Pencarian

Dunia Yang Sempurna 4

Dunia Yang Sempurna Karya Carienne Bagian 4


gw aja geli ngomonginnya.... sahut gw masih tertawa. oh jadi lo ga serius nih" okeeee....
yah malah ngambek ni anak....
PART 51 Hari mulai beranjak pagi ketika gw menguap sambil memegangi segelas kopi panas. Gw membeli kopi hitam pekat di sebuah warung nasi bungkus yang menempel di salah satu sisi pagar rumah sakit. Gw duduk di bagian pagar yang menonjol, dan menyalakan rokok. Sebentar lagi matahari terbit, dan hari baru akan dimulai. Semalam gw tidur di ruang tunggu tempat gw ngobrol dengan Ara, sementara Ara tidur di dalam kamar, menunggui ayahnya. Pada awalnya dia ngotot menyuruh gw tidur didalam, tapi gw menolaknya dengan ngotot pula.
Semalam telah diputuskan, mamanya Ara akan kembali ke rumah sakit pagi-pagi sekali, dan tadi malam giliran Ara untuk berjaga. Wajar saja, mengingat mamanya Ara pasti sangat lelah, dan masih banyak yang harus dipersiapkan dirumah. Karena itu Ara melarang mamanya untuk kembali ke rumah sakit. Mama tidur dirumah aja, malam ini Acha yang jagain papa, katanya. Gw mendukung penuh pikiran Ara itu, karena gw merasa itulah yang benar.
Gw menghabiskan kopi perlahan-lahan, sambil menikmati beberapa batang rokok, hingga waktu subuh tiba. Setelah melaksanakan ibadah sholat subuh, gw masuk dan duduk di salah satu ruang tunggu di depan, bukan di tempat gw tidur semalam. Gw duduk termenung, entah berapa lama. Gw takjub sendiri dengan keputusan gw untuk ikut ke Surabaya, sebuah kota yang bahkan gw sendiri baru kali ini menginjakkan kaki disini. Gw ada disini untuk pertama kalinya, karena satu alasan, ya siapa lagi kalau bukan Ara.
Gw tersenyum mengingat betapa spontan dan impulsifnya
keputusan gw kemarin itu. Hanya dalam waktu beberapa detik saja, gw memutuskan untuk ikut menemaninya pulang. Barangkali ungkapan diluar sana itu benar, yang spontan itulah yang menggambarkan perasaan kita sebenarnya. Semuanya terasa benar ketika itu berhubungan dengan Ara.
Pikiran gw melayang ke hari-hari pertama gw di Jakarta, harihari pertama gw mengenal sosok Ara. Tanpa terasa hampir dua tahun sudah gw menemaninya, selalu berada disisinya, dan selalu menjadi pendengar setia dari ocehannya. Bagi gw, kehadirannya merupakan satu bagian yang tak terpisahkan lagi buat keseharian gw. Memang gw akui, pada satu waktu gw merasa bosan dengannya, bosan dengan keseharian gw, sehingga waktu terasa berjalan lambat sekali. Tapi ada masanya hidup gw begitu menyenangkan sehingga waktu berjalan begitu cepat.
Gw terbangun ketika suara handphone gw berdering nyaring di telinga. Rupanya gw tertidur. Gw mengangkat telepon. halo"
lo dimana" di ruang tunggu depan oh, oke gw kesana.
Beberapa menit kemudian Ara sudah duduk di samping gw, mengenakan jaketnya, dengan rambut yang dirapihkan ala kadarnya. Tampak sekali dia baru bangun tidur. mama udah dateng" gw menoleh kearahnya.
udah tadi, makanya gw bisa keluar. dia menarik napas, sepertinya dia pilek. kok lo duduk disini"
tadi gw ngopi sama ngerokok dulu didepan. Semaleman gw ga ngerokok, mulut gw udah asem... sahut gw pelan. ooh...
setelah itu yang ada diantara kami hanyalah kebisuan. Gw mengamatinya, dan menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh dari dirinya. Air matanya meleleh perlahan di pipinya.
Cha" lo nangis" gw bertanya pelan.
Buru-buru dia mengusap air matanya yang telah jatuh. Tapi terlambat. Sepertinya perasaannya terlanjur menguasainya. Tanpa memperdulikan sesering apapun dia menghapus air matanya, pipi itu akan tetap basah.
gw takut.... katanya serak. takut kenapa"
gw takut kehilangan orang-orang yang gw sayangi....
Gw terdiam. Gw memahami apa yang menjadi ketakutannya. Adalah sangat wajar apabila dia merasakan ketakutan itu.
pada akhirnya, semua pasti bakal pergi juga, Cha... kata gw menenangkan.
ya gw tahu itu. Cuma untuk sekarang gw belum siap.... dia terisak lagi. Gw merangkul bahunya lembut, dan berusaha menenangkannya lagi.
gw merasa hidup gw masih belum siap kalo harus menghadapi semuanya sendirian. Gw merasakan beban itu. Apalagi gw anak tunggal. Gw kesepian, ketika nanti gw ga punya siapa-siapa lagi... lo masih punya gw kok... kata gw sungguh-sungguh.
bahkan lo sendiri nanti juga akan sibuk sendiri dengan kehidupan lo, dengan kesibukan dan keluarga kecil lo nantinya. Gw merasa nanti kalo gw beranjak tua, gw ga punya siapasiapa....
hus! lo ga boleh berpikir gitu, apalagi diomongin. gw mempererat rangkulan gw. nanti pasti ada yang akan jadi pendamping lo untuk selamanya, entah itu gw, atau yang lain. Yang pasti, lo ga akan sendirian menjalani hidup ini. Lo terlalu berharga untuk itu.
....... untuk sekarang lo memang masih ragu-ragu, tapi jalani aja prosesnya, nikmati. Nanti pasti lo bakal menulis satu cerita di hidup lo sendiri, dengan orang-orang terdekat yang selalu ada disisi lo.
rasanya gw ga pingin tambah tua. Gw ga mau melihat orangtua gw pergi meninggalkan gw, gw ga mau melihat satu-satu orang yang gw sayangi menjauh atau pergi dari gw. Gw pingin terus seperti ini...
kalau kita melawan waktu, pasti sakit rasanya. Waktu itu kejam kok, gw akui. Tapi di sisi lain, buat gw, waktu itu penjawab segalanya. Nanti, semua kekhawatiran lo sekarang akan sirna bersama jalannya waktu. Gw jamin itu. gw tersenyum menatapnya.
Ara memandangi gw dengan sayu dan matanya sembab. Tapi akhirnya secercah senyuman mulai tampak di wajahnya yang cantik itu. Dia tersenyum sambil menghapus sisa-sisa air matanya.
nyebelin... katanya sambil tersenyum lucu dengan suara parau. Dia masih mengusap-usap jejak air matanya.
Memandanginya seperti itu, justru gw yang mematung. Bibir gw tetap menyunggingkan senyum, tapi pikiran gw melayang-layang. Gw membayangkan kelak nanti tiba waktunya gw harus berpisah dengannya, dengan cara apapun itu, dan dengan kondisi apapun, gw harus bisa menerimanya. Dan gw harap dia juga bisa menerimanya. Meskipun gw yakin ga ada satupun diantara kami yang berharap detik-detik itu akan tiba.
Gw menatapnya, di setiap lekuk wajahnya. Senyumannya yang unik dan selalu spesial bagi gw. Setiap helai ikal rambutnya, merupakan pemandangan terindah bagi gw. Suaranya yang melengking dan terkadang berdenging di telinga gw, merupakan satu harmoni melodi yang menghiasi hidup gw. Setiap hembus nafasnya, setiap kedipan matanya dan di setiap gerakannya, adalah salah satu alasan utama kenapa gw harus selalu bersyukur setiap harinya. Semua yang ada di dalam dirinya, membuat gw rela memberikan apapun yang gw miliki kepadanya. Hati dan
hidup gw. Di tengah cericip burung yang menghiasi matahari pagi itu, gw menyadari bahwa berkesempatan mengenal Ara adalah hal terbaik yang pernah ada di hidup gw.
PART 52 Keesokan harinya, papanya Ara sudah diperbolehkan untuk pulang karena keadaannya sudah jauh membaik. Hanya saja masih diwajibkan untuk kontrol secara rutin. Gw pun sudah sempat berbicara sedikit-sedikit dengan beliau, meskipun hanya sekedar membicarakan hal-hal yang umum tentang gw. Akhirnya untuk pertama kalinya gw berada di rumah Ara. Rumah itu megah dan sangat besar menurut gw. Ternyata keluarga Ara adalah keluarga berada, meskipun selama hidup bersama gw di Jakarta dia ga pernah memperlihatkan statusnya itu.
Pagi itu gw bangun agak kesiangan karena kelelahan akibat kegiatan kemarin. Buru-buru gw keluar kamar, cuci muka dan berdiri di teras samping mencari udara segar sekaligus mencari Ara. Gw berdiri dengan setengah mengantuk. Gw bermaksud menyalakan sebatang rokok tapi niat itu langsung gw urungkan karena gw merasa segan dengan keluarga Ara. Sepertinya keluarga Ara bukan keluarga perokok, karena gw ga mendapati tanda-tanda keberadaan perokok disana.
jiah, baru bangun lo" sebuah suara menyadarkan gw. Gw menoleh.
eh, pagi Cha& Iya nih gw semaleman capek banget, tadi gw bahkan ga bangun subuh&
dih parah& . ya mau gimana lagi, namanya juga ketiduran&
iya sih, lo emang belum bisa istirahat yak sejak dari Jakarta... Ara berdiri disamping gw, memainkan handuk yang dikalungkan di lehernya. lo mau sarapan apa" tanyanya.
ah gampang gw mah, nanti gw beli aja di warung-warung deket sini... gw menolak dengan halus, karena gw ga enak meminta Ara atau siapapun memasak buat gw. Gw merasa segan.
gampang-gampang, emang lo kira ada warung disini" sahutnya sewot. udah ah ga usah bawel, mau sarapan apa lo" udah untung gw tawarin nih, daripada gw kasi nasi aking... sungutnya. ya udah apa aja deh, Cha. Gw mah ngikut aja....
nasi goreng mau yak" nasi goreng buatan mama numero uno loh...
mau mau.... Ara mengangguk-angguk sambil mencium-cium handuk yang sedari tadi dimainkannya. Rambutnya sudah agak panjang, dengan poni yang menutupi sebelah matanya. Kemudian gw baru menyadari kalau dia masih memakai piyama, tapi bercelana pendek, dan bertelanjang kaki.
Cha, lo bangun jam berapa si"
lima menit yang lalu kira-kira... dia nyengir lebar dengan bibir pucat. Ternyata dia sama-sama telat bangun seperti gw.
nanti kita nonton yuk... celetuknya tiba-tiba. bosen gw dirumah
lah mama papa gapapa nih ditinggal sendiri" ga lo jagain" nanti ada om sama tante kesini kok, tenang aja... ya udah kalo gitu, tapi....
tapi apa" gw lagi bokek, Cha... udah beres itu mah, gw yang ngajakin kok. engga ah, ga enak gw kalo lo yang nraktir nonton... Ara melotot ke gw.
bawel amat si lo kaya ayam minta dipotong lehernya! tadi malem mimpi apa si kok pagi-pagi udah ngeselin gini... sewotnya. iya iya udah terserah lo, Chaaa.... gw mengangguk pasrah.
Setelah sarapan dan mandi, kemudian gw dan Ara bersiap-siap untuk keluar. Sebelum pergi gw sempatkan ngobrol-ngobrol sebentar dengan mamanya Ara. Ternyata mamanya Ara juga tobat dengan kelakuan putri tunggalnya itu, meskipun beliau juga tertawa-tawa geli kalau mengingat sifat-sifat Ara. Terlihat sekali kalau beliau sangat mencintai dan membanggakan Ara, putri semata wayangnya.
Ketika Ara selesai siap-siap, dia menghampiri gw dan mamanya yang sedang bercakap-cakap di ruang keluarga. Gw menoleh
melihat Ara, dan gw terpana. Dia sangat cantik hari itu, sangat berbeda dengan ketika hidup ngekos di Jakarta bersama gw. Kali itu rasanya gw melihat seseorang yang berbeda. Dia memakai sweater berwarna biru tua, dengan celana ketat hitam. Rambutnya tertata dengan indah dan bergelombang. Karena kulitnya yang putih dan kontras dengan pakaiannya itu, dia tampak lebih cantik.
Mah, pergi dulu ya. ucap Ara sambil mencium tangan mamanya. Hati-hati ya, Cha, jangan kemaleman pulangnya... siap, boss dia nyengir lebar dan menarik tangan gw keluar.
eh gw belum pamit mama nih, maen tarik-tarik aja lo! protes gw, sementara mamanya Ara tertawa-tawa menatap kami berdua. tante, saya pergi dulu ya... ucap gw sambil meringis tanpa dosa dan mencium tangan mamanya Ara.
iya, Mas Gilang, titip Ara ya... mamanya Ara tersenyum ramah. iya tante...
gw kemudian keluar rumah mengikuti Ara. Dia sudah menunggu di teras rumah yang besar itu.
naik apa kita" naik mobil lah, kangen gw sama mobil gw... kata Ara sambil menuruni tangga menuju ke garasi. Dia kemudian membuka pintu sebuah mobil berwarna hitam. ayo naik lah, gw tinggal ntar!
oh iya iya... gw buru-buru membuka pintu penumpang, sementara Ara sudah masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya. Ga lama kemudian kami sudah meluncur ke jalanan Surabaya.
gw ga tau kalo lo bisa nyetir mobil, Cha... ucap gw sambil tertawa. Gw malu, karena gw cowok, tapi belum bisa mengendarai mobil. Dari caranya mengendarai mobil, sepertinya dia sudah mahir dan berpengalaman. udah lama bisa nyetirnya"
dari kelas satu SMA hahaha.... dia memakai kacamata hitam, dan benar-benar terlihat berbeda dari Ara yang tinggal di samping kamar gw.
lo beda banget, Cha... beda apanya" tanyanya sambil menoleh sesaat ke gw. ya beda, lo di Jakarta sama di Surabaya beda aja. di Jakarta gw ga keurus kaya gembel yah" dia terkikih. iya sih... gw ikut-ikutan terkikih.
emang kok, di Jakarta gw ga mikirin dandan, cuek banget gw. Tapi malah gw nyaman kaya gitu, gw merasa kaya jadi diri gw sendiri... jelasnya. Tapi kalo pulang ke Surabaya ya gw akui, gw juga menikmati jadi diri gw yang dulu...
berkepribadian ganda nih ceritanya" goda gw. bukan berkepribadian ganda juga si, cuma berprinsip ganda
hahaha. Bilang aja gw bisa beradaptasi gitu kek...
iya si, diajak susah oke, diajak seneng juga oke, gitu kan maksud lo"
iya, yang fleksibel jadi orang mah...
