Pencarian

Kuil Kencana 1

Kuil Kencana Kinkakuji Karya Yukio Mishima Bagian 1


Judul asli Kinkakuji Diterjemahkan dari bahasa Inggris terjemahan Ivan Morris berjudul The Temple of the Golden Pavilion Naskah terjemahan ini merupakan usaha penerjemahan sastra dunia yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta Bank Naskah Dewan Kesenian Jakarta, 1976, diterbitkan oleh PT DUNIA PUSTAKA JAY A, Jl. Kramat II, No. 31 A, Jakarta dengan bantu an The Japan Foundation Anggota IKAPI Cetakan pertama: 1978 HAK CIPTA DILINDUNGIUNDANG-UNDANG ALL RIGHTS RESERVED Gambar jilid oleh Ai Wakidjan Dicetak oleh Firma Ekonomi, Bandung
Bab Satu SEJAK masa kanak-kanakku Ayah sering bercerita padaku tentang Kuil Kencana. Tcmpat kelahiranku ialah sebuah tanjung lengang yang menjorok ke Laut Jepang di sebelah timur laut Maizuru. Ayah tidak dilahirkan di sana, tapi di Syiraku, di pinggiran timur kota Maizuru. Ia dianjurkan untuk jadi rohaniwan lalu jadi pendeta sebuah kuil di sebuah tanjung terpencil di tempat itu ia menikah lalu beroleh seorang anak, itulah aku. Di dekat kuil di Tanjung Nariu itu tidak ada sekolah menengah yang cocok untukku. Akhirnya aku meninggalkan rumah orang tuaku dan dikirim ke rumah pamanku di tempat kelahiran Ayah; selama aku tinggal di sana, aku masuk Sekolah Menengah Maizuru Timur dan selalu pulang pergi ke sekolah berjalan kaki. Langit di kampung halaman Ayah selalu cerah. Tapi setiap tahun dalam bulan Oktober dan November, kami mengalami hujan tiba-tiba, juga pada hari-hari yang kelihatan sama sekali tak berawan. Aku bertanya dalam hati apa bukan di sini aku mulai mengembangkan perasaan yang mudah berobah. Di senja-senja musim semi, aku duduk di kamar belajarku di tingkatdua rumah pamanku lalu merenung ke bukit-bukit. Sinar matahari turun memancar ke atas daun-daun muda yang menutupi lereng bukit hingga kelihatannya seolah-olah sehelai tirai emas yang terpasang di tengah-tengah padang. Jika aku melihat itu maka dalam fikiranku terbayang Kuil Kencana. Biarpun aku sekali-sekali pernah juga melihat Kuil Kencana yang sebenarnya dalam foto-foto atau dalam buku pelajaran, tapi yang menguasai pengamatanku ialah bayangan Kuil Kencana itu seperti yang dilukiskan Ayah bagiku. Ayah tidak pernah menceritakan padaku bahwa Kuil Kencana yang asli gemerlapan kaiena emas atau yang sebangsa dengan itu; tapi menurut Ayah di dunia ini tidak ada yang seindah Kuil Kencana. Di s amping itu, aksara-aksara yang dipergunakan untuk menulis nama kuil itu dan bunyi namanya memberikan suatu keistimewaan pada Kuil Kencana dan keistimewaan itu tertanam dalam hatiku. Tatkala aku melihat permukaan padang di kejauhan yang berkilauan dalam cahaya matahari, maka aku merasa pasti bahwa itu adalah bayang-bayang emas yang disebabkan oleh kuil yang gaib itu. Puncak Yoshizaka yang merupakan batas antara Wilayah Fukui dan Wilayah Kyoto terletak langsung di sebelah timur. Matahari terbit langsung di atas puncak ini. Biarpun kota Kyoto terletak di seberangnya, aku biasanya melihat Kuil Kencana membubung ke angkasa pagj di tengah-tengah sinar matahari, pada saat ia bangkit dari pangkuan bukit-bukit timur. Demikianlah Kuil Kencana itu seakan-akan berada di mana-mana. Karena aku tidak dapat melihat kuil itu dengan mata kepalaku sendiri, maka ia adalah ibarat laut. Karena biarpun Teluk Maizuru terletak hanya tiga setengah mil di sebelah barat kampung Shiraku tempat aku berdiam, laut itu sendiri tidak dapat dilihat karena terhalang oleh bukit-bukit; sungguhpun begitu di udara selalu terasa mengambang suatu firasat ten tang laut ini: kadang-kadang 6 angin meniupnya bersama bau laut. Kadang-kadang jika hari buruk maka kawanan burung camar akan menukik ke padang-padang yang dekat dari situ untuk berlindung. Badanku tidak kuat dan aku selalu kalah oleh kawan-kawanku kalau berlari atau kalau latihan di tempat latihan olahraga. Di samping itu sejak lahir aku gagap kalau bicara, dan hal ini membuat aku lebih menjauhkan diri dengan caraku sendiri. Dan semua orang tahu, bahwa aku berasal dari sebuah kuil. Beberapa anak nakal sering memperolok-olokkan aku dengan meniru-niru seorang pendeta gagap yang membaca sutra dengan terbata-bata.
Dalam sal ah sebuah buku kami ada sebuah kisah yang menceritakan seorang ditektif gagap dan anak-anak itu suka sekali membacakan bagian ini bagiku dengan suara yang sengaja dilantangkan. Kegagapanku, dengan sendirinya, merupakan suatu halangan antara aku dan dunia luar. Yang paling sulit kuucapkan adalah ucapan pertama. Ucapan pertama ini tak ubahnya sebuah kunci pintu yang memisahkan dunia batinku dari dunia di luar, dan aku tidak pernah bisa memutar kunci itu dengan lancar. Kebanyakan orang menguasai kata-kata dengan mudah sekali, hingga dapat mengusahakan supaya pintu antara dunia batin dan dunia luar itu selalu tetbuka luas dan udara dapat keluar masuk dengan bebas; tapi bagiku hal ini suatu kemustahilan. Karat yang tebal telah menumpuk pada kunci itu. Jika seorang gagap bergulat dengan seluruh kekuatannya untuk mengeluarkan ucapan pertamanya, maka ia ibarat burung kecil yang berusaha untuk melepaskan diri dari getah. Dan jika akhirnya ia toh berhasil membebaskan diri, maka itu biasanya sudah terlambat. Jelasnya, kadang-kadang adamasanya dunia luar seolah-olah menunggu aku berpeluk lubuh, sedangkan aku berjuang untuk membebaskan diri. 7 Tapi kenyataan yang menunggu aku bukan lagi kenyataan yang segar. Jika aku akhirnya. berkat semua usahaku, berhasil sampai ke dunia luar itu, maka yang kutcmui adalah kenyataan yang telah berobah warna dan telah jadi kabur -kenyataan yang telah kehilangan kesegaran yang kuanggap sesuai untuk diriku dan yang memberikan bau separuh busuk. Seperti mudah dibayangkan, seorang remaja seperti aku ingin menguasai dua bentuk kekuasaan yang saJing ber-tentangan. Dalam sejarah aku menikmati kisah-kisah ten tang orang-orang zalim. Aku melihat diriku sendiri sebagai seorang penguasa yang zalim dan pendiam; abdi-abdi akan memper-hatikan setiap macam air muka yang terbayang pada mukaku dan siang malam mereka hidup dalam ketakutan padaku. Kekejamanku tidak perlu dibenarkan dengan kata-kata yang jelas dan masuk akal. Kekeluanku saja sudah cukup untuk membenarkan setiap bentuk kekejaman. Di satu fihak aku senang sekali mengangan-angankan. bagaimana aku menjatuh-kan hukuman satu demi satu pada guru-guruku dan kawan-kawan sekolahku yang setiap hari menyiksa aku tapi di lain fihak, aku membayangkan diriku sebagai seorang seniman besar, yang diberkati dengan pandangan yang jernih " seorang yang dipertuan sejati dalam dunia batin. Bentuk lahirku buruk sekali, tapi justeru karena itu dunia batinku jadi lebih kaya dari dunia batin siapa pun jua. Apa tidak wajar jika seorang anak yang menderita kekurangan yang tak dapat ditiadakan seperti aku bisa percaya, bahwa ia adalah seorang mahluk luar biasa yang tak diketahui orang" Aku merasa bahwa di dunia ini, di salah satu tempat, suatu tugas menunggu aku, tugas yang masih belum kuketahui sama sekali. Episoda berikut adalah kenangan dari masa ini yang tinggal dalam ingatanku. Sekolah Menengah Maizuru Timur punya halaman yang luas sekali, dikitari dengan indah oleh bukit-bukit dan dilengkapi dengan gedung-gedung modern dan cerah. Pada suatu hari dalam bulan Mei seorang anak tamatan sekolah kami, dan yang waktu itu jadi pelajar Sekolah Teknik Angkatan Laut di Maizuru, lagi liburan lalu datang mengunjungi bekas sekolah menengahnya. Kulitnya terbakar oleh matahari " tampan sekali " dan dari bawah pet seragamnya yang ia tekankan jauh hampir ke matanya, muncul sebentuk hidung yang tebal; dari rambut sampai ke ujung kaki ia merupakan seorang pahlawan yang sempurna. Lalu ia bercerita pada murid-murid yang lebih muda dari dia tentang kekerasan hidupnya kala itu dengan segala peraturan militernya. Tapi, biarpun ia bermaksud menceritakan suatu kehidupan yang penuh dengan segala macam kekerasan, kepada kami ia bicara dengan nada seseorang yang lagi bercerita tentang suatu hidup yang mewah dan menyenangkan. Setiap gerak yang ia perbuat penuh dengan harga diri, dan biarpun ia masih muda, ia sadar sekali betapa pentingnya sikap rendah hati. Dadanya, yang di-bungkus dalam pakaian seragam, ia pentangkan bagai dada patung sebuah haluan kapal yang menguakkan jalan di tengah-tengah angin laut. Ia duduk di atas rangga batu yang menuju halaman sekolah. Di sekelilingnya duduk pelajar-pelajar yang mendengarkan kata-katanya dengan penuh perhatian, sedangkan di petak-petak kebun di atas lereng bunga-bunga bulan Mei sedang berkembang " tulip, sweet pees, anemon dan daisi sedangkan di atasnya tergantung kembang putih yang mewah dari pohon magnolia. Baik pembicara maupun pendengar membatu bagai monumen. Aku duduk sendiri di atas ton ah beberapa meter dari tempat itu. Begitulah caraku. Begitulah caraku terhadap kembang bulan Mei dan terhadap seragam yang mengandung harga diri itu dan terhadap ketawa yang berderai bagai untaian mutiara. Pahlawan muda ini rupanya lebih memikirkan aku dari-pada pengagum-pengagumnya. Hanya aku seorang yang tidak mau merendahkan diri terhadap martabatnya, dan fikiran ini melukai rasa harga dirinya. Ia menanyakan pada yang lain siapa nam aku. "Hai, Mizoguci!" serunya; ini J ah kali pertama ia memandang aku. Aku menatap dia tanpa bicara. Dalam senyuman yang ia tujukan padaku, aku dapat melihat sesuatu yang mirip dengan sikap manis seorang yang berkuasa. "Kenapa kau tidak mengatakan sesuatu" Apa kau bisu?" "Aku g-g-gagap," jawab salah seorang pengagumnya menggantikan aku dan mereka semua terbongkok-bongkok karena ketawa. Alangkah tajam menyilaukan, ketawa penuh ejekan ini! Bagiku ada sesuatu yang cemerlang - cemerlang bagai cahaya yang dipantulkan dari gumpalan dedaunan pada ketawa kejam kawan-kawan sekelasku yang sebetulnya biasa bagi anak-anak seumur mereka. "Jadi kau gagap" Kenapa kau tidak masuk Sekolah Teknik Angkatan Laut" Dalam satu hari saja gagapmu itu bisa mereka dera sampai habis!" Aku tidak tahu entah bagaimana, tapi sekali uu aku segera memberikan jawaban yang jelas. Kata-kataku keluar dengan lancar tanpa kuatur. "Aku tidak akan ke sana. Aku akan jadi pendeta." Semuanya terdiam. Pahlawan muda itu menundukkan kepala, mencabut sehelai rumput lalu memasukkannya ke dalam mulutnya.
"Baiklah," katanya, "nanti jika sudah tiba waktunya aku dikubur, kau nanti akan kuberi tugas." Perang Pasifik sudah meletus. Pada saat itu aku tak sak lagi telah menemui suatu kesadar-an. Kesadaran bahwa aku akan menunggu di sebuah dunia gelap dengan kedua tangan terulur ke depan. Bahwa pada suatu hari kembang-kembang bulan Mei, pakaian seragam, kawan-kawan sesekolahku yang tidak tahu sopan santun, semuanya akan jatuh ke dalam tanganku yang terulur. Sadar bahwa aku menggenggam dunia dan memerasnya di pangkalnya. Begitulah ibaratnya . . . Tapi kesadaran seperti itu terlalu berat untuk dijadikan sumber kebanggaan seorang anak muda seperti aku. Kebanggaan harus merupakan sesuatu yang ringan, lebih gembira, mudah dilihat, lebih cemerlang. Aku menginginkan sesuatu yang dapat dilihat dengan mata. Aku ingin ke-banggaanku merupakan sesuatu yang dapat dilihat setiap orang. Misalnya, pedang yang dia gantungkan di pinggangnya adalah hal seperti itu. Pedang pendek yang dikagumi oleh semua pelajar sekolah menengah betul-betul sebuah hiasan yang indah sekali. Kata orang pelajar-pelajar Akademi Angkatan Laut punya ke-biasaan untuk mempergunakan pedangnya secara diam-diam buat meraut pensil. Alangkah manisnya, kataku dalam hati, untuk mempergunakan lambang yang begitu tinggi untuk soal-soal kecil seperti itu! Kebetulan sekali anak muda itu menanggalkan seragam sekolah tekniknya lalu menggantungkannya pada pagar putih. Celana dan baju dalam yang berwarna putih tergantung di sana, langsung di sebelah kembang-kembang itu " ya, baunya adalah bau kulit manis-basah seorang anak muda. Seekor lebah hinggap dengan tak sengaja ke atas kembang 11 baju dalam putih yang kemilau itu. Pet seragam, yang dihiasi tali-tali emas, terletak di atas bagian pagar yang lain ia seolah-olah berada di atas kepala pemakajnya, ber-tengger dengan baik, ditekan jauh ke dalam sampai ke mata. Pemiliknya sedang di tan tang oleh salah seorang yang lebih muda daripadanya dan kini telah pergi ke gelanggang gulat di belakang untuk bertanding. Waktu memandang pada benda-benda yang dia tinggalkan itu, aku merasa seolah-olah lagi memandang kepada se-macam kuburan terhormat. Kembang-kembang bulan Mei yang banyak sekali memperkuat perasaan ini. Pet, yang memantulkan hitam pekat klepnya, dan pedang dan tali kulit, yang tergantung di sebelahnya, semuanya sudah terpisah dari tubuhnya dan memancarkan suatu keindahan yang khusus. Barang-barang.itu sendiri sempurna seperti kenanganku padanya " betul, dalam mataku mereka kelihatan bagai sisa-sisa yang ditinggalkan oleh seorang pahlawan muda yang telah berangkat ke medan perang. Aku meyakinkan diri bahwa tidak ada orang di situ. Aku mendengar sorakan dari arah gelanggang gulat. Lalu dari kantongku kukeluarkan sebuah pisau berkarat yang Jcupergunakan untuk merancung pensil; aku merangkak ke pagar, dan pada sarung pedang yang hitam dan bagus itu kutorehkan beberapa torehan kotor . . . Dari penjelasan seperti ini, orang mungkin mengira dengan segera bahwa aku sebetulnya seorang penyair muda. Tapi sampai hari ini, aku bukan saja belum pernah menulis sajak tapi bahkan menulis catatan dalam sebuah kitab Catalan pun belum pernah. Aku tidak punya keinginan sama sekali untuk melebihi orang lain dengan mengembangkan kesanggupan-kesanggupan bam dan dengan demikian mengimbangi kekurangan-kekuranganku. Dengan kata lain, aku terlalu angkuh untuk bisa jadi seorang seniman. Angan-anganku untuk jadi seorang penguasa zalim atau seorang seniman besar tidak pernah melewati ambang pintu angan-angan, dan aku sedikit pun tidak berkeinginan untuk melaksanakan sesuatu dengan mempergunakan tanganku. Karena yang jadi sumber keangkuhanku yang sebenarnya adalah kenyataan bahwa aku tidak dimengerti orang lain, maka aku tidak pernah dihadapkan pada keinginan untuk mengutarakan sesuatu dan membuat orang lain memahami tentang apa yang kuketahui. Aku beranggapan bahwa hal-hal yang dapat dilihat orang lain bukanlah jadi bagianku. Kesunyianku makin lama makin gemuk bagai babi. Tiba-tiba ingatanku hinggap pada sebuah peristiwa menyedihkan yang pernah terjadi di kampung kami. Biarpun sebetulnya aku tidak punya sangkut paut apa pun dengan kejadian itu, aku tidak bisa melepaskan diri dari perasaan yang jelas sekali menekankan bahwa aku terlibat dalamnya.
