Pencarian

Enigma 1

Enigma Karya Yudhi Herwibowo Bagian 1


Daftar Isi Prolog........................... 1
........................... 2
........................... 25
........................... 48
........................... 69
........................... 88
........................... 105
........................... 124
........................... 150
........................... 171
........................... 194
Epilog........................... 220
Tentang Penulis........................... 224
[ iv ] " enigma ENIGMA final.indd 4 Ini tentang mereka berlima
dan satu di antara mereka
ain dapat melihat jalan hidup yang lainnya!
Semua lirik lagu berbahasa Inggris yang dipakai dalam buku
ini adalah lirik milik Enigma. Grup musik asal Jerman
yang dibentuk oleh Michael Cretu, David Fairstein, dan
Frank Peterson. Salah satu lagunya yang sangat terkenal di
Indonesia adalah Return to Innocence.
enigma " [ v ] ENIGMA final.indd 5 [ vi ] " enigma ENIGMA final.indd 6 Prolog Bintang-bintang yang meredup, koran-koran yang
bertumpuk, seorang yang tengah mengetik, jalanan yang sepi,
mobil-mobil yang berpacu kencang, sebuah angkringan, jalur
hijau yang panjang, wajah-wajah orang yang tak kukenal,
botol-botol minuman, sebuah pom bensin, wajahku, mobil
tanpa plat nomor, orang yang tampak mabuk, dan dirinya
yang tergeletak, sebuah selokan tak berair, bintang-bintang
yang meredup, wajahku, mobil-mobil yang berpacu kencang,
sebuah minimarket, bulan yang hampir bundar, sebuah
angkringan, jalanan yang sepi, aspal dingin, pohon-pohon
yang tertiup angin, koran-koran yang bertumpuk, sebuah
computer tua, mobil tanpa plat nomor, botol-botol minuman,
sebuah laptop di atas meja, sebuah selokan tak berair, sebuah
ambulan, wajah-wajah orang yang tak kukenal, wajah laki-
laki yang tampak lelah, jalur hijau yang panjang, wajahku,
koran-koran yang bertumpuk, sebuah angkringan, sebuah
selokan tak berair.... Itu semua tentang engkau.
Apa yang akan terjadi padamu nanti.
Dan" aku sudah melihatnya!
enigma " [ 1 ] ENIGMA final.indd 1 t.c Ruangan itu terasa senyap.
Hanya ada sepi, dan dirinya yang masih berdiri diam di
ambang pintu, menatap sudut-sudut gelap. Matanya seakan
telah terbiasa dengan celah-celah ruang hingga ia bisa melihat
perabot-perabot rumah yang tertutup debu tebal. Sofa tua
ain dan mejanya yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Kursi
santai dan lemari jati di ujung ruangan. Sebuah lukisan di
dinding yang sedikit miring karena angin. Juga meja makan
besar dengan taplak yang terurai sampai ke bawah.
Sejenak, ia masih berdiri mengencangkan jaketnya.
Sejak tadi, di perjalanan menuju ke rumah ini, embusan angin
kencang yang membawa hawa dingin tak henti menamparnamparnya.
Untunglah, angin seperti berubah rupa saat ia sampai di
ambang pintu rumah. Tembok tua rumah ini memang masih
bisa menahan terpaannya, namun dari celah-celah sempit
jendela, pintu, dan lubang angin, sebagian tetap berhasil
lolos. Kali ini tak hanya mengembuskan hawa dingin, tapi
[2]" enigma ENIGMA final.indd 2 juga debu-debu yang menebali seluruh isi rumah ini. Bahkan,
angin yang berhasil melalui celah-celah sempit itu, kemudian
menimbulkan bunyi-bunyi seakan siulan panjang yang tak
henti-henti. Tapi itu semua tak urung membuatnya terus melangkah
ke dalam. Langkahnya sangat perlahan, seakan tak ingin
jejaknya bertanda di lantai yang berdebu. Beberapa garis
cahaya menerobos samar dari lubang-lubang angin, seakan
ingin menuntun langkahnya yang terasa rapuh. Ya rapuh,
hingga suara apa pun yang tertangkap di telinganya, selalu
membuatnya terhenti dan menahan napas sejenak!
Kini, ia menghentikan langkahnya di depan meja makan
besar yang taplaknya terurai hingga di lantai. Lalu, di antara
temaram di sekelilingnya, dipandanginya lekat-lekat meja itu,
seakan-akan ada sesuatu yang terlihat di sana.
Tanpa disadarinya, angin yang sejak tadi berembus
menaburkan debu dan menimbulkan siulan-siulan panjang,
tiba-tiba terhenti. Semua seakan menepi. Namun entah
mengapa, di saat seperti itulah tubuhnya mendadak terasa
menggigil. Tangannya yang berusaha terangkat, ingin menyentuh
meja yang masih selangkah di depannya, tampak bergetar.
Airmatanya begitu saja menggenang di pelupuk matanya.
Dan seiring luruhnya satu titik air mata membelah
pipinya, bibirnya bergetar.
Marga, engkau masih di sini bukan"
enigma " [ 3 ] ENIGMA final.indd 3 Hasha miles away from light at noon
total eclipse of the moon
many reasons to believe in life
just listen what it`s telling you
Sebenarnya malam ini aku hanya ingin bicara pada lilin-lilin. Berdua saja, tanpa ada yang lain, dalam temaram yang sudah
kuakrabi setiap sudutnya.
Ini adalah kebiasaan lamaku. Namun telah lama tak lagi
kulakukan. Entah mengapa, malam ini, tiba-tiba saja aku kembali
ingin melakukannya. Terlebih sejak aku membeli beberapa lilin
aroma terapi di pinggiran Nonongan beberapa hari lalu.
Aku ingat, dulu, aku kerap membiarkan kamar kosku gelap tanpa cahaya. Teman-teman selalu menyangka aku tidur lebih dini. Tapi
sebenarnya aku sekadar berdiam diri di kamarku. Memperhatikan
geliat api dari sumbu lilin yang seakan menari di depanku. Lalu
begitu saja, aku mengajaknya bicara. Ah, tidak-tidak, lebih tepat
membatin mungkin. Ini mungkin terdengar sedikit tidak biasa, tapi aku merasa
melakukan sesuatu hal yang wajar. Seperti bocah-bocah yang
berbicara dengan mainannya, atau orang-orang yang membatin
tentang penampilannya saat bercermin. Aku melakukan hal yang
mungkin sedikit lebih wajar dibanding mereka. Aku menunggu
respons dari batin, karena gerak api yang halus selalu kuanggap
sebagai ekspresinya. Jawabannya.
Tapi tetap saja, ini sebenarnya sedikit memalukan. Tapi aku selalu berdalih seperti pepatah Cina yang pernah kudengar; lebih baik
menyalakan lilin daripada mengeluh pada kegelapan. Aku tak ingin
berkonotasi macam-macam terhadap maknanya, hanya sekadar
[4]" enigma ENIGMA final.indd 4 ingin memahaminya secara harfiah saja. Ini yang kemudian seperti
menjadi dalih yang kucari-cari sendiri, walau sebenarnya di awal
melakukannya, aku seperti tak benar-benar menyadarinya. Batinku
kala itu memang tengah bergejolak. Dan pertanyaan-pertanyaanku
selalu berujung entah ke mana. Dan lilin-lilin inilah yang sedikit
bisa menenangkan. Baru keesokan harinya, saat aku terbangun
dari tidur, dengan lilin yang sudah meleleh kering melebihi wadahnya, aku baru menyadari telah melakukan hal yang sebenarnya
cukup memalukan dilakukan orang seumurku!
Tapi entah mengapa, aku tak pernah punya keinginan untuk
tak melakukannya lagi! Sejak dulu, aku memang laki-laki yang terbiasa dengan ke?
sunyian. Ayah dan ibu harus memaksaku agar mau bermain de?
ngan teman-teman di komplekss, daripada membiarkanku terus
berdiam di dalam kamar. Sejak dulu, aku memang tak terlalu tertarik bermain seharian, mencari ikan di tempat-tempat baru yang
belum didatangi, berburu layangan di kompleks-kompleks sebelah,
atau mencari lempung di persawahan yang ada di belakang kompleks. Aku lebih senang berada dalam kamar, walau kecil dan hanya
berisi dipan sederhana, lemari, dan meja belajar yang telah berlubang.
Aku tak tahu kenapa ayah dan ibu sepertinya tak mau mem?
biarkanku berada dalam kamar saja" Apa yang salah dengan sebuah
kamar" Membaca buku" Atau sekadar membuat tulisan-tulisan pendek tentang apa pun" Toh, aku tak lantas menjadi kuper dan tak
berkawan" Aku sesekali tetap bermain bersama teman-temanku,
meski aku lebih suka pergi ke Gladak atau ke Sriwedari mencari
buku-buku bekas. Sejak dulu, setiap beberapa hari sekali aku memang selalu ke sana. Ada sebuah lapak yang pemiliknya sangat
baik padaku. Namanya Mas Entis, dan ia yang selalu membiarkanku membaca di sudut lapaknya yang sempit, sampai aku lelah.
enigma " [ 5 ] ENIGMA final.indd 5 Tempatnya yang cukup sepi dan semilir, selalu membuatku dapat
menyelesaikan banyak buku. Saking kerapnya, lama-kelamaan aku
bahkan dipercaya untuk menjaga lapaknya bila sewaktu-waktu ia
harus ke belakang ataupun pergi ke mana pun. Mungkin, dari situlah aku kemudian begitu menikmati ke?sunyian.
Maka di hari ini, keinginan berada dalam kesunyian seperti
dulu kembali muncul. Aku ingin melalui malam ini sendiri hanya
bersama lilin-lilin. Kali ini, mungkin aku tak lagi hanya sekadar
bertanya-tanya tentang diriku sendiri. Sudah beberapa tahun ini,
ketidaktenanganku telah berangsur lenyap. Kini aku hanya ingin
mengajak bicara tentang orang-orang lain. Mungkin... tokoh-tokoh
rekaanku. Ya, sudah sejak lama aku memang berencana menulis sebuah
novel. Sekian lama menjadi penulis lepas di koran-koran, de?ngan
sesekali menulis cerpen di hari Minggu, sudah cukup bagiku untuk melangkah lebih jauh.
Aku sudah mencoba memulainya berkali-kali. Tapi selalu saja
sesuatu yang hambar yang tertulis di layar komputer. Aku se?perti
menuliskan sosok asing yang tak benar-benar aku kenal, selain
namanya. Aku benar-benar tak cukup berhasil mengorek-ngorek
dirinya. Aku yakin, satu-satunya jalan agar aku bisa mengekplorasi
mereka adalah dengan mengenali mereka satu per satu. Dan lilinlilin ini mungkin saja akan bisa membantu.
Namun baru saja aku selesai mengucapkan salam di peng?
hujung salat Magribku, kudengar pintu kamar kontrakanku terketuk. Dan, aku langsung tahu siapa yang ada di baliknya. Hanya
dari mendengar nada dan jeda ketukannya saja, aku tahu kalau
Kurani yang datang. Gadis itu langsung melangkah memasuki rumah, ketika aku
membuka pintu. Satu tangannya membawa 2 plastik yang cukup
besar. [6]" enigma ENIGMA final.indd 6 ain "Aku tadi mampir ke Mas Doel membeli pecel lele untukmu,"
ujarnya. Aku mengikuti dari belakang. Aroma gurih pecel lele langsung
menggelitik hidungku. "Kupikir kau tak datang malam ini," ujarku.
Kurani berbalik dan tersenyum. "Aku kangen." Ia berbalik
badan sambil memamerkan senyumnya yang memang menawan.
"Engkau tak ada acara malam ini, kan?"
Aku hanya menggeleng gamang. Lilin-lilin, temaram kamar,
dan tanya-tanya yang sudah kusiapkan itu, tampaknya memang
harus mau mengalah malam ini.
"Lagian?" Kurani duduk di kursi, "aku ingin bicara soal undangan kita. Hmmm, kupikir-pikir sepertinya undangan kita terlalu
gelap ya?" Ia mengeluarkan selembar kertas dari tasnya.
"Coba engkau lihat! Sepertinya warna hitam untuk sebuah
undangan, sepertinya memang agak aneh"! Warna hitam warna"
kematian, bukan?" Aku tersenyum. "Kamu ini! Sekarang memang sedang seperti
itu modelnya. Klasik. Apalagi... dana kita juga memang hanya cukup
untuk membuat yang seperti itu."
"Lho, bukankah kalau kita pakai warna merah tua pun
biaya?nya sama?" Aku mengambil undangan itu dari tangan Kurani, "Tapi warna merah tua katamu mirip dengan undangan temanmu sebulan
yang lalu, kan" Sudahlah, wong semuanya sudah jadi. Masak mau
diganti?" Bibir Kurani sedikit terlipat. "Iya sih, aku tahu. Hanya saja aku
teringat terus saat pertama kali memperlihatkan pada ibu. Ibu
langsung terbelalak heran. Katanya; "hitam begini?" Untungnya aku
sudah membawa beberapa contoh undangan yang seperti ini, sehingga ibu tak lagi bisa bicara apa-apa."
enigma " [ 7 ] ENIGMA final.indd 7 Kurani beranjak ke ruang tengah. Duduk di kursi panjang di
depan televisi, sambil menyalakannya dengan remote yang ada di
dekatnya. "Oh ya, apa engkau sudah menyiapkan daftarnya?"
Aku mengangguk. "Aku tak banyak mengundang teman. Tak
banyak temanku yang tersisa di kota ini. Aku... juga tak ingin membebani teman-temanku yang ada di luar kota."
"Tentu saja mereka tak terbebani. Kenapa engkau sampai berpikir begitu?"
Aku hanya tersenyum. Tak ingin berdebat lebih panjang.
"Tapi engkau tetap akan mengundang teman-teman kita yang
dulu sering bersama di meja panjang warung lotek itu, kan?"
Aku mengangguk. "Ya, mungkin itu saja. Hanya mereka berempat sepertinya," Aku terdiam sesaat, "Tapi sayangnya, sudah sejak
lama nomor-nomor mereka hilang dari ponselku."
Isara Masih seperti pagi-pagi kemarin, aku duduk di belakang meja
makan kacaku: dalam kesendirian.
Hari masih terlalu ranum. Aku masih bisa melihat semburat
merah dari balik dinding kaca di belakang rumah, yang memantul
di meja kacaku, seakan-akan meja kaca ini adalah sebuah wadah
bagi cahaya. Aku bagai menjadi bunga yang melepas satu-satu kelopak?nya
untuk mengumpulkan satu-satu kesadaranku. Mulai meraup uap
harum capucino, mulai mengaduk-aduknya dengan malas, mulai
menyeruput pelan. Lalu, kubuka-buka koran hari ini, mulai mencari
judul-judul yang menarik, mulai menekuri kata demi kata. Hingga
semua kelopak bunga mulai seluruhnya lepas.
[8]" enigma ENIGMA final.indd 8 ain

Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku seakan baru tersadar sepenuhnya.
Biasanya kata demi kata di koran yang menyentakku untuk
segera sadar. Tapi tidak akhir-akhir ini. Kini kata-kata di situ terasa
terlalu biasa buatku. Skandal korupsi lagi. Kekerasan lagi. Opini busuk lagi. Sepertinya tak ada berita yang baik di hari-hari terakhir
ini. Semuanya terasa tak berbeda dari koran kemarin atau koran
kemarinnya lagi. Dulu semua ini hanya kulakukan sambil lalu. Aku sekadar
menunggu saat jam dinding menunjukkan pukul 07.00 WIB. Itu
adalah saatnya ia keluar dari kamar dengan kantuk yang masih terlihat. Ia akan datang dengan piamanya dan mencium dalam-dalam
kepalaku, seperti yang kulakukan saat menghirup udara pagi ketika
pertama kalinya membuka jendela.
Tapi telah lama, hari seperti itu tak lagi terjadi.
Aku kini sendiri di ruangan ini. Mencoba memelihara sepasang
kura-kura Brasil, sepasang hamster dan sepasang ikan mas koki
rembulan. Semuanya keletakkan dalam akuarium bulat di tengah
meja kaca ini. Entahlah, kenapa aku baru membelinya sekarang,
tidak di tahun-tahun kemarin. Padahal sejak kecil, ketiga binatang
inilah yang selalu bersamaku.
Dulu di awal aku pindah di rumah ini, aku pernah membeli
mereka sekali, namun hanya beberapa hari saja semuanya mati.
Bi Yayah, tampaknya tak cukup telaten memelihara mereka, dan
aku merasa tak lagi bisa meluangkan waktu lebih banyak. Maka
karena tak ingin membuat mereka mati lagi, aku berhenti memeliharanya.
Tapi kini aku mencobanya kembali.
Terlalu banyak hal berubah belakangan ini. Hanya di
ruangan ini saja, di tempat aku menikmati semburat fajar dalam
aroma capucino, semuanya telah berubah dibanding dulu. Aku telah
menanggalkan semua hiasan-hiasan dinding di ruangan ini. Foto
enigma " [ 9 ] ENIGMA final.indd 9 besar pernikahan, juga foto-foto diriku, dirinya dan kami berdua.
Semua tak ada lagi di dinding, seakan-akan semuanya telah mengelupas, tergantikan bau cat putih yang masih samar-samar.
Ya semua memang berubah. Bahkan percakapan-percakapan
pun tak lagi ada di sini. Semua sunyi, seakan semua suara lenyap.
