Pencarian

Karma Will Always Find 3

Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser Bagian 3


Gue setengah tersadar saat pintu kamar gue diketuk berkali-kali dari luar. Gue liat jam di handphone, ternyata sudah jam 10 malam. Gue bangkit dari kasur dan membukakan pintu, mendapati sosok Felicia yang sambil cengengesan.
Gus, ke Kuta yuk.. ucap Felicia langsung menarik tangan gue.
Udah jam 10 Fel, gue mau tidur.
Kalo mau tidur mah dirumah aja, disini kita pagi nya kerja, malamnya liburan ucap Felicia kesal.
Gue balik ke kamar dan mengambil jaket gue kemudian langsung keluar hotel dengan Felicia. teman-teman yang lain juga katanya sudah di Pantai Kuta. Kita berjalan kaki menyelusuri jalan Legian yang cukup ramai menuju Pantai Kuta. Ini pertama kalinya gue menginjakkan kaki di Bali, dan beruntungnya gue ga perlu keluar ongkos karna dibayarin kantor.
Sampai di pinggir Pantai Kuta, gue bertemu dengan teman-teman yang lain yang lagi asik duduk-duduk dipinggir pantai sambil menikmati beberapa botol bir dingin dan cemilan.
Apa yang diliat malam-malam begini di pantai" tanya gue ke Felicia saat duduk disampingnya beralas sendal.
Bukan pemandangannya lah yang pasti, tapi suasana nya. Seru aja Gus duduk-duduk disini kalo malem jawab Felicia
Suasana" Kayanya di Bar sana tadi lebih seru ucap gue sambil mengambil botol bir dan meneguknya kemudian menyulut sebatang rokok.
Gue minum didepan lo gapapa kan Gus" tanya Felicia sambil mengambil botol bir kecil dari temen gue.
Ha" Lo minum juga" gue bertanya kaget.
Yailah Cuma bir kali Gus. Felicia menjawab santai.
Ya minum aja, bukan hak gue juga buat ngelarang
Iya lah, lo sendiri minum masa mau ngelarang orang ucap Felicia sambil meneguk bir ditangannya.
Ya ga gitu. Kalo pacar gue mah pasti gue larang. Gue perokok, tapi gue ga bakal mau punya pasangan ngerokok. Gue minum tapi gue ga mau dapet pasangan yang juga minum, walaupun sekedar Bir. Ucap gue sambil menghembuskan asap rokok ke udara.
Felicia ga menatap gue, tapi langsung menyingkirkan botol bir itu dari tangannya, dan menatap kosong kedepan, ke hamparan laut dengan gemuruh ombak yang tenang.
Kalo Cuma temen mah gue ga masalah kali Fel. Ucap gue sambil mengambil botol itu dan meletakkannya disamping gue.
Felicia ga merespon, masih tetep diam menikmati suasana malam Pantai Kuta. Dan sejak malam itu, ga perduli berapa kali pun gue ke Bali, ga perduli malam udah mendekati pagi, gue pasti ke Pantai Kuta. Sebuah aktivitas yang udah jadi ritual buat menenangkan diri, melewati malam di Pantai Kuta. Seperti yang Felicia bilang, bukan menikmati pemandangannya, tapi menikmati suasana nya.
Kuta #2 Rutinitas harian gue selama di Bali adalah seputaran kerjaan di cabang sampe jam 6 sore, kemudian jalan keliling sekedar cari makan dan nongkrong di Pantai Kuta. Ga selalu sama Felica, kadang gue jalan sendiri tanpa peduli waktu.
Di jam kerja sebenernya gue sering ngerasa ga adil. Karna gue liat Felicia dan temen yang lain lebih santai dan menikmati kerjaan ini kaya kunjungan wisata. Sementara gue berpeluh dengan tumpukan-tumpukan bukti transasksi cabang, merekap semuanya, dan mencicil satu persatu kedalam sebuah laporan yang harus gue serahin ke Ko Hendri di kantor nanti. Gue sengaja kerjain sedikit-sedikit supaya saat balik ke kantor pusat gue ga akan terganggu dengan sisa laporan kunjungan kerja yang bakal menambah tumpukan kerjaan yang harus gue selesaikan.
Pada kamis malam, malam terakhir gue ditugaskan di cabang Bali, gue merebahkan badan di kasur sambil menatap langit-langit hotel dengan melempar pikiran gue jauh ke antah berantah. Gue ngantuk dan capek banget sebenernya, tapi ga tau kenapa mata ini susah buat diajak berkompromi untuk segera terpejam. Semakin gue coba buat tidur, semakin seger mata gue buat tetep terbuka.
Gue memutuskan buat mendatangi kamar Felicia. Jam 11 malem gue mengetuk pintunya, tapi temen gue yang membukakan, Felicia udah tidur.
Gue masuk ke kamar Felicia, mendapati sosok wanita manis sedang tertidur lelap dalam rasa damai di mimpi nya. Gue duduk setengah bersimpuh di lantai tepat di samping kasur tempat Felicia tidur, mengusap-usap rambutnya, menikmati cantik wajahnya dalam ekspresi datar namun terkesan tenang, tidak dibuat-buat. Tidak tampak sosok Felicia yang berisik dan banyak tingkah, tidak tampak sosok Felicia yang bawel dan suka ngomongin semua hal. Hanya tampak sosok seorang wanita dengan wajah teduh dan damai, menikmati tenang nya malam dengan bibir tipis yang selalu memasang senyum.
Fel, bangun dong bisik gue pelan didekat Felicia.
Perlahan gue melihat Felicia memicingkan matanya dan melihat kearah gue dengan setengah heran, kemudian memasang senyum bangun tidur yang khas.
tumben udah bangun Gus ucap Felicia asal sambil mengambil tangan kiri gue dan mengapitnya dipipinya, sebagai bantal tempat dia merebahkan kepalanya.
Bangun dong Fel, temenin gue ke Kuta yuk ucap gue sambil mengusap rambutnya dengan tangan kanan.
Emang jam berapa sekarang" Masih malem ya" Felica membuka mata dan melihat kearah gue.
Iya, baru jam 11. Mau ikut ke Kuta ga" tanya gue ke Felicia.
Felicia bangun dari tidurnya dan duduk dipinggir kasur. Merenggangkan badannya sejenak kemudian ke kamar mandi. Gue keluar kamar dan bilang ke temen sekamar Felicia untuk meminjam Felicia yang dijawab dengan anggukan.
Gue dan Felicia berjalan kaki menelurusi jalan Legian menuju pantai Kuta. Suasana yang sama seperti malam pertama kami disini. Bedanya, ga ada teman-teman yang menunggu di Pantai Kuta. Ga tau kenapa gue milih mengganggu Felicia yang udah nyenyak tidur buat menemani gue malam ini.
Kami mampir didepan sebuah minimart didepan Pantai, membeli beberapa minuman dingin dan cemilan. Kemudian menyeberang jalan dan memilih spot duduk yang dekat dengan bibir pantai. Suasana di pinggir Pantai Kuta ga terlalu banyak angin, tapi suara ombaknya cukup kencang dan menenangkan.
Sayang banget kan Fel kalo Cuma tidur, besok ga bisa kesini lagi malam-malam ucap gue ke Felicia. Dia Cuma menjawab dengan senyuman dan mengangkat kedua alisnya.
Lama kami ga saling berbicara. Membiarkan suasana tenang ini menemani. Gue membuang jauh pandangan gue ke langit cerah Pantai Kuta, yang juga dilakukan oleh Felicia.
Lo gimana Gus sama Lisa" Tanya Felicia memecahkan keheningan, mengusir sepi yang mulai menghinggapi kami.
Baik, Fel. Gue menjawab singkat tanpa menatapnya.
Lisa jadi resign" Jadi. Emang kenapa dia resign" Mau meried ya lo berdua" Biar ga sekantor gitu" tanya Felicia dengan sambil mendekatkan wajahnya dari samping gue.
Enggak lah. Belom kepikiran kesana
Lo ngapain ngejalanin hubungan kalo bukan karna kesana tujuannya"
Fel, jangan bahas itu dulu ya. Gue lagi nikmatin suasana ini. Kapan lagi gue bisa duduk disini ditemenin sama lo. Ucap gue sambil memasang senyum ke Felicia.
Felicia membalas dengan anggukan pelan dan senyuman manisnya. Kemudian menyandarkan kepalanya di bahu gue. Ga tau kenapa gue reflek melingkarkan tangan gue ke pinggangnya. Mungkin kebawa suasana aja, gue ga ada niat buat kaya gitu sebelumnya.
Gus. Dari awal ketemu, gue juga ngerasa kaya udah pernah kenal lama sama lo. Ucap Felicia sambil membuang pandangannya ke langit malam.
Mungkin& Jauh sebelum kita ketemu, kita memang berasal dari bintang yang sama. lanjut Felicia pelan dengan senyum tipisnya terpasang.
Gue menatap wajahnya tepat didepan wajah gue. Felicia memasang senyum terbaiknya. Senyum yang ga akan pernah gue temui di sosok Lisa, atau sosok wanita lain. Senyum yang membuat gue benci sama diri gue sendiri, yang melewatkan sebuah kesempatan untuk menjaga senyuman itu. Perlahan, wajah kami saling mendekat. Gue tau ini salah. Tapi gue juga ga bisa menahan diri gue. Gue mencium bibir tipis yang selalu terpasang senyum di wajah Felicia.
Sebuah ciuman yang membuat hati gue seketika mendadak merasakan kehangatan. Semua ciuman yang tulus, yang membuat gue kembali merasa hidup. Sebuah ciuman yang menjanjikan rasa damai. Sebuah ciuman yang melepas rasa rindu dari hamparan tanah kering pada sang hujan. Sebuah ciuman yang memancarkan cahaya hangat seperti harapan dari tanaman kepada sang fajar. Sebuah ciuman yang membuat gue menanam benih karma di pulau para dewata.
Kami memutuskan kembali ke hotel sekitar jam 2 dini hari. Sepanjang perjalanan pulang, gue dan Felicia ga saling bicara, hanya saling berpengangan erat. Kami tau ini bukan sesuatu yang akan bertahan selamanya, kami ga perduli, hanya menikmati malam itu dengan saling jujur terhadap perasaan yang tersimpan selama ini.
Gue mengantar Felicia sampe didepan kamarnya, mau memastikan dia masuk dulu baru gue kembali ke kamar. Felicia mengetuk pintu kamar beberapa kali tapi ga ada respon dari temen sekamarnya.
Mungkin udah tidur kali ya" ucap Felicia sambil bersandar didepan pintu kamarnya.
Sini gue yang gedor pintunya biar dia bangun gue menggeser badan Felicia dan bermaksud mengetuk pintu lebih keras.
Ga usah Gus, kasian orang tidur dibangunin. Felicia menahan tangan gue.
Lah terus gimana" Gue numpang dikamar lo gapapa kan"
Eh" Yaa gapapa sih. Tapi kan kamar gue Cuma single bed.
Yaudah ke kamar lo aja ucap Felicia sambil berlalu menuju kamar gue. Gue malah jadi salah tingkah dan menggaruk-garuk kepala tanpa rasa gatal sambil menyusul dibelakang Felica.
Kuta #3 You're just too good to be true Can't take my eyes off you You'd be like heaven to touch I wanna hold you so much At long last love has arrived And I thank God I'm alive You're just too good to be true Can't take my eyes off you
Pardon the way that I stare There's nothing else to compare The sight of you makes me weak There are no words left to speak But if you feel like I feel
Please let me know that is real You're just too good to be true I can't take my eyes off you
I love you baby And if it's quite all right I need you baby
To warm the lonely nights I love you baby
Trust in me when I say Oh pretty baby Don't let me down I pray Oh pretty baby
Now that I've found you stay And let me love you, baby Let me love you
You're just too good to be true I can't take my eyes off you You'd be like heaven to touch I wanna hold you so much At long last love has arrived And I thank God I'm alive You're just too good to be true Can't take my eyes off You
I love you baby And if it's quite all right I need you baby
To warm the lonely nights I love you baby
Trust in me when I say Oh pretty baby
Don't let me down I pray Oh pretty baby
Now that I've found you stay And let me love you, baby Let me love you
You're just too good to be true Lagu Can t Take My Eyes Off You yang di re-aranged oleh Muse mengalun pelan melalui speaker handphone gue yang tergeletak disamping Felicia yang sedang tertidur diatas kasur kamar hotel gue. Gue duduk didekat jendela menikmati sebatang rokok, melempar pandangan gue ke langit Bali yang cerah. Ribuan bintang, atau mungkin jutaan bintang diatas sana saling beriringan menghiasi malam menuju pagi.
Gue masih belum bisa memejamkan mata, sementara Felicia sudah lelap dalam tidurnya. Gue menjentikkan jari membuang sisa rokok dan mendekat ke kasur. Menatap dalam ke wajah Felicia yang mungkin sudah asik dalam mimpinya. Mata gue menatap lekat setiap inchi wajahnya, kecantikan yang sebenernya relatif, tapi mampu membuat gue menyesal telah melewatkan sebuah jalan dengannya, sementara pikiran gue memutar kembali semua ucapan Felicia beberapa menit yang lalu.
Sebelum tertidur, Felicia seperti biasa bercerita tentang banyak hal. Gue ga begitu ingat apa yang dia bicarakan. Dia tipe pembicara random, yang bisa dengan cepat berganti topik pembicaraan dari satu judul ke judul lain. Tapi itu yang membuatnya istimewa di mata gue. Pembawaannya yang riang ditambah gestur tubuh nya saat berbicara seakan membuat seisi dunia berhenti dari aktifitasnya untuk menatap Felicia.
Iya, gue ga bisa memungkiri bahwa gue memujanya, mungkin lebih tepatnya; memujinya lebih dari rasa gue ke Lisa. Tapi, setiap jalan yang gue pilih membuat gue lebih dewasa untuk lebih berhati-hati dalam melangkah dikemudian hari. Felicia memang sosok gadis yang sangat gue idolakan, bahkan sejak pertama kali gue memutuskan untuk bekerja disana. Tapi Lisa, entah kenapa, dengan segala keistimewaannya mampu mengalihkan pandangan gue, memutarbalikkan kenyataan yang saat itu sebenernya sedang membawa gue dalam kondisi terpuruk setelah kehilangan Liana, menjadi sebuah berkah tersendiri saat memutuskan untuk membuka diri dan berbagi dengan orang lain.
Gus, gue tidur duluan ya. ucap Felicia saat merebahkan kepalanya diatas telapak tangan gue sebelum dia tertidur tadi. Gue merespon dengan senyuman.
Gus, kalo semua ini, semua kedekatan kita, semua kebahagiaan yang cuma sesaat ini ternyata hanya mimpi, tolong jangan pernah bangunin gue. Gue mau selamanya kaya gini Gus.. ucap Felicia sambil menutup kedua matanya.
Tapi besok, saat kita sama-sama harus terbangun, gue ga mau kita terlalu deket lagi ya Gus. Gue ga mau terus membohongi diri gue sendiri yang semakin terjebak sama perasaan ini lanjut Felicia dengan nada suara yang semakin pelan, kemudian berganti dengan suara lantunan nafasnya yang halus.
Gue menggeser tangan pelan-pelan setelah memastikan Felicia terlelap. Kemudian memilih duduk didekat jendela untuk menikmati sisa-sisa udara di malam yang sejuk menuju pagi. Seperti sepaham dengan apa yang Felicia bilang sebelum berlalu kedunia mimpinya, gue pun mungkin akan mencoba menjaga jarak dengan Felicia. Ini ga baik buat Gue maupun Lisa. Gue bukan orang yang sama kaya gue 7 tahun yang lalu, yang tega membuang kepercayaan yang diberikan pasangan gue demi perasaan gue sendiri. Lagipula, ini juga ga baik buat Felicia, membuat dia semakin terjebak dalam sebuah harapan akan perasaan yang seharusnya padam, bukan terpelihara dalam sebuah cinta segitiga.
---------------- Jumat jam 6 sore, Gue, Felicia, dan ketiga orang temen kantor gue udah berada diatas pesawat yang akan mengantar kami kembali ke Jakarta. Felicia seharusnya lagi-lagi mendapat tempat duduk disamping gue. Tapi dia menukar tempatnya dengan temen gue. Sepertinya, konspirasi semesta gagal menyatukan kami yang seharian ini ga berbalas tegur sapa sepatah kata pun. Gue sebenernya sempat beberapa kali mencoba menyapanya tapi ga mendapat tanggapan.
