Pencarian

Legend 1

Legend Karya Marie Lu Bagian 1


Bagian Satu H" H" H" IBUKU BERPIKIR AKU SUDAH MATI.
Sebenarnya aku tidak mati, tapi lebih aman bagi ibuku untuk tetap berpikir begitu.
Sekurang-kurangnya dua kali dalam sebulan, aku melihat poster buronku disiarkan di layar JumboTrons yang tersebar di seluruh penjuru Kota Los Angeles. Poster itu se benar nya tidak cocok ada di sana. Kebanyakan gam bar yang ditayangkan di JumboTrons adalah hal-hal menyenang kan: anak-anak yang tersenyum di bawah cerahnya la ngit biru, turis yang berpose sebelum Golden Gate runtuh, iklan-iklan komersil Republik dalam warna-warni neon. Ada pu la pro pa ganda anti-Koloni.
Koloni menginginkan tanah kita, begitu kalimat yang ada dalam iklan tersebut. Mereka menginginkan apa yang ti dak me reka punya. Jangan biarkan mereka merebut rumah mu! Dukung aksi ini!
Kemudian, ada tayangan catatan kriminalku, yang mem buat JumboTrons menyala lebih terang dalam semarak mul ti war nanya:
BuROnan REPuBLiK nOMOR: 462178-3233 DaY --------------------------------- buron karena pemukulan, pembakaran ru mah, pencurian, perusakan properti
mi li ter, dan menghambat upaya perang
200.000 notes republik bagi yang membe ri kan informasi untuk menangkap - nya
Mereka selalu menampilkan foto yang berbeda setiap kali menayangkan itu. Sekali waktu mereka menyertakan foto seorang remaja laki-laki berkacamata dengan rambut keriting berwarna tembaga. Kali lainnya yang ditampilkan adalah bocah bermata hitam tanpa rambut. Terkadang aku dibuat berkulit hitam, kadang putih, kadang kecokelatan atau kuning langsat atau kemerahan atau apa pun yang bisa mereka pikirkan.
Dengan kata lain, Republik tidak tahu seperti apa ru - paku. Kelihatannya mereka tidak tahu apa pun tentang ku, kecuali bahwa aku masih muda dan ketika mereka mencoba mencocokkan sidik jariku dengan yang ada dalam basis data mereka, tidak ada yang pas. Karena itulah, mereka membenciku dan menyebutku dengan buronan yang paling dicari, bukan yang paling berbahaya. Aku membuat mereka tampak bodoh.
Saat itu masih belum terlalu sore, tapi di luar sudah gelap gulita sehingga genangan air di jalan dapat memantulkan isi layar JumboTrons. Aku duduk di birai jendela yang su dah hancur di lantai tiga, tersembunyi di balik tiang baja berkarat. Dulunya tempat ini adalah kompleks apartemen, tapi sekarang sudah bobrok. Lentera rusak dan pecahan beling berserakan di lantai kamar ini. Cat mengelupas dari setiap jengkal dindingnya. Di satu sudut, potret tua Elector
Pri mo teronggok begitu saja. Aku ingin tahu siapa yang dulu tinggal di sini tidak ada orang yang cukup bodoh un tuk membiarkan potret Elector milik mereka terbuang di lantai seperti itu.
Seperti biasanya, rambutku diselipkan ke dalam topi tua ala tukang koran. Pandanganku terpancang pada se buah rumah kecil tanpa tingkat di seberang jalan, semen tara tanganku memainkan bandul yang mengalungi le her ku.
Tess bersandar pada jendela lain di kamar ini sambil me natapku lekat-lekat. Malam ini aku gelisah, dan dia selalu bisa merasakannya.
Wabah telah melanda sektor Lake. Di bawah pijar cahaya JumboTrons, Tess dan aku dapat melihat para tentara di ujung jalan yang sedang menginspeksi setiap rumah. Ju bah mereka hitam berkilau, dipakai longgar dalam suhu pa nas begini. Masing-masing dari mereka mengenakan mas ker oksigen. Sesekali ketika muncul, mereka menandai se buah rumah dengan memberi tanda X merah besar di pintu depan. Tidak ada yang boleh memasuki atau meninggal kan rumah tersebut setelah itu setidaknya, tidak ketika ada yang melihat.
Masih belum melihat mereka" bisik Tess. Dalam ke ge lapan, ekspresinya tak terbaca.
Untuk mengalihkan pikiran, kucoba membuat sebuah katapel darurat dari pipa PVC tua.
Mereka belum makan malam. Mereka belum duduk di meja makan selama berjam-jam. Aku mengubah posisi dan meregangkan lututku.
Mungkin mereka tidak di rumah"
Aku memandang Tess kesal. Dia mencoba menghiburku, tapi aku tidak sedang dalam mood yang bagus.
Ada lampu yang menyala. Lihat lilin-lilin itu. Ibu tidak akan menyalakan lilin kalau tidak ada orang di rumah. Tess bergerak mendekat.
Kita harus pergi dari kota ini selama dua minggu, dia mencoba menjaga suaranya tetap tenang, tapi ada rasa takut di dalamnya. Sebentar lagi wabah itu akan berlalu, dan kau bisa kembali ke sini. Kita punya lebih dari cukup uang untuk membeli dua tiket kereta.
Aku menggeleng. Satu hari seminggu, ingat" Biarkan aku memantau me reka satu hari seminggu.
Yeah. Minggu ini kau datang ke sini setiap hari. Aku hanya ingin memastikan mereka baik-baik sa-
ja. Bagaimana kalau kau tertular"
Itu risiko. Dan kau tidak harus pergi bersamaku. Kau bi sa menungguku kembali di Alta.
Tess mengangkat bahu. Seseorang harus mengawasimu. Padahal, dia dua tahun lebih muda dariku meskipun terkadang dia terdengar cukup tua untuk menjadi pengasuhku.
Kami mengawasi dalam diam saat para tentara mendekat ke rumah keluargaku. Setiap kali mereka berhenti di de pan sebuah rumah, seorang serdadu mengetuk pintu se mentara seorang yang lain berdiri di sebelahnya dengan senapan teracung. Jika tidak ada yang membukakan
pintu dalam sepuluh detik, serdadu yang pertama akan me nendangnya sampai terbuka. Aku tidak dapat melihat ke sibukan mereka di dalam, tapi aku tahu prosedurnya: se orang serdadu akan mengambil sampel darah dari ma sing-masing anggota keluarga, lalu memasangnya di se buah alat pengecek dan memeriksa apakah darah tersebut ter cemar wabah. Seluruh prosesnya memakan waktu se puluh menit.
Aku menghitung jumlah rumah yang ada di antara rumah tempat para tentara berada sekarang dengan rumah ke luar ga ku. Masih satu jam lagi sebelum aku tahu nasib me reka.
Sebuah teriakan menggema dari ujung jalan yang la in. Ma taku langsung tertuju ke asal suara, sementara ta ngan ku segera memegang pisau yang kusarungkan di ikat ping gang. Tess menahan napas.
Itu adalah suara korban wabah. Kondisinya pasti telah memburuk dalam beberapa bulan karena kulitnya pecah-pecah dan berdarah di mana-mana. Rasa penasaran meng ham piriku. Bagaimana bisa para tentara melewatkan yang satu ini pada inspeksi-inspeksi sebelumnya"
Wanita sakit itu berjalan terhuyung-huyung selama beberapa saat, kebingungan, lalu menyerang maju, hanya untuk tersandung dan jatuh. Aku menatap para tentara yang sekarang melihat wanita itu. Seorang serdadu bersenjata datang mendekatinya, sementara sebelas serdadu lainnya tetap di tempat sambil menyaksikan. Seorang korban wabah bukan ancaman besar.
Serdadu tersebut mengangkat senapannya dan membidik. Sepercik bunga api meluncur, mengenai wanita itu. Dia roboh. Si Serdadu kembali pada pasukannya. Kuharap aku bisa mendapatkan satu dari senapan para tentara itu. Di pasar, harga senjata bagus seperti itu ti dak tinggi hanya 480 Notes, kurang dari harga kompor. Layaknya semua senapan, yang ini pun memiliki presisi dengan magnet dan arus listrik sebagai kendalinya, serta dapat me nembak target tiga blok jauhnya. Ayahku bilang senapan itu dibuat dengan teknologi yang dicuri dari Koloni, meski tentu saja Republik tidak akan pernah mengatakannya.
Tess dan aku bisa membeli lima yang seperti itu kalau kami mau. Selama bertahun-tahun, kami telah bel ajar menyimpan uang ekstra yang kami curi dan menyem bunyi kannya untuk keadaan darurat. Tapi, masalah yang se be nar nya dalam memiliki senapan bukanlah biayanya. Ma salah nya adalah pemilik senapan mudah dilacak. Se tiap senapan mempunyai sensor di dalamnya yang da pat memberi tahu bentuk tangan, sidik jari, serta lokasi pemakainya. Kalau senapan itu tidak memberi keuntungan untukku, se mua nya tidak akan berjalan seperti yang kuinginkan. Jadilah aku tetap memakai senjata buatanku sendiri, katapel pipa PVC dan yang semacam itu.
Mereka menemukan seorang lagi, kata Tess. Dia me mi cingkan mata agar bisa melihat lebih jelas.
Aku melihat ke bawah. Para tentara baru saja keluar dari rumah yang lain. Salah satu dari mereka mengocok kaleng semprotan dan menggambar tanda X merah raksasa di pintu. Aku tahu rumah itu. Keluarga yang tinggal di situ
pernah punya anak perempuan sebayaku. Saat kami masih kecil, aku, dia, dan kakak adikku sering bermain freeze tag dan hoki jalanan yang dimainkan dengan alat pengorek api serta gumpalan kertas.
Perhatianku teralih karena Tess mengedikkan kepala ke arah buntalan kain di kakiku.
Apa yang kau bawa untuk mereka"
Aku tersenyum, lalu membungkuk untuk membuka bun tal an itu.
Beberapa barang simpanan kita minggu ini. Barangbarang ini akan menjadi hadiah perayaan yang bagus untuk keluargaku saat mereka lolos inspeksi.
Aku mengaduk-aduk isi buntalan yang penuh barang, kemudian kukeluarkan dua buah goggle bekas. Kuperiksa lensa goggle itu untuk memastikan tidak ada goresan di sana.
Ini hadiah ulang tahun yang terlalu cepat untuk John.
Kakakku John akan berulang tahun kesembilan belas pada akhir minggu ini. Dia bekerja selama empat belas jam di pabrik kompor milik tetangga sehingga setiap pulang ke rumah dia selalu menggosok-gosok matanya yang perih ter kena asap. Goggle-goggle ini adalah hasil curian yang sa ngat tepat dari muatan kapal pemasok barang-barang ke mi liter an.
Kutaruh kembali kedua goggle itu, lalu beralih ke ba rang-ba rang yang lain. Kebanyakan barang itu adalah da ging ka leng an dan kentang panggang yang kucuri dari ka fe ta ria se buah pesawat zeppelin. Ada pula sepasang
se pa tu tua de ngan sol yang masih lengkap. Kuharap aku ada di sa na ber sama keluargaku waktu mereka menerima se mua ba rang ini. Tapi, hanya John yang tahu aku masih hidup, dan dia sudah berjanji tidak akan memberi tahu Ibu mau pun Eden.
Dua bulan lagi, Eden akan berusia sepuluh tahun. Itu berarti dua bulan lagi dia harus menjalani Ujian. Aku gagal dalam Ujian waktu itu, karena itulah aku mengkhawatirkan Eden. Meskipun dia yang paling pintar di antara kami tiga ber saudara, cara berpikirnya sama sepertiku.
Saat aku menyelesaikan Ujian, aku merasa sangat yakin dengan jawabanku hingga aku merasa tak perlu repotrepot melihat mereka menilainya. Tapi kemudian, penyeleng gara Ujian mengantarku ke sudut aula Ujian bersama sekumpulan anak lainnya. Mereka memberi stempel pada lembar jawabanku dan memasukkanku ke dalam kereta yang menuju pusat kota. Aku tidak sempat membawa apaapa, kecuali bandul yang kupakai sebagai kalung. Bahkan, aku tidak sempat mengucapkan selamat tinggal.
Ada beberapa kemungkinan setelah kau menyelesaikan Ujian.
Kau mungkin memperoleh nilai sempurna 1500 poin. Tidak ada yang pernah mendapat nilai segini yah, kecuali beberapa anak bertahun-tahun lalu, yang pastinya sangat me repotkan kemiliteran. Siapa yang tahu apa yang bisa ter ja di pada orang yang bisa meraih nilai setinggi itu" Uang dan ke kua saan melimpah, mungkin"
Lalu, nilaimu di antara 1450 dan 1499. Kau bisa menepuk punggungmu sendiri dengan bangga karena kau akan
langsung mendapat akses untuk enam tahun di sekolah menengah, dilanjutkan dengan empat tahun di universitasuni ver sitas ternama Republik ini: Drake, Stanford, dan Bre nan. Kemudian, Kongres akan mempekerjakanmu dan kau akan menghasilkan banyak uang. Kegembiraan dan ke ba ha gia an akan mengikutimu. Setidaknya, menurut Re pu b lik.
Bisa juga kau mendapat nilai baik, antara 1250 dan 1449 poin. Kau akan bisa melanjutkan sekolah, lalu masuk ke perguruan tinggi. Tidak buruk.
Atau, kau mencicit dengan nilai antara 1000 dan 1249. Kongres akan menghalangimu untuk sekolah. Kau akan bergabung bersama orang-orang miskin, seperti keluargaku. Barangkali kau akan tenggelam saat menggerakkan turbin air atau terpanggang sampai mati di pabrik energi salah satu dari itu.
Yang terburuk: kau tidak lulus.