Maka agar tak terasa semakin sunyi, aku kerap memasang CD
dari ruang tamu. Aku tak pernah benar-benar tahu apa lagu yang
sedang terdengar. Mungkin CD ini bahkan peninggalan di?
rinya yang terlupa dibawanya. Aku tak peduli. Aku hanya ingin ada
suara-suara lain di sini.
Tak hanya sekadar suara napasku sendiri.
Sebenarnya kesibukanku benar-benar tak pernah selesai.
Tapi sejak beberapa bulan ini, aku malah sengaja mencari
tambahan kesibukan yang lain. Sejak gempa menimpa Yogyakarya
beberapa bulan lalu, jalur usaha butik yang kurintis sebenarnya
menjadi sedikit bermasalah. Aku kemudian memutuskan untuk
meninggalkannya sejenak, dan beralih terlibat mengurus kota di
mana aku tumbuh itu. Kota yang nyaris luluh lantak karena gempa
57 detik dengan kekuatan 5,9 Richter, memang terlihat pincang
kala itu. Maka aku berinisiatif mengoordinir bantuan ke sana.
Kebetulan cukup banyak teman-teman di Jakarta yang dulu kuliah
di Yogyakarta, sehingga aku merasa lebih mudah mengurus semuanya. Jadi tak perlu ikut organisasi ataupun yayasan mana pun
untuk bisa bergerak. Selain kesibukan itu, aku juga kini lebih rajin mencari jadwal-jadwal pertunjukan. Pameran, museum, obral, teater, musik,
bedah buku, atau bahkan pembacaan sajak. Padahal dulu aku
seperti?nya tak pernah punya waktu untuk menyaksikan itu semua.
[ 10 ] " enigma ENIGMA final.indd 10 Bahkan membeli buku yang dulu kerap kulakukan pun, tak pernah
lagi kulakukan. Walau itu secara online sekalipun.
Tapi waktu seperti berdatangan sejak perpisahan itu. Aku sen?
diri merasa heran, ke mana mereka selama ini" Sepertinya mereka
sengaja bersembunyi enggan menemuiku"
Sambil sesekali menyeruput capucino-ku, mataku tak henti
menelusuri baris-baris koran di tanganku. Ada satu yang menarik
perhatian. Sebuah pertunjukan musik klasik Bizzare Love Triangle
dari trio Blue Harmony. Aku belum pernah mendengar nama grup
itu, apalagi nama musisi-musisi pengisinya. Tapi itu sepertinya tak
penting. Judulnya sudah cukup menarik diriku, mengingatkan pada
Frente, atau mungkin... pada kisahku sendiri"
Rasanya aku akan menonton ini saja malam nanti. Akan
kuhubungi Ivas selepas makan siang. Ia pasti setuju. Walau aku
ingat terakhir kali kuajak menonton teater di Salihara, ia terus
mengeluh. Saat itu teater memang menampilkan pertunjukan yang
ceritanya begitu surealis. Sehingga sulit sekali dipahami. Dan sahabatku ini, merupakan orang yang terbiasa mendapatkan sesuatu
yang bener-bener sreg dengan hatinya, maka mendapati pertun?
jukan seperti itu, ia tentu saja akan nyinyir sepanjang hari.
Tapi tentu kali ini tidak. Pertunjukan musik klasik akan membuatnya diam. Aku tahu, dulu ia sempat mendalami piano di Yamaha
sampai beberapa tahun. Di saat tengah berpikir seperti itu, Bi Yayah tiba-tiba masuk
mengakhiri kesendirianku.
"Mbak," ia menyerahkan sepucuk amplop, "Mbak Is sepertinya
lupa. Kemarin surat ini terjatuh di dekat bufet."
Aku menerima surat itu. Jelas sekali ini sebuah undangan
pernikahan. Sekilas kubaca tulisan di amplop depannya. Ada nama sebuah
enigma " [ 11 ] ENIGMA final.indd 11 gedung di Yogyakarta dengan inisial K&H yang tampak mencolok
dengan foil perak. Aku ingin menebak undangan siapa ini. Namun satu hal langsung membuatku terdiam seketika.
Di alamat tujuan undangan itu, masih jelas tertulis;
Kepada Yth. Patta & Isara.
Chang Sejak beberapa tahun lalu,
aku yakin telah menemukannya....
Namaku Indiray. Tapi sejak dulu, teman-teman kerap memang?
gilku: Chang. Mataku yang sipit dan kulitku yang putih, tampang
oriental di wajahku, sering mengingatkan teman-teman pada tokoh
Chang, sahabat Tintin dan Kapten Hardock di komik ciptaan Herge
itu. Padahal aku merasa tak sepenuhnya seorang Cina. Kakek dari
pihak mama memang seorang keturunan Cina, namun papa Jawa
tulen, dan aku dibesarkan dengan budaya Jawa yang kuat.
Dulu, jujur saja ini cukup membebaniku. Sebelum aku benarbenar tahu arti ras dan suku, bocah-bocah di kompleksku sudah
memanggilku: Cina, seakan-akan sifat rasialis sudah tumbuh dari
lahir. Tapi lama-kelamaan setelah mengenalku, semua menjadi
lebih bisa diterima. Hingga aku di wisuda, garis hidupku masih terasa sangat biasa.
Aku meninggalkan Yogyakarta, dan pindah ke Jakarta untuk bekerja
sebagai salah satu reporter di sebuah koran ecek-ecek. Awalnya aku
tak tahu seberapa detil tugasku. Aku hanya membuat draf repor?
[ 12 ] " enigma ENIGMA final.indd 12 tase berita-berita sesuai pesanan redaktur. Bukan berita-berita up
to date, kebanyakan hanya soal skandal, entah soal korupsi ataupun
soal perempuan. Setelah itu tugasku selesai. Reporter senior yang
akan menindaklanjuti tulisanku.
Ini sebenarnya membuatnya tak mengerti. Apalagi koran yang
dicetak ternyata hanya sesekali saja, itu pun dengan jumlah hanya
beberapa ratus eksemplar. Aku mulai berpikir ada yang tak beres
di koran ini. Tapi ketiadaan pekerjaan lain, membuatku tetap bertahan di situ.
Namun lama-kelamaan aku tahu juga posisiku di sini. Tulisan
yang kubuat ternyata hanya dipakai untuk memeras uang dari
pihak yang kuulas. Sejak itu, aku langsung keluar tanpa pamit.
Luntang-lantung di Jakarta. Kelaparan dan lari dari belitan utang.
Dan di tengah keterpurukan seperti itulah, aku mengenal Pondok
Pertobatan. Rumah petak kontrakanku kebetulan ada di sekitar pondok
itu. Awalnya aku sudah kerap mendengar gunjingan di warungwarung makan tentang pondok itu. Kata mereka, orang-orang di
dalam sana adalah kafir yang mencampuradukkan beberapa agama
sekaligus. Aku tak terlalu paham soal keyakinan dan sama sekali tak
berpikir untuk masuk ke dalamnya. Toh walaupun ada nama satu
keyakinan di KTP-ku, tapi aku tak pernah benar-benar menjala?
ninya. Maka itulah gunjingan tentang Pondok Pertobatan ini tak terlalu menggangguku. Aku mengamati mereka seperti mengamati
yang lainnya saja. Hanya saja penghuni di sana memang sedikit
terlihat berbeda. Mereka semua memakai baju putih yang dili?
litkan begitu saja. Di hari-hari tertentu, mereka kerap melakukan
pertemuan. Saat itulah baru terlihat jumlah mereka yang cukup
lumayan. Mungkin sekitar 50 orang lebih.
enigma " [ 13 ] ENIGMA final.indd 13 Sebenarnya pondok tempat mereka berkumpul seperti sela?
yaknya rumah besar lainnya. Bertingkat dua dengan dibatasi pagar
tinggi yang tampak kokoh. Sebagai tanda, hanya ada sebuah tulisan kecil di salah satu sisi temboknya; Pondok Pertobatan. Walau
sebagian orang di kampung ini lebih sering menyebutnya Sekte
Pertobatan. Lama-lama aku sering melihat keramaian di rumah itu. Dari
tempatku nongkrong di sebuah warung tenda, orang-orang berbaju putih itu kerap berseliweran ke sana-kemari. Kadang mereka
terlihat membagikan minyak tanah dan sembako gratis terhadap
warga. Lepas dari itu tindakan menjilat ataupun tindakan yang benar-benar ikhlas, aku mulai merasa simpati pada mereka. Apalagi
saat aku tahu bila acara itu berlangsung secara periodik, setiap 2
minggu sekali. Ini tentu saja mengejutkan. Ternyata pintu rumah
besar itu selalu terbuka bagi siapa saja yang sedang kesulitan.
Maka, ketika salah seorang tetangga mengajakku untuk datang ke Pondok Pertobatan itu, aku langsung mengiyakan saja.
Tetanggaku itu sebenarnya hanya sekadar ingin tahu apa yang
sebenarnya dikerjakan orang-orang berbaju putih di dalam sana.
Namun aku berpikir lebih sederhana darinya: aku sekadar ingin
mendapat makanan gratis malam ini. Itu saja.
Sungguh, sekali lagi kuulangi, aku sama sekali tak berminat
bergabung. Aku adalah orang yang sangat rasional. Agama saja
kupertanyakan, apalagi kelompok-kelompok tak jelas seperti ini.
Namun entah mengapa, sejak pertama kali aku bertemu dengan
pemimpin Rumah Pertobatan ini, yang lebih kerap dipanggil Dewi,
pondasi yang ada pada diriku selama ini mendadak goyah.
Selama beberapa bulan yang kulalui kemudian, perempuan
40 tahun itu selalu saja membukakan pintu untukku. Walau aku
tak pernah berpura-pura di depannya dengan alasanku yang hanya
sekadar ingin makan gratis. Ia tak pernah menolakku. Ia bahkan
[ 14 ] " enigma ENIGMA final.indd 14 memerintahkan pengikut-pengikutnya untuk tetap melayaniku
dengan baik. Maka tanpa kusadari, beberapa bulan kemudian, ia sudah
menjadi orang pertama yang selalu mengulurkan tangan padaku
di saat-saat aku benar-benar membutuhkan pertolongan. Tiba-tiba
tanpa bisa kuhindari lagi, perasaan itu pun muncul, dan tak lagi
bisa kutolak, walau sekuat apa pun. Aku seperti telah menemukan
rumah Tuhan bagi diriku sendiri!
Atas alasan itulah aku kemudian memutuskan untuk
mengikutinya dengan tinggal di pondok ini.
Rumah besar yang selama ini hanya kulihat berpagar tinggi
dan terpisah dari rumah-rumah lainnya, ternyata memiliki be?
lasan kamar yang berderet panjang, di mana masing-masing kamar
memiliki sebuah jendela dengan bunga berwarna ungu di salah
satu sudutnya. Di salah satu kamar itulah aku tinggal.
Maka sejak itu, aku kemudian memilih menjadi laki-laki yang
sengaja mencoret diriku dalam peta kenangan. Aku membuang
ponselku dan tak lagi mencoba menghubungi teman-temanku,
ataupun keluargaku. Aku membiarkan diriku lenyap!
Hari ini, dengan pakaian serba putih yang dibalut begitu saja di tubuh, aku melangkah memasuki ruangan milik Dewi. Ruangan ini
adalah ruangan yang letaknya di ujung bangunan. Ruangan pa?ling
gelap. Ruangan yang tak sembarang anggota boleh memasukinya.
Aku membungkuk dengan kedua telapak tangan yang bertemu di depan dada. Dewi yang tengah melakukan pemujaan, menyalakan beberapa batang hio, menoleh sekilas padaku, dan balas
membungkuk. enigma " [ 15 ] ENIGMA final.indd 15 "Duduk di sini, Indiray," ujarnya.
Aku duduk di depan perempuan itu.
"Ada apa, Dewi, memanggilku?"
"Aku sekadar ingin menanyakan persiapanmu?"
"Semuanya sudah siap, Dewi," aku menjawab dengan suara
meyakinkan." "Baguslah kalau begitu. Beberapa pengikut kita sudah siap
menunggu di sana." Aku mengangguk. Sekilas ada sesuatu yang ingin kuucapkan.
Sesuatu yang sejak beberapa malam lalu, muncul di kepalaku. Dan
Dewi menyadari itu. "Ada apa, Indiray?"
Aku menelan ludah. "Tidak ada apa-apa, Dewi," aku menunduk.
"Namun... apakah bisa, hmmm... sebelum aku ke Yogyakarta, aku
ingin minta izin dulu untuk menengok seseorang?"
Dewi menatap tajam padaku. Aku tahu, pada orang lain, ia pasti
akan segera menegur ucapan seperti itu. Mengenyampingkan masalah bersama dari masalah pribadi, merupakan sebuah pan?tangan
di sini. Tapi tentu saja ia tak bisa terlalu saklak padaku. Aku adalah
murid terkasihnya. Maka Dewi hanya menghela napas pendek, "Aku yakin, engkau
bisa mengatur dirimu sendiri, Indiray. Dan kuharap semuanya akan
berjalan lancar." Patta Tak seperti biasa, hari ini jalanan bagai berpacu. Mobil-mobil
tak merayap, tapi melaju lancar, diiringi motor-motor yang terus
berseliweran seperti tak berarah. Suara klakson berkali-kali dan teriakan-teriakan kondektur bus silih berganti terdengar, tak cukup
[ 16 ] " enigma ENIGMA final.indd 16 teredam rekatnya mobil ini. Beberapa penjual asongan tampak
berdiri di pinggir-pinggir jalan tak peduli teriknya matahari yang
mulai naik. Tapi entah mengapa, sesibuk apa pun jalanan, aku tetap me?
rasa begitu sepi. Ya, merasa sepi di keramaian. Kalimat itu mendadak
mengingatkanku pada sebuah buku yang dulu pernah kubaca. Aku
lupa judulnya, tapi kalimat itu kerap kupakai, untuk melukiskan
perasaan seperti sekarang.
Dari spion depan kulihat Pataji, sopirku, melirikku sekilas. Aku
berusaha tampak biasa di depannya. Tapi aku yakin ini tak pernah
cukup berhasil. Ia tahu tentang semua kejadian yang menimpaku
akhir-akhir ini. "Coba setel Metro!" ujarku memecah suasana.
Dengan tangan kirinya, Putaji menekan tombol play. Tak perlu
mencari channel lagi, layar Metro TV selalu yang pertama kali terlihat. Pataji hanya cukup menyesuaikan volumenya.
Tentu saja, sebenarnya aku tak terlalu tertarik melihat tayang?
an-tayangan di situ. Kupikir aku hanya perlu menjalankan keadaan
yang selama ini biasa kulakukan. Walau dapat kutebak, setelah beberapa detik lewat, aku pasti telah kembali memperhatikan jalanan
yang padat di balik jendela.


Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak, kulihat pantulan wajahku di kaca. Aku bersyukur
karena semua terlihat lebih baik dari sebelumnya. Kira-kira setahun
yang lalu, setelah perpisahan itu, aku begitu kacau. Bahkan kerap
tanpa aku sadari, aku lupa menyisir rambut, atau membiarkan mataku tampak merah. Tapi sekarang tidak lagi. Tak ada lagi hal-hal
memalukan seperti itu. Semua tampak lebih baik dari luar. Walau
di dalam, siapa yang bisa menebak"
Lamunanku tiba-tiba dikejutkan dering ponselku. Sekilas kulihat nama yang tercantum di layar ponsel.
enigma " [ 17 ] ENIGMA final.indd 17 "Tolong kecilkan!" sebelum selesai kalimatku, Pataji sudah memutar tombol volume ke kiri.
"Halo?" "Selamat pagi, Bapak Patta?" terdengar suara di seberang.
"Ya?" "Sebentar, Pak! Bapak Wirajja ingin bicara."
Sekian detik aku diam menunggu.
"Halo," suara berat terdengar beberapa detik kemudian,
"Patta?" "Ya, Pak Wirajja" Pagi-pagi sekali?"
Yang kupanggil Pak Wirajja tertawa lepas di seberang, "Selalu
pagi, bila ada hal penting yang ingin dibicarakan!"
Patta mencoba tersenyum, "Ada apa, Pak?"
"Sebaiknya kau ke sini, cepat! Tak enak aku bicara lewat te?
lepon begini!" Lalu tanpa kata-kata lagi, telepon terputus begitu saja.
Aku mendesah pelan. "Kita ke Sudirman," ujarku perlahan memasukkan ponsel kembali ke dalam tas. Namun sebelum tanganku benar-benar melepasnya, ponsel itu kembali berbunyi.
Aku melihat nama Sayang di layar ponsel. Dan ini membuatku
menjadi ragu untuk mengangkatnya. Sudah begitu lama ia tak
meng?hubungiku. Ada hal penting apa yang harus dibicarakan sekarang"
Dan telepon itu terputus, saat aku memutuskan untuk meng?
angkatnya. Di susul sebuah pesan masuk beberapa detik kemu?dian.
Maaf tadi kutelepon. Aku hanya ingin mengabarkan kalau Hasha & Kurani
akan menikah akhir bulan ini. Undangan datang kemarin di rumah. Maaf
baru menghubungimu sekarang.
[ 18 ] " enigma ENIGMA final.indd 18 Aku membaca pesan itu beberapa kali.
