Karma Will Always Find 2
Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser Bagian 2
Yaudah, ayok ngbrol. Cerita dong Gus ucap Lisa sambil menopang dagu nya dengan kedua tangan yang disandarkan diatas meja.
Cerita apaan" Eh, justru gue mau nya denger cerita lo. Cerita dong, lo dari Surabaya kan" Kok bisa nyari kerja kesini" gue melontarkan sebuah pertanyaan, pertanyaan yang klasik sebenarnya.
Udah 6 taun kali Gus gue di Jakarta. Lu kan anak baru berapa bulan di kantor sedangkan gue udah setahun lebih kerja disana. Gue juga bukan dari Surabaya, iya keluarga gue emang di Surabaya, tapi gue lahir dan sekolah sampe SMP di Makassar, masuk SMA baru deh di Surabaya.
Ooh, lo orang Makassar. Kirain asli Surabaya.
Enggak, gue asli Makassar. Dulu waktu Makassar rusuh sama orang-orang yang kelewat batas, gue sama nyokap, adek, dan Koko-koko gue kabur ke Surabaya
Kabur" Emang ada apaan" tanya gue penasaran. Sepertinya Lisa sudah mulai nyaman buat berbagi cerita dengan gue.
Ya bukan kabur sih, pindah. Demi menghindari kerusuhan dulu. Emang lo belom lahir waktu kerusuhan 98"
Yee, udah lah. Emang di Makassar juga ya" Gue kira di Jakarta doang. Terus, kok Bokap lo ga ikut pindah"
Lisa kali ini tidak langsung menjawab. Dia meminum air mineral yang dia keluarkan dari tas nya, sebuah botol plastik berukuran besar, mungkin 1.5 liter, kemudian memasukkan kembali botol minuman itu dan kembali menatap gue.
Sorry Lis kalo gue nanya nya kelewatan, ga usah dijawab. Ucap gue sambil menyandarkan tubuh ke sandaran kursi.
Bokap gue bajingan Gus, orang paling berengsek yang pernah gue kenal.. ucap Lisa sambil masih menatap gue, dengan raut wajah yang mulai menyiratkan rasa sedih.
Lis, santai aja. Lo ga perlu ceritain kalo....
Orang berengsek itu justru kabur ke Jakarta. Disaat dia harusnya ada buat melindungi keluarga nya, dia malah kabur ke Jakarta datengin selingkuhannya. Dia malah lebih khawatir selingkuhannya kenapa-apa daripada istri dan anak-anaknya sendiri Lisa melanjutkan ceritanya, memotong omongan gue.
Lisa bercerita dengan menahan genangan air mata. Gue cuma bisa mengambil dan mengusap-usap punggung tangannya diatas meja. Gue jadi merasa bersalah karna bertanya terlalu jauh. Gue merasa ga pantas buat bikin Lisa kembali mengingat masa lalu nya, apalagi sampe menggenangkan air di sudut matanya.
Lisa memandang kosong kearah gue. Terlihat jelas genangan air di mata nya, yang sesekali tumpah membasahi pipi nya. Gue mencoba mendekatkan posisi duduk menghadap kearahnya sambil mengusap pipinya yang basah.
Gus, nanti, saat lo jalanin hubungan sama orang, jangan pernah selingkuh lagi ya kaya dulu. Sekarang lo ngerasain kan gimana sakitnya ditinggalin" Tapi lo ga pernah tau gimana rasa nya di selingkuhin. Gue pernah rasain gimana sakitnya ditinggal Gus, sama bokap gue sendiri, saat gue dan keluarga gue dikelilingi rasa takut. Tapi nyokap gue pasti lebih sakit lagi, harus nerima kenyataan suaminya pergi ninggalin dia yang malah berlagak jadi pahlawan buat selametin selingkuhannya.. ucap Lisa yang kali ini yang ga bisa membendung air mata nya. Semua tumpah tanpa rasa ragu, melepas beban yang selama ini dia simpan sendiri.
Biasanya, tiap kali orang nanya tentang bokap gue, gue selalu bilang Bokap gue udah mati Gus. Gue ga perduli apapun lagi tentang dia yang udah menelantarkan keluarga gue, udah bikin nyokap gue berjuang sendiri ngurus 4 orang anaknya, belum lagi kadang gue dapet hinaan dari orang-orang saat gue cari tambahan uang jajan dengan jualan jagung bakar di depan gereja. Ada yang Cuma senyum ngehina, ada yang sampe bilang Cina ga punya toko, jualan jagung didepan gereja'. Gue benci bokap gue Gus. Dia udah nyakitin nyokap gue, yang sedikit banyak ngebentuk diri gue yang sekarang, yang ga mau terlalu deket sama orang lain..
.... Gue Cuma bisa mendengarkan dan menyimak semua kata yang Lisa ucapkan.
Gue selalu merasa selama ini gue hidup sendiri. Berapa tahun gue di Jakarta sejak lulus sekolah, ga pernah gue deket sama banyak orang, semua Cuma sekedar kenal sebagai temen kerja. Baru saat Lo, Hendri, Heri, sama Rendi sering ngajak nongkrong aja makanya gue mulai bersosialisi lagi sama orang lain. Yang tadinya gue pilih-pilih banget dalam bertemen, sampe jadi ngerasa nyaman dan aman kalo sama kalian. Kalian ga pernah lupa kalo lagi nongkrong pasti ngehubungin gue buat ngajak gabung, malah sampe mau-maunya jemput gue, dan bertanggung jawab gantian nganter gue pulang. Lanjut Lisa dengan isak tangis yang berusaha dia redam.
Lisa, sosok wanita keturunan, seorang gadis chinese cantik, putih, dan memiliki senyum lembut yang bisa membuat semua orang rela jatuh dalam kekaguman tanpa bisa memilikinya, ternyata memiliki sebuah cerita yang ga pernah gue sangka. Dibalik tawa nya yang terkesan sesuka hati tanpa kenal waktu dan kondisi, dibalik sikap egois nya dalam menilai dan memusuhi orang yang dia ga suka cuma karna hal sepele, dibalik tingkahnya yang kadang bikin orang geleng-geleng kepala saking gemasnya, dia ternyata sosok perempuan tegar yang menyembunyikan kesedihan mendalam dari cerita hidupnya.
Sebelum kau tidur Gue merebahkan diri di kasur kesayangan gue sekitar jam 3 pagi. Setelah obrolan dengan Lisa tadi, perasaan gue jadi campur aduk. Di satu sisi gue kasian sama Lisa, ada rasa pengen selalu ngejaga dia, ga ngebiarin orang lain nambahin rasa sakit yang selama ini dia bawa kemana-mana. Bahkan mungkin Cuma dalam tidurnya dia bisa melupakan sejenak kekecewaannya sama sosok seorang ayah yang mengkhianati keluarganya. Yang membuat Ibunya menjadi seorang single fighter menghidupi 4 orang anak, termasuk Lisa.
Sepanjang perjalanan mengantar Lisa pulang tadi, dia ga ngomong sama sekali. Gue pun mengakui bahwa gue cukup bodoh dalam hal mencairkan suasana. Gue juga baru menyadari bahwa ternyata udah lama banget gue lupa cara bersosialisasi sama orang lain. Selama ini gue Cuma bersosialisasi sama seorang wanita bernama Liana, dan berteman dekat dengan teman-teman dari masa kecil gue, Anwar salah satunya, dan teman-teman deket yang gue kenal dari SMA seperti Ryan. Dan gue pun mengamini ucapan Lisa bahwa gue sendiri juga ga punya banyak teman dekat, Cuma sekedar kenal sebatas teman kerja, itupun dari sejak lulus kuliah tahun lalu, gue udah 3x pindah kerja yang Cuma gue jalani dengan hitungan beberapa bulan.
Mungkin benar kata The Script dalam Lyrics lagu Breakeven nya, Bad things happen for a reason. Tanpa gue sadari, selepas perpisahan gue dengan Liana, gue mulai membuka diri dengan orang lain, main kesana kemari tanpa perlu punya alasan. Gue yang dulu mungkin akan mencak-mencak kalo disuruh menempuh jarak dari rumah ke Puri Indah Cuma buat jemput anak orang. Gue yang dulu mungkin langsung pulang kerumah selepas bertarung ria dengan tumpukan pekerjaan di kantor. Tapi semua perlahan berubah sejak negara api menyerang, eh, maksudnya sejak gue ga lagi terikat hubungan dengan cewek manapun. Gue bukan menikmati kebebasan ini, gue baru memahami arti bersosialisai, bahwa dunia gue ga harus melulu tentang impian-impian menikah muda dengan orang yang gue sayang, bullshit.
Handphone gue bergetar singkat dalam profile silent, gue membuka sebuah pesan whatsapp yang baru saja masuk dari Lisa,
Gus, obrolan tadi cukup lo aja ya yang tau. Dan lo juga jangan jadi berubah sikap ke gue, gue Cuma sekedar cerita, bukan minta dikasihani, juga jangan jadi ngecap jelek ya. Goodnight Gus, jangan lupa doa sebelom tidur
Gue tersenyum membacanya dan kemudian membalas pesan tersebut,
Santai Lis, next time kalo mau cerita gapapa kok, makasih udah izinin gue jadi pendengar buat lo. Goodnite Lisa
Kemudian gue membuka sebuah pesan whatsapp dari Felicia yang sudah diterima dari jam 1 tadi sesuai yang tertulis di layar. Sebuah Audio message. Gue menekan icon play dan menaikkan sedikit volume suara handphone gue, terdengar sayup-sayup lagu berjudul Sebelum Kau Tidur yang dinyanyikan dengan indah dan damai oleh Mocca..
Pejamkan matamu Berbaring yg tenang sunggingkan senyuman Sebelum kau tidur.
Ucapkan salammu Pada bulan dan bintang Mereka yg setia
Menjagamu tidur. Semoga nyenyak tidurmu Dihiasi mimpi indah
Hiraukan hening yg mengganggu Aku kan selalu
Bernyanyi untukmu Sebelum kau tidur Ingatlah padaku ...
Juni 2013 Senin Pertama di bulan Juni 2013, gue berangkat kerja lebih pagi demi menghindari kemacetan. Gue udah sampe di kantor sekitar jam 7 dan disambut dengan suasana kantor yang masih sepi. Gue memesan segelas kopi moca di warung depan kantor dan duduk di bangku kayu sambil menikmati hembusan asap rokok, membiarkan waktu berjalan sambil mencoba diam dalam tenang.
Satu per satu teman-teman kantor mulai berdatangan, lewat melintas didepan gue, menyapa dengan senyuman yang gue balas dengan anggukan. Banyak dari mereka yang cuma gue kenali wajahnya tapi ga tau namanya. Sampai kemudian Rendi datang dan melintas didepan gue, yang beriringan dengan Felicia berjalan dibelakangnya. Lho" Mereka berangkat bareng" Pikir gue dalam hati.
Pagi Gus. Tumben udah dateng Sapa Felicia yang kemudian duduk disamping gue.
Iya nih Fel, kepagian. Gue menjawab singkat sambil menggeser duduk untuk memberikan ruang buat Rendi duduk disamping Felicia.
Gue kembali diam dan menikmati segelas kopi moca yang sudah tidak panas. Hanya mendengarkan Rendi dan Felicia yang masih asik mengobrol. Dari obrolannya, gue bisa mendengar bahwa Rendi menjemput Felicia kerumahnya tadi pagi untuk kemudian berangkat bareng ke kantor. Gue cuma bisa senyum mendengarnya.
Gue bangun dari duduk gue, membayar kopi yang sudah habis gue minum dan berjalan kearah pintu kantor.
Gue keatas duluan ya ucap gue sambil melihat ke arah Rendi dan Felicia bergantian, yang dibalas senyuman oleh mereka.
Seperti biasa, gue mulai bertarung dengan tumpukan-tumpukan kerjaan yang sepertinya ga pernah ada habisnya. Gue ga meninggalkan meja kerja walaupun jam makan siang. Heri, Ko Hendri, dan Rendi bergantian mendatangi meja gue mengajak makan siang bareng tapi gue menolak karna masih banyak yang harus diselesaikan. Daripada gue harus pulang telat mending gue mengorbankan jam makan siang, jawaban yang biasanya selalu gue gunakan saat ada yang mengajak makan.
Sekitar jam 4 sore saat badai kerjaan udah mulai sedikit reda, telepon di meja kerja gue berbunyi. Gue mengangkat gagang telepon.
Dengan Bagus Bags, ngopi lah. Lu orang udah kaya apa aja kerja mulu saut Ko Hendri dari ujung telepon.
10 menit lagi ya Ko, tanggung nih, tinggal report buat lo doang yang belom kelar
Halah, lu sok sibuk aja. Penilaian hasil kerja mah diliat dari kedekatan sama atasan doang Bags. Lu mau gue kasih nilai 60 cuma karna bikin gue nunggu lama buat ngopi" ucap Ko Hendri sambil cengengesan.
Ah sialan, ga mau lah. Yaudah gue keruangan lo nih ucap gue sambil tertawa kecil dan mengembalikan gagang telepon kemudian berjalan meninggalkan meja kerja
Gue berjalan melewati deretan meja kerja karyawan yang dipisah dengan sekat partisi. Sesekali berhenti di meja temen sambil mengambil beberapa cemilan dari meja mereka sambil terus berlalu dan sampai di depan ruangan Ko Hendri. Gue mengetuk pintu dan kemudian masuk.
Tutup lagi Bags ucap Ko Hendri yang sudah duduk di sofa dekat jendela.
Gue mengikuti instruksinya menutup pintu dan berjalan ke dispenser membuat 2 gelas kopi dan duduk disamping Ko Hendri.
Makan dulu tuh Bags ucap Ko Hendri sambil menunjuk sebuah bungkusan plastik hitam kecil di meja depan sofa tempat kami duduk.
Apaan nih" tanya gue heran sambil membuka palstik tersebut dan mendapati sebuah bungkusan kertas coklat yang dilipat rapih seperti sebuah nasi bungkus.
Ayam goreng nya Pak Kumis, tadi Felicia nitipin buat lu. Gue lupa ngasihin ke meja lu. Lu makan dulu dah jawab Ko Hendri sambil menyeruput kopi panas yang baru gue bikin.
Ntar aja dah Ko. Jawab gue singkat
Gue meletakkan kembali bungkusan nasi tsb di meja dan menyulut sebatang rokok. Pak Kumis adalah salah satu pedagang ayam goreng yang biasa gue datangi di jam makan siang sama teman-teman yang lain. Mungkin Felicia tau gue ga keluar saat makan siang, makanya dia membelikannya buat gue.
Lu gimana Bags sama Felicia" tanya Ko Hendri sambil meletakkan sebatang rokok diujung bibirnya dan meminta korek dari gue.
Gimana apanya" Yailah gue beri juga lu. Ditanyain malah nanya balik
Ya ga gimana-gimana Ko jawab gue singkat
Gue denger dari Heri, katanya lu mundur gamau deketin Felicia" Kenapa" Minder"
Hah" Minder" Minder sama apaan" Gue ganteng kok, kenapa minder jawab gue dengan tampang cool yang kemudian di toyor sama Ko Hendri.
Gaya lu gede. Lu pernah kerumah Felicia kan" Katanya anak orang tajir doi tanya Ko Hendri sambil menggeser duduknya mendekat.
Pernah. Gede sih rumahnya. Tapi itu rumah bokapnya kata dia. Jawab gue sok polos
Ya emang juga rumah bokapnya. Tapi emang dia anaknya ya gitu Bags. Kagak keliatan kan kemewah-mewahan gitu dari penampilannya"
Iya Ko. Kalo soal itu gue ga pernah mikirin banget sih sebenernya. Ya walaupun gue sering denger kalo diluar kantor gaya hidupnya Felicia terbilang mewah, tapi bukan itu yang bikin gue mau mundur' dari Felicia
Terus apa" Rendi" tanya Ko Hendri. Gue Cuma mengangguk menjawabnya.
Bags, lu orang jangan bego banget lah. Cuma karna Rendi juga suka sama Felicia terus lu mundur. Ya lo liat lah, siapa sih yang ga suka sama Felicia" Mungkin gue atau Heri juga suka, suka sama sikapnya, suka sama keramahannya.
Udah Ko, gue ga pengen bahas. Lagian gue sebenernya mau minta saran lo soal Lisa jawab gue mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Lisa" Ko Hendri bertanya kaget
Gapapa kan Ko kalo gue deket sama Lisa" Dalam hal ini, yaa lo marah ga klo gue sering nganter Lisa kaya kemarin-kemarin gitu"
Yailah, ya gapapa lah. Tapi jangan buat main-main ya Bags. Maksud gue, Lisa orang baik lho. Dibalik sikap bawelnya, doyan bener marah-marah sama orang yang menurut dia ga sepemikiran dengan dia, selain itu semua, dia orang baik. Jangan sampe lo deketin dia apalagi mau macarin dia tapi cuma buat manfaatin doang jawab Ko Hendri panjang lebar.
Manfaatin" Lo mandang gue orang kaya apa sih Ko" tanya gue dengan sedikit kesal karna dinilai seperti orang yang suka memanfaatkan orang lain.
Bukan gitu Bags. Maksud gue gini. Beberapa bulan lalu waktu lu belom masuk sini, Lisa sempet pacaran sama Andri anak audit. Lisa sering cerita-ceita juga sama gue. Dan baru berapa hari gue suruh Lisa putusin Andri. Gue ngeliat si Andri ini cuma niat mainin dan manfaatin Lisa. kemana-mana maunya disamperin sama Lisa, ga ada usahanya banget itu cowok Gue ga mau Lisa deket sama orang kaya gitu. Gue tau lu orang ga kaya gitu, tapi lu yakin ga kalo lu bisa jagain Lisa" tanya Ko Hendri.
Lu tau cerita soal Lisa ya Ko" tanya gue ke Ko Hendri.
Soal apa nih" Gue gatau banyak Bags tentang Lisa, tapi yang gue tau, dia di Jakarta sini sendiri, boro-boro keluarga, sodara aja ga ada. Jadi menurut gue, dia itu perlu orang yang bisa menjaga dia, bukan memanfaatkan dia. Jawab Ko Hendri sambil mematikan puntungan rokok di asbak.
Gue cuma bisa merespon dengan mengangguk sambil menatap kosong ke pemandangan yang terhampar diluar jendela. Merenungi setiap pesan yang disampaikan Ko Hendri.
Ko, lo kenapa ga sama Lisa aja" tanya gue pelan ke Ko Hendri yang masih duduk disamping gue. Pertanyaan yang sebenarnya mungkin lebih mengarah kepada usaha untuk mencari tau bagaimana perasaan Ko Hendri ke Lisa..
7-11 Ko, lo kenapa ga sama Lisa aja" tanya gue pelan ke Ko Hendri yang masih duduk disamping gue. Pertanyaan yang sebenarnya mungkin lebih mengarah kepada usaha untuk mencari tau bagaimana perasaan Ko Hendri ke Lisa.
Ko Hendri ga menjawab. Cuma menatap gue sambil berjalan ke meja kerja besar di sudut ruangan yang berhadapan dengan pintu masuk, kemudian menyandarkan badannya ke pinggir meja besar bertumpu dengan kedua tangannya. Perlahan Ko Hendri mengangguk-angguk sambil tersenyum tipis. Gue mematikan sisa rokok di asbak, kemudian berjalan menuju pintu keluar.
Bags.. panggil Ko Hendri saat gue udah memegang gagang pintu ruangannya. Gue menoleh tanpa menjawab.
Kalo lu suka sama Lisa, coba jalanin aja. Ucap Ko Hendri sambil senyum kearah gue.
Berat Ko. Terlalu banyak hal yang mesti diperjuangin nanti kedepannya. Ada perbedaan-perbedaan dari gue dan Lisa yang mungkin sulit ditoleransi jawab gue sambil mencoba senyum dan menyandarkan badan gue di pintu.
Inget omongan gue Bags, hidup cuma sekali. Kalo lu ga bisa perjuangin apa yang lu mau cuma karna terbentur hal-hal yang emang udah lu bawa dari lahir. Buat apa lu hidup"
Ko, ini bukan soal perbedaan sifat atau watak yang gue dan Lisa bawa dari lahir. Ini soal perbedaan Ras dan Agama, yang mungkin bakal benturin semua perjuangan gue dengan jawaban yang ujung-ujungnya nyakitin jawab gue tegas.
Oke Bags, gini aja. Lu yakinin dulu apa tujuan lu, gimana perasaan lu, dan siapa yang lu mau perjuangin. Lu sendiri aja masih bingung mau ngejar Felicia apa Lisa. Lu ga bisa Bags bersikap baik ke dua cewek kaya gitu, seakan lu ngejar tapi lu sendiri ragu. Ucap Ko Hendri sambil bangun dari sandarannya di meja dan berjalan kembali duduk di kursi kebesarannya.
Gue merespon ucapan Ko Hendri tadi dengan mengangguk dan berjalan ke luar ruangannya, kembali ke meja kerja gue untuk menyelesaikan sisa pekerjaan hari ini.
Di meja kerja, gue malah ga bisa fokus kembali ke pekerjaan gue. Pikiran gue berimajinasi membuat sketsa wajah 2 orang wanita yang saat ini sedang dekat dengan hari-hari gue, Felicia dan Lisa. Gue mengacak-acak rambut dan mengusap-usap muka berkali-kali mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran itu. Gue menghela napas dan ketawa sendiri, kenapa gue pusing sendiri ya, toh belom tentu mereka berdua juga punya rasa yang sama kaya yang gue rasain.
Sekitar jam 6 sore, gue udah merapihkan meja kerja dan bersiap pulang. Handphone gue berdering menandakan sebuah panggilan masuk, nama Lisa yang terpampang jelas di layar. Gue segera menjawab panggilan tersebut
Iya Lis, kenapa" Gus, anak-anak pada nongkrong ga" tanya Lisa dari ujung telepon.
Belom tau sih Lis, gue masih di meja nih belom kebawah. Lo mau kesini emang"
Iya, ini udah di taksi, tapi macet Gus, lu jangan balik dulu yaa
Ooh, yaudah kalo gitu gue tunggu depan kantor dah. ati-ati ya Lis, kabarin aja kalo udah deket
Lisa mengiyakan dan menutup telepon. Gue bergegas dan segera meninggalkan meja kerja.
Di depan kantor, seperti biasa sudah ada Rendi dan Heri sedang menikmati kopi hitam yang disajikan oleh warung depan kantor di gelas plastik. Gue menghampiri mereka dan juga memesan kopi mocca.
Ke sevel aja yuk Bags ajak Rendi saat gue datang dan duduk disebelahnya
Ntar dulu ah, ngopi dulu. Ko Hendri belom turun"
Udah, barusan jalan nganter Tya ke Blok M dulu katanya, ntar balik lagi. Heri menjawab.
Kalian pada mau nongkrong-nongkrong dulu ya" Gue ikut dong ucap Felicia yang tiba-ba datang dan duduk disebelah gue, menggeser gelas plastik berisi kopi moca yang masih panas
Tumben Fel, ga langsung balik" tanya gue ke Felicia.
Ya sesekali lah gue ikut gabung kalian, emang cuma Lisa yang boleh" tanya Felicia dengan nada yang judes
Eh, Lisa kemari ga Bags" Kok dia ga ngabarin tumben tanya Heri ke gue
Kemari sih katanya, tadi dia nelpon. Gue menjawab santai.
Akhirnya setelah Ko Hendri dan Tya datang, kami memutuskan untuk ke minimart 7-11 yang tidak jauh dari parkiran kantor. Gue mengirimkan pesan whatsapp ke Lisa untuk menanyakan posisi dia saat ini.
Lis, udah sampe mana"
bentar lagi sampe kok Gus, lu pada dimana"
ini gue sama anak-anak di sevel ya, nanti lo langsung kesini aja
Yaudah, nanti gue kesana Sore itu kita ngobrol-ngobrol santai sambil menikmati cemilan. Sesaat kemudian sosok Lisa turun dari sebuah taksi warna biru dan berbaur diantara kami. Gue benar-benar merasakan seru nya nongkrong sama teman-teman selepas jam kerja baru kali ini. Bukan soal dimana nongkrongnya, tapi dengan siapa aja nongkrongnya.
Biasanya cuma gue, Ko Hendri, Rendi, dan Heri yang nongkrong kaya gini. Tapi kini ditengah kami ada 3 wanita yang ga cuma cantik, tapi juga asik untuk diajak bercanda bareng. Walaupun sesekali obrolan kami diselipi pembahasan tentang pekerjaan. Jadilah tongkrongan ini mirip sebuah rapat koordinasi yang diwakili oleh orang-orang dari beberapa divisi seperti kami saat ini.
Ga terasa, waktu menunjukkan jam 11 malam, biasanya memang kalo cuma cowokcowok berempat ditambah Lisa saja bisa sampai jam 1 pagi baru ada yang menginterupsi untuk mengajak pulang, tapi kali ini ada Tya dan Felicia yang memotong obrolan untuk berpamitan, dan kekakuan pun menyelinap dengan tiba-ba saat Ko Hendri sudah membuat kesepakatan untuk mengantar Tya, sementara Felicia memilih pulang naik angkutan umum yang tentu saja tidak kami izinkan.
Udah Fel, dianter aja nih sama si Bags atau Rendi ucap Heri yang membuat gue dan Rendi saling main lihat-lihatan.
Ga usah dah, gue ngangkot aja, atau nanti klo dapet taksi didepan gue naik taksi. Jawab Felicia sambil membereskan tas nya dan menerima ucapan pamit dari Tya dan Ko Hendri.
Gue masih pengen disini dulu kayanya, Ren anter Felicia sana ucap gue ke Rendi kemudian langsung membuang pandangan ke jalan raya depan minimart 7-11.
Ayo Fel, gue anter aja Rendi berdiri dari duduknya dan mengenakan jaket bersiap mengantar Felicia, sementara Felicia cuma menatap gue dengan pandangan aneh yang ga bisa gue terjemahkan.
Lagian ini cowok-cowok ga guna banget sih, ngajak anak orang maen sampe malem tapi ga ada yang niat nganter pulang ucap Lisa santai mengejek gue Rendi dan Heri.
Lah, gue kan ntar anter lo, ini si Bags yang ga guna jawab Heri ke Lisa sambil menoyor kepala gue.
Felicia pun pamitan, tapi hanya menyalami Lisa sementara ke gue dan ke Heri Cuma mengucapkan Gue balik duluan ya yang Cuma gue jawab dengan anggukan kemudian menatap ke Lisa
Tuh Lis, Felicia biasa aja kan sikapnya ke Lo. Emang lo nya aja yang lebay, sama semua orang lo ga suka karna alasan-alasan kerjaan, padahal diluar kantor kan kita semua sama-sama temenan ucap gue ke Lisa yang di respon dengan ekspresi menggerutu tapa suara dari Lisa.
Yah Bags, lo kaya kagak paham aja. Lisa ga suka sama Felicia ya gara-gara lo deket sama Felicia. Makanya lo sadar diri lah, penampilan udah kaya gembel terminal tapi dua cewek lo deketin sekaligus saut Heri sambil ketawa-tawa dengan Lisa, gue cuma merespon dengan senyum sambil menikmati sisa cemilan yang ada di meja.
Yah, setidaknya Felcia dah Lisa bisa nongkrong bareng lah, gumam gue dalam hati sambil melihat Felicia dan Rendi berdua diatas motor yang mulai menjauh ditelan gelapnya malam dan dinginnya hati gue yang melihat mereka berhasil berangkat dan pulang kerja bareng hari ini.
Fix You Ayok Lis, gue anter balik. Si Bags masih mau disini aja katanya ucap Heri ke Lisa.
Eh, enggak. Gue aja yang anter. Gue ga bisa percayain Lisa ke lo saut gue langsung bergegas.
Gapapa emang Gus" Ntar lu kan jadi muter pulangnya, kalo sama Heri kan searah
Udah gapapa Lis. Dia emang gitu kalo ada maunya sambar Heri
Kami bergegas berjalan ke parkiran motor dan berpisah di jalan. Gue mengantar Lisa dengan kecepatan sedang, sambil menikmati senandungnya, hal yang gue suka kalo nganter Lisa.
Emang bener Bags, lu lagi deketin Felicia" tanya Lisa dari jok belakang dengan mendekatkan dirinya ke gue.
Enggak, biasa aja sih sebenernya Lis. Cuma emang sering bareng aja kaya pas makan siang atau kadang nganter dia kalo si Rendi ga bisa nganter gue menjawab sambil memfokuskan pandangan kedepan.
Emang lu ga ada niatan balik ke mantan lu yang kemaren itu, siapa tuh namanya"
Liana" Enggak lah kayanya. Ngapain juga dipaksain tetep jalanin sesuatu yang udah ga bisa diperbaikin
Iya sih, even the sweetest chocolate can expire Gus. Kalo emang udah waktunya kadaluarsa ya mau gimana lagi ucap Lisa sambil cengengesan.
Gue hanya mengangguk-angguk sambil senyum mendengar ucapan Lisa. Ada benernya juga apa yang dia bilang. Kalau diibaratkan seperti sebuah coklat, hubungan gue sama Liana adalah coklat paling manis yang pernah gue rasakan. Tapi ya balik lagi seperti yang Lisa bilang, bahkan coklat paling manis pun bisa kadaluarsa.
Lisa kembali dalam senanungnya, sementara gue tetap menikmati senandung indah dari Lisa.
Lo tau ga Gus lagu apa yg barusan gue nyanyiin" tanya Lisa yang sepertinya tau gue mencuri dengar senandungnya.
Eh" Enggak. Ga kedengeran jelas nyanyian lo. Emang lagu apa"
Lagunya Coldplay yang judulnya Fix You.
Ooh, iya gue tau lagunya Sampai didepan pagar kosnya, gue menepikan motor dan memegang tas jinjing Lisa supaya mempermudah dia turun.
Lo ga mau mampir keatas" tanya Lisa basa basi.
Enggak deh, lagian ga enak udah malem
Yaudah, makanya besok-besok kesininya siang
Yee, kalo lagi libur weekend kan lo kerja. Sementara lo biasanya libur di weekdays pas gue kerja, gimana bisa mampir kesini siang ucap gue mengomentari jadwal kerja Lisa yang shifting di cabang.
Iya, makanya Gus, gue sering ngerasa sepi sendiri. orang-orang pada kerja sementara gue libur. Pas orang libur, gue ga bisa main karna kerja. Ucap Lisa dengan wajah memelas sambil membuka pintu pagar.
terus, selama ini lo kalo ngatur waktu buat pacaran gimana tuh Lis"
Lisa menoleh kearah gue. Menatap gue tanpa memberikan jawaban langsung, kemudian kembali berjalan mendekat.
6 taun gue di Jakarta, pacaran Cuma 3 hari langsung putus. Siapa sih Gus yang bisa ngimbangin gue dengan jam kerja yang kaya gini" jawab Lisa yang kemudian kembali berjalan menuju pagar.
Lis.. Lisa menoleh, sambil memegang pintu pagar yang hendak dia tutup.
I will try& Gue menghentikan omongan dan kemudian menunduk, masih dengan posisi terduduk diatas motor gue.
I will try to fix you.. Lanjut gue sambil menatap Lisa yang kemudian dia sambut dengan senyum.
pulangnya ati-ati ya Gus, ga usah pake ngebut. Jangan lupa doa sepanjang jalan ucap Lisa dengan senyum indahnya yang gue hanya balas dengan anggukan.
Lisa menutup pintu pagar besi berwarna hitam tersebut, kemudian gue memutar motor gue dan berjalan menuju arah pulang, sambil senyum-senyum sendiri dan bersenandung. Menyanyikan lagu yang tadi disenandungkan oleh Lisa. Sebuah lagu yang ga akan pernah membuat gue lupa tentangnya, lagu yang sampai detik ini selalu gue dengarkan sejenak untuk memutar setiap kenangan tentang sosok Lisa.
When you try your best, but you don't succeed When you get what you want, but not what you need When you feel so tired, but you can't sleep Stuck in reverse
And the tears come streaming down your face When you lose something you can't replace When you love someone, but it goes to waste Could it be worse"
Lights will guide you home And ignite your bones And I will try to fix you And high up above or down below When you're too in love to let it go But if you never try you'll never know Just what you're worth
Lights will guide you home And ignite your bones And I will try to fix you
Tears stream down your face
When you lose something you cannot replace Tears stream down your face and I
Tears stream down your face
I promise you I will learn from my mistakes
Tears stream down your face and I
Lights will guide you home And ignite your bones And I will try to fix you..
Sore Hari Dengan Ana Ana menyimak setiap cerita yang gue sampaikan sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Sesekali dia mengubah posisinya menjadi duduk tegap dan menopang dagunya dengan tangan diatas meja.
Seru Gus. Tapi gue mau nanya deh. Selama lo ngejar Lisa sama Felicia, ada gak sesekali lo kontakkan lagi sama mantan lo si Liana" tanya Ana saat gue memberikan jeda cerita gue.
