Pencarian

Oliver Twist 4

Oliver Twist Karya Charles Dickens Bagian 4


kata Dodger sedih. "Sepertinya aku tahu apa itu," jawab Oliver sambil
menengadah. "Itu " kau termasuk salah satunya, kan?" tanya
Oliver, menahan diri. "Memang," jawab Dodger. "Celakalah aku kalau aku bukan
orang yang lurus." Tuan Dawkins memiringkan kepalanya jauhjauh setelah melontarkan pendapat ini dan memandang Tuan
Bates, seolah-olah bertanya apakah dia merasa harus memban"
tah pernyataannya. "Memang," ulang Dodger. "Begitu juga Charley, Fagin, Sikes,
Nancy, serta Bet. Jadi, kami semua orang yang lurus. Bahkan, si
an"jing pun makhluk yang lurus meskipun dia bukan manusia.
Padahal, ia yang terendah dalam gerombolan ini!"
"Dan, ialah yang paling sedikit punya kecenderungan untuk
mengoceh," imbuh Charley Bates.
"Ia bahkan takkan menggonggong di kursi saksi karena takut
kecipratan. Tidak, bahkan seandainya kau mengikatnya dan
meninggalkannya di sana tanpa makanan selama dua minggu,"
kata Dodger. "Sedikit pun tidak," komentar Charley.
"Ia anjing yang aneh. Bukankah ia memandangi setiap lakilaki asing yang tertawa atau menyanyi di dekatnya dengan ga"
182~ OLIVER TWIST lak!" lanjut Dodger. "Bukankah ia menggeram kepada semua
orang, waktu ia mendengar biola dimainkan! Dan, bukankah ia
membenci anjing-anjing lain yang tak satu ras dengannya! Oh,
tentu tidak!" "Ia penganut Kristen sejati," kata Charley.
Ini semata-mata dimaksudkan sebagai penghormatan atas
kemampuan hewan tersebut, tapi merupakan komentar yang
tepat dalam arti lain, jika saja Tuan Bates mengetahuinya sebab
ada banyak wanita dan pria, yang mengklaim dirinya sebagai
penganut Kristen sejati, yang memiliki banyak persamaan me"
nonjol dan ganjil dengan anjing Tuan Sikes.
"Nah," kata Dodger, kembali ke titik pembicaraan tempat
mereka menyimpang dengan kewaspadaan yang senantiasa me"
me"ngaruhi semua perbuatannya, layaknya orang seprofesinya.
"Ini tidak ada hubungannya dengan si hijau muda ini."
"Memang tidak," kata Charley. "Kenapa kau menempatkan
dirimu di bawah binaan Fagin, Oliver?"
"Dan membuat peruntunganmu lepas dari genggamanmu?"
imbuh Dodger sambil nyengir.
"Kamu bisa pensiun di rumahmu sendiri dan berkegiatan
seperti orang-orang ber-bu-di. Aku sendiri bermaksud berbuat
begitu pada hari raya monyet nanti," kata Charley Bates.
"Aku tidak menyukainya," ujar Oliver takut-takut. "Kuharap
mereka membiarkanku pergi. Aku ... aku lebih memilih untuk
pergi." "Dan Fagin lebih MEMILIH kau tidak pergi!" timpal
Charley. Oliver tahu benar hal ini. Namun, berpikir bahwa mung"
kin berbahaya jika mengekspresikan perasaannya secara lebih
terbuka, dia hanya mendesah, dan melanjutkan membersihkan
sepatu bot. "Pergi?" seru Dodger. "Kenapa" Mana semangatmu" Tidak"
kah kau punya kebanggaan pada dirimu sendiri" Akankah kau
pergi dan bergantung kepada teman-temanmu?"
CHARLES DICKENS ~183 "Oh, sudahlah!" kata Tuan Bates sambil mengeluarkan dua
atau tiga saputangan sutra dari sakunya, dan melemparkannya
ke lemari. "Itu terlalu kejam."
"Aku tak bisa melakukannya," kata Dodger, bergaya muak
dengan pongah. "Tapi, kau bisa meninggalkan teman-temanmu," kata Oliver,
setengah tersenyum, "dan membiarkan mereka dihukum atas
apa yang kaulakukan."
"Itu," timpal Dodger sambil melambaikan pipanya, "itu ti"
dak masuk hitungan menurut Fagin. Soalnya polisi tahu bahwa
kami bekerja bersama, dan dia mungkin saja terlibat masalah
kalau kami tidak mendapat peruntungan. Begitulah pendekatan"
nya, kan, Charley?" Tuan Bates mengangguk setuju. Dia hendak bicara, tapi
karena tiba-tiba saja ingatan mengenai pelarian Oliver muncul
dalam benaknya, asap yang dihirupnya terbelit tawa dan masuk
ke kepalanya, serta turun ke tenggorokannya sehingga mem"
buatnya batuk-batuk dan menjejak-jejak, kira-kira lima menit
lamanya. "Lihat ini!" kata Dodger sambil menunjukkan segenggam
uang shilling dan setengah pence. "Ini baru kehidupan menye"
nangkan! Apa bedanya dari mana ini berasal" Ini, tangkap!
Masih ada lebih banyak dari tempat kami mengambilnya. Kau
mau, kan" Ambillah!"
"Ini perbuatan yang nakal, ya, Oliver?" tanya Charley Bates.
"Dia akan diayun-ayun, ya, kan?"
"Aku tak mengerti apa maksudmu," jawab Oliver.
"Seperti ini, Bung," kata Charley. Saat mengatakan ini, Tuan
Bates menangkap ujung syal dan memeganginya sehingga tegak
di udara, menjatuhkan kepalanya, dan tersentak-sentak sambil
mengeluarkan suara ganjil lewat giginya. Alhasil, itu mengin"
dikasikan bahwa diayun-ayun dan digantung adalah satu hal
yang sama. "Itulah maksudnya," kata Charley. "Lihat bagaimana dia
melotot, Jack! Aku tidak pernah bertemu orang selucu bocah
184~ OLIVER TWIST ini. Dia bakal membuatku mati tertawa." Setelah tertawa terping"
kal-pingkal lagi, Tuan Charley Bates melanjutkan mengisap pipa
dengan air mata di matanya.
"Kau tidak dibesarkan dengan benar," kata Dodger, meng"
amati sepatu botnya dengan puas ketika Oliver telah selesai
menyemirnya. "Tapi, Fagin akan mendidikmu, atau kau akan
jadi orang pertama yang ternyata tak menguntungkan. Seba"
iknya kau mulai sekarang juga sebab kau sudah memasuki bi"
dang usaha ini lama sebelum kau memikirkannya. Kau hanya
membuang-buang waktu, Oliver."
Tuan Bates mendukung saran ini dengan berbagai nasihat
moralnya sendiri. Setelah persediaan nasihatnya habis, dia dan
Tuan Dawkins meluncurkan deskripsi berbunga-bunga tentang
beraneka kebahagiaan yang biasa terjadi dalam kehidupan yang
mereka jalani, diselingi beragam isyarat kepada Oliver bahwa hal
terbaik yang dapat dilakukannya adalah menyenangkan Fagin
tanpa ditunda-tunda lagi, lewat cara-cara yang telah dipraktik"
kan oleh mereka sendiri guna memperolehnya.
"Dan, selalu masukkan ini ke pipamu, Nolly," kata Dodger,
selagi Fagin terdengar sedang membuka kunci pintu di atas, "ka"
lau kau tidak mengambil "lap dan kukuk" "."
"Apa gunanya bicara seperti itu?" tanya Tuan Bates. "Dia tak
me"ngerti apa yang kau maksud."
"Kalau kau tidak mengambil saputangan dan jam," kata
Dodger, menurunkan level percakapannya ke kapasitas pema"
haman Oliver, "orang lain yang akan melakukannya. Jadi, orang
yang kehilangan barang itu akan tetap sial, dan kau juga akan
sial. Tidak ada yang beruntung kecuali orang yang mendapat"
kannya"dan hakmu untuk memiliki benda-benda itu sama
dengan orang lain." "Betul, betul!" kata Fagin, yang telah masuk tanpa terlihat
oleh Oliver. "Begitulah singkatnya, Sobat, begitulah singkatnya.
Percayai kata-kata Dodger. Ha! ha! ha! Dia memahami esensi
bidang usaha yang digelutinya."
CHARLES DICKENS ~185 Sang pria tua menggosokkan kedua tangannya dengan riang
saat dia menguatkan argumen Dodger dalam perkara ini dan
terkekeh senang mendengar kefasihan muridnya.
Percakapan tersebut tidak berlangsung lebih lanjut sebab
Fagin telah kembali ke rumah ditemani Nona Betsy, dan seorang
pria yang belum pernah Oliver lihat. Dodger memanggilnya
Tom Chitling. Setelah berlama-lama di tangga untuk bertukar
keramahtamahan dengan Nona Betsy, kini dia pun muncul.
Tuan Chitling berusia lebih tua dari Dodger"barangkali
sudah mengalami delapan belas musim dingin"tapi ada sema"
cam penghormatan dalam tingkah lakunya kepada Dodger yang
tampaknya menandakan bahwa dia sendiri sadar akan sedikit
inferioritas dari segi kegeniusan serta pencapaian profesional.
Dia punya mata kecil berbinar-binar dan wajah berbekas cacar,
mengenakan topi bulu, jas korduroi warna gelap, celana panjang
katun kotor berminyak, dan celemek. Pakaiannya terlihat
kumal, dan dia mohon maklum kepada rekan-rekannya dengan
cara menyatakan bahwa dia baru saja keluar dari "waktu"nya sejam lalu. Dia juga beralasan, karena harus mengenakan
se"ra?"gam selama enam minggu belakangan, dia tidak sempat
memperhatikan pakaian pribadinya.
Tuan Chitling menambahkan dengan kesal bahwa teknik
baru pengasapan pakaian di sana itu betul-betul tidak sesuai
aturan sebab pakaian jadi berlubang karena terbakar dan tidak
ada ganti rugi dari Pemerintah Daerah. Komentar yang sama
dia tujukan pada penerapan aturan potongan rambut, yang
menurutnya jelas-jelas melanggar hukum. Tuan Chitling me"
nu?"tup pemaparannya dengan cara menyatakan bahwa dia
belum meneguk setetes apa pun selama empat puluh dua hari
kerja paksa yang bermoral, dan dia "berharap dia ditahan saja
seandainya tidak kering kerontang".
"Menurutmu pria ini baru dari mana, Oliver?" tanya Fagin
sambil menyeringai, saat anak-anak lelaki yang lain meletakkan
sebotol minuman di meja. 186~ OLIVER TWIST "Saya ... saya tidak tahu, Tuan," jawab Oliver.
"Siapa itu?" tanya Tom Chitling, melemparkan pandangan
benci kepada Oliver. "Seorang teman mudaku, Sobat," jawab Fagin.
"Dia beruntung, kalau begitu," kata pemuda itu sambil mena"
tap Fagin penuh arti. "Tak usah pikirkan dari mana aku datang,
Nak, kau akan menemukan jalan ke sana tidak lama lagi. Aku
bertaruh satu crown!"
Mendengar gurauan ini, anak-anak lelaki tertawa. Setelah
beberapa lelucon mengenai topik yang sama, mereka berbisikbisik pendek dengan Fagin, lalu mohon pamit.
Setelah Tuan Chitling dan Fagin berbincang-bincang bebe"
rapa lama, mereka menarik kursi ke perapian. Fagin menyuruh
Oliver untuk mendekat dan duduk di sampingnya, mengarah"
kan percakapan ke topik-topik yang diperhitungkan sedemikian
rupa sehingga menarik minat pendengarnya. Topik-topik ini
an"tara lain adalah keuntungan bidang usahanya, kemahiran
Dodger, keramahan Charley Bates, dan sikap liberal Fagin
sendiri. Pa"da akhirnya dia tampak kehabisan bahan pembicaraan,
Tuan Chitling pun demikian sebab lembaga pemasyarakatan
membuatnya terlalu lelah setelah satu atau dua minggu. Maka,
Nona Betsy pun mohon pamit dan meninggalkan kelompok
tersebut untuk beristirahat.
Sejak hari itu, Oliver jarang ditinggalkan sendirian. Dia ham"
pir selalu diposisikan untuk berkomunikasi secara terus-menerus
dengan kedua anak laki-laki, yang memainkan permainan lama
dengan Fagin setiap hari, entah demi pengembangan kemam"
puan mereka sendiri atau demi menarik minat Oliver, Tuan Fagin
yang paling tahu. Pada saat-saat lain, sang pria tua akan bercerita
kepada mereka tentang perampokan yang dilakukannya di masa
mudanya, bercampur baur dengan begitu banyak kelucuan dan
keganjilan sehingga Oliver mau tak mau tertawa terbahak-bahak
dan menunjukkan bahwa dia geli, walaupun dia tahu sebaiknya
tak merasa begitu. CHARLES DICKENS ~187 Singkatnya, Fagin yang cerdik telah menjerat anak laki-laki
itu. Sesudah mempersiapkan pikiran Oliver lewat kesendirian dan
kemurungan sehingga rela ditemani siapa saja di tempat se"sen"du
itu, Fagin kini pelan-pelan menyuntikkan racun yang dia harap akan
menghitamkan dan mengubah warna jiwa Oliver selamanya.[]
Sebuah Rencana Penting alam terasa dingin menggigilkan, lembap, dan ber"
angin ketika Fagin keluar dari sarangnya sambil me"
ngan"cingkan mantel rapat-rapat di badannya yang
keriput, dan menaikkan kerah mantelnya itu ke telinga supaya
sepenuhnya menutupi bagian bawah wajahnya. Dia berhenti di
undakan saat pintu dikunci dan dirantai di belakangnya. Setelah
anak-anak lelaki mengamankan semuanya dan langkah kaki me"
reka yang menjauh tak lagi terdengar, Fagin mengendap-endap
menyusuri jalan secepat yang dia bisa.
Rumah tempat Oliver dibawa terletak di wilayah Whitechapel.
Fagin berhenti sejenak di pojok jalan. Sambil melirik curiga
ke sekeliling, dia menyeberangi jalan dan melaju ke arah
Spitalfields. Lumpur menumpuk tebal di ubin batu, kabut hitam ber"
gantung di atas jalan. Hujan turun rintik-rintik dan semua terasa
dingin serta lengket saat disentuh. Malam seperti inilah yang
tampaknya tepat bagi seseorang seperti Fagin untuk kelayapan
keluar. Selagi meluncur dengan hati-hati, mengendap-endap
di bawah perlindungan dinding serta ambang pintu, lelaki tua
buruk rupa itu tampak bagaikan semacam reptil menjijikkan,
dilahirkan oleh lendir dan kegelapan yang disusurinya sekarang"
merayap maju, di tengah malam, guna mencari jeroan kaya rasa
untuk disantap. CHARLES DICKENS ~189 Fagin terus menyusuri rutenya, lewat banyak jalan berlikuliku dan sempit. Sampai di Bethnal Green, dia berbelok men"
dadak ke kiri, dan segera masuk ke labirin jalan kumuh dan
jorok yang berlimpah ruah di kawasan sempit padat penduduk
tersebut. Fagin kentara sekali mengenal baik lahan yang dia jelajahi
sehingga sama sekali tidak kebingungan, baik oleh kegelapan
malam maupun ruwetnya jalan. Dia bergegas melewati bebe"
rapa gang dan jalan, sampai akhirnya berbelok ke salah satu ja"
lan yang hanya diterangi oleh sebuah lampu di ujung jauh. Di
pin"tu sebuah rumah di jalan ini, dia mengetuk. Setelah bertukar
sedikit gumaman dengan orang yang membukanya, dia berjalan
ke lantai atas. Seekor anjing menggeram saat dia menyentuh pegangan
pintu sebuah ruangan dan suara seorang laki-laki membentak,
bertanya siapa yang ada di sana.