Kami tiba di Tunjungan Plaza, yang kata Ara ini salah satu mall terbesar yang ada di Indonesia. Gw baru pertama ini menginjakkan kaki di Surabaya, dan langsung diajak ngemall seperti ini. Gw melirik Ara dan agak salah tingkah. Bukan apaapa, gw merasa kostum gw jauh berbeda dari Ara yang rapi dan anggun. Ara berdandan cantik, sementara gw cuma mengenakan kaos dan jeans seadanya.
ngapa lo jalan jauh-jauh dari gw" tanyanya ketika dia melihat gw berjalan agak jauh disampingnya. ilang ntar baru rasa... kalo gw jalan disebelah lo mah kaya majikan sama babunya... Ara tertawa mendengar alasan gw itu.
udah sini ah... ucapnya sambil mengulurkan tangan, memberikan gesture menggandeng gw. Tanpa berkata apapun gw menyambut uluran tangannya itu, dan kami bergandengan menyusuri mall yang amat luas itu.
Selesai nonton, gw dan Ara duduk di sebuah kafe yang ada di mall itu, sambil bercakap-cakap, meskipun suara kami sering kali tertelan oleh hiruk pikuk mall.
gimana, seneng ga di Surabaya" tanyanya sambil tersenyum
lebar dan menyedot minuman pesanannya yang bergelas tinggi. seneng lah, thanks ya gw udah diajak jalan-jalan gini...
harusnya gw yang berterima kasih lo udah mau nemenin gw pulang gini...
ah bukan apa-apa kok, kan gw udah diajak main disini hahaha, gw anggap ini liburan gratis... gw tersenyum jahil.
maaaaunyaaa gratisan! dia dongkol dan melemparkan kertas bekas pembungkus sedotan ke gw, sementara gw cuma tertawatawa. ini ga gratis tau ga! ucapnya dengan tampang sok serius. Gw yakin dia ga serius dengan ucapannya ini.
emang, mau dibayar gimana" gw tertawa.
Ara terlihat berpikir sebentar, kemudian mengaduk-aduk minumannya sambil menatap gw dengan senyum misterius. gimana kalo lo bawa gw main kerumah lo"
gw terkejut, kemudian tertawa pelan. oke deal. kata gw akhirnya.
PART 53 Jemari gw membeku ketika gw terbangun malam itu. Suara hujan yang sangat deras ditambah gemuruh halilintar membangunkan gw dari alam mimpi. Gw menatap tangan dan badan gw yang dibalut dengan sweater tebal beserta selimut. Kepala gw terasa nyut-nyutan, dan tenggorokan gw rasanya sangat ga enak. Hidung gw pun terasa nyeri karena banyaknya cairan yang ada di dalamnya. Sesekali gw menggigil kedinginan. Hari itu memang gw sedang sakit flu yang lumayan parah.
Gw masih tetap terbaring lemas dengan suasana kamar yang gelap. Entah apa yang menjadi penyebabnya, mendadak gw terbatuk-batuk dengan akut, yang bahkan gw sendiri ga bisa menahannya. Dada gw terasa sakit karena terbatuk itu. Setelah batuk gw berhenti dan mulai mengatur napas, gw mendengar pintu kamar gw berdecit terbuka. Sebuah siluet manusia tampak berdiri di depan pintu, dan menyalakan lampu kamar gw. Garagara itu gw harus memicingkan mata karena silau.
lo kenapa" mau minum" tanya sosok tadi sambil duduk di tepian kasur gw, memegangi tangan gw. badan lo masih demam juga, kok ga turun-turun sih. Besok pagi ke dokter ya" tawarnya.
Gw cuma bisa mengangguk pasrah. Sejak gw sakit tadi pagi, Ara lah yang merawat gw. Dia yang membelikan gw obat dan makan, bahkan selalu memastikan ada segelas teh panas di samping tempat tidur gw.
Dia lalu mengambilkan segelas teh yang sudah agak mendingin, kemudian diminumkan ke gw dengan perlahan-lahan agar gw ga tersedak.
pelan-pelan ya minumnya.... katanya lembut.
gw meminum teh itu perlahan sesuai anjurannya, dan ketika selesai dia menaruh kembali teh itu ke meja, sementara gw kembali berbaring.
terima kasih... ucap gw lemah. lo makan lagi ya" anjurnya. gw menggeleng.
ga nafsu makan gw, Cha...
iya gw tau, tapi dipaksain atuh, biar cepet sembuh...
gw cuma bisa mengangguk pasrah. Dengan cekatan dia mengambil lagi nasi lembek campur sop yang telah mendingin, bekas gw makan tadi sore. Dia mengaduk-aduk, kemudian menyuapkan sedikit ke gw dengan perlahan biar gw ga tersedak.
Setelah beberapa sendok, gw merasa agak mual. Gw menjauhkan kepala gw dari sendok, dan memberikan gesture udah cukup ke Ara. Dia pun mengangguk dan meletakkan lagi mangkok berisi nasi sop itu, dan mengambilkan segelas teh hangat untuk gw. nih minum dulu
gw meminum perlahan, dan merasakan sensasi manisnya teh yang membuat mual gw lumayan menghilang. Kemudian dia meletakkan gelas teh itu ke meja, dan memandangi gw dengan iba. Dia
memegang dahi gw cukup lama. masih panas juga badan lo...
lo ntar ketularan loh kelamaan deket-deket gw... kalo gw ga disini, siapa yang mau ngerawat elo... tapi gw ga mau kalo lo ikutan sakit ntar...
ah udahlah gapapa, soal sakit atau engga itu urusan nanti. Yang penting sekarang lo sembuh dulu. dia tersenyum lembut ke gw, gw ikhlas kok kalo harus sakit karena ngerawat lo.
ucapannya itu membuat gw ga bisa berkata-kata, dan hanya memandangi wajahnya dengan sayu. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya, dan membuat gw juga tersenyum. Setidaknya, diantara dinginnya malam itu, gw merasakan hangatnya perhatian Ara untuk gw.
eh geser dikit dong... ucapnya tiba-tiba.
gw menggeser posisi badan gw, sambil bertanya-tanya. lo mau tiduran disini" ntar beneran ketularan loh, Chaaa.... biarin ah. Pegel punggung gw...
gw mau menyuruhnya kembali ke kamarnya aja, tapi gw ga tega. Dia sudah mengorbankan waktunya untuk bangun dan merawat gw malam ini, tapi malah gw usir begitu saja. Jadilah gw membiarkannya berbaring disamping gw. Tanpa berkata apapun gw menyelimutinya dengan sebagian selimut gw yang ga terpakai.
Dia berbalik dan menghadap gw langsung. lo cepetan sembuh dong...
iyaa, gw juga gamau sakit kok, Cha... sepi di kampus ga ada lo...
gw tersenyum. kan ada anak-anak lain"
ya iya si, tapi gw kepikiran aja ninggalin lo sendirian di kosan kalo lagi ada kuliah...
gw meniup rambutnya yang menutupi dahinya perlahan.
gw gapapa kok, gw bakal baik-baik aja. Lo jangan khawatir ya... jawab gw menenangkannya.
dia tersenyum tipis. seandainya gw bisa ga khawatir soal lo...
nyatanya lo bisa ga" tanya gw sambil mengedipkan sebelah mata.
dia tertawa pelan. mana bisa lah. hidup gw udah terlalu penuh tentang lo. Garagara lo nih nongol terus dari sebelah kamar gw... lah kan emang gw tinggal disini...
hahaha, iya makanya itu, mustahil gw bisa ga khawatir tentang lo. Lagian lo nanya juga kira-kira dong ah...
gw tertawa lirih. iya iya gw tau kok... tau apa"
tau kalo lo selalu khawatir tentang gw... ih sok tau, lo tau darimana coba" cibirnya.
gw tersenyum dan menarik selimut lebih tinggi lagi hingga menutupi leher gw.
karena... , gw menghela napas, ...gw juga selalu khawatir tentang lo. Bukan cuma gw yang selalu jadi pikiran lo, tapi lo juga selalu jadi pikiran gw. jawab gw.
Ara ga menjawab, dia hanya tersenyum. Tangannya meraih tangan gw di balik selimut. Dia memegang tangan gw, dan membawanya ke pipinya. Menempelkannya ke pipi. cepet sembuh yah....
gw tersenyum dan mengangguk-angguk pelan.
PART 54 Paginya, gw terbangun dengan sendirinya. Gw kemudian baru menyadari kalau selimut gw sudah berpindah tempat, dan hanya sedikit sekali dari bagian tubuh gw yang terselimuti. Sementara itu Ara memakai sebagian besar dari selimut yang tadinya gw pakai. Gw memandanginya tertidur meringkuk disamping gw, dan tersenyum. Sebagian rambutnya terurai, menutupi wajahnya yang polos itu. Gw melihat jam di dinding, ternyata masih jam empat pagi.
Masih gelap diluar, sementara waktu sholat subuh juga masih beberapa saat lagi. Angin malam berhembus cukup kencang di pagi buta itu, menyebabkan gw mulai menggigil kedinginan. Karena gw kedinginan itu, gw mulai terbatuk-batuk lagi dengan cukup keras. Rupanya rentetan batuk gw itu membangunkan Ara disamping gw. Karena gw terbatuk-batuk itu membelakangi Ara, gw merasakan ada elusan ritmis di punggung gw. Rupanya Ara memijat punggung gw agar batuknya mereda.
Dia kemudian bangun dan mengambilkan segelas air putih untuk gw. Sambil duduk di kasur, kami saling berpandangan ketika gw sudah selesai minum. Wajahnya masih ngantuk, dengan rambut acak-acakan, tapi ekspresinya khawatir. Melihat itu, gw justru tertawa pelan.
kenapa ketawa-tawa" tanyanya heran.
gw menggeleng. gakpapa, muka lo lucu kalo bangun tidur... jawab gw pelan.
kaya baru liat gw bangun tidur aja lo, udah berkali-kali kan liat
gw ileran gini... dia kemudian memegang dahi gw, udah turun panasnya nih, alhamdulillah...
berarti gw ga perlu ke dokter" tanya gw iseng.
dia melotot. tetep ke dokter! lo pake obat warungan udah ga mempan soalnya. Kalo ke dokter kan dapet obat yang lebih cespleng... cerocosnya.
iya iyaaa... jawab gw sambil kembali berbaring. lo ntar kuliah" tanya gw.
iya kuliah lah, lo ga usah kuliah dulu ya"
gw menggeleng. engga ah, mau kuliah aja gw, bosen juga di kosan sendirian. Lagian gw udah ga demam.
lah kan mau ke dokter"
abis dari kampus aja ke dokternya... gw anterin yak"
lo yang nyuruh gw ke dokter, masa lo ga nganterin gw si... rajuk gw. Ara hanya tertawa-tawa, dan kembali berbaring disamping gw.
duuuh, rewelnya anak satu ini... sahutnya gemas sambil menarik hidung gw pelan. pokoknya lo harus cepet sembuh yah...
iya gw juga mau sembuh kali, Cha, ga enak juga kalo sakit gini. sahut gw.
sakit mah dimana-mana ga ada yang enak... iya, apalagi ga bisa ngampus...
keliatannya seneng banget lo di kampus" ngecengin siapa sih" ciyeee... hahahaha.... cecarnya jahil.
ya kangen aja sama temen-temen... jawab gw malas. ah masasiii"
iyaaa... liat muka gw dulu... .....
liat muka gw! dia memaksa mengarahkan kepala gw untuk menatapnya. Dia meringis jahil.
lo ngecengin siapa di kampus" tanyanya pelan dengan tersenyum.
gak adaaa, cuma pengen ketemu temen-temen doang kok... ooh... dia mengangguk-angguk sambil tersenyum penuh makna.
Gw menatapnya tanpa berkata-kata, hanya sebuah senyum lemah tersungging di bibir. Seandainya dia tahu, jawaban dari pertanyaannya itu adalah dirinya. Seandainya dia tahu, alasan gw ingin ke kampus adalah untuk memastikan dia baik-baik saja di
kampus, dan untuk selalu ada disampingnya. Dan seandainya dia tahu, bahwa jauh dari dirinya adalah hal yang paling ga gw inginkan di dunia ini. Tapi gw berharap, jauh di dalam lubuk hati, kami saling mengetahui.
Cha.... panggil gw. ya"
terima kasih ya... terima kasih untuk" untuk selalu ada buat gw... dia tersenyum dengan tatapan sayu.
ga perlu berterima kasih. gw cuma melakukan apa yang udah lo lakukan ke gw selama ini kok... jawabnya lembut. maksudnya"
kalo kita bicara soal terima kasih, sepertinya gw yang harus selalu berterima kasih ke lo. Karena lo selalu ada buat gw, kapanpun gw butuh lo. Bahkan sewaktu gw ga butuh lo pun, lo selalu membuka tangan lo buat gw...
....eh itu.... gw sadar sejak gw mengenal lo, lo selalu berusaha ada untuk gw meskipun gw membuat jarak sama lo...
