Pencarian

Enigma 3

Enigma Karya Yudhi Herwibowo Bagian 3


Aku mencoba terbatuk untuk mengalihkan tema. "Tapi aku
tetap tak menyangka kau akan menikah dengan Patta. Sepertinya
engkau lebih dekat dengan Chang atau Hasha."
"Ya, dulu, aku sendiri tak menyangka," ujar Isara mencoba santai. "Tapi jalan hidup tak pernah kita tebak, bukan?"
Aku mengangguk setuju, "Dan sekarang, engkau mungkin juga sudah mendengar kalau
aku sudah berpisah dengan Patta?"
"Ya, Maninjar juga sempat menceritakan padaku. Dan aku ikut
prihatin untuk itu Isara." Aku menatapnya lekat-lekat.
Isara tersenyum. "Aku sudah melewati masa beratnya, Goza.
Sekarang aku sudah bisa menjalani dengan lebih ringan."
"Kuharap begitu. Sama seperti yang kuharap pada Patta.
Kudengar ia juga sangat sukses di Jakarta" Ia menjadi salah satu
staf ahli di Senayan dan kupikir kariernya akan sangat bagus."
Isara mengangguk, "Kupikir ia memang layak mendapatkan
itu." Sejenak Isara terdiam. Ia membuka minuman ringannya dan
minum beberapa teguk. "Oya, aku juga sudah bertemu dengan Hasha."
"Ah, bagaimana kabar penulis kita itu" Kudengar terakhir ia
menjadi wartawan?" "Sekarang sudah tidak lagi. Ia menjadi penulis lepas. Kemarin
ia menemaniku ke Kaliurang."
"Ke rumah Pakde dan Budemu itu" Yang dulu pernah kita datangi ramai-ramai?"
Isara mengangguk. [ 154 ] " enigma ENIGMA final.indd 154 "Ah, kalau kau ingin ke sana lagi, aku bisa menemanimu."
Secara halus kusentuh tangannya.
Isara menggeleng. "Cukup sekali saja, Goza. Besok, aku sudah
kembali ke Jakarta."
"Ah, kenapa secepat itu Isara" Kita belum sempat bicara lebih
panjang." Aku mulai menggenggam tangannya lebih erat.
Isara terdiam sesaat. Dilepaskannya pegangan tanganku.
"Aku akan menemanimu ke mana saja engkau mau," ujarku
sambil kembali meraih tangannya.
Kali ini Isara melepaskannya dengan gerakan lebih tegas.
"Goza, engkau... kenapa?" Ia menatapku tajam. "Kau... mencoba... merayuku"
Aku tentu saja terkejut mendengar ucapannya. Tak kusangka
ia secepat itu menuduhku. Tapi aku buru-buru tersenyum padanya.
"Tentu saja tidak, Isara. Aku sahabatmu, kan?"
Isara tak menyahut. "Aku sangat prihatin dengan keadaanmu Isara," aku kembali
mencoba menyentuh tangannya. "Kau tahu, kedua orangtuaku juga
becerai, dan aku tahu betapa kehilangannya ibuku."
Tapi kembali untuk kesekian kalinya, Isara melepaskan sentuh?
an tanganku. "Aku punya alasan sendiri untuk berpisah dengan Patta,
Goza," suaranya terdengar tegas. "Kau tak perlu terlalu prihatin
padaku." Kali ini, ia bangkit dari duduknya. Bergeser ke sofa kecil yang
ada di sebelah sofa panjang ini.
Kali ini, aku mengembuskan napas dengan sedikit jengkel.
"Kau ini sangat kekanak-kanakan, Isara. Kita sudah sama-sama
dewasa kali ini, tak seperti beberapa tahun lalu, saat kita berada di
losmen itu." enigma " [ 155 ] ENIGMA final.indd 155 Kali ini mata Isara melebar. "Ya Tuhan, Goza. Kau masih berpikir aku mengajakmu ke losmen itu untuk?" suaranya terhenti,
seakan tercekat. "Untuk apa lagi?" aku balik bertanya.
"Otakmu benar-benar rusak!" suara Isara terdengar meninggi.
Ia langsung bangkit dari sofanya dan membuka pintu lebar-lebar.
"Sekarang keluarlah kau, Goza!" ujarnya tegas.
Aku memandangnya tak percaya.
"Kenapa engkau begitu marah, Isara" Kenapa pula kalau otakku
rusak" Dulu kau sendiri yang mengajakku ke losmen itu, bukan"
Kau juga yang membiarkan aku menciummu!"
"Keluaaaar!" suara Isara setengah berteriak.
Aku terpaku melihat kemarahannya. Dengan gerakan berat,
aku bangkit dari sofa dan melangkah ke arah pintu. Kupandangi
dirinya sekali lagi. Mencoba menyentuh dua tangannya erat-erat.
Hingga ia tak lagi bisa melepaskannya.
"Maafkan kalau malam ini ucapanku terlalu kasar," ujarku
tanpa peduli ia berpaling dari tatapanku sambil menutup matanya
kuat-kuat. "Tapi aku lakukan ini, karena sejak dulu aku sudah tergila-gila padamu."
Isara menjawabnya dengan sentakan tangannya, "Tak perlu
bicara lagi, Goza!" ia berucap dengan gemetar. "Kalau kau tak keluar sekarang juga, aku akan panggil security!"
Perempuan itu tak lebih dari pelacur!
Mengusirku begitu rupa" Merendahkan diriku! Sungguh, benar-benar membuat darahku mendidih. Dia pikir siapa dirinya"
Secantik apa dia" [ 156 ] " enigma ENIGMA final.indd 156 Aku mengisap rokokku dalam-dalam untuk kesekian kalinya.
Sundal! Aku tak henti memaki-makinya. Tapi tetap saja di
antara semua kemarahan ini, perlu kuakui bila ia memanglah
perempuan yang tak biasa. Tapi tetap saja ia tak bisa berlaku bak
perempuan suci" Sudah syukur, aku tak menceritakan pada banci
itu tentang pertemuan kami di losmen itu sekian tahun lalu. Aku
yakin, bila aku ceritakan, pastilah banci itu tak akan mau mene?
rimanya sebagai istri! Aku masih ingat dengan jelas, pagi itu, ia tiba-tiba meneleponku dan memintaku menemuinya di sebuah losmen yang cukup
jauh dari kosnya. Ia tak bicara apa-apa lagi selain itu, tapi tentu saja
aku tetap datang menemuinya.
Di sana tanpa bicara, ia check in dan langsung mengajakku
masuk ke dalam kamar. "Please, jangan berpikir macam-macam tentang ini, Goza," ia
menyuruhku duduk di kursi, sementara ia sendiri duduk di tepi pembaringan. "Aku hanya ingin berdiam di sini, beberapa saat saja!"
Dan tentu saja aku setuju. Mana ada perempuan yang me?
ngajak laki-laki ke sebuah losmen dan mengatakan terus terang
ingin bercinta, bukan" Bahkan pelacur pun tak mengatakan ucapan
serendah itu! "Tapi, sebenarnya apa yang sedang terjadi, Isara?" aku berpindah duduk ke sampingnya. Pelan-pelan kusentuh dua ta?ngannya
dengan lembut, bagai seorang sahabat yang peduli.
Dan ia tak langsung menjawab pertanyaanku itu. Ia hanya memejamkan matanya, seakan tak mendengar.
Kediaman itulah yang kemudian membuatku berani menciumnya. Dan sungguh, ia hanya terdiam beberapa saat menerima cium?
an itu. Sekali lagi kutegaskan, bila bukan ini tujuannya, ia pastilah
langsung mendorong tubuhku ketika bibir kami bertemu sedetik
enigma " [ 157 ] ENIGMA final.indd 157 saja. Tapi itu tidak dilakukannya. Aku bisa menciumnya hingga beberapa detik, tanpa ia berusaha menolaknya sama sekali.
Baru di detik yang kesekian, ia seperti tersadar dan cepat-cepat
mendorong tubuhku kuat-kuat, "Apa yang kau lakukan, Goza?"
Ia bangkit ke arah pintu. Tapi sama sekali tidak membukanya.
Maka aku kembali bergerak mendekatinya.
"Tenang saja Isara, kita melakukannya pelan-pelan."
Dan wajahnya kali ini benar-benar tampak pias, "Sudah ku?
katakan padamu, Goza, bukan ini tujuanku membawamu kemari!
Kita hanya perlu di sini saja hingga beberapa menit. Itu saja!"
Aku terdiam. Aku lihat matanya yang tampak ketakutan. Juga
tubuhnya yang tampak menggigil.
Jelas sekali bila ia memang belum siap melakukannya. Maka
aku hanya mengangguk pelan padanya. "Tentu, Isara, tentu. Kita di
sini saja tanpa melakukan apa-apa."
Di ujung ingatanku tentang peristiwa itulah, ponsel di tasku
tiba-tiba berbunyi mengejutkan.
Itu dering ponsel yang seharusnya tak lagi berbunyi.
Saat kuangkat, sebuah suara langsung terdengar, "Datanglah
ke Museum Jogja Kembali, seorang akan membawakan sesuatu
padamu." Lalu panggilan itu terputus.
Isara Sadarkah engkau bila jumlah bintang di angkasa terus berkurang"
Aku tentu tak pernah menghitung secara pasti. Tapi bintangbintang yang berumur tua tentu cahayanya semakin redup, sementara bintang-bintang baru tak lagi terbentuk. Para illmuwan menga-
[ 158 ] " enigma ENIGMA final.indd 158 takan hal ini terjadi karena berkurangnya molekul hidrogen dalam
galaksi. Padahal bintang-bintang terbentuk dari awan berisi debu
dan gas yang sangat besar sehingga bersinar karena adanya pro?
ses pembakaran hidrogen menjadi helium. Maka itulah, ketika hi?
drogen menipis, galaksi-galaksi menjadi kesulitan menangkap gas,
hingga tekanan pun akan menurun. Saat itulah bintang bintang
lama-kelamaan akan mati. Dan di antara bayang-bayang bintang
yang meredup dan mati itulah, aku pernah melihatnya mati!
Ia tergeletak dengan wajah dan tubuh penuh darah. Beberapa
lelaki berbadan besar terlihat di sekelilingnya. Seorang di antara
mereka kemudian menendangnya ke selokan, dan meninggalkannya begitu saja!
Awalnya aku tak yakin itu adalah dirinya, karena wajahnya
tak begitu jelas terlihat. Terlebih bayang-bayang yang hadir padaku
bergerak begitu cepat, berganti dari satu bayangan ke bayangan
lainnya.... Bintang-bintang yang meredup, koran-koran yang bertumpuk, seorang yang tengah mengetik, jalanan yang sepi, mobil-mobil yang berpacu kencang, sebuah angkringan, jalur hijau yang panjang, wajah-wajah orang yang tak kukenal, botol-botol minuman, sebuah pom bensin,
wajahku, mobil tanpa plat nomor, orang yang tampak mabuk, dan di?ri?
nya yang tergeletak, sebuah selokan tak berair....
Terus berulang dan berulang....
Dan butuh waktu berapa lama agar aku bisa sedikit mencerna
bayang-bayang itu. Seperti mencoba untuk lebih jelas melihat. Dan
saat itulah aku sadar bila tubuh yang tergeletak dalam selokan itu
adalah dirinya! Seketika tangisku pecah! enigma " [ 159 ] ENIGMA final.indd 159 Bagai sekuntum bunga dengan kelopak-kelopaknya, kau tak akan
pernah selesai mencabuti kelopak-kelopak yang ada pada diriku.
Bahkan aku sendiri mungkin tak akan mampu melakukannya!
Aku ingat sekali, dulu, aku adalah gadis kecil biasa. Gadis kecil
kebanyakan, yang ingin memiliki dua kepang di rambutnya, dan
selalu ingin bermain boneka-boneka serta bertemu dengan sang
pangeran. Tapi aku tak pernah menjalani keinginan seperti itu. Ibu
tak pernah punya waktu untuk mengepang rambutku, dan sang
pangeran entah pergi ke mana. Hanya ayah yang masih selalu
membelikanku boneka-boneka terbaru. Namun semakin lama, aku
tak lagi memainkannya. Hari-hariku hanya diisi bermain bersama kakakku, Marga.
Ia akan selalu berujar padaku untuk pergi ke tempat-tempat
baru, untuk berpetualang. Dan aku hanya menurutinya saja saat
ia selalu menarik tanganku untuk pergi dari rumah. Setidaknya,
walau sedikit tak setuju, ia selalu membiarkanku membawa satu
bonekaku bersama kami. Dan aku menikmati hari-hariku bersamanya. Usia kami sebenarnya hanya terpaut 3 tahun. Tapi ia kerap berpikir bila usianya
beberapa tahun lebih tua lagi. Sehingga ia akan selalu mencoba
melindungiku dan bersikap seperti seorang dewasa. Walau aku
tahu kadang kelakuannya tak jauh berbeda dengan kelakuanku.
Tenaganya tak jauh berbeda dari tenagaku. Dan ketakutannya tak
jauh berbeda dari ketakutanku.
Tapi aku diam selama ini. Aku menikmati setiap perlakuannya untukku. Terlebih aku merasa tenang berada bersamanya.
Aku menjadi bayangannya dalam setiap petualangannya. Berlari di
belakangnya, melompat setelah lompatannya, dan berteriak setelah teriakannya. Hari-hari kami benar-benar selalu dipenuhi tawa
riang. Marga akan terus menggandeng tanganku untuk terus pergi
ke tempat-tempat yang belum pernah kami datangi sebelumnya.
[ 160 ] " enigma ENIGMA final.indd 160 Maka kami bisa menemukan sebuah rumah tawon besar di
pohon belakang rumah, kami bisa menemukan seekor sapi yang
mati entah karena apa, bahkan yang paling menyenangkan, kami
bisa menemukan sebuah tempat persembunyian di dalam sebuah
rumah tua yang kosong. Di situlah kami berniat bermain setiap harinya. Walau butuh
hampir setengah jam menuju ke sana, tapi kami selalu bisa datang ke sana. Namun saat Marga berniat membuat gantungan tali
untuk tempat meluncur dari lantai dua ke lantai satu, ia terjatuh.
Kepalanya patah karena terbentur lantai. Dan aku tiba-tiba saja harus kehilangan dirinya.
Sejak itulah hidupku berubah!
Bayang-bayang itu mulai hadir begitu saja.
Hasha Ada kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan pada Isara.
Dan itu kusesali hampir sepanjang hidupku.
Sejak melihatnya di losmen itu bersama Goza, aku begitu terpuruk. Semua harapanku padanya tiba-tiba hancur, dan aku membiarkan perasaan tak menentu itu terus ada tanpa pernah sekalipun mencoba untuk berpikir positif.
Apalagi, sejak hari itu pun Isara seperti tiba-tiba menjauhiku.
Dan ini tentu saja mempermudahku untuk menjauh darinya. Aku
tak perlu menanyakan; ada apa dengan kita" Aku cukup diam di
antara diam yang ada padanya.
Hanya Chang yang terus-terusan bertanya tentang kami. Dan
aku akhirnya begitu lelah mendengar pertanyaannya, hingga aku
kemudian menjawabnya dengan sedikit ketus, "Sudahlah, jangan
enigma " [ 161 ] ENIGMA final.indd 161 lagi mengurusi hubunganku dengan Isara! Kau uruslah dirimu
sendiri!" Dan ucapan itu membuat Chang berhenti bertanya lagi.
Sampai berbulan-bulan seperti itu. Aku tak lagi mengingat
betapa sebelumnya selalu ada dirinya dalam hari-hariku. Betapa
dulu aku selalu diam-diam mencoba menatap dirinya di meja panjang itu, dan betapa diam-diam aku mulai merangkai kata-kata tentangnya.
Sekarang semuanya tidak lagi! Aku bahkan mencoba untuk
meniadakannya. Walau yang terjadi kemudian, tanpa kusadari, adalah aku
kerap terlelap selepas tengah malam, seakan-akan menunggu seseorang datang seperti malam itu. Ini benar-benar membuatku kalah.
Untunglah, setelah beberapa bulan lewat, aku tak lagi melakukan
kebiasaan buruk ini. Chang masih mencoba mengumpulkan kami di meja panjang
warung lotek itu. Sampai beberapa kali kami masih tetap datang
seperti biasa. Namun kedatangan kami seperti dalam kebisuan yang
lebih kentara. Hingga Chang dan Goza yang selalu berusaha tampak
lucu, tak lagi bisa melakukan apa-apa selain ikut terdiam. Banyolan
Goza bahkan membuatku ingin muntah. Sungguh, kini hanya de?
ngan memandangnya saja sudah membuatku ingin menghajarnya!
