The Last Secret 1

The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman Bagian 1


P roLog K uiL s uci , Y erusaLem a gusTus 70 m SeJUmLAh KePALA BeTeRBANGAN DI ATAS DINDING KUIL DIIRINGI DeSISAN,
berlusin-lusin banyaknya, seperti sekumpulan burung yang kaku.
mata mereka terbuka, mulut menganga, sulur mereka terkibas
kasar memberati leher. Sebagian mereka turun ke Lapangan
Perempuan, bergedebuk di atas batu ubin hitam dengan suara laksana drum tak berirama, menyebabkan orang-orang tua dan anakanak berhamburan lari ketakutan. Yang lain terus terbang melewati
Gerbang Nicanor masuk ke dalam Lapangan Israel, lalu mendarat
bagai hujan deras ke sekitar Altar holocaust yang agung. Beberapa
kepala terus terbang melintasi dinding dan atap mishkan itu
sendiri, tempat paling suci di pusat kompleks Kuil, yang tampak
merintih dan bergema di bawah serangan, seakan sakit secara fisik.
"Keparat!" umpat seorang anak, dengan air mata ketakutan di
bola matanya yang sebiru safir. "Romawi kotor sialan!"
Dari titik yang menguntungkan di dalam benteng Kuil ia
menatap sekumpulan legiun yang menyemut berjalan di bawahnya, dengan senjata dan bedil yang menyala dalam rentetan
tembakan penuh amarah. Tangisan mereka memecah kesunyian
malam, bercampur desingan mangonel, hantaman genderang,
jeritan orang-orang yang hampir mati, dan"mengalahkan suara
lain"dentuman ritmis dan teratur, sehingga bagi bocah laki-laki itu
~1~ PAUL SUSSMAN seluruh bumi seperti sedang membelah secara perlahan.
"Tuhan, berbaiklah terhadapku," bisiknya, mengutip kitab
mazmur. "Aku sungguh tertekan; mataku perih akibat kepedihan,
juga jiwa dan tubuhku."
Selama enam bulan serangan itu mengepung ketat kota, serasa
mencekik dan mencabut kehidupan darinya. Dari posisi awal
mereka di Gunung Scopus dan Gunung olive, legiun Romawi,
empat di antaranya dipenuhi ribuan pasukan asing, telah merangsek masuk, menerobos setiap garis pertahanan, memaksa
orang-orang Yahudi mundur dan melesak masuk ke pusat kota.
Yang tewas sudah tak terhitung banyaknya, ditumpas saat mereka
mencoba melawan para penyerang, atau tersalib di sepanjang
dinding kota serta di seluruh Lembah Kidron, tempat sekumpulan
burung hering ramai berkumpul hingga menutup sinar matahari.
Bau kematian terasa di mana-mana, bau yang menusuk dan
korosif, yang menyusup ke lubang hidung bagai api.
Sembilan hari lalu, Benteng Antonia runtuh; enam hari setelah
itu halaman luar dan barisan tiang di kompleks Kuil. Kini yang tertinggal hanyalah Kuil Dalam yang terbentengi, dengan populasi
kota yang pernah membanggakan berdesakan bagai ikan di dalam
gentong, merintih, kelaparan, turun derajat dengan memakan tikus
dan kulit, dan meminum air kencingnya sendiri. Begitu sengsaranya
mereka. mereka tetap melawan, dengan penuh kepanikan, tanpa
harapan, menghujani batu dan kayu yang dibakar ke arah penyerang, kadang-kadang menyerang dengan tiba-tiba sehingga membuat mundur tentara Romawi dari lapangan luar, hanya untuk
menarik mereka kembali, dengan kekalahan telak. Dua kakak
bocah laki-laki itu telah tewas pada serangan terakhir, gugur saat
mereka mencoba menumbangkan mesin penyerang Romawi. Yang
dia tahu, potongan kepala keduanya ada di antara mereka yang
kini kembali melewati dinding masuk ke dalam Kuil.
"Vivat Titus! Vincent Roma! Vivat Titus!"
Suara pasukan Romawi membahana dalam gelombang suara
yang menyeruak, mengelu-elukan nama jenderal mereka, Titus,
~2~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
putra Kaisar Vespasian. Di sepanjang arena perang, para pejuang
yang bertahan mencoba melakukan balasan dengan juga mengelukan nama pemimpin mereka, John dari Gischala dan Simon BarGiora. Jeritan itu melemah karena mulut mereka mengering. Paruparu mereka melemah, dan terasa sulit sekali mengumpulkan
semangat untuk laki-laki yang, menurut rumor, telah membuat
kesepakatan dengan Romawi mengenai kehidupan mereka.
mereka tetap seperti itu selama setengah menit hingga perlahan
suara mereka pun semakin menghilang.
