Pencarian

Kuil Kencana 4

Kuil Kencana Kinkakuji Karya Yukio Mishima Bagian 4


Keesokan harinya aku menunggu panggilan Pendeta Kepala untuk dimarahi. Ini adalah kesempatan bagiku untuk memberi-kan penjelasan. Tapi, setelah peristiwa yang dulu " waktu aku menginjak-injak pelacur " Pendeta Kepala mulai menyiksa aku dengan mendiamkan persoalan itu. Waktu itulah aku menerima surat lagi dari ibuku. Surat itu ia akhiri dengan ucapan biasa bahwa ia hidup dengan harapan akan dapat melihat aku menjadi Kepala Kuil Kencana. "Bebal, apa kau mau membuntuti aku?" " kalau kufikirkan kata-kata yang disemburkan Pendeta Kepala kepadaku, terasa sekali bahwa kata-kata itu tidak pantas sama sekali. Jika ia seorang pendeta Zen yang lebih khas, lebih berfikiran terbuka dan memiliki rasa humor yang lebih besar, maka ia tidak akan pernah mengucapkan makian yang begitu keji 205 pada muridnya. Ia akan mengucapkan kata-kata yang lebih berbobot dan lebih berguna. Kini, tentu saja Pendeta Kepala tidak bisa lagi mencabut kata-katanya; tapi aku yakin, bahwa kala itu ia telah salah mengira bahwa aku telah membuntuti dia dengan sengaja lalu mentertawakannya seolah-olah aku sudah berhasH memergoki lagi melakukan sesuatu perbuatan jahat; akibatnya dia malu dan serta-merta memperlihatkan kemarahannya dengan cara yang konyol sekali. Tapi bagaimanapun kenyataan sebenarnya, kebisuan Pendeta Kepala menjadi sumber kerisauan yang menekan aku dan hari ke hari. Kehadiran pendeta itu menjadi suatu kekuatan besar, ia menjadi bayang-bayang seekor lalat yang terbang berputar-putar depan mata kita. Sudah menjadi kebiasaan bagi Pendeta Kepala untuk mengajak seorang atau dua orang muridnya jika ia diminta untuk menghadiri upacara di luar kuil. Dulu Pengetua yang selalu ikut, tapi akhir-akhir ini se bagai hasil dari apa yang dikatakan proses demokratisasi, sudah jadi kebiasaan bagi kelima kami - Pengetua, Pengawas, aku sendiri dan dua orang santii lainnya - untuk menemani Pendeta Kepala secara bergann'-ganti. Kepala asrama, yang kekerasannya sudah jadi pemeo di antara kami, telah dipanggil masuk tentara dan kemudian tewas di medan perang. Tugasnya sekarang dilakukan oleh pengawas yang sudah separuh baya itu. Setelah Tsurukawa meninggal maka seorang murid lain telah mengisi tempatnya di kuil. Waktu itu Pendeta Kepala sebuah kuil (yang tergolong pada sekte Sokokuji dan yang memiliki silsilah seperti Rokuonji) meninggal, lalu Pendeta Kepala kami diundang untuk menghadiri pengukuhan penggantinya. Kebetulan sekali waktu itu giliranku untuk menemani dia. Karena ia tidak melakukan apa-apa untuk menghalangi aku, aku berharap akan ada kesempatan bagi kami berdua selama perjalanan ke kuil itu untuk mengadakan penjelasan. Tapi pada malam sebelum upacara pengukuhan itu, telah ditetapkan bahwa santri baru itu akan ditambahkan pada rombongan kami hingga harapanku hancur sama sekali. Para pembaca yang kenal sastra Gosan tentu akan ingat khotbah yang dibacakan waktu khimuro Zankyu memasuki Kuil Manju di Kyoto dalam tahun pertama kurun zaman Koan (1361). Kata-kata yang indah yang diucapkan oleh pendeta baru itu waktu ia sampai ke kuil dan mendekati gerbang utama di Ruang Bumi, lalu Ruang Leluhur, dan akhirnya Kamar Kepala Pertapaan, telah diturunkan pada kami. Sambil menunjuk ke gerbang utama, ia bicara dengan penuh kebanggaan dan mengucapkan kata-kata yang dibebani kegembiraan karena akan memulai tugas baru keagamaannya: "Dalam Tenjo Kyuchu, depan gerbang Teijo Manju. Dengan tangan kosong kubuka kunci, dengan kaki telanjang kudaki Gunung Konron yang keramat." Upacara pedupaan dimulai terlebih dulu. Mula-mula, Pendeta melakukan kebaktian Syihoko untuk menghormati pemim-pin besar agama, Syiho. Dulu, waktu agama Zen belum disekap oleh upacara-upacara dan kebangkitan spirituil, sebuah individu dinilai lebih tinggi dari segala-galanya, adalah kebiasaan bagi murid untuk memilih guru, dan bukan guru memilih murid. Di masa itu murid mendapat "persetujuan" agama bukan saja dari pendeta yang pertama-tama mengajar dia, tapi dari bermacam-macam guru; dan di waktu upacara pedupaan Syihoko maka ia akan mengumumkan nama guru yang jalannya ingin ia ikuti dengan penuh hikmah. Sementara aku memperhatikan upacara pedupaan yang mengesankan ini, aku bertanya dalam hati, datangkah saat bagiku untuk menghadiri upacara penggantian di Kuil Kencana, (apa aku akan mengumumkan nama fendeta Kepala sebagai dikehendaki oleh kebiasaan. Barangkali aku akan melanggar kebiasaan yang sudah berumur fujuli ratus rahun itu dan mengumumkan sebuah nama lain, l/dara dingin dalam kamar kepala pertapaan di sore hari permulaan musim semi ini, bau kelhna macam setanggi yang menimbulkan kenangan, peimata yang berkilauan di balik Tiga Alat dan lingkaran cahaya yang gemerlap melingkari Budha Utama, kecerahan jubah yang dipakai oleh pendeta-pendeta yang bertugas. Bagaimana kalau pada suatu hari aku berada di sini melakukan upacara pedupaan Shihoko" Aku membayangkan diriku sendiri dalam bentuk seorang pendeta yang lagi melakukan upacara pengukuhan. Karena duihami oleh suasana keras permulaan musim semi akan mengkhianati kebiasaan lama itu dengan segala senang hati. Pendeta Kepala akan hadir setelah men-dengar kata-kataku, maka ia tidak akan sanggup lagi bicara karena bingung dan pucat karena amarah. Karena aku akan mengumumkan nama yang bukan namanya. Nama lain" Tapi siapa guru lam yang mengajarkan jalan pencerahan yang sebenarnya" Aku tidak dapat menyebutkan namanya. la terhalang oleh kegagapanku dan tidak mau keluar dari mulutku. Aku gagap; dan waktu aku tergagap-gagap, nama Iain itu mulai muncul " "Keindahan," aku mulai mengatakan dan "Kekosongan". Lalu semua yang hadir tertawa terbahak-bahak, sedangkan aku terpaku di sana dengan kaku, di tengah-tengah ketawa mereka. Aku terbangun tiba-tiba dari lamunanku. Pendeta Kepala hams melakukan suatu upacara dan aku sebagai pembantunya hams mendampingi dia. Bagi seorang murid adalah sesuatu yang membanggakan untuk dapat hadir pada kesempatan "perti ini; apalagi untukku, karena Pendeta Kepala Kuil Kencana adalah tamu utama di antara mereka yang bertugas 208 dalam upacara itu. Setelah Pendeta Kepala selesai membakar setanggi, ia memukulkan sebuah palu yang disebut "para putih", dan dengan demikian menyatakan bahwa pendeta yang hari itu dikukuhkan sebagai kepala kuil itu bukanlah" seorang ganfuto, artinya, seorang pendeta gadungan. Ia mem-bacakan mantera lama lalu memberikan pukulan keras dengan palu putih itu. Lalu aku rrpliyadari kembali bagaimana ajaibnya kekuasaan yang dimiliki oleh Pendeta Kepala ini. *** Aku tidak sanggup menahan cara Pendeta Kepala mendiamkan kejadian-kejadian akhir-akhir ini, apalagi karena aku tidak tahu berapa lama sikap berdiam diri itu akan berlangsung. Sekiranya aku sendiri diberkahi dengan salah satu bentuk perasaan manusia, kenapa aku tidak boleh mengharapkan perasaan kemanusiaan yang sepatutnya dari orang-orang, seperti Pendeta Kepala, yang berhubungan denganku. Apakah perasaan itu perasaan cinta atau benci. Aku kini mendapat suatu kebiasaan buruk untuk memperhatikan air muka Pendeta Kepala di setiap kesempatan, tapi aku tidak berhasil menemui perasaan tertentu yang terbayang di mukanya. Ketiadaan kesan di mukanya malahan tidak bisa disamakan dengan sikap dingin. Mungkin ia mengandung suatu ketinggian hati dan pandangan rendah, tapi sikap pandang rendah ini bukan terhadap aku sebagai orang seorang, tapi lebih lagi terhadap sesuatu yang bersifat universil, sesuatu yang misalnya ia tujukan pada kemanusiaan umumnya atau bahkan pada berbagai konsepsi yang abstrak.
Mulai masa itu aku memaksa diriku untuk membayangkan gambaran kepala hewan Pendeta Kepala itu dan perbuatan-perbuatan lahiriah yang tidak senonoh yang telah ia lakukan. Aku membayangkan dia sedang becak dan aku juga membayangkan dia waktu ia u'dur bersama gadis yang bermanteJ merah karat itu. Aku melihat wajahnya yang tak menyimpan apa-apa itu mengendur, ialu suatu kesan yang bisa merupakan tertawaan atau keperihan, muncui di mukanya begitu ia jadi lengah karena kehikmatan badamah. Wujud tubuhnya yang Iunak dan halus yang mencair ke dalam tubuh gadis itu, yang juga lunak dan halus waktu keduanya secara lahiriah tidak bisa dibeda-bedakan. Cara bagaimana perutnya yang buncit menekan perut buncit gadis itu. Tapi anehnya, biar bagaimana kuat pun imajinasiku, muka Pendeta Kepala yang tak mengutarakan apa-apa itu selalu dihubungkan segera dalam fikiranku dengan pengutaraan hewaniyang menjadi bagian dari perbuatan membuang kotoran dan melakukan hubungan seksuil. Tidak pernah ada sesuatu yang moncul untuk mengisi ruang antara kedua hal itu. Ujung ekstrim yang satu langsung berobah menjadi ujung ekstrim lainnya, tanpa adanya perantara yang terdiri dari wama yang berganti secara bertahap seperti yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Satu-satunya yang dapat diguna-kan sebagai penghubung adalah makian konyol yang pernah diucapkan Pendeta Kepala padaku sore itu. "Bebal, apa kau mau membuntuti aku?" Setelah lelah karena beriikir dan menunggu, aku akhirnya dicekam oleh suatu keinginan yang keras sekali: ingin melihat kebencian terbayang di wajah Pendeta Kepala. Rencana yang kususun untuk itu sebuah rencana gila, kekanak-ka^akan dan jelas sekali merugikan aku; tapi aku tak sanggup lagi mengendalikan diriku, Aku malahan tidak memikirkan ke-mungkinan bahwa ulahku ini hanya akan memperkuat salah faham Pendeta Kepala yang dulu dan mengira bahwa aku sudah membuntuti dia dengan sengaja. 30 Aku ketemu Kashiwagi di universitas lalu padanya kuta-nyakan nama dan alamat toko itu. Kashiwagi memberi tahu aku tanpa menanyakan apa yang mau kulakukan. Aku segera pergi ke toko itu lalu meneliti sejumlah foto berukuran kartupos yang memperlihatkan geisha-geisha terkenal dari daerah Gion. Mula-mula wajah gadis-gadis itu dengan dandanan mereka yang tebal kelihatan serupa semuanya, tapi setelah beberapa lama mulailah timbul berbagai ragam perbedaan dari gambar-gambar itu. Kini aku dapat menembus topeng pupur mereka yang serupa, melihat bayang-bayang halus rupa mereka masing-masing " kemurungan atau kecerahan, kebijakan yang cekatan atau ketumpulan yang cantik, ke-sempitan hati atau kemeriahan yang tak bisa disembunyikan, kemalangan atau nasib baik. Akhirnya aku menemui gambar yang kucari. Karena lampu listrik dalam toko itu terang, pantulan gambar berkilat pada kertas licin itu hingga susah sekali untuk memperoleh pandangan yang jelas tentang foto-foto itu. Tapi begitu pantulan cahaya itu jatuh ke tanganku, aku dapat melihat bahwa memang inilah wajah gadis yang memakai mantel merah karat itu. "Aku mau yang ini," kataku pada penjaga toko. Keberanian yang aneh kali ini sesuai sekali dengan kenya-taan, bahwa semenjak aku memulai rencanaku ini, aku sudah berobah sama sekali dan telah jadi periang dan penuh dengan kegembiraan yang tak bisa diterangkan. Rencanaku semula ialah mencari kesempatan di mana Pendeta Kepala itu sedang keluar dan dengan demikian menyembunyikan daripadanya siapa yang telah melakukan perbuatan itu; tapi keadaanku yang baru dan penuh semangat mendorong aku untuk melaksanakan rencana itu dengan penuh keberanian, dan dengan cara begitu rupa hingga jelas siapa yang bertanggung jawab atas perbuatan itu. 211 Aku masih bertugas untuk mengantarkan koran pagf ke faunar Pendeta Kepala. Pada suatu pagi dalam bulan Maret, waktu udara masih dingin, aku seperti biasa pergi ke pintu masuk kuil untuk mengambil koran. Jantungku berdebar-debar waktu gambar geisha Gion itu kukeluarkan dari kan-tongku dan kuseh'pkan ke dalam koran itu. Matahari pagi menyinari pohon sago yang tumbuh di tengah-tengah halaman dan dikitari oleh sebuah pagar me-lingkar. Kulit pohon sago yang kasar itu berobah warna sedikit dalam cahaya matahari. Di sebelah kiri terdapat sebatang pohon asam kecil. Beberapa ekor burung kecil yang terlambat mencicit-cicit lunak hingga kedengarannya bagai untaian tasbih yang bersentuh. An eh sekali bahwa di kala itu masih ada burung-burung seperti itu, tapi pelebaran bagian bawah yang berwarna kuning yang dapat kulihat berkat sinar matahari yang menembus di sela-sela dahan, tak mungkin memiliki burung lain. Kerikil-kerikil putih bertaburan dengan damai di halaman. Aku berjalan had-hati sepanjang gang supaya kakiku tidak basah oleh genangan air yang terdapat di sana-sini karena lantai baru dipel. Pintu kantor Pendeta Kepala di Perpustakaan Besar terkunci. Hari begitu pagi hingga keputihan kertas pintu geser bersinar dengan terang. Aku berlutut di luar, di gang sambil berkata seperti biasa: "Apa aku boleh masuk, Bapa?" Setelah disetujui oleh Pendeta Kepala, aku mendorong pintu geser itu, lalu masuk dan meletakkan koran yang terlipat lepas itu di sudut meja. Pendeta Kepala sedang asyik membaca sebuah buku dan tidak melihat mataku. Aku mengundurkan diri, menutup pintu, lalu berjalan perlahan-lahan sepanjang gang menuju kamarku sambil berusaha sebaik-baiknya supaya tetap tenang. Waktu aku sampai ke kamarku, aku duduk dan menumpah- kan seluruh