"Cuma aku, Bill, cuma aku, Sobat," kata Fagin sambil me"
longok ke dalam. "Masuklah kalau begitu," kata Sikes. Dia lalu berkata pada si
anjing, "Berbaringlah, dasar anjing bodoh! Apa kau tidak kenal


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu waktu dia memakai mantel?"
Rupanya, anjing itu terkelabui oleh pakaian luar Tuan Fagin
sebab saat pria tua itu membuka dan melemparkan mantelnya
ke punggung sebuah kursi, ia mundur ke pojok tempatnya tadi
bangkit sambil mengibaskan ekor, untuk menunjukkan bahwa
ia merasa sangat puas. "Nah!" kata Sikes.
"Nah, Sobat," timpal Fagin. "Ah! Nancy."
Sapaan yang terakhir ini diucapkan dengan cukup canggung,
menyiratkan keraguan akan sambutan hangat dari penerimanya
sebab Tuan Fagin dan Nona Nancy belum bertemu sejak Nancy
turun tangan membela Oliver. Semua keraguan mengenai sub"
jek tersebut, jika dia memang memilikinya, seketika disingkir"
kan oleh sikap sang wanita muda. Nancy mengangkat kakinya
190~ OLIVER TWIST dari kisi-kisi perapian, mendorong kursinya, dan mengisyarat"
kan agar Fagin mendorong kursinya ke dekat perapian, tanpa
mengucapkan apa-apa. "Malam ini memang dingin, Nancy Sayang," kata Fagin, selagi
dia menghangatkan tangan kurusnya ke atas api. "Dinginnya
terasa menembus kulit," imbuh lelaki tua itu sambil menyentuh
sisi tubuhnya. "Pasti tajam sekali kalau bisa menembus jantungmu," kata
Tuan Sikes. "Beri dia sesuatu untuk diminum, Nancy. Cepatlah!
Melihat bangkai tua ceking menggigil seperti itu, bagai hantu
jelek yang baru saja bangkit dari kubur. Membuatku mual
saja." Nancy cepat-cepat membawakan sebuah botol dari lemari
tempat banyak sekali botol disimpan di dalamnya. Berdasarkan
keragaman penampilan botol-botol tersebut, isinya terdiri dari
bermacam jenis cairan. Sikes menuang segelas brendi, lalu
mengisyaratkan pada Fagin untuk meminumnya.
"Sudah cukup, lumayan, terima kasih, Bill," timpal Fagin,
me"letakkan gelas setelah baru saja menempelkan bibirnya ke
sana. "Apa! Kau takut kami membuatmu mabuk, ya?" tanya Sikes,
melekatkan pandangannya pada Fagin. "Huh!"
Disertai geraman sebal, Tuan Sikes merenggut gelas terse"
but dan menyiramkan sisa isinya ke abu. Segera setelahnya, dia
mengisi ulang gelas tersebut untuk dirinya sendiri.
Sementara rekannya meneguk gelas keduanya, Fagin meli"
rik ke sepenjuru ruangan dengan sikap gelisah dan curiga
yang merupakan kebiasaannya"bukan karena penasaran, dia
sudah sering melihat ruangan ini sebelumnya. Apartemen itu
di"leng"kapi sedikit perabot, tanpa apa pun selain isi lemari yang
memicu keyakinan bahwa penghuninya bukanlah pria pekerja
keras biasa. Tak ada benda mencurigakan yang dipajang kecuali
dua atau tiga gada besar yang diberdirikan di sudut, serta sebuah
"alat pertahanan diri" yang digantung di atas rak perapian.
CHARLES DICKENS ~191 "Sudah," kata Sikes, menjilat bibirnya. "Sekarang aku siap."
"Untuk bisnis?" tanya Fagin.
"Untuk bisnis," balas Sikes. "Jadi, katakan apa yang harus
kaukatakan." "Soal target di Chertsey, Bill," kata Fagin, menarik kursinya
ke depan, dan bicara dengan suara yang sangat pelan.
"Ya. Ada apa dengan itu?" tanya Sikes.
"Ah! Kau tahu apa maksudku, Sobat," kata Fagin. "Dia tahu
apa maksudku, Nancy, bukan begitu?"
"Tidak, dia tak tahu," cemooh Tuan Sikes. "Atau dia takkan
tahu, dan itu sama saja. Bicaralah dan sebut sesuatu dengan
namanya yang benar. Jangan cuma duduk di sana, berkedip
dan mengerjap, dan bicara kepadaku menggunakan isyarat,
seolah-olah kau bukanlah orang pertama yang berpikir tentang
perampokan. Apa maksudmu?"
"Ssst, Bill, ssst!" kata Fagin, yang sia-sia saja berusaha meng"
hentikan ledakan amarah ini. "Seseorang akan mendengar kita,
Sobat. Seseorang akan mendengar kita."
"Biar mereka dengar!" kata Sikes. "Aku tak peduli." Namun,
rupanya Tuan Sikes MEMANG peduli karena setelah memper"
timbangkannya, dia merendahkan suaranya saat mengucapkan
kata-kata tersebut dan jadi lebih tenang.
"Sudah, sudah," kata Fagin, membujuk. "Itu cuma tindakan
jaga-jaga, tidak lebih. Nah, Sobat, tentang target di Chertsey,
kapan akan dilaksanakan, Bill" Kapan akan dilaksanakan" Hi"
dangan selezat itu, Sobat, hidangan selezat itu!" kata Fagin
sambil menggosok-gosokkan tangannya, dan mengangkat alis
dengan bergairah. "Tidak akan," jawab Sikes dingin.
"Tidak akan dilaksanakan!" Fagin membeo sambil menyan"
darkan badan ke kursinya.
"Tidak, tidak akan," timpal Sikes. "Paling tidak, tak bisa
dilaksanakan dengan bantuan orang dalam, seperti yang kita
harapkan." 192~ OLIVER TWIST "Kalau begitu, itu tidak bagus," kata Fagin, mukanya
memucat karena marah. "Jangan ceritakan apa-apa kepadaku!"
"Tapi akan kuceritakan kepadamu," bentak Sikes. "Memang"
nya kau siapa sehingga tidak perlu diberi tahu" Kuberi tahu
kau bahwa Toby Crackit sudah keluyuran di sekitar tempat itu
selama dua minggu, dan dia tidak bisa mendapatkan seorang
pelayan pun untuk direkrut."
"Apa kau bermaksud memberitahuku, Bill," kata Fagin me"
lunak saat emosi pihak yang satunya memanas, "bahwa tak
satu pun di antara kedua laki-laki yang ada di rumah itu bisa
di"iming-imingi?"
"Ya, aku bermaksud memberitahumu hal itu," jawab Sikes.
"Si wanita tua sudah mempekerjakan mereka selama dua puluh
tahun. Jadi, sekalipun kau memberi mereka lima ratus pound,
mereka takkan mau ikut serta."
"Tapi apa kau bermaksud mengatakan, Sobat," sanggah
Fagin, "bahwa para perempuan tidak bisa diiming-imingi?"
"Tidak sama sekali," jawab Sikes.
"Tidak juga oleh Toby Crackit yang menawan?" kata Fagin
tak percaya. "Perempuan seperti apa mereka itu, Bill?"
"Tidak, bahkan oleh Toby Crackit yang menawan seka"lipun,"
jawab Sikes. "Dia bilang, dia memakai cambang palsu dan rompi
kuning pucat sepanjang waktu saat dia luntang-lantung di sana,
tapi semua tak ada gunanya."
"Dia seharusnya mencoba kumis dan celana militer, Sobat,"
kata Fagin. "Dia sudah mencobanya," timpal Sikes, "dan itu pun sama
tak bergunanya seperti samaran yang lain."
Fagin menanggapi informasi ini dengan tatapan kosong.
Setelah merenung selama beberapa menit dengan dagu menem"
pel ke dadanya, dia mengangkat kepala dan sambil mendesah
dalam berkata, jika Toby Crackit yang menawan melaporkan hal
yang sesungguhnya, dia khawatir permainan sudah usai.
"Dan," kata si lelaki tua, menjatuhkan tangan ke lututnya,
CHARLES DICKENS ~193 "sungguh menyedihkan, Sobat, kehilangan begitu banyak saat
kita telah bertekad untuk meraihnya."
"Memang," kata Tuan Sikes. "Nasib sial!"
Keheningan panjang menyusul. Fagin terbenam dalam pikir?"
annya dengan wajah berkerut membentuk ekspresi jahat yang
mirip sekali iblis. Sikes memperhatikannya diam-diam dari
waktu ke waktu. Nancy, rupanya takut mengganggu mereka,
duduk dengan mata terarah ke api, seolah-olah sama sekali tidak
mendengar pembicaraan yang telah terjadi.
"Fagin," kata Sikes, mendadak memecahkan kesunyian itu,
"apakah ada tambahan lima puluh keping uang emas jika dilak"
sanakan dengan aman dari luar?"
"Ya," kata Fagin, tiba-tiba membangunkan diri dari lamunan"
nya. "Apa ini sebuah tawaran?" tanya Sikes.
"Ya, Sobat, ya," timpal Fagin. Matanya berkilat-kilat, dan
setiap otot di wajahnya bekerja dengan antusiasme yang dibang"
kitkan pertanyaan itu. "Kalau begitu," kata Sikes sambil menampar tangan Fagin
ke samping dengan sebal, "biar dilaksanakan secepat yang
kauinginkan. Toby dan aku melompati dinding taman dua
malam lalu, mengetuk panel-panel pintu dan kerai. Semua
dipalang setiap malam seperti penjara, tapi ada satu bagian yang
bisa kita terobos, dengan aman dan pelan."
"Yang mana, Bill?" tanya Fagin penuh semangat.
"Begini," bisik Sikes, "saat kau menyeberangi halaman rum"
put "." "Ya?" kata Fagin, membungkukkan kepala ke depan dengan
mata hampir copot dari rongganya.
"Huh!" seru Sikes berhenti mendadak, saat si gadis meng"
gerakkan kepalanya sedikit saja, tiba-tiba menoleh, dan terarah
sesaat ke wajah Fagin. "Tak usah pikirkan bagian yang mana.
Aku tahu kau tak bisa melakukannya tanpaku. Tapi, orang
sebaiknya berjaga-jaga waktu berurusan denganmu."
194~ OLIVER TWIST "Sesukamu saja, Sobat, sesukamu saja," balas Fagin. "Tidakkah
ada bantuan yang tersedia, selain darimu dan Toby?"
"Tidak ada," kata Sikes. "Kecuali dari gurdi dan seorang anak
laki-laki. Yang pertama kami berdua sudah punya, yang kedua
harus kau carikan untuk kami."
"Anak laki-laki!" seru Fagin. "Oh! Kalau begitu, masuknya
dari panel, ya?" "Tidak usah pikirkan masuk dari mana!" balas Sikes. "Aku
menginginkan anak laki-laki, dan dia tidak boleh berbadan be"
s"ar. Ya, ampun!" kata Tuan Sikes, termenung-menung. "Kalau
saja aku mendapatkan bocah kecil itu, Ned, anak si penyapu
cerobong asap! Dia mempertahankan supaya anak itu tetap kecil
untuk tujuan tertentu, dan membiarkannya keluar dari sana itu.
Tapi, ayahnya ditahan, kemudian Pembina Anak-Anak Beran"
dalan datang dan membawa pergi bocah itu dari bidang usaha
yang mendatangkan uang baginya, lalu mengajarinya membaca
dan menulis, dan pada waktunya nanti menjadikannya pekerja
magang. Dan begitulah seterusnya," kata Tuan Sikes, kemur"
kaannya meningkat di saat dia teringat kesalahan-kesalahannya,
"dan, kalau Pembina Anak-Anak Berandalan punya cukup uang
(syukurlah mereka tidak punya), mungkin satu atau dua tahun
lagi tak sampai setengah lusin anak laki-laki yang tersisa bagi
kita." "Mungkin saja," Fagin sepakat. Dia tengah menimbangnimbang sepanjang pidato ini, dan hanya menangkap kalimat
terakhir. "Bill!"
"Apa lagi?" tanya Sikes.
Fagin menganggukkan kepalanya ke arah Nancy, yang masih
menatap api dan mengisyaratkan agar dia harus menyuruh
Nancy meninggalkan ruangan. Sikes mengangkat bahu tak
sabaran, seakan dia berpendapat bahwa tindak pencegahan itu
tidaklah perlu. Namun, dia menurut dan meminta Nona Nancy
mengambilkannya seteko bir.
CHARLES DICKENS ~195 "Kau tidak menginginkan bir," kata Nancy, bersedekap dan
bertahan di tempat duduknya dengan sangat tenang.
"Kukatakan kepadamu bahwa aku menginginkannya!" balas
Sikes. "Omong kosong," timpal gadis itu dengan dingin. "Lanjut"
kan saja, Fagin. Aku tahu apa yang akan dikatakannya, Bill. Dia
tak perlu menghiraukanku."
Fagin tetap saja ragu-ragu. Sikes memandang Fagin dan
Nancy dengan kaget. "Sudahlah, kau tidak berkeberatan dengan gadis itu, kan,
Fagin?" tanyanya pada akhirnya. "Kau sudah mengenalnya cu"
kup lama sehingga bisa memercayainya. Dia bukan orang yang
suka buka mulut. Bukan begitu, Nancy?"
"Menurut-ku tidak!" balas sang wanita muda sambil menyeret
kursinya ke dekat meja, dan menopangkan siku ke atasnya.
"Tidak, tidak, Sayang, aku tahu kau bukan orang seperti itu,"
kata Fagin, "tapi "." dan lagi-lagi si lelaki tua terdiam.
"Tapi apa?" tanya Sikes.
"Aku tak tahu apakah dia akan gusar, kau tahu, Sobat, seperti
waktu malam itu," jawab Fagin.
Mendengar pengakuan ini, Nona Nancy tertawa nyaring.
Sambil menenggak segelas brendi, dia menggeleng-gelengkan
kepala dengan sikap membangkang, dan melanjutkan dengan
memekikkan bermacam pernyataan seperti "Teruskan saja!"
"Pantang menyerah!" dan sebangsanya. Efeknya tampak meya"
kinkan kedua pria tersebut sebab Fagin menganggukkan kepala
dengan sikap puas dan duduk dengan nyaman kembali. Begitu
pula dengan Tuan Sikes. "Nah, Fagin," kata Nancy sambil tertawa. "Beri tahu Bill
sekarang juga, tentang Oliver!"
"Ha! Kau memang pintar, Sayang. Gadis tecerdas yang
pernah kutemui!" kata Fagin sambil menepuk leher Nancy.
"MEMANG tentang Oliverlah yang hendak kubicarakan, betul
sekali. Ha! ha! ha!"
196~ OLIVER TWIST "Kenapa dengan dia?" tuntut Sikes.
"Dialah anak laki-laki yang tepat untukmu, Sobat," jawab
Fagin dengan bisikan serak sambil menempelkan jarinya ke
samping hidung, dan menyeringai mengerikan.
"Dia!" seru Sikes.
"Terima dia, Bill!" kata Nancy. "Aku akan melakukannya ka"
lau aku berada pada posisimu. Dia mungkin tidak terlalu mahir
seperti yang lain, tapi bukan itu yang kau butuhkan kalau hanya
perlu untuk membukakan pintu. Bergantung pada apakah dia
aman, Bill." "Aku tahu dia aman," timpal Fagin. "Dia sudah berlatih de"
ngan baik beberapa minggu terakhir ini, dan sudah waktunya
dia mulai bekerja untuk makan. Lagi pula, yang lain semuanya
terlalu besar." "Yah, ukuran tubuhnya persis seperti yang kuinginkan," kata
Tuan Sikes menimbang-nimbang.
"Dan akan melakukan semua yang kauinginkan, Sobat,"
sela Fagin, "mau tak mau. Kalau kau cukup membuatnya takut,
tentu saja." "Membuatnya takut!" Sikes membeo. "Aku takkan purapura membuatnya takut, asal tahu saja. Kalau ada yang aneh
pada dirinya setelah kita mulai bekerja, dia akan merasakan
akibatnya. Kau takkan melihatnya hidup-hidup lagi, Fagin.
