Pencarian

The Jomblo Keren 1

Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur Bagian 1


JADI ANAK BARU GUE harus percaya diri masuk sekolah baru ini. Ya, gue.
Gue harus membiasakan diri bicara "lo" dan "gue". Bukan
"aku" dan "kamu", apalagi berbahasa Jawa. Gue harus mengucapkan selamat tinggal pada bahasa Jawa. Gue geli mendengar diri gue berlatih bicara sendirian di depan cermin
dalam kamar tidur menggunakan kata-kata "lo" dan "gue".
Kayaknya nggak pantes deh. Sok anak gaul banget.
Gue terpaksa tinggal di Jakarta karena orangtua gue
pindah dinas ke sini. Gue dari kecil sudah tiga kali pindah
kota, biasanya hanya di kota-kota kecil di Jawa. Terakhir
gue tinggal di Blitar dan bonyok (duh, kayaknya nggak
pantes banget gue bilang orangtua gue dengan bonyok alias
bokap nyokap) nggak mau meninggalkan gue dan dua adik
gue di Blitar. Semua diboyong pindah sekolah.
Beruntung SMA Jakarta Jaya mau menerima siswa pindahan untuk kelas 12. Itu juga karena rapor gue bagus dan
nggak pernah bolos sekolah. Walau berat meninggalkan
teman-teman di Blitar, gue nggak punya pilihan lain dan
nggak mau bikin bonyok pusing dengan tinggal terpisah.
Gue harus jadi tough girl.
Semangat tinggal semangat. Begitu semakin mendekati
sekolah baru, hati gue semakin ciut. Seakan menangkap perasaan gue, Nyokap kasih semangat, "Ayo, Andrea, masuk.
Apa perlu Mama temani?"
"Ha" Nggak usah, Ma." Gue langsung mencium Mama dan
ngeloyor ke luar mobil. Malu-maluin banget kalau Mama
sampai mengantar masuk kelas segala.
Omong-omong, kelas gue yang mana ya" Mau nanya, nanya
ke siapa" Gue jadi celingukan.
"Heh, lo anak baru, ya" Sana, kumpul di lapangan basket!" bentak seorang cowok ke gue.
"Iya, saya anak baru, tapi kelas 12. Pindahan," jawab gue
cepat. Harus dijelaskan nih. Enak aja bentak-bentak. Ntar
gue digabung dengan anak baru kelas 10, lagi.
"Pindahan?" Nada suara cowok itu sudah nggak membentak.
"Iya. Kelas Bahasa di mana ya?" tanya gue.
"Oh" itu dari taman belok kanan. Di lantai dua," jawab
cowok tadi jadi agak ramah.
"Terima kasih, ya. Permisi," kata gue langsung kabur.
Ya ampun, kampungan banget sih gue. Padahal kan gue
sudah belajar, kalau bilang terima kasih jadi thanks. Sudah
gitu, ngapain juga gue pakai bilang permisi segala, kayak di
kampung aja. Perasaan di sinetron-sinetron ABG yang biasa
gue lihat, nggak ada adegan pamit resmi-resmian begitu. Ya
sudahlah, gue kan anak baru. Paling nggak, gue sudah
menunjukkan bahwa gue nggak belagu.
*** Gue milih duduk di tengah. Nggak ada yang memilih
duduk di sebelah gue. Tadi sudah ada tiga cewek ngajak
kenalan. Habis itu gue diam saja. Cuma melihat kiri-kanan
tanpa menyapa siapa pun. Gue nggak tahu cara mengajak
omong duluan. Apalagi kayaknya mereka sudah punya geng
sendiri-sendiri. Mereka bercanda tentang topik yang gue
nggak ngerti. Untung bel masuk sekolah berbunyi. Tidak
berapa lama seorang bapak guru masuk. Masih cukup
muda. "Selamat pagi," sapa guru itu.
"Pagi, Pak," kami menjawab.
Setelah basa-basi, guru yang bernama Pak Banu itu memperkenalkan diri sebagai wali kelas. Anak-anak bersoraksorai. Kayaknya dia guru favorit, makanya anak-anak sekelas
pada kegirangan. "Sebelum mencatat jadwal pelajaran, saya mau memperkenalkan dulu teman baru kalian. Andrea Putri. Silakan
maju, Andrea. Betul kan panggilannya Andrea?" kata Pak
Banu sambil melihat ke arah gue.
Gue berjalan ke depan kelas, berusaha terlihat percaya
diri. Terdengar suara beberapa cowok bersiul dan batukbatuk.
"Betul, Pak. Panggilan saya Andrea," jawab gue.
"Maafkan teman-temanmu ya, Andrea, karena ketika
kamu maju mereka jadi kena batuk berdahak," gurau Pak
Banu yang disambut tawa satu kelas. "Kamu tidak usah perkenalan panjang lebar, nanti pada jam istirahat saja. Yang
bikin penasaran cowok-cowok di sini adalah kamu sudah
punya pacar belum?" tembak Pak Banu yang membuat
anak-anak sekelas makin riuh.
Duh, rasanya muka gue jadi merah muda. Tidak heran
Pak Banu jadi guru kesukaan anak-anak karena sepertinya
dia hobi bercanda dan bisa jadi teman bagi muridmuridnya.
"Belum, Pak," jawab gue pelan.
"Oh, bagus sekali kalau begitu. Saya pesan, kalau bisa
tidak usah pacaran dengan cowok-cowok dari kelas ini
karena mereka hanya ada dua tipe: kuper dan playboy." Pak
Banu benar-benar membuat kelas jadi riuh dan penuh tawa.
Gue hanya tersenyum-senyum. Lalu Pak Banu mempersilakan gue duduk lagi.
"Kamu duduk sendiri, Andrea?" tanya Pak Banu lagi.
Gue mengangguk. "Icha, kamu pindah duduk di sebelah
Andrea. Tolong dibantu teman barumu ini."
Icha segera memboyong tasnya dan pindah ke sebelah
gue. Kelihatannya dia cukup baik. Dia tersenyum ke arah
gue sambil memasukkan tas ke laci di bawah meja. Kayaknya hari pertama ini berjalan mulus. Semoga selanjutnya
begitu terus. GUE LIHAT HANTU GUE jelas nggak mungkin pilih ekskul yang berbau
olahraga, apalagi cheerleaders. Gue nggak berbakat di kedua
bidang tersebut. Sisanya tinggal ekskul tari, paduan suara,
seni lukis, masak, dan band. Pilihan paling aman jelas paduan suara. Icha juga anggota paduan suara. Dia mengajak
gue ikut ekskul itu. Anggota ekskul Paduan Suara Jawara di sekolah ini dibagi
dua kelompok: inti dan biasa. Yang inti sudah pasti suaranya keren-keren, bisa manggung dan ikut aneka lomba di
luar sekolah. Yang biasa alias yang anggotanya nggak terlalu
berbakat hanya latihan di sekolah. Paling top tampil di
acara sekolah atau upacara bendera.
"Waktu di Blitar lo ikut ekskul apa?" tanya Icha.
"Paduan suara juga," jawab gue singkat.
"Wah, kalau begitu siapa tahu lo bisa masuk tim inti."
"Susah nggak tesnya?" Gue berusaha menggali informasi
karena Icha anggota tim inti.
"Nggak. Cuma dilihat perkembangan saat latihan sebulan,
terus ada tes nyanyi satu lagu wajib dari Kak Farman dan
satu lagu pilihan. Kak Farman pelatih paduan suara kita.
Orangnya cakep deh!" jelas Icha semangat.
*** Di luar urusan sekolah dan ekskul yang memang penting
dan ternyata bisa gue atasi, gue malah dipusingkan urusan
pergaulan. Masalahnya, teman-teman sekelas gue sudah
mantap bergabung dengan gengnya masing-masing. Lalu
gimana nasib gue yang merupakan pendatang baru" Gue
bingung mau masuk geng yang mana karena sama sekali
tidak mengenal satu orang pun.
Selama ini gue ikut Icha saja. Dia segeng dengan Laras
dan Brenda. Kedua cewek ini oke-oke saja dengan kehadiran
gue dalam gengnya. Masalahnya justru pada gue. Sewaktu
mereka lagi ngobrol dan bercanda di kantin, gue sering
nggak ngerti omongan yang mereka bicarakan dan tertawakan. Gue benar-benar serasa makhluk asing, nggak bisa
nyambung dengan pembicaraan mereka. Duh, gue sudah
ketinggalan jauh dalam pertemanan ini.
Akibatnya, gue merasa kayak kambing congek. Keberadaan gue di antara mereka sekadar mendengarkan tanpa
mampu ikutan berceloteh. Kalaupun ikut ketawa, ya hanya
pura-pura. Kadang gue nggak tahu letak lucunya, tapi daripada disangka blo"on, mending ikutan ketawa deh.
Sempat juga sih terpikir untuk pindah ke geng lain.
Tapi, kok sepertinya lebih susah ya" Di kelas ini ada banyak
geng dengan ciri khas masing-masing yang menonjol.
Misalnya nih, ada geng anak-anak yang kerjaannya belajar
melulu. Waktu istirahat dipakai buat membahas pelajaran.
Bahkan di sela-sela pergantian jam pelajaran pun mereka
bergabung buat omongin pelajaran yang baru aja didapatkan. Ih, gue sih nggak minat gabung dengan mereka.
Emangnya mau jadi kutu buku, apa"
Kebalikannya, ada geng anak-anak keren kayak Risa, Aida,
dan Pinky. Jelas gue nggak mungkin masuk geng keren ini,
wong anak-anak lain yang lebih lama kenal mereka saja kadang
dicuekin kok. Sebaiknya gue berusaha menyesuaikan diri dengan Icha,
Laras, dan Brenda saja daripada susah-susah memikirkan
gabung dengan geng lain. Selain mereka sudah menerima
gue, kami berempat juga punya satu kesamaan: sama-sama
masih jomblo. *** Ekskul paduan suara, dua minggu kemudian"
Gue menemani Laras balik ke kelas untuk mengambil map
partitur yang ketinggalan di laci meja. Karena sudah bubaran sekolah, suasana lorong menuju kelas sudah mulai sepi.
Apalagi di lantai dua, tempat kelas gue berada.
Dua meter sebelum masuk kelas, gue berteriak kencang,
"Aaahh"!" dan langsung jatuh terduduk di lantai walau
nggak sampai pingsan. "Andrea, lo kenapa"!" tanya Laras panik sambil buru-buru
menyangga punggung gue dengan kedua tangan. Dia takut
gue terjengkang. Beberapa anak dari kelas lain yang masih ada berlari
mengerumuni gue. "Ada apa" Ada apa?" tanya mereka terdengar amat bingung.
"Nggak, gue nggak apa-apa. Tapi, di sana ada" Aduh,
cepat yuk kita turun aja," kata gue terbata-bata sambil berusaha bangkit.
"Ada apaan sih, An?"
"Ada setan mukanya penuh darah di ujung lorong," jawab
gue lemah. "Apaaaa?"?" Anak-anak di sekitar gue berteriak sambil melihat ujung lorong yang kosong melompong. Yang tampak
hanya tembok putih. "Yang bener lo, An?" tegas Laras yang mulai ketakutan.
Anak-anak di sekitar gue juga terlihat waswas.
"Sekarang udah nggak ada. Gue mau turun aja, Ras. Gue
takut"," kata gue dengan wajah memohon.
"Ayo! Udah deh, map gue besok pagi aja," kata Laras
sambil menggandeng tanganku erat-erat. Kami bergegas
meninggalkan lantai dua. Semua anak yang ada di sana
segera berlari kecil menuruni tangga dengan perasaan
campur aduk. *** Di ruang latihan paduan suara semua mata serentak berpaling memandang kami dengan keheranan karena kami
masuk berlari-lari dengan mimik muka ketakutan. Ekskul
belum dimulai. Masih ada waktu sepuluh menit lagi, walaupun Kak Farman sudah memainkan piano dan membagikan
partitur. "Kenapa sih lo berdua?" tanya Brenda.
"Map lo mana, Ras?" Icha ikutan bertanya dengan wajah
heran. "Ada setan! Tanya si Andrea nih," jawab Laras berbisikbisik.
"Setan apaan?" tanya Brenda bergidik.
"Aduh, gue nggak sanggup cerita deh," jawab gue dengan
wajah hampa. Tanpa babibu, Laras menceritakan kejadian barusan.
Teman-teman yang lain mendengarkan dengan mata melotot
tanpa bersuara. "Serem amat! Memang mukanya kayak apa, An" Hancur
gitu?" tanya Icha ngeri. Gue hanya mengangguk-angguk.
"Setannya cewek, ya?" tanya Brenda ketakutan, tapi penasaran.
"Iya, kayak habis ditabrak"," jawab gue pelan.
"Apa" Ditabrak?" Icha, Laras, dan Brenda berteriak pelan
hampir bersamaan. Aida yang lewat di dekat kami langsung mendelik. Nggak
tahu deh dia dengar ceritanya atau tidak. Dia langsung bergabung dan berbisik-bisik dengan Risa dan Pinky.
HANTU BIKIN POPULER HALO, An," sapa Tiara.
"Oh, halo," gue balas menyapanya. Tumben ada anak IPA
yang negur gue. "Andrea!" Arni berteriak memanggil gue.
"Apa, Ar?" tanya gue.
"Nggak, biar barengan masuk kelas aja," jawab Arni enteng.
Aneh bener. Biasanya dia cuek-cuek saja, kok pagi ini jadi
ramah amat" "Beneran lo lihat hantu, An?" tanya Arni saat kami berjalan menuju kelas.
"Memang kenapa" Lo mau lihat juga?" jawab gue cepat.
"Ih, sori deh. Mending gue nonton di bioskop aja daripada ngeliat yang kayak gitu. Hebat, ternyata elo punya
indra keenam," puji Arni.
Sepanjang perjalanan menuju kelas banyak murid kelas
lain yang melemparkan senyum atau berbisik-bisik sambil
melihat ke arah gue dan Arni. Arni balas tersenyum dengan
pede, padahal perasaan yang diajak mereka senyum tuh gue
deh. "Ah, biasa aja, lagi," jawab gue menanggapi pujian Arni.
"Biasanya orang yang punya indra keenam bisa meramal
nasib atau melihat masa depan. Lo bisa nggak?" tanya Arni
penuh rasa ingin tahu. "Nggak," jawab gue singkat.