Di satu sisi, pesan itu membuatku mengingat sosok Hasha
dan Kurani, teman-teman kuliahku dulu. Namun ingatan itu hanya
sesaat saja datang. Selebihnya perasaan tak enak yang mendadak
mendominasi. Seharusnya telepon tadi cepat kuangkat, sedikit muncul sesal
di diriku. Bukankah setidaknya aku bisa mendengar lagi suaranya"
Aku menyenderkan tubuh, bersamaan dengan mobil yang berhenti di sebuah lampu merah. Dari kaca jendela kulihat sebuah
poster besar pertunjukan musik klasik. Bizzare Love Triangle.
Aku memasuki ruangan itu dengan langkah lambat. Bunyi sepatuku
pada lantai marmer terdengar melemah. Bau Cerutu Cuba langsung
tertangkap oleh hidungku yang sangat sensitif dengan bau tembakau. Biasanya di tempat lain, aku akan langsung memerintahkan
pengawalku untuk menghentikan perokok tersebut. Tapi tidak bisa
kali ini. "Kau sudah datang, Patta?" Lelaki bertubuh besar dengan pa?
kaian kemeja longgar yang sedari tadi memandangi jendela, mene?
ngok sekilas. Dari tangannya yang memegang cerutu, aroma tembakau menyebar.
Aku mendekat dan bersalaman dengannya. Ia adalah seorang
lelaki gagah berumur sekitar 55 tahun. Badannya masih tampak kekar walau kemeja longgarnya tak cukup menonjolkannya.
Rambutnya masih tampak hitam kelimis. Dan satu lagi yang sangat
kurasakan, aura kepemimpinannya masih begitu kuat.
Gambaran dirinya sekarang tak jauh berbeda dengan lukisan
besar yang ada di salah satu sisi dindingnya, yang mungkin dibuatnya 20 atau 30 tahun yang lalu.
enigma " [ 19 ] ENIGMA final.indd 19 "Waktuku tak banyak, Patta," ia duduk di kursinya, menggerakkan tangannya menyuruh Patta duduk. "Kita langsung saja!"
Ia meletakkan cerutunya. "Seperti biasa, aku butuh bantuanmu," suaranya memelan satu oktaf. "Bantuan yang kupikir hanya
kau yang bisa mengerjakannya. Sebuah bantuan yang dapat benarbenar menolongku, dan tentunya, dapat membuatmu kariermu semakin baik."
Aku terdiam. Semua sudah tertebak sejak panggilan telepon
tadi pagi. Namun mendengar langsung suaranya, seperti membuatku tiba-tiba berada dalam sebuah kungkungan, mengurung
tubuhku yang kaku, dan menyumbat pernapasanku.
Tanpa sadar aku menelan ludah. Entah mengapa, tubuhku
mendadak terasa panas, walau hawa AC sebenarnya merayapi hingga ke seluruh pori-pori.
Ah, kenapa aku jadi berdebar begini" Aku sedikit melonggarkan dasi. Sudah belasan kali aku bekerja sama dengannya, dan semuanya berjalan lancar. Baru kali ini saja, aku merasa debaran yang
berbeda. Dulu, saat awal aku masuk dalam lingkungan ini, laki-laki inilah yang membawaku pada salah satu bekas anak buahnya yang
ada di DPR. Namanya tak terlalu penting kusebutkan. Karena pada
praktiknya, aku hanya diberikan pekerjaan-pekerjaan ringan olehnya. Bapak Wirajjalah yang tetap lebih sering meminta bantuanku.
Aku bahkan beberapa kali mengikuti pertemuannya dengan
sebuah partai besar, sesuatu yang seharusnya bukan bagian pekerjaanku. Tapi aku merasa cocok dengannya. Kupikir ia terlalu cerdas
di antara lainnya! Semua tahu, bila partai banyak dikuasai orangorang bodoh, yang hanya bisa menjilat, dan aku dapat melihat di?
rinya sangat berbeda dari semuanya. Itulah yang kemudian membuatku terus mengikuti dirinya hingga sekarang.
[ 20 ] " enigma ENIGMA final.indd 20 "Tapi Patta," suara Bapak Wirajja terdengar lagi, "Ini proyek
yang harus berhasil. Engkau sama sekali tidak boleh gagal. Atau?"
ia sengaja menggantung kalimatnya beberapa detik, "Atau kau yang
akan selesai!" Goza Aku adalah bedebah paling tampan di jagat ini!
Aku tak bercanda. Sudah puluhan orang yang berkata se?
perti itu padaku. Sebagian dari mereka perempuan-perempuan
yang habis bercinta denganku, dan kutinggalkan begitu saja di pagi
harinya. Mereka yang terbangun, pastilah langsung berteriak memaki-maki aku sebagai bedebah! Sementara yang belum terbangun,
pastilah akan menelepon atau mengirim pesan yang isinya tak jauh
berbeda dengan perempuan yang telah terbangun tadi: memakimakiku sebagai bedebah.
Ah, perempuan, selalu saja membuatku tak mengerti. Baru
beberapa saat yang lalu mereka berlaku mesra, kini mereka langsung menjadi serigala ganas. Tak bisa kubayangkan kalau aku harus
berpamitan baik-baik dengan mereka. Padahal sudah jelas aku tak
menjanjikan apa-apa pada mereka. Hanya sekadar, hmmm, percintaan tak terlupakan!"
Tapi begitulah risiko bercinta dengan perempuan baik-baik.
Mereka memang bukan pelacur. Aku tak terlalu menikmati bermain dengan pelacur. Perempuan yang terlalu mudah didapat ha?
nya karena selembar-dua lembar uang tak terlalu menarik buatku.
Dan aku ingin memberi tanda batas yang tegas untuk itu. Walau
sesekali aku terpaksa melanggarnya sendiri, karena aku tak menemukan perempuan yang sesuai. Namun saat seperti itu tentulah
sangat jarang. enigma " [ 21 ] ENIGMA final.indd 21 Selama ini, semuanya sepertinya begitu mudah bagiku. Sejak
dulu aku sudah tahu kelebihanku, Aku merasa Tuhan sudah menciptakan sesuatu yang istimewa, mungkin semacam magnet yang
ada dalam diriku. Hanya tersenyum sedikit saja, perempuan akan
membalas tersenyum lebih lebar padaku. Satu ucapan saja, perempuan akan mengucapkan lebih banyak kata. Satu sentuhan saja,
perempuan akan balas meremas sentuhanku. Dan satu ciuman saja,
perempuan akan memejamkan mata dan kemudian membiarkan
diriku melakukan apa pun terhadap mereka.
Ya, selalu seperti itu. Kau tentu saja tak harus percaya padaku.
Kau bahkan bisa saja menyebutku pembual!
Yang lebih mengasyikkan dari ini, aku selalu berusaha menamai diriku dengan nama yang berbeda bagi para perempuan itu.
Setiap nama yang pertama terlintas di otakku, akan kusebut sebagai
namaku. Saat aku baru menonton James Bond, aku akan mengenalkan diriku sebagai Boni. Saat aku selesai membaca novel Pandaya
Sriwijaya, aku akan menyebut diriku Samudra, seperti nama tokoh
utama di novel itu, Tunggasamudra. Dan kala aku habis menonton berita di salah satu stasiun televisi, aku akan menyebut nama
Pangeran, seperti salah satu penyiar di sana. Ini mungkin merupakan hal paling spesial yang kuberi bagi para perempuan itu: sebuah
nama yang hanya untuk mereka seorang!
Hahaha! Ya, aku memang bedebah paling tampan dengan seribu nama!
Aku tak tahu sejak kapan aku menjadi sebedebah ini. Semuanya
seperti terjadi hanya dalam beberapa tahun ini saja. Walau aku
ingat bila sejak SMA pun aku sudah bercinta dengan beberapa pe?
rempuan, juga di saat kuliah, tapi kupikir saat itu aku belumlah
sebedebah ini. Aku masih mengantar mereka pulang di dini hari,
atau mencium kening mereka sebelum pergi. Bahkan beberapanya
sempat pula kukirimi SMS untuk mengucapkan terima kasih kare-
[ 22 ] " enigma ENIGMA final.indd 22 na sudah mau melewatkan malam indah bersamaku, atau kalimatkalimat bedebah sejenis itu!
Tapi sekarang tentu saja tidak. Aku menjalani semuanya se?
perti sebuah rutinitas, atau mungkin karena tuntutan pekerjaanku.
Aku tak terlalu peduli dengan itu.
Dan di saat berpikir seperti itulah, satu dari tiga ponsel yang
tergeletak di meja kecil di dekat pembaringan, berbunyi.
Aku terkejut. Terkejut dengan sangat berlebihan. Itu dering
yang tak biasa. Dengan tak percaya kutatap 3 ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur dengan tetap tak bereaksi. Lalu seakan
tak terjadi apa-apa, tetap kulanjutkan gerakanku yang tengah mencukur jenggot.
Sampai dering itu kemudian berhenti, dan kembali berbunyi
hingga 3 kali. Tapi aku tetap tak bereaksi, seakan tak mendengarnya. Kubasuh badanku yang kekar dengan handuk kecil. Masih ada
sisa titik-titik air di sana. Tapi otakku tak bisa menahan diri lebih
lama lagi untuk mencoba tak peduli.
Ponsel itu seharusnya tak lagi berbunyi!
Suara deringnya harusnya sudah kulupakan!
Ya, sudah sekian lama nomor ponsel itu tak berbunyi, aku
membatin. Siapa yang tahu nomor di ponsel itu" Seharusnya 2 ponsel
yang lain yang berbunyi, tapi tidak yang itu!
Aku beranjak pelan ke tepi pembaringan. Kuperhatikan layar
ponsel sekilas. Sebuah nomor asing terlihat di sana. Tentu aku tak
tahu nomor siapa itu. Aku tak pernah menghafal sebuah nomor
pun, apalagi ponsel ini tak menyimpan sebuah nomor pun di phone
book-nya! Saat tengah berpikir begitu, tiba-tiba aku dikejutkan dengan
suara ketukan di pintu. Aku beranjak perlahan dan membuka pintu. Di sana, Wanti, pembantu pemilik kontrakan ini, tampak membawakannya segelas teh hangat di nampan.
enigma " [ 23 ] ENIGMA final.indd 23 Aku melebarkan pintu agar ia dapat masuk.
"Kau lebih cepat 10 menit dari kemarin," ujarku dengan ter?se?
nyum. "Kali ini aku belum selesai bercukur, bahkan memakai baju."
Wanti tersenyum malu. "Abis airnya matang lebih dahulu,
Mas," ujarnya sambil meletakkan teh hangat di meja kecil di mana
3 ponselku berada. Aku tersenyum melihat pipinya yang merona merah. Belum
satu pujian pun kulontarkan, ia sudah merona. Pastilah semua akan
mudah-mudah saja nanti. Aku tersenyum sendiri. Sejak tinggal di sini beberapa hari yang
lalu, aku memang sudah berpikir untuk meniduri perempuan ini.
Walau sudah bersuami, tapi kupikir ia cukup lumayan. Kutebak, ia
pastilah dapat bercinta dengan baik. Gerakan pantatnya kala berjalan memberi tahuku dengan jelas soal itu!
"Oya, Mas Indro," ujarnya saat akan keluar kamar. Kali ini aku
memang mengenalkan diri sebagai Indro, karena mendapati film
Dono Kasino Indro yang diputar berkali-kali di televisi. "Hmmm,
tadi Ibu menanyakan kapan pastinya pelunasan kontrakan?"
"Ah, ia sudah menagih?" Aku mengangkat bahu dengan wajah
berpura-pura tak percaya. Namun tanpa banyak bicara, aku sudah
beranjak ke lemari dan mengambil beberapa lembar uang seratus?
an ribu dari tas. "Sebaiknya kubayar saja sekarang, supaya ia tak menagihna?gih lagi," dengan gerakan menggoda, aku menggesekkan lembaran-lembaran uang itu pada dagu Wanti.
Perempuan itu semakin merona merah.
[ 24 ] " enigma ENIGMA final.indd 24 Rumah itu ada di atas sebuah bukit.
Rumah-rumah lain tampaknya cukup jauh dari rumah
itu, hingga sepertinya hanya rumah itu saja yang terlihat di
sekitar sini. Maka itulah, kedua kakak beradik hanya bemain
berdua saja, tanpa teman lainnya. Berlarian di sekitar rumah,
memanjat pohon-pohon kersen, atau mencoba memelihara
beberapa ekor anak ayam. Sampai suatu hari tanpa sengaja, saat sang kakak
tengah bersembunyi di atas lemari, tanpa sengaja ia melihat
sebuah rumah tua dari jendela rumah. Di antara celah-celah
pohon dan bukit-bukit kecil, rumah itu terlihat ada di bukit
yang lebih tinggi, jauh dari rumah mereka.
"Lihat! Ada sebuah rumah di sana!" seru sang kakak.
Sang adik yang tampak ingin tahu, segera mencoba
menaiki lemari dengan kursi.
"Kau dapat melihatnya, kan?"
enigma " [ 25 ] ENIGMA final.indd 25 Sang adik mengangguk. Ia memang dapat melihat pula
rumah yang dilihat kakaknya, walau ranting-ranting pohon
menghalanginya. "Kita harus ke sana!" seru sang kakak.
Sang adik tak menyahut. Isara Aku masih ingat meja panjang tempat kami biasa berkumpul.
Letaknya ada di sebelah warung lotek di daerah Kanisius,
sedikit memisah dari warung utama. Sebuah pohon asem besar
yang teduh menaunginya, dan tak henti menghantarkan angin
lembut bagi yang duduk di bawahnya. Inilah yang membuat kami
kerap memilih duduk di sana. Apalagi kebetulan sekali kosku ada
di dekat sini, sehingga teman-teman yang kerap menyambangiku,
akan kuajak mengobrol di sana, sekaligus makan.
Meja panjang itu terlihat sangat kokoh. Dengan cat hitam yang
sudah memudar, debu jadi tak begitu terlihat. Di sisi panjangnya
ada dua kursi panjang yang seperti telah mengenali kami. Hingga
setiap kali kami berada di sana, ia seperti mengirim si?nyal kepada
pohon asem agar tak sering-sering menjatuhkan daun-daunnya,
atau bahkan meminta mereka untuk sedikit melebarkan daundaunnya agar dapat lebih menutupi sinar matahari yang kadang
terik. Tempat inilah yang menjadi saksi pertemananku selama ini.
Walau setelah beberapa tahun lewat, hanya ada 4 orang yang pa?
ling kerap berada di sana bersamaku.
Ya, hanya 4. Aku tak ingat sejak kapan aku mengawali kedekatanku de?ngan
mereka. Sering aku mengkilas balik perkenalan pertama de?ngan
[ 26 ] " enigma ENIGMA final.indd 26 mereka. Tapi sepertinya aku tak terlalu merasa yakin. Mungkin semuanya berawal sejak Ospek pertama kali di jurusan kami, Ilmu
Komunikasi. Waktu itu angkatan kami yang baru masuk, melakukan malam
pengakraban dengan angkatan di atas kami, di Deles, 35 km dari
Jogja ke arah Solo. Itu merupakan daerah puncak yang cukup di?
ngin, di mana pohon-pohon pinus puluhan tahun berdiri berjejer
menantang langit. Kala itu aku masih ingat tengah berjalan bersama Kurani memandangi pohon-pohon itu tak habis-habisnya. Bahkan sesekali,
kami berputar lambat bagai bandul jam untuk mengelilingi satu
pohon yang terbesar. Ini membuat seorang teman yang berjalan di
depan, kemudian mencoba mengajak kami berbicara, "Kata orang,
kalau engkau bisa berada tepat di puncaknya, engkau akan melihat
seluruh Jogja!" Laki-laki itu Chang. Ia tengah berjalan bersama temannya yang
lebih pendiam, Hasha.

Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi belum sempat aku menanggapi ucapan itu, seorang teman lainnya yang berjalan di belakang kami, sudah muncul di
antara kami, "Jangan percaya katanya! Pinus-pinus ini tak setinggi
itu. Apalagi kita berada sangat jauh dari Jogja!"
Kali itu yang bicara adalah Patta. Ia tengah berjalan bersama
Goza di belakangnya. Chang dan Hasha kemudian tertawa lepas menanggapi ucap?
an itu, "Aku hanya memetaforakan pohon-pohon itu, Patta!" ujar
Chang. "Sekadar mengungkapkan kalau pinus ini sedemikian tingginya."
"Tapi itu berlebihan, Chang."
"Kupikir tak berlebihan!" aku cepat-cepat memotong, "Kalau
mata kita punya kemampuan melihat sejauh mungkin, tanpa ter-
enigma " [ 27 ] ENIGMA final.indd 27 halang apa-apa, aku yakin kita bisa melihat Jogja dari sini. Hanya
masalahnya... bagaimana kita menuju puncak pohon itu?"
Ya, tampaknya seperti itulah percakapan pertama kami. Tak
berlangsung panjang memang, karena senior sudah memanggilmanggil kami untuk melanjutkan acara.
Kupikir setelah acara malam pengakraban itulah semuanya
terhubung. Entah mengapa, sejak itu kami jadi lebih sering berhubungan. Kami selalu memilih tempat duduk berdekatan di setiap
kuliah dan membentuk kelompok bersama untuk tugas-tugas yang
datang. Awalnya, Kurani selalu ada bersama kami. Namun hanya
setahun saja begitu. Karena di tahun berikutnya, ia memutuskan
keluar dari UGM, untuk melanjutkan di STAIN. Setelah itu, hanya
tinggal aku, dan empat teman laki-lakiku itu.
Kenangan semuanya masih saja kuingat. Sepertinya baru saja
terjadi kemarin. Kepak-kepak sayap ini belumlah terbang terlalu
jauh mengangkasa. Semua masih bisa terbayang, walau ada bebe?
rapa yang mulai mengelupas.
