Pencarian

Banyuwangi Trilogi 3

Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana Bagian 3


keharuman bagi seluruh Blambangan karena kesuburannya.
Dan memang tak terbantah. Pendatang yang datang
terdahulu, dan mengerjakan tanahnya dengan sungguh-
sungguh, telah memetik hasilnya. Panen mereka dua kali lipat
dari saat mereka tinggal di daerah Mataram.
116 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Para bekel, para pamong desa, dan semua punggawa
segera diberitahu bahwa berkenaan dengan penghargaan dari
Tuan Besar Gubernur Jenderal VOC akan diadakan upacara
dan pesta. Juru Kunci mendapat tugas untuk mempersiapkan
semuanya. Semua pemuka akan diundang. Pengumuman
segera disebar. Peresmian kota Banyuwangi akan segera
diadakan. Pembangunan sebentar lagi selesai.
Di tiap-tiap perkampungan yang penuh dengan pendatang
itu juga diadakan pesta pora. Umbul-umbul warna-warni
menghias kota. Hiasan yang terbuat dari janur dan bambu
dipasang di segala penjuru kota. Penari-penari juga sudah
dipesan. Juga kesenian dari para pendatang. Kuda kepang dari
daerah Tulung Agung, doger dari pinggir kali Madiun, tibaan,
samroh, dan banyak macam lagi yang dulunya tidak pernah
ada di Blambangan. Untuk menarik para pribumi maka Juru Kunci sengaja
memerintahkan perempuan-perempuan pendatang untuk
bergaul dan memikat hati pemuda-pemuda Blambangan.
Mereka tentu orang-orang yang sudah terlatih untuk itu.
Demikian halnya dengan lelaki yang masih teruna dan
berwajah lumayan, diperintahkan merayu para perempuan
pribumi agar nantinya bisa menjadi istri mereka. Juru Kunci
berpendapat, bahwa mereka tidak bisa dipaksa. Tapi ia tahu
bahwa cinta akan mengalahkan segala-gala.
Akal Juru Kunci membuahkan hasil setelah beberapa lama.
Seperti Ni Repi, seorang janda yang tinggal di desa Sempu
mulai berbunga-bunga setelah ia berkenalan dengan Pamardi,
seorang blantik kuda. Memang tidak sekaya dan setampan
Bogzen, suaminya yang tewas diterjang peluru Kompeni. Tapi
tak apa, siapa tahu pemuda ini kelak bisa jadi sandaran di
masa tua. "Kapan kita menikah?" tanya Pamardi yang mulai belajar
bahasa Blambangan itu. 117 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kapan saja Kakak suka." Ni Repi tersenyum.
Kecantikannya belum pernah pudar. Nalurinya sebagai penari
membuat ia selalu memelihara tubuh baik-baik. Pamardi yang
sudah lama terpisah dari istrinya di Mataram memang terpikat
oleh paras Ni Repi. Ia tak sayang membelikan kalung dan
gelang saat ia menyatakan cintanya. Inginnya hati memeluk
wanita itu dan membopongnya ke tempat tidur. Tapi Repi
selalu menolaknya. Ia menghendaki dinikahi terlebih dahulu.
Bozgen yang mendidiknya seperti itu.
Berbeda dengan pengalaman Repi, maka Ke-bhi tidak
mendapat kenalan seorang pendatang dari daerah Mataram.
Tapi seorang pedagang kain, perhiasan, dan juga suka
meminjamkan uang. Orang itu berumur hampir lima puluh
tahun. Kulitnya hitam, hidungnya mancung seperti paruh
burung betet. Matanya bulat agak lebar, bulu mata lentik dan
sengaja diberi celak (eye shadow) hitam. Dan pefkenalan
mereka berawal dari seringnya Abdul Rojak, demikian nama
orang itu, datang ke Sempu. Menawarkan segala dagangan.
Dengan rajin mampir dari satu rumah ke satu rumah.
Semula Kebhi tidak pernah tertarik dengan barang-barangnya.
Tapi Sekar, anaknya yang sudah mulai merangkak,
membutuhkan perawatan. Dan untuk itu membutuhkan uang.
Kain-kain ia masih punya banyak. Peninggalan Tha Khong
Ming yang mati karena keris Mas Ayu Prabu. Ia percaya Sekar
akan tumbuh menjadi anak yang tampan. Kulitnya bule tapi
rambutnya hitam. Repi sependapat agar anak itu dipelihara
dan hidup sampai dewasa. Repi percaya, adanya Sekar akan
menjadi bukti kebinatangan Belanda. Lebih dari itu betapa
tidak bertanggung jawabnya Belanda yang katanya bangsa
beradab itu pada turunannya sendiri.
Suatu hari Sekar sakit. Panasnya tinggi. Biasanya Kebhi
memarutkan kunyit dan memberinya minum madu sebagai
campuran parutan kunyit itu. Para tetangga juga tidak punya.
Madu peninggalan Mas Ayu Prabu sudah habis. Kebhi dan Repi
118 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjadi panik. Tapi saat itu Sekar makin sakit. Itulah awal.
Abdul Rojak menawarkan madu.
"Tapi tidak ada uang, Tuan."
"Bayar belakangan boleh. Satu bulan boleh. Tapi harganya
menjadi setengah ringgit."
"Setengah ringgit?" Kebhi terkejut. Demikian pula Repi.
"Jika satu bulan lagi ditambah dengan satu sen." Abdul
Rojak memandang dengan mata tajam. Rasanya ingin
menelan kedua wanita itu.
"Beriba?" Repi bertanya.
"Tidak! Kami haram meribakan uang. Itu kan cuma... yah,
ganti menunggu dengan sabar pembayaran dari kalian." Rojak
tertawa. Giginya kuning tak pernah dibersihkan dengan arang.
Tasbih di tangan kanannya terus berputar-putar. Seolah selalu
digerakkan. Mungkin saja ia membaca mantra. Topi putih
menutupi bagian kepalanya yang botak. Bajunya juga putih.
Menutupi semua bulu-bulu kasar di seluruh tubuhnya.
"Tak pernah ada orang Blambangan melakukannya, Tuan."
"Ha... ha... ha... Jika tak mau madu kubawa pulang. Anak
itu akan mati." Demi anak, Kebhi memberanikan diri mengambil madu itu.
Walau Repi sudah berusaha mencegahnya. Induk ayam saja
akan bertarung mati-matian jika anaknya diusik. Bukankah
begitu seharusnya dengan aku" Kendati anak itu lahir di luar
maunya. Tapi namanya juga tetap anak.
Satu bulan telah berlalu. Sekar sudah sembuh. Tapi Kebhi
belum mampu membayar yang setengah ringgit itu.
"Tidak afa-afa (apa-apa), satu bulan lagi juga boleh."
Rojak memang berkebangsaan Arab. Jadi lidahnya agak
sukar berkata-kata dalam Blambangan. Tapi tetap tak menjadi
119 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
halangan baginya untuk berhubungan dengan orang-orang
Sempu. Tapi satu bulan kemudian, Kebhi baru mendapat uang
kurang dari seperempat jumlah yang ditentukan.
"Rupanya kau sukar mendapatkan uang setengah ringgit
itu" Mau kau bekerja" Supaya dapat membayar dengan cepat"
Satu bulan pasti sudah lunas."
"Bekerja?" Kebhi bertanya.
"Ya. Bekerja." "Apa itu?" "Membantu aku membungkus majun."
"Majun?" "Ya. Obat-penguat, pengawet muda, pendek kata banyak
kasiatnya. Dari Arab. Ha... ha... ha... Tidak perlu susah-susah.
Untuk apa ke sawah" Ladang. Ah, hasilnya cuma sedikit. Biaya
hidup anakmu kan makin mahal" Makin besar makin mahal."
Kebhi tidak segera mengiakan memang. Ia berunding
terlebih dahulu dengan Repi. Dan tentu saja Repi tidak
menyetujuinya. "Tapi jumlah uang itu akan makin banyak jika aku tak
dapat membayar." Repi sendiri menjadi ragu. Seharusnya minta pertimbangan
pada Rsi Ropo atau Mas Ayu Tunjung. Tapi Songgon dalam
kepungan Kompeni. Tak seorang pun akan mampu menembus
pagar betis itu. Kecuali jika berani menembus hutan. Tidak
gampang berjalan di rimba raya bagi wanita macam dia.
Apalagi tanpa pengawalan. Banyak binatang buas bisa
membahayakan jiwanya. Hari berikutnya ia tak bisa berkata apa pun kala Kebhi
dijemput oleh Tuan Abdul Rojak. Cuma satu bulan. Maka atas
kehendak Tuan Abdul Rojak Sekar ditinggal dan dititipkan
120 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pada Repi. Perasaan iba membuat Repi tak berdaya. Dan
Sekar pindah gendongan. Kebhi berangkat ke Sumberwangi.
Waktu berjalan, Kebhi tidak diperkenankan telanjang dada.
Sebab, kata Rojak itu bisa menimbulkan birahi. Dan
mengundang dosa. Kebhi mulai menyesuaikan diri dalam
kehidupan muslim. Di Sumberwangi ia makin heran. Rumah
Rojak ditutup rapat. Berarti ia tidak berkeluarga. Pendapanya
ditutup dengan kisi-kisi bambu. Nyaris gelap. Tentu orang luar
tidak akan dapat melihat ke dalam. Sebaliknya dari dalam
akan dapat melihat dengan jelas orang yang mungkin datang.
Juga pintu yang menghubungkan pendapa dengan rumah,
ditutup oleh kerei bambu.
"Kau sudah masuk rumah ini. Maka kau harus tunduk pada
aturan yang berlaku di rumah ini." Kalimat pertama yang
keluar dari mulut Abdul Rojak begitu keduanya masuk rumah.
Besar rumah itu. Tapi hampir-hampir tak ada sinar masuk.
Jendelanya selalu tertutup. Dan sejak itu Kebhi dilarang keluar
rumah. Sekalipun ada tamu, dia hanya boleh menjawab di
balik kerei. "Belum pernah ada tatacara demikian di Blambangan,
Tuan." "Kau tidak tinggal bersama orang Blambangan. Tapi
bersama Abdul Rojak." Orang tua itu tersenyum. "Jika kau membantah, aku boleh
membunuhmu di sini."
Terkesiap darah Kebhi. Tiap pelanggaran akan membawa
hukuman. Cambuk atau bunuh. Dilarang terima tamu.
Terutama lelaki, supaya tidak berzinah. Betapa alimnya orang
ini. Betapa ketat ia menjaga kesucian. Cara berpakaian pun
diatur. Lambang kesuburan yang dipeliharanya selama ini
tidak berlaku. Harus ditutup rapat-rapat. Supaya tidak
menimbulkan birahi. Kebhi tidak bisa membantah. Karena ia
takut. Apalagi Tuan Rojak sudah berbaik memberikan utang
madu supaya anaknya selamat. Tapi penantiannya sehari dua
untuk bekerja sebagai pembungkus majun tetap belum
121 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjadi kenyataan. Yang ia kerjakan cuma menyediakan
keperluan sehari-hari bagi Tuan Rojak. Seperti masak nasi dan
air. Memasuki hari keempat ia menanyakan pada Tuan Rojak.
Dan tuan itu tertawa minta maaf. Ia katakan lupa bahwa
harus mempekerjakan Kebhi sebagai pembungkus majun. Ia
katakan barangnya masih dirumah teman. Dan ia mengambil
terlebih dahulu. Tuan Rojak berpesan agar sepeninggalnya
jangan menerima tamu. Tak lama orang itu pergi. Datang lagi
membawa sebongkah bungkusan. Setelah dibuka, warna
benda yang disebutkan sebagai majun ternyata coklat
kehitam-hitaman. Baru pertama kali Kebhi melihatnya. Benda
itu padat tapi tidak keras. Juga tak dapat dikatakan lunak. Ia
harus membungkus dengan kulit jagung sebesar-besar ibu
jari. Menjadi beberapa ratus. Rojak mengatakan itu obat yang
disukai orang-orang kapal. Kebhi tak perlu tahu itu. Yang
penting ia mendapat uang, untuk melunasi utangnya.
"Kau belum pernah merasakan majun ini?"
"Belum." Kebhi tertunduk waktu suatu sore Rojak bertanya.
"Bisa juga sebagai obat awet muda bagi para wanita."
Rojak tertawa. Kebhi masih saja tertunduk. Memang perintah
Rojak begitu. Jika bersua dengan tuannya ia harus menunduk.
Apa sebabnya, ia tak tahu.
"Kau boleh mencoba." Rojak memberikan sebutir. Juga
secawan anggur. Rojak sendiri memakannya.
"Minum!" Suara Rojak melindas keragu-raguan. "Kau akan segar." Dan di luar
maunya, Kebhi meminum ramuan yang
katanya akan membuatnya awet muda itu. Mana ada wanita
tidak suka awet muda" Jika benar, ia akan membawa pulang
beberapa butir untuk oleh-oleh bagi Repi. Tapi selang
beberapa lama setelah minum, tubuhnya berkeringat.
Kegairahan tiba-tiba saja menyala di dadanya. Semua tampak
indah. Serasa ia mengambang di awang-awang.
122 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kejadian berikutnya ia tak sadari. Mungkin saja mimpi.
Namun betapa terkejut ketika ia siuman pagi harinya.
Ternyata semalam ia tidur di kamar Tuan Rojak. Kini orang itu
masih belum bangun. Masih bugil. Dan ia sendiri" Ah... segera bangkit
meninggalkan tuan itu. Tentu yang sekali menjadi dua, tiga, dan seterusnya. Setiap
orang ingin keenakan berlangsung terus.
"Apakah kita tidak perlu nikah?"
"Nikah?" Rojak seperti terkejut.
"Apa kata orang jika aku hamil" Anak siapa" Tentu aku
jawab anak Abdul Rojak. Tuan Maulana Abdul Rojak!"
"Eh... hamil" A... tidak digugurkan saja?"
"Ampun... apa adat Tuan seperti itu" Tidak merasa berdosa
membunuh anak sendiri?"
Abdul Rojak duduk di kursi. Badannya lemas. Ingin ia
mencekik leher wanita Blambangan itu. Tapi ia takut nanti
wanita itu menjadi hantu. Dan mengejar ke mana ia pergi.
Lebih dari itu akan memberikan kesialan dalam tiap usahanya.
"Ya! Kita akan kawin. Akan nikah!" Ia menghela napas.
Wajahnya tidak lagi bermendung. "Tapi jangan sekarang."
"Kapan, Tuan?" "Aku akan pulang ke Arab dulu. Ini musim haji. Nah, rukun
Islam mengajarkan bahwa kita harus naik haji."
"Jadi." "Jangan khawatir! Tidak lama!"