perhatianku pada kehangatan hatiku yang men-desak, sampai datang waktunya bagiku untuk berangkat ke universitas. Belum pernah dalam hidupku aku menanti-nantikan sesuatu dengan begitu rupa. Biarpun rencanaku itu kubuat dengan maksud untuk menimbulkan amarah Pendeta Kepala, gambar yang kini kulihat hanya sarat dengan nafsu dramatis, saat dua orang manusia saling mencapai pengertian. Siapa tahu Pendeta Kepala itu tiba-tiba menerjang ke dalam kamarku lalu memaafkan aku. Dan kalau ia memaafkan aku, siapa tahu untuk pertama kalinya dalam hidupku aku akan berhasil mencapai perasaan cerah dan mumi tempat Tsurukawa selalu hidup. Pendeta Kepala dan aku akan berpeiukan, dan yang tersisa sesudah itu hanya suatu rasa penyesalan karena tidak lebih dulu sampai pada saling pengertian seperti itu. Lanunan ini tidak lama, tapi rasa-rasanya tidak bisa dimeigerti kenapa aku biarpun untuk waktu yang singkat bisa membiarkan diriku dikuasai oleh angan-angan dungu seperti itu. Tapi setelah kufikirkan dengan tenang, kusadari, bahwa karena dengan perbuatan bodoh ini aku sudah me-ninbulkan kemarahan Pendeta Kepala, maka aku dengan berbuat demikian telah mencoret namaku sendiri dari daftar cilon yang mungkin menggantikan dia, dan dengan demikian nenutup jalan bagiku untuk bisa berharap jadi pemilik XLuil Kencana ini " selama ini aku begitu asyik dengan apa yang ingin kutuju hingga aku lupa sama sekali pada pengabdian seumur hidupku pada kuil itu sendiri. Perhatianku terpusat pada suara yang mungkin kedengaran datang dari kamar Pendeta Kepala di Perpustakaan Besar. Aku tidak mendengar apa-apa. Kini aku menunggu kemarahan Pendeta Kepala yang garang, teriakan mengguntur yang axan cua lontarkan. Aku fmerasa tidak akan menyesal jika aku diserang, ditendang sampai jatuh dan sampai berdarah. Tapi di jurusan Perpustakaan Besar yang ada hanya keheningan yang sempurna; tidak ada satu suara pun yang terdengar waktu aku menunggu di kamarku. Waktu sampai saat aku hams meninggalkan kuil dan berangkat ke universitas, hatiku letih dan kuyu. Aku tidak sanggup memusatkan perhatian pada kuliah dan waktu penga-jar mengajukan sebuah pertanyaan aku memberikan jawaban yang tidak tepat sama sekali. Semua orang mentertawakan aku. Aku mengerling pada Kashiwagi dan aku melihat bahwa hanya dia yang tak perduh" dan asyik memandang ke luar jendela. Ia pasti sadar sekah' akan drama yang berhngsung dalam diriku. Waktu aku kembali ke kuil, tidak ada perobahan apa-apa. Apakah keabadian kehidupan kuil yang gelap sudah aegitu mantap hingga tidak mungkin ada perbedaan antara hari yang satu dengan yang lainnya" Ceramah ten tang hukum-hukum Zen diadakan dua kali sebulan, dan had itu adalah satu dari hari ceramah. Senua penghuni kuil berkumpul di tempat Pendeta Kepala unuk mendengarkan ceramahnya. Aku merasa, mungkin sekali ia akan mempergunakan ceramah tentang ayat-ayat Mumonkm sebagai dalih untuk mencela aku di hadapan semua oran" Aku punya alasan khusus untuk meyakini ini. Karena dalan ceramah malam itu aku duduk langsung berhadapan dengan Pendeta Kepala, aku merasa bahwa aku sudah didorong oleh semacam semangat kejantanan yang tak pada tempatnya sama sekah'. Aku merasa bahwa Pendeta Kepala akan membalas dengan memamerkan kesalehan yang jantan: ia akan menge-sampingkan semua kemunafikan, lalu mengakui perbuatannya di hadapan semua orang, dan setelah melakukan itu mencela aku karena perbuatanku yang tidak terpuji. Semua penghuni kuil semuanya telah berkumpul sebelum-nya di bawah sinar muram dengan kitab Mumonkan di pangkuan dan tangan. Malam itu dingin sekali dan satu-satunya alat pemanas ialah sebuah anglo kecil yang diletakkan dekat Pendeta Kepala. Aku mendengar orang bersin. Mereka duduk di sana, tua dan muda, sedangkan bayang-bayang memperlihatkan keragaman cahaya pada wajah mereka yang tertunduk; dalam wajah mereka ada sesuatu kesan tidak berdaya yang tak dapat dikatakan. Santri baru yang di waktu siang bekerja sebagai guru Sekolah Dasar, adalah seorang anak muda yang rabun dan kacamatanya tak putus-putusnya meluncur dari hidungnya yang kurus. Hanya aku yang sadar akan kekuatan yang ada dalam badanku. Setidak-tidaknya begitulah bayanganku. Pendeta Kepal" membuka kitabnya lalu memandang ke sekelilingnya, pada kami semua. Matanya kuikuti. Aku ingin dia melihat bahwa aku tidak merundukkan mataku. Tapi waktu matanya yang dikelilingi oleh keriput-keriput tebal sampai padaku, ia :idak memperlihatkan perhatian sedikit pun jua, lalu piniah pada orang berikutnya. Ceramah dimulai. Aku hanya menunggu saat ia beralih tiVa-tiba kepada masalahku. Aku mendengarkan dengan singguh-sungguh. Suara Pendeta Kepala.yang tinggi menderu-ceru. Tidak satu bunyi pun yang lahir dari perasaan hatinya /ang dalam. *** Malam itu aku tidak bisa tidur. Sambil bangun, aku merasa benci pada Pendeta Kepala itu dan berkeinginan untuk 21 4 mempermain-mainkan dia karena kemunaflkannya. Tapi lambat-laun timbullah suatu rasa penyesalan dalam diriku dan aku mulai merobah perasaanku yang angkuh. Kebencianku Ipada kemunafikan Pendeta Kepala itu, dengan salah satu jalan yang aneh, dihubungkan dengan penglemahan jiwaku secara lambat-laun, hingga akhirnya aku sampai pada titik pemikiran, karena aku kini sadar bahwa Pendeta Kepala itu sebetulnya tidak berarti apa-apa. Maka permintaan maafku padanya tidak akan dapat diartikan sebagai kekalahan. Hatiku yang telah sampai ke puncak lereng yang terjal kini berlari turun dengan cepat sekah. Aku memutuskan untuk pergi minta maaf keesokan hari-nya. Waktu pagi sudah datang, aku memutuskan untuk minta maaf nanti slang. Kulihat air muka Pendeta Kepala sedikit pun tidak berobah. Hari itu adalah hari yang berangin. Waktu aku lembali dari universitas, aku kebetulan membuka laciku. Aku aelihat sesuatu yang dibungkus dengan kertas putih. Isinya adalah foto itu. Tidak sepatah kata pun yang tertulis di atas kertas itu. Rupa-rupanya Pendeta Kepala bermaksud un tuk menyuiahi persoalan itu dengan cara begini. Dia tidak bermaksud untuk melupakan perbuatanku seluruhnya, tapi ia mau meije-laskan bagaimana sia-sianya perbuatan itu. Tapi cararya yang aneh untuk mengembalikan foto itu, mendatangkai sekawanan bayangan ke dalam fikiranku. "Jadi Pendeta Kepala juga menderita!" demikian kataki dalam hati. "Ia tentu telah mengalami ketakutan yang tiada tara sebelum sampai pada cara ini. Dan kini ia tentu benci padaku. Mungkin bukan karena foto itu ia benci padaku, tapi karena aku telah membuat dia bertindak dengan cara yang begitu tidak pantas. Sebagai akibat dari foto yang sebuah ini, ia merasa hams bertindak secara diam-diam dalam kuilnya " sendiri. Ia hams berjalan diam-diam sepanjang gang kalau tidak ada lagi orang, lalu dia harus memasuki kamar salah seorang muridnya yang belum pernah ia masuki sebelumnya, lalu membuka laci begitu rupa seolah-olah ia sedang melakukan suatu kejahatan. Ya, kini ia sudah punya cukup alasan untuk membenci aku." Fikiran ini menumbuhkan suatu kegembiraan yang tak bisa . dilukiskan dalam diriku. Lalu aku menyiapkan diri untuk melakukan suatu tugas yang menyenangkan. Aku mengeluarkan gunting lalu menggunting foto itu jadi potongan-potongan kecil. Potongan-potongan itu kubungkus baik-baik dalam sehelai kertas yang kuat dari buku catatanku. Bungkusan itu kugenggam kuat-kuat lalu aku berjalan ke tempat di dekat Kuil Kencana. Kuil yang penuh dengan keseimbangan murung seperti biasa, menjulang ke langit berangin dan cerah karena bulan. Tiang-tiangnya yang ramping tegak ber-dekatan; waktu bulan menyinarinya, tampaklah seperti tali kecapi, sedangkan kuil itu sendiri kelihatan sebagai sebuah alat musik besar dan aneh. Kesan khusus ini tergantung dari ketinggian bulan. Malam ini jelas sekali. Tapi angin bertiup dengan sia-sia melalui ruang-ruang antara tali-tali kecapi yang tak bersuara itu. Aku memungut sebuah batu, kubungkus dengan kertas itu; sudah itu bungkusan kuremas kuat-kuat. Maka tenggelamlah potongan-potongan kecil wajah gadis itu di tengah-tengah Kolam Kyoko setelah diberati dengan batu. Riaknya mengem-bang bebas dan tak lama kemudian ia sampai ke pinggir aii tempatku berdiri.
*** Keburonanku secara tiba-tiba dari kuil itu pada bulan November tahun itu disebabkan oleh bertumpuknya segala kejadian ini. Setelah kemudian kuflkirkan kembali, aku sadar bahwa keburonanku ini, yang kelihatannya terjadi secara tiba-tiba, sebetulnya didahuiui oleh pertimbangan yang cukup banyak dan keraguan-keraguan. Tapi aku lebih suka memper- Icayai bahwa aku didorong oleh suatu gerak hati yang tiba-tiba. Karena dalam diriku tidak ada yang dilahirkan oleh gerak hati tiba-tiba, aku dibius oleh suatu bentuk perbuatan tiba-tiba yang tidak sejati. Misalnya seorang leiaki, yang bermaksud untuk mengunjungi kuburan ayahnya keesok-an harinya, tapi waktu sampai saatnya ia tiba-tiba berada depan sebuah stasiun. lalu merubah niatnya dan memutuskan mendatangi seorang kawan minum, apa ini dapat dikatakan sebagai tanda sifat impulsif yang sejati, sifat suka mengikuti gerak hati yang sebenarnya" Apa perobahan niat secara tiba-tiba ini bukan semacam pembalasan yang ia lakukan atas kehendaknya sendiri" Apa itu bukan sesuatu yang dilakukan secara sadar daripada persiapan lama yang ia lakukan untuk mengunjungi kuburan ayahnya" Sebab utama dari keburonanku terdapat dalam apa yang dengan jelas diungkapkan oleh Pendeta Kepala padaku sehari sebelumnya: "Dulu aku berniat untuk menjadikan kau peng-gantiku di smi. Tapi kini dapat kukatakan padamu dengan terus terang bahwa niat itu sudah tidak ada lagi." Inilah kali pertama aku mendengar hal seperti itu dari dia, biarpun mestinya tahu bahwa itu akan terjadi dan sudah hams siap untuk mendengarkan pengumuman itu. Aku tidak bisa pura-pura mengatakan bahwa kabar itu datang sebagai petir di waktu siang atau bahwa aku betul-betul terheran-heran dan hilang akal. Sungguhpun begitu, aku ihgtn meyakinkan diriku bahwa keburonanku dicetuskan oleh kata-kata Pendeta Kepala dan disebabkan oleh teriak hati 218 tiba-tiba. Setelah aku yakin akan kemarahan Pendeta Kepala berkat ulahku dengan foto itu, aku mulai menyia-nyiakan pelajaranku di universitas. Ini jelas sekali. Dalam masa persiapanku, aku beroleh angka terbaik dalam bahasa Cina dan Sejarah; aku mendapat biji delapan puluh empat untuk kedua mata pelajaran itu dan bijiku seluruhnya berjumlah tujuh ratus empat puluh delapan, dan itu berarti aku berada di tingkat kedua puluh empat dalam kelas yang terdiri dari delapan puluh empat mahasiswa. Dari empat ratus enam puluh empat pelajaran aku hanya empat belas jam tidak hadir. Di tahun kedua jumlah bijiku seluruhnya hanya enam ratus sembilan puluh tiga dan dengan demikian turun derajat ke tingkat tiga puluh lima dalam satu kelas yang terdiri dari tujuh puluh tujuh mahasiswa. Baru dalam tahun ketigalah aku betul-betul mulai tidak memperdulikan pelajaranku " bukan karena aku punya uang yang dapat kupergunakan untuk membuang-buang waktuku, tapi karena aku senang bermalas-malas. Kebetulan sekali semester pertama tahun ketiga mulai setelah peristiwa foto itu. Waktu semester pertama berakhir universitas mengirimkan lapuran ke kuil, lalu aku dimarahi oleh Pendeta Kepala. Sebab dari kemarahan ini ialah karena angka-angkaku buruk dan karena tidak menghadiri kuliah selama sekian banyak jam kuliah, tapi yang paling menjengkelkan Pendeta Kepala ialah karena aku tidak menghadiri pelajaran-pelajaran khusus mengenai latihan Zen, yang dilangsungkan hanya selama tiga hari dalam semester itu. Pelajaran-pelajaran mengenai latihan Zen ini diadakan selama tiga hari sebelum permulaan musim panas, musim dingin dan liburan musim semi " seluruhnya sembilan hari dalam se tahun " dan diadakan dalam bentuk seperti yang dilakukan di pelbagai seminari khusus. Untuk caci-maki ini Pendeta Kepala memanggil aku ke kamarnya, suatu hal yang jarang sekali terjadi. Aku tegak di Isana membisu sambil menundukkan kepala. Dalam hatiku aku menunggu kata-katanya yang menuju ke suatu persoalan tertentu; tapi ia sama sekali tidak menyinggung-nyinggung peristiwa foto itu, juga tidak ia bangkit-bangkitkan soal pelacur dulu dan pemerasan yang telah ia lakukan. Semenjakitulah sikap Pendeta Kepala mulai dingin terhadap aku. Tapi justru hasil inilaJi yang kuinginkan, bukti yang sangat sekali ingin kulihat; ia merupakan semacam kemenangan bagiku. Tapi satu-satunya yang diperlukan untuk menciptakan-nya adalah sekadar kemalasanku. Dalam semester pertama tahun ketiga aku tidak hadir sebanyak enam puluh jam -kira-kira lima kah lebih banyak dari ketidakhadiranku seluruhnya dalam tahun pertama. Jam-jam itu tidak kuperguna-kan untuk membaca buku, dan uang tidak kupunyai untuk kuhabiskan buat bersenang-senang. Kadang-kadang aku ber-cakap-cakap dengan Kashiwagi tapi tanpa berbuat apa-apa. Ya, aku sendiri tanpa berbuat apa-apa dan kenanganku pada Universitas Otarii campur-aduk akrab sekali dengan kenangan kemalasan. Kemalasan ini barangkali adalah suatu bentuk khusus dari praktek Zen-ku dan aku tidak pernah secara sadar merasa bosan selama aku berada dalam keadaan begitu. Sekali