Pencarian

Oliver Twist 2

Oliver Twist Karya Charles Dickens Bagian 2


Sowerberry turut bergabung dan membantu memeganginya
dengan satu tangan, sementara dia mencakari wajah Oliver
dengan tangan yang satunya lagi. Dalam situasi yang meng"
untungkan ini, Noah bangkit dari tanah, dan menggebuki
Oliver dari belakang. 60~ OLIVER TWIST Praktik ini terlalu brutal sehingga tidak berlangsung lama.
Ketika semua sudah kelelahan dan tidak bisa menghajar dan
memukul lebih lama lagi, mereka menyeret Oliver yang merontaronta dan berteriak-teriak tapi tidak gentar ke dalam gudang
abu bawah tanah, dan menguncinya di sana. Setelah melakukan
ini, Nyonya Sowberry menjatuhkan diri ke sebuah kursi, dan
meledaklah tangisnya. "Terberkatilah dia, dia kehilangan akal!" kata Charlotte.
"Sege"las air, Noah, Sayang. Cepatlah!"
"Oh! Charlotte," kata Nyonya Sowerberry, berbicara sebaik
yang dia bisa, di tengah-tengah kurangnya udara dan siraman
air dingin yang dituangkan Noah ke kepala dan pundaknya.
"Oh! Charlotte, syukurlah kita semua tidak dibunuh di ranjang
kita!" "Ah! Memang kita patut bersyukur, Nyonya," jawabnya.
"Saya harap ini akan mengingatkan Tuan agar tidak lagi mene"
rima makhluk mengerikan macam ini, yang dilahirkan untuk
jadi pembunuh dan perampok sejak lahir. Noah yang malang!
Waktu saya masuk, dia sudah dihajar habis-habisan dan hampir
dibunuh, Nyonya." "Pemuda yang malang!" kata Nyonya Sowerberry sambil me"
mandangi si anak derma dengan penuh kasih.
Noah, yang kancing teratas rompinya kurang lebih sama
tingginya dengan puncak kepala Oliver, menggosok-gosok ma"
tanya dengan bagian dalam pergelangan tangan selagi simpati
ini dianugerahkan kepada dirinya, dan menampilkan air mata
serta sedu-sedan yang menyentuh hati.
"Apa yang harus kita lakukan!" seru Nyonya Sowerberry.
"Ma?"ji?"kan kalian sedang tidak di rumah. Tidak ada pria dewasa
di rumah, dan berandal itu akan menendang pintu hingga
roboh dalam waktu sepuluh menit." Gedoran dahsyat Oliver
ke papan kayu yang sedang dibicarakan membuktikan bahwa
kemungkinan ini bisa saja terjadi.
CHARLES DICKENS ~61 "Wah! Saya tidak tahu, Nyonya," kata Charlotte, "kecuali
kita panggil saja polisi."
"Atau militer," usul Tuan Claypole.
"Jangan, jangan," kata Nyonya Sowerberry, teringat teman
lama Oliver. "Temui Tuan Bumble, Noah, dan beri tahu dia
supaya datang ke sini sekarang juga. Jangan membuang wak"tu
semenit pun; lupakan saja topimu! Cepatlah! Kau bisa menem"
pelkan pisau ke matamu yang hitam itu, sambil lari. Itu akan
mencegah matamu makin bengkak."
Noah tidak menjawab, tapi cepat-cepat pergi dengan kece"
patan penuh. Orang-orang yang sedang berjalan di luar sangat
terkejut melihat seorang anak derma melesat tak terkendali di
jalanan, tanpa topi di kepala dan dengan pisau lipat ditempelkan
ke matanya.[] Kabur Dari Rumah oah Claypole lari menyusuri jalan secepat yang dia
bisa, dan tidak berhenti satu kali pun untuk menghela
napas, sampai dia mencapai gerbang rumah sosial.
Setelah beristirahat di sini kira-kira semenit untuk mengumpul"
kan isak tangis yang mencukupi serta pameran air mata dan rasa
ngeri yang mengesankan, dia mengetuk pagar keras-keras dan
menampilkan wajah yang demikian nelangsa kepada seorang
papa yang membukanya sehingga dia"yang tidak melihat apa
pun selain wajah nelangsa di sekelilingnya pada masa-masa
terbaik sekalipun"terkesiap kaget.
"Wah, ada masalah apa dengan anak ini!" kata si miskin
tua. "Tuan Bumble! Tuan Bumble!" tangis Noah dengan kerisauan
palsu yang meyakinkan dan dengan nada yang begitu lantang
serta cemas. Tuan Bumble yang kebetulan berada di dekat sana
menjadi teramat waswas sehingga dia bergegas memasuki ha"
laman tanpa topi tingginya"yang merupakan peristiwa ganjil
dan amat langka, yang menunjukkan bahwa seorang sekretaris
desa sekalipun, bilamana bertindak berdasarkan dorongan
hati kuat serta tiba-tiba, mungkin saja untuk sementara
kehilangan sikap pongah dan melupakan harga diri pribadi yang
dijunjungnya. "Oh, Tuan Bumble!" kata Noah. "Oliver, Tuan ... Oliver
telah ...." CHARLES DICKENS ~63 "Apa" Apa?" potong Tuan Bumble, disertai kilat puas di
matanya yang seperti logam. "Bukan kabur, dia tidak kabur,
kan, Noah?" "Tidak, Tuan, tidak. Bukan kabur, Tuan, tapi dia jadi ganas,"
jawab Noah. "Dia mencoba membunuh saya, Tuan, kemudi"an
dia mencoba membunuh Charlotte; kemudian Nyonya. Oh!
Sungguh pedih dan mengerikan! Sungguh memilukan, tolong,
Tuan!" Noah berkata sambil menggeliat-geliut dan memuntir
tubuhnya seperti belut. Tuan Bumble berpikir, gara-gara le"
dakan keganasan Oliver Twist yang membabi buta, Noah telah
menderita luka dan cedera internal parah yang saat ini tengah
menyiksanya dengan teramat sangat.
Ketika Noah menyaksikan bahwa informasi yang dia kabarkan
sepenuhnya melumpuhkan Tuan Bumble, dia mengeluar"kan
efek tambahan dengan cara meratapi luka-lukanya yang me"nya"
kit?"?"kan sepuluh kali lebih lantang daripada sebelumnya. Dan,
ketika melihat pria berompi putih menyeberangi halaman, dia
melolong-lolong lebih tragis lagi sehingga tentu saja menarik
perhatian, serta membangkitkan rasa berang pada diri pria ter"
sebut. Pria berompi putih segera saja tertarik perhatiannya sebab
dia belum lagi berjalan tiga langkah ketika dia berbalik dengan
marah dan menanyakan kenapa si berandal kecil itu meraungraung, dan kenapa Tuan Bumble tidak menghadiahi anak itu
sesuatu yang akan menangkal keluarnya serangkaian pekik suara
berisik tersebut. "Ini anak malang dari sekolah gratis, Tuan," jawab Tuan
Bumble, "yang dihajar habis-habisan"hampir dibunuh, Tuan"
oleh Twist muda." "Demi Jupiter!" seru pria berompi putih, berhenti seketika.
"Aku tahu! Aku merasakan praduga aneh sejak semula bahwa
pemuda liar lancang itu akan digantung!"
"Dia pun mencoba untuk membunuh pelayan perempuan,
Tuan," kata Tuan Bumble dengan wajah pucat pasi.
64~ OLIVER TWIST "Dan Nyonyanya," potong Tuan Claypole.
"Dan majikan laki-lakinya juga, sepertinya kau berkata be"
gitu, Noah?" imbuh Tuan Bumble.
"Tidak! Beliau sedang keluar, atau dia pasti sudah berusaha
membunuh beliau," kata Noah. "Dia bilang dia ingin membunuh
Tuan." "Ah! Mengatakan dia ingin melakukannya, ya, Nak?" selidik
pria berompi putih. "Ya, Tuan," jawab Noah. "Dan saya mohon, Tuan, Nyonya
ingin tahu apakah Tuan Bumble bersedia meluangkan waktu
untuk mampir ke sana, sekarang juga, dan merotannya"soalnya
Tuan sedang keluar."
"Tentu saja, Nak, tentu saja," kata pria berompi putih sambil
tersenyum ramah dan menepuk-nepuk kepala Noah, yang kirakira tiga inci lebih tinggi dari kepalanya sendiri. "Kau anak baik
" anak yang sangat baik. Ini satu penny untukmu. Bumble,
mampir ke rumah Sowerberry dan bawa tongkatmu. Lakukan
yang terbaik yang bisa dilakukan. Jangan ampuni dia, Bumble."
"Tidak, saya takkan mengampuninya, Tuan," jawab sang
sekretaris desa. Dan, setelah posisi topi tinggi dan tongkat
disesuaikan hingga memuaskan pemiliknya, Tuan Bumble
dan Noah Claypole pergi secepat-cepatnya ke toko pengurus
pemakaman. Saat itu situasi belum lagi membaik. Tuan Sowerberry belum
kembali, dan Oliver terus menendangi pintu gudang bawah tanah
dengan energi yang tak kunjung berkurang. Kisah mengenai
keganasannya yang diceritakan oleh Nyonya Sowerberry dan
Charlotte demikian mencengangkan sehingga Tuan Bumble
berpendapat pantas kiranya jika mereka berunding, sebelum
membuka pintu. Dengan tekad bulat dia melakukan tendangan
dari luar, sebagai sebentuk pendahuluan. Kemudian, sambil
menempelkan mulutnya ke lubang kunci, berkata dengan nada
suara yang dalam dan mengesankan.
"Oliver!" "Biarkan aku keluar! Cepat!" jawab Oliver dari dalam.
CHARLES DICKENS ~65 "Apa kau tahu suara siapa ini, Oliver?" ujar Tuan Bumble.
"Ya!" jawab Oliver.
"Tidakkah kau takut pada suara ini, Bung" Tidakkah kau
gemetaran saat aku bicara, Bung?" kata Tuan Bumble.
"Tidak!" jawab Oliver berani.
Jawaban yang begitu berbeda dengan yang dia harap
akan dikeluarkan dan terbiasa diterimanya, membuat Tuan
Bumble bimbang. Dia melangkah mundur dari lubang kunci,
menegakkan dirinya tinggi-tinggi, dan sambil melihat ketiga
penonton silih berganti, terperanjat tanpa bisa berkata-kata.
"Oh, Anda tahu, Tuan Bumble, dia pasti sudah gila," kata
Nyonya Sowerberry. "Tak ada anak laki-laki setengah waras
yang berani-berani bicara seperti itu kepada Anda."
"Bukan "kegilaan", Nyonya," jawab Tuan Bumble, setelah be"
berapa lama melakukan perenungan mendalam. "Tapi daging."
"Apa?" seru Nyonya Sowerberry.
"Daging, Nyonya, daging," jawab Bumble, dengan tekanan
tegas. "Anda terlalu banyak memberinya makan, Nyonya.
Seperti yang akan diberitahukan dewan kepada Anda, Nyonya
Sowerberry, apa gunanya kaum papa punya jiwa atau roh"
Cukuplah kita biarkan mereka memiliki raga. Jika Anda
memberinya bubur saja, Nyonya, ini takkan pernah terjadi."
"Wah, wah!" seru Nyonya Sowerberry sambil memalingkan
kepalanya ke langit-langit dapur layaknya orang saleh. "Inilah
akibatnya jika kita bersikap liberal!"
Sikap liberal Nyonya Sowerberry pada Oliver terdiri dari
suplai berlimpah segala macam makanan kotor yang tidak sudi
dimakan orang lain. Jadi, kepasrahannya menerima tuduhan
berat Tuan Bumble semata-mata didasari kealiman serta
konsistensi diri. Tentu saja, sesungguhnya dia sama sekali tidak
bersalah atas tuduhan itu, dalam pikiran, perkataan, maupun
perbuatan. "Ah!" kata Tuan Bumble, ketika sang nyonya menundukkan
matanya ke bumi lagi. "Satu-satunya yang bisa dilakukan se"
ka?""rang, setahuku, adalah meninggalkannya di ruang bawah
66~ OLIVER TWIST tanah kira-kira sehari sampai dia sedikit kelaparan. Kemudian,
membawanya keluar dan memberinya makan bubur saja se"
panjang masa kerjanya. Dia berasal dari keluarga yang tidak
baik. Tabiat gampang marah, Nyonya Sowerberry! Baik perawat
maupun dokter berkata, bahwa ibunya berhasil sampai ke sini,
melawan kesulitan dan rasa sakit yang pasti sudah membunuh
wanita baik-baik berminggu-minggu sebelumnya."
Pada titik ini dalam pidato Tuan Bumble, Oliver mendengar
cukup banyak sehingga tahu bahwa suatu alusi tengah ditujukan
pada ibunya. Dia kembali menendang-nendang dengan kega"
nasan yang membuat semua bunyi lain tak terdengar. Pada
saat inilah Tuan Sowerberry pulang. Setelah kejahatan Oliver
dijelaskan kepadanya"dengan sangat dilebih-lebihkan karena
para biang gosip memperkirakan lebih baik kiranya bilamana
mereka membangkitkan amarahnya"dia membuka kunci pintu
gudang bawah tanah disertai bunyi gemerencing, dan menyeret
pekerja magangnya yang pembangkang ke luar dengan cara
mencengkeram kerah bajunya.
Pakaian Oliver robek-robek karena dipukuli, wajahnya me?"
mar dan terluka gores, dan rambutnya berantakan di atas ke"
ningnya. Walau begitu, rona marah di wajahnya belum sirna.
Dan, ketika ditarik keluar dari penjaranya, dia memberengut
dengan berani kepada Noah, kelihatan tanpa gentar.
"Nah, kau ini anak baik, kan?" kata Tuan Sowerberry sambil
mengguncang-guncangkan Oliver, lalu menjewer kupingnya.
"Dia mengata-ngatai ibuku," jawab Oliver.
"Nah, memangnya kenapa kalau dia mengata-ngatai ibumu,
dasar berandal kecil tak tahu berterima kasih?" kata Nyonya
Sowerberry. "Ibumu layak menerima apa yang dikatakannya,
dan lebih buruk lagi."
"Tidak!" kata Oliver.
"Ya," kata Nyonya Sowerberry.
"Bohong!" kata Oliver.
Banjir air mata pun meledak dari Nyonya Sowerberry.
CHARLES DICKENS ~67 Banjir air mata ini tak menyisakan pilihan bagi Tuan Sower"
berry. Jika dia ragu-ragu sesaat saja untuk menghukum Oliver
sekeras-kerasnya, sudah cukup jelas bagi setiap pembaca yang
berpengalaman bahwa dia pasti"berdasarkan semua pre"seden
dalam pertikaian suami istri sebelumnya"akan dibi?""lang jahat,
suami kejam, makhluk hina, pria lembek, dan ber?""bagai macam
karakter lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan sehingga
takkan muat dalam bab ini.
Sesungguhnya Tuan Sowerberry, sejauh kuasanya memung"
kinkan"yang jangkauannya memang tak terlalu besar"selama
ini punya kecenderungan bersikap baik kepada anak laki-laki
itu. Barangkali karena ada untungnya baginya untuk bersikap
begitu; barangkali karena istrinya tak menyukai Oliver. Namun,
banjir air mata membuatnya hilang akal. Maka, dia serta-merta
memberi Oliver pukulan, yang memuaskan Nyonya Sowerberry
dan membuat pemakaian tongkat pejabat Tuan Bumble jadi
tidak perlu. Selama sisa hari itu, Oliver dikurung di dapur
belakang, ditemani sebuah pompa dan sepotong roti. Pada
malam harinya, setelah melontarkan berbagai komentar di luar
pintu, yang sama sekali tidak menyanjung ibu Oliver, Nyonya
Sowerberry menengok ke dalam ruangan dan di tengah-tengah
cemooh serta celaan Noah dan Charlotte, memerintahkan
Oliver naik ke tempat tidurnya yang menyedihkan.
