Pencarian

Dari Mulut Macan 1

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp Bagian 1


Dari Mulut Macan ke Mulut
Harimau Karya: Stevanus SP Scan djvu : buku kiriman Aditya scan by Mukhdan
Penerbit : Cetakan pertama CV "GEMA" Solo 1994 Teks editor : Iiesen dan Dewi Kz 1 Tirai kasih Website http://kangzusi.com http://kang-zusi.info
Daftar Isi Dari Mulut Macan ke Mulut Harimau ......................... 1
Daftar Isi ................................................................................ 2
Jilid 1 ...................................................................................... 3
Jilid 2 .................................................................................... 45
Jilid 3 .................................................................................... 88
Jilid 4 .................................................................................. 131
Jilid 5 .................................................................................. 174
Jilid 6 .................................................................................. 217
Jilid 7 .................................................................................. 259
Jilid 8 .................................................................................. 303
Jilid 9 .................................................................................. 345
Jilid 10................................................................................ 387
Jilid 11................................................................................ 431
Jilid 12................................................................................ 474
Jilid 13................................................................................ 517
Jilid 14................................................................................ 559
Jilid 15................................................................................ 603
Jilid 16................................................................................ 645
Jilld 17................................................................................ 688
Jilid 18................................................................................ 730
TAMAT................................................................................. 764
2 Jilid 1 >o< SETELAH menyelesaikan urusan Pek lian-hwe
(serikat Teratai Putih) di kota Lam-koan, Liu Yok
bermaksud segera kembali ke kota Lok-yang untuk
menengok keluarganya. Bisa dibilang sekarang
seluruh keluarga Liu Yok, mulai dari neneknya,
ibunya, ketiga saudara tirinya, sudah pindah ke
Lok-yang semua. Bersatu dengan keluarga Sebun
Beng, paman Liu Yok. Yang paling penting, di Lokyang ada Sun Cu-kiok, puteri Gubernur Propinsi
Ho-lam, calon isteri Liu Yok.
Namun, dulu ketika datang ke Lam-kon Liu Yok
hanya seorang diri, kini justru ia memperoleh dua
pengikut yang tertarik untuk mempelajari cara
hidup dan falsafah hidup Liu Yok yang aneh
namun "manjur" menangkal kekuatan-kekuatan
jahat ilmu sihir. Tokoh-tokoh Pek-lian-hwe cabang
Lam-koan yang jago-jago sihir ternyata tak berdaya
terhadap Liu Yok (baca kisah "Menaklukkan Kota
Sihir"). Dua pengikut itu masing-masing ialah Cu
Tong-liang, perwira rahasia Kaisar, yang pernah
menjadi korban guna-guna tokoh-tokoh Pek-lianhwe sehingga menjadi sesosok manusia lumpuh
raganya maupun jiwanya. Pengikut yang kedua
ialah Siau Hiang-bwe, yang sering dipanggil juga Akui, yang bukan lain adalah puteri dari ketua
cabang Pek-lian-hwe di Lam-koan. Justru ayahnya
Siau Hiang-bwe inilah yang mengguna-guna Cu
Tong-liang, namun Siau Hiang-bwe sendiri menjadi
tumbal kehebatan ilmu sihir ayahnya. Bertahun3
tahun gadis cantik itu seakan kehilangan masa
depan karena menjadi seorang gadis hilang ingatan
yang harus dikurung di ruang bawah tanah,
karena ayahnya tidak rela Siau Hiang-bwe
berkeliaran di luar rumah dalam keadaan gila.
Jadi kedua pengikut Liu Yok ini, Cu Tong-liang
dan Siau Hiang-bwe, sebetulnya patut menjadi
musuh besar satu sama lain yang saling membenci
sampai ke tulang sumsum. Cu Tong-liang adalah
perwira kerajaan yang pernah "mencicipi" ilmu
hitam Pek-lian-hwe, sedang Siau Hiang-bwe adalah
puteri tokoh Pek-lian-hwe yang merupakan
organisasi bawah tanah yang anti pemerintah
kerajaan. Tetapi dengan kewibawaan Liu Yok,
kedua orang itu dapat rukun. Cu Tong-liang
melepas jabatannya sebagai perwira kerajaan dan
memilih untuk belajar kerohanian dari Liu Yok,
begitu pula Siau Hiang-bwe meninggalkan
rumahnya dan ayahnya di Lam-koan untuk belajar
hai yang sama. Liu Yok dengan senang hati menyambut niat
kedua orang itu, dengan mengutip ajaran yang
dianutnya, "Jika seorang tidak rela kehilangan
segalanya, ia tidak dapat menjadi murid-Nya...."
Tapi Liu Yok tidak mau menjadi guru kedua
orang itu, dengan alasan bahwa dirinya sendiri pun
masih belajar. Ia lebih suka menganggap Cu Tongliang dan Siau Hiang-bwe sebagai teman belajar
bersama. Mereka bertiga jadi seperti saudara. Cu
Tong-liang yang tertua dipanggil "kakak" oleh Liu
Yok dan Siau Hiang-bwe, begitu juga Liu Yok
dipanggil "kakak" oleh Siau Hiang-bwe.
4 Mereka meninggalkan Lam-koan, hendak pulang
ke Lok-yang. Tetapi dengan kesepakatan bersama,
mereka bukannya menempuh jarak yang paling
pendek, malah memutar mengambil jalan barat.
Alasannya, hendak sekalian melihat-lihat wilayah
barat, yang budayanya agak berbeda itu.
Entah hari ke berapa dari perjalanan mereka
sejak meninggalkan Lam-koan, mereka bertiga
sudah tiba di kota yang cukup besar, kota Sengtoh, ibu kota Propinsi Se-cuan.
Mereka bertiga melakukan perjalanan jalan kaki
yang santai tanpa tergesa-gesa, dan sepanjang
jalan itulah Liu Yok di saat-saat luang
menerangkan ajaran yang dianutnya, setahap demi
setahap. Kadang-kadang digunakannya peristiwaperistiwa yang dijumpai untuk memperjelas apa
yang dibicarakan. Di Seng-toh mereka berhenti beberapa hari
untuk menikmati kota tua itu. Mereka mengambil
sebuah penginapan yang agak murah sewanya,
untuk menghemat bekal, dan mengambil kamarkamar yang berdampingan.
Pagi itu, Siau Hiang-bwe mengetuk pintu kamar
Liu Yok, sambil memanggil, "Kakak Yok! Kakak
Yok! Sudah bangunkah Kakak?"
Pertanyaan yang sebenarnya kurang perlu,
sebab Siau Hiang-bwe tahu pasti bahwa Liu Yok
selalu bangun pagi untuk menikmati hubungan
sangat akrab dengan Penciptanya. Tak peduli di
mana pun tempatnya, entah sedang di kota, di
desa atau di padang belantara sekalipun.
5 Dari dalam kamar penginapan itu terdengar
jawaban Liu Yok, "Ada apa, A-kui, masuklah!"
Siau Hiang-bwe mendorong pintu dan melangkah masuk, ia melihat Liu Yok sudah dalam
keadaan segar, padahal sepagi itu masih banyak
orang terlena di bawah selimutnya. Tapi Liu Yok
sudah duduk di kursi, dengan kitab terbuka di
atas meja, diterangi sebatang lilin menyala. Kitab
yang dipakai bersama oleh Liu Yok dan kedua
teman seperjalanannya, dibaca bergantian. Namun
Cu Tong-liang nampaknya tidak berminat kepada
buku itu. Liu Yok mengangkat wajahnya menatap A-kui,
"He, A-kui, kau kelihatannya kurang tidur. Apakah
kurang sehat?" "Tidak. Semalam aku bermimpi, Kakak Yok."
"Hampir setiap malam setiap orang bermimpi."
"Ya, Kakak juga pernah menjelaskan kepadaku.
Kalau di waktu tidur ada pembuluh darah yang
kurang lancar mengalirnya, orang akan bermimpi.
Kalau siang harinya terlalu sibuk bekerja,
malamnya mimpi juga. Tetapi Kakak bilang juga,
ada mimpi yang merupakan isyarat-isyarat dari
dunia lain, baik dari Sang Maha Pencipta maupun
dari kekuatan-kekuatan jahat yang menyelimuti
dunia. Dan kalau mimpi jenis ini, hati kecil kita
merasakannya, bukankah begitu, Kak?"
Liu Yok mengangguk-angguk, "Ditulis di buku
ini, Yang Maha Kuasa berbicara Kepada umat-Nya
dengan beberapa cara. Kadang-kadang melalui
mimpi, meski jarang digubris."
6 "Mungkin mimpiku semalam dari jenis yang ini,
Kak...." kata Siau Hiang-bwe agak bimbang, sambil
menarik kursi dan duduk berseberangan meja
dengan Liu Yok. "Apa yang kau impikan?"
"Aku mimpi, perjalanan kita bertiga tiba di
sebuah kota kecil di seberang sebuah padang
ilalang yang sangat luas. Ada hutan, ada bukit, ada
sungai dekat kota kecil itu. Orang-orangnya hidup
bahagia. Tiba-tiba kulihat awan amat hitam di atas
kota itu, awan hitam di atas kota itu sepertinya
berubah bentuk menjadi..." A-kui tiba-tiba berhenti
bicara dan mengerutkan pundaknya dengan rasa
ngeri. Liu Yok paham perasaan A-kui, dan tidak
mendesak A-kui agar meneruskan bicaranya. Ia
biarkan A-kui sendiri yang melanjutkan katakatanya, "... gumpalan awan hitam itu berubah
bentuk menjadi sebuah kota... sebuah kota
tergantung di langit... seperti yang pernah...."
Liu Yok mengangkat tangannya dan mengangguk paham, "Aku mengerti. Kota di dunia
gaib yang pernah mengurung sukmamu, bukan"
Kota di dunia gaib yang pernah kumasuki dengan
sukmaku, dengan tuntunan-Nya dan kekuatanNya, ketika aku harus mengeluarkan sukmamu
dari sana." Liu Yok paham kenapa A-kui ngeri membicarakan "kota di langit" itu, karena di saat
jiwanya ditawan di "kota langit" itulah saat A-kui
menjadi seorang gadis gila yang raganya terkurung
di sebuah ruang bawah tanah selama bertahun7
tahun. Kini tiba-tiba "kota langit" itu muncul di
mimpinya, tidak heran kalau A-kui menjadi
gelisah. Liu Yok membiarkan perasaan A-kui tenang
dulu, baru bertanya, "Cuma itu mimpimu" Awan
hitam yang berubah bentuk menjadi sebuah kota
di atas langit?" "Masih ada lanjutannya. Dari kota itu keluar
seekor harimau hitam yang besar, diikuti mahlukmahluk aneh, ada yang seperti manusia tapi
bertanduk, ada yang seperti hewan, ada yang
setengah hewan setengah manusia. Mahlukmahluk itu dipimpin macan hitam itu lalu turun
dari langit, sebagian keluar dari bumi, menguasai
kota kecil di bumi itu. Begitulah."
"Agaknya memang kau hendak diberi tahu
sesuatu dari alam atas...."
Wajah Siau "Berbahayakah?"
Hiang-bwe nampak cemas, Liu Yok menjawab, "Cari tuntunan-Nya.
Tuntunan-Nyalah yang terbaik. Sekelam dan
sedahsyat apa pun yang bakal kau alami."
"Mudah-mudahan... artinya...." mimpi biasa... tak ada "Berlatihlah mempercayai hati nuranimu. Sang
Penuntun Maha Agung itu mengajar di situ. Bukan
di otak, juga bukan di perasaan yang terombangambing."
8 Cu Tong-liang muncul di pintu kamar,
"Bagaimana" Hari ini kita jadi meneruskan
perjalanan atau tidak?"
"Tanya A-kui. Semalam ia kurang tidur, apakah
ia cukup sehat untuk melakukan perjalanan?"
Sebelum Cu Tong-liang bertanya kepadanya, Akui sudah menjawab lebih dulu, "Aku cukup sehat
untuk berjalan jauh."
"Kalau begitu, hari ini kita tinggalkan Seng-toh."
*** Kota Seng-tin adalah sebuah kota kecil yang
tenang selama berpuluh tahun. Dari generasi ke
generasi. Kota yang letaknya terpencil jauh dari
kota-kota lain. Secara militer tak pernah masuk


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hitungan namun justru itu yang membuatnya
aman. Dalam perang-perang besar yang selama
melanda daratan besar, tak ada satu pihak pun
yang sudi membuang pikiran untuk Seng-tin.
Secara militer, Seng-tin tak ada apa-apanya.
Penduduknya berladang, beternak dan ada yang
berdagang kecil-kecilan. Situasi kota kadangkadang menjadi sedikit ramai kalau ada kafilahkafilah dagang jarak jauh yang beristirahat
beberapa hari di kota itu, tetapi itu amat jarang
terjadi. Di kota itu juga tidak ada perajurit satu orang
pun. Pasukan kerajaan yang terdekat dari situ
berjarak tiga ratus li lebih di kota Yu-pin. Warga
9 kota tenang-tenang saja, segalanya serba aman. dan menganggap Sampai pada suatu hari, situasi yang aman
tenteram selama beberapa generasi itu harus
berakhir. Awalnya ialah ketika siang hari yang panas itu
tanah di kota Seng-tin serasa bergetar oleh derap
kaki puluhan ekor kuda dan puluhan lelaki garang
penunggang-penunggangnya. Udara jadi gelap oleh
tebalnya debu yang dihamburkan kaki-kaki kudakuda itu.
Dan hati warga Seng-tin mulai merasa tidak
enak melihat rombongan asing ini. Ini bukan
rombongan kafilah dagang jarak jauh seperti
biasanya. Kafilah dagang biasanya membawa untaunta bermuatan barang, kali ini tak ada unta
seekor pun, tak terlihat barang dagangan, yang
nampak adalah senjata-senjata. Kafilah dagang
juga sering membawa orang-orang bersenjata
sebagai pengawal dalam perjalanan, tetapi tidak
menimbulkan kesan menakutkan seperti ini.
Dan warga kota yang paling kencang debar
jantungnya ialah Ao Khim, si pemilik rumah
makan kecil-kecilan untuk para musafir, karena di
depan rumah makan Ao Khim inilah rombongan
orang-orang bersenjata yang menakutkan ini
berhenti, berlompatan turun dari kuda dan
memasuki rumah makan di pinggir jalan itu.
"Mudah-mudahan sehabis makan minum,
mereka akan melanjutkan perjalanan...." Ao Khim
berharap dalam hati. "Dan kalau kulihat tampang
mereka, aku tidak akan kaget kalau seandainya
10 nanti mereka pergi begitu saja tanpa membayar
makan minumnya." Biarpun hati sudah berprasangka, Ao Khim
menyongsong juga orang-orang itu dengan sikap
seramah-ramahnya. "Selamat datang di rumah
makanku, Tuan-tuan. Aku mendapat kehormatan
besar oleh kunjungan Tuan-tuan...."
Ao Khim berhenti bicara dan menelan ludahnya
dengan kaget ketika mata kapak yang tajam tibatiba tinggal setengah jari dari ujung hidungnya,
dipegangi oleh salah seorang penunggang kuda itu.
