Pencarian

Dari Mulut Macan 2

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp Bagian 2


mulut berliur dan berbusa serta rambut berdiri
tegak, Beng Hek-hou mengeluarkan suara, "Siapa
kau, berani menentangku?"
Pada saat yang sama, di tengah padang
belantara, mulut Lui Kong-sim pun tiba-tiba
mengeluarkan suara berat menggeram yang bukan
suara Lui Kong-sim sendiri. "Siapa kau, berani
menentangku?" Dalam keadaan cuma sedikit sadar, orang
berbaju putih itu berdesis dan suaranya pun
bukan suaranya sendiri. "Akulah penguasa Bukit
Pek-go-nia (Bukit Buaya Putih), diperintah oleh
Ibunda Abadi Tak Berasal-usul (Bu-seng Lo-bo)
untuk mengambil alih Seng-tin!"
Lalu jari-jarinya bergerak-gerak menulis beberapa huruf lagi di udara, dan api unggun itu
padam sama sekali. Bersamaan dengan padamnya lilin-lilin di ruang
tempat Beng Hek-hou, bahkan pimpinan gerombolan itu sendiri terbanting kejang di lantai
79 dan lama tak bergerak-gerak. Busa di mulutnya
bercampur darah. Di padang belantara, orang berbaju putih itu
pun perlahan-lahan sadar kembali. Ia pun
merasakan tubuhnya bermandi keringat meskipun
malam dingin. Ia bangkit mengumpulkan kayu
bakar dalam kegelapan, lalu menyalakan kembali
api unggun yang tadi padam.
Di bawah cahaya api yang menyala kembali, Ek
Yam-lam berempat pun pelan-pelan bangun,
pakaian mereka kusut dan berdebu, begitu juga
muka mereka, karena tadi mereka bergulingan di
tanah saking sakitnya. Kini dengan heran mereka
merasakan kepala mereka tidak sakit lagi, dan
lebih heran lagi melihat adanya lelaki setengah
baya yang berwajah ramah dan berpakaian serba
putih itu. "Ada apa... dengan kami?" Yao Kang-beng masih
bingung dengan apa yang baru saja dialaminya.
"Dan.... Tuan ini siapa?"
Orang berjubah putih itu menjawab sambil
tersenyum ramah, "Entah kalian ini bermusuhan
dengan ahli gaib yang mana, kalian hampir saja
dibuat gila oleh ilmu gaib jahat yang baru saja
menyerang kalian." "Lalu... kenapa sekarang kami masih waras dan
tidak gila?" "Itu karena aku lewat dan melihat kalian, lalu
kupatahkan kekuatan gaib jahat yang menyerang
kalian itu." 80 Ek Yam-lam berlutut menghormati orang itu,
diikuti ketiga temannya, kata Ek Yam-lam mewakili
teman-temannya. "Kalau begitu, kami berhutang
nyawa kepada Tuan. Terimalah ucapan terima
kasih dan hormat kami. Bolehkah kami juga
mengetahui nama Tuan yang mulia?"
"Namaku Wong Lu-siok, dari Pek-go-nia (Bukit
Buaya Putih). Adalah kewajibanku untuk mengamalkan ilmuku untuk menolong sesama.
Kalian sendiri siapa, kenapa sampai bermusuhan
dengan siluman yang menyerang kalian tadi?"
Ek Yam-lam memperkenalkan diri dan temantemannya, lalu secara ringkas menceritakan apa
yang terjadi di Seng-tin.
Wong Lu-siok geleng-geleng kepala dengan sikap
prihatin mendengar penuturan itu, komentarnya.
"Kalau didengar dari ceritamu itu, penduduk Sengtin pastilah orang-orang yang tidak memiliki
perlindungan suci, sehingga mudah saja kotanya
diambil alih oleh kawanan orang jahat itu. Benar
tidak?" "Perlindungan suci?" Ek Yam-lam berempat
terlongong. "Atau lebih tepat, Pelindung Suci. Maksudku,
dewa atau dewi yang dipuja dengan sungguhsungguh di kota kalian, yang akan memberkati dan
melindungi kalian. Benar tidak?"
Ek Yam-lam berempat menarik napas dan
menunduk, dan sikap mereka sudah merupakan
jawaban "ya" bagi Wong Lu-siok. Namun Giam Lok
masih mencoba membela kotanya, "Biarpun kami
81 tidak memiliki kuil dewa atau dewi tertentu,
namun berpuluh-puluh tahun kami hidup
tenteram, sejak kakek-kakek kami. Baru kali ini
ada kejadian seperti ini...."
Wong Lu-siok menjawab dengan sabar. "Hidup
rukun damai saja tidak cukup untuk menangkal
kekuatan-kekuatan jahat yang bertaburan di
langit. Kekuatan-kekuatan jahat yang sering
memperalat manusia-manusia yang lemah batinnya untuk menjadi alatnya dalam menyengsarakan umat manusia."
Gaya Wong Lu-siok benar-benar meyakinkan,
membuat keempat pemuda di depannya amat
kagum. Tanya Ek Yam-lam. "Tadi Tuan berhasil
mengusir sihir yang jahat menyiksa kami, apakah
Tuan ini juga... ahli ilmu gaib?"
Wong Lu-siok mengangguk. "Benar. Ilmu gaib
putih. Ilmu gaib untuk kebenaran. Kami orangorang dari Bukit Buaya Putih mengemban amanat
dari langit untuk membebaskan bumi dari
pengaruh jahat para siluman dan kaki tangannya."
"Tentunya Tuan punya pelindung suci?"
"Tentu. Yang kami puja adalah Ibunda Ratu
Langit yang juga disebut Ibu Abadi Tak Berasalusul, atau disebut juga ibu dari sebagian besar dari
keyakinan-keyakinan ?gama di muka bumi ini,
pelindung semua tempat ziarah keagamaan,
pemberi berkat semua jubah keagamaan."
Ek Yam-lam berempat begitu terpesona oleh
kata-kata Wong Lu-siok, apalagi mereka sudah
membuktikan bahwa pengembara suci dari Bukit
82 Buaya Putih ini mampu mematahkan ilmu hitam
Beng Hek-hou tadi. "Tuan Wong, maukah Tuan menolong kota kami
yang sedang dikuasai orang-orang jahat?" tanya Ek
Yam-lam. "Tentu saja. Itu tugas mulia kami. Dan kami
sudah dibekali ilmu gaib para dewa untuk
menaklukkan siluman-siluman."
"Dan maukah Tuan mengajarkan ilmu gaib
putih Tuan kepada kami, agar kami dapat
melindungi kota kami?" tanya Lui Kong-sim
bersemangat. Kembali Wong Lu-siok mengangguk, "Memang
menyebarkan ajaran dari Bukit Buaya Putih ke
seluruh bumi adalah tugas utama kami. Ibunda
Ratu Langit pernah memberitahu kami lewat mimpi
bahwa di jaman terakhir nanti, Agama Ratu
Langitlah yang akan menjadi agama terbesar di
bumi, menyatukan agama-agama lainnya!"
"Bukan ajarannya, Tuan Wong, tetapi kemampuan gaibnya untuk menangkal ilmu gaib
jahat!" bantah Lui Kong-sim. Ek Yam-lam cepatcepat menyikut temannya itu, kuatir kata-kata Lui
Kong-sim menyinggung Wong Lu-siok.
Alis Wong Lu-siok memang berkerut sebentar,
katanya, "Ajaran dan ilmu gaibnya tidak bisa
dipisahkan. Aku memang bersedia mengajari
kalian ilmu-ilmu dari Bukit Buaya Putih seperti:
menuliskan huruf-huruf suci penangkal pengaruh
jahat, meramal masa depan, berkomunikasi
dengan mahluk-mahluk suci di langit dan bahkan
83 memohon mereka masuk ke tubuh kalian sehingga
kalian mendapat kekuatan luar biasa, tetapi kalian
juga harus bersedia menerima ajaran kami, ajaran
suci yang akan meningkatkan derajat manusia."
"Aku bersedia!" sahut Ek Yam-lam. Ia bicara
untuk dirinya sendiri, tidak mewakili temantemannya,
membiarkan teman-temannya mengambil keputusan sendiri-sendiri.
"Aku juga!" kata Lui Kong-sim dan Yao Kangbeng hampir bersamaan, meski sudah ditebak
kalau kedua orang anak muda berdarah panas itu
tentu lebih tertarik kepada ilmu gaibnya daripada
ajaran-moralnya. Tinggal Giam Lok yang belum bersuara, ia
masih ragu-ragu mendengar tentang "memohon
mahluk-mahluk suci di langit agar memasuki
tubuh" itu, apakah itu berarti kesurupan" Dan
ketika Wong Lu-siok serta ketiga teman Giam Lok
menatapnya menantikan keputusannya, Giam Lok
pun cuma menyahut. "Aku... lihat-lihat dulu."
Lui Kong-sim geleng-geleng kepala. "Ah, Kakak
Lok ini, keadaan sudah mendesak begini kok
masih pikir-pikir lagi, apa lagi yang dipikir-pikir?"
Giam Lok memilih tidak menjawab daripada
bertengkar, meskipun Wong Lu-siok nampak heran
juga. Tawaran sehebat itu agaknya belum langsung
bisa menarik minat Giam Lok.
*** 84 Tiga serangkai pengembara, Liu Yok, Siau
Hiang-bwe alias A-kui dan Cu Tong liang, dalam
perjalanan malam itu menginap di sebuah desa
kecil di bagian utara Propinsi Se-cuan. Mereka
menginap di rumah penduduk. Semalam Siau
Hiang-bwe tidur di dalam, sedangkan Liu Yok dan
Cu Tong-liang harus rela tidur di bekas kandang
yang dibersihkan. Tetapi pagi-pagi benar, sebelum keluarga Tuan
rumah-rumah bangun, Siau Hiang-bwe sudah
berada di bekas kandang itu untuk menjumpai Liu
Yok. Siau Hiang-bwe tahu kebiasaan Liu Yok yang
biasa bangun jauh lebih pagi dari itu. Untuk
menikmati hubungan akrab dengan Penciptanya.
Ketika Siauw Hiang-bwe memasuki bangunan
setengah terbuka bekas kandang itu, sambil
membawa buku yang dipinjamnya dari Liu Yok,
maka ia melihat Liu Yok sudah bangun dan duduk
di atas sebuah tong anggur yang kosong,
sementara Cu Tong-liang masih tidur pulas di atas
hamparan jerami. Melihat Siau Hiang-bwe, Liu Yok menyambut.
"Ada apa, A-kui?"
Gadis itu duduk di tong anggur lainnya di depan
Liu Yok, membuka buku yang dipinjam dari Liu
Yok itu pada halaman yang sudah ditandainya
dengan sebatang lidi. "Kakak Yok, aku tidak
memahami apa yang aku baca pagi ini."
"Yang mana?" Pagi masih gelap dan tidak memungkinkan
untuk membaca, tetapi Siat Hiang-bwe membawa
85 sepotong lilin yang lalu dinyalakannya, untuk
membaca, "Yang ini, Kakak Yok, coba dengarkan.
Aku melawanmu, hai buaya yang tidur di tengah
sungai-sungai, yang mengaku memiliki dan
membuat sungai-sungai itu! Nah, Kakak Yok,
siapakah si Aku yang melawan buaya itu, dan
siapakah buaya itu?"
"Aku dalam buku itu ialah Sang Maha Pencipta
sendiri, pemberi ilham buku kesayangan kita ini."
"Lalu, buaya itu?"
"Aku ingin bicara lebih dulu tentang 'sungaisungai' itu. Sungai-sungai itu adalah aliran-aliran
anugerah, aliran belas kasihan, aliran wahyu dan
ilham murni yang memancar dari hati Sang
Pencipta sendiri, untuk umat manusia, jenis
mahluk yang paling beruntung memperoleh kasih
sayang-Nya dan perhatian-Nya. Sungai-sungai itu
menghidupkan kita. sebab...."
Siau Hiang-bwe pamer hapalannya yang sudah
lumayan. "... sebab kita hidup bukan dari
makanan jasmaniah melainkan oleh sabda-Nya."
Liu Yok mengangguk sambil tertawa. "Bagus,
kau hapal, tetapi apa paham juga?"
"Pahamnya menunggu dijelaskan Kakak Yok."
"Mudah saja, manusia kita yang sejati, yang di


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam, hidup dengan berada pada aliran-aliran
sungai tadi, artinya akrab dengan Sang Pencipta.
Sedang wadah dari manusia sejati ini, bisa
berfungsi dan terpelihara dengan makan minum
kita sehari-hari." 86 "Ya aliran-aliran tadi seperti sungai-sungai yang
menghidupkan kita. Tetapi kenapa ada buayanya
yang berbaring di tengah-tengah sungai-sungai
kehidupan itu?" "Mahluk berujud buaya itu punya dua tujuan.
Pertama, mengakui dirinya sebagai penguasa dan
pembuat sungai-sungai kehidupan itu, agar umat
manusia berterima kasih kepadanya dan bahkan
menyembahnya. Kedua, si buaya ingin mengeruhkan sungai-sungai itu agar manusia
makin kabur mengenali isi Pencipta mereka. Aliran
anugerah dikeruhkan dengan usaha-usaha manusia menjadi sempurna dengan kekuatannya
sendiri, bukan dengan anugerah-Nya. Aliran belas
kasihan dicampur-aduk dengan sikap menilai dan
menuntut untuk memenuhi ukuran-ukuran kebajikan tertentu, baik menuntut diri sendiri
maupun orang lain. Aliran ilham dikeruhkan
dengan ilham-ilham dari mahluk itu sendiri kepada
manusia, mengilhamkan apa-apa yang sebenarnya
tidak berasal dari Sang Pencipta."
Liu Yok mengambil buku itu dari tangan Siau
Hiang-bwe, membukanya beberapa halaman di
belakang, lalu membacanya. "Dengar ini, A-kui, ini
masih tentang si buaya itu. Kau meniru singa
muda di antara bangsa-bangsa, tetapi engkaulah
buaya yang datang ke sungai-sungai itu untuk
mengeruhkannya dengan kaki-kakimu."
Siau Hiang-bwe membalik ke beberapa halaman
di depan, kembali ke bacaan semula, dan
membaca, "Aku hendak mengait rahangmu dan
ikan-ikan sungai yang melekati sisikmu, akan
87 kukeluarkan kau dari sungai-sungai-Ku dan Kubuang ke padang gersang."
"Ikan-ikan sungai menggambarkan jiwa-jiwa
manusia yang mengagumi dan melekat kuat
kepada si buaya." Bersambung jilid III *** Jilid 3 >o< "KENAPA ada manusia yang mengagumi mahluk
jahat yang mengeruhkan aliran-aliran kehidupan
itu?" "Karena buaya itu tampil elok dan mempesona
di hadapan manusia-manusia yang dibutakan
mata hatinya. Baca saja tulisan berikutnya."
dengan ujung jarinya Liu Yok menunjuki Siau
Hiang-bwe. "Engkau seperti pohon getah wangi
yang indah, bercabang rimbun, berbatang lurus,
berpuncak sampai ke awan. Lihat, A-kui,
gambaran seindah ini mudah menarik jiwa
manusia, bukan?" "Ya, Kakak Yok, tetapi diperingatkan di buku:
jiwa-jiwa yang melekat kepada mahluk penipu ini
akan dibuang bersama si mahluk ke padang
gersang. Jiwanya dalam kegersangan, begitu,
Kakak Yok?" 88 "Benar." Siauw Hiang-bwe membaca terus, "... tak ada
yang mempedulikan bangkaimu, dan Ku-berikan
dagingmu untuk hewan-hewan padang belantara
dan unggas-unggas liar."