Ga ada. Beberapa kali sih gue sempet lah bbm atau whatsapp sama teman-teman gue atau teman-teman Liana yang nanyain kenapa kita bisa putus. Cuma gue rada kurang suka aja sama basa basi pertanyaan mereka
Basa basi" Lebih kaya orang kepo kali ya maksudnya" Ana bertanya heran.
Bukan Na. Mereka justru kaya malah ngejudge gue. Dari pandangan mereka, wajar sih gue diputusin, laah orang lo selama ini juga berengsek kok gitu kata mereka
Berengsek" Lo emang masih rutin selingkuh" Di cerita lo kok lo bilang Cuma di awalawal doang"
Hahaha yakali rutin. Enggak Na, gue emang pernah selingkuh, 2 kali malah. Tapi sejak taun ke 3 gue jalanin sama Liana, gue ga lagi ngelakuin kesalahan yang sama
Terus" Kenapa masih di judge berengsek"
Ya mungkin karna kaya yang Liana bilang, tiap kali gue sama dia lagi ada masalah, gue selalu ngehindar dari dia, cuekin semua whatsapp atau telpon dari dia, ngebiarin dia berpikir gue masih cowok liar yang kalo lagi bete terus kabur-kaburan nyari cewek lain buat menenangkan gue. Setelah semuanya baik-baik lagi, gue ga pernah menjelaskan apapun ke Liana, malah kadang gue iyain aja kalo dia bilang gue selalu nyari cewek lain atau sama cewek lain kalo lagi ga sama dia, padahal mah gue tidur dirumah
Ya salah lo dong kalo gitu. Ucap Ana sambil menoyor gue.
Gus, cewek itu, sekali kepercayaannya di sia-siain, susah buat percaya lagi. 2 taun pertama lo udah sia-siain kepercayaan Liana, 5 taun selanjutnya ya dia bakal tetep curiga dan khawatir lo ngelakuin hal yang sama. Harusnya lo lebih bisa meyakinkan dia, bukan malah ngebiarin dia terus curiga. Lanjut Ana.
Gue mengangguk-angguk pelan menandakan setuju, kemudian menggeleng-geleng pelan sambil nyoba buat tersenyum.
Liana bukan tipe partner yang baik Na kalo menurut gue ucap gue ke Ana yang disambut dengan wajah bingung
7 taun dia jalanin sama lo, dengan diselingkuhin berkali-kali tapi masih maafin lo, lo bilang dia bukan partner yang baik" tanya Liana sedikit ngotot.
Liana bukan pacar pertama gue, bukan juga yang terakhir. Tapi dia yang paling jauh masuk ke hidup gue, kenal semua teman-teman gue, bokap nyokap gue, keluarga besar gue, tapi kok bisa ya dia cerita ke dunia nya, ke teman-temannya, tentang keburukan-keburukan dan kesalahan-kesalahan gue" Saat gue tanya balik ke temantemannya yang ngejudge gue, gue tanya mereka tau ga tentang sisi lain gue, minimal hal-hal baik yang pernah gue lakuin dan gue usahain buat Liana" Mereka ga ada yang bisa jawab. Mereka cuma taunya 7 tahun Liana jalanin sama gue cuma buat gue siasiain doang, seriuosly"
Gue menjawab panjang lebar keheranan Ana yang sekarang Cuma bisa memasang ekpsresi makin heran.
Sekarang gue tanya ke Lo deh Na, ada ga dari cerita-ceita gue tadi yang ngebahas kesalahan-kesalahan Liana selama 7 tahun gue pacaran sama dia" lanjut gue ke Ana.
Ga ada sih kayanya, tentang Liana kayanya Cuma ada di awal cerita, tapi sekilas gue bisa ngerasain gimana lo sebenernya kehilangan dia. Sosok Liana lo gambarin kaya cewek lugu, manja, tapi juga smart. Kayanya ga ada kesalahan dia dari cerita lo.
Terus apa itu artinya Liana sosok yang sempurna selama 7 taun sama gue" Enggak Na, Liana juga sering kok bikin salah, dan ada juga kok cerita tentang cowok-cowok lain yang hadir dalam hubungan gue sama Liana. Cuma gue ga ceritain itu bukan berarti Liana itu orang yang punya kesabaran mendekati nabi. Tapi kenapa malah sosok gue digambarin Liana kaya sosok monster di kepala teman-temannya" Itu kenapa gue bilang Liana bukan tipe partner yang baik ucap gue sambil senyum melihat Ana yang kini mengangguk-angguk pelan, sepertinya dia mulai mencerna dan mengingat-ingat kembali apa yang sudah gue ceritakan ke dia.
Langit sore di Jakarta mulai menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan. Gue menikmati pemandangan yang disertai kemacetan itu sambil menghembus asap rokok tinggi-tinggi keudara, sementara Ana mulai sibuk membolak balik buku menu untuk memesan makanan atau minuman lain sambil menunggu gue melanjutkan cerita. Sebuah cerita yang memaksa gue membuka kembali kenangan-kenangan yang udah dengan susah payah gue tepikan dari hari-hari gue, sebuah cerita yang pada akhirnya merubah pola pikir dan sudut pandang gue tentang hidup secara keseluruhan, sebuah pengalaman yang membuat gue semakin mengenali apa dan siapa diri gue sebenarnya. Benar adanya kata-kata yang pernah gue baca disebuah forum internet; People that you choose to be around you, makes you know who you are. Sebuah Persimpangan
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa dalam hidup gue, Cuma yang berbeda kali ini gue ga lagi pernah mengantar Felicia pulang selepas jam kerja. Gue ga mau terjebak sama perasaan gue sendiri ke Felicia yang bahkan ga pernah mau jawab tentang perasaannya ke gue.
Kadang Felicia seperti seseorang yang sangat peduli sama gue. Dia ga lagi kirim email konfirmasi absen, dia lebih memberikan print out absensi dan meminta tanda tangan ke meja gue karna dia tau email dia bakal terlewat sama tumpukan email lain yang lebih gue dahulukan. Sesekali Felicia meletakkan beberapa cemilan di meja kerja gue sebelum gue sampai kantor. Pernah juga dia membuatkan segelas kopi moca dan meletakkannya di meja gue serta dengan sebuah tempelan kertas post it bertuliskan Good Morning'. Tapi, kadang dia juga kaya orang asing yang ga pernah mengenal gue. Sering gue berpapasan dengan Felicia dan mencoba menyapa tapi dia ga merespon. Belum lagi kadang kalo ngambeknya dateng, dia suka nelpon ke meja kerja gue dan marah-marah ga jelas meminta gue lebih memperhatikan jam absensi karna dinilai sudah sering terlambat, padahal gue selalu membatasi diri untuk terlambat maksimal 1 kali dalam seminggu, asal dibalas dengan pulang sedikit ngaret biar ga terkesan korupsi waktu.
Sementara dengan Lisa, gue masih bersikap seperti biasa. Sesekali mengantar dia pulang atau menjemput dia pulang kerja saat dia pulang malam di hari weekend. Gue mencoba sebisa mungkin buat mengimbangi waktunya, karna teman-teman gue yang lain seperti Heri, Rendi, dan Ko Hendri juga mempunyai dunia dan cerita masingmasing untuk dijalani, sementara gue, kalo pulang kerja langsung pulang pasti dirumah pun gue bakal bete sendirian, jadi gue lebih memilih nongkrong-nongkrong di kantor atau jemput Lisa pulang kerja.
Sampai pada sabtu siang ke empat di bulan Juni, sehabis mandi gue langsung tiduran diatas kasur kesayangan gue di kamar sambil membuka-buka beberapa forum internet dan media sosial dari laptop, tiba-ba muncul sebuah pop up chat dari Rendi di halaman Facebook.
Bags, jalan yukk Hah" Ntar malem ini malem minggu lho Ren, gue ga pernah dapet ajakan jalan dari cowok malem minggu
Hahaha sialan lo. Gue bete nih. Nongkrong dimana kek gitu Bags
Yang lain pada mau gak" Tapi Gue malem ini jemput Lisa jam 7an.
Yah Heri sama Ko Hendri mah biasa Bags, mengejar wanitanya masing-masing. Yaudah sekarang aja, nongkrong-nongkrong woles di sevel lah. Gimana" Nongkrong-nongkrong woles yang Rendi maksud biasanya nongkrong-nongkrong sambil menikmati bir botol kecil yang dulu masih dijual bebas di minimart 7-11 sambil menikmati cemilan yang kadang dia beli tanpa melihat berapa banyak peserta yang akan memakan cemilan itu, sampai kadang ga kemakan dan harus kebuang mubazir.
sevel mana" Ntar gue mau jemput ke puri lho Ren
Yaudah, Sevel deket-deket sana aja, gue tau. Kita ketemuan di kantor ya
Boleh dah. 10 menit lagi gue jalan
Gue mematikan laptop dan bergegas ganti baju. Kemudian menyiapkan motor dan segera menempuh perjalanan ke arah kantor.
Sampai didepan kantor, Rendi sudah berada disana sedang mengobrol dengan penjaga warung depan kantor.
Langsung aja yuk Bags ucap Rendi saat gue mendekat dengan motor gue.
Gue mengangguk dan memutar motor keluar komplek perkantoran, kemudian berjalan beriringan dengan Rendi. Kami menembus Jalan Panjang menuju ke minimart 7-11 yang Rendi maksud, tidak jauh dari perempatan lampu merah kantor kecamatan atau keluarah Jakarta Barat, gue agak lupa.
Kami memarkirkan motor kemudian masuk ke minimart dan mengambil beberapa botol bir dan cemilan kemudian kembali ke luar mencari spot tempat duduk yang nyaman.
Hari ini ultah Jakarta ya" Tau gitu tadi kita ke Jakarta Fair Bags, pasti rame disana ucap Rendi sambil menyulut rokok.
Oh ya" Gue malah lupa kalo sekarang hari jadi nya kota kelahiran gue. Hahaha saut gue sambil tertawa dan ditoyor Rendi.
Kami ngobrol-ngobrol santai sambil mencoba menghubungi Heri dan Ko Hendri untuk merapat kesini, tapi mereka berdua sedang ada urusan lain jadi tidak bisa ikut bergabung. Sebenarnya dari kami berempat, gue yang paling muda diantara yang lainnya. Maka itu gue seringkali berasa diimbangi cara bercanda gue yang kekanakanakan. Gue cukup beruntung sebenernya, karna gue bisa belajar banyak dari mereka, baik soal pekerjaan ataupun percintaan. Halah.
Bags, lo sama Lisa pacaran ya" tanya Rendi ditengah obrolan.
Enggak lah, kenapa emang" Lo mau bilang lo juga suka sama Lisa" tanya gue balik dengan nada mengejek
Hahaha sialan lu Bags, lo masih kesel soal Felicia ya" Kalo lo emang mau kejar Felicia ya kejar aja Bags, gue mah gapapa kok
Hahahaha, lo abis ditolak ya kok ngomong gitu kaya orang mau mundur" kemarinkemarin semangat banget kayanya ngejar dia
Kagak Bags, gue belom nembak dia. Tapi gue bosen...
Bosen" Baru ngejar aja lo udah bosen gimana udah pacaran sama dia, ga beres lo Ren saut gue sambil membuang pandangan ke jalanan dengan posisi tangan dan mulut yang tetap bekerja menikmati cemilan.
Gue bosen Bags, kalo lagi sama dia, yang diomongin tentang lo mulu. Ucap Rendi dengan nada serius menatap gue.
Nah kan, lo ngejelek-jelekin gue ya" Ngomongin kebiasaan jelek gue deh pasti ucap gue mencoba mengelak.
Enggak, gue serius Bags. Gue pernah main kerumahnya, ngobrol-ngobrol di terasnya, terus dia bilang Biasanya si Bagus diduk disana tuh, jarang dia mau duduk disini' sambil nunjuk ke ayunan dan ketawa seneng sendirian keinget sama kebiasaan lo
Ya itu karna gue kan temen lo. Dia ngebandingin 2 orang temen yang pernah dateng kerumahnya, yang satu lebih milih di teras tapi yang satu lebih suka di ayunan. Gue juga pernah kok duduk diterasnya, Cuma spot yang lebih gue suka ya di ayunan karna lebih santai, mungkin karna kita beda umur juga kali, gue masih kekanak-anakan sementara lo lebih dewasa dan bersikap lebih normal makanya duduk di teras jawab gue panjang lebar sambil bercanda.
Itu dia Bags, mungkin karna itu lo lebih bisa mencuri hati Felicia, bersikap santai kekanak-anakan kayak orang yang ga mikirin gimana penilaian orang lain, selama lo suka sama hal itu, ya itu yang lo lakuin. Sedangkan gue, ya gue mikir wajar dan normal banget dong kalo milih duduk di teras saat main kerumah orang" ucap Rendi dengan napas tenang tapi ekspresi wajah tidak bisa menyembunyikan kekecewaan.
Gue kali ini diam, ga bisa menyanggah atau memberikan tanggapan atas omongan Rendi. Gue emang ga pernah mikirin sedetail itu saat milih duduk di ayunan, toh kalo pas gue duduk disana ternyata ga boleh kan harusnya si pemilik rumah bisa sedikit maksa gue buat duduk diteras, bukan malah ikut duduk di ayunan bareng gue.
Lo sama Felicia seumuran kan Bags" tanya Rendi membuyarkan lamunan gue. Gue hanya mengiyakan dengan mengangkat kedua alis.
Kalo gue boleh saran ya Bags. Lo coba deh deketin Felicia aja, kayanya lo lebih sejalan. Ketimbang sama Lisa, dari umur aja dia diatas lo. Belom lagi soal perbedaanperbedaan lain yang nanti.....
Ren, gue tau apa yang gue lakuin. Ucap gue memotong omongan Rendi yang gue tau arahnya mulai membahas perbedaan gue dengan Lisa.
Lagian, gue lebih prefer jadi orang yang berguna dan dibutuhkan orang lain Ren, ketimbang jadi orang yang sekedar disukai lanjut gue.
.... Rendi hanya diam menatap gue sambil mengangguk-anggukan kepala nya.
Kenapa akhir-akhir ini gue lebih sering ngabisin waktu sama Lisa" Karna Lisa sendirian Ren, siapa lagi yang mau nemenin dia" Lo sibuk ngejar Felicia, Ko Hendri sibuk ngejar Tya, Heri sibuk ngakalin cewek-cewek lain, terakhir gue denger dia lagi deket sama anak Finance si Melda kalo ga salah. Ya walaupun selepas jam kerja kita masih rutin nongkrong, tapi Lisa gimana" Siapa yang mau anter dia pulang" Siapa yang jemput dia kalo dia pulang kerja malem" Karna Cuma gue yang bisa jadi ya gue yang lakuin itu, gue lebih dibutuhin sama Lisa walaupun Cuma buat anter jemput atau nemenin dia kalo lagi bete, tapi Felicia ga butuh gue, dia ga pernah benar-benar sendirian. Selalu ada lo atau teman-teman dia yang lain yang bisa nemenin dia setiap saat.
Gue menjawab dengan tegas dan jelas kali ini. Jawaban yang ga pernah gue berikan ke siapapun, termasuk saat Ko Hendri atau Heri mengejek gue dengan sebutan spartan saat mau-maunya nempuh jarak yang cukup jauh cuma buat jemput Lisa saat dia pulang kerja malam.
Tapi Felicia juga suka Bags sama lo ucap Rendi pelan saat gue mencoba mengatur manajemen napas gue yang kurang baik setelah ngomong panjang lebar.
Felicia udah pernah nolak gue Ren. Sorry gue ga jujur ke lo dari awal, gue minta maaf karna pernah nyoba jegal lo, tapi toh akhirnya Felicia nolak gue, itu alesan gue mundur sebenernya, bukan karna gamau bersaing sama lo jawab gue ke Rendi sedikit berbohong mengenai alasan gue mundur.
Bags. Gue kenal lo. Walaupun baru beberapa bulan, gue tau lo bukan tipe orang yang nyerah saat lo gagal dapetin yang lo mau. Lagipula, Felicia udah cerita banyak ke gue, tapi gue udah janji ga akan cerita apapun ke lo, atau ngasih info apapun ke lo tentang dia. Yang gue bisa bilang ke lo sekarang, lo bohong sama diri lo sendiri Bags, lo bohong soal perasaan lo ke Felicia ataupun ke Lisa jawab Rendi sambil kemudian menghisap rokoknya dalam-dalam, sementara gue malah tenggelam dalam lamunan.
Bags, gue sekarang ngomong dari sudut pandang cowok ya, kalo gue jadi lo, mungkin gue bakal mati-atian kejar Lisa, luangin waktu gue sebanyak mungkin buat Lisa sampe Lisa merasa nyaman dan terbiasa sama gue. Iya lah, mungkin orang buta juga bakal lebih milih Lisa daripada Felicia
Orang buta gimana bs liat cantikan Lisa daripada Felicia Ren" tanya gue dengan penuh rasa bingung yang kemudian disambut dengan tawa Rendi terbahak-bahak.
Hahaha.. Orang buta kan masih bisa meraba Bags, dari segi fisik jelas Lisa menang kemana-mana kan" Tapi kalo gue ngomong sebagai seorang temen, kalo gue jadi Lo, gue bakal singkirin rasa buat Lisa, gue bakal berjuang buat dapetin Felicia ucap Rendi sambil meneguk bir nya.
Sialan, benar-benar sialan. Gue nyesel ngobrol sama Rendi hari ini. Dia sukses bikin gue bingung dan ga bisa mikir. Bukan karna minum bir, karna kalo sekedar bir ga bakal bikin gue mabuk sampe ga bisa mikir, tapi karna omongan-omongannya tentang Lisa dan Felicia, yang bikin gue jadi melihat sebuah kesempatan lebih besar untuk mendapatkan Felicia daripada Lisa. Sementara hati gue selalu lebih setuju bahwa gue lebih suka menjadi orang yang dibutuhkan sama orang lain, dalam hal ini Lisa, daripada disukai orang lain, dalam hal ini Felicia.
Bags, tapi balik lagi semua tergantung jalan yang lo pilih. Kita masih muda Bags, ya walaupun lo lebih muda dari gue. Kita semua belajar dari jalan yang kita pilih. Kalo lo bingung saat ada dipersimpangan, utamakan saran dari hati lo dulu. Mungkin Gue, Heri dan Ko Hendri bisa ngasih lo ratusan saran, tapi cuma hati lo yang akan kasih satu saran terbaik. Dan nanti saat lo udah tentukan jalan yang lo pilih, jangan pernah nengok ke persimpangan tadi. Lanjutin perjalanan lo tanpa ada rasa menyesal Ucap Rendi sambil tersenyum dan menepuk pundak gue.
I Love The Way You Smile Bags, tapi balik lagi semua tergantung jalan yang lo pilih. Kita masih muda Bags, ya walaupun lo lebih muda dari gue. Kita semua belajar dari jalan yang kita pilih. Kalo lo bingung saat ada dipersimpangan, utamakan saran dari hati lo dulu. Mungkin Gue, Heri dan Ko Hendri bisa ngasih lo ratusan saran, tapi cuma hati lo yang akan kasih satu saran terbaik. Dan nanti saat lo udah tentukan jalan yang lo pilih, jangan pernah nengok ke persimpangan tadi. Lanjutin perjalanan lo tanpa ada rasa menyesal Ucap Rendi sambil tersenyum dan menepuk pundak gue.
Dering handphone membuyarkan lamunan gue. Dengan segera gue mengeluarkan handphone dari balik jaket. Nama Lisa terpampang di layar. Gue langsung menjawab panggilan tersebut.
Iya Lis Bagus, dimana" Kok ga ngabarin" tanya Lisa dengan nada manja.
Ini Gue sama Rendi nongkrong di sevel yang perempatan lampu merah Lis. Lo udah selesai emang kerja nya"
Ya udah lah, udah mau jam 7 ini. Lo jemput kesini apa gue aja yang kesana"
Gue jemput aja. Lo tunggu aja depan pintu parkiran motor kaya biasa ya
Yaudah, ati-ati Gus. Ga usah pake ngebut. Jangan lupa doa sepanjang jalan
Gue mengiyakan dan memutus panggilan telepon, kemudian mengajak Rendi untuk bergegas ke Puri Indah, namun Rendi menolak.
Gue balik Gus. Salam aja buat Lisa ya ucap Rendi saat kami hendak berpisah di jalan.
Sampai didekat pintu parkir motor terlihat Lisa sudah berdiri menunggu disana sambil memainkan handphone nya.
Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gus, nonton aja yuk" ajak Lisa saat gue baru saja sampai dihadapannya.
Nonton" Didalem mall" Emang lagi ada film apa"
Ga tau film apa, yang ada aja kita liat dulu. Lagian kan ini malem minggu Gus. Masa gue langsung balik, di kos gue ga ada hiburan rengek Lisa sambil menarik tangan gue. Gue pun mengiyakan dan memasukkan motor ke area parkir.
Di dalem Mall, gue kaya orang kebingungan. Selain udah lama ga pernah masuk mall, gue juga gatau mau nonton film apa. Waktu itu juga kayanya ga ada film yang bagus, tapi kami tetep nonton, Cuma gue lupa film apa waktu itu.
Selesai nonton sekitar jam 10 malam. Lisa masih belum mau pulang, dia ngajak mencari makan dulu tapi gue menolak. Gue memberikan opsi untuk beli makanan dekat kos nya aja dan membungkus makanan buat dia makan di kos. Jadi gue langsung mengarahkan motor ke arah kos Lisa walaupun kali ini ga ada senandung Lisa, yang ada Cuma tampang cemberut sepanjang jalan.
Gue memarkirkan motor didepan pagar hitam rumah kos yang terlihat cukup besar. Dari luar bisa terlihat rumah ini terdiri dari 4 lantai. Gue dan Lisa berjalan kaki ke penjual pecel ayam di ujung jalan. Tapi Lisa merubah rencana dan memilih makan ditempat. Jadi lah gue mengikuti keinginannya.
Seperti biasa setiap makan, Lisa selalu mengelap sendok berkali-kali dengan tisu buat gue dan juga buat dia, kemudian berdoa dan segera makan tanpa bersuara. Sebuah kebiasaan yang baik menurut gue. Selesai makan dan membayar makanan, kami kembali berjalan kaki balik ke kos Lisa.
Gus, jangan cepat-cepat jalannya ucap Lisa sambil berlari kecil mengimbangi gue kemudian menggandeng tangan gue. Gue hanya menoleh dan kemudian memperlambat jalan gue.
Sambil jalan bergandengan justru malah bikin gue salah tingkah. Ini pertama kalinya ada wanita lain selain Liana dan nyokap gue yang ngegandeng tangan gue saat jalan. Lisa berjalan sambil sudah mulai bersenandung santai. Gue selalu suka saat Lisa bersenandung, karena senandungnya aja bisa membawa kedamaian di hati orang yang mendengarkannya.
Gus, nanti naik ke atas dulu ya. Lo ga pernah mampir deh tiap anter gue ucap Lisa
Emang boleh" Udah malem gini
Ya mampir bentar lah, depan kamar gue ada teras gitu kok, enak lagi spot nya. Bisa liat kearah jalan raya, atau sekedar ngeliatin langit. Lisa bercerita dengan wajah antusias.
Sampai di depan pagar kos nya, Gue masuk mengikuti Lisa berjalan menaiki tangga. Ternyata posisi kamar Lisa ada di lantai 4. Lumayan membuat gue capek Cuma buat menaiki tangga tersebut.
Lisa berhenti didepan pintu kamar bernomor 22 dengan cat putih dan bertuliskan nama Lisa di bagian atas pintu nya. Gue memilih duduk di kursi rotan yang terletak tidak jauh dari kamar Lisa. Benar yang Lisa bilang, ternyata spotnya lumayan enak. Ditambah terpaan angin yang lumayan kencang, cukup membuat gue segar setelah berkeringat karna menaiki tangga.
Gue asik dalam lamunan memandangi langit yang cukup cerah malam itu. Kerlipan lampu kendaraan yang masih saja berjejer terjebak macet di jalanan menambah nilai keindahan pemandangan dari atas sini.
Keren kan Gus pemandangannya" ucap Lisa sambil berjalan keluar dari kamarnya setelah mengganti pakaian menggunakan pakaian tidur warna putih dengan motif boneka beruang dan duduk disamping gue. Gue hanya mengangguk sambil menggeser posisi duduk.
Lama kami terdiam dalam lamunan, sampai gue baru menyadari Lisa menatap gue dari samping dengan wajah tersenyum. Gue menoleh dan memasang wajah heran.
Makasih ya Gus. Ucap Lisa masih sambil tersenyum. Bias lampu dari depan kamar Lisa membuat gue bisa melihat jelas wajah cantiknya dalam senyuman indah yang tulus.
Makasih buat apa" Buat waktu lo yang lo luangin buat nemenin gue. Ini pertama kali nya selama disini gue ngerasa ga sendirian jawab Lisa nada lirih namun tetap tersenyum
Gue hanya merespon dengan mengangguk dan membalas senyumnya.
Gus. Disaat teman-teman yang lain pada sibuk sama dunia nya masing-masing, kok lo mau nemenin gue" Jemput gue yang jaraknya lumayan jauh dari rumah lo" Tanya Lisa sambil menggenggam tangan gue.
Lo ga usah mikir macem-macem soal teman-teman yang laen Lis. Seandainya mereka lagi ga ada urusan, mereka juga pasti lakuin hal yang sama kaya yang gue lakuin kok. Belakangan ini kebetulan aja gue lagi ga ada urusan makanya bisa jemput lo gue menjawab sambil mengusap punggung tangan Lisa.
Iya, gue tau kok. Heri sama Hendri juga sering jemput gue kalo gue pulang malem dulu sebelom ada Lo, mereka malah kadang jemput gue berdua, terus kita nongkrong dulu gitu dimana. Tapi tetep Gus, gue ngerasa sepi. Gue ngerasa mereka ga benarbenar nemenin gue
Ya gue ga ngerti Lis gimana lo mengukur kesepian. Tapi yang pasti, gue, Heri, atau Ko Hendri tetep berusaha jagain lo kok. Asal lo nya juga kalo ada apa-apa jangan sungkan buat kabarin kita, ga usah ngerasa ga enak kalo mau minta jemput
Itu dia Gus. Gue ga enak kalo minta jemput mulu sama mereka, tapi kalo sama lo mah enak-enak aja jawab Lisa cengengesan
Sialan, itu karna gue nurut-nurut aja mungkin makanya lo enak-enak aja minta jemput sama gue. Jawab gue dengan wajah menggerutu.
Enggak Gus, karna gue ngerasa nyaman sama lo. Ucap Lisa pelan sambil membuang pandangannya jauh kedepan. Menatap langit malam yang terhampar luas menyajikan deretan bintang.
Gue menoleh dan menatap Lisa. Lama gue menikmati kecantikannya dari samping. Rambutnya yang panjang terurai tertiup angin malam. Gue menatap bibir dan pipinya yang perlahan bergerak membentuk sebuah senyuman tipis dengan gigi gingsul yang semakin membuat wajahnya terlihat manis.
Lisa, i love the way your smile forms.. ucap gue dalam hati sambil menikmati kecantikan natural meski tanpa make up yang menempel diwajahnya..
Lisa.. gue memanggil namanya pelan.
Lisa menoleh masih dengan senyum indah terpasang sambil mengangkat kedua alisnya.
Salah ga sih kalo gue suka sama Lo" ucap gue semakin pelan, sepelan perubahan ekspresi wajah Lisa yang perlahan memudarkan senyumannya.
Resah Lisa.. gue memanggil namanya pelan.
Lisa menoleh masih dengan senyum indah terpasang sambil mengangkat kedua alisnya.
Salah ga sih kalo gue suka sama Lo" ucap gue semakin pelan, sepelan perubahan ekspresi wajah Lisa yang perlahan memudarkan senyumannya.
Lisa kembali membuang pandangannya kedepan, membuat gue serba salah dengan ekspresinya menanggapi pertanyaan gue. Sejenak dia menghela napas nya, menunduk, kemudian menoleh kembali menatap gue disampingnya yang masih menikmati wajah cantiknya.
Lo yakin Gus sama apa yang lo rasain" tanya Lisa dengan suara lembut.
Gue mengangguk pelan, berusaha berhati-ati dalam menjawab.
Gus. Gue juga suka sama Lo sebenernya. Tapi.. Lisa mengehentikan ucapannya dan menunduk.
...... gue cuma bisa terdiam, bahkan ga berani mengucapkan sepatah katapun.
Lo tau kan Gus, banyak perbedaan antara kita. Gue ga mau salah satu dari kita harus ada yang tersakiti saat perjalanan kita ga sesuai dengan harapan kita ucap Lisa lagi sambil menatap gue.
Gue tau Lis. Itu juga selalu ngeganggu pikiran gue. Gue sempet berpikir, kalo kita emang ga bisa ngejalanin sebuah hubungan, apa kita bisa tetap berteman dekat aja" Gue bakal jagain lo, nemenin lo, sampe lo ketemu orang yang bisa ngejagain dan nemenin lo sepenuhnya.
Kenapa lo mikirnya gitu Gus"
Gue juga ga gatau Lis. Ada perasaan dalam diri gue yang ga mau ngebiarin lo sendirian, gue mau selalu ada buat lo. Tapi, gue juga selalu ngerasa ga pantas buat selamanya disamping lo. Gue takut malah nanti berubah jadi orang yang posesif dan mengikat lo terlalu erat kalo kita ngejalanin suatu hubungan.
Gue menghela napas, lega rasanya mengeluarkan apa yang ada didalem hati gue selama ini. Banyak kata yang selama ini berputar di kepala gue akhirnya bisa membentuk sebuah pernyataan yang bisa gue sampaikan ke Lisa.
Lisa menatap gue sambil menggenggam erat tangan gue. Gue terdiam menatap langit malam dengan pandangan kosong. Ga ada lagi yang mau gue sampaikan ke Lisa.
Gus. Gue boleh minta lo janji ke gue ga" tanya Lisa memecah keheningan.
Janji apa" gue menoleh menatapnya dengan wajah bingung.
Jagain gue ya Gus, gue ga perduli sekeras apa lo akan mengikat gue, asal lo janji buat ga pernah pergi ninggalin rasa sakit dalam hidup gue, atau gue akan ngebenci lo seumur hidup gue kaya gue ngebenci bokap gue ucap Lisa sambil menyilangkan tangannya memeluk lengan gue dan menyandarkan kepalanya di pundak gue.
Iya Lis. Gue janji. Dan gue bakal berusaha menepati janji gue ucap gue pelan sambil mencium kepalanya yang dia sandarkan di pundak gue.
Malam itu, disebuah sudut kota Jakarta yang sedang merayakan hari jadinya, gue memutuskan buat mengikuti kata hati gue. Gue akan berusaha menjaga Lisa, mencintainya tanpa pernah menyakitinya, dan menjauhkan dia dari rasa sepi yang selama ini bersahabat dengannya.
------------- Gue sampai dirumah sekitar jam 1 pagi. Setelah memberi kabar ke Lisa sesuai permintaannya saat mengantar gue sampai depan pagar tadi, gue ke kamar mandi untuk cuci muka, dan segera kembali ke kamar memeriksa balasan whatsapp dari Lisa.
Yaudah Gus, kamu bersih-bersih dulu terus istirahat yaa. Goodnight Bagus sayang..
Gue tersenyum membacanya, ada perubahan dari bahasa yang Lisa gunakan. Gue pun segera membalas pesan tersebut.
Iya.. Kamu juga istirahat yaa. Goodnight sayang..
Gue melempar handphone di kasur dan berniat berjalan ke dapur untuk mengambil air mineral. Handphone gue tiba-ba berdering, gue membalik badan dan kembali mengambil handphone gue.
Felicia" Gue menggumam dalam hati kebingungan melihat nama yang muncul di layar handphone gue, dan segera menjawab panggilan tersebut.
Iya Fel.. Bagus, belom tidur kan" tanya Felicia dengan nada antusias dari ujung telepon.
Belom, ada apaan" Semangat banget kayanya
Hussst, diem. Nih dengerin ya jawab Felicia yang kemudian suaranya terdengar menjauh. sayup-sayup terdengar sebuah suara musik yang sepertinya dinyalakan dengan alat pemutar musik, melantunkan petikan gitar yang membawa suasana ketenangan dan kedamaian.
Gue mencoba mempertajam pendengaran gue untuk mengenali lagu apa yang sedang diputarkan. Perlahan gue mengenali lagu tersebut dari lirik yang dinyanyikan, membuat gue terdiam lemas seketika saat mulai mengetahui lagu yang diputar. Setiap lirik yang dinyanyikan mampu membuat gue menunduk, dan kemudian menjatuhkan badan gue ke atas kasur.
Aku ingin berjalan bersamamu Dalam hujan dan malam gelap Tapi aku tak bisa melihat matamu
Aku ingin berdua denganmu Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu
Aku menunggu dengan sabar Di atas sini, melayang-layang Tergoyang angin, menantikan tubuh itu
Aku ingin berdua denganmu Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu
Ingin berdua denganmu Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu& Penyesealan #1
Gue tergeletak lemah dikasur saat lantunan musik yang diputarkan oleh Felicia perlahan berhenti. Felicia, seorang wanita yang ga pernah bisa ditebak. Sikap nya sering kali berubah-ubah cukup membuat gue bingung sendiri.