Mungkin Felicia benar-benar ingin mencoba menjauh. Setelah terbangun dari mimpinya, setelah tersadar dari perasaan yang menghimpitnya tanpa ampun. Dan entah kenapa, baru beberapa jam gue belum melihat senyum dari bibir Felicia sudah membuat gue merasa ada yang hilang dari hari-hari gue. Membuat gue merasa semakin bersalah. Tapi kali ini gue ga lagi mengutuk diri sendiri. Gue juga yakin, bahwa ini emang yang terbaik buat kita semua.
Lisa #7 Gue sampai di Jakarta sekitar jam 8 malem. Dari Bandara, gue langsung mengambil Damri jurusan Pasar Minggu sementara Felicia dan teman-teman yang lain ikut mobil jemputan yang akan membawa mereka ke kantor. Saat di Bus Damri, Lisa sempet menelpon menanyakan posisi gue karna ingin menjemput di bandara. Tapi karna gue udah diperjalanan, Lisa akhirnya memutuskan untuk menunggu di sekitaran terminal Pasar Minggu.
Gue menolak keputusan Lisa buat menunggu gue di terminal. Bagaimanapun, terminal bukanlah tempat yang cukup aman buat seorang perempuan menunggu sendirian. Lisa mengiyakan penolakan gue dengan nada ngambek, tapi saat Bus yang gue tumpangi merapat di terminal, sosok Lisa sudah berdiri disana sambil cengengesan.
Kan udah aku bilang ga usah kesini ucap gue dengan nada kesal saat melihat Lisa mendekat.
Aku kan Cuma mau jemput kamu Gus, kenapa pake marah-marah sih Lisa memasang wajah memelas.
Gue ga menanggapi dan terus berjalan, mencegat sebuah angkot yang jalur trayeknya melintasi daerah rumah gue, yang kemudian disusul Lisa dari belakang sambil berlari kecil mengimbangi langkah gue.
Sampai dirumah, gue melempar tas ke sudut kasur dan merebahkan badan gue diatas kasur yang empuk. Tapi Lisa memprotes kelakuan gue dan meminta gue untuk cuci muka dan cuci tangan dulu sebelum tiduran. Dia paling bawel soal kebersihan. Menurut dia, debu dan kotoran di jalan yang menempel di badan kita harus dibersihin dulu sebelum kita merebahkan tubuh di kasur, karna kotoran yang menempel itu bisa mengendap di kasur dan membuat kondisi kasur jadi ga layak ditiduri. Oke gue menuruti permintaannya.
Saat keluar dari kamar mandi setelah bersih-bersih. Gue melihat Lisa sedang membongkar tas gue, merapihkan barang dan memisahkan baju kotor yang kemudian dia taruh di dekat mesin cuci dikamar mandi gue. Gue kembali ke kamar dan merebahkan badan, tidak lama Lisa menyusul dan duduk dipinggir kasur.
Kamu capek banget ya" tanya Lisa sambil mengacak-acak rambut gue.
Lumayan, bikin teh panas enak nih Lis kayanya jawab gue cengengesan.
Lisa hanya menjawab dengan senyum dan berlalu keluar kamar menuju ke dapur. Gue menyalakan laptop dan menyetel musik untuk menyegarkan suasana.
Gus, minggu depan ke Bali lagi yuk" Ucap Lisa saat masuk kedalam kamar sambil mengaduk gelas berisi teh panas.
Lah, aku baru dari sana, mau ngapain"
Ya liburan, kan kemaren kamu kesana nya kerja, ga sama aku juga. Jawab Lisa sambil menyerahkan gelas teh ke gue.
Aku udah lihat-lihat harga tiketnya. Yang murah sih pas weekdays gitu, kamu izin cuti aja ya lanjut Lisa.
Cuti gimana, setaun aja belom aku kerja disana
Yaa ngomong aja sama Hendri, masa iya dia ga ngizinin Lisa menjawab santai
Iya sih, izin 2 atau 3 hari aja mah gampang sama Ko Hendri, Cuma kan kamu lagi ga kerja Lis, uangnya sayang kalo malah dipake buat liburan
Uangnya ada kok, aku beli tiket deh, kamu yang bayar semua keperluan disana, gimana" Apa mau dibalik" ucap Lisa cengengesan.
Yaudah atur aja, besok senen aku ngomong sama Ko Hendri dulu.
Tapi besok kita jalan dulu ya Gus" Kan besok weekend pertama aku bisa jalan bebas sama kamu ajak Lisa sambil menyederkan padannya di pundak gue.
Dan Lisa memang begitu, ga boleh ada waktu libur sedikit pasti pengennya selalu jalan. Gue yang lebih suka menghabiskan weekend dengan tidur seharian jadi mau ga mau mengikuti ajakannya. Akhirnya weekend itu kita menghabiskan waktu di daerah Bogor, air terjun curug 7 Cilember. Sekedar berfoto dan menikmati suasana dingin ditengah ramainya pengunjung lain yang juga menghabiskan waktu disana.
------- Senin pagi di akhir Januari 2014, gue kembali bersahabat dengan tumpukan pekerjaan dikantor. Sore hari saat pekerjaan sudah mulai reda, gue kembali ke aktifitas korupsi jam kerja dengan mendatangi ruangan Ko Hendri nenikmati kopi panas disaat para karyawan lain mungkin masih sibuk menyelesaikan pekerjaan mereka.
Lu orang kerja nya cepet banget Bags, yang lain tiap sore gini masih ada aja kerjaannya, sementara lu tiap sore ngopi disini ucap Ko Hendri sambil mengisap dalam-dalam rokoknya.
Bates kerjaan yang gue terima Cuma sampe jam 5 Ko, selepas itu bakal gue kerjain besok. Makanya kalo pagi lo maen dong ke meja gue, saat Rini atau staff lain lagi asik sarapan di meja nya, gue udah sibuk kerja. Jawab gue sambil cengengesan.
Ah gue liat kalo pagi lu sama Heri sibuk ngedipin mata ke anak-anak Finance
Sialan, Heri doang. Gue mah koordinasi ngomongin kerjaan ke mereka
Kami menikmati sore yang santai itu sambil mengobrol-ngobrol ringan. Ditengah obrolan gue menyela dengan mengajukan izin ke Ko Hendri.
Ko, gue mau izin 3 hari bisa gak"
Mau kemana lu" Kapan" Lu orang kan belom punya cuti
Ada rencana ke Jogja, kangen sama bokap nyokap Ko, awal bulan besok yaa" ucap gue dengan berbohong dan memasang wajah memelas.
Halah lu paling mau liburan sama Lisa. Yaudah asal kerjaan lu ada yang pegang mah terserah. Ga usah pake form cuti, ga bakal di approve, langsung ga masuk aja. Tapi 2 hari maksimal Bags, kalo 3 hari dianggap kabur lu jawab Ko Hendri
Oke, Senen sama Selasa minggu depan deh ya. Kerjaan nanti gue atur dah bisa titip ke Rini atau staff lain.
Selepas dari ruangan Ko Hendri gue mengirim pesan whatsapp ke Lisa mengabarkan gue udah mengantongi izin 2 hari. Saat kembali ke meja kerja, gue mengecek handphone ternyata tidak ada balasan dari Lisa. Gue menyalakan komputer lagi untuk mengecek email kerjaan dan memberikan tanda untuk dikerjakan besok. Kemudian memindahkan tab layar komputer ke akun email pribadi gue, ada sebuah email yang di forward dari Lisa.
Sayang, ini nanti di print ya
Ucap Lisa dalam badan email yang disertai attachment tiket elektronik yang dipesan Lisa, tujuan Jakarta ke Bali. Gue hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil senyum sendiri melihat segitu semangatnya Lisa yang langsung memesan tiketnya.
-------------- Jam dinding disudut ruangan kantor menunjukkan pukul 6 sore saat gue meninggalkan meja kerja dan bergegas turun keluar kantor. Lisa sempat mengabari akan menunggu gue pulang kerja didepan kantor setelah mendatangi sebuah panggilan interview kerja di tempat yang ga jauh dari kantor gue.
Bags, anak-anak nyariin lo tuh didepan. Mau di interograsi ucap Heri saat gue berpapasan dengannya yang sedang menuju gudang kantor.
Anak-anak siapa aja" tanya gue sambil berjalan nenuju pintu keluar tanpa menunggu jawaban Heri.
Ini dia nih Spartan kita ucap Yono, salah seorang driver kantor yang sedang duduk didepan warung kecil depan kantor bersama segerombolan teman-teman lain, dimana ada Lisa juga sedang duduk disana memasang senyum kearah gue.
Udah daritadi angchimo" tanya gue ke Lisa tanpa merespon Yono. Lisa hanya menjawab dengan mengangkat kedua alisnya.
Gus, bagi-bagi lah ilmu yang lo pake ucap salah satu driver kantor lain.
Ilmu apaan" Halah pura-pura lo, ini Lisa bisa takluk sama lo pasti pake ajian kan lo saut Yono meledek sambil tertawa.
Ooh, ilmu buat dapetin cewek" Oke bawa kemari kuping lo biar gue bisikkin ucap gue ke Yono yang kemudian mendekatkan diri ke gue.
Banyakin solat malem bisik gue ke Yono yang disambut tawa dan wajah menggerutu olehnya.
Sialan lo, serius lah Gus. Gue mau cari pacar nih kalo bisa yang cantiknya kurangkurang dikit lah dari Lisa jawab Yono sambil duduk disamping Lisa.
Gue hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala sambil menyulut sebatang rokok menanggapi sikap Yono dan teman-teman sejawatnya yang lain. Sosok Lisa memang bukan sekedar sosok gadis biasa di mata para karyawan kantor gue. Kecantikan dan keramahannya pada semua orang membuat Lisa memang menjadi primadona di kantor ini, mulai dari karyawan2 yang punya posisi tinggi sampai ke level driver atau kurir kantor pun memiliki mimpi untuk mendapatkannya.
Saat seisi kantor tau gue pacaran sama Lisa, memang banyak yang memandang gue dengan tatapan sinis. Tapi ada juga yang malah jadi meledek atau semakin terang2an merayu Lisa. Gue menganggap hal seperti itu Cuma angin lalu saja. Lagipula, Lisa pun ga pernah menanggapi pandangan orang yang sering mempertanyakan keputusannya untuk menjalani hubungan dengan gue.
Lis, gue penasaran nih, kalo lo sama Bagus nikah, waduh anaknya kaya apa ya" ledek Yono ke Lisa.
Ya kalo anaknya cowok pasti ngambil pesona dan gantengnya gue, kalo cewek mah pasti ngambil cantiknya Lisa jawab gue menyambar sambil tertawa dan mencubit gemas pipi Lisa, yang malah membuat teman-teman lain iri melihatnya.
Heri dan Rendi yang baru keluar kantor langsung ikut bergabung ditengah kami. Sore itu kami ngobrol-ngobrol bercanda didepan kantor, kemudian memutuskan untuk karaoke. Semuanya cowok, Cuma Lisa sendiri yang cewek.
Lisa #8 Jumat malam terakhir di bulan Januari 2014, gue dan Lisa sedang duduk di bangku besi ruang tunggu terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, menunggu giliran boarding yang masih 1 jam lagi. Lisa membawa tas tenteng besar berwarna kuning dan tas jinjing merah yang selalu dia bawa kemana-mana. Sementara gue hanya membawa tas ransel yang biasa gue gunakan saat berpergian. Lisa sedang sibuk menelpon ke salah satu penginapan di Bali untuk konfirmasi kedatangan kami sedangkan gue asik dengan segelas kopi panas di gelas karton yang gue beli untuk menemani merokok sambil membunuh waktu.
Everything is under control ucap Lisa dengan merapatkan ujung ibu jari dan telunjuknya membentuk lingkaran sambil tersenyum kearah gue.
Ini kamu kenapa bawa tas gede banget sih Lis" Udah gitu kenapa ga dimasukkin bagasi" protes gue ke Lisa sambil menunjuk tas tenteng besar nya.
Peraturan pertama, ga boleh ada protes saat lagi liburan. jawab Lisa sambil menatap gue dengan wajah sinis dibuat-buat.
Ada berapa peraturan lagi"
Peraturan lain nya menyusul, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi terkini nanti. jawab Lisa sambil cengengesan.
Di dalam pesawat, gue duduk disamping Lisa yang memilih duduk di dekat jendela. Gue mengaktifkan mode pesawat di handphone gue kemudian mendengarkan musik melalui headset. Lisa menyenggol perut gue dengan sikut nya.
Situ asik banget dengerin musik, ini perempuan apa kabar didiemin gini" protes Lisa ke gue.
Gue hanya merespon dengan cengengesan dan melepas headset kemudian memasukkan handphone ke saku celana.
Keren ya pemandangannya ucap gue ke Lisa sambil mendekatkan kepala kearah jendela.
Keren darimana" Keliatan juga kagak diluar ada apaan, orang gelap begitu
Hah" jangan-jangan daritadi kita sebenernya belom terbang jawab gue dengan memasang wajah polos yang kemudian pipi gue menjadi sasaran cubit Lisa yang kesal.
Kami mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali, sekitar jam 11 malam waktu setempat. Gue menelpon seorang teman kenalan waktu pertama kesini tempo hari yang menyewakan motor, kemudian menuju parkiran menemuinya.
Wah lain lagi Bang ucap temen penyewa motor itu sambil tersenyum saat bertemu dengan gue dan Lisa. Gue ga menanggapi omongannya supaya ga jadi pertanyaan berkelanjutan dari Lisa.
Gue dan Lisa langsung menuju penginapan, menaruh tas, kemudian mengajak Lisa keluar menikmati sisa malam hari ini.
Ke Pantai Kuta aja ya Lis ajak gue ke Lisa yang ditanggapi dengan anggukkan.
Setelah memarkirkan motor di pelataran luar pantai, kami membeli beberapa cemilan dan botol kecil bir dingin disebuah mini mart kemudian duduk di bibir pantai.
Apa yang diliat malam-malam gini di pantai, sayang" tanya Lisa dengan wajah heran saat duduk disamping gue.
Yang pasti bukan pemandangannya, tapi suasananya jawab gue sambil tersenyum dan menatap jauh ke hamparan laut yang dihiasi langit malam yang cerah. Iya, gue mengutip omongan Felicia.
Ini pertama kali nya gue duduk disini dengan Lisa, tapi hati gue ga akan pernah bisa mengelak bahwa saat ini, saat gue duduk disini bersama Lisa, sosok Felicia lah yang justru hadir dalam pikiran gue. Sosok bawel nya, sosok ga bisa diem nya, sosok riang nya.
Malam itu gue dan Lisa ga menghabiskan waktu dengan jalan-jalan atau muter-muter ke tempat lain, hanya duduk di pinggir pantai. Membicarakan banyak hal, mimpi-mimpi yang akan kami kejar, kayalan-khayalan yang akan kami jadikan nyata, serta jalan yang akan menjadi sebuah tujuan bagi kami kedepannya nanti.
Lisa menceritakan bahwa dia sangat ingin tinggal dan bekerja disini, di Bali. Dia berpendapat kalo kerja disini sama aja kaya kerja sambil liburan, minimal bisa tiap hari ke pantai. Gue Cuma senyum mendengarkan omongannya. Bagaimanapun, Lisa emang terbiasa bekerja jauh dari keluarga. Jadi, keinginan untuk bekerja disini rasanya hal yang wajar bagi dia. Sedangkan gue" Mana bisa gue merantau kerja jauh dari Jakarta, jauh dari rumah. Walaupun sebenernya dirumahpun gue selalu ngerasa sendiri, jarang bisa menikmati waktu bersama keluarga.
Gus, kamu beneran mau perjuangin aku sampe kita nikah ga" tanya Lisa tiba-ba dengan suara pelan, saat kami sedang asik membicarakan mimpi-mimpi kami kedepannya nanti.
