Pencarian

Daun Jatuh Tak Penah 3

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye Bagian 3


gu?dang di bangunan flat. Menyingkirkan semua barang yang ti?
dak perlu, menyulapnya menjadi kelas mendongeng yang nya?
man. Awalnya buku-buku di sana hanya tiga puluhan. Teman-te?
man penghuni flat lain yang tahu aku dan Anne membuka kelas
men?dongeng beramai-ramai menyumbang buku, meski tetap
ma?las untuk menyumbangkan waktu ikut bercerita. Sekarang
gu?dang itu jauh lebih layak dibandingkan dengan perpustakaan
elementary school yang bagus sekalipun, terutama buku-buku?
nya. Sudah tiga bulan terakhir hanya Anne yang bercerita. Aku
su?dah tidak terlalu bersemangat lagi dengan kelas tersebut.
Anak-anak yang datang sebenarnya semakin lama semakin ba?
nyak. Hari itu tidak kurang dari tiga puluh anak. Berpakaian
rapi, dengan raut muka indo-Melayu. Aku hanya duduk di kursi
ber?bentuk gurita, di pojok kelas. Memperhatikan.
176 176 Entah apa yang ada di pikiran adikku, Dede mendadak mena?
war?kan diri bercerita. Anne tersenyum senang mempersilakan,
"Nah, adik-adik, kakak kita dari Indonesia yang tampan ini akan
ber?cerita! Kakak ini pandai sekali lho bercerita." Beruntung Dede
tidak memedulikan gurauan Anne, adikku langsung mengambil
alih posisi Anne. Anak-anak berseru riang menyambut adikku.
Berharap "kakak yang satu" ini benar-benar pandai bercerita.
Aku hanya menyengir, pastilah harapan yang keliru. Dulu saja
Dede bercerita amat berlepotan. Suka ngomong sendiri. Ti?dak
pernah melibatkan pendengarnya.
Namun, sejurus kemudian aku benar-benar terkesima. Ya
Tuhan, aku seperti melihat dia yang sedang bercerita. Anak-anak
yang tadi banyak berseru tiba-tiba terdiam, terpesona. Anne
yang se?nyum-senyum melulu, ikut menyimak senang. Menatap
lebih baik adikku. Kelas itu bubar pukul dua belas tepat, seperti di kota kami
dulu. Kami makan siang di rumah makan dekat flat.
Sekarang Anne mengajak Dede berbincang dengan cara yang
jauh lebih respek, tidak ada lagi kalimat-kalimat soal ABG itu.
Aku menyeringai melihatnya.
"Kau pandai sekali bercerita. Dua kali lebih pandai dibanding?
kan Tania." Aku menimpuk kepala Anne dengan gumpalan tisu.
Dede menyengir kepadaku (maksud tampangnya: makanya
ja?ngan suka meremehkan orang lain), juga kepada Anne (maka?nya
jangan suka mengolok-olok orang lain).
"Belajar dari mana?" Anne berkata sok akrab.
177 177 "Dari Oom Danar."
Dede kelepasan mengucapkan nama itu.
Aku menelan ludah. Dede menatapku sekilas, langsung diam,
me?rasa bersalah. Anne juga mengerti situasinya. Bertiga diam
seje?nak. Kemudian kami membicarakan soal lain. Seperti biasa,
adik?ku jago banting setir topik pembicaraan. Melupakan nama
yang ba?rusan disebut. *** Malamnya kami menuju pecinan. Tempat itu memang menjadi
tem?pat makan favoritku bersama anak-anak penghuni flat lain?
nya. Lagi pula jaraknya tidak terlalu jauh dari flat.
Dede memesan bebek terbesar ("Tolong bagian pantatnya di?
buang."). Aku menyeringai menatapnya, menahan tawa.
"Kata orang justru bagian itulah yang paling enak!" kataku.
Adikku pun tertawa. Kami banyak tertawa malam itu. Meskipun tidak diniatkan,
akhir?nya kami tetap juga mengingat-ingat masa lalu. Mengingat
saat masih mengamen sepuluh tahun silam. Saat Dede merajuk
di terminal. Saat lehernya dicekik preman yang mabuk.
"Kira-kira preman itu di mana sekarang ya?" adikku bertanya
sok simpati. "Paling juga sudah jadi pejabat, pejabat preman,"
adik?ku mendesah sok tahu, sebelum sempat kujawab.
Tertawa lagi. Mengenang Ibu yang dulu suka sakit-sakitan. Aku bercerita
ten?tang Ayah (umur Dede tiga tahun waktu Ayah meninggal,
178 178 jadi dia tak banyak ingat), tentang rumah kardus, dan tentu saja
hanya ting?gal menunggu waktu, sesi kenang-mengenang itu tiba
di bagian dia. Paku payung itu. Kami berdua terdiam. Adikku pura-pura sibuk membersihkan
tulang-tulang bebek di hadapannya. "Dede mau nambah?" Aku
ber?usaha mengalihkan pembicaraan. Adikku menggeleng le?
mah. Diam. Senyap. Aku menatap ekor barongsai di salah satu bangunan kelen?
teng. Merah menyala. Semua itu tinggal masa lalu.
"Bagaimana kabar Kak Danar?" Cepat atau lambat aku pasti
me?na?nya?kannya, kan" Jadi lebih baik dibahas secepat mungkin.
Aku sebenarnya telah lama rileks dengan perasaanku. Sudah
jauh lebih tenang. Memang masih mengganggu mengenang dan
mem?bicarakannya, tetapi itu tidak ada artinya apa pun. Mak?
sudnya, aku sudah mengerti benar tak ada lagi yang bisa kuper?
buat, kan" Jadi daripada menyakiti diri sendiri, lebih baik kugu?
na?kan energi masa lalu itu menjadi sesuatu yang positif. Terlepas
dari apakah itu baik atau buruk.
Adikku mengangkat kepalanya. Mengangguk.
"Oom Danar baik-baik saja."
"Kapan Dede terakhir ketemu?"
"Dua minggu yang lalu. Di rumah. Dia sempat menengok
ke?las mendongeng." "Ah ya, yang bercerita di kelas itu sekarang selalu kamu?"
Dede mengangguk. Terdiam sesaat.
179 179 "Kabar Kak Ratna?"
Itu sungguh pertanyaan basa-basi. Berbeda dengan dia yang
eng?gan bertanya langsung kepadaku via e-mail atau chatting, Kak
Ratna selama ini sedikit pun tidak berubah. Sama saja seperti
sebe?lum mereka menikah. Kak Ratna tetap rajin mengirimkan
e-mail sebulan sekali. Menceritakan banyak hal, kecuali ten?tang
pindah rumah dan tentang dia. Dulu juga Kak Ratna tak pernah
menyinggung-nyinggung soal dia di setiap e-mailnya. E-mail Kak
Ratna seperti e-mail seorang teman untuk teman ce?weknya,
hanya membahas soal pertemanan.
Pada bulan-bulan pertama aku cuma menjawab pendek e-maile-mail itu. Menjaga perasaan Kak Ratna. Pertanyaan ini juga
untuk menjaga perasaanku. Tidak mungkin kan aku mena?nya?kan
dia ke adikku tetapi tidak menanyakan istrinya, Kak Ratna. Jadi
meski aku tahu kabar Kak Ratna, demi sopan san?tun aku tetap
bertanya pada adikku. "Tante Ratna baik." Sayang, Dede mengatakannya tidak de?
ngan ekspresi sebagaimana mestinya orang bilang "baik".
Aku menatap adikku tajam. Meminta penjelasan. Dede meng?
ge?rakkan bahunya (apa"). Aku menghela napas, ah peduli amat.
Ka?laupun tidak baik, itu bukan urusanku.
Kami terdiam lagi beberapa saat.
"Kamu tahu nggak. Di sinilah dulu Kak Danar dan Kak
Ratna bilang mereka akan menikah." Aku menyeringai mengata?kan itu. Sudahlah, sudah saatnya memberikan tempat menge?
nang semua itu dengan baik. Sebelah hatiku yang baik terse?nyum
lega atas kalimat santaiku tadi.
180 180 Dede mengangkat mukanya. Terkesima. Tak menyangka kali?
mat yang aku ucapkan. Aku hanya tersenyum menatap adikku.
Ka?kakmu sudah berubah. "Ya, waktu graduation day senior high school. Setelah acara di
audi?to?rium siangnya, malamnya kami makan di sini". Kata Kak
Ratna dia ingin membuktikan kata-kata Dede. Emangnya kamu
bi?lang apa waktu itu?" Aku menyeringai menatap adikku.
Dede ikut menyeringai sambil menghabiskan gumpalan daging
be?bek terakhir di depannya.
"Nggak, Dede nggak bilang apa-apa."
"Bohong. Kamu pasti menipu Kak Ratna?"
Dede tertawa. "Nggak kok. Dede cuma bilang sama Kak Ratna, sama persis
se?perti Kak Tania tadi bilang, bagian pantat adalah bagian ter?
enak dari masakan bebek peking di pecinan, dan Tante Ratna
ka?yaknya penasaran."
Aku ikut tertawa. Ah, yakinlah mengenang semua perasaan itu tidak sesulit yang
diba?yangkan. Separuh hatiku kembali tersenyum lega.
*** Esok harinya, adikku pulang pagi-pagi.
Anne ikut mengantar ke bandara, masih dalam rangka ber?
baik?an atas underestimate dan olok-oloknya selama ini.
Aku tidak hanya memberikan sekotak kecil kue untuk studi
ban?ding Miranti. Aku juga memberikan sekotak besar kue ter?
181 181 baik?ku untuk dia dan Kak Ratna. Anne senang dengan apa yang
kula?kukan ("Kau melakukan hal yang benar, Tania.").
Adikku hanya menatapku datar saat aku mengatakan, "Salam
buat Kak Danar dan Kak Ratna!"
Itu fase baru dalam perkembangan perasaanku padanya. Fase
peneri?ma?an yang indah. Meskipun esok lusa tabiatku di kampus,
kese?harian, dan lain sebagainya langsung berubah lagi. Tingkah
laku yang menyimpan berbagai paradoks. Semakin sadis. Menam?
bah semakin banyak daftar korban yang berhasil kuhina. Ter?ma??suk cowok-cowok ganjen Singapura dengan tampang indoMe?layu yang coba-coba naksir aku.
Rasialis" Peduli amat.
182 182 Pukul 21.06: Pulang! Mobilku pelan melewati gerai toko kue Miranti. Toko itu"
seperti toko-toko lainnya sepanjang Jalan Margonda"sudah
tutup. Hanya lam?pu papan nama tokonya yang menyala. Terlihat
keren di antara toko-toko lain.
Miranti baik sekali memutuskan untuk tetap menggunakan
nama Ibu di sana "WH Bakery", meskipun 100% kepemilikan
toko tersebut sudah di tangannya. Miranti bahkan masih menyi?
sih?kan sebagian besar uang untuk Dede. "Royalti dan lain seba?
gai?nya. Kak Tania pokoknya harus setuju!" Miranti membujukku
habis-habisan di e-mail agar aku mengizinkan Dede menerima
trans?fer uang tersebut. Miranti benar-benar gadis yang baik. Sekian lagi di antara
anak-anak kelas mendongeng yang mewarisi muka dan tabiat
se?me?nyenangkan dia. Termasuk bakat dalam berbisnis.
183 183 Aku menghela napas panjang. Kebaikan itu memang tak se?la?lu harus berbentuk sesuatu yang terlihat. Tak selalu dalam
ben?tuk uang dan materi. Dia berbagi banyak hal hanya dari si?
kap dan tabiat yang dicontohkannya. Anak-anak di kelas mendo?
ngengnya bisa menjadi saksi atas segala kebaikan itu. Dan itu
ter?kadang jauh lebih berharga dibandingkan bantuan uang atau
ma?teri sekarung. Aku mendesah, teringat kalimat itu, "Kebaikan itu seperti pesa?
wat terbang, Tania. Jendela-jendela bergetar, layar teve bergoyang,
tele?pon genggam terinduksi saat pesawat itu lewat. Kebaikan me?
ram?bat tanpa mengenal batas. Bagai garpu tala yang beresonansi,
ke?baikan menyebar dengan cepat."
Cuaca malam hari di luar amat cepat berubah.
Di langit, hanya dalam waktu lima menit, awan hitam yang
se?jak sore membungkus langit kota Depok tersaput entah ke
mana. Bintang gemintang satu demi satu mulai "malu-malu" ber?
mun?culan. Ditutup dengan kehadiran purnama bundar yang in?
dah. Aku tersenyum. Jika hasilnya nanti buruk, jika pembicaraan ini berakhir me?
nya?kitkan, setidaknya malam ini langit terlihat amat menyenang?
kan. Sedikit-banyak akan membantu mengobati luka yang akan
dit?im?bulkan dari pembicaraan ini.
*** Tahun kedua menjadi mahasiswi Commerce NUS, aku memutus?
184 184 kan mulai membuka diri untuk berteman lebih dekat dengan
co??wok sekampus. Dan itu menjadi kabar baik bagi cowok-cowok
im??pulsif tersebut, kecuali bagi Jhony Chan, namanya sudah ma?
suk blacklist abadiku. Entah jika di dunia ini cowoknya hanya
ting?gal si tampang artis itu.
Anne lagi-lagi senang dengan perubahan tabiatku. Meskipun
di sana-sini ia semakin banyak mengeluh tak mengerti.
"Kau memutuskan membuka diri, Tania, tetapi kenapa kau
ber??kali-kali menolak ajakan mereka makan malam dan sebagai?
nya" Kau sudah bilang oke mau ikut makan malam, kenapa kau
ma?lah nggak datang" Maumu apa sih?"
"Semuanya ada proses, kan" Dan mereka tak ada satu pun
yang mau sabar dengan proses tersebut. Lagian terserah aku,
mau datang atau nggak. Memangnya nggak boleh membatalkan
jan?ji?" Sebenarnya penjelasan yang lebih baik adalah karena aku
sering kali berubah pikiran. Semuanya menjadi absurd. Bukan
ragu-ragu atau plintat-plintut, tetapi karena memang itulah ta?
biat burukku sekarang, berbagai paradoks itu. Bilang iya tetapi
tid?ak. Bilang tidak, tetapi iya. Terkadang iya dan tidak sudah tak
jelas lagi perbedaannya. Anne sering kali menatapku prihatin.
Sejauh ini aku hanya berteman dekat dengan Adi, teman se?
jak ASEAN Scholarship dulu. Adi agak berbeda dengan cowok
lain yang mendekatiku. Adi jauh lebih mengerti tabiat dan sikap
ber?lawanan itu. Atau jangan-jangan apa pun sikapku, Adi akan
me?nerima apa adanya. 185 185 Adi juga bersabar untuk tidak terlalu melangkah jauh. Bersa?bar
menunggu. Bersabar dengan semua proses. Kami hanya ber?te?man
dekat. Sejauh ini, itu cukup menyenangkan bagiku. Adi bisa
menjadi sopir yang baik, delivery man bisnis kueku, tu?kang
fotokopi bahan kuliah, dan berbagai pernak-pernik lain?nya.
"Kamu jahat, Tania." Itu keluh Anne dulu.
Ah, bukankah Adi baik-baik saja, bahkan merasa senang dan
se?lalu menawarkan diri melakukan hal hina dina itu"


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Enam bulan kemudian. Umurku dua puluh satu. Adikku enam
belas tahun. Dia tiga puluh lima (Ah, aku sudah bisa mengingat
umur?nya sekarang dengan lega).