Baru setelah ditinggalkan sendirian dalam kesunyian dan
ke?"he?"ningan bengkel suram sang pengurus pemakaman"lah Oli"
ver menumpahkan perasaan yang menghimpitnya akibat per?"?"


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

la"kuan siang itu. Dia mendengarkan ejekan mereka dengan
muka benci; dia menerima cambukan tanpa menangis sebab
dia merasakan kebanggaan diri membuncah dalam hatinya
sehingga membungkam pekikan hingga yang terakhir meskipun
siksaan tersebut serasa memanggangnya hidup-hidup. Namun
kini, ketika tak ada yang melihat atau mendengarnya, dia jatuh
berlutut di lantai. Sambil menyembunyikan wajah di tangannya,
Oliver mencucurkan air mata sedemikian rupa.
68~ OLIVER TWIST Lama sekali Oliver diam sambil menangis. Lilin menyala
pendek di wadahnya ketika Oliver berdiri. Setelah menatap
hati-hati ke sekelilingnya dan mendengarkan dengan saksama,
pelan-pelan dibukanya selot pintu, dan melihat ke luar.
Malam itu dingin dan gelap. Di mata anak laki-laki itu,
bintang-bintang tampak lebih jauh daripada yang pernah dili"
hatnya sebelumnya. Tidak ada angin dan bayang-bayang suram
yang dipancarkan pepohonan ke atas tanah terlihat seram dan
menyerupai ajal karena sama sekali tak bergerak. Dengan lem"
but ditutupnya pintu kembali. Setelah membuntal segelintir
pakaian miliknya ke dalam saputangan dengan pertolongan
cahaya lilin yang sudah hampir padam, dia duduk di bangku
untuk menunggu pagi. Saat berkas sinar pertama berjuang menembus celah di kerai,
Oliver bangun dan lagi-lagi membuka selot pintu. Satu tengokan
takut-takut ke sekeliling"satu saat penuh keraguan"setelah
itu dia menutup pintu di belakangnya, dan masuk ke jalanan
yang terbuka. Oliver menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak yakin ke mana
harus kabur. Dia teringat pernah melihat kereta saat sedang lewat, bersusah
payah mendaki bukit. Dia mengambil rute yang sama dan tiba
di jalan setapak di seberang ladang yang setahunya tidak jauh
dari sana, mengarah lagi ke jalan raya. Oliver menapak ke sana,
dan berjalan cepat-cepat.
Di jalan setapak ini jugalah, Oliver ingat sekali dia pernah
berjalan di samping Tuan Bumble, ketika kali pertama mem"
bawanya ke rumah sosial dari peternakan. Jalannya terbentang
tepat di depan pondok. Jantungnya berdebar kencang saat dia
memikirkan ini dan dia hampir saja memutuskan untuk berbalik.
Namun, dia sudah berjalan jauh dan akan kehilangan banyak
waktu apabila melakukan itu. Lagi pula, hari masih sangat pagi
sehingga dia tidak perlu terlalu khawatir akan dilihat. Dia pun
berjalan terus. CHARLES DICKENS ~69 Oliver sampai di depan rumah. Tak tampak ada penghuni
yang beraktivitas pada jam sedini ini. Dia berhenti, lalu meng"
intip ke taman. Seorang anak sedang merapikan salah satu
tempat tidur kecil. Saat dia berhenti, anak itu mengangkat wajah
pucatnya dan menampakkan sosok salah seorang teman Oliver.
Oliver merasa lega melihatnya sebelum pergi sebab meskipun
lebih muda darinya, anak itu merupakan salah seorang teman
kecil dan kawan mainnya. Mereka pernah dipukuli, kelaparan,
dan dikurung bersama, berkali-kali.
"Ssst, Dick!" kata Oliver saat bocah itu lari ke gerbang, dan
menjejalkan lengan kurusnya ke antara teralis untuk menya"
panya. "Apa sudah ada yang bangun?"
"Tidak ada selain aku," jawab anak itu.
"Kau tidak boleh bilang kau melihatku, Dick," kata Oliver.
"Aku sedang melarikan diri. Mereka memukuli dan mem"
perlakukanku dengan buruk, Dick. Aku hendak mencari perun"
tunganku di tempat yang jauh. Aku tidak tahu di mana. Betapa
pucatnya kau!" "Kudengar dokter memberi tahu mereka aku sedang sekarat,"
jawab anak itu sambil tersenyum samar. "Aku senang sekali
melihatmu, Sobat, tapi jangan berhenti, jangan berhenti!"
"Ya, ya, aku berhenti untuk mengucapkan selamat tinggal
kepadamu," balas Oliver. "Aku akan bertemu kau lagi, Dick.
Aku tahu pasti itu! Kau akan sehat dan bahagia!"
"Kuharap begitu," balas si anak. "Kita akan bertemu setelah
aku mati, tapi tidak sebelumnya. Aku tahu dokter pasti benar,
Oliver, sebab aku memimpikan Surga, Malaikat, dan wajah-wajah
ramah yang tak pernah kulihat saat aku terjaga. Kecup aku,"
kata anak itu, memanjat gerbang rendah, dan mengalungkan
lengan kecilnya ke leher Oliver. "Selamat jalan, Sobat! Tuhan
memberkatimu!" Pemberkatan tersebut berasal dari bibir seorang anak kecil,
tapi inilah kali pertama Oliver pernah mendengarnya dilantun"
70~ OLIVER TWIST kan untuknya. Di antara perjuangan serta penderitaan, dan
kesulitan serta perubahan yang dialaminya dalam hidup, dia tak
pernah satu kali pun melupakan kata-kata itu.[]
Teman Baru yang Aneh liver sampai di pagar pada penghujung jalan setapak,
dan sekali lagi tiba di jalan raya. Sekarang pukul de"
la"pan pagi. Meskipun sudah hampir mencapai jarak
delapan kilometer dari kota yang ditinggalkannya, dia berlari
dan bersembunyi di belakang pagar tanaman sampai tengah
hari karena takut kalau-kalau dikejar dan tersusul. Lalu, dia
duduk beristirahat di samping sebuah batu penanda jarak, dan
untuk kali pertama mulai berpikir, ke mana sebaiknya pergi dan
mencoba untuk tinggal. Batu yang didudukinya, dalam huruf besar menginforma"
si?"kan bahwa tempat itu berjarak tujuh puluh mil"120 kilo"
meter"saja dari London. Nama tersebut membangunkan ga"
gasan baru dalam benak si anak lelaki.
London! " Tempat besar itu! Tak seorang pun"bahkan
Tuan Bumble sekalipun"yang bisa menemukannya di sana!
Dia sering kali mendengar para pria tua di rumah sosial juga
berkata bahwa tak seorang pun pemuda penuh semangat yang
hidup berkekurangan di London; dan bahwa ada cara untuk
hidup di kota luas itu, cara-cara yang sama sekali tak diketahui
orang-orang yang dibesarkan di pedesaan. Itu adalah tempat
yang tepat bagi seorang anak laki-laki tunawisma, yang pasti
akan mati di jalanan kecuali seseorang menolongnya. Saat halhal ini melintas dalam pikirannya, dia melompat hingga berdiri,
dan lagi-lagi berjalan maju.
72~ OLIVER TWIST Dia telah memperkecil jarak antara dirinya dan London
hingga empat mil lagi ketika dia merenungkan apa yang harus
dihadapinya sebelum harapannya untuk sampai di tempat tu"
juan terwujud. Saat pertimbangan ini membebani benaknya,
dia memperlambat lajunya sedikit, dan memikirkan cara untuk
sampai ke sana. Dia punya seiris roti, selembar baju kasar, dan
dua pasang kaus kaki dalam buntalannya. Dia juga punya satu
penny"hadiah dari Tuan Sowerberry setelah suatu pemakaman
ketika dia membawa diri dengan luar biasa baik"dalam saku"
nya. Baju bersih, pikir Oliver, adalah benda yang sangat nyaman,
begitu pula dengan dua pasang kaus kaki dan uang satu penny.
Tapi, semua ini hanya sedikit membantu dalam perjalanan sejauh
enam puluh mil pada musim dingin. Namun, seperti sebagian
besar orang, meskipun siap sedia dan aktif dalam menunjukkan
masalah-masalahnya, sepenuhnya mati kutu bila harus
mengusulkan cara untuk mengatasinya. Maka, setelah beberapa
lama sibuk berpikir tanpa guna, dia memindahkan buntalan
kecilnya ke bahu yang satu lagi, lalu kembali tersaruk-saruk.
Oliver berjalan dua puluh mil hari itu dan tidak mencecap
apa pun kecuali irisan roti kering dan beberapa tetes air, hasil
meminta-minta di pintu pondok di tepi jalan. Ketika malam
tiba, dia berbelok ke sebuah padang rumput. Dia merayap ke
bawah tumpukan jerami, bertekad untuk berbaring di sana
sampai pagi. Awalnya dia merasa takut sebab angin melolong
memilukan di ladang kosong. Dia juga kedinginan serta lapar,
dan lebih kesepian daripada yang pernah dirasakan sebelumnya.
Namun, karena sangat lelah setelah berjalan kaki, dia segera saja
jatuh tertidur dan melupakan kesusahannya.
Oliver merasa kedinginan dan kaku saat bangun keesokan
paginya. Dia teramat lapar sehingga terpaksa menukar uang
penny-nya dengan seloyang kecil roti di desa pertama yang dia
lewati. Dia baru berjalan tak lebih dari dua belas mil ketika
malam kembali menjelang. Telapak kakinya lecet dan tungkainya
demikian lemas sehingga gemetaran menyangga tubuhnya. Satu
CHARLES DICKENS ~73 malam lagi yang dihabiskan di tengah udara lembap menusuk
membuat keadaannya bertambah buruk ketika berangkat untuk
melakukan perjalanan keesokan paginya sehingga dia nyaris tak
sanggup merangkak. Oliver yang malang menunggu di dasar sebuah bukit curam
sampai sebuah kereta kuda muncul, kemudian meminta-minta
kepada penumpangnya, tapi sangat sedikit yang menyadari ke"
hadirannya. Mereka yang memperhatikannya sekalipun ha"nya
menyuruhnya menunggu sampai mereka tiba di puncak bu"
kit, kemudian melihat seberapa jauh Oliver bisa berlari demi
setengah penny. Oliver berusaha menyamai kecepatan kereta,
tapi tidak mampu melakukannya karena letih dan kakinya lecetlecet. Ketika para penumpang di luar melihat hal ini, mereka
mengembalikan uang setengah pence ke dalam saku mereka
sembari mengatakan bahwa dia adalah anak kurang kerjaan
dan tidak layak menerima apa pun. Kereta pun berkelotak pergi
meninggalkan kepulan debu di belakang.
Di beberapa desa, plang-plang besar didirikan, memper"
ingatkan semua orang yang mengemis dalam distrik tersebut
bahwa mereka akan dikirim ke penjara. Ini sangat menakuti
Oliver, dan membuatnya bersyukur bisa keluar dari desa-desa itu
dengan segala cara. Di desa-desa lain, dia akan berdiri luntanglantung di halaman penginapan, memandangi semua yang lewat
dengan ekspresi memelas. Kegiatan itu biasanya berakhir saat
induk semang memerintahkan salah seorang kurir yang sedang
berleha-leha agar mengusir anak aneh itu dari tempat tersebut
sebab sang induk semang yakin dia telah datang untuk mencuri
sesuatu. Jika dia mengemis di rumah seorang petani, sepuluh
berbanding satu mengancam akan melepaskan anjing untuk
mengejarnya; dan ketika dia menunjukkan batang hidungnya
di toko, mereka membicarakan sekretaris desa"yang membuat
jantung Oliver seakan tercekat ke kerongkongannya.
Bahkan, apabila bukan karena seorang lelaki penjaga tol
yang baik hati serta seorang perempuan tua pemurah, kesulitan
74~ OLIVER TWIST Oliver pasti akan dipersingkat oleh proses yang sama seperti yang
mengakhiri kesusahan ibunya. Dengan kata lain, dia akan tewas
di jalan raya utama. Namun, lelaki penjaga tol memberinya
makan roti serta keju, sementara sang perempuan tua, yang
memiliki cucu laki-laki yang keluyuran sambil berjalan kaki
di belahan dunia lain karena kapalnya karam, mengasihani si
anak yatim piatu yang malang dengan memberinya sedikit yang
bisa disisihkannya, disertai kata-kata yang demikian ramah dan
lembut, disertai air mata simpati dan belas kasih sedemikian
rupa sehingga semua ini tertanam jauh lebih dalam di jiwa
Oliver daripada segala penderitaan yang pernah dialaminya.
Pada awal pagi ketujuh setelah dia meninggalkan tempat
asalnya, Oliver terpincang-pincang begitu pelan menuju kota
kecil bernama Barnet. Kerai jendela ditutup; jalanan kosong;
belum satu pun yang terbangun untuk menjalani kegiatan
mereka hari itu. Matahari baru saja terbit, memancarkan semua
keindahannya yang menakjubkan. Namun, cahayanya sematamata menunjukkan kepada si anak laki-laki betapa sendirian
serta sengsaranya dirinya saat dia duduk dengan kaki berdarah
serta tubuh berlumur debu, di undakan sebuah pintu depan.
Lambat laun, kerai-kerai dibuka; jendela ditarik; dan orangorang mulai hilir mudik. Segelintir di antara mereka berhenti
untuk menatap Oliver beberapa saat, atau berbalik untuk
mem"perhatikannya selagi mereka bergegas lewat. Namun, tak
se"orang pun menyapanya atau bersusah payah menanyainya.
Oliver tidak kuasa mengemis. Dan terduduklah dia di sana.
Oliver sudah berjongkok di undakan selama beberapa waktu
sambil mengagumi banyaknya jumlah kedai (setengah dari
hunian di Barnet adalah bar, besar dan kecil). Dengan lesu dia
menatap kereta-kereta yang melintas, dan berpikir betapa tidak
adilnya karena mereka dapat menempuh jarak sejauh itu dengan
mudah dalam waktu beberapa jam saja, sementara dia butuh
waktu seminggu dengan keberanian serta tekad yang melampaui
usianya. CHARLES DICKENS ~75 Saat itulah dia tersadar bahwa seorang anak laki-laki, yang
melewatinya sambil lalu beberapa menit sebelumnya, telah kem"
bali dan kini tengah mengamatinya dengan sungguh-sung"guh
dari seberang jalan. Dia tidak terlalu mengindahkan hal ini pada
mulanya, tapi anak lelaki itu terus saja mengamatinya lekat-lekat
begitu lama sehingga Oliver mengangkat kepala, dan membalas
tatapannya yang tajam. Si anak laki-laki menyeberang, dan sam"
bil berjalan menghampiri Oliver, dia berkata:
"Halo, Bung! Kenapa murung?"
Anak laki-laki yang mengajukan pertanyaan ini kira-kira
sebaya dengan Oliver, tapi bertampang sangat aneh. Dia adalah
anak laki-laki berhidung pesek, beralis gepeng, serta berwajah
standar yang biasa-biasa saja dan sekotor anak berandalan yang
paling kotor, tapi pembawaannya laksana seorang pria dewasa.