Berkat peristiwa itu, sekaligus aku dihadapkan pada segala-galanya. Pada hidup, pada kenikmatan sahwat, pada pengkhianatan, pada dendam dan asmara " ya, pada segala yang mungkin ada di dunia ini. Dan ingatanku cenderung untuk mengingkari dan melupakan unsur yang luhur yang tersembunyi dalam kesemuanya ini. *** Dua rumah dari rumah pamanku tinggal seorang gadis cantik. Namanya Uiko. Matanya besar dan bening. Mungkin karena keluarganya kaya maka sikapnya tinggi hati. Biarpun orang sangat sekali menghargainya, kita tidak bisa menduga-duga apa yang ia fikirkan jika ia lagi sendiri. Uiko mungkin sekali masih perawan, tapi perempuan-perempuan yang dengki mempergunjingkannya dan mengatakan bahwa rupanya mulai mirip perempuan mandul. Segera setelah tamat Sekolah Menengah Perempuan tingkat pertama, Uiko menjadi perawat sukarela di Rumah Sakit Angkatan Laut Maizuru. Rumah sakit itu letaknya tidak jauh, hingga ia dapat pergi ke pekerjaannya naik sepeda. Ia harus melapur pagi-pagi sekali, hingga ia berangkat dari rumah waktu subuh. kira-kira dua jam sebelum aku berangkat ke sekolah. Pada suatu malam aku tenggelam dalam lamunan murung, dan membayangkan tubuh Uiko. Malam itu aku tidak bisa udur nyenyak, hingga waktu hari masih gelap, aku turun dari tempat tidur, lalu mengenakan sepatu olahraga dan pergi keluar, masuk ke dalam kekelaman pagi hari musim panas. Malam itu bukanlah kali pertama aku membayangkan tubuh Uiko pada diriku sendiri. Sesuatu yang kadang-kadang muncul dalam fikiranku lambat laun menetap. Tubuh Uiko, yang seakan-akan merupakan penggumpalan fikiranku ini, menyelam ke dalam suatu bayang-bayang murung yang sekaligus putih dan melenting; ia mengental dalam bentuk daging yang harum. Jika aku membayangkan tubuhnya, aku dapat merasakan kehangatan pada jariku. Aku pun mengenangkan kelentingan yang akan menyambut jari-jariku dan juga bau harum yang mirip bau tepung sari. Aku berlari terus sepanjang jalan dalam kekelaman subuh. Batu-batu tidak membuat aku kehilangan keseimbangan dan kekelaman dengan bebas membuka jalan di depanku. Aku sampai ke suatu tempat yang melebar dan menuju sebuah dusun kecil Yasuoka. Di sana tumbuh sebatang pohon keyaki besar. Batang pohon keyaki itu basah karena embun. Aku bersembunyi di bawah pohon itu menunggu sepeda Uiko datang dari arah kampung. Aku tidak tahu apa yang hendak kulakukan setelah menunggu itu. Aku datang berlari ke situ sampai kehabisan nafas, tapi kini setelah aku beristirahat dalam kelindapan pohon keyaki aku sendiri tidak tahu apa yangmau kuperbuat. Aku sudah terlalu lama hidup terlepas dari dunia luar, dan kadang-kadang aku mengira, begitu aku melompat ke dunia luar, maka segalanya akan mudah dan segalanya jadi mungkin. Nyamuk menggigit kakiku. Aku mendengar ay am berkokok di sana-sini. Aku memandang dengan tajam ke ujung jalan. Di kejauhan tampak sesuatu yang putih dan samar-samar. Kukira itu adalah warna pagi, tapi nyatanya Uiko. la menaiki sepedanya. Lampunya dinyalakan. Sepeda itu meluncur tanpa suara. Aku berlari keluar dari balik pohon keyaki itu lalu berdiri menghadang sepeda itu. Sepeda berhenti di depanku. Lalu aku merasa diriku berobah jadi batu. Kemauanku, keinginanku " semuanya jadi batu. Dunia luar kehilangan hubungan dengan dunia dalamku, lalu mulai kembali mengepung aku dan mengambil bentuk wujud yang jelas. "Aku" yang tadi menyelinap dari rumah pamannya, yang telah mengenakan sepatu olahraga putih dan berlari sepanjang jalan ini dalam gelap fajar hingga sampai ke bawah pohon keyaki " "si aku" itu hanya membuat batinnya sendiri lari ke mari dengan kecepatan penuh. Di atap-atap kampung yang sosok hitamnya kini muncul dalam kegelapan pagi, di pohon-pohon hitam, di puncak Bukit Aoba yang hitam, ya, bahkan di tempat di mana Uiko kini berdiri di hadapanku, yang ada hanya ketiadaan arti yang lengkap dan mengerikan. Sesuatu telah menganugerahkan kenyataan pada segalanya ini tanpa menunggu ikut sertanya aku; dan kenyataan gelap Pyang bukan kepaJang besar dan tak punya arti ini, diberikan padaku. dipaksakan padaku. dengan sesuatu kekuatan yang sampai saat itu belum pernah kusaksikan. Sebagai biasa, aku merasa bahwa satu-satunya yang dapat menyelamatkan aku dari keadaan itu, hanya kata-kata. Ini adalah suatu kesalahfahamanku yang khas. Pada saat diperlu-kan tindakan, aku tenggelam dalam kata-kata; karena kata-kata begitu susah keluar dari mulutku hingga aku begitu sibuk dengannya dan dengan demikian lupa pada tindakan sama sekali. Aku merasa bahwa tindakan yang merupakan Isesuatu yang mengagumkan dan serba beragam, harus disertai oleh kata-kata yang sama mengagumkan dan sama serba ragamnya. Aku tidak menatap apa pun jua. Aku ingat, Uiko mula-mula ketakutan, tapi setelah ia mengetahui diriku, ia hanya melihat ke mulutku. Kukira, ia melihat ke lbbang gelap kecil konyol itu, lobang kecil yang buruk rupa dan penuh kotoran -bagai sarang hewan-hewan kecil di tengah padang. dan yang kini mengerut-ngerut tanpa arti dalam cahaya pertama sinar pagi " ia hanya melihat ke mulutku. Dan setelah merasa puas, karena tidak satu kekuatan pun yang akan muncul dari mulut itu yang bisa menghubungkan aku dengan dunia luar, ia merasa lega. "Aduh!" katanya. "Ada-ada saja yang kaulakukan. Orang gagap seperti kau!" Suara Uiko membawa kesegaran dan kesopanan angin pagi. Ia membiinyikan lonceng sepeda lalu kembali menaikkan kaki ke atas pedal. Ia bersepeda mengitari aku, seperti mengelakkan sebuah batu di tengah jalan. Biarpun tidak ada orang lain, Uiko dengan marah membunyikan lonceng sepedanya berulang kali, dan sambil menjauh aku dapat mendengar bunyi itu menggema di seberang padang-padang jauh. Malam itu, sebagai hasil pengaduan Uiko, ibunya datang ke rumah pamanku. Pamanku yang biasanya begitu ramah, memaki aku dengan kasar sekali. Waktu itu aku mengutuk Uiko dan mendoakan supaya dia mati; beberapa bulan kemudian kutukan itu terlaksana. Semenjak itu aku yakin sekali akan kekuatan kutukan. Siang malam aku mendoakan supaya Uiko mati. Aku ingin supaya orang yang menyaksikan kehinaanku hilang. Jika tidak ada lagi saksi, maka aibku akan terhapus dari permukaan bumi. Orang lain adalah saksi semua. Jika tidak ada orang lain, rasa malu tidak akan lahir di dunia ini. Apa yang tampak padaku dalam pandangan Uiko, di balik matanya yang bercahaya bagai air dalam cahaya pagi yang kelam, adalah dunia orang lain " yaitu, dunia orang lain yang tidak akan pernah membiarkan kita dan yang selalu siap jadi sejawat dan saksi kejahatan kita. Orang lain harus dihancurkan semua. Supaya aku dapat menghadapi matahari sewajarnya, maka dunia sendiri harus dihancurkan . . . Dua bulan setelah Uiko mengadukan aku, ia mengundurkan-diri dari pekerjaannya di Rumah Sakit Angkatan Laut dan tinggal di rumah. Di kampung terdengar bermacam-macam cerita burung. Lalu, pada akhir musim gugur, terjadilah kecelakaan itu. Kami tidak pernah mengira bahwa seorang disertir dari Angkatan Laut akan bersembunyi di kampung kami. Pada suatu hari, kira-kira tengah hari seorang anggota kempei-tai " polisi militer " datang ke kantor kampung kami. Tapi kedatangan kempei bukanlah hal yang jarang terjadi dan karena itu orang tidak memberikan perhatian khusus pada kunjungan itu. Hari itu adalah hari yang cerah menjelang akhir Oktober. Seperti biasa aku mengikuti pelajaran di sekolah, sudah itu menyelesaikan pekerjaan rumahku di malam hari lalu bersiap-siap hendak tidur. Waktu mau mematikan lampu, aku memandang ke luar jendela dan mendengar orang berlarian di jalan kampung; mereka kedengarannya terengah-engah bagai sekawanan anjing. Aku turun. Bibi dan Paman sudah bangun dan kami semua keluar bersama-sama. Salah seorang kawan sekolahku berdiri di pintu masuk rumah. Matanya terbuka sebesar-besarnya karena kaget. "Kempei baru saja menangkap Uiko," teriaknya pada kami. "Dia sekarang di sana. Mari kita lihat!" Aku mengenakan sandalku, lalu berlari. Malam itu adalah malam terang bulan yang indah dan di sana-sini di sawah-sawah yang baru dipanen tumpukan-tumpukan padi membuat bayang-bayang yang jelas di tanah. Di balik setumpuk pepohonan aku dapat melihat gerakan-gerakan sekumpulan sosok hitam. Uiko duduk di tanah mengenakan baju hitam. Wajahnya pucat pasi. Sekelilingnya berdiri beberapa orang kempeitai dan orang tuanya. Salah seorang kempei itu memegang sesuatu yang mirip dengan kotak makanan sambil berteriak-teriak. Ayah Uiko memaling-kan muka dari sebelah ke sebelah, sekali mint a maaf pada kempei itu, sekali menyesali anaknya. Ibunya bersimpuh di atas tanah sambil menangis. Kami menonton kejadian itu dari ujung sawah. Jumlah penonton makin lama makin banyak dan bahu -mereka bersentuhan tanpa suara dalam kelam. Di atas kepala kami tergantung bulan, begitu kecil, seolah-olah ia baru diperas. Kawan sekolahku membisikkan penjelasan ke telingaku. Rupa-rupanya Uiko sudah pergi diam-diam dari rumahnya membawa kotak berisi makanan dan bermaksud untuk pergi ke kampung sebelah tatkala ia ditangkap oleh kempei yang sudah siap menghadangnya. Jelas ia bermaksud memberikan kotak berisi makanan pada disertir itu. Uiko menjadi akrab dengan disertir itu waktu ia masih bekerja di Rumah Sakit Angkatan Laut hasil dari keakraban ini, Uiko mengandung, lalu dikeluarkan. Kempei sekarang lagi menanyai dia tentang tempat persembunyian disertir itu, tapi Uiko tetap duduk tanpa bergeser biar sejari pun dan tetap berkeras kepala tidak mau bicara. Sementara aku, aku hanya dapat menatap wajah Uiko tanpa mengerdip-ngerdipkan mata. la kelihatan seperti seorang perempuan gila yang tertangkap. Dalam cahaya bulan wajahnya membisu. Sampai saat itu belum pernah aku melihat wajah yang begitu penuh dengan ketengkaran. Aku mengira, bahwa wajahku adalah wajah yang ditolak oleh dunia, tapi kini wajah Uiko menolak dunia. Cahaya bulan tertumpah tanpa kasihan ke atas keningnya, matanya, tulang hidungnya, pipinya tapi wajahnya yang kaku hanya disapu oleh cahaya. Sekiranya ia menggerakkan mata atau mulutnya, biarpun sedikit, maka dunia yang ingin ia tolak, akan menanggapi ini sebagai isyarat untuk masuk bergelombang ke dalam dirinya.
Aku memandang nanap sambil menahan nafas. Aku memandang pada sebuah wajah yang riwayatnya dihentikan pada titik ini, dan yang tidak mengungkapkan apa pun jua baik mengenai kelampauan maupun keakanan. Kadang-kadang wajah seperti itu kita lihat pada tunggul kayu yang baru ditebang. Biarpun penampang pohon itu masih berwarna segar dan muda, di saat itu semua pertumbuhan berhenti sudah; ia tersingkap bagi angin dan matahari, terhadapnya ia mesti tak membukakan diri; ia tiba-tiba diungkapkan pada sebuah dunia yang aslinya bukan dunianya " dan pada 19 penampang ini yang dilukis oleh urat-urat kayu yang indah, kita melihat sebuah wajah yang aneh. Sebuah wajah yang dihadapkan begitu rupa kepada dunia ini supaya ia menolak-nya . . . Waktu itu aku teringat, bahwa tidak akan pernah lagi ada saat, baik dalam hidup Uiko maupun dalam hidupku sendiri, si penonton, di mana wajahnya memperoleh kecantikan seperti pada saat itu. Tapi umur kecantikan itu tidak selama seperti mula-mula kukira. Karena perobahan tiba-tiba terjadi pada wajahnya yang cantik itu. Uiko bangkit. Aku merasa seolah-olah saat itu ia ketawa. Aku seakan-akan merasa dapat melihat giginya yang putih berkilauan dalam cahaya bulan. Aku tidak bisa bercerita lebih banyak tentang perobahan ini; karena, waktu Uiko berdiri, maka wajahnya menjauh dari cahaya bulan dan tenggelam dalam bayang-bayang pepohonan. Sayang sekali aku tidak dapat melihat perobahan yang terjadi pada Uiko pada saat ia memutuskan untuk ber-khianat. Sekiranya aku sempat melihat semuanya sampai ke perincian yang paling kecil, mungkin dalam diriku tumbuh kesediaan untuk memberikan maaf pada orang, suatu ke-sediaan yang akan dapat memaafkan segala macam keburukan. Uiko menunjuk ke arah gua Gunung Kahara di kampung sebelah. "Ah, jadi ia ada di Kuil Kongo-!" teriak kempei itu. Lalu aku diresapi oleh suatu kegembiraan seperti pada anak-anak yang berpesta. Kempei itu memutuskan membagi rombongannya menjadi beberapa kelompok, lalu mengepung Kuil Kongo dari segala arah. Penduduk kampung diminta agar membantu. Bersama beberapa orang anak aku mengikuti kelompok pertama. Uiko berjalan di depan kami sebagai 20 penunjuk jalan. Aku heran melihat ketabahan yang diperlihat-kan langkah-langkahnya waktu ia berjalan mendahului kami menyusuri jalan setapak yang diterangi bulan, didampingi oleh kempei. Kuil Kongo itu sebuah tempat yang masyhur. Ia didirikan di sebuah gua gunung kira-kira lima belas menit perjalanan dari dusun Yasuoka dan terkenal karena pohon kaya yang ditanam ojeh Pangeran Takaoka dan karena pagoda bertingkat tiga yang indah dan kata orang dibangun oleh Hidari Jingoro. Pada waktu musim panas kami sering pergi ke sana untuk mandi di pancuran di balik bukit. Dinding kuil utama terleSfek di pinggir sungai. Rumput pampas tumbuh dengan tebalnya pada bungkah-bungkah tanah yang pecah dan bulir-bulirnya yang berwarna putih bersinar terang dalam kelam. Dekat gerbang kuil utama itu sasanqua sedang berbunga. Rombongan kami berjalan menyusuri sungai tanpa suara. Balai Kuil Kongo berada di atas kami. Jika jembatan kayu balok kita seberangi maka pagoda bertingkat tiga itu akan berada di sebelah kanan; di sebelah kiri terbentang hutan dengan dedaunan musim gugur dan di kedalaman pepohonan itu menjulang tangga berjumlah seratus lima yang tertutup lumut. Tangga itu dibuat dari batu cadas dan licin sekali. Sebelum menyeberangi jembatan kayu balok itu, kempei berpaling ke belakang dan memberi isyarat supaya rombongan kami berhenti. Menurut kata orang dahulu di sini ada sebuah gerbang Dewa yang dibangun oleh pemahat-pemahat termasyhur Unkei dan Tankei. Lepas batas ini, bukit-bukit Lembah Kujuku termasuk wilayah Kuil Kongo. Kami menahan nafas. Kempei menyuruh Uiko jalan terus. Ia menyeberangi jembatan kayu balok itu sendiri dan setelah beberapa saat kami menyusul. Bagian bawah tangga batu itu terbungkus dalam bayang-bayang, tapi yang di sebelah atas bermandikan cahaya bulan. Kami menyembunyikan diri di sana-sini di antara anak tangga terbawah tangga itu. Dedaunan mulai mengambil wama karat musim gugur, tapi dalam cahaya bulan semuanya kelihatan hitam. Balai utama Kuil Kongo berada di puncak tangga itu. Dari situ ada sebuah beranda menuju sebuah balai kosong, yang kelihatannya seolah-olah dirancang untuk pertunjukan tari-tarian Kagura yang suci. Balai kosong ini dibangun dengan mencontoh panggung Kuil Kiyomizu: ia menjorok ke atas bukit dan ditopang dari bawah dengan sejumlah tiang dan palang-palang yang saling berhubungan. Balai, beranda dan rangka kayu yang menopangnya kini sudah hisuh oleh angin dan hujan. Semuanya itu berkilat putih bersih bagai kerangka. Jika dedaunan telah beroleh wama Iengkap musim gugur, coraknya yang merah akan berpadu dengan indah sekali dengan bangunan putih bagai kerangka ini; tapi pada waktu malam rangka kayu yang sudah putih itu, kelihatan penuh rahasia dan memukau dalam cahaya bulan. Disertir itu rupa-rupanya menyembunyikan diri dalam balai di atas panggung. Kempei bermaksud menangkapnya dengan mempergunakan Uiko sebagai umpan. Kami, para saksi penangkapan yang segera akan terjadi, menyembunyikan diri dan menahan nafas. Biarpun udara dingin malam akhir bulan Oktober memeluk aku, pipiku rasanya terbakar. Uiko menaiki keseratus lima anak tangga batu cadas itu, seorang diri. Angkuh bagai perempuan gila. Raut wajahnya yang putih dan cantik menonjol antara baju hitamnya dan rambut hitamnya. 