Ketika hatiku sudah maju dalam banyak hal, aku memutus?
kan untuk pulang ke kota kami. Aku kangen ibuku. Lagi pula,
se?karang tepat delapan tahun Ibu meninggal. Jadi aku ingin ke
pu?sara Ibu. Aku dan adikku sudah bersepakat menjadikan hari
itu istimewa untuk mengenang Ibu. Adikku amat senang mende?
ngar kabar itu. Semangat membalas seluruh e-mail dan pesan
ten?tang kepulangan itu. Dia dan Kak Ratna belum kuberitahu. Malas saja. Toh nantinan?ti juga akan tahu.
Adi yang tahu aku akan pulang ke Jakarta, memutuskan ikut
pu?lang bersama. Aku happy-happy saja ditemani pulang. Seti?
daknya ada yang membantuku membawakan koper. Aku bahkan
se?ngaja membawa lebih banyak koper saat tahu Adi akan ikut.
186 186 Aku juga tidak perlu repot-repot mencari taksi saat tiba di
ban?dara. Keluarga Adi yang kaya raya selalu menjemput anak
tersa?yangnya di bandara. Pagi itu, saat tiba di bandara, Adi
mengo?tot pada keluarganya untuk mengantarku terlebih dulu.
Aku menyeringai senang pada rombongan keluarga Adi yang
memenuhi mobil mewah itu. "Rasain!" Padahal tujuan mereka
ber?lawanan arah denganku. Yang satu ke Planet Mars yang satu
lagi ke Jupiter. Keluarga Adi, terutama ibunya, menelan ludah.
Me?masang wajah: "Siapa pula wanita muda yang bossy sekali ini,
meng?atur-atur kehidupan anak tersayang mereka."
Aku cuek bebek. Memutuskan tidur sepanjang perjalanan.
"Siapa dia?" Hanya itu pertanyaan Dede ketika bertemu de?ngan Adi di rumah.
Aku hanya berkata pendek, "Teman." Aku justru kemudian
ber?tanya pada Dede bagaimana mungkin adikku lupa; dulu pasti
per?nah ketemu saat sweet seventeen, kan" Sementara Adi sudah
buru-buru pamit pergi dari rumah. Keluarganya menolak untuk
tu?run, dan masih menunggu di dalam mobil dengan tampang
su?persebal. "Dede sih ingat! Maksud Dede, tadi itu siapanya Kak Tania
seka?rang?" Adikku memperjelas pertanyaan.
Aku hanya berkata datar sekali lagi, "Teman. Cuma bantu
ngan?tar dari bandara. Portir deh. Nggak lebih, nggak ku?rang.
Nggak akan ke sini lagi!"
Aku salah besar. Adi ternyata datang berkali-kali ke rumahku
esok lusanya. Aku sebenarnya malas berbincang de?ngannya,
tetapi karena Adi dan adikku kebetulan punya hobi Lego yang
187 187 sama, hobi basket yang sama, plus sama-sama bego?nya main
basket, aku membiarkan saja Adi dengan nyaman ber?keliling di
rumah. Siapa tahu ada gunanya.
Itu ternyata memang ada gunanya.
*** Siang itu entah apa alasannya dia datang ke rumah.
Aku sedang rileks membaca buku di teras belakang. Duduk
di kursi rotan beralas bantal-bantal besar. Menatap bugenvil
yang mekar berbunga. Dede dan Adi sedang bermain basket, Adi bahkan menginap
di kamar Dede tadi malam. Pagi yang tenang. Kami sama sekali
ti?dak sadar dia datang. Mobilnya masuk pelan tak bersuara di
ha?laman depan. Dia mengenakan kemeja lengan panjang berwar?
na biru. Melangkah ke arah suara gedebak-gedebuk di halaman sam?ping rumah. Menyapa adikku. Menatap heran Adi. Siapa"
"Oh, ini Kak Adi, temannya Kak Tania!"
Dia terpana. "Tania?" Dede menelan ludah, berpikir cepat: kalau begitu Kak Tania
ti?dak bilang-bilang pada Oom Danar kalau pulang sekarang.
"Ya, Kak Tania. Tuh ada di teras belakang." Dede menunjuk
kaku. Adi beranjak mendekat ingin menggenggam tangannya. Meng?
ajak bersalaman. Tetapi dia tidak memperhatikan Adi, buru-buru
188 188 me?langkah menuju halaman belakang. Sebenarnya dia tidak meli?
hat tangan Adi yang terjulur mengajak berjabat tangan. Adi ha?
nya menatap salah tingkah; beruntung Adi selama ini sudah
ter?biasa aku perlakukan begitu.
Aku sedang membaca kalimat: "Hello, hello, it's me, Picasso, I
sent you a beep, and I'm brave. But you should know that I"m not
asking for anything from you," saat suara yang amat kukenali itu
mene?gurku kaku. "Tania?" Dua tahun aku tak pernah melihatnya.
Dua tahun yang amat panjang.
Jangankan melihat, say hello melalui layar laptop pun tidak.
Dua tahun aku menghindarinya, meskipun perasaan rindu itu
tetap ada. Dua tahun aku tidak tahu apa yang dia pikirkan atas
pera?ngai burukku waktu pernikahannya dulu. Dua tahun.
Buku di tanganku terlepas. Ya Tuhan! Sebenarnya aku tahu,
ce?pat atau lambat kami pasti bertemu. Tetapi aku sama sekali
ti?dak akan menduganya secepat ini; paling baru ketemu besok
saat mengenang delapan tahun kematian Ibu di pusara; ketika
aku sudah menyiapkan berbagai amunisi perasaan untuk berte?
mu dengannya. Tubuhku langsung kaku. Amat berat leherku menoleh, seperti
digan?duli beban berkilo-kilo. Kakiku seperti diikat sejuta tali-te?
mali saat beranjak berdiri.
Dia menatapku. Tersenyum. Senyuman itu kaku.
Amat kaku. Tidak pernah seperti itu.
Aku menggigit bibir. Wajah di hadapanku sedikit pun tidak
189 189 ber?ubah. Garis-garis dewasa dan matangnyalah yang terlihat me?
ne?bal. Cahaya matanya memang sedikit memudar. Memudar"
Ah, itu mungkin tertutup oleh keterkejutannya.
Dia melangkah mendekat. Ya Tuhan, aku malah hendak refleks
me?lompat mundur. Beruntung di detik terakhir, aku berhasil me?
maksakan kakiku tetap bertahan.
Dia memelukku. Itu pelukan kaku.
Aku tak bereaksi. Hanya basa-basi balas mendekapnya. Me?
mak?sakan bibir menyungging senyum.
"Kapan kau pulang?" dia bertanya. Pertanyaan itu juga kaku.
Aku menelan ludah. Ya Tuhan, cepat sekali terbentuk jarak di antara kami. Seperti
bumi yang merekah. Membuat kami berdiri sepuluh langkah
dengan lubang dalam menganga di tengah-tengahnya. Aku ingin
se?kali menyambutnya seperti pelukan di Bandara Changi dulu,
se?perti saat sweet seventeen.
Bukankah aku masih "adiknya?" Bukankah dia masih "kakak?
ku?" Dan aku bisa merangkai pembicaraan ini seperti adik yang
baik kepada kakaknya yang mengagumkan.
Adik dan kakak yang telah dua tahun tak bertemu.
Aku tak tahu seperti apa perasaan dan apa yang dipikirkannya
se?karang. Mungkin masih belum nyaman semenjak ketidakhadir?
an?ku dua tahun silam di pernikahannya. Dia masih kaku untuk
mem?perlakukan aku seperti apa adanya. Seharusnya aku bisa dan
berusaha membuat pertemuan ini jauh lebih menyenang?kan.
"Ah, tadi Kak Danar nanya apa?" Aku menelan ludah, menco?
ba mengingat pertanyaannya.
190 190 Dia tertawa kecil (tawa itu!), "Kapan kau pulang?"
"Dua hari lalu". lagi libur semester, delapan tahun pemakam?
an Ibu. Kangen"." Aku berusaha serileks mungkin. Kalimatku
ke?luar tak runtun. Apalagi rapi. Tetapi itu membantu banyak
un?tuk mencairkan situasi.
Dia mengangguk. "Seharusnya kau bilang. Setidaknya aku dan Ratna bisa me?
nyiap?kan sesuatu." "Buru-buru". Maaf."
Dia menggeleng. Tak apa-apa.
"Lama kita tidak bertemu ya" Dua tahun."
Dia menghela napas panjang. Cahaya mukanya berubah. Dan
men?dadak aku tersentuh! Itulah raut mukanya dulu saat men?
jem?putku di bandara waktu libur SMP. Raut muka saat sweet
seventeen, raut muka saat memujiku. Raut muka saat menegurku
di atas bus, raut muka saat membersihkan luka di kakiku, mem?
ba?lutnya! Raut muka itu.
Dan semua batas yang ada di hatiku berguguran seketika.
Sia?pa pun dia sekarang. Milik siapa pun dia sekarang. Ya Tuhan,
dia tetap kakakku. Tetap malaikat kami.
Mataku berdenting air. Berkaca-kaca. Aku tak seharusnya me?
mi?liki jarak ini. Aku tak sepantasnya membuat semua ketidak?
nya?manan ini. Anne benar, seharusnya akulah yang lebih dulu
mengi?rimkan e-mail dan chatting. Akulah yang mesti memu?
lainya. Karena semua masalahnya ada di hatiku.
Lihatlah, cahaya muka itu amat menyenangkan.
Aku bergetar melangkah. Lantas memeluk dia sekali lagi de?
191 191 ngan pelukan yang lebih akrab. Dengan pelukan yang lebih baik.
Pe?lukan seorang adik yang rindu kepada kakaknya. Dan raut
mu?kanya teramat jelas, rindu kepada adiknya yang pencemburu
dan banyak mau tetapi tetap disayang sepenuh hati.
"Kau sungguh berubah," dia berbisik.
Aku menangis. Meminta maaf atas semuanya melalui tangisan itu.
"Lihatlah". Tania yang dewasa dan cantik. Tania yang akan
sela?lu membanggakan Ibu. Tania yang selalu akan membangga?
kan." Dia melepas pelukannya, menatapku dengan pandangan
bang?ga. Berkaca-kaca. Aku berbisik syukur. Pertemuan ini ternyata mudah.
*** Kami makan siang di rumah. Adi membantu menyiapkan masak?
an. Dia memang jago masak, dan itulah gunanya. Sebenarnya
man?faat Adi tidak itu saja. Yang lebih penting, dengan adanya
Adi di sana aku merasa ada beberapa kenangan dan kekhawatir?
an yang langsung otomatis terproteksi.
Aku mengenalkan Adi sebagai "teman dekat". Adi dan Dede
me?nyengir berdasarkan versi masing-masing. Adi menyeringai
se?nang, tidak percuma semua pengorbanannya selama ini; dia
akhir?nya naik pangkat dari "teman biasa" atau "sekadar kacung"
men?jadi "teman dekat"; sementara Dede menyeringai tak menger?
ti menatapku, (Kak Tania bohong). Tetapi kebohongan itu mem?
ban?tu banyak pembicaraan di meja makan.
192 192 Aku bertanya tentang Kak Ratna jauh lebih ringan. Dia ber?ta?nya soal bulan-bulan itu, dua tahun yang terpotong. Pembica?
raan itu belum seakrab waktu kami makan di China Town per?
ta?ma kali dulu, tetapi itu cukup menyenangkan.
Setidaknya aku bisa tertawa renyah dua-tiga kali.
*** Besoknya, persis delapan tahun kematian Ibu.
Aku, adikku, dan Adi (yang pagi-pagi sudah datang ke ru?
mah) pergi ke pusara Ibu. Dede membawa empat tangkai mawar
me?rah. Ini kebiasaannya. Adikku setiap minggu selama delapan
ta?hun terakhir selalu datang ke pemakaman Ibu. Membawa ma?war merah. Mengadu. Bercerita.
Adikku dulu mengotot sekali bahwa dia bisa berbicara dengan
Ibu, waktu umurnya masih delapan tahun. Sekarang justru aku
se?nang setiap adikku menceritakan hasil "obrolan" mereka. Tentu
saja itu "bohong". Tidak masalah. Adikku berbakat menjadi "pe?
mim?pi" besar, maksudnya pujangga. Adikku juga tahu itu se?mua
hanya khayalan. Tetapi bukankah itu menyenangkan" Mem?buat
kita tetap dekat dengan seseorang yang amat berhar?ga, yang
amat kita cintai, Ibu yang nun jauh di sana. Kepura-pura?an
seper?ti itu menyenangkan.
Satu tangkai mawar untuk satu orang. Aku, dia, Kak Ratna,
dan adikku sendiri. Adi" Jelas-jelas dia bukan anggota ke?luarga,
itu penjelasan Dede. Adi menerima penolakan Dede de?ngan
nyaman. Mungkin di otak paling tidak rasional Adi seka?rang
193 193 sedang tumbuh harapan: "Nanti, cepat atau lambat aku akan jadi
anggota keluarga; atau esok lusa bisa bawa bunga sendiri." Aku
tidak memedulikannya. Dia dan Kak Ratna datang satu menit setelah kami tiba. Pu?sa?ra itu dekat benar dengan rumah. Hanya lima ratus meter
mengikuti jalan besar kota kami menuju utara.
Jika kalian terus ke arah utara, beberapa ratus meter lagi akan
tiba di jalan akses, tiba di bantaran kali tempat rumah kardus
kami dulu. Tanah itu sekarang sudah ada yang membeli. Ti?dak
tahu siapa. Dan sudah disulap menjadi setengah taman.
Tetapi pohon linden itu tetap berdiri di sana.
Dia mengenakan kemeja warna putih, jins belel. Kak Ratna
juga mengenakan pakaian yang sama. Tersenyum menatapku.
Aku tersenyum menatap mereka: pasangan yang serasi.
"Tania"." Kak Ratna beranjak melangkah mendekapku. Ma?
ta?nya bahkan berkaca-kaca, terharu atas pertemuan itu. Aku
me?mutuskan untuk balas memeluk Kak Ratna dengan perasaan
tu?lus. Kak Ratna sudah menjadi bagian keluarga. Sudah menjadi
"ka?kak" yang sebenarnya.
"Aku terkejut sekali waktu beberapa hari lalu Danar bilang
kau pulang. Kenapa kau tidak melapor bahwa Tania pulang,
Dede?" Kak Ratna melepaskan pelukannya. Tangannya menjawil
ram?but jigrak Dede. Yang dijawil menghindar. Dede benci dipeluk atau dielus ram?
but?nya oleh siapa pun, termasuk aku.
"Biar surprise. Dulu Kak Ratna juga surprise waktu datang ke
Singa?pura." Aku membalas senyumnya.
194 194 "Lama tidak bertemu. Lihatlah, kau terlihat semakin cantik."
Kak Ratna memuji untuk kesekian kalinya.
Aku tersenyum sambil bersibak, agar mereka berdua bisa
mera?pat ke pusara Ibu. Kak Ratna melihat Adi untuk pertama kalinya.
"Siapa?" Itu berarti dia tidak menceritakannya pada Kak Ratna. Aku
mene?lan ludah. Kenapa tidak diceritakan"
Aku sekali lagi basa-basi mengenalkan Adi sebagai "teman
de?kat". Yang dikenalkan tersenyum senang. Dede menatapku
sam?bil menyeringai ("Bohong!"). Tetapi adikku sudah buru-buru


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

me?langkah membagikan dua tangkai mawar yang tersisa un?tuk
mereka berdua. Karena Dede adalah "kuncen" makam Ibu selama delapan ta?hun terakhir, adikkulah yang memulai acara peringatan tak resmi
itu. Dede berdiri agak ke depan. Berdeham. Menatap semua. Aku
menyengir, Dede memang berbakat memimpin ritus seperti ini.
"Ibu" Kami datang hari ini. Berempat." Dede bahkan tak
per?lu melirik ke arah Adi (yang protes).