Pikirkan itu sebelum kau mengutusnya. Camkan kata-kataku!"
kata si perampok sambil memegangi linggis yang telah dia tarik


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari bawah tempat tidur. "Aku sudah memikirkan semuanya," kata Fagin penuh sema"
ngat. "Aku ... aku sudah mengawasinya, Sobat, dengan saksama
... dengan saksama. Sekali saja buat dia merasa bahwa dia adalah
bagian dari kita; sekali saja penuhi pikirannya dengan gagasan
bahwa dia adalah pencuri, dia akan jadi milik kita! Milik kita
seumur hidupnya. Oho! Hasilnya tak mungkin lebih baik dari"
pada itu!" Sang lelaki tua bersedekap sambil membungkukkan
kepala dan pundaknya, yang secara harfiah berarti memeluk
dirinya sendiri karena kesenangan.
CHARLES DICKENS ~197 "Milik kita!" kata Sikes. "Milikmu, maksudmu."
"Barangkali memang begitulah maksudku, Sobat," kata
Fagin disertai tawa terkekeh yang melengking. "Milikku, jika
kau suka, Bill." "Dan, apa," kata Sikes, menyeringai bengis kepada temannya
yang baik itu, "apa yang membuatmu bersusah payah mengurus
seorang bocah bermuka pucat, padahal kau tahu ada lima puluh
anak laki-laki yang tidur-tiduran di Commons Garden setiap
malam yang bisa kau pungut dan pilih?"
"Karena mereka tak berguna bagiku, Sobat," kata Fagin
de"ngan segan, "tidak layak diambil. Wajah mereka memvonis
mereka ketika terlibat masalah, dan aku kehilangan me"re"ka
semua. Dengan bocah ini, bilamana dituntun secara tepat,
Sobat, aku bisa melakukan apa yang tak bisa kulakukan dengan
dua puluh orang dari anak-anak tersebut. Lagi pula," kata Fagin,
memperoleh kendali dirinya kembali, "dia bakal mencelakakan
kita sekarang seandainya kabur lagi. Dia harus dijerumuskan
dalam bisnis kita supaya dia ikut terlibat. Jangan pikirkan
bagaimana dia sampai ke sana. Sudah cukup apabila aku punya
kuasa untuk melibatkannya dalam perampokan, itu saja yang
kuinginkan. Nah, bukankah itu jauh lebih baik daripada terpaksa
me"nying"kirkan bocah kecil malang itu"yang akan berbahaya,
dan kita sendiri yang akan merugi."
"Kapan akan dilaksanakan?" tanya Nancy, menghentikan
teriakan bernafsu dari Tuan Sikes, yang mengekspresikan rasa
muaknya sebagai respons atas sikap Fagin yang pura-pura ma"
nusiawi. "Ah, benar," kata Fagin. "Kapan pelaksanaannya, Bill?"
"Rencanaku dan Toby malam lusa," timpal Sikes dengan
suara kasar, "kalau dia tidak mendengar kabar lain dariku."
"Bagus," kata Fagin. "Tak ada bulan."
"Benar," timpal Sikes.
"Cara membawa rampasan sudah diurus semua, kan?" tanya
Fagin. 198~ OLIVER TWIST Sikes mengangguk. "Dan tentang "."
"Oh, ah, semua sudah diatur," timpal Sikes, menginterup"
sinya. "Jangan pikirkan perinciannya. Kau sebaiknya bawa anak
laki-laki itu ke sini besok malam. Aku akan pergi satu jam setelah
fajar. Kemudian, kau tutup saja mulutmu dan siapkan tanurnya.
Itu saja yang harus kau lakukan."
Setelah diskusi lebih lanjut, yang diikuti ketiganya secara
an"tusias, diputuskan bahwa Nancy akan pergi ke rumah Fagin
be"sok malam dan membawa Oliver bersamanya. Fagin dengan
licik berkata, jika si bocah menunjukkan keengganan untuk me?"
la?"kukan tugas tersebut, setidaknya dia akan lebih bersedia mene"
mani si gadis yang baru-baru ini turun tangan demi dirinya di"
ban?""dingkan dengan orang lain. Ditetapkan juga dengan khid"mat
bahwa Oliver yang malang harus"dalam rangka ekspedisi yang
dibicarakan tersebut"dengan rela hati dialihkan perawatan dan
perwaliannya ke tangan Tuan William Sikes. Selanjutnya, Tuan
Sikes harus menangani bocah itu sesuai dengan yang dianggap"
nya pantas, dan tidak boleh dituntut pertanggungjawabannya
oleh Fagin atas kesialan atau keburukan yang mungkin menimpa
Oliver. Untuk menetapkan bahwa kesepakatan tersebut bersifat
mengikat, pernyataan apa pun yang dikemukakan oleh Tuan
Sikes saat dia kembali, harus dikonfirmasi serta dikuatkan dalam
segala perinciannya yang penting oleh kesaksian Toby Crackit
yang menawan. Setelah prasyarat ini diputuskan, Tuan Sikes menenggak
brendinya dengan cepat, dan memain-mainkan linggis dengan
sikap yang membuat waswas. Pada saat bersamaan, dia meneri"
akkan potongan-potongan lagu yang sangat tidak merdu, ber"
cam"pur dengan sumpah serapah liar. Pada akhirnya, dengan
antu"siasme yang meluap-luap, dia berkeras menunjukkan seko"
tak peralatan untuk membobol rumah. Dia tengah mengelu"
arkan kotak itu sambil sempoyongan dan membukanya dalam
rangka menerangkan jenis dan kegunaan berbagai perlengkapan
CHARLES DICKENS ~199 yang ada di dalamnya, serta keunikan bentuknya ketika dia
tersandung kotak itu di lantai, dan tertidur di tempatnya jatuh.
"Selamat malam, Nancy," kata Fagin, bangun sambil mem"
bungkus dirinya seperti ketika dia datang.
"Selamat malam."
Mata mereka bertemu pandang. Fagin mengamati Nancy
sambil menyipitkan mata. Gadis itu tidak berjengit. Dia bersi"
kap tulus dan sungguh-sungguh dalam perkara itu, sama seperti
Toby Crackit sendiri. Fagin mengucapkan selamat malam lagi kepada sang wanita
muda, lalu memberikan tendangan sembunyi-sembunyi ke sosok
Tuan Sikes yang telungkup selagi gadis itu memunggunginya
meraba-raba menuju ke lantai bawah.
"Selalu begitu!" gumam Fagin kepada dirinya sendiri saat
dia berbalik menuju rumah. "Yang terburuk pada diri wanitawanita ini adalah bahwa hal sekecil apa pun bisa mengingatkan
mereka pada perasaan yang sudah lama terlupakan. Dan, yang
terbaik adalah bahwa perasaan itu tak pernah bertahan lama.
Ha! ha! Bill versus Oliver, untuk sekantung emas!"
Mengisi waktu dengan renungan menyenangkan ini, Tuan
Fagin pun berjalan melewati lumpur dan kubangan menuju
tempat tinggalnya yang suram. Di sana tampak Dodger sedang
duduk, tak sabar menunggu kepulangannya.
"Apa Oliver sudah tidur" Aku ingin bicara kepadanya," kata
Fagin saat mereka menuruni tangga.
"Sudah berjam-jam lalu," jawab Dodger sambil mendorong
pintu hingga terbuka. "Ini dia."
Anak laki-laki itu sedang berbaring, tertidur nyenyak di sebu"
ah tempat tidur kasar di lantai. Wajahnya yang begitu pucat
karena cemas dan sedih serta sempitnya ruangan membuat dia
terlihat seperti maut. Bukan maut yang tampak sebagai kain
kafan dan peti mati, melainkan dalam penyamaran yang dike"
nakan"nya ketika kehidupan baru saja pergi, ketika jiwa muda
dan lembut baru saja terbang menuju surga, dan keseluruhan
200~ OLIVER TWIST udara di dunia ini belum sempat mengisap pusaran debu yang
disucikannya. "Jangan sekarang," kata Fagin, berbalik pergi pelan-pelan.
"Besok. Besok."[]
Pindah ke Rumah Tuan William Sikes etika Oliver terbangun pada pagi harinya, dia terkejut
sekali menemukan sepasang sepatu baru dengan sol tebal
dan kuat telah diletakkan di samping tempat tidurnya.
Sepatu lamanya telah disingkirkan. Pada mulanya, dia senang
dengan penemuan itu, berharap bahwa ini merupakan awal dari
pembebasannya, tapi pemikiran tersebut dengan cepat tersingkir.
Saat dia duduk untuk sarapan, Fagin memberitahunya dengan
nada suara serta sikap yang meningkatkan kewaspadaan Oliver
bahwa dia akan dibawa ke kediaman Bill Sikes malam itu.
"Untuk ... untuk ... tinggal di sana, Tuan?" tanya Oliver gugup.
"Tidak, tidak, Sobat. Tidak untuk tinggal di sana," jawab
Fagin. "Kami tak ingin kehilanganmu. Jangan takut, Oliver, kau
akan kembali kepada kami lagi. Ha! ha! ha! Kami takkan seke"
jam itu sehingga mengirimmu pergi, Sobat. Oh, tidak, tidak!"
Sang pria tua, yang membungkuk di atas api yang memang"
gang seiris roti, melihat ke sana kemari saat dia berkelakar dengan
Oliver seperti itu, dan terkekeh seolah untuk menunjukkan
bahwa dia tahu Oliver dengan senang hati akan melarikan diri
lagi bila ada kesempatan.
"Kurasa," kata Fagin sambil memandang Oliver lekat-lekat,
"kau ingin tahu untuk apa kau ke rumah Bill " bukan begi"tu,
Sobat?" Wajah Oliver merona saat mendapati bahwa si pencuri tua
itu telah membaca pikirannya, tapi dengan berani dia berkata,
202~ OLIVER TWIST "Ya, saya memang ingin tahu, Tuan."
"Menurutmu kenapa?" tanya Fagin, menangkis pertanyaan
tersebut. "Saya sungguh tidak tahu, Tuan," jawab Oliver.
"Bah!" kata Fagin, memalingkan muka dengan ekspresi ke"
cewa, mengalihkan pandangannya dari wajah Oliver. "Kalau
begitu, tunggu sampai Bill memberitahumu."
Fagin tampaknya amat kesal karena Oliver tidak meng"
ekspresikan rasa penasaran yang lebih besar mengenai topik
tersebut. Sesungguhnya, meskipun Oliver merasa sangat was"
was, dia terlalu dibingungkan oleh kelicikan dalam raut wajah
Fagin dan oleh dugaannya sendiri sehingga tidak mengajukan
pertanyaan lebih lanjut pada saat itu. Dia tidak punya kesem"
patan untuk bertanya lebih lanjut sebab Fagin bersikap sangat
ketus dan diam saja sampai malam itu ketika dia bersiap-siap
pergi keluar. "Kau boleh menyalakan lilin," kata Fagin sambil meletakkan
sebatang lilin di atas meja. "Dan ini buku untuk kau baca, sam"
pai mereka datang untuk menjemputmu. Selamat malam!"
"Selamat malam," jawab Oliver pelan.
Fagin berjalan ke pintu, melihat si anak lelaki lewat bahunya
selagi dia menuju ke luar. Dia tiba-tiba berhenti dan memanggil
nama Oliver. Oliver mendongak. Fagin menunjuk lilin, memberi anak itu
isyarat agar menyalakannya. Oliver melakukan yang diperintah"
kan, dan saat meletakkan batang lilin di atas meja, dia melihat
Fagin sedang menatapnya lekat-lekat sambil merendahkan serta
mengerutkan alis, dari ujung gelap ruangan tersebut.
"Perhatikan, Oliver! Perhatikan!" kata sang pria tua, meng"
guncangkan tangan kanan di hadapannya dengan sikap mem"
peringatkan. "Dia laki-laki yang kasar dan tidak segan berbuat
apa saja ketika sedang naik darah. Apa pun yang terjadi, jangan
katakan apa-apa, dan lakukan apa yang dia perintahkan kepa"
damu. Ingat!" Menekan kata terakhir itu kuat-kuat, dia meng"
CHARLES DICKENS ~203 gerakkan mukanya perlahan-lahan sehingga membentuk seringai
seram, dan sambil menganggukkan kepala, dia meninggalkan
ruangan tersebut. Oliver menopangkan kepalanya ke tangan ketika pria itu
menghilang, dan bertanya-tanya dengan jantung berdebar-debar
tentang kata-kata yang baru saja didengarnya. Semakin memi"
kirkan nasihat Fagin, semakin Oliver kebingungan menebak arti
dan makna sesungguhnya. Dia tidak bisa memikirkan hal buruk yang dapat diraih de"
ngan cara mengirimnya ke Sikes, yang tidak bisa dicapai bila?"
mana dia tetap tinggal bersama Fagin. Setelah lama merenung,
Oli"ver menyimpulkan bahwa dia telah dipilih untuk melaksa"
nakan suatu tugas kecil-kecilan yang biasa untuk membobol
rumah, sampai anak laki-laki lain yang lebih cocok untuk
tujuan ini dapat dipekerjakan. Dia sudah terlalu terbiasa dengan
penderitaan, dan sudah terlalu menderita saat ini sehingga tidak
meratapi kemungkinan perubahan yang akan terjadi habishabisan. Dia terus terlarut dalam pikirannya selama beberapa
menit. Disertai desahan berat, dia menamengi nyala lilin dengan
tangannya dan mengambil buku yang ditinggalkan Fagin
untuknya, lalu mulai membaca.
Dibaliknya halaman-halaman buku tersebut. Awalnya ha?"
nya asal-asalan, tapi kemudian pandangannya mendarat pada
sebuah paragraf yang menarik perhatiannya. Dia segera saja
membaca bagian tersebut dengan serius. Buku itu berisi riwayat
kehi"dupan dan cobaan para pelaku kriminal yang hebat. Hala"
man-halamannya kusut serta bernoda karena sering dibolakbalik. Di sini, Oliver membaca tentang kejahatan-kejahatan
mengerikan yang membuat darah membeku: tentang pem"bu"
nuhan rahasia yang dilakukan di pinggir jalan sepi; tentang
jasad yang disem"bunyikan di lubang dan sumur dalam, yang
ternyata tidak cukup dalam untuk mengenyahkannya meskipun
sudah disimpan da?""lam-dalam sehingga setelah bertahun-tahun,
jasad tersebut mun"cul di permukaan sumur dan menyebabkan
204~ OLIVER TWIST si pembunuh jadi gila karena melihatnya, dan di tengah rasa
ngerinya dia mengakui kesalahan, berteriak-teriak agar tiang
gantungan mengakhiri kesengsaraannya.
Di sini pulalah dia membaca tentang para lelaki yang ber"
baring di tempat tidur mereka di tengah malam buta, tiba-tiba
tergoda (begitulah kata mereka) dan dituntun oleh pemikiran
buruk mereka sendiri, untuk menumpahkan darah dengan se"
begitu kejinya sehingga membuat bulu kuduk merinding dan
tungkai gemetaran saat memikirkannya. Deskripsi menyeram"
kan ini begitu nyata dan terperinci sehingga halaman-halaman
pucat seolah berubah warna jadi merah karena darah dan katakata di atasnya bergema di telinganya, seakan-akan dibisikkan
dalam gumaman hampa oleh roh-roh orang mati.