Gus, lo dengerin kan tadi" ucap Felicia dari ujung telepon dengan suara serak.
Iya Fel. Maksudnya apa" gue mencoba bertanya.
Gue bukan orang yang jago ngerangkai omongan buat nyampein maksud gue Gus. Jadi mudah-mudahan aja lagu tadi bisa bikin lo ngerti
Iya, gue ngerti. Tapi kenapa Fel"
Kenapa apanya" Kenapa lo setelin lagu itu ke gue" Kenapa lo sering banget nunjukkin seakan-akan lo ada rasa ke gue, tapi juga sering cuek atau kaya ga kenal gue"
Gue Cuma pengen lo yakin sama perasaan lo Gus. Lo dengan mudahnya bilang suka sama gue, tapi sikap lo sendiri kaya orang bingung, kaya orang gatau harus ngelakuin apa, kaya orang gatau mau milih siapa...
...... gue ga menjawab. Membiarkan Felicia melanjutkan omongannya.
Lo mulai membanding-bandingkan gue sama Lisa, gue tau itu Gus, dan gue ga suka.
Membanding-bandingkan" Siapa yang bilang"
Sikap Lo. Sikap lo yang bilang ke gue kaya gitu. Mata lo yang cerita semua nya. Lo ga melihat gue sebagai orang yang layak lo perjuangin, lo lebih ngeliat gue kaya sebuah hadiah, yang kalo lo bisa dapetin ya syukur, kalo ga ya gapapa Felica berbicara dengan sedikit terisak.
Gue diam ga menjawab. Felicia pun terdengar seperti berusaha mengendalikan nafasnya yang semakin sesak, bikin gue semakin ga tau harus ngomong apa.
Gus. Gue tau lo udah milih Lisa. Gapapa kok. Felicia mencoba menghibur diri.
Iya Fel. Tapi gue yakin, kita masih bisa bertemen ngobrol-ngobrol asik kaya biasanya. Gue ga bakal berubah sikap atau menjauh dari lo. Tapi lo juga jangan berubah sikap ya
Gus, lo tau kenapa gue ga mau jawab saat lo nanya perasaan gue"
Kenapa" Karna saat itu, lo masih sama kaya cowok-cowok lain yang coba deketin gue Gus. Cuma sekedar suka, sementara saat pertama kali kita ketemu, saat lo nanya apa kita pernah kenal sebelumnya' itu gue udah suka Gus sama lo. Tapi gue simpen sendiri perasaan itu karna denger lo ternyata udah punya pasangan. Sampe lama-lama akhirnya kita deket dan sering ngobrol, dan kemudian tau lo udah putus, gue ga bisa nahan perasaan itu untuk terus tumbuh Gus, dan gue yakin gue sayang sama lo. Kali ini sepertinya Felicia ga bisa menahan tangisnya.
Gue semakin terpukul mendengar isak tangis Felicia yang semakin jelas. Gue menutup telepon, dan mencoba bangkit dari posisi tiduran kemudian duduk di pinggir kasur. Gue menghela napas dalam dan menunduk. Gue inget apa yang Rendi bilang, saat kita udah nentuin jalan yang kita pilih, jangan pernah menengok lagi ke persimpangan yang udah kita lewatin.
Tapi gue ga bisa. Gue ga bisa meninggalkan rasa kecewa di hati seseorang di persimpangan sana. Gue harus melewati persimpangan itu dengan rasa tenang.
Gue mengambil jaket dan kunci motor. Gue sempat melirik jam saat memakai jam tangan, jam 2 kurang. Gue ga perduli. Gue memutuskan buat kerumah Felicia.
Gue mengebut motor gue sepanjang jalan yang sudah sangat lengang. Gue berusaha secepat mungkin buat sampai kerumah Felicia.
Sampai didepan pagar rumah Felicia, gue menepikan motor dan mengeluarkan handphone dari balik jaket, mencoba menghubungi Felicia. berkali-kali gue mencoba tapi ga ada jawaban. Gue berpikir mungkin dia udah tidur. Gue memasukkan handphone kembali ke balik jaket kemudian menegakkan motor berniat pulang. Gue sempet menoleh kearah pagar rumah Felicia. Terlihat dari selah-selah pagar ada seseorang duduk di bangku ayunan. Gue segera turun dari motor dan mendekat ke pagar.
Fel, Felicia.. gue memanggil sosok orang yang duduk dibangku ayunan sambil menunduk. Gue yakin itu Felicia.
Fel, bukain pagernya dong. Gue mau masuk gue mencoba memanggil lagi tapi Felicia ga menjawab.
Fel, please. Bukain pagernya. Atau gue panjat nih gue berusaha mengancam yang ternyata berhasil mendapatkan respon dari Felicia. Dia mengangkat wajahnya dan menatap gue melalui selah pagar.
Penyesalan #2 Lo ngapain malam-malam kesini Gus" ucap Felicia dengan suara serak sambil berjalan mendekat dan membukakan pagarnya.
Felicia baru saja membuka pintu pagar tapi gue langsung masuk dan memeluknya. Gue memeluk Felicia tepat didepan pagarnya. Dia Cuma diam ga membalas pelukan gue. Tapi gue bisa merasakan jaket gue mulai basah dari wajah Felicia. Dia menangis.
Gus. Lo kenapa jahat sama gue" ucap Felicia sambil sesugukkan masih dengan wajahnya tenggelam dalam pelukan gue. Gue ga menjawab. Gue Cuma memeluknya.
Gus.. kenapa.." Gue melepaskan pelukan gue dan menopang dagu Felicia untuk mengangkat wajahnya. Gue menatap wajah Felicia yang sembab dan mengelap pipinya yang basah dengan tangan gue. Mata bulat nya terganggu oleh gumpalan air yang tertampung di kantung matanya. Gue terpukul dan sangat merasa bersalah dengan sosok Felicia yang ga pernah gue liat sesedih ini.
Gue minta maaf Fel. Tapi gue udah menentukan jalan yang gue pilih. Gue..
Kenapa" Kenapa bukan gue yang lo pilih" Felicia memotong omongan gue sambil terus menatap gue dengan wajah sembabnya.
Kenapa, Bagus" Kenapa" tanya Felicia lagi sambil menarik jaket gue berkali-kali. Gue Cuma bisa menunduk.
Tangisan Felicia kembali pecah. Kali ini dia menunduk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Gue kembali menarik badannya dan memeluknya lagi, dan menopangkan dagu gue diatas kepala Felicia yang tenggelam dalam pelukan gue. Gue menatap kosong kearah taman, sambil mencoba menenangkan Felicia dengan mengusap-usap punggungnya.
Gus. Gue harus nunggu berapa lama" tanya Felicia sambil melepaskan pelukan gue dan menatap wajah gue yang masih tertunduk tepat dihadapannya.
Gue menggeleng pelan, sambil memberanikan diri menatap wajah Felicia.
Berapa lama Gus" Enggak Fel. Gue ga layak lo tunggu. Kita sama-sama lanjutin hidup kita kaya biasa aja ya. Kita masih bisa ketemu setiap hari di kantor, bertemen baik kaya hari-hari sebelumnya Gue menjawab dengan naif.
.... Felicia kembali menunduk dalam diam.
Fel. Gue dateng kesini bukan buat meyakinkan lo tentang perasaan gue. Juga bukan buat minta lo nunggu. Gue dateng kesini buat minta maaf dan...
Minta maaf buat apa" potong Felicia lagi, kali ini dengan nada kesal.
Buat sikap gue yang jahat ke lo. Tapi gue yakin, lo tau gue ga bermaksud nyakitin perasaan lo. Gue yang terlalu bodoh dalam membaca perasaan lo Fel. Lanjut gue sambil memegang tangan Felicia.
Felcia kembali menunduk, membiarkan beberapa tetes air matanya berjatuhan, membuat gue semakin mengutuk diri gue sendiri yang udah mengubah sosok Felicia yang riang menjadi seorang Felicia yang tertunduk dalam tangisnya.
Lama kami terdiam dalam lamunan dan masih berdiri di posisi yang sama sejak gue masuk ke pagar rumah Felicia. Perlahan Felicia melepaskan genggaman tangan gue, mengangkat wajahnya dan menatap gue. Sebuah tatapan yang kosong, tanpa senyuman.
Felicia membalik badannya. Berjalan melewati taman menuju teras rumahnya. Gue hanya diam menatap punggungnya yang berjalan menjauh. Sampai didepan pintu, Felicia menoleh.
Pulangnya ati-ati Gus. Pagernya tolong ditutup ya ucap Felicia yang kemudian masuk dan mengunci pintu rumahnya.
Gue masih berdiri mematung menatap pintu berwarna putih dengan pegangan yang berwarna keemasan. Berharap Felicia kembali keluar. Lama gue berdiri disana tapi tidak ada tanda-tanda Felica akan keluar.
Gue berjalan keluar pagar dan menutup pintu pagar rumah Felicia, kemudian mendatangi motor gue yang gue pinggirkan tepat didepan pagar. Gue menggunakan helm sambil tetap melihat kearah rumah Felicia yang mungkin ga akan lagi bisa gue datangi. Gue menghela napas dan mulai menjalankan motor menuju arah pulang dengan mencoba meredam rasa kecewa dan menyesal. Gue yakin, gue harus melanjutkan berjalan di sebuah jalan yang gue pilih dan gue akan berusaha buat ga menyesalinya.
Side Story #1 Suatu hari di bulan Mei tahun 2015, ini agak lompat dari urutan cerita. Gue yang lagi buka kaskus mendadak bete seketika pas liat ternyata akun lama gue di banned, karna gue salah ngepost thread saat gue mau bantu jualin hp temen. Gue lupa waktu itu salah post ke sub forum mana, itu karna gue langsung klik pilihan start selling' di aplikasi kaskus dari hp.
Gue bikin akun baru asal-asalan buat menghubungi moderator FJB buat minta maaf dan meminta agar dicabut banned nya. Itu akun udah gue pake 5 tahun lebih, jadi tentu saja gue sayang banget kalo sampe di banned. Apalagi, nama akun gue di semua forum internet selalu pake nama itu, istilahnya, itu nama udah jadi identitas gue di dunia maya lah. Tapi permintaan gue ditolak sama momod FJB.
Jadilah gue manyun seharian. Sampe Lisa pun gue diemin. Lisa sampe kebingungan ga ngerti kenapa tau-tau gue ngambek. Sampe akhirnya gue cerita, sepele sih, tapi cukup bikin gue bete. Reputasi di ID itu lumayan bagus makanya temen sering minta bikinin lapak jualan.
Setelah denger cerita gue, Lisa juga kayanya biasa aja. Malah makin sibuk sama handpone nya. Tau-tau dia nyeletuk ke gue.
Sayang, nih buat kamu ucap Lisa sambil nunjukkin layar handphone nya.
Apaan ini" Itu akun baru buat kamu.. hehehe jawab Lisa sambil cengengesan, dia bikinin ID ini, dengan nama angchimo.
Yee, kalo bikin akun baru doang aku juga bisa kali. Lagian males aku harus mulai dari awal lagi, ngumpulin cendol lagi buat ngebagusin reputasi lagi. Jawab gue dengan nada malas dan mengembalikan handphone Lisa.
Yaah, jangan gitu dong. Ini akun bakal bawa rejeki kok nanti, cendol-cendol bakal dateng dengan sendirinya jawab Lisa ngasal sambil manyun karna merasa usahanya ga berarti buat gue.
Gue emang akhirnya pake akun ini buat sesekali komen, tapi ga pernah bikin thread selain lapak FJB, karna males banget harus mulain bikin thread bermanfaat atau informatif lagi cuma buat sekedar dapet cendol. Dan entah kenapa, secara kebetulan, beberapa lama setelah itu tau-tau dapet cendol +10 dari promo kaskus cendolin Indonesia' saat iseng ninggalin komen di lapak promo kasksus officer. Ya mungkin aja semua kaskuser juga dapet, tapi ini cukup bikin Gue senyum-senyum sendiri karna inget Lisa pernah bilang cendol-cendol bakal datang dengan sendirinya . Jadi gue langsung kasih tau Lisa.
Yeey, nama aku emang bawa rejeki. Ucap Lisa seneng sambil mengangkat kedua tangannya kegirangan..
Ini sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan para readers via pm mengenai akun gue yang dirasa kaya nama cewek, bahkan ada yang menyangka gue sebenernya sosok Lisa dicerita ini. Bukan, gue Bagus. Angchimo emang dipakai dari nama panggilan yang ane kasih buat Lisa, dan dijadiin nama akun ID ini. Cerita kenapa gue panggil Lisa jadi angchimo bakal ane tulis di part-part selanjutnya.
Lisa #1 Dalam bagian ini, gue mau nyoba nulis dengan cara lain. Masih berurutan sesuai dari kapan kejadiannya. Tapi mungkin ga akan mendetail, karna ceritanya seputar hubungan gue sama Lisa, kalo gue tulis detail nanti readers bakal bosen bacanya, atau malah jadi iri
Gue cukup beruntung mempunyai sebuah kebiasaan menyimpan foto di laptop dan flashdisk gue dengan cara memasukkan foto-foto itu kedalam folder terpisah yang gue kasih nama folder sesuai lokasi atau momentya. Itu cukup ngebantu banget dalam nulis cerita ini. Dan gue mengakui, dengan menulis cerita ini, gue jadi lebih legowo dalam menyikapi masa lalu dan pilihan-pilihan yang pernah gue ambil, yang membentuk diri gue jadi gue yang sekarang. Gue pun menulis cerita ini sebenernya karna pengen nepatin janji sama Lisa, makanya gue juga pengen secepetnya kasih update dan biar cepet selesai ceritanya.
Gue akan tetep update cerita ini setiap hari seperti biasa. Tapi jam update nya ga bisa gue rencanakan. Gue mengetik cerita ini dari aplikasi word di handphone disela-sela waktu santai, dan mengupdatenya pake aplikasi kaskus. Gue sengaja kaya gitu biar bisa cepet kasih update, juga biar ga ngentangin agan-agan. Karna kalo semuanya harus nunggu gue duduk didepan komputer atau laptop, bisa seminggu atau 2 minggu sekali gue ngetiknya, karna kalo gue udah didepan komputer pasti ada kerjaan-kerjaan yang bikin gue lupa ngetik cerita ini. Kalo dari handphone kan seenggaknya saat ada waktu luang sedikit aja gue bisa nyicil ngetik sedikit-sedikit, mudah-mudahan para readers bisa memaklumi saat ada beberapa typo di cerita ini
---------------- Setelah gue dan Lisa sepakat buat ngejalanin suatu hubungan, dan setelah kejadian pagi-pagi buta dirumah Felicia, gue menjalani hari-hari gue layaknya seseorang yang udah berhasil melepas status jomblo. Selain kerja dari jam 9 sampai jam 6 sore, rutinitas gue tentu saja kali ini terisi senyuman dan tingkah-tingkah Lisa yang bikin hidup gue makin berwarna.
Lisa, wanita cantik yang gue pacari saat ini, mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang kadang bikin gue gemes sendiri melihat tingkahnya. Seperti yang gue sebut di awal, dia hampir selalu bersenandung kecil dibelakang gue saat berboncengan. Kadang gue ikut nimbrung nyanyi. Jadilah kita sering dilihatin pengendara lain yang berpapasan atau beriringan dengan kita di jalan.
Lisa bukan tipe cewek yang merokok atau minum-minuman. Dia jauh dari hal-hal kaya gitu, tapi tetap memaklumi gue yang perokok berat dan sesekali minum, selama cuma bir aja dia ga terlalu melarang. Lisa orang yang sangat memperhatikan kesehatan. Dia menengahi kebiasaan merokok gue dengan mewajibkan gue setiap hari untuk minum 2 kaleng susu sapi merk beruang yang iklannya naga terbang. Awalnya gue emang menolak kewajiban itu, tapi Lisa bukan tipe orang yang toleran sama hal-hal yang dia anggap baik buat dijadikan kebiasaan. Suka atau ga suka, gue harus mengikuti kewajiban yang Lisa buat secara sepihak.
Lisa adalah orang yang ga akan memakan bagian kuning telur. Mau digoreng ataupun direbus. Dia akan membuang bagian itu. Dia juga ga akan memakan kulit ayam. Hal yang sangat sering bikin kita adu mulut saat makan ayam goreng di restoran cepat saji berlogo bapak-bapak tua. Gimana ga adu mulut coba, kulit ayam yang digoreng garing itu kan bagian terenaknya menurut gue, tapi enggak menurut Lisa, dia akan membuangnya tanpa ampun ketempat sampah. Lisa ga terlalu suka makan nasi, dia Cuma makan nasi sehari sekali, selebihnya dia mengganti nasi dengan kentang atau bihun, atau cemilan lain.
Didalam tas jinjingnya, Lisa selalu membawa botol plastik berukuran 1.5 liter berisi air mineral yang selalu dia isi ulang sehari 3 kali. Dia sangat amat jarang minum jenis minuman lain selain air mineral. Bisa kehitung jari dalam sebulan mungkin cuma 2 atau 3 kali dia minum selain air mineral, itupun kalo lagi ada acara yang menyuguhkan jenis minuman selain air mineral. Dan seperti yang readers mungkin sudah tebak, Lisa pun memaksakan hal yang sama ke gue. Dia membelikan sebuah botol plastik buat gue, tapi yang ukuran 1 liter aja. Dan mewajibkan gue meminum minimal 2 kali isi botol itu setiap hari. Jadi lah di tas gue selalu ada botol plastik itu bahkan sampai detik ini.
Gue mencoba mengimbangi kebiasaan hidup sehat Lisa yang seringkali berbenturan dengan gaya hidup gue yang sesukanya. Gue selalu percaya, seiring jalannya waktu nanti gue akan terbiasa.
Di kantor, Rendi dan Ko Hendri sepertinya agak kurang setuju dengan jalan yang gue pilih dengan Lisa. Cuma Heri yang bersikap netral terhadap pilihan gue. Jadi, rutinitas nongkrong selepas jam kerja hampir jarang banget terjadi lagi. Susah buat benar-benar hadir berempat plus Lisa. Tapi rutinitas ngopi diruangan Ko Hendri masing sering gue lakukan. Dan biasanya cuma gue dan Heri yang sering nongkrong, kadang Lisa gue menyusul saat dia pulang kerja sore.
Bags, lo jalanin aja gapapa, ga usah terganggu sama penilaian orang. Toh nanti pahit dan manisnya yang rasain lo sendiri ucap Heri saat kami berdua sedang nongkrong di minimart 7-11 dekat kantor selepas jam kerja.
Terus si Felicia gimana Bags sikapnya" lanjut Heri
Agak kaku sih, dan yang pasti udah ga kaya dulu lagi, ga ada lagi kopi dan tulisan Good Morning' di meja kerja gue. Yang ada malah botol ukuran seliter isi air mineral
Iya lah, ya gila aja kalo dia masih mau kaya gitu. Lagian aneh juga sih Bags, penampilan lo yang kaya gembel terminal aja bisa bikin dua cewek jadi begitu ucap Heri sambil menertawakan gue.
Oh ya, gue pernah mengajak Lisa untuk pertama kali nya kerumah gue. Kebetulan saat itu Lisa lagi dapet jatah libur di weekend, dirumah gue pun lagi ada abang gue dan istrinya. Jadi gue sekalian mengenalkan Lisa ke mereka.
Pacarnya Bagus" tanya mba Rai, istri abang gue, saat menyalami Lisa.
Lisa tidak langsung menjawab, dia menoleh kearah gue seperti meminta persetujuan dulu apakah boleh menjawab jujur atau menjawab sekedar teman. Gue yang mengerti keraguan Lisa pun menjawab dengan anggukan dan tersenyum.
Iya mba.. Jawab Lisa sambil memasang senyum ke Mba Rai yang malah disambut wajah heran.
Kok bisa Gus" tanya Mba Rai ke gue.
Bisa apanya" gue bertanya balik.
Bisa mau sama Bagus" Ya mau lah, abangnya aja dapet istri cantik kok abang gue memotong sambil tertawa.
Gue Cuma ikut tertawa, karena gue yakin Mba Rai pasti bermaksud menanyakan pertanyaan yang ada kaitannya dengan hubungan gue dengan Liana yang dia belum tau kalo udah berakhir.
Lisa, sorry. Lo chinese ya" tanya abang gue sambil duduk di sofa ruang tamu, bersebelahan dengan istrinya.
Iya bang jawab Lisa singkat dan terlihat gugup
Ye, panggil Adam aja. Bagus aja ga pernah panggil abang ke gue. Saut abang gue yang disambut dengan anggukan dan senyum kaku dari Lisa.
Gue bisa melihat sikap Lisa yang sangat kaku. Dari cara dia duduk yang tegap dan melipat tangan dipangkuannya malah memberikan kesan dia sangat gugup, sementara gue duduk bersandar setengah berbarimg santai sambil menyilangkan kaki disamping Lisa.
Oh iya, santai aja. Ga usah gugup gitu, gue ga ada maksud apa-apa nanya gitu, Cuma mastiin doang Lanjut abang gue sambil tersenyum ke arah Lisa.
Tapi Lisa Muslim ga Lis" Mba Rai menyambar ikut bertanya ke Lisa dan membuat Lisa lagi-lagi menatap gue kebingungan.
Lisa #2 Lisa menatap gue kebingungan, dia seperti ragu mau menjawab pertanyaan Mba Rai yang menurut gue juga terlalu kurang sopan. Seumur-umur juga gue ga pernah nanya Lo muslim" atau agama lo apa" ke orang lain. Karna dari dulu gue berpendapat menanyakan agama orang itu agak kurang sopan. Tapi sepertinya di Indonesia pertanyaan seperti itu bukan suatu masalah dalam hal kesopanan.
Enggak Mba, Aku Kristen. Jawab Lisa masih dengan senyum kaku yang dipaksakan.
Mba Rai menggernyitkan dahi nya dan menatap gue dengan wajah heran. Gue pun jadi bingung harus menanggapi apa. Bagaimanapun, Abang gue dan istrinya adalah sosok perwakilan orangtua gue disini. Walaupun gue emang cuma manggil nama aja ke abang gue, tapi kalo ke Mba Rai gue rada sungkan.
Sayang, ini ga ada kopi gitu apa" tanya abang gue ke istrinya mencoba menengahi kekakuan yang mulai menyelinap diantara kami.
Kamu mau ngopi" Bu Darmi mana ya" ucap Mba Rai sambil menoleh kearah dapur dan berjalan ke sebelah ruang tengah rumah gue.
Lah, aku minta bikinin sama kamu kok, malah mau nyuruh Mba Darmi. Eh Lis, lo kalo mau minum ambil sendiri aja sana didalem, ga usah sungkan. Make yourself at home ucap abang gue sambil bangun dari duduknya dan berjalan kearah halaman belakang rumah gue.
Lisa hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman, kemudian menatap gue dengan wajah merasa bersalah.
Kenapa" Gapapa kok tadi udah bener kamu jawab jujur. Masa ditanya apa agamanya harus bohong. Tapi maaf ya kalo kamu jadi ngerasa diberondong pertanyaan, santai aja ga usah dipikirin. jawab gue sambil mengusap kepala Lisa dan berdiri mengajak Lisa ke ruang tengah.
Gue dan Lisa memang belum ingin membahas perbedaan-perbedaan kami. Selama kami menjalaninya dengan saling menghargai dan menghormati, kami sama sekali ga merasa bermasalah dengan perbedaan ini. Gue sesekali mengantar Lisa ke gereja, hanya mendrop nya saja dan nanti akan gue jemput lagi setelah selesai dia beribadah. Lisa juga selalu mengingatkan gue untuk sholat, walaupun gue sendiri jarang lakuin.
Gus, itu panlok'" tanya Anwar sambil berbisik saat kami sedang ga sengaja bertemu di plasa kalibata sepulang kerja.
Bangke, cewek gue tuh. Ga usah pake kata itu nyebutnya ucap gue sambil menoyor kesal kepala Anwar yang menyebut Lisa panlok', atau panda lokal, kebiasaan orangorang bodoh dalam menyebut orang-orang berwajah chinese.
Yee, biasa aja dong. Kan gue Cuma negesin jawab Anwar
Gue ga suka War. Sebutan-sebutan kaya gitu yang bikin orang-orang kita makin di kotakin sama masalah-masalah ras. Jawab gue sambil berjalan cepat menyusul Lisa dan meninggalkan Anwar.
Tanggapan seperti itu memang gue akui seringkali keluar dari teman-teman gue. Tapi emang Cuma pada awalnya aja saat pertama berkenalan. Setelah sering gue ajak Lisa nongkrong bareng teman-teman gue, ga ada lagi tanggapan kaya gitu. Entah karna pemikiran teman-teman gue yang terlalu picik atau karna memang di lingkungan gue sosok seperti Lisa hampir jarang mau bergabung dengan kami.
Lisa orang yang sangat mudah bergaul. Dia cukup cepat akrab dengan teman-teman gue, dengan Anwar maupun Ryan. Ga jarang gue mendapati teman-teman gue yang lain sering mengirim whatsapp ke Lisa dengan basa basi menanyakan gue.
Ini mereka dapet nomer kamu darimana" tanya gue ke Lisa saat membaca beberapa whatsapp dari temen gue.
Ya kan waktu itu mereka minta Lisa menjawab santai.
Gue pun serba salah sebenernya. Mau marah pun, ga mungkin gue marah sama Lisa karna emang gue juga yang sengaja mengenalkan Lisa ke teman-teman gue biar akrab, biar Lisa jadi punya banyak temen juga. Bahkan di sosial media seperti Path atau Instagram, Lisa pun berteman sama teman-teman gue. Lisa yang awalnya sangat jarang membuka sosmed nya, jadi rutin mengunggah foto-foto atau sekedar melihatlihat unggahan foto orang di sosmednya.
Dan, seiring berjalannya waktu, Lisa pun sudah akrab dengan semua teman-teman gue, juga sama abang gue dan Mba Rai. Pernah sesekali Lisa dan Mba Rai jalan berdua, sekedar ke tanah abang atau belanja di mall yang jadi sering bikin abang gue geleng-geleng tiap liat istrinya pulang bawa banyak tentengan. Gue biasanya hanya menertawakan sambil bertanya ke Lisa dan Mba Rai Kok dikit banget belanjanya"' untuk meledek abang gue.
Sampai di bulan puasa pertama gue dengan Lisa. Dia ga pernah absen menelpon gue untuk membangunkan sahur. Bahkan sesekali khususnya pas weekend gue dan Lisa sahur bareng. Lisa sering ikut berpuasa. Gue sebenernya seneng, jadi bisa sama-sama puasa dan saling menjaga diri serta menjaga hati, halah. Tapi gue sering bilang ke Lisa untuk tidak memaksakan berpuasa, walaupun kadang pas lagi panas-panasnya cuaca, gue yang merasa berat, Lisa malah santai aja. Alasan Lisa ikut berpuasa tentu saja sekalian diet, tapi juga karna dia seneng ikut buka puasa bareng sama gue.
Puasa itu seru ya Gus ucap Lisa sambil menopang dagu dengan kedua tangannya diatas meja menatap gue, didepan semangkuk es campur ketika sedang buka puasa bareng gue di pinggir jalan.
Buka puasa nya yang Seru Lis jawab gue sambil menuntaskan ancaman pada makanan dan minuman yang sedari tadi sudah menantang untuk di habiskan.
Heh, baru banget adzan itu malah langsung makan aja. Tunggu adzan selesai dulu kek. Giliran saur aja males-malesan, malah sengaja mepet ke imsak ucap Lisa mengomentari kebiasaan gue saat saur dan buka puasa.
Sahur yang bagus itu emang gitu, dilama-lamain, asal jangan sampe lewat aja. Tapi kalo buka puasa nya harus disegerakan jawab gue sambil tetep menikmati makanan.
Yee, mana ada gitu. Ya emang begitu. Udah itu makan dulu
Lisa biasanya menunggu di kamar kos nya saat gue menunaikan sholat tarawih di mesjid dekat kosnya. Gue sengaja bergegas pulang kantor selama bulan puasa, biar bisa buka puasa bareng Lisa sambil jemput Lisa pulang kerja, atau di sekitar kos nya saat dia libur. Kecuali saat Lisa pulang malam, gue biasanya buka puasa dikantor sama teman-teman dan menjemput Lisa setelah tarawihan di mushola dekat kantor.
Lisa #3 Menjelang lebaran, gue emang ga biasa belanja baju-baju gitu. Tapi waktu itu gue sengaja mengajak Lisa ke sebuah mall sekitaran Depok buat mencari kemeja dan beberapa potong baju untuk Bu Darmi dan Pak Ujang. Lisa orang yang sangat antusias kalo soal belanja. Dia sanggup keluar masuk toko-toko seharian Cuma buat mencari satu barang. Dan dia lebih suka ke toko-toko baju yang bisa ada proses tawar menawar. Jangan sekali-sekali menginterupsi Lisa saat bernegosiasi dengan pedagang. Walaupun pasti gue selalu merasa kasihan sama pedagang yang Lisa tawar harga barangnya. Pernah Lisa membeli sebuah tas jinjing kecil yang dijual 100 ribu tapi bisa dilepas oleh pedagangnya dengan harga 30 ribu saja. Menyisakan senyum kemenangan di wajah Lisa dan senyum getir di wajah pedagang tersebut.
Gus, aku beli ini ya" tanya Lisa sambil membentangkan sebuah kain halus berwarna putih transparan.
Apaan itu" gue bertanya sambil mendekat, memastikan barang apa yang Lisa pegang.
Lisa kemudian mengenakan bahan yang dia pegang tadi menutupi kepalanya. Ternyata sebuah jilbab. Gue benar-benar terpana melihatnya. Sosok Lisa tetap cantik meski rambutnya tertutup jilbab seluruhnya. Gue hanya senyum dan mengangguk menyetujui pilihan Lisa.
Kami berjalan ditengah kerumunan orang yang sibuk memburu pakaian untuk lebaran. Gue ga nyaman dengan kondisi ini, makanya gue ga suka belanja baju saat mau lebaran, karena kadang perilaku orang-orang berubah jadi rada ganas, maen sikut-ikut atau nabrak orang yang jalan didepannya, berebut barang-barang yang bagus. Malah kadang kalo ada barang bagus yang didiskon besar-besaran bisa sampe terjadi adegan tarik menarik, bahkan sampe menyisakan tubuh-tubuh tergeletak tak berdaya, gak deeng, becanda.
Tiba-ba Lisa berhenti disebuah toko dan masuk kedalamnya. Gue sedikit kesulitan mencarinya ditengah keramaian orang dalam toko tersebut, kemudian sempat melihat sosok Lisa membawa sebuah pakaian dan masuk ke bilik yang dikhusukan untuk ruang ganti. Gue berjalan mendekat dan menunggu didepan bilik tersebut. Tidak lama kemudian Lisa keluar dengan mengenakan sebuah baju lengan panjang berwarna putih dengan motif bunga disekitar kancingnya, seperti baju-baju yang biasanya digunakan cewek-cewek muslimah.
Kegedean ya Gus" tanya Lisa sambil memutar posisi badannya melihat kesetiap sudut pakaian yang sedang dia coba.
Gue ga menjawab, gue lagi-lagi terpana dengan kecantikannya. Lisa memang selalu terlihat cantik dengan model pakaian apapun yang dia kenakan, tapi kali ini dia benarbenar terlihat cantik. Gue tersenyum membayangkan Lisa dengan pakaian yang sedang dia coba itu dipadukan dengan bahan jilbab putih yang tadi dia beli. Sebuah kesempurnaan karya Tuhan akan terhampar dihadapan gue.
Bagus. Ditanya malah bengong ucap Lisa dengan memasang wajah cemberut membuyarkan lamunan gue
Eh" Nanya apa tadi" ucap gue sambil kembali mengumpulkan kesadaran
Ini kegedean ga" tanya Lisa dengan kesal karna harus mengulang pertanyaannya.
Enggak, pas kok. Model baju kaya gitu emang sedikit longgar. Kalo mau yang ngepres ya pake bikini jawab gue cengengesan.
Masa sih" Yaudah aku beli ya" Tanya Lisa sambil menatap gue dengan antusias. Gue menjawab dengan anggukan.
Setelah membayar, kami melanjutkan berjalan ditengah kerumunan dan berniat pulang.
Kamu ga beli baju kokoh gitu Gus" tanya Lisa yang berjalan disamping sambil memeluk lengan gue.
Enggak, aku udah punya. Masih bagus-bagus juga bajunya
Hehehe ini mah namanya kamu yang nemenin aku beli baju lebaran ucap Lisa sambil cengengesan. Gue hanya mencubit gemas pipinya.
1 minggu sebelum lebaran, nyokap dan bokap gue pulang dari Jogja. Gue selalu seneng saat lebaran datang, karena lebaran jadi ajang berkumpul keluarga gue. Gue benar-benar menikmati keramaian dan kehangatan keluarga. Karna sudah memasuki cuti lebaran, gue pun bisa menikmati banyak waktu dirumah, nikmatin masakan nyokap gue lagi.
