Pencarian

Ayahku Bukan Pembohong 2

Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye Bagian 2


kembali kertas surat, memasukkannya dalam amplop. Taani me?
nimpukku dengan gumpalan kertas. Sebal.
"Kau jadi memotong rambut?" Taani mengganti topik pem?
bicaraan. Aku terdiam sebentar, mengangguk.
"Sayang sekali, padahal aku paling suka lihat rambut ke?riting
kau, Dam." Taani menyengir, berusaha menahan tawa.
"Kata Ibu, esok lusa juga akan tumbuh lagi, bukan masalah
besar." Aku tidak menanggapinya. "Kata Ayah, sang Kapten juga
ketika pertama kali akhirnya diterima di klub harus memotong
rambut." Dua hari lalu, pelatih memutuskan memilih delapan perenang
terbaik sebagai wakil klub dalam kejuaraan nasional. Untuk kate?
gori individual (seratus meter, dua ratus meter) semua nomor
diambil senior klub. Aku dan Jarjit lolos di nomor yang tidak
kalah bergengsi, renang estafet 4 x 100 meter. Itu kategori legen?
daris yang selalu dimenangi klub sepanjang sejarah. Apa kata
pelatih, tidak hanya kecepatan, tetapi juga kerja sama tim kunci
kemenangan dalam renang estafet.
Jarjit menjadi perenang pertama, karena dia pemilik start
paling cepat, dan aku menjadi perenang seratus meter ter?akhir.
78 Isi-Ayahku.indd 78 3/23/11 2:28:15 PM "Kau terbiasa berenang kesetanan di putaran terakhir, bukan"
Nah, saatnya kebiasaan itu ada gunanya." Teman-teman ter?tawa,
menjulurkan tangan, mengucapkan selamat. Jarjit bah?kan tertawa
senang, memukul pelan bahuku. Selepas seleksi, menjelang
pulang, pelatih memanggilku, bicara soal rambut keritingku.
"Kau akan berenang lebih cepat tanpa rambut yang mengganggu,
Dam. Kau harus memotongnya."
Aku keberatan, tentu saja. Meski gara-gara rambut ini aku
sering diolok-olok, aku bangga sekali dengan rambutku. Ram?
but yang sama dengan rambut sang Kapten. Aku tidak mau
me?motong?nya. Bukankah selama ini aku bisa berenang dengan
baik" Tetapi perintah pelatih tidak bisa ditawar. Pilihannya
ha?nya dua, dipotong atau tidak ikut lomba. Dua malam ter?
akhir, Ayah dan Ibu juga membesarkan hati dengan alasanalasan itu, membuatku berpikir kemungkinan lain, apa salah?
nya dipotong. "Ayah kau juga tahu?" Taani bertanya, memecah keheningan.
"Tahu apa?" aku bertanya balik, sambil menyimpan amplop
surat dalam lipatan buku.
"Itu tadi, tahu kalau sang Kapten harus memotong rambut?
nya?" "Ayahku tahu semuanya." Aku menyeringai lebar pada Taani.
"Kau tahu bagaimana sang Kapten punya tendangan yang aku?
rat, operan yang jarang meleset?"
Taani menggeleng. "Karena sang Kapten sejak kecil berlatih dengan bola kasti.
Setiap kali menunggu pesanan sup yang harus diantar, dia ber?
latih di halaman belakang restoran, menendang bola kasti ribuan
kali ke lingkaran target di tembok," aku menjawab mantap. "Sang
79 Isi-Ayahku.indd 79 3/23/11 2:28:16 PM Kapten juga menggunakan bola kasti botak itu untuk berlatih
mengendalikan bola, dribel, sundulan, trik menipu lawan, bahkan
gerakan aneh seperti menendang dengan tumit. Itulah kenapa
saat dia akhirnya diterima klub kota, kemampuannya melesat
cepat. Dia sudah terbiasa dengan bola yang jauh lebih kecil,
lebih sulit dikendalikan. Dengan bola sepak yang sepuluh kali
lebih besar, trik hebatnya menjadi berkali-kali lipat."
Aku selalu senang menceritakan semua itu pada Taani sambil
menyeringai lebar"sampai lupa bahwa Ayah selalu berpesan itu
hanya rahasia kami berdua.
"Kau tahu sang Kapten pernah ditolak masuk klub karena
tidak punya uang pendaftaran?" Itu kalimat pembukaku di suatu
kesempatan. "Sang Kapten juga sempat patah semangat karena
dianggap tidak cukup tinggi" Ayahku" ya, ayahku mengajaknya
bicara. Ayahku datang ke flat sang Kapten, membesarkan hati?
nya, bilang hanya soal waktu semua orang tidak bisa mengabai?
kan kehebatan kakinya. Menyarankan sang Kapten agar bermain
di klub kecil dulu. Ikut satu pertandingan demi pertandingan,
mematangkan diri lewat sepak bola jalanan, hingga akhirnya
mata pencari bakat terbuka lebar-lebar. Bagaimana tidak, sang
Kapten berhasil membawa tim anak-anak jalanan menjadi juara
kota, mengalahkan tim yang mapan dan kaya."
Aku menceritakan hampir semua cerita Ayah, dengan intonasi
dan gaya dua kali lebih meyakinkan dibanding Ayah"seperti
aku sendiri yang ada di sana, membesarkan hati sang Kapten,
me?nemaninya berlatih, membantunya membuat lingkaran yang
lebih kecil, melemparinya dengan ratusan bola kasti, lantas
tertawa bersama saat melihat bola yang ditendangnya masuk
selok?an restoran. 80 Isi-Ayahku.indd 80 3/23/11 2:28:17 PM Ayahku benar-benar sahabat baik sang Kapten. Dengan demi?
kian, aku juga berhak mengaku "anak dari sahabat baik sang
Kapten". 81 Isi-Ayahku.indd 81 3/23/11 2:28:18 PM 9 Kabar Hebat K " au akan suka dengan kabar ini, Dam." Ayah menjulurkan
koran pagi. "Klub Juara Liga Champions Eropa Tur ke Asia".
Aku hanya melihat berita halaman depan itu sekilas. Aku
sudah tahu rencana tur itu sebulan lalu, bahkan enam bulan lalu
kabar tentang tur sudah menyebar ke mana-mana. Aku tidak
terlalu tertarik. Apalagi beberapa hari lalu di kelas, Jarjit bilang
ia diajak papanya menonton langsung ke negeri tetangga. Tur itu
hanya mendatangi dua kota besar Asia, tidak termasuk kota
kami. Mereka datang ke kota ini saja aku belum tentu bisa me?
nonton?nya"karena tiketnya pastilah mahal"jangan tanya kalau
me?reka datang di negara tetangga.
"Mereka mengubah kota kunjungannya, Dam." Ayah tetap
men??julurkan koran itu kepadaku.
Aku yang sedang menyemir sepatu Ayah terhenti sejenak.
"Astaga, sejak kapan kau tidak tertarik dengan berita sang
Kapten?" Ayah menepuk dahi, tertawa. "Kau baca ini, juara Liga
Champions, klub terbesar Eropa, akan datang ke kota kita."
Aku meletakkan sikat semir. Ayah bilang apa" Aku raih koran
82 Isi-Ayahku.indd 82 3/23/11 2:28:19 PM itu. Aku baca cepat judulnya, paragraf-paragrafnya. Suhu politik
negara tetangga memanas. Alasan keamanan, sang Kapten bilang
ia sejak lama justru ingin datang ke negera kami, ingin menyapa
penggemar dan teman lama. Manajer tim sang Kapten bilang
perubahan seperti ini biasa. Walikota kami bereaksi cepat, siap
melakukan apa saja jika perubahan rencana itu benar-benar
terjadi. Kapten tim nasional kami berkomentar, siap melakukan
pertandingan persahabatan. "Tentunya jangan berharap kami
akan menang. Kalah dengan selisih gol tidak lebih dari dua saja
tidak mudah." Aku sudah berseru senang. Ini kabar hebat. Sang Kapten
akan datang ke kota kami. Dalam mimpi-mimpi pun aku tidak
berani membayangkannya. "Itu belum keputusan final, Dam," Ayah mengingatkan. "Boleh
jadi mereka tetap mengunjungi kota semula."
Aku menggeleng, tidak mungkin, sang Kapten pasti datang ke
kota kami. Di sekolah, di klub renang, di agen koran, di pasar, di stasiun,
di angkutan umum, di sepanjang jalan semua orang sibuk mem?
bicarakan kemungkinan kedatangan tim juara Liga Champions
Eropa itu. Teman-teman sekelas sibuk pamer ten?tang rencana
menonton langsung. Jarjit bercerita, papanya ter?paksa membeli
tiket lagi, tidak mengapa, mereka akan memesan tiket VIP
untuk seluruh anggota keluarga.
Lepas dua hari, konfirmasi kedatangan mereka diumumkan
sendiri oleh walikota kami. Aku berlari-lari masuk ke dalam
rumah, mengabaikan teriakan Ibu yang menyuruhku melepas
sepatu. Aku menarik keluar celengan berbentuk bola di dalam
lemari. Ini harta karunku. Semua hasil kerja kerasku pagi-pagi
83 Isi-Ayahku.indd 83 3/23/11 2:28:19 PM buta mengantar koran setahun terakhir ada di sini. Aku
membanting celengan itu di atas tempat tidur. Uang kertas dan
uang logam berserakan. Aku tertawa senang. Aku akan me?
nonton langsung sang Kapten beraksi.
*** "Kau menonton sang Kapten, Dam?" Jarjit menyapaku pulang
sekolah, hari berikutnya.
"Ya," aku menjawab pendek, berjalan melintasi lapangan.
Anak-anak lain bergerombol. Taani ada di belakangku, ber?
bincang dengan teman perempuannya.
"Kau sudah beli tiketnya?"
Aku menggeleng. Uang di celenganku ternyata masih kurang
sedikit. Semoga gajiku minggu depan akan membuatnya genap.
"Kau tidak dijemput?" Aku menggaruk rambut, bingung me?
lihat Jarjit ikut berjalan menuju halte. Bukankah biasanya mobil
mewah jemputannya sudah terparkir rapi"
"Tidak lagi." Jarjit menggeleng perlahan. "Papaku bilang aku
harus pulang naik kendaraan umum sebagai ganti tiket me?
nonton itu." "Oh." Aku mengangguk pendek.
"Tidak mengapa, ternyata angkutan umum menyenangkan."
Jarjit tertawa kecil. "Oh." Aku mengangguk, lantas menunjuk sepedaku, hendak
ber?gegas. "Sebentar, Dam," Jarjit memanggil.
Aku menoleh, melihatnya menurunkan tasnya, mengeluarkan
kantong plastik. 84 Isi-Ayahku.indd 84 3/23/11 2:28:20 PM "Untuk kau." "Ini apa?" Aku bingung melihat bungkusan dalam kantong.
"Biar kau tidak perlu memotong rambut kau itu." Jarjit me?
nyeringai lebar, menunjuk kepalaku. "Kau tidak ingin kan, kalau
tiba-tiba berpapasan dengan sang Kapten di stadion kota,
rambut kau sudah botak" Sang Kapten pasti senang melihat
rambut kau yang mirip dengannya."
Aku membuka bungkusan itu. Ini penutup kepala renang,
dengan merek terbaik dan bahan terbaik. Benar juga, ini jalan
keluar yang tidak terpikirkan. Dengan penutup kepala sebaik ini
aku tidak perlu memotong rambut kebanggaanku. Pelatih pasti
bisa menerimanya. Aku ikut tertawa, menatap Jarjit dengan
tatap?an lebih bersahabat. "Kau mau pulang bersamaku naik
sepeda" Ini dua kali lebih menyenangkan dibanding angkutan
umum." *** Seminggu kemudian. Petugas loket bilang sudah tidak ada lagi tiket yang tersisa.
Se?mua kegembiraanku"sejak berangkat, sejak menerima gaji
loper koranku, sejak memasukkan seluruh uang logam dan
kertas ke dalam kantong, sejak bersepeda secepat mungkin, sejak
berlari dari parkiran gedung penjual tiket"jatuh bagai daun di
musim kering. Semuanya berguguran.
"Kau seharusnya datang kemarin. Tiket termurahnya masih
tersedia." Aku gontai balik badan, mengeluh pelan. Kalau aku punya
uangnya, aku akan datang pada detik pertama loket penjualan
85 Isi-Ayahku.indd 85 3/23/11 2:28:21 PM tiket dibuka. Ayah, sejak aku mengerti apa itu uang, tidak per?
nah mau membelikan sesuatu di luar buku, keperluan sekolah,
dan pengeluaran penting lainnya"jangan tanya uang saku hari?
an, tidak ada. Dan jelas tiket sepak bola di luar itu semua. Aku
tahu peraturan itu. "Tiketnya dapat, Dam?" Ibu bertanya saat melihatku melintas
di ruang keluarga. Ibu sedang menjahit.
"Sudah habis," aku menjawab pelan.
"Habis" Bukankah pertandingan itu masih sebulan lagi" Cepat
sekali?" Aku tidak mendengarkan kalimat Ibu, melangkah tertunduk.
Musnah sudah semua gambar dan khayalanku soal kunjungan
sang Kapten. Padahal aku membayangkan mengenakan syal, me?
makai kaus, memakai semua benda yang kupunyai, menonton
langsung sang Kapten melawan tim nasional. Dan hei, kalau
ber?untung, boleh jadi aku bisa menerobos pintu menuju ruang
ganti, meminta tanda tangan, berfoto bersama, melihat mereka
berlatih, atau seperti yang Jarjit bilang, tidak sengaja berpapasan
di stadion. "Wow, rambut kau hebat sekali?" sang Kapten me?
nyapaku. Dan aku bukan sekadar minta tanda tangan, aku bisa
bertanya banyak hal, apakah dia ingat Ayah, bagaimana dengan
bola kasti botak itu, apakah restoran sup jamur itu masih ada,
bagaimana flat kecil itu, dan sebagainya.
"Dia kecewa sekali." Suara Ibu terdengar sayup-sayup. "Tidak
bisakah kau membantunya?"
"Tiket VIP akan mahal sekali."
"Aku tidak meminta kau membelikan tiket VIP yang masih
tersisa. Aku hanya bilang tidak bisakah kau membantunya, meng?
ajak dia bicara bahwa itu sekadar sebuah pertandingan" Lagi
86 Isi-Ayahku.indd 86 3/23/11 2:28:22 PM pula, kalaupun mahal, Dam sejak kecil tidak pernah mendapat?
kan ke?senangan berlebihan, bukan" Bahkan keluarga kita tidak
pernah mendapatkan kesenangan berlebihan. Boleh jadi kali ini
dia berhak mendapatkannya."
"Kau sebenarnya memintaku mengajak Dam bicara atau me?
nyuruhku membelikan tiket VIP itu?" Ayah tertawa, menggoda
Ibu.

Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dua-duanya, bodoh." Ibu melotot sebal.
Kalian tahu, malam itu aku ingin memeluk ibuku erat-erat.
Ingus?ku keluar, terisak senang, bilang bahwa aku sayang Ibu le?
bih dari segalanya. Ayah memutuskan menelepon call center pe?
mesan??an, membeli tiga tiket VIP sekaligus, untukku, Ayah, dan
Ibu. Itu benda paling mahal yang dibeli Ayah seumur hidupnya
secara tunai"rumah kami dibeli kredit dua puluh tahun. Ibu
mengacak rambut keritingku, berbisik mengingatkan, ada yang
lebih penting kuurus sebelum kunjungan sang Kapten bulan de?
pan. Apalagi kalau bukan kejuaraan nasional renang.
87 Isi-Ayahku.indd 87 3/23/11 2:28:23 PM 10 Ember Bocor J ohan teman semejaku berusaha menurunkan volume suara
beratnya sekecil mungkin, bertanya, "Benarkah sang Kapten
nanti akan menemui ayah kau, Dam?"
Di depan ibu guru sedang menjelaskan rumus isi dan luas
permukaan bola. "Maksud kau?" Aku sedikit tersedak, suara kagetku sontak
mem?buat ibu guru menoleh. "Bolpoinku jatuh, Bu." Aku ber?
gegas pura-pura mengambil sesuatu di bawah meja, kembali
mem?perhatikan papan tulis.
"Maksudku tentang sang Kapten, tur ke kota kita, per?
tandingan itu. Katanya ayah kau teman baik dia" Benarkah itu,
Kawan?" Johan kembali berbisik"setelah memperhatikan papan
tulis. Wajah Johan tidak main-main, bukan wajah olok-olok
tidak percaya. Wajah itu penasaran bercampur antusiasme.
Aku menelan ludah, bingung dengan pertanyaan Johan.