Lisa #9 Gue menatap Lisa setengah kaget, seakan ga percaya dengan apa yang baru dia katakan. Nikah" Iya sih, di usia kami sekarang rasanya membicarakan soal pernikahan bukan hal yang mesti dikagetkan. Apalagi saat inipun kami sedang menjalin sebuah hubungan. Hal apa lagi yang bisa dijadikan tujuan dari sebuah hubungan selain pernikahan"
Tapi, entah kenapa selama ini gue merasa bahwa hubungan ini jauh dari tujuan menikah. Terus apa alasan gue menjalani semua ini dengan Lisa" Jujur saja, sering temen gue menanyakan hal itu ke gue, tapi gue cuma bisa menjawab dengan mengangkat bahu sambil tersenyum dan bilang kita liat aja nanti . Gue beneran ga pernah menyangka Lisa akan menanyakan hal itu, karna gue yakin dia pun merasakan keraguan yang sama dengan gue ditengah perbedaan kami berdua.
Perjuangin kamu" tanya gue dengan nada gugup.
Iya. Dengan semua perbedaan kita, kamu pikir kita ga akan perlu berjuang buat bersatu"
...... gue ga menjawab. Gue ga ngerti kearah mana pemahaman Lisa mengenai kata perjuangan' itu.
Kamu ga yakin ya Gus buat jalanin ini seterusnya sama aku" tanya Lisa sambil menatap mata gue.
Lis, coba jelasin apa yang harus aku lakuin buat perjuangin kamu"
Bagus, menikah itu bukan soal saling sayang aja kan" Gimana persetujuan keluarga kamu" Gimana persetujuan keluarga aku" Gimana perbedaan agama kita" tanya Lisa dengan nada kesal.
Yaa, itu dia gue menjawab singkat.
Itu dia apa" Sekarang aku tanya, kamu mau ikut agamaku dan aku yang perjuangin kamu, atau aku yang harus ikut agama kamu tapi kamu yang perjuangin aku" jawab Lisa dengan nada semakin tinggi.
Lis, kayanya situasinya belum pas deh buat ngomongin hal ini. Ini soal agama lho. Pindah agama ga segampang pindah kerja
Maka itu harus diomongin dari sekarang Gus..
Kamu yakin mau ikut aku" gue bertanya tegas.
Ga kamu aja yang ikut aku Gus" tanya Lisa kali ini dengan nada suara pelan dan penuh keraguan.
Gue tersenyum menatap wajah Lisa kemudian mengusap-usap kepalanya. Lisa menyambutnya juga dengan senyuman.
Aku ga ngerti bahasanya Gus dalam agama kamu ucap Lisa dengan wajah yang memelas.
Bahasa apa" Ya itu, Bahasa Arab nya itu. Gimana aku bisa ikut kamu kalo aku ga ngerti bahasa itu
Makanya aku bilang kita omongin lagi nanti. Jawab gue sambil tersenyum, mengerti dengan keraguan Lisa.
Kamu ga mau ya kalo kamu yang ikut aku" tanya Lisa ga memperdulikan permintaan gue untuk ga membahas ini.
Gue menarik napas dalam, kembali menatap jauh kedepan, kehamparan langit malam. Gue masih merasa bahwa ini bukan waktu yang tepat buat membahas hal seperti ini. Tapi Lisa pun akan terus menanyakan hal ini. Gue merasa harus memilih kata yang tepat untuk menjawabnya.
Lis, kamu udah liat kan hidup aku kaya gimana" Menurut kamu apa yang aku punya buat aku banggain nanti didepan Tuhan" tanya gue ke Lisa
.... Lisa ga menjawab, hanya menatap gue dengan wajah heran dan kebingungan.
Aku ga punya apa-apa buat dibanggakan Lis didepan Tuhan, selain keyakinan aku atas kebesaran Nya, keagungan Nya, dan ketulusan aku dalam menjalani semua perintah Nya dengan ajaran yang aku jalani dalam agamaku ini.
Tapi bukannya semua agama sama ya Gus" Cuma cara menyembah Tuhan aja yang beda kan"
Enggak. Ga satupun agama didunia ini yang berhak disamakan Lis. Dan aku ga akan pernah merasa pantas untuk pindah dari satu agama ke agama lain. Karna Tuhan sendiri yang milih aku buat menyembah Nya dengan cara ini
Terus kenapa Tuhan ga milih aku buat nyembah Dia dengan cara yang sama kaya kamu" Lisa terus menanyakan hal-hal yang dia ragukan dari jawaban gue, gue terus mencoba menjawabnya sambil tersenyum.
Kamu tau ga, kenapa Tuhan ga menjadikan bulan sama matahari beriringan setiap saat" Kan biar kita bisa menikmati keindahan keduanya kapanpun, siang malam selalu ada bulan dan matahari berdempetan. tanya gue ke Lisa. Lisa hanya menggeleng dan menatap gue serius dengan wajah bingung.
Kalo untuk hal-hal itu aja kita gatau gimana menjelaskan jawabannya, gimana kita bisa tahu rencana-rencana Tuhan" Kita mungkin bisa bicara soal teori-teori semesta atau hal-hal lain yang kita pelajari dengan logika, tapi tetep itu ga akan menjawab keingintahuan kita tentang rencana Tuhan. Jadi, mungkin ini emang bagian dari rencana Nya, Dia yang memilih, kita yang jalanin jawab gue sambil merangkul Lisa dan menggiring kepalanya ke pelukan gue.
Lisa Cuma tersenyum, menatap gue dengan mata nya yang berkaca. Entah apa yang dia pikirkan saat itu. Gue mencium keningnya dan kemudian memangku dagu gue diatas kepalanya.
Jadi, aku yang harus ikut kamu" tanya Lisa sambil memasang semyum manisnya.
Kita liat nanti ya sayang. We'll do the best, and let God do the rest. Ucap gue pelan sambil mencubit gemas pipinya.
Lisa #10 Gue dan Lisa menghabiskan waktu di Bali dengan berkeliling ke tempat-tempat wisata, tentu saja dengan dimulai perdebatan. Gue memilih spot-spot pantai yang enak buat diceburin sementara Lisa lebih pro ke tempat wisata yang lebih kental dengan kultur budaya. Jadilah kami membagi hari untuk menengahinya. Hari Sabtu, kami mencari spot-spot pantai seperti Dreamland, Pantai Padang-padang, dan Pantai Pandawa. Sedangkan di hari minggu kami menuju ke Uluwatu, Garuda Wisnu Kencana, Tanah lot, dan tempat-tempat serupa. Hari senin nya kami muter-muter berburu makananmakanan yang enak melalui informasi dari google dan juga sempat membeli beberapa barang di Pasar Seni Sukowati. Hari selasa cuma stay di penginapan karna jadwal pulang ke Jakarta di siang hari.
Di semua pantai yang kami datangi, gue cuma berenang sendiri. Lisa cuma berjemur dengan hanya menggunakan bikini nya. Gue sempat memprotes habis-habosan keputusan Lisa yang menggunakan bikini, tapi apa daya, alasan yang dia kasih sangat masuk akal.
Pake bikini di pantai apa salahnya sih Gus" Yang penting kan aku pake pakaian sesuai dengan tempat dan kondisinya. Ucap Lisa sambil cengengesan dan cuma bikin gue menunduk.
Gue mengakui bahwa gue termasuk cowok yang suka curi-curi pandang saat melihat cewek lain tampil sexy, apalagi di pantai kaya gini, cewek yang pakai bikini pastinya bukan hanya Lisa seorang. Banyak juga bule' yang lebih menggemaskan memakai bikini yang cuma asal disangkut doang. Tapi gue paling ga suka kalo pasangan gue sendiri yang memakai pakaian terbuka. Egois emang, tapi ya gitu lah cowok. Suka ngelihatin pacar orang tapi ga suka kalo pacarnya jadi pusat perhatian.
Jadilah gue sering gemeteran sendiri ketika Lisa berpose saat minta difotoin. Mata gue pun jadi suka ga kompak dengan pikiran gue. Disatu sisi, otak memerintahkan fokus melihat layar kamera tapi disisi lain mata minta dimanjakan dengan melihatnya secara langsung, ke objek yang lebih real.
Selepas ke tempat-tempat wisata, tentu saja setiap malam Gue mengajak Lisa ke Pantai Kuta, tapi setelah menemani dia membeli pernak pernik di sepanjang jalan Legian. Di malam terakhir kami disana, Senin malam, kami sempat bingung untuk memutuskan mau makan malam dimana. Saat dipenginapan, gue diam-diam browsing tempat yang enak buat makan malam dan kemudian mengajak Lisa kesana tanpa memberitau tujuannya.
Kita mau kemana sih sayang" Ini bukannya arah ke GWK" tanya Lisa dari belakang gue saat kami sedang berboncengan diatas motor menuju tempat makan yang gue pilih.
Udah ikut aja, ga sampe ke GWK kok.
Gue menepikan motor didekat spot parkir didepan sebuah warung makan. Lisa turun dari motor dan melihat kearah warung makan tersebut dengan wajah heran.
Makan disini Gus" tanya Lisa dengan wajah malas. Gue hanya menanggapi dengan mengangkat kedua alis dan cengengesan.
Gue mengajak Lisa masuk dan memilih menu, kemudian sempat berbisik ke salah satu pelayan untuk meminta meja yang lebih dekat dengan pantai. Dari luar memang tempat ini kelihatan nya biasa aja. Tapi mereka menawarkan sebuah suasana makan malam dipinggir Pantai Jimbaran.
Lisa sempat kaget dan menatap gue saat salah seorang pelayan mengantar kami ke sebuah meja yang sudah disiapkan. Bukan sebuah makan malam mewah memang, hanya makan malam dengan suasana yang jauh berbeda dari apa yang biasa kami dapatkan di Jakarta.
Gus kamu udah nyiapin ini" tanya Lisa sambil menatap gue. Cahaya lilin yang menerangi bias wajah Lisa membuat gue melihat jelas matanya yang berkaca.
Enggak lah, Cuma tadi sempet googling aja. Dapet info disini ada spot makan yang enak. Ucap gue santai sambil menggenggam tangan Lisa.
Makasih ya Gus. What a romantic surprise from you. I don t expect to love this dinner with you.
Romantic" Hehehe ini biasa aja kok Lis. Aku bukan orang yang romantis, ini ga sengaja aja dapet spot makan disini. And i don t expect you to love this dinner either. But i hope you ll enjoy this moment
Kami menikmati makan malam itu dengan menu makanan yang cukup enak. Sesekali menyapu pandangan ke sekeliling Pantai Jimbaran yang hanya diterangi dengan bias cahaya lilin dan temaram lampu jalanan yang samar-samar menerangi. Sebuah suasana yang tenang dan damai kami lewati sambil bercerita atau sekedar mengomentari apa yang kami lihat siang tadi ditempat wisata yang kami datangi. Namun, entah kenapa tiba-ba bayangan seorang wanita masuk kedalam pikiran gue. Liana.
Liana" Iya, Liana. Gue baru sadar ternyata lama suatu hubungan ga menjamin kuatnya rasa didalam hubungan tersebut. Gue baru sadar, bahwa ternyata selama ini, setelah gue dan Liana memutuskan menjalani hubungan sejak 7 tahun yang lalu, gue ga pernah menyirami bunga' dihati Liana. Bahkan ga pernah sekedar memberikan sedikitsedikit kejutan kecil atau mengajaknya melepas penat ke suatu tempat yang mungkin bagi kaum perempuan termasuk kategori romantis. Tapi dengan Lisa, gue bisa melakukannya bahkan tanpa rencana apapun.
Malam itu, Lisa menatap gue dengan senyumnya yang mengembang, menunjukkan rasa senang dan bahagia. Sementara gue menatapnya dengan senyum yang gue paksakan. Entah kenapa bayangan Liana bisa tiba-ba melintas dipikiran gue dan membuat gue merasa bersalah, bahkan sampai berpikir Seharusnya Liana yang duduk di kursi itu, didepan gue, bukan Lisa'. Sebuah pemikiran yang mungkin dapat menyingkirkan rasa bahagia di hati Lisa jika dia dapat membaca apa yang gue pikirkan. Maaf, Lisa.
Farewell #1 Sebelumnya gue minta maaf buat para readers, mau izin lompat cerita. Karna sepulang dari Bali, isi cerita hubungan gue dengan Lisa berjalan seperti biasa. Ga ada hal-hal istimewa maupun masalah-masalah berarti. Hanya beberapa kerikil kecil yang kami temui kemudian kami tertawakan bersama.
Lisa, seperti yang gue bilang di awal, adalah orang yang cemburuan. Kadang gue juga heran, apa yang dicemburuin dari cowok macem gue" Tapi, ya itu Lisa. Lama kelamaan sifat cemburunya mulai mencekik leher gue. Membuat gue bahkan untuk sekedar mengabaikannya pun sulit.
Hari demi hari gue coba lalui tanpa ada kontak langsung dengan Felicia, baik di kantor maupun diluar kantor. Dan dalam status Lisa yang tidak sedang bekerja, tentu saja dia punya banyak waktu untuk mengawasi gerak gerik gue. Ga ada lagi ngasih senyuman terbaik ke cewek lain dalam keseharian gue. Dan lucunya, kontak gue akhir-akhir ini isinya cowok semua. Hanya ada beberapa nama cewek yang emang kerabat atau keluarga, selebihnya masuk kedalam kategori deleted contatcs.
Gue bukan ga bisa melawan sikap protektif Lisa, Cuma menurut gue bakal buang waktu sia-sia aja kalo sampe debat kusir sama Lisa. Debat sama Lisa, atau sama perempuan pada umumnya, itu ibarat saat kita mau install sebuah software di PC atau Laptop. Ada banyak kata-kata tertulis dalam agreements nya. Pada akhirnya, kita scroll tanpa membaca, kemudian klik pilihan I agree'.
Oke, jadi gue dalam ini memilih menikmati' cara Lisa menunjukkan rasa sayangnya, walaupun dengan sikap protektifnya.
Suatu sore di akhir bulan Mei. Lisa mengabari gue lewat telepon bahwa ada temen dia yang menawarkan pekerjaan ditempat saudaranya. Ada kemungkinan besar bahwa dia akan dengan mudah diterima. Dan kali ini, dia mendapatkan pekerjaan yang bukan lagi berada di dunia operasional. Artinya, Lisa bisa menikmati libur di hari weekend. Gue mengucapkan selamat dan mengingatkan dia untuk bersyukur. Karna jujur aja, waktu itu kondisi keuangan kamipun udah mulai kritis. Dan sepertinya Tuhan menjawab doa Lisa dengan memberikan pekerjaan melalui temannya.
Gue mengakhiri telepon dari Lisa dan kembali mengecek email kantor di layar komputer, memeriksa pekerjaan untuk besok sebelum pulang. Sampai akhirnya mata gue terhenti pada sebuah email dengan subject Farewell, Team yang dikirim dari email kantor Felicia.
Felicia resign" Dan kenapa gue baru tau saat membaca email terakhirnya ini" Gue mengecek jam email masuk dan membandingkan dengan jam saat ini di jam tangan gue, artinya sudah sekitar 30 menit yang lalu. Dan pastinya Felicia mengirim email ini tepat sebelum dia mengakhiri jam kerjanya. Gue terlambat baca email Felicia.
Gue buru-buru mematikan komputer dan membereskan meja kerja, kemudian bergegas setengah berlari menuju ruangan Ko Hendri. Gue langsung masuk tanpa mengetuk pintu.
Ko, Felicia resign" tanya gue ke Ko Hendri yang sedang berdiri didepan mejanya membereskan beberapa dokumen.
Iya, lu ga baca email emang" tanya Ko Hendri sambil menatap gue kemudian melanjutkan membereskan mejanya.
Iya gue baca. Tapi kenapa lo ga bilang sama gue dari kemarin-kemarin" Pengajuan resign kan 1 bulan sebelumnya, lo pasti udah tau duluan dong dari Tya .
Ko Hendri ga langsung merespon. Dia masih membereskan sisa-sisa dokumen dimeja nya. Kemudian berjalan mendekat dan merangkulkan tangannya dipundak gue sambil berjalan pelan keluar ruangannya.
Gue ga mau lu orang sampe terlalu deket sama Felicia lagi Bags. Ucap Ko Hendri sambil berjalan disamping gue.
Hak lo apa ngatur-ngatur gue buat deket sama siapa aja" Lo disini emang atasan gue, tapi lo ga berhak ngatur gue dalam memilih temen ucap gue dengan nada sedikit tinggi sambil menyingkirkan tangan Ko Hendri dari pundak gue. Beberapa staff lain yang masih ada dimejanya pun serempak melihat kearah kami.
