Pencarian

Hai Fani 2

Hai Fani Karya Robby Bagian 2


Fanny, please jangan pergi Kata sayu ini keluar dari mulutku yang mewakili isi hati, mencoba mencegah wanita yang belum lama ku kenal ini
G..gw sayang sama lo, please jangan pergi Cahaya-cahaya terang ini membantu proses perairan dimataku,membuat aku ingin menangis. Aku berharap kata ini bisa menahannya beranjak.
*** Fanny s POV Aku menelan ludahku berkali-kali ketika robby mengatakan hal itu. Air mata ini sudah bercucuran tanpa permisi. Edo tampak bingung dengan apa yang terjadi, dia sadar akan sesuatu diantara aku dan robby, dia mencoba memberi jarak dengan mundur beberapa langkah.
Kenapa disaat seperti ini lo muncul dan bilang sayang ke gw, kenapa"
Tanganku sibuk menyapu air mata yang tanpa henti keluar, tak berani kupandang matanya. Detupan di jantung sudah tak bisa ku kendalikan.
Please jangan pergi Mata robby tampak berkaca, tatapannya penuh emosional Sorry rob, gw gak bisa, gw harus pergi
Suara dari langit-langit terus terdengar, mencoba untuk mengingatkan keberangkatanku. Tapi aku masih belum beranjak, aku menuggu robby untuk menahanku atau setidaknya memelukku. Air mata ini keluar karena kebodohanku, membuat semuanya menjadi rumit. Tapi kuharapa robby bisa mendapatkan apa yang terbaik untuknya dari tiwi, kekasihnya...
Please, tahan gw, jangan biarkan gw pergi, peluk gw melebihi apa yang edo lakukan rob...
Robby masih terdiam, dia terlihat sudah rela akan kepergianku. Robby masih tidak berkata, tapi aku ingin sekali medapatkan pelukannya, dia tidak mengerti. Aku melepaskan gangangan koper, membantingnya tanpa khawatir. Aku tidak ingin menunggu sampai pesawatku pergi meninggalkan ku disini, ku peluk robby yang tidak peka ini dengan erat, kurasakan lilitan tangannya memelukku dengan erat, meletakkan wjahnya di bahuku Gw juga sayang sama lo Berat untuk ku katakan, tapi inilah sejujurnya.
Rob, gw gak akan pernah lupain pelukan ini. Gw berjanji untuk terlalu tersenyum saat mengingat ini... Gw harus pergi....
PAGE 22 Kepalaku tersandar di kemudi mobil, kurasakan tekanan keras di kening. Seseorang yang baru saja
mengakui bahwa dia juga sayang kepadaku kini telah terbang, terbang entah kemana dengan meninggalkan sejuta pertanyaan yang berputar-putar di dalam kepalaku.
Perlahan aku bangkit dari rasa penyesalan dan mulai menyatu dengan padatnya kota jakarta. Ku keraskan suara radio, tak ingin ku mendengar keributan luar sana. Kemudian aku sadar akan sesuatu, raya adalah kunci dari semua ini. Kulihat sebuah warung sate yang masih padat dengan pembelinya, membuat aku berpikir dua kali untuk berhenti, tapi aku terlalu malas untuk mencari warung lainnya, aku pasrah dan memarkirkan mobil ini.
Aku tidak tahu apakah raya suka sate atau tidak, tapi setidaknya ada yang kubawa kesana, membuat semua teka-teki ini bisa terbongkar.
Awalnya aku sempat ditahan oleh penjaga kost, dia berasumsi kalau aku adalah pacar raya. Aku mencoba meyakini kepada bapak itu kalau aku saudaranya dan berniat membawakan makanan yang raya pesan, kubilang jika raya sedang sakit. Bapak itu masih agak ragu untuk mempersilahkan aku datang ke kamar raya yang sudah bisa kulihat jelas dengan mata, kamar itu berada tak jauh dari tempat aku berdiri. Tak ingin bertele-tele, ku janjikan kalau aku paling lama hanya 10 menit dan kemudian bapak itu bisa mengusirku.
Setelah apa yang baru aku alami, tak ada wajah bermain-main dan bahkan senyumpun sulit terbentuk.
Kupandangi bapak tadi yang masih melihatku dari kejauhan, tangannya sibuk mengelus kumisnya Raya" ku ketok pelan pintu kamar raya
Setelah mendengar sesuatu di dalam, aku berhenti mengetuk.
Pintu terbuka, wanita yang tingginya hanya sebahu ini menatap heran Robby" Loh" Raya mengalihkan pandangannya ke arah bapak penjaga kost yang tidak bosan memainkan kumisnya
Ku angkat satu kantong plastik sate yang cukup besar untuk menghalangi wajahku dari bapak kost yang dengan kokohnya masih berdiri disana biarin gw masuk, please...
yaudah ayo.. Ku minta raya agar tidak menutup pintu kamar, membuat agar semua tampak tidak ada yang salah di mata bapak yang menyeramkan itu.
Gw mau tanya soal fanny, gw harap lo bisa bantu gw Kuletakkan kantong plastik berwarna hitam itu di atas meja
Raya menyapu keningnya sambil mengangguk kecil Lo kayak sama orang lain aja Kedua ujung bibirku terangkat Lo laper gak" Gw bawa sate, suka kan"
Raya tertawa pelan, sekarang dia sudah tau alasan kenapa aku kesini. Dia mulai bangkit dari duduknya, berjalan ke dapur untuk mengambil piring.
Lo sendiri aja ray" Suaraku memecahkan keheningan, mataku sibuk menyapu kamar yang tertata rapi ini, tidak seperti kamarku
Engga, kan ada lo Raya berjalan mendekat, meletakkan dua buah piring di atas meja Enggak, gw gak laper, ini buat lo semua kok
Yaudah, tau aja kalau gw suka laper tengah malem
Raya mulai menikmati satenya sambil duduk di atas sofa tunggal dengan menyilangkan kakinya di atas sofa.
Sebenarnya apa sih yang lo tau tentang fanny"
apa yang gw tau" Semuanya. Semua yang dia tau, gw juga tau Balas raya yang sedang mengunyah pelan
Maksud gw, yang masih ada hubungannya dengan gw
Ahhkkkk.... Raya tersedak, Bergegas dia berlari ke dapur lo kenapa ray" Kulihat raya dengan panik, dia tengah menegak minumnya
Pedes Singkat balasnya lalu melanjutkan tegukan
Aku kembali duduk, raya akhirnya datang kembali dengan membawa segelas minuman, tak ingin dia kembali tersedak Kalau mau apa-apa ambil di belakang, kulkas gw penuh minuman Seraya wanita ini kembali duduk di sofa tunggal
Iya... Ray, ada gak yang lo tau tentang fanny" Yang ada sangkutpaut sama gw" Dia sempet nungguin lo buat ngehubungin dia via omegle, lo gak timbul-timbul For real" Gw udah nungguin dia tujuh-hari-tujuh-malam di omegle. I found nothing! Lah, gimana ceritanya" Dia juga bilang gitu, dia udah nungguin lo, tapi lo ga timbul kok bisa" Apa gw masuk ke situs yang salah ya"
emang lo masuk situs apa" Omegle, omegle.com
Terus kok bisa salah" Pikirin lagi deh
Bahkan untuk memecahkan masalah dari masalah, aku harus memikirkan sebuah kesalahan. Awalnya aku yakin kalau semua yang telah aku masukkan di omegle itu benar, tapi saat aku melihat sebuah foto yang terbingkai kecil di dekat meja kecil, aku berpikir kembali.
Aku berdiri dan mulai berjalan ke arah meja komputer. Foto itu adalah foto raya dan fanny, foto dimana mereka tampak sangat bahagia dan tertawa. Sebagai orang yang tentunya pernah bermain di dunia photography, aku bisa menyimpulkan kalau tawa itu bukan tawa buatan, tawa itu sungguh murni, membuat foto itu terlalu berharga untuk di lihat. Kuangkat foto itu sambil tersenyum, mencoba melihat sebuah nama yang tertera di bawahnya, Fanny...
Ahhhhhhh... tai Kenapa lo" jadi nama fanny pake y dan double n" astaga robby, jadi... ahhh! Dasar idiot!
Aku mendengar jelas jika raya mengejekku, tapi aku tidak terlalu perduli. Aku hanya menyesalkan betapa bodohnya aku. Kubanting diriku ke atas sofa empuk ini dan kusandarkan diriku dengan penuh emosional
Rob, ga maksud nambah penyesalan ya, tapi fanny sukak sama lo
Aku tersenyum mendapati raya berkata seperti itu, membuat aku tambah menyesali kebodohanku
Dan lo tau apa yang bikin raya jadi ilfil sama lo" Wajah raya semakin serius, aku menggelengkan kepalaku pacar baru lo, tiwi. Cewek yang pernah lo bawa ke bioskop. Dika sms gw dan fanny juga baca sms itu belum selesai dengan semuanya, raya kembali angkat bicara Dia bakalan mau nemuin lo di malam itu, yaaa.... meskipun lo ga bisa hubungin dia, dia tetep mau nemuin lo. Tapi sms itu ngubah semuanya. Dan... dan lo tau apalagi, dia pindah ke jakarta hanya buat pkdt sama lo, gila kan ada cewek kayak gitu
Pelan terasa seperti sebuah peluru dengan cepat tembus menusuk kepalaku. Kepala yang ingin pecah ini tidak bisa lagi menahan bebannya sehingga harus disandarkan. Andai aku masukkan keyword yang benar, aku yakin semua tidak berujung dengan semua ini.
It was my fault, i admit it. But, could you give me another chance, please" If was not this dumb, i d probably be with you now. She is now on her way to paris, run away from all of these, run from mistakes that i ve made. It was f-a-n-n-y, obviously pretty common name in this world. Now, im fucked. PAGE 23
Fanny's POV Finally i got here. Setelah 15 jam mengudara, akhirnya aku telah tiba di salah satu kota paling romantis di dunia, paris. Tak lupa ku kabari ayah agar segera menjemputku di bandara. Sambil duduk dan mendengarkan musik dari earphoneku, ku kirimi pesan singkat kepada raya, pesan yang pastinya sudah raya nanti-nantikan. Tak butuh waktu lama pesan itu sampai ke raya dan dia membalas.
Quote: Fanny: Ray, finally i got here, miss you so bad how was everything"
Raya: I miss you kostan gw sepi
Fanny: Jangan manja deh. gw baru sampe disini, jangan bikin gw balik ke indo lagi ya!
Raya: kemarin gw udah ceritain semuanya ke robby, semuanya. Gw kasihan sama dia
Fanny: Iss, sibilangin rahasia jugak. Emang dia ngapain sampai lo bisa kasihan"
Raya: Dia dateng ke kost gw malem-malem sambil bawa sate. Gw tau tujuannya apa, tapi ya gw gak tega aja
Jariku masih belum bergerak dari layar. Kuangkat pandanganku lurus kedepan, mencoba berpikir apa yang robby pikirkan dan lakukan sekarang. Aku sungguh khawatir. Aku sadar kalau robby belum menyerah, dia belum menyerah dengan semua ini, buktinya dia masih berusaha mencari apa yang seharusnya dia ketahui. Kuambil kata mata hitam yang selalu aku bawa di dalam koper. Aku tak ingin jika nantinya orang melihat kalau aku sedang sedih.
Tak lama masuk pesan dari ayah. Ayah sudah menunggu di depan...
Aku sibuk mencari dimana ayah berada. Terus aku menggelengkan kepala kesana-kemari. Lalu sebuah mobil berwarna hitam mengkilat itu datang perlahan mendekatiku, kaca samping terbuka pelan "Udah lama nunggunya" maaf papa telat" Aku tersenyum bahagia melihat ayah yang begitu sehat, walaupun rambutnya perlahan sudah mulai beruban.
*** Aku terbaring letih di atas tempat tidur sambil mendengarkan lagu yang kuanggap bisa memulihkan emosionalku. Ku ubah posisiku menyamping, tersenyum kecil melihat foto-foto yang ditempel adikku menyerupai bentuk hati. Masih bisa kuingat momen-momen di balik foto itu, foto terakhirku di bali bersama keluarga kecilku ini. Tak kusangka adikku sempat untuk mencetak dan menempelkan foto-foto ini, dia pasti sangat rindu padaku.
Dari tadi sudah aku tunggu dia pulang dari rutinitas balletnya dan dengan sengaja aku berbaring di kamarnya, ingin membuat kejutan kecil untuknya.
Kudengar suara pintu depan terbuka, aku sudah yakin jika itu adalah violet, adik perempuanku. Kudengar ia berbicara kepada ayah menggunakan bahasa prancis yang bahkan tidak bisa ku mengerti, suaranya samar-samar aku dengar dari dalam kamar. Aku melompar dari tempat tidur, bersembunyi di balik pintu. Sudah tiga-menit aku menunggunya di balik pintu, menunggunya untuk membuka kamar, tapi dia tak kunjung datang.
Setelah hampir hilang keyakinan, pintu terbuka. Bisa ku lihat violet hanya berdiri di depan pintu sambil melihat koper berwarna hitam itu berada di atas kasurnya. Tangannya masih belum melepaskan ganggang pintu. Aku menunggu waktu yang tepat untuk mengejutkannya. "Moooomm...." Violet berteriak, matanya belum beranjak dari kasur, dia tidak begitu yakin dengan koper itu. Kusentuh pelan bahu kanannya, membuat dia langsung berbalik dan terkejut, spontan dia memelukku.
Violet yang dulu tingginya hanya sepinggangku, kini tingginya sudah hampir sama dengan tinggiku. Hidung mancung dan mata birunya selalu membuat aku iri, gen ibu terlalu berpihak kepada violet. Bertahun-tahun kami belum bertemu, dari aku berkelana ke bandung untuk melanjutkan kuliah hingga aku selesai kuliah dan mendapatkan gelar sarjana. kulihat violet yang sekarang sudah besar, dia sekarang berumur 17 tahun.