22 Di tengah-tengah bulan dan bintang, di tengah-tengah awan malam, di tengah-tengah bukit-bukit, yang berbatasan dengan langit, dengan sosok pohon-pohon sedar runcingnya yang indah, di tengah-tengah bacak-bacak bulan yang berbintik- bintik, di tengah-tengah gedung-gedung kuil yang menjulang putih kemilau lepas dari kegelapan sekitarnya " di tengah-tengah semua ini, aku mabuk oleh kecantikan yang jernih dari pengkhianatan Uiko. Gadis itu memang pantas untuk menaiki tangga putih itu seorang diri, dengan bangga membusungkan dada. Pengkhianatannya sama dengan bintang dan bulan dan pohon sedar yang berpucuk runcing. Dengan kata lain, dia hidup dalam dunia yang sama seperti kami, para saksi: dan dia menerima alam yang mengitari kami semua. Dia menaiki tangga itu sebagai utusan kami. Dan aku terpaksa berfikir dengan nafas sesak: "Dengan pengkhianatannya itu ia akhirnya juga menerima aku. Kini ia milikku!" Pada titik tertentu, apa yang kita sebut peristiwa, menghilang dari ingatan kita. Uiko yang menaiki keseratus lima anak tangga batu berlumut itu tetap tinggal dalam penglihatanku. Aku merasakan seolah-olah ia menaiki anak-anak tangga itu untuk selama-lamanya, tak berkeputusan. Tapi mulai dari titik itu, ia mulai berobah sama sekali. Mungkin karena Uiko yang menaiki tangga itu mengkhianati aku, mengkhianati kami, sekali lagi. Mulai dari titik itu, ia tidak lagi menolak dunia secara keseluruhan. Juga tidak ia terima secara keseluruhan. Ia menyerahkan diri pada tertib kehangatan hati semata; ia merendahkan dirinya ke tingkat seorang wanita yang telah memberikan dirinya hanya pada satu orang lelaki. Oleh karena itulah maka aku bisa mengingat apa yang terjadi sesudah itu, seolah-olah ia merupakan sebuah 23 gambaran yang dilukiskan dalam sebuah lito kuno. Uiko menyusuri beranda lalu memanggil ke dalam, ke kegelapan balai kuil. Sosok tubuh seorang laki-laki muncul. Uiko mengatakan sesuatu padanya. Orang itu membidikkan sepucuk pistol ke arah tangga batu lalu menembak. Tembakan balasan kempei datang dari sebalik semak yang terdekat. Lelaki itu sudah siap untuk menembak lagi waktu Uiko berbalik ke arah beranda dan mulai melarikan diri. Lelaki itu melepaskan tembakan beberapa kali berturut-turut ke punggung Uiko. Uiko rebah. Lelaki itu mengarahkan mulut pistol ke pelipisnya sendiri lalu menembak sekali lagi. Mula-mula kempei, sesudah itu semuanya berlari naik tangga menuju kedua mayat itu. Aku tinggal tenang bersembunyi dalam bayang-bayang dedaunan musim gugur. Rangka kayu putih kuil itu, yang disusun bertumpuk-tumpuk ke segala arah, menjulang di atas kepalaku. Suara telapak orang menyusuri lantai papan beranda di atasku berkurang perlahan-lahan. Cahaya suluh yang silang-menyilang, melewati terali beranda dan mengenai dahan-dahan kekayuan yang berdaun merah. Satu-satunya perasaanku ialah bahwa semuanya ini ber-langsung pada masa yang sudah lama lampau. Orang-orang yang berkulit tebal baru kaget kalau mereka sudah betul-betul melihat darah. Tapi pada saat darah ditumpahkan, tragedi itu sudah selesai. Aku tertidur. Waktu aku bangun, kulihat semua orang sudah pergi. Mereka rupa-rupanya sudah lupa padaku sama sekali. Udara ramai dengan kicau burung, dan matahari pagi bersinar langsung menembus dedaunan pepohonan yang ada di sekitarku. Gedung kerangka yang berada di atasku seolah-olah hidup kembali setelah matahari meneranginya dari bawah. Dengan tenang dan bangga kuil itu menjorokkan balai kosongnya ke dalam lembah yang 24 penuh daun merah. Aku berdiri menggigil, lalu menggosok-gosok badanku untuk memperbaiki jalan darahku. Hanya kedinginan yang tinggal dalam tubuhku. Satu-satunya yang tinggal ialah rasa din gin. *** Selama liburan musim semi tahun berikutnya, Ayah datang berkunjung ke rumah Paman. Ia mengenakan jubahnya di luar seragam orang sipil dalam masa perang. Ia mengatakan, bahwa ia mau mengajak aku ke Kyoto untuk beberapa hari. Penyakit lama Ayah kelihatan makin parah dan aku terkejut melihat keadaannya yang kian memburuk. Bukan hanya aku, tapi Paman dan Bibi, semuanya berusaha membujuk Ayah supaya jangan melakukan perjalanan itu, tapi ia tak mau menghiraukan kami. Setelah kurenung-renungkan kemudian, aku sadar bahwa Ayah ingin memperkenalkan aku pada Pendeta Kepala Kuil Kencana selama ia masih hidup. Tentu saja berkunjung ke Kuil Kencana adalah sesuatu yang sudah bertahun-tahun kumimpikan, tapi aku tidak senang bepergian dengan Ayah, yang dengan segala usahanya yang tabah, pasti memberikan kesan pada setiap orang yang melihatnya bahwa ia sakit keras. Dengan makin dekatnya waktu bagiku untuk berhadap-hadapan dengan Kuil Kencana yang belum pernah kulihat itu, dalam diriku timbul semacam keraguan. Apa pun yang terjaJL=yang paling penting ialah Kuil Kencana itu harus^ itu aku mempertaruhkan segalanya bukar; obyektif kuil itu sendiri, tapi lebih lagi membayangkan keindahannya. Aku sudah diberi tahu segala-galanj dengan Kuil Kencana itu, artinya sejauh yang bisa dimengerti oleh seorang anak seumur aku. Dalam sebuah kitab tentang seni kubaca penjelasan berikut tentang sejarah kuil itu. "Asyikaga Yosyimitsu (1358 " 1408) mengambil alih kediaman keluarga Saionji dan merobahnya menjadi sebuah gedung yang besar sekali. Gedung u tarn any a berisikan bangunan-bangunan Budhis, seperti misalnya tempat benda-benda keramat, Ruang Api Suci, Ruang Pengakuan dan Hosui-in; dan bagian-bagian yang bisa didianii seperti Syinden, Ruang Para Barrgsawan, Ruang Pertemuan, Menara Tenkyo, menara kecil Kolioku, Ruang Izumi dan Anjungan Kansetsu. Ruang Benda Keramat adalah ruang yang dibangun paling teliti dari semua gedung itu dan inilah yang kemudian disebut Kuil Kencana. Sulit sekali untuk menentukan sejak kapan ia untuk pertama kalinya diberi nama Kuil Kencana, mungkin sekali setelah Perang Ojin (1467 - 1477). Pada zaman Bummei (1469 " 1487) nama ini sudah menjadi nama yang biasa dipakai. "Kuil Kencana itu sebuah bangunan menara bertingkat tiga yang menghadap sebuah telaga sebuah taman, Kolam Kyoko. Mungkin sekali bangunan ini sudah diselesaikan kira-kira dalam tahun kelima Oei (1398). Kedua tingkat bawah dibangun menurut gaya syinden-zukuri arsitektur dalam negeri dan dilengkapi dengan kisi-kisi lipat, tapi tingkat paling atas terdiri dari ruang berukuran delapan belas kaki dibangun dengan gaya Zen yang murni. Atapnya yang terbuat dari kulit kayu sipres, dibuat dalam gaya hokei-zukuri dan dimahkotai dengan seekor burung funiks emas-tembaga. Ruang Tsuri dengan atap berbentuk anjung menonjol keluar menghadap ke telaga dan meniadakan kesenadaan seni bangunan lain di sekitarnya. Atap Kuil Kencana itu melandai sedikit dan terbuat dari kayu yang berurat-urat halus. 26 Rangkanya ringan dan anggun. Inilah karya agung arsitektur taman, di mana gaya tempat tinggal dibangun sesuai dengan gaya Budhis. Dengan demikian kuil ini mengungkapkan selera Asyikaga Yosyimitsu yang menerima kebudayaan Istana Kaisar se penuh hati dan yang serasi sekali dengan suasana zaman itu. "Setelah kematian Yosyimitsu, Ruang Kitayama dijadikan biara Zen sesuai dengan kehendak Yosyimitsu dan disebut sebagai Rokuonji. Kemudian bangunan-bangunan ini dipin-dahkan ke tempat lain atau dibiarkan lapuk.
Karena nasib baik, Kuil Kencana tetap utuh . . ." Bagai bulan yang tergantung di langit malam, Kuil Kencana itu dibangun bagai perlambang dari masa kegelapan. Oleh karena itu perlulah bagi Kuil Kencana impianku untuk dirawaki oleh kegelapan dari semua arah. Dalam kegelapan ini tiang-tiang gedung yang indah dan ramping itu tetirah dengan tenang dan mantap, dan memancarkan suatu cahaya guram dari dalam. Apa pun kata-kata yang disampaikan orang pada Kuil Kencana itu, ia harus tetap berada di sana dengan hening, memperagakan bangunannya yang rapuh pada mata dunia dan menahankan kegelapan yang menyungkupnya. Aku juga sering memikirkan burung funiks emas-tembaga yang memahkotai atap Kuil Kencana itu dan tetap seperti sediakala setelah bertahun-tahun dihadapkan pada cuaca. Burung emas ajaib ini tidak pernah berkokok di waktu fajar, tidak pernah mengepak-ngepakkan sayap " ya, bahkan tak sangsi lagi ia sendiri sudah lupa sama sekali bahwa ia seekor burung. Sungguhpun begitu tidaklah benar kalau kita katakan bahwa burung itu tidak menimbulkan kesan burung yang sedang terbang. Burung lain terbang di udara, tapi funiks emas ini terbang abadi mengatasi waktu dengan sayapnya yang berkilauan. Waktu telah memukul sayap itu. Waktu memukul sayap lalu mengambang surut. Supaya terbang, funiks itu membatu, dengan tatapan amarah di matanya, sambil menegakkan sayapnya ke atas, mengipas-ngipaskan bulu ekomya, dan mengunjurkan kaki emasnya yang agung dengan berani sekali. Kalau pikiranku sudah mengarah ke situ, maka Kuil Kencana itu kelihatan olehku bagai sebuah kapal yang indah menempuh lautan waktu. Kitab-kitab seni menyebut "gedung-gedung berangin dengan dhiding tak memadai", dan ini juga tergambar oleh khayalku dalam bentuk sebuah kapal. Telaga yang dihadapi oleh kapal pesiar yang rumit dan bertingkat tiga ini dapat dianggap sebagai lambang laut. Kuil Kencana itu telah menempuh jalannya dalam malam yang luas. Perjalanan yang akhirnya tidak bisa diketahui. Pada siang hari, kapal aneh ini menjatuhkan jangkarnya dengan sikap polos dan memberikan dirinya untuk ditonton oleh orang banyak; tapi jika malam datang, gelap yang melingkupinya memberikan pada kapal ini suatu kekuatan baru lalu ia berlayar, dengan atap yang berkibar-kibar bagai layar besar. Tidaklah berkelebihan kalau dikatakan bahwa masalah pertama yang kuhadapi dalam hidupku ialah masalah keindahan. Ayahku hanya seorang pendeta desa yang bersahaja, miskin dalam perbendaharaan kata, dan ia mengajarkan padaku, bahwa "di dunia ini tidak ada yang seindah Kuil Kencana." Kalau kuingat bahwa keindahan telah turun ke dunia ini tanpa kuketahui, aku merasa gelisah dan kesal. Kalau keindahan betul ada maka hidupku sendiri adalah sesuatu yang terasing dari padanya. Tapi bagiku Kuil Kencana itu tidak pernah hanya sekadar gagasan. Gunung-gunung menyembunyikannya dari penglihatanku, tapi jika aku ingin memandang, kuil itu 28 selalu ada di sana untuk kukunjungi dan kulihat. Jadi keindahan adalah suatu benda yang dapat kita sentuh dengan jari, yang dapat dipantulkan dalam mata dengan jelas. Aku tahu dan aku yakin, bahwa di tengah-tengah semua perobahan dunia, Kuil Kencana itu akan tetap aman dan tidak berobah. Kadang-kadang aku menganggap Kuil Kencana itu sebagai sebuah hasil karya yang kecil dan rapuh yang dapat kugenggam dalam tanganku; juga, kadang-kadang aku mengingatnya sebagai sebuah katedral yang besar dan menakutkan yang membubung ke udara tanpa batas. Sebagai anak kecil aku tidak membayangkan keindahan sebagai sesuatu yang besar atau kecil, tapi di antara keduanya. Hingga kalau aku melihat sekuntum kembang musim panas yang kecil dan mandi embun, yang seolah-olah luput dari cahaya, mereka kurasakan indah bagai Kuil Kencana. Dan jika awan hitam mengandung halilintar bermukim dengan perkasa di balik bukit, dengan hanya pinggirannya yang menyala seperti emas, maka kecemerlangannya mengingatkan aku pada Kuil Kencana. Akhirnya begitu rupa hingga kalau aku melihat wajah yang cantik, maka kesamaan ini terlintas lagi dalam kepalaku: "cantik bagai Kuil Kencana." Perjalanan itu menyedihkan. Kereta Maizuru bertolak dari Maizuru Barat menuju Kyoto melewati Ayabe dan berhenti di semua stasiun kecil seperti Makura dan Uesugi. Gerbong kotor, dan waktu kami sampai ke Jurang Hozu dan kereta mulai memasuki terowongan satu demi satu, maka tanpa ada ampun asap masuk ke dalam gerbong hingga Ayah batuk terus-menerus. Kebanyakan penumpang punya hubungan dengan Angkatan Laut. Gerbong kelas tiga penuh dengan keluarga yang pulang habis mengunjungi bintara-bintara, pelaut dan pekerja-pekerja gudang senjata yang ditugaskan di Maizuru. 29 Aku melihat ke langit musim semi yang berawan dan berwarna timah lewat jendela. Aku memandang pada jubah yang dipakai Ayah di luar seragam sipilnya. dan ke dada seorang perwira muda yang kekar, yang seolah-olah membusung sepanjang bans kancing-kancing bajunya yang disepuh. Aku merasa seolah-olah ditempatkan antara kedua orang itu. Tidak lama lagi, jika umurku sudah cukup maka kau akan dipanggil masuk tentara. Tapi aku tidak pasti, bahwa biarpun aku dipanggil, apa aku bisa hidup patuh pada kewajibanku bagai bintara yang ada di depanku. Pendeknya sekarang ini aku berada di antara dua dunia. Biarpun aku masih muda, aku sadar di balik keningku yang buruk dan tengkar, bahwa dunia maut yang dikuasai ayahku dan dunia kehidupan yang ditempati oleh orang-orang muda dipersatukan oieh peperangan. Aku sendiri mungkin sekali akan jadi seorang penengah. Jika aku tewas dalam peperangan, maka jelas bahwa tidak menjadi soal sedikit pun jua jalan yang mana yang kupilih di antara kedua jalan yang kini terbentang depan mataku. Aku berusaha membantu ayahku waktu ia batuk. Sekali-sekali aku melihat Sungai Hozu sekilas di luar jendela. Warnanya biru tua, hampir-hampir berat, bagai wama sulfat tembaga yang dipergunakan dalam percobaan kimia. Setiap kali kereta itu keluar dari terowongan, Jurang Hozu kelihatan atau tampak jauh sekali atau tak terkira-kira dekatnya pada jalan kereta api. Dengan dikitari oleh batu-batu yang hcin, ia memutar mesin bubutnya yang berwarna biru tua terus-menerus. Ayah membawa kepalan-kepalan nasi putih dalam kotak makanannya dan ia merasa malu untuk membukanya di depan orang lain dalam gerbong. "Ini bukan beras pasar gelap," katanya. "Ini pembcrian 30 kebaikan hati jemaahku. Aku boleh memakannya dengan rasa syukur dan gembira." Ia bicara begitu rupa sehingga bisa didengar setiap orang dalam gerbong, tapi waktu dia betul-betul mulai makan ia hampir-hampir tak sanggup menghabiskan satu kepalan nasi yang kecil. Aku tidak merasa bahwa kereta tua penuh jelaga ini betul-betul menuju kota. Aku merasa ia menuju stasiun kematian. Begitu fikiran ini masuk ke dalam otakku, maka setiap kali kami melewati terowongan asap yang memenuhi gerbong itu menyebarkan bau tempat pembakaran mayat.