Karena dilanda rasa takut, Oliver menutup buku tersebut
dan buru-buru menyingkirkan buku itu darinya. Lalu, dia
jatuh berlutut, berdoa kepada Tuhan agar menjauhkannya dari
perbuatan-perbuatan semacam itu, dan berharap lebih baik dia
mati sekarang juga daripada diarahkan ke kejahatan. Begitu
menakutkan dan memuakkan! Lambat laun dia jadi lebih tenang
dan memohon, dengan suara pelan dan patah-patah, supaya
diselamatkan dari bahaya yang mengancamnya saat ini. Dan,
jika ada bantuan yang dikerahkan untuk seorang anak laki-laki
malang terbuang yang tidak pernah mengenal cinta kasih teman
atau saudara, semoga bantuan itu datang padanya sekarang, saat
dia kesepian dan telantar, berdiri sendirian di tengah-tengah
keburukan dan kejahatan. Dia sudah selesai berdoa, tapi masih membenamkan kepa"
lanya ke tangan ketika bunyi berdesir mengusiknya.
"Apa itu!" serunya, berdiri mendadak, dan melihat sosok
yang berdiri di pintu. "Siapa di sana?"
"Aku. Cuma aku," jawab sebuah suara gemetar.
Oliver mengangkat lilin ke atas kepalanya, dan melihat ke
arah pintu. Rupanya Nancy.

Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

CHARLES DICKENS ~205 "Letakkan lilin itu," kata Nancy sambil memalingkan
kepalanya. "Mataku perih."
Oliver melihat bahwa dia sangat pucat, dan dengan lembut
menanyakan apakah dia sakit. Gadis itu menjatuhkan dirinya ke
kursi sambil memunggungi Oliver dan meremas-remas tangan"
nya, tapi tidak menjawab.
"Tuhan, ampunilah aku!" dia berseru setelah beberapa lama.
"Aku tak pernah menduga hal ini."
"Apakah terjadi sesuatu?" tanya Oliver. "Bisakah aku
menolongmu" Aku mau jika aku bisa. Aku mau, sungguh."
Nancy mengayunkan tubuhnya ke depan dan ke belakang,
mencekik lehernya, dan sambil mengeluarkan bunyi berdeguk,
megap-megap. "Nancy!" pekik Oliver. "Ada apa?"
Gadis itu memukulkan tangannya ke lutut dan menjejakkan
kakinya ke lantai. Dia berhenti tiba-tiba, merapatkan selendang
ke tubuhnya dan menggigil kedinginan.
Oliver mengupak bara api. Setelah menarik kursinya ke dekat
perapian, Nancy duduk di sana beberapa lama tanpa bicara.
Akhirnya dia mengangkat kepala, dan melihat ke sana kemari.
"Aku tidak tahu apa yang melanda diriku kadang-kadang,"
katanya, pura-pura menyibukkan diri untuk menata gaunnya.
"Ruangan ini lembap dan kotor, menurutku. Nah, Nolly, Sa"
yang, apakah kau siap sekarang?"
"Apa aku harus pergi denganmu?" tanya Oliver.
"Ya. Aku diutus Bill," jawab gadis itu. "Kau harus ikut de"
nganku." "Untuk apa?" tanya Oliver, berjengit.
"Untuk apa?" gadis itu membeo, mengangkat matanya,
dan memalingkan matanya lagi saat bertemu pandang dengan
Oliver. "Oh! Bukan untuk sesuatu yang buruk."
"Aku tak percaya," kata Oliver, yang telah memperhatikan
Nancy dengan saksama. 206~ OLIVER TWIST "Terserah kau," timpal gadis itu, pura-pura tertawa. "Bukan
untuk sesuatu yang baik, kalau begitu."
Oliver bisa melihat bahwa dia punya kuasa atas perasaan baik
gadis itu. Dan, selama sesaat, mempertimbangkan untuk memo"
hon belas kasihan Nancy atas kondisinya yang tanpa daya ini.
Namun, kemudian terlintaslah di benaknya pemikiran bahwa
saat itu belum lagi pukul sebelas malam, masih banyak orang
yang ada di jalanan, sebagian dari mereka mungkin saja percaya
pada ceritanya. Saat renungan tersebut terbetik di benaknya, dia
melangkah maju dan berkata dengan terburu-buru bahwa dia
siap. Pertimbangan singkat ini, maupun tujuannya, tidaklah lepas
dari pengamatan Nancy. Nancy mengamati Oliver dengan mata
disipitkan selagi bocah itu bicara dan melemparkan ekspresi cer?"
dik kepadanya yang cukup menunjukkan bahwa gadis itu mene"
bak apa yang terlintas di benak Oliver.
"Ssst!" kata gadis itu, membungkuk di depannya, dan menun"
juk ke pintu sambil melihat ke sekeliling dengan waspada. "Kau
tak bisa menolong dirimu sendiri. Aku sudah mencoba dengan
keras demi kau, tapi semua sia-sia saja. Kau terkepung. Kalau
kau ingin lolos dari sini, bukan sekarang saatnya."
Dihantam oleh energi dalam sikap gadis itu, Oliver mendo"
ngak untuk memandang wajah Nancy dengan teramat kaget.
Dia tampaknya bicara jujur. Raut mukanya putih pucat dan
resah, serta gemetaran karena kesungguhan yang tidak dibuatbuat.
"Aku pernah menyelamatkanmu agar tidak dianiaya sebe"
lumnya, dan aku akan melakukannya lagi. Aku sedang mela"
kukannya sekarang," lanjut gadis itu keras-keras, "sebab mereka"
lah yang akan menjemputmu seandainya aku tak melakukannya.
Pasti jauh lebih kasar daripada aku. Aku sudah berjanji kau akan
bersikap tenang dan diam. Jika tidak, kau hanya akan mencelakai
dirimu sendiri dan juga diriku, bahkan barangkali mendatang"
CHARLES DICKENS ~207 kan maut bagiku. Lihat ini! Aku sudah menanggung semua ini
untukmu. Demi Tuhan, ini sungguhan."
Dia menunjuk dengan buru-buru ke sejumlah memar kebi"
ruan di leher dan lengannya, lalu melanjutkan dengan cepat.
"Ingat ini! Dan jangan biarkan aku menderita lebih banyak
lagi demi kau, saat ini. Jika aku bisa menolongmu, akan kula"
kukan. Tapi, aku tak punya kekuatan. Mereka tak bermaksud
menyakitimu. Apa pun yang mereka paksakan kepadamu untuk
kau lakukan, itu bukan salahmu. Ssst! Setiap kata darimu adalah
pukulan bagiku. Ulurkan tanganmu. Cepatlah! Tanganmu!"
Nancy menangkap tangan yang secara instingtif diletakkan
Oliver dalam genggamannya. Setelah meniup lilin, Nancy me"
narik Oliver agar mengikutinya menaiki tangga. Pintu dibuka
dengan cepat oleh seseorang yang diselubungi kegelapan, dan
dengan cepat pula ditutup ketika mereka telah melewatinya.
Kereta sewaan sedang menunggu. Dengan sikap berapi-api yang
sama seperti yang ditunjukkannya ketika bicara dengan Oliver,
gadis itu menariknya ke dalam bersamanya, dan menarik tirai
hingga tertutup. Si sais tidak menanyakan tujuan, tapi melecut
kudanya hingga melaju dengan kecepatan penuh, tanpa menun"
da-nunda barang sesaat pun.
Gadis itu masih menggamit tangan Oliver erat-erat, dan
terus menuangkan peringatan serta jaminan yang sudah diuta"
rakannya ke telinga Oliver. Semuanya begitu cepat dan buruburu sehingga Oliver nyaris tak punya waktu untuk mengingat
di mana dia berada atau bagaimana dia sampai di sana ketika
kereta tersebut berhenti di rumah yang dituju Fagin pada malam
sebelumnya. Selama satu saat yang singkat, Oliver melemparkan lirikan
buru-buru ke sepanjang jalan sepi, dan teriakan minta tolong
bergantung di bibirnya. Namun, suara gadis itu ada di telinganya,
memintanya dengan nada sedemikian pedih agar mengingatnya
sehingga Oliver tidak sampai hati mengucapkan kata-kata itu.
208~ OLIVER TWIST Selagi dia ragu-ragu, kesempatan pun lenyap. Dia kini berada di
dalam rumah, dan pintu sudah ditutup rapat.
"Ke sini," kata gadis itu, melepaskan genggamannya untuk
kali pertama. "Bill!"
"Halo!" balas Sikes, muncul di puncak tangga dengan seba"
tang lilin. "Oh! Sudah waktunya. Ayo!"
Ini adalah ungkapan persetujuan yang sangat kuat, sambutan
riang yang tak biasa dari seseorang yang bertemperamen seperti
Tuan Sikes. Nancy, yang tampaknya merasa amat bersyukur, me"
nyapanya dengan sopan. "Bull"s-eye pulang ke rumah bersama Tom," ujar Sikes saat
dia menyambut mereka di atas. "Ia pasti akan merepotkan."
"Itu betul," timpal Nancy.
"Jadi, si anak sudah kau dapatkan," kata Sikes ketika mereka
semua sampai di ruangan, menutup pintu selagi dia bicara.
"Ya, ini dia," balas Nancy.
"Apa dia membuat keributan?" tanya Sikes.
"Dia tenang seperti domba," timpal Nancy.
"Aku senang mendengarnya," kata Sikes sambil memandangi
Oliver dengan muram, "demi raganya, yang pasti akan menderita
kalau dia cari masalah. Ayo sini, Bocah, biar kuberi kau pelajaran,
yang sebaiknya diselesaikan secepatnya."
Setelah menyapa murid barunya dengan cara seperti ini,
Tuan Sikes melepas topi Oliver dan melemparkannya ke pojok.
Lalu, sambil memegangi bahu Oliver, dia duduk di dekat meja
dan menyuruh anak laki-laki itu berdiri di depannya.
"Nah, pertama-tama, apa kau tahu ini apa?" tanya Sikes,
meng?"ambil sepucuk pistol saku yang diletakkan di meja.
Oliver mengiyakan. "Nah, kalau begitu, lihat sini," lanjut Sikes. "Yang ini bu"
buk, yang satu ini peluru, dan ini bungkus kecil untuk me"nyim"
pannya." Oliver bergumam bahwa dia memahami komponen-kom"
ponen berlainan yang disebut. Tuan Sikes melanjutkan dengan
mengisi pistol dengan hati-hati.
CHARLES DICKENS ~209 "Sekarang pistol ini sudah terisi," kata Tuan Sikes, ketika dia
selesai. "Ya, saya melihatnya, Tuan," jawab Oliver.
"Nah," kata si perampok, mencengkeram pergelangan ta"
ngan Oliver, dan menodongkan moncong pistol sedemikian
dekat dengan pelipisnya sehingga keduanya bersentuhan. Oliver
mau tak mau terkesiap. Tuan Sikes melanjutkan, "Kalau kau
mengucapkan satu patah kata saja waktu kau keluar dari pintu
bersamaku"kecuali waktu aku bicara kepadamu"isi pistol ini
akan mendarat di kepalamu tanpa peringatan. Jadi, kalau kau
memang berniat bicara tanpa izin, berdoalah dahulu."
Setelah menghadiahi ekspresi merengut ke penerima pe"
ringatannya ini, untuk meningkatkan efek peringatan tersebut,
Tuan Sikes melanjutkan. "Sepengetahuanku, takkan ada yang bertanya-tanya tentang"
mu kalau kau nanti ternyata disingkirkan. Jadi, aku tidak perlu
bersusah payah menjelaskan perkaranya kepadamu kalau bukan
demi kebaikanmu sendiri. Kau paham?"
"Inti perkataanmu," kata Nancy, bicara dengan penuh pera"
saan dan mengerutkan kening sedikit kepada Oliver seolah me"
minta anak itu agar memperhatikan kata-katanya baik-baik,
"adalah, jika kau dibuat kesal olehnya dalam pekerjaan yang kau
hadapi, kau akan mencegahnya bercerita setelahnya dengan cara
menembak kepalanya, dan akan mengambil kesempatan untuk
melakukannya seperti yang kau lakukan dalam banyak hal
dengan bisnis sebagai alasannya, setiap bulan dalam hidupmu."
"Tepat sekali!" ujar Tuan Sikes setuju. "Para perempuan sela"
lu bisa mengutarakan berbagai hal dengan kata-kata sesedikit
mungkin"kecuali waktu semuanya kacau-balau, kemudian
me?"re?"ka mengulur-ulurnya. Dan, sekarang setelah dia sudah se"
pe?""nuhnya siap, mari kita makan malam dan minum-minum
sebelum mulai." Untuk memenuhi permintaan ini, Nancy cepat-cepat meng"
ham"parkan taplak. Setelah menghilang beberapa menit, dia
210~ OLIVER TWIST kem?""bali sambil membawa sekendi bir hitam dan hidangan
berupa kepala biri-biri, yang memunculkan kelakar cerdik dari
Tuan Sikes, didasari kebetulan aneh bahwa "jemmie", istilah
penjara untuk kepala biri-biri yang lazim mereka gunakan,
sama dengan nama sebuah peralatan serbaguna yang banyak
digunakan dalam profesinya. Memang benar, barangkali karena
terdorong oleh gairah akan melakukan kegiatan hebat dalam
waktu dekat ini, Tuan Sikes menjadi sangat bersemangat dan
berselera humor tinggi. Buktinya, dapat disampaikan di sini,
dia dengan riang meminum semua bir dalam sekali teguk, dan
tidak mengucapkan"dalam hitungan kasar"lebih dari empat
sumpah serapah sepanjang acara makan.
Setelah makan malam usai"dapat dengan mudah ditebak
bahwa Oliver tidak berselera untuk itu"Tuan Sikes menggasak
beberapa gelas alkohol dan air, dan melemparkan dirinya ke tem"
pat tidur. Dia memerintahkan Nancy, disertai banyak ancaman
apabila dia gagal, agar membangunkannya pukul lima tepat.
Berdasarkan perintah yang sama galaknya, Oliver membaring"
kan tubuhnya tanpa berganti pakaian di atas kasur di lantai,
sementara Nancy menjaga api, duduk di depan perapian dan siap
membangunkan mereka pada waktu yang telah ditetapkan.
Lama Oliver berbaring terjaga, berpikir bahwa Nancy mung"
kin menganggap kesempatan itu tepat untuk membisikkan
saran lebih lanjut, tapi ternyata gadis itu hanya duduk sambil
bermuram-durja di depan perapian, tanpa bergerak, kecuali
sesekali untuk mengecilkan nyala api. Lelah karena cemas dan
menonton saja, Oliver akhirnya jatuh tertidur.
Ketika dia terbangun, meja telah dipenuhi perangkat makan.
Tuan Sikes sedang menjejalkan berbagai benda ke saku man"
telnya yang digantungkan di punggung kursi; Nancy sedang
sibuk menyiapkan sarapan. Saat itu belum lagi fajar sebab lilin
masih menyala, dan masih cukup gelap di luar. Hujan deras pun
tengah menampar-nampar panel jendela; langit terlihat hitam
dan berawan. CHARLES DICKENS ~211 "Nah, ayo!" geram Sikes saat Oliver menegakkan diri. "Sete"
ngah enam! Cuci mukamu supaya tidak mengantuk atau kau
takkan dapat sarapan sebab sekarang sudah terlambat."
Oliver tidak butuh waktu lama untuk berbenah diri. Setelah
menyantap sarapan, dia menjawab pertanyaan kasar dari Sikes
dengan cara mengatakan bahwa dia sudah cukup siap.
Nancy nyaris tak memandang bocah itu sama sekali, melem"
parinya saputangan untuk dililitkan di lehernya. Sikes mem"
berinya jubah besar kasar untuk diselempangkan ke bahunya.
Setelah mengenakan busana tersebut, dia mengulurkan tangan
kepada si perampok yang berhenti semata-mata untuk menun"
jukkan kepada Oliver dengan bahasa tubuh mengancam bahwa
dia membawa pistol yang pernah diperlihatkannya itu di saku
samping mantelnya. Tuan Sikes mencengkeram tangan Oliver
erat-erat dalam genggamannya dan menuntunnya pergi setelah
bertukar ucapan selamat tinggal dengan Nancy.