"Benarkah ayah kau kenal sang Kapten sejak dia kecil?" Johan
mendesakku. 88 Isi-Ayahku.indd 88 3/23/11 2:28:24 PM Aku tetap tidak menjawab. Kepalaku sendiri dipenuhi per??
tanyaan, bukankah aku selama ini tidak cerita ke siapa-siapa
kecuali pada Taani" "Ayolah, Kawan. Kalau itu benar, tidak bisakah kau mem?
bantuku agar bisa berfoto bersama sang Kapten, atau setidaknya
dia menandatangani kaus bolaku" Aku mohon." Johan memasang
wajah penuh harap. Aku menggeleng. Dari mana Johan tahu"
"Ayolah, Dam. Aku teman sebangku kau sejak kelas satu, kan"
Aku mau membawakan tas kau selama sebulan penuh, juga
mengerjakan PR, catatan...."
Aku menyelanya, "Dari mana kau tahu itu?"
"Dari mana aku tahu?" Johan menelan ludah. "Astaga! Ter?
nyata itu benar." Ia sudah menepuk dahi, membuat seluruh kelas
me?noleh ke meja kami. Johan bergegas pura-pura mengambil
se?suatu di bawah meja. "Bolpoinku juga jatuh, Bu."
"Siapa lagi yang bolpoinnya akan jatuh?" Ibu guru terlihat
jengkel, melepas kacamatanya. "Atau perlu kuikat saja bolpoin
kalian ke tangan masing-masing."
Anak-anak menyeringai satu sama lain.
Setelah perhatian kelas kembali ke papan tulis, aku buruburu menyikut lengan Johan, mendesis, "Aku tidak bilang itu
benar." "Aku tahu kau pasti tidak akan mengakuinya." Johan meng?
angguk-angguk. "Jarjit juga tadi pagi bilang kau pasti tidak akan
mau mengakuinya." "Jarjit tahu?" Aku memegang tangan Johan.
"Dam! Johan! Kalian sebenarnya punya berapa bolpoin yang
89 Isi-Ayahku.indd 89 3/23/11 2:28:25 PM jatuh, hah?" teriakan ibu guru menghentikan kalimatku. "Kalian
kerjakan soal nomor satu sampai dua puluh di depan kelas."
Siang itu, lima belas menit setelah lonceng istirahat, menjadi
waktu yang panjang bagiku. Teman-teman berkerumun,
menanya?kan kabar yang sama. Separuh lebih menganggap kabar
itu lelucon, tapi tidak sedikit yang seperti Johan, menganggap
berita itu sungguhan. Aku menggeleng, berkali-kali bilang itu
tidak benar, sambil berusaha mencari tahu dari mana mereka
tahu. Saat lonceng pulang berbunyi, aku akhirnya tahu bagaimana
cerita-cerita itu bocor. Taani melakukan kesalahan fatal, dan
siang itu aku bertengkar hebat dengannya.
"Aku tidak memberitahu siapa-siapa," Taani membela diri,
menyeka matanya yang basah.
"Tetapi kau membuat mereka tahu," aku mendengus marah.
Se?telah semua kejadian yang aku alami hari ini, enak saja Taani
lepas tangan. "Kau tidak tahu, bahkan tukang kebun sekolah hendak me?
nitipkan salam pada sang Kapten. Dia bilang dia bersedia men?
traktirku di kantin sekolah!" aku berteriak. Untunglah temanteman sudah pulang.
Kalau saja tidak ingat Taani adalah teman baikku selama ini,
ingin rasanya aku menimpuknya dengan kapur, tetapi aku tidak
bisa melakukannya. Ia malah terisak, takut-takut bilang maaf.
Men?jelaskan sekali lagi bahwa buku hariannya tertinggal di laci
meja, dan anak-anak yang piket membersihkan kelas tidak
sengaja menemukannya, iseng membaca buku itu. Buku Taani
tidak lebih seperti buku harian anak perempuan usia dua belas
lainnya, yang berbeda isinya. Taani menulis cerita-ceritaku ten?
90 Isi-Ayahku.indd 90 3/23/11 2:28:26 PM tang sang Kapten, semuanya. Maka kabar itu dengan cepat ter?
sampaikan dari mulut ke mulut.
"Kau akan memperbaiki kerusakan ini," aku mengancam
Taani. "Kau akan bilang ke mereka bahwa itu hanya karangan
sok tahu kau saja. Kau akan bilang itu tidak lebih seperti saat
kau suka pura-pura menyelidiki sesuatu, membayangkan sesuatu.
Itu hanya khayalan kau. Kalau tidak" kalau tidak, aku tidak
akan pernah menyapa kau lagi. Camkan itu!"
Taani membereskan buku-buku sambil menangis. Aku tidak
peduli, bergegas mengambil sepeda, meninggalkannya di kelas.
Sejak saat itu aku berjanji tidak akan menceritakan ke siapasiapa lagi tentang cerita-cerita Ayah. Apa yang akan mereka
kata??kan kalau sampai mendengar tentang Lembah Bukhara atau
suku Penguasa Angin" Aku menggowes sepeda lebih kencang.
*** Gerimis membungkus kota, suasana terasa tenteram.
"Kau tidak seharusnya marah seperti itu. Anak laki-laki yang
baik tidak pernah meneriaki wanita, apalagi membuatnya sedih
dan tersakiti." Ibu yang berbaring di ranjang menatapku. "Lagi
pula bukankah dia satu-satunya teman yang tidak memanggil
kau si Keriting?" "Tidak lagi," aku mendengus, terus memijat lengan Ibu. "Se?
karang dia satu-satunya yang memanggilku si Keriting."
Ibu tertawa, meski jadi terbatuk. "Itu berarti dia suka kau,
Dam." Suka apanya" Sekarang Taani bukan teman baikku lagi. Aku
selama ini percaya padanya. Dulu aku juga memperlihatkan
91 Isi-Ayahku.indd 91 3/23/11 2:28:27 PM surat sang Kapten, dan Taani membalasnya dengan membuat
seluruh sekolah tahu. Dasar ember bocor. Dua hari terakhir ia
memang menjelaskan ke mana-mana bahwa itu semua karangan?
nya saja, tapi itu tidak cukup. Apa kata kepala sekolah saat aku
dan Jarjit menyerahkan surat izin tidak masuk selama dua hari
untuk ikut lomba renang"
Selesai membaca surat dari pelatih, sambil tersenyum kepala
sekolah bilang, "Kudengar kau akan menonton sang Kapten
bersama seluruh keluarga kau, Jarjit?"
Jarjit mengangguk. "Lantas bagaimana dengan kau, Dam?"
Aku juga mengangguk. Ayah sudah membeli tiga tiket isti?
mewa itu. "Lebih dari dua puluh tahun aku mengenal ayah kau, Dam.
Baru kali ini aku melihat dia sedikit berlebihan, membeli tiga
tiket untuk menonton langsung pertandingan yang bisa dilihat
dari televisi." Aku menggaruk ujung hidung, belum mengerti maksud kepala
sekolah"yang terlihat mengangguk-angguk memikirkan sesuatu.
Saat aku dan Jarjit hendak pamit ke luar ruangan, kepala seko?lah
berkata pelan, "Tidak bisakah kau bilang ke ayah kau, Dam?"
Aku melipat dahi, bilang apa"
"Bilang aku juga ingin menyapa sang Kapten, setidaknya ber?
salaman dengannya." Kepala sekolah menatapku penuh harap.
"Tidak bisakah ayah kau membantuku?"
Jendela kaca mengembun, suara rintik gerimis terdengar me?
nyenangkan. Ibu terbatuk lagi, wajahnya pucat, terlihat lelah.
"Ibu harus lekas sembuh agar bisa menonton aku bertanding
92 Isi-Ayahku.indd 92 3/23/11 2:28:28 PM renang minggu depan. Setelah itu kita menonton sang Kapten
bersama-sama. Pasti menyenangkan."
Ibu tersenyum, mengangguk. Aku menyeka dahinya yang
tetap berkeringat meski udara terasa dingin. Kami hanya diam
be?berapa jenak, bersitatap, lalu aku kembali meneruskan memijat
le?ngan?nya. "Aku sayang Ibu," aku berkata pelan.
"Ibu juga sayang kau, Sayang." Ibu tersenyum lagi.
Lima belas menit berlalu, Ibu sepertinya sudah tertidur. Aku
ber?anjak menyelimuti, mematikan lampu, berjinjit ke luar ka?
mar. Sejak kecil aku tahu Ibu sering jatuh sakit. Kata dokter
kondisi tubuh Ibu rentan. Ia cepat lelah, sistem daya tahan tu?
buhnya rendah, punya masalah bawaan. Ibu perlu perawatan
pan?jang, beristirahat penuh dari kesibukan, dan diawasi penuh
agar benar-benar sembuh. Itulah yang tidak Ibu miliki. Ia selalu
sibuk mengurus rumah, aku, dan Ayah"selain kami juga tidak
punya uang untuk membayar biayanya. Tanpa pengobatan
intensif, se?perti siklus musim penghujan, dalam setahun Ibu
biasanya jatuh sakit setidaknya dua kali. Kalau sudah begini,
jangankan soal menyiapkan makanan lezat, urusan lain juga
harus ikut ku?kerjakan, termasuk merawat Ibu.
*** Dua hari berlalu. Sejauh ini tidak banyak lagi teman yang sibuk bertanya soal
sang Kapten kepadaku. Taani melakukan apa saja untuk mem?
buat mereka berhenti, termasuk sengaja meninggalkan buku
93 Isi-Ayahku.indd 93 3/23/11 2:28:28 PM hari?an?nya lagi di laci meja, yang di dalamnya sudah ditulis
bahwa papa Jarjit juga teman dekat sang Kapten. Ide cerdas, aku
suka cara Taani. Itu lebih masuk akal, apalagi dengan melihat
keluarga Jarjit yang kaya raya. Aku diam-diam tertawa melihat
Jarjit yang dikerumuni teman-temannya. Sibuk menjelaskan ia
tidak tahu-menahu, tidak mengerti.
"Aku tidak akan pernah percaya kalau papa Jarjit mengenal
sang Kapten, meski itu disampaikan langsung oleh papa Jarjit.
Itu pasti karangannya saja." Johan teman sebangkuku menatap
sinis kerumunan. "Aku lebih percaya kalau ayah kau yang teman
baik sang Kapten." "Itu juga bisa karangan Taani saja, kan. Apa bedanya?" Aku
menyeringai tipis. "Tidak mungkin. Kata bapakku, ayah kau tidak pernah ber?
bohong. Ayah kau terlalu jujur."
Aku tertawa, beranjak meninggalkan Johan.
"Kau mau ke mana, Dam?"
"Yeah, ke mana lagi" Hendak menitipkan kaus ke Jarjit agar
di?tandatangani sang Kapten lah. Jangan sampai kita ketinggal?
an." 94 Isi-Ayahku.indd 94 3/23/11 2:28:29 PM 11 Piala Renang Estafet H ari penting tiba. Bukan, bukan hari kedatangan sang
Kapten. Kolam renang klub kami rasa-rasanya tidak ada apa-apanya
dibanding kolam renang ini. Ada dua belas lintasan (bandingkan
dengan hanya delapan), ada dua ribu kursi di tribun (bandingkan
dengan dua ratus), belum lagi fasilitas kamar ganti, ruang
tunggu, ruang pelatih, kafeteria, dan sebagainya.
Penonton memenuhi seluruh kursi, membawa terompet besarbesar, gaduh mendukung tim masing-masing. Aku tidak tahu di
mana Ayah berada, mendongak, mencari ke seluruh tribun.
Pemimpin pertandingan menekan tombol klakson, memberitahu?
kan nomor berikutnya siap bertanding, nomor estafet 4 x 100
meter gaya bebas. Layar digital stopwatch raksasa tergantung di
atas tribun penonton. Pengawas dan petugas pertandingan hilirmudik me?mastikan semua berjalan baik.
"Konsentrasi, Dam." Pelatih menepuk pipiku.
Aku menelan ludah, buru-buru mengangguk.
95 Isi-Ayahku.indd 95 3/23/11 2:28:30 PM "Di kolam ini, dengan tatapan ribuan penonton, hanya ada
dua kemungkinan. Pertama, air kolam membuat kalian berenang
lebih lamban karena gentar, kehilangan fokus, ragu-ragu, dan
takut sebelum bertanding. Kedua, air kolam membuat kalian
berenang lebih cepat karena keberanian, semangat, optimisme,
konsentrasi, dan bangga atas sejarah klub kita. Yang pertama
adalah si pengecut, yang kedua adalah perenang terbaik klub.
Kalian pilih mana?" Tajam mata pelatih menyapu wajah kami.
"Yang kedua, Pak Pelatih!" kami berseru.
"Kalian pilih yang mana?"
"Yang kedua, Pak Pelatih!" kami berempat berteriak.
"Bagus. Hajar lawan-lawan kalian. Berenanglah seolah itu
kesempatan terakhir kalinya kalian renang. Berenanglah seperti
besok semua air di planet Bumi menguap." Pelatih mengepalkan
tangan. Dua langkah dari kami, sebelas tim lain juga selesai melaku?
kan briefing sebelum bertanding. Teriakan mereka tidak kalah
kencang, saling menyemangati. Terompet kembali ditiup, mem?
buat riuh langit-langit kolam. Jarjit melangkah menuju lintasan


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

enam. Aku dan dua senior klub berdiri di belakang Jarjit.
Ini babak penyisihan nomor legendaris klub. Kami me?
nanggung beban sejarah. Bukan hanya kecepatan individual,
tetapi kerja sama dan kerja keras empat perenang menjadi kunci
kemenangan. Aku memperbaiki penutup rambut di kepala,
memastikan tidak ada helai rambut keriting mengintip.
"Hidup Jarjit! Hidup Dam!"
Aku mengangkat kepala ke arah teriakan yang terdengar
sayup-sayup di antara keriuhan terompet pendukung tim lain.
Teman-teman sekolahku ada di sana. Aku menyeringai lebar,
96 Isi-Ayahku.indd 96 3/23/11 2:28:31 PM mengangkat tangan. Mereka melambaikan batangan pompom,
berteriak lebih kencang"Johan menjadi konduktor, tangannya
terangkat memberi komando semangat. Ayah ada di sana, duduk
bersebelahan dengan papa Jarjit dan kepala sekolah. Tidak ada
Ibu, karena Ibu masih terbaring sakit.
Suara tembakan tanda start berbunyi, tubuh Jarjit dengan
cepat meluncur ke dalam air. Aku kembali menatap lintasan
kolam, berkonsentrasi penuh menunggu giliran.
*** "Kau ingin hadiah apa jika menang?" Ayah bertanya. Angkutan
umum yang kami tumpangi isinya hanya dua, aku dan Ayah.
Sopirnya sejak tadi sibuk berhenti mencari penumpang, lebih
banyak berhenti dibandingkan jalan. Kota mulai senja, sepulang
dari hari pertama lomba renang.
Aku menggeleng, tidak ingin hadiah apa-apa. Tepatnya sejak
kecil aku terbiasa dibesarkan tanpa hadiah, kejutan, dan sejenis?
nya. Bagiku hadiah hanya berbentuk cerita-cerita Ayah, masakan
spesial Ibu, dan jenis hadiah yang tidak lazim kalian bayang?
kan. "Kau sungguh tidak mau hadiah?" Ayah menggoda.
Aku terdiam sebentar. "Aku ingin Ibu lekas sembuh."
Ayah tersenyum, menepuk lututku. "Itu bukan hadiah, Dam.
Itu keniscayaan." Aku mengangguk. Ayah selalu cerita tentang optimisme.
Berbeda dengan pelatih renang kami. Tadi pelatih marahmarah, bilang Jarjit seperti perenang amatiran, baru belajar ke?
marin sore, terlambat melakukan start. Pelatih juga bilang aku
97 Isi-Ayahku.indd 97 3/23/11 2:28:32 PM seperti penyu, bukan hiu, merangkak, bukan melesat menyelesai?
kan bagian terakhir. Kami finis nomor dua. Sebenarnya itu lebih
dari cukup. Tiga tim terbaik lolos ke final besok. Tetapi bagi
pelatih, tidak ada kata cukup"padahal klub kami masuk final
di semua nomor. "Ayah janji?" Aku terpikirkan sesuatu setelah lengang sejenak,
hanya suara klakson mobil di jalanan padat kota.
"Janji apa?" Ayah bertanya balik.
"Hadiah tadi. Ayah janji akan memenuhinya, kan?"
Ayah tertawa, mengangguk.
"Sungguh" Apa saja yang aku minta?"
Ayah tetap mengangguk. "Sepanjang kau tidak meminta yang
berlebihan." Aku diam sebentar, ragu-ragu.
"Ayolah, sebutkan saja, Dam. Kau tahu, piala renang itu setara
dengan sebuah hadiah yang istimewa." Ayah membentangkan
tangannya, wajahnya riang.
"Aku ingin hadiah, eh, minggu depan pas tur sepak bola itu,
aku ingin bersalaman dengan sang Kapten, berfoto bersamanya.
Aku ingin hadiah itu."
Wajah cerah Ayah langsung padam.