Dan Si penunggang kuda berkata tanpa sedikit
pun mengimbangi keramahan yang ditunjukkan Ao
Khim tadi, "Sediakan tempat terbaik buat
pemimpin kami supaya jangan sampai kami
robohkan tempat ini!"
"I... iya..." Ao Khim mencari-cari dengan matanya, yang
mana yang menjadi pemimpin rombongan itu,
sampai akhirnya matanya berhenti pada seorang
yang nampaknya disegani oleh yang lain-lainnya.
Orangnya ternyata tidak bertampang garang seperti
yang lain. Ia lelaki berumur empat puluh tahunan,
bertubuh ramping, tegap, kulit wajahnya tercukur
bersih dan agak pucat. Selalu tersenyum. Pada
pakaiannya ia rangkapkan kulit macan, dan ada
mantel hitam di punggungnya. Ia tidak terlihat
membawa senjata sepotong pun.
Ao Khim membungkuk hormat kepada orang ini.
"Apakah Tuan adalah pimpinan rombongan ini?"
11 Orang itu mengambil tempat duduk, lalu
menjawab, "Ya. Namaku Beng Hek-hou. Nama kota
kecil ini apa?" "Seng-tin." "Sebuah kota yang menyenangkan untuk tempat
tinggal." Diam-diam Ao Khim cemas kalau tiba-tiba saja
Beng Hek-hou dan gerombolannya ini betah di
Seng-tin, apalagi kalau sampai menetap selamanya. Maka Ao Khim mencoba menghilangkan minat Beng Hek-hou, "Kota yang
tidak ada apa-apanya, Tuan. Di sini masa depan
seperti terkubur, orang harus rela hidup hari demi
hari yang begitu-begitu terus."
"Di sini aman?"
Sekarang Ao Khim "ganti jurus" ingin
menggertak orang-orang liar ini agar jangan
berminat tinggal lebih lama di Seng-tin, "Ya tentu
saja aman. Selain karena tidak ada kekayaan yang
berarti di sini, tidak ada perampok yang berat
kemari. Tetapi juga karena di kota ini ada guru
silat Ciu Koan yang hebat main tombaknya.
Hampir semua lelaki di kota ini, mulai yang remaja
sampai yang setengah umur, pernah jadi
muridnya." "Jadi karena Ciu Koan, kota ini aman ya?"
"Benar, Tuan." Beng Hek-hou tertawa terkekeh, "Kalau begitu,
kedatanganku di Seng-tin ini tidak boleh diamdiam saja. Guru silat Ciu Koan harus
12 mengetahuinya. Duan salamku kepadanya!" Le, pergilah sampaikan Beng Hek-hou menyuruh seorang anak buahnya
yang bertubuh gendut dan berewokan, pakaiannya
dirangkap kulit binatang. Anak buahnya yang
bernama Duan Le itu paham apa yang
dimaksudkan oleh pemimpinnya, paham pula arti
kedipan mata yang dilontarkan Beng Hek-hou
dengan diam-diam, dan ia pun segera melangkah
meninggalkan rumah makan itu.
Ao Khim mengira kepala gerombolan itu benarbenar ingin menyampaikan salam kepada guru
silat Ciu Koan. Ao Khim gembira karena
menyangka gertakannya berhasil menggetarkan
nyali si pemimpin gerombolan.
Sementara Beng Hek-hou telah bertanya, "Nah,
rumah makan ini punya apa yang cukup layak
untuk dihidangkan kepadaku?"
Pada saat yang sama, Duan Le sedang berada di
jalanan, mencari-cari rumah guru silat Ciu Koan.
Karena Ciu Koan cukup terkenal di kota itu dan
kota itupun hanya kota kecil, maka dengan
beberapa kali bertanya-tanya, dapatkah Duan Le
menemukan rumah guru silat itu.
Sebuah rumah berkurung tembok, dan pastilah
berhalaman luas untuk mengajar silat. Pintunya
yang tertutup rapat itu nampaknya cukup tebal.
Agaknya hari itu bukan hari latihan, maka di luar
maupun dari dalam rumah itu terlihat sepi-sepi
saja. 13 Duan Le menggedor daun pintu dengan gelang
tembaga yang tergantung di pintu. Ketika beberapa
saat tidak ada bukakan pintu, Duan Le tidak sabar
lagi. Ia memutar-mutar gadanya yang disebut Tokkak-tong-jin
(gada berbentuk orang-orangan berkaki satu, terbuat dari perunggu) sampai
anginnya menderu, lalu menghantam ke pintu
gerbang itu. Dengan tiga kali hantam, jebollah
pintu itu, palang pintunya patah.
Duan Le melangkah masuk sambil memanggul
gadanya, dan berteriak, "Mana yang namanya Ciu
Koan?" Tadi ketika Duan Le menggedor-gedor pintu,
guru silat Ciu Koan sedang berlatih di halaman
samping. Dan ketika endengar gedoran, guru silat
ini baru saja melap tubuhnya yang berkeringat dan
hendak memakai bajunya untuk menemui
tamunya, namun tahu-tahu sudah terdengar suara
pintu dijebol, disusul teriakan Duan Le yang
bernada tidak bersahabat itu. Maka Ciu Koan pun
keluar dengan membawa tombak kebanggaannya,
sambil menggerutu, "Orang gila dari mana ini yang
hendak cari perkara denganku?"
Setelah berhadapan dengan Duan Le, guru silat
yang berusia setengah abad namun tubuhnya
masih berotot itupun bertanya, "Siapa kau, sobat"
Kenapa merusak pintu rumahku?"
Sambil memanggul gadanya dan berdiri kukuh,
Duan Le menyahut, "Aku harus melenyapkanmu?"
Ciu Koan mengerutkan alis, "Ada permusuhan
apa antara engkau dengan aku" Atau barangkali
antara pihakmu dengan pihakku?"
14 Duan Le menjawab seenaknya sambil menggaruk-garuk perutnya, "Tidak ada permusuhan apa-apa kok. Memangnya membunuh
harus ada permusuhan dulu" Alasan kami
sederhana saja, kami ingin mengambil alih kota ini,
tetapi warga kota membanggakanmu sebagai
pelindung kota ini, maka ya harus membunuhmu...." Ciu Koan gusar, "Yang mengangkat aku jadi
pelindung kota ini bukan aku sendiri! Penduduklah
yang menganggapnya demikian!"
"Aku tidak tanya asal-usulnya sampai kau
dijadikan pelindung kota, pokoknya kau harus
mati karena kami ingin menguasai kota ini. Itu
saja. Sederhana bukan" Kalau kau mati, penduduk
akan kehilangan andalannya dan mudah kami
kuasai." Kegusaran Ciu Koan meluap. Ia hentakkan
gagang tombaknya ke bumi, sambil menyahut
keras, "Kalau memang itu maumu, lakukanlah.
Lihat saja nanti, siapa yang bakal membunuh
siapa!" "Bagus, memang aku juga ingin cepat-cepat
selesai!" Habis berkata demikian, Duan Le
menghantamkan gadanya mendatar menyapu
tubuh Ciu Koan dengan menimbulkan angin
menderu keras. Ciu Koan tak berani menangkis keras lawan
keras, biarpun tangkai tombak terbuat dari rotan
pilihan tetapi pasti akan patah. Ia melejit
menghindar, kemudian tombaknya meluncur
15 bagaikan lidah seekor ular menikam perut Duan
Le. Ciu Koan agak kaget melihat lawannya ternyata
tidak berusaha menangkis tombaknya, melainkan
memutar tubuhnya dan seperti seekor gajah
mengamuk dia kembali mengepruk dengan gada
perunggunya. Ciu Koan harus mengandalkan kelincahannya
menghadapi "gajah mengamuk" ini. Ia yakin kalau
tubuhnya kena gada perunggu itu, biarpun hanya
terserempet pasti akan ada tulangnya yang patah.
16 Namun Ciu Koan tidak hanya berputar-putar
menghindar saja. Ia kemudian mengeluarkan
kemahirannya bermain tombak, dan ujung
tombaknyapun seolah menjadi banyak seperti
sekawanan lebah yang mengerumuni Duan Le.
Bukan saja ujung tombaknya, tetapi pangkal
tangkai tombaknya juga merupakan senjata yang
berbahaya. Begitulah, pertarungan di halaman rumah itu
jadi seperti seekor gajah gila berkelahi dengan
sekawanan lebah. Kemudian Ciu Koan paham kenapa Duan Le


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak menggubris ujung tombaknya, setelah
beberapa kali ujung tombaknya mengenai kulit
Duan Le secara telak namun ternyata kulit itu
tidak terluka seujung rambut pun! Duan Le
ternyata punya ilmu kebal. Semula Ciu Koan
mengira ujung tombaknya tak mampu menembus
karena kulit hewan yang tebal yang dipakai
merangkapi tubuh Duan Le. Tetapi waktu ujung
tombak mengenai! kulit lengan Duan Le tak
tertutup apa-apa dan tetap tak dapat melukai,
sadarlah Ciu Koan bahwa lawannya ini memang
kebal. "Pantas dia tidak berusaha membela diri sedikit
pun melainkan hanya menyerang terus...." Pikir
Ciu Koan sambil semakin berhati-hati.
Tetapi Ciu Koan tidak berkecil hati. Ia tahu,
ilmu kebal semacam Kim-ciong-toh (Ilmu Lonceng
Emas) ataupun Tiat-po-san (Ilmu Baju Besi) pun
ada kelemahannya. Ada bagian-bagian tubuh yang
tidak bisa dibuat kebal, misalnya bagian kemaluan
17 seorang lelaki, lekukan leher, bidang segitiga di
bawah dagu, bagian di belakang telinga dan
beberapa tempat lain. Tetapi bagian-bagian lemah
itu adalah sudut-sudut kecil yang susah dibidik,
apalagi tubuh lawannya terus bergerak dengan
serangan-serangan berbahaya.
Biarpun demikian, Ciu Koan dengan rajin dan
tekun tetap berusaha mencapai tempat-tempat
lemah di tubuh lawan dengan ujung tombaknya.
Duan Le sendiri makin gusar dan mengamuk
makin hebat. Permainan gada perunggunya
sebetulnya tidak banyak yariasinya, lebih banyak
main kepruk dan main seruduk saja, bahkan
kakinya kadang-kadang juga menendang atau
menginjak dengan kasar. Makin hebat amarah Duan Le, di dalam jiwanya
ada suatu kekuatan lain yang bangkit dan
mengambil alih tubuh dan pikirannya Duan Le
pelan-pelan. Dalam keadaan semakin tak sadar
diri, deru gada perunggu makin hebat, dan kini
dari mulut Duan Le kedengaran geram-geram
seperti suara seekor beruang yang marah.
Ciu Koan yang sekian lama belum berhasil
menusuk tempat lemah, diam-diam mulai ganti
siasat dan berharap Duan Le akan cepat kehabisan
tenaga. Dengan senjata berbobot seberat gada berbentuk orang-orangan, diharapkan tenaga Duan
Le akan cepat habis. Kalau sudah habis tenaganya,
mungkin takkan sulit untuk ditusuk bagian
lemahnya. 18 Namun setelah ditunggu-tunggu sekian lama
dan tenaga Ciu Koan sendiri mulai susut, ternyata
Duan Le masih mengamuk sehebat semula. Tak
ada tanda-tanda kelelahan sedikit pun. Ketika Ciu
Koan memperhatikan lawannya, ia pun mulai
melihat kejanggalan. Lawannya berkelahi dengan
mata terpejam, seperti tak ingat diri sendiri! Dari
mulutnya mulai sering terdengar geram-geram
aneh, dan setiap geraman membuat Ciu Koan sakit
kepalanya dan makin kabur pandangan matanya.
Maka sadarlah Ciu Koan bahwa lawannya ini
bukan saja bertenaga besar, berilmu kebal, tetapi
juga memiliki sejenis ilmu gaib untuk mengacaukan perlawanan musuhnya.
Makin kecillah harapan Ciu Koan untuk keluar
dari kesulitan itu. Dalam hatinya kini ia berharap
akan mendapat bantuan orang lain, mungkin dari
murid-muridnya yang beberapa di antaranya
sudah cukup matang dalam ilmu tombaknya.
Mudah-mudahan ada tetangga yang mendengar
ribut-ribut itu lalu mengabari murid-muridnya.
Dan yang muncul di halaman itu malahan
seorang yang tidak diharapkan oleh Ciu-Koan,
yaitu anak satu-satunya, Ciu Bian-li, gadis remaja
berusia tujuh belas tahun itu. Ciu Bian-li muncul
dari dalam rumah dalam pakaian ringkas dan
memegang tombak, karena mendengar keributan
itu. Dengan berani gadis itu hendak ikut bertempur,
membantu ayahnya yang nampak amat tertekan,
namun ayahnya justru berteriak, "Bian-li, jangan!
Panggil saja Kakak-kakakmu!"
19 Tetapi Ciu Bian-li ibarat anak kambing yang
belum tahu apa artinya takut kepada macan.
Dilarang ayahnya, bukannya ia menurut, malah
berseru, "Ayah, kita berdua pasti akan menang!"
Lalu gadis itu melompat ke tengah gelanggang
sambil menikamkan ujung tombaknya ke mata
Duan Le dengan gerak tipu Kim-siam-hi-long
(Katak Emas Bermain Gelombang).
Ciu Koan dengan nada cemas meneriaki
puterinya, "Bian-li, hati-hatilah! Orang ini kebal
dan...." Jantung Ciu Koan serasa berhenti berdetak
ketika melihat tangkai tombak puterinya berhasil
ditangkap oleh Duan Le, biarpun mata Duan Le
dalam keadaan tertutup rapat, karena dalam
keadaan semacam kesurupan. Menyusul gada
perunggunya menghantam ke arah Ciu Bian-li
yang berkutat tidak mau melepaskan tombaknya.
Ciu Koan tak ingat lagi keselamatan dirinya
sendiri karena puterinya terancam. Sekuat tenaga
ia melemparkan tubuhnya untuk menubruk
puterinya sendiri agar lolos dari hantaman gada
perunggu, sambil berseru, "Lepas tombakmu, Nak!"
Gadis itu memang jatuh bergulingan ditabrak
ayahnya, sehingga lolos dari serangan mematikan,
tetapi ayahnyalah yang harus "membayar harga"
penyelamatan itu. Pundak kiri Ciu Koan
terserempet gada perunggu Duan Le, dan
walaupun hanya terserempet tapi sudah cukup
membuat guru silat itu terpental sambil
menggelogokkan darah dari mulutnya.
20 "Ayah!" teriak Si Gadis dari jarak beberapa
langkah, tanpa daya, dan teriakan gadis itu tak
mampu mencegah ketika Duan Le meraung seperti
beruang, lalu menginjak dada Ciu Koan. Terdengar
suara gemeretak tulang-tulang patah yang
mengantar nyawa Ciu Koan meninggalkan raganya.
Ciu Bian-li pingsan melihat nasib ayahnya.
Sementara Duan Le beberapa saat lamanya
berdiri, kesadarannya pelan-pelan menguasai
dirinya kembali, ketika kekuatan asing yang baru
saja menguasainya itu pelan-pelan mengendap
jauh ke dalam kekelaman di suatu sudut
kedalaman jiwanya. Pelan-pelan Duan Le membuka matanya, dan
ketika melihat tubuh Ciu Koan dan Ciu Bian-li
bergeletakan di dekat kakinya, Duan Le pun tahu
bahwa ia sudah menyelesaikan tugas yang
diperintahkan Beng Hek-hou. Meskipun ia tidak
ingat bagaimana kejadiannya, sebab tadi ia sedang
tak ingat diri sendiri. Duan Le menarik napas, lalu sambil memanggul
gada perunggunya ia berjalan balik ke rumah
makan tadi. "Bagaimana?" tanya Beng Hek-hou.
