Pencarian

I Dont Belong Here 1

I Dont Belong Here Karya Angchimo Bagian 1


?"angchimo 3 , I Don't Belong Here Prolog Cinta, bagi sebagian orang, ga lebih dari kumpulan realita yang bertentangan dengan harapan. Dimana setiap janji yang kita gores di kaki langit seakan ga ada maknanya. Menguap, kemudian lenyap dilucuti kerasnya kehidupan.
Seiring berjalannya waktu, gue memahami satu hal; bahwa cinta ga melulu soal sepasang senyawa yang saling memiliki. Cinta ga harus selalu berdampingan. Cinta ga musti bergandengan tangan seiring sejalan. Cinta, tak ubahnya tangan yang menengadah ke langit, dipenuhi doa dan penyerahan diri atas apa yang mungkin layak kita dapatkan, bertemu seseorang yang kelak kita sebut belahan jiwa, kemudian belajar menjalani takdir masing-masing.
Gue bukan Romeo yang rela mati buat Juliet. Gue bukan Spiderman yang bersembunyi di balik topeng demi menyelamatkan Mary Jane. Gue, Rendra. Seonggok daging yang memiliki nama, segumpal darah yang mengendap dalam hidup yang gelap, sepotong senyawa yang kosong, melayang-layang di tengah semesta dan jatuh ke dunia yang fana, lalu mengenal cinta.
Setelah berulang kali belajar memahami cinta, gue kini jatuh dari ke-fana-an menuju hampa. Hingga sekarang di lemari cita-cita gue, cuma ada beberapa lembar puisi, mimpimimpi setengah jadi, pengorbanan yang gagal jadi sebuah persembahan, harapan yang tengah diperjuangkan, dan.. Namanya..
Serta beberapa penggal cerita yang akan gue sajikan disini.
Part 1 Gue ga akan pernah melupakan malam ini. Malam dimana gue membatu diatas kasur. Malam dimana mata gue terjaga di jam 2 pagi. Bukan karna jatuh cinta. Tapi karna gue tidur dari jam 7 malem dan kebangun di jam 1 pagi, terus ga bisa tidur lagi. Sesederhana itu.
Gue bangkit dari kasur dan menuju kamar mandi, membasuh wajah gue berkali-kali. Kemudian menengadahkan wajah yang basah di depan pintu kamar mandi.
Gue membuka pintu kamar Abang gue, Fajar. Gue menyalakan lampu kamar sejenak dan mendapati dia sedang tertidur pulas, kemudian kembali memadamkan lampu dan menutup pintu kamar, lalu duduk di ruang tamu yang gelap.
Hello darkness.. Gumam gue pelan sambil mengusap wajah gue yang masih basah.
Jam dinding di ruang tamu gue menunjukkan jam 2.15 dini hari. Gue mengambil remote tv dan menyalakan tv. Memencet semua tombol bergantian, lalu mematikan lagi tv gue. Sial..
Gue gatau mau ngapain jam segini.
Dan entah darimana datangnya tiba-tiba gue merasakan ingin sholat malam. Sebuah ritual' yang cukup lama ga gue lakukan. Gue menyebutnya sebagai pelarian' saat gue gatau harus ngapain tengah malam gini.
Gue melakukan sholat malam di kamar gue. Dirumah ini Cuma ada dua kamar, yang masing-masing ditempati oleh gue dan abang gue.
--- Fajar, yang jarang gue panggil dengan sebutan abang, mas, kakak, dsb itu, hanya berjarak 11 bulan dengan gue, ga genap 1 tahun. Gue ga pernah tau dan gamau tau gimana prosesnya, tapi yang pasti kedekatan umur kami jadi alasan kenapa gue ga pernah panggil dia layaknya sebutan seorang adik pada kakaknya. Dan Fajar ga mempersalahkan itu.
Selain sebagai abang gue, Fajar juga satu-satunya orang terdekat sekaligus orang terjauh buat gue. Fajar adalah teman sekaligus musuh, sahabat sekaligus penghianat. Tapi dia tetep tipe seorang kakak yang mengayomi adiknya.
Bokap gue" Beliau tinggal ga jauh dari rumah gue, bersama istrinya. Yap, istrinya. Bukan nyokap gue. Nyokap gue udah berpulang hampir lima tahun yang lalu. Jadi, secara garis besar sudah jelas bahwa gue adalah anak bontot dirumah ini, sebelum negara api menyerang.
Serangan negara api yang gue maksud adalah; sebuah peristiwa yang beberapa tahun lalu nyaris menghancurkan keluarga gue. Yaitu saat gue dengan tegas menentang bokap gue yang memutuskan menikah lagi, setaun setelah kepergian' nyokap gue.
Nyokap gue harus kalah' oleh sebuah penyakit setelah bertahun-tahun berusaha melawannya. Dan tentu saja, kehilangan sosok ibu setara dengan kehilangan tujuan hidup gue seutuhnya. Kapal kehidupan yang gue tumpangi seolah dihantam badai tanpa ampun, kemudian karam ditengah luasnya samudera yang bernama kehidupan.
Ga sampai disitu. Saat gue mulai menikmati hidup di dalam kapal yang karam bersama seorang wanita bernama Aryani, dia pun memutuskan pergi, setelah lebih dari lima tahun gue dan Aryani tumbuh bersama. Semuanya mesti pupus begitu saja. Dalam kesia-siaan. ---
Dalam sholat malam gue saat ini, entah kenapa gue masih saja menyebut nama Aryani dalam sujud gue. Sebuah nama yang seakan udah terpatri dalam hati, dan menyatu dengan darah dan nadi. Meski saat ini gue telah menjalani hubungan dengan Viona.
Gue kembali merebahkan kepala diatas kasur, bersiap kembali membatu tanpa berniat tidur. Dan mulai mengambil handphone untuk membuka beberapa sosial media yang gue gunakan.
Gue membuka sebuah sosial media, namun login dengan akun Viona. Alasannya sederhana, ga akan ada sesuatu yang seru di akun gue, makanya gue memilih membuka akun Viona.
Ada beberapa notifkasi di halaman depan. Gue sempat mengabaikan karna itu hal yang biasa, sangat biasa. Gue menscroll satu per satu foto yang ditampilkan di halaman utama tersebut, hingga gue melihat sebuah foto Viona yang di upload oleh seorang lelaki yang sama sekali asing di mata gue.
Foto Viona yang sedang bekerja. Foto yang tadi siang juga dia kirimkan ke gue, tapi kini di unggah oleh lelaki lain dengan caption; Don t be too busy baby, take your lunch.
Ah, Fuck! Gue mengklik nama akun tersebut, dan memperhatikan satu per satu foto yang dia unggah. Yang mana sebagian besar ada diri Viona di foto-foto tersebut.
Viona, wanita yang gue pacari dengan hubungan jarak jauh, ga jauh-jauh amat sih sebenernya, cuma Jakarta-Malang, kini mulai terindikasi ada sebuah kecurangan. Kecurangan yang gue dapatkan bermodal dari akun media sosialnya sendiri.
Viona tadi sempat gue hubungi namun tak ada jawaban. Gue memaklumi karna mungkin sudah tidur. Tapi nyatanya, dari sebuah tanggapan yang dia berikan dari postingan lelaki tersebut hanya berjarak beberapa puluh menit dari saat ini. Yang artinya, dia sedang menikmati malam bersama lelaki lain.
Cukup" Iya, cukup. Gue kembali keluar dari akun sosial media milik Viona, dan meletakkan handphone gue, kembali membatu dan kali ini berharap semua ini hanya mimpi buruk di ujung malam yang beranjak pagi.
Part 2 Quote: Viona: Morning babe. Maaf semalem aku ketiduran. Viona: Kamu kenapa kok bangun tengah malem" Viona: Ayo sekarang bangun. Happy weekend :*
Beberapa pesan ucapan selamat pagi dari viona masuk melalui pesan whatsapp. Rutin, seperti biasa. Seperti tidak ada yang salah dari malam yang baru saja dia lewati bersama lelaki lain.
Gue yang masih belum tertidur membaca pesan tersebut dan merasabodoh. Gue merasa sangat bodoh, dan teramat sangat mudah di bodohi. Lalu, dengan bodohnya gue membalas pesan tersebut;
Quote: Gue: Morning juga Vi. Gue: Happy weekend.
Viona: Lho" Kok kamu udah bangun"
Viona: Semalem abis kebangun langsung tidur lagi" Viona: Aku telpon ya. Aku kangen suara pacarku disana :*
Gue: Pacar kamu disini"
Gue: Emang disana ada pacar lain maksudnya"
Viona seharusnya sempat membaca pesan balasan gue, namun ga membalasnya lagi. Disusul dengan panggilan masuk dari nomor Viona beberapa detik kemudian.
Iya, Vi. Pagi, sayang. Kok tumben weekend gini udah bangun pagi-pagi" tanya Viona dengan nada suara yangsumringah.
Iya, kebangun doang. Ini mau tidur lagi.
Iish, ga boleh tau bangun tidur langsung tidur lagi. Sarapan sana, terus mandi, terus ngapain kek isi waktu pagi nya.
... Gue diam. Bingung. Gue gatau apakah yang dini hari tadi gue liat di akun media sosial Viona itu nyata, atau sekedar mimpi. Kalau benar itu nyata, apa sehebat ini Viona bersandiwara, bersikap seakan ga terjadi apaapa"
Halo, sayang" I.. Iya Vi.
Kok bengong" Kenapa"
Enggak, gapapa. Nyawaku belom ngumpul kayanya. Dasar. Yaudah sana cuci muka dulu, terus sarapan. Iya Vi.
Yaudah, bye honey. I love you. Iya Vi, bye..
Goodbye Vi, Goodbye. Lebih layak terdengar seperti itu harusnya gue mengakhiri panggilan telepon tersebut. Gue duduk diatas kasur, sambil menutup kedua wajah gue dengan degup jantung yang tak beraturan.
Gue kembali mengambil handphone gue dan berniat membuka akun sosial media Viona. Mungkin, gue terlalu paranoid hingga merasa takut Viona menghianati gue. Gue harus mengkroscek ulang apa yang gue lihat dini hari tadi.
Halaman login sosial media tersebut menunjukkan bahwa login failed, password didn t match. Yang sepertinya kata sandi akun tersebut sudah diganti. Hingga dengan penuh keraguan, gue mencoba meyakini bahwa sepertinya Viona tau gue sudah mulai curiga dengan kelakuannya. Tapi akhirnya, gue memilih memendam kecurigaan itu sendiri. Kecurigaan yang seharusnya sudah mendapat jawaban yang jelas jika semalam gue langsung meminta konfirmasi dari Viona. ---
Lo yakin ga sama apa yang lo liat" tanya Ari, salah satu sahabat gue.
Ari adalah satu dari dua makhluk durjana yang gue kenal sejak duduk di bangku SMA. Satu makhluk lainnya bernama Dewa. Mereka berdua selalu jadi teman gue berbagi suka duka di masa-masa remaja. Tapi kini kami ga lagi bisa sering kumpul, karena Dewa sudah memiliki istri dan seorang anak. Jadi, hanya gue dan Ari yang biasanya masih bisa bebas main, karna masih sama-sama belum siap terikat , jika belum laku' terkesan terlalu sadis bagi kategori lelaki yang belum menikah seperti kami.
Iya, gue yakin. Bukan soal itu Ri yang bikin gue bingung. Gue.. gatau deh, gue ga ngerti gimana cara menunjukkan ke Viona bahwa gue tau dia main curang dibelakang gue. Ucap gue saat mengobrol di teras rumah, di sore hari saat Ari datang.
Tinggal ngomong aja. Ga segampang itu. Kalo gue ga ada bukti yang kuat sama aja gue nuduh dia. Gue gamau malah dibilang ga percayaan. Karna komitmen kami saat terpisah jarak kaya gini adalah saling percaya.
Halah, Klise. Saat disini lo sibuk ngejaga komitmen lo buat saling percaya, disana dia menikmati kepercayaan lo dengan kelewat batas. Nanti, saat semuanya udah bener-bener jelas, baru deh lo nyesek.
Gue menarik asap rokok, dan menghembuskannya jauh-jauh. Seperti menyingkirkan beban yang kini menekan-nekan dada gue hingga terasa sesak. Sambil memikirkan setiap ucapan Ari. Lo yakin, dia disana ngejaga kepercayaan lo" tanya Ari ke gue.
Tadinya yakin. Tapi karna apa yang gue liat di sosial media nya semalem, gue jadi ragu. Gimana caranya lo bisa buang keraguan lo itu"
Gue gatau gimana cara nyari taunya Ri.
Tanya langsung, bego. Ujar Ari sambil menoyor kepala gue.
Gue terdiam kembali. Memejamkan mata gue sejenak, kemudian mencari nama Viona di kontak telepon dalam handphone yang sedang gue genggam saat ini.
Halo, Vi. Aku mau nanya.. ucap gue saat panggilan gue tersambung ke Viona. Yah si bego. Ga langsung sekarang juga kali maksud gue. Gumam Ari sambil berjalan masuk kedalam rumah gue dan meninggalkan gue di teras sendirian.
Part 3 Iya ndra, ada apa" Kamu lagi dimana" sahut Viona dengan sangat tenang. Dirumah. Vi, Adi itu siapa"
Adi" Adi mana" Ya aku gatau. Aku liat namanya ada di semua sosmed kamu.
Ooh, hahaha Adi Purnomo" Temen kerja aku disini sayang. Kenapa" Cemburu"
Gue terdiam. Rasanya gue terlalu berlebihan mencurigai Viona. Bahkan Viona merasa ga ada masalah sama sekali.
Kenapa ndra" Kamu cemburu" Perlu aku remove dia dari semua sosmed aku" tanya Viona menegaskan sikapnya.
