Kuil Kencana 5

Kuil Kencana Kinkakuji Karya Yukio Mishima Bagian 5


Aku jadi resah. Murid yang memakai kacamata dan yang pada siang hari bekerja sebagai guru Sekolah Dasar itu, sesudah tamu pergi, kutahan lalu kuundang ke dalam kamarku. Aku membayangkan segala macam hal mengenai percakapan yang berlangsung di perpustakaan dan aku tidak kuat untuk tinggal sendiri. Beberapa menit berlalu. Tiba-tiba bunyi lonceng tangan Pendeta Kepala berbunyi. Bunyinya yang tajam dan memerin-tah itu menembus hiruk-pikuk hujan; lalu diam tiba-tiba. Murid itu dan aku saling berpandang-pandangan. 264 "Buat kau," katanya. Aku memaksa diriku berdiri. Waktu sampai di tempat Pendeta Kepala, aku berlutut di luar. Aku dapat melihat dokumen yang memuat cap ibu jariku terletak di atas mejanya. Pendeta Kepala mengang-kat salah satu ujung kertas itu lalu memperlihatkannya padaku. Ia membiarkan aku berlutut di luar kamar. "Apa ini betul cap ibu jarimu?" tanyanya. "Ya." "Bagus betul perbuatanmu! Kalau aku mendapat kesusahan seperti ini dari kau lagi, aku tidak bisa menahan kau lebih lama di sini. Kau lebih tahu. Ini bukan kali pertama ..." Mungkin karena Kashiwagi berada dalam kamar itu, Pendeta Kepala memotong percakapannya. "Biar aku sendiri yang membayar hutang itu," sambungnya. "Kau boleh pergi." Waktu mendengar kata-kata itu aku berhasil memandang pada Kashiwagi untuk pertama kalinya. Ia duduk di atas lantai dengan wajah orang yang baru saja melakukan sesuatu yang terpuji sekali. Tapi ia mengalihkan pandangannya. Jika Kashiwagi baru saja melakukan sesuatu yang jahat, ia selalu memperlihatkan sikap seseorang yang suci, seolah-olah, tanpa ia ketahui sama sekali, sari sifatnya baru saja disadap. Hanya aku yang tahu ini. Waktu aku kembali ke kamarku, aku sadar, bahwa malam itu, dalam kerasnya suara hujan, dalam kesunyianku, aku sudah terbebas. "Aku tidak akan bisa menahan kau lebih lama di sini" " untuk pertama kali aku mendengar Pendeta Kepala bicara begitu padaku, untuk pertama kali ia memberikan peringatan itu. Tiba-tiba semuanya jadi terang. Pendeta Kepala sudah merencanakan pengusiranku dari kuil. Aku harus buru-buru melaksanakan putusanku. Jika Kashiwagi tidak berbuat seperti yang ia lakukan 265 itu, aku mungkin sekali tidak akan berkesempatan untuk mendengar kata-kata itu dari Pendeta Kepala dan rencanaku tentu akan kuundurkan lebih lama. Waktu kuingat bahwa Kashiwagilah yang telah memberi aku kekuatan untuk mengatasi kelambananku, aku dilingkupi oleh suatu rasa terima kasih yang aneh padanya. Hujan tidak memperlihatkan tanda-tanda akan reda. Untuk bulan Juni, malam itu dingin sekali dan kamarku yang kecil dan dilingkungi oleh dinding papan kelihatan sepi sekali dalam cahaya temaram lampu pijar. Di sinilah ke-diamanku, tempat aku tak lama lagi mungkin akan diusir. Dalam kamar itu tidak ada satu hiasan pun. Pinggir hitam tikar pandan yang telah memucat dan berada di lantai telah robek dan tertarik-tarik, dan helaian-helaian anyamannya kelihatan jelas sekali. Seringkali kalau aku masuk ke dalam kamar dan menghidupkan lampu, ibu jari kakiku tersangkut pada pinggiran tikar yang robek itu, tapi aku tidak berusaha untuk memperbaikinya. Semangatku untuk hidup tidak punya urusan dengan tikar pandan itu. Setelah musim panas mendatang, kamarku yang kecil itu pengap oleh bau busuk badanku. Kedengarannya lucu, tapi biarpun aku seorang pendeta, badanku harus berbau seorang anak muda biasa. Bau itu menembus tiang hitam yang tua dan berkilat pada keempat sudut kamar itu, bahkan juga dinding kayu itu. Kini bau badan seorang anak muda yang tidak menyenangkan merembes di antara urat-urat kayu, yang telah diberi semacam warna oleh umur. Tiang dan dinding itu dirobah menjadi sesuatu yang hidup -tidak bisa bergerak, mencucurkan bau anyir ikan. Kemudian bunyi langkah yang kudengar sebelumnya datang mendekat melalui gang. Aku berdiri lalu pergi ke gang. Kashiwagi berdiri di sana, bagai semacam pesawat 266 mekanik yang tiba-tiba berhenti. Di belakangnya cahaya dari kediaman Pendeta Kepala menerangi Pohon Pimvs Kapal Layar di kebun dan aku dapat melihat haluan pohon itu yang basah dan berwarna hijau kehitaman mengangkat dirinya sendiri ke atas dalam gelap. Sebuah senyuman terbayang di mukaku dan aku menyadari dengan rasa puas bahwa waktu Kashiwagi melihat senyuman itu ia untuk pertama kalinya memperlihatkan air muka yang mendekati ketakutan. "Apa kau tidak mau mampir sebentar?" kataku. "Ya, ya, kau tidak perlu menakut-nakuti aku. Kau orang aneh." Kashiwagi masuk ke dalam kamarku dan ia beihasil merendahkan badannya ke samping, ke tikar, dengan gerakan perlahan yang biasa dan membuat kita mengira ia bermaksud untuk merangkung. la mengangkat kepalanya lalu memandang ke sekeliling kamar. Di luar, bunyi hujan menutupi kami bagai tirai tebal. Di antara bunyi air yang jatuh di beranda terbuka, kita bisa mendengar titik hujan yang ditempiaskan oleh pintu geser kertas yang terdapat pada pelbagai bagian gedung ini. "Kau," kata Kashiwagi, "tak boleh menyalahkan aku. Pokoknya, kau yang salah maka aku sampai berbuat seperti ini. Mengenai itu cukup sekian!" Dari dalam kantongnya ia keluarkan sebuah sampul, di atasnya kulihat cap kuil, lalu ia mulai menghitung uang kertas yang terdapat di dalamnya. Hanya ada tiga uang kertas sepuluh ribu yen " uang kertas baru yang jelas baru dikeluarkan sesudah bulan Januari. "Uang kertas di kuil ini bersih dan bagus, ya 'kan?" kataku. "Pendeta Kepala kami begitu tak mudah puas hingga ia menyuruh Pengetua pergi ke bank sekah tiga hari untuk 267 mengambil uang kertas bersih untuk perbelanjaan kecil kami." "Lihat ini!" kata Kashiwagi. "Cuma ada tiga. Pendeta yang mengurus kuil ini betul-betul kikir. Katanya ia tidak mau mengakui bunga atas pinjaman yang terjadi antara sesama mahasiswa. Biarpun ia sendiri cukup menikmati ke-untungan dari perbuatan seperti itu." Melihat Kashiwagi dilanda oleh kekecewaan yang tak disangka-sangka ini, hatiku gembira sekali. Aku tertawa terbahak-bahak dan Kashiwagi juga menyertai aku. Selama sesaat antara kami terdapat semacam keserasian, tapi Kashiwagi berhenti tertawa hampir-hampir seketika lalu menatap kening-ku dan bicara seolah-olah ia mau membuang aku. "Aku tahu," katanya. "Kau sekarang ini lagi punya niat merusak."
Aku kesusahan sekah menahan berat tatapannya. Lalu aku mengerti bahwa pengertiannya tentang "merusak" ber-beda sekali sifatnya dari apa yang kurencanakan. Aku tenang kembali. Dalam jawabanku sedikit pun tidak terasa kegagapan. "Tidak, tidak sama sekah," kataku. "Betul" Kau orang aneh. Kau boleh dikatakan orang yang paling aneh yang pernah kutemui." Aku tahu bahwa ucapan Ini disebabkan oleh senyuman ramah yang masih belum juga lenyap dari mulutku. Jelas sekali, bahwa Kashiwagi tidak akan pernah menyadari arti rasa terima kasih yang tumbuh dalam diriku, dan fikiran ini membuat senyumanku jadi lebih lebar dengan sendirinya. "Apa kau mau pulang ke kampungmu?" tanyaku dengan cara yang biasa dipergunakan orang-orang bersahabat kalau lagi bercakap-cakap. "Ya, aku mau pulang besok. Musim panas di Sannomiya. Di sana membosankan sekali." "Kalau begitu berapa lama kita tidak akan saling bertemu di universitas." 268 "Apa" Kau sendiri tidak pernah ke sana." Waktu mengatakan itu, Kashiwagi buru-buru membuka kancing dada baju seragamnya, lalu meraba isi kantong dalamnya. "Aku memutuskan untuk mengantarkan ini padamu sebelum aku berangkat pulang," katanya. "Barangkali kau akan senang. Ketinggian penghargaanmu kepadanya edan sekali." Ia meletakkan setumpuk surat ke atas mejaku. Aku heran waktu membaca nama pengirimnya di atas sampul surat-surat itu. "Bacalah," kata Kashiwagi dengan nada biasa. "Surat-surat ini adalah kenangan dari Tsurukawa." "Kau bersahabat dengan Tsurukawa?" tanyaku. "Begjni. Ya, kukira aku sahabatnya dengan caraku sendiri. Tsurukawa sendiri tidak senang dianggap orang sebagai kawan-ku. Tapi sekaligus aku adalah satu-satunya orang tempat ia membukakan isi hatinya. Ia sudah tiga tahun meninggal, jadi kiraku tidak ada salahnya kalau kini surat ini diperlihatkan pada orang lain. Kau begitu berkawan dengan dia hingga aku bermaksud memperlihatkannya hanya padamu. Pada orang lain tidak. Aku sudah berrrfeksud hendak memperlihatkannya padamu pada suatu hari." Surat-surat itu semua bertanggalkan bulan Mei 1947, beberapa lama sebelum ia meninggal. Hampir setiap hari ia menulis surat dari Tokyo dan dialamatkan pada Kashiwagi. Bahkan sekali pun aku tidak pernah ia kirimi surat, tapi pada Kashiwagi ia mengirim surat secara teratur sejak ia pulang ke Tokyo. Surat-surat itu memang dari Tsurukawa -tulisan tangannya yang bersegi-segi dan kekanak-kanakan, jelas sekali. Aku sedikit merasa iri hati. Tsurukawa, yang kelihatannya tidak pernah berusaha menyembunyikan perasa-annya yang bening padaku, yang pernah memburuk-burukkan 269 Kashiwagi dan pernah berusaha menghalangi persahabatanku dengan dia, ternyata ia sendiri telah mengadakan hubungan yang tersembunyi ini. Aku mulai membaca surat-surat itu menurut urutan tanggalnya. Surat-surat itu ditulis dengan huruf-huruf kecil di atas kertas tulis yang tipis. Gayanya kikuk sekali. Jalan fikirannya "seolah terperosok saban kali, dan susah sekali untuk diikuti. Tapi dari balik kalimat-kalimatnya yang kacau mulai muncul suatu penderitaan yang samar, dan waktu aku membaca surat-suratnya yang terakhir, penderitaan yang dialami Tsurukawa terbayang di hadapanku dengan jelas sekali. Sambil membaca surat-surat itu, air mata mengambang di mataku, tapi pada saat yang sama aku betul-betul heran melihat kekonyoian penderitaan Tsurukawa. Soal yang tidak lebih dari suatu persoalan cinta kecil yang biasa sekali - cinta tidak berbahagia seorang anak muda yang tidak berpengalaman pada seseorang yang tidak disetujui orang tuanya. Lalu suatu bagian dari surat itu membuat aku terhenyak. Mungkin ini tidak lebih dari suatu pengutaraan Tsurukawa yang dilebih-lebihkan dengan tak disengaja untuk meluftskan perasaannya, tapi akibatnya mengagetkan juga. "Jika kuingat-ingat," demikian ia menulis, "percintaanku yang tidak berbahagia ini mungkin sekali hasil langsung dari sifatku yang tidak berbahagia. Aku dilahirkan dengan sifat pemurung. Kukira aku tidak pernah tahu apa artinya bergembira atau bersenang-senang." Surat itu berakhir dengan suatu nada yang menggemparkan, dan waktu kubaca, aku merasakan suatu kecurigaan yang sampai saat itu belum pernah kurasakan. "Apa mungkin dia . . ," demikian aku mulai. Kashiwagi mengangguk dan menyela aku: "Ya, memang. Memang, bunuh diri. Aku pasti demikian halnya. Keluarganya rupa-rupanya telah menutupinya untuk menyelamatkan muka, lalu membuat cerita tentang truk itu dan sebagainya.** "Kau membalassuratnya, 'kan?" Aku tergagap-gagap karena perasaan berang waktu aku mendesakkan pertanyaan itu pada Kashiwagi. "Ya, tapi rupanya surat itu baru sampai setelah ia meninggal." "Apa yang kaukatakan?" "Aku menulis, bahwa dia tidak boleh mati. Hanya itu." Keyakinanku yang dalam bahwa aku tidak bisa dikhianati oleh perasaanku ternyata tidak benar. Kashiwagi telah membunuh sangkaanku ini. "Bagaimana rasanya?" katanya. "Apa surat-surat ini sudah merobah pandangan hidupmu" Rencanamu kini hancur semua, 'kan?" Jelas bagiku kenapa kini setelah tiga tahun ia baru memperlihatkan surat-surat ini padaku. Tapi, biarpun aku mendapat goncangan, dalam diriku masih tinggal semacam ingatan " ingatan pada matahari yang bersinar menembus pepohonan dan menimpa kemeja putih anak muda yang terbaring di atas rumput tebal musim panas. Tsurukawa telah meninggal dan tiga tahun kemudian telah berobah seperti ini. Kelihatannya apa yang kupercayakan padanya seakan-akan ikut lenyap bersama kematiannya, tapi nyatanya pada saat itu ia lahir kembali dengan bentuk kenyataan yang baru. Ini terjadi karena aku percaya pada substansi ingatan, dan bukan karena dirinya yang sebenamya. Keadaan kepercayaanku begitu rupa, dan jika aku kini berhenti percaya pada ingatan itu, maka hidupku sendiri akan runtuh. Tapi, Kashiwagi berdiri memandang padaku. Ia merasa puas sekali karena telah berhasil sekali mencincang perasaanku. 271 ["Bagaimana?" katanya. "Dalam dirimu sebentar ini ada yang hancur, 'kan" Aku tidak tahan melihat seorang kawanku hidup dengan sesuatu yang mudah hancur dalam dirinya. Seluruhkebaikanterletak dalam menghancurkan hal-hal seperti "Bagaimana kalau ia belum juga hancur?" tanyaku. "Itu keangkuhan palsu.'" kata Kashiwagi dengan senyuman mengejek. "Aku ingin membuat kau mengerti. Yang merobah dunia ini ialah - pengetahuan. Kau mengerti maksudku" Tidak ada yang lain yang bisa merobah apa pun jua di dunia ini. Hanya pengetahuan yang bisa merobah dunia, dan sekaligus membiarkannya sebagaimana adanya. Jika kau memandang dunia dengan pengetahuan, kau akan sadar bahwa semuanya tidak bisa dirobah, tapi semuanya senantiasa berada dalam perobahan. Kau boleh tanya apa gunanya. Kita katakan saja begini - manusia memiliki senjata pengetahuan untuk membuat hidup ini bisa dihayati. Untuk binatang hal seperti itu tidak diperlukan. Binatang tidak memerlukan pengetahuan atau yang seperti itu untuk dapat membuat hidupnya bisa ia pertahankan. Tapi manusia memerlukan sesuatu, dan dengan pengetahuan keberatan hidup dapat dijadikan senjata, biarpun pada saat yang sama keberatan itu sedikit pun tidak berkurang. Demikianlah nyatanya." "Apa menurat kau tidak ada jalan lain agar dapat menahan hidup?" "Tidak. Lepas dari itu hanya ada kegjlaan atau maut." "Pengetahuan tidak akan pernah bisa merobah dunia," teriakku, yang sudah hampir-hampir berada di pinggiran suatu pengungkapan isi hatiku. "Yang merobah dunia ini ialah perbuatan. Lain dari itu tidak ada." Seperti telah kukira, Kashiwagi menangkis ucapanku dengan sebuah senyuman dingin, yang kelihatannya seolah-olah di- 272 tempelkan pada mukanya. "Itulah!" katanya. Perbuatan, katamu. Tapi apa kau tidak mengerti, bahwa keindahan dunia ini yang begitu berarti bagimu, memerlukan tidur dan supaya bisa tidur ia harus dilindungi oleh pengetahuan" Kau ingat kisah "Nansen membunuh kucing" yang pernah kuceritakan padamu" Kucing dalam kisah itu cantik sekali. Itulah sebabnya pendeta-pendeta yang mendiami kedua ruangan itu berkelahi mengenai kucing itu, karena mereka sama-sama ingin melin-dungi kucing itu, merawatnya, membiarkannya tidur dengan enak, dalam jubah pengetahuan mereka masing-masing. Bapa Nansen seorang manusia yang berbuat, lalu ia membunuh kucing itu dengan sabit dan dengan demikian mengakhirinya. Tapi waktu Choshu kemudian datang, ia membuka sepatunya lalu meletakkannya di atas kepalanya. Yang ingin dikatakan Choshu adalah ini: Ia sadar sekali bahwa keindahan adalah sesuatu yang perlu tidur dan yang harus dilindungi oleh pengetahuan sewaktu tidur. Tapi tidaklah ada apa yang disebut pengetahuan individuil, suatu pengetahuan khusus yang menjadi milik dari satu orang atau satu kelompok. Pengetahuan adalah laut kemanusiaan, ladang kemanusiaan, keadaan umum kehidupan manusia. Kukira itulah yang ingin ia katakan. Kini kau ingin memainkan peranan Choshu rupanya. Nah, keindahan - keindahan yang begitu kaucintai -adalah khayal dari bagian yang tersisa, bagian berlebih, yang diberikan pada pengetahuan. la adalah khayal dari "cara lain untuk menahankan hidup" yang tadi kaukatakan. Kita boleh mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang disebut keindahan, yang membuat khayalan itu begitu kuat, yang membekali dia dengan kekuatan kenyataan yang begitu besar, justru adalah pengetahuan. pari sudut pandangan pengetahuan, keindahan tidak mungkin merupakan hiburan. 