Gue berjalan cepat ke lantai bawah. Sesegera mungkin berusaha keluar dari kantor ini dan setengah berlari menuju parkiran motor. Gue berniat kerumah Felicia untuk menemuinya. Gue merasa ada yang disembunyikan dari gue. Kenapa gue sampe ga tau seorang Felicia mau resign" Sedangkan ada staff lain yang anjing kesayangannya mati aja bisa sampe ke kuping gue.
Gue mencari nama Felicia di kontak handphone saat duduk diatas motor di parkiran, mau memastikan bahwa Felicia bisa gue temui dirumahnya. Berulang kali gue mengetik nama Felicia, menscroll bolak balik daftar kontak handphone gue tapi ga bisa menemukan nama Felicia.
Ah, sial. Pasti udah lama dihapus sama Lisa. Gumam gue dalam hati.
Gue melempar pandangan ke sekeliling, menyapu setiap wajah yang ada diparkiran, barangkali ada temen kantor gue yang punya nomer Felicia. Beberapa orang gue datangi saat gue melihat temen kantor yang gue kenal, tapi ga ada satupun dari mereka yang punya nomer Felicia. Gue sempet mengutuk dan memaki2 sendirian di tengah parkiran karna berpikir ini pasti semua orang pada bikin kesepakatan buat ga ngasih nomer Felicia ke gue. Sialan.
Gue menyempatkan untuk menelpon Lisa dan berbohong bahwa gue mau kerumah temen gue karna ada urusan, Lisa hanya berpesan seperti biasa, Ati-ati, jangan lupa baca doa sepanjang jalan . Gue mengiyakan kemudian memutus telepon dan mengutuk telepon yang sudah tidak tersambung ke Lisa Gue lagi buru-buru malah lo suruh doa sepanjang jalan .
Gue menembus jalanan Jakarta yang lagi macet-macetnya. Jam pulang kerja kaya gini emang membuat naik darah para pengendara. Dan kondisi ini ga sejalan dengan keinginan gue yang ingin secepatnya sampai ke rumah Felicia. Akhirnya, gue terpaksa mengabaikan kebanggaan memiliki SIM dengan menaiki trotoar di beberapa ruas jalan. Sapaan hangat dari para pengguna trotoar tentu saja silih berganti mengisi telinga gue.
Gue sampai didepan pagar rumah Felicia sekitar jam 7.30 malam. Tapi kali ini gue malah jadi bingung. Gimana cara gue masuk" Gue kayanya ga pernah tau ada bell di pager rumahnya. Kalo gue langsung masuk aja, yang ada nanti diteriakin pemilik rumah dan dijadikan bulan-bulan warga sekitar. Gue ga mau sampe segitunya, gue memutuskan untuk menepikan motor gue didepan warung kecil yang tidak jauh dari rumah Felicia kemudian duduk di bangku kayu panjang dan memesan segelas kopi mocca untuk menenangkan diri sambil menunggu Felicia atau si pemilik rumah masuk atau keluar.
Gue mengambil handphone dari balik jaket, kemudian mengirim pesan whatsapp ke Lisa, berusaha membuat alibi supaya dia ga terlalu curiga. Tapi dia malah langsung menelpon gue.
Kamu beneran dirumah temen kamu" tanya Lisa dari ujung telepon dengan nada curiga.
Ya bener lah angchimo, kenapa emang" gue berusaha menjawab santai.
Mana sini coba aku mau ngomong sama temen kamu"
Farewell #2 Gue setengah kaget mendengar permintaan Lisa buat ngomong sama temen gue. Sepertinya gue salah langkah berasalan kerumah temen, karna ini ibarat skak mat buat gue.
Mana" Aku mau ngomong sama temen kamu pinta Lisa lagi.
Yailah mau ngapain sih" Ini temen SMA aku, kamu ga kenal. Ucap gue berkilah, berusaha membuat nada malas.
Oh, berarti kamu pasti masih dikantor, mau perpisahan sama cewek itu kan" Lisa bertanya dengan nada tegas.


Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hah" Felicia maksudnya" Kok kamu tau Felicia mau resign"
Tau lah, aku masih bisa buka email operasional. Dan cewek itu tadi kirim email farewell kan" aku baca kok. Yaudah aku ke kantor sekarang, awas ya. ucap Lisa dengan nada mengancam sambil memutuskan telponnya.
Seketika rasa panik bergelantungan dalam hati gue. Gue menunduk dan menutup wajah sambil berpikir apa yang harus gue lakukan.
Nih mas, kopinya ucap seorang penjaga warung sambil meletakkan gelas plastik berisi kopi mocca disamping gue.
Gue langsung tersenyum saat otak gue secara spontan menulis sebuah skenario untuk membuat alasan ke Lisa. Gue langsung memanggil mas penjaga warung tadi untuk meminta dia menjalankan sebuah peran. Gue menginstruksikan padanya apa saja yang harus dia bicarakan, dia mengangguk-angguk sambil mengacungkan jempolnya dengan pasti. Gue langsung menelpon balik ke Lisa.
Kamu jadi ke kantorku Lis" tanya gue dengan nada tenang.
Jadi, ini mau ganti baju. Tunggu ya, jangan kabur
Hahaha kabur gimana" Orang aku juga udah ga dikantor. Kamu nya aja yang ga percayaan
Bohong. Aku ga percaya. Kamu ga ngizinin aku ngomong sama temen kamu. Ucap Lisa dengan nada memelas.
Astaga Lisa, mau ngapain sih emang"
Ya aku mau ngomong. Mana sini cepetan
Gue memberikan telpon ke mas-mas penjaga warung. Dia menyambut telepon gue dan berbicara dengan Lisa. Gue sempet mendengar dia mengenalkan diri saat gue menjauh dari warung dan mendatangi tukang nasi goreng didepan jalan. Memesan 2 piring buat gue dan si penjaga warung yang menjadi penyelamat gue malam ini.
Gue kembali ke warung kecil tadi setelah memesan nasi goreng dan menerima handphone gue yang masih tersambung ke Lisa.
Gimana" tanya gue berbisik ke penjaga warung.
Aman jawab mas penjaga warung sambil tersenyum lebar.
Halo, angchimo bawel. Gimana udah percaya belom" ucap gue sambil menempelkan handphone di telinga.
Hehehe, iya sayang. Maaf yaa aku jadi curigaan sama kamu. Jawab Lisa kali ini dengan sambil tertawa.
Yaudah aku mau beli makan dulu, kamu jangan lupa makan yaa..
Gue mematikan telepon dan ber-tos ria dengan mas penjaga warung. Sepertinya jadi cowok yang dipacari Lisa memang harus pinter mencari alibi. Gumam gue dalam hati sambil cengengesan.
Gue dan mas penjaga warung menikmati nasi goreng pesanan yang sudah datang, sambil membicarakan Lisa. Mas penjaga warung itu penasaran dengan sosok Lisa. Akhinya gue menunjukkan foto Lisa yang sedang berdua dengan gue.
Wah, cantik mas. Cina ya" tanya mas penjaga warung sambil menggigit kerupuk yang disajikan dengan nasi goreng.
Iya mas. Eh terus tadi dia bilang apa aja" Curiga ga dia mas"
Oh enggak mas, aman kok. Dia cuma pesen jangan lupa ingetin mas nya buat minum susu kalengnya sama jangan ngerokok mulu. Terus dia suruh saya liatin kelakuan mas, siapa tau mas nya malah sibuk telponan sama cewe lain jawab mas penjaga warung panjang lebar. Gue hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala mendengar pesan Lisa.
Gue dan penjaga warung akhirnya asik ngobrol. Dari cerita mas penjaga warung, rumah Felicia memang jarang ada banyak aktifitas orang keluar masuk. Dia juga bilang bahwa para penghuni rumah itu sangat ramah dengan warga sekitar, tapi justru sosok Felicia lah yang dinilai sangat sombong. Pernah suatu hari Felicia keluar pagar rumahnya dan memanggil mas penjaga warung untuk membeli sesuatu. Felicia tidak mendekat ke warung, hanya berteriak dari depan pagarnya.
Mas penjaga warung juga bilang, Felicia sering pulang sangat larut malam, khususnya pada malam weekend, dan diantar dengan orang lain yang berganti-ganti. Keseringan cowok yang mengantarnya, dan naik mobil, cuma turun dan mengantar sampai depan pagarnya.
Gue udah tau bahwa kehidupan Felicia diluar kantor memang bisa dibilang sangat dekat dengan dunia malam, dan Felicia juga memiliki sangat banyak teman cowok. Bukan hal aneh kalo gue melihat Felicia memposting foto dia sedang berangkulan dengan cowok di sosial media nya. Tapi, sosok Felicia yang saat bersama gue emang sangat bertolak belakang. Felicia yang sebenernya hanya merasa ga mau sendirian. Dia lebih suka bergaul dan berteman dekat dengan banyak orang. Itu lah alasan kenapa gue sangat ragu buat mengejarnya, karna dia ga pernah merasa sendirian seperti Lisa. Makanya jelas gue lebih memilih jadi orang yang dibutuhkan oleh Lisa.
Tanpa terasa, jam di pergelangan tangan gue menunjukkan hampir jam 10 malam. Sudah sangat lama gue menunggu Felicia. Saat mengobrol dengan mas penjaga warung, gue ga melihat ada seorangpun keluar masuk rumah Felicia. Mungkin memang sedang tidak ada orang dirumahnya.
Gue masih tetap berkomunikasi dengan Lisa. Sampai sekitar jam 11 malam, Lisa pamit tidur dan berpesan agar gue jangan pulang terlalu malam. Gue mengiyakan dan mengembalikan handphone ke balik jaket. Sementara Felicia belum juga menunjukkan tanda-tanda kehadirannya.
Sampai sekitar jam setengah 12 malam, sebuah motor melintas dan berhenti didepan pagar rumah Felicia. Gue berusaha menyembunyikan diri sambil memperjelas pandangan gue ke arah 2 orang yang datang. Gue melihat jelas sosok Felicia turun dari motor dan membuka helmnya. Sementara sosok cowok diatas motor itu masih ga terlihat jelas.
Gue mencoba mempertegas dan melihat motor yang digunakan, yang sepertinya cukup gue kenali. Tidak lama kemudian, motor itu berbalik arah dan melintas didepan gue kemudian berlalu. Gue baru bisa mempertegas wajah cowok itu saat melintas tepat didepan gue. Rendi"
Farewell #3 Gue berjalan cepat kearah rumah Felicia kemudian setengah berlari saat melihat Felicia menutup pagar rumahnya.
Fel.. panggil gue sambil setengah berlari mendekat.
Felicia mendengar panggilan gue dan membuka kembali pintu pagarnya.
Ngapain Gus" Kok lari" Motor lo mana" tanya Felicia saat gue sampai didepan pagarnya.
Itu di warung sana. Gue daritadi nungguin lo disana. Lo darimana sih" tanya gue ke Felicia sambil mengatur napas.
Felicia ga langsung menjawab. Dia melebarkan pintu pagar tanda mengizinkan gue masuk, kemudian berjalan menuju pintu rumahnya. Gue kembali berjalan cepat ke warung tadi, membayar kopi dan nasi goreng, mengucapkan terima kasih ke penjaga warung, kemudian menjalankan motor gue masuk kedalam halaman rumah Felicia.
Lo nungguin dari jam berapa Gus" tanya Felicia sambil berjalan dari depan rumanya mendekat kearah gue yang sedang memarkirkan motor di halaman rumah dekat ayunan besi yang biasa gue duduki.
Balik kantor gue langsung kesini, gue pikir lo udah balik jawab gue sambil berjalan dan duduk di ayunan yang kemudian diikuti Felicia.
Lo ga suka duduk di teras ya Gus" Apa mau duduk didalem aja"
Ga usah Fel, disini aja. Felicia hanya menatap gue sambil memasang senyum indahnya dan duduk tegap menyilangkan kaki. Gue jadi bingung dan salah tingkah melihat sikapnya.
Lo kenapa resign Fel" tanya gue mencoba membuyarkan sikap kaku gue.
Dapet kerjaan lain. Lagian Tya juga resign, gue males kalo atasan gue nanti orangnya ga seasik Tya
Lah" Tya resign juga" Per kapan"
Per kemaren. Emang lo ga tau" tanya Felicia dengan wajah bingung.
Gue juga ga kalah bingung. Gue cuma menggeleng kepala menjawab pertanyaan Felicia.
Sesibuk apa sih dunia lo Gus sampe ga merhatiin sekitar" tanya Felicia sambil mendekatkan wajahnya.
Gue ga bisa menjawab. Cuma diam dan membuang pandangan ke taman dihalaman rumah Felicia. Sebenernya bukan masalah kenapa mereka pada resign yang mengganggu gue. Tapi masalahnya, gue bertemen sama mereka lumayan deket dikantor, sering makan siang bareng, sesekali nongkrong bareng selepas jam kantor, tapi kenapa gue bisa sampe ga tau kabar ini"
Kalo Tya kenapa resign" tanya gue ke Felicia sambil kembali menatap wajahnya.
Dia sama Ko Hendri mau maried, jadi Tya ambil tawaran kerja dari tempat lain, biar ga sekantor dan bisa mulai persiapin semuanya jawab Felicia sambil memangku dagu nya.
Gue mengangguk berkali-kali memahami jawaban Felicia. Ternyata bener, ada banyak hal yang gue lewati dari cerita teman-teman gue. Ko Hendri emang sempet cerita ke gue bahwa dia mau belajar agama islam tempo hari saat lagi ngopi diruangannya, tapi gue ga terlalu menanggapi ceritanya waktu itu.
Ko Hendri udah pindah agama Fel" tanya gue lagi.
Belom kayanya, ga tau juga gue. Kan lo yang deket sama dia. Coba tanya langsung aja. Jawab Felicia sambil turun dari ayunan.
Eh, mau kemana Fel" Mau bikin minum. Lo mau minum apa"
Apa aja lah. Tapi yang dingin-dingin yaa pinta gue ke Felicia yang dijawab dengan senyuman.
Felicia berjalan pelan menuju ke dalam rumahnya. Mata gue ga berhenti melihat setiap gerakan yang dia lakukan. Sosok perempuan ini, ga akan lagi gue liat dikantor besok. Ga akan ada lagi gadis riang yang membuat ruangan divisi gue jadi riuh saat dia datang. Ga akan ada lagi senyuman manis atau wajah cemberut yang dibuat-buat saat gue menggodanya.
Felicia muncul dari balik pintu rumahnya membawa sebuah gelas dan berjalan pelan mendekat. Senyumnya ga pernah hilang dari wajahnya.
Eh, tadi gue abis nongkrong-nongkrong aja sama anak-anak Gus, makan-makan gitu lah perpisahan sama mereka ucap Felicia sambil memberikan gelas berembun berisi sirup ke gue.
Oh ya" Siapa aja" Kok gue ga diajak"
Lah, tadi kata Ko Hendri lo langsung buru-buru balik. si Bags ga ikut kayanya, dia lagi buru-buru mengejar cintanya', gitu ucap Felicia menirukan omongan Ko Hendri.
Gue geleng-geleng kepala sambil senyum-senyum sendiri mendengar jawaban Felicia. Gue jadi malu kalo mengingat sikap gue tadi ke Ko Hendri di kantor. Dan sepertinya, Ko Hendri juga ga mempermasalahkan sikap gue, terlihat dari jawabannya yang bilang gue lagi buru-buru mengejar cinta. Padahal yang gue kejar-kejar malah lagi makan-makan bareng mereka.
Felicia banyak bercerita malam itu, sementara gue Cuma jadi pendengar sambil menikmati senyum dan cara bicaranya. Dia membicarakan mimpi-mimpi yang mau dia kejar, mungkin sampai kerja di luar negeri. Karna kalo kerja di Jakarta, kemungkinan Bokapnya akan meminta dia memegang beberapa bisnis yang dikelola Bokapnya selama ini. Dia ga mau, karna lebih suka mencari pekerjaan sendiri dan hidup dari kerja kerasnya sendiri.
Terus rencana lo sama Lisa nanti apa Gus kedepannya" tanya Felicia ditengah obrolan kami.
Ga tau. Gue beneran belom mau mikir kesana
Yailah lo jadi cowok aneh ya, ngejalanin hubungan tapi ga mau mikir kearah mana hubungan itu di bawa.
Gue hanya senyum menanggapi omongan Felicia.