.... tapi sekarang, gw rasa gw ga perlu lagi membuat jarak sama lo, karena cuma lo yang selalu mengerti gw...
gw menarik napas panjang.
gw cuma melakukan apa yang seharusnya gw lakukan kok... jawab gw pelan.
ya, gw tahu itu... sahutnya sambil mengelus punggung tangan gw. tapi gw yakin juga ada sesuatu yang membuat lo ngelakuin apa yang lo lakuin ke gw itu...
maksud lo" ada satu kata yang tepat kok. Gw yakin kita sama-sama tahu kata apa itu. Jujur aja ke gw...
gw terdiam, ga bisa berkata-kata apapun meskipun sebenarnya hati gw sangat mengetahui dengan pasti apa yang harus gw katakan. Gw ga berani menatap wajahnya langsung. Tapi pada akhirnya otak gw memerintahkan bibir gw untuk mengatakan hal itu. Hal yang selama ini gw pendam di dalam hati, dan membiarkan menghiasi hati gw tanpa diketahui siapapun. Gw hanya berharap, dengan ini gw bisa menjalani hidup lebih baik lagi.
gw.... gw... gw sayang lo, Cha... kata gw akhirnya.
PART 55 gw.... gw... gw sayang lo, Cha... kata gw akhirnya.
Ara terdiam, cukup lama. Diamnya Ara itu membuat gw khawatir, karena jangan-jangan apa yang gw lakukan ini adalah merupakan langkah yang keliru. Setelah cukup lama terdiam, dia menarik napas panjang, dan tersenyum.
ya, gw tahu itu kok... jawabnya pelan. maaf ya, Cha...
kok minta maaf kenapa"
ya maaf, kalo gw udah salah ngomong ini ke lo...
Ara kembali terdiam, beberapa saat kemudian dia menggeleng pelan.
engga, lo ga salah kok kalo ngomong seperti itu ke gw... dia menarik napas, kemudian melanjutkan, itu hak lo untuk ngomong seperti itu ke gw. Dan untuk itu, gw berterima kasih...
gw melihat Ara tersenyum, tapi seperti ada sesuatu yang mengganjal di balik senyumnya itu. Sesuatu yang ga bisa gw duga apa itu sebabnya.
gw tahu, kita berdua sudah terlalu lama saling diam satu sama lain, ga jujur atas perasaan masing-masing. Tapi sepertinya hari ini lo udah mencoba mengatakan apa yang lo rasakan ke gw...
dia menggeser posisi tidurnya, menghadap ke arah gw, dan tersenyum. Lagi-lagi senyuman yang sama seperti sebelumnya, ada sesuatu dibalik senyum itu.
berat buat gw nyimpen perasaan ini terus... kata gw mengakui. ya jangan disimpen atuh, hahaha...
ya ini kan gw bilang ke elo, Chaaa... iya iyaa, hahaha....
gw hanya tertawa pelan mendengar jawabannya itu. Ingin rasanya gw bertanya lebih lanjut, tapi seperti ada yang menahan gw untuk bertanya.
buat gw, hidup bersama lo disini, di kosan ini, adalah hal paling menyenangkan yang pernah terjadi di hidup gw. Lo udah memberi warna di hidup gw, Cha...
iya, begitu juga gw. Gw belum pernah ketemu cowok seperti lo, yang polos, lugu tapi perhatian dan lucu. Lo itu tipe gw, sebenernya...
gw tertawa pelan. gw ga punya tipe-tipean kalo soal cewek...
iyalah mau tipe-tipean gimana orang lo pacaran aja belum pernah... balasnya sambil mencubit pipi gw pelan.
ya makanya itu, gw terima semua tipe cewek apa adanya, hehe... termasuk kaya gw"
hmmm, kalo kaya lo mah tipe semua cowok, Cha... sahut gw sambil menjulurkan lidah.
Mendadak Ara memegangi tangan gw erat. Sangat erat. Gw menatap wajahnya, dan melihat matanya berkaca-kaca. Dia tersenyum sedih, seperti ada beban sangat berat dibalik itu semua. Akhirnya setitik air mata tampak turun, mengalir di pipinya tanpa berusaha dihapus olehnya.
Cha, lo kenapa" tanya gw.
dia menggeleng, menghapus air matanya namun ga menjawab pertanyaan gw.
gw salah ya" maafin gw ya, Cha... kata gw khawatir.
dia lagi-lagi menggeleng, kali ini dia terisak. Tangisannya begitu dalam, seakan ada setan yang menghantui hari-harinya, menakutinya begitu rupa.
gw... gw kasihan sama lo, Gil... katanya disela-sela isak tangisnya.
gw semakin bingung. Kasihan sama gw" Ada apa sama gw"
kenapa kasihan sama gw, Cha" Ada apa" tanya gw penasaran sekaligus khawatir. Perasaan gw campur aduk.
gw.... lo ga bisa, Gil....
gw ga bisa" maksudnya apa, Cha" gw terduduk, sementara dia
tetap meringkuk, menangis di hadapan gw.
Cha, maksudnya apa" perasaan khawatir gw semakin meningkat seiring dengan pengulangan pertanyaan itu.
lo ga bisa, Gil.... lo ga bisa.... katanya berulang-ulang sambil terisak.
ga bisa apa, Chaaa... dia masih memegangi tangan gw erat, bahkan yang gw rasakan genggaman itu bertambah erat.
lo ga bisa sayang sama gw, Gil... lo jangan sayang sama gw... jawabnya dengan suara parau. Rasanya ulu hati gw seperti ditonjok seseorang ketika Ara berkata begitu. kenapa, Cha" tanya gw pelan.
Ara terdiam ga menjawab. Dinginnya angin pagi itu terasa lebih menusuk lagi, karena suasana seperti ini.
kenapa" gw mengulangi.
karena.... dia sesenggukan, ... gw ga bisa menjanjikan selalu ada buat lo...
maksud lo" gw heran dengan alasannya ini. lo ga perlu selalu ada buat gw kok, Cha... jawab gw. Entah harus menjawab apa lagi gw tentang ini.
dia menggeleng. bukan itu maksud gw... terus" mungkin waktu gw disini ga lama lagi, Gil... jawabnya dengan suara parau.
rasanya gw seperti tersengat listrik mendengar itu. kenapa, Cha" apa maksud lo ga lama lagi disini" tanya gw lemas. gw harus pulang, Gil...
pulang" maksudnya lo ga balik sini lagi" dia mengangguk.
kenapa" kenapa lo tinggalin kuliah lo" kenapa lo tinggalin tementemen lo disini" kenapa lo tinggalin gw" gw bertanya dengan panik bercampur emosi.
maafin gw, Gil... dia terisak lagi, karena itu permintaan mama.... jawabnya sambil menarik napas dalam-dalam disela isakan tangisnya.
mama minta gitu" kenapa, Cha" buat gw ini semua ga masuk akal. Ada satu kepingan yang hilang disini. Ada sesuatu yang belum gw ketahui yang melatarbelakangi semua ini.
mama pingin menghabiskan waktu selama mungkin sama gw.... jawabnya lemah.
ada apa, Cha" firasat gw mengatakan sesuatu yang sangat buruk.
Ara hanya tersenyum, dan memegang erat tangan gw.
berjanjilah sama gw, kalo lo selalu bisa menghadapi masalah di hidup lo yah meskipun ga ada gw. Janji" ucapnya.
Chaaa... maksud lo apaa... rasanya gw ingin menangis mendengar itu.
janji" dia tersenyum, walaupun air mata terus mengalir di pipinya.
gw menarik napas panjang, dan terdiam beberapa detik sebelum akhirnya gw bisa menjawab.
iya, Cha, gw janji. PART 56 Dulu orangtua gw pernah berkata, kalau gw menghadapi sebuah kesulitan dalam memilih, jangan pernah ragu untuk mengikuti kata hati. Karena apa yang hati kita katakan, itulah yang terbaik buat kita. Dan gw sangat mempercayai itu. Gw sadar gw bukan seseorang yang peka akan kehidupan. Gw bukanlah seorang bijaksana yang selalu bisa mengambil hikmah di setiap kejadian. Gw hanyalah seorang manusia biasa yang ga berhenti terbenturbentur oleh kehidupan. Karena gw selalu percaya, bahwa sepanjang hidup itu adalah pembelajaran yang ga kunjung selesai.
Bagi gw, setiap orang yang pernah dan akan datang di dalam hidup gw ini pasti memiliki peran dan alasan masing-masing. Kita pernah belajar menerima seseorang di dalam hidup, sudah sepantasnyalah kita juga mulai belajar untuk melepas seseorang di dalam hidup. Ga ada yang abadi di dunia ini. Bahkan suatu saat nanti, kita sendiri pun akan melepaskan segala atribut fana ini, untuk kembali kepada yang hakiki, Sang Pencipta.
Yang namanya perpisahan memang pasti terasa berat, apapun itu keadaannya. Berulangkali kita telah merasakan pedihnya perpisahan. Dari situ gw belajar, bahwa sebahagia apapun kita bersama seseorang, kita ga bisa membiarkan diri kita terlena oleh kebahagiaan itu sendiri. Cepat atau lambat, semua pasti akan ada akhirnya. Sebuah awal dari sesuatu yang baru, sekaligus mengakhiri apa yang terlanjur kita cintai.
Adalah Ara yang menyadarkan gw sekali lagi, tentang betapa berharganya setiap orang yang hadir di hidup kita, tanpa melupakan bahwa suatu saat semua akan ada akhirnya. Dialah
yang mengajarkan gw bagaimana menjalani hidup dengan semestinya, berjalan seimbang diantara baik dan buruk, tanpa melupakan jati diri. Dia jugalah yang mengajarkan gw bagaimana menyiasati segala sesuatu yang buruk di dalam hidup, mengajarkan gw untuk bisa bertahan diantara terpaan kejamnya dunia. Dan dia jugalah yang mengajarkan gw bagaimana rasanya mencintai seseorang, tulus dan apa adanya.
Tangisannya pagi itu betul-betul menghancurkan gw sampai ke tulang sendi. Ingin rasanya gw mengutuk kepada Yang Maha Kuasa, atas apa yang telah digariskan oleh-Nya di hidup gw. Ingin rasanya waktu itu gw menjadi manusia durhaka kepada Penciptanya.
Cha... panggil gw lemah. Dia masih terbaring disamping gw, dan terisak, dengan tangannya memegang erat tangan gw.
lo kenapa mau pulang, Cha" tanya gw entah untuk kesekian kalinya. Gw merasakan hangat genggamannya. Dari situ entah bagaimana gw seperti bisa merasakan segala sesuatu tentang dirinya. Segala sesuatu yang gw cintai.
Gil... maaf gw udah berbohong ke lo selama ini... katanya lirih.
berbohong" bohong gimana maksud lo" gw betul-betul ga paham ada apa dibalik ini semua.
Anehnya dia justru tersenyum. Seuntai senyuman sedih tersungging di wajahnya. Seakan dia belajar untuk mengikhlaskan semuanya, dan mengasihani kami berdua. gw sakit, Gil...
sakit apa" ntar gw anter ke dokter ya" lo udah minum obat" kata gw dengan bodohnya. Gw benar-benar ga tahu dia sakit apa. Ara hanya menggeleng pelan.
gw ga bisa sembuh, Gil... ucapnya pelan sambil tersenyum.
gw merasa seperti separuh nyawa gw tersedot keluar. Rasa sesak segera menjalar ke dada gw.
lo sakit apa, Cha" tanya gw lemah. leukemia.
gw hanya terdiam membisu. Gw pernah mengetahui penyakit ini. Hanya sekilas, tapi menakutkan. Tangan dan kaki gw terasa dingin membeku.
sejak kapan, Cha" ya sejak pulang ke Surabaya bareng lo dua bulan yang lalu itu...
Seketika pikiran gw melayang ke dua bulan yang lalu. Gw ingat, gw memang pulang ke Jakarta lebih dulu daripada Ara. Sementara Ara masih disana selama dua minggu lagi. Dan gw ingat, selama dia disana memang gw menangkap ada kejanggalan. Dia terlihat lebih pucat daripada biasanya. Gw kira itu hanya efek dari kecapekan dan kurang tidur. Begitu pula setelah kembali kesini, gw melihat dia lebih lemah dan berhati-hati dalam segala hal.
apa yang lo rasain, Cha" kenapa mendadak banget" tanya gw dengan suara lirih, nyaris menyerupai bisikan.
Ara menarik napas panjang, dan memejamkan mata. Dia menggeleng pelan, kemudian setitik air mata tampak mengalir lagi di pipinya.
gw cuma sering lemes, dan mimisan aja. Waktu di Surabaya kemarin gw demam tinggi, akhirnya dibawa ke dokter. Entah apa yang terjadi, gw malah pingsan disana...


Dunia Yang Sempurna Karya Carienne di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah banyak diperiksa, dicek sana sini, ternyata gw mengidap penyakit yang sama seperti salah satu tante gw... jadi sepertinya itu keturunan...
dulu mama memohon-mohon ke gw, supaya gw ga kembali lagi kesini, untuk kemoterapi disana... dia menghapus air matanya, dan mencoba bersikap tegar, ...tapi gw tolak. Gw katakan ke mama, gw masih harus menyiapkan segala sesuatunya sebelum pergi dari sini...
gw hanya bisa membisu, mendengarkan segala uraiannya itu.
lo tahu ga, Gil, kalo malem gw sering iseng masuk ke kamar lo loh, untung kamar lo ga pernah lo kunci. Hehehe... ngapain, Cha"
dia tersenyum. ngeliatin lo aja. ..... sebelum gw pergi.
entah kenapa gw bisa menangkap kelanjutan kalimat itu di dalam hati, meskipun itu ga terucapkan oleh Ara. Gw merasa gw sudah mulai kehilangan Ara perlahan-lahan. Gw merasa gw harus mulai menghapus segala gambar dirinya di hati gw. Sampai dia berkata satu hal.
Gil... ya" gw boleh minta tolong" apapun, Cha...
gw pingin hidup senormal mungkin sampe nanti datang waktunya, dan ngelakuin beberapa hal yang jadi cita-cita gw. Lo mau bantuin gw mewujudkan itu semua" ucapnya sambil tersenyum penuh pengharapan.
lo jangan ngomong gitu, Chaaa... please.... rasanya gw mau menangis mendengar itu.
lo mau bantuin gw kan" ulangnya.
gw mengangguk dengan mantap. apapun akan gw lakukan untuk lo, Cha. Apapun.
Ara menitikkan air mata, dengan bibir menyunggingkan senyum. terima kasih untuk semuanya, Gil...