"A-kui, bayangkan bangkai atau daging mati.
Pengertian apa yang kau dapatkan?"
"Sesuatu yang tadinya hidup, tetapi tidak lagi
hidup." "Itulah keadaan jiwa-jiwa yang tertipu oleh si
buaya." Siau Hiang-hwe merenung, menutup kitab
pinjaman itu dan menyodorkannya kepada Liu
Yok. "Terima kasih, Kakak Yok. Sebentar lagi fajar
terbit dan kita harus melanjutkan perjalanan."
Ketika itulah Cu Tong-liang terdengar berkerotkerot giginya dalam tidur, dan berbicara dalam
tidurnya. "Tuan rumah sudah menyediakan
sarapan belum?" Liu Yok tertawa. dan Siau Hiang-bwe sama-sama *** Mata warga Seng-tin yang sedang berada di
pasar itu serempak terbelalak kaget, ketika melihat
Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng muncul di pasar
itu, di siang hari bolong, sambil memanggul
tombak mereka. Bersama Ek Yam-lam dan Giam
Lok, mereka adalah empat buronan yang
89 menggusarkan Beng Hek-hou. Banyak orang Sengtin percaya, setelah menghilang beberapa hari dari
Seng-tin, para buronan itu mungkin sudah mati di
padang belantara. Mati oleh kutuk sihir yang
dilontarkan Beng Hek-hou yang sudah membuktikan kehebatannya.
Kini, orang-orang yang disangka mati itu, dua di
antaranya muncul segar-bugar di depan mata
mereka. Siang hari bolong. Padahal anggotaanggota gerombolan selalu meronda seluruh
pelosok kota dengan ketat.
Liu Kong-sim tertawa dan berkata kepada
orang-orang yang memandangnya. "Kenapa kalian
memandang kami berdua seperti melihat hantu"
Kalian pikir kami sudah mati karena Si Penyihir
keparat itu menghendaki kami mati" He-he-he,
sekarang di depan mata kalian ada bukti bahwa Si
Keparat itu bukan yang menentukan segalagalanya, bahkan kehancurannya sudah dekat!"
Orang-orang di pasar itu yang nyalinya kecil
segera menyingkir pergi, tidak mau terlibat sedikit
pun kalau sampai kedua pemuda itu dipergoki
anggota-anggota gerombolan. Yang sedikit lebih
berani, berusaha membujuk agar Lui Kong-sim dan
Yao Kang-beng cepat-cepat enyah.
Janda Joan, calon mertua Lui Kong-sim, cepatcepat meninggalkan kue-kue dagangannya untuk
mendekati Lui Kong-sim sambil berkata. "Syukurlah kau selamat dan tidak gila, A-sim. Kata
beberapa anggota gerombolan, kau dan temantemanmu kalau tidak mati pastilah jadi gila kena
santet pemimpin mereka."
90 "Ternyata tidak benar, kan?"
"Syukurlah kau tidak kurang suatu apa pun,
teman-temanmu bagaimana?"
Lui Kong-sim yang berdarah panas itu sulit
menahan rahasia. "Kami berempat selamat
semuanya, bahkan sedang mempelajari ilmu dewadewa untuk membebaskan kota ini. Itulah
sebabnya kukatakan tadi bahwa Si Bandit itu
sudah dekat saat kehancurannya!"
Beberapa orang di pasar itu sedikit percaya
akan omongan Lui Kong-sim, dan ada setitik
harapan timbul. Ya, kalau bandit-bandit yang
menguasai kota itu dibantu mahluk-mahluk gaib
yang jahat, rasanya untuk bisa mengusir mereka
memang perlu bantuan dewa-dewa. Namun orangorang di pasar itu tetap kuatir kalau sampai Lui
Kong-sim berdua kepergok para anggota gerombolan. Janda Joan kemudian berkata. "Baiklah, kami
lega mendengar kalian berempat selamat, tetapi
cepat-cepatlah pergi dari sini. Jangan sampai
ditemui oleh bandit-bandit itu."
"Kalau ditemui mereka, memangnya lalu
kenapa, Bibi Joan?" sahut Yao Kang-beng angkuh.
Sedangkan Lui Kong-sim berkata. "Kami
memang tidak mungkin lama-lama di kota ini,
tetapi sebelum kami pergi, kami ingin melakukan
sesuatu." "Apa?" 91 "Menghajar pengkhianat." sahut Lui Kong-sim
sambil melangkah ke ujung pasar, ke sebuah
warung yang menjual rempah-rempah dan bumbubumbu. Warung itu kepunyaan Pang Se-bun yang
pernah memimpin orang-orang kota hendak
menangkap Ek Yam-lam berempat.
Pang Se-bun yang sedang berada di dalam
warungnya, terkejut ketika melihat Lui Kong-sim
dan Yao Kang-beng berdiri di luar warungnya
sambil menantang. "Pang Se-bun! Keluar untuk
mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!"
Pang Se-bun yang juga bekas murid Ciu Koan,
meskipun sekarang usianya sudah hampir tiga
puluh lima tahun dan latihannya mulai kendor,
tanpa ragu-ragu mengambil tombaknya yang
disandarkan di dinding warungnya, dan melangkah
keluar. "Saudara Lui, Saudara Yao, perbuatan jahat apa
yang harus kupertanggung-jawabkan?"
"Kau berlagak tidak bersalah ya" Kau dan
beberapa pengkhianat lainnya pernah hendak
menangkap kami untuk diserahkan kepada
gerombolan! Bukankah itu berarti kau sudah
menjadi kaki tangan mereka?"
"Aku harus menyelamatkan warga yang tidak
bersalah dari balas dendam Beng Hek-hou. Kalian
berani berbuat tetapi setelah itu lalu bersembunyi,
akibatnya warga kotalah yang jadi korban
kemarahan mereka!" "Pengecut! Sifat pengecutmu itu membuat kau
tidak dapat memahami tindakan kami yang
92 bertujuan membangkitkan keberanian warga kota!
Kami ingin menunjukkan bahwa bandit-bandit itu
pun dapat dibunuh! Tetapi kau bukannya jadi
berani, malah hendak menangkap kami!"
"Karena aku tidak seberani kalian, yang berani
bertindak berani bertanggung jawab juga!" sindir
Pang Se-bun. "Kalau karena itu kauajak aku
berkelahi, ayolah!" Hampir saja murid-murid Ciu Koan itu saUng
hantam di pinggir pasar itu. Namun tiba-tiba
kelihatan orang-orang lari berhamburan untuk
bersembunyi, karena munculnya dua orang
anggota gerombolan Beng Hek-hou.
Dalam waktu singkat, pasar menjadi sepi.
Kedua anggota gerombolan itu mendekati Lui
Kong-sim dan Yao Kang-beng sambil berkata. "Ini
rupanya cecunguk-cecunguk yang berani membunuh kawan kami! Kau pasti membunuh
kawan kami dengan sergapan licik, sebab tanpa
sergapan model pengecut kalian, kalian pasti
takkan mampu berhadapan dengan kawan kami.
Tetapi kali ini di bawah sinar matahari yang
terang-benderang, di depan mata orang-orang
Seng-tin, akan kami cincang kalian agar kalian
tahu siapa kami!" Liu Kong-sim dan Yao Kang-beng yang sudah
sedikit "dibekali" oleh Wong Lu-siok itu pun tidak
gentar. Mereka beralih, tidak lagi menghadapi Pang
Se-bun, melainkan menghadapi kedua bandit itu.
"Kamilah yang akan membunuh kalian, untuk
membuka mata warga seluruh kota ini bahwa ilmu
93 siluman kalian tak berdaya menghadapi ilmu
ajaran para dewa!" sahut Lui Kong-sim garang.
Kedua bandit itu tertawa. "He, anak kencur,
siapa mendongengi kalian tentang dewa-dewa
segala?" Lui Kong-sim tidak mau bertele-tele lagi, ujung
tombaknya tiba-tiba meluncur deras hendak
menikam wajah bandit itu. si Bandit yang


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersenjata tiat-koai (tongkat besi), melompat
mundur selangkah dengan agak kaget. Namun
kemudian dia menjadi gusar, ketika Lui Kong-sim
menusuk pula, dia berkelit sambil mencoba
menghantamkan tongkat besinya ke pelipis Lui
Kong-sim. Dengan demikian, pertarungan pun dimulai.
Dua murid Ciu Koan dan dua bandit, dua lawan
dua. Yoa Kang-beng berhadapan dengan bandit
yang bersenjata golok bertangkai panjang.
Gebrak demi gebrak berlangsung hebat, kedua
pihak sama-sama bernafsu untuk menghabisi
lawan secepat-cepatnya, namun kedua pihak juga
sama-sama terbentur kenyataan bahwa lawan tak
mudah ditundukkan begitu saja.
Senjata-senjata mereka berbenturan dan bersambaran sengit. Barang-barang di pasar itu
jadi porak-poranda. Makanan-makanan, sayursayuran;
buah-buahan, keranjang-keranjang, barang-barang gerabah. Ternyata ketangkasan kedua orang murid
mendiang Ciu Koan itu sekian lama dapat
94 menandingi ketangkasan anggota-anggota gerombolan yang berpengalaman luas itu.
Setelah sekian lama tak juga bisa menundukkan
"anak bawang" itu, kedua bandit itu makin gusar
dan malu, juga kuatir kalau warga Seng-tin melihat
itu maka keberanian warga kota akan bangkit.
Namun bersamaan dengan meluapnya kemarahan bandit-bandit, suatu kekuatan asing
yang bersembunyi dalam lubuk jiwa bandit-bandit
itu pun pelan-pelan dibangkitkan dari tidurnya.
Suatu kekuatan yang diisikan oleh Beng Hek-hou
kepada setiap anak buahnya setiap kali ada orang
95 bergabung dengan gerombolannya. Kekuatan asing
yang memiliki kepribadian sendiri yang berbeda
dengan kepribadian orang yang "ditumpangi"nya.
Apabila kekuatan asing itu bangkit, kepribadian
asing pun mendesak kepribadian orangnya, bukan
hanya menguasai jiwa, bahkan kadang-kadang
mengakibatkan perubahan jasmaniah dan tingkah
laku. Begitulah, lawan Lui Kong-sim dalam pertarungannya mulai sering menjerit seperti kera,
juga gerak-geriknya, lompatan-lompatannya tambah berbahaya. Kalau semula Lui Kong-sim dapat mengimbanginya dengan permainan tombaknya,
kini Lui Kong-sim mulai terdesak karena berkalikali menghadapi gerakan lawan yang tak terduga.
Gerakan yang mirip monyet. Selain itu, lengkingan
lengkingan tajam lawannya terasa makin menyakitkan telinga dan serasa menusuk-nusuk di
pikiran. Lui Kong-sim didesak sampai keluar dari
kawasan pasar itu dan sekarang bertempur di
sebuah gang. Sekuat tenaga Lui Kong-sim
bertahan, mengerahkan segala kemampuannya.
Tetapi tetap saja dia kewalahan menghadapi
monyet jadi-jadian ini. Mulanya Lui Kong-sim menganggap lawannya
itu sekedar berlagak demikian, namun ketika ia
memperhatikan lawannya sambil terus bertempur,
Lui Kong-sim mulai dirambati perasaan gentar di
hatinya. Sebab menurut pandangannya, lawannya
itu pelan-pelan seperti berubah menjadi seekor
96 kera sebesar manusia. Lengannya bertambah
panjang dan berbulu, lengan yang memegang
tongkat besi tetap berbahaya, sedang yang tidak
memegang tongkat besi pun berbahaya dengan
cakaran-cakaran monyetnya yang memanjang. Dan
setiap kali memekik, terlihat taring monyet dalam
mulutnya. Tubrukan-tubrukannya ganas dan
berbahaya, bahkan ternyata kemudian kulitnya
juga kebal. Ketika suatu kali ujung tombak Lui
Kong-sim berhasil dengan telak mengenai perutnya, ternyata tidak menghasilkan luka
seujung rambut pun! Lui Kong-sim yang suka gembar-gembor
memamerkan keberaniannya, sekarang nyalinya
mulai berkerut. Kalau dalam perkelahian, lawannya lebih tangkas darinya karena dirasuki
siluman monyet, juga tak mempan oleh ujung
tombaknya, lalu harapan apa yang tersisa buat
pihaknya sendiri" Lui Kong-sim coba melirik ke rekannya, Yao
Kang-beng yang bertempur belasan langkah
darinya, dengan harapan siapa tahu Yao Kangbeng lebih baik keadaannya sehingga dapat
diharapkan bantuannya. Ternyata Yao Kang-beng
malah lebih parah darinya.
Siluman yang "mengambil alih" tubuh lawan Yao
Kang-beng agaknya adalah siluman ular. Cara
bertempur orang itu jadi meliuk-liuk mirip ular,
dengan golok bertangkai panjangnya ia jadi amat
menyulitkan Yao Kang-beng. Apalagi lawan Yao
Kang-beng ini juga kebal, dan ada satu kelebihan
yang tidak dimiliki lawan Lui Kong-sim, yaitu dia
97 sering menyemburkan uap beracun dari mulutnya.
Benar-benar telah menjadi manusia ular.
Maka Yao Kang-beng bertempur dengan kepala
pusing dan perut mual karena pengaruh uap
beracun itu. Ia hanya bertahan saja, tak
bersemangat lagi untuk balas menyerang, sebab
kena tubuh lawan pun akan percuma.
Baik Lui Kong-sim maupun Yao Kang-beng
diam-diam menyesal juga bahwa mereka hanya
menuruti dorongan darah panas mereka, tanpa
mempedulikan nasihat Giam Lok.
"Ternyata bukan Beng Hek-hou saja yang pintar
sihir, tetapi dia juga menjadikan semua anak
buahnya jadi mahluk jadi-jadian....." pikir Lui
Kong-sim. Dalam keadaan terjepit itu, Lui Kong-sim tibatiba memperoleh sebuah ingatan, lalu mulutnya
berkemak-kemik, "Mahluk-mahluk suci yang
diceritakan oleh Wong Lu-siok, kalau kalian benarbenar ada, masuklah ke tubuhku. Pakailah
tubuhku untuk menghancurkan budak-budak
siluman ini." Ia berdoa sembarangan saja dan sekedar
untung-untungan, tak terduga tiba-tiba ada
semacam udara dingin mengaliri tubuhnya, lalu
dalam angan-angannya muncul gambaran seorang
lelaki gagah berdandan seperti panglima perang
jaman kuno membawa tombak. Dalam waktu
sekejap, bayangan itu lenyap, rasanya seperti
melebur ke dalam jiwa dan raga Lui Kong-sim.
98 Lalu sepasang lengan Lui Kong-sim bergetar,
tahu-tahu dia sudah memainkan beberapa jurus
tombak yang belum pernah dipelajarinya. Pikiran
sehat Lui Kong-sim sempat merasa heran sendiri.
Jurus itu sulit, kalau dilatih untuk dimahirkan
dengan cara wajar, barangkali akan perlu
berbulan-bulan. Tetapi sekarang Lui Kong-sim
tiba-tiba menguasainya dan menggunakannya
dengan mahir begitu saja.