"Delapan tahun Ibu sudah pergi. Dan ternyata Ibu tak sekali
pun datang untuk menjenguk kami. Itu berarti ada banyak sekali
yang Ibu siapkan di sana, bukan seperti menyiapkan sarapan di
kala pagi." Aku menyengir. Dia juga menyengir. Itulah kata-kata yang
diucap?kan dia waktu membujuk adikku untuk beranjak pulang
dari pemakaman Ibu delapan tahun silam.
"Tetapi tak peduli seberapa lama lagi Ibu akan menyiapkan
195 195 ba?nyak hal di sana, ada satu hal yang akan kami kenang selalu
dari semua ini." Adikku diam takzim. Mengangkat kepalanya.
"Daun yang jatuh tak pernah membenci angin." Suara adikku
ter?cekat. Aku menghela napas. Kalimat itu. Melirik ke arah adikku.
Wa?jah Dede berubah dari muka anak kuliahan serbatanggung
men?jadi begitu teduh. Menjadi begitu menyenangkan. Seketika
hati?ku ikut tersentuh. "Dede dulu tak mengerti apa maksudnya. Kalimat itu bahkan
terde?ngar menyebalkan. Dede bahkan mengibaskan tangan orang
yang mengatakannya. Ibu" Dede hanya berpikir Ibu pergi kare?na tak sayang lagi pada Dede. Yang bandel, selalu malas disuruh,
ha?nya main melulu. Dede tahu Ibu dulu selalu sayang Kak
Tania. Jadi tak mungkin Ibu pergi karena Kak Tania."
Aku menelan ludah. Dia dan Kak Ratna juga berdiam. Ta?ngan mereka saling menggenggam.
"Dede ternyata keliru". Ibu pergi bukan karena tak sayang
lagi pada Dede. Ibu pergi untuk mengajarkan sesuatu"."
Suara Dede mulai serak. "Bahwa hidup harus menerima" penerimaan yang indah. Bah?
wa hidup harus mengerti" pengertian yang benar. Bahwa hidup
ha?rus memahami" pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa
pene?rimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masa?
lah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.
"Kami kecil sekali saat Ibu pergi. Gemetar menatap gelapnya
masa depan. Takut becermin pada masa lalu yang getir.
196 196 "Ibu benar". Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu
dita?kuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin
me?reng?kuhnya, membawanya pergi entah ke mana. Dan kami
akan mengerti, kami akan memahami". dan kami akan meneri?
ma." Dede diam. Lama. Lantas menoleh ke dia. Memberikan tempat baginya untuk
me?nyampaikan sesuatu. Dia menggeleng. Adikku menatap aku.
Aku juga menggeleng (kata-kata Dede sudah lebih dari cukup).
Me?natap Kak Ratna. Kak Ratna tersenyum menggeleng.
Kami bersama-sama meletakkan setangkai mawar merah di
pusara Ibu. Angin berembus lembut memainkan anak ram?but?ku.
Daun pohon kamboja berguguran. Satu helai jatuh di pun?dakku.
Matahari pagi menanjak tinggi. Langit cerah tak berawan. Biru!
Warna kesukaanku. Kami beranjak pulang. 197 197 Pukul 21.10: Potongan Teka-Teki yang Pertama
Mobilku melewati jalan kecil yang menuju pemakaman Ibu.
Aku tersenyum, menoleh. Esok sebelum kakiku entah harus
ke mana, tergantung hasil pembicaraan malam ini, aku berjanji
me?nyempatkan diri untuk singgah ke pusara Ibu. Malam ini tu?
juan?ku bukan pusara Ibu.
Jalanan tetap tersendat, aku butuh waktu beberapa menit lagi
un?tuk tiba ke tujuan. Purnama semakin cemerlang. Bintang kian gemintang.
Aku melirik jamku. Pukul 21.10.
Bibir jalanan ramai lagi oleh orang-orang yang berlalu-lalang.
Be?berapa pasangan menuju warung-warung tenda yang berjejer
rapi di sepanjang jalan. Mereka mesra saling mendekap.
Mereka mungkin saja tidak lapar.
Aku berdiam diri menatap.
198 198 *** Kami tidak banyak bicara saat makan siang di rumah selepas
per?ingatan delapan tahun kepergian Ibu. Bukan tiba-tiba aku
atau dia merasa tidak enak, tetapi lebih karena Kak Ratna selalu
ber?ada di dekatku dan "menguasaiku" berbincang banyak hal.
Bertanya bisnis kue itu (Kak Ratna tahu lewat e-mail). Bertanya
ten?tang Anne ("Ya ampun, masih belum punya pacar juga." Kak
Ratna tertawa). Menggodaku soal Adi. "Berarti banyak dong co?
wok yang patah hati!" Kak Ratna berkata sambil melirik Adi.
Aku tak memperhatikan. Aku juga membiasakan diri bertanya tentang "keluarga mere?
ka"; setidaknya biar perbincangan berjalan normal dua arah.
Ru?mah baru mereka ("Sewa. Danar memutuskan hanya menyewa,
kami belum tahu benar akan tinggal di mana," Kak Ratna menje?
las?kan). Pekerjaannya sekarang ("Aku hanya jadi ibu rumah tang?ga. Sebenarnya pengin sekali seperti kau. Ah ya, bagaimana ma?
gangmu" Teman di kantor asyik, kan?"). Dan berbagai hal lain?nya,
apa pun itu yang tebersit di otak kami.
Sore hari mereka pulang. Aku yang membukakan pintu pagar.
Me?natap mobil mereka hilang di kelokan jalan. Melepas keper?
gian mereka dengan perasaan normal, seperti kita sedang me?le?
pas sepasang keluarga muda bahagia yang pulang dari berkun?
jung. Aku tersenyum menghela napas. Lega.
Malamnya aku memutuskan untuk ke toko buku.
Adikku tadi sore memberitahukan bahwa dia baru saja mener?
bit?kan buku berikutnya; dan aku yang pernah berjanji akan
199 199 selalu mem?baca bukunya merasa penting untuk mendapatkan
buku itu se?gera. Adi, seperti biasa, menawarkan diri menemani.
Aku meng?ang?guk pelan tak peduli. Dede malas ikut, adikku
masih berku?tat dengan Lego barunya.
Dan malam itulah kejadian menyebalkan dengan Adi terjadi
se?perti yang kuceritakan di awal-awal sebelumnya. Saat Adi di
te?ngah-tengah hujan tak sabar menyatakan perasaannya. Tingkah
laku impulsif itu! Aku tidak tahu apa pemicunya. Mungkin
gara-gara selama dua hari terakhir sudah dua kali kukatakan
Adi teman dekatku. Mungkin salahku juga, tetapi Adi bisa kan,
me?nyampaikan perasaannya dengan cara yang simple-simple saja.
Tak pantas menarik perhatian seluruh pengunjung toko buku.
Semenjak malam itu Adi menghindar bertemu denganku, ter?
ma?suk ketika sudah kembali ke NUS. Anne hanya menatap
pri?hatin tak banyak berkomentar; Anne tahu semua detail keja?
dian tersebut; termasuk soal pertemuanku dengan dia dan Kak
Ratna; apalagi soal kelakuan Adi malam itu.
Aku tak peduli dengan keluhan Anne tentang perangaiku
yang semakin paradoks. Aku kembali tenggelam dalam keseha?
rian di NUS dan bisnis kue. Enam bulan lagi aku harus lulus.
Dan itu belum ditambah apprenticeship di salah satu perusahaan
pia?lang terbesar Singapura.
Sibuk! Peduli amat! Aku sedikit pun tak keberatan. Dengan
se?mua kesibukan ini, kehidupanku berubah normal seperti biasa.
Mes?kipun dengan sikap dan cara pandang yang banyak berubah.
Wa?jah menyenangkan yang luntur. Perangai yang bertentangan.
Ang?gap saja itu efek samping dari proses berbaikan hatiku.
200 200 *** Aku kembali ke Singapura dua hari kemudian, setelah kejadian
hujan-hujanan itu. Miranti dan Dede mengantar ke bandara. Adi
ti?dak pulang hingga beberapa hari kemudian; katanya demam
sete?lah berjam-jam tidak beranjak dari pelataran parkir toko
buku, hujan-hujanan. Kak Ratna hanya mengirimkan pesan lewat SMS ("Selamat
ja?lan, Sayang."). Dia tidak menghubungiku. Tetapi itu bukan
masa?lah besar. Dua hari bertemu di rumah membuatku lebih
nya?man. Mungkin dia sedang sibuk atau apalah.
Tak ada kejadian penting hingga enam bulan kemudian. Aku
lu?lus kuliah sesuai jadwal, dengan nilai yang baik. Kali ini aku
wisu?da benar-benar sendirian. Anne memutuskan lulus normal
tiga setengah tahun. Juga teman-teman senior high school-ku
dulu. Namaku terpahat di plakat depan kampus; lulusan terbaik;
lu??lus?an tercepat; lulusan tertinggi GPA-nya. Aku hanya menyen?
tuh pahatan itu dengan jemari, pelan, dan tersenyum.
Lihatlah, Ibu! Adikku tidak bisa datang saat graduation day, meskipun aku
me??nawarkan tiket liburan buatnya, Dede sedang ujian akhir. Kak
Ratna mengirimkan e-mail pendek mengucapkan selamat, dan
min??ta maaf tidak bisa datang. Kak Ratna tetap tidak pernah
me??nyampaikan pesan dari dia; yang kemungkinan besar karena
dia memang tidak pernah menitipkan pesan itu pada Kak
Ratna. Dia hanya bilang lewat adikku, dalam salah satu e-mail Dede,
201 201 bahwa dia tidak bisa datang pada hari wisudaku. Sibuk! Harus
me?nangani auto-show besar di Frankfurt bersama tim pemasaran
per?usahaannya dari negara-negara lain.
Jadilah aku sendirian. Aku mengucapkan kata sambutan superpendek. Terima kasih
ke?pada Tuhan, Ibu, adikku, dan dia. Tidak sedih, tidak terharu.
Lan?tas buru-buru turun dari podium, pulang ke flat, berbenahbe?nah pindah.
*** Sehari setelah graduation day, statusku berubah menjadi full-time
senior associate di perusahaan pialang tempatku selama enam
bu?lan terakhir magang. Mereka menawarkan paket kompensasi
yang baik. Fasilitas cukup dan berbagai remunerasi lainnya, ter?
ma?suk kesempatan berlibur gratis selama dua puluh empat hari
se?tiap tahun, ke mana pun tujuannya.
Namun, bukan itu alasanku memilih perusahaan itu. Jauh le?
bih penting adalah "budaya kerjanya". Semua karyawan di sana
ti?pikal workaholic sejati. Individualis dan terbiasa memasang tar?
get pencapaian yang mencekik leher. Itu penting bagiku. Setidak?
nya karyawan-karyawan lain tidak akan sibuk bertanya tentang
la?tar belakang, keluarga, apalagi kisah cinta masa lalu. Mereka
su?dah terlampau sibuk bekerja. Sibuk dengan urusan masingmasing.
Kesibukan yang padat itu juga penting buatku. Apalagi de?
ngan deadline dan segala indikator keberhasilan gila lainnya. Itu
202 202 se?mua memberikan ruang yang besar untuk berbagai tabiat para?
doksku. Menikmati menggunakan berbagai "kelebihan" yang aku
miliki dalam pekerjaan. Tak peduli apakah itu menyakitkan bagi
pihak lain. Di kantor ini, semakin berani kalian dengan segala
risi?konya, semakin terang benderang karier kalian. Keberanian
apa lagi yang tidak kumiliki.
Nothing to lose. Aku enjoy bekerja di sana.
Meskipun harus kuakui, setiap pulang ke apartemen"seka?
rang aku menyewa satu unit di dekat kantor"kehidupanku
tera?sa kosong. Aku tak tahu apa yang telah kulakukan. Yang le?
bih penting lagi, aku tak tahu apa yang telah kukerjakan tersebut
ber?guna atau tidak. Kehidupanku mulai terasa hambar.
Kelas mendongeng itu sempurna diambil alih oleh Anne. Bis?nis kueku memang berkembang baik, sekarang sudah dua toko;
te?tapi sekarang sepenuhnya dikendalikan Encik Faisal, salah se?
orang karyawan lamaku. Aku hanya sekali sebulan datang ber?kun?jung. Dan itu tak lebih memastikan semuanya berjalan baik,
Encik Faisal menyerahkan laporan dan aku memeriksanya. Ha?
nya itu. Aku berteman dengan lorong-lorong kantor yang kosong di
ma?lam hari. Pulang selalu di atas jam sembilan. Lift mendenging
dari lantai 45 meluncur ke basement. Nonstop. Hanya aku di
da?lamnya. Lelah. Semuanya terasa sepi dan hampa. Di kantor
ja?rang sekali karyawan berbincang. Mereka benar-benar sibuk
dengan pekerjaan masing-masing.
Menyetir mobil dengan tatapan datar. Ribuan larik cahaya
kota Singapura cantik menimpa jalanan. Tetapi aku sudah lama
203 203 ke?hilangan selera untuk sejenak berdiri memperhatikan potongan
ke?hidupan ini. Seperti yang dulu diajarkannya waktu menatap
dari lantai dua toko buku itu. Aku terlalu lelah untuk menikmati
wa?lau sesaat sebuah rehat.
Naik lift lagi menuju lantai apartemenku. Berdenging.
Sendirian melempar sepatu sembarangan. Melepas blus. Ter?
ka?par duduk di sofa lima belas menit. Menatap langit-langit.
Malas menuju kamar mandi. Berendam lama, juga malas un?tuk
beranjak selesai. Membuka lemari es, mencoba mencari ma?kanan
ringan yang tidak sehat. Membaca buku sejenak.
Aku terlonjak riang saat laptopku yang selalu menyala di meja
ker?ja berkedip. Adikku Dede online. Adikku setahun terakhir
ter?biasa membuka portal chatting di atas jam sepuluh malam.
"Le?bih asyik buat ngobrol kalau suasananya tenang." Itu penjelas?
an?nya. Hanya inilah sisa potongan kehidupanku yang menyenangkan.
Ber?bicara dengan adikku. Dia sekarang sudah kuliah. Tidak jauhjauh, di kampus dekat rumah ("Biar ada yang mengurus pu?sara
Ibu." Itu juga penjelasannya). Padahal aku tahu adikku le?bih dari
layak untuk mendapatkan satu kursi di kampusku dulu.
Kami selalu membuka chatting itu dengan menanyakan kabar
masing-masing. Adikku juga mempunyai banyak kebiasaan yang
mi??rip dengan dia. Bertanya kabar menjadi standar pembuka pem?
bi?caraan orang-orang yang pernah dekat dengan dia. Berbincang
apa saja. Film-film. Lagu-lagu. Buku-buku. Karena Dede sudah
de?wasa, anak kuliahan, jadi pembahasannya terkadang lebih se?rius.
204 204 Adikku juga dengan rileks bercerita soal pacarnya. Akhirnya
adik?ku dapat pacar juga. Gadisnya berkerudung. Aku tertawa
meng?ingatkan agar dia lebih rajin shalat. Dede hanya membalas
de?ngan emoticon menyengir. Teman satu kampus. Kenalan saat
os?pek fakultas, di acara mentoring keagamaan pada awal semes?
ter. "Sebenarnya kami belum pacaran," adikku mengklarifikasi dua
ming?gu kemudian.

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tertawa. "Maksudnya apa belum pacar?an" Bukankah dua
minggu lalu kamu bangga sekali memprokla?masikan hubungan
itu?" "Hubungan kami tuh unik. Karena bagi dia, tidak ada istilah
pa?caran. Dia justru mengajak segera menikah. Kan repot banget,
Kak Tania! Dede mana siap buat menikah!"
