angin ke markas besar penjajah. Jenderal terdiam sejenak, lantas
tertawa terbahak, apa dia tidak salah dengar" Jarak kedua tempat
itu hampir seribu mil. Penjajah memiliki kendaraan tercepat
yang pernah ada. Mereka memiliki pesawat modern yang selama
ini digunakan untuk mengirim pesan ke mana-mana. Suku
primitif ini akan melawan dengan apa" Kuda-kuda terbaik"
Jenderal bersepakat dengan taruhannya, melambaikan tangan.
Kalau mereka kalah, dia sendiri yang akan memerintahkan
seluruh pasukan mundur. "Dua ratus tahun suku Penguasa Angin bersabar, Dam. Hari
yang dijanjikan telah tiba. Malam itu kepala suku mengumpulkan
semua anggota, menyuruh mereka berkemas. Besok jika mereka
158 Isi-Ayahku.indd 158 3/23/11 2:29:35 PM kalah, mereka akan pergi dari tanah kelahiran mereka. Kepala
suku berpesan lantang, besok pagi-pagi, pergilah ke lereng-lereng
gunung, tinggal di antara gua-gua besar. Ratusan tenda dilipat,
alat tenun, alat penyamakan dikemas, dan ratusan kuda disiap?
kan untuk melakukan perjalanan jauh. Mereka siap dengan
kekalahan, sama siapnya menyambut hari kemenangan besok.
"Esok hari, ketika matahari pertama menyentuh perkampung?
an, jenderal itu jumawa menunjuk pesawat terbang kecil milik
penjajah. Itu pesawat tercepat, dengan pilot terbaik, bersiap di
lapangan tempat perlombaan dimulai. "Aku tidak melihat kuda
yang akan kaugunakan," Jenderal mengejek. Kepala suku ter?
senyum lembut, lantas dengan gagah menarik simpul tali tenda
besarnya, satu-satunya tenda yang belum dibongkar. Dua ratus
tahun lamanya anak-anak suku Penguasa Angin dilarang me?
main?kan layang-layang di angkasa, tetapi mereka tidak pernah
lupa. Keahlian itu tetap terwariskan dengan baik.
"Hari ini, saat perhitungan alam tepat, penampakan awan
lurus bagai tiang, tiga hari berturut-turut, ternak mengeluh resah
seminggu terakhir, suhu terasa lebih panas setahun terakhir, dan
daun berguguran sebelum masanya, mereka siap menjemput hari
yang dijanjikan. Hari ketika semesta alam berpihak pada ke?
sabaran dan keteguhan. "Kepala suku menyentak simpul tendanya, dan sekejap, tenda
itu berubah menjadi layang-layang raksasa. Rangka tenda dari
buluh-buluh bambu menjadi busur layang-layang. Inilah layanglayang legendaris itu, Tutankhuto. Inilah kenapa suku mereka
disebut Penguasa Angin. Seluruh anggota klan berseru-seru pe?
nuh semangat. Beberapa tetua yang usianya ratusan tahun me?
nitikkan air mata. Tidak terhitung pengorbanan mereka, makan
159 Isi-Ayahku.indd 159 3/23/11 2:29:36 PM hati, direndahkan. Hari ini kebanggaan menyelimuti dada
mereka. Hari ini semua harga diri akan dikembalikan. Jenderal
penjajah mengerut tidak mengerti. Ratusan tentara dengan
senapan di tangan menatap takjub. Kepala suku sudah loncat ke
atas layang-layang raksasa. Angin bertiup kencang, langit men?
dadak gelap, pertandingan dimulai. Pesawat modern milik
penjajah melaju dengan kecepatan penuh. Layang-layang raksasa
suku Penguasa Angin juga melesat cepat.
"Kepala suku tahu, lomba itu hanya basa-basi. Meskipun
mereka menang, penjajah tetap akan mengusir mereka. Maka dia
terbang bersama layang-layangnya dengan menghamburkan
butiran garam. Itu bukan butiran biasa, itu bibit badai. Tetua
suku tahu, setiap dua ratus tahun, padang penggembalaan luas
akan dikungkung topan besar selama seminggu. Itu siklus alam
yang tidak bisa dihindari. Inilah kesempatan emas bagi mereka
untuk menghancurkan penjajah hingga ke akarnya. Dua ratus
tahun bersabar, kesempatan itu akhirnya datang.
"Lomba itu berakhir cepat, pesawat modern itu remuk oleh
tiupan angin bahkan belum sepertiga perjalanan. Kepala suku
tidak peduli, dia dengan tangkas terus mengendalikan layanglayang raksasanya, menghamburkan benih badai ke seluruh
pabrik candu, ke seluruh ladang tembakau, ke semua markas
perang penjajah. Sementara ribuan anggota suku mulai bergerak
dalam rombongan panjang. Mereka segera menyingkir ke lerenglereng gunung, berlindung di balik gua. Topan dua ratus tahun
itu datang tidak terkira, langsung tersulut di setiap butir garam
jatuh. Angin puting beliung bagai jamur di musim penghujan,
mekar di seluruh padang penggembalaan, ratusan jumlahnya.
Sungguh mengerikan melihat alam semesta mengamuk."
160 Isi-Ayahku.indd 160 3/23/11 2:29:37 PM "Hiaa!" "Hiaa! Hiaa!" Kepala Suku Penguasa Angin menari meng?
hindari tiang-tiang hitam pekat itu. Tiang-tiang kematian. Me?
nyaksikan puluhan ribu tentara penjajah tidak bisa berbuat apa
pun ketika pusaran angin menyedot alat berat, pelontar meriam,
peralatan perang, ladang tembakau, dan pabrik-pabrik candu ke
dalam badai mengerikan. Badai ini tidak bisa ditembak, tidak
bisa dihentikan dengan meriam.
Ayah terdiam sejenak, menatap bunga bugenvil yang basah.
Mulutku terbuka, cerita ini amat hebat.
"Dam, kesombongan dan keserakahan berusia dua ratus tahun
itu musnah dalam sekejap. Kepala suku benar, tidak perlu se?
butir peluru, juga tidak perlu meneteskan darah anggota klan?nya
untuk memenangkan perang. Yang dibutuhkan hanya kesabaran
dan keteguhan hati yang panjang. Jenderal itu dibawa puting
beliung, juga ribuan tentara yang mengawalnya. Satu minggu
penuh badai terjadi, padang penggembalaan mahaluas itu rusak
parah seperti rambut keriting kau yang dibotaki, Dam. Tetapi
waktu akan menumbuhkan kembali rumput yang baru, waktu
akan mengembalikan sungai mengalir bening, waktu akan mem?
buat kembali indah padang rumput mereka. Suku Penguasa
Angin sungguh tidak memenangkan pertempuran melawan pen?
jajah. Mereka memenangkan pertempuran melawan mereka sen?
diri, melawan rasa tidak sabar, menundukkan marah dan
kekerasan di hati. "Ayah memberikan seluruh buku catatan perjalanan selama
tiga tahun terakhir pada Tetukong atas cerita hebat masa lalu
suku mereka. Berterima kasih banyak sudah menerima orang
asing dengan baik. Semoga dengan membaca catatan Ayah,
161 Isi-Ayahku.indd 161 3/23/11 2:29:38 PM Tetukong tahu kabar dari dunia luar. Kepala suku tertawa
menepuk-nepuk bahu Ayah, senang dengan hadiah itu. Kau
tahu, Dam, dia balas memberikan hadiah istimewa pada Ayah.
Tetukong mengantar Ayah ke titik terluar wilayah penggembala?
an mereka dengan menaiki Tutankhuto, layang-layang legendaris
itu, diiringi belasan penggembala lainnya. Itu pengalaman yang
menakjubkan, Dam. Melihat mereka berseru-seru menggiring
ternak dari atas langit. Ayah seperti masih ingat kaki Ayah yang
gemetar, tangan Ayah yang erat-erat menggenggam tali layanglayang, takut sekali jatuh. Tetukong membuat layang-layang
berputar, meliuk, bahkan bersalto, tertawa ringan melihat wajah
Ayah yang pucat pasi. Melintas di antara air terjun, terbang
seperti hendak meniti pelangi, menembus awan-awan lembut.
Itu selalu hebat untuk dikenang, Dam. Itu selalu hebat"."
Mulutku sempurna terbuka, takjub menatap Ayah.
162 Isi-Ayahku.indd 162 3/23/11 2:29:39 PM 18 Libur Panjang R uang perpustakaan lengang.
Retro meletakkan buku yang telah selesai dibacanya, menghela
napas pelan. "Dan Ayah kau bilang sendiri kalau dia pernah
menaiki layang-layang legendaris dalam buku cerita ini?"
Aku mengangguk. "Maaf, Dam. Aku pikir itu sedikit berlebihan."
"Ayahku bukan pembohong. Seluruh kota tahu ayahku jujur
dan sederhana," aku menyergah Retro.
"Iya, kau sudah bilang itu berkali-kali padaku, dan aku
percaya, Kawan." Retro mengusap dahi, terlihat hati-hati me?
nyusun kalimat. "Tetapi, Dam, aku setidaknya punya sepuluh
per?tanyaan yang dapat meragukan cerita ayah kau kalau itu
benar-benar terjadi. Mana ada pesawat modern ratusan tahun
silam" Padang penggembalaan itu di benua mana" Mongolia"
Perang candu itu perang yang mana" Siapa penjajah itu" Bagai?
mana mungkin tidak ada yang tahu suku mereka, sedangkan
setiap hari suku itu menggembalakan ternak menunggang
163 Isi-Ayahku.indd 163 3/23/11 2:29:40 PM layang-layang. Ayolah, puluhan satelit di atas sana, jutaan
frekuensi penerbangan komersial. Dan layang-layang raksasa,
bagaimana kau menaikinya" Mengendalikannya" Butuh angin
seberapa kencang untuk menerbangkannya" Ayolah, tempat,
tahun, dan sebagainya tidak cocok dengan sejarah dunia, kecuali
kalau semua itu hanya dongeng. Itu lebih masuk akal. Namanya
juga cerita fantasi."
Aku menggeram. Enak saja Retro bilang Ayah berfantasi.
"Kalau kau bilang ayah kau pernah ke Lembah Bukhara, aku
percaya, Kawan. Meskipun aku meragukan soal apel emas itu.
Tetapi yang satu ini, maafkan aku, ayah kau sedikit berlebih?
an." Petugas senior asrama lagi-lagi menghentikan diskusi kami di
ruangan perpustakaan. Ia meneriaki kami agar segera kembali ke
kamar, sudah lewat jam malam. Aku berat hati mengembalikan
buku tua itu ke dalam rak, membawa tas berisi buku gambar,
berjalan beriringan tanpa bicara dengan Retro.
*** Kembali ke ruang kerja, denging laptop menjalankan program
grafis. Aku melirik jam di sudut layar laptop, satu menit lagi pukul
sembilan, saatnya menyuruh Zas dan Qon tidur. Walau aku
harus menyeret dua anakku, malam ini tidak ada rajukan, tidak
ada negosiasi setengah jam lagi, Zas dan Qon harus tidur tepat
waktu. Sebelum beranjak berdiri, aku menyeringai lebar melihat
desain setengah jadi di layar laptop. Ini ide yang hebat, fantastis.
164

Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Isi-Ayahku.indd 164 3/23/11 2:29:41 PM Aku menggabungkan imajinasiku tentang arsitektur Lembah
Bukhara dan perkampungan suku Penguasa Angin. Sejatinya
aku tidak pernah bisa membenci cerita-cerita Ayah, aku bahkan
menggunakannya dalam hidupku, mulai dari yang terlihat seperti
desain-desain yang kubuat, hingga yang tidak terlihat seperti
pemahaman hidup dan perangaiku.
Tetapi aku membenci Ayah yang yakin sekali bilang itu kisah
nyata. Seolah-olah ia terlibat dalam cerita, menunggang layanglayang, mengunyah apel emas, atau bersahabat baik dengan sang
Kapten. Andai kata Ayah lurus mendongeng, urusan dengan Zas
dan Qon tidak akan panjang, aku bisa menerimanya. Aku meng?
hela napas pelan, sayangnya Ayah bahkan menganggap ceritacerita itu bagian hidupnya, tidak terpisahkan. Dalam situasi
gawat sekalipun, Ayah tetap sibuk dengan cerita-ceritanya.
"Zas, Qon, saatnya tidur." Aku berdeham.
"Mereka sudah ke kamar sepuluh detik yang lalu, Dam."
Hanya Ayah yang duduk sendirian di sofa, sedang menyeduh
cokelat panas, nikmat. Aku menelan ludah, menoleh ke sekitar. Di mana dua mons?
ter kecilku" "Mereka anak yang hebat, Dam. Baik hati, penurut, dan
mandiri seperti kau kecil dulu. Aku senang kau sejauh ini ber?
hasil mendidik mereka jauh lebih baik dibanding Ayah dulu
mendidik kau. Mereka bilang, tidak pernah sekali pun mereka
berkelahi di sekolah. Astaga, kau dulu membuat ibumu berkalikali dipanggil kepala sekolah." Ayah terkekeh.
Aku terdiam, masih mencari di mana Zas dan Qon. Janganjangan mereka bersembunyi, lantas saat aku kembali ke ruang
kerja, mereka kembali mengerumuni Ayah, melanjutkan cerita.
165 Isi-Ayahku.indd 165 3/23/11 2:29:42 PM "Kau mencari apa, Dam" Zas dan Qon sudah masuk kamar,
jam sembilan. Atau kau hendak bergabung dengan Ayah me?
nikmati cokelat panas" Sudah lama kita tidak menghabiskan
waktu berdua." Ayah tersenyum lembut, menunjuk sofa kosong
di sebelahnya. Rintik gerimis kembali turun, baru satu-dua.
Aku menggeleng. "Pekerjaanku menunggu, Yah." Lantas meng?
angguk sesopan mungkin, balik kanan, bergegas kembali ke
desain gedung itu. *** Sekolahku, Akademi Gajah.
Hukuman itu sudah berakhir sebulan lalu, tetapi aku selalu
menyempatkan datang ke perpustakaan setiap hari, menjelajahi
rak-raknya, memeriksa setiap buku, berharap menemukan buku
cerita yang sama dengan cerita-cerita Ayah.
"Lama-lama kita lebih hafal seluruh sudut perpustakaan di?
bandingkan petugas, Dam." Itu gurauan Retro, aku mengabaikan?
nya. Sejauh ini ketertarikan Retro soal cerita-cerita itu sama besar?
nya dengan rasa ingin tahuku. Ketika kami sibuk melakukan
praktik kincir angin untuk menghasilkan tenaga listrik di kelas
pengetahuan alam, Retro tiba-tiba mengacungkan tangan, ber?
tanya pada kepala sekolah, pertanyaan yang membuat temanteman mengabaikan sejenak instalasi kincir. Sejak kapan Retro
terlihat jenius" Biasanya ia selalu mengantuk di kelas penge?
tahuan alam. "Secara teoretis bisa saja." Setelah berpikir sejenak kepala
166 Isi-Ayahku.indd 166 3/23/11 2:29:43 PM sekolah menjawab sambil takzim menangkupkan dua tangannya.
"Kau bisa saja membuat sebuah layang-layang besar yang kokoh
sekaligus ringan. Tidak perlu angin badai untuk menerbangkan?
nya, cukup dengan angin kecepatan 50 mil per jam. Misalnya di
padang penggembalaan luas, layang-layang itu bisa mengangkasa.
Tetapi untuk menunggangi layang-layang, aku pikir itu tidak
mudah. Layang-layang menjadi tidak stabil jangankan saat ada
orang yang menaikinya, kalian letakkan benda kecil saja layanglayang menjadi tidak seimbang lagi, kecuali kau bisa menemukan
orang yang terlatih sekali."
"Tetapi tidak mudah bukan berarti mustahil kan, Pak?" Retro
bertanya lagi. "Ya. Bukankah kalian sudah pernah menangkap petir dengan
layang-layang di menara sekolah" Dulu orang bahkan tidak
pernah membayangkan hal itu. Kita justru takut setiap terjadi
petir. Penelitian itu membawa umat manusia mengenal listrik
dan turunannya" Astaga, sepertinya hukuman menunggu apel
jatuh tahun lalu berguna buat kau, Retro. Otak di kepala kau
akhirnya digunakan buat berpikir dan berkontemplasi. Seperti?
nya aku harus mengirim kau ke rumah kaca lagi."