Dengan dingin Duan Le menjawab, "Guru silat
Ciu Koan sudah mati."
Berita itu bagaikan halilintar meledak di atas
kepala beberapa warga Seng-tin yang berada di
rumah makan itu. 21 "Bagaimana penasaran. matinya?" tanya Ao Khim Beng Hek-hou tertawa, "Tidak jadi soal
bagaimana cara matinya, yang jelas andalan kota
ini sudah mati. Jadi kami sekarang yang
bertanggung jawab untuk keamanan kota ini."
Begitu enaknya Beng Hek-hou bicara, seperti
mengambil alih sesuatu yang tak berharga sedikit
pun. Padahal yang diambil alih itu adalah masa
depan seluruh penduduk Seng-tin. Penduduk
Seng-tin yang semula hidup bebas dalam
kerukunan dan perdamaian, sekarang hendak
diperintah begitu saja oleh kelompok orang asing
ini. Perbedaannya bagaikan siang dan malam.
Ao Khim bukan jago berkelahi, namun gusar
juga melihat sikap seenaknya dari rombongan
orang-orang ini. Untuk melawan terang-terangan
memang tidak berani, tetapi untuk mencoba
mengulur dan mencegah secara halus, Ao Khim
berani. Katanya, "Harap Tuan Beng ketahui, guru
silat Ciu Koan itu tokoh yang menonjol di kota ini,
tetapi tidak berkedudukan apa-apa. Kematiannya
hanya berarti bahwa kota Seng-tin kehilangan
seorang warga yang baik, yang suka menolong. Itu
saja. Tidak lebih." Beng Hek-hou mengangguk-angguk, "Ooo,
begitu" Kalau begitu, pengambilalihanku atas kota
ini tidak bersangkut-paut dengan mati-hidupnya
Ciu Koan. Pokoknya mulai hari ini aku harus
dipatuhi di sini. Habis perkara!"
Ao Khim gemas sekali menghadapi sikap itu,
namun berusaha tetap berbicara baik-baik, "Harap
22 Tuan Beng ketahui juga, bahwa kami di kota kecil
ini sudah biasa merundingkan segala sesuatu di
antara warga kota. Tidak mungkin kami
memutuskan sesuatu pun tanpa melalui rapat
seluruh warga kota lebih dahulu."
Jawaban Beng Hek-hou semakin menjengkelkan, "Itu sungguh kebiasaan yang
sangat baik, tetapi buang-buang waktu dan tidak
praktis. Mulai sekarang, ada yang lebih praktis
untuk menentukan segala sesuatu, yaitu aku yang
menentukan segalanya dan harus dipatuhi
semuanya. Pokoknya beres. Aku ini orangnya adil,
bijaksana dan tahu perasaan kok."
"Tetapi... dengan hak apa Tuan melakukan itu?"
hati Ao Khim makin panas dan makin
mengabaikan keselamatannya sendiri.
"Coba lihat, apa yang dipegang anak buahku?"
"Senjata...." "Nah, itulah yang memberi aku hak untuk
bertindak begini. Ada kekuatan, maka kata-kataku
adalah hukum. Sederhana bukan" Paham?"
Namun peristiwa itu terlalu mendadak dan
terlalu diluar dugaan. Ao Khim masih saja gelenggeleng kepala, dalam hati timbul niat untuk
menggerakkan warga Seng-tin agar bersatu
mengusir gerombolan ini. Warga Seng-tin yang
laki-laki dewasa dan bisa berkelahi, kalau
dikumpulkan akan berjumlah tiga ratusan orang,
masa kalah dari gerombolan yang tidak lebih dari
empat puluh orang ini, biarpun yang empat puluh
ini tampangnya seram-seram"
23 Sikap bandel Ao Khim ini agaknya mulai
menjengkelkan Beng Hek-hou, sehingga Beng Hekhou berkata, "Agaknya kau belum paham juga.
Atau tidak mau paham" Tidak rela aku menjadi
penguasa kota ini" Baiklah aku adakan sedikit
demonstrasi kekuatan gaibku."
Lalu Beng Hek-hou memejamkan mata dan
bibirnya terlihat bergerak-gerak. Suasana hening
beberapa saat lamanya. Ao Khim geleng-geleng kepala, dalam hatinya
mentertawakan "kekuatan gaib" orang ini karena ia
tidak merasakan apa-apa. Ia melangkah ke dapur
dan bertekad akan mengacuhkan tamu-tamu tak
diundang ini. Ia menghentakkan kakinya ketika
merasa ada beberapa ekor semut merambati
kakinya. Namun ternyata semut-semut yang merayapi
tubuhnya makin banyak, dari segala sudut rumah
makan itu semut semut berdatangan hanya untuk
merambati dan menggigiti Ao Khim. Di tempat itu
memang banyak semut karena banyak remahremah makanan, jenisnya juga bermacam-macam.
Namun kali ini semut semut itu digerakkan oleh
suatu kekuatan tak terlihat, hanya mengincar Ao


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Khim dan tidak peduli yang lainnya, mereka
menggigiti dengan ganas. Ao Khim yang sedang melangkah ke dapur itu
mulai kerepotan. Ia gunakan sepasang tangannya
untuk menepuk-nepuk seluruh tubuhnya, membunuh puluhan semut, tetapi ratusan dan
bahkan ribuan semut lainnya mulai menggigit
sekujur tubuhnya. 24 Di depan mata anggota-anggota gerombolan,
maupun warga kota yang kebetulan ada di situ, Ao
Khim mulai "menari" gara-gara semut-semut itu.
Bahkan kemudian bergulingan sambil menggaruk
menggeloser-geloserkan tubuhnya ditanah. Menggaruknya makin ganas sampai kulitnya
berdarah oleh tangannya sendiri, namun semutsemutnya pun makin banyak dan makin ganas.
Ruangan itu kemudian penuh suara lolongan Ao
Khim yang menimbulkan rasa seram bagi warga
kota yang mendengarnya. Ao Khim yang
berlumuran darah itu bergulingan kesana kemari
sambil menjerit-jerit putus asa, menabrak meja
dan kursi, menggaruk-garuk tubuh, tapi semutsemut tak pernah berhenti mengalir menuju
tubuhnya. Tak tahan lagi, Ao Khim menjerit-jerit,
"Bunuhlah aku! Bunuh aku! Aku berterima kasih
kalau ada yang mau membunuh aku !"!
Namun siapa berani bertindak menuruti
permintaan itu, di bawah tatap mata yang tajam
dari orang-orang bersenjata itu"
Akhirnya Ao Khim berseru dengan suaranya
yang parau kepada Beng Hek-hou, "Tuan Beng,
jangan siksa aku lebih lama... bunuh aku! Bunuh
aku!" Beng Hek-hou tertawa terkekeh, "Siapa mau
nyawamu. Kalau kau mati, tentu aku tak dapat
menikmati masakan-masakanmu yang enak. Kau
harus tetap hidup untuk melayani aku, penguasa
kota ini!" Lalu Beng Hek-hou kembali komat-kamit, maka
semut-semut pun meninggalkan tubuh Ao Khim.
25 Juragan rumah makan itu berangsur-angsur
tenang meskipun masih merintih.
Setelah penyiksaan itu benar-benar berakhir, Ao
Khim bangkit tertatih-tatih dengan pakaian dan
kulit yang robek-robek oleh cakaran tangannya
sendiri tadi, sorot matanya memancarkan rasa
ngeri yang amat membekas di jiwanya. Namun ia
membungkuk hormat kepada Beng Hek-hou sambil
berkata, "Terima kasih..."
Dengan pandangan mata angkuh penuh kuasa,
Beng Hek-hou menatap wajah-wajah bermimik
gentar dari orang-orang Seng-tin di rumah makan
itu. "Kalian mmu melihat sebagian kecil dari
kemampuan sihirku. Dan aku yakin bahwa kalian
akan bersedia mematuhi aku, betul?"
Beberapa kepala mengangguk, meski dengan
ragu. Beng Hek-hou terkekeh pula, "Bagus, sebar
luaskan pengambilalihanku atas kota ini sebelum
matahari terbenam, jangan ada warga kota kecil ini
yang belum tahu. Dan peraturan pertama yang
kukeluarkan ialah, tak boleh ada warga kota ini
yang bepergian keluar dari batas kota tanpa ijinku.
Yang melanggar akan mendapat hukuman yang
belum pernah kalian bayangkan."
Warga kota itupun mengeloyor lesu meninggalkan rumah makan Ao Khim, sambil
meratapi hari-hari kelam yang menghadang
langkah mereka. *** 26 Bagaimanapun garangnya ancaman Beng Hekhou, dan bagaimanapun ngeri-nya apa yang
dialami guru silat Ciu Koan dan Ao Khim yang
memporak-porandakan ketenangan kota kecil itu,
namun naluri kemerdekaan yang sudah berakar
puluhan tahun di hati warga Seng-tin tak gampang
padam hanya dengan beberapa gertakan. Sekian
lama mereka hidup damai dan rukun tanpa perlu
diperintah siapa-siapa, berdasar kesadaran sendirisendiri, tiba-tiba kini segerombolan orang asing
yang tak keruan dari mana asal-usulnya hendak
memerintah begitu saja. Ketika hari sudah gelap, beberapa murid Ciu
Koan dan beberapa bekas murid, berkumpul diamdiam di rumah seorang murid terpercaya yang
bernama Ek Yam-lam. Untuk bisa berkumpul
seperti itupun tidak semudah kemarin, ketika
Seng-tin masih bebas. Sekarang harus berhatihati, sebab orang-orang asing itu berpatroli di
jalan-jalan Seng-tin. Ek Yam-lam seorang penggembala kambing, ia
sudah lima belas tahun menjadi murid Ciu Koan,
dan ia tidak terima kematian gurunya begitu saja.
Pemuda seperempat abad berkulit kehitaman dan
bertubuh kekar itu dengan suara emosional
menghasut teman-teman seperguruannya yang
berkumpul diam-diam di rumahnya di pinggiran
kota. Pertemuan hanya diterangi sebatang lilin,
dan yang hadir ternyata hanya lima orang. Memang
hampir semua lelaki di Seng-tin pernah mendapat
pelajaran silat dari Ciu Koan, tetapi kalau
urusannya sampai harus membela gurunya dengan
mempertaruhkan nyawa menentang gerombolan,
27 banyak yang lebih suka tidak ikut-ikutan. Banyak
yang ikut sedih atas kematian guru silat Ciu Koan,
tapi tidak punya nyali untuk membalaskan
kematiannya, sekaligus mengusahakan kembali
kebebasan Seng-tin dari gerombolan.
Dan ternyata orang-orang yang berkumpul di
rumah Ek Yam-lam itupun tidak semuanya berani
menentang gerombolan. Terbukti, setelah sekian
lama Ek Yam-lam bicara berapi-api untuk
mengobarkan keberanian teman-temannya, ternyata teman-temannya tetap dingin-dingin dan
tawar saja. Meski tidak diucapkan terang-terangan,
tetapi terbaca di wajah mereka bahwa mereka pun
jeri terhadap gerombolan.
Akhirnya dengan patah semangat Ek Yam-lam
menghela napas dan berkata, "Rupanya percuma
saja kukumpulkan kalian malam ini. Dan percuma
pula almarhum guru kita mendidik kalian dengan
tekun selama bertahun-tahun...."
Giam Lok yang bertubuh pendek gempal dan
beralis tebal menyahut, "Kakak Lam, terserah
kalau aku dianggap penakut. Tapi akal sehatku
bilang, kalau kita lawan gerombolan itu sekarang,
kita sama dengan cari mati. Lihat nasib guru kita,
padahal di antara kita tidak ada yang semahir guru
dalam bermain tombak. Apalagi, kita kalah jumlah,
kalah pengalaman, dan yang paling menakutkan,
orang-orang gerombolan itu belajar ilmu gaib. Kita"
Kita tidak paham sedikit pun hal-hal yang gaib
begitu." "Aku yakin, kita bisa kerahkan semua laki-laki
di Seng-tin itu untuk bersama-sama melawan..."
28 sahut Ek Yam-lam. "Kalau kita bersatu, kita pasti
menang!" "Nyatanya, warga kota dicengkam ketakutan.
Cerita tentang Paman Ao Khim yang diserang
semut itu sudah menyebar luas. Mana mungkin
membangkitkan semangat perlawanan mereka"
Malam ini mendengar derap kuda di luar rumah
saja semua orang sudah berkerut ngeri."
Ek Yam-lam memegangi kepalanya dengan dua
tangan yang sikunya bertumpu di atas meja,
seolah takut kepalanya mendadak copot dari
bahunya. Sesaat kemudian ia bertanya, "Lalu,
apakah kita akan berpangku tangan saja?"
"Tentu saja tidak. Kalau Kakak setuju, malam
ini Ho Tong dan Ibun Lai sanggup urtuk pergi dari
Seng-tin, menempuh perjalanan jauh ke Yu-pin
untuk menjumpai Kakak Kiao, memohon bantuannya." Ho Tong dan Ibun Lai juga murid-murid Ciu
Koan yang hadir pula saat itu. Bahkan mereka
berkata sambil menunjukkan bekal mereka. "Kalau
Kakak Lam setuju, kami langsung berangkat
sekarang juga, tidak perlu lagi mampir ke rumah.
Bekalnya sudah kami bawa."
Ek Yam-lam termenung memikirkan gagasan
itu. Kiao Tong-kin di Yu-pin adalah murid Ciu
Koan pula, tetapi ia berguru kepada banyak
pendekar sehingga kemahiran silatnya mengungguli Ciu Koan almarhum. Selain itu, ia
berhasil mendirikan Kim-eng Piau-hiang (Perusahaan Pengawalan Elang Emas), di mana ia
punya bawahan puluhan jago silat dari berbagai
29 aliran. cocok masih dengan Rasanya Kiao Tong-kin memang paling
dimintai pertolongan, mudah-mudahan
ada ikatan batin antara Kiao Tong-kin
kampung halamannya, yaitu Seng-tin.
Akhirnya Ek Yam-lam mengangguk, "Baiklah.
Berangkatlah dan hati-hatilah."
Ternyata Ho Tong dan Ibun Lai memang sudah
siap menempuh perjalanan jauh, dan itu terlihat
dari dandanan mereka. Mereka berpakaian ringkas
berwarna gelap, agar lebih mudah menyusup
keluar kota Seng-tin malam itu. Tak ketinggalan
tentunya adalah senjata-senjata mereka. Tombak
sebagai senjata andalan murid-murid Ciu Koan,
tetapi mereka juga membawa pisau-pisau yang
diselipkan di sepatu dan sekantong piao (senjata
rahasia). Mereka yakin akan bisa keluar dari Seng-tin
malam itu. Sebab Seng-tin ialah sebuah kota kecil
tak berdinding, dan anggota gerombolan yang
jumlahnya kurang dari empat puluh orang itu
diyakini tak mampu mengawasi setiap jengkal
perbatasan kota, apalagi Ho Tong dan Ibun Lai
sebagai orang-orang Seng-tin sejak lahir mengenal
setiap sudut kota kecil itu seperti mengenali
telapak tangannya sendiri.