Anak-anak yang tidak lulus hampir selalu dari sektorsek tor kumuh. Jika kau berada pada kategori tak beruntung ini, Republik akan mengirimkan petugas resmi ke ru mah keluargamu. Mereka akan membuat orangtuamu me nan da tangani dokumen yang mengizinkan pemerintah untuk menahanmu. Mereka mengatakan bahwa kau telah di kirim ke kamp buruh Republik dan keluargamu tidak akan per nah melihatmu lagi. Orangtuamu harus mengangguk se tuju. Be berapa orangtua bahkan merayakannya karena Re pu b lik mem beri mereka seribu Notes sebagai hadiah be l a sung kawa.
Uang, ditambah berkurangnya satu mulut untuk diberi makan. Pemerintah sungguh perhatian.
Tentu saja, semua itu hanya kedok. Anak tak cer das dengan gen yang buruk memang tidak berguna bagi negara ini. Jika kau beruntung, Kongres akan membiarkanmu mati tanpa memeriksa kecacatanmu di lab.
Tinggal lima rumah lagi sampai para tentara itu tiba di rumahku. Tess melihat kecemasan di mataku, lalu mele takkan tangan di dahiku.
Sakit kepalamu kambuh" Tidak, aku baik-baik saja.
Aku menatap tajam ke jendela terbuka di rumah ibuku, lalu pandanganku menangkap wajah yang familier. Eden berjalan menuju jendela, kemudian mengintip para tentara yang sedang mendekat. Dia mengacungkan alat lo gam aneh buatan tangan pada mereka. Setelah itu, dia kemba li ke da lam dan menghilang dari pandangan. Rambut ke ri ting nya yang ber warna pirang platina berkilau di bawah ge mer lap sinar lampu. Dari sifatnya, kurasa Eden membuat alat itu un tuk mengukur seberapa jauh seseorang berada, atau se sua tu seperti itu.
Dia kelihatan lebih kurus, gumamku.
Dia hidup dan berjalan, sahut Tess. Kurasa itu suatu kemenangan.
Beberapa menit kemudian, dari jendela kami melihat ibuku dan John, tenggelam dalam percakapan. John dan aku mirip satu sama lain, meskipun dia sedikit lebih pendek dan gemuk karena pekerjaannya di pabrik. Rambutnya, seperti kebanyakan orang yang tinggal di sektor kami,
pan jang melebihi bahu dan diikat menjadi satu kunciran sederhana. Rompinya tercoreng tanah liat merah.
Saat ini aku bisa melihat Ibu sedang mengomelinya ka rena suatu hal, mungkin karena membiarkan Eden mengintip ke luar jendela. Ibu hampir memukul tangan John saat penyakit batuk kronisnya menyerang.
Aku menghela napas. Setidaknya ketiganya cukup se hat untuk berjalan. Bahkan jika salah satu dari mereka terinfeksi wa bah, mereka masih punya kesempatan untuk sembuh.
Aku tidak dapat berhenti membayangkan apa yang akan terjadi kalau para tentara itu menandai pintu rumahku. Keluargaku akan berdiri terpaku di ruang keluarga ka mi, lama setelah para tentara pergi. Lalu, Ibu akan mema sang ekspresi beraninya yang biasa, hanya untuk duduk termenung sepanjang malam nanti, mengusap air matanya dalam diam. Pada pagi harinya, mereka akan menerima sedi kit ransum berupa makanan dan air, kemudian menunggu kesembuhan datang. Atau mati.
Pikiranku melayang ke simpanan uang curian yang aku dan Tess sembunyikan. Jumlahnya 2.500 Notes. Cukup un tuk biaya makan keluargaku selama berbulan-bulan & tapi tidak cukup untuk membeli sebotol kecil obat untuk wa bah itu.
Waktu berjalan lambat. Kusimpan katapelku, kemudian bermain Gunting-Batu-Kertas bersama Tess (entah bagaimana, dia betul-betul jago dalam permainan ini). Be be rapa kali aku melirik jendela rumah ibuku, tapi tidak
melihat siapa-siapa. Mereka pasti berkumpul di dekat pintu, siap membukanya jika terdengar ketukan.
Akhirnya, yang ditunggu tiba. Aku melongok dari birai jen dela, agak terlalu jauh sampai Tess mencengkeram pergelangan tanganku untuk memastikan aku tidak melompat. Para tentara mengetuk pintu. Ibuku membukanya dengan cepat, membiarkan para tentara masuk, lalu menutupnya lagi. Aku tegang setiap mendengar suara, langkah kaki, dan apa pun dari rumahku. Semakin cepat se mua ini selesai, semakin cepat pula aku bisa menyelinap un tuk meletakkan hadiah John.
Hening berkepanjangan. Tess berbisik, Tidak ada kabar berarti berita bagus, kan"
Lucu sekali. Aku menghitung detik demi detik di kepalaku. Satu menit berlalu. Lalu dua, empat, dan akhirnya sepuluh me nit. Lima belas menit. Dua puluh menit.
Aku menatap Tess. Dia mengangkat bahu. Mungkin alat pengecek mereka rusak, ujarnya. Tiga puluh menit sudah. Aku tetap dalam posisi siaga, tak berani bergerak sedikit pun. Aku takut sesuatu akan ter jadi dengan sangat cepat dan aku akan melewatkannya ka lau berkedip. Jari-jariku terus mengetuk pangkal pisauku.
Empat puluh menit. Lima puluh menit. Satu jam. Ada yang salah, bisikku.
Tess mengerutkan bibir. Kau tidak tahu. Aku tahu. Kalau tidak, kenapa bisa begini lama"
Tess membuka mulut untuk menyahut, tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa, para tentara keluar dari rumah ku, berbaris satu per satu, tanpa ekspresi. Akhirnya, ser da du ter akhir menutup pintu di belakangnya dan mengam bil se sua tu yang ada di pinggangnya. Mendadak aku me rasa pu sing. Aku tahu apa yang akan terjadi.
Serdadu itu mengangkat tangan dan membuat satu garis merah panjang diagonal di depan pintu rumah kami. Setelah itu, dia membuat satu garis lagi, membentuk tanda X.
Aku mengumpat tanpa suara dan memalingkan kepala
tapi kemudian serdadu itu melakukan sesuatu yang tak terduga, sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Dia membuat garis ketiga, sebuah garis vertikal di tengah-tengah tanda X itu.[]
P ukul 13.47. u niversitas D rake , s ektor B atalla . 72" F ahrenheit Di Dalam .
a ku DuDuk Di kantor sekretaris Dekan . l agi . Lewat pintu kaca yang bening, aku bisa melihat te man-teman sekelasku (sebenarnya senior karena usia me reka sekurang-kurangnya empat tahun lebih tua dariku) berke liar an di luar untuk menguping. Beberapa dari mereka me lihat ku dijemput paksa oleh sepasang penjaga berwajah meng ancam setelah kelas latihan siang (pelajaran hari ini: ba gai mana mengisi dan membongkar peluru untuk senapan XM-621). Dan ketika hal seperti itu terjadi, beritanya akan ter sebar ke seluruh penjuru kampus.
Genius kecil favorit Republik dalam masalah lagi. Kantor itu sepi. Hanya terdengar dengung teredam dari komputer sekretaris dekan. Aku sudah hafal seluruh isi ruangan ini (lantai marmer yang diimpor dari Dakota, 324 genting plastik di langit-langit, tirai abu-abu sepanjang enam meter yang tergantung di seberang potret agung Elec tor, serta layar tiga puluh inci di dinding samping, yang sua ra nya dimatikan dan sedang menayangkan berita utama: MAR- KAS MILITER LOKAL DIBOM KELOMPOK PEM-
BE RONTAK PATRIOT , LIMA ORANG TEWAS di susul dengan REPUBLIK KALAHKAN KOLONI DA LAM PERTEMPURAN HILLSBORO ).
Arisna Whitaker, sang Sekretaris Dekan, duduk di balik mejanya tidak diragukan lagi dia sedang mengetik laporanku. Laporan ini akan menjadi yang kedelapan dalam tiga bulan. Aku ingin bertaruh bahwa aku adalah satusatunya mahasiswa Drake yang pernah mendapat delapan laporan dalam tiga bulan tanpa dikeluarkan.
Kemarin tangan Anda terluka, Miss Whitaker" kataku setelah beberapa saat diam.
Dia berhenti mengetik untuk memelototiku. Apa yang membuatmu berpikir begitu, Miss Iparis"
Gerakan Anda tidak seperti biasanya dan Anda sangat berhati-hati menggunakan tangan kiri Anda.
Miss Whitaker mendesah, lalu menyandarkan tubuh ke kur sinya. Ya, June. Pergelangan tanganku keseleo kemarin saat aku bermain kivaball.
Saya turut sedih mendengarnya. Seharusnya Anda co ba memukul dengan lengan, bukan dengan pergelangan ta ngan.
Aku bicara begitu dengan maksud menyatakan fakta, tapi kedengarannya seperti mengejek dan makin membuat Miss Whitaker tidak senang.
Mari kita luruskan ini, Miss Iparis, katanya. Kau mung kin berpikir kau sangat pintar dan nilaimu yang sempur na akan membuatmu diperlakukan istimewa. Bahkan, kau mungkin berpikir kau punya penggemar di sini, dengan
semua omong kosong ini. Dia memberi isyarat pada mahasiswa yang berkumpul di depan pintu. Tapi, aku capek melihatmu berada di kantorku. Dan percayalah, saat kau lulus dan ditempatkan di jabatan mana pun yang diberikan negeri ini untukmu, leluconmu ini tidak akan mengesankan atasanmu nanti. Kau mengerti"
Aku mengangguk karena dia ingin aku melakukannya. Tapi dia salah. Aku tidak hanya berpikir aku pintar. Aku adalah satu-satunya orang di seluruh Republik yang men da pat nilai sempurna 1500 dalam Ujianku. Lalu, aku di masukkan ke sini, ke universitas papan atas negeri ini, pa da usia dua belas, empat tahun lebih cepat daripada yang se harusnya. Ke mudian, aku melewatkan tahun keduaku. Aku telah mem peroleh nilai sempurna di Drake selama tiga tahun. Aku memang pintar. Aku memiliki apa yang Re pu blik katakan gen bagus dan semakin bagus gen akan meng hasilkan tentara yang lebih baik serta kesempatan yang lebih besar untuk menang melawan Koloni, begitu yang selalu di kata kan dosenku. Dan, kalau aku merasa kelas latihan si ang ku tidak cukup mengajariku bagaimana memanjat din ding sam bil membawa senjata & yah, bukan salah-ku jika kemudian aku memanjat dinding sebuah gedung sembilan belas lan tai, dengan mem bawa senapan XM-621 di punggung. Itu ada lah pe ning kat an kemampuan diri, demi negaraku.
Menurut rumor yang beredar, Day pernah memanjat ba ngunan lima lantai dalam waktu kurang dari delapan detik. Kalau kriminal paling dicari di negeri ini bisa melaku kan itu, bagaimana kami bisa menangkapnya jika kami tidak
cepat" Dan kalau kami tidak bisa menangkapnya, bagaimana kami bisa menang perang"
Meja Miss Whitaker berbunyi tiga kali. Dia menekan sebuah tombol. Ya"
Kapten Metias Iparis ada di luar gerbang, sebuah sua ra menyahut. Dia di sini untuk bertemu adiknya.
Bagus. Suruh dia masuk. Dia berhenti menekan tom bol dan mengarahkan telunjuknya padaku. Kuharap kakakmu dapat menjagamu lebih baik, karena kalau sekali lagi kau berakhir di kantorku dalam tiga bulan ini
Metias menjaga saya lebih baik daripada almarhum orangtua kami, balasku, sepertinya lebih tajam dari yang ku niatkan.
Keheningan yang tak nyaman menyelimuti kami. Akhirnya, setelah beberapa saat yang seperti selamanya, aku mendengar keributan di aula depan. Para mahasiswa yang tadinya menempel di pintu kaca tiba-tiba bubar, dan ba yang an mereka menepi ke samping untuk memberi ruang bagi sesosok siluet tinggi. Kakakku.
Saat Metias membuka pintu dan masuk, aku bisa melihat beberapa gadis di luar menutupi senyuman tertahan mereka dengan tangan. Tapi, perhatian Metias sepenuhnya un tukku. Kami memiliki mata yang sama, hitam dengan kilat an emas, juga bulu mata panjang dan rambut gelap. Bu lu mata panjang itu cocok sekali untuk Metias. Meskipun pin tu tertutup di belakangnya, aku masih bisa mendengar bisik-bisik dan kikik genit dari gadis-gadis di luar.
Tampaknya dia datang ke kampusku langsung dari lo kasi patrolinya. Dia memakai seragam lengkap: jas hitam per wira dengan dua baris kancing emas, sarung tangan (ka ret sintetis, lapisan spektrum, sulaman pangkat kapten), epo let yang berkilauan di bahunya, topi resmi tentara, celana pan jang hitam, serta sepatu bot yang disemir. Mata kami bertemu.
Dia marah. Miss Whitaker tersenyum cemerlang pada Metias. Ah, Kapten! serunya. Senang bertemu dengan An-
da. Metias menepuk pinggiran topinya sebagai tanda hormat yang sopan.
Sangat disayangkan kita bertemu lagi dalam situasi se perti ini, balasnya. Maafkan saya.
Tidak masalah, Kapten. Sang Sekretaris Dekan mengi bas kan tangannya tak acuh. Dasar penjilat khususnya se telah apa yang baru saja dia katakan tentang Metias. Itu bu kan salah Anda. Adik perempuan Anda tertangkap ba sah se dang memanjat gedung bertingkat saat jam makan si angnya hari ini. Dia pergi dua blok jauhnya dari kampus untuk melakukan itu. Seperti yang Anda tahu, mahasiswa hanya boleh menggunakan sarana panjat dinding kampus untuk latihan isik, dan mereka dilarang meninggalkan kampus pada tengah hari
Saya mengerti, Metias menyela, memandangku lewat sudut matanya. Saya melihat banyak helikopter di atas
Dra ke dan saya punya & kecurigaan bahwa June mungkin ter li bat.
Ada tiga helikopter. Mereka tidak bisa menurunkanku dari dinding gedung itu dengan memanjatnya sendiri, jadi me reka menarikku dengan jaring.