Teman-teman sekelas tertawa. Retro menggaruk kepalanya
yang tidak gatal. Aku tidak tertawa, ragu-ragu mengacungkan
ta?ngan. "Iya, Dam. Kau mau bertanya apa?" Kepala sekolah melambai?
kan tangan. "Pernahkah Bapak mendengar suku Penguasa Angin?"
Dahi kepala sekolah terlipat, teman-teman terdiam, saling
tatap tidak mengerti. Kami sedang mempelajari kincir angin,
kegunaan angin, manfaat angin. Pertanyaan Retro soal
167 Isi-Ayahku.indd 167 3/23/11 2:29:44 PM menunggang layang-layang raksasa boleh jadi masih relevan,
tetapi apa itu" Suku apa"
Aku tahu pertanyaanku terdengar ganjil, tetapi rasa ingin
tahuku tidak tertahankan. Di seluruh sekolah, orang yang paling
pandai adalah kepala sekolah. Jika ada orang yang pernah
mendengar suku itu, siapa lagi kalau bukan kepala sekolah" Lagi
pula selama mengajar, ia tidak pernah menolak menjawab per?
tanyaan dalam bentuk apa pun.
"Kau bertanya apa, Dam?"
"Suku Penguasa Angin, Pak" Konon katanya mereka me?
nunggang layang-layang saat menggiring ternak di padang peng?
gembalaan. Apakah Bapak pernah mendengarnya?"
Seruan teman-teman terdengar ramai. Ini kelas ilmu pasti.
Sejak kapan fiksi dan dongeng masuk dalam materi pelajaran"
Kepala sekolah terdiam sejenak, menggeleng. "Bapak belum
pernah mendengarnya, Dam. Bumi ini terbentang luas, ada
banyak hal yang Bapak tidak ketahui, mungkin salah satunya
suku yang kau bilang tadi."
"Tidak tahu berarti boleh jadi ada, Pak?" aku mendesak.
"Boleh jadi. Bukankah Bapak berkali-kali bilang, tidak ada
batas dalam ilmu pengetahuan. Dulu tidak ada orang yang
berani berpikir akan mendarat di bulan, orang-orang mencipta?
kan peribahasa bagai pungguk merindukan bulan. Sekarang hal
itu tidak mustahil. Ketika kita tidak tahu, bukan berarti kita
buru-buru menyimpulkan tidak mungkin. Kita saja yang tidak
tahu. Bahkan kebanyakan kita tidak tahu bahwa perkampungan
dekat sekolah punya resep sup jagung yang lezat." Kepala sekolah
tertawa. Retro sudah menyikutku, tatapannya seolah berkata, "Kau
168 Isi-Ayahku.indd 168 3/23/11 2:29:45 PM aneh sekali, seharusnya kau tidak bertanya secara langsung,
bodoh. Semua orang bisa tahu urusan ini." Aku balas me?nyikut?
nya. "Dengar, suku itu boleh jadi ada, kita saja yang tidak
tahu." Retro menepuk dahi, berbisik, "Tentu saja kepala sekolah
akan menjawab seperti itu. Tidak ada yang mustahil dan ganjil
dalam kamus kepala sekolah. Dia guru. Semuanya mungkin."
Kepala sekolah di depan sudah mempersilakan kalau masih
ada lagi pertanyaan. Tidak ada yang mengacungkan tangan.
Percobaan instalasi kincir angin itu dilanjutkan tanpa ganggu?an.
*** Hingga ujian kenaikan tiba, kami sibuk mengunyah serangkaian
tes. Musim berganti. Bulan-bulan melesat cepat. Aku tidak
kunjung menemukan buku-buku lain di perpustakaan. Libur
panjang kembali datang. Seluruh murid Akademi Gajah sibuk
mengemasi barang, menyeret koper besar, bersiap pulang menuju
rumah masing-masing. Stasiun kereta perkampungan dekat sekolah dipenuhi murid.
Jalur itu dilewati kereta menuju berbagai kota. Kereta berikutnya
merapat, menuju kota Retro.
Aku membantu Retro mengangkat koper besarnya ke atas
gerbong. "Surat terakhir dari ibuku bilang bahwa adikku sekarang
delapan orang, Dam," Retro berbisik, lalu memberiku pelukan
per?pisahan. "Ber?doalah aku bisa kembali ke Akademi Gajah
dengan se?lamat." Aku tertawa, pura-pura meninju perutnya.
169 Isi-Ayahku.indd 169 3/23/11 2:29:46 PM "Jangan lupa, kauselesaikan misi pentingmu." Retro me?
lambaikan tangan, kereta mulai bergerak maju.
Aku mengangguk, menepuk ransel di pundak, balas me?
lambai. Setengah jam berlalu, kereta berikutnya merapat, kereta me?
nuju kotaku. Aku susah payah melempar koper ke atas gerbong. Tidak ba?
nyak murid yang tersisa, matahari sudah tinggi. Aku menepuknepuk debu di tangan, bersiap naik.
"Penjahat kecil! Berani sekali kau mencuri buku-bukuku!"
suara serak itu menghardik.
Gerakanku terhenti. Petugas perpustakaan galak itu sudah
berdiri di depanku, tongkatnya terarah sempurna ke dadaku.
"Tahan keretanya!" Petugas perpustakaan meneriaki pegawai
peron yang siap memberikan kode jalan ke masinis. "Tahan
kereta?nya sampai penjahat kecil ini mengembalikan bukubukuku."
Petugas peron ragu-ragu menurunkan tanda.
Aku menelan ludah, salah tingkah. Buyar sudah rencana
besarku. Kemarin aku dan Retro sengaja mengambil dua buku
tua itu, dengan perhitungan ketika petugas tahu, kami sudah
jauh di kota masing-masing. Diurus nanti-nanti hukumannya
saat kembali ke Akademi Gajah. Aku membutuhkan dua buku
itu untuk diperlihatkan pada Ayah, bertanya langsung padanya,
apakah Ayah pernah membaca buku-buku itu lantas mengarang
sisa cerita. "Kau berani sekali." Petugas perpustakaan gemas menarik
ranselku, memeriksa dengan cepat, dan dengan cepat pula me?
nemukan dua buku kecokelatan, bukti kejahatan. "Sejak kecil
170 Isi-Ayahku.indd 170 3/23/11 2:29:47 PM aku sudah ditugasi untuk menjaga perpustakaan itu, bahkan se?
belum kepala sekolah bertugas. Harusnya kau diikat, dihukum
pecut, dilarang menaiki kereta untuk menerima hukuman, tetapi
kepala sekolah terlalu baik pada anak-anak sekarang. Lihatlah,
jadi seperti ini kelakuan anak-anak. Dasar pencuri!"
Aku kehilangan jawaban. Beruntung, setelah memeriksa bukubuku itu, petugas perpustakaan membiarkan aku menaiki
gerbong kereta. Ia masih terlihat mengomel saat kereta bergerak,
mengacung-acungkan tongkatnya. Aku mengembuskan napas
lega. Bisik-bisik temanku benar, petugas ini bisa mencium bau
buku yang dicuri anak-anak, sejauh apa pun.
Aku menyeka peluh di dahi. Kalau sudah begini, semoga aku
masih bisa kembali ke Akademi Gajah. Semoga kepala sekolah
tidak mengusirku. 171 Isi-Ayahku.indd 171 3/23/11 2:29:48 PM 19 Ibu Sakit S etahun tidak melihat kota, rasanya semua terlihat
berubah. Peron stasiun berganti tegel. Petugas berganti seragam,
menebar senyum, dan ramah menjawab pertanyaan para turis
atau orang yang baru mengunjungi kota kami. Hanya portir
yang tetap sama, sibuk menawarkan jasa menggendong barang
bawaan, saling sikut, menyelak. Aku tertatih menyeret koper
besarku. Stasiun ramai. "Anak ini namanya Dam." Nenek tua yang sepanjang per?
jalanan satu bangku denganku terlihat sudah dijemput oleh
rombongan keluarganya. "Dam" Dam, kuperkenalkan kau
dengan anak-anakku."
Aku mengangkat kepala, tersengal meletakkan koper.
"Dia anak yang baik. Dia menjaga wanita tua ini sepanjang
perjalanan." Nenek itu tertawa renyah, menunjuk-nunjukku, me?
nyuruh keluarganya menyalamiku.
Aku sedikit kaku menerima juluran tangan enam-tujuh orang.
Sebenarnya aku tidak melakukan apa pun. Nenek tua itu melaku?
kan perjalanan sendirian, ia bilang punggungnya sakit kalau
172 Isi-Ayahku.indd 172 3/23/11 2:29:49 PM terlalu lama duduk. Aku memberikan separuh kursiku padanya
agar ia bisa bersandar. Nenek tua itu juga suka sekali bicara,
sepanjang perjalanan terus bicara, dan aku demi sopan santun
mengangguk, menggeleng, mengangguk lagi, dan meng?geleng lagi
menanggapi. Ia bicara tentang keluarganya, tentang sakit tuanya,
tentang suaminya yang telah meninggal, hal-hal yang tidak
penting semacam itulah. Kalian tidak akan tahan walau hanya
setengah jam. Aku menelan ludah. Aku menjadi pen?dengar yang
baik untuk nenek tua itu selama delapan jam.
"Senang berkenalan dengan kau, Dam." Salah satu anggota
keluarga menepuk bahuku. "Kau mau pulang bersama kami"
Nanti aku antar ke rumah kau" Jauh lebih mudah membawa
koper besar kau dengan menumpang mobil kami."
Aku menggeleng, Ayah dan Ibu akan menjemputku. Benar
saja, di pelataran peron terlihat Ayah melambaikan tangan, men?
dekat. "Kami duluan, Dam." Mereka mendorong kursi roda nenek
tua. Aku mengangguk sekilas, tidak terlalu mendengarkan. Aku
bingung melihat Ayah datang sendirian.
"Ibu mana?" Aku lupa memeluk Ayah atau sekadar menjulur?
kan tangan. "Ibu sakit, di rumah."
Rasa senangku melihat kembali stasiun kota kami padam.
*** Rumah kami tidak berubah setahun terakhir.
"Kenapa Ibu tidak bilang di surat terakhir kalau Ibu sudah
173

Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Isi-Ayahku.indd 173 3/23/11 2:29:51 PM sebulan jatuh sakit?" aku bertanya pelan (sekaligus mengeluh),
lembut memijat tangan Ibu.
"Hanya sakit biasa, Dam. Terlalu lelah." Ibu tersenyum.
Aku menggeleng. Ini tidak seperti biasanya. Sejak aku tahu
ibu sakit-sakitan, paham bahwa Ibu punya kelainan bawaan yang
membuat ia seperti rumus matematika, sehat tiga-empat bulan,
jatuh sakit satu-dua minggu. Sakit kali ini tidak biasa. Sudah
sebulan, ini berarti rekor sakit terlama.
"Apa yang Ibu rasakan?" Aku menyentuh dahi Ibu.
"Kau sudah seperti dokter, Dam." Ibu tertawa kecil, terbatuk.
"Dan kau berubah sekali setahun terakhir. Jauh lebih tampan
dibanding ayah kau. Wajah kau amat menyenangkan."
"Ah, kupikir aku tetap lebih tampan," Ayah bergurau.
"Apa yang Ibu rasakan?" aku mengabaikan, tetap bertanya.
"Sama seperti sakit yang sudah-sudah, Dam," Ibu meyakinkan,
beranjak duduk. Aku membantunya. "Ini sakit biasa. Bedanya
lebih lama, besok lusa juga pasti membaik."
"Bedanya karena ibu kau memendam rindu, Dam." Ayah
menepuk bahuku. "Rindu?" Aku menoleh, tidak mengerti.
"Apa lagi" Sebulan terakhir ibu kau tidak sabaran bertanya,
ini hari apa" Tanggal berapa" Mengeluh masih lama jadwal kau
pulang, malas makan, bertanya kau kira-kira sedang apa?" Ayah
tertawa. "Ayo, anak muda, koper besar kau masih tergeletak di
pintu depan. Penampilan kau ini sudah seperti waktu Ayah dulu
bertualang saja, kotor, bau. Mandi sana, berganti pakaian. Kau
bertugas menyiapkan makan malam."
Ibu mengangguk. "Ibu sudah membaik, Dam. Percayalah.
Seketika membaik saat pertama kali melihat kau masuk kamar
174 Isi-Ayahku.indd 174 3/23/11 2:29:52 PM dan ber?gegas mencium tangan Ibu. Kau bisa memasakkan Ibu
makan malam yang enak?"
Aku perlahan ikut mengangguk.
*** Aku sempat menemani Ibu makan malam di kamarnya, memijat
hingga ia jatuh tertidur. Mematikan lampu, berjinjit keluar.
"Ibu kau sudah tidur, Dam?" Ayah belum tidur, masih duduk
di sofa, entah membaca buku apa, bertanya padaku saat aku ikut
bergabung. Aku mengangguk, meluruskan kaki. Suara gemuruh terdengar,
kilau kilat dari balik jendela kaca. Hujan tampaknya segera tu?
run. Sembilan dari dua belas bulan, kota kami diguyur hujan.
"Apa kata dokter, Yah?" Aku memecah lengang.
"Tentang kondisi ibu kau?"
Aku mengangguk. Selama ini jika Ibu jatuh sakit, Ayah jarang
membawanya ke dokter. Sebenarnya bukan Ayah enggan, lebih
karena Ibu tidak mau. Diagnosis dokter selalu sama, lelah. Obat?
nya selalu sama, istirahat.
"Begitulah, Dam," Ayah menjawab pendek.
Dahiku terlipat. Ayah tidak akan bilang bahwa ia tidak me?
maksa Ibu ke dokter, bukan" Sakit selama sebulan, itu harus
dibawa ke dokter. "Ayah sudah membawa ibu kau dua kali." Ayah meletakkan
buku, seperti mengerti maksud tatapanku. "Seperti yang bisa kau
tebak sendiri, dokter hanya bilang hal yang sama."
Aku merapikan rambut keritingku yang mengenai ujung mata.
Kami terdiam sejenak. Tetes air pertama mengenai kaca jendela.
175 Isi-Ayahku.indd 175 3/23/11 2:29:54 PM Hujan turun. Aku tidak tahu, malam itulah untuk pertama
kalinya Ayah berbohong. Bukan bohong dalam bentuk ceritacerita hebat itu, tetapi bohong yang benar-benar diniatkan.
Sebenar?nya dokter tidak bilang hal yang sama. Dokter bilang,
kondisi Ibu memburuk, kelainan sel darah merah Ibu sudah
merangsek ke mana-mana, menimbulkan komplikasi. Itu kabar
buruk. Tetapi bagi Ayah yang memahami hidup ini bersahaja,
penuh optimisme dan kesenangan, kabar itu ringan saja. Aku
baru tahu bagian ini setahun kemudian, ketika fisik Ibu tidak
bisa bertahan lagi, ketika aku kelak berhenti percaya pada ceritacerita Ayah.
"Tidak bisakah kita melakukan saran dokter dulu, Yah?"
"Maksud kau?" Ayah meletakkan bukunya lagi.
"Terapi panjang dan intensif untuk Ibu. Istirahat total dari
pekerjaan rumah. Aku sudah besar, bukan" Ibu tidak perlu
mengurus siapa-siapa sekarang."
"Ibu kau tidak mau melakukannya, Dam."
"Aku bisa membujuknya."
Ayah menatapku lamat-lamat. "Terapi itu belum tentu ber?
hasil, Dam. Satu dibanding sepuluh kemungkinan sembuhnya,
dan kita tidak tahu akan butuh berapa lama. Boleh jadi ber?
tahun-tahun tetap tidak kunjung sembuh. Kita tidak punya
cukup uang untuk melakukannya."
"Aku bisa bekerja, Yah. Menabung." Aku antusias.
Ayah menggeleng, ikut meluruskan kaki. "Setidaknya kau
pastikan dulu apakah ibu kau bersedia atau tidak melakukan
terapi itu." Hujan di luar menderas. Suara kelontang butir air terdengar
berirama. 176 Isi-Ayahku.indd 176 3/23/11 2:29:55 PM "Bagaimana tahun kedua kau?" Ayah berganti topik pem?bicara?
an. "Luar biasa, Yah." Aku menyeringai.