Seminggu kemudian Tuan Rojak meninggalkannya. Dengan
pesan jangan keluar ke mana-mana. Jangan terima tamu. Dan
masih banyak lagi kata-kata "jangan" dan "harus". Setelah itu 123
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
semua kenikmatan di tempat tidur Rojak cuma tinggal
kenangan. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, perutnya
membuncit. Rojak yang katanya pulang-sementara itu, tetap
tidak muncul. Dan tiba-tiba saja datang punggawa kadipaten
yang mengatakan bahwa sewa rumah ini sudah habis. Jika
tidak diperpanjang maka penyewanya harus pergi. Dan


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan menangis ia pulang ke Sempu.
Namun di Sempu Repi dan anaknya, Sekar, sudah pergi.
Para tetangga menuturkan bahwa Repi sudah menikah
dengan orang Jawa dan pergi meninggalkan Sempu. Entah ke
mana, tak ada yang tahu. Cuma semalam ia tidur sendirian.
Esok harinya Kebhi bertekad mencari anaknya. Atau jika tidak
ketemu, ia akan minta tolong para pelaut. Ia akan ikut
berlayar supaya dapat menyusul orang yang menghamilinya.
Pengalaman Kebhi dan Repi tentu tidak lepas dari
pengamatan Segara. Lindu Segara! Karena akhirnya Kebhi
menjumpainya. Tentunya cuma nahkoda muda dan gagah ini
yang akan dapat menolongnya mencari Abdul Rojak. Tapi
Lindu Segara masih belum berniat mengangkat sauh. Di
samping menanti angin, ia masih ingin melihat wisuda
pemberian gelar Raden Tumenggung Wiraguna.
Bahkan berita yang ia dengar dari para pedagang di pasar-
pasar, kedai-kedai, Raden Tumenggung juga akan
mengangkat seorang permaisuri. Istilah baru yang dipakai
sekarang: "garwa padmi". Tentu bukan istilah Blambangan.
Lindu Segara geleng kepala. Sampai istilah pun penguasa
Blambangan sekarang meminjam istilah asing. Apalagi modal!
Yang lebih menarik perhatian adalah nama calon garwa padmi
itu. Sri Tanjung! Tentunya wanita tercantik di seluruh
Blambangan. Semua orang bertanya dalam hati, siapa wanita beruntung
itu" Akan diperistrikan seorang gagah, tampan, dan kaya. Para
wanita persembahan, selir, dan banyak lagi wanita yang
pernah melihat wajah Mas Ngalit menjadi iri terhadap Sri
124 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanjung. Sebentar saja nama Sri Tanjung telah menjadi buah
bibir. Di mana-mana orang berkhayal membayangkan wajah
Sri Tanjung. Kawula pribumi Blambangan tentu tahu makna
nama Sri Tanjung itu. Tanjung adalah nama sebuah bunga
yang harum baunya. Sedang Sri adalah sinar. Bunga Tanjung
yang bersinar-sinar! Tentu wanita luar biasa. Bahkan Residen
Schophoff sendiri sempat menanyakan pada Arinten tentang
tersebarnya berita seorang wanita ayu bernama Sri Tanjung.
Arinten merasa bersalah dengan tersebar luasnya berita itu.
Ia menyesal mengapa adiknya tidak tanggap. Padahal ia
sudah katakan bahwa Mas Ayu Tunjung tidak menolak, tapi
tak bersedia bersuamikan seorang adipati.
"Mengapa tidak Kanda katakan bahwa kita bisa
membangun kerajaan Blambangan seperti zaman ayahnya?"
tanya Mas Ngalit. Ia tidak ingin adiknya kehilangan
keseimbangan bila ia katakan terus-terang bahwa Mas Ayu
Tunjung menolak. Ia melihat betapa adiknya amat kecewa
karena gagal memboyong Mas Ayu Tunjung. Maka
diperintahkannya agar desa Songgon dikepung agar Mas Ayu
tidak dapat kabur. Tapi sekarang pengepungan sudah berjalan
satu bulan. Tetap saja Mas Ayu Tunjung tidak goyah. Karena
memang orang Songgon tidak pernah kelaparan. Songgon
tidak pernah rugi dengan pengepungan desanya yang
bertepikan hutan-hutan itu. Pada kenyataannya pagar betis itu
tidak dapat sepenuhnya melingkari desa Songgon. Karena jika
itu dilakukan, harus menembus hutan-hutan lebat. Banyak
orang takut menembus hutan lebat di Blambangan. Terlalu
banyak sisa jebakan dan songga yang siap mengirim siapa
pun ke alam maut. Berapa banyak tenaga penebang dari
Jawa, Madura, dan daerah-daerah lain yang harus binasa
ditelan jebakan-jebakan itu" Maka Juru Kunci mengusulkan
agar dikirimkan utusan untuk mendekati sang putri, sekaligus
menyelidik. 125 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi tak seorang pun bekel berani masuk Songgon. Bahkan tidak seorang punggawa
pribumi pun yang berani. Sampai Juru Kunci pun tidak berani masuk Songgon.
"Kenapa, Yang Mulia?" Mas Ngalit tidak mengerti.
"Ampun, Yang Mulia. Bukankah Songgon adalah pertapaan leluhur raja-raja
Blambangan" Mengusik mereka sama dengan mengusik leluhur yang telah tiada.
Lihat, berapa korban Belanda di Indrawana dan Derwana, sekalipun mereka menang"
Bahkan sesudah perang berhenti, kematian belum berhenti. Karena itu, ampunkan
hamba, Yang Mulia." "Siapa, yang bisa kita tugaskan?"
"Kita coba minta tolong pada Singa Manjuruh. Sekalipun ia bukan pribumi, tapi
rupanya ia punya banyak pergaulan dengan pribumi. Nampaknya ia sudah lancar
bahasa Blambangan." Maka Singa Manjuruh pun dipanggil menghadap. Untuk yang pertama ia menghadap
seorang adipati selama di Blambangan. Alun-alun di depan pendapa nampak terawat
resik. Dua beringin berdiri kokoh di tengah alun-alun itu. Dari kejauhan seolah
dua raksasa kembar. Beringin lambang pengayoman. Seorang adipati tentunya juga
seorang pengayom. Kenapa kembar" Lambang keadilan. Tidak pernah berat sebelah
dalam memutuskan suatu perkara. Bebatuan terhampar sepanjang jalan yang
menghubungkan gerbang dengan pendapa. Di kiri-kanannya terhampar rumput yang
sengaja dipangkas rapi, seolah permadani hijau. Gardu penjagaan berada di kiri
gerbang. Singa Manjuruh masih sempat memperhatikan bahwa di sebelah kiri pendapa
itu ada rumah kereta. Dan pendapa itu juga diteduhi oleh pohon beringin di kiri-
kanannya. Ia masih ingat begitu juga keadaan di Mataram. Jadi Blambangan
sekarang malah meniru bangunan orang lain yang lebih rapuh daripada bangunan
moyang mereka sendiri. Tak ada pilar kuningan atau emas
seperti yang diceritakan sahabatnya, Mas Dalem Puger. Kini
126 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
cuma pilar-pilar kayu. Tapi di salah satu pilar tergantung
sebuah papan besar. Di papan itu setiap orang akan bisa
membaca silsilah. Silsilah Mas Ngalit. Dari Mas Ngalit ke
ayahnya yang bernama Wiraguna, ke atas lagi sampai ke
Tawang Alun, dan terus diurut ke atas Bhree Wirabhumi, terus
ke atas... ah, Brawijaya. Singa Manjuruh jadi ingat ayahnya.
Dulu ayahnya juga menceritakan bahwa keluarganya adalah
keturunan Brawijaya-. Rupanya sudah menjadi demam bagi
para nara-praja di Jawaini, semua mengaku keturunan
Brawijaya. Sampai-sampai kawula desa Pecuk Pecu-kilan yang
tak pernah tercatat itu, jika mampu meraih tata kehidupan
yang lebih tinggi dari manusia sebangsanya,. akan menebah
dada sebagai keturunan Brawijaya. Siapa yang tak harus
menghormat raja adiluhung itu" Dengan mencatatkan diri
sebagai keturunan Brawijaya, maka biasanya orang menuntut
penghormatan dari orang lain.
Tidak ada kursi lain kecuali yang diduduki oleh Mas Ngalit
dan Juru -Kunci. Dengan kata lain ia harus ngelesot di tanah
atau lantai pendapa itu. Sungguh belum pernah ia lakukan
yang semacam ini. Ia pergi dari negerinya karena tak mau
ngelesot di hadapan para pembesar Mataram. Dan harini ia
harus mengerjakannya. Aniaya memang. Tapi ia tak berani
berbuat apa-apa. Istrinya sedang mengandung.
"Ada titah penting maka Yang Mulia memanggil hamba?"
Singa Manjuruh langsung pada persoalannya.
"Wisudaku tinggal tiga bulan lagi. Tapi istriku, eh, calon
garwa padmi belum juga datang ke Banyuwangi. Setelah kami
timbang, tiada yang lebih pantas untuk menjemputnya
kecuali...." Mas Ngalit berhenti sebentar. Seperti ragu, "Singa Manjuruh."
"Hamba" Menjemput garwa padmi?"
"Ya. Lalu tempatkanlah beliau di seberang jajan menuju ke
pelabuhan. Ada sebuah rumah besar yang berhalaman luas.
Sengaja dibangun untuk beliau."
127 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya, Al ah. Belum pernah hamba mengerjakan yang
semacam ini. Di mana sekarang sang putri berada?"
"Songgon. Kau harus menjemputnya di pertapaan
Songgon." "Songgon?" Singa Manjuruh terkejut. Mendadak mukanya
menjadi pucat. Ujung kumisnya menurun di luar sadarnya.
Seperti ekor anjing menurun dan merapat ke perutnya kala
melihat harimau. "Kenapa?" Mas Ngalit melihat perubahan wajah Singa
Manjuruh. Curiga. Apalagi kini Singa Manjuruh tampak
termenung. "Siapa nama calon garwa padmi itu?" Singa Majuruh minta keterangan lagi.
"Sri Tanjung." "Sri Tanjung?" "Ya. Pergilah!"
"Mudah-mudahan sang putri bersedia menerima hamba
yang hina ini. Tapi jika tidak berhasil, janganlah kiranya Yang
Mulia murka. Karena memang tidak sepantasnya seorang
garwa padmi dijemput cuma oleh seorang bekel yang hina."
"Sri Tanjung akan menerima siapa saja," Mas Ngalit
menegaskan. Singa Manjuruh kemudian meninggalkannya.
Tentu saja ia berharap sepenuhnya pada keberhasilan Singa
Manjuruh. Singa Manjuruh tidak langsung ke Songgon. Juga tidak
terlebih dahulu pulang. Berkali ia menoleh kiri-kanan dan
belakang. Mengamati ^alau-kalau ada orang yang
membuntutinya. Tapi tidak ada. Sepanjang jalan ia tak habis
heran. Sri Tanjung. Ah, ternyata yang namanya sudah
masyhur dan menjadi percakapan tiap gerumbul manusia itu
adalah Mas Ayu Tunjung. Bukankah' dia sudah menjadi istri
128 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rsi Ropo" Dan Singa Manjuruh adalah sahabat kedua suami-
istri itu. Calon garwa padmi ternyata istri orang. Mana ia
berani disuruh mengambil istri orang. Apalagi istri Rsi Ropo. Ia
tahu persis bahwa pemuda yang berjubah brahmana itu
adalah Sratdadi. Pernah menjadi seorang menteri mukha di
pemerintah bayangan Blambangan. Jika sekarang ini mereka
kalah, tentu musuhnya bukan cuma Kompeni. Mereka
dikeroyok Madura, Surabaya, Pasuruan, Sidayu, Probolinggo,
dan orang-orang Blambangan sendiri.
Kalau secara bersama-sama Sratdadi tidak ada
kemampuan melawan VOC, bukanlah berarti ia akan
menyerah jika haknya secara pribadi diambil dengan semena-
mana. Tiba-tiba Singa Manjuruh teringat seorang sahabatnya
kala kecil yang saat ini berada di sini sebagai manusia
buangan. Ia sering bersua akhir-akhir ini. Temannya telah
mendengar bahwa ia diangkat menjadi kepala daerah Singa
Juruh. Jadi temannya sengaja mencari.
Mantrolot senang sekali kala Singa Manjuruh memasuki
gubuknya. "Kau tidak ke sawah, Lot?"
"Ha... ha... ha... Ini kan musim nganggur. Tinggal
menunggu waktu panen saja." Ia memberi isyarat pada tiga
istrinya supaya ke belakang. Singa Manjuruh mengikuti
mereka dengan lirikan matanya. Tiga wanita muda yang
pinjungan. Rata-rata pinggul mereka bahenol. Pintar juga
Mantrolot yang sudah berumur hampir setengah abad itu
menggaet wanita. Mereka kemudian duduk di amben besar
menghadapi kinang. Sebentar kemudian seorang istrinya
menyuguhkan air gula aren. Bumbung sebagai gelasnya.
"Masih suka mengumpulkan wanita?" Singa Manjuruh
menggoda. "Mereka membutuhkan perlindungan. Di tempat asal
mereka menjadi korban nafsu lelaki. Di sini pun mereka
129 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengalami nasib yang sama. Jadi, karena minta tolong
padaku maka aku melindunginya."
"Baik budimu. Tapi.."
"Jangan katakan aku punya pamrih, Kawan. Hidup itu
memberi dan diberi. Di luar itu jmerampas dan dirampas!"
Tertawa. Ikat kepalanya yang hitam dan kedua ujungnya
ditarik ke bawah di belakang kepalanya itu bergoyang-goyang.
Hidungnya yang besar dan lobangnya dipenuhi bulu-bulu itu
kembang-kempis. "Eh, kurang nikmat ya. Di sini tidak ada tembakau. Tidak
seperti di Mataram. Aha, ingat cerita Rara Mendut" Wanita
pantai yang hendak digundik oleh bandot sekaligus bandit dari
gunung?" "Eh, Satria! Pahlawan Mataram kau bilang bandit?" -
"Satria atau pahlawan bagi Senopati! Bagi Mataram. Bagi
orang-orang pandai" Tak lebih dari bandit menjijikkan!
Kepintarannya menja-rah-rayah semata. Ha... ha... ha...
menjarah-rayah milik orang tak berdaya!"
Keduanya tertawa. Di balik dinding tiga istri Mantrolot sibuk
dengan urusan mereka bersama. Kadang memang tertawa
terkikik-kikik. Entah apa yang mereka tertawakan.
"Sekarang kita berhadapan dengan Wiraguna baru. Raden
Tumenggung Wiraguna!" Singa Manjuruh menerangkan. Kita
sudah jadi penduduk Blambangan. Kita dilibatkan dalam
banyak persoalan di sini. Termasuk membayar pajak."
"Kita lebih berat dari semua pribumi____"
"Jangan katakan itu!" Singa Manjuruh buru-buru
mencegah. "Pribumi saat ini menghadapi penderitaan batin
yang luar biasa beratnya. Kita datang untuk memperoleh
tanah garapan. Mereka?" Diam sebentar. Menarik napas. Lalu
melanjutkan, "Mereka kehilangan. Sungguh dengan kehadiran
kita mereka terpukul. Karena pembisu-an mereka sebenarnya
130 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
adalah melawan pajak. Melawan upeti! Tapi kita justru
memberikan pada Mas Ngalit apa yang tidak mereka berikan.