"Kalau di kelas kita, ada setannya nggak?" cecar Arni.
Dasar biang gosip, bilang saja dia mau menyebarkan
kabar aneh ke mana-mana. "Kalau gue kasih tahu, bisa
heboh dong teman sekelas."
"Berarti di kelas kita ada dong?"?" tanya Arni panik.
"Gue nggak bilang begitu," jawab gue cengengesan sambil
menuju tempat duduk gue. "Nah, ini dia selebriti kita datang," sapa Brenda.
"Ha" Selebriti apaan, Bren?" Gue mengernyitkan dahi.
"Masa lo nggak tahu" Kan satu sekolahan ngomongin
elo," jawab Laras. "Memang gue kenapa?" tanya gue berlagak bodoh, padahal sudah tahu jawabannya.
"Gara-gara lo melihat hantu berdarah itu!" seru Brenda
cepat. "Yah" masa karena itu gue jadi ngetop" Nggak keren
amat ya?" Mmm, mulut gue ngomong begitu, tapi dalam
hati gue merasa senang karena jadi terkenal di sekolah.
*** Karena hantu, gue jadi populer. Karena hantu juga, banyak
yang negur gue. Di kantin gue nggak jadi orang blo"on lagi.
Mendadak banyak yang ingin duduk atau berdekatan de19
ngan gue. Biasanya gue pesan bakso ngantre, eh tiba-tiba
ada yang menyuruh gue duluan.
"Duluan aja, An," kata anak di depan gue yang gue
nggak tahu namanya. "Eh, thanks, ya. Tahu aja gue udah lapar," kata gue basabasi.
Ada juga yang tahu-tahu menegur saat gue lagi asyik
bercerita dengan Brenda, Icha, dan Laras. "Andrea, ya?"
"Iya," jawab gue sambil menggigit bakwan.
"Sori, gue ganggu nih. Mau tanya, di WC ada hantunya
nggak sih" Soalnya temen gue bilang, pas dia ke WC
sendirian suka merinding," cerocos anak cewek yang gue
nggak tahu kelasnya itu. "Siapa yang merinding, Ni?" tanya Laras.


Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Si Aileen," jawab cewek itu.
Kayaknya dia anak kelas 12 juga, tapi nama lengkapnya
gue nggak tahu. Sok akrab saja ah. "Ni, kayaknya di semua
tempat ada yang "nungguin" deh. Bedanya, ada yang jail,
ada yang nggak. Yah, kalau temen lo merinding, lain kali
ke WC-nya ramai-ramai aja. Biar tenang," saran gue.
"Kalau lagi pelajaran kan serem mau ke WC sendirian.
Masa kalau kebelet ditahan sampai jam istirahat?" tambah
Icha yang jadi ikutan bingung.
"Yah" gimana dong" Gue juga nggak tahu. Kan gue
nggak bisa ngusir setan. Atau" coba pakai diapers aja.
Hahahaha?" Gue berusaha melucu. Ternyata semua pada
tertawa juga, padahal kayaknya lelucon gue garing deh.
*** Berkah dari insiden hantu adalah kepopuleran. Gue jadi
anak baru yang tiba-tiba jadi sorotan. Kayaknya ketenaran
gue mengalahkan geng Risa, Aida, dan Pinky. Mereka sama
sekali nggak bersahabat dengan gue, bahkan belum pernah
mengajak berkomunikasi. Makanya sampai sekarang gue
tidak berani berkenalan atau menyapa mereka. Mereka seperti tidak menganggap gue ada. Apakah mereka merasa
tersaingi dan tidak senang bila ada orang lain yang jadi
buah bibir" Ah, biar aja deh. Yang penting gue juga punya
geng sendiri. Toh Icha, Laras, dan Brenda kayaknya menikmati menjadi "teman-teman Andrea yang bisa lihat
setan". Yang paling tidak enak dari soal hantu itu adalah tersiarnya kabar bahwa banyak anak cewek yang tidak mau ke
WC sendirian. Ada juga yang bilang, kalau mau ke lantai
dua"apalagi menuju lorong"mesti bergerombol karena
hantunya bisa muncul tiba-tiba.
"Sebelum ini lo pernah lihat hantu nggak" Di sekolah lo
yang dulu" Atau waktu lo masih kecil?" tanya Icha saat
kami lagi nongkrong di depan kelas sambil ngecengin
cowok-cowok yang lagi main basket.
"Kayaknya nggak. Tapi nggak tahu ya kalau gue nggak
ngeh. Melihat seakan itu orang biasa, eh ternyata hantu,"
jawab gue. "Kayak serial Ghost Whisperer, gitu?" Brenda nimbrung.
Gue mengangguk. "Kalau bakat lo diasah, jangan-jangan lo bisa ngetop!"
tambah Laras. "Ah, ada-ada aja lo!" potong Icha.
"Nggak tahu bagaimana, tiba-tiba aja gue melihat. Me21
mang sejak dulu gue sering merasa ada yang ngeliatin gue,
tapi pas gue nengok nggak ada siapa-siapa," kata gue lagi.
"Aduh, gue jadi merinding nih. Terus" tempat mana
lagi di sekolah kita yang banyak setannya?" tanya Laras penasaran. Icha dan Brenda menanti jawaban gue. Gue memandang sekeliling lapangan basket dan mata gue tertumbuk pada gudang sekolah.
"Itu, di gudang," jawab gue.
"Duh, gue jadi ikutan merinding. Untung gue nggak pernah masuk ke sana," kata Icha cepat.
Menurut Icha, yang masuk ke gudang biasanya anak-anak
cowok. Paling sering saat pelajaran olahraga untuk mengambil bola basket, net dan bola voli, tiang lompat jauh,
matras, dan lainnya. "Di gudang" Pantes aja ya. Emang tempatnya gelap dan
kumuh banget gitu," imbuh Brenda cepat.
"Kalau ada yang bilang setannya bisa terbang dan menghilang di tembok, beneran nggak sih?" tiba-tiba ada suara
datang dari samping. Kami serentak menoleh ke arah datangnya suara.
"Elo ikut-ikutan aja, Vic!" semprot Laras.
"Lha, kan gue juga mau tahu. Daripada gue dengar kabar
burung, mending gue tanya langsung pada saksi mata," kata
Victo dengan muka iseng. "Nggak bener!" jawab gue tegas. Gue senang ada cowok
yang menegur, tapi kenapa si Victo sih"
KEMASUKAN SETAN HARI ini stop dulu urusan hantu. Ada yang lebih
penting. Tes masuk tim inti paduan suara sekolah. Gue
memang anak daerah, tapi gue tidak boleh kalah dengan
mereka"apalagi anak kelas 10"yang asli anak ibu kota.
Gue harus lolos masuk tim inti dan jangan cuma bisa
terkenal karena urusan hantu. Kalau di Blitar saja gue bisa
jadi tim inti, seharusnya di sini gue bisa juga dong!
Sudah tiga hari ini gue latihan lagu Hero Mariah Carey.
Lagu lama banget, namun sampai sekarang masih banyak
yang menyanyikannya karena lirik dan nadanya keren
banget. Tadinya gue bingung mau nyanyi lagu apa. Gue
sempat memilih lagu berbau cinta"yang mellow gitu"tapi
gue nggak sreg. Nah, waktu jam istirahat gue menemani Brenda ke WC
sementara Laras dan Icha ke kantin duluan. Waktu gue lagi
menunggu sambil berkaca di cermin, ada cewek keluar dari
bilik WC lain. "Andrea, ya?" cewek itu langsung menyapa dan menuju
ke arah gue. Dia mau cuci tangan di wastafel.
"Iya." Gue tersenyum sambil menerima uluran tangannya.
"Gue Sari. Ikut ekskul apa, An?" tanya cewek itu lagi.
"Paduan suara," jawab gue singkat.
"Oh, ya" Gue denger udah mau tes buat masuk tim inti,
ya?" tanya Sari akrab.
"Iya, lagi bingung juga mau nyanyi lagu apa," jawab gue
basa-basi. "Nyanyi lagu Hero Mariah Carey aja, An. Bagus lagunya,"
cerocos Sari. "Ntar deh gue coba lihat, eh, cari lagu-lagu lain dulu.
hanks ya sarannya," kata gue rada salah tingkah menghadapi
orang sok kenal dengan gue. Untung Sari segera pamitan
keluar WC. Nggak lama Brenda keluar. "Ngobrol sama siapa lo?"
"Nggak tahu siapa, namanya Sari," jawab gue polos.
"Oh, biasa deh banyak yang sok akrab. Paling juga anak
kelas 10. Fans elo, kali," timpal Brenda.
Kami tertawa cekikikan sambil berjalan menuju kantin.
*** Tepuk tangan panjang bergemuruh ke seisi aula setelah gue
menyelesaikan lagu Hero. Nggak sia-sia gue latihan ngebut
tiga hari, bahkan sampai tengah malam, buat menghafal
lagu lawas itu. Rasanya puas dan bangga banget mendapat
sambutan meriah kayak begini. Heran juga sih, kenapa
barusan suara gue bisa lepas dan jernih banget. Kayak suara
malaikat aja! Malahan, kalau gue nggak salah lihat, mata Kak Farman
sampai berkaca-kaca. Ekspresinya antara bangga dan seperti
mau menangis sewaktu melihat penampilan gue tadi. Masa
gue segitu kerennya sampai dia terpukau gitu" Betul-betul
bagaikan mimpi. Dan, kalau gue nggak salah lihat lagi nih,
Risa kok ngelap-ngelap mata pakai saputangan ya" Apa
penampilan gue segitu dramatisnya sampai orang yang
nggak pernah ngajak ngomong gue pun bisa terharu" Gila
bener! Benar-benar lagu yang membawa berkah nih!
Memang sih, hasil tes paduan suara baru diumumkan
minggu depan. Tapi dari reaksi penonton dan Kak Farman,
gue yakin bisa lolos masuk tim inti. Icha, Brenda, dan Laras
juga berpikir demikian. Sekarang mendingan kami menikmati penampilan peserta
lain saja dulu. Memang tidak ada pilihan. Kan kami tidak
boleh heboh di dalam aula. Bisa-bisa disemprot Kak
Farman. Tapi, perasaan gue kok masih terasa mau meledak
bila mengingat sambutan penonton tadi, ya"
*** "Tau nggak, Bren, penampilan Andrea bikin gue inget
sama"," kata Laras begitu kami keluar aula saat ekskul
kelar. "Gila! Lo benar-benar kemasukan setannya Rita!" Tibatiba Victo muncul di depan kami.
"Siapa?" tanya gue kaget.
"Apaaa?" Brenda, Laras, dan Icha juga terlihat kaget banget mendengar ucapan Victo barusan.
Victo cengengesan. "Apa nggak jelas omongan gue
tadi?" Wajah Brenda, Laras, dan Icha masih terlihat sangat kaget. Mereka saling lirik, lalu menatap gue dengan wajah bingung.
"Setannya siapa, Vic?" gue bertanya ke Victo.
"Elo nggak tahu" Memang kalian nggak pernah cerita ke
dia tentang Rita?" Victo balik bertanya pada Icha, Brenda,
dan Laras dengan nyinyir.
"Siapa sih" Jangan bikin gue penasaran dong!" Gue berharap salah satu dari mereka mau cerita. Siapa yang mereka
bicarakan" Kok gue tidak pernah mendengar nama itu jadi
bahan gosip" "Kita ngobrolnya di lapangan parkir aja yuk. Di sini
nggak enak kalau kedengaran Risa dan gengnya," kata Icha
sambil menarik tangan gue.
Ha" Apa hubungannya dengan Risa dan gengnya" Victo
mengikuti langkah kami sambil bersiul-siul, seolah-olah
tidak terjadi sesuatu yang mengagetkan.
Begitu kami sampai di lapangan parkir, Laras langsung
buka suara. "Sori, An, selama ini kami nggak cerita ke lo
soal almarhum Rita. Habis kami pikir juga buat apa
nyeritain orang yang udah meninggal."
"Sori ya, gue cabut duluan. Gue belum nyicil PR bahasa
Jepang yang kemarin nih," ucap Brenda langsung ngeloyor
pergi. Laras dan Icha berpandangan, tapi keduanya tidak berusaha menahan Brenda. Victo juga begitu, hanya bengong
dan membiarkan Brenda pergi. Tumben Brenda tidak berminat dengan gosip.
"Tahun lalu ada anak sekolah kita, kelas 11, namanya
Rita, tewas ketabrak di depan sekolah. Tuh, di situ." Icha
memulai ceritanya sambil menunjuk zebra cross di depan
sekolah kami. "Kayaknya dia buru-buru menyeberang karena udah ditunggu anak-anak yang mau berangkat ke TIM. Waktu itu
dia menyeberang dari halte sehabis beli majalah, sambil menelepon pakai HP, untuk kembali ke sekolah. Dia nggak
lihat ada angkot kebut-kebutan. Dia langsung ketabrak.
Angkotnya kabur. Tabrak lari," sambung Laras.
"Ngapain mau ke TIM?" tanya gue.
"Mau lomba paduan suara. Kami tetap ikut lomba, tapi
kami nyanyi sambil berlinang air mata. Kami begitu terpukul Risa batal ikut. Pulang lomba kami langsung ke
rumah duka," jawab Icha.
"Jadi Risa adik Rita?" Gue hanya bisa bertanya, tidak
tahu mau berkomentar apa. Icha dan Laras mengangguk
lemah. "Kayaknya cerita kalian belum lengkap," Victo menyela,
masih dengan nyinyir. "Apanya yang belum lengkap?" Laras balik bertanya.
"Setan yang dia lihat tempo hari, setannya siapa" Pasti
Rita! Wajah hancur dan badan penuh darah kan persis
dengan kondisi Rita waktu itu. Sesuai dengan yang ditulis
di koran-koran! Kan kelas dia di ujung lorong lantai dua,"
ucap Victo gamblang dan berapi-api seolah tidak memedulikan kengerian di wajah kami. Tengkuk gue rasanya merinding. Perut rasanya mual banget.
"Victo! Lo nyinyir banget sih!" bentak Icha.
"Lha, nyinyir apanya" Gue kan cuma menceritakan fakta,"
balas Victo dengan wajah sok polos. Tapi gue senang ada
Victo, karena gue jadi tahu cerita itu.