*** Di rumah, sepanjang sisa hari aku membujuk Ayah.
"Itu tidak mudah, Dam. Ada ratusan bahkan ribuan orang
yang ingin menyapanya. Kita tidak akan memiliki kesempatan,"
Ayah menyebutkan alasan pertama.
"Kita punya tiket VIP, Yah. Kita berhak berada lebih dekat
98 Isi-Ayahku.indd 98 3/23/11 2:28:33 PM dengan sang Kapten," aku bergegas membantah. Sang Kapten di
ruang ganti, sang Kapten masuk lapangan, duduk di bangku
lapangan, posisi kami akan lebih dekat dibanding puluhan ribu
penonton lain. Hanya perlu sedikit keberuntungan, dan ke?
sempat?an itu pasti terbuka.
"Tetap saja tidak mudah. Semua orang akan berebut, ber?
desak-desakan. Kau akan terjepit di antara banyak orang." Into?
nasi suara Ayah meninggi.
"Tetapi Ayah kan sahabat sang Kapten, kita bisa berteriak
me??manggilnya." "Dia boleh jadi tidak mengenali Ayah lagi, Dam." Ayah ter?
sedak, menatapku tajam. "Tapi, Yah." "Itu dua puluh tahun silam, saat umurnya enam tahun."
"Tapi Ayah masih sering berkirim surat, kan" Dia pasti tetap
ingat." Ayah diam, mengusap dahi.
"Ayolah, Yah. Aku tidak meminta sesuatu yang berlebihan,
kan?" Aku menyentuh lengan Ayah.
"Kau berarti tidak mendengarkan Ayah. Kami sudah dua
puluh tahun tidak bertemu, Dam. Dia pasti sudah lupa, dan kau
menyuruh Ayah sibuk mengingatkannya" Di tengah puluhan
orang yang berebut, berdesakan, itu bisa jadi memalukan." Ayah
melambaikan tangan, tidak ada lagi tapi, tapi, dan tapi berikut?
nya. Pembicaraan ditutup.
"Tapi Ayah sudah janji." Aku tertunduk, berkata lirih, lantas
balik kanan, berlari masuk kamar. Kali ini aku tidak akan
membuat rumit, tidak mengotot, tidak membantah. Aku hanya
sekadar menjelaskan argumenku, sang Kapten pasti senang
99 Isi-Ayahku.indd 99 3/23/11 2:28:34 PM bertemu Ayah. Di atas segalanya, aku tidak akan membuat Ayah
repot dan susah oleh kelakuanku seperti masalah mengirim surat
dulu. Gerimis membungkus kota. Kaca jendela kamar berembun.
Aku beranjak menarik selimut, tidur lebih cepat. Besok aku
membutuhkan seluruh energi untuk menang.
"Kau sudah berjanji." Batuk Ibu terdengar sayup-sayup.
"Bukan hadiah seperti itu yang kujanjikan. Sepeda baru,
pakaian renang terbaik, atau jalan-jalan ke pusat hiburan, itu
yang bisa kujanjikan."
"Tetapi, bukankah kau sendiri yang men?didiknya agar tidak
menyukai hadiah dan kesenangan seperti itu. Tentu saja Dam
tidak akan meminta itu. Apa susahnya meminta sang Kapten
berfoto bersama anak kita" Itu akan membuat Dam senang."
"Dam akan segera melupakan permintaanya." Ayah menutup
pembicaraan. Gerimis menderas, aku jatuh terlelap.
*** Ini final. Meski klub sudah mendapatkan empat emas dan me?
mimpin klasemen sementara kejuaraan nasional, wajah pelatih
tetap terlihat tegang. Pemimpin pertandingan menekan klakson
tanda persiapan nomor berikutnya: final renang estafet gaya
bebas 4 x 100 meter. "Kalau kau terlambat start lagi, kuikat kaki kau di pinggir
kolam sehari-semalam," pelatih mengancam Jarjit. "Dan kau,
Dam, kalau kau tetap saja lamban seperti kura-kura, akan
kupotong sendiri rambut keriting kau itu, dan sekali kupotong,
100 Isi-Ayahku.indd 100 3/23/11 2:28:36 PM rambut itu tidak akan pernah tumbuh keriting lagi."
"Wah, enak di Dam, Pak Pelatih." Salah satu senior yang
masih tersengal, baru saja mendapatkan medali emas nomor 100
meter gaya kupu-kupu, menepuk jidatnya. "Rambutnya jadi lurus
tanpa perlu ke salon lagi."
Kami hendak tertawa, tetapi tatapan galak pelatih membuat
bungkam. Tim finalis nomor estafet di sekitar kami berseru
kencang menyelesaikan briefing. Suara terompet susul-menyusul
memekakkan telinga. Pelatih mengepalkan tangan. "Dua puluh
tahun aku melatih klub hanya ada dua jenis perenang. Yang
pertama si pecundang, yang bahkan gemetar sebelum bertanding.
Yang kedua adalah perenang sejati, yang tetap loncat ke dalam
kolam meski seekor buaya berkeliaran. Kalian pilih yang mana,
hah?" "Perenang sejati, Pak Pelatih."
"Kalian pilih yang mana?" pelatih membentak.
"Perenang sejati, Pak Pelatih!" kami berteriak kencang.
Pelatih menjulurkan tangan. Aku, Jarjit, dan dua senior ikut
menjulurkan tangan, lantas berseru mantap, penuh keyakinan.
Pemimpin pertandingan menekan klakson lagi, tanda agar tim
finalis nomor estafet segera bersiap-siap di jalur yang telah di?
tentukan. Jarjit bersiap di posisi start jalur lima. Aku mendongak, me?
natap keriuhan tribun. Teman-teman sekolah yang menonton
tambah banyak, juga orangtua mereka. Aku melihat Ayah duduk
di sebelah papa-ibu Jarjit, kepala sekolah, orangtua anggota klub,
dan beberapa donatur klub. Johan sekarang memegang tongkat
marching band, memimpin yel-yel.
Aku memperbaiki tutup kepala. Sungguh, aku tidak suka
101 Isi-Ayahku.indd 101 3/23/11 2:28:37 PM dengan hadiah-hadiah itu. Aku hanya ingin hadiah Ibu lekas
sembuh. Jadi, jika Ibu tidak bisa menontonku memenangkan
piala ini, setidaknya dengan kondisi sehat Ibu bisa melihat
langsung sang Kapten bersama kami minggu depan. Itu hadiah
terindah. Dan aku juga tidak ingin lagi menyapa sang Kapten.
Ayah benar, boleh jadi sang Kapten sudah lupa. Dulu ia hanya
anak kecil pengantar sup jamur dari keluarga imigran miskin.
Sekarang, seluruh dunia mengenalnya. Apa yang akan dikatakan
sang Kapten saat Ayah sibuk mengingatkan masa lalu itu"
Jangan-jangan hanya menggeleng lupa. Itu bisa membuat malu
Ayah di depan orang banyak.
Suara tembakan tanda start terdengar. Bagai elang, Jarjit me?
loncat ke dalam birunya kolam. Aku mengatupkan rahang. Siapa
bilang Jarjit start terlambat. Ia perenang dengan start terbaik di
kejuaraan ini, dan aku jelas bukan penyu. Aku salah satu hiu
terganas klub yang pernah ada.
102 Isi-Ayahku.indd 102 3/23/11 2:28:38 PM 12 Tur Sepak Bola W aktu berjalan cepat, seminggu kemudian.
Ayah, Ibu, dan aku mengenakan kostum merah. Kaus bola
dengan lambang dua singa berdiri. Angka tujuh tertera di
punggung, lengkap dengan nama sang Kapten. Aku membawa
syal kebanggaanku, tidak sabaran menunggu Ibu keluar dari
kamar. Astaga, alangkah lamanya Ibu bersiap-siap. Bukankah
Ibu selama ini tidak pernah berdandan"
"Buruan, Bu. Sudah jam satu, nanti kita terlambat." Aku
mengetuk pintu. Ibu menyahut sebentar lagi, Ayah yang menunggu di ruang
tamu tertawa. "Pertandingannya masih empat jam lagi, Dam.
Kita tidak akan terlambat."
Setiap lima menit aku mengetuk pintu kamar Ibu. Berkalikali melirik jam di dinding.
Ibu akhirnya keluar, merapikan kain tutup kepala.
Menumpang angkutan umum, butuh satu jam dari rumah ke
stadion, dan saat tiba di garis terluar, lautan manusia sudah
memenuhi stadion. Kesenangan melingkupi langit-langit kota.
103 Isi-Ayahku.indd 103 3/23/11 2:28:39 PM Berita kedatangan tim besar dari daratan Eropa itu sudah ada
di headline koran pagi. Wartawan televisi berebut merekam
pemain yang turun dari pesawat bermandikan cat merah dan
logo dua singa. Aku menonton, menonton lagi, dan menonton
lagi gambar sang Kapten yang tersenyum lebar di anak tangga
pesawat, melambaikan tangan, lantas sigap turun. Juga wawan?
cara dengannya, juga snapshot gol-gol hebatnya selama ini, juga
liputan perjalanan kariernya"sebenarnya aku tidak berpisah
dari remote televisi dua hari terakhir.
Kota kami dipenuhi pendatang. Penggemar dari kota tetangga
bahkan pulau seberang berdatangan. Halaman luar stadion ber?
ubah menjadi pasar malam"padahal matahari masih terik me?
nyengat, jauh dari malam. Kios dadakan yang menjual kaus sang
Kapten, pernak-pernik tim, hingga puluhan ragam suvenir ber?
serakan. Langsung menuju gerbang sembilan, sesuai yang tertulis di
tiket, kami berusaha menyibak kerumunan. Sesekali Ibu me?
minta berhenti, napasnya tersengal. Aku menatapnya sambil
me?nelan ludah, cemas. "Ibu mau minum?"
Ibu menggeleng, ter?senyum. "Ibu baik-baik saja, Dam. Hanya
lelah." Ayah tertawa menenangkanku. "Bahkan yang sehat saja bisa
lelah melihat ribuan penggemar bola ini."
Petugas menyobek tiket, mengenali dan menyapa Ayah. Aku
sudah berlari-lari kecil mencari tempat duduk, tidak berminat
menggoda Ayah. Jangan-jangan petugas yang membersihkan
stadion juga kenal Ayah. Aku segera sibuk berhitung dengan po?
sisi duduk kami. Tidak banyak kursi yang tersisa, stadion sudah
terisi separuh dan gelombang penonton terus berdatangan.
104 Isi-Ayahku.indd 104 3/23/11 2:28:39 PM "Kau tidak ke toilet dulu, Dam?" Ayah mengingatkan.
Aku menggeleng. Aku tahu akan repot sekali ke toilet kalau
pertandingan sudah mulai; jaraknya hampir lima puluh meter.
Aku masih sibuk mencari lokasi duduk yang tepat. Dan ini bisa
jadi pilihan terbaik. Aku tersenyum penuh perhitungan, akhirnya
menemukan tiga kursi kosong yang tepat, persis di sebelah
lorong keluar-masuk pemain, baris kesepuluh.
Senja mulai membungkus kota. Cuaca cerah, hanya me?
nyisakan awan jingga. Lampu stadion menyala terang. Beberapa
petinggi memberikan sambutan. Salah satu penyanyi paling ter?


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kenal pada masa itu membawakan dua lagu penuh semangat.
Ibu mengeluarkan kotak makanan kecil. Aku hanya melirik
sekilas, kehilangan selera.
Persis pukul lima sore, tibalah pertandingan besar itu. Dengan
speaker lantang, pemimpin pertandingan memanggil tim nasional
kami keluar dari ruang ganti. Gemuruh tepuk tangan me?
nyambut. Dan yang ditunggu-tunggu. "Inilah dia pemain ter?
hebat dunia! Pujaan hati seluruh penggemarnya! Inilah dia
pen?cetak gol terbanyak! Inilah dia"." Aku sudah loncat berdiri,
ikut berteriak bersama puluhan ribu penonton di stadion, "EL
CAPITANO! EL PRINCE!"
Aku tidak menyangka akan ada ritual ini. Bukankah kalimat
ini hanya ada di stadion klub sang Kapten" Sepertinya panitia
per?tandingan hendak membuktikan bisa menjadi tuan rumah
yang baik, membuat sang Kapten merasa bertanding di kotanya
sendiri. Astaga, astaga, jarakku hanya tiga meter darinya! Sang Kapten
berlari-lari kecil memimpin timnya keluar dari lorong ruang
ganti, menyibakkan rambut keritingnya yang mengenai ujung
105 Isi-Ayahku.indd 105 3/23/11 2:28:41 PM mata. Aku berseru-seru menyikut lengan Ayah, mengelu-elukan
nama sang Kapten bersama ribuan penggemar. Ayah benar, dari
jarak sedekat ini aku tahu sang Kapten tidak tinggi juga tidak
pendek. Ban kapten melingkar di lengan kanan. Wajah itu
terlihat garang, tegas, penuh disiplin"meski tidak bisa me?
nyembunyikan sorot mata bersahabat.
Wasit meniup peluit, dan pertandingan pun dimulai.
Waktu 2 x 45 menit berjalan tidak terasa. Jeda istirahat 15
menit digunakan seluruh stadion untuk membuat mexican wave,
gerakan bergelombang. Aku tertawa bersama antusiasme pe?
nonton lain. Tidak terhitung berapa kali aku bersama penonton
terpesona dengan trik memikat sang Kapten. Dengan kedatangan
sang Kapten, klub mereka berubah dari tim tanpa komandan,
individual, menjadi kompak, bersemangat, dan penuh motivasi.
Tim nasional kami walau tertekan sepanjang sembilan puluh
menit, juga tidak kalah tangguh memberikan perlawanan. Peluit
panjang dibunyikan, skor akhir 4-1 untuk juara Liga Champions
Eropa, sang Kapten mencetak dua gol.
Pertandingan usai, tukar kaus antartim selesai.
Pemain kembali ke ruang ganti. Jantungku berdetak lebih
kencang. Lihatlah, sang Kapten ringan tangan menyalami pe?
nonton yang dilewatinya. Jarjit dan papanya, di baris terdepan
bahkan sempat berbincang, memperlihatkan bola yang dulu
pernah ditandatanganinya. Penonton lain berebut mendekat.
Sang Kapten terus bergerak ke baris berikutnya. Aku sudah
berdiri sekarang, berpikir cepat. Aku akan meminta sang Kapten
menandatangani apa" Kaus" Syal"
Sang Kapten sudah di baris kelima, berselang lima kursi lagi.
"Kita pulang, Dam." Ayah menyentuh tanganku.
106 Isi-Ayahku.indd 106 3/23/11 2:28:42 PM "Pulang?" Aku yang sudah hendak merangsek ke depan tidak
sabaran menoleh pada Ayah, tidak mengerti.
"Kita pulang sekarang." Ayah sudah berdiri. "Ibu kau amat
lelah." "Sebentar lagi, Yah. Aduh," aku mengeluh. Penonton di be?
lakang kami sudah merangsek, membuat pinggir kursi jadi sesak,
aku terdesak. Ayah sudah menarik tanganku.
Aku berusaha mengibaskan tangan Ayah. Ini kesempatan
besar, bagaimana mungkin aku akan pulang begitu saja. Sang
Kapten tinggal dua langkah dari kami. Harusnya kalau sang
Kapten mendongak sebentar, ia bisa melihatku (dan tentu saja
melihat Ayah). Harusnya kalau sang Kapten masih ingat, ia
dengan cepat mengenali Ayah, sahabat baiknya.
Tetapi Ayah sudah menyeretku. Diikuti langkah patah-patah
Ibu, Ayah berusaha menyibak kerumunan. Aku berteriak,
berontak, tidak mau. Ibu terdengar batuk-batuk, peluh membuat
make-up Ibu luntur. Aku yang masih mengamuk meliriknya
sekilas, me?nelan ludah. Itulah kenapa Ibu tadi siang berdandan
lama sekali. Ia berusaha menyembunyikan wajah pucat pasinya.
Rasa sebal, gemas, dan marahku karena dipaksa pulang be?r?
guguran. Aku ber?gegas loncat memegang tangan Ibu, mem?bantu?
nya menerobos kerumunan. *** Hujan mulai reda, ruang keluarga kami.
"Kenapa Kakek memaksa Papa pulang?" Zas menghentikan
gerakan tangan memijatnya.
107 Isi-Ayahku.indd 107 3/23/11 2:28:43 PM Ayah terdiam sejenak sebelum menjawab, "Karena kondisi
Nenek memburuk." "Tetapi apa susahnya menunggu setengah menit, Kek" Bukan?
kah sang Kapten hampir melewati bangku Papa" Bukankah
Nenek hanya merasa lelah" Bukankah Papa juga memenangkan
piala renangnya?" Qon yang baru berusia tujuh tahun saja
bahkan tidak bisa menerima logika Ayah.
Ayah terdiam lagi, tidak punya jawaban.
Aku yang sudah melangkah keluar dari ruang kerjaku juga
terdiam. Itu juga pertanyaan besarku. Itulah yang membuatku
memboikot banyak hal selama sebulan setelah pertandingan.