Dia pendek untuk anak seusianya, dengan tungkai yang agak
bengkok serta mata kecil tajam yang jelek. Topinya dijejalkan ke
puncak kepalanya begitu saja sehingga terancam jatuh sewaktuwaktu"dan pasti sudah begitu apabila si pengguna tidak punya
kebiasaan sesekali mengedutkan kepalanya tiba-tiba, yang
mengembalikan topi itu ke tempat asalnya. Dia mengenakan
jas orang dewasa, nyaris mencapai tumitnya. Dia menggulung
lengan jas sampai ke siku untuk mengeluarkan tangannya agar
bisa dimasukkan ke saku celana korduroinya. Secara garis besar,
dia adalah pemuda bersepatu bot kulit yang teramat percaya
diri dan banyak omong, untuk ukuran seseorang yang tingginya
hanya 140 sentimeter, atau kurang.
"Halo, Bung! Kenapa murung?" ulang pemuda aneh ini
kepada Oliver. "Aku sangat lapar dan lelah," jawab Oliver, air mata muncul
di matanya saat dia bicara. "Aku sudah berjalan jauh. Aku sudah
berjalan selama tujuh hari ini."
"Berjalan selama tujuh hari!" kata si pemuda. "Oh, begitu.
Perintah paruh, ya" Tapi "," imbuhnya, melihat ekspresi kaget
Oliver, "kuduga kau tidak tahu apa itu "paruh", temanku yang
me-na-wan." 76~ OLIVER TWIST Oliver menjawab dengan pelan bahwa dia selama ini men"
dengar bahwa mulut burung disebut dengan istilah demikian.
"Ya ampun, hijau sekali!" seru si pemuda. "Paruh itu mak"
sudnya hakim; dan waktu kau berjalan atas perintah hakim, me"


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mang tidak dinyatakan secara langsung, tapi kau terus berjalan
maju, dan tak pernah kembali lagi. Apa kau tidak pernah naik
tangga berjalan8?" "Tangga berjalan apa?" tanya Oliver.
"Tangga berjalan apa! Tangga berjalan yang itu"tangga
berjalan yang memakan ruang begitu kecil sehingga bisa
berfungsi di dalam kerangkeng; dan kerjanya selalu lebih bagus
waktu orang-orang sedang sial, daripada waktu mereka untung;
sebab kemudian mereka tidak bisa mendapat pekerja. Tapi
sudahlah," kata si pemuda, "kau mau makan, maka kau akan
mendapatkannya. Aku sendiri sedang "kering", tapi tidak apaapa, akan kukais sakuku dan kutraktir kau. Bangunlah! Bagus!
Nah, begitu! Ayo!" Pemuda itu membantu Oliver berdiri, lalu membawanya ke
toko kelontong sebelah, tempat dia membeli ham siap makan
dan seperempat loyang roti, atau, seperti katanya, "dedak em"pat
penny!". Ham dijaga agar tetap bersih dan awet lewat tek"nik
inovatif yaitu melubangi roti dengan cara mengeluarkan sebagi"
an remahnya, dan menjejalkan daging tersebut ke dalamnya.
Sambil mengepit roti di bawah ketiaknya, si pemuda berbelok
ke sebuah bar kecil, dan menuntun Oliver ke ruang minum di
bagian belakang bangunan tersebut. Anak muda misterius itu
meminta sekendi air. Oliver, setelah dipersilakan teman barunya,
mulai makan berlama-lama sepuasnya. Selama itu pulalah si
anak laki-laki aneh mengamatinya dengan amat saksama dari
waktu ke waktu. "Pergi ke London?" kata si anak aneh ketika Oliver akhirnya
selesai. Semacam tangga berjalan yang digunakan di penjara untuk membuat tahanan ke"
lelahan secara fisik dan mental. Penggunaannya dilarang pada 1898."penerj.
CHARLES DICKENS ~77 "Ya." "Punya tempat menginap?"
"Tidak." "Uang?" "Tidak." Si anak aneh bersiul dan memasukkan tangannya ke saku,
sejauh yang dimungkinkan oleh lengan jasnya yang besar.
"Apa kau tinggal di London?" tanya Oliver.
"Ya. Aku tinggal di London, waktu aku di rumah," jawab
anak itu. "Kurasa kau membutuhkan tempat untuk tidur malam
ini." "Ya, aku memang membutuhkannya," jawab Oliver. "Aku
sudah tidak tidur di bawah atap sejak aku meninggalkan desa."
"Jangan khawatir," kata si pemuda. "Aku harus sudah sampai
di London malam ini. Aku kenal seorang pria tua terhormat
yang tinggal di sana, yang akan memberimu pondokan secara
cuma-cuma, dan tidak pernah minta bayaran"tentu saja, itu
jika orang yang dikenalnya memperkenalkanmu padanya." Si
pemuda tersenyum sambil menghabiskan birnya.
Tawaran tempat bernaung yang tak diduga-duga ini terlalu
menggoda untuk ditolak, terutama karena tawaran tersebut se"
ketika diikuti oleh jaminan bahwa sang pria tua yang dising"gung
tadi, tak diragukan akan menyediakan tempat nyaman bagi
Oliver, tanpa buang-buang waktu. Percakapan ini mendorong
terjadinya dialog yang lebih bersahabat dan akrab. Dari sinilah
Oliver mengetahui bahwa nama temannya adalah Jack Dawkins,
dan bahwa dia adalah murid binaan sang pria terhormat yang
disebut-sebut sebelumnya.
Penampilan Tuan Dawkins tidaklah cocok dengan kenya"
manan yang konon ditawarkan oleh sang patron kepada mereka
yang berada dalam perlindungannya. Namun, pemuda aneh itu
memiliki gaya mengobrol yang agak berapi-api dan tak acuh.
Dia mengakui bahwa di antara teman-teman akrabnya dia lebih
dikenal dengan panggilan "The Artful Dodger?"Si Pandai Ber"
78~ OLIVER TWIST kelit. Didasari kesan yang diperolehnya inilah Oliver diam-diam
bertekad memupuk kesan baik sang pria tua secepat mungkin,
dan apabila ternyata Dodger bukan orang baik, seperti yang
seha"rusnya dicurigainya sejak semula, dia akan menolak bersa"
habat lebih lanjut dengannya.
John Dawkins keberatan bila mereka masuk London sebelum
malam tiba. Ketika mereka mencapai tol di Islington, hari
sudah hampir pukul sepuluh malam. Mereka menyeberang dari
Angel ke St. John"s Road, menapaki jalan kecil yang berujung di
Sadler"s Wells Theatre, melewati Exmouth Street dan Coppice
Row, menyusuri pekarangan kecil di samping sebuah rumah
sosial, melintasi lapangan klasik yang dahulu menyandang nama
Hockley-in-the-Hole, lalu ke Little Saffron Hill; dan terus ke
Saffron Hill the Great, di sepanjang tempat ini Dodger melesat
dengan kecepatan tinggi, memandu Oliver agar tidak jauh-jauh
di belakangnya. Meskipun perhatian Oliver sudah cukup disibukkan untuk
melihat pemandunya, dia sekilas melirik ke kiri dan ke kanan
saat melintas. Tempat itu lebih kotor dan lebih menyedihkan
daripada tempat-tempat lain yang pernah dia lihat sebelumnya.
Jalan-jalan sangat sempit serta berlumpur, dan udaranya dipe"
nuhi bau menjijikkan. Ada banyak toko kecil, tapi stok yang tersedia tampaknya
hanyalah tumpukan anak-anak, yang bahkan pada waktu selarut
itu, merayap masuk-keluar pintu, atau menjerit-jerit dari dalam.
Satu-satunya tempat yang tampaknya tumbuh subur di tengahtengah lokasi hancur binasa tersebut adalah bar. Dan, di dalam
bar, orang-orang bertabiat paling buruk bergulat dengan otot
dan otak. Gang serta halaman tertutup, yang menyebar dari
jalan di sana sini, menyembunyikan simpul-simpul kecil rumah,
tempat para pria serta wanita mabuk berkubang dalam limpahan
kotoran. Dan, dari beberapa ambang pintu, lelaki-lelaki besar
bertampang kejam keluar dengan hati-hati, kelihatannya tengah
terikat dengan pekerjaan yang tidak terlalu terpuji ataupun
berbahaya. CHARLES DICKENS ~79 Oliver baru saja mempertimbangkan apakah sebaiknya dia
kabur ketika mereka sampai di dasar bukit dan pemandunya
menangkap lengannya, lalu mendorong pintu hingga terbuka
di sebuah rumah dekat Field Lane, dan setelah menariknya ke
sebuah lorong, menutup pintu di belakang mereka tersebut.
"Silakan!" pekik sebuah suara dari bawah, menjawab siulan
dari Dodger. "Orang kaya, hajar!" adalah jawabannya.
Ini tampaknya merupakan kata kunci atau tanda bahwa
semua aman sebab cahaya redup lilin berkilau di dinding pada
ujung jauh lorong tersebut, dan wajah seorang pria menyembul
ke luar dari celah di tempat patahnya pagar pada tangga dapur
tua. "Kalian berdua," kata si pria, menjulurkan lilin semakin jauh
ke luar, dan menamengi matanya dengan tangan. "Siapa yang
satu lagi itu?" "Teman baru," jawab Jack Dawkins sambil menarik Oliver
ke depan. "Dari mana asalnya?"
"Greenland. Apa Fagin ada di atas?"
"Ya, dia sedang menyortir pampasan. Naiklah!" Lilin dibawa
ke belakang, dan wajah tersebut menghilang.
Oliver berjalan sambil meraba-raba dengan satu tangan,
se?""men"tara tangannya yang satu lagi digandeng erat-erat oleh
rekan"nya, dengan susah payah mendaki tangga yang gelap serta
patah, yang dinaiki rekannya itu dengan mudah dan lincah,
menunjukkan bahwa dia mengenal baik tangga ini.
Jack Dawkins mendorong pintu sebuah ruang belakang hing"
ga terbuka, lalu menarik Oliver masuk di belakangnya.
Dinding dan langit-langit ruangan tersebut hitam kelam
karena usia serta debu. Ada meja papan di depan perapian. Di
atas meja ini terdapat sebatang lilin yang ditempelkan ke bo"tol
bir jahe, dua atau tiga panci pewter, seloyang roti serta men"
tega, dan sebuah piring. Di penggorengan yang diletakkan di
80~ OLIVER TWIST atas api dan diamankan ke rak di atas perapian menggunakan
seutas tali, sosis sedang dimasak. Dan, di depan masakan ini,
dengan garpu panggang di tangan, berdirilah seorang pria tua
sangat keriput, yang wajah jahat menjijikkannya disamarkan
oleh helaian rambut merah lepek. Dia mengenakan tunik flanel
panjang berminyak yang memperlihatkan leher telanjang.
Pria itu tampaknya sedang membagi-bagi perhatiannya antara
penggorengan dan gantungan baju, tempat sejumlah besar
saputangan sutra digantung. Beberapa kasur kasar dari karung
tua, berjubel sebelah-menyebelah di lantai.
Di sekeliling meja duduklah empat atau lima anak laki-laki,
tak seorang pun lebih tua dari Dodger, mengisap pipa tanah
liat panjang, dan meminum akohol dengan gaya seperti pria
paruh baya. Mereka semua mengerumuni rekan mereka saat dia
membisikkan beberapa kata kepada si pria tua, kemudian ber"
balik serta menyeringai kepada Oliver. Pria tua itu melakukan
hal yang sama, dengan garpu panggang di tangan.
"Ini dia, Fagin," kata Jack Dawkins, "temanku, Oliver
Twist." Si pria tua yang bernama Fagin menyeringai. Sambil mem"
bungkuk rendah kepada Oliver, menjabat tangannya, dan ber"
ujar bahwa dia senang bertemu anak itu. Mendengar ini, para
pemuda berpipa mengelilinginya, dan menyalami kedua tangan
Oliver keras sekali"terutama tangan yang memegangi buntal"an
kecilnya. Seorang pemuda tak sabar menggantungkan topinya;
dan seorang lagi sungguh ingin membantu sehingga mema"
sukkan tangan ke saku Oliver supaya, karena dia sangat lelah,
tidak perlu repot-repot mengosongkannya sendiri ketika hendak
pergi tidur. Keramahtamahan ini mungkin akan berlangsung
lebih lanjut, jika bukan karena sapuan bertubi-tubi garpu pang"
gang Fagin ke kepala serta pundak para anak muda penuh
perhatian yang menawarkannya.
82~ OLIVER TWIST "Kami sangat senang berjumpa denganmu, Oliver, sangat,"
kata Fagin. "Dodger, bawa sosisnya dan tarik bak ke dekat api
untuk Oliver. Ah, kau sedang menatap saputangan, Sobat! Ada
banyak sekali, ya" Kami hanya mengeluarkannya, siap untuk
dicuci. Cuma itu, Oliver, itu saja. Ha! ha! ha!"
Bagian akhir pidato ini dihujani teriakan gaduh dari semua
murid yang dibina pria tua periang ini. Di tengah-tengah situasi
inilah mereka menyantap makan malam.
Oliver makan jatahnya, kemudian Fagin mencampurkan
sege"las gin-dan-air panas untuknya, memberitahunya bahwa dia
harus meminumnya langsung sebab pria lain memerlukan gelas
tersebut. Oliver melakukan permintaannya. Segera setelahnya, dia
merasa dirinya digendong dengan lembut ke salah satu karung,
kemudian dia pun terlena dalam tidur nyenyak.[]
Keluarga Baru Oliver eesokan pagi menjelang siangnyalah Oliver terbangun
dari tidur yang lelap dan lama. Tidak ada orang lain di
ruang"an kecuali si pria tua yang sedang mendidihkan
kopi di panci untuk sarapan. Dia bersiul pelan sambil mengadukaduk isi panci dengan sendok besi. Dia akan berhenti sesekali
untuk menyimak suara paling pelan sekalipun. Ketika sudah
puas, dia akan melanjutkan bersiul serta mengaduk lagi seperti
sebelumnya. Walaupun sudah bangun dari tidur, Oliver belum sepenuhnya
terjaga. Inilah keadaan mengantuk, antara tidur dan terjaga,
ketika kau memimpikan lebih banyak hal dengan mata setengah
terbuka dan setengah menyadari semua yang melintas di seke"
lilingmu daripada selama lima malam dengan mata terpejam
rapat, dan indramu terbungkus ketidaksadaran yang sempurna.
Pada saat seperti ini, cukuplah yang diketahui manusia biasa
tentang apa yang tengah dilakukan benaknya sehingga sanggup
membentuk konsepsi samar-samar tentang kekuatan pikirannya
yang tak terbatas, lompatannya dari bumi, serta kemampuannya
melampaui ruang dan waktu ketika dibebaskan dari kekangan
cangkang ragawinya. Oliver berada tepat pada kondisi ini. Dia melihat Fagin
dengan mata setengah tertutup, mendengar siulan pelannya, dan
mengenali bunyi sendok yang menggores tepi panci. Namun
indra-indra yang sama ini, pada saat bersamaan, terhubung ak"tif
84~ OLIVER TWIST secara mental dengan hampir semua orang yang pernah dike"
nalnya. Ketika kopi sudah jadi, Fagin memindahkan panci ke kisikisi perapian. Sambil berdiri dengan sikap tak pasti selama be?""be"
r"apa menit, seolah-olah tidak tahu harus menyibukkan di?"ri?"nya
dengan apa, dia berbalik dan memandang Oliver, lalu me"mang"
gil namanya. Oliver tidak menjawab dan kelihatannya me"mang
masih tertidur. Setelah yakin dengan fakta ini, Fagin melangkah pelanpelan ke pintu yang diselotnya. Lalu, dari tingkap di lantai,
dia mengeluarkan"begitulah tampaknya bagi Oliver"sebuah
kotak kecil yang dia letakkan dengan hati-hati di meja. Matanya
berbinar saat mengangkat tutup kotak dan melihat ke dalam.
Setelah menyeret sebuah kursi tua ke meja, dia pun duduk. Dari
dalam kotak itu dia mengambil sebuah jam emas mengagumkan
dengan permata yang berkilauan.