aku pernah duduk di rumput selama berjam-jam memperhatikan sebuah koloni semut yang sibuk mengangkut butir-butir kecil tanah merah. Soalnya bukan karena semut-semut itu sudah menarik perhatianku. Pada kesempatan lain aku berdiri lama sekali di luar universitas sambil memandang nanap bagai orang tolol ke gelung-gelung asap yang tipis dan naik dari cerobong asap sebuah pabrik di belakang. Bukannya karena asap itu menarik perhatianku. Pada saat 220 itu aku merasa seolah-olah terbenam sampai ke leher dalam perwujudan yang merupakan diriku. Dunia di luar diriku telah jadi dingin sebagian-sebagian dan kemudian dipanaskan lagi. Bagaimana harus kujelaskan" Aku merasa bahwa dunia luar itu sudah kelihatan tapi kemudian hilang lagi. Batinku dan dunia luar perlahan-lahan dan secara tak teratur bertukar tempat. Peristiwa-peristiwa yang tak berarti dan mengeluingi aku bersinar depan mataku; sambil bersinar, ia memaksakan dirinya ke dalam diriku. Bagian-bagian yang bersinar itu mungkin saja sehelai bendera di atas sebuah pabrik, atau sebentuk noktah tak penting di dinding, atau terompah tua yang ditinggalkan di rumput. Saat demi saat mereka hidup dalam diriku " semuanya ini dan juga segala macam hal lain - lalu mereka hilang lagi. Atau apa barangkali lebih tepat kalau kukatakan segala macam fikiran tak berbentuk" Hal-hal penting berpegangan tangan dengan hal-hal remeh, dan perkem-bangan politik di Eropah yang kubaca di koran pagi berhubung-an erat sekali dengan terompah tua yang terletak di kakiku. Aku menghabiskan waktu lama sekali memikirkan sudut tajam yang dibentuk oleh ujung daun rerumputan tertentu. Barangkali kata "berfikir" tidak begitu tepat. Konsep-konsepku yang aneh dan tak lebih tetek-bengek itu bukanlah suatu proses yang berlangsung terus-menerus, tapi sesuatu yang tak putus-putusnya muncul bagai nada sebuah lagu. Kenapa sudut tajam itu harus begitu tajam" Sekiranya ia tumpul, apa penamaan "rumput" jadi tidak berarti dan apa alam terpaksa mengalami kehancuran dari salah satu sudut totalitas-nya" Jika sebuah gigi roda kecil dibuang dari alam, bukankah alam sendiri akan runtuh seluruhnya" Lalu fikiranku mulai meneliti masalah itu tanpa tujuan " dari sudut pandangan yang satu ke siidut pandangan yang lain. Kemarahan Pendeta Kepala segera tersiar antara penghuni 221 kuil dan sikap mereka terhadap aku jelas makin bermusuhan. Sesama muridkuyang dulu iri hati sekali karena aku dianjurkan masuk universitas kini mendecakkan lidahnya penuh kejayaan setiap kali ia ketcmu aku. Aku meneruskan hidupku di kuil selama musim panas dan musim gugur, dan aku hampir-hampir tidak bicara dengan siapa pun jua. Di pagi hari sebelum aku melarikan diri, Pendeta Kepala telah menyuruh Pengetua datang ke kamarnya. Waktu itu tanggal sembilan November. Karena sudah siap untuk pergi ke universitas aku sudah mengenakan seragam mahasiswa. Wajah Pendeta Kepala yang tembam itu biasanya gembira, karena ia akan menyampaikan sesuatu yang tidak menyenang-kan padaku, wajahnya jadi membeku dengan aneh. Bagiku sendiri cukup menyenangkan melihat Pendeta Kepala memandang padaku seolah-olah sedang mengamati seorang ber- Ipenyakit lepra. Justru air muka seperti inilah yang ingin kulihat, " air muka yang mengandung perasaan manusia. Pendeta Kepala itu berpaiing dari aku. Sambil bicara ia menggosok-gosokkan tangannya di atas anglo. Daging Iembut telapak tangannya hanya memperdengarkan suara sedUdt sekali, tapi di telingaku ia kedengaran seolah-olah menggegar dan merusak kejernihan udara pagi musim dingin. Persentuhan antara daging pendeta itu dengan dagingnya sendiri menghasilkan suatu perasaan akrab yang tidak perlu ada sama sekali. "Almarhum ayahmu akan sedih sekali mendengar ini!" katanya. "Coba lihat surat ini! Mereka dari universitas telah menulis surat lagi dengan peringatan-peringatan keras. Sudah sepatutnya kau berflkir apa yang akan terjadi kalau terus-menerus begini." Lalu ia langsung pindah ke kata-kata Iain: "Dulu aku berniat hendak menjadikan kau penggantiku 222 di sini. Tapi kini bisa kukatakan dengan terus terang bahwa niat itu sudah tidak ada lagi." Aku diam selama beberapa saat. Lalu aku berkata: "Jadi Bapa tidak akan menyokong aku lagi?" "Apa kau betul-betul mengira aku masih akan menyokong setelah semua kejadian ini?" tanya Pendeta Kepala setelah diam sebentar. Aku tidak menjawab pertanyaannya, tapi aku menggagap-kan sesuatu mengenai soal yang lain sama sekali: "Bapa kenal aku benar-benar. Dan kukira saya juga kenal Bapa." "Jadi kalau kau kenal bagaimana?" kata Pendeta Kepala itu, lalu suatu sinar muram timbul di matanya. "Gunanya tidak ada sama sekali. Sia-sia." Belum pernah aku melihat wajah manusia yang begitu memencilkan diri dari dunia hari ini. Belum pernah aku melihat seorang laki-laki, yang biarpun telah mengotori tangannya dengan uang dan perempuan dan segala macam benda kehidupan duniawi, yang begitu membenci dunia. Aku sarat dengan perasaan benci, seolah-olah aku berhadapan dengan bangkai yang masih hartgat dan memiliki wajah yang sehat. Pada saat itu datang keinginan yang keras sekali pada diriku untuk menjauhkan diri dari semua yang mengelilingi aku, biarpun hanya untuk sementara waktu. Setelah aku mengundurkan diri dari kamar Pendeta Kepala, keinginan itu terasa makin keras dan ak^tak dapat mengalihkan fikiran-ku dari soal itu. Kuambil pembungkus furoshiki lalu aku membungkus kamus Budhis dan seruling pemberian Kashiwagi. Aku berang-kat ke universitas membawa bungkusan dan tasku. Fikiranku penuh dengan niat untuk pergi. Waktu memasuki gerbang universitas, aku bersyukur sekali dapat melihat Kashiwagi berjalan di depanku. Kupegang 2 Flengannya lalu kua/ak bicara ke pinggir jalan. Aku minta supaya dipinjami uang tiga ribu yen dan mengambil kamus serta seruling itu untuk ia pergunakan semaunya. Pada mukanya tidak kelihatan tanda-tanda tarikan wajah yang biasanya ia perlihatkan jika lagi mengemukakan ucapan yang paradoksal " air muka yang dapat kita lukiskan sebagai gambaran kecerahan filsafat. Ia memandang padaku dengan mata dikecilkan dan berkabut. "Kau ingat nasiiiat yang diberikan Laertes pada anaknya dalam Hamlet" 'Jangan berhutang dan jangan berpiutang. Karenahutang bisa sekaligus menghilangkan uang dan kawan.'" "Aku tidak punya ayah lagi," jawabku. "Tapi kalau tidak bisa juga tidak jadi apa." "Aku tidak mengatakan tidak bisa," kata Kashiwagi. "Man kita bicarakan. Aku tidak tahu pasti apa aku bisa mengumpulkan tiga ribu yen atau tidak." Aku mau menuding Kashiwagi dengan apa yang diceritakan oleh perempuan guru mengarang bunga itu tentang dirinya " Icara dia memeras uang dari perempuan " tapi aku berhasil mengendalikan diriku. Tertama-tama harus kita fikirkan bagaimana caranya untuk melepas kamus dan seruling ini." Sambil mengucapkan itu, ia tiba-tiba berbalik lalu berjalan kembali ke gerbang. Aku juga berbalik lalu menemaninya sambil memperlambat langkahku supaya sesuai dengannya. Ia mulai bicara tentang sesama mahasiswa yang menjadi ketua sebuah perhimpunan simpan-pinjam yang dikenal sebagai Klub Hikari dan yang telah ditangkap karena dituduh terlibat dalam kegiatan keuangan pasar gelap. Ia dibebaskan dalam bulan September, dan semenjak itu rupa-rupanya ia selalu kesuiitan, karena nama baiknya sudah rusak. Sejak bulan April, Kashiwagi tertarik sekali pada ketua Klub Hikari 224 itu dan kami sering membicarakannya. Kami yakin pengaruh-nya dalam masyarakat masih banyak dan kami sama sekali tidak mengira bahwa empat belas hari kemudian ia bunuh diri. "Untuk apa uang itu?" tanya Kashiwagi tiba-tiba. Aneh baginya untuk menanyakan pertanyaan seperti itu. "Aku mau pergi ke suatu tempat. Tujuan yang jelas tidak ada." "Apa kau masih akan kembali?" "Mungkin sekali." "Kenapa kau lari?" "Aku mau menjauhkan diri dari keadaan sekelilingku. Dari bau kelumpuhan yang diberikan dengan keras sekali oleh mereka yang ada di sekitarku." "Kau juga mau menjauhkan diri dari Kuil Kencana?" "Ya. Juga dari Kuil Kencana." "Apa Kuil Kencana juga lumpuh?" "Tidak, Kuil Kencana pasti tidak lumpuh! la adalah akar kelumpuhan semua orang." "Ya, kukira kau akan berfikir begitu," kata Kashiwagi sambil berjalan dengan lenggang menari yang khas dan mendekakkan lidahnya dengan riang. Aku mengikuti dia menuju sebuah toko antik kecil dan dingin, lalu seruling itu ia jual. Ia hanya bisa mendapat empat ratus yen. Sudah itu kami singgah ke sebuah toko buku bekas dan berhasil menjual kamus itu dengan harga seratus yen. Untuk sisa uang sebanyak dua ribu lima ratus yen lagi Kashiwagi mengajak aku ke rumah penginapannya. Setelah meminjamkan uang itu padaku, ia mengajukan sebuah usul yang ganjil. Seruling itu, demikian ia menjelaskan, adalah sebuah barang pinjaman yang sudah kukembalikan padanya, sedarigkan kamus itu dapat dianggap sebagai hadiah. Jadi aku tidak ada melakukan apa-apa kecuali menyerahkan padanya barang-barang yang sebetulnya sudah menjadi miliknya, dan karena itu uang yang lima ratus yen yang diperoleh dari penjualan itu adalah haknya. Jika ditambahkan uang yang dua ribu lima ratus yen itu maka jumlah hutang itu seluruhnya tentu jadi tiga ribu yen. Dari tiga ribu yen ini Kashiwagi ingin menerima bunga sebanyak sepuluh persen sebulan sampai seluruh hutang selesai dibayar. Menurut Kashiwagi, jika di-bandingkan dengan bunga tiga puluh empat persen yang diminta oleh Klub Hikari, maka bunga ini begitu rendah, hingga seluruh hutang ini sebetulnya lebih merupakan pembe-rian dari fihaknya. Ia mengeluarkan selembar kertas Jepang yang tebal, sebuah batu tinta lalu mulai menuliskan per-syaratan hutang itu dengan penuh kesungguhan. Sudah itu ia menyuruh aku menekankan cap ibu jariku pada dokumen itu. Karena aku tidak mau merisaukan masa depan, maka aku menekankan ibu jariku ke bantal tinta lalu menekankan-nya pada surat perjanjian hutang-piutang itu. Jantungku berdebar karena tidak sabar. Setelah meninggalkan rumah penginapan Kashiwagi dengan uang tiga ribu yen dalam kantong, aku naik trem sampai Taman Funaoka. Aku beriari menaiki tangga batu yang menuju ke Kuil Kenkun. Aku bermaksud mengambil surat undian suci mikuji untuk mendapat semacam gambaran tentang perjalananku. Dari kaki tangga itu kita dapat melihat gedung utama Kuil Yoshiteru Inari yang dicat dengan warna merah lincah, dan juga sepasang rubah dari batu yang dikelilingi oleh kawat. Masing-masing rubah berhiaskan ukir-ukiran pada mulutnya dan bahkan telinganya yang tegak dan tajam itu diberi cat merah. Hari itu dingin sekali. Sekali-sekali angin berhembus di antara sinar matahari yang tipis. Matahari yang lemah menem-bus pepohonan hingga tangga itu kelihatan seperti baru 226 disirami abu. Kelihatannya seperti abu kotor, karena cahaya yang lemah sekali. Aku beriari naik tangga itu tanpa berhenti untuk mengambil nafas dan waktu akan sampai ke halaman terbuka di depan Kuil Kenkun, aku sudah mandi keringat. Di depanku terdapat tangga lain yang menuju kuil itu. Atap gentengnya yang rata menjulur sampai ke tangga. Di kedua jalan menuju kuil itu berbarislah pohon-pohon pinus yang ramping ber-keluk-keluk di bawah langit musim dingin. Gedung kayu tua kantor kuil itu berada di sebelah kanan dan di pintunya tergantung papan yang bertuliskan: "Lembaga Penelitian Dan Telaah Nasib Manusia." Antara kantor kuil dan ruang tempat memuja terdapat sebuah gudang putih, dan di belakangnya tumbuh beberapa pohon sedar di bawah awan dingin dan kelabu yang tersebar di atas kepalaku, sarat dengan cahaya berkabung. Dari sini kita bisa melihat pemandangan ke gunung-gunung di bagian barat Kyoto. Dewa utama yang dipuja di Kuil Kenkun adalah panglima perang bangsawan Nobunaga. Putera sulungnya, Nobutada, juga disucikan bagai dewa pendarnping. Kuil itu bentuknya bersahaja dan satu-satunya warna yang terdapat di situ ialah warna merah terali yang melingkungi ruang besar pemujaan. Aku menaiki tangga lalu menghadap dewa-dewa itu. Sesudah itu kuambil kotak tua bersegi enam yang terletak di atas lemari barang-barang persembahan. Kotak itu kugoncang-goncang. Akhirnya sepotong bambu yang diukir halus sekali menjulur dari lobang yang terdapat di atas kotak itu. Di atasnya tertulis dengan tinta Cina angka "14". Aku berbalik. "Empat belas, empat belas," aku menggumam pada diriku sendiri sambil menuruni tangga. Bunyi kata-kata itu seolah-olah mengental di lidahku dan setahap demi setahap mem- 227 peroleh arti tertentu. Aku pergi ke pintu kantor kelenteng lalu menyatakan kehadiranku. Seorang perempuan separuh baya muncul. Rupa-rupanya ia lagi mencuci dan ia sibuk menyeka tangannya pada rok luar yang ia pakai. Tanpa memperlihatkan air muka yang khas ia menerima pembayaran sepuluh yen yang kuserahkan padanya. "Nomor berapa?" tanyanya. "Nomor empat belas." "Tunggu di sini." Aku duduk di serambi terbuka, menunggu. Dalam diriku timbul fikiran alangkah tidak berartinya kalau nasibku harus ditentukan oleh tangan perempuan yang basah dan lecet itu. Tapi tidak apa, karena aku justru datang ke kuil itu dengan niat untuk menghadapi ketiadaan arti itu. Di balik pintu geser kertas aku dapat