Pagi itu, gw merasa semua tujuan hidup gw menjadi masuk akal. Segala yang gw lalui sejak kanak-kanak hingga hari ini, adalah
jalan gw untuk bertemu dengan seorang wanita bernama Soraya. Dan gw yakin, dia datang di hidup gw dengan sebuah alasan. Sebuah alasan terindah tentang mengapa gw ada di dunia ini. Dan dia-lah alasan itu sendiri.
PART 57 Gw mengambil tas ransel, menggendongnya di punggung sambil menunggu seorang cewek yang tinggal di samping gw ini bersiapsiap. Gw memandanginya berdandan, dan merapikan kertaskertas catatan kuliahnya. Tiba-tiba pikiran gw melayang, kembali ke dua tahun lalu ketika gw dan dia berkenalan secara ga sengaja di acara ospek kampus. Sapaannya ketika gw sedang kelelahan di sore itu, hingga perjalanan pulang bersama ketika ternyata kami tinggal di kos-kosan yang sama. Dari situ gw mengenal sosok Soraya, wanita yang tangguh, dan unik, sekaligus wanita yang menghuni hati gw.
Gerakannya semakin melambat, dan dia selalu berhati-hati sebelum melakukan sesuatu. Terkadang dia diam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya gw menyadarkannya lagi dengan satu panggilan.
Cha, ayo... kata gw pelan.
Dia tersadar lagi, kemudian tersenyum ke gw, sebelum melanjutkan lagi apa yang sedang dikerjakannya. Gw memandanginya dengan perasaan campur aduk. Hati gw terasa tersayat-sayat, tapi gw tahu gw harus tegar. Demi dia, demi gw, demi kami berdua.
gw pake tas yang mana yah" tanyanya sambil mengangkat dua ransel.
gw berpikir sejenak. ga usah pake ransel, masukin aja buku lo ke tas gw. lo ga usah
bawa apa-apa, Cha. ih kok gitu, gamau ah.
ya udah bawa tas kecil aja buat dompet sama hape. Buku lo biar gw yang bawa.
tas kecilnya yang mana" dia menunjuk ke setumpuk tas di sudut.
lo sukanya yang mana" tanya gw sambil tertawa. lo suka yang mana" pilihin lah.
kok gw" kan yang pake elo... dia cemberut. Gw tertawa pelan.
ya udah ya udah pake yang coklat tua tuh, cocok sama baju lo soalnya...
ya udah yang coklat yaah... ucapnya riang.
Selama perkuliahan itu gw memperhatikannya lekat-lekat. Sesekali dia memejamkan mata, menyandarkan tubuh ke belakang. Kalau sudah begitu, waktu gw tanyakan kenapa, dia selalu menjawab ga kenapa-kenapa. Sehabis kuliah pun kami sengaja menjauh dari teman-teman, karena Ara ga mau kondisinya diketahui banyak orang. Gw mengajaknya ke sebuah warung makan di sudut kampus yang jarang ada teman-teman kami kesitu.
Dia duduk bersandar di dinding, sambil memandangi lansekap kampus, beserta mahasiswa-mahasiswi yang berlalu lalang di kejauhan. Dia tersenyum.
gw bakal kangen sama kampus ini... ucapnya pelan. hati gw mencelos.
lo jangan ngomong gitu lah, Cha...
iya gw tahu. Cuma cepat atau lambat semua bakal ninggalin kampus ini kan. Lo pun juga bakal lulus dan keluar dari sini... iya si, tapi konotasi dari kata-kata lo itu yang gw takutin... apa yang lo takutin"
gw terdiam beberapa saat. gw takut kehilangan lo, Cha.
dia tersenyum lemah ke gw sambil bersandar di dinding. gw ga kemana-mana, Gil. Gw masih disini... dia kemudian mencondongkan badannya ke depan, dan memegang dada gw, ....dan gw harap gw juga tetap ada disini...
gw memegang tangannya yang menempel di dada gw. selalu, Cha.
dia menghela napas panjang, pandangannya menerawang, tapi raut wajahnya sangat tenang. Sepertinya dia sudah mulai mengikhlaskan segala sesuatu yang telah maupun yang akan terjadi selanjutnya. Sesekali gw melihat bibirnya bergerak-
gerak sedikit, mengucapkan kata-kata tanpa suara. Kata-kata yang hanya diketahui oleh Tuhan dan dia sendiri. Cha... panggil gw.
ya" apa yang bisa gw lakukan untuk lo" gw bertanya dengan segenap perasaan gw.
Ara terdiam, dan berpikir. Cukup lama.
gw mau main-main ke panti asuhan. Lo bisa temenin gw" lo sebut aja waktunya, gw selalu ada buat lo, Cha.
dia tersenyum mendengar jawaban gw. terima kasih... katanya pelan.
ada lagi, Cha" lo punya satu janji ke gw, Gil... dia tertawa pelan. apa, Cha"
katanya lo mau ajak gw main ke rumah lo" gw mau kenalan sama keluarga lo. Boleh"
gw terdiam, perasaan gw bercampur aduk, dan mencelos. Iya, memang gw berjanji untuk mengajaknya main kerumah gw di kampung. Berkenalan dengan kedua orang tua gw, dan adik-adik gw. Melihat dimana tempat asal gw tumbuh. Tapi gw ga tega
membawanya kesana dalam kondisinya yang seperti ini. Gw ga tega untuknya, dan untuk diri gw sendiri. Tapi demi alasan apapun itu, gw sudah berjanji kepadanya.
iya, nanti gw anter lo ke rumah gw... ucap gw tersenyum sambil memegangi tangannya. makanya lo sehat-sehat yaaa... hehehe... kata gw dengan tawa dipaksakan.
dia mengangguk-angguk, sambil menerawang ke arah kampus. impian gw itu bisa wisuda, dan menikah.... dia kemudian menunduk, dan memainkan jemarinya sendiri, tapi sekarang gw ga tahu lagi, apakah gw masih punya kesempatan untuk itu... katanya pelan, dengan senyum sedih.
gw memegang tangannya sangat erat.
Cha, lo harus yakin, bahwa lo bisa meraih semua impian lo itu. Lo pasti akan wisuda kok, dan lo akan menikah dengan pria pilihan lo. Dan lo akan hidup bahagia. Gw yakin itu. Jangan menyerah ya, Cha. Lo ga boleh menyerah. kata gw tegas.
iya, Gil, semoga... sahutnya dengan senyum lemah. berjanjilah sama gw, lo ga boleh menyerah. Ya" Ara terdiam. Dia memejamkan matanya.
Cha" gw mengguncangkan tangannya. Dia membuka matanya kembali.
iya, gw janji, Gil. Setelah itu dia kembali memejamkan matanya, dan bersandar pada dinding. Gw masih memegang tangannya, dan merasakan aliran darahnya di tangan gw. Dalam hati, gw berjanji pada Tuhan dan pada diri gw sendiri, bahwa gw ga akan meninggalkan Ara sedikitpun. Gw akan terus menemaninya, mengulurkan tangan gw ketika dia membutuhkan bantuan gw, mendoakannya di setiap sujud gw, dan menyemangatinya di setiap hela napas gw.
Gw berdoa, semoga gw dan Ara memang tercipta satu sama lain. Dan suatu hari nanti, gw akan menunjukkan padanya kalau dia adalah segalanya buat gw.
Semoga. PART 58 Di suatu pagi buta yang dingin di tahun 2008.
Gw terbangun karena adzan subuh pagi itu, dan bergegas mengambil air wudhu. Setelah mengambil air wudhu itu gw ga langsung kembali ke kamar, melainkan mengetuk kamar Ara terlebih dahulu. Sekali-dua kali ketukan, gw membuka pintu. Di dalam kamar gw lihat Ara sudah bangun, dan dia sedang melipat selimutnya dengan rambut acak-acakan seperti biasanya. lo udah wudhu ya" tanyanya dengan suara serak. gw mengangguk. udah, lo wudhu gih.
iya bentar ya... dia kemudian ngeloyor keluar kamar. Sementara itu gw menyiapkan sajadah yang akan dipergunakan untuk sholat.
Ga lama kemudian, kami berdua sholat subuh berjamaah. Satu kebiasaan yang seharusnya sudah kami lakukan sejak lama, tapi baru sering kami lakukan akhir-akhir ini. Selesai sholat, gw menoleh ke belakang, tempat Ara berada. Dia sedang berdoa di dalam balutan mukena, menengadahkan tangannya, dan menundukkan kepala. Entah kenapa bagi gw waktu itu tubuhnya seperti berkilauan, walaupun suasana kamar sedang agak gelap. Seperti ada satu cahaya yang memancar dari tubuhnya. Barangkali hanya perasaan gw.
Gw melanjutkan berdoa, seperti Ara yang sedang khusyuk berdoa di belakang gw. Di dalam doa itu gw panjatkan segala kosakata yang gw bisa, untuk memohon keajaiban bagi wanita di belakang gw ini. Gw berdoa agar Ara diberikan yang terbaik, dan
kesembuhan. Khusyuknya doa gw itu buyar ketika gw mendengar suara hidung berair, suara yang khas terdengar ketika seseorang menangis. Gw menoleh ke belakang.
Gw melihat Ara menangis dalam doanya, dan dia menangkupkan tangannya di wajahnya, menutupi hidung dan mulutnya. Air matanya berlinang. Sepertinya dia sedang mengadu kepada Sang Pencipta. Gw membiarkannya seperti itu, dia memang sedang butuh waktunya sendiri.
Gil... panggilnya setelah beberapa saat. gw menoleh. ya, Cha"
dia terdiam, dan menyapu hidungnya yang berair. Sepertinya dia ragu untuk mengatakan sesuatu ke gw.
ada apa, Cha" tanya gw.
surga itu seperti apa ya"
gw mencelos mendengar pertanyaannya itu. Barangkali pertanyaan itu sebenarnya pertanyaan biasa, tapi dalam keadaan seperti ini, gw justru takut dengan pertanyaan seperti itu. Cha....
nanti disana lo akan tetap mengenali gw ga ya" dia memotong. Seakan dia sedang berimajinasi sendiri.
gw terdiam, menghela napas berat. entah, Cha, gw ga tahu surga itu seperti apa, gw menggeleng, yang jelas disana ada hal-hal
baik yang sebelumnya ga pernah terlintas di pikiran dan hati manusia...
dia memandangi gw dengan tatapan senang, memiringkan kepalanya seakan dia menerima kabar baik. Di bibirnya tersungging sebuah senyum. Campuran antara senyuman bahagia, sedih dan keikhlasan.
menurut lo, gw bisa masuk surga ga" tanyanya.
Chaaa, jangan ngomong gitu ah... hati gw rasanya tertusuk mendengarnya.
jawab aja pertanyaan gw, menurut lo gw bisa masuk surga ga"
entah, Cha, itu semua tergantung Allah SWT... gw menarik napas, tapi kalo menurut gw sebagai manusia biasa, lo itu salah satu orang terbaik yang pernah gw temui di hidup gw. Jadi gw akan selalu mendoakan lo, Cha... gw tercekat, mendoakan lo agar.... gw merasa ga sanggup melanjutkan kata-kata gw.
Dia menggeser duduknya, dan duduk disamping gw, kepalanya yang masih berbalut mukena itu bersandar pada bahu gw. gw cuma lagi berusaha ikhlas, Gil...
gw memejamkan mata. Segalanya terasa terlalu sakit di hati gw. Ikhlas untuk apa, Cha" tanya gw pelan.
Gw berusaha menerima semua ini terjadi di hidup gw. Gw berusaha ikhlas ini terjadi kepada gw. Dan gw pasrah apapun nanti jalannya... dia menoleh ke gw sambil tersenyum tipis.
gw sekarang cuma berusaha untuk jadi orang yang lebih baik, selama gw bisa, selama gw masih punya kesempatan. , dia memainkan jemarinya yang menyembul diujung-ujung mukenanya, gw harap itu bisa sedikit mengurangi dosa-dosa gw selama ini... Cha...
dia dengan sigap meletakkan jari telunjuknya di bibir gw, dan menggelengkan kepalanya pelan. Kemudian dia menggenggam jemari gw.
gw mau lo belajar menerima kenyataan, Gil... dia tersenyum ke gw, lo harus bisa menerima semuanya yaah...
Cha, gw ga mau kehilangan lo... kata gw dengan suara bergetar.
Gil, udah berapa kali gw bilang ke lo, gw ga kemana-mana. Gw masih disini. Nih gw masih megang tangan lo kan" Hahaha...
Gw memandanginya dengan iba. Dia berusaha ceria, untuk gw. Dan lebih jauh lagi, dia berusaha ceria untuk dirinya sendiri. Gw mempererat genggaman tangan gw, dan tersenyum tipis kepadanya.
lo adalah orang terbaik yang pernah ada di hidup gw, Cha... kata gw pelan. Dan terindah, batin gw.
Dia hanya tersenyum memandangi lantai.
ya, lo pun juga begitu buat gw, Gil... jawabnya lirih tanpa memandang gw.
terima kasih udah hadir di hidup gw ya, Cha... gw mengelus tangannya yang ada di genggaman gw. Barangkali terlalu sakit bagi gw untuk melepasnya.
gw pun berterima kasih atas adanya lo di hidup gw, Gil. Terima kasih udah menemani gw selama ini ya... katanya dengan senyum yang pucat. gw akan selalu berdoa untuk lo, Gil... dia mengelus pipi gw pelan.
gw pun akan selalu mendoakan lo, Cha... gw ga akan pernah berhenti mendoakan lo, gw janji... tanpa sadar air mata gw mengalir pelan.
Ara hanya tersenyum, dan menghapus air mata di pipi gw dengan lembut.
Gw memandangi Ara, dan memegang erat tangannya. Kondisinya sedang rapuh, dan dia butuh segala doa dan dukungan yang bisa diberikan orang kepadanya. Gw berharap, waktu gw masih panjang untuk bisa menemaninya. Satu yang selalu gw pinta dalam doa, agar dia bisa sembuh dan kembali ceria seperti dulu, seperti Soraya yang pertama gw kenal.
Dan Soraya yang sekarang, adalah seseorang yang menjadi pegangan hidup gw, penyemangat hidup gw. Dan sekarang dia sedang berada di kondisi terendahnya. Disaat itu gw merasa gw mencintainya melebihi kapanpun dalam hidup gw.