"Aha!" kata Fagin sambil mengangkat bahunya, dan meru"
sak pemandangan dengan seringai mengerikan. "Anjing-anjing
pintar! Anjing-anjing pintar! Setia sampai akhir! Tidak pernah
memberi tahu si pendeta tua di mana mereka berada. Tidak
pernah mengadukan Fagin tua! Dan kenapa pula mereka harus
melakukannya" Itu takkan mengendurkan simpul atau mem"
bongkar rahasia sama sekali. Tidak, tidak, tidak! Anak-anak
baik! Anak-anak baik!"
Disertai kata-kata ini, dan renungan serupa lainnya yang
digumamkannya, Fagin sekali lagi mengembalikan jam ke tem?"
patnya yang aman. Setidaknya setengah lusin benda lagi dike"
luarkan secara terpisah dari kotak yang sama, dan diperiksa
dengan rasa senang yang sebanding. Selain cincin, bros, gelang,
serta berbagai perhiasan lain yang terbuat dari bahan sedemiki"
an mewah dan dibuat dengan keahlian yang mahal harganya,
Oliver tidak tahu benda-benda apa lagikah itu, bahkan namanya
sekalipun. Setelah mengembalikan pernak-pernik ini, Fagin menge"
luarkan satu benda lagi, begitu kecil sehingga dapat disimpan
CHARLES DICKENS ~85 di telapak tangannya. Tampaknya ada tulisan sangat mungil di
atas benda tersebut sebab Fagin menaruhnya di atas meja, dan
sambil menudungkan tangannya, menelaah benda tersebut,
lama dan sungguh-sungguh. Akhirnya dia meletakkan benda
itu, seolah-olah kehilangan harapan. Sambil bersandar ke
kursinya dia bergumam, "Betapa indahnya hukuman mati


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu! Orang mati tak pernah menyesal. Orang mati tak pernah
memunculkan cerita-cerita menyulitkan ke permukaan. Ah,
memang menguntungkan sekali untuk bidang usaha ini! Lima
dari mereka digantung dalam barisan, dan tak seorang pun
tersisa yang bisa main curang, atau jadi pengecut!"
Saat Fagin mengucapkan kata-kata ini, mata gelapnya yang
cerah"yang sebelumnya menatap kosong ke depan"men"
d"arat pada wajah Oliver. Mata si anak laki-laki itu kini mele?"
kat padanya dengan penasaran, tanpa berkata-kata. Dan
meski?"pun kesadaran terjadi sesaat saja"selama jangka waktu
tersingkat yang mungkin dapat terjadi"ini sudah cukup untuk
menunjukkan kepada si pria tua bahwa dia telah diamat-amati.
Fagin memasang tutup kotak dengan bunyi debum kencang.
Sambil menggenggamkan tangannya ke pisau roti yang berada di
meja, dia bangun dengan gusar. Akan tetapi, dia gemetar hebat.
Walaupun tengah dicengkeram rasa ngeri, Oliver bisa melihat
bahwa pisau tersebut bergetar di udara.
"Yang tadi itu apa?" kata Fagin. "Untuk apa kau mengamatiku"
Kenapa kau terbangun" Apa yang sudah kau lihat" Bicaralah,
Bocah! Cepat " cepat! Demi nyawamu."
"Saya tidak bisa tidur lebih lama lagi, Tuan," jawab Oliver
takut-takut. "Saya mohon maaf sekali jika saya telah mengganggu
Anda, Tuan." "Kau belum bangun sejam lalu?" kata Fagin, merengut ganas
kepada anak itu. "Tidak! Tentu saja belum!" jawab Oliver.
"Apa kau yakin?" seru Fagin dengan ekspresi lebih galak dari"
pada sebelumnya, serta sikap mengancam.
86~ OLIVER TWIST "Saya bersumpah saya belum bangun, Tuan," jawab Oliver
sejujurnya. "Saya belum bangun, sungguh, Tuan."
"Ck, ck, Sobat!" kata Fagin, seketika kembali ke perangainya
semula. Dia memain-mainkan pisau sedikit sebelum mele"
takkannya, seolah-olah untuk menumbuhkan keyakinan bahwa
dia menghunusnya untuk berolahraga semata. "Tentu saja aku
tahu itu, Sobat. Aku cuma berusaha menakut-nakutimu. Kau
bocah yang berani. Ha! ha! Kau bocah yang berani, Oliver."
Fagin tua menggosok-gosokkan tangannya sambil terkekeh, tapi
tetap saja matanya melirik kotak dengan risau.
"Apa kau lihat satu saja benda cantik ini, Sobat?" kata Fagin
sam"bil menempelkan tangannya ke atas kotak setelah jeda sing"
kat. "Ya, Tuan," jawab Oliver.
"Ah!" kata Fagin, mukanya memucat. "Ini " ini milikku,
Oliver. Harta kecilku. Satu-satunya yang kumiliki untuk me"
nyam"bung hidup di usia tuaku. Orang-orang menyebutku kikir,
Sobat. Cuma kikir, itu saja."
Oliver berpikir si pria tua pasti benar-benar kikir sehingga
tinggal di tempat sekotor ini, padahal dia memiliki begitu
banyak jam yang indah. Namun, mengira bahwa barangkali
rasa sayangnya kepada Dodger serta anak-anak lelaki lain
membuatnya harus mengeluarkan banyak uang, Oliver hanya
melempar pandangan sopan kepada Fagin, dan bertanya apakah
dia boleh berdiri. "Tentu, Sobat, tentu," jawab si pria tua. "Tinggallah di sini.
Ada sekendi air di pojok dekat pintu. Bawakan ke sini dan akan
kuberi kau baskom untuk membasuh diri, Sobat."
Oliver bangun, berjalan menyeberangi ruangan, dan mem?"
bungkuk sesaat untuk mengangkat kendi. Ketika dia mema"
lingkan kepalanya, kotak tersebut sudah lenyap.
Dia baru saja membasuh diri dan merapikan segalanya
dengan cara mengosongkan isi baskom keluar jendela, ber"da"
sarkan petunjuk Fagin, ketika Dodger kembali ditemani oleh
CHARLES DICKENS ~87 seorang teman muda yang sangat periang. Oliver ingat pernah
melihatnya merokok malam sebelumnya, dan kini diperkenalkan
secara resmi kepadanya sebagai Charley Bates. Mereka berempat
duduk untuk sarapan kopi dan roti gulung panas serta ham yang
Dodger bawa pulang dalam topinya.
"Nah," kata Fagin, melirik licik kepada Oliver dan bicara
kepada Dodger. "Kuharap kalian bekerja pagi ini, Sobat?"
"Sangat keras," jawab Dodger.
"Banting tulang," imbuh Charley Bates.
"Anak baik, anak baik!" kata Fagin. "Apa yang kau dapat,
Dodger?" "Dua buku saku," jawab pemuda itu.
"Berlapis?" tanya Fagin penuh semangat.
"Lumayan bagus," jawab Dodger sambil mengeluarkan dua
buku saku; satu hijau, dan yang satu lagi merah.
"Tidak seberat seharusnya," kata Fagin setelah melihat bagian
dalamnya dengan saksama, "tapi sangat rapi dan buatannya
bagus. Dia pekerja yang lihai, bukan begitu, Oliver?"
"Benar sekali, Tuan," kata Oliver. Mendengar ini Tuan
Charley Bates tertawa terbahak-bahak. Oliver sangat keheranan
sebab dia tidak melihat ada yang patut ditertawakan dalam
dialog tersebut. "Dan apa yang kau dapat, Sobat?" kata Fagin kepada Charley
Bates. "Kain," jawab Tuan Bates sambil mengeluarkan empat sapu"
tangan. "Wah," kata Fagin, memeriksa keempatnya baik-baik, "sapu"
tangan ini sangat bagus, sangat. Tapi, kau belum menan"da"inya
dengan baik, Charley. Jadi, tandanya harus diurai dengan jarum,
dan akan kita ajari Oliver cara melakukan itu. Bagaimana, O"li"
ver" Ha! ha! ha!"
"Jika Anda berkenan, Tuan," kata Oliver.
"Kau ingin bisa menggasak saputangan semudah Charley
Bates, bukan begitu, Sobat?" kata Fagin.
88~ OLIVER TWIST "Ingin sekali, jika Anda mengajari saya, Tuan," jawab
Oliver. Tuan Bates melihat sesuatu yang teramat konyol dalam ja"
waban ini sehingga dia tertawa lagi. Dia tertawa sambil minum
kopi sehingga hampir saja menamatkan riwayatnya secara dini
karena tersedak. "Dia betul-betul masih hijau!" kata Charley ketika dia sudah
pulih, sebagai permohonan maaf kepada rekan-rekannya atas
perilakunya yang tidak sopan.
Dodger tidak mengucapkan apa-apa, tapi dia merapikan
rambut di kening Oliver, dan mengatakan nantinya dia akan
tahu sendiri. Pada saat melihat Oliver merona, si pria tua meng"
ubah topik dengan cara menanyakan apakah sudah banyak
orang yang menghadiri eksekusi pagi ini. Oliver tidak mengerti
dengan pertanyaan itu dan semakin heran mengapa mereka
begitu sibuk di pagi hari.
Ketika sarapan sudah disingkirkan, si pria tua periang dan dua
anak laki-laki melakukan permainan yang sangat ganjil dan tak
lazim, yang dilakukan seperti ini: Si pria tua periang meletakkan
kotak tembakau di satu saku celananya, dompet di saku satunya
lagi, jam di saku rompinya dengan rantai pengaman dikalungkan
di lehernya, dan menempelkan pin berlian tiruan di bajunya"
mengancingkan jas erat-erat di sekeliling tubuhnya"dan mele"
t"akkan wadah kacamata serta saputangan di sakunya. Dia ber"
derap mondar-mandir di ruangan sambil membawa tongkat,
meni"rukan gaya berjalan pria tua di jalanan pada jam berapa
pun pada suatu hari. Kadang-kadang dia berhenti di perapian,
dan terkadang di pintu, berpura-pura memandangi jendela toko
sekuat tenaga. Pada saat seperti ini, dia akan terus-menerus melihat ke
sekelilingnya karena takut pada pencuri, dan akan menepuk
semua sakunya secara bergiliran untuk melihat apakah dia telah
kehilangan sesuatu, dengan sikap yang sangat lucu serta natural
sehingga Oliver tertawa hingga air mata bercucuran di wajahnya.
CHARLES DICKENS ~89 Sepanjang waktu ini, kedua anak laki-laki mengikutinya dari
dekat, menyingkir dari pandangannya dengan begitu gesit
setiap kali pria tua itu menoleh ke belakang sehingga mustahil
mengikuti gerakan mereka. Akhirnya, Dodger menginjak jari
kaki atau menjejak sepatu bot pria itu tanpa sengaja, sedangkan
Charley Bates menabraknya dari belakang. Dan dalam sekejap
mereka merampas kotak tembakau, dompet, jam, rantai, pin
baju, saputangan, bahkan wadah kacamata dengan luar biasa
cepat. Jika dalam permainan itu si pria tua merasakan tangan
mereka di salah satu sakunya, dia meneriakkan tempat tangan
tersebut berada, kemudian permainan itu dimulai lagi dari
awal. Ketika permainan ini telah dilangsungkan berkali-kali, dua
wanita muda datang untuk menemui Dodger dan Charley
Bates. Salah seorang bernama Bet dan yang seorang lagi Nancy.
Rambut mereka yang lebat disanggul tak terlalu rapi, sepatu
serta kaus kaki mereka pun terlihat dekil. Barangkali mereka
sebenarnya tidak terlalu cantik, tapi wajah mereka merona dan
kelihatan cukup kuat serta penuh semangat. Melihat tingkah
laku mereka yang teramat bebas dan menyenangkan, Oliver
berpendapat mereka berdua adalah gadis yang sangat baik. Tak
diragukan lagi memang begitu.
Mereka tinggal cukup lama di sana. Alkohol pun dikeluarkan
karena salah seorang wanita muda mengeluh kedinginan. Per"
cakapan berubah jadi meriah. Akhirnya, Charley Bates meng"
ekspresikan opininya bahwa saat itu sudah waktunya "minggat".
Menurut Oliver, ini pastilah bahasa Prancis untuk pergi keluar
sebab langsung sesudahnya, Dodger, Charley, serta kedua wanita
muda itu pergi bersama-sama setelah dibekali Fagin yang baik
hati dengan uang untuk dibelanjakan.
"Itu dia, Sobat," kata Fagin. "Hidup yang menyenangkan,
bukan" Mereka hendak pergi jalan-jalan."
"Sudahkah mereka menyelesaikan pekerjaan, Tuan?" tanya
Oliver. 90~ OLIVER TWIST "Ya," kata Fagin, "sudah, kecuali mereka secara tak terdugaduga berpapasan dengan target ketika mereka sedang keluar; dan
mereka takkan mengabaikannya. Jika mereka melakukannya,
lihat saja nanti. Jadikan mereka teladanmu, Sobat. Jadikan
mereka teladanmu?"sambil mengetuk sekop api di perapian
untuk menambahkan kekuatan pada kata-katanya?"lakukan
semua yang mereka perintahkan kepadamu, dan ikuti saran
mereka dalam segala perkara, terutama saran Dodger, Sobat.
Dia akan jadi pria besar dan akan menjadikanmu pria besar
juga jika kau mencontohnya. Apakah kau lihat saputangan yang
menjuntai dari sakuku, Sobat?" kata Fagin berhenti tiba-tiba.
"Ya, Tuan," kata Oliver.
"Lihat apakah kau bisa mengeluarkannya tanpa terasa olehku.
Seperti yang kau lihat dalam permainan kami tadi pagi."
Oliver memegangi bagian bawah saku dengan satu tangan,
seperti yang dia lihat dipegangi Dodger tadi, dan menarik sapu"
tangan tersebut dengan lembut menggunakan tangan yang satu
lagi. "Apakah sudah keluar?" seru Fagin.
"Ini dia, Tuan," Oliver menunjukkan saputangan tersebut di
tangannya. "Kau anak pintar, Sobat," kata si pria tua yang suka mainmain, menepuk kepala Oliver penuh persetujuan. "Aku tidak
pernah melihat anak lelaki yang lebih cerdas darimu. Ini satu
shilling untukmu. Jika kau terus seperti ini, kau akan jadi
pria terhebat sepanjang masa. Sekarang ke sinilah, dan akan
kutunjukkan cara mengurai tanda dari saputangan."
Oliver bertanya-tanya apa hubungannya mencopet pria tua
itu dengan kesempatannya untuk jadi pria hebat. Namun, karena
menurutnya Fagin jauh lebih tua darinya dan pastilah tahu yang
terbaik, dia mengikuti pria itu tanpa suara ke meja. Oliver segera
melibatkan diri secara serius dalam pelajaran barunya.[]
Oliver Ditangkap! elama berhari-hari, Oliver berdiam di ruangan Fagin,
meng"urai tanda dari saputangan (sejumlah besar benda ini
dibawa pulang), dan terkadang ambil bagian dalam per"
mainan yang dimainkan kedua anak laki-laki dan Fagin secara
teratur setiap pagi. Akhirnya Oliver mulai mendambakan udara
segar, dan berkali-kali memohon dengan sungguh-sungguh ke?"
pa?"da sang pria tua agar memperbolehkannya pergi bekerja ber"
sama dua rekannya. Oliver jadi tak sabar terlibat secara aktif dalam pekerjaan
tersebut berkat sikap tegas yang dilihatnya dalam diri pria tua
itu. Kapan pun Dodger atau Charley Bates pulang di malam
hari dengan tangan kosong, dia akan berceramah panjang le"
bar dan berapi-api tentang buruknya kebiasaan bersantai-santai
dan bermalas-malasan dan akan menekankan kepada mereka
arti kerasnya hidup dengan cara mengirim mereka tidur tanpa
makan malam. Bahkan pada satu kesempatan, dia menghajar
mereka hingga jatuh dari tangga. Menegaskan nilai-nilai luhur
yang dijunjungnya dengan cara semacam ini tidaklah lazim.