Enggak Vi, ga usah. Aku Cuma penasaran aja, kenapa kamu bisa ngabisin waktu semaleman sama dia tadi malem. Bahkan sampe bisa bikin kamu bohong bilang udah tidur padahal kamu lagi sama dia.
Ga ada jawaban dari Viona. Riuh suara di latar belakang dari ujung telepon membuat gue mencoba menebak-nebak bahwa Viona ga sedang dirumah saat ini.
Aku ga ada apa-apa ndra sama Adi& atau sama siapapun. Viona mencoba menjawab omongan gue. Tapi nada suaranya mulai sedikit bergetar.
Iya Vi, Aku percaya. Ada apa-apa pun juga gapapa sebenernya. Cuma kamu tau kan, kamu ga bisa meletakkan satu hati di dua tempat yang berbeda"
Viona kembali diam. Mungkin sedang mencoba mencari kata untuk menjawab pertanyaan gue dan membantahnya.
Yaudah Vi. Kita udah sama-sama dewasa. Aku gamau mengakhiri hubungan ini disaat kamu yang justru udah mengambil keputusan sepihak buat berkhianat Gue menghela napas, sekaligus mencoba menyembunyikan rasa kecewa di hati gue. Maaf.. Ndra.. ucap Viona dengan suara bergetar dan sedikit terisak Iya, gapapa Vi. Kamu baik-baik aja kan" Enggak ndra, aku ga baik-baik aja.. aku... Udah Vi. Aku gapapa.
Kami sama-sama terdiam beberapa saat. Gue mencoba mengendalikan diri meski ada rasa kecewa seukuran kepalan tangan yang memukul dada gue berulang kali. Maaf ndra.. Kamu.. Viona masih terisak. Sementara gue masih berusaha menahan sesak.
Aku sayang sama kamu ndra. Tapi.. aku ga bisa bertahan dengan jarak yang misahin kita..
Hening sempat memberi jeda sesaat. Gue ga mendengar apapun di telepon selain isak tangis Viona.
Maaf Vi. Maaf aku ga bisa ada disamping kamu saat kamu berjuang buat hidup kamu disana. Karna akupun masih berjuang buat hidup aku disini.
& . Isak tangis Viona semakin jelas terdengar, dan sumpah itu bener-bener bikin gue tertusuk tepat di ulu hati mendengarnya.
Tapi kamu menang kan Vi" Kamu memenangkan perjuangan kamu kan" Aku bisa ikut merasakannya kok dari sini..
Rendra& Viona bergumam dalam tangisnya, memanggil nama gue. Kalo aku tau kamu ga menang, aku ga akan setenang ini. Aku tau kamu menang disana. Aku ga memenangkan apapun!
Tapi setidaknya kamu bukan orang yang berada di posisi yang kalah Vi. Kamu bukan berada di posisi yang dikecewakan atau di khianati.
Waktu tiba-tiba terasa melambat. Setiap detik yang gue lalui dalam ucapan perpisahan yang hanya ditengahi oleh media telepon seakan menjadi hal terakhir yang bisa gue rasakan. Tanpa pelukkan.
Gue mematikan panggilan, menundukkan kepala dan menggeleng berulang-ulang. Terima kasih Vi.. terima kasih.. Gumam gue pelan dalam haru yang semakin membiru.
Part 4 Ada yang bilang, perpisahan adalah bagian dari sebuah pertemuan. Dibalik semua penderitaan yang tertinggal dari sisa-sisa harapan yang terbuang, ada sebuah kenangan yang akan membuat lo sesak saat mengingatnya.
Kadang, menangis dijadikan hal yang tabu bagi seorang lelaki. Menangis hanya menunjukkan sisi lemah lo. Menangis hanya membuat lo kian teriris meratapi apa yang telah terjadi. Ingin rasanya gue menangis, menumpahkan semua kekecewaan yang menggelayuti hati dan pikiran gue bekakangan ini. Tapi gue ga bisa, sama sekali ga bisa.
Kehilangan sosok Viona memang menyisakan perih namun entah kenapa gue ga bisa menangisinya. Kehilangan sosok Viona jelas membuat hari-hari gue kembali sepi. Tapi, entah kenapa kepala ini malah menengok jauh kebelakang, ketempat yang sudah terlalu jauh gue tinggalkan.
Benarkah" Benarkah gue udah sepenuhnya meninggalkan jauh tempat itu"
Hari-hari selanjutnya berjalan apa adanya dalam hidup gue, ga ada yang berubah menjadi suatu kenangan. Sementara waktu tak ubahnya sederet angka yang terus berganti, berdetak seiring jantung yang memompa darah ke nadi, yang masih merasakan perihnya kehilangan.
Selain hanya mengisi sore dengan bersepeda, gue ga ada aktivitas apapun lagi di akhir pekan. Dan di hari-hari selanjutnya gue jalani kembali dengan kesibukan gue menangani project kecil-kecilan bersama temen-temen gue, project di bidang jasa konstruksi.
Sebenernya ide gila menjalai project ini udah lama direncanakan oleh salah satu om gue, adiknya Bokap gue, dan juga beberapa temen dia di kantor. Cuma karna waktu itu bermasalah di kurang nya modal, rencana itu sempat diurungkan.
Tapi kemudian Rizki, temen rumah om gue, menawarkan opsi untuk menggunakan uang simpanannya, dan kekurangannya akan kita cari orang yang mau mendukung usaha kami. Dan karna emang gue belom dapet kerjaan lain yang lebih enak, gue menyanggupi menjalani project kecil-kecilan ini.
Gue sempet membicarakan dengan Bang Imam, yang juga teman Om gue dan kemudian dia tertarik untuk terlibat. Cuma karna dia punya pekerjaan yang sulit ditinggalkan, dia hanya ingin membantu di modal dan membuat design bangunannya saja jika diperlukan, yang kebetulan sesuai keahliannya.
Jadilah Gue, Rizki, Bayu, Bang Rahmat (om gue tapi gue panggil Bang, kadang panggil nama aja), serta Bang Imam, memulai project kecil-kecilan ini. Dimulai dari project relayout sebuah toko di salah satu mall di Jakarta.
Serunya team ini buat gue adalah, kami sama-sama punya background pendidikan dan pengalaman yang beda. Rizki lulusan Ekonomi, Bayu jebolan teknik mesin, Bang Rahmat dari teknik sipil, sedangkan Bang Imam bergelut di dunia arsitektur. Cuma gue yang melenceng jauh dari ilmu komunikasi. Makanya tugas gue adalah melakukan komunikasi ke calon klien kami sampe membuat keputusan deal sesuai harga yang kami tawarkan ke mereka.
Nah, kali ini kami dapat project di dua daerah sekaligus, Sleman dan Pekanbaru, yang kantor pusatnya di Jakarta. Temen-temen gue yang sejak kemarin udah pada ngumpul menentukan team dan rencana kerja nya udah memutuskan bahwa gue akan ke Sleman, sedangkan Rizki dan Bayu akan ke Pekanbaru. Sementara Bang Rahmat dan Bang Imam udah menyusun rencana kerja untuk kami, tinggal di eksekusi. Mereka ga ikut turun ke luar kota karna punya kerjaan kantoran juga.
Disana nanti kami akan bertemu dengan penanggung jawab kantor cabang klien kami, serta mencari tenaga kerja lokal yang akan mengeksekusi project sesuai dengan kesepakatan antara team gue dan klien. Di Sleman gue akan bangun satu warehouse kecil untuk penyimpanan logistik cabang kantor klien kami disana, sedangkan di Pekanbaru hanya renovasi kecil atas kerusakan kantor cabang klien disana.
Seperti biasa, setiap kali akan menjalani sebuah project, segala sesuatunya dipersiapkan oleh Bang Imam. Biasanya dia membuatkan brief project dan akan menshare ke kami via email dan membahas beberapa hal mendetailnya di grup chat.
Saat gue asik berbalas email dan bbm di kamar, Bokap gue masuk dan langsung tiduran diatas kasur gue. Gue menggeser badan sambil menatapnya kebingungan. Kok tidur disini" tanya gue
Lah emang kenapa" Ayah mau nginep disini malam ini.
Di kamar Fajar aja sana, jangan disini ah. Gue memprotes sambil menyulut sebatang rokok.
Bawel. Eh jangan ngerokok diatas kasur. Sana turun. Bokap gue mengusir gue dari kasur gue dengan kakinya, dan terpaksa gue duduk di lantai beralaskan karpet.
Kepala gue rasanya sangat berat, gue memutuskan untuk makan dan minum obat, kemudian menikmati segelas teh panas sambil menyalakan laptop mengecek laporan project yang tadi di email. Tapi rasanya kepala gue ga bisa diajak mikir, sampe gue kesel sendiri dan mengacak-acak rambut gue, hingga membuat Bokap gue keheranan. Kenapa ndra"
Gapapa. Gue menjawab singkat dan kembali menatap layar laptop. Bokap gue hanya diam dan memperhatikan gue. Kemudian ikut duduk di lantai menatap layar laptop gue.
Seru projectnya" tanya Bokap gue. Gue hanya menjawab dengan anggukan. Untungnya lumayan" tanya nya lagi.
Gatau. Bukan Rendra yang hitung keuntungannya.
Maksudnya kamu dapet pemasukan lumayan ga" Sama kaya kerja biasa ditempat lain"
Oh, ya enggak lah. Ga seberapa dapetnya. Kan baru mulain juga. Cuma kayanya bakal makin seru nih, karna mulai dapet project diluar kota. Kan lumayan jalan-jalan gratis.
Jangan mikirin jalan-jalan mulu. Emang kamu ga mau nabung" Ga mau nikah" tanya Bokap gue dengan nada tegas.
Part 5 Nikah" Pertanyaan Bokap gue membuat gue berhenti dari aktivitas dan menatap wajahnya. Wajah yang selalu terlihat awet muda karna Bokap gue orang yang suka bercanda. Tapi bagaimanapun, dia semakin dimakan oleh usia. Bokap gue ga pernah menanyakan perihal menikah sebelumnya, dan kali ini gue tertegun mendengar pertanyaannya. Ga.. Gatau.. gue menjawab terbata-bata.
Kok gatau" Kamu sama sekali ga punya rencana kearah sana" Kesana" Nikah"
Iya. Kan Ayah lagi ngomongin soal nikah. Bokap gue kini agak nyolot karna gue terlalu lambat merespon.
Yaa. Yaa ada, nanti rencana mau nikah. Tapi.. Tapi apa"
Tapi... sama siapa" gue bertanya sambil menatap Bokap gue.
Bokap gue langsung berubah ekspresi menjadi tertawa terbahak-bahak. Tawa yang terdengar seperti ejekan dari seorang teman. Tawa yang membuat gue memasang tampang manyun dan kesal.
Kamu serius sama Viona" tanya Bokap gue sambil berusaha menyelesaikan tawanya.
Gue ga menjawab. Gue kesel. Gue hanya mematikan laptop kemudian melipatnya. Sama Viona bakal ada tujuannya gak" Lanjut Bokap gue
Rendra udah ga sama Viona. Lagipula, Rendra belum mau mikir kearah sana
Kamu tuh kenapa sih" Selalu bilang belom mau mikir kesana, belom mau mikir nikah. Kenapa emang" Potong Bokap gue.
Gue gatau harus menjawab apa. Gue emang sering ngobrol bercanda sama Bokap. Kadang juga ngobrol serius. Tapi kali ini, gue benci obrolan ini. Gue ga siap ngebahas masalah nikah sama Bokap gue.
Dulu inget ga" Kamu pernah ngotot sama Almarhumah Mama kamu, kamu bilang mau nikah di umur 25 kan" Tapi Mama bilang, enak aja, baru selesai kuliah umur 23, terus langsung nikah" Bahagiain orangtua dulu . Nah sekarang umur kamu udah berapa" Ayah yakin Mama udah bahagia disana, dan Ayah juga akan lebih bahagia kalo sempet liat kamu nikah.
Wejangan panjang lebar Bokap gue benar-benar menusuk hati gue. Gue inget, sangat inget waktu gue ngotot mau nikah diusia 25 taun. Waktu itu, gue berencana menikah dengan.. Aryani. Sekedar rencana memang, konyol. Namun mampu membuat gue seakan kehilangan tujuan gue saat gue harus berpisah dengannya. Dan, sekarang..
Buat apa" Buat apa gue mikirin kearah menikah" Sama siapa"
Cuma satu wanita yang pernah membuat gue berencana berpikir kearah sana, yang sekarang udah dimiliki oleh orang lain.
Kamu masih kepikiran sama Aryani" tanya Bokap gue memecah lamunan gue. Gue hanya menangguk tanpa mampu menatap wajah Bokap Gue. Karna merasa sepi kehilangan Viona"
Kali ini gue menggeleng, karna merasa bukan itu alasan utamanya. Karna merasa, ternyata Viona ga sebaik Aryani"
Gue menggeleng lagi. Bokap gue menghela napasnya.
Karna, dulu Rendra pernah janji, Rendra akan dateng ngelamar Aryani, minta dia jadi Istri Rendra. Sesulit apapun keadaannya.. Jawab gue sambil menunduk.
Gue masih mengingat kejadian itu. Gue mengingat setiap detik yang berlalu saat itu. Saat kami sedang mengobrol di kursi ruang tamu dirumah Aryani.
*** Kalo suatu hari kita putus gimana Ar" tanya gue ke Aryani yang sedang menyandarkan punggungnya ke sofa.
Enak aja. Apaan sih ngomong putus mulu. Saut Aryani dengan wajah kesal. Ya kan kalo, seandainya...
Ga ada. Ga usah berandai-andai akan putus.
Ya kalo emang bener terjadi" gue masih tetep memaksakan pertanyaan itu dan memaksa ingin mendengar jawaban Aryani.