Sampai akhirnya kami pun lulus satu demi satu. Tapi keadaan
tetap seperti ini. Namun tentu waktu selalu melunak. Waktu selalu
membantu meredakan. Sejak kelulusan Isara dan Patta, sebenarnya
kemarahanku telah berangsur sirna. Yang ada kini bahkan perasaan
bersalah karena telah bertingkah kerdil selama ini. Dan perasaan
ini semakin menjadi-jadi saat aku melihatnya wisuda dalam ke?
sendirian. Pakde dan budenya tak bisa datang karena sakit, dan saudaranya yang lain pun tak terlihat. Sungguh, ia benar-benar tampak
sendiri di antara keramaian yang ada.
[ 162 ] " enigma

Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ENIGMA final.indd 162 Tapi aku tetap tak punya keberanian untuk menghampirinya,
walau itu sekadar memberikan ucapan selamat sekalipun. Dan ini
membuatku benar-benar tersiksa. Untunglah saat acara akan ber?
akhir, Chang tiba-tiba menarikku dan mengajakku untuk mengucapkan selamat padanya.
Sungguh, sejak itu, aku benar-benar berharap hubunganku
dengan Isara kembali menjadi baik seperti sedia kala. Aku dapat
menangkap di sinar matanya, bila ia pun berharap seperti itu.
Namun di saat perasaan itu mulai tumbuh membaik, SMS Patta
datang padaku. Datang ya di meja panjang milik kita.
Ada kabar baik dariku dan Isara yg akan kukabarkan pada kalian.
Dan aku dapat menangkap arti SMS itu. Beberapa kali aku sudah mendengar gosip-gosip tentang hubungan keduanya. Beberapa
teman bahkan telah memergoki keduanya tengah makan berdua di
tempat-tempat romantis. Perasaanku kembali terpuruk. Tapi cepatcepat aku menepisnya.
Telah sekian lama berlalu, bukankah seharusnya aku bisa
melupakan kejadian itu" Pertemanan yang telah terjalin sekian
lama, apa harus aku korbankan hanya karena perasaan kerdilku"
Bukankah begitu mudah bagiku untuk datang di pertemuan itu,
tersenyum dan memberinya selamat" Bukankah selama ini, ia sudah cukup memberikan perasaan menyenangkan bagiku" Perasaan
yang belum pernah kualami sebelumnya"
Maka kuyakini diriku untuk datang di hari itu. Toh, walau
bagaimanapun Isara dan Patta adalah sahabat-sahabat terbaikku.
Dan aku seharusnya bahagia atas semua pilihan keduanya.
Namun tetap saja, sisi lain diriku yang menolak berlaku se?
perti itu, tak bisa kukalahkan. Aku memang tetap datang di kala
enigma " [ 163 ] ENIGMA final.indd 163 itu, namun aku tak punya keberanian untuk mendekat di warung
lotek itu. Aku hanya bisa melihat dari kejauhan Isara bersama Patta
duduk menunggu hingga sore menjelang. Tak ada yang muncul,
selain Chang yang datang di saat-saat terakhir.
Aku benar-benar meminta maaf untuk itu. Kuyakinkan diriku
bila kelak aku akan mengucapkannya secara langsung pada kedua?
nya. Tapi tidak hari ini. Tidak hari ini....
Hari ini, aku hanya mampu menuliskan semuanya dalam katakata di kamar temaramku. Walau itu pun, setelah jadi, hanya kubiarkan di atas mejaku, hingga angin membawanya terbang keluar
jendela.... nanti pada akhirnya kau tak lagi mengulurkan jemarimu pada jemariku
dan aku akan mengerti seperti selama ini: aku mengerti
engkau akan tetap tersenyum padaku
tapi tak lagi membiarkanku mengecup titik keringat
yang menuju ujung bibirmu
dan aku akan selalu mengerti
karena nanti, kau akan mencoba mengaburkan jejakmu
dan membuat setapak baru yang tak kukenali
dan aku tak akan mencoba mencarimu
aku akan memilih jalan menikung
yang mungkin terlalu rentan terlukis di peta
nanti, ya nanti". hingga suatu saat, kita akan berdiri dengan jarak
beberapa kotak keramik: sebagai tempat kenangan kita
hanya saling menatap, dan mungkin tersenyum
[ 164 ] " enigma ENIGMA final.indd 164 membiarkan satu titik keringat tetap jatuh di ujung
bibirmu tak lebih" tak lebih".
Itu adalah sajak terakhirku untuknya.
Dan sejak itu, aku tak lagi menulis sajak.
Patta Lelaki dengan wajah murung itu duduk di depanku dengan
gerak tubuh yang teramat kaku. Latar kafeteria yang sepi, di mana
kursi-kursi tampak kosong, dan beberapa pramusaji duduk diam
menunggu, membuat kekakuannya begitu mencolok.
"Bapak Patta," ujarnya ramah. "Ada yang mesti aku sampaikan
pada Bapak. Ini pesan langsung dari Bapak Wirajja."
Aku mengangguk dengan gerakan perlahan. Sehari sebelumnya Bapak Wirajja memang sempat mengirim SMS padaku, sesuatu
yang tak pernah dilakukan sebelumnya, dan mengatakan ada seorang utusannya yang akan bicara padaku.
"Apa yang akan Bapak Wirajja sampaikan?"
"Tentang tugasmu, tentunya," ujar laki-laki bermuka murung
itu. "Bapak Wirajja ingin kembali mengingatkan tentang keberha?
silan tugasmu." Aku mengangguk. "Tentu saja. Selama ini, bukankah aku tak
pernah gagal?" Ia tersenyum. Walau tak berkata apa-apa, aku dapat mengira ia
telah tahu bila aku pernah sekali terjerumus sebelumnya.
"Setidaknya kegagalan sekali tidak menjatuhkan namaku, bukan?" aku meralat ucapanku.
enigma " [ 165 ] ENIGMA final.indd 165 "Tentu saja tidak," ia kembali tersenyum. "Tapi aku harus jujur pada bapak, dalam pekerjaan seperti ini, kegagalan sekali saja
adalah cacat seumur hidup. Kupikir... Bapak hanya beruntung masih
bisa ada di sini!" Aku menelan ludah. Ucapan laki-laki ini walau diucapkan de?
ngan nada ramah dan dengan diiringi sebuah senyum, tetap terasa
menusuk diriku. Sangat penuh ancaman!
Setelah itu ia pergi. Meninggalkanku sendiri dalam kafe yang
baru saja buka itu, tanpa sempat kutanya namanya.
Itu adalah kejadian siang tadi. Namun sampai malam menjelang, gema suaranya terus menggantung di telingaku, juga senyum?
nya yang menusuk. Sepertinya ia terus meneror keberanianku.
Menyudutkan, tanpa aku bisa berkutik.
Namun semua permainan memang harus ada akhirnya!
Aku tahu sekali itu. Namun apakah kali ini permainanku yang
sudah kulakukan hampir 3 tahun ini, akan berakhir pula"
Aku ingat pertemuan pertamaku dengan Bapak Wirajja. Waktu
itu aku masih bekerja membantu seorang temanku di perusahaan
konstruksinya. Saat itulah aku menolong Bapak Wirajja dalam sebuah proyek perumahan yang dia buat. Mengurus perizinan dan
tetek-bengek lainnya, termasuk mengurus beberapa preman kampung yang meminta jatah uang keamanan. Entah apa yang dilihatnya padaku, tetapi ia tertarik dengan cara kerjaku. Maka ia kemudian menawarkan satu posisi padaku sebagai staf di Senayan. Tentu
saja aku menerimanya dengan suka cita. Aku seperti mendapat
durian runtuh. Terlebih ia tak meminta apa-apa dariku, hanya satu
kalimat ucapannya sebelum ia pergi. "Tentu saja, kelak kau harus
tetap membantu aku."
Dan aku mengangguk saja kala itu. Aku sama sekali belum
berpikir tentang arti kata membantu di situ. Baru beberapa bulan
[ 166 ] " enigma ENIGMA final.indd 166 kemudian aku akhirnya tahu. Kala itu proyek perumahan Bapak
Wirajja yang baru, mendapat penolakan oleh warga sekitar. Dan ia
tiba-tiba saja menghubungiku untuk membereskan semuanya.
"Ada beberapa provokator di situ," ujarnya. "Aku mau kau
memberi mereka pelajaran. Berapa pun dana yang kau butuhkan
akan kusediakan." Pelan-pelan, aku mencoba mencerna kalimatnya. Sebenarnya
aku bisa menyelesaikan persoalan ini secara halus, seperti yang
dulu aku lakukan untuknya. Namun kata pelajaran di sana, tak dapat kuartikan seperti itu!
Dan Bapak Wirajja memang tak menginginkan penyelesaian
seperti biasanya. Masih dengan nada tinggi ia berujar lagi, "Aku
butuh seorang bajingan yang mau melakukan itu! Kau uruslah soal
ini, Patta!" Sejak itu, tanpa kusadari aku masuk ke dalam lingkarannya.
Aku seperti tak bisa menolak, atau tak mau menolak. Entahlah. Tapi
kata bajingan seperti menggantung begitu saja di otakku. Dan aku
langsung berpikir pada seseorang!
Ya, selama hidupku, aku memang hanya mengenal 1 ba?jingan.
Maka aku menghubunginya! Chang berpikir sederhana saja! bila Tuhanmu memerintah dirimu melukai seseorang,
ia tentu tak lebih dari manusia juga!
Ada satu rahasia yang terus kusimpan sampai sekarang.
Mungkin ini akan kubawa sampai mati, seperti janjiku pada Isara
kala itu. enigma " [ 167 ] ENIGMA final.indd 167 Setelah tanggapan marah Hasha di hari itu, aku langsung datang ke kos Isara tanpa ia tahu. Kutanyakan apa yang sebenarnya
terjadi pada dirinya dan Hasha. Namun Isara malah memintaku
untuk melupakan semuanya.
Tentu saja aku tak bisa. "Kau tahu, Hasha adalah sahabat terbaikku dan engkau pun
begitu. Aku tak mau kalian seperti ini!"
"Tapi keadaan ini memang harus seperti ini, Chang!"
"Semua bisa diperbaiki."
Isara menggeleng lemah. "Ada... yang tak bisa, Chang!"
"Katakan padaku apa itu! Dan bila itu benar, aku tak akan
bertanya-tanya lagi!"
Dan Isara hanya bisa terdiam untuk beberapa lama. Aku jelas
melihat kebimbangan di wajahnya. Tapi aku akan menunggu sampai ia bicara. Isara tahu betapa kerasnya aku akan keinginan itu.
Maka mulailah aku dengar dari bibirnya sebuah kisah yang
begitu sulit kupahami. Tentang bayang-bayang yang hadir padanya,
dan diyakininya sebagai bayang-bayang masa depan.
Aku tentu saja hanya bisa mendengar semuanya tanpa tahu
harus berbuat apa. Terlebih saat ia bicara tentang malam itu, saat
ia tidur di kontrakan kami, dan mulai menyentuh tangan Hasha
untuk melihat bayang-bayang yang ada pada Hasha.
Dan itulah yang membuatnya begitu ketakutan malam itu. Ia
berpikir kalau dirinya dapat menjadi sebab apa yang akan terjadi
pada Hasha. Maka itulah ia kemudian meminta Goza untuk menemuinya di sebuah losmen, agar Hasha melihatnya.
Sungguh, aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Terlalu
banyak hal tak masuk akal di waktu yang singkat ini. Terlalu ba?
nyak kejadian yang ada di luar logikaku.
Selama ini aku adalah orang yang sangat logis. Tentu bila orang
lain yang menceritakan semua kisah ini, aku akan cepat memban-
[ 168 ] " enigma ENIGMA final.indd 168 tahnya dengan mudah. Tapi cerita-cerita ini terucap dari bibir Isara,
salah satu sahabat terbaikku yang paling kupercaya. Ini yang membuatku bimbang.
"Kalau engkau tak mempercayaiku, aku bisa mengerti, Chang...,"
suara Isara terdengar lemah.
Aku menggeleng lemah. "Aku tak tahu, Isara. Aku tak tahu."
Dan kami hanya terdiam untuk waktu yang lama. Sibuk de?
ngan pikiran masing-masing.
Isara kemudian hanya memintaku untuk tak menceritakan
apa-apa pada Hasha. Aku pun mengangguk menyanggupinya.
Namun saat aku pulang, aku kembali menatapnya. Kebimbangan
masih terus ada dalam benakku, maka dengan suara tak yakin aku
kemudian berujar padanya.
"Kalau apa yang kau ceritakan itu benar, dapatkah engkau melihat apa yang akan terjadi padaku nanti?"
Isara tertegun. "Aku tak mau bermain-main dengan ini, Chang!
Apa kau tak tahu ini menakutkan bagiku?"
"Lakukan sekali lagi padaku, Isara. Dari situlah nanti aku bisa
meyakini apa yang kau ceritakan tadi."
Isara terdiam. Menatapku dengan keraguan yang begitu kentara. Lalu setelah menelan ludahnya sekali, ia berujar pelan, "Ulurkan
tanganmu!" Aku cepat-cepat mengulurkan tanganku, membiarkan Isara
menyentuhnya sambil memejamkan mata.
Aku menunggunya dengan jantung yang berdetak lebih cepat.
Semakin lama dapat kulihat napas Isara semakin memburu. Kerut
wajahnya tampak tak tenang, seperti sebuah ekspresi seseorang
yang bermimpi buruk. Beberapa titik keringatnya bahkan dapat kulihat muncul begitu saja di kening dan di lehernya.
Sampai akhirnya, ia melepaskan pegangan tangannya. Aku menunggunya bicara dengan perasaan yang tiba-tiba tak tenang.
enigma " [ 169 ] ENIGMA final.indd 169 "Aku melihat banyak bayang-banyang padamu, Chang!" ujar
Isara akhirnya. "Sebuah ponsel, api dengan asap membumbung,
sebuah rumah besar dengan pagar tinggi, sebuah surat kabar,
lem?baran uang-uang yang lusuh, dupa-dupa yang menyala, perpustakaan yang sepi, perempuan separuh baya berpakaian putih, sebuah kereta api, piring-piring makanan, dan... dirimu yang terlelap
sembari tersenyum...."
Isara menatap mataku. "Aku tentu tak bisa menyimpulkan
bayang-bayang itu secara pasti, Chang. Tapi kurasa engkau akan
bahagia kelak. Bayangan saat kau tersenyum dalam tidurmu terus
berulang muncul...."
Dan ucapan itulah yang sampai sekarang masih kuingat.
Seiring jalan hidupku yang terus bergerak, aku mulai percaya
pada apa yang Isara. ucapkan. Bayang-bayang yang diucapkannya
kala itu, perlahan-lahan satu demi satu mulai terwujud dengan
jelas.... Sebuah surat kabar.... Dupa-dupa yang menyala....
Perpustakaan yang sepi....
Perempuan separuh baya berpakaian putih....
Semua seakan membuatku untuk percaya. Tak hanya atas apa
yang telah terjadi padaku, juga atas apa yang dilakukannya kala itu
pada Hasha. Ya, saat itulah aku baru benar-benar mengerti atas apa yang
dilakukan Isara kala itu. Pertentangan batin seperti apa yang terjadi
dalam dirinya. Dan itu membuatku merasa sangat bersalah, karena
dulu tak sepenuhnya meyakininya.
Sungguh, aku hanya bisa menyisakan satu doa untuknya di
penghujung doa-doaku. Satu doa untuk pengorbanannya dan
harap?an bila kelak ia bisa bersama dengan Hasha....
[ 170 ] " enigma ENIGMA final.indd 170 Gadis kecil itu sudah menunggu di atas tangga ketika rombongan
mobil memasuki pekarangan rumahnya. Dilihatnya pakde dan
budenya turun dari mobil, juga beberapa saudara lainnya.
Mata mereka semua tampak merah.
Gadis kecil itu tahu kalau semuanya baru saja menangis.
Ia sendiri telah menangis sejak mobil ayah ibunya keluar
pekarangan beberapa jam sebelumnya.
Tanpa berkata-kata semua kemudian memeluknya.
Budenya bahkan menciumi pipinya berkali-kali, bibirnya
bergetar sewaktu berkata, "Nduk, ayah ibumu baru saja
kecelakaan." Dan gadis itu hanya mengangguk lemah. "Aku sudah
tahu, Bude," ujarnya. "Marga... sudah mengatakan padaku."