Ayah tertawa. "Tentu saja, tidak ada yang biasa di Akademi
Gajah. Itu yang dulu si Raja Tidur bilang pada Ayah. Andai kata
Ayah tahu ada sekolah sehebat tempat itu sejak kecil, mungkin
Ayah akan meminta kakek kau menyekolahkan Ayah di sana."
Aku terdiam. Kabar Ibu sakit membuat misi penting liburan?
ku sedikit terlupakan. Tidak disangka-sangka Ayah sendiri yang
menjawab pertanyaan penting pertamanya. Ayah tidak pernah
sekolah di Akademi Gajah" Kalau begitu, tidak mungkin Ayah
pernah membaca buku-buku tua itu.
"Ayah tadi bilang apa" Ayah tahu Akademi Gajah dari si Raja
Tidur?" Aku menelan ludah. Ini nama yang belum pernah
kudengar dari cerita-cerita Ayah sebelumnya.
"Iya, si Raja Tidur." Ayah mengangguk, tertawa menatapku.
"Astaga, meski ibu kau bilang kau sudah besar, sudah dewasa,
ketertarikan kau atas cerita-cerita tetap sama seperti sepuluh
tahun silam, Dam. Lihat wajah ingin tahu ini, seperti Dam yang
masih delapan tahun."
Aku menyeringai, ikut tertawa.
"Lantas siapakah si Raja Tidur, Yah?"
Ayah melepas kacamata, meletakkan buku di atas meja. "Dia
orang hebat, Dam. Belum pernah Ayah mengenal orang sehebat
si Raja Tidur. Dari dialah Ayah memulai banyak petualangan,
termasuk menemukan Lembah Bukhara dan padang peng?
gembala?an suku Penguasa Angin."
Aku sudah bersiap mendengarkan.
177 Isi-Ayahku.indd 177 3/23/11 2:29:57 PM 20 Si Raja Tidur Z as dan Qon punya jadwal baru.
Selain jadwal belajar, bermain, tidur, mereka sekarang punya
"jadwal bersama Kakek". Karena jadwal belajar, tidur, dan ke?
giatan penting lainnya tidak bisa ditawar-tawar (kami sempat
bertengkar panjang membahasnya), kehadiran Ayah sebulan
terakhir membuat mereka mengorbankan jadwal bermain untuk
memperbesar porsi jadwal bersama Kakek.
Aku mengeluh pada istriku, dan istriku dengan ringan men?
jawab, "Bukankah itu lebih baik" Mereka menghabiskan waktu
bermain bersama kakek mereka."
"Bukan itu poinku. Dengan lebih banyak bermain bersama
Ayah, waktu Zas dan Qon bersama kita berkurang banyak." Aku
berusaha mengendalikan volume suara.
Istriku menyengir lebar. "Sepertinya kau mulai cemburu, Dam.
Anak-anak sekarang lebih dekat pada kakek mereka dibanding
kau." Aku menepuk dahi. Bagaimana mungkin istriku menyimpul?
178 Isi-Ayahku.indd 178 3/23/11 2:29:58 PM kan demikian" "Kau lihat, perlu dua bulan kita menjadwalkan
pergi ke tempat ini, booking jauh-jauh hari, dengan rencanarencana besar. Berfoto bersama, bermain bersama, makan siang
bersama. Sepanjang hari Zas dan Qon hanya menghabiskan
waktu bersama kakek mereka, duduk mendengarkan entah cerita
bohong apa lagi, mengabaikan semua wahana fantastis di sekitar?
nya." Raut muka istriku berubah. "Aku tahu kau tidak suka ceritacerita Ayah, Dam. Tetapi tidak bisakah kau berhenti bilang
bahwa cerita-cerita itu bohong" Setiap kali kau melakukannya,
aku merasa terganggu. Terlepas dari bohong atau tidak, dan lagi
pula itu hanya dongeng-dongeng biasa, dia tetap ayah kau. Dia
juga tetap kakek tersayang Zas dan Qon."
Jeritan penumpang roller coaster terdengar kencang di dekat
kami. Aku terdiam menatap wajah jengkel istriku. Baiklah, aku
mengangkat bahu. Baiklah, aku urung berkomentar.
"Kalian tahu siapa si Raja Tidur itu sebenarnya?" suara tua
Ayah terdengar sayup-sayup.
"Orang yang kerjaannya tidur melulu, Kek?" Zas menebak.
"Iya, Kek. Tidur melulu, tubuh tambun, wajah berlemak. Iya,
bukan?" Qon ikut menebak.
Ayah tertawa. "Kalian benar soal tidur dan bentuk tubuhnya.
Tetapi keliru kalau membayangkan dia pemalas, lambat, dan suka
mengantuk. Dia orang hebat yang pernah Kakek kenal. Dia
profesor universitas ternama Eropa, bisa mengguna?kan dua belas
bahasa, dan dia juga menguasai delapan cabang ilmu. Dua cabang
ilmu yang membuat namanya amat terkenal adalah ilmu kedokter?
an dan hukum. Tidak ada dokter yang lebih pandai dibandingkan
si Raja Tidur, dan tidak ada hakim yang lebih adil, bijak, serta
179 Isi-Ayahku.indd 179 3/23/11 2:30:00 PM berani dibandingkan si Raja Tidur. Kakek mengenal?nya saat
menyelesaikan beasiswa di luar negeri. Dia bukan sekadar dosen
Kakek. Lebih dari itu, dia orang?tua angkat Kakek."
"Oh, jadi terhitung kakek buyut Zas?"
Ayah terkekeh sambil menggeleng. "Kurang-lebih begitulah."
Aku menatap wajah tertarik Zas dan Qon dari kejauhan.
Aku ingat sekali, 22 tahun silam, selepas cerita Ayah padaku
tentang si Raja Tidur, malam itu juga aku diam-diam menelepon
Retro nun jauh di kotanya.
*** "Syukurlah kau belum tidur."
"Bagaimana aku bisa tidur, Dam" Mentang-mentang aku ada
di rumah, orangtuaku pergi makan malam di luar, sudah lama
tidak kencan berduaan kata mereka. Di rumah adik-adikku
meng?amuk. Mereka mengacak-acak seluruh kamar. Untung
mereka akhirnya jatuh tertidur kelelahan. Ada apa" Kalau tidak
ada yang penting lebih baik aku tidur. Mengantuk," Retro
menjawab sebal. Ceritaku dengan cepat memperbaiki selera bicara Retro.
Waktu aku kecil, seumuran Zas dan Qon, aku biasanya me?
ngunyah bulat-bulat cerita Ayah. Umurku sekarang delapan
belas, sudah dewasa, jadi meski tidak ada yang berbeda dari gaya
Ayah bercerita"juga tidak ada yang berkurang dari rasa antusias?
ku"aku bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa si Raja
Tidur hanya nama panggilan, tokoh utama dari cerita Ayah kali
ini, untuk membuat sentuhan cerita lebih seru, tidak lebih tidak
kurang. 180 Isi-Ayahku.indd 180 3/23/11 2:30:01 PM Siapa si Raja Tidur" Dia adalah hakim agung yang masyhur.
Saat Ayah mendapatkan beasiswa master hukumnya, negara
tempat Ayah sekolah dikenal sebagai negara dengan pelaksanaan
hukum terbaik di seluruh Eropa. Polisi dan penyidik yang
profesio?nal, jaksa yang bekerja dengan nurani, serta hakim yang
pintar dan adil, karena itulah Ayah dikirim ke sana.
Menurut cerita Ayah, semua kemajuan hukum di negeri itu
dicapai berkat kerja keras si Raja Tidur. Dua puluh tahun lalu,
semua orang tahu seperti apa pengorbanannya. Seluruh koran
memuat laporan menyedihkan itu di halaman depan berharihari, termasuk semua koran juga memuat foto si Raja Tidur
yang tetap teguh memimpin sidang pengadilan, menjatuhkan
keadilan dengan gagah berani tanpa pandang bulu, menghabisi
sumber bau busuk di seluruh negeri.
Dialah idola Ayah saat menyelesaikan master hukum. Dua
tahun belajar siang-malam, hampir semua kasus yang dipelajari
di kelas adalah keputusan yang dibuat si Raja Tidur, dan favorit
Ayah adalah kasus pembunuhan seorang istri oleh suaminya.
Kejahatan pembunuhan tingkat pertama.
Keluarga itu termasuk terpandang di ibukota. Sang suami
pengusaha menengah yang sukses, kaya raya, sedangkan istri?nya
sekre?taris parlemen, bintang politik masa depan. Pada pagi yang
se?harusnya indah, istri pengusaha itu ditemukan tergeletak ber?
gelimang darah di kamar mandi. Penyidikan dimulai, jaksa mulai
menyusun delik perkara, lantas pengadilan digelar. Pengadilan
itu menarik minat khalayak ramai. Tersangka?nya siapa lagi kalau
bukan suami si korban. Sembilan saksi dihadirkan, dan semuanya memberatkan
suami. Keterangan para ahli, alat bukti, modus, dan alasan
181 Isi-Ayahku.indd 181 3/23/11 2:30:02 PM pembunuhan, semuanya meyakinkan. Suami cemburu buta,
lantas tega melakukan kejahatan itu. Tidak ada yang meragukan,
hukuman maksimal pasti dijatuhkan.
"Kau tahu siapa hakim pengadilan itu, Dam" Dialah si Raja
Tidur. Saat hari keputusan tiba, dia justru membebaskan sang
suami dari segala tuntutan hukum. Pengunjung yang datang
berteriak marah, keluarga istri berteriak histeris, dan orangorang di seluruh negeri menghujat hakim. Hari itu menjadi
tonggak penting penegakan hukum di negara mereka, Dam,
ketika si Raja Tidur yang memiliki delapan bidang keahlian
mengungkap tabir skenario pembunuhan yang sebenarnya. Dia
paham soal medis, autopsi mayat, dan penyidikan. Dengan cepat


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia tahu kesaksian polisi dan petugas forensik dusta. Kematian
istri malang itu bukan saat makan malam seperti yang dituduh?
kan. Si Raja Tidur juga tahu tentang psikologi kejiwaan, teori
konspirasi, dan kepentingan pihak-pihak tertentu. Sembilan
saksi sebelumnya juga dusta. Meski keluarga itu tidak harmonis
setahun terakhir, suami korban tidak pernah memiliki alasan
untuk membunuhnya. Saksi-saksi telah dipaksa untuk mengikuti
jalan cerita pihak berkuasa. Benang cerita jahat yang dirangkai
amat halus. "Bersama segelintir polisi yang masih memiliki nurani, temanteman di kejaksaan yang masih memiliki hati, sedikit kolega
hukum dan politik yang masih peduli, si Raja Tidur menggelar
pengadilan ulang dengan mendatangkan pembunuh sebenarnya.
Kau tahu siapa yang duduk di meja pesakitan, Dam" Presiden
negara itu. Untuk menghadirkannya ke meja hijau dibutuhkan
tiga bulan, kekacauan politik, ekonomi, demonstrasi, dan
keributan di banyak tempat. Seluruh negeri mengalami krisis
182 Isi-Ayahku.indd 182 3/23/11 2:30:03 PM besar, tetapi si Raja Tidur tidak pernah mundur. Wajah bulat
penuh lemak, yang tidak ramah dengan kamera televisi, pendiam,
hanya melambaikan tangan setiap kali ada yang bertanya apa
rencana dia sebenarnya, terus maju menggelar pengadilan. Dia
hakim tinggi. Dia berhak menghadirkan siapa saja, dan jelas si
Raja Tidur dilindungi konstitusi.
"Petinggi polisi, pejabat pemerintah, dan anggota parlemen
yang korup berusaha mati-matian menggalang opini publik
melawan si Raja Tidur lewat media massa yang mereka setir.
Tetapi selepas pengadilan ketiga, ketika si Raja Tidur dengan
cerdas, sistematis, dan tidak terbantahkan membentangkan apa
yang sesungguhnya terjadi, seluruh rakyat negara itu berdiri di
belakangnya. Itu konspirasi besar, Dam. Istri pengusaha, yang
bekerja sebagai sekretaris parlemen memegang kunci aktivitas
korup partai politik yang sedang berkuasa, mulai dari presiden,
menteri, pejabat tinggi, anggota parlemen, hingga pejabat lokal
di ujung rantai kekuasaan. Karena itulah istri pengusaha di?
bunuh ketika terlihat gelagat dia akan bertingkah, menuntut
posisi politik lebih tinggi dengan ancaman akan membocorkan
dokumen-dokumen negara. "Cerita ini bukan tentang betapa dinginnya si Raja Tidur
memimpin sidang, Dam. Cerita ini sesungguhnya tentang
pengorbanan, keteguhan hati. Kisah ketika kau tetap mendayung
sampan sendirian di tengah sungai yang dipenuhi beban
kesedihan, tangis, dan darah tercecer di mana-mana, ketika kau
terus maju mendayung bukan karena tidak bisa kembali, tapi
meyakini itu akan membawa janji masa depan yang lebih baik
untuk generasi berikutnya apa pun harganya.
"Istri tercintanya dibunuh di tempat tidur. Dua anaknya yang
183 Isi-Ayahku.indd 183 3/23/11 2:30:05 PM lucu menggemaskan, masih lima-enam tahun, ditemukan me?
ninggal dua hari kemudian setelah seminggu diculik dari sekolah.
Sumber kebusukan di negara itu melawan. Karena intimidasi
secara verbal tidak berhasil, mereka melakukan segala cara ter?
masuk kekerasan agar si Raja Tidur mundur. Adegan pengubur?
an istrinya belum hilang dari layar kaca, sudah disusul dengan
prosesi pemakaman dua anaknya. Rumah keluarga besar si Raja
Tidur diledakkan. Mertua, adik, kakak, dan anggota keluarganya
ikut menjadi kebiadaban pembalasan. Itu menusuk nurani paling
dalam. "Namun, kekerasan seperti itu tidak akan pernah berhasil.
Me?reka melawan keteguhan hati yang luar biasa, melawan
kesatria penegak hukum berhati baja. Saat menjatuhkan vonis
hukuman seumur hidup pada presiden, raut wajah si Raja Tidur
tidak dipenuhi kebencian sedikit pun. Hukuman itu diikuti
dengan perampasan seluruh kekayaan presiden, melucuti harga
diri dan martabatnya. Si Raja Tidur hanya berkomentar pendek,
amat menyesal juga harus menjatuhkan hukuman yang sama
pada istri, anak-anak, dan seluruh kerabat presiden yang terlibat.
Wajah datar itulah yang menghiasi halaman depan koran-koran
nasional selama seminggu.
"Si Raja Tidur tidak sempat menanggapi semua popularitas?
nya. Dia sibuk. Tumpukan kasus menunggu. Lagi pula dia
butuh kesibukan untuk melupakan wajah istri dan anak-anaknya.
Maka satu per satu pejabat korup menyusul ke penjara. Apa
pun cara mereka menghindar, tidak ada yang bisa mengalahkan
kecerdasan dan keberanian si Raja Tidur. Dia membantah semua
alibi de?ngan bukti. Dia melawan kesaksian lupa dengan logika.
Dan kau tahu, Dam, hukum itu sejatinya adalah akal sehat,
184 Isi-Ayahku.indd 184 3/23/11 2:30:06 PM bukan debat kusir, bukan mulut pintar bicara. Tidak terhitung
pengacara jahat yang hanya peduli dengan uang juga dilucuti
seluruh martabatnya oleh si Raja Tidur, disusul petugas pe?
nyidik, jaksa, dan hakim kaki tangan para tikus busuk.
"Ketika Ayah menyelesaikan beasiswa, umur si Raja Tidur
sudah tujuh puluh tahun, sudah pensiun dari semua aktivitas
keadilan. Dia kembali mengajar, menjadi profesor untuk empat
bidang ilmu. Dia menjadi panutan hakim-hakim muda, anak
muda yang punya cita-cita menebaskan pedang keadilan, tempat
belajar hukum yang luar biasa. Pemikirannya luas, ilmunya dalam,
analisisnya jernih tanpa pretensi atau kebencian. Ayah me?ngenal
baik si Raja Tidur. Ayah sering berkunjung ke rumah?nya, ber?
tanya banyak hal, berdiskusi tentang isu hukum kon?temporer.