Mereka berdua pun menghilang di kegelapan
malam di batas kota. Rumah Ek Yam-lam memang
terletak di pinggiran kota, tempat di mana rumahrumah penduduk sudah jarang, dan banyak
belukarnya. Ho Tong dan Ibun Lai terus mengendap-endap
dengan hati-hati sampai di luar kota. Setelah kira30
kira satu li dari pinggiran kota, mereka mulai
memasuki daerah padang ilalang yang luasnya
bukan main. Daerah itu sebenarnya cukup gawat
di malam hari, sebab adanya gerombolan serigala
yang jumlahnya sampai ratusan. Hewan-hewan
buas itu amat ditakuti para pemburu yang paling
hebat sekalipun, lebih ditakuti dari sepasang
harimau sekalipun. Tetapi penduduk Seng-tin yang
sudah puluhan tahun diam di situ telah
mempunyai penangkalnya. Mereka membuat
semacam bubuk yang baunya amat dibenci
serigala-serigala itu. Kalau bubuk itu ditaburkan
ke badan, serigala takkan sudi mendekatinya. Ho
Tong dan Ibun Lai masing-masing sudah
membekali diri dengan sekantong bubuk buatan
tradisional Seng-tin itu.
"Kita tidak perlu lagi berjalan mengendapendap, kita sudah di luar kota." kata Ho Tong lega.
Baru saja selesai kata-katanya, tiba-tiba di
belakang mereka terdengar derap beberapa ekor
kuda. Ketika mereka menoleh, mereka lihat
lentera-lentera lampion bertangkai bambu panjang
berayun-ayun seperti serombongan kunangkunang, makin dekat.
Ho Tong dan Ibun Lai terkesiap, serempak
mereka

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat ke pinggir jalan dan menenggelamkan diri ke tengah-tengah lautan
ilalang setinggi manusia itu. Sambil berjongkok di
tengah-tengah ilalang, mereka juga menyiapkan
tombak mereka untuk perlawanan seandainya
kepergok. Senjata rahasia pun sudah dikeluarkan
dari kantong. 31 Mereka mengintip hati-hati dari celah-celah
ilalang, dalam kabut mereka melihat ada lima
penunggang kuda berpakaian hitam dan bersenjata. Mereka membawa lampion-lampion
bertangkai bambu untuk menerangi kegelapan,
merekalah anggota-anggota gerombolan penguasa
baru di Seng-tin. Terdengar salah seorang dari penung-gangpenunggang kuda itu menggerutu, "Dinginnya
seperti ini, sementara teman-teman yang lain
sedang menghangatkan diri dengan arak dan
perempuan-perempuan Seng-tin, kita malah sedang keluyuran di udara terbuka seperti ini."
Di persembunyian, Ho Tong dan Ibun lai
terkesiap mendengarnya. Entah wanita-wanita
muda Seng-tin mana yang malam itu jadi korban,
karena di Seng-tin tidak ada rumah bordil" Ho
Tong dan Ibun Lai pun masing-masing punya
sanak keluarga perempuan-perempuan muda.
Tiba-tiba salah seorang penunggang kuda itu
menurunkan lampionnya sampai dekat ke tanah,
mengamat-amati tanah, rumput-rumput ilalang
yang terinjak, lalu berserulah ia, "He, temanteman, ada jejak baru di sini!"
Ada yang melompat turun dari kuda, berjongkok
memeriksa jejak itu, lalu menuding ke arah tempat
Ho Tong dan Ibun Lai bersembunyi sambil berkata,
"Ke sana!" "Kurang ajar orang-orang Seng-tin ini, sudah
diberi peringatan, masih ada juga yang coba-coba
kabur..." geram seorang sambil menghunus
32 pedangnya mereka!" lalu turun dari kuda. "Temukan Di tempat sembunyi, Ho Tong dan Ibun Lai
mengeluh dalam hati. Mereka sadar, betapa hijau
mereka dalam pengalaman. Mereka bersembunyi
tetapi lupa menghilangkan jejak.
Tetapi semangat perlawanan menggelora di hati
kedua anak muda itu. Ho Tong menggenggam
lengan Ibun Lai dan berbisik di kupingnya, "Kalau
kita berdua mati, habislah harapan rakyat Sengtin. Karena itu, biar kupancing perhatian bangsatbangsat itu, dan kau harus melanjutkan
perjalanan ke Yu-pin."
Tetapi Ibun Lai menjawab tegas dengan berbisik
pula, "Tidak, kau saja yang pergi. Aku yang
memancing mereka." Keduanya memang bersahabat akrab, dan
sekarang mereka berebutan untuk berkorban demi
sahabat, juga demi tetap terjaganya harapan bagi
rakyat Seng-tin. Keduanya sama-sama ngotot, akhirnya dengan
berbisik-bisik mereka bersepakat untuk mengundi
siapa yang pergi dan siapa yang berkorban. Mereka
memainkan permainan "gunting, batu, kertas"
(semacam "sut" dengan jari yang melambangkan
gajah, semut dan manusia). Akhirnya Ho Tonglah
yang harus melanjutkan perjalanan ke Yu-pin.
Mata Ho Tong berkaca-kaca karena tahu inilah
saatnya ia melihat sahabat karibnya untuk
terakhir kali dalam keadaan hidup. Ho Tong bisa
33 memastikan nasib apa yang bakal menghadang
sahabatnya ini. Ho Tong memeluk Ibun Lai dan berbisik sambil
terisak, "Aku takkan melihatmu lagi."
Ibun Lai pun terharu, "Jangan kecil hati, asal
kelak kau lihat wajah orang-orang Seng-tin
kembali dalam kebebasan karunia alamnya, kau
sama dengan melihatku. Sekarang kita harus
bertindak. Tunggu sampai mereka terpancing
olehku, baru kau kabur secepatnya."
Habis berkata demikian, Ibun Lai pun tidak
membiarkan rasa haru berlarut-larut membuatnya
lemah. Ia melepaskan pelukan Ho Tong, Ibun Lai
bergeser belasan langkah.
Sementara itu, anak buah gerombolan yang
empat orang itu semuanya sudah turun dari kuda.
Mereka maju berjajar, satu sama lain berjarak kirakira lima langkah, dengan lentera di tangan kiri
diangkat tinggi-tinggi, senjata di tangan kanan
digenggam erat, mata waspada se-akan ingin
melihat ada apa di balik setiap helai ilalang.
Salah seorang anggota gerombolan tiba-tiba
mendapat gagasan, "Kenapa tidak kita bakar saja
ilalangnya" Ilalang ini cukup kering."
Temannya menyahut. "Dan
terpanggang di sini, tolol?"
kita ikut mati Saat itulah Ibun Lai tiba-tiba muncul dan
langsung tangan kanannya menghamburkan
belasan piau ke arah empat lawannya. Ia tidak
terlalu mahir melempar-piau, tetapi lemparannya
lumayan juga, apalagi dilakukan secara mendadak
34 dan dalam suasana malam berkabut pula, maka
terdengar dua diantara anggota gerombolan itu
mengaduh. Satu kena pundaknya, yang lain kena
pahanya. Ibun Lai sengaja memperdengarkan suara
tertawa mengejek untuk menarik perhatian lawanlawannya, "He-he-he, bangsat-bangsat rendah, kau
boleh kenal hebatnya laki-laki Seng-tin sekarang."
Lalu Ibun Lai melompat ke depan, ketika
tangannya menabur lagi, kali ini bukan piau
melainkan tanah berpasir.
Sayang lawan-lawannya terlalu berpencar dan
taburan pasirnya tak mencapai mereka berempat,
hanya orang terdekatlah yang mencaci-maki sambil
menutup matanya. Agaknya matanya kena.
Lentera yang dipegangnya jatuh dan membakar
ilalang. Tanpa beban pikiran akan mati hidupnya
sendiri, Ibun Lai mengamuk dengan tombaknya.
Ternyata pada awalnya ia berhasil juga
membuat keempat lawannya agak kelabakan,
apalagi karena di antara mereka ada yang sudah
terluka oleh piau dan ada yang kelilipan pasir pula.
Namun setelah berjalan beberapa gebrak,
anggota-anggota gerombolan yang lebih berpengalaman itu dapat menyusun diri mereka
dalam suatu kerja sama. Yang terluka tidak
terganggu oleh luka mereka yang tidak seberapa.
Yang kelilipan cepat membersihkan matanya, lalu
ikut berkelahi. 35 Setelah keempat orang itu mampu bertempur
bersama dengan kompak, Ibun Lai pun mengalami
tekanan berat. Namun ditopang semangat berkorbannya, perlawanannya tidak mudah dihabisi. Sementara itu, Ho Tong merayap diam-diam di
balik ilalang, menjauhi tempat perkelahian. Air
matanya menetes, tetapi ia menguatkan hati.
Setelah puluhan langkah, barulah dia berlari
sekencang-kencangnya. Ibun Lai tidak tahu sudah sejauh mana Ho
Tong, karena cahaya api tak menjangkau seluruh
sudut padang ilalang itu. Ia melawan saja matimatian.
Suatu kali, sambil meraung gusar Ibun Lai
menerjang maju ke depan, tombaknya memainkan
gerak tipu Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melompati Parit). Yang diincar ialah seorang yang
bersenjata golok, ujung tombak Ibun Lai terarah ke
perutnya. Pemegang golok itu menangkiskan golok ke
samping, tahu-tahu kakinya menyepak ke depan
dengan cepat, mengenai paha Ibun Lai. Ibun Lai
sempoyongan, dan seorang lawan yang bersenjata
toya kayu hitam menggebuk ke arah kepala Ibun
Lai. Ibun Lai sempoyongan tetapi masih sempat
menunduk untuk menyelamatkan kepalanya.
Gebukan itu kena ke pundak, tetapi agaknya
dibiarkan saja oleh Ibun Lai yang sudah nekad.
Bahkan dengan gerakan tanpa jurus, tombaknya
36 ditikamkan sekena-kenanya ke arah Si pemegang
kayu hitam itu. Terjadilah "tukar-menukar" antara keduanya.
Pundak kanan Ibun Lai serasa remuk kena
gebukan, tetapi ujung tombaknya amblas terjepit
tulang-tulang rusuk si anggota gerombolan yang
langsung terjengkang dengan tombak tetap
menancapi tubuhnya. Ibun Lai tak bersenjata lagi, tetapi nampak
menyeringai puas, agaknya rela mati asalkan Ho
Tong dapat lolos. Lengan kanannya tak bisa
37 digerakkan lagi karena pundak kanannya remuk,
tetapi dengan tangan kiri ia mencabut pisau yang
diselipkan di sepatu. Pisau digerak-gerakkan
dengan kacau dan tanpa tenaga ke segala arah.
Tiga anggota gerombolan yang tersisa itu gusar.
Geram salah seorang, "Kau sudah sekarat, tikus
kecil. Usahamu untuk kabur dari Seng-tin sia-sia
saja. Besok mayatmu akan kami seret di sepanjang
jalanan di Seng-tin."
Ibun Lai merasakan matanya kabur, dan pisau
di tangan kiri itu tak ada artinya sedikit pun. Ia
dihabisi oleh tiga orang lawannya yang marah
karena kehilangan seorang kawan pula.
Ketiga anggota gerombolan itu terengah-engah
menatap mayat Ibun Lai yang agak hancur, kata
salah seorang, "Kita seret mayat ini di belakang
kuda, besok pagi. Biar seisi kota tahu akibatnya
kalau membangkang." Tetapi seorang anggota gerombolan yang lain
berkata, "Tadi rasanya ada dua jejak. Kita baru
temukan seorang." Mereka menatap ke kegelapan di kejauhan,
"Agaknya yang seorang itu takkan terkejar. Untuk
menemukan satu orang di tempat seluas ini,
apalagi orang itu mengenal tempat ini sejak kecil,
ibarat usaha menemukan sebatang jarum di dasar
lautan." "Jadi?" "Kita laporkan kepada Ketua."
38 Demikianlah mereka kembali ke kota, menemui
Beng Hek-hou dan melaporkan apa yang terjadi.
Beng Hek-hou gusar mendengarnya. Ia menunjuk ke mayat Ibun Lai dan memerintahkan,
"Potong-potong mayat itu. Sebarkan ke seluruh
pelosok kota. Batok kepalanya pancangkan di
depan pasar!" "Baik. Yang lari itu bagaimana?"
Beng Hek-hou tertawa dingin, "Besok pagi dia
akan kembali sendiri ke kota ini!"
Mendengar itu, anak buahnya tahu bahwa
pemimpinnya ini akan memakai ilmu gaibnya.


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam itu Ek Yam-lam tidur dengan gelisah.
Apa yang terjadi di Seng-tin siang harinya terlalu
membekas di pikirannya, ditambah lagi sedikit
banyak ia kuatir juga nasib Ho Tong dan Ibun Lai,
meskipun kedua saudara seperguruannya itu
menyatakan keyakinannya untuk bisa lolos dari
Seng-tin dengan selamat. Tiap kali ia terpejam, bayangan-bayangan buruk
muncul di pelupuk matanya. Dalam sepotong
mimpinya ia bahkan melihat tubuh Ibun Lai
berlumuran darah dicabik-cabik serigala, sedangkan Ho Tong berlari ketakutan di tengahtengah padang ilalang, dikejar mahluk-mahluk
terbang berwajah seram. Karena tak bisa tidur, akhirnya Ek Yam-lam
duduk-duduk saja sambil memandangi nyala
pelita. Untung ia tinggal seorang diri di rumah
berdinding tanah liat dan beratap ijuk itu, sehingga
39 tak ada orang lain mengurusnya kapan ia bangun
atau tidur. Tetapi kalau sedang gelisah seperti itu, rasanya
ia membutuhkan teman juga. Apalagi sebentarsebentar tengkuknya terasa dingin oleh perasaan
seram yang entah dari mana datangnya. Di
kejauhan terdengar lolong anjing liar mengalun
panjang. "Mudah-mudahan mereka berdua selamat...."
Menjelang dini hari, ia dapat juga tidur pulas
biarpun tidak lama. Ia dibangunkan oleh cahaya fajar yang
menerobos jendela, juga oleh suara kambingkambingnya di kandang.
Dengan langkah terhuyung-huyung karena
masih agak mengantuk, ia melangkah ke sumur. Ia
menimba air lalu membasahi kepala dan mukanya
dengan air dingin sehingga jadi agak segar.
Namun ketika ia melangkah menuju kandang
kambing, tiba-tiba matanya menangkap adanya
sesosok tubuh yang berjongkok meringkuk di
sudut halaman belakang. Ek Yam-lam terkesiap,
dalam keremangan pagi buta ia tidak mengenali
siapa orang itu. Maka ia melangkah mendekati
dengan waspada, sambil bertanya, "He, siapa itu?"