Aryani memurungkan wajahnya. Dia menatap gue dengan wajah yang memelas. Kamu tega bener-bener ninggalin aku" tanya Aryani dengan nada sedih.
Ya enggak lah. Aku tau, aku banyak salah sama kamu. Justru aku yang sebenernya khawatir kamu akan berubah pikiran dan memilih meninggalkan aku.
Aryani menatap gue dengan cahaya dari balik bola matanya yang selalu gue kagumi. Satusatunya wanita yang pernah membuat gue yakin untuk menjalani hubungan dengannya. Kalo aku pergi, kamu akan nahan aku kan" tanya Aryani.
Enggak Ar. Ga akan. Kenapa" Kita ga bisa memaksa orang buat tetep sayang dan bertahan disamping kita. Apapun yang terjadi, aku ga akan pernah bener-bener pergi dari kamu, kecuali aku mati. Tapi, saat kamu memutuskan buat pergi, aku ga akan menahan kamu.
Tapi kamu harus minta aku buat kembali. Saut Aryani dengan wajah polosnya.
Gue tersenyum mendengarnya. Lucu. Mungkin gue merasa lucu dengan ucapannya saat itu.
Apa iya kamu mau kembali sama aku setelah kamu pergi ninggalin aku" Mau. Aryani menjawab singkat seperti seorang anak kecil yang sedang antusias.
Yakin" Kamu harus dateng, lamar aku. Minta aku jadi istri kamu. Apapun keadaan kita saat itu nanti"
Aryani mengangguk. Walaupun kamu udah punya cowok lain"
Sekalipun kamu udah punya cewek lain, kamu harus tetep dateng. Kali ini nadanya seperti mengancam.
Kapan" tanya gue ke Aryani Kapan kamu rencana mau nikah" Umur 25. Mungkin
Oke aku tunggu. Janji ya" tanya Aryani dengan senyum terbaiknya. Gue tersenyum dan mengangguk menyanggupi janji itu. ***
Bodoh. Gue bener-bener bodoh. Gue menyanggupi janji yang selalu membuat gue membohongi perasaan gue sendiri ketika pada akhirnya gue harus merelakan dia dimiliki orang lain. Bahkan, saat usia gue udah memasuki 25 di dua tahun yang lalu, gue belum mampu menepati janji itu. Gue masih jadi sampah saat itu, bahkan mungkin sampe saat ini.
Yaudah, tepatin janji itu. Jadiin itu sebagai tujuan kamu sekarang, biar kamu semakin semangat menjalani hari-hari kamu. Ucap Bokap gue.
... Hidup itu harus ada tujuannya. Kamu ga bisa ngejalanin hidup dengan berjalan tanpa arah, tanpa tau kemana kaki kamu harus melangkah.
Tapi udah terlambat Yah. Apanya terlambat" Dia cuma pacaran kan sama orang" Belom nikah kan" Kalo masih pacaran mah masih belom terlambat. Ucap Bokap gue sambil mematikan puntung rokok di asbak.
Gue hanya terdiam. Gatau mesti menjawab apa. Bokap gue naik ke atas kasur dan merebahkan badannya.
Iya, Yah. Sekarang Rendra akan jadikan janji itu sebagai tujuan Rendra. Rendra akan berjuang buat menepati janji itu. Ucap gue ke Bokap gue.
Tapi jangan sampe menyakiti siapapun ndra. Entah itu Viona, ataupun pacarnya Aryani saat ini. Ucap Bokap gue sambil tersenyum dan duduk diatas kasur menatap gue.
Kemudian, dengan konyolnya dia mengangkat tangan kirinya yang terkepal sambil bernyanyi;
Mari Bung, rebut kembali.. dan kembali merebahkan badannya diatas kasur.
Gue hanya cengengesan melihat tingkah Bokap gue. Meski gue akui, obrolan malam ini dengannya terasa seperti sebuah tamparan buat gue. Sebuah tamparan yang membuat gue tersadar, bahwa hidup itu memang perlu ada tujuannya. Sebuah tujuan yang akan menjadi alasan kenapa lo terbangun di setiap pagi.
Part 6 Sepulang menjalani project dari Sleman, Gue dan Rizki lagi sibuk mengerjakan perhitungan rencana biaya project selanjutnya yang akan kami tangani. Gue merebahkan badan diatas kasur kamar gue saat kepala gue rasanya mau pecah. Melihat deretan angka yang sangat membosankan. Udah hampir seharian gue dan Rizki mengerjakan perhitungan ini, Cuma beristirahat untuk makan sejenak kemudian melanjutkannya. Tapi kali ini gue beneran lelah dan ambruk diatas kasur.
Yaah ndra, jangan tidur. Tanggung ini dikit lagi kelar. Protes Rizki saat melihat gue tiduran.
Yaudah lo kelarin aja, gue merem bentaran.
Rizki melanjutkan mengetik di laptop gue sementara gue memejamkan mata untuk meredakan lelah. Baru sebentar rasanya mata gue terpejam, Rizki udah kembali mengoceh.
Ndra udahan nih, save ke folder mana" Taro desktop aja dulu. Gue menjawab singkat
Yailah jangan lah, nanti kepencar-pencar datanya. Gabung sama yang lain aja.
Bawel kunyuk. Masukin ke folder Project, terus pilih folder I am fucked aja. Ada di Drive D. Gue menjawab kesal dan bangun dari kasur.
Hah" Lo mah ada-ada aja kasih nama folder.
Suka-suka gue lah, laptop gue, data gue, kenapa lo yang protes.
Hahaha sialan lo ngomel mulu daritadi. Ngopi aja yuk" ucap Rizki sambil mematikan dan menutup laptop gue.
Gue bangun dari kasur dan menuju dapur berniat membuat kopi, sebelum akhirnya Rizki menyela aktifitas gue dan menawarkan untuk ngopi diluar.
Gue capek Ki. Males keluar.
Yee lo ga bakal ngerasa capek deh, ngopinya sekalian ketemu temen gue, cewek kok.
Hah" Cakep ga" tanya gue sambil meletakkan kembali kopi sachet kemudian menyusul Rizki ke teras depan rumah gue.
Setan, giliran cewek aja cepet lo. Yaudah ayok ikut aja.
Gue kembali ke kamar mengambil jaket kemudian mengunci pintu rumah dan menyusul masuk ke mobil Rizki. Lalu kami berdua menelusuri jalanan malam hari menuju daerah Bogor.
Jauh Ki tempat ngopinya" Ini kearah Bogor kan" tanya gue ditengah perjalanan. Ga sampe Bogor kok, kalem aja.
Yee kalem jidat lo. Kan gue bilang gue lagi capek. Jangan jauh-jauh laah. Yailah, gue juga yang nyupir, lo tinggal duduk aja bawel amat.
Gue ga menanggapi dan membuka kaca kemudian menyulut sebatang rokok. Ndra, keknya lo perlu belajar nyetir deh. Gembel banget lo jadi cowok ga bisa nyetir. Bodo amat. Gue menjawab singkat.
Rizki menepikan mobilnya ke sebuah tempat makan, sepertinya tempat tongkrongan dengan menu jajanan seperti roti bakar, kue pancong, dan sejenisnya. Gue masuk dan memilih spot tempat duduk yang nyaman kemudian mengecek menu yang disediakan.
Yang gue suka disini adalah tempat ini menjual beberapa macam kopi daerah. Gue bukan penikmat kopi hitam. Malah sebenernya gue ga terlalu suka kopi hitam. Tapi ada pengecualian kalo kopi hitamnya adalah kopi daerah, bukan kopi sachet yang diminum dengan di dramatisir dengan ungkapan kopi itu pahit, mengajarkan pahitnya hidup bla bla bla' bulshit. Gue berniat memesan segelas kopi Aceh dan Rizki memilih kopi Lampung.
Mana katanya mau ada temen lo" Ah sepik doang kan. Ucap gue sambil memanggil pelayan dengan mengangkat tangan gue.
Bentar gue telpon dulu. Ucap Rizki sambil mengeluarkan handphone dan berdiri.
Mau pesen apa Kak" tanya seorang wanita dengan sebuah kertas dan pulpen menanyakan pesanan kami.
Emm.. Saya cuma pesen satu hal mba, jangan sia-siain kepercayaan saya lagi. Ucap gue sambil mencoba memasang wajah serius padanya.
Rizki yang sedang menempelkan telpon ditelinganya langsung tertawa ngakak sambil menoyor kepala gue saat mendengar ucapan gue sementara Mba pelayan tadi malah bengong dengan wajah memerah.
Gue menulis sendiri pesanan gue kemudian memberikannya ke Mba tadi, sementara Rizki menjauh dari meja sambil berbicara pada seseorang lewat teleponnya. Gue menyulut sebatang rokok untuk membunuh kantuk sambil menunggu.
Tidak lama kemudian, Rizki datang mendekat dengan dua orang wanita berjalan dibelakangnya. Udah macem Raja Arab aja dia. Apalagi dua wanita itu pake hijab. Gue cuma geleng-geleng merespon Rizki yang cengengesan.
Ndra, nih kenalin temen gue. Mereka anak sini, noh di komplek belakang situ rumahnya. Ucap Rizki ke gue.
Gue menyalami mereka satu per satu sambil mengenalkan diri. Yang satu namanya Rani, dan satunya lagi Diana.
Mereka kayanya cewek baik-baik. Dari pakaian dan hijab yang mereka kenakan pun keliatan. Bukan asal hijab dengan pakaian ketat. Tapi hijab mereka cukup panjang sampai hampir menutupi setengah badan. Gue sempet mengira obrolan kedepannya akan berisi ceramah kaya yang sering ada di acara Mamah Dedeh, tapi ternyata mereka orang yang asik dan seru diajak ngobrol.
Eh, Di. Lo tadi bilang kalian kerja dimana" tanya gue ke Diana.
Daerah pusat Kak. Bank XXX. Cuma jadi teller aja sih. Jawab Diana sambil tersenyum. Wah, jauh juga dong ya lo kerja dari sini"
Enggak lah udah biasa. Lagian kan bisa naik kereta. Gue mengangguk dan tersenyum menanggapinya. Lalu obrolan kami lebih sering membahas hal-hal candaan aja. Rizki yang emang konyol dan banyak tingkah tentu saja lebih sering mengundang tawa mereka. Tapi, satu hal yang membuat gue menaruh perhatian ke Diana, dia minum kopi. Sedangkan Rani memilih es cappuccino. Lo suka kopi Di" tanya gue lagi ke Diana.
Enggak kok, cuma sesekali aja. Tapi juga cuma kopi Aceh ini aja. Itu juga kalo lagi kangen sama kampung.
Lo orang Aceh" Iya, dari Nyokap. Kalo Bokap Aku dari Jogja. Diana menjawab masih dengan senyum.
Gue memperhatikan sejenak wajahnya. Biasa aja sih sebenernya. Ga cantik tapi dia punya senyuman manis yang belom pernah gue liat luntur dari wajahnya. Kalian bisa kasih gue lukisan terbaik yang bisa kalian buat, tapi gue akan tetap memilih senyum Diana buat gue pajang di kamar gue. Kulit putih dan tinggi badannya yang kira-kira sepundak gue, serta kacamata yang menyarukan bola mata indah didalamnya, membuat dirinya terlihat mungil namun menggemaskan. Fix, gue harus minta nomer handphone nya. Gue harus nambahin lagi koleksi nomer cewek yang sempat kosong di kontak gue.
Sekitar hampir jam 11 malam, mereka pamit pulang. Mereka serempak mengeluarkan dompet untuk membayar makanan dan minuman pesanan mereka. Tapi si cowok keren, Rizki, dengan gaya khas nya menahan mereka dengan mengatakan; udah nanti biar gue aja. Kan gue yang ngundang kalian kesini. Besok-besok nongkrong bareng lagi ya. Jangan kapok ngobrol sama temen gue yang culun ini. Sambil menunjuk ke gue yang kemudian disambut tawa oleh Rani dan Diana.
Kak, tapi aku boleh minta nomer handphone nya ga" tanya Rani ke gue sambil mengeluarkan handphone nya.
Lah" Nanti kalo lo minta, gue pake nomer apa"
Pake nomer plat, tempel dijidat lo. Udah sini kasih. Saut Rizki sambil memberikan handphone Rani ke gue.
Gue memasukkan nomer gue di handphonenya, kemudian mengembalikan ke Rani.
Lo gamau save sekalian nomer gue Di" Atau gue aja yang save nomer lo" tanya gue dengan nada bercanda yang hanya ditanggapi dengan senyumnya.
Ah, besok gue musti ke dokter buat cek kadar diabetes gue karna kebanyakan disenyumin cewek semanis dia.
Setelah saling bersalaman, mereka pun jalan menjauh dan hilang ditikungan jalan masuk komplek perumahan rumah mereka. Gue dan Rizki hanya melanjutkan ngobrol sebentar kemudian memutuskan pulang.
Gimana ndra" Cakep kan" Si Rani suka tuh kayanya sama lo. Ledek Rizki sambil cengengesan dari balik kemudinya.
Yah, tapi kayanya gue lebih prefer Diana Ki. Cakepan Diana soalnya gue menyauti dengan bercanda.
Ah masa sih" Bukannya Rani ya" Tingginya hampir sama kaya lo, putih, asik orangnya pula.
Selera orang beda-beda kali Ki. Tapi dari sekarang ya gue bilang, gue ga mau pacaran dulu. Jadi jangan sampe dari lo nya yang ada obrolan ke mereka tentang gue.
Hahaha mulai dah, calon-calon bakal di PHPin deh ini anak orang. Saut Rizki sambil tertawa.
Rizki hanya mengantar sampai depan rumah gue kemudian langung pamit pulang. Gue langsung masuk rumah untuk bersih-bersih badan kemudian merebahkan badan diatas kasur berniat tidur sambil mengecek beberapa notifikasi yang semakin sepi di hp gue. Ada sebuah pesan whatsapp terselip dengan deretan angka tanpa nama. Gue membacanya.
