Pencarian

The Jomblo Keren 2

Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur Bagian 2


"Terus terang gue curiga ada apa-apa antara lo dan Victo,"
jawab Brenda polos. Sialan, bikin gue salah tingkah saja.
"Sabar dong, Bren. Ternyata lo penasaran juga, ya?" sambar Victo.
"Iya, gue penasaran pengin lihat lo ditolak. Pingsan atau
nggak?" ujar Brenda lagi.
"Omong-omong soal pingsan, sebetulnya lo lihat apa sih
di gudang itu sampai Pinky pingsan?" Kini giliran Laras
menginterogasi gue. "Kata orang-orang, lo lihat setannya Rita lagi, ya?" Icha
ikut mendesak. "Ah, males ngomongin setan melulu. Ini kan hari libur,
senang-senang dong. Kalian malah demen ngomongin
horor," Victo lagi-lagi menyahut.
"Elo kok dari tadi ngoceh melulu, Vic" Yang kita tanya
kan Andrea?" semprot Brenda.
Percakapan itu bikin rasa rujak cingur yang lagi gue santap jadi hambar. Dicecar kayak begitu bikin gue emosi.
"Gue mau cerita, tapi jangan ada yang menyela dengan
komentar apa pun ya. Gimana?" kata gue tegas.
Brenda, Laras, dan Icha mengangguk-angguk. Victo menyeruput kuah nasi hainam bebeknya.
Setelah meneguk es teh, gue ceritakan semua kejadian
dengan Satya sampai ke saat Risa datang. Gue lihat mata
Brenda berkaca-kaca. Rujak cingur ini benar-benar hambar
sekarang. "Jadi, Bren, gue tegaskan lagi ya, Satya pengin bicara dengan arwah Rita melalui gue. Dia pengin bilang bahwa dia
menyesal dan merasa bersalah sudah suka lo, dia juga merasa bersikap nggak jantan dengan nggak bicara langsung ke
Rita. Dia sangat menyesal ngomong hal sepenting itu via
HP, yang akhirnya menurut dia bikin Rita mati ketabrak
karena nyeberang jalan nggak lihat kiri-kanan. Kenapa
selama ini gue berusaha menutupi" Karena gue tahu bakal
bikin lo sedih, Bren. Namun lo semua pada berprasangka
gue ada apa-apa sama Satya." Selesai sudah cerita gue. Lega
rasanya walau gue harus melihat Brenda mulai berlinangan
air mata. "Jadi selama ini Andrea curhat ke gue karena dia nggak
bisa cerita ke kalian. Pasti kalian juga nuduh gue yang
bukan-bukan, yang bikin hati gue terluka," tambah Victo
mendramatisasi, yang bikin Icha dan Laras salah tingkah.
"Sori deh, Vic, An. Kami betul-betul nggak mengira
ceritanya begitu. Gue kira Andrea ditembak Satya di
belakang kantin, terus digrebek Risa," kata Icha pelan.
"Makanya, pikiran lo ngeres melulu sih," timpal Victo
yang lagi di atas angin. "Bren, lo nggak apa-apa?" tanya Laras.
"Gue sedih banget. Kalian tahu kan, gue masih sayang
Satya. Tapi gue juga merasa bersalah banget sama Rita.
Coba, kalau gue nggak nekat memberi harapan ke Satya,
mungkin Rita masih hidup dan nggak gentayangan di sekolah," kata Brenda memelas.
"Gue heran deh sama lo dan Satya. Buat apa merasa bersalah sih" Kalau memang takdir Rita meninggal, ya udah.
Kalau Yang Di Atas udah memutuskan kita mati, lagi
rebahan di kamar pun kita mati. Gue bukan menyalahkan
Rita, tapi dia kan yang gencar banget ngejar-ngejar Satya.
Seharusnya dia siap kalau Satya nggak sepenuhnya sayang
sama dia. Lagian si Satya, jadi cowok nggak tegas amat,"
cerocos Victo yang malah bikin Brenda ingin menangis.
"Vic, udah deh. Diam dulu," pinta Laras dengan mata
agak mendelik. "Nggak, gue harus ngomong. Soalnya terlalu banyak pilihan cewek, dan faktanya memang banyak cewek yang senang
didekati Satya, makanya banyak yang terbuai. Sori ya, An,
tapi pasti lo tadinya berharap Satya pedekate ke lo, kan"
Dan lo nggak nyangka dia selama ini cuma pengin minta
lo bicara ke arwah Rita. Iya, kan?" tanya Victo tajam.
"Iya, jujur gue kege-eran. Udah deh, bikin suasana jadi
nggak enak aja, Vic. Bren, saran gue, mending elo lupain Satya
deh," kata gue sambil melihat Brenda yang sesenggukan.
"Iya, gue jadi nggak minat sama Satya lagi. Mending cowok yang biasa aja deh," timpal Icha.
"Maksud lo, cowok kayak gue yang biasa aja tapi unforgettable?" goda Victo.
"Cowok biasa yang nggak gila," tambah Icha sambil nyengir.
Gue dan Laras tertawa melihat Victo jadi manyun, tapi
Brenda tetap bolak-balik mengelap air mata.
MIMPI-MIMPI INDAH PROMNITE sudah semakin dekat dan semakin mendebarkan seperti halnya ujian nasional. Tidak ada yang mau dapat nilai buruk di ujian dan tidak ada yang ingin berpenampilan biasa saja di promnite. Apalagi hampir semua anak
berencana meng-upload foto-foto promnite di FB nantinya.
Sudah terbayang hebohnya.
Gue tidak ingin terlihat sebagai gadis dusun di pesta anak
ibu kota. Gue harus tampil oke. Sekarang kami dalam perjalanan ke rumah Bang Jontor. Dia menelepon Icha agar
kami datang untuk "tting gaun.
"Kayaknya kita datang ke promnite dengan status jomblo
forever nih," kata Icha.
"Yah, mau bagaimana lagi" Daripada memaksakan diri
datang dengan orang yang nggak kita sukai, mending nggak
usah," sambung gue. "Kasihan banget ya kita. Masa nggak ada satu pun dari
kita yang bisa menggaet ratusan cowok di sekolah?" tambah
Laras. Brenda diam saja. Jelas, topik tentang cowok pilihan
bikin dia enggan nimbrung.
"Yang penting kita senang deh. Anggap aja cowok-cowok
itu yang sial karena nggak jadian sama kita," kata gue pede.
"Ada-ada aja lo, An," ujar Icha tersenyum.
"Memang gue segitu jeleknya, ya?" tanya Laras, meminta
pendapat kami dengan wajah rada putus asa.
"Halah, jangan lebay deh, Ras. Gue juga pengin banget
punya cowok pas SMA, tapi kalau nggak bisa, ya udah.
Dunia nggak kiamat juga kok," sambar Icha tegas.
Icha memang benar. Bagaimanapun sulit dimungkiri, hati
kecil gue juga sedih, karena nggak kesampaian punya cowok
saat SMA. Yah, mau apa lagi"
*** Bang Jontor, walau rumahnya agak berantakan, ternyata
hasil jahitannya bagus. Dia punya tiga karyawan: satu untuk
menggunting pola, satu untuk menjahit, dan satu lagi untuk
mengobras dan menjahit manik-manik serta aksesori lainnya.
Bang Jontor sendiri sudah pasti bisa mengerjakan semuanya.
Namun sekarang dia hanya mengukur badan pelanggan serta
membuat pola. Walau wajah dan nama Bang Jontor kurang komersial,
tapi menurut cerita Icha, pelanggannya banyak. Makanya di
lantai banyak berserakan potongan kain sisa potongan serta
di lemari tersimpan tumpukan kain utuh yang belum tersentuh.
"Sebetulnya badan kalian bagus-bagus. Tidak kurus-kurus
amat seperti cacingan, tapi juga tidak gemuk. Pas lah," puji
Bang Jontor yang langsung bikin kami ge-er. "Terus cowokcowok kalian pakai jas?"
"Ah, kami datang berempat aja, Bang," jawab Icha sambil
melihat ke arah gue dan Brenda, sementara Laras sedang
"tting di kamar ganti.
"Cowok yang dulu datang dengan kalian mana?" tanya
Bang Jontor lagi. Rupanya dia teringat Victo. Ketengilan
Victo memang bikin orang susah lupa padanya.
"Oh, dia," jawab Icha. "Nggak ikut dan nggak pacaran
dengan salah satu dari kami kok, Bang," kata Icha lagi. Memang Icha yang paling banyak bicara dengan Bang Jontor
karena dia sudah lama jadi pelanggannya.
"Kompak juga kalian, warna gaun sama, dan kalau ada
yang tidak punya pacar semua juga tidak pacaran," ujar
Bang Jontor. Yah, si abang, salah banget deh lo. Kami nggak ada maksud untuk kompak nggak pacaran, kata gue membatin.
*** Dari "tting kami mampir ke Warung Babe Dullah. Tidak
ada yang memesan pecak ikan andalan warung ini. Kami
semua makan soto betawi. "Kalau ke warung ini, gue jadi ingat Victo," kata gue dengan agak berteriak karena si Babe lagi menyetel lagu Keong
Racun keras-keras. "Cieeehh!" semua bersorak.
"Eh, jangan pada pasang tampang gosip gitu dong," ujar
gue dengan wajah rada memerah. "Kalian semua sebetulnya
pengin ngakak kan kalau ingat Victo dendam setengah mati
pada pecak Bang Dullah?" sambung gue lagi sambil menyuap sepotong babat.
"Hahaha" iya betul, An. Kayaknya dia kapok banget
sampai bikin note segala di FB," timpal Brenda dengan
wajah geli. "Kalian boleh setuju boleh nggak. Menurut gue, kali ini
perjalanan kita kurang meriah karena nggak ada Victo," komentar Laras.
"Cieeehhhh!" kami menyoraki Laras yang langsung tersipu.
"Memang betul sih, Ras, kalau ada Victo suasana jadi heboh. Ada aja topik omongannya," tambah gue.
"Kalau gue, ada Victo malah berantem terus," Icha akhirnya ikut berkomentar.
"Mungkin itu tanda-tanda, Cha," sambung Brenda.
"Tanda-tanda apaan?" tanya Icha.
"Tanda-tanda dia suka elo. Bisa aja dia cari gara-gara melulu
dengan lo karena caper, cari perhatian." Brenda menganalisis
kegilaan Victo. "Betul, Cha. Kalau dia naksir lo beneran, gimana?" tanya
gue. Icha terlihat bingung. "Ah, kayaknya nggak mungkin deh.
Gue juga nggak mau. Bisa-bisa kami berantem melulu. Kan
pacaran maksudnya senang-senang, bukan mau perang."
"Victo suka sama lo kali, An," kata Laras sambil melihat
ke arah gue. "Ha" Kayaknya nggak deh," jawab gue cepat, walau gue
tidak yakin juga. "Bisa jadi. Kan selama lo ada masalah dengan" ngg"
dia dekat dengan lo!" tambah Icha. Icha tidak jadi menyebut nama, tapi kami tahu yang dimaksud adalah Satya.
"Oh, gara-gara itu" Coba deh, kalau waktu itu gue curhat
soal Mister S ke kalian, gue jelas nggak enak hati sama Brenda.
Apalagi kalian juga naksir Mister S!" papar gue. Gue terpaksa
menyebut nama Satya dengan kode. Brenda terlihat berusaha
tenang saat kode tersebut gue sebutkan.
"Tapi di luar itu, kayanya Victo paling perhatian sama
lo," tambah Laras ngotot.
"Jadi lo jealous nih?" goda gue.
Laras jadi salah tingkah.
"Jangan-jangan lo demen juga sama Victo, Ras?" Brenda
ikut mencecar Laras. "Ah, nggak. Siapa" Terus terang, gue penginnya cowok
yang lebih keren daripada Victo, tapi seandainya dia
nembak gue, kayaknya gue nggak nolak deh," ujar Laras
polos. Kami langsung menyoraki Laras. Mukanya betul-betul
memerah. "Gue nggak suka-suka amat, tapi juga nggak benci Victo.
Yah, daripada gue ngejomblo selama SMA, kan?" Laras
membela diri. "Jadi, Victo ban serep nih?" tanya gue.
"Pokoknya gue bisa berusaha menyukai dia. Kan cuma
mau pacaran, bukan buat married," celoteh Laras lagi.
"Tapi kalau Victo nembak yang lain, lo nggak marah,
kan?" giliran Icha menyelidiki Laras.
"Nggak, nggak marah," jawab Laras.
"Jangan-jangan dalam hati lo mengharapkan Pangeran
Victo nembak lo, Cha?" tanya Brenda yang dari tadi tidak
kami goda urusan Victo karena kami tahu dia masih berusaha keras melupakan Satya dan urusan arwah Rita.
"Gue" Sumpah, gue nolak!" janji Icha keras. Kami tertawa
ngakak melihat mimik wajahnya yang alergi Victo.
Saat makan siang di Warung Bang Dullah kami juga
ngobrol tentang mimpi-mimpi kuliah setelah lulus SMA.
Gue ingin sekali kuliah di jurusan antropologi. Sepertinya
seru, belajar tentang berbagai suku bangsa, mungkin gue
bisa jalan-jalan keliling Indonesia. Membayangkannya saja
sudah asyik sekali. Kemungkinan besar diperbolehkan
orangtua gue. Semoga begitu. Lihat nanti sajalah.
Icha kepingin sekali sekolah mode, tapi dia bimbang
setengah mati karena orangtuanya kurang setuju. Mereka
menyuruh Icha memilih bidang lain yang lebih "normal",
seperti periklanan, ekonomi, akuntansi, atau paling tidak
jurusan bahasa. "Sayang banget ya, Cha, kalau lo sampai dilarang. Padahal
lo kan bakat banget di dunia mode. Lo jago mendesain gaun,
bisa bikin aksesori lucu-lucu dan tas pesta," puji Brenda.