Kita tidak membantu mereka."
"Weh... weh...," bibir tebal Mantrolot berdesah. "Aku baru mengerti."
Mengangguk-angguk. Wajahnya tertunduk dalam-dalam.
"Kau di daerah asalmu dianggap sebagai pemberontak.
Bahkan lebih jelek dari itu, golongan kraman! Bisa-bisa
dianggap bromocorah! Juga pribumi Blambangan di mata Mas
Ngalit si adipati yang dihadiahi gelar Raden Tumenggung
Wiragu-na itu. Apalagi di mata VOC. Siapa yang tidak
menguntungkan VOC, dianggap penjahat. Padahal..." Berhenti
sebentar untuk mengusap ludah yang nerocos di sudut
bibirnya, "padahal, kita tahu, Blambangan ini bukan milik
moyang VOC itu. Juga bukan moyang kita."
"Weh... weh..." Giginya yang besar-besar itu menguyah
kinang. Kemudian meludah. Suaranya yang parau dan seperti
guntur bergema di lereng-lereng bukit ia simpan. Sesekali
batuk. Dada yang bidang itu bergoyang karena batuk.
"Mereka tak mengerjakan sawah dengan maksud agar
Belanda dan pasukannya kelaparan. Tapi kita memberi mereka
makan. Apa ini namanya tidak mengecewakan?"


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Waduh... modar (mati ,dari bahasa Jawa yang kasar) aku!
Sambar geledeg! Kalau aku tahu begini mending jadi begal."
(perampok) Mantrolot bangkit sambil memukul-mukulkan
telapak tangannya pada kepalanya sendiri. Ia. menyesal
mengapa kepalanya berotak dungu. "Apa akal kita untuk
menebus, ya menebus kesalahan kita ini?" Berbalik kepada
Singa Manjuruh. Tinggi besar dengan celana hitam. Tali
celananya sebesar lengan anak lima tahun. Kumisnya
menutup bibir atas karena tidak teratur.
"Berapa anak buahmu sekarang?"
131 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lima ratus lima puluh." Orang itu mengerutkan keningnya.
"Mau berontak?"
"Tidak! Tidak, Kang! Anak buahku sendiri sekarang sekitar
tujuh ratusan. Tapi aku tidak akan menempuh jalan itu lagi."
"Kenapa" Sudah ciut hatimu?"
"Tidak. Tapi cobalah kita lihat! Mereka punya segala. Bedil
dan modal. Semua orang bisa dibayar untuk menentang kita.
Semua orang bisa ditakut-takuti untuk membenci kita.
Sekarang, kita perlu menjalin persahabatan dengan semua
pribumi. Mengambil hati mereka. Membela hak mereka.
Memberi mereka makan."
"Itu juga memberi perlawanan secara tersendiri?"
"Melestarikan kehidupan suatu bangsa, bukankah itu
pekerjaan yang mulia" Biar orang katakan kita gombal! Tapi
hati kita dipenuhi cita-cita mulia! Karya kita mulia semata-
mata!" "Aku setuju!" Kemudian Singa Manjuruh menceritakan perintah
Tumenggung. Kini keduanya tertawa. Dan setelah itu Singa
Manjuruh mengajak kawannya pergi ke Songgon.
"Kau perlu berkenalan dengan Rsi Ropo. Kita akan
mendengar petunjuk sang Rsi. Kendati ia masih muda, tapi
bijak." "Aku dengar Songgon dikepung dengan pagar betis.
Bagaimana kita bisa masuk?"
"Saat ini aku utusan Adipati untuk berembuk dengan garwa
padmi. Apa susahnya. Kita gunakan saja kesempatan ini."
Keduanya berangkat setelah berpamitan kepada istri
Mantrolot. Mereka mampir ke Singa Juruh untuk berpamitan
pada istri Singa Manjuruh.
132 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sambar geledeg! Manis juga istrimu!" umpat Mantrolot di jalan menuju Songgon.
Dengan berjalan kaki begitu, tentu
memakan waktu lima hari. Kendati Singa Manjuruh sudah
mencoba menempuh jalan-jalan melintas. Keduanya
membunuh waktu sambil berbincang, bergurau, tidur, dan
terus berjalan. Salahnya .mereka bukan Gatot-kaca tokoh
wayang purwa yang bisa terbang, sehingga tak membutuhkan
waktu lama dalam mengalahkan jarak. Jarak yang selalu ada
di depan dan di belakang.
Tidak ada kesulitan bagi mereka melewati pos penjagaan.
Karena pada kepala pasukan penge-pung Songgon itu telah
dikirimkan berita bahwa ada seorang yang akan melintas
memasuki Songgon. Walau kini jumlahnya menjadi dua,
kepala pasukan pagar betis itu tak peduli. Rupanya dia sendiri
jenuh dimakan nyamuk. Atau barangkali, sudah mulai banyak
anggotanya yang sakit. Malaria dan kuning. Bahan makanan
juga kurang bagus. Sayur kangkung, terong, rebung. Akan
mencuri ayam penduduk Songgon takut. Sebab pasti mereka
pulang tinggal nama saja. Sementara orang Songgon tidak
satu pun yang mengangkat tangan menyerah.
Kesulitan bagi Singa Manjuruh justru saat ia mulai
memasuki perkampungan Songgon. Bersamaan dengan
langkahnya masuk desa itu, kere-mangan mulai turun.
Seorang petani bertubuh kokoh mencegatnya di ujung
perkampungan. "Sungguh. Ada berita yang amat penting untuk didengar
oleh Rsi sendiri." Singa Manjuruh meyakinkan dalam bahasa
Blambangan yang cukup bagus.
"Terlalu mudah bagimu menembus penjagaan Kompeni.
Apakah kami boleh percaya?"
"Justru jika aku tak dapat bersua Rsi malam ini, maka
kalian lebih akan menyesal sepanjang hidup. Jangan
persoalkan akal apa yang kupakai mengelabui mereka. Atau
133 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kalian boleh mengirim seseorang terlebih dahulu pada Rsi.
Beritahukan Singa Manjuruh datang menghadap."
"Singa Manjuruh?" Petani itu mengingat-ingat. "Bukankah...
kau yang mendirikan desa Singa Juruh?"
"Atas perkenan Yang Mulia Ramad Surawijaya anumerta."
"Tapi kenapa kau mempersembahkan upeti pada..."
"Jangan salah paham, Saudaraku! Kami sudah kehabisan
peluru. Kehabisan panah. Kehabisan tenaga. Kehabisan..."
Tiba-tiba saja kata-kata Singa Manjuruh terpotong oleh
derap kuda yang makin mendekat. Seorang pemuda yang
tidak jelas wajahnya turun dan berbisik pada petani itu.
Kemudian balik ke kudanya dan kabur. Hati Singa Manjuruh
berdebar. Ingatannya melayang pada masa perang.
Sementara itu Mantrolot diam saja. Menahan semua
ketidaksabarannya. "Baiklah! Kalian diizinkan masuk."
Singa Manjuruh dan Mantrolot saling pandang. Dengan
kata lain Rsi Ropo sudah tahu kedatangan mereka. Sambil
berjalan ia memberi isyarat pada temannya agar tenang.
Jangan menimbulkan kecurigaan. Ia ingat betul bagaimana
cara orang Blambangan menjebak lawannya.
Kegelapan memang benar-benar turun kala keduanya
menaiki titian pendapa pertapaan. Pelita nyaris berjajar di
tiap-tiap tiang. Rsi dan istrinya duduk di atas sebuah amben
lebar. "Silakan duduk bersama kami, Raden. Ya, kalau aku tak
salah ini adalah Raden Singa
Manjuruh." Kedua suami-istri itu berdiri. Turun menyambut
tamunya. Sekalipun di bawah sinar pelita kedua orang itu
masih sempat memperhatikan, betapa keduanya seolah
Kamajaya dan Kamaratih yang turun dari kahyangan.
134 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rsi Ropo mengenakan jubah hitam. Bersabuk pending
emas. Kalung juga terbuat dari emas. Panjang sampai ke
perutnya. Dan medali bergambar kembang teratai sebesar
telapak tangan tergantung di ujung lekukan kalung bahagian
bawah. Kulit kuning makin nampak serasi dan menyolok
karena busana hitam seperti itu. Di sebelahnya Mas Ayu
Tunjung mengenakan kain kuning. Sutera seperti milik
suaminya. Mungkin saja buatan Cina. Selendang juga kuning
tersampir di pundaknya dan turun menutup sebelah susunya.
Sedang yang sebuah dibiarkan terbuai oleh angin malam.
Mantrolot melotot kaget. Dalam hati memuji betapa sempurna
kecantikan wanita itu. Wajahnya nampak bersinar dihiasi
kalung mutiara putih yang melingkar di leher jenjangnya.
Pendek kata seribu pesona menyatu dalam tubuh Mas Ayu
Tunjung. Singa Manjuruh tampak menjadi gugup. Dengan buru-buru
ia memberi isyarat pada temannya untuk menyembah. Dan
kedua orang yang nampak agung seperti dewa-dewi itu
mempersilakan mereka berdiri. Kemudian sekali lagi mengajak
mereka duduk dalam amben besar yang memang tersedia di
tengah pendapa. Biasanya dipakai tempat duduk Rsi dan para
cantrik yang terpercaya waktu mengajar.
"Tentu kedatangan Raden kali ini bukan sekadar
berkunjung untuk menengok kami. Dalam kepungan rapat
yang menyusahkan semua orang ini, cuma seorang sahabat
yang datang dengan tujuan baik. Selebihnya tidak. Tak ada
orang suka berbaik-baik pada orang menderita. Atau orang
miskin." "Ah, Yang Tersuci, ini bisa-bisa saja. Mulai meragukan
kesetiakawanan hamba?" S^nga Manjuruh meniru-niru gaya
orang lain di Blambangan bicara.
"Sekali lagi, cuma sahabat yang memperhatikan nasib
seorang teman. Karena sebenarnyalah sahabat itu teman
135 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam suka-duka. Dan seorang sahabatlah yang sanggup
memberikan nyawanya bagi orang lain."
"Ya, ampun! Bukankah hamba membabat Singa Juruh itu
atas perkenan Yang Mulia Ramad Surawijaya anumerta"
Apakah hamba bisa melupakannya" Rasanya hamba belum
pernah menjumpai seorang sebaik pangeran itu. Eh, ampuni
hamba, belum memperkenalkan teman hamba ini. Dia berasal
dari Ponorogo. Mantrolot."
"Gagah namanya! Artinya seorang ulet. Segagah itu pula
orangnya. Selamat datang, Tuan."
"Terima kasih..." Mantrolot gugup menerima pujian dan
dipandang secara tajam oleh kedua pasang pemimpin
Songgon itu. Ia lebih kagum karena ternyata Rsi Ropo
memujinya dalam Jawa yang bagus. Dari mana orang ini
belajar" "Baiklah. Aku tidak akan mempersoalkan kesetiaan. Bagiku
tidak akan ada pengaruhnya. Yang penting sekarang aku ingin
tahu, apakah kau datang dengan tugas menangkapku, Raden"
Barangkali saja, sebagai imbalan tidak diusiknya lagi pelarian
Mataram, maka ia dihadapkan padaku."
"Ampun, Yang Tersuci... tak ada tugas untuk itu."
"Kebiasaan Kompeni adalah mengadu domba. Ingat kau
pada Amangkurat II" Bukankah dia yang mengkhianati
persahabatannya dengan Tru-najaya" Ha... ha... ha... Maafkan
aku! Bukan aku menuduhmu, Raden!"
Makin gugup Singa Manjuruh mendengar Rsi itu tertawa.
Rupanya Rsi sengaja berbahasa Jawa supaya Mantrolot bisa
mengikuti pembicaraan mereka. Hati Mantrolot juga berdesir.
"Ah, silakan bersirih!" Ayu Tunjung memecahkan
ketegangan tamunya. Sebentar kemudian seorang gadis
telanjang dada mengeluarkan minuman. Air gula aren. Lega
hati kedua tamu itu. 136 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Memang agak mengejutkan kedatangan Raden di tengah
pengepungan yang dilakukan Mas Ngalit. Bukankah Raden tadi
melewati gerbang sebelah barat?" Suara merdu Tunjung
kembali terdengar. "Hamba..." "Itu yang aneh! Selama ini tak seorang pun boleh
melewatinya. Baik orang Songgon sendiri ataupun orang lain.
Wajar jika kami menyimpulkan bahwa kedatangan Raden atas
tugas dari Banyuwangi. Setidaknya Raden sudah bersua
dengan calon Raden Tumenggung Wiraguna!" Tunjung makin
membuat mereka terkejut. Sekalipun dikepung oleh pagar
betis, berita tetap saja sampai ke telinga mereka.
"Weh... weh... berita itu sudah sampai kemari?"
"Setinggi-tingginya pengetahuan seseorang, tanpa berita ia
akan menjelma menjadi sedungu-dungunya orang. Mas Ngalit
berusaha supaya kawula Blambangan tidak mendengar berita
apa pun! Karena dia sendiri seorang dungu, maka ia juga suka
pada kedunguan orang lain. Barangsiapa melarang orang lain
mendengar berita, sebenarnyalah telah melakukan kegiatan
biadab yang paling tidak manusiawi! Karena ia sedang
berusaha melakukan penipuan dan berusaha memperbodoh
kawula!" Rsi Ropo menjelaskan.
Singa Manjuruh tertunduk. Mantrolot memandangnya.
Pelita-pelita yang tertempel di tiang-tiang pendapa itu
berkebat-kebit ditiup angin. Seperti bendera-bendera kecil.
Demikian pula adanya hati Singa Manjuruh. Dia kenal betul
pada kedua suami-istri ini. Keduanya kokoh dalam sikap dan
pendirian. Tidak seperti dirinya. Bersedia memberikan upeti
dan mengirimkan tenaga untuk "bergotong-royong"
membangun ibukota. Ia makin tak berani memandang wajah
mereka. Seolah penuh kemuliaan. Kemuliaan yang bukan
terpancar dari pakaian mereka. Tapi dari dalam hati nurani
yang bersih. 137 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka ia berkeputusan untuk berterus-terang. Ia menceritakan apa yang harus
dikerjakan sesuai dengan perintah Mas Ngalit. Wajah Mas Ayu Tunjung membara.
Tapi bibirnya tetap tersenyum. Dan sebelum suaminya memberikan jawaban, ia lebih
dahulu menjawab. "Sungguh tak tahu malu! Bukankah aku sudah menolak melalui Arinten yang
melamarku" Bukankah jodang dan semua persembahan lamaran itu mereka bawa pulang"
Baik! Raden, katakan padanya! Semua yang ada di bumi ini bisa dibeli! Bisa! Tapi hati
dan otakku tidak pernah dapat dibelinya!