mendengar bunyi denting cincin besi sebuah laci tua yang rupa-rupanya lagi dibuka oleh perempuan itu dengan susah payah. Lalu aku mendengar bunyi kertas dirobek dan sesaat kemudian pintu geser itu temganga. "Ini." kata perempuan itu sambil mengulurkan selembar kertas kecil lalu menutup pintu itu kembali. Tangan perempuan yang basah itu meninggalkan jejak lembab pada satu sudut kertas itu. Aku membaca kertas itu. "Nomor empat belas - sial," begitu tertulis. "Kalau kau tinggal di sini beribu dewa akhirnya akan menghancurkan kau." "Pangeran Okuni, setelah menghadapi batu berapi, panah menukik, dan siksaan-siksaan lain, meninggalkan propinsi jos sesuai dengan perintah Dewa-dewa Leluhurnya. Ini adalah alamat bagimu untuk melarikan diri secara diam-diam." Tafsiran yang dicetak di bawahnya membebcrkan segala 228 macam kesusahan dan ketidakpastian yang harus dihadapi. Aku tidak takut karenanya. Aku mencari berbagai petunjuk yang terdaftar di bagian bawah kertas itu lalu menemui petunjuk tentang perjalanan. "Perjalanan " sial. Elakkan perjalanan menuju barat laut." Setelah membaca itu, aku memutuskan untuk menuju ke barat laut. Kereta"lce Tsuruga berangkat dari stasiun Kyoto antara pukul lima dan pukul tujuh pagi. Waktu bangun di kuil pukul setengah enam. Pagi-pagi hari tanggal sepuluh, tatkala aku bangun dan langsung mengenakan seragam mahasiswaku, tidak ada orang yang memperlihatkan kecurigaan. Mereka semua sudah membiasakan diri untuk pura-pura tidak melihatku. Di waktu fajar keadaan di kuil selalu agak ramai. Sebagian sibuk menyapu, sebagian mengepel. Sampai pukul setengah tujuh waktu dipergunakan untuk kesibukan pembersihan. Aku keluar lalu mulai menyapu halaman depan. Aku bermaksud untuk memulai perjalananku langsung dari 'kuil tanpa membawa apa-apa, seolah-olah aku tiba-tiba menguap ke udara. Sapuku bergerak bersama aku di atas jalan kerikil yang berkilat dalam sinar fajar. tiba-tiba sapu itu rebah, aku menghilang hingga tidak ada lagi yang tinggal dalam cahaya temaram itu kecuali kerikil putih yang ada di jalan. Begitulah keberangkatanku kubayangkan. Oleh karena itu aku tidak pamitan dengan Kuil Kencana. Yang paling penting ialah bahwa aku tiba-tiba direnggutkam dari seluruh keadaan kelilingku " dan Kuil Kencana termasuk keadaan keliling ini. Selangkah demi selangkah kuarahkan 229 sapuJcu ke gerbang utama. Di sela-seia dahan pohon pinus aku dapat melihat bin tang pagi. Jantungku berdebar. Kini aku harus pergi. Kata itu seolah-olah mengepak-ngepak di udara. Apa pun yang terjadi aku harus pergi " pergi dari sekelilingku, pergi dari pengertianku tentang keindahan yang begitu membelenggu, pergi dari kegelapan terpencil tempat aku hidup, pergi dari kegagapanku dan semua keadaan hidupku yang lain. Sapuku jatuh dari tanganku ke kegelapan rumput bagai sebufir buah ranum jatuh dari pohon. Diam-diam aku berjalan menuju gerbang utama, sambil mengendap-endap di balik pohon. Begitu gerbang itu kulewati maka aku mulai beriari sekuat tenaga. Trem pertama pagi itu lewat. Aku naik. Penumpang trem itu hanya ada beberapa orang; mereka kelihatannya pekerja. Aku membiarkan cahaya lampu listrik menyirami aku sepenuhnya. Rasanya aku belum pernah berada di tempat yang begitu terang. Aku ingat semua perincian perjalananku dengan baik. Aku tidak pergi tanpa tujuan. Aku memutuskan pergi ke sebuah kecamatan yang dulu pernah kukunjungi waktu aku masih Sekolah Menengah. Tapi begitu makin dekat ke tempat itu perasaanku tentang pergi dan pembebasan begitu kuat hingga aku merasa bergerak ke arah suatu tujuan yang tak dikenal. Aku rnenumpang kereta api yang kukenal menuju ke kampung halamanku, tapi belum pernah gerbong tua yang hitam berdebu ini kelihatan begitu aneh seperti sekarang ini dan belum pernah ia kelihatan punya warna-warna yang begitu segar. Stasiun, bunyi peluit, bahkan suara menggeretak pengeras suara yang menggaung dalam udara pagi, semuanya mengulangi suatu perasaan tunggal, kemudian memperkuatnya, dan sesudah itu menyebarkan suatu harapan yang kemilau dan sendu di hadapan mataku. Matahari pagi membagi peron stasiun yang luas menjadi berbagai bagian. Bunyi sepatu berlarian di peron, bunyi lonceng stasiun yang tak henti-hentinya berbunyi dan selalu kedengaran sama, bunyi bakiak, warna jeruk yang dikeluarkan oleh salah seorang pedagang di peron dari keranjangnya, lalu mengacungkannya " semuanya kulihat sebagai saran atau tanda-tanda sesuatu yang besar tempat aku kini menyerahkan diri. Setiap bagian dari stasiun itu, biar bagaimana kecilnya pun, dipusatkan pada inti perasaanku tentang perpisahan dan kepergian. Dengan sopan santun dan sahdu peron itu mulai menjauh dariku. Aku dapat merasakannya. Ya, aku dapat merasakan bagaimana permukaan batu yang tidak mengatakan apa-apa itu diterangi oleh benda yang bergerak menjauhinya, yang berpisah, yang pergi. Aku mengandalkan diri pada kereta. Ini suatu cara pengutaraan yang janggal, tapi tidak ada jalan lain untuk memastikan fikiran aneh bahwa kedudukanku secara bertahap bergerak dan hanyut menjauh dari stasiun Kyoto. Bermalam-malam kalau aku berbaring di kuil aku mendengar peluit kereta barang jika lewat dekat halaman kuil, dan kini bisa dimengerti kalau aku sendiri merasa aneh karena duduk di salah satu kereta yang siang-malam tanpa pengecualian lewat berpacu di kejauhan. Kini kami berpacu menuju Sungai Hizu, yang dulu pernah kulihat waktu aku naik kereta ini bersama ayahku yang sakit. Daerah antara tempat ini dan Sonobe, di sebelah barat daerah pegunungan Atago dan Arashiyama, memiliki iklim yang berbeda sekali dari iklim kota Kyoto. Mungkin sekali ini disebabkan oleh arus udara. Selama tiga bulan terakhir setiap tahun kabut naik dari Sungai Hozu kira-kira pukul sebelas malam lalu menyelimuti seluruh daerah itu 230 "sampai pukul sepuluh keesokan harinya. Kabut itu tidak ada hentinya begitu mengambang menjauhi sungai. Sawah-sawah kelihatan berkabut di kiri-kanan kereta, dan bagian-bagian yang sudah dipanen memperoleh wama hijau. Beberapa pepohonan yang tumbuh tersebar, dengan berbagai ukuran dan tinggi, tumbuh di pematang-pematang sawah itu. Semua dahan yang rendah dan dedaunannya dipotong dan batangnya dibungkus dengan tikar jerami (yang di daerah itu disebut "sangkar kukusan") hingga jika pohon-pohon itu menjuJang keluar kabut kelihatan bagai hantu-hantu pohon. Sekali, sebatang pohon wilg besar muncul dengan jelas sekali ke dekat jendela kereta api. Di belakangnya, keluasan sawah yang hampir-hampir tak kelihatan berwarna kelabu; daun-daun basah pohon wilg itu tergantung berat dan seluruh pohon itu bergoyang sedikit dalam kabut. Hatiku yang begitu gembira waktu meninggalkan Kyoto, kini hanyut ke dalam kenangan orang-orang mati. Waktu aku ingat Uiko dan ayahku dan Tsurukawa, maka perasaanku jadi lembut sekali, dan aku bertanya-tanya dalam hati apakah yang bisa kucintai bukan hanya orang-orang yang sudah mati. Terserah bagaimana, tapi alangkah mudahnya orang mati dicintai dibanding dengan mereka yang masih hidup! Gerbong kelas tiga itu tidak begitu penuh. Di sana mereka duduk " orang-orang yang begitu sulit untuk dicintai - sibuk mengepul-ngepulkan rokok atau mengupas jeruk. Di sampingku duduk seorang petugas dari sebuah perhimpunan masyarakat. Ia sedang bicara dengan seorang lain dengan suara keras. Keduanya mengenakan pakaian yang sudah tua tanpa potongan dan aku melihat sepotong lapisan yang robek menjulur dari balik salah satu lengan baju. Sekali lagi aku betul-betul kaget oleh kenyataan, bahwa kebersahajaan pernikiran sedikit pun tidak berkurang biarpun orang bertam- bah tua. Wajah-wajah petani yang kerut-merut hangus itu dan suara mereka yang sudah jadi serak karena minuman, dapat dikatakan merupakan suatu contoh dari semacam mediokritas atau fikiran bersahaja. Mereka lagi mempercakapkan siapa yang akan mereka minta untuk memberikan sumbangan pada organisasinya. Seorang leiaki botak duduk dengan wajah yang tenang. Ia tidak menyertai percakapan itu tapi asyik menyekakan tangan pada sehelai saputangan katun, yang aslinya berwarna putih tapi kini sudah jadi kuning karena terlalu sering dicuci. "Coba lihat tanganku ini!" gumamnya. "Kotor karena jelaga selama aku duduk di sini. Betul-betul menjengkelkan!" "Kau pernah menulis surat sekali pada surat kabar tentang jelaga ini, 'kan?" kata leiaki lain yang kini ikut bicara. "Tidak," kata leiaki botak itu. "Tapi aku betul-betul jengkel " penuh jelaga!" Biarpun aku tidak memperhatikan tapi aku terpaksa ikut mendengarkan. Kuil Kencana dan Kuil Perak sebentar-sebentar muncul dalam percakapan mereka. Mereka sependapat bahwa sepatutnya minta sumbangan yang cukup besar dari kedua kuil itu. Pendapatan Kuil Perak hanya separuh dari pendapatan Kuil Kencana, tapi sungguhpun begitu jumlah itu cukup banyak. Pendapatan tahunan Kuil Kencana, kata salah seorang dari mereka untuk memberikan contoh, mungkin lebih dari lima juta yen. Ongkos perawatan kuil itu sesuai dengan kebiasaan Zen, termasuk bayar listrik dan air, tidak mungkin lebih dari dua ratus ribu yen. Lalu apa yang terjadi dengan sisanya" Mudah sekali! Pendeta Kepala membiarkan calon pendeta dan murid-murid makan nasi dingin sedangkan dia sendiri setiap malam keluar dan menghabiskan uang itu dengan geisha-geisha daerah Gion. Di samping itu kuil itu bebas pajak. Mereka seolah-olah punya hak luar wilayah. Ya, kuiJ-kuil itu harus dikuras supaya memberi sumbangan! Demikianlah percakapan mereka berlangsung. Setelah selesai berbicara, leiaki berkepala botak yang masih saja menyekakan tangan pada saputangannya itu berkata: "Betul-betul menjeng- kelkan!" Dan ucapan itu merupakan kesimpulan bagi semuanya. Di tangannya tidak sedikit pun kelihatan bekas-bekas jelaga; tangan itu sudah diseka dan dipolis dengan sempurna dan mereka memperlihatkan kecemerlangan sebuah pahatan hiasan Netsuke. Tangannya yang diperdapat sudah jadi itu betul-betul lebih mirip pada sepasang sarung tangan yang terbuat dari apa pun jua. Mungkin aneh, tapi baru kali inilah aku mendengar kritik umum. Di Kuil Kencana kami semua adalah bagian dari dunia pendeta-pendeta dan universitas juga merupakan bagian dari dunia itu. Kami tidak pernah bertukar pendapat tentang kuil itu. Tapi percakapan petugas-petugas tua ini bagiku sama sekali tidak mengherankan. Semua yang mereka katakan terasa olehku sebagai sesuatu yang bisa dimengerti. Kami makan nasi dingin. Pendeta Kepala mengeluyur ke daerah Gion. Semuanya ini wajar. Tapi yang membuat aku geram sekali ialah karena harus difahami dengan cara seperti yang diperhhatkan oleh petugas-petugas tua ini. Betul-betul tidak bisa diterima bahwa aku harus difahami oleh kata-kata mereka. Karena kata-kataku mempunyai fitrah yang lain. Jangan lupa, bahkan tatkala aku melihat Pendeta Kepala berjalan bersama geisha Gion itu aku sama sekali tidak dihinggapi oleh rasa kebencian moral. OleH karena itu percakapan petugas-petugas tua ini lewat begitu saja dari fikiranku dan hanya meninggalkan secercah rasa benci dan bau-bau kebersahajaan pemikiran yang mengam-bang. Aku tidak bermaksud mencari sokongan umum untuk fikiran-fikiranku. Juga aku tidak bemiat untuk memberi 234 bingkai pada flkiranku hingga dapat lebih dimengerti oleh dunia. Seperti telah berkali-kali kukatakan, alasan utama dari kehidupanku adalah kenyataan bahwa aku tidak difahami orang. Pintu gerbong dibuka lalu masuklah seorang pedagang dengan sebuah keranjang besar tergantung di leher. Ia mene-riakkan dagangannya dengan suara parau. Tiba-tiba aku merasa lapar, lalu aku membeli sekotak makanan. Makanan itu terdiri dari mi berwarna hijau karena yang dipakai sebagai bahan pembpktnya adalah ganggang, dan bukan beras. Kabut telah pergi tapi langit belum juga cerah. Aku melihat pohon-pohon murbei tumbuh di kaki gunung-gunung Tamba; dan di rumah-rumah mulai kelihatan orang bekerja membuat kertas. Teluk Maizuru. Nama ini mengharukan aku seperti dulu. Aku sendiri tidak begitu pasti apa sebabnya. Semenjak masa kanak-kanakku di desa Shiraku yang tidak jauh dari situ, "maizuru" telah menjadi semacam istilah khusus untuk laut yang tidak kelihatan dan akhirnya ia merupakan semacam alamat laut yang memburuk. Laut yang tak kelihatan itu dapat dilihat dengan jelas dari puncak Gunung Aoba yang menjulang di balik desa Shiraku. Aku sudah dua kali mendaki gunung itu. Pada kesempatan kedua aku melihat skwadron gabungan, yang kebetulan berlabuh di Pelabuhan Angkatan Laut Maizuru. Kapal-kapal yang membuang jangkar di teluk yang kemilau itu mungkin merupakan bagian dari suatu kesatuan cadangan rahasia. Semua yang ada di sekeliling skwadron ini termasuk ke dalam kerahasiaan dan kita bertanya-tanya dalam hati apa armada itu betul-betul ada. Oleh karena itu, skwadron gabungan yang kulihat di kejauhan itu kelihatan bagai se-kawanan burung air hitam yang agung, yang kita kenal hamanya tapi yang sampai saat itu baru kita lihat dalam 235 gambar. Mereka seolah-olah lagi mandi-mandi secara diam-diam sambil bersenang-senang di teluk itu, di bawah pengamat-an seekor burung tua yang garang dan penuh waspada, dan rupa-rupanya