273 PTapi dari perkawuian antara yang tidak merupakan hiburan di satu fihak dan pengetahuan di lain fihak, lahirlah sesuatu yang baru. Ia lekas lenyap bagai sebuah gelembung dan tidak berdaya sama sekali. Tapi bagaimanapun jua sesuatu sudah dilahirkan. Sesuatu inilah yang disebut orang seni." "Keindahan . . .," kataku, lalu terhenti karena suatu serangan kegagapanku. Fikiran ini adalah sesuatu tanpa batas. Aku merasa curiga bahwa justru pengertianku tentang keindahan yang telah melahirkan kegagapanku. "Keindahan, hal-hal yang indah," kutambahkan, "semuanya itu adalah musuhku." "Keindahan itumusuhmu?" kata Kashiwagi dengan membuka matanya lebar-Iebar. Lalu tampak kesan filsafat yang menggembirakan, yang biasa tampak pada mukanya yang merah. "Alangkah Iainnya mendengar itu dari mulutmu. Aku betui-betuJ harus mengganti fokus lensa pengertianku," Kami meneruskan percakapan beberapa lama. Inilah kali pertama semenjak lama kami bertukar fikiran dengan cara yang begitu akrab. Hujan masih belum juga reda. Waktu ia pergi, Kashiwagi menceritakan padaku tentang Sannomiya dan pelabuhan Kobe. Aku belum pernah mengunjungi tempat-tempat itu lalu ia melukiskan kapal-kapal besar yang meninggalkan pelabuhan di kala musim panas. Pemandangan itu jadi jelas bagiku waktu aku ingat Maizuru. Untuk sekali ini pendapat kami sama. Kami, dua orang mahasiswa miskin memiliki lamunan yang sama dan sepakat bahwa tidak satu pun, juga pengertian atau perbuatan, yang dapat menya-mai kenikmatan yang diberikan oleh keberangkatan menuju tempat yang jauh. 274 BARANGKALI bukanlah sekadar kebetulan, bahwa menurut peraturan ia menegur aku seperti yang biasa ia lakukan, Pendeta Kepala justru pada saat hams menegur, memperlaku-kan aku dengan baik sekali. Lain hari setelah Kashiwagi datang untuk menagih hutang, Pendeta Kepala memanggil aku ke kamar kerjanya lalu menyerahkan padaku uang sebanyak tiga ribu empat ratus yen untuk uang kuliahku selama semester pertama, tiga ratus lima puluh yen untuk kendaraan dan lima ratus yen untuk keperluan alat tulis-menulis. Di universitas sudah merupakan peraturan bahwa kami harus membayar uang kuliah sebelum liburan musim panas, tapi setelah apa yang terjadi itu, aku sama sekali tidak mengira bahwa Pendeta Kepala akan memberikan uang padaku. Biarpun ia memutuskan untuk membayar uang kuliah itu, kukira, karena ia sudah tahu bahwa aku sulit sekali untuk dipercaya, ia akan mengirimkan uang itu langsung ke universitas. Aku lebih tahu dari dia, bahwa biarpun ia menyerahkan uang itu padaku, kepercayaannya padaku adalah palsu. Dalam pengertian tertentu kebaikan yang ia berikan padaku tanpa rrengatakan apa-apa mengingatkan aku pada kulitnya yang lunak dan merah jambu. Kulit yang penuh dengan kepalsuan, kulit yang mempercayai apa yang sepatutnya dikhianati, dan yang mengkhianati apa yang mestinya dipercayai, kulit yang tidak dijangkiti korupsi, hangat, kulit merah jambu 275 yang mempropagandakan dirinya sendiri secara diam-diam. Sama seperti waktu aku melihat polisi di losmen di Yura, dan takut akan ketahuan, juga kini aku diancam oleh ketakutan, yang hampir-hampir mendekati keputusasaan, kalau-kalau Pendeta Kepala itu mengerti rencanaku dan berusaha supaya aku tidak sempat melakukan tindakan yang menentukan dengan memberi aku uang. Aku merasa, aku tidak bisa mengumpulkan keberanian untuk melakukan perbuatan itu selama aku masih menyimpan uang pemberiannya. Aku harus berusaha secepat mungkin mendapatkan jalan untuk menghabiskan uang itu. Aku harus menemukan cara menghabiskan uang itu yang begitu rupa, hingga kalau Pendeta Kepala itu sampai tahu apa yang kulakukan, maka ia harus begitu marah hingga mengusir aku dengan serta-merta di tempat itu juga. Hari itu giliranku untuk bekerja di dapur. Waktu aku mencuci piling sehabis makan, aku kebetulan melihct ke arah ruang makan. Semua orang sudah pergi dan mang itu hening. Di pintu masuk ada sebuah tiang penuh jelaga yang memperlihatkan kilauan berwarna hitam. Sebuah papan, yang sudah hampir-hampir kehilangan warna karena jeiaga, dipakukan pada tiang itu. Aku membaca kata-kata: A-TA-KO TANDA SUCI Awas kebakaran Dalam fikiranku aku bisa melihat bentuk pucat api ta-wanan yang dipenjarakan oleh tanda jimat ini. Sesuatu yang dulu pernah riang kini tergambar di balik tanda iii, pucat dan lemah. Aku bertanya apa orang akan percaja jika kukatakan bahwa akhir-akhir ini gambaran api yang kulihat telah memberikan pada sesuatu yang tidak kuranj dari nafsu berahi. Tapi apa tidak masuk akal, jika kemauanki untuk hidup tergantung sama sekali dari kebakaran, maka nafsu berahiku juga seharusnya mengarahkan pandangannya ke sana" Nafsuku membentuk tubuh ramping dari kebakaran; dan nyala api yang tahu bahwa mereka kulihat melalui tiang hitam yang berkilat itu, mendandani mereka dengan bagus sekali untuk peristiwa itu. Mereka adalah hal-hal yang rapuh " tangan, anggota, dada kebakaran itu. Pada malam hari tanggal 18 Juni aku menyelinap ke luar kuil dengan uang di dalam kantongku, lalu berjalan menuju daerah Shinchi Utara yang biasanya dikenal dengan nama Gobancho. Kabarnya di sana murah dan mereka ramah pada crang-orang baru yangbersahaja danlangganan-langganan seperti itu. Gobancho jauhnya setengah jam berjalan dari kuil. Malam itu panas sekali. Bulan bersinar lunak di langit yang ditutupi oleh awan tipis. Aku mengenakan jumper, celant khaki, dan bakiak. Mungkin sekali nanti aku akan pulang setelah beberapa jam, dengan pakaian yang sama. Bagaimana aku bisa meyakinkan diriku mengenai gagasan bahwa aku yang berada dalam pakaian itu adalah seorang pribadi yang lain sama sekali" Jdas, supaya aku bisa hiduplah maka aku berencana unUk membakar Kuil Kencana itu, tapi apa yang kulakukan kini lebih mirip pada persiapan untuk kematian. Seperti seoiang yang telah memutuskan untuk bunuh diri, mungkin terfebih dulu mengunjungi rumah pelacuran supaya kehilangan keperawanannya, demikianlah aku pergi ke daerah hiburan itu. Tapi percayalah. Jika orang seperti itu mengunjungi seorang peiacur maka itu sama dengan menuliskan tanda tangannya di atas sebuah formulir yang sudah ditetapkan, dan biarpun is mungkin kehilangan keperawanannya, ia tidak akan mungkin jidi "orang lain". Kini aku tidak perlu khawatir pada kegagalan " kegagalan /ang begitu sering kualami pada saat-saat genting jika Kuil 277 Kencana itu masuk di antara aku dan perempuan itu. Karena aim tidak lagi punya impian atau tujuan untuk menyertai kehidupan melalui seorang perempuan. Hidupku sendiri berdiri kuat di atas hal lain itu. semua perbuatanku sampai saat itu tidak lebih dari suatu perjalanan fcejam dan muran yang H membawa aku ke keadaanku sekarang. DemikianJah aku bicara pada diriku sambil berjalan menuju Gobancho. Tapi waktu itu dalam diriku timbul fcaa-kata Kashiwagi: "Perempuan pelacur tidak tidur dengan Jangganan-[ nya karena dia sayang padanya. Mereka bersedia meierima langganan siapa saja. laki-laki tua yang sudah reyot, pengemis, leiaki buta sebelah, leiaki tampan - bahkan orang sakit lepra, asal mereka tidak tahu. Sikap sama rata ini akan memuabhkan kebanyakan Jaki-laki dan mereka akan terus dengan ffnang dan membeh perempuan mana saja yang pertama-tarna nereka hhat. Tapi pendirian sama rata ini sama sekah tidak menarik hatiku. Aku tidak senang pada pendapat bahwa se>rang wanita hams memperlakukan seorang leiaki biasa dan orang seperti aku seolah-olah bagi mereka sama dan sedeajat. Elni kurasakan sebagai penghinaan diri sendiri." Bagiku tidak menyenangkan untuk mengingat kata-kat; ini. Persoalanku tidak sama dengan persoalan Kashiwagi. L-pas dari kegagapanku, aku tidak menderita cacat badan apa pun juga, dan tidak ada alasan sama sekali untuk tidak mertgangjap ketiadaan daya tank lahiriahku sebagai sekadar semacim keburukan yang biasa saja. Sungguhpun begitu, aku bertanya dalam hatiku, apa firasat yang ada pada perempuan mana pun jua tidak akan mengenali tanda seorang penjahat sejati yang terdapat di keningku" fikiran edan ini segera menyebabkan aku gelisah hingga iangkahku jadi lambai karenanya. Akhirnya aku bosan berfikit dan aku tidak lagi tahu pasti apa aku bermaksud menghiJangkan keperawananku supaya aku dapat membakar Kuil Kencana atau apa aku merencanakan untuk membakar Kuil Kencana supaya kehilangan keperawananku. Lalu tanpa sebab apa-apa aku irgat kalimat agung tempo kannan ("kesusahan yang menghadang dunia") dan aku berjalan sambil mengucapkan tempc kannan, tempo kannan. Tidak lama kemudian aku sampii ke tempat permainan lempar bola yang terang-bendtrang dan ramai, dan kedai-kedai minuman, mengalah pada serentang kegelapan yang tenang di sana-sini secara teratir diterangi oleh lampu neon dan lampu-lampu kertas putih yang guram. Sejak saat aku meninggalkan kuil, aku dirasiki oleh lamunan seolah-olah Uiko masih hidup dan bahva dia hidup memencilkan diri di daerah ini. Semenjak aku memutuskan untuk membakar Kuil Kencana, aku sudah keivoali ke keadaan masa kanakku yang segar dan belum ternjda, dan aku merasa sudah pada tempatnya jika aku mercmui orang dan benda yang kutemui pada permulaan hidupku. Hulai saat itu aku akan hidup. Tapi anehnya, segala macam fikiran sial menumpukkan kekuatan dalam diriku dari hari kc hari dan aku merasa bahwa setiap saat aku bisa dihinjungi maut. Aku hanya berdoa supaya maut menghindari aku sampai aku sempat membakar Kuil Kencana, Aku boleh dikatakan tak pernah sakit dan kini aku tidak memperlihatkan tanda-tanda orang sakit. Tapi aku merest makin lama makin kuat setiap hari, dan pcngendalian segala macam keadaan yang memungkinkan aku hidup terletak di atas bahuku /sendiri; hanya aku yang harus memikul beban tanggung jawab untuk melanjutkan hidup. Sehari sebelumnya, waktu aku lagi menyapu, aku mclukai jariku dengan serpihan bambu dari sapuku. Bahkan luka kecil itu sudah cukup untuk membuat aku resah, Aku ingat 279 penyair yang kematiannya disebabkan oleh duri mawar yang menusuk jarinya. Orang-orang biasa di sekitarku tidac akan pernah mati karena sebab itu. Tapi .aku telah rnenjadi seseorang yang berharga, hingga kita tidak bisa tahu kenatian seperti apa yang mungkin tersedia untukku. Untunglah jariku tidak bernanah, dan hari itu waktu jari itu kutekat aku hanya merasa sakit sedikit. Tidak perlu kukatakan bahwa aku sudah melakukan persiap-an pencegahan sebelum aku pergi ke Gobancho. Sehari sebelumnya aku pergi ke sebuah toko obat di bagian kota yang agak jauh dan tidak mengenalku, lalu membeli sebuigkus kondom. Selaput berpupur " barang ini betul-betul mempu-nyai warna yang tidak sehat dan tak bertenaga. Waktu malam kukeluarkan sebuah, lalu kucoba. Kala kemalmnku berdiri, di tengah-tengah benda lain dalam kamarku " lutisan Budhis yang kugores-gores dengan krayon merah, kaleider Perhimpunan Turis Kyoto, surat-surat Budhis untuk dirakai di biara-biara Zen yang kebetulan terkembang tepat dergan ayat-ayat Bucho-Sonsho, kaus-kaus kotorku, tikar pandan yang robek " ia kelihatan seperti sebuah bayangan Budha yang tidak menyolok, licin, kelabu, tak punya mata Jan hidung. Bentuknya yang tidak menyenangkan mengingatkan aku pada tindakan keagamaan yang mengerikan dan yang dikenal sebagai "menyunat kemaluan", yang sekarang ini hanya ada dalam catatan-catatan tertentu yang diturunkan dari masa lampau. Aku memasuki sebuah jalan samping yang diterangi dengan sebarisan tanglung. Lebih dari seratus rumah yang terdapat di jalan itu dibangun dengan gaya yang sama. Kata orang jika seorang buronan yang melarikan diri dari kejaran undang-undang menyerahkan diri pada centeng yang menguasai daerah itu, maka ia bisa disembunyikan dengan mudah. Rupa-rupanyif 280 jika centeng itu menekan sebuah tombol, maka sebuah lonceng akan berbunyi di setiap rumah pelacuran hingga penjahat itu bisa tahu bahwa polisi datang. Setiap rumah memiliki sebuah jendela kisi-kisi gelap di samping pintu masuk dan masing-masing terdiri dari dua tingkat. Atap genteng tua dan berat yang menjulur jauh di bawah bulan yang pengap memiliki ketinggian yang sama. Di setiap pintu masuk terdapat thai biru tua dengan aksara Nishijin yang ditulis dengan cat putih, sedangkan di belakang-nya dapat kita lihat germo perempuan tempat pelacuran masing-masing yang mengenakan penutup rok putih dan membungkuk ke depan untuk melihat siapa yang lewat.