"Terus kalau lo ngotot pengin sekolah mode, masa ortu
lo nggak mengizinkan?" tanya gue. Brenda betul juga. Tas
pesta dan aksesori bikinan Icha, selain handmade juga unik,
jadi tidak pasaran. "Gue belum ngotot sih. Gue sendiri juga khawatir,
jangan-jangan pilihan gue salah, jangan-jangan gue kena
azab karena nggak nurut orangtua. Serbasalah," jawab Icha
pelan. "Masa kena azab" Maksud lo jadi anak durhaka gitu" Lo
kan bisa kuliah beneran di jurusan yang normal, belajar
modenya kursus aja," Laras memberi ide.
"Ah, minat gue cuma di mode, Ras. Bukan yang lain,"
kata Icha. Kalau ingat cerita Icha tadi rasanya kasihan. Tapi yang
lebih kasihan waktu gue dengar keinginan Brenda untuk
kuliah psikologi. Katanya, kalau dia jadi psikolog, selain
untuk membantu orang lain, dia juga ingin mengobati dirinya sendiri. Ih, dalem banget deh. Masa karena Satya saja
sampai segitunya. Mungkin bukan hanya karena cinta monyet yang kandas, layu sebelum berkembang, tapi karena
ada kejadian tabrakan sampai mati itu yang bikin dia merasa bersalah.
"Kalau gue pengin daftar jurusan bahasa asing. Pilihan gue
antara Jerman dan Prancis," tukas Laras dengan pedenya.
"Memang kenapa, Ras?" tanya Icha.
"Kayaknya asyik aja bisa menguasai bahasa asing selain
Inggris. Syukur-syukur gue bisa dapat cowok Jerman nantinya," jawab Laras centil.
"Yeee, berkhayalnya kejauhan tuh!" timpal gue.
"Dalam kehidupan nyata saat ini kisah percintaan gue apes,
masa saat berkhayal apes lagi" Lagian gue lihat-lihat, cowok
bule ternyata doyan juga sama cewek-cewek Indonesia yang
tampangnya standar kayak gue," cerocos Laras pede.
"Semoga sepuluh tahun lagi khayalan lo jadi kenyataan,"
Brenda mengamini. *** Kenapa ya, urusan percintaan kok sama memusingkannya
dengan pelajaran-pelajaran di sekolah" Mau punya cowok
satu saja susahnya setengah mati. Sungguh, gue ingin tahu
rasanya jadi Risa. Bayangkan, yang naksir dia bejibun banyaknya. Risa tinggal menyeleksi cowok yang layak baginya
dan boleh jadi pacarnya. Kalau nggak cocok, dia bisa putus
kapan saja. Toh sudah ada cowok lain yang siap menjadi
pacar selanjutnya. Risa sudah pasti ke promnite dengan Satya. Dan sepertinya sudah bisa ditebak, mereka bakal jadi raja dan ratu
promnite. Kadang gue pikir, enak banget jadi Risa. Nggak
usah capek-capek dandan, cowok-cowok pada datang sendiri.


Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mau pakai baju apa saja selalu kelihatan pantas dan enak
dilihat. Nah, karena sudah ketahuan orang yang akan menjadi
raja dan ratu promnite, lantas orang-orang seperti gue datang
hanya untuk menikmati acara. Gue nggak perlu tampil
habis-habisan demi meraih gelar tersebut.
Kalau dari cerita Brenda, Laras, dan Icha, biasanya sebagian besar acara promnite diisi adik-adik kelas. Malam itu
bakal ada pertunjukan lagu-lagu parodi, penampilan bandband sekolah, plus yang paling dinanti-nanti: acara dansa.
Masalahnya, kami mau dansa dengan siapa" Apa ada yang
mau dengan kami" Memang sih kami bisa dansa dengan
Victo. Seapes-apesnya kami bisa memaksa Victo untuk dansa
bergantian. Kami, khususnya gue, nggak ingin jadi kambing
congek, nggak mau hanya jadi penonton promnite. Gue
ingin tahu rasanya dansa dengan cowok.
Oh ya, hari ini gue belum cek FB. Yang pasti, gue tidak
bisa lihat Satya lagi karena sudah gue hapus dari daftar
teman FB gue. Selamat tinggal cowok jahat! Gue mengecek
akun Brenda. Mmm" Satya juga sudah tidak ada. Namanya hanya ada di akun Laras dan Icha.
Kalau mengingat-ingat percakapan antara gue dan Satya
di FB kemarin-kemarin itu, gue jadi kesal dan menyesal.
Ngapain juga gue tebar pesona ke dia" Cowok yang memakai kegantengannya buat maksud terselubung. Ihh"
Mending juga Victo, biar sinting namun tidak memanfaatkan orang lain. Victo malah terlihat tulus.
PERMINTAAN MENGEJUTKAN ANTIN memang surga buat murid-murid setelah mengikuti pelajaran yang kadang bikin suntuk. Hitung-hitung
sekalian mengisi otak dan tenaga buat pelajaran berikutnya.
Icha menuangkan sambal botol cukup banyak ke mangkuk baksonya. Walaupun kepedasan sampai keringatan, dia
terlihat menikmati jajanannya. "Biar semangat lagi," kata
Icha. "Hati-hati mencret, Cha," kata gue.
"Ah, dia sih perutnya udah kebal. Dikasih makan bekicot
mentah juga nggak bakalan kenapa-kenapa," sambung Laras.
"Yeee, lo kira gue pemain debus," balas Icha, berusaha
menjawab dengan wajah kepedasan.
"Oh iya, Bren, tadi ada salam dari Sari," kata gue pada
Brenda yang lagi asyik mengudap mi yaminnya.
"Sari" Sari siapa?" Brenda balik bertanya.
"Kayaknya anak kelas 10 atau 11 gitu. Nge-fans kali sama
lo," jawab gue asal. Biasa deh, gara-gara urusan hantu memang banyak yang jadi sok akrab dengan kami.
"Ketemu di mana?" tanya Brenda lagi.
"Di WC. Tadi sebelum gue ke sini," jawab gue lalu menggigit risoles.
"Ah, Sari siapa sih" Sok akrab banget," ucap Brenda tak
acuh. "Semoga nanti ulangan bahasa Jepang nggak susah,"
imbuh Laras nggak nyambung.
"Amiiiiinnn," sambar Icha langsung menyeruput habis
kuah baksonya. "Eh, gue mau ngomong sama lo." Risa tiba-tiba muncul dan
langsung mendatangi gue. Walau kaget setengah mati, gue
berusaha biasa saja. "Kalau mau ngomong, ngomong aja di sini. Emangnya
lo siapa main perintah-perintah orang?" semprot Icha yang
sedang panas karena kepedasan sambal bakso.
Pinky, Risa, dan Aida mendelik mendengar teguran Icha.
Ketiganya terus memandangi Icha, tapi Icha cuek saja.
Brenda pura-pura tidak tahu sambil terus makan mi yaminnya. Laras terlihat pucat.
"Iya, kalau mau ngomong di sini aja. Gue mau makan
gorengan," kata gue sambil menggigit bakwan.
"Gue mau ngomong sama kakak gue," Risa berusaha
memelankan suaranya sambil tetap memandang tajam ke
mata gue. Brenda langsung terbatuk, keselek mi.
Belum sempat gue menjawab, Icha langsung nyerocos,
"Lo kira Andrea paranormal" Dukun" Lo selama ini
musuhin dia, nggak pernah ngajak ngomong dia. Sekarang
lo minta bantuan, tapi cara bicara lo kayak majikan nyuruhnyuruh pembantu. Lo punya otak nggak sih?" Icha
ngamuk. "Udah, udah," kata gue sambil menyikut Laras supaya
menenangkan Icha. "Iya, bener. Lo nggak tahu diri amat sih" Andrea baru
masuk sekolah kita, langsung lo musuhin. Sekarang lo mau
ngomong sama arwah kakak lo, lo nyuruh-nyuruh dia.
Ngaca dong lo!" Laras malah ikutan menyemprot Risa yang
mukanya memucat. Brenda tetap menunduk sambil memegangi tangan Icha.
Mungkin Brenda takut Icha menampar Risa kayak di
sinetron-sinetron. Duh, murid-murid lain pada ikut nimbrung, menonton
keributan ini. Gue jadi bingung. Gue lihat Pinky dan Aida
sudah ingin membalas omongan Icha. Tapi Risa malah lari
ke luar kantin. "Eh, kalian punya perasaan nggak sih" Dia kan cuma
pengin bicara sama kakaknya, kok kalian malah marahin
dia?" kata Aida geram.
"Lo nggak usah ikut campur! Lo sendiri punya perasaan
nggak" Lo nggak dengar omongan gue tadi" Selama ini
kalian musuhin Andrea, tapi giliran ada maunya, kalian langsung nyuruh aja. Kalian pikir karena kalian cantik dan terkenal, terus bisa semaunya sendiri?" Giliran Laras yang
makin panas. "Pergi lo semua!" teriak Icha.
Aida dan Pinky dengan muka merah menahan malu karena dimarahi di depan umum langsung angkat kaki.
"Puas gue! Biar mereka tahu bahwa kita nggak bisa diinjak-injak seenaknya!" kata Icha berapi-api.
"Cha, udah, Cha. Udah bel tuh, nanti kita omongin lagi
deh," ujar gue menenangkan sambil berjalan ke luar kantin.
Wah, untung tadi tidak ada baku jotos di kantin. Sekelebatan gue lihat Satya menyaksikan dari luar kantin. Tidak
nimbrung, tidak menengahi. Huh, dasar cowok payah!
*** Usai pulang sekolah, kami nongkrong dulu di kantin. Kali
ini tidak jajan. "Kita harus bagaimana?" tanya Laras.
"Maksud lo, gue harus bagaimana?" kata gue.
"Terima aja! Tunjukkan bahwa lo hebat! Bikin mereka
malu karena udah nyuekin lo. Giliran butuh, baru deh pada
baik-baik," cerocos Icha masih emosi.
Gue merasa dari dulu Icha sudah memendam kekesalan
yang luar biasa pada Risa cs dan sekarang dapat kesempatan
meluapkan amarahnya melalui gue.
"Ah, kan Risa belum memohon. Kalau udah memohonmohon, baru deh lo turuti," sambung Laras.
"Menurut lo gimana, Bren" Bren, lo kok diem aja sejak
tadi di kantin" Lo takut ya sama mereka" Lo nggak ingat,
gara-gara kakaknya Risa lo jadi pisah sama Satya?" tegas
Icha. "Gue bukan takut. Gue nggak tahu apa yang harus gue
omongin. Seumur hidup gue merasa bersalah pada Rita,
Risa, dan keluarganya," jawab Brenda pelan.
"Ya ampun, Bren," kata gue. "Rita meninggal bukan
karena salah lo! Salah dia sendiri, nyeberang jalan nggak
nengok kiri-kanan, malah sambil teleponan."
"Gue tahu, An. Tapi tetap aja gue nggak bisa membuang
rasa bersalah gue. Seandainya gue nggak pacaran sama Satya,
seandainya Satya nggak bilang lebih suka sama gue" mungkin memang benar Rita masih hidup. Kalian ngerti nggak
sih?" ucap Brenda dengan suara bergetar kayak menahan
tangis. Kami jadi terdiam.
"Terus, sekarang bagaimana?" tanya Laras lagi.
"Kalau gue sih gue kabulkan, tapi suruh mereka minta maaf
dulu atas sikap mereka selama ini ke kita. Kita kan nggak salah
apa-apa, tapi dicuekin, dianggap angin," jawab Icha.
"Gue setuju, Cha. Kalau lo gimana, An" Lo siap berkomunikasi dengan arwah?" tanya Laras.
Gue hanya diam. Rasanya gue nggak punya jawaban apa
pun. *** Malas banget gue menghadapi semua ini. Pindah sekolah ke
Jakarta ternyata bukan jadi gembira, malah bikin pusing.
Gue pikir setelah bisa beradaptasi dengan sekolah baru,
semuanya akan berjalan lancar-lancar saja. Rupanya tambah
teman malah bisa bikin keributan ya. Ujung-ujungnya bikin
sakit kepala saja. Mau dicuekin, ternyata kepikiran terus.
Sekarang enaknya ngapain ya" Ogah banget gue mikirin
ulah geng keren yang berimbas ke gue. Mmm, mending gue
cek FB. AC di kamar gue pasang sedingin-dinginnya biar
hati gue jadi adem. Di inbox ada satu pesan. Deg, jantung gue langsung berdetak kencang. Dari Risa. Pesannya tidak pakai judul.
Halo, An, sori gue ganggu lo. Gue minta maaf atas sikap gue
selama ini ke lo dan teman-teman lo itu. Memang kesannya
gue kurang ajar banget, giliran ada maunya gue minta tolong
ke lo. Gue tahu kok, tindakan gue ini menyebalkan.
Syukur deh Risa menyadari betapa tidak enaknya jadi
gue. Anak baru di sekolah, dari daerah, eh kenalan juga tidak pernah, malah langsung dimusuhi. Dia sama sekali
tidak menjelaskan alasan dia bersikap begitu. Mungkin
orang populer memang seperti itu, terjangkit sindrom tinggi
hati" Pesan Risa superpanjang. Ini kelanjutannya:
Gue cuma minta tolong supaya gue bisa ngomong ke kakak
gue, Rita. Sekali aja. Walaupun kakak gue nantinya muncul
dalam wujud berdarah-darah dan wajahnya hancur seperti
yang lo lihat, gue siap. Gue sedih banget kakak gue pergi
begitu aja, dia teman main gue dari kecil. Baju dan dandanan
kami hampir selalu kembar. Tolongin gue, An. Tolong datang
ke rumah gue, lihat foto-foto dan kamar kakak gue. Siapa
tahu lo bisa bikin dia datang. Kamarnya belum berubah sama
sekali sejak dia meninggal. Kami sekeluarga suka duduk-duduk
di kamarnya, berharap dia datang, walau hanya bayangannya.