Semua keluarganya hanya saling berpandangan tak
mengerti. Tapi kesedihan yang kemudian melupakan katakata itu.
enigma " [ 171 ] ENIGMA final.indd 171 Sejak itu gadis kecil itu pindah ke rumah pakde dan
budenya yang tak begitu jauh dari rumah itu. Masih di
Kaliurang, hanya berbeda kilometer saja.
Namun baru beberapa hari tinggal di situ, ia selalu
meminta diantarkan ke rumah orangtuanya yang dulu. Tentu
awalnya pakde dan budenya selalu menuruti keinginan itu.


Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun lama-kelamaan mereka tampak keberatan. Terlebih
setelah tamu pakdenya yang seorang dokter berujar, "Peristiwa
ini terlalu berat bagi gadis sekecil dia. Di beberapa kasus, ada
korban yang menciptakan teman imajinasinya sendiri, untuk
sekadar dapat saling bercerita. Dan itu akan berlangsung
beberapa lama, sampai ia dapat menerima kepergian itu...."
Gadis itu masih terlalu kecil untuk mengerti ucapan itu.
Yang ia tahu, sampai bertahun-tahun lewat, kakaknya masih
terus hadir kapan pun ia memanggilnya.
Patta daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi ini....
biar tak mengapa, rela, rela, rela aku relakan....
Aku mengangkat ponselku. "Jadikah kita makan malam ini?" suara Sanda terdengar di seberang.
"Sepertinya jangan malam ini. Aku harus menyelesaikan satu
laporan." "Aku ingin malam ini!" Sanda berujar dengan suara lebih keras.
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan."
Aku terdiam. Berpikir sejenak.
"Oke kalau engkau begitu ngotot. Den Hag Cafe pukul 22.00?"
[ 172 ] " enigma ENIGMA final.indd 172 "Oke." Klik. Sebenarnya malam ini, aku sedikit malas bertemu dengan
Sanda. Selain 1 laporan yang menyebalkan itu, mood-ku juga sedang
tak menyenangkan. Tapi sudah beberapa hari ini kami memang tak
bertemu, jadi kupikir ada baiknya juga bicara dengannya. Biasanya
aku bisa sedikit lebih ringan setelah bicara dengannya.
Dan ia sudah menungguku, saat aku tiba di kafe itu.
"Apa yang ingin kau bicarakan, San?" ujarku sambil duduk di
depannya. Ia terdiam sejenak. "Engkau sudah dengar bila Wirajja akan
maju dalam pemilihan gubernur tahun ini?"
Aku terkejut. "Berita dari mana itu?"
"Itu sudah jadi perbincangan di kantor."
Aku hanya menggeleng-geleng tak percaya. "Terlalu banyak
gosip di sana, kadang aku tak memperhatikan semua!"
"Patta bukankah kau seharusnya senang melihat ia akan menjadi orang penting?"
Aku mengangguk. "Tentu saja."
"Kau tak tampak seperti orang senang?"
"Aku senang!" Bibir Sanda sedikit mencibir menanggapi jawabanku.
"Kenapa sih tiba-tiba kau bicara soal Wirajja" Seperti tak ada
pembicaraan lain saja," aku menoleh pada daftar menu. "Pesanlah
sesuatu!" Tapi Sanda seperti tak menggubris ucapanku. "Patta, aku tak
tahu apa yang kau kerjakan bersama Wirajja," suaranya terdengar
serius. "Tapi aku telah 10 tahun bekerja di sini. Aku tahu sekali re?
putasi laki-laki itu. Ia adalah sosok iblis dengan senyum malaikat!"
Sanda memajukan kepalanya mendekat padaku, "Sebelum
engkau, ada beberapa orang yang dibawa Wirajja pada teman-te-
enigma " [ 173 ] ENIGMA final.indd 173 mannya di Senayan. Namun ada satu orang yang sangat istimewa.
Namanya Amraji. Semua orang hanya tahu ia sebagai staf di sini,
tapi aku tahu ia kerap membantu Wirajja di pekerjaan-pekerjaan
yang aku sendiri tak terlalu tahu secara pasti. Aku... bisa meraba
apa yang dikerjakannya karena kerap berbincang dengannya."
Sanda melanjutkan, "Hingga suatu kali ia tiba-tiba saja lenyap.
Dari salah seorang staf lainnya kami hanya tahu ia dipindahkan ke
daerah. Tapi aku tak pernah benar-benar yakin atas kepindahan
itu. Nomornya tak lagi bisa dihubungi, keluarganya pun tak tahu
keberadaanya. Ia... benar-benar lenyap."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Sanda terdiam sejenak.
Diperhatikannya reaksiku sejenak. Namun karena aku hanya diam,
tanpa bereaksi berlebihan, ia kembali berujar, "Patta saat kita ber?
kenalan, aku berharap kau benar-benar stff biasa yang dibawa oleh
Wirajja. Dan aku begitu sedih saat tahu engkau kerap membantunya di luar pekerjaan ini."
"Sanda, aku hanya?"
"Kau tak perlu membantah! Bila pun aku salah tentang ini, kau
tak harus membantah!"
Sanda memegang tanganku kuat-kuat. "Namun bila engkau
benar-benar melakukan hal-hal buruk deminya, kau harus mulai
berhati-hati, Patta."
Beberapa detik aku menatap matanya, sebelum ia kembali
melanjutkan ucapannya, "Ia orang yang sangat mengerikan dan
upayanya mencalonkan diri menjadi orang nomor satu di kota ini,
bisa jadi membuatnya lebih mengerikan lagi," suara Sanda terde?
ngar tercekat. "Aku yakin sekali, bila ia pasti akan membersihkan
noda-noda masa lalunya."
[ 174 ] " enigma ENIGMA final.indd 174 Isara Ketakutanku memuncak! Angin membawa desir yang berbeda pada tubuhku. Sejak kecil
aku telah begitu akrab dengan embusannya. Aku hafal lakunya
saat ia tak menginginkan kehadiranku. Tamparan-tamparannya
di wajahku, juga debu-debu yang dikirimnya pada mataku yang
rapuh. Namun semua berubah saat ia menginginkan kehadiranku.
Tamparan-tamparannya seakan menepi dan debu seakan mengendap. Ini selalu menjadi pertanda baik bagiku. Dan aku akan mendapatkan ketenangan di sana. Juga keberanian.
Tapi tidak kali ini! Angin seperti telah berkhianat padaku. Ia membawa terbang seluruh udara yang ada di ruang kosong di sekitarku.
Mengumpulkannya dengan paksa dan memaksa mereka menuju ke
arahku hingga membuat napasku terasa sesak.
Semua seakan bersekutu! Semua bergerak cepat, berputar-putar di sekelilingku seakan
lisus yang mengejek. Lalu menerpaku tak habis-habisnya. Butiranbutiran aspirin seakan tak lagi cukup ampuh untuk menenangkannya.
Sejak dulu telah kuyakini, aku adalah perempuan yang kuat.
Aku telah merasakan kepedihan paling dalam saat bocah-bocah lain
tengah bersenang-senang. Aku kehilangan orang-orang yang pa?ling
kucintai, nyaris seluruhnya, sebelum aku benar-benar mengerti apa
arti air mata sebenarnya. Itu yang mungkin membuatku tegar. Itu
pula mungkin yang membuatku tak lagi bisa menangis karena kesedihan.
Namun ketakutanku kali ini sungguh berbeda. Ketakutan ini
dapat memaksa airmataku kembali luruh.
enigma " [ 175 ] ENIGMA final.indd 175 Apa karena ini semua akibat kesalahanku" Aku yang telah berani bertindak melebihi apa yang seharusnya boleh aku lakukan"
Dan, aku benar-benar tak bisa menjawab pertanyaan itu.
Sejak dulu semua seperti datang begitu saja padaku. Bayangbayang itu dan ketakutan-ketakutan itu. Semua tanpa bisa kuelak.
Terlebih saat aku masih datang ke rumah kosong itu, ataupun ke
epitaf kosong itu. Aku pernah menceritakan semuanya pada pakde dan bude.
Mereka kemudian bahkan memutuskan untuk pindah dari
Kaliurang. Tapi sejak itulah, aku tiba-tiba seperti meninggalkan
semuanya: bayang-bayang itu dan ketakutan-ketakutan itu. Atau...
ia yang sebenarnya meninggalkan aku" Entahlah, entahlah. Yang
kuingat, sejak kepindahan itu, bayang-bayang itu memang tak lagi
pernah hadir. Dan aku pun tak lagi pernah mencoba untuk memanggilnya hadir. Semua seakan berjalan seperti seharusnya. Hingga
bertahun-tahun. Itu adalah saat-saat aku menjalani hidup dengan tenang. Sisi
batinku bahkan sempat meyakini seperti apa yang belasan tahun
lalu kudengar dari dokter teman pakde.
Peristiwa ini terlalu berat bagi gadis sekecil dia. Di beberapa kasus, ada korban yang menciptakan teman imajinasinya sendiri, untuk
sekadar dapat saling bercerita. Dan itu akan berlangsung beberapa
lama, sampai ia dapat menerima kepergian itu....
Ya, aku tiba-tiba seperti telah melakukan sesuatu yang bodoh
selama ini. Menciptakan sendiri sesuatu yang seharusnya tak pernah ada. Memainkannya bagai memainkan cerita-cerita bersama
boneka-bonekaku. Lalu, membiarkan semuanya seakan benar-benar
merasuk dalam diriku hingga muncul ketakutan-ketakutan itu!
Sungguh, kini aku sadari bila aku sebenarnya hanyalah tak
lebih dari perempuan labil yang selalu berusaha tampak kuat!
[ 176 ] " enigma ENIGMA final.indd 176 Perempuan yang sekian lama... selalu diliputi ketakutannya sen?
diri! Tapi semua berubah kembali secara mengejutkan!
Berita tentang dibelinya rumah tua itu akhirnya kudengar dari
bude yang tengah datang menilikku di kos-kosan. Itu yang membuatku memutuskan untuk kembali ke Kaliurang, dan datang ke
rumah tua itu. Bude mencoba berusaha keras menahanku. Tapi aku
seperti tak mendengarkan ucapannya.
Saat itu, entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa sangat
bersalah pada Marga. Sekian tahun aku nyaris tak pernah lagi
menengoknya. Aku bahkan sama sekali tak pernah mendoakannya.
Masih kuingat kedatangan terakhirku saat teman-teman kampusku
menginap di Kaliurang. Tapi itu tentu tak cukup. Maka tanpa peduli
larangan bude, hari itu juga, aku pergi dengan motorku, ke sana
seorang diri. Setelah menaruh motor di tempat terdekat, aku langsung
menuju rumah tua itu. Meski keadaan mulai gelap, langkah-langkah masa kecilku pada setapak masih begitu kuingat. Tanjakantanjakan berbatu dan semak-semak berduri, masih di tempat yang
terakhir kuingat. Dan ini yang membantuku tetap sampai di sana,
walau hanya ditemani sebuah lampu emergency.
Aku pun tiba di depan rumah itu. Memandanginya dengan
perasaan tak menentu, membiarkan angin menerpa tubuhku. Di
antara temaram, aku dapat melihat keadaan rumah tua ini dengan
jelas. Kondisinya tak tampak berubah. Hanya saja, ketika aku mencoba membuka pintu, pintu itu ternyata telah terkunci. Begitu pula
jendelanya. enigma " [ 177 ] ENIGMA final.indd 177 Aku masih mencoba mendorongnya untuk membuka dengan
paksa. Namun kayu tua itu masih terlalu kokoh bagiku. Aku mencoba mendobraknya. Aku jatuh tanpa bisa lagi berpikir apa yang
harus aku lakukan. Dan, angin yang kemudian menguasai keadaan.
Terpaannya seakan mengganas. Terus menampar-nampar wajahku
hingga rasa perih begitu terasa.
Aku pun hanya bisa tertunduk dengan air mata menggenang.
Maafkan aku Marga, maafkan aku sekian lama tak datang kemari....
Tapi angin sama sekali tak menggubris ucapanku. Ia sama
sekali tak melunak. Embusannya yang membawa jutaan debu, yang
bahkan lebih kasar dari biasanya, kini seperti bergerak mengusirku.
Membuat langkah-langkah mundur di kakiku. Satu per satu.
Aku merasa tak lagi bisa melakukan apa pun. Maka aku ha?
nya bisa memutuskan untuk pulang dengan air mata yang luruh.
Kupacu motorku secepat mungkin meninggalkan rumah itu. Pergi
dari Kaliurang. Meninggalkan tetes-tetes air mata yang beterbangan tertiup angin.
Aku benar-benar luruh. Aku tak tahu harus menuju ke mana
malam ini. Jalanan telah begitu sepi dan kegelapan seakan tak bisa
dikalahkan oleh lampu-lampu jalan. Mereka perlahan merapat
mendekat padaku. Hanya satu wajah yang kemudian muncul dalam anganku.
Hanya satu tatapan yang kupikir bisa sangat menenangkan aku.
Maka begitu saja, aku sudah mengarahkan motorku berpacu di atas
aspal yang dingin, menuju rumah kontrakan Hasha.
Ia ada di rumah kala itu. Tapi tidak dengan Chang. Dan, aku
begitu lega di bawah kekhawatirannya. Aku memintanya untuk
duduk di dekatku, memeluk diriku erat-erat. Aku ingin ia membantuku menenangkan debar ketakutan dalam diriku. Aku ingin
[ 178 ] " enigma ENIGMA final.indd 178 ia membantuku menghilangkan genangan air mata yang sekarang
seakan tak bisa berhenti.
Beberapa kali aku ingin bercerita padanya tentang apa yang
baru saja kualami. Tapi aku mengurungkan niat itu. Bukan karena
tak yakin ia akan percaya padaku, tapi karena aku sendiri tak yakin
dengan apa yang kualami. Kupikir diam dalam pelukannya saja sudah membuatku sangat tenang. Semua ketakutan yang menganggu sejak tadi seakan
hilang. Air mata pun seakan terhenti. Entahlah, dalam pelukannya,
aku seperti tak lagi menginginkan apa-apa, selain berada di dekatnya. Mendengarkan degup jantungnya satu demi satu, membiarkan
embusan napasnya mengenai wajahku, membiarkan pelukannya
mengencang di pinggangku, dan membiarkan... kecupannya yang
lembut di bibirku. Aku seakan ingin menghentikan putaran waktu, menyimpan
kejadian ini dalam kenangan khusus sembari membiarkan barisan
kata-kata dalam sajak yang pernah ditulisnya menggema lirih....
kau hanya perlu merapat padaku dan menaburkan
bulir-bulir keringatmu, tanpa perlu mengucapkan satu per satu kata padaku
dan aku akan merajahnya menjadi sajak yang tak
lekang dari bibirmu Dan... aku membiarkan diriku tertidur dalam pelukannya.
Namun saat aku tiba-tiba terbangun sebelum dini hari menjelang,
aku temukan diriku tertidur di sofa dengan selimut yang menutupi
tubuh. Televisi telah mati dan suasana begitu hening. Maka aku
melangkah menuju ke dalam kamarnya.
Di situ, di antara sinar lampu 5 Watt, kulihat wajahnya terlelap. Maka aku mendekat padanya, duduk di tepi pembaringannya.
enigma " [ 179 ] ENIGMA final.indd 179 Sejenak, kupandangi wajahnya. Aku kembali mengingat kejadian tadi. Pelukannya dan kecupannya. Aku juga ingat semua saatsaat bersamanya, bahkan saat tak penting sekalipun. Tapi... apakah
ia juga mengingatnya sama seperti yang kuingat"
Entahlah, memikirkan pertanyaan itu, membuatku terdiam
cukup lama. Di saat seperti itulah, tiba-tiba seperti sebuah kilatan
cahaya yang tak pernah dipikirkan sebelumnya, muncul begitu saja
di benakku. Walau sisi diriku yang lain menolaknya, namun sisi diriku yang lain lagi seperti menertawakan: sekian lama tak ada lagi
bayang-bayang yang terlihat, apa ia masih akan muncul sekarang"
Maka pada akhirnya, aku mengulurkan kedua tanganku untuk
menyentuh kedua tangannya. Sambil menutup mata, kubiarkan
diriku mulai berpikir tentang dirinya, juga tentang... Marga!
Maka, seperti yang terjadi dulu, bayang-bayang pun tiba-tiba
mulai bermunculan. Aku benar-benar terkejut. Tapi bayang-bayang
itu terlanjur bergerak dengan cepat tanpa bisa kuelakkan lagi....