Aku sama sekali tidak merasa senang. Aku merasa seolah-olah susunan keadaan yang biasa telah meninggalkan aku, seolah-olah aku terpisah dari orang banyak dan tinggal sendiri; dan kini rupa-rupanya aku lagi menyeret kakiku yang letih melalui daerah kesepian yang tiada tara. Nafsu yang berdiam dalam diriku berjongkok sambil berpeluk lutut dan memperlihatkan padaku punggungnya yang masam. Sung-guhpun begitu aku merasa berkewajiban untuk menghabiskan uang itu di sini. Aku akan belanjakan semua uang yang kuterima untuk uang kuliahku, dan dengan demikian memberikan kepada Pendeta Kepala cukup alasan yang bisa diterima untuk mengusir aku dari kuil. Aku sama sekah tidak sadar bahwa dalam pemikiran itu terdapat suatu kontradiksi yang menarik; sebab kalau ini alasanku yang sebenarnya, maka itu berarti bahwa aku sayang kepada Pendeta Kepala itu. Rupanya masih pagi sekali bagi orang banyak untuk mengunjungi Gobancho. Pendeknya di jalan sedikit sekali orang kelihatan. Bakiakku menggema dengan jernih dalam udara malam. Suara tunggal nada germo-germo yang menyeru orang yang sekali-sekali lewat seolah-olah merangkak menembvt* udara musim hujan yang basah dan tergantung rendah. Jari kakiku menjepit lidah-lidah bakiakku yang agak longgar dengan kuat. Beginilah fikiranku. Di antara sekian banyak lampu yang kulihat dari puncak Gunung Fudo pada malam waktu perang berakhir, rupa-rupanya aku juga sudah melihat lampu jalan ini. Di tempat, ke mana kakiku kini melangkah, Uiko tentu sudah menunggu. Di salah sebuah persimpangan jalan kulihat sebuah tempat bernama Otaki. Aku memilih tempat ini tanpa alasan lalu masuk meliwati tirai biru. Tiba-tiba aku berada di sebuah rumah dengan lantai ubin. Di ujung kamar duduk tiga orang gadis. Mereka kelihatan seolah-olah sedang duduk dengan bosan menunggu kereta. Salah seorang dari mereka memakai kimono dan lehernya diperban. Yang dua lainnya mengenakan pakaian Barat. Seorang gadis membungkuk; ia menurunkan kaus kakinya dan asyik nienggaruk betisnya. Uiko sedang keluar. Kenyataan bahwa dia tidak ada membuat aku merasa lega. Gadis yang lagi menggaruk kaki mengangkat kepalanya bagai seekor anjing yang bam dipanggil. Bedak yang putih dan tebal, dan gincu merah melekat pada mukanya yang tembam, tampak jelas dan kasar yang biasa kita lihat pada gambar yang disebut anak-anak. Tapi, dan ini adalah suatu hal yang aneh dikatakan, ia memandang padaku dengan air muka yang betul-betul beritikad baik. Sama dengan pandangan yang kita berikan pada sesama manusia yang kita temui di sebuah sudut jalan. Matanya sama sekali tidak mengenali nafsu yang berada dalam diriku. Karena Uiko tidak ada, maka tidak jadi soal gadis mana yang kuambil. Aku masih diganggu oleh takhyul bahwa setiap pilihan atau harapan yang kuperlihatkan akan berakhir dengan kegagalan. Seperti gadis-gadis itu juga tidak bisa 282 memilih langganannya, maka bagiku juga lebih baik untuk tidak memilih gadisku. Aku harus pasti bahwa pengertian keindahan yang mengerikan, yang membuat orang jadi tidak berdaya untuk bertindak, tidak sampai mempengaruhi aku dan maksudku. "Kau mau gadis yang mana?" tanya germo perempuan itu. Aku menunjuk pada gadis yang lagi menggaruk kaki. Rasa gatal yang terdapat di kaki gadis itu " mungkin rasa gatal bekas gigitan nyamuk yang beterbangan di lantai " adalah ikatan yang menghubungkan aku dengan gadis itu. Berkat kegatalannya, dia berhak kemudian untuk bertindak sebagai saksi kalau orang menyelidiki apa yang sudah kulakukan. Gadis itu berdiri lalu mendekati aku. Kulihat bibirnya berobah menjadi sebuah senyuman. Waktu aku menaiki tangga tua dan suram menuju tingkat kedua aku ingat kembali pada Uiko. Aku menukirkan bagaimana ia keluar pada jaman ini, dari dunia yang berwujud dalam jam ini. Karena dia sudah pergi dari tempat ini, aku pasti tidak akan bisa menemuinya biar di mana pun kucari. Rupa-rupanya Uiko telah pergi dari dunia kita ini untuk mandi atau hal seperti itu. Tatkala Uiko masih hidup, aku merasa bahwa dia bisa keluar-masuk dunia ganda seperti ini dengan bebas. Bahkan waktu peristiwa yang menyedihkan itu, waktu ia kelihatan seolah-olah menolak dunia, ia sekali lagi menerimanya. Barangkali buat Uiko kematian tidak lebih dari suatu kejadian sementara. Darah yang ia tinggalkan di beranda Kuil Kongo barangkali merupakan suatu macam bubuk peninggalan sayap seekor kupu-kupu jika kita pagi hari membuka jendela dan ia terbang dengan seketika. Di tengah-tengah tingkat kedua sebuah langkan terbuka tempat angin dari halaman bertiup ke dalam; seutas tali 283 jemuran (erentang dari sebuah talang ke (aJang yang lain dan di sana rergantung sehelai petikot merah, beberapa helai pakaian dalam wanita dan sehelai gaun tidur. Had gelap sekali dan garis-garis gaun malam yang tidak begitu jelas itu kelihatan bagai sosok tubuh manusia. Seorang gadis lagi bemyanyi di dalam sebuah kamar. Nyanyian gadis itu mengaiir dengan lembut; kadang-kadang ditingkah oleh suara laki-hki yang sumbang. Lalu gadis itu tiba-tiba ketawa, seolah-olah ada tali yang putus. "Itu Harako,"kata gadis yang menemam'ku sambil berpaling pada germo itu. "Selalu begitu," kata germo itu, "selalu." Kemudian ia menghadapkan punggungnya dengan jengkel ke kamar itu. Aku dibawa ke sebuah kamar yang tidak menarik sama sekali. Semacam rak menggantikan lekuk dinding yang biasanya ada, dan di atasnya orang dengan cara yang semberono telah meletakkan sebuah patung dewa keuntungan Hotei dan patung seekor kucing yang lagi memberi isyarat. Sebuah pengumuman dengan berbagai peraturan yang terperinci terlekat pada dinding. Di sana juga ada sebuah kalender tergantung. Kamar itu diterangi oleh sebuah bola lampu yang guram. Melalui jendela terbuka kita kadang-kadang bisa mendengar bunyi langkah orang lewat yang mengelana sepanjang jalan mencari kenikmatan. Perempuan germo itu bertanya kepadaku apa aku mau tinggal beberapa waktu saja atau satu malam. Ongkos untuk kunjungan singkat empat ratus yen. Aku memesan sedikit sake dan biskuit beras. Perempuan itu turun untuk mengambii pesananku, tapi gadis itu masih belum juga datang. Baru setelah perempuan itu kembali membawa sake dan menyuruh gadis itu duduk di dekatku, barulah ia duduk bersama aku di atas tikar pandan. Kini setelah ia kuperhatikan baik-baik, 284 kulihat bibir atasnya digosok begitu rupa hingga jadi merah sedikit. Rupa-rupanya gadis itu punya kebiasaan menghabiskan waktu dengan menggosok dan menggaruk, bukan saja kakinya tapi juga seluruh tubuhnya. Lalu aku mengira bahwa warna merah sedikit itu mungkin corengan yang disebabkan gincu merah yang tebal. Kuharap orang jangan heran kalau aku mengamati segala-galanya dengan teliti. Lagipula, ini adalah kunjunganku yang pertama ke sebuah rumah pelacuran dan aku ingin sekali menemui bukti kenikmatan dalam setiap benda yang berbenturan dengan penglihatanku. Semua kulihat jelas sekali sebagai sebuah etsa; setiap bagian kecil ditempelkan dengan segala kejelasan dengan jarak yang tetap di hadapan mataku. "Aku pernah ketemu Tuan sebelum ini, 'kan Tuan?" kata gadis itu, yang memperkenalkan dirinya dengan nama Mariko. "Bagiku ini kali pertama."
"Betul" Ini kali pertama kau datang ke rumah seperti ini?" "Ya, kali pertama." "Mungkin sekali. Karena itu tanganmu gemetar." Baru setelah ia berkata begitu, aku sadar, bahwa tanganku yang memegang mangkuk sake menggigil sejadi-jadinya. "Kalau betul begitu, Mariko," kata germo perempuan itu, "maka kau malam ini beruntung sekali." "Coba saja kita lihat nanti, apa itu betul apa tidak," kata Mariko sambil lalu. Dalam caranya berkata tidak terasa sama sekali keberahian sedikit pun juga, dan aku melihat bahwa ruh Mariko lagi bermain-main di suatu tempat yang tidak ada hubungannya dengan tubuhku atau tubuhnya, bagai seorang anak yang dipisahkan dari kawannya bermain. Mariko mengenakan blus hijau muda dan rok kuning. Aku melihat tangannya, lalu kulihat bahwa hanya ibu jarinya yang dicat merah. Barangkali ia telah meminjam sedikit 285 cat kuku pada salah seorang kawannya -dan mencat kuku ibu jarinya karena sekadar iseng. Kami masuk kamar tidur. Mariko meletakkan sebelah kakinya di atas kasur, yang terkembang di atas tikar pandan, lalu menarik tali panjang yang tergantung di samping kerudung lampu. Warna cerah selimut katun cetak timbul dengan jelas sekali dalam sinar lampu listrik. Sebuah boneka Perancis terletak dalam lekuk dinding yang bagus. Aku menanggalkan pakaianku dengan cara yang kikuk. Mariko menyelimutkan sehelai burdah dari handuk berwarna merah jambu di atas bahunya lalu menanggalkan pakaiannya di bawah burdah itu dengan cekatan sekah. Dekat tempat tidur itu ada sebuah kendi berisi air, lalu aku minum beberapa gelas. Mariko yang lagi memunggung mendengar bunyi air. "Kau peminum air rupanya," katanya tertawa. Waktu kami sudah berbaring berhadapan ia menyentuh puncak hidungku sedikit lalu berkata: "Apa betul buatmu ini kali yang pertama?" Dia ketawa. Bahkan dalam cahaya suram lampu tidur aku tidak mehipa-kan untuk memandang. Karena melihat adalah satu bukti bahwa aku ada. Lagipula, ini adalah kali pertama aku melihat mata orang lain begitu dekat padaku. Hukum jarak yang menguasai duniaku telah hancur. Seorang asing telah melanggar perwujudanku dengan lancang. Kehangatan tubuh seorang asing dan minyak wangi murahan yang ada di kulitnya bersatu untuk merendam aku setahap demi setahap hingga akhirnya aku tenggelam sama sekali. Untuk pertama kali aku melihat bagaimana dunia orang lain bisa lumer seperti ini. Aku diperlakukan sebagai leiaki yang menjadi bagian dari suatu kesatuan universil. Aku tidak pernah mengira bahwa orang akan memperlakukan aku seperti itu. Setelah aku menanggalkan pakaianku, masih banyak lapisan yang duepas-kan dari diriku " kegagapanku ditanggalkan, dan juga ke-burukan mukaku dan kemiskinanku. Malam itu aku betul-betul telah merasakan kepuasan lahiriah, tapi aku tidak bisa percaya bahwa akulah yang menikmati kepuasan itu. Di kejauhan suatu perasaan yang sampai saat ini menjauhi diriku membersit dan lalu runtuh. Aku memisahkan badanku dari badan gadis itu lalu meletakkan daguku di atas bantal. Sebelah kepalaku nanar rasanya karena dingin lalu kuketuk-ketuk sedikit dengan kepalanku. Aku tiba-tiba dihinggapi perasaan seolah-olah semuanya meninggalkan aku. Tapi tidak cukup kuat untuk membuat aku menangis. Setelah selesai, kami berbaring berdampingan beicakap-cakap. Secara samar-samar aku mendengar gadis itu bercerita bagaimana ia hanyut ke mari dari Nagoya. Tapi fikiranku seluruhnya tertuju ke Kuil Kencana. Fikiran ini sebetulnya tidak lebih dari renungan abstrak mengenai kuil itu, beda sekali dari fikiran-fikiranku yang lembam dan sensuil yang biasa. "Kau ke mari lagi, 'kan?" kata Mariko. Dari kata-katanya aku merasa bahwa ia pasti lebih tua beberapa tahun dari aku. Ya, ia lebih tua dari aku. Buah dadanya langsung berada di hadapanku, basah karena keringat. Buah dada itu hanya daging, dan tidak akan pernah mengalami proses aneh hingga menjadi Kuil Kencana. Dengan malu-malu ia kusentuh dengan ujung jariku. "Kukira ini asing bagimu," kata Mariko. Lalu ia duduk, dan sambil memandang nanap pada salah sebuah buah dadanya, buah dada itu ia goyang-goyangkan sedikit seakan-akan ia lagi bermain dengan seekor hewan kecil. Goyangan lembut tubuhnya mengingatkan aku pada matahari malam di Teluk Maizuru. Cara matahari berobah dengan cepat dalam fikiranku 287 seakan-akan berpadu dengan kecepatan perobahan daging gadis itu. Fikiran itu menyenangkan hatiku, seperti matahari senja yang telah berkubur dalam awan yang berlapis-lapis. Daging menggetar yang ada di hadapanku tidak lama lagi akan terbaring jauh dalam kuburan malam yang gelap. *** Keesokan harinya aku mengunjungi tempat yang sama dan menanyakan gadis yang sama. Ini bukan karena sisa uangku masih banyak. Pengalaman itu, waktu aku mengalaminya untuk pertama kali terasa sangat miskin dibandingkan dengan kehangatan yang kubayangkan, dan bagiku terasa perlu untuk mencobanya sekali lagi membawanya sedikit lebih dekat pada kehangatan yang kubayangkan.'Salah satu hal yang membedakan aku dari orang lain ialah bahwa semua perbuatan yang kulakukan dalam kehidupanku yang sebenarnya cenderung berakhir sebagai tiruan yang teliti daripada yang ada dalam bayanganku. Atau, lebih tepat, bukan yang ada dalam bayang-anku tapi kenangan pada sumber fikiranku sendiri. Aku tidak pernah bisa melupakan perasaan setiap pengalaman yang mungkin kunikmati dalam hidupku, sesudah pernah mengalami sebelumnya dalam bentuk yang lebih cemerlang. Bahkan dalam soal tindakan badaniah seperti ini, aku merasa bahwa dulu di suatu tempat, yang aku tidak bisa ingat lagi - mungkin dengan Uiko - aku pernah kenal suatu bentuk kenikmatan nafsu berahi yang lebih garang, suatu keberanian yang membuat seluruh badanku terasa tumpul. Inilah yang merupakan sumber dari semua kenikmatanku kemudian, dan kenikmatan-kenikmatan itu tidak lebih dari sekadar menyeduk segenggam air dalam masa lampau. Aku betul-betul merasa bahwa dulu belum selang berapa 288 lama aku pernah menyaksikan di suatu tempat kecemerlangan matahari tenggelam yang tiada tara. Apa salahku, kalau matahari-matahari tenggelam yang kulihat sesudah itu selalu kelihatan lebih pudar" Kemarin