Plis, An. Gue terenyuh membaca pesan Risa. Terus gue harus bagaimana" Gue bukan paranormal. Gue juga nggak mungkin
main jelangkung. Tiba-tiba yang muncul di otakku adalah
Victo. Itu anak kan banyak ide, pikirannya juga rada realistis. Untung dia lagi online.
Andrea Vic, tolongin gue dong. Victo Tolongin apaan, An" Kayaknya gawat bener.
Yang tadi siang, ya" Kalian ribut sama Risa cs"
100 Radar antena gosip Victo memang tajam banget.
Andrea Gila ye. Berita cepat amat menyebar. Mending
kalau cuma ribut. Icha dan Laras ngamuk.
Gara-gara Risa minta tolong.
Victo Wah, seru abiiissss. Sayang gue tadi nggak di
kantin, ya! Minta tolong apaan tuh cewek
judes" Andrea Itu dia yang gue pusing. Risa minta tolong
bicara dengan kakaknya. Victo Haaa" Maksud lo Rita" Gila aja. Dia kira lo Ki
Joko Bodo apa" Andrea Lo nggak usah lebay deh. Terus gue jawab apa
dong" Victo Kalau lo punya indra keenam, siapa tahu lo
bisa. Masalahnya, lo mau nggak bantuin dia"
Andrea Kalau gue jawab nggak bisa, gimana" Dia
mohon-mohon ke gue, Vic. Victo Terserah elo sih, An. Tapi, kalau gue jadi lo,
gue mau bantu asalkan dia mau baikan sama
Brenda. Supaya Brenda lega. Jadi nggak ada
yang musuhan lagi. Itu syaratnya.
Andrea Kalau ternyata kakaknya nggak muncul,
gimana dong, Vic" Victo Ya udah. Kan lo bukan paranormal beneran.
Salah dia, nyuruh dan maksa lo. Kalau mau
arwah kakaknya pasti datang, ya sewa dukun
beneran. Andrea Kalau Risa nggak mau ketemu Brenda"
Victo Perjanjian batal. Kalau bisa sama Satya juga.
Biar clear semua masalah.
101 Andrea Ah, males banget deh kalau ada Satya. Gue
enek lihat mukanya. Victo Ciieeehhh. Dari cinta jadi benci. Wajah yang
menawan memang engkau miliki, tapi
kepribadianmu tak kusukai".
Andrea Heh, dasar cowok gila! Victo Terserah lo mau ledek gue apa, tapi terbukti
gue yang selalu ada di dekat kalian kan kalau
kalian lagi terlibat masalah" Inilah gue,
shoulder to cry on. Andrea Hahaha". Sakit jiwa lo, Vic. Tapi thanks, ya.
Victo memang paling juara untuk urusan begini. Konsultasi dengan dia memang menyenangkan walau sering kali
melantur ke mana-mana. Kayaknya gue harus segera mengambil keputusan soal permintaan Risa, walaupun hati gue
terasa berat. 102 RAHASIA TERBONGKAR RUMAH Risa dari luar cukup indah. Tapi auranya terasa
suram dan sepi. Tadi Icha, Brenda, Laras, dan Victo tidak
sengaja bersamaan main ke rumah gue. Sekalian saja
keempatnya gue ajak ke rumah Risa.
Seolah-olah karena gue yang "diundang" Risa, jadi gue
yang berkewajiban mencet bel pagar rumah cewek itu. Ting
tong! Ting tong! Ting tong"! Gue pencet belnya tiga kali.
Tidak lama muncul seorang perempuan.
"Cari siapa ya?" tanya perempuan paruh baya itu dari
balik pagar. "Risa, Bu. Ini kami teman-temannya," jawab gue.
"Oh, teman-teman Non Risa yang mau ngomong sama
almarhum Non Rita," ujar perempuan yang ternyata pembantu itu sambil membuka pintu pagar dan mempersilakan
kami masuk. Kami hanya tersenyum kecut mendengar ucapannya.
Di teras Risa menyambut kami. "Hai, ayo masuk," ajaknya berusaha ramah. Dia tetap terlihat cantik, walau hanya
103 pakai celana pendek dan kaus lengan buntung. Rambut panjangnya tergerai alami, seperti hanya disisir dengan jari.


Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suasana terasa kaku, apalagi ternyata di dalam ruang
tamunya sudah duduk manis "dayang-dayang" Risa. Siapa
lagi kalau bukan Aida dan Pinky" Kami tidak saling menyapa dengan mereka. Malah aku merasa suasana jadi agak
memanas. "Jadi, bagaimana cara manggilnya?" tanya Aida tanpa
basa-basi. "Heh, lo kira kita mau manggil bajaj" Emang segampang
itu apa?" semprot Icha.
"Udah deh, nggak usah pada berantem," sergah Victo
yang menjadi satu-satunya cowok di situ.
"Gue kira yang datang cewek semua, ternyata ada juga
cewek jadi-jadian," ujar Pinky jutek.
"Udah dong, diam dulu kenapa sih?" kata Risa dengan
mata melotot kepada "anak buahnya".
Victo terlihat berusaha menahan emosi. Mungkin kalau
sama-sama cowok, Pinky sudah ditonjoknya.
"Sebelumnya, gue mau minta maaf dulu pada lo semua
atas sikap gue, Aida, dan Pinky ke kalian selama ini. Maa"n
gue," Risa berkata agak terbata-bata.
Icha, Brenda, dan Laras tidak menyahut.
"Iya, gue maa"n. Besok-besok jangan diulang lagi," jawab
Victo sok tua. Mungkin maksudnya mau mencairkan
suasana dengan melucu, namun semua yang ada di ruangan
itu sudah kehilangan saraf humor.
"An, ini foto-foto kakak gue selama di SMA. Siapa tahu
lo perlu untuk melihat wajah aslinya," kata Risa sambil
104 menyerahkan sebuah album foto ke gue yang duduk diapit
Brenda dan Laras. Risa duduk di sebelah Icha untuk "memisahkan" Pinky
dan Aida dengan Icha dan gengku. Risa sudah berusaha
kalem, tapi Pinky dan Aida tetap memasang wajah nyolot,
padahal sesungguhnya tidak jelas masalah yang jadi pangkal
permusuhan. Jangan-jangan Pinky dan Aida hanya ingin
menunjukkan bahwa mereka "anak buah" yang baik"
Gue membuka album foto itu. Baru melihat satu foto,
gue langsung terperangah. Masalahnya, gue pernah melihat
wajah itu. Tetapi, Rita difoto dengan riasan dan memakai
kostum penari. Yah, semua juga tahu, kakak-beradik itu
bukan hanya penyanyi andal di paduan suara, mereka juga
pakar di kursus tari The Grey Dance Company.
Pembantu Risa datang membawakan minuman dan
camilan nastar, kacang mede goreng, dan lemper. Risa mempersilakan kami makan. Ternyata tidak seorang pun yang
mau menyentuh kudapan ringan itu. Mungkin sebetulnya
ngiler juga, tapi malu dan gengsi.
Dalam setiap foto yang ada di halaman-halaman awal
sosok Rita selalu memakai riasan. Foto-foto memperlihatkan
Rita pada saat persiapan pentas, ketika pentas, dan seusai
pentas. Beberapa orang di dalam foto itu gue kenal. Ada foto
seorang gadis berangkulan dengan Satya sambil tertawa
bahagia. Itu kan foto si Sari" Ngapain juga dipasang di sini"
Tapi, kok Sari mirip Rita ya" Atau mereka tiga bersaudara"
Kok nggak pernah ada yang cerita bahwa mereka tiga bersaudara" Atau foto ini disimpan karena ada Satya"
"Ehem," Victo berdeham agak keras.
105 Gue menoleh ke arah Victo.
"Ngapain lihat foto itu lama-lama?" tanya Victo. Gue
lihat Brenda menundukkan kepala. Pura-pura tak melihat
foto itu. "Sori ya, gue mau tanya. Foto Sari kok ada di sini?" tanya gue pada Risa.
"Siapa" Sari?" Risa malah mengernyitkan dahi.
"Heh, lo udah kemasukan Rita, ya?" tanya Aida sengit.
"Apaan sih" Gue kan cuma nanya kenapa ada foto Sari
di sini?" jawab gue ketus sambil rada mendelik ke Aida.
"Sari apaan" Itu yang namanya Rita. Kakaknya Risa.
Arwah yang mau lo panggil," jawab Aida cuek.
"Apaaa"! Ini Rita"! Kalian serius"!" tanya gue kaget. Rasanya jantung gue mau copot.
"Iya, ini kakak gue. Lo kenapa sih?" Risa memastikan
keadaan gue dengan wajah bingung.
Duh, tengkuk gue rasanya dingin, bulu kuduk merinding
semua. Tiba-tiba gue merasa mual, mau muntah, dan keringatan.
"Beneran ini Rita?" Gue memastikan ke arah Victo, Laras,
Icha, dan Brenda. Semua orang di ruangan itu menatap gue
dengan wajah bingung. "An, lo kenapa" Ada apa?" Icha bertanya dengan panik.
"Ya Tuhan, Andrea, siapa tadi lo bilang" Sari" Yang dulu lo
cerita ketemu sama lo di WC" Nama Rita kan Sarita"." Nada
suara Brenda bergetar sambil menatap ke arah gue dengan
wajah ngeri. Gue makin bingung dan pusing. Tiba-tiba
sekeliling gue rasanya gelap, banyak bintang-bintang"
*** 106 Gue mencium bau balsam yang sangat dekat dengan hidung
gue. Aduh, mau muntah rasanya. Gue di mana ya" Gue
lihat di sekeliling ada Victo, Laras, Icha, dan Brenda. Ngapain sih mereka pasang muka bingung gitu" Terus ngapain
juga gue rebahan begini" Gue berusaha duduk. Perlahanlahan rasanya nyawa dan kesadaran gue mulai pulih. Oh
iya, gue ingat, sekarang gue berada di rumah Risa.
"Gimana, An" Udah enakan?" tanya Laras dengan wajah
memelas. "Memang kenapa" Gue kenapa?" tanya gue bingung.
"Lo pingsan, An. Tadi kita lagi menduga Sari dan Rita
orang yang sama, terus lo langsung pingsan," jelas Icha.
Risa menyodorkan teh hangat kepadaku. Gue meminumnya pelan-pelan.
"Untung lo cuma pingsan. Kalau lo kesurupan, gue nggak
tahu harus bagaimana," ujar Victo sambil menelan ludah.
"An, jadi betul lo pernah ketemu kakak gue di WC?" tanya Risa dengan wajah duka.
"Iya," jawab gue pelan.
"Nggak berdarah-darah" Nggak hancur karena tabrakan?"
tanya Risa lagi. "Nggak, tapi memang rada pucat mukanya," jawab gue
lagi kayak diinterogasi. "Ya ampun, kasihan kakak gue sampai gentayangan gitu.
Terus yang lo lihat di lorong itu hancur banget, ya?" Risa
terus bertanya. Gue diam saja. "An, jawab, An, gue pengin tahu. Soalnya waktu dulu
kami keluarganya nggak boleh membuka petinya sama
107 sekali. Kata petugas kamar jenazah, lebih baik nggak usah
dilihat karena hancur banget. Kata tukang majalah di depan
sekolah, isi perutnya sampai keluar di jalan, tangannya
kepisah, kepalanya berdarah-darah...," Risa berkata sambil
menangis sesenggukan. Brenda menundukkan kepala dalam-dalam.
"Udah deh, Ris, jangan dibicarakan lagi," Victo berusaha
menenangkan Risa. Sungguh, gue nggak pernah menyangka sebegitu dalam
kesedihan yang ditanggung Risa dan keluarganya karena penasaran dengan keadaan jasad orang yang dicintainya. Gue
sampai nggak tahu lagi, mana yang lebih besar, rasa terkejut
gue atau rasa penyesalan gue"
Entah karena iba mendengar tangisan Risa atau karena
rasa bersalah di dalam diri gue, gue merasa harus membuat
pengakuan. Harus sekarang. Mumpung semua anggota gengku dan orang yang berkepentingan kumpul bersama.
"Sori semuanya, gue mau ngomong," kata gue pelan.
"Gue harap kalian nggak marah ke gue setelah mendengar
penjelasan gue." Gue berhenti sejenak untuk menarik napas.
"Gue terpaksa bilang melihat hantu karena gue takut
nggak punya teman di sekolah baru. Apalagi belum apa-apa
gue udah dimusuhi kalian bertiga," kataku sambil melihat
ke arah Risa, Aida, dan Pinky.
"An, ada apa sih?" tanya Icha bingung.
"Gue sebetulnya nggak pernah melihat hantu muka hancur. Penampakan di lorong sekolah dan gudang itu bohong,"
kata gue lemah. "Apa" Jadi lo selama ini bohong?" teriak Pinky emosi.
108 "An, jadi selama ini lo bohong ke kami semua?" tanya
Laras tak kalah syok. "Iya, sori banget gue terpaksa bohong," jawab gue sambil
menunduk. "Gila lo! Cari mati banget sih!" semprot Aida.
"Bikin malu aja, An," sambung Icha pelan.