Biar bagaimanapun, waktu aku akhirnya berdiri depan Gerbang Somon Rokuonju, jantungku berdebar-debar. Kini aku akan melihat sesuatu yang terindah di dunia ini. Matahari mulai turun dan bukit-bukit dicadari kabut. Beberapa pengunjung melewati gerbang hampir-hampir pada saat yang sama seperti aku dan Ay all. Di sebelah kanan gerbang kelihatan tempat lonceng, dikitari oleh kumpulan pohon-pohon pruim yang masih berkembang. . Sebatang pohon eik tua tumbuh di depan Balai Utama. Ayah berdiri di jalan masuk lalu minta izin untuk masuk. Pendeta Kepala mengirimkan pesan bahwa ia lagi sibuk menerima tamu dan meminta supaya kami mau menunggu sebentar. "Mari kita pergunakan kesempatan ini untuk melihat berkeliling dan meninjau Kuil Kencana," kata Ayah. Ayah rupanya mau memperlihatkan padaku bahwa di tempat ini ia banyak sedikit punya pengaruh, lalu ia mencoba melewati pintu masuk pengunjung tanpa membayar karcis 31 masuk. Tapi baik' penjual karcis dan benda-benda keagamaan maupun pemeriksa karcis di pintu sudah berganti semenjak Ayah swing datang berkunjung ke mari, kira-kira sepuluh tahun yang lalu. "Lain kali kalau aku datang lagi," kata Ayah dengan air muka dingin, "mereka tentu sudah diganti lagi." Tapi aku merasa Ayah tidak lagi percaya pada "lain kali" ini. Aku berjalan tergopoh-gopoh mendahului Ayah, hingga aku hampir-hampir berlari. Aku dengan sengaja berkelakuan seperti anak kecil yang periang (hanya pada saat seperti itulah " hanya jika aku memperlihatkan tingkah-tingkah yang disengaja " aku memberikan kesan seorang anak). Kuil Kencana yang begitu kuimpi-impikan waktu itu memperagakan seluruh bentuknya padaku dengan cara yang paling mengecewakan. Aku berdiri di pinggir Telaga Kyoko dan di seberang air Kuil Kencana memperlihatkan bagian depannya dalam matahari tenggelam. Sosei tersembunyi jauh lebih ke kiri. Kuil Kencana menjatuhkan bayang-bayang yang sempurna di atas permukaan telaga, di mana ganggang dan daun-daun tetumbuhan air mengambang. Bayang-bayang itu lebih cantik dari gedung itu sendiri. Matahari tenggelam membuat pantulan air beriak pulang-balik di pinggiran atap ketiga tingkat. Dibandingkan dengan cahaya yang ada di sekitarnya, pantulan belakang pinggiran atap itu terlalu cerah dan menyilaukan; Kuil Kencana itu memberikan kesan padaku seolah-olah ia membengkokkan diri ke belakang dengan angkuh. "Bagaimana pendapatmu?" tanya Ayah. "Indah sekali, kan" Tingkat pertama disebut Hosui-in, yang kedua Choondo, dan yang ketiga Kukyocho." Ayah meletakkan tangannya yang penyakitan dan kurus itu pada bahuku. Aku merobah sudut pandanganku beberapa kali lalu membengkokkan kepalaku ke pelbagai arah. Tapi kuil itu tidak menimbulkan keharuan dalam diriku. Ia tidak lebih dari sebuah gedung bertingkat tiga, kecil, gelap, tua. Burung funiks yang ada di puncak atap kelihatan seperti seekor gagak yang hinggap di sana untuk beristirahat. Gedung itu tidak saja tidak indah kulihat, tapi aku malahan merasakan suatu kejanggalan dan kegelisahan. Apa mungkin keindahan bisa begitu tidak indah seperti ini" Sekiranya aku seorang anak biasa yang rendah hati dan tekun, maka aku akan menyesali kekuranganku untuk menghargai keindahan sebelum aku begitu cepat jadi putus asa. Tapi rasa perih karena merasa diri ditipu oleh sesuatu yang begitu kuharapkan menghilangkan semua pertimbang-anku. Aku berpendapat mungkin Kuil Kencana itu memakai semacam samaran untuk menyembunyikan keindahannya yang sebenarnya. Bukankah masuk akal bahwa untuk melindungi diri dari orang banyak, keindahan itu menipu orang yang mengamatinya" Aku harus mendekati Kuil Kencana itu; aku harus teliti semuanya, detil demi detil, dan melihat hakikat keindahannya dengan mataku. Karena aku hanya percaya pada keindahan yang dapat dilihat dengan mata, maka sikapku kala itu adalah wajar sekali. Dengan sikap penuh hormat Ayah kini membawa aku ke beranda terbuka Hosui-in. Mula-mula aku memperhatikan model Kuil Kencana yang dikerjakan dengan baik sekali dan disimpan dalam sebuah peti kaca. Model ini menyenangkan hatiku. Ia lebih dekat pada Kuil Kencana impianku. Waktu mengamati gambar kecil Kuil Kencana yang begitu sempurna dalam kuil besar itu sendiri, aku teringat pada serentetan hubungan yang tinibul, jika sebuah jagat kecil ditempatkan 33 dalam jagat besar dan jika jagat yang lebih kecil lagi ditempatkan dalam jagat kecil itu. Untuk pertama kali aku sanggup bermimpi. Tentang Kuil Kencana kecil yang lebih kecil dari model ini; dan tentang Kuil Kencana yang jauh lebih besar dari gedung sebenarnya " begitu besar, hingga ia membungkus dunia. Tapi aku tidak terus-menerus berdiri di depan model itu. Berikutnya Ayah membawa aku ke patung kayu Yosyemitsu, yang merupakan sebuah kekayaan nasional yang terkenal. Patung ini dikenal sebagai Rokuinden-Miciyoshi, sesuai dengan nama yang diambil Yoshimitsu waktu ia mencukur kepalanya. Juga ini dalam mataku merupakan gambaran yang tak lebih dari sesuatu yang aneh, penuh abu, dan aku sama sekali tidak merasakan keindahan dalamnya. Selanjutnya kami naik ke Choondo, di tingkat dua untuk melihat lukisan loteng, yang dicipfakan oleh Kano Masanobu, yang memperlihatkan malaikat-malaikat lagi bermain musik. Di tingkat ketiga, Kukyocho. aku melihat sisa-sisa daun emas yang menyedihkan, yang dulu melapisi seluruh bagian dalam. Dalamnya pun aku tidak bisa menemui keindahan. Aku bersandar pada teralinya yang kecil lalu memandang ke bawah dengan fikiran lena, ke kolam yang kini lagi disinari matahari senja. Permukaan air kelihatan sebagai sebuah cermin, sebagai sebuah cermin tembaga kuno yang diberi tahi perunggu; dan bayang-bayang Kuil Kencana jatuh langsung ke atas permukaan ini. Langit senja terbayang di air, jauh di bawah ganggang dan tetumbuhan air. Langit berbeda dari yang ada di atas kepala kami. Langit itu jernih dan penuh dengan cahaya yang teduh; dari bawah dan dari dalam, ia menelan seluruh dunia bumi kita ini, dan Kuil Kencana tenggelam ke dalamnya bagai sebuah jangkar besar dari emas murni yang kini sudah jadi hitam karena karat. 34 Bapa Tayama Dosen, Pendeta Kepala kuil ini, adalah sahabat Ayah dulu waktu mereka bersama-sama belajar di sebuah biara Zen. Mereka bermukim selama tiga tahun di biara itu dan selama itu mereka tinggal bersama-sama. Kedua anak muda itu mengikuti sekolah khusus di Kuil Sokoku (yang juga didirikan di bawah Shogun Yosyimitsu) dan setelah melewati berbagai upacara kuno mazhab Zen lama, mereka diangkat jadi pendeta. Tapi selain itu, aku mendengar dari Bapa Dosen, lama kemudian, pada suatu waktu, selagi ia bercakap-cakap dengan aku dengan hati riang, bahwa ayahku dan dia tidak saja bersama-sama melewati masa-masa latihan yang berat, tapi pada suatu malam setelah waktu tidur mereka memanjat dinding biara bersama-sama lalu pergi mencari perempuan lacur dan menyenang-nyenangkan diri.
Ayah dan aku, setelah kami selesai meninjau kuil itu, kembali ke pintu masuk Balai Utama. Kami diantarkan melalui sebuah ruang yang panjang dan luas sekali ke kantor Pendeta Kepala, yang berada di perpustakaan besar yang menghadap ke taman dengan pohon-pohon tusam tua yang termasyhur. Di sana aku duduk lurus dan kaku dalam seragam sekolahku, tapi ^yah tiba-tiba kelihatannya santai sekali. Biarpun ayahku dan Pendeta Kepala itu dilatih di sekolah Zen yang sama, lahiriah mereka sangat berbeda sekali. Ayah kurus karena penyakitnya, kelihatan miskin, kulitnya kering dan seperti bubuk. Sebaliknya Bapa Dosen kelihatan seperti kue merah jambu. Di atas mejanya terletak tumpukan bungkusan yang belum dibuka, majalah-majalah, buku-buku dan surat-surat yang dikirimkan dari seluruh pelosok negeri dan yang memperlihatkan betapa makmurnya kuil ini. Ia . mengambil gunting dengan jari-jarinya yang gemuk lalu membuka salah sebuah bungkusan. 35 "Kue kiriman orang dari Tokyo," demikian ia menjelaskan. "Sekarang ini jarang sekali kita bisa bertemu kue. Kabarnya kedai-kedai tidak lagi mendapat pembagian dan semuanya dikirim ke balatentara atau ke kantor-kantor pemerintah." Kami minum teh Jepang yang nikmat sekali dan makan semacam kue kering Barat yang belum pernah kumakan. Makin tegang aku makin banyak remah yang jatuh dari kue itu ke atas celana hitamku yang berkilat. Ayah dan Pendeta Kepala melampiaskan kejengkelannya karena tentara dan pejabat-pejabat hanya menaruh perhatian pada kuil Syinto dan tidak memperdulikan kuil Budha -bukan saja tidak memperdulikan. malah sebenarnya mereka menindas: lalu mereka membicarakan bagaimana cara terbaik untuk mengurus tata usaha kuil di masa depan. Pendeta Kepala itu seorang yang tarn bun. Memang wajahnya kerut-merut, tapi setiap kerut boleh dikatakan tidak memperlihatkan bekas. Wajahnya bundar, tapi hidungnya panjang, hingga kita mendapat kesan bahwa darah yang mengalir dari dalamnya entah bagaimana telah membeku. Biarpun wajahnya kelihatan lapang, kepalanya yang dicukur memberikan kesan sempit. Kita merasa seakan-akan semua dayanya bertumpuk di kepala itu: kepala itu mirip dengan kepala he wan. Percakapan kedua pendeta itu kini pindah pada masa-masa mereka sekolah bersama. Aku memandang ke Pohon Tusam Kapal Layar yang ada di taman. Pohon ini dibentuk dengan merendahkan cabang-cabang sebatang tusam besar dan kemudian mengikatnya bersama dalam bentuk sebuah kapal, sedangkan ranting-ranting di haluannya diarahkan ke tingkat yang lebih tinggi dari yang lain-lainnya. Serombongan pengunjung rupa-rupanya datang sejenak sebelum jam tutup dan aku bisa mendengar dengung suara datang dari arah 36 Kuil Kencana di seberang dinding. Bunyi langkah dan suara mereka diserap oleh udara senja musim semi; bunyi yang mereka perdengarkan lembut dan berdengung, tanpa sudut-sudut yang tajam. Lalu waktu langkah mereka kedengaran surut bagai pasang, langkah-langkah itu terasa olehku seperti bunyi langkah manusia yang melewati bumi. Aku menatap funiks yang ada di puncak Kuil Kencana; ia menghisap sisa-sisa cahaya senja. "Sekarang anak ini . . ." waktu mendengar kata-kata Ayah, aku berpaling padanya. Dalam kamar yang hampir-hampir gelap itu, Ayah berhasil menyerahkan masa depanku pada Bapa Dosen. "Barangkali aku tidak akan lama lagi hidup," kata Ayah. "Aku minta supaya kau sedia mengurus anak ini jika sudah sampai waktunya." Biarpun ia seorang rohaniawan dan sudah biasa menghibur orang dalam keadaan seperti ini, Bapa Dosen tidak mengucapkan kata-kata yang menghibur buat persoalan ini tapi menjawab dengan ringkas: "Baiklah, aku akan mengurus dia." Yang betul-betul mengherankan aku, ialah bagaimana sesudah itu mereka saling bertukar lelucon tentang kematian berbagai pendeta terkenal. Salah seorang daripadanya mati sambil berkata: "Oh, aku tidak mau mati!" Yang lain mengakhiri hidupnya dengan kata-kata Goethe: "Minta cahaya!" Sedangkan pendeta termasyhur lainnya rupa-rupanya asyik menghitung uang biara sampai saat ia menghembuskan nafas penghabisan. Kami diundang makan malam, yang oleh orang Budha disebut "obat" dan sesudah itu- disiapkan segala yang diperlukan supaya kami dapat menginap malam itu di biara. Sehabis makan aku membujuk Ayah untuk melihat Kuil 37 Kencana itu sekali lagi. Karena bulan sudah terbit. Ayah sangat sekali resah oleh pertemuannya lagi dengan Pendeta Kepala itu setelah sekian tahun dan ia sudah lelah sekali; tapi waktu ia mendengar aku bicara tentang Kuil Kencana, ia keluar bersama aku, sambil bernafas berat dan bertopang pada bahuku. Bulan naik dari pinggir-pinggir Gunung Fudo. Bagian belakang Kuil Kencana menampung cahayanya. Gedung itu seolah-olah melipat bayang-bayangnya yang rumit dan gelap untuk akhirnya menyingkir dengan tenang; hanya bingkai jendela Kato di Kukyocho yang membiarkan bayang-bayang bulan yang licin menyelinap ke dalam gedung. Kukyocho tidak memiliki dinding yang baik, hingga cahaya bulan yang pucat seolah-olah menemui permukimannya di sini. Dari Pulau Ashiwara kedengaran teriakan burung malam waktu mereka terbang ke kejauhan. Tangan Ayah yang kurus di atas bahuku terasa berat menekan. Waktu aku berpaling sekilas ke bahuku, kulihat dalam cahaya bulan bahwa tangan Ayah sudah berobah menjadi kerangka. *** Setelah aku kembali ke Yasuoka, Kuil Kencana yang pada penglihatan pertama sangat mengecewakan aku, mulai menumbuhkan keindahannya dalam diriku dari ke hari, hingga akhirnya ia jadi Kuil Kencana yang jauh lebih indah daripada sebelum ia kukunjungi. Aku tidak; Aisa mengatakan di mana letak keindahan itu. Rupa-rupanya apa yang diasuh dalam mimpiku kini sudah jadi kenyataan dan kini pada gjlirannya dapat dipergunakan sebagai pendorong untuk impian selanjutnya.