PART 59 Gw memandangi wajah yang tertidur dengan tenang di hadapan gw. Dia berselimut, dan sedikit pucat. Di tangan kanannya masih tergenggam sebuah tasbih berwarna gelap. Sepertinya doanya belum selesai tapi dia telah jatuh tertidur. Beberapa helai rambutnya jatuh menutupi sebagian mata hingga ke hidungnya. Gw menatapnya lekat-lekat, dengan napasnya yang tenang dan teratur. Dua tahun ini gw menatap wajah yang sama, tapi rasanya gw seperti telah mengenalnya selama gw hidup. Bagi gw, adalah seperti mimpi gw bisa melewati hari-hari bersamanya disini.
Gw tahu, di setiap perjalanan hidup kami disini, ga akan luput dari yang namanya konflik. Beberapa kali gw bertengkar dengannya, bahkan sampai mendiamkan satu sama lain. Tapi pada akhirnya kami akan saling mencari lagi. Terutama Ara, dia paling ga bisa lama mendiamkan seseorang. Sesuai dengan sifatnya yang ceria, dia selalu berusaha menjalin hubungan baik dengan seseorang.
Siang tadi, gw dan Ara masih ke kampus, menjalani perkuliahan seperti biasa. Setelah kuliah gw mengajaknya langsung pulang ke kos, tapi dia menolak. Dia mau jalan-jalan dulu di kampus, katanya. Gw ga bisa berbuat apapun selain menuruti apa maunya. Sesekali dia ngobrol dengan teman-teman kuliahnya yang sebenarnya jarang berinteraksi. Gw melihatnya sangat menikmati itu semua. Yah, gw senang kalau dia juga senang.
Ketika dia sedang duduk di bangku dimana dia menyapa gw dulu untuk pertama kalinya, gw duduk disampingnya. Dia tersenyum memandangi selasar kampus yang penuh dengan mahasiswa berlalu-lalang.
kenapa senyum-senyum dari tadi, Cha" Serem ih... goda gw. dia tertawa kemudian menonjok lengan gw pelan.
bawel ah, asik tau liat kampus rame gini... jawabnya. kalo kampus sepi tuh baru serem...
ya kan dari dulu rame terus, Cha...
ya iya si, cuma gw ngerasa menikmatinya baru sekarang. Apa gara-gara gw udah nyaman banget yah di kampus ini" yah mungkin, kan kita udah semester lima, Cha... udah ada junior juga... dia tertawa pelan. iya, udah tua juga ya kita... gw menimpali.
ah baru juga dua puluh tahun... tapi kepala dua deng, lumayan tua yak! Hahaha...
lo mah udah dua puluh lewat banyak, Cha... gw tertawa. Ara memang beberapa bulan lebih tua daripada gw.
tapi muka borosan elo deh... dia mencibir. yah namanya juga cowok, Cha...
dia tertawa, kemudian memandangi sekelilingnya sambil memainkan kakinya. Dia memandangi semuanya dengan tatapan penuh kerinduan. Sesekali dia tertawa pelan sendiri. Barangkali
dia sedang bermain-main dengan memorinya. kita lucu yah... katanya tiba-tiba. lucu kenapa"
ya lucu aja cara kita menyikapi sesuatu, kaya kuliah ini, misalnya...
maksud lo" gw ga paham deh, Cha...
ya dulu gw dan lo sama-sama males kuliah kan. Kalo kuliah bawaannya pengen bolos mulu. Ngerjain tugas juga ala kadarnya... dia tertawa, tapi sekarang gw malah seneng banget kuliah...
ya itu namanya lo udah nyaman, Cha... Baguslah kita jadi rajin gini, biar cepet lulus kan... hehehe.... kata gw.
ya mungkin ya... atau mungkin itu perasaan gw aja... katanya pelan. Mendadak wajahnya menjadi suram. Moodnya berubah seketika.
maksudnya, Cha" ah udahlah, ga usah dibahas lagi, Gil... dia tersenyum ke gw. lo mau makan" yuk makan. ajaknya.
Gw tersenyum dan mengangguk, mengiyakan ajakannya. Tapi dibalik senyuman gw itu sebenarnya gw menyimpan kekhawatiran. Sedari tadi gw sudah khawatir ketika Ara mengajak gw untuk berjalan berputar-putar kampus. Gw semakin khawatir ketika dia
duduk disamping gw, memandangi sekeliling dengan senyuman. Dan puncaknya, kekhawatiran gw semakin besar ketika dia selesai mengucapkan kata-kata barusan.
Gw merasa itu seperti sebuah pertanda, sebuah seruan peringatan untuk gw. Seruan peringatan yang hening. Entah kenapa, firasat gw mengatakan, dia sedang mengucapkan perpisahannya untuk kampus ini. Dia seperti sedang berusaha menikmati segalanya selama waktu yang dimilikinya. Dan di dalam hati, gw ga henti-hentinya berdoa dan memohon, agar semoga firasat gw itu salah.
Sore tadi, ketika kami berdua sudah berada di kosan, dia mendadak masuk ke kamar gw, dan berbaring disamping gw. Dia membawa sebuah album foto bersamanya. Sambil berbaring itu dia membuka album, yang ternyata berisi foto kenangan masa kecilnya. Dia begitu lucu, begitu menggemaskan.
ini gw waktu ulang tahun keempat... dia menunjuk foto seorang gadis kecil yang bertubuh agak gemuk, dengan pipi yang menggembul, dan mengenakan gaun mungil berwarna merah jambu.
gw tertawa. pipi lo kaya bakso ya dulu... iya dulu gw emang gendut, hahaha... tapi cantik kok...
dia tersenyum sambil membolak-balik album foto itu. Ada beberapa foto dia bersama gadis-gadis kecil lainnya di sebuah komplek rumah. Ada juga foto bersama di sebuah pentas acara
lingkungan. gw kangen deh sama mereka... katanya tiba-tiba. itu tetangga lo semua"
dia mengangguk. iya itu temen main gw waktu gw kecil dulu... entah dimana mereka sekarang...
ga ada kontak sama sekali"
ga ada deh, tapi ga ngerti juga si... Siapa tau gw masih nyimpen nomor telepon rumahnya. Barangkali ada yang belum pindah dari sana...
yaudah sok atuh dicari kontaknya...
nanti kalo ketemu temenin gw ya Gil ketemu mereka... pintanya sambil tertawa pelan.
Gw mengangguk. iya, pasti, Cha...
Dalam sebuah pembicaraan setelah sholat isya, gw mendengarnya berkata sesuatu yang membuat gw merinding.
hari-hari ini entah kenapa gw kangen banget ya tidur dirumah... lo mau pulang, Cha" tanya gw, setengah menawarkan. dia menggeleng.
belum. belum waktunya. katanya pelan.
Kembali seperti di awal, setelah itu gw menemaninya hingga dia tertidur nyenyak di hadapan gw dengan wajah yang tenang. Gw memandanginya dengan perasaan tersayat-sayat. Ingin rasanya gw menukar segalanya untuk kesembuhannya. Bahkan di titik ini, gw rela menukar diri gw yang mengidap penyakit itu, agar dia bisa terbebas dari penderitaannya. Agar dia tetap bisa memiliki harapan untuk meraih cita-citanya.
Gw menyibakkan beberapa helai rambut yang menutupi mata hingga ke hidungnya perlahan. Kemudian dengan sangat lembut gw mencium keningnya. Apapun akan gw lakukan untuk lo, Cha.
Semoga gw dan Ara masih diperbolehkan untuk bermimpi lebih jauh lagi, satu diantara doa kami.
PART 60 Gw terbangun di suatu pagi, tergagap, dan perasaan gw ga karuan. Napas gw memburu, bahkan untuk beberapa saat gw seperti ga mengenali dimana gw berada. Dada gw terasa sesak ketika gw mengingat kembali mimpi yang membuat gw tergagap bangun.
mungkinkah itu" Gw memandangi dinding di hadapan gw, dimana di sebelah dinding itu tinggal seseorang yang gw cintai. Dengan gontai gw bangkit, dan keluar kamar, mencoba membuka pintu kamar di sebelah kamar gw itu. Terkunci. Mendadak gw teringat bahwa dia selalu meninggalkan kunci pintu kamarnya di ventilasi yang terletak diatas pintunya. Gw merogoh ventilasi yang berdebu itu, dan menemukan apa yang gw cari.
Ketika pintu kamar telah terbuka, rasanya gw seperti diterpa oleh rasa rindu dan sesak yang menjalari hati dan tubuh gw. Aroma khas sang pemilik kamar masih tertinggal dengan jelas, yang membuat gw semakin hanyut dengan kerinduan. Gw memandangi perabotan kamar itu, dan mengelusnya dengan rasa sayang. Seolah apapun yang pernah disentuhnya menjadi kesayangan gw juga. Gw memejamkan mata untuk beberapa saat.
Ketika gw membuka mata gw, yang tampak di hadapan gw adalah dua orang yang duduk berdua, bersandar pada tembok kamar, dan berbincang satu sama lain tentang mimpi-mimpi dan banyolan-banyolan, menertawakan kehidupan itu sendiri. Satu dari mereka adalah lelaki, yang selalu gw lihat sebagai diri gw sendiri. Sementara yang seorang lagi wanita, dengan rambut
tergerai sebahu, dan mengenakan kaos putih gombrong khas dirinya. Mereka saling berbicara, dan tertawa, seolah hari esok masih terbentang jauh bagi mereka.
Gw menatap mereka dengan kelu, sebelum bayangan diri mereka menghilang secara perlahan-lahan dari pandangan gw, dan kembali menjadi sebuah kamar kosong yang gelap. Gw menyalakan lampu, dan melihat seisi kamar dengan lebih jelas. Deretan foto berbingkai yang diletakkan di meja menyapa gw dengan hangatnya, dan membuat gw mengambil salah satu foto itu, mengelusnya dengan perasaan ga karuan.
impian gw itu bisa wisuda, dan menikah....
sebuah suara entah darimana datangnya, menggema di otak dan hati gw. Seolah mengingatkan gw kembali tentang apa yang seharusnya gw lakukan. Gw memandangi foto dirinya yang sedang tersenyum bersama orang tuanya, dan membuat gw ikut tersenyum. Lo itu terbuat dari apa si, Cha, batin gw sesak. Segala sifatnya itu membuat gw selalu bersyukur atas setiap hari baru di hidup gw. Gw tahu seharusnya gw bersyukur sejak lama, jauh sebelum itu. Tapi gw bahagia jika memang dirinyalah yang menjadi penyebab gw bersyukur atas ini semua.
Gw menggigil ketika merasakan angin malam yang berhembus kencang di pagi buta itu. Gw menoleh, memandangi langit gelap yang sedikit berubah menjadi keperakan di ufuk timur. Gw merindukan berdiri di balkon ini bersamanya. Gw merindukan celotehannya setiap kali kami berangkat kuliah bersama. Gw merindukan tingkahnya ketika kami sedang berbincang berdua disini setiap malam. Gw merindukan segalanya tentang elo, Cha.
Gw ga pernah menyangka gw akan jatuh cinta di kota ini. Di waktu ini. Gw ga pernah menyangka gw akan mencintai seseorang yang selalu ada di sebelah kamar gw. Dan gw ga pernah menyangka akan mencintainya sedemikian dalam. Mungkin gw terlalu mencintainya, melebihi dari apa yang seharusnya.
Gw cinta lo, Cha. Lo-lah matahari yang selalu menerangi hari-hari gw disini.
Lamunan gw itu buyar, ketika sebuah suara dering handphone terdengar dari kamar gw. Siapa yang menelepon pagi-pagi buta ini" Tanpa berpikir lagi gw mengambil handphone itu, dan mengangkat telepon setelah melihat identitas peneleponnya. halo" sapa gw.
halo, selamat pagiii... sapa sebuah suara diujung sana dengan riang.
gw tertawa. selamat pagiii juga. Tumben telepon pagi-pagi gini lo" udah sholat belum" kata gw bahagia.
gapapa lah, sekali-sekali gw bangunin elo lewat telpon... gw mendengar dia bersin diujung sana, belum nih, baru gw mau sholat. Lo barusan bangun" suara lo kaya seger banget... engga, gw udah bangun dari tadi kok...
tumben" ngapain lo"
tadi gw kebangun gara-gara mimpi tentang lo...
kok sama sih, gw juga kebangun gara-gara mimpiin elo. Hahaha... dia tertawa pelan. mimpiin apa lo tadi" ah males ah ngomonginnya, ga enak pokoknya. jawab gw. lo sehat-sehat kan, Cha" tanya gw lagi.
dia terdiam beberapa waktu.
Alhamdulillah gw sehat, Gil. Lo jangan khawatirin gw yaah... disini sepi tau ga ada elo... kata gw miris.
dia tertawa renyah. gw bakal balik lagi kesana kok. Gw janji... gw tersenyum.
gw akan selalu menunggu lo, Cha...
Gw melihat sebuah tumpukan CD grup-grup musik favoritnya, The Beatles dan Coldplay. Tanpa sadar gw menggumamkan sepenggal lirik lagu favoritnya yang selama ini selalu dia perdengarkan ke gw, menggema dengan merdunya di pikiran gw. And I could write a song
A hundred miles long Well, that's where I belong And you belong with me
The streets you're walking on A thousand houses long Well, that's where I belong And you belong with me
Gw cinta lo, Cha. Dan gw tahu lo mengetahui itu, bahkan melebihi diri gw sendiri.
Gw mencintai lo, seperti pagi mencintai hangatnya sinar mentari. Gw mencintai lo, seperti burung mencintai cericipnya yang merdu. Gw mencintai lo, seperti layaknya manusia yang mencintai. Dan gw mencintai lo, selalu dan semoga selamanya.
PART 61 Suara gemuruh kereta api terdengar dari balik bangunan stasiun tempat dimana gw menunggu dibawah pepohonan yang teduh. Gw bangkit dari duduk, membersihkan celana jeans gw, dan berjalan mendekati pintu kedatangan. Gw melihat banyak orang berlalu lalang, dengan segala aktivitasnya. Suasana cukup ramai di sore hari itu. Berbagai pertemuan dan perpisahan gw lihat di sekeliling gw. Terkadang gw juga melihat optimisme di wajah beberapa orang.