Liat tuh Ko Hendri. Ga pake basa basi, orang tua nya Tya langsung didatengin. Lanjut Felicia
Eh iya, tapi masalah agama sama ras mereka yang beda gimana tuh Fel" Tya cerita ga sama Lo"
Yaa orangtua Tya mah ga masalah, asal Ko Hendri nya yang mau ikut Tya. Tapi kalo orang tua Ko Hendri awalnya sempet nolak keputusan Ko Hendri buat pindah agama dan nikah sama non chinese.
Terus, sekarang orang tua Ko Hendri setuju aja"
Yaa gimana ya Gus. Ko Hendri juga orangnya keras. Lagian dia cowok, dia berhak nentuin jalannya sendiri. Pada akhirnya mah orangtua Cuma bisa merestui aja.
Tapi, Ko Hendri yakin mau pindah agama Cuma karna mau nikah"
Kalo yakin atau ga nya, gue ga tau. Coba dong lo sendiri yang tanya ke dia. Kalo perlu, lo yakinin. Kan lumayan lo bisa kebagian pahala nya jawab Felicia sambil cengengesan.
Heh, sejak kapan agama jadi kaya MLM" Yang kalo ngajak orang masuk bisa dapet bonus-bonusan gitu. Ucap gue dengan wajah meledek.
Oh, jadi lo nanti ga mau ajak Lisa ikut lo" Atau malah Lo yang ikut Lisa" Felicia bertanya sambil mendekatkan wajahnya lagi.
Kali ini gue menjauhi wajah Felicia dan duduk tegap bersandar sambil melipat tangan di dada, ga menjawab pertanyaan Felicia. Karna, Gue ga mau membahas urusan gue dengan Lisa ke Felicia.
Eh Gus, kalo ada cowok yang deketin gue, dan gue pacaran dulu sama dia sambil nunggu lo sama Lisa, gapapa kan" tanya Felicia sambil menatap gue tanpa tersenyum.
Gue menatap dalam ke wajahnya. Gue ga menyangka dia akan nanya kaya gitu ke gue. Apa itu artinya dia selama ini masih nunggu gue" Sedangkan gue sama Lisa aja udah jalan setahun, dan ga ada tanda-tanda hubungan ini akan berakhir dalam waktu singkat.
Emang selama ini lo nunggu gue Fe" tanya gue ke Felicia.
Dia ga menjawab. Hanya menatap kosong ke gue. Lama gue biarkan suasana menjadi hening, gue ga berniat bicara apapun sampe Felicia menjawab.
Kalo gue pacaran sama cowok lain, lo bakal rasain sakit hati kaya yang gue rasain saat ngeliat lo sama Lisa ga Gus" tanya Felicia membuyarkan keheningan.
Farewell #4 Perlahan gue bisa melihat perubahan wajah Felicia menjadi memasang ekspresi murung. Bola mata nya yang indah kini ga lagi terlihat cahaya didalamnya.
Gus" ucap Felicia lagi dengan nada setengah memaksa.
Ga tau Fel. Gue juga ga tau perasaan gue ke lo gimana. Jawab gue dengan suara serak karna menahan bicara cukup lama.
Gue suka sama lo. Mungkin malah gue sayang sama lo. Tapi Gue ga mau memiliki lo. Setidaknya buat saat ini. Lanjut gue.
Felicia masih menatap gue dengan wajah murungnya. Sementara gue hanya bisa tertunduk.
Gus, lo inget ga itu gelas siapa" ucap Felicia sambil mengarahkan pandangannya ke gelas yang sejak tadi gue pegang.
Gue memutar gelas dan memperhatikan setiap sudutnya. Cuma gelas biasa berwarna warna putih dengan pegangan, dan sebuah ukiran berwarna hijau, entah logo atau huruf, tapi seperti membentuk huruf F mirip logo Facebook, hanya saja bentuknya terlihat lebih kaku dan banyak ukiran-ukiran lain yang membuat saru seakan itu bukan sebuah huruf F.
Ini inisial nama lo ya" tanya gue ke Felicia sambil menunjukkan ukiran logo F berwarna hijau di gelas.
Felicia mengangkat kedua bahunya dan tersenyum.
Ga tau. Gue ga pernah beli gelas itu. Dulu pernah ada cowok yang ngasih itu ke gue. Coba lo inget-inget lagi ucap Felicia sambil tersenyum.
Gue menggernyitkan dahi memasang wajah bingung, kemudian mencoba melempar ingatan gue jauh ke belakang.
-------- Hari pertama kerja gue dikantor itu, saat jam istirahat, gue mampir ke sebuah minimart deket kantor. Gue membeli sebuah gelas berukuran sedang yang ada pegangannya. Gue terpaksa beli karna cuma gue yang ga punya gelas saat mau bikin kopi di kantor. Semua gelas yang tersedia di pantry biasanya udah dilabelin nama pemiliknya.
Pas sampe dikantor, gue langsung menuju pantry berniat menyeduh kopi yang memang disediakan buat karyawan. Saat mau masuk pantry, gue terhalang sama seorang OB kantor yang berdiri tepat didepan pintu masuk pantry.
Cari apa mba" tanya OB itu ke seorang gadis yang setengah membungkuk mencari sesuatu di laci pantry.
Ini ga ada gelas banget ya mas disini" tanya gadis itu ke OB dengan wajah kesal dan kosakata kekinian.
Jam segini mah gelas pada keluar semua mba, dipake sama yang punya. Emang gelas mba nya kemana"
Gelas gue pecah. Yailah masa gue mau minum obat pake mangkok gerutu gadis itu dengan nada yang sedikit naik dan membiarkan OB kantor tadi masuk ke ruang pantry.
OB kantor tadi membantu mengecek laci lain siapa tau ada gelas yang terselip. Sementara gadis itu hanya berdiri dan melipat tangannya di dada, masih dengan wajah kesal.
Lo mau minum obat" Ini pake gelas gue aja. Ucap gue ke gadis tadi sambil nenyodorkan gelas gue.
Dia ga langsung menerima gelas dari tangan gue, Cuma menatap gue dari ujung kepala sampe ujung kaki dengan pandangan aneh, kemudian melihat kearah gelas itu dan kembali menatap ke wajah gue.
Belom gue pake kok gelasnya, baru gue beli tadi, terus langsung gue cuci. lanjut gue sambil menyodorkan gelas itu lebih dekat.
Dia menerima gelas itu, dan memutar melihat kesetiap sudut gelas yang gue kasih. Gue sempet kesel liatnya. Macem sok jijik aja ini anak.
Yaudah, gue pake dulu deh. Ntar gue balikin abis gue cuci. Ucap Gadis itu sambil berniat keluar dari pantry.
Eh, lo divisi apa" tanya Dia lagi saat melintas melewati gue.
Gue Bagus, cari aja di bagian Operational Support.
Gue ga nanya nama lo, cuma nanya divisi lo. Ucap dia sambil berjalan pelan menjauh dari pantry.
Eh tunggu. Kita pernah kenal ya sebelomnya" tanya gue ke gadis itu.
Dia ga menjawab, Cuma menoleh sejenak kemudian berjalan menjauh kembali, menaiki anak tangga dan sepertinya menuju ke ruangannya. Gue Cuma menggelenggeleng kepala sambil tersenyum melihat kesombongannya.
------------ Iya, itu gelas dari Lo Gus. Lo pinjemin ke Gue dulu, tapi ga pernah gue balikin sampe sekarang ucap Felicia membuyarkan lamunan gue saat sedang memutar ingatan gue.
Gue menganggukkan kepala berkali-kali sambil tersenyum karna berhasil mengingat hari itu. Entah ini sebuah kebetulan atau memang lagi-lagi seisi semesta udah berkonspirasi, logo atau ukiran warna hijau itu membentuk huruf F yang menjadi inisial nama Felicia.
Setelah gue pake hari itu, gelas itu gue bawa pulang. Dan itu gelas selalu ada dikamar gue, setiap abis gue pake langsung gue cuci dan gue taro di kamar. Ga pernah ada orang lain yang minum pake gelas itu. Tapi setiap lo kesini, selalu gue suguhin minum pake gelas itu. Lanjut Felica.
Gue menatapnya sambil tersenyum. Gue ga ngerti kenapa dia sampe segitunya. Tapi yang pasti gue bersyukur, seandainya aja siang itu ga ada Felicia di pantry, mungkin gue ga akan pernah ngasih gelas itu dan ga akan pernah duduk di ayunan ini sama gadis sombong itu.
Lo kenapa kasih pinjem gelas yang baru lo beli itu ke Gue Gus" tanya Felicia lagi.
Ya kan lo bilang mau minum obat.
Kayanya itu bukan alasannya deh ucap Felicia sambil lagi-lagi mendekatkan wajahnya ke gue.
Gue ga perlu satu alasan pun buat ngelakuin apa yang mau gue lakuin jawab gue ke Felicia.
Felicia cuma tersenyum dan kembali menyandarkan tubuhnya di sandaran bangku ayunan.
Lo kenapa sampe nyimpen gelas itu segala" tanya gue ke Felicia, kali ini gantian gue yang mendekatkan wajah gue.
Gue juga ga perlu alasan apapun buat ngelakuin apa yang mau gue lakuin jawab Felicia sambil mencubit hidung gue.
Kami spontan tertawa bersama, cukup keras sebenarnya tawa kami. Bagusnya suara tawa kami ga mengundang emosi orang lain, mungkin tenggelam ditelan luasnya halaman rumah Felicia.
Gus, lo belom jawab pertanyaan gue tadi lho. Gapapa kan kalo gue pacaran sama orang lain, sambil nunggu lo" Felicia mengulang pertanyaannya lagi.
Emang lo ga capek Fel nunggu gue" Gue aja sama Lisa udah hampir setahun lho.
Ya capek lah, itu artinya udah hampir setaun gue nunggu lo. Tapi, gue ngerasa lebih baik capek nunggu daripada harus capek jalanin sama orang yang ga tepat, Gus Jawaban Felicia sontak bikin gue terdiam. Yang ga tepat siapa maksudnya" Bahkan Felicia harusnya cuma tinggal nerima salah satu cowok dari sekian banyak yang ngejar dia, yang bahkan jauh lebih baik dari gue.
Sebenernya, Lo mau pacaran sama siapapaun itu hak lo Fel, tapi jangan pacaran sama orang cuma karna mau nunggu gue. Lo bakal nyakitin orang lain kalo kaya gitu caranya. Jawab gue sambil mengusap rambut halus Felicia.
Kalo gitu, kalo ada cowok yang minta jadi pacar gue bakal langsung gue tolak aja lah jawab Felicia dengan senyum dan gestur tubuhnya yang khas.
Kok gitu" Kenapa emang"
Biar cowok-cowok itu ngerasain, gimana sakitnya saat mereka suka sama orang, tapi orang itu udah menentukan pilihannya ke orang lain jawab Felicia kali ini tanpa senyum, hanya menatap tajam kewajah gue.
Lisa #11 Untuk dia, seorang lelaki yang selalu ku kenang namanya.
Senyum dan tawa tak pernah luntur dari wajahnya, meski selalu ku balas dengan kesombongan.
Tubuh ini hanya bisa menurut saat otakku memerintahkan untuk mencari tahu latar belakangnya.
Apa-apaan ini" Bahkan sang mesin pencari hanya mampu menemukan sebuah profile Facebook yang menampilkan nama lengkapnya.
Di era tekhnologi seperti ini, dia bahkan hanya menggunakan internet untuk bersosialisasi dalam satu halaman website saja"
Dia, sebuah nama yang menyatu padu dengan sikap dan perilakunya.
Pandangan matanya tegas, mengisyaratkan seorang pria yang tidak mengenal kompromi.
Namun semua bertolak belakang setelah aku dekat dengannya. Dia adalah seorang lelaki yang lemah dengan air mata wanita.
Dia adalah seorang lelaki yang ekspresif ketika berada diantara teman-temannya, namun kaku ketika berada disebelah seorang wanita.
Dan kini, perlahan namun pasti, pandangan matanya berubah, seakan menggantung lelah dikelopak mata bagian bawah.
Namun, Aku pernah rela menghina diriku sendiri ketika memberitahunya tentang apa yang kurasa.
Sebuah rasa yang semakin membuncah ketika dia pertama kali memelukku.
Sebuah kehangatan yang entah darimana datangnya, tiba-tiba menyelimuti hati yang rapuh, saat ia menciumku.
Demi dia, Aku rela menukar kesenangan yang biasa kulakukan untuk membunuh waktu.
menepikan sejenak segala mimpi hanya untuk berbagi tempat dihati nya. Tapi dia telah memilih jalannya sendiri.
sebuah jalan yang berseberang arah denganku.
sebuah jalan yang dia perjuangkan hanya untuk melengkapi hidup wanita lain.
Dan dia berusaha teguh dengan jalan yang dia pilih, meski sesekali aku mencoba menggoyahkan kesetiaannya.
Tapi ini tidak pantas untuk berlangsung terlalu lama.
Karna berbagi tempat dengan wanita lain bukan lah hal yang nyaman untuk ditinggali. Aku, kali ini aku yang harus mengerti.
bahwasanya tidak semua hal dalam hidup selalu sejalan dengan apa yang aku inginkan.
Jaga dirimu wahai lelaki penuh tawa dengan aroma tembakau disetiap nafasmu. Ingatlah, aku pernah ada disana, walau hanya sebatas mimpi..
--------------- Sepenggal pesan whatsapp masuk ke handphone gue saat gue baru saja merebahkan kepala diatas kasur, sepulang dari rumah Felicia. Gue membacanya sejenak, membuat gue tertegun dan kemudian senyum sendiri membaca tentang gue dari sudut pandang Felicia. Baris kalimat tentang gue yang cuma ada disebuah halaman website tentu saja membuat gue senyum-senyum sendiri. Dia pikir, gue tipe orang yang suka menggunakan nama lengkap di dunia maya"
Tapi, pesan dari Felicia membuat gue melemparkan pikiran gue jauh melayang, memahami sosok-sosok perempuan yang pernah dan masih ada dalam hari-hari gue.
Liana, seorang gadis kecil yang gue kenal sejak SMP. Pertemanan gue dan Liana layaknya pertemanan umum antara seorang anak cowok yang nakal, males, dan hobby tidur dikelas dengan seorang gadis pintar, berprestasi, dan disayang guru-guru disekolah. Seiring berjalan waktu, pertemanan yang lebih kearah saling pandang sinis itu berubah menjadi ikatan kasih sayang sejak masa SMA yang kemudian terjalin selama bertahun-tahun. Menumbuhkan karakter yang tertanam dalam diri masingmasing, meninggalkan lembaran kenangan dan kembali menjadi orang asing ketika harus berpisah.
Lisa, seorang wanita chinese berkulit putih bersih nyaris tanpa cela, sepaket dengan senyuman manis yang dihiasi gigi gingsul di paras cantiknya yang mampu membuat banyak lelaki bertekuk lutut memujanya, lengkap dengan semua kekurangan dan kelebihan dalam diri seorang Lisa yang selalu ada disamping gue selama ini, menghiasi hari-hari gue dengan segala tingkah dan kelakuannya.
Felicia, seorang gadis berkulit sawo matang dengan rambut hitam kemerahan yang terurai beberapa centi dibawah pundahknya, memiliki pembawaan yang riang, sejalan dengan senyum, tawa, dan gestur tubuh yang menggemaskan ketika sedang berbicara, beriringan dalam sela-sela cerita hidup gue dan memberikan pemahaman berarti tentang sebuah rasa ketertarikan terhadap lawan jenis yang dikagumi, tanpa sempat saling memiliki.
Gue sebagai cowok mungkin merasa layak untuk bersyukur mengenal ketiganya, membawa tiga nama wanita itu dan menuliskannya dalam jalan cerita hidup gue yang dulu sering kali bertentangan dengan kata setia'. Tapi hal itu ga serta merta membuat gue layak membusungkan dada melihat kini ada dua bidadari yang menjadikan gue sebagai seorang yang layak dicintai. Justru sebaliknya, kedua bidadari itu berhasil merebut perhatian, pandangan, serta separuh kebahagiaan yang gue temui dalam harihari gue.