"You still speak bahasa, huh?" Godaku sambil membuka pelukan, menyapu air matanya yang berserakan
Dia mengangguk pelan, kedua ujung bibirnya terangkat "Udah dong jangan nangis, kakak belum mandi lho"
Violet kembali memelukku, seolah dia masih tidak percaya dengan apa yang baru dilihatnya "Gak pernah nyangka bisa ketemu kakak lagi" Akhirnya violet berbicara dengan suara isak tangisnya
"Eh enak aja, emang kakak kemana, parah bgt" Protesku sambil mencubit kecil pipinya "kamu cantik bgt sekarang, udah bisa kalahin kakak ya" ini ngapain pake eye-liner segala" Ih" Godaku membuat dia tersenyum
Violet yang dulunya suka bermain di tepian pantai bersama teman-temannya, yang dulunya sering aku marahi karena dia terlalu sering bermain panas, kini kulitnya menjadi lebih putih dariku dan wajahnya sangat cantik dan manis, membuat aku kadang masih tidak percaya kalau dia violet. Rambutnya yang dulu berwarna hitam kini sudah berubah menjadi pirang, rambut itu tergurai kebelakang dengan sangat indah, membuat aku iri.
"Udahkan sedih-sedihnya" ayo makan kebawah" Ujar ayah yang melihat kami sedang duduk di lantai "Ayo kak" Ajak violet sambil berdiri menarik tanganku, suaranya masih agak serak karena tangisan tadi
sambil berjalan, Violet masih enggan untuk melepaskan lilitan tangannya dari pinggangku. Aku hanya bisa tersenyum melihat kelakuan adikku yang manja ini.
"Someone just cried like a baby" Ejek ibu yang tengah mempersiapkan makanan Violet tersenyum malu
"Yaudah dong, gimana kakak mau duduk" Gumamku kepada violet yang masih erat memelukku ***
kuhabiskan malam ini dengan menatapi gelapnya langit. Secangkir coffe panas masih belum habis hingga menjadi dingin. Aku menatap kosong ke langit, berpikir tentang robby yang berada jauh disana. Ku tekuk kedua kakiku di depan dada, membuat angin malam terasa lebih hangat dalam balutan jaket robby yang belum aku kembalikan. Bau jaket ini bahkan belum berubah meski sudah aku gunakan berkali-kali, tidak ingin aku memcucinya.
Rob, i wish you were here with me...
Di tengah sunyinya malam, aku masih enggan untuk beranjak dari atap apartmen ini. Suara mobil dan motor yang masih berkeliaran membuat aku tetap terjaga. Aku senang bisa berada kembali di dekat keluargaku, membuat semuanya terasa sangat nyaman dan indah. Tapi aku baru saja membuat perasaan seseorang terluka di ujung sana, kuharap karma tidak berujung tombak ke padaku. Setiap kali aku mengingat robby, perlahan nafasku menjadi sesak dan kantung mata ini berasa ber-air, begitupula ketika aku berusaha untuk melupakannya. jantungku berdegup kencang hanya karena teringat wajahnya atau namanya.
Disaat sedih seperti ini, taylor swift adalah obatku. Setiap lirik lagunya membuat aku merasakan sesuatu menjadi lebih peka. Sebelum aku masuk ke dalam dan mengakhiri malam ini, aku menarik nafas panjang "Ucapkan selamat malam untuknya" bisikku kepada langit, seolah pesanku akan mengalir terbawa awan.
PAGE 24 Sudah tiga-hari aku menetap bersama keluargaku di paris, hingga akhirnya ayah menyuru aku dan Violet untuk pindah ke apartemennya yang terletak di dekat sekolah Violet. Ayah ingin agar Violet tidak manja dan cengeng, Ayah ingin menempa Violet sedemekian rupa seperti kakaknya. Bukan sedih yang Violet rasakan, dia sangat senang karena dia bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganku berdua. Setiap kali aku menatap dia yang tengah berbahagia, aku merasakan kebahagian yang sama, matanya yang berwarna biru cerah itu selalu membuat wajahnya sangat nyaman untuk ditatap. Entah bagaimana Violet bisa berubah seperti ini, mulai dari cara berpakaian dan segalanya. Dia berubah menjadi seorang gadis yang sudah bisa menarik perhatian lelaki. Tingginya kadang membuat aku seperti temannya.
Kulihat di depan mataku dengan segenap keheningan, menikmati Eiffel Tower yang bercahaya. Kegelapan malam hanya membuat tower itu tambah bersinar dan mengkilap, membuat setiap matanya yang memandangnya terhipnotis. Setelah hampir 40 menit perjalanan, akhirnya kami sampai di apartemen ini. Ayah membantu mengangkat segalanya ke atas lalu pergi meninggalkan kami berdua di dalam apartemen.
Aku tidak berhenti berkeliling ke setiap ruangan sementara mata ini menyapu bersih seisi nya. Violet tidak terlalu perduli dengan apartemen ini, dia sudah pernah tinggal disini sebelumnya, membuat tidak ada lagi rasa penasaran di benaknya. Dia tengah asik menyaksikan acara berbahasa perancis di ruang tamu, suara TV bahkan terdengar ke hampir setiap sudut ruangan.
"Huufft.. " Kuhembus nafas secara sepontan sambil membantingkan pantat ini ke sofa. Violet tidak terganggu, dia sangat fokus dengan apa yang ditontonnya
Kuperhatikan rambut Violet yang bertebaran di sekitar sandaran sofa dan pundaknya, Rambut itu sungguh indah "Rambut kamu bagus banget, kakak iri" Aku berkata jujur sambil menyisir pelan rambutnya dengan jariku
"Ini ngehina aku atau gimana?" Pandangannya fokus ke arahku
"Seriusan, bagus banget" Violet kembali memfokus pandangannya ke acara TV itu "Vio, kamu kok cantik banget sekarang, dulu kamu dekil lho" Ejekku dengan sedikit tertawa
"Kak, please berhenti ngehina aku" Senyuman di bibir Violet terbentuk, dia tidak tahan dengan pujian "Ih kok senyum" Ih, kamu ge-er ya?" Ejekku
"Kakak......" Intonasi dari nada rendah hingga tinggi, membuat aku tertawa. Violet mencoba untuk berpura-pura menangis, membuat semua ini tambah lucu "Isss.... gak lucu" Bibirnya maju sepanjang satu senti, melempariku dengan bantal yang tadi di peluknya
Aku mencoba untuk menyudahi tawaanku "Engga-engga.. kamu cantik kok. Kamu adek kakak 'kan?" aku fokus menatap matanya, seolah aku sedang bicara dengan serius
Dia mengangguk pelan, sedih di wajahnya belum hilang
"Ih.. ngaku-ngaku, mana ada adek kakak jelek kayak gini" Dia memukuliku dengan dua bantal secara bergantian terus menerus, aku tidak dapap menahan tawa
"udah deh aku mau pulang aja sama mama. Mama mau kok bilang aku cantik" Lidahnya terjulur keluar
"Ih.. ngaku-ngaku anak mama lagi. Kamu itu dulu di adopsi tau. Dulu ada bule yang ngasi anaknya sama mama, terus anak itu kamu" Aku tertawa lebih keras, membuat seluruh apartemen ini menjadi menggema
Perlahan aku mencoba untuk berhenti dari tawaku, melihat wajah Violet menjadi agak memerah dan matanya terlihat berkaca. Violet benar menangis.
"Eh, kok nangis" Tanyaku. Tangisan itu tanpa suara, hanya saja air mata itu keluar "Jaahaatt" Pelan keluar dari mulutnya
Bergegas aku mendekatinya, memeluk dan membawa kepalanya bersandar di dadaku "Kakak cuma bo'ongan, kamu gitu aja nangis" Kupandangi dia yang mencoba untuk menutupi wajahnya, menempelkan wajahnya erat di dadaku "Anak mama gak" adek kakak yang cantik gak?" Godaku Dia mengangguk pelan. Aku hanya bisa tertawa pelan melihat kelakuannya yang belum berubah sama sekali
"Kalau gitu jangan nangis lag, dasar cengeng" Perlahan aku melepaskan Vilolet dari pelukan, membantu dia mengusap air maranya
"Vio anak mama 'kan, kak?" Suaranya begitu lemah dan lembut, membuat aku tidak tega untuk menjahilinya lagi
"Iya-iya.. Vio anak mama"
Perlahan Violet menatap mataku, kedua ujung bibirnya tertarik ke atas, begitu pula dengan alisnya "Kak, mau gak ngakuin satu hal buat Vio?" Rayu Violet, terdengar seperti jebakan "Apaan?"
"Vio cantik 'kan?" Dia tertawa "Kayak kakak" Tawaan itu bertambah keras "Iya-iya, cantikan kamu deh dari pada kakak" Balasku sambil tersenyum "Yeeeee.... kakak udah ngakuin sendiri" Kembali, lidahnya terjulur keluar
Ku baringkan pelan badan ini, takut membangunkan Violet yang tengah tertidur nyenyak. Aku seharusnya tidur di kamar sebelah, tapi aku masih rindu dengan Violet dengan segala kekonyolannya. Sebenarnya bukan itu saja yang membuat aku tidur di kamar Violet . Beberapa menit lalu aku tidak sengaja menonton film horor di laptopku. Membuat aku selalu menatap sudut kamar. bayang-bayang film itu sungguh menakutiku.
Cahaya masuk ke dalam kamar, menembus tirai tipis di jendela. Violet sudah tidak ada di atas tempat tidur. Suara kecil terdengar di dapur, jam di dinding menunjukkan pukul 7:30. Aku mulai bangkit dari tidurku dan mulai mencari tahu apa yang sedang terjadi di dapur. Violet melihat ke arahku, dia pasti sadar akan kedatanganku karena mendengar suara sendal yang begitu mengganggu. "Dasar kebo" Omelnya dengan tersenyum
"Masak apa kamu?" Kutarik kursi-kursi yang umumnya berada di bar, kursi setinggi satu meter, membuat aku susah untuk duduk
"Omlet, mau kak?" Tawarannya menggugah seleraku. Tapi aku menolak, tidak ingin membuatnya memasak untuk kakaknya yang malas memasak ini dan membuat dia terlambat pergi ke sekolah "Engga, kakak bikin sandwich aja. Ga usah pikiran kakak, kamu aja dulu yang mau berangkat sekolah"
Sudah tiga-puluh menit aku duduk disini memandangi keluar jendela. Awalnya aku hanya memastikan adikku keluar dari apartemen dengan selamat, tapi sejak suasana menjadi sepi, aku agak sedikit teringat dengan Robby. Suara detikan jam membuat lamunan ini semakin hanyut. Sandwich yang dari tadi ingin kubuat masih belum aku buat, aku tidak begitu lapar sekarang. HP yang berada di genggaman tangan ini dari tadi terus ku putar. Rasanya ingin aku meminta nomor Robby dari Raya.
Call him, send him a message. He would be happy ...
Aku buang pikiran nagatif jauh-jauh dari benakku. Dengan seratus-persen keberanian dan kepercayaan diri, aku menghubungi Raya untuk meminta nomor Robby.
PAGE 25 Suara pintu depan terbanting cukup keras, membuat aku mengangkat kepala dan memandang ke arah pintu kamar. Aku tahu bukan pintu kamar yang terbuka, tapi tetap saja aku melihat ke arah pintu kamar. Entah sudah berapa lama aku tertidur di kamar, aku bahkan belum sarapan.
"Kak?" Suara teriakan itu menggema hingga masuk ke kamarku
Aku tidak menjawab. Entah kenapa kurasakan pusing hebat dikepala. Kugapai HP yang berada di meja sebelah tempat tidur. Sekedar ingin melihat pemberitahuan. Suara langkah kaki Violet terdengar mendekati kamarku yang pintunya sengaja aku buka. Violet masuk dan langsung membantingkan badannya yang letih seharian sekolah ke atas kasur, membuat kasur ini bergetar. Ku buka pesan yang berisikan nomor Robby yang Raya berikan padaku pagi hari tadi. Aku belum berani untuk menghubunginya, aku takut.
"Robby" siapa Robby, kak?" Violet mengintip isi pesanku dari belakang
"Ha.. eh.. anu, enggak" Kuletakkan HP itu ke atas meja seperti semula dan mulai bangkit dari tempat tidur
"Cari makan di luar yuk, Vio" Aku sibuk melilit rambutku yang berantakan, terlalu malas untuk menyisir "Ayuk.. " Balasnya dengan sangat senang
Tak butuh waktu lama untuk mencari restoran di sekitar sini. Aku hanya butuh sepuluh-menit dengan berjalan kaki untuk mendapatkan restoran yang menurutku menarik. Violet yang sudah lapar tidak lagi mau beragumen dengan restoran mana yang lebih baik. Waiters di restoran ini bahkan sangat menarik.
*** Violet yang sudah kekenyangan hanya dapat membantingkan tubuhnya di kamar dan ditambah dia begitu letih. Aku mengistirahatkan badanku di depan TV sambil melihat acara yang bahkan aku tidak mengerti setiap perkataannya. Aku hanya mencoba memahami apa yang meraka katakan dengan bahasa tubuh yang keluar. Bukannya tidak mau untuk belajar bahasa prancis. Hanya saja aku terlalu malas, malas menghapal, malas berusaha dan malas mencoba. Melihat hurufnya saja sudah membuat aku bingung tak karuan. Berkali-kali Violet menawarkanku untuk mengajariku beberapa kata basic dalam bahasa prancis, namun aku selalu menolak karena beberapa alasan tadi, malas.
HPku yang masih berada di saku jelana jeans bergetar, menandakan sebuah pesan masuk. Ukuran jelana jeans yang sempit ini membuat tanganku begitu susah untuk mengambil HP yang terselip didalam.
Quote: Raya: Please jangan bilang kalo lo belum nelfon dia!
Well, aku tidak bisa berkata banyak, aku memang belum menelfon Robby. Aku tidak begitu yakin apakah Robby masih mau berbicara denganku atau mungkin dia sudah benci kepadaku. Jika aku menjadi Robby, mungkin ya, mungkin aku akan benci. Tidak tahu kenapa, setiap aku mengingat Robby dan berpikir jika aku bisa mendapatkan Robby, selalu nama Tiwi tiba-tiba ikut terlintas di kepalaku, membuat aku tambah ragu untuk menelfonnya. Mungkin saja dia disana serang asik dengan Tiwi, tertawa atau sedang berbahagia bersama, tidak ada yang tahu.