Aku menelan ludah, manyun. Masalah adikku ternyata luma?
yan serius" "Apa perlu Kak Tania pulang sekarang dan melamar?
nya?" aku bercanda. Adikku tidak berkomentar banyak selain
mengi?rimkan emoticon marah besar. Tertawa lagi.
Namun, hubungan mereka berdua baik-baik saja. Mereka me?mang punya isu penting itu, tetapi setidaknya mereka saling
me?nyukai. Perasaan masing-masing sudah jelas bagai bintang di
la?ngit. Aku tersenyum mengingat kalimat itu. Besok aku akan
me?ngirim e-mail untuk Anne. Anne sekarang mungkin sedang
si?buk menyusun tugas akhir kuliahnya.
Dua minggu kemudian, adikku mengirimkan foto gadis itu.
Sophi namanya. Aku lupa adikku pernah menyebut namanya
da?lam salah satu chatting kami. Dan aku seketika mengerti meng?
205 205 a?pa Dede menyukainya. Bukan karena parasnya cantik. Bukan
ka?rena itu. Lihatlah tatapan matanya, teduh dan menenteramkan.
Sama seperti tatapan mata Ibu.
Untuk cowok bertabiat seperti adikku, karakter yang tecer?min
dari wajah Sophi menjadi padanan yang sempurna. Matang, pe?
nger?tian, mau mendengarkan, dan penyabar. Aku menelan ludah.
Dalam beberapa hal, sifat baik itu ada pada Kak Ratna, bu??kan
padaku. Mungkin itulah yang membuat dia menyukai Kak
Ratna. Ah, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Aku
men?yeringai segera menghapus ingatan masa lalu.
Melalui chatting itu pula Dede menyampaikan pertanyaan apa
ka?bar dari dia. Pada awal-awal semester pertama adikku, Dede
selalu bertemu dengan dia dua minggu sekali di kampus, sesuai
de?ngan jadwal mengajarnya. Tetapi sebulan terakhir, dia tiba-tiba
ber?henti dari kegiatan mengajar di kampus, itu laporan Dede
se?minggu yang lalu. Aku hanya bilang, "Mungkin dia malas dapat mahasiswa se?
per?ti kamu." Dede mengirimkan emoticon marah.
Dalam chatting seminggu yang lalu juga, adikku entah kenapa
me?nga?barkan sesuatu yang menjadi beban pikiranku selama ber?
hari-hari terakhir. "Aku ke rumah mereka beberapa hari lalu.
Aku tak tahu apa sebabnya, tetapi aku menemukan Tante Ratna
se?dang menangis di halaman belakang."
Aku menelan ludah membaca kalimat itu. Apa pun maksud?
nya, aku sama sekali tak nyaman dengan kabar tersebut. Kak
Ratna menangis" 206 206 "Kamu pasti salah lihat! Mungkin Kak Ratna sedang kema?
suk?an debu." Aku mencoba menetralisir pengaruh berita di
hatiku de?ngan bergurau. "Jelas-jelas Kak Ratna menangis," adikku mengotot.
"Dia menangis kan bisa karena sesuatu yang membahagiakan,"
aku juga ikut "mengotot".
"Mungkin saja, tetapi untuk orang seumuran Dede, kayaknya
Dede tahu deh mana tangis yang begitu mana tangis yang tidak."
Adik?ku sign out, kesal. Sisa malam aku berpikir banyak hal. Aku mencemaskan mere?
ka berdua. Sungguh, tak ada maksud lain. Aku semata-mata
men?cemaskan keluarga "kakakku", seperti kita yang prihatin saat
mendengar kabar buruk dari anggota keluarga lainnya. Ada apa?
kah" Itu terjadi enam bulan lalu. Usiaku menjelang dua puluh dua
ta?hun. Adikku hampir tujuh belas tahun, dan dia tak lama lagi
tiga puluh enam tahun. Ketika semua api telah padam. Ketika aku sudah berlari jauh
me?lesat menyambut cerita yang berbeda, meski tak tahu akan
se?perti apa ending-nya. Ketika aku justru berharap mereka akan
men?jadi keluarga yang bahagia. Ketika semua urusan ini menu?
rut?ku sudah selesai. Tutup buku.
Potongan teka-teki itu tiba-tiba datang kepadaku.
Menyesakkan. Membuat kembali semua masa lalu itu. Yang
ma?lam ini, betapapun sakitnya, harus kuselesaikan.
*** 207 207 Waktu itu aku pikir Dede terlalu berlebihan soal Kak Ratna
yang menangis. Pertama karena baru seminggu yang lalu Kak
Ratna mengirimkan e-mail rutinnya kepadaku. Bilang semuanya
baik-baik saja dan menyenangkan. Bilang bahwa Kak Ratna sa?
ngat bahagia dengan kehidupannya sekarang.
Yang kedua, apa pun alasannya, aku tahu dia tidak akan mem?
biar?kan seseorang yang amat berharga baginya akan menangis.
Kami saja tak pernah dibiarkan menangis. Aku ingat sekali saat
ma?lam-malam dia marah di depan dokter yang bertanggung ja?
wab atas Ibu. Semuanya terasa ganjil dan membuatku tidak
nya?man. Aku prihatin. Dan memutuskan mengirimkan e-mail bertanya
apa kabar ke?pada Kak Ratna, tentu tidak menyinggung secara
langsung ce?rita Dede kepadaku. Aku menuliskannya sedemikian
rupa agar Kak Ratna-lah yang bercerita apa yang sedang terjadi.
Namun, se?belum e-mail itu terkirim malam berikutnya, e-mail
lain dari Kak Ratna yang justru tiba terlebih dahulu.
Ya Tuhan! Surat yang panjang. Andai kata ditulis di atas ker?
tas, akan terdapat bercak-bercak air mata, karena e-mail itu
menye?dihkan. Surat itu membuatku tersentuh, meskipun aku
bi?ngung dengan maksudnya. Dan lebih bingung lagi apa yang
ha?rus kulakukan menanggapinya.
"Dear Tania". Apa kabar, Sayang" Semoga kau baik dan sehat selalu.
Semoga Tuhan selalu memberikan perlindungan kepada gadis
secantik dan sebaik kau. 208 208 Sayangnya aku sama sekali tidak sedang dalam kondisi
sehat saat menuliskan e-mail ini. Aku sedang pilek. Beberapa
hari ter?akhir demam panas. Membuatku susah ke manamana. Menge?tik?kan e-mail ini saja jemariku gemetar. Aku
me?mak?sakan diri menulis, Sayang. Teramat penting. Tetapi
sebe?narnya bukan se?mata-mata karena masalah fisik aku ke?
sulitan menuliskan e-mail ini. Ada yang lebih menyakitkan
lagi. Bukan sakit di sekujur badan, tetapi di hati, Sayang. Menu?
suk, membuatku sering kali tertelungkup tak mengerti akan
me?lakukan apa. Membuat badanku jauh lebih sakit daripada
virus selesma. Maafkan aku, Sayang, jika e-mail ini mengganggumu,
tetapi aku sama sekali tidak tahu lagi harus bicara dengan
siapa. Kau?lah satu-satunya teman terdekat yang paling me?
nger?ti situasinya. Jadi, aku memutuskan untuk mengirimkan
e-mail ini kepada?mu. Maafkan aku, Sayang, jika isi e-mail ini tidak seperti e-mail
yang biasa aku kirimkan, tidak seperti chatting kita selama ini.
E-mail ini berisi banyak hal yang menyedihkan. Sesuatu yang
sela?ma ini aku sembunyikan. Aku memutuskan untuk menceri?
ta??kan semua padamu. Aku menelan ludah. Menghela napas panjang. Menatap
langit-langit kamar apartemenku. Beberapa detik tadi Dede ma?
suk online, tetapi aku buru-buru memintanya untuk setengah
jam ke depan tidak mengganggu. Ada hal penting ("Yee, sejak
209 209 ka?pan Kak Tania ngurus hal penting malam-malam. Kalau gitu
Dede lebih baik tidur," adikku merajuk, sign-out).
Tania, aku dulu selalu berdoa agar Tuhan menakdirkanku
meni?kah dengan lelaki yang kucintai. Ah, aku dulu sama
sekali ti?dak percaya dengan kata-kata: lebih baik menikah
dengan orang yang mencintaimu!
Bagaimana mungkin kau akan bahagia, jika kau terpaksa
meni?kah dengan seseorang yang tidak pernah kaucintai, tak
peduli se??berapa besar dia mencintaimu. Itu akan menyakitkan.
Bagaima?na kau akan menjalani hari-harimu"
Tetapi ternyata kata-kata itu benar. Sayang, kau tak akan
per??nah bisa membayangkan bagaimana kehidupan kita ketika
kau me?nikah dengan seseorang yang ternyata tidak mencintai?
mu, mes?kipun kau amat mencintainya.
Waktu aku memutuskan untuk mencintai dia, kemudian
me?mu?tuskan untuk menikah dengannya, aku pikir doaku
terkabul. Aku amat mencintainya, apa lagi yang kurang" Dan
dia juga terli?hat mencintaiku. Tetapi semua itu hanya bohong.
Kebohongan be?sar yang terbungkus begitu rapi.
Ya Tuhan, dia sedikit pun tak pernah mencintaiku.
Sayang, aku seperti bersaing dengan sebuah bayangan yang
tak akan pernah kukalahkan. Bersaing dengan seseorang yang
tak kuketahui. Tetapi nyata.
Ada. Tetapi tidak ada. Bayangan yang selalu dia cintai.
Dear Tania, ketika aku berhasil membujuknya untuk
pindah ke rumah baru, aku pikir sedikit demi sedikit aku
210 210 akan berhasil me?menangkan persaingan tak terlihat itu, tetapi
dia tetap men?cin?tai bayangan itu. Dan aku sungguh tak tahu
apa itu! Kau mung?kin melihat kami begitu mesra dan akrab
saat di pusara Ibu, juga di rumah, tetapi semuanya plastik.
Topeng. Aku bahkan sudah hampir enam bulan jarang berbincang
de?ngannya. Dia lebih banyak diam. Lebih banyak menyendiri.
Be?lum lagi kesibukan kerjanya. Kami hanya saling menegur
di pagi hari. Saat dia pulang. Dan peluk cium sebelum tidur.
Sisanya ko?song. Dan mata itu, matanya tak pernah lagi memandangku
dengan cara yang sama. Mata itu sudah berubah. Sejak dulu,
sejak per?tama kali bertemu, aku berjuang agar dia tetap men?
cin?taiku, mem?buatnya nyaman di sebelahku, tetapi sekarang
benar-benar tak ada lagi yang bersisa.
Dear Tania, semuanya gelap. Aku tak tahu apa yang
sebenar?nya terjadi dengan keluarga ini. Dan aku sungguh
takut memin?ta?nya menjelaskan. Aku takut mendengar sebuah
penjelasan. Ka?rena itu, mungkin saja akan menyakitkan".
Maafkan aku, Sayang, tidak seharusnya kau mendengar
kabar bu?ruk ini, tetapi aku tak tahu harus berbagi lagi
dengan siapa. Tak mungkin aku berbagi dengan Dede, kan"
(meskipun dia su?dah menulis dua buku puisi tentang cinta).
Peluk sayang dari kakakmu yang sedang sedih. Semoga kau
se?nan?tiasa sehat dan selalu cantik. Salam buat Adi.
Kakakmu, Ratna. 211 211 Aku menghela napas. Dede benar. Tangisan itu bukan tangis?
an bahagia, apalagi karena kemasukan debu.
Jemariku menggerakkan mouse, menekan tombol reply. Apa
yang harus kutuliskan untuk membalas e-mail ini" Tepatnya, apa
yang diharapkan Kak Ratna dalam e-mail balasanku"
Semua ini terasa pelik dan mengganggu. Pertama, aku terkejut
de?ngan kabar itu ("Bagaimana mungkin" Bukankah mereka terli?
hat amat bahagia di pusara Ibu?"). Kedua, apa sebenarnya yang
se?dang terjadi" Bagaimana mungkin dia menelantarkan Kak
Ratna" Dia yang aku kenal amat menyenangkan" Itu sama sekali
ti?dak masuk akal, kan"
Ketiga, posisi apa yang harus kuambil" Sederhananya, apa
yang harus kuketikkan untuk membalas e-mail ini"
*** Anne besok paginya menyengir menyarankan agar aku mengam?
bil jarak. "Aku tahu kau tidak memiliki kepentingan apa-apa lagi
se?lain ingin membantu Kak Ratna. Tetapi kita tidak tahu apa
yang sebenarnya sedang terjadi, kan" Lebih baik menunggu. Kau
tidak ingin terjebak oleh kebaikan itu sendiri. Ada banyak kebaik?
an yang justru berbalik menikam, menyakitkan pemberinya."
Aku menatap Anne tak mengerti. Maksudnya, aku akan meng?
am?bil keuntungan dari masalah keluarga mereka sekarang" No
way! Itu tidak akan pernah terjadi. Semua itu sudah usai. Bukan?
kah aku sudah bisa berdoa agar mereka menjadi keluarga yang
ba?hagia selamanya" 212 212 Lantas, apa maksudnya bersaing dengan bayangan"
Anne tertawa kecil. "Pria selalu punya ruang tersembunyi di
hati?nya. Tak ada yang tahu, bahkan percayakah kau, ruang se?ke?cil itu jauh lebih absurd daripada seorang wanita terabsurd
se?kalipun." Aku menatap Anne, lagi-lagi tak mengerti. Anne juga seperti?
nya tidak terlalu yakin dengan penjelasannya barusan. Mengang?
kat bahunya. Seperti biasa, tertawa sendiri. Sok tahu.
"Mungkin saja dia punya kesibukan lain. Tertekan dengan
ru?tini?tas kerja. Atau semacam itulah. Tak mungkin dia selingkuh
de?ngan wanita lain, bukan?" Anne buru-buru menjelaskan lebih
lan?jut. Aku menggeleng. Itu kemungkinan yang tidak masuk akal.
Untuk urusan kesetiaan, dia tipikal lelaki yang bisa diandalkan.
"Kak Ratna merasa tak pernah mampu membuat dia mencin?
tai?nya. Itu menarik, Tania. Mungkin itulah maksud bayangan
ter?sebut. Kak Ratna bersaing dengan dirinya sendiri untuk mem?
buat dia mencintainya. Tetapi bukankah itu aneh?" Anne berkata
de?ngan ekspresi full-100 watt.
"Aneh bagaimana?" Aku menyengir menatap Anne yang serius
se?kali membahas masalah ini.
"Begini, bagi pria, dan itu sama saja dengan kebanyakan wani?
ta, menikah tidak selalu harus dengan seseorang yang kaucintai.
Me?nikah adalah pilihan rasional. Berkeluarga untuk lelaki
postmodern seperti dia tidak semata-mata urusan cinta-mencin?
tai". Yang tidak rasional dalam urusan ini adalah ada yang ti?
dak konsisten dengan dia". Lihatlah, bukankah dia dewasa se?
213 213 kali. Dia begitu matang. Orang seperti itu jarang impulsif dalam
urus?an ini, kan" Jadi, bagaimana mungkin dia tiba-tiba enggan
ber?bicara dengan Kak Ratna selama enam bulan terakhir" Kena?
pa" Apa alasannya?"
Aku menyengir semakin lebar. Semenjak ikut kelas filsa?fat
paruh waktu di kampus, belakangan Anni suka menjelaskan


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesua?tu menjadi semakin rumit.
"Jadi, ketika dia memutuskan menikah dengan Kak Ratna,
ha?rusnya masalahnya sudah jelas sedemikian rupa". Itu pilihan
pa?ling rasional yang dia miliki. Artinya, masalah terbesarnya bu?kan cinta atau tidak cinta lagi. Masalahnya komitmen, dan aku
te?rus terang saja tak pernah meragukan komitmen seorang lelaki
de?ngan karakter seperti dia. Tetapi". Ah, ini kan baru dugaan?
ku." Anne bingung dengan kelanjutan kalimatnya.