Quote: 081287xxxxxx: Malam Kak, ini nomer Aku ya, Rani. Gue: Malam Rani, oke gue save ya.
Gue memasukkan nama Rani kemudian kembali membaca chat yang masuk lagi.
Quote: Rani: Iya, Kak. Eh iya, si Diana minta nomer Kakak juga boleh Aku kasih" Gue: Kasih aja Ran. Lagian tadi ga sekalian di save.
Rani: hehehe biasa kak dia mah malu anaknya. Rani: btw lagi ngapain Kak Rendra"
Gue tersenyum membaca balasan Rani. Bukan karna jawabannya tentang Diana yang pemalu. Tapi pertanyaan lagi ngapain' itu yang bikin gue ngerasa kaya.. apa ya. Kaya anak SMA yang lagi sok-sokan pedekate. Dan gue merasa udah terlalu tua untuk menanggapi hal-hal semacam itu.
Quote: Gue: lagi ngitungin berapa kali kipas angin gue muter nih Ran. Rani: Hahaha. Ngapain sih Kak, kurang kerjaan aja. Rani: Belom tidur emang"
Gue ga membalas chat tadi dan memasang earphone di handphone gue untuk menyetel musik mengiringi tidur gue. Rasanya mata gue udah berat banget, lebih berat dari masalah harga bahan pokok yang mau naik menjelang bulan puasa. Gue memilih albumnya Dragon Force dan memutar ke volume maksimal agar dapat segera tertidur.
Suara lagu yang sedang berputar jadi agak mengecil tanda notifikasi masuk, gue mengambil kembali handphone gue untuk mengeceknya.
Quote: 087xxxxxxxx: Halo Kak. Ini Diana, di save juga yaa nomerku. Goodnite kak. Jangan lupa sholat dulu sebelom tidur.
Gue membaca kata per kata kemudian senyum sendirian. Sebaris pesan sederhana, tapi mampu membuat gue merasa seakan masih memiliki nyawa seribu tahun lagi untuk mengenal cinta. Tapi gue memilih ga membalasnya. Sepertinya, terlalu cepat kalau gue membiarkan perasaan sekedar suka ini malah makin mengembang. Gue memejamkan mata kemudian dengan segera gue tertidur.
Part 7 Suatu hari, sehari sebelum memasuki bulan puasa, sebelum magrib, Gue yang lagi asik main game sambil sesekali berbalas chat absurd dengan Diana, terinterupsi oleh kepulangan Abang gue dari bekerja. Gue membukakan pintu sejenak, kemudian kembali ke kamar.
Lo udah makan ndra" tanya Fajar dari depan pintu kamar gue. Udah.
Gue masih menikmati main game sambil tiduran diatas kasur sementara Abang gue duduk di lantai dan sibuk juga dengan handphone nya.
Magrib ndra. Lo udah mandi" tanya Abang gue saat lantunan adzan magrib mengalun dari kejauhan.


I Dont Belong Here Karya Angchimo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tadinya mau mandi, tapi pas gue ngaca ternyata masih cakep. Ga jadi mandi dah.
Yee sianjing. Mandi sono, ga teraweh lo" saut abang gue sambil menoyor kepala gue dan keluar kamar.
Gue pun meninggalkan game dan segera mandi, melaksanakan kewajiban maghrib, kemudian ikut meramaikan malam teraweh pertama puasa tahun ini.
Selesai teraweh yang tumben-tumbenan gue jalanin di malam pertama, gue memutuskan ga langsung keluar mesjid. Selain karna masih ramai yang mengantri keluar, juga karna merasa masih ingin menenangkan diri disini. Gue menyapu pandangan ke orang-orang yang masih duduk menundukkan kepalanya dan berdoa. Mereka semua, serempak merendahkan pandangan mereka, memuji kebesaran Sang Pencipta, serta menyampaikan doa dan harapan mereka.
Gue terpaku, dan reflek menundukkan kepala, serta memejamkan mata. Doa"
Selama ini, gue selalu berdoa dengan doa yang sama. Setiap hari. Meminta keberkahan, kesehatan, kelapangan rezeki, ketenangan, kebahagiaan surga buat almarhumah nyokap, kebahagiaan dunia akhirat buat gue, bokap, abang gue, keluarga gue, serta.. Aryani.
Iya. Ga seharipun yang gue lewati tanpa mengucap namanya dalam doa gue. Naif memang, meskipun saat kemarin-kemarin gue menjalani hubungan dengan orang lain, gue tetap menyebut namanya dalam doa gue. Buat apa" Gue pun ga tau. Gue cuma merasa, doa adalah satu-satunya cara gue menyapa dan mengingatnya. Ga peduli meski sejak lama gue mencoba menyapanya lewat sms atau chat yang dia abaikan.
Gue tersadar dari silent moment saat ada tepukan di pundak gue. Gue menoleh dan melihat Fajar mengisyaratkan dia menunggu diluar. Gue mengangguk mengiyakan dan segera menyelesaikan doa gue, kemudian menyusulnya dan berjalan menuju rumah.
Sampe dirumah, Fajar menyuruh membuat kopi. Gue membuat dua gelas kopi, kemudian membawanya ke teras depan rumah dimana dia udah duduk disana. Gue menguyup sedikit kopi yang masih panas kemudian menyulut rokok dan duduk disamping Fajar. Gimana project lo sama Imam" tanya Fajar memulai obrolan. Gimana apanya"
Lancar ga" Ya lancar-lancar aja. Seru" Lo jalan-jalan mulu kayanya akhir-akhir ini.
Ga jalan-jalan juga. Kan ada kerjaan. Lo mah liatnya jalan-jalan doang. Ga liat gue bangun pagi-pagi buta terus ke stasiun senen nunggu kereta. Terus masih di hari yang sama ngurusin kerjaan di daerah orang sendirian.
Fajar tersenyum tipis mendengar ucapan gue sambil beberapa kali menganggukkan kepalanya.
Lo mau fokusin disitu apa masih tetep mau cari kerjaan normal kaya biasa" tanya Fajar.
Gatau. Kayanya mau cari kerjaan aja nanti. Tapi bulan ini gue masih ribet dikejar tenggat waktu beberapa project sekaligus. Abis lebaran mungkin nanti gue coba ngelamarngelamar kerjaan.
Iya, jalanin aja apa yang baik menurut lo. Kalo perlu apa-apa kabarin gue aja.
Gue mengangguk mengiyakan dan kembali meneguk kopi kemudian menyandarkan badan di sandaran kursi.
Rencana lo apaan ndra buat kedepannya" tanya Fajar lagi ditengah lamunan gue.
Gue menoleh sejenak menatapnya kemudian membuang pandangan lagi ke luar pagar rumah.
Banyak Jar. Tapi gatau mau mulai dari mana.
Ga bisa gitu. Seribu kilo meter ga akan tercapai kalo ga dimulai dengan satu langkah ndra.
Iya gue ngerti. Kalo ngerti ya jalanin. Gue ga menjawab. Hanya menatap nanar ke jalanan depan pagar rumah gue. Aryani ya" tanya Fajar lagi.
Gue menoleh ke Fajar karna kaget. Maksudnya" tanya gue.
Salah satu rencana Lo ada Aryani di dalemnya" Gue ga langsung menjawab. Gue bingung. Walaupun dia Abang gue, gue hampir ga pernah bercerita apapun tentang urusan pribadi gue, begitupun sebaliknya. Seberapa besar peluangnya buat bisa dapetin Aryani lagi"
Gue menghela napas, tapi masih ga menjawab pertanyaannya.
Ndra. Dari dulu, waktu kecil. Lo itu sering banget yang namanya berantem sama orang. Hampir selalu tiap kalah berantem, lo pulang, nangis, dan ngadu ke gue. Selalu gue yang ngebalesin ke orang-orang yang mukulin lo. Nyelesain masalah lo sampe mereka ga berani usik lo lagi. Ucap Fajar tanpa menatap gue.
Gue menatap abang gue sejenak, kemudian kembali membuang pandangan dan merasa malu.
Sekarang, lo udah gede. Ga ada lagi orang yang bisa ganggu lo. Lo selalu lawan sendiri orang-orang itu, lo selesain sendiri masalah-masalah lo. Tapi, sekalinya lo pulang dengan keadaan nangis bukan karna muka lo dipukulin, tapi karna hati lo di ancurin. Gue ga lagi bisa ngebela lo. Tapi lo harus inget, lo ga sendirian. Gue masih abang lo. Lanjut Fajar. Gue..
Gue kembali berkawan dengan rasa sesak di dada mendengar ucapan Fajar. Gue malu. Lebih malu kali ini. Ada sedikit genangan air di sudut mata gue yang gue berusaha tahan. Bagaimanapun, gue bukan anak kecil lagi. Gue gamau nangis didepan abang gue. Tapi ucapannya bener-bener mencekat tenggorokan gue, dan menyisakan pedih di mata gue.
Dari kecil kita di didik tanpa ngebeda-bedain siapa abang siapa adek disini. Semua sama rata. Lo dibeliin apa yang gue dibeliin, semua sama. Tapi gue tetep abang lo. Gue ga minta lo hormatin gue dengan manggil abang , gue Cuma minta lo sadar lo bukan anak satusatunya. Lo anak bontot, lo adek gue. Kalo ada hal yang perlu bantuan gue, bilang aja, ga usah lo simpen sendirian.
Gue menundukkan kepala gue. Ini moment yang jarang terjadi antara gue dan Fajar. Berulang kali gue berusaha mengatur ritme napas yang semakin menyesakkan.
Dulu, Aryani lo sia-siain ndra. Lo harus akuin itu. Berapa kali gue liat lo bedua berantem disini. Bahkan pernah, dengan tolol dan egoisnya lo, lo diemin Aryani yang dateng kesini, sampe dia mau pulang sendiri, akhirnya gue yang anter dia pulang. Gue yang minta maaf ke dia atas kelakuan lo.
Gue masih diem dan sama sekali ga berniat menjawab atau membela diri dari kebodohan
gue yang lagi Fajar bacakan.
Sekarang jangan jadi merasa lo yang ditinggalkan, atau di sia-siakan. Ada banyak alasan kenapa orang-orang pergi meninggalkan kita, tapi mereka cuma butuh satu alasan kenapa mereka harus kembali. Dan satu alasan itulah yang harus lo perjuangkan.
Sudut mata gue menangkap gerakan kepala abang gue yang mengarahkan pandangannya menatap gue yang tertunduk.
Lo bisa. Lo pasti bisa. Mungkin ini titik balik lo, apapun hasilnya. Ucap Fajar mengakhiri wejangannya dan menguyup kopi hitam yang sejak tadi belum sentuh.
Anjir, udah dingin kopinya. Gerutu Fajar sambil berdiri dan masuk kedalam rumah, sepertinya berniat membuat kopi baru. Meninggalkan gue yang masih tertunduk dalam haru.
Part 8 Setelah komunikasi terakhir gue sama Viona, gue ga lagi ada komunikasi sama dia. Satusatunya orang yang banyak gue tumpahi cerita tentang gue dan Viona adalah Ari. Dan dia selalu berpesan agar gue semakin bisa menahan perasaan, menerima kenyataan, dan melanjutkan hidup. Sok bijak!
Beberapa hari sepulang menjalani sebuah project lain di Semarang di minggu-minggu pertama bulan puasa, saat gue udah di Jakarta, gue jadi rutin berbalas chat dengan Diana. Emang ga rutin banget sih, tapi ternyata absurd nya Diana udah mulai muncul, jadi gue pun seneng berkomunikasi dengannya.
Di Jumat malam, gue, Rizki, dan Bayu lagi nongkrong di daerah Bogor. Menikmati beberapa botol bir dan jagung bakar. Gue bagian makanin jagung bakarnya doang, karna di bulan puasa kaya gini gue males bertemen dengan bir.
Ndra, gue sekarang jadi deket sama Rani nih ucap Rizki ditengah obrolan. Rani siapa" Gue bertanya dengan mulut penuh jagung.
Yee, bego. Yang anak Cibinong itu, yang tempo hari kita nongkrong sama mereka. Oh, temennya Diana"
Iya. Ah lo mah ingetnya Diana doang. Apa jangan-jangan udah pacaran ya lo sama Diana"
Eh eh, Diana siapa sih" Rani juga siapa" Kok lo bedua kenalan sama cewek ga ngajak gue" potong Bayu.
Ini nih, temennya pangeran kodok. Jawab gue sambil mengarahkan batang jagung ke muka Rizki.
Anjir. Ntar kapan-kapan kita nongkrong bareng-bareng deh Bay. Eh tapi menurut lo gimana ndra" tanya Rizki sambil menggeser duduknya mendekat ke gue.
Jangan dempet-dempetan. Homo banget diliat orang, bego. Protes gue sambil mendorong badan Rizki.
Emang lo deket gimana sama Rani" tanya gue.
Yaa, kita sekarang rutin lah komunikasi. Sesekali juga kita ketemuan ndra. Gue ngerasa seru aja sama dia. Jawab Rizki sambil menopang dagu dengan kedua tangannya di meja. Bayu cuma bisa menatap kami berdua bergantian.
Tapi dia masih kecil lho. Masih terlalu muda maksudnya. Umur lo sama dia beda jauh kan"
Emang berapa umurnya, Ki" tanya Bayu. Jalan 20 sih. Rizki menjawab dengan nada ragu.
Hah" Hahaha. Lo udah kepala 3 mau pacaran sama anak baru 20 taun" Gila lo. Bayu mentertawakan dan gue hanya ikut cengengesan mengejek.
Ayolah, cinta kan ga kenal usia. Rizki mencoba membela diri, dan perasaannya. Yang kemudian hanya mendapat toyoran dari Bayu.