Gw menunggu dengan sabar, mengamati wajah masing-masing penumpang yang keluar dari pintu itu. Sosok yang gw tunggutunggu belum juga tampak. Sepertinya dia telat turun dari gerbongnya, sehingga agak lama juga sampai kemari. Gw masih menunggu selama beberapa saat, sampai dari kejauhan gw melihat sesosok wanita menuruni tangga, dengan membawa ransel dan sebuah tas di tangannya.
Semakin mendekat ke posisi tempat dimana gw berdiri, gw semakin bisa melihat sosoknya dengan jelas. Dia mengenakan kaos berwarna putih, dengan jaket tebal berwarna biru tua. Rambutnya tergerai agak panjang, wajahnya menurut gw semakin tirus, dan sedikit memucat. Dia tersenyum lebar ketika melihat gw, dan berlari kecil ke arah gw.
hey... sapanya, udah lama yah"
gw mengamatinya dari atas ke bawah, kemudian menggeleng pelan. ah engga juga kok, ga lama. Sini gw bawain tas ransel lo... kata gw sambil mengulurkan tangan.
Dia melepas ranselnya tanpa banyak protes seperti dulu, kemudian membiarkan gw membawakan semua barang bawaannya. motornya lo parkir dimana" tanyanya.
gw menggeleng. ga naik motor kok, tadi naik bus gw. Kita pulang naik taksi aja...
hah" taksi" ngapaiiin.... boros ah. Naik bus aja.
naik taksi aja, biar ga capek. Udah ga usah protes lo, ini gw yang bayar. Yah"
dia cemberut, tapi kemudian dia mengalah.
yaudah naik taksi aja sekali-kali... dia menonjok lengan gw pelan, boros aja lo gegayaan naik taksi segala...
gw nyengir. yah sekali-kali gegayaan gakpapa dong... gw membela diri.
sambil menunggu taksi dia menatap gw cukup lama, hingga gw merasa risih dengan tatapannya itu. Gw merasa risih karena dia menatap gw bukan hanya dengan tatapan, tapi juga sambil senyum-senyum sendiri. Gw mulai salah tingkah, jangan-jangan ada yang konyol dari diri gw hari ini.
kenapa lo, Cha" tanya gw.
dia tertawa. gakpapa... kenapa" cecar gw.
gw cuma kangen aja ngeliat muka lo... hahaha... dia tertawa lagi cukup lebar. Suaranya menyenangkan.
Gw mengamatinya, kali ini lebih seksama. lo kayanya kurusan yah, Cha" muka lo juga lebih pucet dari biasanya... ah sok tau aja lo ah....
yee beneran ini, gw 3 minggu ga ketemu lo ngerasanya lo jadi tambah kurus, tambah pucet... lo disana diapain si, Cha" tanya gw datar. Gw berusaha bertanya dengan intonasi biasa-biasa saja, tapi di dalam hati gw rasanya ga karuan.
ya diobatin lah, yakali disana gw main petak umpet... dia mencibir ke gw, sementara gw cuma bisa tertawa mendengar jawaban khasnya itu. Gw merindukan gayanya ini. lo apa kabar disini" dia bertanya sambil memegang bahu gw. sehat, alhamdulillah...
dia menghela napas berat, dan mengarahkan matanya ke atas. ya iyalah lo sehat, orang lo ada disini sekarang... maksud gw, selama gw tinggal ini ada cerita apa aja" tanyanya sebal. gw tersenyum simpul.
banyak si, di kampus juga ada. Ntar deh gw ceritain ke lo. Sambil makan. Eh, lo belum makan kan yak"
udah tadi di kereta makan sandwich dibawain mama...
mana sandwichnya" udah abis lah... yaah...
lo mau" ngicipin dikit... ntar gw buatin di kosan deh... emang ada bahannya"
ya ntar mampir dulu di supermarket, beli dulu... ah ngerepotin banget kayanya...
dia melotot. mau apa enggak" mau, mau....
makanya jangan bawel. gw tertawa mendengar dia mulai ngomel-ngomel lagi seperti sediakala. Di titik ini, gw bahkan kangen dengan omelannya. Kadang-kadang dia bisa sangat menyebalkan, tapi ada kalanya juga gw merindukan waktu-waktu dimana dia jadi menyebalkan itu.
Malamnya, ketika kami sudah bersantai di kosan, dia tiduran di kasurnya, sementara gw duduk bersila, bersandar pada tembok, dan ada sepiring sandwich di hadapan kami. Angin malam berhembus masuk ke kamar, mendinginkan kamar yang berhawa agak pengap karena lama ga dibuka.
Cha... panggil gw. hmmh... dia sedang asyik membersihkan kukunya. gimana keadaan lo"
gw baik-baik aja kok... masa" gw menatapnya lekat-lekat. lah kan gw ada disini sekarang" gw berpikir sejenak.
lo masih mau balik ke kampus lagi kan" tanya gw sungguhsungguh.
dia memandangi gw sesaat, kemudian melanjutkan membersihkan kukunya lagi. tapi gw tahu dia sedang memikirkan jawaban dari pertanyaan gw.
iya, gw masih ke kampus kok... dia mengangguk-angguk. lo jangan takut gitu siii... sebuah senyuman jahil mengembang di wajahnya.
...... kan gw kepingin lulus, masih inget kan lo ama impian gw" gw mengangguk mantap. iya, gw inget kok, Cha.
nah, berarti lo jangan khawatir ya gw ga balik ke kampus... katanya sambil tertawa pelan.
iyaaa..... kemudian ada kebisuan panjang diantara kami berdua. Barangkali terlalu banyak yang ingin disampaikan, tapi kata-kata ga cukup menggambarkan itu semua. Kebisuan sepertinya menjadi harmoni melodi yang merdu yang menyampaikan semua pesan kami. Gil... panggilnya mendadak.
gw agak terkesiap. ya" dia terdiam sebentar.
kalo gw pergi, lo bakal kangen gw ga" dia menoleh ke gw dan bertanya dengan wajah sendu namun bersungguh-sungguh. gw selalu kangen lo, Cha. jawab gw.
kemudian gw melihat dia tersenyum. Sebuah senyum lega, dan tulus. Seakan jawaban gw itu memberikan hari baru baginya. Gw tahu, dan gw yakin dia juga mengetahui, bahwa kami berbagi ketakutan yang sama. Ketakutan untuk saling kehilangan satu sama lain.
PART 62 Cha, bangun.... Kata-kata itu sudah entah berapa kali gw ucapkan kepada seorang wanita yang terbaring di hadapan gw. Berulang kali gw ucapkan dalam kata-kata, dan tak terhitung lagi gw ucapkan di dalam hati.
Cha, bangun... ini gw disini, Cha... ucap gw lirih, sambil memegang tangannya dan mengelus punggung tangannya dengan ibu jari gw. Sebuah elusan di punggung gw kembali menyadarkan gw, dan menguatkan gw. Gw menoleh. Ada seorang wanita di belakang gw.
udahlah, Lang, biarin Ara istirahat dulu. Dia ada di tempat yang baik kok, dia pasti sembuh lagi. Oke" katanya menenangkan gw.
gw mengangguk, sambil tetap memandangi wajah Ara yang pucat dan diam tanpa ekspresi. iya....
sekarang lo cari makan dulu gih sana, biar gw yang jaga Ara disini. Lo udah ngehubungin orang tuanya kan" tanyanya.
udah kok, secepatnya mereka mau kesini. Temen-temen gw juga udah dalam perjalanan kesini...
dia mengangguk. baguslah, sekarang lo makan ya. Biar gw disini. iya, thank you yah, Jihan...
dia tersenyum tipis ke gw.
ini bukan waktunya lo untuk berterimakasih... katanya pelan.
Sore tadi, ketika gw sedang tiduran di kamar, gw mendengar sebuah barang pecah dari kamar sebelah, kamar Ara. Padahal baru sekitar 15 menit dia berpisah dari gw, sebelumnya gw menemani dia di kamar dengan ngobrol-ngobrol ringan. Gw langsung meloncat dari kasur dan membuka kamar Ara tanpa ketukan. Di dalam kamar gw mendapati Ara sudah terbaring pingsan, dengan sebuah gelas pecah ga jauh dari dirinya. Entah dia bermaksud melakukan apa, tapi sepertinya kondisinya mendadak menurun drastis.
Gw panik, dan berusaha membangunkan Ara dengan menepuknepuk pipinya, setelah gw memindahkan dia ke kasur. Satusatunya hal yang bisa gw pikirkan adalah meminta tolong ke teman-teman tetangga kosan. Namun sialnya bagi gw, sore itu banyak dari penghuni kos belum ada di kamarnya, termasuk Bang Bolot yang tinggal disamping kamar gw. Dalam kondisi panik itu satu yang terpikirkan oleh gw adalah Jihan di lantai satu.
Dengan tergesa-gesa gw menggedor kamar Jihan, dan untungnya dia ada di kosan. Setelah mendengar cerita gw bahwa Ara pingsan di kamar, dia langsung berinisiatif naik ke kamar Ara, memberikannya pertolongan pertama sementara dia memerintahkan gw untuk mencari taksi secepatnya. Singkat cerita, gw dan Jihan membawa dia ke rumah sakit dengan persiapan sekadarnya.
Ga lama kemudian, beberapa teman kampus kami telah datang di rumah sakit itu. Mereka bergantian menjaga Ara, sesekali semua berkumpul di dalam ruangan. Sementara gw duduk di luar
ruangan, di tempat duduk yang disediakan. Gw duduk dengan lemas, membayangkan kembali apa yang terjadi kepada Ara, dan penanganannya di UGD tadi. Tanpa gw sadari, Jihan mendekati gw, dan duduk disamping gw. Wajahnya cemas, dan lelah. terima kasih ya buat semuanya... ucap gw pelan.
dia mengangguk, menepuk-nepuk paha gw. lo yang sabar yah. gw akan selalu bantu kalian kok selama gw bisa...
iya, terima kasih... hanya itu yang bisa keluar dari mulut gw. dia menarik napas panjang, dan memandangi gw dengan iba. sejak kapan Ara kena leukemia" tanyanya.
gw dikasih taunya sih beberapa bulan yang lalu... dia rutin berobat"
yah, tadinya dia rutin pulang ke Surabaya. Cuma akhir-akhir ini karena sibuk ujian sama persiapan skripsi, dia jadi belum ada waktu untuk pulang lagi....
ooh... dia mengangguk-angguk. maaf ya udah ngerepotin lo...
ah apaan si, ini udah seharusnya tau gw kaya gini. Mana mungkin lah gw ga berbuat apa-apa ngeliat seseorang yang gw kenal sakit kaya gini... sergahnya.
gw cuma bisa mengangguk dan menggumam pelan. iya, terima kasih...
Kami berdua membisu selama beberapa saat. Lang... panggilnya tiba-tiba.
ya" lo yang tabah yah menghadapi ini semua... maksudnya"
gw tahu lo cinta sama Ara. Bahkan gw lihat lo sangat mencintai dia. dia kemudian tertawa pelan, ya siapa si yang ga jatuh cinta sama cewek seperti Ara... dia menarik napas, maksud gw, lo harus siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terburuk ya...
.....

Dunia Yang Sempurna Karya Carienne di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gw bukan ngomongin hal jelek ya, cuma gw pikir lo harus siap menghadapi segalanya. Gw tahu ini berat banget buat lo, gw ga menyalahkan lo. Cuma gw juga ga mau lo terpuruk karena ini. ......
berjuanglah untuk Ara, dan untuk lo sendiri juga. Karena sejauh yang gw lihat, meskipun kalian berdua seperti anjing dan kucing, kalian takut kehilangan masing-masing. Kalo menurut gw, kalian itu cuma punya satu sama lain.
..... bagi gw, itu salah satu level mencintai yang paling murni. Saling membutuhkan satu sama lain walaupun ga ada kata-kata. Gw ingat kok gimana linglungnya lo waktu ditinggal Ara pulang agak lama. Dan gw juga tahu gimana Ara nyariin lo ketika lo ga ada di kosan...
..... sepertinya Tuhan mempertemukan kalian berdua disini karena satu alasan yang indah. Semoga itu memang takdir kalian ya... ya, semoga.... ucap gw lirih.
Ketika sebagian besar teman-teman gw telah pulang, dan hanya tersisa 3 orang disitu, yaitu gw, Jihan dan Maya, gw duduk di kursi di sebelah kasur Ara, memandanginya dengan takzim. Wajahnya masih pucat, dan dia masih tertidur. Barangkali karena efek obat. Gw meraih tangannya yang lemas tak bertenaga, dan mengelus punggung tangannya pelan.
Pikiran gw melayang ke ucapan Jihan tadi. Barangkali memang ada benarnya ucapannya itu. Barangkali memang ada rencana Tuhan yang indah dibalik ini semua. Ketika semua perjalanan hidup gw dan hidupnya menjadi masuk akal, adalah ketika gw dipertemukan dengannya disini, di kamar nomor lima belas dan enam belas. Semoga memang seperti apa yang selalu gw semogakan dalam doa. Semoga dia memang terlahir untuk gw.
Tanpa sadar air mata gw menetes pelan di pipi. Gw menunggunya, dan akan selalu menunggunya untuk bangun.
PART 63 Udara dingin malam itu membangunkan gw dari tidur. Rupanya gw tertidur di bangku yang disediakan di ruang tunggu. Hawa dingin malam mulai menjalar di kulit gw, membuat gw agak menggigil kedinginan. Gw melihat jam di hape, dan menunjukkan pukul satu pagi. Malam masih terlalu larut, dan pagi masih terlalu lama untuk dijelang. Gw memandangi selasar yang berpenerangan sangat baik, namun sepi. Hanya sesekali suara dering telepon terdengar dari meja tempat perawat berada.
Gw bangkit dari duduk, dan berjalan limbung menuju ke kamar yang gw kenal adalah kamar tempat Ara dirawat. Gw menghela napas berat, dan dengan sangat perlahan gw membuka pintu kayu itu. Gw melihat ujung tempat tidur, dan sepasang kaki yang tertutupi oleh selimut. Ketika gw melangkah masuk lebih jauh, gw melihat dirinya, masih tertidur dengan posisi yang sama, dan berwajah pucat namun seperti bercahaya. Di sofa samping tempat tidur gw melihat Jihan tertidur dengan nyenyak, berbantalkan tas.