"Kekuasaan itu cenderung jahat dan kekuasaan yang terlalu
lama cenderung lebih jahat lagi. Semua orang cenderung pem?
bantah, bahkan untuk sebuah kritikan yang positif, apalagi
sebuah tuduhan serius berimplikasi hukum, lebih keras lagi
bantahannya. Bangsa yang korup bukan karena pendidikan
formal anak-anaknya rendah, tetapi karena pendidikan moralnya
tertinggal, dan tidak ada yang lebih merusak dibandingkan anak
pintar yang tumbuh jahat. Orang-orang dewasa yang jahat sulit
diperbaiki meski dihukum seratus tahun, jadi berharaplah dari
generasi berikutnya perbaikan akan datang. Istri, anak-anak, dan
anggota keluarga lainnya bisa menjadi penyebab sebuah kejahat?
an, dan sebaliknya juga bisa menjadi motivasi besar kebaikan.
Ada banyak sekali kata-kata bijak si Raja Tidur, Dam."
"Lantas, kenapa dia dipanggil si Raja Tidur?" aku menyela
cerita Ayah, karena tidak sekali pun Ayah menjelaskan kenapa
tokoh utama ceritanya disebut demikian.
185 Isi-Ayahku.indd 185 3/23/11 2:30:07 PM Ayah terkekeh sampai matanya berair. "Sebutan itu seharfiah
kau waktu kecil dipanggil si Keriting, Dam. Ayah berteman baik
dengannya, bahkan boleh jadi Ayah murid ke?sayangannya. Di
kunjungan kesekian Ayah, si Raja Tidur dengan senang hati
menceritakan masa kecilnya. Dia sering tertidur di kelas, tertidur
di meja makan, bahkan tertidur di kamar mandi. Kau pernah
mengantuk di toilet" Si Raja Tidur bahkan harus dibangunkan.
Pintu toilet digedor. Sejak kecil tubuhnya sudah tambun,
lehernya berlemak, dengan mata sipit. Itulah kenapa semua
teman memanggilnya si Raja Tidur."
Aku terdiam, menelan ludah. Usiaku delapan belas, tidak
seperti kanak-kanak saat mendengar cerita, menelannya bulatbulat. Di kepalaku sekarang banyak sekali pertanyaan.
"Eh, apakah"." Aku menggaruk kepala, ragu-ragu.
"Iya?" Wajah Ayah yang selalu semangat saat bercerita me?
natap?ku. "Apakah si Raja Tidur itu benar-benar ada, Yah?" aku ber?
tanya pelan. Sisa-sisa tawa lepas Ayah musnah. "Maksud kau?"
"Eh, maksudku..." Aku ikut terdiam, jangan-jangan aku telah
menyinggung perasaan Ayah. "Maksudku, aku belum pernah
mendengar ada presiden yang dihukum seperti itu, Yah. Kalau
mantan presiden yang jadi pesakitan banyak."
Hujan di luar semakin deras, kerlip lampu mobil yang me?
lintas terlihat indah dari bingkai jendela. Ruang keluarga terasa
lengang. Ayah menatapku tajam, tidak seperti biasanya. Aku me?
nunduk. "Itu nyata, Dam. Senyata kau sekarang sekolah di Akademi
Gajah, salah satu tempat mendidik anak-anak berhati baik dan
186 Isi-Ayahku.indd 186 3/23/11 2:30:08 PM memiliki pemahaman yang berbeda tentang hidup. Persahabatan
Ayah dengan si Raja Tidur itu nyata, Dam. Senyata kita yang
saat ini duduk berdua membicarakannya."
Aku menelan ludah. "Maksudku bukan seperti itu, Yah" Aku
tahu itu nyata. Maksudku, mungkin aku saja yang belum pernah
mendengarnya." Percakapanku dengan Ayah malam itu berakhir canggung.
Tanpa bicara lagi, Ayah memasang kacamata, meraih buku baca?
an?nya di atas meja, sementara aku salah tingkah, pamit beranjak
ke kamar, bilang lelah setelah perjalanan panjang delapan jam.
Ayah hanya mengangguk selintas.
187 Isi-Ayahku.indd 187 3/23/11 2:30:09 PM 21 Pertanyaan Zas P agi yang cerah, hari libur, deadline desainku tinggal se?
minggu. "Pa, apakah cerita-cerita Kakek itu benar?" Zas sudah berdiri
di belakang kursi, memperhatikanku yang sibuk dengan program
grafis di layar laptop. Tanpa menoleh, aku tersenyum. "Selamat pagi, Zas. Kau
masuk ruang kerja Papa tanpa mengetuk pintu, Sayang."
Sulungku menyibak rambut ikal panjang yang mengenai mata?
nya, menyengir. "Ups. Lupa, Pa. Habis Zas tidak sabar ingin
bertanya." "Kau hendak bertanya apa" Asal jangan banyak-banyak." Aku
menunjuk jam di dinding. Aku harus segera menyelesaikan pe?
kerjaan. "Apakah cerita-cerita Kakek itu benar, Pa?" Zas mengulang
pertanyaannya, matanya bekerjap-kerjap ingin tahu.
Gerakan tanganku yang menggerakkan mouse terhenti. Apa
yang pernah kukatakan pada istriku" Anak-anak ini tidak bisa
188 Isi-Ayahku.indd 188 3/23/11 2:30:10 PM disamakan dengan masa kanak-kanakku. Mereka tumbuh lebih
cepat dan lebih kritis. Zas masih delapan, dan ia sudah bisa
melemparkan pertanyaan itu. Bandingkan denganku yang mulai
sibuk dengan pertanyaan itu saat sekolah di Akademi Gajah.
"Apakah cerita tentang apel emas, layang-layang raksasa, atau
si Raja Tidur itu sungguhan, Pa?" Zas tidak sabar, memegang
lenganku. Mungkin seperti inilah yang dialami Ibu dulu, saat aku
bertanya padanya apakah cerita Ayah benar atau dusta. Ibu
waktu itu bilang, "Suatu saat kau akan tahu, Dam." Apakah se?
karang dengan rasa tidak suka atas cerita-cerita itu, aku akan
bilang "Itu hanya bohong Kakek kalian, Zas?" Itu akan membuat
anak-anak?ku kehilangan rasa hormat atau setidaknya semangat
men?dengarkan cerita-cerita berikutnya.
"Kenapa kau bertanya itu sungguhan atau bukan, Zas?" Akhir?
nya kalimat itu yang keluar, aku memilih bertanya balik.
"Karena Zas tidak menemukannya di mana-mana, Pa. Sini
lihat, Pa." Sulungku yang sudah terbiasa dengan komputer ber?
anjak meraih mouse laptop. Tanpa izinku, ia cekatan membuka
akses internet. "Zas tidak menemukannya di internet, Pa. Coba Papa ketik
Lembah Bukhara atau suku Penguasa Angin, tidak ada sama
sekali, kan" Zas juga tidak menemukan?nya di ensiklopedia
online. Nama itu bahkan tidak dikenali." Zas mengangkat bahu,
menunjuk layar laptop yang menampilkan hasil nihil atas
pencarian kata itu. Ruang kerjaku lengang, menyisakan denging laptop. Aku ter?
diam. Sulungku jauh lebih cerdas mencari tahu apakah ceritacerita itu nyata atau tidak. Dia menggunakan seluruh jaringan
189 Isi-Ayahku.indd 189 3/23/11 2:30:11 PM informasi yang terhimpun dalam dunia maya, peradabannya
sekarang. Aku dulu tidak seberuntung Zas. Aku hanya berkutat
di perpustakaan Akademi Gajah, hanya menemukan dua buku
tua yang harus kuklarifikasi pada Ayah.
Malam itu, lewat telepon, Retro bersikeras bahwa aku harus
menanyakan Lembah Bukhara dan suku Penguasa Angin itu
pada Ayah. Bertanya apakah Ayah pernah membaca dua buku
cerita itu. Bertanya di manakah lokasi persisnya, atau petunjuk
kecil yang bisa membuktikan itu ada. Aku gemas bilang pada
Retro, pertanyaan seperti itu pasti membuat Ayah tersinggung
dan marah besar. Retro tidak kalah gemas, bilang aku bisa
mengondisikan pertanyaan itu. Jangan sampai terlihat kalau aku
meragukan cerita-ceritanya. Aku hendak memotong kalimat
Retro, bilang itu tidak mudah. Ayah selalu sensitif. Terlambat,
lampu kamar Ibu menyala. Aku bergegas meletakkan gagang
telepon, berjinjit kembali ke kamar. Membiarkan Retro di kota?
nya berseru-seru sebal. Hingga libur panjang hampir usai"aku menghabiskan waktu
dengan me?nemani Ibu, menceritakan banyak hal tentang
Akademi Gajah, memperlihatkan lagi belasan buku sketsa baru,
mengerja?kan tugas-tugas rumah"Ibu terlihat semakin sehat,
tapi aku tidak kun?jung bisa mengeluarkan pertanyaan itu.
Ayah sudah melupakan percakapan kami tentang si Raja Tidur.
Ia kembali riang bahkan sejak pagi pertama, menemaniku
berkeliling kota, melihat latihan inaugurasi klub renang. Aku
bertemu Jarjit di tribun penonton. Tubuhnya tinggi besar. Kulit?
nya lebih cokelat. "Bagaimana dengan pangeran Inggris itu?" aku bertanya, ber?
gurau. 190 Isi-Ayahku.indd 190 3/23/11 2:30:12 PM Jarjit tertawa. "Tidak semenarik berteman dengan kau, Dam.
Sekali aku mengoloknya, ada belasan agen secret service datang ke
sekolah." Jarjit bergurau.
Aku juga ber?temu kembali dengan Johan dan teman-teman


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lama. Kali ini hanya satu nama yang tertinggal, Taani. Entah di
mana dia se?karang. Malam sebelum liburan berakhir, kami merayakan ulang
tahun Ibu di teras rumah. Lagi-lagi perayaan sederhana tanpa
hadiah spesial. Ayah menyanyikan lagu-lagu lama. Ibu tertawa
berbisik padaku, bilang dua puluh tahun menikah, Ayah tidak
pernah ada kemajuan bermusik. Aku memberi Ibu kartu ucapan
sebagai kado. Ibu terharu dan berkata. "Ini kado terindah yang
pernah Ibu terima, Sayang. Terima kasih." Aku menggaruk
kepala, itu kan hanya kartu bertuliskan "Selamat ulang tahun,
Ibu. Kau selalu wanita nomor satu dalam hidupku".
Saat Ibu menghidangkan menu penutup makan malam, se?
piring apel merah segar, entah bagaimana kalimat itu terlontar?
kan. Aku tiba-tiba sudah menyela tawa riang Ayah dengan
pertanyaan itu. Kalimat yang kusesali harus keluar pada malam
perayaan ulang tahun Ibu.
"Apakah apel emas itu sungguhan, Yah?" Aku menimangnimang salah satu apel dari piring.
Ayah terbatuk, menoleh. "Kau bertanya apa, Dam?"
"Eh, apel emas Lembah Bukhara, Yah. Apakah Ayah pernah
membaca buku tentang cerita itu" Maksudku, apakah cerita itu
ada di buku-buku dongeng?" Aku buru-buru memperbaiki, yang
justru semakin merusaknya.
"Kau tidak menuduh Ayah berbohong, kan?" Ayah bertanya
tajam. 191 Isi-Ayahku.indd 191 3/23/11 2:30:13 PM "Bukan itu maksudku, Yah." Aku menelan ludah.
"Astaga" Setelah bertahun-tahun tidak ada satu pun penduduk
kota yang berani meragukan apa yang keluar dari mulut Ayah,
malam ini, anakku satu-satunya meragukan sendiri ucapanku."
Ayah berdiri, berkata lantang, menatap tajam, mengacungkan
telunjuk. Ibu bergegas meraih tangan Ayah yang marah. "Bukan itu
maksudnya, bukan itu maksud Dam. Kau minta maaf, Dam!
Ayo, kau bergegas minta maaf."
Aku terbata melakukan apa saja untuk memperbaiki keadaan.
Terlambat, perayaan ulang tahun Ibu hancur berkeping-keping.
Aku masuk ke kamar dengan wajah tertunduk. Hujan turun
menjelang tengah malam, membungkus kota, membuat dingin
dan senyap langit-langit kamarku.
"Dia bukan anak-anak lagi." Suara Ibu terdengar sayupsayup.
Ayah entah berseru kalimat apa, terdengar marah.
"Bukankah dulu sudah pernah kuingatkan" Suatu saat, boleh
jadi kau tidak siap dengan rasa ingin tahu Dam."
Suara rintik air mengenai bebatuan, jendela kaca, atap rumah,
dan bunga bugenvil. Aku tidak bergegas menelepon Retro
malam itu. Aku bahkan memutuskan untuk menutup seluruh
rasa ingin tahu dan penasaranku. Menatap wajah Ayah yang
marah, seruan tersinggungnya, itu terlalu mahal untuk harga
sebuah penjelasan. Ada banyak pertanyaan, ada banyak dugaan dalam hatiku,
tetapi aku memutuskan menjawabnya dengan cara yang seder?
hana: Cerita-cerita Ayah adalah cara ia mendidikku agar tumbuh
192 Isi-Ayahku.indd 192 3/23/11 2:30:14 PM menjadi anak yang baik, memiliki pemahaman hidup yang
berbeda. Cerita Ayah adalah hadiah, hiburan, dan permainan
terbaik yang bisa diberikan Ayah, karena hidup kami sederhana,
apa adanya. Namun, kenapa ia harus berbohong bersahabat dengan sang
Kapten, pernah mengunyah apel emas, menunggang layanglayang raksasa, atau menjadi anak angkat si Raja Tidur" Seluruh
kota mengenal Ayah sebagai pegawai jujur dan sederhana, tidak
pernah ada kata dusta yang keluar dari mulut Ayah. Kenapa
Ayah berbohong padaku" Anaknya satu-satunya" separuh hatiku
membantah. Itu sekadar cerita yang berlebihan, tidak lebih tidak
kurang, separuh hatiku yang lain membela. Ayah kau pem?
bohong, separuh hatiku yang lain tetap bersikukuh. Ayahku
bukan pembohong, aku membantah.
Kemudian aku bergegas menarik selimut.
*** Itulah yang akhirnya kukatakan pada Zas, yang masih saja ber?
diri menunggu jawaban. Aku tidak menjawabnya dengan kalimat
Ibu dulu, suatu saat kau akan tahu.
"Bukankah kau suka dengan cerita-cerita Kakek, Zas?"
Sulungku mengangguk. "Seru sekali, bukan?"
Sulungku mengangguk lagi, tertawa.
"Nah, kalau begitu, tidak penting lagi itu sungguhan atau
bukan, Zas. Sepanjang itu menarik dan seru, anggap saja seperti
film hebat yang kita tonton, tidak penting itu kisah nyata atau
hanya film. Kakek boleh jadi sedang bergurau, Kakek boleh jadi
193 Isi-Ayahku.indd 193 3/23/11 2:30:15 PM sedang menceritakan yang sebenarnya. Ketika kita belum tahu,
tidak penting itu sungguhan atau bohong."
Sulungku terdiam sesaat, hendak membantah, tetapi akhirnya
mengangguk-angguk, berlari meninggalkan ruang kerjaku.
194 Isi-Ayahku.indd 194 3/23/11 2:30:16 PM 22 Tahun Ketiga A ku kembali ke Akademi Gajah esok harinya.
Ayah beserta Ibu mengantarku ke stasiun, tetapi Ayah tidak
banyak bicara. Stasiun kota ramai oleh turis, yang pulang setelah
libur panjang. Aku susah payah mendorong koper besar ke atas
gerbong. Menggeleng saat salah satu portir menawarkan bantuan.
Sejak kecil Ayah tidak membiasakanku minta tolong"bahkan
untuk mengambil sendok di seberang meja makan, aku memilih
berdiri dan meraihnya sendiri.
Ibu memelukku, berbisik tentang jaga kesehatan. Aku justru
mencemaskan Ibu. "Aku akan mengirimkan surat agar Ibu tidak
jatuh sakit karena rindu."
Ibu tersenyum, menyeka ujung mata. "Kau tidak boleh pacar?
an di sekolah." Aku menyeringai lebar. "Ibu lupa, Ibu wanita nomor satu
dalam hidupku. Aku tidak akan pacaran dengan gadis mana
pun." Ibu mencubit lembut pipiku.
195 Isi-Ayahku.indd 195 3/23/11 2:30:17 PM "Sebelum kereta berangkat, bolehkah aku meminta satu hal
pada Ibu?" Aku menatap wajah pucat itu"belakangan Ibu selalu
terlihat pucat. "Ya?" "Ibu janji akan memenuhinya?"