Aku tidak membalas pesan singkat dari Raya. Akan muncul beberapa kemungkinan jika aku membalas pesannya. Salah satunya adalah dia akan mengejekku, dia pasti akan menyebutku dengan cewek lemah atau pengecut. Aku tidak ingin dipanggil seperti itu, tapi aku memang lemah dan pengecut. Aku tidak punya mental yang siap atas apa yang sudah aku lakukan. Salah satu alasan aku kesini adalah untuk melupakan Robby. Tapi semua itu selalu gagal, semua itu sia-sia. Satu hal yang bisa aku pastikan sekarang, aku cinta dan sayang sama Robby. Tapi bagaimana mungkin aku bisa cinta dan sayang kepada orang yang bahkan aku tidak tahu jika dia memikirkanku.
Suasana malam yang hening membuat niatku semakin besar untuk menelfon Robby. Namun setiap kali aku menekan tombol panggil aku dengan cepatnya langsung menakan tombol akhiri, bahkan suara nada tunggu belum terdengar.
"Bodoh...bodoh...bodoh...." Ku jatuhkan kepalaku ke atas bantal yang ada di sofa, membuat sepenuhnya wajahku tertutup di bantal segi empat itu "ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhh........." Bantal menjadi peredam teriakkan ku
Shit, aku kacau. Andai saja keberanianku besar, aku tidak akan seperti ini. Tapi apalah daya, aku hanya wanita lemah yang takut dengan kemarahan seorang pria. Aku percaya jika pria itu adalah pemimpin, aku percaya pria adalah orang yang sanggup mengarahkan wanita dan aku sangat menghormati pria yang menghormati wanita.
*** Kudengar suara yang cukup keras di dapur, membuat aku terbangun. Jam di atas TV menunjukkan pukul 7:30, tapi Violet sudah bangun dan sedang memasak sarapannya. TV yang tadi malam menemaiku belum juga mati tapi acaranya sudah menjadi berita pagi. Badanku menjadi agak pegal setelah tertidur di sofa semalaman.
"Kok cepetan bgt?" Ucapku dari sofa, terlalu malas untuk berjalan
"Eh, sorry ya kak kalau kebangun gara-gara aku. Iya nih aku mau dateng cepetan dikit, ada janji sama temen" Suara Violet terdengar dari dapur
"Janji apaan?" Sembari Violet datang ke dekatku dan duduk di sofa, dia meletakkan dua buah piring berisi nasi goreng di atas meja
"Minta temenin ke kelas cowonya, mau minta maaf gitu" Ucap Violet ringan "Makan deh kak, udah aku buatin, jangan bilang ga enak ya" Vilet tersenyum manis
Sambil memakan nasi gereng buatan Vilolet, aku bertanya "Emang ada masalah apa sih?"
"Setau aku, kemarin itu cowo nembak Chloe, temen aku, terus dia ga nerima. Eh sekarang pas itu cowo deket sama cewe lain, Chloe malah sakit hati" Ujar Violet yang masih sibuk dengan makanannya
Tak lama kemudian Violet pergi untuk berangkat kesekolah. Kembali ku lihat dia keluar dari apartemen dari kaca jendela. Cerita Violet tadi sungguh kena di hatiku, merasa hal yang sama dengan apa yang teman Violet rasakan.
Ku kumpulkan seluruh keberanian dan ku coba untuk membaut hal-hal negatif yang sekiranya akan menggoyangkan keberaian singkat ini. Kuambil HP yang sudah terselit di dekat pinggiran sofa. Tanpa mencoba untuk berpikir, aku langsung menekan tombil panggil ke nomor Robby. Jantungku berdetak sangat cepat dan nafasku tidak teratur, aku menjadi semakin gelisah. Ingin rasanya aku mematikan panggilan ini, tapi sungguh sudah terlambat, nomorku sudah masuk ke dalam HPnya. Berkali-kali aku menelan air ludah setiap kali mendengar suara nada tunggu, tapi Robby belum juga mengangkat. "Hallo" ini siapa ya?" Suara itu terdengar agak serak, jantungku berdetak tambah cepat Aku belum berbicara, ingin rasanya aku mengakhiri panggilan ini. Aku terlalu takut. "Eh ini siapa woi" Tau malem gak?" Robby berteriak
Bodoh banget lo fanny, lo tau perbedaan jam gak sih!
Ku kumpulkan semua keberanian tadi dan mencoba untuk menghilangkan semua rasa takut yang menganjal "Rob, ini gw Fanny.."
PAGE 26 Nada dering HPku yang begitu menyebalkan terus berdering, membangunkanku dari tidur. Sempat mengerutu dalam hati, siapa yang nelfon di tengah malam seperti ini. Dengan berat aku mencoba menggapai HP yang terselip diantara bantal-bantal. Mataku masih tertutup rapat dan tanganku sibuk meraba.
"Eh ini siapa woi" Tau malem gak?" Teriakku pelan dengan kesal DIa tidak menjawab tapi suara nafasnya terdengar jelas "Rob, ini gw Fanny.."
Aku terdiam, mencoba duduk dan menyandar. Kamarku masih dalam keadaan gelap total, hanya cahaya yang masuk dari jendela menjadi peneranganku "Fa..Fanny?" Jantungku berdetak sangat cepat, aku tidak menyangka akan mendengar suaranya lagi.
Dia masih terdiam, tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Hanya suara nafas yang memberi tahu jika dia masih di sana.
"Fan, please jangan tutup" Aku berkata dengan cepat. Tidak mau jika Fanny langsung menutup panggilan itu
"Iya" Singkat balas perempuan itu. Suaranya terdengar begitu tentram.
"Fan, gw rindu sama lo" Tidak perlu berbasa-basi, aku sangat rindu padanya. Lidah ini bahkan tidak kaku untuk berkata "Gimana kabar lo" baik-baik aja 'kan?" Sambungku
Butuh beberapa detik bagi Fanny untuk menjawab pertanyaanku "Iya, gw baik-baik aja disini. Lo baikbaik aja 'kan disana?" Dia menghindari peryataaanku yang pertama
"Iya gw baik-baik aja. Gw rindu sama lo" Aku sedikit mendesak. Menantikan dia mengatakan hal yang sama
Kembali, nafas itu masih terdengar, tapi butuh beberapa detik baginya untuk menjawab "Bagus deh, sorry ya kalau ngebangunin lo malam-malam, gw ga tau soalnya" Nada itu datar "Iya ga apa-apa" Aku kecewa karena fanny masih tidak merespon apa inti dari semua yang aku maksud "Oh yaudah, lanjutin aja tidurnya. Good Night...." Sentak dia menutup telfon tanpa persetujuanku
Sambil bersandar, aku menarik nafas sedalam mungkin. Mencoba mengerti apa yang sebenarnya Fanny inginkan. Kenapa dia terkesan seperti cuek dan menghindari pernyataan kalau aku rindu padanya. Apa yang sebenarnya ada di dalam benaknya. Setelah semua itu, mata ini enggan untuk di tutup. Rasa penasaran akan Fanny membuat aku berpikir terus menerus.
Apa yang sedang lo lakuin di sudut sana, Fan....
Pagi itu aku terbangun dengan tersadar. Tidak sadar jika aku sudah tertidur dengan posisi duduk semalaman. Bahkan HP masih aku genggam erat di genggamanku. Ku coba untuk memeriksa pemberitahuan, tapi nihil, tidak ada pesan ataupun panggilan dari Fanny. Aku bergegas untuk mandi pagi. Pagi ini adalah pagi dimana aku seharusnya mengantarkan ibu ke toko pakaiannya. Ingin rasanya aku bermalas-malasan dan mencoba untuk memikirkan apa yang sebanarnya Fanny inginkan dengan semua ini. Tapi ibu adalah orang yang sangat disiplin, semuanya harus tepat pada waktunya. Walaupun moodku sudah hilang total, tapi aku masih berusaha untuk tegar.
Seperti biasa, aku langsung pulang setelah mengantarkan ibu. Aku tidak tahan untuk berlama-lama menyaksikan ibu sibuk dengan pakaian-pakaian itu. Aku tidak berpikir untuk kemana-mana, aku hanya ingin pulang dan memikirkan semua ini.
Aku terkejut ketika melihat mobil Tiwi terparkir di depan rumahku. Dia bahkan tidak memberitahuku dahulu. Kuparkirkan mobilku disebelah mobilnya dan masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang. "Bik, ada Tiwi ya?" Bibik tampak heran melihatku masuk dari belakang
"I..iya, dia di depan sama Dika" Balas bibik sambil menunjuk dengan jari telunjuknya
Hari ini jelas bukan moodku dan jujur aku hanya ingin sendiri sekarang. Tapi aku tidak boleh egois. Dengan malasnya aku menghampiri mereka yang sedang asik mengobrol didepan. Tiwi melihat ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan senyuman palsu.
"Sama siapa lo, Dik?" Aku sudah tahu pasti jika Dika malas kuliah dan kemudian dia minta Han yang akan pergi ke kampus untuk mengantarkannya ke rumahku
"Han" Singkat jawabnya, matanya sibuk dengan layar HP
Aku membantingkan diriku tepat disebelah dimana tiwi sedang duduk, tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh "Pagi-pagi udah kesini aja" Ucapku kepada tiwi
"Mau ke bengkel mobil sih tadi, cuman takut kepagian jadi gw singgah disini bentar" Jawabnya ringan
Detik demi detik terus berlalu. Yang aku harapkan hanyalah Tiwi cepat pergi dari sini supaya aku bisa naik ke atas dan membantingkan diriku ke kasur dan bermalas-malasan seharian. Hingga akhirnya Tiwi pamit untuk pulang, aku sangat senang, akhirnya aku bisa beristirahat. Dika masuk menyusulku ke kamar, matanya masih saja fokus ke layar HP. Aku sungguh tidak merasa ternganggu dan keberatan dengan keberadaan Dika di sekitarku, dia kurang lebih sudah aku anggap sebagai saudaraku.
Dika bisa melakukan apa yang di inginkannya di kamarku. Kamar ini sudah seperti kamar pribadinya. Sementara dia sibuk dengan playstation, Aku hanya berbaring dan terus menatapi layar HPku, berharap Fanny menelfon. Aku ingin saja menelfonnya, hanya saja aku takut jika dia merasa terganggu atau semacamnya. Responnya tadi malam bahkan tidak seperti apa yang aku bayangkan. Dia terkesan cuek dan dingin, membuat aku berpikir dua kali untuk menelfonnya.
Jam terus berjalan menuju angka 11. Sebuah telfon dari nomor yang tidak aku kenali masuk ke dalam HPku, jelas nomor itu masih nomor dalam negeri dan pasti itu bukan Fanny.
"Hallo?" Nadaku datar
"Mas" Mas Robby?" Orang ini berkata dengan tergesa-gesa dan panik "Iya, ini Robby"
"Mas, Ibunya sekarang ada di Rumah Sakit" Suara itu turun ke nada paling rendah "Ha" Ibu saya" kenapa ibu saya?" Tanyaku dengan panik
"Ibu mas kecelakaan"
Aku langsung loncat dari kasur dan mengambil jaketku. Aku tidak memberitahu Dika yang sedang berada di dalam kamar mandi, aku langsung turun ke bawah. Aku tidak membawa mobil, kali ini aku menggunakan motor matic. Yang aku pikirkan sekarang hanyalah sampai disana secepat mungkin. Ku tarik penuh gas motor ini hingga dia menjerit, aku tidak perduli dengan sekeliling. Jantungku bergup sangat cepat, aku takut sesuatu terjadi kepada Ibu. Sampai di persimpangan, kulihat seorang ibu tanpa helm yang membawa ketiga anaknya terus melintasi simpang tanpa melihat ke arah kiri dan kanan. Sudah terlambat bagiku untuk menarik tuas rem tangan, aku bahkan lupa untuk meng-klakson. Hanya ada dua pilihan, aku terus melaju dan menabrak ibu itu atau aku menjatuhkan diri dan tergelincir sambil mengurangi kecepatan. Ku banting keras kemudi ke arah kanan dan ku tarik tuas rem belakang. Aku terjatuh dan tergelincir di aspal yang panas. Memang tidak ada rasa sakit yang aku terima. Celana, jaket dan helm tentunya melindungiku. Orang-orang di sekitar sibuk berdatangan ke tempat aku terjatuh. Ibu itu bahkan tidak sadar kenapa aku terjatuh, dia hanya menoleh kebelakang tanpa tahu apa yang terjadi dan terus berjalan.
Body motor bagian sampingku hancur tak terbentuk. Kemudi motor ini sudah tidak lurus lagi. Aku hanya berusaha pergi dari kerumunan orang-orang yang mencoba membantuku. Dengan keadaan yang sudah seperti ini aku tidak membawa motor dengan laju yang sama. Perlahan ku rasakan sakit di sekitar kaki. Setelah melihat ke bawah, darah mulai bercucuran menuju sepatu. Celana jeans itu tidak lagi berwarna abu-abu, tapi lebih berwarna coklat darah. Pedih... sungguh pedih.
"Mas!" Teriak wanita itu dengan lambaian tangan
Aku spontan berlari ke arahnya "Mana ibu saya?" Mata wanita itu melihat ke arah celanaku
"di dalam mas, sesampai disini mereka langsung bawa ibu mas ke ruang gawat darurat" Kepala wanita itu tertunduk
Dengan panik aku mencoba mengintip dari sela-sela kaca ruang itu, kemudian wanita itu berkata "Ibu mas ditabrak sama cowo yang baru belajar naik mobil, sekarang dia ada di kantor polisi"
Aku hanya bisa menunggu sambil duduk di kursi. Aku menolak untuk ikut kepada suster yang mengajak untuk membersihkan lukaku. Suster itu terkesan sangat ramah dan baik, sampai-sampai membawa alatalatnya dan duduk di sampingku untuk membersihkan dan membalut luka di kakiku. Pedih rasanya ketika suster itu membersihkan lukaku. Aku hanya bisa menahan semua rasa sakit ini. PAGE 27
Tiwi's POV Aku bersiap untuk berangkat ke rumah Robby, sudah kurang lebih tiga-hari aku selalu menjenguk Robby yang sedang sedih berduka atas meniggal ibunya. Tidak ada yang menyangka Ibu Robby akan meninggal, aku masih ingat beberapa hari yang lalu aku masih sempat berbicara dengan beliau. Pendarahan bagian dalam tidak dapat tertolong karena ibu Robby terlalu lambat di larikan kerumah sakit. Beberapa tulang yang patah pada bagian badanpun membuat kemungkinan hidup beliau semakin kecil. Robby begitu kecewa dan sangat tertekan dan beberapa hari ini dia jarang berbicara kepadaku atau DIka, dia juga susah makan. Dia lebih banyak menghabiskan seluruh waktunya dikamar, mencoba membayangbayangkan sosok ibunya. Terkadang aku khawatir dengan keadaan Robby saat aku sedang dirumah, aku ingin menelfon dan menanyakan keadaannya. Tapi beberapa hari yang lalu disaat Robby jatuh dari sepeda motor, HPnya hilang entah kemana.