Terima kasih atas bantuan Anda, kata Metias ke sang Se kretaris Dekan. Dia mengarahkan telunjuknya padaku, sebagai isyarat bagiku untuk berdiri. Saat June kembali ke kampus, dia akan menunjukkan perilaku terbaik.
Kuabaikan senyum palsu Miss Whitaker saat aku meng ikuti kakakku keluar dari kantor menuju aula depan. Se gera saja mahasiswa lain mengerubungiku.
June, kata seorang pemuda bernama Dorian sementara dia berjalan di samping kami. Selama dua tahun berturutturut, dia (tak berhasil) memintaku pergi bersamanya pada pes ta dansa tahunan Drake. Apa itu benar" Seberapa tinggi kau memanjat"
Metias memotong ucapannya dengan tatapan tajam. June harus pulang. Kemudian, dia mencengkeram pun dakku dan membawaku menjauh dari teman-teman sekelasku. Aku me noleh sekilas pada mereka dan tersenyum.
Empat belas lantai, sahutku. Perkataan itu membuat mereka kembali ribut. Entah bagaimana, hal seperti ini men jadi hubungan terdekatku dengan mahasiswa Drake yang lain. Aku dihormati, dibicarakan, digosipkan. Mereka tidak benar-benar mengobrol denganku.
Beginilah kehidupan mahasiswa senior berusia lima belas tahun di sebuah universitas yang seharusnya untuk re maja enam belas tahun ke atas.
Metias tidak bicara sepatah kata pun saat kami turun me le wati koridor, melalui halaman rumput terawat dari la pang an pusat dan patung agung Elector, dan akhirnya me lin tasi gedung olahraga. Kami melewati kelas latihan si ang yang seharusnya kuikuti. Aku melihat teman-teman se ke las ku berlari bersama di lintasan raksasa dikelilingi oleh layar 360 derajat yang menampilkan simulasi medan pe rang yang suram. Mereka memegang senapan di depan tu buh mereka, berusaha mengisi dan mengeluarkan peluru se cepat mungkin sambil berlari.
Di kebanyakan universitas lain tidak akan ada begitu banyak tentara mahasiswa, tapi di Drake, hampir semua dari kami berada di jalur karier untuk menjadi tentara Repu blik. Beberapa yang lainnya ditempatkan di politik dan Kongres, sedangkan sisanya memilih tetap di sini untuk meng ajar. Tapi, Drake adalah universitas terbaik di Republik. Menilik betapa mahasiswa yang terbaik selalu ditugaskan di kemiliteran, ruang latihan kami selalu penuh dengan ma hasiswa.
Jip militer kami sudah menunggu di salah satu jalanan ter luar Drake. Saat aku memanjat ke kursi belakang, ama rah Metias meledak.
Diskors selama seminggu" Apa kau mau menjelaskannya padaku" pintanya. Pagi ini aku baru kembali dari mengurusi pemberontakan Patriot dan apa yang kudengar" Beberapa
helikopter dua blok dari Drake. Seorang gadis memanjat gedung pencakar langit.
Aku bertukar pandang ramah dengan homas, serdadu yang mengemudi.
Maaf, gumamku. Metias menoleh padaku dari tempat duduknya di depan dan menyipitkan matanya. Apa sih yang kau pikirkan" Apa kau sadar kau keluyuran ke luar kampus"
Ya. Tentu saja. Umurmu lima belas. Kau memanjat empat belas lantai dia menghela napas panjang, memejamkan mata, dan menenangkan diri. Untuk sekali saja, aku akan sangat menghargainya kalau kau mau membiarkanku bertugas tanpa mengkhawatirkan aku akan jatuh sakit karena me mi kirkan apa yang akan kau lakukan.
Kucoba menatap homas lagi di kaca spion dalam, tapi pandangannya terpaku ke jalan. Tentu saja, seharusnya aku tidak mengharapkan bantuan apa pun darinya. Dia terlihat serapi biasanya, dengan rambut licin dan seragam yang disetrika sempurna. Tidak ada sehelai benang pun yang tidak pada tempatnya. homas mungkin beberapa ta hun lebih muda daripada Metias dan bawahannya dalam patroli, tapi dia lebih disiplin dari siapa pun yang kukenal. Kadang-kadang, aku berharap aku memiliki kedisiplinan seperti itu. Mungkin dia tidak menyetujui tindakanku lebih daripada Metias.
Kami meninggalkan pusat kota Los Angeles dan dalam keheningan berkendara di jalan raya yang berangin.
Pemandangan berubah dari gedung pencakar langit berlan tai ratusan di pusat sektor Batalla menjadi menara ba rak tentara dan kompleks perumahan sipil yang masing-ma sing hanya setinggi dua puluh sampai tiga puluh lantai, de ngan lampu yang kerlap-kerlip di atap. Kebanyakan cat genting nya mengelupas gara-gara sejumlah badai tahun ini. Pilar besi penyangga silang-menyilang di dinding. Kuharap pilar-pilar itu segera diganti dengan yang baru. Belakangan ini pe pe rangan semakin dahsyat, dan dengan dialihkannya dana in fra struktur untuk membiayai perang selama beberapa dekade, aku tak tahu apakah bangunan-bangunan ini masih bisa berdiri jika ada gempa lagi.
Setelah beberapa menit, Metias melanjutkan dengan suara yang lebih kalem.
Hari ini kau benar-benar menakutiku, katanya. Aku takut mereka salah mengiramu sebagai Day dan menembak mu.
Aku tahu dia tidak bermaksud memuji, tapi aku tak bisa menahan senyum. Aku memajukan tubuh, lalu meletakkan tangan di atas tempat duduknya.
Hei, kataku, menjawil telinganya seperti yang kulakukan waktu kecil, aku minta maaf karena sudah membuatmu kha watir.
Dia tertawa mengejek, tapi aku bisa katakan bahwa ke ma rah annya sudah memudar. Yeah. Begitulah yang kau k ata kan setiap waktu, Junebug. Apakah Drake tidak bi sa mem buatmu cukup sibuk" Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang bisa.
Kau tahu & kalau kau mengajakku dalam beberapa misi mu, mungkin aku akan lebih banyak belajar dan tidak mem buat masalah lagi.
Usaha bagus. Kau tidak akan pergi ke mana pun sampai kau lulus dan melakukan patrolimu sendiri.
Aku menggigit lidahku. Metias pernah mengajakku se kali sekali dalam misinya tahun lalu, saat semua maha siswa Drake tahun ketiga harus mendampingi sebuah cabang militer resmi. Atasan Metias mengirim Metias untuk mem bunuh seorang tawanan perang yang kabur. Tawanan itu berasal dari Koloni.
Jadi, Metias membawaku bersamanya, dan bersamasa ma kami memburu tawanan perang itu ke dalam tanah teritori negara kami, jauh dari pagar pembatas dan lahan yang memanjang dari Dakota ke Texas Barat yang memisahkan Republik dan Koloni, jauh dari medan perang tempat pesawat zeppelin menjadi titik-titik di langit. Aku mengikuti Metias sampai ke sebuah gang kecil di Yellowstone City, Mon tana, dan Metias menembak tawanan perang itu.
Selama perburuan tersebut, dua tulang rusukku patah dan kakiku tertusuk pisau. Sekarang, Metias tidak mau lagi mengajakku ke mana pun.
Saat Metias akhirnya bicara lagi, nada suaranya terdengar enggan tapi penasaran.
Jadi, katakan padaku, bisiknya. Seberapa cepat kau me manjat empat belas lantai itu"
homas mengeluarkan suara pertanda tidak setuju dari kerongkongannya, tapi aku nyengir. Badai sudah berlalu. Metias menyayangiku lagi.
Enam menit, aku ikut berbisik. Dan 44 detik. Kau suka itu"
Itu pasti menjadi rekor tersendiri. Kau tahu, seharusnya kau mencatatkannya.
homas menghentikan jip di belakang garis marka pada lampu merah dan menatap Metias gusar. Ayolah, Kapten, katanya. June ah Miss Iparis tidak akan belajar kalau kau terus memujinya saat dia melanggar peraturan.
Santai saja, homas. Metias menjulurkan tangan dan me ne puk punggungnya. Sesekali melanggar peraturan dapat ditoleransi, terutama kalau kau melakukannya untuk me ning kat kan kemampuanmu demi Republik. Kita harus me nang melawan Koloni, ya, kan"
Lampu berubah hijau. homas kembali mengalihkan pandangan ke jalan (kelihatannya dalam hati dia menghitung sampai tiga sebelum mulai menjalankan jip lagi).
Ya, gerutunya. Kau harus berhati-hati mendukung tin dak-tanduk Miss Iparis, apalagi karena orangtuamu sudah tidak ada.
Mulut Metias mengatup membentuk garis, dan sebu ah tatapan tegang yang sudah sangat kukenal muncul di ma ta nya.
Tak peduli betapa tajam intuisiku, tak peduli betapa ber prestasinya aku di Drake dan betapa sempurna nilai yang kudapat dalam pelajaran mempertahankan diri, memburu
target, serta pertarungan satu lawan satu, mata Metias selalu menampakkan rasa takut itu. Dia takut suatu hari nanti akan terjadi sesuatu padaku seperti kecelakaan mobil yang me nye bab kan orangtua kami meninggal. Ketakutan itu tak per nah hilang dari wajahnya. Dan homas tahu itu.
Aku tidak mengenal orangtuaku cukup lama untuk bisa merindukan mereka seperti Metias. Setiap kali aku me na ngisi kepergian mereka, aku menangis karena aku tidak me miliki satu pun kenangan tentang mereka. Ha nya ingat an-ingatan kabur tentang kaki panjang orang de wasa yang ber jalan di apartemen kami serta tangan yang mengang kat ku dari kursi tinggi. Hanya itu. Semua kenangan masa ke cil ku yang lain mata yang memandangku di auditorium saat aku menerima penghargaan, sup untukku saat aku sa kit, dicereweti dan dimarahi, atau digendong ke tempat tidur semuanya bersama Metias.
Kami berkendara mengelilingi setengah dari sektor Batalla dan melewati beberapa blok tempat tinggal penduduk miskin. (Tak bisakah para pengemis jalanan ini sedikit men jauh dari jip kami") Akhirnya, kami mencapai gedung bertingkat Ruby yang mengilap, dan tibalah kami di rumah. Metias turun duluan. Saat aku hendak ikut turun, homas tersenyum kecil padaku.
Sampai ketemu lagi, Miss Iparis, ujarnya sembari menyentuh ujung topinya.
Aku sudah berhenti mencoba membujuknya untuk memanggilku June dia tak pernah berubah. Tapi tetap saja, sebenarnya tidak terlalu buruk dipanggil resmi begitu.
Mungkin saat aku sudah lebih dewasa dan Metias tidak akan pingsan saat membayangkan aku berkencan .&
Bye, homas. Terima kasih untuk tumpangannya. Aku membalas senyumnya sebelum turun dari jip.
Metias menunggu sampai pintu tertutup sebelum berbalik menghadapku dan merendahkan suaranya. Aku akan pulang terlambat malam ini, katanya. Lagi-lagi ada ketegangan itu di matanya. Jangan keluar sendirian. Berita dari medan perang menyebutkan bahwa malam ini mereka mengurangi daya listrik kompleks perumahan agar bisa meng hemat energi untuk basis lapangan udara. Jadi tetaplah di sini, oke" Jalanan akan lebih gelap dari biasanya.
Hatiku serasa tenggelam. Kuharap Republik segera me menangi perang ini sehingga untuk sekali saja kami bisa me nikmati sebulan penuh tanpa pemadaman listrik. Kau pergi ke mana" Boleh aku ikut denganmu" Aku akan mengawasi lab di Pusat Los Angeles. Mere ka men dapat kiriman tabung berisi virus termutasi di sa na mestinya tidak akan makan waktu semalaman. Dan, aku su dah bilang padamu tidak. Tidak ada misi lagi. Me tias bim bang. Aku akan pulang sesegera mungkin. Ada ba nyak hal yang harus kita bicarakan.
Dia meletakkan tangan di pundakku, lalu mengecup da hi ku cepat, mengabaikan tatapan bingungku.
Aku sayang kau, Junebug, dia mengatakan ucapan se la mat tinggal yang menjadi ciri khasnya, kemudian meman jat masuk kembali ke jip.
Aku tidak akan menunggumu, aku berseru, tapi sekarang dia sudah berada di dalam. Jip itu pun melaju, membawanya pergi. Hati-hati, gumamku.
Namun, tidak ada gunanya mengatakan itu sekarang. Me tias sudah terlalu jauh untuk mendengarku.[]
SAAT ITU, UMURKU TUJUH TAHUN, AYAHKU PULANG DARI me dan perang setelah seminggu berada di sana. Peker jaan nya adalah membereskan kekacauan yang disebabkan tentara Republik usai berperang. Karena itulah, dia sering tidak berada di ru mah, meninggalkan Ibu membesarkan ka mi bertiga sen diri an.
Di hari kepulangannya, patroli kota melakukan inspeksi ru tin ke rumah kami, kemudian menyeret Ayah ke kan tor polisi lokal untuk ditanyai. Kuduga, mereka men cium sesuatu yang mencurigakan.
Para polisi itu mengembalikan Ayah ke rumah dengan dua lengan patah, wajahnya berlumuran darah dan penuh lebam.
Beberapa malam kemudian, aku mencelupkan bulat an es yang sudah hancur ke dalam sekaleng bensin, mem biarkan minyaknya mengeras menjadi kulit keras di se ke liling es, lalu menyulutnya dengan api. Kemudian, aku melontar kan nya dengan katapelku ke dalam kantor polisi lokal itu le wat jendela. Aku ingat truk pemadam kebakaran yang da tang tak lama setelah itu, sirenenya berdengung-dengung di sekeliling sudut bangunan. Namun, bekas gosong masih ada di sayap barat kantor polisi itu.
Mereka tidak pernah menemukan siapa pelakunya, dan aku sendiri tak pernah mengaku. Di atas segalanya, tak ada bukti. Aku telah melakukan kejahatan pertamaku.