Kini aku tidak lagi mencari ilusi Kuil Kencana dalam alam dan dalam benda-benda yang mengelilingi aku. Selangkah demi selangkah Kuil Kencana itu mulai berwujud lebih dalam dan lebih kukuh dalam diriku. Setiap tiangnya, setiap jendela Kato, atapnya, burung funiks di puncaknya, mengambang dengan jelas di mataku, seolah-olah aku dapat menyentuhnya dengan tanganku. Bagian terkecil biara itu berpadu dengan baik sekali dengan seluruh bangunan. Rasanya seperti kita mendengar beberapa nada musik lalu sesudah itu seluruh ciptaan itu mengalir ke dalam jiwa kita: bagian mana pun dari Kuil Kencana itu yang kupilih, keseluruhan gedung itu bergema dalam diriku. "Memang benar waktu Ayah menceritakan padaku bahwa Kuil Kencana adalah benda paling indah di seantero dunia ini." Demikian aku menulis pertama kali pada Ayah dalam sepucuk surat. Setelah mengantarkan aku kembali ke rumah pamanku, Ayah segera kembali ke kuilnya yang terletak di tanjung yang terpencil. Seolah-olah sebagai jawaban untuk suratku, sepucuk kawat datang dari ibuku, mengatakan bahwa Ayah mengalami pendarahan dan sudah meninggal. 39 Bab Dua ^J^^^^^^^ DENGAN meninggalnya ayah berakhirlah masa kanak-kanakku yang sebenarnya. Aku selalu heran melihat kenyataan, bahwa masa kanak-kanakku begitu miskin akan apa yang dikatakan orang, perhatian pada sesama manusia. Waktu aku sadar bahwa aku sama sekali tidak merasa sedih karena kematian Ayah, maka keheranan itu berobah menjadi suatu emosi yang tiada berdaya, yang tidak lagi bisa digolongkan pada sekedar rasa heran. Aku buru-buru pergi ke kampung Ayah dan waktu aku sampai ia sudah terbaring dalam peti mati. Aku berjalan sampai ke Uchiura dan sudah itu naik kapal selama sehari penuh menyusuri Teluk Nariu. Waktu itu adalah bagian tahun yang sangat panas sebelum musim hujan, dan dari hari ke hari matahari bersinar terik. Segera setelah aku melihat jenazah Ayah, maka peti itu dibawa ke tempat pembakaran mayat di tanjung yang lengang untuk dibakar di pinggir pantai. Meninggalnya pendeta kuil pedesaan adalah suatu peristiwa yang bukan biasa. Ia tidak biasa karena ia terlalu tertib. Seorang pendeta dapat kita katakan menjadi pusat kejiwaan sebuah distrik, pengawal kehidupan jemaahnya, tempat mempercayakan kehidupan nanti di alam baka. Dan orang itu kini sudah meninggal dalam kuilnya. Ia seolah-olah melakukan tugasnya terlalu baik; seolah-olah orang yang 40 kerjanya mengajarkan bagaimana caranya mati kini memberikan pertunjukan umum tentang hal itu dan oleh karena suatu kekeliruan ia sendiri ikut mati. Peti Ayah rupanya sudah diletakkan di tempat yang terlalu sempurna, di mana segalanya sudah dipersiapkan untuk menerimanya. Ibuku, pendeta muda, dan seluruh jemaah berdiri di depan peti sambil menangis. Pendeta muda itu membaca sutra dengan nada terantuk-antuk seolah-olah ia masih tergantung pada petunjuk Ayah yang kini terbaring dalam peti di hadapannya. Wajah Ayah tertimbun di bawah bunga-bunga pertama musim panas. Ada sesuatu yang tidak enak pada kesegaran luar biasa bunga-bunga itu. Rasanya seakan-akan mengintip ke lunas sebuah sumur. Karena wajah orang mati jatuh ke suatu kedalaman di bawah permukaan yang dimiliki wajah itu selama ia hidup, hingga yang bisa dilihat oleh mereka yang tinggal tidak lebih dari bingkai sebuah topeng; ia jatuh begitu dalam hingga ia tidak bisa lagi ditarik ke permukaan. Wajah orang mati dapat menceritakan pada kita dengan lebih baik dari apa saja di dunia ini betapa jauhnya kita dari wujud bentuk lahir yang sebenarnya, bagaimana mustahilnya kita mengetahui terwujudnya keadaan itu. Baru kali inilah aku dihadapkan pada keadaan seperti ini, suatu keadaan di mana ruh dirobah oleh kematian menjadi wujud lahir semata; dan kini aku merasa bahwa setahap demi setahap aku mulai mengerti kenapa kembang musim semi, matahari, mejaku, gedung sekolah, pinsil - ya semua bentuk lahir - selalu terasa dingin olehku, selalu terasa seakan-akan berwujud jauh dari diriku. Ibu dan anggota-anggota jemaah lainnya kini memperhatikan pertemuanku yang terakhir dengan Ayah. Tapi hatiku yang keras, tidak mau menerima kesamaan dengan negeri orang 41 hidup yang dikiaskan oleh kata "pertemuan". Karena ini sama sekali bukan pertemuan; aku hanya sekadar memandang pada wajah Ayah yang sudah mati. Mayat itu hanya dipandangi. Dan aku hanya memandang. Untuk menyadari bahwa memandang (perbuatan memandang pada seseorang, seperti yang biasa dilakukan orang tanpa kesadaran khusus) adalah bukti yang begitu jelas dari hak-hak mereka yang hidup, dan bahwa memandang ini bisa merupakan pengutaraan kekejaman " semuanya ini kini kuhayati sebagai pengalaman yang hidup. Demikianlah anak muda ini, yang tidak pernah menyanyi dengan suara keras, yang tidak berlari sambil berteriak-teriak sekuat-kuatnya, menyadari fakta perwujudannya sendiri. Biarpun dalam banyak hal aku tidak memiliki keberanian moral, aku kini sama sekali tidak merasa malu untuk meng-hadapkan wajah yang cerah dan bebas dari air mata pada mereka yang berkabung itu. Kuil itu terletak di atas karang yang menghadap ke laut. Di belakang tamu-tamu penguburan, awan musim panas berkumpul di atas permukaan Laut Jepang dan menghalangi pandanganku. Pendeta kini mulai membacakan sutra Zen khusus guna mengjringi pemindahan jenazah yang juga kuikuti. Ruang besar kuil itu gelap. Merawal-merawal yang digantung antara tiang-tiang, hiasan-hiasan bunga di tempat suaka, tempat pedupaan dan jambangan-jambangan " semuanya berkilauan dengan cemerlang karena cahaya pantulan dian suci. Sekali-sekali angin laut bertiup ke dalam kuil menggembungkan lengan jubah pendeta yang kupakai. Waktu aku membaca sutra, aku tak pernah lupa pada sosok awan musim panas karena mereka memancarkan cahaya yang menyilaukan ke sudut mataku. Seberkas cahaya keras tak habis-habisnya mengalir dari 42 luar kuil ke sebuah sisi wajahku. Alangkah cerah cahayanya " yang menghina! Waktu arak-arakan penguburan hanya tinggal beberapa ratus langkah lagi dari tempat pembakaran kami ditimpa hujan. Untunglah kami kebetulan berada di depan rumah seorang anggota jemaah yang mampu, sehingga kami dapat berteduh bersama peti mati itu. Hujan kelihatannya tidak akan reda. Barisan harus jalan terus. Karena itu kami semua mendapat alat-alat pelindung hujan dan setelah menutupi peti dengan secarik kain minyak, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat pembakaran.
Tempat ini berada di pantai kecil yang penuh karang di sebuah tanjung yang menjulur ke laut di sebelah tenggara kampung. Ruap-rupanya tempat ini sudah dari zaman dulu dipergunakan untuk pembakaran mayat, karena asapnya dari sini tidak menyebar ke rum all-rum ah. Di tempat ini laut garang sekali. Sementara gelombang-gelombang besar bergulung ke pantai, meninggi dan memecah, permukaan laut yang gelisah tak henti-hentinya diterpa oleh tetesan hujan. Dalam kegelapan, hujan dengan tenang selalu menerpa permukaan air, tanpa memperdulikan keriuhan bunyi. Tapi sekali-sekali setiupan angin tiba-tiba menghembuskan hujan ke karang-karang terpencil. Lalu karang putih itu jadi hitam seolah sebuah semburan besar tinta telah dihembus-kan padanya. Kami melalui sebuah terowongan lalu sampai ke tempat yang dituju. Sementara pekerja-pekerja mempersiapkan pembakaran, kami tinggal dalam terowongan supaya jangan kena hujan. Aku sendiri tidak bisa melihat laut. Yang ada hanya gelombang dan batu-batu hitam yang basah dan hujan. Setelah mereka menuangkan minyak pada kayu ringan peti 43 itu, maka hujan membadai. Mereka membakarnya. Pembagian minyak terbatas, tapi karena ini adalah penguburan pendeta kampung, mereka berhasil memperoleh persediaan yang cukup, hingga kini nyala api bergulat melawan hujan dan menjulang ke udara dengan bunyi seperti cambuk yang dilecutkan. Biarpun hari siang, lidah api yang terang jelas sekali kelihatan di tengah-tengah asap yang tebal. Asap naik ke atas bergumpal-gumpal dan kemudian menyebar sedikit demi sedikit ke arah batu karang; lalu pada saat tertentu lidah api naik dengan sendirinya dengan sempurna di tengah-tengah hujan. Tiba-tiba kedengaran bunyi yang mengerikan seolah-olah sesuatu sedang robek. Tutup peti itu terpelanting. Aku memandang pada lbu yang berdiri di dekatku. la berdiri sambil memegang untaian tasbih di kedua tangannya. Wajahnya kaku sekali, kelihatannya begitu kecil dan beku, hingga ia rasa-rasanya bisa digenggam dalam telapak tangan. Sesuai dengan keinginan Ayah, maka aku berangkat ke Kyoto lalu jadi murid di Kuil Kencana. Masa itu aku ditasbihkan jadi rohaniwan di bawah Pendeta Kepala. Ia menyediakan perongkosan sekolahku, sebagai imbalan, aku melayani dia dan mengerjakan pekerjaan rumahnya. Keduduk-anku sama dengan apa yang dalam kehidupan orang awam disebut seorang pelajar yang terikat dinas. Aku sadar, begitu aku bekerja di biara " setelah kepala asrama kami yang keras dipanggil masuk tentara " maka yang tinggal hanya orang-orang tua dan mereka yang terlalu muda. Bagiku merupakan hal yang melegakan, dilihat dari banyak sudut, untuk berada di sini. Aku tidak lagi diejek 44 karena aku anak pendeta seperti yang dilakukan oleh pelajar-pelajar Sekolah Menengah; karena di sini semua murid berada dalam kedudukan yang sama. Satu-satunya perbedaan ialah karena aku gagap dan karena aku sedikit lebih buruk dari yang lain-lainnya. Pendidikanku di Sekolah Menengah Maizuru Timur terhenti sebelum aku tamat dan berkat bantuan Bapa Tayama Dosen diusahakanlah hingga aku bisa melanjutkan pelajaran di Sekolah Menengah Akademi Rinzai. Di sana aku akan mulai sekolah pada semester musim gugur, yang akan mulai dalam jangka waktu kurang dari satu bulan. Tapi aku tahu, bahwa begitu aku mulai di sekolah baruku, aku akan dimobilisasikan untuk kerja wajib di beberapa pabrik. Aku kini berhadapan dengan sekelompok keadaan baru dalam hidupku. Aku masih punya beberapa minggu, sisa liburan musim panas. Liburan musim panas di masa berkabung; liburan musim panas yang tertekan aneh selama tahap terakhir peperangan dalam tahun 1944. Hidupku sebagai seorang rohaniwan berjalan lancar, dan jika kukenang kini, aku merasa bahwa ini adalah liburan sebenarnya yang terakhir dalam hidupku. Aku masih bisa mendengar bunyi jangkrik dengan jelas. Kuil Kencana, yang kini kulihat kembali setelah beberapa bulan, terkapar damai dalam cahaya akhir hari-hari musim panas. Karena baru memasuki lingkungan rohaniwan, maka kepalaku dicukur. Aku merasa udara cocok sekali dengan kepalaku; aku merasakan suatu perasaan yang berbahaya sekali, yaitu bahwa fikiran yang berwujud dalam kepalaku dihubungkan dengan gejala-gejala dunia luar oleh sebuah selaput tunggal kulit yang peka dan rapuh. Kalau aku memandang ke Kuil Kencana dengan kepala baruku ini, aku merasa gedung itu memasuki diriku, tidak saja Iewat mataku, tapi juga lewat kepalaku. Tepat seperti kepalaku 45 memberikan reaksi pada matahari dengan merasa panas, dan pada angin malam dengan tiba-tiba merasa sejuk. "Akhirnya aku berhasil juga untuk tinggal di sampingmu, Kuil Kencana!" Aku berbisik dalam hati dan untuk beberapa saat aku berhenti menyapu dedaunan. "Tak usah dengan segera, tapi aku minta supaya kau sudi bersahabat dengan aku dan membukakan rahasiamu padaku. Aku merasa bahwa kecantikanmu hampir-hampir belum bisa kulihat. Aku minta, tolong perlfhatkan Kuil Kencana sebenarnya lebih jelas dari-pada gambaranmu yang kulihat dalam hatiku. Selanjutnya, jika kau betul-betul begitu cantik hingga di dunia ini tidak ada yang bisa dibandingkan dengan kau, tolong ceritakan padaku kenapa kau begitu cantik, apa perlunya kau begitu cantik." Semasa musim panas itu Kuil Kencana seolah-olah mempergunakan kabar-kabar peperangan yang buruk yang sampai pada kami dari hari ke hari sebagai semacam alas tempat ia bisa bersinar dengan lebih cemerlang dari selama ini. Dalam bulan Juni orang Amerika mendarat di Saipan dan tentara Serikat maju melampaui ladang-ladang di Normandia. Jumlah pengunjung berkurang sekali dan Kuil Kencana seolah-olah menikmati kesunyian ini, keheningan ini. Wajar sekali kalau peperangan dan kekacauan, tumpukan mayat dan bencah darah, memperbesar keindahan Kuil Kencana. Karena kuil ini didirikan oleh kekacauan. Ia dibangun oleh sejumlah pemilik yang berhati kelam di antaranya terdapat seorang jenderal. Desain tiga tingkatnya yang sama sekali tidak dikoordinasikan, di mana seorang ahli sejarah sent hanya bisa melihat adonan dari segala macam gaya, pasti lahir secara wajar dari pencaharian suatu gaya yang dapat mengendapkan semua kekacauan yang melingkunginya. Sekiranya ia dibangun menurut suatu gaya tunggal, maka Kuil Kencana ini tidak akan sanggup melingkupi kekacauan itu dan pasti sudah lama runtuh. Sungguhpun begitu, aku merasa aneh, jika setiap kali aku menengadah menatap Kuil Kencana sambil menopangkan tanganku pada sapu, bahwa gedung ini berwujud di hadapanku. Kuil Kencana yang kulihat waktu aku menginap semalam di sini pada kunjunganku yang terakhir dengan Ayah, tidak memberikan perasaan itu padaku. Kini bagiku tidak mudah untuk percaya bahwa Kuil Kencana ini akan selalu ada di sini, di hadapan mataku, sementara tahun demi tahun berlalu. Waktu aku memikirkannya semasa aku masih di Maizuru, aku merasa bahwa kuil ini tegak untuk selama-lamanya di salah sebuah sudut Kyoto; tapi setelah aku tinggal di sini, ia hanya muncul di hadapan mataku kalau aku lagi memandang padanya, dan jika aku tidur di ruang utama maka ia berhenti berwujud. Oleh karena itu beberapa kali sehari aku pergi melihat Kuil Kencana, suatu hal yang membuat sesama murid di sana ketawa. Aku selalu heran kuil itu masih ada di sana, dan tatkala aku kembali ke ruang besar setelah memperhatikan gedung itu baik-baik, aku merasa jika aku tiba-tiba berbalik dan melihat kembali, maka bentuk-nya akan sirna seperti Euridise. *#* Setelah aku selesai menyapu sekeliling Kuil Kencana, aku pergi ke bukit yang ada di belakang untuk mengelakkan matahari pagi yang terasa makin lama makin terik, lalu mendaki jalan setapak menuju Yukatei. Waktu itu kuil masih belum dibuka dan orang tidak ada sama sekali. Sebuah formasi pesawat tempur, mungkin sekali dari skwadron angkatan udara di Maizuru, terbang di atas, melayang rendah di atas Kuil Kencana, lalu menghilang sambil meninggalkan bunyi suara yang menekan. Di bukit-bukit di belakang ada sebuah kolam lengang penuh dengan ganggang, dan disebut Yasutamizawa. Di tengah kolam itu ada sebuah pulau kecil dan di pulau itu berdiri Shirahebizuka, sebuah menara batu bertingkat lima. Udara pagi yang mengitarinya riuh dengan suara burung; tidak seekor pun dari burung-burung itu yang kelihatan, tapi seluruh hutan riuh karenanya. Rumput musim panas tumbuh bergumpal-gumpal besar depan kolam. Jalan setapak itu terpisah dari rumput oleh sebuah pagar rendah. Di sampingnya berbaring seorang anak laki-laki yang mengenakan kemeja putih. Sebuah garpu bambu tersandar pada sebatang pohon mapel rendah, tak jauh dari situ. Anak itu mengangkat tubuhnya dengan kekuatan yang begitu rupa hingga ia seolah-olah mencongkel sebuah lobang dalam udara musim panas yang lembut yang mengambang di atas kami; tapi waktu ia melihat aku ia hanya berkata: "Oh, kau rupanya?" Aku baru tadi malam diperkenalkan pada anak ini. Namanya Tsurukawa dan ia berasal dari sebuah biara yang kaya di pinggiran kota Tokyo. Ia dilengkapi secukupnya oleh kehiarganya dengan bekal untuk sekolah, uang kantong dan uang makan, dan ia masuk Kuil Kencana berkat hubungan tertentu dengan Pendeta Kepala, supaya ia dapat menjalankan latihan bagj seorang calon pendeta biasa. Ia pulang waktu liburan musim panas dan kembali kemarin sore ke Kyoto. Tsurukawa bicara dengan langgam Tokyo yang fasih dan bagus. Ia akan memasuki Sekolah Menengah Akademi Rinzai musim gugur yang akan datang di kelas yang sama dengan aku, dan tadi malam aku sudah ia bingungkan dengan caranya 48 berbicara yang gembira dan cepat. Waktu aku mendengar dia mengatakan "Oh, kau," mulutku kehilangan kata-kata. Rupa-rupanya keheninganku ia artikan sebagai semacam kritik. "Tidak apa-apa. Kita tidak perlu menyapu semuanya dengan teliti. Jika pengunjung datang tempat ini bagaimanapun juga akan kotor lagi. Lagi pula sekarang ini tidak begitu banyak pengunjung." Aku ketawa singkat. Ketawaku ini, yang sering kuperdengar-kan secara tak sadar, rupa-rupanya membuat orang berasa senang padaku. Jadi aku tidak selalu bisa bertanggung jawab atas kesan-kesan terperinci yang kuberikan pada orang lain. Aku memanjat pagar lalu duduk di sebelah Tsurukawa. Lengannya membengkok membelit kepalanya dan aku melihat bahwa biarpun bagian luarnya agak terbakar oleh matahari, bagian dalam begitu putih hingga kita bisa melihat urat-urat nadinya yang terbayang menembus kulit. Sinar matahari pagi mengalir di celah-celah pohon dan menebarkan bayang-bayang hijau muda di atas rumput. Naluriku mengatakan bahwa anak ini tidak akan mencintai Kuil Kencana seperti aku. Karena ikatanku pada biara ini seluruhnya berakar pada keburukan mukaku. "Kata orang ayahmu sudah meninggal," kata Tsurukawa. "Ya." Tsurukawa memalingkan matanya dengan cepat ke samping lalu berkata, tanpa berusaha untuk menyembunyikan bagaimana asyiknya berfikir secara kekanak-kanakan: "Mengapa kau begitu senang pada Kjiil Kencana, karena ia mengingatkan kau pada ayahmu, ya kan" Maksudku, misalnya, jika kau memandang padanya, kau ingat bagaimana senangnya ayahmu padanya." Aku puns juga karena pemikirannya yang separuh benar 49 itu sama sekali tidak menimbulkan perobahan apa-apa pada wajahku yang lesu. Rupanya Tsurukawa membagi-bagi perasaan manusia dengan tepat sekali dalam laci-laci yang ia simpan dalam kamarnya, bagai seorang anak membagi-bagi berbagai jenis serangga; dan sekali-sekali ia merasa senang untuk mengeluarkan mereka untuk kepentingan percobaan yang agak praktis. "Kau sedih sekali karena kematian ayahmu, kan" Karena itu kau memberikan kesan sunyi. Aku sudah mengira begitu semenjak aku ketemu kau untuk pertama kalinya tadi malam." Ucapan-ucapannya sama sekali tidak membuat aku jengkel. Malahan, perasaannya yang mengatakan bahwa aku kelihatan sunyi memberikan padaku kebebasan dan kedamaian fikiran tertentu, lalu kata-kata ini meluncur dengan mudahnya dari mulutku: "Tapi itu sama sekali tidak perlu disedihkan." Tsurukawa melihat padaku sambil menyikat alis matanya yang begitu panjang hingga rupa-rupanya menghalangi pandangan. "Oh, oh!" katanya. "Jadi kau rupanya benci pada ayahmu, kan" Atau setidak-tidaknya kau tidak sayang padanya." "Aku tidak benci padanya dan juga bukannya tak sayang padanya." "Kalau begitu kenapa kau tak sedih?" "Entahlah, pendeknya begitulah adanya. Aku sendiri juga tidak mengerti." Setelah dihadapkan pada masalah rumit ini, Tsurukawa duduk lurus di atas rumput.