Peristiwa itu sudah tiga puluh tahun tertinggal di belakang,
tetapi pertengkaranku dengan Ayah beberapa hari setelah
kejadian di stadion seperti masih membekas di hadapanku. Aku
tidak pernah meminta Ayah untuk menyapa sang Kapten, me?
mintanya bilang ia sahabatnya dulu. Aku bisa melakukannya
sendiri, dan itu kesempatan yang kuciptakan sendiri. Aku juga
tidak akan bilang-bilang tentang cerita Ayah. Aku hanya butuh
tiga puluh detik agar dapat bersalaman dengan idola masa
kanak-kanakku, menyodorkan amplop biru (surat sang Kapten
dulu) untuk ditandatangani, tetapi Ayah bergegas menyeretku
pulang. Aku hanya butuh tiga puluh detik untuk memenuhi
mimpi masa kanak-kanakku, tetapi Ayah membuatnya hancur
berkeping-keping begitu saja.
Kenapa Ayah seperti tidak mau bertemu dengan sang
Kapten" Malamnya saat menemani Ibu tidur di kamar, memijat lengan
Ibu, sambil terisak aku bertanya, "Apakah cerita-cerita Ayah se?
lama ini bohong, Bu?"
108 Isi-Ayahku.indd 108 3/23/11 2:28:44 PM "Kenapa kau bertanya begitu, Dam?" Ibu berkata lembut.
"Apakah Ayah takut aku tahu kalau cerita-cerita itu bo?
hong?" Ibu hanya menghela napas.
"Apakah Ayah bohong, Bu?"
Ibu menatapku lamat-lamat, lantas mengelus rambutku. "Kau
akan tahu suatu saat kelak, Dam. Kau sungguh akan tahu."
Bahkan Ibu tidak bisa memberikan jawaban pastinya. Hujan
membungkus kota"sama seperti malam ini, saat dua anakku
sedang asyik mendengarkan cerita dari Ayah. Aku ikut menghela
napas pelan, dari bawah bingkai pintu ruang keluarga, menatap
dua anakku yang sedang bercengkerama dengan Ayah.
"Zas, Qon, sudah tiga puluh menit." Aku berdeham, me?
nunjuk jam dinding. "Yaaa"." Sulungku mengangkat bahu.
"Tiga puluh menit lagi, Pa." Bungsuku berusaha membujuk.
Aku menggeleng. Aku tidak akan seperti Ayah dulu, yang
suka bercerita, "Kau tahu, Dam, Laksamana Andalas terkenal di
se?luruh dunia, dihormati anak buah, teman-temannya, disegani
musuh-musuhnya karena disiplin dan selalu tepat waktu." Aku
tidak pernah mendidik anak-anakku untuk berdisiplin dengan
cara itu, bercerita. Aku menggeleng tegas, menatap tajam. "Kita sudah ber?
sepakat. Setengah jam sudah lewat, saatnya tidur. Kalian tidak
akan melanggar kesepakatan kita, bukan" Atau tidak akan ada
lagi orang yang menghormati janji kalian."
Zas dan Qon turun dari sofa. Meski wajah mereka sebal,
keberatan, merajuk, tetapi mereka tahu persis konsekuensi me?
langgar janji. Aku mendidik mereka dengan pengertian sebab109
Isi-Ayahku.indd 109 3/23/11 2:28:45 PM akibat, imbalan-hukuman, simpati-empati, serta logika pen?
didikan anak-anak modern lainnya. Mereka berhak atas metode
yang lebih baik dan terukur.
"Besok disambung lagi ya, Kek." Qon menoleh, bungsuku itu
menyibakkan rambut ikalnya yang menutup mata.
Ayah mengangguk, mengedipkan mata.
"Si Nomor Sepuluh!" Qon mengacungkan gaya pemain
idolanya setiap kali berhasil membuat gol. Lesung pipinya ter?
lihat. Untuk anak perempuan, sepertinya Qon terlalu tomboi.
"Yeah." Kakek meniru gayanya, terkekeh.
"Selamat tidur, Kakek." Zas dan Qon mencium tangan kakek?
nya, mencium tanganku, mencium tangan mamanya, lantas ber?
larian ke anak tangga, menuju kamar mereka di lantai dua.
"Selamat tidur, Yah." Aku mengangguk kepada Ayah, dengan
intonasi terkendali sedikit dibumbui ekspresi kemenangan. Akhir?
nya aku bisa membebaskan anak-anakku dari cerita Ayah.
"Selamat tidur, Dam." Ayah tersenyum, sekilas membuat wa?
jah beruban itu seperti lebih muda sepuluh tahun, me?
ngembalikan kenangan masa lalu.
Aku menepisnya. Gerimis di luar menderas. Ini malam per?
tama Ayah tinggal bersama kami setelah bertahun-tahun hidup
sendiri. Istriku menatapku dari balik buku tebal. Aku tahu
maksud tatapan itu. Kami sudah sering membahasnya sebelum
mengajak Ayah tinggal bersama kami. Aku beranjak kembali ke
ruang kerja, menyelesaikan desain gedung empat puluh tingkat
yang terus tertunda dua bulan terakhir.
Apa yang tadi Ayah bilang" Dia juga mengenal si Nomor
Sepuluh" Astaga, cepat atau lambat, itu akan jadi masalah besar,
karena Zas dan Qon jauh lebih penuntut. Entah cerita apa lagi
110 Isi-Ayahku.indd 110 3/23/11 2:28:46 PM yang akan dikeluarkan Ayah untuk melupakan rasa ingin tahu
tentang si Nomor Sepuluh. Setidaknya, sejak pertandingan per?
sahabatan itu, cerita tentang sang Kapten ditutup dari pem?
bicaraan kami. "Dam akan melupakannya," Ayah berkata santai saat Ibu
meng?ingatkannya tentang banyak hal beberapa hari kemudian.
Ayah lupa, bahkan gajah bisa mengingat banyak hal. Apalagi
anak-anak yang sedang tumbuh belajar.
111 Isi-Ayahku.indd 111 3/23/11 2:28:47 PM 13 Akademi Gajah T iga tahun melesat cepat, usiaku sekarang lima belas.
Berikut kejadian penting tiga tahun terakhir. Kami lulus SMP.
Taani lulus dengan nilai terbaik, tapi aku tidak mengucapkan
selamat padanya. Aku bahkan tidak pernah menyapanya lagi
hingga lulus. Apalagi ingin tahu ia melanjutkan sekolah di mana.
Jarjit sekolah di luar negeri, katanya satu sekolah dengan pa?
ngeran pewaris takhta Kerajaan Inggris, sementara Johan teman
semejaku dan kebanyakan teman sekelas melanjutkan sekolah di
kota kami. Aku" Ayah mengirimku ke sekolah berasrama antah berantah
di luar kota. Nama sekolah itu tidak pernah kudengar, dan se?
mua orang yang kutanya juga menggeleng tidak tahu.
"Kau akan belajar banyak hal di sana."
Aku mengangguk. Hanya satu keberatanku, "Siapa yang akan
membantu Ayah mengurus Ibu?"
"Ibu sudah jauh lebih sehat." Itu jawaban Ayah, singkat.
Sejak jatuh pingsan saat pulang dari pertandingan, kondisi
112 Isi-Ayahku.indd 112 3/23/11 2:28:47 PM Ibu sebenarnya tidak berubah. Terlihat sehat dua-tiga bulan,
jatuh sakit lagi tanpa penyebab beberapa hari. Aku mengangguk.
Ayah selalu dipenuhi dengan kalimat positif dan optimisme, Ibu
sudah jauh lebih sehat. Tiga tahun terakhir, sang Kapten membawa negaranya men?
juarai Piala Dunia"aku menonton siaran langsungnya di televisi
asrama, yang seharga hukuman bekerja di dapur sekolah sebulan
penuh. Di asramaku, tidur larut dan membuat kegaduhan adalah
hal terlarang, dan aku sekaligus melanggar kedua-keduanya, di?
tambah konsipirasi mengajak teman-teman serta menyelundup?
kan televisi ke dalam kamar, lengkap sudah kesalahanku. Kejahat?
an kelas pertama. Beruntung kepala asrama tidak menyuruhku
memasukkan pakaian ke dalam koper, diusir pulang.
Tiga tahun terakhir, pelan tapi pasti sang Kapten semakin
uzur. Usianya sudah tiga puluh lebih. Kondisi fisiknya tidak
segagah dulu. Ia mulai cedera, mulai sering duduk di bangku
cadangan, digantikan pemain yang lebih muda dan penuh se?
mangat (serta mengidolakannya). Yang tersisa dari sang Kapten
tinggal kenangan indah permainannya.
Aku sebenarnya senang dihukum membantu dapur asrama.
Bagaimana itu akan disebut hukuman, kalau setiap saat aku
punya akses untuk mendapatkan makanan. Kue-kue lezat yang
dibuat koki dapur, sup hangat beragam jenis, dan beraneka
masakan menarik dari resep berbagai penjuru dunia. Hanya tiga
hari aku keberatan atas keputusan Ayah menyuruhku sekolah di
tempat terpencil, jauh dari keramaian, tidak menjanjikan, tanpa
teman, dan boleh jadi asramanya dipenuhi hantu (itu kata Johan
lewat telepon). Hari keempat aku sudah lupa sekolahku yang lama. Lihatlah,
113 Isi-Ayahku.indd 113 3/23/11 2:28:48 PM sekolah berasrama ini jauh dari bayangan buruk selama ini.
Guru-gurunya memang tua dan konservatif, tetapi mereka
pengajar yang hebat dan tidak pernah kehabisan trik mengajar.
Kepala sekolahnya kurus tinggi, tidak berwajah menyenangkan
seperti kepala sekolah SD-ku dulu, terkesan galak dengan kumis


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tebal, rambut pendek berdiri, tapi ia guru yang hebat sekaligus
nyentrik. Kalian belajar tentang petir, bukan" Kepala sekolah
tidak membacakan teori apa itu petir. Ia menyuruh kami berdiri
di atas menara sekolah. Hujan badai dan semburat kilat terlihat
mengerikan. Kami sibuk menjulurkan layang-layang ke atas,
meng?ulang penelitian legendaris itu.
Makanan! Itu favorit baruku. Tidak ada jatah makanan
seperti asrama kebanyakan, tidak ada menu menyebalkan yang
itu-itu saja, tidak ada sakit perut atau kelaparan seperti yang
dikatakan Johan untuk menakut-nakutiku. Asrama ini memiliki
koki terbaik. Saat jadwal makan tiba, piring-piring terhampar di
atas meja, minuman segar di mana-mana. Aku kehabisan pikir,
bagaimana mereka menyiapkan itu semua setiap hari. Aku tahu
setelah dihukum membantu dapur.
Bangunan sekolah kami terlihat tua, itu benar. Seminggu
mengamatinya, aku lebih merasa bangunannya amat berseni dan
bersejarah. Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk me?
ngelilingi setiap sudut sekolah, menggambar sketsa bangunan,
berdecak kagum melihat semua detail. Tidak ada hantu-hantu
itu. Kami memang sering berkumpul di salah satu kamar, lantas
sibuk bercerita seram, kemudian takut untuk kembali ke kamar
masing-masing, tapi tidak ada hantu-hantu itu. Aku tidak per?
nah melihatnya. Maka tiga tahun melesat cepat. Aku kehilangan klub renang?
114 Isi-Ayahku.indd 114 3/23/11 2:28:50 PM ku"kudengar salah satu senior kami lolos ke final Olimpiade,
meski gagal mendapatkan medali. Aku juga kehilangan malammalam bersama Ibu, memijat lengannya. Aku kehilangan kesibuk?
an menjadi loper koran, mengerjakan tugas-tugas rumah. Aku
ke?hilangan teman-teman lamaku, kenalanku di jalanan kota,
sepeda bututku, poster-poster sang Kapten di kamar, angkutan
umum, dan di atas segalanya, aku kehilangan cerita-cerita Ayah
yang menyenangkan. Cerita-cerita Ayah yang bisa memunculkan
rasa tenteram, mengusir rasa sedih.
Aku kehilangan banyak hal, tetapi di sekolah baru aku me?
nemukan banyak penggantinya. Teman-teman baru, pengalaman
baru, kamar baru, dan aktivitas baru yang membuat hari-hari
berjalan tanpa terasa di Akademi Gajah. Yah, itulah nama se?
kolah antah berantahku. *** Libur panjang tiba. Tahun pertama di Akademi Gajah ter?
lewati. Suara desis kereta memenuhi langit-langit peron. Aku me?
masang ransel di pundak, menggeleng saat portir menawarkan
bantuan, menyeret sendiri koper besarku. Libur sekolah, stasiun
kota kami ramai. Aku susah payah mendorong jatuh koper ke
peron, menyenangkan melemaskan tangan dan tubuh setelah
perjalanan delapan jam. Senja datang, langit terlihat kemerahmerahan.
"Mau pulang bersama kami, Dam" Ada mobil jemputan, nanti
kau kami antar ke rumah," seorang ibu yang repot menggendong
bayi kembarnya menyapaku. Dua anak lainnya yang masih lima115
Isi-Ayahku.indd 115 3/23/11 2:28:51 PM tujuh tahun asyik berlarian di sekitar peron. Di gerbong kereta
tadi, aku duduk dekat keluarga mereka. Sepanjang perjalanan si
kembar yang baru dua tahun sering mengamuk, belum lagi
kakak-kakak si kembar. Aku membantu mengajaknya bermain,
mem?bantu memegangkan dot, popok, apa saja yang bisa di?
bantu. Aku menggeleng. Ayah dan Ibu akan menjemputku.
"Ayolah, Dam. Kau bawa koper besar, lebih mudah kalau me?
numpang kami." Bapak si kembar menepuk bahuku.
Aku sempat ragu-ragu. Benar juga, tetapi Ayah dan Ibu ter?
lihat di ujung peron, bersama keramaian penjemput. Ibu berlarilari kecil mendekat, dan sebelum aku sempat mencium tangan?
nya, Ibu sudah memelukku erat. Menciumi pipi, dahi, rambut,
seperti sudah bertahun-tahun tidak pernah melihatku. Matanya
basah, wajahnya cerah oleh rasa senang. Aku malu dipeluk-peluk
di tengah keramaian, berusaha melepaskan tangan Ibu.
"Kau bertambah tinggi, Dam." Ibu terpesona menatapku dari
ujung rambut ikal hingga sepatu kets.
"Itu berarti dia cukup makan setahun terakhir, tidak seperti
yang kaucemaskan. Kau tahu, Dam, setiap hari ibu kau bertanya
apakah kau di asrama sudah makan atau belum." Ayah tertawa,
menggoda Ibu. Ibu melotot pada Ayah, menyeka matanya. Aku bergegas me?
narik koper. Belasan portir yang membawa tumpukan kardus
melintas. "Ini putra kalian?" ibu yang menggendong si kembar ber?
tanya. Ayah mengangguk, tersenyum ramah. "Benar. Apa putra kami
sudah merepotkan?" 116 Isi-Ayahku.indd 116 3/23/11 2:28:52 PM Ibu yang menggendong si kembar tersenyum, menggeleng.
"Aku berharap empat anak-anakku akan besar seperti dia. Anak
yang baik hati." Bapak si kembar ikut tersenyum, menjulurkan tangan. "Se?
nang berkenalan dengan kalian."
*** Sudah lama aku tidak makan malam bersama Ibu dan Ayah.
Malamnya Ibu sengaja menyiapkan menu spesial. Kami mem?
bawa meja dan kursi ke halaman rumah, makan malam ber?
atapkan bintang gemintang.
"Bagaimana tahun pertama kau, Dam?" Ayah bertanya.
"Baik, Yah." Ayah menatapku heran. "Hanya baik" Bukan luar biasa, atau
hebat, atau keren" Sejak kapan sekolah di Akademi Gajah hanya
biasa?" Ayah meng?angkat bahu.
Aku menyeringai. "Sebenarnya amat sangat luar biasa, Yah."
Ayah tertawa, memukul mangkuk sup dengan sendok. Aku
ikut tertawa, ikut memukul mangkuk sup.
Ayah tidak bertanya banyak lagi setelah itu. Jawabanku seperti
sudah menjelaskan semua. Ibu yang banyak bertanya sambil
menuangkan jus buah, dan aku dengan senang hati menceritakan
semua. Kami bangun pukul empat pagi, memulai aktivitas
dengan berdoa. Satu jam kemudian, guru olahraga sudah
menunggu, menyuruh kami berlari mengelilingi lapangan
sekolah. Jangan pernah terlambat, atau lari pagi menjadi dua kali
lipat. Ada ba?nyak cabang olahraga yang tersedia setelah lari
pemanasan, aku memilih memanah.