Duh, gue sedih dan malu banget, namun gue merasa ini
saatnya harus jujur. "An, kalau lo bohong, kenapa lo bisa bilang ada setan di
tempat-tempat yang tepat" Dan setahu gue, lo nggak tahu
kan, ada kejadian tabrak lari di sekolah kalau nggak gue
kasih tau?" cecar Victo dengan wajah tidak percaya akan
omongan gue barusan. "Maksud lo?" tanya Aida.
"Ris, kelas kakak lo terakhir kali di ujung lorong itu,
kan?" tanya Victo kepada Risa yang gantian bingung.
"Iya, betul," jawab Risa.
"Kakak lo juga suka ngobrol berduaan sama Satya di
gudang belakang, kan?" tanya Victo lagi.
"Iya," jawab Risa singkat.
"Deskripsi luka hantu muka hancur yang dikarang Andrea
sama dengan luka-luka yang diceritakan abang tukang
majalah. Lagian, lo udah ketemu hantunya Rita, An," Victo
berusaha membela gue. "Vic, tetap aja gue bohong," ucap gue, tidak berusaha
membela diri. Capek juga berbohong terus selama berbulanbulan.
"Iya, bener. Bohong tetep aja bohong. Udah bikin gue
pingsan di gudang, lagi," kata Pinky superjutek, seolah-olah
gue sudah mempermalukan dia habis-habisan.
109 "Gue terus terang malu dan pengen marah dengan kebohongan Andrea. Tapi sikap kalian memang keterlaluan.
Jangankan sama anak baru kayak Andrea, sama kami aja
sikap kalian menyebalkan. Sok ngetop, sok kuasa." Laras
ikutan berusaha memperkecil kesalahan gue.
"Arwah kakak lo aja cuma mau berkomunikasi sama
Andrea. Lo jangan sok deh," sambung Victo.
"Sori ya, terdakwa kita di sini adalah si cenayang gadungan ini, bukan kami! Sesok-soknya kami, kami bukan tukang
ngibul." Aida tak mau kalah.
"Aduuhhh! Kalian bisa diam nggak sih!" teriak Risa.
Semua jadi kaget dan terdiam. "An, tentang Sari, itu bukan
kebohongan lo yang lain, kan?" Risa memastikan.
"Bukan." Gue menggeleng pelan. Malu. "Gue selalu ketemu dia di WC dan sekarang gue baru nyadar, kejadiannya
selalu kalau gue lagi sendirian di depan cermin wastafel. Lo
ingat nggak gue nyanyi lagu Hero waktu tes paduan suara"
Sari yang kasih saran tentang lagu itu ke gue di WC," papar
gue pelan. "Apa" Lo tahu nggak" Itu lagu kesukaan Rita. Cuma dia
yang menyanyikan lagu itu di paduan suara..." Risa mulai
menitikkan air mata. Aida dan Pinky mengangguk-angguk.
"Pantesan gue pernah salaman sama dia, di awal perkenalan, tangannya dingin. Gue pikir karena dia habis cuci
tangan, nggak tahunya...," ucapku mengingat-ingat dan merinding lagi.
"Apa lagi, An" Coba diingat-ingat"." Suara Risa terdengar memohon.
"Dia juga pernah titip salam ke Brenda, kan?" sela Laras.
110 Gue mengangguk. "Dia juga pernah tanya, apa betul gue
bertemu Satya di belakang kantin" Terus dia bilang,
"Kasihan Satya.?"
"Mungkin maksudnya supaya lo biarkan saja Satya dan
Brenda. Lo bertiga kan selalu menyalahkan Brenda atas kematian Rita berdasarkan isu-isu bahwa Brenda orang ketiga.
Lo tahu nggak sih, Satya cintanya memang sama Brenda?"
Victo lagi-lagi bercuap-cuap tanpa bisa direm. Suasana jadi
tegang dan serba nggak nyaman.
"Vic, udah," sergah Brenda.
"Maksud lo apa?" tanya Aida.
"Satya maunya sama Brenda. Dia lebih nyaman, lebih
bahagia sama Brenda. Tapi Rita ngejar-ngejar terus, maksamaksa terus. Satya nggak bisa tegas dan serbasalah. Satya
juga brengsek sih, nggak bisa tegas," cerocos Victo.
"Victo!" bentak Brenda. Mungkin dia takut urusan pembicaraan terakhir antara Satya dan Rita saat Rita menyeberang jalan diungkit juga.
"Apa bener yang lo bilang, Vic?" tanya Risa.
"Bener! Memang lo pikir kalau orang agak cakep kayak
Satya mesti pasangan dengan orang cantik kayak lo dan
kakak lo?" kata Victo ketus.
"Vic, udah deh, lo berisik banget," potong Laras.
Ternyata Victo diam juga disemprot Laras.
"Oh iya, kalau gue nggak salah ingat, Sari, eh Rita, pernah buru-buru pergi sambil bilang, sopirnya udah jemput
satu jam sebelum ekskul selesai. Dia juga bilang, kamar
tidurnya belum diberesin. Gue kira dia takut dimarahin
karena kamarnya masih berantakan makanya mau buru-buru
pulang dari sekolah." Gue berusaha mengingat-ingat lagi.
111 "Iya, bener, itu kakak gue. Mang Udin memang selalu
jemput satu jam sebelum kami pulang. Kamar tidur Rita juga
nggak pernah kami sentuh. Cuma disapu, dipel, tapi bukubuku terakhir yang dia baca nggak kami ubah, letak barangbarang yang ada di tempat tidur juga nggak kami ubah. Baju
tidurnya yang menggantung di tembok kamar juga nggak
dicuci. Seprai, sarung bantal, dan guling juga nggak pernah
dicuci. Jadi kalau gue dan orangtua gue kangen Rita, kami
mencium-cium piama dan bekas bantalnya," Risa menceritakan dengan sendu. Air matanya terus mengalir.
"Bukannya gue sok bijaksana nih. Mungkin Rita pengin
kamar tidurnya dirapikan. Mungkin dia pengin lo sekeluarga
nggak berlarut-larut menangisi dia," kata Victo pelan sambil
menatap Risa dengan iba. Memang situasinya bikin kami
merasa kasihan pada Risa. Gue betul-betul tidak menyangka,
ternyata penderitaan batin yang dia alami karena kakaknya
tewas tiba-tiba sangat dahsyat.
"Kali ini gue setuju sama elo, Vic," timpal Aida. "Ris,
mungkin Rita pengin kalian melanjutkan hidup. Siapa tahu
dia gentayangan karena kalian sekeluarga belum ikhlas
melepasnya." "Tumben saran lo bagus, nggak menjilat mulu," timpal
Victo nyinyir yang bikin Aida jadi mendelik.
"Sampai sekarang aja gue masih kepikiran kakak gue
melulu. Gue ikhlas, tapi gue kangen. Beruntung banget lo,
An, bisa ketemu dia. Gue, Nyokap, Bokap, semua berharap
bisa ketemu dia, tapi dia nggak pernah muncul," ujar Risa
diselingi tangis. Kami semua hanya bisa terdiam. Hening.
112 JOMBLO YANG KEREN ASANYA gue mau balik ke Blitar. Sekolah di Jakarta
belum sampai setahun saja sudah begini ruwetnya. Setelah
peristiwa di rumah Risa kemarin, gue jadi nggak enak hati.
Rasanya males banget ke sekolah. Malu. Bawaannya gue


Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengin nangis melulu. Gue nggak mau sampai bokap-nyokap tahu bahwa di
sekolah gue ngibul bisa lihat hantu, eh ternyata malah
kemudian gue ketemu hantu beneran. Masalahnya, yang
kena kibul gue murid-murid satu sekolahan. Sudah bagus
gue nggak dipanggil guru karena urusan perhantuan itu.
Duh, pusing kepala gue. Apa gue masih pantas berteman bareng Icha, Brenda, dan
Laras setelah gue membohongi mereka selama ini" Juga
dengan Victo" Walaupun cowok itu konyol dan nyinyir, dia
baik dan selalu menolong gue.
Kemarin gue pulang sendirian, sengaja memisahkan diri
dari mereka semua. Mereka juga tidak berusaha menahan
gue, malah membiarkan gue pulang naik bajaj. Victo hanya
tersenyum tipis. 113 Gue maklum kok, semua pasti kecewa sama gue karena
selama ini gue banyak berbohong. Sudah bagus gue nggak
ditampar atau dipermalukan di kelas. Sudah bagus mereka
tidak menyebarluaskan bahwa selama ini gue berbohong.
Gue buka Facebook. Ternyata keempat teman gue itu
tidak membuang gue dari daftar teman mereka. Malah ada
kejutan kecil. Risa, Aida, dan Pinky minta di-approve oleh
gue. Yang bikin gue sedih, tidak ada wall dari Brenda,
Laras, dan Icha. Bahkan Victo menulis di status FB-nya:
Jujur" Beratnya".
Komentar-komentar yang menanggapi status Victo tidak
terasa lucu lagi. Gue merasa disindir Victo. Sudahlah, gue
terima saja. Memang gue berbohong kok.
Dalam hati, gue kangen kehebohan dan omongan soal
gosip-gosip terbaru dengan Brenda, Icha, dan Laras. Juga
keusilan Victo. Bersahabat dengan mereka memang menyenangkan. Walau kami bukan orang-orang yang populer
di sekolah, kami tetap enjoy.
Gue sudah minta maaf dan kayaknya tidak bisa berbuat
lebih. Gue tidak mungkin dengan cueknya tetap gabung
dengan mereka. Gue tahu diri sajalah. Kalau pas jam
istirahat, gue sengaja kabur ke perpustakaan. Mereka juga
tidak mencari gue kok, berarti mereka kan tidak butuh gue.
Bisa jadi mereka masih kecewa, atau" marah"
*** "Ngapain lo ngajak kita ketemuan di sini?" tanya Brenda
pada Victo. Victo malah menatap Brenda, Laras, dan Icha bergantian.
114 "Memang kalian nggak kasihan pada Andrea?" tanya Victo
dengan tampang cemas. "Vic, ini bukan masalah kasihan atau bukan, dia udah
membohongi kita! Bohongnya urusan hantu, lagi! Nggak
tahu deh, gue marah atau nggak, rasanya kayak ada yang
mengganjal," jawab Icha kesal.
"Coba deh lo pikir jika lo ada di posisi Andrea. Dia anak
baru, dari daerah langsung masuk kelas dua belas di Jakarta.
Udah bagus dia nggak norak. Kalau dia bisa minta,
mungkin dia lebih suka tetap di sekolahnya dulu dan nggak
usah pindah ke Jakarta," papar Victo panjang lebar seperti
biasanya. "Lo naksir dia ya, Vic?" tanya Icha judes.
"Cha, apa hubungannya sih?" jawab Victo kesal.
"Ya ada hubungannya. Karena lo naksir makanya lo bela
dia habis-habisan," Icha menjawab galak. "Denger ya, Vic,
gue tuh teman sebangkunya. Kok dia tega amat membohongi gue?"
"Denger ya, Cha," Victo mengulang cara bicara Icha.
"Gue nggak naksir Andrea. Gue senang berteman dengan
dia. Anaknya asyik, nggak banyak tingkah," jawab Victo.
"Jadi, kandidat yang lo taksir tinggal kami bertiga nih?"
tanya Laras. "Kenapa jadi melantur begini sih?" timpal Brenda sewot.
"Kalian terintimidasi geng Risa, Aida, dan Pinky, kan"
Waktu mereka masih jutek, sok berkuasa, dan sok kecakepan
dulu itu. Plis dong, kalian jangan mikir begitu. Gue membayangkan betapa nggak enaknya jadi kambing congek seperti Andrea saat kalian bertiga cerita ini-itu. Kalau Andrea
115 nggak cerita hantu, mana mungkin kalian peduli sama dia"
Iya, kan" Kebetulan aja cerita yang dia karang cocok dengan
hantu Rita. Terserah kalian mau bilang apa, mending gue
berteman sama Andrea aja daripada sama kalian bertiga.
Mau sampai kapan sih kalian jual mahal kayak begini?" kata
Victo keras. "Heh, lo denger ya, Vic, lo bukan bagian dari geng ini.
Terserah lo mau berteman dengan dia atau nggak. Lo nggak
usah jadi pahlawan kesiangan deh," hardik Icha tak mau
kalah. "Kebangetan lo, Cha!" Victo ikutan marah dan meninggalkan mereka bertiga.
Icha jadi salah tingkah dimarahi Victo. Mereka hanya bisa
bengong ditinggal Victo. "Iya, Cha, lo lebay ah. Si Victo kan ngomong baik-baik,"
bela Laras. "Udah deh, gue jadi bingung. Kita jangan ikut berantem
juga. Gue pikir Victo ada benarnya. Mungkin kita harus
bicara baik-baik dan mengajak Andrea berteman lagi. Kalau
bukan kita yang berinisiatif, kayaknya dia nggak bakalan
memulai duluan. Dia udah kepalang malu," usul Brenda
yang dari tadi diam saja.
"Bren, karena kebohongan Andrea, lo jadi tahu kan Satya
masih sayang sama elo" Kebetulan atau bukan, lo senang,
kan?" tanya Laras. Brenda mengangguk. "Dan, Cha, lo selama ini juga menikmati kecipratan kepopuleran Andrea karena cerita hantunya itu, kan?" Laras
mencecar Icha. Yang ditanya diam saja sambil menunduk.
"Betul juga lo, Ras. Tadinya kita kan cuma cewek biasa,
116 nggak ada yang peduliin kita. Karena Andrea, murid-murid
yang lain jadi tahu kita, menyapa kita di lorong sekolah,
kesannya kita ngetop banget, ya," Brenda menambahkan
sambil senyum-senyum. "Kesalahan dia pada kita cuma soal hantu itu," tegas
Laras. "Ya udah deh, kita maafkan dan main lagi dengan
Andrea." "Ah, gue nggak mau!" ucap Icha keras.