"Sederhananya begini, Tania. Penting sekali untuk tahu lebih
ba?nyak permasalahan ini. Jangan-jangan permasalahannya hanya
ka?rena Kak Ratna terlalu posesif, sehingga perubahan sikap seke?
cil apa pun dapat mengganggunya. Mungkin kau lebih baik
men?ca?ri tahu dulu apa permasalahan mereka"."
Anne mengangguk-angguk. Entah memikirkan apa. Aku kehi?
lang?an selera untuk melanjutkan (pembicaraan ini dibuat sema?
kin rumit oleh gesture muka dan gerak tangan Anne).
Aku buru-buru menghabiskan sarapan sup jagung.
*** Malamnya aku mem-forward e-mail Kak Ratna ke Dede, setelah
214 214 me?maksanya berjanji tidak akan bilang-bilang ke siapa pun. "Se?
jak kapan Dede berbuat serendah itu," adikku marah. Dede sih
lupa sudah seberapa sering dia membocorkan rahasia orang lain
sa?king bocornya. Aku membiarkan Dede membacanya beberapa
me?nit, sebelum melanjutkan chatting, dan adikku mengganti pro?
fil?nya. dedebisadipercaya: Tante Ratna terlalu underestimate. Dede kan tahu
banyak soal beginian. Dua buku puisi cinta (kurang
apa coba") :-P. Ah, sudahlah. Yang penting benar
kan apa yang Dede bi?lang minggu lalu" Kak Ratna
menangis. Tania: Kamu pernah lihat Kak Ratna menangis di lain
kesem?pat?an, nggak"
dedebisadipercaya: Dede kan jarang main ke Menteng. Nggak tahu.
Barangkali saja. Tania: Ada yang aneh nggak dengan Kak Danar selama
ini" Dede lama tidak mengetikkan apa-apa. Aku menduga mung?
kin adikku sedang berusaha mengingat-ingat. Aku sedikit pun tak
pernah menyangka adikku justru sedang memutuskan un?tuk berce?
rita atau tidak. Lima menit kemudian belum juga ada pe?san dari
adikku. Aku jengkel. Untuk orang dengan daya ingat se?hebat
dia, tidak sulit mengambil file kenangan selama dua ta?hun ter?
akhir tentang hal-hal yang aneh terkait dengan dia.
215 215 Tania: Kamu nggak ketiduran, kan" Jawabnya manna" X-(
dedebisadipercaya: Maaf. Kayaknya nggak ada yang aneh tuh.
Adikku berbohong. Karena aku tak bisa melihat langsung
raut mukanya, aku baru tahu sebulan yang lalu.
Tania: Kamu bisa cari tahu"
dedebisadipercaya: Ngapain pula aku ikut-ikut masalah ini" Pa?ling
mereka cuma bertengkar biasa. Lagian kata Tante
Ratna, Dede nggak mungkin mengerti urusan ini,
kan" Tingkah menyebalkan adikku kembali.
Tania: Ini masalah kita juga, adikku yang tampan.
Makanya dulu aku sering berdoa agar dapat adik
cewek, bukan cowok se?perti kamu. Sensitif sedikit.
Ini urusan kita juga. Kamu kan bisa nanya siapalah
di rumah Kak Ratna. Bisa, kan"
dedebisadipercaya: Lihat saja nanti. Dede lagi sibuk ujian se?mesteran.
Malas. Tania: Harus. Kalau nggak, aku bilang ke Miranti, uang
transferannya di-pending.
dedebisadipercaya: Yeee, ngancamnya pakai begituan. Oke. Nan?ti
Dede tanyakan. Dede sama sekali tidak menanyakan masalah itu hingga dua
216 216 ming?gu ke depan. Bukan karena adikku tidak takut dengan an?
cam?an pemotongan uang bulanannya dari toko kue Miranti, tapi
ka?rena adikku memang tahu segalanya. Dia sedang berpikir apa?
kah akan menceritakan bagian itu atau tidak.
Dede takut ada banyak hal yang akan menggangguku.
Seperti permainan Lego raksasa, adikku menyimpan potong?
an-potongan pentingnya. Tidak hanya itu, dia juga sebenarnya
ber?usaha mengumpulkan potongan-potongan lain selama enam
bu?lan terakhir. Membentuk seterang mungkin penyelesaian se?perti di Lego terumit yang pernah dimilikinya.
Semua penjelasan, sayang aku belum tahu.
*** Dear Tania, Apa kabarmu, Sayang"
Aku sudah mulai sehat. Pilekku berkurang banyak. Ke?marin ma?lam sempat diantar Danar ke klinik. Kami berdiam
diri saja se?panjang jalan. Aku takut sekali untuk bertanya.
Ha?tiku meng?ke?ret membayangkan pertanyaan itu akan meng?
ganggu kebersa?ma?an kami yang menyenangkan sesaat. Ah,
su?dahlah, aku selalu menga?barkan hal-hal buruk.
Bagaimana pekerjaanmu"
Kamu benar, mungkin aku butuh satu-dua kesibukan
untuk mem?buat hari-hari berjalan lebih baik. Tetapi bagaima?na aku ha?rus bilang ke dia bahwa aku mau kerja lagi"
217 217 Aku menghela napas. Itulah yang kusarankan kepada Kak
Ratna dalam e-mail balasan lalu, setelah berpikir lama. Kak
Ratna harus mencari kesibukan. Entah apa bentuknya. Seti?dak??
nya Kak Ratna bisa sejenak terbebaskan dari kalutnya pikiran.
Tetapi sekarang Kak Ratna takut mengatakannya" Takut me??
minta izin" Masalah ini pelik sekali, bukan" Bagaimana mung?kin
Kak Ratna takut mengatakan hal itu kepada suaminya sen?diri"
Ah, tapi besok pagi-pagi biar kucoba membicarakannya,
Tania. Dia sedang ambil cuti seminggu. Katanya untuk mene?
mani?ku. Meskipun dia lebih sering tidak berada di rumah.
Doa?kan saja dia mau mendengarkan.
Selamat tidur. Kakakmu, Ratna. Dia cuti tetapi jarang berada di rumah" Lantas apa yang diker?
ja?kannya sekarang" Pergi ke teman-teman cowoknya" Tidak.
Per?gi menghabiskan malam di tempat-tempat hiburan" Tidak. Itu
tidak akan pernah dilakukan orang tipikal sepertinya. Ke mana"
*** Tania: Apa yang kamu dapatkan"
dedebisadipercaya: Tante Ratna baik-baik saja tuh. Kemarin Dede ke
rumah baru mereka. Kata Tante, dia besok pagi
mulai ker?ja di perusahaan bapaknya.
218 218 Itu kabar yang belum aku dapatkan dari Kak Ratna dalam
e-mailnya seminggu terakhir. Setidaknya dengan melaporkan
prog?ress itu, adikku melakukan "pekerjaannya".
Tania: Kamu ketemu Kak Danar di sana" Kata Kak Ratna,
Kak Danar kan sedang cuti.
dedebisadipercaya: Nggak. Cuma ketemu Tante Ratna.
Tania: Ke mana" Kata Kak Ratna, Kak Danar jarang
di ru?mah" Lama adikku berdiam diri lagi. Mikir apa sih" Aku jengkel.
Tania: Kamu kebelet pipis barusan"
dedebisadipercaya: Maaf. Ada telepon.
Bohong, adikku lagi-lagi berbohong. Dede sedang berpikir.
Tania: Kamu tahu Kak Danar ke mana"
dedebisadipercaya: Yee, kalau Tante Ratna saja nggak tahu ke mana
Oom Danar, apalagi Dede, kan"
Aku menyumpahi adikku dari seberang lautan. Itulah tugas
adik?ku: mencari tahu. *** Anne masih belum memberikan penjelasan yang masuk akal
219 219 buat??ku. Masalahnya, Anne kan sama saja sepertiku, sama sekali
be?lum berpengalaman soal seperti ini. Kalau dulu waktu senior
high school Anne banyak betulnya memberikan saran, itu karena
per?masalahannya dekat dengan realitas keseharian kami.
Sekarang" Masalahnya jauh lebih pelik. Jangankan menikah,
Anne terhitung sudah menjomblo hampir enam tahun.
Permasalahan Kak Ratna sedikit-banyak mulai mengganggu
akti?vitas keseharianku. Aku masih bekerja dengan baik. Tetapi
seka?rang saat berjalan di lorong kantor yang sepi, saat menaiki
lift yang berdenging, otakku terus berpikir. Ada apakah" Apa
masa?lah mereka berdua"
Dan tahukah apa yang aku lakukan dua hari kemudian saat
pu?lang" Aku memutuskan untuk berhenti di salah satu perem?
pat?an jalan. Naik ke atas jembatan penyeberangan. Berdiri sen?
di?rian menatap jalanan kota Singapura yang bermandikan caha?
ya. Menakjubkan. Negeri ini tidak pernah pusing dengan isu
peng?hematan BBM. Entah apa sebabnya, tiba-tiba aku ingin menikmati sepotong
ke?nangan itu. Menikmati sejenak saat aku berhenti dan meng?
amati kehidupan orang lain. Kehidupan jalanan yang sudah se?
nyap. Kehidupan kota yang beranjak tidur. Tepekur di atas
jem?batan penyeberangan itu. Menatap lampu lalu lintas yang
terus bergantian menyala: merah, hijau, kuning, merah, dan sete?
rus?nya. Tidak lelah. Lampu itu setia. Dan penduduk kota ini juga setia mengikuti
pe?tunjuk tersebut. Tak ada yang nekat menerobos meskipun ja?
220 220 lan?an amat lengang. Semua menunggu saatnya. Menunggu masa?
nya. Sabar. Aku mendesah. Pemandangan ini dalam banyak hal memang
ti?dak sehebat di lantai dua toko buku kota kami. Tetapi aku
men?dapatkan energi yang sama. Energi kesenangan mengingat
potongan-potongan masa lalu. Menjahitnya. Menjadikannya ener?
gi positif. Membayangkan masa depan yang lebih baik.
Apakah dia masih suka melakukan hal yang sama ini seperti
yang dia ajarkan kepadaku sepuluh tahun silam"
Aku menelan ludah. Beranjak turun. Masuk ke mobil. Me?
nuju apartemenku. Jika dia masih suka melakukannya, seha?rus?
nya dia tahu persis apa perasaan Kak Ratna saat ini. Atau ja?
ngan-jangan semua ini hanyalah tingkah Kak Ratna yang ter?lalu
posesif seperti yang dikatakan Anne" Entahlah!
*** Aku tidak tahu. Dia sekarang ratusan kilometer di seberang lautan justru rajin
te?pekur di tempat yang sama selama enam bulan terakhir. Tem?
pat yang teramat penting dalam potongan kehidupan kami.
Dia memandang lamat-lamat sepotong kehidupan itu. Men?ja?hitnya. Membuat pakaian masa depan yang rapuh dari semua
masa lalu yang getas. Persis seperti itu, membuat pakaian masa
depan yang rapuh dari semua masa lalu yang getas.
Sambil memandang pohon linden kami.
Aku belum tahu. 221 221 Pukul 21.15: Semuanya Berubah Teramat Cepat
Mobilku meluncur di atas fly-over. Lurus jalan akan terus ke
uta?ra. Ambil kiri akan masuk ke gerbang kokoh kampus yang
meng?hijau. Ambil kanan menuju jalan akses, melewati bantaran
kali, ke arah tempat kumuh itu.
Ke sanalah mobilku berputar.
Ke tempat asal muasal seluruh cerita ini.
Aku melirik pergelangan tangan. Pukul 21.15.
Malam ini semua urusan harus usai.
*** Dua minggu terakhir semenjak aku berdiri di jembatan penyebe?
rang?an Singapura itu, situasinya memburuk amat cepat. Tidak
ter?ken?dali. Setiap malam sejak malam itu, Kak Ratna mengirim?
222 222 kan e-mail progress kabar buruk tersebut. Pendek. Singkat.
Patah-pa?tah. Tetapi isinya jauh lebih melelahkan untuk dibaca
diban?dingkan e-mail memo staf kantorku yang disertai soft copy
analis pa?sar penuh grafik dan tabel dua puluh halaman.
E-mail-e-mail yang menyakitkan.
Dear Tania, Aku sudah mulai kerja lagi di kantor Papa. Dia tidak
meng?ang??guk, tidak juga menggeleng saat aku bilang pagi itu.
Seperti bia?sa hanya menatapku kosong. Menyeringai datar.
Aku hanya terdiam, menyesal sudah mengatakan soal itu.
Tetapi sudah telanjur kukatakan. Mau apa lagi" Apakah dia
tidak se?tuju aku kembali kerja"
Aku sudah jauh lebih sehat, Tania. Terima kasih. Kau
pasti ba?nyak mendoakanku. Doa gadis sebaik dirimu pasti
terkabul. Oh ya, Dede seminggu yang lalu datang ke rumah kami.
Meng?ajak teman wanita (pacarnya, ya"). Cantik sekali. Aku
ter?ingat dirimu! Matanya mirip dengan matamu.
Aku menghela napas. Mata Sophi mirip aku" Tidak, tentu
saja lebih mirip mata Ibu (tetapi karena mataku memang mirip
Ibu, jadi ya mirip juga sebenarnya).
Dear Tania, Dia dua malam seminggu terakhir entah pergi ke mana.
223 223 Pu?lang?nya selalu larut. Aku takut bertanya. Hanya membu?
kakan pin?tu, lantas mengikuti langkahnya. Diam.
Aku mengumpat adikku. Dede belum berhasil juga mencari
tahu ke mana dia setiap malam sekarang.
Malam berikutnya. E-mail berikutnya.
Dear Tania,

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tak tahan lagi. Semalam aku bertanya padanya
tentang dua malam itu. Dan ya Tuhan". Dia hanya diam
saja". Mena?tap?ku datar. Tahukah kau, Tania, diamnya jauh
lebih menyakit?kan dibandingkan marahnya. Aku lebih baik
dimarahi karena ber?tanya banyak hal kepadanya, dibanding?
kan tatapan teduh itu, ta?tapan polos, tatapan kosong.
Aku mendesahkan sesuatu. Situasi mulai memburuk.
Malam berikutnya. E-mail berikutnya.
Dear Tania, Aku mencoba menebus kejadian malam itu dengan
mengajak?nya pergi berlibur seperti saran dalam e-mail
terakhirmu. Kau be?nar, semua ini sudah terlalu menyesakkan.
Dia hanya terse?nyum menggeleng. Aku mencoba mengajaknya
berbicara lagi. Dia hanya berkata pelan, "Tak ada masalah di
antara kita!" Bagai?ma?na mungkin tak ada masalah"
Aku bersaing dengan sesuatu. Dia sudah lama tak mencin?
tai?ku. Atau jangan-jangan dia memang tak pernah mencintai?
224 224 ku. Aku hanya menjadi pelarian sesuatu. Aku ingin meminta
penje?las?an darinya. Tetapi aku tak berani. Aku tak berani
mengeluar?kan pertanyaan itu. Aku tak berani mende?ngarkan
penjelasan?nya. Aku tiba-tiba berubah menjadi pengecut, Tania. Aku tak
akan per?nah memenangkan persaingan ini.
Ya Tuhan, aku teringat masa-masa itu (ketika separuh hatiku
juga menertawakan e-mail pengakuan yang kubuat dulu). Aku
juga pengecut. Tak pernah berani mengirimkannya.
Aku menggigit bibir, menyeringai, buru-buru melenyapkan
masa lalu itu di memori otak. Segera mengirimkan e-mail ke
adik?ku. Bertanya tentang "tugasnya".