"Tadi lo ngomong gue kemasukan setannya Rita. Maksud
lo apa?" tanya gue pada Victo.
"Halah, omongan Victo nggak usah didengerin! Lagian,
ngapain sih akhir-akhir ini lo pedekate sama kami?" potong
Icha ketus sambil memandang tajam Victo.
"Terserah gue dong, mau berteman sama siapa. Namanya
juga kita memperluas pergaulan. Gue mau temenan sama
kecoak kek, ubur-ubur kek, tukang angkot kek, Miss
Universe kek. Kok kalian pada sewot" Memangnya kalian
keberatan kalau gue mau temenan sama Andrea?" balas
Victo tetap tidak mau kalah.
Semua jadi melihat ke arah gue. Aduh, gue jadi bingung.
Gue kan nggak mau cari musuh. Dimusuhin Risa dan gengnya tanpa sebab saja gue sudah nggak enak hati, jangan
sampai musuh gue bertambah lagi deh. Gue sih nggak
demen sama Victo, maksudnya nggak naksir. Kalau sekadar
berteman, nggak apa-apa, kan"
"Tuh lihat, Andrea diam aja. Nggak ada jawaban artinya
lo nggak keberatan dong gue gabung," ujar Victo dengan
percaya diri. "Ah, udah deh, nggak usah pada ribut. Vic, pokoknya
begini aja deh. Siapa aja boleh gabung, tapi lo jangan
nyinyir gitu dong," kata Laras jutek.
"Yang gue heran, kenapa Risa dan gengnya sebel banget
sama gue" Ngomong juga nggak pernah. Memang apa salah
gue pada mereka" Perasaan, kenalan juga belum pernah,"
keluh gue pada mereka semua.
"Yaelah" ngapain lo mikirin si Risa dan dayang-dayangnya itu. Mereka sama siapa aja juga jual mahal. Mereka
maunya berteman dengan yang paling cakep, paling kaya,
paling pintar, paling jago olahraga. Ih, kayak mereka paling
cakep sedunia aja! Nggak ada untungnya tahu, berurusan
dengan mereka. Dasar orang yang nggak menghargai hak
asasi manusia," cerocos Victo.
"Victo! Lo bisa diem nggak?" semprot Icha dengan wajah
jengkel. "Kalau cinta lo pernah ditolak oleh salah satu dari
mereka, jangan curhat ke kami dong!"
"Idih! Sori ya naksir mereka. Nggak level, tahu! Mending
gue naksir salah satu dari kalian yang penampilannya paspasan ini," jawab Victo cuek.
"Viiictoooo!!!" Kami langsung mencubiti Victo. Biar dia
kapok! FACEBOOK MANIA SUKA atau tidak, keberadaan Victo yang tiba-tiba sok
akrab pada kami dan jadi sering bergabung malah bikin pertemanan kami tambah kocak. Ada aja kekonyolan yang
dilontarkan dari mulut usil dan tingkah lakunya. Walaupun
kadang mengesalkan, paling tidak ada cowok di dekat kami
sehingga kami tidak lagi jadi empat cewek jomblo yang
menyedihkan. Dan yang bikin gue lebih bahagia adalah jumlah teman
gue di Facebook jadi meningkat tajam. Dalam sehari bisa
lima belas orang yang request jadi teman. Dari awalnya hanya 263 teman, eh sekarang gue sudah punya 472 teman.
Semua gue con"rm, walaupun gue nggak kenal persis mereka. Kebanyakan sih murid kelas lain karena rasanya gue
pernah lihat wajah mereka selintas di sekolah.
Dan eits, siapa ini" Valentino Satya! Aduh, mata gue
nggak salah, kan" Beneran ini si Satya" Gue jadi ge-er nih.
Tanpa pikir panjang langsung gue con"rm dan baca info
pro"lnya. Hobinya main basket, nonton "lm, dan main PS.
Yah, status kok nggak ada. Punya pacar nggak" Ada nggak
yang lagi ditaksirnya" Alamat dan nomor ponsel nggak ada.
Huh, kok infonya minim amat"
Gue mengklik foto-fotonya. Sama juga: standar. Foto
dengan teman-teman semasa SD dan SMP, lagi main basket,
dengan tim basket, dan jalan-jalan dengan tim basket. Foto
dengan keluarga tidak ada. Bahkan tidak ada foto dengan
cewek yang terlihat mesra. Apakah itu berarti Satya jomblo"
Masa sih cowok sekeren dia masih jomblo"
Gue pingin tanya ke Brenda cs, tapi malu. Mereka juga
hampir tidak pernah membicarakan Satya. Yang dibicarakan


Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

justru Kak Farman, pelatih paduan suara yang memang keren.
Ditegur Kak Farman selintas saja rasanya sudah bikin cewekcewek anggota paduan suara deg-degan dan bahagia setengah
mati. Gue memperbarui status Facebook dengan tulisan:
Very happy" tapi sangat penasaran.
Setelah itu gue masih memandang foto-foto Satya. Aduh,
kok keren amat cowok itu. Kenapa dia tidak jadi model"
Kenapa kalau di kantin dia tidak pernah menegur gue"
Kenapa dia malah meng-add gue di FB" Benar-benar bikin
penasaran. Rasanya gue ingin menulis di wall Satya untuk sekadar
say hello, tapi takut disangka ngejar-ngejar dia. Tapi kalau
gue nggak menyapa duluan, apa mungkin dia bakal nulis di
wall gue" Gue terus menelusuri teman-teman Satya di FBnya. Lebih banyak teman cewek dan rata-rata menulis di
wall Satya dengan sangat pede.
Ada yang nulis: Halo, Satya, thanks udah dicon"rm, ya. Gue kagum banget
deh sama permainan basket lo. Boleh tahu nggak nomor HP
lo" Ketahuan banget naksir Satya, batin gue. Duh, bisa nggak ya
gue nulis di wall dia tanpa terlihat bahwa gue juga" suka"
Kak Satya, love Uuuu ...!
Gila, ini kayaknya dari anak kelas 10. Berani banget, ya"
Gue kagum juga sih, ini cewek berani menyuarakan isi hatinya. Terkesan murahan nggak, ya"
Kak Satya, gimana sih cara maen basket yang bener"
Yah, ini cewek ketahuan banget mau pedekate dengan
pura-pura tertarik basket. Usaha standar. Tapi, paling nggak
dia sudah berusaha. Nggak seperti gue yang jalan di tempat,
tidak tahu mau bikin apa.
Satya, jadi nggak weekend ke Burger Grill" Kan kita belum
nyobain rawon bakarnya. SMS gw, ya.
Mmm, ini dari Risa, dan ini satu-satunya wall terbaru
yang menunjukkan kedekatan dengan Satya. Mengapa harus
dia yang dekat dengan Satya" Kenapa seperti skenario sinetron ABG bahwa cowok terkeren di sekolah jadinya berpasangan dengan cewek yang paling populer dan paling
cantik" Walaupun senang sudah berteman dengan Satya di dunia
maya, muncul juga rasa il"l alias hilang feeling setelah tahu
dia "dekat" dengan Risa. Mana bisa gue bersaing dengan
Risa" Apalagi gue hanya ngetop karena urusan hantu, bukan
karena pintar, apalagi cantik. Gue kembali ke pro"l sendiri.
Sudah ada yang memberi komentar, salah satunya Victo.
Gue memang bikin penasaran. Gue maklum kok.
Langsung saja gue balas: @Victo: Iya, gue emang penasaran sama lo, penasaran
kayaknya ada onderdil otak lo yang lepas,
makanya lo jadi begini. Setelah itu gue juga baca status si Victo.
Mau interogasi tukang topeng monyet. Kayaknya
monyetnya metikin bunga di depan rumah gue.
Tuh kan, itu anak memang paling bisa nulis yang anehaneh. Ada-ada saja idenya yang bikin gue jadi ketawa. Langsung saja gue kasih komentar:
Tukang topeng monyetnya ya lo sendiri (atau malah
monyetnya kaburrr). Setelah itu gue balik lagi ke FB gue. Lho, ini apa" Ada
tulisan baru di wall gue dari Satya. Ya, Satya! Gue nggak salah
baca, kan" Halo, ini Andrea, kan" Salam kenal ya.
Jantung gue rasanya mau copot hanya karena tujuh kata
itu. Sebetulnya bukan karena kata-katanya, tapi karena
penulisnya. Aduh, gue jawab apa ya" Jawaban gue tidak
boleh terlihat bahwa gue senang banget.
Halo juga, salam kenal juga.
Akhirnya hanya itu yang bisa gue tulis balik di wall Satya.
*** "Payah deh, kalau gue yang nulis di FB, selalu dibalas komentar yang sadis-sadis. Kalau Satya, semua pada kasih komentar manis-manis," Victo langsung nyerocos saat melihat
kami berempat lagi makan bakso di kantin. Tadinya dia
akan kami abaikan, namun karena dia menghampiri kami,
mau tidak mau kami terpaksa mendengarkan curhatnya.
"Memang kenapa elo sampai sewot kayak gitu?" tanya
Laras. "Lo pakai nanya segala. Lo lihat nggak kalau lagi fesbukan, semua anak"khususnya cewek-cewek"pada carmuk
sama Satya. Kalau gue nulis di wall atau kasih komentar,
dihina terus-terusan," rajuk Victo dengan wajah sok imut
sambil mencomot gorengan Brenda.
"Ah, ngapain sih lo ngomongin Satya" Jelas aja kelas lo
beda dengan dia. Dia siapa, lo siapa. Ngaca dong," jawab
Icha ketus. "Lho, emang gue beda kelas sama Satya?" Victo tak mau
kalah. "Bukan kelas di sekolahan. Dasar sinting! Maksudnya,
kelas tampang dan kekerenan dia lebih tinggi daripada lo!
Kasarnya, lo dan dia beda kasta!" sambar Icha kesal.
Gue lihat Brenda diam saja dan tidak berniat nimbrung.
Dia malah asyik dengan mi yamin bakso dan gorengan.
"Cakep itu relatif, Vic, tapi kalau jelek mutlak," tambah
Laras. "Maksud lo, gue jelek" An, lo kok diem aja" Bantuin gue
dong," kata Victo menyenggol lengan gue.
"Lho, kan gue ikut jelek-jelekin lo di fesbuk, mana bisa gue
bantuin lo?" Gue jadi mau ngakak melihat ulah Victo.
"Gini aja deh, Vic. Anggap aja Satya pangeran, lo rakyat
jelata. Terima aja nasib lo," ujar Icha lagi.
"Eh, Vic, siapa suruh lo nulis aneh-aneh melulu, makanya
orang jadi pada usil. Coba kalau lo kalem dan berkarisma
kayak Satya, tanggapan orang juga beda," kata gue.
"Ih, bijaksana banget lo. Oke deh, ntar gue ganti cara
bertutur gue"," jawab Victo sok manyun. Ya ampun, ini
cowok konyol banget sih. Namun, kalau nggak ada dia memang nggak seru. Kami tertawa-tawa menanggapi leluconlelucon Victo.
Yang gue heran, kenapa Brenda diam saja" Terus kenapa
Icha dan Laras tidak berusaha mengajak Brenda nimbrung
omongan Victo tentang Satya" Bukannya Satya "cowok
terpanas" di sekolah ini" Kayaknya semua cewek berlombalomba membicarakan dia. Mungkinkah Satya bukan tipe
Brenda atau mungkin Brenda tidak suka pada Victo yang
tiba-tiba ngintilin geng kami ke mana saja" Atau, mungkin
memang Brenda hanya suka cowok kayak Kak Farman, yang
jauh lebih tua" *** Awalnya gue tidak begitu suka Facebook. Tapi karena
teman-teman di sini sangat suka, gue ikut-ikutan saja. Biar
tidak dibilang katro alias kampungan dan ketinggalan zaman. Malahan sejak ada Satya, gue jadi keranjingan Facebook. Apalagi nyokap gue mau membelikan ponsel yang
bisa FB-an. Sekarang gue jadi rajin mengecek siapa yang berhubungan
dengan Satya, siapa lagi yang naksir dia (pasti banyaklah),
serta siapa yang kemungkinan dia taksir selain Risa.
Mendadak jantung gue kayak mau copot. Ada pesan dari
Satya di FB gue. Buru-buru gue baca.
Halo, Andrea. Boleh tahu no HP lo nggak" Ini no HP gue.
Catat ya! Hati gue melonjak. Jelas boleh tahu dong! Dan buruburu juga gue simpan nomor HP Satya di HP gue. Rasanya
kepala gue mau meledak saking bahagianya. Segera gue balas
pesannya. Jawaban gue juga singkat saja. Hanya nomor HP.
Biar tidak kelihatan bahwa gue senang banget. Biar kesannya
biasa saja. Sambil menunggu balasan atau malah SMS dari Satya,
gue tetap online. Gue baca-baca status FB teman-teman
yang lain dan tentu saja si Victo. Nulis apa lagi tuh bocah"
Selamat datang bapak-bapak, ibu-ibu. Semoga berkenan
dengan status saya. Banyak yang bilang benci pada saya,
tapi dalam hati mereka merindukan saya.
Gue jadi senyum-senyum sendiri. Apalagi waktu membaca
sumpah serapah teman-teman sekolah yang mengomentari
status Victo yang sok bernada formal itu.
Brenda Laras Darel Dasar sakit jiwa lo, Vic. Iya, gue emang rindu
kalau lo nggak ada. Siapa lagi yang bisa gue
cela kalau bukan lo"
Vic, nyebut" nyebut" eh, lo dicariin tukang
batagor tuh. Katanya lo bayarnya kurang
seribu. Gue suka gaya lo, Vic. Hahahaha. Palingpaling besok lo dicaci-maki tuh cewek-cewek.
Yah, lo ngutang ke sana-sini gitu. Tadi Bu
Wati juga bilang, lo belum bayar es kelapa
muda. Ini baru sebagian komentar di status Victo. Hampir semua isinya negatif dan lucu-lucu, tapi gue senang juga baca
tanggapan Victo. Dia tidak pernah tersinggung dan selalu
pintar menjawab dengan konyol.
@Brenda: @Laras & Darel: Serbasalah deh gue. Serius, diomelin.