Bintang-bintang yang meredup, koran-koran yang bertumpuk,
seorang yang tengah mengetik, jalanan yang sepi, mobil-mobil yang
berpacu kencang, sebuah angkringan, jalur hijau yang panjang, wajah-wajah orang yang tak kukenal, botol-botol minuman, sebuah
pom bensin, wajahku, mobil tanpa plat nomor, orang yang tampak
mabuk, dan dirinya yang tergeletak, sebuah selokan tak berair....
Napasku seakan tercekat. Bayang-bayang itu terus bergerak.
Sangat cepat. Membuat ketakutan-ketakutan yang selama ini ku?
enyahkan kembali muncul. Namun aku tetap mencoba memegang
kedua tangannya erat-erat.
Hingga perlahan, seakan lelah, bayang-bayang itu mulai terasa
semakin pelan dan pelan....
...koran-koran yang bertumpuk, wajah-wajah orang yang tak kukenal, wajahku, mobil tanpa plat nomor, tubuh yang tergeletak penuh
luka, sebuah selokan tak berair....
[ 180 ] " enigma ENIGMA final.indd 180 Terus semakin pelan....

Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

...wajahku, tubuh yang tergeletak penuh luka...
Saat inilah aku tercekat. Pegangan dua tanganku terlepas begitu saja, seiring napasku yang seakan terhenti.
Tubuhku tiba-tiba menggigil.
Kenapa ada bayang wajahku saat kulihat dirinya tergeletak penuh luka" Kenapa"
Aku seakan tercekik. Ingatanku seakan terlempar pada bayangbayang yang pertama kali kulihat saat ibu menyentuh ta-nganku.
Sungguh, masih begitu lekat kuingat bayang-bayang wajahku di
antara bayang-bayang sebuah kecelakaan yang dasyat!
Aku terjatuh di lantai. Ketakutan memuncak. Tanpa berpikir
lagi, aku sudah meninggalkan Hasha begitu saja saat dini hari belum juga muncul.
Sebenarnya aku masih ingin lebih lama di Yogyakarta. Namun tak
ada lagi yang dapat kukerjakan di sini. Sempat aku berpikir untuk
menunggu hari pernikahan Hasha dan Kurani, namun itu masih
beberapa hari lagi. Terlalu lama untuk menunggu seorang diri di
sini. Terlebih... perasaan tak yakin sanggup menghadapi keadaan
itu, membuatku berpikir bila memang lebih baik aku tak datang.
Maka kupesan tiket pesawatku untuk esok.
Untuk membuang waktu, aku memilih mengelilingi Yogyakarta
sekali lagi. Kali ini aku melakukannya dengan taksi agar dapat melalui jalan-jalan yang tak lagi kuingat.
Aku duduk di belakang dan meminta sopir taksi untuk menyetir pelan-pelan. Kulewati jalanan Yogyakarta yang padat dalam keheningan. Membayangkan bila dulu aku pernah menjadi bagian
mereka semua. enigma " [ 181 ] ENIGMA final.indd 181 Kulewati warung lotek itu, mengamati meja panjang tempat
kami dulu biasa bersama. Ada sedikit lara mengingat apa yang sudah terjadi sekarang. Sepertinya ingin aku kembali pada lembaran
kisah lama itu, saat semuanya masih begitu dekat.
Aku meminta sopir taksi itu menuju ke utara. Menapaki rukoruko panjang yang sepertinya terus berganti-ganti nama. Di situlah
aku kembali melihat sebuah losmen kecil di perempatan jalan itu!
Tiba-tiba napasku tertahan sejenak. Aku ingat sekali losmen
itu. Dulu aku pernah bersama Goza berjanji bertemu di situ, selepas ketakutanku melihat bayang-bayang yang ada pada Hasha.
Entahlah, saat itu aku merasa begitu buntu. Bayang-bayang itu begitu menakutkan bagiku. Aku tak mau Hasha mengalami hal-hal
seperti yang terjadi pada ayah dan ibu. Maka kupikir, satu-satunya
jalan untuk mengelak adalah dengan tak lagi berhubungan dengannya! Membuatnya pergi karena aku!
Dan hanya cara ini yang kemudian terpikir olehku. Tapi Goza
ternyata berpikir lain. Aku sebenarnya tahu ia merupakan sosok
yang paling tak bisa dipercaya dari semua temanku. Tapi aku tak
punya pilihan lain. Aku tahu ia menyukaiku dan akan datang begitu
aku memintanya, tanpa aku merasa bersalah!
Namun saat itulah, ia menggenggam kedua tanganku, hingga
aku kemudian berpikir untuk melihat bayang-bayang apa yang ada
pada dirinya. Toh, selama ini, kusadari tak banyak yang kutahu
tentang dirinya. Maka aku pun menutup mata dan membiarkan
bayang-bayang hadir".
...sebuah telepon, sebilah belati, wajah perempuan, dua orang yang
tengah bercinta, wajah perempuan lainnya, darah yang berceceran,
setapak sepi, seorang perempuan dengan dahi lebar dan mulut lebar,
wajah perempuan lainnya, sebuah baretta, tubuh orang yang mati, alat
kemaluan laki-laki, lembaran uang, wajah perempuan lainnya, jalanan
sepi, sebuah pistol, sebuah gedung besar....
[ 182 ] " enigma ENIGMA final.indd 182 Saat dalam keadaan seperti itulah, Goza tiba-tiba mencium
bibirku beberapa saat. Aku baru menyadarinya saat kurasakan ciuman itu semakin keras menekan bibirku. Aku seketika membuka
mata dan mendorong tubuhnya kuat-kuat. Itulah yang membuatku
tak sempat melihat bayangan-bayangan terakhir darinya!
Tapi itu sudah cukup bagiku!
Entahlah sejak itu, aku merasa tak akan lagi mencoba untuk
melihat bayang-bayang milik siapa pun. Aku tak mau ketakutanketakutan seperti dulu kembali hadir. Ini membuatku tak tenang.
Namun, saat Patta meminangku, aku tak bisa membendung
keingintahuan itu. Aku melihat bayang-bayangnya tanpa ia sadari.
Dan hanya bayang-bayang tentang diriku yang menyita pandanganku. Itulah yang kemudian membuatku memutuskan menerima
pinangannya. Maka sejak itu, aku kemudian berjanji untuk tak lagi mencoba
melewati batasku sebagai manusia biasa. Ini dapat kujalani hingga
1 tahun lewat. Namun kemurungannya sejak setahun pernikahan
kami membuatku merasa sangat tak nyaman. Maka saat ia tertidur,
diam-diam aku kembali mencoba menyentuh dua tangannya.
Kali ini bayang-bayang yang ada padanya begitu membuatku
bingung. Bayang tentang diriku memang masih begitu dominan di
sana, namun ada satu wajah perempuan lain yang sekilas terlihat di
antara lembaran-lembaran uang yang begitu banyak. Sungguh, aku
benar-benar tak mengerti. Terlebih saat ada wajah Goza di sana!
Sampai sekarang aku tak pernah bisa menangkap apa yang ada di
sana. Inilah yang membuatku selalu tak tenang. Sehingga setelah 2 tahun mencoba tetap bertahan bersamanya, aku memintanya bercerai.
Aku menyenderkan tubuhku perlahan. Dalam keheningan, taksi
terus membawaku berputar. Sesekali suara intercome berbunyi,
namun aku seperti tak merasakan suara-suara itu. Entahlah aku
merasa begitu kosong. enigma " [ 183 ] ENIGMA final.indd 183 Hingga saat kami berhenti di sebuah lampu merah. Sebuah gedung besar kulihat dari balik jendela. Gedung yang tampak begitu
familiar di mataku. Namun begitu aku membaca nama yang tertera
di sana, aku terkejut! Goza Setelah menerima tas yang diberikan seseorang di Monumen
Jogja Kembali, aku berjalan cepat-cepat. Kedua kakiku seakan mencoba saling menyusul meninggalkan orang itu di belakang sana.
Aku hanya butuh beberapa detik saja di sini. Aku bahkan tak
perlu melihat wajah pembawa tas itu. Aku tak peduli.
Entahlah, belakangan ini aku merasa sedikit heran. Semua
terasa lebih misterius dan lebih merepotkan. Seakan-akan seperti dalam tayangan sebuah film. Selama ini perintah yang datang
padaku selalu wajar. Mendatangi kafe pada jam tertentu, bertemu
di foodcourt sebuah mal, atau bahkan bertemu di pinggir jalan! Tapi
kupikir ini cukup. Orang-orang di negeri ini terlalu egois untuk
mau memperhatikan hal-hal remeh yang terjadi di sekitarnya!
Maka itulah perintah kali ini kurasakan berlebihan. Bagaimana
bisa mereka memilih sebuah tempat seperti museum" Apakah
karena mereka berpikir tempat itu sepi"
Sungguh benar-benar naif. Apa mereka tak sadar bila ini semakin mencurigakan"
Aku membanting rokokku. Dasar orang kaya pengecut yang goblok!
Cepat-cepat aku kembali menuju hotel. Kubuka tas itu de?ngan
terburu. Ada sebuah revolver kaliber 44 di sana, dengan beberapa
kotak pelurunya. Juga sebuah pesan....
[ 184 ] " enigma ENIGMA final.indd 184 Gedung Dharma Wanita. Tanggal 14 Maret pukul 19.00 WIB
Target: mempelai pria. Aku mengerutkan kening tak percaya.
Apa mereka memintaku membunuh seorang pengantin di saat
pernikahannya" Sungguh, ini benar-benar perintah yang keterlaluan!
Chang aku kerap melalui jalan gelap,
namun selalu ada tuntunan cahaya di hatiku....
Di bawah bola lampu 24 Watt, kami berlima berkumpul dalam
meja makan. Meja yang sebenarnya masih terlalu besar untuk kami
berlima, sehingga hanya kami gunakan 1 sudutnya saja.
Aku duduk di satu sisi dan 4 yang lainnya duduk di 2 sisi sebelahku. Kami makan dengan suasana hening. Makanan sederhana
buatan sendiri. Bahan-bahannya memang masih kami beli dari
pasar terdekat, namun kelak akan kami upayakan semuanya sendiri. Kami sudah menanami halaman depan dan halaman belakang
dengan berbagai sayuran dan buah-buahan, yang kelak aku yakin,
semuanya dapat kami panen sendiri.
Selesai makan, seorang di antara mereka meminta izin bi?cara,
"Bapak Indiray, bolehkan aku bicara?"
Aku mengangguk, sambil mengelap mulutku.
"Sehari yang lalu, aku dengar suara-suara orang-orang yang
tak menyukai kehadiran kita di sini."
Aku berkerut kening. "Bagaimana bisa" Kita belum melakukan
apa-apa di sini?" enigma " [ 185 ] ENIGMA final.indd 185 "Tentu saja ini sesuatu yang mungkin terjadi," ujarnya. "Kabar
tentang Pondok Pertobatan sudah terdengar sampai di mana-mana. Sejak Dewi disidang, semua gerak-gerik kita seperti diawasi.
Termasuk apa yang kita lakukan di sini."
"Mereka mengawasi hingga ke Jogja?" aku masih tak percaya.
Ia mengangguk. "Aku bahkan pernah melihat seorang wartawan datang kemari bertanya-tanya."
Aku hanya bisa menggeleng tak percaya.
"Aku merasa, mereka memiliki jaringan untuk terus memantau kegiatan kita."
Kali ini aku tak bicara lagi.
Hasha Secara mengejutkan, Isara tiba-tiba muncul di depan pintu rumah. Berdiri diam menatapku, dengan mata sembab yang tak bisa
disembunyikan. "Engkau mengejutkanku, Isara." Aku segera menyuruhnya
masuk. Saat pertemuan di Yogyakarta kemarin, aku memang memberikan alamat kontrakanku di Solo. Tapi aku sama sekali tak me?
nyangka, ia akan benar-benar mendatanginya 2 hari setelahnya!
"Aku ingin bicara denganmu, Hasha."
"Apa kemarin ada yang terlewat kita bicarakan?" aku membimbingnya menuju sofa, dan langsung membuatkannya segelas
teh hangat. Namun Isara tak melangkah ke arah sofa, ia hanya berdiri
beberapa langkah ambang pintu. "Ada sesuatu yang kemarin tak
kuceritakan padamu."
Aku mengerutkan kening. Kulihat dirinya memandangku
de? ngan sinar mata yang tak bisa kuterjemahkan. "Santai saja,
[ 186 ] " enigma ENIGMA final.indd 186 Isara. Kau duduklah dulu. Kita bisa bicara nanti setelah engkau
tenang." Tapi Isara mengeleng lemah. "Tidak Hasha, tidak. Ini... sudah
sekian lama kupendam."
Kali ini, aku yang terdiam di depannya. Berdiri, dengan jarak
beberapa kotak keramik. "Hasha sungguh, aku tak tahu harus memulai dari mana," ujar
Isara lagi. "Tapi semua mungkin sudah kuceritakan pada Chang!"
"Chang... tak menceritakan apa-apa padaku."
Isara menunduk. "Aku yang meminta itu padanya."
Aku semakin tak mengerti. "Ada apa sebenarnya, Isara?"
Isara menengadah padaku. "Hasha tahukah engkau alasanku
tiba-tiba datang malam itu ke kontrakanmu?"
Aku tentu masih mengingat malam itu dengan lekat. Tapi aku
sama sekali tak pernah menanyakan alasannya. Maka aku menggeleng dengan pelan. "Engkau tak pernah mengatakannya padaku,
Isara. Dan aku pun merasa... engkau tak membutuhkan alasan apaapa."
"Malam itu, aku baru saja pulang dari Kaliurang, Hasha."
"Semalam itu?" Ia mengangguk. "Kau masih ingat epitaf Kakakku di sana, kan?"
Aku mengangguk. "Namanya Marga. Walau sudah belasan tahun lalu ia
me-ninggal, namun sepertinya... ia tak pernah benar-benar
meninggalkanku, Hasha."
Keningku berkerut tak mengerti.
"Kau mungkin tak akan mudah percaya dengan apa yang akan
kuceritakan, tapi entah mengapa, sejak ia meninggal, mulai muncul
bayang-bayang, yang entah apa, di kepalaku. Setiap aku menyentuh tangan seseorang dan berpikir tentang orang itu dan tentang
Marga, bayang-bayang itu seperti berlomba muncul. Awalnya tentu
enigma " [ 187 ] ENIGMA final.indd 187 aku tak tahu apa bayang-bayang itu, tapi lama-kelamaan aku me?
nyadari bahwa bayang-bayang itu adalah sesuatu yang akan terjadi
kemudian!" Isara terdiam sejenak. "Itu yang membuatku bisa melihat
bayang-bayang kecelakaan yang terjadi pada ayah-ibuku. Aku juga
bisa melihat kematian guruku, atau juga kebakaran yang terjadi
di rumah salah seorang saudara. Sungguh, semua yang menyentuh tanganku seperti dapat kulihat semua. Dan ini semakin menakutkanku."
Isara memberi jeda. "Untunglah semenjak aku pindah
dari Kaliurang, aku tak pernah lagi melihat bayang-bayang itu.
Semula kupikir, bila semua yang terjadi hanyalah halusinasi saja.
Kesedihanku yang memuncak karena kehilangan Kakak yang
kusayang. Tapi malam itu, saat aku mendapat kabar bahwa rumah
tua tempat Kakak meninggal akan di beli seseorang, semuanya se?
perti kembali padaku. Aku datang ke sana malam itu juga, namun
yang kudapati hanyalah pintu rumah yang tertutup dan angin yang
menerpa tubuhku tanpa henti. Saat itu aku merasa Kakak seperti
tak memaafkanku karena sekian lama melupakannya."
Isara menerawangkan matanya ke salah satu sudut rumah.
Dapat kulihat air mata mulai menggenang di situ.
"Malam itulah aku ke rumahmu. Aku tak tahu harus ke mana
lagi kala itu. Aku benar-benar bingung dan tak ingin sendirian. Dan
hanya engkau yang kemudian kuingat. Namun saat aku melihatmu
terlelap, tiba-tiba saja aku ingin menyentuh dua tanganmu. Lepas
dari aku ingin mencoba apakah aku benar-benar bisa melakukan
hal itu, aku juga ingin melihat apa yang ada padamu kelak, apakah... ada diriku di sana?"
Aku tertegun. "Engkau... melihat apa yang akan terjadi padaku
Isara?" [ 188 ] " enigma ENIGMA final.indd 188 Isara mengangguk sambil menundukkan kepalanya. Satu-dua
airmatanya luruh membelah pipinya. "Maafkan aku, Hasha, maafkan
aku. Tapi entahlah, aku sama sekali tak bisa menolak keinginan itu."
Ia cepat-cepat menghapus airmatanya dengan punggung tangannya. "Dan saat itulah aku melihat bayang-bayang yang ada padamu.