Laras dan Brenda melongo.
*** "An, gue mau ngomong." Laras mendatangi gue di perpustakaan.
"Ada apa, Ras?" tanya gue heran. Tumben, kok dia mengajak bicara.
"Gaun lo buat promnite lo urus sendiri ya. Icha nggak
mau ngurusin lagi. Kan tinggal bayar aja," jelas Laras pelan.
Takut ditegur Pak Yusuf, salah satu penjaga perpustakaan
yang lagi berkeliling. "Oh, ya udah. Besok gue ke sana sendiri. Mmm, kalau
kalian keberatan gue pakai gaun kembaran warna dengan
kalian, gue bisa pakai yang lain kok," kata gue sambil menelan ludah. Ingin nangis rasanya.
"Begitu ya. Terserah lo deh. Nggg" besok lo mau ke
Bang Jontor jam berapa?" tanya Laras.
"Pagi aja. Kalau Sabtu pagi jalanan ke rumah Bang Jontor
kan lebih sepi. Memang kenapa?" gue balik bertanya.
"Soalnya kita juga mau ke sana, jadi biar nggak usah
117 barengan. Icha masih males ketemu lo," jawab Laras dengan
muka polos. "Iya, gue ngerti kok. Gue datang jam delapan. hanks ya,
udah mau ngomong sama gue," kata gue pelan sambil kembali
menatap buku. Gue pura-pura tidak peduli dengan Laras. Toh
dia juga tidak bicara apa-apa lagi dan langsung ngeloyor pergi.
Yah, air mata gue kok mengalir ke pipi" Buru-buru gue seka
pakai saputangan sebelum ada yang lihat.
*** "Lho, kamu kok datang sendirian?" tanya Bang Jontor.
"Iya, Bang. Saya ada acara keluarga nanti siang, jadi
buru-buru," jawab gue berbohong.
"Baik, saya ambilkan dulu gaunnya, ya. Yang namanya"
Andrea, ya?" "Iya, Bang." Belum sampai lima menit, Bang Jontor muncul lagi ke
ruang tamu dengan membawa sehelai gaun.
"Ini, kamu coba dulu di ruangan sana. Siapa tahu ada
yang masih belum sreg," kata Bang Jontor sambil menyerahkan gaun itu pada gue. Salah satu pegawainya sudah berdiri
dan hendak menemani gue ke ruangan buat ganti baju.
"Mmm" nggak usah dicoba deh, Mbak." Gue menggelengkan kepala ke arah pegawai perempuan itu. "Bang,
saya buru-buru. Ini juga udah bagus banget. Saya minta
bonnya aja, Bang," kata gue sambil berusaha tersenyum.
Meski agak tertegun, Bang Jontor tetap melayani dengan
ramah. Dia segera mengambil bon dan menulis rincian
harga gaun, mulai dari ongkos jahit hingga tambahan biaya
118 bordir dan pasang mote-mote. Karyawannya menyiapkan
wadah kotak untuk meletakkan gaun itu.
"Permisi!!! Bang Jontor?"
Deg! Gue kenal suara itu. Suara Icha. Buat apa dia datang
ke Bang Jontor pagi-pagi" Kan perjanjiannya gue yang
datang pagi, dia siangan. Bukan cuma Icha, tapi ada Laras
dan Brenda juga. Gue jadi salah tingkah. Rasanya kaku
banget. "Icha! Ayo masuk. Ini Andrea udah dari tadi di sini," ajak
Bang Jontor. "Eh iya, Bang," Icha mengiyakan tanpa melihat ke arah
gue, apalagi menyapa gue. Brenda juga menghindari bertatapan dengan gue.
Hanya Laras yang menyapa gue pelan. "Hai, An," katanya
sambil tersenyum tipis. Gue mesti ngapain nih" Bang Jontor masuk untuk mengambil gaun-gaun mereka. Suasana hening.
"Udah mau cabut, An?" tanya Laras.
"Iya, tinggal bayar aja kok," jawab gue singkat. Gue tidak
ada niat bicara dengan Icha dan Brenda. Mending diam aja
deh daripada gue disemprot. Lagian gue juga tahu diri kok,
gue salah dan maklum dicuekin.
"Gaunnya bagus, kan?" Laras berusaha tidak mengabaikan
gue. Gue menjawab dengan mengangguk saja.
"Ya jelas bagus. Itu kan rancangan gue! Udah bagus gue
nggak minta bayaran," potong Icha tajam tanpa melihat ke
arah gue. "Mmm, kalo lo keberatan gue pakai gaun rancangan lo,
119 gue bisa bayar atau pakai gaun lain kok," gue membalas
ucapan Icha. Icha langsung mendelik tajam ke arah gue. "Udah membohongi kami, eh sekarang mau sok nggak butuh gaun
rancangan gue, lagi. Kalau nggak ada kami, lo tuh udah
diabaikan satu kelas, tahu!" semprot Icha.
Brenda menyodok tangan Icha.
Gue mau nangis rasanya. Bang Jontor muncul dengan tiga gaun yang digantung
di hanger di kedua tangannya. "Eh, ada apa ini ributribut" Kalian berantem" Jahitan gaunnya jelek" Rebutan
cowok?" "Nggak ada apa-apa, Bang. Ini berapa ongkos jahitnya,
Bang" Saya mau bayar duluan," jawab gue cepat.
"Sebentar ya, Andrea." Bang Jontor menyerahkan ketiga
gaun di tangannya pada Brenda, Icha, dan Laras. Sambil
menyerahkan bon, Bang Jontor berucap, "Paling kalian
ribut-ribut urusan cowok. Cowok di dunia ini kan banyak,
buat apa berebutan?"
Huh, sok tahu, batin gue. Cepat dong bonnya!
"Sudah mau lulus SMA, apa kalian nggak sayang berantem segala" Nanti kalau kalian sudah berumur kayak
saya, pasti senang deh mengingat masa-masa SMA yang
lucu-lucu. Saya dulu sering diledek. Kalau pelajaran keterampilan tata busana, pasti dapat sembilan. Padahal saya
mengerjakan tugas menjahit biasa saja, nggak tahu kenapa,
hasilnya selalu rapi dan bagus. Kalau boleh milih, pada saat
SMA saya lebih ingin seperti anak-anak cowok lain, jago
olahraga atau jago di pelajaran. Bukan menjahit. Tetapi,
memang rezeki saya di bidang jahit. Mau lari ke bidang lain
120 akhirnya kembali ke jahit juga," cerita Bang Jontor lalu
menyerahkan bon pada gue.
"Curcol nih yee," Icha menggoda Bang Jontor. Iya, betul.
Curhat colongan. Saat gue mau bayar Bang Jontor, tiba-tiba Icha memegang
tangan gue. "Lo masih tahan kami musuhi, An?"
Gue diam saja, namun air mata rasanya sudah mau jebol.
Gue menggeleng, lalu berpelukan dengan Icha sambil menangis. Tak sengaja uang yang akan gue bayarkan pada Bang
Jontor terlepas dan berhamburan di lantai.
"Nangis sih nangis, tapi bayaran saya jangan dihamburhamburin di lantai dong," dumel Bang Jontor. Mungkin dia
kesal karena kisah masa SMA-nya kurang dapat tanggapan.
Kami jadi terbahak melihat Bang Jontor ngomel-ngomel.
"Maa"n gue ya, An. Gue marahnya berlebihan. Kelamaan," kata Icha sambil membelai pipi gue.
Lagi-lagi gue menggeleng. "Nggak apa-apa, Cha. Salah
gue juga bikin cerita aneh-aneh."
"Kalau bukan karena cerita karangan lo, mungkin temanteman se-SMA nggak kenal kami semua, An. Sori ya, gue
harus ikut skenario Icha supaya mendiamkan lo," tambah
Brenda sambil memeluk gue.
"Sebagai hukuman gitu, An. Sebetulnya gue juga kangen
buat ngobrol berempat. Nyela-nyela si Victo lagi." Laras
tertawa sambil merangkulku.
"Halah, lo ngomongin Victo melulu. Gue curiga lo naksir
dia," semprot Icha. Kami semua tertawa ngakak melihat Icha kumat lagi
galaknya. "Kalian aneh betul. Tadi musuhan, eh sekarang ketawa121
ketawa. Lagian, ngapain sih berantem segala" Akhirnya, siapa yang dapat cowoknya?" tanya Bang Jontor.
"Lagian, siapa yang rebutan cowok sih, Bang?" tukas
Laras. "Lho, terus masalah kalian apa?" Bang Jontor penasaran.
"Mau taaauu aja. Udah ah, kami mau coba gaun dulu,"
jawab Icha cuek. Walaupun terlihat kecewa karena tidak bisa ikut campur
dalam "masalah" kami, Bang Jontor tetap berusaha ceria
melayani kami. "Buat apa kalian berantem segala" Masa SMA kan asyik,"
ujar Bang Jontor sok bijaksana sambil mengobras jahitan,
entah milik siapa, sembari menunggu ketiga teman gue itu
mencoba baju yang sudah jadi.
"Berantem sedikit kan nggak apa-apa, Bang," jawab gue.
"Iya juga sih. Dulu waktu SMA saya juga pernah berantem karena diledek Jontor si Tukang Jahit. Namanya juga
anak muda, kan malu dibilang tukang jahit. Eh, ternyata
saya jadi tukang jahit sungguhan. Teman saya yang mengatangatai saya, sekarang cuma jadi tukang ojek. Mendingan


Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya, kan?" tanya Bang Jontor pada gue.
Gue cuma mengangguk sambil tersenyum.
"Curhat apaan, Bang, ke Andrea?" tanya Icha yang sudah
mencoba gaun. "Ah, saya nggak curhat, cuma berbagi pengalaman hidup," jawab Bang Jontor sok cuek.
"Apa, Bang" Penderitaan hidup?" goda Icha hingga Bang
Jontor terkekeh. *** 122 Gue perhatikan ada yang aneh pada nama kalian di FB.
Mencurigakan. Tulisan Victo ditujukan pada kami berempat di wall
masing-masing. Icha langsung mengomentari.
Kenapa, Vic" Keren, kan"
Ah nggak, biasa aja. Gue kira tadi nama klub penggemar
jamu. Namanya juga Victo, semakin diladeni, semakin aneh dan
kocak ocehannya. Memang, setelah dari Bang Jontor kami
menambahkan nama "The Joker" di belakang nama FB
kami. Gue, Andrea The Joker. Brendalita The Joker. Icha
The Joker. Larasati The Joker.
Nama The Joker kami dapatkan dari Bang Jontor. Atas
permintaannya, kami semua difoto di studio jahitnya yang
sederhana itu. Foto-foto kami dalam gaun rancangannya
di-upload ke pro"l FB Bang Jontor Tailor yang bermoto
"harga murah, kualitas mewah". Kami sih senang-senang
saja jadi model dadakan. Bang Jontor memang punya album
foto di FB yang menampilkan berbagai model pakaian,
gaun, kemeja, jas, dan celana hasil jahitannya.
Melihat penampilan kami mengenakan gaun buatannya
membuat Bang Jontor bangga. Ia bergumam, "Bodoh
banget cowok-cowok di sekolah kalian."
"Memangnya kenapa, Bang?" tanya Laras.
"Kalian cakep-cakep dan keren begini, masa nggak ada yang
naksir?" jawab Bang Jontor, membuat kami berpandangan.
123 "Sok tahu ah, Bang. Banyak kok yang naksir kami. Dasarnya aja kami suka pilih-pilih," balas Icha cuek.
Kami hanya tersenyum kecut.
"Ah, jadi jomblo juga nggak apa-apa kok. Kalian biar
jomblo, yang penting keren. Joker, Jomblo Keren," ucap
Bang Jontor seolah menghibur kami.
Nah, dari omongan Bang Jontor itulah kami jadi terinspirasi menambahkan kata "The Joker" di belakang nama FB
kami. Orisinal, kan" Juga bikin yang baca jadi penasaran.
Kayak si Victo sekarang. Dia langsung gatal, nggak tahan
untuk tidak menanyakannya kepada kami.
Brenda ikut nimbrung mengomentari tulisan Victo.
Joker itu Jomblo Keren, tahu! Daripada elo, udah jomblo,
nggak keren, lagi. Victo langsung membalas celaan Brenda.
Maksa banget!! Gue pernah tuh lihat tulisan JOMBLO KEREN
di stiker belakang angkot. Siapa bilang gue jomblo, Bren"
Apa kalian nggak ingat bahwa gue bakal nembak salah satu
dari kalian dan yang gue taksir pasti nggak nolak.
Gue mohon, jangan naksir gue, Vic.
Gue akhirnya ikut meramaikan suasana. Tega banget lo, An, setelah semua yang kita lalui selama
ini. Ih, dangdut banget sih lo, Vic. Apa nggak ada yang lebih
norak" Dangdut apaan" Keong Racun" Kok Laras nggak ada komentarnya, ya" Victo penasaran.
124 Gue sebenernya nggk hepi dibilang The Joker. Tapi
kenyataannya, gue memang jomblo. Gue mencoba
berlapang dada. Laras menuliskan komentarnya
dengan serius. Tanggung jawab lo, Vic. Si Laras jadi sedih tuh,
tambah gue. Terakhir Victo membalas: Hehehehe. Yang pasti, bersahabat dengan kalian bagaikan
pecak ikan mas. Pedas asam, benci rindu, tapi tak
terlupakan. Gue jadi senyum-senyum sendiri.