dengan lengah sama sekali tak menyadari bahwa mereka sedang diamat-amati. Aku ditarik kembali ke masa kini oleh suara kondektur yang masuk dan mengumumkan stasiun berikutnya, Maizuru Barat. Di antara penumpang tidak ada seorang pelaut pun yang dulu biasanya buru-buru menyandang tasnya. Orang-orang yang bersiap-siap untuk turun, kecuali aku, adalah beberapa orang yang rnirip dengan pedagang pasar gelap. Semuanya sudah berobah. Pelabuhan itu telah menjadi pelabuhan asing. Tanda-tanda jalan berbahasa Inggeris ber-taburan dengan menyolok sekah di persimpangan-persimpangan dan tentara Amerika tampak di mana-mana dalam jumlah besar. Di bawah langit musim dingin yang berawan itu, angin yang dingin bertiup di jalan dan mengandung garam. Jalan-jalan ini telah diperlebar untuk kepentingan militer. Iidah laut yang sempit yang menjorok bagai sebuah terusan jauh ke pusat kota, permukaan air yang mati, kapal-kapal perang kecil Amerika yang tertambat pada pantai - terasa sekali suasana damai yang melingkupi, tapi suatu kebijaksanaan kesehatan yang berlebflian telah menghilangkan kegesitan fisik, hingga seluruh kota itu kini memberikan kesan sebuah rumah sakit. Aku tidak berharap akan bertemu di sini dengan laut atas dasar hubungan yang dekat, tapi tentu saja sebuah jip bisa saja datang menyelonong dari belakang lalu mendorong aku ke dalam laut sekadar untuk menyenangkan hati. Kalau hal itu kurenungkan sekarang, maka aku sadar bahwa dorongan hati yang membuat aku mengadakan perjalanan ini mengandung suatu keakraban dengan laut; tapi bukan laut dan 236 pelabuhan buatan seperti yang ada di Maizuru, tapi laut yang garang dan masih memiliki kegesitan aslinya, seperti laut yang pernah kutemui di masa kanak-kanakku di rumahku di Tanjung Nariu. Ya, laut kasar, dan pemarah, yang selalu penuh kegeraman, laut yang kita temui sepanjang pantai Laut Jeparig. Oleh karena itu aku memutuskan untuk pergi ke Yura. Dalam musim panas pantai itu biasanya ramai oleh orang-orang yang berenang, tapi sekarang ini di sana tentu lengang sekali dan yang ada hanya laut dan daratan yang saling bergumut dengan kekuatan gelap. Jarak antara Maizuru Barat dan Yura tujuh mil lebih sedikit. Kakiku samar-samar masih ingat jalan itu. Jalan itu mengikuti bagian baru teluk di sebelah barat Maizuru, kemudian melintasi jalan kereta api Miyazu di sebelah kanan, masuk ke Puncak Takajiri lalu keluar di Sungai Yura. Lalu setelah melintasi Jembatan Okawasa, ia mengikuti Sungai Yura menuju utara sepanjang sisi barat. Sudah itu ia menyusuri arus sungai sampai bermuara di laut. Aku meninggalkan kota lalu mulai berjalan menyusuri jalan itu. Karena berjalan, maka kaki terasa lelah dan aku bertanya pada diriku sendiri: "Apa yang akan kutemui di Yura" Bukti apa yang kuharapkan akan kutemui sehingga aku bersusah-payah seperti ini" Jelas, di sana tidak ada apa-apa kecuali selembar Laut Jepang dan pantai yang lengang?" Tapi kakiku tidak memperlihatkan kecenderungan untuk memperlambat diri. Aku mencoba mencapai suatu tujuan, tak perduli ke mana. Nama tempat yang kutuju sama sekali tidak punya arti. Aku didorong oleh tekad -oleh tekad yang hampir-hampir imoril " untuk menghadapi tujuanku, biar apa pun juga. Sekali-sekali sinar matahari yang lunak bersinar menyenang- kan dan berkas-berkas cahaya yang ramah memancar dengan penuh basa-basi di sela-sela dahan-dahan pepohonan keyaki di samping jalan. Tapi entah bagaimana aku merasa tidak bisa berlambat-lambat. Tidak ada waktu untuk beristirahat. AJcu tidak menemui lereng yang menurun menuju sebuah lembah sungai yang lebar, tapi aku tiba-tiba melihat Sungai Yura dari sebuah jurang sempit di gunung. Airnya biru, dan biarpun sungai itu lebar, ia mengaiir lambat di bawah langit berawan. Ia seolah-olah merangkak dengan segan-segan menuju laut. Waktu aku sampai ke pinggir barat sungai Uu, di jalan tidak ada lagi mobil atau orang yang berjalan. Sekali-sekali aku melihat kebun jeruk di pinggir jalan, tapi aku tidak melihat orang sama sekali. Waktu aku melewati sebuah teratak kecil bernama Kazue, aku mendengar suara rumput dikuakkan. Seekor anjing. Hanya mukanya yang muncul di antara rumput-rumput. Rambut di puncak hidungnya berwarna hitam. Aku tahu bahwa daerah ini terkenal (menurut cerita yang tidak begitu meyakinkan) sebagai daerah tempat ke-diaman satria purba, Sansyo Dayu; tapi aku tidak bermaksud untuk berhenti di sini dan aku lewat tanpa memperdulikannya. Karena aku hanya mencari sungai. Di. tengah sungai itu ada sebuah .pulau besar dikeiilingi bambu. Biarpun di jalan "'dak ada angin sama sekah, bambu di pulau itu merunduk karena angin. Di puiau itu ada empat atau lima aker sawah, yang diairi oleh hujan, tapi aku tak melihat seorang petani pun jua. Satu-satunya manusia yang kelihatan, ialah seorang leiaki yang tegak membelakangi aku, memegang sebuah joran kail. Aku sudah beberapa lama tidak melihat orang, hingga aku merasakan suatu keramahan terhadapnya. Rupa-rupanya ia lagi mengail ikan mulut kelabu. Kalau begitu, kataku dalam hati, aku tentu tidak jauh lagi dari muaia sungai. Lalu desir-desir keras bambu yang merunduk karena angin menenggelamkan bunyi air. Semacam kabut mengambarfg di atas pulau itu; mungkin sekali hujan yang sudah mulai turun. Titik hujan mewarnai pinggir sungai yang kering di pulau itu, dan sebelum kusadari hujan sudah menimpa aku. Aku tegak memandangi pulau itu dan lambat-laun aku jadi basah. Aku melihat bahwa di kejauhan sama sekali tidak ada tanda-tanda hujan. Leiaki yang lagi mengail itu tidak merobah kedudukannya sedikit pun daripada tatkala ia kulihat pertama kali. Tidak lama kemudian hujan pun reda, juga di tempat aku berdiri. Di setiap kelok jalan semak-semak dan bunga-bunga musim gugur menghalangi pandanganku. Tapi tidak lama kemudian aku sampai di tempat muara sungai yang terkembang di hadapanku. Angin laut yang dingin sekali berhembus mengenai hidungku. Waktu Sungai Yura itu makin mendekati muaranya, ia membeberkan sejumlah pulau sepi. Air sungai itu sudah mendekati laut dan sudah mulai diserang oleh air asin, tapi permukaannya makin tenang dan sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda apa yang akan dihadapi " tak ubahnya seperti seseorang yang pingsan lalu mati tanpa sadar terlebih dulu. Di luar perkiraanku muara sungai itu sempit sekah. Di sana laut terkapar berbaur tanpa bisa dipisahkan dengan tumpukan awan gelap, kemudian mencair ke dalam sungai, menyerangnya. Supaya bisa merasakan laut itu, aku masih harus berjalan jauh sedangkan angin berhembus keras mengenai diriku dari seberang padang dan sawah-sawah. Angin melanjutkan polanya di seluruh permukaan laut. Karena lautlah maka angin secara demikian membuang-buang ke-kuatannya yang ganas di atas padang-padang sunyi. Dan 239 laut adalah laut uap yang melingkupi daerah musim dingin ini, laut yang tak berobah, berkuasa dan tak bisa dilihat. Di balik muara sungai itu gelombang meUpat diri, lapis demi lapis, dan akhirnya membukakan keluasan permukaan laut yang kelabu. Sebuah pulau berbentuk Topi Derby terapung di sungai. Pulau itu Pulau Kammuri yang dipelihara sebagai tempat kediaman burung omizunagi yang sudah jarang bisa ditemui. Aku memutuskan untuk masuk salah satu padang itu. Aku melihat sekeliling. Pulau itu pulau sepi. Pada saat itu melintas semacam pengertian di otakku. Tapi begitu aku sadar akan lintasan ini ia menghilang, hingga aku kehilangan artinya. Aku berdiri sebentar di sana, tapi angin yang bertiup menghembus badanku meniadakan semua fikiranku. Aku mulai berjalan menghadang angin. Padang tandus itu bermuara ke tanah mandul berbatu-batu. Rumputnya layu; satu-satunya kehijauan yang tidak layu adalah semacam ganggang yang menyerupai lumut pada tanah, sedang ganggang itu juga kelihatannya merumuk dan merengkeng. Tanah sudah bercampur dengan pasir. Aku mendengar suara lembab dan menggetar. Lalu aku mendengar suara manusia. Aku memunggung pada angin keras lalu menatap ke arah puncak Yuragatake. Waktu itulah aku mendengar suara-suara itu. IAku melihat ke sekeliling mencari manusia. Sebuah jalan setapak menurun ke pantai sepanjang karang-karang rendah. Aku tahu orang lagi bekerja secara bertahap untuk melindungi karang-karang itu dari erosi yang hebat. Di sana-sini kelihatan tiang-tiang dari beton bagai kerangka putih dan warna beton baru di atas pasir itu memberikan kesan yang segar sekali. Bunyi lembab dan menggetar itu datang dari kincir pencampur beton. Alat itu mengocok semen waktu dituangkan ke dalam penuangannya. Sekelompok pekerja dengan hidung yang merah cerah melihat padaku dengan rasa ingin tahu waktu aku lewat dengan seragam mahasiswa. Aku mengerling ke arah mereka. Hanya sekianlah salam kemanusiaan kita masing-masing. Laut surut secara tiba-tiba dan pantai berbentuk kerucut. Waktu aku berjalan melintasi pasir granit di pinggir air aku merasa gembira karena selangkah demi selangkah aku bergerak dengan pasti ke arah pengertian tunggal yang tadi melintasi fikiranku. Angin dingin sekah dan karena aku tidak pakai sarung tangan, tanganku hampir-hampir beku tapi sedikit pun aku tak perduli. Ya, ini betul pantai Laut Jepang! Di sinilah sumber dari semua kemalanganku, semua fikiranku yang murung, asal semua keburukanku dan semua kekuatanku. Laut yang liar. Ombak mendorong ke depan dalam gumpalan-gumpalan yang tak kunjung berhenti, hingga kita hampir-hampir tidak bisa melihat lekuk kelabu dan mulus yang berada antara gelombang yang satu dan gelombang berikutnya. Tumpukan awan yang bertumpuk di atas laut memperlihatkan suatu rasa yang berat tapi sekaligus juga rasa yang rapuh. Karena tumpukan awan yang tak bisa dirumuskan dan terasa berat itu mempunyai pinggir, maka tampak sebuah garis yang ringan dan dingin bagai garis-garis bulu ayam yang lembut, sedangkan di tengah-tengahnya membungkus sebentuk langit biru yang guram, yang kehadirannya tak bisa kita pastikan. Di balik air berwarna seng menjulang warna lembayung hitam gunung-gunung tanjung. Semuanya diresapi oleh ke-gelisahan dan kemantapan, dengan kekuatan gelap dan selalu bergerak, dengan rasa kebekuan logam. Tiba-tiba aku teringat pada apa yang dikatakan Kashiwagi padaku pada hari pertemuan kami yang pertama. Pada 241 saat kita duduk di sebuah padang yang dirawat baik, pada suatu sore musim semi yang indah, sambil dengan iena menarap matahari yang bersinar di seJa-seia dedaunan dan membuat bermacarn pola di atas rumput " pada saat seperti itulah kekejaman tiba-tiba membersit dalam diri kita. Kini aku menghadapi ombak dan angin utara yang keras. Di sini tidak ada sore musim semi yang indah, tidak ada padang rumput yang dirawat baik. Tapi alam sepi di hadapanku ini lebih mengelus semangatku, daripada padang yang mana pun jua di suatu sore permulaan musim semi. Di sini aku puas dengan diriku sendiri. Di sini aku tidak diancam oleh apa pun jua. Apa mat yang muncul dalam diriku kini merupakan suatu niat kejam seperti yang diartikan oleh Kashiwagi" Aku tidak tahu, tapi pendeknya niat yang tiba-tiba tumbuh dalam diriku mengungkapkan arti yang melintasi fikiranku sebelumnya dan ia membuat batinku jadi cerah. Aku belum mencoba memikirkannya lebih dalam, tapi aku baru sekadar dipukau oleh niat itu, seolah-olah aku dipukau oleh cahaya. Tapi niat yang sampai saat itu belum pernah timbul di hatiku, mulai tumbuh jadi kuat dan besar begitu ia dilahirkan. Bukan aku yang mengandung ide itu, tapi ide itu yang membungkus aku. Inilah ide dan niat yang membungkus diriku: "Kuil Kencana itu harus kubakar." 