Saat lebaran, rumah gue rame banget. Bokap adalah anak tertua di keluarganya, sedangkan nyokap gue anak tunggal. Kakek dan nenek gue dari pihak nyokap dan bokap udah ga ada. Jadi setiap lebaran otomatis semua keluarga kumpul dirumah gue. Bokap gue punya 3 orang adik cowok dan 1 orang adik perempuan, jadi gue punya 3 om dan 1 tante yang kesemuanya sudah menikah. anak-anak mereka adalah sepupu gue, tapi karna perbedaan umur gue sama anak-anak mereka yang cukup jauh, jadi terlihat seakan-akan mereka keponakan gue, padahal gue belom punya keponakan karna belom ada Adam junior.
Selesai sholat Ied bareng keluarga, gue berlebaran sama nyokap bokap gue. Ga ada acara sungkeman, Cuma sekedar bersalaman dan berpelukan. Gue orang yang sangat manja ke nyokap. Gue selalu peluk dan cium2in pipi nyokap gue saat lebaran, yang jadinya malah ditertawakan keluarga gue yang lain.
Lisa tentu saja datang kerumah gue. Waktu itu gue lagi ngobrol-ngobrol sama 2 orang om gue dan abang gue sambil menikmati sirup didepan teras kecil rumah gue. Sebuah taksi berwarna biru berhenti diluar pagar rumah gue. Muncul sosok Lisa dari dalam taksi. Lisa menggunakan jilbab dengan hanya menggantungkannya di kedua bahunya, dengan menggunakan baju lengan panjang berwarna putih yang dia beli waktu itu, dipadukan jeans biru gelap yang biasa dia pakai. Seriusan, dia terlihat cantik banget waktu itu.
Abang dan para om gue cuma bengong melongo melihat Lisa yang berjalan masuk ke pagar sambil tersenyum.
Assalamualaikum ucap Lisa sambil berjalan mendekat ke teras.
Walaikum salam, maaf saya ga ngundang bidadari kesini jawab gue sambil bangkit dari duduk dan mendekat ke Lisa. Lisa mencubit tangan gue dengan muka merah, gue tau sepertinya dia cukup grogi.
Lisa bersalaman dengan abang gue dan berkenalan dengan om gue, kemudian gue mengajaknya masuk keruang tengah, dimana keluarga gue berkumpul disana.
Aku malu Gus.. ucap Lisa dengan wajah merah sambil memegang tangan gue berjalan ke ruang tengah.
Santai aja, ada Mba Rai juga didalem nanti buat nemenin kamu ngobrol. Dan yang pasti Ayah sama Bunda Aku ada juga jawab gue memasang wajah meledek Lisa
Yah, Bun, semuanya. Ini kenalin, Lisa. Ucap ke saat masuk ke ruang tengah mengenalkan ke keluarga gue.
Lisa mengitari keluarga gue dan menyalami satu per satu. Nyokap gue yang terlihat paling senang. Dia memeluk dan mencium pipi Lisa. Orang tua gue emang udah gue ceritain tentang selesainya hubungan gue dengan Liana saat mereka menelpon gue beberapa waktu yang lalu, jadi ga ada yang bingung dengan sosok Lisa yang baru mereka lihat. Yang ada malah terkagum-kagum dengan kecantikan Lisa. Hasilnya, gue yang diolok-olok dengan meledek kenapa Lisa bisa mau sama gue.
Gus, yang lama kemana" tanya om gue saat gue kembali ke teras depan meninggalkan Lisa yang sedang mengakrabkan diri diruang tengah.
Gue tuker tambah jawab gue singkat sambil duduk dan meneguk sisa sirup gue.
Hahaha gitu lah cowok jaman sekarang jawab om gue sambil tertawa. Gue cuma membalas dengan ekspresi menggerutu. Lo pada ga tau aja sebenernya gue yang diputusin. Gumam gue dalam hati.
Sayang, disuruh makan dulu sama Bunda ucap Lisa dari balik pintu hanya memunculkan kepalanya, yang kemudian gue langsung datangi. Om dan abang gue hanya senyum mendengarnya.
Kamu cantik banget hari ini bisik gue ke Lisa saat berjalan ke ruang tengah
Emang biasanya enggak" Tanya Lisa sambil memasang wajah cemberut.
Biasanya cantik, tapi hari ini cantik banget Jawab gue sambil mencubit pipinya yang kemudian dibalas dengan cubitan di perut gue.
Hari itu, bukan sekedar lebaran pertama gue dengan Lisa, tapi juga lebaran pertama gue dengan sosok lain selain Liana. Keluarga gue pun sangat menerima Lisa, walaupun mereka sempat memberondong Lisa dengan pertanyaan dan mengetahui Lisa non-muslim. Lisa yang orangnya memang sangat mudah berbaur membuat dia cepat akrab dengan keluarga gue, bahkan ada satu sepupu gue yang masih kecil bernama Aryo, selalu menempel di gendongan Lisa, sampe ga mau diajak pulang sama Ibu Bapaknya yang membuat keluarga gue jadi tertawa melihat tingkahnya.
Gue sangat mengapresiasi usaha Lisa untuk berbaur dengan dunia gue. Dia emang pinter menempatkan diri. Sebenernya, kalo dia mau pake kaos atau pakaian biasa aja saat lebaran ke rumah gue rasanya masih fine-fine aja. Tapi Lisa sampe beli baju dan jilbab gitu dan gue makin terpesona, dan tentu saja hal itu sangat berhasil membuat Lisa mencuri perhatian keluarga gue.
Lisa #4 Seiring berjalannya waktu, gue dan Lisa semakin terbiasa menghabiskan waktu berdua. Sepulang kerja gue selalu jemput dia terus kadang main ke kos nya sampe lewat tengah malam. Ada aja yang bikin kita seru berdua sampai ga ingat waktu, entah main ular tangga lah, sekedar tiduran sambil baca novel masing-masing lah, atau sekedar ngobrol-ngobrol di teras kecil depan kamar kos Lisa. Hampir tidak ada yang namanya konflik berarti dalam hubungan gue sama Lisa saat itu di hubungan kami. Konflik berarti yang gue maksud mungkin kaya sebuah pertengkaran sampai membuat hubungan kita renggang, hal itu ga pernah kami temuin. Mungkin karna kalau orang bilang, awal sebuah hubungan memang lagi manis-manisnya.
Tapi, Lisa itu orang yang sangat cemburuan. Dia juga agak melarang gue untuk dekat dengan Felicia, walaupun saat dikantor gue tetep ngobrol biasa sama Felicia.
Sekitar bulan Oktober, gue dikasih handphone BlackBerry sama Ko Hendri, sebagai fasilitas komunikasi dari kantor. Karna itu, handphone gue yang biasa gue pakai jadi dipakai Lisa, buat sekedar main game atau streaming youtube dan film-film korea. Tapi suatu hari, gue penasaran kenapa handphone gue udah ga pernah keliatan digunakan lagi sama Lisa, akhirnya gue menanyakan keberadaan handphone itu ke Lisa saat kami lagi bersantai di kamar kos nya.
Lis, handphone sam**ng aku mana" Kok ga pernah keliatan" tanya gue ke Lisa dari depan pintu kamarnya saat duduk menikmati segelas kopi sambil merokok, serta menikmati semilir angin malam yang cukup cerah.
Ga ada. Aku jual Lisa menjawab santai dengan posisi duduk diatas kasur bersandar dengan tumpukkan bantal sambil membaca sebuah buku novel.
Hah" Dijual" Dijual kemana" gue bertanya kaget
Ke si Fitri, staff ku di cabang jawab Lisa masih santai dan ga melepas pandangannya dari novel yang sedang dia baca.
Kok dijual" Kamu jual batangan"
Enggak, sama kardusnya Lah. Kan kemaren terakhir aku maen kerumah kamu itu aku bawa kardus handphone sama chargernya dari kamar kamu
Lah, terus kenapa dijual" Katanya kamu pinjem buat main game.
Biarin, aku ga suka handphone itu udah pernah dipegang sama cewek lain jawab Lisa sambil melotot kearah gue, merujuk nama Felicia yang pernah gue titipin handphone saat main futsal dulu, entah dia tau darimana. Gue hanya menepuk jidat sambil geleng-geleng mendengar jawaban Lisa, kemudian senyum-senyum sendiri melihat wajah Lisa yang cemberut. Ini anak ada aja tingkahnya, gumam gue dalam hati.
Gue sempat memprotes keputusan Lisa yang menjual handphone gue. Sebenernya dia jual dengan harga normal, Cuma gue protes karna dia ambil keputusan tanpa ngomong sama gue. Dan Lisa hanya merespon dengan memberikan sebuah flashdisk ke gue.
Uang penjualan hpnya aku pegang dulu, aku mau buat beli Tab aja biar rada gede buat nonton film-film korea. Data-data di hp kamu udah aku pindahin ke flashdisk ini. Kontaknya udah aku backup ke akun gmail. Tapi foto-foto dan kontak cewek itu aku apus. Kamu ga usah keganjenan deh nyimpen foto dia segala ucap Lisa dengan wajah cemberut.
Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gue hanya mengangguk sambil cengengesan mendengar ucapan Lisa dan menerima flashdisk tersebut. Kemudian mencoba membuka akun gmail dari hp buat melihat isi kontak gue untuk disalin ke handphone yang gue pakai saat ini. Lisa masih asik melanjutkan membaca novel sambil menikmati cemilan beberapa snack chiki. Gue sebenernya heran, biasanya cewek ga suka ngemil malem, tapi Lisa santai aja ngemil malem tiap hari, dan badannya tetep ga terlihat gendut, malah semakin menggoda. Halah.
Oiya Lis. Kamu punya nama chinese" tanya gue ke Lisa sambil menyalin kontak di handphone gue.
Punya. Kenapa" Siapa namanya" xxx xxAN CHING Hah" Apa tuh artinya"
Mana aku tau. Kenapa sih emang" Pasti abis ngobrol sama Hendri terus dia ngasih tau nama chinese nya dah, iya kan"
Hehehe iya, Ching. Tau aja jawab gue meledek.
Jangan panggil Ching doang, aneh kedengerannya ucap Lisa sambil merengek manja.
Hahaha, oh iya. Aku tau panggil apa
Apaa" Jangan aneh-aneh deh
Angchimo jawab gue meledek. Membolak balik dan menyingkat serta menambah dan mengurangi nama panjang chinese nya Lisa.
Apaan artinya" Gak tau, pokoknya aku panggil Angchimo jawab gue sambil meledek dan direspon dengan wajah manyun Lisa. Serius deh, wajah manyun Lisa itu malah bikin gemes, bukan bikin gue jadi merasa bersalah. Makanya gue suka ngeledek dia sampe dia manyun, kemudian mencubit gemes pipinya.
Lisa #5 Suatu sore pertengahan bulan Desember, ditengah badai pekerjaan yang belum terlihat mereda, handphone gue berdering menandakan panggilan masuk, nama angchimo tertulis di layar. Gue segera menjawab.
Kenapa angchimo" Sayang, aku mau resign aja ya ucap Lisa dari ujung telepon dengan suara terisak.
Resign" Emang kenapa" Ini kamu kenapa kok nangis"
Aku mau resign, aku muak sama orang-orang sini
Iya, tapi alesannya apa" Kenapa tau-tau mau resign"
Aku Cuma mau minta cuti biar bisa natalan dirumah. Dari akhir November aku udah ajuin. Eh malah barusan dari HRD surat cuti aku dibalikin
Alesannya apa kok bisa dibalikin"
Ga tau. Ada tanda tangan Tya dan keterangan tidak disetujui karna alasan operasional'. Aku telepon Tya, dia bilang atasan operasional ga setuju kalo ada orang operasional yang izin cuti di libur natal dan tahun baru. Berengsek banget itu orang Lisa bercerita dengan nada kesal sambil terisak.
Lho" Ya kamu berarti ga dapet izin dari orang-orang operasional, bukan dari Tya. Gue menjawab untuk menengahi.
Enggak, Tya nya yang emang dari awal udah ngancem ga bakal setujui izin cuti liburan natal dan tahun baru. Dia bilang sendiri kok ke staf-staf aku di cabang. Aku tetep ajuin karna manager area aku setuju sama izin cuti aku
& .. gue ga menjawab karna mencoba mencerna omongan Lisa, dan bingung sama alasan Tya kenapa menolak izin cuti orang yang mau merayakan hari raya nya, toh sudah dapet persetujuan dari atasan langsung.
Di kantor gue, ga peduli libur nasional sekalipun, operasional tetep berjalan. Kita yang di kantor pusat emang jam kerja nya lebih bersahabat, sabtu dan minggu Libur, ada cuti bersama saat lebaran, dan hari libur nasional tentu saja kita libur. Tapi hal itu ga berlaku buat orang-orang yang terlibat di operasional, setinggi apapun jabatannya. Tapi gue rasa yang namanya cuti itu hak karyawan, harusnya ada toleransi sedikit lah, apalagi alasannya jelas, karna merayakan hari raya, asal disetujui atasan langsung harusnya HRD ga berhak menolak.
Orang-orang di HRD emang kayanya ga suka sama aku Gus, aku udah males kerja kalo berbenturan sama HRD. Kalo sama orang-orang operasional aku bisa keras, tapi kalo sama HRD, kalo aku keras juga, nanti cabang aku yang kena imbasnya. Aku mau resign aja. Mereka udah ga bisa professional dalam bekerja ucap Lisa sambil menahan tangisannya.
Gue mengiyakan dan menutup telepon tersebut. Gue ga bisa bohong bahwa saat itu gue jadi tersulut emosi, apalagi denger Lisa nangis. Gue aja selama ini berusaha banget buat ga bikin dia nangis. Dan kelakuan orang-orang HRD emang makin anehaneh aja akhir-akhir ini dan gue merasakan itu. Gue awalnya ga begitu menanggapi karna kalo kata Ko Hendri mereka Cuma iri aja lihat gue bisa jalanin sama Lisa sedangkan malah mensia-siakan Felicia yang dalam hal ini juga bagian dari team HRD.
Gue meninggalkan meja kerja dan bergegas naik ke ruangan HRD. Gue langsung masuk ke ruangan Tya tanpa basa basi.
Ya. Alesannya apa kok izin cuti Lisa lo tolak" tanya gue dengan nada sedikit tinggi saat berhadapan dengan Tya didepan meja nya.
Lah" Ngapain lo ikut campur urusan cuti karyawan" Tya menjawab dengan nada kesal
Gue ga peduli kalo urusan cuti orang lain. Gue nanyain izin cuti nya Lisa
Yaa Lisa cuti ga disetujuin sama atasan operasional kok. Jelas aja ga gue approve. Lagian udah ada internal memo nya, operasional tetep berjalan saat libur natal dan tahun baru
Enggak, Lisa ngajuin cuti karna udah dapet persetujuan dari manager area nya
Bukti nya mana" Bahkan manager area nya ga mau tanda tangan di form cuti Lisa. Lagian lo kenapa sih" Jangan cuma karna dia pacar lo terus lo belain gitu dong.
Ya jelas gue bela. Sikap lo sama team lo ini makin lama makin keliatan banget ga suka sama Lisa. Salah dia apa" Kalo lo ga suka sama gue, ngomong depan kepala gue, jangan malah nyudutin Lisa. Gue kali ini membentak dan meninggalkan ruangan Tya.
Di luar ruangan, para team HRD melihat ke arah gue, mungkin karna keributan yang gue bikin membuat mereka penasaran. Gue sempet melihat Felicia yang Cuma menatap gue dengan wajah kecewa sambil geleng-geleng kepala. Bodo amat, gue bahkan ga menanggapi reaksi dia dan kemudian berjalan cepat kembali ke meja kerja gue.
Jam menunjukkan pukul 6 sore saat gue sedang membereskan meja kerja bersiap pulang. Rini sempat memberitahu bahwa tadi Ko Hendri menelpon mencari gue. Gue mengacuhkan karna beranggapan Ko Hendri Cuma ngajak ngopi diruangannya seperti biasa.
Gue langsung turun kebawah. Didepan kantor, gue melihat ada Heri dan Rendi yang sedang asik menikmati kopi hitam sambil menghembuskan asap rokok ke udara.
Ngopi dulu Bags, lo mau langsung jemput nyonya ya" tanya Rendi menyapa saat gue lewat.
Enggak, ntar malem gue jemputnya. Sevel aja yuk jawab gue sambil terus berjalan melewati Heri dan Rendi.
Yee ini si kunyuk maen jalan aja. Masa gue bawa-bawa gelas plastik begini ke sevel gerutu Heri sambil berjalan mempercepat langkahnya mengikuti gue yang kemudian disusul Rendi.
Di minimart 7-11, Gue, Rendi, dan Heri mengambil beberapa botol kecil bir dingin dan setumpuk cemilan hasil inisiatif Rendi. Setelah itu kami memilih tempat duduk dibagian luar. Dan mengobrol bercanda seperti biasa. Tidak lama kemudian Ko Hendri datang dan duduk bergabung dengan kami.
ini nih yang bikin Indonesia makin deket ke jurang degradasi moral. Anak muda nya pada nongkrong mabok-mabokan begini ucap Ko Hendri meledek cengengesan sambil menuang botol bir ke gelas karton dan meneguknya. Kami hanya merespon dengan wajah meledek melihat tingkah Ko Hendri.
Bags, lu tadi gue ajak ngopi malah lagi ga ditempat kata Rini lanjut Ko Hendri sambil mengelap sisa bir dimulutnya dengan telapak tangannya.
Iya, lagian tanggung udah mau pulang lo baru ngajak ngopi gue menjawab sambil menyulut rokok.
Tadi lu kenapa di ruangan HRD" Ko Hendri bertanya sambil menatap gue
Oh, enggak. Cuma soal izin cuti Lisa. Lo pasti udah tau lah
Iya, tapi lu orang ga bisa kaya gitu lah Bags. Itu kan emang&
Mereka yang harusnya ga bisa kaya gitu Ko. Profesional dikit lah, gue tau mereka jadi ga suka sama gue gara-gara soal Felicia. Tapi ga usah jadi mempersulit Lisa jawab gue memotong ucapan Ko Hendri.
Ko Hendri mengangguk-angguk sambil tersenyum, seperti sedang berusaha memilih kata yang tepat untuk dibicarakan. Sementara Heri dan Rendi hanya menyimak sambil memandangi gue dan Ko Hendri bergantian.
Bags, kita ini udah terbiasa bekerja dengan cara kekeluargaan. Sedikit kurang professional rasanya ga masalah deh. Cuma tetep lu orang ga pantas bersikap kaya tadi ucap Ko Hendri dengan tenang.
Oh ya" Kekeluargaan" Yang saat salah satu temennya dikecewakan terus jadi memusuhi orang lain, bahkan sampe urusan kerjaan dibawa-bawa" Itu bukan sedikit kurang professional tapi jauh dari kata profesional Ko gue menjawab kesal
Terus menurut lu sikap lu tadi profesional, hah" Lo bikin ribut diruang HRD. Ngebentak Tya yang notabene seorang manager HRD. Dan gue juga bisa aja Bags manggil lu dan kasih surat teguran buat lu karna kelakuan lu tadi. Tapi apa" Gue malah gabung kesini, minum bareng lu orang semua, dan ngomongin hal ini sebagai seorang temen jawab Ko Hendri dengan tenang.
Gue ga bisa menjawab. Gue mengakui kebodohan gue kali ini. Tersulut emosi dan bertindak diluar batas. Bener kata Ko Hendri, dia bisa aja kasih surat teguran, atau bahkan surat peringatan langsung dari Tya karna gue udah bentak dia dan bikin keributan di kantor. Heri dan Rendi pun terlihat mengangguk-angguk menyetujui ucapan Ko Hendri.
Bags, Tya marah banget sama kelakuan lu tadi. Dia bilang mau kasih surat peringatan ke lu dan minta tanda tangan gue sebagai atasan lu tanda menyetujui. Ucap Ko Hendri.
Tapi gue bilang sama Tya, ini urusan pribadi. Biar gue coba omongin sama Lu orang, gue tau lu orang Cuma mau ngebelain pacar lu yang nenurut lu dirugikan dalam hal ini. Tapi, coba lu contoh cara gue sekarang, cara gue membela pacar gue yang lu bentak bukan dengan cara kasih kerugian dalam hal pekerjaan ke lu orang, gue lebih suka segala sesuatu diomongin baik-baik kaya gini. Lanjut Ko Hendri sambil memegang pundak gue.
Gue, Heri, dan Rendi serempak melihat kearah Ko Hendri. Mempertanyakan kata membela pacar' yang artinya dia sama Tya sudah pacaran.
Lo pacaran Ko, sama Tya" tanya Heri dan Rendi hampir bersamaan, yang dijawab dengan anggukan dan senyuman dari Ko Hendri.
Lisa #6 Malam hari nya, gue menjemput Lisa dan mengantarnya langsung ke kos nya. Lisa tidak banyak bicara, bahkan bersenandungpun tidak. Gue yang mencoba mengajaknya ngobrolpun tidak dihiraukan. Di kos nya, Lisa hanya tiduran sambil membaca sebuah novel dan menikmati cemilan. Gue duduk didepan pintu sambil menikmati segelas kopi dan merokok.
Aku mau pulang ke Surabaya ya Gus ucap Lisa memecahkan keheningan.
Kapan" gue mematikan rokok dan duduk mendekat ke Lisa.
Nanti habis resign. Aku natalan disini aja gapapa. Setelah resign aku pulang jawab Lisa dengan nada sedih.
Lah" Pulang seterusnya" Ga balik lagi"
Ga tau. Nanti aku tetep ngelamar kerja dari sana. mudah-mudahan dapet kerja disini lagi. Ucap Lisa sambil menutup buku novelnya dan duduk dipinggir kasur, sementara gue duduk di lantai bersandar pinggiran kasur.
Gue bingung harus jawab apa. Gue memutar otak memilih-milih kata yang tepat untuk disampaikan.
Tapi aku ga mau jauh dari kamu Gus ucap Lisa sambil memeluk gue dari belakang.
Gapapa, kamu pulang aja. Nanti sesekali aku main kesana. Jawab Gue menghibur Lisa
Kamu ga berat ya jauh dari aku"
Bukan gitu. Aku justru gamau tetep maksain kamu disini sementara disinipun kamu ga tau mau ngapain
Kali ini Lisa yang tidak menjawab. Dia hanya diam sambil menyandarkan kepalanya di pundak gue, masih dengan posisi memeluk gue dari belakang.
Atau, kamu mau tetep disini aja sambil tetep cari-cari kerja" gue bertanya ke Lisa membuyarkan lamunannya.
Kalo Mama tau aku ga kerja pasti aku disuruh pulang Gus. Apalagi Koko, dia emang udah lama banget nyuruh aku pulang buat kerja di Surabaya aja.
Yaudah, ga perlu bilang lagi ga kerja gue menjawab santai sambil cengengesan.
Nanti uang bulanan buat Mama gimana"
Eh" Kamu tiap bulan kirim uang ya"
Iya lah. Jawab Lisa singkat sambil mencubit perut gue.
Aku masih ada tabungan sih buat bertahan hidup beberapa bulan dan tetep kirim uang ke mama. Tapi nanti pengeluran lain gimana ya" lanjut Lisa.
Gini deh, pengeluaran bulanan kamu apa aja sih" gue bertanya sambil melepas pelukan Lisa dan menarik Lisa turun dari pinggir kasur. Kami duduk saling berhadapan.
Ya buat makan sehari-hari, beli keperluan buat di kos kaya sabun, air minum, dll. Terus bayar kos, terus kirim uang ke Mama, terus perpuluhan gereja. Jawab Lisa sambil menggoyang-goyangkan jarinya tanda sedang berhitung
Perpuluhan" gue bertanya bingung
Perpuluhan itu, kita sumbang 10% penghasilan kita ke gereja Lisa mencoba menerangkan.
Wajib ya" Ya enggak juga, kaya amal gitu Gus. Cuma ya sebisa mungkin aku ga mau lewatin itu. Karna itu sebagai ucapan terima kasih atas rezeki kita dari Tuhan, yang nantinya digunakan buat keperluan2 gereja atau dibagikan ke orang yang kurang beruntung.
Gue mengangguk-angguk mencoba memahami. Mungkin kalo dalam islam seperti zakat 2.5% atau yang biasa disebut zakat profesi, bagi orang yang berpenghasilan. Tapi ini nominal nya 10%" Lumayan juga pengeluaran segitu. Gue salut sama Lisa yang memang gaya hidupnya sangat jauh dari kata mewah, meskipun dia punya jabatan dan gaji yang lebih dari cukup. Dan dia selalu menyisihkan 10% penghasilannya itu.
Berarti kalo ga kerja ga perlu keluarin 10% itu kan" tanya gue ke Lisa.
Harusnya sih enggak. Tapi aku ga pernah ga ngeluarin perpuluhan itu semenjak kerja dari lulus SMA. Rasanya pasti aneh aja kalo ga bayar perpuluhan, kaya ada hutang Yaudah, sementara nanti kalo ga kerja ya ga usah dulu aja. Kan kamu mau tetep kirim uang ke mama, yang lain-lain nanti aku bantu. Kamu resign aja, tapi sambil cari-cari kerja lain jawab gue sambil mengusap-usap kepala Lisa yang disambut dengan senyuman.
Tahun itu, Lisa melewati natal pertama nya bareng gue. Ga ada perayaan spesial memang, gue Cuma mengantar dia beribadah malam natal ke gereja, kemudian menemani dia saat harus bekerja di hari natal. Untungnya ga ada rasa kecewa di wajah Lisa, dia menikmati pekerjaannya di hari natal itu. Sementara saat tahun baru, Lisa kerumah gue dan ikut acara bakar-bakaran bareng abang gue, istrinya, dan beberapa teman-teman gue. Bukan sebuah perayaan yang mungkin diharapkan oleh Lisa. Hanya sekedar melewati waktu berdua.
Januari 2014, setelah selesai libur tahun baru. Semua balik lagi ke rutinitasnya masingmasing. Gue mulai bertarung lagi dengan tumpukan-tumpukan kerjaan, Lisa menjalankan hari-hari terakhirnya sambil sesekali mendatangi beberapa panggilan interview dari tempat yang dia lamar.
Sampai pada sore hari di pertengahan Januari, gue seperti biasa lagi asik ngopi bareng Ko Hendri diruangannya.
Bags, minggu depan lo bisa ke cabang yang di Bali ga" tanya Ko Hendri sambil menyeruput kopi panas yang baru gue buat.
Emang ada apaan Ko" Terus tumben gue yang lo suruh. Rini kemana"
Rini minggu ini kunjungan ke cabang Pekanbaru. Cuma kunjungan biasa aja, lo periksa bukti semua transaksi disana, pasti bisa dah
Yaudah atur aja Ko. Gue mah apa kata lo
Yaudah, nanti Surat Dinas sama tiket nya gue kasih ke meja Lo. Sementara lo siapin aja keperluan yang mesti dibawa. Laptop kantor minta ke bagian IT. Senen depan ya lo jalan, seminggu lah disana.
Siap Ko. Atur aja gue menjawab santai menyanggupi tugas pertama kali dikirim ke cabang luar kota, luar pulau malah.
Malamnya, gue mengabari Lisa tentang tugas gue tadi saat main ke kos nya. Lisa sedikit kaget dengan keputusan gue menerima tugas tersebut.
Emang harus kamu yang berangkat" Buat apa ada Rini" protes Lisa saat mendengar cerita gue.
Rini ke Pekanbaru. Ya siapa lagi mau jalan" Staff lainnya ga bakal dipercaya sama Ko Hendri
Ya Hendri aja harusnya jalan sendiri, kenapa kamu malah nyanggupin" Senen depan itu hari terakhir aku keja Gus Lisa merengek menyalahi keputusan gue.
Yailah terus kenapa kalo hari terakhir kerja" Lagian aku Cuma seminggu doang gue mulai sedikit kesal dengan rengekan Lisa.
Mau seminggu, mau Cuma sehari, apa susahnya sih nolak tugas itu" Kamu yang nyuruh aku disini aja walaupun berhenti kerja, kamu bilang mau nemenin. Mana" Malah pergi ninggalin seminggu enak-enakan ke Bali. Jawab Lisa masih merengek dan merebahkan badannya ke kasur.
Enak-enakan" Aku kesana kerja, bukan liburan. Lagian emang selama ini aku pernah ninggalin kamu" Aku Cuma mau pergi sebentar karna tugas dari kantor aja dibilang ninggalin kamu sendiri. Gue meninggikan nada suara gue dan keluar dari kamar kos Lisa. Gue memutuskan buat pulang. Gue ga bisa kalo tetep disana nanti malah makin terjebak emosi.
Kuta #1 Gue akhirnya tetep berangkat karna emang ga mungkin membatalkan sepihak tugas yang udah dipercayakan ke gue. Lisa pun akhirnya menyetujui karna sadar ga bisa merubah keputusan itu.
Senin pagi pertengahan Januari 2014, gue bangun sedikit kesiangan yang akhirnya bikin gue buru-buru buat langsung ke Bandara. Gue sempet mengecek handphone ada 1 missed call dari nomer tanpa nama dan 1 whatsapp dari Ko Hendri.
Bags, nanti lu jangan lupa ke kantor dulu paling telat jam setengah 6, berangkatnya bareng team lain dianter driver kantor
Gue segera membalas whatsapp dari Ko Hendri.
Sorry Ko, gue kesiangan. Kayanya ga keburu kalo ke kantor dulu, gue langsung ke bandara aja
Yaudah, naik taksi aja. Nanti uangnya di reimburse.
Ga usah Ko, gue naek Damri aja. Sama aja kok malah lebih cepet kayanya.
Atur aja Bags, jangan telat.
Gue bergegas ke daerah Pasar Minggu buat mencegat Damri menuju ke Bandara. Gue sempet mengabari Lisa sebelum berangkat dan dia Cuma berpesan seperti biasa, Ati-ati, jangan lupa doa sepanjang jalan .
Sampai di Bandara, gue langsung masuk gate pemumpang terminal 3 buat segera check in. tapi karna jam boarding di tiket dan jam saat itu masih selisih sekitar sejam, gue memutuskan keluar ke ruang tunggu setelah check in, lumayan bisa ngopi-ngopi dulu.
Gue dikejutkan satu sosok wanita yang sangat gue kenal, sedang duduk di ruang tunggu sambil memasang headset di telinga nya, bareng beberapa orang temen kantor gue yang sepertinya bagian dari team untuk kunjungan ke cabang hari ini. Gue berjalan mendekat kemudian duduk disampingnya.
Boarding masih sejam lagi kan" tanya gue basa basi sambil memasang senyum ke wanita tadi dan 3 orang temen kerja gue yang lain.
Bagus" Kok lo ikut juga" Bukan Rini" tanya Felicia kaget sambil melepas headsetnya.
Rini ga jadi ikut, dia nyuruh gue nemenin lo disana katanya, gue mah nurut aja jawab gue bercanda sambil cengengesan.
Aah bohong, Baguusss& Ucap Felicia gemas sambil mencubit perut gue.
Entah hanya kebetulan atau emang udah di rancang sama Ko Hendri, yang pasti gue seneng banget, bisa kerja sambil liburan bareng Felicia. Dan kali ini gue harus bohong sama Lisa saat ditanya siapa aja team yang berangkat, gue ga bilang ada perwakilan dari HRD. Mungkin ini yang disebut White Lie', kebohongan demi menghindari konfrontasi berkepanjangan dengan Lisa.
Di pesawat, gue dapet duduk bersebelahan dengan Felicia. Ini murni kebetulan, karna gue ga check in pesawat bareng dia. Mungkin emang isi semesta udah pada berkonspirasi buat menyatukan gue dengan Felicia.
Sebelum terbang, gue menelpon Lisa untuk sekedar mengabari. Kemudian mematikan handphone dan menyimpannya di tas. Selama penerbangan, Felicia ga mengizinkan gue tidur, padahal mata gue masih berat banget karna harus bangun lebih awal. Felicia selalu menemukan cara buat ganggu gue saat mata gue mulai terpejam. Jadilah gue meladeni dia bercanda, yang malah bikin seisi pesawat merasa terganggu dan menoleh kearah kita, bahkan sampe pilotnya juga. Oke enggak, itu becanda.
Sampai di Bali sekitar jam 11 siang, kami langsung menuju kantor cabang dengan mobil jemputan yang udah disiapkan. Gue juga sempet menyalakan handphone buat mengabari Lisa. Seharian gue disibukkan memeriksa seluruh transaksi cabang, Felicia dan teman-teman yang lain juga melakukan tugasnya masing-masing. Jam 6 sore, kami sudah menyelesaikan pekerjaan hari itu dan langsung menuju sebuah hotel di daerah Legian. Setelah check in dan berbagi kamar, gue langsung menuju kamar gue buat mandi, dan merebahkan diri di kasur. Kami menginap di 3 kamar, Felicia dengan temen kantor gue yang juga perempuan. 2 orang temen gue berbagi kamar, sedangkan gue sendiri, tapi dengan kamar yang sedikit lebih kecil.