Pada akhirnya, suatu pagi Oliver memperoleh izin yang di"
inginkannya sedemikian rupa. Tidak ada saputangan untuk di"
garap selama dua atau tiga hari dan hidangan makan malam
beberapa hari ini cukup sederhana. Barangkali inilah alasan si
pria tua sehingga memberikan persetujuan. Dia mengatakan
Oliver boleh pergi dan menempatkannya di bawah pengawasan
Charley Bates dan Dodger.
92~ OLIVER TWIST Ketiga anak lelaki ini pun berangkat. Dodger dengan lengan
jas dilipat ke atas dan topi dimiringkan seperti biasa, sementara
Tuan Bates melenggang dengan tangan di saku. Oliver ada di
antara mereka, bertanya-tanya ke mana mereka pergi dan bidang
pekerjaan apa yang akan digarapnya pertama-tama.
Mereka berjalan dengan lambat dan malas sehingga Oliver
segera saja mulai mengira rekan-rekannya akan menipu si pria
tua dengan cara tak bekerja sama sekali. Dodger punya kecen"
derungan kejam, yaitu menarik topi dari kepala anak-anak lelaki
kecil dan melemparkannya ke sana kemari, sedangkan Charley
Bates menunjukkan nilai yang sangat longgar tentang makna
hak milik dengan cara mengambil apel dan bawang bombai
dari kios-kios di sebelah got, dan menjejalkannya ke saku yang
luar biasa longgar sehingga seolah-olah bercabang-cabang ke
segala arah dalam seluruh pakaiannya. Oliver merasa tidak
nyaman, sampai-sampai dia hendak menyatakan niatnya untuk
kembali dengan cara sebaik mungkin yang dia bisa. Tiba-tiba,
pemikirannya teralihkan oleh perubahan perilaku misterius
pada diri Dodger. Mereka baru saja keluar dari sebuah pekarangan sempit tak
jauh dari lapangan terbuka di Clerkenwell yang disebut "The
Green" ketika Dodger berhenti tiba-tiba. Sambil menempelkan


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jari ke bibir, dia menarik mundur rekan-rekannya dengan kehatihatian serta kewaspadaan luar biasa.
"Ada apa?" tuntut Oliver.
"Ssst!" jawab Dodger. "Apa kau lihat laki-laki tua di kios
buku itu?" "Pria tua di sana itu?" kata Oliver. "Ya, aku melihatnya."
"Dia saja," kata Dodger.
"Sasaran empuk," komentar Charley Bates.
Oliver memandang keduanya bergantian dengan teramat
heran. Namun, dia tidak sempat bertanya sebab kedua anak
laki-laki itu telah berjalan dengan hati-hati menyeberangi jalan,
dan merayap mendekat ke belakang sang pria tua yang tadi
CHARLES DICKENS ~93 dibicarakan. Oliver berjalan beberapa langkah di belakang me"
re"ka, tidak tahu harus maju atau mundur, berdiri tanpa suara
sambil menonton dengan takjub.
Sang pria tua adalah sosok yang berpenampilan sangat ter"
hor"mat, dengan wig dan kacamata emas. Dia mengenakan
jas warna hijau botol dengan kerah beledu hitam serta celana
panjang putih, dan mengepit tongkat bambu yang trendi. Dia
telah mengambil sebuah buku dari kios, dan di sanalah dia
berdiri sambil membaca dengan sangat serius seperti di ruang
kerjanya sendiri. Tampaknya pria itu memang merasa dirinya ada di ruang
kerjanya itu sebab terlihat jelas dari kekhidmatannya, dia tidak
melihat kios buku, jalan, ataupun anak-anak lelaki. Singkatnya,
tak ada apa pun yang dapat mengalihkan perhatiannya dari
buku yang tengah dibolak-baliknya dengan cepat, membalik
lembaran demi lembaran, dan terus membaca dengan minat
serta antusiasme yang teramat sangat.
Betapa ngeri dan waswasnya Oliver saat dia berdiri beberapa
langkah dari sana, memandang dengan kelopak mata terbuka
sejauh yang dia bisa, saat menyaksikan Dodger membenamkan
tangannya ke saku pria tua itu, dan dari sana mengeluarkan
selembar saputangan! Melihatnya menyerahkan saputangan itu
kepada Charley Bates; dan akhirnya melihat mereka berdua ber"
lari kabur mengitari pojokan dengan kecepatan penuh!
Dalam sekejap seluruh misteri mengenai saputangan, jam,
berlian, dan Fagin, berkelebat dalam benak anak laki-laki itu.
Dia berdiri selama sesaat dengan darah yang menggelitik
seluruh pembuluhnya karena ngeri, sehingga dia merasa seakan
berada di tengah-tengah kebakaran. Kemudian dengan bingung
dan takut, dia berbalik dan tidak tahu apa yang dilakukannya,
kabur secepat kakinya bisa membawanya.
Ini semua dilakukan dalam rentang semenit. Tepat pada saat
Oliver mulai berlari, sang pria tua menepukkan tangan ke saku"
nya, dan menyadari telah kehilangan saputangannya. Melihat
94~ OLIVER TWIST anak laki-laki melesat dengan laju secepat itu, dia secara oto"
matis menyimpulkan bahwa anak itulah pelaku kejahatan yang
menimpanya. "Berhenti, pencuri!" teriak pria itu sekuat tenaga
sambil mengacung-acungkan buku di tangan.
Namun, sang pria tua bukanlah satu-satunya orang yang ber"
teriak-teriak. Dodger dan Tuan Bates yang tak bersedia menarik
perhatian publik dengan cara berlari menyusuri jalan terbuka,
mundur ke ambang pintu pertama di pojokan. Segera setelah
mendengar pekikan tersebut dan melihat Oliver berlari, mereka
menebak bagaimana persisnya situasi saat itu dan secepat kilat
meneriakkan, "Berhenti, pencuri!" lalu bergabung dalam peng"e"
jaran layaknya warga negara yang baik.
Meskipun Oliver dibesarkan oleh filsuf, dia secara te"oretis
tidak mengenal aksioma indah bahwa menjaga diri sendiri ada"
l"ah hukum pertama semesta. Jika dia mengenal aksioma ter"
sebut, barangkali dia sudah siap untuk hal ini. Namun karena
ti"dak siap, dia ketakutan dan melesatlah dia bagaikan angin,
diiringi pria tua dan dua anak laki-laki yang meraung-raung dan
berteriak-teriak di belakangnya.
"Berhenti, pencuri! Berhenti, pencuri!" Ada sihir dalam
teriakan tersebut. Pedagang meninggalkan konternya dan sais
meninggalkan gerobaknya; tukang jagal melempar nampannya;
tukang roti melempar keranjangnya; tukang susu melempar
embernya; kurir melempar parselnya; murid sekolah melempar
kelerengnya; tukang batu melempar pahatnya; anak-anak me?"
lempar raketnya. Mereka terus berlari, pontang-panting, tung?"
gang langgang, lintang pukang, menabrak, menjerit-jerit, ber"
teriak-teriak, menjatuhkan orang lewat saat mereka mengita"ri
be"lokan, membangunkan anjing, dan mengagetkan ayam.
Jalanan, lapangan, serta pekarangan penuh dengan gema suara
itu. "Berhenti, pencuri! Berhenti, pencuri!" Pekik ini diku"
mandangkan ratusan suara, dan jumlah khalayak kian banyak
di setiap belokan. Mereka melesat, mencipratkan lumpur, dan
CHARLES DICKENS ~95 berkelotakan di trotoar; melompati jendela dan berlarilah orangorang itu, massa yang terus melaju, merangsek, dan seiring
bertambahnya kerumunan orang, makin kencanglah teriakan,
dan tenaga baru dicurahkan untuk seruan, "Berhenti, pencuri!
Berhenti, pencuri!" "Berhenti, pencuri! Berhenti, pencuri!" Ada hasrat untuk
memburu sesuatu yang tertanam dalam-dalam di dada manusia.
Seorang anak bernasib sial yang kehabisan napas, tersengal-sengal
kecapaian; rasa ngeri dalam ekspresinya; derita di matanya; butirbutir keringat besar mengalir deras di wajahnya; menegangkan
setiap saraf untuk mendahului para pengejarnya; saat mereka
mengikuti jejaknya, dan kian dekat dengannya setiap saat,
mereka menyoraki tenaganya yang melemah dengan girang.
"Berhenti, pencuri!" Ya, ampun, hentikan dia demi Tuhan, jika
saja karena kasihan! Berhenti juga pada akhirnya! Berkat pukulan telak, dia jatuh
ke trotoar, dan massa berkumpul mengelilinginya dengan penuh
semangat. Masing-masing pendatang baru saling sikut dan sa"
ling dorong untuk melihat sekilas. "Minggir!" "Beri dia udara!"
"Omong kosong! Dia tidak layak menerimanya!" "Mana tuan
itu?" "Ini dia, datang menyusuri jalan." "Beri jalan untuk tuan
ini!" "Inikah anak laki-laki itu, Tuan!" "Ya."
Oliver tergolek, berlumur lumpur dan debu, dan menetes"
kan darah dari mulut, dengan mata nyalang melihat ke sana
kemari ke tumpukan wajah yang mengelilinginya. Sang pria tua
serta-merta diseret dan didorong ke dalam lingkaran oleh para
pengejar terdepan. "Ya," kata pria itu. "Aku khawatir inilah anaknya."
"Khawatir!" gumam gerombolan orang. "Bagus!"
"Bocah malang!" ujar pria itu. "Dia terluka."
"Saya yang melakukan itu, Tuan," kata seorang laki-laki be"
sar gempal sambil melangkah maju, "dan saya menghantamkan
kepalan saya tepat ke mulutnya, sampai buku-buku jari saya
terluka. Saya menghentikannya, Tuan."
96~ OLIVER TWIST Laki-laki itu menyentuh topinya sambil nyengir, mengha"
rapkan imbalan untuk rasa nyeri yang dideritanya. Namun,
sang pria tua mengamatinya dengan ekspresi tak suka, melihat
ke sana kemari dengan cemas, seolah-olah dia sendiri sedang
mempertimbangkan untuk kabur. Dia mungkin sekali akan
melakukan itu?"yang akan disusul pengejaran lainnya"sean"
dainya seorang polisi (biasanya merupakan orang terakhir yang
tiba dalam kasus semacam ini) tidak menembus kerumunan
pada saat itu dan merenggut kerah Oliver.
"Ayo, bangun!" kata lelaki itu kasar.
"Bukan saya, Tuan. Sungguh, sungguh, pelakunya dua anak
laki-laki lain," kata Oliver sambil mengatupkan kedua tangannya
dan melihat ke sekeliling. "Mereka ada di sekitar sini."
"Oh, tidak. Mereka tidak di sini," kata si polisi. Maksudnya
adalah membuat pernyataan yang ironis, tapi di sisi lain, ini
memang benar sebab Dodger dan Charley Bates sudah kabur
melintasi pekarangan pertama yang cocok untuk tujuan tersebut,
yang mereka lewati. "Ayo, bangun!" "Jangan sakiti dia," kata sang pria tua penuh belas kasihan.
"Oh, tidak, aku takkan melukainya," timpal si polisi sambil
menarik jas Oliver sehingga setengah terlepas dari punggungnya.
"Ayo, aku kenal kau, percuma saja. Bisa berdiri tidak, berandal
kecil?" Oliver yang nyaris tidak bisa berdiri, bergeser untuk meng"
angkat dirinya dan seketika diseret sepanjang jalan"kerah
jasnya dicengkeram si polisi"dengan kecepatan tinggi. Sang
pria tua berjalan bersama mereka di samping polisi. Sejumlah
orang berkerumun sedikit di depan mereka, dan menengok ke
arah Oliver dari waktu ke waktu. Anak-anak lelaki berteriak
penuh kemenangan. Mereka pun terus melaju.[]
Kebijakan Polisi Fang elanggaran dilakukan di distrik dan wilayah yurisdik"si
kepolisian metropolitan yang bereputasi buruk. Massa
ha?"rus puas hanya menemani Oliver sampai dua atau tiga
jalan. Lewat sebuah tempat bernama Mutton Hill, dia dituntun
ke bawah sebuah gerbang lengkung rendah dan menyusuri pe"
karangan kotor, ke tempat penegakan hukum yang cepat dan
tepat ini, melalui jalan belakang. Ke dalam sebuah pekarangan
kecil berubinlah mereka berbelok dan di sini mereka menjumpai
seorang lelaki gempal dengan segumpal cambang di wajahnya,
serta serenteng kunci di tangannya.
"Ada apa sekarang?" kata laki-laki itu tak acuh.
"Penjambret muda," jawab pria yang membawa Oliver.
"Apakah Anda pihak yang dirampok, Tuan?" tanya lelaki
berkunci. "Ya, akulah orangnya," jawab sang pria tua, "tapi aku tidak
yakin bahwa anak inilah yang sebenarnya mengambil saputangan.
Aku ... aku lebih memilih untuk tidak menuntut."
"Anda harus menemui magistrat sekarang, Tuan," timpal
laki-laki itu. "Yang Mulia akan bebas tugas setengah menit lagi.
Ayo, Penjahat Muda!"
Ini adalah undangan bagi Oliver untuk memasuki pintu yang
mengarah ke sebuah sel batu. Di sini dia digeledah, dan setelah
tak ditemukan apa-apa pada dirinya, dia pun dikurung.
98~ OLIVER TWIST Bentuk dan ukuran sel ini seperti gudang bawah tanah, hanya
saja lebih gelap. Sel ini kotornya bukan main sebab saat itu hari
Minggu pagi dan sel tersebut telah dihuni oleh enam orang
mabuk, yang telah ditahan di tempat lain sejak Sabtu malam.
Namun, ini belum seberapa. Di kantor polisi, laki-laki dan pe"
rempuan dikurung setiap malam atas pelanggaran yang paling
remeh dalam penjara bawah tanah, sedangkan para penjahat
paling kejam yang telah disidang dan dinyatakan bersalah serta
divonis mati, ditempatkan di sel-sel di Newgate yang bagaikan
istana. Sang pria tua terlihat hampir semerana Oliver ketika kunci
bergemuruh di gembok. Sambil mendesah, dia menoleh ke buku
yang menjadi penyebab tak berdosa semua masalah ini.
"Ada sesuatu pada wajah bocah itu," kata sang pria tua kepada
dirinya sendiri saat dia berjalan menjauh pelan-pelan, mengetukngetuk dagunya menggunakan sampul buku dengan sikap serius,
"sesuatu yang menyentuh dan menarik hatiku. Mungkinkah dia
tak bersalah" Wajahnya seperti " Omong-omong," seru sang
pria tua, berhenti mendadak sekali, dan mendongak ke langit.
"Teberkatilah jiwaku! " Di mana aku pernah melihat wajah
seperti itu sebelumnya?"
Setelah merenung selama beberapa menit, sang pria tua ber"
jalan. Dengan ekspresi khusyuk yang sama, dia kembali ke ruang
belakang yang mengarah ke halaman. Di sana, sambil mundur
ke pojokan, memunculkan amfiteater luas berisi banyak wajah
yang sudah bertahun-tahun digelayuti tirai buram ke mata ba"
tinnya. "Tidak," kata sang pria tua sambil menggelengkan ke"
pala, "pasti cuma imajinasi."