Ketika mereka sampai di pintu, Oliver menoleh sesaat ke
arah Nancy, berharap dapat bertemu pandang dengan gadis itu.
Namun, rupanya Nancy telah kembali ke kursinya di depan per"
a"pian dan duduk tanpa bergerak sama sekali di sana.[]
Ekspedisi etika mereka memasuki jalanan, pagi terasa suram;
a"ngin kencang dan hujan lebat; awan terlihat kelabu dan
berbadai. Malam sebelumnya sangatlah basah, genang"
an besar air telah terkumpul di jalan dan got meluber. Ada
pendar samar yang menandakan datangnya pagi di langit, tapi
hal itu justru memperburuk alih-alih mengenyahkan suramnya
pemandangan. Sinar redup itu hanya membuat cahaya lampu
jalanan makin samar, tanpa mencurahkan kehangatan ataupun
mencerahkan atap-atap rumah yang basah serta jalan-jalan
yang suram. Tampaknya tak ada yang bergerak di wilayah kota
itu, semua jendela rumah tertutup rapat, dan jalan-jalan yang
mereka lalui terlihat sepi dan kosong.
Pada saat mereka berbelok ke Bethnal Green Road, hari
mulai lebih cerah. Banyak lampu yang sudah dipadamkan;
segelintir gerobak desa pelan-pelan maju dengan susah payah
menuju London; sesekali kereta kuda berlumur lumpur melin"
tas cepat. Saat lewat, si sais memberikan pecutan peringatan ke
pengendara gerobak gempal yang"karena melaju di sisi jalan


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang salah"akan membuatnya terlambat seperempat menit
tiba di kantor. Bar dengan lampu gas yang menyala di dalam,
sudah dibuka. Lambat laun pintu toko-toko lain mulai dibuka
dan melayani segelintir orang yang tersebar di sana-sini. Lalu,
datanglah kelompok-kelompok pekerja kasar yang pergi bekerja
ke berbagai tempat: laki-laki dan perempuan dengan keranjang
CHARLES DICKENS ~213 ikan di kepala; gerobak keledai yang dibebani sayur-mayur;
pedati tertutup yang berisi ternak atau daging hewan utuh; wanita
pemerah susu yang membawa ember; aliran deras manusia, me"
nyeret langkah sambil menyandang aneka bahan kebutuhan ke
pinggiran timur kota. Saat mereka mendekati kota, keriuhan
dan lalu lintas perlahan-lahan bertambah dan ketika mereka
melewati jalan-jalan antara Shoreditech dan Smithfield, suasana
dipenuhi raungan bunyi dan kesibukan. Hari sudah terang. Pagi
yang sibuk bagi setengah populasi London telah dimulai.
Setelah berbelok ke Sun Street dan Crown Street dan me"
nyeberangi lapangan Finsbury, Tuan Sikes masuk ke Barbican
lewat Chiswell Street, kemudian terus ke Long Lane, dan lanjut
ke Smithfield. Dari sini terdengarlah bunyi hiruk pikuk yang
membuat Oliver Twist terperangah.
Saat itu adalah hari pasar. Lapangan diselimuti"nyaris se"
tinggi pergelangan kaki"oleh kotoran dan lumpur; uap pekat
tiada henti-hentinya membubung dari badan ternak yang ber"
bau tajam, dan bercampur dengan kabut, yang seolah mendar"
at di puncak-puncak cerobong asap, bergantung tebal di atas.
Semua kandang di pusat area besar itu serta kandang sementara
yang dijejal-jejalkan ke ruang kosong, diisi biri-biri; pada pan"
cang-pancang di samping selokan diikatlah barisan panjang
sapi dan lembu. Orang desa, tukang jagal, penggembala, peda"
gang asongan, anak lelaki, pencuri, pengangguran, dan gelan"
dangan dari setiap kelas rendah bercampur baur dalam satu
gerombolan; siulan penggembala, gonggongan anjing, lengu"
han lembu, embikan biri-biri, kuikan babi, pekikan pedagang
asongan, teriakan, sumpah serapah, dan pertengkaran di semua
sisi; denting bel dan raungan suara menguar dari setiap bar;
berkerumun, saling dorong, saling sikut, saling pukul, soraksorai, dan lomba teriak; bunyi berisik memekakkan dan sumbang
yang berkumandang dari setiap sudut pasar; dan sosok-sosok
be"lum mandi, belum bercukur, jorok, dan kotor yang terusme"ne"rus lari ke sana kemari serta merangsek keluar-masuk
214~ OLIVER TWIST kerumunan orang. Pemandangan tersebut mencengangkan dan
mengherankan sehingga mengacaukan indra manusia.
Sambil menyeret Oliver di belakangnya, Tuan Sikes main
sikut sana sini untuk menembus kerumunan orang yang pa"
ling banyak, tidak terlalu peduli pada pemandangan dan bunyi
berlimpah ruah yang teramat memukau si anak laki-laki. Dia
mengangguk, dua atau tiga kali, kepada teman yang melintas;
dan, menampik banyak undangan untuk minum-minum pagi.
Dia terus berjalan maju sampai mereka bebas dari kekacauan
itu, dan sudah menyusuri Hosier Lane menuju Holborn.
"Nah, Bocah!" kata Sikes, mendongak untuk memandang
jam di Gereja St. Andrew. "Sudah pukul tujuh! Kau harus cepat.
Ayo, jangan berlambat-lambat di belakang, Kaki Malas!"
Tuan Sikes menyertai ucapannya dengan sentakan ke per"
gelangan tangan rekan kecilnya. Oliver mempercepat lajunya
menjadi lari-lari kecil, setengah berjalan dan setengah berlari,
menyamai langkah panjang si pembobol rumah itu sebisa
mungkin. Mereka mempertahankan laju seperti ini sampai setelah
melintasi pojok Hyde Park, dan sedang menuju Kensington, ke"
tika Sikes memperlambat lajunya hingga sebuah gerobak kosong
yang berada agak jauh di belakang, menyusul mereka. Melihat
"Hounslow" tertulis di gerobak itu, dia menanyai si pengemudi
sesopan yang bisa dia lakukan, apakah dia bersedia memberi
mereka tumpangan sampai Isleworth.
"Masuklah," kata laki-laki itu. "Apa itu anakmu?"
"Ya, dia anak laki-lakiku," jawab Sikes, memandang Oliver
lekat-lekat, dan dengan tak acuh meletakkan tangannya ke saku
berisi pistol. "Ayahmu berjalan terlalu cepat untukmu, ya, Bung?" tanya si
pengemudi, melihat bahwa Oliver kehabisan napas.
"Tidak sama sekali," jawab Sikes, menyela. "Dia sudah terbi"
asa. Pegang tanganku, Ned. Ayo, masuk!"
Dengan memanggil Oliver seperti itu, Sikes membantu si
bocah naik ke gerobak. Si pengemudi menunjuk setumpuk ka"
CHARLES DICKENS ~215 rung, menyuruhnya berbaring di sana dan mengistirahat"kan
diri. Saat mereka melewati penanda-penanda jarak yang ber"
lainan, Oliver bertanya-tanya, lagi dan lagi, ke mana Tuan
Sikes bermaksud membawanya. Kensington, Hammersmith,
Chiswick, Kew Bridge, Brentford, semua sudah dilewati, tapi
mereka terus saja berlalu dengan mantap seolah-olah baru saja
memulai perjalanan. Pada akhirnya, mereka tiba di sebuah bar
bernama Coach and Horses?"Gerobak dan Kuda"; tidak jauh
di baliknya, sebuah jalan lain tampaknya terbentang. Dan, di
sinilah gerobak tersebut berhenti.
Sikes turun dengan peluh bercucuran sambil memegang ta"
ngan Oliver. Dia menggendongnya turun seketika, memberikan
ekspresi mengancam kepadanya, serta menepuk sisi saku dengan
kepalannya dengan sikap serius.
"Selamat tinggal, Nak," kata si pengemudi gerobak.
"Dia pemurung," jawab Sikes sambil menjabat tangan lakilaki itu. "Anak yang bandel. Tolong jangan pedulikan dia."
"Ah, tidak!" timpal pihak yang satunya lagi sambil naik ke
gerobaknya. "Ternyata ini hari yang cerah." Dan, dia pun ber"
kendara pergi. Sikes menunggu sampai gerobak sudah cukup jauh. Kemu"
dian, memberi tahu Oliver bahwa dia boleh melihat-lihat ke
sekelilingnya jika dia mau, sekali lagi menuntunnya maju dalam
perjalanannya. Mereka berbelok ke kiri, melewati bar, kemudian menapaki
jalan sebelah kanan, berjalan untuk waktu lama, melewati ba"
nyak taman besar serta rumah mewah di kedua sisi jalan, dan
sama sekali tidak berhenti kecuali untuk minum sedikit bir,
sampai mereka tiba di sebuah kota. Di sini, pada tembok sebuah
rumah, Oliver melihat tulisan "Hampton" yang cukup besar.
Mereka berdiam di sana, di ladang, selama beberapa jam. Akhir"
nya mereka kembali ke kota, berbelok ke dalam sebuah bar tua
dengan papan nama yang dicoret-coret dan memesan makanan
di dekat tungku dapur. 216~ OLIVER TWIST Dapur tersebut merupakan ruangan tua beratap rendah de?"
ngan palang besar yang melintang di tengah langit-langit, serta
bangku-bangku bersandaran tinggi di dekat tungku. Di bang"kubangku ini duduklah beberapa pria berkemeja longgar bertam"
pang kasar, minum-minum, dan merokok. Mereka tidak meng"
hiraukan Oliver dan hampir tak mengindahkan Sikes karena
Sikes nyaris tak menghiraukan mereka. Dia dan rekan mudanya
duduk di pojok sendirian tanpa diusik oleh orang-orang itu.
Mereka menyantap hidangan berupa daging dingin, dan
duduk lama setelahnya. Tuan Sikes memanjakan diri dengan
tiga atau empat pipa tembakau sehingga Oliver mulai merasa
cukup yakin bahwa mereka takkan pergi lebih jauh lagi. Akibat
kelelahan berjalan kaki dan bangun pagi-pagi sekali, ditambah
asap tembakau di sekitarnya, Oliver pun mulai terkantuk-kan"
tuk dan jatuh tertidur tak lama kemudian.
Sudah cukup gelap ketika dia didorong bangun oleh Sikes.
Oliver membangunkan dirinya hingga sanggup duduk tegak
dan melihat-lihat ke sekelilingnya. Dia mendapati laki-laki ter"
hormat itu tengah duduk berdekatan dan mengobrol dengan
seorang lelaki pekerja kasar, sambil minum arak.
"Jadi, kau hendak pergi ke Lower Halliford, ya?" tanya
Sikes. "Ya, aku hendak ke sana," kata pria itu, yang kondisinya
tampak sedikit memburuk"atau mungkin justru membaik"
karena minum-minum, "dan takkan lambat-lambat pula. Kuda"
ku tidak membawa beban di belakangnya saat pulang, seperti
waktu ia berangkat tadi pagi. Ia takkan butuh waktu lama untuk
sampai ke sana. Bersulang untuknya. Ecod! Ia kuda yang baik!"
"Bisa kau beri aku dan anakku tumpangan sampai sana?"
tuntut Sikes sambil mendorong arak ke arah teman barunya itu.
"Jika kau ingin langsung pergi ke sana, aku bisa," jawab lakilaki itu, mengalihkan pandangan dari kendi. "Apa kau hendak
ke Halliford?" "Hendak ke Shepperton," jawab Sikes.
CHARLES DICKENS ~217 "Aku siap melayanimu, sejauh aku pergi," jawab si teman
baru. "Semua sudah dibayar, Becky?"
"Ya, tuan yang satu itu yang membayarnya," jawab gadis itu.
"Ya, ampun!" kata laki-laki itu, serius dalam kemabukannya.
"Tidak boleh begitu."
"Kenapa tidak?" timpal Sikes. "Kau akan memberi kami tum"
pangan, dan kenapa pula aku tidak boleh mentraktirmu minum
sebagai balasannya?"
Si orang asing merenungkan argumen ini. Dengan wajah
sangat khidmat, dia lalu mencengkeram tangan Sikes dan me"
nya"takan bahwa dia adalah lelaki yang sungguh baik. Atas per"
nyataan ini, Tuan Sikes menjawab bahwa dia bercanda, seolaholah, jika dia sadar, ada alasan kuat untuk mengira bahwa Sikes
memang orang baik. Setelah bertukar beberapa pujian lain lagi, mereka meng"
ucapkan selamat malam kepada pemilik bar serta para pelanggan
lain, lalu keluar. Gadis pelayan segera mengumpulkan kendikendi dan gelas-gelas selagi mereka keluar dan menunggu di pin"
tu, dengan tangan penuh, untuk mengantar kepergian mereka.
Si kuda, yang telah didoakan kesehatannya tanpa kehadiran"
nya saat kedua pria bersulang di dalam, sedang berdiri di luar, siap
diikatkan ke gerobak. Oliver dan Sikes masuk tanpa basa-basi
lebih lanjut. Si laki-laki pemiliknya baru naik setelah berdiam di
luar selama satu atau dua menit untuk "memperlengkapinya".
Lal"u, si pengurus kuda disuruh melepaskan kepala kuda. Setelah
ke"pa"lanya dilepaskan, si kuda memanfaatkannya dengan sangat
tidak baik, yaitu menyentakkannya ke udara dengan teramat
sebal, dan lari menabrak jendela ruang tamu dalam perjalanan.
Setelah menuntaskan aksi tersebut dan menopang dirinya
sebentar dengan kaki belakangnya, ia melaju dengan kecepatan
tinggi ke luar kota dengan gagah berani.
Malam itu sangat gelap. Kabut lembap membubung dari
sungai serta tanah rawa di sekitar sana dan menyebar ke atas
ladang-ladang suram. Hawanya dingin menusuk, terasa suram
218~ OLIVER TWIST dan gelap. Mereka berjalan dalam keheningan. Tampaknya
si pengemudi mengantuk dan Sikes sedang tidak ingin meng"
ajaknya mengobrol. Oliver duduk meringkuk di pojok gero"
bak"terbengong-bengong karena waswas dan cemas"dan
memandangi benda-benda aneh di pohon-pohon kurus, yang
cabang-cabangnya melambai-lambai menyeramkan ke depan
dan ke belakang seolah-olah merasakan kegembiraan fantastis
melihat sepinya lingkungan tersebut.
Saat mereka melewati Gereja Sunbury, jam menunjukkan
pukul tujuh. Ada cahaya dari jendela gudang perahu di seberang,
yang tertumpah ke jalan, dan melemparkan bayang-bayang
suram sebatang pohon yew gelap dengan kuburan di bawahnya.
Terdengar bunyi sayup-sayup curahan air tidak jauh dari sana
dan daun-daun pohon tua bergerak-gerak lembut ditiup angin
malam. Ini tampak bagaikan musik hening untuk peristirahatan
orang mati. Sunbury terlewati, dan mereka lagi-lagi memasuki jalan sepi.
Setelah dua atau tiga mil berikutnya, gerobak pun berhenti.
Sikes turun, memegangi tangan Oliver, dan mereka sekali lagi
berjalan kaki. Mereka tidak berbelok ke sebuah rumah di Shepperton, se"
perti yang diduga si anak laki-laki yang lelah. Mereka terus ber"
jalan di tengah lumpur dan kegelapan, melewati jalan setapak
remang-remang dan area kosong terbuka yang dingin, sampai
mereka bisa melihat lampu-lampu sebuah kota tidak jauh dari
sana. Saat melihat lekat-lekat ke depan, Oliver menyaksikan
bahwa air terletak tepat di bawah mereka, dan mereka tengah
menghampiri kaki sebuah jembatan.
Sikes terus berjalan sampai mereka berada dekat dengan jem"
batan, lalu tiba-tiba berbelok ke bantaran di sebelah kiri.