gadis itu telah memperlakukan aku seolah-olah aku langganan biasa dan karena itu dalam kunjunganku hari ini aku membawa sebuah buku dalam kantongku. Buku ini adalah bagian dari suatu koleksi yang baru kubeli beberapa hari yang lalu di sebuah toko buku bekas. Buku itu adalah Kejahatan dan Hukuman karangan Bequaria. Buku karangan ahli hukum kriminil Italia abad kedelapan belas ini ternyata semacam pesta makan table d'hole yang terdiri dari patokan-patokan untuk pencerahan dan iasionalisme, dan buku itu kukesampingkan setelah kubaca beberapa halaman. Tapi aku mengira, mungkin gadis itu menaruh perhatian pada judulnya. Mariko menyambut aku dengan senyuman yang sama seperti kemarin. Senyumannya masih sama "seperti kemarin", sama sekali tidak meninggalkan bekas. Keramahannya terhadap-ku adalah keramahan yang kita perlihatkan pada seorang asing yang kebetulan kita lihat di sudut jalan. Mungkin karena tubuh gadis ini sendiri laik sebuah sudut jalan. Aku duduk bersama Mariko dan germo itu dalam sebuah kamar yang kecil. Kami minum sake dan aku cukup mahii dalam mempertukarkan mangkok sakeku sesuai dengan adat kebiasaan lama. "Kau memutar mangkok itu dengan baik sekali waktu kau menyerahkannya pada temanmu," kata wanita itu. "Kau mungkin masih muda tapi kau tahu betul adat-istiadat!" "Tapi kalau kau setiap hari ke mari," tambah Mariko, "apa Pendeta Kepalamu tidak akan memarahi kau?" Jadi rupanya mereka tahu siapa aku, kataku dalam hati; 289 mereka tahu bahwa aku dari sebuah kuil. "Jangan kira aku tidak tahu!" kata Mariko waktu ia melihat aku heran. "Semua anak muda kini punya rambut panjang seperti gaya Zaman Perwalian. Jika ada orang beram-but pendek seperti rambutmu, kita bisa tahu bahwa dia pasti dari salah satu kuil. Di rumah-rumah seperti kami, semua tahu tentang mereka. Karena ke marilah biasanya para pendeta termasyhur waktu mereka masih muda. Bagaimana kalau kita nyanyi?" Lalu tiba-tiba Mariko menyanyikan sebuah lagu populer tentang pelbagai kesibukan perempuan daerah pelabuhan. Lalu kami masuk ke kamar tidur. Aku berhasil melakukan segalanya dengan lancar dan mudah dalam keadaan yang kini sudah kukenal. Kali ini aku betul-betul merasa menikmati sekilas kenikmatan; tapi bukan macam kenikmatan yang kubayangkan, tapi sekadar kepuasan perasaan karena aku sudah berhasil menyesuaikan diri pada kenikmatan syahwat. Setelah selesai, Mariko memberi aku nasihat yang menyen-tuh perasaan, yang mengungkapkan kenyataan bahwa ia lebih tua dari aku. Selama beberapa saat nasihat ini membuat badanku terasa dingin. "Kukira engkau lebih baik jika tidak terlalu sering datang ke tempat seperti ini," kata Mariko. "Kau seorang yang sungguh-sungguh. Aku yakin. Kau jangan sampai dikuasai oleh hal-hal seperti ini. Kau harus pergunakan semua ihtiar untuk pekerjaanmu. Itu lebih baik untukmu. Tentu saja aku senang kalau kau ke mari. Tapi kau mengerti 'kan, kenapa aku bicara seperti ini padamu" Kau kurasakan seperti adikku sendiri." Mariko rupa-rupanya telah mempelajari percakapan ini dari sebuah kisah dalam salah satu majalah murahan wanita. Kata-katanya tidak diucapkan dengan kedalaman perasaan 290 tertentu. Mariko sekadar menyalin sebuah kisah kecil, dengan mempergunakan aku sebagai bahan dan berharap aku akan memasuki suasana perasaan yang ia ciptakan. Yang paling sempuma ditinjau dari sudut penglihatannya ialah kalau aku sampai mengucurkan air mata. Tapi hal itu tidak kulakukan. Sebaliknya, aku merenggutkan kitab Kejahatan dan Hukuman dari samping tempat tidur lalu kusodorkan ke bawah hidungnya. Dengan patuh Mariko membuka lembaran-lembaran buku itu. Sesudah itu tanpa berkata apa-apa buku itu ia letakkan kembali ke tempatnya yang tadi. Buku itu sudah hilang dari ingatannya. Aku hanya menginginkan supaya Mariko sedikit merasakan suatu firasat karena nasib telah menunjuk dia untuk ketemu denganku. Aku ingin supaya ia sedikit lebih mendekati kesadaran bahwa ia sudah mengulurkan tangan dalam kehancuran dunia. Sebab bagaimanapun juga, ini bukanlah hal yang tidak penting bagi gadis seperti dia. Aku kehilangan kesabaran lalu memikirkan sesuatu yang mestinya tidak kuucapkan: "Sebulan lagi " sebulan lagi mulai saat ini, koran akan penuh berita tentang diriku. Ingatlah padaku jika hal itu terjadi." Jantungku berdebar keras begitu aku selesai bicara. Tapi Mariko tertawa terbahak-bahak. Ia ketawa begitu keras hingga buah dadanya tergoncang-goncang; lalu ia mengeiling padaku dan berusaha menahan diri dengan menggigit lengan bajunya, tapi sekali lagi ketawanya meledak hingga seluruh tubuhnya tergoncang-goncang. Aku yakin, Mariko sendiri tidak akan bisa menjelaskan kenapa ia begitu senang. Ia melihat air mukaku lalu berhenti ketawa. "Apa yang lucu?" tanyaku. Pertanyaan itu pertanyaan yang bodoh. "Kau betul-betul seorang pembohong. Oh, lucu sekali. 291 Kau betul-betul pembohong!" "Aku tidak membohong." "Oh, sudahlah!" kata Mariko lalu tertawa kembali terbahak-bahak. "Aku bisa mati ketawa, kau mau membunuh aku! Semuanya bohong. Dan selama itu wajahmu tidak berobah sama sekali." Aku memandang padanya sambil tertawa. Barangkali yang membuat dia ketawa semata-mata karena aku gagap yang dengan cara aneh sekali mengemukakan ucapan tegas tentang masa depan. Pokoknya dia tidak percaya pada apa yang kukatakan. Mariko tidak punya kepercayaan. Biarpun di hadapannya terjadi gempa bumi, dia tidak akan percaya. Jika seluruh dunia ini kiamat. maka mungkin hanya gadis ini yang selamat. Karena Mariko hanya percaya pada hal-hal yang terjadi sesuai dengan logika pribadinya. Logika ini tidak punya tempat untuk kehancuran dunia dan karena itu tidak ada yang bisa memberikan kesempatan pada Mariko untuk memikirkan itu. Dalam hal ini ia serupa dengan Kashiwagi. Mariko adalah Kashiwagi perempuan, seorang Kashiwagi yang tidak berfikir. Setelah percakapan itu selesai, Mariko duduk di tempat tidur dengan dada telanjang, Jalu mulai 'jlersenandung. Se-nandungnya itu berpadu dengan dengung seekor lalat yang terbang sekeliling kepalanya. Setelah beberapa saat lalat itu hinggap di atas salah sebuah buah dadanya. "Oh, geli!" katanya, tapi ia tidak berusaha mengusir lalat its. Begitu hinggap di atas dadanya, lalat itu tinggal menempel di sana. Anehnya, Mariko rupanya sama sekali tidak keberatan untuk dibelai seperti ini oleh seekor lalat. Aku dapat mendengar bunyi hujan di talang. Kedengaran- 292 nya seolah-olah hanya di tempat itu sajalah hujan turun. Dalam pendengaranku hujan itu seolah-olah membatu karena ketakutan, seolah-olah telah mengelana ke bagian kota ini lalu kehilangan jalan sama sekali. Bunyi hujan itu terputus dari malam yang luas, seperti halnya aku; bunyi itu adalah bunyi yang merupakan bagian dari suatu dunia yang sudah terbatas, bagai dunia kecil yang diterangi cahaya guram lampu tidur. Karena lalat senang pada pembusukan, apa Mariko sudah mulai membusuk" Apa ketiadaan keyakinan gadis itu berarti pembusukan" Apa karena ia mendiami dunia mSiknya sendiri maka lalat itu datang mengunjungi dia" Bagiku sulit untuk dimengerti. Lalu kulihat Mariko tiba-tiba tertidur. Ia terbaring bagai mayat dan di atas kebulatan buah dadanya, yang diterangi lampu tidur, lalat itu juga tidak bergerak-gerak dan rupanya juga ikut pulas. Aku tidak pernah kembali lagi ke Otaki. Aku telah menyelesai-kan apa yang harus kuselesaikan. Sekarang tinggal Pendeta Kepala itu mengetahui bagaimana aku menghabiskan uang kuliahku dan cara mengusir aku dari kuil. Sungguhpun begitu, aku sama sekali tidak memberikan tanda-tanda pada Pendeta Kepala tentang apa yang kulakukan dengan uang itu. Aku tidak perlu mengungkapkannya padanya; Pendeta Kepala harus melakukan penyelidikan sendiri untuk kepentinganku tanpa mengharapkan suatu pengakuan dari fihakku. Sulit sekali bagiku untuk menjelaskan pada diriku sendiri, kenapa aku sampai begitu mengandalkan kekuatan Pendeta 293 Kepala. Buat apa aku meminjam kekuatannya" Kenapa aku harus menggantungkan keputusan terakhirku pada pengusiran diriku oleh Pendeta Kepala" Karena, seperti telah kukatakan, aku sudah lama sadar bahwa pada pokoknya Pendeta Kepala tidak punya daya sama sekali. Beberapa hari setelah kunjunganku yang kedua ke rumah pelacuran itu, aku berkesempatan untuk mengamati segi khusus sifat Pendeta Kepala. Pagi sekali, sebelum halaman dibuka, Pendeta Kepala berjalan-jalan sekeliling kuil. Perbuatan itu adalah perbuatan yang tidak biasa ia lakukan. la bertemu denganku dan pendeta-pendeta muda lainnya yang lagi sibuk menyapu, lalu ia mengatakan sesuatu untuk mengucapkan terima kasih atas pekerjaan kami. Dengan mengenakan jubah putihnya yang sejuk ia berjalan menuju jenjang batu yang menuju Yukatei. Rupa-rupanya ia ingin duduk sendiri di sana sambil menuang teh dan menjernihkan fikirannya. Langit memperlihatkan tanda-tanda kenaikan matahari yang garang. Di sana-sini awan yang masih membayangkan sinar merah berarak depan latar belakang biru. Seolah-olah awan-awan itu belum bisa mengatasi ketersipu-sipuannya. Setelah kami selesai menyapu, maka anggota kelompok yang lain kembali ke gedung utama. Hanya aku yang menyusuri jalan yang melewati Yukatei menuju belakang Perpustakaan Besar. Aku bertugas menyapu halaman di belakang perpustakaan. Aku mengambil sapuku lalu menaiki tangga yang dibatasi pagar bambu. Tangga itu menuju suatu tempat dekat rumah minuman teh Yukatei. Pepohonan masih basah karena hujan yang turun sampai tadi malam. Cahaya pagi memantul pada titik-titik embun dan banyak membacaki semak-semak yang ada di sekitarnya dan kelihatannya buah-buah merah di sana mulai tumbuh di luar musim yang sebenarnya. Jaringan Jaba-laba yang merentang dari tetesan embun yang satu 294 ke tetesan embun lainnya juga berwarna agak merah dan tampak bergetar. Semuanya kupandangi, dan aku dipenuhi oleh semacam rasa heran kalau kufikirkan bagaimana benda-benda di atas bumi ini dapat memantulkan warna-warna langit dengan begitu peka. Bahkan kebasahan hujan yang menyelubungi seluruh perkampungan kuil ini memperoleh rupa dari langit yang di atas. Semuanya basah, seolah-olah menerima hmpahan rakhmat dari langit dan memancarkan bau perpaduan antara pembusukan dan kesegaran. Karena benda-benda di atas bumi ini tidak tahu cara menolak apa pun jua. Di sebelah Anjungan Yukatei terdapat Menara Bintang Utara yang termaslnkr, yang namanya berasal dari sebuah bait: "Bintang Utara menunggu di sini lalu semua bintang yang berjuta-juta jumlahnya memberikan bantuan." Menara Bintang Utara yang ada sekarang, bukanlah menara yang tegak di sini waktu Yoshimitsu memegang kekuasaan. Menara ini dibangun kembali kira-kira seratus tahun yang lalu dengan bentuk bulat yang disengaja untuk sebuah rumah minuman teh. Karena Pendeta Kepala tidak kelihatan di Yukatei, maka ia tentu berada di Menara Bintang Utara. Aku tidak niau berhadapan sendiri dengan Pendeta Kepala. Aku berjalan diam-diam sepanjang pagar sambil membungkuk-kan badan supaya tidak kelihatan dari seberang. Menara Bintang Utara terbuka. Dalam lekuk dinding kulihat kertas gulungan Maruyama Okyu seperti biasa. Lekuk itu juga berisi patung Budha kecil yang diciptakan dengan halus sekali, terbuat dari kayu cendana, yang kini sudah jadi hitam selama seratus tahun semenjak dibawa dari India. Di sebelah kiri kulihat rak yang terbuat dari kayu murbei dengan gaya Rikyu; aku juga melihat lukisan pada pintu geser. Semua di sana seperti yang sudah kukira, kecuali 295 kehadiran Pendeta Kepala. Secara tak sadar aku menjulurkan kepala ke atas pagar, lalu melihat sekeliling. Di bagian ruangan yang gelap dekat sebuah tiang kulihat sesuatu mirip bungkusan putih besar. Tatkala kuperhatikan dengan lebih baik, ternyata Pendeta Kepala. Jubah putihnya membungkuk sejauh mungkin ke depan dan dia merokok duduk dengan kepala di antaia kedua lututnya, sedangkan mukanya tertutup oleh lengan bajunya yang panjang. Pendeta Kepala tidak merobah duduknya. Ia diam membatu. Tapi aku yang tegak di sana dan memperhatikannya, dihinggapi oleh gelombang perasaan yang berobah-obah. Mula-mula kukira Pendeta Kepala tiba-tiba sakit dan lagi mengalami serangan semacam penyakit sawan. Mestinya aku segera mendekati dia lalu menawarkan ban tuan. Tapi begitu mat itu datang, maka sesuatu menahanku. Aku tidak merasa sayang sedikit pun jua pada Pendeta Kepala, dan tidak lama lagi aku akan melaksanakan niatku untuk membakar Kuil Kencana. Menawarkan bantuan dalam keadaan seperti itu sama dengan kemunafikan semata. Di samping itu, mungkin saja, jika dia kutolong, maka aku bisa jadi sasaran rasa terima kasih dan cintanya,hingga tekadku bisa menjadi lemah. Setelah Pendeta Kepala kuperhatikan baik-baik, ternyata ia tidak sakit. Apa yang menimpa dia, sosoknya yang berada dalam keadaan merungkuk di rumah teh kecil itu sama sekah tidak memiliki keangkuhan dan keagungan. fa memberikan kesan hina, laik sikap seekor hewan yang sedang tidur. Aku melihat lengan bajunya bergoyang sedikit. Suatu be ban yang berat yang tak kelihatan oleh mata seolah-olah menekan punggungnya. Apa kiranya - beban yang tak kelihatan itu" Apa penderitaan" Atau Pendeta Kepala itu sadar bahwa ia sebetulnya tidak berdaya" Setelah aku terbiasa dengan keheningan itu, aku mendengar Pendeta Kepala membaca sesuatu dengan suara perlahan sekali.