Dulu ibuku berharap aku akan tumbuh dari akar keseder hanaan. Menjadi orang sukses, atau bahkan terkenal.
Tentu saja aku terkenal, tapi kurasa bukan seperti yang ibuku pikirkan.
Matahari terbenam, 48 jam setelah para tentara menandai pintu rumahku.
Aku menunggu dalam kegelapan di sebuah gang kecil, satu blok dari Rumah Sakit Pusat Los Angeles dan mengamati staf rumah sakit keluar-masuk pintu utama. Malam itu berawan tanpa bulan, bahkan aku tidak bisa melihat tan da Menara Bank yang hancur di bagian atas gedung. Lam pu-lampu listrik bersinar di setiap lantai sebuah keme wahan yang hanya bisa didapat oleh gedung-gedung pemerintah dan rumah-rumah elite. Jip-jip militer memenuhi jalanan, sementara mereka menunggu izin untuk masuk ke tempat parkir bawah tanah. Seseorang mengecek identitas mereka. Namun, mataku tetap terpaku ke pintu utama.
Aku terlihat sangat mengagumkan malam ini. Aku memakai sepatu bagusku bot yang terbuat dari kulit gelap yang lembut dengan tali yang kuat dan baja di ujungnya. Se patu itu dibeli seharga 150 Notes dari uang simpanan ka mi. Aku menyembunyikan pisau di bawah sol masingmasing bot. Saat melangkah, aku dapat merasakan logam yang dingin menyentuh kulitku.
Celana panjang hitamku dimasukkan ke dalam bot dan aku membawa sepasang sarung tangan serta saputangan hitam di saku. Lengan panjang kemeja berwarna gelap terikat melingkar di pinggangku. Rambutku terurai di bawah ba hu. Kali ini aku mengecat helaian pirang platinaku men ja di hitam kelam, seolah-olah aku mencelupkannya ke mi nyak mentah.
Pagi tadi, Tess membayar lima Notes untuk seember darah sapi kerdil yang dibelinya lewat pintu belakang sebuah restoran. Lengan, perut, dan wajahku diolesi darah itu. Aku juga mencoreng pipiku dengan lumpur, sebagai tam bah an.
Dua belas lantai pertama gedung tersebut adalah ru mah sakit, tapi aku hanya tertarik pada satu lantai yang tidak ber jendela. Yang kumaksud adalah lantai tiga, lab, tem pat sampel-sampel darah dan obat-obatan berada. Dari luar, lantai tiga sepenuhnya tersembunyi di belakang ukiran batu yang rumit dan bendera Republik. Di dalamnya, terdapat ruangan berlantai luas tanpa gang dan pintu hanya ruangan raksasa, dokter dan perawat ber mas ker putih, pipa uji dan pipet, inkubator dan tempat tidur do rong. Aku tahu semua ini karena aku pernah berada di sa na. Aku di sana saat gagal dalam Uji an, ketika aku se harusnya mati.
Mataku menelusuri dinding menara. Terkadang, aku bi sa masuk ke sebuah bangunan dengan berlari di dinding - nya, jika ada balkon untuk melompat dan birai jen dela un tuk menyeimbangkan diri. Sekali waktu aku pernah meman jat gedung empat lantai dalam waktu kurang dari lima
detik. Tapi, dinding menara ini terlalu licin, tidak ada tem pat berpijak. Aku harus masuk ke lab itu dari dalam.
Aku sedikit menggigil meski udaranya hangat dan berha rap Tess ikut denganku. Namun, dua orang penyusup akan lebih mudah tertangkap daripada satu. Di samping itu, bukan keluarga-nya yang butuh obat. Kuraba leher untuk me mastikan bandulku sudah kumasukkan ke dalam kaus.
Sebuah truk medis berhenti di belakang jip-jip militer. Beberapa serdadu keluar dari jip dan menyapa para pera wat sementara yang lainnya membongkar muatan truk. Pemimpin kelompok itu adalah seorang pria muda berambut gelap yang berpakaian serbahitam, kecuali dua baris kancing perak di jas perwiranya. Aku berusaha mendengar apa yang dikatakannya kepada salah satu perawat.
dari sekitar tepi danau. Pria itu mengencangkan sa rung tangannya. Sepintas, aku memandang pistol di ping gan g nya. Malam ini orang-orangku akan berada di pin tu masuk.
Ya, Kapten, sahut si Perawat.
Pria itu menyentuh ujung topinya. Namaku Metias. Ka lau kau punya pertanyaan, datanglah padaku.
Aku menunggu sampai para tentara itu menyebar ke sekeliling rumah sakit dan pria bernama Metias tenggelam dalam percakapan dengan dua bawahannya. Bebera pa truk medis kembali datang dan pergi, menurunkan para tentara yang beberapa di antaranya patah lengan, terluka di ke pala, atau kakinya sobek. Aku menarik napas panjang,
ke mudian melangkah keluar dari kegelapan dan berjalan ter huyung-huyung menuju pintu masuk rumah sakit.
Seorang perawat menghentikanku sebelum aku masuk. Matanya terpancang pada darah di lengan dan wajah ku.
Bisakah aku dirawat, Sepupu" kataku, pura-pura me nger nyit kesakitan. Apa masih ada kamar untuk malam ini" Aku akan membayar.
Perawat itu menatapku tanpa belas kasihan sebelum kembali menulis sembarangan di papan catatan. Sepertinya dia tidak terkesan dengan kasih sayang sepupu . Sebuah tanda pengenal menjuntai dari lehernya.
Apa yang terjadi" dia bertanya.
Aku mendekatinya, membungkuk dan memegang lu tut ku. Perkelahian, ujarku, terengah-engah. Kurasa aku di tusuk.
Perawat itu tidak menatapku lagi. Dia menyelesaikan catatannya, lalu menganggukkan kepala ke arah salah satu penjaga. Periksa dia.
Aku tetap berdiri saat dua serdadu me meriksa apakah aku membawa senjata. Aku mendengking kesakitan setiap mereka menyentuh lengan atau perutku. Mereka tidak me nemukan pisau di sepatu botku. Mereka mengambil be berapa Notes yang kuselipkan di ikat pinggang sebagai bia ya masuk rumah sakit. Tentu saja.
Kalau aku anak yang tinggal di sektor orang kaya, aku akan di terima tanpa bayaran. Atau, mereka akan mengirim dok ter gratis langsung ke tempatku tinggal.
Para serdadu memberi isyarat jempol kepada si Perawat, lalu perawat itu menunjuk pintu masuk. Ruang tung gu di sebelah kiri. Duduklah di sana.
Aku mengucapkan terima kasih, lalu berjalan terhuyung melewati pintu geser otomatis. Pria bernama Metias me mper hatikanku saat aku lewat. Dia mendengarkan salah satu bawahannya dengan sabar, tapi aku melihat dia mem pe lajari wajahku seolah-olah rupaku sangat aneh. Aku sen diri mengingat wajahnya baik-baik dalam pikiranku.
Bagian dalam rumah sakit itu sangat putih. Aku melihat ruang tunggu di sebelah kiriku, tepat seperti yang perawat itu bilang. Ruang tunggu tersebut besar, dijejali orang-orang dengan berbagai macam lu ka. Kebanyakan dari me reka mengerang kesakitan bah kan ada satu yang ber baring tak bergerak di lantai. Aku tak ingin tahu sudah berapa lama mereka di sini, atau berapa banyak uang yang harus mereka keluarkan.
Kuperhatikan baik-baik posisi para tentara dua orang di dekat jendela kantor sekretaris, dua orang di depan pintu ruang praktik dokter yang jauh dari sini, beberapa tak jauh dari lift, masing-masing mengenakan tanda pengenal setelah itu, aku menundukkan pandangan ke lantai. Dengan lang kah terseret, aku berjalan ke kursi terdekat, lalu duduk. Se kali ini lututku yang tidak sehat menolong penyamaranku. Se bagai tambahan, kucengkeram pinggangku layaknya orang sakit perut.
Dalam hati aku menghitung selama sepuluh menit, cu kup lama sampai pasien selanjutnya datang ke ruang tung gu dan pa ra tentara itu sudah tak tertarik lagi pada ku.
Kemudian aku ber diri, pura-pura terhuyung, lalu ber ja lan menuju ser da du terdekat. Releks, tangannya meng acungkan senapan padaku.
Kembali duduk, katanya. Aku tersandung di hadapannya. Saya harus ke ka mar kecil, bisikku serak. Tanganku gemetar saat aku menceng keram baju hitamnya agar tidak jatuh. Serdadu itu me na tapku jijik, sementara serdadu lainnya terkekeh. Aku bisa melihat jari serdadu itu bergerak mendekat ke pelatuk senapannya, tapi salah seorang temannya menggeleng. Ti dak boleh menembak di rumah sakit. Serdadu itu pun men do rong ku menjauh, mengarahkan senapannya ke ujung ruangan.
Di sana, bentaknya. Bersihkan kotoran di wajah mu! Dan kalau kau menyentuhku lagi, aku akan menembakmu.
Aku melepaskan cengkeramanku dan hampir jatuh. Setelah itu, aku berbalik dan berjalan sempoyongan menuju kamar kecil. Sepatu bot kulitku berdecit di atas lantai. Aku bi sa merasakan tatapan serdadu itu padaku saat aku masuk ke kamar kecil dan mengunci pintu.
Tidak masalah. Mereka akan melupakanku dalam bebe rapa menit. Dan, akan butuh beberapa menit tambahan sampai serdadu yang tadi kucengkeram itu sadar tanda pengenalnya hilang.
Di kamar kecil, kutanggalkan akting sakitku. Kuba suh wajahku dengan air dan kubersihkan semua darah ser ta lumpur yang menempel. Kubuka sepatu botku, lalu k urobek sol terdalamnya agar bisa mengambil pisauku dan
me nye lipkannya di ikat pinggang, kemudian sepatu bot itu ku pakai lagi. Setelah itu, kukenakan kemeja hitam yang ter ikat di pinggangku, kukancingkan sampai ke leher dan ku jepitkan bretel di atasnya. Kukuncir rambutku dan kumasuk kan kunciran itu ke dalam kemeja sehingga menempel rata di punggungku.
Terakhir, kupakai sarung tangan dan kuikatkan saputangan hitam di sekeliling mulut dan hidungku. Kalau seseorang memergokiku sekarang, aku terpaksa lari. Mungkin juga menyembunyikan wajahku.
Setelah semuanya selesai, kugunakan ujung pisauku untuk melepas sekrup penutup terowongan ventilasi kamar kecil. Kemudian, kukeluarkan tanda pengenal serdadu tadi, kujepitkan ke kalung berbandulku, dan aku pun masuk ke lubang terowongan dengan kepala lebih dulu.
Udara dalam terowongan berbau aneh sehingga aku bersyukur karena memakai saputangan untuk menu tupi wajahku. Aku merayap pelan secepat yang kubisa. Le bar tero wongan ini pasti tidak bisa lebih dari satu meter ke segala arah. Setiap kali merayap maju, aku harus me mejam kan mata dan mengingatkan diri untuk bernapas lega ka rena dinding logam di sekelilingku tidak mengimpit. Aku tidak perlu pergi terlalu jauh tidak satu pun dari tero wongan-terowongan di sini akan membawaku ke lantai em pat. Aku hanya butuh pergi cukup jauh untuk sampai ke salah satu tangga rumah sakit, jauh dari para tentara yang berjaga di lantai satu.
Aku kembali merayap maju. Aku memikirkan wajah Eden, obat yang dia dan John dan ibuku butuhkan, serta tan da X merah aneh dengan garis di tengahnya.
Setelah beberapa menit, terowongan itu berakhir. Aku meme rik sa ventilasi, dan dalam keremangan aku bisa me l ihat ba gian-bagian sebuah ruangan. Lantainya putih ber sih dan indah, tapi yang paling penting ruangan itu ko song. Dalam hati aku menghitung sampai tiga, kemudian ku ayun kan lengan sejauh mungkin ke belakang dan kudorong pe nutup terowongan itu sekuat tenaga. Penutup itu mem banting terbuka.
Sekilas, aku memperhatikan tempat tersebut. Sebuah ruangan luas berbentuk bundar dengan dinding tinggi yang terbuat dari kapur disertai jendela-jendela kecil. Ada pula tangga melingkar berbentuk spiral besar.
Sekarang, aku bergerak dengan kecepatan penuh tanpa sem bunyi-sembunyi. Lari. Susah payah aku keluar dari terowongan dan berlari cepat ke tangga. Setelah setengah jalan menaiki tangga, aku mencengkeram pegangan tangga kuat-kuat dan melentingkan tubuh ke puncak untuk menuju undakan selanjutnya. Kamera se kuriti pasti terfokus padaku. Alarm akan berbunyi tak la ma lagi.
Lantai dua, lantai tiga. Waktuku hampir habis. Saat tiba di depan pintu lantai tiga, kulepas tanda pengenal dari ka lung ku dan kugesekkan di alat pemeriksa di pintu. Bu tuh waktu cukup lama untuk menunggu alat pemeriksa itu be kerja. Kamera sekuriti belum membunyikan alarm
untuk mengunci jalur tangga. Terdengar bu nyi klik di gagang pintu tanda pengenal itu dikenali. Aku mem buka pintu.
Kini, aku berada di ruangan besar yang penuh dengan tempat tidur dorong dan bahan-bahan kimia yang mendidih di bawah tutup logam. Para dokter dan tentara menatapku te r kejut.
Aku menarik orang yang pertama kulihat seorang dokter muda yang berdiri di dekat pintu. Sebelum tentara mana pun sempat membidikkan senapan mereka ke arah kami, kukeluarkan salah satu pisauku dan kutekan ke teng - go rok an pria itu. Para dokter dan perawat yang lain mem beku. Beberapa di antara mereka menjerit.
Tembak saja. Kalian akan mengenai dia, dari balik saputangan, aku berseru kepada para tentara. Senapan me reka kini tertuju padaku. Dokter yang kuancam gemetar.