Nulis yang aneh-aneh, disemprot juga.
Terus gue mesti nulis apa" Gue jadi
pengen nangis" Idih, "tnah banget. Dasar tukang
batagor pelit. Tadi katanya amal
nambahin batagor buat gue, eh
sekarang bilang gue belum bayar. Bu
Wati juga. Orang irisan kelapa muda
cuma dua helai aja ditagih. Bohong
deh, dompet gue ketinggalan tau!
Makanya besok pada gue lunasin.
*** Karena Facebook, gue jadi punya banyak teman. Karena
Facebook pula gue bisa kenalan dengan Satya, the most
wanted boy di sekolah ini. Tapi, karena FB atau karena
urusan hantu itu" Ah, apa pun alasannya, gue harus menikmati saja. Ada beberapa cowok yang mengirim pesan via
wall FB gue, tapi nggak ada yang bisa bikin gue berdebar,
kecuali Satya. Sayangnya kebahagiaan gue tidak berlangsung lama karena
ada tulisan di wall Satya yang bikin gue ciut. Risa yang menulis.
Kasihan ya. Ada anak baru dari kampung yang sok akrab
dengan anak-anak satu sekolahan. Nggak tahu diri amat.
Nggak punya cermin apa di rumahnya" Hahaha". Jangan
lupa Sabtu ya, darl! Siapa lagi yang dimaksud Risa kalau bukan gue" Rasanya
gue mau marah, tapi juga malu banget. Pasti semua yang
baca tahu, gue yang dijadikan sasaran tembak Risa. Namun,
mungkin juga murid-murid lain mengira anak kelas 10 yang
nekat pedekate langsung ke Satya. Hebat banget dia bisa
manggil Satya dengan "darl" alias darling.
Kalau wall itu memang ditujukan ke gue, apakah lantaran kentara banget gue naksir Satya" Apakah mereka pada
tahu gue sering CCP alias curi-curi pandang ke Satya" Memang sih Risa keren banget dan lebih pantas dengan Satya,
tapi apa gue nggak boleh berharap dan berkhayal"
Gue terus membaca komentar yang ada di wall itu. Kali
ini teman segengnya, Aida, yang berkomentar.
Namanya juga anak dari daerah, Ris. Norak! Hahahaha".
Kalau yang ini komentar Pinky.
Ketemu setan aja dibanggain. Nggak level deh kita
ngomongin dia. Ganti topik aja.
Ya, jelas yang dimaksud mereka bertiga adalah gue! Bikin
darah gue mendidih saja membaca komentar mereka. Jahat
banget. Gue juga tidak mau dan tidak berminat berteman
dengan orang sadis seperti mereka! Mentang-mentang cakep
dan keren, terus seenaknya bisa menghina orang, apa"
Kenalan juga tidak pernah, kok tega banget membicarakan
orang kayak gitu. Syukurlah, Satya dan anak-anak lain tidak ikut memberi
komentar apa pun. Tapi sumpah, gue malu, keki dikatakatai "anak baru dari kampung" dan "anak dari daerah".
TANTANGAN PROMNITE GUE sebetulnya tidak punya bayangan mengenai pesta
promnite. Gue pernah jadi panitia pesta perpisahan waktu
kelas 11 di Blitar. Mungkinkah acaranya sama"
Lokasi promnite di Museum Tekstil, Tanah Abang. Pesta
perpisahan kok di museum" Benar-benar aneh rencana ABG
ibu kota. Tapi gue tidak mau banyak tanya, takut ketahuan
tidak tahu apa-apa. Dulu waktu di Blitar lokasi acara perpisahan hanya di
aula sekolah. Acaranya sambutan-sambutan dari kepala sekolah dan guru, modern dance kayak penari latar yang biasa
kita lihat di TV, serta penampilan beberapa band kakakkakak kelas yang membawakan lagu-lagu yang lagi hits.
Busananya biasa saja. Sekarang di Jakarta gue tidak mungkin
berpenampilan asal, apalagi orang-orang satu sekolah kenal
gue. Syukurlah ada Icha, sang penyelamat. Dia jago merancang
busana. "Bakat alam," puji Brenda dan Laras. Icha sudah
membuatkan rancangan untuk kami berempat.
"Garis rancangannya sama," kata Icha.
Huh, dalam hati gue tidak yakin ada orang yang peduli
dengan kesamaan garis rancangan pada pakaian geng kami saat
promnite. Yang penting sesuai tema: Underwater World.
Memang rancangan Icha girly banget. Dijamin tidak ada
di toko baju. Model gaun kami seperti putri duyung, tapi
aksennya beda-beda. "Disesuaikan dengan karakter masingmasing," jelas Icha.
Meski semuanya model kemben, letak pitanya berbedabeda. Malah yang punya Icha pitanya dimodi"kasi menjadi
obi alias ban pinggang gaya Jepang. Memang sih tampilannya jadi keren, tapi memakainya amat tidak praktis!
Sebetulnya gue lebih suka beli baju jadi di department
store. Tapi demi kekompakan, mau tidak mau gue harus setuju untuk menjahitkan baju. Itu harga yang harus gue
bayar bila "bergabung" dalam satu geng. Siang itu sepulang
sekolah ketiga anggota geng plus Victo mengajakku membeli
kain di Pasar Baru. *** "Aduh, panas banget nih! Beli es cincau dulu yuk," ajak
Victo begitu kami turun dari jembatan busway.
"Ya ampun, Vic. Baru juga nyampe, lo udah ngajakin jajan aja," sahut Laras.
"Emang kalian pada nggak haus, ya" Tenggorokan gue
udah kayak kebakar nih," kata Victo lagi, lengkap dengan
pilihan kata hiperbolisnya.
"Ya udah deh. Cepetan," sambung Icha.
Oh, ini rupanya yang namanya Pasar Baru. Seru juga tempat belanjanya. Bukan seperti umumnya bangunan mal, tapi
asyik. Di kiri-kanan berjejer toko-toko kain yang kata
teman-teman gue milik orang India. Ada juga toko peralatan
olahraga, penjahit jas sehari jadi, dan toko-toko sepatu. Kayaknya apa aja ada di sini dan semoga harganya tidak seganas di mal-mal premium kenamaan yang berada di seantero ibu kota.
Kami sampai di sebuah warung yang terletak di salah satu
sudut Pasar Baru. Sebenarnya dibilang warung juga tidak
tepat. Tampak depan ada berbagai jenis es. Dari es cincau,
es buah, sampai es cendol. Semua bahan tersimpan dalam
wadah-wadah besar. Di dalam warung itu berjejer kursikursi plastik buat pembeli menikmati minuman dingin segar
itu. Victo memesan es cincau untuk kami berlima. Sambil
menunggu pesanan kami datang dia mulai bertingkah lagi.


Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"An, lo pernah makan cincau, kan?"
"Ya pernah lah," jawab gue cuek.
"Eh, Vic, dulu kan si Andrea tinggal di perkotaan juga,
bukan di hutan kayak masa kecil lo!" semprot Icha. Untung
pelayan segera mengantarkan es cincau pesanan kami. Kalau
nggak, bisa-bisa Victo sudah habis kami omeli.
Kelar minum es cincau, kami langsung menuju salah satu
toko kain yang kata Icha langganan mamanya. Begitu
masuk kami disambut ingar-bingar lagu-lagu India. Di dinding belakang kasir ada foto-foto berbau India lengkap dengan rangkaian bunga, persis seperti yang sering terlihat di
"lm-"lm India. "Kalau semua diserahin ke Icha, terus ngapain lo pada di
sini" Tau begitu mending suruh dia beli sendiri aja. Bilang
aja lo semua pada mau kelayapan ke Pasar Baru," cerocos
Victo. Seperti biasa: nyinyir. Memang untuk pilihan jenis
kain, kami nurut saja pada Icha. Kan dia yang mengerti.
"Kami ke sini buat milih warna kain. Lha, lo sendiri
ngapain" Bukannya lo udah pasti pakai kostum ubur-ubur?"
sambung Brenda ketus. Dasar Victo. Biar diledek dan ditertawakan, ada saja caranya buat ngeles. "Gue mau pakai kostum Raja Neptunus,
tau!" jawabnya tak mau kalah.
"Yaelah" pakai raja segala. Ngaca dong! Lo jadi terumbu
karang aja udah kebagusan," sambar Laras.
"An, daripada lo diem aja, bantuin gue napa?" Victo menyenggol lengan gue.
"Apaan sih" Kok gue dibawa-bawa" Kalo nanti lo pakai
baju model ubur-ubur, apa aja keinginan lo, gue turutin
deh," tantang gue. "Serius lo?" Victo langsung bertanya balik. Kali ini dengan wajah serius.
"Yeee" lo ngarep mau ngapain, Vic" Mau nyium Andrea?"
cela Laras. Cium" Aduh, gue jadi malu nih.
"Ntar deh, gue pikirin dulu tantangan ini," jawab Victo,
masih dengan mimik wajah serius.
"Woooiii, ini mau warna biru yang mana?" tanya Icha
geregetan karena dia sibuk pilah-pilih, eh kami malah ribut
sendiri. Mbak-mbak yang melayani Icha pun berusaha tetap
sabar dengan memamerkan senyum sambil mengeluar-masukkan beraneka jenis dan warna kain.
"Kalau laut ya biru?" Victo langsung bereaksi, seolah
lupa dengan urusan kostum ubur-ubur.
"Pasaraaannn!!!" jawab kami berbarengan.
Laras maunya biru telur asin. Icha maunya pink. "Biar
beda," kata Icha. Brenda maunya hijau kebiruan, gue maunya hijau toska. Empat kepala empat pilihan warna yang
berbeda. Harusnya kan kami kompakan memilih satu warna
yang sama. Warna yang mana dong"
Karena kami belum bisa memutuskan, maka mbak pramuniaga mengeluarkan empat warna kain yang kami mau. Dari
wajahnya terlihat betapa dia berusaha sabar melayani
kehebohan kami. "Kenapa kalian nggak pakai yang beda-beda aja sih warnanya daripada terpaksa rembukan gitu" Ntar kalau ada yang
nggak sreg, gimana?" tanya Victo sambil menebarkan kain
warna pink di badannya. "Kalau warnanya beda-beda, dari mana orang tahu kita
satu geng?" jawab Brenda.
"Ya ampun" semua orang juga tahu kalian satu geng.
Geng cewek-cewek jomblo yang rese. Apalagi ada Andrea,
kurang ngetop gimana?" sambar Victo sambil melilitkan
kain pink tadi di kepalanya hingga membentuk cadar.
"Eh, dasar cowok gila. Bukannya bantuin malah memperkeruh suasana. Awas lo, kalo nggak pakai kostum uburubur, gue remove dari Facebook gue," ancam Laras.
"Iya tuh, Mbak, omelin aja, ntar kainnya jadi rusak," sambungku pada si mbak pramuniaga. "Vic, balikin tuh kainnya."
Sebenarnya gue pengen ngakak melihat kelakuan Victo.
Walaupun ide-idenya sering kali nyeleneh, tapi sekali lagi, dia
selalu bisa bikin ketawa. Dengan halus, mbak-mbak pramuniaga itu meminta Victo mengembalikan kain pink tersebut.
"Kalian berani nggak tampil beda" Pakai warna shocking
pink! Beraninya nyuruh-nyuruh gue pakai kostum ubur44
ubur, kalian sendiri nggak berani tampil nekat. Payah!" gerutu Victo.
"Ya ampun, bisa diem nggak sih lo, Vic?" kata Icha kesal.
"Eh, gue berani pakai shocking pink. Tapi lo juga harus
pakai kostum ubur-ubur. Kalau nggak, kita bakal musuhin
elo!" sambung Laras.
"Jadi kita pilih warna shocking pink?" Gue jadi rada panik.
Gawat deh, apa tidak terlalu ngejreng, ya"
"Siapa takut?" jawab Brenda. "Gimana, Cha" Lo setuju
nggak?" "Kalau kalian setuju, ya gue oke juga," ujar Icha. "Lo gimana, An?" lanjut Icha.
"Asal Victo beneran pakai kostum ubur-ubur, gue setuju.
Kalau lo bohong, Vic, sumpah, gue pasti musuhin lo!"
Akhirnya gue harus ngalah dan satu suara dengan Brenda,
Laras, dan Icha. Gaun promnite bakal jadi busana paling
ngejreng yang pernah gue punya. Mungkin gaun itu hanya
akan gue pakai sekali saja karena gue malu pakai gaun
dengan warna ngejreng begitu ke acara kondangan saudara,
misalnya. "Beres. Gue tinggal mencari tempat penyewaan kostum,
kan?" Dari nadanya tak terdengar nada gentar sedikit pun
dalam suara Victo. Dasar cowok edan. Gue nggak kebayang
dia bakal datang dengan kostum berwujud ubur-ubur.
Pramuniaga itu terlihat lega banget karena kami sudah
membuat keputusan mengenai kain yang mau dibeli. Kayaknya dia sudah pusing mendengar perdebatan antara kami
dan Victo. Belum lagi ditambah ulah Victo yang sempat
sembunyi di balik tiang-tiang cermin dan bertingkah bagai
bintang "lm India yang sedang berjoget di balik pohon.
Mau perpisahan saja kok persiapannya rumit amat ya" Semoga gue pantas tampil dengan gaun warna shocking
pink!!! RAHASIA BRENDA TADI kan gue udah bilang, mendingan naik busway.
Kalian malah ngeyel mau naik bajaj, biar cepat. Nih, sekarang jadinya sumpek!" Baru duduk lima menit di dalam
bajaj, Victo sudah cari perkara.
"Yang nyuruh lo ikut siapa?" balas Laras.
"Nggak ada. Ini inisiatif gue aja buat menjaga kalian,
daripada ntar diculik mucikari," jawab Victo ngawur.
"Kalau cuma gue, Laras, dan Andrea yang pergi, gue
nggak perlu lo pangku kayak gini, tau!" sambung Icha kesal.
Brenda yang tinggalnya lain jurusan dengan kami berempat
naik bajaj sendirian. "Halah" bilang aja lo senang gue pangku. Lo mau caricari kesempatan, kan?" Victo terus ngoceh dan nggak mau
kalah seperti biasanya. "Amit-amit. Ngapain gue cari kesempatan sama lo?" tanggap Icha.
"Mana berat, lagi," keluh Victo.