Bocah laki-laki itu mengeluarkan batu kerikil dari saku tuniknya
dan mulai mengisapnya, mencoba melupakan betapa haus dirinya.
David nama bocah itu, putra Judah, si pembuat minuman anggur.
Sebelum pemberontakan besar terjadi, keluarganya mengelola
ladang anggur di teras bukit di luar kota Betlehem. Anggur merah
delimanya menghasilkan minuman anggur paling manis yang pernah kau cicipi, seperti sinar matahari di pagi hari musim semi, bagai
angin sepoi lembut yang menerobos keteduhan pohon asam. Di
musim panas, bocah laki-laki ini membantu memanen dan menginjak-injak buah anggur, tertawa karena merasakan buah yang hancur di kakinya dan bagaimana jus itu membuat kakinya berwarna
merah darah. Kini tempat pembuatan anggur itu telah dihancurkan, kebun anggur dibakar, keluarganya tewas, semuanya. Ia sebatang kara di dunia ini. Dua belas tahun usianya, dan telah memikul kesedihan mendalam yang seharusnya ditanggung seorang
manusia berumur lima kali usianya.
"mereka datang lagi! Bersiap! Bersiap!"
Di sepanjang benteng, jeritan dan tangisan memecah kembali
ketika gelombang baru pasukan asing Romawi menghambur ke
dinding Kuil, dengan tangga pemanjat di atas kepala mereka,
sehingga dalam bayangan nyala letusan senjata, mereka terlihat
seperti lusinan kelabang raksasa berlari tergesa-gesa melintasi
lapangan. hujan bebatuan menimpa mereka, menyebabkan keragu-raguan beberapa saat sebelum penyapuan kembali dilanjutkan. mereka mencapai dinding dan menegakkan tangga, masingmasing ditegakkan oleh dua laki-laki di tanah, sementara selusin
~3~ PAUL SUSSMAN lebih menggunakan tiang untuk menyembulkannya menghadap
arena peperangan. Sekumpulan serdadu mulai campur aduk dengan mereka, berduyun-duyun di sisi Kuil seperti gelombang tinta
hitam. Bocah laki-laki itu mengeluarkan sebuah batu yang tadi diisapnya dan meraup batu dari kakinya, menyimpannya dalam tas
selempang kulitnya lalu berjalan mengendap-endap ke benteng,
mencari target yang pas, lupa akan serangan anak panah yang
berdesing dari bawah. Di sisinya ada seorang perempuan, satu dari
sekian banyak yang mempertahankan dinding, tersungkur,
dadanya terburai oleh pilum berkepala seruit. Darah mengalir dari
tangannya. Bocah laki-laki itu mengabaikannya dan terus mengamati pangkat para musuh di bawah. Akhirnya, matanya menangkap pemimpin Romawi yang tengah memegang perisai,
Apollinaris, Legiun Kelimabelas. Ia menggeretakkan giginya dan
mulai mengayun tali di atas kepalanya, dengan mata tertuju tajam
pada sasarannya. Putaran pertama, kedua, ketiga.
Tiba-tiba lengannya ditangkap dari belakang. Ia menoleh dan
menendang dengan kakinya.
"David! Ini aku! eleazar. eleazar si pengrajin emas!"
Seorang pria berjanggut tinggi besar berdiri di belakangnya,
dengan palu besi terselip di ikat pinggangnya dan kepalanya diikat
perban. Bocah laki-laki ini berhenti meronta.
"eleazar! Aku kira kau...."
"orang Romawi?" Laki-laki itu tertawa, melepaskan tangannya
dari sang bocah. "Aku tidak sebau itu, "kan?"
"Aku baru saja mau menghajar pemimpinnya," kata si bocah
mengingatkan. "Tembakan yang mudah sebenarnya. mestinya aku
sudah menghajar tengkorak bedebah itu."
Kembali laki-laki itu tertawa, kali ini lebih hangat. "Aku yakin
kau pasti bisa. Setiap orang tahu David Bar-Judah adalah penembak katapel terbaik di daratan ini. Tetapi, ada banyak hal yang
lebih penting lagi sekarang."
Ia menatap sekeliling, kemudian merendahkan suaranya.
~4~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
"matthias memanggilmu."
"matthias!" mata bocah laki-laki itu membesar. "orang yang...."
Laki-laki itu menyekap mulut si bocah, dan melihat ke sekeliling. "Jangan keras-keras!" bisiknya. "Ada banyak hal di sini yang
rahasia. Simon dan John pasti tidak akan senang kalau tahu ini
dilakukan tanpa sepengetahuan mereka."
mata bocah laki-laki itu berkedip-kedip bingung, tak dapat
memastikan apa yang sedang dibicarakan laki-laki di hadapannya.