125 HARI YANG DITUNGGU APA-APAAN sih Victo" Pakai kirim pesan di inbox FB
segala. Masalahnya, kesan dan pesan dia tentang gue ajaib
banget. Andrea, usaha lo untuk menembus pergaulan ibu kota
memang orisinal dan spektakuler. Gue aja nggak akan berani
melakukan tipuan hantu gila kayak yang lo lakukan. Memang
susah hidup di ibu kota, An. Tampang cakep banyak yang
naksir, meskipun sering dianggap berotak goblok. Kalo jelek
sering dihina plus dicap tolol. Mending cakep nggak, jelek
juga nggak, jadi aura kepribadian kita malah terpancar.
Contohnya, yah... gue yang kepribadiannya memukau ini.
Gue seneng berteman dengan lo, An, tapi mungkinkah?"
Gue harap lo nggak menceritakan surat gue ini ke ketiga
sahabat lo karena gue takut kalian malah akan saling berantem lagi. Sampai ketemu di promnite.
Apa-apan sih Victo, nulis pesan seperti itu di FB gue"
Maksudnya apa" Apa dia naksir gue" Kenapa kalimatnya
126 sengaja dibuat tidak selesai" Memang sifat Victo suka
mancing-mancing, sok bikin penasaran.
Jangan-jangan Victo hanya mempermainkan gue. Gue
ingin sekali cerita ke Brenda, Laras, dan Icha tentang pesan
itu, namun gue takut diledek dan khawatir akan terjadi
permusuhan lagi. Lagi-lagi gara-gara gue.
Entah apa yang Victo rencanakan. Seandainya benar Victo
naksir gue, gue harus bagaimana" Ih, kesel gue, Victo bikin
promnite besok jadi aneh!
*** Waktu yang sama di rumah Icha.
Halo, Icha. Mungkin lo kaget menerima message dari gue ini.
Memang, kita hampir selalu berantem, nyaris nggak pernah
bersepakat dalam segala hal. Tapi, kenapa kita bisa berteman
dengan baik" Aneh, bukan" Kalau soal pertemanan kita bisa
kompak, apa nggak mungkin kalau antara gue dan lo?"
Tolong jangan cerita pada ketiga sahabat lo tentang surat ini.
Gue khawatir kalian akan berantem hebat lagi. Sampai
ketemu di promnite besok.
Kali ini giliran Icha yang geleng-geleng kepala. Maksudnya apa sih Victo mengirim tulisan ini" Mana ngegantung
gitu, lagi! Dalam hati Icha campur aduk, apa maksudnya
Victo suka sama dia" Jadi, selama ini Victo ngajak berantem
padahal suka" Omaigattt! Sinetron banget sih tu cowok! Icha sendiri
suka nggak" 127 Icha pengin cerita ke Laras, Andrea, dan Brenda, tapi
kemudian dia mikir. Kalau malah timbul masalah seperti
ancaman tuh cowok edan, kan gawat.
Sialan nih Victo! Icha geregetan untuk membalas pesannya. Tapi, gimana kalau Victo malah nembak Icha" Gimana
dong" Gimana cara Icha nolak Victo"
*** Masih di hari yang sama di kamar tidur Brenda"
Bren, apa lo masih suka Satya" Lalu setelah selama ini Satya
berpaling, apa lo nggak bisa membuka pintu hati lo untuk
cowok lain" Cowok seperti apa yang bisa menggantikan Satya
dari hati lo sampai-sampai lo down banget" Apakah gue
mungkin?" Tolong jangan cerita ke ketiga sahabat lo. Gue takut kalian
berantem lagi. Sampai ketemu di promnite besok malam.
Dangdut banget nih Victo! Ngapain sih dia nulis pesan
beginian ke Brenda" Nggak lucu! Apa kurang jelas bahwa
Brenda cinta mati sama Satya" Mmm... cinta mati" Victo betul
juga. Kan Brenda baru SMA, sama Satya niatnya hanya
pacaran, bukan mau married. Bukan cinta mati kali ya.
Terus, apa maksud Victo mengirim pesan itu" Cinta
terpendam pada Brenda" Ah, ngawur banget. Cari perkara
banget nih. Brenda berpikir berulang kali. Enakan cerita pada Andrea,
Icha, dan Laras, atau nggak"
*** 128 Setelah makan siang, kami semua kumpul di rumah
Brenda. Kalau diukur-ukur, rumah Brenda paling dekat
dengan lokasi promnite di Museum Tekstil, Tanah Abang.
Perasaan acara promnite baru akan berlangsung pukul
tujuh malam nanti, tapi heboh sudah terasa sejak kemarin
di sekolah. Belum lagi karena pesan Victo gila itu. Bikin
bingung dan serbasalah saja.
Kami berencana gantian mandi mulai pukul tiga sore.
Makeup bakal saling pinjam dan saling bantu sebisanya.
Kalau punya pasangan, rasanya kami harus dandan ke salon
deh biar bisa tampil maksimal. Berhubung jomblo begini,
ah sudahlah, dandan sendiri saja sudah cukup.
"Brenda, omong-omong, bokap lo nggak apa-apa antarjemput kita?" tanya Laras.
"Nggak apa-apa, lagi. Kata Bokap, kan nggak tiap hari.
Lagian Bokap juga senang kok kalian pada menginap, daripada kalian sampai rumah tengah malam," jawab Brenda.
Tiba-tiba semua hening. "Gue senang bisa bersahabat dengan kalian. Gue senang
bisa berangkat promnite bareng kalian," kata gue pelan.
"Walaupun tanpa cowok, iya, gue senang kita berempat
begini, nggak pake musuhan," Icha menimpali.
"Kok jadi melankolis begini?" Laras berucap sambil menyenggol bahu Brenda.
"Omong-omong soal melankolis, gue mau cerita nih. Gue
harap jangan ada yang marah," kata Brenda dengan wajah
aneh. "Apaan sih" Tentang Satya lagi?" tanya Icha.
"Bukan Satya. Tapi Victo," jawab Brenda sambil menggeleng.
129 "Ada apa dengan Victo?" Laras spontan bertanya. Kelihatan banget dia sangat ingin tahu.
"Dia kirim pesan ke FB gue. Katanya?" Brenda baru
bicara sedikit sudah keburu dipotong Icha.
"Ke gue juga!" kata Icha berapi-api. Kali ini Icha terlihat
emosi. "Mmm" ke gue juga," tambah gue.
"Apaaaa?"?" Icha dan Brenda teriak bersamaan, sementara
Laras hanya bengong. "Lho, kok gue nggak dikirimi?" tanya Laras lesu.
"Apaaaa"!" Sekarang gue, Icha, dan Brenda menjerit.
*** Dengan status jomblo saja kami heboh banget mempersiapkan penampilan ke promnite malam ini. Bagaimana
kalau punya cowok" Pasti dandan habis-habisan! Dan kalau
punya cowok, pasti cowoknya yang jemput. Ah, romantis
banget. Sialan, gue kok nggak punya cowok ya"
"Woiii, An! Kesambet lo"! Ngapain lo bengong-bengong
gitu?" Icha mengagetkan gue.
"Udah kelar dandannya?" tanya Brenda pada gue.
"Udah ah. Gue nggak mau terlalu menor. Emangnya gue
mau pemilihan putri-putrian?" Gue berusaha mengelak serta
menghindar dari sodoran lipstik yang dibawa Laras.
"Wah, ternyata kalau dandan, kita keren juga," Laras memuji-muji diri sendiri sambil memandang kami semua.
Kami tertawa bersama. "Ingat ya, kita nggak usah kecil hati. Walau tanpa cowok,
130 kita harus tampil ceria dan keren!" Icha menyemangati kami
sebelum berangkat. "Maksud lo, cowok-cowok itu yang nyesel karena nggak
naksir kita seperti kata Bang Jontor?" gue bertanya.
"Hahaha! Betul sekali!" Icha tertawa senang.
"Come on, he Joker, it"s time for party!!!" pekik Laras girang.
Jelas saja, sepertinya Laras yang bakalan paling bahagia.
*** Wow, Museum Tekstil kelihatan sangat keren. Dekorasinya
cool banget. Yang mendekor adik-adik kelas yang dikoordinir
OSIS. Bunga dan pita tampil meriah di mana-mana. Lampu
taman museum bagian dalam yang redup bikin suasana jadi
romantis. Kami memandang ke sekeliling. Selain melihat
suasana, juga mengamati cowok-cowok yang berseliweran.
"Eh, lihat tuh Risa. Ck ck ck" Cantik banget, ya," puji
Laras dengan wajah bengong.
Icha menyodok tangan Laras, takut Brenda jadi muram
karena urusan Satya. Memang Risa kayak artis. Paduan gaun
backless warna turquoise, dandanan yang pas, serta rambut
yang digelung ke atas, seakan memastikan dia pasti jadi ratu
promnite. Di kiri-kanan Risa ada Pinky dan Aida yang sama-sama
cantik, namun tetap berperilaku seperti dayang-dayang Risa.
Pinky tampil dengan gaun o" shoulder warna merah muda
dan Aida dengan gaun berleher rendah warna biru muda.
Biarpun cantik, toh ternyata mereka juga tidak punya
pasangan. Mana Satya ya" Walau masih malas berurusan dengan
131 Satya, dalam hati gue juga ingin melihat penampilannya.
Pasti Brenda berpikiran yang sama karena dari tadi matanya
jelalatan. Lho, lho, lho, kok bukan Satya yang mendatangi Risa"
"Ternyata kita lagi memperhatikan hal yang sama,"
celoteh Icha pelan. Iya, ternyata kami berempat sedang menonton Risa yang
sedang didatangi Oscar. Dua cowok anggota tim basket
lainnya, Virgo dan Greg, menghampiri Pinky dan Aida.
Lalu mereka semua berjalan beriringan. Betul-betul cewek
yang beruntung. "Gue baru tahu Risa udah nggak bareng Satya," kata Icha
dengan ekspresi penuh gosip.
"Gue juga baru tahu," timpal gue dan Laras bersamaan.
"Apa Oscar disuruh Satya menjemput Risa?" tanya gue.
Oscar adalah teman Satya di tim basket sekolah. Mereka
sekelas sejak kelas sepuluh.
"Bren, lo kok diem aja?" tanya Icha.
"Gue harus ngomong apa?" Brenda balik bertanya dengan
wajah kesal. "Kalau Risa bukan sama Satya, lantas Satya ke mana"
Sama siapa?" tanya Laras sambil celingukan.


Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan-jangan dia nggak datang karena udah malas berurusan sama cewek-cewek." Gue menduga begitu karena
memang kisah cinta Satya ruwet banget. Gue melirik
Brenda. Dari wajahnya terlukis dia jadi malas berada di
promnite. Mungkin dalam hati niatnya ngecengin Satya, eh
yang diharapkan malah nggak muncul.
Yang muncul adalah Victo dengan jas lengkap yang bikin
penampilannya jadi rada bagusan dan berkelas.
132 "Halo semua!" sapa Victo ramah.
Kami tidak membalas sapaannya.
"Maaf, di sini acara promnite atau klinik dokter spesialis
THT, ya?" Victo berusaha melucu. Tidak ada yang tersenyum, apalagi tertawa.
"Heh, puas lo udah bikin kami berantem lagi?" Icha menanggapi ulah Victo dengan suara pelan. Matanya melotot
tajam ke arah Victo. Gue lihat Victo kaget setengah mati
disemprot tiba-tiba. "Lo kira lo tuh siapa" Pakai acara kirim message ke kami
segala! Lo kira lo keren apa" Keterlaluan lo, Vic. Biar lo
diperebutkan, gitu"! Lo tahu nggak, ada yang nangis karena
dikira lo bakal nembak, eh nggak tahunya lo kirim message
ke yang lain juga. Kalo bercanda kira-kira dong!" bentak
Brenda. "Gue kecewa sama lo, Vic," gue juga menambahi dengan
suara pelan, takutnya disangka murid-murid yang lain ada
keributan. "Denger ya, gue nggak bermaksud begitu," ucap Victo
dengan wajah tidak enak dan salah tingkah. "Gue minta
maaf kalau gara-gara gue kalian jadi berantem. Kan gue
udah bilang, jangan kasih tahu yang lain karena gue takut
jadi pada berantem. Gue mau jelasin semuanya."
"Nggak perlu! Pergi sana lo! Kali ini lo udah kebangetan!"
usir Icha. "Nggak, gue nggak mau pergi. Kan gue juga mau lihat
acara promnite," tolak Victo sengit. "Kalian, cewek-cewek,
sensitif amat. Pantesan cowok-cowok jadi takut sama kalian!
Gue tuh nulis message kayak gitu buat lucu-lucuan, nggak
ada maksud apa-apa. Gue cuma pengin bikin kalian
133 bingung. Maksud gue cuma pengin nembak Lar?" Tibatiba Victo menghentikan ocehannya.
"Siapa lo bilang" Laras" Lo nggak tahu gue nyangka lo
naksir gue?" tanya gue dengan mata mendelik.
"Ya ampun, An, gue beneran minta maaf." Victo betulbetul kebingungan.
"Beneran lo mau nembak gue?" tanya Laras mupeng.
"Aduh, gimana ya, Ras" Gue jadi nggak enak nih." Victo
kebingungan dan kehilangan selera humor konyolnya setelah
kami omeli habis-habisan.
"An, beneran lo nyangka gue naksir lo?" Victo berusaha
meluruskan keruwetan akibat keisengannya.
Gue tertawa ngakak. Susahnya bersandiwara marah-marah.
Apalagi melihat wajah Victo yang jadi tolol dan kebingungan nggak jelas. Icha dan Brenda ikut terbahak.
"Rasain lo, Vic. Makanya jangan suka ngerjain orang,"
timpal Icha, masih belum bisa menghentikan tawanya.