"Iya, Dam. Ibu janji."
"Maukah Ibu melakukan terapi panjang seperti yang dokter
sarankan?" aku berkata pelan.
Ibu terdiam, menatapku lamat-lamat, hendak menggeleng.
"Demi aku, Bu," aku bergegas mendesak.
"Kita tidak punya uang untuk melakukannya, Sayang."
"Aku akan mengumpulkan uang, Bu. Lihat, aku sudah dewasa,
aku sudah bisa bekerja," aku berkata meyakinkan, me?megang
lengan Ibu. "Terapi itu tidak seratus persen berhasil, Dam."
"Itu pasti berhasil. Ibu mau kan melakukannya" Agar Ibu
benar-benar sembuh. Biar Ibu bisa melihat aku kuliah, lulus
kuliah, bekerja, bisa membelikan apa saja."
Ibu tertawa. "Kau selalu pandai membuat Ibu bahagia."
"Ibu mau melakukan terapi itu, kan?"
Ibu tersenyum, akhirnya mengangguk. Aku memeluknya eraterat, berbisik, "Aku akan melakukan apa saja agar Ibu sembuh."
"Ibu percaya, Dam." Ibu membalas pelukanku.
Pelukan Ayah canggung, Ayah tidak bilang apa-apa. Aku ha?
nya menunduk. Suara panggilan terakhir untuk penumpang yang
masih berada di peron terdengar. Kereta mendesis. Aku segera
loncat ke atas gerbong, melambaikan tangan. Ibu membalas
lambaianku, tangan Ayah hanya memeluk bahu Ibu.
Aku tidak tahu apakah Ayah masih marah soal pertanyaan
196 Isi-Ayahku.indd 196 3/23/11 2:30:18 PM apel emas semalam. Satu menit berlalu. Kereta sudah melaju
dengan kecepatan penuh. *** Pagi pertama tahun ketiga di Akademi Gajah.
"Bagaimana liburan kau?" Retro bertanya, menyiapkan anak
panah. "Hebat. Aku menghabiskan libur dengan mencuci piring,
mengepel rumah, menyiapkan makan malam, dan memijat ibu?
ku," aku menjawab enteng, ikut menyiapkan anak panah.
Retro tertawa, mengurungkan bidikan. "Aku tidak bertanya
soal itu, Dam. Aku bertanya soal ayah kau. Apakah kau berhasil
men?dapatkan bukti bahwa cerita-cerita itu sungguhan atau
bohong. Sejak menelepon dan bercerita tentang si Raja Tidur,
kau tidak mengabarkan apa pun padaku. Kau sudah bertanya?"
"Sudah." "Lantas?" "Ayah tidak berkomentar apa pun." Aku melepas anak panah,
tidak terlalu buruk, mengenai lingkaran kuning, poin delapan.
"Tidak berkomentar bagaimana" Ayah kau menghindar
menjelaskan" Dia tidak bisa membuktikan bahwa itu sungguh?
an?" Retro sekarang lebih tertarik padaku dibanding busur dan
anak panahnya. Lazimnya aku akan segera menyergah Retro, bilang seluruh
kota tahu ayahku jujur dan sederhana. Tetapi kali ini aku hanya
menggeleng, mengambil anak panah berikutnya, berusaha meng?
ganti bahan pembicaraan. "Liburan kau sendiri bagaimana?"
"Ah, itu jangan ditanya." Retro menyeringai setelah terdiam
197 Isi-Ayahku.indd 197 3/23/11 2:30:19 PM sejenak. Ia urung bertanya lebih lanjut tentang Ayah, kembali
membidikkan anak panah. "Astaga! Lihat, Dam! Nyaris mengenai titik merah!" Retro
berseru-seru di pinggir lapangan, membuat murid lain menoleh,
ingin tahu ada apa. "Kita harus merayakannya, Dam. Ini baru pertama terjadi,
akhirnya, setelah dua tahun terus berlatih. Ini kemajuan yang
hebat dari seorang Retro!" Teman sekamarku itu sudah tertawa
senang, menunjuk-nunjuk bantalan sasarannya.
Murid-murid lain menyeringai lebar, menepuk dahi, kembali
ke busur dan sasaran masing-masing. Apanya yang hebat, anak
panah Retro hanya mengenai pinggir bantalan. Itu pun hanya
sebentar. Anak panah itu tidak terlalu dalam menancap, meng?
gelayut, kemudian jatuh. "Eh, mana panahnya, Dam?" Retro sibuk menunjuk-nunjuk
ke depan. Aku mengangkat bahu. "Kau pagi ini mengambil kelas apa?"
Berganti lagi topik pembicaraan, membiarkan Retro yang
menggaruk kepala, salah tingkah diperhatikan murid lain. Retro
menjawab pelan. "Memasak" Kau mengambil kelas itu?" aku berseru, hendak
tertawa. "Ssst! Kau bisa tidak pelan-pelan?" Retro melotot. "Boleh jadi
kalau aku pandai memasak, delapan adikku bisa kukendalikan.
Tinggal kubuatkan makanan banyak-banyak."
Aku menghentikan tawa, mengangguk. Ide bagus. Pagi ini aku
mengambil kelas menggambar tingkat lanjutan. Ini salah satu
rencana besarku pada tahun ketiga, belajar sketsa bangunan.
Setengah jam berlalu, instruktur bertepuk tangan, tanda
198 Isi-Ayahku.indd 198 3/23/11 2:30:20 PM latihan selesai. Murid-murid bergegas membereskan peralatan,
kemudian berlarian ke ruang makan asrama. Sambil menatap
danau luas di tepi Akademi Gajah, pucuk-pucuk hutan yang
di??selimuti kabut, dan menara sekolah yang gagah, aku
memutus?kan tidak akan mendiskusikan cerita-cerita itu lagi
pada Retro. Biarkan apa adanya seperti itu.
*** Aku sedang asyik memperhatikan guru menjelaskan teori meng?
gambar, trik-trik hebatnya, akurasi, dan metode terbaik ketika
pintu kelas diketuk. Penjaga asrama senior meneriakkan namaku.
Teman-teman yang ikut kelas menggambar menoleh. Aku meng?
angkat bahu. "Kau tidak berbuat kesalahan kan, Dam?" Salah satu teman
berbisik. "Ini baru hari pertama, bukan?"
Aku menggeleng, membereskan buku dan alat tulis.
"Kepala sekolah menunggu kau di ruangannya." Penjaga senior
menatapku tajam. "Kenapa kepala sekolah mencariku?"
"Mana aku tahu. Kau tanya saja sendiri." Penjaga itu meng?
angkat bahu, telunjuknya mengarah ke depan, menyuruhku
segera melangkah. Di ruangan kepala sekolah aku menemukan jawabannya. Pe?
tugas perpustakaan, orangtua bertongkat kayu dengan wajah
tidak bersahabat itu duduk meluruskan kaki. Ia langsung me?
natapku galak. "Kau memecahkan rekor Akademi Gajah, Dam." Kepala se?
199 Isi-Ayahku.indd 199 3/23/11 2:30:21 PM kolah mengusap dahi, tertawa kecil. "Hukuman pada hari per?
tama." "Dia tidak akan jera dengan hukuman," petugas perpustakaan
menyergah. "Aku keberatan dengan model sanksi yang kau beri?
kan. Membantu di dapur atau membersihkan ruangan per?
pustakaan, itu bukan hukuman. Kau membuat murid menjadi
lembek, suka membantah, dan melanggar peraturan. Penjahat
kecil ini seharusnya dikeluarkan dari sekolah."
"Astaga, kita tidak lagi menghukum murid dengan meto?de..."
"Dia mencuri dua bukuku!" petugas perpustakaan berteriak.
"Aku" aku tidak mencurinya. Aku hanya meminjam," aku


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membela diri. Masalahnya, petugas menolak meminjamkan buku
itu, bilang dua buku itu hanya satu-satunya di seluruh dunia.
Jadilah aku masukkan saja ke dalam ransel tanpa bilang.
"Dasar tabiat buruk manusia, sekali membantah selamanya
membantah. Kau sudah merusak dua buku itu. Halamannya
terlipat. Jilidnya lepas. Belum lagi bukunya menjadi kuning ke?
cokelatan. Terakhir aku melihatnya, buku itu masih wangi dan
kesat." Petugas mengacungkan tongkatnya.
Aku mengangkat bahu. Kami tidak merusaknya. Bukankah
dua buku itu sudah seperti itu dari raknya" Kecuali halaman
terlipat, itu kebiasaan Retro menandai halaman yang me?
narik. "Kau harus membayar denda, Dam. Kami sudah bersepakat,
itu hukuman kau." Kepala sekolah menengahi, melambaikan ta?
ngan menyuruh petugas perpustakaan menurunkan tongkat?
nya. Baiklah, aku akan membayar denda. Itu malah lebih mudah
dibandingkan membersihkan sesuatu selama sebulan.
200 Isi-Ayahku.indd 200 3/23/11 2:30:22 PM Petugas perpustakaan sepertinya bisa membaca pikiranku. Ia
menyebutkan angka, yang seketika membuatku tersedak.
"Banyak sekali untuk dua buku tua?" aku protes.
"Buku tua" Enak saja kau bilang! Buku itu tidak ternilai
harga?nya. Lagi pula, kau pikir hukuman yang baik adalah hu?
kum?an yang adil" Keliru! Hukuman yang baik adalah hukuman
yang membuat jera." Petugas terkekeh menyebalkan. "Kau dan
seluruh murid akan berpikir seribu kali untuk mencuri bukubukuku sekarang."
"Tetapi aku tidak punya uang sebanyak itu," aku protes pada
kepala sekolah. "Ayahku pasti tidak bersedia memberikan uang
sebanyak itu untuk denda hukuman."
"Kalau begitu kau harus bekerja, Dam." Kepala sekolah me?
lipat tangan. "Hanya dengan bekerja kita bisa memperoleh uang.
Kaupikirkan jenis pekerjaan apa yang bisa kaulakukan di asrama.
Dapur, taman, kelas, asrama, ada banyak petugas yang di?
butuhkan. Kami akan menggaji kau sesuai standar Akademi
Gajah. Kami juga akan memberi kau keleluasaan penuh selama
bekerja. Kau kembali ke sini kalau sudah memilih."
Aku hendak protes lagi, tidak terima, tetapi seringai menyebal?
kan petugas perpustakaan mengurungkan niatku. Jangan-jangan
ia malah menambah angka dendanya. Aku meninggalkan ruang?
an kepala sekolah sambil mengomel dalam hati.
*** Retro menatapku bersimpati. Tetapi hanya itu. Ia tidak mem?
bantuku berpikir. Ia justru membuatku bertambah sebal.
"Menurut hitunganku, Kawan, dengan standar gaji petugas
201 Isi-Ayahku.indd 201 3/23/11 2:30:23 PM Akademi Gajah, kau baru bisa membayar denda itu setelah dua
belas bulan bekerja. Petugas perpustakaan itu sudah gila." Retro
meraih batu pipih di ujung kaki.
"Dia tidak gila. Itu memang sudah direncanakannya. Aku
terpaksa menghabiskan waktu senggang di asrama sepanjang
tahun untuk membayar denda itu." Aku melemparkan salah satu
batu ke permukaan danau, membuatnya loncat-loncat lima-enam
kali meniti permukaan sebelum tenggelam.
"Aku tadi siang menyempatkan diri ke perpustakaan. Rak
kecil itu sudah kosong." Retro ikut melemparkan batu, langsung
tengge?lam di kesempatan pertama.
"Kosong?" "Iya, buku-bukunya sudah dipindahkan."
Tetapi itu bukan urusanku lagi, aku sudah berjanji tidak akan
mengungkit cerita-cerita itu. Sekarang urusanku bagaimana mem?
bayar denda. Belum lagi aku harus mengumpulkan uang untuk
biaya terapi Ibu. Kalau begini urusannya, sampai lulus pun aku
tidak akan punya cukup uang.
Danau Akademi Gajah lengang, hanya aku dan Retro yang
menghabiskan waktu luang sore hari mengunjunginya. Dari tepi
danau, terlihat atap-atap rumah perkampungan penduduk dekat
Akademi Gajah. Danau ini terbuka bagi siapa saja. Sekarang dua
buah perahu penduduk terlihat sibuk menarik jaring. Aku dan
Retro terus berjalan menelusuri tepi danau. Sesekali aku me?
nyingkir?kan rambut ikalku yang mengenai ujung mata.
"Bagaimana kelas memasak kau?" aku teringat sesuatu, me?
nahan tawa, bertanya. "Rumit." Retro tidak keberatan, ia tertawa duluan. "Hari ini
kami diminta memasak ikan bumbu pedas asin. Kau tahu, hasil
202 Isi-Ayahku.indd 202 3/23/11 2:30:25 PM masakanku menjadi ikan bumbu manis asam. Tetapi itu masih
bagus, ada teman yang hasilnya malah pahit-pahit, ikannya
gosong. "Gurunya terlalu penuntut, Dam. Kupikir teman semejaku
sudah berhasil membuatnya, rasanya sudah pedas asin. Ternyata
keliru, menurut guru itu asin pedas. Astaga, sejak kapan ada
beda antara ikan bumbu pedas asin dan ikan bumbu asin
pedas?" Aku ikut tertawa, sebaliknya, kelas menggambarku berjalan
lebih baik. "Hoi, kalian bisa bantu tidak"!" salah satu nelayan di atas
perahu berteriak, melambaikan tangan. Hanya ada empat orang
di atas dua perahu itu. Aku dan Retro mengangkat kepala.
"Kalian bisa bantu sebentar?"
"Bantu apa"!" aku balas berteriak.
Salah satu perahu merapat ke pinggir danau, menyilakan kami
loncat ke dalamnya, mendayung kembali ke perahu satunya.
"Banyak sekali ikan yang tersangkut di jaring, Kawan. Kami
tidak cukup kuat menariknya. Kalian berdua bisa bantu" Tidak
sulit, kalian hanya ikuti aba-aba. Salah satu dari kalian pindah
ke perahu satunya biar seimbang," salah satu nelayan menjelas?
kan. Sore itu aku dan Retro menghabiskan waktu luang dengan
berkutat menarik jaring-jaring. Retro tertawa lebar melihat ikanikan itu berlompatan berusaha kabur dari jaring saat berhasil
diangkat. "Eh, kenapa dilepas lagi?" Retro menggaruk hidung.
"Tangkapan kami terlalu banyak, kami harus melepas separuh?
203 Isi-Ayahku.indd 203 3/23/11 2:30:26 PM nya. Kalau tidak, hanya busuk terbuang percuma. Ikan-ikannya
tidak sempat diawetkan."
"Terbuang percuma?" Aku melipat dahi.
"Iya, sama seperti hasil ladang yang melimpah." Nelayan itu
masih sibuk melepas ikan-ikan. "Masalah perkampungan kami
hanya satu, terlalu sedikit pria dewasa yang bisa mengurus
semua?nya. Bulan lalu panen besar ladang sayur-mayur. Separuh?
nya busuk, tidak sempat dipanen, apalagi dibawa ke kota. Atau
kalian mau bawa beberapa ekor ke sekolah kalian?"
Senja mulai menyelimuti hutan, danau, ladang, perkampungan,
dan Akademi Gajah. Sepanjang jalan menuju asrama, Retro ter?
lihat senang dengan kejadian di atas perahu, membawa pulang
dua ikan besar-besar. "Untuk praktik kelas memasakku, ikan
asin pedas," jelasnya.
Aku tidak memperhatikan ucapan Retro. Aku sibuk
memikirkan hal lain. Aku bergumam kecil. Itu bisa jadi ide yang
baik. Se?moga kepala sekolah tidak keberatan.
*** "Baiklah, Dam. Kau memilih yang mana" Bekerja di dapur,
taman, halaman, rumah kaca, atau asrama?" Kepala sekolah me?
nangkupkan dua tangannya.
Aku menggeleng, tidak semuanya.
"Kau tidak memilih bekerja di ruangan perpustakaan, bukan?"
Kepala sekolah tertawa. Aku ikut tertawa, menggeleng lagi.