Ya, semuanya dulu tampak selalu berlima!
Hanya saja kini, aku merasa seperti seorang diri saja yang tersisa!
Hari-hari terakhir ini sepertinya semuanya bergejolak!
Entahlah, dalam diriku, sepertinya ada sesuatu yang begitu
memberontak. Bayang-bayang masa lalu tak henti berkelebat datang silih berganti dalam pikiranku. Terus bergerak, seakan rekam?
an usang kembali berputar tanpa terbendung. Memaksa kisah-kisah
lama yang sebenarnya pelan-pelan mulai terlupa, muncul kembali.
Satu demi satu. [ 28 ] " enigma ENIGMA final.indd 28 Dulu bayang-bayang seperti ini memang kerap hadir. Tapi tak
semua bisa kukenali dengan baik. Tapi sudah beberapa tahun ter?
akhir ini, semua seakan berangsur lenyap dengan sendirinya.
Kesibukanku selama ini seakan tak berarti. Pertunjukanpertunjukan yang kusaksikan setiap malam seperti tak bermakna.
Sungguh, kali ini aku benar-benar terlalu lemah untuk membendung semuanya. Kegundahanku benar-benar membuncah.
Bergelibat di seluruh sel-sel tubuhku.
Apa ini semua karena perpisahan itu" Rasa bersalah itu" Ya,
seingatku, sejak proses perpisahan itu, kegamangan seperti
merasuk dalam diriku. Dan kesendirian di hari-hari selanjutnya,
seakan menyempurnakannya.
Benar-benar menyempurnakannya!
Walau sudah kuyakinkan bahwa aku melakukan semuanya
demi kebaikannya. Tapi bantahan itu mudah saja menjadi tak
berarti. Ini yang membuatku menjadi begitu sulit memejamkan
mata. Bayang-bayang seperti terus menggantung di pikiran ini, memenuhi seluruh ruangan.
Ini kadang membuatku begitu takut.
Lebih parahnya, saat mataku tanpa sengaja melihat kembali
undangan berwarna hitam yang kubiarkan tergeletak di meja, aku
seakan terlempar ke masa itu!
Kembali dan kembali, seiring aku membaca foil perak di depannya....
K&H Juga tulisan di bawahnya.
Kepada Yth. Patta dan Isara
"Ah, apakah karena datangnya undangan ini gejolak itu tak
lagi terbendung?" gumamku. Undangan ini memang terlalu cepat
enigma " [ 29 ] ENIGMA final.indd 29 di?kirim. Masih lebih satu minggu dari hari H. Apakah mungkin
mereka memang tak lagi sabar mengabarkan... kebahagiaan mereka"
Aku menyentuh lagi undangan itu.
Aku tentu akan bahagia untuk mereka. Aku telah mengenal
keduanya dengan baik. Tak bisa kupungkiri bila mereka adalah pasangan yang sempurna.
Ya, sempurna.... Sempurna.... Tapi... kenapa airmataku yang malah menggenang membayangkan kebahagiaan itu"
Aku memejamkan mataku kuat-kuat. Mencoba mengatur napasku dengan tenang. Namun bayang-bayang itu tanpa kuminta
kembali berkelebat berdatangan.
Sungguh, sekuat apa pun aku mencoba, rasanya kali ini aku
tak lagi bisa menepis bayang-bayang tentang dirinya.
Chang Kalau engkau memulai keyakinanmu
karena sebuah warisan, mungkin engkau sudah
melakukan satu kesalahan awal!
Aku mulai mengemasi barang-barang. Ada perasaan begitu berat meninggalkan pondok ini. Sekian tahun tinggal di sini, aku se?
perti telah menyatu dengan semua sudutnya. Aku telah hafal setiap
aroma ruangan yang berbeda-beda. Aku hafal berapa keramik yang
retak, juga berapa titik-titik atap yang bocor dan kerap meneteskan
air walau sudah berkali-kali diperbaiki. Aku bahkan bisa merasakan
[ 30 ] " enigma ENIGMA final.indd 30 kelembaban tembok-tembok yang berbeda antara ruangan satu
dengan yang lainnya. Aku benar-benar telah menjadi bagian dari pondok ini. Di
sini, doaku terasa bergema, dan terus bergema seperti tanpa akhir.
Sungguh, sepanjang hidupku, telah ribuan kali doa kupanjatkan,
tak pernah sekalipun aku terasa seperti ini.
Aku tentu telah berkeyakinan sejak lahir. Di negeri ini, mana
ada bocah yang dilahirkan tanpa keyakinan" Maka sekian tahun,
kujalani keyakinan itu seperti sebuah rutinitas, sama seperti bocahbocah lainnya. Dan sepanjang itu pula, baru kusadari tak pernah
sekalipun aku merasa benar-benar bersama Tuhan.
Itulah yang kemudian membuatku memilih menjauh. Semakin
lama kupikir tak ada bedanya berkeyakinan dan tidak berkeyakin?
an. Apalagi bila dihubungkan dengan kondisi sekitar yang penuh
dengan semua hal tak baik. Aku jadi merasa semakin miris. Bahkan
di beberapa kota di Eropa yang penduduknya ateis, tak berTuhan,
kehidupan jauh lebih baik daripada di negeri ini yang semua penduduknya berkeyakinan!
Tapi di sini, di rumah pertobatan ini, semuanya berbeda. Tuhan
selalu menaungi kami setiap hari. Engkau tak akan pernah bisa
membayangkan betapa tenteram diriku. Kupikir, keyakinan bukan
persoalan nama, dan jenisnya saja, tapi bagaimana hubunganmu
dengan sang Pencipta. Seberapa engkau bisa mendekatkan diri de?
ngannya dan menjadi manusia yang lebih baik.
Tapi tentu saja semua orang tak cukup mengerti. Lebih parah lagi, orang-orang yang tak setuju selalu berbuat hal-hal yang
jauh dari tindakan manusia yang berkeyakinan, seakan semua harus sesuai dengan keinginan mereka. Dan mereka akan membuat
pemakluman dari larangan keyakinan mereka sendiri. Seperti yang
akhir-akhir ini mulai terjadi di pondok kami.
enigma " [ 31 ] ENIGMA final.indd 31 Sungguh, ini membuatku gundah. Situasi semakin hari semakin
tak mengenakkan. Mulai dari coretan-coretan di tembok rumah
yang isinya mengusir dan menghujat kami, disusul demonstrasidemonstrasi penolakan warga, yang tak kami yakini benar-benar
merupakan warga di sekitar sini.
Media pun kemudian mulai kerap meliput kami. Dewi yang
akhirnya mencoba menjawab semuanya, kemudian malah diputuskan telah menyalahi aturan agama yang sudah ada. Melakukan
sebuah penistaaan. Sebenarnya aku ingin sekali tetap berada di sini dalam kondisi
seperti ini. Tapi Dewi berpikir lain.
"Harus ada yang aku percaya untuk turut menyebarkan keya?
kinan ini. Jauh dari sini," ujar Dewi kala itu.
Selama beberapa bulan ini, kami memang sudah membicarakan tentang rencana mengembangan keyakinan ini di luar Jakarta.
Beberapa bulan lalu Dewi sudah mengutus seorang ke Bandung.
Kini giliranku untuk menyebarkannya di Yogyakarta.
"Aku anggap dirimu sudah cukup bisa mengemban tugas ini,"
tambah Dewi. Aku sebenarnya cukup terkejut atas penunjukkan ini. Aku termasuk anggota termuda di sini, masih banyak senior-seniorku yang
kupikir lebih pantas mengemban tugas ini.
"Tapi, Dewi, aku"," masih kucoba untuk menolak.
"Kenapa" Apa engkau masih merasa belum cukup mampu?"
Dewi tersenyum. "Aku sendiri sudah menganggapmu cukup kuat.
Tentu saja penilaianku itu sangat berdasar. Apalagi dibanding anggota lainnya, hanya engkau yang mengenal Yogyakarta dengan
baik." Aku tak bisa membantah lagi. Walau ada sedikit kebanggaan
karena dapat melayani Dewi lebih baik, namun ada juga sedikit
ketakutan. [ 32 ] " enigma ENIGMA final.indd 32 Walau bagaimanapun Yogyakarta adalah kota semua
kenang?an?ku berakar. Dewi menganggap daerah itu memiliki potensi untuk pengembangan. Dan aku setuju. Sejak aku kuliah di
sana, beberapa keyakinan lain berkembang di sana tanpa kuketahui
secara detail. Yang kuingat, Darul Arqom pun pernah berkembang
di sana. Sebelum pemerintah melarangnya! Maka itulah kami akan
memulai membuat jejak-jejak kami di sana.
Selepas semua pekerjaan packing kuselesaikan. Aku mulai
mengeluarkan buku catatan telepon yang masih tersisa di kotakkotak barangku ketika pindah dari Yogyakarta. Dulu, saat temantemanku sudah menyimpan nomor-nomor telepon teman-teman
lainnya di ponsel, aku masih menulisnya dalam buku catatan kecil,
karena cukup terlambat memiliki ponsel.
Di situ aku cari sebuah nama, di baris pertama dalam deretan
daftar nama-nama yang tak panjang.
Hasha. Ah, Hasha, perlahan tanpa sadar aku mengeja nama itu. Seperti
apa ia sekarang" Sudah sekian tahun aku membatasi hubungan
dengan orang-orang yang kukenal dan sengaja melupakan semua?
nya, terlebih masa laluku.
Tapi dengan Hasha, apa aku bisa melupakan dirinya begitu
saja" Dia sahabat terbaikku. Goza Jalanan tampak menyempit. Kerikil-kerikil seakan mengelupas karena panas yang melelehi aspal kualitas rendah. Tak ada
peneduh. Pohon-pohon terlalu pelit untuk berdaun lebat, semenjak
enigma " [ 33 ] ENIGMA final.indd 33 orang-orang mematoki tempat-tempat yang seharusnya menjadi
milik mereka. Aku sudah memutari kampung ini belasan kali. Sebenarnya
hanya dengan memutari dua-tiga kali saja, aku sudah bisa menebak
apa yang ada di sini. Namun untuk lebih meyakinkan, aku melakukan belasan kali.
Ini seperti merupakan sebuah keharusan.
Kampung ini tak jauh berbeda dari kampung yang terakhir
kutinggali. Rumah-rumah kecil yang terlalu berdempetan satu
dengan lainnya, para ibu yang menggosip di warung-warung, dan
gang-gang tembus, penuh polisi tidur, ke kampung-kampung sebelah. Semua sudah kucatat baik-baik dalam kepalaku.
Tak hanya itu, aku juga sudah menemukan warung kelontong
paling sepi di kampung ini dan tempat makan paling tak enak sekaligus paling tak menarik minat. Warung seperti ini sebenarnya sa?
ngat menyiksaku. Hidangan mereka payah. Nasinya keras, hanya
ada ayam goreng, tempe gorang dan tahu goreng, serta sayurannya yang hanya oseng saja. Benar-benar membuat perut selalu
protes. Tapi aku tak punya pilihan lain. Ini seperti sebuah keharusan. Apalagi letaknya benar-benar tak jauh dari kontrakanku, di
ujung belokan tempat peronda biasanya memukuli tiang listrik.
Dan yang lebih membuatku bisa menerima dengan pasrah keadaan
ini, warung ini buka hingga tengah malam.
Tak heran bila pagi ini pun, aku sudah menuju ke warung itu.
Biasanya aku bangun lebih siang, tapi semalam setelah bercinta,
Wanti tertidur di tempatku, dan aku sama sekali tak bisa merayunya untuk bangun dan pergi dari kamarku. Alhasil, aku baru bisa
membangunkannya menjelang pagi.
"Halo, Bang Indro?" Mbak Nana, perempuan 25 tahun yang
mengurus warung ini, menyapaku dengan hangat. Gayanya sebenarnya sedikit berlebihan. Tapi aku menikmati saja. Kutebak-tebak,
[ 34 ] " enigma ENIGMA final.indd 34 dari pertama kali melihat lirikannya, aku tahu dalam waktu dekat
aku pasti akan bisa menidurinya!
"Masak apa hari ini, Mbak?" tanyaku sambil menuju ke belakang lemari kaca, tempat makanan di pajang.
"Masak... banyak, Bang," ia tersenyum. "Hmm, Abang baru ba?
ngun ya?" "Iya nih, Mbak." Aku diam-diam hanya memandangi telor ceplok dan tempe goreng di sana dengan tatapan memelas.
"Mau makan apa ngopi doang?"
Aku hanya mengambil sekotak Dji Sam Soe dari etalase. "Cari
rokok aja kok, Mbak," ujarku. "Sama kopi juga boleh."
"Kok nggak makan sekalian?"
"Lagi ndak nafsu, Mbak!" Aku mengeluarkan uang dua puluh
ribuan. Mbak Nana tersenyum, "Ah, Bang Indro mah nafsunya sama
yang lain." Aku tersenyum. Diam-diam aku tertawa dalam hati. Tanganku
sebenarnya siap beraksi menyentuh pantatnya, namun saat kulirik
di belakang, ada ayahnya yang tampak tengah sibuk menonton TV,
aku mengurungkan niat. Seorang bocah penjual koran lewat dan melongok ke arah
warung, "Koran, Bang?"
Aku mengangguk. Empat harian yang diangsurkannya, semua?
nya kubeli. Saat akan membayar, bocah itu mengangsurkan buku
kecil dengan gambar perempuan berbikini dan tulisan: Semalam
Bersama Istri Bosku. Buku tentang kisah-kisah erotis.
"Yang ini sip banget, Bang," ujar bocah itu sambil nyengir.
Aku meliriknya dengan sebal. Dia pikir aku ABG yang masih
suka dengan bacaan-bacaan begitu" Atau dia menganggap aku ini
laki-laki mesum yang membaca buku itu sambil sembunyi-sembunyi"
enigma " [ 35 ] ENIGMA final.indd 35 "Bacalah sendiri kalo sip," ujarku sambil menonyol kepalanya,
menyuruhnya pergi. Mbak Nana datang membawakan kopi. Waktu ia melihatku
membuka koran-koran, ia bertanya tak mengerti, "Heran deh,
Abang ini pengangguran kok hobinya baca" Apa nyari lowongan
kerja ya, Bang?" Aku hanya tersenyum, "Nggak! Abis nganggur-nganggur mau
ngapain lagi, Mbak?" aku melirik Mbak Nana, "Mau gangguin Mbak,
apa boleh?" Mbak Nana mencibir. Aku tertawa. Gerakan bibirnya yang genit, membuatku terpancing.
"Oya baru ingat," ujarku dengan suara lebih pelan, "Temanku
yang pedagang baju di Mangga Dua itu sedang menitipkan barangbarangnya di kontrakan. Kalau Mbak mau, Mbak bisa ambil beberapa. Hmmm, hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih karena
Mbak selalu bikinin kopi enak buatku."
Mbak Nana melirik ke belakang sejenak. "Emang... baju apa,
Bang?" suaranya terdengar tertarik.
"Banyak. Ada baju kuning, baju merah, baju biru...."
"Ah, Abang, itu mah warnanya," ia cemberut dengan manja,
sambil kembali memainkan bibirnya.
"Kalau mau, datang aja nanti malam," ujarku. "Tapi kalau bisa


Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di atas jam 10 ya, karena aku harus pergi dulu nanti malam."
Mbak Nana tak langsung menjawab. Aku yang sudah meminum beberapa teguk kopiku, segera beranjak pergi. Sengaja memberi waktu baginya untuk berpikir.
"Kutunggu ya," bisikku dengan tatapan mautku, sebelum benar-benar pergi dari warung.
Sambil melangkah ke kontrakan, aku kembali menyalakan
sebatang rokok. Dalam hati aku masih membayangkan bibir pe-
[ 36 ] " enigma ENIGMA final.indd 36 rempuan tadi. Kuyakin dengan bibir seperti itu, ciumannya pastilah
lebih hot dari Wanti. Aku masuk ke dalam kontrakan. Keadaannya masih seperti
beberapa hari lalu. Dan tentu saja, sama sekali tak ada baju-baju
titipan dari Mangga Dua. Aku tersenyum. Tapi itu tentu bukan soal yang merisaukan.
Nanti bila Mbak Nana benar-benar datang dan menagih, aku akan
mudah saja bilang padanya bila barang-barang itu barusan saja diambil yang punya.
Aku menjatuhkan tubuhku di pembaringan. Rambut panjang
Wanti masih kulihat ada di atas bantal. Aku mencoba membuangnya ke lantai.
Saat itulah, aku dikejutkan dering ponselku, yang kutinggalkan
di meja sejak tadi. Ponsel yang seharusnya tak berbunyi!
Hasha Aku melihatnya bagai laki-laki yang disinari cahaya.
Saat itu matahari tengah meredup, tapi sisa-sisa cahaya paling
terang masih tampak jelas bergaris-garis di depan mataku. Ia keluar
dari kereta api dari Jakarta itu, dan langsung berjalan perlahan ke
arahku. Saat itulah wajahnya tertimpa garis-garis cahaya. Awalnya
aku tak cukup yakin bila ia adalah orang yang kutunggu, hingga
bayang-bayang peron kemudian menghalangi garis-garis cahaya
itu. Saat itulah wajahnya terlihat jelas olehku.