Gw melangkah tanpa bersuara, dan berdiri di sisi lain tempat tidurnya, memegang pagar pembatas yang terpasang di kedua sisi tempat tidur. Gw memandangi raut wajahnya, sebuah wajah yang telah gw kenali dengan amat baik selama hampir tiga tahun ini. Di wajah itu gw bisa melihat mimpi-mimpi yang selama ini kami rajut berdua, dengan sejuta harapan di masa depan.
Pikiran gw melayang ke kedua kamar kos kami, tempat dimana kami bertemu dan kami hidup bersama. Di dalam hati dan pikiran
gw teringat akan momen-momen dimana gw dan dia berbagi cerita dan harapan tentang cita-cita di masa mendatang. Gw teringat tentang bagaimana kami berdebat, kami bertengkar, dan bagaimana kami saling memaafkan. Gw teringat tentang bagaimana kamar nomor lima belas dan enam belas telah membuat sebuah kisah tak terlupakan dalam hidup gw.
Gw meraih tangannya yang lunglai tak bertenaga, dan mengelusnya pelan. Tangan ini telah membantu gw bangkit lagi ketika gw jatuh dalam hidup. Tangan ini jugalah yang mendorong gw untuk tidak mundur ketika gw diterpa badai kehidupan. Dan tangan ini jugalah yang menarik gw untuk maju lebih jauh lagi demi masa depan. Gw merindukannya. Gw merindukannya melebihi apapun.
Gw menarik kursi perlahan-lahan tanpa suara, dan gw menurunkan pagar pembatas yang ada di salah satu sisi tempat tidur itu agar gw bisa bersandar pada kasur. Gw melipat tangan, dan meletakkan kepala gw diatasnya, memandangi sosok yang tertidur di hadapan gw lekat-lekat. Entah berapa lama gw memandanginya, sampai akhirnya gw jatuh tertidur.
Sebuah elusan lembut di rambut gw lah yang membangunkan gw kembali. Gw mendongak dan melihat Ara telah sadar kembali, dan dia mengelus rambut gw dengan senyum lemah, dan pucat. Ketika dia melihat gw telah bangun, senyumnya semakin melebar, dan matanya mulai berlinang. Gw tersenyum lebar, hati gw dipenuhi ucapan syukur ketika gw bisa melihat kembali senyumnya itu. Gw memegang erat tangannya.
gw mimpiin elo, Gil... katanya lirih.
gw merasakan air mata gw mulai terbit. mimpiin apa" tanya gw, masih dengan senyum di bibir.
gw mimpi elo ada di sebuah jalan gitu, ga tau jalan apa, dan elo manggil-manggil gw dari kejauhan...
terus" gw samperin elo, tapi begitu gw deketin lo nya malah menghilang...
gw mengelus tangannya. gw ada disini, Cha... gw ada di samping lo, selalu.... dia mengangguk-angguk lemah.
maafin gw ya, Gil... kenapa" udah bikin lo repot.... gw mempererat genggaman gw.
repot udah lama gw hapus dari kamus gw untuk lo. Apapun akan gw lakukan untuk lo, Cha... gw memandanginya lekat-lekat. gw ada buat lo, Cha... gw disini untuk lo...
dia memejamkan mata, dan tersenyum.
lo jangan terlalu menyiksa diri lo sendiri, Gil... dia berkata
dengan mata terpejam. Hati gw rasanya tertusuk ketika mendengar dia berbicara seperti itu.
maksud lo, Cha" gw bertanya dengan suara bergetar. gw rasa lo harus mikirin diri lo, jangan terlalu mikirin gw... mana bisa gw ga mikirin lo.
lo pasti bisa... kalo lo ga bisa ngelakuinnya buat lo sendiri, setidaknya lo lakuin itu buat gw... sahutnya lirih, nyaris menyerupai bisikan.
kenapa, Cha" kenapa gw harus seperti itu" tanya gw. Air mata gw sudah hampir runtuh.
dia tersenyum, memandangi gw dengan sayu sesaat, kemudian memejamkan mata kembali.
karena.... katanya pelan, lo akan sendirian ketika nanti lo kembali kepada-Nya...
terus kenapa gw ga boleh mikirin lo, Cha" tanya gw. dia menggeleng tak kentara.
gw ga bilang lo ga boleh mikirin gw, gw bilang lo jangan terlalu mikirin gw...
kenapa" dia terdiam sejenak, dengan mata terpejam.
gw udah ada yang mikirin kok. Heheh... sahutnya pelan.
hati gw mencelos mendengar gaya tengilnya yang sejak dahulu menjadi ciri khasnya itu kembali lagi. Terasa ada yang dipaksakan di tawanya itu. Sangat dipaksakan. Di dalam hati gw menangis pilu. Gw memandanginya. Dia tersenyum lemah, tapi matanya terpejam. Entah kenapa, gw merasakan ada getaran yang aneh di hati dan pikiran gw. Sesuatu yang memperingatkan gw.
Cha" panggil gw. Dia diam saja, tak lagi merespons panggilan gw.
PART 64 Cha" panggil gw. Dia diam saja, tak lagi merespons panggilan gw. Dengan panik gw mengguncangkan tangannya, agak keras.
Cha" panggil gw lagi, dengan volume suara lebih keras dari sebelumnya. Cha lo denger gw kan"
Dia membuka matanya lagi. Rasa lega dan syukur yang gw rasakan waktu melihat dia membuka matanya lagi itu ga bisa digambarkan dengan apapun. Gw menghembuskan napas lega melihat dia berkedip-kedip lagi, memandangi gw dengan sayu.
iya, gw denger lo kok... jawabnya lirih. Dia hanya tersenyum ke gw.
jam berapa sekarang" tanyanya lagi. jam satu lebih...
satu pagi" gw mengangguk. iya jam satu pagi... lo kok ga tidur" tanyanya lirih.
gw hanya bisa tersenyum. Di saat seperti ini dia masih memikirkan gw yang belum tidur di jam satu pagi seperti sekarang ini. Dia memang selalu menunjukkan perhatiannya ke gw, di saat seperti apapun itu.
gw jagain lo, Cha... kata gw sambil menggenggam tangannya erat.
dia memejamkan mata lagi.
mama papa kapan dateng" gw kangen...
secepatnya mama papa bakal datang kesini, Cha. Tadi udah gw kabarin kok, sekarang mungkin udah di kereta... gw mengelus punggung tangannya lembut, sabar yah, Cha...
lo mau minum, Cha" gw menawarkan segelas air teh dengan sedotan.
Dia ga menjawab, tapi membuka sedikit mulutnya. Gw anggap itu sebagai jawaban iya . Dengan perlahan dan sangat berhati-hati gw masukkan sedotan itu ke mulut Ara, dan dia menyedot teh itu dengan lembut. Sampai akhirnya dia menarik lagi kepalanya. udah" tanya gw.
dia mengangguk-angguk. lo mau makan"
dia menggeleng pelan. Gw juga ga mau memaksanya untuk makan, barangkali kalau gw paksakan justru malah akan membuatnya menderita. Gw duduk kembali di samping tempat tidurnya, dan kembali menggenggam tangannya erat. Merasakan hangat tubuhnya, merasakan aliran darahnya yang gw cintai.
cepet sembuh ya, Cha... kata gw pelan.
Dia menoleh ke gw, memandangi gw dengan tatapan berlinang. Setitik air mata tampak menetes dari sudut matanya, jatuh membasahi bantal yang digunakannya.
iya, gw pengen sembuh, Gil...
gw tersenyum, menyemangatinya di saat-saat yang sulit seperti ini.
lo pasti bisa sembuh, Cha. Gw yakin itu... kata gw menenangkan.
Ara memejamkan matanya. Entah apa yang ada di dalam hatinya sekarang, tapi yang gw lihat adalah dia berusaha ikhlas dan berusaha pasrah tentang apa yang sedang menimpanya. Adalah manusiawi jika seseorang merasa sulit untuk ikhlas dan pasrah menerima musibah yang menimpa. Tak terkecuali Ara. Gw mengambil tas gw, mencari-cari sebuah barang yang ada di dalamnya.
Ketika gw sudah menemukan barang yang gw cari, gw jejalkan barang itu di genggaman tangan Ara. Dia membuka mata, dan merasakan barang yang ada di genggamannya. Dia mengangkat tangannya, dan melihat tasbihnya yang selama ini dia gunakan untuk berdoa. Tanpa berkata apapun dia menggenggam tasbih itu di dadanya, dan mulai berdoa tanpa suara.
doain gw ya, Gil... katanya pelan disela-sela doanya. selalu, Cha. Selalu...
Gw duduk di sampingnya lagi, dengan menggumamkan doa-doa yang gw hapal tanpa suara. Gw melihat Ara menggerak-gerakkan bibirnya juga tanpa suara. Dia sedang berdoa dengan sepenuh hatinya, dengan sepenuh jiwanya. Dia sedang bercakap-cakap dengan Sang Penciptanya. Barangkali dia sedang memohon untuk diberikan jalan yang terbaik baginya, entah kemanapun ini akan berujung.
Ga berapa lama kemudian, dia kembali tertidur. Gw membetulkan genggaman tangannya di tasbih yang tadi, membuatnya tetap menggenggam erat. Kemudian gw tarik selimutnya, dan mencium keningnya pelan. Rasanya ga ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa gw mencintainya waktu itu. Seluruh hati dan pikiran gw hanya untuknya. Di dalam doa gw hanya ada satu keinginan, agar dia bisa sembuh dan menjalani hari-harinya seperti biasa.
Kemudian tanpa suara, gw melangkah keluar kamar, dan duduk kembali di kursi ruang tunggu seperti gw lakukan sebelum ini. Gw hanya bisa merenungi apa yang sedang terjadi di hidup gw akhirakhir ini. Lama kemudian gw menyadari kalau Jihan juga keluar kamar, dan berjalan ke arah gw, duduk di samping gw. Dia memandangi gw sesaat, kemudian bersandar dengan tatapan kosong.
kok lo bangun" tanya gw.
gapapa, kebangun aja. Lagian biar Ara tidur tenang di dalem. lo mau balik ke kosan"
dia menggeleng. engga lah, mana mungkin gw ninggalin kalian
dalam kondisi seperti ini...
gw hanya bisa mengangguk-angguk, berterimakasih. Gw menghela napas panjang.
Lang, jalanin aja semuanya.... katanya tiba-tiba.
gw menoleh ke arahnya. Dia hanya memandangi arah lain dengan tatapan kosong. Seakan gw ga ada disitu.
maksudnya" tanya gw.
jalanin aja apa yang ada di depan lo sekarang. Gw tahu itu sulit banget buat lo, apalagi buat Ara. Tapi lo ga ada pilihan lain selain menjalani itu, sambil berdoa...
gw terdiam sebentar. iya, gw juga udah berdoa kok...
mungkin jalannya ga semulus yang kalian harapkan, tapi ketika lo udah menjalaninya, nanti sampe pada satu titik lo akan ngerasain bahwa memang inilah yang terbaik, yang sempurna... iya, semoga gw kuat menjalani ini semua ya...
lo harus kuat. Apa jadinya Ara kalo lihat lo nya ga sanggup menjalani ini semua" Apa lo tega membiarkan dia berjuang sendirian"
pertanyaan itu menohok hati gw. Gw hanya bisa menggeleng pelan. engga, gw ga akan tega membiarkan dia sendirian... jawab gw pelan.
makanya itu lo harus kuat. Percaya deh, apapun nanti jadinya, lo akan bersyukur kalo lo sekarang menjalani ini semua dengan tabah dan tegar. Dan gw yakin, Tuhan pun akan senang melihat kalian berdua.
Gw memandangi langit malam di sela-sela jendela besar yang ada di hadapan gw, dan berdoa. Gw harap, angin malam membawa doa-doa gw itu ke angkasa, ke gelapnya malam dengan sejuta bintang. Gw berdoa, semoga harapan itu selalu ada, selalu menerangi hidup kami, seperti bintang-bintang yang menerangi gelapnya langit malam. Seperti Ara yang menerangi hidup gw, selalu dan semoga selamanya.
PART 65 Dedaunan jatuh berguguran di kaki gw ketika kami berjalan di taman yang berhawa sejuk pagi hari itu. Cuaca sedikit mendung, dan basah. Hujan cukup deras semalam tampaknya membuat suasana pagi ini menjadi sendu. Angin pagi membuat gw menggigil, untung gw mengenakan jaket andalan gw yang memang hanya satu-satunya. Gw menoleh, melihat seorang wanita di sebelah gw yang juga mengenakan jaket, dan sebuah beanie hat menghiasi kepalanya. Rambutnya tampak tergerai di samping kanan-kiri kepalanya. Dia berjalan sambil memasukkan kedua tangannya ke kantong jaket.
Gil... panggilnya. ya" jawab gw sambil berjalan. lo mau kemana setelah ini"
setelah dari sini, atau setelah semua ini" setelah semua ini.
gw terdiam, dan menghela napas panjang. Pertanyaan yang selalu menjadi pertanyaan sulit bagi gw.
sepertinya cita-cita gw sama seperti kebanyakan orang. Lulus, kerja, menikah, berkeluarga. Dan yang pasti gw mau menghajikan kedua orang tua gw, dan menyekolahkan adik-adik gw setinggi mungkin. jawab gw akhirnya.
dia tersenyum mendengar jawaban gw itu.
adik-adik lo pasti bangga ya punya kakak seperti lo... katanya pelan.
gw yang bangga punya adik-adik seperti mereka... gw tertawa, gw masih harus banyak berbenah diri buat jadi kakak yang baik...
buat gw lo udah lebih dari sekedar kakak yang baik kok... ya tapi kuliah gw belum kelar-kelar...
ah, itu semua ada waktunya. Suatu saat lo pasti bakal membanggakan keluarga lo dengan usaha lo sendiri... katanya menenangkan sekaligus menyemangati gw.
kalo lo, setelah sembuh ini, lo tetep mau buka usaha sendiri" tanya gw sambil mengelap hidung gw yang sedikit berair. dia tertawa, dan mengangguk-angguk pelan.
yah, mungkin. Gw bakal jalanin apa yang ada di depan gw. Jujur sekarang gw ga punya rencana apa-apa. Gw cuma mengusahakan yang terbaik di hidup gw. dia mengangkat bahu, dan menghela napas panjang.
yang penting lo harus sehat, harus tetep semangat ngejalanin semuanya yah....
iya, gw tahu kok... sholat juga jangan pernah ditinggalin yah...
dia tersenyum dan menonjok lengan gw pelan. pasti kalo itu mah... sahutnya.
gw cuma tertawa dan melanjutkan berjalan. Pagi itu gw hanya ingin menikmati hari bersamanya. Untunglah pagi itu suasana cukup bersahabat, sehingga nyaman untuk gw dan dia berjalanjalan. Trotoar yang basah dan dedaunan di jalan setapak seperti mendukung kami untuk mengabadikan momen-momen ini.