Dede hanya menjawab pendek lima belas menit kemudian: in
progress! Aku mengirim e-mail "penuh ancaman" lagi ke adikku.
Apa sulitnya sih mencari tahu dia sering ke mana sekarang"
Adik?ku hanya mengirimkan emoticon: sabar!
*** Malam berikutnya. E-mail berikutnya.
Dear Tania, Semalam kami bertengkar. Tidak, tidak bertengkar. Akulah
yang berteriak-teriak marah. Dia seperti biasa hanya mena?
tapku diam. Aku ingin tahu kenapa dia semakin sering pulang larut.
225 225 Apa?kah dia sudah enggan kembali ke rumah ini" Aku hampir
ke?lepasan bertanya, apakah dia sudah bosan dengan perni?
kahan ini, tetapi kalimat itu tersangkut di tenggorokan?ku.
Aku tak tahu apakah aku beruntung atau tidak dengan
tidak be?rani mengatakan kalimat itu. Dia hanya mendekapku,
berbisik se?kali lagi, "Tak ada masalah, Ratna!" Hanya itu!
Ka?lau begitu, meng?apa dia mulai menghindari berbicara de?
nganku" Mengapa dia enam bulan terakhir menjauh dariku"
Mengapa" Aku lelah ber?tanya dalam hati, Sayang.
Tadi pagi dia mengecup dahiku sebelum berangkat kerja.
Aku tahu kecupan itu kaku. Dingin. Meskipun untuk perta?
ma kali?nya setelah berbulan-bulan dia tidak pernah melaku?
kan?nya lagi. Ah, Tania, aku lama sekali tidak menceritakan
ini kepada siapa pun, sudah hampir setengah tahun terakhir.
Dan aku bingung de?ngan apa yang harus aku lakukan seka?
rang. Semuanya terasa meng?gumpal di hati, menyesakkan.
Dan aku cemas dengan se?mua kemungkinan masa depan.
Anne mengeluh pendek saat tahu masalah mereka ternyata
su?dah lama. "Tak bisakah kau bertanya sekarang, apa masalahnya" Apa
yang dikhawatirkan Kak Ratna" Setidaknya dia mempunyai du?ga?an, bukan?" Anne akhirnya mengizinkanku untuk terlibat lebih
jauh. Aku menyengir, tersenyum tipis, mengingatkan betapa protek?
tifnya Anne dulu setiap kali tahu aku akan bertanya banyak hal
ke?pada Kak Ratna atau dia, apa masalah mereka sebenarnya.
226 226 Anne hanya mengangkat bahu. "Semuanya ada timing-nya, Tania.
Nah, sekarang waktu yang tepat untuk bertanya. Ada apa
dengan me?reka?" Namun, pertanyaan itu (yang aku kirimkan malam itu juga
de?ngan disaksikan Anne) tidak banyak membantu.
Malam berikutnya, e-mail balasan Kak Ratna tiba.
Dear Tania, Aku tak tahu apa masalahnya. Justru itu yang semakin
mem??buat?ku bingung. Aku hanya merasa posisiku benar-benar
ter?sing?kir?kan. Oleh sesuatu. Kau tahu dia tidak memiliki
masa lalu de?ngan seseorang, jadi tak mungkin ada yang kem?
bali dalam kehi?dupannya. Atau memang benar-benar ada
yang kembali da?-lam hidupnya" Ya Tuhan, aku sungguh tidak
me?ngerti. Kau tahu dia juga tidak akan pernah berselingkuh. Jadi
tak mung?kin ada wanita lain dalam kehidupannya sekarang.
Entahlah, aku hanya merasa sedang bersaing mendapatkan
cinta?nya dengan sesuatu yang amat besar. Sesuatu yang amat
ber?arti baginya. Dan aku tidak tahu siapa atau apa itu.
Aku menelan ludah sebal. Jadi apa"
Belum lagi Dede masih tetap tak melaporkan apa-apa. Aku
su?d?ah kehilangan kesabaran atas masalah ini. Apa perlu aku ber?
ta?nya langsung kepada dia" Aku kan berhak bertanya sebagai
"adik". Dan wajar-wajar saja (Anne buru-buru mencegah,
227 227 "Fasenya seka?rang tetap Kak Ratna yang bertanya, bukan kamu.
Kita me?nung?gu lagi."). Aku menyumpahi Anne.
Di otak Anne sepertinya semua kejadian ini seperti permainan
pe?rang-perangan. Menunggu. Menyusun strategi, dan lain seba?
gai?nya. Tidakkah Anne bisa mengerti ini menyangkut masa de?
pan keluarga seseorang yang amat berarti bagiku. Ini semua
me?nyangkut kebahagian keluarga kakakku. Dia dan Kak Ratna.
Pe?duli amat dengan perasaanku dulu. Itu sudah masa lalu.
Aku akhirnya memutuskan akan bertanya langsung kepada
dia, jika dalam waktu dua hari tetap tidak ada penjelasan dari
Kak Ratna apa sebenarnya masalah mereka. Anne mengangkat
bahu. Sepakat dengan deadline waktu tersebut.
*** Namun, pertanyaan itu tidak pernah terkirim. Lebih tepatnya
ter?lambat untuk dikirimkan. Esok malamnya e-mail Kak Ratna
be?rdarah-darah. Dear Tania, Aku tak tahan lagi. Aku akhirnya bertanya, apakah dia
ma?sih men?cintaiku. Apakah dia pernah" pernah mencintai?
ku! Dia ha?nya diam tak menggeleng, tak mengangguk.
Ya Tuhan, menyakitkan sekali menatap wajah itu. Aku
tahu dia dulu juga tak pernah menjawab pertanyaanku secara
lang??sung saat kami masih pacaran, tetapi waktu itu dia selalu
ter?senyum kepadaku. Senyum yang menyenangkan. Setidaknya
228 228 aku me?rasa jawabannya iya. Tapi sekarang, wajah itu mena?
tap amat da?tar. Sejelas apa yang ada di hatinya".
Aku bertanya, apa yang harus kulakukan. Dia beranjak
ber??diri. Memegang lenganku, menggeleng, "Tidak ada yang
harus kaulakukan, Ratna." Aku bertanya, "Apa yang akan
kau?lakukan?" Dia menggeleng lagi, "Tidak ada yang akan
aku lakukan, Ratna." Lan?tas dia pergi entah ke mana, pulang
la?rut sekali. Aku sudah tidak sanggup lagi.
Tania, aku memutuskan untuk pergi sejenak dari rumah
ini. Aku akan pulang ke rumah orangtuaku. Semua?nya su?dah
amat menyesakkan. Kami harus berpisah beberapa wak?tu.
Ber?pikir ulang atas semuanya, apakah kami akan me?lanjut?
kan per?nikahan ini atau tidak.
Maafkan aku, Sayang. Aku membuat dia tidak bahagia.
Mem??buat dia tidak nyaman. Maafkan kakakmu yang sebulan
ter?akhir meng?ganggumu dengan e-mail-e-mail menyedihkan ini.
Maafkan ka?kakmu yang tak bisa bersabar lagi. Aku bu?-kan istri
yang baik un?tuk dia. Aku sungguh bukan istri yang baik".
Tania, aku kangen kau. Ingin sekali berbincang hal lain
yang menye?nangkan. Bukan membicarakan segala kesedihan
ini. Aku ka?ngen waktu kita berbincang di pecinan. Waktu
kita berbincang di rumah. Waktu semuanya masih terasa me?nyenangkan. Masa-masa yang menyenangkan itu.
Aku kangen semuanya. Peluk sayang dari temanmu, kakakmu,
Ratna. 229 229 *** Demi membaca e-mail berdarah-darah itu, esoknya aku memu?
tus?kan pulang segera ke Jakarta. Ini masalah serius. Aku tidak
bisa hanya berdiam diri. Aku adalah bagian dari keluarga mere?
ka, dan aku berkepentingan untuk setidaknya bertanya. Hal itu
juga pas?ti akan dilakukan Ibu kalau Ibu masih ada.
Tidak. Aku tidak akan terlibat lebih jauh. Aku hanya akan
ber?tanya kepada dia. Ada apa"
230 230 Pukul 21.17: Ketika Semua Potongan Lengkap
Mobilku pelan menyelusuri jalan kecil.
Menuju tempat itu. Menuju tempat rumah kardus kami dulu berdiri ko?koh
dihajar hujan deras, ditimpa terik matahari. Menuju tempat ting?
gal aku, adikku, dan Ibu selama tiga tahun yang menyedih?kan
itu. Sepetak tanah tempat pembuangan sampah di bantaran su?
ngai. Purnama di atas membuat indah tempat itu.
Tidak ada sampah yang dulu banyak berserakan. Tak ada ru?
mah kardus kami yang dulu seperti monumen, menjadi landmark
di tanah seluas setengah hektar itu.
Sepotong tanah di bantaran itu sudah indah. Tanahnya dige?
rus menjadi datar sedemikian rupa. Atasnya ditanami rumput
lem?but seluruhnya. Seperti rumput lapangan bola terbaik. Kalian
231 231 bisa duduk nyaman di sana. Sisanya kosong. Menghijau. Tak ada
apa-apa lagi selain sebuah pohon linden persis di tengahnya.
Pohon linden. Pernahkah kalian melihat pohon linden"
Pohon yang berdaun setelapak tangan. Bentuk daunnya sem?pur?na seperti sebungkah hati. Indah seperti bentuk simbol cinta.
Ma?lam ini tangkai daun menggantung siluet bentuk "hati-hati"
terse?but di sepanjang dahan dan ranting. Membuat rimbun selu?
ruh batangnya. Pohon linden itu sedang berbunga. Bunga yang elok. Mem?
buat kuning seluruh permukaan pohonnya. Dan wanginya semer?
bak memenuhi langit-langit malam. Membuat sepetak tanah itu
te?rasa menyenangkan. Memberikan aroma kesendirian yang nya?
man. Dedaunan yang kering dan jatuh dari tangkainya mengombak
di rumput taman. Siluet bentuk "hati-hati" yang kecokelatan me?
me?nuhi sepanjang kakiku menjejak. Mengering. Getas. Berbunyi
saat terinjak. Aku menghela napas. Cahaya lampu taman yang terang benderang terpasang tinggiting?gi di pinggir taman, membuat suasana semakin menyesakkan.
Aku melangkah gentar mendekati pohon tersebut. Sepuluh ta?
hun silam, pohon itu sudah tumbuh. Sudah besar. Aku tak
mung?kin lupa, betapa dulu amat mengesankan melihat pohon
terse?but mekar berbunga.
Aku, adikku, dan Ibu sering duduk di bawah rumah kardus
kami, menatap pohon yang mekar tersebut di bawah bulan pur?
na?ma, seperti malam ini.
232 232 "Kita punya pohon terindah di dunia," Ibu berbisik di sela-sela
ram?butku dulu. Adikku menyengir. "Apa indahnya?" Ibu hanya
terse?nyum diam tak menjawab. Namun, di lain malam bulan
pur?na?ma Ibu pernah berkata lirih, "Pohon ini indah karena me?nak?jubkan. Pohon ini indah karena bisa menumbuhkan sesuatu.
Me?nimbulkan perasaan-perasaan yang tak pernah kita mengerti.
Cin?ta. Pohon ini membuat kita berterus terang dalam kehidup?
an"." Aku menelan ludah. Mengingat ucapan Ibu, langkahku terhen?
ti. Dulu, cara berpikir kanak-kanakku tak mengerti apa yang
dimaksudkan Ibu. Tetapi sekarang" Ibu benar, pohon ini teramat
in?dah. Pohon ini menimbulkan perasaan-perasaan yang tak per?nah kumengerti dengan menatapnya.
Perasaan-perasaan itu. Kakiku tinggal sepuluh langkah lagi dari pohon linden itu.
Dan itu berarti aku tinggal sepuluh langkah lagi dari dia.
Malaikat kami selama ini.
Seseorang yang kepadanyalah cinta pertamaku tumbuh, sese?
orang yang selalu kukagumi, memesona. Seseorang yang datang
mem?berikan semua janji masa depan itu. Seseorang yang me?num?
buhkan harapan-harapan yang tak pernah bisa kumenger?ti
mengapa ia tumbuh subur. Seseorang yang malam ini akan menjawab semua potongan
teka-teki (entah dia mau menjawabnya atau tidak). Seseorang
yang dengannya semua cerita harus usai malam ini. Seseorang
yang sekarang duduk di bawah pohon linden kami.
233 233 *** "Kapan kau tiba?" dia bertanya datar. Tidak bergerak dari duduk?
nya. Tetap tepekur di bawah pohon linden, duduk menghadap
ke arah sungai. Tangannya memainkan sehelai daun berbentuk
"hati" dengan takzim.
Aku yang tadi berpikir seribu cara bagaimana memulai pem?
bi?caraan ini menghela napas. Beranjak satu langkah lagi mende?
kati?nya dari belakang. Tentu saja dia bisa mendengar suara
lang?kahku. Gemeresik getas dedaunan. Tentu saja dia tahu, ha?nya akulah yang mungkin datang ke sana. Hanya aku dan adik?
ku yang memiliki potongan kehidupan di bekas rumah kardus
itu. Hanya kami. Setelah semua potongan itu lengkap. Tentu saja dia tahu, ha?
nya tinggal menunggu waktu aku akan kembali dari Singapura.
Me?nemuinya di sini. "Dua minggu yang lalu." Suaraku sedikit parau.
Aku mengeluh dalam hati. Jika di awal tensinya sudah seting?
gi ini, pembicaraan ini akan sulit. Aku menarik napas mencoba
mene?nangkan diri.

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Boleh aku duduk di sampingmu?" aku bertanya pelan.
Dia tidak menoleh. Tidak bergerak. Diam (aku mengenal ta?
biat?nya, diam berarti iya). Aku duduk lima jengkal darinya.
Mem?perhatikan tangannya yang memainkan daun itu. Dia tetap
tak?zim memandang kemilau lampu yang menimpa bibir su?
ngai. Berdiam diri. Lama. 234 234 Aku memperhatikan rumput yang menyala indah ditimpa ca?
haya lampu. Tempat ini indah dan menyenangkan. Dedaunan
po?hon linden yang menjuntai. Dedaunan pohon linden yang
ber?serakan di sekitar tempat duduk kami. Tanganku meraih satu
daun kecokelatan yang jatuh. Daun berbentuk hati yang ku?ning
mengering. Seperti hatiku yang tiba-tiba kering.
"Bagaimana kau tahu aku di sini?" dia bertanya pelan.
Bagaimana aku tahu" *** Dede sama sekali tidak terkejut ketika sore itu aku tiba di ru?
mah. Aku memaksakan diri naik penerbangan pertama hari itu.
En?cik Faisal terburu-buru mengurus tiketnya. Cuti tak terbatas
dari pekerjaan kantor. Anne mengantarku ke bandara. Berbisik
soal bersikaplah dewasa. Ya, aku akan bersikap dewasa.
Adikku menatap di depan bingkai pintu, menyambutku, ber?
ka?ta datar, "Hanya soal waktu Kak Tania pasti pulang."
Menghela napas. Adikku membantu membawakan koper ke atas. Kamar itu
ber?bentuk bulat seperti stoples (sama seperti bentuk rumah),
di?cat warna biru. "Kamu terakhir ketemu Kak Ratna kapan?" aku bertanya pri?
ha?tin tanpa menunggu Dede selesai meletakkan koper itu di
de?kat lemari kamar. Langsung ke pokok permasalahan.
235 235 "Terakhir kali sejak... eh, waktu bersama Sophi."
Aku menatap adikku dengan pandangan buas. Itu berarti Dede
sama sekali tidak melakukan apa yang kusuruh lewat e-mail
selama ini. Bagaimana mungkin Dede terakhir kali bertemu Kak
Ratna sebulan yang lalu"
Adikku balas menatap innocent. Sedikit pun tak merasa ber?
do?sa. Dede memang tidak pernah sensitif atas "bahaya yang
meng?ancam" dari tatapan mataku. Atau jangan-jangan baginya
kema?rahanku tidak pernah menjadi "bahaya".