Ia Chang. Perawakannya sama sekali tak berubah. Tingginya tetap dan
beratnya pun kuyakin tetap. Aku ingat saat wisuda dulu, ia yang
enigma " [ 37 ] ENIGMA final.indd 37 paling tampak tak bersemangat mengukur baju wisuda. Katanya,
buat apa diukur, toh tingginya tak lagi bertambah sejak SMA.
Ia rupanya sudah melihatku sejak langkah pertamanya menginjak Solo.
"Haiii," Chang menjabat tanganku erat, dengan gaya sedikit
formal. Aku tentu saja merasa heran. Chang adalah sosok yang ramai. Seharusnya ia tak akan berlaku seperti ini saja. Dengan gayanya yang norak, ia pasti akan membuat beberapa orang terpancing
melihat dirinya. "Ah, sudah sekian lama," ujarnya sambil membuang pan???dangan
ke sekitar. "Kangen dengan udaranya."
Aku tertawa, "Santai saja, Chang, stock berlebih. Nanti kamu
bahkan bisa bawa pulang untuk oleh-oleh!"
Chang tertawa. Kami berdua berjalan keluar dari stasiun
Balapan. "Bagaimana kabarmu, Hasha?"
Aku menoleh. Walau merasa aneh dengan keformalannya, aku
tetap menjawab santai, "Kabarku baik, Chang. Sangat baik."
Chang tersenyum. Dan mungkin yang sedikit mengejutkan, "Aku juga akan menikah," tambahku.
Chang menghentikan langkahnya, sambil menatapku tak percaya, "Kau serius?"
Aku mengangguk, "Undangan ke luar kota sudah kusebar beberapa hari yang lalu. Tapi aku tak bisa mengirim padamu. Kau tak pernah meninggalkan alamatmu dan nomor ponselmu tak lagi aktif."
"Ya, aku memang tak lagi memiliki ponsel," ujar Chang seperti
merasa bersalah. "Tapi sungguh, aku senang mendengar kabar ini.
Ah, aku jadi penasaran siapa perempuan yang akhirnya bisa me?
nundukkan engkau," Ia tertawa.
Aku ikut tertawa. "Kau mengenalnya Chang, Sangat me-
[ 38 ] " enigma ENIGMA final.indd 38 ngenalnya," ujarku sedikit berahasia. "Ia sekarang menunggu kita
di mobil." Raut wajah Chang tampak tak henti menebak. Langkahnya kusadari semakin cepat, saat aku menunjuk mobil yang kuparkir.
Dan saat ia melihat Kurani yang sudah berdiri di samping pintu mobil, matanya terbelalak.
"Hai Indiray," sapa Kurani.
"Engkau masih ingat, bukan?" tanyaku.
Chang tak menggubris pertanyaanku. Ia mendekat beberapa
jengkal saja dari Kurani dengan tatapan masih tak percaya. "Tentu
saja aku masih ingat. Kau tak perlu repot-repot mengenalkannya
padaku," Chang menatap Kurani lekat-lekat.
"Ah, baru beberapa detik aku di sini, semua tampak mengejutkan. Terlebih engkau, Kurani," Chang menyalami Kurani eraterat.
"Itu karena engkau yang begitu lama menghilang, Chang!"
ujarku. "Kami sudah berusaha mencarimu Indiray."
Chang tersenyum seperti tak menanggapi ucapan kami tentang keberadaannya selama ini.
"Aku sungguh senang melihatmu," ujarnya. "Dan satu lagi,
ternyata engkau juga masih menjadi satu-satunya temanku yang
memanggilku Indiray, Kurani."
"Sejak dulu aku memang lebih suka dengan nama Indiraymu,"
ujar Kurani. Kami mulai masuk ke dalam mobil.
Chang hanya akan menghabiskan 1 hari saja di Solo. Nanti sekitar
pukul 19.00 WIB, ia akan kembali ke Yogyakarta dengan Prameks
enigma " [ 39 ] ENIGMA final.indd 39 terakhir. Seakan mengerti, Kurani membiarkan kami berdua saja.
Ia tahu sedekat apa aku dengan Chang. Maka ketika mobil kami
melewati salah satu rumah teman kantornya, ia memintaku mendrop-nya di situ.
"Aku tak mau menganggu kalian," ujar Kurani sambil turun
dari mobil. "Kuberi waktu buat kalian untuk menggosip sendiri."
"Ah, baiknya dirimu, Kurani," Chang tersenyum. "Nanti akan
kusiapkan waktu untuk menggosip tentang dirimu."
Kurani tertawa kecil. Aku sedikit tersenyum. Mulai kurasakan
kejahilan Chang yang dulu kerap ada.
Mobil kemudian kembali melaju pada jalanan Soedirman.
Melewati keramaian yang mencolok. Mobil yang tersendat dan
motor-motor yang seperti tak henti meliuk-liuk.
"Crowded sekali sekarang Solo. Tak berbeda dengan Yogyakarta,
terlalu banyak motor," Chang yang sedari tadi mengamati ke luar
jendela, berkomentar tanpa menoleh.
"Ah, ini belum sepadat di Jogja, Chang."
Chang tak membantah. "By the way, thanks sudah mau menemuiku, Hasha. Aku merasa... merepotkanmu."
"Kau ini," aku kembali merasa aneh. Beberapa saat lalu aku
merasakan kekakuan dirinya di pertemuan pertama tadi. Kupikir
itu sekadar kekagokkannya bertemu pertama kali, dan itu berangsur-angsur akan lenyap dengan sendirinya. Namun kini, kekakuannya seperti kembali ada pada dirinya.
"Tapi maafkan aku, Hasha," ujar Chang lagi. "Bila di resepsimu
nanti, mungkin... aku tak bisa datang."
Aku menyahut, "Tak mengapa Chang, santai saja." Sebenarnya
aku ingin mencandainya dengan ucapan-ucapan seperti dulu. Gak
papa asal angpao-nya datang, atau gak papa asal sekretarismu yang
datang. Tapi bibirku terasa terkunci melihat sikapnya.
[ 40 ] " enigma ENIGMA final.indd 40 "Tapi aku pasti akan mendoakanmu, Hasha."
Aku hanya tersenyum. "Bukan sembarang doa," tambahnya. "Doa yang berbeda dari
yang lainnya. Doa yang langsung akan didengar oleh Tuhan."
Aku memandangnya tak mengerti.
Chang buru-buru menepuk pundakku. "Ah, sudah sudah, jangan bicara itu lagi sebaiknya. Aku sudah ingin sekali makan teamlo
sekarang. Mobilmu masih menuju ke sana, kan?"
Aku mengangguk. "Oh iya, hampir lupa. Tentang Kurani, aku belum berkomentar
sama sekali," suara Chang terdengar lagi. "Dari dulu, aku tahu ia
perempuan yang menarik, Hasha. Kau pasti sudah menatap matanya, bukan" Itu mata yang bening sekali, jauh lebih bening dari
mata perempuan mana pun, bahkan dari mata?" suara Chang terhenti, menggantung begitu saja. Sepertinya ia akan menyebutkan
sebuah nama di kata selanjutnya.
Namun cepat aku melihat senyumnya.
"Bahkan dari mata... Dian Satro," sambungnya.
Aku hanya tersenyum. "Dan aku senang," lanjutnya kemudian, "Engkau akhirnya bersama dirinya, Hasha. Senang sekali."
Patta Aku tak pernah mendengar kabarnya lagi. Bahkan tak pernah
mendengar namanya diucapkan.
Ia seperti benar-benar pergi dariku. Lenyap begitu saja.
Beberapa kali aku masih mencoba menghubunginya. Sekadar ingin
menanyakan kabarnya, atau mendengar suaranya, juga suara napasnya. Tapi sebulan dari perpisahan itu, ia mengganti nomornya.
enigma " [ 41 ] ENIGMA final.indd 41 Dan aku tahu, bila akulah alasan mengapa ia mengganti nomornya.
Sejak itu aku tak lagi mencoba menghubunginya.
Aku hanya mencoba mengerti, sama seperti aku mencoba
mengerti alasannya memilih berpisah denganku. Tapi sekuat apa
pun aku memaksakan diri untuk mengerti, aku tetap tak pernah
bisa menerimanya. Tapi aku harus tetap tampak kuat. Apalagi saat kedua orangtuaku datang menghibur. Mereka tentu tak menyangka kabar
perpisahan itu. Pertemuan terakhir kami, bahkan sudah membahas
sebuah kata berbuih harapan: tentang cucu. Jelas sekali kalau
mereka begitu berharap aku dan Isara segera memiliki anak. Maka
itulah, aku mencoba tampak kuat pula di depan mereka. Aku tak
sekalipun memasang wajah murung. Aku tak bersedih. Aku bahkan
membawa mereka mencari makan di tempat-tempat menyenangkan dan menceritakan cerita-cerita menyenangkan sepanjang perjalanan. Semua kuupayakan sama seperti hari-hari lalu.
Dan ini ternyata membuat orangtuaku tampak senang.
"Kau tampan dan sukses. Perempuan-perempuan akan mengantri untukmu," ujar ibu setengah berbisik.
Dan aku menyambut ucapan itu dengan senyum merekah.
"Kalau perlu...," Ayah menambahkan. "Akan Ayah carikan teman-teman Ayah yang putrinya belum menikah. Bagaimana?"
Kali ini aku bahkan tertawa.
Ah, mereka benar-benar berusaha menghiburku. Aku memang
anak semata wayang mereka. Sejak dulu kasih sayang mereka tak
pernah berhenti diberikan padaku. Walau keduanya bukan terma?
suk orang kaya, namun rasanya aku tak pernah mengalami masamasa kesulitan. Semua kebutuhanku dipenuhi. Semua keinginanku
dituruti. Maka sangat tak layak bila sekarang aku masih berkeluh
kesah. Itu terlalu manja dan hanya menjadikanku tampak semakin
buruk saja. [ 42 ] " enigma ENIGMA final.indd 42 Toh, membuat keduanya senang bukanlah hal yang sulit. Aku
hanya perlu banyak-banyak tersenyum, dan sesekali tertawa.
Tapi sungguh, ini sebenarnya membuatku begitu tersiksa. Tapi
aku tak punya pilihan. Aku harus berusaha tetap kuat di depannya,
seperti yang selama ini sudah aku lakukan. Aku akan mencoba berlapang dada, dengan tetap tersenyum di setiap pertemuan selepas
perpisahan itu, dan mengakhirinya dengan berkata agar ia selalu
menjaga diri baik-baik. Tapi itu semua sebenarnya tak pernah benar-benar membuatku
kuat. Hatiku terlalu lemah. Bahkan sejujurnya, sekadar menekan
tombol del pada nomornya di ponselku saja, jari-jariku tak cukup
kuat melakukannya. Aku memang telah hancur. Benar-benar hancur! Do you love me too... Do you, do you, do you love me too
Je t"aime, je t"aime mon amour
Do you really love me Je t"aime I"ll always love you
Till my dying day. Dan kini, di saat-saat kesendirianku yang khusuk, mataku
seakan baru terbuka akan semuanya. Selama ini baru kusadari bila
ia sebenarnya telah memberi tanda yang jelas padaku. Sangat jelas.
Ya, selama lebih 3 tahun hidup bersamanya, baru kusadari bila
ia tak pernah sekalipun mengucapkan cinta padaku.
enigma " [ 43 ] ENIGMA final.indd 43 Tiba-tiba aku merasa begitu bodoh. Kesendirian kadang memang membuat kita kembali teringat akan hal-hal kecil yang selama ini terlewati. Dan itu membuatku tersadar bila memang banyak
sekali hal yang selama ini ternyata luput kuperhatikan!
Termasuk ucapan itu. Selama ini aku sudah begitu terbuai dengan senyumannya.
Dengan secangkir kopi pagi yang selalu ia buatkan di pagi buta.
Dengan pelukannya yang erat seperti tak ingin melepaskanku.
Dengan lipatan bibirnya saat merajuk. Dengan sifat pasrahnya di
setiap percintaan kami. Ya, dengan semua hal yang sudah terlewati.
Tapi kini aku sadar, bila semua itu tidaklah cukup.
Aku kemudian ingat, hal-hal yang kecil yang seharusnya menjadi tanda bagiku. Ia telah melupakan hari ulang tahunku selama
3 tahun bersama. Di tahun pertama, aku hanya mendiamkan saja,
hingga ia baru teringat setelah beberapa minggu lewat. Di tahun
kedua ia kembali melupakan hari itu. Kali ini aku me-ngatakannya
di hari kedua karena aku merasa tak nyaman bila ia melupakan
selama tahun sebelumnya. Dan di tahun ketiga, tanpa ingin me?
ngulang kejadian 2 tahun sebelumnya, sehari sebelumnya aku sudah mengatakan padanya tentang hari ulang tahunku itu. Terasa
kekanakan memang. Tapi aku memang tak mau ia kembali melupakannya. Walau pada akhirnya, ia pun baru mengingatnya ketika
malam tiba, beberapa jam saja sebelum hari berakhir.
Ya, dari hal-hal kecil seperti itu, seharusnya aku bisa mulai
menangkap apa yang sebenarnya terjadi di antara kami. Namun
betapa bodohnya aku, hampir 3 tahun aku seakan tak peduli. Selalu
saja melupakan hal-hal seperti itu hanya karena senyumnya, kopi
paginya, pelukannya, bibir cemberutnya, dan kepasrahannya.
Kini, aku tahu bila aku memang tak benar-benar mengenalnya.
Aku seakan buta selama ini. Sejak dulu aku telah jatuh cinta
padanya sejak pertama kali aku melihatnya. Dan aku beruntung,
[ 44 ] " enigma ENIGMA final.indd 44 kami memiliki pertemuan rutin, walau bersama teman-teman lainnya, di sebuah meja panjang milik sebuah warung lotek di daerah Kanisius. Kala itu, aku kerap berpaling mencuri-curi pandang
padanya. Wajahnya sangat jelita, terlebih dari arah samping, di
mana aku bisa melihat lekuk wajahnya dengan jelas.
Aku yakin saat itulah aku benar-benar jatuh cinta padanya.
Ia adalah perempuan paling menawan di angkatan kami. Dan aku
tahu sekali beberapa temanku menyukai dirinya. Maka itulah aku
merasa sangat beruntung, saat ia memilih menikah denganku selepas lulus.
Kupikir hidupku telah selesai dengan happy ending, bagai seorang pangeran yang berhasil meminang putri pujaannya. Tapi
ternyata aku salah. Selama ini, aku hanya bisa memiliki dirinya,
tubuhnya, tanpa pernah memiliki hatinya.
Aku masih ingat di hari itu, hari terasa begitu biasa. Aku hanya
menyadari bila aroma kamar kami telah berganti aroma lemonade
yang samar. Selama ini, aku lebih suka bau-bauan antiseptik, se?
perti yang ada pada Dettol. Wangi buah dan bunga kupikir tak cocok untuk lantai. Tapi aku diam saja kala itu, karena aku tahu bila
ialah yang memilih aroma itu.
Di dalam kamar, selepas mandi. Aku masih menarik ikatan di
baju tidurnya hingga lepas. Dan kami bercinta seperti biasanya.
Sampai kami menyelesaikannya dan berbaring bersisian dengan
napas memburu, aku tetap tak merasakan sesuatu yang berbeda
dengannya. Semua benar-benar seperti hari-hari kemarin.
Dan aku tertidur setelah itu. Namun menjelang dini hari, aku
mendadak terbangun karena mendengar suara isak tangis yang samar di dekatku.
Mataku yang masih lamur mendapati dirinya terduduk di
ujung pembaringan.

Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sayang?" enigma " [ 45 ] ENIGMA final.indd 45 Dan... isakan itu terhenti seketika.
Ini membuat kantukku berangsur hilang. Sekian lama bersamanya, aku tak pernah melihat dirinya menangis. Maka kudekati
dirinya yang masih duduk membelakangiku.
"Ada apa?" tanyaku pelan.
Dan di antara temaram kamar, ia berpaling menatapku beberapa saat dengan kedua matanya yang tampak bengkak, sebelum
akhirnya berucap pelan, "Maafkan aku...."
Aku menyibak selimut, bergeser semakin mendekat padanya.
"Ada apa?" aku menyibak sebagian rambutnya yang menutupi
wajah. Untuk beberapa saat ia hanya terdiam dan tak menunduk
dalam. Namun ketika aku akan kembali menanyakan pertanyaan
yang sama, kulihat ia menarik napas panjang.
"Aku ingin berpisah darimu," ujarnya begitu saja, dengan nada
yang begitu datar. Aku tentu saja terkejut. Rasa kantuk yang masih tersisa, le?
nyap begitu saja. "Apa maksudmu?"
"Aku ingin kita... bercerai...."
Kali ini, aku terdiam. Aku tak percaya dengan apa yang baru kudengar. Tapi memang itulah yang terucap dari bibirnya, dan aku tak
mungkin salah mendengarnya karena aku berada begitu dekat da?
rinya. Maka seketika saja napasku seakan tersumbat. Wajahku pias.
Tanganku bergetar. Aku benar-benar tak tahu harus melakukan apa.
Dan ia hanya memandangku dengan matanya yang selalu tampak indah. "Maafkan aku, Patta," ujarnya. "Tapi sekian lama aku
mencoba, aku tetap tak bisa... mencintai engkau. Maafkan aku...."
Dan langit seperti terlepas, begitu saja menjatuhi tubuhku.
Tanpa tanda, tanpa suara. Kalimat terakhir itu seakan terus bergema tanpa henti....
[ 46 ] " enigma ENIGMA final.indd 46 Tapi sekian lama aku mencoba, aku tetap tak bisa...
mencintai engkau. .... ...aku mencoba, aku tetap tak bisa... mencintai engkau.