Pendapat dan keyakinanku tak pernah dapat dibelinya! Aku bukan sundal!" Ayu
Tunjung memuntahkan lahar dari hatinya.
"Hamba sudah mengira "bahwa hamba tidak akan berhasil memboyong Sri Tanjung. Dan
memang itu tidak penting bagi hamba." Singa Manjuruh kemudian melirik temannya.
Setelah menghela napas panjang ia melanjutkan, "Kedatangan kami berdua justru
ingin menawarkan bantuan. Apa yang bisa kami lakukan untuk membantu Blambangan"
Kami berdua telah merasa bersalah."
Rsi tersenyum. Juga Ayu Tunjung.
"Barangkali dengan sikap Mas Ngalit yang seperti sekarang ini terutama ancaman
bagi Yang Mulia Tunjung, Yang Tersuci kembali mengobar--v kan perang. Maka kami
siap membantu. Apa saja kebutuhan Yang Tersuci. Pasukan maupun bahan makanan," Singa Manjuruh
menawarkan. Mantrolot mendukung. Atau jika tidak, mereka sanggup membantu bahan
makanan selama Songgon dikepung.
"Seorang Rsi tidak pernah bertempur," Ropo menegaskan.
Suasana menjadi hening sejenak. Suara jangkrik merajai alam. Nyamuk sering
mengganggu. Cicak berlarian memburu mangsanya. Kadang berkejaran untuk
bercengkerama dan bersenggama. Tikus pun tak mau kalah. Menimbulkan kegaduhan di
langit-langit. Tak tahu apa yang sedang mereka 138
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lakukan. Ayu Tunjung kembali memecahkan kebisuan dengan
suaranya yang merdu. "Ini bukan persoalan negara dan kawula. Tidak patut
melibatkan seluruh kawula. Apalagi sampai berperang. Perang
-melahirkan berjuta aniaya. Sebenarnyalah cuma manusia


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banaspati (iblis penghisap darah) sajalah yang suka akan
peperangan itu. Walau kita tahu memang ada soal yang tidak
bisa diselesaikan tanpa perang."
"Jadi bagaimana jika Mas Ngalit memaksa dan menyerbu?"
Singa Manjuruh memancing kini.
"Aku akan menghadapinya sendiri. Karena ia tidak sedang
bersoal dengan kawula. Tapi dengan aku!" Ayu Tunjung
menjawab. "Baiklah!" Rsi Ropo menengahi. "Semalaman pembicaraan kita tidak akan habis. Aku
terima bantuan makanan dari
kalian. Tapi bukan untuk Songgon. Sebab Songgon tidak
pernah kekurangan makanan. Kalian bisa mengirimkan ke
desa kecil di dekat Lateng. Repi ada di sana. Ia menjual jamu.
Namanya sekarang bukan lagi Ni Repi. Tapi Ragajampi.
Karena ia menjual jamu untuk menyehatkan tubuh. Suaminya
bernama Pamardi. Seorang Jawa yang pandai berbahasa
Blambangan. Dia blantik sapi dan kuda." "Selain itu?"
"Mereka bertugas memberi makan pada orang-orang yang
bersembunyi di Sembulungan, Jajak, dan hutan-hutan sekitar
Gunung Srawet." "Baiklah, Yang Tersuci. Hamba berterima kasih karena
diberi kesempatan menebus kesalahan kami. Tapi adakah
jalan rahasia supaya kami dapat memasuki Songgon ini tanpa
setahu penjaga tapal batas itu?"
139 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ada. Tapi kalian tidak perlu tahu. Cukup hubungi
Ragajampi! Dia akan menyampaikan semua berita dari kalian
padaku." Keduanya kemudian mohon diri. Tapi tidak diperkenankan.
Keesokan harinya barulah mereka meninggalkan Songgon.
Tidak terus menghadap Mas Ngalit. Tapi pulang dulu ke Singa
Juruh. Setelah berunding dengan istri Singa Manjuruh mereka
mampir lagi ke rumah Mantrolot. Dan Mantrolot segera
melepas sahabatnya dengan hati berdebar. Tidak tahu apa
yang menyebabkan. Tapi ia segera berbalik. Karena ia
bertugas menyiapkan makanan yang akan diperbantukan pada
pribumi Blambangan yang terputus bantuannya dari Songgon.
Selain itu ia bertugas menghubungi Ragajampi di dekat
Lateng. Di desa kecil yang belum ada namanya. Di sana
banyak pribumi berhimpun di samping sebahagian lagi orang
dari Jawa. Mereka tidak boleh kelaparan.
Mantrolot sendiri yang akan berangkat menemui
Ragajampi. Ketiga istrinya ditugaskan menghubungi semua
anak buahnya. Juga selalu mengadakan hubungan dengan
istri Singa Manjuruh yang saat ini sedang giat juga
mengumpulkan pembantu suaminya untuk membagikan tugas
ke seluruh pengikutnya agar mengumpulkan bahan makanan.
Bantuan ini akan dilakukan secara diam-diam.
Sementara itu Singa Manjuruh dengan ragu menapakkan
kakinya ke pendapa kadipaten, di Banyuwangi. Pembangunan
kota makin mendekati penyelesaian. Mas Ngalit telah
memerintahkan agar pembangunan dipercepat. Semua desa
harus menambah tenaganya. Demikian pula para pengusaha
harus mempercepat pembangunan yang dipercayakan
padanya. Jika tidak maka izin bisa dicabut dan tanah yang
sudah dibelinya akan disita kembali. Semua harus dipacu.
Demikian pula tempat pesanggrahan calon tempat tinggal Sri
140 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanjung. Ah, Sri Tanjung lagi! Manusia tak ubahnya intan
yang mampu berjalan. Hari-hari Mas Ngalit tak pernah kosong dari bayangan Ayu
Tunjung yang diberinya nama Sri Tanjung. Semua kidung
yang keluar dari bibirnya kala ia mandi, ia pergi tidur, semua,
untuk Sri Tanjung. Ah, seandainya akan mati pun bisa batal
jika teringat orang hitam manis itu, kata hatinya.
Tapi penantian yang seolah tak membuahkan harapan itu,
membuat hatinya terombang-ambing. Mungkinkah nanti jika
aku mati dapat berkumpul dengannya" Di kala hidup pun tiada
dapat bersanding. Atau aku ditakdirkan bernasib seperti ikan
layur di tengah samudra raya" Keluyuran tanpa jodoh" Ya,
ampun Tuhan, berikan Sri Tanjung itu sebagai jodohku. Dan
Mas Ngalit berdoa. Bertahajud setiap malam. Ya, sembahyang
tahajud! Tidak cukup sebelas rakaat. Tidak tahu lagi berapa
kali hitungan rakaatnya. Jika perlu sepanjang malam ia
bersembahyang sambil memanggil nama Sri Tanjung.
Raden Tumenggung Wiraguna ingin melonjak ketika
menerima laporan bahwa Singa Manjuruh menghadap. Ingin
rasanya segera memuntahkan kepundan kerinduan yang
menyesaki dadanya. Ia mengenakan pakaian terbagus hadiah
Tuan Gubernur Van De Burgh. Berkali bercermin dan
membetulkan letak keris sebelum keluar. Barangkali Sri
Tanjung telah mengenakan pakaian yang terbagus pagi ini.
Naik apa dia" Ditandu oleh orang-orang Singa Manjuruh"
Ketampanan Mas Ngalit membuat para selir jadi cemburu.
Tapi begitu muncul di pendapa hatinya menjadi berdebar.
Ayu Tunjung tidak ada. Cuma Singa Manjuruh yang ngelesot
dengan ditemani oleh Juru Kunci. Keduanya tenggelam dalam
kebekuan. Singa Manjuruh nampak tertunduk lesu. Lelah
karena berjalan jauh. Amat jauh memang jika ditempuh
dengan berjalan kaki. "Apa kabar" Mana Sri Tanjung" Sudah masuk
pesanggrahan?" sederetan pertanyaan meluncur deras.
141 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ampunkan hamba, Yang Mulia. Gusti Ayu Garwa Padmi
tidak berkenan hadir di Ba-nyuwangi. Apalagi cuma dijemput
oleh hamba yang hina-dina ini."
"Lalu?" "Hamba tidak tahu. Cuma itulah jawab beliau. Yang Mulia
Garwa Padmi tidak pantas berjalan seiring dengan hamba.
Tidak juga suka ditandu. Itu dianggap suatu penghinaan bagi
Yang Mulia Garwa Padmi. Maka hamba tidak berani memaksa!
Sebab jika itu hamba lakukan maka beliau bertekad tidak akan
melihat wajah Yang Mulia Adipati lagi. Beliau jijik dengan para
pemaksa. Andai bunga emoh memandang, andai daun emoh
menjamah." "Ya, Al ah! Singa Manjuruh! Siapakah yang pantas
menjemput istriku itu?"
"Hamba tidak berani mengutarakannya. Tentu Yang Mulia
lebih bijak dari hamba sendiri."
Kembali kebisuan merajai suasana. Untuk beberapa jenak.
Ia tak habis mengerti sikap Sri Tanjung itu. Sementara ribuan
gadis berharap jadi istri penguasa tertinggi Blambangan itu.
Kala Singa Manjuruh berpamitan, ia jadi tergagap. Kepalanya
berdenyut-denyut. Sungguh tak pernah ia bayangkan. Seorang
perempuan melakukan penghinaan padanya seperti yang
dilaporkan oleh Singa Manjuruh itu. Apa kekuranganku" Muda,
berkuasa, kaya, tampan" Ah, Sri Tanjung, Sri Tanjung! Ibarat
kayu raksasa yang dikelilingi satwa buas. Atau belibis merah di
jaladri (samudera yang maha luas).Begitu sukarnya kau
dijamah, bahkan diboyong pun. Sungguh langka terjadi.
Hem... Sri Tanjung, Sri Tanjung. Ia berkali menghela napas
dan geleng kepala. Lupa di hadapannya masih ada orang lain.
Juru Kunci. Juru Kunci juga tidak berani berkata apa pun. Tapi ia tahu
persis bahwa atasannya itu sedang mabuk kepayang. Dan itu
akan sangat berbahaya jika tidak terlaksana. Maka ia harus
142 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mencari akal untuk dapat memboyong putri pujaan Adipati
Blambangan. Tak mungkin diganti dengan orang lain. Ah,
Arinten pun gagal. Bukankah ia utusan istimewa" Mengapa
Singa Manjuruh katakan tidak bersedia dijemput cuma oleh
seorang bekel" Arinten adalah kakak Adipati. Bahkan sebagai
ganti ibu Adipati sendiri" Kenapa juga pulang dengan tangan
kosong" Kecurigaan timbul di hatinya.
"Yang Mulia..." Ia mengejutkan Mas Ngalit yang sedang
melamun. Bahkan mulai bercakap-cakap dengan diri sendiri.
"Eh, ada apa, Patih."
"Barangkali, pengepungan atas Songgon itu mengeraskan
hati Garwa Padmi. Ya, ini cuma barangkali, Yang Mulia."
"Hm... mungkin betul pendapat Yang Mulia Patih. Tapi apa
akal kita?" "Justru kita harus menunjukkan sikap yang baik. Merayu itu
tidak bisa dengan kekerasan. Kita semua tahu, orang
Blambangan tidak suka dipaksa. Yang Mulia Jaksanegara
mengalami kepahitan karena menghadapi Mas Rempek
dengan kekerasan." "Jadi?" Mas Ngalit menggeser duduknya. Pantatnya maju.
"Kita harus menarik semua pemagar betis itu."
"Nanti dia lari?"
"Jika barisan pagar betis itu dibuka, hamba akan mencoba."
"Mencoba?" "Ya, mencoba datang ke Songgon untuk Yang Mulia."
"Baiklah!" Mas Ngalit memutuskan.
Kemudian ia bangkit. Masuk kamar. Bergesa ia membaca
surat Yusuf, surat Mariam. Dan beberapa ayat lagi dalam
Alquran. Ia mimpi Mas Ayu Tunjung menciumnya. Merayunya.
Ah, Sri, tidak kau kasihan padaku" Entah berapa kali sehari ia
143 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyebut nama Sri Tanjung. Hampir-hampir ia tak peduli lagi
dengan pekerjaan pembangunan. Ia percayakan semua itu
pada para saudagar dan Juru Kunci. Tapi yang ia tahu,
pekerjaan memang telah hampir selesai. Bandar malah tinggal
sedikit lagi. Ia tidak pernah menghitung, berapa orang mati
karena penyakit malaria dan kuning dengan perut
membengkak. Umumnya orang cuma mengatakan bahwa
mereka ditenung oleh orang-orang Blambangan. Itulah satu-
satunya pertanggung-jawaban yang diberikan oleh pihak Mas
Ngalit dan VOC. Mereka tidak juga peduli berapa orang lagi
yang mati karena cambuk pasukan Kompeni.
Sampai-sampai penyakit muntah-berak yang membawa
kematian sangat banyak, baik bagi pendatang maupun
Kompeni di tangsi, orang Blambangan yang dituduh sebagai
penyebabnya. Tentu kawula Blambangan tak pernah mampu
membela diri. Tidak ada orang yang membela mereka. Semua
yang merugikan VOC di Blambangan, tidak ada orang lain
yang disalahkan. Pasti pengikut Wong Agung Wilis. Sisa laskar
Bayu! Karena memang itulah senjata yang paling ampuh
untuk menanamkan kebencian orang pada Wilis.
Namun demikian penarikan barisan tapal batas desa
Songgon oleh Mas Ngalit itu tidak mengherankan Mas Ayu
Tunjung maupun suaminya, Rsi Ropo. Justru membuat
mereka waspada. Akal apalagi yang akan dilakukan Mas Ngalit
ini" Tentu itu membuat Ropo lebih leluasa mengubah dirinya
menjadi Sratdadi yang bisa muncul di mana-mana setiap
penjuru Blambangan. Bahkan dengan bebas ia menghubungi
Mantrolot dan Singa Manjuruh.
"Begitu tergila-gilanya Mas Ngalit pada Dinda. Sampai
menyediakan pesanggrahan yang amat indah. Lengkap
dengan kolam dan tempat mandi istimewa," ujar Sratdadi
pada istrinya. "Untung aku cepat datang. Jika tidak, bisa-bisa kehilangan
bidadariku." 144 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah, Suaminda..." Ayu Tunjung mencubit lengan suaminya.
"Bisa-bisa saja. Sempat lihat ke istana itu?"
"Tentu menyempatkan diri. Semua wajib kita pelajari.
Barangkali ada gunanya." Keduanya kemudian memasuki
peraduan setelah Mas Ayu Tunjung mencuci kaki suaminya
dengan air bunga. "Cuma hati sundal yang bisa dibeli, suamiku," katanya
setelah keduanya mulai merebahkan diri. Ia cium pipi
suaminya. "Aku percaya." Tiba-tiba saja pandangan mata Sratdadi
menatap langit-langit. "Tapi..."