"Kalau begini caranya, begini mudah, dalam
waktu singkat aku bisa menjadi pendekar ulung
tanpa susah-susah latihan...." pikir Lui Kong-sim
girang. Kegirangan Lui Kong-sim adalah "sambutan
selamat datang" yang sehangat-hangatnya buat
mahluk gaib berujud panglima perang jaman kuno
itu. Sambutan untuk mengambil-alih jiwa dan raga
Lui Kong-sim sepenuhnya. Kini kesadaran Lui
Kong-sim pun tiba-tiba tenggelam, seperti kantuk
yang hebat menyerangnya. Tetapi ketika kesadaran
akan diri sendiri lenyap, tubuh Lui Kong-sim
justeru bergerak dahsyat dengan tombaknya,
melakukan gerak-gerak yang kehebatannya tak
masuk akal. Ia melakukannya dengan mata
terpejam! Dengan demikian, pertarungan itu adalah
pertarungan antara dua orang-orang yang samasama terpejam matanya dalam keadaan tidak
sadar. Dua orang yang sama-sama sedang menjadi
"boneka" yang dimainkan dari alam tak terlihat.
Kemudian ternyata bahwa Lui Kong-sim
mendesak lawannya, makin lama makin hebat,
99 sampai ujung tombaknya berhasil menembus ulu
hati lawannya. Kali ini lawannya tidak kebal lagi.
Terdengar pekikan monyet melengking tinggi
mengiringi ambruknya lawan Lui Kong sim itu ke
tanah. Setelah berkelejetan sebentar, arwahnya
pun bergabung ke dunia gelap tempat asal mahluk
asing yang selama ini menempati jiwanya,
meninggalkan raganya. Pelan-pelan kesadaran asli milik Lui Kong-sim
muncul kembali. Ketika ia membuka mata dan
melihat tubuh lawannya terkapar di depannya, Lui
Kong-sim heran sendiri karena ia sama sekali tidak
menyadari apa yang sudah dilakukannya tadi. Tadi
ketika tubuhnya "dipinjam" sebentar oleh mahluk
asing, ia tidak tahu apa yang dilakukan tubuhnya
sendiri, seakan tubuhnya itu bukan miliknya lagi.
Sekarang setelah kesadarannya kembali, ia
terheran-heran melihat musuhnya yang sudah
terkapar dan ujung tombaknya sendiri yang basah
oleh darah. "Bukankah orang ini tadi kebal" Kenapa
sekarang dia terbunuh" Dan kenapa ujung
tombakku berdarah?" Ketika Lui Kong-sim menoleh ke arah Yao Kangbeng, dia pun terheran-heran melihat rekannya itu
juga bertempur dengan amat dahsyat. Lui Kongsim kenal Yao Kang-beng sejak masih sama-sama
kecil, lalu sama-sama berlatih di bawah asuhan
Ciu Koan, dan tahu benar bahwa dalam kondisi
normal Yao Kang-beng takkan mampu bertarung
sehebat itu, bahkan seandainya berlatih sungguh
sungguh beberapa tahun lagi. Namun saat itu Yao
100 Kang-beng sedang "tidak normal" sebab ia
bertempur dengan mata tertutup! Padahal ajaran
silat mengatakan agar mata selalu awas terhadap
musuh. Lui Kong-sim juga melihat Yao Kang-beng
mampu melakukan jurus-jurus silat yang belum
pernah dilihatnya dengan gaya bertempur yang
asing bagi Lui Kong-sim. Lawan Yao Kang-beng yang meliuk-liuk seperti
ular itu juga memejamkan mata, namun kelihatan
terdesak hebat oleh Yao Kang-beng.
Diam-diam Lui Kong-sim membatin. "Apakah
tadi aku juga bertarung seperti itu" Melakukan
hal-hal hebat dalam keadaan tak sadar?"
Kemudian Lui Kong-sim melihat Yao Kang-beng
membunuh lawannya, lalu perlahan-lahan sadar
kembali dan terheran-heran melihat ke sekitarnya.
Kepada Lui Kong-sim yang sedang melangkah
mendekatinya, Yao Kang-beng bertanya. "Apa yang
terjadi di sini, Kakak Sim?"
Sedikit banyak Lui Kong-sim bisa menyimpulkan, maka dijawabnya sebisa-bisanya.
"Kita berkelahi dengan bandit-bandit ini, tetapi kita
hampir kalah karena bandit-bandit ini kebal dan


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirasuki siluman. Lalu... aku (Lui Kong-sim tidak
lagi memakai kata "kita") memohon kepada dewadewa yang pernah diceritakan Wong Lu-siok, dan
tiba-tiba saja aku mendapat kekuatan untuk
memenangkan pertarungan."
"Itu kau, Kakak Sim, aku bagaimana?"
"Lho, pengalamanmu sendiri kok malah tanya
aku. Coba diingat-ingat sendiri."
101 "Kelihatannya, aku juga begitu, Kakak Sim.
Ketika aku merasa tak berdaya menghadapi
lawanku, tiba-tiba di kupingku seperti ada yang
berbisik mengusulkan agar aku minta bantuan
mahluk-mahluk suci seperti yang pernah diceritakan Wong Lu-siok. Kuturuti usul itu. Tibatiba kulihat di sampingku ada orang bersenjata
tombak, pakaiannya seperti dalam lukisan-lukisan
kuno. Rasanya aneh bahwa orang itu seperti
meresap menyatu denganku. Habis itu, aku tak
tahu apa yang kulakukan."
"Agaknya kita kemasukan... dewa...."
"Entahlah. Nanti kita tanyakan kepada Tong Lusiok."
"Sekarang kita harus cepat-cepat menyingkir
sebelum bandit-bandit lain berdatangan."
Lalu mereka buru-buru melangkah pergi, tetapi
langkah mereka tertegun ketika mendengar
teriakan Pang Se-bun dari depan warungnya. "He,
Saudara Lui dan Saudara Yao, kalau kalian tidak
mau mempertanggungjawabkan perbuatan kalian,
warga kotalah yang akan menanggung akibat
kemarahan Beng Hek-hou atas kematian anak
buahnya!" Lui Kong-sim berteriak sambil melanjutkan
langkahnya. "Tutup mulutmu, pengkhianat! Kutitipkan sementara batok kepalamu di atas
batang lehermu!" Pang Se-bun cuma menarik napas sambil
geleng-geleng kepala. Ditatapnya mayat dua bandit
yang terkapar di jalanan. Pasti tak seorang
102 penduduk pun berani melaporkan itu kepada Beng
Hek-hou, sebab pelapor itu pasti akan dijadikan
pelampiasan kemarahan Beng Hek-hou.
Apa boleh buat, Pang Se-bunlah yang
melangkah ke markas gerombolan, bertekad
menggantikan siapa pun yang hendak dijadikan
korban kemarahan Beng Hek-hou.
*** Di luar dugaan Pang Se-bun, sebagai hasil dari
laporannya kepada Beng Hek-hou, ia tidak dipukuli
atau bahkan dibunuh. Tidak. Namun Pang Se-bun
justru mendapat tugas yang dirasakannya lebih
berat daripada kalau dipukuli.
Wajah Beng Hek-hou memang merah padam
mendengar laporan Pang Se-bun, namun kali ini ia
tidak mengamuk membabi-buta. Beberapa hari
terakhir ini, Beng Hek-hou merasakan adanya
lawan tangguh sedang mendekati Seng-tin, lawan
tangguh yang mampu mengimbangi sihirnya, dan
juga mampu membuat senjata orang-orang Sengtin dapat menandingi ilmu kebal anak buahnya.
Buktinya dua orang anak buahnya hari itu tewas
ditembus tombak Lui Kong-sim dan Yao Kangbeng.
Beng Hek-hou sekarang mencoba mengambil
hati warga kota untuk memihak kepadanya,
membantu menghadapi kekuatan penentang yang
sedang mendatanginya. Mendengar laporan Pang Se-bun, ia berkata.
"Aku memang marah, tapi kali ini aku sudah tahu
siapa pelakunya dan aku takkan menimpakan
103 hukuman kepada warga yang tak bersalah. Aku ini
pemimpin yang bijaksana dan adil."
Pang Se-bun sampai tercengang mendengar
kata-kata "pemimpin"nya ini. Kesurupan malaikat
dari mana orang ini sehingga berubah sebaik ini,
dan juga tanpa malu-malu memuji-muji diri sendiri
sebagai "pemimpin yang adil dan bijaksana?"
Namun Pang Se-bun lega lebih dulu bahwa warga
kota takkan ada yang menjadi korban karena
peristiwa itu. Pang Se-bun rela dicurigai sebagai
pengkhianat atau kaki tangan gerombolan atau
sebutan tidak enak lainnya, asalkan warga kota
selamat. Namun rasa leganya itu tidak lama, sebab Beng
Hek-hou kemudian berkata. "Saudara Pang, kau
adalah warga kota yang patut dicontoh, karena itu
aku akan memberimu kepercayaan. Pilihlah barang
empat puluh atau lima puluh orang warga kota
yang sehat, lelaki, dapat berkelahi, bentuklah
suatu kelompok keamanan yang mengamankan
kota ini, demi keamanan warga kota sendiri."
"Mampuslah aku...." kata Pang Se-bun dalam
hatinya. "Kalau sampai aku memimpin sebuah,
regu yang bekerja demi Beng Hek-hou, makin
negatiflah pandangan warga kota kepadaku.
Sekarang saja orang sudah berbisik-bisik di
belakang punggungku, menyebutku kaki tangan,
pengkhianat, mata-mata, begundal, cecunguk dan
entah apalagi." Tetapi sebuah pikiran lain tiba-tiba melintas di
benaknya. "Ini sebuah kesempatan untuk membentuk sebuah kelompok bersenjata yang
104 terdiri dari warga Seng-Tin sendiri. Kalau kubentuk
di luar tahu Beng Hek-hou, kalau ketahuan bisa
celaka. Tetapi sekarang justru bangsat ini sendiri
yang meminta, ada baiknya ku-turuti permintaannya, tetapi kelak kelompok bersenjata
ini harus diarahkan untuk kepentingan warga
Seng-tin sendiri. Bahkan bisa jadi kelak 'senjata
makan tuan' untuk menggusur Beng Hek-hou dan
gerombolannya sendiri."
Munculnya gagasan semacam itu di benaknya
membuat Pang Se-bun girang tapi harus
menyembunyikan kegirangannya, jawabnya, "Baiklah Tuan Beng, akan kukumpulkan orangorang itu."
"Kau yang memimpin dan bertanggung jawab
kepadaku." "Baik." "Dan tugas pertama kelompok itu ialah
mengawasi rumah-rumah dari keempat pengacau
itu. Ek Yam-lam, Giam Lok, Lui Kong-sim dan Yao
Kang-beng. Awasi anggota keluarga mereka, siapa
tahu pengacau-pengacau itu mengunjungi sanak
keluarganya secara diam-diam, itulah saatnya
untuk menangkap mereka! Paham?"
Pang Se-bun mengangguk, namun sambil
mengeluh dalam hati. Alangkah tidak enaknya
tugas itu. Pang Se-bun kenal akrab dengan
keluarga-keluarga dari keempat "buronan" itu, dan
sekarang ia harus mengawasi mereka dan mungkin
suatu saat harus menangkap anggota keluarga
mereka di depan mata keluarganya sendiri.
105 Kutuknya dalam hati, "Bangsat she Beng ini
rupanya hendak menggunakannya siasat memecah-belah di antara warga Seng-tin sendiri,
agar kekuasaannya atas kota ini dapat diteruskan."
"Kenapa ragu-ragu, Saudara Pang?"
Geragapan Pang Se-bun menjawab. "Aku hanya
kuatir... jumlah empat puluh atau lima puluh
orang yang Tuan ingin-kan dari kelompok kami itu
mungkin takkan tercapai. Orang-orang akan raguragu bergabung."
"Waktu hendak menggerebek Ek Yam-lam dulu,
kenapa kau bisa kumpulkan hampir tujuh puluh
orang?" "Itu karena situasinya memungkinkan, waktu
itu penduduk kota dalam keadaan cemas sehabis
Tuan mendemonstrasikan kekuatan gaib Tuan, jadi
warga mudah digerakkan. Tetapi, kalau untuk
bergabung dalam kelompok yang tetap dan teratur
rasanya untuk mencapai jumlah dua puluh orang
saja akan sulit sekali."
Beng Hek-hou jengkel, tetapi demi mengambil
hati warga Seng-tin, ia harus menahan diri.
"Baiklah, seberapa pun yang bisa kaukumpulkan,
bentuk kelompok itu. Biar sedikit, kalian akan
dapat membantu kami, sebab kalian akan ku-ajari
sedikit ilmu gaib yang membuat kalian lebih
hebat." Pang Se-bun kaget. Ia benar-benar tidak ingin
belajar ilmu gaib jahat dari Beng Hek-hou, takut
akan ketularan jadi sejahat mereka. Selain itu juga
kuatir kalau ilmu gaib itu akan menjadi semacam
106 "kendali tak terlihat" yang mengekang kebebasan
jiwanya. Kalau jiwanya terkekang ilmu gaib,
bukankah akan dikendalikan Beng Hek-hou"
Cepat-cepat Pang Se-bun menggeleng.
Beng Hek-hou mengerutkan alisnya, "Kenapa
tidak mau" Menganggap ilmu kami ilmu jahat?"
Pang Se-bun benar-benar tidak siap menghadapi masalah itu, maka jawabannya pun
107 simpang-siur, "Aku rasa... pasukan keamanan
yang akan dibentuk ini... cukup kalau belajar...
sedikit cara-cara membela diri yang umum. Tidak
usah... pakai yang gaib-gaib segala...."
Kali ini Beng Hek-hou tidak mau mengalah dan
menunjukkan kekuasaannya. "Tidak. Yang ini
sudah kuputuskan. Pergilah dan kerjakan!"
Dengan lesu Pang Se-bun meninggalkan rumah
yang didiami oleh Beng Hek-hou dan gerombolannya itu. Sisa hari itu Pang Se-bun sengaja berkeliling
kota, dari rumah ke rumah, sekedar ditunjukkan
kepada Beng Hek-hou yang mungkin, menyuruh
orang untuk mengawasinya, agar Beng Hek-hou
mengira Pang Se-bun benar-benar sedang mengumpulkan orang untuk kelompok keamanannya. Namun Pang Se-bun berkeliling ke
banyak rumah itu sebenarnya tidak bersungguhsungguh mengajak orang bergabung dalam
kelompok keamanan itu. Tadinya memang Pang
Se-bun benar-benar ingin membentuk kelompok
itu untuk suatu kali digunakan menggempur Beng
Hek-hou sendiri, namun setelah mendengar niat
Beng Hek-hou untuk mengajarkan ilmu gaib jahat
kepada kelompok itu, yang dikuatirkan akan
terjadi ikatan jiwa, maka Pang Se-bun jadi tidak
bersemangat lagi membentuk kelompok itu. Ia
berkunjung ke banyak orang hanya untuk
mengobrol, sekedar meredakan kegelisahannya.
Tetapi setelah matahari terbenam dan Pang Sebun ada di rumahnya kembali, kegelisahannya
memuncak. Ibu mertuanya dan isterinya sering
108 bertanya apa yang digelisahkannya, tetapi Pang Sebun tidak mau mengatakannya kepada mereka.
Ketika hari sudah gelap, Pang Se-bun tidak
tahan lagi. Dan tiba-tiba ia merasa menemukan
orang-orang yang bisa diajak bicara. Tak lain
adalah Ek Yam-lam dan teman-temannya. Pang Sebun menduga bahwa meskipun mereka di kota,
pasti tidak jauh dari kota, kah Lui Kong-sim dan
Yao Kang-dapat pergi pulang ke dan dari kota
dengan cepat" "Mereka pasti tidak jauh dari kota." kata Pang
Se-bun dalam hati, sambil berganti pakaian, dari
jubah panjangnya ditukar ke pakaian ringkasnya.