Orang yang berjongkok itu mengangkat
wajahnya dari antara lutut-lututnya sambil
menyeringai lebar, bola matanya jelalatan ke sanasini. Ek Yam-lam kaget bukan main karena orang
itu adalah Ho Tong. 40 "Ho Tong...." Ho Tong menatap Ek Yam-lam lekat-lekat,
pertanyaannya pun ganjil, "He, siapa kau"
Bukankah rumah ini rumah Kakak Ek Yam-lam,
siapa kau, sehingga kau di rumah ini?"
Ek Yam-lam bingung, kenapa Ho Tong tidak
mengenalinya" Lagi pula, katanya mau pergi ke
Yu-pin bersama Ibun Lai, kok malah sepagi ini
sudah di Seng-tin kembali tanpa Ibun Lai" Di
mana Ibun Lai" Yang jelas, Ek Yam-lam takkan memperoleh
jawaban dari Ho Tong, sebab Ho Tong bicara
kacau. "Ho Tong, tidakkah kau kenali aku" Aku Ek
Yam-lam. Aku Kakak Lam-mu itu."
Ho Tong berdiri, menatap Ek Yam-lam agak
lama, lalu geleng-geleng kepala sambil berkata,
"Aku tidak mudah tertipu. Kau mahluk keparat,
sepanjang malam kau sudah coba menipuku
dengan menyamar sebagai guruku yang sudah
mati, menyamar sebagai Ibun Lai, dan sekarang
kau pura-pura jadi Ek Yam lam. Tetapi aku tahu
kau adalah roh jahat itu."
Lalu Ho Tong mengeloyor pergi, meninggalkan
Ek Yam-lam yang terlongong-longong.
Ek Yam-lam ingin menahan Ho Tong, tetapi apa
yang hendak ia katakan kepada Ho Tong yang
mendadak jadi aneh itu" Dalam keremangan pagi
masih sempat dilihatnya Ho Tong menjauh, sambil
bicara sendiri, kadang-kadang seperti marahmarah dan kadang-kadang tertawa-tawa.
41 Akhirnya dengan perasaan pilu Ek Yam-lam
sampai pada suatu kesimpulan. Ho Tong telah
terganggu ingatannya, alias gila.
"Mungkinkah ini arti mimpiku semalam?" Ek
Yam-lam merenung. "Ho Tong dan Ibun Lai
mengalami suatu peristiwa yang mengguncang
jiwanya, sehingga Ho Tong jadi begitu dan entah
bagaimana dengan Ibun Lai" Padahal mereka
adalah anak-anak muda yang bernyali besar. Tapi
kalau sampai seguncang itu jiwanya, pastilah
peristiwanya terlalu hebat, mungkin juga terlalu
aneh." Namun dalam pilunya mengingat nasib Ho Tong,
Ek Yam-lam tetap menyimpan suatu harapan
dalam hati, "Kalau hanya guncang jiwanya, pasti
akan berangsur-angsur sembuh, apabila sudah
tenang kembali." Bagaimanapun gundahnya hati Ek Yam-lam kali
itu, ia tidak melupakan kewajibannya setiap hari,
memberi makan kambing-kambingnya, menimba
sumur. Kemudian setelah membersihkan diri dan
sarapan pagi, ia bermaksud menuju ke rumah
almarhum gurunya untuk membantu-bantu di
sana. Mungkin untuk melihat wajah gurunya
untuk terakhir kali, kalau peti jenazahnya belum
ditutup. Ketika melewati jalan-jalan kota Seng-tin pagi
itu, Ek Yam-lam merasakan suasana yang berbeda.
Biasanya, saat kota bermandi cahaya matahari
seperti saat itu, kota serasa hidup dengan kegiatan
penduduknya, terutama di pasar dan sekitarnya.
Kali ini penduduk nampak sedikit yang ada di
42 jalanan. Dan yang sedikit itupun semuanya
bermuka tegang, murung, tergesa-gesa sampai tak
ada tegur sapa satu dengan yang lain. Tegur sapa
yang ramah yang biasanya menghidupkan suasana
kota, sekarang tidak terdengar. Kalau melihat
perbedaan suasana Seng-tin sekarang dibandingkan kemarin, baru terasa betapa besar
nilai kebebasan yang sudah hilang dari kota itu.
Sesuatu yang amat bernilai tetapi kurang dijaga
baik-baik karena terlalu santai, terlalu merasa
aman, menganggap itu sudah seharusnya ada dan
dengan sendirinya akan ada seterusnya. Dan
setelah hilang baru terasa.
Ek Yam-lam yang tengah berjalan gontai
melewati sebuah gang, perhatiannya tertarik ke
sebuah rumah yang pintunya tertutup rapat,
namun dari balik pintu itu terdengar suara tangis
beberapa perempuan tertahan-tahan.
Warga kota kecil Seng-tin mengenal satu dengan
yang lain, dan Ek Yam-lam pun kenal siapa yang
tinggal di rumah itu. Terdorong hatinya, Ek Yamlam berbelok memasuki halaman rumah sederhana
itu dan mengetuk pintunya yang tertutup sambil
memanggil-manggil, "Bibi Joan! Bibi Joan!"
Sesaat kemudian pintu terbuka dan seorang
perempuan setengah baya dengan mata bengkak
habis menangis muncul di pintu. "A-lam,
masuklah..." perempuan itu menepi dari pintu.
"Masuklah...." "Tidak, Bibi, aku sedang ada keperluan lain.
Aku hanya kebetulan lewat dan mendengar ada
suara tangisan. Ada apa, Bibi?"
43 "Gerombolan orang-orang berbaju hitam itu
benar-benar biadab seperti setan. Semalam mereka
ambil puteriku A-kiam begitu saja, dan paginya
dikembalikan setelah semalaman diperkosa bergantian entah oleh berapa orang...." Bibi Joan
menjelaskan sambil menangis. "Untung kami
berhasil mencegah A-kiam bunuh diri, tetapi dia
akan menanggung cemoohan orang seumur
hidupnya." Darah Ek Yam-lam mendidih mendengarnya. Ia
kenal keluarga miskin ini hidup dari berjualan kuekue, punya tiga anak perempuan dan A-kiam yang
kena musibah itu adalah yang tertua. Kini beban
penderitaan keluarga itu bertambah setelah apa
yang dialami A-kiam. Kedua tangan Bibi Joan mencengkeram baju Ek
Yam-lam dan mengguncang-guncang tubuh Ek
Yam-lam yang kokoh berotot itu, wajahnya yang
basah air mata menengadah, menatap wajah Ek
Yam-lam sambil menuntut, "Kapan penjahatpenjahat itu pergi dari sini" Dan apakah laki-laki
Seng-tin yang jumlahnya ratusan tidak dapat
mengusir mereka yang hanya puluhan orang"
Terutama-murid-murid guru silat Ciu Koan, mana
kegagahan kalian membela kota ini?"
Ek Yam-lam tak sanggup menatap mata janda
miskin itu. Tanpa sepatah kata pun ia
merenggutkan lengan-lengan kurus Si Janda
Miskin agar lepas dari baju Ek Yam-lam, lalu Ek
Yam-lam sendiri mengeloyor pergi, meninggalkan
keluarga Bibi Joan dalam kedukaannya.
44 Dalam langkahnya, Ek Yam-lam melewati
beberapa rumah yang mengalami nasib sama
dengan keluarga Bibi Joan. Ada perempuan muda
anggota keluarga itu yang dicomot begitu saja dari
rumahnya untuk menghibur anggota-anggota
gerombolan Beng Hek-hou, lalu paginya dikembalikan. Ada perempuan-perempuan muda
yang cukup tabah menjalani hari depan yang
kelam dengan noda melekat di nama mereka, tetapi
ada satu orang dari sebuah keluarga, yang tak
tahan menanggung malu dan menggantung diri.
Ek Yam-lam yang niatnya semula hendak ke
rumah gurunya almarhum, sekarang malah
berjalan tanpa tujuan dengan lesu. Di pinggir
telinganya seakan terngiang terus tuntutan Bibi
Joan, "Mana kegagahan murid-murid guru silat
Ciu Koan dalam membela kota ini?"
Bersambung jilid 2. *** Jilid 2 EK YAM-LAM menarik napas, katanya dalam
hati untuk membela diri sendiri, "Bibi Joan tidak
mengerti bahwa menghadapi gerombolan itu tidak
cukup dengan otot dan senjata, karena gerombolan
itu punya kemampuan gaib untuk menyerang jiwa
45 manusia, bahkan membuatnya gila seperti Ho
Tong." Hari itu suasana dukacita serta kemarahan
terpendam melingkupi kota Seng-tin. Yang paling
berduka tentunya adalah keluarga-keluarga yang
kena musibah. Yang perempuan-perempuan mudanya diperkosa, gantung diri atau keluarga Ho
Tong yang tahu bahwa Ho Tong sudah jadi orang
gila yang keluyuran di jalan-jalan sambil bicara
sendiri, menangis sendiri, tertawa sendiri, kadangkadang memaki-maki.
Yang paling berduka adalah keluarga Ibun Lai
yang menemukan bagian-bagian tubuh Ibun Lai
tersebar di pelosok-pelosok kota, dan batok
kepalanya ditancapkan di depan pasar. Suatu
peringatan yang amat tegas dari pihak gerombolan,
agar jangan ada warga Seng-tin yang melawan.
Semangat perlawanan memang padam dalam
diri sebagian besar warga kota, tetapi tetap ada
segelintir warga kota yang semangatnya membara
terus. Ketika malam tiba dan suasana seluruh kota
kecil sudah amat sepi seperti kota hantu, dan
derap kaki penunggang-penunggang kuda yang
berpatroli itu seperti bunyi utusan-utusan alam
maut yang menggedor-gedor jantung, maka di
rumah Ek Yam-lam tetap ada pertemuan.
Setelah Ibun Lai dipotong-potong dan Ho Tong
dibuat gila, mestinya tinggal tiga orang murid guru
silat Ciu Koan yang meneruskan perlawanan diamdiam, yaitu Ek Yam-lam sendiri sebagai pimpinan,
lalu Giam Lok dan Yao Kang-beng. Tetapi malam
46 itu kelompok perlawanan ketambahan satu orang,
seorang pemuda bernama Lui Kong-sim, calon
suami puteri Bibi Joan yang bernama A-kiam.
Mudah ditebak motivasi bergabungnya Lui Kongsim ke dalam kelompok itu, tentu berkenaan


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan nasib calon isterinya, A-kiam. Mudah
dilihat dari wajah Lui Kong-sim yang keruh dengan
dendam terpancar di matanya.
"Kemarin malam A-kiam dan beberapa temannya jadi korban, bahkan A-lian bunuh diri."
geram Lui Kong-sim, yang juga murid guru silat
Ciu Koan. "Malam ini entah siapa perempuanperempuan muda Seng-tin yang jadi korban
kebiadaban mereka, dan besok pagi entah gadis
mana yang akan membunuh diri menyusul A-lian"
Dan kita ini lelaki-lelaki macam apa kalau
berpangku tangan terus?"
Giam Lok menyabarkan saudara seperguruannya itu, "Tentu saja kita tidak berdiam
diri terus, Saudara Lui. Bukankah kita berkumpul
di sini dengan satu maksud, sedangkan kita
sebenarnya bisa enak-enak tidur di rumah dan
mempersetorikan tuntutan keadilan di hati kecil
kita?" "Kapan kita serbu gerombolan itu" Mereka
bermarkas di rumah besar milik Paman Ma di
belakang rumah makannya Paman Ao."
"Kita berempat menyerbu ke sana" Tidakkah itu
seperti empat ekor laron memasukkan diri ke
dalam api?" "Kita ajak seluruh warga Seng-tin, pasti banyak
yang mau!" 47 Namun Giam Lok menggelengkan kepala, "Seisi
kota ini dicengkeram ketakutan. Sudah bukan
rahasia lagi bahwa pemimpin gerombolan itu
adalah penyihir hebat. Ho Tong yang sekarang
berkeliaran tak waras itu contohnya!"
"Lalu kita berkumpul di sini untuk apa" Sekedar
berkeluh-kesah dan merenungi kemalangan tanpa
bertindak apa-apa?" Agaknya Giam Lok dan Lui Kong-sim hampit
bertengkar, seandainya Ek Yam-lam tidak cepatcepat melerai kedua teman seperguruannya itu,
"Kalian jangan bertengkar. Kita memang tidak
boleh bertindak membabi-buta sebab itu sama
dengan bunuh diri, namun juga bukan berarti
tidak bertindak apa-apa."
"Kakak Lam punya gagasan?"
Kata Ek Yam-lam. "Ternyata anggota gerombolan itu bisa juga dibunuh. Buktinya, ada
satu dari mereka yang tidak kebal dari tombaknya
Ibun Lai. Kita tidak perlu menyerbu markas
mereka, tetapi kalau kita hadang salah satu
anggota gerombolan yang sedang berpatroli, kita
bunuh, mungkin semangat perlawanan warga kota
akan bangkit juga. Biarpun mungkin keberanian
karena ketakutan." "Keberanian karena ketakutan?"
"Ya, karena saking takutnya lalu jadi berani."
"Yang ini agaknya boleh dicoba, meskipun
jangan mengharap gerombolan itu akan angkat
kaki dengan cepat." 48 "Tetapi... kalau kematian anggota gerombolan
itu membangkitkan kemarahan pimpinan gerombolan, bagaimana" Dia penyihir hebat, dia
bisa menyihir kota ini sehingga tertimpa
malapetaka." "Jangan kuatir...." kata Ek Yam-lam. "Tadi
waktu aku berpikir-pikir, tiba-tiba kutemukan
suatu ajaran kuno orang-orang tua, katanya
pengaruh sihir jahat dapat dipunahkan dengan
semacam benda." "Benda apa?" "Darah hewan-hewan berbulu hitam. Anjing
hitam, kucing hitam, ayam hitam, burung hitam
dan sebagainya. Siramkan diam-diam ke tanah
sekitar tempat tinggal orang-orang jahat itu, maka
sihir jahatnya akan macet!"
"Kalau tidak mempan, bagaimana?" Giam Lok
masih ragu. "Tidak ada usaha yang tanpa resiko, Kakak
Lok!" tukas Lui Kong-sim. "Mari kita jalankan
sekarang!" "Kita bagi tugas." kata Ek Yam-lam. "Aku,
Saudara Lui dan Saudara Yao akan menyergap
anggota gerombolan yang berpatroli, mudahmudahan kematian anggota gerombolan itu akan
membuka mata warga, bahwa mereka bukan
siluman-siluman tak terkalahkan melainkan
manusia-manusia biasa seperti kita, sehingga
keberanian warga kota bangkit!"
49 Giam Lok heran kenapa namanya tak disebut,
tanyanya, "Lalu aku, kenapa tidak diikutsertakan?"
"Tugas Saudara Giam tidak kalah pentingnya...."
Ek Yam-lam berusaha tidak meremehkan Giam
Lok. "Kau kumpulkan darah binatang-binatang
berbulu hitam sebanyak-banyaknya. Kambing
hitamku pun boleh kau sembelih. Habis itu,
siramkan darah itu ke sekitar kediaman Beng Hekhou. Kalau bisa, sebelum fajar Harus sudah
selesai. Jangan sampai ketahuan oleh mereka,
paham?" Giam Lok cuma mengangguk, lalu menjalankan
tugasnya. Sementara Ek Yam-lam dan kedua
kawannya pun keluar mencari korban.