Laki-laki pengrajin emas ini tidak berusaha menjelaskan, hanya
menunduk untuk memastikan kata-katanya didengar. Ia kemudian
melepaskan tangannya dari mulut bocah itu, memegang lengannya, membawanya berjalan di bagian atas menara dan menuruni
tangga yang sempit ke dalam Lapangan Perempuan. Lantai batu
yang mereka injak bergetar ketika pasukan Romawi menghujani
serangan yang mengenai pintu Kuil dengan kekuatan baru.
"Cepat," katanya. "Dinding ini tidak akan tahan lebih lama
lagi." mereka bergegas melintasi lapangan, menghindari kepala yang
berserakan di lantai batu, dengan anak panah berjatuhan di sekeliling mereka. Pada sisi yang lain, mereka menaiki lima belas anak
tangga menuju gerbang Nicanor dan melintasi ruang terbuka
kedua, tempat sekelompok kohenim sedang khusuk melaksanakan
upacara pengorbanan di depan Altar holocaust. Jubah mereka
tepercik noda hitam jelaga. Rintihan mereka menyuarakan semua
hal kecuali menghilangkan kekejaman perang.
oh Tuhan, engkau telah menolak kami, memecah
pertahanan kami; Kau telah marah; oh, pulihkanlah kami! Kau telah membuat tanah ini berguncang
Kau telah menghancurkannya,
Perbaiki kerusakannya, karena ia kini bergetar!
~5~ PAUL SUSSMAN mereka melintasi lapangan dan menaiki dua belas anak tangga
menuju serambi mishkan. Bagian depannya yang besar berdiri di
belakang mereka seperti tebing dengan tinggi seratus depa dan
tanaman merambat terbuat dari emas murni menempel di dindingnya dengan sangat menakjubkan. Di sini eleazar berhenti, menoleh
ke arah bocah itu dan berjongkok sehingga mata keduanya sama
tinggi. "Ini tempat terjauh yang bisa kucapai. hanya kohenim dan
Pendeta Agung yang dapat melalui tempat suci ini."
"Dan aku?" Suara bocah itu tak beraturan.
"Kau diizinkan. Pada saat ini, dalam keadaan luar biasa ini.
matthias telah mengatakannya. Tuhan akan mengerti." Ia meletakkan tangannya pada bahu si bocah dan mengusapnya. "Tak perlu
takut, David. hatimu murni. Kau tidak akan menemui bahaya."
Ia menatap mata bocah laki-laki tersebut, dan kemudian berdiri
membawanya menuju pintu besar, dengan pilar kembar perak
serta kain tirai berbordir terbuat dari sutra merah, biru dan ungu.
"Pergilah sekarang. Semoga Tuhan menyertaimu,"
Bocah laki-laki itu balik menatap eleazar, sosok besar yang
membayang dengan latar langit membara, lantas menoleh dan,
dengan menyingkap tirai, melewati aula berpilar panjang berlantai
marmer mengkilap serta langit-langit tinggi hingga seakan hilang
dalam bayangan. Dingin sekali di sini, sunyi, dengan penawar
racun yang harum tercium di udara. Perang sepertinya mereda dan
menghilang, serasa hanya terjadi di dunia lain.
"Shema Yisrael, adonai elohenu, adonai ehud," bisiknya.
"Dengar, oh Israel, Ia adalah Tuhan kita, Tuhan yang satu!"
Ia berhenti sejenak, terkagum-kagum. Kemudian, perlahan ia
mulai melangkah menuju sisi terjauh aula, dengan langkah kaki
yang hampir tak bersuara pada marmer putih itu. Di depannya
berdiri benda sakral Kuil"meja saji, altar emas untuk dupa, menorah bercabang tujuh yang agung"di atasnya tersampir kerudung
sutra berkilau dan menerawang, pintu masuk menuju debir, yang
Suci dari semua yang Suci, yang tak seorang pun manusia dapat
~6~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
masuk ke dalamnya kecuali Pendeta Agung sendiri. Dan ia pun
hanya sekali, pada hari Penebusan Dosa.
"Selamat datang, David," terdengar sebuah suara. "Aku telah
menunggumu." matthias, si Pendeta Agung, melangkah dari bayangan ke sisi
kiri bocah itu. Ia mengenakan jubah berwarna biru langit, diikat
dengan apron merah dan emas, mahkota tipis di kepalanya, serta
pada dadanya ada ephod, lencana sakral, dengan dua belas batu
mulia, masing-masing mewakili setiap suku bangsa Israel. Wajahnya penuh keriput, dengan janggut putih.