"Kamu terakhir ketemu Kak Danar kapan?" Aku menghela
na?pas panjang, marahnya nanti-nanti saja. Mengendalikan diri.
"Tadi malam," Dede menjawab pelan, menggigit bibir.
"Di mana?" Aku mencengkeram lengan adikku.
"Di bekas rumah kardus kita!"
Jawaban itu membuat berguguran.
Berguguran semua kemarahan di hati.
Di bekas rumah kardus kita" Aku terkesiap.
Apa yang dia lakukan di sana" Apa yang telah terjadi pada?
nya" Apa maksud semua ini" Adikku menggeleng tidak tahu,
pe?lan menjelaskan ("Dede hanya memperhatikan Oom Danar dari
jarak jauh, nggak berani mendekat.").
*** Angin malam memainkan anak rambut.
"Bagaimana pekerjaanmu?" dia bertanya hal lain, tidak me?
nung?gu jawabanku atas pertanyaannya sebelumnya. Dia menya?
236 236 dari tidak penting aku tahu dia sekarang di sini dari siapa. Bu?
kan?kah dia juga bisa menduganya.
"Baik. Terlalu baik malah."
Aku menyeringai, menelan ludah. Pembicaraan ini layaknya
se?perti kami sedang duduk berdua di atas perahu saja. Pelesir
ber?sama di sepanjang sungai yang membelah kota Bangkok.
Ringan sekali" Aku menelan ludah. Tidak juga, hanya menunggu
wak?tu memanas. Perahu itu akan bertemu jeram yang me?
nyakitkan. Semua pembicaraan ini.
"Bagaimana pekerjaanmu?" aku balik bertanya.
Dia hanya menggeleng. Buruk. Gelengan kepala itu kukenali,
itu persis seperti gelengan kepala sebelum Ibu pergi.
"Katanya promosi lagi?"
Dia mengangguk. Menghela napas dalam-dalam.
"Selamat," aku menggantung kalimat di langit-langit.
Kami terdiam lagi. Senyap.
"Tempat ini indah sekali. Sejak kapan kau memutuskan untuk
membelinya?" Dia menoleh padaku. Kami bersitatap sejenak. Ya Tuhan,
mata itu re?dup. Redup sekali. Di mana sisa cahayanya dulu" Di
mana" Umur?ku dua puluh dua tahun, dia tiga puluh enam.
Wajah itu me?mang masih menyenangkan. Tetapi matanya tak
bercahaya se?perti biasa. Membuatku menghela napas.
"Dari mana kau tahu aku membelinya?"
*** 237 237 Adikku meringis. Cengkeramanku di lengannya semakin kencang.
"Bagaimana mungkin kau tidak pernah menceritakannya pa?
da?ku," aku membentak adikku. Dede menyeringai kesakitan,
du?duk di atas tempat tidurnya.
"Maaf". Bukankah itu tidak penting?"
"Dede! Masalahnya bukan penting atau tidak penting. Aku
se?harusnya tahu, kan" Tempat itu adalah bagian masa lalu kita.
Aku harus tahu siapa yang membelinya." Aku menatap adikku
le?mah. Dia pasti bukan hanya menutupi masalah tanah sepotong
te?rsebut. Pasti ada banyak lagi hal-hal yang disembunyikannya
se?lama ini. Dan aku tidak tahu apa alasan Dede menyembunyikannya.
"Kau harus mengatakan semuanya sekarang. Semuanya!" Aku
ber?anjak duduk di hadapan adikku. Masih mencengkeram le?
ngan?nya kencang-kencang. Dede meringis.
*** Malam semakin matang. Beberapa daun pohon linden bergugur?
an. Suara aliran sungai terdengar takzim.
"Kau membiarkan pohon ini tetap ada." Aku menyeringai, lagilagi tidak menjawab pertanyaan tentang bagaimana aku tahu
dia?lah yang sebenarnya dulu membeli sepotong tanah ini.
Pembicaraan akan mulai masuk ke bagian yang penting.
Cepat atau lambat. Aku tidak takut membicarakannya.
238 238 Aku hanya bingung harus memulai dari mana. Pengakuan
adik?ku seminggu lalu terlalu banyak untuk menjadi awal pembi?
ca?raan. Aku harus memilih bagian yang paling nyaman dibicara?
kan terlebih dahulu. Pohon linden.
Dia diam. Tidak menjawab. Tidak bersuara.
"Lihatlah, pohon ini teramat indah, bukan?" Aku beranjak
ber?diri. Tanganku menyentuh batang pohon itu. Tingginya seka?
rang sudah hampir lima meter.
Dia tetap diam. "Apakah buku tentang pohon ini sudah selesai! Cinta dari Po?
hon Linden?" Dia tersentak. Menoleh ke arahku. Aku tersenyum (meskipun
hati?ku sekaligus terluka saat mengatakan kalimat itu). Senyum
pa?hit. Matanya berkilat-kilat bertanya: dari mana kau tahu soal
buku itu" Aku hanya menggeleng. Tertawa getir!
"Aku tahu! Tahu semuanya. Anggap aku tahu begitu saja."
*** Adikku mengelap dahinya yang berkeringat.
"Enam bulan yang lalu, saat Dede datang ke rumah mereka,
Oom Danar minta tolong untuk mencetak revisi edisi kedua
buku yang diterbitkannya tahun lalu. Buku yang Kak Tania beli
ber?sama Adi di toko buku Depok. Ingat, kan" Malam-malam
se?telah dari delapan tahun". dari pusara Ibu."
Aku menelan ludah mendengar nama Adi.
239 239 "Oom Danar memberikan password laptopnya. Dede membu?ka
file naskah itu. Dede sungguh tak berniat membuka file-file lain.
Kak Tania tahu, Oom Danar marah bukan main waktu Dede
dulu membuka laptopnya tanpa izin. Dede hanya mencetak
naskah itu, sesuai yang disuruh Oom Danar. Dua ratus ha?laman.
Besok Dede juga yang diminta mengantarkannya ke pener?bit."
Adikku tersengal. Aku masih mencengkeram tangannya.
"Tapi, tapi". Dede nggak sengaja membuka recent document
lap??top Oom Danar. Sumpah. Dede nggak sengaja. Di sana ada
file dengan nama ganjil: Cinta dari Pohon Linden". Nama file
itu berarti banyak bagi Dede. Nanti Kak Tania juga akan me?
nger??ti kenapa nama itu berarti banyak. Pohon linden. Dede pe?
na??saran. Maka Dede mengopinya dalam flash disk."
Adikku menatapku sedih, tertunduk.
"Dan Dede benar. Tentu saja saat melihat nama file itu Dede
mem??punyai prasangka tentang isinya. Malamnya Dede memutus?
kan untuk membaca file tersebut. Ya Tuhan, itu novel yang diker?
ja?kan Oom Danar enam bulan lalu. Baru sepotong jadi, tetapi
men?jelaskan semuanya. Novel itu tak akan pernah selesai, tak
akan pernah." Dede menatapku semakin sedih. Aku bingung dengan semua
ini. Tadi aku memang memaksanya untuk menceritakan semua
hal. Tetapi apa hubungannya dengan novel apalah itu dan lain
seba?gainya" Apa hubungannya dengan laptop"
Aku hanya meminta adikku menceritakan apa saja yang adik?
ku ketahui soal Kak Ratna dan dia yang sedang bertengkar. Soal
Kak Ratna yang sekarang terpaksa pulang ke rumah keluarganya
240 240 di Bogor. Cengkeraman tanganku sedikit melemah. Aku hanya
bu?tuh laporan tentang tugas mencari tahunya selama ini. Bukan
se?mua ini. Dede beranjak dari duduknya. Meraih laptop yang tergeletak
di atas meja belajar. Membukanya. Laptop itu berdenging
booting. Memasukkan password. Membuka folder dokumen.
Membuka file yang tadi disebutkannya.
"Dede tahu, Kak Tania membutuhkan waktu lebih dari sete?
ngah jam untuk membaca naskah 50 halaman ini, tetapi ini pen?
ting. Kak Tania harus membacanya sekarang. Novel yang tidak
akan pernah selesai."
Dede memberikan laptop itu ke pangkuanku.
Aku menatap adikku tak mengerti.
"Bacalah. Kak Tania akan mengerti."
*** Sehelai daun pohon linden jatuh di bahuku.
"Dari mana kau tahu?" dia bertanya lemah, sejenak setelah
aku hanya berdiam diri menjawab tatapan matanya yang berkilat
tadi. Lagi-lagi pertanyaan yang sama seperti sebelumnya: dari mana
aku tahu" Sungguh tidak penting dari mana aku tahu.
Aku tersenyum semakin terluka.
"Itu tidak penting. Aku tahu. Itu saja. Mungkin aku tahu dari
Ibu" Anggap saja Ibu yang memberitahukan semuanya." Suaraku
pa?rau sudah. 241 241 Dia beranjak berdiri. Kami berhadap-hadapan dua langkah. Aku menunduk mena?
tap akar pohon. Dia menatapku lamat-lamat (aku tak sanggup
ber?sitatap lama dengannya, pandangan mata itu membuat kakiku
le?mah, dulu lemah, sekarang lemah).
"Bukankah gadis kecil dalam novel itu adalah aku" Bukankah
itu Tania". Tania yang rambutnya berkepang dua. Tania yang
ter?se?nyum riang di antara sela-sela daun pohon linden yang men?
jun?tai. Tania yang"." Suaraku mendesis bergetar, hilang di ujung
ka?limat. Ibu, izinkanlah aku menangis.
Tiga tahun silam aku teramat gentar mengirimkan e-mail itu
ke?pa?danya. E-mail pengakuan. Tiga tahun silam aku takut men?
de?ngar kalau jawabannya adalah tidak. Bukankah dia memutus?
kan untuk menikah dengan Kak Ratna" Perasaan hatinya sudah
te?rang benderang seperti purnama di angkasa.
Dia tidak pernah mencintaiku.
Itulah kesimpulan yang kupaksakan. Kesimpulan yang mem?
buat luntur wajah menyenangkanku. Kesimpulan yang mengubah
pe?rangaiku. Mengubah semuanya. Tetapi malam ini aku justru
me?nga?takan kalimat itu. Dengan sebuah pertanyaan iya dan ti?
dak. Aku tak mengerti secepat ini pembicaraan menuju jantung
pe?rmasalahan. Aku tak mengerti. Perasaanku sudah tak tahan
lagi. Pertanyaan itu meluncur saja tanpa bisa kucegah.
Aku terisak. "Bukankah gadis kecil dalam novel yang tak akan pernah selesai
itu adalah aku?" Aku mendesis menatapnya terluka.
242 242 "Apa maksudmu?" Suaranya bergetar.
Apa maksudku" Ya Tuhan, dia bertanya apa maksudku.
*** Dede menatapku lemah. Duduk di kursi sudut ruangan. Aku
bu?tuh satu jam untuk membaca naskah setengah jadi itu. De?
ngan kecepatan normal paling hanya butuh tiga puluh menit
se??perti yang adikku bilang tadi.
Tetapi bagaimana aku bisa menyelesaikannya dengan cepat,
jika di setiap halaman aku menahan napas" Di setiap paragraf
aku ter?paksa mendongakkan kepala ke langit-langit kamar, men?
cegah air mataku tumpah. Di setiap kalimat aku terpaksa ber?
henti karena ha?tiku perih seperti diiris-iris sembilu.
Buku itu tentang aku. Buku itu tentang dia.
Buku itu tentang kami. Buku ini tentang perasaannya". Ya
Tuhan, perasaannya. Aku tergugu lama. Naskah itu tak akan pernah selesai. Tak
akan pernah. Karena terputus saat kejadian itu.
Terputus saat dia tega sekali! Memutuskan menikah.
*** "Kau pandai sekali menyembunyikan semua perasaan itu". Te?
ta?pi mengapa?" aku mendesah parau.
Menatapnya sesaat. Meminta penjelasan.


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa maksudmu?" dia tergagap.
243 243 Aku menatapnya lemah. Dia masih bertanya apa maksudku"
Li?hatlah, Ibu. Betapa sulit baginya untuk mengaku. Hatiku pe?
dih menggelembungkan kemarahan.
"Dan sekarang kau bertanya apa maksudku" Bukankah pohon
ini bisa menjelaskan semua maksudmu" Pohon ini bisa menjadi
sak?si apa maksudmu! Menjadi judul buku yang tak akan pernah
sele?sai itu?" aku memotong kalimatnya. Berteriak.
Dia mengusap mukanya. "Kau salah sangka, Tania. Aku tak
tahu apa yang sedang kita bicarakan. Tetapi kau salah menduga.
Kau salah." "KAULAH YANG SALAH. KARENA KAU TAK PER?
NAH MAU MENGAKUINYA!" aku membentaknya.
Oh, Ibu, aku membentak malaikat kita. Aku membentaknya.
Tu?buhku bergetar oleh perasaan yang memilukan. Tanganku
geme?tar menjulur ke arahnya.
"Baik, sekarang perlihatkan liontinmu. PERLIHATKAN!"
*** "Maafkan Dede, Kak Tania." Dede tepekur di atas kursinya.
Aku menatap wajah adikku terluka.
"Seharusnya Dede cerita dari dulu. Dede juga tahu bahwa
sebe?nar?nya liontin itu istimewa buat Kak Tania. Liontin itu juga
isti?mewa buat Oom Danar. Liontin itu selalu istimewa."
Adikku mengusap wajahnya.
"Istimewa" Bukankah Dede juga dapat" Ibu juga dapat" Tidak
244 244 ada yang istimewa, kan?" aku berkata lemah menghapus air
mata. Membaca naskah itu saja sudah cukup membuatku nelangsa.
Apa ? lagi yang akan disampaikan adikku" Potongan kejadian apa
lagi yang akan membuat hatiku semakin perih"
Ya Tuhan, cepat sekali masa lalu itu kembali. Perasaan yang
se?be?narnya sudah lama kupendam dalam-dalam. Semua kerindu?
an yang telah lama aku bunuh. Dan harapan-harapan yang su?
dah lama layu dan mati. Bukankah puing-puing itu dulu benarbe?nar tak mungkin dibangun kembali" Hanya menyisakan debu
ke?sedihan, menyisakan pusara keputusasaan.
"Liontin itu istimewa." Dede menggigit bibirnya. "Setahun si?
lam, saat Oom Danar main basket bersama Dede, tali liontin
milik?nya putus. Dia menitipkannya pada Dede yang menonton
di tepi la?pangan. Dede tak sengaja membalik bagian belakangnya.
Ada gam?bar terpotong di sana. Dede awalnya tak tahu itu.
"Tetapi Dede mengenalinya. Dede lupa. Tetapi saat Dede me?
ne??mu?kan tak sengaja naskah pohon linden itu, Dede tahu apa
mak??sud potongan gambar itu. Itu bunga pohon linden yang terpo?tong dua. Potongan itu tidak ada di liontin Dede, juga tidak di
liontin Ibu. Dede bahkan membongkar tempat menguburkan
liontin Ibu un?tuk mencari potongannya.
"Kemarikan liontin Kak Tania."
Aku beranjak lemah, menurut, mendekati adikku. Semua ini
tiba-tiba memusingkan kepalaku.
Adikku mengambil liontin itu dengan tangan gemetar. Pelan
mem?balik liontinku. 245 245 "Benar". Potongan ini sempurna bila digabungkan dengan
lion?tin Oom Danar". Tentu saja Dede ingat sekali! Bukankah
Kak Tania yang dulu bilang Dede punya photographic memory"
Wa?lau sekejap, Dede ingat detail potongan itu. Dede tahu sejak
itu bahwa liontin Kak Tania istimewa."