Segelas kopi mocca yang dulu selalu disajikan Liana dirumahnya lambat laun tergantikan dengan sebotol plastik air mineral ukuran seliter. Tawa renyah dari Liana yang biasanya menemani gue menyambut hari, kini perlahan namun pasti telah tergerus oleh senandung Lisa dari jok belakang motor gue. Kekhawatiran serta kecurigaan yang terendap dalam benak seorang Liana mulai larut dikalahkan oleh rasa cemas namun penuh rindu dari seorang Felicia.
Kita mungkin ga selalu dapetin apa yang kita mau Bags, tapi inget, Tuhan selalu tau apa yang kita butuh
Ucapan itu selalu Heri sampaikan tiap kali gue mengeluh padanya akan arti penyesalan. Betapa gue menyesal melewati Felicia dan memilih terperangkap dalam lingkaran protektif Lisa. Tapi Heri, dengan ucapannya itu, selalu meyakinkan gue untuk melihat lagi dengan sudut pandang yang lebih netral, dimana perasaan ga terlibat didalamnya.
Pandangan netral itu akan membuat gue mengerti, bahwa Felicia memang tipe wanita yang gue mau, tapi Lisa adalah tipe wanita yang gue butuhkan. Dibalik sikap protektifnya, berhubungan dengan Lisa menuntun gue menjadi pribadi dengan kebiasaan yang lebih baik, mengimbangi gaya hidup gue yang perokok berat dengan seliter air putih dan dua kaleng susu murni setiap hari. Sebuah kebiasaan yang pastinya ga akan gue temui bahkan mungkin akan bertolak belakang jika gue menjalani nya dengan Felicia. Cara Lisa menunjukkan rasa sayangnya bukan melalui cerita-ceita drama tentang bagaimana perasaan tumbuh dan menjalar didalam hati. Tapi, cara Lisa menyayangi gue adalah dengan melengkapi setiap sisi hidup gue dengan kebiasaankebiasaan baik, membiasakan gue menghabiskan waktu dengan mendengarkan cerita hidupnya, kemudian mengucap syukur atas semua yang gue miliki saat ini.
Kita memang kerap kali merasa kecewa dalam hidup, khususnya saat kita harus dipaksa menelan kata ikhlas saat ga bisa mendapatkan apa yang kita mau, atau kehilangan seseorang yang berharga dalam hidup kita. Liana, seorang wanita yang bertahun-tahun menulis cerita diatas lembar kehidupan gue, memilih untuk berpihak pada kata perpisahan, dan mendorong gue kepada satu-satunya jalan yang mengharuskan gue untuk membuka diri pada dunia luar, bersahabat dengan kehidupan sosial, dan berangan untuk menemukan cinta yang lain, yang layak diperjuangkan.
Dan sebagai seorang cowok, gue selalu mencoba menekuni apa yang sudah gue pilih. Memperbaiki diri untuk tidak lagi mengulang kesalahan yang sama; mengkhianati kepercayaan dan mengabaikan arti sebuah ketulusan, menggadaikan kesetiaan, dan mencari kedamaian di hati yang lain. Kini gue belajar menikmati serta menjalani setiap konsekwensi yang muncul dibalik setiap pilihan yang gue ambil.
Gue selalu merasa bahwa segala sesuatu yang gue lakukan, setiap langkah yang gue tempuh, selalu setelah melalui proses perhitungan atau kalkulasi yang sangat matang. Gue selalu yakin, bahwa menghitung ulang setiap resiko yang mungkin muncul lebih baik ketimbang meratapi kegagalan dari sebuah kecerobohan. Tapi, sejenak gue tersadar, bahwa semua perhitungan yang gue lakukan adalah sia-sia karna gue bukan orang yang cukup mahir dalam bidang matematika, gue lemah dalam hal hitung menghitung.
Cerita Gue dan Lisa berjalan seperti halnya sebuah hubungan pada umumnya. Kami sesekali mengisi weekend dirumah dengan Lisa belajar memasak menu-menu yang dia suka, atau kadang jalan ketempat-tempat wisata yang masih sejangkauhan dari Jakarta. Selain ke Bali, gue dan Lisa pernah juga ke tempat lain kaya ke Jogja atau kota-kota lainnya. Gue ga bisa ceritain detail karna memang jalan ceritanya normal kaya pasangan yang menghabiskan waktu berliburan bersama.
Namun, seperti halnya sebuah cerita dalam satu hubungan, selalu ada yang namanya kesalahan, yang pada akhirnya mengajarkan bahwa ada sebuah kerikil kecil yang berpeluang menjadi batu sandungan. Sejalan dengan apa yang gue lalui bersama Lisa. Setelah perayaan kecil yang Lisa susun di hari jadi kami yang pertama, setelah gue memutuskan untuk berhenti menjalin kontak diam-diam dengan Felicia, setelah Lisa menjalani hari-hari nya di dunia kerja yang baru, setelah banyaknya hari yang Gue dan Lisa lalui berdua, termasuk menikmati masakan-masakan sebisanya Lisa, menikmati kebiasaan-kebiasaan menghabiskan waktu dengan membaca novel atau menggerutui Lisa yang rutin menonton drama korea. Setelah melewati lebaran kedua bersama Lisa, setelah perdebatan alot mengenai izin Lisa untuk merayakan natal bersama temanteman nya di Bali, setelah dengan senyum yang gue paksakan karna menyetujui rencana liburan Lisa tersebut, gue sampai pada sebuah cerita dimana sore itu, gue dan Lisa berada ditengah kerumunan orang di Bandara Soekarno-Hatta, di hari senin, 2 hari sebelum natal tahun 2014.
Yakin ga ada barang yang ketinggalan angchimo" tanya gue ke Lisa saat kami tengah duduk dibangku besi disudut ruang tunggu badara.
Lisa hanya merespon dengan anggukan kepala karna tengah sibuk berbalas chat dengan temannya sambil memasang senyum lebar. Iya, dia seneng banget, pada akhirnya bisa merayakan hari raya tanpa terikat dengan pekerjaan. Dan dia sudah merencanakan sebuah liburan di Bali dengan teman-temannya yang di Surabaya. Gue emang sempat menolak saat Lisa mengajukan izin untuk berlibur itu, tapi akhirnya gue mengalah karna bagaimanapun gue ga mau egois untuk memaksakan Lisa merayakan hari raya nya di Jakarta lagi, setelah bertahun-tahun lamanya terkekang dalam dunia operasional, gue ga mau tahun ini dia lagi-lagi harus terkekang karna ego gue.
Lisa menyimpan handphonenya kedalam tas jinjing, kemudian melihat kearah tas tenteng besar warna kuning yang selalu dia pilih saat akan melakukan perjalanan. Lalu menghentikan tatapannya ke wajah gue.
Harusnya ga ada yang ketinggalan ya kayanya sayang, orang aku cuma bawa baju sama beberapa perlengkapan aja ucap Lisa sambil menebar senyumnya. Gue mengangguk-angguk meresponnya.
Kamu mau nitip oleh-oleh apa" tanya Lisa ke gue.
Bawa pulang diri kamu dalam keadaan utuh aja jawab gue tanpa senyum.
Iih, kok gitu ngomongnya" Amit amit. Ucap Lisa sambil berkali-kali mengetuk bangku besi yang dia duduki.
Gue setengah kaget melihat respon Lisa, kemudian memikirkan ulang apa yang baru saja gue ucapkan. Sekilas, jawaban seperti itu memang terdengar ambigu dan menyeramkan untuk orang yang akan melalukan sebuah perjalanan. Padahal maksud gue bukan begitu, gue ga meminta oleh-oleh, hanya ingin Lisa pulang dengan selamat, lengkap dengan rasa kangen yang utuh atas terpisahnya gue dan dia untuk beberapa waktu.
Gue hanya cengengesan saat Lisa mendaratkan cubitan gemas karna kesal dengan jawaban gue. Kemudian mengusap-usap kepalanya yang kini bersandar di bahu gue. Sejenak dia bersenandung, menyelimuti hati gue dengan kedamaian, membasahi kegundahan yang entah dari mana awal munculnya di hati gue.
Sayang, nanti inget ya, susu kalengnya diminum, jangan tidur malam-malam, sama ngerokoknya tau diri. Pesan Lisa masih dalam posisi menyandarkan kepalanya di bahu gue.
Gue sekedar mengiyakan sambil memeriksa jam yang melingkar di lengan gue, kemudian mengajak Lisa bergegas untuk bersiap, mengantarnya sampai ke pintu masuk. Lisa melemparkan senyum sambil melambaikan tangannya dari balik pintu kaca yang memisahkan kami, kemudian perlahan sosoknya menghilang ditelan keramaian hilir mudik calon penumpang lainnya. Gue pun membalik badan dan bergegas mencegat Bus Damri yang mengantarkan gue pulang. Akan cukup lama waktu yang harus gue lewati tanpa Lisa, sampe akhir liburan tahun baru. Waktu yang bisa gue manfaatkan untuk bersenang-senang dan berkumpul dengan teman-teman gue.
Antara Teman dan Atasan Sore itu, sehari setelah jeda libur natal, gue bertempur dengan tumpukan barang di gudang sejak selesai istirahat solat jumat, bersama Heri dan seorang staff gudang. Gue memeriksa berkali-kali kertas serah terima barang yang gue pegang dalam jepitan papan jalan, memastikan semua barang yang ada dihadapan gue saat ini lengkap dan layak dikirim ke operasional di seluruh cabang kantor. Heri ga kalah sibuknya, bolak balik membongkar bungkusan barang untuk memastikan ga ada cacatnya.
Ini mah ga bakal kelar hari ini Bags, masih banyak banget. Ucap Heri sambil duduk dilantai bersandarkan tembok, mengatur manajemen napasnya.
Lemburin aja apa nih" tanya Gue ke Heri staff gudang yang masih sibuk memeriksa tumpukan barang dihadapannya.
Yaudah Bags, lu balik aja sana ke meja lo. Selesain dulu report hari ini. Nanti kemari lagi ucap Heri sambil mengambil papan jalan dari tangan gue.
Gue mengangguk tanda menyetujui kemudian menaiki anak tangga menuju ke meja kerja buat menyelesaikan sisa pekerjaan lain yang belum terpegang. Baru saja gue duduk dikursi dan menyalahkan komputer dari posisi idle, telepon di meja gue berbunyi. Gue menarik napas dalam dan segera mengangkatnya.
Bags, darimana aja sih lu. Gue telepon daritadi ga diangkat suara Ko Hendri dari ujung telepon langsung menyambar.
Dari gudang Ko, ngecek barang yang baru dateng buat operasional gue menjawab dengan nada malas.
Lah, Lu orang gimana sih, report hari ini aja belom gue terima malah lu sibuk urus barang
Iya, ini baru mau gue kerjain. 15 menit lagi udah masuk ke email lo.
Yaudah, 20 menit lagi keruangan gue. Pusing ini kepala kagak nyeruput kopi seharian
Kan ada OB Ko, lu orang egois amat, segala bikin kopi aja nyuruh gue ucap gue dengan nada bercanda sambil meniru cara bicara Ko Hendri.
Nah, ini nih bego nya lu orang. Ini bukan soal siapa yang bikin kopi nya Bags, tapi soal siapa yang menemani saat menikmati segelas kopi. Jawab Ko Hendri sambil cengengesan.
Gue menimpali dengan tawa dan memutus telpon tersebut, kemudian mengebut gerakan jari buat mengetik laporan harian yang harus segera gue selesaikan, kemudian gue kirim via email ke Ko Hendri.
Selesai mengirim email laporan, gue mendatangi meja Rini, meminta tolong dia untuk mengisntruksikan staff lain untuk membantu Heri memeriksa barang di gudang.
Emang kenapa ga lo aja" tanya Rini dengan wajah kesal, sepertinya dia sedang dalam fase PMS.
Semua aja sekalian gue yang kerjain Rin. Itu dari siang udah gue cek barangnya, sekarang suruh staff lain dulu lah, gue mau ke ruangan Ko Hendri. Nanti malem gue lemburin itu barang biar besok bisa dikirim sama driver dan kurir. Jawab gue dengan ga kalah kesalnya karna respon Rini.
Gue meninggalkan meja kerja Rini saat dia memanggil staff lain untuk menginstruksikan mengecek barang di gudang. Gue berjalan santai keluar ruangan divisi gue, melewati meja kerja staff lain dan menuju ruangan Ko Hendri. Seperti biasa, gue masuk tanpa mengetuk pintu kemudian menutup pintu ruangan Ko Hendri rapatrapat.
Nah gini dong, sekali-sekali kan enak kalo gue kesini udah disediain kopi ucap gue sambil berjalan menuju sofa disudut ruangan, yang sudah tersedia 2 gelas kopi hitam mengebul diatas meja.
Sialan lu. Besok gue potong gaji lu karna udah ngebiarin gue bikin kopi sendiri ucap Ko Hendri menanggapi gue yang duduk disampingnya sambil cengengesan.
Gue menguyup pelan kopi hitam yang masih panas, kemudian menyulut rokok dan menghembuskan asapnya keluar jendela, berbaur dengan udara diluar gedung ruko kantor.
Lisa masih di Bali Bags" tanya Ko Hendri sambil menghembuskan asap rokok dari hidungnya.
Masih Ko. Kenapa emang" Lo mau beliin gue tiket buat liburan taun baru kesana ya" Gue bertanya dengan mimik wajah antusias.
Enak aja lu. Gue aja kagak liburan. Jawab Ko Hendri sambil menoyor kepala gue.
Gue lagi defense nih Bags, nabung lanjut Ko Hendri.
Oh iya, lo mau maried ya" Kapan rencana nya Ko"
Taun depan. Gue mau belajar agama dulu
Gue ga langsung merespon jawaban Ko Hendri. Gue sedikit berhati-ati kalau sudah membahas masalah agama, takut Ko Hendri tersinggung.
Lu ga ada kenalan ustadz gitu Bags" Buat ngajarin gue, sekaligus buat temen diskusi agama tanya Ko Hendri ke gue.
Kagak ada. Kalo mau diskusi mah sama gue aja kali Ko.
Halah, nanti gue jadi garis keras kalo diskusi sama orang liberal macem lu ucap Ko Hendri sambil cengengesan, yang gue sambut dengan wajah menggerutu.
Tapi lo serius Ko, mau pindah agama buat nikahin anak orang" tanya gue dengan nada pelan dan berhati-ati.
Ko Hendri ga langsung menjawab. Dia menatap gue. Kemudian tenggelam dalam lamunan.
Tuhan yang lo kenal dari lo kecil, akan lo khianatin demi seorang perempuan yang baru lo kenal kemaren sore Ko, lo yakin" tanya gue lagi mencoba membuyarkan lamunan Ko Hendri.
Gimana kalo ternyata Tuhan yang gue kenal selama ini adalah Tuhan yang sama kaya yang disembah perempuan itu" Dan ternyata cara dia menyembah lah yang bener. Ko Hendri bertanya balik ke gue.
Gimana kalo ternyata, cara menyembah Tuhan yang di praktekkan perempuan itu salah, gimana kalo ternyata propaganda media yang menyudutkan agama gue dan perempuan itu ternyata benar" Gue kali ini bertanya balik ke Ko Hendri.
Bags, kebenaran bukan ditentukan dari omongan orang, atau dari jumlah suara terbanyak. Gue ga menghianati Tuhan yang gue kenal dari kecil, justru Dia menuntun hati gue untuk mencari kebenaran. Dan gue akhirnya paham, kebenaran adalah untuk mereka yang ga pernah ragu mencarinya. Kebenaran akan ke-esaan Tuhan itu mengendap dan bersemayam dihati kita semua, dan Tuhan menuntun gue untuk menemukannya. Cuma, melalui pertemuan gue dengan perempuan bernama Tya. Jawab Ko Hendri dengan tegas dan jelas sambil menatap mata gue dengan pandangan yakin.
Gue mengangguk berkali-kali mendengar jawaban Ko Hendri yang cukup tegas. Tapi gue masih meragukan perasaan yakin didalam hatinya.
Ko, sorry ya. Let s say, lo akhirnya convert jadi muslim. Tapi ternyata, ada satu dan lain hal yang membuat Lo sama Tya ga jadi nikah. Apa yang bakal lo lakuin" tanya gue dengan senyum karna gue yakin pertanyaan ini akan membuat Ko Hendri kembali ragu dengan keputusannya.
Ga masalah Bags. Tujuan hidup gue bukan sekedar mencari pasangan. At least, gue menemukan kebenaran dari bimbingan Tuhan. Dan gue percaya ini emang jalan yang udah Dia siapin buat gue. Jawab Ko Hendri masih dengan nada tegas, yang justru membuat gue kebingungan.