Aku menekan pisauku lebih keras ke lehernya, berhatihati agar tidak mengiris kulitnya.
Aku tidak akan melukaimu, bisikku di telinganya. Be ri tahu aku di mana obat untuk wabah itu.
Dokter itu mengeluarkan suara tercekik dan aku bisa merasakan dia berkeringat. Dia membuat isyarat ke arah lemari pendingin. Para tentara masih ragu-ragu tapi salah satu dari mereka berseru padaku.
Lepaskan dokter itu! teriaknya. Angkat tangan! Aku ingin tertawa mendengarnya. Serdadu ini pasti orang baru. Aku menyeberangi ruangan itu bersama si Dokter, lalu berhenti di depan lemari pendingin.
Tunjukkan padaku. Dokter itu mengangkat tangannya yang gemetar dan membuka pintu lemari pendingin. Embusan udara beku me ner pa kami. Aku bertanya-tanya apakah dokter itu bisa me rasa kan betapa cepatnya degup jantungku.
Di sana, ujarnya pelan. Aku memalingkan kepala da ri para tentara cukup lama untuk melihat si Dokter me nun juk rak teratas lemari pendingin. Setengah dari ta bung-ta bung kecil di sana dilabeli tiga huruf X: Mutasi Virus T. Filo viridae. Setengah tabung yang lain berlabel Obat 11.30. Na mun, semua tabung itu kosong. Semuanya su dah habis.
Aku mengumpat. Mataku menjelajahi rak-rak lain mereka hanya punya obat supresan dan macam-macam penghi lang rasa sakit. Aku mengumpat lagi. Sudah terlam bat un tuk kembali sekarang.
Kau boleh pergi, bisikku pada dokter itu. Orang aneh.
Aku melepas cengkeramanku lalu mendorongnya, cukup keras hingga dia jatuh tersungkur.
Para tentara mulai menembak. Tapi, aku sudah siap aku ber sembunyi di belakang pintu lemari pendingin yang ter buka sehingga pelurunya memantul. Kuambil beberapa botol supresan, lalu kumasukkan ke dalam kausku. Aku ber lari secepat kilat. Salah satu tembakan tersasar mengenai ku, menimbulkan rasa sakit yang membakar menjalari le nganku. Sekarang, aku sudah hampir mencapai pintu ke luar.
Alarm berbunyi saat aku melewati pintu jalur tangga. Kemudian, terdengar suara klik. Se mua pintu di jalur tangga terkunci dari da lam. Aku terjebak. Para tentara masih
bisa masuk dari pin tu yang mana pun, tapi aku tidak bisa keluar. Teriakan dan lang kah kaki menggema dari dalam lab. Sebuah suara me mekik, Dia kena!
Pandanganku tertuju pada jendela-jendela kecil di dinding kapur ruangan ini. Jendela-jendela itu terlalu jauh untuk kucapai dari tangga. Aku menggertakkan gigi sambil me ngeluarkan pisauku yang kedua, sehingga sekarang ma sing-masing tanganku memegang pisau. Aku berdoa agar dinding kapur itu tidak terlalu keras, lalu melompat dari tang ga dan melemparkan diri ke sana.
Aku menusukkan satu pisau ke dinding kapur. Darah me mancar dari lenganku yang terluka, membuatku menjerit. Aku bergelantungan pada pisau di antara tempatku melompat dan jendela. Bolak-balik kuayunkan tubuh sekeras yang kubisa, terus-menerus.
Dinding kapur itu akhirnya ambruk.
Aku bisa mendengar pintu lab menjeblak terbuka di be la kangku dan para tentara berhamburan masuk. Mereka mulai menembakiku. Aku melompat menerobos jendela, mem biarkan pisauku tertancap di dinding.


Legend Karya Marie Lu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kaca jendela pecah. Mendadak aku sudah berada di la ngit malam dan melayang ke lantai satu bagaikan bintang jatuh. Aku merobek kemejaku dan membentangkannya di atas kepala, menggembung bagai parasut. Kutekuk lutut. Kaki akan mendarat lebih dulu. Kukendurkan otot-otot. Mempersiapkan telapak kakiku. Berayun. Tanah semakin dekat. Kuambil ancang-ancang.
Angin menghempaskanku. Aku berguling empat kali dan menabrak dinding di seberang jalan. Selama bebe rapa
saat, aku terbaring di sana dengan mata terpejam, sepenuhnya pasrah. Aku bisa mendengar suara-suara marah dari jendela lantai tiga sebelum para tentara itu sadar mereka harus kembali ke lab untuk mematikan alarm. Indrain draku berangsur menajam sekarang aku benar-benar me rasa kan sakit di pinggang dan lenganku.
Dengan lengan yang sehat, kusangga tubuh untuk bang kit. Aku mengernyitkan dahi, dadaku berdebar-debar. Ku rasa satu tulang rusukku patah. Saat aku mencoba berdiri, aku baru sadar sebelah pergelangan kakiku keseleo. Aku tidak tahu apakah adrenalin yang membuatku tidak me rasa kan efek-efek lain dari jatuhku tadi.
Teriakan terdengar dari sudut gedung. Kupaksa otakku berpikir. Sekarang, aku berada dekat dengan bagian be la kang gedung, dan beberapa jalan kecil yang gelap ber ca bang di belakangku. Terpincang-pincang, aku berjalan ke sana.
Saat menoleh, aku melihat sekelompok kecil tentara ber lari cepat menuju lokasi tempatku jatuh, menunjuk pecah an kaca dan darah. Salah satu dari tentara itu adalah kapten muda bernama Metias yang sudah kulihat sebelumnya. Dia memerintahkan bawahannya untuk berpencar. Aku mem percepat langkah sambil berusaha mengenyahkan rasa sa kitku. Kurendahkan bahu agar setelan hitam dan ram but gelapku dapat menolongku melebur dalam kegelapan. Pandanganku tertuju ke bawah sebab aku harus mencari lubang saluran bawah tanah.
Penglihatanku mulai kabur. Kutekan satu tangan ke te linga, memeriksa kalau-kalau ada darah keluar dari sana.
Belum ada, pertanda bagus. Beberapa saat kemudian, aku melihat tutup lubang saluran di jalan. Aku menghela napas lega, mengencangkan saputangan di sekeliling wajahku, lalu berjongkok untuk membuka tutup lubang itu. Berhenti. Tetap di situ.
Aku berputar dan melihat Metias, si Kapten Muda, berhadapan denganku. Senapan nya terarah lurus padaku, tapi yang membuatku heran, dia tidak menembakku. Aku menguatkan genggaman pa d a pisau ku yang tersisa. Sesuatu berubah di matanya, dan aku tahu dia mengenaliku, pemuda yang pura-pura sempo yong an di rumah sakit tadi. Aku tersenyum sekarang aku punya banyak luka sung guhan untuk dirawat di rumah sakit.
Metias menyipitkan mata. Angkat tangan. Kau ditangkap karena mencuri, merusak, dan menyusup. Kau tidak akan menangkapku hidup-hidup. Aku akan membawa mayatmu, kalau kau lebih suka begitu.
Apa yang terjadi berikutnya terasa kabur. Aku melihat Metias mengokang senapannya. Dengan segenap kekuatan, kulempar pisauku ke arahnya. Sebelum dia sempat me nem bak, pisauku mengenai pundaknya. Dia jatuh berdebam ke belakang. Aku tidak menunggu sampai dia bangun. Aku berjongkok dan mengangkat tutup lubang saluran, ke mudian masuk ke situ dan menuruni tangga menuju kege lapan. Kugeser lagi tutup lubang itu ke tempatnya.
Sekarang, lukaku benar-benar menyiksa. Aku berjalan tertatih-tatih sepanjang saluran dengan penglihatan yang se makin tidak fokus. Sebelah tanganku mencengkeram
ping gang erat-erat. Aku berhati-hati agar tidak menyentuh din ding.
Rasanya sakit setiap aku bernapas. Satu tulang rusukku pasti patah. Tapi, aku masih cukup sadar untuk berpikir arah mana yang sedang kutempuh dan berkonsentrasi un tuk me nuju sektor Lake. Tess akan berada di sana, mene mu kan dan menolongku.
Kurasa aku mendengar derap langkah kaki di atas sa na, juga teriakan para tentara. Tidak diragukan lagi se se orang telah menemukan Metias, bahkan mungkin ju ga me reka sudah turun ke saluran ini. Mereka dapat meng ikuti jejakku kalau membawa anjing. Tampaknya aku ha rus ber belok beberapa kali dan berjalan di air selokan yang kotor.
Di belakangku, aku mendengar suara ceburan disusul gema suara manusia. Aku berbelok lagi dan lagi. Suara itu mendekat, lalu menjauh. Kupastikan tujuan awalku tertanam kuat dalam pikiranku.
Pastinya akan hebat iya kan" bisa kabur dari rumah sakit hanya untuk mati di sini, tersesat di labirin saluran ba wah tanah.
Aku menghitung menit demi menit agar aku tidak pingsan. Lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit, satu jam. Langkah kaki di belakangku kini terdengar amat jauh, seolah-olah mereka berada di jalan yang berbeda denganku. Beberapa kali aku mendengar suara aneh, sesuatu seperti ta bung reaksi yang menggelegak, pipa uap, dan tiupan uda ra. Suara-suara itu datang dan pergi.
Dua jam. Dua setengah jam. Waktu aku melihat tangga yang menuju permukaan, aku mengambil risiko dengan memanjatnya. Saat ini aku benar-benar hampir pingsan. Bu tuh semua sisa tenagaku untuk merangkak naik ke ja lan an.
Aku berada di sebuah gang kecil yang gelap. Setelah bisa bernapas, dengan penglihatan kabur kupelajari sekelilingku.
Aku bisa melihat Stasiun Union beberapa blok jauhnya. Berarti aku sudah dekat. Tess ada di sana, menungguku. Tiga blok lagi. Dua blok lagi.
Satu blok lagi. Aku tidak bisa bertahan lebih lama. Aku roboh di salah satu sudut gelap jalan ini. Hal terakhir yang kulihat adalah siluet seorang gadis di kejauhan. Mungkin dia sedang berjalan ke arahku. Aku berbaring, kesadaranku mulai lenyap.
Sebelum aku benar-benar jatuh pingsan, kusadari bahwa kalung berbandulku sudah tidak ada di leher.[]
a ku masih ingat hari ketika kakakku me le watkan upacara pe lantikannya menjadi tentara Re pu blik.
Saat itu Minggu siang, cuacanya panas dan kotor de ngan awan cokelat menyelimuti langit. Umurku tujuh ta hun, sedangkan Metias sembilan belas. Anjingku yang ber bulu putih, Ollie, tidur di lantai marmer apartemen kami yang dingin. Aku terbaring sakit di tempat tidur se men tara Metias duduk di sampingku, alisnya berkerut penuh ke kha - wa tir an. Kami bisa mendengar pengeras suara di luar me nyeru kan sumpah nasional Republik. Ketika tiba pada bagian yang menyebutkan presiden, Metias berdiri lalu mem beri hormat ke arah ibu kota. Elector Primo yang ter ke nal baru saja menerima masa jabatan lagi selama em pat tahun, yang berarti merupakan masa jabatannya yang kesebelas.
Kau tahu, kau tidak seharusnya berada di sini, kata ku pada Metias setelah pengambilan sumpah selesai. Per gilah ke pelantikanmu. Aku akan tetap sakit, apa pun yang ter jadi.
Metias tidak menggubris kata-kataku, malah kembali meletakkan kompres handuk dingin di dahiku.
Aku akan tetap dilantik, apa pun yang terjadi, katanya. Dia menyuapiku seiris jeruk. Aku ingat tadi melihatnya me ngu pas jeruk itu untukku; dia membuat sebuah garis
pan jang di kulit jeruk, lalu mengeratnya terlepas dalam satu potongan.
Tapi itu Komandan Jameson, aku mengerjap dengan ma taku yang bengkak. Dia bermurah hati kepadamu dengan tidak mengirimmu ke medan perang. Dia pasti mar ah kalau tahu kau tidak datang. Tidakkah dia akan menulis nya dalam catatan riwayatmu" Tentunya kau tidak mau ditendang keluar seperti penipu jalanan.
Metias menjawil hidungku tak senang.
Kau tidak boleh bicara begitu, Junebug. Itu kasar. Dan, Komandan Jameson tidak bisa melakukan itu padaku dalam patrolinya selama upacara. Selain itu, dia mengedipkan ma ta, aku selalu bisa menyusup ke basis data mereka untuk mem ber sihkan catatan riwayatku.
Aku meringis. Suatu hari nanti aku juga ingin dilantik menjadi tentara dan memakai seragamnya yang berwarna gelap. Bahkan, mungkin saja aku cukup beruntung untuk di tem pat kan di bawah komandan terkenal seperti yang ter jadi pada Metias.
Kubuka mulutku sehingga dia bisa menyuapiku irisan jeruk lagi.
Kau harus mengurangi pergi ke Batalla. Kupikir kau harus punya waktu untuk cari pacar.
Metias tertawa. Aku tidak butuh pacar. Aku punya adik perempuan yang harus kuurus.
Ayolah, Metias. Kau akan punya pacar suatu hari nanti.
Kita lihat saja. Aku sangat selektif.
Aku berhenti menatap kakakku tepat di matanya. Metias, apakah Ibu merawatku saat aku sakit" Apakah dia melakukan hal-hal seperti yang kau lakukan ini"
Metias menjulurkan tangan, menyingkirkan helaian ram but yang basah karena keringat dari wajahku.
Jangan bodoh, Junebug. Tentu saja Ibu merawatmu. Dan dia melakukannya lebih baik daripada aku.
Tidak. Kau yang terbaik, bisikku, dengan kelopak mata yang mulai memberat.
Kakakku tersenyum. Aku senang kau bilang begitu. Kau tidak akan meninggalkanku, kan" Kau akan bersamaku lebih lama daripada Ibu dan Ayah"
Metias mengecup dahiku. Selamanya, Dik, sampai kau bosan dan tak mau lagi melihatku.