"Jadi, diam-diam lo naksir Laras?" tembak Brenda yang
membuat wajah Laras dan Victo tersipu-sipu.
"Ciieeeee!" gue, Brenda, dan Icha bersorak.
"Ah, sialan. Gue mau ngerjain malah gue yang dikerjain,"
rutuk Victo. "Lagian, memangnya lo pikir Laras mau jadi cewek lo?"
tanya Brenda. "Ras, lo nggak kasihan sama gue" Jangan nolak gue, ya.
Lo mau kan jadi cewek gue?" Victo memandang Laras yang
dari tadi diam dan salah tingkah.
"Ya ampun, Vic, lo basa-basi banget sih. Apa nggak lihat
muka Laras udah mupeng gitu?" goda gue.
134 "Eh, kalian kira kalian udah menang" Tunggu aja pembalasan gue. Sebentar lagi," ujar Victo penuh misteri, lengkap dengan senyum setannya.
Sialan! Ini cowok merencanakan apa lagi sih"
*** Promnite dibuka dengan parodi lagu-lagu oleh paduan suara
sekolah. Syair macam-macam lagu dari beberapa grup band papan
atas diubah jadi kocak, lalu ditampilkan dengan tingkah
laku konyol, namun nada nyanyinya tetap bagus. Namanya
juga anak buah Kak Farman, mau nyanyi sambil jungkir
balik tetap saja tidak boleh ada nada yang sumbang. Di
pentas ini anggota paduan suara dari kelas 12 tidak ikut
bergabung, karena semua anak kelas 12 hanya boleh menikmati acara.
Lalu ada sambutan dari kepala sekolah, guru favorit, dan
murid teladan. Tampil juga band-band yang personelnya
adik-adik kelas. Pesta yang menyenangkan. Makanan prasmanannya juga berlimpah dan rasanya enak-enak.
Selain menikmati hiburan di pentas, banyak yang ngobrol
santai. Teman yang baru ketemu langsung cipika-cipiki serta
sibuk berfoto-foto supaya bisa langsung di-upload ke
Facebook. Ada juga yang sibuk memperbarui status FB dan
Twitter. Kayaknya semua bergembira.
Gue melirik Brenda. Kok sepertinya dia tidak terlalu
gembira" Mungkin dia berharap Satya melintas. Ini boroboro lewat, kelihatan batang hidungnya juga nggak.
135 Gue dan Icha memang harus memasrahkan diri jadi
jomblo. Nanti, siapa pun yang mengajak gue dansa, gue
bakal oke saja deh. Nggak usah pilah-pilih segala. Kasarannya, sudah bagus ada yang mengajak dansa.
"Inilah saat yang ditunggu-tunggu!" pekik Eva, anak kelas
sepuluh, yang jadi incaran cowok-cowok. Dia bertugas sebagai pembawa acara.
Gue melirik ke arah jam tangan. Pukul 22.15. Kalau
Satya tidak muncul, siapa yang bakal dipilih jadi raja malam
ini" Kenapa ya, ada perasaan aneh" Kalau sudah tahu yang
terpilih adalah Satya dan Risa sebagai raja dan ratu, buat
apa kami dandan capek-capek" Bahkan sejak acara ini disosialisasikan pun kami tahu merekalah yang akan menyandang gelar itu.
Tepat seperti perkiraan semua, Pak Yanu, guru seni musik
yang funky dan gondrong yang jadi idola murid-murid, naik
ke panggung dan menyebutkan nama yang terpilih sebagai
raja dan ratu. Satya dan Risa. Tidak ada kejutan. Semua
bertepuk tangan, termasuk Brenda.
Risa maju ke panggung dengan anggun. Dia memang
cantik dan idola cowok-cowok. Dan Satya, dia muncul dari
balik panggung dengan senyum dingin, diiringi tatapan
kagum cewek-cewek"khususnya adik-adik kelas yang jadi
pelaksana acara. Satya dan Risa hanya berjabat tangan dengan Pak Yanu
sambil tersenyum tipis. Tidak ada ciuman di pipi seperti di
"lm-"lm. Setelah mahkota karton berwarna emas dipasangkan Pak Yanu, pasangan raja dan ratu yang baru terpilih itu
diminta berdansa oleh Eva.
Satya mendekati Eva dan meminta mikrofon. "Malam ini,
136 kalau boleh, gue pengin berdansa dengan cewek yang gue
suka. Dan kayaknya Risa juga bisa berdansa dengan cowok
yang dekat dengan dia. Boleh, ya?" tanya Satya setengah
meminta supaya semua peserta promnite membolehkannya.
"Boleh, boleh!" semua menjawab.
"Sama aku, Kak Satya! Sama aku aja dansanya!" Cewekcewek kelas sepuluh dan sebelas bersorak dengan centil.
Satya hanya tersenyum. "Mana ya Brenda" Gue cari
Brenda," Satya bertanya sambil mencari Brenda dari atas
panggung. Gue, Icha, dan Brenda hanya bisa bengong. Laras memekik, "Satya! Brenda di sini!"
"Bren, ke panggung sana!" kata gue sambil menyodok
lengan Brenda. Satya melihat ke arah kami. Memang dia keren sekali
dan makin keren dalam balutan jas lengkap begitu. Persis
seperti bayangan gue akan penampilan pangeran lokal. Beruntung banget Brenda ditaksir cowok sekeren Satya. Satya
langsung turun dari panggung dan setengah berlari menuju
Brenda. "Bren, sana, Bren!" Icha segera mendorong Brenda yang
masih terbengong. Ada air mata yang mengalir di pipi
Brenda. Akhirnya Brenda dan Satya bisa bergandengan tangan
lagi. Sorak-sorai iseng seisi Museum Tekstil mengiringi langkah mereka.
Gue melihat ke arah panggung. Tak terlihat rasa cemburu
dan terluka di wajah Risa. Dia malah ikut tepuk tangan dan
tertawa senang. Jelas saja, dia sudah tidak butuh Satya.
137 Tak lama kemudian Oscar muncul dan membantu Risa
turun panggung untuk berdansa.
Gue kira dansa-dansa begini hanya bisa ditemui di "lm"lm ABG Barat, ternyata di Jakarta juga ada. Setelah kedua
pasangan "papan atas" itu berdansa, beberapa pasangan lain
pun berdansa. Lagu-lagu yang mengiringi dansa adalah lagu-lagu Barat
format duet seperti Endless Love, A Whole New World, Can"t
Take My Eyes O" of You. Lagu-lagu itu dinyanyikan secara
live oleh kolaborasi anak-anak band dan anggota paduan
suara. "Kita makan puding lagi aja yuk daripada nunggu diajak
dansa. Ketahuan kalau jomblo," ajak Icha dan langsung gue
setujui. Daripada bengong dan"
"Keren kan, kejutan gue buat Brenda?" Tiba-tiba Victo
muncul di hadapan kami. "Oh, itu ide lo, menyembunyikan Satya di belakang
panggung?" tanya Laras.
"Iya dong, Say. Hebat kan gue," jawab Victo dengan
wajah semringah penuh kemenangan. Panggilan "say" dari
kata "sayang" bikin wajah Laras merona. Kalau dicek,
mungkin jantungnya juga berdetak sangat kencang.
"Say, say, say, dasar norak lo, Vic!" semprot Icha.
"Ya ampun, Cha, kalau lo tetap pasang wajah galak gitu,
cowok-cowok bakal takut ngajak lo dansa," sahut Victo tak
mau kalah. Rupanya malam itu dia lagi bahagia berat, serasa
semua yang dia impikan jadi kenyataan.
"Ah, berisik lo. Udah deh, gue mau makan puding aja,"
kata Icha sambil menggamit lenganku.
Belum lagi kami berjalan, Laras pamit. "Bukannya gue
138 nggak setia kawan, tapi gue pengin dansa sama Victo." Dia
meminta izin pada kami, takut kami tersinggung ditinggal
dansa. Apalagi tadi Brenda sudah "diculik" Satya.
"Memang nasib kita, Cha, beneran jadi jomblo keren,"
gue menghibur diri. Icha tersenyum kecut. "Ternyata akhirnya nggak happy
ending." "Nggak happy ending gimana, Cha?"
"Jelas ini sad ending. Buktinya, kita nggak dapat cowok,
nggak ada yang ngajak dansa. Apes banget ya nasib kita,
An?" Icha meminta persetujuan gue.
"Mmm" gue nggak tahu ya, tadi gue lihat cewek-cewek
lain cuek aja ngajak cowok-cowok dansa. Ngajak duluan,"
jawab gue, berusaha tidak menyalahkan keadaan. Siapa tahu
juga para cowok itu nggak pede mengajak dansa duluan.
"Iya sih, tapi kesannya nggak laku banget kan kalo ngajak
dansa duluan. Lagian juga kalo pede ngajak dansa, kita mau
ngajak siapa?" tanya Icha lalu menenggak habis segelas es
sirop markisa. Ya ampun, Icha kayak orang stres saja.
"Ya udahlah, Cha, kalau nggak dansa juga nggak apa-apa,
kan" Gue udah senang kok bisa ada di sini, ikut acara ini.
Tadinya gue nggak ada bayangan tentang promnite. Yang
penting bisa cuci mata. Eh, tadi lo lihat Kak Farman, kan"
Ya ampun, keren banget ya?" cerocos gue dengan harapan
Icha nggak bete lagi. "Apa lo bilang?" tanya Icha memastikan pendengarannya.
Maklum, biarpun yang diputar lagu-lagu bernada romantis,
tetap saja ribut. "Kak Farman keren banget. Iya kan, Cha?" tanya gue lagi
dengan agak keras. Ngapain sih Icha mendelik-delik gitu"
139 Apa gara-gara kebanyakan minum sirop markisa, tenggorokannya jadi kecekik"
"Cha, lo kenapa" Sakit?"
Icha tetap tidak menjawab, wajahnya malah aneh. Ih,
nggak jelas banget deh nih anak.
"Andrea, kamu nggak ikut dansa?"
Gue menoleh ke arah datangnya suara di belakang gue.
Aduh, mati gue! "Eh, Kak Far"man. Nggak, Kak. Saya di sini saja," jawab
gue salah tingkah. Sudah bagus gue nggak pingsan. Aduh,
malu banget ketahuan memuja dia.
"Boleh dansa dengan saya?" tanya Kak Farman sambil
menyodorkan tangan kanannya pada gue.
"Sama saya, Kak?" Gue betul-betul tidak memercayai pendengaran gue sendiri. Icha saja sampai bengong dengan
mulut menganga. Muka gue berwarna apa ya" Merah muda
atau ungu" Kok perasaan gue mau meledak"
Gue buru-buru menerima gandengan tangan Kak Farman
sebelum dia berubah pikiran.
"Dingin banget tangan kamu, An," ujar Kak Farman
pelan. Gue hanya bisa menjawab dengan senyum malu-malu.
Gue tidak tahu mau jawab apa, apalagi dalam jarak sedekat
ini. Bagaimana kalau mulut gue jadi berbau akibat segala
macam makanan yang tadi gue lahap" Bisa-bisa Kak Farman
jadi il"l. Asal tahu saja ya, waktu mulai berdansa jantung gue bukan cuma berdetak kencang, tapi kayaknya sudah copot.
"Setelah lulus, mau ambil kuliah jurusan apa, An?" tanya
Kak Farman. 140 "Mmm" jurusan apa ya?" Gue betul-betul salah tingkah
nih. "Maunya antropologi, tapi nanti mau coba juga sastra
Inggris atau yang berbau-bau bahasa asing gitu deh, Kak,"
jawab gue selembut mungkin.
"Masih berminat ikut paduan suara?"
"Yah, kalau nanti di universitas saya ada paduan suaranya,
kayaknya saya mau ikutan."
"Kalau ikut audisi Paduan Suara Young Indonesian
Singers, mau?" Aduh, kenapa sih ini orang keren banget" Gue hanya bisa
berharap jangan pingsan dan jangan kesandung selagi berdansa.
"Ha" Itu kan paduan suara elite, Kak" Yang biasa konser di
TV dan ikut lomba di luar negeri, kan?" gue memastikan. Kak
Farman memang anggota senior kelompok paduan suara elite
itu. "Iya. Mau coba nggak audisinya?" tanya Kak Farman
lagi. "Apa saya bisa, ya?" Gue ragu banget mendengar tawaran
itu karena yang mau ikutan audisi pasti banyak dan suaranya keren-keren.
"Coba saja, ya. Nanti saya bantu berlatih. Suara kamu
bagus dan cocok untuk paduan suara. Sayang kalau kamu
hanya jadi penyanyi kamar mandi," bujuk Kak Farman,


Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum sambil memamerkan lesung pipinya.
"Bantu latihan gimana, Kak?"
"Dua atau tiga kali seminggu latihan dengan saya. Privat."
"Apa" Privat" Berdua saja gitu?" tanya gue dengan wajah
tolol. 141 "Iya. Murid-murid privat saya biasanya kursus dua jam.
Nanti saya lihat jadwal saya dulu. Saya cari hari dan waktu
yang kosong. Saya kabari kamu secepatnya. Nomor HP
kamu berapa?" Ya ampun, ini mimpi nggak sih" Kak Farman ada hati
dengan gue atau lagi mempromosikan kursus privatnya" Ah,
bodo amat. Yang penting gue dansa dengan dia!
Gue lihat banyak mata melirik dan berbisik-bisik ke arah
gue dan Kak Farman. Gue bertatapan dengan Brenda. Dia
langsung mengacungkan jempol ke arah gue. Laras dan
Victo melompat-lompat kegirangan. Icha juga cengar-cengir.