.... ...aku tetap tak bisa... mencintai engkau.
Tapi keyakinanku yang tersisa, masih mencoba membantah
ucapan itu. Bukankah aku masih mengingat semuanya dengan
jelas" Anggukannya kala aku meminang dirinya, tawa-tawanya saat
melalui hari bersama, tatapannya, pelukannya, senyumannya, semuanya... semuanya....
Ya, semuanya.... Namun saat aku melihat dirinya mulai bangkit dari pemba?
ringan dan meninggalkanku tanpa berpaling lagi sekalipun, aku
tahu bila aku sebenarnya tak lagi punya keyakinan untuk itu semua.
Aku hanya menjadi laki-laki yang telah ditinggalkan!
enigma " [ 47 ] ENIGMA final.indd 47 Rumah tua itu ternyata cukup besar. Jauh lebih besar dari
rumah yang ditempati kedua bocah itu.
Bangunannya tampak berbeda dari rumah-rumah di
sekitarnya, sangat tinggi dan menggunakan kolom-kolom
besar seperti rumah-rumah di zaman kolonial.
Warna temboknya yang putih telah menjadi sangat
kusam karena debu. Dan daun-daun kering berserakan di
mana-mana, seakan menjadi lantai halaman. Jelas sekali
rumah itu telah lama tak dihuni.
Dua pasang kaki bocah kecil itu terhenti tepat di depan
kanopi rumah. Sepatu keduanya penuh dengan rumputrumput halus yang menempel. Tadi hampir setengah jam
keduanya menaiki bukit untuk sampai di sini.
Dan kini, keduanya hanya terdiam dengan napas
memburu. "Sebaiknya kita masuk," ujar sang kakak.
Namun sang adik menggeleng cepat-cepat.
[ 48 ] " enigma ENIGMA final.indd 48 "Aku kakaknya. takut," ujarnya sambil memegang tangan Sang kakak tertawa, "Kau ini, kenapa harus takut"
Tak ada siapa-siapa di sana. Mungkin kita akan menemukan
sesuatu yang menyenangkan."
Sang adik tetap menggeleng.
"Ayolah," sang kakak mengucek rambut adiknya. "Kan
ada aku di sampingmu" Tak akan terjadi apa-apa. Bukankah
selama ini aku selalu melindungimu?"
Goza Ponsel yang seharusnya tak berbunyi itu kembali berbunyi.
Dan aku kembali menemukan nomor tak kukenali di layarnya.
Sudah kukatakan, aku bukan tipe penghafal nomor, tapi aku yakin
ini merupakan nomor yang sama dengan nomor yang beberapa
hari ini mencoba meneleponku!
Apakah ini sebuah perintah" Bila memang iya, mengapa ia tak
menggunakan kode yang sejak dulu dipakai"
Aku menyalakan sebatang Dji Sam Soe, dan menghirupnya
dalam-dalam. Sebuah pikiran kembali muncul. Ini mungkin saja
sebuah perintah. Bisa jadi ini sebuah nomor perantara baru" Dan,
perantara baru itu tak mengenal kode lama itu"
Namun aku cepat-cepat menggeleng kuat-kuat. Kuyakini, seorang perantara baru pun harus tahu kode itu!
Walau harus kusadari kalau semua bisa saja terjadi. Bukankah
setahun yang lalu aku telah pamit untuk pergi dari dunia ini" Tentu
dalam setahun ini banyak hal yang telah berubah.
Jujur saja, dering ponsel yang seharusnya tak boleh berbunyi itu, tak urung menimbulkan sensasi tersendiri pada diriku.
enigma " [ 49 ] ENIGMA final.indd 49 Sepertinya sel-sel dalam tubuhku yang beberapa lama terlelap, tibatiba kembali bergejolak. Jantung berdetak lebih cepat dan naluriku
seperti terpacu, membuat telinga dan mataku terasa lebih tajam.
Sungguh, ini sensasi yang sudah begitu lama tak kurasakan!
Sebenarnya setahun yang lalu, ketika aku memutuskan pergi,
aku pernah berniat membuang nomor ini, bahkan dengan ponselnya sekaligus. Tapi entah mengapa aku tak melakukannya. Ponsel
ini telah menjadi telinga dan mulutku sekian lama. Rasanya aku
tak akan membuangnya begitu saja. Maka aku menyimpannya,
dengan sesekali menyalakannya untuk sekadar mengetahui masa
tenggangnya. Dan kini, ponsel itu tiba-tiba kembali berbunyi. Kali ini, sungguh, aku tak lagi bisa mendiamkannya. Maka aku mengangkatnya
perlahan, dan merasakan getarannya. Sungguh, semuanya masih
seperti dulu. Benar-benar seperti dulu. Getaran ponsel itu seakanakan sanggup memacu detak jantungku untuk berdegup lebih cepat dan lebih cepat lagi!
Sesaat aku tergoda untuk menerima penggilan itu. Ini sudah
kali kelima nomor itu mencoba menghubungi. Pastilah bukan sekadar panggilan salah sambung!
Pikiranku bergerak cepat. Maka dengan masih setengah ragu,
akhirnya aku menekan juga tombol yes.
Sedetik... Dua detik... Tiga detik... Tak ada suara apa pun di seberang. Bahkan sebuah desah napas pun tak terdengar. Aku merasa melakukan sebuah kesalahan.
Namun saat aku akan menutup panggilan itu, sebuah suara berat
terdengar dari sana. "Cobra?" [ 50 ] " enigma ENIGMA final.indd 50 Aku terkesiap. Getaran suara itu seperti membuatku secara
refleks mematikan ponselku.
Cobra" Aku mengeja nama itu di ujung lidah. Aku ingat dulu,
nama itu muncul begitu saja di benakku, saat selesai menonton
film Cobra yang kembali diputar salah satu televisi swasta. Aku
ingat, dulu pertama kali menonton film itu adalah beberapa tahun
sebelumnya, dan aku begitu terkesan dibuatnya. Saat itu rasanya
maco sekali menjadi Sylvester Stallone dan membasmi penjahatpenjahat. Maka itulah aku kemudian memakai nama itu. Selama
ini aku hanya dikenal dengan sebutan X, karena aku memang tak
pernah menyebutkan nama asliku. Maka di satu kesempatan, aku
pun kemudian menyebut diriku Cobra. Dan orang itu, perantaraku,
akhirnya terus memanggilku demikian.
Dan kini aku merasa menyesali telah mematikan panggilan itu.
Apa ini akan membuat penelepon curiga" Atau....
Belum selesai aku menebak-nebak, ponselku kembali berde?
ring. Aku kembali mengangkatnya.
"Cobra?" Aku menelan ludah. Kuhentikan tarikan napasku seakan ingin
memaksa keheningan agar gema suara itu terus terdengar.
"Cobra?" Suara itu kembali terdengar. Kali ini aku mencoba mengkilas balik. Suara itu masih terdengar teredam, perantara itu masih
memakai filter seperti dulu. Namun intonasinya masih terdengar
sama. Aku yakin bila orang ini adalah orang yang selama menghubungiku. Sang perantara!
"Maaf kalau tak menggunakan kode lama kita. Kami hanya
sekadar mengecek apakah engkau kembali aktif atau tidak," suara
di sana kembali terdengar. "Sekarang kami membutuhkan lagi
tenagamu. Engkau masih berniat melakukannya lagi, bukan?"
enigma " [ 51 ] ENIGMA final.indd 51 ain "Kalau kau mencari Cobra, tampaknya kau salah sambung!"
kali ini suaraku terdengar. Tapi aku merasa kecewa dengan nada
suaranya. Dulu aku merasa suaraku begitu dingin, dan beraura tak
terbantahkan. Tapi kini, kenapa aku tak merasa seperti itu lagi"
Orang di seberang tertawa pendek. "Jangan berbelit-belit!"
ujarnya. "Nomor ini masih kami simpan sejak dulu. Bahkan asal
engkau tahu, sebelum kami meneleponmu sekarang, kami sudah
tahu di mana dirimu sekarang! Jadi kau bisa menangkap keseriusan
ini. Kami benar-benar membutuhkan tenagamu!"
Laki-laki di seberang terdiam. Aku merasa tak mungkin lagi
mencoba mengelabuhi mereka.
"Setidaknya," ujarku kemudian, "Sekarang aku bukan lagi
Cobra! Aku Leonardo!"
Hehe, kali ini aku sekadar mengikuti film Titanic yang saat ini
sedang diputar di televisi di depanku.
Laki-laki di seberang kembali tertawa. "Oke, oke, siapa pun
nama yang kau gunakan, kami tak peduli! Tapi seratus juta akan
kami serahkan untukmu, bila kau bisa menolong kami! Dan seperti
biasa, 50 persennya bisa kau terima di muka."
Seratus juta" Aku terdiam. Terakhir kali aku bekerja sama de?
ngan mereka, mereka sudah membayarku 100 juta. Kenapa sekarang setelah setahun lewat biaya itu tak juga naik"
"Hanya seratus, karena ini mudah," ujar suara di seberang
seakan tahu apa yang kupikirkan. "Apalagi sudah setahun kau tak
bekerja, kami tentu tak tahu apa engkau setangguh dulu, atau ti?
dak!" Aku hanya terdiam tak menanggapi. Tapi kupikir alasannya
cukup masuk akal. Bila ia menyebut alasan karena perkembangan
rupiah yang terus melorot, baru itu tak bisa kuterima.
"Bagaimana?" suara di seberang seperti menagih. Aku bersen?
der pada kursi sekadar mencoba berpikir cepat.
[ 52 ] " enigma ENIGMA final.indd 52 Tapi apa benar aku berpikir" Rasanya sama sekali tak pernah
kurasakan pertentangan batin tentang ini. Selama setahun beristirahat dan bersenang-senang, kupikir sudah cukup.
Kini aku harus mengikuti naluriku!
Esok harinya, seorang kurir mengantar sebuah tas hitam di kontrakanku.
Sebuah tas yang sangat biasa. Tas yang kerap dibawa para
manajer dengan kunci 3 nomor putar. Aku menerimanya sambil
membuang pandangan ke sekeliling, meyakinkan tak ada seorang
pun yang melihatnya selain kurir ini, sebelum akhirnya masuk dan
menutup pintu rapat-rapat.
Di dalam kamar, aku membuka tas itu perlahan. Tak ada yang
memberi tahu nomor kunci tas itu, tapi tentunya bila ia memang
dari orang dulu, aku masih hafal nomornya.
Seiring isi tas yang terlihat penuh dengan lembaran uang, de?
ring ponselku kembali terdengar.
Aku buru-buru mengangkatnya.
"Leonardo?" suara orang yang kemarin terdengar di seberang.
"Ya?" aku tersenyum. Ia sudah menggunakan nama baruku
rupanya! "Kami kirim setengahnya dulu! Detailnya akan menyusul."
Aku tak menyahut. Tanganku memeriksa tumpukan-tumpukan
uang di depanku. Mencoba mengipasnya, untuk mencium aroma
uang baru yang kusuka. "Kami akan tunggu aksimu!" Ia tampak akan menyelesaikan
pembicaraan. "Sebentar!" Aku menahan sesaat. "Kalau boleh kutahu, kau
masih bekerja untuk orang yang sama, bukan?"
enigma " [ 53 ] ENIGMA final.indd 53 Hening di seberang. "Kau seharusnya tak perlu menanyakan!
Itu tak penting untukmu!"
"Tidak, aku hanya sekadar ingin tahu. Kau tahu, aku sudah
setahun ini berhenti."
"Tapi, itu tetap tak membuatnya menjadi penting untukmu,
bukan?" Lalu telpon terputus begitu saja.
Isara Sejak kanak-kanak, aku tak pernah menyukai binatang ber-
jenis burung. Bahkan burung kakatua yang lucu dan sangat disukai
teman kanak-kanakku pun, tak membuatku tertarik. Tapi entah
mengapa, sejak dulu aku kerap membayangkan diriku menjadi burung yang terbang jauh ke angkasa. Aku bahkan membayangkan
terbang hingga jauh ke ujung langit. Karena dulu aku selalu berpikir bila langit paling ujung adalah tempat yang hangat. Di situlah
aku nanti akan memilih tinggal, kali ini tanpa pernah berpikir bila
di sana tentunya tak ada pohon!
Namun sampai sekarang pun aku kerap membayangkan diriku berada di ujung langit! Aku akan berdiri di horizon tak bertepi,
tanpa berpikir dimana aku berjejak. Sepanjang mataku akan melihat
garis lurus yang teramat panjang. Di situlah bayang-bayang mulai
terlihat di pelupuk mataku. Bergerak cepat bagai sebuah mozaikmozaik yang tak beraturan. Semakin lama mataku akan semakin
terasa lamur. Bayang-bayang yang semula dapat kulihat, berangsung berulang dan berulang. Lalu, setelah berapa lama, semua tibatiba menjadi gelap. Aku pun seperti menyatu dengan kegelapan.
Sungguh, itu selalu saja membuatku takut!
[ 54 ] " enigma ENIGMA final.indd 54 Sebenarnya sekian tahun, aku merasa sudah tenang. Bayangbayang itu tak kerap datang seperti dulu. Namun entah mengapa
beberapa bulan sebelum perpisahan itu, bayang-bayang itu kembali
datang. Dan perpisahan itu kemudian seperti semakin memacu?
nya. Juga, mungkin, undangan itu!
Bayang-bayang itu benar-benar tak bisa lagi kubendung. Ia
seakan telah menjalin simpul-simpul yang dapat mengikat sel-sel


Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

napasku. Membuat udara seakan tertahan sejenak untuk masuk ke
dalam tubuhku. Dan, aku harus berulang kali menguatkan diriku.
Aku yakin aku tak selemah itu. Selama ini aku adalah perempuan yang kuat dan begitu benci terlihat lemah.
"Kau akan baik-baik saja, Is," Ivaz sempat memelukku erat kala
kami berpisah setelah menyaksikan Bizzare Love Triangle.
Aku hanya tersenyum, tak mencoba mengatakan apa-apa. Aku
tahu, sekian lama bersamaku, ia pastilah tahu arti kediamanku. Aku
sudah menceritakan tentang perpisahan itu. Tapi tentu saja aku
tak menceritakan perihal bayang-bayang yang telah begitu menggangguku.
Dan malamnya, saat kembali dalam kesendirian, aku kembali
meneguk aspirin beberapa butir sekaligus. Kurebahkan kepalanya di
atas bantal yang kususun lebih tinggi.
Aku mencoba memejamkan mata untuk tidur. Ini adalah sebuah upaya yang tak mudah. Bayang-bayang itu akan mencoba
menyeruak di antara alam bawah sadarku. Aku harus mencoba tak
terbawa gerakan-gerakan yang terbentuk olehnya. Tak ikut berputar-putar dan tak terganggu oleh kerlip-kerlip samar di kejauhan.
Bila aku berhasil melalui itu, barulah aku akan terlelap. Tapi
itu tentu tak mudah. Aku bagai Putri Tidur yang tak lagi bisa tertidur setelah Pangeran Tampan menciumku. Aku sepertinya akan
enigma " [ 55 ] ENIGMA final.indd 55 selamanya terjaga. Membuat semburat-semburat merah di mataku
semakin betah menanda. Membuatku begitu merasa lelah. Apalagi
sebagian besar bayang-bayang semakin tak jelas kutangkap, sebagian yang lain bahkan hanya sekadar bayang-bayang masa lalu, yang
itu pun samar kulihat. Namun pada akhirnya, bayang-bayang sebuah epitaf tua yang
berulang kali kutangkap. Sebuah epitaf yang ada di bawah sebatang
pohon yang tak lagi memiliki daun, dengan gapura batu tak jauh
dari sana. Sebuah epitaf yang telah membuat rumput"rumput liar
terus meninggi dan menutupi nama yang terpahat di sana. Sebuah
epitaf yang telah begitu lama tak lagi kudatangi.
Dan batinku tiba-tiba seakan bersuara pelan di relung hati...
Sudah begitu lama, Isara....
Sudah begitu lama". Kepalaku terasa semakin sakit. Bayang-bayang itu kembali
menyeruak, berputar kencang dan semakin kencang, dengan kerlip
yang makin menyilaukan. Aku tiba-tiba ingin sekali berteriak.
Kuambil beberapa butir aspirin dan menenggaknya dengan
sekali teguk. Aku kembali mencoba menenangkan diri. Membiarkan
tubuh lunglai, agar lelap yang kemudian menang.
Tapi sampai lama, suara-suara dalam batinku seperti masih
samar terdengar.... Kemarilah, Isara.... Kemarilah". Chang Ia yang akan memilihmu, sebelum engkau
memutuskan memilihnya! [ 56 ] " enigma ENIGMA final.indd 56 Aku ingat, ada sebuah sudut di rumah itu yang selalu membuatku merasa begitu tenang. Sebuah sudut dengan bau dupa yang
samar dengan keheningan yang begitu beku. Hingga napas pun dapat terasa bergema di sana. Dan itu bukan sudut yang ada di ruang
doa, tapi sudut yang ada dalam perpustakaan.
Perpustakaan yang luas dengan buku-buku berderet penuh
dan teratur adalah sudut paling jarang didatangi anggota lainnya.
Hanya ada buku-buku sepanjang mata menatap. Bau debu dan aroma kertas kadang mengalahkan bau samar dupa. Itu yang membuatku selalu merasa menyatu dengan doa-doaku.