"Kalau begitu," katanya, "kau tentu pernah mengalami rasa sedih yang lain." "Aku betul-betul tidak tahu," jawabku. Setelah mengatakan itu, aku bertanya dalam hatiku kenapa aku begitu senang menimbulkan keraguan dalam fikiran SO orang lain. Kalau menurut aku, sama sekali tidak ada keraguan. Kejadian itu cukup jelas: perasaanku rusak karena kegagapan-ku. Mereka tidak pernah bisa muncul tepat pada saatnya. Akibatnya, aku merasakan kematian Ayah dan kesedihanku sebagai dua hal yang terpisah, yang tidak punya hubungan atau sangkut-paut sama sekali. Sedikit ketidaksesuaian waktu, sedikit keterlambatan, serta-merta membuat perasaanku dan kejadian yang kualami tadi kembali kepada hubungan yang terpisah-pisah, yang menurut hematku merupakan hakikat yang sebenarnya. Jika aku sedih, maka dukacita menyerangku secara tiba-tiba dan tanpa alasan: ia tidak punya hubungan dengan kejadian mana pun dan alasan apa pun. Lagi-lagi aku berakhir dengan kegagalan untuk menjelaskan ini pada kawan baruku yang duduk di hadapanku. Akhirnya Tsurukawa ketawa. "Kau betul-betul aneh," katanya. Perutnya yang tertutup kemeja putih berkerut-kerut karena ketawa. Sinar matahari yang tertumpah melalui dahan-dahan pepohonan yang berbuai membuat aku merasa bahagia. Seperti kemeja anak muda yang berkerut itu, begitulah juga halnya dengan hidupku. Tapi biarpun berkerut, kemejanya itu putih sekali kelihatannya dalam cahaya matahari! Siapa tahu aku juga begitu" *** Kuil meneruskan riwayatnya sesuai dengan adat biasa mazhab Zen dan membiarkan dunia luar berjalan sendiri. Karena musim panas kami tidak pernah bangun lebih lambat dari pukul lima. Bangun, disebut "membuka peraturan". Begitu kami bangun kami mulai dengan "tugas pagi" membaca sutra. Ini disebut "tiga Ulangan" dan kami membacanya tiga kali. Sesudah itu maka biara kami sapu dan lantai 51 Pkami pel. Lalu sarapan yang disebut "pesta bubur." Kami makan bubur sambil mendengarkan pembacaan sutra pesta bubur yang khusus. Sehabis sarapan kami melakukan "tugas-tugas" seperti mencabut rumput, membersihkan taman dan membelah kayu. Sesudah itu, kalau bukan di masa libur, tibalah saatnya bagi kami masing-masing untuk berangkat ke sekolah. Segera setelah pulang sekolah, kami dapat "obat" atau makan malam. Dan kadang-kadang ini disusul oleh ceramah Pendeta Kepala tentang kitab-kitab suci. Pukul sembilan datang saat "membuka bantal", artinya, waktu tidur. Begitulah acara setiap hari dan setiap hari isyarat untuk bangun bagiku adalah bunyi lonceng yang dibunyikan oleh pendeta yang bertanggung jawab atas dapur dan upacara-upacara makan. Mestinya yang tinggal di Kuil Kencana, yaitu Rokuonji, berjumlah dua belas orang. Tapi sebagai akibat dari dinas wajib militer dan kerja paksa, penghuni yang ada, di samping penunjuk jalan (yang sudah berumur tujuh puluh tahun), perempuan tukang masak (yang sudah berumur enam puluh tahun) Pengetua dan Wakil Pengetua, cuma kami, tiga orang murid atau santri. Orang-orang tua itu sudah hijau seperti lumut dan hanya separuh hidup, sedangkan kami yang muda sebetulnya masih anak-anak. Pengetua sibuk dengan masalah pembukuan kuil yang disebut sebagai "tugas tambahan". Beberapa hari sesudah kedatanganku, aku diberi tugas untuk mengantarkan koran ke kediaman Pendeta Kepala (yang kami panggjl "guru tua"). Koran itu datang setiap hari kira-kira pada saat kami selesai dengan bermacam tugas pagi, termasuk mencuci. Bagi kelompok murid yang kecil seperti kelompok kami mengepel setiap gang yang ada di kuil yang memiliki lebih kurang tiga puluh buah kamar dalam 52 jangka waktu yang begitu singkat adalah berat sekali. Begitu aku selesai, aku pergi ke pintu masuk untuk mengambil koran, lalu menyeberangi ruang depan dan Ruang Utusan, dan berjalan mengitari Ruang Tamu, kemudian masuk sebuah gang yang berada di tengah, terus ke Perpustakaan Besar tempat Guru Tua lagi menunggu. Gang-gang itu masih basah karena baru dipel, dan di tempat-tempat yang terdapat lekukan-lekukan lantai papan, genangan air berkilauan dalam sinar matahari pagi dan membasahi kakiku sampai ke mata kaki. Karena waktu itu masih musim panas, hal ini memberikan perasaan menyenangkan bagiku. Lalu aku berlutut di luar perpustakaan dan berseru: "Apa saya boleh masuk, Bapa?" "Yah!" jawabnya. Sebelum melangkah ke dalam terlebih dulu kakiku yang basah kuseka dengan pinggir jubahku, suatu kepintaran yang kupelajari dari kawan-kawanku. Aku sadar akan bau dunia luar yang segar dan kuat yang datang dari cetakan koran itu, lalu aku melihat untuk membaca induk-induk berita secara diam-diam: "Apa ibukota Kemaharajaan mungkin akan mengalami pemboman?" Barangkali kedengarannya an eh, tapi sampai saat itu belum pernah terfikir olehku untuk menghubungkan Kuil Kencana dengan serangan udara. Semenjak Saipan jatuh, serangan-serangan udara ke negeri Jepang tidaklah bisa dielakkan dan para penguasa mendesak untuk melaksanakan rencana pengungsian sebagian penduduk Kyoto; sungguhpun begitu, bagiku tidak ada hubungan antara perwujudan Kuil Kencana yang separuh abadi dan bencana serangan udara. Aku merasa bahwa biara yang pada hakikatnya tidak bisa hancur itu dan kekuatan ilmiah api tentu sadar akan perbedaan mutlak antara sifat-sifat mereka, dan dengan demikian, sekiranya mereka sampai bertemu, dengan sendirinya mereka 53 akan menyelinap dan saling menjauhi. Tapi sungguhpun begitu tetap ada bahaya Kuil Kencana itu terancam oleh pern bom an dalam suatu serangan udara yang mungkin tidak akan lama lagi terjadi. Memang, jika keadaan terus-menerus begird, maka Kuil Kencana pasti berobah menjadi abu. Semenjak fikiran ini berakar dalam diriku, maka keindahan tragis Kuil Kencana itu sekali lagi bertambah. Waktu itu, suatu sore di akhir musim panas, sehari sebelum sekolah mulai. Pendeta Kepala pergi ke suatu tempat untuk menghadiri suatu upacara peringatan dengan dikawani oleh seorang wakU pengetua. Tsurukawa mengajak aku pergi bersama dia menonton film, tapi karena aku tidak begitu tertarik pada usulnya, ia pun segera kehilangan perhatian: demikianlah sifat Tsurukawa. Setelah mendapat izin pergi selama beberapa jam, kami meningeal kan Ruang Utama, memakai topi pet Sekolah Menengah Akademi Rinzai dan setiwal yang melilit kaki celana kepar kami. Kuil mandi dalam keterikan sinar musim panas dan tak ada seorang pengunjung pun jua. "Ke mana kita?" kata Tsurukawa. Aku menjawab, bahwa sebelum pergi ke suatu tempat, aku ingin melihat Kuil Kencana dengan teliti, karena lusa bagi kami tidak punya lagi kemungkinan melihatnya pada jam seperti sekarang ini, dan selama kami bekerja jauh di pabrik, Kuil Kencana ini mungkin saja terbakar dalam sebuah serangan udara. Aku terantuk-antuk dan tergagap-gagap waktu menjelaskan pendapatku dan Tsurukawa mendengarkan dengan air muka heran dan tak sabar. Begitu aku selesai dengan pidato yang begitu pendek, keringat mengalir di mukaku, seolah-olah aku baru saja mengatakan sesuatu yang memalukan. Tsurukawa adalah satu-satunya orang yang sudah mendengar cerita hubunganku yang aneh dengan Kuil Kencana. Tapi di mukanya tidak ada apa-apa kecuali kesan perasaan khawatir biasa yang telah kukenal di wajah orang yang berusaha memahami kegagapanku. Muka-muka seperti inilah yang menghadapi aku. Jika aku mengungkapkan rahasia penting, jika aku menjelaskan pada orang tentang gema perasaan keindahan yang merasuk ke dalam diriku, jika aku mencoba untuk membuka isi dadaku " yang kuhadapi adalah wajah seperti ini. Ini bukanlah wajah yang biasanya kita perlihatkan pada orang lain. Dengan ketelitian yang sempurna, wajah ini meniru kekhawatiranku yang lucu; ia seakan-akan merupakan sebuah cermin diriku sendiri yang mengerikan. Dalam saat-saat seperti itu, biar bagaimana cantik pun sebentuk wajah, ia akan berobah menjadi buruk, tepat seperti mukaku. Begitu tampak, maka hal penting yang hendak kusampaikan runtuh menjadi sesuatu yang tak penting sama sekali, bagai genting atap. Antara Tsurukawa dan aku terbersit sinar keras cahaya musim panas yang langsung. Sementara menunggu ucapanku berakhir, wajah mudanya berkilat karena gemuk. Setiap alis matanya adalah emas kemilau dalam cahaya matahari dan lobang hidungnya membesar karena panas yang pengap. Aku selesai bicara. Begitu selesai, aku terlanda oleh kemarahan. Sejak aku ketemu Tsurukawa " sekalipun ia belum pernah berusaha memperolok-olokkan aku karena kegagapanku. "Kenapa?" Aku bertanya padanya, dan aku mendesak supaya ia menjelaskan kesabarannya. Seperti telah sering kukemukakan, ejekan dan liinaan lebih menyenangkan bagiku daripada simpati. Sebuah senyuman yang tak bisa dilukiskan lunaknya terbayang di wajah Tsurukawa. "Aku orang yang tidak perduli hal-hal seperti itu," katanya. 55 Aku betul-betul bingung. Karena dibesarkan di Iingkungan pedesaan yang kasar, aku tidak kenal pria seperti iBfe Kelembutan Tsurukawa mengajarkan padaku, bahwa biarpun kegagapanku lenyap dariku, aku masih tetap seperti diriku sendiri. Aku betul-betul merasa nikmat karena ditelanjangi. Mata Tsurukawa yang bertepi bulu mata yang panjang, memisahkan kegagapanku dan menerima aku selebihnya sebagaimana adanya. Sampai saat itu aku mempunyai perkiraan yang aneh, bahwa mengesampingkan kegagapanku sama saja dengan meniadakan suatu perwujudan yang disebut "aku". Aku merasakan suatu keserasian antara perasaan dan suatu rasa bahagia. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika aku tidak pernah bisa melupakan Kuil Kencana seperti yang tampak pada saat itu. Kami berdua Jewat di depan penjaga pintu tua yang terkantuk-kantuk, lalu menyusuri jalan setapak dekat dinding batu yang lengang dan sampai ke depan Kuil Kencana. - Aku masih bisa mengingat keadaan itu dengan jelas. Di sana kami " dua orang anak kecil " tegak bahu-membahu dekat Kolam Kyoko mengenakan baju putih dan kaus kaki panjang. Dan di hadapan kedua anak ini, tidak dipisahkan oleh apa pun juga, menjulang KuiJ Kencana. Di musim panas terakhir ini, di masa libur musim panas terakhir, di hari-hari terakhir liburan, kemudaan kami mengambang terhuyung-huyung ke ujung. Kuil Kencana tegak di ujung yang sama, menghadap kami, bicara pada kami. Sampai sebegitu jauh kekhawatiran akan serangan udara mendekatkan hubungan antara kami dan kuil itu. Cahaya matahari redup akhir musim panas menghiasi atap Kukyocho dengan bungkusan emas, dan cahaya yang tertumpah langsung ke bawah, mengisi Kuil Kencana dengan kegelapan impian. Sampai saat itu kekebalan kuil itu terhadap kehancuran menekan aku dan membuat aku menjauh darinya; tapi . nasibnya yang sudah dekat untuk dibakar oleh sebutir bom pembakar membuat ia menjadi dekat dengan nasib kami. Mungkin sekali Kuil Kencana itu akan hancur sebelum kami. Pada saat itu aku merasa bahwa kuil itu menghadapi kehidupan yang sama seperti kami. Bukit-bukit dengan tusam merah di sekelilingnya diliputi. suara jangkrik, seolah-olah pendeta-pendeta yang tak bisa dihitung dan dilihat oleh mata lagi melagukan seruan untuk memadamkan kebakaran: "Gya gya," nyanyi mereka, "gyaki gyaki, un nun, shifura shifura, harashifura harashifwa\" Tidak lama lagi maka gedung yang indah ini akan dirobah jadi abu, fikirku. Sebagai akibat, gambaran mengenai Kuil Kencana lambat laun menindih kuil itu sendiri sampai bagian-bagiannya yang terkecil seperti tiruan yang kita buat dengan selembar sutera gambar, menindis lukisan asli: atap imajinasiku menindis atap kuil sebenarnya, Sosei di atas Sosei yang menjulur ke kolam, terali dan jendela Kukyocho menindis terali dan jendela. Kuil Kencana tidak lagi merupakan bangunan yang tak bisa dipindahkan. Ia seolah-olah telah dirobah menjadi lambang kerapuhan dunia nyata. Berkat pemikiran begini, kuil yang sebenarnya ternyata tidak kurang indahnya dari gambaran yang ada dalam hatiku. Besok, sebelum kita ketahui, hujan api sudah turun dari langit; maka tiang yang ramping, raut atap yang anggun, akan dihancurkan jadi abu dan kita tidak akan pernah melihatnya lagi. Tapi untuk sementara ia berdiri dengan indahnya depan kami dengan segala bagian-bagiannya yang halus, mandi dalam cahaya yang mirip dengan api musim panas. Di atas rigi-rigi bukit awan perkasa menjulang ke atas, seperti yang pernah kulihat lewat sudut mataku kala sutra dibacakan waktu penguburan Ayah. Mereka berisi semacam cahaya tergenang dan memandang rendah pada bangunan kuil yang rapuh. Dalam cahaya musim panas yang kuat ini, Kuil Kencana seolah-olah kehilangan berbagai bagian bentuknya; ia mempertahankan kegelapan dingin dan murung dan membungkus dirinya dengan garis-garis sosoknya yang ajaib. Ia tidak memperdulikan dunia gemerlap yang mengitarinya. Hanya burung funiks yang ada di atas atap mencekamkan cakamya yang tajam dengan keras di tempat ia berdiri, dan berusaha untuk tidak terhuyung-huyung dalam cahaya matahari. Karena bosan menatap kuil itu lama-lama, Tsurukawa memungut sebuah batu dan dengan ayunan seorang tukang lempar yang bagus batu itu ia lemparkan ke tengah bayang-bayang yang dibuat oleh Kuil Kencana di Kolam Kyoko. Riaknya menyebar melewati ganggang, dan gedung yang indah dan rapuh itu dengan segera pecah berantakan. r Tahun berikut, sampai perang selesai, hubunganku dengan Kuil Kencana itu akrab sekali. Di masa itu aku selalu khawatir tentang keselamatannya dan terpesona oleh keindahannya. Masa itu aku seolah-olah menyentakkan kuil itu ke bawah sampai setingkat dengan aku dan dengan keyakinan demikian aku dapat mencintainya tanpa sedikit pun merasa takut. Pura itu belum lagi memberikan pengaruh buruk atau racun padaku. Aku didorong oleh kenyataan bahwa Kuil Kencana dan aku menghadapi bahaya bersama di dunia ini. Dalam bahaya ini aku menemui penghubung yang dapat menghubungkan aku dengan keindahan. Aku merasa, kini sebuah jembatan sudah didirikan antara aku dan sesuatu yang sampai kini seolah-olah menolak aku, menjauhkan aku.