Lo sendiri sama Diana gimana ndra" lanjut Rizki
Ga gimana-gimana. Lagian kalo gue sama Diana lebih wajar ketimbang lo sama Rani. Gue belom setua lo, dan Diana juga umurnya diatas Rani. Jadi ga ada alasan cinta terbatas usia. Jawab gue masih dengan mengejek.
Diana berapa emang umurnya" tanya Bayu.
Diana mah 25. jarak ke gue cuma 2 taun. Jadi, cocok kan" ledek gue sambil menyenggol lengan Bayu dan melirik Rizki.
Gue dan Bayu hanya mentertawakan Rizki yang masang tampang manyun.
Lagian sebenernya ga masalah sih Ki. Kalo emang lo ngerasa Rani orang yang tepat ya jalanin aja. Tapi jangan buat main-main. Inget umur lo. Mending langsung temuin orang tuanya aja sana. Ucap gue sambil menepuk pundak Rizki dan bangkit dari kursi berniat membayar makanan dan mengajak temen-temen gue pulang karna gue udah makin kedinginan disini.
Di perjalanan pulang, gue dan Bayu bercanda membicarakan hal-hal lucu yang kami temui dalam project yang kami jalanin di daerah. Sementara Rizki kebanyakan diem di balik kemudi, sesekali hanya senyum saat ga bisa menahan kelucuan Bayu. Ki, mampir lewatin depan komplek mereka yuk. Ajak gue ke Rizki. Rizki menoleh ke gue sejenak.
Udah tengah malem gini" tanya Rizki
Gapapa, cuma lewat doang. Sekalian lewat juga kan.
Rizki mengiyakan dan menambah kecepatan berkendara.
Sekitar setengah jam kemudian kami sudah sampai depan komplek rumah Rani dan Diana. Rizki menepikan mobilnya ga jauh dari depan komplek. Gue menelpon Diana dan turun dari mobil, walaupun gue ragu Diana masih akan mengangkat telepon gue. Assalamualaikum, kenapa Mas Rendra" saut Diana dari ujung telepon.
Yap, Diana memanggi gue dengan tambahan Mas di depan nama gue. Meski gue berulang kali mencoba memprotesnya dengan alasan nama gue bukan Tomas, jangan panggil Mas. Nama gue Rendra, panggil Renatau ndra. Selain itu, panggilan Mas dari Diana membuat gue seakan asing dengan dia. Kaya orang yang mau nanya jalan; Mas, arah ke pelaminan lewat mana ya"
Walaikum salam. Kok masih diangkat" Belom tidur Di"
Udah, Cuma jadi kebangun ini. Suara Diana terdengar memang seperti orang baru bangun tidur.
Oh, yaudah dilanjut sana tidurnya. Sorry ya jadi ngebangunin. Enggak, gapapa kok Mas. Kenapa kok nelpon gini hari"
Hehehe iseng aja. Gue lagi didepan komplek lo nih sama Rizki. Abis balik dari puncak. Hah" Gini hari" Ngapain" Duh Aku ga bisa keluar gini hari Mas.
Yaa gue juga ga nyuruh lo keluar kok. Yaudah tidur aja lagi. Gue cuma numpang ngerokok doang di depan. Hahaha. Yaudah tidur sana.
Iya Mas. Yaudah, wasalamualaikum. Walaikum salam.
Diana menutup teleponnya dan gue cuma senyum-senyum sendiri. Udah lama juga gue ga nelpon orang dan ngucapin salam kaya gitu.
Gue balik ke mobil dan melongok dari kaca yang terbuka, melihat Rizki masih duduk di balik kemudi sambil memainkan handphone nya.
Bayu mana" Beli rokok tuh didepan. Jawab Rizki tanpa menoleh ke gue. Mas Rendra. Panggil seseorang dari kejauhan.
Gue menoleh ke arah suara berasal, dan mendapati Diana berdiri di depan pagar kompleknya, menggunakan celana training, atasan sweater kegedean, dan selembar kain yang menutupi kepalanya sambil dia pegang di bagian leher agar tidak terbuka. Gue pun berjalan mendekatinya.
Kok keluar" Ngapain" tanya gue saat mendekat.
Diana ga langsung menjawab, hanya menjulurkan tangannya seperti ingin menyalami, gue pun meraih tangannya berniat menyalaminya juga. Tapi, ternyata dia mencium tangan gue. Gue reflek agak menarik tangan gue, namun terlambat.
Ng& ngapain cium tangan segala Di.. gue gugup.
Mas Rendra ngapain gini hari masih keluyuran" tanya Diana yang malah dengan nada lebih tenang.
Engg.. enggak, tadi abis keluar aja ketemu Rizki sama Bayu ngebahas masalah project kerjaan. Terus sekalian muter-muter deh.
Project apa" Gue ga menjawab, tapi terpaku menatap mata Diana yang kali ini ga menggunakan kaca mata. Dan sepertinya dia tetap memaksakan tampil tertutup dengan sebuah kain menutupi kepalanya dan pakaian yang besar tertutup. Gue merasa.. mungkin tertarik dengan sikap dan caranya berprilaku.
Mas" Diana membuyarkan lamunan gue. Eh, iya" Kenapa tadi"
Ngapain bengong" Kesambet ya" ledek Diana dengan senyum manisnya. Iya nih kayanya. Kesambet cewek manis didepan gue. Jawab gue sambil cengengesan. Yaudah pulang sana, udah mau sahur. Aku harus siapin makanan dulu dirumah. Iya Di. lo mau gue anter kedalem"
Ga usah, deket kok. Yaudah ati-ati ya Mas pulangnya. Salam buat temen-temennya. Assalamualaikum.
Diana berbalik badan dan berjalan perlahan menjauh kemudian hilang ditikungan jalan komplek rumahnya. Gue masih berdiri terpaku disana, seakan masih ada bayangannya yang tertinggal menemani gue yang melamunkan siluet senyumnya yang indah dan menyejukkan.
Waalaikum salam, Diana.. gumam gue pelan beberapa menit kemudian.
Part 9 Di Sabtu malam, gue ketemuan sama salah satu temen gue di kantor lama saat gue masih bekerja kantoran dulu. Temen gue ini ga satu team dengan gue waktu itu, Cuma masih satu divisi. Namanya Ci Vanya. Dia menghubungi gue lewat pesan whatsapp yang kemudian gue ngajak dia ketemuan sekalian ngobrol-ngobrol. Dia yang menentukan tempatnya, di salah satu outlet kopi di sebuah mall daerah Jakarta Barat.
Kok lo gemukan Ci sekarang" ledek gue saat bertemu dengannya.
Ah masa sih" Aaahh, gue harus diet lagi. Ini udah kurusan sebenernya. Jawab Ci Vanya dengan tampang cemberut yang kemudian gue sambut dengan tawa.
Sebenernya ga gemukan sih. Malah makin terlihat cantik. Pipinya emang lebih berisi tapi malah jadi menggemaskan menurut gue.
Lu sendiri sekarang kok jadi kurusan" Ga ada yang perhatiin lagi ya" Ci Vanya balik mengejek gue.
Yee, enggak lah. Ini karna gue rutin olah raga sekarang.
Halah, olah raga apaan lu" Paling masih futsal seminggu sekali sama temen-temen di kantor lama.
Enggak. Malah jarang gue ketemu mereka. Eh lo sekarang kerja dimana sih Ci" Oh. Emang lu ga tau"
Lah" Ya enggak lah. Emang dimana"
Daerah Cengkareng sana, banyak juga kok anak-anak kantor lama disana. Oh ya" Siapa aja" Ada yang gue kenal"
Banyak lah pokoknya. Lu mau gabung juga"
Hahaha emang kaya orang maen ya bisa gampang banget mau gabung apa enggaknya"
Ci Vanya hanya mencubit lengan gue sambil menikmati es kopi dihadapannya. Lu emang sekarang kerja dimana" Tanya Ci Vanya.
Dimana-mana. Maksudnya" Yaaa gue ga kerja di kantoran kaya lo. Gue sama temen-temen gue bikin project kecilkecilan di bidang konstruksi gitu. Kadang ada kerjaan di jakarta atau di daerah-daerah. Makanya kerja gue ya dimanapun ada kerjaan..
Ooh lu bisnis gitu sekarang" Gue pikir lagi ga kerja. Gue mau ajak lu ketempat gue. Ah serius lo" Mau dong gue Ci.
Serius mau" Tapi kan kantornya jauh dari rumah lu.
Yailah, ke daerah aja gue jalanin apalagi masih di Jakarta. Gapapa laah.
Yaudah, lu emailin CV lu ke gue deh, buat syarat doang sih, nanti HRD nya gue suruh telpon lu orang.
Yaudah boleh. Tapi nanti aja ya Ci abis lebaran. Iya terserah lu. Kabarin aja nanti kalo lu minat.
Gue sebenernya semangat lagi saat denger Ci Vanya menawarkan gue pekerjaan ditempatnya. Cuma gue ga bisa langsung ninggalin project sama temen-temen gue. Apalagi masih ada beberapa project diluar yang musti gue selesaikan. Makanya gue meminta waktu sampe abis lebaran nanti.
Sekitar jam 9 malam gue mengajak Ci Vanya keluar outlet dan berniat mengajaknya pulang. Tapi dia malah ngajak nongkrong dulu di salah satu sudut mall lain, di bagian tamannya.
Disana kami lebih banyak bercerita tentang pekerjaan awalnya. Dia bercerita tentang sulitnya mengatur tim yang dia pimpin. Makanya dia meminta gue bergabung dan membantu membereskan beberapa kekacauan dari alur kerja tim nya yang berantakan. Gue sempat ragu menjawabnya, namun Ci Vanya bilang dia yakin gue pasti bisa.
Ngomong-ngomong, cewek lu sekarang siapa ndra" Masih sama si nenek lampir itu" tanya Ci Vanya, mencoba sedikit menyinggung ingatan gue kembali ke Viona, yang juga dulunya temen sekantor gue dan Ci Vanya.
Anjaay, sialan lo, nenek lampir aja.
Oh. Masih ya" Sorry deeh. Hehe
Enggak. Udah selesai dari beberapa bulan lalu. Masa iya lo gak tau Ci"
Ya gue tau lah. Makanya gue bisa hubungin lu lagi. Kalo masih sama dia kan mana bisa gue chat ke lu orang. Bisa dimaki-maki lagi gue.
Hah" Di maki-maki lagi" Emang pernah" gue bertanya setengah kaget. Lah" Lu gatau emang" Bohong banget lu.
Enggak. Beneran gue gatau. Emang lo pernah ada masalah apa sama dia"
Ya ga ada masalah awalnya. Cuma waktu itu kan pas gue beberapa kali chat ke lu orang nanya-nanya soal barang-barang buat operational, si Viona pernah nelpon gue marahmarah. Gue mah ga nanggepin. Eh gataunya pas gue lagi keluar kantor sore-sore, ada dia didepan kantor lagi nunggu lu, terus ngebentak gue. Sialan banget ya" Gue kaget denger cerita Ci Vanya. Gue sama sekali ga pernah tau cerita ini sebelumnya. Setau gue, Ci Vanya dan Viona ini seumuran. Dan gue pikir mereka berteman cukup akrab. Apa iya Viona sampe segitunya ke Ci Vanya" Gue langsung merasa bersalah setelah mendengarnya dari Ci Vanya.
Duh, maaf ya Ci. Gue gatau Viona sampe segitunya ke lo. Lagian kita kan dulu ga deketdeket banget ya. Maaf banget ya Ci, gue jadi ga enak sama lo. Ucap gue dengan wajah memelas dan merasa bersalah.
Laah, gapapa kali. Gue mah ga masalah. Lagian harusnya dia yang minta maaf ke gue, bukan malah lu yang minta maaf.
Gue menghela napas sejenak dan membuang pandangan gue ke tengah taman. Gue beneran kecewa sama sikap Viona yang dulu sampe segitunya. Bagusnya Ci Vanya ga jadi marah ke gue, malah dia berbaik hati menawarkan pekerjaan ke gue.
Emang lu putus sama dia kenapa" Cerita dong.
Males Ci ceritanya. Intinya aja deh, gue kan kepo orangnya. Ucap Ci Vanya sambil cengengesan.
Gue pun menceritakan apa yang terjadi, sesingkat mungkin. Lagipula gue ga nyaman membahas masa lalu gue dengan Viona. Ada rasa kecewa yang udah gue coba kubur dalam-dalam di relung hati yang paling kelam, ga akan sanggup rasanya gue membukanya kembali.
Hadeh, cheater gitu ternyata dia orangnya. Gatau malu itu nenek lampir. Ucap Ci Vanya dengan nada emosi setelah mendengarkan cerita gue.
Yah kan, itu dia kenapa gue males cerita. Gue gamau orang jadi menilai dia buruk Ci.
Ga usah denger cerita lu juga gue udah tau itu cewek berengsek, lebay, munafik, hina banget deh itu cewek dimata gue. Ci Vanya malah makin nyolot. Gue Cuma bisa diem tanpa menyahutinya.
Eh.. maaf ya ndra. Gue ga bermaksud& . Gapapa Ci, santai aja. Potong gue sambil tersenyum.
Gue ga suka ndra sama cowok yang sok berjuang buat cewek sampe ga sadar bahwa perjuangannya itu merugikan dan menyakiti dirinya sendiri. Lu orang sebenernya orang baik, tapi sering salah ambil langkah. Ci Vanya mengusap pundak gue. & . Gue diem dan menunduk, merasa malu dengan penilaiannya.
Lain kali, pikir dua kali sebelum menentukan sesuatu ya. Sama jangan gampang kebawa perasaan.
Hehehe iya Ci. Gue menatap Ci Vanya sambil memaksakan senyum. Tapi Ci Vanya malah menatap gue dengan ekspresi aneh. Ekspresi yang gue ga suka. Ekspresi memandang dengan wajah iba, mengasihani.