Panggung Kematian 2 Goosebumps - Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan Cewek 5
Yaudah, ayok ngbrol. Cerita dong Gus ucap Lisa sambil menopang dagu nya dengan kedua tangan yang disandarkan diatas meja.
Cerita apaan" Eh, justru gue mau nya denger cerita lo. Cerita dong, lo dari Surabaya kan" Kok bisa nyari kerja kesini" gue melontarkan sebuah pertanyaan, pertanyaan yang klasik sebenarnya.
Udah 6 taun kali Gus gue di Jakarta. Lu kan anak baru berapa bulan di kantor sedangkan gue udah setahun lebih kerja disana. Gue juga bukan dari Surabaya, iya keluarga gue emang di Surabaya, tapi gue lahir dan sekolah sampe SMP di Makassar, masuk SMA baru deh di Surabaya.
Ooh, lo orang Makassar. Kirain asli Surabaya.
Enggak, gue asli Makassar. Dulu waktu Makassar rusuh sama orang-orang yang kelewat batas, gue sama nyokap, adek, dan Koko-koko gue kabur ke Surabaya
Kabur" Emang ada apaan" tanya gue penasaran. Sepertinya Lisa sudah mulai nyaman buat berbagi cerita dengan gue.
Ya bukan kabur sih, pindah. Demi menghindari kerusuhan dulu. Emang lo belom lahir waktu kerusuhan 98"
Yee, udah lah. Emang di Makassar juga ya" Gue kira di Jakarta doang. Terus, kok Bokap lo ga ikut pindah"
Lisa kali ini tidak langsung menjawab. Dia meminum air mineral yang dia keluarkan dari tas nya, sebuah botol plastik berukuran besar, mungkin 1.5 liter, kemudian memasukkan kembali botol minuman itu dan kembali menatap gue.
Sorry Lis kalo gue nanya nya kelewatan, ga usah dijawab. Ucap gue sambil menyandarkan tubuh ke sandaran kursi.
Bokap gue bajingan Gus, orang paling berengsek yang pernah gue kenal.. ucap Lisa sambil masih menatap gue, dengan raut wajah yang mulai menyiratkan rasa sedih.
Lis, santai aja. Lo ga perlu ceritain kalo....
Orang berengsek itu justru kabur ke Jakarta. Disaat dia harusnya ada buat melindungi keluarga nya, dia malah kabur ke Jakarta datengin selingkuhannya. Dia malah lebih khawatir selingkuhannya kenapa-apa daripada istri dan anak-anaknya sendiri Lisa melanjutkan ceritanya, memotong omongan gue.
Lisa bercerita dengan menahan genangan air mata. Gue cuma bisa mengambil dan mengusap-usap punggung tangannya diatas meja. Gue jadi merasa bersalah karna bertanya terlalu jauh. Gue merasa ga pantas buat bikin Lisa kembali mengingat masa lalu nya, apalagi sampe menggenangkan air di sudut matanya.
Lisa memandang kosong kearah gue. Terlihat jelas genangan air di mata nya, yang sesekali tumpah membasahi pipi nya. Gue mencoba mendekatkan posisi duduk menghadap kearahnya sambil mengusap pipinya yang basah.
Gus, nanti, saat lo jalanin hubungan sama orang, jangan pernah selingkuh lagi ya kaya dulu. Sekarang lo ngerasain kan gimana sakitnya ditinggalin" Tapi lo ga pernah tau gimana rasa nya di selingkuhin. Gue pernah rasain gimana sakitnya ditinggal Gus, sama bokap gue sendiri, saat gue dan keluarga gue dikelilingi rasa takut. Tapi nyokap gue pasti lebih sakit lagi, harus nerima kenyataan suaminya pergi ninggalin dia yang malah berlagak jadi pahlawan buat selametin selingkuhannya.. ucap Lisa yang kali ini yang ga bisa membendung air mata nya. Semua tumpah tanpa rasa ragu, melepas beban yang selama ini dia simpan sendiri.
Biasanya, tiap kali orang nanya tentang bokap gue, gue selalu bilang Bokap gue udah mati Gus. Gue ga perduli apapun lagi tentang dia yang udah menelantarkan keluarga gue, udah bikin nyokap gue berjuang sendiri ngurus 4 orang anaknya, belum lagi kadang gue dapet hinaan dari orang-orang saat gue cari tambahan uang jajan dengan jualan jagung bakar di depan gereja. Ada yang Cuma senyum ngehina, ada yang sampe bilang Cina ga punya toko, jualan jagung didepan gereja'. Gue benci bokap gue Gus. Dia udah nyakitin nyokap gue, yang sedikit banyak ngebentuk diri gue yang sekarang, yang ga mau terlalu deket sama orang lain..
.... Gue Cuma bisa mendengarkan dan menyimak semua kata yang Lisa ucapkan.
Gue selalu merasa selama ini gue hidup sendiri. Berapa tahun gue di Jakarta sejak lulus sekolah, ga pernah gue deket sama banyak orang, semua Cuma sekedar kenal sebagai temen kerja. Baru saat Lo, Hendri, Heri, sama Rendi sering ngajak nongkrong aja makanya gue mulai bersosialisi lagi sama orang lain. Yang tadinya gue pilih-pilih banget dalam bertemen, sampe jadi ngerasa nyaman dan aman kalo sama kalian. Kalian ga pernah lupa kalo lagi nongkrong pasti ngehubungin gue buat ngajak gabung, malah sampe mau-maunya jemput gue, dan bertanggung jawab gantian nganter gue pulang. Lanjut Lisa dengan isak tangis yang berusaha dia redam.
Lisa, sosok wanita keturunan, seorang gadis chinese cantik, putih, dan memiliki senyum lembut yang bisa membuat semua orang rela jatuh dalam kekaguman tanpa bisa memilikinya, ternyata memiliki sebuah cerita yang ga pernah gue sangka. Dibalik tawa nya yang terkesan sesuka hati tanpa kenal waktu dan kondisi, dibalik sikap egois nya dalam menilai dan memusuhi orang yang dia ga suka cuma karna hal sepele, dibalik tingkahnya yang kadang bikin orang geleng-geleng kepala saking gemasnya, dia ternyata sosok perempuan tegar yang menyembunyikan kesedihan mendalam dari cerita hidupnya.
Sebelum kau tidur Gue merebahkan diri di kasur kesayangan gue sekitar jam 3 pagi. Setelah obrolan dengan Lisa tadi, perasaan gue jadi campur aduk. Di satu sisi gue kasian sama Lisa, ada rasa pengen selalu ngejaga dia, ga ngebiarin orang lain nambahin rasa sakit yang selama ini dia bawa kemana-mana. Bahkan mungkin Cuma dalam tidurnya dia bisa melupakan sejenak kekecewaannya sama sosok seorang ayah yang mengkhianati keluarganya. Yang membuat Ibunya menjadi seorang single fighter menghidupi 4 orang anak, termasuk Lisa.
Sepanjang perjalanan mengantar Lisa pulang tadi, dia ga ngomong sama sekali. Gue pun mengakui bahwa gue cukup bodoh dalam hal mencairkan suasana. Gue juga baru menyadari bahwa ternyata udah lama banget gue lupa cara bersosialisasi sama orang lain. Selama ini gue Cuma bersosialisasi sama seorang wanita bernama Liana, dan berteman dekat dengan teman-teman dari masa kecil gue, Anwar salah satunya, dan teman-teman deket yang gue kenal dari SMA seperti Ryan. Dan gue pun mengamini ucapan Lisa bahwa gue sendiri juga ga punya banyak teman dekat, Cuma sekedar kenal sebatas teman kerja, itupun dari sejak lulus kuliah tahun lalu, gue udah 3x pindah kerja yang Cuma gue jalani dengan hitungan beberapa bulan.
Mungkin benar kata The Script dalam Lyrics lagu Breakeven nya, Bad things happen for a reason. Tanpa gue sadari, selepas perpisahan gue dengan Liana, gue mulai membuka diri dengan orang lain, main kesana kemari tanpa perlu punya alasan. Gue yang dulu mungkin akan mencak-mencak kalo disuruh menempuh jarak dari rumah ke Puri Indah Cuma buat jemput anak orang. Gue yang dulu mungkin langsung pulang kerumah selepas bertarung ria dengan tumpukan pekerjaan di kantor. Tapi semua perlahan berubah sejak negara api menyerang, eh, maksudnya sejak gue ga lagi terikat hubungan dengan cewek manapun. Gue bukan menikmati kebebasan ini, gue baru memahami arti bersosialisai, bahwa dunia gue ga harus melulu tentang impian-impian menikah muda dengan orang yang gue sayang, bullshit.
Handphone gue bergetar singkat dalam profile silent, gue membuka sebuah pesan whatsapp yang baru saja masuk dari Lisa,
Gus, obrolan tadi cukup lo aja ya yang tau. Dan lo juga jangan jadi berubah sikap ke gue, gue Cuma sekedar cerita, bukan minta dikasihani, juga jangan jadi ngecap jelek ya. Goodnight Gus, jangan lupa doa sebelom tidur
Gue tersenyum membacanya dan kemudian membalas pesan tersebut,
Santai Lis, next time kalo mau cerita gapapa kok, makasih udah izinin gue jadi pendengar buat lo. Goodnite Lisa
Kemudian gue membuka sebuah pesan whatsapp dari Felicia yang sudah diterima dari jam 1 tadi sesuai yang tertulis di layar. Sebuah Audio message. Gue menekan icon play dan menaikkan sedikit volume suara handphone gue, terdengar sayup-sayup lagu berjudul Sebelum Kau Tidur yang dinyanyikan dengan indah dan damai oleh Mocca..
Pejamkan matamu Berbaring yg tenang sunggingkan senyuman Sebelum kau tidur.
Ucapkan salammu Pada bulan dan bintang Mereka yg setia
Menjagamu tidur. Semoga nyenyak tidurmu Dihiasi mimpi indah
Hiraukan hening yg mengganggu Aku kan selalu
Bernyanyi untukmu Sebelum kau tidur Ingatlah padaku ...
Juni 2013 Senin Pertama di bulan Juni 2013, gue berangkat kerja lebih pagi demi menghindari kemacetan. Gue udah sampe di kantor sekitar jam 7 dan disambut dengan suasana kantor yang masih sepi. Gue memesan segelas kopi moca di warung depan kantor dan duduk di bangku kayu sambil menikmati hembusan asap rokok, membiarkan waktu berjalan sambil mencoba diam dalam tenang.
Satu per satu teman-teman kantor mulai berdatangan, lewat melintas didepan gue, menyapa dengan senyuman yang gue balas dengan anggukan. Banyak dari mereka yang cuma gue kenali wajahnya tapi ga tau namanya. Sampai kemudian Rendi datang dan melintas didepan gue, yang beriringan dengan Felicia berjalan dibelakangnya. Lho" Mereka berangkat bareng" Pikir gue dalam hati.
Pagi Gus. Tumben udah dateng Sapa Felicia yang kemudian duduk disamping gue.
Iya nih Fel, kepagian. Gue menjawab singkat sambil menggeser duduk untuk memberikan ruang buat Rendi duduk disamping Felicia.
Gue kembali diam dan menikmati segelas kopi moca yang sudah tidak panas. Hanya mendengarkan Rendi dan Felicia yang masih asik mengobrol. Dari obrolannya, gue bisa mendengar bahwa Rendi menjemput Felicia kerumahnya tadi pagi untuk kemudian berangkat bareng ke kantor. Gue cuma bisa senyum mendengarnya.
Gue bangun dari duduk gue, membayar kopi yang sudah habis gue minum dan berjalan kearah pintu kantor.
Gue keatas duluan ya ucap gue sambil melihat ke arah Rendi dan Felicia bergantian, yang dibalas senyuman oleh mereka.
Seperti biasa, gue mulai bertarung dengan tumpukan-tumpukan kerjaan yang sepertinya ga pernah ada habisnya. Gue ga meninggalkan meja kerja walaupun jam makan siang. Heri, Ko Hendri, dan Rendi bergantian mendatangi meja gue mengajak makan siang bareng tapi gue menolak karna masih banyak yang harus diselesaikan. Daripada gue harus pulang telat mending gue mengorbankan jam makan siang, jawaban yang biasanya selalu gue gunakan saat ada yang mengajak makan.
Sekitar jam 4 sore saat badai kerjaan udah mulai sedikit reda, telepon di meja kerja gue berbunyi. Gue mengangkat gagang telepon.
Dengan Bagus Bags, ngopi lah. Lu orang udah kaya apa aja kerja mulu saut Ko Hendri dari ujung telepon.
10 menit lagi ya Ko, tanggung nih, tinggal report buat lo doang yang belom kelar
Halah, lu sok sibuk aja. Penilaian hasil kerja mah diliat dari kedekatan sama atasan doang Bags. Lu mau gue kasih nilai 60 cuma karna bikin gue nunggu lama buat ngopi" ucap Ko Hendri sambil cengengesan.
Ah sialan, ga mau lah. Yaudah gue keruangan lo nih ucap gue sambil tertawa kecil dan mengembalikan gagang telepon kemudian berjalan meninggalkan meja kerja
Gue berjalan melewati deretan meja kerja karyawan yang dipisah dengan sekat partisi. Sesekali berhenti di meja temen sambil mengambil beberapa cemilan dari meja mereka sambil terus berlalu dan sampai di depan ruangan Ko Hendri. Gue mengetuk pintu dan kemudian masuk.
Tutup lagi Bags ucap Ko Hendri yang sudah duduk di sofa dekat jendela.
Gue mengikuti instruksinya menutup pintu dan berjalan ke dispenser membuat 2 gelas kopi dan duduk disamping Ko Hendri.
Makan dulu tuh Bags ucap Ko Hendri sambil menunjuk sebuah bungkusan plastik hitam kecil di meja depan sofa tempat kami duduk.
Apaan nih" tanya gue heran sambil membuka palstik tersebut dan mendapati sebuah bungkusan kertas coklat yang dilipat rapih seperti sebuah nasi bungkus.
Ayam goreng nya Pak Kumis, tadi Felicia nitipin buat lu. Gue lupa ngasihin ke meja lu. Lu makan dulu dah jawab Ko Hendri sambil menyeruput kopi panas yang baru gue bikin.
Ntar aja dah Ko. Jawab gue singkat
Gue meletakkan kembali bungkusan nasi tsb di meja dan menyulut sebatang rokok. Pak Kumis adalah salah satu pedagang ayam goreng yang biasa gue datangi di jam makan siang sama teman-teman yang lain. Mungkin Felicia tau gue ga keluar saat makan siang, makanya dia membelikannya buat gue.
Lu gimana Bags sama Felicia" tanya Ko Hendri sambil meletakkan sebatang rokok diujung bibirnya dan meminta korek dari gue.
Gimana apanya" Yailah gue beri juga lu. Ditanyain malah nanya balik
Ya ga gimana-gimana Ko jawab gue singkat
Gue denger dari Heri, katanya lu mundur gamau deketin Felicia" Kenapa" Minder"
Hah" Minder" Minder sama apaan" Gue ganteng kok, kenapa minder jawab gue dengan tampang cool yang kemudian di toyor sama Ko Hendri.
Gaya lu gede. Lu pernah kerumah Felicia kan" Katanya anak orang tajir doi tanya Ko Hendri sambil menggeser duduknya mendekat.
Pernah. Gede sih rumahnya. Tapi itu rumah bokapnya kata dia. Jawab gue sok polos
Ya emang juga rumah bokapnya. Tapi emang dia anaknya ya gitu Bags. Kagak keliatan kan kemewah-mewahan gitu dari penampilannya"
Iya Ko. Kalo soal itu gue ga pernah mikirin banget sih sebenernya. Ya walaupun gue sering denger kalo diluar kantor gaya hidupnya Felicia terbilang mewah, tapi bukan itu yang bikin gue mau mundur' dari Felicia
Terus apa" Rendi" tanya Ko Hendri. Gue Cuma mengangguk menjawabnya.
Bags, lu orang jangan bego banget lah. Cuma karna Rendi juga suka sama Felicia terus lu mundur. Ya lo liat lah, siapa sih yang ga suka sama Felicia" Mungkin gue atau Heri juga suka, suka sama sikapnya, suka sama keramahannya.
Udah Ko, gue ga pengen bahas. Lagian gue sebenernya mau minta saran lo soal Lisa jawab gue mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Lisa" Ko Hendri bertanya kaget
Gapapa kan Ko kalo gue deket sama Lisa" Dalam hal ini, yaa lo marah ga klo gue sering nganter Lisa kaya kemarin-kemarin gitu"
Yailah, ya gapapa lah. Tapi jangan buat main-main ya Bags. Maksud gue, Lisa orang baik lho. Dibalik sikap bawelnya, doyan bener marah-marah sama orang yang menurut dia ga sepemikiran dengan dia, selain itu semua, dia orang baik. Jangan sampe lo deketin dia apalagi mau macarin dia tapi cuma buat manfaatin doang jawab Ko Hendri panjang lebar.
Manfaatin" Lo mandang gue orang kaya apa sih Ko" tanya gue dengan sedikit kesal karna dinilai seperti orang yang suka memanfaatkan orang lain.
Bukan gitu Bags. Maksud gue gini. Beberapa bulan lalu waktu lu belom masuk sini, Lisa sempet pacaran sama Andri anak audit. Lisa sering cerita-ceita juga sama gue. Dan baru berapa hari gue suruh Lisa putusin Andri. Gue ngeliat si Andri ini cuma niat mainin dan manfaatin Lisa. kemana-mana maunya disamperin sama Lisa, ga ada usahanya banget itu cowok Gue ga mau Lisa deket sama orang kaya gitu. Gue tau lu orang ga kaya gitu, tapi lu yakin ga kalo lu bisa jagain Lisa" tanya Ko Hendri.
Lu tau cerita soal Lisa ya Ko" tanya gue ke Ko Hendri.
Soal apa nih" Gue gatau banyak Bags tentang Lisa, tapi yang gue tau, dia di Jakarta sini sendiri, boro-boro keluarga, sodara aja ga ada. Jadi menurut gue, dia itu perlu orang yang bisa menjaga dia, bukan memanfaatkan dia. Jawab Ko Hendri sambil mematikan puntungan rokok di asbak.
Gue cuma bisa merespon dengan mengangguk sambil menatap kosong ke pemandangan yang terhampar diluar jendela. Merenungi setiap pesan yang disampaikan Ko Hendri.
Ko, lo kenapa ga sama Lisa aja" tanya gue pelan ke Ko Hendri yang masih duduk disamping gue. Pertanyaan yang sebenarnya mungkin lebih mengarah kepada usaha untuk mencari tau bagaimana perasaan Ko Hendri ke Lisa..
7-11 Ko, lo kenapa ga sama Lisa aja" tanya gue pelan ke Ko Hendri yang masih duduk disamping gue. Pertanyaan yang sebenarnya mungkin lebih mengarah kepada usaha untuk mencari tau bagaimana perasaan Ko Hendri ke Lisa.
Ko Hendri ga menjawab. Cuma menatap gue sambil berjalan ke meja kerja besar di sudut ruangan yang berhadapan dengan pintu masuk, kemudian menyandarkan badannya ke pinggir meja besar bertumpu dengan kedua tangannya. Perlahan Ko Hendri mengangguk-angguk sambil tersenyum tipis. Gue mematikan sisa rokok di asbak, kemudian berjalan menuju pintu keluar.
Bags.. panggil Ko Hendri saat gue udah memegang gagang pintu ruangannya. Gue menoleh tanpa menjawab.
Kalo lu suka sama Lisa, coba jalanin aja. Ucap Ko Hendri sambil senyum kearah gue.
Berat Ko. Terlalu banyak hal yang mesti diperjuangin nanti kedepannya. Ada perbedaan-perbedaan dari gue dan Lisa yang mungkin sulit ditoleransi jawab gue sambil mencoba senyum dan menyandarkan badan gue di pintu.
Inget omongan gue Bags, hidup cuma sekali. Kalo lu ga bisa perjuangin apa yang lu mau cuma karna terbentur hal-hal yang emang udah lu bawa dari lahir. Buat apa lu hidup"
Ko, ini bukan soal perbedaan sifat atau watak yang gue dan Lisa bawa dari lahir. Ini soal perbedaan Ras dan Agama, yang mungkin bakal benturin semua perjuangan gue dengan jawaban yang ujung-ujungnya nyakitin jawab gue tegas.
Oke Bags, gini aja. Lu yakinin dulu apa tujuan lu, gimana perasaan lu, dan siapa yang lu mau perjuangin. Lu sendiri aja masih bingung mau ngejar Felicia apa Lisa. Lu ga bisa Bags bersikap baik ke dua cewek kaya gitu, seakan lu ngejar tapi lu sendiri ragu. Ucap Ko Hendri sambil bangun dari sandarannya di meja dan berjalan kembali duduk di kursi kebesarannya.
Gue merespon ucapan Ko Hendri tadi dengan mengangguk dan berjalan ke luar ruangannya, kembali ke meja kerja gue untuk menyelesaikan sisa pekerjaan hari ini.
Di meja kerja, gue malah ga bisa fokus kembali ke pekerjaan gue. Pikiran gue berimajinasi membuat sketsa wajah 2 orang wanita yang saat ini sedang dekat dengan hari-hari gue, Felicia dan Lisa. Gue mengacak-acak rambut dan mengusap-usap muka berkali-kali mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran itu. Gue menghela napas dan ketawa sendiri, kenapa gue pusing sendiri ya, toh belom tentu mereka berdua juga punya rasa yang sama kaya yang gue rasain.
Sekitar jam 6 sore, gue udah merapihkan meja kerja dan bersiap pulang. Handphone gue berdering menandakan sebuah panggilan masuk, nama Lisa yang terpampang jelas di layar. Gue segera menjawab panggilan tersebut
Iya Lis, kenapa" Gus, anak-anak pada nongkrong ga" tanya Lisa dari ujung telepon.
Belom tau sih Lis, gue masih di meja nih belom kebawah. Lo mau kesini emang"
Iya, ini udah di taksi, tapi macet Gus, lu jangan balik dulu yaa
Ooh, yaudah kalo gitu gue tunggu depan kantor dah. ati-ati ya Lis, kabarin aja kalo udah deket
Lisa mengiyakan dan menutup telepon. Gue bergegas dan segera meninggalkan meja kerja.
Di depan kantor, seperti biasa sudah ada Rendi dan Heri sedang menikmati kopi hitam yang disajikan oleh warung depan kantor di gelas plastik. Gue menghampiri mereka dan juga memesan kopi mocca.
Ke sevel aja yuk Bags ajak Rendi saat gue datang dan duduk disebelahnya
Ntar dulu ah, ngopi dulu. Ko Hendri belom turun"
Udah, barusan jalan nganter Tya ke Blok M dulu katanya, ntar balik lagi. Heri menjawab.
Kalian pada mau nongkrong-nongkrong dulu ya" Gue ikut dong ucap Felicia yang tiba-ba datang dan duduk disebelah gue, menggeser gelas plastik berisi kopi moca yang masih panas
Tumben Fel, ga langsung balik" tanya gue ke Felicia.
Ya sesekali lah gue ikut gabung kalian, emang cuma Lisa yang boleh" tanya Felicia dengan nada yang judes
Eh, Lisa kemari ga Bags" Kok dia ga ngabarin tumben tanya Heri ke gue
Kemari sih katanya, tadi dia nelpon. Gue menjawab santai.
Akhirnya setelah Ko Hendri dan Tya datang, kami memutuskan untuk ke minimart 7-11 yang tidak jauh dari parkiran kantor. Gue mengirimkan pesan whatsapp ke Lisa untuk menanyakan posisi dia saat ini.
Lis, udah sampe mana"
bentar lagi sampe kok Gus, lu pada dimana"
ini gue sama anak-anak di sevel ya, nanti lo langsung kesini aja
Yaudah, nanti gue kesana Sore itu kita ngobrol-ngobrol santai sambil menikmati cemilan. Sesaat kemudian sosok Lisa turun dari sebuah taksi warna biru dan berbaur diantara kami. Gue benar-benar merasakan seru nya nongkrong sama teman-teman selepas jam kerja baru kali ini. Bukan soal dimana nongkrongnya, tapi dengan siapa aja nongkrongnya.
Biasanya cuma gue, Ko Hendri, Rendi, dan Heri yang nongkrong kaya gini. Tapi kini ditengah kami ada 3 wanita yang ga cuma cantik, tapi juga asik untuk diajak bercanda bareng. Walaupun sesekali obrolan kami diselipi pembahasan tentang pekerjaan. Jadilah tongkrongan ini mirip sebuah rapat koordinasi yang diwakili oleh orang-orang dari beberapa divisi seperti kami saat ini.
Ga terasa, waktu menunjukkan jam 11 malam, biasanya memang kalo cuma cowokcowok berempat ditambah Lisa saja bisa sampai jam 1 pagi baru ada yang menginterupsi untuk mengajak pulang, tapi kali ini ada Tya dan Felicia yang memotong obrolan untuk berpamitan, dan kekakuan pun menyelinap dengan tiba-ba saat Ko Hendri sudah membuat kesepakatan untuk mengantar Tya, sementara Felicia memilih pulang naik angkutan umum yang tentu saja tidak kami izinkan.
Udah Fel, dianter aja nih sama si Bags atau Rendi ucap Heri yang membuat gue dan Rendi saling main lihat-lihatan.
Ga usah dah, gue ngangkot aja, atau nanti klo dapet taksi didepan gue naik taksi. Jawab Felicia sambil membereskan tas nya dan menerima ucapan pamit dari Tya dan Ko Hendri.
Gue masih pengen disini dulu kayanya, Ren anter Felicia sana ucap gue ke Rendi kemudian langsung membuang pandangan ke jalan raya depan minimart 7-11.
Ayo Fel, gue anter aja Rendi berdiri dari duduknya dan mengenakan jaket bersiap mengantar Felicia, sementara Felicia cuma menatap gue dengan pandangan aneh yang ga bisa gue terjemahkan.
Lagian ini cowok-cowok ga guna banget sih, ngajak anak orang maen sampe malem tapi ga ada yang niat nganter pulang ucap Lisa santai mengejek gue Rendi dan Heri.
Lah, gue kan ntar anter lo, ini si Bags yang ga guna jawab Heri ke Lisa sambil menoyor kepala gue.
Felicia pun pamitan, tapi hanya menyalami Lisa sementara ke gue dan ke Heri Cuma mengucapkan Gue balik duluan ya yang Cuma gue jawab dengan anggukan kemudian menatap ke Lisa
Tuh Lis, Felicia biasa aja kan sikapnya ke Lo. Emang lo nya aja yang lebay, sama semua orang lo ga suka karna alasan-alasan kerjaan, padahal diluar kantor kan kita semua sama-sama temenan ucap gue ke Lisa yang di respon dengan ekspresi menggerutu tapa suara dari Lisa.
Yah Bags, lo kaya kagak paham aja. Lisa ga suka sama Felicia ya gara-gara lo deket sama Felicia. Makanya lo sadar diri lah, penampilan udah kaya gembel terminal tapi dua cewek lo deketin sekaligus saut Heri sambil ketawa-tawa dengan Lisa, gue cuma merespon dengan senyum sambil menikmati sisa cemilan yang ada di meja.
Yah, setidaknya Felcia dah Lisa bisa nongkrong bareng lah, gumam gue dalam hati sambil melihat Felicia dan Rendi berdua diatas motor yang mulai menjauh ditelan gelapnya malam dan dinginnya hati gue yang melihat mereka berhasil berangkat dan pulang kerja bareng hari ini.
Fix You Ayok Lis, gue anter balik. Si Bags masih mau disini aja katanya ucap Heri ke Lisa.
Eh, enggak. Gue aja yang anter. Gue ga bisa percayain Lisa ke lo saut gue langsung bergegas.
Gapapa emang Gus" Ntar lu kan jadi muter pulangnya, kalo sama Heri kan searah
Udah gapapa Lis. Dia emang gitu kalo ada maunya sambar Heri
Kami bergegas berjalan ke parkiran motor dan berpisah di jalan. Gue mengantar Lisa dengan kecepatan sedang, sambil menikmati senandungnya, hal yang gue suka kalo nganter Lisa.
Emang bener Bags, lu lagi deketin Felicia" tanya Lisa dari jok belakang dengan mendekatkan dirinya ke gue.
Enggak, biasa aja sih sebenernya Lis. Cuma emang sering bareng aja kaya pas makan siang atau kadang nganter dia kalo si Rendi ga bisa nganter gue menjawab sambil memfokuskan pandangan kedepan.
Emang lu ga ada niatan balik ke mantan lu yang kemaren itu, siapa tuh namanya"
Liana" Enggak lah kayanya. Ngapain juga dipaksain tetep jalanin sesuatu yang udah ga bisa diperbaikin
Iya sih, even the sweetest chocolate can expire Gus. Kalo emang udah waktunya kadaluarsa ya mau gimana lagi ucap Lisa sambil cengengesan.
Gue hanya mengangguk-angguk sambil senyum mendengar ucapan Lisa. Ada benernya juga apa yang dia bilang. Kalau diibaratkan seperti sebuah coklat, hubungan gue sama Liana adalah coklat paling manis yang pernah gue rasakan. Tapi ya balik lagi seperti yang Lisa bilang, bahkan coklat paling manis pun bisa kadaluarsa.
Lisa kembali dalam senanungnya, sementara gue tetap menikmati senandung indah dari Lisa.
Lo tau ga Gus lagu apa yg barusan gue nyanyiin" tanya Lisa yang sepertinya tau gue mencuri dengar senandungnya.
Eh" Enggak. Ga kedengeran jelas nyanyian lo. Emang lagu apa"
Lagunya Coldplay yang judulnya Fix You.
Ooh, iya gue tau lagunya Sampai didepan pagar kosnya, gue menepikan motor dan memegang tas jinjing Lisa supaya mempermudah dia turun.
Lo ga mau mampir keatas" tanya Lisa basa basi.
Enggak deh, lagian ga enak udah malem
Yaudah, makanya besok-besok kesininya siang
Yee, kalo lagi libur weekend kan lo kerja. Sementara lo biasanya libur di weekdays pas gue kerja, gimana bisa mampir kesini siang ucap gue mengomentari jadwal kerja Lisa yang shifting di cabang.
Iya, makanya Gus, gue sering ngerasa sepi sendiri. orang-orang pada kerja sementara gue libur. Pas orang libur, gue ga bisa main karna kerja. Ucap Lisa dengan wajah memelas sambil membuka pintu pagar.
terus, selama ini lo kalo ngatur waktu buat pacaran gimana tuh Lis"
Lisa menoleh kearah gue. Menatap gue tanpa memberikan jawaban langsung, kemudian kembali berjalan mendekat.
6 taun gue di Jakarta, pacaran Cuma 3 hari langsung putus. Siapa sih Gus yang bisa ngimbangin gue dengan jam kerja yang kaya gini" jawab Lisa yang kemudian kembali berjalan menuju pagar.
Lis.. Lisa menoleh, sambil memegang pintu pagar yang hendak dia tutup.
I will try& Gue menghentikan omongan dan kemudian menunduk, masih dengan posisi terduduk diatas motor gue.
I will try to fix you.. Lanjut gue sambil menatap Lisa yang kemudian dia sambut dengan senyum.
pulangnya ati-ati ya Gus, ga usah pake ngebut. Jangan lupa doa sepanjang jalan ucap Lisa dengan senyum indahnya yang gue hanya balas dengan anggukan.
Lisa menutup pintu pagar besi berwarna hitam tersebut, kemudian gue memutar motor gue dan berjalan menuju arah pulang, sambil senyum-senyum sendiri dan bersenandung. Menyanyikan lagu yang tadi disenandungkan oleh Lisa. Sebuah lagu yang ga akan pernah membuat gue lupa tentangnya, lagu yang sampai detik ini selalu gue dengarkan sejenak untuk memutar setiap kenangan tentang sosok Lisa.
When you try your best, but you don't succeed When you get what you want, but not what you need When you feel so tired, but you can't sleep Stuck in reverse
And the tears come streaming down your face When you lose something you can't replace When you love someone, but it goes to waste Could it be worse"
Lights will guide you home And ignite your bones And I will try to fix you And high up above or down below When you're too in love to let it go But if you never try you'll never know Just what you're worth
Lights will guide you home And ignite your bones And I will try to fix you
Tears stream down your face
When you lose something you cannot replace Tears stream down your face and I
Tears stream down your face
I promise you I will learn from my mistakes
Tears stream down your face and I
Lights will guide you home And ignite your bones And I will try to fix you..
Sore Hari Dengan Ana Ana menyimak setiap cerita yang gue sampaikan sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Sesekali dia mengubah posisinya menjadi duduk tegap dan menopang dagunya dengan tangan diatas meja.
Seru Gus. Tapi gue mau nanya deh. Selama lo ngejar Lisa sama Felicia, ada gak sesekali lo kontakkan lagi sama mantan lo si Liana" tanya Ana saat gue memberikan jeda cerita gue.
Ga ada. Beberapa kali sih gue sempet lah bbm atau whatsapp sama teman-teman gue atau teman-teman Liana yang nanyain kenapa kita bisa putus. Cuma gue rada kurang suka aja sama basa basi pertanyaan mereka
Basa basi" Lebih kaya orang kepo kali ya maksudnya" Ana bertanya heran.