Ideku sederhana. Aku ingin bekerja di luar, membantu per?
kampung?an dekat Akademi Gajah. Setiap sore, lepas jadwal di
204 Isi-Ayahku.indd 204 3/23/11 2:30:27 PM kelas, aku bisa membantu mereka mengurus ladang, menangkap
ikan, dan jenis pekerjaan yang tersedia. Mereka butuh lelaki
dewasa untuk membantu, dan sepertinya gaji yang mereka
berikan jauh lebih besar dibandingkan menjadi tukang bersihbersih dapur.
Diskusi dengan kepala sekolah tidak berlangsung lama. Se?telah
menyepakati beberapa syarat, kepala sekolah menyetujui ide
bekerja itu. Setiap keluar-masuk akademi aku harus melapor ke
penjaga sekolah, tidak boleh pulang terlambat, dan ke?leluasaan
yang diberikan hanya untuk bekerja, bukan untuk hal lain.
Aku berseru riang, bilang terima kasih.
Itu salah satu ide cemerlangku selama di Akademi Gajah.
Esok harinya, aku mulai bekerja di perkampungan penduduk.
Kalimat salah satu nelayan yang kutemui di danau benar. Ada
banyak pekerjaan yang tersedia. Aku bisa membantu mengurus
ternak sapi, mulai dari memberi makan, memandikan, memeras,
hingga menjual hasil perasan susu ke pedagang dari kota. Selain
gaji mengurus ternaknya, pemilik ternak memberikan bonus atas
setiap galon susu yang kujual.
Dan ideku berkembang di luar dugaan. Aku kembali meng?
hadap kepala sekolah setelah seminggu bekerja mengurus sapisapi, menjelaskan ide lanjutannya.
"Itu bisa menjadi pengalaman yang seru, belajar sekaligus
bekerja yang sebenarnya. Teman-teman juga membutuhkan
bersosialisasi dengan penduduk, bisa menjadi bagian mengisi
waktu senggang. Aku pikir itu sama sekali tidak akan meng?
ganggu aktivitas belajar."
Kepala sekolah bepikir sejenak, lantas mengajukan syarat
tambahan. Aku menyetujuinya. Maka esok harinya aku me?
205 Isi-Ayahku.indd 205 3/23/11 2:30:28 PM masang pengumuman tentang kesempatan bekerja di per?
kampungan bagi siapa saja yang berminat. Retro pendaftar
pertama, dan aku langsung menerimanya. Menjelang makan
siang, sudah sebelas teman lain menyusul. Aku menjelaskan
aturan mainnya. Tidak semua murid Akademi Gajah punya hak
keluar dari lingkungan asrama. Keleluasaan yang diberikan
kepala sekolah untuk bekerja termasuk istimewa. Kami harus
menggunakannya sebaik mung?kin. Teman-teman mengangguk,
tidak masalah. Jadilah selepas jam pelajaran siang, kami bertiga
belas melewati gerbang pen?jaga.
"Kalian terlambat pulang satu detik saja, gerbang sudah ku?
tutup. Kalian terpaksa tidur di luar asrama bersama lolongan
binatang di hutan." Penjaga mengelus kumisnya.
Aku menyeringai pada Retro yang terlihat ragu-ragu. Tenang
saja, seminggu terakhir aku tidak pernah pulang terlambat.
Penduduk kampung senang dengan tambahan tenaga. Kami
tidak terampil, bahkan terkadang malah mengacaukannya, seperti
ada yang sembarangan menumpuk panen lobak atau ditendang
hewan ternak yang marah. Tetapi pengalaman bekerja dan ber?
interaksi dengan penduduk berjalan seru. Kami tertawa-tawa
saat pulang melewati gerbang asrama dengan pakaian kotor ber?
lepotan tanah. Sejak hari itu aku mulai menikmati posisi sebagai penyalur
tenaga kerja. Aku tidak lagi bekerja mengurus ternak sapi. Yang
ku?lakukan berkeliling menemui warga, mencatat apa kebutuhan
mereka, tenaga seperti apa, keterampilan apa, dan sebagainya,
lantas besoknya pagi-pagi memasang pengumuman. Cerita dari
mulut ke mulut tentang pengalaman seru ke perkampungan
membuat peminat tidak pernah sepi. Beberapa teman sudah
206 Isi-Ayahku.indd 206 3/23/11 2:30:29 PM sibuk melongok ke kelasku saat istirahat pertama, menunggu
aku keluar, lantas berkerumun mendaftar. Aku bahkan harus
mulai menyeleksi siapa saja yang bisa ikut.
"Kau bergurau?" Retro mengerutkan dahi.
"Tidak. Aku tidak bergurau." Aku menunjukkan daftar nama
yang pergi sore ini. Seluruh kampung membutuhkan pekerja
untuk membantu memanen kentang. Retro tidak tercantum di
dalamnya. "Aku teman sekamarmu, bagaimana mungkin namaku tidak
ada?" Retro berseru sebal.
Aku menepuk dahi. Nama-nama ini kususun seadil mungkin
saat istirahat makan siang. Sebulan terakhir Retro tidak pernah
mau disuruh bekerja di ladang. Ia hanya mau mengurus ternakternak, menangkap ikan, atau pekerjaan rumah yang jauh dari
lumpur tanah. Aku profesional sekarang, hanya mengirim tenaga
kerja yang cakap dan berpengalaman. Semakin tinggi produk?
tivitas kami, semakin senang penduduk, maka semakin besar
bonus yang kuterima. Kentang-kentang itu harus siap di stasiun
kereta untuk dikirim ke kota sebelum gerbang asrama ditutup
penjaga, Retro akan menyulitkan anggota tim.
"Namaku harus ada!" Retro mengancam, tangannya bergerak
cepat, hendak merampas kertas di tanganku.
Baiklah, aku menyeringai sebal, mencantumkan nama Retro
di urutan terakhir. Sore itu aku menyuruh Retro berjaga-jaga di
stasiun kereta, menemani pedagang dari kota. Ternyata itu ada
gunanya. Saat makan malam, Retro bilang pedagang dari kota
akan jauh lebih senang dan memberikan harga lebih mahal jika
hasil bumi dari perkampungan sudah dikemas, dipilah-pilah
kualitasnya, dan ditandai dengan pengenal. Aku mengangguk,
207 Isi-Ayahku.indd 207 3/23/11 2:30:30 PM saat itu juga mengangkat Retro sebagai deputiku. Ia bisa me?
mastikan saran pedagang dari kota dipenuhi. Penduduk kam?
pung mendapatkan harga jual lebih baik dan kami mendapatkan
bonus lebih banyak. "Gajiku bertambah tidak?" Retro menyelidik.
Aku mengangguk, tertawa. Tidak sampai dua bulan bisnisku mulai mengubah seluruh
kehidupan Akademi Gajah. Terutama kehidupanku sendiri.
Denda dua buku tua itu sudah lama kubayar, kepala sekolah
menerimanya. "Ada salam dari kepala kampung untukmu, Dam.
Dia bilang kau membantu banyak. Dan kupikir, kau juga berhak
dapat ucapan terima kasih dari sekolah. Kau membuat definisi
belajar menjadi lebih luas sekaligus membuat waktu senggang
lebih bermanfaat. Omong-omong, apakah kau punya lowongan


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untukku di perkampungan" Mungkin ada pekerjaan yang cocok
untuk guru tua sepertiku."
Aku tertawa. Di seberang meja, petugas perpustakaan masih
menatapku galak. Ia sepertinya masih marah soal buku-buku itu
atau menyesal menyebutkan denda yang kurang banyak.
Tetapi di atas segalanya, setelah enam bulan tahun ketigaku
di Akademi Gajah berjalan luar biasa, perubahan paling besar
adalah untuk pertama kalinya aku memiliki harapan mengumpul?
kan uang yang cukup banyak. Biaya perawatan Ibu. Setiap akhir
bulan aku memeriksa kembali catatan tip dan bonus yang ku?
dapat?kan dari penduduk kampung, juga bagian yang telah kami
sepakati kuambil dari gaji teman-teman, dan memastikan uang?
nya tersimpan rapi dalam koperku.
Aku tersenyum riang. Catatanku semakin panjang. Jumlahnya
semakin banyak. Sudah sepuluh kali lipat dibandingkan harga
208 Isi-Ayahku.indd 208 3/23/11 2:30:31 PM tiket kelas VIP saat menonton sang Kapten dulu. Semoga persis
saat meninggalkan asrama, menyelesaikan masa SMA-ku, uang
ini cukup untuk biaya perawatan Ibu. Aku menatap bayangan
hutan yang mulai gelap dari jendela kamar, bintang gemintang
bersinar di angkasa. Ibu akan sembuh. 209 Isi-Ayahku.indd 209 3/23/11 2:30:32 PM 23 Tim Pemburu P agi kesekian di Akademi Gajah, tinggal menghitung hari
ujian kelulusan tiba. "Mereka malam ini akan berburu," Retro berbisik.
Aku yang sedang membidikkan anak panah menurunkan
kembali busur. Melihat ke arah yang ditunjuk Retro. Delapan
anggota klub elite Tim Pemburu sedang menyiapkan peralatan.
Aku meneguk ludah. Sejak minggu pertama bergabung di klub,
aku selalu bermimpi bergabung dengan tim elite masuk hutan.
Hanya diterangi cahaya bulan, senter seadanya, mengendapendap berburu mangsa. Itu tetap tidak bisa ditukar dengan
keleluasaan bekerja di perkampungan penduduk. Keluar malammalam dari asrama adalah hak paling istimewa"dan itu bukan
untukku. "Sepertinya semua instruktur dan petugas senior asrama ikut."
Retro sekarang menyandarkan busur, lebih asyik melihat kesibuk?
an di pinggir lapangan memanah.
"Kau tahulah, musim panen besar sebentar lagi, penduduk
210 Isi-Ayahku.indd 210 3/23/11 2:30:32 PM mengeluhkan hama babi. Ini perburuan besar," salah satu teman
klub memanah menjelaskan.
Retro manggut-manggut. "Seandainya kita bisa ikut. Aku
disuruh-suruh membawa ransel bekal juga tidak keberatan. Pasti
seru sekali mengejar babi-babi itu."
"Tidak untuk kau." Aku tertawa. "Menembak bantalan sasaran
saja tidak kena." "Tidak untuk kau juga." Retro menyeringai menyebalkan.
"Kita sama-sama tidak ikut mereka, tahu."
Aku terdiam, menggaruk kepala.
Instruktur memanah bertepuk tangan. Latihan hari ini selesai.
Aku sedikit malas membereskan busur dan anak panah. Seperti?
nya Tim Pemburu tidak beranjak dari lapangan. Mereka masih
asyik memastikan semua perlengkapan nanti malam siap. Retro
menyikutku, bilang perutnya sudah berbunyi.
Ini satu-satunya rencana besarku di Akademi Gajah yang
tidak terwujud. Dengan ujian kelulusan tinggal tiga minggu, itu
berarti impian berburu tidak akan pernah kesampaian.
*** Istirahat pertama, keluar dari kelas pengetahuan alam, aku tidak
terlalu bersemangat menghadapi kerumunan teman-teman yang
ingin ikut bekerja nanti sore. Padahal baru kemarin hatiku di?
penuhi kegembiraan, habis mengirim surat buat Ibu, bilang
bahwa aku punya kejutan besar saat pulang bulan depan. Bukan
karena aku sudah lulus SMA, tetapi sesuatu yang lebih spesial.
Melihat anggota Tim Pemburu memasuki lobi sekolah benarbenar meng?hilangkan seleraku.
211 Isi-Ayahku.indd 211 3/23/11 2:30:33 PM Makan siang, aku menulis sembarangan nama-nama yang
akan pergi ke perkampungan. Hari ini permintaan penduduk
tidak sulit, sembilan murid untuk menunggui ladang sayur
mereka yang siap panen. Anggota Tim Pemburu berkumpul di
salah satu meja dekat kami, tertawa-tawa, bergaya seperti me?
manah sesuatu, berseru-seru sambil memukul meja, hilir-mudik
mengambil makanan. "Dam, aku ingin sekali ikut bekerja sore ini, tetapi kami
punya acara yang lebih hebat, harus bersiap-siap. Kau tahu,
kan?" Wade, salah satu teman kelas menggambarku yang sekali?
gus anggota Tim Pemburu menepuk bahu, menunjuk namanya
di atas kertas. Aku tersenyum, mengangguk, mencoret nama itu.
"Tolong kalian sisakan satu ekor babi untuk kami!" Retro
berseru, menyeringai lebar. "Siapa tahu tahun-tahun depan
setelah lulus sekolah kami akhirnya bisa bergabung."
Mereka tertawa, melambaikan tangan pada Retro.
Aku tidak pernah iri, tidak suka, atau yang sejenis itu atas
kesenangan Tim Pemburu. Sejak kecil Ayah mendidikku untuk
tidak mempunyai perasaan buruk itu dari cerita-ceritanya. Aku
hanya sebal dengan kenyataan tidak bisa bergabung bersama
mereka, menyesali diri karena tidak terlalu berbakat dalam
urusan memanah. Hanya itu.
"Kalian berangkat jam berapa?" Retro bertanya.
"Persis saat pintu gerbang ditutup penjaga. Dia juga akan ikut
berburu. Beberapa murid lain anggota klub memanah di luar
Tim Pemburu kudengar juga akan diizinkan ikut serta. Ini per?
buruan besar, kepala sekolah memberikan keleluasaan. Tetapi
tidak untuk kau, Kawan. Jangan-jangan nanti kau malah
212 Isi-Ayahku.indd 212 3/23/11 2:30:34 PM memanah teman sendiri." Wade bergurau, menyeringai pada
Retro. Retro mengacungkan tangannya, sebal. Yang lain tertawa,
tetapi itu hanya selingan makan siang. Tidak ada yang sungguhsungguh berniat merusak suasana riang.
Aku mengunyah makananku tanpa selera. Berarti persis saat
kami kembali bekerja dari perkampungan, mereka justru be?
rangkat bersenang-senang, menjadi pemburu.
*** Aku mendapatkan ide cemerlang ketika menemui beberapa
penduduk di rumah kepala kampung. Mereka sibuk mendaftar
keperluan tenaga kerja saat panen besar ladang minggu depan.
Sepertinya ini akan jadi rekor kebutuhan setahun terakhir. Tidak
kurang dua puluh murid setiap hari selama seminggu, mulai dari
pekerjaan di ladang hingga membawa hasil panen ke stasiun
kereta. Retro yang ikut bersamaku juga sibuk dengan daftar
yang harus disiapkan penduduk untuk memastikan pengemasan
berjalan baik. "Busur!" Aku menyikut Retro. Mataku melihat dua busur
menyembul di belakang tempat duduk ruang pertemuan.
"Busur" Buat apa" Kita tidak memerlukannya untuk me?
ngemas tomat dan bayam." Retro masih sibuk dengan daftar.
Penduduk sudah bubar dari pertemuan setengah jam lalu,
kembali ke ladang masing-masing.
"Itu busur milikku." Kepala kampung tersenyum, beranjak
berdiri. "Tetapi lebih sering tergeletak tidak dipakai."
"Anak panahnya?" Aku menyikut Retro lagi.
213 Isi-Ayahku.indd 213 3/23/11 2:30:36 PM "Astaga" Buat apa pula anak panah" Yang banyak kita perlu?
kan adalah kotak kayu dan karung." Retro menepuk dahi, meng?
angkat kepalanya dari kertas.
"Anak panahnya masih banyak, setidaknya masih seratusan di
belakang rumah." Kepala kampung menyerahkan busur itu
padaku. "Ini busur terbaik, Dam."
Aku mengangguk. Ini busur yang baik, tidak beda jauh de?
ngan busur kelas memanah Akademi Gajah. Retro yang baru
mengerti topik pembicaraan ikut meraih salah satu busur.
"Boleh kupinjam?" Aku memikirkan ide itu.
"Boleh." Kepala kampung mengangguk. "Kau pandai me?
manah?" "Dia paling hebat di seluruh Akademi Gajah, Pak. Satu anak
panah bisa membelah diri membunuh tiga ekor babi sekaligus,"
Retro membual, membuatku tertawa lebar.
"Memangnya kau pinjam buat apa?" Retro berbisik saat kepala
kampung mengambil tumpukan anak panah di belakang rumah?
nya. "Berburu babi," aku menjawab ringan.
Aku tahu itu melanggar seluruh peraturan. Retro juga me?
nyergah?ku, tidak percaya dengan rencana yang akan kulakukan.
Ia mengingatkan semua pelanggaran yang kami lakukan tiga
tahun terakhir: menonton Piala Dunia, merayakan ulang tahun
di kamar, dan merusak alat praktik gravitasi.