Dia menelaah wajah-wajah itu lagi. Dia memunculkan
semuanya, dan tidaklah gampang menyibakkan selubung yang
sudah lama sekali menutupi wajah-wajah itu. Ada wajah-wajah
teman, musuh, serta mereka yang hampir-hampir orang asing,
mengintip dan mengganggu dari kerumunan. Ada wajah-wajah
gadis muda mekar yang kini adalah wanita tua; ada wajah-
CHARLES DICKENS ~99 wajah yang telah diubah dan diselimuti kubur, tapi oleh pikiran
yang kekuatannya superior, masih didandani dengan kesegaran
dan kecantikannya yang lama, menyerukan kembali kilau
mata, cerahnya senyum, serta binar jiwa melampaui topeng
tanah liatnya, dan membisikkan keindahan dari balik makam,
berubah tapi diperkuat, dan dibawa pergi dari bumi hanya
untuk dijadikan cahaya, yang menyinarkan pendar halus lembut
ke jalan menuju surga. Namun, sang pria tua tak berhasil mengingat raut wajah yang
diwarnai jejak-jejak rupa Oliver. Jadi, sambil mendesah sesudah
memunculkan ingatan yang dibangunkannya itu, dikuburnya
kembali wajah-wajah itu ke dalam halaman-halaman buku ber"
jamur. Dia merasa geli sendiri karena menyadari dirinya ada"lah
pria tua yang linglung. Dia disadarkan oleh sentuhan di pundak serta permintaan
dari lelaki berkunci agar mengikutinya ke kantor. Dia menutup
bukunya buru-buru dan seketika digiring ke hadapan sosok
mengesankan Tuan Fang yang terkenal.
Kantor tersebut merupakan ruang tamu dengan dinding
berpanel. Tuan Fang duduk di belakang meja pada posisi lebih
tinggi. Di sebelah pintu terdapat kandang kayu tempat Oliver
kecil malang, yang gemetar hebat menyaksikan buruknya
keadaan ini, telah dimasukkan ke dalamnya.
Tuan Fang adalah seorang pria langsing, berpostur tegak,
keras hati, serta bertubuh sedang, dengan jumlah rambut tidak
banyak yang hanya tumbuh di bagian belakang serta samping
kepalanya. Wajahnya galak dan merah sekali. Seandainya tak
punya kebiasaan minum-minum lebih banyak daripada yang
diperbolehkan, dia mungkin saja sudah mengajukan tuntutan
pencemaran nama baik pada mukanya, serta memperoleh uang
ganti rugi besar. Sang pria tua membungkuk hormat. Sembari maju ke meja
magistrat, dia berkata, "Ini nama dan alamat saya, Tuan." Dia
kemudian mundur satu atau dua langkah disertai gerakan meng"
100~ OLIVER TWIST anggukkan kepala yang sopan layaknya seorang pria terhormat,
menunggu untuk ditanyai. Nah, kebetulan saja Tuan Fang saat ini sedang sibuk mem"
baca berita utama di koran pagi yang melaporkan salah satu
putusannya baru-baru ini, dan menyarankan untuk ke-350
kalinya agar dirinya ditinjau secara khusus dan baik-baik oleh
Menteri Dalam Negeri. Dia kehilangan kesabaran, dan men"


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dongak disertai seringai marah.
"Siapa kau?" kata Tuan Fang.
Disertai rasa terkejut, sang pria tua menunjuk kartu nama"
nya. "Petugas!" kata Tuan Fang sambil melemparkan kartu nama
beserta koran dengan sebal. "Siapa laki-laki ini?"
"Nama saya, Tuan," kata sang pria tua, yang bicara layaknya
seorang laki-laki terhormat, "nama saya Brownlow, Tuan. Izin"
kan saya untuk menanyakan nama magistrat yang mengutarakan
penghinaan tanpa alasan dan tanpa diprovokasi kepada seorang
yang terhormat, di bawah perlindungan hukum." Sambil meng"
ucapkan ini, Tuan Brownlow melihat ke sepenjuru ruangan
seolah-olah mencari seseorang yang bersedia memberinya in"for"
masi yang dibutuhkannya tersebut.
"Petugas!" kata Tuan Fang sambil melempar koran ke sam"
ping. "Laki-laki ini dikenai tuduhan apa?"
"Dia tidak dikenai tuduhan apa-apa, Yang Mulia," jawab
sang petugas. "Dia hadir untuk menuntut anak laki-laki ini,
Yang Mulia." Yang Mulia tahu benar, tapi ini adalah pengalih perhatian
yang bagus dan aman. "Hadir untuk menuntut anak laki-laki ini, ya?" kata Tuan
Fang sambil mengamati Tuan Brownlow dengan benci dari
kepala hingga kaki. "Ambil sumpahnya!"
"Sebelum disumpah, saya harus mengucapkan sepatah kata,"
kata Tuan Brownlow, "yaitu bahwa saya takkan pernah bisa,
tanpa pengalaman langsung, memercayai "."
CHARLES DICKENS ~101 "Tahan lidah Anda, Tuan!" kata Tuan Fang memerintah.
"Saya takkan melakukannya, Tuan!" jawab sang pria tua.
"Tahan lidah Anda sekarang juga, atau akan kuusir Anda dari
kantor ini!" kata Tuan Fang. "Dasar orang kurang ajar yang tidak
sopan. Berani-beraninya kau menggertak seorang magistrat!"
"Apa!" seru sang pria tua, wajahnya memerah.
"Ambil sumpah orang ini!" kata Fang kepada panitera. "Aku
takkan mendengar satu kata pun lagi. Ambil sumpahnya."
Rasa gusar Tuan Brownlow telah terbangkitkan sedemikian
rupa. Namun, karena berpikir bahwa kemarahannya hanya akan
merugikan si anak laki-laki apabila dia melampiaskannya, pria
itu menekan perasaan dan menyerah untuk diambil sumpahnya
saat itu juga. "Nah," kata Fang, "tuduhan apa yang dikenakan kepada anak
laki-laki ini" Apa yang ingin Anda katakan, Tuan?"
"Saya sedang berdiri di kios buku "." Tuan Brownlow
memulai. "Tahan lidah Anda, Tuan," kata Tuan Fang. "Polisi! Mana
polisinya" Ambil sumpah polisi ini. Nah, Tuan Polisi, bagaimana
ceritanya?" Si polisi, dengan kerendahan hati yang sepantasnya, me"
ngisahkan bagaimana dia membawa si tertuduh, bagaimana dia
menggeledah Oliver dan tidak menemukan apa-apa pada diri"
nya, serta bahwa hanya itulah yang diketahuinya.
"Apa ada saksi?" tanya Tuan Fang.
"Tidak ada, Yang Mulia," jawab si polisi.
Tuan Fang duduk diam beberapa menit, kemudian menoleh
kepada si penuntut, lalu berkata dengan gairah menggebugebu.
"Anda bermaksud mengutarakan tuduhan Anda terhadap
anak laki-laki ini atau tidak" Anda sudah disumpah. Nah, ka"
lau Anda berdiri saja di sana dan menolak memberi bukti, akan
kuhukum Anda karena tidak menghormati pengadilan. Aku
pasti akan melakukannya, demi "."
102~ OLIVER TWIST Demi apa, atau demi siapa, tak ada yang tahu, sebab tepat
pada saat itu panitera dan sipir terbatuk-batuk sangat keras. Dan
panitera menjatuhkan buku tebal ke lantai, alhasil mencegah
kata itu terdengar"secara tak sengaja, tentunya.
Dengan banyak interupsi, dan sumpah serapah berulangulang, Tuan Brownlow berkesempatan mengajukan kasusnya.
Dia mengemukakan bahwa karena terkejut, dia telah mengejar
si anak laki-laki gara-gara melihat bocah itu berlari. Dia juga
mengungkapkan harapannya untuk menangani bocah itu selu"
nak mungkin sejauh yang diperbolehkan hukum, meskipun
seandainya magistrat memercayainya, anak laki-laki itu kemung"
kin"an besar terkait dengan para pencuri sesungguhnya, kendati
dia sendiri bukan pencuri.
"Dia sudah terluka," kata sang pria tua menyimpulkan. "Dan
saya khawatir," imbuhnya dengan energi besar, sambil meman"
dang ke meja, "saya sungguh khawatir kalau-kalau dia sakit."
"Oh, ya! Pasti!" kata Tuan Fang sambil menyeringai mengejek.
"Ayolah, jangan main tipu di sini, Penjahat Muda, itu takkan
berhasil. Siapa namamu?"
Oliver mencoba menjawab, tapi lidahnya kelu. Dia pucat
pasi, dan seisi tempat itu seolah berputar-putar.
"Siapa namamu, dasar berandal keras kepala?" tuntut Tuan
Fang. "Petugas, siapa namanya?"
Pertanyaan ini ditujukan kepada seorang lelaki tua riang,
berompi garis-garis, yang berdiri di dekat meja. Dia membung"
kuk mendekati Oliver dan mengulangi pertanyaan tersebut.
Namun, mendapati bahwa si anak laki-laki benar-benar tidak
sanggup memahami pertanyaan itu dan tahu bahwa ketiadaan
jawaban hanya akan membuat magistrat semakin murka dan
menambah beratnya hukuman, dia memberanikan diri mene"
bak. "Dia bilang namanya Tom White, Yang Mulia," kata pria
baik hati itu. CHARLES DICKENS ~103 "Oh, dia tidak mau bicara keras-keras, ya?" kata Fang.
"Baiklah, baiklah. Di mana dia tinggal?"
"Di mana saja yang bisa ditinggalinya, Yang Mulia," jawab si
petugas, lagi-lagi berpura-pura menerima jawaban dari Oliver.
"Apa dia punya orangtua?" tanya Tuan Fang.
"Dia bilang mereka meninggal waktu dia bayi, Yang Mulia,"
jawab si petugas, mengutarakan jawaban hasil tebakannya yang
sangat umum. Pada titik ini dalam sidang tersebut, Oliver mengangkat ke"
pa"lanya, dan melihat ke sana kemari dengan mata memohon,
menggumamkan permohonan lemah meminta air minum.
"Omong kosong!" kata Tuan Fang. "Jangan coba-coba mem"
bodohiku." "Menurut saya dia betul-betul sakit, Yang Mulia," sanggah
si petugas. "Yang benar saja," kata Tuan Fang.
"Urus dia, Petugas," kata sang pria tua, mengangkat tangannya
secara naluriah, "dia hampir jatuh."
"Mundur, Petugas," seru Fang. "Biarkan dia, kalau dia
mau." Oliver memanfaatkan izin yang baik hati ini, dan jatuh ke
lantai karena pingsan. Para lelaki di kantor saling pandang, tapi
tak seorang pun berani bergerak.
"Aku tahu dia pura-pura," kata Fang, seolah-olah ini adalah
bukti tak terbantahkan dari fakta itu. "Biarkan dia berbaring di
sana. Sebentar lagi juga bosan."
"Bagaimana saran Anda untuk mengatasi kasus ini, Tuan?"
tanya panitera dengan suara rendah.
"Singkatnya," kata Tuan Fang. "Dia dijatuhi hukuman tiga
bulan " kerja paksa, tentu saja. Kosongkan kantor."
Pintu dibuka demi tujuan ini, dan sepasang laki-laki bersiap
menggendong si bocah yang tak sadarkan diri ke selnya. Pada
saat itu, seorang lelaki tua berpenampilan rapi tapi tampak
104~ OLIVER TWIST miskin yang mengenakan setelan tua berwarna hitam, buruburu masuk ke kantor dan maju ke meja.
"Setop, setop! Jangan bawa dia pergi! Demi Tuhan, berhen"
tilah sebentar!" seru sang pendatang baru, kehabisan napas
karena tergesa-gesa. Walaupun arwah penunggu kantor ini memiliki kekuasaan
penuh dan arbitrer atas kebebasan, nama baik, karakter, bahkan
nyawa hamba-hamba Yang Mulia Ratu, terutama dari kelas
sosial yang miskin; dan meskipun, dalam kungkungan dindingdinding ini, sudah cukup banyak tipuan fantastis yang dimainkan
setiap hari sehingga dapat membuat para malaikat buta karena
tangis, semua ini tertutup dari publik, kecuali lewat perantaraan
media cetak harian"atau setidaknya, praktis seperti itu. Oleh
se?"bab itu, pantaslah Tuan Fang geram melihat seorang tamu tak
diundang masuk tanpa sopan santun dan menyebabkan keru"
suhan semacam itu. "Apa ini" Siapa ini" Keluarkan laki-laki ini. Kosongkan kan"
tor!" seru Tuan Fang.
"Saya akan bicara," seru pria itu. "Saya tidak sudi dikelu"
arkan. Saya melihat segalanya. Saya penjaga kios buku. Saya
menuntut untuk diambil sumpah. Saya takkan mau dibung"
kam. Tuan Fang, Anda harus mendengar saya. Anda tidak boleh
menolak, Tuan." Laki-laki itu benar. Sikapnya penuh tekad dan perkara
ter?"?"?"sebut sudah jadi terlalu serius sehingga mustahil ditutuptutupi.
"Ambil sumpah pria itu," geram Tuan Fang, sama sekali tidak
anggun. "Nah, Bung, apa yang ingin kaukatakan?"
"Begini," kata lelaki itu. "Saya melihat tiga anak laki-laki,
salah satunya anak laki-laki ini, luntang-lantung di seberang ja"
lan ketika pria ini sedang membaca. Perampokan dilakukan oleh
anak laki-laki lain. Saya melihat kejadiannya dan saya melihat
bocah ini betul-betul kaget serta tercengang menyaksikannya."
Setelah pernapasannya pulih sedikit pada saat ini, sang penjaga
CHARLES DICKENS ~105 kios buku yang terpuji melanjutkan menceritakan secara lebih
terperinci jalannya peristiwa perampokan sesungguhnya.
"Kenapa Anda tidak datang ke sini sebelumnya?" kata Fang,
setelah jeda sejenak. "Tidak ada orang yang menjaga toko," jawab lelaki itu.
"Semua orang yang seharusnya bisa membantu saya telah ikut
mengejar. Tidak ada yang bisa dititipi sampai lima menit lalu.
Saya lari terus sepanjang jalan sampai ke sini."
"Penuntut sedang membaca, ya?" selidik Fang, setelah jeda
lagi. "Ya," jawab laki-laki itu. "Buku yang sekarang ada di tangan"
nya." "Oh, buku itu, ya?" kata Tuan Fang. "Apakah sudah diba"
yar?" "Tidak, belum dibayar," jawab laki-laki itu sambil terse"
nyum. "Ya, ampun, aku lupa sama sekali!" seru sang pria tua yang
linglung dengan polos. "Orang baik yang pantas mengajukan tuntutan kepada
seorang bocah malang!" kata Fang, berusaha melucu supaya ke"
lihatan manusiawi. "Menurutku, Tuan, Anda mendapatkan kepe"
milikan atas buku itu dalam keadaan yang sangat meragukan
serta tercela dan Anda boleh anggap diri Anda sangat beruntung
karena pemilik benda tersebut menolak untuk menuntut. Biarkan
ini jadi pelajaran bagi Anda, Bung, atau hukum akan menahan
Anda. Si anak laki-laki dibebaskan. Kosongkan kantor!"
"Sialan!" seru sang pria tua, amarah yang telah lama dita"
hannya meledak. "Sialan! Akan ku- "."
"Kosongkan kantor!" kata sang magistrat. "Petugas, apa kau
dengar" Kosongkan kantor!"
Titah tersebut dipatuhi. Tuan Brownlow yang kesal diantar
keluar, dengan buku di satu tangan, serta tongkat bambu di tangan
satunya lagi, mengamuk dan tersinggung sejadi-jadinya. Ketika
sampai di halaman, nafsunya menghilang sesaat. Oliver Twist
106~ OLIVER TWIST kecil berbaring telentang di trotoar, bajunya tak dikancingkan,
pelipisnya bersimbah air, wajahnya putih pucat seperti mayat,
dan gigil kedinginan mengguncang sekujur tubuhnya.