Bukan Na. Mereka justru kaya malah ngejudge gue. Dari pandangan mereka, wajar sih gue diputusin, laah orang lo selama ini juga berengsek kok gitu kata mereka
Berengsek" Lo emang masih rutin selingkuh" Di cerita lo kok lo bilang Cuma di awalawal doang"
Hahaha yakali rutin. Enggak Na, gue emang pernah selingkuh, 2 kali malah. Tapi sejak taun ke 3 gue jalanin sama Liana, gue ga lagi ngelakuin kesalahan yang sama
Terus" Kenapa masih di judge berengsek"
Ya mungkin karna kaya yang Liana bilang, tiap kali gue sama dia lagi ada masalah, gue selalu ngehindar dari dia, cuekin semua whatsapp atau telpon dari dia, ngebiarin dia berpikir gue masih cowok liar yang kalo lagi bete terus kabur-kaburan nyari cewek lain buat menenangkan gue. Setelah semuanya baik-baik lagi, gue ga pernah menjelaskan apapun ke Liana, malah kadang gue iyain aja kalo dia bilang gue selalu nyari cewek lain atau sama cewek lain kalo lagi ga sama dia, padahal mah gue tidur dirumah
Ya salah lo dong kalo gitu. Ucap Ana sambil menoyor gue.
Gus, cewek itu, sekali kepercayaannya di sia-siain, susah buat percaya lagi. 2 taun pertama lo udah sia-siain kepercayaan Liana, 5 taun selanjutnya ya dia bakal tetep curiga dan khawatir lo ngelakuin hal yang sama. Harusnya lo lebih bisa meyakinkan dia, bukan malah ngebiarin dia terus curiga. Lanjut Ana.
Gue mengangguk-angguk pelan menandakan setuju, kemudian menggeleng-geleng pelan sambil nyoba buat tersenyum.
Liana bukan tipe partner yang baik Na kalo menurut gue ucap gue ke Ana yang disambut dengan wajah bingung
7 taun dia jalanin sama lo, dengan diselingkuhin berkali-kali tapi masih maafin lo, lo bilang dia bukan partner yang baik" tanya Liana sedikit ngotot.
Liana bukan pacar pertama gue, bukan juga yang terakhir. Tapi dia yang paling jauh masuk ke hidup gue, kenal semua teman-teman gue, bokap nyokap gue, keluarga besar gue, tapi kok bisa ya dia cerita ke dunia nya, ke teman-temannya, tentang keburukan-keburukan dan kesalahan-kesalahan gue" Saat gue tanya balik ke temantemannya yang ngejudge gue, gue tanya mereka tau ga tentang sisi lain gue, minimal hal-hal baik yang pernah gue lakuin dan gue usahain buat Liana" Mereka ga ada yang bisa jawab. Mereka cuma taunya 7 tahun Liana jalanin sama gue cuma buat gue siasiain doang, seriuosly"
Gue menjawab panjang lebar keheranan Ana yang sekarang Cuma bisa memasang ekpsresi makin heran.
Sekarang gue tanya ke Lo deh Na, ada ga dari cerita-ceita gue tadi yang ngebahas kesalahan-kesalahan Liana selama 7 tahun gue pacaran sama dia" lanjut gue ke Ana.
Ga ada sih kayanya, tentang Liana kayanya Cuma ada di awal cerita, tapi sekilas gue bisa ngerasain gimana lo sebenernya kehilangan dia. Sosok Liana lo gambarin kaya cewek lugu, manja, tapi juga smart. Kayanya ga ada kesalahan dia dari cerita lo.
Terus apa itu artinya Liana sosok yang sempurna selama 7 taun sama gue" Enggak Na, Liana juga sering kok bikin salah, dan ada juga kok cerita tentang cowok-cowok lain yang hadir dalam hubungan gue sama Liana. Cuma gue ga ceritain itu bukan berarti Liana itu orang yang punya kesabaran mendekati nabi. Tapi kenapa malah sosok gue digambarin Liana kaya sosok monster di kepala teman-temannya" Itu kenapa gue bilang Liana bukan tipe partner yang baik ucap gue sambil senyum melihat Ana yang kini mengangguk-angguk pelan, sepertinya dia mulai mencerna dan mengingat-ingat kembali apa yang sudah gue ceritakan ke dia.
Langit sore di Jakarta mulai menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan. Gue menikmati pemandangan yang disertai kemacetan itu sambil menghembus asap rokok tinggi-tinggi keudara, sementara Ana mulai sibuk membolak balik buku menu untuk memesan makanan atau minuman lain sambil menunggu gue melanjutkan cerita. Sebuah cerita yang memaksa gue membuka kembali kenangan-kenangan yang udah dengan susah payah gue tepikan dari hari-hari gue, sebuah cerita yang pada akhirnya merubah pola pikir dan sudut pandang gue tentang hidup secara keseluruhan, sebuah pengalaman yang membuat gue semakin mengenali apa dan siapa diri gue sebenarnya. Benar adanya kata-kata yang pernah gue baca disebuah forum internet; People that you choose to be around you, makes you know who you are. Sebuah Persimpangan
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa dalam hidup gue, Cuma yang berbeda kali ini gue ga lagi pernah mengantar Felicia pulang selepas jam kerja. Gue ga mau terjebak sama perasaan gue sendiri ke Felicia yang bahkan ga pernah mau jawab tentang perasaannya ke gue.
Kadang Felicia seperti seseorang yang sangat peduli sama gue. Dia ga lagi kirim email konfirmasi absen, dia lebih memberikan print out absensi dan meminta tanda tangan ke meja gue karna dia tau email dia bakal terlewat sama tumpukan email lain yang lebih gue dahulukan. Sesekali Felicia meletakkan beberapa cemilan di meja kerja gue sebelum gue sampai kantor. Pernah juga dia membuatkan segelas kopi moca dan meletakkannya di meja gue serta dengan sebuah tempelan kertas post it bertuliskan Good Morning'. Tapi, kadang dia juga kaya orang asing yang ga pernah mengenal gue. Sering gue berpapasan dengan Felicia dan mencoba menyapa tapi dia ga merespon. Belum lagi kadang kalo ngambeknya dateng, dia suka nelpon ke meja kerja gue dan marah-marah ga jelas meminta gue lebih memperhatikan jam absensi karna dinilai sudah sering terlambat, padahal gue selalu membatasi diri untuk terlambat maksimal 1 kali dalam seminggu, asal dibalas dengan pulang sedikit ngaret biar ga terkesan korupsi waktu.
Sementara dengan Lisa, gue masih bersikap seperti biasa. Sesekali mengantar dia pulang atau menjemput dia pulang kerja saat dia pulang malam di hari weekend. Gue mencoba sebisa mungkin buat mengimbangi waktunya, karna teman-teman gue yang lain seperti Heri, Rendi, dan Ko Hendri juga mempunyai dunia dan cerita masingmasing untuk dijalani, sementara gue, kalo pulang kerja langsung pulang pasti dirumah pun gue bakal bete sendirian, jadi gue lebih memilih nongkrong-nongkrong di kantor atau jemput Lisa pulang kerja.
Sampai pada sabtu siang ke empat di bulan Juni, sehabis mandi gue langsung tiduran diatas kasur kesayangan gue di kamar sambil membuka-buka beberapa forum internet dan media sosial dari laptop, tiba-ba muncul sebuah pop up chat dari Rendi di halaman Facebook.
Bags, jalan yukk Hah" Ntar malem ini malem minggu lho Ren, gue ga pernah dapet ajakan jalan dari cowok malem minggu
Hahaha sialan lo. Gue bete nih. Nongkrong dimana kek gitu Bags
Yang lain pada mau gak" Tapi Gue malem ini jemput Lisa jam 7an.
Yah Heri sama Ko Hendri mah biasa Bags, mengejar wanitanya masing-masing. Yaudah sekarang aja, nongkrong-nongkrong woles di sevel lah. Gimana" Nongkrong-nongkrong woles yang Rendi maksud biasanya nongkrong-nongkrong sambil menikmati bir botol kecil yang dulu masih dijual bebas di minimart 7-11 sambil menikmati cemilan yang kadang dia beli tanpa melihat berapa banyak peserta yang akan memakan cemilan itu, sampai kadang ga kemakan dan harus kebuang mubazir.
sevel mana" Ntar gue mau jemput ke puri lho Ren
Yaudah, Sevel deket-deket sana aja, gue tau. Kita ketemuan di kantor ya
Boleh dah. 10 menit lagi gue jalan
Gue mematikan laptop dan bergegas ganti baju. Kemudian menyiapkan motor dan segera menempuh perjalanan ke arah kantor.
Sampai didepan kantor, Rendi sudah berada disana sedang mengobrol dengan penjaga warung depan kantor.
Langsung aja yuk Bags ucap Rendi saat gue mendekat dengan motor gue.
Gue mengangguk dan memutar motor keluar komplek perkantoran, kemudian berjalan beriringan dengan Rendi. Kami menembus Jalan Panjang menuju ke minimart 7-11 yang Rendi maksud, tidak jauh dari perempatan lampu merah kantor kecamatan atau keluarah Jakarta Barat, gue agak lupa.
Kami memarkirkan motor kemudian masuk ke minimart dan mengambil beberapa botol bir dan cemilan kemudian kembali ke luar mencari spot tempat duduk yang nyaman.
Hari ini ultah Jakarta ya" Tau gitu tadi kita ke Jakarta Fair Bags, pasti rame disana ucap Rendi sambil menyulut rokok.
Oh ya" Gue malah lupa kalo sekarang hari jadi nya kota kelahiran gue. Hahaha saut gue sambil tertawa dan ditoyor Rendi.
Kami ngobrol-ngobrol santai sambil mencoba menghubungi Heri dan Ko Hendri untuk merapat kesini, tapi mereka berdua sedang ada urusan lain jadi tidak bisa ikut bergabung. Sebenarnya dari kami berempat, gue yang paling muda diantara yang lainnya. Maka itu gue seringkali berasa diimbangi cara bercanda gue yang kekanakanakan. Gue cukup beruntung sebenernya, karna gue bisa belajar banyak dari mereka, baik soal pekerjaan ataupun percintaan. Halah.
Bags, lo sama Lisa pacaran ya" tanya Rendi ditengah obrolan.
Enggak lah, kenapa emang" Lo mau bilang lo juga suka sama Lisa" tanya gue balik dengan nada mengejek
Hahaha sialan lu Bags, lo masih kesel soal Felicia ya" Kalo lo emang mau kejar Felicia ya kejar aja Bags, gue mah gapapa kok
Hahahaha, lo abis ditolak ya kok ngomong gitu kaya orang mau mundur" kemarinkemarin semangat banget kayanya ngejar dia
Kagak Bags, gue belom nembak dia. Tapi gue bosen...
Bosen" Baru ngejar aja lo udah bosen gimana udah pacaran sama dia, ga beres lo Ren saut gue sambil membuang pandangan ke jalanan dengan posisi tangan dan mulut yang tetap bekerja menikmati cemilan.
Gue bosen Bags, kalo lagi sama dia, yang diomongin tentang lo mulu. Ucap Rendi dengan nada serius menatap gue.
Nah kan, lo ngejelek-jelekin gue ya" Ngomongin kebiasaan jelek gue deh pasti ucap gue mencoba mengelak.
Enggak, gue serius Bags. Gue pernah main kerumahnya, ngobrol-ngobrol di terasnya, terus dia bilang Biasanya si Bagus diduk disana tuh, jarang dia mau duduk disini' sambil nunjuk ke ayunan dan ketawa seneng sendirian keinget sama kebiasaan lo
Ya itu karna gue kan temen lo. Dia ngebandingin 2 orang temen yang pernah dateng kerumahnya, yang satu lebih milih di teras tapi yang satu lebih suka di ayunan. Gue juga pernah kok duduk diterasnya, Cuma spot yang lebih gue suka ya di ayunan karna lebih santai, mungkin karna kita beda umur juga kali, gue masih kekanak-anakan sementara lo lebih dewasa dan bersikap lebih normal makanya duduk di teras jawab gue panjang lebar sambil bercanda.
Itu dia Bags, mungkin karna itu lo lebih bisa mencuri hati Felicia, bersikap santai kekanak-anakan kayak orang yang ga mikirin gimana penilaian orang lain, selama lo suka sama hal itu, ya itu yang lo lakuin. Sedangkan gue, ya gue mikir wajar dan normal banget dong kalo milih duduk di teras saat main kerumah orang" ucap Rendi dengan napas tenang tapi ekspresi wajah tidak bisa menyembunyikan kekecewaan.
Gue kali ini diam, ga bisa menyanggah atau memberikan tanggapan atas omongan Rendi. Gue emang ga pernah mikirin sedetail itu saat milih duduk di ayunan, toh kalo pas gue duduk disana ternyata ga boleh kan harusnya si pemilik rumah bisa sedikit maksa gue buat duduk diteras, bukan malah ikut duduk di ayunan bareng gue.
Lo sama Felicia seumuran kan Bags" tanya Rendi membuyarkan lamunan gue. Gue hanya mengiyakan dengan mengangkat kedua alis.
Kalo gue boleh saran ya Bags. Lo coba deh deketin Felicia aja, kayanya lo lebih sejalan. Ketimbang sama Lisa, dari umur aja dia diatas lo. Belom lagi soal perbedaanperbedaan lain yang nanti.....
Ren, gue tau apa yang gue lakuin. Ucap gue memotong omongan Rendi yang gue tau arahnya mulai membahas perbedaan gue dengan Lisa.
Lagian, gue lebih prefer jadi orang yang berguna dan dibutuhkan orang lain Ren, ketimbang jadi orang yang sekedar disukai lanjut gue.
.... Rendi hanya diam menatap gue sambil mengangguk-anggukan kepala nya.
Kenapa akhir-akhir ini gue lebih sering ngabisin waktu sama Lisa" Karna Lisa sendirian Ren, siapa lagi yang mau nemenin dia" Lo sibuk ngejar Felicia, Ko Hendri sibuk ngejar Tya, Heri sibuk ngakalin cewek-cewek lain, terakhir gue denger dia lagi deket sama anak Finance si Melda kalo ga salah. Ya walaupun selepas jam kerja kita masih rutin nongkrong, tapi Lisa gimana" Siapa yang mau anter dia pulang" Siapa yang jemput dia kalo dia pulang kerja malem" Karna Cuma gue yang bisa jadi ya gue yang lakuin itu, gue lebih dibutuhin sama Lisa walaupun Cuma buat anter jemput atau nemenin dia kalo lagi bete, tapi Felicia ga butuh gue, dia ga pernah benar-benar sendirian. Selalu ada lo atau teman-teman dia yang lain yang bisa nemenin dia setiap saat.
Gue menjawab dengan tegas dan jelas kali ini. Jawaban yang ga pernah gue berikan ke siapapun, termasuk saat Ko Hendri atau Heri mengejek gue dengan sebutan spartan saat mau-maunya nempuh jarak yang cukup jauh cuma buat jemput Lisa saat dia pulang kerja malam.
Tapi Felicia juga suka Bags sama lo ucap Rendi pelan saat gue mencoba mengatur manajemen napas gue yang kurang baik setelah ngomong panjang lebar.
Felicia udah pernah nolak gue Ren. Sorry gue ga jujur ke lo dari awal, gue minta maaf karna pernah nyoba jegal lo, tapi toh akhirnya Felicia nolak gue, itu alesan gue mundur sebenernya, bukan karna gamau bersaing sama lo jawab gue ke Rendi sedikit berbohong mengenai alasan gue mundur.
Bags. Gue kenal lo. Walaupun baru beberapa bulan, gue tau lo bukan tipe orang yang nyerah saat lo gagal dapetin yang lo mau. Lagipula, Felicia udah cerita banyak ke gue, tapi gue udah janji ga akan cerita apapun ke lo, atau ngasih info apapun ke lo tentang dia. Yang gue bisa bilang ke lo sekarang, lo bohong sama diri lo sendiri Bags, lo bohong soal perasaan lo ke Felicia ataupun ke Lisa jawab Rendi sambil kemudian menghisap rokoknya dalam-dalam, sementara gue malah tenggelam dalam lamunan.
Bags, gue sekarang ngomong dari sudut pandang cowok ya, kalo gue jadi lo, mungkin gue bakal mati-atian kejar Lisa, luangin waktu gue sebanyak mungkin buat Lisa sampe Lisa merasa nyaman dan terbiasa sama gue. Iya lah, mungkin orang buta juga bakal lebih milih Lisa daripada Felicia
Orang buta gimana bs liat cantikan Lisa daripada Felicia Ren" tanya gue dengan penuh rasa bingung yang kemudian disambut dengan tawa Rendi terbahak-bahak.
Hahaha.. Orang buta kan masih bisa meraba Bags, dari segi fisik jelas Lisa menang kemana-mana kan" Tapi kalo gue ngomong sebagai seorang temen, kalo gue jadi Lo, gue bakal singkirin rasa buat Lisa, gue bakal berjuang buat dapetin Felicia ucap Rendi sambil meneguk bir nya.
Sialan, benar-benar sialan. Gue nyesel ngobrol sama Rendi hari ini. Dia sukses bikin gue bingung dan ga bisa mikir. Bukan karna minum bir, karna kalo sekedar bir ga bakal bikin gue mabuk sampe ga bisa mikir, tapi karna omongan-omongannya tentang Lisa dan Felicia, yang bikin gue jadi melihat sebuah kesempatan lebih besar untuk mendapatkan Felicia daripada Lisa. Sementara hati gue selalu lebih setuju bahwa gue lebih suka menjadi orang yang dibutuhkan sama orang lain, dalam hal ini Lisa, daripada disukai orang lain, dalam hal ini Felicia.
Bags, tapi balik lagi semua tergantung jalan yang lo pilih. Kita masih muda Bags, ya walaupun lo lebih muda dari gue. Kita semua belajar dari jalan yang kita pilih. Kalo lo bingung saat ada dipersimpangan, utamakan saran dari hati lo dulu. Mungkin Gue, Heri dan Ko Hendri bisa ngasih lo ratusan saran, tapi cuma hati lo yang akan kasih satu saran terbaik. Dan nanti saat lo udah tentukan jalan yang lo pilih, jangan pernah nengok ke persimpangan tadi. Lanjutin perjalanan lo tanpa ada rasa menyesal Ucap Rendi sambil tersenyum dan menepuk pundak gue.
I Love The Way You Smile Bags, tapi balik lagi semua tergantung jalan yang lo pilih. Kita masih muda Bags, ya walaupun lo lebih muda dari gue. Kita semua belajar dari jalan yang kita pilih. Kalo lo bingung saat ada dipersimpangan, utamakan saran dari hati lo dulu. Mungkin Gue, Heri dan Ko Hendri bisa ngasih lo ratusan saran, tapi cuma hati lo yang akan kasih satu saran terbaik. Dan nanti saat lo udah tentukan jalan yang lo pilih, jangan pernah nengok ke persimpangan tadi. Lanjutin perjalanan lo tanpa ada rasa menyesal Ucap Rendi sambil tersenyum dan menepuk pundak gue.
Dering handphone membuyarkan lamunan gue. Dengan segera gue mengeluarkan handphone dari balik jaket. Nama Lisa terpampang di layar. Gue langsung menjawab panggilan tersebut.
Iya Lis Bagus, dimana" Kok ga ngabarin" tanya Lisa dengan nada manja.
Ini Gue sama Rendi nongkrong di sevel yang perempatan lampu merah Lis. Lo udah selesai emang kerja nya"
Ya udah lah, udah mau jam 7 ini. Lo jemput kesini apa gue aja yang kesana"
Gue jemput aja. Lo tunggu aja depan pintu parkiran motor kaya biasa ya
Yaudah, ati-ati Gus. Ga usah pake ngebut. Jangan lupa doa sepanjang jalan
Gue mengiyakan dan memutus panggilan telepon, kemudian mengajak Rendi untuk bergegas ke Puri Indah, namun Rendi menolak.
Gue balik Gus. Salam aja buat Lisa ya ucap Rendi saat kami hendak berpisah di jalan.
Sampai didekat pintu parkir motor terlihat Lisa sudah berdiri menunggu disana sambil memainkan handphone nya.
Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gus, nonton aja yuk" ajak Lisa saat gue baru saja sampai dihadapannya.
Nonton" Didalem mall" Emang lagi ada film apa"
Ga tau film apa, yang ada aja kita liat dulu. Lagian kan ini malem minggu Gus. Masa gue langsung balik, di kos gue ga ada hiburan rengek Lisa sambil menarik tangan gue. Gue pun mengiyakan dan memasukkan motor ke area parkir.
Di dalem Mall, gue kaya orang kebingungan. Selain udah lama ga pernah masuk mall, gue juga gatau mau nonton film apa. Waktu itu juga kayanya ga ada film yang bagus, tapi kami tetep nonton, Cuma gue lupa film apa waktu itu.
Selesai nonton sekitar jam 10 malam. Lisa masih belum mau pulang, dia ngajak mencari makan dulu tapi gue menolak. Gue memberikan opsi untuk beli makanan dekat kos nya aja dan membungkus makanan buat dia makan di kos. Jadi gue langsung mengarahkan motor ke arah kos Lisa walaupun kali ini ga ada senandung Lisa, yang ada Cuma tampang cemberut sepanjang jalan.
Gue memarkirkan motor didepan pagar hitam rumah kos yang terlihat cukup besar. Dari luar bisa terlihat rumah ini terdiri dari 4 lantai. Gue dan Lisa berjalan kaki ke penjual pecel ayam di ujung jalan. Tapi Lisa merubah rencana dan memilih makan ditempat. Jadi lah gue mengikuti keinginannya.
Seperti biasa setiap makan, Lisa selalu mengelap sendok berkali-kali dengan tisu buat gue dan juga buat dia, kemudian berdoa dan segera makan tanpa bersuara. Sebuah kebiasaan yang baik menurut gue. Selesai makan dan membayar makanan, kami kembali berjalan kaki balik ke kos Lisa.
Gus, jangan cepat-cepat jalannya ucap Lisa sambil berlari kecil mengimbangi gue kemudian menggandeng tangan gue. Gue hanya menoleh dan kemudian memperlambat jalan gue.
Sambil jalan bergandengan justru malah bikin gue salah tingkah. Ini pertama kalinya ada wanita lain selain Liana dan nyokap gue yang ngegandeng tangan gue saat jalan. Lisa berjalan sambil sudah mulai bersenandung santai. Gue selalu suka saat Lisa bersenandung, karena senandungnya aja bisa membawa kedamaian di hati orang yang mendengarkannya.
Gus, nanti naik ke atas dulu ya. Lo ga pernah mampir deh tiap anter gue ucap Lisa
Emang boleh" Udah malem gini
Ya mampir bentar lah, depan kamar gue ada teras gitu kok, enak lagi spot nya. Bisa liat kearah jalan raya, atau sekedar ngeliatin langit. Lisa bercerita dengan wajah antusias.
Sampai di depan pagar kos nya, Gue masuk mengikuti Lisa berjalan menaiki tangga. Ternyata posisi kamar Lisa ada di lantai 4. Lumayan membuat gue capek Cuma buat menaiki tangga tersebut.
Lisa berhenti didepan pintu kamar bernomor 22 dengan cat putih dan bertuliskan nama Lisa di bagian atas pintu nya. Gue memilih duduk di kursi rotan yang terletak tidak jauh dari kamar Lisa. Benar yang Lisa bilang, ternyata spotnya lumayan enak. Ditambah terpaan angin yang lumayan kencang, cukup membuat gue segar setelah berkeringat karna menaiki tangga.
Gue asik dalam lamunan memandangi langit yang cukup cerah malam itu. Kerlipan lampu kendaraan yang masih saja berjejer terjebak macet di jalanan menambah nilai keindahan pemandangan dari atas sini.
Keren kan Gus pemandangannya" ucap Lisa sambil berjalan keluar dari kamarnya setelah mengganti pakaian menggunakan pakaian tidur warna putih dengan motif boneka beruang dan duduk disamping gue. Gue hanya mengangguk sambil menggeser posisi duduk.
Lama kami terdiam dalam lamunan, sampai gue baru menyadari Lisa menatap gue dari samping dengan wajah tersenyum. Gue menoleh dan memasang wajah heran.
Makasih ya Gus. Ucap Lisa masih sambil tersenyum. Bias lampu dari depan kamar Lisa membuat gue bisa melihat jelas wajah cantiknya dalam senyuman indah yang tulus.
Makasih buat apa" Buat waktu lo yang lo luangin buat nemenin gue. Ini pertama kali nya selama disini gue ngerasa ga sendirian jawab Lisa nada lirih namun tetap tersenyum
Gue hanya merespon dengan mengangguk dan membalas senyumnya.
Gus. Disaat teman-teman yang lain pada sibuk sama dunia nya masing-masing, kok lo mau nemenin gue" Jemput gue yang jaraknya lumayan jauh dari rumah lo" Tanya Lisa sambil menggenggam tangan gue.
Lo ga usah mikir macem-macem soal teman-teman yang laen Lis. Seandainya mereka lagi ga ada urusan, mereka juga pasti lakuin hal yang sama kaya yang gue lakuin kok. Belakangan ini kebetulan aja gue lagi ga ada urusan makanya bisa jemput lo gue menjawab sambil mengusap punggung tangan Lisa.
Iya, gue tau kok. Heri sama Hendri juga sering jemput gue kalo gue pulang malem dulu sebelom ada Lo, mereka malah kadang jemput gue berdua, terus kita nongkrong dulu gitu dimana. Tapi tetep Gus, gue ngerasa sepi. Gue ngerasa mereka ga benarbenar nemenin gue
Ya gue ga ngerti Lis gimana lo mengukur kesepian. Tapi yang pasti, gue, Heri, atau Ko Hendri tetep berusaha jagain lo kok. Asal lo nya juga kalo ada apa-apa jangan sungkan buat kabarin kita, ga usah ngerasa ga enak kalo mau minta jemput
Itu dia Gus. Gue ga enak kalo minta jemput mulu sama mereka, tapi kalo sama lo mah enak-enak aja jawab Lisa cengengesan
Sialan, itu karna gue nurut-nurut aja mungkin makanya lo enak-enak aja minta jemput sama gue. Jawab gue dengan wajah menggerutu.
Enggak Gus, karna gue ngerasa nyaman sama lo. Ucap Lisa pelan sambil membuang pandangannya jauh kedepan. Menatap langit malam yang terhampar luas menyajikan deretan bintang.
Gue menoleh dan menatap Lisa. Lama gue menikmati kecantikannya dari samping. Rambutnya yang panjang terurai tertiup angin malam. Gue menatap bibir dan pipinya yang perlahan bergerak membentuk sebuah senyuman tipis dengan gigi gingsul yang semakin membuat wajahnya terlihat manis.
Lisa, i love the way your smile forms.. ucap gue dalam hati sambil menikmati kecantikan natural meski tanpa make up yang menempel diwajahnya..
Lisa.. gue memanggil namanya pelan.
Lisa menoleh masih dengan senyum indah terpasang sambil mengangkat kedua alisnya.
Salah ga sih kalo gue suka sama Lo" ucap gue semakin pelan, sepelan perubahan ekspresi wajah Lisa yang perlahan memudarkan senyumannya.
Resah Lisa.. gue memanggil namanya pelan.
Lisa menoleh masih dengan senyum indah terpasang sambil mengangkat kedua alisnya.
Salah ga sih kalo gue suka sama Lo" ucap gue semakin pelan, sepelan perubahan ekspresi wajah Lisa yang perlahan memudarkan senyumannya.
Lisa kembali membuang pandangannya kedepan, membuat gue serba salah dengan ekspresinya menanggapi pertanyaan gue. Sejenak dia menghela napas nya, menunduk, kemudian menoleh kembali menatap gue disampingnya yang masih menikmati wajah cantiknya.
Lo yakin Gus sama apa yang lo rasain" tanya Lisa dengan suara lembut.
Gue mengangguk pelan, berusaha berhati-ati dalam menjawab.
Gus. Gue juga suka sama Lo sebenernya. Tapi.. Lisa mengehentikan ucapannya dan menunduk.
...... gue cuma bisa terdiam, bahkan ga berani mengucapkan sepatah katapun.
Lo tau kan Gus, banyak perbedaan antara kita. Gue ga mau salah satu dari kita harus ada yang tersakiti saat perjalanan kita ga sesuai dengan harapan kita ucap Lisa lagi sambil menatap gue.
Gue tau Lis. Itu juga selalu ngeganggu pikiran gue. Gue sempet berpikir, kalo kita emang ga bisa ngejalanin sebuah hubungan, apa kita bisa tetap berteman dekat aja" Gue bakal jagain lo, nemenin lo, sampe lo ketemu orang yang bisa ngejagain dan nemenin lo sepenuhnya.
Kenapa lo mikirnya gitu Gus"
Gue juga ga gatau Lis. Ada perasaan dalam diri gue yang ga mau ngebiarin lo sendirian, gue mau selalu ada buat lo. Tapi, gue juga selalu ngerasa ga pantas buat selamanya disamping lo. Gue takut malah nanti berubah jadi orang yang posesif dan mengikat lo terlalu erat kalo kita ngejalanin suatu hubungan.
Gue menghela napas, lega rasanya mengeluarkan apa yang ada didalem hati gue selama ini. Banyak kata yang selama ini berputar di kepala gue akhirnya bisa membentuk sebuah pernyataan yang bisa gue sampaikan ke Lisa.
Lisa menatap gue sambil menggenggam erat tangan gue. Gue terdiam menatap langit malam dengan pandangan kosong. Ga ada lagi yang mau gue sampaikan ke Lisa.
Gus. Gue boleh minta lo janji ke gue ga" tanya Lisa memecah keheningan.
Janji apa" gue menoleh menatapnya dengan wajah bingung.
Jagain gue ya Gus, gue ga perduli sekeras apa lo akan mengikat gue, asal lo janji buat ga pernah pergi ninggalin rasa sakit dalam hidup gue, atau gue akan ngebenci lo seumur hidup gue kaya gue ngebenci bokap gue ucap Lisa sambil menyilangkan tangannya memeluk lengan gue dan menyandarkan kepalanya di pundak gue.
Iya Lis. Gue janji. Dan gue bakal berusaha menepati janji gue ucap gue pelan sambil mencium kepalanya yang dia sandarkan di pundak gue.
Malam itu, disebuah sudut kota Jakarta yang sedang merayakan hari jadinya, gue memutuskan buat mengikuti kata hati gue. Gue akan berusaha menjaga Lisa, mencintainya tanpa pernah menyakitinya, dan menjauhkan dia dari rasa sepi yang selama ini bersahabat dengannya.
------------- Gue sampai dirumah sekitar jam 1 pagi. Setelah memberi kabar ke Lisa sesuai permintaannya saat mengantar gue sampai depan pagar tadi, gue ke kamar mandi untuk cuci muka, dan segera kembali ke kamar memeriksa balasan whatsapp dari Lisa.
Yaudah Gus, kamu bersih-bersih dulu terus istirahat yaa. Goodnight Bagus sayang..
Gue tersenyum membacanya, ada perubahan dari bahasa yang Lisa gunakan. Gue pun segera membalas pesan tersebut.
Iya.. Kamu juga istirahat yaa. Goodnight sayang..
Gue melempar handphone di kasur dan berniat berjalan ke dapur untuk mengambil air mineral. Handphone gue tiba-ba berdering, gue membalik badan dan kembali mengambil handphone gue.
Felicia" Gue menggumam dalam hati kebingungan melihat nama yang muncul di layar handphone gue, dan segera menjawab panggilan tersebut.
Iya Fel.. Bagus, belom tidur kan" tanya Felicia dengan nada antusias dari ujung telepon.
Belom, ada apaan" Semangat banget kayanya
Hussst, diem. Nih dengerin ya jawab Felicia yang kemudian suaranya terdengar menjauh. sayup-sayup terdengar sebuah suara musik yang sepertinya dinyalakan dengan alat pemutar musik, melantunkan petikan gitar yang membawa suasana ketenangan dan kedamaian.
Gue mencoba mempertajam pendengaran gue untuk mengenali lagu apa yang sedang diputarkan. Perlahan gue mengenali lagu tersebut dari lirik yang dinyanyikan, membuat gue terdiam lemas seketika saat mulai mengetahui lagu yang diputar. Setiap lirik yang dinyanyikan mampu membuat gue menunduk, dan kemudian menjatuhkan badan gue ke atas kasur.
Aku ingin berjalan bersamamu Dalam hujan dan malam gelap Tapi aku tak bisa melihat matamu
Aku ingin berdua denganmu Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu
Aku menunggu dengan sabar Di atas sini, melayang-layang Tergoyang angin, menantikan tubuh itu
Aku ingin berdua denganmu Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu
Ingin berdua denganmu Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu& Penyesealan #1
Gue tergeletak lemah dikasur saat lantunan musik yang diputarkan oleh Felicia perlahan berhenti. Felicia, seorang wanita yang ga pernah bisa ditebak. Sikap nya sering kali berubah-ubah cukup membuat gue bingung sendiri.