Tempat kerjamu, teman wartawanmu, lembar-lembar ketikanmu,
semuanya Hasha, semuanya. Aku bahkan melihat bayangan diriku
sendiri di situ, juga tubuhmu yang penuh luka di selokan...."
"Sungguh, melihat itu aku tiba-tiba menjadi sangat takut. Aku
masih ingat dulu aku juga melihat bayangan diriku pada bayangbayang Ibu. Begitu jelas, sejelas bayangan kecelakaan yang kulihat!"
Isara menarik napasnya. "Maka itulah aku pergi malam itu
juga, Hasha. Aku benar-benar tak ingin menjadi penyebab apa yang
terjadi padamu. Aku juga kemudian membuat janji dengan Goza
di losmen itu, dengan harapan kau melihatnya, dan pergi meninggalkan aku...."
Aku tertegun. Benar-benar tak percaya dengan apa yang baru
kudengar. Semua kejadian kala itu seperti terulang begitu jelas.
Namun ketika aku akan mengucapkan sesuatu, Isara kembali
berkata, "Dan kemarin, tanpa sengaja, aku bertemu dengan Goza.
Tanpa sengaja pula aku bisa menyentuh tangannya, dan melihat
bayang-bayang yang muncul padanya. Sungguh, semula aku tak
peduli. Dulu pun aku pernah melihatnya, dan itu yang membuatku
mempunyai penilaian buruk tentangnya. Namun... kali ini berbeda,
Hasha. Kali ini aku tak bisa untuk tak peduli. Karena di situ, aku
lihat... gedung pernikahanmu dengan begitu jelas!"
Aku mengerutkan kening tak mengerti.
"Aku sudah membaca semua berita tentangmu beberapa
hari ini. Aku tahu apa yang engkau tulis bersama temanmu dulu.
enigma " [ 189 ] ENIGMA final.indd 189 Itu menyangkut seseorang yang berpengaruh di sini dan juga di
Senayan. Semula aku bingung kenapa berita tentangmu seakan
menghilang. Namun ketika aku datang ke kantormu untuk
meminta nomor kontakmu, aku baru menyadari bila selama ini


Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keberadaanmu memanglah sengaja disembunyikan. Sadarkah
engkau tentang ini, Hasha?"
Aku terdiam tak langsung menjawab. Aku ingat beberapa se-niorku di koran itu memang menyuruhku meninggalkan Yogyakarta
untuk beristirahat dulu di Solo. Mereka tetap meminta tulisanku,
namun tak pernah mengizinkanku memakai nama asliku. Dan aku
menuruti mereka semua, karena aku tahu posisiku, terlebih aku
menyadari bila laptopku masih berada di tanganku. Di situ kusimpan beberapa tulisan yang belum pernah kurilis sebelumnya. Kelak,
bila keberanianku telah muncul, aku siap merilis semuanya!
"Lalu secara mengejutkan, Goza tiba-tiba muncul di sini. Sejak
aku melihat bayang-bayangnya beberapa tahun lalu, aku yakin
bila selama ini ia adalah seorang... pembunuh bayaran. Bayangbayangnya begitu jelas memperlihatkan itu. Orang-orang yang
mati, darah yang bercecer, dan lembar-lembar uang, terlihat jelas.
Maka itulah aku kemudian terus bertanya-tanya untuk apa ia datang ke sini" Ia jelas bukan tipe orang yang akan mengenang masa
lalu, kan?" suara Isara tampak meninggi. "Dan semua pertanyaanku
seakan terjawab saat aku mengingat bayang gedung di mana kau
akan menikah pada salah satu bayang-bayangnya...."
Aku makin terdiam, tak bisa mengucapkan satu kata pun.
Sungguh, ucapan-ucapan Isara seakan membuat keterkejutan pada
diriku tak pernah selesai.
Semua seperti sebuah kebetulan. Masih kuingat saat kami berlima ada di meja panjang itu, dan hanya beberapa tahun saja, se?
pertinya semua itu menjadi tak berarti.
[ 190 ] " enigma ENIGMA final.indd 190 Sungguh aku masih tak bisa percaya, bila setelah sekian tahun,
mereka kembali merencanakan sesuatu padaku" Kenapa tidak sejak
tahun itu mereka menyelesaikanku, seperti mereka menyelesaikan
Mas Fudin" Apa mereka kesulitan mencari alamatku di Solo" Atau
mereka ingin membuat suasana aman terlebih dulu"
Lalu, kenapa mesti pula Goza" Dari sekian banyak orang yang
kuyakini bisa dibayar, kenapa dirinya" Apakah ia tak mengenal siapa yang akan dibunuhnya" Atau apakah karena ia mengenalku"
Sehingga lebih mudah baginya bila ia mendatangiku selayaknya kawan lama, dan melakukannya rencananya"
Sungguh, ini benar-benar mengejutkan. Nyaris tak bisa dipercaya!
"Aku tak tahu harus berucap apa, Isara. Ini semua benar-benar
mengejutkanku." Isara mengangguk. "Aku sendiri kadang tak yakin dengan semua yang kuucapkan ini, Hasha."
"Tapi aku... tak ingin seperti dulu lagi. Hanya bisa berlari karena rasa takut. Hingga butuh waktu tiga tahun untuk bisa mengetahui apa yang yang terjadi padamu kala itu! Tiga tahun...."
Isara menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tak percaya
dengan apa yang diucapkannya. "Tiga tahun... tanpa aku bisa
melakukan apa-apa...."
Aku terdiam menatapnya. "Maafkan aku Isara, tak mengatakannya. Tapi aku sendiri... ingin melupakan hal itu...."
"Aku mengerti, Hasha. Aku tak menyalahkanmu. Aku hanya
berpikir apa ini semua merupakan hukuman bagiku karena... telah
pergi begitu saja darimu?"
Aku menggeleng menolak ucapannya. "Saat itu pun aku menghindar darimu."
"Tentu. Karena yang engkau lakukan hanyalah akibat dari apa
yang aku lakukan, Hasha," ujarnya lagi.
enigma " [ 191 ] ENIGMA final.indd 191 Lalu Isara menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Aku sebenarnya hanya ingin engkau baik-baik saja, Hasha. Aku tak ingin
menjadi penyebab engkau terluka, seperti yang terjadi pada orangtuaku. Maka itu sekian lama aku mencoba melupakanmu, berharap
engkau pun melupakan aku. Engkau mungkin tak pernah membayangkan seberapa keras aku melakukan itu. Selama bertahun-tahun
aku mencoba hidup bersama seseorang dan bukan dirimu. Aku tak
pernah benar-benar bisa... menepikan engkau."
Aku tertegun mendengar ucapannya.
"Maafkan aku, Hasha," ujarnya buru-buru kembali menghapus
airmatanya. "Seharusnya aku tak bicara seperti ini."
Aku menggeleng lemah. "Tidak Isara, tidak. Aku yang seharusnya mengucapkan terima kasih padamu. Aku sama sekali tak
me?nyangka kalau engkau sudah melakukan banyak hal untukku,
tanpa aku menyadarinya."
"Tapi bila itu semua engkau lakukan hanya karena engkau melihat bayang dirimu pada bayang-bayang yang ada padaku, engkau
tentu berlebihan, Isara," aku menelan ludah, menguatkan pera?
saanku yang akan kuubah menjadi kata-kata. "Bayangan tentangmu... tentu selalu muncul padaku, Isara. Dan itu... tanpa bisa kuelak.
Kau mungkin tak pernah membayangkan, bila dulu... hanya engkau
yang terus kupikirkan."
Aku memberi jeda sejenak, sekadar mengatur deru jantungku. "Hubungan kita begitu kaku di saat-saat terakhir engkau me?
ninggalkan Jogja. Dan ini terus menggangguku hingga bertahun-tahun lewat sekalipun. Sungguh, selama itu, aku tak pernah berhenti
berpikir tentangmu, Isara. Bahkan di saat penganiayaan itu terjadi
pun, aku masih... memikirkan engkau...."
Isara terdiam. Kali ini, wajahnya yang tampak tak percaya
mendengar ucapanku. Bibirnya kulihat bergetar mengucapkan sesuatu, yang tak cukup bisa kudengar. Hanya airmatanya tak lagi
[ 192 ] " enigma ENIGMA final.indd 192 bisa terbendung. Luruh satu-satu menjatuhi kotak-kotak keramik
tempat kami berpijak.... Sungguh, melihatnya seperti itu, membuat airmataku pun
menggenang. Tiba-tiba saja aku ingin meraih dirinya, memeluknya
erat-erat. Sekadar untuk menguatkannya atau sekadar manahan
airmatanya agar jatuh di pundakku. Namun tubuhku terasa kaku.
Kotak-kotak keramik yang ada di antara kami seakan tetap ingin
memberi jarak pada tubuhku dan tubuhnya.
Dalam tatapan yang tak lagi pernah lepas itulah, angin tibatiba berembus lebih keras. Pintu depan yang semula hanya tertutup tanpa terkunci, tiba-tiba tersentak, karena pegangan pintu
yang telah rusak. Suara berdebam yang mengejutkan membuat kami berdua kemudian berpaling ke arah pintu.
Dan... di situlah aku lihat Kurani berdiri dengan tubuh yang
goyah. enigma " [ 193 ] ENIGMA final.indd 193 10 Setelah lulus SD, pakde dan budenya memutuskan untuk
pindah dari Kaliurang. Awalnya, gadis kecil itu tentu saja
menolak. Namun, punya pilihan lain. pakde dan budenya berkeras. Ia pun tak
Di hari terakhir di Kaliurang, ia ke rumah tua itu, sekadar
datang untuk terakhir kalinya. Kali ini, ia tak lagi setakut dulu.
Seorang diri, ia melangkah menaiki bukit di mana rumah tua
itu berada. Dan, ia merasa rumah tua itu pun sudah seperti
mengenalinya. Tak ada lagi angin yang menerpa tubuhnya dan
embusan debu-debu pun seperti menepi darinya.
Sejenak gadis itu hanya berdiri di depan tempat
persembunyian mereka dulu. Walau tampak diam, tanpa
berucap apa-apa, ia terus bicara di hatinya.
Aku akan pergi, Marga. Mungkin aku tak lagi bisa datang
sesering dulu.... Jaga dirimu baik-baik, seperti engkau menjaga diriku
selama ini.... Aku berjanji akan terus datang setiap aku sempat....
[ 194 ] " enigma ENIGMA final.indd 194 Sampai lama ia berdiri mematung di situ. Membiarkan
airmatanya jatuh perlahan, satu demi satu. Sampai ia
kemudian merasakan embusan angin yang begitu lembut di
wajahnya, seperti mengusap airmatanya....
Saat itulah, ia mulai melangkah pergi.
Hasha Aku melihat dua perempuan itu bertatapan sejenak, dalam
dua pasang mata yang berair. Tak ada kata-kata di antara kedua?
nya. Namun Isara yang kemudian berkata pelan, "Maafkan aku,
Kurani." Lalu setelah mengucapkan kalimat itu, ia pergi meninggalkan
kami, bagai angin yang berembus hilang begitu saja.
Kini kudapati ruangan ini, hanya tinggal sepasang mata be?
ning Kurani yang menatapku dengan pandangan yang tak pernah
terbentuk sebelumnya. Sungguh, sepanjang aku bersamanya, dari
ribuan tatapan yang telah terjadi di antara kami, tak pernah ia
menatapku seperti ini. "Kurani," aku mencoba mendekat.
Namun kepalanya menggeleng lemah. "Aku sudah mende?ngar
semuanya, Hasha." Dan ucapan itu membuatku terdiam tanpa bisa berkata-kata
lagi. Kulihat Kurani melangkah perlahan tanpa melepas tangannya
pada pintu, seakan menahan tubuhnya yang gamang.
"Semua bisa kujelaskan, Kurani," ujarku.
Namun... Kurani tetap menggelengkan kepalanya.
"Sudahlah, Hasha, sudahlah. Engkau tak perlu menjelaskan
apa-apa padaku. Aku mengerti apa yang ada di antara kita bertiga."
Lalu dengan gerakan perlahan, Kurani meluruhkan tubuhnya pada
enigma " [ 195 ] ENIGMA final.indd 195 tembok, hingga ia terduduk begitu saja di lantai. "Aku yang seharusnya bisa menduga kejadian seperti ini akan terjadi padaku. Sekian
lama aku tahu tentang kalian. Sejak pertemuan pertama kalian di
Deles, saat engkau sesekali menatapnya di malam pengakraban itu.
Juga saat kita ke Kaliurang dan kau menenangkannya saat ia tak
menemukan epitaf yang seharusnya ada. Sungguh, sejak itu aku
sudah menduga apa yang akan terjadi kemudian. Walau waktuku
hanya setahun saja di antara kalian, tapi sungguh, aku tahu akan
ada sesuatu di antara kalian kelak."
Kurani memejamkan matanya kuat-kuat, menahan airmatanya
untuk sejenak. "Dan aku semakin yakin saat mendapati Isara me?
nemukan selembar sajakmu yang terjatuh di meja panjang itu. Kau
tak akan bisa membayangkan bagaimana ia membaca sajak itu.
Tapi aku melihatnya berkali-kali kala itu. Ia memang selalu cepatcepat menyembunyikannya begitu aku memasuki kamarnya, tapi
aku tahu apa yang dipegangnya. Sejak itu, aku rasakan ia jadi kerap
menatap dirimu. Dari sebelahnya duduk, aku bahkan kerap pula
melihat ia mulai menulisi namamu di lembar-lembar loosleaf-nya."
Kurani menarik napasnya. "Kau mungkin bertanya bagai?mana
aku bisa mengamati semuanya" Tapi engkau mungkin tak menyadari bila sejak awal aku memang sudah memperhatikanmu. Aku sudah menyukaimu. Ini yang membuatku merasa tak nyaman, walau
sungguh, aku bisa menerimanya. Maka itulah ketika aku mendapat
tawaran di STAIN, aku memutuskan untuk pergi. Aku pikir mungkin aku akan sangat sedih saat itu. Tapi aku yakin kelak aku akan
bahagia melihat kalian berdua. Sungguh, aku akan sangat bahagia.
Tapi sekian tahun aku melalui, aku tak mengira bila butuh waktu
begitu lama untuk sekadar melupakan dirimu."
Kurani terdiam sejenak. Kembali mengambil napas sebelum
melanjutkan ucapannya, "Dan tiba-tiba saja kita bertemu di kota
ini. Aku baru mengetahui darimu bila Isara telah menikah de?ngan
[ 196 ] " enigma ENIGMA final.indd 196 Patta. Dari situlah semua kemudian bermula. Aku tiba-tiba saja berpikir untuk mendapatkan engkau. Aku bahkan kemudian meng?
akhiri hubunganku yang susah payah kujalin dengan seseorang
sebelum ini." "Kala itu aku hanya berpikir bila semua kisahmu dengan Isara
adalah masa lalumu. Tanpa aku pernah menyadari bila diri kita
adalah bagian dari masa lalu itu sendiri. Aku benar-benar naif."
Kurani menunduk dalam. Dibiarkannya kepalanya jatuh di lututnya.
Aku masih terdiam bebarapa saat. Memilih-milih kata untuk
berujar. "Sungguh, aku terkejut dengan semua ceritamu, Kurani.
Tapi engkau tak bisa memposisikan masa laluku seperti ini."
Kurani mengangkat kepalanya. "Tentu saja aku tak bermaksud
memposisikan masa lalumu, Hasha. Aku hanya ingin menempatkan
diriku dalam dirimu, apakah aku masih memiliki tempat di hatimu."
"Tentu saja, Kurani. Dari semua yang sudah kulewati bersamamu, engkau tahu jawabannya."
Tapi Kurani menggeleng lemah. "Aku tak tahu, Hasha. Kini,
aku... sama sekali tak tahu...."
Hatiku bergetar mendengar jawabannya. Semua kata di ujung
lidahku seakan lenyap. Aku tak tahu lagi bagaimana cara untuk
meyakinkannya. "Sebaiknya... kita batalkan pernikahan kita," ujar Kurani kemudian.
Aku tersentak, wajahku pias mendengar keputusannya.
"Engkau tak bisa begitu Kurani! Waktunya... tinggal beberapa hari
lagi." "Tentu kita bisa, Hasha."
Aku menggeleng keras-keras.
enigma " [ 197 ] ENIGMA final.indd 197 "Kalau pernikahan ini tetap kita lakukan," ujarnya pelan. "Aku...
akan semakin luka, Hasha. Cobalah engkau mengerti."