Kedengarannya bagai sebuah sutra, tapi aku tidak bisa mengenalinya. Tiba-tiba aku beroleh fikiran yang menghancur-kan harga diriku " kemungkinan Pendeta Kepala memiliki suatu kehidupan kejiwaan yang gelap dan tidak kami ketahui sama sekali, dan bahwa kejahatan-kejahatan, dosa-dosa kecil dan kelalaian yang kuihtiarkan, jika dibandingkan dengan kehidupannya itu, tidak berarti sama sekali. Lalu aku tahu. Sikap merungkuk Pendeta Kepala serupa sekali dengan "menunggu taman", yaitu, bila seorang pendeta pengembara ditolak memasuki sebuah kuil dan kemudian duduk sepanjang hari dekat pintu masuk dengan kepala tertunduk. Sekiranya seorang pejabat agama yang berkeduduk-an setinggi Pendeta Kepala betul-betul meniru disiplin ke-agamaan yang dijalankan oleh seorang pendeta pengelana yang baru datang, maka pasti ia memiliki kerendahan hati yang luar biasa sekali. Tapi kepada siapa kerendahan hatinya ini diarahkan" Seperti kerendahan hati daun-daun rumput, ujung-ujung daun pepohonan, embun yang menempel di jaring laba-laba yang ditujukan pada cahaya pagi yang terdapat di langit, begitu juga barangkali Pjhdeta Kepala mengarahkan kerendahan hatinya pada kejahatan dan penyelewengan sejati dunia ini yang tidak menjadi bagian dari dirinya; barangkali ia lagi membiarkan hal-hal ini membayang secara wajar pada dirinya, pada waktu ia duduk merungkuk seperti binatang itu. Tapi tidak, kerendahanC'hatinya tidak diarahkan pada kekuatan scmesta seperti itu. Aku tiba-tiba melihat, untuk akulah kerendahan hati itu ia pamerkan. Pasti sudah. Ia tahu bahwa aku akan melewati tempat itu,lalu ia mengambil sikap ini untuk diperlihatkan padaku. Pendeta Kepala telah melihat dengan jelas bahwa ia betul-betul tidak berdaya dan akhirnya ia mempergunakan cara yang fantastis dan ironis ini untuk menasihati aku, untuk merobek-robek hatiku secara diam-diam, untuk menimbulkan rasa kasihan dalam diriku, untuk membuat aku berlutut untuk berdoa. Sementara aku memperhatikan Pendeta Kepala, aku duduk merungkuk dalam sikap yang kuanggap sebagai sikap kerendahan diri, aku nyaris dihinggapi oleh emosi. Biarpun aku berusaha untuk melawannya dengan segala kekuatanku, nyata-nya aku sudah berada di ambang penyerahan pada rasa sayang yang tertuju kepadanya. Tapi aku in gat, bahwa sikap ini sengaja ia ambil untukku membalikkan semuanya dan membuat hatiku lebih keras dari sebelumnya. Pada saat itulah aku memutuskan untuk menjalankan terus rencanaku tanpa tergantung pada keadaan persyaratan, seperti rnisalnya dnisirnya aku oleh Pendeta Kepala. Ia dan aku telah menjadi penduduk dua dunia dan tidak lagi saling mempengaruhi Aku bebas dari semua kungkungan. Kini aku dapat melaksanakan keputusanku dengan cara dan pada saat yang kusenangi, tanpa mengharapkan sesuatu dari kekuatan luar. Cahaya pagi lenyap dari langit; pada saat yang sama awan berkumpul lalu cahaya matahari yang terang mengun-durkan diri dari Menara Bintang Utara. Pendeta Kepala masih di sana dalam sikap merungkuk. Aku buru-buru -meninggalkan tempat itu. "** Pada tanggal 25 Juni Perang Korea pun pecah. Ramalanku bahwa dunia ini akan rusak dan hancur ternyata benar. Aku harus buru-buru. 298 Bab Sepuluh PADA hari setelah kunjunganku ke Gobancho aku sudah melakukan suatu percobaan. Aku mencabut beberapa batang paku, yang panjangnya lebih kurang dua inci, dari pintu kayu di belakang Kuil Kencana. Di tingkat bawah Kuil Kencana ada dua buah jalan masuk ke Hosui-in. Keduanya adalah pintu lipat, yang satu arah ke timur dan yang satu lagi arah ke barat. Penunjuk jalan tua itu biasanya setiap malam naik ke Kuil Kencana. Mula-mula ia mengunci pintu barat dari dalam, dan sesudah itu ia menutup pintu timur dari luar, lalu dikuncinya. Tapi aku tahu, aku bisa masuk Kuil Kencana tanpa kunci. Karena di belakang ada sebuah pintu kayu tua yang tidak lagi dipakai. Pintu ini bisa diangkat dengan mudah dari atas kalau dari bawahnya kita cabut kira-kira selusin paku. Paku-paku itu longgar dan mereka bisa dicabut dengan jari. Karena itu sebagai percobaan aku sudah mencabut beberapa buah paku. Paku-paku itu kubungkus dalam sepotongkertas, lalu kutempatkan baik-baik di bagian belakang laciku. Beberapa hari berlalu. Rupa-rupanya tidak ada orang yang tahu. Satu minggu lewat. Masih juga tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang yang melihat paku-paku itu tidak ada lagi. Pada malam tanggal dua puluh delapan aku diam-diam memasuki kuil itu lalu mengembalikan paku-paku itu ke tempatnya semula. 299 Pada hari aku melihat Pendeta Kepala duduk merungkuk di rumah tempat minum teh dan akhirnya memutuskan Ibahwa aku tidak mau tergantung pada kekuatan orang lain, aku telah pergi ke sebuah toko obat dekat Pos Polisi Nishijin, di Chimoto Imaidegawa, lalu membeli arsenikum. Mula-mula padaku diberikan sebuah botol kecil yang isinya tidak mungkin lebih dari tiga puluh pil. Aku minta botol yang lebih besar dan akhirnya membayar seratus yen untuk botol berisi seratus pil. Lalu aku pergi ke tukang besi di sebelah selatan pos polisi itu dan membeli sebilah pisau kantong yang matanya empat inci panjangnya. Seluruhnya bersama kotaknya berharga sembilan puluh yen. Aku berjalan pulang-balik di depan Pos Polisi Nishijin. Hari sudah malam dan sebagian jendela-jendelanya diterangi lampu. Aku melihat seorang ditektif polisi berjalan tergopoh-gopoh menuju gedung itu. Ia mengenakan kemeja kerah terbuka dan membawa sebuah tas. Tidak ada orang yang menghiraukan aku. Tidak ada orang yang menghiraukan aku selama dua puluh tahun yang lewat dan dalam keadaan sekarang hal ini tentu akan berlangsung terus. Dalam keadaan sekarang aku masih merupakan orang yang tidak penting. Di negeri Jepang ada berjuta, berpuluh juta orang, yang disimpan di pqjok-pojok dan tidak dihiraukan sama sekali. Aku masih tergolong pada barisan mereka. Dunia sama sekali tidak perduli apa orang-orang ini hidup atau mati dan oleh karena itu pada diri mereka ada sesuatu yang meyakinkan. Karena itu ditektif polisi itu merasa yakin hingga tidak merasa perlu untuk memperhatikan aku. Cahaya lampu yang merah dan berasap menerangi batu tanda Pos Polisi Nishijin. Aksara jin sudah jatuh tapi tidak ada yang berusaha mengganti-nya. Dalam perjalananku pulang ke kuil aku berfikir tentang apa yang sudah kubeli malam itu. Belanjaanku itu mengasyik- kan sekali. Biarpun racun dan pisau itu kubeli dan aku harus mati, aku begitu senang dengan pembelian itu, hingga aku bertanya-tanya dalam hati apa bukan begini perasaan seseorang yang baru membeli sebuah rumah baru dan lagi membuat rencana untuk hidup masa depannya. Bahkan setelah sampai ke kuil aku tidak bosan-bosannya mematuti kedua milikku itu. Pisau kantong itu kukeluarkan dari kotaknya lalu matanya kujilat. Besinya segera berkabut dan rasa sejuk bening yang kurasakan pada lidahku diikuti oleh suatu rasa yang rada-rada manis. Kemanisan ini terbayang secara samar-samar pada lidahku dari dalam besi itu, dari dalam hakikat besi itu yang tidak bisa dijamah. Kejernihan bentuk, kecemerlangan besi laik warna nila laut yang dalam " merekalah yang membawa kemanisan jernih yang bergelung dengan aman sekeliling ujung lidahku bersama dengan air ludahku. Akhirnya rasa manis itu meninggalkan aku. Dengan rasa bahagia kubayangkan hari saat tubuhku akan diracuni oleh ledakan kemanisan itu. Langit kematian terang dan kelihatan olehku bagai langit kehidupan. Semua fikiranku yang murung telah meninggalkan aku. Dunia ini kini sudah bebas dari keperihan. *** Sehabis perang di Kuil Kencana telah dipasang sebuah lonceng tanda kebakaran model terakhir. Lonceng itu direncanakan begitu rupa, hingga jika suhu dalam kuil itu mencapai titik tertentu, maka lonceng itu akan berbunyi di gang gedung tempat kami tinggal. Pada malam tanggal dua puluh sembilan Juni lonceng itu rusak. Yang menemukan kerusakan itu si penunjuk jalan tua. Waktu itu aku kebetulan berada di 301 dapur dan mendengar orang tua itu melaporkan kejadian tersebut ke kantor Pengetua. Aku seolah-olah mendengarkan dorongan yang datang dari langit. Tapi keesokan harinya Pengetua menilpon pabrik yang telah memasang pesawat tersebut dan minta supaya mereka mengirimkan seorang montir. Penunjuk jalan yang baik hati itu sengaja memberi tahu aku tentang perkembangan ini. Aku menggigit bibir. Tadi malam adalah kesempatan terbaik untuk melaksanakan keputusanku dan aku telah gagal. Malam had ketika montir itu datang, kami semua berdiri sekelilingnya menonton dia bekerja. Perbaikan itu memerlukan waktu lama. Orang itu memiringkan kepalanya ke satu sisi dengan sikap putus asa yang samar-samar, lalu penontonnya mulai pergi seorang demi seorang. Akhirnya aku juga pergi. Kini aku harus menunggu perbaikan itu selesai dan lonceng itu akan berbunyi keras di seluruh kuil jika montir itu mencobanya. Aku menunggu. Malam mendorongkan dirinya ke atas Kuil Kencana bagai pasang naik, dan aku bisa melihat lampu kecil montir itu padam-timbul dalam gedung yang gelap ito. Tiada bunyi lonceng kedengaran. Montir itu menyerah lalu berkata bahwa besok ia akan kembali untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Tapi, ia tidak menepati janji, dan tidak datang pada tangga] satu Juli. Pemimpin kuil tidak merasa perlu memburu-buru montir itu menyelesaikan pekerjaannya. Pada tanggal tiga puluh Juni aku sekah lagi pergi ke Cnimoto Imaidegawa untuk membeli rod manis dan biskuit kacang kedelai. Karena kami tidak diberi makanan apa-apa antara waktu makan yang satu dan yang lain, aku sekali-sekah datang ke sana untuk membeli sedikit juadah dengan uang kantongku yang cuma sedikit itu. Tapi pembelianku pada tanggal tiga puluh itu tidak di- 302 sebabkan oleh rasa lapar. Juga bukan untuk menelan arsenikum maka roti itu kubeli. Kalau aku harus memberikan alasan juga, mengapa aku membeli roti itu, maka alasannya adalah kegelisahanku. Hubungan antara aku dan kantong kertas yang kupegang dengan tanganku! Hubungan antara perbuatan sem-purna dan terpisah yang tak lama lagi akan kulakukan dengan roti buruk dalam kantongku itu! Matahari merembes keluar dari langit yang penuh awan dan menyelubungi rumah-rumah tua sepanjang jalan itu bagai kabut panas. Keringat mulai mengucur di punggungku seakan-akan ada seuntai benang dingin lagi ditarik di atasnya. Aku lelah sekali. Hubungan antara aku dan roti manis! Apa hubungan itu" Kukira jika waktunya datang dan aku lagi berhadapan muka dengan perbuatan itu, semangatku akan diikat oleh ketegangan dan pemusatan fikiran saat itu, tapi perutku, yang masih tetap tinggal dalam keadaan terpisah, masih akan minta jaminan tentang perpisahan ini. Aku merasa seolah-olah alat dalam tubuhku tidak ubahnya bagai anjing yang buruk yang tidak bisa dilatih dengan baik. Aku tahu. Aku tahu biar bagaimana hidup pun semangatku, perutku dan ususku - bagian-bagian badan yang bodoh dan dungu " akan mende-sak untuk memperoleh apa yang mereka inginkan dan mulai melamunkan suatu lamunan konyol kehidupan sehari-hari. Aku tahu perutku akan melamun. Ia akan melamun tentang roti manis dan biskuit kacang kedelai. Sementara hatiku melamun tentang permata, perutku akan melamun dengan tengkar tentang roti manis dan biskuit kacang. Pokoknya, makananku ini akan memberikan kunci yang kuat jika orang mulai menyiksa otak dengan menanyakan sebab kejahatanku. "Orang malang itu lapar," demikian orang akan berkata. "Bisa dimengerti!" Lalu datanglah saatnya. Satu Juli tahun 1950. Seperti telah kukatakan, tidak ada kemungkinan lonceng tanda kebakaran itu bisa diperbaiki hari itu. Hal itu ditegaskan pada pukul enam senja. Penunjuk jalan tua itu sekali lagi menilpon pabrik, lalu minta supaya mereka menyelesaikan perbaikan. Montir itu menjawab, bahwa sayang sekali ia terlalu sibuk dan tidak bisa datang malam itu. Tapi besok pekerjaan itu pasti ia selesaikan. Di waktu siang ada kira-kira seratus pengunjung yang datang mengunjungi kuil itu, tapi karena gerbang ditutup pukul setengah tujuh, ombak manusia itu mulai surut. Waktu penunjuk jalan tua itu selesai menilpon, ia berdiri di pintu dapur lalu memandang dengan nanar ke lapangan kecil di luar kuil. Ia sudah menyelesaikan pekerjaannya hari itu. Gerimis turun. Semenjak pagi sudah beberapa kali turun hujan. Juga angin bertiup sepoi-poi basah dan untuk suatu musim panas hari tidak begitu menyesakkan. Aku melihat bunga pohon labu bertebaran di sana-sini di lapangan dalam hujan. Kacang kedelai yang ditanam bulan yang lalu, telah mulai tumbuh di sepanjang tanah pinggiran yang hitam berkilat di seberang ladang. Jika penunjuk jalan itu berfikir, biasanya ia merapatkan gigi palsunya yang tidak begitu baik pasangannya, hingga berdetak. Setiap hari ia memberikan penerangan yang sama kepada pengunjung-pengunjung.kuil, tapi karena gigi palsunya, maka makin lama makin sulit untuk memahaminya. Ia sama sekali tidak memperdulikan usul supaya ia memperbaiki giginya. Orang tua itu menggerutu sambil menatap ke kebun. Ia diam sebentar lalu aku mendengar giginya berbunyi. Ia mulai menggerutu lagi. Rupa-rupanya ia menggerutu karena pekerjaan memperbaiki lonceng tanda kebakaran itu lambat sekali. Waktu aku mendengarkan gerutunya yang tak bisa ditangkap itu, aku merasa ia seolah-olah mengatakan bahwa sekarang perbaikan sudah terlambat " baik untuk giginya, maupun untuk lonceng tanda kebakaran itu.