Melihat Robby seperti ini membuat aku lebih mengerti apa arti seorang Ibu...
Pintu garasi masih tertutup rapat dan papan turut berduka cita masih berserakan di halaman rumah, hanya mobil Dika yang terparkir disana. Suasana rumah juga sepi karena dirumah ini hanya ada Bibik, Robby dan Dika. Tepat di hari Ibu Robby meninggal, Ayah Robby mendapatkan kenaikan pangkat di perusahaannya dan mengharuskan ayah Robby untuk berangkat ke Jerman. Ayah Robby yang biasa di panggil dengan sebutan Iben awalnya tidak ingin mengambil kesempatan emas itu, dia menghawatirkan keadaan Robby jika nanti ditinggalnya. Tapi Robby terus memaksa agar ayahnya mengambil kesempatan itu dan meyakinkan ayahnya jika dia akan baik-baik saja. Om Iben tentunya percaya dengan anaknya yang sudah besar. Satu hari kemudian Om Iben berangkat ke Jerman melalui Singapore bersama kak Monic. Tidak tahu dengan om Iben, tapi kak Monic akan pulang kembali ke indonesia dalam waktu tujuh-hari untuk berkunjung ke makan ibunya.
Dika terlihat sangat serius dengan duduk di depan TV, dia bahkan tidak sadar jika aku sudah masuk ke dalam. Aku berjalan dari belakang mendekati Dika dan menyentuh pelan bahu sebelah kanannya, dia tersentak terkejut.
"Robby mana?" Suaraku pelan seperti berbisik "Atas" Balas Dika dengan suara yang pelan
Aku bergegas menuju lantai atas untuk melihat keadaan Robby, aku sungguh khawatir. Aku tidak mengajak Dika, tapi dia mengikutiku dari belakang. Saat aku menatap ke belakang dan melihatnya, dia hanya menyuruku melanjutkan langkahku dengan isyarat dari tangannya.
Ku buka dan aku intip Robby yang sedang berada di dalam kamar, ku buat suara gesekan pintu sekecil mungkin. Aku terkejut melihat apa yang sedang terjadi di dalam, aku tidak percaya. Kulihat Robby sedang duduk di lantai dengan bersandar di pinggiran kasur. Disekitar Robby terdapat beberapa botol minuman beralkohol berwarna hijau serta beberapa bungkus Rokok yang berwarna putih. Aku membuka pintu kamar dengan tergesa, Dika menarik kembali pintu dan menutup.
"Jangan" Tegas Dika dengan kepalanya tertunduk, jarinya menahan kaca mata yang tergantung hampir terlepas
"Loh kenapa?" Aku bertanya dengan bingung, sama sekali tidak mengerti apa yang Dika maksud
"Dia butuh waktu" Kepalanya masih tertunduk, dia tidak berani melihatku "Biarin dia sendiri" Sambungnya
"Lo udah gila ya, dik" Butuh sendiri tapi gak begitu caranya" Nada suaraku naik beberapa oktaf, dika terkejut dan menatapku
"Ya tapi 'kan..."
Aku langsung memotong "Awas gw mau masuk!" Aku menepis tangan Dika yang dengan erat menggenggam ganggang pintu
Dika tidak lagi berusaha untuk menahanku, dia tidak bisa lagi melawanku. Dia jelas tahu pasti jika apa yang Robby lakukan itu salah, tapi sebagai seorang teman dan sesama Pria, mungkin Dika beranggapan jika itu yang terbaik untuk Robby.
Perlahan aku masuk ke kamar Robby, langkahku sangat pelan dan kecil, aku tidak ingin membuat dia terkejut. Jujur, aku takut dengan keadaan Robby sekarang. Dengan minuman yang telah diminumnya, aku tidak yakin apakah dia masih sadar. Dika tidak lagi terlihat di depan pintu.
"Rob?" Dengan pelan aku coba duduk disebelahnya, mengambil pelan botoh minuman keras itu dan meletakkannya dilantai
Robby tidak membalasku atau menatapku, dia tertunduk.... PAGE 28
Rob, lo udah makan" Kucoba memandangi wajah Robby yang tertunduk
Gw bahkan belum bisa bahagiain ibu gw Terdengar isak tangis, tapi air mata Robby sama sekali tidak keluar Dia pernah bilang kalau dia mau liat gw nikah, punya anak, dapet kerja...... Isak tangisnya semakin kuat
Aku menelan air ludah, tidak tahu apa yang harus aku katakan. Aku tahu kalau ini pasti berat, sangat berat. Robby dengan tiba-tiba menjatuhkan kepalanya di pangkuanku Rob, mau aku ambilin makan" Dengan pelan ku helus rambut Robby yang dengan panjang menutupi sebagian matanya Engga, aku mau tidur Matanya terpejam, suaranya begitu pelan
Aku merasa kasihan dengan Robby. Melihatnya seperti ini seperti siksaan bagiku. Dulu Robby selalu bisa membuat aku tersenyum disaat aku kesakitan. Dia selalu terlihat ceria pada semua orang, bahkan teman-temannya. Jika teman-temannya berkunjung, Robby selalu memasang muka yang ceria, berusaha membuat mereka percaya jika dia akan baik-baik saja setelah kematian ibunya. Tapi tidak, dia tidak seperti kelihatannya. Di luar mungkin dia tampak biasa dengan semua candaannya, tapi di dalam.... dia tersiksa.
Kupandangi jam yang terus berdetik di dinding. Aku tidak sadar sama sekali kalau aku sudah tertidur selama satu jam dengan Robby yang masih ada di pangkuanku. Kaki ini terasa mati rasa dan kaku.
Dengan pelan aku mencoba untuk mengubah posisi tanpa membangunkan Robby. Tapi aku gagal, Robby justru terbangun. Matanya terbuka pelan menatapku. Tatapan itu tenang dan dingin, aku tidak tahu harus berkata apa.
Hai... Suara Robby masih agak sedikit serak. Dia tersenyum, senyuman ini jelas senyuman jujur Hai Kudalami pandanganku sambil mengelus pelan rambutnya yang berantakan
Sorry ya, pasti pegel ya" Robby lekas bangkit dan menyapu pelan wajahnya Ahhh.... gw pusing bgt Lanjutnya sambil menyapu wajahnya
Lo belum makan lho, Rob! Ayo kebawah, makan..
Lang, pergi yok, kemana gitu. Otak gw keram Ucap Robby dengan canda
Aku terdiam. Sudah lama aku tidak pernah di panggil dengan sebutan Lang oleh Robby dan ini pertama kalinya sejak kami pertama bertemu di Jakarta. Dulu Robby selalu memanggilku dengan sebutan Kutilangdara karena tubuhku yang..... you know Gw gak kurus lagi ya Balasku sambil tersenyum emang mau kemana" Sambungku
Kemana aja gitu, terserah lo
*** Setelah sampai di Parkiran Mall, Robby lekas memakai kaca mata hitam yang sengaja di bawanya. Bukan untuk bergaya atau menarik hati wanita. Kaca mata itu sengaja dibawanya untuk menutupi matanya yang berwarna kemerahan karena pengaruh alkohol yang diminumnya.
Robby yang sudah kelaparan mengajakku untuk makan di KFC. Aku yang sedang menjaga berat badan hanya dapat meminum soda ringan. Robby selalu menggodaku dengan ayam yang sedang di lahapnya. Berkali-kali aku meneguk air ludah sendiri karena jujur hal itu sungguh membuat aku tergoda. Nyam..nyam... enak Dia mengejekku sambil menyantap ayam
Gw lagi jaga berat badan, lo mau gw gemuk"
Terus kenapa kalau lo gemuk" Gw harus bilang waw"
Lo mau kalau gw ga bisa dapet cowo" Mana ada cowo yang mau sama cewe gemuk kayak gw Gw mau
Aku terdiam tersipu malu. Aku tahu jelas apa yang barusan di katakan Robby hanyalah gombalan semata dan tidak ada unsur serius di dalamnya. Tapi entah kenapa perkataan itu sungguh membuat hatiku berbunga.
Diem! Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, aku sungguh tersipu malu. aku mulai memainkan Hpku yang dari tadi tersimpan di dalam saku celana
*** Hari sudah semakin gelap, jam yang terbelit di tanganku sudah menunjukkan angka delapan. Robby masih enggan untuk pulang kerumah. Seharian ini kami sibuk menghabiskan waktu dengan berkeliling kota Jakarta, tidak ada tujuan dan maksud, hanya berkeliling menghabiskan bensin mobil. Makan bakso, lang" tanya Robby tanpa menatapku, pandangannya fokus pada jalanan yang ramai Boleh deh, gw juga laper Aku menjawab sambil melihat beberapa pemberitahuan dari Hpku
Tapi katanya gak mau gemuk, tapi makan bakso yang bulet-bulet mau ejek Robby sambil tersenyum kecil Mau jadi bakso lo" Bulet-bulet Robby tertawa pelan
Aku mencoba untuk menahan tawaan Lo mau ngajak gw makan ato mau ngajak ribut sih, Rob" Yaudah deh gw gak mau makan
Eh.. ya-ya, gw bercanda kok. Lo ga apa-apa deh bulet-bulet kan nanti lo unyu-unyu kayak bakpaw Ceplos Robby dengan tawanya
Makannya jangan minum-minum lagi, stress kan lo!
Aku senang mendengar Robby sudah bisa bercanda seperti biasanya. Melihat dia tersenyum adalah hal tersendiri bagiku. Akhirnya untuk sesaat dia bisa melupakan apa yang sudah terjadi dan fokus menjadi dirinya yang ceplas-ceplos.
Disaat kami sampai di warung bakso langganan Robby, bisa dipastikan sudah tidak ada lagi meja yang kosong untuk menampung kami berdua. Ekspresi Robby menjadi agak sedikit kecewa karena apa yang diharapkannya ternyata tidak bisa terpenuhi. Dengan segala kesal, Robby memesan lima-bungkus-bakso untuk orang-orang di rumah.
Sementara mereka menyiapkan pesanan, aku duduk di dalam mobil. Aku tadinya ingin menemani Robby menunggu pesanan, tapi Robby menyuruku untuk menunggu di dalam mobil karena dia takut aku lelah berdiri. Bisa aku lihat dari dalam mobil Robby berbicara dengan pemilik warung bakso, penuh canda tawa disana. Entahlah, melihat dia berbicara dan tertawa membuat aku senang. Memang kami dulu hanya sebatas teman yang belum mengenal apa itu cinta. Tapi semakin panjangnya usia, aku mulai merasa sedikit tertarik dengan Robby.
Kulihat dari jendela depan Robby sudah mendapatkan pesannanya yang sudah dimasukkan ke dalam plastik hitam besar. Dia tersenyum ke arah kaca mobil sambil mengangkat plastik hitam besar berisi lima-bakso.
"Untung gw belinya lima 'kan" Ucap Robby disaat melihat motor milik Han terparkir di dekat garasi
Mendengar suara mobil, Dika dan Han lekas keluar dari dalam rumah dan menyambut kami. Aku tahu jelas kalau mereka sedikit-banyak pasti khawatir dengan Robby yang baru pulang. "Wih bawa apaan tuh?" Ucap Dika saat melihat Robby membawa sebungkus plastik hitam besar "Bakso. Untung gw beli lima 'kan, udah firasat sih elo bakalan kesini" ujar Robby sambil melihat Han
"Wihhh, kebetulan bgt gw laper" Balas Han sambil mengintip isi plastik hitam tersebut, seolah tidak percaya yang di katakan Robby
Sekali lagi, melihat Robby, Dika dan Han berbaur seperti itu membuat aku senang. Aku merasa mereka secara tidak langsung adalah penyemangat Robby yang sedang jatuh. Bisa kurasakan aura mereka yang terus memberikan dukungan, meski tidak tampak, tapi bisa dengan jelas aku rasakan. Aku termenung dengan senyuman kecil yang masih menempel di bibirku, aku masih belum beranjak dan masih bersandar di pintu mobil.
"Woi Kutilang, lo ngapain bengong" ayo makan" Teriak Robby pelan
"Eh iya-iya.." Aku lekas berlari kecil mengejarnya yang sudah berada di depan pintu rumah "Ngapain lo bengong" kayak orang gila"
"Bodo!" Kali ini Robby tidak mengijinkan Bibik untuk mengambil piring dan alat-alat lainnya. Robby memaksa keras agar bibir duduk-manis di meja makan sementara para lelaki lah yang akan mengurus semuanya. Well, sebenarnya lebih ke Dika dan Han yang mengurus, Robby sibuk menyuru mereka agar tidak makan enaknya saja.
Sungguh malam itu adalah malam yang indah bagi kami. Memang hal itu terbilang kecil, tapi suasana dan canda tawanya masih terasa sampai sekarang. Aku yakin jika Han dan Dika pasti merasakan hal yang sama seperti apa yang aku rasakan. Memang Robby memiliki semuanya dan apa yang di inginkannya, tapi tanpa teman-teman bodohnya ini, aku yakin dia akan merasa kesepian. Satu persatu orang terdekatnya mulai hilang perlahan dari sampingnya. Mulai dari kak Monic, Ibu dan Ayahnya. Paling tidak untuk hari ini Robby bisa kembali menjadi Robby yang dulu meski masih banyak rasa sakit yang di simpannya dan aku yakin rasa sakit itu akan kembali disaat Robby sendirian nantinya. PAGE 29
Pagi itu adalah pagi yang berat bagiku dan kak Monic di pemakaman. Suara isak tangis kak Monic tak kunjung reda, aku hanya mencoba untuk menenangkan kak Monic. Dika dan Han hanya bisa terdiam kaku di sebelah sana. Kak Monic menyempatkan satu hari ini untuk berkunjung ke makan ibu, terlepas dari pekerjaannya di negeri sebelah. Rencananya sore ini dia akan kembali ke singapore untuk melanjutkan kerjaannya yang memang sengaja di tinggalkannya.
keluarkan kak. Keluarkan semua kesedihan ....