Maka esok harinya kota kecil itu kembali
gempar, karena ada mayat seorang anggota
gerombolan tergeletak di tengah jalan, di depan
pasar. Tempat di mana batok kepala Ibun Lai
terpancang kemarin. Orang-orang Seng-tin ketakutan, tak sanggup
mereka membayangkan bagaimana kemarahan
gerombolan itu kehilangan satu anggotanya.
Karena ketakutan itulah maka seluruh isi kota
tetap berada dalam rumah dan menutup pintunya
rapat-rapat. Siapa pun tidak ingin "kena getah"
dari matinya anggota gerombolan itu.
Begitulah, kalau kemarinnya sesepi-sepinya
jalanan di Seng-tin masih ada sedikit orang di
jalan, maka kali ini tidak satu pun orang Seng-tin
di luar rumah. Sampai ke gang-gang kecil tak
50 nampak ada orang satu pun. Kota itu seolah kena
wabah. Kemudian bumi seolah bergetar ketika Beng
Hek-hou sendiri bersama puluhan anak buanfa
menunggang kuda menuju ke tempat tergeletaknya
mayat anak buahnya itu. Jantung segenap
penduduk Seng-tin seperti digedor-gedor oleh
derap kaki kuda itu. Beng Hek-hou menghentikan kudanya di dekat
mayat anak buahnya yang tergeletak itu, wajahnya
merah padam. Geramnya, "Tikus-tikus kota ini
agaknya belum ikhlas aku memerintah mereka.
Kumpulkan semua warga kota di tempat ini!
Semua! Tak terkecuali!"
Anak buahnya segera berpencaran ke segenap
pelosok rumah. Menggedor dengan kasar pintu
demi pintu, meneriaki warga kota agar berkumpul.
Tetapi warga kota terlalu ketakutan untuk
mematuhi perintah itu. Mereka mendengar gedoran
pintu dan teriakan-teriakan para bandit, tapi
mereka tak mampu mengambil keputusan. Mereka
sadar, menentang perintah gerombolan amatlah
berbahaya, tetapi menuruti perintah juga tak kalah
berbahayanya. Pikiran para warga kota benarbenar buntu, membeku oleh rasa takut yang amat
hebat. Bahkan ada yang mengutuk orang yang
membunuh anggota gerombolan itu, entah siapa,
menganggap pembunuh itu telah menimbulkan
kesulitan besar bagi seluruh warga.
Ketika anggota gerombolan sudah berkumpul di
depan pasar, Beng Hek-hou bertanya, "Mana tikus51
tikus itu" Kenapa belum ada yang terlihat batang
hidungnya?" Sahut Duan Le, orang nomor dua dalam
gerombolan itu, yang membunuh Ciu Koan, "Kami
sudah kelilingi kota kecil ini, kami sudah
menggedor tiap pintu, kami teriaki. Sebentar lagi
mereka akan berdatangan. Mereka ketakutan, jadi
agak lamban." Namun setelah ditunggu sekian lama tak satu
orang pun muncul, Beng Hek-hou habis sabarnya.
Katanya sambil tertawa dingin. "Tikus-tikus kota
ini mengira mereka bisa berbuat seenaknya
terhadap kita. Bagus. Ini memberi alasan
kepadaku untuk lebih banyak memamerkan
ilmuku." Lalu Beng Hek-hou mengeluarkan sehelai
bendera hitam segitiga kecil, anak buahnya sering
mendengar Si Pemimpin menyebut bendera itu
sebagai Hong-hun-ki (Bendera Awan dan Angin).
Beberapa saat Beng Hek-hou memejamkan
matanya sambil berkomat-kamit mulutnya, lalu
bendera itu dikibar-kibarkan di atas kepalanya
sambil membentak garang. "Datanglah?"
Pagi itu cerah, langit berwarna biru jernih dan
awan yang ada tipis saja dengan pinggirnya
terguyur cahaya keemasan dari mentari pagi.
Namuh setelah Beng Hek-hou menggoyangkan
bendera kecilnya, angin yang semula sepoi-sepoi
tiba-tiba makin kencang dan makin dingin,
akhirnya menderu dahsyat sampai pasir dan debu
terangkat naik. Selain amat kencang, juga amat
dingin, dan kuda-kuda tunggangan pun melonjak52
lonjak dan meringkik-meringkik gelisah, menyibukkan penunggangnya masing-masing.
Selain angin menakutkan yang secara mendadak menghantam seluruh Seng-tin, langit
yang semua cerah pun tiba-tiba terselubung awan
hitam tebal dan rendah, sinar matahari tertutup
sama sekali. Seluruh warga kota sadar bahwa
angin badai itu bukan angin badai biasa, sebab di
tengah-tengah suara angin yang menderu menakutkan itu sayup-sayup juga terdengar suara
bermacam-macam hewan. Hewan-hewan tanpa wujud, juga suara tambur
semacam musik pengantar perang bagi para
perajurit, padahal tak ada orang yang membunyikan tetabuhan macam itu.
Apalagi warga Seng-tin, sedang anak buah Beng
Hek-hou yang sudah terbiasa melihat Sang
Pemimpin mempraktekkan ilmu gaib itu pun
merasa ngeri juga. Beng Hek-houw memasukkan bendera hitam ke
bajunya, lalu mengeluarkan bendera berwarna lima
dengan gambar berbagai hewan di permukaannya.
Ada yang mewakili hewan terbang, ada yang
mewakili hewan darat, hewan air, hewan di dalam
tanah dan sebagainya. Beng Hek-hou membaca mantera sejenak, lalu
mengayunkan bendera itu dari arah langit ke bumi,
sambil berkata, "Dengan bendera sakti Ban-siu-ki
(Selaksa Hewan) kuperintahkan semua hewan di
dalam rumah semua orang Seng-tin untuk
memaksa keluar rumah semua manusia di
dalamnya." 53 Pada salah satu rumah warga Seng-tin yang
agak berada, orang seisi rumah sedang meringkuk
ketakutan dalam rumah. Bukan saja ketakutan
akan gedoran pintu dan teriakan bandit-bandit
tadi, melainkan juga terhadap angin dan cuaca
gelap yang mendadak serta aneh itu. Apalagi
kemudian ada gemuruh halilintar dan lolong
serigala di kejauhan. "Pemimpin

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerombolan itu benar-benar mempunyai ilmu siluman, tidak ada gunanya
menentangnya." keluh Si Kepala Rumah-tangga
yang bernama Ni Hoa-seng itu. "... apalagi
membuatnya gusar, meskipun dengan alasan
mengupayakan kebebasan kota ini."
Seluruh keluarganya berkumpul di ruangan
yang pengab karena tertutup rapat itu, dengan
wajah ketakutan. Puterinya yang baru berumur
sepuluh tahun memeluk erat-erat kucing berbulu
tebal kesayangannya. Tetapi tiba-tiba kucing yang dipelihara sejak
kecil dan amat jinak itu mengeong dan hendak
meninggalkan pangkuan anak perempuan Ni Hoaseng itu. Si Anak Perempuan mempererat
pelukannya agar kucingnya tidak pergi, sambil
membujuk, "Jangan ke mana-mana, manis...."
Di luar dugaan siapa pun bahwa kucing
meronta, mengeong ganas lalu melonjak sambil
mencakar si Anak Perempuan sampai lengannya
berdarah. Anak perempuan itu tentu saja menjerit
kaget dan kucing pun lepas dari pangkuannya.
Ibunya langsung hendak memeriksa luka
puterinya, sementara orang lain di ruangan itu
54 hendak menangkap si kucing kesayangan keluarga
itu. Seluruh keluarga merasa kelakukan si kucing
masih kelakuan biasa, dan terlukanya Si Anak
Perempuan adalah ketidak-sengajaan. Tetapi
ketika kucing itu melompat ke atas meja, berdiri
dengan punggung melengkung ke atas dan ekor
tegak dengan sekujur bulu-bulunya tegak semua,
sorot matanya tajam dan ganas dan belum pernah
sebelumnya seisi rumah melihat si kucing manis
dalam sikap seperti itu. Dua anak lelaki Ni Hoa-seng mencoba
mendekati dan menjinakkannya sambil mulutnya
berbunyi. "Pus... pus... pus sayang...."
Dan hasilnya adalah cakaran ganas yang
membuat punggung telapak tangan dari salah satu
anak lelaki itu tergores dalam. Anak itu menjerit
dan menangis, sementara ibunya yang sedang
merawat kakak perempuannya itu jadi kebingungan. Ni Hoa-seng samar-samar merasakan adanya
hubungan antara angin badai aneh yang
mengamuk di luaran dengan sikap si kucing yang
tidak biasanya itu. Terasa ada hawa aneh di
ruangan itu, hawa yang membuat tidak enak hati.
Tetapi dua anaknya sudah terluka oleh ulah si
kucing, dan ini cukup membuat Ni Hoa-seng
marah kepada si kucing, betapa pun sayangnya
seisi rumah kepada hewan itu. Ni Hoa-seng
menyambar sebatang sapu, lalu dengan gagang
sapu hendak dihantamnya si kucing di atas meja,
namun kucing itu mengeong dahsyat dan lebih
55 dulu menerkam Ni Hoa-seng. Kecepatan dan
kekuatannya di luar kewajaran, seandainya Ni
Hoa-seng dapat berpikir jernih pastilah akan sadar
bahwa kucing itu sudah ditunggangi kekuatan
berpribadi dari dunia lain.
Ayunan gagang sapu Ni Hoa-seng yang bertubitubi itu tidak berhasil mengenai si kucing, malah
menghancurkan perabotan rumah dalam ruang
itu. Sementara si kucing makin ganas dan
menyerang siapa saja. Ruangan itu jadi penuh
pekik ketakutan dan jerit tangis isteri serta ketiga
anak Ni Hoa-seng yang berlarian ke sama kemari di
ruangan yang porak-poranda itu.
Ni Hoa-seng sendiri, setelah gagang sapunya
patah dan dia mendapat luka-luka berdarah,
dipojokkan ke suatu kesadaran bahwa yang
dihadapinya bukan lagi kucing biasa. Kuatir akan
keselamatan keluarganya, ia berteriak, "Keluar
semua dari ruangan ini!"
Isteri dan anak-anaknya berhamburan keluar
lewat pintu, ke ruang lain. Ni Hoa-seng keluar
paling belakangan untuk melindungi keluarganya.
Setelah mereka berada di ruangan lain, mereka
anggap urusannya sudah selesai, tak terduga
ternyata kucing kesurupan itu terus mengejar. Di
ruang lain itu, bahkan seekor burung hias dalam
kurungan tiba-tiba mendobrak keluar dari
kurungannya, suatu kekuatan yang tidak masuk
akal, lalu bersama-sama si kucing mengejar Si
Empunya Rumah dan keluarganya.
Ni Hoa-seng diuber-uber terus oleh hewanhewan peliharaannya, dikejar ruangan demi
56 ruangan, sampai keluar rumah, dan terus digiring
sampai ke hadapan Beng Hek-hou di depan pasar!
Mulanya Ni Hoa-seng dan keluarganya menyangka bahwa hanya mereka yang mengalami
hal ganjil dan menakutkan dengan hewan-hewan
rumah, ternyata setelah mereka di luar rumah,
mereka baru tahu bahwa tetangga-tetangga mereka
pun mengalami masalah serupa meskipun
hewannya lain, tanpa kecuali.
Babi-babi keluar dari kandang dan mengamuk,
begitu pula ayam-ayam, sapi, kuda, kambing,
bahkan hewan yang sehari-harinya lucu dan
disenangi kanak-kanak seperti kelinci pun
mengamuk. Kera-kera merenggut lepas rantainya.
Apa yang pernah terjadi di rumah rumah milik
Ao Khim, ketika semut-semut menjadi ganas dan
membuat Ao Khim sampai meratap minta dibunuh
karena tidak tahan penderitaan, kini terulang,
dalam ukuran yang jauh lebih besar. Sekarang
bukan hanya di sebuah ruangan rumah-rumah,
melainkan di seluruh kota kecil itu. Bukan hanya
semut, tetapi bermacam-macam binatang. Yang
tidak punya hewan peliharaan juga tidak selamat
dari musibah itu, mereka diamuk oleh hewanhewan yang bukan peliharaan seperti tikus-tikus
yang mendadak berbondong-bondong keluar dari
lubang-lubangnya atau selokan-selokan, dan
burung-burung di pepohonan. Dengan didalangi
kekuatan gaib yang besar, seekor anak ayam yang
baru menetas pun berubah menjadi monster
pembawa bencana yang menakutkan.
57 Dan seluruh warga kota Seng-tin pun tergiring
oleh hewan-hewan itu untuk berkumpul di depan
Beng Hek-hou di pusat kota. Mereka menggigil
berdiri di udara terbuka terhembus angin dingin
yang didatangkan oleh sihir Beng Hek-hou itu,
namun juga menggigil karena gentar.
Semua warga kota berhimpun di situ, tak ada
yang tertinggal satu pun, sampai bayi yang masih
menyusu juga. Di depan segenap warga kota, Beng Hek-hoa
didampingi penunggang-penunggang kuda yang
bersenjata menatap garang ke arah warga kota.
Katanya dingin. "Tikus-tikus yang malang,
berkumpulnya kalian di tempat ini membuktikan
bahwa aku berkuasa atas mati hidup kalian. Aku
bahkan mampu mencabut nyawa kalian melalui
hewan peliharaan kalian yang paling manis
sekalipun, atau bahkan melalui semut-semut yang
masuk ke tubuh kalian dan menggerogoti bagian
dalam tubuh kalian. Ada yang ingin mencoba?"
Ratusan warga yang berkumpul di jalan besar di
dekat pasar itu pun menunduk semuanya. Dari
kejauhan terdengar suara nyanyian parau oleh Ho
Tong si orang gila baru, suatu bukti lain dari
kekuasaan Beng Hek-hou atas kota kecil itu.
Di tengah bungkamnya sekalian warga kota,
Beng Hek-hou berkata pula dengan dingin,
"Semalam ada orang tolol yang melakukan
tindakan bodoh. Mereka membunuh salah seorang
anak buahku...." katanya sambil menunjuk dengan
cambuk kuda ke arah mayat anggota gerombolan.
58 "... dan ada yang menyiramkan darah hewan di
sekitar tempat kediamanku. He-he-he,. siapa pun
pelakunya, aku yakin orang itu pastilah orang tolol
yang menyangka kekuatan gaibku dapat dipunahkan dengan darah hewan-hewan berbulu
hitam seperti kata orang turun-temurun. He-hehe... ilmu gaib yang begitu gampang dipunahkan
dengan darah hewan berbulu hitam adalah ilmu
gaib kelas kambing, dan ilmu gaibku bukan dari
kelas yang demikian. Kalian lihat sendiri pagi ini
kemampuan gaibku." Beng Hek-hou berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan suara tinggi. "Dan pelakunya
harus mendapat hukuman! Dengarkan, tikus-tikus
busuk, aku inginkan orang yang sudah melakukan
tindakan tolol semalam. Kuberi batas waktu
sampai terbenamnya matahari nanti sore, kalau
kalian belum menyerahkan orang-orang itu, maka
setiap hari aku akan membunuh satu orang,
sampai kudapatkan orang itu!"