Gue ga suka cara lo ngeliat gue Ci. Kaya ada ekspresi kasihan gitu. Buat apaan" Gue ngerasa ga butuh di kasihanin kali. Tapi makasih buat saran-saran sama semua kebaikan lo. Ucap gue sambil membuang wajah kembali mengarah ke taman.
Enggak. Gue ga ngasihanin kok. Harusnya Lu orang tau ndra, Lu orang itu harus bersyukur, banyak tau yang suka sama lu, apalagi temen-temen kita di kantor lama. Tapi Lu malah kukuh jalanin sama Viona Ucap Ci Vanya.
& . Gue menyulut sebatang rokok dan tetap memasang sikap mendengarkan
Gue sebenernya masih sering kumpul-kumpul sama mereka lho. Nah terakhir itu kita pada gosipin lu. Dari situ gue tau lu udah ga sama Viona terus setau kita itu lu orang lagi ga kerja. Gue gatau kalo lu ada project lain, Cuma kita semua disana pada sepakat cariin satu posisi di kantor buat lu. Ya makanya gue nawarin lu ditempat gue. Ucap Ci Vanya panjang lebar, sambil merangkul.
Gue menatap Ci Vanya yang merangkul pundak gue. Kali ini dia tersenyum menatap gue. Tapi, gue merasa sungkan kali ini. Atau mungkin malu. Entah kenapa gue merasa mereka bukan perduli, tapi lebih kepada kasian. Apa karna gagalnya hubungan gue sama Viona" Ci. Gue ga suka dikasihanin. Serius deh. Cuma kata-kata itu yang keluar dari mulut gue.
Enggak. Gue atau yang lain ga kasianin lu. Makanya lu orang harus bisa bedain, apa arti dicintai dan dikasiani. You are loved, thank God for it. Ci Vanya kini mengacak-acak rambut gue dan gue tersenyum menanggapinya.
Kenapa senyum-senyum" Keinget sama Viona ya kalo gue acak-acak gini rambut lu" ledek Ci Vanya yang langsung sukses mengubah senyum gue jadi manyun.
Obrolan kami selanjutnya jadi berisi candaan dan tentu saja bullyan. Ci Vanya seneng banget bisa membully gue. Bahkan sampe mengancam kalo gue masuk ke kantornya, bullyan dia akan semakin menjadi. Gue pun meledeknya dengan menganggap bahwa bullyan dia hanya bentuk lain dari perasaan dia ke gue. Jadilah Ci Vanya semakin kejam bahkan sampai menarik rambut gue.
Setelah semakin malam dan suasana mall semakin sepi, gue mengajak Ci Vanya pulang. Gue sempet pamit di loby dan menuju parkiran motor. Saat gue menoleh kebelakang ternyata Ci Vanya mengikuti gue setengah berlari.
Gue lupa kalo gue ga bawa mobil ndra. Ucapnya sambil cengengesan dan mendekat. Lah" Hahaha. Terus ngapain ngikutin gue"
Ya lu anter gue lah. Masa gue disuruh pulang sendiri. Ucapnya sambil menjitak kepala gue.
Jadilah gue terpaksa mengantarnya pulang meski harus berputar jauh dari arah gue pulang. Tapi gapapa, bagaimanapun Ci Vanya sudah sangat baik sama gue. Lagipula ga mungkin juga gue biarin dia pulang sendirian malem-malem. Tapi kali ini, gue meyakinkan diri gue, Cuma nganter, jangan baper!
Part 10 Quote: Diana: Mas, kamu dimana"
Sebaris pesan whatsapp masuk ke handphone gue diantara beberapa pesan lain dari Diana yang belum sempat gue balas karna hari ini gue harus persentasi di depan calon klien yang akan menawarkan project pekerjaan di salah satu kantor cabangnya di Surabaya. Saat jedah istirahat siang, selesai melakukan kewajiban Dzuhur, gue baru sempat membalas chat Diana.
Quote: Gue: Lagi di daerah Slipi Di Gue: Ada apa"
Baru berselang beberapa detik pesan chatnya gue balas, Diana langsung menelpon gue. Assalamualaikum, Mas. Aku ganggu ga" tanya Diana dari ujung telepon. Walaikum salam. Enggak Di, lagi ngadem nih di mushola. Kenapa"
Mas Rendra lagi sibuk ya" Aku mau minta tolong dong Mas. Diana mengubah nada suaranya menjadi lirih.
Enggak. Minta tolong apa" Lo kenapa" Sakit ya" gue reflek bangun dari posisi tiduran dan duduk bersandar tembok.
Enggak Mas, Ayah aku sakit. Tadi aku di kabarin katanya Ayah jatuh pas lagi mau keluar kamar. Mas bisa jemput aku ga" Sepertinya Diana kini mulai menangis, terdengar dari desah napasnya.
Lah" Kenapa ga bilang daritadi" Yaudah gue ke kantor lo sekarang ya. Lo tunggu aja.
Iya Mas, aku juga baru dikasih izin pulang ini pas abis istirahat. Kamu ati-ati ya Mas. Wasalamualaikum.
Iya. Waalaikum salam. Gue mematikan telepon dan langsung menelpon Rizki, berniat untuk meminta dia menggantikan gue melanjutkan mempersentasikan data team kami ke calon klien. Berulang kali gue menelpon tapi ga ada jawaban. Akhirnya gue memutuskan menelpon calon klien gue.
Halo, Mas Rendra. Ada apa Mas"
Iya Pak. Ini, Nggg.. saya minta maaf sebelumnya Pak. Tapi kayanya saya ga bisa lanjut persentasi hari ini sama Bapak, karna dapet kabar ada kerabat yang sakit. Bisa kita lanjut di hari lain mungkin Pak"
Oh, yaudah nanti saya sampaikan ke Bos saya biar diatur ulang jadwalnya. Oke Pak kalo gitu saya tunggu jadwal terbarunya. Makasih Pak. Gue mematikan telepon dan berjalan secepatnya ke parkiran motor, kemudian berkendara cepat menuju kantor Diana di daerah Sudirman, Jakarta Pusat.
Sekitar 45 menit kemudian gue udah didepan kantor Diana dan langsung menelponnya. Ga lama kemudian Diana keluar dan mendatangi gue. Kami ga saling bicara, gue hanya memberikan helm dan Diana menerimanya sekaligus mengambil tangan gue dan menciumnya. Gue ga nyaman sebenernya dengan sikap itu, tapi gue rasa waktunya belum tepat buat membahas hal ini. Gue langsung mengebut motor kearah rumah sakit yang Diana minta.
Mungkin sekitar sejam kemudian gue dan Diana udah sampe di rumah sakit disekitar Depok. Diana gue turunkan di loby dan meminta dia langsung menuju kamar Bokapnya di rawat sementara gue mengarahkan motor ke tempat parkir, baru kemudian berniat menyusul Diana.
Saat di loby, gue mengirim chat ke Diana menanyakan posisi kamar Bokapnya ada di mana dan lantai berapa, tapi Diana belum membalas karna mungkin masih sibuk mengurus Bokapnya. Jadilah gue menunggu di kursi tunggu rumah sakit tersebut.
Sambil menunggu, gue mengabari team project gue di grup chat bahwa gue hari ini ga bisa melanjutkan persentasi dengan klien. Bang Imam memaklumi, tapi Rizki yang daritadi gue minta tolong untuk menggantikan gue malah menyauti chat gue dengan tanggapan ngeselin. Hasilnya, grup chat jadi rame karna gue dan Rizki saut-sautan saling menyalahkan. Ga sepenuhnya dengan emosi, karna gue tau Rizki juga hanya bercanda aja menanggapi gue.
Ga kerasa, gue menunggu udah hampir dua jam. Sementara Diana masih belum membalas chat gue. Gue ga mungkin menelpon karna khawatir mengganggu dia. Dan karna gue pikir dia masih sibuk mengurus segala keperluan untuk perawatan Bokapnya, gue pun memutuskan pulang dan mengabari Diana lagi lewat chat sebelum meninggalkan loby rumah sakit.
Gue sampe dirumah bertepatan dengan waktu buka puasa. Dan karna kali ini gue buka puasa sendirian karna Fajar belum pulang kerja, gue pun Cuma membatalkan puasa dengan minum dan makan cemilan seadanya kemudian menyulut rokok sambil menghilangkan gerah di depan teras. Baru kemudian gue mandi dan menjalani kewajiban Magrib.
Entah kenapa, selesai magriban gue merasa sangat sepi. Bukan karna suasana rumah gue yang emang selalu sepi, tapi kali ini gue bener-bener merasa sendirian.
Gue merebahkan badan diatas kasur kamar gue sambil memutar musik di laptop untuk membuat suasana terasa ramai. Tapi tetep aja, gue merasakan semakin sepi, kesepian.
Gue memejamkan mata. Entah berapa banyak siluet wajah berkeliaran di benak gue. Wajah semua orang yang pernah atau masih ada dalam hari-hari gue. Beberapa dari mereka yang udah berpulang , dan beberapa lainnya yang memutuskan menjauh. Satu diantara ribuan siluet wajah yang membuat gue memaksa mata gue terbuka karna mendadak merasakan rindu, Aryani.
Ingin rasanya gue membuka handphone gue dan mengirim sebaris chat padanya, namun gue urungkan. Bagaimanapun, gue ga mau mengganggu dia yang mungkin sedang menikmati hari-harinya bersama pujaan hatinya yang sekarang. Gue mencoba menahan diri, meski rasanya ada segumpal rindu yang memaksa untuk di padamkan, hingga napas gue berantakan.
Ternyata benar, bahwa bukan sekedar kesepian yang akan membuat lo hancur. Tapi keegoisan. Keegoisan yang membuat lo naif dan mempertahankan gengsi untuk mencoba menghubungi orang yang lo rindukan, akan semakin membuat lo merasa hancur. Part 11
Gue terbangun saat handphone gue berdering keras. Gue mengambil handphone dan melihat nama Diana di layar.
Iya kenapa Di" Assalamualaikum, Mas. Eh, iya. Walaikum salam. Kenapa Di"
Kamu marah ya Mas" Maaf yaa aku ga sempet pegang handphone tadi. Kok kamu langsung pulang" Terus sekarang whatsapp aku ga dibales-bales lagi.
Yee marah kenapa" Enggak. Tadi kan gue udah ngabarin gue pulang aja. Soalnya ga enak juga kalo gue disana malah ganggu.
Enggak Mas, ga ganggu. Aku yang salah sampe lupa ngecek handphone. Diana sepertinya memelas.
Yailah Di, udah gapapa kali. Eh gimana keadaan Bokap lo" Alhamdulillah udah dibawa ke ruang rawat inap Mas. Dari jam 10 pagi katanya ditanganin intensif sama dokter.
Alhamdulillah kalo gitu. Emang sakit apa" Ayah aku ada masalah sama jantungnya Mas.
Gue ga menjawab lagi. Karna gatau mau menanggapi apa.
Makasih ya Mas, udah buru-buru anter aku tadi. Aku daritadi ketakutan di kantor. Mau izin pulang aja susah banget. Belum lagi perjalanan pulangnya lumayan jauh. Aku takut Ayah kenapa-kenapa dan aku ga sempet dateng Mas.
Diana kini menangis. Gue mendengar jelas dia berusaha menahan tangisnya, namun sepertinya kegundahan yang menggelayuti hatinya seharian ini lebih berat dari kuasanya menahan tangis. Membuat pertahanannya luruh dan hancur seutuhnya. Dan gue ga bisa melakukan apapun selain menunggu tangisnya reda.
Mas. Makasih banget ya. Aku minta maaf juga tadi jadi bikin kamu nunggu lama. Ucap Diana lagi dengan sisa isak tangis yang mulai dia kuasai.
Udah, gapapa Di, santai aja. Eh sekarang lo udah makan belom" Tadi buka puasa makan apa"
Belom Mas. Baru minum aja tadi.
Yaah, makan dulu dah sana. Ini lo masih di rumah sakit"
iya masih. Nanti abis subuh mungkin aku pulang. Soalnya ga bisa ga masuk besok. Lagi kurang orang juga di kantor.
Tapi Bokap lo ada yang jaga kan" Ada. Ada Bunda sama Mas aku.
Oh, yaudah. Sekarang lo cari makan. Apa aja lah buat isi perut dulu. Nanti sebelum saur gue jemput lo kesana terus gue anter lo pulang, biar lo sempet istirahat sebelom berangkat kerja lagi.
Eh" Tapi Mas" Kenapa"
Emang ga ngerepotin"
Udah santai aja. Yaudah sana lo cari makan. Gue masih ngantuk nih. Hehehe Oh, kamu udah tidur ya" Pantes bau ilernya sampe sini.
Diana mulai sedikit tertawa. Dan emang dasar anaknya absurd, ngelucu sendiri, ketawa sendiri.
Yaudah, gue tidur dulu ya. Lo juga abis makan terus istirahat. Wasalamualaikum. Iya Mas Rendra. Walaikum salam.
Gue mematikan panggilan, kemudian memajukan alarm yang gue set untuk sahur jadi satu jam lebih awal karna akan menjemput Diana nanti.
Baru saja gue meletakkan handphone di sudut kasur, sebuah pesan chat kembali masuk. Gue mengambil handphone gue lagi dan membuka chat yang ternyata dari Diana.
Sebuah photo dirinya yang sepertinya baru saja dia ambil, karna masih memakai pakaian yang sama saat tadi gue mengantarnya, Cuma kerudungnya aja yang ganti jadi model lebih santai. Dia menunjukkan sedang memegang sebuah roti dengan tampangnya yang dimanyun-manyunin lengkap dengan matanya yang sembab terbalut kaca mata. Dan sebuah caption: Mataku bengkak seharian nangis karna khawatir, tapi malem ini harus nangis lagi karna seneng, dan bahagia karna kenal sama kamu..