*** Malam itu Pendeta Kepala mendapat tamu yang bukan tamu biasa. Tamu itu Bapa Kuwai Zenkai, kepala Kuil Ryuho, di Propinsi Fukui, kawan lamanya semasa belajar di biara. Karena Bapa Zenkai adalah sahabat Pendeta Kepala, maka ia tentu juga bersahabat dengan Ayah. Pendeta Kepala sedang keluar waktu Bapa Zenkai datang. Orang menilpon dan menyampaikan bahwa ia kedatangan tamu; ia mengatakan akan kembali dalam waktu satu jam. Bapa Zenkai datang ke Kyoto untuk menginap satu atau dua hari di kuil kami. Aku ingat bagaimana senangnya Ayah membicarakan pendeta ini dan aku tahu bahwa Ayah sangat hormat kepadanya. Baik lahirnya maupun sifatnya, ia jantan sekali dan dapat dianggap sebagai contoh perawakan kekar seorang pendeta Zen. Tingginya hampir enam kaki, kulitnya hitam dan alisnya tebal. Suaranya seperti guntur. Waktu salah seorang sesama calon pendeta mengabarkan padaku bahwa Bapa Zenkai ingin bercakap-cakap dengan aku sebelum Pendeta Kepala pulang, aku agak ragu. Aku takut mata pendeta yang jernih dan terang itu akan mengetahui rencanaku, yang kini sudah mendekati pelaksanaan. Kutemui dia sedang duduk bersila di ruang tamu besar gedung utama. Ia sedang minum sake yang telah disediakan oleh Pengetua dan lagi menghadapi penganan dan sayur-sayuran. Seorang temanku telah menanyai - dia sampai aku datang. Tapi aku segera nienggantikannya dan duduk dengan sopan di hadapan pendeta itu, lalu mulai menuangkan sake untuknya. Aku duduk membelakangi kegelapan hujan yang tak bersuara. Karena itu Bapa Zenkai menghadapi dua peman-dangan suram " kebun yang gelap yang basah karena musim hujan dan wajahku. Tapi dia bukanlah orang yang merasa terganggu oleh ini atau oleh apa pun jua. "Kau mirip ayahmu." "Kau betul-betul sudah besar." "Sayang sekali ayahmu sudah meninggal!" Bapa Zenkai menriiliki kebersahajaan yang asing bagi Pendeta Kepala dan kekuatan yang tak pernah dimiliki Ayah. Wajahnya terbakar, lobang hidungnya besar sekali, lipatan kulit sekeliling alis matanya yang tebal melendung, hingga wajahnya seolah-olah dibentuk menurut topeng-topeng Obeshimi yang dipergunakan oleh jin-jin dalam sandiwara No. Raut mukanya jelas tidak teratur. Bapa Zenkai terlalu banyak memiliki kekuatan batin. Kekuatan ini tampak karena dengan senang hati dan secara keseluruhan menghancurkan setiap keteraturan yang mungkin hadir di situ. Tulang pipinya menjorok, bagai gunung-gunung tinggi dan runcing yang sering dilukiskan oleh seniman-seniman Cina dari Mazhab Selatan. Tapi dalam suara pendeta yang mengguntur itu ada suatu kelembutan yang menggema dalam hatiku. Kelembutan ini bukan kelembutan biasa, tapi kelembutan akar sebatang pohon besar yang tumbuh di luar kampung dan memberikan keteduhan kepada para musafir. Kelembutannya bagi perasaan. Selama kami bicara, aku selalu harus waspada. Kalau tidak, maka malam ini, dari semua malam, kebulatan tekadku mungkin kuungkapkan karena tersentuh oleh kelembutan ini. Aku curiga, jangan-jangan Pendeta Kepala telah minta Bapa Zenkai datang untuk kepentinganku, tapi aku sadar, bahwa tidak mungkin dia disuruh datang dari tempat sejauh Propinsi Fukui hanya karena aku. Tidak, pendeta ini tidak lebih dari tamu khusus, yang kebetulan akan jadi saksi suatu kehancuran yang luar biasa. Botol sake dari tembikar putih itu bisa berisi lebih dari setengah botol besar, tapi Bapa Zenkai telah mengosong-kannya. Aku minta diri dengan membungkuk, lalu pergi ke dapur untuk mengambil botol lain. Setelah. aku kembali dengan sake yang dihangatkan, aku merasa dihinggapi oleh satu perasaan yang belum pernah kukenal sebelumnya. Keinginan untuk dimengerti oleh orang lain sampai saat itu belum pernah merupakan keinginan bagiku, tapi kini aku ingin supaya hanya Bapa Zenkai memahami aku. Ia tentu melihat, waktu aku berlutut kembali dan menuangkan sake di depannya " mata bercahaya karena suatu kejujuran yang sebelumnya itu tidak pernah ada. "Bagaimana pendapat Bapa tentang diri saya?" tanyaku. "Hm, menurut aku kau kelihatannya seorang mahasiswa yang sungguh-sungguh. Tentu saja aku tidak tahu kenakalan apa yang kaulakukan di samping itu. Tapi aku lupa. Sekarang tidak lagi seperti dulu, 'kan" Kukira, kalian anak-anak muda, kini tidak akan punya cukup duit untuk mengerjakan yang tidak-tidak. Waktu ayahmu dan aku dan Pendeta Kepala masih muda, macam-macam kenakalan yang kami lakukan." "Apa saya kelihatan sebagai mahasiswa biasa?" tanyaku. "Ya," jawab Bapa Zenkai, "dan itu yang paling baik. Kelihatan biasa itu paling baik. Orang tidak curiga pada kita." Bapa Zenkai bebas dari kekenesan. Pejabat-pejabat tinggi agama yang selalu diminta pendapatnya mengenai segala hal, mulai dari sifat manusia sampai ke lukisan dan barang antik, cenderung berbuat kesalahan karena tidak memberikan 307 pendapat yang positif tentang apa saja, karena takut diketawa-kan orang nanti kalau pendapat itu salah. Di samping itu tentu saja ada macam pendeta Zen yang segera mengemukakan pendapatnya yang akhir tentang segala macam hal yang diperdebatkan. Tapi pendapat ini akan mereka rumuskan begitu hati-hatj hingga ia bisa mempunyai dua arti yang saling bertentangan. Bapa Zenkai tidak seperti itu. Aku sadar sekali bahwa ia mengatakan apa yang dia lihat dan apa yang dia rasa. Ia tidak berusaha untuk mencari-cari arti khusus dari hal-hal yang terbayang di matanya yang kuat dan murni. Baginya tidak menjadi soal apa ada arti atau tidak. Tapi yang membuat Bapa Zenkai di atas segala-galanya begitu besar dalam pandanganku, ialah jika ia memandang pada suatu barang " padaku misalnya " ia tidak berusaha untuk memaksakan individualitasnya dengan jalan melihat sesuatu yang tidak bisa dilfliat orang lain kecuali dm, tapi ia melihat benda itu seperti orang lain melihatnya. Dunia nyata itu sendiri tidak punya arti bagi pendeta ini. Aku maklum apa yang dia maksud, lalu aku mulai merasa tenang. Selama aku kelihatan biasa oleh orang lain, aku betul-betul biasa, bagaimana aneh pun perbuatan yang kulakukan, kebiasaan ini akan tetap tinggal, bagai beras yang sudah ditampi- Tanpa usaha yang sadar, aku akhirnya menggambarkan diriku sebagai sebatang pohon yang berbulu lebat dan tenang, yang ditanam di hadapan Bapa Zenkai. "Apa baik, Bapa," kataku, "jika kita bertindak sesuai dengan pola yang diharapkan orang pada kita?" "Hal itu tidak selalu mudah. Tapi kalau kita mulai bertingkah janggal, maka orang akan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa bagi kita. Mereka pelupa sekali." "Pribadi seperti apa yang paling langgeng?" tanyaku. "Pribadi yang kubayangkan atau pribadi menurut kepercayaan orang yang patut saya miliki?" "Kedua-duanya pada satu saat akan beTakhir. Biar bagai-manapun kita meyakinkan diri kita bahwa pribadi kita adalah yang paling langgeng, pada suatu saat ia akan berakhir. Selama kereta berjalan penumpang diam. Tapi begitu kereta berhenti, penumpang harus mulai berjalan dari titik itu. Beriari ada akhirnya, tapi beristirahat juga ada akhirnya. Kematian kelihatan seperti istirahat yang paling akhir, tapi kita tidak tahu berapa lama ia akan berlangsung." "Tolong lihat ke dalam diriku, Bapa," kataku akhirnya. "Aku bukanlah orang seperti yang Bapa kira. Tolong lihat ke dalam hatiku." Pendeta itu mengangkat mangkuk kemulutnya,lalu mena-tap aku dengan sungguh-sungguh. Keheningan menekan aku bagai atap kuil yang besar, hitam dan basah oleh hujan itu. Aku menggigil. Lalu Bapa Zenkai bicara dengan suara ketawa yang jelas sekali: "Tidak ada gunanya melihat ke dalam dirimu. Semua yang bisa dilihat terbayang pada wajahmu." Aku merasa bahwa aku sudah dimengerti selengkap-lengkap-nya sampai ke lekuk-lekuk diriku yang paling dalam. Untuk pertama kali aku merasa diriku kosong. Laik air yang masuk ke dalam kekosongan ini, demikian dalam diriku membersit tekad baru untuk melaksanakan apa yang mau kulakukan. *** Pendeta Kepala kembali ke kuil. Hari sudah pukul sembilan. Seperti biasa, sebuah kelompok yang terdiri dari empat orang mulai melakukan pemeriksaan untuk malam itu. Tidak ada yang luar biasa. Pendeta Kepala lagi minum sake dengan 309 Bapa Zenkai. Kira-kira pukul setengah satu salah seorang murid datang untuk mengantarkan tamu itu ke kamar tidur. Lalu Pendeta Kepala - mandi " atau "masuk air" seperti disebut di kuil " dan tepat pukul satu dinihari, tatkala malam mulai berakhir, kuil itu sudah tenang sama sekali. Di luar hujan turun terus. Kasurku terkembang di lantai. Aku duduk sendiri memper-hatikan malam yang telah bertengger ke atas kuil. Makin lama malam makin tebal dan berat. Tiang-tiang besar dan pintu kayu kamar kecil tempat aku duduk yang menupang malam tua itu kelihatan sederhana. Dalam mulutku aku menggigil diam-diam. Seperti biasa, sebuah kata muncul di bibirku, hingga aku jengkel; tak ubahnya seperti kita mencari sesuatu dengan sia-sia dalam sebuah kantong dan sebaliknya terus menemui barang-barang lain yang tidak kita perlukan. Keberatan dan kekentalan dunia batinku hampir-hampir menyerupai malam itu dan kata-kataku berderak muncul ke permukaan seperti ember yang berat ditarik dari sumur di tengah malam. Tidak akan lama lagi, kataku dalam hati; aku harus sabar beberapa saat lagi. Kunci berkarat yang membuka pintu antara dunia mar dan dunia dalamku akan berputar dengan mudah dalam lobang kunci. Duniaku akan segar karena angin dapat bertiup bebas antaranya dan dunia luar. Ember sumur itu akan naik, sambil berbuai sedikit dalam angin, dan semuanya akan terbuka di hadapan ku dalam bentuk sebuah padang luas dan kamar rahasia itu akan hancur . . . Kini ia telah ada di depan mataku dan -tangan ku sebentar lagi akan kuulurkan untuk menjangkaunya . . . Hatiku penuh bahagia waktu aku duduk di sana dalam kegelapan selama lebih kurang satu jam. Rasanya belum pernah aku sebahagia itu dalam seluruh hidupku. Tiba-tiba aku bangkit dari kegelapan. Diam-diam aku menyelinap ke belakang perpustakaan lalu mengenakan terompah jerami yang sebelum itu sudah kusediakan di sana. Lalu aku berjalan dalam hujan menyusuri parit di belakang kuil menuju bengkel kerja. Dalam bengkel kerja itu tidak ada papan, tapi lantainya penuh dengan serbuk gergaji yang berbau apek karena hujan. Bau apek serbuk gergaji itu mengelana tanpa daya di seluruh, tempat itu. Bengkel kerja itu juga dipergunakan untuk menyimpan jerami. Sekali beli biasanya empat puluh ikat jerami, tapi malam itu hanya tinggal tiga ikat, sisa dari pembelian ter akhir. Ketiga ikat jerami itu kuangkat, lalu aku kembali menyusuri pinggir kebun. Semua diam di dapur. Aku berjalan melewati tepi gedung, lalu sampai ke belakang tempat tinggal para Pengetua. Tiba-tiba lampu menyala di kamar kecil. Aku merungkuk. Aku mendengar orang mendehem di kakus. Kedengarannya seperti Pengetua. Sesudah itu aku mendengar dia buang air. Pekerjaannya itu seolah-olah tidak ada akhirnya. Aku khawatir jerami itu akan basah kena hujan, karena itu sambil merungkuk dekat gedung itu ia kuhmdungi dengan dadaku. Bau yang datang dari kakus makin keras karena hujan dan kini ia bertengger berat di atas setumpak pakis. Bunyi air di kakus berhenti lalu aku mendengar bunyi tubuh orang menubruk dinding kayu. Rupa-rupanya Pengetua itu belum bangun betul dan tegaknya belum kukuh. Lampu di jendela itu mati. Ketiga ikat jerami itu kuambil lalu aku berjalan menuju belakang perpustakaan. Kekayaanku hanya terdiri dari sebuah keianjang anyaman tempat inilik pribadiku kusimpan, dan sebuah kopor kecil tua. Aku bermaksud untuk membakai semua itu. Tadi 3tt aku sudah membungkus buku-bukuku, pakaianku, jubahku, dan barang-barang tetek-bengek lain dalam kedua tempat ini- Semoga orang akan melihat bahwa aku teliti sekali dalam segala hal. Barang-barang seperti tongkat kelambu yang akan membuat ingar kalau kubawa dan juga barang-barang yang tidak bisa terbakar seperti tempat abu rokok, mangkok dan tempat tintaku, yang bisa jadi bukti perbuatanku, kumasukkan dalam bantal lunak dan kemudian kubungkus dengan kain. Barang-barang ini kupisahkan dari barang-barang-ku yang lain. Selain itu, aku harus membakar sebuah kasur dan dua selimut teba). Semua barang-barang besar ini ku-pindahkan sepotong-sepotong ke belakang perpustakaan lalu kuunggukkan di atas tanah. Aku pergi ke Kuil; Kencana untuk melepaskan pintu belakang yang sudah kuceritakan sebelumnya. Paku itu tercabut satu demi satu dengan mudah seolah-olah mereka tertancap dalam segumpal tanah lunak. Pintu yang lepas itu kudukung dengan seluruh badanku dan permukaan kayu busuk yang basah mengembang dan bergeser lembut dengan pipiku. Pintu tidak seberat kukira. Setelah pintu itu kulepaskan, kuletakkan di atas tanah di samping gedung. Kini aku dapat memandang ke bagian dalam Kuil Kencana. Di dalam sesak karena gelap. Pintu itu lebamya hanya cukup untuk dimasuki orang dengan jalan miring. Aku merendam tubuhku ke dalam kegelapan Kuil Kencana. Lalu sebentuk wajah yang aneh muncul di hadapanku hingga aku gemetar karena takut. Karena aku memegang kayu geretan yang dinyalakan mukaku terbayang di lemari kaca yang berisi model kuil itu. Saat itu