117 Isi-Ayahku.indd 117 3/23/11 2:28:53 PM "Kau memanah, Dam?" Mata Ibu membulat, meletakkan
serbet. Aku mengangguk. "Kami dipinjamkan busur, Bu. Peralatannya
lengkap dan hebat." Aku tidak cerita ke Ibu bahwa setahun ter?
akhir skor kelas memanahku buruk. Jangankan bergabung dalam
tim berburu, mengenai lingkar merah benilai sepuluh pun aku
belum pernah. Pukul delapan kami harus sudah berada di meja makan.
Terlambat satu detik, kami hanya bisa berdiri menelan ludah,
tidak boleh bergabung. "Aku tidak pernah terlambat, Bu," aku
meyakinkan Ibu. Ayah tertawa, melambaikan tangan pada Ibu.
Pukul sembilan kelas dimulai. Akademi Gajah tidak memiliki
kelas normal seperti sekolah kebanyakan. Di sini kami bebas
me?milih masuk kelas apa saja, sepanjang syarat minimal mata
pelajaran terpenuhi. Kami diminta memilih setidaknya delapan
mata pelajaran, empat di antaranya wajib"matematika, bahasa,
sejarah, dan pengetahuan alam. Beberapa temanku yang ambisius
memasukkan dua belas kelas dalam daftar belajarnya. Aku me?
milih batas minimal, delapan. Favoritku setahun terakhir adalah
kelas pengetahuan alam yang diajar langsung kepala sekolah.
"Dia guru yang hebat, Bu." Aku tidak sabar menceritakannya.
Sekarang kami pindah di ruang keluarga, duduk di sofa panjang.
"Dia tidak pernah membawa buku ke dalam kelas, dia seperti
hafal semua pelajaran. Menjelaskannya seperti pemimpin orkes?
tra, atau seperti penari balet, atau seperti kapten sepak bola.
Dan kami bisa bertanya apa saja."
Tentu yang kuceritakan pada Ibu bagian-bagian yang seru,
bagian bahwa aku pernah dihukum duduk seharian menunggui
buah apel jatuh tidak kusebut-sebut. Itu hari buruk. Aku dan
118 Isi-Ayahku.indd 118 3/23/11 2:28:54 PM Retro (teman semeja) bergurau saat melakukan praktik gravitasi,
dan kami merusak alatnya. Kepala sekolah menghukum kami di
bangunan rumah kaca (tempat praktik pelajaran tumbuhtumbuh?an). "Kalian pikir ide gravitasi hanya gurauan di kepala
Newton" Hukuman kalian baru berakhir jika ada buah apel
yang jatuh. Dan semoga saat itu terjadi, kalian paham bahwa
ilmu pengetahu?an adalah proses kontemplasi panjang. Ketika
kepala kalian digunakan untuk merenung, berpikir terusmenerus, bukan sekadar hiasan atau lelucon. Mengerti?"
Pernahkah kalian melihat sendiri buah apel jatuh dari pohon?
nya" Itu tidak menyenangkan. Kami menunggui pohon apel di
rumah kaca hingga sekolah mulai gelap, dan tidak ada satu pun
buah?nya yang jatuh. Tidak sabar, Retro mengusulkan memetik
saja salah satu buah yang terlihat merah matang. Aku menelan
ludah. Suara lolongan binatang liar terdengar di hutan dekat
asrama. Baiklah, aku menyetujui usul Retro. Kami berlari-lari
kecil membawa buah apel itu ke ruangan kepala sekolah.
Wajah kepala sekolah menggelembung. "Dua puluh tahun
akademi ini berdiri. Dua puluh tahun menjadi kepala sekolah,
belum pernah ada murid yang berani berbohong padaku." Aku
dan Retro mengerut gentar. Esoknya kami dihukum kembali
me?nunggui pohon apel itu. Celakanya, tukang kebun asrama
sudah memetik seluruh buah yang matang, menyisakan apel
hijau yang tidak akan jatuh kecuali ada angin badai atau ke?
rumunan monyet liar. Apa kata kepala sekolah" Kontemplasi
panjang. Berhari-hari menunggui buah apel jatuh membuatku
dan Rotre punya banyak waktu berkontemplasi, dan kepala kami
hanya diisi keluhan bosan.
"Ada sepuluh bangunan besar di sana, Bu." Aku sekarang
119 Isi-Ayahku.indd 119 3/23/11 2:28:55 PM loncat ke topik lain, membiarkan Ibu mengerjap-ngerjap dan
mungkin bertanya dalam hati, "Lantas bagaimana dengan pelajar?
an pengetahuan alam tadi?"
"Aku paling suka menara sekolah. Itu tempat yang paling
indah. Kami harus menaiki lima puluh anak tangga untuk tiba
di atasnya, lantas membuka penutup langit-langit, menuju pe?
latar?an atap. Menara itu luas, Bu, seluas ruangan kelas. Dari
sana kami bisa melihat seluruh sekolah, hutan-hutan, danau,
kebun, dan perkampungan dekat sekolah."
Aku memperlihatkan buku gambar. Ada belasan buku, dan
isi seluruh halamannya adalah sketsa bangunan sekolah. Aku
menghabiskan banyak waktu senggang setahun terakhir untuk
meng?gambar seluruh bangunan sekolah. Buku pertama berisi
gambar menara sekolah yang perkasa dari berbagai sisi, dan dua
gedung asrama kembar (kalian akan susah mencari tahu beda?
nya). Buku berikutnya berisi gambar ruang makan kami dengan
lima meja panjang, dapur dengan semua peralatan masak ter?
baiknya, lobi besar tempat anak-anak menghabiskan sore, ruang
pertemuan tempat pertunjukan dan acara besar, dan ruang kelas?
ku yang dipenuhi tugas-tugas murid. Buku-buku berikutnya
berisi sketsa kegiatan kami di asrama, aktivitas teman-teman,
kelas menembak, praktik menanam kentang di rumah kaca, bah?
kan ada sketsa kamarku dengan Retro yang tidur mendengkur.
Kepala sekolah melarang kami membawa tustel dan peralatan
elektronik. Berbagai sketsa ini menjadi pengganti yang baik. Ibu
berhenti lama di setiap halaman, tersenyum, bertanya banyak
hal, tertawa, menepuk dahinya setiap kali aku menceritakan hal
menarik. Kami sudah pindah ke kamar Ibu. Aku bercerita sam?
bil memijatnya. 120 Isi-Ayahku.indd 120 3/23/11 2:28:56 PM Hanya karena waktu semakin larut yang membuat ceritaku
berhenti. Ibu perlu istirahat, besok bisa disambung lagi. Aku
menyelimuti Ibu yang jatuh tertidur, perlahan membereskan
buku gambar, mematikan lampu, lantas berjinjit keluar.
Dengan cara inilah aku menghabiskan libur selama sebulan.
Malam bercerita pada Ibu, siang harinya dengan sepeda tua, aku
ber?keliling kota, melihat kembali tempat-tempat lama, menyapa
dan bertemu banyak orang. Sekolah lamaku sudah ber?ganti cat.
Pelatih masih suka berteriak di klub renang (ada lemari baru
untuk menampung piala). Bos loper koranku se?makin sibuk,
bisnisnya membesar. Aku juga bertemu dengan Johan dan
teman-teman lama. Hanya dua orang yang hilang dari catatan.
Jarjit, dia tidak pulang, sedang sibuk berkemah bersama
pangeran Inggris di Afrika, dan Taani, aku tidak berselera ber?
temu dengannya. Aku dan Ayah merayakan ulang tahun Ibu, menghabiskan
waktu di teras rumah. Meski tanpa kado istimewa, tanpa kue
tar dan lilin, hanya kami bertiga, acara itu menyenangkan. Aku
mem?berikan gambar Ibu yang kugambar sendiri. "Kau berbakat,
Dam." Ibu berkaca-kaca menerimanya. Ayah, sambil bergaya me?
metik gitar, terdengar fals dan berantakan. Kami tertawa me?
nyuruh Ayah berhenti. Hanya seperti itulah perayaan ulang
tahun Ibu yang ke-40. Di atas segalanya, Ibu terlihat sehat. Itu
hadiah paling istimewa. 121 Isi-Ayahku.indd 121 3/23/11 2:28:57 PM 14 Perpustakaan Sekolah L ibur panjang selesai. Pagi ini Ayah dan Ibu mengantarku
ke stasiun kereta. "Jangan lupa makan, Dam," Ibu berbisik, setengah menit tidak
melepaskan pelukannya. Aku mengangguk. Yang kucemaskan justru makan berlebih?
an. "Jangan lupa berkirim surat buat Ibu."
Aku mengangguk lagi. "Jadilah anak yang baik, penurut. Kau jangan bikin masalah
di sekolah. Astaga, waktu kau SMP, lebih dari tiga kali Ibu di?
panggil sekolah karena kau berkelahi."


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tertawa. Di Akademi Gajah tidak ada anak yang berting?
kah macam Jarjit. Yang ada kenakalan dari diri kami sendiri.
Kami sedang senang-senangnya melanggar peraturan.
"Ibu juga jaga kesehatan." Aku mencium pipi Ibu, aroma
rambutnya tercium menyenangkan. "Ibu jangan terlalu lelah,
karena tidak ada aku yang suka memijat Ibu malam-malam."
Aku menatap wajah wanita tercantik di dunia.
122 Isi-Ayahku.indd 122 3/23/11 2:28:58 PM Ibu terlihat menyeka ujung matanya.
Kereta mendesis. Suara pengumuman terakhir dari speaker
pe?tugas peron membuat pengantar bergegas turun. Ayah me?
nepuk-nepuk pipiku, tertawa kecil. "Berusahalah agar kau tidak
sampai dikeluarkan tahun ini."
Aku ikut tertawa, mengangguk, lantas loncat ke pintu
gerbong, melambaikan tangan. Ibu se?senggukan dipeluk Ayah.
Satu menit berlalu, lokomotif kereta sudah melaju dengan
ke?cepatan penuh, menyongsong tahun keduaku di Akedemi
Gajah. *** "Bagaimana liburan kau?" Retro bertanya, menyiapkan anak pa?
nah. "Hebat. Aku menghabiskan libur dengan mencuci piring, me?
ngepel rumah, menyiapkan makan malam, dan memijat ibuku,"
aku menjawab enteng, ikut menyiapkan anak panah.
Kepala Retro tertoleh, dahinya terlipat.
"Yah, itulah liburanku." Aku tertawa.
Retro menyeringai lebar. Ia sekarang konsentrasi menarik tali
busur, membidik, matanya memicing sebelah, melepaskan anak
panah. Payah! Jangankan mengenai lingkaran merah bernilai
seratus, bantalan sasaran pun tidak.
"Bagaimana liburan kau?" aku balik bertanya.
"Begitulah. Seperti yang kau tahu, aku punya tujuh adik. Li?
bur?anku dihabiskan untuk mengganti popok, melerai pertengkar?
an, membuatkan susu, melerai pertengkaran, menjadi kuda-kuda?
an, melerai pertengkaran, menjadi patung-patungan, melerai
123 Isi-Ayahku.indd 123 3/23/11 2:28:59 PM pertengkaran, dan seterusnya. Dan astaga, semua adikku suka
makan. Kau tidak bisa membayangkan berapa kilogram beras
setiap kali Ibu memasak." Retro menjawab tidak kalah ringan,
mengambil anak panah berikutnya.
Aku kembali tertawa. Sekarang giliranku menarik tali busur,
menahan napas, membidik, lantas melepaskan anak panah. Sama
saja hasilnya dengan Retro, anak panahku malah menancap di
bantalan sasaran orang lain ("Woi, kau menembak yang benar?
lah!" salah satu anggota tim elite berburu itu mengomel). Retro
tertawa memegangi perut melihatku salah tingkah.
Aku menggaruk kepala. Semua teori yang diajarkan instruktur
memanah sudah kuikuti, tidak kuabaikan meski satu kata, tetapi
kenapa hasilnya berbeda jauh dengan teman-teman yang lain" Di
klub memanah ini bahkan anggota elite (disebut tim pemburu),
berjumlahkan dua belas anak, bisa memanah mengenai lingkaran
merah berkali-kali dari jarak dua kali lebih jauh. Menjadi anggota
tim pemburu adalah impian kami sejak bergabung. Mereka men?
dapatkan hak istimewa bisa keluar asrama pada hari-hari tertentu
untuk berburu di hutan. Perkampungan petani dekat sekolah
sering mengeluhkan babi liar yang menerobos ladang mereka.
Ditemani guru dan petugas asrama yang juga hobi memanah,
itulah tugas tim pemburu, berburu babi. Aku dan Retro selalu iri
mendengar cerita mereka saat makan malam, saling menyombong?
kan berapa ekor babi yang berhasil mereka panah.
"Pelajaran pertama kau pagi ini apa?" Retro mengambil anak
panah berikutnya. Aku menyebut mata pelajaran yang kupilih.
"Aku tidak suka menggambar." Retro menggeleng. "Aku me?
milih yang lain." 124 Isi-Ayahku.indd 124 3/23/11 2:29:00 PM Instruktur memanah memberikan kode di pinggir lapangan.
Latihan pagi ini selesai. Aku bergegas membereskan peralatan.
Cahaya matahari lembut menerpa lapangan rumput. Ujung pe?
pohonan masih dibungkus kabut. Ini hari pertama tahun kedua?
ku. Terlepas dari urusan masuk tim pemburu, yang naga-naga?
nya tetap menolakku mentah-mentah, aku masih punya banyak
rencana. Tahun kedua pasti tidak kalah seru.
*** Malam kesekian di asrama, kamarku dan Retro disesaki temanteman.
"Kau tidak takut ketahuan kepala sekolah?" Retro berbisik,
mengingatkan acara menonton bersama Piala Dunia tahun lalu
yang berakhir dengan hukuman.
Aku menyeringai lebar, menunjuk makanan dan minuman
lezat yang terhampar, yang sedang dikeroyok teman-teman.
Justru dengan mengaku sedang dihukum kepala sekolah, aku
tadi sore bisa leluasa keluar-masuk dapur, menyelundupkan
piring-piring dan gelas minuman ke dalam kamar.
"Sebenarnya kita merayakan apa?" Retro berbisik.
"Astaga, bukankah kau hari ini ulang tahun?" Aku menyikut
lengannya. "Bagaimana kau bisa mendapatkan semua makanan ini, Dam?"
Salah satu teman melintas di depanku, bertanya, memotong
ekspresi bingung Retro. "Gampang." Aku menyeringai lebar. "Kau tinggal melanggar
per??aturan asrama. Sebaiknya kejahatan level satu, itu lebih
baik." 125 Isi-Ayahku.indd 125 3/23/11 2:29:01 PM "Bagaimana mungkin?"
"Kau coba saja." Aku tertawa.
"Ulang tahunku masih dua minggu lagi." Retro balas menyikut
lenganku setelah teman yang bertanya pergi. "Kau jangan meng?
ada-ada." "Aku tidak mengada-ada." Aku menoleh pada Retro. "Sejak
kapan merayakan ulang tahun lebih cepat dilarang" Lagi pula
dua minggu lagi kita ujian semester. Tidak akan ada temanteman yang mau datang merayakan ulang tahunmu sementara
besoknya pusing me?lewati tes."
Retro masih menatapku tidak percaya. Aku sudah melambai?
kan tangan ke serombongan teman yang baru bergabung, me?
nyila?kan mereka mengambil tempat sembarang. Semakin lama
kamarku semakin riuh, apalagi aku mengarang sudah dapat izin
khusus untuk menggelar pesta ulang tahun Retro, tidak usah
takut, silakan ribut semau-maunya. Teman-teman menyanyikan
lagu ulang tahun kencang-kencang, bertepuk tangan, tertawa
menyiram Retro dengan air minum, saling kempar kue tar.
Maka hanya soal waktu, lampu kamar kami yang masih menyala
sen?dirian dengan cepat menarik perhatian petugas yang ber?
jaga. Pintu kamar diketuk, salah satu guru berdiri di lorong dengan
wajah masam. "Siapa pemilik kamar ini" Kepala sekolah me?
nunggu kau di ruangannya."
Aku dan Retro digiring meninggalkan kamar di bawah tatap?an
teman-teman. "Kalian bergegas kembali ke kamar masing-masing,
atau semuanya dihukum." Guru pengawas berseru kencang, mem?
buat pesta bubar dalam hitungan detik.
"Dam, kau selalu membawa masalah untukku," Retro berbisik,
126 Isi-Ayahku.indd 126 3/23/11 2:29:02 PM bersungut-sungut sepanjang jalan, melintasi lorong, naik-turun
anak tangga. "Aku melakukannya demi kau, Kawan."
"Aku tidak meminta kau merayakan ulang tahunku!" Retro
melotot. "Kepala sekolah pasti menghukum kita lebih berat di?
banding menonton sepak bola sialan tahun lalu."
"Berani-beraninya kau bilang sang Kapten sialan." Aku balas
melotot pada Retro. "Bergegas! Ini sudah malam. Seharusnya semua orang sudah
tidur, bukannya malah mengurus dua penjahat kecil seperti
kalian." Guru di belakang kami memutus pertengkaran, ikut me?
lotot. Kepala sekolah marah. Kumisnya bergerak-gerak, rambutnya
terlihat semakin berdiri. "Tahun kedua baru dimulai dua bulan
dan kalian sudah membuat masalah serius."