Penduduk kota menggigil gentar. Satu-satunya
orang yang bergembira secara diam-diam hanyalah
Ou Sing, Si Pembuat Peti Mati satu-satunya di
Seng-tin. Sudah beberapa bulan dagangannya sepi
karena orang Seng-tin jarang yang mati, tetapi
hari-hari belakangan ini dagangannya tidak laris,
dengan matinya guru silat Ciu Koan, lalu Ibun Lai,
lalu gadis yang menggantung diri sehabis dinodai
gerombolan. Sekarang dengan pengumuman Beng
Hek-hou itu, Ou Sing boleh berharap bahwa paling
tidak setiap hari peti matinya akan laku satu biji.
Ia berharap agar si warga kota yang membunuh
59 anggota gerombolan tertangkap. itu jangan cepat-cepat Sudah tentu harapan Ou Sing itu hanya
disimpan dalam hati, tidak ditampilkan terangterangan.
Sementara itu, Beng Hek-hou dan anak
buahnya kemudian berderap kembali ke markasnya di pinggiran kota Seng-tin.
Ek Yam-lam, Giam Lok, Lui Kong-sim serta Yao
Kang-beng, yang semalam melakukan "tindakan
tolol" yang menggusarkan Beng Hek-hou itu, ada di
tengah-tengah warga kota yang mendengar
Ultimatum Beng Hek-hou itu. Ketika semua
bubaran, mereka berkumpul di rumah Ek Yamlam.
Sepanjang jalan, mereka menjumpai banyak
mata warga kota menatap curiga ke arah mereka
berempat, rupanya warga kota banyak yang sudah
menduga bahwa keempat pemuda murid almarhum Ciu Koan inilah yang semalam
melakukannya. Apalagi di antara warga kota ada
yang semalam dimintai hewan berbulu hitam oleh
Giam Lok, katanya untuk disembelih dan diambil
darahnya. Meski banyak warga kota sudah menduga
perbuatan mereka berempat, tetapi kebanyakan
warga kota masih sungkan kalau menunjukkan
mereka berempat kepada gerombolan. Hati kecil
mereka melarang, sesama warga kota yang
bertahun-tahun hidup akrab dan saling memperhatikan seperti sebuah keluarga besar, koq
60 tiba-tiba saling mengkhianati
gertakan orang luar"
hanya karena

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi sebagian warga kota amat menguatirkan
ancaman Beng Hek-hou tentang "satu hari
membunuh satu warga kota" itu.
Dan orang yang kuatir ini pun berusaha
mencari orang yang sepaham untuk melaksanakan
niatnya. "Gara-gara perbuatan beberapa orang, seluruh
warga kota kena getahnya." kata orang itu kepada
warga kota lainnya. "Kalau orang-orang yang
menentang gerombolan itu tidak diketemukan,
salah satu warga kota yang tidak bersalah akan
menjadi korban saat matahari terbenam nanti.
Mungkin kau, mungkin aku, mungkin salah
seorang yang kita kasihi."
Yang diajak bicara termangu-mangu, "Habis
bagaimana" Kita tidak tahu siapa yang melakukannya semalam."
"Kalau tahu, bagaimana" Kau bersedia bertindak bersama aku dan bersama beberapa
teman-teman sepaham lainnya, untuk mencegah
jatuhnya korban tak berdosa di antara warga
kota?" "Kau tahu?" "Aku menduga adalah empat murid guru kita
yang belakangan hari ini nampak berkasak-kusuk.
Ek Yam-lam, Giam Lok, Lui Kong-sim dan Yao
Kang-beng." 61 Kedua orang yang sedang berbicara itu
kebetulan adalah murid-murid mendiang Ciu Koan
juga. Yang diajak bicara membelalakkan matanya,
"Lalu, apakah kita harus menyerahkan saudarasaudara seperguruan kita sendiri ke tangan
gerombolan" Apakah kita tega?"
"Saudara seperguruan ya saudara seperguruan,
dan hatiku pun sebetulnya tidak tega." sahut yang
punya gagasan sambil menghindari tatapan tajam
dari lawan bicaranya. "... tapi apakah seluruh
warga kota harus menderita gara-gara ulah
mereka, berempat" Coba renungkan."
Yang diajak bicara pun merenung, ingat bahwa
ia pun punya sanak keluarga yang ada
kemungkinan menjadi korban ancaman Beng Hekhou tadi, sehingga akhirnya dia pun setuju, "Jadi,
demi Menyelamatkan seluruh warga kota, kita
harus menangkap keempat teman kita itu untuk
diserahkan kepada gerombolan?"
"Apa boleh buat."
"Apakah tidak ada jalan lain?"
"Kalau ada jalan lain, masa aku pilih yang
paling tidak enak ini" Kaukira aku memilih ini
dengan senang hati" Kaukira aku tidak memiliki
rasa persahabatan dengan mereka berempat?"
"Apakah sudah kaupertimbangkan baik-baik
kemungkinan lain, misalnya bergabung dengan
mereka sekalian untuk memperkuat kelompok
perlawanan mereka?" 62 Si Pencetus Gagasan geleng-geleng kepala.
"Bukankah baru saja kita lihat dengan mata kepala
kita sendiri betapa hebat sihir Si Kepala
Gerombolan" Lihat, tubuhku masih sakit karena
dipatuki ayam-ayam peliharaanku sendiri. Kekuatan macam itu mana mungkin kita lawan
hanya dengan otot dan tombak kita, biarpun
seandainya seluruh lelaki di Seng-tin ini bangkit
melawan serempak?" Yang diajak bicara pun akhirnya menganggukangguk setuju. "Kalau begitu, kita perlu tambahan
tenaga untuk menangkap Ek Yam-lam berempat."
"Ya, kumpulkan orang-orang yang sepaham di
rumahku, nanti tepat tengah hari."
Mereka pun berpisah. Saat itu langit di atas kota Seng-tin sudah cerah
kembali, awan gelap dan angin dingin yang
menakutkan tadi sudah sirna. Binatang-binatang
pun kembali normal. Sementara itu, Ek Yam-lam berempat tengah
berunding di kediaman Ek Yam-lam.
"Kalau matahari terbenam nanti dan kita belum
menyerah, akan ada warga kota yang mati...." kata
Giam Lok menyesal. "Ini gara-gara tindakan kita
yang kurang pikir, hanya menuruti hati yang
panas." Namun Lui Kong-sim berpendapat lain.
"Pakailah kepala dingin. Mari kita berhitung, satu
hari satu warga kota mati dan satu hari satu
gerombolan kita bunuh. Satu di pihak kita, satu di
pihak Kpa. Tidak sampai dua bulan seluruh
63 gerombolan akan habis, sedang kota Seng-tin akan
kehilangan puluhan warganya tetapi kita tetap
banyak." Giam Lok geleng-geleng kepala. "Astaga,
Saudara Lui, kau ini sedang menghitung-hitung
nyawa manusia atau bukan" Kenapa kauanggap
nyawa-nyawa warga Seng-tin hanya sebagai angkaangka mati yang tiada harganya" Bagaimana kalau
warga yang mati itu salah seorang anggota
keluargamu?" Namun Yao Kang-beng membela Lui kong-sim.
"Perhitungan Kakak Sim memang kedengarannya
agak kejam, tetapi rasanya itulah satu-satunya
jalan untuk membebaskan kembali kota kita.
Warga juga harus berani berkorban, kalau
mengingini kebebasan."
Hampir mereka bertengkar, ketika Tiba-tiba
pintu depan diketuk. Keempat murid Ciu Koan itu
serempak bungkam seperti jangkerik yang diinjak
sarangnya. Mereka bertukar pandangan dengan
wajah tegang, sampai ketukan itu terulang lagi.
"Tenanglah." kata Ek Yam-lam kepada ketiga
temannya sambil mengangkat kedua tangannya.
"Yang datang ini bukan gerombolan. Kalau
gerombolan pastilah main dobrak begitu saja. Biar
kutemui." Lalu bangkitlah Ek Yam-lam membukakan
pintu. Yang di depan pintu ternyata Ou Sing si
tukang peti mati. 64 "Lho, Paman Ou..." sapa Ek Yam-lam. "Paman
salah alamat datang kemari, tidak ada yang pesan
peti mati di rumah ini kok."
Ou Sing menyelinap masuk tanpa disuruh,
sambil mendorong tubuh Ek Yam-lam lalu
menutup pintu, katanya dengan wajah tegang
sambil memandang Ek Yam-lam berempat.
"Biarpun sekarang tidak ada yang mati, tapi kalau
kalian berempat tidak cepat-cepat kabur maka
sebentar lagi di sini akan ada empat mayat. Yaitu
mayat kalian!" "Lho, kenapa" sedang ke sini?" Anggota-anggota gerombolan "Bukan! Tetapi warga kota sendiri yang hendak
menangkap kalian dan menyerahkan kalian
kepada bandit-bandit itu dipimpin Pang Se-bun!"
"Kakak Bun yang memimpinnya?" Ek Yam-lam
hampir tak percaya. Pang Se-bun adalah murid Ciu
Koan yang sudah agak tua, Ek Yam-lam
menghormatinya, sekarang tahu-tahu ia dengar
Pang Se-bun memimpin sekelompok warga kota
hendak menangkap Ek Yam-lam berempat.
Sementara Lui Kong-sim sudah menggebrak
meja dan berkata dengan sengit, "Kalau sudah
dalam situasi sesulit ini, baru ketahuan siapa yang
berwatak pengkhianat dan siapa yang satria sejati.
Hem, Pang Se-bun, jadi sedemikian rendah
moralmu sebenarnya."
Giam Lok menyahut, "Jangan gegabah menilai
orang lain buruk dan diri sendiri benar, Adik Sim.
65 Kakak Bun bertindak begini pasti ada alasan
kuatnya." "Alasan kuat apa" Cari muka kepada banditbandit itu?"
"Belum tentu seburuk itu pamrih Kakak Bun.
Mungkin untuk menyelamatkan warga kota dari
ultimatum Si Kepala Bandit."
"Paman Ou, bagaimana Paman tahu?"
"Tentu saja tahu, karena Pang Se bun juga
mengajak aku, akan tetapi aku mana sudi
mengkhianati sesama warga kota yang sudah
seperti keluarga ini demi menyenangkan Si Kepala
Bandit" Kutolak ajakan Pang Se-bun! Alasanku
karena perlawanan kalian bertujuan mulia,
membebaskan kota kita tercinta ini. Tujuan kalian
harus didukung setiap warga kota!"
"Paman Cu ini sudah tua, tak terduga bernyali
sebesar ini dan bersemangat segagah ini!"
Keempat anak muda itu tidak tahu pamrih Ou
Sing yang sebenarnya, yakni agar Ek Yam-lam dan
kawan-kawannya jangan cepat-cepat tertangkap,
supaya tercapailah target dagang Ou Sing yaitu
satu peti mati terjual setiap harinya.
Ek Yam-lam kemudian menanyai ketiga
temannya, "Bagaimana sikap kita menghadapi ini?"
Dengan tangannya, orang-orang setiakawan, mereka!" hati panas dan mengepalkan Kong-sim menjawab. "Menghadapi
yang tidak lagi mengenal apa artinya
buat apa sungkan" Kita hadapi
66 "kita hanya berempat, dan mereka banyak."
"Kakak Giam, kau takut mati?"
Sahut Giam Lok tajam, "Mati konyol tanpa arti
apa-apa, hanya karena sikap tak berani dan sok
jagoan, itu aku benar-benar takut."
Ek Yam-lam yang paling senior di tempat itu,
lalu memutuskan. "Kita hindari mati konyol tanpa
arti. Kita hindari mereka."
"Ke mana?" "Di luar kota banyak tempat sembunyi yang
baik. Ada hutan, ada bukit, ada danau kecil....
gerombolan bandit tak mudah menemukan kita.
Kita harus tetap hidup untuk meneruskan
perlawanan." Giam Lok menarik napas. "Dan penduduk kota
yang menanggung akibat dari perlawanan kita itu."
"Saudara Giam, jadi maumu bagaimana?"
"Aku... ingin membiarkan diriku ditangkap oleh
Pang Se-bun dan rombongannya, lalu diserahkan
kepada gerombolan. Entah hendak diapakan,
terserah. Yang penting gerombolan tidak lagi
membunuhi warga kota."
Si Tukang Peti Mati Ou Sing terkesiap
mendengar niat Giam Lok yang bisa menggagalkan
"rencana pemasaran"nya. Ia lalu menakut-nakuti
Giam Lok, "Kalau dibunuh langsung, masih tidak
menderita. Tetapi kalau disiksa dulu, bagaimana?"
"Apa boleh buat."
67 "Kalau dibuat lupa diri sendiri seperti Ho Tong,
bagaimana?" Agak ragu sejenak, tetapi Giam Lok menjawab
juga, "Kalau memang warga kota mendapat
keuntungan, biarlah."
Lui Kong-sim mengejek. "Yang terang, warga
kota takkan mendapat keringanan apa-apa dari
sikap menyerahmu itu, Kakak Lok. Sebab
meskipun kau menyerah, aku tidak sudi
menyerah. Aku tetap akan membunuh penjahat
lagi nanti malam." "Aku juga!" Yao Kang-beng mendukung Lui
Kong-sim. "Berarti kalian berdua menyebabkan gerombolan tetap marah kepada warga kota!" suara
Giam Lok meninggi karena jengkelnya.
"Ya! Warga kota akan menderita, tetapi ada
hasilnya! Dalam waktu tertentu mereka akan
bebas!"

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Giam Lok menatap Ek Yam-lam. "Bagaimana,
Kakak Lam?" Ek Yam-lam memutuskan. "Penyerahan dirimu
akan percuma, Saudara Giam. Lebih baik kau ikut
menyingkir bersama kami."
Ou Sing mendesak. "Kalau hendak menyingkir,
cepatlah. Sekarang sudah hampir tengah hari!"
Mereka berempat segera meninggalkan rumah
Ek Yam-lam itu, menuju ke luar kota Seng-tin,
setelah mengucapkan terima kasih kepada Ou Sing
yang sudah "menolong" mereka.
68 Ou Sing menatap kepergian keempat murid Ciu
Koan itu sampai jauh, lalu tertawa terkekeh-kekeh,
"He-he-he, satu peti terjual setiap hatinya. Siapa
tidak bakal cepat kaya?"
Kemudian Ou Sing sendiri pun bergegas
menyingkir dari rumah Ek Yam-lam yang
dikosongkan itu, agar jangan sampai berpapasan
dengan Pang Se-bun dan rombongannya.
Ketika Pang Se-bun dan rombongannya tiba dan
mereka tak menemukan siapa pun untuk
ditangkap, Pang Se-bun termangu-mangu. "Pasti
ada yang memberitahu mereka, dan mereka kabur
duluan." "Berarti... saat matahari terbenam nanti,
gerombolan akan membunuh satu orang untuk
membuktikan ancaman mereka."
Pang Se-bun dan teman-temannya pun bubar.
Dan siang itu adalah saat-saat yang amat
menegangkan bagi seluruh warga Seng-tin,
menunggu matahari terbenam, menunggu salah
seorang warga akan ditunjuk untuk menjadi
"korban hari pertama".
Matahari pun lingsir, derap kuda para bandit
menggema di seluruh kota, meneriaki agar seluruh
warga kota berkumpul di lapangan di depan pasar.