bukanlah saat yang tepat untuk kegiatan seperti itu, tapi aku berhenti dan memandang nanap ke Kuil Kencana kecil yang ada di dalam kotak itu. Kuil kecil ini 312 diterangi oleh cahaya bulan kayu geretanku. Bayang-bayangnya mengerdip-ngerdip dan rangka kayunya yang halus merungkuk di sana dengan gelisah. Tapi tidak lama kemudian ia ditelan oleh kegelapan. Geretanku habis terbakar. Anehnya, nyala merah yang terdapat di ujung kayu geretan itu membuat aku bingung, lalu kayu geretan itu kuinjak-injak sampai mati seperti yang dilakukan mahasiswa yang pernah kulihat di Kuil Myoshin. Lalu kunyalakan geretan satu lagi. Aku lewat di depan ruang sutra dan patung tiga Budha, lalu sampai ke tempat kotak persembahan. Kotak itu memiliki sejumlah kisi-kisi, dan di antara kisi-kisi itu dapat dimasukkan mata uang. Dan kini karena cahaya geretanku berkelap-kelip dalam gelap, bayang-bayang kisi-kisi ini beriak bagai gelombang. Dalam kotak persembahan itu terdapat sebuah patung Shikaga Yoshimitsu, yang sudah dianggap monumen nasional. Patung dengan sikap duduk itu mengenakan jubah pendeta yang kedua lengannya melebar; sebuah tongkat berada dalam tangannya. Mata pada kepala yang kecil dan dicukur licin itu terbuka luas dan lehemya tenggelam dalam lengan longgar jubah itu. Mata patung itu berkilat-kilat kena cahaya geretanku, tapi aku tidak takut. Patung kecil Yoshimitsu ini memang buruk sekah. Biarpun ia sendiri dikeramatkan di sudut gedung yang ia bangun sendiri, tapi rupanya ia sudah lama kehilangan hak milik dan pengawasannya. Aku membuka pintu barat yang menuju ke Sosei. Seperti sudah kukatakan, pintu itu adalah pintu lipat yang dapat dibuka dari dalam. Langit malam penuh hujan lebih cerah daripada di dalam Kuil Kencana. Dengan bunyi berderik yang tertahan-tahan pintu basah itu membiarkan tiupan udara malam biru tua yang penuh angin. Mata Yoshimitsu, kataku dalam hati waktu aku beriari ke luar pintu itu menuju belakang perpustakaan. Mata Yoshimitsu. Semuanya akan dikerjakan di hadapan mata itu. Di hadapan mata seorang saksi yang tak bisa melihat dan sudah mati. Waktu aku beriari terdengar sesuatu yang berbunyi dalam kantongku. Yang berbunyi itu kotak geretanku. Aku berhenti lalu menyelipkan setangan kertas di bawah tutup kotak itu. Tindakan ini menghentikan bunyi itu. Dari kantong yang lain tidak ada suara kedengaran. Di sana botol arsenikum dan pisau kantongku terbungkus setangan dengan baik. Roti manis dan biskuit kacang tentu juga tidak memperdengarkan suara, juga bungkus rokok yang berada dalam kantong bajuku yang berlengan pendek. Lalu aku mulai melakukan pekerjaan mekanis. Aku memerlukan perjalanan empat kali untuk memindahkan semua barang yang tadi kutumpuk di luar perpustakaan ke depan patung Yosrrimitsu dalam Kuil Kencana. Mula-mula kubawa kasur dan kelambu yang tongkatnya telah ditanggalkan. Sesudah itu kujemput kedua selimut tebal itu. Kemudian kopor dan keranjang, lalu ketiga ikat jerami. Semuanya kutumpuk secara tidak teratur. Jerami itu kuletakkan di antara kelambu dan kasur. Kelambu rupa-rupanya mudah sekali terbakar, karena itu kukembangkan di atas semua barangku. Akhirnya aku kembali ke belakang perpustakaan untuk menjemput bungkusan yang berisi pelbagai barang yang susah terbakar. Kali ini bebanku kubawa ke pinggir kolam di sebelah timur Kuil Kencana. Dari situ aku dapat melihat Karang Yohaku di hadapanku. Aku berdiri di bawah setumpuk pohon pinus dan hampir dapat melindungi diriku dari hujan. Pantulan langit malam memberikan keputihan yang guram pada permukaan kolam itu. Ganggang yang tebal membuatnya 314 seperti daratan keras dan hanya berkat celah-celah antara tutup yang tebal itu kita bisa mengetahui bahwa di bawahnya ada air. Di tempat aku berdiri hujan turun tidak cukup deras untuk membuat riak. Kolam itu menguap dalam hujan dan kelihatan seolah-olah terkembang sampai ke mana-mana tanpa batas. Udara. penuh dengan kelembaban. Aku memungut sebuah kerikil lalu menjatuhkannya ke dalam air. Terdengar bunyi "cemplung" yang keras sehingga udara sekitarku seolah retak. Selama sesaat aku merungkuk dalam gelap, diam, dengan harapan akan dapat meniadakan keributan yang kuciptakan sendiri dengan keheninganku itu. Aku memasukkan tanganku ke dalam air, lalu ganggang yang ngilu-ngilu kuku bergantungan di jariku. Mula-mula kuluncurkan tongkat kelambu ke dalam air dari jariku yang basah. Sudah itu kuserahkan tempat abu rokokku ke dalam kolam itu, seolah-olah mau kucuci. Dengan cara yang sama kujatuhkan mangkok dan tempat tintaku. Dengan demikian masuklah semua barang yang hams dibuang ke dalam air. Yang tinggal di sampingku hanya bantal dan kain yang kupergunakan untuk membungkus barang-barang itu. Tidak ada lagi yang harus kukerjakan kecuali membawa kedua barang itu ke depan patung Yoshimitsu dan sesudahnya membakar kuil itu. Rasa lapar yang kurasakan secara tiba-tiba terlalu sesuai dengan apa yang sudah kuperkirakan, hingga aku bukannya merasa puas, tapi malahan merasa sudah dikhianati. Aku masih membawa roti manis dan biskuit kacang yang sudah mulai kumakan kemarin. Aku menyekakan tanganku yang basah pada pinggir baju kausku yang berlengan pendek, lalu mulai makan makanan itu dengan lahap. Aku sama sekali tidak sadar akan rasanya. Perutku berteriak minta makan dan tidak perduli sama sekah soal rasa. Untunglah 315 aku masih bisa memusatkan flkiranku untuk memasukkan roti manis itu buru-buru ke dalam mulutku. Jantungku berdebar. Setelah makanan itu selesai kutelan, maka kusodok sedikit air dari kolam, kuminum. Aku sudah berada di ambang pintu tugasku. Aku sudah menyelesaikan semua persiapan untuk tugas itu dan kini aku berdiri di ujung persiapan itu dan tak perlu mengerjakan apa-apa lagi selain menerjunkan diri ke dalam tindakan itu. Dengan sedikit usaha aku akan- bisa melaksanakan pekerjaan itu. Aku sesaat pun tidak membayangkan bahwa sebuah jurang yang cukup lebar dan dapat menelan seluruh kehidupanku kini menganga di antara aku dan apa yang hendak kulakukan. Pada saat itu aku memandang nanap pada Kuil Kencana untuk mengucapkan selamat tinggal terakhir. Kuil itu kelihatan guram dalam kegelapan malam yang berhujamffu dan garis-garisnya tidak begitu jelas. Ia berdiri di dalam kehitaman seolah-olah merupakan kristalisasi malam itu sendiri. Jika kupaksa mataku, maka aku dapat melihat Kukyocho, tingkat atas kuil, di mana seluruh bangunan itu tiba-tiba jadi sempit, dan juga hutan tiang-tiang ramping yang mengelilingi Choondo dan Hosui-in. Tapi segala bagian kecil kuil itu yang selama ini begitu mengharukan aku, sudah lumer dalam kegelapan yang rata. Tapi, tatkala kenanganku tentang keindahan makin lama makin hidup, kegelapan ini mulai menyediakan diri untuk jadi latar belakang di depan mataku sehingga dapat mencipta-kan penglihatanku semauku. Seluruh pengertianku tentang keindahan tersembunyi dalam bentuk yang murung dan merungkuk ini. Berkat kekuatan ingatan, berbagai detik keindahan mulai berkilauan satu demi satu keluar dari kegelapan yang melingkupi; kilauan itu makin lama makin 316 meluas sampai seluruh kuil itu timbul di hadapanku dalam cahaya waktu yang aneh, yang tidak merupakan siang maupun malam. Belum pernah Kuil Kencana memperlihatkan diri padaku dalam bentuk yang begitu sempurna, belum pernah aku melihat bagian-bagiannya yang terkecil berkilauan seperti ini. Seolah-olah aku dianugerahi penglihatan seorang buta. Cahaya yang memancar dari kuil itu sendiri membuat gedung itu jadi bening, dan sambil berdiri di pinggir kolam aku dapat meiihat dengan jelas sekali lukisan bidadari pada atap bagian dalam Choondo dan sisa-sisa lapisan emas di dinding Kukyocho. Bagian dalam Kuil Kencana yang halus mulai berpadu akrab dengan bagian lainnya. Karena mataku dapat melingkupi keseluruhannya, aku dapat melihat bangunan kuil itu dan garis besar polanya yang jelas. Aku dapat melihat pengulangan-pengulangan yang sangat teliti sekali dan dekorasi setiap bagian di mana pola itu dituangkan ke dalam bentuk. Aku melihat hasil kontras dan simetri. Kedua tingkat yang lebih bawah, Hosui-in dan Choondo mempunyai lebar yang sama dan biarpun antara keduanya terdapat sedikit perbedaan, mereka dilindungi oleh talang yang lebar; tingkat yang satu bertupang ke atas kawannya, sehingga mereka kelihatan bagai sepasang mimpi yang punya hubungan erat, atau bagai kenangan pada dua kenikmatan yang sama dan pernah kita nikmati di masa lampau. Tingkat kembar ini dimahkotai oleh tingkat ketiga, Kukyocho, yang melonjong secara tiba-tiba. Di atas, di puncak atap yang ditutupi sirap, burung funiks tembaga yang disepuh emas itu menghadap malam yang panjang dan kelam. Bahkan ini belum bisa memuaskan arsiteknya. Di sebelah barat Hosui-in ia tambahkan Sosei kecil, yang menjulur dari kuil itu bagai sebuah anjungan tergantung. Ia seolah-olah mengerahkan semua kekuatan keindahannya untuk memecah- 317 kan simetri gedung itu. Peranan Sosei dalam keseluruhan arsitektur ialah untuk mengadakan perlawanan metafisik. Biarpun ia tidak menjorok jauh sekali dari kolam, kelihatannya ia seolah-olah lari untuk selama-lamanya dari pusat Kuil Kencana. Sosei itu tak ubahnya seekor burung yang membu-bung pergi meninggalkan bangunan gedung itu, laik seekor burung yang beberapa saat sebelumnya telah mengembangkan sayapnya dan kini menyelamatkan diri ke permukaan kolam, ke arah semua yang bersifat duniawi. Gunanya Sosei itu adalah untuk mengadakan jembatan yang menghubungkan tata yang menguasai dunia dan hal-hal seperti nafsu syahwat, yang betul-betul merupakan kekacauan. Ya, itulah. Ruh Kuil Kencana ini mulai dengan Sosei yang menyerupai sebuah jembatan yang terputus separuh jalan; lalu ia membentuk sebuah menara tiga tingkat; lalu sekali lagi ia lari dari jembatan itu. Karena kekuasaan nafsu berahi yang hebat sekali, yang terbayang pada permukaan kolam ini, adalah sumber kekuatan tersembunyi yang telah membangun Kuil Kencana; tapi setelah kekuatan ini ditertibkan dan menara bertingkat tiga itu terbentuk, ia tak sanggup lama untuk bermukim di sana dan baginya tak ada jalan lain kecuali menyelamatkan diri mengikuti Sosei kembali ke permukaan kolam, kembali kerlap-kerlip nafsu berahi, pulang ke kampung halamannya. Di masa lampau, setiap kali aku memperhatikan kabut pagi atau kabut senja yang mengelana di atas kolam itu, aku dirasuki oleh fikiran ini " fikiran, bahwa ini adalah permukiman kekuatan syahwat yang tak tepermanai, yang aslinya telah membangun Kuil Kencana. Dan keindahan menyatakan pergulatan dan pertentangan dan ketidakserasian di setiap bagian gedung ini " selanjutnya, keindahanlah yang menguasai mereka semua! Kuil Kencana ini dibangun dengan bubuk emas di kala malam yang panjang 318 dan gelap, sama seperti sutra yang dengan cermat diukirkan dengan bubuk emas ke dalam halaman biro tua sebuah buku. Tapi aku tidak tahu, apa keindahan di satu fihak sama dengan Kuil Kencana itu sendiri, atau sebaliknya berpadu hakikat dengan malam kehampaan yang mengelilingi kuil itu. Mungkin sekali keindahan adalah kedua-duanya. Ia bagian-bagian tersendiri tapi sekaligus juga seluruh bangunan, ia Kuil Kencana dan sekaligus malam yang melilitkan diri pada Kuil Kencana itu. Setelah mengingat ini, maka aku merasa bahwa rahasia keindahan Kuil Kencana yang di masa lalu begitu menyiksa aku, kini sudah mendekati pemecahannya. Jika diteliti keindahan setiap bagian kecil masing-masing " tiang-tiangnya, terali, kisi-kisi, pintu berbingkai, jendela berukir, atau berbentuk kerucut " Hosui-in, Choondo, Kukyocho, Sosei " bayang-bayang kuil -di atas kolam, pulau-pulau kecil, pohon-pohon pinus, ya, bahkan tempat menambatkan perahu kuil " keindahan tidak pernah lengkap dalam bagian-bagian kecil yang mana pun jua; karena setiap bagian meramalkan keindahan bagian berikutnya. Keindahan masing-masing bagian selalu diisi dengan rasa kegamangan. Ia merindukan kesempur-naan, tapi ia tidak mengenai kelengkapan dan selalu dirayu bagi keindahan berikutnya, keindahan yang tak dikenal. Ramalan keindahan yang terkandung dalam satu bagian dihubungkan dengan ramalan keindahan berikutnya, hingga berbagai ramalan keindahan yang tidak berwujud menjadi pola dasar Kuil Kencana ini. Ramalan-ramalan itu adalah tanda kehampaan, kenihilan. Kenihilan adalah bangunan pokok keindahan ini. Karena dari tidak selesainya berbagai bagian dari keindahan ini tumbuhlah dengan sen dirinya suatu ramalan kenihilan, dan gedung yang rapuh ini, yang dibuat pula dari papan yang paling ramping, gemetar menghadapi kenihilan ini, bagai kalung bertatahkan permata yang gemetar dalam 319 Tapi belum pernah masa keindahan Kuil Kencana itu habis! Keindahannya selalu menggema di salah satu tempat. Bagai seseorang yang menderita karena selalu mendengar bunyi lonceng di telinganya, begitu juga aku mendengar bunyi keindahan Kuil Kencana itu, terus-menerus, di mana pun aku berada hingga aku jadi terbiasa padanya. Jika keindahan ini kita perbandingkan dengan suara, maka gedung itu tak ubahnya sebuah genta emas kecil yang berdenting terus-menerus selama