"Air!" pikir Oliver, jadi mual karena ketakutan. "Dia mem"
bawaku ke tempat sepi ini untuk membunuhku!"
Dia hendak melemparkan dirinya ke tanah, dan merontaronta demi mempertahankan hidupnya yang masih muda, ke"
CHARLES DICKENS ~219 tika dia melihat bahwa mereka berdiri di depan sebuah rumah
terpencil yang bobrok dan rusak dimakan usia. Ada jendela di
kiri dan kanan gerbang reyot serta satu lantai di atasnya, tapi tak
ada cahaya yang terlihat. Rumah itu gelap, porak-poranda, dan
berdasarkan penampilannya, tak berpenghuni.
Dengan tangan Oliver dalam genggamannya, Sikes pelanpelan mendekati beranda yang rendah dan mengangkat selot.
Pintu tersebut terbuka, dan mereka pun masuk melewatinya
bersama-sama.[] Perampokan Halo!" seru sebuah suara serak yang lantang, segera setelah
mereka menginjakkan kaki ke koridor.
"Jangan berisik," kata Sikes sambil menyelot pintu.
"Nyalakan lilin, Toby."
"Aha! Kawanku!" seru suara yang sama. "Lilin, Barney, lilin!
Persilakan tuan ini masuk, Barney. Bangunlah lebih dahulu
kalau tidak keberatan."
Si pembicara tampak melempar sendok sepatu, atau benda
semacam itu, kepada orang yang diajak bicara untuk bangun
dari tidurnya sebab terdengarlah bunyi tubuh yang kaku jatuh
berdebum, disusul gumaman tidak jelas yang sepertinya berasal
dari seorang laki-laki yang setengah tidur dan setengah terjaga.
"Tidakkah kau dengar?" seru suara yang sama. "Bill Sikes ada
di koridor, tanpa seorang pun yang menyambutnya dan kau ti"
dur di sini, seakan kau mencampur obat tidur dalam makanan"
mu dan tidak lebih kuat daripada itu. Apa kau sudah lebih segar
sekarang, ataukah kau ingin wadah lilin dari besi untuk mem"
bangunkanmu sepenuhnya?"
Sepasang kaki loyo diseret-seret, buru-buru, menyeberangi
lantai kosong ruangan tersebut selagi ceramah ini dikemukakan.
Kemudian, dari pintu di kanan keluarlah lilin redup diikuti
sesosok manusia. Inilah orang yang sebelumnya telah dipaparkan
CHARLES DICKENS ~221 berkelainan sehingga harus susah payah bicara lewat hidungnya,
dan bertugas sebagai pelayan bar di Saffron Hill.


Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bag Siges!" seru Barney, dengan kegembiraan asli atau palsu.
"Basug, Bag, basug."
"Sini! Kau masuk duluan," kata Sikes, mendorong tubuh
Oliver. "Lebih cepat! Atau akan kuinjak tumitmu."
Sambil menggumamkan umpatan atas kelambanannya, Sikes
mendorong Oliver ke depannya, dan mereka pun memasuki se"
buah ruangan rendah yang berisi perapian berasap tebal, dua
atau tiga kursi patah, sebuah meja, dan sebuah sofa yang sangat
tua. Di atas sofa tersebut tampak seorang pria sedang mengisap
pipa tanah liat panjang sambil menyelonjorkan tubuh, berlehaleha dengan kaki yang diposisikan lebih tinggi daripada kepala.
Dia mengenakan jas cokelat berpotongan rapi dengan kancingkancing kuningan besar, syal jingga, dan celana kelabu kusam.
Tuan Crackit (itulah namanya) tidak punya banyak ram"but,
baik di atas kepala maupun di wajahnya. Sedikit rambut yang
dimilikinya berwarna kemerahan, dan dipilin membentuk ke"
riting panjang kecil-kecil, yang terkadang diselusurinya dengan
jari-jari sangat kotor berhiaskan cincin besar tak mencolok.
Ukuran tubuhnya agak besar dan kakinya agak lemah. Namun,
kondisi ini sama sekali tidak mengurangi kekagumannya sendiri
pada sepatu bot tingginya, yang dia amat-amati dalam posisinya
yang ditinggikan, dengan rasa takjub tak terkira.
"Bill! Apa kabar, Bung?" kata sosok ini, memalingkan ke"
palanya ke pintu. "Aku senang melihatmu. Aku hampir-hampir
khawatir kau menyerah. Apabila itu yang terjadi, aku pasti harus
menjelajah sendirian. Halo!"
Dia mengucapkan seruan ini dengan nada teramat kaget, saat
matanya tertuju kepada Oliver. Tuan Toby Crackit menegakkan
dirinya ke postur duduk, dan bertanya, "Siapa itu?"
"Anak kecil. Cuma seorang anak!" jawab Sikes, menarik kursi
mendekati perapian. 222~ OLIVER TWIST "Salah sadu adak buah Bag Fagid," seru Barney sambil menye"
ringai. "Fagin, ya!" seru Toby sambil memandangi Oliver. "Betapa
tak ternilainya bocah itu kelak, berkat saku para wanita tua di
kapel! Tampangnya sangat menguntungkan!"
"Sudah, sudah cukup," potong Sikes tak sabaran. Sambil
mem?""bungkuk di atas temannya yang sedang berbaring itu, dia
mem?""bisikkan beberapa patah kata di telinganya yang mem?"buat
Tuan Crackit tertawa terbahak-bahak, dan menghadiahi Oliver
dengan tatapan takjub yang lama.
"Nah," kata Sikes saat dia duduk kembali, "kalau kau berke"
nan memberi kami sesuatu untuk dimakan dan diminum selagi
kita menunggu, kami"atau aku, paling tidak"akan senang
sekali. Duduklah dekat api, Bocah, dan istirahatlah sebab kau
harus pergi lagi bersama kami malam ini meskipun tidak terlalu
jauh." Oliver memandang Sikes dengan heran, membisu, serta
takut-takut?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"
. Setelah menarik dingklik ke dekat perapian, Oliver duduk dengan kepala yang pening ditelekan ke tangannya,
nyaris tak tahu di mana dia berada atau apa yang berlangsung
di sekitarnya. "Ini," kata Toby, saat Barney meletakkan beberapa potong
makanan serta sebuah botol di meja. "Semoga pembobolan kita
sukses!" Dia bangkit untuk bersulang dan dengan hati-hati mele"
takkan pipanya yang kosong di sudut, kemudian maju ke meja,
memenuhi gelas dengan alkohol, dan meminum isinya. Tuan
Sikes melakukan hal serupa.
"Minuman untuk si Bocah," kata Toby, mengisi gelas anggur
setengahnya. "Teguk saja, Bocah Polos."
"Sungguh," kata Oliver, memandangi wajah pria itu sambil
mengiba-iba, "sungguh, saya "."
"Teguk saja!" ulang Toby. "Apa menurutmu aku tak tahu apa
yang bagus buatmu" Suruh dia meminumnya, Bill."
CHARLES DICKENS ~223 "Sebaiknya begitu!" kata Sikes sambil menepukkan tangan
ke sakunya. "Terkutuklah aku kalau dia tidak lebih menyulit"
kan daripada sekeluarga Dodger. Minum, dasar kurcaci bandel,
minum!" Ketakutan melihat gestur kedua laki-laki yang penuh anca"
man itu, Oliver buru-buru meneguk isi gelas tersebut dan seke"
tika terbatuk-batuk dahsyat yang membuat Toby Crackit serta
Barney kesenangan, dan bahkan memunculkan senyum Tuan
Sikes yang galak. Setelah Sikes memuaskan nafsu makannya (Oliver tidak bisa
makan apa-apa selain sepotong roti yang mereka paksakan ke"
padanya agar ditelan), kedua laki-laki itu membaringkan tubuh
di kursi untuk tidur sebentar. Oliver tetap duduk di dingkliknya
dekat perapian, sementara Barney membungkus dirinya dengan
selimut, merentangkan tubuh di lantai di dekat bagian luar kisikisi perapian.
Mereka tidur, atau tampaknya tertidur, selama beberapa
waktu. Tak seorang pun bergerak selain Barney, yang bangkit
se"sekali untuk melemparkan batu bara ke api. Oliver sudah
tertidur lelap"membayangkan dirinya berkeliaran di sepan"
jang jalan yang remang-remang, keluyuran di halaman gereja
yang gelap, atau menyusuri kembali salah satu kejadian pada
hari kemarin"ketika dia dibangunkan oleh Toby Crackit yang
melompat berdiri dan menyatakan bahwa saat itu sudah pukul
setengah dua. Dalam sekejap, dua orang lainnya berdiri, dan semua secara
aktif melibatkan diri dalam persiapan yang sibuk. Sikes dan
rekannya menyelubungi leher serta dagu mereka dengan selen"
dang besar berwarna gelap, dan mengenakan mantel mereka.
Barney membuka sebuah lemari, mengeluarkan beberapa ba"
rang, yang buru-buru dijejalkannya ke saku.
"Senjata untukku, Barney," kata Toby Crackit.
"Ini dia," jawab Barney sambil mengeluarkan sepasang pistol.
"Kau isi saja sendiri."
224~ OLIVER TWIST "Baiklah!" jawab Toby sambil menyimpan keduanya. "Senja"
tanya?" "Aku bawa," jawab Sikes.
"Kikir, kunci, gurdi, borgol"tidak ada yang terlupa?" tanya
Toby sambil mengencangkan sebatang linggis kecil ke simpul di
bagian dalam kelepak mantelnya.
"Semua beres," timpal rekannya. "Bawakan kayu, Barney. Su"
dah waktunya." Disertai kata-kata ini, dia mengambil sebatang tongkat tebal
dari tangan Barney, yang setelah mengantarkan sebatang lainnya
kepada Toby, menyibukkan diri untuk mengencangkan jubah
Oliver. "Nah, ayo!" kata Sikes sambil mengulurkan tangan.
Oliver, yang sepenuhnya linglung karena udara, minuman
yang dipaksakan untuk diteguknya, dan kegiatan yang tak ter"
biasa dilakukannya, meletakkan tangannya ke tangan Sikes yang
dijulurkan untuk tujuan itu.
"Pegangi tangannya yang satu lagi, Toby," kata Sikes. "Awasi
keadaan di luar, Barney."
Laki-laki itu pergi ke pintu, dan kembali untuk mengumum"
kan bahwa semuanya aman. Kedua perampok keluar bersama
Oliver di antara mereka. Barney, setelah mengunci semuanya,
bergelung seperti sebelumnya, dan segera saja tertidur kembali.
Kini sudah gelap pekat. Kabut jauh lebih tebal daripada
awal malam dan udaranya begitu lembap sehingga meskipun
hu"jan tidak turun, rambut serta alis Oliver dalam hitungan me"
nit sesudah meninggalkan rumah, telah menjadi kaku ka"re?"na
em"bun setengah beku yang melayang-layang. Mereka me"nye"
berangi jembatan dan maju menuju lampu-lampu yang mereka
lihat sebelumnya. Jarak yang mereka tempuh tidaklah jauh, dan
karena mereka berjalan cukup cepat, mereka segera saja tiba di
Chertsey. "Langsung masuk kota saja," bisik Sikes. "Takkan ada siapasiapa yang melihat kita di jalan malam ini."
CHARLES DICKENS ~225 Toby setuju. Mereka bergegas melewati jalan utama kota kecil
tersebut, yang pada jam selarut itu sepenuhnya lengang. Lampu
redup bersinar sesekali dari jendela kamar tidur dan gonggongan
serak anjing terkadang memecah keheningan malam. Namun,
tak ada seorang pun di luar. Mereka telah menyusuri bagian
utama kota, saat lonceng gereja menandakan pukul dua.
Sambil mempercepat langkah, mereka berbelok ke jalan di
kiri. Setelah berjalan sejauh kira-kira setengah kilometer, mereka
berhenti di depan sebuah rumah berpagar tembok yang menyen"
diri. Ke atas tembok inilah Toby Crackit, nyaris tak berhenti
sama sekali untuk menghela napas, memanjat dalam sekejap.
"Anak itu berikutnya," kata Toby. "Topang dia ke atas, akan
ku"tangkap dia."
Sebelum Oliver sempat melihat ke sekeliling, Sikes meme"
gangi ketiaknya, dan dalam waktu tiga atau empat detik dia
dan Toby sudah berbaring di rumput di seberang tembok. Sikes
serta-merta mengikuti. Lalu, mereka mengendap-endap dengan
hati-hati menuju rumah. Dan sekarang, untuk kali pertama, Oliver menyadari bahwa
apabila bukan pembunuhan, pembobolan rumah dan peram"
pokan adalah tujuan ekspedisi mereka. Dia hampir gila karena
pilu dan ngeri. Oliver mengatupkan kedua tangannya dan
seca"ra spontan mengucapkan seruan ketakutan yang teredam.
Kabut berkelebat di depan matanya; keringat dingin mengalir
di wajahnya yang pucat; tungkainya melemas; dan dia pun jatuh
berlutut. "Bangun!" gerutu Sikes, gemetar karena murka, dan menge"
luarkan pistol dari sakunya. "Bangun atau akan kuserakkan
otakmu di rumput." "Oh! Demi Tuhan, lepaskan saya!" tangis Oliver. "Biarkan
saya melarikan diri dan mati di ladang. Saya takkan pernah
datang ke dekat-dekat London; takkan pernah, takkan pernah!
Oh! Tolong kasihani saya, dan jangan suruh saya mencuri. Demi
cinta para malaikat gemilang yang bermukim di surga, ka?"sih"ani"
lah saya!" 226~ OLIVER TWIST Tuan Sikes menyumpahkan sumpah serapah mengerikan. Dia
telah menodongkan pistolnya ketika Toby menghantam pis?"tol
itu sehingga lepas dari genggamannya, lalu meletakkan ta"ngan"
nya ke mulut si anak laki-laki, dan menyeretnya ke rumah.
"Ssst!" seru pria itu. "Permintaanmu takkan terkabul di sini.
Ucapkan satu patah kata lagi saja, dan akan kuurus kau sendiri
dengan pukulan ke kepala. Itu tidak menghasilkan keributan,
sama ampuhnya, dan lebih beradab. Nah, Bill, ungkit kerai ini
hingga terbuka. Dia sudah siap sekarang, aku yakin. Aku pernah
melihat anak seusianya yang lebih berpengalaman bertingkah
serupa, selama satu atau dua menit, pada malam yang dingin."
Sikes, sambil mengutarakan umpatan luar biasa ke kepala
Fagin karena mengutus Oliver untuk melakukan tugas semacam
ini, mengungkit linggis sekuat tenaga, tapi dengan sedikit bu"
nyi. Setelah tertunda beberapa lama dan berkat bantuan dari
Toby, kerai pun berayun terbuka di engselnya.
Jendela itu kecil berkisi-kisi, berjarak sekitar satu setengah
meter dari tanah, dan terletak di belakang rumah, yang meru"
pakan bagian dari sebuah ruang cuci atau dapur kecil di ujung
lorong. Bukaan tersebut begitu kecil sehingga para penghuninya
ba"rangkali tidak mempertimbangkan bahwa jendela itu layak
untuk dilindungi secara lebih aman. Walau demikian, ukuran"
nya cukup besar untuk memungkinkan masuknya seorang bo"
cah seukuran Oliver. Sebuah praktik seni yang sangat singkat
dari Tuan Sikes sudah cukup untuk mengatasi pengunci kisi,
dan segera saja kisi-kisi tersebut terbuka lebar.
"Sekarang dengarkan, Bocah," bisik Sikes, mengeluarkan
lentera gelap dari sakunya, dan memancarkan sinarnya tepat ke
wajah Oliver. "Aku akan memasukkanmu ke sana. Bawa lampu
ini, naiki tangga tepat di depanmu pelan-pelan, dan susuri kori"
dor kecil, lalu ke pintu depan. Buka pintu itu, dan biarkan kami
masuk." "Ada selot di atas, kau takkan bisa meraihnya," sela Toby.