Aku dan Retro menunduk, seperti banyak pesakitan.
Setelah lima belas menit menceramahi kami dengan banyak
hal, kepala sekolah menjatuhkan hukuman. Menyuruh kami
kembali ke kamar. Retro bersungut-sungut sepanjang lorong,
me?nolak bicara denganku.
*** Sebenarnya itu hukuman yang kuharapkan.
Aku amat menyukai menggambar sketsa bangunan. Selain
menara sekolah, gedung perpustakaan adalah bagian paling me?
narik di Akademi Gajah. Waktu itu aku belum tahu tentang
seni arsitektur, perancangan sipil, desain interior yang kelak men?
jadi keahlianku, tetapi menatap bentuk lengkung gedung
127 Isi-Ayahku.indd 127 3/23/11 2:29:03 PM perpustakaan membuatku terpesona. Detailnya terlihat indah
dari sisi mana saja. Dengan dihukum membersihkan perpustakaan sekolah, aku
memiliki banyak waktu untuk memeriksa seluruh bagiannya,
menggambarnya. Penjaga perpustakaan sekolah kami memiliki
reputasi tidak ramah dan menyebalkan. Kalian berbisik di ruang
teritorialnya, dalam sedetik ia sudah berdiri di belakang kursi,
dengus napasnya yang terasa di ubun-ubun. Mata melototnya
mem?buat kepala panas sebelum kalian bersitatap. Petugas per?
pustaka?an tidak suka ada murid yang bermain-main di wilayah
kekuasannya. Aku sudah tiga kali diusir saat asyik menggambar
sketsa bagian dalam perpustakaan.
"Kau mengharapkan hukuman ini, bukan?" Retro melempar?
kan kain lap. "Sembarangan. Siapa pula yang mau dihukum?" Aku meng?
angkat bahu. "Kau mengharapkannya. Lihat, buktinya wajah kau tidak
terlihat seperti sedang dihukum. Kau sejak tadi terlihat senang,
dan ini, apa pula isi tas besar ini?" Retro tidak mau kalah, ber?
usaha menyambar tasku. "Sstt"." Aku menyuruh Retro diam, menunjuk ke pojok
ruang?an besar, mengingatkan bahwa petugas senior perpustakaan
masih ada di ruangannya. Kami datang ke gedung perpustakaan pukul lima, saat pintu
perpustakaan siap ditutup. Petugas dengan tampang tidak ra?mah,
lima belas menit akan menceramahi kami soal berhati-hati,
perpustakan, dan buku-buku ini adalah kekayaan tidak terkira
Akademi Gajah sehingga kami harus menghormatinya lebih dari
meng?hormati diri sendiri. Lantas dengan wajah tidak rela petugas
128 Isi-Ayahku.indd 128 3/23/11 2:29:04 PM itu menyerahkan kunci pintu, meninggalkan kami berdua di
dalam ruangan besar yang mendadak menjadi lebih lengang.
Aku berpengalaman dihukum membersihkan apa saja. Dulu
spesialisasiku malah membersihkan toilet sekolah. Mengurus
buku-buku ini mudah, yang sulit itu menghadapi Retro yang
terus-menerus seperti radio rusak mengeluh padaku.
Dua jam berlalu. Aku memasukkan kembali tumpukan buku
ke rak, menatanya sesuai instruksi petugas perpustakan. Mem?
beres?kan peralatan. Sore ini sudah selesai, besok bisa disambung.
Masa hukuman kami masih dua puluh sembilan hari lagi, lebih
dari cukup untuk membersihkan seluruh ruangan. Aku santai
me?ngeluarkan buku gambar dan pensilku, sekarang saatnya me?
nyelesaikan sketsa gedung perpustakaan, rencana besarku pada
awal tahun. "Apa kubilang?" Retro menepuk dahi. "Kau memang sengaja
ingin dihukum." "Tidak." Aku menggeleng. "Hanya kebetulan kita dihukum.
Sambil menyelam minum air."
"Dasar Keriting Pembohong, kau tidak mau mengakuinya!"
Retro berseru gemas. "Padahal aku terharu saat kau bilang acara
itu khusus untukku. Teman-teman tadi siang berbisik untuk
melakukan protes pada kepala sekolah. Kau tidak seharusnya
dihukum karena kau melakukannya demi menyenangkan teman
sekamar. Lihat! Kau ternyata sengaja memanfaatkanku!"
Aku menyeringai lebar, mulai membuat garis-garis halus.
Retro menimpukku dengan kain lap, meninggalkanku yang
asyik duduk di lantai. Entah ke mana ia sekarang. Ruangan per?
pustakaan dengan tiang-tiang tinggi hanya menyisakan suara
guratan pensil. 129 Isi-Ayahku.indd 129 3/23/11 2:29:05 PM *** Itulah yang kulakukan berhari-hari kemudian.
Dua jam menjalankan hukuman, satu jam tersisa menyelesai?
kan sketsa. Retro hanya mengomel selama tiga hari. Pada hari
keempat ia justru asyik membaca saat aku sudah selesai, meng?
ajak?nya kembali ke asrama. Ia menemukan bagian yang me?
nyenang?kan di perpustakaan. Tiga hari bosan melihatku meng?
gambar, Retro menjelajahi seluruh sudut ruangan, dan ia
me?nemukan satu rak kecil yang tergeletak tidak penting di salah
satu pojok perpustakaan. Buku-buku menguning, bau, dengan
huruf kecil-kecil khas buku tua berjejer rapi. Rak itu penuh
dengan buku cerita. Aku tidak tertarik ketika Retro menunjukkan salah satu buku
yang sedang dibacanya. Aku mendesaknya segera kembali ke
asrama. Sudah larut, perutku lapar. Retro bersungut-sungut me?
lipat bukunya, memasukkannya ke dalam tas.
"Jangan bilang kau akan membawa buku ini ke kamar!" Aku
melotot. "Petugas perpustakaan tidak akan tahu, bukan?" Retro santai
mengangkat bahu. "Astaga! Kau tidak pernah mendengar kabar dia bahkan bisa
tahu kalau ada murid yang merobek satu lembar buku per?
pustaka?annya?" Aku mencengkeram lengan Retro.
"Dia tidak akan tahu. Lihat, dia sekarang pasti di ruang ma?


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan bersama murid dan guru-guru lain."
"Kembalikan!" aku mendesis.
"Bukankah kau selama ini juga suka melanggar peraturan?"
"Bukan itu masalahnya, bodoh!" Aku mendengus galak. "Kau
130 Isi-Ayahku.indd 130 3/23/11 2:29:06 PM bisa membahayakan hukuman kita. Sekali petugas tahu kau
membawa pulang buku-buku ini, hukuman ini dibatalkan, di?
ganti dengan yang lain. Kau bahkan tidak punya kesempatan
lagi membaca buku-buku ini."
"Dan kau juga tidak bisa menggambar lagi." Retro menatapku
sambil menyeringai menyebalkan.
Aku terdiam. "Akuilah kalau kau sengaja menjadikan ulang tahunku sebagai
alasan melanggar peraturan," Retro mendesakku.
"Aku tidak melakukannya." Aku menggeleng tegas.
"Baiklah, buku ini kubawa pulang," Retro berkata ringan.
*** Itu hanya ancaman Retro. Ia sebenarnya juga tidak mau ke?
hilangan kesempatan membaca buku-buku di rak kecil tidak
penting itu. Jadi setelah lima menit bertengkar, saling dorong,
Retro meletakkan kembali buku tua kecokelatan itu ke tempat?
nya semula. Aku tidak pernah tertarik dengan rak itu, apalagi buku-buku
ceritanya. Sekali-dua aku mendengar Retro tertawa lebar di meja
seberang sana, atau Retro diam-diam menyeka ujung matanya,
atau Retro yang tiba-tiba memukul mejanya karena terbawa
emosi cerita. Aku hanya menanggapinya dengan berteriak me?
nyuruhnya diam. Ia membuat garis lengkungku tidak sempurna.
Aku tidak tertarik meski Retro memperlihatkan buku-buku itu.
Sejak kecil aku terbiasa dengan ribuan cerita Ayah. Bagiku tidak
ada cerita yang lebih menarik selain cerita Ayah.
Hingga hari kedua puluh enam, saat aku akhirnya menyelesai?
131 Isi-Ayahku.indd 131 3/23/11 2:29:07 PM kan seluruh sketsa ruangan perpustakaan. Aku tidak tahu bukubuku apa yang sebenarnya dibaca Retro"pernah ia tiba-tiba
me?nangis sesenggukan. Aku bingung, mendekatinya. "Ceritanya
se?dih, Dam. Amat sedih. Coba kau baca sendiri." Aku hanya
ter?tawa. Bagaimana mungkin Retro bisa menangis membaca
sebuah buku. Aku melipat buku gambarku, tersenyum senang. Akhirnya
seluruh bangunan Akademi Gajah selesai kugambar. Ini harta
karun tidak terkira, pastilah belum pernah ada murid yang
melakukannya. Tidak ada aktivitas lain, aku beranjak berdiri,
menepuk-nepuk celanaku yang kotor, melangkah ke meja Retro,
menarik kursi. "Kau sedang baca apa?"
Retro seperti biasa mengangkat sedikit buku, memperlihatkan
halaman depan, matanya tetap di halaman yang sedang dibaca.
Asyik sekali ia. "Sebentar, aku belum lihat judulnya." Aku berseru pelan,
menyuruh Retro kembali memperlihatkan halaman depan.
Retro mendengus sebal, mengangkat lagi buku dari atas meja.
Aku dengan cepat sudah meraih buku itu. Astaga" Apa judul
buku ini" "Hoi, kalau kau mau baca, pilih sendiri buku yang lain!"
Retro galak menunjuk rak kecil itu, berusaha merampas kembali
buku tua itu di tanganku.
"Sebentar, sebentar"." Suaraku sedikit tersengal, bukan ka?
rena sibuk mengamankan buku yang kupegang, tetapi aku
sungguh terkejut dengan judul buku ini. Astaga, tidak mung?
kin. "Ayahku"." Satu tanganku menahan Retro, satu tangan lagi
132 Isi-Ayahku.indd 132 3/23/11 2:29:08 PM dengan cepat membuka halaman buku, memeriksa cepat paragraf
apa saja yang terbaca. "Ada apa dengan ayah kau?" Retro menghentikan sebentar
gerakan tangannya, sekarang berubah bingung melihat kelakuan?
ku. "Ayahku pernah ke lembah ini. Bahkan ayahku pernah di?
tawari Ali Khan, emir lembah untuk memakan sebutir apel
emas langka milik mereka." Suaraku bergetar, tidak percaya de?
ngan halaman yang kubaca cepat. Bukankah ini cerita Ayah"
Bagaimana mungkin ada dalam buku cerita"
"Kau bilang apa?" Dahi Retro terlipat.
"Ayahku pernah ke lembah ini." Aku membaca lagi beberapa
paragraf, benar, meski hanya membaca sekilas, repot menghalau
tangan Retro. Semua detail cerita yang ada dalam buku tua ini
cocok dengan cerita Ayah. Ini cerita Ayah: Apel Emas Lembah
Bukhara. 133 Isi-Ayahku.indd 133 3/23/11 2:29:09 PM 15 Lembah Bukhara P agi yang indah, di depan rumah kami.
"Seperti yang kalian dengar dari papa kalian, lepas kuliah di
ibukota, sebelum mendapatkan beasiswa master di luar negeri,
Kakek memutuskan untuk bertualang." Ayah meluruskan kaki,
menyandarkan punggung ke salah satu pot besar depan rumah.
Zas dan Qon meniru gaya kakek mereka, ikut menyandarkan
punggung, meluruskan kaki. Pagi ini mereka habis lari me?
ngelilingi taman depan rumah. Aku berusaha menyuruh mereka
bergegas mandi, berganti pakaian, dan melakukan apa saja
kegiatan lain"selain bersama kakek mereka dan me?mancing
cerita berikutnya. Tetapi istriku telanjur memintaku mem?bantu
menyiapkan sarapan. "Ayah sudah lama tidak makan masakan Dam, bukan?" Istriku
tertawa penuh rencana. Ayah mengangguk. "Kau benar, dia me?warisi banyak resep
dari ibunya." Istriku bergegas menarik lenganku. "Ayo, Sayang, kau bantu
aku masak. Biarkan Zas dan Qon bersama Ayah."
134 Isi-Ayahku.indd 134 3/23/11 2:29:10 PM Aku bergumam sebal, terpaksa mengalah. Membiarkan me?
reka bertiga sama saja dengan membuka pintu kesempatan
cerita-cerita bohong Ayah berikutnya.
"Kakek menyiapkan sebuah ransel besar, memasukkan semua
benda yang dibutuhkan selama perjalanan. Baju, jaket, sepatu,
sandal jepit, sleeping bag, buku catatan, alat tulis, senter, obatobatan, surat-menyurat untuk melintasi perbatasan, juga bukubuku petunjuk. Dan saat ransel itu seperti baju kekecilan di
perut buncit, susah ditarik ritsletingnya, Kakek sudah siap me?
mulai sebuah petualangan hebat."
"Kakek juga memasukkan peta?" Qon menyela.
"Buat apa?" "Biar tidak tersesat."
"Ah iya, itu juga." Ayah mengangguk, mengacak rambut ikal
Qon. "Kau anak yang pintar. Tentu saja Kakek tidak lupa me?
masukkan peta." Aku di dapur tidak bisa mendengar kalimat Ayah, mencacah
daun kol dengan pikiran ada di beranda depan, menebak-nebak
cerita apa lagi yang akan didengar kedua anakku.
"Maka dimulailah perjalanan panjang itu. Tidak terhitung
berganti angkutan umum, bus yang melaju cepat di jalan be?
bas hambatan, mobil kecil yang tersengal mendaki bukit, ke?
reta yang dipadati para peziarah, perahu-perahu yang melintasi
teluk, sungai, dan lautan. Merah, biru, kuning, hitam, putih,
semua warna angkutan umum pernah Kakek naiki." Ayah ter?
kekeh. "Musim berganti, salju, semi, gugur, panas. Purnama berkalikali muncul di langit. Rasa-rasanya sudah puluhan kota yang
Kakek singgahi, belasan penginapan atau rumah penduduk yang
135 Isi-Ayahku.indd 135 3/23/11 2:29:11 PM Kakek tumpangi. Terkadang Kakek bermalam di jalan, tidur
beratapkan bintang gemintang. Makan seadanya, semua serba
terbatas. Penampilan Kakek sudah seperti gelandangan. Rambut
tidak dicukur. Kumis dan janggut tidak terawat. Kadang Kakek
tidak mandi berhari-hari, konsentrasi penuh dengan jadwal
perjalan?an." Dari ekspresi wajah, terlihat Zas dan Qon sedang merekareka penampilan kakeknya saat itu. Mata mereka mengerjapngerjap tidak sabar.
"Hingga akhirnya, pada pagi yang indah, saat cahaya matahari
pertama menerabas remang jalan, saat akhirnya tiba di pintu
gerbangnya, Kakek melihat hamparan indah lembah itu. Di?
bentengi delapan gunung, dihiasai enam air terjun setinggi ratus?
an meter, dibungkus selimut kabut putih sejauh mata meman?
dang, hamparan ladang subur, rumah-rumah panggung dari kayu
yang eksotis, lenguh suara burung dan hewan yang hidup bebas,
itulah lembah permai. Bahkan di sana angin tidak berembus
lazimnya seperti di tempat-tempat lain. Cobalah duduk di salah
satu beranda rumah mereka, pejamkan mata, hanya soal waktu
kalian akan tahu angin di lembah itu bernyanyi, melantunkan
kabar betapa sejahtera, makmur, dan adil seluruh penghuninya.
Itulah Lembah Bukhara yang tersembunyi dari peradaban
manusia. Itulah lembah paling indah di seluruh dunia."
Aku tidak mendengar kalimat-kalimat Ayah pada Zas dan
Qon. Tetapi aku ingat sekali kalimat-kalimat itu. Lembah
Bukhara adalah salah satu cerita favoritku saat masih kecil, tem?
pat pemberhentian pertama Ayah setelah enam bulan meninggal?
kan kota kami, pergi bertualang.
Gerakan tanganku memijat punggung Ayah terhenti, takjub
136 Isi-Ayahku.indd 136 3/23/11 2:29:12 PM membayangkan betapa indahnya lembah itu. Hei, apa yang Ayah
bilang barusan" Angin berembus sambil bernyanyi di sana"
"Tahukah kau, Dam. Lembah Bukhara tidak dibangun dalam
semalam." Dan Ayah takzim melanjutkan cerita. "Lembah itu
adalah bukti proses panjang, saling menghargai manusia dan
alam, pemahaman yang baik, penguasaan ilmu pengetahuan serta
kebijakan luhur manusia. Butuh seratus tahun agar Lembah
Bukhara menjadi seperti yang Ayah lihat.