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau kutanyakan Tabib Kian yang tinggal
menyendiri di dekat hutan itu, mungkin dia bisa
menjawab di mana Ek Yam-lam berempat."
"Mau ke mana?" tanya isterinya terheran-heran,
anak perempuannya, Pang Li-kun yang biasa
dipanggil A-kun, berdiri dekat ibunya dan ikut
menatap ayahnya dengan heran.
Pang Se-bun mengusap kepala anaknya yang
berusia sepuluh tahun itu, sambil berkata kepada
isterinya. "Ada keperluan mendesak. Kalau ada
yang mencari aku, bilang saja sedang tidak enak
badan dan tidak bisa menemui siapa-siapa.
Pesankan begitu juga kepada Ibumu, ya?"
Isteri Pang Se-bun mengangguk, tapi hatinya
cemas. Apakah "urusan mendesak" Sang Suami ini
ada hubungannya dengan ribut-ribut siang tadi"
Isteri ini paham bahwa suaminya dalam posisi
yang sulit. Sang Suami berusaha sekuat tenaga
mencegah jatuhnya korban di antara warga Seng109
tin yang tak berdosa, tetapi sebagian warga kota
justru mencurigainya menjadi kaki tangan
gerombolan. Pang Se-bun kemudian berdiri pada lututnya
agar bisa mendekatkan mukanya pada muka
puterinya, kedua telapak tangannya yang agak
dingin menempel dipipi A-kun, katanya. "Selama
Ayah pergi, A-kun jadi anak manis ya" Kalau orang
tanya di mana Ayah, bilang saja sedang tidak enak
badan dan tidak bisa ketemu siapa-siapa, ya?"
Anak yang lugu itu lalu mengangguk sambil
mencamkan suatu pelajaran baru di benaknya,
bahwa untuk menjadi se orang anak manis itu
tidak boleh bohong untuk diri sendiri, tetapi boleh
bohong demi orang tuanya.
Sementara Pang Se-bun kemudian menyelinap
lewat pintu belakang sambil menjinjing tombaknya.
Tak ketinggalan ialah bubuk bau-bauan yang
membuat serigala-serigala menjauh, bubuk bikinan Seng-tin turun-temurun.
Pang Se-bun tahu bahwa tindakannya mengandung resiko besar, selain dipergoki
anggota-anggota gerombolan yang berpatroli, juga
seandainya berhasil bertemu Ek Yam-lam berempat akan sulit menjelaskan persoalan. Tetapi
Pang Se-bun tetap harus berangkat.
Agaknya Pang Se-bun beruntung, dengan aman
ia bisa menghindari beberapa bandit yang sedang
berpatroli, dan dengan mudah tiba di padang
ilalang di luar kota yang gelap gulita. Agaknya para
bandit tidak terlalu giat berpatroli, mereka
beranggapan setelah beberapa kali warga kota
110 ditunjuki peragaan ilmu paib yang hebat, pastilah
warga kota sudah tidak berani coba-coba kabur
dari kota. Di kota sendiri berkeliaran contoh orang
yang gagal kabur dari kota, yaitu Ho Tong.
Di padang ilalang itu, ketika Pang Se Bun
mendengar lolong serigala tidak jauh darinya,
buru-buru menaburi dirinya dengan bubuk baubauan itu. Lalu ia justru sengaja menempatkan diri
di kepala angin agar baunya mencapai hidung
serigala-serigala itu, dan benar, tak lama kemudian
terdengar suara serigala-serigala itu menjauh.
Pang Se-bun kemudian menerabas helai-helai
ilalang setinggi dada itu untuk menuju ke
kediaman Tabib Kian yang terpencil di luar kota.
Sebagai orang yang lahir dan tumbuh di Seng-tin,
padang belukar yang bagi orang lain bisa
menyesatkan itu, bagi Pang Se-bun sudah
dikenalnya seperti mengenal telapak tangannya
sendiri. Begitulah, dalam kegelapan Pang Se-bun
menuju ke kediaman Tabib Kian.
Ketika tiba di pondok kayu kediaman Sang
Tabib yang dikelilingi kebun pangan dan kebun
tetumbuhan obat-obatan, malam sudah amat
larut. Pang Se-bun sebenarnya sungkan juga
mengganggu Tabib Kian, tetapi ia kesampingkan
rasa sungkannya dan mengetuk pintu pondok itu.
"Sebagai tabib, tentu ia sudah biasa dibangunkan malam-malam untuk dimintai tolong." Pang Se-bun melegakan diri sendiri.
Tabib Kian bangun dan membukakan pintu.
Pang Se-bun tidak buang-buang waktu dengan
duduk-duduk mengobrol, melainkan sambil tetap
111 berdiri di ambang pintu ia langsung tanyakan
apakah tabib itu tahu di mana beradanya Ek Yamlam berempat.
Tabib yang ubanan namun kulit wajahnya tetap
halus dan segar itu kelihatan bimbang sebentar
menatap Pang Se-bun. Tabib itu tahu kemelut yang
terjadi di Seng-tin, dan ia kuatir kalau Ek Yam-lam
berempat dicelakai oleh gerombolan. Namun
melihat yang datang adalah Pang Se-bun yang juga
sudah dikenalnya baik, dan datangnya sendirian
saja, maka tabib itu tidak menguatirkan
keselamatan Ek Yam-lam. Diberitahukannya
tempat Ek yam-lam berada.
"terima kasih, Paman Kian," kata Pang Se-bun.
"Aku pamit...."
Lalu Pang Se-bun pun menuju ke kaki sebuah
bukit yang ditunjukkan Tabib Kian. Sebuah tempat
yang ada gua-gua batunya, sehingga mudah untuk
berteduh. Kedatangan Pang Se-bun tentu saja mengagetkan Ek Yam-lam berempat yang sedang
duduk mengelilingi api unggun sambil mendengarkan wejangan-wejangan Wong Lu-siok.
Begitu melihat Pang Se-bun, langsung saja Lui
Kong-sim melompat bersiaga dengan tombaknya,
sambil memperingatkan rekan-rekannya, "Akhirnya pengkhianat itu sudah menemukan
tempat kita! Tempat ini pasti sudah dikepung oleh
begundal-begundalnya!"
Yao Kang-beng yang selalu seia-sekatasetindakan dengan Lui Kong-sim, juga bangkit
112 bersiaga dengan tombaknya, mengawasi sekitarnya
untuk melihat kalau-kalau ada musuh di
sekitarnya. Namun orang-orang itu heran melihat Pang Sebun pelan-pelan meletakkan tombaknya di tanah,
juga belati yang terselip di pinggangnya, lalu
mundur dua langkah menjauhi senjata-senjata itu,
sambil berkata, "Saudara-saudaraku, aku datang
untuk bicara. Aku datang sendiri, tidak mengajak
siapa pun." Ek Yam-lam dan Giam Lok yang sikapnya tidak
sekeras Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng, namun
terhadap Pang Se-bun mereka tidak ingin mudah
percaya begitu saja. Ek Yam-lam punya hubungan
amat baik dengan Pang Se-bun sebelum
gerombolan menguasai kota, tetapi hubungan baik
itu dinodai kecurigaan sejak Ek Yam-lam terpaksa
harus meninggalkan kota karena Pang Se-bun
menggerakkan orang-orang kota untuk menangkapnya dan menyerahkannya kepada
gerombolan. "Kau ingin menjelaskan apa, Kakak Bun"
Semuanya sudah jelas. Kau sudah menunjukkan
sikapmu ketika hendak menangkap kami berempat, menunjukkan di mana kau berpihak."
Pang Se-bun menarik napas, "Itu sebuah
kesalahan besar. Aku mau minta maaf kalau
kalian mau memaafkan. Kalau tidak mau
memaafkan, aku rela kalian hukum dengan
hukuman seberat apa pun malam ini. Tetapi
seandainya aku sudah ditentukan dihukum mati
113 sekalipun, setidaknya bicara sebelum mati."
aku diberi kesempatan Hati Ek Yam-lam tersentuh, teringat hubungan
lama yang begitu akrab, "Siapa mau menghukum
mati Kakak" Tetapi kami ingin mendengarkan apa
yang ingin Kakak katakan sehingga malam-malam
menemui kami." Lui Kong-sim berseru gusar, "Kakak Yam, dia
pasti hendak mempedaya kita! Jangan dengarkan!"
Tetapi Giam Lok membela Pang Se-bun, "Semua
tindakan ada alasannya, begitu pula tindakan
Kakak Bun dulu. Mari kita dengar apa
alasannya...." "Pengkhianat ini pastilah membohongi kita, buat
apa didengar?" "Saudara Lui, kita semua kenal Kakak Bun
bukan sehari dua hari tetapi belasan tahun, dan
tahu Kakak Bun bukan tukang bohong."
"Kedudukan dan kemuliaan yang ditawarkan
oleh gerombolan bandit itu pastilah membuatnya
berubah." Pang Se-bun geleng-geleng kepala sambil
tertawa masygul, "Saudara Lui, coba tanya setiap
warga Seng-tin, kemuliaan dan kedudukan apa
yang selama ini sudah kuterima dari bandit-bandit
itu" Kalau aku berbicara dengan bandit-bandit itu,
tak lain hanya mencegah terbunuhnya warga Sengtin yang tidak bersalah."
Keadaan agaknya akan menjadi tegang tanpa
penyelesaian, kalau saja Wong Lu-siok tidak
114 menengahi dengan suaranya yang lunak dan
sabar, "Apa-apa bisa dibicarakan baik-baik. Lui
Kong-sim, kau kurang dapat mengendalikan nafsu
amarahmu, bagaimana bisa melangkah di jalan
suci yang kuajarkan?"
Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng yang beringasberingas itu, tiba-tiba saja menjadi "jinak" bukan
main mendengar suara Wong Lu-siok. Segera saja
mereka berdua meletakkan tombak mereka dan
duduk dengan alimnya, sampai Pang Se-bun
terheran-heran melihatnya, namun lega juga.
"Tuan ini siapa?" tanya Pang Se-bun sambil
membungkuk amat hormat ke arah Wong Lu-siok
yang berpakaian serba putih dan bertampang
anggun. Wong Lu-siok menerangkan siapa dirinya,
disambung keterangan oleh Ek Yam-lam, "Kakak
Bun, kami berempat sedang belajar ajaran suci dan
ilmu para dewa dari Tuan Wong ini. Untuk
mengalahkan Beng Hek-hou yang dibantu para
mahluk gaib jahat, kita harus belajar bersekutu
dengan mahluk-mahluk gaib yang suci, dan itu
bisa dipelajari dari Tuan Wong ini."
Pang Se-bun melongo, kemudian setelah
dipersilakan dia pun duduk di seputar api unggun
itu. Wibawa Wong Lu-siok terasa sekali, dan Pang
Se-bun sudah melihat bukti "ilmu dewa" itu siang
tadi, dengan terbunuhnya dua bandit oleh Lui
Kong-sim dan Yao Kang-beng, padahal banditbandit itu dikenal kebal dan memiliki siluman
dalam diri mereka. 115 "Nah, Kakak datang kemari." Bun, katakan keperluan-mu "Pertama-tama aku minta maaf kepada kalian


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berempat. Tindakanku hendak menyerahkan
kalian ke tangan para bandit itu adalah tindakan
pengecut, tercela, menjijikkan. Waktu itu aku
bingung dar gentar karena si keparat Beng Hekhou baru saja memperagakan sihirnya yang hebat.
Awan hitam, petir dan angin dingin yang keras
tiba-tiba menutup kota, binatang-binatang dalam
rumah tiba-tiba mengamuk menakutkan. Aku
tidak melihat jalan lain kecuali menyerahkan
kalian, untuk menyelamatkan warga."
Wong Lu-sioklah yang menjawab dengan
bijaksana, "Jadi kalian semua sebenarnya bertujuan sama, membela warga Seng-tin, tetapi
kalian memakai cara yang berbeda-beda...."
Makin simpatilah Pang Se-bun kepada tokoh ini.
"Terima kasih Tuan Wong memahami aku."
"Nah, Kakak Bun, aku telah memaafkanmu,
sekarang kenapa kau kemari?"
Dengan ringkas Pang Se-bun menceritakan
pembicaraannya dengan Beng Hek-hou, soal ia
disuruh membentuk kelompok bersenjata yang
terdiri dari warga sendiri dan seterusnya.
"Mula-mula aku gembira. Dengan demikian aku
akan membentuk sebuah kelompok bersenjata
tanpa perlu sembunyi-sembunyi dari Beng Hekhou sebab disuruh Beng Hek-hou sendiri, suatu
kelompok bersenjata yang suatu saat nanti akan
berbalik menggilas Beng Hek-hou sendiri. Namun
116 aku jadi ragu, setelah mendengar bahwa Beng Hekhou akan 'mengisi' aku dan kelompokku dengan
kekuatan gaibnya yang jahat. Aku sangat kuatir,
kalau sampai terjadi demikian, bukankah aku dan
kelompokku itu akan jadi sejahat mereka dan tak
ubahnya bagian dari mereka" Dengan demikian
malah memperkuat penindasan atas warga Sengtin. Itu aku tidak mau."
"Lalu buat apa Kakak Bun kemari?"
"Ingin kuajak kalian bertukar pikiran, bagaimana keluar dari masalah ini. Aku sendiri
sudah merasa jalan buntu. Dalam beberapa hari
pastilah Beng Hek-hou akan menanyakan mana
kelompok bersen-jata yang kubentuk itu."
Ek Yam-lam dan lain-lainnya pun ternyata tak
mampu menunjukkan jalan keluarnya, tetapi Wong
Lu-siok tiba-tiba berkata, "Itu soal mudah. Kalau
Saudara Pang ini lebih dulu kuisi dengan kekuatan
gaib yang suci, kekuatan gaib putih," maka
kekuatan gaib jahat Beng Hek-hou takkan dapat
mempengaruhimu." "Jadi?" "Kalau Saudara Pang bersedia, kuajari caranya
berhubungan dengan mahluk-mahluk gaib suci.
Mereka akan melindungimu. Kalau suatu saat
Beng Hek-hou hendak mengisikan kekuatan jahat
kepadamu, pura-pura sajalah menerima, tetapi tak
berpengaruh kepadamu. Karena ada kekuatan suci
yang menjagamu." Pang Se-bun tidak menduga bahwa jalan
keluarnya begitu gampang. Malam itupun ia diajari
117 Wong Lu-siok tentang hal-hal yang aneh, kemudian
menjelang fajar dia buru-buru kembali ke Sehg-tin.
*** Begitu fajar merekah dan kegiatan sehari-hari di
Seng-tin dimulai, Pang Se-bun pun mulai
menghubungi orang-orang yang hendak diajaknya
bergabung dalam kelompok bersenjatanya.
Pang Se-bun harus sangat hati-hati memilih
orang, harus orang yang benar-benar dapat
dipercaya, sehingga kelompok itu kelak menjadi
kelompok yang tangguh, mempunyai ikatan
perasaan dan ikatan jiwa, tidak saling mengkhianati. Lalu orangnya didatangi satu
persatu. Yang pertama didatangi rumahnya ialah adik
laki-lakinya yang bernama Pang Se-hiong, Si
Tukang Besi. Pang Se-bun menemuinya di bengkel
besinya ketika adiknya itu sedang bermandi
keringat menggembleng besi.
Kepada adiknya itu, Pang Se-bun mengutarakan
rencananya membentuk kelompok bersenjata,
meskipun atas anjuran Beng Hek-hou namun
kelak akan digunakan melawan Beng Hek-hou.