Gus, lo dengerin kan tadi" ucap Felicia dari ujung telepon dengan suara serak.
Iya Fel. Maksudnya apa" gue mencoba bertanya.
Gue bukan orang yang jago ngerangkai omongan buat nyampein maksud gue Gus. Jadi mudah-mudahan aja lagu tadi bisa bikin lo ngerti
Iya, gue ngerti. Tapi kenapa Fel"
Kenapa apanya" Kenapa lo setelin lagu itu ke gue" Kenapa lo sering banget nunjukkin seakan-akan lo ada rasa ke gue, tapi juga sering cuek atau kaya ga kenal gue"
Gue Cuma pengen lo yakin sama perasaan lo Gus. Lo dengan mudahnya bilang suka sama gue, tapi sikap lo sendiri kaya orang bingung, kaya orang gatau harus ngelakuin apa, kaya orang gatau mau milih siapa...
...... gue ga menjawab. Membiarkan Felicia melanjutkan omongannya.
Lo mulai membanding-bandingkan gue sama Lisa, gue tau itu Gus, dan gue ga suka.
Membanding-bandingkan" Siapa yang bilang"
Sikap Lo. Sikap lo yang bilang ke gue kaya gitu. Mata lo yang cerita semua nya. Lo ga melihat gue sebagai orang yang layak lo perjuangin, lo lebih ngeliat gue kaya sebuah hadiah, yang kalo lo bisa dapetin ya syukur, kalo ga ya gapapa Felica berbicara dengan sedikit terisak.
Gue diam ga menjawab. Felicia pun terdengar seperti berusaha mengendalikan nafasnya yang semakin sesak, bikin gue semakin ga tau harus ngomong apa.
Gus. Gue tau lo udah milih Lisa. Gapapa kok. Felicia mencoba menghibur diri.
Iya Fel. Tapi gue yakin, kita masih bisa bertemen ngobrol-ngobrol asik kaya biasanya. Gue ga bakal berubah sikap atau menjauh dari lo. Tapi lo juga jangan berubah sikap ya
Gus, lo tau kenapa gue ga mau jawab saat lo nanya perasaan gue"
Kenapa" Karna saat itu, lo masih sama kaya cowok-cowok lain yang coba deketin gue Gus. Cuma sekedar suka, sementara saat pertama kali kita ketemu, saat lo nanya apa kita pernah kenal sebelumnya' itu gue udah suka Gus sama lo. Tapi gue simpen sendiri perasaan itu karna denger lo ternyata udah punya pasangan. Sampe lama-lama akhirnya kita deket dan sering ngobrol, dan kemudian tau lo udah putus, gue ga bisa nahan perasaan itu untuk terus tumbuh Gus, dan gue yakin gue sayang sama lo. Kali ini sepertinya Felicia ga bisa menahan tangisnya.
Gue semakin terpukul mendengar isak tangis Felicia yang semakin jelas. Gue menutup telepon, dan mencoba bangkit dari posisi tiduran kemudian duduk di pinggir kasur. Gue menghela napas dalam dan menunduk. Gue inget apa yang Rendi bilang, saat kita udah nentuin jalan yang kita pilih, jangan pernah menengok lagi ke persimpangan yang udah kita lewatin.
Tapi gue ga bisa. Gue ga bisa meninggalkan rasa kecewa di hati seseorang di persimpangan sana. Gue harus melewati persimpangan itu dengan rasa tenang.
Gue mengambil jaket dan kunci motor. Gue sempat melirik jam saat memakai jam tangan, jam 2 kurang. Gue ga perduli. Gue memutuskan buat kerumah Felicia.
Gue mengebut motor gue sepanjang jalan yang sudah sangat lengang. Gue berusaha secepat mungkin buat sampai kerumah Felicia.
Sampai didepan pagar rumah Felicia, gue menepikan motor dan mengeluarkan handphone dari balik jaket, mencoba menghubungi Felicia. berkali-kali gue mencoba tapi ga ada jawaban. Gue berpikir mungkin dia udah tidur. Gue memasukkan handphone kembali ke balik jaket kemudian menegakkan motor berniat pulang. Gue sempet menoleh kearah pagar rumah Felicia. Terlihat dari selah-selah pagar ada seseorang duduk di bangku ayunan. Gue segera turun dari motor dan mendekat ke pagar.
Fel, Felicia.. gue memanggil sosok orang yang duduk dibangku ayunan sambil menunduk. Gue yakin itu Felicia.
Fel, bukain pagernya dong. Gue mau masuk gue mencoba memanggil lagi tapi Felicia ga menjawab.
Fel, please. Bukain pagernya. Atau gue panjat nih gue berusaha mengancam yang ternyata berhasil mendapatkan respon dari Felicia. Dia mengangkat wajahnya dan menatap gue melalui selah pagar.
Penyesalan #2 Lo ngapain malam-malam kesini Gus" ucap Felicia dengan suara serak sambil berjalan mendekat dan membukakan pagarnya.
Felicia baru saja membuka pintu pagar tapi gue langsung masuk dan memeluknya. Gue memeluk Felicia tepat didepan pagarnya. Dia Cuma diam ga membalas pelukan gue. Tapi gue bisa merasakan jaket gue mulai basah dari wajah Felicia. Dia menangis.
Gus. Lo kenapa jahat sama gue" ucap Felicia sambil sesugukkan masih dengan wajahnya tenggelam dalam pelukan gue. Gue ga menjawab. Gue Cuma memeluknya.
Gus.. kenapa.." Gue melepaskan pelukan gue dan menopang dagu Felicia untuk mengangkat wajahnya. Gue menatap wajah Felicia yang sembab dan mengelap pipinya yang basah dengan tangan gue. Mata bulat nya terganggu oleh gumpalan air yang tertampung di kantung matanya. Gue terpukul dan sangat merasa bersalah dengan sosok Felicia yang ga pernah gue liat sesedih ini.
Gue minta maaf Fel. Tapi gue udah menentukan jalan yang gue pilih. Gue..
Kenapa" Kenapa bukan gue yang lo pilih" Felicia memotong omongan gue sambil terus menatap gue dengan wajah sembabnya.
Kenapa, Bagus" Kenapa" tanya Felicia lagi sambil menarik jaket gue berkali-kali. Gue Cuma bisa menunduk.
Tangisan Felicia kembali pecah. Kali ini dia menunduk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Gue kembali menarik badannya dan memeluknya lagi, dan menopangkan dagu gue diatas kepala Felicia yang tenggelam dalam pelukan gue. Gue menatap kosong kearah taman, sambil mencoba menenangkan Felicia dengan mengusap-usap punggungnya.
Gus. Gue harus nunggu berapa lama" tanya Felicia sambil melepaskan pelukan gue dan menatap wajah gue yang masih tertunduk tepat dihadapannya.
Gue menggeleng pelan, sambil memberanikan diri menatap wajah Felicia.
Berapa lama Gus" Enggak Fel. Gue ga layak lo tunggu. Kita sama-sama lanjutin hidup kita kaya biasa aja ya. Kita masih bisa ketemu setiap hari di kantor, bertemen baik kaya hari-hari sebelumnya Gue menjawab dengan naif.
.... Felicia kembali menunduk dalam diam.
Fel. Gue dateng kesini bukan buat meyakinkan lo tentang perasaan gue. Juga bukan buat minta lo nunggu. Gue dateng kesini buat minta maaf dan...
Minta maaf buat apa" potong Felicia lagi, kali ini dengan nada kesal.
Buat sikap gue yang jahat ke lo. Tapi gue yakin, lo tau gue ga bermaksud nyakitin perasaan lo. Gue yang terlalu bodoh dalam membaca perasaan lo Fel. Lanjut gue sambil memegang tangan Felicia.
Felcia kembali menunduk, membiarkan beberapa tetes air matanya berjatuhan, membuat gue semakin mengutuk diri gue sendiri yang udah mengubah sosok Felicia yang riang menjadi seorang Felicia yang tertunduk dalam tangisnya.
Lama kami terdiam dalam lamunan dan masih berdiri di posisi yang sama sejak gue masuk ke pagar rumah Felicia. Perlahan Felicia melepaskan genggaman tangan gue, mengangkat wajahnya dan menatap gue. Sebuah tatapan yang kosong, tanpa senyuman.
Felicia membalik badannya. Berjalan melewati taman menuju teras rumahnya. Gue hanya diam menatap punggungnya yang berjalan menjauh. Sampai didepan pintu, Felicia menoleh.
Pulangnya ati-ati Gus. Pagernya tolong ditutup ya ucap Felicia yang kemudian masuk dan mengunci pintu rumahnya.
Gue masih berdiri mematung menatap pintu berwarna putih dengan pegangan yang berwarna keemasan. Berharap Felicia kembali keluar. Lama gue berdiri disana tapi tidak ada tanda-tanda Felica akan keluar.
Gue berjalan keluar pagar dan menutup pintu pagar rumah Felicia, kemudian mendatangi motor gue yang gue pinggirkan tepat didepan pagar. Gue menggunakan helm sambil tetap melihat kearah rumah Felicia yang mungkin ga akan lagi bisa gue datangi. Gue menghela napas dan mulai menjalankan motor menuju arah pulang dengan mencoba meredam rasa kecewa dan menyesal. Gue yakin, gue harus melanjutkan berjalan di sebuah jalan yang gue pilih dan gue akan berusaha buat ga menyesalinya.
Side Story #1 Suatu hari di bulan Mei tahun 2015, ini agak lompat dari urutan cerita. Gue yang lagi buka kaskus mendadak bete seketika pas liat ternyata akun lama gue di banned, karna gue salah ngepost thread saat gue mau bantu jualin hp temen. Gue lupa waktu itu salah post ke sub forum mana, itu karna gue langsung klik pilihan start selling' di aplikasi kaskus dari hp.
Gue bikin akun baru asal-asalan buat menghubungi moderator FJB buat minta maaf dan meminta agar dicabut banned nya. Itu akun udah gue pake 5 tahun lebih, jadi tentu saja gue sayang banget kalo sampe di banned. Apalagi, nama akun gue di semua forum internet selalu pake nama itu, istilahnya, itu nama udah jadi identitas gue di dunia maya lah. Tapi permintaan gue ditolak sama momod FJB.
Jadilah gue manyun seharian. Sampe Lisa pun gue diemin. Lisa sampe kebingungan ga ngerti kenapa tau-tau gue ngambek. Sampe akhirnya gue cerita, sepele sih, tapi cukup bikin gue bete. Reputasi di ID itu lumayan bagus makanya temen sering minta bikinin lapak jualan.
Setelah denger cerita gue, Lisa juga kayanya biasa aja. Malah makin sibuk sama handpone nya. Tau-tau dia nyeletuk ke gue.
Sayang, nih buat kamu ucap Lisa sambil nunjukkin layar handphone nya.
Apaan ini" Itu akun baru buat kamu.. hehehe jawab Lisa sambil cengengesan, dia bikinin ID ini, dengan nama angchimo.
Yee, kalo bikin akun baru doang aku juga bisa kali. Lagian males aku harus mulai dari awal lagi, ngumpulin cendol lagi buat ngebagusin reputasi lagi. Jawab gue dengan nada malas dan mengembalikan handphone Lisa.
Yaah, jangan gitu dong. Ini akun bakal bawa rejeki kok nanti, cendol-cendol bakal dateng dengan sendirinya jawab Lisa ngasal sambil manyun karna merasa usahanya ga berarti buat gue.
Gue emang akhirnya pake akun ini buat sesekali komen, tapi ga pernah bikin thread selain lapak FJB, karna males banget harus mulain bikin thread bermanfaat atau informatif lagi cuma buat sekedar dapet cendol. Dan entah kenapa, secara kebetulan, beberapa lama setelah itu tau-tau dapet cendol +10 dari promo kaskus cendolin Indonesia' saat iseng ninggalin komen di lapak promo kasksus officer. Ya mungkin aja semua kaskuser juga dapet, tapi ini cukup bikin Gue senyum-senyum sendiri karna inget Lisa pernah bilang cendol-cendol bakal datang dengan sendirinya . Jadi gue langsung kasih tau Lisa.
Yeey, nama aku emang bawa rejeki. Ucap Lisa seneng sambil mengangkat kedua tangannya kegirangan..
Ini sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan para readers via pm mengenai akun gue yang dirasa kaya nama cewek, bahkan ada yang menyangka gue sebenernya sosok Lisa dicerita ini. Bukan, gue Bagus. Angchimo emang dipakai dari nama panggilan yang ane kasih buat Lisa, dan dijadiin nama akun ID ini. Cerita kenapa gue panggil Lisa jadi angchimo bakal ane tulis di part-part selanjutnya.
Lisa #1 Dalam bagian ini, gue mau nyoba nulis dengan cara lain. Masih berurutan sesuai dari kapan kejadiannya. Tapi mungkin ga akan mendetail, karna ceritanya seputar hubungan gue sama Lisa, kalo gue tulis detail nanti readers bakal bosen bacanya, atau malah jadi iri
Gue cukup beruntung mempunyai sebuah kebiasaan menyimpan foto di laptop dan flashdisk gue dengan cara memasukkan foto-foto itu kedalam folder terpisah yang gue kasih nama folder sesuai lokasi atau momentya. Itu cukup ngebantu banget dalam nulis cerita ini. Dan gue mengakui, dengan menulis cerita ini, gue jadi lebih legowo dalam menyikapi masa lalu dan pilihan-pilihan yang pernah gue ambil, yang membentuk diri gue jadi gue yang sekarang. Gue pun menulis cerita ini sebenernya karna pengen nepatin janji sama Lisa, makanya gue juga pengen secepetnya kasih update dan biar cepet selesai ceritanya.
Gue akan tetep update cerita ini setiap hari seperti biasa. Tapi jam update nya ga bisa gue rencanakan. Gue mengetik cerita ini dari aplikasi word di handphone disela-sela waktu santai, dan mengupdatenya pake aplikasi kaskus. Gue sengaja kaya gitu biar bisa cepet kasih update, juga biar ga ngentangin agan-agan. Karna kalo semuanya harus nunggu gue duduk didepan komputer atau laptop, bisa seminggu atau 2 minggu sekali gue ngetiknya, karna kalo gue udah didepan komputer pasti ada kerjaan-kerjaan yang bikin gue lupa ngetik cerita ini. Kalo dari handphone kan seenggaknya saat ada waktu luang sedikit aja gue bisa nyicil ngetik sedikit-sedikit, mudah-mudahan para readers bisa memaklumi saat ada beberapa typo di cerita ini
---------------- Setelah gue dan Lisa sepakat buat ngejalanin suatu hubungan, dan setelah kejadian pagi-pagi buta dirumah Felicia, gue menjalani hari-hari gue layaknya seseorang yang udah berhasil melepas status jomblo. Selain kerja dari jam 9 sampai jam 6 sore, rutinitas gue tentu saja kali ini terisi senyuman dan tingkah-tingkah Lisa yang bikin hidup gue makin berwarna.
Lisa, wanita cantik yang gue pacari saat ini, mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang kadang bikin gue gemes sendiri melihat tingkahnya. Seperti yang gue sebut di awal, dia hampir selalu bersenandung kecil dibelakang gue saat berboncengan. Kadang gue ikut nimbrung nyanyi. Jadilah kita sering dilihatin pengendara lain yang berpapasan atau beriringan dengan kita di jalan.
Lisa bukan tipe cewek yang merokok atau minum-minuman. Dia jauh dari hal-hal kaya gitu, tapi tetap memaklumi gue yang perokok berat dan sesekali minum, selama cuma bir aja dia ga terlalu melarang. Lisa orang yang sangat memperhatikan kesehatan. Dia menengahi kebiasaan merokok gue dengan mewajibkan gue setiap hari untuk minum 2 kaleng susu sapi merk beruang yang iklannya naga terbang. Awalnya gue emang menolak kewajiban itu, tapi Lisa bukan tipe orang yang toleran sama hal-hal yang dia anggap baik buat dijadikan kebiasaan. Suka atau ga suka, gue harus mengikuti kewajiban yang Lisa buat secara sepihak.
Lisa adalah orang yang ga akan memakan bagian kuning telur. Mau digoreng ataupun direbus. Dia akan membuang bagian itu. Dia juga ga akan memakan kulit ayam. Hal yang sangat sering bikin kita adu mulut saat makan ayam goreng di restoran cepat saji berlogo bapak-bapak tua. Gimana ga adu mulut coba, kulit ayam yang digoreng garing itu kan bagian terenaknya menurut gue, tapi enggak menurut Lisa, dia akan membuangnya tanpa ampun ketempat sampah. Lisa ga terlalu suka makan nasi, dia Cuma makan nasi sehari sekali, selebihnya dia mengganti nasi dengan kentang atau bihun, atau cemilan lain.
Didalam tas jinjingnya, Lisa selalu membawa botol plastik berukuran 1.5 liter berisi air mineral yang selalu dia isi ulang sehari 3 kali. Dia sangat amat jarang minum jenis minuman lain selain air mineral. Bisa kehitung jari dalam sebulan mungkin cuma 2 atau 3 kali dia minum selain air mineral, itupun kalo lagi ada acara yang menyuguhkan jenis minuman selain air mineral. Dan seperti yang readers mungkin sudah tebak, Lisa pun memaksakan hal yang sama ke gue. Dia membelikan sebuah botol plastik buat gue, tapi yang ukuran 1 liter aja. Dan mewajibkan gue meminum minimal 2 kali isi botol itu setiap hari. Jadi lah di tas gue selalu ada botol plastik itu bahkan sampai detik ini.
Gue mencoba mengimbangi kebiasaan hidup sehat Lisa yang seringkali berbenturan dengan gaya hidup gue yang sesukanya. Gue selalu percaya, seiring jalannya waktu nanti gue akan terbiasa.
Di kantor, Rendi dan Ko Hendri sepertinya agak kurang setuju dengan jalan yang gue pilih dengan Lisa. Cuma Heri yang bersikap netral terhadap pilihan gue. Jadi, rutinitas nongkrong selepas jam kerja hampir jarang banget terjadi lagi. Susah buat benar-benar hadir berempat plus Lisa. Tapi rutinitas ngopi diruangan Ko Hendri masing sering gue lakukan. Dan biasanya cuma gue dan Heri yang sering nongkrong, kadang Lisa gue menyusul saat dia pulang kerja sore.
Bags, lo jalanin aja gapapa, ga usah terganggu sama penilaian orang. Toh nanti pahit dan manisnya yang rasain lo sendiri ucap Heri saat kami berdua sedang nongkrong di minimart 7-11 dekat kantor selepas jam kerja.
Terus si Felicia gimana Bags sikapnya" lanjut Heri
Agak kaku sih, dan yang pasti udah ga kaya dulu lagi, ga ada lagi kopi dan tulisan Good Morning' di meja kerja gue. Yang ada malah botol ukuran seliter isi air mineral
Iya lah, ya gila aja kalo dia masih mau kaya gitu. Lagian aneh juga sih Bags, penampilan lo yang kaya gembel terminal aja bisa bikin dua cewek jadi begitu ucap Heri sambil menertawakan gue.
Oh ya, gue pernah mengajak Lisa untuk pertama kali nya kerumah gue. Kebetulan saat itu Lisa lagi dapet jatah libur di weekend, dirumah gue pun lagi ada abang gue dan istrinya. Jadi gue sekalian mengenalkan Lisa ke mereka.
Pacarnya Bagus" tanya mba Rai, istri abang gue, saat menyalami Lisa.
Lisa tidak langsung menjawab, dia menoleh kearah gue seperti meminta persetujuan dulu apakah boleh menjawab jujur atau menjawab sekedar teman. Gue yang mengerti keraguan Lisa pun menjawab dengan anggukan dan tersenyum.
Iya mba.. Jawab Lisa sambil memasang senyum ke Mba Rai yang malah disambut wajah heran.
Kok bisa Gus" tanya Mba Rai ke gue.
Bisa apanya" gue bertanya balik.
Bisa mau sama Bagus" Ya mau lah, abangnya aja dapet istri cantik kok abang gue memotong sambil tertawa.
Gue Cuma ikut tertawa, karena gue yakin Mba Rai pasti bermaksud menanyakan pertanyaan yang ada kaitannya dengan hubungan gue dengan Liana yang dia belum tau kalo udah berakhir.
Lisa, sorry. Lo chinese ya" tanya abang gue sambil duduk di sofa ruang tamu, bersebelahan dengan istrinya.
Iya bang jawab Lisa singkat dan terlihat gugup
Ye, panggil Adam aja. Bagus aja ga pernah panggil abang ke gue. Saut abang gue yang disambut dengan anggukan dan senyum kaku dari Lisa.
Gue bisa melihat sikap Lisa yang sangat kaku. Dari cara dia duduk yang tegap dan melipat tangan dipangkuannya malah memberikan kesan dia sangat gugup, sementara gue duduk bersandar setengah berbarimg santai sambil menyilangkan kaki disamping Lisa.
Oh iya, santai aja. Ga usah gugup gitu, gue ga ada maksud apa-apa nanya gitu, Cuma mastiin doang Lanjut abang gue sambil tersenyum ke arah Lisa.
Tapi Lisa Muslim ga Lis" Mba Rai menyambar ikut bertanya ke Lisa dan membuat Lisa lagi-lagi menatap gue kebingungan.
Lisa #2 Lisa menatap gue kebingungan, dia seperti ragu mau menjawab pertanyaan Mba Rai yang menurut gue juga terlalu kurang sopan. Seumur-umur juga gue ga pernah nanya Lo muslim" atau agama lo apa" ke orang lain. Karna dari dulu gue berpendapat menanyakan agama orang itu agak kurang sopan. Tapi sepertinya di Indonesia pertanyaan seperti itu bukan suatu masalah dalam hal kesopanan.
Enggak Mba, Aku Kristen. Jawab Lisa masih dengan senyum kaku yang dipaksakan.
Mba Rai menggernyitkan dahi nya dan menatap gue dengan wajah heran. Gue pun jadi bingung harus menanggapi apa. Bagaimanapun, Abang gue dan istrinya adalah sosok perwakilan orangtua gue disini. Walaupun gue emang cuma manggil nama aja ke abang gue, tapi kalo ke Mba Rai gue rada sungkan.
Sayang, ini ga ada kopi gitu apa" tanya abang gue ke istrinya mencoba menengahi kekakuan yang mulai menyelinap diantara kami.
Kamu mau ngopi" Bu Darmi mana ya" ucap Mba Rai sambil menoleh kearah dapur dan berjalan ke sebelah ruang tengah rumah gue.
Lah, aku minta bikinin sama kamu kok, malah mau nyuruh Mba Darmi. Eh Lis, lo kalo mau minum ambil sendiri aja sana didalem, ga usah sungkan. Make yourself at home ucap abang gue sambil bangun dari duduknya dan berjalan kearah halaman belakang rumah gue.
Lisa hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman, kemudian menatap gue dengan wajah merasa bersalah.
Kenapa" Gapapa kok tadi udah bener kamu jawab jujur. Masa ditanya apa agamanya harus bohong. Tapi maaf ya kalo kamu jadi ngerasa diberondong pertanyaan, santai aja ga usah dipikirin. jawab gue sambil mengusap kepala Lisa dan berdiri mengajak Lisa ke ruang tengah.
Gue dan Lisa memang belum ingin membahas perbedaan-perbedaan kami. Selama kami menjalaninya dengan saling menghargai dan menghormati, kami sama sekali ga merasa bermasalah dengan perbedaan ini. Gue sesekali mengantar Lisa ke gereja, hanya mendrop nya saja dan nanti akan gue jemput lagi setelah selesai dia beribadah. Lisa juga selalu mengingatkan gue untuk sholat, walaupun gue sendiri jarang lakuin.
Gus, itu panlok'" tanya Anwar sambil berbisik saat kami sedang ga sengaja bertemu di plasa kalibata sepulang kerja.
Bangke, cewek gue tuh. Ga usah pake kata itu nyebutnya ucap gue sambil menoyor kesal kepala Anwar yang menyebut Lisa panlok', atau panda lokal, kebiasaan orangorang bodoh dalam menyebut orang-orang berwajah chinese.
Yee, biasa aja dong. Kan gue Cuma negesin jawab Anwar
Gue ga suka War. Sebutan-sebutan kaya gitu yang bikin orang-orang kita makin di kotakin sama masalah-masalah ras. Jawab gue sambil berjalan cepat menyusul Lisa dan meninggalkan Anwar.
Tanggapan seperti itu memang gue akui seringkali keluar dari teman-teman gue. Tapi emang Cuma pada awalnya aja saat pertama berkenalan. Setelah sering gue ajak Lisa nongkrong bareng teman-teman gue, ga ada lagi tanggapan kaya gitu. Entah karna pemikiran teman-teman gue yang terlalu picik atau karna memang di lingkungan gue sosok seperti Lisa hampir jarang mau bergabung dengan kami.
Lisa orang yang sangat mudah bergaul. Dia cukup cepat akrab dengan teman-teman gue, dengan Anwar maupun Ryan. Ga jarang gue mendapati teman-teman gue yang lain sering mengirim whatsapp ke Lisa dengan basa basi menanyakan gue.
Ini mereka dapet nomer kamu darimana" tanya gue ke Lisa saat membaca beberapa whatsapp dari temen gue.
Ya kan waktu itu mereka minta Lisa menjawab santai.
Gue pun serba salah sebenernya. Mau marah pun, ga mungkin gue marah sama Lisa karna emang gue juga yang sengaja mengenalkan Lisa ke teman-teman gue biar akrab, biar Lisa jadi punya banyak temen juga. Bahkan di sosial media seperti Path atau Instagram, Lisa pun berteman sama teman-teman gue. Lisa yang awalnya sangat jarang membuka sosmed nya, jadi rutin mengunggah foto-foto atau sekedar melihatlihat unggahan foto orang di sosmednya.
Dan, seiring berjalannya waktu, Lisa pun sudah akrab dengan semua teman-teman gue, juga sama abang gue dan Mba Rai. Pernah sesekali Lisa dan Mba Rai jalan berdua, sekedar ke tanah abang atau belanja di mall yang jadi sering bikin abang gue geleng-geleng tiap liat istrinya pulang bawa banyak tentengan. Gue biasanya hanya menertawakan sambil bertanya ke Lisa dan Mba Rai Kok dikit banget belanjanya"' untuk meledek abang gue.
Sampai di bulan puasa pertama gue dengan Lisa. Dia ga pernah absen menelpon gue untuk membangunkan sahur. Bahkan sesekali khususnya pas weekend gue dan Lisa sahur bareng. Lisa sering ikut berpuasa. Gue sebenernya seneng, jadi bisa sama-sama puasa dan saling menjaga diri serta menjaga hati, halah. Tapi gue sering bilang ke Lisa untuk tidak memaksakan berpuasa, walaupun kadang pas lagi panas-panasnya cuaca, gue yang merasa berat, Lisa malah santai aja. Alasan Lisa ikut berpuasa tentu saja sekalian diet, tapi juga karna dia seneng ikut buka puasa bareng sama gue.
Puasa itu seru ya Gus ucap Lisa sambil menopang dagu dengan kedua tangannya diatas meja menatap gue, didepan semangkuk es campur ketika sedang buka puasa bareng gue di pinggir jalan.
Buka puasa nya yang Seru Lis jawab gue sambil menuntaskan ancaman pada makanan dan minuman yang sedari tadi sudah menantang untuk di habiskan.
Heh, baru banget adzan itu malah langsung makan aja. Tunggu adzan selesai dulu kek. Giliran saur aja males-malesan, malah sengaja mepet ke imsak ucap Lisa mengomentari kebiasaan gue saat saur dan buka puasa.
Sahur yang bagus itu emang gitu, dilama-lamain, asal jangan sampe lewat aja. Tapi kalo buka puasa nya harus disegerakan jawab gue sambil tetep menikmati makanan.
Yee, mana ada gitu. Ya emang begitu. Udah itu makan dulu
Lisa biasanya menunggu di kamar kos nya saat gue menunaikan sholat tarawih di mesjid dekat kosnya. Gue sengaja bergegas pulang kantor selama bulan puasa, biar bisa buka puasa bareng Lisa sambil jemput Lisa pulang kerja, atau di sekitar kos nya saat dia libur. Kecuali saat Lisa pulang malam, gue biasanya buka puasa dikantor sama teman-teman dan menjemput Lisa setelah tarawihan di mushola dekat kantor.
Lisa #3 Menjelang lebaran, gue emang ga biasa belanja baju-baju gitu. Tapi waktu itu gue sengaja mengajak Lisa ke sebuah mall sekitaran Depok buat mencari kemeja dan beberapa potong baju untuk Bu Darmi dan Pak Ujang. Lisa orang yang sangat antusias kalo soal belanja. Dia sanggup keluar masuk toko-toko seharian Cuma buat mencari satu barang. Dan dia lebih suka ke toko-toko baju yang bisa ada proses tawar menawar. Jangan sekali-sekali menginterupsi Lisa saat bernegosiasi dengan pedagang. Walaupun pasti gue selalu merasa kasihan sama pedagang yang Lisa tawar harga barangnya. Pernah Lisa membeli sebuah tas jinjing kecil yang dijual 100 ribu tapi bisa dilepas oleh pedagangnya dengan harga 30 ribu saja. Menyisakan senyum kemenangan di wajah Lisa dan senyum getir di wajah pedagang tersebut.
Gus, aku beli ini ya" tanya Lisa sambil membentangkan sebuah kain halus berwarna putih transparan.
Apaan itu" gue bertanya sambil mendekat, memastikan barang apa yang Lisa pegang.
Lisa kemudian mengenakan bahan yang dia pegang tadi menutupi kepalanya. Ternyata sebuah jilbab. Gue benar-benar terpana melihatnya. Sosok Lisa tetap cantik meski rambutnya tertutup jilbab seluruhnya. Gue hanya senyum dan mengangguk menyetujui pilihan Lisa.
Kami berjalan ditengah kerumunan orang yang sibuk memburu pakaian untuk lebaran. Gue ga nyaman dengan kondisi ini, makanya gue ga suka belanja baju saat mau lebaran, karena kadang perilaku orang-orang berubah jadi rada ganas, maen sikut-ikut atau nabrak orang yang jalan didepannya, berebut barang-barang yang bagus. Malah kadang kalo ada barang bagus yang didiskon besar-besaran bisa sampe terjadi adegan tarik menarik, bahkan sampe menyisakan tubuh-tubuh tergeletak tak berdaya, gak deeng, becanda.
Tiba-ba Lisa berhenti disebuah toko dan masuk kedalamnya. Gue sedikit kesulitan mencarinya ditengah keramaian orang dalam toko tersebut, kemudian sempat melihat sosok Lisa membawa sebuah pakaian dan masuk ke bilik yang dikhusukan untuk ruang ganti. Gue berjalan mendekat dan menunggu didepan bilik tersebut. Tidak lama kemudian Lisa keluar dengan mengenakan sebuah baju lengan panjang berwarna putih dengan motif bunga disekitar kancingnya, seperti baju-baju yang biasanya digunakan cewek-cewek muslimah.
Kegedean ya Gus" tanya Lisa sambil memutar posisi badannya melihat kesetiap sudut pakaian yang sedang dia coba.
Gue ga menjawab, gue lagi-lagi terpana dengan kecantikannya. Lisa memang selalu terlihat cantik dengan model pakaian apapun yang dia kenakan, tapi kali ini dia benarbenar terlihat cantik. Gue tersenyum membayangkan Lisa dengan pakaian yang sedang dia coba itu dipadukan dengan bahan jilbab putih yang tadi dia beli. Sebuah kesempurnaan karya Tuhan akan terhampar dihadapan gue.
Bagus. Ditanya malah bengong ucap Lisa dengan memasang wajah cemberut membuyarkan lamunan gue
Eh" Nanya apa tadi" ucap gue sambil kembali mengumpulkan kesadaran
Ini kegedean ga" tanya Lisa dengan kesal karna harus mengulang pertanyaannya.
Enggak, pas kok. Model baju kaya gitu emang sedikit longgar. Kalo mau yang ngepres ya pake bikini jawab gue cengengesan.
Masa sih" Yaudah aku beli ya" Tanya Lisa sambil menatap gue dengan antusias. Gue menjawab dengan anggukan.
Setelah membayar, kami melanjutkan berjalan ditengah kerumunan dan berniat pulang.
Kamu ga beli baju kokoh gitu Gus" tanya Lisa yang berjalan disamping sambil memeluk lengan gue.
Enggak, aku udah punya. Masih bagus-bagus juga bajunya
Hehehe ini mah namanya kamu yang nemenin aku beli baju lebaran ucap Lisa sambil cengengesan. Gue hanya mencubit gemas pipinya.
1 minggu sebelum lebaran, nyokap dan bokap gue pulang dari Jogja. Gue selalu seneng saat lebaran datang, karena lebaran jadi ajang berkumpul keluarga gue. Gue benar-benar menikmati keramaian dan kehangatan keluarga. Karna sudah memasuki cuti lebaran, gue pun bisa menikmati banyak waktu dirumah, nikmatin masakan nyokap gue lagi.