"Menurut cerita Ali Khan, emir Lembah Bukhara yang Ayah
temui, seratus tahun silam seluruh keindahan lembah binasa
oleh keserakahan penghuninya, para penambang emas. Mereka
datang satu rombongan disusul rombongan lain. Kabar ditemu?
kan?nya emas di sepanjang sungai lembah membuat hutan-hutan
dibabat, permukiman baru bermunculan. Dalam sekejap, yang
tersisa hanya lubang tambang emas di mana-mana. Tidak puas
melubangi lembahnya, penduduk mulai merangsek ke lereng
delapan gunung, menggelontorkan berjuta-juta ton pasir be?
batuan ke lembah, terus mengeduk emas yang tersisa. Lereng
gunung sompal bagai kue yang dipangkas, berubah cokelat dan
gersang. Hanya dalam hitungan tahun, seluruh hutan yang luas?
nya hampir sebesar kota kita berubah menjadi padang pasir.
Tandus, panas, tidak menyisakan apa pun selain kesedihan.
"Kerusakan tidak tertahankan, bijih emas semakin sulit di?
temu?kan, maka satu rombongan disusul rombongan lain ber?
gegas meninggalkan lembah terkutuk itu."
Ayah terdiam sebentar, aku juga ikut terdiam (sama seperti
Zas dan Qon yang saat ini ikut terdiam), membayangkan ke?
rusak?an yang ditinggalkan.
"Tidak ada yang tersisa, Dam. Habis, musnah, lantas apakah
137 Isi-Ayahku.indd 137 3/23/11 2:29:13 PM para penduduk asli lembah menjadi kaya" Makmur" Ternyata
ti?dak, jauh bumi dengan langit. Kemilau emas hanya mem?
berikan kesenangan sesaat, hidup bergaya, lantas apa" Mereka
segera jatuh miskin. Generasi berikutnya malah hidup semakin
susah. Untuk mencari seember air bersih mereka terpaksa ber?
jalan kaki belasan kilometer. Padang pasir tidak bisa ditanami.
Tamat sudah ladang-ladang yang subur, hutan yang memberikan
nafkah. Dan keributan muncul di mana-mana. Penduduk be?
rebut makan. Hal-hal sepele memicu pertengkaran. Orang-orang
mencari jalan pintas, melakukan kejahatan, merendahkan harga
diri. Lembah itu berubah jadi permukiman tidak beradab.
Sementara para pendatang sudah jauh meninggalkan mereka,
entah sedang merusak di mana lagi. Warga lembah harus me?
nanggung keserakahan mereka membiarkan pendatang me?nam?
bang emas. "Seratus tahun silam, adalah Alim Khan, kakek Ali Khan,
emir Bukhara yang menjadi tetua lembah. Di tangan Alim
Khan-lah harapan tersisa. Pemimpin yang baru dua puluh tahun,
pulang dari menuntut ilmu di negeri seberang, harus mendapati
lembah kelahirannya hancur lebur. Tidak ada kata menyerah
dalam kamus kehidupan Alim Khan. Dia yakin, siapa yang terus
berjuang mengubah nasib, maka alam semesta akan mengirimkan
bantuan, terlihat ataupun tidak terlihat.
"Lembah Bukhara tidak dibangun dalam semalam, melainkan
seratus tahun. Pada periode awal, penduduk bahkan tidak meng?
anggap Alim Khan sebagai emir, hanya segelintir yang mem?
bantu. Alim Khan mengerti situasinya. Dia perlu bukti nyata
agar jalan keluar yang ditawarkannya bisa diterima. Alim Khan
percaya, kembali menjadi petani, menghormati alam, hidup se?
138 Isi-Ayahku.indd 138 3/23/11 2:29:14 PM derhana justru akan mengembalikan keindahan seluruh lembah.
Dia menolak mentah-mentah bantuan dari luar yang hendak
menjadikan lembah itu tambang pasir bijih besi, menawarkan
harta benda bertumpuk. Alim Khan memblokade jalan-jalan
agar tidak ada alat berat dan truk pengangkut pasir masuk. Dia
ber?sama segelintir penduduk lembah meruntuhkan lereng
gunung, memutus total akses keluar-masuk lembah, membuat
lembah itu tersembunyi dari peradaban kaum perusak.
"Dan Alim Khan menawarkan ilmu pengetahuan sebagai jalan
keluar. Tebal lautan pasir yang menutupi seluruh lembah tidak
kurang tiga puluh meter. Setiap kali hujan turun, semua air
terserap masuk tanpa tersisa, tidak ada sayur, gandum, dan
tumbuhan lain yang bisa hidup. Alim Khan menyuruh mereka
mengeduk pasir hingga kedalaman satu meter, lantas membuat
hamparan beton untuk menahan air merembes ke dalam,
menumpuk kembali pasir bersama tanah di atasnya, membuat


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sumur-sumur dalam, mengairi tanah yang sudah dilapis beton,
mulai menanam sayur-mayur. Tiga bulan, teknologi itu terbukti.
Tanah lembah itu memang memiliki unsur hara berlimpah.
Ladang sayur Alim Khan menghijau, daunnya rimbun, buahnya
lebat dan besar-besar, membuat pertikaian di lembah terhenti,
takjub. Perlawanan sebagian penduduk yang masih mendukung
ide tambang bijih besi itu berakhir.
"Emir mereka benar. Mereka bisa menaklukkan padang pasir
ini, mengubahnya kembali menjadi lembah yang subur dan
diberkahi. Penduduk lembah menyingkirkan perbedaan, menjulur?
kan tangan, bahu-membahu memperbaiki lembah"yang berarti
juga memperbaiki hidup mereka sendiri.
"Sepuluh tahun berlalu, tidak terhitung kebun penduduk
139 Isi-Ayahku.indd 139 3/23/11 2:29:15 PM menghampar, pohon-pohon besar ditanam kembali, sampah be?
racun sisa tambang emas ditimbun dalam-dalam, sungai kembali
mengalir bening, dan kehidupan penduduk membaik. Alim
Khan menjelaskan pemahaman hidup yang sederhana, kerja
keras, selalu pandai bersyukur, saling membantu.
"Lima puluh tahun berlalu, saat Alim Khan mengembuskan
napas terakhir, generasi baru telah lahir di Lembah Bukhara.
Pohon-pohon mulai menghutan, hewan liar kembali, dan pe?
mahaman hidup yang baik merekah subur. Mereka memiliki
teknologi menanam sayur di udara. Mereka bisa membuat
kebun sayur dua tingkat, dengan sulur-sulur bambu. Belum
lagi ber?bagai penemuan jenis tumbuhan baru yang lebih baik,
lebih lebat buahnya, lebih tahan hama, dan lebih lezat rasa?
nya. "Seratus tahun berlalu. Saat Ayah tiba di pintu gerbang lembah
mereka, setelah berjalan kaki tersaruk-saruk sehari-semalam
melewati lereng-lereng terjal, Ali Khan"emir Lembah
Bukhara"sambil tertawa lebar mengulurkan tangan memeluk
Ayah di depan rumah panggungnya yang penuh ukiran indah. Ia
bertanya banyak hal tentang kabar di dunia luar sana, bilang
sudah lama sekali lembah mereka tidak didatangi tamu. Ali Khan
menganggap Ayah bagai sahabat lama, dan dia meng?hidangkan
buah hebat itu, Dam. Ali Khan menghidangkan sepiring apel
emas itu. Ayah belum pernah, tepatnya Ayah tidak pernah
membayangkan ada apel seindah itu. Warnanya mengilat, tekstur
kulitnya memesona, dan saat Ayah mengunyah?nya, daging apel
itu mencair di mulut, lezatnya tidak terkata?kan.
"Kau tahu, Dam, mereka hanya punya satu pohon di seluruh
lembah, dan apel itu hanya berbuah sepuluh tahun sekali. Me?
140 Isi-Ayahku.indd 140 3/23/11 2:29:16 PM ngunyah apel itu tidak hanya membuat kenyang, tapi mem?beri?
kan sensasi tenteram dan pemahaman baik di hati. Me?ngunyah
apel itu tentu saja tidak membuat kau berumur pan?jang, tapi
bisa melapangkan hati yang sempit dan menjernihkan piki?ran
yang kotor. Itulah apel emas Lembah Bukhara."
*** Aku dan Retro bersitatap sejenak. Terdiam. Ruangan perpustaka?
an terasa semakin lengang.
"Kau yakin Ayah kau pernah ke lembah itu?"
Aku loncat dari kursi, mendorong Retro jatuh ke lantai.
"Ayahku bukan pembohong. Seluruh penghuni kota kami tahu
ayahku pegawai yang jujur dan sederhana."
Retro menelan ludah, beranjak berdiri, menepuk-nepuk
lututnya yang terantuk, meraih buku yang kami baca bersama
tadi. "Bukan itu maksudku, boleh jadi kau salah dengar, eh,
maksudku, boleh jadi ayah kau sedang bergurau. Bukankah kau
pernah bilang ayah kau suka gurauan, tertawa."
Aku mendengus, bergegas memeriksa rak kecil yang selama
ini kuanggap tidak penting. Ada puluhan buku tua kecokelatan
di dalamnya, siapa tahu aku juga akan menemukan salah satu
cerita Ayah di sana. Retro di belakang masih bergumam satudua kalimat, bilang maaf karena sudah membuatku tersinggung,
bilang yakin sekali bahwa ayahku bukan pembohong. Aku tidak
men?dengarkan. Aku sibuk membongkar buku-buku itu, mem?
baca judulnya cepat. Suara langkah membuat gerakan tangan dan ocehan Retro
terhenti. 141 Isi-Ayahku.indd 141 3/23/11 2:29:17 PM "Kalian sudah hampir enam jam membersihkan perpustakaan.
Astaga, kalian bahkan tidak ke ruang makan bersama. Sebentar
lagi jam malam asrama. Bergegaslah keluar!" Salah satu petugas
senior sudah berdiri di tengah ruangan perpustakaan, matanya
menatap tajam, curiga. Aku dan Retro buru-buru merapikan buku-buku. Aku ber?
gegas meraih tas buku gambarku, dan tanpa banyak komentar
segera me?ninggalkan ruangan perpustakaan.
Malam itu berjalan seperti merangkak. Aku tidak sabar me?
nunggu jadwal hukumanku besok sore. Selepas dari ruangan
perpustakaan, Retro mengajakku ke dapur, mengambil makanan.
Perutnya lapar. Aku menggeleng. Perutku tidak lapar. "Ayolah,
Dam. Kau sudah terbiasa mencuri makanan di sana, bukan?"
Aku melotot padanya. Esok paginya, latihan memanah berjalan membosankan"
meski aku untuk pertama kalinya tidak sengaja berhasil me?
ngenai lingkar?an merah. Retro tertawa. "Sepertinya memanah ini
sudah seperti kehilangan barang saja. Kita cari-cari tidak ditemu?
kan, saat kita tidak mencari, malah tergeletak di ujung kaki."
Kelas pengetahuan alam kepala sekolah tidak membuat selera?
ku membaik, padahal ia sedang menjalankan alat peraga mesin
diesel. Teman sekelas berebut mengelilingi lokomotif mainan itu,
sibuk bertanya tentang banyak hal. Aku duduk di kursi, bosan,
tidak sabar. Aku sedang memikirkan kalimat Retro. Semalam sebelum
ja?tuh tertidur, Retro sempat menyampaikan dugaan-dugaan.
"Boleh jadi Ayah kau pernah membaca buku yang sama,
Kawan. Dia mencatat semua detail dan petunjuk, lantas me?mu?
tus?kan untuk melakukan petualangan menemukan lokasi cerita
142 Isi-Ayahku.indd 142 3/23/11 2:29:19 PM itu. Hmm" Tapi itu sekadar buku cerita bergambar, hanya
karang?an penulisnya, bagaimana ayah kau yakin lembah itu
benar-benar ada sehingga memutuskan mencarinya?" Retro
manggut-manggut, hampir ketelepasan melanjutkan kalimatnya
dengan "Atau jangan-jangan setelah membaca buku itu, ayah kau
lantas membayangkan mengunjungi lembah itu, menceritakan
ulang kepada kau, mengarang-ngarang sisanya?" Aku tahu sekali
maksud ekspresi wajah Retro.
"Kalau apel emas itu amat hebat, tentulah semua orang di
dunia tahu, bukan" Berita sepele seperti buah tomat beng?kak
saja sampai ke mana-mana," Retro menyebutkan dugaan be?
rikutnya. "Tetapi menurut buku, lembah itu tertutup dari luar,
emir lembah meruntuhkan lereng gunung, tidak ada yang bisa
masuk dengan mudah. Masuk akal juga bila tidak ada yang tahu.
Lantas bagaimana ayah kau tahu" Jangan-jangan dia memang
pernah ke sana, atau jangan-jangan dia memang menga...." Retro
buru-buru menutup mulutnya, menyeringai.
Aku tidak peduli, lalu menarik selimut. Hanya satu kalimat
Retro yang kumasukkan dalam hati. "Buku itu sepertinya tidak
bisa ditemukan di tempat lain, Kawan. Dicari di toko buku
mana pun pasti tidak ada. Kita juga baru tahu kalau ada buku
semacam itu di rak kecil itu karena dihukum membersih?kan
per?pustakaan berminggu-minggu. Jangan-jangan dari ratus?an
murid yang pernah sekolah di sini hanya kita yang pernah
mem??bacanya. Apakah ayah kau pernah sekolah di Akademi
Gajah?" Aku mencatat baik-baik kalilmat terakhir Retro. Aku juga
tidak tahu. Dari seluruh cerita Ayah, ia tidak pernah me?
nyinggung tentang Akademi Gajah. Aku baru tahu nama sekolah
143 Isi-Ayahku.indd 143 3/23/11 2:29:20 PM antah berantah ini saat Ayah memberitahu akan mendaftarkanku.
Itu akan menjadi pertanyaan pentingku pada Ayah saat liburan
tahun ajaran baru tiba. Apakah Ayah pernah sekolah di
Akademi Gajah" Saatnya memaksa memejamkan mata.
144 Isi-Ayahku.indd 144 3/23/11 2:29:20 PM 16 Suku Penguasa Angin 1 M alam ketiga Ayah tinggal di rumah kami.
"Kita tidak akan membiarkan Ayah mengubah jadwal anakanak, bukan" Membiarkan Ayah merusak cara kita mendidik
mereka selama ini." Aku mengangkat tangan, kehabisan cara
membuat istriku bersepakat.
"Ayah tidak mengubahnya, Dam." Istriku menggeleng.
"Sekarang pukul delapan, seharusnya anak-anak belajar di
kamar, bukan mendengar cerita-cerita Ayah. Bagaimana mungkin
kau bilang tidak berubah?"
"Anak-anak hanya butuh penyesuaian kecil. Kita juga butuh
penyesuaian kecil sejak kedatangan Ayah. Melonggarkan bebe?
rapa peraturan." "Ini bukan penyesuaian kecil. Dua hari lalu oke, kemarin
malam oke, tapi ini malam ketiga. Besok mereka harus sekolah.
PR dan tugas mereka harus dikerjakan. Itu prioritas."
"Zas dan Qon sudah menyelesaikannya."
"Kapan?" Aku mengusap dahi, tidak percaya.
145 Isi-Ayahku.indd 145 3/23/11 2:29:21 PM "Tadi sore. Anak-anak menyesuaikan diri dengan cepat, Dam.
Tahu Kakek mereka akan bercerita lagi malam ini, mereka
mengorbankan jam bermain sore, bergegas menyelesaikan PR
dan tugas sekolah. Kau lihat, Zas dan Qon bisa menyesuaikan
diri. Ayolah, kenapa kita tidak bisa?"
Aku bergumam sebal, sedikit kehilangan kata-kata.
Istriku tersenyum lembut. "Kau tidak suka Ayah bercerita.
Aku tahu itu. Kita sudah berkali-kali membahasnya. Kali ini
biarkan Ayah lebih dulu merasa tinggal di rumah sendiri, besokbesok kita bisa mengajaknya bicara. Ayah akan mengerti bahwa
Zas dan Qon hidup di zaman berbeda, atau di atas segalanya,
Ayah akan mengerti bahwa kau keberatan anak-anak mendengar
cerita-cerita itu." Aku menelan ludah, diam sejenak. "Baiklah. Tetapi malam ini
anak-anak harus tidur tepat jam sembilan. Tidak ada tawarmenawar setengah jam lagi seperti dua malam terakhir."
Istriku mengangguk, mengangkat tangannya, janji.