"Kak, aku mau tanya sesuatu" Ucapku kepada kak Monic yang sedang sibuk dengan ponselnya di kursi sebelah "Aku ada kenalan, namanya Fanny. Sekarang dia ada di Paris dan udah beberapa hari aku ga ada komunikasi sama dia" Sambungku
"Terus?" Kak Monic meminta lebih
"Awal kami ketemu, memang aku ada kesan suka sama dia dan aku yakin kalau dia juga sebaliknya. Sempat aku bawa kerumah, ibu senang banget sama dia. Kakak tau kan gimana tingkah ibu dengan mantan-mantan aku?" Kupandang kak Monic yang hanyut mendengar ceritaku, sambil aku melambatkan laju mobil di lampu merah
"Seneng gimana?"
"Ya seneng, pokoknya cara ibu nyambut Fanny itu hangat banget. Dan ayah, ayah juga bilang kalau Fanny itu cantik"
"Padahal ibu kadang suka ilfil ya sama mantan-mantan kamu. Terus gimana" kamu udah pacaran sama dia?" Kak Monic terlihat bersemangat sampai dia mengubah posisinya ke arahku
"Engga. Beberapa hari yang lalu dia sempat nelfon aku, tapi sayang dia terkesan cuek dan dingin. Aku bahkan ga ngira kalau dia bakal nelfon"
"Dia nelfon kamu pertama gitu?" Tanya kak Monic "Iya"
"Well, Robby.. kakak ini cewek dan terkadang kakak bakalan lakuin hal yang sama dengan apa yang Fanny lakuin.... dan kamu sadar kalau kamu itu engga peka?" "Hah" peka apaan?"
"Dia rindu kamu Robbyyyyy...... cuman dia gak tau gimana cara agar terkesan gak rindu saat nelfon kamu, ngerti gak?"
"Serius kak?" "Mungkin" Akhirnya kami sampai di bandara. Seperti biasa, kak Monic tidak mengizinkan aku untuk turun dan mengantarkannya ke dalam, dia terlebih menyuruku untuk langsung pulang. "jadi aku harus nyusul dia ke Paris, kak?" Aku bertanya disaat kak Monic hendak keluar dari mobil


Hai Fani Karya Robby di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia kembali menutup pintu mobil yang sudah setengah terbuka "Robby, kamu itu bukan anak-anak lagi dan kamu udah punya keuangan sendiri, ya.... meski masih dibantuan sama kakak dan papa" Kak Monic memutar bola matanya, itu sebuah ejekan "Dan kamu tahu satu hal robby" pilihan ibu tidak pernah salah" tambahnya
"Jadi.....?" Aku bertanya dengan penuh kebingungan, masih tidak mengerti apa yang kak Monic coba sampaikan
"Coba jadi peka sedikit dan coba cari jalan terbaik. Kalau kamu yakin sesuatu benar, lakukan" Kak Monic lantas turun dari mobil dan mengambil barangnya yang berada di kursi belakang "Dan....coba cari kerja" Kata terakhir dari kak Monic sebelum dia menutup pintu mobil
Ahhh..... Aku menjadi tambah bingung dengan semua ini. Aku tidak mungkin mengejar seseorang begitu saja karena aku cinta padanya. Bagaimana jika ini semua hanya bertepuk sebelah tangan. Tapi satu hal yang aku yakini adalah aku yakin jika Fanny menyimpan rasa padaku. Yang sedang aku pikirkan ini adalah Paris. Tidak mudah untuk ke paris walau hanya untuk satu hari, Visa dan segala jenisnya membuat aku berpikir dua kali untuk berniat.
*** Tak ada suara selain suara detikan jam, malam ini sungguh sepi. Beberapa jam yang lalu bibik sudah pergi ke jogja karena anaknya yang sedang sakit. Aku tahu bagaimana rasanya tidak ada ibu, aku tahu bagaimana pentingnya seorang ibu. Aku tahu jika bibik berada di sini untuk bekerja dan menghasilkan uang. Aku sempat berpikir untuk mengajak bibik dan keluarganya tinggal di rumah ini, mengingat hanya aku yang tinggal disini. Mungkin dengan cara itu bisa menghilangkan semua beban yang bibik rasakan dengan meninggalkan keluarganya.
Kudengar suara pagar terbuka. Aku terlalu malas untuk berdiri dan mengintip ke jendela untuk melihat siapa yang datang. Aku hanya beranggapan jika itu Dika yang ingin menginap, Kali ini kudengar suara garasi terbuka dan ternyata anggapanku benar, itu dika yang ingin memasukkan mobilnya kedalam garasi dan ingin menginap disini. Perlahan pintu kamarku terbuka dan mataku fokus ke arah pintu... "Tiwi?" Ucapku dengan panik "ngapain lo kesini malam-malam?"
"Gw nginep disini semalam boleh ya, Rob" dirumah gak ada orang, takut gw" Tiwi berjalan masuk ke kamar dan duduk di pinggiran kasur
"Emang kemana nyokap-bokap lo?" Aku bangkit dari tidur dan duduk di sebelah tiwi
"Dapat panggilan kerja mendadak ke kalimantan dan nyokap ikut. Masak sih lo tega kalau gw sendirian di rumah" Ekspresi wajah Tiwi yang sedih membuat aku tersenyum
"Emang kenapa sendirian dirumah" gw juga sendiri"
"Rumah gw itu rumah baru dan lo tau dong rumah baru kayak gimana" "Eh.. yang ada rumah lama yang gimana. Tau ah gw mau tidur"
"Gw tidur dimana?" Tanya Tiwi dengan suara lemah lembut layaknya orang yang minta dikasihani "Di kamar kak Monic sebelah gih, udah gede jugak"
Memang tidak ada pikiran aneh yang terlintas di kepalaku. Dari kecil kami memang sudah biasa untuk menginap di masing-masing rumah, biasanya setiap seminggu sekali kami akan bergantian menginap. Tapi itu saat kecil dan ada orang tua di sekitar, sekarang kami sudah besar dan pastinya sudah bisa berpikir jernih. Saat itu tengah malam disaat Tiwi membangunkanku, dia meminta ijin untuk tidur di kamarku karena takut tidur sendirian. Aku tidak bisa berpikir banyak karena saat itu aku masih berada di ambang-ambang dan aku mengizinkannya.
Lalu perlahan aku sadar dan terbangun. Kulihat Tiwi yang sedang tertidur disebalahku dengan kaos dan celana pendek. Yang aku pikirkan hanyalah hal-hal negatif. Tiwi tidur menghadap ke arahku, aku juga tidak sadar kalau aku terbangun berhadapan dengannya. Yang aku lihat hanyalah wajah dan bibirnya semantara nafasnya terdengar lembut di telingaku. Separuh badannya memang tertutup selimut, tapi bagian atasnya tidak. Aku sadar jika aku melanjuti menatapnya, pasti aku akan kehilangan kesadaran dan melakukan hal yang tentunya salah. Sempat aku mengelus pelan bibir Tiwi, Ingin rasanya aku menikmati bibir kecil itu. Aku berusaha untuk menolak hal negatif, aku lebih memilih tidur di bawah bersama playstation yang berserakan berserta kabel-kabelnya karena ulah Dika.
Tak sadar kalau hari sudah berganti menjadi pagi. Aku masih belum berhasil memejamkan mataku. Aku selalu berpikir negatif semalaman tentang Tiwi dan aku yang sedang berada dalam satu kamar. Dengan keras aku berusaha untuk menolak semua nafsu itu. But damn, Tiwi is too damn hot. Dengan celana pendek dan kaos ketat yang menonjolkan sisi dadanya membuat aku hanya bisa menelan ludah. Tiwi masih belum bangkit dari tidurnya. Pagi ini aku berencana untuk sarapan di warung nasi uduk ibu Rasti. ***
Tiwi bahkan belum bangun disaat aku telah pulang dari sarapan. Tidak lupa untuk membawakan Tiwi sarapan pagi yang rencananya akan aku lahap jika dia tidak mau.
"Tiwi..Tiwi..." ucapku sambil menggoyangkan kakinya Tiwi terbangun sambil melihatku "Apaan?" "Udah pagi, mau sarapan gak?"
"apaan?" Tiwi bangkit dari tidurnya dan duduk di atas kasur dengan kedua kaki disilangkan "Uduk"
"Mana sini" "Sejak kapan lo mau uduk" bukannya makanan pagi lo burger ya?" "Udah sini, laper gw" Matanya masih sayu dan rambutnya berserakan
Tiwi mulai menyantap sarapannya dia atas kasur seperti orang sakit. Sudah berulang kali aku menyurunya untuk makan di lantai tapi dia menolak. Pagi ini rencananya aku mau menghabiskannya dengan bermain playstation seharian penuh tanpa gangguan.
"Tadi malam lo gak ngapa-ngapain gw 'kan?" Aku yang duduk bersandar di tepian kasur bawah terkejut. Tiwi yang sedang duduk di atas tentunya tidak bisa ekspresi wajahku. Aku tahu jika Tiwi hanya bercanda "Ihh.. lebih baik gw sentuh diri gw sendiri"
"Ih sok banget. Rob, gw gak kutilangdara lagi 'kan?" Entah kenapa Tiwi tiba-tiba menanyakan hal yang aneh ini. Jelas dia sekarang sudah tidak seperti itu. Dia yang sekarang lebih terlihat seperti Model. "Masih kok, lo aja yang ga nyadar" Sepenuhnya yang keluar dari mulutku adalah kebohongan PAGE 30
Sore itu badanku terasa sedikit aneh dari biasanya. Aku ingin saja menolak ajakan Tiwi untuk jogging sore di sekitaran kompleks, tapi dia sudah terlalu bersemangat dan aku juga sudah berjanji untuk menemaninya berlari bersama. Sudah ku katakan berulang-ulang jika badannya sudah sempurna dan sesuai, tapi dia tetap tidak mempercayai setiap perkataan yang keluar dari mulutku.
Tiwi yang masih mengikat tali sepatunya tidak mau tertinggal di belakangl. Bergegas dia mengikat tapi sepatu dan berlari mengejar aku yang sudah lari duluan. Beberapa tegukan masuk ke dalam kerongkonganku saat melihat tubuh mungil Tiwi yang bergoyang seirama dengan kecepatan larinya. Pasti berat rasanya menjadi seorang wanita yang selalu ingin menjaga penampilan. Mereka harus melakukan hal-hal berbau olahraga agar dapat membuat tubuhnya terlihat sempurnya di mata lelaku. Itu tidak salah, lelaku memang umumnya lebih suka dengan wanita yang mempunya tubuh yang proposional, begitupun aku. Memang terkadang luaran tidak bisa memberi bukti. Masih banyak orang disana dengan tubuh yang sehat dan sempurna tapi sering membuat hati pria terluka. Dan entah bagaimana Tiwi masih belum mempunyai seorang kekasih saat ini. Aku yang sahabatnya saja terkadang berpikir untuk memilikinya.
Tiwi hanya tersenyum ketika lelaki-lelaki yang melintas memberinya pandangan lebih. Jika tidak ada aku di sebelah Tiwi, mungkin saja dia sudah di rayu habis-habisan oleh mereka, dan mungkin ini adalah alasan kenapa Tiwi mengajakku untuk menemaninya. Aku kadang masih tidak percaya dengan perubahan Tiwi selama ini. Sekarang dia sungguh luar biasa berubah.
Setelah selesai berkeliling kompleks, aku merasakan hal yang sangat teramat aneh pada tubuhku, rasanya aku seperti ingin demam. Tak lama Twi datang, ternyata dia tertinggal sangat jauh. Tiwi lekas duduk di bawah lantai sambil merenggangkan badannya.
"Lang, badan gw kok kerasa aneh ya?" Tanganku sibuk mengelus pelan leher bagian belakang "ya-iyalah, lo gak pernah olahraga 'kan?" Balas tiwi dengan suara yang masih terbata-bata "Bukan... rasanya beda, badan gw serasa dingin gini?"
Tiwi panik, dia berdiri dan menempelkan tangannya di keningku "Dingin apaan! badan lo panas, Rob" "Gw mau demam kali ya?" Aku bertanya seolah tidak yakin
"Lo kok gak bilang sih kalau lo sakit" aduhh... Robby" Kedua tangannya menutupi wajahnya dan tertunduk. Merasa semua ini adalah kesalahannya
"Gw mandi dulu deh, mau istirahat" Ujarku sambil berdiri "Tapi 'kan lo sakit!"
"Pake air anget" ***
Aku tidak yakin jika ini adalah demam. Demam yang pernah aku rasakan adalah demam dimana aku selalu menyelimuti seluruh tubuhku dengan selimut tebal dan akhirnya akan mengeluarkan keringat yang banyak, tapi tidak kali ini. Aku sudah menyelimuti seluruh badanku dan tidak ada sedikitpun rasa hangat yang aku rasakan, semuanya terasa dingin.
Kudengar suara pintu terbuka pelan. Tubuhku masih terbelit di dalam selimut.
"Ini kenapa lagi di tutupin selimut" Ucap Tiwi lalu menarik selimut dari bagian kepalaku "Nih buburnya sama teh angetnya, abisin ya.. gw udah capek-capek bikinin"
Aku segera bangkit dari tidurku lalu menyandarkan badanku. Tiwi dengan segala rasa cemasnya kembali menyentuh keningku bagaikan seorang Ibu
"Rob, ini badan lo panas banget" Ekspresi wajah Tiwi menjadi cemas "Engga, cuma demam biasa kok" Perlahan kusedu teh hangat buatan Tiwi "Enggak, ini bukan demam biasa. Pokoknya habis ini kita ke rumah sakit" Tegas Tiwi tanpa ragu "Ini cuman de..."
Tiwi memotong pembicaraanku "Engga ada, pokoknya harus, titik."