"Kau mau ikut tidak" Berlarian di bawah cahaya bulan de?
ngan anak panah di punggung, busur di tangan, berburu babi
bersama yang lain. Itu pasti hebat."
"Kita bisa dikeluarkan, Dam. Hukumannya bukan sekadar
214 Isi-Ayahku.indd 214 3/23/11 2:30:37 PM me?nunggui buah apel jatuh atau denda." Retro menggaruk
kepala?nya. "Tidak akan ada yang tahu." Aku meyakinkan. "Bukankah
Wade tadi siang bilang, ini perburuan besar. Setidaknya akan
ada empat puluh orang yang keluar dari asrama, termasuk
anggota klub memanah yang bukan Tim Pemburu. Kita bisa
mengaku sebagai salah satu yang diberikan keleluasaan oleh
kepala sekolah. Tidak akan ada yang bertanya. Memperhatikan
pun tidak sempat." Retro terdiam, mulai terlihat ragu-ragu.
"Lagi pula kalaupun bicara tentang hukuman dikeluarkan,
sebulan lagi kita juga lulus. Seluruh murid kelas tiga akan di?
keluarkan kepala sekolah saat itu." Aku tertawa, beranjak mem?
bungkus busur dan anak panah dengan kain besar yang dipinjam?
kan kepala kampung. Retro menatapku sebal, berhitung, menepuk dahi. "Kau
benar-benar selalu membawaku ke semua masalah, Dam. Aku
akan mencarimu hingga ke kota kau untuk menuntut balas
kalau sampai kita ketahuan." Retro beranjak ikut membungkus
busur dan anak panah bagiannya.
Rencana ini terlalu sederhana untuk gagal, aku meyakinkan
diri. Senja membungkus perkampungan, hutan, danau, dan
Akademi Gajah. Waktu untuk kembali ke asrama sebelum pintu
gerbang dikunci. "Itu apa?" beberapa teman yang ikut bekerja bertanya, melihat
dua bungkusan besar yang kami bawa.
"Oh, ini hadiah dari kepala kampung," aku menjawab sekena?
nya. 215 Isi-Ayahku.indd 215 3/23/11 2:30:38 PM "Hadiah apa?" Mereka menyelidik ingin tahu.
"Lobak raksasa!" Retro menjawab asal, membuat seluruh
teman tertawa. Kami tiba di pintu gerbang persis saat rombongan berburu
bersiap berangkat, membuat pintu gerbang terlihat ramai.
Tampak kerumunan anggota Tim Pemburu. Beberapa murid
lainnya, instruktur memanah, dan petugas senior asrama sedang
mengenakan peralatan. Beberapa ekor anjing pemburu ikut,
menggerung, terlihat galak. Aku benar, setidaknya ada empat
puluh orang yang ikut, dan mereka sibuk mengurus urusan
masing-masing, mana sempat memperhatikanku dan Retro yang
ikutan sibuk membuka bungkusan kain.
"Hoi, kalian masuk tidak?" penjaga meneriakiku.
"Kami ikut berburu. Kepala sekolah memberikan izin khusus."
Aku berdeham senormal mungkin, menunjuk busur dan anak
panah yang terselempang di punggung.
"Mana surat izin khususnya?" Penjaga mendelik.
Aku menelan ludah, Retro menyikutku, wajahnya tegang, se?
mentara rombongan berburu sudah mulai meninggalkan pintu
gerbang, berbaris menuju jalan setapak hutan.
"Eh, eh." Aku pura-pura memeriksa saku baju.
"Sepertinya tertinggal di kamar, Pak," Retro menjawab lebih
dulu. "Tadi saat bekerja di perkampungn sengaja kami tinggal,
takut tercecer. Apa perlu diambil ke kamar?"
Penjaga yang juga sudah mengenakan alat berburu melihat
rombongan yang sudah belasan meter meninggalkan pintu
gerbang, lalu melihat ke arah gedung asrama yang jaraknya dua
ratus meter dari pintu gerbang, dan melihat anak kunci yang ada
di atas meja. 216 Isi-Ayahku.indd 216 3/23/11 2:30:39 PM "Kau sungguh punya surat izinnya?" Penjaga berhitung, ia
sepertinya takut tertinggal.
Aku dan Retro mengangguk mantap, menunjuk busur dan
anak panah di punggung. "Baiklah, ayo bergegas! Babi-babi liar itu sudah menunggu."
Penjaga melambaikan tangan, raut wajahnya lebih bersahabat. Ia
menulis namaku dan nama Retro di daftar keluar malam ini,
mengunci pintu gerbang, lantas bersama kami bergegas menyusul
rombongan. 217 Isi-Ayahku.indd 217 3/23/11 2:30:40 PM 24 Telegram Pulang R uang kerjaku, hari ini. Aku marah besar. Padahal sepanjang hari amunisi kebahagiaan?


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ku bertumpuk. Setelah perbaikan berkali-kali, memastikan
tingkat akurasi dan detail yang menjadi ciri khasku sebagai arsi?
tektur sempurna, desain gedung empat puluh tingkat itu akhir?
nya selesai. Seluruh file kukirimkan ke komite pembangunan. Itu
salah satu karya terbaikku.
Rumah sepi, anak-anak masih di sekolah, istriku memeriksa
laporan bulanan di toko bunga. Ayah pergi menemui temanteman lama. Aku sedang duduk santai di beranda rumah, saat
salah satu petugas sekolah anak-anakku datang, mengantarkan
sepucuk surat. Isi surat itu pendek saja, orangtua Zas dan Qon dipanggil
kepala sekolah. Sudah dua hari berturut-turut dua anak itu
bolos sekolah. Hari pertama mereka pulang lebih cepat sebelum
lonceng berbunyi. Hari kedua mereka bahkan sejak pagi tidak
masuk. 218 Isi-Ayahku.indd 218 3/23/11 2:30:40 PM Aku membaca surat itu tiga kali, tidak percaya dengan isinya.
Astaga, sejak kapan kedua anakku bertingkah" Bukankah mereka
mengerti aturan disiplin yang kutanamkan sejak kecil, dan me?
ngerti risiko hukuman atas sebuah pelanggaran kecil" Aku ber?
gegas menelepon toko bunga milik istriku, menyuruhnya pulang
secepat yang ia bisa lakukan. Aku tidak sabar menunggu istriku,
dan lebih tidak sabar lagi menunggu kedua anak nakal itu
pulang. "Kau tidak akan marah-marah, Dam. Kita akan membicarakan?
nya baik-baik." Istriku mengingatkan saat bel sepeda kedua
anakku berbunyi. Mereka masuk ke halaman rumah.
"Dam, kau tidak akan marah-marah." Istriku memegang le?
ngan?ku. Aku mengangguk. "Berjanjilah." Istriku melotot.
"Iya, aku berjanji," aku menjawab sebal.
Anak-anak saling sikut, berusaha masuk lebih dulu.
"Kalian dari mana?" Tetapi kalimat pertama yang keluar dari
mulutku langsung pertanyaan dengan intonasi tajam.
"Dari sekolah, Pa." Zas menyeringai.
Adiknya mengangguk-angguk, membuat wajah bundar
berambut keriting itu terlihat amat menggemaskan. Aku ber?
gegas menepisnya. Kedua anak lucu ini sekarang sudah jadi
pembohong yang lihai. "Baik, kalian duduk. Tidak, Qon, berganti seragamnya nanti".
Papa bilang nanti, Qon." Suaraku mulai meninggi, menyuruh
bungsuku yang hendak berlari ke kamarnya segera duduk.
Zas dan Qon menurut, saling tatap.
"Ada yang bisa menjelaskan kenapa surat ini dikirimkan ke
219 Isi-Ayahku.indd 219 3/23/11 2:30:41 PM Papa?" Aku meletakkan surat panggilan itu di atas meja, me?
natap Zas dan Qon bergantian.
Sekarang wajah dua penjahat kecil itu terlihat berubah. Qon
ter?lihat merapat pada kakaknya, entah berbisik apa. Zas menelan
ludah, bergumam tidak jelas. Usia mereka tidak sampai
separuhnya dibandingkan ketika aku dulu menipu penjaga pintu
gerbang asrama. Aku kenal sekali ekspresi ketahuan mereka.
"Kalian lapar, Sayang?" istriku tiba-tiba menyela, tersenyum.
Zas dan Qon mengangguk ragu-ragu, masih gentar menatap
wajahku. Aku menoleh tidak mengerti. Aku sedang marah besar,
kenapa istriku justru bertanya mereka lapar atau tidak.
"Kita makan dulu, ya. Nanti setelah makan kalian jelaskan
baik-baik pada Papa." Istriku sudah mengambil alih urusan se?
belum aku sempat protes. Zas dan Qon patah-patah berdiri, melirik padaku. Istriku
meraih tangan Qon, lalu tersenyum padaku. "Papa mau ikut
makan tidak?" *** Cahaya matahari pertama menyentuh hutan dekat Akademi
Gajah. Pagi datang. Aku dan Retro tertawa saling memukulkan
telapak tangan. Berburu babi ternyata luar biasa. Kami memang
tidak berbakat memanah bantalan sasaran. Tetapi dengan tingkat
ketegangan dan kesenangan yang berbeda, praktik langsung di
tengah hutan, kemampuan memanah kami meningkat pesat.
Aku memeriksa babi yang berhasil kami panah setengah jam
lalu, mematut-matut ukurannya. Tidak kalah besar dibanding
panahan anggota tim elite.
220 Isi-Ayahku.indd 220 3/23/11 2:30:42 PM Rencanaku berjalan sempurna. Aku memutuskan bergabung
dengan kelompok Wade. Lebih sedikit instruktur memanah dan
petugas senior asrama di kelompoknya, jadi kemungkinan di?
curigai lebih sedikit. Lagi pula Wade sering ikut bekerja di
perkampungan. Kami teman dekat. Hanya sekali ia bertanya.
Wade sambil melipat dahi dan bertanya sejak kapan aku dan
Retro bergabung dengan rombongan.
"Izin dari kepala sekolahnya baru keluar persis pukul lima
sore, Kawan. Dam berhasil membujuknya," Retro menjawab
santai, tertawa kecil. "Susah sekali meyakinkan orang tua itu
bahwa kami tidak akan mencelakakan murid lain."
Wade menyeringai, tidak bertanya lagi. Ia pemimpin ke?
lompok, memberikan instruksi ke arah mana anggota kelompok
akan bergerak, membagi tugas, memberikan kode bersiaga, diam
sejenak atau terus maju. Dua ekor anjing pelacak yang ikut kami
mulai melakukan tugasnya. Perburuan itu berlangsung seru,
diterangi remang cahaya bulan. Detak jantungku berdegup
kencang saat mengendap-endap di antara pohon besar, mengintai
kawanan babi. Sasaran kami malam ini.
Wade mengacungkan tangannya. Itu kode siap tempur pada
anggota kelompok. Aku dan Retro sudah memasang anak panah
sejak tadi, membidik baik-baik. Napas kami yang berkabut men?
dengus lebih kuat. Dan saat Wade menurunkan tangannya,
dimulailah penyerbuan. Retro berseru sebal. Anak panahnya hanya menancap di tanah.
Aku tidak sempat menepuk dahi. Anak panahku juga meleset.
Aku bergegas menyiapkan anak panah berikutnya sambil
mengejar kawanan babi yang serentak berlarian. Wade berteriak
memberikan komando, berkali-kali mengingatkan agar kami tidak
221 Isi-Ayahku.indd 221 3/23/11 2:30:44 PM terpisah. Di bagian lain hutan, kelompok lain juga mulai mengejar
sasaran. Teriakan gaduh dan salakan anjing memenuhi langitlangit hutan dekat asrama. Seru sekali mendengarnya.
Waktu berjalan tidak terasa. Baju dan kepalaku basah oleh
ke?ringat. Berburu seperti ini ternyata melelahkan. Retro ter?
sengal, menyeka peluh di leher, tertawa senang. Dan saat cahaya
mata?hari pertama menyentuh pucuk-pucuk kanopi hutan, per?
buru?an berakhir. Wade memeriksa kelengkapan anggota ke?
lompok, memastikan tidak ada yang tertinggal atau terluka,
mencatat hasil masing-masing. Ia tertawa melihatku dan Retro.
"Tidak buruk, Kawan. Ini terhitung mengejutkan untuk dua
amatiran yang baru pertama kali ikut."
Aku dan Retro ikut tertawa. Andai saja Wade tahu kami ber?
gabung di kelompoknya secara ilegal, boleh jadi ia akan me?
manah kami saat itu juga. Semalam, tidak terhitung berapa kali
ia meneriaki kami agar tidak terpisah dari kelompok, bilang
bahwa seluruh keselamatan anggota ada di tangannya. Kepala
sekolah bisa menggantungnya kalau ada yang tidak beres.
Kami berjalan beriringan kembali ke asrama. Sarapan me?
nunggu di ruang makan. Burung nektar memenuhi langit-langit
jalanan setapak, berkicau. Aku bersenandung riang, sejauh ini
semua rencanaku berjalan lancar.
*** Ruang keluarga, selepas makan siang.
"Kalian ke mana?" aku bertanya, memastikan.
"Perpustakaan kota, Pa." Zas tertunduk, mengulang jawaban
222 Isi-Ayahku.indd 222 3/23/11 2:30:45 PM kenapa dua hari terakhir ia dan adiknya bolos sekolah, termasuk
hari ini, yang ketiga kalinya berturut-turut.
"Perpustakaan kota" Apa pentingnya kalian ke sana?" Aku ti?
dak mengerti. "Mencari tahu, Pa," Zas menjawab pelan.
"Iya, Pa. Mencari tahu," Qon takut-takut menambahi.
"Mencari tahu apa?"
"Cerita-cerita Kakek."
"Apa hubungannya bolos, perpustakaan kota, dan cerita-cerita
Kakek?" Aku mulai tidak sabar, atau lebih tepatnya aku selalu
sensitif setiap kali kata "cerita Kakek" disebut-sebut.
Lima menit kemudian, urusan itu terang benderang. Astaga,
aku kehilangan komentar. Aku merebahkan punggung ke sofa,
meng?elus dahi. Apa yang dulu pernah kubilang pada istriku,
cepat atau lambat cerita-cerita Ayah akan mengubah jadwal,
meme?ngaruhi perangai, dan sebagainya. Istriku bilang itu hanya
pe?nyesuaian kecil ketika Zas dan Qon lebih banyak bersama
kakek?nya, mengorbankan waktu bermain dan waktu belajar me?
reka. Dua bulan terakhir Ayah tinggal bersama kami, sebenarnya
aku sudah jarang komplain, sepertinya istriku benar, hanya itu
akibat yang ditimbulkannya.
Ternyata tidak, Zas dan Qon masih terlalu kecil untuk me?
nerima cerita kakek mereka secara proporsional. Percuma
beberapa minggu lalu Zas datang menemuiku di ruang kerja,
bertanya apa?kah cerita-cerita Kakek sungguhan atau bohong,
dan aku mengajaknya bicara. Juga percuma kesempatan lain, saat
aku men?jelaskan ke mereka bahwa semua hanya cerita, bahwa
Kakek pandai bercerita untuk menghibur mereka. Jangan
ditanggapi serius. Tidak lebih tidak kurang.
223 Isi-Ayahku.indd 223 3/23/11 2:30:46 PM Aku keliru. Ketika Zas tidak bisa menemukan entri kata apel
emas, Lembah Bukhara, suku Penguasa Angin, atau si Raja
Tidur di mesin pencari internet, ia mengajak adiknya ke per?
pustakan kota. Dua gedung besar, masing-masing delapan lantai,
ada puluhan ribu buku. Di tempat itulah Zas berharap menemu?
kan bukti bahwa cerita-cerita kakeknya sungguhan. Rasa pe?
nasaran itu tidak beda dengan yang aku alami dulu, dan mereka
lebih nekat. Bolos dari sekolah. Berjam-jam berkutat memeriksa
daftar buku, mencari di rak-rak, membaca bab-bab yang ada,
berharap akan menemukan penjelasan.
"Kalian masuk kamar!" aku akhirnya bicara, suaraku tegas
meng?ancam. "Dan tidak boleh ada yang keluar sampai aku mem?
beritahu kalian. Mengerti?"
Zas dan Qon mengangguk, tertunduk.