Aku benar-benar tak lagi bisa berkata-kata, selain mencoba
menatap matanya. "Kumohon, batalkan saja," ujar Kurani lagi dengan suara le?
bih pelan. "Selama ini, aku tak pernah memohon apa-apa darimu,
bukan" Kali ini saja, aku memohon padamu, Hasha. Kali ini saja.
Kumohon." Dan aku luruh mendengar ucapannya. Airmataku sudah jatuh.
Terlebih saat dirinya mulai bangkit dan melangkah gamang me?
ninggalkan diriku. Aku hanya bisa berdiri terpaku di antara kotak-kotak keramik
yang diam. Masih kucoba memanggil namanya, namun suaraku
seakan tercekat. Terbawa oleh deru angin yang seperti membawa?
nya pergi. Aku memurukkan diriku di situ.
Masih kucoba mencari kata-kata yang seperti hilang dariku.
Tapi aku sama sekali tak lagi bisa menemukannya. Ya, apa lagi kata
yang harus aku rangkai" Apa lagi kata yang harus aku katakan
padanya" Bila semuanya telah kuucapkan padanya selama ini"
Sungguh, kali ini aku seperti terhempas dalam ruangan gelap
tanpa bisa melakukan apa-apa. Ruangan gelap, tanpa lampu-lampu,
tanpa lilin-lilin. Ya, tanpa lilin-lilin....
Aku memejamkan mata kuat-kuat, seiring ingatanku pada
puluhan pertanyaan-pertanyaanku pada lilin-lilin tentang Kurani
dulu.... Apakah ia perempuan yang kucari selama ini" Apakah ia sehelai
jiwaku yang selama ini kosong" Apakah ia yang kelak menjalani hidup
bersamaku dalam sedih dan bahagia" Apakah ia yang akan menghabiskan waktu bersamaku sampai tutup usia"
[ 198 ] " enigma ENIGMA final.indd 198 Dan sesering pertanyaan itu kulontarkan, aku sama sekali tak
pernah melihat lilin-lilin itu bergerak sedikit pun.
Mereka tetap diam. Hanya diam. Goza Hari bergerak sangat lambat, bahkan lebih lambat dari ge-
rakan ingus yang turun dari hidung!
Ini membuatku tak sabar. Tak tenang. Terlebih perintah kali ini
masih saja tak bisa kuterima dengan ikhlas. Tak sebanding! Terlalu
bodoh! Terlalu tolol! Seperti sebuah film action buatan lokal yang
tak bermutu! Tapi aku tentu tak mungkin mundur. Aku merasa, bisa jadi
ini hanya sekadar sebuah tes atas kembalinya aku ke dunia ini.
Ya, se?pertinya itu yang dapat menjelaskan semua ketidakbiasaan
ini. Jadi aku cuma memang tak punya pilihan lain. Selain menjala?
ninya! Maka itulah, sejak menerima pesan itu, sudah belasan kali aku
mengamati daerah di sekitar gedung ini. Aku sudah hafal apa pun
yang ada di sekitarnya. Jalanan 2 jalur yang sepi. Tempat bus-bus


Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhenti agak jauh di depan sana. Pos polisi di perempatan jalan
bagian utara. Jalan berlubang yang cukup dalam degan batu-batu
tajam. Bahkan jarak tempuh ke jalan bagian utara dan ke timur.
Semua sudah kucatat dengan baik di kepalaku.
Aku bahkan mengamati kebiasaan orang-orang di sekeliling
tempat itu. Saat itulah baru kusadari, seorang lelaki penyapu sampah tampak... memperhatikanku. Aku baru ingat bila kemarin ia
pun sepertinya ada di situ melihatku.
enigma " [ 199 ] ENIGMA final.indd 199 Sebenarnya aku tak ingin peduli. Tapi aku tahu ketidak?
pedulianku pastilah malah membuatnya curiga. Maka aku mendeka?
tinya dengan senyum seramah Pangeran William.
"Rokok, Pak?" aku menawarinya.
Ia langsung tersenyum menyambutnya.
"Panas sekali ya, Pak?" Aku berlagak mengipas-ngipas leher
saya dengan tangan. "Nggih, Mas, pancen lagi sumuk-sumuk"e niki."
Ia menyalakan sebatang rokok yang kuberi. "Lah, Mas"e lagi
ngopo teng mriki?" ia menanyakan keberadaanku di sini. Berarti memang betul dugaanku bila ia memperhatikanku!
"Ini saya lagi menunggu teman, Pak" jawab saya.
"Ooooh, kok nunggu di sini" Mbok, nunggu di sana saja, Mas!"
sambil mengganti bahasa Jawanya dengan bahasa Indonesia agar
aku memahami ucapannya, ia menunjuk sebuah warung tenda.
"Bisa sekalian sambil minum es."
Aku tersenyum. "Ah, ndak papa di sini saja, Pak."
Kami kemudian merokok berdua.
"Hmmm, biasanya gedung ini ramai ya, Pak?" tanya saya
berusaha dengan nada sambil lalu.
"Yaaa, kalau ada yang lagi gawe, ramai, Mas!"
"Apakah parkir pengunjung sampai di jalan-jalan ini?" Aku
menunjuk jalanan di jalur lambat.
Ia mengangguk. "Parkir motornya juga di jalan-jalan ini."
"Oh, begitu. Berarti memang padat sekali kalau ada yang gawe.
Lalu, apa jalan ke sana bisa lancar, Pak?"
Pak tua itu berpikir sejenak. "Kalau belok kiri mungkin lancar,
Mas. Tapi kalau terus, ya mesti nunggu yang keluar dari parkiran."
Aku mengangguk-angguk. "Wah, maaf banyak nanya, Pak. Saya
memang sudah pengen sekali menikah. Jadi nanya-nanya soal gedung ini," aku langsung bergaya bak perjaka ting-ting.
[ 200 ] " enigma ENIGMA final.indd 200 "Oh, bagus itu. Nikah di sini aja, Mas. Katanya ndak mahal kok."
Pak tua itu tampak antusias.
Aku jadi tersenyum sendiri menyadari aktingku yang menawan. "Oh iya Pak, biasanya tamu dari keluarga laki-laki apa masuk
lewat jalur lambat ini juga?"
Pak tua itu mengangguk. "Ya, khusus untuk keluarga besan,
parkirnya memang di situ, Mas, di dekat gerbang. Jadi nanti mereka
ngumpul di situ dulu sebelum serah-serahan."
Aku memandang semuanya sekali lagi. Sekilas kubayangkan
mobil-mobil di sana, juga motot-motor dan semua yang hadir....
Sungguh, ini membuatku tersenyum. Sama sekali tak kusangka
hasil niatan tak ikhlas terhadap bapak penyapu sampah ini malah
mendapat banyak informasi.
Maka... aku segera kembali ke hotel.
Otakku tak lagi bisa dihentikan. Ia bergerak liar membayangkan semuanya. Kali ini dengan begitu detail.
Parkir motor ada di tempat paling ujung. Bila aku berada di
situ, tentu jarak parkir keluarga besan masih merupakan jarak yang
sangat ideal untuk sebuah tempakan. Bisakah aku melakukannya
dengan cepat hanya dengan sekali tembak saja"
Darahku berdesir. Setelah itu, sudah kubayangkan terpacunya motorku melalui jalur lambat, belok ke kiri menghindari lubang jalan, lalu terus
ke arah utara. Di salah satu tempat yang ramai, aku akan siapkan
sebuah motor kedua berikut sebuah jaket untuk langsung kabur
kembali ke dalam kota. Sepertinya semua terasa begitu mudah.
Ini membuatku tersenyum membayangkannya.
enigma " [ 201 ] ENIGMA final.indd 201 Tapi di hari yang sudah ditentukan, aku tak melihat kera?maian
di sekitar gedung itu. Berkali-kali aku melewatinya, namun tak
kutemui orang-orang yang datang ke sana, walau jam sudah me?
nunjukkan waktu acara seharusnya di mulai.
Dengan perasaan tak mengerti, aku memarkir motorku, mencoba mendekat ke arah gerbang. Di situlah baru kulihat sebuah
papan kecil yang diletakkan tepat di tengah-tengah gerbang.
MOHON MAAF, ACARA PERNIKAHAN HARI INI
DIBATALKAN Aku tertegun tak percaya.
Sialan! Lelucon apa ini"
Di tengah ketidakmengertian itu, seorang satpam mendekatiku. "Pernikahannya dibatalkan, Mas," ujarnya menyangka aku
salah satu tamu yang akan datang.
"Dibatalkan" Kenapa, Pak?" aku benar-benar tak bisa menyembunyikan ketidakmengertianku.
Ia mengangkat bahu. "Pasangannya belum ketemu kali, Mas,
hehehe...." Aku hanya bisa ikut tersenyum pahit mendengar guyonannya.
Namun dalam hati aku tak henti memaki-maki.
Bagaimana bisa sebuah pernikahan yang sudah dirancang sekian lama batal begitu saja hanya dengan satu pengumuman kecil
seperti ini" Benar-benar tak masuk akal. Lalu, bagai?mana dengan
perintah untukku" Apa aku harus mencari di kediam?an target secara langsung"
Sungguh, ini gila! Aku bahkan tak tahu wajah laki-laki itu!
Aku masih terus menggerutu. Namun entahlah, tiba-tiba saja
[ 202 ] " enigma ENIGMA final.indd 202 sebuah pikiran seperti berkelebat begitu saja di kepalaku. Sebuah
pikiran yang membuatku terdiam kaku....
Apakah mereka memang sengaja membuat sebuah perintah
yang tak mungkin aku lakukan" Karena mereka menginginkan kegagalanku"
Aku menggeretakkan gerahamnya. Aku tentu tak yakin de?ngan
jawaban apa pun di kepalaku.
Kini, yang bisa kulakukan hanyalah pergi dari tempat ini.
Namun baru saja aku menyalakan motorku, tiba-tiba saja dua buah
mobil berwarna hitam sudah berhenti di depan dan di belakangku.
Membuatku tak bisa menggerakkan motor yang telah kunaiki.
Beberapa orang berpakaian hitam tiba-tiba saja keluar dari
dalam 2 mobil itu, dan langsung mendekat padaku.
"Tak usah melawan!" Satu di antara mereka berujar padaku.
"Kita dari kelompok yang sama."
Aku hanya bisa terdiam. Kupandangi mereka sejenak sambil
berpikir sesuatu. Namun keadaan ini memang membuatku tak bisa
melawan sama sekali. Aku hanya bisa menurut saja ketika seorang
dari mereka mulai menarikku dari atas motor.
Perlakuan ini tentu saja langsung membuatku curiga. Tak
mungkin bila mereka dari kelompok yang sama memperlakukanku
seperti ini. Maka kejadian dulu, ketika aku tertangkap pertama kali di kota
yang selalu ditutupi mendung, langsung kembali teringat oleh?ku.
Semuanya seperti memiliki frame yang sama!
Orang-orang berpakaian hitam itu membawaku pergi me?
ninggalkan motor yang sudah seminggu ini kusewa, dengan mobil
mereka. Lalu, mereka mengendarainya ke arah selatan secara beriringan.
Itu arah menuju ke luar kota.
"Mau ke mana kita?" tanyaku mengamati.
enigma " [ 203 ] ENIGMA final.indd 203 Orang yang duduk di sebelahku hanya melirikku dengan enggan, tanpa berkata apa-apa.
Aku tak lagi bertanya. Namun perasaanku kini mulai yakin ada
yang tak beres di sini! Di sebuah rumah tua yang ada di pinggir kota, mereka menurunkan aku. Dibawanya tubuhku dengan kasar ke dalam. Di situlah
mereka kemudian mengikatku di kursi. Benar-benar sama, seperti
kala aku tertangkap di kota yang selalu ditutupi mendung itu.
"Apa-apaan ini" Kau bilang kita dari kelompok yang sama?"
"Tentu saja," laki-laki itu tersenyum dingin. "Tapi kau pasti
tahu bukan, kalau hari ini kau sudah gagal melakukan tugasmu?"
"Tentu saja aku gagal," aku membantah cepat. "Kalian lihat
sendiri, pernikahannya batal!"
"Itu bukan alasan."
Aku mulai merasa dipermainkan. "Beri aku waktu beberapa
hari lagi untuk menyelesaikannya! Akan aku cari orang yang ingin
kalian lenyapkan itu."
Ia tersenyum lagi. Kali ini sambil menggeleng-gelengkan kepa?
lanya. "Harus kukatakan padamu, Kawan," ujarnya. "Sejak dulu kami
sebenarnya sudah mengawasimu. Sejak engkau gagal di tu?gasmu
dulu, kami sebenarnya sudah mencoretmu dari daftar orang-orang
yang layak membantu kami. Namun kau menghilang terlalu cepat
tanpa meninggalkan jejak. Dan, kami terlalu sibuk untuk sekadar
mencari kroco sepertimu!"
Ia menatapku dengan tajam, sebelum melanjutkan kalimat?nya,
"Maka setelah kami menemukan nomormu kembali aktif, maka
kami pun berusaha kembali menyelesaikan apa yang harus kami
selesaikan dulu. Namun tentu saja, kami tak mau gegabah. Kami
tahu, engkau tetaplah seorang yang brilian. Maka sebagai akhir dari
kisahmu, kami memberi sekali perintah lagi tugas untukmu...."
[ 204 ] " enigma ENIGMA final.indd 204 Ada jeda yang sejenak terbentuk, sebelum kalimat selanjutnya
terucap, "Sebuah perintah yang sulit, namun apa pun hasilnya, tetap
membuat kami harus mengucapkan selamat tinggal untukmu."
Aku menelan ludah, tak percaya dengan apa yang kudengar.
"Bagaimana bisa kalian memperlakukan aku seperti ini" Aku sudah
melakukan banyak untuk bos kalian!"
Ia tersenyum sinis. "Kau bahkan tak tahu siapa bos kami" Asal
kau tahu, selama ini kau hanya dihubungi oleh orang yang bukan
siapa-siapa!" Aku kembali menelan ludah. Mencoba mencari kata-kata untuk membela diri. Menyelamatkanku dari hal paling buruk di sini.
"Terlebih bos sudah menganggapmu sebuah masalah. Kau
mungkin tak menyadari bila kami mengamatimu sejak engkau
kembali bisa dihubungi. Tingkahmu yang liar benar-benar membahayakan kita semua. Cepat atau lambat, orang seperti kau akan
tertangkap. Maka itulah, bos kemudian menyuruh kami untuk
menyelesaikanmu saja!"
Laki-laki itu kemudian memgeluarkan sesuatu dari balik baju?
nya. Namun sebelum ia sempat mengarahkannya padaku, seorang
di antara mereka mendekat padanya. Semula aku menyangka ia
seorang laki-laki. Namun saat kulihat lebih saksama, ia ternyata
seorang perempuan. "Bisakah aku yang menyelesaikannya," ia berujar pada lelaki
itu dengan suara dingin. Laki-laki itu terdiam sejenak. "Aku tahu kau pasti akan
memintanya," ujarnya sambil kembali memasukkan pistolnya ke
balik bajunya dan mundur ke belakang. Dengan gerakan tangannya, ia kemudian memerintahkan orang-orang yang ada di sini untuk keluar rumah, meninggalkan aku dan perempuan ini saja di
ruangan ini. enigma " [ 205 ] ENIGMA final.indd 205 Sekarang, perempuan berbaju hitam itu, sudah mengeluarkan
pistol dari balik bajunya, dan mengarahkan pada kepalaku.
"Ayolah, bagaimana mungkin kalian akan mengakhiri hidup
seseorang... yang telah banyak membantu kalian?" aku masih
berusaha merayu. Tapi perempuan itu seperti tak mendengarnya.
"Sejak dulu, aku selalu berharap akan melakukan ini padamu,"
desisnya. "Kau tahu, akulah yang selama ini mengamati perilakumu
di kampung itu. Sejak dulu, sebelum kau menghilang. Aku bahkan
menghitung berapa perempuan yang sudah berhasil kau rayu dan
kau bawa ke kamarmu. Kau tahu, selama ini, bisa kau ba?yangkan
betapa muaknya aku padamu!"
Aku, kembali dan kembali, menelan ludah.
Moncong pistol itu telah begitu jelas mengarah pada ke?ningku.
Namun perlahan, pistol itu sudah bergerak ke bawah, ke mulut... ke
dada... ke perut... dan berhenti di selangkanganku.
Aku pias menyadarinya. "Perlu kuberi waktu untuk mengucapkan selamat tinggal untuk adikmu?" ia tersenyum penuh kemenangan.
Dan tanpa perlu menunggu jawabanku, pistol itu meledak!
Patta Aku bagai tubuh yang tak lagi memiliki jiwa!