Aku tidak bisa melawan apa yang Tiwi katakan. Perkataannya ada benarnya. Aku juga merasakan kalau ini bukan demam seperti biasanya. Tiwi dengan manisnya duduk di sebelah kasur dengan kursi yang tadinya diambil dari meja belajarku. Dia tak berhenti menatapku.
"Udah deh, kenyang" Keluhku seperti anah kecil sambil memberi Tiwi mangkok berisi bubur yang masih banyak
Tiwi hanya melototkan matanya, dia tidak berkata sepatah katapun. Dia bahkan terlihat seperti Ibu, sangat tegas atas keputusan.
Suara pagar depan rumah berbunyi, aku yakin itu pasti Dika. Tiwi bergegas melihat ke jendela "Dika" Singkat katanya
*** "Gw telfonin kak Monic sama bokap lo, ya?" Ujar pelan tiwi yang sedang duduk di sebelah kasur dengan kepalanya yang terbaring di atas kasur, tangannya sibuk mengelus tangan sebelah kiri dimana infus itu tertusuk.
"Gak.. gak usah. Jangan bikin dia tambah pusing" Hanya senyuman yang bisa aku beri ke Tiwi
Tiwi membalas senyumku dengan sangat indah. Perlahan setitik air mata mulai turun dari sudut matanya menuju sudut bibirnya
"Loh kenapa nangis?" Pelan ku usap air matanya
Tiwi menegakkan kepalanya, melepaskan genggaman tangannya dari tanganku. Lalu dia mulai membersihkan air mata itu dengan telapakn tangannya "Enggak... seharusnya gw gak ngajakin lo jogging tadi ya?" Ucapan itu terdengar seperti penyesalan, tapi Tiwi berkata dengan senyuman tipis
"Apaan sih. Udah deh lo ga usah pikir aneh-aneh, doa'in aja gw cepet sembuh dari DBD ini dan kita bisa jogging bareng lagi"
Tiwi tertawa pelan sambil mengigit bibir bawahnya.
Aku juga tidak tahu bagaimana DBD bisa menyerangku. Penyakit memang tidak memandang waktu dan situasi, mereka bisa datang kapan saja tanpa kita sadari. Mau tidak mau aku harus melakukan perawatan di rumah sakit sampai aku mulai membaik. Aku melarang Tiwi untuk menemaniku di rumah sakit, tapi dia tetap memaksa dan memarahi aku karena menyurunya pulang dengan DIka. Dika tadi juga ingin menjadi sukarelawan, hanya saja Tiwi menyurunya agar pulang dan menjaga rumah karena tidak ada seorangpun disana. Rencananya pagi besok Tiwi akan pulang setelah Dika datang. Aku menggapai tangan tiwi yang sedang tergeletak di sebelahku "Makasih ya udah mau repot-repot" "Lo kayak sama orang lain aja" ucapnya sambil tersenyum
*** Tak lama setelah beberapa perawat masuk untuk mengecek keadaanku pagi ini, Dika datang. Dika datang dengan pakaian yang masih acak-acakan yang bisa aku simpulkan kalau dia belum mandi. "Rob, gw pulang dulu ya" Pamit tiwi yang telah berada bersamaku semalaman di rumah sakit "Iya, hati-hati ya" Tiwi mengangguk
"Nih" Dika memberikan kunci mobilku kepada Tiwi "Ntar kemari isi bensin ya, gw lupa isinya tadi" tegas Dika dengan tersenyum aneh
"Ntar uangnya ambil di dompet gw aja. Dompot gw ada di deket TV" Ujarku kepada Tiwi yang hendak keluar dari ruangan
"Engga usah, cuma bensin doang" Balasnya dengan ganggang pintu yang sudah melekat di telapak tangannya
"Yaudah deh serah lo, jangan lupa bawain dompet sama laptop gw ya" Teriakku tidak terlalu kuat, takut Tiwi tidak mendengar dengan posisi pintu yang sudah hampir tertutup
"Iyah" Suara itu menggema di koridor
FINAL EPISODE (LOVE ISN'T EASY) - PAGE 31
Setelah kurang lebih tujuh-hari aku berada di rumah sakit, akhirnya aku bisa keluar dan kembali menghirup udara segar. Aku merasa seperti terpenjara di dalam sana. Selama itu pula berbagai temantemanku datang untuk menjenguk. Sudah berkali-kali ku katakan pada Dika dan Han agar tetap menyimpan berita ini seketat mungkin, namun mereka masih saja memberitahukan keadaanku kepada teman-temanku yang lainnya. Membuat kamarku hampir tidak pernah sepi setiap hari.
Dua-hari sebelum aku keluar dari rumah sakit, Raya datang menjenguk seorang diri. Di ruangan itu hanya ada aku dan Dika. Dika bahkan terkejut melihat kedatangan Raya yang tiba-tiba dan tidak memberitahu ke Dika terlebih dahulu. Dia terus menceritakan bagaimana Fanny di sana yang sangat ingin mengetahui keadaanku. Aku menyuru Raya untuk menjaga semua berita tentangku, aku ingin Raya menceritakan ke Fanny berita yang baik saja. Yang pasti, Fanny hanya tau aku baik-baik saja disini, walaupun sebenarnya sudah banyak musibah yang menimpa hidupku belakangan ini.
Seperti yang sudah aku janjikan kepada Tiwi, jika aku sembuh aku akan menemaninya jogging sore. Walaupun dia tidak menagih janji itu, tapi aku tidak keberatan. Sore itu tak jauh beda dengan sore-sore biasanya, dimana orang-orang dengan segarnya mencoba berolah raga di sekitaran taman kompleks dan ada juga yang sedang bermain bola volly.
"Rob, sini ayo gabung" Teriak seseorang disaat aku melintasi lapangan volly bersama Tiwi
Dengan spontan aku menoleh "Eh, Man, engga dulu, gw mau jogging aja sama temen" Balasku kepada maman, dia anak RT sekitar.
Maman terdiam dengan mulut yang sedikit terbuka, matanya fokus melihat ke arah Tiwi "Oh iya deh, hati-hati ye" Alis matanya melonjak-lonjak melihatku, bibirnya tersenyum,. Dia pasti mengira Tiwi adalah pacarku
Aku dan Tiwi kembali berlari perlahan sambil mengimbangi kecepatan. Apakah Tiwi begitu indahnya sampai-sampai semua lelaki yang memandanginya terkesan tertarik. Mungkin karena aku mengenal Tiwi dari kecil, aku menganggap Tiwi masih begitu-begitu saja, walaupun sekarang dia menjadi sedikit... sedikit agak menarik. Sambil berlari pelan, kedua ujung bibir TIwi tidak berhenti untuk tersenyum, aku tidak tahu apa yang sedang di senyumkannya atau apa yang lucu.
"Heh, kenapa lo" senyum-senyum sendiri kayak orang gila" Gumamku sambil mencolek bagian dagunya "Ih apaan sih" Tiwi berhenti dengan nafas yang terengah-engah, dia masih tersenyum "Kenapa lo" sakit?"
"Lucu aja" Singkat balasnya, Tiwi duduk di tepian jalan dengan kedua kaki dipanjangkannya "Apanya yang lucu" 'kan gila lo"
"Cara cowo tadi ngeliat gw"
"Kenapa cara dia ngeliat lo" Aku penasaran dengan maksud Tiwi, aku ikut duduk diseblahnya "Entahlah, lucu aja. Lo kenal sama dia?"
"Kenal" "Namanya siapa sih" anak mana?" Nada suara Tiwi agak sedikit genit "Maman, anak pak RT"
"Lo ada nomornya" minta dong, gw mau kenalan"
Wha...whaat! Dalam sekejap aku terdiam, degupan di dada ini terasa sangat cepat. Aku tidak tahu dan tidak mengerti kenapa aku merasakan perkataan Tiwi seperti ini, seperti ada rasa yang menganjal. Banyak pertanyaan yang terlintas di kepalaku, ingin rasanya ku keluarkan semuanya kepada Tiwi. Tapi.... apakah ini yang namanya cemburu. Tapi kenapa aku harus cemburu dengan sahabatku sendiri, bukankah itu hal yang baik dan bagus untuknya bisa mendapatkan lelaki idamannya.
Aku lekas berdiri dari dudukku dan kembali berlari pelan meninggalkan Tiwi yang masih bersantai "engga... engga ada"
"Ih kok lo lari sih?" Tiwi bangkit dan mengejarku "Lo cemburu 'kan?" Teriaknya dari belakang sambil berlari
Aku segera berbalik menghadap Tiwi, teriakannya sungguh kencang, membuat aku malu saja "Ngapain gw cemburu, udah ayo cepet. Kejar gw kalau lo bisa"
Aku berlari dengan kencangnya meninggalkan Tiwi yang berusaha mengejarku. Kami berlari layaknya orang yang tengah bercanda, tertawa seperti orang gila sampai tenaga ini habis hanya untuk tertawa. ***
Air yang terus-menerus keluar dari shower terus menusuk-nusuk bagian pundakku. Kedua tanganku ku jadikan sandaran ke dinding yang berada di depanku, kepalaku tertunduk ke bawah. Aku terus terpikir dengan perkataan Tiwi tadi, apakah dia memang serius atau hanya mencoba untuk memancingku. Tapi aku yakin itu adalah perkataan jujur yang keluar dari mulutnya. Senyuman itu adalah senyuman pure asli milik Tiwi, dia pasti jatuh hati kepada Maman. Sekarang di rumah ini hanya ada aku, Dika, Bibik dan anaknya yang masih kecil, bahkan belum SD. Aku senang akhirnya di rumah ini bisa menjadi ramai seperti sediakala. Tiwi sudah pulang sejak tadi karena dia ingin segera membasuk dirinya. Tiwi memang agak sedikit alergi dengan keringatnya sendiri, dari kecil dia memang begitu.
Aku menghampiri Dika yang sedang duduk termenung dengan rokok yang masih tergantung di bibirnya, pandangannya kosong entah kemana.
"Kenapa lo" galau banget" Ucapku lalu duduk di kursi sebelah Dika "Gw lagi ada masalah ada Raya" balasnya singkat tanpa ritme "Ya cari solusi lah"
"Eh, btw, hubungan lo sekarang gimana sih sama Tiwi?" Dika mencoba untuk mengalihkan topik
"'Kan udah gw bilang dari kemarin kalau dia itu temen gw, lo sih main percaya aja. Ga mungkin dong gw pacarin dia. Dia itu udah jadi temen baik gw dari kecil, ga mungkin dong gw pacarin"
"Gayaan lo emang, liat aja entar kalau dia akhirnya jalan sama cowo lain, gw berani taruhan kalau entar lo bakalan ngerasa cemburu"
"Engga lah, bacot aja lo, keluar dah yok" "Yaudah ayok"
PAGE 32 Sudah beberapa hari ini suasana di rumah menjadi agak sepi. Tiwi tidak lagi berkunjung seperti biasanya, dia sekrang lebih sering menghabiskan waktu bersama Maman. Aku masih belum tahu bagaimana dia bisa mendapatkan kontak Maman. Aku hanya menganggap Tiwi bergurau semata saat dia menyebutkan kalau dia tertarik kepada Maman, ternyata aku salah. Tiwi juga tidak bosan-bosan untuk terus menangkut topiknya dengan pria bernama asli Arif Rahman itu disaat kami sedang mengobrol santai.
Aku lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar sendirian, menatap ke arah langit-langit menghayalkan masa depan. Semenjak bertengkar dan akhirnya putus dengan Raya, Dika sekarang lebih suka sendirian di kostnya. Aku sempat menghawatirkan keadaan Dika tapi dia terus mengatakan jika dia baik-baik saja dan butuh waktu untuk sendiri. Mungkin kesendirian adalah saat yang tepat untuk berpikir dengan jernih. Entah kenapa dengan tiba-tiba aku terpikir dengan Fanny. Seolah aku melihatnya tersenyum, tertawa sambil menarik tanganku. Setiap kali aku terpikir olehnya, jantungku berdetak sangat kencang, seolah ada mesin diesel yang bergerak di dalam dan nafasku menjadi melaju.
Kudengar suara mobil berhenti di depan rumah. Dengan segera aku bangkit dan mengintip sedikit ke arah jendela dengan curiga. Tiwi baru saja diantarkan oleh Maman, entah dari mana mereka. Entah bagaimana aku bisa sangat kesal melihat hal sepele itu dan kenapa Tiwi minta diantarkan ke sini disaat hari sudah hampir tengah malam. Perasaan jengkel membuat pikiranku semakin kacau, rasanya aku ingin marah saja kepada Tiwi.
Suara sepatunya yang sedang menaiki tangga bisa terdengar jelas dari dalam kamar. Dengan segera aku mencoba untuk pura-pura tertidur. Suara pintu yang terbuka membuat aku membalikkan badanku ke arah berlawanan, membuat Tiwi sama sekali tidak bisa melihat wajahku. Lalu suara pintu tertutup sangat pelan, dia pasti sadar kalau aku sedang tertidur dengan pulas. Aku merasakan getaran kecil, Tiwi duduk di pinggiran tempat tidur.
"Letih banget..." Dia berkata seolah aku mendengarkannya, meski dia tahu aku sedang tertidur
Beberapa getaran kembali terjadi di atas tempat tidur. Tiwi bukannya hendak bergegas untuk pergi, dia malah menaikkan kedua kakinya keatas dan bersandar.
"Lo kok tidur sih" Gak ada yang temenin gw dong, padahal gw mau curhat" Kurasakan jari-jari kecilnya bermain di lenganku.
"Dia orangnya baik lho, Rob" Dia berhenti sejenak dan menghembukan nafasnya "Yahh.. gw senang banget sama dia" Lanjutnya
Kali ini mataku terbuka. Tiwi yang sedang berada di belakangku pasti tidak bisa melihatku.