lima setengah abad, atau bagai sebuah kecapi kecil. Bagaimana kalau bunyi itu berhenti" Aku digoda oleh suatu kerisauan. Di atas Kuil Kencana yang berwujud dalam gelap masih dapat kulihat dengan jelas Kuil Kencana dalam angan-anganku. Ia belum lagi berhenti berkilauan. Terali Hosui-in di pinggir air mengundurkan diri dengan segala kerendahan hati, sedang-kan di atas talangnya terali Choondo, yang ditupang oleh sendi-sendi gaya India, membusungkan dadanya sambil melamun ke arah kolam. Talang itu diterangi oleh pantulan kolam, dan kerlip-kerlip air memantulkannya dengan ragu-ragu. Jika Kuil Kencana memantulkan matahari senja atau berkilauan dalam cahaya bulan, maka cahaya air itulah yang membuat seluruh bangunan kelihatan seolah-olah mengam-bang dengan ajaib dan mengepak-ngepakkan sayapnya. Ikatan "bentuk kuil yang kuat itu dilonggarkan oleh pantulan air yang beriak, dan pada saat-saat seperti itu Kuil Kencana seolah-olah dibangun dari angin, air dan api yang bergerak terus-menerus. Keindahan Kuil Kencana tak bisa ditandingi. Dan aku tahu kini dari mana kerisauanku itu datangnya. Keindahan itu berusaha untuk terakhir kalinya menjalankan kekuasaannya atas diriku dan mengikat aku dengan impotensi yang begitu 320 sering kualami di masa lampau. Kaki dan tanganku menjauh dari apa yang ada di hadapanku. Beberapa saat sebelumnya, aku hanya berada dalam jarak selangkah daii tindakanku, tapi kini aku kembali mengundurkan diri ke kejauhan. "Aku telah menyelesaikan semua persiapan," gumamku pada diriku sendiri, "dian hanya berada satu langkah dari tindakanku. Setelah memimpikan tindakan itu dengan begitu lengkap, setelah menghidupkan impian itu, apa masih perlu ia dipindahkan pada suatu perbuatan lahir" Bukankah di tingkat ini perbuatan seperti itu tidak ada gunanya" "Kashiwagi mungkin benar waktu ia mengatakan bahwa yang merobah dunia bukanlah perbuatan, tapi pengetahuan. Tapi ada semacam pengetahuan yang mencoba mengikuti perbuatan sampai ke batas-batas yang paling mungkin. Penge-tahuanku beginilah sifatnya. Pengetahuan seperti inilah yang membuat perbuatan jadi lumpuh sama sekah. Biarpun aku sudah mengadakan semua persiapan dengan teliti, apa sebab-nya tidak terletak dalam pengetahuan yang menentukan, bahwa aku tidak perlu bertindak dengan segala kesungguhanV "Ya, itu dia. Bagiku kini perbuatan tidak lebih dari sesuatu yang berkelebihan. Ia telah melompat ke luar kehidupan, ia melompat lepas dari keinginanku, dan kini ia tegak di hadapanku, bagai sebuah pesawat besi dingin yang terpisah, menunggu dirinya digerakkan. Rasanya seolah-olah antara aku dan tindakanku tidak ada hubungan sedikit pun jua. Sampai tahap ini, yang ada selalu aku, tapi mulai tahap ini bukan aku lagi. Bagaimana aku bisa berhenti jadi diriku sendiri?" Aku bersandar pada pangkal pohon pinus. Kulit pohon itu yang basah dan dingin memukau aku. Aku merasa bahwa tanggapanku ini, kesejukan ini - adalah diriku sendiri. Dunia sudah berhenti dalam keadaannya seperti sediakala; di sana tidak ada lagi nafsu, dan aku, juga sudah puas sekah. 321 Apa yang harus kuperbuat dengan kerisauan yang berat ini, kataku dalam hati. Aku merasa demam dan lemah, dan tanganku tidak mau bergerak seperti kehendakku. Pasti aku sakit. Kuil Kencana masih kemilau di hadapanku, sama seperti pemandangan Jissokan yang pernah dilihat oleh Shuntokumaru. Dalam kegelapan malam kebutaannya, Shuntokumaru melihat matahari turun main-main bernyala redam di atas Laut Namba. Ia melihat Awaji Eshima, Suma Akashi bahkan Laut Kii yang memantulkan matahari senja di bawah langit tak berawan. Tubuhku seakan-akan lumpuh dan air mata mengaiir tak putus-putusnya. Aku tidak keberatan tinggal di sini dalam keadaan begun sampai pagi datang dan aku ditemui orang. Aku tidak akan mengajukan satu kata permintaan maaf pun. Sampai saat itu aku telah bicara panjang lebar tentang bagaimana impotennya ingatanku semenjak masa kanak-kanak-ku, tapi aku harus tegaskan bahwa sebuah ingatan tiba-tiba jadi gesit dan memiliki kekuatan menghidupkan yang besar sekali. Kelampauan tidak hanya menarik kita ke kelampauan. Ada kenangan dari masa lampau yang punya perbuatan yang kuat, dan jika kita yang hidup di hari ini menyentuhnya, ia tiba-tiba jadi tegang lalu melantingkan kita ke masa depan.
Sementara tubuhku rupa-rupanya telah jadi bebas, fikiranku masih menggerayang di salah satu tempat dalam ingatanku. Sejumlah kata muncul di permukaan, lalu penyap. Aku seolah-olah menjangkaunya dengan tangan jiwaku, lalu tersembunyi kembali. Kata-kata itu memanggil aku. Ia berusaha mendekati aku supaya aku berusaha sebaik-baiknya. "Lihat ke belakang, lihat ke luar, dan jika ketemu segera bunuh!" Ya, kalimat pertama berbunyi seperti itu. Bagian termasyhur 322 dalam bab Rinsairoku. Lalu kata-kata yang masih ketinggalan itu muncul dengan lancar: "Jika kau ketemu Budha, bunuh Budha! Kalau kau ketemu leluhurmu, bunuh leluhurmu! Kalau kau ketemu murid Budha, bunuh murid itu! Kalau kau ketemu ayah dan ibumu, bunuh ayah dan ibumu! Kalau kau ketemu saudaramu, bunuh saudaramu! Hanya dengan demikian kau akan mendapat keselamatan. Hanya dengan demikian kau akan selamat dari belenggu kebendaan dan jadi bebas." Kata-kata itu melantingkan aku dari keadaan impoten yang telah menyungkupku. Tiba-tiba seluruh tubuhku tersulut dengan kekuatan. Sebagian fikiranku masih mengatakan padaku tidak ada gunanya melakukan ini, tapi kekuatan yang baru kutemui tidak takut pada kesia-siaan. Justru karena sia-sia, maka tindakan itu harus kujalankan. Kain yang terletak di sampingku kugulung lalu kukepit di bawah lenganku bersama bantal. Lalu aku berdiri. Aku memandang ke arah Kuil Kencana. Kuil kemilau angan-anganku mulai mengabur. Terali-terali itu lambat-laun ditelan kegelapan dan hutan tiang-tiang ramping kehilangan kejelasannya. Air, cahaya sirna dari air dan pantulannya di atas punggung talang juga lenyap. Tidak lama kemudian semua bagian kecil telah tersembunyi dalam kegelapan dan yang tinggal dari Kuil Kencana itu tidak lebih dari sebuah garis besar yang samar dan hitam. Aku beriari. Aku beriari mengitari bagian utara kuil. Kakiku mulai terbiasa pada tugasnya dan aku tidak tersandung. Kegelapan membuka di hadapanku secara lambat-laun dan membimbing aku. Dari pinggir Sosei aku melompat ke dalam Kuil Kencana melalui pintu yang tergantung di jalan masuk sebelah barat dan kubiarkan terbuka. Kain dan bantal itu kulemparkan 323 atas tumpukan yang sudah kusiapkan. Jantungkan berdebar-debar dengan gembira dan tanganku yang basah gemetar. Di samping itu, geretanku basah. Yang pertama tidak mau menyala. Yang kedua patah waktu ia mau menyala. Yang ketiga menyala, dan karena tanganku kulindungkan terhadap angin ia menerangi ruangan antara jarijariku. Lalu aku harus mencerai ikat an jerami. Karena, biarpun ketiga ikatan jerami itu aku sendiri yang menggotongnya ke gedung ini dan meletakkannya di berbagai tempat, aku sudah lupa sama sekah tempat jerami itu kuletakkan. Waktu jerami itu kutemui, geretanku sudah habis terbakar. Aku merungkuk dekat jerami dan kali ini aku menyalakan dua batang geretan sekaligus. Nyala api itu menggambarkan bayangan-bayangan yang bergalau pada tumpukan jerami itu, menimbulkan warna cemerlang pada tempat-tempat yang liar, dan menyebar dengan saksama ke segala arah. Sementara asap menjulang ke udara, api itu menyembunyikan diri dalam gumpalan putihnya. Lalu, dengan tak disangka-sangka, jauh dari tempat aku berdiri, lidah api melonjak, membakar kehijauan kelambu. Aku merasa seolah-olah segalanya di sekitarku jadi hidup. Pada saat itu fikiran jadi jernih sama sekali. Persediaan geretanku terbatas. Aku beriari ke sudut lain kamar itu, menyalakan geretan dengan hati-hati lalu membakar tumpukan jerami yang berikut. Api baru yang melonjak menambah semangatku. Di masa lalu, kalau aku keluar bersama kawan-kawanku dan kami membuat api unggun, aku selalu senang mengerjakan tugas itu. Dalam Hosui-in kelihatan Ionjakan bayang-bayang besar. Patung-patung Tiga Budha Keramat, Amida, Kannon dan Seishi menyala merah. Patung kayu Yosnimitsu menyinarkan 324 matanya; dan di belakangnya bayang-bayangnya mengepak- ngepak. Aku hampir-hampir tidak merasakan hawa panas. Waktu kulihat nyala yang gigih itu berpindah ke peti persembahan, aku merasa bahwa semuanya akan berjalan dengan baik. Aku lupa akan arsenikum dan pisau kantong. Tiba-tiba aku beroleh fikiran untuk mati di Kukyocho dengan dikitari api. Lalu aku beriari meninggalkan api dan naik ke tangga yang sempit itu. Aku tidak sempat bertanya pada diriku sendiri kenapa pintu yang menuju ke Choondo terbuka. Penunjuk jalan tua itu lupa mengunci pintu tingkat kedua. Asap melingkar-lingkar ke punggungku. Sambil batuk aku memandang patung Kannon yang diciptakan oleh Keishin dan bidadari-bidadari yang lagi main musik yang terlukis di atas loteng. Aku beriari ke tangga berikutnya lalu mencoba membuka pintu Kukyocho. Pintu itu tidak mau terbuka. Jalan masuk ke tingkat tiga terkunci dengan kuat. Aku mengetuk pintu. Ketukan itu mestinya keras sekali, tapi bunyinya tidak sampai ke telingaku. Dengan sekuat tenaga kudesak-desak pintu itu. Aku merasa seolah-olah ada orang yang akan membukakan pintu Kukyocho dari dalam untukku. Yang kumimpikan di Kukyocho adalah sebuah tempat untuk mati, tapi karena asap sudah mulai mengejar-ngejar, aku memukul pintu itu sejadi-jadinya, seolah-olah yang kucari adalah tempat untuk menyelamatkan diri. Yang ada di balik pintu itu hanya sebuah kamar kecil. Dan pada saat itu aku bermimpi dengan jelas bahwa dinding kamar itu dilapisi sepenuhnya dengan lembaran-lembaran emas, biarpun aku tahu betul bahwa dinding itu sudah hampir terkelupas seluruhnya. Tidak bisa kujelaskan bagaimana dalam-nya kerinduanku pada kamar kecil yang bersinar itu sewaktu aku berdiri memukuli pintu itu. Sekiranya aku bisa masuk, kataku dalam hati, maka semuanya akan baik jalannya. Sekiranya aku bisa masuk kamar kecil emas itu! Aku memukul sekuat tenaga. Tanganku tidak cukup kuat, lalu aku menghimpitkan seluruh tubuhku ke pintu itu. Tapi dia masih juga tidak mau terbuka. Choondo telah penuh dengan asap. EH bawah kakiku kudengar bunyi geretak-geretak api. Aku lemas karena asap dan hampir-hampir pingsan. Sambil batuk-batuk aku terus memukul pintu. Tapi pintu itu tidak juga mau terbuka. Ketika datang suatu kesadaran dalam diriku bahwa aku ditolak, aku tidak ragu-ragu lagi. Aku turun ke tangga. Aku beriari turun ke Hosui-in menempuh asap yang bergumpal-gumpal; aku rupa-mpanya sudah berjalan melewati api itu sendiri. Waktu akhirnya sampai ke pintu barat, aku melompat ke luar. Lalu aku beriari bagai anak panah tanpa menyadari ke mana arahku. Aku lari. Betul-betul mengherankan berapa jauh aku lari tanpa berhenti untuk beristirahat. Aku bahkan tidak bisa ingat lagi tempat-tempat mana yang kulewati. Rupa-rupanya aku telah keluar melewati gerbang belakang di samping Menara Kyohoku di bagian utara halaman kuil, sudah itu rupanya aku lewat Ruang Myoo, mendaki jalan gunung yang dibatasi oleh rumput dan azalea hingga sampai ke puncak Gunung Hidari Daimonji. Ya, jelas, di puncak Gunung Hidari Daimonjilah aku menelentang di ladang bambu dalam bayang-bayang pohon pinus merah, dan berusaha menenangkan jantungku yang berdebar keras. Inilah gunung yang melindungi Kuil Kencana dari utara. Teriakan beberapa ekor burung yang terkejut membuat aku siuman. Atau mungkin juga seekor burung yang terbang dekat sekali dengan mukaku, dengan kelepak sayapnya yang besar. 326 Aku tertelentang di sana sambil memandang nanap ke langit. Burung-burung banyak sekali terbang melewati dahan -dahan pinus merah dan serpihan api yang tipis, yang sudah mulai jarang, mengambang di udara di atas kepalaku. Aku duduk lalu memandang ke jurang arah Kuil Kencana. Sebuah suara yang aneh menggema dari sana. Bunyinya seperti bunyi petasan. Bunyinya seperti bunyi orang banyak yang dengan bersama-sama serentak meretak. Dari tempat aku duduk Kuil Kencana tidak kelihatan. Yang bisa kulihat hanya asap yang berpusar dan api besar yang menjulang ke langit. Serpihan-serpihan api melayang-layang antara pepohonan, dan langit Kuil Kencana seolah-olah ditaburi dengan pasir emas. Aku menyilangkan kakiku lalu merenung tamasya itu lama sekali. Waktu aku sadar, kulihat badanku melepuh di mana-mana, tergores-gores, dan mengucurkan darah. Jari-jariku juga penuh darah. Rupa-rupanya jari-jariku terluka waktu aku memukuli pintu kuil. Aku menjilat lukaku bagai seekor binatang yang baru menyelamatkan diri dari pemburunya. Aku mencari-cari dalam kantongku, lalu kukeluarkan botol arsenikum yang kubungkus dalam sapu tangan dan pisau kantongku. Keduanya kulemparkan ke dalam jurang. Lalu kulihat dalam kantongku yang sebelah lagi ada sebungkus rokok. Kukeluarkan sebatang lalu aku mulai mero-kok. Aku merasa seperti seseorang yang beristirahat untuk merokok setelah menyelesaikan sebuah pekerjaan. Aku mau hidup.
SELESAI Perintah Maut 3 Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton Pisau Kekasih 6
^