P ukul 00.01. s ektor r uBy .
72" F ahrenheit Di Dalam .
Aku langsung tahu ada sesuatu yang salah saat homas mun c ul di depan pintu. Semua lampu di daerah tempat ting gal kami padam, seperti yang Metias bilang. Hanya lam pu minyak yang menerangi apartemen ini.
Ollie ribut menggonggong. Aku memakai seragam la tihanku, rompi hitam-merah, serta sepatu bot bertali. Ram but ku dikuncir kuda. Untuk sesaat, aku senang bukan Me tias yang muncul. Metias akan melihat persiapanku dan
ta hu bah wa aku hendak mengikutinya, yang berarti lagi-lagi me nen tang perintahnya.
Saat aku membuka pintu, homas terbatuk gugup melihat wajah heranku, lalu pura-pura tersenyum. (Ada bekas coretan semir hitam di dahinya, mungkin dari telunjuknya sendiri. Dia pasti baru selesai melumasi senapannya sore tadi dan besok adalah jadwal inspeksi patrolinya.)
Aku melipat lengan. Dengan sopan, dia menyentuh ujung topinya.
Halo, Miss Iparis, sapanya.
Aku menghela napas panjang. Aku baru saja mau per - gi. Mana Metias"
Komandan Jameson memintamu ikut denganku ke ru mah sakit sesegera mungkin. homas ragu-ragu seje nak. Itu lebih seperti perintah daripada permintaan. Rasanya seperti ada lubang di perutku. Kenapa dia tidak meneleponku saja" tanyaku. Komandan ingin aku menemanimu.
Kenapa" suaraku mulai meninggi. Mana kakakku" Sekarang, homas yang menghela napas. Aku sudah tahu apa yang akan dia katakan.
Maaf. Metias terbunuh. Saat itu dunia di sekelilingku membisu.
Seolah dari jarak yang amat jauh, aku bisa melihat homas masih berbicara, memberi isyarat dengan tangannya, lalu memelukku. Aku balas memeluknya tanpa menyadari apa yang kulakukan. Aku mati rasa. Aku hanya bisa meng-
ang guk saat dia menenangkanku dan memintaku untuk mengikutinya. Lalu, dia merangkulku.
Hidung anjing yang basah menyentuh tanganku. Ollie ikut keluar dari apartemen bersamaku. Aku memberitahunya untuk tidak jauh-jauh dariku, kemudian mengunci pintu apar temen dan memasukkan kuncinya ke dalam saku. Ku biar kan homas membimbing aku dan Ollie menuruni tangga dalam kegelapan. Dia terus bicara, tapi aku tidak me nang kap satu pun kata-katanya. Aku menatap lurus-lurus ke hias an logam yang melapisi tangga, tepatnya ke pantulan Ollie dan aku yang berubah bentuk.
Aku tidak tahu bagaimana ekspresiku sekarang. Bahkan, aku tak yakin ada ekspresi di wajahku.
Seharusnya Metias membawaku bersamanya. Ini adalah pikir an logisku yang pertama saat kami mencapai lantai da sar ba ngun an bertingkat ini. Aku memanjat masuk ke jip yang sudah menunggu, sementara Ollie melompat ke kur si bela kang dan menjulurkan kepalanya ke luar jendela. Jip ini berbau lembap (seperti karet bercampur logam dan ke ringat pasti belum lama ini ada sekelompok orang di sini). homas duduk di kursi pengemudi dan memastikan sabuk pengamanku sudah terpasang dengan benar. Sungguh suatu hal remeh yang bodoh.
Seharusnya Metias membawaku bersamanya. Pikiran ini terus berputar di kepalaku. homas tidak ber kata apa-apa. Sepanjang perjalanan dia membiarkanku me natap gelapnya kota. Adakalanya dia melirikku sekilas de-
ngan pan dang an ragu-ragu. Sebagian kecil diriku mencatat da lam hati untuk minta maaf padanya nanti.
Pandanganku tertuju kepada bangunan-bangunan yang sudah biasa kami lewati. Meski tanpa lampu, orang-orang (ke b a nyak an dari mereka adalah para pekerja bayaran dari per kam pung an miskin) memadati kios-kios di lantai satu atau makan semangkuk makanan murah di kafe di lantai dasar. Gumpalan uap membubung tinggi di kejauhan.
JumboTrons tetap menyala seperti biasa meskipun sup lai listrik dikurangi. Saat ini layarnya menampilkan per ingat an terbaru mengenai banjir dan karantina. Namun, be be rapa kali layar itu menayangkan tentang kelompok Pat riot kali ini ada pengeboman lain di Sacramento yang me ne was kan setengah lusin tentara.
Beberapa taruna muda berumur sebelas tahun dengan strip kuning di lengan baju mereka berlama-lama duduk di tangga luar sebuah akademi. Huruf-huruf tua dari tulis an Walt Disney Concert Hall sudah usang dan hampir sepenuhnya pudar. Jip-jip militer lain melintas di depan kami. Aku bisa melihat wajah-wajah kosong para tentara. Beberapa dari me reka memakai goggle hitam sehingga aku tidak dapat me lihat mata mereka.
Langit tampak lebih mendung dari biasanya pertanda akan ada hujan badai. Aku memakai tudung kepalaku sekarang, berjaga-jaga seandainya aku lupa saat turun dari jip.
Saat kembali memusatkan perhatian ke jendela, aku me li hat pusat Kota Batalla. Semua lampu di sektor mi li ter
ini me nyala. Tampak menara rumah sakit beberapa blok dari sini.
homas memperhatikanku menjulurkan leher agar da pat melihat lebih baik.
Hampir sampai, katanya. Sementara jip kami mendekati lokasi kejadian, aku bisa melihat garis kuning polisi mengelilingi menara. Ada pula sekelompok tentara patroli kota (dengan strip merah di le ngan baju mereka, seperti Metias), fotografer, polisi, van hi tam, dan truk medis. Ollie mendengking.
Kurasa mereka tidak menangkap orang itu, kataku pada homas.
Bagaimana kau tahu" Aku mengangguk ke arah bangunan tersebut. Dia sangat hebat, lanjutku. Bisa bertahan hidup setelah melom pat dari ketinggian dua-setengah-lantai dan masih pu nya kekuatan untuk melarikan diri.
homas memandang menara dan mencoba melihat apa yang kulihat jendela yang pecah di lantai tiga, daerah yang dikelilingi garis kuning polisi di bawahnya, para tentara yang menyisir sepanjang gang, ketiadaan ambulans.
Kami belum menangkap laki-laki itu, setelah beberapa saat, dia mengaku. Bekas semir di dahinya membuat tatapan nya tampak bingung. Tapi, itu tidak berarti kami tidak akan menemukan jasadnya nanti.
Kalian tidak akan menemukannya kalau kalian belum menemukannya.
homas membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi dan kembali berkonsentrasi ke jalanan. Ketika akhirnya jip berhenti, Komandan Jameson memisahkan diri dari sekelompok orang di dekatnya dan berjalan mendekati mobil kami.
Maafkan aku, tiba-tiba homas berkata padaku. Aku merasakan rasa bersalah yang perih karena sikap dinginku, lalu mengangguk padanya.
Ayah homas adalah tukang bersih-bersih di gedung apartemen bertingkat kami sebelum ia meninggal, sedangkan ibunya adalah juru masak di SD-ku. Metias adalah orang yang me re komendasikan homas (yang mendapat skor Uji an tinggi) untuk ditugaskan di bagian patroli kota yang ber geng si, mes kipun latar belakangnya sederhana. Jadi, dia pasti me rasa sama mati rasanya denganku.
Komandan Jameson mendatangi pintu jip dan mengetuk jendela dua kali untuk mendapat perhatianku. Bibir tipis wa nita itu diolesi lipstik merah. Dalam kegelapan malam, ram butnya yang merah kecokelatan terlihat seperti cokelat gelap hampir hitam.
Turun, Iparis. Jangan buang-buang waktu. Ia mengerjap saat melihat Ollie di kursi belakang. Itu bukan anjing polisi, Nak. Bahkan dalam saat seperti ini, sikapnya tetap me nunjukkan ketabahan.
Aku keluar dari jip dan menghormat cepat padanya. Ollie melompat turun di sebelahku. Anda memanggil saya, Komandan, kataku.
Komandan Jameson tidak membalas hormatku. Dia mulai berjalan, memaksaku terburu-buru menjajari langkahnya sambil berjuang agar tidak jatuh.
Kakakmu Metias tewas, ujarnya. Nada suaranya tidak berubah. Aku diberi tahu bahwa kau hampir menyelesaikan latihanmu, benar" Berarti kau sudah selesai belajar memburu jejak"
Aku berjuang keras untuk bernapas. Yang Komandan kata kan adalah konirmasi kedua tentang kematian Metias.
Ya, Komandan, akhirnya aku berhasil menjawab. Kami menuju rumah sakit. (Ruang tunggu kosong; mereka sudah menyingkirkan semua pasien; para penjaga berkum pul di dekat pintu masuk lorong tangga; kemungkinan di situlah tempat peristiwa ini dimulai.)
Pandangan Komandan Jameson tetap ke depan dan tangannya di belakang punggung. Berapa nilai Ujianmu"
Seribu lima ratus, Komandan. Semua orang di ke militer an tahu nilaiku. Tapi, Komandan Jameson berpura-pura tidak tahu atau tidak peduli.
Dia tidak berhenti berjalan. Ah, betul, ujarnya, seolah baru pertama kali dia mendengar hal ini. Bagaimanapun, mungkin kau akan berguna. Aku sudah menelepon Drake dan memberi tahu mereka bahwa kau dibebaskan dari latih an lebih lanjut. Lagi pula semua pelajaranmu ham pir se le sai.
Keningku berkerut. Komandan"
Aku menerima laporan seluruh hasil belajarmu di sana. Nilai-nilaimu sempurna kau telah menyelesaikan ke ba nyak an pelajaranmu setengah tahun lebih awal, ya, kan" Dan, mereka juga mengatakan bahwa kau adalah pembuat masalah. Apa itu benar"
Aku tidak mengerti apa yang dia inginkan dariku. Ka dang-ka dang, Komandan. Apa yang terjadi" Apakah saya di keluar kan"
Komandan Jameson tersenyum. Hampir tidak. Mereka meluluskanmu lebih cepat. Ikut aku ada sesuatu yang ingin kuperlihatkan.
Aku ingin bertanya padanya tentang Metias, tentang apa yang terjadi di sini. Tapi, sikap dinginnya mengurungkan niatku.
Kami melintasi aula depan di lantai satu sampai akhirnya tiba di pintu keluar darurat di ujung. Di sana, Komandan Jameson melambai ke arah para tentara yang menjaganya dan mengantarku masuk. Geraman rendah terdengar dari teng gorok an Ollie.
Kami sekarang berada di udara terbuka, tepatnya di be la kang gedung ini. Aku sadar kini kami berada di area yang diberi garis kuning polisi. Lusinan tentara berkerumun di sekeliling kami.
Cepat, seru Komandan Jameson padaku. Aku memper cepat langkah.
Beberapa saat kemudian, aku tahu apa yang ingin dia tun jukkan padaku dan di mana kami berjalan sekarang. Tak jauh di depan kami ada benda yang ditutupi kain putih.
(Manusia, tingginya sekitar 180 cm; kaki dan tungkainya masih utuh; sudah jelas orang itu tidak jatuh dalam posisi se perti itu, jadi pasti ada yang membaringkannya.)
Aku mulai menggigil. Kulihat bulu di punggung Ollie berdiri. Beberapa kali kupanggil dia, tapi dia tidak mau berjalan lebih dekat, jadi aku terpaksa mengikuti Komandan Jameson dan meninggalkannya.
Metias mengecup dahiku. Selamanya, Dik, sampai kau bosan dan tak mau lagi melihatku.
Komandan Jameson berhenti di depan objek yang ditutupi kain putih itu, lalu berjongkok dan menyingkirkan kain putihnya. Aku menatap jenazah seorang tentara berseragam hitam, sebilah pisau masih menancap di dadanya. Da rah gelap menodai bajunya, pundaknya, tangannya, ser ta pangkal pisau. Matanya terpejam. Aku berlutut di de pan nya dan dengan lembut menyingkirkan rambut dari wa jahnya. Ini aneh. Aku tidak menangkap detail apa pun dari pemandangan ini. Aku masih mati rasa.
Beri tahu aku apa yang mungkin telah terjadi di sini, pinta Komandan Jameson. Anggap ini sebagai kuis. Identitas jenazah itu seharusnya memotivasimu.
Bahkan, kata-katanya yang menyengat tidak membuatku bergerak sedikit pun. Namun, detail-detail itu menyerbu ma suk dalam pikiranku, lalu aku mulai bicara. Siapa pun yang me nusuknya dengan pisau ini melakukannya dari jarak dekat atau mempunyai lengan yang sangat kuat untuk me lem par. Dia menggunakan tangan kanan. Jari-jariku me ne lusuri gagang pisau yang berlumur darah. Bidikan
yang mengesankan. Pisau ini punya pasangan, kan" Anda lihat corak yang ada di bagian bawah pisaunya" Corak itu di sayat dengan kasar.
Komandan Jameson mengangguk. Pisau yang satu lagi tertancap di dinding lorong tangga.
Aku menatap jalan kecil tempat kaki kakakku terarah dan melihat tutup lubang saluran bawah tanah beberapa me ter di depan. Ke situlah penjahat itu lari, kataku. Aku mem per kirakan posisi tutup lubang saluran itu. Dia juga kidal. Me narik. Dia dapat menggunakan kedua tangan dengan sama baiknya.
Lanjutkan. Dari sini, saluran bawah tanah itu akan membawanya lebih jauh ke kota atau ke barat menuju laut. Dia akan me mi lih ko ta kemungkinan dia terluka parah sehingga ti dak meng ambil arah sebaliknya. Tapi, mustahil untuk me nge jar nya sekarang. Jika punya kepekaan yang bagus, dia akan ber belok kira-kira enam kali dan juga berjalan di air. Dia tidak akan menyentuh dinding. Tidak ada jejak yang dia ting gal kan.