Biarin deh Risa jadi Ratu Promnite tahun ini, gue nggak
peduli. Yang penting gue dansa dengan Kak Farman dan
dapat nomor HP-nya!!! 142 SELALU KEREN SUDAH sampai di rumah pun perasaan gue masih tetap
meledak-ledak. Barangkali ini yang dibilang bahagia berlebihan. Kayak mimpi banget.
Semalam usai promnite dan menginap di rumah Brenda,
kami berempat tidak bisa tidur. Terus-terusan membicarakan
promnite yang luar biasa itu. Kami yang datang ke acara
bagai pecundang, ternyata malah jadi happy banget.
Sepanjang perjalanan ke rumah masing-masing, kami
masih saja sibuk tertawa dan bertukar cerita tentang acara
semalam. Papa Brenda yang menyopiri hanya bisa gelenggeleng kepala. Kayaknya beliau mau nimbrung, tapi bingung
mau ngomong apa dan kapan bisa masuk ikutan ngomong.
Masalahnya, kami ngomong nggak ada jedanya!
Sejak semalam kami teru saling berkomentar dan berkomunikasi dengan teman-teman di FB dan Twitter.
Pokoknya heboh. Nggak nyesel deh datang ke promnite!
Gue cek lagi status FB Laras.
Masih berbunga-bunga. 143 Sudah ada komentar dari Icha.
Bunga apa" Victo ikutan. Bunga cinta. Yang pasti bukan bunga teror dan penderitaan.
Itu semprotan Icha. Buset deh, dua orang ini perang melulu.
Gue cek status Laras sudah berganti dengan in a relationship with Victo Handsome dan sudah ada yang memberi komentar.
Apaan sih lo, Vic" Gue nggak nanya elo!
Tiwi Naya Purwono : Emmed : Victo Yoga Laras Brenda Ciiieee" selamat ya, semoga langgeng dan
tabah menghadapi cobaan. Cuit-cuit" Berkah untuk Victo, musibah buat
Laras. Ya Tuhan, kasihanilah Laras.
Cinta ditolak, dukun bertindak. Sebutin nama
dukun lo, Vic! Enak aja. Gue tuh cowok baik-baik, alim,
pendiam, suka menolong. Kalian kalau pada
naksir gue, ngaku! Idih! Ngapain gue naksir lo" Mendingan gue
jadian sama mpok-mpok tukang lauk mateng
langganan nyokap gue tuh!
Makan tuh mpok-mpok"
Ceileeee" dibelain. Gue senyum-senyum sendiri setiap kali membaca tulisantulisan tentang Victo.
Brenda juga sudah mengganti status single-nya dengan in
144 a relationship with Satya Alexander. Yang memberi komentar
buat Brenda tidak seganas untuk Victo dan Laras.
Akhirnya gue membuka FB Kak Farman. Selama ini dia
sudah ada di friends list gue, tapi kami yang ikutan paduan
suara tidak berani menulis macam-macam di wall-nya. Kami
sudah cukup senang di-approve jadi teman FB-nya. Setelah
dansa tadi malam, apakah gue dianggap Kak Farman lebih
istimewa dibanding yang lain"
Di halaman pro"l Kak Farman ada album foto baru.
Promnite : Lovely Night. Salah lihat nggak nih gue" Cover album foto itu adalah
foto gue dan Kak Farman yang dia ambil dengan kamera
sakunya saat dansa usai. Gubrak!!! Gue mau pingsan dan
jadi ge-er banget. Ya ampun, gue cakep juga, ya. Serasi juga
gue dengan Kak Farman. Gue harus ngapain dong" Nulis komentar di fotonya"
Aduh, kok kayaknya norak banget, ya. Sebaiknya gue diam
saja deh biar disangka nggak peduli. Beneran nggak sih Kak
Farman suka gue" Atau, dia hanya mempromosikan kursus
privat nyanyinya itu"
Masih dengan perasaan melayang karena senang, gue
beralih ke album foto promnite Victo. Cepat amat tuh bocah, semua foto sudah di-upload, di-tag, dan dikasih komentar. Ada foto kami berempat. Caption fotonya begini: Geng
he Joker (Jomblo Keren). Yang paling keren cewek gue. Lalu
ceweknya si Mas Paduan Suara, cewek Raja Promnite, dan
yang terakhir, no comment deh, serem gue.
145 Dasar Victo, cari perkara banget dengan Icha.
Vic, jangan nulis gitu dong, kan gue nggak enak sama "beliau".
Begitu komentarku. Maksudku, tidak enak dengan Kak
Farman. Kesannya ngaku-ngaku banget. Cuma dansa sebentar saja sudah ngaku jadi ceweknya.
Icha langsung melabrak Victo.
Dasar cowok lebay. Kalo lo bukan cowok sahabat gue, udah
gue hajar habis-habisan lo! Sakit jiwa lo.
Victo balas berkomentar: Maaf deh, maaf, Cha. Habis gue nggak tahu mau komentar
apa lagi. Soalnya kan kemarin semalaman lo neror-neror
gue dan Laras buat nyari cowok sebagai pasangan dansa lo.
Gue betul-betul geli baca komentar Victo.
Gue neror-neror lo" Yang janji mau datang ke promnite
pakai kostum ubur-ubur siapa" Elo, kan! Lo kira gue lupa"
Lo kira gue nggak akan bersungguh-sungguh menghukum
lo kalau lo ingkar janji" Udah bagus gue nggak musuhin
elo! Buset dah. Icha betul-betul ngamuk ke Victo. Tapi rasain
juga si Victo. Kan dia sendiri yang sok nantang-nantang
pakai kostum ubur-ubur. Memang malam itu ketika gue
dansa dengan Kak Farman, gue lihat Icha bicara dengan
Laras dan Victo. Menurut pengakuan Icha, memang dia
maksa-maksa Victo"dan Laras jadi ikutan"buat cari
cowok yang mau mengajak Icha dansa. Icha merasa berhak
memaksa karena Victo ingkar janji soal kostum ubur-ubur
itu. 146 Padahal selain urusan kostum ubur-ubur, gue yakin Icha
tidak terima dengan keadaannya, karena dia satu-satu
anggota geng kami yang tidak berdansa.
Victo pikir, daripada diteror dan tidak bisa menikmati
berduaan dengan Laras, mending dia langsung beraksi membujuk cowok-cowok yang belum dansa untuk mengajak
Icha. Akhirnya dapet deh cowok yang mau disuruh dansa
dengan Icha. Si Herman. Itu juga karena diiming-imingi
bakal dipinjami PSP-nya Victo seminggu penuh. Icha...
Icha. Katanya tidak peduli dengan status jomblo, ternyata
blingsatan juga karena tidak ada pasangan dansa.
Kalau dipikir-pikir, gue beruntung banget. Baru setahun
pindah ke Jakarta, bisa nambah teman saja sudah bagus
banget. Eh, ini malah dapat tiga sahabat. Plus Victo jadi
empat deh. Padahal gue sudah membohongi mereka dengan
kisah hantu rekayasa gue, yang ternyata hantunya beneran
muncul. Meski sempat dimusuhi, akhirnya mereka mau
memaafkan "kejahatan" gue.
Gue melihat-lihat foto yang lain. Ada foto Risa dan
Oscar. Ternyata kisah cewek cantik populer itu bukan hanya
di sinetron dan "lm, tapi sungguhan ada. Memang Risa dan
almarhum kakaknya, Rita, cantik banget. Gue lihat foto
nyokapnya waktu di rumahnya dulu, juga cantik banget.
Cowok-cowok selalu membicarakannya. Ibaratnya, Risa
tidak usah dandan sama sekali pun cowok-cowok tetap
antre. Beda dengan cewek biasa seperti geng gue. Rasanya
kami sudah berusaha dandan maksimal, namun belum pasti
ada cowok yang mau menoleh.
Sampai sekarang gue masih heran, gampang banget Risa
dapat cowok. Kelar dari Satya, eh langsung berpasangan de147
ngan Oscar. Buat dia, punya cowok sama mudahnya dengan
beli sabun di minimarket. Eh, tapi toh dia tidak bisa mendapatkan Satya.
Ternyata "keadilan" masih ada buat "cewek standar".
Buktinya, yang dipilih Satya adalah Brenda yang penampilannya biasa saja. Lihat nih foto Brenda dan Satya. Mesra banget. Bikin iri saja.
Wow, ternyata foto kami sendiri-sendiri juga sudah diupload Victo. Foto Laras dengan caption "Cinta Terpendam".
Foto Brenda diberi tulisan "Penakluk Cowok Populer alias
kesetiaan cinta". Gue langsung kasih komentar.
Ternyata lo ada bakat dangdut juga ya, Vic.
Foto Icha diberi caption: "Icha, he Indonesian"s Next
Greatest Designer". Mmm. Tumben komentarnya bagus, nggak cari masalah.
Foto gue" Tulisannya: "Disukai Pria Dewasa". Huh, gue
males mengomentari tulisan Victo. Kalau dikomentari, dia
malah menjadi-jadi. Kembali ke foto Icha. Icha menulis komentar:
Kayaknya gue nggak jadi kuliah deh. Gue mending sekolah
mode aja dan ambil kursus menjahit, daripada gue maksain
kuliah malah nggak fokus.
Semoga didukung bonyok ya, Cha. Gue seneng banget sama
gaun rancangan lo. Itu komentar gue. Yang ini balasan Icha. Thanks ya, An. Bu Tarnik dan Bu Tatiek minta no HP gue.
148 Kata mereka, kapan-kapan mereka mau minta dibuatkan
rancangan baju kondangan.
Wah, hebat! Guru bahasa Inggris dan ekonomi di sekolah
kami juga berminat dibuatkan rancangan baju oleh Icha.
Buru-buru gue menuliskan saran gue untuk menyemangati
Icha. Iya, lo bikin contoh-contoh sketsa gaun, terus bikin album
di FB lo aja. Siapa tahu anak-anak di sekolah pada mau
pesan. Victo menambahkan komentar.
Syukur deh, gue kira lo mau buka resto pecak. Kalo lo bikin
resto pecak, gue mau demo di depannya.
Vic, ganti ah caption foto yang gue sendirian! Nggak mutu
banget sih. Gue kesal. Emang kenapa, An" Buktinya, dari ratusan cewek yang ada,
yang dipilih Kak Farman cuma elo!
Victo membalas, seperti dugaan gue, tidak mau kalah.
Ganti ah! Gue tetap menuntut. Tapi Victo berkeras. Ganti apaan" Gadis yang sukses menaklukkan ibu kota"
Yuhuuuu, The Jokers (Victo, lo nggak termasuk ya), cek
inbox, ya! Brenda ikutan nimbrung. Eh, ada apa sih" Cerita dong! Laras, ntar cerita ke gue, ya!
Victo jadi penasaran. 149 Sorry, dear. Ini urusan cewek.
Mantap juga jawaban Laras.
Syukurin lo, Vic! Icha puas banget meledek Victo.
Ada apa sih" Rengek Victo. *** Di inbox, Brenda memberitahu kami agar mengecek status
Kak Farman. Gue buru-buru melihat statusnya. Karena tadi
"ribut" dengan Victo, gue jadi tidak kepikiran melihat FB
yang lain. Tulisan di status Kak Farman.
AJ, NUNGGU KAMU LULUS KULIAH"
Ha" AJ" Itu kan singkatan nama gue: Andrea Juwita" Atau
ada AJ-AJ lain" HP gue bunyi. Ada SMS masuk.
AJ, kamu sudah baca status saya"
150 TENTANG PENULIS Esi Lahur lahir di Jakarta, 3 Oktober 1977. Saat kuliah di
jurusan Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia, penulis
terpilih sebagai pemenang pertama Sayembara Mengarang
Cerpen Femina Tahun 2000 (Pengantinku) dan pemenang
penghargaan Sayembara Mengarang Cerpen Femina 2001
(Kartu Pos). Sejak saat itu sejumlah cerpen dimuat di Femina,
Chic, dan Bobo. Ketika menjadi wartawan olahraga di tabloid BOLA (20032006) Esi menghasilkan novel Pendosa (GPU, 2004). Setelah
itu terbit pula teenlit pertama, hree Angels Plus (GPU, 2007)
dan From Sumatra with Love (GPU, 2010). he Joker (Jomblo
Keren) adalah teenlit ketiganya.
151 Dari Blitar, Andrea harus pindah sekolah ke Jakarta. Tapi
semua anak di kelas Andrea kayaknya udah punya geng.
Untung ada Icha, Brenda, dan Laras yang mengajak Andrea
berteman. Plus Victo, cowok konyol yang entah kenapa
suka gabung dengan keempat cewek itu.
Tapi belum apa-apa Andrea sudah dimusuhi geng cewek
populer: Risa, Aida, dan Pinky. Soalnya, Satya"cowok
paling cool di sekolah"pedekate pada Andrea.
Semua itu masih ditambah dengan munculnya hantu
Rita, kakak Risa, di sekolah, yang hanya bisa dilihat Andrea.
Rita meninggal karena tabrakan di depan sekolah dan
"perselingkuhan" Satya-lah yang dituding sebagai salah


Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu penyebab. Tapi gara-gara bisa lihat hantu, tiba-tiba
Andrea jadi cewek ngetop!
Andrea dan teman-teman jadi heboh saat tahun ajaran
berakhir. Mereka mempersiapkan kostum buat promnite.
Tapi, siapa sih cowok yang akan jadi pasangan mereka"
Soalnya Andrea cs kan masih jomblo.
Andrea dan teman-teman mau banget jadi pasangan
Satya, tapi ternyata Satya hanya suka pada seorang cewek.
Siapa ya" Lalu Victo juga pedekate pada siapa sih"
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramedia.com Ketika Angin Bertiup 1 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Kecil 1
^