"Kenapa, Kanda?"
"Aku tak tahu, Adinda. Suatu perasaan aneh menelusuri
hari-hariku. Bayangan wajah Wilis dan Ayu Prabu serta Dalem
Puger dengan Sayu Wiwit silih berganti muncul dalam mimpi-
mimpiku...." "Ah, Kanda..."Ayu Tunjung memiringkan tubuhnya
menghadap suaminya. Pelan-pelan ia mengelus dada
suaminya. Sratdadi menarik napas panjang. "Jangan risaukan
itu. Kita tak boleh membiarkan diri berada di bawah bayang-
bayang ketakutan." "Bukan ketakutan....''
"Lalu" Apa namanya itu" Jika kita telah kehilangan
keberanian, maka kita telah kehilangan salah satu modal yang
kita miliki. Kanda, kita sudah tidak memiliki apa-apa lagi.
Seharusnyalah kita mempertahankan keberanian itu dalam
dada kita." "Kau benar, Istriku. Tapi yang aku risaukan saat ini ialah
jika kita harus memenuhi kewajiban terakhir kita, tapi
pekerjaan belum selesai, apa akan jadinya negeri kita ini"
Tidakkah kau sadari bahwa kita belum mampu
mempersembahkan apa-apa buat pertiwi kita ini?"
145 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa jenak keheningan merajai suasana. Di Luar suara
satwa malam bersaut-sautan. Tak ada lagi suara anak-anak
kecil berlarian atau main gobak sodor. Kedinginan mulai
merasuk ke tiap sela dinding. Terus menjamah siapa dan apa
pun. Minyak kelapa di tempatnya pun menjadi beku.
"Apa kita harus mengungsi?" tiba-tiba Ayu Tunjung
memecah kesunyian. "Ada terpikir seperti itu. Tapi masalahnya akan jadi lebih
rumit. Dulu kita punya banyak persediaan makanan untuk
memindahkan orang ke hutan lain dan membabatnya. Tapi
sekarang" Akd tak sanggup melihat mereka mati kelaparan
karena cuma membela kita berdua."
"Demi kepentingan mereka juga."
"Cuma kau yang dicari oleh Mas Ngalit! Bukan mereka!"
"Jika demikian, kita tinggalkan saja mereka di sini. Kita
pindah dan mendirikan tempat sendiri."


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adinda, itu pikiran yang bagus. Tapi tentulah -kurang
bijak. Karena Mas Ngalit akan membantai kawula Blambangan
yang cuma tinggal kira-kira tiga ribu orang ini. Maka akan
punahlah kita seperti bangsa Banda. Ya, pribumi Banda yang
dipunahkan oleh samurai Jepang, di bawah uang Yan Pieter
Zoen Coen." Kembali keduanya berdiam untuk beberapa jenak. Sama-
sama menatap langit-langit. Bahkan berulang keduanya
menyebut nama Hyang Maha Pencipta. Keduanya sering
menghela napas panjang. "Sungguh seperti telur di ujung tanduk."
"Ya, Kanda. Seperti telur di ujung tanduk."
"Lalu apa akal kita sekarang?"
"Melawan berarti konyol. Mengalah berarti jadi budak.
Ah..." Sratdadi menatap istrinya kini. Dua mata beradu.
146 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Andaikata ini satu keberakhiran, maka seharusnyalah kita
melakukan..." Ayu Tunjung segera menutup mulut suaminya dengan
telunjuknya yang runcing itu. Ia tidak ingin kemesraan segera
berakhir... *** Kepulan debu membubung tinggi ke angkasa mengiringi
rombongan berkuda yang dipimpin Juru Kunci. Tidak banyak.
Berjumlah lima belas orang Kompeni berkuda. Bukan kulit
putih. Kompeni yang berkulit sawo matang. Umumnya bertopi
bundar terbuat dari mendong. Warna pakaian mereka kuning
kehijau-hijauan. Bersepatu. Cuma Juru Kunci yang
mengenakan baju dari kain beludru berwarna hitam. Dihiasi
dengan kancing-kancing emas. Di pinggangnya terselip keris.
Di belakang kuda Juru Kunci ada sebuah kereta ditarik dua
kuda. Kereta kehormatan milik Adipati Raden Tumenggung
Wiraguna. Kini rombongan itu mulai memasuki Songgon untuk
menjemput sang Garwa Padmi.
Semua orang yang sedang berpapasan jalan mengumpat
karena napas mereka menjadi sesak oleh debu itu. Tapi begitu
masuk di desa Songgon ini, Juru Kunci amat heran. Kawula
yang berpapasan dengan rombongannya tidak mematuhi
peraturan yang berlaku di seluruh Blambangan. Seharusnya
mereka yang berpapasan dengan Kompeni, apalagi jika
sedang mengawal seorang pembesar negeri, maka mereka
harus melempar senjata apa pun yang sedang mereka
pegang. Sabit, cangkul, atau apa saja, harus mereka lempar
sejauh dua depa. Dan. mereka harus membuka topi atau
destar yang sedang mereka pakai, kemudian menjatuhkan diri
menyembah dengan kepala tertunduk. Tapi kawula Songgon
tidak melakukannya. Tersinggung sebenarnya. Tapi ia
maklum, Songgon memang tak sudi mengakui kekuasaan
Kompeni. Karena itu tak seorang pun acuh pada rombongan
itu. Bahkan beberapa ada. yang berani meludah ke tanah.
147 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gila! Betul-betul berhati iblis mereka itu, kutuk Juru Kunci
dalam hati. Meskipun begitu, ia mengakui bahwa desa ini lebih
rapi dari kota-kota lain di Blambangan. Kendati tak satu pun
loji berdiri. Nyiur, pisang, padi, pohon kembang kantil atau
kenanga, semua masih berjajar rapi di tiap pekarangan.
Kehijauan menandakan kesuburan. Tak heran meski
dikepung oleh pagar betis, mereka tidak kelaparan. Lumbung
para petani nampak penuh. Bahkan tumpukan padi sepertinya
sengaja dipamerkan di semua halaman. Baik yang sedang
dijemur, atau yang masih ada merangnya. Musim kemarau,
musim mereka panen. Kelapa dan sayur tidak perlu membeli.
Barangkali cuma garam yang harus mereka cari di luar
Songgon. Sayur terong, lombok, bayam, kangkung, rebung,
nangka muda, semua ada. Juga ikan! Juru Kunci sempat
melihat betapa hampir setiap rumah menyudet kali kecil yang
mengalir melewati halaman mereka untuk mengairi kolam-
kolam kecil mereka. Tentu mereka tidak kekurangan ikan.
'Lele, gabus, wader, belut, bahkan ikan oling (ikan muria, ikan
panjang, bisa besar. Sebesar paha atau lebih) Ah, andai
mereka membayar upeti, tentunya makin banyak yang dapat
dijadikan penghasilan Blambangan. Tapi sejak Jaksanegara,
atau mungkin sebelum itu, orang Songgon bebas upeti.
Anak-anak kecil yang bermain di halaman tidak nampak
kurus-kurus seperti pemandangan umum di Blambangan.
Biasanya di daerah lain ia melihat anak-anak selalu ketakutan
melihat rombongannya. Berlarian dengan membawa borok di
kepala, kopok di telinga, ingus menggandul tebal di bawah
hidung. Tapi anak desa Songgon tidak takut. Tidak lari. Malah
berkerumun. Menonton seperti menonton komedi- kera yang
biasa berkeliling. Setan! Inginnya hati meremukkan kepala
anak-anak yang tidak pernah diajar kesantunan itu! Tapi ia
tahu itu akan menggagalkan niatnya memborong sang Garwa
Padmi. Apalagi perempuan-perempuan itu. Sambil menjemur
gabah dan padi, meneriaki rombongan agar memperlambat
lari kuda mereka. Debu! Ah, perempuan-perempuan!! Dengan
148 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
susu tergoler, pusar terpamer, tidak risi dipandangi oleh mata
Kompeni-kompe-ni berkuda itu dengan lahapnya. Juga tak risi
mereka mengelus kambing, babi, atau kerbau peliharaan
mereka. Ayam, itik juga membantu kesan kedamaian yang
tidak ada duanya di daerah Blambangan lainnya.
Juru Kunci terus menuju rumah besar di dekat pura. Ia
tahu di sanalah Ayu Tunjung yang dipanggil Sri Tanjung oleh
Mas Ngalit itu tinggal. Ia belum pernah melihat wajah
perempuan itu. Seperti apa, sampai-sampai membuat Raden
Tumenggung Wiraguna enggan makan dan emoh tidur. Di
pura banyak kembang-kembang dan bau dupa masih jelas
merangsang hidung. Tentu kawula Songgon baru saja
mengadakan upacara beberapa hari lalu. Sebagai ucapan
syukur atas keberhasilan panen. Atas kesuburan. Atas semua
karunia dan anugerah yang diberikan oleh Hyang Maha Ciwa.
Ah, begitu kokoh mereka itu. Sisa-sisa daun pembungkus
sesaji juga masih bosah-baseh. Tentu rombongan ayam akan
berebut dengan rombongan anjing dan kucing untuk
menyantap sisa-sisa sesajian itu. Bahkan juga kambing dan
babi. Tapi Juru Kunci tidak menggubris itu. Ia terus menuju ke
pertapaan. Panas mentari membakar kulit membuatnya haus.
Kuda dan kereta mereka terus melintas gerbang dan masuk
ke halaman. Nyaris di dekat titian mereka baru berhenti.
Betapa terkejutnya Juru Kunci kala berhenti, Mas Ayu Tunjung
serta suaminya sudah menyambut mereka di titian pendapa.
Di belakang kedua orang itu berdiri juga beberapa murid
wanita yang sebenarnya adalah bekas pengawal pribadi Ayu
Tunjung. Selain mereka juga berdiri para cantrik lelaki.
"Dirgahayu, Yang Mulia!" Rsi Ropo menyapa lebih dahulu.
"Silakan naik ke pendapa! Dua hari rupanya Yang Mulia
menempuh perjalanan jauh ini." Ayu Tunjung menambahi
dengan suara merdu. Luar biasa! Juru Kunci menyebut dalam
hati. Bagaimana Raden Tumenggung tidak tergila-gila
memandang wajah yang tanpa cela seperti ini" Pipi montok itu
149 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memamerkan lesung pipitnya waktu tersenyum. Keserasian
warna kulit, sekalipun tidak kuning seperti umumnya para
putri dalam cerita dongeng, namun merupakan kemanisan
yang tiada taranya. Rambut ikal nampak jelas sekalipun
disanggul ke atas kepala dan diikat dengan untaian mutiara.
Tusuk konde emas bergoyang-goyang seirama dengan
gerakan tubuh wanita muda itu. Bibir mungil dan tipis itu dicat
dengan warna merah oleh kinangan, sungguh hiasan alam
yang tiada bertara. Apalagi sebanding dengan wajah yang
berbentuk bulat telur dengan kulit mulus. Matanya menatap
tajam seolah bintang fajar yang bersinar dinihari. Dan kala
mata Juru Kunci melirik lebih ke bawah, ia melihat susu seolah
buah kates kembar. Putiknya tertutup kembang di ujung tali
kutang emas. Gila! Hati Juru Kunci berdesir memandang kulit
perut di seputar pusar. Tanpa kerut. Tanpa daki. Ia berdecak
dalam hati. Di dalam pendapa ia dipersilakan duduk di amben. Dan
matanya hampir tak percaya bahwa orang yang mengenakan
jubah kuning terbuat dari bahan sutera Cina itu kemudian
duduk d'i sebelah sang putri. Siapa pemuda tampan dengan
kumis kecil melintang di bawah hidung mancungnya itu"
Suaminya" Atau saudaranya" Juru Kunci menjadi iri. Kenapa
justru Raden Tumenggung Wiraguna yang melihat wanita ini
lebih dahulu. Bukan aku" Jika aku, barangkali ia akan
mengganti kedudukan Rani, istrinya. Ia mengusap mukanya
yang bopeng itu dari debu. Bahkan mengelus kumisnya yang
jarang-jarang itu. Tapi perutnya yang makin buncit itu tak
mungkin disembunyikannya.
"Sangat senang dengan kehadiran Yang Mulia Patih.
Hormat, dari seluruh kawula Songgon untuk Yang Mulia," Rsi
Ropo memulai sambil tersenyum. Dan keduanya selalu
senyum. Kemudian menyodorkan kinangan. Pengawal Juru
Kunci juga dipersilakan duduk dalam pendapa itu. Kendati
tidak ada tempat duduk buat mereka.
150 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Terima kasih." Suara Juru Kunci parau. Tapi jantungnya masih saja belum
teratur. "Tapi hamba belum berkenalan
dengan..." "Jagat Dewa Bathara!" Rsi Ropo menyebut. "Siapa yang tak pernah dengar bahwa
Yang Mulia Juru Kunci adalah kepala
pemerintahan di Blambangan" Tentulah Yang Mulia
orangnya." "Maksud hamba..." Juru Kunci makin gugup. Mata Rsi Ropo setajam pedang yang
sanggup membelah hatinya.
"Oh, hamba adalah Rsi Ropo. Dan ini istri hamba, Nyi Ayu
Tunjung. Dan itu, yang duduk di sana adalah para cantrik,
atau para sayu," Rsi memotong lagi dan tangannya menuding
para muridnya. "Astaghfirul aahal'azhi m!" Juru Kunci terkejut. "Rsi Ropo?"
ulangnya. "Ya. Hamba Rsi Ropo. Kenapa?" Rsi Ropo melebarkan
matanya. Juru Kunci tampak pucat. Debar jantung orang itu
makin mengeras. "Eh, tidak apa-apa. Jadi ini istri Yang... eh, Yang Tersuci?"
"Ya. Kenapa" Yang Mulia sakit?"
"Ti... ti... dak. Cuma terlalu lelah."
Mas Ayu Tunjung segera memberi isyarat seorang
pengawalnya untuk mengambilkan minum air gula aren. Juga
pada para pengawal. Kompeni itu. Bahkan lebih dari itu
kepada mereka dibagikan juga makanan. Telur rebus dan opor
ayam sebagai lauknya. "Kita makan. Barangkali setelah ini kita bisa lebih santai
bercakap-cakap." "Tapi kedatangan kami bukan untuk ini."
151 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami tahu. Tapi tak ada jeleknya makan terlebih dahulu.
Setelah itu kita berbincang lagi. Jangan ragu. Kebetulan kami
tidak memasak babi."
Di pendapa itu mereka makan. Piring keramik buatan Cina
mengundang pertanyaan Juru Kunci, dari mana mereka
mendapatkannya" Juga cawan. Ternyata Songgon bukan
kumpulan orang-orang miskin. Tapi jelas, mereka orang-orang
kikir. Tak mau membantu pemerintah membangun negerinya.