"Anak malang, anak malang!" kata Tuan Brownlow sambil
membungkuk ke atasnya. "Siapa saja, tolong panggilkan kereta.
Cepat!" Begitu kereta datang, Oliver dengan hati-hati dibaringkan di
tempat duduk. Si pria tua pun masuk dan duduk di dekatnya.
"Boleh saya temani Anda?" kata sang penjaga kios buku
sambil menengok ke dalam.
"Astaga " Ya, Tuan yang baik," kata Tuan Brownlow cepatcepat. "Aku melupakan Anda. Ya, ampun! Aku masih memegang
buku pembawa sial ini! Masuklah. Anak malang! Kita tidak
boleh membuang-buang waktu."
Si penjaga kios buku masuk ke kereta, dan pergilah mereka
semua.[] Surga yang Didambakan ereta berangkat menyusuri jalan yang sama dengan yang
dilalui Oliver ketika kali pertama memasuki London
ditemani Dodger, dan berbelok ke arah yang berbeda
ketika mencapai distrik Angel di Islington. Kereta berhenti di
sebuah rumah rapi, di jalan sepi rimbun dekat Pentonville. Di
sanalah sebuah ranjang untuk Oliver dipersiapkan tanpa buangbuang waktu. Tuan Brownlow melihat tanggungan mudanya
diletakkan dengan hati-hati dan nyaman. Dan, di sinilah dia
dirawat dengan kebajikan serta kemurahan hati tanpa batas.
Namun, selama berhari-hari Oliver tetap tak menyadari
semua kebaikan teman-teman barunya. Matahari terbit dan ter"
benam sampai berkali-kali. Namun, si anak laki-laki tetap ter"
baring gelisah di tempat tidurnya, terlena di bawah panasnya
demam yang kering dan melelahkan.
Lemas, kurus, dan kuyu, dia akhirnya terbangun dari mimpi
yang tampaknya panjang dan merisaukan. Sambil menegakkan
diri dengan lemah di tempat tidur, kepala ditopang lengannya
yang gemetaran, dia melihat ke sana kemari dengan gugup.
"Ruangan apa ini" Ke mana aku dibawa?" kata Oliver. "Bukan
di tempat ini aku tertidur."
Dia mengucapkan kata-kata ini dengan suara lemah, sangat
samar dan pelan, tapi kata-kata tersebut terdengar seketika.
Kelambu di kepala tempat tidur buru-buru ditarik oleh seorang
wanita tua keibuan yang berpakaian sangat rapi dan tertata
108~ OLIVER TWIST yang tengah duduk sambil menjahit di kursi berlengan di dekat
sana. "Ssst, Sayang," kata wanita tua itu lembut. "Kau harus te"
nang, atau kau akan sakit lagi. Kondisimu sempat sangat pa"
rah"separah yang mungkin terjadi. Berbaringlah lagi. Nah, itu
baru anak baik!" Disertai kata-kata ini, sang wanita tua dengan
lembut meletakkan kepala Oliver ke atas bantal, dan sambil
menyibakkan rambut di kening Oliver, memandang wajah anak
malang itu dengan begitu ramah dan penuh kasih sayang sehing"
ga Oliver menempelkan tangan kecil lemasnya ke tangan wanita


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, dan menariknya ke lehernya.
"Puji Tuhan!" kata sang wanita tua dengan air mata di mata"
nya. "Sungguh makhluk kecil yang tahu terima kasih. Anak
manis! Bagaimana perasaan ibunya apabila dia duduk di sam"
ping anak ini seperti aku, dan bisa melihatnya sekarang!"
"Barangkali dia memang melihat saya," bisik Oliver sambil
bersedekap, "barangkali dia duduk di sebelah saya. Saya hampir
merasa seolah dia melakukannya."
"Itu karena demam, Sayang," kata si wanita tua ramah.
"Saya rasa memang begitu," timpal Oliver, "karena Surga
sangat jauh dan mereka terlalu bahagia di sana sehingga tak
mungkin turun ke sisi tempat tidur seorang anak miskin. Tapi,
kalau tahu saya sakit, dia pasti mengasihani saya, di sana seka"
lipun, sebab dia sendiri sakit parah sebelum meninggal. Tapi, dia
tidak mungkin tahu apa-apa tentang saya," imbuh Oliver setelah
hening sesaat. "Kalau dia melihat saya terluka, pasti sedih.
Wajah"nya selalu terlihat manis dan bahagia dalam mimpi saya."
Sang wanita tua tidak melontarkan jawaban apa-apa. Perta"
ma-tama dia mengusap matanya, lalu mengusap kacamata yang
terdapat di meja seolah-olah merupakan bagian dari perabot
tersebut, kemudian membawakan obat dingin untuk diminum
Oliver. Wanita tua itu lalu menepuk pipi Oliver, memberi tahu
bahwa dia harus berbaring dengan tenang, atau dia akan sakit
lagi. CHARLES DICKENS ~109 Jadi, Oliver tak bergerak sama sekali. Sebagian karena dia
memang ingin mematuhi sang wanita tua baik hati dalam sega"la
perkara, dan sebagian, sejujurnya, karena dia betul-betul kele"
lahan setelah berkata-kata. Dia segera saja terkantuk-kantuk
lembut. Tak lama kemudian dia dibangunkan oleh cahaya seba"
tang lilin yang dibawa ke dekat tempat tidur, menampakkan
ke"pa"danya seorang pria dengan jam emas sangat besar serta ber"
detik kencang di tangannya, yang meraba denyut nadinya, dan
berkata kondisinya sudah jauh lebih baik.
"Kau sudah jauh lebih baik, bukan begitu, Nak?" kata pria
itu. "Ya, terima kasih, Tuan," jawab Oliver.
"Ya, aku tahu memang begitu," kata pria itu. "Kau juga lapar,
bukan?" "Tidak, Tuan," jawab Oliver.
"Hmm!" kata pria itu. "Tidak, aku tahu memang tidak. Dia
tidak lapar, Nyonya Bedwin," kata pria tersebut, terlihat sangat
arif. Sang wanita tua menganggukkan kepala dengan hormat,
yang seakan mengatakan bahwa menurutnya dokter itu adalah
pria yang sangat pintar. Dokter itu sendiri tampaknya punya
pendapat sama. "Kau merasa mengantuk, kan, Nak?" kata sang dokter.
"Tidak, Tuan," jawab Oliver.
"Tidak," kata sang dokter, disertai ekspresi sangat bijak dan
puas. "Kau tidak mengantuk. Tidak haus. Apa kau haus?"
"Ya, Tuan, agak haus," jawab Oliver.
"Persis seperti yang kuduga, Nyonya Bedwin," kata sang
dokter. "Sangat wajar apabila dia haus. Anda boleh memberinya
sedikit teh, Nyonya, dan roti panggang kering tanpa mentega.
Jangan buat dia terlalu hangat, Nyonya, tapi hati-hatilah supaya
dia tidak terlalu kedinginan. Bersediakah Anda melakukannya,
Nyonya?" 110~ OLIVER TWIST Sang wanita tua membungkuk hormat. Sang dokter, setelah
mencicipi obat dingin, dan sesudah mengekspresikan persetujuan
profesional atas minuman tersebut, buru-buru pergi. Sepatu
botnya berderit dengan gaya sangat penting dan kaya selagi dia
turun ke lantai bawah. Oliver segera tertidur lagi. Ketika dia terjaga, sudah hampir
pukul dua belas. Dengan lembut sang wanita tua mengucapkan
selamat malam kepadanya, dan meninggalkannya dalam pen"
jagaan seorang wanita tua gemuk yang baru saja datang sambil
membawa sebuah Buku Doa kecil dalam sebuah buntalan mu"
ngil serta topi tidur besar. Wanita gemuk itu memasang topi
tidur besar di kepalanya dan meletakkan Buku Doa di meja.
Wanita itu, setelah memberi tahu Oliver bahwa dia datang untuk
duduk menemani bocah itu, menarik kursinya ke dekat perapi"
an dan tidur-tidur ayam, yang sering kali diselingi beragam
gerak"an terguling ke depan, serta aneka erangan dan bunyi
ter?"cekik. Namun, efeknya tidak lebih buruk daripada sekadar
menyebabkannya menggosok hidung keras-keras, kemudian ja"
tuh tertidur lagi. Demikianlah malam terus merayap pelan. Oliver berbaring
terjaga beberapa lama, menghitung lingkaran-lingkaran cahaya
kecil yang dilemparkan bayangan tudung lampu ke langit-langit,
atau menelusurkan pandangan matanya yang malas ke pola-pola
rumit di kertas pelapis dinding. Kegelapan dan keheningan men"
dalam di ruangan itu sangatlah khidmat. Saat terlintas di benak
anak laki-laki itu bahwa maut telah membayang di sana, selama
berhari-hari kala siang dan malam, dan belum lagi mengisi tempat
tersebut dengan kesuraman dan kengerian akibat kehadirannya
yang menyeramkan, dia memalingkan wajahnya ke bantal, dan
dengan khusyuk berdoa kepada Tuhan.
Lambat laun dia terlena dalam tidur nyenyak dan damai
yang meringankan kesengsaraan yang baru-baru ini dideritanya;
istirahat tenang dan tenteram yang membuat diri terasa pedih
saat terbangun darinya. Jika ini maut, siapa yang sudi dibang"
CHARLES DICKENS ~111 kitkan lagi untuk menghadapi semua perjuangan dan kesulitan
hidup, semua kesusahan di masa kini dan kegelisahan di masa
mendatang, serta ingatan melelahkan tentang masa lalu!
Hari yang cerah sudah berlangsung beberapa jam ketika
Oliver membuka matanya. Dia merasa ceria dan senang. Masa
krisisnya telah berlalu. Dia sudah kembali jadi milik dunia.
Tiga hari kemudian dia sudah mampu duduk di kursi malas,
ditopang oleh banyak bantal. Karena dia masih terlalu lemah
untuk berjalan, Nyonya Bedwin minta Oliver digendongkan
ke lantai bawah, ke kamar pembantu berukuran kecil miliknya.
Setelah menempatkan Oliver di sini, di samping perapian, wani"
ta tua baik hati itu juga duduk. Karena teramat gembira meli"
hat kondisi Oliver jauh membaik, dia mulai menangis tersedusedu.
"Jangan khawatir, Sayang," kata sang wanita tua. "Aku cuma
menangis saja, ini biasa. Nah, semua sudah selesai sekarang dan
aku merasa cukup nyaman."
"Anda sangat " sangat baik kepada saya, Nyonya," kata
Oliver. "Nah, jangan pikirkan itu, Sayang," kata sang wanita tua
"Itu tidak ada hubungannya dengan kaldu yang kau makan.
Sudah waktunya kau menyantapnya sebab dokter bilang Tuan
Brownlow mungkin akan datang menemuimu pagi ini, dan kita
harus tampil sebaik mungkin karena semakin baik penampilan
kita, akan semakin senanglah dia." Dengan kata-kata ini, sang
wanita tua mulai menuangkan isi mangkuk berupa kaldu ke wa?"
jan untuk dipanaskan. Kaldu ini, menurut Oliver, cukup kental
sehingga ketika sudah diencerkan sesuai peraturan, dapat mem"
beri makan malam berlimpah untuk tiga ratus lima puluh orang
miskin, berdasarkan taksiran terkecil.
"Apakah kau menyukai lukisan, Sayang?" tanya sang wanita
tua, melihat bahwa Oliver telah melekatkan pandangan matanya
dengan saksama pada sebuah potret yang digantung di dinding,
tepat di seberang kursinya.
112~ OLIVER TWIST "Saya tidak tahu, Nyonya," kata Oliver tanpa melepaskan
pandangannya dari kanvas. "Sedikit sekali yang sudah saya lihat
sehingga saya tak tahu. Betapa cantik dan lembutnya wajah
wanita itu!" "Ah!" kata sang wanita tua. "Pelukis selalu membuat perem"
puan lebih cantik daripada sesungguhnya atau mereka takkan
mendapat pesanan, Nak. Pria yang menemukan mesin pemotret
foto seharusnya tahu ciptaannya takkan sukses, benda itu terlalu
jujur. Terlalu," kata sang wanita tua, tertawa sendiri mendengar
pengamatannya yang cermat.
"Apa ... apakah itu lukisan orang yang sesungguhnya, Nyo"
nya?" kata Oliver. "Ya," kata sang wanita tua sambil mendongak sesaat dari
kaldu, "itu sebuah potret."
"Potret siapa, Nyonya?" tanya Oliver.
"Wah, sungguh, Sayang, aku tak tahu," jawab sang wanita tua
dengan sikap riang. "Itu bukan lukisan seseorang yang kau atau
aku kenal, kurasa. Potret itu tampaknya membuatmu tertarik,
Sayang." "Wajahnya cantik sekali," timpal Oliver.
"Wah, kau tak takut padanya, kan?" kata sang wanita tua
de?"ngan amat terkejut menyaksikan ekspresi takjub si anak saat
meng"amati gambar tersebut.
"Oh, tidak, tidak," balas Oliver cepat-cepat, "tapi matanya
kelihatan begitu sedih. Dan, dari tempat saya duduk, matanya
seakan menatap saya. Jantung saya jadi berdebar-debar," imbuh
Oliver dengan suara pelan, "seakan wanita itu hidup, dan ingin
bicara kepada saya, tapi tidak bisa."
"Tuhan, berkatilah kami!" seru sang wanita tua, terkesiap.
"Jangan bicara seperti itu, Nak. Kau masih lemah dan gugup
setelah sakit. Biar kuputar kursimu supaya kau tak melihatnya.
Nah!" kata wanita tua itu, melakukan apa yang baru saja dika"
takannya. "Kau tidak melihatnya lagi sekarang."
CHARLES DICKENS ~113 Oliver sesungguhnya melihat lukisan itu dengan mata batin"
nya sejelas bilamana dia tidak mengubah posisinya. Namun, dia
berpendapat lebih baik tidak membuat sang wanita tua baik hati
itu jadi cemas. Maka, dia tersenyum lembut ketika wanita itu
memandangnya. Puas karena Oliver telah merasa lebih nyaman,
Nyonya Bedwin menggarami dan mencuil roti panggang untuk
dimasukkan ke kaldu, dengan kesigapan yang pas sekali untuk
persiapan sekhidmat itu. Oliver menyantapnya dengan luar biasa
lahap. Dia belum lagi menelan suapan terakhir ketika terdengar
ketukan lembut di pintu. "Silakan masuk," kata sang wanita tua,
dan masuklah Tuan Brownlow.
Sang pria tua masuk dengan cepat. Namun, dia baru saja
mengangkat kacamatanya ke kening dan menjejalkan tangannya
ke balik jubah tidurnya untuk melihat Oliver baik-baik ketika
raut wajahnya mengalami berbagai perubahan ekspresi yang
ganjil. Oliver kelihatan loyo dan sayu karena sakit, dan membuat
upaya sia-sia untuk berdiri demi menghormati penolongnya,
yang diakhiri dengan tersuruknya dia ke kursi lagi. Seandainya
kebenaran mesti disampaikan, bahwa hati Tuan Brownlow yang
cukup lapang sehingga sebanding dengan hati enam pria tua
manusiawi biasa, tak sanggup menahan munculnya curahan
air mata, lewat suatu proses hidrolis yang tidak mungkin untuk
dijelaskan berhubung keterbatasan pemahaman kita.
"Anak malang, anak malang!" kata Tuan Brownlow sambil
berdehem. "Aku agak serak pagi ini, Nyonya Bedwin. Aku kha"
watir aku terkena pilek."
"Saya harap tidak, Tuan," kata Nyonya Bedwin. "Semua yang
Anda pakai sudah diangin-anginkan dengan baik, Tuan."