"Dan lo mau tau kabar baiknya apa?" Ucap Tiwi dengan nada yang membuat aku penasaran "Dia nembak aku.... Yee... dan sekarang kamu gak boleh ngejek aku jones lagi, sekarang aku udah punya pacar"
Dengan sekejap rasanya aku kehilangan semua partikel-partikel yang berada di dalam tubuhku, rasanya sungguh hampa tak bersuara. Meski dia hanya sahabatku, hal itu tetap terdengar sangat menyakitkan. Dengan perlahan aku bisa merasakan hembusan kecil nafasnya di dekat telingaku
"Tapi gak akan pernah ada yang bisa ngegantiin lo sebagai sahabat gw" Ucapnya lalu mencium lembut pipi sebelah kiriku "gw sayang sama lo"
Mendengar itu keluar dari mulut Tiwi membuat aku agak sedikit membaik, meskipun sakitnya masih terasa. Malam itu aku hanya bisa merenungi nasib sampai akhirnya aku tak sadarkan diri hingga tertidur. ***
Kedua tanganku menutupi seluruh wajahku. Kedua kaki aku tekukkan di depan dada. Aku baru saja bertemu ibu. Dia tersenyum dengan lambaian kecilnya. Kapal kecil itu akhirnya menepi dan berlabuh di tempat aku berdiri. Ibu dengan senyumannya perlahan turun dari kapal dengan wajah yang sedih, lalu menghampiriku.
"Rob, ada apa" kenapa?" Suaranya terdengar pelan
"Semuanya hilang.. semuanya" Aku terisak menangis di hadapan ibu "Maksud kamu?" Perlahan telapak tangannya yang lembut membasuk pelan pipiku
"Pertama kak Monic, terus mama, terus ayah, Fanny dan akhirnya Tiwi" ucapku dengan isak tangis "Aku hampa, ma... aku sendiri"
Ibu hanya tersenyum, telapak tangannya masih bermain di pipiku "Robby, semua yang pergi bisa kembali"
"Kalau gitu aku ingin mama kembali"
Ibu masih tersenyum "Mama enggak pergi, mama masih ada sama kamu. Jika sesuatu pergi, coba kejar dan ambil. Bagaimana kamu bisa mendapatkan sesuatu itu kembali jika kamu sendiri tidak percaya. Coba percaya dengan diri kamu sendiri, lalu semuanya akan berjalan dengan baik"
Perlahan ibu seperti tertarik ke atas bersama kapal yang baru berlabuh dan semua penumpang yang baru turun. Cahaya putih itu menyilaukan mataku sampai kedua tanganku harus menutupi silaunya. Cahaya itu tidak tegak lurus ke atas, melainkan mereng ke samping .
"Jika semuanya tidak berjalan dengan apa yang kamu harapkan, jangan lampiaskan ke orang terdekatmu" Ucap ibu
Mimpi yang aneh itu sudah membuat aku terbangun pada pukul 5 pagi. Tiwi dengan santainya masih tertidur pulas di sebelahku. Aku masih belum berani untuk bergerak. Bukan karena Tiwi yang sedang berada di sampingku, tapi karena mimpi itu. Kulihat Tiwi sedikit agak kedinginan, kedua kaki dan tangannya menekuk. Selimut yang harusnya bisa untuk menyelimuti dua orang itu hanya tergulung padaku. Tiwi mungkin tidak mau mengambil sedikit bagian dari selimut, takut selimut itu tidak cukup besar untuk berdua dan akhirnya aku harus meresap kedinginan. Ku selimuti Tiwi yang kedinginan dan mencium pelan pipinya.
PAGE 33 Aku semakin teguh dan yakin dengan keputusanku untuk bertemu Fanny di Paris. Sudah sekitar dua minggu aku harus menghabiskan waktu ke mengurus segala urusan surat-surat di kedutaan. Aku sangat beruntung jika Tiwi masih mau menemaniku selama mengurus surat-surat. Tiwi terus memberikan supportnya kepadaku meski raut wajahnya justru terlihat sebaliknya. Aku tidak tahu apakah Fanny akan menyambutku dengan cara positif atau negatif. Apapun keputusan Fanny nantinya disaat kami betemu, aku akan mencoba untuk menerima segalanya. Aku belum pernah melakukan hal bodoh sepanjang hidupku. Kali ini aku akan membuat rekor untuk diriku sendiri.
Jadwal penerbanganku semakin singkat, aku harus segera berangkat ke rumah Raya untuk meminta alamat rumah Fanny di Paris. Hanya aku dan Tiwi yang tahu akan rencana bodohku ini. Tiwi sadar jelas apa yang akan lakukan ini sama saja dengan misi tidak jelas. Aku juga berpikir demikian, aku bahkan tidak tahu tujuanku ke sana sebenarnya untuk apa. Tapi paling tidak aku akan mencari seseorang disana, seseorang yang dulunya pernah aku jumpai dan aku idamkan.
Aku turun sendirian masuk ke dalam lingkungan kostan Raya sementara Tiwi hanya menunggu di dalam mobil. Aku tidak melihat ada yang menjaga, aku memberanikan masuk tanpa permisi. Sesampai di depan kamar Raya aku menarik nafas dalam dan kemudian mengetuk pintunya dengan pelan. Kudengar suara langkah kaki mendekat dan Raya mengintip kecil lewat jendela yang berada tepat di sebelah pintu lalu membuka pintu.
"Mau ngapain?" Tanya Raya dengan suara nada rendah
Ku ambil tiket penerbanganku dari dalam saku jaket dan ku tunjukkan kepada Raya "Gw minta tolong sama lo, please kasi gw alamat Fanny di Paris"
Raya masih tidak percaya dengan keaslian tiket itu sampai-sampai dia harus memeriksa dengan tangannya sendiri "Lo gila apa! Ini paris, Rob" Nada suaranya mulai naik
"Gw tahu, setidaknya ada yang bisa gw perjuangin"
Raya tidak percaya, dia menatapku dengan pandangan kasihannya. Wajahnya tampak menyimpan sesuatu
"Ada apa, Ray" bisakan gw minta alamat Fanny?" Tanyaku dengan penuh harapan besar ke Raya
Raya masuk ke dalam tanpa berkata. Lalu ia kembali ke hadapanku dengan sebuah kartu nama dengan alamat lengkap "Nih, cuman ini alamat Fanny yang gw punya" Dia memberikanku kartu nama itu "makasih banyak, Ray"
"Gw saranin lo batalan acara lo berangkat ke Paris dan jangan terlalu banyak berharap" Raya menutup pintu dengan sangat perlahan
"Lo nyimpen sesuatu dari gw, Ray?" Ku tahan Raya yang ingin menutup pintu
"Lo ga perlu tau, belakangan ini gw udah jarang komunikasi sama Fanny, lebih baik lo batalin rencana bego lo ini"
*** Fanny's POV Aku semakan nyaman dan semakin terbiasa dengan Paris. Perlahan tapi pasti aku makin mudah untuk berbaur. Ayah menyarankan aku untuk pindah kewarganegaraan, ayah menyarankan agar aku secepat mungkin untuk bisa menikahi salah satu pria Prancis, membuat semua urusan lebih mudah. Well, aku jika memang harus begitu, aku tidak asal pilih. Aku ingin suamiku nantinya seperti apa yang aku idamkan, meskipun aku agak kurang suka dengan pria Prancis. Beberapa hari setelah ayah mengatakan argumennya, aku secara tidak sengaja bertemu dengan pria Prancis yang baik dan ramah. Perlahan dia mulai masuk ke dalam hidupku dan membuat aku bahagia. Kadang bahasa adalah kendalanya. Bahasa Prancisku buruk, tapi bahasa Inggrisku cukup baik. Hal yang hampir sama juga berlaku bagi Ethan. Bahasa Prancisnya sangat bagus dan indah, hanya saja bahasa Inggrisnya cukup buruk. Tapi hal itu tentu saja tidak membuat hubungan kami yang seumur jagung ini rusak. Perlahan aku mencoba belajar bahasa Prancis bersama Ethan atau Violet.
Setelah aku cukup dekat dengan Ethan, aku memberitahukan semuanya kepada Raya. Raya menanggapi semuanya dengan positif. Dia sempat bertanya bagaimana perasaanku terhadap Robby. Jujur, aku masih belum bisa menjawab. Di malam-malam yang sunyi kadang aku masih suka berpikir tentangnya dan berharap dia akan datang ke sini, tapi itu semua hanya khayalan belaka. Tidak mungkin seseorang yang baru ku kenal beberapa hari mau melakukan hal bodoh itu.
Besok malam Ethan rencananya mau mengajakku makan malam romantis ala Prancis di salah satu restoran mewah di Paris. Hal itu tentu saja membuat setiap wanita yang sedang terbawa suasana menjadi tergoda. Menurutku wajah Ethan tidak jauh berbeda dengan kebanyakan Pria di Paris yang pernah aku temui. Dia memang tampan dan mempesona, karena itulah aku menjadi agak terpikat olehnya. Aku juga telah memberi tahukannya tentang rencana pernikahan dan perpindahan, dia menanggapi dengan positif. Dia juga ingin membawa hubungan ini ke arah serius dan bukan hanya sekedar untuk main-main. Mendengar dia berkata seperti itu membuat aku tambah yakin dengan kepemimpinannya.
Sekarang aku sebisa mungkin untuk melupakan Robby, mencoba untuk menjalani hidupku yang baru. Aku hanya berhasil menghubunginya sekali dan secara tidak sengaja membuatnya marah karena harus bangun di tengah malam, aku tahu itu salahku. Dan entah kenapa setelah komunikasi itu tejadi, nomor Robby tidak lagi bisa di hubungi. Aku yakin dia pasti tidak ingin mendengar kabarku lagi. Aku cukup sedih harus menerima kenyataan yang pahit, tapi apa boleh buat, semua yang terjadi telah terjadi dan aku harus berusaha untuk melupakan semuanya.
*** Rambutku yang berwarna hitam dan bergelombang terlihat sangat cantik di kaca. Gaun hitam yang aku pakai juga terlihat sangat elegan. Violet hanya bisa terkagum melihat aku bisa berdandan secantik ini. Aku tidak ingin membuat Ethan malu, aku pastinya harus tampil se-anggun dan se-cantik mungkin dari semua gadis yang ada di Paris.
"Kak, dia udah datang" Ucap Violet dengan semangat saat mengampiri ku yang masih sibuk dengan riasan di depan kaca
"Serius" yaudah kamu hati-hati ya, kakak pergi dulu" "Yaudah pergi sana, aku bukan anak kecil" Gumam Vio
Aku berusaha untuk menjaga wibawa sepanjang waktu disaat sedang makan malam bersama Ethan. Malam ini aku berasa seperti seorang Putri dari sebuah istana megah dan Ethan adalah seorang pangeran yang siap menikahiku.
THE END - PAGE 34 Hampir setengah hari aku berada di dalam pesawat, membuat kepalaku sangat pusing. Aku bahkan tidak sadar jika aku sudah tertidur di kamar hotel ini selama lima jam. Aku berencana untuk menadatangi kediaman Fanny malam nanti. Beruntung aku bisa mendapatkan hotel dengan view yang sangat baik. Dari jendela saja aku sudah bisa menikmati keindahan kota Paris dan menara indahnya. Dika sempat mengirimku pesan, dia terkejut ketika mengetahui aku sedang berada di Paris dan dia berharap apa yang aku cari akan terwujud.
Malam ini aku telah mempersiapkan diri dengan apapun yang akan terjadi. Tak lupa aku membawa selember kertas yang aku masukkan ke dalam amplop dan sebatang bunga yang dilapisi dengan platis. Amplop itu hanya berisi perkataan yang selama ini telah aku pendam kepada Fanny dan bunga mawar sebagai pemanisnya. Setelah berhasil mendapatkan taksi, aku langsung memberikan kartu nama yang berisikan alamat rumah Fanny. Pria tua itu tampaknya sudah hapal betul alamat yang aku berikan.
Setelah hampir 25 menit berkendara, akhirnya aku sampai ke alamat itu. Aku menyuru agar pak tua itu tetap menunggu, aku takut jika alamat ini salah dan akhirnya aku harus bersusah payah mencari taksi lainnya. Setelah berkali-kali menekan tombol bel, akhirnya seorang wanita keluar dengan bahasa Prancisnya. Aku terdiam dan tak tahu harus berkata apa.
"I'm sorry i dont speak Frence" Ucapku dengan grogi "Owh.." Kepala wanita itu mundur sedikit, dia terlihat kebingungan "Is it right that Fanny lives here?"
"Oh you are looking for Tifanny, right?" kedua ujung bibir wanita itu terangkat Aku terdiam bingung, nama itu sungguh baru bagiku "Yes, Fanny... Is she here?"
"Oh no..no.no.. She moved away to another apartment. Wait..." Wanita itu lekas masuk ke dalam dengan pintu yang masih terbuka
Kemudian dia datang dan memberikanku selembar kertas setengah sobek dengan sebuah alamat "Here.."
Aku membaca alamat itu seolah aku tahu pasti dimana "Thanks"
Aku lekas kembali masuk ke dalam Taksi dan kembali memberikan pak tua itu alamat. Di dalam taksi aku terus berpikir dengan rumah siapa yang baru aku datangi, aku bahkan tidak menanyakan siapa wanita itu.
Kurang-lebih 40 menit perjalanan waktu yang aku habiskan untuk berkendara ke alamat yang wanita itu tadi berikan kepadaku. Sebuah apartemen berlantai-empat dengan pernak-pernik ala Prancis. Kali ini aku langsung membayar upah taksi dan berterima kasih kepada bapak tua yang ramah itu. Aku masuk ke dalam dan bertanya singkat kepada resepsionis yang berada di depan. Dengan singkat dia mencoba untuk menjelaskan nomor kamar apartemen itu. Awalnya agak susah bagiku untuk menerima informasi karena dia menggunakan bahasa inggris yang sangat buruk. Lalu seseorang datang dan menawari untuk mengantarkanku ke atas.
Pria itu menjulurkan tangannya dengan ramah di depan Lift "Walk forward and you'll get the room" "Thanks"Ucapku
Pintu lift perlahan mulai tertutup, meninggalkan aku sendirian di koridor kosong tanpa suara sedikitpun. Karpet berawarna merah darah dan berbagai lukisan yang menurutku cukup menyeramkan membuat aku sedikit ketakutan. Hingga saatnya aku tiba di depan pintu kamar yang sudah di tunjukkan tadi. Pintu kamar itu bernomor 42. Berkali-kali aku menelan ludah dan jantungku berdegup sangat kencang, aku seperti berada di depan pintu kematian. Amplop yang berisi surat dan sebuah bugan mawar aku selipkan di saku jaketku. Aku mulai memberanikan diri dan menekan tombol bel yang ada di samping pintu.