Aku menyeringai, hampir saja tertawa melihat wajah cantik
istriku yang sengaja meniru kelakuan kami dulu saat berjanji
satu sama lain. Aku bergegas meninggalkan kamar. Desain
gedung empat puluh tingkat itu menunggu. Proyek terbesar yang
pernah kutangani. Sayup-sayup dari ruang keluarga terdengar seruan riang Zas
dan Qon, terdiam sejenak, berebut bertanya, terdiam lagi, sibuk
menyela, lagi-lagi terdiam, tatapan takjub mereka, serta tawa dan
batuk kecil Ayah. "Kakek menaiki layang-layang raksasa itu. Rambut ikal Kakek
melambai ditiup angin, pakaian berkelepak, kaki Kakek gemetar
karena perasaan gentar. Kepala Suku Penguasa Angin hanya ter?
146 Isi-Ayahku.indd 146 3/23/11 2:29:22 PM tawa, menyuruh Kakek berpegangan erat-erat, lantas sebelum
Kakek melakukannya, dia sudah menarik jangkar di tanah.
Wusssh" layang-layang itu terbang membelah padang peng?
gembalaan. Kakek berteriak kencang, memejamkan mata. Kepala
Suku menyikut bahu Kakek, menyuruh melihat sekitar. Astaga,
kalian tidak bisa membayangkan betapa hebat sensasi me?
nunggang layang-layang itu. Lembayung senja sepanjang mata
memandang, gunung-gunung berselimutkan salju, sungai-sungai
bagai naga tidur, dan beberapa penunggang layang-layang lain
yang terbang di sekeliling kami berseru-seru senang. Merekalah
penguasa langit, penguasa angin sejati."
*** Seperti yang kuduga, aku akan menemukan buku itu esok hari?
nya saat melanjutkan hukuman membersihkan perpustakaan
sekolah. Belum genap petugas menutup pintu, meninggalkan
kami berdua, aku sudah loncat menuju rak kecil di sudut
ruangan. "Woi, kau bersih-bersih dulu!" Retro meneriakiku.
Aku tidak mendengarkan. Rasa penasaranku semalam mem?
buatku tidak sabar menunggu waktu hukuman tiba. Aku
mengeduk seluruh buku dalam rak kecil, memeriksanya satu per
satu. Buku Apel Emas Lembah Bukhara sudah selesai kubaca,
kuletakkan di tempat terpisah. Hingga tumpukan buku tinggal
hitungan jari, aku belum menemukannya. Men?dengus kecewa
melempar buku terakhir, aku duduk selonjor, me?nyeka keringat
di leher. "Enak sekali kau, Dam. Sudah seperti bos besar." Retro
147 Isi-Ayahku.indd 147 3/23/11 2:29:23 PM menepuk-nepuk debu buku, mengelap rak-rak, mengomel me?
lihat tingkahku. Aku mengembuskan napas. Baiklah. Aku hendak beranjak
mem?bantu Retro ketika sudut mataku melihat buku yang
tergeletak di bawah kaki-kaki rak kecil. Aku beringsut tiarap,
mengeduk?nya, debu tebal menutupi judul. Aku mengambil kain
lap, berseru tertahan. Sudah kuduga, aku pasti menemukan
buku ini. Jika Lembah Bukhara itu ada, maka padang peng?
gembalaan itu juga ada. Judul buku itu tercetak besar-besar: Suku Penguasa Angin.
*** Bagi anak-anak usia SD, punya rambut keriting bisa meng?
undang dua hal. Pertama, banyak yang tertarik melihatnya; ke?
dua, banyak yang tertarik mengolok-oloknya. Aku sering ber?
tengkar gara-gara rambut keriting dan ejekan itu, pulang dengan
seragam kotor. Satu-dua aku berhasil memenangkan perkelahian,
lebih banyak aku pulang sambil menahan sakit dan isak tangis.
Ibu tidak bosan membesarkan hati. Sementara Ayah, pada
malam yang kesekian melihatku pulang dengan sisa perkelahian,


Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memutuskan untuk menceritakan rahasia besar berikutnya dalam
petualangan masa mudanya. Malam itu aku ingat sekali, lagi-lagi
gerimis membungkus kota, Ayah beranjak duduk di tempat
tidurku, menyikut lenganku yang menatap ke luar jendela kaca
berembun. "Kau menatap apa, Dam?"
Aku tidak menjawab. Aku sebenarnya tidak menatap apa-apa,
aku melamun. 148 Isi-Ayahku.indd 148 3/23/11 2:29:24 PM Kami berdiam diri sejenak. Usiaku saat itu delapan.
"Besok boleh tidak aku memotong habis rambutku?" Aku
takut-takut bertanya pada Ayah, memecah suara rintik air me?
ngenai bebatuan. Ayah mengangguk, tersenyum menggodaku. "Tapi besokbesok, rambut kau akan tetap tumbuh keriting, Dam. Jadi per?
cuma saja." Aku menunduk, melihat seekor kodok sedang bersembunyi.
"Ke?napa rambutku tidak lurus saja, Yah" Seperti rambut
Ibu." Ayah tertawa. "Ibu kau justru ingin berambut keriting, Dam.
Di rumah ini, hanya Ibu yang terlihat berbeda sendiri, bukan"
Coba kau lihat foto-foto keluarga, dia terlihat beda sendiri."
Aku tidak tertawa, bagiku itu bukan gurauan yang lucu.
"Seharusnya kau bisa mengabaikan mereka, Dam. Seharusnya
kau bisa bersabar, bisa menerima olok-olok dengan ringan hati.
Toh itu hanya olok-olok, tidak lebih tidak kurang." Ayah ikut
menatap keluar. Aku diam. Jariku yang menyentuh kaca jendela terasa di?
ngin. "Ayah akan menceritakan sebuah rahasia besar."
Aku menoleh, tertarik. "Tetapi kau janji akan merahasiakannya?"
"Termasuk ke Ibu?"
"Iya, termasuk ke Ibu."
Aku bergegas mengangguk. Ini pasti cerita yang hebat. Bah?
kan Ibu tidak boleh tahu. Aku bersiap mengambil posisi yang
nyaman. Ayah tertawa melihat gayaku, mengacak rambut ikal?
ku. 149 Isi-Ayahku.indd 149 3/23/11 2:29:25 PM *** Inilah cerita petualangan Ayah berikutnya.
Setelah lewat tiga tahun membawa ransel berat di punggung,
Ayah tiba di penghujung perjalanan. Sudah puluhan ribu mil
dilewati, tidak terhitung sepatu dan sandal yang rusak, setidak?
nya tiga kali Ayah kehabisan bekal dan harus menetap dua-tiga
bulan, bekerja serabutan, mengumpulkan uang untuk melanjut?
kan perjalanan. Tujuan terakhir Ayah adalah terus menuju ke utara, menuju
padang penggembalaan luas. Saking luasnya padang rumput itu,
ada tiga negara yang menguasai teritorialnya, dan masing-masing
tetap mahaluas. Butuh tiga hari tiga malam menumpang bus
cepat untuk melintasi padang rumput dari ujung ke ujung. Inilah
masalah terbesar Ayah, ia tidak tahu di mana harus berhenti.
Jalan tol mahapanjang, dengan anak jalan sepertai jaring labalaba. Tiga kali bolak-balik, yang berarti sembilan hari sembilan
malam, Ayah sama sekali tidak menemukan petunjuk di mana
harus turun. Sopir dan kondektur bus menggeleng. Penumpang
lain melipat dahi, apalagi petugas dan warga yang ditemui di
perjalanan ketika bus berhenti untuk makan atau peturasan. Ada
puluhan ribu desa dan jalan-jalan kecil yang melintang di
seluruh penjuru padang rumput. Suku itu bisa berada di mana
saja. Butuh bertahun-tahun untuk menemukannya.
Ayah kehabisan bekal lagi. Pada bolak-balik yang kesekian,
Ayah diturunkan kondektur bus di sembarang tempat karena
tidak bisa membayar ongkos. Malam hari, sabit menghias langit,
gemin?tang dan galaksi bima sakti terlihat jelas. Itu malam ke?
beruntung?an, karena sebuah kendaraan tua kebetulan lewat.
150 Isi-Ayahku.indd 150 3/23/11 2:29:26 PM Ayah me?lambai?kan tangan, menumpang. Sopir kendaraan,
dengan wajah khas penggembala, jaket tebal, topi tebal, berbaik
hati menyuruh Ayah loncat ke bak mobil, tidur di atas tumpuk?
an jerami. Esok pagi-pagi mobil tiba di sebuah perkampungan
kecil, rumah-rumah dari rumput berbentuk mangkuk terbalik.
Asap daging bakar menggugah selera. Anak-anak padang
penggembala ber?larian menyambut mobil.
Setelah dikerubuti anak-anak yang ingin tahu dan beberapa
lelaki dewasa kampung yang menginterogasi, Ayah bertemu
dengan tetua kampung. Umurnya sudah sembilan puluh. Susah
payah menerjemahkan bahasa, pertanyaan besar itu ada jawab?
nya. Tetua mencoba mengingatnya kembali, berkali-kali men?
dongakkan kepala ke langit-langit, dan akhirnya sedikit demi
sedikit bisa menggambarkan lokasi suku itu. Ayah bermalam dua
hari di kampung itu. Pada hari ketiga, tetua berbaik hati mem?
berikan seekor kuda terbaik, bekal makanan, lantas peta seada?
nya. Anak-anak berseru melepas kepergian, Ayah tertawa me?
lambaikan tangan. "Sayangnya Ayah lupa bertanya, butuh berapa hari untuk tiba
di sana, Dam." Ayah menepuk dahi, gerimis di luar menderas.
"Ternyata hingga bekal makanan Ayah hampir habis, tiga kali
bermalam beratapkan gemintang, dan kuda terjatuh dengan
mulut berbusa tidak bisa melanjutkan perjalanan, jangankan
perkampungan, batas luar padang penggembalaan lokasi suku itu
belum terlihat, tidak ada tanda-tandanya. Hanya rum?put di
mana-mana." Ayah memutuskan menggendong ransel di punggung, berjalan
kaki melanjutkan perjalanan. Meninggalkan kuda yang terbaring
kelelahan. Tidak ada lagi kata pulang, hanya padang rumput
151 Isi-Ayahku.indd 151 3/23/11 2:29:28 PM yang membentang kiri-kanan-depan-belakang. Boleh jadi semua
petualangan Ayah berakhir di sini. Kelaparan di tanah asing,
terkapar tidak berdaya sendirian.
Ayah akan bertahan hingga titik terakhir.
Satu hari satu malam terlewati, kaki Ayah gemetar dipaksa
berjalan, mata berkunang-kunang, hanya soal waktu semua ber?
akhir. Satu kilometer terlewati lagi, Ayah jatuh tersungkur. Me?
nangis, selesai sudah. Senja datang mengungkung padang
rumput. Ayah menatap lembayung langit. Tidak mengapa,
setidak?nya Ayah sudah berusaha maksimal. Ayah memejamkan
mata. Ayah lelah, perjalanan ini teramat panjang. Penat fisik,
juga penat hati, bercampur aduk.
Saat itulah terdengar seruan-seruan kencang. Derap lari ribu?
an ternak. Tanah tempat Ayah berbaring bergetar. Ternak-ternak
itu mendekat. "Hiaa!" "Huehehai!" "Hiaa! Hiaa!" Itu seruan khas para penggembala saat menggiring ternak.
Ayah mengenalnya. Tetapi astaga, mata Ayah mengerjap-ngerjap
tidak percaya, penggembala itu tidak datang dengan menaiki
kuda-kuda terbaik. Rombongan penggembala datang gagah
perkasa mengendarai layang-layang raksasa. Terbang di atas
kepala Ayah, warna-warni indah memenuhi langit.
Air mata Ayah meleleh. Kabar itu tidak bohong. Ayah melihat?
nya sendiri. Inilah tujuan terakhir petualangan Ayah, menemui
suku penguasa padang penggembalaan, suku Penguasa Angin.
152 Isi-Ayahku.indd 152 3/23/11 2:29:29 PM 17 Suku Penguasa Angin 2 T " eruskan, Kek! Teruskan"!" Zas berseru tidak sabar.
"Iya, Kek" Lantas bagaimana" Ada penggembala yang me?
lihat Kakek pingsan?" Qon menyikut kakaknya, berusaha duduk
lebih dekat. Ayah tertawa. "Kakek tidak pingsan, Qon. Kakek lelah, tidur
telentang. Sebentar, kalian bisa ambilkan air minum"
Kerongkong?an Kakek sepertinya juga lelah."
Zas sudah loncat ke lemari es, menyambar botol air minum,
mengambil gelas, dan dalam hitungan sepuluh detik sudah kem?
bali dengan air segar. Ayah menyeringai lebar, menerima gelas itu, meneguknya
perlahan. Dua anakku menunggu tidak sabar, alangkah lamanya
Kakek menghabiskan minumnya. Ayo, Kek, lanjutkan cerita?nya.
*** Ayah mulai kehilangan kesadaran.
Salah satu layang-layang raksasa itu mendarat anggun. Pe?
153 Isi-Ayahku.indd 153 3/23/11 2:29:30 PM muda paling kekar, dengan gurat wajah tegas, mendekati Ayah.
Hanya itu yang Ayah ingat. Esok paginya, Ayah terbangun di
salah satu tenda terbuat dari samakan kulit binatang, dengan
rangka bilah-bilah bambu. Ayah diselimuti kain tebal. Lampu
minyak bersumbu masih menyala di atas meja kayu. Ada air
hangat mengepul di dekat tempat tidur, menguarkan aroma me?
nyenangkan. "Aha, kau sudah bangun, Orang Asing." Suara berat menyapa.
Itulah Tutekong, Kepala Suku Penguasa Angin yang gagah
berani, berbudi luhur, dan bersahaja, yang menggendong Ayah
ke perkampungan mereka. Suku Penguasa Angin adalah klan besar. Mereka terdiri atas
sembilan perkampungan, masing-masing seribu penduduk.
Mereka menguasai padang penggembalaan luas. Tanah mereka
paling subur. Sungai mereka mengalir paling bening. Tidak ada
yang mengalahkan pemandangan indah perkampungan mereka.
Empat gunung berselimut salju. Empat danau membiru. Saat
musim dingin, danau itu menjadi hamparan lapangan es. Padang
penggembalaan mereka jauh dari mana-mana, terputus dari
orang banyak. "Kami tidak membutuhkan dunia luar. Kami bisa
hidup mencukupi diri sendiri. Kami tidak ingin mereka merusak
peradaban panjang suku." Tutekong mengangkat tangannya.
Setiap pagi ibu-ibu dan anak gadis mengurus tenda, memeras
susu ternak, memetik sayur di kebun, menumbuk gandum, me?
nenun, membuat garam, menyamak kulit, dan mengajari anakanak mereka. Sedangkan lelaki dewasa pergi menggembalakan
ternak, menanami ladang-ladang, mempelajari keterampilan mem?
buat tenda, dan menunggangi layang-layang. Sore hari amat
me?nyenangkan di perkampungan itu. Ketika puluhan anak-anak
154 Isi-Ayahku.indd 154 3/23/11 2:29:31 PM melepas layang-layang ke angkasa biru, warna-warni menghias
langit. "Kami penguasa angin, Orang Asing. Tentu saja kami pandai
memainkan layang-layang." Tutekong tertawa saat Ayah bertanya
kenapa suku ini suka sekali bermain layang-layang.
"Beberapa hari lalu, saat aku antara sadar dan tidak di padang
penggembalaan, saat kalian menemukanku, aku melihat ada pe?
nunggang layang-layang raksasa...."
"Kau mengigau, Orang Asing." Tutekong tertawa. "Kau pasti
mengigau." *** Hujan deras menerpa jendela kaca kamar.
"Berarti itu tidak nyata, Yah," aku menelan ludah, menyela
cerita Ayah. "Itu nyata, Dam." Ayah tertawa kecil. "Kepala Suku Penguasa
Angin bergurau. Kau tidak bisa membayangkan betapa me?
nyenang?kan tinggal di perkampungan itu. Mereka bukan orangorang yang sibuk mengurus diri sendiri, ambisius, dan penuh
rencana. Mereka orang-orang yang suka bergurau, bercengkerama,
dan bermain. Mereka menjalani hidup dengan sebenar-benarnya
hidup itu harus dijalani, mengalir apa adanya. Kehidupan dan
peradaban mereka bagai musik indah diputar terus-menerus,
atau gerakan dansa tanpa henti, atau air sungai mengalir hingga
ke laut. "Tetapi kehidupan sebaik itu tidak datang sendiri, Dam. Suku
Penguasa Angin mengorbankan banyak hal untuk memastikan
pemahaman yang baik itu tetap ada. Mereka dijajah ratusan
155 Isi-Ayahku.indd 155 3/23/11 2:29:32 PM tahun, dihina, dianggap rendah, lebih dari sekadar olok-olok soal
rambut keriting kau. Mereka memberikan apa saja untuk me?
mastikan generasi berikutnya tetap memiliki pemahaman yang
baik. Cara hidup yang baik."
Aku terdiam, menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Seminggu tinggal bersamanya, Tutekong berbaik hati men?
Kemelut Di Cakrabuana 8 Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather 5 Jagoan 5 Raja 7
^