Aku suka tempat itu. Di situlah dulu, Dewi pernah mendapatiku terpekur dalam doa
yang begitu dalam. Di situlah pula aku mulai merasa bila doa telah menjadi bagian dari lafalku. Sekian lama aku sadar telah begitu banyak berucap pada hal-hal tak perlu. Itu selalu membuatku
merasa telah membuang waktu yang seharusnya sangat berharga.
Maka di sudut itulah aku kemudian berjanji akan membalas semua
ucapan-ucapan dari mulutku yang dulu dengan doa.
Tapi kemarin janji itu seakan terlupa. Aku melakukan suatu
kebodohan. Itu kulakukan sepanjang hari tanpa aku bisa mengelaknya. Dan semakin kusesali, aku sangat menikmati semua itu!
Bagaimanapun Hasha adalah sahabat terbaik yang pernah
kupunya. Bagaimana bisa aku menepikan begitu saja" Bertahuntahun, aku telah menjadi bayangannya, atau dia yang menjadi bayanganku. Kami tumbuh bersama di sebuah kompleks perumahan
sederhana. Bersekolah di tempat yang selalu sama dan berteman
dengan orang-orang yang nyaris sama pula. Tak banyak dua orang
yang bisa memiliki garis hidup yang nyaris mirip. Tapi begitulah
kami. Kadang kami sendiri tak pernah mengira bisa seperti itu. Saat
masuk SD, SMP, dan SMA mungkin saja itu bisa terjadi, apalagi
enigma " [ 57 ] ENIGMA final.indd 57 sekolah-sekolah itu adalah sekolah negeri terdekat dari kompleks
kami. Tapi ketika kuliah, tentu tak semudah itu untuk kembali bersama. Tapi nyatanya, kami masuk dalam fakultas dan jurusan yang
sama! Sepanjang tahun, langit Solo sudah menjadi rumah kami. Aku
kerap tidur di biliknya dan dia pun kerap tidur di kamarku. Kusebut
bilik karena kamarnya hanyalah ruangan 2x2 meter bersekat triplek
yang tak memiliki jendela. Aku merasa keadaan kamarku yang bertembok semen, masih jauh lebih baik. Walau sebenarnya kondisi
isinya tak jauh berbeda. Tapi suasana rumahnya jauh lebih menyenangkan. Kedua
orangtuaku jarang berada di rumah. Mereka kerap berpergian
ke luar kota untuk berdagang. Rumah pun hanya berisi saudarasaudaraku saja, yang kerap membawa kawan-kawan berengseknya.
Tapi di rumah Hasha keadaannya berbeda. Orangtuanya dari
keluarga kebanyakan. Ayahnya pegawai negeri, sehingga selalu
pulang tepat waktu. Ibunya pun ibu rumah tangga biasa, sehingga
selalu ada di rumah. Ia yang kerap membuatkanku telor ceplok.
Kadang bila habis suaminya gajian, ia akan membuatkanku ayam
goreng. Maka itulah sejak dulu, aku dan Hasha tak pernah lepas satu
sama lain. Kejadian-kejadian kami lalui bersama. Satu kejadian yang
sangat kukenang adalah saat kerusuhan SARA di Solo. Itu adalah
kerusuhan terbesar kala itu. Jelas melebihi kerusuhan yang terjadi di Jakarta. Karena terjadi hampir di semua sudut kota. Hanya
karena ekspos media lebih banyak di Jakarta sajalah, orang-orang
merasa kerusuhan terbesar itu terjadi di sana.
Kala itu, semua tempat yang kerap kami datangi habis terbakar. Singosaren, Pasar Gede, Purwosari, dan beberapa tempat
lainnya. Aku dan Hasha yang kala itu baru duduk di bangku SMA,
ada di antara kerumunan orang-orang yang menyaksikan itu se-
[ 58 ] " enigma ENIGMA final.indd 58 mua. Kami lihat orang-orang yang berteriak-teriak reformasi, sambil membobol toko-toko milik orang-orang Cina. Menjarah barangbarang di dalamnya, dan kemudian membakar toko-toko itu dengan guyuran bensin.
Aku lihat seorang kawan dari sekolah yang sama, ikut-ikutan
menjebol sebuah restoran, dan memecahkan frezzer yang ada di
dalamnya. Ia lalu mengguyur tubuhnya dengan Coca Cola, bagai
tengah beraksi dalam sebuah pertunjukan teater. Aku lihat orangorang mendobrak sebuah gudang truk dan mengeluarkan satu per
satu truk di sana, dan membakarnya sepanjang Jalan Sutami. Aku
lihat seorang perempuan Cina berteriak-teriak meminta tolong di
atas loteng rukonya, sementara api membakar lantai di bawahnya,
tanpa satu orang pun yang bergerak menolongnya, walau kerumunan orang menyaksikan. Sungguh, aku masih ingat, bagaimana
diriku mendengar teriakan yang akhirnya hilang dengan sendirinya
itu, tertelan suara gemuruh api yang membesar!
Tapi aku dan Hasha melihat itu semua dalam keheningan.
Kami terlalu takut untuk terlibat, hanya keingintahuan yang bisa
membuat kami terus berada di sana. Kami tahu akar permasalahan
semua ini. Kami tahu seberapa korup Soeharto, namun sungguh,
orang-orang di sana, para pembakar toko-toko dan para penjarah
itu, apa tak lebih jahat dari orang yang mereka gulingkan itu"
Dan saat itulah aku mulai menanyakan di mana Tuhan selama
kejadian itu" Tidakkah seharusnya ada yang ia kerjakan di saat-saat
seperti itu" Bukannya membiarkan orang-orang mati dan sebagian
yang lainnya semakin berlumur dosa" Bukankah di sisi lain ribuan
orang berdoa agar semua baik-baik saja" Lalu, kenapa doa-doa itu
sama sekali tak terdengar"
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang terus mengganguku.
Sampai ketika malam pun tiba, aku dan Hasha kemudian
harus pulang. Untuk mencapai kompleks, kami harus melewati
enigma " [ 59 ] ENIGMA final.indd 59 sebuah perkampungan terlebih dulu. Biasanya kami melewati dengan aman. Namun dalam kondisi kerusuhan seperti ini, setiap
gang mendadak di jaga oleh orang-orang kampung.
Di salah satu gang, beberapa orang-orang mabuk yang tampak?
nya masih lelah menuntut reformasi, menyuruh kami berhenti.
Mereka melihatku, sambil berteriak-teriak: Cina! Beberapa dari
mereka langsung merampas sepedaku dan memukuliku hingga aku
jatuh. Saat yang lain tampak semakin brutal, seorang dari mereka
mulai mengguyur tubuhku dan sepedaku dengan minuman keras,
Hasha tiba-tiba sudah berteriak mencoba menahan pukulan dan
tendangan di tubuhku. Dengan suara ketakutan, ia meyakinkan
orang-orang yang sudah mengepung kami, bahwa aku bukanlah
Cina! Dan... ia berhasil. Bisa jadi, aku mungkin saja mati terbakar
saat itu, bersama sepeda pinjamanku, seperti kala mereka membakar kendaraan-kendaraan milik orang-orang Cina lainnya!
Hasha Aku sudah mengenalnya sejak lama, tapi aku baru benar-benar
menatap dua matanya, sekitar setahun yang lalu. Ini tentu saja
terasa sangat terlambat. Namun aku bersyukur masih tetap diberi
kesempatan untuk menatapnya.
Dan aku mungkin sedikit berlebihan bila kemudian berkata;
dua mata itu memanglah dua mata paling bening yang pernah tertatap oleh dua mataku.
Dua mata milik Kurani. Sejak pindah dan berkuliah di Yogyakarta, aku mulai mengenalnya. Namun karena mungkin ia merupakan sosok pendi-
[ 60 ] " enigma ENIGMA final.indd 60 am yang lebih banyak menunduk, aku luput memperhatikannya.
Bukankah aku sendiri adalah lelaki yang menyanjung keheningan"
Ia mungkin dikenal sebagai gadis yang biasa saja di kampus.
Tapi beri waktu baginya bicara sebentar saja. Bicara tentang se?
suatu yang melibatkan perasaan hati atau tentang apa pun yang
ingin kau dengar. Maka akan terlihat bila ia sama sekali bukanlah
gadis biasa. Dan... aku pernah meminta maaf karena selama ini aku seperti tak memperhatikan semua itu. Waktunya yang hanya setahun
saja di Yogyakarta, menjadi alasan yang seperti kucari-cari. Lepas
setahun meninggalkan Yogyakarta, ia memang pindah untuk kuliah
di Jakarta. Sejak itu kami tak mendengar kabar darinya lagi. Tapi
aku ingat, di tahun-tahun berikutnya, Isara masih kerap bercerita
tentangnya, dan menyampaikan salam untuk kami semua.
Namun selepas kami lulus, tak ada lagi kabar tentangnya yang
kudengar. Aku benar-benar nyaris melupakannya.
Untunglah masih ada garis pertemuan dengannya. itu terjadi
setelah aku kembali ke Solo. Ia ternyata telah bekerja di Solo selama beberapa tahun belakangan ini.
Sejak itu kami seperti kembali merajut pertemanan yang terputus beberapa tahun lalu. Aku sebagai laki-laki yang baru kembali
ke kotaku karena sebuah alasan tertentu, dan ia perempuan yang
baru saja terluka setelah sekian lama membina sebuah hubungan
panjang, tanpa melakukan sebuah kesalahan sedikit pun sebelumnya. Sang lelaki meninggalkannya begitu saja, tanpa kata-kata.
Semua itu seperti bertaut.
Hanya padanya aku kemudian bercerita tentang rencanaku
membuat novel. Itu adalah keinginanku sejak lama, yang diamdiam kuimpikan. Apalagi sejak tak lagi bekerja di koran, aku memang tak pernah benar-benar menginggalkan dunia tulis-menulis.
enigma " [ 61 ] ENIGMA final.indd 61 Aku menjadi penulis lepas dan tetap teratur mengisi beberapa
koran. Awalnya aku mencoba memperlihatkan padanya cerita-cerita
pendek yang pernah kutulis, ia pun membacanya dengan sungguhsungguh. Memberi masukan dan kerap pula mengkritiknya.
Aku tahu ia adalah seorang pembaca yang kuat. Masih kuingat
ia selalu membawa sebuah buku di saat kami berkumpul di meja
panjang itu, dan dengan gerakan kentara selalu memberi batas
yang jelas di bagian yang sedang dibaca.
Setiap salah satu dari kami tertarik dan menanyakan bagai?
mana kisah buku itu, ia selalu berkata ringan, "Tak seru kalau aku
ceritakan. Baca saja sendiri."
Maka itulah, kini semua yang selesai kutulis, akan kutunjukkan
pertama kali padanya. Dan, ia akan membacanya dengan penuh
hasrat. Mengulasnya dengan baik, dari halaman demi halaman, dari
perbandingan buku yang satu dengan buku lainnya, dan dari semua
perspektif-perspektif yang ia tahu.
Sungguh, selalu menyenangkan mendengarnya bicara panjang
tanpa aku harus membantahnya. Aku cukup diam mendengarkan
dan memandang dua mata beningnya tanpa henti.
Itu yang kemudian membuatku terpesona, hingga setelah sekian lama bersama, tanpa sadar aku mulai menanyakan tentangnya
pada lilin-lilin di temaran kamar.
Apakah ia perempuan yang kucari selama ini" Apakah ia sehelai jiwaku yang selama ini kosong" Apakah ia yang kelak menjalani hidup bersamaku dalam sedih dan bahagia" Apakah ia yang
akan menghabiskan waktu bersamaku sampai tutup usia"
[ 62 ] " enigma ENIGMA final.indd 62 Hari ini, Kurani datang dengan membawa 2 plastik hitam di tangannya.
"Aku membelikanmu siomay," ujarnya sambil menaruhnya di
meja. Aku segera mengambilkan piring dan sendok.
"Bagaimana harimu?" tanyanya sambil menyentuh pinggang
belakangku dengan halus. "Menyenangkan," ujarku sambil membuka plastik siomay
tersebut. "Bagaimana Chang" Ia baik-baik saja?"
Walau kemarin aku merasa ada sesuatu di diri Chang yang
tampak kaku dan tak lepas, aku tetap saja mengangguk,
"Masih menyenangkan seperti dulu?" tanya Kurani lagi.
"Kupikir seorang yang lama tak bertemu, biasanya berubah."
"Ah, tidak selalu. Kita pun sudah lama tak bertemu, tapi engkau masih tetap menyenangkan."
"Ah, aku serius," Kurani seperti tak menanggapi ucapanku.
Aku hanya menarik napas panjang. Sebenarnya kalimat tadi
bukanlah sebuah canda. "Ya, ia tetap menyenangkan," ujarku akhirnya, "walau... hmm,
kupikir dulu ia lebih menyenangkan lagi."
"Manusia selalu berubah, Hasha."
Kali ini, aku mengangguk dengan berat. "Tapi kuharap tidak
dengan Chang!" Kurani duduk di sofa. "Sayang aku hanya mengenal kalian berlima setahun saja. Jadi
tak banyak yang aku tahu tentang kalian," ujarnya. "Bisakah kau
menceritakan tentangnya" Setahun dulu tentu tak membuat diriku
mengenalnya. Sama seperti denganmu, setahun yang lalu pun, aku
tak cukup mengenalmu."
enigma " [ 63 ] ENIGMA final.indd 63 "Engkau yang terlalu cepat pergi," ujarku sambil duduk di sisi?
nya. "Jangan membuatku menyesal karena dulu telah meninggalkan kalian," Kurani sedikit cemberut. "Ah, aku jadi ingat, meja panjang tempat biasa kita bersama itu. Sangat menyenangkan di sana.
Udaranya. Loteknya. Ah, sampai sekarang pun rasanya tak pernah
kutemukan lotek seenak di sana."
Aku tersenyum, "Engkau terlalu sentimentil, bahkan pada lotek
sekalipun." Kurani tertawa. Aku pun kemudian mulai menceritakan."Tentang namanya
yang sebenarnya Indiray, tentu kau sudah tahu. Tapi dulu kami
semua memanggilnya Indi atau Ray. Dulu memang sudah ada teman-teman kami yang memanggilnya Chang, tapi hanya anak-anak


Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

iseng saja yang menyamainya dengan tokoh di komik Tintin itu."
Kurani terus mendengarkan dengan dua mata beningnya.
"Aku ingat, dulu kala kerusuhan itu, saat kami masih begitu muda, beberapa preman kampung pernah mencegat kami.
Beberapanya bahkan memukulinya. Bahkan seorang di antaranya
mengguyurnya dengan minuman keras. Aku tahu begundal-begundal itu hanya menakut-nakutinya, tapi Chang selalu berpikir bila
orang-orang itu akan membakarnya. Sejak itulah, entah mengapa,
ia meminta teman-temannya memanggilnya Chang! Aku benar-benar tak tahu apa maksudnya."
Aku menyenderkan punggungku. "Sebenarnya walau tampak
seperti seorang Cina, tapi kedua orangtuanya Jawa. Ia mungkin punya darah Cina dari nenek moyangnya. Tapi aku tahu sekali ia besar
dengan budaya Jawa. Sejak kami kecil, kami bicara bahasa Jawa,
dan berlaku seperti layaknya orang Jawa. Kau tak akan menyangka
bila ia sangat mahir bahasa Jawa Krama Inggil."
[ 64 ] " enigma ENIGMA final.indd 64 "Ia pasti sangat kecewa saat kerusuhan itu," Kurani bergumam
pelan. Aku mengangkat bahu. "Ya, mungkin saja. Tapi untuk hal-hal
seperti itu, ia bukan orang yang terbuka. Ia selalu diam. Tapi aku
tahu sekian lama hatinya bergejolak. Aku tahu itu, karena aku selalu mendapat sekolah yang sama dengannya, dari SD hingga sampai kuliah."
"Ah, engkau memang berjodoh dengannya," Kurani menatap
tak percaya. "Namun entah mengapa, sejak pertemuan kemarin, aku me?
rasa ada yang berbeda dari dirinya," aku menerawang mencoba
mengingat kembali pertemuan kemarin.
"Seperti kubilang tadi, seseorang pastilah berubah."
Aku menggeleng, "Saat kutanyakan apa kegiatannya seka?
rang, ia hanya menjawab telah berada di tempat yang semestinya.
Tempat... yang sekian lama dicarinya."
Kening Kurani sedikit berkerut. "Apa maksudnya?"
"Entahlah, tapi ia juga berkata bila sekarang ia sudah begitu
dekat dengan Tuhan," tambahku.
Kami terdiam secara bersamaan. Mencoba mengurai kalimat yang baru kuucapkan. Tapi sampai lama kami tetap saja tak
mengerti. Patta Ada sebuah kafe yang unik di daerah Soedirman. Namanya Cafe
Untung Surapati. Tepat satu blok dari pertigaan, di sebelah utara
persis sebuah toko kacamata. Agak sulit menjangkaunya memang,
apalagi bila dengan mobil, karena arus belok yang selalu padat.
Tapi kupikir kafe itu layak untuk didatangi. Konsepnya sangat unik.
enigma " [ 65 ] ENIGMA final.indd 65 Sangat lokal. Tema pahlawan nasional dibuat sedemikian rupa menjadi sangat berbeda. Tak menoton. Patung-patung beberapa pahlawan seperti Untung Surapati, Diponegoro, Imam Bonjol, Patimura,
dan beberapa lainnya dibuat dengan pahatan unik. Pigura-pigura di
dinding-dindingnya pun diisi dengan lukisan pahlawan yang dibuat
oleh pelukis-pelukis kontemporer. Kursi-kursinya dari bambu, pi?
ring dan gelasnya pun dari bambu. Suasana lokal tempo dulu sa?
ngat terasa sekali dipadukan dengan suasana kolonial tempo dulu.