Aku akan meninggalkanmu di sini sebentar supaya kau bisa mengumpulkan pikiranmu. Dua menit lagi temui aku di lorong tangga lantai tiga agar para fotografer bisa me la ku kan pekerjaan mereka. Sebelum berbalik, dia meman dang sekilas pada jenazah Metias. Selama beberapa detik, wajahnya melembut. Sayang sekali harus kehilangan pra ju rit sebaik dia. Lalu, dia menggelengkan kepala dan per gi.
Aku menatap kepergiannya. Orang-orang lain di se ke - liling ku menjaga jarak, rupanya mereka ingin sekali meng - hin dari percakapan yang canggung. Aku kembali meman - dang wajah kakakku. Di luar dugaan, dia terlihat da mai. Kulit nya cokelat, tidak pucat seperti yang kukira. Aku se te ngah berharap matanya berkedip, mulutnya terse nyum.
Tetesan darah kering menyerpih di tanganku. Darah itu tetap lengket di kulitku saat aku mencoba membersihkannya. Aku tidak tahu apakah ini yang menyebabkan kemarahanku. Tanganku gemetar hebat sehingga kutekankan ke baju Meti as untuk meredakan getarannya. Aku seharusnya meng a nalisis peristiwa yang terjadi & tapi aku tak bisa kon sen trasi.
Seharusnya kau membawaku bersamamu, bisikku pada Metias. Lalu, kurebahkan kepalaku di tubuhnya dan mu lai menangis. Dalam hati aku mengukir janji bisu kepada pembunuh kakakku.
Aku akan memburumu. Aku akan menjelajahi jalanan Los Angeles untukmu, kalau perlu mencarimu di seluruh penjuru Republik. Aku akan menipu dan mencurangimu, berbohong, mengelabui dan mencuri untuk menemukanmu, menyeretmu keluar dari tempat persembunyianmu, dan me nge jar mu sampai kau tidak punya tempat lagi untuk sem bunyi. Aku berjanji padamu: hidupmu adalah milikku.
Terlalu cepat, para tentara datang untuk membawa Me tias ke ruang jenazah.
P ukul 03.17. a Partemenku .
m alam yang s ama . h ujan mulai turun .
Aku berbaring di sofa sambil memeluk Ollie. Tempat yang biasanya Metias duduki kosong. Tumpukan jurnal Metias dan album foto lama berantakan di meja kopi. Metias se lalu menyukai cara-cara kuno orangtua kami, makanya dia tetap menulis jurnal sebagaimana orangtua kami tetap menyimpan foto-foto ini. Kau tidak bisa melacak foto-foto ini di In ter net, begitu yang selalu dia bilang. Ironis, mengingat dirinya adalah hacker yang ahli.
Benarkah dia baru menjemputku dari Drake tadi siang" Dia bilang ingin membicarakan sesuatu yang penting denganku sebelum dia pergi. Tapi sekarang, aku tak pernah ta hu apa yang ingin dia bicarakan.
Berbagai macam kertas laporan menutupi perutku. Se belah tanganku menggenggam sebuah bandul, salah satu barang bukti yang sedang kuselidiki saat ini. Kupicingkan ma ta pada permukaannya yang halus, pada sedikitnya corak di situ. Lalu, aku mengeluh sambil menurunkan tangan. Ke palaku sakit.
Sekarang, aku paham kenapa Komandan Jameson menge luarkanku dari Drake. Ternyata dia sudah lama mengawasiku. Sekarang, secara tiba-tiba dia kehilangan satu serdadu dalam kelompok patroli Metias dan dia ingin mengisi tempat kosong itu. Waktu yang tepat untuk merekrutku
se be lum didahului yang lain. Mulai besok, homas akan meng gan tikan posisi Metias untuk sementara dan aku ber ga b ung di kelompok patroli sebagai agen detektif dalam pela tihan.
Misi pengejaranku yang pertama: Day.
Sejak dulu kami telah mencoba berbagai taktik un tuk menangkap Day, tapi semuanya gagal, Jameson mem beritahuku sebelum aku pulang. Jadi, inilah yang akan kita la ku kan. Aku akan melanjutkan pekerjaan patroliku dan mari kita uji kemampuanmu dengan praktik lapangan. Tun juk kan padaku bagaimana kau memburu Day. Mungkin kau akan sampai ke suatu tempat. Mungkin juga tidak. Tapi, kau adalah bibit muda yang segar, dan jika kau membuatku ter kesan, aku akan mempromosikanmu menjadi agen penuh dalam patroli ini. Aku akan menjadikanmu terkenal agen termuda yang pernah ada.
Aku memejamkan mata sambil mencoba untuk berpikir.
Day membunuh kakakku. Aku tahu ini karena kami me nemukan tanda pengenal yang dicuri tergeletak di lorong tangga lantai tiga, yang membawa kami kepada serdadu pemiliknya, yang dengan tergagap memberi tahu ciri-ciri orang itu. Deskripsi yang diberikannya tidak ada satu pun yang cocok dengan data-data Day yang kami miliki tapi pa da kenyataannya, kami hanya tahu sedikit tentang dia, ke cuali bahwa dia masih muda seperti orang di rumah sakit se malam. Sidik jari di tanda pengenal itu sama dengan sidik jari yang bulan lalu ditemukan pada suatu peristiwa
kejahatan yang dihubungkan dengan Day, sidik jari yang tidak cocok dengan sidik jari warga sipil mana pun yang ka mi punya.
Day ada di sana, di rumah sakit. Dia juga cukup ceroboh meninggalkan tanda pengenal itu.
Dan hal itu membuatku bertanya-tanya. Day menerobos masuk ke lab untuk mengambil obat sebagai bagian dari keputusasaan dan kondisi darurat, serta direncanakan de ngan kurang baik. Dia pasti mencuri obat supresan dan penghilang rasa sakit itu karena tidak menemukan yang lebih baik. Tentu saja dia tidak terjangkit wabah itu, tidak kalau melihat caranya kabur. Tapi, seseorang yang dikenalnyalah yang terjangkit, seseorang yang cukup dia pedulikan se hingga dia rela mempertaruhkan nyawanya. Seseorang yang tinggal di Blueridge atau Lake atau Winter atau Alta, sektor-sektor yang belakangan ini terjangkit wabah itu. Jika dugaanku benar, Day tidak akan segera meninggalkan kota itu. Dia berada di sana karena hubungan tersebut, dimotivasi oleh emosi.
Bisa juga ada orang yang menyewa Day untuk melakukan ini. Namun, rumah sakit adalah tempat yang berbahaya, dan orang tersebut harus membayarnya sangat mahal. Jika Day punya uang sebanyak itu, tentunya dia akan membuat rencana yang lebih detail. Dia juga akan tahu kapan pasokan obat wabah yang berikutnya tiba di lab. Selain itu, Day bu kan orang bayaran dalam kejahatan-kejahatannya yang ter dahulu. Dia telah menyabotase aset-aset militer Re publik sendirian, memperlambat pasokan ke medan perang,
serta menghancurkan pesawat dan jet tempur kami. Dia seperti memiliki semacam agenda untuk menghentikan kemenangan kami melawan Koloni.
Selama beberapa waktu kami menduga dia bekerja untuk Koloni tapi semua hasil kerjanya kasar, tanpa peralat an canggih atau dana besar yang menyokong. Hal ini bu kan sesuatu yang kau harapkan dari musuhmu.
Setahuku dia tidak pernah bekerja untuk dibayar, dan se pertinya sekarang pun dia tidak melakukannya. Siapa yang mau mempekerjakan orang bayaran yang belum teruji"
Kemungkinan lain adalah kelompok Patriot yang memintanya tetapi jika Day bekerja untuk mereka, salah satu dari kelompok Patriot akan menggambar bendera kebesaran mereka (tiga belas garis merah dan putih, dengan lima puluh titik putih pada persegi panjang biru) di dinding tak jauh dari lokasi kejadian. Mereka tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menunjukkan kemenangan.
Namun, yang paling tidak masuk perhitunganku adalah: sebelumnya Day tidak pernah membunuh orang. Ini ada lah alasan lain mengapa aku tidak berpikir dia terkait de ngan Patriot. Dalam salah satu kejahatannya dulu, dia ma suk diam-diam ke zona karantina setelah mengikat seorang polisi. Polisi itu tidak tergores sedikit pun (kecuali le bam di mata).
Pada kejadian lain, Day menerobos ke dalam ruang bawah tanah sebuah bank, tapi dia membiarkan keempat pe tugas keamanan tidak tersentuh di pintu belakang meskipun keempatnya sedikit terbius. Day juga pernah membakar
se luruh skuadron jet tempur di lapangan udara yang kosong pada tengah malam dan dua kali membuat pesawat tak bisa terbang dengan melumpuhkan mesinnya. Pernah juga dia merusak dinding sebuah bangunan militer.
Dia mencuri uang, makanan, barang-barang bagus. Tapi, dia tidak meledakkan bom di pinggir jalan. Dia tidak menembak tentara. Dia tidak melakukan percobaan pembu nuh an. Dia tidak membunuh.
Jadi kenapa Metias" Day pasti bisa kabur tanpa membunuhnya. Apa Day punya dendam pada Metias" Pernah kah kakakku dulu melakukan sesuatu padanya" Pembu nuh an ini bukan kebetulan pisau itu langsung menusuk jantung Me tias.
Langsung melenyapkan kepintarannya, kebodohannya, sifat keras kepalanya, sikapnya yang terlalu protektif.
Aku membuka mata, lalu mengangkat tangan dan kembali mempelajari kalung berbandul itu. Benda ini pasti milik Day sidik jari di situ membuktikannya. Bandul ini berupa cakram kecil tanpa ukiran, sesuatu yang kami temukan di lan tai lorong tangga bersama dengan tanda pengenal yang dicuri itu. Bentuknya bukan dari agama mana pun yang ku kenal.
Kalau dilihat harganya, benda ini nyaris tidak bernilai nikel murahan dan tembaga, sedangkan bagian kalung nya dari plastik. Itu berarti kemungkinan dia tidak men curi nya. Benda ini pasti punya makna yang berbeda ba gi nya dan berharga untuk dipakai ke mana-mana dengan risiko kehilangan atau menjatuhkannya. Mungkin ini jimat
keberhasilan. Mungkin juga diberikan kepadanya dari seseorang yang memiliki hubungan emosional dengannya. Mungkin orang tersebut adalah orang yang sama dengan orang yang ingin ditolongnya dengan mencuri obat wabah. Benda ini memiliki rahasia; tapi aku tidak tahu apa itu.
Dulu perbuatan-perbuatan Day membuatku kagum. Tapi sekarang, dia musuhku targetku. Misi pertamaku.
Kukumpulkan semua gagasan selama dua hari. Pada hari ketiga, aku menelepon Komandan Jameson. Aku punya rencana.[]
LAGI-LAGI AKU BERMIMPI SEDANG BERADA DI RUMAH. Eden duduk di lantai, menggambar semacam bulatan-bulatan di ubin. Usianya sekitar empat atau lima tahun, pipinya bundar dan tembam. Setiap beberapa menit dia berdiri, lalu memintaku mengomentari gambarnya.
John dan aku bersama-sama meringkuk di sofa, sia-sia mencoba membetulkan radio keluarga yang telah ber tahun-tahun kami miliki. Aku masih ingat saat Ayah memba wa radio itu pulang. Radio ini akan memberi tahu kita dae rah-daerah yang terjangkit wabah, kata beliau. Namun kini, se krup dan tombol-tombolnya tergeletak rusak tak ber da ya di pangkuan kami. Aku meminta Eden membantu kami, ta pi dia hanya tertawa kecil dan menyuruh kami mem be tul kan nya sendiri.
Ibu berdiri sendirian di dapur kecil kami, berusaha menyiapkan makan malam. Aku hafal betul pemandangan ini. Kedua tangan Ibu diperban dia pasti terluka oleh pecahan botol atau kaleng kosong saat membersihkan tempat sampah di Stasiun Union hari ini. Dia mengernyit kesakitan saat memecahkan biji jagung beku dengan pinggiran pisau. Tangannya yang terluka gemetar.
Hentikan, Bu. Aku akan menolong Ibu. Aku mencoba ber diri, tapi rasanya kakiku terpancang ke tanah.
Setelah beberapa saat, aku mengangkat kepala untuk melihat gambar Eden. Mulanya aku tidak bisa menebak ben tuk-bentuk apa itu semua gambar itu terlihat campur aduk di bawah tangannya yang sibuk.
Saat kulihat lebih dekat, aku sadar ternyata dia sedang meng gambar para tentara mendatangi rumah kami. Dia meng gam bar mereka dengan krayon merah darah.
Aku terbangun. Cahaya redup kelabu merembes masuk dari jendela. Aku bisa mendengar suara redam hu jan. Aku berada di sebuah ruangan yang kelihatannya se perti ka mar anak-anak yang sudah tidak digunakan lagi. Lapisan din dingnya berwarna biru dan kuning, mengelupas di sudut. Dua batang lilin menyinari kamar tersebut. Aku bisa me rasa kan kedua kakiku menjuntai di ujung tempat tidur. Ada ba n tal di bawah kepalaku. Saat kucoba bergerak, aku lang sung mengerang dan menutup mata lagi.
Suara Tess terdengar. Kau bisa mendengarku" tanyanya.
Tidak terlalu keras, Sepupu. Suaraku berupa bisikan yang keluar dari bibirku yang kering. Kepalaku berdenyut de ngan sakit kepala yang menusuk dan membutakan. Tess me nyadari kesakitan di wajahku dan tidak bicara apa-apa se men tara aku memejamkan mata menunggu sakitnya hi lang. Namun, rasa sakit itu malah datang terus, seperti ada palu yang berkali-kali menghantam bagian belakang ke palaku.