Saat lebaran, rumah gue rame banget. Bokap adalah anak tertua di keluarganya, sedangkan nyokap gue anak tunggal. Kakek dan nenek gue dari pihak nyokap dan bokap udah ga ada. Jadi setiap lebaran otomatis semua keluarga kumpul dirumah gue. Bokap gue punya 3 orang adik cowok dan 1 orang adik perempuan, jadi gue punya 3 om dan 1 tante yang kesemuanya sudah menikah. anak-anak mereka adalah sepupu gue, tapi karna perbedaan umur gue sama anak-anak mereka yang cukup jauh, jadi terlihat seakan-akan mereka keponakan gue, padahal gue belom punya keponakan karna belom ada Adam junior.
Selesai sholat Ied bareng keluarga, gue berlebaran sama nyokap bokap gue. Ga ada acara sungkeman, Cuma sekedar bersalaman dan berpelukan. Gue orang yang sangat manja ke nyokap. Gue selalu peluk dan cium2in pipi nyokap gue saat lebaran, yang jadinya malah ditertawakan keluarga gue yang lain.
Lisa tentu saja datang kerumah gue. Waktu itu gue lagi ngobrol-ngobrol sama 2 orang om gue dan abang gue sambil menikmati sirup didepan teras kecil rumah gue. Sebuah taksi berwarna biru berhenti diluar pagar rumah gue. Muncul sosok Lisa dari dalam taksi. Lisa menggunakan jilbab dengan hanya menggantungkannya di kedua bahunya, dengan menggunakan baju lengan panjang berwarna putih yang dia beli waktu itu, dipadukan jeans biru gelap yang biasa dia pakai. Seriusan, dia terlihat cantik banget waktu itu.
Abang dan para om gue cuma bengong melongo melihat Lisa yang berjalan masuk ke pagar sambil tersenyum.
Assalamualaikum ucap Lisa sambil berjalan mendekat ke teras.
Walaikum salam, maaf saya ga ngundang bidadari kesini jawab gue sambil bangkit dari duduk dan mendekat ke Lisa. Lisa mencubit tangan gue dengan muka merah, gue tau sepertinya dia cukup grogi.
Lisa bersalaman dengan abang gue dan berkenalan dengan om gue, kemudian gue mengajaknya masuk keruang tengah, dimana keluarga gue berkumpul disana.
Aku malu Gus.. ucap Lisa dengan wajah merah sambil memegang tangan gue berjalan ke ruang tengah.
Santai aja, ada Mba Rai juga didalem nanti buat nemenin kamu ngobrol. Dan yang pasti Ayah sama Bunda Aku ada juga jawab gue memasang wajah meledek Lisa
Yah, Bun, semuanya. Ini kenalin, Lisa. Ucap ke saat masuk ke ruang tengah mengenalkan ke keluarga gue.
Lisa mengitari keluarga gue dan menyalami satu per satu. Nyokap gue yang terlihat paling senang. Dia memeluk dan mencium pipi Lisa. Orang tua gue emang udah gue ceritain tentang selesainya hubungan gue dengan Liana saat mereka menelpon gue beberapa waktu yang lalu, jadi ga ada yang bingung dengan sosok Lisa yang baru mereka lihat. Yang ada malah terkagum-kagum dengan kecantikan Lisa. Hasilnya, gue yang diolok-olok dengan meledek kenapa Lisa bisa mau sama gue.
Gus, yang lama kemana" tanya om gue saat gue kembali ke teras depan meninggalkan Lisa yang sedang mengakrabkan diri diruang tengah.
Gue tuker tambah jawab gue singkat sambil duduk dan meneguk sisa sirup gue.
Hahaha gitu lah cowok jaman sekarang jawab om gue sambil tertawa. Gue cuma membalas dengan ekspresi menggerutu. Lo pada ga tau aja sebenernya gue yang diputusin. Gumam gue dalam hati.
Sayang, disuruh makan dulu sama Bunda ucap Lisa dari balik pintu hanya memunculkan kepalanya, yang kemudian gue langsung datangi. Om dan abang gue hanya senyum mendengarnya.
Kamu cantik banget hari ini bisik gue ke Lisa saat berjalan ke ruang tengah
Emang biasanya enggak" Tanya Lisa sambil memasang wajah cemberut.
Biasanya cantik, tapi hari ini cantik banget Jawab gue sambil mencubit pipinya yang kemudian dibalas dengan cubitan di perut gue.
Hari itu, bukan sekedar lebaran pertama gue dengan Lisa, tapi juga lebaran pertama gue dengan sosok lain selain Liana. Keluarga gue pun sangat menerima Lisa, walaupun mereka sempat memberondong Lisa dengan pertanyaan dan mengetahui Lisa non-muslim. Lisa yang orangnya memang sangat mudah berbaur membuat dia cepat akrab dengan keluarga gue, bahkan ada satu sepupu gue yang masih kecil bernama Aryo, selalu menempel di gendongan Lisa, sampe ga mau diajak pulang sama Ibu Bapaknya yang membuat keluarga gue jadi tertawa melihat tingkahnya.
Gue sangat mengapresiasi usaha Lisa untuk berbaur dengan dunia gue. Dia emang pinter menempatkan diri. Sebenernya, kalo dia mau pake kaos atau pakaian biasa aja saat lebaran ke rumah gue rasanya masih fine-fine aja. Tapi Lisa sampe beli baju dan jilbab gitu dan gue makin terpesona, dan tentu saja hal itu sangat berhasil membuat Lisa mencuri perhatian keluarga gue.
Lisa #4 Seiring berjalannya waktu, gue dan Lisa semakin terbiasa menghabiskan waktu berdua. Sepulang kerja gue selalu jemput dia terus kadang main ke kos nya sampe lewat tengah malam. Ada aja yang bikin kita seru berdua sampai ga ingat waktu, entah main ular tangga lah, sekedar tiduran sambil baca novel masing-masing lah, atau sekedar ngobrol-ngobrol di teras kecil depan kamar kos Lisa. Hampir tidak ada yang namanya konflik berarti dalam hubungan gue sama Lisa saat itu di hubungan kami. Konflik berarti yang gue maksud mungkin kaya sebuah pertengkaran sampai membuat hubungan kita renggang, hal itu ga pernah kami temuin. Mungkin karna kalau orang bilang, awal sebuah hubungan memang lagi manis-manisnya.
Tapi, Lisa itu orang yang sangat cemburuan. Dia juga agak melarang gue untuk dekat dengan Felicia, walaupun saat dikantor gue tetep ngobrol biasa sama Felicia.
Sekitar bulan Oktober, gue dikasih handphone BlackBerry sama Ko Hendri, sebagai fasilitas komunikasi dari kantor. Karna itu, handphone gue yang biasa gue pakai jadi dipakai Lisa, buat sekedar main game atau streaming youtube dan film-film korea. Tapi suatu hari, gue penasaran kenapa handphone gue udah ga pernah keliatan digunakan lagi sama Lisa, akhirnya gue menanyakan keberadaan handphone itu ke Lisa saat kami lagi bersantai di kamar kos nya.
Lis, handphone sam**ng aku mana" Kok ga pernah keliatan" tanya gue ke Lisa dari depan pintu kamarnya saat duduk menikmati segelas kopi sambil merokok, serta menikmati semilir angin malam yang cukup cerah.
Ga ada. Aku jual Lisa menjawab santai dengan posisi duduk diatas kasur bersandar dengan tumpukkan bantal sambil membaca sebuah buku novel.
Hah" Dijual" Dijual kemana" gue bertanya kaget
Ke si Fitri, staff ku di cabang jawab Lisa masih santai dan ga melepas pandangannya dari novel yang sedang dia baca.
Kok dijual" Kamu jual batangan"
Enggak, sama kardusnya Lah. Kan kemaren terakhir aku maen kerumah kamu itu aku bawa kardus handphone sama chargernya dari kamar kamu
Lah, terus kenapa dijual" Katanya kamu pinjem buat main game.
Biarin, aku ga suka handphone itu udah pernah dipegang sama cewek lain jawab Lisa sambil melotot kearah gue, merujuk nama Felicia yang pernah gue titipin handphone saat main futsal dulu, entah dia tau darimana. Gue hanya menepuk jidat sambil geleng-geleng mendengar jawaban Lisa, kemudian senyum-senyum sendiri melihat wajah Lisa yang cemberut. Ini anak ada aja tingkahnya, gumam gue dalam hati.
Gue sempat memprotes keputusan Lisa yang menjual handphone gue. Sebenernya dia jual dengan harga normal, Cuma gue protes karna dia ambil keputusan tanpa ngomong sama gue. Dan Lisa hanya merespon dengan memberikan sebuah flashdisk ke gue.
Uang penjualan hpnya aku pegang dulu, aku mau buat beli Tab aja biar rada gede buat nonton film-film korea. Data-data di hp kamu udah aku pindahin ke flashdisk ini. Kontaknya udah aku backup ke akun gmail. Tapi foto-foto dan kontak cewek itu aku apus. Kamu ga usah keganjenan deh nyimpen foto dia segala ucap Lisa dengan wajah cemberut.
Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gue hanya mengangguk sambil cengengesan mendengar ucapan Lisa dan menerima flashdisk tersebut. Kemudian mencoba membuka akun gmail dari hp buat melihat isi kontak gue untuk disalin ke handphone yang gue pakai saat ini. Lisa masih asik melanjutkan membaca novel sambil menikmati cemilan beberapa snack chiki. Gue sebenernya heran, biasanya cewek ga suka ngemil malem, tapi Lisa santai aja ngemil malem tiap hari, dan badannya tetep ga terlihat gendut, malah semakin menggoda. Halah.
Oiya Lis. Kamu punya nama chinese" tanya gue ke Lisa sambil menyalin kontak di handphone gue.
Punya. Kenapa" Siapa namanya" xxx xxAN CHING Hah" Apa tuh artinya"
Mana aku tau. Kenapa sih emang" Pasti abis ngobrol sama Hendri terus dia ngasih tau nama chinese nya dah, iya kan"
Hehehe iya, Ching. Tau aja jawab gue meledek.
Jangan panggil Ching doang, aneh kedengerannya ucap Lisa sambil merengek manja.
Hahaha, oh iya. Aku tau panggil apa
Apaa" Jangan aneh-aneh deh
Angchimo jawab gue meledek. Membolak balik dan menyingkat serta menambah dan mengurangi nama panjang chinese nya Lisa.
Apaan artinya" Gak tau, pokoknya aku panggil Angchimo jawab gue sambil meledek dan direspon dengan wajah manyun Lisa. Serius deh, wajah manyun Lisa itu malah bikin gemes, bukan bikin gue jadi merasa bersalah. Makanya gue suka ngeledek dia sampe dia manyun, kemudian mencubit gemes pipinya.
Lisa #5 Suatu sore pertengahan bulan Desember, ditengah badai pekerjaan yang belum terlihat mereda, handphone gue berdering menandakan panggilan masuk, nama angchimo tertulis di layar. Gue segera menjawab.
Kenapa angchimo" Sayang, aku mau resign aja ya ucap Lisa dari ujung telepon dengan suara terisak.
Resign" Emang kenapa" Ini kamu kenapa kok nangis"
Aku mau resign, aku muak sama orang-orang sini
Iya, tapi alesannya apa" Kenapa tau-tau mau resign"
Aku Cuma mau minta cuti biar bisa natalan dirumah. Dari akhir November aku udah ajuin. Eh malah barusan dari HRD surat cuti aku dibalikin
Alesannya apa kok bisa dibalikin"
Ga tau. Ada tanda tangan Tya dan keterangan tidak disetujui karna alasan operasional'. Aku telepon Tya, dia bilang atasan operasional ga setuju kalo ada orang operasional yang izin cuti di libur natal dan tahun baru. Berengsek banget itu orang Lisa bercerita dengan nada kesal sambil terisak.
Lho" Ya kamu berarti ga dapet izin dari orang-orang operasional, bukan dari Tya. Gue menjawab untuk menengahi.
Enggak, Tya nya yang emang dari awal udah ngancem ga bakal setujui izin cuti liburan natal dan tahun baru. Dia bilang sendiri kok ke staf-staf aku di cabang. Aku tetep ajuin karna manager area aku setuju sama izin cuti aku
& .. gue ga menjawab karna mencoba mencerna omongan Lisa, dan bingung sama alasan Tya kenapa menolak izin cuti orang yang mau merayakan hari raya nya, toh sudah dapet persetujuan dari atasan langsung.
Di kantor gue, ga peduli libur nasional sekalipun, operasional tetep berjalan. Kita yang di kantor pusat emang jam kerja nya lebih bersahabat, sabtu dan minggu Libur, ada cuti bersama saat lebaran, dan hari libur nasional tentu saja kita libur. Tapi hal itu ga berlaku buat orang-orang yang terlibat di operasional, setinggi apapun jabatannya. Tapi gue rasa yang namanya cuti itu hak karyawan, harusnya ada toleransi sedikit lah, apalagi alasannya jelas, karna merayakan hari raya, asal disetujui atasan langsung harusnya HRD ga berhak menolak.
Orang-orang di HRD emang kayanya ga suka sama aku Gus, aku udah males kerja kalo berbenturan sama HRD. Kalo sama orang-orang operasional aku bisa keras, tapi kalo sama HRD, kalo aku keras juga, nanti cabang aku yang kena imbasnya. Aku mau resign aja. Mereka udah ga bisa professional dalam bekerja ucap Lisa sambil menahan tangisannya.
Gue mengiyakan dan menutup telepon tersebut. Gue ga bisa bohong bahwa saat itu gue jadi tersulut emosi, apalagi denger Lisa nangis. Gue aja selama ini berusaha banget buat ga bikin dia nangis. Dan kelakuan orang-orang HRD emang makin anehaneh aja akhir-akhir ini dan gue merasakan itu. Gue awalnya ga begitu menanggapi karna kalo kata Ko Hendri mereka Cuma iri aja lihat gue bisa jalanin sama Lisa sedangkan malah mensia-siakan Felicia yang dalam hal ini juga bagian dari team HRD.
Gue meninggalkan meja kerja dan bergegas naik ke ruangan HRD. Gue langsung masuk ke ruangan Tya tanpa basa basi.
Ya. Alesannya apa kok izin cuti Lisa lo tolak" tanya gue dengan nada sedikit tinggi saat berhadapan dengan Tya didepan meja nya.
Lah" Ngapain lo ikut campur urusan cuti karyawan" Tya menjawab dengan nada kesal
Gue ga peduli kalo urusan cuti orang lain. Gue nanyain izin cuti nya Lisa
Yaa Lisa cuti ga disetujuin sama atasan operasional kok. Jelas aja ga gue approve. Lagian udah ada internal memo nya, operasional tetep berjalan saat libur natal dan tahun baru
Enggak, Lisa ngajuin cuti karna udah dapet persetujuan dari manager area nya
Bukti nya mana" Bahkan manager area nya ga mau tanda tangan di form cuti Lisa. Lagian lo kenapa sih" Jangan cuma karna dia pacar lo terus lo belain gitu dong.
Ya jelas gue bela. Sikap lo sama team lo ini makin lama makin keliatan banget ga suka sama Lisa. Salah dia apa" Kalo lo ga suka sama gue, ngomong depan kepala gue, jangan malah nyudutin Lisa. Gue kali ini membentak dan meninggalkan ruangan Tya.
Di luar ruangan, para team HRD melihat ke arah gue, mungkin karna keributan yang gue bikin membuat mereka penasaran. Gue sempet melihat Felicia yang Cuma menatap gue dengan wajah kecewa sambil geleng-geleng kepala. Bodo amat, gue bahkan ga menanggapi reaksi dia dan kemudian berjalan cepat kembali ke meja kerja gue.
Jam menunjukkan pukul 6 sore saat gue sedang membereskan meja kerja bersiap pulang. Rini sempat memberitahu bahwa tadi Ko Hendri menelpon mencari gue. Gue mengacuhkan karna beranggapan Ko Hendri Cuma ngajak ngopi diruangannya seperti biasa.
Gue langsung turun kebawah. Didepan kantor, gue melihat ada Heri dan Rendi yang sedang asik menikmati kopi hitam sambil menghembuskan asap rokok ke udara.
Ngopi dulu Bags, lo mau langsung jemput nyonya ya" tanya Rendi menyapa saat gue lewat.
Enggak, ntar malem gue jemputnya. Sevel aja yuk jawab gue sambil terus berjalan melewati Heri dan Rendi.
Yee ini si kunyuk maen jalan aja. Masa gue bawa-bawa gelas plastik begini ke sevel gerutu Heri sambil berjalan mempercepat langkahnya mengikuti gue yang kemudian disusul Rendi.
Di minimart 7-11, Gue, Rendi, dan Heri mengambil beberapa botol kecil bir dingin dan setumpuk cemilan hasil inisiatif Rendi. Setelah itu kami memilih tempat duduk dibagian luar. Dan mengobrol bercanda seperti biasa. Tidak lama kemudian Ko Hendri datang dan duduk bergabung dengan kami.
ini nih yang bikin Indonesia makin deket ke jurang degradasi moral. Anak muda nya pada nongkrong mabok-mabokan begini ucap Ko Hendri meledek cengengesan sambil menuang botol bir ke gelas karton dan meneguknya. Kami hanya merespon dengan wajah meledek melihat tingkah Ko Hendri.
Bags, lu tadi gue ajak ngopi malah lagi ga ditempat kata Rini lanjut Ko Hendri sambil mengelap sisa bir dimulutnya dengan telapak tangannya.
Iya, lagian tanggung udah mau pulang lo baru ngajak ngopi gue menjawab sambil menyulut rokok.
Tadi lu kenapa di ruangan HRD" Ko Hendri bertanya sambil menatap gue
Oh, enggak. Cuma soal izin cuti Lisa. Lo pasti udah tau lah
Iya, tapi lu orang ga bisa kaya gitu lah Bags. Itu kan emang&
Mereka yang harusnya ga bisa kaya gitu Ko. Profesional dikit lah, gue tau mereka jadi ga suka sama gue gara-gara soal Felicia. Tapi ga usah jadi mempersulit Lisa jawab gue memotong ucapan Ko Hendri.
Ko Hendri mengangguk-angguk sambil tersenyum, seperti sedang berusaha memilih kata yang tepat untuk dibicarakan. Sementara Heri dan Rendi hanya menyimak sambil memandangi gue dan Ko Hendri bergantian.
Bags, kita ini udah terbiasa bekerja dengan cara kekeluargaan. Sedikit kurang professional rasanya ga masalah deh. Cuma tetep lu orang ga pantas bersikap kaya tadi ucap Ko Hendri dengan tenang.
Oh ya" Kekeluargaan" Yang saat salah satu temennya dikecewakan terus jadi memusuhi orang lain, bahkan sampe urusan kerjaan dibawa-bawa" Itu bukan sedikit kurang professional tapi jauh dari kata profesional Ko gue menjawab kesal
Terus menurut lu sikap lu tadi profesional, hah" Lo bikin ribut diruang HRD. Ngebentak Tya yang notabene seorang manager HRD. Dan gue juga bisa aja Bags manggil lu dan kasih surat teguran buat lu karna kelakuan lu tadi. Tapi apa" Gue malah gabung kesini, minum bareng lu orang semua, dan ngomongin hal ini sebagai seorang temen jawab Ko Hendri dengan tenang.
Gue ga bisa menjawab. Gue mengakui kebodohan gue kali ini. Tersulut emosi dan bertindak diluar batas. Bener kata Ko Hendri, dia bisa aja kasih surat teguran, atau bahkan surat peringatan langsung dari Tya karna gue udah bentak dia dan bikin keributan di kantor. Heri dan Rendi pun terlihat mengangguk-angguk menyetujui ucapan Ko Hendri.
Bags, Tya marah banget sama kelakuan lu tadi. Dia bilang mau kasih surat peringatan ke lu dan minta tanda tangan gue sebagai atasan lu tanda menyetujui. Ucap Ko Hendri.
Tapi gue bilang sama Tya, ini urusan pribadi. Biar gue coba omongin sama Lu orang, gue tau lu orang Cuma mau ngebelain pacar lu yang nenurut lu dirugikan dalam hal ini. Tapi, coba lu contoh cara gue sekarang, cara gue membela pacar gue yang lu bentak bukan dengan cara kasih kerugian dalam hal pekerjaan ke lu orang, gue lebih suka segala sesuatu diomongin baik-baik kaya gini. Lanjut Ko Hendri sambil memegang pundak gue.
Gue, Heri, dan Rendi serempak melihat kearah Ko Hendri. Mempertanyakan kata membela pacar' yang artinya dia sama Tya sudah pacaran.
Lo pacaran Ko, sama Tya" tanya Heri dan Rendi hampir bersamaan, yang dijawab dengan anggukan dan senyuman dari Ko Hendri.
Lisa #6 Malam hari nya, gue menjemput Lisa dan mengantarnya langsung ke kos nya. Lisa tidak banyak bicara, bahkan bersenandungpun tidak. Gue yang mencoba mengajaknya ngobrolpun tidak dihiraukan. Di kos nya, Lisa hanya tiduran sambil membaca sebuah novel dan menikmati cemilan. Gue duduk didepan pintu sambil menikmati segelas kopi dan merokok.
Aku mau pulang ke Surabaya ya Gus ucap Lisa memecahkan keheningan.
Kapan" gue mematikan rokok dan duduk mendekat ke Lisa.
Nanti habis resign. Aku natalan disini aja gapapa. Setelah resign aku pulang jawab Lisa dengan nada sedih.
Lah" Pulang seterusnya" Ga balik lagi"
Ga tau. Nanti aku tetep ngelamar kerja dari sana. mudah-mudahan dapet kerja disini lagi. Ucap Lisa sambil menutup buku novelnya dan duduk dipinggir kasur, sementara gue duduk di lantai bersandar pinggiran kasur.
Gue bingung harus jawab apa. Gue memutar otak memilih-milih kata yang tepat untuk disampaikan.
Tapi aku ga mau jauh dari kamu Gus ucap Lisa sambil memeluk gue dari belakang.
Gapapa, kamu pulang aja. Nanti sesekali aku main kesana. Jawab Gue menghibur Lisa
Kamu ga berat ya jauh dari aku"
Bukan gitu. Aku justru gamau tetep maksain kamu disini sementara disinipun kamu ga tau mau ngapain
Kali ini Lisa yang tidak menjawab. Dia hanya diam sambil menyandarkan kepalanya di pundak gue, masih dengan posisi memeluk gue dari belakang.
Atau, kamu mau tetep disini aja sambil tetep cari-cari kerja" gue bertanya ke Lisa membuyarkan lamunannya.
Kalo Mama tau aku ga kerja pasti aku disuruh pulang Gus. Apalagi Koko, dia emang udah lama banget nyuruh aku pulang buat kerja di Surabaya aja.
Yaudah, ga perlu bilang lagi ga kerja gue menjawab santai sambil cengengesan.
Nanti uang bulanan buat Mama gimana"
Eh" Kamu tiap bulan kirim uang ya"
Iya lah. Jawab Lisa singkat sambil mencubit perut gue.
Aku masih ada tabungan sih buat bertahan hidup beberapa bulan dan tetep kirim uang ke mama. Tapi nanti pengeluran lain gimana ya" lanjut Lisa.
Gini deh, pengeluaran bulanan kamu apa aja sih" gue bertanya sambil melepas pelukan Lisa dan menarik Lisa turun dari pinggir kasur. Kami duduk saling berhadapan.
Ya buat makan sehari-hari, beli keperluan buat di kos kaya sabun, air minum, dll. Terus bayar kos, terus kirim uang ke Mama, terus perpuluhan gereja. Jawab Lisa sambil menggoyang-goyangkan jarinya tanda sedang berhitung
Perpuluhan" gue bertanya bingung
Perpuluhan itu, kita sumbang 10% penghasilan kita ke gereja Lisa mencoba menerangkan.
Wajib ya" Ya enggak juga, kaya amal gitu Gus. Cuma ya sebisa mungkin aku ga mau lewatin itu. Karna itu sebagai ucapan terima kasih atas rezeki kita dari Tuhan, yang nantinya digunakan buat keperluan2 gereja atau dibagikan ke orang yang kurang beruntung.
Gue mengangguk-angguk mencoba memahami. Mungkin kalo dalam islam seperti zakat 2.5% atau yang biasa disebut zakat profesi, bagi orang yang berpenghasilan. Tapi ini nominal nya 10%" Lumayan juga pengeluaran segitu. Gue salut sama Lisa yang memang gaya hidupnya sangat jauh dari kata mewah, meskipun dia punya jabatan dan gaji yang lebih dari cukup. Dan dia selalu menyisihkan 10% penghasilannya itu.
Berarti kalo ga kerja ga perlu keluarin 10% itu kan" tanya gue ke Lisa.
Harusnya sih enggak. Tapi aku ga pernah ga ngeluarin perpuluhan itu semenjak kerja dari lulus SMA. Rasanya pasti aneh aja kalo ga bayar perpuluhan, kaya ada hutang Yaudah, sementara nanti kalo ga kerja ya ga usah dulu aja. Kan kamu mau tetep kirim uang ke mama, yang lain-lain nanti aku bantu. Kamu resign aja, tapi sambil cari-cari kerja lain jawab gue sambil mengusap-usap kepala Lisa yang disambut dengan senyuman.
Tahun itu, Lisa melewati natal pertama nya bareng gue. Ga ada perayaan spesial memang, gue Cuma mengantar dia beribadah malam natal ke gereja, kemudian menemani dia saat harus bekerja di hari natal. Untungnya ga ada rasa kecewa di wajah Lisa, dia menikmati pekerjaannya di hari natal itu. Sementara saat tahun baru, Lisa kerumah gue dan ikut acara bakar-bakaran bareng abang gue, istrinya, dan beberapa teman-teman gue. Bukan sebuah perayaan yang mungkin diharapkan oleh Lisa. Hanya sekedar melewati waktu berdua.
Januari 2014, setelah selesai libur tahun baru. Semua balik lagi ke rutinitasnya masingmasing. Gue mulai bertarung lagi dengan tumpukan-tumpukan kerjaan, Lisa menjalankan hari-hari terakhirnya sambil sesekali mendatangi beberapa panggilan interview dari tempat yang dia lamar.
Sampai pada sore hari di pertengahan Januari, gue seperti biasa lagi asik ngopi bareng Ko Hendri diruangannya.
Bags, minggu depan lo bisa ke cabang yang di Bali ga" tanya Ko Hendri sambil menyeruput kopi panas yang baru gue buat.
Emang ada apaan Ko" Terus tumben gue yang lo suruh. Rini kemana"
Rini minggu ini kunjungan ke cabang Pekanbaru. Cuma kunjungan biasa aja, lo periksa bukti semua transaksi disana, pasti bisa dah
Yaudah atur aja Ko. Gue mah apa kata lo
Yaudah, nanti Surat Dinas sama tiket nya gue kasih ke meja Lo. Sementara lo siapin aja keperluan yang mesti dibawa. Laptop kantor minta ke bagian IT. Senen depan ya lo jalan, seminggu lah disana.
Siap Ko. Atur aja gue menjawab santai menyanggupi tugas pertama kali dikirim ke cabang luar kota, luar pulau malah.
Malamnya, gue mengabari Lisa tentang tugas gue tadi saat main ke kos nya. Lisa sedikit kaget dengan keputusan gue menerima tugas tersebut.
Emang harus kamu yang berangkat" Buat apa ada Rini" protes Lisa saat mendengar cerita gue.
Rini ke Pekanbaru. Ya siapa lagi mau jalan" Staff lainnya ga bakal dipercaya sama Ko Hendri
Ya Hendri aja harusnya jalan sendiri, kenapa kamu malah nyanggupin" Senen depan itu hari terakhir aku keja Gus Lisa merengek menyalahi keputusan gue.
Yailah terus kenapa kalo hari terakhir kerja" Lagian aku Cuma seminggu doang gue mulai sedikit kesal dengan rengekan Lisa.
Mau seminggu, mau Cuma sehari, apa susahnya sih nolak tugas itu" Kamu yang nyuruh aku disini aja walaupun berhenti kerja, kamu bilang mau nemenin. Mana" Malah pergi ninggalin seminggu enak-enakan ke Bali. Jawab Lisa masih merengek dan merebahkan badannya ke kasur.
Enak-enakan" Aku kesana kerja, bukan liburan. Lagian emang selama ini aku pernah ninggalin kamu" Aku Cuma mau pergi sebentar karna tugas dari kantor aja dibilang ninggalin kamu sendiri. Gue meninggikan nada suara gue dan keluar dari kamar kos Lisa. Gue memutuskan buat pulang. Gue ga bisa kalo tetep disana nanti malah makin terjebak emosi.
Kuta #1 Gue akhirnya tetep berangkat karna emang ga mungkin membatalkan sepihak tugas yang udah dipercayakan ke gue. Lisa pun akhirnya menyetujui karna sadar ga bisa merubah keputusan itu.
Senin pagi pertengahan Januari 2014, gue bangun sedikit kesiangan yang akhirnya bikin gue buru-buru buat langsung ke Bandara. Gue sempet mengecek handphone ada 1 missed call dari nomer tanpa nama dan 1 whatsapp dari Ko Hendri.
Bags, nanti lu jangan lupa ke kantor dulu paling telat jam setengah 6, berangkatnya bareng team lain dianter driver kantor
Gue segera membalas whatsapp dari Ko Hendri.
Sorry Ko, gue kesiangan. Kayanya ga keburu kalo ke kantor dulu, gue langsung ke bandara aja
Yaudah, naik taksi aja. Nanti uangnya di reimburse.
Ga usah Ko, gue naek Damri aja. Sama aja kok malah lebih cepet kayanya.
Atur aja Bags, jangan telat.
Gue bergegas ke daerah Pasar Minggu buat mencegat Damri menuju ke Bandara. Gue sempet mengabari Lisa sebelum berangkat dan dia Cuma berpesan seperti biasa, Ati-ati, jangan lupa doa sepanjang jalan .
Sampai di Bandara, gue langsung masuk gate pemumpang terminal 3 buat segera check in. tapi karna jam boarding di tiket dan jam saat itu masih selisih sekitar sejam, gue memutuskan keluar ke ruang tunggu setelah check in, lumayan bisa ngopi-ngopi dulu.
Gue dikejutkan satu sosok wanita yang sangat gue kenal, sedang duduk di ruang tunggu sambil memasang headset di telinga nya, bareng beberapa orang temen kantor gue yang sepertinya bagian dari team untuk kunjungan ke cabang hari ini. Gue berjalan mendekat kemudian duduk disampingnya.
Boarding masih sejam lagi kan" tanya gue basa basi sambil memasang senyum ke wanita tadi dan 3 orang temen kerja gue yang lain.
Bagus" Kok lo ikut juga" Bukan Rini" tanya Felicia kaget sambil melepas headsetnya.
Rini ga jadi ikut, dia nyuruh gue nemenin lo disana katanya, gue mah nurut aja jawab gue bercanda sambil cengengesan.
Aah bohong, Baguusss& Ucap Felicia gemas sambil mencubit perut gue.
Entah hanya kebetulan atau emang udah di rancang sama Ko Hendri, yang pasti gue seneng banget, bisa kerja sambil liburan bareng Felicia. Dan kali ini gue harus bohong sama Lisa saat ditanya siapa aja team yang berangkat, gue ga bilang ada perwakilan dari HRD. Mungkin ini yang disebut White Lie', kebohongan demi menghindari konfrontasi berkepanjangan dengan Lisa.
Di pesawat, gue dapet duduk bersebelahan dengan Felicia. Ini murni kebetulan, karna gue ga check in pesawat bareng dia. Mungkin emang isi semesta udah pada berkonspirasi buat menyatukan gue dengan Felicia.
Sebelum terbang, gue menelpon Lisa untuk sekedar mengabari. Kemudian mematikan handphone dan menyimpannya di tas. Selama penerbangan, Felicia ga mengizinkan gue tidur, padahal mata gue masih berat banget karna harus bangun lebih awal. Felicia selalu menemukan cara buat ganggu gue saat mata gue mulai terpejam. Jadilah gue meladeni dia bercanda, yang malah bikin seisi pesawat merasa terganggu dan menoleh kearah kita, bahkan sampe pilotnya juga. Oke enggak, itu becanda.
Sampai di Bali sekitar jam 11 siang, kami langsung menuju kantor cabang dengan mobil jemputan yang udah disiapkan. Gue juga sempet menyalakan handphone buat mengabari Lisa. Seharian gue disibukkan memeriksa seluruh transaksi cabang, Felicia dan teman-teman yang lain juga melakukan tugasnya masing-masing. Jam 6 sore, kami sudah menyelesaikan pekerjaan hari itu dan langsung menuju sebuah hotel di daerah Legian. Setelah check in dan berbagi kamar, gue langsung menuju kamar gue buat mandi, dan merebahkan diri di kasur. Kami menginap di 3 kamar, Felicia dengan temen kantor gue yang juga perempuan. 2 orang temen gue berbagi kamar, sedangkan gue sendiri, tapi dengan kamar yang sedikit lebih kecil.
Panggung Kematian 2 Goosebumps - Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan Cewek 5