"Eh, cowok gila, di antara kami berempat kayaknya gue
yang paling mungil deh," sahut Icha tak mau kalah.
"Mending gue gendong bayi badak deh," Victo terus menyahut.
"Vic, lo kalau nggak mau diam, duduk sama sopir bajajnya gih," kata gue. Sebenarnya gue tidak kesal dengan
Victo, malah mau ketawa. Apalagi kalau dengar dia berantem dengan teman-teman gue ini. Lucu!
*** Turun dari bajaj kami langsung jalan kaki menuju rumah
penjahit langganan Icha yang terletak selisih satu gang dengan rumah Icha. Gang itu cukup untuk dilewati satu mobil dan satu motor saja.
"Siapa nama penjahitnya?" tanyaku.
"Bang Jontor," jawab Icha.
"Siapa" Jontor" Yaelah, dari namanya aja udah nggak
bona"d. Kayak nggak ada penjahit lain aja," timpal Victo.
Tidak berapa lama kami tiba di depan rumah penjahit
itu. Ada papan nama di depan rumahnya. BANG JONTOR
TAILOR. TERIMA JAHITAN APA SAJA. BUKA 24
JAM. "Ini tukang jahit atau apotek?" Victo tidak bisa mengunci
mulut usilnya. "Awas lo kalo sampai nggak bisa diam!" ancam Icha
sambil mendelikkan mata. "Eh, Icha, ayo masuk," ajak seorang pria yang dari wajahnya saja sudah ketahuan dialah si Bang Jontor. Giginya rada
maju, kurang-lebih seperti pesepakbola Ronaldinho. Rambutnya rada kribo. Dia memakai meteran jahit yang dikalungkan di leher.
"Ini, Bang, saya bawa teman-teman yang mau menjahitkan baju juga," terang Icha sambil menyerahkan sketsa
rancangannya. Bang Jontor memandangi sketsa-sketsa itu
dan meraba-raba kain yang diberikan Icha.
"Okelah. Bisa aku," katanya semringah.
"Kalau kamu dan Brenda sudah ada catatan ukuran
badannya. Yang ini siapa?" Bang Jontor melihat ke arahku
dan Laras. "Ini Laras dan ini Andrea," Icha memperkenalkan kami.
Bang Jontor hanya mengangguk-angguk, lalu mencocokkan
lembaran sketsa yang sudah dinamai.
"Ayo deh, diukur dulu," kata Bang Jontor. Laras diukur
duluan. Sambil mengukur-ukur Bang Jontor mengajak ngobrol
Victo, "Kamu nggak bikin jas?"
"Saya" Nggak, Bang," jawab Victo rada salah tingkah.
"Dia udah punya baju buat pesta ini kok, Bang," tambah
Icha tanpa menjelaskan kostum yang bakal digunakan Victo.
Dari kejauhan terdengar suara alat musik riuh rendah.
"Suara apaan tuh, Cha?" tanya Victo.
"Paling tukang topeng monyet," jawab Icha.
Benar saja. Tidak berapa lama kemudian dua tukang topeng monyet plus seekor monyet berhenti di depan rumah
Bang Jontor. Segala perlengkapan pentas buat monyet
disiapkan. Dari sepeda kayu, payung, motor, skuter mini,
dan troli plastik. Anak-anak kecil segera mengerumuninya,
tak terkecuali Bang Jontor. Padahal gue belum diukur.
"Sebentar ya, saya nonton dulu. Saya kasihan sama
monyetnya, capek diajak keliling-keliling," ujar Bang Jontor
minta izin nongkrong di depan rumahnya.
"Dasar nggak profesional. Emang dikiranya kita nggak
lapar apa" Masa monyet diduluin daripada pelanggan?"
Victo ngedumel. Untung suaranya tersamar suara musik
pengiring topeng monyet sehingga Bang Jontor yang lagi
nonton di teras tidak bakalan mendengar omongan usil
Victo. *** Urusan dengan Bang Jontor selesai. Nanti kalau sudah mau
"tting, dia bakal kontak Icha. Sekarang kami lagi istirahat
sebentar di rumah Icha sambil minum jus jambu biji merah.
"Jadi Brenda sering jahit baju di Bang Jontor juga?" tanya
gue. "Nggak sering-sering amat sih," jawab Icha.
"Eh, ntar ke promnite kita berempat aja nih?" sambung
Laras. "Memang gue nggak diajak?" tanya Victo.
"Ah, udah deh, lo cari dulu tuh kostum ubur-ubur. Kalau
kita bisa dapat cowok buat jadi gandengan sih siplah," kata
Laras. "Semoga saja ada," gue ikutan nimbrung.
"Kalau Satya bakal datang sama siapa ya?" tiba-tiba Icha
menyebut nama yang membuatku berdebar.
"Sama Risa. Kalian jangan ngayal deh," jawab Victo lugas,
seakan-akan empet mendengar nama Satya.
"Sewot amat. Lo harus akui, dia bagai pangeran di sekolah kita," cerocos Laras.
"Kasihan Brenda, ya," kata Icha pelan. Laras terlihat agak
terkejut dengan kata-kata Icha barusan.
"Apa hubungannya sama Brenda?" Gue juga jadi heran.
"Patah hati. C.I.N.T.A," jawab Victo sambil menirukan
judul lagu yang lagi populer.
"Sotoy!" bentak Laras.
"Gue ceritain aja ya, Ras. Supaya Andrea tahu dan si
monyong ini bisa tutup mulut kalau ada Brenda," ujar Icha
yang sepertinya sudah siap memuntahkan kisah tentang
Brenda. Laras hanya bisa mengangguk-angguk.
"An, lo tahu kan Rita yang meninggal itu kakak Risa?"
Icha mengawali ceritanya dan gue mengangguk-angguk penasaran. "Nah, waktu Rita lagi menyeberang jalan, seperti
kata tukang majalah, dia sedang menggunakan HP dan terlihat mukanya marah. Waktu itu Satya yang telepon dan
bilang bahwa dia mau menemani Brenda ke toko buku.
Rita marah. Ujung-ujungnya karena udah sama-sama emosi,
Satya bilang bahwa dia sebenarnya lebih suka Brenda daripada Rita. Setelah itu Rita tertabrak," cerita Icha pelan.
Gue benar-benar kaget mendengar penuturan Icha barusan, makanya gue cuma diam. Victo yang biasanya nyinyir
juga diam saja. Yang bikin gue kaget adalah informasi bahwa Satya naksir Brenda.
"Cha, kalau Satya naksir Brenda, kenapa jadiannya sama
Rita?" tanya gue. "Kata Brenda, Rita sangat gencar mendekati Satya. Akibatnya Satya jadi serbasalah dan nggak mampu berkutik.
Gitu deh, Satya jadi nggak bisa nolak Rita," tambah Laras
yang akhirnya ngomong juga setelah dari tadi diam saja.
"Kan Rita udah nggak ada, kenapa Brenda dan Satya
nggak jadian aja?" tanya Victo dengan wajah penuh gosip.
"Sama, kami dulu juga nanya begitu. Kata Brenda, Satya
merasa sangat bersalah pada Rita. Brenda juga merasa bersalah karena telah berhubungan diam-diam dengan Satya di
luar pengetahuan Rita. Setelah peristiwa tabrakan itu mereka
memutuskan berpisah dan nggak berhubungan lagi," jawab
Laras. "Berarti sebenarnya hati Satya tetap buat Brenda, kan"
Makanya Satya nggak pernah pacaran lagi dan makanya
kalian, cewek-cewek, nggak ada gunanya mengharapkan dia!
Tapi, kenapa Risa dekat banget sama Satya ya?" ujar Victo
yang mulai kumat lagi cerewetnya.
"Berisik lo!" sambar Icha. "Makanya kalau ada Brenda
rada nggak enak ngomongin Satya. Dan elo, Vic, jangan
ember!" ancam Laras.
"Enak aja ngatain gue ember! Emangnya gue pabrik
plastik" Begini-begini, gue juga punya hati" Nggak gue
sangka dalam usia semuda itu Brenda dan Satya udah mengalami prahara cinta," ulas Victo dengan wajah sok dewasa.
"Heh, cowok sinting, nggak usah sok bijak deh. Tutup
aja mulut lo rapat-rapat. Kalau cerita ini nyebar, berarti lo
pelakunya!" Icha ikutan mengancam Victo.
Gue jadi nggak bisa mikir. Kalau ternyata Satya beneran
cinta mati pada Brenda, kenapa dia mendekati gue" Atau"
memang gue aja yang terlalu ge-er"
EVOLUSI KULINER Ya tuhan, maafkanlah tukang pecak ikan mas Itu. Dia tidak
tahu yang dia masak. Mulut gue kayak kebakar. Kayaknya
cabe sepohon dimasak semua sama dia. Dasar kejam tuh
abang pecak! GUE langsung ngakak sendiri di dalam kamar begitu baca
status FB Victo. Dasar cowok konyol! Ada-ada saja yang ditulisnya. Langsung deh statusnya itu dapat komentar bejibun.
Laras Icha Erika Hariyadi : Teguh Hahahaha" rasain lo, Vic. Kena batunya!
Halah, dasar cowok lebay. Makan begitu aja
dilebih-lebihkan. Lo kok kalau makan bakso
di kantin pake sambel banyak banget"
Kuahnya sampai merah gitu" Kok pecak
begitu doang lo ributin"
Lo makan di sebelah dispenser aja, Vic. Beres,
kan" Lucu banget lo, bro. Makanya makan pecel
lele aja, nggak usah yang aneh-aneh segala.
Gue aja baru denger nama tuh makanan.


Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dasar nekat. Udah tahu makanan nggak jelas,
ngapain juga lo sikat" Mencret nggak, broer"
Victo langsung membalas komentar-komentar yang masuk
dengan kocaknya. Gue betul-betul senang kalau dia lagi
kumat. Tapi ngeselin juga sih kalau dia lagi cerewet, kadang
tidak sadar tempat dan waktu. Nyerocos melulu.
@Laras: @Icha: @Erika: @Hariyadi : @Teguh: Gue tahu pasti lo bersekongkol, kan" Ngapain
lo tadi pesen soto betawi" Pasti lo udah tahu
rasa pecak ikan mas, kan"
Pokoknya gue kapok!!! Emang gue tahu lo
rada keji sama gue, tapi nggak gue sangka
segini kejam pembalasan lo! Ngapain sih lo
ngebelain tukang pecak" Lo nggak lihat tadi
gue ngabisin air putih seteko" Untung gratis!
Ide bagus yang terlambat. Tapi nggak ada
dispenser di sana, cuma ada teko plastik.
Wah, bener juga. Gue juga baru denger nama
tuh makanan, makanya gue coba. Kalau tahu
rasanya kayak orang ngajak perang gitu, gue
nggak bakalan pesen. Mending tadi gue beli
tahu sumedang aja. Yeeee, siapa juga yang nyikat" Gue makan,
Guh, bukan nyikatin warung pecak. Gue nggak
mencret, tapi perut gue krucuk-krucuk.
Itu tadi baru sedikit yang gue baca di status Victo. Setelah ini mereka pasti masih melanjutkan perang mulut via
FB. Ah, mending gue nggak mau ikutan komentar. Baru
saja gue mikir gitu, eh" gue lihat ada tulisan di wall gue,
dari Victo: Lo nggak ikutan ngeledekin nasib gue yang tragis karena
pecak maut itu" Jangan-jangan lo juga udah tahu rasanya,
makanya tadi lo pesen sayur asem sama dadar telur bebek,
kan" Heran juga gue. Beberapa hari ini kalau gue lagi tidak
sengaja memikirkan Victo, eh tiba-tiba saja dia "hadir" lewat
SMS atau FB. Yah, kayak sekarang ini. Sebaiknya gue segera
menulis komentar buat Victo sebelum nanti dia menulis
segala macam yang tidak jelas.
Kan lo sendiri yang maksa pesan pecak. Kan udah dibilangin Icha, kalau nggak biasa makannya ntar bisa kaget.
Lagian tadi pas pulang udah gue jelasin di bajaj, gue mendingan makan sayur asem aja. Menurut gue, kalau ada makanan langka yang kurang peminatnya, berarti tuh
makanan "ada apa-apanya".
Dasar Victo! Gue mau bikin PR bahasa Jepang jadi nggak
selesai-selesai deh. Tapi setelah gue cek, kok tidak ada tandatanda Victo bakal membalas wall gue" Atau" Ah, biar saja
deh, kan Victo memang ajaib.
Sekarang mending gue menyelesaikan PR dulu, baru
setelah itu cek FB-nya Satya. Aaaahhhh" buat apa juga gue
mikirin Satya" Jelas-jelas dia punya rahasia dengan Brenda.
Yang dia suka: Brenda. Tapi kenapa dia "mendekati" gue"
Atau memang benar gue yang ge-er" Terus gue harus bagaimana" Gue bisa nggak melupakan dia, mengabaikan dia"
Kayaknya nggak bisa! Gawat! Bagaimana kalau gue naksir beneran, jatuh cinta
sungguhan pada Satya sementara dia malah cinta mati pada
Brenda" Apes banget nasib gue. Giliran suka"amat sangat
suka"dengan seorang cowok, eh hati cowok itu malah mendarat di tempat lain. Di hati sahabat gue sendiri malah.
*** PR sudah kelar. Sebelum tidur gue mau cek FB sekali lagi.
Siapa tahu ada yang seru. Siapa tahu ada pesan dari Satya.
Tapi gue harus kecewa. Tidak ada pesan selain wall dari
Victo lagi. Sebelum tidur jangan lupa baca note gue yang berkelas dan
inspiratif. Tuh kan! Tahu dari mana sih dia gue mau cek FB sebelum tidur" Jangan-jangan dia diam-diam pasang CCTV
di dalam kamar ini, lagi"
Evolusi Kuliner, Tragedi Pecak Maut.
Begitu judul note Victo. Belum apa-apa gue sudah mau
ngakak membayangkan isi tulisannya. Pasti penuh sumpah
serapah konyol pada menu makan siangnya itu.
Tadi siang seorang teman, sebut saja Mawar, bersama kedua
temannya, Laras dan Andrea, mengajak saya makan di
Warung Babe Dullah. Saya sangat tertarik pada salah satu
menu yang ditawarkan, yaitu pecak ikan mas. Selain melihat
ada pelanggan lain yang sedang menikmati pecak ikan mas itu
dengan nasi hangat, Mawar juga meyakinkan saya bahwa
dirinya amat menyukai pecak tersebut.