"Bergegas!" aku menyergah.
Zas dan Qon lari menaiki anak tangga.
"Apa yang akan kaulakukan sekarang?" istriku bertanya se?telah
Zas dan Qon hilang dari balik anak tangga.
"Apa yang akan aku lakukan" Ayah harus menghentikan
cerita-cerita itu." Aku mendengus. "Dia harus mengatakan pada
Zas dan Qon bahwa itu semua karangannya saja."
"Kau tidak bisa melakukannya, Dam. Itu akan menyakiti
perasaan Ayah!" istriku berseru tertahan.
"Aku bisa melakukannya."
"Itu bagian dari kehidupan Ayah, Dam."
"Itu bagian bohong dalam kehidupannya. Kau lihat apa yang
terjadi pada Zas dan Qon" Mereka berani bolos tiga hari. Itu
kekeliruan besar. Tidak ada lagi cerita-cerita bohong itu di ba?
wah atap rumah ini, atau Ayah..."
224 Isi-Ayahku.indd 224 3/23/11 2:30:47 PM "Atau Ayah apa?" Istriku memegang lenganku.
"Atau Ayah tidak boleh lagi tinggal di sini. Hanya dengan cara
itu aku bisa memisahkan Zas dan Qon dari cerita-cerita ber?
lebih?an dan dusta Ayah."
Istriku menatapku dengan wajah tidak percaya. "Kau tidak
akan mengusir Ayah dari rumah kan, Dam" Katakan kalau kau
tidak akan melakukannya."
Aku mengatupkan rahang. Sudah dua puluh tahun aku ber?
henti memercayai cerita-cerita Ayah. Bukan karena aku tidak
bisa menghargainya lagi, tidak bisa menghormati seorang ayah,
tetapi karena aku tahu persis, ayahku seorang pembohong. Bah?
kan pada hari yang paling menyedihkan bagiku, hari yang paling
menyesakkan, Ayah masih saja berbohong dengan cerita-cerita
itu. Malam ini boleh jadi aku meminta Ayah pergi dari rumah.
*** Ruang makan Akademi Gajah.
Retro berkoar jumawa, memperagakan ulang gerakan tangan?
nya memanah, dan hop, pura-pura menjadi seekor babi besar,
jatuh terguling. Teman-teman tertawa (menertawakan Retro
yang tidak sengaja menyikut kue besar, dan piringnya jatuh,
membuat wajahnya berlepotan). Aku ikut tertawa. Ternyata
seperti inilah rasanya menjadi anggota Tim Pemburu, diper?
hatikan penuh rasa ingin tahu oleh murid-murid lain. Sarapan
terhebat selama aku di Akademi Gajah.
Tetapi kegembiraan itu hanya sebentar. Petugas senior me?
neriakkan namaku di pintu ruang makan. Keras sekali. Aku
ragu-ragu berdiri. Retro buru-buru mengelap kue di dahi.
225 Isi-Ayahku.indd 225 3/23/11 2:30:48 PM Wajahnya agak tegang. "Apakah mereka tahu kita ber?bohong
soal izin berburu, Dam?"
Aku menggeleng. Mana aku tahu" Aku menelan ludah.
"Kau ditunggu kepala sekolah di ruangan. Sekarang." Wajah
petugas juga terlihat tegang. Ia tersengal, sepertinya habis berlari,
berarti pesan itu superpenting.
"Ada apa?" Aku melangkah ke pintu ruang makan, diikuti
tatap?an seluruh murid. Petugas senior menggeleng, memberikan jalan. "Bergegas,
Dam. Sepertinya ini mendesak sekali."
Bagaimana pula aku harus bergegas kalau aku akhirnya harus
dihukum" Bergegas menjemput hukuman" Aku menyeringai,
memikirkan paradoks kalimat petugas barusan. Melangkah me?
lintasi lorong, lobi, menaiki anak tangga, menara tinggi sekolah
terlihat gagah. Tiga minggu lagi kami ujian kelulusan. Kalau aku
sampai dikeluarkan, aku mendadak baru menyadari betapa
nekatnya keputusanku kemarin.


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau harus segera berkemas, Dam." Itu kalimat pertama ke?
pala sekolah saat melihatku.
Aku menggigit bibir. Itu memang kejahatan nomor satu, ikut
berburu ke dalam hutan tanpa izin, membahayakan Wade dan
anggota lain. Aku bahkan tidak diberi kesempatan membela diri,
langsung disuruh berkemas. Tamat sudah tiga tahun luar biasaku
di Akademi Gajah. Apa yang akan kujelaskan pada Ibu" Kemarahan seperti apa
yang akan datang dari Ayah" Kerongkonganku terasa kering,
mataku berkaca-kaca. "Ada telegram dari kota kau." Kepala sekolah menyerahkan
se?carik kertas. 226 Isi-Ayahku.indd 226 3/23/11 2:30:49 PM Apa hubungannya telegram dengan berburu" Aku menyeka
ujung mata, setengah menit, berusaha setegar mungkin dengan
keputusan kepala sekolah.
"Ibu kau sakit keras. Tadi malam dibawa ke rumah sakit."
227 Isi-Ayahku.indd 227 3/23/11 2:30:49 PM 25 Ibu Pergi A ku berlari melintasi lorong, menaiki anak tangga, mem?
bongkar koper besar, memindahkan uang yang kukumpulkan
setahun terakhir ke dalam ransel, lantas tanpa sempat pamit pada
Retro dan murid yang sedang sarapan di ruang makan, langsung
berlari ke lobi sekolah. Salah satu petugas asrama mengantarku ke
stasiun kecil dekat Akademi Gajah. Meski aku mulai meragukan
cerita-cerita Ayah, aku berharap saat itu tiba-tiba datang Tutekong,
Kepala Suku Penguasa Angin menunggang layang-layang legen?
darisnya, Tutankhuto. Dengan layang-layangnya aku bisa melesat
cepat menuju kota. Sayangnya aku harus me?numpang kereta api
yang bergerak seperti siput, delapan jam.
Sepanjang jalan aku bergumam gelisah. Mendesahkan doa ke
langit-langit gerbong. Ibu harus bertahan, apa pun yang terjadi
Ibu harus bertahan. Aku pulang membawa uang untuk biaya pe?
rawatan. Ibu akan sembuh dan melihatku dewasa. Aku bahkan
bisa mengajak Ibu berkeliling dunia, melihat banyak tempat.
Aku menyeka ujung mata, teringat walau Ayah ber?tahun228
Isi-Ayahku.indd 228 3/23/11 2:30:50 PM tahun bercerita tentang petualangan hebatnya, tidak sekali pun
kami pernah pergi jauh dari rumah. Ayah tidak punya cukup
uang untuk pelesir. Uang Ayah dihabiskan untuk hal yang lebih
ber?guna (menurut versi Ayah), membantu tetangga, me?nyum?
bang apalah. Aku tidak pernah melihat Ibu tertawa renyah di rumah. Ke?
hidupan Ibu hanya berkisar aku, Ayah, dan rumah kecil kami.
Me?nonton lomba renang pun tidak. Ibu tidak pernah berkunjung
ke pantai, gunung, dan tempat-tempat yang indah. Saat aku kecil,
Ibu hanya ikut mendengarkan cerita-cerita Ayah, lantas me?ngu?
lum senyum. Aku mendongak, sekali lagi menatap langit-langit
gerbong, menahan agar air mataku tidak tumpah. Ibu harus sem?
buh. Aku akan mengajak Ibu pergi bertualang seperti Ayah.
Kereta tiba di stasiun kota menjelang senja. Aku menumpang
angkutan umum, menuju rumah sakit kota seperti yang ter?tulis
di telegram. Berlari di lorong rumah sakit, aku hampir menabrak
suster yang membawa troli peralatan.
Kudorong pintu kamar Ibu, dan langkahku terhenti. Lihatlah,
Ibu terbaring lemah di ranjang. Kepalanya sudah digunduli.
Slang infus dan belalai menghunjam atas-bawah, kiri-kanan.
Ranselku terlepas dari tangan. Ayah mengangkat kepala, ter?
senyum melihatku. "Kau akhirnya tiba, Dam."
"Ibu" Ibu bagaimana?"
"Belum siuman sejak jatuh pingsan kemarin sore. Dokter
bilang kondisinya stabil."
Aku kehilangan kalimat berikutnya, melangkah pelan"dulu
aku terbiasa berjinjit meninggalkan Ibu yang jatuh tertidur. Aku
duduk di samping Ayah. Meremas rambutku.
229 Isi-Ayahku.indd 229 3/23/11 2:30:51 PM "Kau berapa jam tidak mandi, Dam?" Ayah tersenyum, me?
nepuk bahuku. Aku menyeringai. Benar juga. Sejak bekerja di perkampungan,
ikut berburu, perjalanan delapan jam, aku belum menyentuh air.
Pakaianku kotor oleh miang dan tanah lembap hutan.
"Apa kata dokter?"
"Mereka masih memeriksa hasil labnya."
"Apakah Ibu akan sembuh?"
"Ibu kau selalu sembuh dari sakitnya selama ini, bukan?"
Ayah menepuk bahuku lagi.
Aku mengangguk. Itu benar. Ibu selalu sembuh.
*** Ayah bohong. Saat aku selesai menumpang mandi di toilet
rumah sakit, kembali menunggui Ibu, aku tahu kalimat Ayah
hanya untuk membesarkan hati. Seluruh tubuh Ibu tiba-tiba
bergerak berontak. Aku loncat, memanggil suster, memanggil
dokter, siapa saja yang bisa kupanggil. Ayah yang sedang me?
rebahkan diri di sofa ruang tunggu karena semalam tidak tidur,
terbangun. Ibu dibawa kembali ke ruang gawat darurat. Aku menunggu
di luar selama satu jam dengan wajah tegang. Terakhir kali aku
bertemu Ibu setahun lalu. Aku ingin menyapa Ibu, memeluknya,
bilang bahwa Ibu akan sembuh. Aku punya banyak rencana se?
karang. Dokter menemuiku dan Ayah di ruang kerjanya.
"Seperti yang kami bilang tahun lalu. Komplikasinya sudah
menyebar ke mana-mana," dokter itu berkata pelan.
230 Isi-Ayahku.indd 230 3/23/11 2:30:52 PM Ayah berbohong. Setahun lalu saat Ibu jatuh sakit selama se?
bulan, dan aku bertanya apa kata dokter yang memeriksa, Ayah
bilang hanya sakit seperti biasanya, tidak perlu ada yang dicemas?
kan. "Apakah Ibu akan sembuh?" aku takut-takut bertanya. Aku
takut mendengar jawabannya.
"Kami tidak tahu, Dam." Dokter menggeleng. "Sebenarnya ibu
kau bahkan bertahan lebih lama dibandingkan perkiraan ilmu
medis. Saat pertama kali dia datang dengan keluhan sakit, itu dua
puluh tahun lalu. Dokter pertama yang menanganinya ada?lah
ayahku, menyimpulkan bahwa ibu kau hanya bertahan satu-dua
tahun saja. Kau lihat, hari ini bahkan ayahku sudah me?ninggal."
"Lakukan apa saja untuk kesembuhan Ibu. Kumohon, lakukan
apa saja." Aku menggigit bibir, aku baru tahu bahwa dua puluh
tahun silam Ibu pernah divonis hanya akan bertahan satu-dua
tahun saja. "Kami akan melakukan apa saja, Dam." Dokter menghela
napas. "Tetapi itu boleh jadi terlambat. Malam ini juga kami akan
melakukan operasi atas komplikasinya."
Dokter meninggalkan kami, lengang.
*** "Ayah tidak pernah cerita setahun lalu kondisi Ibu memburuk."
Aku mengusap wajah. Ayah hanya diam. "Ayah harusnya bilang. Aku bisa membantu."
"Kami tidak ingin membuat kau cemas, mengganggu sekolah
kau." 231 Isi-Ayahku.indd 231 3/23/11 2:30:53 PM "Apanya yang akan mengganggu?" aku mengeluh. "Ayah me?
rahasiakan banyak hal tentang sakit Ibu padaku. Seharusnya
sejak lama Ibu menjalani perawatan panjang itu."
"Itu percuma, Dam. Perawatan itu tidak akan berhasil."
"Kata siapa itu percuma?" aku menyergah. Aku tidak tahu
kenapa aku tiba-tiba tidak suka mendengar kalimat pesimis yang
dikatakan Ayah"apalagi dengan tabiat Ayah yang selalu positif.
"Aku sudah mengumpulkan uangnya, Yah. Aku akan melaku?kan
apa saja agar Ibu bisa menjalani terapi itu."
"Itu percuma, Dam." Ayah menggeleng. "Kau pasti masih
ingat, dokter sekaligus hakim agung terbaik di dunia, si Raja
Tidur yang mengatakannya pada Ayah langsung. Tidak ada
terapi yang bisa membuat ibu kau sembuh seratus persen. Satusatu?nya yang membuat ibu kau bertahan lama adalah rasa
bahagianya." Astaga" Aku meremas rambut keritingku. Apa yang Ayah
bilang" Dalam situasi genting, satu jam lagi operasi akan dilaku?
kan, Ayah masih sibuk menyebut-nyebut nama antah berantah
itu. "Ayah tidak akan bilang bahwa si Raja Tidur pernah meme?
riksa Ibu, bukan?" aku berkata sedikit sinis.
"Ayah justru hendak mengatakan itu, Dam. Si Raja Tidur
pernah berbaik hati datang ke kota kita, memeriksa ibu kau,
enam bulan setelah pernikahan kami. Kau belum lahir saat itu.
Usia si Raja Tidur hampir delapan puluh. Bayangkan, setua itu
dia mau datang mengunjungi anak angkatnya yang baru saja me?
nikah." "Lantas apa yang si Raja Tidur bilang" Apa kesimpulan
dari empat gelar profesor dan delapan bidang ilmu penge?
232 Isi-Ayahku.indd 232 3/23/11 2:30:54 PM tahuan yang dikuasainya?" aku berkata jengkel, mengangkat
tangan setengah tidak percaya. Tidak bisakah Ayah berhenti
ber?main-main" "Si Raja Tidur bilang semua sakit ada obatnya kecuali tua.
Sayangnya, pengetahuan medis saat ini belum cukup memadai
untuk mengobati kelainan bawaan ibu kau," Ayah menjawab
kalimat sinisku dengan intonasi datar, seolah apa yang sedang
dikatakan?nya sungguhan. "Si Raja Tidur bilang, satu-satunya
yang dapat membuat ibu kau bertahan lama adalah perasaan
bahagianya. Semakin bahagia dirinya, semakin lama dia ber?
tahan, dan semoga saat itu kemajuan medis sudah bisa menemu?
kan obatnya. Dua puluh tahun, Dam. Ibu kau bertahan lama
sekali, Ayah sendiri tidak menduganya. Dokter rumah sakit kota
ini juga bilang itu keajaiban. Ibu kau benar-benar bahagia dua
puluh tahun terakhir."
"Ibu tidak bahagia!" aku berseru tertahan, memotong kalimat
Ayah. Rasa marah, bingung, sedih, tidak mengerti bercampur
aduk dalam hatiku. Apakah Ayah sudah gila" Lihat, rombongan
dokter bersiap membedah Ibu masuk ke dalam ruangan, dan
Ayah tetap tidak berhenti dari cerita-cerita bohong itu. Omong
kosong soal si Raja Tidur.
"Dua puluh tahun Ibu hidup apa adanya. Sehat empat bulan,
jatuh sakit satu-dua minggu. Aku tidak pernah melihat Ibu
tertawa bahagia, kecuali tersenyum atau menangis terharu. Ibu
tidak pernah ke mana-mana selain rumah kecil kita. Tidak
punya rumah mewah, mobil, perhiasan, hanya berkutat meng?
urus rumah. Rutinitas yang sama setiap hari, itu-itu saja. Ke?
hidupan Ibu hanya di sekitar itu. Ibu tidak pernah bahagia. Ibu
boleh jadi bosan, tetapi dia tidak pernah mengeluh."
233 Isi-Ayahku.indd 233 3/23/11 2:30:55 PM "Definisi kebahagiaan ibu kau berbeda, Dam. Keluarga kita
amat berbahagia." Aku terdiam, meremas ujung jari. Apa hubungannya definisi
bahagia dengan sakit Ibu" Kenapa Ayah masih sibuk dengan
Tabib Setan 3 Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Tusuk Kondai Pusaka 3
^