242 Bab Delapan SEMENTARA itu aku melanjutkan perjalanan sampai ke dapan Stasiun Tango-Yura dengan Kereta Miyazu. Waktu aku ke kota itu tatkala mengikuti darmawisata Sekolah Menengah Maizuru Timur, kami mengikuti jalan yang sama dan naik kereta dari stasiun itu pula. Di jalan di depan stasiun hampir-hampir tidak ada orang hingga mudah sekali dimengerti bahwa mata pencaharian rakyat itu sebagian besar diperdapat pada musim panas yang singkat, di saat banyak pengunjung datang ke daerah itu. Aku memutuskan untuk menginap di sebuah losmen kecil tatkala aku melihat sebuah papan nama: "Balai Yura -Losmen untuk Perenang." Lewat jendela kaca geser di dekat pintu masuk aku memberi tahu kehadiranku, tapi dari dalam tidak ada jawaban. Di tangga kelihatan debu. Tidak ada orang sama sekali. Aku pergi ke pintu belakang. Di sana ada sebuah taman kecil bersahaja dengan beberapa bunga serunai yang sudah layu. Sebuah timba kelihatan di atas sebuah rak tinggi. Timba ini disediakan bagi pengunjung musim panas yang memakainya untuk mencuci pasir yang melekat pada tubuh waktu mereka pulang berenang. Tidak jauh dari gedung utama ada sebuah rumah kecil, rupanya tempat keluarga pemilik losmen itu tinggal bersama keluarganya. Aku dapat mendengar bunyi radio lewat pintu Ikaca yang tertutup. Ada sesuatu yang hampa dalam bunyi keras yang sebetulnya tidak berguna sama sekali, yang memberikan kesan padaku bahwa waktu itu tidak ada orang di rumah. Beberapa pasang bakiak bertebaran di pintu masuk. Aku berdiri di luar lalu meneriakkan kehadiranku setiap kali ada kekosongan dalam hiruk-pikuk bunyi radio itu. Tapi seperti sudah kukira, dari dalam gedung ini juga tidak datang jawaban. ISebuah bayangan muncul di belakang. Matahari merembes lemah melalui langit berawan. Aku tidak menyadarinya sampai aku kebetulan melihat urat-urat kotak bakiak berobah menjadi lebih terang. Seorang perempuan memandang padaku. Badan-nya begitu gemuk, hingga garis-garis badannya yang putih melendung dengan lunak, dan matanya begitu kecil hingga lata tidak bisa memastikan apa dia betul punya mata. Aku minta kamar padanya. Perempuan itu sama sekali tidak minta supaya aku mengikuti dia, tapi ia berbalik tanpa bicara lalu berjalan menuju pintu masuk losmen itu. Aku diberi sebuah kamar kecil di sudut, di tingkat dua, menghadap ke luar. Kamar itu sudah lama ditutup dan api lemah yang menyala di anglo yang dibawakan perempuan itu untukku, dengan segera mengisi ruangan itu dengan asap, hingga jadi pengap sekah. Aku membuka jendela lalu membiarkan diriku ditiup angin utara. Di arah laut awan masih melanjutkan permainannya yang lamban dan santai, yang sebetulnya tidak mau diperlihatkan kepada siapa saja. Awan ini seolah-olah merupakan suatu pantulan dari keinginan alam yang tak punya tujuan. Sebagian memperlihatkan kepingan-kepingan langit - kristal kecerdasan bening yang kecil dan biru. Laut sendiri tidak kelihatan. Sambil berdiri di depan jendela aku mulai memikirkan niatku tadi. Aku bertanya pada diriku sendiri kenapa aku tidak beroleh fikiran untuk membunuh Pendeta Kepala lebih dulu sebelum membakar kuil itu. Kini kusadari, bahwa maksud untuk membunuh Pendeta Kepala itu memang pemah tercetus dalam fikiranku; tapi segera kusadari bahwa itu tidak ada gunanya. Karena, misalkan aku berhasil membunuh Pendeta Kepala, kepalanya yang dicukur licin dan semua kejahatannya, yang sudah berpadu dengan kelumpuhan, tak akan urung muncul terus-menerus pada permukaan langit yang gelap. Umumnya, benda-benda yang dibekali kehidupan, tidak seperti Kuil Kencana, memiliki sifat kekar untuk berwujud selama-lamanya. Manusia hanya dibekali dengan sebagian dari atribut-atribut alam yang begitu beragam, dan berkat suatu cara penggantian yang berhasil sekali, mereka menyebarkan bagian itu dan membuatnya jadi banyak. Jika tujuan sebuah pembunuhan untuk menghancurkan sifat ke-abadian seorang korban, maka pembunuhan itu didasarkan pada suatu salah hitung. Dengan demikian fikiranku membuat aku lebih mengakui bahwa antara perwujudan Kuil Kencana dan manusia ada semacam pertentangan yang lengkap. Di satu fihak, suatu khayalan kehidupan abadi muncul dari aspek manusia yang jelas sekali mudah dihancurkan; sebalik-nya, keindahan Kuil Kencana yang seakan-akan tidak bisa dihancurkan memberikan kemungkinan pada suatu peng-hancuran. Mahluk fana seperti manusia tidak bisa dihapuskan; benda-benda yang tak bisa dihancurkan seperti Kuil Kencana bisa dihancurkan. Kenapa orang tidak sadar akan ini" Jelas bahwa kesimpulanku ini asli sekali. Sekiranya aku membakar Kuil Kencana, yang telah ditetapkan sebagai Monumen Nasio-nal dalam tahun 1897, aku hanya melakukan perbuatan penghancuran, keruntuhan yang tidak bisa dipulihkan, perbuatan yang betul-betul akan mengurangi jumlah keindahan yang diciptakan manusia di dunia ini. 244 Sewaktu aku berfikir mengikuti garis-garis ini, aku ma- Jahan dihinggapi oleh suatu rasa lucu. Jika Kuil Kencana itu kubakar, kataku dalam hati, maka aku telah melakukan HE. sesuatu yang mempunyai nilai pendidikan yang besar sekali. EL Karena hal ini akan mengajarkan, bahwa tidak ada artinya untuk menyimpulkan suatu keutuhan yang tidak bisa dihancurkan dengan bantuan suatu analogi. Mereka akan belajar, bahwa biarpun Kuil Kencana terns ada, terus tegak selama lima ratus lima puluh tahun dekat Kolam Kyoko, tidak memberikan jaminan apa-apa. Mereka akan dihinggapi oleh suatu rasa resah begitu menyadari bahwa aksioma yang dengan sendirinya benar yang ditempelkan oleh kelanjutan hidup kita pada kuil " itu, bisa runtuh dari hari ke hari. Kelanjutan hidup kita terjamin karena ia dikelilingi oleh substansi waktu yang padat, yang akan ada selama masa tertentu. Ambil, misalnya, sebuah laci yang dibuat seorang tukang kayu untuk memudahkan hidup sebuah rumah tangga. Dengan berlalunya waktu, maka bentuk sebenarnya barang ini sudah diatasi oleh waktu itu sendiri, dan jika kurun zaman dan abad telah berlalu, maka waktu seolah-olah memadat lalu memperoleh bentuk itu. Suatu ruang kecil tertentu, yang mula-mula ditempati barang itu, kini ditempati oleh waktu yang memadat. Ia bahkan telah menjadi semacam penjelmaan dari suatu bentuk ruh. Pada permulaan Tsukumogami-ki, sebuah kitab dongeng abad pertengahan, ada bait-bait seperti berikut: "Dalam Kitab Bunga Rampai tentang kekuatan jagat, Yin dan Yang, tertulis bahwa, setelah berlalu masa beratus tahun dan setelah benda berobah jadi ruh, maka hati manusia pun tertipulah; masa ini diberi nama Tsukumogami, tahun ruh berkabung. Adalah kebiasaan dunia untuk membuang alat-alat rumah tangga kita yang sudah tua setiap tahun - sebelum kedatangan musim semi - ke jalan, ini disebut menyapu rumah. Dengan cara yang sama setiap seratus tahun, manusia harus mengalami musibah Tsukumogami." Dengan demikian perbuatanku akan membuka mata manusia pada musibah Tsukumogami dan dengan demikian menyela-matkan mereka dari musibah itu. Dengan perbuatanku itu maka dunia tempat Kuil Kencana berada akan kuserahkan ke dalam dunia di mana ia tidak berada. Maka dengan demikian arti dunia pasti berobah.' Makin lama aku berfikir makin cerah hatiku. Akhir dan kehancuran dunia " dunia yang kini mengelilingi aku dan berada di depan mataku " tidak akan lama lagi. Sinar matahari turun jatuh ke tanah. Kuil Kencana bersinar dalam cahaya, dan dunia yang mengandung Kuil Kencana akan tergelincir dari saat ke saat, bagai pasir yang jatuh melalui sela jari kita. Kehadiranku di Losmen Yura berakhir setelah tiga hari, waktu perempuan pemilik, yang mencurigai aku karena aku tidak melangkahkan kaki selangkah pun keluar losmen selama aku berada di sana, pergi memanggil polisi. Waktu kulihat ia memasuki kamarku memakai seragamnya, aku jadi keta-kutan, kalau-kalau ia mengetahui rencanaku, tapi aku segera sadar bahwa tidak ada alasan sama sekali untuk kekhawatiian itu. Sebagai jawaban atas pertanyaannya, aku menceritakan semua yang telah terjadi " bahwa aku ingin menjauhkan diri dari kehidupan biara untuk beberapa lama dan bahwa aku melarikan diri. Lalu kuperlihatkan surat tanda pengenal universitasku, dan sudah itu aku dengan sengaja hendak membayar ongkos penginapanku waktu polisi masih ada di situ. Akibatnya polisi itu dengan segera mengambil sikap melindungi. Ia menilpon kuil untuk mengetahui apa yang kuceritakan itu benar, dan sesudah itu memberi tahu aku bahwa ia akan mengantarfcu. Supaya jangan sampai merusak "masa depanku" demikian ia berkata, maka ia akan menukar seragamnya untuk kepentingan perjalanan itu. Waktu kami menunggu kereta di Stasiun Tango-Yura, turunlah hujan, dan karena stasiun itu tidak beratap, maka ia basah kuyup. Polisi yang kini telah mengenakan pakaian biasa menemani aku ke kantor stasiun, dan dengan bangga sekali ia perlihatkan bahwa kepala stasiun dan pegawai lainnya adalah kawan-kawan pribadinya. Bukan itu saja, ia malahan memperkenalkan aku pada semua orang sebagai kemenakannya yang datang mengunjunginya dari Kyoto. Aku mengera' psikologi kaum revolusioner. Pejabat-pejabat pedesaan itu, kepala stasiun dan polisi itu, yang kini lagi duduk bercakap-cakap sekeliling ember merah anglo besi, sama sekah tidak merasakan perobahan besar yang sedang berlangsung di hadapan matanya, kehancuran tata-tertib kehidupan mereka yang tidak lama lagi akan terjadi. Jika Kuil Kencana telah dibakar " ya, jika Kuil Kencana sudah dibakar, dunia orang-orang ini akan berobah, aturan-aturan emas kehidupan mereka akan jungkir balik, jadwal kereta api mereka akan kacau-balau, undang-undang mereka tidak akan punya akibat. Akii bahagia mengingat, bahwa orang-orang ini sama sekali tidak sadar bahwa anak muda yang duduk di sampingnya, yang lagi memanaskan tangannya di atas anglo dengan wajah tak perduli, adalah seorang calon penjahat. Seorang pejabat stasiun muda yang lincah menceritakan dengan suara lantang pada semua orang tentang filem yang akan ditontonnya pada kesempatan liburnya yang berikut. Filem itu bagus, yang tidak boleh tidak akan mengucurkan air mata orang dan sekaligus penuh dengan action. Ya, pada hari libur berikutnya ia akan pergi menonton. Orang muda 248 itu yang tubuhnya jauh lebih kekar dari aku, yang begitu lebih penuh dengan kehidupan, akan pergi menonton filem pada hari libur berikutnya; ia akan duduk menonton sambil memelukkan tangan ke pinggang seorang gadis dan sudah itu akan tidur. Ia tak henti-hentinya menggoda kepala stasiun itu, menceritakan lelucon, dan menerima celaan lunak dari atasannya, sementara dia sibuk ke sana ke mari, memasukkan arang ke dalam anglo dan menuliskan angka-angka pada papan tulis. Sesaat aku merasa seakan-akan hampir-hampir sekali lagi terperangkap oleh keindahan hidup atau oleh suatu rasa iri hati terhadap kehidupan. Aku masih punya kesempatan untuk meniadakan niat tidak membakar kuil itu; aku bisa meninggalkan kuil itu selama-lamanya, melepas-kan keinginan jadi pendeta, lalu mengubur diriku dalam kehidupan seperti anak muda ini. Tapi serta-merta kekuatan gelap membawa aku kembali ke dalam diriku dan membebas-kan aku dari niat seperti itu. Ya, bagaimanapun juga Kuil Kencana itu harus kubakar. Hanya dengan demikian dapat dimulai suatu kehidupan baru yang ditumpahkan khusus untukku. Kepala Stasiun menerima tilpon. Lalu ia pergi ke depan kaca dan memperbaiki pecinya yang berbenang emas dengan teliti sekali. Ia mendehem, membusungkan dada, lalu melang-kah ke peron, seolah-olah ia memasuki sebuah ruang upacara. Hujan sudah reda. Tidak lama kemudian kedengaran bunyi kereta yang terang dan basah, kala menempuh rel yang dibangun di antara karang-karang. Sesaat kemudian ia memasuki stasiun. *## Aku sampai ke Kyoto pukul delapan kurang sepuluh menit 249 dan polisi berpakaian pieman itu mengantarkm aku ke gerbang utama kuil. Malam itu dingin sekah. Waktu aku muncul dari barisan pohon pinus yang gelap dan mendekati gerbang yang tegar, kulihat ibuku berdiri di sana. la Jcebetulan berdiri dekat papan yang bertuliskan: "Setiap pelanggaran terhadap peraturan ini akan dihukum men unit undang-undang". Dalam cahaya Iampu gerbang, rambutnya yang kusut memberikan kesan seolah-olah setiap helai rambutnya yang putih itu meremang. Pantulan cahaya lampu membuat rambutnya kelihatan lebih putih dari sebenarnya. Mukanya yang kecU kelihatan diam karena dilingkari gumpalan putih yang meremang itu. Tubuh Ibu yang kecil kelihatan membesar dengan menge-rikan. Di belakangnya terpapar kegelapan halaman yang dapat kulihat melaiui gerbang. Sosoknya yang besar membayang di hadapan kegelapan. Ia kelihatan konyol dalam kimononya yang sudah usang dan tidak bisa dipakai lagi, dan di luar kimono ini ia ikatkan sabuknya yang bersulam benang emas yang terbaik yang pemah ia punyai tapi yang kini sudah Iusuh sama sekali. Waktu ia berdiri di sana ia kelihatan bagai seseorang yang sudah mati. Aku ragu-ragu mendekati dia. Waktu itu aku tidak bisa mengerti kenapa dia bisa sampai berada di situ, tapi kemudian kuketahui, bahwa Pendeta Kepala setelah tahu bahwa aku pergi, telah menanyakan ke tempat ibuku; ia risau sekali lalu datang ke kuil dan tinggal di sana sampai aku kembali. Polisi itu mendorong aku ke depan. Anehnya, begitu aku makin dekat pada ibuku, tubuhnya kelihatan makin kecU. Wajahnya kini berada lebih rendah dari wajahku. Dan berkerut-kerut aneh waktu ia menengadah memandang padaku. Aku jarang sekali ditipu oleh perasaan naluriku, dan 250 waktu aku melihat matanya yang licik, cekung dan kecil, membuat aku ingat, bahwa sudah pada tempataya aku benci pada ibuku. Pertama, kebencian yang berkepanjangan karena ia telah melahirkan aku, kenangan pada penderitaan yang telah ia timpakan padaku " penderitaan, yang seperti telah kujelaskan, tidak memberi aku kesempatan untuk merencanakan pembalasanku, tapi sebaliknya menyisihkan aku dari ibuku. Ikatan seperti itu sulit sekali diputuskan. Tapi kini, begitu aku merasa bahwa ia separuh tenggelam dalam kesedihan seorang ibu, aku tiba-tiba merasa diriku bebas. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa, bahwa kini Ibu tidak akan pernah lagi bisa mengancam aku. Kedengaran suara orang terisak-isak tak menentu, seolah-olah ada yang lagi dicekik sampai mati. Lalu tangan Ibu menjulur ke depan dan menampar pipiku tanpa kekuatan. "Anak tak tahu kewajiban! Apa kau tak punya rasa tanggung jawab?" Polisi itu melihat padaku tanpa bicara tatkala aku mendapat tamparan. Jari-jari Ibu kehilangan keserempakannya dan semua kekuatan seolah-olah lenyap dari tangannya; akibatnya, ujung kukunya menimpa pipiku bagai batu. Bahkan waktu ia menampar aku, kulihat, bahwa kesan memohon tidak lenyap dari matanya, hingga aku mengalihkan pandanganku.