Cuma sedikit ia makan. Daging kambing kesukaannya tidak
ada di situ. Tapi bukan hanya itu penyebabnya. Ia merasa
ditipu oleh Singa Manjuruh. Bukankah-orang ini yang
dimaksud Sri Tanjung itu" Mana mungkin minta dijemput" Dia
sudah bersuami. Tak mungkin seorang satria ingkar janji. Tak
mungkin! Singa Manjuruh perlu dihukum. Ia tahu persis,
bahwa harini pun ia akan pulang dengan tangan hampa.
Ketiganya segera menyelesaikan makan siang itu.
"Nah, Yang Mulia, sekalipun makan cuma sedikit, mudah-
mudahan itu bisa memberikan ketenangan bagi Yang Mulia.
Dengan membawa kereta kosong seperti itu, hampir dapat
dipastikan, kedatangan Yang Mulia mempunyai maksud yang
sama dengan Singa Manjuruh." Rsi Ropo kembali memojokkan
Jurukunci. "Yah..." Juru Kunci mengangguk-angguk. "Hamba
diperintahkan menjemput calon garwa padmi, Sri Tanjung.
Apakah hamba bisa segera bersua dengan beliau?"
Rsi Ropo memandang istrinya sebagai isyarat agar
menjawab pertanyaan Juru Kunci.
"Di sini tidak ada yang bernama Sri Tanjung. Barangkali
saja Yang Mulia keliru. Seluruh Songgon sudah kami cari. Tak
seorang pun yang bernama Sri Tanjung," Ayu Tunjung kini
yang menerangkan. Sambil senyum. Dan begitu senyumnya
berhenti, hati Juru Kunci seolah ikut tersedot. Entah ke mana.
152 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang Al ah! Singa Manjuruh telah memberikan laporan
palsu. Sepatutnya ia dihukum." Juru Kunci menggertakkan
gigi. "Apa salahnya?" Mas Ayu memburunya dengan pertanyaan.
"Sri Tanjung ada di sini. Dan minta dijemput dengan kereta
kehormatan. Apa itu tidak menghina seorang adipati" Juga
tidak menghargai hamba?"
"Benarkah itu" Singa Manjuruh datang atas perintah Adipati
untuk melamar hamba. Tapi bukan Sri Tanjung! Ayu
Tunjung." "Tapi calon garwa padmi itu masih gadis____"
"Benar, lima bulan lalu. Waktu Wiraguna alias Mas Ngalit itu kebetulan tersasar
ke sini. Tapi sebulan setelah perjumpaan
itu, hamba kawin dengan Rsi Ropo."
"A'uuzhu bil aah min dzalik! Bagaimana bisa terjadi" Setelah berjanji pada
seorang adipati kemudian kawin dengan orang
lain" Bukankah itu menyakitkan hati?"
"Hyang Dewa Ratu! Siapa bilang aku sudah berjanji?" Muka Ayu Tunjung merah
padam. Kedua alisnya yang tebal itu
merapat. Makin membuat wajahnya cantik. "Cuma lidah
drubiksa yang biasa menyemburkan dusta dan fitnah
semacam itu!" "Ampun, Yang Mulia," Juru Kunci berusaha memperbaiki


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suasana. "Jangan marah. Hamba cuma mendengar cerita dari
Raden Tumenggung Wiraguna sendiri. Mungkinkah seorang
penguasa tertinggi semacam beliau itu berdusta?"
"Jadi seorang Wiraguna tidak bisa berdusta?" Ayu Tunjung tersenyum melecehkan.
Tapi matanya masih membara. Juru
Kunci diam. Rsi Ropo juga. "Dari namanya saja sudah jelas
menunjukkan. Betapa tidak" Wira berarti menang. Pemenang!
Guna artinya selalu berguna bagi orang banyak. Tapi, apakah
benar ia pemenang" Kapan ia turun ke kancah peperangan?"
153 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ayu Tunjung tertawa kini. Seperti melihat suatu lelucon. Tiba-
tiba hati Juru Kunci meriup seperti siput. "Ia lebih suka
berlindung di balik pinggul kakaknya, Mas Ayu Nawangsurya,
waktu pasukan Madura berderap memasuki Pakis. Itukah
Wira?" Lagi tertawa ramah. Meski tak ikut ditertawakan, hati Juru Kunci makin
meriup. Kembali suara merdu Ayu Tunjung
menyatakan pendapatnya, "Dan apa yang telah dikerjakannya maka ia digelari orang
yang paling berguna" Memang pantas kalau yang memberi
gelar itu bandit perampok dan yang menerima gelar adalah
maling keciL Maling! Menjual tanah kawula yang tak berdaya.
Mengirim kawula pada kerja paksa bagi kepentingan kekuatan
modal! Itu" Berguna" Memalukan! Bagaimana ada wanita
Blambangan sudi dikawin oleh seorang pengecut macam dia"
Nah, Yang Mulia, sampaikanlah apa yang Yang Mulia dengar
dariku ini padanya! Aku telah bersuamikan seorang yang telah
pernah mengalahkan mati! , Rsi! Ya Rsi Ropo." Ayu Tunjung
berdiri kini. Telunjuknya menuding kereta kehormatan.
"Hamba bukan seorang yang gila hormat. Tak usah datang
dengan kereta kehormatan semacam ini. Hamba bukan
macam perempuan seperti Mas Ayu Arinten, yang bisa pindah
dari satu lelaki ke lelaki lainnya."
"Walau suaminya sudah mati?" Juru Kunci bertanya.
Sedikit berdesir hati Ayu Tunjung. Bukankah itu ancaman"
Bahwa sewaktu-waktu ia bisa menjadi janda" Mungkin sekali
dalam benak Juru Kunci sekarang mulai tersusun akan
membunuh Ropo suaminya. Namun dengan tegas ia
menjawab, "Walau suamiku mati! Apalagi jika ia mati membela
kebenaran. Ah, betapa bangganya punya suami seperti itu.
Karena ia akan menjadi pahlawan bagi kebenaran itu sendiri.
Memang bandit tak pernah menilai Wong Agung Wilis sebagai
pahlawan. Ia bahkan dianggap momok! Sampaikan ini pada
Wiraguna! Ayu Tunjung tidak pernah dan tidak akan pernah
154 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersuamikan penjual tanah dan kehormatan milik moyangnya
pada orang lain. Apalagi seorang yang tak pernah punya
jatidiri!" Itulah akhir kata-katanya. Juru Kunci segera beranjak dengan hati
kecut. 155 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
6. SRI TANJUNG Tahun seribu tujuh ratus tujuh puluh tiga Masehi belum habis. Kemarau panjang
kembali datang. Seolah hujan enggan datang. Debu merajai suasana. Dentam martil
pemecah batu terdengar di setiap sudut kota Banyuwangi, yang beberapa hari lalu
masih disebut orang sebagai kota Sumberwangi.
Dahulu orang mengenal Tumenggung Singamaya sebagai
pahlawan perkasa, maka sekarang nama itu tak boleh lagi
disebut pahlawan. Semua orang diharuskan mengakui si
Tumenggung Wiraguna-lah pahlawan pembangunannya.
Secara pelan-pelan kawula diharuskan menghilangkan
ingatannya terhadap Wong Agung Wilis. Harus dikuburkan
nama itu. Karena orang itu cuma pandai ngomong, dan
menimbulkan peperangan, tidak memberikan kedamaian, tidak
memberikan kesejahteraan. Wong Agung Wilis selama menjadi
kepala pemerintahan di Blambangan cuma membawa
kemiskinan dan peperangan.
Terus saja itu ditiupkan. Dari mulut para punggawa. Para
hulubalang. Para bekel, para jagatirta (pengatur pengairan)
para jagabaya (kepala keamanan atau pengatur keamanan
desa). Pendek kata semua orang yang memegang jabatan,
harus membicarakan seperti itu. Mau atau tidak. Setuju atau
tidak! Jika mereka tidak ingin kehilangan jabatannya harus
membicarakan itu. Sehingga orang Blambangan tahu, bahwa
Wiraguna benar-benar pembawa kesejahteraan bagi seluruh
kawula Blambangan. Di bawah payung kekuatan Kompeni,
Wiraguna membuat semua orang tidak berkutik.
Di bawah pengawalan Kompeni, ia sendiri mengadakan
peninjauan ke desa-desa yang sekarang dihuni oleh
pendatang baru. Umumnya orang yang berasal dari Mataram.
Sering ia mengadakan percakapan langsung dengan para
petani. Juga dengan para pekerja gotong-royong yang
membangun kota Banyuwangi itu. Ia memamerkan
senyumnya di mana-mana. Dengan ramah dan terampil
156 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wiraguna memberikan petunjuk-petunjuk, bagaimana
melaksanakan pembangunan Blambangan secepatnya.
Terutama Banyuwangi. Para pembantunya tahu bahwa kawula Blambangan yang
pribumi seperti diri mereka sendiri-kebanyakan mulai memberi
penilaian. Membanding-bandingkan. Memang sudah jarang
terdengar kidung pujian untuk mengagungkan dan fnemuja
Wong Agung Wilis. Tapi sering terlontar nada sumbang jika
orang berbicara tentang Wiraguna. Apa sih bisanya orang
macam itu" Seorang penguasa Blambangan tapi tidak pernah
terdengar ia bicara Sanskerta, tidak juga bisa berbahasa Bali.
Apa yang dia bisa" Namun di tengah suara sumbang yang terdengar di hampir
setiap telinga, pembangunan ibukota Blambangan berjalan
terus. Ia tidak pernah mau mendengar semua itu. Ia harus
mewujudkan impiannya, Banyuwangi! Bukan cuma itu. Sri
Tanjung sebagai garwa padmi! Mengapa baik Singa Manjuruh
maupun Juru Kunci tak berhasil memboyong Sri Tanjung" Ah,
mungkin saja setelah mereka memandang wajah Sri Tanjung
hati mereka rontok. Dan ada keinginan mengambil wanita itu
menjadi istrinya" Jika demikian, aku harus menindak mereka.
Satu per satu harus ditindak. Sebab jika tidak, mereka akan
menghalangi kehadiran Sri Tanjung. Apa kata para tamu pada
waktu wisudaku nanti" Apa kata mereka" Aku tidak akan
dapat menjawab jika mereka bertanya, mana garwa..." Oh, Sri
Tanjung, Sri Tanjung! Betapa sulitnya memetik sekuntum
mawar yang tumbuh di tengah belantara itu!
Tapi aku harus bijak. Harus. Karenanya ia panggil Juru
Kunci. Ia perhatikan wajah bopeng patihnya itu tajam-tajam.
Arinten, kakaknya yang' tinggal di Pakis, mengatakan bahwa
Juru Kuncilah yang berjasa membuatnya naik tahta di
"Blambangan. Dia yang semula ditunjuk menjadi adipati. Dan
masih banyak lagi pujian tentang orang ini dari kakaknya.
Termasuk jasanya meruntuhkan kepercayaan VOC pada
157 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jaksanegara. Ahai, jika ia mampu berbuat itu pada
Jaksanegara, maka ia akan sanggup pula berbuat semacam itu
padanya. Ah, sialnya lagi rumahnya di Pangpang. Tentu ia
selalu berhubungan dengan Tuan Residen. Baik kepada
Schophoff maupun Pieter Luzac Juru Kunci memang amat
dekat. Dan yang wajib diperhatikannya, Juru Kunci sering
mempersembahkan padanya wanita-wanita cantik. Tentu itu
juga dilakukannya pada Schophoff dan Pieter Luzac. Aku perlu
hati-hati menghadapi seorang macam dia.
"Yang Mulia, hamba sangat prihatin dengan kegagalan
Yang Mulia membawa calon garwa padrni," ia memulai setelah
Juru Kunci duduk di depannya.
"Ampunkan hamba, Yang Mulia. Sudah hamba laporkan
beberapa hari lalu. Sebaiknya Yang Mulia berpikir yang lain."
"Kenapa?" "Ampun, apakah yang dimaksud itu Mas Ayu Tunjung,
putri..." "Aku telah mengubah namanya menjadi Sri Tanjung. Tak
perlu lagi memanggilnya dengan nama Ayu Tunjung.
Bukankah ia patut jadi seorang garwa padmi?"
"Tentu sepatut-patutnya. Bahkan lebih dari itu, andaikata
beliau menjadi Sri Ratu, tentu lebih gilang-gemilang dari Sri
Maha Ratu Suhita, Rani Majapahit itu." Tertawa. Wiraguna
juga. "Tapi sayang..." Juru Kunci mengejutkan.
"Kenapa" Apanya yang sayang" Dia masih Hindu?"
Wiraguna menarik alis sebelah kirinya ke atas sambil
memandang tajam. "Ampunkan hamba jika berkata terus-terang."
"Ya. Katakan!" 158 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Beliau sendiri yang berkata, bahwa tidak akan duduk di
samping Yang Mulia!"
"Apa katamu?" Wiraguna melompat dari tempat duduknya.
Sembahyang tahajud tiap malam tanpa mengenal kantuk
masih gagal mengais hati gadis itu.
"Ampunkan hamba, Yang Mulia." Juru Kunci gelisah.
"Apa alasannya" Apa alasannya?" Suara Wiraguna keras.
"Ampun, Yang Mulia! Tapi sepenglihatan hamba beliau saat
ini ada di pangkuan Rsi Ropo."
"Ya, Aliahku! Ya, Tuhanku!" Wiraguna menyebut seperti
ada petir yang mengejutkannya. Tiba-tiba tubuhnya seperti
kehabisan tenaga. Seperti daun bambu kering rontok dari
dahannya Wiraguna terkulai, dan kembali duduk di kursinya.
Beberapa jenak mereka berdiam. Desah napas Wiraguna
terdengar satu-satu. "Sri Tanjung, Sri Tanjung! Mengapa kau perlakukan aku
seperti ini, Wong manis...," Wiraguna mengiba. "Kau
runtuhkan semua impianku! Hua-duuh..."
"Sabar, Yang Mulia!"
"Waktu aku bersua pertama, Rsi Ropo tidak muncul. Tidak!
Pasti ia bohong!" "Tidak, Yang Mulia. Ia tidak bohong. Hamba bersua dengan
Rsi Ropo. Dan masih seperti dulu waktu Yang Mulia
Jaksanegara memerintah, ia mengajar pada seluruh orang
Songgon." "Seluruh orang Songgon" Di sana tidak banyak kawula
berhimpun." "Justru kita melakukan pagar betis, kini Songgon menjelma
menjadi satu negeri yang subur makmur!"
159 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak mungkin! Mana ada kejadian seperti itu!" kembali ia mengangkat alis
kirinya. "Hamba menyaksikan mereka sedang panen. Padi mereka
bertumpuk di halaman. Bukankah suatu pertanda bahwa
lumbung mereka penuh" Dan bukankah itu suatu pertanda
bahwa mereka tak kekurangan?"
"Setan! Seperti itu mereka tidak punya kesadaran sama
sekali membayar upeti! Dianggapnya Songgon milik moyang
mereka" Aku akan lapor pada Residen! Tentu si setan Ropo itu
penghasut-nya. Kita perlu mengirimkan pasukan ke sana."