"Berdirilah di atas salah satu kursi serambi. Ada tiga di sana,
CHARLES DICKENS ~227 Bill, dengan hiasan unicorn riang besar biru dan garpu tala emas,
yang merupakan kursi si wanita tua."
"Bisa diam, tidak?" balas Sikes dengan ekspresi mengancam.
"Pintu ruangan terbuka, kan?"
"Lebar," jawab Toby, setelah mengintip untuk memuaskan
dirinya. "Untungnya, mereka selalu meninggalkan pintu itu
dalam keadaan terbuka dengan kait, supaya si anjing, yang pu"
nya tempat tidur di sini, bisa berjalan mondar-mandir di lorong
ketika dia merasa tak mengantuk. Ha! Ha! Barney memancing"
nya pergi malam ini. Rapi sekali!"
Meskipun Tuan Crackit bicara dalam bisikan yang nyaris
tak terdengar, dan tertawa tanpa suara, Sikes dengan sok kuasa
memerintahnya supaya diam dan segera bekerja. Toby menurut, pertama-tama dia mengeluarkan lentera dan meletakkannya
di tanah. Lalu, dia menyandarkan kepalanya dengan kukuh ke
tembok di bawah jendela, dan tangannya ke lututnya, untuk
menjadikan punggungnya undakan. Segera saja Sikes mena"iki"
nya, memasukkan Oliver pelan-pelan lewat jendela dengan kaki"
nya lebih dahulu, dan tanpa melepaskan genggaman di kerah
bahu anak itu, menurunkannya dengan selamat pada lantai di
dalam. "Bawa lentera ini," kata Sikes sambil menengok ke dalam
ruangan. "Kau lihat tangga di depanmu?"
Oliver, lebih pantas disebut mati daripada hidup, mengem"
buskan kata "Ya." Sikes menunjuk ke pintu depan dengan mon"
cong pistolnya, dengan singkat menasihati bocah itu bahwa dia
berada dalam jarak tembak sepanjang jalan sampai ke pintu
depan, dan jika terlihat ragu-ragu, dia akan jatuh dalam keadaan
mati pada saat itu juga. "Lakukan dalam semenit," kata Sikes dengan bisikan pelan
yang sama. "Begitu aku meninggalkanmu, langsunglah bekerja.
Sana!" "Apa itu?" bisik laki-laki yang satu lagi.
Mereka mendengarkan baik-baik.
228~ OLIVER TWIST "Tidak ada apa-apa," kata Sikes, melepaskan pegangannya
pada Oliver. "Sekarang!"
Dalam waktu singkat yang memungkinkannya untuk me"
ngen?"dalikan diri itu, bocah tersebut telah bertekad kuat bah"
wa"entah dia akan mati dalam upayanya atau tidak"dia
akan berusaha untuk melesat ke lantai atas dari serambi, dan
memperingatkan keluarga tersebut. Dipenuhi gagasan ini, dia
maju seketika, tapi dengan diam-diam.
"Kembali ke sini!" tiba-tiba Sikes berseru keras-keras. "Kem"
bali! Kembali!"

Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketakutan gara-gara pecahnya kesunyisenyapan tempat itu,
dan karena teriakan keras yang mengikutinya, Oliver menja"
tuhkan lenteranya, dan tidak tahu apakah harus maju atau
kabur. Teriakan tersebut diulangi"sebuah lampu muncul"penam"
pakan dua pria ketakutan yang baru setengah berpakaian di pun"
cak tangga berenang-renang di depan matanya"kilatan"suara
nyaring"asap"bunyi berdebum di suatu tempat, tapi di mana
dia tidak tahu"dan dia pun terhuyung-huyung ke belakang.
Sikes sudah menghilang sesaat, tapi dia muncul lagi, dan
memegangi kerah Oliver sebelum asap menipis. Dia menem"
bakkan pistolnya sendiri kepada kedua laki-laki tersebut, yang
sudah mundur, dan menarik si anak laki-laki ke atas.
"Cengkeram lenganmu lebih erat," kata Sikes saat dia me"na"
rik Oliver lewat jendela. "Beri aku selendang. Mereka menem"
baknya. Cepat! Hebat sekali pendarahan anak ini!"
Lalu terdengarlah denting bel yang nyaring, bercampur bunyi
senjata api, teriakan seorang pria, dan sensasi digendong sambil
melewati tanah tak rata pada kecepatan tinggi. Kemudian, bunyibunyi tersebut berbaur di kejauhan; perasaan dingin mematikan
merayapi hati anak laki-laki itu; dan dia tidak melihat ataupun
mendengar apa-apa lagi.[]
Percakapan Tuan Bumble dan Nyonya Corney alam itu dingin menggigit. Salju berserakan di tanah,
membeku membentuk kerak tebal keras sehingga
hanya tumpukan yang telah melayang ke gang dan
pojokan sajalah yang terbawa oleh angin menggigilkan yang
melolong di luar, yang seolah menyebarkan amarah kian kuat
pada mangsa yang ditemukannya di luar, menangkapnya de"
ngan buas dalam bubungan awan, dan setelah memutar-mutar"
nya dalam ribuan pusaran berkabut, menyebarkannya ke udara.
Suram, gelap, dan dingin menusuk. Pada malam seperti itu,
orang-orang yang bertempat tinggal dan cukup makan patut
berkumpul mengelilingi api terang dan bersyukur kepada Tuhan
karena mereka berada di rumah. Bagi para tunawisma bernasib
sial yang keroncongan, inilah malam untuk menggeletak dan
mati. Banyak orang telantar yang kelaparan memejamkan mata
di jalan-jalan kosong pada saat seperti itu, yang terlepas dari
kejahatan mereka, nyaris tak sanggup membuka mata di dunia
yang lebih kejam. Seperti itulah keadaan di luar ruangan ketika Nyonya
Corney, matron rumah sosial yang telah diperkenalkan kepada
pembaca sebagai tempat kelahiran Oliver Twist, duduk di depan
api yang menari-nari ceria di kamar berukuran kecil milik"nya
sendiri. Dia melirik puas ke sebuah meja kecil bundar yang me?"
mu"at nampan berukuran sedang, yang dipenuhi semua ba?"han
230~ OLIVER TWIST yang dibutuhkan untuk hidangan paling memuas"kan yang da"
pat dinikmati seorang matron. Nyonya Corney hendak meng?"?"
hibur diri dengan secangkir teh. Saat dia melirik dari meja ke
per"apian, tempat ketel termungil di dunia, barangkali, sedang
menyanyikan lagu pendek dengan suara kecil, rasa puas batin"
i"ahnya jelas-jelas meningkat"begitu rupa sampai-sampai Nyo"
nya Corney tersenyum. "Yah!" kata sang matron, menyandarkan sikunya ke meja,
dan memandang api sambil membatin. "Aku yakin kami memili"
ki banyak hal untuk disyukuri! Banyak hal, jika direnungkan.
Ah!" Nyonya Corney menggeleng-gelengkan kepala dengan se"dih,
seolah-olah menyesali kebutaan mental kaum papa yang tak
mengetahuinya. Sembari menghunjamkan sendok perak (ba"
rang pribadi) ke relung terdalam wadah teh berkapasitas dua
ons, dia melanjutkan dengan membuat teh.
Betapa hal sepele mampu mengusik ketenteraman pikiran
kita yang rapuh! Isi poci hitam, yang berukuran sangat kecil dan
gampang penuh, tumpah saat Nyonya Corney sedang merenung,
dan air pun melepuhkan tangan Nyonya Corney.
"Poci sialan!" kata sang matron yang terhormat itu, mele"
takkan poci sangat cepat ke dudukan logam. "Benda kecil tolol
yang cuma muat beberapa cangkir! Tak berguna untuk siapa
pun! Kecuali," kata Nyonya Corney, terdiam, "kecuali untuk
makhluk malang kesepian seperti aku. Ya, ampun!"
Diiringi kata-kata ini, sang matron menjatuhkan diri ke kur"
sinya dan sekali lagi menopangkan sikunya ke meja, memikirkan
nasibnya yang kesepian. Poci teh kecil dan cangkir satu-satu"
nya, telah membangunkan ingatan menyedihkan tentang Tuan
Corney (yang baru meninggal tak lebih dari dua puluh lima
tahun), dan dia jadi kewalahan.
"Aku takkan mendapatkan yang lain!" kata Nyonya Corney,
naik darah. "Aku takkan mendapatkan yang lain " yang seperti
itu!" CHARLES DICKENS ~231 Apakah ucapan ini mengacu kepada sang suami atau poci
teh, tidaklah jelas. Mungkin saja maksudnya adalah yang dise"
but belakangan sebab Nyonya Corney memandang benda terse"
but saat dia bicara dan mengambilnya setelah itu. Dia baru saja
mencicipi cangkir teh pertamanya ketika diganggu oleh ketukan
lembut di pintu kamar. "Oh, masuklah!" kata Nyonya Corney tajam. "Ada wanita
tua yang sekarat, kutebak. Mereka selalu mati waktu aku sedang
makan. Jangan berdiri saja di sana, membiarkan udara dingin
masuk. Ada masalah apa sekarang?"
"Tidak ada apa-apa, Nyonya, tidak ada apa-apa," jawab suara
seorang pria. "Ya, ampun!" seru sang matron dengan nada yang jauh lebih
manis. "Apakah itu Tuan Bumble?"
"Siap melayani Anda, Nyonya," kata Tuan Bumble, berhenti
di luar untuk menggosok-gosok sepatunya hingga bersih, dan
untuk mengenyahkan salju dari mantelnya. Dia sekarang me"
nampakkan diri, sambil menyandang topi tinggi di satu tangan
serta buntalan di tangan lainnya. "Perlukah kututup pintunya,
Nyonya?" Wanita itu dengan alimnya ragu-ragu menjawab, kalau-kalau
tidaklah pantas mengobrol dengan Tuan Bumble dengan pintu
tertutup. Tuan Bumble memanfaatkan keraguan itu, dan karena
dia sendiri sangat kedinginan, menutup pintu tanpa permisi.
"Cuacanya ganas, Tuan Bumble," kata sang matron.
"Memang ganas, Nyonya," jawab sang sekretaris desa. "Ini
cu"aca yang menyulitkan desa. Kami telah membagikan dua
pu"luh roti berukuran seperempat loyang serta satu setengah
potong keju siang tadi, Nyonya Corney. Walau begitu, kaum
papa belum juga puas."
"Tentu saja tidak. Kapan mereka puas, Tuan Bumble?" kata
sang matron, menyesap tehnya.
"Kapan. Benar sekali, Nyonya!" timpal Tuan Bumble. "Ada
seorang pria yang mempertimbangkan istri dan keluarga be"sar"
232~ OLIVER TWIST nya, memperoleh seperempat loyang roti dan satu pon keju,
lengkap. Apakah dia berterima kasih, Nyonya" Apakah dia ber"
teri"ma kasih" Sama sekali tidak! Yang dilakukannya, Nyonya,
justru meminta batu bara meskipun hanya setakaran sapu"
tangan, katanya! Batu bara! Apa yang akan dilakukannya dengan
batu bara" Memanggang kejunya dengan benda itu kemudian
kembali untuk minta lagi" Begitulah orang-orang itu, Nyonya.
Beri mereka sebungkus batu bara hari ini, dan mereka akan
datang untuk minta lagi lusa, senekat kancil."
Sang matron mengungkapkan persetujuan sepenuhnya ter"
hadap perumpamaan yang mudah dipahami ini. Dan, sang
sekre"taris desa pun melanjutkan.
"Aku tak pernah," kata Tuan Bumble, "melihat sesuatu yang
lebih mencengangkan daripada itu. Dua hari lalu, seorang le"
laki"Anda pernah menikah, Nyonya, dan aku bisa menying"
gungnya kepada Anda"seorang lelaki, yang hanya mengenakan
kain gombal di badannya (di sini Nyonya Corney memandangi
lantai), pergi ke pintu pengawas kita ketika beliau kedatangan
tamu untuk makan malam dan berkata bahwa dia harus diberi
santunan, Nyonya Corney. Karena dia tidak mau pergi, dan
mengguncangkan para tamu sedemikian rupa, pengawas kita
mengiriminya satu pon kentang dan setengah liter bubur gan"
dum. "Ya, ampun!" kata penjahat tak tahu terima kasih itu.
"Apa gunanya ini bagiku" Sekalian saja beri aku kacamata besi!"
"Baiklah!" kata pengawas kita, mengambil kembali barang-ba"
rang tersebut. "Kau takkan mendapatkan yang lain dari sini."
"Kalau begitu aku akan mati di jalanan!" kata pengemis itu. "Oh,
tidak, tidak akan," kata pengawas kita."
"Ha! ha! Itu bagus sekali! Benar-benar seperti Tuan Grannett,
ya?" sela sang matron. "Lalu, Tuan Bumble?"
"Ya, Nyonya," ujar sang sekretaris desa, "dia kemudian pergi,
dan dia akhirnya betul-betul mati di jalanan. Itulah yang nama"
nya orang papa keras kepala!"
"Benar-benar sulit dipercaya," komentar sang matron penuh
perasaan. "Tapi, tidakkah Anda berpendapat bahwa itu hal
CHARLES DICKENS ~233 buruk, Tuan Bumble, santunan yang diberikan kepada orangorang yang tak menghuni rumah sosial" Anda pria berpenga"
laman, dan pastinya tahu. Ayolah."
"Nyonya Corney," kata sang sekretaris desa, tersenyum layak"
nya pria yang menyadari bahwa dirinya memiliki informasi
superior, "santunan semacam itu, bila dikelola dengan baik,
Nyonya, adalah jaring pengaman desa. Prinsip utamanya adalah
memberi kaum papa sesuatu yang tak mereka inginkan sehingga
akhirnya mereka bosan datang minta bantuan."
"Ya, ampun!" seru Nyonya Corney. "Wah, itu bagus juga!"
"Ya. Antara kita saja, Nyonya," lanjut Tuan Bumble, "itu
memang prinsip yang hebat. Dan itulah alasannya, jika Anda
perhatikan kasus-kasus yang masuk koran-koran lancang itu,
keluarga yang sakit disantuni keju. Itulah aturannya sekarang,
Nyonya Corney, di seluruh negeri. Walau begitu," kata sang sekre"
taris desa, berhenti untuk membuka buntalannya, "ini rahasia
perusahaan, Nyonya, tidak boleh dibicarakan kecuali, jika bo"
leh saya katakan, di antara pegawai desa seperti kita. Ini anggur
merah, Nyonya, yang dipesan dewan untuk ruang kesehatan.
Anggur merah yang asli, segar, dan tulen. Baru keluar dari peti
siang tadi. Sejernih kaca dan tanpa endapan!"
Setelah menghadapkan botol pertama ke cahaya dan meng"
gun?"cangkannya baik-baik untuk menguji kualitasnya yang
ting?"gi, Tuan Bumble meletakkan kedua botol di atas lemari
berlaci. Dia lalu melipat saputangan yang digunakan untuk
membungkusnya dan menyimpan saputangan tersebut dengan
hati-hati di sakunya. Sang sekretaris desa mengangkat topinya,
seolah-olah hendak pergi.
"Anda harus berjalan di tengah hawa sangat dingin, Tuan
Bumble," kata sang matron.
"Anginnya sangat kencang, Nyonya," kata Tuan Bumble sam"
bil menegakkan kerah mantelnya, "cukup kencang untuk memo"
tong telinga seseorang."
Sang matron menengok, dari ketel kecil ke sang sekretaris
desa yang tengah bergerak menuju pintu. Dan, saat sang
234~ OLIVER TWIST sekretaris desa terbatuk, bersiap mengucapkan selamat malam
kepadanya, Nyonya Corney malu-malu bertanya apakah pria itu
berkenan minum secangkir teh.