Setelah beberapa saat yang seperti selamanya, sakit ke pala itu akhirnya mulai hilang. Aku membuka mata. Di ma na aku" Kau tidak apa-apa"
Wajah Tess menjadi jelas. Rambutnya dikepang pendek, bibir merah jambunya tersenyum. Aku tidak apaapa" katanya. Kau tidak sadarkan diri lebih dari dua hari. Ba gaimana keadaan-mu"
Gelombang rasa sakit menyerangku, kali ini dari lukaluka yang ada di sekujur tubuh. Fantastis.
Senyum Tess memudar. Kau nyaris saja mati sangat nyaris. Kalau aku tidak menemukan orang yang mau menolong kita, kau pasti tidak akan selamat.
Mendadak segalanya muncul kembali di pikiranku. Aku ingat pintu rumah sakit, tanda pengenal yang kucuri, lorong tangga, lab, terjun bebas, pisauku yang terlempar mengenai si Kapten, saluran bawah tanah. Dan obat wabah.
Obat wabah itu. Aku mencoba duduk, tapi aku bergerak terlalu cepat sehingga harus menggigit bibir untuk menahan rasa sakit. Tanganku meraba leher kalung bandulku tidak ada.
Dadaku sakit. Aku menghilangkan bandul itu. Ayah yang memberikannya padaku dan sekarang aku meng hilang kannya.
Tess mencoba menenangkanku. Hei, tenanglah. Apa keluargaku baik-baik saja" Apa ada obat yang ter sisa padaku setelah aku jatuh"
Ada. Tess membantuku berbaring kembali, lalu bertele kan ke tempat tidurku. Kurasa obat supresan lebih baik daripada tidak ada obat sama sekali. Aku sudah menaruhnya di rumah ibumu bersama buntalan hadiahmu. Aku masuk lewat pintu belakang dan memberikannya
pada John. Dia memintaku menyampaikan terima kasih padamu.
Kau tidak cerita pada John apa yang terjadi, kan" Tess memutar matanya. Kau pikir aku bisa menyembunyi kannya darinya" Sekarang, semua orang sudah dengar ada yang menerobos masuk ke rumah sakit, dan John ta hu kau terluka. Kedengarannya dia sangat marah saat menge tahuinya.
Apa dia bilang siapa yang sakit" Eden" Atau Ibu" Tess menggigit bibir. Eden. John bilang semua orang baik-baik saja saat ini. Tapi, Eden bisa bicara dan kelihatannya cukup waspada. Eden mencoba turun dari tempat tidur untuk membantu ibumu memperbaiki kebocoran di bawah bak cuci piring kalian agar mereka tahu dia tidak apa-apa, tapi tentu saja ibumu menyuruhnya kembali ke tempat tidur. Ibumu merobek dua bajunya untuk kompres demam Eden. John bilang, kalau kau menemukan pakaian yang pas untuk ibumu, beliau pasti senang menerimanya.
Aku menghela napas panjang. Eden. Memang begitu lah dia masih berlagak seperti mekanik meski sedang ter jangkit wabah. Setidaknya aku berusaha mendapatkan obat. Se galanya akan berhasil. Eden akan baik-baik saja untuk sementara waktu, dan aku tidak keberatan memenuhi permin ta an John. Sedangkan untuk masalah bandulku yang hilang & yah, untuk sesaat aku senang ibuku tidak mengetahui hal ini, sebab dia akan sakit hati kalau tahu.
Aku tidak bisa menemukan obat apa pun dan tak pu nya waktu mencarinya.
Tidak apa-apa, sahut Tess. Dia menyiapkan perban baru untuk lenganku. Aku melihat topi tuaku yang sudah ru sak tersampir di punggung kursinya. Keluargamu masih punya waktu. Akan ada kesempatan lain.
Rumah siapa yang kita tempati sekarang" Segera setelah aku bertanya, aku mendengar bunyi pin tu tertutup disusul langkah kaki di ruang sebelah. Aku me na tap Tess, bersiaga. Dia hanya mengangguk tanpa suara dan menyuruhku tetap santai.
Seorang pria masuk sambil menggoyang-goyangkan payung untuk membersihkannya dari tetesan hujan yang kotor. Dia membawa kantong kertas berwarna cokelat di tangan nya. Kau sudah sadar, katanya padaku. Bagus.
Aku mempelajari wajahnya. Dia sangat pucat dan pi pi nya sedikit tembam, alisnya lebat dan sorot matanya ra mah. Nak, dia berkata pada Tess, menurutmu besok ma lam dia sudah bisa pergi"
Besok malam kami tidak akan berada di sini lagi. Tess mengambil sebuah botol berisi sesuatu yang bening alkohol, kurasa dan membasahi pinggiran perban dengan cairan itu. Aku berjengit saat perban tersebut dibalutkan ke bagian lenganku yang terserempet peluru. Rasanya seperti korek api dinyalakan di kulitku. Terima kasih telah me nam pung kami, Sir.
Pria itu menggumamkan sesuatu dengan ekspresi tak tertebak, lalu mengangguk dengan canggung. Dia melihat sekeliling kamar seolah-olah sedang mencari sesuatu yang hilang.
Aku khawatir tidak bisa menampung kalian lebih lama. Para tentara akan segera melakukan patroli wabah la gi. Dia ragu-ragu. Kemudian, diambilnya dua kaleng dari kan tong kertas dan diletakkannya di meja berlaci. Chili 1 untuk kalian. Aku tidak bisa memberi yang lebih baik, tapi ini akan mengisi perutmu. Aku juga akan membawakan be be rapa potong roti.
Sebelum salah satu dari kami dapat mengatakan sesuatu, dia terburu-buru keluar kamar dengan belanjaannya yang lain.
Untuk pertama kalinya, aku menatap tubuhku. Aku me nge na kan celana panjang tentara berwarna cokelat. Da - da ku telanjang, diperban. Begitu juga dengan lengan dan se belah kakiku.
Kenapa dia menolong kita" kutanya Tess dengan sua ra rendah.
Dia mengangkat kepala menatapku. Saat ini dia sedang membalut lenganku. Jangan terlalu curiga. Dulu pria itu punya seorang anak laki-laki yang bekerja di medan pe rang. Anaknya itu meninggal karena wabah beberapa ta hun yang lalu. Aku memekik saat Tess mengikat simpul ter akhir di perbanku.
Tarik napas. Aku melakukan seperti yang dimintanya. Rasa sa kit yang tajam menusukku saat dia seenaknya saja menekankan jari-jarinya ke berbagai bagian di dadaku. Pipinya merona merah jambu saat melakukannya.
1 Chili con carne, rebusan berbumbu yang terbuat dari cabai, bawang putih, bawang bombay, jinten, dan daging cincang. (sumber: Wikipedia)
Sepertinya satu tulang rusukmu retak, tapi tidak patah. Kau akan sembuh dengan cepat. Ngomong-ngo mong, pria tadi tidak menanyakan nama kita dan aku pun tidak menanyakan namanya. Lebih baik tidak tahu. Aku menceritakan padanya kenapa kau terluka seperti ini. Kurasa itu meng ingatkannya pada putranya.
Aku kembali membaringkan kepala di bantal. Sekujur tu buhku sakit. Aku kehilangan kedua pisauku, gerutuku pelan sehingga pria itu tidak mendengarku. Padahal, duaduanya pisau yang bagus.
Aku turut sedih, Day, dia menyingkirkan rambut yang melintang di wajahnya, lalu mencondongkan tubuh padaku. Tangannya memegang kantong plastik bening berisi tiga butir peluru. Aku menemukan ini dalam lipatan pakai an mu. Kukira kau mungkin ingin menyimpannya untuk katapel mu atau apalah. Dia memasukkan kantong plastik itu ke dalam salah satu sakuku.
Senyumku mengembang. Ketika pertama kali bertemu Tess tiga tahun lalu, dia adalah gadis kecil kurus berusia sepuluh tahun yang tak punya orangtua. Aku menemukannya waktu dia sedang membongkar-bongkar tempat sampah di sektor Nima. Dia sangat membutuhkan bantuanku pada tahun-ta hun pertama itu, sampai kadang-kadang aku lupa betapa kini aku sangat bergantung padanya.
Terima kasih, Sepupu, kataku. Dia menggumamkan se suatu yang tidak kumengerti, lalu memalingkan wajah.
Tak lama kemudian, aku kembali terlelap. Saat aku bangun lagi, aku tak tahu berapa lama waktu telah berjalan. Sa kit kepalaku sudah hilang dan di luar gelap. Mungkin
se ka rang masih hari yang sama meskipun aku merasa tidur lebih la ma. Tidak ada tentara, tidak ada polisi. Kami masih hi dup. Se lama beberapa saat aku berbaring tak bergerak, se pe nuh nya terjaga dalam kegelapan. Tampaknya penolong kami tidak melaporkan kami. Belum.
Tess tertidur di sebelahku, kepalanya berbantalkan le ngan. Kadang-kadang, aku berharap bisa menemukan ru mah yang nyaman untuknya, dengan keluarga baik yang mau me ne rimanya. Tapi, setiap kali pikiran ini tebersit di be nak ku, langsung kubuang jauh-jauh karena Tess akan kem bali ter pen jara oleh Republik kalau dia tinggal bersama ke luar ga sungguhan. Dan, dia akan dipaksa ikut Ujian ka rena dia belum pernah mengikutinya. Atau yang lebih buruk, me reka akan mengusut hubungannya denganku dan menginte ro gasinya.
Aku menggelengkan kepala. Terlalu naif, terlalu mudah dimanipulasi. Aku tidak akan pernah memercayakan dia kepada siapa pun. Di samping itu & aku akan merindukannya. Dua tahun pertama yang kuhabiskan sendirian di jalan an adalah tahun-tahun yang sepi.
Dengan sangat hati-hati, kugerakkan pergelangan kakiku. Masih sedikit kaku, tapi tidak sakit tidak ada urat yang robek, tidak ada bengkak serius. Luka karena peluru ma sih terasa membakar dan tulang rusukku sakit sekali, tapi kali ini aku cukup kuat untuk duduk. Secara otomatis tanganku bergerak ke rambutku, yang terurai di bawah bahu. De ngan satu tangan, aku merangkumnya sembarangan lalu mengikatnya dalam satu ikatan kuat. Kemudian, kucon dong kan tubuh ke arah Tess untuk mengambil topi
tuaku dari pung gung kursi dan memakainya, mem buat ta ngan ku sakit.
Aku mencium aroma chili dan roti. Di atas meja sam ping tempat tidur terdapat mangkuk mengepul. Sepotong kecil roti tawar disandarkan ke pinggir mangkuk. Aku ter ingat dua kaleng chili yang tadi diletakkan tuan rumah kami. Perutku keroncongan. Langsung kulahap semuanya. Saat aku menjilati jari-jariku untuk membersihkan sisa-sisa chili, aku mendengar pintu tertutup di salah satu ba gian rumah ini dan beberapa saat kemudian, terdengar lang kah kaki tergesa menuju kamar kami. Aku menegang. Di sebelahku, Tess tersentak bangun lalu mencengkeram le nganku.
Apa itu tadi" tanyanya tanpa dipikir. Kuletakkan telunjuk di bibirku.
Pria penolong kami terburu-buru masuk ke kamar. Dia me nge nakan mantel compang-camping di atas piamanya. Ka lian harus pergi sekarang, bisiknya. Butiran-butiran keri ngat memenuhi dahinya. Aku baru saja mendengar ada la ki-laki yang sedang mencarimu.
Aku menatapnya tenang, sementara dengan panik Tess memandangku.
Dari mana Anda tahu" tanyaku.
Pria itu mulai membersihkan kamar, mengambil mangkuk yang sudah kosong dan mengelap meja. Orang itu meng umumkan pada semua orang bahwa dia punya obat wabah bagi yang me mer lu kannya. Dia tahu kau terluka. Dia tidak menyebut na ma, tapi pasti kaulah yang dimaksud olehnya.
Aku menegakkan tubuh, bersiap turun dari tempat ti dur. Tidak ada pilihan.
Dia memang membicarakan saya, aku mengiakan. Tess mengambil beberapa perban bersih dan menyimpannya di balik baju. Itu jebakan. Kami akan segera pergi.
Tuan rumah kami mengangguk. Kalian bisa keluar le wat pin tu belakang. Lurus terus dari lorong, di sebelah kiri.
Selama beberapa detik, aku menatap matanya. Dalam waktu yang singkat itu, aku sadar bahwa pria ter se but tahu betul siapa aku, meskipun dia tidak akan mengata kan nya keras-keras. Seperti orang-orang di sektor kami yang mengenali dan menolongku di masa lalu, pria ini tidak benarbe nar tidak setuju terhadap masalah yang kutimbulkan un tuk Republik.
Kami sangat berterima kasih, kataku.
Dia tidak membalas. Kugandeng tangan Tess, kemudian kami keluar dari kamar, menyusuri lorong, dan keluar lewat pintu belakang. Malam itu sangat lembap. Mataku ber air karena rasa sakit dari lukaku.
Kami berjalan dalam diam melewati gang-gang kecil sejauh enam blok sampai akhirnya kami memperlambat lang kah. Luka-lukaku serasa menjerit. Aku hendak memegang kalung bandulku agar merasa nyaman, tapi kemudian aku ingat bahwa kalung itu sudah tidak ada di leherku. Pe ra - sa an tak enak muncul di perutku. Bagaimana kalau Re pub lik mengetahui bandul apa itu" Akankah mereka meng han curkan nya" Bagaimana jika mereka mengusut asal-usul bandul itu sampai ke keluargaku"
Tess menjatuhkan diri ke tanah dan menyandarkan kepalanya ke dinding gang. Kita harus meninggalkan ko ta ini, ujarnya. Di sini terlalu berbahaya, Day. Kau tahu itu. Arizona atau Colorado akan lebih aman atau bahkan Barstow. Aku tidak keberatan pergi ke daerah pinggiran.
Rahasia Bayi Tergantung 2 The Iron Fey 1 The Iron King Karya Julie Kagawa Lima Centi Meter 1
^