Beberapa jauh kemudian, kami memutuskan untuk duduk di sebuah bangku plastik yang memang disediakan di taman untuk umum. Meskipun bangku itu basah, tapi ga mengurungkan niat kami untuk beristirahat disana. Gw duduk disampingnya, memandangi bagian tengah dari taman yang dipergunakan beberapa orang untuk berolahraga. Gw menghela napas berat. Cha... panggil gw.
dia menoleh. Apa" barang-barang lo udah dipacking semua" dia tersenyum.
engga semuanya kok, ada yang masih gw tinggal disini. Kan gw juga masih bakal kesini lagi...
gw terdiam sejenak. nanti kalo lo udah disana, jangan lupain gw yah... kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir gw. Dia tertawa pelan dan
menepuk-nepuk bahu gw. jangan bodoh lah, sahutnya pelan, kenapa gw harus melupakan lo"
gw ga tahu akan seperti apa nanti jadinya hidup gw disini tanpa lo... gw mengakui. rasanya lo sudah jadi bagian wajib di kisah hidup gw disini...
gw pun ga tahu gimana hidup gw nantinya... dia tertawa ringan, but hey, kita sama-sama menghadapi misteri di masa depan, lo nyuruh gw untuk selalu semangat, lo juga harus semangat dong. gw tersenyum mendengar optimismenya itu.
jaga kesehatan lo ya, Cha. Jaga diri lo baik-baik. tengokin gw juga laaah...
gw tertawa. Iya, ntar pasti gw tengokin kesana, Cha...
Janji" dia mengulurkan kelingkingnya ke gw, yang langsung gw sambut dengan mengaitkan kelingking gw juga.
Iya, gw janji. PART 66 Ara udah berangkat" Sebuah suara menyadarkan gw dari balik punggung, sementara gw sedang merapikan meja. Gw menoleh.
oh, elo. Iya udah kok, tadi dia berangkat. jawab gw setelah melihat sosok Jihan berdiri di pintu kamar gw, bersandar pada kusen.
tadinya mau pamitan sama lo, tapi lo nya belum balik. Sorry yah... sambung gw sambil mengelap telapak tangan.
Jihan tersenyum sambil mengibaskan tangannya. ah apaan sih, ga perlu sampe minta maaf kali. Malah gw yang sorry tadi ga ada di tempat...
gw tersenyum mendengar jawabannya itu.
kehujanan ga lo tadi" tanya gw setelah melihat langit di luar kamar gw cukup mendung.
Jihan menggeleng. nyaris sih. sekarang udah hujan emang"
gerimis doang. jawabnya sambil melangkah masuk ke kamar gw dan duduk di lantai, bersandar pada tembok.
jangan duduk di lantai, dingin. Tuh duduk di kasur gw aja gapapa. gw menyarankan. kalo mau teh, bikin sendiri tuh, udah biasa kan...
iya ntaran aja, lagi gw dateng-dateng masa langsung bikin teh... gw tertawa. ya gapapa lah, cuma teh doang ini.
dia memandangi sekeliling kamar gw, sementara gw melanjutkan
merapikan barang-barang gw sekaligus sedikit mengelap debu yang sudah menempel. Dari kejauhan terdengar suara gemuruh, pertanda sebentar lagi akan hujan deras.
Gw memandangi beberapa barang di meja gw, dan mendadak gw baru menyadari kalau ternyata gw ga punya satu lembar pun foto Ara, cewek yang telah tinggal di samping gw selama tiga tahun ini. Gw membuka dompet, dan meyakinkan diri gw sekali lagi bahwa memang ga ada foto Ara yang gw miliki. Gw tersenyum sedih, dan menggelengkan kepala, mencoba mengikhlaskan keadaan ini.
ikhlasin aja... kata sebuah suara di belakang gw.
gw sedikit tersentak, dan menoleh. Gw terkejut karena dia seperti bisa membaca pikiran gw, dan apa yang gw rasakan waktu itu.
semua ini pasti ada hikmahnya kok... lanjutnya. klise sih emang, tapi gw percaya semua yang terjadi diantara lo dan Ara itu ada alasannya. Yang penting lo harus bersabar aja...
gw tertunduk dan terdiam, memandangi kasur, dan mencoba mencerna apa yang dikatakan Jihan barusan. Bagi gw, ini bukan hal sesimpel itu. Bagi gw, ini adalah segalanya.
rasanya gw seperti orang linglung.... kata gw akhirnya. iya gw ngerti kok, pasti berat buat lo...
gw masih menganggap, suara gw tercekat, ....kalo ini semua cuma mimpi. Kadang-kadang gw berharap gw bangun di suatu pagi
dan menemukan ternyata ini semua cuma mimpi buruk. Jihan memandangi gw, dan menghela napas berat. iya, gw ngerti... katanya sambil memainkan jemarinya.
cuma lo harus tetep bersyukur apapun yang terjadi, cintai apa yang lo punya, karena suatu saat nanti, lo bakal merindukan itu semua kalo udah hilang... lanjutnya.
gw mengangguk-angguk pelan. ya, gw tahu... jawab gw lirih.
* * * ---- Beberapa minggu kemudian.
Gw masih di perpustakaan kampus, sedang menyusun skripsi gw. Di sela-sela konsentrasi gw mencari data-data itu, gw beberapa kali terhenyak dan menghentikan kegiatan gw untuk beberapa saat. Gw masih ga percaya bahwa sebentar lagi perkuliahan gw akan berakhir. Hari-hari ini adalah waktu-waktu terakhir gw di kampus, karena memang sudah ga ada kuliah lagi yang harus gw jalani, sedangkan skripsi gw hampir selesai.
Gw membuka-buka buku literatur tebal, dan membolak-balik halamannya. Ga ada satupun data yang masuk ke otak gw untuk gw tuangkan ke dalam skripsi. Pikiran gw melayang jauh, ke masamasa awal gw kuliah disini. Ga terasa sudah tiga tahun lebih gw merantau disini, dengan segala suka dukanya. Dan semua itu membuat pikiran gw bermuara ke satu hal. Soraya.
Hari itu merupakan hari kesekian dia ga memberi kabar ke gw. Sebelum-sebelumnya memang beberapa kali dia seperti itu, karena sedang menjalani terapi. Gw pikir kali ini juga sama, dia sedang menjalani pengobatan. Gw selalu berdoa agar dia diberikan kesembuhan, dan dia bisa kembali bersama gw disini, atau dimanapun nanti kami akan berada. Cuma hari itu gw merasakan ada sesuatu yang aneh di hati gw. Sesuatu yang memaksa gw untuk mengecek lebih jauh lagi.
Gw menelepon Ara. Sekali, dua kali, ga ada yang menyahut. Gw mengirimkan SMS.
Cha, apa kabar" Lo baik-baik aja kan"
Hingga beberapa waktu kemudian tetap ga ada balasan darinya. Gw mencoba untuk meneleponnya sekali lagi. Kali ini ada yang mengangkat telepon gw itu.
halo" sapa gw. halo, ini mas Gilang ya" ini mamanya Acha...
gw terkejut. halo tante, maaf mengganggu, Acha nya ada"
yang ada hanya kesunyian selama beberapa detik di ujung sana, dan suara-suara lain yang gw ga bisa menangkap.
halo, tante" gw mengulangi.
Acha di ICU, mas Gilang, sudah dua hari... maaf tante belum sempat kasih kabar... suara mama Ara terdengar serak.
gw terdiam, terhenyak. Rasanya seluruh dunia gw terhenti pada saat itu. Jemari tangan gw mendadak terasa sangat dingin.
Acha gimana kondisinya, Tante" tanya gw setelah beberapa saat.
kondisinya lemah sekali, mas. Kemarin sempat drop, makanya dokter langsung memerintahkan untuk masuk ke ICU... tapi Acha nya sadar, tante"
sadar, cuma lemah sekali. Kondisinya sekarang omongan mama Ara mendadak terputus. sebentar ya, mas Gilang, tante dipanggil dokter.
oh iya, Tante. gw bergegas menutup telepon.
Gw tetap memegang hape di tangan gw, dan mematung. Perasaan gw sangat ga karuan. Dada gw terasa sesak mendengar Ara kembali drop kondisinya, dan sekarang ada di ICU. Mata gw terasa panas, dan air mata sepertinya hampir terbit di sudutsudutnya. Gw bergegas merapikan semua buku, dan menumpuknya, kemudian kembali ke kosan. Ga mungkin gw tetap mengerjakan skripsi di kondisi seperti ini.
Sesampai di kosan, entah ada kebetulan seperti apa lagi di hidup gw, gw berpapasan dengan Jihan di parkiran motor. Dia melihat raut wajah gw yang kusut, dan tingkah gw yang memarkirkan motor dengan agak serampangan. Dia menatap gw dengan heran, tapi sepertinya dia kemudian menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi dengan gw.
lo baik-baik aja, Lang" tanyanya.
gw hanya diam, ga menjawab pertanyaannya. Dia melangkah mendekati gw.
lo kenapa" ada yang bisa gw bantu"
gw mau cerita sesuatu ke lo. jawab gw singkat.
PART 67 selama ini, gw selalu percaya kalau siapapun yang ada di hidup gw itu pasti punya ceritanya masing-masing. Semua yang hadir di hidup gw pasti punya alasan dan hikmahnya buat gw. kata seorang wanita di hadapan gw.
gw menghela napas, memandangi Jihan yang barusan berkata seperti itu sesaat, kemudian memejamkan mata. Gw merasakan hawa dingin yang menerpa tubuh gw.
dari sekian banyak orang itu, gw harus bikin prioritas. Gw harus bisa menentukan siapa orang yang bener-bener penting buat gw, siapa yang jadi sahabat gw, dan siapa yang ga terlalu gw prioritaskan. katanya lagi.
karena hidup gw terlalu pendek, dan gw terlalu capek buat memprioritaskan semuanya. Jadilah ada yang harus gw korbankan, ada yang gw utamakan. Gw tahu, gw ga bisa menyenangkan semua orang yang hadir di hidup gw, karena itu gw cuma berusaha membuat diri gw sendiri senang.
gw melirik Jihan. lo mau ngomong apa si" tanya gw. dia tertawa pelan.
yang mau gw omongin itu, LO harus bisa menyusun prioritas di hidup lo. Lo harus memutuskan siapa orang yang penting buat lo, siapa orang yang harus lo perjuangin. Jangan sampe lo menyesal nantinya. dia mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda, dan duduk bersila di hadapan gw sambil memainkan karet pengikat rambutnya yang terpasang di pergelangan tangannya.
gw memandanginya dengan tatapan sayu. Pikiran gw berkecamuk, banyak sekali yang terlintas di pikiran gw. Segala kenangankenangan gw seakan muncul kembali, seperti kerlip bintang di tengah gelapnya langit malam. Gw menghela napas berat.
sepertinya lo paham kemana maksud omongan gw ini. Ya kan" tanyanya.
gw mengangguk. iya, gw ngerti kok maksud lo... kata gw lirih. tapi lo belum yakin. Ya kan"
lagi-lagi gw mengangguk. Kali ini lebih perlahan. Gw bahkan belum yakin atas ketidakyakinan gw sendiri. Entahlah.
gw.... gw ga punya keberanian untuk melangkah lebih jauh... jawab gw akhirnya.
Ya, gw memang merasakan seperti itu. Gw takut untuk membuka seluruh perasaan gw kepada seseorang yang memang selalu ada di hati gw. Bukan untuk apa-apa, namun gw takut ketika nanti tiba waktunya dia menutup tirainya dari kehidupan gw. Dengan satu atau lain cara. Gw takut dengan yang namanya kehilangan.
Jihan memandangi gw dengan iba. Dia beringsut ke samping gw, dan menepuk-nepuk paha gw pelan.
iya, gw paham kok rasanya jadi lo, meskipun gw tahu gw ga akan pernah sepenuhnya memahami apa perasaan lo sekarang... katanya bersimpati.
iya, thanks yah... cuma, gw tetap menyarankan ke lo, perjuangin lah itu. Lo sayang Ara kan" Perjuangin lah Ara selayaknya gimana dia layak untuk diperjuangin. Apapun nanti hasilnya, setidaknya lo udah berusaha. Jadiin Ara prioritas di hidup lo.
gw cuma bisa terdiam, memikirkan segala ucapannya barusan.
karena gw tahu, selama ini Ara udah jadi prioritas buat lo. Bahkan tanpa lo sadari sendiri, hidup lo disini untuk Ara. dia tersenyum.
Gw memandangi Jihan lekat-lekat. Anehnya, yang gw lihat di wajah Jihan itu justru Ara. Gw melihat Ara, dengan segala kenangan antara gw dengannya. Di benak gw langsung terbayang segala celotehannya di pagi hari. Gaya manjanya dia yang meminta gendong ke gw sewaktu akan berangkat kuliah. Lemparan bolpennya di kampus ketika gw tertidur. Ekspresi raut wajahnya yang panik dengan membawa setumpuk fotokopian materi kuliah ketika akan ujian akhir semester. Tatapannya yang dongkol ketika gw menyiapkan contekan berlembar-lembar di saku kemeja gw. Nyanyiannya ketika dia selesai mandi dan mengeringkan rambutnya. Lengkingannya ketika cicak merayap di langit-langit kamarnya. Segalanya.
Kait Perpisahan 3 Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? Pedang Naga Kemala 9
^