Tuan Bumble seketika menurunkan kerahnya lagi, mele"
takkan topi dan tongkatnya ke kursi, dan mendekatkan kursi
lainnya ke meja. Saat duduk pelan-pelan, dia memandangi
wanita itu. Nyonya Corney melekatkan tatapannya pada poci
teh kecil. Tuan Bumble terbatuk lagi, dan tersenyum kecil.
Nyonya Corney bangkit untuk mengambil satu cangkir dan
pisin lagi dari lemari. Saat dia duduk, matanya sekali lagi mena"
tap sang sekretaris desa gagah berani itu. Dia merona, dan menyi"
bukkan diri dengan membuatkan teh untuk pria itu. Lagi-lagi,
Tuan Bumble terbatuk"lebih keras dibandingkan sebelumnya.
"Manis" Tuan Bumble?" tanya sang matron sambil mengang"
kat wadah gula. "Betul, manis sekali, Nyonya," jawab Tuan Bumble. Dia
menancapkan pandangan matanya kepada Nyonya Corney saat
dia mengatakan ini. Dan, jika seorang sekretaris desa pernah
terlihat lembut hati, Tuan Bumblelah sekretaris desa itu pada
saat seperti ini. Teh pun dibuat dan diserahkan dalam keheningan. Tuan
Bumble, setelah menghamparkan saputangannya di lutut un"
tuk mencegah remah-remah mengotori kemegahan celananya,
mulai makan dan minum. Dia menyelingi hiburan ini, sese"kali,
dengan cara menghela napas dalam-dalam yang tampaknya ti"
dak mengurangi selera makannya, tapi justru membantunya
menghabiskan teh serta roti panggangnya.
"Kulihat Anda punya kucing, Nyonya," kata Tuan Bumble,
melirik seekor kucing yang di tengah-tengah keluarganya, se"
dang menghangatkan diri di depan api, "dan anak kucing juga
rupanya!" "Aku sangat menyukai mereka, Tuan Bumble, bisa Anda
lihat," timpal sang matron. "Mereka begitu gembira, begitu
riang, dan begitu ceria sehingga mereka jadi teman yang cukup
menyenangkan bagiku."
CHARLES DICKENS ~235 "Hewan-hewan yang sangat manis, Nyonya," kata Tuan
Bumble setuju. "Hewan rumahan yang sangat manis."
"Oh, ya!" timpal sang matron antusias. "Begitu menyukai
rumah mereka pula, pasti cukup menyenangkan. Aku yakin."
"Nyonya Corney, Nyonya," kata Tuan Bumble pelan-pelan,
dan menandai waktu dengan sendok tehnya, "aku bermaksud
mengatakan ini, Nyonya " bahwa kucing atau anak kucing
yang berkesempatan tinggal dengan Anda, Nyonya, dan tidak
menyukai rumahnya, pastilah bodoh, Nyonya."
"Oh, Tuan Bumble!" protes Nyonya Corney.
"Tidak ada gunanya menyembunyikan fakta, Nyonya," kata
Tuan Bumble, pelan-pelan mengayunkan sendok tehnya dengan
kekhidmatan seorang pecinta yang membuatnya dua kali lipat
lebih mengesankan. "Aku bersedia menenggelamkannya sendiri,
dengan senang hati."
"Kalau begitu Anda pria kejam," kata sang matron berapiapi sambil mengulurkan tangan untuk mengambil cangkir sang
sekretaris desa, "dan selain itu juga pria yang sangat keras hati."
"Keras hati, Nyonya?" kata Tuan Bumble. "Keras?" Tuan
Bumble menyerahkan cangkirnya tanpa berkata-kata lagi, mere"
mas jari kelingking Nyonya Corney saat dia mengambilnya,
dan sembari menimpakan dua tamparan ke rompi berendanya,
mendesah dahsyat dan menarik kursinya menjauh dari perapian
sedikit saja.

Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meja tersebut bundar. Nyonya Corney serta Tuan Bumble
selama ini duduk berhadap-hadapan, tanpa ruang luas di antara
mereka. Dan, dari posisi duduknya yang menghadap perapian,
dapat dilihat bahwa Tuan Bumble, saat mundur dari perapian,
dan masih berada di balik meja, memperlebar jarak antara diri"
nya dan Nyonya Corney. Tindakan ini, mau tak mau pastilah
dikagumi oleh para pembaca yang arif, dan dapat dipandang
sebagai tindakan heroik hebat dari diri Tuan Bumble. Terbawa
waktu, tempat, dan suasana, dia rela mengucapkan hal-hal lem"
but, yang meskipun terdengar indah dari bibir orang-orang yang
santai dan kurang pikir, memang terasa merendahkan martabat
236~ OLIVER TWIST bagi hakim negeri ini, anggota parlemen, menteri negara, wali
kota, serta para fungsionaris publik lainnya, tapi terutama sekali
merendahkan keagungan serta keseriusan seorang sekretaris
desa, yang (kita ketahui dengan baik) merupakan paling tegas
dan paling kaku di antara mereka semua.
Walau demikian, apa pun niat Tuan Bumble (dan tak dira"
gukan lagi bahwa niatnya baik), kebetulan saja, seperti yang sudah
dikemukakan dua kali sebelumnya, meja itu bundar. Akibat
Tuan Bumble menggerakkan kursinya sedikit-sedikit, jarak di
antara dirinya dan sang matron segera saja makin berkurang.
Melanjutkan perjalanan memutar ke tepi luar lingkaran, Tuan
Bumble membawa kursinya, pada waktunya, ke dekat tempat
sang matron duduk. Akhirnya, dua kursi bersentuhan. Dan ketika ini terjadi,
Tuan Bumble berhenti. Nah, jika sang matron menggerakkan kursinya ke kanan,
dia pasti akan terbakar api; dan jika ke kiri, dia pasti jatuh ke
pelukan Tuan Bumble. Maka, (karena dia adalah matron yang
penuh kehati-hatian, dan tak diragukan lagi telah memprediksi
konsekuensi ini sekilas pandang) dia tetap berada di tempatnya
dan menyerahkan secangkir teh lagi kepada Tuan Bumble.
"Keras hati, Nyonya Corney?" kata Tuan Bumble, mengaduk
tehnya, dan memandang wajah sang matron. "Apakah Anda
keras hati, Nyonya Corney?"
"Ya, ampun!" seru sang matron. "Pertanyaan yang aneh sekali
dari seorang pria lajang. Untuk apa Anda ingin tahu tentang
aku, Tuan Bumble?" Sang sekretaris desa meminum tehnya sampai tetes terakhir,
menghabiskan roti panggang, menepis remah-remah roti dari
lututnya, mengusap bibirnya, dan dengan sengaja mencium
sang matron. "Tuan Bumble!" seru wanita yang penuh kehati-hatian itu
sambil berbisik sebab rasa takutnya sedemikian hebat, sampaisampai dia kehilangan suaranya. "Tuan Bumble, aku akan ber"
CHARLES DICKENS ~237 teriak!" Tuan Bumble tidak menjawab. Pelan-pelan dan dengan
sikap penuh martabat, dia melingkarkan lengannya ke pinggang
sang matron. Wanita tersebut menyatakan niatnya untuk berteriak"tentu
saja dia akan berteriak untuk merespons tindakan yang makin
berani ini. Namun, tindakan yang merepotkan itu tidaklah
perlu karena terdengar sebuah ketukan tergesa-gesa di pintu.
Begitu ketukan ini terdengar, Tuan Bumble serta-merta melesat
dengan kelincahan luar biasa, ke botol-botol anggur dan mulai
mengelapinya kuat-kuat, sedangkan sang matron dengan tajam
bertanya siapa yang ada di sana.
Pantas disinggung, sebagai sebuah contoh ragawi ganjil me"
nge"nai betapa efektifnya kejutan tiba-tiba dalam menangkal efek
rasa takut ekstrem, bahwa kegalakan resmi dalam suara wanita
itu telah pulih seperti sedia kala.
"Permisi, Nyonya," kata seorang perempuan papa tua kecil
keriput yang teramat buruk rupa sambil menyembulkan kepa"
lanya ke pintu. "Sally Tua sudah di ambang ajal."
"Yah, apa hubungannya itu denganku?" tuntut sang matron
dengan marah. "Aku tidak bisa membuatnya tetap hidup, kan?"
"Tidak, tidak, Nyonya," jawab wanita tua itu, "tak ada yang
bisa, dia sudah tak tertolong. Saya sudah melihat banyak orang
meninggal, dari bayi kecil sampai pria besar kuat, dan saya cu"
kup mengenal kapan maut akan datang. Tapi, pikirannya sedang
gelisah, selagi dia tidak kejang-kejang"dan itu tidak sering ter"
jadi, terutama karena dia sudah sekarat"dia bilang ada sesuatu
yang harus dikatakannya, yang harus Anda dengar. Dia takkan
meninggal dengan tenang sampai Anda datang, Nyonya."
Mendengar informasi ini, Nyonya Corney yang terhormat
menggumamkan beragam caci maki pada wanita tua yang bah"
kan tidak bisa mati tanpa secara sengaja mengganggu orangorang penting. Sambil membungkus dirinya dalam balutan
selendang tebal yang buru-buru diambilnya, dengan singkat
meminta Tuan Bumble agar tetap di sana sampai dia kembali,
238~ OLIVER TWIST kalau-kalau ada hal istimewa yang terjadi. Sambil menyuruh si
pembawa pesan berjalan cepat dan tidak terpincang-pincang
menaiki tangga semalaman, Nyonya Corney mengikuti wanita
tua itu dengan sikap sangat kesal, mengomel-omel sepanjang
jalan. Sikap Tuan Bumble saat ditinggalkan sendiri agak sulit
dijelaskan. Dia membuka lemari, menghitung sendok teh, me?"
nim?""bang-nimbang tang gula, dan memeriksa poci susu perak
untuk memastikan apakah bahan logamnya asli. Setelah me"
muaskan rasa penasarannya mengenai poin-poin ini, dia me"
makai topi tingginya dengan miring, dan menari-nari khidmat
empat kali mengelilingi meja.
Setelah menampilkan pertunjukan yang luar biasa ini, Tuan
Bumble melepas topi tingginya lagi dan berdiri sambil memung"
gungi perapian, tampaknya sedang menjalankan inventarisasi
lengkap perabot dalam benaknya.[]
Pengakuan Menjelang Ajal i pembawa pesan kematian, yang telah mengganggu ke"
tenangan kamar matron, adalah orang yang pas untuk
tugasnya. Badannya bungkuk dimakan usia, tangannya
gemetaran karena penyakit, wajahnya yang berkerut sehingga
membentuk seringai komat-kamit, lebih menyerupai torehan
liar pensil yang mengerikan daripada karya alam.
Demikianlah! Hanya sedikit wajah ciptaan alam yang dibi"
arkan begitu saja sehingga dapat menyenangkan kita dengan
kecantikannya! Kekhawatiran, duka, dan rasa mendamba akan
sesuatu di dunia ini, mengubah wajah tersebut selagi mereka
mengubah hati. Dan, baru ketika hasrat-hasrat itu tertidur
dan kehilangan pegangan mereka selamanya, awan kegelisahan
berlalu, serta meninggalkan permukaan langit dalam keadaan
jernih. Umum ditemui bahwa wajah orang mati, dalam kon"
disinya yang kaku dan tak berubah sekalipun, memunculkan
ekspresi yang sudah lama terlupakan, bagai balita yang sedang
tidur, dan menampakkan raut wajah sang pemilik di awal kehi"
dupannya: begitu damai, begitu tenteram, seperti anak yang
sedang tumbuh, sampai-sampai mereka yang mengenal si pe"
milik pada masa kanak-kanaknya yang bahagia jatuh berlutut
dengan takjub di sisi peti mati, dan menyaksikan malaikat di
muka bumi. 240~ OLIVER TWIST Sang wanita tua tertatih-tatih menyusuri lorong dan menaiki
tangga, menggumamkan jawaban tak jelas untuk omelan rekan
seperjalanannya. Akhirnya dia terpaksa berhenti untuk menarik
napas, lalu menyerahkan lampu ke tangan sang matron, dan
tetap berada di belakang untuk mengikuti sebisanya, sementara
sang atasan yang lebih gesit berjalan menuju ruangan tempat si
wanita yang sedang sekarat berbaring.
Ruangan itu adalah loteng kosong dengan lampu redup yang
menyala di ujung jauh. Ada seorang wanita tua lain di samping
tempat tidur dan apoteker desa magang yang berdiri di dekat
perapian, membuat tusuk gigi dari pena bulu.
"Malam yang dingin, Nyonya Corney," kata pria muda ini
saat sang matron masuk. "Memang, sangat dingin, Tuan," jawab sang nyonya dengan
nada bicaranya yang paling sopan, dan membungkuk hormat
selagi dia bicara. "Anda sebaiknya minta batu bara yang lebih baik dari kon"
traktor Anda," kata sang deputi apoteker, mematahkan bong"
kahan di puncak api dengan pengupak karatan. "Ini sama sekali
bukan batu bara yang cocok untuk malam yang dingin."
"Itu pilihan dewan, Tuan," balas sang matron. "Yang bisa
mere?"ka lakukan paling tidak adalah menjaga kami agar merasa
cu?"kup hangat, sebab tempat kami sudah cukup berat."
Di sini, percakapan ini diinterupsi oleh erangan dari si wanita
yang sakit. "Oh!" kata si pria muda, memalingkan wajah ke tempat tidur,
seolah-olah dia sebelumnya melupakan si pasien. "Sebentar lagi,
Nyonya Corney." "Begitukah, Tuan?" tanya sang matron.
"Jika dia bertahan dua jam saja, aku akan terkejut," kata sang
apo"teker magang, mencurahkan perhatian sungguh-sungguh ke
ujung tusuk gigi. "Semata-mata hancurnya sistem secara kese"
luruhan. Apa dia sedang tidur, Nyonya?"
CHARLES DICKENS ~241 Si penunggu membungkuk di atas tempat tidur untuk me"
mas"tikan, lalu mengangguk mengiyakan.
"Kalau begitu, barangkali dia akan berpulang seperti itu, jika
Anda tidak berisik," kata sang pria muda. "Letakkan lampu di
lantai. Dia takkan melihatnya di sana."
Si penunggu melakukan sesuai yang diperintahkan sambil
menggeleng-gelengkan kepala, untuk menegaskan bahwa wani"
ta itu takkan meninggal semudah itu. Setelah meletakkan lampu
di lantai, dia kembali duduk di samping perawat satunya lagi,
yang pada saat ini sudah kembali. Sang nyonya, dengan ekspresi
tak sabaran, membungkus diri dalam selendangnya, lalu duduk
di ujung tempat tidur. Sang apoteker magang, setelah menyelesaikan pembuatan
tusuk gigi, menempatkan diri di depan perapian, dan meng"
hangatkan diri selama kira-kira sepuluh menit. Ketika sudah
agak bosan, dia mengucapkan selamat tinggal kepada Nyonya
Corney dan mendoakan agar pekerjaannya menyenangkan, lalu
berjingkat-jingkat pergi.
Ketika mereka duduk dalam keheningan selama beberapa
waktu, kedua wanita tua bangkit dari tempat tidur, dan sambil
berjongkok di depan perapian, menjulurkan tangan kecil keriput
mereka untuk menangkap kehangatan. Api melemparkan caha"
ya menyeramkan ke muka mereka yang keriput, dan membuat
wajah buruk rupa mereka tampak mengerikan. Mereka mulai
berbincang-bincang dengan suara pelan.
"Apa dia mengatakan sesuatu lagi selagi aku pergi, Anny
Sayang?" tanya si pembawa pesan.
"Tak sepatah kata pun," jawab wanita yang satu lagi. "Dia
mencubiti dan menggaruki lengannya sebentar. Tapi setelah
ku"pegangi tangannya, dia segera saja terkulai. Dia tak punya
ba"nyak kekuatan dalam dirinya, jadi aku dengan mudah mene"
Si Kumbang Merah 17 Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Boulevard Revenge 3
^