Sesaat kemudian ia merobah nadanya. "Jadi " jadi kau sudah pergi sejauh itu," katanya. "Dari mana kau dapat uang?" "Uang" Kupinjam dari kawan, kalau Ibu ingin tahu." "Betul?" kata Ibu. "Tidak kaucuri?" "Tidak, tidak kucuri." Ibu menghela nafas dengan lega, seolah-olah inilah satu-satunya hal yang ia risaukan. "Betul" Jadi kau tidak melakukan sesuatu yang salah?" "Tidak, tidak sama sekali." 251 "Betul" Baik kalau begitu. Tentu saja kau harus minta maaf sedalam-dalamnya pada Pendeta Kepala. Aku sendiri sudah minta maaf, tapi kini kau sendiri harus ke sana dan mohon maaf padanya dari lubuk hatimu. Pendeta Kepala itu orang yang berjiwa besar dan kukira akan mau melupakan peristiwa ini. Tapi kali ini kau harus mulai dengan lembaran baru, kalau tidak ibumu yang malang akan mati. Betul, Nak. Aku akan mati kalau kau tidak juga mau berubah. Kau harus jadi pendeta besar . . . tapi sekarang pergilah ke sana mohon maaf." Polisi itu dan aku mengikuti ibu tanpa bicara. Ibu begitu bingung hingga ia sampai lupa mengucapkan salam biasa pada polisi itu. Ia berjalan dengan langkah cepat dan singkat waktu aku memandang pada sabuknya yang lembut, yang tergantung di punggungnya, aku bertanya-tanya dalam hatiku, apa yang membuat Ibu begitu buruk. Lalu aku mengerti. Yang membuat ia buruk ialah " harapan. Harapan yang gigih, bagai penyakit kurap yang tengkar, yang bermukim, merah dan basah, dalam kttlit yang telah dijangkiti dan mengakibat-kan gatal yang tak habis-habisnya, dan menolak untuk mengalah pada kekuatan luar yang mana pun juga. *** Musim dingin datang. Keputusanku makin lama makin bulat. Lagi-lagi aku terpaksa mengundurkan rencanaku, tapi aku tidak bosan karena pengunduran yang terus-menerus ini. Yang merisaukan aku selama masa setengah tahun itu adalah sesuatu hal yanglain sama sekali. Setiap akhir bulan Kashiwagi menagih hutang yang ia berikan padaku. Ia memberi tahu aku tentang jumlah seluruhnya, termasuk bunga, dan sudah itu menyiksa aku dengan segala macam makian. Tapi aku tidak 252 lagi punya maksud untuk melunasi hutang itu. Selama aku menjauh dari universitas, selama itu aku tidak akan ketemu Kashiwagi. Mungkin aneh kenapa aku tidak membeberkan, bagaimana, setelah satu kali mengambil keputusan, aku segera goyah lagi, dan pendirianku timbul-tenggelam. Soalnya kebimbangan itu kini sudah merupakan sesuatu yang sudah berlalu. Selama masa setengah tahun ini pandanganku terpaku dengan teguh-nya pada suatu titik di masa depanku. Mungkin sekali pada saat ini aku mengerti apa arti kebahagiaan. Pertama-tama kehidupanku di kuil mulai menyenangkan. Jika kuingat, bahwa apa pun yang terjadi, Kuil Kencana itu akan tetap dibakar, maka hal-hal yang berat terasa jadi ringan. Bagai seseorang yang tahu bahwa ia akan mati, maka aku kini berusaha untuk membuat diriku disenangi orang lain yang ada di kuil. Tingkah-lakuku jadi menyenangkan dan aku berusaha untuk berdamai dengan segala-galanya. Aku bahkan bisa berdamai dengan alam. Setiap pagi jika burung datang untuk mematuk sisa-sisa makanan, aku memandang dada mereka yang berbulu halus dengan perasaan yang betul-betul bersahabat. Aku bahkan lupa pada kebencianku pada Pendeta Kepala. Aku sudah bebas " bebas dari ibuku, bebas dari kawan-kawanku, bebas dari segala-galanya. Tapi aku tidak cukup bodoh untuk mengira bahwa kesenangan yang baru kutemui dalam hidup sehari-hari bukanlah karena aku telah merobah dunia ini tanpa menjamahnya sama sekali. Segalanya dapat dimaafkan jika ditinjau dari sudut pandangan hasil yang diperoleh. Dalam ihtiar untuk membuat diriku melihat segala-galanya dari kacamata hasil, dalam keyakinan bahwa keputusan untuk memberikan hasil ini berada dalam tanganku sendiri - di situlah letak dasar rasa kebebasanku. 253 tBiarpun keputusanku untuk membakar Kuil Kencana suatu keputusan yang tiba-tiba, buat aku cocok sekali, bagai pakaian yang ditempahkan khusus untukku. Rasanya seolah-olah aku sudah merencanakannya semenjak aku dilahirkan. Setidak-tidaknya, niat itu seolah-olah tumbuh dalam diriku, dan hanya menunggu hari berkembangnya, mulai saat Kuil Kencana ini kukunjungi pertama kali bersama Ayah. Kenyata-an, bahwa kuil ini kelihatan oleh seorang anak kecil sebagai sesuatu yang indah sekali, mengandung berbagai motif yang akhir-akhirnya mengantarkan dia pada perbuatan membakar. Pada tangga! 17 Maret tahun 1950, aku selesai dengan tahap persiapanku di Universitas Otani. Dua hari kemudian aku mengalami hari ulang tahunku yang kedua puluh satu. Catatan mengenai aku selama masa persiapan tiga tahun itu betul-betul luar biasa. Aku berhasil mencapai nomor tujuh puluh sembilan dalam kelas yang bermahasiswakan tujuhpuluh sembilan orang. Angkaku yang terendah kuperoleh untuk bahasa Jepang, seluruhnya berjumlah empat puluh dua. Dari enam ratus enam belas jam pelajaran aku tidak hadir sebanyak dua ratus delapan belas jam " pokoknya, lebih dari sepertiga jumlah waktu. Tapi karena segalanya di universitas ini didasarkan pada ajaran Budhis, yaitu maaf, maka tidak ada yang dapat dianggap kegagalan dan aku diizinkan untuk mengikuti tahap pelajaran biasa. Pendeta Kepala telah memberikan persetujuan tanpa diucapkan untuk ini. Aku terns menyia-nyiakan pelajaranku, dan selama hari-hari indah mulai akhir musim semi sampai permulaan musim panas aku menghabiskan waktuku dengan mengunjungi pel bagai biara dan kuil yang dapat kita masuki tanpa bayar. Aku biasanya berjalan selama kakiku kuat membawaku. Aku ingai salah satu dari hari-hari itu. Aku sedang berjalan di depan Kuil Myoshin. Waktu 254 itu aku melihat seorang mahasiswa berjalan di depanku dengan langkah yang sama cepatnya dengan langkahku. Ia mampir di sebuah kedai rokok yang terletak di sebuah gedung yang bertalang gaya lama, lalu aku melihat wajahnya dari samping tatkala ia berdiri di sana mengenakan topi mahasiswanya membeli sebungkus rokok. Raut mukanya tajam dan putih dengan kening yang sempit. Dari topinya kuketahui bahwa ia dari Universitas Kyoto. Ia memandang padaku lewat sudut matanya. Rasanya seolah-olah bayang-bayang hitam hanyut bersama. Aku tahu dengan segera bahwa dia seorang piromaniak - seorang yang suka membakar. Waktu itu pukul tiga sore - bukan waktu yang tepat untuk melakukan pembakaran. Seekor kupu-kupu mengepak-ngepak dari jalan-jalan yang dilewati bis, lalu bergantung pada sekuntum kamelia yang tertekur dalam sebuah jambangan di bagian depan kedai rokok itu. Bagjan-bagian bunga putih yang layu itu kelihatan seolah-olah baru dibakar oleh api berwarna cokelat. Lama sekali bis baru datang. Jam yang tergantung di atas jalan sudah mati. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku yakin bahwa mahasiswa. itu berjalan selangkah demi selangkah menuju pembakaran. Mungkin karena rupanya begitu mirip dengan seorang piromaniak. Ia dengan sengaja memilih waktu siang bolong, saat yang paling sulit untuk melakukan pembakaran dan kini ia mengarahkan langkahnya perlahan-lahan menuju tujuan yang telah ia tetapkan dengan tabah. Di hadapannya ke-bakaran dan kehancuran; di belakangnya dunia teratur yang telah ia tinggalkan. Ada sesuatu yang keras di punggung pakaian seragamnya yang membuat aku merasa demikian. Mungkin juga karena semenjak beberapa lama begitulah punggung seorang piromaniak yang kubayangkan. Punggung-nya yang hitam dari kain serge, yang ditimpa cahaya matahari, sarat dengan kemalangan dan kemarahan. Aku memperlambat langkah lalu memutuskan untuk membuntutinya. Waktu aku berjalan di belakangnya dan melihat bahwa salah satu bahunya lebih rendah dari yang sebelah lain, aku merasa bahwa punggungnya itu sebetulnya adalah punggungku sendiri. Ia lebih tampan dari aku, tapi aku yakin bahwa ia terdorong untuk melakukan perbuatan yang sama dengan perbuatanku, karena kesunyian yang sama, kemalangan yang sama, dan kekacauan fikiran yang sama tentang keindahan. Waktu membuntuti dia aku merasa seolah-olah menyaksikan perbuatanku sendiri, sebelum kujalankan. Hal seperti itu mungkin saja terjadi pada sore hari akhir musim semi, karena cahaya terang dan karena udara lamban. Aku menjadi dua dan diriku yang Iain meniru perbuatanku terlebih dulu, dan dengan demikian jelas memperlihatkan padaku diriku yang tidak akan dapat kulihat jika telah datang saatnya untuk melaksanakan rencanaku. Bis belum juga datang. Jalan itu tiada berujung. Perlahan-lahan gerbang selatan Kuil Myosyin yang besar kelihatan. Pintunya terbuka seluas-luasnya dan gerbang itu seolah-olah pernah menelan segala macam gejala yang mungkin ada. Dalam bingkainya yang bagus sekali, seperti yang dapat kulihat dari tempatku berdiri yang khusus, ia memadukan tumpukan pilar-pilar Gerbang Pesuruh Kaisar dan Gerbang Sammon yang bertingkat dua, ubin Balai Budhis, sejumlah pohon pinus, sebagian dari langit biru, yang dipisahkan dengan hidup sekah dari selebihnya, dan sejumlah onggokan awan yang tipis. Begitu gerbang kudekati, maka makin banyak yang ditambahkan - jalan batu yang berjalan simpang-mi di halaman kuil yang luas itu, dinding gedung pagoda, dan yang lain-lain yang tak terhitung. Begitu kita lewat di bawah gerbang itu, maka kita akan sadar bahwa bangunan misterius itu melingkupi seluruh langit biru dan setiap awan yang ada di langit itu. Demikianlah fitrah sebuah gedung suci yang agung. Mahasiswa itu melalui gerbang itu. Ia berjalan mengitari Gerbang Pesuruh Kaisar lalu berhenti dekat kolam teratai depan Gerbang Sammon. Lalu ia berdiri di atas sebuah jembatan gaya Cina yang menyeberangi kolam itu lalu memandang ke Gerbang Sammon yang menjulang di atasnya. Gerbang itu rupanya, demikian aku berkata dalam hati, yang jadi sasaran pembakarannya. Gerbang Sammon yang bagus itu memang cocok sekali untuk dibungkus dalam api. Pada sore hari yang begitu cerah, nyala api itu tidak akan dapat dilihat. Asap akan melingkar di sekitar gerbang itu lalu membubung ke udara; tapi satu-satunya cara untuk mengetahui bahwa nyala yang gaib dari pandangan itu menjilat langit ialah dengan melihat bagaimana langit biru itu membengkok dan menggetar. Waktu mahasiswa itu mendekati Gerbang Sammon, aku berjalan ke samping, hingga aku tidak bisa kelihatan lalu memper-hatikannya dengan teliti. Saat itu adalah saat para pendeta peminta-minta kembali ke kuil, dan aku melihat tiga orang di antara mereka mendekat melalui jalan. Mereka berjalan berdamping-dampingan menyusuri jalan batu itu, memakai terompah jerami dan memegang topi dari anyaman ranting. Setelah melewati aku, mereka berbelok ke kanan. Mereka berjalan tanpa bicara, sambil mematuhi peraturan bagi pendeta pengemis. Menurut peraturan itu mereka tidak boleh melihat ke depan lebih jauh dari tiga kaki sampai mereka berada di kamarnya. Mahasiswa itu masih ragu-ragu di dekat Gerbang Sammon. Akhirnya ia bersandar pada salah sebuah tiangnya lalu mengeluarkan bungkus rokok yang baru ia beli dari salah 257 satu kantongnya. Ia melihat ke sekelilingnya dengan ketakutan. Aku mengira bahwa ia mau membakar gerbang itu dengan dalih hendak merokok. Seperti yang kulihat, ia memasukkan sebatang rokok ke mulutnya, menggerakkan mukanya ke depan lalu menyalakan geretan. Sejenak geretan itu memancarkan kilat yang jernih