Gue jadi tergoda membalasnya. Quote:
Gue: ya Allah aku boleh ya mau yang manis kaya gitu. Diana: yang mana" Yang kaya aku"
Gue: Bukan. Roti cokelatnya Diana: MAS RENDRA! Part 12
Gue dipaksa terbangun saat alarm di handphone gue berbunyi nyaring, jam setengah tiga pagi. Gue mengirim pesan ke Diana untuk mengabari bahwa gue sebentar lagi jalan menjemputnya, lalu gue bergegas cuci muka ke kamar mandi.
Lima belas menit kemudian, gue udah menyusuri jalanan Margonda Raya, Depok, yang masih sepi. Ga terlalu dingin karna gue pake jaket berbahan parasut yang lumayan tebel dan melindungi gue dari cabikan angin dini hari.
Sesaat kemudian gue udah sampe di pelataran rumah sakit tempat Bokap Diana di rawat. Baru aja gue mengeluarkan hp gue tapi dari depan loby terlihat Diana berlari kecil mendekat sambil menenteng tas kerja nya dan tas kecil yang selalu dia bawa, berisi mukenah dan botol air minum.
Udah lama ya Mas" tanya Diana saat mendekat, sambil (lagi-lagi) mengambil tangan gue dan menciumnya.
Baru banget sampe. Ga usah pake lari-larian Di. Jawab gue sambil memberikannya helm dan mengambil tas tenteng serta tas kecilnya untuk gue gantung di motor. Iya maaf Mas. Abis takutnya kamu nunggu kelamaan.
Diana perlahan naik ke jok belakang, gue menstarter motor bersiap jalan. Namun gue urungkan kembali saat gue baru ngeh bahwa Diana ga pake jaket. Cuma kaos polos lengan panjang yang gue yakin ga akan sanggup menahan dinginnya angin di jalanan.
Lo ga bawa jaket Di" tanya gue sambil mematikan kontak motor dan sedikit menoleh ke belakang.
Enggak Mas, kan aku belom pulang kerumah dari kemaren.
Emang lo berangkat kerja ga pernah pake jaket" Atau sweater atau semacamnya" Ya ini kan sweater Jawab Diana sambil meluruskan pergelangan tangannya, menunjukkan lengan panjang dari kaos yang dia gunakan.
Enggak. Itu tipis. Ini anginnya dingin Di. Ucap Gue sambil berdiri dan membuka jaket gue lalu memberikannya ke Diana.
Ini, pake ini aja. Diana menerima jaket gue sambil menatap gue kebingungan. Yee, malah bengong. Ayok cepet pake. Keburu imsyak dah. Tapi kamu pake apa"
Yailah, gue mah pake kaos ini juga cukup kok. Jawab gue sambil kembali duduk di jok motor menunggu Diana memakai jaket gue.
Kamu ga dingin emang Mas" Kan kamu yang di depan. Pasti lebih dingin. Ucap Diana sambil menaikkan resletting jaket parasut gue yang dia sudah kenakan. Santai, Spartan ga pernah kedinginan.
Jawab gue singkat dan hanya menoleh sejenak untuk memastikan Diana sudah siap, kemudian melajukan motor gue menembus jalan raya Bogor menuju kearah rumah Diana di daerah Cibinong.
Sekitar 20 menit kemudian, gue udah sampai di depan komplek rumah Diana. Kamu ga masuk dulu Mas" tanya Diana saat gue menepikan motor di depan kompleknya Emang ada org di rumah lo"
Ga ada. Kenapa emang"
Kenapa" Ya ga enak lah gini hari gue kerumah cewek pas dirumah nya ga ada orang. Ya kan kamu bisa di teras duduknya.
Enggak, ga usah lah. Apa lo mau gue anter sampe ke depan rumah maksudnya" Hehehe iya lah. Masa aku diturunin didepan jalan.
Gue cuman cengengesan menangkap maksud Diana kemudian melanjutkan jalan masuk ke dalan komplek perumahan tersebut. Diana menunjukkan arah karna gue gatau dimana posisi rumahnya, pokoknya cuma ada dua belokan, kanan sama kiri.
Gue menghentikan motor tepat didepan rumah dengan pagar berwarna hijau cerah dengan sebuah pohon cukup besar di dalam halamannya. Sekilas gue melihat rumah Diana sangat teduh dan sejuk. Tapi gue ga begitu memperhatikan sudut lain rumah nya karna badan gue rasanya sangat kedinginan seperti ditusuk-tusuk sampai ke tulang gue. Hanya saja, gue berusaha ga menunjukkannya di depan Diana, bisa tengsin gue.
Kamu beneran ga mau mampir dulu mas" Kan sekalian saur" Ga usah lah, aku bisa saur dirumah, atau di jalan nanti. Kamu kedinginan ya"
Enggak, Cuma agak.... Omongan gue terhenti tepat saat telapak tangan Diana menyentuh pipi gue. Diana mengusap kening gue dan menyentuh pipi gue kanan dan kiri dengan kedua tangannya.
Ya Allah, Mas. Ini badan kamu kedinginan. Masuk dulu aja ya. Ucap Diana dengan wajah panik sambil menggenggam kedua tangan gue. Rasanya tangan gue sangat hangat. Ga usah Di, beneran gue ga enak kalo...
Tapi ini kamu kedinginan, sampe menggigil gitu ngomongnya. Enggak. Udah sini jaketnya gue pake lagi. Keburu imsyak nih nanti.
Batu banget sih kalo dibilangin! ucap Diana sambil menaikkan nada bicaranya dan melepas jaket gue.
Gue sempet kaget denger Diana menaikkan nada bicaranya. Ini anak emang sering bertingkah absurd, tapi baru kali ini gue denger dia sedikit membentak.
Gue menerima jaket gue kembali kemudian memakainya. Diana langsung membuka pagar kemudian masuk ke dalam rumahnya, tidak lupa dengan sedikit' membanting pintu saat menutupnya. Gue Cuma bisa geleng kepala sambil tersenyum melihat kelakuannya, kemudian menstater motor dan perlahan menjalankannya menuju keluar komplek.
Badan gue rasanya makin kedinginan, padahal jaket gue udah terpakai. Gue memutuskan menepikan motor ke sebuah warung tempat gue dulu pertama kali berkenalan dengan Diana, berniat mencari minuman atau makanan hangat sekalian buat sahur.
Gue memesan teh panas dan melihat-lihat menu kemudian bertanya kepada Mba-mba penjualnya.
Disini ga ada makanan berat gitu ya Mba" Ga ada Kak. Tapi ada mi rebus kalo mau.
Boleh deh, Dua porsi jadi satu ya, pake telur mba. Sama teh panas nya dua gelas, tolong di duluin teh nya.
Mba tersebut mengiyakan dan menuju kedalam, gue bersedekap memeluk badan gue sendiri sambil menahan dingin dan merubuhkan kepala gue di meja. Ternyata gue benerbener kedingingan. Dan semoga aja teh panasnya bisa cepet dateng biar gue bisa menghangatkan badan.
Sesaat kemudian, gue mendengar sebuah gelas diletakkan di atas meja tempat gue merebahkan kepala. Gue reflek mengangkat kepala gue karna gamau dianggap numpang tidur di warung orang.
Tapi, gue menatap seseorang yang berdiri tepat didepan gue. Wanita yg baru saja meletakkan gelas plastik tupperware berwarna hijau. Diana.
Makanya, kalo dibilangin tuh jangan batu. Sok kuat sih. Ucap Diana sambil menggeser kursi plastik dan duduk tepat disamping gue, lalu mengambil tangan gue dan menciumnya, kemudian menuntun kedua tangan gue menuju pipinya yang lembut dan.. hangat.. Part 13
Gue hanya tertegun menatap Diana. Membiarkan mata gue dimanjakan oleh wajah manisnya, serta kedua tangan gue dihangatkan oleh lembut pipi nya. Sementara Diana ga bisa menyembunyikan raut wajah panik bercampur kesal atas sikap gue yang sepertinya menyebalkan menurut dia.
Teh nya diminum dulu. Ucap Diana sambil melepas tangan gue dan mengalihkan tangannya ke sebuah gelas tupperware yang sedang dia coba buka tutupnya kemudian memberikannya ke gue.
Gue menuruti perintahnya, meniup asap yang mengebul dari teh panas tersebut kemudian menyeruputnya perlahan. Diana memperhatikan gue sejenak, kemudian bangkit dari kursinya dan mendatangi Mba penjual tadi, sepertinya ingin mengkonfirmasi pesanan gue dan menambahkan pesanan untuk dirinya.


I Dont Belong Here Karya Angchimo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku pesen mi nya satu aja ya Mas. Ini aku bawa lauk kok buat di makan. Ucap Diana sambil kembali duduk di kursi dan membuka tas kecil berisi tempat makan. Lah" Ga enak dong Di, masa numpang makan di warung orang. Udah gapapa. Aku kenal kok sama yang jaga, sama yang punya juga.
Diana kemudian mendekatkan kotak nasi nya ke gue, dan mengelap sendok dengan tisu lalu meletakkan di dalam kotak nasi.
Terus Lo makan apa" tanya gue ke Diana. Aku ntar aja Mas.
Yee keburu imsyak Di. Ya gapapa. Aku ga puasa. Dih, bisa gitu.
Bisa dong. Aku kan perempuan.
Gue sempet bengong sebentar memproses maksud kata-kata Diana, kemudian cengengesan sendiri saat baru menyadari bahwa maksudnya mungkin dia lagi ga puasa karna kedatengan tamu bulanan.
Gue menikmati bekal bawaan Diana berisi sambal goreng kentang dan ayam goreng, lengkap dengan nasi nya. Ga lama kemudian mi pesenan gue dateng dibarengin dengan teh panas yang tadi gue minta lebih diduluin. Hasilnya, di meja dihadapan gue saat ini ada 2 gelas gede teh panas, 1 gelas plastik teh panas dari Diana, sekotak makanan dari Diana, dan semangkuk mi rebus.
Ini gue makan isinya karbohidrat semua Di" Nasi, kentang, Mi. Lo makan mi nya ya" ucap gue ke Diana dengan tampang memelas.
Enggak. Aku ntar aja makannya. Kamu ga usah khawatir ga kenyang, ini masih ada segelas susu aku bawa. Ucap Diana mengejek sambil mengeluarkan gelas tupperware berwarna biru berisi susu.
Gue Cuma menelan ludah membayangkan sesaknya perut gue nanti sementara Diana cengengesan sambil mengaduk mi rebus dihadapan gue.
--- Gue sampai dirumah bertepatan dengan adzan subuh. Setelah sholat gue langsung membanting badan diatas kasur dan kemudian tidur, masih dalam kondisi cukup kedinginan.
Gue baru terbangun tengah hari karna kepanasan dengan udara kamar. Gue melirik jam dinding di kamar yang menunjukkan jam 2 siang lewat sedikit. Dengan terburu-buru gue langsung keluar kamar untuk berwudhu dan sholat.
Sebenernya, gue termasuk orang yang jarang banget ibadah. Tapi entah kenapa akhirakhir ini gue malah jadi ibadah meski awalnya selalu diingetin dulu sama Diana.
Selesai sholat, gue balik ke kamar, menyalakan laptop kemudian mencari handphone yang berada di tumpukan bantal. Ternyata hp gue mati keabisan batre. Gue segera mencharger dan duduk bersandar diatas kasur memangku laptop sambil mengecek email.
Beberapa email gue baca untuk mendapat update project yang sedang berjalan, diantaranya ada yang tinggal finishing aja. Gue membaca sebuah email dari Bang Imam yang memberikan brief untuk project terbaru di Surabaya. Ternyata klien yang gue tinggal kemaren sudah menyetujui hasil persentasi ala kadarnya yang gue sampaikan, proses nego harga dan yang lainnya dilanjutkan oleh Bang Imam via email. Jadilah, gue lagi yang ditugaskan turun langsung ke Surabaya.
Gue menyalakan handphone yang masih di charge berniat menghubungi bang Imam. Namun beberapa notifikasi serempak masuk. Banyak pesan chat dari grup membahas project yang akan gue jalanin di Surabaya, tapi lebih banyak pesan chat dari Diana, yang isinya di dominasi dengan marah-marah karna gue dianggap ngilang ga ngasih kabar. Bahkan terselip sebuah chat dimana dia bilang mau lapor polisi karna gue dianggap hilang. Absurd emang.
Gue menepikan dulu chat dari Diana dan segera menelpon Bang Imam, meminta arahannya mengenai project Surabaya. Bang Imam memberikan arahan dan informasi beberapa orang yang perlu gue hubungi saat di Surabaya, kemudian memberitahu jadwal keberangkatan gue kesana.
Hah" Lo ga salah Bang" Itu H+4 setelah lebaran kan" Iya, itu dia. Lo bisa ga kira-kira"
Yaudah atur aja dah. Gue ikut apa kata lo aja. Oke, gue siapin semua keperluan lo ya.
Gue mengiyakan dan menutup telepon dengan bete. Baru aja gue berniat membalas chat Diana, dia sudah langsung menelpon gue.
Assalamualaikum Di. Walaikum salam. Kamu kemana aja" Dari abis pulang saur sampe gini hari ga ada kabarnya. Ditelpon malah ga diaktifin hp nya, tapi barusan malah nada sibuk pas aku telpon. Kamu kemana sih" Maksudnya apa ilang-ilangan ga jelas... bla bla bla bla.. Diana ngoceh panjang lebar, ga mungkin gue ketik semuanya disini. Intinya dia kesel karna gue ga kasih kabar.
.... gue diem denger ocehannya
.... Diana kini mulai diem, dan berusaha mengatur napasnya. ....