Terus, lo yang udah terlanjur convert, harus rela gitu aja ngeliat Tya misalnya malah nikah sama cowok lain" Sedangkan lo malah&
Bags, kalo gue aja yakin bahwa Tuhan bisa menuntun gue menuju kebenaran, kenapa gue ga bisa yakin bahwa Tuhan juga akan menuntun gue menemukan jodoh yang memang udah dipersiapkan buat gue" Ga masalah mau itu adalah Tya atau bukan, seenggaknya gue menemukan hubungan dengan Tuhan dalam jalan yang benar. Jawab ko Hendri memotong omongan Gue.
Gue kali ini memasang senyum lebar. Kali ini gue percaya, Ko Hendri ga akan goyah dengan apa yang udah dia putuskan. Ga peduli walaupun gue berusaha membuat dia ragu, dia tetep kukuh dengan keputusannya.
Memang ada batasan yang sangat jelas dalam hubungan gue dengan Ko Hendri. Dia atasan gue, yang awal gue masuk kantor ini adalah sosok yang sangat gue segani. tumpukan-tumpukan kerjaan yang dia serahin ke gue bikin gue muak sendiri di awal hari-hari gue bekerja disini. Tapi, lama kelamaan, gue merasa nyaman dan terasa banget perlakuan yang dia berikan ke gue ga sekedar hubungan antara bos dan anak buahnya, tapi juga ada hubungan selayaknya seorang teman. Walapun dengan batasan yang jelas antara teman dengan atasan, sesuai dengan porsinya masingmasing.
Your Beloved Gue menghabiskan malam tahun baru 2015 dirumah. Seperti biasa, gue lebih suka melewati malam pergantian tahun dengan keluarga dan teman-teman, sekedar bakarbakaran. Tapi kali ini ga ada Lisa, karna dia belum pulang dari liburannya. Ga ada yang istimewa, yang ada justru rasa kangen sama Lisa. Dan malam itu pun gue sama Lisa Cuma komunikasi seadanya via pesan whatsapp.
Sampai di minggu sore pertama di 2015, gue sudah duduk di ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta, menunggu kepulangan Lisa. Jam di pergelangan tangan gue menunjukkan pukul 16 sore. Gue menikmati kopi panas yang disajikan di gelas karton sambil asik mendengarkan musik melalui headset. Sosok Lisa terlihat dari kejauhan, tersenyum lebar dan berjalan cepat kearah gue sambil mendorong trolly barang.
Sayaaaannng.. ucap Lisa sambil melebarkan kedua tangannya memeluk gue yang masih dalam posisi duduk.
Lisa mengacak-acak rambut gue dan mencubit pipi gue dengan gemas. Mungkin dia juga merasakan kangen yang sama kaya yang gue rasain, hanya saja gue ga segitunya menunjukkan rasa kangen itu. Kangen gue udah terobati walaupun cuma melihat senyumnya secara langsung.
Kami langsung mencegat Bus Damri dan segera meluncur ke kos Lisa. Sampai di kos sekitar jam 6 sore. Setelah membersihkan tangan dan kaki, gue langsung merebahkan badan di kasur Lisa, sementara Lisa masih sibuk membereskan barang-barang di tas yang dia bawa.
Gimana liburannya" Seru ga" tanya gue sambil melihat ke arah Lisa yang sedang sibuk membongkar tas nya. Lisa mengangguk antusias dengan senyumnya yang mengembang.
Ga butuh waktu lama buat gue yang ternyata tiba-ba ketiduran. Gue terbangun sekitar jam 11 malam, dengan posisi Lisa yang juga tertidur disamping gue dengan tangan dan kakinya menindih badan gue. Perlahan gue menggeser badan dan turun dari kasur, kemudian membuka pintu kamar kos dan menuruni anak tangga berniat membeli segelas kopi.
Gue kembali keatas dan duduk tepat didepan pintu kamar kos Lisa yang sengaja gue buka. Gue menikmati segelas kopi sambil menghembuskan asap rokok tinggi-tinggi ke udara dan mengecek beberapa notifikasi di handphone kemudian main game.
Cukup lama gue main game sampe batre handphone gue ada peringatan tanda sudah hampir habis. Gue mengantongi handphone di saku celana, kemudian berjalan pelan kedalam kamar, mengambil handphone Lisa yang tergeletak diatas kasur. Gue sempat melihat wajah Lisa yang tertidur pulas, mengusap rambutnya yang wangi kemudian mencium keningnya.
Gue kembali ke posisi awal, duduk didepan pintu sambil kali ini memainkan handphone Lisa yang juga gue install game yang biasa gue mainkan. Gue melihat ada banyak notifikasi di handphone nya, tapi gue abaikan. Gue ga terlalu suka melihat-lihat isi aktifitas handphone orang lain, sekalipun pacar gue sendiri. Dan kebiasaan gue itu sangat bertolak belakang dengan Lisa yang sangat hobi mengecek aktifitas handphone gue, secara diam-diam tentunya.
Gue merasa ga nyaman main game di handphone Lisa. Bukan karna ukuran layar handphone nya, tapi karna banyak banget notifikasi yang masuk ke handphone ini yang membuat gue sangat terganggu saat bermain game. Akhirnya, gue memutuskan menutup aplikasi game yang sedang gue mainkan.
Gue berniat mengembalikan handphone Lisa ke tempat asalnya diatas kasur saat ada sebuah notifikasi berbunyi, menandakan ada sebuah postingan dari instagramnya. Ga tau kenapa, gue malah iseng membuka notifikasi tersebut, yang membawa gue ke sebuah halaman berisi postingan foto teman Lisa yang di tag atau di tautkan ke Lisa. Sebuah foto yang menggambarkan suasana liburan yang sepertinya diambil kemarin saat malam pergantian tahun. Gue senyum-senyum sendiri melihat wajah Lisa yang cemberut di dalam foto, sepertinya dijahili oleh temannya dengan memakaikan topi berbentuk terompet.
Gue mengklik nama akun teman Lisa yang memposting foto tersebut, yang membawa gue ke halaman timeline utama pemilik akun, yang menunjukkan banyak foto yang telah dia posting. Ada sebuah foto yang membuat gue penasaran, kemudian gue mengklik foto tersebut. Terbuka sebuah halaman dimana ada Lisa sedang menyuapi sepotong kue ulang tahun kepada seorang cowok, berperawakan chinese, putih, kurus dan tinggi. Lengkap dengan sebuah caption tertulis dibawahnya, Happy birthday to your beloved, Lisa .
Air Mata Lisa Gue segera mengembalikan handphone Lisa keatas kasur, dengan kondisi layar yang masih menampilkan foto Lisa yang sedang menyuapi laki-laki itu tadi. Kemudian gue bergegas memakai jaket dan berjalan cepat menuruni anak tangga, gue berniat pulang.
Iya, gue emosi setengah mati melihat foto tersebut. Beloved one" Siapa cowok sialan itu" Gue pernah melihat foto dua orang Koko nya Lisa dan sosok cowok itu jelas-jelas bukan Koko nya Lisa. Dan gue cukup yakin dia bukan kerabat atau sekedar teman dekat Lisa.
Gue memacu motor dalam keadaan cepat, gue gagal mengendalikan emosi saat itu. Dan satu-satunya cara supaya emosi itu ga tertuang dalam bentuk sikap atau kata-kata kasar, gue lebih memilih segera pulang. Gue tau mungkin akan lebih baik gue menanyakan langsung terlebih dahulu ke Lisa, tapi gue cukup sadar diri bahwa gue bukan orang yang pandai mengelola manajemen emosi gue, makanya gue memilih pulang.
Sampai dirumah, gue merubuhkan badan diatas kasur dengan keadaan kesal, sangat kesal. Pikiran gue ga mampu menemukan suatu jawaban dari pertanyaan kenapa Lisa bisa ngelakuin ini ke gue" . Dia izin mau pergi menghabiskan liburan natal dan tahun baru dengan seorang temannya yang juga perempuan, namanya Jessica, dan gue pernah ngobrol sama Jessica via telpon sebelum Lisa berangkat ke Bali. At least, Jessica tahu Lisa disini udah ada beloved one' nya di Jakarta.
Gak kerasa, gue ketiduran. Dan terbangun karna handphone gue berdering menandakan sebuah panggilan. Gue memicingkan mata melihat layar handphone yang tertulis nama Lisa, kemudian menoleh kearah jam dinding yang menunjukkan jam 5 pagi.
Sayang, kamu dimana" ucap Lisa dari ujung telepon dengan isak tangisnya. Mungkin dia sudah melihat handphonenya yang masih pada sebuah halaman foto instagram yang tadi gue biarkan terbuka.
Sayang" Gue ga salah denger Lis" gue menjawab malas.
Kamu dimana" Dengerin aku dulu


Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gue ga menjawab, membiarkan Lisa tenggelam dalam tangisnya. Dan dengan emosi, gue memutuskan telepon kemudian mematikan handphone gue. Kemudian bergegas mandi. Ada pekerjaan yang harus gue jalanin hari ini dan gue merasa muak mendengar tangisan Lisa.
Gue sampe dikantor dengan keadaan kantor yang masih sepi. Gue bahkan masih merasa emosi sampe menutup pintu ruangan divisi gue yang masih kosong dengan membantingnya keras-keras. Gue ga memperdulikan sekitar. Gue menyalahkan komputer dan menuntaskan kewajiban gue mengerjakan tumpukan-tumpukan pekerjaan hari itu. Gue bahkan melewatkan makan siang dan rutinitas ngopi sore diruangan Ko Hendri.
Jam menunjukkan pukul 6 sore saat gue meninggalkan meja kerja, tanpa sepatah katapun gue ucapkan ke rekan-rekan kerja disamping gue. Gue menuruni anak tangga dan keluar kantor dengan cepat. Gue melihat sosok Lisa sedang duduk di warung kecil depan kantor. Gue berjalan melewati dan mengabaikan Lisa. Tapi Lisa bergegas mengejar gue, berlari kecil mengimbangi langkah gue.
Sayang, dengerin aku dulu. Ucap Lisa sambil menarik tangan gue.
Gue mengabaikannya, bahkan menolehpun gue enggan. Bagi gue, foto itu lebih dari sekedar penjelasan-penjelasan maupun retorika omong kosong yang akan Lisa sampaikan.
Gue duduk diatas motor dan bersiap sementara Lisa dengan cepatnya langsung duduk dibelakang gue. Gue sempat menoleh dan menghela napas tanda kesal. Lisa sepertinya ga peduli dengan respon gue, dia malah melingkarkan tangannya memeluk gue dari jok belakang.
Gue menjalankan motor kearah kos Lisa dengan tanpa saling berbicara. Lisa masih tetap melingkarkan tangannya memeluk gue dengan erat, dan menyanggahkan dagunya dipundak gue sebelah kanan. Dia ga merubah posisi itu bahkan sampai gue berhenti tepat didepan pagar kosnya.
Gue melepaskan lingkaran tangannya dan turun dari motor, kemudian menaiki anak tangga menuju lantai 4, dan duduk didepan teras kecil kamar Lisa. Sementara Lisa berjalan cepat mengikuti gue, dan membuka pintu kamarnya, melemparkan tas jinjingnya ke kamar, kemudian duduk disamping gue. Dia duduk menyamping sambil memegang lengan gue dengan air mata yang menetes membasahi pipinya. Sesekali dia mengguncangkan tangan gue meminta gue merespon, tapi gue masih mengabaikannya.
Beloved one" ucap gue dengan nada bertanya, tanpa menoleh ke Lisa.
Kamu dengerin aku dulu ucap Lisa masih dengan menangis.
Aku ga bakal denger omongan kamu kecuali kamu jawab apa yang aku tanya gue kali ini menatap Lisa.
Dia siapa" lanjut gue bertanya ke Lisa. Tapi yang ditanya malah menunduk dengan air mata yang semakin deras dan tubuhnya yang gemetar.
Oke, kali ini gue yakin. Kalo itu cuma kerabat atau teman, Lisa ga mungkin akan menangis segininya. Reaksi Lisa sedikit banyak dapat memberikan jawaban buat gue.
Sejak kapan kamu sama dia" gue bertanya lagi, Lisa pun masih ga menjawab.
Gue bangkit dari tempat duduk berniat meninggalkan tempat ini, tapi Lisa menarik tangan gue dengan sangat keras.
Apa lagi Lis" Kamu daritadi aku tanya diem aja. Ucap gue kali ini dengan nada sedikit naik.
Aku.. Cuma bercanda.. ucap Lisa dengan isak tangis yang coba dia tahan.
Bercanda" Oh ya" pura-pura pacaran" Dengan saling suap-suapan" Liburan di Bali berpasang-pasangan" Itu bercanda" gue memberondong Lisa dengan pertanyaan menginterograsi dan nada yang tinggi. Lisa hanya menunduk dan semakin gemetar hebat.
Gue tau, Lisa bukan tipe orang yang bisa dikerasin, bahkan kalo gue ngomong dengan sedikit ngotot saat berdebat masalah sepele aja bisa membuat Lisa kaget dan ketakutan. Apalagi dengan nada bicara gue saat ini, tentu saja reaksi badannya yang gemetar hebat itu adalah tanda dia sangat ketakutan. Karna itu lah gue memilih menghindar semalam, gue ga mau sampe membentak Lisa seperti ini karna gue memang bodoh dalam menahan emosi.
Gue melepaskan pegangan tangan Lisa, dan berjalan mendekati anak tangga, gue harus segera pergi dari hadapan Lisa sebelum emosi gue semakin meluap. Tentu saja, Lisa ga tinggal diam dan mengejar gue kemudian kembali menahan tangan gue.
Dengerin aku dulu.. ucap Lisa masih dengan menangis dan tubuh yang gemetar.
Gue menyandarkan badan ke tembok dan menarik napas dalam-dalam. Gue berusaha mengendalikan rasa marah yang benar-benar memuncak diujung kepala gue saat ini.
Kenapa Lis, kenapa kamu bisa kaya gini ke aku" tanya gue sambil menatap Lisa dengan nada pelan, setelah berhasil menurunkan tensi emosi gue.
Lisa masih tetap ga menjawab. Dia hanya menunduk dan tenggelam dalam tangisannya, membuat gue semakin merasa serba salah.
Lis, kamu yang minta aku janji buat ga nyakitin kamu, buat ga akan pernah mengulangi kesalahan aku ngeduain cewek. Ucap gue sambil memegang erat tangan Lisa yang masih gemetar.
Aku bodoh Lis, aku bodoh udah menyanggupi janji itu dan dengan polos nya aku percaya begitu aja bahwa kamu pun ga akan pernah selingkuh dari aku.
..... Lisa masih menangis, bahkan semakin keras isak tangisnya.
Kamu yang bilang, semua hubungan akan harus ada tujuannya. Dan kamu yang minta aku buat perjuangin kamu sampe nanti kedepannya harus berhadapan dengan izin keluarga kamu
..... Lis, hubungan ini berjalan dengan hampir seluruhnya aku ikutin kemauan kamu. Aku ga punya apa-apa buat membahagiakan kamu, dan satu-satunya hal yang aku bisa berbagi dengan kamu adalah waktu aku. Aku menghabiskan lebih dari separuh waktu aku buat menemani kamu, menjaga kamu, dan ternyata disela-sela waktu saat aku ga disamping kamu, kamu malah menghadirkan orang lain. Ini balasan kamu" Penjelasan apa yang harus aku denger dari kamu"
Lisa terduduk lemah di lantai dengan posisi kedua kakinya dilipat kebelakang, menghadap tepat kearah gue sesaat setelah gue mengucapkan itu ke Lisa. Entah apa yang dia rasakan saat itu, yang pasti ini bukan pemandangan yang layak gue nikmati. Malah gue merasa gagal jadi seorang cowok saat melihat orang yang gue sayang duduk bersimpuh dilantai dengan menangis dan badan yang gemetar.
Gue duduk didepan Lisa, membelai halus rambutnya, dan mengusap pipinya yang basah karna air mata yang belum berhenti tumpah.