Sementara Laras dan Andrea memesan makanan standar
seperti soto ayam dan sayur asem, saya meyakinkan diri memesan pecak tersebut. Saya menanti dengan perasaan berdebardebar sambil mengudap kacang goreng. Begitu pesanan tiba,
hati saya bersorak kegirangan, karena niat saya untuk melestarikan kuliner Nusantara jadi kesampaian.
Namun apa daya, setelah saya makan" Saya tidak bisa menceritakan dengan detail yang terjadi di warung itu" Memang
ini murni masalah selera. Ada orang yang suka (seperti Mawar
yang makan sepiring pecak dan nasi hangat dengan lahapnya),
ada juga yang syok, seperti saya.
Saya jadi berpikir dan merenung. Mengapa pecak jenis ini
langka, tidak semudah kita menemukan soto betawi, sate
madura, atau pempek palembang" Lalu timbul pertanyaan dalam hati: mungkinkah ini yang disebut evolusi kuliner"
Menurut saya, makanan pun harus berevolusi, mengikuti
perkembangan zaman. Sederhananya, makanan harus menyesuaikan rasa dengan lidah orang-orang yang hidup pada
setiap zaman. Bila tidak mau mengikuti zaman, menu tersebut
akan punah atau paling tidak susah dikembangkan dan sulit
diterima oleh orang kebanyakan. Tapi, saya juga harus menerima dengan lapang dada bahwa ada segelintir orang yang
tetap menyukai rasa orisinal".
Ya ampun, ternyata dari tadi "menghilang" dari perang
kata-kata di statusnya, Victo sibuk menulis note tentang pecak. Kelakuan Victo memang mengesalkan, tapi menghibur.
Tulisannya masih panjang, tapi gue lebih tertarik melihat
komentar terhadap note-nya itu. Sudah ada yang memberi
komentar belum, ya" Mmm, ternyata sudah. Gue langsung
nyengir membacanya. Perang lagi nih.
Icha Victo Victo! Lo nulis nama gue siapa" Mawar?""
Emang gue korban pelecehan kayak yang di
koran-koran ya sampai lo ngasih nama
samaran" Eh, mana gue tahu lo nggak keberatan nama
asli lo gue cantumin" Waktu nulis kan gue
cuma mikir yang aman aja, daripada nanti
udah gue tulis" eh, lo marah-marah karena
ketahuan selera lidah lo payah.
Laras Icha Victo Selamat perang mulut ya :P
Enak aja! Lo aja yang nggak bisa menghargai
kuliner Nusantara. Sok! Biasa makan pakai
penyedap sebungkus. Makanya nggak bisa
membedakan makanan yang menggunakan
bahan-bahan alami dengan yang pabrikan.
Nggak menghargai gimana" Gue mau aja kok
makan mi aceh, coto makassar, rawon, gudeg,
nasi uduk, bubur menado, pepes peda sampai
pepes ulat. Tapi yang pecak ini, gue benarbenar nggak tahan, Cha!
Akhirnya gue jadi ingin ikut meramaikan suasana. Gue
ikutan nulis: Vic, masih ada yang belum lo pesen tuh, pucung gabus.
Berani nggak lo" Icha Victo Icha Victo Iya, berani nggak lo" Pucung kan nggak
pedes, pakai keluwak kayak rawon.
Idih!!! Makin ajaib aja. Di mana-mana
keluwak matching sama daging sapi, jadilah
rawon. Ini keluwak dipasangin ikan. Memang
bisa sih, tapi ibarat pasangan, nggak bakal
bertahan lama. Bener-bener ini bukti nyata
evolusi kuliner. Sok tahu! Emangnya lo Pak Bondan Winarno"
Si Bang Dullah tuh udah tiga turunan dagang
pucung dan pecak, tahu!!!
Emangnya Pak Bondan doang yang boleh
menilai masakan enak atau nggak"
Perang Icha dan Victo terus berlanjut. Kalau diikuti terus,
nggak jelas selesainya. Mending gue tidur. Paling besok di
sekolah masih berlanjut. Oya, gue nggak jadi deh lihat FBnya Satya. Ngantuk berat.
KAMU TAHU NGGAK SIH"
WALAUPUN kecil hati dan rada terpukul mendengar
rahasia cerita cinta Satya dan Brenda, gue juga tidak habis
pikir. Kenapa juga gue tidak bisa nyuekin Satya" Tidak bisa
untuk tidak peduli padanya" Kalau kami sama-sama sedang
berada di kantin, gue curi-curi pandang terus. Dan parahnya, gue masih berharap dia suka gue. Setiap hari gue cek
statusnya di FB, berharap ada pesan dari dia di inbox gue.
Sialan, kenapa sih gue"
Gue sering dengar cerita di sekolah dan di sinetron
bahwa zaman sekarang cewek tidak takut nembak cowok
duluan. Cewek jenis ini bisa dengan cueknya bilang, "Gue
suka lo!" Pengin banget gue bisa ngomong begitu ke Satya.
Tapi gue nggak punya secuil keberanian untuk melakukan
hal itu. Itu juga masih ditambah dengan fakta bahwa gue
nggak mungkin bisa menjalin hubungan spesial dengan
Satya karena ada Brenda. Siapa tahu Brenda masih suka
Satya, demikian juga sebaliknya. Rasanya itu yang sedang
terjadi! "Dor!" Laras mendorong punggung gue dari belakang.
"Apaan sih lo, Ras" Ngaget-ngagetin gue aja," gue langsung ngomel. "Merusak khayalan orang."
"Neng, ini kantin, tempat bersosialisasi sambil makanmakan. Kalau lo mau bengong, cari inspirasi, mending lo
ke gua aja sana," cerocos Laras sambil menawarkan sekantong gorengan kepada gue.
"Kayaknya di kelas 12 tugas dan kerjaan makin banyak
aja, ya?" keluh gue.
"Oh, lo mikirin itu?" kata Icha yang baru datang dari WC.
Dia ditemani Brenda. Efek samping kisah hantu itu memang
masih jadi momok di sekolah ini. Masih banyak murid yang
takut ke WC sendirian, termasuk juga ogah berada di kelas
tanpa teman. "Bener juga. Ada PR, ulangan, latihan ujian akhir, latihan
paduan suara. Untung ada Facebook yang bisa bikin beban
rada terangkat. Capek nggak sih lo tiap hari kayak begitu?"
sambung Brenda. Belum sempat kami jawab, datang si cowok ember, Victo,
dengan semangkuk soto mi di tangan. "Halooo, darlings,"
sapa Victo riang. Tidak ada satu pun di antara kami yang menyahut sapaan
Victo, apalagi Icha yang baru berperang semalaman dengan
cowok itu. Tadi pagi saja di kelas Icha pura-pura tidak kenal
Victo. Demi kekompakan geng, kami pun pura-pura sibuk
dengan kudapan masing-masing.
"Percuma deh, kalian nggak bakalan bisa musuhin gue.
Dari hasil riset gue selama ini, cowok yang mau mendekati
geng kalian yah cuma gue!" kata Victo sambil menghirup
kuah soto mi. "Yang musuhin lo juga siapa" Kami malah heran, kenapa
lo nguntitin kami terus?" balas gue.
"Kalau gue kasih tahu alasannya, kalian beneran nggak
kaget?" tantang Victo.
"Udah, cepet kasih tahu deh. Nggak usah sok pakai rahasia segala. Nggak penting, tau!" timpal Laras. Sementara itu
Icha masih berusaha mengabaikan keberadaan Victo.
"Cowok main dengan geng cewek pasti ada tujuannya,
kan" Kalau nggak ada, mending gue main sama cowokcowok aja. Memang kalian kira gue nggak makan ati main
sama kalian terus" Ntar gue disangka banci, lagi," ujar Victo
panjang lebar. "Terus kenapa" Lo ngomong to the point dong, jangan
muter-muter, kayak penting banget omongan lo," sambung
Brenda ketus. "Tahu tuh, berisik banget," gumam Icha dengan wajah
empet. "Oke, oke, gue anaknya asyik. Nih, biar kalian nggak penasaran lagi. Di antara kalian berempat ada yang gue
taksir"," kata Victo dengan wajah iseng.
Sontak kami semua teriak, "Appppaaaaa?"?"
"Tapi siapa orangnya, gue belum mau bilang. Belum
saatnya," tambah Victo dengan wajah sok misterius. "Dan
satu lagi, kalian berempat nggak usah berantem memperebutkan gue. Biar waktu yang bicara. Pada saatnya nanti kalian
akan tahu orang yang gue taksir."
Huu" Victo makin merajalela.
"Anjjjrriiitttt!" Icha langsung berujar meluap-luap. "Lo
boleh aja naksir salah satu dari kami atau bahkan naksir
kami berempat sekaligus, tapi jangan harap kami naksir
elo." Kami mengangguk-angguk sambil senyum-senyum melihat
reaksi Icha yang supersewot karena pengakuan Victo. Icha
langsung melahap sebutir bakso goreng buat menenangkan
diri. "Tenang, Cha, urusan kita emang belum kelar. Kalau ini
sebuah "lm, maka judulnya: Antara Aku, Kau, dan Pecak.
Atau: Jangan Ada Pecak di Antara Kita," jawab Victo santai,
seolah sudah terbiasa diamuk Icha. Ada-ada saja ide-ide
sinting yang keluar dari mulut Victo. Apa sih isi kepala
cowok sinting itu" *** Di sekolah kami tidak sempat membahas pengakuan Victo
yang mengejutkan itu. Penyebabnya apa lagi kalau bukan
tugas kelompok yang bejibun" Belum lagi kewajiban ikut
latihan paduan suara. Setibanya di rumah, sambil mengerjakan PR yang menggunung, kami berhubungan lewat FB. Kami saling mengirim
pesan, karena kalau di wall jelas nggak aman. Soalnya Victo
bisa memata-matai dan ikut berkomentar terus. Mau lewat
YM juga nggak puas, kayaknya kurang panjang lebar gitu.
Ada pesan dari Icha untuk gue, Laras, dan Brenda.
Gue nggak percaya omongan si ember itu. Paling-paling dia
cuma mau ngerjain kita, mentang-mentang kita semua
jomblo. Gue emang kesel banget sama dia gara-gara pecak
itu. Ngapain sih dia bertingkah aneh-aneh kayak gitu" Rasanya
pengen gue kerjain balik.
Gue menjawab. Ngapain lo pikirin omongan Victo" Emang dia begitu. Iseng.
Gimana kalau kita anggap aja omongan dia tadi siang nggak
ada" Cuekin aja, nanti juga dia capek sendiri. Kalau kita ladeni,
dia malah kesenangan. Malah makin merajalela, Cha.


Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama setelah gue, Brenda juga menanggapi.
Betul, An. Kita cuekin aja. Nggak usah kelihatan kalau penasaran (lagian, emang ada yang penasaran sama Victo"). Dia
malah menjadi-jadi kalau kita korek-korek terus. Kayak
penting amat statement dia tadi. Masih banyak cowok
"normal" yang mau sama kita pada saat yang tepat. Ras, lo
kasih komen dong. Jangan diem aja.
Laras akhirnya ikut nimbrung.
Wah, bijaksana banget lo, Bren. Kayak kakek gue aja. Gue sih
setuju aja nyuekin Victo. Bodo amat kalau dia iseng.
Masalahnya, kalian mikir nggak, bagaimana kalau betul ada
yang dia taksir" Kalian kan tahu sendiri, Victo orangnya nekat.
Bagaimana kalau tiba-tiba dia datang dan nembak salah satu
dari kita" Apa yang harus kita lakukan" Diterima atau
ditolak" Kalau dipikir-pikir, betul juga kata Laras. Gue jadi
mikirin Victo. Kalau tampang, dia nggak jelek-jelek amat.
Otak juga lumayan, jauh dari blo"on. Kreativitas dan
kegilaan, dia jagonya. Mungkin kalau Satya yang jadi Victo,
kami tidak usah repot-repot membahas karena pasti semua
bilang mau jadi pacar Satya.
Coba ah gue cek FB lagi. Ada yang nulis apa lagi sekarang" Mmm, Brenda lekas menanggapi.
Kalau gue jelas NOLAK!!! Salah sendiri dia nggak bisa diam.
Kebanyakan tingkah. Gue nggak betah sama cowok kayak
gitu. Berteman sih boleh, tapi lebih dari itu" Nggaklah" Gue
lebih nyaman dengan cowok yang cool.
Satya maksudnya" gue membatin. Kalau Rita nggak mati
tabrak lari, mungkin sekarang Brenda lagi asyik pacaran
sama Satya. Ternyata cowok sekeren Satya seleranya bukan
gadis cheerleaders, tapi cewek biasa saja.
Icha juga menyahut pesan dari Brenda dengan cepat.
Setuju, Bren! Gue juga nggak sudi punya cowok kayak Victo.
Mending gue ngejomblo aja. Nggak pacaran aja gue perang
mulut melulu sama dia. Bayangkan kalau gue pacaran sama
Victo, aduh! Nggak mungkin!!! Mimpi buruk! Semoga lulus
SMA nanti gue bisa dapat cowok yang layak. Ihhhhhh"
Bener-bener nggak kebayang deh. Gimana, An" Lo kalau
ditembak Victo mau nggak" Lo juga, Ras"
Weits! Ternyata Laras langsung menjawab.
Gue nggak tahu deh, takut kualat. Nanti gue bilang nggak,
tapi kalau takdir gue bilang lain, gimana"
Mmm, gue jadi tergelitik memberi komentar, sekaligus
memenuhi keingintahuan Icha.
Ras, lo masih SMA aja sudah ngomongin takdir. Kayak mau
ngapain aja. Kalau gue kayaknya sih nggak berminat sama
Victo. Kalau ketemu dia, perasaan gue biasa aja. Seandainya
dia nembak, terpaksa gue tolak. Daripada gue terima karena
kasihan dan maksain jadian, malah jangan-jangan nantinya
musuhan. *** Hari itu sungguh jadi hari yang melelahkan. Terlebih masih
ditambah ulah Victo dengan tebak-tebakan noraknya itu.