"Sabar, Yang Mulia. Apakah itu menguntungkan"
Pengerahan pasukan berarti penambahan biaya. Sedang untuk
pembangunan ibukota ini saja kita sudah berutang pada VOC
begitu banyak." "Jadi" Aku gagal mempersunting Sri Tanjung?" Entah apa
yang dirasakan oleh Raden Tumenggung Wiraguna itu,
mendadak dadanya sesak, kepalanya berdenyut-denyut,
matanya sembab. Tak terasa, air matanya meleleh perlahan.
"Sri Tanjung, Sri Tanjung...," keluhnya perlahan. Ia tahan agar tidak menangis.
Tapi justru menahan itu Juru Kunci yang
sejak tadi menunduk itu jadi terkejut. Isak lelaki muda itu
menarik dagunya untuk mendongak. Selintas Juru Kunci jadi
teringat pada Ayu Tunjung. Benar-benar awas mata
perempuan cantik itu. Mas Ngalit cuma pandai berlindung di
balik pinggul wanita! Tak layak memakai gelar Wiraguna! Dan
kini tampak Wiraguna bersandar sambil memalingkan
wajahnya. Sebelah tangan bertopang pada tangan kursi. Dan
pada tangan itu dagunya bertumpu. Sedang sebelah lagi
tangannya dipergunakan menghapus air mata itu. Pilar-pilar
perkasa pendapa itu menjadi saksi bisu atas keringkihan hati
sang Adipati. Juga Juru Kunci membisu.
"Kenapa Singa Manjuruh tak melapor sejak awal?"
160 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itulah, Yang Mulia," Juru Kunci kembali berani berkata.
"Ya! Aku heran."
"Mungkin suatu persekongkolan untuk mempermalukan
kita." "Jika demikian, perangkap perlu kita pasang. Kita panggil
Singa Manjuruh, kemudian kita masukkan penjara. Jika perlu
digantung." "Tidak, Yang Mulia. Singa Manjuruh kita jadikan umpan
untuk bisa memancing Sri Tanjung. Bukankah cuma beliau kita
butuhkan?" "Tapi bagaimana dengan suaminya?"
"Serahkan pada hamba. Dia memang perlu kita serahkan
pada Kompeni. Tapi tidak kita serbu ke Songgon. Itu akan
memulai perang baru yang akan memakan biaya besar."
"Aku dengar ayahmu mati juga karena ulah orang itu. Lari
dari bilik penahanan di Pangpang dan ayahmu sebagai
gantinya." "Tidak salah, Yang Mulia. Karena itu utang darah akan
dibayarnya di tiang gantungan."
"Baiklah, Yang Mulia. Aku cuma ingin Sri Tanjung sebagai
Garwa Padmi. Lain tidak!"
"Hamba, Yang Mulia."
Juru Kunci meninggalkan Wiraguna sendiri. Tak seorang
selir pun diperkenankan menghadap. Kegundahan hati
mengundang tangis. Memang tidak lazim bagi lelaki.
Barangkali memang tidak pernah ada lelaki Blambangan
menangis karena menghadapi beban yang gunung-gemunung
sekalipun. Tapi kenyataan ini terlalu, ya, terlalu berat bagi
Wiraguna. Seorang muda, tampan, kaya, ditolak oleh seorang


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis. Dan Sri Tanjung itu... memilih seorang Rsi. Apa sih
bahagianya menjadi istri seorang berpengetahuan tinggi tapi
161 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
miskin seperti itu" Tidak punya kekuasaan" Sungguh tak
masuk akal. Ini tentu terkena guna-guna. Atau Rsi Ropo itu
amat tampan" Tiba-tiba saja ia ingin tahu wajah sang Rsi.
Maka segera ia memerintahkan Su Lie Hwa, selirnya, untuk
menjumpai Juru Kunci. Dengan pesan menghadapkan Rsi
Ropo sebelum digantung. Sementara itu Juru Kunci telah memasukkan Singa
Manjuruh ke dalam bilik penahanan di Banyuwangi. Diawali
dengan memanggilnya. Kemudian ia didakwa mempermalukan
Adipati karena telah melaporkan kepalsuan. Singa Manjuruh
tidak dapat mengelak. Untung ia sudah memberikan petunjuk
pada istrinya apa yang harus dilakukannya bila ia kemudian
hari ditangkap. Karena memang ia memberikan keterangan
palsu tentang Songgon. "Kenapa harus menipu, Kakang?" Istrinya gelisah.
"Aku tak sampai hati mereka diserbu oleh pasukan
Kompeni. Ah, mereka sudah damai____"
"Tapi bukankah jika Raden Tumenggung sendiri ke sana,
akan menimbulkan masalah buat Kakang" Buat kita, Kang"
Lihatlah perut ini!" istrinya menunjuk perutnya. Makin
membengkak. Janin makin besar saja. Sekalipun tidak diberi
makan, ia dengan tiada sesadar ibunya terus saja makan dari
jatah yang dimakan oleh ibunya.
"Masalah akan selalu timbul. Cepat atau lambat. Sebab Mas
Ayu Tunjung pasti menolak. Karena ia sudah punya suami.
Wiraguna tidak akan mau melihat kenyataan ini. Jika
kukatakan itu terus-terang, maka saat itu juga kepalaku akan
dipenggal. Nah, apakah tidak lebih baik jika aku mengulurnya
sampai sekarang?" "Lalu?" "Kau pimpin Singa Juruh ini sampai anak kita ini dewasa."
"Ah..." 162 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Inilah kenyataan. Barangsiapa tidak mau menerima kenyataan maka ia akan menelan
semua yang ada dalam kehidupan ini dengan rasa pahit. Tidak apa, Sayangku!
Mantrolot, temanku itu, akan membantumu."
Pembicaraan itu terjadi dua hari lalu. Dan perempuan yang sedang hamil itu
menunggu. Menunggu. Tapi suaminya tak kunjung kembali.. Naluri keperajuritan
yang diajarkan suaminya selama ini muncul kembali. Tidak! tiba-tiba kata
hatinya. Suaminya tidak boleh mati dengan tanpa pembelaan.
Setelah itu ia segera memanggil semua pembantu suaminya.
Blegok yang diserahi jabatan jagatirta, Mantiri si jagabaya, Manaragil sebagai
wakil bekel. Semua heran mendengar kentongan yang dipukul tiga kali sebagai
isyarat bagi panggilan buat mereka. Namun dengan tanpa berpikir lebih jauh
mereka menghadap ke rumah Singa Manjuruh.
Tapi lelaki itu tidak ada. Cuma seorang wanita muda yang sedang hamil. Nyi Singa
Manjuruh, begitu sebutan wanita itu sekarang, duduk dengan wajah bermendung.
Mereka datang satu-satu. Nyi Singa Manjuruh tidak berkata sesuatu sebelum semua
berkumpul. Dan Manaragil yang datang terdahulu, tidak berani bertanya apa-apa.
Ia tahu perasaan Nyi Manjuruh sedang gundah. Tak terlalu lama memang mereka
menunggu yang lain. Tapi rasanya seperti setahun. Angin bebas berkeliaran di
pendapa itu. Membuat suasana siang itu tidak begitu gerah. Sekalipun begitu Nyi
Singa Manjuruh merasakannya sebagai neraka. Kegerahan yang ditimbulkan oleh
janin dalam perutnya sudah merupakan aniaya tersendiri.
Sekalipun saat pertama ia tahu bahwa sudah berbadan dua, itu merupakan saat yang
paling bahagia dalam hidupnya.
Demikian pula untuk suaminya. Ble-gok orang terakhir yang memenuhi panggilannya
kini telah naik ke pendapa rumahnya.
"Sudah dua hari Kakang Singa Manjuruh tidak pulang," kata Nyi Singa mengejutkan
semua orang. "Dipanggil oleh sang Adipati tetapi tidak ada keterangan sampai
sekarang. Oleh 163 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karenanya aku akan pergi ke Banyuwangi. Akan tanyakan
langsung pada Adipati Wiraguna."
"Apakah itu tidak berbahaya, Nyi."
"Ketakutan telah membuat aku kehilangan suamiku. Kami
telah mengalah. Artinya ada yang kita takutkan. Dan kita mau
bekerja demi kepentingan VOC. Bukankah itu berarti
ketakutan" Dan sekarang aku kehilangan suamiku. Tak ada
manusia dapat hidup dari ketakutan!"
"Apa kita harus kembali angkat senjata?" Mantiri berapi-api.
Sejak dulu ia memang tidak setuju, berdamai dengan Adipati
Blambangan yang dianggapnya memihak VOC. Padahal
mereka lari dari Malang untuk menghindarkan diri dari VOC.
"Tidak! Kita tidak mampu lagi berperang melawan mereka,"
Nyi Singa Manjuruh menegaskan. "Karena kita sudah terjebak
oleh keenakan makan dan minum dari masa damai ini. Dan
kita memburu keenakan itu. Aku perintahkan pada kalian
sekarang menarik semua tenaga kerja yang kita kirimkan
untuk bekerja di loji-loji dan semua tempat di mana mereka
dipekerjakan dalam pembangunan ibukota Blambangan itu.
Kita tidak berkepentingan dengan selesai atau L tidaknya
pembangunan ibukota. Urusan kita sekarang adalah
kembalinya Singa Manjuruh dengan jalan damai."
"Baik, Nyi." Semua meninggalkan tempat dan langsung mengerjakan
perintah Nyi Singa Manjuruh, kecuali Jagabaya Mantiri. Sebab
ia dan tiga orang pemuda diperintahkan mengawal Nyi Siriga
Manjuruh ke rumah Mantrolot di Banyuwangi. Dan tentu saja
Mantrolot segera menarik semua orang yang menjadi
pengikutnya dari tempat mereka L bekerja. Ia bahkan
merencanakan mengerahkan semua pengikutnya ikut
mengawal Nyi Singa Manjuruh menghadap Adipati.
Juru Kunci yang menerima teguran dari Pieter Luzac karena
di kandang-kadang kuda VOC tidak ada rumput, loji-loji
164 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kosong dari para pekerja, wanita ataupun lelaki. Demikian
pula yang bekerja pada para pengusaha Arab, saudagar Cina
dan India, serta bangsa asing lainnya, semua tidak masuk
bekerja dengan tanpa keterangan. Buru-buru ia mencari
Wiraguna yang sedang melihat keadaan Banyuwangi yang
tiba-tiba menjadi sepi. Kuli-kuli pelabuhan tinggal sedikit. Itu
pun bukan orang-orang Jawa. Bahkan kedai-kedai yang milik
orang Jawa tutup. Sampai-sampai pekatik*) pun tidak masuk
bekerja. Tentu akan menimbulkan kerugian besar karena
kuda-kuda itu akan mati. Bahkan juru masak yang sebahagian
besar juga penduduk yang datang dari Jawa itu banyak yang
meninggalkan dapur mereka. Schophoff, residen Blambangan,
segera memerintahkan Pieter Luzac turun ke Banyuwangi.
Persoalan kecil yang dimulai keadaan semacam ini akan
berkembang menjadi pemberontakan. Karenanya Kompeni
yang ada harus disiapkan.
Tetapi yang terjadi bukan pemberontakan. Ternyata hari
keempat dari hilangnya Singa Manjuruh dari tengah anak buah
dan istrinya, Juru Kunci dan Wiraguna dikejutkan oleh suara
ramai di alun-alun. Keduanya segera berdiri. Dari pendapa itu
keduanya melihat seorang wanita keluar dari kerumunan
banyak orang yang sedang berhimpun di alun-alun. Kemudian
wanita berjalan perlahan-lahan menuju regol kadipaten.
Beberapa waktu kemudian ia menoleh pada rombongan
pengiringnya untuk tenang. Tidak mengeluarkan suara gaduh
maupun kekerasan. Para pengiringnya itu, lelaki dan
perempuan, semua orang yang biasa bekerja di pembabatan
hutan, pembangunan loji, juru masak, kuli pelabuhan, dan
masih banyak lagi. Jumlah mereka ternyata belum genap,
karena masih ada yang di perjalanan. Semua di bawah
pimpinan Mantrolot. pemelihara kuda atau tukang rumput
untuk kandang milik para pembesar negeri dan VOC
Mereka masih berjalan keliling jalan-jalan Banyuwangi.
Apakah jalan raya utama ataupun lorong-lorong. Mereka lewat
sambil bersorak-sorai. Juga mengeluarkan teriakan-teriakan
165 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang mempertanyakan keberadaan Singa Manjuruh. Penjaga-
penjaga gardu keamanan tidak bisa mencegah mereka, karena
jumlah mereka begitu banyak. Bahkan ada sedikit kengerian
dalam diri pengawal kota.
"Wiraguna! Kau keturunan kuda! Maka kau tak mengerti
balas budi! Hiduplah Singa Manjuruh!" Demikian sayup-sayup
teriak anak buah Nyi Singa Manjuruh yang berbaris di alun-
alun. Wiraguna berdesir mendengar itu. Marah tapi gentar.
Berulang teriakan mereka mengguruh. Berulang Nyi Singa
Manjuruh menghentikan langkahnya untuk menenangkan
anak buahnya. Teriakan kembali mengguruh kala Nyi Singa Manjuruh
ditahan oleh penjaga. Bahkan mereka bergerak maju sambil
bergandengan tangan satu dengan lainnya. Deretan demi
deretan. Lapis demi lapis, seolah menyatu. Satu tujuan.
Sebaya mati, sebaya mukti. Melihat itu Juru Kunci segera
memerintahkan penjaga membiarkan Nyi Singa Manjuruh
masuk. "Siapa ini Yang Mulia?" tanya Juru Kunci.
Wiraguna segera teringat. Ini istri si bekel Singa Juruh. Nyi
Singa Manjuruh. Hamil. Perutnya besar. Langkahnya lamban
karena dibebani oleh janin dalam perutnya. Kakinya berselimut
debu. Pipinya merona karena terik matahari. Keringat mengalir
dari tiap lubang pori di dahinya. Turun ke bawah membasahi
kain penutup tubuhnya. "Istri Singa Manjuruh!" desis Wiraguna. Ingatannya kembali pada sorot mata kala
wanita itu menodongkan laras bedil
padanya. Sorot yang itu pula kini menatapnya. Membuat ia
takut menatap mata itu. Kini wanita itu naik ke titian pendapa.
Pelan karena lelah. Tapi sorot matanya tetap tenang.
Menunjukkan ketegaran hati.
"Bicaralah pada dia, Yang Mulia," Wiraguna menyerahkan.
166 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kendati pelan namun sampai pula di hadapan Wiraguna.
Tapi perempuan itu tidak ngelesot dan menyembah. Ia tetap
berdiri. Sementara itu pengiringnya merangsek maju
mendekati pagar istana. Para pengawal mencegah. Mereka
berhenti 9 sambil berteriak-teriak. Wiraguna tampak bingung.