Sebenarnya sejak lama sudah kurasakan seperti itu. Sejak kudapati Isara duduk di pinggir pembaringan malam itu, dan mengucapkan kalimatnya....
.... Aku ingin berpisah darimu....
... [ 206 ] " enigma ENIGMA final.indd 206 Aku ingin... bercerai....
... Maafkan aku, Patta, tapi sekian lama aku mencoba, aku tetap tak
bisa... mencintai engkau. Maafkan aku....
... Jiwaku seakan telah terbang. Meninggalkan tubuhku yang kosong.
Aku kemudian hanya menjalani sesuatu yang seperti berjalan
dengan sendirinya. Aku sebenarnya ingin sekali pergi jauh dari tempatku sekarang berada. Sangat jauh. Tapi aku tak mau memberi
beban padanya. Aku tahu, berat baginya mengucapkan kalimat itu
padaku. Hari ini, semua seakan semakin sempurna, saat Sanda mengabarkan padaku sebuah berita mengejutkan.
"Dengarkan aku, Patta! Aku baru mendengar kabar tentang
orang-orang Wirajja yang baru menyelesaikan sesuatu."
Aku sama sekali tak bereaksi berlebihan.
"Aku tak tahu di mana posisimu, Patta. Tapi kalau kau membantu Wirajja untuk hal-hal yang mengerikan selama ini, ia pasti
akan?" Suara Sanda seakan menjadi dengung di telingaku. Maka aku
pun menurunkan ponselku dari telinga.
"Pattaaaa! Pattaaaa!"
Masih kudengar teriakannya di situ. Namun aku malah mematikan ponselku.
Perasaan kosong yang dulu ada tiba-tiba kembali muncul
dalam diriku. Begitu terasa. Hingga membuat tubuhku terasa menjadi sangat ringan.
Aku duduk dalam kesendirian.
Aku tak tahu di mana posisimu, Patta. Tapi kalau kau membantu
Wirajja untuk hal-hal yang mengerikan selama ini, ia pasti akan....
enigma " [ 207 ] ENIGMA final.indd 207 Apakah semua sudah berakhir" Permainan yang dulu kuciptakan ini"
Aku menggeleng tak yakin. Entahlah, aku seharusnya senang
semua telah berakhir. Bukankah sejak dulu aku tak pernah menginginkan permainan ini"
Aku masih ingat kala pertama kali menelepon bajingan itu.
Semuanya masih seingat kala aku tanpa sengaja menemuinya
dulu tengah bersama Isara di losmen itu. Kala itu, aku bagai mati.
Hidupku seakan telah selesai.
Tapi aku tetap tak bisa untuk tak mencintai Isara. Aku menikahinya dengan ingatan yang tak pernah lepas dari kejadian itu. Dan,
aku terus berpura-pura di depannya. Berpura-pura seakan tak pernah melihat apa pun. Berpura-pura mengabari bajingan itu kala
kami akan mengumumkan berita pernikahan kami. Bahkan berpura-pura tak melakukan sesuatu yang buruk setelah pernikahan


Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami. Tapi aku sudah menciptakan permainan untuk bajingan itu.
Dan Wirajja membantuku melakukan itu. Setiap perintah yang kuberikan dengan biayanya, selalu aku berdoa akan kegagalannya.
Tapi bajingan itu memang terlalu lihai. Ia tak pernah gagal sekalipun.
Hingga aku merasa sangat lelah, dan merasa terus terjerumus.
Maka saat aku melihat ada kesempatan kecil saja ia berada di kota
yang selalu ditutupi mendung, aku membocorkan data tentangnya
pada orang-orang yang kupikir berseberangan dengannya. Sungguh,
saat itu aku sangat berharap ia mati!
Tapi lagi-lagi iblis menyelamatkannya. Ia bahkan menghilang
hampir setahun kemudian. Membuat Wirajja mulai tak lagi mempercayaiku.
Sungguh, seharusnya kabar yang dibawa Sanda kusambut de?
ngan gembira. Sesuatu itu pastilah bajingan itu! Aku yakin. Karena
[ 208 ] " enigma ENIGMA final.indd 208 semenjak tugas ini dimulai, Wirajja memang tak lagi menyerahkannya total padaku. Ia mengontrol semuanya. Bahkan tak lagi peduli
dengan kebiasaan yang sudah ada. Aku bahkan merasa... ia juga
mengawasiku dan juga bajingan itu!
Di tengah kesendirian seperti itu, tiba-tiba kudengar suara mobil berderit panjang tepat di depan rumah. Lalu, kudengar suara
ketukan hak sepatu pada lantai yang berirama.
Tak" tak". Tak" tak". Tak" tak". "Pattaaaa! Pattaaaa!" suara Sanda terdengar di antara ketukanketukan itu.
Ia membuka pintu dengan gerakan lambat. Sejenak dibiasakan
matanya dalam gelap ruangan.
"Patta?" "Aku di sini, San!"
Matanya yang mendapatiku, langsung membawa langkahnya
mendekat. Tak" tak". Tak" tak". Tak" tak". "Sedang apa kau?" ujarnya duduk di sampingku. "Kau seharusnya segera pergi dari sini! Pergi sejauh mungkin!"
Aku tersenyum. "Kenapa?"
"Jangan bertingkah bodoh! Aku kenal salah satu orang Wirajja.
Ia bercerita padaku semalam. Walau tak banyak yang ia ceritakan,
tapi aku yakin, ia punya maksud tertentu menceritakannya padaku,
karena ia tahu aku begitu dekat denganmu."
Aku tersenyum pahit. "Kenapa mereka menginginkan aku"
Bukankah aku... termasuk dari mereka?" aku seperti bertanya pada
diriku sendiri. enigma " [ 209 ] ENIGMA final.indd 209 "Jangan naif! Kau tetaplah orang luar bagi Wirajja! Kau ha?
nya alat, Patta! Dan saat kau tak lagi dibutuhkan, kau... harus di?
singkirkan!" Aku terdiam. Sebenarnya analisa ini tentu sudah kupikirkan.
Namun saat ada yang mengucapkannya langsung di depan wajahku, dengan berapi, aku tetap merasa tak percaya.
Maka aku hanya mengeluh pelan, "Kalau mereka memang
menginginkan aku, aku sudah siap, Sanda."
"Bicara apa kau! Jangan berlagak jagoan di depanku! Ayo bersiaplah, aku bantu kau berkemas! Ayoooo!" ia bangkit sambil menarik tanganku.
"Sudahlah, Sanda, sudahlah!"
"Kau harus pergi!" Ia masih berusaha menarik tanganku de?
ngan kedua tangannya. Aku tersenyum melihat upayanya.
"Ayooo!" Aku malah menarik tangannya, membuatnya tubuhnya tertarik padaku. "Sudahlah! Kau tahu kan, semua pekerjaan selalu ada
risikonya?" "Tapi bukan berarti kau hanya pasrah seperti orang dungu!"
Aku tertawa pendek. Mencoba tak mempedulikan kekhawatirannya.
"Setidaknya" aku senang kau datang, San," ujarku menga?
lihkan. "Aku selalu datang bila kau meminta!"
"Mungkin" ini bisa jadi terakhir kali... kita bertemu?"
"Kau bicara apa! Kau akan baik-baik saja!"
Aku menunduk. "Selama ini aku sudah menyembunyikannya
padamu. Aku memang sudah banyak membantu Wirajja menyelesaikan masalah-masalahnya. Menyelesaikan dengan cara yang buruk. Namun... aku sadar akan hal itu."
[ 210 ] " enigma ENIGMA final.indd 210 Sanda terdiam. "Aku tahu. Sejak dulu, aku tahu, Patta," kali ini matanya menatapku dengan berkaca-kaca. "Maka itulah... engkau harus pergi!"
Aku menggeleng. "Kalau memang semua harus berakhir di sini,
aku... sudah siap. Sejak dulu aku pun sudah siap. Toh aku... tak lagi
memiliki siapa-siapa?"
"Bagaimana bisa kau bicara seperti itu?" Sanda memegang
kedua tanganku. "Kau masih memiliki kesempatan untuk menda?
patkan semuanya kembali, Patta!"
Aku menggeleng lemah. "Tidak, Sanda, tidak," aku berpaling
menghindari tatapannya. Dan, Sanda tak lagi bisa berkata apa-apa.
Lalu kuhembuskan napasku kuat-kuat, seakan mencoba me?
nguatkan diri. "Sebaiknya... kau pergilah!"
"Aku baru akan pergi, kalau kau pergi!" kali ini Sanda sudah
menarik bajuku. "Ayooo!"
Tapi aku bergeming. "AYOOOO!" ia masih berusaha menarikku, namun tenaganya
benar-benar tak cukup kuat, bahkan untuk membuatku bergeser
sekalipun. "Kau lelaki payah, Patta! Cepat sekali menyerah!" ia setengah
berteriak. Kali ini, aku memegang kedua pergelangan tangannya.
"Sudahlah!" Dan kini, ia sudah menangis. Masih dicobanya untuk memberontak melepaskan pegangan tanganku, namun aku sama sekali
tak mau melepaskannya. Hingga ia pun akhirnya menyerah, tak
memberontak lagi. Dijatuhkannya dahinya di dadaku, dan melanjutkan tangisnya di situ.
Sungguh, aku sama sekali tak menyangka melihat upa?yanya
seperti ini. Aku tahu, tak akan ada orang yang berlaku se?perti
enigma " [ 211 ] ENIGMA final.indd 211 ini untukku. Ini membuat mataku berkaca. Kupeluk dirinya eraterat.
Sampai lama kami terdiam dalam posisi seperti itu. Ini adalah
pelukan pertamaku padanya. Dan aku merasakan ketenangan yang
tak pernah kurasakan sebelumnya. Semua degup jantung seakan
melambat, napas kami seakan berirama, bahkan suara musik yang
samar terdengar di kejauhan pun seakan menjadi lagu yang indah
di antara kami. Tapi aku cepat menyadari keadaan. Dengan gerakan lambat,
kulepaskan pelukanku. "Sudah waktunya engkau pergi!" ujarku.
Sanda masih terdiam dalam jeda yang begitu rapat. Sambil menatapku, satu-dua airmatanya masih tak kulihat luruh.
"Aku janji," aku membuat tanda peace dengan jariku. "Bila tak
terjadi apa-apa malam ini, aku akan datang langsung padamu. Aku
akan ajak kau ke kafe di mana kau bisa menghabiskan seluruh
minuman yang ada. Lalu, kita akan di taman kota melihat lagi bintang-bintang seperti dulu...."
Sanda tak menyahut. Ia tampak ingin tersenyum, namun kesedihannya tak bisa dienyahkan. Maka ia hanya menundukkan
kepalanya saja. "Jadi... pergilah sekarang!" ujarku sambil mengucak rambutnya....
Kali ini, ia tampaknya menyerah. Perlahan ia mulai mundur
selangkah dari tubuhku. "Missed call aku sesempatmu, aku ingin mendengar lagu ke?
sukaanmu," aku mencoba berkelakar.
Tapi ia sama sekali tak bereaksi atas lelucon itu. Airmatanya
masih terus luruh di pipinya. Dan, aku begitu tersiksa melihatnya.
"Semoga... engkau baik-baik saja, Patta," ujarnya nyaris tak kudengar. Lalu setelah sekali lagi menghapus airmatanya, ia sudah
berbalik cepat dan pergi meninggalkanku.
[ 212 ] " enigma ENIGMA final.indd 212 Suara ketukan hak sepatunya di lantai seakan menjadi nada
penghantar kepergiannya. Aku melihat tubuhnya menghilang di balik pintu dengan perasaan hancur. Namun ketukan hak sepatunya
itu seperti terus menggema di telingaku.
Sungguh, aku sama sekali tak mengira hanya beberapa me?nit
saja kami di sini, seluruh emosiku seakan terkuras. Aku seperti baru
melihat apa arti pertemanan kami selama ini.
Ini membuatku termangu lama. Membiarkan detik-detik jam
yang mulai terasa berat terus bergerak.
Namun baru menjelang tengah malam aku mulai merasakan
beberapa langkah di pekarangan rumah, bertepatan dengan suara
ponselku yang berdering....
daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi ini....
biar tak mengapa, rela, rela, rela aku relakan....
Ah, ia benar-benar missed call aku" Aku tersenyum sambil memandangi layar ponselku. Sesaat ada keinginan untuk mengangkat
telepon itu, tapi aku mengurungkan niat itu. Apalagi yang bisa aku
ucapkan padanya sekarang"
Kupikir suara ringtone ini sudah begitu mengingatkanku
padanya. Terutama dengan percakapan kami dulu setelahnya."
Kalau kau pintar, siapa kakak Meggy Z"
Ya, Meggi X" Gampang sekali.
Itu emang gampang. Nah kalo adiknya Meggy Z namanya sapa"
Nah looh... hahahaha.... Aku kembali tersenyum mengingatnya.
Malam ini, baru benar-benar kusadari, bila ia memang sahabat
terbaikku. Dan, aku tentu harus meminta maaf karena tadi sudah
enigma " [ 213 ] ENIGMA final.indd 213 mengatakan tak memiliki siapa-siapa lagi sekarang. Aku memiliki
dirinya. Aku tahu, aku bisa bertahan sampai hari ini, itu karena aku
masih memiliki sahabat seperti dirinya.
Bayangan orang-orang itu semakin dekat. Satu bayangan
bahkan sudah kulihat di balik jendela depan. Tapi aku seakan tak
peduli lagi. Aku bahkan malah berpikir tentang sebuah doa di waktu yang
sempit ini. Bukan doa untukku. Bukan juga untuk Isara. Tapi untuk
Sanda. Namun sebelum batinku berucap apa-apa, bayangan se?seorang
mulai kurasakan berada di balik pintu, memutar gagang pintu de?
ngan sangat perlahan. Lalu menyelinap masuk ke dalam rumah
dengan sesuatu di tangannya....
Sebuah pistol! Saat itulah, dering ponselku kembali berbunyi".
daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi ini....
biar tak mengapa, rela, rela, rela aku relakan....
Chang Kalau ternyata aku telah melakukan kesalahan,
melakukan sebuah pilihan yang tak benar, biarkan ia yang
menciptakan yang menghukumku".
Teriakan-teriakan yang semula terdengar samar itu mulai tertangkap oleh telingaku. Semula seperti suara dengung tawon, yang
masih terasa jauh, namun makin lama semakin terdengar keras.
Suara-suara manusia penuh kemarahan.
[ 214 ] " enigma ENIGMA final.indd 214 Tiba-tiba suami istri itu masuk dengan terburu ke dalam ruang
doa begitu saja. "Bapak Indiray, sebaiknya kita pergi!" sang suami
langsung mendekat padaku, tanpa bisa menyembunyikan rasa pa?
niknya. Tapi aku tak menggubris ucapannya. Mataku tajam meng?
ingatkannya. "Ingatlah, ini ruang doa."
"Tapi keadaan sangat genting," ujarnya.
Aku terdiam tak menyahut. Aku memang seharusnya bisa
mengerti keadaan ini. Aku tentu tak bisa memikirkan tentang diriku sendiri. Terlebih saat kulihat wajah-wajah ketakutan suami
istri ini dan kedua wajah lainnya yang menunggu di ambang pintu
ruang doa. Aku pun mulai bangkit dan keluar dari ruangan itu.
Sejenak, kudengar teriakan-teriakan itu. Aku sudah mengala?
minya beberapa kali di Jakarta. Tapi itu semua tak membuatku
takut. Tapi entahlah di sini. Aku mendadak merasa gamang.
"Keadaannya ini mungkin akan memburuk," ujarku. "Sebaiknya
kalian pergi saja untuk berjaga-jaga. Biarkan aku tetap di sini sejenak!"
Mereka terdiam, tampak ragu.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kita sama sekali tidak
melakukan kesalahan besar. Tuhan pasti melindungi kita."
"Tapi Bapak Indiray, kami tak bisa meninggalkan Bapak sen?
dirian di sini?" sang suami berucap.
Aku tersenyum. "Aku datang sendirian kemari, tentu saja aku
bisa kembali sendirian dari sini, bukan" Di waktu yang singkat ini,
aku sungguh merasa beruntung sempat bersama kalian. Sempat
pula melakukan doa bersama kalian...."
Aku berjalan ke pintu belakang dan membukanya. "Kalian
pergilah. Bila keadaan membaik, aku akan menghubungi kalian semua."
enigma " [ 215 ] ENIGMA final.indd 215 Kali ini, setelah saling berpandangan, mereka berempat meng?
angguk. Lalu tanpa membawa apa-apa lagi, mereka sudah meninggalkan rumah ini.