Akhirnya berhenti sejenak mengayun-ayunkan
palunya, lalu memandang kakaknya dengan heran.
"Kak, tidak tahukah kau bahwa melawan mereka
tidak cukup hanya dengan otot, melainkan harus
dengan ilmu gaib yang lebih hebat dari mereka?"
Pang Se-bun tertawa, "Soal ini dulu juga bikin
pusing aku, menjadi soal tak terpecahkan, tetapi
sekarang tidak lagi. Aku sudah bertemu orang
118 bernama Wong Lu-siok, orang yang punya ilmu
dewa, dan aku sudah diajari...."
Karena Pang Se-hiong masih belum percaya, si
kakak mencopot bajunya. Kebetulan di bengkel
besi itu sedang tak ada orang lain. Pang Se-bun
mengambil sebuah sabit di rak, pesanan dari salah
seorang langganan Pang Se-hiong. Sabit itu
disodorkannya kepada adiknya sambil berkata,
"Hantamkan ke tubuhku sekuat tenagamu."
Pang Se-hiong menggeleng,
waraskah pikiranmu?"
"Kak, masih "Apa aku nampak seperti orang sudah gila?"
"Aku tidak tanganku." mau terjadi kecelakaan oleh Pang Se-bun tidak sabar lagi. Sabit itu
dihantamkan bertubi-tubi ke tubuhnya sendiri,
sampai patah, tanpa meninggalkan luka sedikit
pun. Pang Se-hiong menatapnya dengan tidak
percaya. Pang Se-bun tersenyum bangga, lalu ia
menghampiri tanur perapian. Ia nampak berkonsentrasi sebentar dengan bibir bergerakgerak, lalu dengan tangan telanjang dia memungut
sepotong besi yang merah membara, besi itu
ditempelkan ke kulitnya sendiri tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.
Pang Se-hiong sampai menahan napas, "Kak,
kau...." "Kenapa" Kau curiga bahwa aku memperoleh
kekuatan gaib ini dari Beng Hek-hou" Hemm,
119 mana sudi aku mempelajari ilmu jahatnya yang
juga akan membuat watakku sama jahatnya
dengan dia?" Lalu Pang Se-buh menceritakan pertemuannya
dengan Wong Lu-siok sambil kembali memakai
bajunya. Pang Se-hiong berkobar semangatnya, "Apakah
aku juga bisa seperti itu, Kak?"
"Bukan saja kau, tetapi semua yang bersedia
bergabung dengan kita. Tetapi, jangan gegabah
memilih orang, sebab kita mengemban cita-cita
membebaskan Seng-tin yang tidak boleh sampai
bocor ke kuping Beng Hek-hou. Dengan ilmu dewa
ajaran Wong Lu-siok, kita akan bisa menandingi
gerombolan itu! Bukan itu saja, bahkan senjata
kita juga bisa diisi dengan kekuatan gaib sehingga
dapat menembus tubuh anggota gerombolan.
Contohnya, tombak yang digunakan Lui Kong-sim
dan Yao Kang-beng." "Kakak, aku mau bergabung. Kapan Kakak
mempertemukan aku dengan orang yang bisa ilmu
dewa itu?" "Sabarlah. Orangnya harus terkumpul dulu.
Sekarang aku akan ke rumah A-tiok adik
perempuan kita, suaminya Un Lip-tong aku yakin
mau diajak bergabung. Sementara itu, kau
kuminta menghubungi Ting Tiat. Hati-hati
bicaranya." "Sekarang juga akan kutemui Ting Tiat dan
langsung akan kulaporkan kepada Kakak." kata
Pang Se-hiong sambil mulai menutupkan papan120
papan penutup bengkel besinya, meskipun hari
belum sore. Demikianlah orang-orang yang akan bergabung
dengan kelompok bersenjata itu dihubungi satu
demi satu dengan hati-hati.
Sengaja Pang Se-bun melaporkan kegiatan itu
kepada Beng Hek-hou, tetapi sudah tentu tetap
menyembunyikan rencananya untuk mengubah
kelompok bersenjata itu menjadi penggempur Beng
Hek-hou. "Kumpulkan mereka, tetapkan waktu dan
tempatnya..." kata Beng Hek-hou. "Akan kudatangi
mereka dan kuisikan kekuatan gaibku."
"Baik, Tuan Beng."
"Bagaimana dengan pengawasanmu terhadap
keluarga dari keempat buronan itu?"
"Tidak ada tanda-tanda para buronan itu
menjenguk keluarga mereka, agaknya mereka
menyadari bahayanya."
"Aku akan memasang tembok gaib dan menaruh
penjaga-penjaga gaib di seputar kota ini, supaya
pengacau-pengacau itu tidak dapat seenaknya saja
keluar masuk kota." Pang Se-bun agak terkesiap mendengar rencana
Beng Hek-hou itu. Kalau tembok gaib dan penjaga
gaib sudah ada di tempatnya dan terlalu kuat
untuk ditembus, bukankah berarti hubungan Pang
Se-bun dengan Ek Yam-lam serta Wong Lu-siok
terputus" Tapi Pang Se-bun belum dapat
menentukan langkah apa yang harus diambilnya.
121 Malam harinya, satu persatu orang-orang yang
terpilih ke dalam kelompok bersenjata itu datang
ke rumah Pang Se-bun. Mereka datangnya tidak
dengan sembunyi-sembunyi namun terangterangan karena kegiatan itu diketahui, bahkan
diperintahkan oleh Beng Hek-hou.
Yang di luar dugaan, ialah ketika Duan Le,
pembantu terpercaya Beng Hek-hou ikut hadir.
Pang Se-bun sudah bingung menghadapi hadirnya
Duan Le. Pertama, dengan hadirnya Duan Le
sudah tentu Pang Se-bun tidak punya kesempatan
menyuntik teman-temannya dengan semangat
perlawanan. Kedua, sebagian besar orang yang
bakal hadir di rumah Pang Se-bun, termasuk Pang
Se-bun sendiri, adalah bekas murid guru silat Ciu
Koan, dan semuanya tahu bahwa tangan Duan Le
inilah yang menghabisi hidup guru silat Ciu Koan.
Pang Se-bun beberapa bekas murid Ciu Koan
takkan dapat menahan emosinya sehingga segala
rencana jadi berantakan. Ketiga, kunjungan Duan
Le ke rumah Pang Se-bun akan mempertebal kesan
yang sudah ada di sebagian warga yang sudah
curiga bahwa Pang Se-bun adalah kaki tangan
gerombolan. "Agaknya kunjungan mendadak ini memang
diperintahkan si keparat Beng Hek-hou untuk
membuatku makin tersudut di mata warga kota
dan makin bergantung kepada Si Keparat." gerutu
Pang Se-bun dalam hati. Tetapi sekarang Duan Le sudah berada di
ambang pintunya, mau tidak mau Pang Se-bun
122 harus berlagak masuk. ramah dan mempersilakannya Dengan wajah seramah-ramahnya,
"Silakan masuk, Tuan Duan."
katanya,

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebaliknya wajah Duan Le tetap dingin, tak
peduli bagaimanapun ramahnya Pang Se-bun.
Tanyanya kasar, "Calon-calon anggota kelompokmu sudah berkumpul?"
"Sudah, tetapi...."
"Berapa orang?"
"Kira-kira dua puluh orang."
"Ketua Beng ingin setidak-tidaknya lima puluh
orang." "Tetapi kalau memang yang bisa terkumpul
hanya sekian, mau apa lagi?"
"Warga kota ini benar-benar tidak tahu diri,
diberi kesempatan bekerja sama dengan kami,
bahkan hendak diberi kekuatan gaib yang tak
mudah didapatkan di tempat lain, masih saja
mereka jual mahal." gerutu Duan Le.
Pang Se-bun kuatir kekasaran dan kesombongan Duan Le ini akan mengobarkan
kemarahan teman-temannya yang sudah berkumpul di ruangan dalam. Tetapi bagaimana
mencegahnya" Pang Se-bun benar-benar tanpa
daya, sementara Duan Le seolah-olah di rumahnya
sendiri saja langsung melangkah lebar ke ruangan
dalam. 123 Dalam keadaan terjepit, Pang Se-bun tiba-tiba
ingat ajaran Wong Lu-siok, lalu Pang Se-bun pun
membayangkan sosok Ibunda Ratu Langit alias Ibu
Abadi Tak Berasal-usul alias Ibu Agama-agama
Bangsa-bangsa yang kemarin ditunjukkan gambar
lukisannya oleh Wong Lu-siok, sambil mulutnya
berkomat-kamit dengan suara hampir tak terdengar, "Ibunda Suci, kirimlah mahluk-mahluk
suci menolong kesulitanku."
Ia berjalan di belakang punggung Duan Le yang
tinggi besar dan tegap, sehingga Duan Le tidak
melihat komat-kamitnya. Ruangan yang dipenuhi calon-calon anggota
kelompok bersenjata itu sedang penuh dengan
suara orang bicara satu dengan yang lain, namun
begitu Duan Le melangkah masuk ke ruangan,
semua mulut terkunci. Dengan perasaan bergolak,
semua mata menatap ke arah Duan Le, lalu ke
arah Pang Se-bun. Kemunculan Duan Le memang
tidak terduga sebelumnya, kini tiba-tiba muncul,
maka ada yang merasa curiga bahwa Pang Se-bun
menjebak mereka. Seolah paham akan gejolak hati temantemannya itu, Pang Se-bun berkata, "Temanteman, aku sendiri tidak menduga Tuan Duan
mendadak mengunjungi kita."
Dengan kata-kata itu Pang Se-bun coba
membersihkan diri dari kecurigaan temantemannya. Lalu dia mempersilakan duduk Duan
Le. Duan Le duduk lalu menyilangkan kakinya
dengan sikap berkuasa. Senjatanya yang aneh,
124 yaitu Tok-kak-tong-jin (gada perunggu berbentuk
orang-orangan berkaki satu) disandarkan dekat
tempat duduknya. Katanya. "Nah, kalian mau bicara apa,
bicaralah. Aku cuma bertugas mendengarkan saja!"
Pang Se-bun dan teman-temannya saling
pandang dengan kebingungan. Mereka sudah
berencana membicarakan perlawanan terhadap
gerombolan, namun dengan ditunggui Duan Le
sudah tentu mereka harus mengubah semua
pokok pembicaraan yang mereka rencanakan.
"Ayo bicara! Tunggu apa lagi?"
Pang Se-bun cepat-cepat melangkah maju, agak
membelakangi Duan Le agar bisa mengedipngedipkan mata kepada teman-temannya sebagai
isyarat, sambil berkata, "Nah, teman-teman, kita
sedang membicarakan terbentuknya keamanan
kota ini dari gangguan para pengacau seperti Ek
Yam-lam...." Kata-kata Pang Se-bun tiba-tiba terhenti karena
kupingnya menangkap suatu suara yang benarbenar tak diduganya. Suara dengkur keras. Waktu
Pang Se-bun menoleh, hampir-hampir ia tak
percaya bahwa Duan Le sudah tertidur amat pulas
di kursinya. Tidak lebih dari dua menit sejak ia
menduduki kursi itu, ia langsung tidur pulas!
"Mungkinkah Beng Hek-hou menyuruh orang
macam ini untuk ikut mendengarkan kami?" Pang
Se-bun terheran-heran, begitu juga temantemannya. "Atau dia cuma pura-pura tidur agar
125 kami bicara dengan bebas lalu dia laporkan kepada
si keparat Beng Hek-hou?"
Bahwa orang begitu, duduk langsung pulas
secepat itu memang aneh, tak heran menimbulkan
rasa syak di hati Pang Se-bun dan orang-orangnya.
Selagi orang-orang itu bingung, dari luar pintu
samping yang menghadap taman tiba-tiba terdengar suara yang lunak dari seorang lelaki,
"Memang aku yang menidurkannya dengan ilmu
gaibku, agar kita leluasa bicara tentang masa
depan kota ini." Lalu muncullah Wong Lu-siok yang diantarkan
oleh Giam Lok. Pang Se-bun tercengang sebentar, kemudian
meledak dalam kegembiraannya. "Tuan Wong,
Saudara Giam, bagaimana kalian tiba-tiba muncul
di sini?" Sahut Wong Lu-siok, "Terdorong gerak hati saja,
perasaan bahwa ada yang harus dilakukan di sini."
"Sungguh tinggi ilmu Tuan, sehingga dapat
merasakan segala sesuatunya dari jauh..." Pang
Se-bun berdecak kagum. "Teman-teman, inilah
Tuan Wong Lu-siok, yang pernah kuceritakan
kepada kalian. Utusan para dewa yang akan
membebaskan kota kita dari cengkeraman
penghamba-penghamba para siluman itu! Dia juga
yang akan mengajarkan jalan suci kepada seluruh
Seng-tin setelah bebas nanti!"
Teman-teman Pang Se-bun itu dengan amat
gembira lalu mengerumuni Wong Lu-siok, selain
kagum, mereka juga terpikat oleh tindak-tanduk
126 Wong Lu-siok yang simpatik. Begitu pula banyak
yang menyalami Giam Lok. Giam Lok pun menyapa kenalan-kenalannya
itu, "Senang melihat kalian berkumpul dalam
semangat yang sama, semangat yang juga berkobar
di dadaku." Suasana jadi hangat dan menggembirakan,
bicara dengan bebas, tak mempedulikan Duan Le
yang makin keras dengkurnya, bahkan sampai
meneteskan air liur. Pang Se-hiong adik Pang Se-bun lalu berkata,
"Tuan Wong, kata Kakakku, kau bisa membuat
kami tidak mempan terhadap sihir jahat Beng Hekhou?"
"Karena aku dengan tekun menjalani kehidupan
suci berpuluh tahun," sahut Wong Lu-siok.
"Kuanjurkan kepada kalian, agar setelah gerombolan terusir dari kota ini, kalian juga
menjalani kehidupan suci agar para pelindung suci
melindungi kalian. Dirikan tempat pemujaan untuk
pelindung-pelindung suci itu, pasti kalian akan
sejahtera dan dipimpin menuju kesempurnaan."
Melihat begitu simpatiknya Wong Lu-siok,
orang-orang di ruangan itu pun terpikat untuk
mengikuti jalan-suci yang ditawarkan Wong Lusiok tadi.
"Tuan Wong, bagaimana dengan Beng Hek-hou"
Ilmunya tinggi. Dia dapat mendatangkan hujan
angin dan halilintar dalam waktu sekejap, dapat
membuat binatang-binatang mengamuk tanpa
sebab, dapat membuat orang jadi gila."
127 Giam Loklah yang menjawab, "Ilmu Beng Hekhou tidak berarti buat Tuan Wong ini. Malam
pertama kami berempat meninggalkan Seng-tin,
kami diserang Beng Hek-hou melalui sakit kepala
yang membuat kami berempat hampir gila, tetapi
Tuan Wong inilah yang menolong kami. Sihir hitam
Beng Hek-hou tak berarti dihadapkan sihir putih
Tuan Wong ini." Orang-orang Seng-tin mengenal Giam Lok
sebagai pemuda yang jujur, kini Giam Lok sendiri
bersaksi tentang kehebatan Wong Lu-siok, maka
orang-orang pun percaya. "Apakah Tuan Wong sudi mengajari kami?"
tanya Pang Se-hiong amat bernafsu.
"Tugasku memang menyebarkan ajaran-suci
dari Bukit Buaya Putih ke seluruh muka bumi,
kepada sebanyak mungkin orang." jawab Wong Lusiok melegakan semua orang. "Tetapi aku tidak
hanya mengajarkan kesaktian dewa-dewa, tetapi
juga jalan suci dewa-dewa, moral yang tinggi dan
sebagainya." "Kami sanggup!"