.... "..." "..."
Yaudah, kamu istirahat ya Mas. Maaf aku marah-marah. Wassalamualaikum. Iya, Waalaikum salam, Di.
Gue memutus telpon dan menepuk jidat.
Part 14 Setelah kejadian gue mengantar Diana saat itu, entah kenapa kami jadi semakin dekat. Maksudnya, mungkin bisa dibilang komunikasi kami jadi semakin intens. Walaupun kebanyakan hanya komunikasi satu arah dari Diana ke gue, karna sejujurnya gue jarang membalas chat dari Diana.
Tapi intensitas ketemuan kami juga mulai meningkat. Diana yang bisa dibilang moody dan unpredictable itu sering kali bertingkah mengejutkan. Kaya tiba-tiba nelpon jam 5 sore dan minta di jemput di salah satu stasiun di daerah Depok kemudian ngajak buka puasa bareng.
Hal itu tentu ga selalu gue turutin. Gue, gatau kenapa, lebih suka buka puasa dirumah untuk tahun ini, meskipun sendirian. Dan jadilah Diana kadang ngambek ga karuan dan nelpon ke gue sampe berkali-kali.
Kamu bisa ga sih mas kalo ditelpon itu cepet diangkat" protes Diana dengan nada memelas saat panggilan ke 12 nya baru gue jawab.
Maap Di, ga kedengeran. Alesan yang hampir selalu gue gunakan, dan ga sepenuhnya bohong. Karna emang gue silent hpnya. Hahaha.
Kadang juga biasanya gue dan Diana sekedar nongkrong di warung depan kompleknya, selepas jam sholat teraweh, sekitar jam 8 malem sampe jam 10 malem baru bubar.
Iya, itu gue akhirnya menuruti karna menurut Diana; Komunikasi tatap muka secara langsung itu wajib dilakukan minimal 2 jam sehari. Walaupun ga selalu rutin.
Alesan gue sederhana, gue Cuma ga mau cepet merasa bosan kalo harus ketemu dia setiap hari. Tambah lagi gue bukan orang kantoran kaya dia yang jam 4 sore udah pulang kerja. Kadang gue baru selesai ngurusin project gue lewat tengah malem, atau kadang malah baru mulai ngebahas perhitungan project tengah malem kalo Rizki lagi berubah jadi kalong.
Dan hal itu sulit di pahamin Diana. Selain karna dia taunya gue nganggur', gue juga ga pernah menceritakan apapaun tentang diri gue. Yang ada malah sebaliknya, Diana selalu menceritakan apapun, apapun. Entah itu soal lingkungan kerja nya, keluarga nya, sahabatsahabatnya, serta asal mula kenapa dia berhijab.
Aku dulu juga ga pake jilbab mas. Malah, aku gamau pake jilbab. Tapi Mas aku, Mas Deni, selalu maksa aku. Apalagi pas dua taun lalu aku putus sama mantan aku, jadi lah itu dia gunain sebagai kesempatan buat ngebentuk' aku kaya yang sekarang gini. Ucap Diana di suatu malam saat kami tengah berbagi cerita di warung kopi dekat rumahnya. Bukannya bagus ya Di"
Iya, tapi awalnya aku ga suka mas. Karna buat aku yang namanya ibadah itu bukan dipaksain, tapi harus tulus. Apalagi soal hijab, buat aku yang dulu tuh yang penting hijabin hati, benerin kelakuan. Kan ga pantes kalo...
Ada di surat apa dalam Al Quran yang bilang hijabin hati dulu" sanggah gue. Diana ga langsung menjawab, tapi menatap gue dan tersenyum.
Ada di surat apa" Please, enlightened me. Gue mengulang pertanyaan, sambil tersenyum menantang tanggapannya.
Pertanyaan kamu kaya sanggahan mas Deni waktu itu, mas. Ucap Diana sambil tersenyum.
Dan dari situ, aku belajar berhijab. Sambil pelan-pelan berubah jadi lebih baik, memperbaiki sholat aku. Mas Deni pernah bilang: Kamu ga akan bisa memperbaiki diri kamu tanpa sholat. Yaa, sejak saat itu lah aku berubah. Lanjut Diana masih dengan tersenyum.
Gue pun turut tersenyum. Mungkin gue bangga. Dan yang pasti, Diana memang banyak memberikan pencerahan buat gue. Pertemuan tatap muka yang dia wajibkan selalu memberikan dampak positif buat gue dari apa yang dia bicarakan.
Oh ya, Salah satu hobi Diana adalah menulis. Dia sering menulis cerita yang dia share di Wat***. Ini serius, gue bahkan pernah baca salah satu ceritanya dan.. kagum. Kebanyakan cerita fiksi, tapi penuh dengan baris-baris sajak maupun puisi yang bikin gue semakin kagum. Dan tentu saja gue ga mungkin share disini tentang ID dia di forum tersebut.
Dan jangan salah. Meskipun berhijab dan terkesan agamis, Diana juga punya selera musik yang gue kagumi. Isi folder lagu di handphone nya bukan lagu-lagu kosidahan seperti dugaan gue, tapi justru mayoritas berisi lagu-lagu lawasnya Blink 182 serta pecahannya yaitu Angel and Airwaves dan +44.
Ada perempuan kerudung yang punya selera musik kaya gitu" Gue sempet menebak ga ada, sebelum bertemu dan mengenal Diana.
Dan lebih dalam gue mengenal dia, semakin jelas gue menemukan banyak hal yang gue kagumi. Cara dia berbicara, cara dia memutuskan sesuatu, cara dia memilih kata dalam menulis, membuat gue semakin jatuh cinta, yang tertuju pada satu nama; Diana.
Gue merasa bahwa Diana, memiliki kepribadian dan cara berprilaku yang hampir mirip dengan gue. Cara berpikir dan menentukan pilihannya membuat gue seperti melihat diri gue sendiri dalam sosok seorang wanita. Dia bukan kaya kebanyakan perempuan lain kalo belanja sesuatu. Dia berangkat dari rumah menuju suatu tempat untuk berbelanja sesuatu yang sudah dia rencanakan, dan kemudian ga memilih terlalu banyak, beli, bayar, dan pulang.
Diana bukan tipe perempuan yang banyak berbicara hal-hal yang spesifik. Dia lebih suka membicarakan sesuatu secara umum dan garis besarnya saja. Tapi sekalinya dia bicara soal sesuatu secara mendalam, dia mampu membuat gue tertegun dan terdiam untuk memahami maknanya.
Mas, coba kamu tunjuk salah satu benda langit, yang menurut kamu paling terang, dan cahayanya sebanding dengan segala sesuatu yang akan kamu perjuangkan buat mendapatkannya. Ucap Diana suatu hari saat kami sedang menikmati malam di salah satu bukit teh di daerah Bogor.
Gue menatap Diana sejenak, kemudian melemparkan pandangan gue ke langit. Mencari setitik sinar yang gue yakini berasal dari bintang yang paling terang.
Mungkin yang itu. Ucap gue sambil menunjuk salah satu bintang di langit.
Gue kembali menatap Diana yang kini menatap gue dengan sebuah senyum yang berbeda. Senyum yang bukan berasal dari wajah seorang Diana yang pernah gue lihat sebelumnya. Kenapa" tanya gue ke Diana.
Diana masih diam, dengan senyuman yang menyimpan sejuta makna. Dan gue pun enggan berbicara sebelum dia memecahkan hening yang membungkam mulutnya.
"Apa mungkin kamu rela mengejar bintang yang berjarak jutaan tahun cahaya, saat ada bulan yang tersenyum dengan indah di pelataran dunia kamu""
Itu bukan sebuah pertanyaan buat gue. Karna gue tau, itu lebih seperti sebuah tamparan. Lembut, tapi cukup menyakitkan. Dan setiap melodi nafas yang terlantun dari arah dimana tepat Diana berada kemudian terasa menyayat kerongkongan gue saat dia mengirimkan jeritan hati dalam balutan lembut ucapannya selanjutnya
"Mas, kamu bisa kehilangan bulan di depan wajahmu, saat kamu terlalu sibuk memperjuangkan bintang yang sebenarnya terlalu jauh dari prediksi kamu."
Gue semakin sepakat bahwa ga ada orang yang sempurna, sampai lo jatuh cinta pada orang tersebut. Hingga membuat gue lupa, bahwa gue pernah membeku diatas kasur tanpa bisa tertidur. Gue lupa pernah patah hati dan belajar membenci. Gue lupa, cinta pernah jadi alasan kenapa gue pernah terluka tapi bertahan untuk tetap tertawa. Dan, Cinta pernah jadi alasan gue mengemis sebuah senyuman.
Part 15 Mas, kamu ga pengen main kerumahku" tanya Diana di suatu malam, saat pertemuan di warung kopi yang semakin dia wajibkan.
Gue menatapnya sekilas, kemudian kembali membaca pesan di grup BBM mengenai arahan Bang Imam soal beberapa kesalahan perhitungan project yang harusnya sudah selesai gue kerjakan.
Mas... sibuk sama hape mulu iiihh.. Diana mengambil paksa handphone gue Apa sih Di"
Kamu ga pengen main kerumah"
Gue diam lagi, memikirkan jawaban apa yang pantas gue ucapkan. Kamu ga pengen kenal keluargaku" tanya Diana lagi. Ya pengen, nanti.
Kapan" Emang kenapa sih" Harus sekarang-sekarang ini" Gue menjawab dengan sedikit kesal.
Kali ini Diana diam. Kemudian meletakkan handphone gue diatas meja. Gue mengambilnya dan melanjutkan membaca isi pesan di grup BBM.
Lama gue hanyut memahami setiap arahan dari Bang Imam, sementara Diana mulai diam. Sesekali gue melirik kearahnya yang hanya mengaduk minuman coklat dingin menggunakan sedotan.
Di. Kok diem" Diana menatap gue, tapi ga menjawab. Gue pun memasukkan handphone gue ke saku jeans dan berniat membuka obrolan ke Diana.
Di, gue boleh nanya hal-hal yang bersifat pribadi gak" tanya gue sambil melipat tangan diatas meja.
Diana hanya mengangkat kedua alisnya tanda menyetujui, sambil menggigit ujung sedotan dari minuman es cokelat yang tinggal setengah gelas.
Lo pernah pacaran berapa kali"
Diana mengacungkan jari kelingking, jari manis, dan jari tengahnya sementara jari telunjuk dan ibu jarinya di rapatkan. Mengisyaratkan angka tiga.
Paling lama berapa taun" tanya gue lagi.
Kali ini Diana ga menjawab.
Kapan terakhir pacaran"
Dua taun yang lalu Maasss, kan aku pernah cerita. Kini Diana menjawab dengan sedikit kesal sambil mencubit tangan gue dengan gemas.
Oh ya" Kapan ceritanya"
Aku kan pernah cerita kapan pertama kali aku pake hijab. Nah itu persis setelah aku putus sama mantan aku. Dua taun yang lalu.
Berarti dari saat itu ga pernah pacaran lagi"
Enggak. Diana menjawab dengan cepat menyambar pertanyaan gue.
Selama dua taun" gue menegaskan.
Diana diam sejenak, kemudian mengangguk pelan seakan ragu. Yang juga membuat gue meragukan jawabannya.
Lalu kami saling terdiam, meski mata kami tetap saling mempertahankan untuk saling menatap satu sama lain. Ada sesuatu di balik matanya yang memaksa gue untuk tetap menatapnya. Sesuatu yang senilai cahaya matahari pagi bagi bunga-bunga yang nyaris mati.
Kamu sendiri pernah pacaran berapa kali" Diana bertanya balik. Gue diam, karna memang ga berniat menjawab.
Paling lama pacaran berapa taun" Dan kapan kamu terakhir pacaran"
Gue tetap diam, hingga Diana menghela napas dengan kesal.
Gue tersenyum melihat tingkahnya. Dan gue mengakui bahwa gue memang curang kali ini. Bertanya tanpa mau menjawab ketika di tanya balik.
Kayanya kamu ga pernah cerita tentang diri kamu Mas. Hampir setiap hari kita ketemu, Aku ga merasa semakin kenal sama kamu dari waktu kita pertama kali ketemu disini. Ucap Diana sambil kembali menggigiti ujung sedotan lagi, yang sepertinya adalah kebiasaannya. Apa yang lagi kamu sembunyiin dari aku" tanya Diana lagi.
Ga ada. Gue ga punya sesuatu yang menarik buat gue ceritain dalam hidup gue. Jawab gue pelan.
Diana menatap gue dengan wajah yang lebih serius. Entah apa yang dia pikirkan. Hingga kami semakin tenggelam dalam hening yang membosankan.
--- Hari ke hari berlalu begitu saja dalam hidup gue. Meski gue ga bisa memungkiri, ada rasa rindu tiap kali hari berlalu tanpa bertemu Diana. Gue ga bisa menahan sebuah rasa yang sejujurnya semakin terbiasa dengan kehadiran Diana dalam hidup gue. Namun kenyataannya, seringkali gue berusaha menepis rasa itu. Ada ragu yang membuat gue membisu setiap kali obrolan gue dengan Diana mulai mengarah pada apa yang kami rasakan satu sama lain. Rasa ragu yang membuat gue seringkali bersikap menutup diri setiap kali Diana mencoba mencari tahu tentang gue lebih jauh.
Gue memang melihat sebuah harapan baru dalam diri Diana. Sebuah harapan soal masa depan. Sebuah harapan dimana gue bisa membiarkan seluruh cinta yang gue punya untuk bermuara di hati Diana. Tapi, semakin gue merasakan itu, semakin hati gue merasa ragu dan ingin tetap menunggu saat yang tepat untuk kembali ke seseorang yang pernah dan masih gue cintai, Aryani.
Perjodohan Busur Kumala 25 Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Bangau Sakti 7
^