Belajar dari pengalaman tadi pagi, ketika
diamuk hewan-hewan, kali ini seluruh warga kota
berbondong-bondong menuruti seruan itu. Sambil
menyadari bahwa satu dari mereka, entah siapa,
melakukannya sebagai perjalanan yang terakhir.
69 Di atas kudanya, dengan mantel hitam yang
berkibar tertiup angin dari padang ilalang, Beng
Hek-hou nampak seperti utusan alam maut yang
sedang menjalankan tugasnya mencabuti nyawa
manusia-manusia di bumi. "Bagaimana?" serunya. "Aku sudah memberi
waktu satu hari ini kepada kalian, dan apakah
kalian sudah bisa menyerahkan pengacaupengacau itu?"
Melihat seluruh warga kota yang menunduk
bungkam sehingga menimbulkan kesunyian yang
menekan jiwa, Beng Hek-hou bisa menerka bahwa
warga kota belum akan menyerahkan "pengacaupengacau" itu.
Beng Hek-hou tertawa dingin, suaranya
kemudian tidak bernada kemarahan, melainkan
dengan nada yang amat pasti dan tak terbantah.
"Kalian harus bekerja lebih keras besok pagi,
untuk menyerahkan pembunuh anak buahku itu.
Tetapi aku harus menepati kata-kataku. Satu
orang dari kalian harus mati sore ini."
Seluruh warga kota membeku ketakutan di
tempatnya masing-masing. Sementara Beng Hek-hou mengeluarkan sekeping mata uang, katanya, "Aku adalah orang
yang adil, aku tidak mau main tunjuk siapa yang
harus mati, tetapi dengan undian. Peluang kalian
untuk mati sama rata besarnya. Salah seorang
anak buahku akan melemparkan uang ini dengan
mata tertutup, siapa yang kejatuhan mata uang
ini, dialah yang harus mati hari ini."
70 Membicarakan orang yang hendak dibunuh,
nada Beng Hek-hou kalem saja, sedangkan anak
buahnya pun banyak yang senyum-senyum.
Beng Hek-hou menyerahkan mata uang itu
kepada seorang anak buahnya, lalu anak buahnya
melempar mata uang itu ke udara sambil
memejamkan matanya. Orang-orang tidak berani melihat ke mana
jatuhnya mata uang itu, namun kemudian
terdengar lolongan pilu dari Ou Sing si tukang peti
mati, "Tidak! Tidak! Jangan aku! Jangan aku!"
Karena "mata uang" itu jatuh ke atas diri Ou
Sing. Orang-orang lainnya lalu bubar ketakutan,
meninggalkan Ou Sing yang berlutut di tanah
sambil meratap-ratap sekeras-kerasnya.
Beng Hek-hou buruk, Pak Tua." tersenyum dingin, "Nasibmu "Jangan aku, kumohon jangan aku!"
"Kenapa harus bukan kau?"
"Karena akulah satu-satunya orang yang bisa
membuat peti mati di Seng-tin ini! Kalau aku mati,
mayat-mayat dikubur dengan apa?"
Beng Hek-hou nampak senang sekali melihat
dan mendengar ratapan Ou Sing. Dalam keadaan
seperti itu, terasa benar nikmatnya menjadi orang
yang berkuasa atas mati hidupnya orang lain.
"Nasibmu sudah ditentukan, Pak Tua. Anakanak, bunuh dia!"
71 "Tunggu! Tunggu! Jangan! Kuberitahukan
nama-nama orang-orang yang membunuh anak
buah Tuan kemarin malam!"
Golok salah seorang bandit yang hampir
diayunkan ke tengkuk Ou Sing, tertahan geraknya
di udara ketika Beng Hek-hou mengisyaratkan
penundaan. "Pak Tua, kau tahu nama mereka?"
"Ya!" sahut Ou Sing cepat-cepat, kuatir
kepalanya keburu protol. Demi hidupnya sendiri,
dia pun tidak segan-segan mengorbankan siapa
saja. "Mereka adalah empat orang murid guru silat
Ciu Koan. Nama mereka Ek Yam-lam, Giam Lok,
Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng!"
"Kau ini bikin repot saja, Pak Tua. Kenapa tidak
kaukatakan ketika orang-orang masih berkumpul
di sini tadi" Jadi bisa kami tangkap mereka?"
"Mereka sudah tidak di kota ini! Mereka sudah
kabur keluar kota!" "Terima kasih atas keteranganmu, Pak Tua."
Ou Sing tersenyum mendengar kata-kata
bernada ramah itu, karena menyangka dirinya
akan dibebaskan dari kematian. Dan ketika golok
Si Anak Buah Gerombolan menimpa tengkuknya,
setidaknya wajah Ou Sing adalah wajah yang
tersenyum. Sementara Beng Hek-hou balik ke markasnya
diiringi anak buahnya, tetapi sambil berkata
perlahan, "Kalau keempat pengacau itu sudah
72 diketahui namanya, tidak sulit untuk menyantet
mereka, di mana pun mereka berada sekarang."
*** Ek Yam-lam berempat bersembunyi di sebuah
bukit di seberang telaga kecil di sebelah barat
Seng-tin. Malam itu, mereka duduk mengelilingi
perapian dengan perut kenyang sehabis menikmati
makan malam berupa kentang liar yang dibakar,
serta beberapa potong daging binatang buruan.
Badan juga terasa agak segar setelah mandi di tepi
telaga. Namun pikiran merekalah yang gelisah,
memikirkan kota Seng-tin yang mereka tinggalkan.
"Sore ini, entah siapa yang menjadi korban?"
Giam Lok bergumam sendiri tanpa mengharapkan
jawaban dari ketiga temannya.
Ek Yam-lam juga termenung saja, membisu. Ia
agak mencemaskan puteri gurunya, Ciu Bian-li.
Gadis itu sedang berduka karena kematian
ayahnya, mudah-mudahan tidak bertambah berat
beban pikirannya. Sementara Lui Kong-sim yang di-mabuk
dendam karena pacarnya, A-kiam, dinodai oleh
para bandit, terus saja menatap ke kota Seng-tin di
kejauhan, seolah-olah matanya dapat menembus
gelap malam berkabut yang sejauh itu.
Beberapa saat keadaannya sunyi, sampai
terdengar Lui Kong-sim tiba-tiba bertanya, "Kakak
Lam, malam ini kita masuk kota atau tidak?"
73 Ek Yam-lam ingin tahu juga keadaan kota,
sahutnya, "Ya, tunggu setelah malam agak larut
sebentar lagi. Aku ingin tahu siapa yang mati sore
ini." "...dan kita juga harus membunuh setidaknya
satu bandit malam ini, sesuai rencana kita!"
sambung Lui Kong-sim. "Rencanamu bukan rencana kita...." Giam Lok
meralat ucapan Lui Kong-sim. "Rencana yang akan
mengakibatkan gerombolan semakin marah dan
warga kota semakin ditindas."
"Baik! Memang rencanaku, karena itu sekarang
aku yang akan melakukannya!" Lui Kong-sim
jengkel dan bangkit sambil menyambar tombaknya,
siap berangkat. Yao Kang-beng yang selalu sependapat dengan
kakak seperguruannya yang satu ini pun sudah
siap-siap untuk berangkat.
Namun sebelum Lui Kong-sim melangkah, tibatiba lututnya lemas dan ia jatuh berlutut,
melepaskan tombaknya jatuh ke tanah lalu kedua
tangannya memegangi kepala.
Ek Yam-lam dan lain-lainnya kaget, "Ada apa,
Adik Sim?" "Kepalaku mendadak sakit sekali...." keluh Lui
Kong-sim yang sekarang bahkan tidak tahan
sakitnya dan menggeloser-geloser di tanah sambil
memegangi kepala. Teman-temannya heran. Mereka mengenal Lui
Kong-sim cukup lama, dan tahu bahwa pemuda itu
74 bertubuh sehat, tidak pernah sakit berat, dan tibatiba sekarang mereka melihat Lui Kong-sim
semenderita itu. Teman-temannya juga bingung
karena dalam pelarian mereka, mereka tidak
berbekal obat-obatan, sedang dalam soal pengobatan mereka juga tidak tahu-menahu.
Selagi ketiga orang itu bingung, tiba-tiba Yao
Kang-beng, juga roboh, memegangi kepalanya dan
menyusul mengalami seperti Lui Kong-sim.
Berturut-turut Ek Yam-lam dan Giam Lok jyga
mengalami hal yang sama. Keempatnya bergelimpangan di tanah, di sekitar perapian,
berguling-guling sambil memegangi kepala mereka
yang seolah-olah ditusuk-tusuk ribuan jarum di
dalamnya. Tak tahan lagi mereka melolong-lolong
kesakitan di tengah-tengah padang yang sunyi itu.
Di tepi danau memang ada tabib yang hidup
menyendiri dikelilingi kebun tanaman-tanaman
obatnya, namanya Tabib Kian, tetapi jaraknya
terlalu jauh dari tempat Ek Yam-lam berempat, tak
mungkin diteriaki. Sedang untuk berjalan ke
tempat tabib itu juga tak ada tenaga lagi.
Dan seandainya mereka berempat masih punya
kekuatan untuk berjalan ke sana, belum tentu
Tabib Kian bisa mengobatinya, sebab tabib itu
hanya mahir penyakit-penyakit alamiah, yang bisa
diobati dengan tumbuh-tumbuhan berkhasiat,
sedangkan yang diderita oleh keempat pemuda
murid Ciu Koan itu tidak bersumber dari penyebab
yang alamiah. Penyebabnya ialah Beng Hek-hou yang sedang
duduk di dalam kamar semedinya yang gelap,
75 hanya diterangi beberapa batang lilin di sekitar
tubuhnya. Di depannya ada empat buah boneka
lilin yang panjangnya tak lebih dari sejengkal.
Masing-masing boneka itu ditulis nama Ek Yamlam, Giam Lok, Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng
seperti yang diberitahukan oleh Ou Sing sebelum
matinya tadi. Sambil menyeringai ganas, Beng Hek-hou
menusuk-nusukkan belasan jarum ke kepala
boneka-boneka bernama itu.
Dan akibatnya, jauh di tengah padang belantara
sana, Ek Yam-lam berempat pun semakin gulungkoming dengan sakit kepalanya yang menghebat.
Rencana Beng Hek-hou ialah menyiksa keempat


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda itu semalam-malaman. Pertama dengan
sakit kepala, lalu "babak kedua" nya nanti dengan
rasa ketakutan yang menghebat. "Babak ke
tiga"nya dengan pandangan-pandangan palsu dan
penglihatan-penglihatan semu, dan esoknya Beng
Hek-hou yakin bahwa keempat pemuda itu akan
tiba kembali di Seng-tih, bergelandangan sebagai
orang hilang ingatan seperti Ho Tong.
Tetapi "babak pertama" pun belum selesai,
rencana Beng Hek-hou sudah terhambat.
Di tempat Ek Yam-lam berempat tersiksa itu,
tiba-tiba muncul seorang lelaki setengah abad
berpakaian serba putih berlapis jubah putih
sampai ke lutut, sepatunya juga putih, pedang
yang dibawanya juga bersarung putih dan ronceroncenya berwarna putih pula.
Orang ini mengerutkan alisnya menyaksikan
penderitaan Ek Yam-lam berempat, firasatnya yang
76 tajam langsung bisa merasakan hawa jahat di
tempat itu. Lelaki setengah baya kemudian duduk bersila,
mengheningkan cipta, mulutnya bergerak-gerak
perlahan mengucapkan sesuatu yang tak terdengar. Meskipun ia hanya duduk saja, namun
agaknya ia mengeluarkan banyak energi sehingga
jidatnya nampak berkeringat.
Sementara Beng Hek-hou di ruang semedinya di
Seng-tin, tiba-tiba merasakan serangan gaibnya
terhalang. Ketika ia hendak menusukkan jarum ke
sekian kalinya ke boneka yang bertuliskan nama
empat sasarannya, tiba-tiba tangannya gemetar,
makin lama makin hebat. Ketika Beng Hek-hou
memaksa diri untuk menusukkan jarum itu, malah
ujung jarum itu seolah terpental balik dan
menusuk tangannya sendiri.
Beng Hek-hou berdesis kaget, sekaligus
kesakitan juga. Menyusul amarahnya pun bangkit
karena tahu bahwa ia sudah ketemu tandingan.
Pertempuran yang terjadi kemudian adalah
pertempuran jarak jauh antara dua pakar ilmu
gaib. "Siapa pun kau, kau mau menjajal kemampuan
Pangeran Macan Hitam dari Pegunungan Ki-liansan ini... baik!" geram Beng Hek-hou sambil
mencopot ikat kepalanya dan mengurai rambutnya.
"Kau akan rasakan ilmuku yang lebih tinggi."
Lalu dalam ruangan gelapnya yang hanya
diterangi lima batang lilin yang ditaruh dilantai
dalam posisi segilima, dan Beng Hek-hou duduk di
tengahnya dengan rambut terurai, mulailah ia
77 menggumamkan mantera yang lebih keras.
Mantera yang makin lama terdengarnya makin
mirip geraman hewan, apalagi kemudian mata
Beng Hek-hou terbalik hingga kelihatan putihnya
dan dari sudut bibirnya ada air liur kental berbusa
menetes deras. Si Orang Berpakaian Putih di tengah padang
belantara itu pun mulai merasakan meningkatnya
tekanan. Tubuhnya nampak bergetar, gumamnya
makin keras. Beng Hek-hou makin kehilangan kesadarannya,
ia menggigit lidahnya sendiri sampai berdarah
namun tidak merasakan sakit sedikit pun, lalu
ludah berdarahnya disemburkan ke arah lima lilin
di sekitarnya. Lilin-lilin itu pun tiba-tiba menyala
lebih besar apinya dan nyalanya biru. Sesuatu
yang tidak wajar, sebab menurut kewajaran kalau
lilin diludahi pastilah mati, namun yang ini malah
menyala lebih besar. Orang berpakaian putih di tengah padang
belantara itu pun agak kaget melihat api unggun
yang dinyalakan Ek Yam-lam itu tiba-tiba
membesar sendiri dengan nyala berwarna biru dan
hampir menyambarnya. Si Orang Berpakaian Putih
yang juga mulai kehilangan kesadarannya, tibatiba menudingkan dua jarinya ke udara, jari
telunjuk dan jari tengah yang dirangkapnya. Lalu
jari-jari itu bergerak-gerak seolah-olah membuat
tulisan-tulisan di udara. Api biru yang menyala itu
pun perlahan-lahan mengecil kembali, bahkan
lebih kecil dari semula sampai hampir padam.
78 Pada saat yang sama, rintihan Ek Yam-lam dan
ketiga temannya agak mereda.
Sementara lima lilin yang mengelilingi Beng
Hek-hou juga surut apinya, hampir padam. Di
ruangan yang tertutup rapat itu tiba-tiba ada angin
dingin kencang yang entah dari mana masuknya.
Tubuh Beng Hek-hou menggeletar, dari mulutnya
keluar geram bermacam-macam jenis hewan.
Disertai suara gemeretak di tulang lehernya,
kepalanya berputar satu lingkaran penuh di atas
pundaknya. Dengan mata tetap terbalik putih,
Api Di Bukit Menoreh 1 Trio Detektif 04 Misteri Hantu Hijau Kisah Para Pendekar Pulau Es 10
^