"Entahlah, Bedwin. Entahlah," kata Tuan Brownlow. "Kurasa
aku menggunakan serbet lembap saat makan malam kemarin,
tapi jangan pikirkan itu. Bagaimana perasaanmu, Nak?"
"Sangat senang, Tuan," jawab Oliver. "Dan pastinya sangat
berterima kasih, Tuan, atas kebaikan Anda kepada saya."
114~ OLIVER TWIST "Baguslah," kata Tuan Brownlow gagah. "Sudahkah kau
memberinya makan, Bedwin" Ada sisanya, tidak?"
"Dia baru saja makan semangkuk kaldu kental lezat, Tuan,"
jawab Nyonya Bedwin sambil menegakkan diri, dan memberi"
kan tekanan kuat pada kata terakhir untuk menegaskan bahwa
mustahil menyisakan masakan buatannya.
"Uh!" kata Tuan Brownlow sambil bergidik sedikit. "Bebera"
pa gelas anggur merah pasti jauh lebih bermanfaat untuknya.
Bukankah begitu, Tom White?"
"Nama saya Oliver, Tuan," jawab Oliver dengan ekspresi bi"
ngung luar biasa. "Oliver," kata Tuan Brownlow. "Oliver apa" Oliver White,
ya?" "Bukan, Tuan. Twist, Oliver Twist."
"Nama yang aneh!" kata sang pria tua. "Apa yang membuatmu
mengatakan kepada magistrat bahwa namamu White?"
"Saya tidak pernah mengatakan itu kepadanya, Tuan," timpal
Oliver keheranan. Ini terdengar seperti dusta, sampai-sampai sang pria tua
meman"dangi wajah Oliver dengan galak. Mustahil mera"gu"
kannya, ada kejujuran pada setiap garis mukanya yang kurus
dan tajam. "Kekeliruan," kata Tuan Brownlow. Meskipun tidak ingin
memandang Oliver lekat-lekat, gagasan lama mengenai kemi"
ripan antara rupa anak itu dengan suatu wajah tak asing me"
ngua"sainya sedemikian kuat sehingga dia tak bisa melepaskan
tatapannya. "Saya harap Anda tidak marah kepada saya, Tuan," kata
Oliver, mengangkat pandangan matanya dengan ekspresi me"
mohon. "Tidak, tidak," jawab sang pria tua. "Wah! Apa ini" Bedwin,
lihat ke sana!" Selagi dia berbicara, buru-buru ditunjuknya lukisan di atas
kepala Oliver, lalu wajah si anak laki-laki. Di sanalah salinan
CHARLES DICKENS ~115 hidup lukisan tersebut. Matanya, kepalanya, mulutnya; semua
ciri persis sama. Ekspresinya, pada saat itu, demikian persis se"
hingga garis terhalus sekalipun seakan dikopi dengan ketepatan
yang mencengangkan! Oliver tidak tahu penyebab pekikan tiba-tiba ini. Karena tidak
cukup kuat untuk menanggung rasa terkejut yang ditimbulkan
pekikan tersebut, dia pun pingsan.
Pingsannya Oliver ini memberi kesempatan untuk mengen"
durkan ketegangan yang dirasakan pembaca, terkait dua orang
murid si Pria Tua Periang ".
Ketika Dodger dan temannya yang lihai, Tuan Bates, ber"ga"
bung dalam teriakan yang membahana di belakang Oliver, setelah
melakukan pemindahan ilegal barang pribadi Tuan Brownlow,
mereka dirangsang oleh hasrat yang sangat terpuji dan mulia,
yaitu hasrat untuk melindungi diri sendiri. Karena kebebasan


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rakyat serta kemerdekaan individu merupakan salah satu ke"bang"
gaan nomor satu yang lantang dikumandangkan orang Inggris
sejati, aku tidak perlu memohon-mohon kepada pembaca agar
mencermati bahwa selain mengangkat reputasi mereka di mata
seluruh masyarakat dan para pria patriotik, tindakan yang men"
jadi bukti kuat kecemasan mereka akan kelestarian serta ke"se"
lamatan diri mereka sendiri ini sekaligus menyokong dan me"
ngonfirmasi suatu hukum yang dimaklumatkan seorang filsuf
terkemuka berpenilaian tepercaya, sebagai sumber lahirnya sega"
la perbuatan dan tindakan di alam ini.
Filsuf tersebut sangatlah bijaksana karena telah mereduksi
jalannya negara menjadi sekadar perkara maksim dan teori.
Dan, lewat pujian indah serta cantiknya kearifan dan kebijaksa"
naan tak terperi sang ibu bumi, sepenuhnya mengesampingkan
adanya hati nurani, atau kedermawanan dan perasaaan. Sebab,
perkara-perkara ini terlalu remeh bagi wanita yang kuasanya,
secara universal, diakui melampaui berbagai kekurangan dan
kelemahan kecil yang banyak jumlahnya.
116~ OLIVER TWIST Jika aku menginginkan bukti lebih lanjut mengenai motif
filosofis di balik perbuatan kedua pemuda ini dalam situasi sa"
ngat gawat yang mereka hadapi, aku akan langsung menemukan"
nya dalam fakta (yang juga telah dicatat dalam bagian terdahulu
narasi ini) bahwa mereka berhenti mengejar ketika perhatian
umum telah tertuju kepada Oliver, dan seketika berlari pulang
melalui jalan pintas sekencang mungkin.
Walaupun aku tidak bermaksud mengklaim bahwa inilah
yang biasanya dilakukan orang-orang"yang bijak bestari,
tenar terpelajar"yaitu memendekkan jalan untuk mencapai
tuju"an hebat (sebaliknya, metode mereka biasanya ada"lah mem"
per"panjang jarak, lewat berbagai pembicaraan bertele-tele dan
omongan hebat yang diskursif, seperti yang cenderung diprak"
tikkan para pria mabuk di bawah tekanan aliran ide yang
terlalu dahsyat), inilah yang lazim dilakukan banyak filsuf
hebat dalam menerapkan teori mereka, untuk menunjukkan
kebijaksanaan dan kecerdikan mereka dalam rangka menangkal
setiap kemungkinan tak terduga yang bisa saja memengaruhi
diri mereka. Oleh sebab itu, untuk melakukan kebaikan yang besar, kau
boleh melakukan kejahatan kecil. Kau juga boleh menempuh
cara apa pun karena tujuan yang hendak dicapai akan menjus"
tifikasinya berdasarkan besarnya kebaikan, besarnya kejahatan,
atau bahkan perbedaan keduanya, diserahkan sepenuhnya ke
tangan filsuf tersebut untuk ditentukan serta dinilai berdasarkan
sudut pandangnya yang jernih, komprehensif, dan tak memihak
dalam setiap kasus tertentu yang dihadapinya.
Saat kedua anak lelaki itu telah menjelajahi jalinan jalanjalan sempit dan pekarangan yang bagai labirin dengan teramat
cepat, mereka memberanikan diri untuk berhenti di bawah
sebuah gerbang lengkung yang gelap. Setelah berdiam di sini
beberapa lama, cukup lama untuk memulihkan napas sehingga
bisa bicara, sambil mengutarakan pekik geli dan girang, Tuan
Bates terpingkal-pingkal tak terkendali. Dia menjatuhkan diri"
CHARLES DICKENS ~117 nya ke sebuah ambang pintu, dan berguling-guling di sana un"
tuk mengekspresikan tawanya.
"Ada apa?" tanya Dodger.
"Ha! ha! ha!" lengking Charley Bates.
"Pelankan suaramu," omel Dodger sambil melihat ke sana
kemari dengan waswas. "Apa kau ingin ditangkap, Bodoh?"
"Aku tidak tahan," kata Charley. "Aku tidak tahan! Melihatnya
melesat dengan kecepatan itu, mengitari pojokan, menabrak
tiang, dan mulai lari lagi seolah-olah dia terbuat dari besi sama
seperti tiang itu, sementara aku dengan saputangan di sakuku,
berteriak di belakangnya " ampun, mataku!" Imajinasi Tuan
Bates yang hidup menampilkan adegan tersebut di depannya
dalam warna-warni yang terlalu terang. Dia lagi-lagi bergulingguling di ambang pintu, dan tertawa lebih nyaring daripada se"
be"lumnya. "Apa kata Fagin nanti?" tanya Dodger, mengambil kesem"
patan untuk mengajukan pertanyaan ini pada rentang waktu
selanjutnya saat temannya kehabisan napas.
"Apa?" ulang Charley Bates.
"Ah, apa?" kata Dodger.
"Lho, memangnya apa yang bakal dikatakannya?" tanya
Charley, berhenti bergembira ria tiba-tiba, sebab sikap Dodger
tampak begitu serius. "Apa yang bakal dikatakannya?"
Tuan Dawkins bersiul-siul beberapa menit, lalu melepas
topinya, menggaruk kepala, dan mengangguk tiga kali.
"Apa maksudmu?" ujar Charley.
"Keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau," kata
Dodger sambil menyeringai, mencemooh kemampuan inte"
lektual Charley Bates. Tampaknya penjelasan tersebut tidak memuasakan Tuan
Bates, dia pun bertanya lagi, "Apa maksudmu?"
Dodger tidak menjawab. Ia memakai topinya kembali, dan
sambil mengepit bagian bawah jas berekor panjangnya, menje"
jalkan lidah ke pipinya, menampar batang hidungnya kira-kira
118~ OLIVER TWIST selusin kali dengan gaya biasa tapi ekspresif, dan sambil ber"
putar, menjatuhkan diri ke pekarangan. Tuan Bates mengikuti
dengan raut wajah serius.
Bunyi langkah kaki di tangga yang berderit beberapa menit
setelah terjadinya percakapan ini, membangunkan sang pria tua
periang saat dia duduk di dekat perapian dengan sosis dan selo"
yang kecil roti di tangannya, pisau saku di kanannya, dan panci
pewter di dudukan logam. Ada senyum culas di wajah putihnya
saat dia berbalik. Sambil memandang dengan tajam dari bawah
alis merah tebalnya, dia memiringkan telinga ke pintu dan men"
dengarkan. "Wah, ada apa ini?" gumam Fagin, raut wajahnya berubah.
"Hanya dua orang" Mana yang ketiga" Mereka tidak mungkin
terlibat masalah!" Langkah kaki kian dekat, kini mencapai pelataran. Pintu
pelan-pelan terbuka, lalu Dodger serta Charley Bates masuk,
menutup pintu di belakang mereka.[]
Oliver Harus Ditemukan Mana Oliver?" kata Fagin, bangkit dengan tam"pang me"ng"
ancam. "Mana anak itu?"
Para pencuri muda menatap pelatih mereka seolah-olah
ter"peranjat melihat sikap kasarnya dan saling pandang dengan
geli"sah. Namun, mereka tidak menjawab.
"Apa yang terjadi pada anak itu?" kata Fagin, mencengkeram
kerah Dodger erat-erat, dan mengancamnya dengan sumpah
serapah mengerikan. "Bicaralah, atau akan kucekik kau."
Tuan Fagin kelihatannya sungguh-sungguh sehingga Charley
Bates, yang beranggapan bahwa pantas kiranya mengamankan
diri dalam segala urusan, dan yang berpikir dia akan mendapat
giliran kedua untuk dicekik, jatuh berlutut, dan mengeluarkan
raungan lantang, terkendali, serta berkelanjutan"sesuatu antara
bunyi banteng mengamuk dan terompet bicara.
"Mau bicara, tidak?" gelegar Fagin, mengguncang-gun"
cangkan Dodger sedemikian rupa sehingga luar biasa ajaib
tampaknya bahwa jas besarnya tidak copot.
"Itu " dia ditangkap " dan begitu saja ceritanya," kata
Dodger murung. "Ayo, lepaskan aku!" Dan setelah mengayunkan
dirinya dengan satu sentakan sehingga terlepas dari jas besar
yang dia tinggalkan di tangan Fagin, Dodger merenggut garpu
panggang, dan melemparnya ke rompi si pria tua periang yang
apabila tepat sasaran, pasti akan berakibat sangat buruk.
120~ OLIVER TWIST Fagin buru-buru melangkah mundur"dengan kegesitan luar
biasa untuk ukuran pria tua peot seperti dirinya"dan mengang"
kat panci, bersiap melemparkannya ke kepala penyerangnya.
Namun Charley Bates, menarik perhatiannya dengan lolongan
yang teramat sempurna sehingga Fagin mendadak mengubah
tujuan lemparannya, dan melontarkan panci tersebut kuat-kuat
kepada pemuda itu. "Waduh, apa-apaan ini!" geram sebuah suara yang dalam.
"Siapa yang melemparkan ini padaku" Akan kuhajar dia! Sebaik"
nya bir, bukannya panci yang mengenaiku. Aku harusnya tahu,
tak ada siapa pun kecuali seorang tua terkutuk, berisik, kaya,
penimbun harta yang mampu membuang-buang minuman se"
la"in air"dan itu pun tidak, kecuali dia mencurangi Perusahaan
Air. Ada apa ini, Fagin" Sialan, kalau saja syalku tidak berlumur
bir! Ayo masuk, dasar hama. Buat apa kau keluar, seakan-akan
malu pada majikanmu! Ayo masuk!"
Lelaki yang menggeramkan kata-kata ini adalah pria ber?"
pe"rawakan gempal berumur kira-kira tiga puluh lima, menge"
nakan jas beledu imitasi, celana kelabu kusam yang sangat
kotor, sepatu bot yang diikat ketat, dan kaus kaki katun abuabu yang menutupi sepasang kaki besar dengan betis bengkak
meruah"jenis kaki, yang dalam kostum seperti itu, selalu ke"
lihatan belum tuntas dan tidak lengkap tanpa satu set belenggu
untuk menghiasinya. Dia memakai topi cokelat dan saputangan
kumal yang dijadikan syal di lehernya, dengan ujung terburai
yang diusapkan ke wajah untuk membersihkan bir saat bicara.
Dia menampakkan, ketika telah melakukannya, raut wajah le"
bar dengan janggut hasil tiga hari tak bercukur, dan dua mata
bengis menusuk"salah satunya tampak beraneka warna akibat
terkena pukulan. "Ayo masuk. Kau dengar aku?" geram si berandal yang nyen"
trik ini. Seekor anjing putih berbulu lebat, dengan wajah lecet dan
robek di dua puluh tempat berbeda, tersaruk-saruk ke dalam
ruangan. CHARLES DICKENS ~121 "Kenapa kau tidak masuk sebelumnya?" kata lelaki itu pada
si anjing. "Kau terlalu besar kepala untuk menemaniku, ya" Ber"
baring!" Perintah ini disertai sebuah tendangan yang mengirim bina"
tang ini ke seberang ruangan. Tampaknya anjing itu telah terbi"
asa diperlakukan seperti itu sebab ia bergelung di sudut dengan
sangat pelan, tanpa mengeluarkan suara, dan mengedipkan ma"
tanya yang terlihat menyedihkan dua puluh kali dalam semenit,
dan mulai menyibukkan diri dengan mengamati apartemen
tersebut. "Apa yang kaulakukan" Memperlakukan anak laki-laki seme"
na-mena, ya, dasar kakek-kakek dengki, tamak, se-ra-kah?" kata
lelaki itu sambil duduk perlahan-lahan. "Aku heran mereka tak
membunuhmu! Aku akan melakukannya kalau aku jadi mereka.
Kalau aku ini muridmu, aku pasti sudah lama melakukannya,
dan " tidak, aku tak mungkin menjualmu sesudahnya sebab
pria tua keriput sepertimu tidak cocok untuk apa pun selain
untuk disimpan sebagai benda buruk rupa aneh dalam botol
Kemelut Blambangan 12 Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam Rajawali Emas 10
^