Sambil berdoa untuk mereka, aku menutup pintu.
Aku duduk di pembaringanku. Sebenarnya ingin kembali kulanjutkan doaku tadi yang terhenti di ruang doa. Namun entah
mengapa tubuhku tiba-tiba terasa sangat lelah. Aku kemudian
memilih berbaring sejenak.
Aku mencoba memejamkan mata. Suasana kurasakan begitu
tenang, tapi aku tahu teriakan-teriakan di luar sana mulai terde?
ngar semakin keras. "Usiiir! Usiiiir! "Bakaaaar! Bakaaaar!"
Aku tak peduli. Aku malah memejamkan mataku. Teriakanteriakan itu pun semakin lama hanya terdengar seperti hanya suara
lebah yang berdengung. Aku mungkin terlelap kala itu. Hingga tak
tahu apa-apa yang terjadi di sekelilingku. Aku bahkan tak tahu ketika seseorang di antara kerumunan itu mulai melemparkan sebuah
kayu berujung api ke dalam rumah.
Aku benar-benar tak tahu. Pikiranku tanpa bisa kukendalikan
malah bergerak entah ke mana....
Sebuah ponsel, api dengan asap membumbung, sebuah rumah besar dengan pagar tinggi, sebuah surat kabar, lembaran uang-uang yang
lusuh, dupa-dupa yang menyala, perpustakaan yang sepi, perempuan
separuh baya berpakaian putih, sebuah kereta api, piring-piring makanan, dan... dirimu yang terlelap sembari tersenyum....
Suara-suara itu yang kemudian membuatku teringat kilasan
hidupku sebelumnya. Aku ingat ruang perpustakaan di rumah pertobatan itu, aku ingat Dewi yang menghantarkan aku dalam doa
[ 216 ] " enigma ENIGMA final.indd 216 untuk pertama kalinya, aku ingat epitaf di belakang rumah, aku
ingat wajah Hasha, aku ingat undangan pernikahan itu, dan ter?
akhir: aku ingat ucapan Isara yang terus terngiang selama ini".
Aku tentu tak bisa menyimpulkan bayangan-bayangan ini secara
pasti, Chang. Tapi kurasa engkau akan bahagia kelak. Bayangan engkau
tersenyum dalam tidurmu terus berulang muncul....
Ya, tentu saja aku pasti akan bahagia. Sangat bahagia. Bukankah
sejak aku memilih jalan hidup ini, aku tak lagi merasa kesedihan,
kekecewaan, keputusasaan, atau semua perasaan buruk yang sebe?
lumnya kerap kurasakan"
Aku tersenyum menjawab pertanyaanku itu. Tanpa kusadari


Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

api sudah semakin besar membakar rumah. Membuat asap hitam
mulai membumbung tinggi. Satu per satu ruangan mulai terlalap api. Dan saat ruanganku
akhirnya ikut terlalap, aku pun menyatu dengan kobaran itu.
Isara Aku tentu akan berpaling pada sebuah hari yang dipa?yungi de?
ngan sinar matahari hangat. Saat aku tak perlu lagi me?ngencangkan
ikatan sweater-ku, atau saat aku tak perlu lagi melipat kedua ta?
nganku untuk sedikit mendapatkan kehangatan.
Tapi tidak sekarang.... Sekarang aku akan membiarkan memilih berkawan dengan
terpaan dingin yang menggigilkan tubuh. Membiarkan dirinya
masuk dalam lubang-lubang pori-pori, membekukan seluruh sel di
tubuh. Seutuhnya. Seluruhnya. Terutama air mata yang tak jua mau
berhenti ini. enigma " [ 217 ] ENIGMA final.indd 217 Aku sangat layak untuk beku di sini. Dan aku akan menerima itu dengan hati terbuka. Walau aku tahu dengan ini pun sebenarnya tak cukup untuk membalas semua yang sudah kulakukan
padanya. Pada Kurani! Sungguh, aku tahu ia sama sekali tak layak menerima itu semua. Aku sudah sekian lama mengenalnya. Dan aku tahu sekali
bila ia adalah perempuan yang sangat baik. Mata beningnya selalu
menenangkan, membuatku terus merasa nyaman bersamanya.
Dan kini, aku menghancurkan begitu saja harapan-harapannya
yang telah dibangunnya selama ini, dengan ketakutan-ketakutanku!
Dengan bayang-bayangku! Dan dengan perasaan-perasaan masa laluku!
Sungguh, aku benar-benar ingin menjadi beku di sini. Biar tak
ada lagi air mata yang terus luruh. Biar tak ada lagi perasaan bersalah yang terus kurasakan. Biar tak ada lagi diriku yang selalu
ketakutan ini! Maafkan aku, Kurani, maafkan aku....
Sungguh, andai ada satu kata lagi yang lebih dalam dari
sekadar kata maaf, tentu aku sudah mengucapkan itu padamu.
Mengucapkannya berkali-kali padamu.
Tapi aku memang harus melakukan seperti yang kulakukan
ini. Aku tak bisa lagi mengabaikan semuanya, terlebih bila itu me?
nyangkut Hasha.... Sungguh, sekian lama aku mencoba menepikan bayangbayang yang ada padanya. Sekian lama aku seperti bersembunyi
dari di?rinya. Sekian lama aku seakan tak peduli dengan apa yang
terjadi padanya. Aku benar-benar tak bisa lagi melakukannya itu
kali ini. Sungguh, aku tak bisa. Aku tak mau berlari lagi kali ini!
[ 218 ] " enigma ENIGMA final.indd 218 Aku hanya berharap bila tak butuh waktu lama bagimu untuk
terluka karena kehadiranku. Tak butuh waktu lama pula ba?gimu
untuk merasa sedih karena batalnya pernikahanmu. Sungguh, aku
sangat berharap itu. Karena aku yakin, ini yang terbaik untuk Hasha. Dan juga terbaik untukmu. Kali ini. Aku yakin. Aku yakin.
Karena aku masih menyimpan satu potongan terakhir di
bayang-bayang yang muncul saat aku menyentuh tangan Hasha
selepas kami akan berpisah dua hari yang lalu. Satu bayangan yang
sebenarnya tak pernah ingin aku lihat. Satu bayangan yang selalu
ingin aku ingkari ada. ...lilin-lilin, ruang temaram, tetes-tetes air mata, ruang kosong,
pesawat terbang di angkasa, sebuah sajak pada carik kertas, dan dua
orang manusia yang sedang bertatapan wajah....
Aku memejamkan mata kuat-kuat
Ya, wajah yang sedang bertatapan....
Wajah... milik kalian. enigma " [ 219 ] ENIGMA final.indd 219 Epilog That"s not the beginning of the end
That"s the return to yourself
The return to innocence Tahun berlalu, bagai langkah-langkah pada anak tangga menuju
langit yang tak pernah berakhir. Rumah tua itu masih di sana, tanpa ada tanda-tanda seseorang yang pernah datang.
Dari orang-orang sekitar, gadis kecil itu, yang kini telah beranjak dewasa, telah tahu bila pemilik baru rumah tersebut berniat
menghancurkan rumah itu, untuk kembali dibangun menjadi ba?
ngunan yang lebih modern. Sebuah vila peristirahatan.
Inilah yang membuatnya kembali datang ke sini, dan berdiri
di situ, di tempat dulu ia bersama kakaknya berdiri menatap rumah tua itu. Semuanya terasa begitu sepi, namun ia sudah bisa
membayangkan tukang-tukang yang ada di sana, mencopoti satu
demi satu bagian rumah itu. Ia membayangkan material-material
berdatangan dan memenuhi halaman yang selama ini hanya berisi
daun-daun kering. Ia membayangkan bentuk rumah itu yang berbeda dari keadaannya sekarang.
Pelan-pelan airmatanya menggenang.
Ia masih begitu ingat kala pertama kali bersama kakaknya me?
nemukan tempat persembunyian di salah satu sudut di rumah itu. Ia
[ 220 ] " enigma ENIGMA final.indd 220 masih begitu ingat betapa kuat kakaknya menggenggam tangannya
saat keduanya mulai melangkah ke dalam dengan takut-takut. Ia
masih begitu ingat bagaimana kakaknya terjatuh dari tali kain itu.
Kali ini setitik airmatanya mulai jatuh.
Maafkan aku telah sekian lama pergi, Marga....
Ia kemudian mulai melangkah mendekat ke pintu, sambil
mengeluarkan kunci yang tadi dipinjamkan kepada pemilik baru
rumah ini. Ruangan itu terasa senyap.
Hanya ada sepi dan dirinya yang masih berdiri diam di ambang
pintu, menatap sudut-sudut gelap. Matanya seakan telah terbiasa
dengan celah-celah ruang hingga ia bisa melihat perabot-perabot
rumah yang tertutup debu tebal. Sofa tua dan mejanya yang tak
jauh dari tempatnya berdiri. Kursi santai dan lemari jati di ujung
ruangan. Sebuah lukisan di dinding yang sedikit miring karena
angin. Juga meja makan besar dengan taplak yang terurai sampai
ke bawah. Sejenak, ia masih berdiri mengencangkan jaketnya. Sejak tadi,
di perjalanan menuju ke rumah ini, embusan angin kencang yang
membawa hawa dingin tak henti menampar-namparnya.
Untunglah, angin seperti berubah rupa saat ia sampai di ambang pintu rumah. Tembok tua rumah ini memang masih bisa menahan terpaannya, namun dari celah-celah sempit jendela, pintu
dan lubang angin, sebagian tetap berhasil lolos. Kali ini tak hanya
mengembuskan hawa dingin, tapi juga debu-debu yang menebali
seluruh isi rumah ini. Bahkan, angin yang berhasil melalui celah-celah sempit itu, kemudian menimbulkan bunyi-bunyi seakan siulan
panjang yang tak henti-henti.
enigma " [ 221 ] ENIGMA final.indd 221 Tapi itu semua tak urung membuatnya terus melangkah ke
dalam. Langkahnya sangat perlahan, seakan tak ingin jejaknya
bertanda di lantai yang berdebu. Beberapa garis cahaya menerobos samar dari lubang-lubang angin, seakan ingin menuntun langkahnya yang terasa rapuh. Ya rapuh, hingga suara apa pun yang
tertangkap telinganya, selalu membuatnya terhenti dan menahan
napas sejenak! Kini, ia menghentikan langkahnya di depan meja makan besar
yang taplaknya terurai hingga di lantai. Lalu, di antara temaram di
sekelilingnya, dipandanginya lekat-lekat meja itu, seakan-akan ada
sesuatu yang terlihat di sana.
Tanpa disadarinya, angin yang sejak tadi berembus menaburkan debu dan menimbulkan siulan-siulan panjang, tiba-tiba terhenti. Semua seakan menepi. Namun entah mengapa, di saat seperti
itulah tubuhnya mendadak terasa menggigil.
Tangannya yang berusaha terangkat, ingin menyentuh meja
yang masih selangkah di depannya, tampak bergetar. Airmatanya
begitu saja menggenang di pelupuk matanya.
Dan seiring luruhnya satu titik air mata membelah pipinya,
bibirnya bergetar. Marga... engkau masih di sini, bukan"
Dan, ia diam sejenak seakan menunggu jawaban. Tapi hanya
ada keheningan yang menjawab. Keheningan yang dalam.
Dalam jeda itu, ia kembali memandang sekitarnya. Seakan
memasukkan kembali semua yang ada dalam memorinya. Karena
ia tahu, ini adalah kedatangannya terakhir kemari, sebelum esok
rumah ini akan dirobohkan. Itulah tadi yang membuat pemilik
rumah baru ini mengizinkannya untuk melihat terakhir kali rumah ini.
Ia kemudian kembali membatin....
Aku datang untuk berpamitan denganmu, Marga.
[ 222 ] " enigma ENIGMA final.indd 222 Ia kembali memberi jeda, membiarkan keheningan yang menjawab.
Aku mohon... jangan datang lagi padaku.
Masih hening. Jangan pula... engkau kirimkan bayang-bayang apa pun padaku.
Tetap hening. Kumohon.... Kali ini ia memberi jeda lebih lama. Dan tak ada apa pun yang
terjadi. Namun ketika ia berniat untuk berbalik, angin yang semula
tak terasa, tiba-tiba berembus. Berputar-putar, menerbangkan debu-debu ke segala penjuru.
Wajahnya mulai terasa tertampar-tampar. Matanya mulai
terasa perih. Tapi ia tetap mencoba berdiri tegar di depan meja
persem? bunyian itu, seiring terulangnya kembali semua kejadian
lalu bersama kakaknya. Tempat persembunyian itu... genggaman tangan itu... tubuh
kakaknya yang terjatuh... juga angin yang selama ini telah begitu
ramah sejak kejadian itu....
Dan airmatanya pun kembali luruh untuk kesekian kalinya.
Satu-satu jatuh di pipi, satu-satu jatuh di baju, dan satu-satu jatuh
di lantai, tanpa sesuatu ataupun seseorang, yang berusaha menghapusnya.
Sungguh, kali ini ia tiba-tiba merasakan kesendirian yang begitu dalam di antara deru angin yang tanpa henti menerbangkan
debu-debu menerpa seluruh tubuhnya.
Dan ini yang membuat tubuhnya kemudian luruh seperti airmatanya, jatuh di atas lututnya, seiring tangisnya yang seakan tak
terhentikan. Maafkan aku Marga, maafkan aku".
enigma " [ 223 ] ENIGMA final.indd 223 Tentang Penulis Yudhi Herwibowo, menulis beberapa buku, di antaranya; Lama
Fa, Menuju Rumah CintaMu, Pandaya Sriwijaya, Untung Surapati,
Perjalanan Menuju Cahaya, Mata Air Mata Kumari (sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Spring of Kumari Tears), [Un]
affair, Miracle Journey, dan lain-lain.
Bukunya yang akan segera terbit: Panggil Aku Hoegeng.
Bisa dihubungi melalui: Facebook : yudhi herwibowo 2
Twitter : @yudhi_herwibowo Untuk melihat daftar buku-buku yang sudah ditulisnya:
yudhiherwibowo.blogspot.com
Untuk melihat tulisan-tulisan lainnya:
yudhiherwibowo.wordpress.com
Blog buku-bukunya: pandayasriwijaya.blogspot.com
untung-surapati.blogspot.com
un-affair.blogspot.com novelmiraclejourney.blogspot.com
[ 224 ] " enigma ENIGMA final.indd 224 ENIGMA final.indd 225 YUDHI HERWIBOWO Kisah ini memang tentang mereka berlima".
Dan satu di antara mereka,
menyimpan rahasia yang menakutkan".
"ia dapat melihat jalan hidup yang lainnya!
Kelimanya kerap duduk bersama di bawah sebuah pohon besar
yang ada di sebuah warung lotek di dekat Kanisius, Yogyakarta.
Tanpa pernah saling mengetahui, ternyata mereka menyimpan
rahasia masing-masing. Hasha adalah seorang penulis yang lebih banyak diam. Ia suka
bicara pada lilin-lilin dalam temaram. Saat kuliah ia sebenarnya
memendam perasaannya pada Isara.
Isara, perempuan satu-satunya semenjak Kurani pindah.
Ia seperti membalas perasaan Hasha.
Namun sebelum sempat mengungkapkannya,
ia tiba-tiba menjauh dari laki-laki itu. Setelah lulus,
ia bahkan memilih menikah dengan Patta.
Patta, merupakan laki-laki ideal bagi semua perempuan. Pintar,
menarik, dan berkarier cemerlang. Sepanjang hidupnya, ia hanya
pernah mencintai satu orang perempuan, Isara.
Chang, atau Indiray, merupakan sosok yang ingin menghapus
masa lalunya. Ia telah menemukan sebuah tempat yang selama ini
dicarinya. Namun ia selalu teringat pada
sahabat-sahabat masa lalunya, terutama Hasha.
PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Kompas Gramedia Building Jl. Palmerah Barat No. 33-37, Jakarta 10270
Telp. (021) 5365 0110, 5365 0111ext. 3300-3305
Fax: (021) 53698098 www.grasindo.co.id Twitter: @grasindo_id Facebook: Grasindo Publisher
NOVEL YUDHI HERWIBOWO Goza, sosok yang selalu dapat mencairkan suasana dengan
joke-jokenya. Namun sebenarnya merupakan bedebah di antara
kelimanya. Kelak ia memilih jalan paling mengerikan: menjadi
pembunuh bayaran. ...tentang sebuah kisah cinta
dan sesuatu yang tak terjelaskan...
Pendekar Panji Sakti 17 Sisi Merah Jambu Karya Mira W Makam Ke Tiga 2
^