"Tetapi agama apakah yang disebarkan Tuan
Wong" Di daratan Cina kami kenal banyak agama
dan banyak cabang-cabang atau sekte-sekte yang
memisahkan diri, agamamu termasuk yang mana?"
Dengan yakin Wong Lu-siok menyahut, "Agama
yang disampaikan langsung dari langit oleh dewadewa yang berkendaraan kereta nyala api biru
kepada guru kami. Suatu kali pernah kulihat
sendiri, guruku sedang bersemedi malam-malam di
128 tempat terbuka di puncak bukit, tiba-tiba dari
langit ada cahaya lingkaran biru turun begitu
dekat ke puncak bukit itu, guruku bermandi
cahaya, lalu cahaya biru itu melesat menghilang
dengan kecepatan yang susah dipercaya."
Orang-orang di ruangan itu berdecak kagum.
"Pastilah dewa-dewa sendiri yang telah menjumpai
guru Tuan Wong." "Tentu, siapa lagi kalau bukan?" sahut Wong
Lu-siok. "Itulah sebabnya aku percaya ajaran
guruku bukan bikinan manusia, bukan ajaran
turun temurun. Dan suatu petunjuk gaib telah
diterima oleh Guruku, bahwa agama ini kelak pada
penutup jaman fana akan menjadi agama tunggal
di seluruh bumi. Agama-agama yang lain, yang
hanya memiliki kebenaran sepotong-sepotong,
akan digabung dan bernaung ke bawah agama
tunggal ini, yang akan menyatukan seluruh
kebenaran berbagai agama menjadi satu."
Orang-orang menggeleng-geleng takjub, "Wah,
hebat itu. Agama-agama yang ada sekarang ini
berebut benarnya sendiri-sendiri, ada yang sampai
mencanangkan perang dan penumpasan terhadap
pihak lain segala. Kalau sampai ada agama yang
mempersatukan seperti kata Tuan Wong, dunia
pasti tenteram." "Kami mau menganut agamamu, Tuan Wong!"
kata beberapa orang. "Aku juga!" "Aku juga!" 129 Wajah Wong Lu-siok pun berseri gembira. "Kelak
setelah gerombolan jahat itu terusir, kuajarkan
yang kudapati dari Pek-gok-san (Bukit Buaya
Putih) kepada kalian. Sekarang, rencana jangka
pendek kita ialah menumpas penjahat-penjahat
itu." "Kami siap!" "Ya, dengan mengikuti ajaran Tuan Wong, kami
bukan hanya akan menjadi pembebas-pembebas
Seng-tin, tetapi juga perintis-perintis agama
tunggal yang akan memperdamaikan dunia ini!"
Wong Lu-siok tersenyum sambil menganggukangguk dan mengelus jenggotnya, "Sekarang kalian
duduklah bersila yang hening, bayangkan katakataku, akan kutuntun kalian memasuki alam
dewa-dewi dan kekuatan dari alam itu pun akan
memasuki jiwa kalian, sehingga kalian tidak gentar
lagi kepada penghamba-penghamba silumansiluman itu."
"Tuan Wong, bolehkah anggota keluargaku yang
lain juga mengikuti acara ini?" tanya Pang Se-bun.
"Boleh saja," sahut Wong Lu-siok.
"Kupanggil mereka sebentar."
Tidak lama kemudian seluruh keluarga Pang Sebun pun sudah ikut berada di ruangan itu, dan
mulai bersemedi dengan petunjuk Wong Lu-siok.
Anak perempuan Pang Seng-bun yang berusia


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepuluh tahun, Pang Li-kun alias A-kun, selama
semedi itu tiba-tiba terguncang-guncang tubuhnya.
Ketika semua sudah selesai dengan diberi aba-aba
130 Wong Lu-siok, anak perempuan itu masih saja
memejamkan matanya, bahkan nampaknya dalam
keadaan tidak sadar. Isteri Pang Se-bun mulai cemas dan bertanya
kepada Wong Lu-siok, "Tuan Wong, kenapa dengan
anakku?" Wong Lu-siok memperhatikan sebentar, lalu
katanya, "Kuucapkan selamat kepada Saudara
Pang suami isteri, puteri kalian ini agaknya terpilih
oleh para dewa-dewi untuk maksud-maksud
istimewa." "Maksud apa kira-kira?"
"Mungkin... untuk menjadi penulis tulisan gaib
penangkal bencana, atau peramal, pemeriksa letak
bintang." Bersambung jilid IV. *** Jilid 4 >o< "MAKSUD Tuan, puteriku akan menjadi samkoh?" tanya Nyonya Pang cemas. "Sam-koh" arti
harfiahnya ialah "bibi ke tiga" namun sebenarnya
adalah orang dalam masyarakat, biasanya
perempuan, yang dianggap punya macam-macam
kemampuan gaib. Meramal, membuat tulisan
penangkal bencana, menghubungi arwah dan
sebagainya. Tak ada orang tua yang rela anaknya
menjadi "sam-koh" sebab perempuan yang begitu
131 biasanya tidak menikah, tidak bisa kaya, sering
sakit, sering kesurupan dan umurnya pendek.
Tidak ada lelaki yang berani menikahi seorang
perempuan berbakat "sam-koh." Itulah sebabnya
Nyonya Pang jadi cemas mendengarnya, sebab Akun adalah anaknya satu-satunya.
Wong Lu-siok menenteramkan hati Nyonya
Pang, "Jangan kuatir, Nyonya. Sam-koh yang
Nyonya kenal secara tradisionil itu menurut
agama-agama tradisionil. Ingat, puteri Nyonya
bukan terpilih menurut salah satu agama
melainkan menurut agama di atas segala agama
yang bakal menjadi agama tunggal akhir jaman.
Dia akan mendapat kehormatan besar menjadi
penghubung antara dewa-dewi dengan manusia.
Ingat, dewa-dewi, bukan sembarangan roh seperti
yang merasuki para sam-koh biasa."
Nyonya Pang jadi agak lega mendengarnya.
Tak lama kemudian si cilik A-kun membuka
matanya, lalu dengan wajah berseri-seri membanjirlah ceritanya bahwa dia baru saja
bepergian ke sebuah tempat amat indah penuh
bunga dengan berbagai mahluk penghuninya yang
cantik-cantik dan bahkan katanya hewan-hewan
pun bisa diajak bicara. Wong Lu-siok tersenyum, "Anak ini baru saja
kembali dari dunia lain."
Wong Lu-siok kemudian berkata, "Aku tidak
punya banyak waktu di tempat ini sampai dia
sadar kembali." sambil menunjuk Duan Le yang
masih mendengkur keras. "Waktu bersemedi tadi,
kalian harus yakin bahwa kalian sudah 132 kemasukan kekuatan dari alam atas yang
mengungguli siluman-siluman, tetapi masih ada
satu hal yang harus kulakukan. Yaitu mengisi
senjata-senjata kalian dengan kekuatan dari atas
pula, sehingga senjata-senjata kalian pun dapat
menembus kulit anggota-anggota gerombolan. Nah,
ambil senjata kalian dan taruh di meja ini!"
Orang-orang itu memang datang ke rumah Pang
Se-bun dengan membawa senjata-senjata mereka,
sebab memang dipesan begitu oleh Pang Se-bun.
Rencananya akan diajak latihan bersama di
halaman samping, tak terduga malah akan
memperoleh sesuatu yang takkan bisa diperoleh
melalui latihan sekeras apa pun. Senjata-senjata
mereka akan diisi kekuatan gaib oleh Wong Lusiok.
Demikianlah dengan girang mereka menaruh
senjata-senjata mereka di atas meja. Sebagian
besar adalah tombak, karena sebagian besar yang
berkumpul di situ adalah bekas murid-murid Ciu
Koan, tetapi ada juga beberapa golok, pedang dan
tongkat panjang maupun pendek.
Wong Lu-siok minta semangkuk air putih.
Setelah air putih didapat, ia pegangi mangkuknya
dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya
memegangi selembar kertas-jimat berwarna kuning. Ia berjalan mengelilingi meja sambil
menggerak-gerakkan kertas jimat itu, mulutnya
menggumamkan semacam lagu bernada rendah.
Suasana dalam ruangan itu tiba-tiba terasa magis,
beberapa orang merasa merinding, entah kenapa.
133 Orang-orang itu merasa tegang menatap apa
yang akan terjadi, hanya si gadis cilik A-kun saja
yang nampak berwajah ceria, bahkan dia
berjingkrak-jingkrak gembira sambil berteriakteriak, "Itu! Itu! Aku melihat binatang-binatang
yang di taman indah tadi datang lagi ke rumah
kita! Ada burung bangau putih, ada macan putih,
ada kuda, semuanya bisa terbang! He, ada orang
yang bisa terbang juga!"
Tentu saja yang lain terheran-heran, karena
mereka tidak melihat apa-apa. Nyonya Pang
berusaha menenangkan puterinya itu, tetapi tidak
berhasil. Sementara itu kertas jimat di tangan Wong Lusiok tiba-tiba menyala padahal tidak tersentuh api
sedikit pun. Buru-buru Wong Lu-siok memasukkan kertas terbakar itu ke mangkuk air,
kemudian air yang sudah bercampur abu kertas
itu dipercik-percikkan kepada senjata-senjata di
meja itu. Bersamaan dengan itu, A-kun berkata dengan
kecewa, "Yaaah... binatang-binatang cantik itu
menghilang semua." Wong Lu-siok menaruh mangkuknya, lalu
katanya, "Selesai. Kalian sudah jadi orang-orang
yang tidak lagi kalah dari bandit-bandit itu. Tetapi
Beng Hek-hou jangan kalian hadapi sendiri, aku
yang akan mengurusnya."
134 Pang Se-bun dan teman-temannya kegirangan.
Sekian lama mereka tertindas tanpa daya, tiba-tiba
mendengar kata-kata seperti itu, rasanya hati
mereka meledak dalam kegembiraan... sekaligus
dendam yang selama ini harus ditahan dan terasa
menyesakkan dada. Adik Pang Se-bun, Pang Se-hiong yang berotot
gempal sebagai tukang besi, melangkah mendekati
meja dan memungut senjatanya, yaitu sebuah...
martil besi. Ditimang-timangnya martil itu, sambil
bertanya kepada Wong Lu-siok, "Jadi... senjataku
ini sekarang bisa mendobrak ilmu kebal banditbandit itu?"
Wong Lu-siok mengangguk sambil tersenyum.
135 "Kalau begitu." kata Pang Se-hiong, dan di luar
dugaan siapapun bahwa tiba-tiba dia menghantamkan martilnya sekuat tenaga ke
kepala Duan Le yang masih tidur pulas itu. Tak
ada yang sempat mencegahnya dengan tindakan,
kakaknya hanya berteriak dari seberang meja
tetapi teriakan itu tak sedikit pun melambatkan
gerakan Pang Se-hiong yang sudah disertai tekad
bulat itu. Martil itu beradu keras dengan tengkorak kepala
Duan Le, langsung gembong nomor dua dalam
gerombolan itu rubuh terjungkal dari kursinya
dengan kepala retak, ia berkelejetan sebentar
sambil mendengus-dengus sebelum terdiam selamanya. Begitulah Duan Le tidak sempat sadar
dari tidurnya, langsung "meneruskan" ke "tidur
yang jauh lebih nyenyak" selamanya.
Sesaat ruangan itu dicengkam kesunyian, isteri
Pang Se-bun mendadak pingsan karena seumur
hidupnya ia belum pernah melihat manusia
dibunuh di depan matanya.
Di tengah-tengah engah napasnya, Pang Sehiong berkata, "Sudah sekian lama kutahan diriku
untuk membunuh orang ini, karena aku tidak mau
konyol. Orang ini pernah, meludahi mukaku di
jalan ramai, ternyata sekarang dia tidak kebal
terhadap martilku yang sudah diisi kekuatan oleh
Tuan Wong." "Kau merusak rencana!" bentak Pang Se-bun
dengan gusar. "Bagaimana kalau malam ini Beng
Hek-hou menanti-nantikan pembantunya ini, lalu
136 menyusul ke sini" Itu artinya benturan harus
dimulai sebelum kita siap!"
"Apanya yang belum siap" Kekuatan dari dewa
sudah merasuki tubuh kita, senjata kita sudah
dapat menembus kekebalan mereka. Apanya yang
belum siap" Kita sudah siap! Malam ini pun kita
sudah siap!" Kata-kata itu membakar hati banyak orang
lainnya, mereka mengambil senjata-senjata mereka
di meja, lalu berteriak-teriak berebutan.
"Ya, kita siap sekarang!"
"Kita serang mereka secara mendadak, tentu
mereka akan kelabakan karena tidak menduga!"
"Betul! Betul!"
Maka semangat perlawanan pun tiba-tiba
bergelora di tempat itu. Hanya Pang Se-bun yang
masih punya sedikit pertimbangan, juga Giam Lok,
tetapi mereka takkan dapat mencegah orang-orang
yang sekian lama terinjak-injak saja. Pang Se-bun
hanya menatap Wong Lu-siok, berharap pengaruh
Wong Lu-siok dapat mengendalikan orang-orang
itu. Ternyata Wong Lu-siok malah berkata, "Rasa
keadilan yang sudah lama diinjak-injak, kini
meluap keluar." "Jadi?" "Mungkin sekaranglah saatnya."
Orang-orang itu serempak bersorak, Pang Sebun pun tak bisa ingkar lagi. Rencananya sudah
137 tersusun setahap demi setahap, ternyata sekarang
dikalahkan oleh spontanitas yang dihidupkan oleh
tindakan adiknya kepada Duan Le. Tetapi kalau
Wong Lu-siok sendiri ikut bersama, rasanya cukup
mantap. Setelah menggotong Nyonya Pang ke kamar
tidur, Pang Se-bun pun menjinjing tombaknya ikut
bersama orang-orang yang sedang bersemangat itu.
Mayat Duan Le dibawa untuk diseret-seret di
jalanan. Wong Lu-siok membisiki Giam Lok, "Ketiga
temanmu yang menunggu di rumah Ek Yam-lam,
suruh bergabung sekalian untuk memperkuat
kelompok ini." Giam Lok berlari-lari kecil ke rumah Ek Yamlam. Rupanya Ek Yam-lam serta Lui Kong-sim dan
Yao Kang-beng diam-diam ikut menyelundup
masuk kota, dan mereka berada di rumah Ek Yamlam, sekalian Ek Yam-lam hendak menengok
kambing-kambingnya yang selama ini ditinggalkan.
Begitulah, malam itu kota Seng-tin yang
biasanya dicengkam ketakutan terhadap gerombolan Beng Hek-hou dan kekuatan gaib
jahatnya, malam itu tiba-tiba membara oleh
semangat perlawanan. Orang-orang bersenjata
yang dari rumah Pang Se-bun itu berbaris di
jalanan, bersorak-sorak, mengacung-acungkan
senjata dan menyeret mayat Duan Le.
Mereka juga meneriaki rumah-rumah penduduk
yang pintunya tertutup, "He, penduduk Seng-tin!


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bangunlah! Kalian sudah di ambang kebebasan!
Hayo, saksikan keruntuhan gerombolan jahat itu!"
138 "Utusan para dewa membebaskan kita!" sudah datang untuk Beberapa orang tertarik dan menjenguk keluar
rumah. Mereka berdebar-debar melihat mayat
Duan Le diseret-seret, apa akibatnya bagi warga
kota lain nanti" Tetapi ada beberapa lelaki dewasa
yang mengambil senjata lalu bergabung dengan
rombongan itu. Di jalan mereka berpapasan dengan empat
anggota gerombolan yang sedang berpatroli.