Nggak penting, namun bikin penasaran dan kepikiran. Ya,
kepikiran karena ketakutan dia taksir sungguhan.
Buat gue, lebih nyaman berteman saja dengan Victo.
Lebih seru. Gue bisa ketawa-ketawa terus melihat tingkahnya, apalagi kalau Victo lagi berantem dengan Icha. Kalau
sampai gue jadian sama Victo, aduuuhh, dengan segudang
keusilannya itu bisa-bisa kami berdua ribut sepanjang hari
deh. Lagi-lagi gue cek FB. Tentu saja punya Satya juga. Di
statusnya Satya menulis: ANDAI DIA TAHU" Duh, maksud Satya apa sih" Gue baca komentar-komentar yang ada. Tambah bikin pusing.
Tiwi Putri Susanna : Dianti Kak Satya naksir aku, ya" *bercanda lho,
Kak* Tahu apa, Sat" Kalau kita udah jadian"
wkwkwkwkw". Gue udah tahu kok, Sat. Soal ujian bahasa
Inggris, kan" Lo bikin penasaran cewek-cewek
aja. Buset, ini cewek-cewek pada mau "nerkam"
elo, ya" Doyan amat sama Satya. Masih
banyak cowok keren di luar sana, gals.
Gue menarik napas panjang. Itu baru sebagian komentar
saja. Gue sempat terpikir, apakah Satya lagi mikirin Brenda"
Atau status itu ditujukan pada Risa" Mungkinkah ditujukan
pada gue" GUDANG BERHANTU KENAPA sih urusan perasaan dan cowok mesti terjadi
pada saat banyak tugas dan ulangan" Tahu nggak sih, hal
begini bikin cewek-cewek nggak bisa konsentrasi" Mungkin
perasaan seperti ini hanya muncul bagi cewek-cewek yang
nggak sekeren Risa dan gengnya. Kalau tiga cewek populer
itu sih enak, cowok-cowok rela antre untuk bisa jadian
dengan mereka. Masalah yang menimpa gue belum berakhir. Masih ditambah dengan kejadian superapes pada saat ekskul paduan
suara. Saat pengambilan nilai, Kak Farman memasangkan
gue duet dengan Pinky. Biasanya kami diminta nyanyi solo
atau bersama-sama. Sekarang Kak Farman mau mencoba
duet dan trio. Ada yang trio dengan format dua cewek-satu cowok, dua
cowok-satu cewek, cewek semua, atau cowok semua. Ada
duet cewek, duet cowok, serta cewek-cowok.
Kenapa sih Kak Farman mesti memasangkan gue dengan
Pinky" Kenapa bukan dengan yang lain" Kalau alasannya
suara gue sopran dan Pinky alto, kan banyak anak lain yang
alto. Kalau dipasangkan duet dengan cowok, gue juga tidak
nolak kok. Gue bener-bener nggak siap dengan pilihan Kak Farman.
Jangankan mau pilih lagu bersama Pinky, ngomong sama
dia aja gue malas"tepatnya gue tidak pernah bicara dengan
Pinky. Mau minta ganti pasangan, jelas tidak mungkin
karena yang lain tidak ada yang minta ganti. Dan latihan
dimulai sekarang! Gue dan Pinky terpaksa duduk bersebelahan. Gue lihat
Laras, Brenda, dan Icha duduk dengan pasangan duet dan
trio mereka masing-masing. Kadang mereka mencuri pandang ke arah gue dengan mimik prihatin. Betul-betul bikin
patah semangat. "Lo mau nyanyi apa?" tanya Pinky ketus dan judes tanpa
melihat ke arah gue, seolah-olah dia lagi baca puisi atau
pertunjukan monolog. Tapi untungnya dia masih nanya ke
gue soal lagu yang mau dinyanyikan. Mungkin dia tidak
biasa memutuskan sendiri. Biasa, yang memutuskan kan bos
gengnya, Risa. "Jangan lagu yang lagi tren sekarang deh," jawab gue
berusaha menenangkan diri. Gue sengaja tidak mau
menyebut judul lagu tertentu, karena gue curiga kalau
nanti penampilan kami jelek, dia bakal menyalahkan gue
habis-habisan. "Kan malah susah belajar lagu lama," ujar Pinky ogahogahan.
"Mmm" kalau menurut gue, yang lain juga pasti milih
lagu-lagu yang sekarang lagi tren. Mending kita pilih lagu
lama yang nggak terduga, tapi juga nggak susah-susah amat,
biar dapat poin lebih lah," jelas gue.
"Ah, ribet amat. Terserah lo deh," keluh Pinky dengan
mulut manyun. Huh, menyebalkan amat. Dia tetap tidak melihat ke arah
gue. Memang gue angin, apa"
Kalau begitu caranya, bisa hancur nilai ekskul gue.
Mungkin Pinky masa bodoh, tapi gue sangat peduli. Gue
tidak mau tampil dengan lagu biasa saja dan terlihat tidak
kompak. "Pink, lo tahu nggak lagu Christina Aguilera yang Beautiful" Gimana kalau kita nyanyi lagu itu?" saran gue. Gue
harus ambil keputusan daripada nih cewek bertingkah sok
manja. "Iya, gue tahu. Mau nyanyi lagu itu" Ya udah. Terserah
lo! Gue oke aja, tapi kapan latihannya?" cerocos Pinky
masih dengan wajah jutek.
Huh, dasar tidak mau mikir! Maunya terima jadi saja.
"Lo mau latihannya pas jam istirahat atau setelah pulang
sekolah?" tanya gue lagi. Gue serasa lagi wawancara.
"Jam istirahat aja deh. Kalau pulang sekolah, gue kadang
diajak hangout Risa dan Aida. Eh, An, lo nggak usah serius
amat. Ini cuma ekskul, bukan audisi Indonesian Idol. Biasa
aja, lagi," kata Pinky tak acuh.
Dasar nyebelin. Gue tidak mau terpancing untuk menanggapi omongannya barusan. Nanti malah ribut. "Waktu
kita cuma seminggu, jadi nanti di rumah kita hafalin
liriknya. Mulai besok kita harus latihan untuk pembagian
suara yang pas. Jangan ngaret lho," tegas gue.
Gue lihat Pinky mendelik mendengar omongan gue
barusan. Syukurin. Memangnya hanya dia yang bisa memerintah orang lain"
*** Ini hari keempat gue berlatih duet dengan Pinky. Meski saat
diajak bicara dia rada nyebelin, ternyata kalau urusan nyanyi
dia cukup kooperatif. Mungkin Kak Farman memang sudah
menangkap kecocokan warna suara kami buat diduetkan.
Yah, sudahlah. Selama urusan berduet Pinky nggak berulah macam-macam, pasti gue berusaha tidak ngomelngomel. Di luar urusan nyanyi, terserahlah dia mau bertingkah apa.
"Eh, An, lo sama Satya ada apa-apanya nggak?" tanya
Pinky tanpa basa-basi. "Ha" Ngapain lo nanya-nanya" Mau tahu aja. Urusan gue
dan lo tuh cuma nyanyi buat ekskul," jawab gue sinis. Memang dia saja yang bisa jutek" Pasti dia disuruh Risa buat
menginterogasi gue. "Kan gue nanya baik-baik, kok lo jawabnya gitu sih?"
balas Pinky sewot. "Udah deh, Pink, gue nggak mau ribut sama lo. Urusan
kita, sekali lagi nih, ya cuma nyanyi. Di luar itu, udahlah.
Lo nggak usah ikut campur dan nggak usah nanya-nanya,"
kata gue tegas. Gue lihat bibirnya langsung manyun. "Ayo,
cepat latihan lagi."
Lagi enak-enak latihan di dekat gudang sekolah, tiba-tiba
pintu gudang terbuka sendiri. Bunyinya mendecit. Pas betul
dengan cuaca saat itu yang mendung dan berangin kencang.
Tapi, cowok-cowok malah lebih senang, karena cuaca tidak
terik seperti itu bisa bikin mereka puas bermain basket di
lapangan yang dekat gudang sekolah.
"Ada apaan sih" Pak Cahyo lupa ngunci pintu kali, ya,"
kata gue sambil berjalan menuju pintu gudang diikuti
Pinky. Pak Cahyo tukang kebun dan penjaga sekolah.
"An! Lo ngapain sih" Gudang gelap begitu bikin merinding, tau! Udah deh, kita latihan lagi di sana." Pinky
menunjuk ke arah kursi taman di seberang gudang.
"Eh, Pink, lo nggak lihat tuh" ada bayangan jalan di
gudang?" kata gue sambil menunjuk ke dalam gudang yang
berisi berbagai peralatan olahraga dan keperluan sekolah.
"Bayangan apaan" Mana" Setan ya, An" Setaaaannnn!!!"
Lengking Pinky terdengar sangat panik. Gubrakkkk! Pinky
jatuh pingsan di depan pintu gudang.
"Tolong! Tolong! Ada yang pingsan nih!" gue berteriak ke
cowok-cowok yang lagi main basket. Mereka berlarian ke
arah kami dengan cepat. Ada Satya di antara cowok-cowok
itu. "Ada apa, An?" tanya Satya.
"Nggak tahu nih, Pinky pingsan," jawab gue bingung.
Dengan cekatan Satya dan teman-teman basketnya menggotong Pinky menuju klinik sekolah. Sialan. Enak betul
Pinky digotong Satya, tapi memalukan juga sih. Gue juga
mau digotong Satya, asal tidak dalam keadaan pingsan.
Gue sedang menutup pintu gudang saat Victo berlari
mendatangiku. "Ada apa, An" Kok si Pinky pingsan" Lo
tonjok, ya?" "Enak aja. Nggak tahu tuh"," jawab gue sambil
menutup pintu gudang. "Ngapain lo pada masuk ke gudang" Bukannya dari tadi lo
latihan di luar" Bukan di dalam" Lo ngeliat setan lagi ya, An?"
Victo membombardir gue dengan pertanyaan.
"Nggak tahu ah," kata gue serbasalah.
"Iya, pasti deh lo lihat setan lagi. Setannya Rita lagi, ya"
Ya ampun, tuh anak kasihan betul ya, masih gentayangan
di sekolah. Apa ada urusannya yang belum beres di dunia
ini?" ujar Victo cerewet.
Gue tidak tahu mau bicara apa ke Victo.
"Apa ada hubungannya dengan Satya, ya?" tanya Victo
lagi. Gue masih diam, lalu langsung pergi menuju kelas.
*** Andrea, gue harus ketemu lo pulang sekolah nanti. Itu
SMS dari Satya barusan. Ada apa" Gue membalasnya.
Plis banget. Gue harus bertemu lo. Gue harus bicara
sama lo. SMS dari Satya lagi.
Oke. Di mana" Kantin aja. Pulang sekolah langsung ke sana, ya. Gue
tunggu. hanks. Oke. Gue tidak mengerti alasan Satya jadi maksa ketemu. Pikiran gue jadi ruwet. Jantung gue berdebar-debar memikirkan
Satya. Apa ini tentang cinta atau gara-gara kejadian di
gudang tadi" *** Pulang sekolah gue langsung cabut ke kantin. Gue nggak
sempat ngomong apa-apa ke Brenda, Laras, dan Icha tentang kejadian tadi. Gue cuma bilang ke Laras, "Gue cabut,
ya. Buru-buru banget nih. See you online." Setelah itu gue
sengaja lari supaya dikira mau ke WC.
Nggak lama setelah gue sampai di kantin, Satya datang
dan langsung mengajak jalan ke belakang kantin.
"Ada apa sih, Sat?" tanya gue bingung sambil mengikuti
Satya ke belakang kantin yang sepi dan rada bersemak.
"An, gue betul-betul pengin tahu kejadian di gudang
tadi," Satya bertanya dengan wajah sangat serius.
"Memang ada apa" Kok lo bingung gitu?" gue balik bertanya.
"Tadi Pinky cerita ke gue bahwa lo lihat setan lagi di
gudang. Setannya kayak apa, An" Yang mukanya berdarahdarah lagi" Rambutnya panjang dan pakai seragam sekolah?"
Kali ini Satya mencecar dengan nada maksa. Gue malah
jadi bingung. "An, lo jangan diam aja dong!"
"Gue nggak tahu mau jawab apa. Apa segitu pentingnya
tuh setan?" lagi-lagi gue balik bertanya.
Pasti Satya pikir setan itu Rita. Satya terdiam. Dalam
diam gue menikmati memandang wajah tampannya.
"An, tolong bantu gue," pinta Satya pelan dengan wajah
memelas.

Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bantu lo ngapain?" Gue makin tidak mengerti.
"Gue mau bicara sama Rita," jawab Satya.
"Apaaa?" Gue betul-betul kaget mendengar keinginan
Satya. "Kan lo bisa lihat setan, An. Lo punya indra keenam. Lo
bisa kan, bantu gue ngomong ke Rita" Atau, kalau lo
melihat penampakan lagi, bilangin gue mau bicara sama dia.
Gue mau bilang ke dia bahwa gue memang salah," ujar
Satya dengan wajah panik.
"Salah apa" Satya, gue bukan cenayang." Gue jadi tambah
puyeng. "Rita mati ketabrak karena gue. Lo tahu kan cerita tentang tewasnya Rita" Kakak Risa?" cecar Satya.
Gue hanya menjawab dengan anggukan.
"An, coba kalau gue nggak telepon saat dia lagi nyeberang
jalan. Coba kalau gue punya keberanian ngomong langsung.
Coba kalau gue nggak mikirin Brenda terus, dan memilih
hanya pacaran dengan Rita baik-baik. Sekarang dia masih berkesempatan hidup, An. Dia nggak perlu gentayangan begini."
Kali ini Satya bicara dengan memegang kedua lenganku.
Seharusnya gue bahagia bisa berhadapan dengan Satya sedekat
ini, di tempat yang sesepi ini, pakai pegang-pegang tangan
segala, lagi. Namun gue malah jadi sedih dan bingung.
"Satya?" "Heh, lagi ngapain kalian berduaan di sini?" Tiba-tiba
muncul Risa dengan wajah marah.
Gue dan Satya terkejut setengah mati. Satya langsung melepaskan pegangannya.
"Memang dasar geng kalian geng cewek brengsek!