Lis, kamu bisa ngomong langsung ke aku kalo emang kamu udah bosen atau bahkan muak sama hubungan ini. Aku akan cukup tau diri dan menyingkir baik-baik. Ga perlu pake kamu selingkuh dan berpura-pura seakan-akan semuanya baik-baik aja. Kamu kaya gini ga cuma nyakitin aku, tapi berniat banget buat hancurin perasaan aku
Gue berusaha mengangkat badan Lisa. Dia berdiri kemudian mengikuti arahan gue buat masuk ke kamarnya. Gue berpamitan dan melangkah keluar, menuruni anak tangga, kemudian bergegas mengebut motor gue menuju arah pulang. Seiring dengan perjalanan pulang kali ini, Gue memutuskan buat berhenti mencintai sosok Lisa yang selama ini mengisi hari-hari gue.
Everybody Makes Mistakes The buttons on my phone are worn thin I don't think that I knew the chaos I was getting in. But I've broken all my promises to you
I've broken all my promises to you.
Why do you do this to me" Why do you do this so easily" You make it hard to smile because You make it hard to breathe Why do you do this to me"
A phrasing that's a single tear, Is harder than I ever feared And you were left feeling so alone. Because these days aren't easy Like they have been once before These days aren't easy anymore.
Why do you do this to me" Why do you do this so easily" You make it hard to smile because You make it hard to breathe Why do you do this to me" To me, to me, to me.
I should have known this wasn't real And fought it off and fought to feel What matters most" Everything
That you feel while listening to every word that I sing. I promise you I will bring you home
I will bring you home. Why do you do this to me" Why do you do this so easily" You make it hard to smile because You make it hard to breathe Why do you do this to me"
Why do you do this to me" Why do you do this so easily" You make it hard to smile because You make it hard to breathe Why do you do this to me" To me, to me, to me.
Gue merebahkan kepala diatas kasur kesayangan gue, diiringi sebuah lagu dari secondhand serenade yang membawa gue semakin tenggelam dengan rasa kecewa.
Lisa, seorang wanita yang selama ini gue perjuangkan justru malah membalas gue dengan sebuah perselingkuhan. Seorang wanita yang gue jaga setiap waktu justru memberikan balasan dengan sebuah kecurangan.
Lisa bahkan ga mampu menjelaskan apapun, bahkan ga mampu menjawab semua pertanyaan yang gue berikan, bahkan ga mengucapkan sepatah kata maaf pun. Lalu, apa yang sebenarnya dia tangisi" Apa yang membuat tubuhnya gemetar sedemikian hebat" Apa hanya sebuah rasa takut karna kecurangan dan perselingkuhannya tertangkap basah"
Gue melewati malam dengan rasa kecewa yang semakin ga terobati. Gue kecewa dengan apa yang sudah Lisa lakukan. Gue memang memutuskan untuk memberikan kepercayaan padanya selama ini, tapi dia sendiri yang membuktikan bahwa dia ga layak untuk dipercaya.
----------- Besok malamnya sepulang kerja, seperti biasa gue meminta Ryan datang untuk sekedar bertukar pikiran atas apa yang baru saja gue alami. Gue memutuskan untuk tutup mulut sepanjang hari dikantor, dan lebih memilih Ryan sebagai tempat gue mengadu.
Kok bisa ya Men" Ga nyangka gue, Lisa bisa selingkuh. Ucap Ryan sambil menopang dagunya dengan telunjuk setelah gue menceritakan kelakuan Lisa padanya di kamar gue.
Gue ga menjawab, karna memang ga bisa menjawab apa alasan Lisa melalukan ini. Gue bahkan udah ga ada komunikasi sama Lisa sejak terakhir kemarin gue pulang dari kos nya.
Terus lo sekarang maunya gimana" tanya Ryan ke gue yang lagi-lagi ga gue jawab.
Lo juga sih, kan gue udah bilang. Hubungan lo sama Lisa ga akan ada tujuannya. Gue berkali-kali bilang sama lo, silahkan bersenang-senang sama Lisa, tapi juga tetep cari sampingan', jangan malah main hati ke dia ucap Ryan dengan nada ngotot.
Gue membuang pandangan keluar jendela. Gue sepertinya mengamini ucapan Ryan, bahwa gue selama ini lurus-lurus aja sama Lisa, ga ada niatan sama sekali buat berbelok selingkuh sama cewek lain. Bahkan gue rela mengabaikan Felicia yang berusaha merebut perhatian gue selama ini, dan tetap teguh dengan jalan yang gue pilih dengan Lisa.
Eh, tempo hari yang lo cerita pernah deket sama HRD kantor lo itu, siapa namanya" tanya Ryan membuyarkan lamunan gue.
Felicia, kenapa" Yaudah, sekarang lo kejar dia aja lagi.
Yaelah Yan. Kali ini gue justru males menghadirkan sosok perempuan lagi dalam hidup gue jawab gue dengan nada malas.
Ayolah, lo inget ga saat lo hancur karna diputusin Liana" Lo langsung sibuk cari penggantinya kan" Sekarang kenapa malah lo males"
Yan, yang gue rasain sekarang beda sama gue yang gue rasain satu tahun yang lalu.
Bedanya apa" sama-sama hancur kan"
Ya sama-sama hancur. Tapi waktu putus sama Liana, gue lebih nerima. Toh gue pikir mungkin emang karma nya gue yang sering nyakitin dia. Lah kalo sama Lisa, gue udah berusaha banget jadi orang bener, gue ngikutin semua kemauan dia. Gue bela-belain ujan-ujanan dari sini gue jemput dia pulang kerja malam-malam, sekarang dibales kaya gini, ya sakit hatinya beda lah jawab gue dengan nada kesal.
Tapi kan sama aja, awal-awal dulu lo masih sering ketemuan sama Felicia. Malah lo pernah cerita lo cium Felicia kan" Tidur sekamar pula, ngapain aja waktu itu lo"
Gue tersentak dengan Ryan yang balik menyerang gue dengan pertanyaannya. Iya, ada benernya apa yang Ryan bilang. Toh, dulu, walaupun gue ga ada apa-apa sampa Felicia, ga sampe pacaran dan ngeduain Lisa, apa yang gue lakukan dengan Felicia bukannya juga masuk kategori selingkuh" Seandainya Lisa tau, pasti dia kecewa juga kan sama gue"
Kali ini justru malah batin gue saling bertentangan. Gue ga bisa menutupi rasa kecewa gue dengan apa yang Lisa lakukan, tapi gue juga ga bisa bohong, gue pernah menghianati Lisa tanpa sepengetahuan dia.
Gini Men. Lo ngerasa kecewa, 2 kali, sama dua cewek yang berbeda, itu karna lo sama sekali tanpa persiapan ucap Ryan sambil duduk mendekat. Gue hanya memasang wajah heran mencoba memahami ucapannya.
Sama Liana, lo lagi berusaha jadi cowok bener, ga ada selingkuh lagi, eh malah diputusin. Sama Lisa, lo udah berusaha menyingkirkan sosok perempuan lain, lo menolak ajakan temen lo buat sekedar main-main sama cewek lain, eh malah diselingkuhin ucap Ryan sambil tertawa kecil.
Tapi inget, lo juga pernah bikin salah, dan ketika balasan atas kesalahan lo itu datang, lo ga bisa apa-apa selain cuma menerimanya. Orang mungkin biasa menyebut itu karma, gue lebih suka menyebutnya hukuman. Tapi inti nya, everybody makes mistakes, even the ones you love. Lanjut Ryan sambil menepuk pundak gue.
Terus, apa yang harus gue lakuin" tanya gue sambil memasang wajah memelas ke Ryan.
Yaa terserah lo. Kalo lo mau maafin Lisa, ya maafin, kasih dia kesempatan perbaikin kesalahannya. Tapi kalo menurut lo kesalahan Lisa ga bisa lo maafin, yaudah tinggalin. Tapi kali ini, sekali lo ambil keputusan, apapun itu, jangan pernah lo menyesal lagi.
Menyesal kalo keputusan gue adalah ninggalin Lisa ternyata malah bikin gue merasa kehilangan"
Mungkin. Atau mungkin malah menyesal kalo keputusan lo adalah memaafkan dia ternyata dia bukan orang yang pantas dimaafkan. jawab Ryan sambil melangkah keluar dari kamar gue dan menuju teras berniat pulang.
Gue cuma bisa terdiam, ga tau apa yang harus gue lakukan saat itu. Ryan bener, semua orang pasti pernah berbuat salah, bahkan orang-orang yang gue sayang. Tapi permasalahannya, Lisa bahkan ga meminta maaf ke gue, apa yang harus gue maafin dari orang yang bahkan enggan mengakui kesalahannya"
Salah Sikap Suatu sore, di hari kamis ke 2 bulan Januari 2015, gue mendatangi sebuah panggilan test di perusahaan swasta besar yang cukup dikenal di negeri ini. Gue sempat izin ke Rini kemarin bahwa hari ini gue ga masuk kerja.
Entah karna gue emang udah lama ga pernah ikut psikotest lagi, atau memang gue yang lagi ga mood mengerjakannya, atau malah memang soal yang dibuat terlalu sulit, membuat gue menggaruk kepala berkali-kali saat mengerjakan soal-soal dalam psikotest tersebut.
Selesai psikotes, gue dan puluhan pelamar lain diminta menunggu giliran untuk wawancara sama HRD. Gue menunggu disebuah ruangan terbuka di kantor tersebut, yang sepertinya memang di khususkan sebagai ruang tunggu.
Lama gue menunggu giliran wawancara, karna memang pelamar yang datang cukup banyak. Kalo gue lihat sekilas di kertas absensi saat psikotest tadi, ada sekitar 30an pelamar termasuk gue. Sampai saat jeda istirahat, seorang HRD mendatangi gue dan pelamar lain yang sedang menunggu giliran, dan menginfokan bahwa sesi wawancara akan dilanjutkan setelah jam makan siang berakhir.
Beberapa dari para pelamar meninggalkan ruang tunggu tersebut, mungkin berniat turun kebawah dan mencari makan siang. Tinggal gue dan 2 orang lainnya tetap duduk disana. Satu orang cewek, yang satu lagi cowok.
Ga makan siang dulu mas" tanya seorang pelamar yang cowok sambil pindah posisi duduk kesebelah gue.
Nanti aja lah, gue males naik turunnya gue menjawab sambil menggeser duduk memberikan ruang ke cowok tadi.
Gue dan cowok tadi akhirnya mengobrol santai sementara cewek yang pelamar lain tadi hanya tersenyum mengukuti obrolan kami. Sampai tiba-ba handphone gue bergetar dalam profile silent.
Bags, dimana Lu" Kok ga masuk" suara Ko Hendri langsung menyambar saat gue menjawab panggilan telepon.
Izin sehari Ko, ada urusan nih gue menjawab sambil berdiri dari duduk gue dan berjalan menjauh.
Ah, kagak bisa. Masuk lu sekarang. Ada kerjaan nih
Yailah, staff lo kan bukan gue doang Ko. Lagian gue juga udah izin sama Rini.
Kagak mau tau, sekarang gue tunggu dikantor. Ini ada report yang perlu keahlian lu orang buat analisa nya. Rini mah ga ngerti.
Sore deh Ko gue kekantor, gue ga bisa kalo sekarang
Sekarang lah Bags, gue perlu banget nih. Report nya udah ditunggu. Cepet ya, langsung ke ruangan gue aja sini ucap Ko Hendri dengan terburu-buru dan kemudian memutuskan panggilan tersebut.
Gue memasukkan handphone ke saku kemeja, kemudian mendatangi meja resepsionist, dimana ada seorang staff HRD yang tadi mengawasi psikotest.
Misi, Bu. Kalo saya ga ikut sesi wawancara hari ini, bisa di reschedule ga" tanya gue saat mendekat ke seorang gadis yang adalah staff HRD dikantor itu.
Hmm.. Ga bisa sih mas kayanya, kalo interview sama user mungkin nanti bisa diatur schedule nya. Kalo mas ga ikut wawancara HRD hari ini, kami anggap mas nya mengundurkan diri. Jawab gadis itu sambil memasang senyum.
Yaah, yaudah deh kalo gitu. Saya harus balik ke kantor sekarang soalnya. Maaf ya Bu, saya ga bisa ikut sesi wawancara nya, mudah-mudahan lain waktu ada kesempatan lagi ucap gue sambil menganggukkan kepala tanda pamit kemudian segera menuju lift dan turun ke basement untuk mengambil motor.
Gue mengebut motor dengan segera menuju ke arah kantor, sambil menggerutu dalam hati karna dipaksa oleh Ko Hendri untuk secepatnya balik ke kantor. Gue emang beberapa bulan belakangan ini sedang mencoba peruntungan dengan cara apply beberapa lowongan di perusahaan lain. Dan yang ga gue sangka, salah satu lamaran yang gue kirimkan ternyata disambut positif dengan panggilan psikotest di perusahaan besar itu. Tapi sayangnya, gue ga bisa mengikuti seluruh prosesnya karna harus dipaksa balik ke kantor.
Sampai dikantor, gue langsung menuju ke ruangan Ko Hendri. Seperti biasa, gue masuk tanpa mengetuk pintu.
Eh, lu udah makan Bags" tanya Ko Hendri saat gue masuk ke ruangannya. Dia sedang duduk di sofa sambil menikmati bekal makanan.
Belom nih, gue buru-buru. Eh itu tumben lo bawa bekal Ko" tanya gue sambil duduk disamping Ko Hendri kemudian menyulut sebatang rokok.
Ini Tya yang bikinin tadi, pas gue jemput sekalian nganter dia berangkat kerja
Gue merespon dengan mengangguk berkali-kali dan membuang pandangan keluar jendela, sambil menghembuskan asap rokok keluar.
Bikin kopi Bags, ngopi dulu kita ucap Ko Hendri setelah selesai menghabiskan makanannya dan meletakkan tempat makan Tupperware berwarna biru muda di meja kerjanya.
Gue bangkit dari sofa dan menuju dispenser, membuat dua gelas kopi hitam, kemudian kembali duduk di sofa.
Report nya mana Ko" Gue kerjain disini apa di meja gue aja" tanya gue sambil menyandarkan tubuh di sofa.
Report apaan" Lah report yang tadi lo bilang
Ooh, kagak itu bercanda. Jawabnya santai sambil menyulut rokok.
Hah" Sialan, lo nyuruh gue buru-buru kesini cuma bercanda" Ah parah lo asli dah ucap gue dengan nada kesal sambil melipat tangan di dada.
Yailah Bags, gue tau lu orang tadi lagi interview kan" Mau ngapain sih" Udah lu disini aja. Ucap Ko Hendri.
Ga mau, gue masih mau cari-cari kerjaan yang lebih baik
Emang kerjaan disini ga baik"
Kagak. Bos nya doang yang baik, gaji nya mah kagak ucap gue asal.
Yee, nanti pasti ada kenaikan. Lagian Cuma disini lu kerja bisa dapet cewek secantik Lisa ucap Ko Hendri sambil memasang wajah meledek.
Gue ga menanggapi. Karna Ko Hendri ga tau gue sama Lisa udah ga ada kontak apapun sampai saat ini.
Lisa nyesel Bags sama kesalahannya. Dia cerita sama gue. Cuma gue bilang ke Lisa, jangan ganggu lu orang dulu. Karna gue tau lu orang masih emosi. Ucap Ko Hendri
Gue sontak menoleh kearah Ko Hendri. Gue kaget ternyata Lisa malah cerita ke orang lain. Ya emang mungkin karna Lisa ga punya temen bercerita lagi disini, makanya dia cerita ke Ko Hendri.
Udah lah Ko, gue lagi males ngomongin Lisa. Lagian sampe sekarang aja dia belom minta maaf ke gue. Ucap gue dengan nada malas.
Lisa itu tiap malem kerumah Lu orang. Cuma ga berani masuk. Cuma sampe depan pager Lu, liat jendela kamar lu kebuka artinya ada lu dirumah, terus dia langsung pulang lagi. Dia belom berani nunjukkin muka nya ke Lu orang, takut lu orang bentakbentak dia lagi.
Gue kaget mendengar omongan Ko Hendri. Apa iya Lisa tiap malem dateng" Terus dia naik apa" Ngapain dia malem-malem kerumah gue" Kenapa ga masuk aja kalo emang dia mau nemuin gue"
Ah, gue jadi serba salah sendiri dengernya. Di satu sisi, gue masih kesel setiap ngeliat muka Lisa pasti keinget sama foto yang tempo hari gue liat di instagram temennya.
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 5 Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Kasih Diantara Remaja 14
^