Beberapa makanan dan minuman pun disajikan secara dengan cita
rasa tempo dulu. Kafe ini hanya buka di akhir pekan. Melihat list harga yang
tertera, target pasar mereka jelas sekali dari orang-orang berduit.
Mungkin ekspatriat-ekspatriat dari Belanda, atau orang-orang tua
lokal yang ingin bernostalgia di masa lalu.
Bila ke sana, aku selalu memesan beberapa sebotol rum dan
beberapa bagel Belanda. Seperti petang ini, bersama Sanda, rekan
kerjaku, kami sudah duduk di salah satu sudutnya sejak Magrib
tadi. Ia, sama sepertiku, seorang tenaga ahli di Senayan. Hanya saja
berbeda komisi. "Aku baru sekali ke sini," ujar perempuan cantik itu sambil
mengamati sekitar. "Apa kau sering kemari?"
Aku mengangguk, "Dulu cukup lumayan sering. Tapi sudah
lama aku tak ke sini lagi. Mungkin sudah satu tahun lebih."
Aku ikut membuang pandangan ke sekeliling. Tampaknya susunan desain interiornya tak banyak berubah. Hanya ada beberapa
penambahan beberapa aksesoris lampu.
"Pesanlah makanannya," ujarku. "Kau akan menyukai."
Sanda tersenyum sambil membuka-buka daftar menu, "Dengan
harga segini," bisiknya, "aku pasti akan marah-marah bila sampai
tak menyukainya. Kalau perlu kulaporkan YLKI!"
[ 66 ] " enigma ENIGMA final.indd 66 Aku tertawa. Walau tadi sudah tampak lelah, tapi selera humornya masih tetap ada.
Sambil menunggu pesanan, Sanda melepas sepatunya. Disampirkan blazernya di kursi yang kosong, hingga tinggal kemeja
putihnya yang terlihat, dengan satu kancing paling atas terbuka.
Dari remang-remang malam, Sanda terlihat sangat cantik.
Dengan rambut sebahu bergaya modern dan dandanan make up
yang pas, serta polesan lipstik dengan warna merah yang pas, ia
terlihat menonjol di tempat ini. Beberapa ekspatriat yang duduk
tak jauh dari meja kami, sembunyi-sembunyi meliriknya.
"AC di sini membuat suasana tempo dulu jadi hilang," bisik?nya
lagi. "Ah, aku baru sadar. Dulu tempat ini tak memakai AC. Mereka
memakai kipas angin model lama. Tapi kupikir karena tak cukup
membuat sejuk pengunjung, mereka pastilah menggantinya."
Sanda tersenyum, "Harusnya biar seperti itu. Kalo perlu dise?
diakan kipas saja, biar kita bisa kipas-kipas sendiri."
Aku tersenyum. "Atau setiap pengunjung diberikan seorang pelayan yang tugasnya mengipasi kita?" tambahnya.
Aku menggeleng kepala mendengar ide-idenya.
"Tak usah pikirkan soal AC," ujarku. "Banyak tema pembi?caraan
yang lebih menarik. Hmmm, seperti pekerjaanmu hari ini?"
Sanda mengangkat bahu, "Cukup lumayan. Lancar-lancar saja."
"Masih mengurus data-data untuk pembuatan undang-undang
kepemilikan senjata api?"
Sanda mengangguk. "Kalau engkau?"
"Aku sedang tak banyak pekerjaan. Masih pekerjaan yang kemarin-kemarin. Tapi aku diminta membantu Wirajja."
Sanda menetap tak percaya.
enigma " [ 67 ] ENIGMA final.indd 67 "Ada apa?" "Kau masih berhubungan dengan dia?" Sanda bertanya heran.
Aku mengangguk dengan gerakan pelan. "Ya, tentu saja. Ia
yang membawaku ke Senayan, kan?"
"Kau harus melepaskan diri darinya!" ujar Sanda. "Sudah kuce?
ritakan bukan, ia punya reputasi tak baik di sini?"
Aku mengangguk. "Ya aku tahu.
Sanda mengangguk. "Nah, kau sudah tahu. Sebaiknya kau tak
lagi berhubungan dengannya."
"Tenang saja, ia hanya meminta tolong untuk pencarian datadata yang mudah kok," aku tersenyum. "Ah, sebaiknya bicara yang
lainnya saja!" Sanda mencibir, "Ah, bersamamu, mau bicara apa lagi" Kau
selalu cepat sekali tak tertarik dengan pembicaraan-pembicaraan
kita?" Aku terdiam, tak mencoba membantah. Untunglah di jeda itu,
pelayan datang membawakan pesanan kami.
"Sebaiknya," ujar Sanda sambil meneguk rum di slokinya. "Kau
harus cepat-cepat mencari istri. Kau semakin kusut saja. Tak ada
tanda-tanda membaik darimu!"
[ 68 ] " enigma ENIGMA final.indd 68 Kedua bocah itu berdiri beberapa langkah dari ambang pintu.
Keremangan seakan memerangkap keduanya! Bau apek
menusuk hidung mereka. Sawang-sawang terlihat di manamana menggantung di dekat kepala keduanya. Beberapa labalaba bahkan terlihat begitu dekat.
Sebuah jendela yang tampak berlubang meloloskan
angin dari luar. Keheningan membuat suara angin seperti
berdesis panjang, Seperti bersiul. Samar dan menakutkan. Tak
hanya sampai di situ, angin juga menerbangkan debu-debu
tebal yang ada di semua sudut ruang. Membuat kedua bocah
itu, terutama sang adik, berkali-kali mengucak matanya yang
perih. Sang kakak mencoba melangkah lebih ke dalam lagi,
sambil menarik tangan adiknya. Namun adiknya menahan
tapaknya di situ, seakan tak lagi mau beranjak.
"Ayo!" Tapi sang adik tetap bergeming. Ia bahkan menggeleng
dengan raut wajah takut. enigma " [ 69 ] ENIGMA final.indd 69 Sang kakak kemudian memeluk bahunya erat-erat. "Aku
akan berjalan dekat sekali denganmu. Jadi kau tak perlu takut.
Kita lihat ke dalam sebentar. Aku rasa kita akan menemukan
sebuah tempat rahasia yang mengasyikkan..."
Isara Aku memutuskan ke Yogyakarta.
Maka, seperti menjadi kepak sayapku, pesawat ini membawaku
terbang ke sana begitu saja, seakan ini hanyalah sebuah perjalanan
pendek. Sebenarnya sudah cukup sering aku ke kota ini. Ayah dan ibu
asli orang Yogyakarta. Dan sejak kecil hingga kuliah, aku tak pernah meninggalkan kota ini. Baru sejak 3 tahun ini, aku meninggalkannya. Untunglah inisiatif memberi bantuan pada korban gempa,
membuatku harus datang ke sini beberapa kali.
Tapi aku selalu merasa gagal kembali menyatu dengan kota
ini. Bahkan lagu Yogyakarta milik Kla Project yang dulu selalu membuatku merindukan Yogyakarta pun tak lagi punya kekuatan membuat diriku nyaman.
... Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
... Tapi aku malah merasa begitu janggal dengan kalimat-kalimat
pada lirik lagu itu. Pernah aku coba untuk kembali ke rumah ayah
dan ibu, tapi rumah itu telah kosong sekian lama. Seorang kawan
ayah telah membelinya beberapa tahun lalu dan membiarkannya begitu saja tanpa terawat. Keadaan ini sama seperti rumah pak?de dan
[ 70 ] " enigma ENIGMA final.indd 70 bude. Setahun setelah pernikahanku, keduanya memang me?ninggal
karena sakit. Rumah mereka pun dibiarkan kosong. Beberapa saudara memang berniat menjualnya, namun sampai sekarang rumah
itu belum laku. Semua seperti telah begitu berubah. Bahkan ketika aku masih
mencoba ke kos lamaku pun, tetap saja keterasingan yang kurasakan.
Andai semua masih di sini, terutama 4 sahabatku itu, akan
kutelepon mereka semua untuk kuajak berkumpul denganku. Tapi
hampir semuanya tak lagi bisa kuhubungi.
Maka aku mencoba menelepon Maninjar, salah satu kawan di
kampus dulu yang juga asli orang Yogyakarta. Walau tak sedekat
dengan 4 sahabatku, tapi kupikir ia tetaplah teman yang baik.
Sebenarnya ia juga sempat menjadi salah satu temanku yang tak lagi
bisa kuhubungi. Namun dulu saat pertama kali aku me-ngantarkan
bantuan korban gempa ke daerah Kaliurang atas, tak kusangka aku
bertemu dengannya saat ia menjadi salah satu tenaga sukarela.
Maka aku pun menelepon dirinya. Namun hanya suara; "nomor
yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar area" yang
terdengar. Maka aku hanya bisa mencoba mengirim pesan, mengabarkan
keberadaanku di Yogyakarta.
Untunglah ia menjawab SMS-ku malam harinya. Maka keesokkan
paginya, aku pergi ke tempatnya bekerja di sebuah TK di daerah
Janturan. Kulihat dirinya sudah menunggu di teras sekolah dan segera
beranjak mendekat ketika mobil yang sengaja kusewa mendeka?
tinya. enigma " [ 71 ] ENIGMA final.indd 71 "Isaraaaa," ia langsung memelukku. "Senang bertemu de?
nganmu lagi." Aku balas memeluknya. "Kau tampak cerah."
Maninjar tak melepaskan pegangan tangannya di tanganku.
"Maafkan aku," ujarnya, "Tapi aku baru mendengar kabar tentang perpisahanmu. Aku turut sedih mendengarnya."
"Sudahlah, itu sudah cukup lama."
"Kau seharusnya memberitahuku," ujarnya. "Setidaknya aku
bisa sedikit menghiburmu."
Aku tersenyum. "Aku sudah bisa melewatinya, Njar."
Kami kemudian pergi mencari tempat makan. Aku sengaja
mengusulkan untuk makan di warung lotek di daerah Kanisius,
tempat aku dan sahabat-sahabatku dulu kerap berkumpul. Dan,
Maninjar hanya mengangguk setuju. Aku ingat di pertemuan ter?
akhirku dengannya, kami juga ke sana.
"Sepertinya tak ada tempat makan di Yogyakarta yang paling
kau sukai selain di sini ya?" Maninjar tersenyum.
"Aku sudah ceritakan bukan, ini tempat penuh kenangan," aku
mencoba tersenyum. "Tentu saja," ujar Maninjar. "Tapi bukankah dari saat ter?akhir
kita ke sana kau katakan keadaannya sudah berbeda?"
Aku mengangguk samar. Yang dikatakan Maninjar memang
benar. Terakhir kali kami datang, sekitar 1 tahun yang lalu, tempat lotek itu memang sudah berubah. Yang mengurusnya kini bukan lagi pemilik lama, tapi anaknya. Soal rasa mungkin tak banyak
berubah, namun meja panjang di bawah pohon asem besar itu sudah tak ada. Digantikan meja kayu baru dengan lapisan tripleks
putih dan kursi-kursi plastik berwarna merah.
Waktu itu aku hanya diam memandanginya untuk beberapa
saat. Maninjar tak tahu kalau aku begitu sedih melihat peman?
[ 72 ] " enigma ENIGMA final.indd 72 dangan itu. Tapi tentu saja tak lucu bila aku berkomentar berle?
bihan tentang hal seperti ini.
Tapi sungguh, perasaan sedih itu mudah saja menyelinap
dalam hatiku. Aku masih ingat dulu bersama Kurani, yang kemudian pergi, Chang, Hasha, Patta, dan Goza, selalu memilih tempat
itu. Kami lebih memilih menunggu bila ada orang lain yang duduk
di sana terlebih dulu. Kurani selalu duduk di sebelah kiriku. Chang,
yang paling tidak menyukai sayuran, akan duduk di depanku. Patta
di sebelah kananku. Hasha dan Goza, yang selalu terlambat datang,
mengapit Chang. Mereka akan selalu sama memesan lotek sedang dengan lontong. Hanya Chang yang berkali-kali mencoba merayu penjual lotek
agar bisa memesan lontong dan ayam goreng. Tentu saja ini selalu
membuat penjual lotek melotot, karena memang tak pernah menyediakan ayam goreng di daftar menu mereka. Nanti bila ia terpaksa
memakannya di setiap sendokan mulutnya akan bersuara, "Yeeaak!
Sepertinya aku memang tak ada bakat menjadi herbivora!"
"Bagaimana kabarmu, Isara?" Maninjar membuka perca?kapan
setelah kami duduk di salah satu meja. "Apa gerangan yang membawamu kembali ke sini" Bukankah semua urusan gempa sudah
selesai?" Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Njar, aku sendiri tak tahu
kenapa. Keinginan ini sudah ada sejak lama namun aku selalu bisa
menahannya. Namun kemarin, aku tak lagi bisa."
Maninjar memegang tanganku. "Sebaiknya engkau pindah saja
untuk sementara ke sini. Kau pasti sangat kangen dengan suasana


Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di sini, kan" Nanti biarlah anak buahmu yang mengurus usahamu
di sana." Aku menggeleng. "Tak semudah itu, Njar. Meninggalkan mereka beberapa hari mungkin bisa. Tapi bila terlalu lama, tentu tak
bisa." enigma " [ 73 ] ENIGMA final.indd 73 Sejenak, pembicaraan kami terselingi, pesanan kami yang datang.
"Ah, di Jakarta jarang sekali aku makan lotek." Aku mencoba
menyuapkan sendok pertamaku. "Kalaupun ada, rasanya sungguh
aneh." Dengan gerakan tak sabar, aku memecahkan kerupuk-kerupuk merah, agar menyambur dengan bumbunya.
Tanpa kusadari Maninjar membuat gerakan yang membuatku
menoleh padanya. "Isara, sadarkan engkau, beberapa mahasiswa di sana masih
memperhatikanmu?" bisiknya. "Kau tetap terlihat cantik walau kau
tak memakai make up sekalipun."
Aku tersenyum. "Kamu ini terlalu berlebihan."
"Kau yang tak menyadarinya saja. Sejak dulu engkau memang
cantik. Aku yang perempuan saja bisa menilai itu."
"Itu karena engkau tomboi, Njar."
Maninjar menggeleng. "Tentu saja tak ada hubungannya de?
ngan itu. Dan satu lagi yang membuatku suka, engkau tak pernah
berdandan berlebihan selama ini."
Aku menggeleng saja mendengar ucapan Maninjar. Kucoba
membelokkan pembicaraan. "Sungguh, masih seenak dulu!" ujarku. "Heran kenapa engkau
tak pernah mencobanya selama ini" Hanya 15 menit dari tempatmu
mengajar, kan?" Maninjar tertawa. "Lima belas menit di Jogja, itu waktu yang
banyak, Isara. Jangan bandingan dengan Jakarta."
"Apalagi...," sambungnya sambil mengamati sekeliling. "Di sini
selalu ramai. Aku malas mengantrinya."
"Ah, kupikir untuk mengantri beberapa menit, ini worth it."
Keduanya melanjutkan makan.
"Nggg, engkau tak ingin mendatangi teman-teman dekatmu
lainnya, Is?" [ 74 ] " enigma ENIGMA final.indd 74 "Aku kehilangan kontak dengan mereka semua, Njar."
"Wah, sayang sekali. Dulu aku tahu betapa seringnya kalian
duduk di sini." Isara terdiam. "Aku masih ingat dengan mereka semua. Kau tahu, dulu aku
suka dengan Chang dan Hasha. Chang selalu lucu dan Hasha,
hmmm... kupikir ia yang paling menarik. Pendiam dan cool sekali."
Aku hanya mengangguk lemah menyetujui. "Dan kabar yang
mungkin belum engkau dengar," ucapanku sedikit tersendat,
"Hasha... akan menikah dengan Kurani. Engkau masih mengingatnya, kan" Ia juga satu tahun bersama kita."
"Ah, ini mengejutkan," seru Maninjar tampak kaget.
Aku mengerutkan kening. Ekspresinya kupikir sedikit berle?
bihan. Maninjar cepat-cepat mengontrol dirinya. "Tentu saja aku
masih masih mengingat Kurani, Isara," ujarnya. "Kabar itu memang mengejutkan bagiku. Tapi kabar yang lebih mengejutkan lagi
adalah... kabar tentang Hasha."
Aku memandang Maninjar tak mengerti.
"Ah, Isara, apa engkau sama sekali tak pernah mendengarnya
selama ini?" tanya Maninjar dengan tatapan tak yakin.
Aku menggeleng lemah. "Nomornya tak bisa kuhubungi sejak
beberapa tahun lalu. Ia sepertinya mengganti nomornya."
"Ah, kukira engkau sudah tahu, Isara," Maninjar menggeser kursinya agar lebih mendekat. "Ini sudah cukup lama terjadi.
Mungkin hampir 2 tahun yang lalu."
Aku menghentikan gerakan makanku dengan kaku. "Ceritakan
padaku, Njar!" aku tampak tak sabar.
Maninjar menelan ludahnya sekali. "Kau pasti tahu, ia dulu
sempat bekerja di koran yang ada di kota ini, bukan?" Maninjar
memulai. "Bersama dengan seorang rekannya, ia pernah menulis
Pendekar Murtad 1 Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Jo Anak Gelandangan 2
^