Aku hampir-hampir mabuk oleh fikiran, bahwa api yang akan menghancurkan aku mungkin juga akan menghancurkan Kuil Kencana. Karena kami terwujud dalam satu kutukan, dalam nasib sumpah-serapah yang sama, maka kuil dan aku kini mendiami dunia yang punya dimensi sama. Laik badanku yang rapuh dan buruk, badan kuil itu, biarpun keras, terdiri dari arang yang bisa menyala. Kadang-kadang rasanya aku dapat melarikan diri dari tempat ini, dan membawa kuil itu dan menyembunyikannya dalam dagingku, dalam seluruh pribadiku " laik seorang pencuri yang menelan sebutir permata yang mahal waktu melarikan diri., Dalam masa setahun itu tidak ada satu sutra pun yang kupelajari dan tidak sebuah buku pun yang kubaca; sebaliknya dari hari ke hari dari pagi sampai malam aku asyik dengan pendidikan moral, latihan, ilmu militer, kerja di pabrik dan latihan untuk pengungsian darurat. Sifatku yang memang sudah cenderung untuk melamun, makin berat mengarah ke situ, dan berkat peperangan, kehklflpan biasa menyusut makin jauh dari aku. Bagi kami anak-anak, peperangan adalah semacam pengalaman yang mirip mimpi yang tidak memiliki ujud, sesuatu yang mirip sebuah terungku di mana kita dipisahkan sama sekali dari arti hidup. Waktu B29 pertama menyerang Tokyo dalam bulan November tahun 1944, orang mengira bahwa Kyoto setiap saat bisa diserang. Lalu secara diam-diam aku berkeinginan supaya seluruh Kyoto dibungkus oleh nyala api. Kota ini terlalu cemas untuk melindungi benda-benda kunonya seperti sediakala; kuil dan biara yang serba beragam sudah lupa kenangan abu merah membara yang lahir dari dalamnya.. Kalau kubayangkan bagaimana Pertempuran Besar Ojin yang 59 W menghancurkan seluruh kota ini, aku merasa bahwa Kyoto telah kehilangan sebagian dari keindahannya karena terlalu Ilama lupa pada kegalauan api peperangan. Besok Kuil Kencana pasti terbakar habis. Bentuk yang sampai kini mengjsi ruang akan lenyap. Bahkan burung yang berada di puncak kuil itu akan hidup kembali seperti funiks klasik, lalu terbang menghilang. Dan Kuil Kencana yang sampai kini terkurung dalam bentuknya, akan bebas dari semua ketentuan dan akan mengambang hanyut dengan ringan ke sana-sini, sambil menyebarkan cahaya samar di atas danau dan di permukaan laut yang kelam. Biarpun aku menunggu dan terus menunggu Kyoto tidak juga terkena serangan udara. Biarpun pada tanggal 9 Maret tahun berikutnya seluruh daerah perdagangan Tokyo telah menjadi lautan api, dan malapetaka menyebar ke mana-mana, Kyoto masih juga dipayungi langit jernih perniulaan musim semi. Kini aku sudah hampir-hampir putus asa menunggu dan mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa langit permulaan " musim semi ini menyimpan segala macam pembakaran dan penghancuran dalam dirinya, seperti kaca jendela yang menyilaukan menyembunyikan apa yang berada di baliknya. Seperti telah kukatakan, dalam soal perasaan kemanusiaan aku lemah luar biasa. Kematian Ayah dan kerniskinan Ibu sama sekali tidak menyentuh batinku sama sekali. Yang kuimpi-impikan ialah semacam kompresor langit raksasa yang akan menurunkan malapetaka, musibah dan tragedi manusia, yang akan menghimpit seluruh manusia dan semua benda sampai hancur, baik yang bagus maupun yang buruk. Kadang-kadang kecemerlangan langit permulaan musim semi yang luar biasa kulihat sebagai cahaya mata kapak raksasa yang sejuk yang cukup besar untuk menutupi seluruh bumi. Lalu aku menunggu kapak itu jatuh " karena 60 kalau ia jatuh dengan cepat maka orang tidak akan dapat kesempatan untuk berfikir. Ada sesuatu yang bahkan kini kurasakan sebagai sesuatu yang aneh. Sebetulnya aku tidak dirasuki oleh fikiran-fikiran yang murung. Persoalanku, yang menghadapkan aku dengan masalahku yang sebenarnya, hanya keindahan. Tapi kukira peperangan tidak mempengaruhi aku dengan membuat fikiranku jadi murung. Jika kita memusatkan fikiran pada ide keindahan, maka tanpa kita sadari, kita berhadapan dengan pemikiran yang paling gelap yang ada di dunia ini. Begitulah, kiraku, bagaimana manusia diciptakan. *** Aku ingat sebuah peristiwa yang terjadi di Kyoto menjelang peperangan berakhir. Kejadian itu adalah sesuatu yang tak masuk akal, tapi aku bukanlah saksi satu-satunya. Tsurukawa berada di sampingku. Pada suatu hari waktii listrik mati, Tsurukawa dan aku pergi mengunjungi Kuil Nanzen bersama-sama. Ini kunjungan kami yang pertama ke Kuil Nanzen. Kami menyeberangi jalan yang lebar lalu menuju jembatan kayu yang menghubung-kan lereng tempat perahu-perahu biasanya diluncurkan. Hari itu adalah hari yang terang dalam bulan Mei. Lereng itu tidak lagi dipakai dan rel yang terentang menuruni ketinggian sudah berkarat dan hampir-hampir ditutup oleh ganggang seluruhnya. Di antara ganggang itu kembang-kembang kecil dan rapuh berbentuk salib bergetar dalam angin. Sampai ke tempat kaki lereng itu, tampak air kotor dan tergenang. Dan bayang-bayang deretan pohon ceri yang berada di pinggir air tempat kami berada terbenam seluruhnya. Sambil berdiri di atas jembatan itu kami merenung ke air. Di tengah-tengah kenangan seseorang tentang masa perang saat kosong yang singkat seperti itu meninggalkan kesan yang paling hidup. Saat-saat singkat abstraksi lamban seperti ini bersembunyi di mana-mana, bagai tumpak-tumpak langit biru yang mengintip di sela awan. An eh sekali, justeru saat seperti ini yang berakar dengan kuat pada fikiranku, seolah-olah ia merupakan kesempatan yang penuh kenikmatan. "Menyenangkan sekali, kan?" kataku, lalu tersenyum tanpa ada arti. "Uh," jawab Tsurukawa dan ia juga tersenyum. Kami berdua merasakan sekali bahwa saat yang beberapa jam ini adalah milik kami. Di sebelah jalan setapak penuh kerikil dan lebar itu terdapat sebuah selokan yang penuh dengan air jernih. Tetanaman air yang bagus mengangguk-angguk bersama arus air. Tidak lama kemudian Gerbang Sammon yang termasyhur menjulang di hadapan kami. Tidak ada satu orang pun kelihatan di daerah kuil itu. Di sela-sela tanaman segar, genting kuil itu menyala dengan mewah, seperti sebuah buku perak bakar besar yang diletakkan di sana. Apakah arti peperangan pada saat ini" Di tempat tertentu, di saat tertentu, aku merasa, bahwa peperangan telah menjadi suatu kejadian spirituil yang aneh yang tidak berwujud sama sekali di luar kesadaran manusia. Barangkali di puncak Gerbang Sammon inilah perampok zaman kuno yang termasyhur, Isyikawa Goemon meletakkan kakinya di terali dan menikmati pemandangan bunga-bunga yang lagi berkembang dengan semerbak. Kami berdua merasa din kekanak-kanakan dan biarpun kala itu telah datang musim di mana pohon-pohon sakura kehilangan kembangnya dan diselimuti oleh dedaunan, kami mengira kami akan dapat menikmati pemandangan itu dari tempat yang dulu 62 ditempati Goemon. Kami membayar ongkos masuk sedikit lalu naik tangga yang curam yang kayu-kayunya sudah jadi hitam sama sekali. Di ruangan di atas, di mana dulu biasanya dipertunjukkan tari-tarian agama, kepala Tsurukawa terbentur ke loteng. Aku ketawa lalu langsung kepalaku juga terbentur. Kami berdua berbalik lalu naik sampai ke kepala tangga dan muncul di puncak menara itu. Adalah suatu ketegangan yang nikmat, setelah menaiki tangga sempit bagai ruang bawah tanah, untuk merasakan tubuh kita tiba-tiba disajikan pada dunia luar yang luas. Kami berdiri di sana beberapa saat memandang pohon-pohon ceri dan tusam, hutan Kuil Heian yang terhampar bengkang-bengkok di kejauhan di balik deretan rumah-rumah, bentuk deretan gunung-gunung - Arashiyama, Kitanokata, Kifune, Minoura, Kompira " semuanya menjulang kabur di ujung jalan-jalan Kyoto. Setelah kami memuaskan diri dengan ini, kami membuka sepatu lalu masuk ke dalam ruangan dengan rasa penuh hormat bagai sepasang calon pendeta. Dalam ruang yang gelap itu terkembang di lantai tikar sebanyak dua puluh empat lembar. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah patung Sakamuni dan mata emas enam belas Semut Arh mengkilap dalam gelap. Tempat ini dikenal sebagai Gohoro atau Menara Lima Funiks. Kuil Nanzen milik sekte Rinzai, sama seperti Kuil Kencana, tapi kalau yang terakhir ini berpegang pada mazhab Sokokuji, kuil ini merupakan pusat mazhab Manzenji. Jadi dengan kata lain, kami kini berada dalam sebuah kuil sekte yang sama dengan sekte kami tapi dari mazhab yang berbeda. Kami berdiri di sana bagai dua orang pelajar Sekolah Menengah biasa, dengan sebuah buku penunjuk jalan di tangan kami, sambil memperhatikan lukisan-lukisan loteng yang berwarna menyala, yang diciptakan oleh Tanyu 63 Morinobu dari mazhab Kano dan oleh Hogan Tokuetsu dari mazhab Tosa. Di satu sisi loteng itu kelihatan lukisan bidadari terbang di angkasa sambil memainkan seruling dan biwa kuno. Di tempat lain Kalavinka mengepak-ngepak dengan sekuntum peoni putih di paruhnya. Ini adalah burung kicau yang dilukiskan dalam sutra dan hidup di Gunung Sessan: bagian atas badannya seorang gadis yang gemuk sedangkan bagian bawah berbentuk burung. Di tengah-tengah digambar burung dongeng yang dianggap kawan burung yang berada di puncak Kuil Kencana; tapi yang seekor ini mirip dengan bianglala yang sangat bagus, beda sekali dari burung emas agung yang begitu kukenal. Kami beriutut di depan patung Sakamuni lalu merapatkan tangan hendak berdoa. Kemudian kami pergi dari ruang itu. Tapi bukanlah pekerjaan mudah untuk menyeret diri kami ke bawah dari puncak menara itu. Kami bertopang pada terali yang menghadap ke selatan dekat kepala tangga yang tadi kami naiki. Aku merasa seolah-olah melihat sebuah spiral berwarna dan indah di sesuatu tempat. Mungkin sekali ini semacam sisa bayangan dari warna-warna cemerlang yang baru saja kulihat di lukisan loteng tadi. Perasaan yang kurasakan dari pengendapan warna-warna yang kaya membuat seolah-olah burung Kalavinka itu bersembunyi di suatu tempat di antara daun-daun muda atau di atas dahan pohon-pohon pinus muda yang bertebaran di bawah. Ia seolah-olah memperlihatkan suatu sudut sayapnya yang bagus padaku. Tapi sebenarnya bukan demikian. Di sebelah jalan di bawah kami terdapat pertapaan Tenju. Sebuah jalan setapak, yang diratakan dengan batu-batu empat persegi, yang hanya sudut-sudutnya saja yang saling bersentuhan, berkelok di seberang sebuah taman, di mana pepohonan rendah dan penuh kedamaian ditanam orang dengan gaya bersahaja, menuju sebuah ruang besar dengan pintu geser yang terbuka lebar. Kita bisa melihat setiap bagian terkecil lekuk tembok dan rak-rak miring dalam ruang itu. Sehelai permadani merah terang dikembangkan di lantai: rupa-rupanya ruang itu sering dipakai untuk persembahan teh dan sering dipersewakan untuk upacara minum teh. Seorang wanita muda duduk di sana. Dialah yang tadi terkilas di mataku. Semasa perang tidak pernah kita bisa melihat seorang wanita mengenakan kimono berlengan panjang yang begitu cemerlang seperti yang ia pakai. Siapa saja yang keluar dengan dandanan seperti dia boleh dikatakan akan selalu dicela karena tidak memiliki kesederhanaan patriotik dan harus pulang untuk berganti pakaian. Begitu bagus potongan pakaiannya. Aku tidak bisa melihat detil-detil pola, tapi aku melihat bahwa ada bunga-bunga yang dilukis dan disulam di atas dasar biru pucat, dan bahwa sabuknya yang berwarna merah menyala berkilauan karena benang-benang emas: udara sekitarnya seolah-olah menjadi terang oleh kecemerlangan pakaiannya. Wanita muda yang cantik itu duduk di lantai dengan sikap anggun yang sempurna sekali; raut wajahnya yang pucat menonjol bagai relief yang seakan-akan dipahat, dan mula-mula aku bertanya-tanya apa ia betul manusia hidup. "Hei!" kataku tergagap-gagap sejadi-jadinya. "Apa mungkin dia manusia hidup?" "Aku juga berfikir begitu. Dia benar-benar seperti boneka," kata Tsurukawa yang bersandar pada terali tanpa melepaskan pandangannya dari wanita itu. Waktu itu dari belakang ruang itu muncul seorang perwira tentara muda yang mengenakan seragam. Ia duduk menghadap perempuan itu dengan sikap resmi yang kaku, beberapa depa daripadanya. Selama beberapa saat keduanya berhadap- 65 hadapan dengan tenang. Perempuan itu berdiri lalu menghilang tanpa suara ke dalam kegelapan gang. Setelah sesaat, ia kembali sambil memegang cangkir teh; lengan bajunya yang panjang terayun-ayun karena angin. Ia berlutut di depan lelaki itu lalu menawarkan teh. Setelah menyerahkan cangkir teh itu padanya sesuai dengan tata cara, ia kembali ke tempatnya semula. Lelaki itu mengucapkan sesuatu. Ia masih juga belum meminum tehnya. Saat yang datang kemudian terasa panjang, tegang dan aneh. Kepala perempuan itu tertunduk dalam. Waktu itulah peristiwa yang tidak masuk akal itu terjadi. Sambil duduk lurus, perempuan itu tiba-tiba melepaskan kerah kimononya. Aku hampir-hampir dapat mendengar desir sutera waktu ia menarik bajunya dari bawah ikat pinggang yang ketat. Lalu aku melihat buah dadanya yang putih. Aku menahan nafas. Perempuan itu menggenggam salah sebuah dari buah dadanya yang putih dan penuh dalam satu tangan. Perwira itu mengulurkan cangkir teh yang berwarna gelap dan dalam itu sambil berlutut di hadapannya. Perempuan itu menggosok-gosok buah dadanya dengan tangan. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku sudah melihat semuanya, tapi aku merasakan secara jelas, seakan-akan semuanya berlaku langsung di hadapan mataku, bagaimana susu yang hangat dan putih membersit dari buah dadanya ke dalam teh hijau tua yang berbuih dalam cangkir itu, bagaimana tercampur dalam cairan itu, dengan meninggalkan titik-titik putih di atasnya, bagaimana permukaan teh yang tenang itu jadi keruh dan berbusa karena buah dada yang putih itu. Lelaki itu mengangkat cangkir itu ke mulutnya lalu meminum teh yang ajaib itu sampai tetesan terakhir. Perempuan itu memasukkan buah dadanya yang penuh itu kembali ke dalam kimononya. Tsurukawa dan aku memandang nanap dan tegang pada peristiwa itu. Kemudian setelah kejadian itu kami fikirkan lebih teliti, kami berkesimpulan bahwa yang baru terjadi itu pasti sebuah upacara perpisahan antara seorang perwira yang akan berangkat ke medan perang dan perempuan yang telah melahirkan anaknya. Tapi emosi kami pada saat itu menghalangi semua penjelasan yang masuk akal. Karena kami memandang begitu nanap, kami tidak berkesempatan untuk melihat bahwa laki-laki dan perempuan itu sudah keluar dari sana, tanpa meninggalkan apa-apa kecuali permadani besar merah menyala itu. Aku sudah melihat raut mukanya yang putih dalam bentuk relief dan aku sudah melihat buah dadanya yang putih dan bagus. Setelah perempuan itu pergi, fikiranku tertambat pada satu hal saja selama jam-jam berikutnya sepanjang hari itu, juga selama esok harinya dan hari-hari sesudah itu. Aku berfikir, bahwa perempuan itu pasti Uiko yang hidup kembali. 