Anggota-anggota gerombolan itu kaget bercampur gusar melihat mayat Duan Le diseretseret. Salah seorang anggota gerombolan yang
bertubuh tinggi besar dan membawa long-ge-pang
(toya gigi serigala) bertanya dengan suara
menggelegar, "He, sudah gilakah kalian" Kalian ini
lupa bahwa kami dilindungi kekuatan-kekuatan
gaib yang tak terlawan oleh kalian?"
Lui Kong-sim yang sudah bergabung dengan
rombongan itu, yang menjawab dengan garang,
"Lihat mayat temanmu ini, ini sudah membuktikan
bahwa kalian bisa terbunuh! Dan kalian memang
akan kami tumpas!" Kata-kata Lui Kong-sim disambut dengan soraksorai warga Seng-tin, kemudian Pang Se-hiong
yang berangasan itu malah berteriak, "Kawankawan, cincang habis orang-orang ini!"
Orang-orang pun menyerbu keempat anggota
gerombolan itu dengan berani. Kalau biasanya
mereka takut-takut, sekarang mereka digerakkan
139 suatu kekuatan yang tidak mereka kenal dan
menjadi berani. Keempat anggota gerombolan itu kaget, Si Tinggi
Besar mengayunkan toya gigi serigalanya sambil
coba menggertak lagi, "He! Kalian bosan hidup?"
"Serbu." itulah sahutan para warga Seng-tin
yang bersenjata itu. Lui Kong-sim sendiri langsung
menyerbu ke arah Si Tinggi Besar dengan Long-gepangnya.
Si Tinggi Besar tiba-tiba menengadahkan
wajahnya ke langit lalu melolong panjang seperti
serigala. Tindak-tanduknya sebagai manusia pun
sudah ganas, sekarang ada kekuatan lain dalam
jiwanya yang membuat ia tambah beringas.
Tetapi Lui Kong-sim yang pernah mengalami
"kemasukan dewa" dan membunuh anggota
gerombolan, kali ini kembali langsung membangkitkan kekuatan tersembunyi itu, dan ia
pun langsung bertarung dalam keadaan tidak
sadar. Ternyata di pihak orang-orang Seng-tin, yang
bertempur dalam keadaan kerasukan bukan hanya
Lui Kong-sim, melainkan juga Ek Yam-lam, Yao
Kang-beng, bahkan disusul kemudian oleh kakak
beradik Pang Se-bun dan Pang Se-hiong serta lainlainnya.
Selama ini Giam Lok meskipun sudah
berkumpul belasan hari dengan Wong Lu-siok,
namun masih bersikap "lihat-lihat dulu" dan
dengan sikap kritis ia melihat cara-cara yang
dipraktekkan oleh rekan-rekannya untuk 140 memasukkan kekuatan dewa-dewa ke tubuh
mereka. Karena itulah selagi banyak orang Sengtin sudah "diambil-alih oleh dewa-dewa" . maka
Giam Lok justru tetap saja bertarung dengan
kekuatan alamiahnya yang wajar, mengandalkan
hasil latihannya selama bertahun-tahun.
Keempat anggota gerombolan itu juga kesurupan, ada yang melolong seperti serigala, ada
yang mendengus seperti babi, ada yang tiba-tiba
bergerak gemulai seperti penari perempuan,
meskipun orang itu lelaki.
Perkelahian di tengah jalan itu jadi seperti
perkelahian antara orang-orang kesurupan. Satu
pihak "kesurupan siluman" di pihak lain
"kesurupan dewa." Tetapi faktor alamiah ada
pengaruhnya juga, yaitu faktor jumlah. Keempat
anggota gerombolan harus menghadapi warga
Seng-tin yang tiga puluhan jumlahnya.
Dalam waktu tidak lama, keempat anggota
gerombolan itu sudah berujud daging cincang yang
teronggok di tengah jalan. Habis dicincang warga
Seng-tin. Giam Lok yang tetap sadar, melihat semua yang
terjadi di depan mata itu dengan pertanyaanpertanyaan di hati. Anggota-anggota gerombolan
yang kerasukan dan bertingkah-laku seperti
binatang itu, apakah tidak merasa malu bahwa
sebagai manusia mereka meniru tanpa sadar
tingkah binatang" Lalu orang-orang Seng-tin yang
kerasukan dewa itu apakah harus mencincang
lawan sekeji itu" Kenapa Wong Lu-siok yang
141 katanya membawa ajaran jalan-suci itu diam saja
melihat pencincangan itu"
Namun orang-orang Seng-tin itu seolah mabuk,
terus menyerbu ke rumah besar di pinggiran kota
yang dihuni oleh Beng Hek-hou dan gerombolannya. Namun di ujung jalan, langkah orang-orang itu
terhenti karena mereka melihat Beng Hek-hou
dengan anak buahnya yang tersisa, kira-kira tiga
puluh orang, menghadang di tengah jalan.
"Jadi kau yang menghalang-halangiku selama
ini?" geram Beng Hek-hou gusar sambil menudingkan kipas hitamnya yang dilempit. "Kali
ini aku hanya ingin hidup tenteram di sebuah kota
kecil yang tidak ada apa-apanya, tetapi kau tetap
saja mengusik aku!" Wong Lu-siok melangkah tenang ke depan
orang-orang Seng-tin sambil membawa pedangnya
yang bersarung dan be-ronce putih itu, "Ya, aku
harus mengejarmu sampai ke mana pun, sampai
ajaran suci kami diterima di seluruh bumi!"
Beng Hek-hou meludah dan berkata sinis,
"Cuih, ajaran suci tai kucing! Kini kita tentukan
siapa yang unggul!" Wong Lu-siok tertawa, "Di Yan-san sudah kita
tentukan setahun yang lalu, dan aku yang
menang." Beng Hek-hou meraung, "Sekarang ilmuku
sudah meningkat, akulah yang akan mencabikcabik
tubuhmu, dan orang-orang yang mengikutimu!" 142 Lalu Beng Hek-hou mencabut bendera segitiga
kecil, berwarna hitam, dari pinggangnya. Ketika
bendera kecil itu dikibar-kibarkan, tiba-tiba langit
malam yang sudah gelap itu bertambah gelap
hingga tak ada yang bisa terlihat, lalu angin dingin
keras menyambar-nyambar ke arah Wong Lu-siok
dan para warga Seng-tin. Anginnya dingin serasa
menyayat kulit, juga kencang sehingga mengangkat
debu dan pasir tinggi-tinggi.
Warga Seng-tin panik, apalagi karena deru
angin itu juga dicampuri suara seribu satu macam
hewan. Ada ringkik kuda, aum harimau, jeritan
monyet dan macam-macam lagi di dalam deru
angin itu. Tetapi Wong Lu-siok berdiri tegar dengan jubah
putihnya berkibar-kibar. Ia mencabut pedangnya,
dan pedang itu ternyata bukan pedang logam
melainkan hanya pedang-pedangan kayu yang
biasa digunakan orang-orang yang mempraktekkan
ilmu gaib. Pedang kayu itu ditegakkan di depan
tubuhnya, sambil menggumamkan mantera.
Angin perlahan-lahan reda, dan bahkan
kemudian lenyap sama sekali, awan hitam juga
menyingkir pergi. Sambil tersenyum mengejek Beng Hek-hou,
Wong Lu-siok berkata, "Apa aku bilang"
Perimbangan kita masih seperti di Yan-san
setahun yang lalu. Kejahatan takkan pernah
mengungguli kebaikan, jalan setan takkan pernah
mengungguli jalan suci, siluman-siluman tak
pernah menang dari dewa-dewi dan mahluk-
143 mahluk suci, bala tentara neraka selalu kalah dari
bala tentara langit."
Perkataan Wong Lu-siok disambut sorak-sorai
warga Seng-tin yang mengikutinya. Bahkan ada
orang-orang baru yang keluar dari rumah untuk
berperang. Wajah Beng Hek-hou menampilkan kegusaran
luar biasa, tetapi dia pantang menyerah. Dengan
sebuah aba-aba kepada anak buahnya, tiba-tiba
anak buahnya serempak mengeluarkan kertaskertas kuning yang sudah digunting dalam bentuk
bermacam hewan seperti gajah, harimau, kuda,
ular, bahkan mahluk-mahluk yang hanya ada di
dalam khayalan seperti naga terbang, burung api,
manusia bertanduk dan bersayap dan bersenjata
petir. Sementara anak buahnya mengeluarkan
kertas-kertas guntingan itu, Beng Hek-hou ganti
bendera. Bendera hitamnya diselipkan kembali ke
pinggang, lalu diganti bendera aneka warna yang
diketahui oleh anak buahnya sebagai Ban-siu-ki
(Bendera Selaksa Mahluk).
Berbareng dilemparkannya kertas-kertas guntingan itu ke udara, Beng Hek-hou mengayunayunkan benderanya dengan sikap yang amat
bersungguh-sungguh sehingga setengah kesurupan. Angin yang baru saja reda pun
berjangkit keras kembali dan debu pasir terangkat
menjadi tirai yang menutupi pandangan, membuat
kedua pihak tak bisa saling terlihat.
Warga Seng-tin yang bersorak-sorak itu pun
bungkam, mereka kembali jadi tegang. Sihir
144 macam apa yang bakal dipertontonkan oleh Si
Gembong Bandit" Tiba-tiba mereka merasa bumi di bawah telapak
kaki mereka bergetar, seperti ada pasukan berkuda
yang berderap. Dan ketika mereka menatap ke
depan, dengan kaget mereka melihat dari balik tirai
debu itu muncul ratusan hewan yang entah
darimana datangnya. Ada gajah, macan, kerbau,
kuda, serigala, ular besar, bahkan di udara
bermunculan naga terbang, burung api serta
manusia bersayap dan bertanduk, semuanya
menyerbu ke arah Wong Lu-siok dan orang-orang
Seng-tin. Orang-orang Seng-tin, tak peduli yang nyalinya
paling besar seperti Lui Kong-sim, Pang Se-hiong
dan lain-lainnya, segera membalik tubuh dan
kabur lintang-pukang. Meninggalkan Wong Lu-siok
yang tetap berdiri tak bergeming di tempatnya,
kembali dengan pedang kayu ditegakkan di depan
tubuh sambil mulutnya berkomat-kamit.
Ketika mahluk-mahluk itu sudah tinggal
beberapa langkah di depan Wong Lu-siok, tiba-tiba
si "Utusan para dewa" itu menudingkan pedang
kayunya ke depan sambil membentak, "Kembali ke
asalmu!" Angin mereda, mahluk-mahluk itu lenyap, dan
yang nampak di udara ialah kertas-kertas
guntingan yang melayang-layang berhembus angin
dan pelan-pelan turun ke tanah.
"Nah, Beng Hek-hou, apalagi yang kau punya"
Tadi kau bilang ilmumu sudah meningkat, pasti


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

145 kau bisa menunjukiku yang hebat-hebat dan
bukan sulap murahan yang tadi."
Dalam hatinya Beng Hek-hou sudah gemetar,
apalagi anak buahnya yang selama ini menganggap
Beng Hek-hou tak terkalahkan. Namun Si Kepala
Gerombolan itu sendiri belum mau menyerah. Kini
ia tidak mengeluarkan bendera kecil, melainkan
berkomat-kamit saja. Tidak ada awan hitam, tak ada angin menderu,
yang ada hanya suara berbagai binatang yang
mulai bermuara gelisah dari rumah-rumah di
seluruh kota. Kota yang tadinya sunyi, tiba-tiba
jadi riuh. Ada suara ayam, kucing, hewan-hewan
rumah lainnya, juga kambing.
Orang-orang Seng-tin yang bersama Wong Lusiok jadi ingat kejadian yang lalu, waktu binatangbinatang tiba-tiba mengamuk aneh dan menyerang
orang-orang di dalam rumah. Mereka jadi kuatir
akan keselamatan orang-orang di rumah.
Apalagi tak lama kemudian dari dalam rumah
terdengar jerit ketakutan dan tangis anak-anak
serta perempuan-perempuan,-lalu disusul suara
gedubrakan dari perabot-perabot rumah yang
berantakan bercampur dengan teriakan marah dari
orang-orang yang mencoba mengatasi hewanhewan yang mengamuk itu.
Orang-orang Seng-tin bersenjata yang mengikuti
Wong Lu-siok, biarpun sudah melihat dua kali
kehebatan Wong Lu-siok dalam menaklukkan sihir
Beng Hek-hou, kali ini cemas akan keluarga
masing-masing yang ditinggalkan di rumah.
Beberapa orang keluar dari barisan dan menuju
146 rumah masing-masing. Dasarnya mereka memang
bukan pasukan tentara yang berdisiplin, maka ya
semaunya saja. Ingin bergabung ya bergabung
begitu keluar dari kelompok ya keluar begitu saja.
Lui Kong-sim meneriaki orang-orang yang kabur
itu, "He, jangan lari! Pengecut, jangan lari! Lihat
Tuan Wong pasti bisa mengatasinya dengan ilmu
dewanya! Dasar tak punya keberanian!"
Tetapi ketika dari salah satu rumah terdengar
suara jeritan seorang gadis, dan Lui Kong-sim
mengenali suara itu sebagai suara adik perempuannya, Lui Kong-sim pun tidak berani
gembar-gembor lagi. Ia memang masih bertahan di
jitu, malu kalau sehabis mendamprat yang lari lalu
ia sendiri lari, namun sebenarnya ia sudah sangat
ingin lari ke rumahnya yang tidak jauh dari situ.
"Itu suara adik perempuanku...." katanya
bimbang kepada Pang Se-bun dan Giam Lok yang
tetap di dekatnya. "Mungkin dia membutuhkan
pertolonganku." Kebetulan Pang Se-bun dan Giam ok adalah
orang-orang yang selama ini kenyang dicemooh
dan disindir oleh saudara seperguruan mereka
yang satu ini. Giam Lok sering disindir kurang
tegas dan kurang berani, karena selalu mengusulkan agar dalam segala tindakan memikirkan akibatnya bagi warga kota. Pang Sebun bahkan dicap sebagai pengkhianat oleh Lui
Kong-sim, karena dalam upayanya melindungi
keselamatan warga kota, Pang Se-bun terpaksa
berbaikan dengan Beng Hek-hou.
147 Kini melihat Lui Kong-sim gelisah akan
keluarganya, Giam Lok berkata agak sinis,
"Makanya kau perlu belajar memahami orang lain,
kalau orang itu melakukan sesuatu yang kurang
cocok dengan selera kita. Ada saatnya kita juga
harus berindak seperti orang-orang yang kita
kecam itu." Pang Se-bun yang usianya lebih tua itu
menengahi dengan bijak. "Selamatkan Adikmu,
Saudara Lui, takkan ada yang menyebutmu
pengecut atau tak punya keberanian kalau
kautinggalkan tempat ini."
Dengan wajah agak merah, terbirit-birit Lui
Kong-sim menuju ke rumahnya, di mana suara
jeritan adik perempuannya terdengar.
Sementara itu, Wong Lu-siok mulai merapal
manteranya. Beng Hek-hou tidak ingin mantera Yong Lu Siok
menggagalkan sihirnya, ia berseru kepada anak
buahnya. "Serang bangsat she Wong itu!"