"Apa maksudmu, Nyi Singa Manjuruh?" Juru Kunci segera
memulai. "Aku datang hendak menanyakan di mana suamiku
berada." "Bukan begitu kebiasaan wanita Jawa berlaku. Kau tak
menyembah" Kau meniru orang Blambangan" Bahkan tidak
berhamba?" "Aku bukan orang Jawa! Aku orang Blambangan." Nyi Singa Manjuruh berbahasa Jawa
dengan logat Madura. Maka tahulah
Juru Kunci bahwa perempuan ini asli Madura.
"Kau tidak bisa berbahasa Blambangan."
"Setiap orang yang sadar bahwa ia makan dan minum serta
hidup di bumi Blambangan ini, maka seharusnya ia mencintai
dan berbakti pada negeri ini. Apa salahnya jika aku merasa
jadi orang Blambangan" Bukankah sangat mengherankan jika
ada orang Blambangan sendiri yang tidak mencintai
negerinya?" "Apakah ada yang demikian"
"Setiap orang Blambangan yang risi menggunakan budaya
negerinya sendiri dan lebih suka pada budaya Belanda maka
sebenarnya ia telah menjadi sampar bagi negerinya sendiri!"
Nyi Singa Manjuruh menegaskan. Itu mengejutkan Juru Kunci
dan Wiraguna. Betapa sangat beda dengan suaminya.
Perempuan ini lebih berani menyatakan pendapatnya.
"Apalagi aku mempersembahkan upeti. Mengirimkan
tenaga untuk ikut bergotong-royong membantu membangun
167 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Blambangan. Karena itu kami berhak tinggal di negeri ini
dengan damai. Ya, dengan damai."
"Kau ingin damai?" Juru Kunci tertawa sambil bangkit dari tempat duduknya.
Wiraguna masih belum mampu
menemukan dirinya. Barisan di luar pagar makin bertambah
banyak. Rupanya anak buah Mantrolot sudah tiba dan
bergabung. Teriakan-teriakan makin membahana.
Menyakitkan telinga. "Bagaimana mungkin, Nyi Singa
Manjuruh" Kau datang bersama ribuan orang yang berteriak
tanpa memperhatikan kesantunan" Bukankah itu menimbulkan
keresahan?" "Yang menimbulkan keresahan tentu bukan kami. Kawula
tak pernah ingin keresahan. Tapi mereka menyatakan
pendapat. Menyatakan kerinduan, kejengkelan sekaligus. Dan
itulah kawula! Aku saat ini menjadi duta mereka untuk
menanyakan di mana pemimpin mereka berada. Ya, suamiku!
Di mana suamiku berada?"
Juru Kunci diam. Berpikir.
"Jika tak diberitahu tentulah ini merupakan penculikan..."
"Singa Manjuruh ditangkap...," Juru Kunci memotong.
"Tidak! Ia dipanggil oleh Adipati. Namun tidak
diperkenankan pulang. Tanpa memberitahu keluarga yang
ditinggalkan, maka itu sama dengan penculikan! Kalian tidak
merasa itu" Kami yang kehilangan. Kami yang mencari!
Bukankah kewajiban kami mencari suami yang hilang" Dan
mereka adalah anak buah suamiku. Tak dapat disalahkan jika
mereka juga ikut mencari. Nah, jika kalian risi, berikan
jawaban. Supaya kami segera menentukan sikap kami
selanjutnya." "Jadi... kau yang memerintahkan semua peka-tik, semua
juru masak, semua pengangkat barang di pelabuhan, semua
pembabat... ya, semua orang untuk tidak masuk kerja?"
Wiraguna kini seperti tersadar dari sebuah impian.
168 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukan! Tapi rasa kesetiakawanan. Jika..."
"Bagaimana jika ternyata Singa Manjuruh dihukum mati?"
"Apa salahnya?" Nyi Singa agak berdesir.
"Menghina Adipati!" Juru Kunci menyahut lagi.
"Baik! Kebenaran memang selalu ada di tangan orang yang
berkuasa. Kawula memang tidak kuasa memiliki kebenaran
itu. Baik, semua orang akan meninggalkan Blambangan.
Karena ternyata Blambangan tidak dapat memberikan
kedamaian pada kawulanya. Jangankan kami. Pribumi pun


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian aniaya! Bunuhlah dia, karena pada dasarnya kalian
memang pembunuh." Nyi Singa, Manjuruh membalikkan
tubuh, membelakangi mereka untuk kemudian melangkah.
Serta-merta teriakan makin keras. Bahkan lebih
menggetarkan hati. "Sundel Bolong! Bunuh dia! Wiraguna kunyuk!!!" '
Hati Wiraguna mendadak kecil. Wajahnya pucat. Ancaman
bunuh baginya akan bisa terjadi kapan saja jika kebencian
orang-orang itu tak teratasi.
"Awas kau! Setan alas! Dasar anak kuda! Ha... ha... hah..."
Kasar dan merupakan penghinaan yang lebih tidak santun.
Ia dikatakan sebagai anak kuda. Rasanya Wiraguna tak
pernah menerima yang sekasar itu. Dengan kata lain mereka
mengejek bahwa ibunya berzinah dengan kuda. Keterlaluan
itu. Dalam kekalutan ia panggil kembali Nyi Singa Manjuruh
yang hampir menuruni titian pendapa. Wanita itu berhenti.
Menoleh dengan mata sayu, Hampir boleh dikatakan tatapan
kosong. "Apalagi yang akan kudengar" Ketahuilah! Bukan suamiku
menghina kau! Tapi justru ia tidak ingin mengatakan apa yang
didengarnya dari Mas Ayu Tunjung tentang dirimu. Ia
bermaksud supaya kau sendiri mendengar penampikan Ayu
169 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunjung padamu. Ia sangat menghormatimu. Aku memang
tidak! Sebab hilanglah sudah rasa hormatku pada tiap
perampas kebebasan, kebahagiaan, bahkan hak orang lain.
Ternyata kekuasaan yang kausandang saat ini tak kaugunakan
untuk membangun kesejahteraan kawulamu. Tapi sekadar
untuk dirimu sendiri dan Kompeni serta VOC atau kekuatan
modal lainnya." "Cukup!" Wiraguna tak sanggup mendengar lagi. Ingin
rasanya menyumpal mulut perempuan hamil itu. Tapi ia tak
berani. Di belakang perempuan itu berbaris ribuan orang,
lelaki dan perempuan. Baik pekerja maupun sundal. Kuli
maupun rampok. "Singa Manjuruh tak akan dijatuhi hukuman mati,"
tegasnya. "Tapi katakan pada mereka, supaya berhenti
mengucapkan kata-kata yang kotor seperti itu. Dan kedua..."
"Mereka tidak bicara kotor! Mereka menumpahkan
perasaan," jawab Nyi Singa Manjuruh.
"Ternyata kau tak pernah memahami perasaan seseorang."
"Alangkah indahnya, Yang Mulia. Bagaimana jika
pertanyaan itu berpulang padamu sendiri" Mengertikah kau
perasaan seorang wanita hamil tua yang suaminya sedang
diculik" Juga kawula kehilangan tanahnya" Kehilangan
anaknya yang dijual oleh pengusaha negeri sebagai budak"
Wajarlah jika mereka menumpah-ruahkan semua
kejenuhannya dengan kata-kata itu. Cuma kata-kata. Tapi
mereka dirampok, dipaksa dengan kekuatan serta todongan
bedil. Sebenarnyalah belum cukup adil atas semua kebijakan
yang pernah kaukerjakan untuk memperkaya dirimu sendiri
itu." Kembali Wiraguna terhenyak. Wanita dengan kaki berdebu,
peluh selalu membasahi kainnya yang setengah kumal itu
mampu mengembalikan pertanyaannya. Bibirnya bergetar
tanpa kata-kata. 170 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa lagi yang harus kudengar" Tapi ingat-ingat!
Keputusanmu hari ini, akan menentukan berhasil atau
gagalnya pembangunan Banyuwangi! Lihat! Semua mereka
berang karena penculikan ini!" Nyi Singa Manjuruh menuding
para pengiringnya. Dan mereka menjawab dengan sorakan
seperti suara bata yang roboh.
Sambil menarik napas panjang Juru Kunci kemudian
memberikan keputusan karena Wiraguna tidak mampu lagi
berkata-kata. "Singa Manjuruh akan dibebaskan. Pasti! Tapi kau harus
mampu menghadapkan Sri Tanjung dari Songgon. Dan
memaksa suami wanita itu menyerah."
"Sungguh suatu lelucon. Jika kekuatan senjata tidak
mampu memaksa mereka maka sekarang seorang wanita
yang sedang hamil, dipaksa mengambil dua orang perkasa itu.
Habiskah pahlawan VOC dan begundalnya?"
"Karena kau telah mampu memaksa kami. Dengan kata
lain, kau dianggap bukan orang lemah. Dan karena itu, jika
kau gagal maka leher suamimu akan terempas ke bumi."
Sesaat mata istri Singa Manjuruh tersentak. Matanya
memancarkan kemarahan. Tapi ia segera A membalikkan
tubuh. Ia mengerti bahwa Juru Kunci tidak main-main.
Sekalipun mereka pergi VOC akan tetap meminta para adipati
untuk mengirimkan orang-orang yang dianggap sampah di
negerinya ke Blambangan. "Lebih cepat kau mengirim mereka lebih baik. -Sebab jika
putus sabar kami karena pembangkangan kalian ini, maka
habis juga nyawa suamimu!" Juru Kunci masih sempat
mengeluarkan ancaman. Dan pengiring Nyi Singa Manjuruh
makin marah mendengarnya. Namun wanita m muda itu
memberi isyarat agar mereka tenang. Dan mengajak mereka
bubar. 171 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita sudah cukup menyatakan pendapat kita. Ini sudah sangat baik. Daripada sama
sekali tidak! Kita bubar dulu.
Setelah di rumah nanti kita akan berunding. Mereka akan membebaskan Kakang Singa
Manjuruh dengan syarat."
Mantrolot tidak terima. Tapi demi Singa Manjuruh sahabatnya itu maka ia
mengalah. Pelan-pelan mereka meninggalkan alun-alun. Omelan dan cetusan
kekecewaan lewat makian terdengar ^ lagi seirama dengan langkah mereka yang
pelan-pelan meninggalkan tempat mereka berhimpun. Wiraguna tak dapat menenangkan
debar jantungnya sendiri. Bayangan mata-mata nyalang seolah mengincarnya terus
sambil memaki: ibunya berzina dengan kuda! Ha... ha... ha... dilogoknjar-
rf"!!.*) Bergidik ia tanpa sesadarnya. Seperti melihat hantu. Ribuan hantu yang
kasar dan kotor. Keringat dingin keluar di dahinya" Dan lebih celaka lagi kala
ia sedang sendirian, ribuan mata itu berulang muncul.
Umpatan busuk itu juga berkali terngiang-ngiang di telinganya. Keser pian
menimbulkan ketakutan yang tak teratasi. Terutama malam hari ini. Kejadian siang
tadi tak mau pergi dari ingatannya.
Bayangan ribuan orang berselang-seling dengan bayangan Ayu Tunjung
mengganggunya. Ah, Sri Tanjung" Mengapa kemudian ia menjelma jadi ribuan mata
pengumpat" Makin mendekat, beramai-ramai ribuan tangan hendak mencekiknya.
Rasanya ia berlari. Di padang rumput. Luas sekali. Tidak ada orang. Ia menoleh
kiri-kanan. Tiada seorang pun. Tiba-tiba saja Sri Tanjung muncul.
Tersenyum. Menggoda dengan lambaian tangan agar Wiraguna mendekat. Wanita itu
kini menjauh. Ia kejar. Makin jauh. Gumpalan awan mendadak turun. Pelan-pelan
menutup tubuh Sri Tanjung. Tidak! !! ia berteriak. Dan tiba-tiba muncul pelangi
di celah awan dan sinar mentari yang remang-remang.
Tampak olehnya Sri Tanjung meniti pelangi itu. Pelan-pelan.
Naik ke atas. Ke atas sambil tersenyum. Ia kejar. Napasnya
172 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terengah-engah. Sri Tanjung!!! Jangan tinggalkan aku,
Istriku!!! Tapi wanita itu naik terus. Terus.
Wiraguna menerobos awan gelap dan mencoba meniti
pelangi. Tapi entah bagaimana mulainya," pelangi itu lenyap.
Dan di depannya muncul ribuan orang lelaki dan perempuan.
Semua memandangnya dengan wajah kalap. Mereka
mengacung-acungkan tinju. Ia berhenti melangkah. Berbalik.
Tapi kini ia juga berhadapan dengan keadaan yang sama. Ia
terkepung. Ketakutan datang lagi. Ai, kini mereka mendekat.
Wiraguna berteriak-teriak minta ampun. Ia pejamkan mata.
Terserah akan diapakan. Sambil berteriak-teriak ampun, ia
tutup mukanya. Sebuah tangan menyentuhnya. Ia berteriak makin keras.
"Ampun, Yang Mulia. Ada apa?" Suara merdu menyapanya.
"Jangan bunuh! Jangan! Ampun!" Napas Wiraguna
terengah-engah. Bahkan badannya gemetar.
"Tidak, Yang Mulia. Mimpi apa" Kenapa tidur di kursi?"
Kembali suara itu menanya. Dan Wiraguna menggeragap. Ia
membuka matanya. Ternyata ia masih di pendapa. Ah, mimpi
rupanya. "Oh, kau, Su Lie Hwa?".
"Hamba, Yang Mulia," wanita itu menyembah.
"Astaghfirul aahal'azhi m!" Wiraguna menyebut. "Laa ilaaha il al aahu Muhammadur
Rasuulul ah..." Kemudian Wiraguna
mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Seolah
mengusap noda di wajah itu. Setelah menarik napas panjang
ia bangkit. "Mari, Lie, temani aku malam ini. Aku tak ingin sendiri."
"Yang Mulia terlalu lelah...." Wanita itu membimbingnya.
Perlahan mereka masuk bilik. Perlahan. Seolah meniti duri.
Kegelapan makin mencekam. Dan Lie Hwa menutup rapat-
173 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
rapat pintu bilik peraduan Wiraguna. Setelah semua jendela
juga sudah tertutup rapat, barulah keduanya membaringkan
diri. *** Empat hari empat malam Nyi Singa Manjuruh dengan
ditemani Mantrolot serta lima orang pengawalnya berjalan.
Melintas belantara, menuruni jurang dan mendaki bukit, serta
menerjang semak dan onak. Menapaki jalan mendaki kini.
Sudah memasuki Hutan Songgon. Kelelahan hampir tak
tertahankan. Janin yang di perutnya sering kali menendang-
nendang. Ingin segera keluar meringankan beban ibunya.
Berkali rombongan itu berhenti. Minum dari tabung
bumbung yang mereka bawa sejak dari rumah mereka. Peluh
dan debu menyatu di kulit mereka. Bahkan rasa pegal linu dan
Manusia Harimau Merantau Lagi 4 Wiro Sableng 189 Kematian Sang Pendekar Pedang Sinar Emas 25
^