dan kecil. Warna api itu seolah-olah tidak bisa dilihat oleh mata, juga tidak oleh mahasiswa itu. Ini disebabkan karena pada saat itu matahari sore telah membungkus ketiga sisi gerbang itu, sehingga yang masih berada dalam bayang-bayang hanya satu sisi. Selama sekejap geretan itu menghasil-kan sesuatu yang mirip gelembung api, yang menyala di samping wajah mahasiswa yang lagi bersandar pada pilar gerbang dekat kolam teratai. Lalu ia menggoncang-goncangkan tangannya sejadi-jadinya memadamkan geretan itu. Biarpun geretan itu sudah padam mahasiswa itu belum lagi puas. Geretan itu ia lemparkan ke salah sebuah batu sendi, lalu menginjak-injaknya dengan kaki keras-keras. Lalu ia menyeberangi jembatan sambil mengisap rokoknya dengan rasa senang, dan melanjutkan perjalanannya melewati Gerbang Pesuruh Kaisar, tanpa menyadari bagaimana kecewaku sambil berdiri di sana sendiri dan sunyi. Akhirnya dia menghilang di Gerbang Selatan. Dari sana kita bisa melihat jalan besar dan samar-samar sebarisan rumah yang berbaris sampai ke-jauhan. liri bukan seorang piromaniak tapi hanya seorang mahasiswa yang pergi jalan-jalan. Dan mungkin sekali seorang anak muda yang lagi iseng, dan agak miskin. Aku memperhatikan semua perbuatannya sampai yang sekecil-kecilnya dan aku bisa mengatakan bahwa semua yang ada pada dirinya menjengkelkan aku - sifatnya yang pengecut, yang membuat dia.melihat sekelilingnya dengan ketakutan - 258 bukan karena ia mau membakar sesuatu, tapi hanya karena ia mau melanggar peraturan dan mengisap rokok; kenikmatan licik, yang diperbolehkan secara istimewa untuk mahasiswa, yang jelas sekali ia rasakan karena ia sudah melanggar peraturan; tapi yang terlebih-lebih adalah "kebudayaannya yang beradab". Berkat kebudayaan sampan macam inilah maka api kecilnya dapat dikendalikan dengan aman. Ia barangkali bangga sekali karena sadar bahwa ia sendirilah yang jadi pengendali geretannya, pengendali yang teliti dan melindungi masyarakat dari bahaya kebakaran. Salah satu anugerah dari kebudayaan ini ialah, bahwa semenjak Pembangunan Meiji hampir tidak ada kuil tua yang ada di dalam atau di sekitar Kyoto yang terbakar. Bahkan pada peristiwa-peristiwa kebakaran secara kebe-tulan yang jarang sekali terjadi, ^)i selalu bisa segera dicincang, dipecah-pecah dan kemudian dipadamkan. Dulu tidak seperti itu. Kuil Chion terbakar dalam tahun 1431 dan sesudah itu terbakar beberapa kali lagi. Gedung utama Kuil Nanzen terbakar dalam tahun 1393, hingga Ruang Budha, Ruang Upacara, Ruang Intan, Pertapaan Awam Besar dan bangunan lain hancur sama sekali. Kuil Enryaku habis terbakar jadi abu dalam tahun 1571. Kuil Kenjin hangus karena api semasa peperangan dalam tahun 1552. Ruang Sanjusangen terbakar habis dalam tahun 1249. Kuil Honno hancur terbakar dalam pertempuran tahun 1582. Di masa itu kebakaran-kebakaran itu saling mengadakan hubungan yang akrab. Kebakaran waktu itu tidak dipecah-pecah jadi kepingan-kepingan kecil hingga bisa dianggap remeh seperti sekarang ini, tapi diizinkan untuk berpegangan tangan sedemikian rupa sehingga sejumlah kebakaran terpisah-pisah dapat bersatu menjadi kebakaran tunggal yang besar sekali. Di mana saja ada kebakaran, ia dapat memanggil kebakaran lain dan suaranya selalu didengarkan dengan segera. Sebabnya maka kebakaran kuil yang disebut dalam warkah-warkah tua tidak pernah disebabkan oleh pembakaran dengan sengaja, tapi selalu dilukiskan sebagai kebakaran secara ke-betulan, karena api yang merembet, atau kebakaran yang disebabkan oleh peperangan, karena biarpun di zaman itu ada orang seperti aku, apa yang harus diperbuatnya hanyalah mena-han nafas dan menunggu di salah satu tempat persembunyian. Besok atau lusa setiap kuil hams terbakar. Api cukup banyak dan tidak bisa dikendalikan. Sekiranya ia mau menunggu, maka api yang lagi menunggu-nunggu kesempatan pasti akan mendobrak ke luar, api yang satu akan berpegangan tangan dengan api lainnya lalu bersama-sama mereka akan menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. Betul-betul suatu kebetulan yang jarang sekah' bisa terjadi bahwa Kuil Kencana ini selamat dari kebakaran. Karena dasar-dasar pemikiran Budhis menguasai dunia " kebakaran terjadi secara wajar, kehancuran dan pengrusakan adalah hal yang wajar, kuil-kuil besai yang dibangun mesti akan habis terbakar. Bahkan biarpun ada para piromaniak, mereka akan begitu yakin secara wajar pada kekuasaan api, hingga tidak akan ada ahh' sejarah yang mau percaya bahwa kehancuran itu adalah akibat pembakaran dengan sengaja. Di masa itu dunia adalah suatu tempat yang sulit. Kini dalam tahun 1950, dunia juga tidak kurang sulitnya. Misal-kanlah bahwa kuil-kuil itu sudah terbakar habis sebagai akibat dari kesulitan dan kegelisahan ini, apa ada alasan untuk tidak membakar Kuil Kencana itu kini" Biarpun aku menghindarkan kuliah, aku sering pergi ke 260 perpustakaan dan pada suatu hari dalam bulan Mei aku bertemu Kashiwagi yang selama ini selalu kuelakkan. Waktu ia melihat aku mau menghindar, ia mengejar aku dengan air muka yang menunjukkan rasa senang. Kesadaran, bahwa sekiranya aku melarikan diri ia tidak akan mungkin dapat mengejarku dengan kakinya yang bengkok itu, meng-halangi aku untuk bergerak. Kashiwagi memegang bahuku. Ia kehabisan nafas. Kuliah hari itu sudah berakhir dan kukira waktu itu sudah pukul setengah enam. Supaya tidak ketemu Kashiwagi, aku berjalan lewat b el akan g gedung universitas setelah meninggalkan perpustakaan, lalu menyusuri jalan yang terdapat antara dinding batu yang tinggi dan gedung di mana terdapat ruangan-ruangan kelas. Bunga serunai liar banyak sekali tumbuh di tanah kering itu, di sela-sela oleh kertas-kertas dan botol-botol kosong yang dibuang orang. Beberapa orang anak menyelinap ke tempat itu dan kini lagi bermain kejar-kejaran. Suara mereka garau menarik perhatian orang pada kekosongan ruangan-ruangan kelas, yang dapat dilihat melalui kaca jendela yang telah pecah. Semua mahasiswa sudah pergi dan barisan demi barisan meja berdebu berada di sana dalam keheningan. Aku melewati barak-barak itu lalu sampai ke sisi lain gedung universitas. Aku berhenti depan sebuah gubuk kecil, tempat bagian mengarang-bunga menggantungkah papan ber-tulisan "Studio". Matahari memancar pada deretan pohon kapur barus yang tumbuh sepanjang dinding dan bayang-bayang daunnya yang rapuh terpantul ke atas atap gubuk itu dan ke atas dinding batu bata merah gedung utama. Dalam matahari senja bata merah itu kelihatan meriah sekali. Kashiwagi menyandarkan dirinya pada dinding. Ia ber-nafas tersengal-sengal. Bayang-bayang daun-daun pohon kapur barus menerangi pipinya, yang waktu itu kelihatan liar 261 Idan kusut seperti sediakaia, hingga wajahnya memberikan kesan lincah dan hidup yang menarik sekali. Mungkin pantulan bata merah yang begitu tidak cocok buat Kashiwagi, yang menyebabkan kesan ini. "Kim" aku punya lima ribu seratus yen?" katanya. "lima ribu seratus yen pada akhir bulan ini. Bagimu makin lama makin berat meJunasi hutangmu." la mengeluarkan surat perjanjian hutangku dari kantong dadanya, tempat surat itu selalu ia simpan, lalu ia kembangkan di depanku. Lalu, karena dia takut aku akan menjangkau dokumen itu dan merobek-robeknya, ia buru-buru melipatnya dan memasukkan kembali ke dalam kantongnya. Tidak ada yang tersisa dalam penglihatanku kecuah kesan yang masih membekas dan sebuah cap jari yang merah berbisa. Kelihatan-nya kejam sekali " cap jariku itu. "Cepat bayar!" kata Kashiwagi. "Demi kebaikanmu. Kenapa tak kaupergunakan uang kuliahmu atau uang lain untuk membayar hutang?" Aku tidak menjawab. Apa kita masih diwajibkan membayar hutang kita di hadapan bencana dunia" Aku tergoda untuk sedikit membayangkan pada Kashiwagi apa yang terkandung dalam fikiranku, tapi aku menahan diri. "Aku tidak bisa mengerti kalau kau tidak mau bicara," kata Kashiwagi. "Ada apa" Apa kau malu karena kau gagap" Itu 'kan sudah tidak perlu lagi. Semua orang tahu kau gagap - bahkan ini! Ya, bahkan ini!" Ia mernpkul dinding bata merah yang tertimpa cahaya matahari senja. Kepalanya beroleh warna pupur kuning cokelat. "Bahkan ruangan ini tahu. Tidak seorang pun di universitas ini yang tidak tahu itu!" Tapi aku masih saja menghadapi dia dengan membisu. Pada saat itu salah seorang anak yang bermain-main itu 262 gagal menangkap bola, hingga bola itu bergulir di antara kami. Kashiwagi membungkuk dan berusaha memungut bola itu dan melemparkannya kembali pada mereka. Melihat ini, aku digoda oleh suatu keinginan yang konyol untuk melihat bagaimana caranya Kashiwagi memindahkan bola itu dengan kaki bengkoknya, dari tempat kira-kira satu kaki jaraknya, supaya dapat ia jangkau dengan tangannya. Mataku seolah berpaling secara tak disengaja ke arah kakinya. Kashiwagi melihat ini dengan suatu kecepatan yang tidak terkira. Sebelum orang dapat melihat bahwa ia betul-betul berusaha untuk membungkuk, ia mengelakkan badannya lalu memandang padaku dengan mata yang penuh kebencian, yang belum pernah ia perlihatkan selama ini. Salah seorang anak itu mendekati kami dengan ragu-ragu, lalu mengambil bola yang terletak di antara kami, lalu lari. Akhirnya Kashiwagi berkata padaku: "Baiklah. Kalau sikapmu begitu; Kau juga tahu apa yang harus kulakukan. Sebelum aku pulang bulan depan aku akan berusaha memperoleh uangku kembali sebanyak mungkin. Lihat saja! Kau lebih baik bersiap-siap." Dalam bulan Juni kuliah-kuliah makin jarang diadakan dan mahasiswa-mahasiswa mulai bersiap-siap untuk pulang ke kampung halaman masing-masing. Tanggal 10 Juni adalah hari yang tidak akan pernah bisa kulupakan. Sejak pagi hujan terus dan di waktu malam hujan turun bagai dicu-rahkan. Setelah makan aku membaca buku dalam kamarku. Kira-kira pukul delapan aku mendengar bunyi langkah orang di gang, antara ruang tamu dan Perpustakaan Besar. Malam itu adalah salah suatu malam yang jarang sekali bagi Pendeta 263 Kepala tinggal di kuil. Rupa-rupanya ia lagi menerima tamu. Bunyi telapak itu kedengaran agak aneh. Kedengarannya bagai tetesan hujan yang terpen car dan memukul dinding fkayu. Langkah murid yang mengantarkan tamu itu ke tempat Pendeta Kepala kedengaran lunak dan teratur, dan hampir-hampir tenggeiam dalam langkah tamu yang kedengaran terseret-seret, hingga papan tua lantai gang itu berderik-derik ganjil sekali. Kuil penuh dengan bunyi hujan. Hujan malam tercurah ke atas biara besar dan tua itu, hingga kamar-kamar yang pengap kosong selalu dipenuhi bunyi hujan. Di dapur, di kediaman Pengetua, di kamar-kamar pegawai kuil, di ruang tamu, yang kedengaran hanya bunyi hujan. Aku memikirkan hujan yang memerangkap Kuil Kencana. Pintu geser kamarku kubuka sedikit. Halaman tengah yang kecil dan yang terdiri dari batu-batu penuh air, dan aku dapat melihat punggung air yang hitam dan bercahaya waktu mengaiir dari batu yang satu ke batu yang lain. Murid itu kembali dari tempat Pendeta Kepala lalu menju-Iurkan kepalanya ke dalam kamarku. "Ada seorang mahasiswa yang datang untuk menemui Pendeta Kepala. Apa bukan kawanmu?"
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 20 Pendekar Rajawali Sakti 57 Penjagal Bukit Tengkorak Elizabeth Marisa 3
^