"Qui es-tu?" tanya seorang gadis berambut pirang itu
Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya "Sorry i only speak english" ucapku "Who are you?" Dia kembali bertanya dengan logat british
"Hi, im Robby.. " Sambil menjulurkan tanganku "I'm looking for Fanny, is she here?" "Oh.." Teriak pelan gadis itu sambil menutup mulutnya "Jadi kakak yang namanya Robby?"
Dia bisa berbahasa indonesia dan bagaimana dia bisa tahu denganku "Eh, bisa bahasa indonesia" dari mana tau nama aku?"
"Aku pernah gak sengaja liat nama kakak di hp kak Fanny. Kenalin kak, nama aku Violet"
Violet kemudian mempersilahkan aku untuk masuk. Dia terlihat sangat gembira dan terus-menerus memberikan aku pertanyaan. Dia juga mengatakan jika Fanny sedang keluar makan malam bersama temannya. Violet tidak tahu kapan Fanny akan pulang. Karena ketidakjelasan itu, aku sempat untuk meminta izin pulang. Violet menolak, dia menyuru aku untuk tetap menunggu. Dia bahkan tidak hentihentinya memberikan aku makanan dari kulkas.
Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul sebelas malam. Aku masih duduk di sofa depan TV bersama Violet yang dengan bosannya memainkan HPnya. Dari tadi dia mencoba untuk menghubungi Fanny tapi selalu gagal. Tak lama pintu terbuka dan di iringi tawaan. Yang aku lihat adalah Fanny dengan mesranya sedang ciuman dengan pria bule itu. Pintu yang tertutup tidak menjadi halangan untuk mereka, mereka lebih seperti pasangan yang sedang dalam mabuk asmara. Tawaan kedua manusia itu terdengar jelas di telingaku.
"Kak Fanny!" Teriak Violet dengan tetap menjadi suaranya
Fanny lekas berbalik melihat Violet yang belum tidur "Eh, kok belum tid..." Ucapnya terputus setelah melihatku
Dengan terburu-buru Fanny melepaskan ikatan tangan pria bule itu dari pinggangnya dan menghapus pelan cairan yang masih tersisa di bibirnya.
Aku hanya tersenyum dan berdiri pelan menuju ke arah Fanny yang masih berdiri tepat di samping pria itu "Ternyata gw salah" Ucapku sambil menjatuhkan amplop dan sebatang bunga di atas meja yang tepat berada di samping pintu. Aku berjalan keluar dengan penuh keperihan.
Aku tidak bisa marah atau mencoba untuk mengelak dari semua ini. Sebelum aku berangkat aku sudah berjanji kepada diriku, apapun hasilnya akan aku coba terima dengan lapang dada. Dan sekarang yang aku dapatkan sudah jelas, Fanny sudah senang dengan orang lain dan aku harus ikut senang dengan hal itu. Sudah beberapa langkah aku lalui sejak keluar dari kamar itu dan Fanny berteriak dengan sambil menahan tangisnya. Suaranya bergema di koridor yang sepi.
"Robby.... ini semua gak seperti apa yang lo lihat"
Aku berbalik pelan, mendekatkan diri kepadanya sambil memegang salah satu bahunya "Enggak, kalau lo senang gw senang. Bodohnya gw... gw terlalu berharap"
*** Fanny's POV Ethan meminta aku menjelaskan apa yang barusan terjadi. Aku masih tidak bisa berkata, aku meminta dia untuk pulang karena aku butuh waktu sendiri. Violet masih hangat duduk di tempat yang sama, wajahnya sedih, dia tidak berani untuk berbicara kepadaku. Sementara aku hanya bisa bersandar di balik pintu dengan selembar surat dan sebuah bunga mawar yang Robby jatuhkan di atas meja.
Quote: Dear Fanny, Gw gak tau harus mulai dari mana. Lo masih ingatkan pertama gw ngelihat lo" masih dong ya, haha.. Gw kayak ngeliat bidadari, sumpah waktu itu lo cantik banget pas di dalam kolam. Awalnya gw ngerasa lo itu orangnya cuek dan jutek, tapi gw salah. Lo orangnya ramah dan baik, gw akuin. Dan lo inget pas lo minta ikut pulang ke rumah gw" Mama gw seneng banget yah sama lo. Jujur, mama gak pernah nanggepin semua mantan aku kayak dia nanggepin lo, begitupun ayah.
Sekarang gw beranikan diri ke Paris seorang diri. Gw mau jumpa sama lo, Fan. Mungkin pas lo baca ni surat, gw pasti ada di depan lo sambil menahan geli sendiri sementara lo baca ni surat. Tapi gw rasain sesuatu yang beda sama lo, gw ngerasa lo itu beda. Jujur gw ada perasaan sayang sama lo, gw cinta, gw rindu dan gw perduli sama lo.
Disaat ini, gw gak tau apakah lo udah punya pacar atau belum. Maka dari itu, jika lo mau dan bisa nerima cinta gw yang tertulis ini, gw minta lo lipat dan masukin ke amplopnya. Tapi jika lo nolak, lo koyakin atau lo buang aja deh. Gw bisa nerima semua keputusan lo kok. Gw juga ga keberatan jika kita cuman sebatas teman. Gw cuman mau lo tau kalau gw sukak sama lo dan gw bela-belain ke paris cuma buat ketemu lo dan ngasi surat ini. kalau lo nolak ya... gw balakan pulang langsung ke indo, karena satu-satunya alasan gw ke sini cuman buat lo.Sorry kalau gw terlalu chicken buat katain langsung..
Membaca surai itu membuat aku meneteskan air mata. Aku tak tahu berapa besar perjuangan Robby untuk datang ke Paris dan mengatur semua ini hanya untukku. Tapi aku malah membuat perjuangannya sia-sia, dia melihat hal yang seharusnya tidak dilihat. Aku sangat yakin jika hal itu pasti membuat hatinya sangat teramat hancur.
*** Jika Robby berani mengambil resiko untuk datang ke Paris hanya untuk bertemu denganku, maka aku harus berani melakuakn hal yang baru saja Robby lakukan. Sepanjang perjalanan di pesawat aku selalu khawatir dengan keadaan Robby. Aku bisa membayangkan bagaimana sakitnya hati Robby ketika dia melihatku dengan senang dan tawa sambil berciuman dengan Ethan sementara dia duduk disana dan menyaksikan semuanya. Keberangkatanku ke indonesia juga tidak membuat ayah dan ibu curiga karena memang statusku masih warga indonesia dan masih ada batasan bagiku untuk tinggal di Prancis. Tapi keberangkatanku yang mendadak membuat ayah penasaran sehingga aku harus berbohong kepadanya. Aku juga meminta Violet merahasiakan semua ini dari ayah dan ibu.
Aku sampai di indonesia pukul sepuluh-malam. Yang aku bawa hanya backpack dengan kapastitas pakaian yang tidak telalu banyak. Dengan segera aku mencari taksi untuk mengantarkan aku ke rumah Robby. Aku berharap Robby sudah berada di rumah, aku ingin sekali menjelaskan apa yang telah di lihatnya.
Keadaan rumah Robby terlihat sangat sepi, mungkin ini wajar karena hari sudah malam. Setelah membayar taksi aku segera berlari menuju pintu depan rumah Robby. Berulang kali aku membunyikan bel hingga akhirnya Dika membukakan pintu. Dia tampak terkejut melihatku
"Loh Fanny?" "Robby mana?" Mataku sibuk melihat ke dalam rumah "Lah, bukannya dia ke Paris?"
"Iya... dia belum pulang?" Aku bertanya dengan panik "Enggak, loh gimana ceritanya kok lo gak tau dia belum pulang?" "Duhh.. ceritanya panjang, lo bisa ngehubungin dia 'kan" coba deh cari tau" "Yaudah masuk dulu deh"
Dika membawaku untuk duduk di ruang tamu sementara dia sibuk terus mencoba untuk menghubungi Robby, tapi panggilan itu tidak pernah masuk.
"Gw coba imessage dulu"
Aku sempat bertanya kepada Dika kenapa rumah ini sangat sepi, kemudian Dika memberi tahukan aku bahkan ibu Robby telah meninggal dan ayahnya mendapatkan pekerjaan di Jerman. Aku sangat terkejut mendengar jika ibu Robby meninggal. Tidak hanya itu, Dika terus menceritakan beberapa hal yang sudah Robby alami selama ini, mulai ibunya hingga sakitnya. Satu-satunya informanku di indonesia hanyalah Raya dan aku tidak tahu kenapa dia tidak memberi tahukan hal itu kepadaku. Sekarang aku merasa seperti seorang bajingan.
Sampai akhirnya Dika mendapatkan balasan pesan dari Robby yang menyatakan jika dia sekarang sedang berada di Singapore bersama kak Monic. Aku menyuru Dika agar tetap merahasiakan jika aku sudah mengejarnya ke Indonesia. Aku meminta agar Dika bersedia mengantarkan aku ke bandara karena aku ingin cepat-cepat bertemu Robby, tapi Dika menolak. Dika ingin aku untuk beristirahan dan menghilangkan rasa cemasku. Dia berjanji akan mengantarkanku besok pagi.
*** Semalaman aku nyaris tidak bisa tidur. Bayangan-bayangan kesedihan Robby selalu mengitari isi kepalaku. Pagi ini aku dengan cepat bersiap untuk mengejar penerbangan pagi ke singapore. Dika menawarkan dirinya untuk menemaniku sambil menunggu jadwal penerbangan, aku menolak tapi dia tetap memaksa. Dia terus bercerita semua tentang Robby, semua yang Dika tahu tentang Robby. Aku sempat bertanya kepada Dika tentang Tiwi, tentang hubungan mereka.
"Ha" pacaran" engga lah. Dia ngasi tahu gw kalau mereka itu ga pernah pacaran, mereka 'kan udah sahabatan dari kecil. Sekarang aja Tiwi udah ada pacar, ga mungkin Robby pacaran sama Tiwi, ada-ada aja lo" Ujar Dika
Kami terus bercerita hingga akhirnya keberangkatanku tiba.
Sepanjang perjalanan yang lumayan singkat, aku menghabiskan waktu dengan berpikir betapa idiotnya aku. Ternyata selama ini aku salah menilai Robby. Andai waktu itu aku tidak terlalu cemburuan, pasti semua ini tidak akan terjadi begitu cepat. Aku bahkan tidak bisa mengucapkan rasa turut berduka cita atas meninggalnya ibu Robby. Dan dengan singkatnya aku berhasil sampai di singapore. Dengan tergesagesa aku mencoba untuk mencari taksi dan memberikan alamat apartement milik kak Monic karena di situlah Robby berada.
Robby's POV Aku sudah menceritakan semuanya kepada kak Monic. Dia mencoba menanggapi semuanya secara positif. Dia yakin apa yang sudah aku lakukan itu benar, hanya saja mungkin takdir berkata lain. Siang ini kak Monic menyempatkan mengambil sedikit dari waktu kerjanya untuk menemaniku makan di luar. Kak Monic meminta aku untuk melupakan semua masa lalu dan coba berpikir tentang masa depan. Aku berjanji kepada kak Monic akan mencoba mencari kerja dalam waktu dekat dan aku akan mencoba untuk mengkesampingkan semua masalah percintaan dan lebih fokus pada karir.
Setelah selesai makan, kak Monic langsung kembali ke kantornya sementara aku harus berjalan kaki sendirian ke apartement.
"Fanny?" Ucapku pelan, aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Fanny tengah berdiri di depanku "Rob..." Dia berlari memelukku, tangisnya tidak lagi terbendung
"Lo kok disini?"
Fanny tidak membalas, dia masih tidak mau melepaskan pelukannya.
Aku juga tidak tega dengan mengabaikan pelukannya. Perlahan aku mulai memeluknya dengan erat "Keluarin semuanya, jangan perduliin orang, keluarin semuanya, Fan" Suaraku pelan berbisik di telinganya sambil memeluknya dengan erat
Butuh waktu lama untuk Fanny melepaskan pelukannya. Tangan kecilnya pelahan masuk ke dalam saku celana jeansnya dan menggapai sebuah amplop yang sangat aku kenal "Gw gak bakal sobek ini amplop" tangannya memberikan amplop kecil itu kepadaku "Gw mau jadi pacar lo, gw mau... Robby" Dia kembali memelukku seolah tak ingin aku pergi "Please jangan lepasin gw, gw bisa jelasin semuanya. Please jangan marah sama gw"
"Eng..enggak, gw gak marah" Ucapku "Lalu bagaimana dengan cowo yang pernah ada di laptop lo" yang pernah foto bareng keluarga lo dan kemudian hilang di foto terakhir?"
"Itu masa lalu gw, semua perjalanan gw di masa lalu gak sebanding sama lo, lo lebih berharga"
Siang itu adalah siang dimana Fanny menceritakan semuanya, membuat aku bisa mengerti. Cinta itu memang aneh, aku tidak mengerti kenapa cinta bisa membuat aku begini. Detik itu aku mencoba untuk memaafkan Fanny dan menerima dia apa adanya. Aku juga memperkenalkan dia kepada kak Monic secara langsung.
THE END -------------------------------------
Kepo Time- Sekarang Robby sedang melanjutkan karirnya ke jenjang yang lebih tinggi dan bekerja di Finland. Dika mendapatkan kepercayaan dari Robby untuk mengurus rumah Robby. Dika juga sudah lulus dari masa perkuliahan dan sudah mendapatkan pekerjaan kantoran bersama Han berkat bantuan ayah Robby. Ayah robby sudah tutup usia pada tahun 2015 karena serangan jantung. Setelah menikah dengan Fanny, Robby membangun sebuah rumah baru di Tanggerang. Raya terkadang sering berkunjung atau menginap di rumah Fanny atas permintaan Fanny sendiri. Tiwi sudah menikah dengan Maman pada tahun yang sama dengan pernikahan Robby dan Fanny. Adik kandung Fanny seringkali berkunjung ke indonesia setelah lulus dari sekolah. Violet mengaku lebih menyukai lelaki indonesia dibanding bule. Dia juga mengaku lebih mudah mendapatkan pria indonesia dan dia sangat suka digoda oleh pria Indonesia.
Pendekar Asmara Tangan Iblis 1 Siluman Ular Putih 20 Murka Penghuni Kubur Pedang Darah Bunga Iblis 3
^