Senangnya ngerebut cowok orang. Bilang tuh sama Brenda,
belum puas kakak gue mati gara-gara dia" Mau matiin siapa
lagi dia" Dan lo, anak baru! Semua orang di sekolah ini
tahu hubungan gue sama Satya. Ngapain lo berduaan di
belakang kantin begini" Mana pakai pegangan tangan
segala!" teriak Risa. Dia betul-betul ngamuk.
Perasaan gue campur aduk, antara mau marah, sedih, dan
bingung. Daripada gue ribut dengan Risa, lebih baik gue
pulang saja. Tanpa omong apa-apa lagi gue langsung lari
meninggalkan mereka berdua.
Satya kan bukan apa-apa gue, lalu kenapa air mata gue
meleleh begini" Kenapa Risa jahat banget ke gue, padahal
dia tidak kenal gue sama sekali. Dan yang paling bikin hati
gue hancur adalah gue baru tahu bahwa selama ini Satya
berusaha berteman dan mendekati gue bukan karena naksir
atau ingin berteman yang sesungguhnya. Dia berencana memanfaatkan gue untuk berkomunikasi dengan arwah Rita.
Dasar cowok brengsek! Mentang-mentang cakep terus
menggunakan kegantengannya buat mendapatkan yang dia
mau. Dia kira dia siapa"
*** Pikiran gue butek banget karena peristiwa di sekolah tadi.
SMS dari Brenda, Icha, dan Laras belum gue balas. Pasti
ketiganya ingin mendengar cerita gue. Akhirnya gue putuskan hanya membalas SMS mereka dengan singkat: Besok
aja ceritanya. Gue capek!
Gue tahu apa yang harus gue lakukan pada Satya. Meremove dia dari FB friends gue. Dia kira gue tidak berani
melepeh cowok yang suka memanfaatkan orang seperti dia"
Tiba-tiba hanya wajah Victo yang terbayang di benak
gue. Gue langsung mencarinya untuk chatting. Malam begini pasti dia masih melek. Gue mulai menulis.
Andrea Vic, gue mau curhat. Victo Tumben lo nyari gue. Ke mana tuh saudarasaudara tiri lo"
Andrea Halah. Nggak usah sok jual mahal deh.
Victo Ntar kalo gue bantuin lo, saudara-saudara tiri
lo pada nyumpahin gue! Andrea Udah deh, nggak usah cerewet.
Victo Iya deh. Ada apa, An" Kayaknya penting
banget" Tentang penampakan di gudang, ya"
Tuh kan, pikiran Victo cepat banget nyambungnya kalau
urusan kayak beginian. Buru-buru gue mengetik jawaban.
Andrea Gue lagi sebel dan bingung. Gara-gara Satya.
Victo Ah, kalau urusan Satya, malas gue
nanggapinnya, An. Lo curhat aja sama
saudara-saudara tiri lo itu.
Andrea Sabar dulu, Juragan. Ternyata Satya merasa
bersalah atas kematian Rita. Dia pengin
ketemu Rita buat bilang dia bersalah karena
naksir Brenda. Kata Satya, kalau dia nggak
telepon serta berani bicara langsung soal
Brenda ke Rita, pasti Rita nggak ketabrak.
Victo Ya ampun, Satya. Muka doang cakep, tapi
pikiran picik. Kalau Tuhan bilang mati, ya mati.
Kalau menurut gue, Rita meninggal bukan
karena kesalahan Satya. Lagian, gimana juga
cara dia bilang ke Rita" Ke dukun" Haaaa" Dia
nyuruh lo, ya" Tuh kan, cepat banget otak Victo mengaitkan semua peristiwa. Gue tidak perlu cerita panjang lebar, dia sudah tahu
sendiri. Andrea Jangan berisik deh lo. Sekarang gue minta
tolong banget, kalau bisa lo nggak usah bahas
Satya di depan Brenda cs. Nggak usah lagi
sebut-sebut namanya. Gue nggak enak hati
sama Brenda. Dan gue enek sama Satya.
Victo Ceileee" segitu cepatnya hati lo berpaling.
Memang sih cowok berhati emas cuma gue.
Andrea Gue serius, tau! Victo Sori, sori. Eh, beneran saudara-saudara tiri lo
belum tahu cerita ini"
Andrea Belum, dan kayaknya gue nggak bakal cerita
dalam waktu dekat ini. Tapi gue juga nggak
tahu mau bilang apa ke mereka karena pasti
gosip gue dan Satya ketemuan berdua bakal
tersebar. Victo Lho, kok bisa, An" Andrea Risa nge-gap gue dan Satya.
Victo Buset! Itu sih gawat! Oke deh, gue bantu
ngarang cerita ke saudara-saudara tiri lo yang
selalu kejam pada gue. Andrea Ngarang cerita apa" Victo Bilang aja lo nggak sengaja ketemu Satya.
Terus Risa lihat dan nuduh macam-macam.
Andrea Tapi, gue lari keluar kelas buat ketemu Satya
tanpa pamitan sama mereka.
Victo Wah, malah bagus itu. Bilang aja lo kebelet
pipis. Gampang, kan" Terus lo nggak ngobrol
banyak sama Satya, cuma ngomongin peristiwa
di gudang. Titik. Andrea Pintar juga lo, Vic. Tapi gue nggak biasa
berbohong, kayaknya bakal gampang ketahuan.
Victo Coba dulu deh. Nanti kalau lo dicecar, gue
bakal bantu. Andrea Thanks ya, Vic. Sumpah, gue nggak enak hati
sama Brenda kalau urusan Satya.
Victo Hehehehe" nggak masalah. Ya udah deh,
nggak usah dipikirin, An.
Andrea Nggak mungkin. Victo Masih banyak cowok keren selain Satya,
termasuk gue. Andrea Najis tralalala. Curhat ke Victo sudah lumayan bikin hati gue tenang.
Baik ya Victo, mau bantu gue. Apa jangan-jangan dia naksir
gue" Aduh, bikin tambah pusing saja!
ANTARA SATYA DAN VICTO SETELAH peristiwa pertemuan gue dengan Satya di belakang kantin, gue sudah tidak ada kontak lagi dengan Satya.
Gue sudah menghapus dia dari daftar teman gue di
Facebook. Di wall FB banyak teman sekolah yang bertanya pada gue
soal betul-tidaknya gue melihat penampakan hantu cewek di
gudang sekolah. Nggak satu pun yang gue jawab, bahkan
status FB gue bikin kosong. Bikin orang tambah bete saja!
Gue kesal karena Satya memanfaatkan gue kayak gini. Di
sisi lain, walau marah padanya, gue nggak bisa berhenti memikirkan dia.
Satya juga tidak mengontak gue sama sekali. Mungkin
dia malu atau" mungkin dia takut diamuk Risa kalau ketahuan lagi. Yang pasti, khayalan gue soal Satya naksir serta
jadian sama gue, menguap sudah. Sudah terhapus tanpa
bekas. Gue hanya bisa curhat ke Victo. Sinting-sinting begitu
ternyata Victo bisa diandalkan pada saat susah begini dan
ternyata mulutnya tidak ember-ember amat. Tentu saja
setelah gue ancam dan peringatkan berulang-ulang.
Victo tidak menceritakan apa pun ke Brenda, Icha, dan
Laras. Ketiganya percaya saja penjelasan gue. Bisa jadi
mereka pura-pura percaya daripada mendengarkan omongan
edan Victo yang membumbui cerita. Kata Victo, gue buang
air kecil, sementara dialah saksi mata waktu gue keluar dari
WC. *** Hari ini pengambilan nilai ekskul. Meski sudah latihan
secara serius dan maraton, gue tetap saja gugup. Padahal
Pinky sudah berubah dengan bersikap ramah ke gue setelah
peristiwa di gudang tempo hari. Kebalikannya, malah gue
yang jadi serbasalah dengan dia. Gue tidak tahu alasan dia
jadi rada ramah ke gue. Apa dia ada maunya" Apakah Pinky
disuruh Risa memata-matai gue" Ataukah Pinky disuruh
Satya supaya merayu gue" Orang kayak Pinky kan bisa disuruh-suruh, makanya gue berhati-hati banget sama dia.
Dan karena penuh curiga, penampilan gue dan Pinky jadi
biasa saja. Cenderung garing. Gue kecewa dengan diri gue
sendiri. Tidak lama setelah selesai nyanyi, gue minta izin ke WC.
Mending gue cuci muka dulu. Gue malu pada Kak Farman
karena tidak bisa tampil maksimal. Penampilan gue kayak
orang baru pertama kali nyanyi saja, datar dan tidak keluar
dari hati. Rasanya gue sampai mau nangis.
*** Salah satu pintu WC terbuka.
"Oh, halo, Andrea," sapa cewek yang baru keluar dari
bilik WC. "Halo," gue balas menyapa sekadarnya ke cewek yang bernama Sari itu. Lama gue tidak lihat dia. Dia anak kelas
berapa ya" Ah, masa bodoh, nggak penting juga kok.
Paling-paling seperti yang lain, sok kenal sama gue.
"Sori ya gue nanya. Memang betul gosip lo ketemu Satya
di belakang kantin?" tanya Sari sambil melihat gue dengan
tatapan prihatin. "Hehehe" mau tahu aja," gue berusaha menjawab dengan bercanda sambil membenahi sisiran rambut gue. Huh,
ini cewek pasti termasuk penggemar Satya yang tidak rela
gue berduaan dengan idolanya.
"Kasihan Satya, ya"," kata Sari lagi.
"Kasihan kenapa?" gue balik bertanya dengan rada judes.
Sok tahu! Kasihan karena ketemu gue" Bukannya gue yang
mestinya dikasihani karena dilabrak Risa sialan itu"
"Kasihan, Satya nggak happy kayak dulu lagi. Eh, udah ya,
sopir gue udah datang. Gue cabut duluan ya, An. Mana kamar
tidur gue belum diberesin, lagi," kata Sari sambil melambaikan
tangan dan meninggalkan gue sendirian di dalam WC.
"Oh" ya udah. Bye!" balas gue tak acuh. Betul-betul
cewek sotoy yang mau-maunya jadi groupies Satya.
Saat gue mau keluar WC, baru pegang gagang pintu,
Laras datang. "Ngapain sih lo lama-lama di WC?" selidik Laras.
"Nggak. Gue cuci muka doang. Ngantuk," jawab gue malas.
"Tungguin gue, ya. Gue takut nih sendirian di WC.
Nanti kalau tiba-tiba ada penampakan, bisa-bisa gue semaput kayak Pinky," kata Laras sambil terburu-buru masuk
salah satu bilik WC. "Iya, gue tungguin nih. Eh, Ras, tadi nyanyi gue jelek
banget, ya?" tanya gue agak keras supaya bisa terdengar jelas
dari dalam WC. "Biasa aja. Standar. Karena duet dengan Pinky, lo jadi
nggak bisa maksimal?" Laras balik bertanya.
"Yah, gitu deh," jawab gue mengambinghitamkan Pinky.
Laras keluar WC dan mencuci tangan di wastafel sambil
becermin. "Ayo, balik ke aula. An, terserah deh lo mau
bilang apa, tapi gue kok nggak percaya omongan lo dan
Victo tentang buang air kecil tempo hari. Pasti ada sesuatu
yang kalian tutupi."
Lho, kok tiba-tiba Laras menyelidiki"
"Kalau ada apa-apa, gue juga akan cerita, Ras. Jangan
menyudutkan gue doang," kata gue setengah meminta.
"Oke, gue ngerti. Perlu lo ingat, An, lo anak baru di
sekolah ini, dan gue, Brenda, serta Icha menerima lo apa
adanya. Kami sudah menganggap lo sahabat juga, jadi lo
jangan menutup diri," ujar Laras serius.
"Iya, gue tahu, Ras." Gue mengangguk.
Laras betul juga. Tidak adil buat mereka kalau gue menutup-nutupi kebenaran. Tapi nanti gue tanya Victo dulu,
bagaimana baiknya. *** Malam itu gue chatting lagi dengan Victo. Gue bilang ke
dia tentang omongan Laras tadi siang. Ini jawaban Victo.


Joker The Jomblo Keren Karya Esi Lahur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Victo Kalau lo mau cerita ke mereka, silakan saja.
Tapi, bagaimana reaksi Brenda"
Andrea Mana gue tahu" Kalau gue mau cerita, lo
bantuin gue dong. Gue nggak enak sama
Brenda karena diam-diam gue pernah SMS-an
dan berduaan sama Satya. Mana si Satya
bilang, dia merasa bersalah pada Rita, lagi.
Gue jadi kasihan sama Brenda kalau dia tahu
cerita ini. Victo Itu risikonya kalau lo cerita, An. Kalau mereka
maksa lo buat cerita, ya udah. Daripada lo
nambah musuh. Udah dimusuhin Risa dan
geng sok kecakepannya itu, nanti mereka
ikutan musuhin lo juga. Ya udahlah, mending
mereka dengar cerita dari lo daripada dengar
dari orang lain atau malah dari Risa.
Andrea Iya deh, nanti hari Sabtu gue cerita ke mereka.
Btw, thanks ya, Vic, lo nggak ember.
Victo Ah, gue jadi terharu nih.
Victo sudah kembali dengan kesintingannya. Jangan-jangan
dia betulan naksir gue. Kok dia peduli banget sama gue" Aduh,
gue jangan kumat deh. Harusnya gue kapok sudah ge-er
dengan Satya. Gue kira Satya ada hati sama gue, ternyata
cowok itu cuma pengin ngomong dengan arwah. Sialan!
*** Sabtu itu kami ngumpul di Mal Taman Anggrek. Sambil makan siang di food court-nya yang ramai, kami pun ngobrol.
"Eh, Vic, lo benar-benar mengincar salah satu dari kami,
ya?" tanya Icha memastikan, seolah-olah ketakutan bakal
ditembak Victo. Victo cengengesan. "Kan gue udah bilang. Nah, kalian
tinggal tunggu tanggal mainnya."
"Atau" lo sebetulnya udah menyatakan perasaan lo ke
salah satu dari kami?" Brenda ikutan menyelidiki sambil
senyum-senyum ke arah gue.
"Ngapain lo senyum-senyum gitu, Bren?" tanya gue sambil melahap rujak cingur.
Manusia Srigala 15 Raja Petir 08 Ratu Sihir Puri Ular Bloon Cari Jodoh 1
^