Aku menelan ludah. "Liontin itu selalu istimewa. Maafkan Dede yang tak pernah
men?ceritakannya. Karena Dede sebenarnya baru tahu enam
bulan yang lalu". Karena Dede tak mau mengganggu Kak
Tania lagi de?ngan semua kenangan itu. Karena Dede pikir
semua urusan ini su?dah selesai." Adikku tertunduk.
Adikku juga terluka. Adikku menjadi saksi semuanya. Sama
se?perti saat adikku menjadi saksi kepergian Ibu. Saksi semua
ja?lan cerita. *** Dia gemetar menatapku (tatapan itu semakin redup).
Aku maju mendekat. Dengan kasar mengambil liontin di le?
her?nya. Melepaskan liontin di leherku. Membalik keduanya.
Me?masangkannya. Bagian gambar itu sempurna membentuk bu?
nga linden yang sedang mekar. Di bawahnya dua helai daun
po?hon linden yang berbentuk hati menyatu utuh.
Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Terbata.
"Bisakah kau menjelaskan apa maksud semua ini?"
Aku menunjukkan sepasang liontin itu kepadanya.
246 246 "Apakah aku salah sangka" Apakah aku hanya menduga-duga.
Ti?dak. Aku tidak salah lagi. Semuanya teramat jelas sekarang."
Aku tergugu. Terduduk di atas rumput lembut.
"Dulu Anne pernah bilang, orang yang memendam perasaan
se?ring kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua
ke?jadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap.
Si?buk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menim?
bun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana
sim?pul yang nyata dan mana simpul yang dusta."
Aku tersengal. Kalimatku bersatu dengan sedu sedan.
"Aku dulu juga seperti itu" sibuk menduga-duga. Merasa
amat senang mendapatkan hadiah liontin ini saat sweet seventeen.
Aku tak pernah tahu bahwa simpul itu nyata. Itu bukan dusta
hati?ku. Tetapi mengapa kau tak pernah mengatakannya" Menga?
pa?" Aku menahan tangis. Dia tetap diam. Senyap.
"Aku memang tak pernah mengakui mempunyai perasaan itu
kepa?damu. Karena aku takut jawabannya tidak. Aku takut penga?
ku?an itu membuatku terluka. Bagaimana mungkin gadis kecil
ber?kepang dua sepertiku mencintaimu. Aku memutuskan untuk
ber?sabar menunggu". Bersabar menunggu agar aku cantik dan
dewa?sa seperti yang pernah kaukatakan. Bersabar menunggu
enam tahun kemudian."
Aku membuang ingus. Tersedan.
"Aku tak pernah berani mengatakannya". Bagaimana mung?
kin aku mencintai malaikat kami" Aku berpikir aku tak akan
per?nah layak mencintaimu. Bersabar menunggu hingga aku
247 247 cukup layak menyentuh perasaanmu. Sayangnya saat aku merasa
layak, kau memutuskan untuk menikah dengan gadis lain. Kau
"mengatakan" semua perasaanmu dengan menikahinya.
"Aku tak tahu kau juga memiliki perasaan itu". Aku pikir
de?ngan menikahi Kak Ratna semuanya jelas seperti bintang ge?
min?tang. Tak masalah kalau kau memang tak pernah mencintai?
ku. Tetapi setelah semua penjelasan ini, mengapa kau tidak
per??nah mau mengakuinya dulu" Mengapa?"
Aku tergugu lama. "Bukankah malam sebelum pernikahan itu, Dede memberita?
hu?kan semuanya" Kalau Dede saja tahu persis apa yang kurasa?
kan, bukankah seharusnya kau juga tahu semua perasaan itu"
Tahu semuanya. "Kau pandai sekali menyembunyikan semua perasaan itu. Se?
mua pelukan itu. Semua tatapan itu. Kau pandai sekali". Kau
me?nipu dirimu sendiri."
Aku benar-benar menangis.
*** Aku juga menangis saat Dede menceritakan potongan lain.
"Malam itu Dede memutuskan untuk bilang ke Oom Danar
bahwa Kak Tania suka. Dede masuk ke kamarnya. Dia bertanya
ada apa. Raut mukanya lelah. Dede hanya berkata pendek, "Tahu?
kah Oom perasaan Kak Tania?"
"Dia bertanya lemah pada Dede, "Perasaan apa?" Dede
menunduk saat mengatakan itu, "Tahukah Oom bahwa Kak Tania
248 248 suka Oom Danar?" Oom Danar diam lama sekali". Dede
berkata lirih kepa?da?nya, "Kak Tania tidak pulang besok karena dia
benci pernikahan be?sok."
"Dia tetap diam. "Dede bertanya lagi padanya, "Apakah Oom Danar menyukai
Kak Tania?" "Dia tetap diam. "Dede bertanya untuk terakhir kalinya. "Apakah Oom Danar
men?cintai Tante Ratna?" Dia juga diam. Dede beranjak meninggal?
kannya. Sejak malam itu Dede sama sekali tidak mengerti. Oom
Da?nar tak bisa membohongi Dede. Jika dia menyukai pernikah?
an be?sok, dia akan menjawab pertanyaan terakhir Dede. Dede
tak me?nger?ti apa yang dipikirkan olehnya. Tak mengerti apa
sulitnya men?jawab pertanyaan itu."
Adikku terdiam menceritakan potongan malam menyakitkan
itu. Aku mendesah, teringat, itulah sebabnya profil adikku pagi
itu berubah menjadi: dedetakmengerti.
*** "Kau tak pernah mau mengakuinya," aku mendesah lemah. Beru?
sa?ha beranjak berdiri. Suaraku masih bergetar.
"Kau membunuh perasaan itu seketika tanpa ampun saat per?
ta?ma kali bersemi. Bukankah perasaan itu muncul pertama kali
di sini" Di bawah pohon linden ini."
Aku menyeringai terluka menatap wajahnya.
"Aku tahu. Perasaan itu muncul waktu kau memujiku untuk
249 249 per?tama kalinya. "Kau anak yang pintar, Tania. Teramat pintar."
Kau memegang daun pohon linden ini saat mengatakan itu, bu?kan?"
Dia terdiam menunduk. "Tetapi kau tak pernah mau mengakui telah jatuh cinta pada
gadis kecil berumur dua belas tahun.
"Tak masuk akal, kan" Kau yang sedewasa dan sehebat itu
ja?tuh cinta pada gadis kecil yang rambutnya masih dikepang dua
berpita merah. Tetapi Ibu tak bisa kaubohongi. Ibu tahu sega??la?
nya." Aku mengeluh dalam menyebutkan nama Ibu.
"Kau membunuh setiap pucuk perasaan itu. Tumbuh satu
lang?sung kaupangkas. Bersemai satu langsung kauinjak. Menye?
ruak satu langsung kaucabut tanpa ampun. Kau tak pernah
mem?berikan kesempatan. Karena itu tak mungkin bagimu" Kau
malu mengakuinya walau sedang sendiri. Bagaimana mung?kin
kau mencintai gadis kecil ingusan" Pertanyaan itu selalu meng?
ganggumu." Aku mengendalikan napasku yang mulai tersengal lagi".
"Yang kau lupa, aku tumbuh dewasa seperti yang kauharap?
kan. Dan tunas-tunas perasaanmu tak bisa kaupangkas lagi. Se?
ma?kin kautikam, dia tumbuh dua kali lipatnya. Semakin kau?
injak, helai daun barunya semakin banyak. Aku beranjak menjadi
re?maja. Tumbuh seperti gadis lainnya."
Aku menyeka hidungku yang tersumbat.
"Tetapi mengapa kau tak pernah mau mengakuinya" Meng?
apa" Saat sweet seventeen, liontin itu mengatakan segalanya. Teta?
pi mengapa harus sekarang aku tahu bahwa liontin itu isti?me?wa"
250 250 Apakah kau telanjur menganggapku seperti adik" Kau me?rasa
berdosa mencintai adik sendiri" Atau kau membenci diri?mu
sendiri karena mencintaiku?"
Aku tergugu. "Dan, dan kau bahkan memutuskan untuk menyiram mati
hing?ga ke akar-akarnya perasaan itu. Membakarnya. Kau mem?
ba?karnya habis saat memutuskan untuk menikah dengan Kak
Ratna! Tetapi mengapa?"
Suaraku semakin lemah. Semua ini tak akan pernah masuk akal.
Jika aku merasa tak ada salahnya mencintai seseorang yang
amat dewasa, lantas mengapa dia berpikir itu masalah besar"
Aku mencintainya karena perasaan itu muncul begitu saja, bu?
kan karena hendak membalas semua budi baiknya.
Apa salahnya jika dia mencintai seseorang yang masih beran?
jak remaja" Bukankah aku berubah seiring waktu. Bukankah aku
men?jadi dewasa dan cantik seperti yang aku angan-angankan"
Meng?apa dia harus takut menghadapi kenyataan semua perasaan
itu" Semua ini tak akan pernah masuk akal.
*** "Apa yang akan Kak Tania lakukan?" adikku bertanya pelan.
Dede takut mengganggu isak tangisku. Aku menoleh ke adikku.
Meng?geleng. Aku tak tahu harus melakukan apa.
"Apakah Kak Tania akan menemuinya?"
Aku diam. 251 251 "Oom Danar setiap malam bahkan sebelum kepergian Tante
Ratna ke rumah orangtuanya selalu datang ke sana. Ke sepetak
ta?nah bekas rumah kardus kita. Dia duduk lama sekali hingga
men?jelang malam." Aku diam. "Dede tak tahu apa yang sedang Oom Danar kerjakan. Tetapi
raut mukanya redup sekali."
Aku diam. Menggigit bibir.
Adikku mendesahkan sesuatu ke langit-langit ruangan.
*** "Kau mengingkari semuanya. Perasaan itu pengingkaran terbesar
yang pernah kaulakukan dalam hidupmu. Tetapi kenapa kaula?
ku?kan saat kau tahu aku amat mencintaimu?" Bibirku kelu
menga?takan kalimat terakhir.
Semua perasaan ini kembali bagai seribu anak panah yang
meng?hunjam. Berebutan mengisi setiap lembar memoriku. Keja?
dian-kejadian itu melintas cepat. Wajahnya di atas bus kota,
wa?jah?nya di rumah kardus, wajahnya saat bercerita, wajahnya
saat di warung tenda, wajahnya saat di Dunia Fantasi, wajahnya
di toko buku, wajahnya saat di bandara, wajahnya sekarang.
"Dan lihatlah apa yang aku hadapi saat mengetahui semua
itu, mengetahui sesungguhnya perasaanmu. Kita dengan menye?
dih?kan mengenang masa lalu yang menyakitkan itu di sini. Me?
nyum?pahi kehidupan. Berharap aku tak pernah sekali pun berte?
mu denganmu. 252 252 "Apa yang kita dapatkan setelah bertahun-tahun berhasil mela?
lui semua kejadian yang menyakitkan itu" Apa" Menemukan kau
di sini, tak bisa lari dari bayangan itu. Tak bisa lari sedikit pun.


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Me?nyesali semuanya"."
Suaraku benar-benar hilang sesaat.
*** Aku seminggu terakhir datang ke toko buku itu.
Berdiri di lantai dua. Mengenang masa lalu bagai kaset yang
dipu?tar berulang-ulang. Mencoba merangkai kesimpulan yang
akan kuambil. Mencoba menyiapkan diri menghadapi pilihan
yang tersedia. Apa pun yang terjadi, tempat ini, lantai dua toko buku terbe?
sar ini, akan selalu menjadi tonggak indah dalam hidupku. Di
sini?lah aku untuk pertama kalinya menemukan janji masa depan
yang indah. Menatap kehidupan yang jauh lebih baik. Di sini
juga aku menemukan pundak kokoh seseorang yang amat kucin?
tai. Memahami energi besar dari sekadar menatap sejenak sepo?
tong kehidupan di seberang jalan. Menumbuhsuburkan semua
pera?san itu. Harapan-harapan yang tak pernah kumengerti kena?
pa harus datang bersemi di hati. Dan kenapa pula sekarang ha?
rus kubunuh untuk yang kedua kalinya"
Entahlah, setidaknya dengan berdiri sejenak seperti ini aku
bisa mengenang semua masa lalu itu dengan lebih baik. Potong?
an cerita yang diberikan adikku seminggu lalu membuatku
253 253 menge?nang semua itu dengan cara yang berbeda. Semua itu seha?
rus?nya menyenangkan. Malam ini, semua cerita harus usai.
*** "Katakanlah" apa kau mencintaiku?" aku berbisik lirih. Berdi?ri.
Menatap mata redupnya. Jarak kami hanya selangkah.
"Katakanlah" walau itu sama sekali tidak berarti apa-apa
lagi." Diam. Senyap. Dia membisikkan sesuatu. Desau angin malam menerbangkan sehelai daun pohon lin?
den. Jatuh di atas rambutku. Aku memutuskan pergi.
254 254 Pukul 09.00 (Keesokan Pagi): Kembali
Dede membantuku berkemas.
Aku mengosongkan kamar bercat biru itu. Semua benda masa
lalu kubawa. Tersenyum untuk terakhir kalinya menatap seluruh
ba?ngunan. Adikku hanya menunduk. Aku meninju pelan bahunya.
"Tersenyumlah."
Dede menyeringai tertahan.
Dan mobilku sesaat kemudian melesat menuju bandara.
*** Semalam aku mengatakan pada dia bahwa Kak Ratna sedang
hamil empat bu?lan. Kak Ratna menunggu kedatangannya setiap
255 255 saat. Kak Ratna tak pernah tahu siapa bayangan yang selama ini
bersaing men?dapatkan cintanya. Tak pernah.
Dan Kak Ratna tak perlu tahu.
Cinta tak harus memiliki. Tak ada yang sempurna dalam kehi?
dup?an ini. Dia memang amat sempurna. Tabiatnya, kebaikannya,
se?muanya. Tetapi dia tidak sempurna.
Hanya cinta yang sempurna.
Esok lusa mungkin aku akan menemukan pilihan rasional
se?perti yang pernah dikatakan Anne. Yang pasti itu bukan Jhony
Chan. Aku tak akan pernah kembali lagi. Maafkan aku, Ibu. Aku
tak sempat mampir di pusaramu. Ibu memang tahu segalanya.
256 256 Profil Pengarang Tere-Liye bisa dihubungi melalui:
" e-mail: darwisdarwis@yahoo.com (jika?kalian hendak me?
nyam?paikan pertanyaan, saran, atau kritik),
" facebook (profil Darwis? Tere-Liye,?jika?kalian?ingin?bergabung
ber?sama pembaca-pemba?ca lain dan mendapatkan update
terbaru Tere-Liye), dan " www.goodreads.com (profil Tere-Liye, jika kalian ingin mem?
berikan rating atas karya-karyanya).
Judul buku diambil dari kalimat anonymous: The falling leaf
doesn"t hate the wind, yang dipopulerkan dalam film Jepang
Zatoichi. 257 258 259 Gramedia Pustaka Utama 260 Gramedia Pustaka Utama 261 Gramedia Pustaka Utama 262 Gramedia Pustaka Utama 263 Gramedia Pustaka Utama 264 Gramedia Pustaka Utama 258 Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu
dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan,
tempat berteduh, sekolah, dan janji masa depan yang lebih baik.
Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih
sayang, perhatian, dan teladan tanpa mengharap budi sekali pun. Dan
lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.
Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas.
Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul
tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.
Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih
dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah... Biarlah aku luruh ke bumi
seperti sehelai daun" daun yang tidak pernah membenci angin meski
harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 4-5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramedia.com daun yang jatuh.indd 1 Raja Pedang 12 Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto U 1
^