66 Bab Tiga WAKTU itu hari peringatan setahun kematian Ayah. Ibu memperoleh sebuah fikiran yang aneh. Karena aku susah untuk pulang sebab harus menjalankan kerja wajib, ia merencanakan hendak datang ke Kyoto dan membawa batu nisan Ayah, hingga Bapa Dosen dapat membacakan pada hari ulang tahun kematian sahabat lamanya beberapa sutra di depan nisannya biarpun hanya untuk beberapa menit. Tentu saja Ibu tidak punya cukup uang untuk mengongkosi pembacaan doa, lalu ia menulis surat pada Pendeta Kepala dan menyerahkan soal itu pada kemurahan hatinya. Bapa Dosen menyetujui permintaannya lalu memberi tahu aku. Aku tidak senang mendengar berita ini. Ada suatu sebab khusus mengapa sampai saat ini aku berusaha untuk tidak menulis tentang ibuku. Aku tidak ingin menyinggung-nyinggung hal yang ada sangkut-pautnya dengan ibuku. Mengenai suatu kejadian, aku tidak pernah mengucapkan sepatah kata penyesalan pun pada Ibu. Aku tidak pernah membicarakannya. Ibu bahkan mungkin tidak tahu bahwa aku tahu. Tapi sejak kejadian itu, aku tidak dapat membujuk diriku untuk memaafkan Ibu. Terjadinya semasa liburan musim panas waktu aku pulang untuk pertama kali setelah memasuki Sekolah Menengah Maizuru Timur dan setelah aku diserahkan pada pamanku. Waktu itu seorang keluarga Ibu yang bernama Kurai baru 68 kembali ke Nairu dari Osaka, setelah ia gagal dalam berusaha. Isterinya, seorang ahli waris sebuah keluarga yang kaya, tidak mau menerima di rumahnya, hingga Kurai terpaksa tinggal di kuil Ayah sampai persoalan itu din gin. Di kuil kami tidak banyak kelambu. Adalah hal yang mengherankan bahwa Ibu dan aku tidak sampai ketularan penyakit paru-paru Ayah, karena kami semua tidur dalam satu kelambu; dan kini ditambah lagi dengan orang bernama Kurai ini. Aku ingat bagaimana pada suatu malam musim panas seekor jangkrik terbang sepanjang pepohonan di kebun sambil memperdengarkan bunyi yang pendek. Rupa-rupanya aku terbangun oleh bunyi itu. Suara ombak menggema dengan keras, dan pinggiran bawah kelambu yang berwarna hijau muda itu berkibar-kibar karena angin laut. Tapi ada sesuatu yang aneh pada goyangan kelambu itu. Kelambu itu mestinya mengembung karena tiupan angin, lalu bergoyang segan-segan seakan-akan membiarkan angin merembes melaluinya. Cara kelambu itu tertiup hingga merupakan lipatan-lipatan, bukanlah gambaran tiupan angin sebenarnya; sebaliknya, kelambu itu seolah-olah mengesamping-kan angin dan meniadakan kekuatannya. Kedengaran bunyi, bagai desir-desir bambu, bunyi sesuatu yang bergosok-gosok dengan tikar jerami; bunyi itu adalah bunyi tepi bawah kelambu yang tergosok-gosok pada lantai. Suatu gerakan yang tidak disebabkan oleh angin kini sedang dipindahkan ke kelambu itu. Sebuah gerakan yang lebih rawan dari gerakan angin; sebuah gerakan yang menyebar bagai ombak beriak-riak sepanjang kelambu, hingga bahan kasar itu mengembang-mengempis, sehingga dari dalam kelihatan bagai permukaan sebuah danau yang menggembung karena kegelisahan. Apakah itu kepala ombak yang diciptakan sebuah kapal kala ia menjelajah jalannya menempuh danau; ataukah pantulan jauh sebuah ombak, sisa alur jalan kapal yang sudah melalui tempat ini" Dengan rasa takut kuarahkan mataku ke sumbernya. Lalu, waktu aku menatap kegelapan dengan mata terbuka seluas-luasnya aku merasa seolah-olah ada penggerak lagi menggerak sampai pusat biji mataku. Aku berbaring di samping Ayah; kelambu itu terlalu kecil bagj empat orang dan waktu tidur rupanya aku telah berbalik lalu mendesak dia ke suatu sudut. Karena itu, antara aku dan kejadian yang kulihat ada ruang putih yang lebar yang terdiri dari kain alas yang kusut; dan Ayah yang tidur berkeluk di belakangku, bernafas langsung ke tengkukku. Yang membuat aku sadar bahwa Ayah sebetulnya bangun adalah irama pernafasannya yang tidak teratur, melompat-lompat, yang mengenai punggungku; karena aku merasa bahwa ia berusaha untuk menahan batuknya. Tiba-tiba mataku yang terbuka ditutup oleh sesuatu yang besar dan hangat hingga aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku segera mengerti. Ayah mengulurkan tangannya dari belakang untuk menghalangi penglihatanku. Hal ini terjadi bertahun-tahun yang lalu waktu aku masih berumur tiga belas tahun, tapi kenangan pada tangan ini masih .hidup dalam diriku. Tangan yang besarnya tiada tolok bandingnya. Tangan yang merangkul aku dari belakang, dan dalam satu detik menghalangi pandanganku ke neraka yang sedang kulihat. Tangan dari dunia lain. Apa karena cinta atau belas kasihan atau rasa malu, aku tidak tahu; tapi tangan itu telah menghentikan dengan segera dunia yang mengerikan yang berhadapan denganku lalu menguburnya dalam kegelapan. Aku mengangguk sedikit dalam genggaman tangan itu. Dari anggukan kepalaku yang kecil, Ayah segera maklum bahwa aku mengerti dan setuju; ia melepaskan tangannya. Kemudian, sesuai dengan kehendak tangan itu, aku mengatup-kan mataku dengan paksa dan berbaring di sana tanpa bisa tidur sampai pagi datang, dan cahaya menyilaukan yang datang dari luar memaksakan diri menembus pelupuk mataku. *** Ingatlah, bahwa bertahun-tahun kemudian waktu peti mati Ayah dipikul ke luar rumah, aku begitu sibuk memperhatikan wajah yang sudah mati itu, hingga aku tidak meneteskan air mata sedikit pun. Ingatlah, bahwa dengan kematiannya aku bebas dari belenggu tangannya, dan dengan jalan menatap tajam pada wajahnya, aku bisa menegaskan kehidupanku sendiri. Sampai sejauh itu aku ingat hendak membalaskan dendamku yang sepatutnya pada tangan itu, artinya, pada apa yang disebut manusia di dunia ini, cinta; tapi tentang Ibu, lepas dari kenyataan bahwa aku tidak bisa memaafkan dia karena kenangan itu, aku tidak pernah berniat hendak membalasnya. Maka diaturlah supaya Ibu bisa datang ke Kuil Kencana pada hari sebelum upacara peringatan dan supaya bisa menginap malam itu di biara. Pendeta Kepala telah menulis surat ke sekolahku, supaya aku diizinkan tidak masuk pada hari peringatan itu. Kami yang terkena peraturan kerja wajib, tidak tinggal di tempat kerja kami, tapi selalu melapor ke sana pada saat-saat yang sudah ditentukan, sesudah itu pulang ke tempat kami tinggal. Pada hari sebelum ulang tahun itu aku segan-segan untuk pulang ke kuil. Tsurukawa yang berhati polos dan jernih sangat senang demi aku, karena aku akan ketemu ibuku kembali setelah 71 70 sekian lama, dan kawan-kawanku sesama calon pendeta ingin mengenal ibuku. Tapi aku tidak- suka memiliki ibu yang begitu miskin dan kumal. Aku tidak tahu bagaimana aku harus menjelaskan pada Tsurukawa yang baik hati itu, kenapa aku tidak ingin ketemu ibuku. Sudah begitu, begitu kami selesai dengan pekerjaan di pabrik, Tsurukawa memegang lenganku lalu berkata: "Mari, kita pulang buru-buru.'" Adalah sesuatu yang terlalu dilebih-lebihkan jika dikatakan bahwa aku sama sekali tidak mau ketemu ibuku. Aku bukannya tidak punya perasaan terhadap Ibu. Mungkin sekali masalahnya, aku tidak senang dihadapkan pada pernyataan cinta yang langsung, yang kita peroleh dari keluarga kita, dan bahwa aku sekadar berusaha agar rasa tidak senang itu dapat termakan akal dengan berbagai cara. Di situ letak watakku yang buruk. Cukuplah kalau aku mencoba membenarkan perasaan yang tulus dengan segala macam jalan fikiran yang masuk akal. Tapi kadang-kadang segala macam alasan yang dihasilkan oleh otakku memaksakan pada diriku perasaan-perasaan yang bahkan menggoncang diriku sendiri; sedangkan perasaan-perasaan itu pada mulanya tidak berasal dari aku. Hanya dalam kebencianku ada sesuatu yang asli. Karena aku manusia yang hanya bisa terharu oleh kebencian. "Tidak ada gunanya buru-buru," jawabku. "Kita cuma jadi lelah karenanya. Mari kita jalan lambat-lambat!" "Aku mengerti," kata Tsurukawa, "jadi kau ingin berdamai dengan ibumu dan merebut rasa sayangnya dengan berpura-pura terlalu letih hingga kau tidak bisa berjalan cepat." Begitulah Tsurukawa setiap kali mencoba menafsirkan tingkah lakuku, dan setiap kali itu pula ia salah. Tapi ia sama sekali tidak menyusahkan aku, bahkan ia sudah jadi seseorang yang sangat kuperlukan. Karena ia seorang jura tafsir yang beritikad baik " seorang sahabat yang tiada gantinya yang dapat menterjemahkan untukku kata-kataku ke dalam bahasa dunia nyata. Ya, kadang-kadang bagiku Tsurukawa bagai seorang ahli al-kimia yang dapat merobah besi jadi emas. Aku yang merupakan segi negatif gambaran itu; ia segi positifnya. Seringkali aku terheran-heran melihat perasaanku yang gelap dan keruh berobah menjadi jernih dan bercahaya setelah disaring melewati hati Tsurukawa! Sementara aku ragu-ragu dan tergagap-gagap, maka ini akan mengambil alih perasaanku, ia balik, lalu ia sampaikan pada dunia luar. Apa yang kupelajari dari kejadian yang mengagumkan ini ialah bahwa dalam soal perasaan, tidak ada perbedaan antara perasaan yang paling mulia di dunia ini dan perasaan yang paling kasar; hasilnya sama semata; bahwa tidak ada perbedaan menyolok antara itikad membunuh dan perasaan penuh belas kasihan yang dalam. Tsurukawa tidak akan pernah bisa meyakini hal seperti itu, biarpun aku berhasil menjelaskan-nya dengan kata-kata. Tapi bagiku penemuan ini adalah penemuan yang mengerikan. Kalau aku kini sampai ke titik di mana aku tidak lagi keberatan kalau Tsurukawa menganggap aku seorang munafik, maka itu adalah karena kemunafikan, dalam fikiranku telah menjadi sekadar dosa kecil. Di Kyoto aku belum pernah mengalami serangan udara, tapi sekali waktu aku dikirim ke pabrik induk di Osaka dengan perintah untuk memesan bagian pesawat terbang, terjadilah di sana sebuah serangan udara lalu aku melihat salah seorang pekerja pabrik itu diusung keluar di atas tandu dengan perut robek. Kenapa isi perut harus mengerikan" Kenapa, kalau kita melihat isi seorang manusia, kita merasa perlu menutup 73 Imata kita karena ketakutan" Kenapa orang bisa terkejut melihat darah mengalir" Kenapa isi perut manusia buruk" Bukankah kwalitasnya sama dengan kecantikan kulit yang muda dan berkilat" Bagaimana air muka Tsurukawa kalau kukatakan bahwa dari dial ah car a berfikir seperti ini kupelajari " suatu cara berfikir yang merobah keburukanku menjadi ketidakadaan" Kenapa terasa sesuatu yang tidak bersifat kemanusiaan jika kita menganggap manusia bagai mawar dan menolak untuk membedakan bagian dalam dan bagian luar tubuhnya" Sekiranya manusia bisa membalikkan Ibatin dan lahirnya, bisa membaliknya bagai kelopak mawar dan memaparkannya depan angin musim semi dan matahari... Ibu telah sampai dan lagi bicara dengan Pendeta Kepala di kamarnya. Tsurukawa dan aku berlutut di luar, di gang dalam samar-samar muka permulaan musim panas lalu berseru bahwa kami sudah pulang. Pendeta Kepala hanya mengundang aku masuk. Di hadapan Ibu, ia mengatakan sesuatu yang maksudnya menunjukkan bahwa aku telah melakukan tugas-tugasku di kuil dengan baik. Aku selalu menunduk dan hampir-hampir tidak melihat pada Ibu. Lewat sudut mata aku melihat celana gelembung masa perang yang ia pakai, terbuat dari katun biru yang telah pucat, dan jari-jari tangannya yang kotor terletak di atas celana itu. Bapa Dosen mengatakan bahwa kami sudah boleh beris-tirahat ke tempat kami. Kami membungkuk beberapa kali lalu keluar dari kamar itu. Aku tidur dalam sebuah kamar berukuran lima tikar yang kecil, di sebelah selatan perpustakaan kecil dan menghadap ke halaman. Begitu kami sudah sendiri, maka Ibu mulai menangis. Karena ini sudah kunanti-nanti maka aku tetap bisa mempertahankan ketenanganku. "Aku kini dibesarkan oleh Rokuonji," kataku pada Ibu, 74 "dan aku minta agar Ibu tidak mengunjungi sebelum aku jadi pendeta penuh." "Aku mengerti, aku mengerti," kata Ibu. Aku puas sekali karena aku berhasil menerima ibuku dengan kata-kata yang begitu kasar. Tapi aku jadi kesal, karena seperti dulu, dia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia punya perasaan atau menolaknya. Sekaligus, kalau kuingat bahwa mungkin sekali Ibu akan melangkahi batas dan memasuki fikiranku, aku jadi takut. Waktu melihat wajah Ibu yang hangus dibakar matahari, aku melihat matanya yang cekung, kecil dan licik. Hanya bibimya yang merah dan berkilat, seolah-olah memiliki kehidupan tersendiri; ia memiliki gigi kuat dan besar seperti yang biasa dimiliki perempuan desa. Ia sudah mencapai umur, yang sekiranya ia diam di kota, tidak akan mengheran-kan kita kalau ia memakai rias muka yang tebal. Ibu telah menjadikan wajahnya seburuk mungkin. Aku sadar bahwa suatu kesan nafsu tinggal pada salah satu bagian muka itu. sebagai sebuah endapan; dan aku benci pada itu. Setelah mengundurkan diri dari kehadiran Bapa Dosen dan setelah menangis dengan puas, Ibu mengeluarkan sehelai handuk, yang dibawanya dari kampung kami, lalu mulai menyeka dadanya yang telanjang dan terbakar karena matahari. Handuk itu adalah macam yang biasanya diperoleh orang sebagai barang pembagian dan terbuat dari serat kapas. Bahan itu berkilat-kilat, dan jika basah karena keringat, ia malahan lebih berkilat lagi. Lalu Ibu mengeluarkan sedikit nasi dari karungnya. Katanya ia mau menawarkan nasi itu pada Pendeta Kepala. Aku diam saja. Kemudian ia keluarkan batu nisan Ayah, yang dibungkus baik-baik dalam secarik kain abu-abu usang, lalu meletakkannya di atas rak buku. "Aku begitu senang dengan penyelesaian ini," katanya. "Ayah tentu bahagia sekali karena yang membacakan doa untuknya adalah Pendeta Kepala." "Apa Ibu akan kembali ke Nariu setelah peringatan setahun ini selesai?" tanyaku.
Banyuwangi Trilogi 3 Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol Mutiara Hitam 7
^