Waktu itu anak buah Beng Hek-hou memang
berjumlah masih tiga puluhan orang, setelah
beberapa orang terbunuh. Di pihak Lu-siok tadi
juga ada tiga puluhan orang, jadi seimbang dalam
jumlah. Tetapi setelah orang-orang Seng-tin yang
bersenjata itu sebagian besar lari ke rumah
masing-masing karena mendengar teriakan dari
rumah-rumah itu, maka yang tinggal di dekat
Wong Lu-siok tinggal lima orang. Ek-Yam-lam,
Giam Lok, Yao Kang-beng, Pang Se-bun dan
adiknya, Pang Se-hiong. Semuanya bersenjata
tombak, hanya Pang Se-hiong yang bersenjata
148 martil karena ia bukan murid mendiang Ciu Koan.
Dan lima orang ini sekarang harus melindungi
Wong Lu-siok dari serbuan tiga puluh orang anak
buah Beng Hek-hou. Secara normal kelima pemberani dari Seng-tin
itu tentu takkan dapat mengimbangi lawan mereka
yang jauh lebih banyak. Maka Yao Kang-beng
langsung mengangkat tombaknya ke langit, sambil
menengadah, berseru memohon kekuatan dari
"alam dewa-dewi" untuk tubuhnya dan untuk
senjatanya. Tubuhnya terlihat menggeletar sebentar, sementara beberapa orang di sekitarnya
serasa mencium bau harum yang memabukkan.
Lalu melejitlah Yao Kang-beng ke depan dengan
mata terpejam, tak sadarkan diri dia bertempur
dalam kekuatan yang jauh di atas kekuatan
normalnya. Bahkan ketika senjata beberapa
anggota gerombolan mengenai kulitnya, Yao Kangbeng tidak terluka sedikit pun!
Menyusul Ek Yam-lam, Pang Se-bun dan Pang
Se-hiong juga bertempur dengan cara yang serupa.
Hanya Giam Lok sendiri yang bertarung dengan
kemampuan alamiahnya, karena bersiteguh tidak
ingin jiwanya diambilalih kekuatan-kekuatan dari
luar, meski "dewa" sekalipun.
Itu sebabnya berbeda dengan Ek Yam-lan dan
sebagainya yang bertempur dahsyat yang dilukiskan dalam dongeng-dongeng purba, maka
Giam Lok bertempur dengan normal saja. Bahkan
ketika lawan Giam Lok yang bersenjata golok tebal
itu mulai "tidak normal". Mulai mencicit-cicit
seperti tikus dan geraknya berlarian ke sana ke
149 mari juga secepat tikus, Giam Lok mulai terdesak
dan terjeblos dalam kesulitan karena dia tetap
bertahan dengan kemampuan alamiahnya. Giam
Lok pernah juga diberitahu oleh Wong Lu-siok
bagaimana menyerukan "seruan suci" untuk
memasukkan mahluk-mahluk gaib "suci" ke
tubuhnya dan jiwanya supaya bertambah kekuatannya, Tetapi saat-saat kritis itu pun Giam
Lok seolah-olah terjahit mulutnya dan tetap tidak
mau menyuarakan "undangan" kepada mahlukmahluk gaib.
Sementara itu, di rumah-rumah penduduk
kedengarannya mulai agak tenang. Hewan-hewan
rumah yang mengamuk semakin berkurang
suaranya, bahkan akhirnya reda sama sekali. Lalu
orang-orang Seng-tin berbondong-bondong ke luar
rumah. Yang berani berkelahi keluar dengan
membawa senjata-senjata, yang tidak berniat
berkelahi keluar sekedar untuk menonton bagaimana "utusan dewa" yang akan menyelamatkan kota mereka itu.
Merasa bahwa kebebasan sudah di ambang
pintu, entah siapa yang mulai, orang-orang Sengtin bersorak-sorak memuji-muji "ibunda tak
berasal-usul", sejenis "dewi baru" yang jadi populer
mendadak. Puja-puji kepada "ratu langit" itu agaknya
mempengaruhi ketahanan anggota-anggota gerombolan. Mahluk-mahluk gaib yang menguasai
jiwa mereka agaknya digelisahkan oleh sorak-sorai
itu, dan anggota-anggota gerombolan itu bertambah lemah. 150 Sorak warga Seng-tin membahana ketika
mereka melihat Yao Kang-beng membantai tiga
anggota gerombolan secara cepat berturut-turut,
disusul Pang se-hiong dan lain-lainnya. Hanya
Giam yang masih terdesak oleh anggota gerombolan, padahal anggota gerombolan dihadapinya hanya satu orang. Tetapi Giam Lok
pun merasa makin ringan. Pengaruh gaib yang
memperkuat perlawanan musuh itu kelihatannya
semakin melemah. Lawannya semakin jarang
mencicit seperti tikus tetapi sering sering
membentak seperti manusia umumnya yang
sedang main silat. Agaknya lawan Giam Lok itu
semakin normal kembali. Dengan gigih dan tekun, Giam Lok memperbaiki
posisinya. Lawan yang tidak lagi kesurupan itu
tidak lagi terasa sebagai lawan yang terlalu berat
lagi bagi Giam Lok. Bahkan beberapa jurus
kemudian, ujung tombak Giam-lok berhasil
melukai paha anggota gerombolan itu.
Si Anggota Gerombolan mengaduh, nyalinya
susut, sadar bahwa pelindung gaibnya sudah
kabur meninggalkannya sehingga kulitnya tidak
kebal lagi. Dalam keadaan sadar, tanpa kesurupan,
ia juga melihat teman-temannya yang banyak itu
dibantai satu persatu oleh orang-orang Seng-tin
yang "kesurupan mahluk suci" yang jumlahnya
jauh lebih sedikit namun benar-benar menguasai
keadaan. Selain itu, sorak-sorai warga Seng-tin
yang bertindak sebagai "suporter" bagi jagojagonya, semakin menekan mental para anggota
gerombolan yang biasanya sewenang-wenang itu.
151 Perlawanan seperti ini benar-benar belum pernah
terbayangkan oleh anggota gerombolan.
Beberapa anggota gerombolan yang berkesempatan lolos dari arena pun segera kabur
tanpa mempedulikan teman-temannya. Beberapa
orang warga kota yang cukup berani, segera
membentuk kelompok-kelompok kecil bersenjata
untuk mengejar anggota-anggota gerombolan yang
kabur itu. Anggota-anggota gerombolan yang
beruntung bisa langsung lari ke luar kota, entah


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempat mengambil kuda lebih dulu entah hanya
mengandalkan sepasang kakinya saja, tetapi yang
kurang beruntung akan terjebak di lorong-lorong
kota, diuber-uber, dicegat di sana dan sini, dan
kalau tertangkap habislah riwayat mereka menjadi
sasaran kemarahan warga Seng-tin. Yang bertahan
di arena semakin sedikit dan semakin lemah
semangatnya. Makin orang-orang Seng-tin mencebur ke arena dengan senjata-senjata mereka
sambil meneriakkan "seruan suci", Keadaan benarbenar terbalik sekarang, orang-orang Seng-tin jauh
lebih banyak dari gerombolan, juga orang-orang
Seng-tin semuanya kebal dan sebaliknya anggotaanggota gerombolan kehilangan kekebalannya!
Seorang warga kota yang bertubuh kurus dan
usianya sudah tujuh puluh tahun, sehari-harinya
berjualan makanan, tercengang sendiri ketika
mendapati bahwa bacokan golok dari seorang
anggota gerombolan ternyata tidak melukai
kulitnya sedikit pun. Ia tercengang sedetik dua
detik, lalu mendadak berjingkrak-jingkrak kegirangan. "He, aku kebal! Aku kebal!"
152 Lalu seperti orang gila ia menerbangkan tubuh
kurus dan rentanya untuk dibacoki oleh anggota
gerombolan. Si anggota gerombolan dengan sengit
dan putus asa membacoki tubuh itu, namun
sedikit pun tidak ada hasilnya. Si Kakek tetap saja
tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak sambil
berteriak-teriak mengumumkan kekebalannya.
Kakek itu tak bersenjata, sebab ia memang tidak
bermaksud ikut bertempur, hanya ingin menonton.
Tadi ia tiba-tiba saja diserang dan tiba-tiba saja
tahu kalau dirinya sudah kebal senjata. Karena tak
bersenjata, tiba-tiba saja dia melejit dengan ganas
dan tahu-tahu tubuhnya yang kurus kecil dan
keriput itu sudah nongkrong di kedua pundak Si
153 Anggota Gerombolan itu. Entah mendapat gagasan
dari mana, juga entah dari mana kekuatannya
untuk melaksanakan gagasannya, tiba-tiba saja
kedua tangannya memutar kepala Si Anggota
Gerombolan sehingga terputar setengah lingkaran.
Kepala yang tadinya menghadap ke depan, kini
menghadap ke belakang dan terkulai seperti leher
ayam yang dipelintir. Tentu saja anggota
gerombolan itu tak dapat hidup lebih lama lagi,
dan Si Tua penjual makanan itu pun melompatlompat di atas mayat anggota gerombolan itu
sambil memekik-mekik tanpa ingat diri.
Giam Lok memandang segala yang terjadi di
depannya itu dengan termangu-mangu. Ia kenal
orang tua itu, bahkan menyukai kue-kue buatan Si
Orang Tua. Namun melihat sosok tubuh yang
berlompatan di atas mayat korbannya itu, rasanya
Giam Lok melihat sebuah pribadi yang lain.
"Ini bukan Kakek Un yang kukenal sejak
kecil...." kata Giam Lok dalarr hati. "Ini bukan
Kakek Un yang ramah, tidak tega kepada mahlukmahluk hidup yang sekecil semut sekalipun."
Suasana di medan laga itu adalah suasana
kemenangan warga Seng-tin. Sorak kemenangan
warga kota bercampur aduk dengan pekik
kematian dan putus asa dari anggota gerombolan
yang tak beruntung dan dicincang warga kota.
Giam Lok justru melangkah gontai meninggalkan "pesta kemenangan" itu, tombaknya
dijinjing setengah diseret.
Ketika melewati sebuah lorong gelap, tiba-tiba
sesosok tubuh melompat menyerangnya dengan
154 pisau belati, tetapi Giam Lok dengan tangkas
berhasil merapatkan diri ke tembok dan luput dari
sergapan itu. Si Penyergap itu nampaknya sangat putus asa
bahwa sergapan pertamanya luput, tiba-tiba dia
hendak menusukkan pisau belati itu ke dadanya
sendiri! Giam Lok begitu saja menuruti dorongan
hatinya untuk menyapukan tombaknya, bukan
untuk membunuh tetapi untuk memukul tangan
yang memegang belati itu sehingga belatinya jatuh
dan orang itu tidak jadi mati.
Namun dengan suara parau bernada putus asa
orang itu malah gusar, "Kenapa kau cegah aku"
Kau tidak ingin melihat aku mati dengan tubuh
utuh, melainkan ingin mencincang daging dan
tulangku seperti terhadap teman-temanku" Kalian,
warga kota yang mengaku masyarakat beradap,
ternyata lebih biadab dari kami!"
"Jadi kau... salah satu anggota gerombolan itu?"
"Ya. Kumohon kebaikan hatimu, biar aku mati
dengan tubuh utuh." Giam Lok menarik napas. Setelah menengok ke
segala jurusan dan ia tidak melihat adanya orang
ke tiga, dia pun berkata. "Bahkan kau boleh pergi
dengan tubuh utuh. Tapi hati-hatilah, jangan
bertemu dengan warga kota lainnya."
Anggota gerombolan itu melongo. Nasib
seberuntung ini benar-benar di luar dugaannya. Ia
mencubit lengannya sendiri untuk meyakinkan
155 bahwa ia tidak mimpi, dan agaknya ini memang
bukan mimpi. "Cepat pergi!" usir Giam Lok sambil mengacungkan tombaknya. "Jangan berbuat jahat
lagi supaya suatu kali nanti kau jangan kehilangan
kesempatan sama sekali!"
Orang itu lari terbirit-birit. Mengucapkan terima
kasih sepatah pun tidak, tetapi Giam Lok merasa
senang telah melakukan itu.
Giam Lok kembali ke rumahnya, dan disambut
oleh seisi rumahnya dengan lega dan penuh
sukacita. Sama sukacitanya dengan warga Seng-tin
yang merasakan kebebasan dari gerombolan.
Si kecil Pang Li-kun alias A-kun terbangun dari
tidurnya ketika merasa ada seseorang berdiri di
dekat tempat tidurnya. Mula-mula dia kira ibunya,
namun waktu ia buka matanya maka dilihatnya
seorang anak perempuan sebaya dengan dia,
berwajah bulat, berpipi montok kemerah-merahan,
rambutnya dikuncir dua, baju dan celana
panjangnya juga merah. Anak perempuan ini
tersenyum manis kepada A-kun.
A-kun heran, ia punya banyak teman-teman
sebaya, tetapi anak ini belum pernah dilihatnya,
bahkan juga di seluruh Seng-tin. Dan bagaimana
anak ini tiba-tiba bisa berada dalam kamarnya"
"Siapa kau?" tanya A-kun sambil bangkit duduk
di atas ranjangnya dan menyepak selimutnya.
Anak perempuan manis berbaju merah itu
menjawab. "Mulai sekarang, aku temanmu dan
156 pelindungmu, aku akan menolongmu menghadapi
banyak kesulitan." "Ya, tetapi kau punya nama bukan?"
"Panggil saja A-hwe."
"Belum pernah kulihat kau di Seng-tin, di mana
rumahmu?" "Rumahku jauh sekali, tetapi aku disuruh
kemari untuk menolongmu, karena mulai sekarang
kau akan butuh banyak pertolonganku."
"Kau tidak menolongku?" lebih besar dari aku. A-hwe, A-hwe tersenyum lalu berkata, "Aku bisa
macam-macam, buktikan saja nanti. Tetapi kau
harus menurut kata-kataku."
Ketika itulah Nyonya Pang tiba-tiba membuka
pintu kamar lalu duduk di tepi pembaringan untuk
mencium jidat puteri-nya ini. "Bagaimana tidurmu
semalam, anak manis?"
A-kun memeluk ibunya, "Aku mimpi indah
sekali, Ibu. Aku bermain-main di taman dewa-dewi
dan berteman dengan mahluk-mahluk kahyangan.
Eh, mana Si A-hwe tadi?"
"A-hwe" Siapa A-hwe?" Nyonya Pang heran dan
ikut memandang berkeliling ruangan itu, tetapi
tidak melihat siapa-siapa kecuali anaknya sendiri.
"A-kun, kau cari siapa?" Nyonya Pang
mengulangi pertanyaannya kepada puterinya yang
masih celingukan ke sana kemari.
157 "Temanku. Namanya A-hwe, tadi dia berdiri di
situ, Ibu tidak melihatnya?"
"Ibu tidak melihat bermimpi barangkali."
siapa-siapa, Nak. Kau "Tidak, Ibu. Ketika aku bangun, ia sudah di
pinggir ranjang. Barangkali ia bersembunyi karena
takut kepada Ibu...." lalu A-kun merosot turun dari
ranjang untuk menjenguk ke dalam kolong. Tetapi
di kolong pun tidak ada siapa-siapa.
"Aneh, ke mana dia bersembunyi ya, Bu?"
Entah kenapa Nyonya Pang merasa bulu
kuduknya berdiri. Tetapi saat itu adalah pagi hari
yang terang benderang. Nyonya Pang cepat
melangkah ke jendela untuk membukanya, agar
cahaya mentari pagi membajir berlimpah ke dalam
ruangan itu. Sambil katanya. "A-kun, katakan
kepada semua temanmu agar tidak usah takut
Seruling Perak Sepasang Walet 12 Sang Penandai Karya Tere Liye Sepasang Naga Penakluk Iblis 4
^