"Akhirnya kita bertemu, putra Judah," katanya lembut, mendatangi bocah itu dan menatapnya. Gerakannya dibarengi suara
gemerincing lembut lusinan lonceng kecil yang dijahit pada jubahnya. "eleazar, si pengrajin emas telah bercerita banyak tentangmu.
Dari semua yang mempertahankan beberapa tempat Suci, katanya,
engkaulah yang paling berani. Dan yang paling layak dipercaya.
Seperti David dari masa lalu datang kembali. Itulah yang
dikatakannya." Ia menatap bocah laki-laki itu, kemudian menggamit tangannya, membawanya berjalan ke ujung aula dan berhenti di depan
menorah emas, dengan cabangnya yang melengkung dan
tangkainya penuh hiasan rumit, yang seluruhnya berasal dari balok
tunggal emas murni ke bentuk yang dibuat oleh yang mahakuasa
itu sendiri. Bocah itu mendongak ke atas melihat lampu yang
berkedip. matanya berkilat bagai air berkilau terkena sinar matahari, takjub.
"Indah sekali, "kan?" kata si orang tua sambil memerhatikan
kekaguman yang tampak di wajah si bocah, dan merangkul
pundaknya. "Tak ada satu pun benda di muka bumi yang lebih suci
bagi kita, tak ada yang lebih bernilai bagi kita, karena sinar
menorah Suci adalah sinar dari Tuhan sendiri. Bila saja ia hilang
dari kita...." Ia mendesah dan mengangkat tangannya, menyentuhkannya
ke lencana yang tersemat di dadanya.
~7~ PAUL SUSSMAN "eleazar orang yang baik," tambahnya, seolah sebuah renungan. "Bezalel kedua."
Untuk beberapa lama mereka berdiri dalam diam, merenungi
tempat lilin agung yang pancaran sinarnya terasa di seputar mereka. Kemudian, dengan anggukan, Pendeta Agung membalikkan
badan sehingga ia kini berhadapan langsung dengan bocah laki-laki
itu. "hari ini Tuhan telah memutuskan bahwa Kuil Suci-Nya akan
runtuh," katanya perlahan, "sama seperti yang pernah terjadi
sebelumnya, pada awal hari ini, Tish B"Av, lebih dari 600 tahun
lalu, ketika Istana Sulaiman diserbu orang-orang Babilonia. Batu
suci akan hancur menjadi debu, atapnya hancur, orang-orang kita
dibawa ke pembuangan dan tercerai-berai ke arah empat penjuru
mata angin." Ia memundurkan badannya sedikit, menatap dalam ke arah
mata bocah laki-laki di depannya.
"Ada satu harapan yang kita punya, David. hanya satu. Sebuah
rahasia, rahasia besar, yang hanya diketahui oleh sedikit dari kita.
Sekarang, pada masa ini, kau juga harus mengetahuinya."
Ia membungkukkan badan ke arah bocah laki-laki itu, merendahkan suaranya dan berbicara cepat, seolah khawatir akan terdengar orang lain, walaupun hanya ada mereka berdua di ruangan
itu. mata bocah laki-laki itu melebar saat mendengarkan, tatapannya beralih dari lantai ke menorah dan kembali ke lantai lagi,
bahunya gemetar. Begitu pendeta itu selesai berkata, ia meluruskan
badannya dan melangkah mundur.
"Lihat," katanya, dengan senyum tipis tersungging pada sudut
bibirnya yang pucat, "bahkan dalam kekalahan tetap akan ada
kemenangan. Bahkan dalam kegelapan pun tetap ada cahaya."
Bocah laki-laki itu tidak berkata apa-apa. Wajahnya kusut, terperangkap antara kekaguman dan ketidakpercayaan. Pendeta itu
meraihnya dan mengusap-usap rambutnya.
"Ia telah pergi dari kota ini, menjauh dari pagar Romawi.
Sekarang, ia harus meninggalkan tanah ini semua, karena kehancur~8~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
an kita sudah dekat dan keselamatannya tidak terjamin lagi. Semua
sudah diatur. Satu hal yang tetap dan itulah yang disebut penjaga,
yang akan menyampaikan benda ini ke tujuan terakhirnya, dan
menunggu di sana sampai waktu yang lebih baik datang. Untuk
tugas inilah kau telah ditunjuk, David putra Judah. Kalau saja kau
mau menerimanya. Akankah kau menerima tugas ini?"
Bocah laki-laki itu merasa tatapannya ditarik ke arah pendeta
itu, seolah ditarik oleh tali tak kasat mata. mata orang tua itu abuabu, dengan hipnotis tembus cahaya yang aneh di baliknya seperti awan mengapung di langit luas yang jernih. Ia merasakan sesuatu
yang berat dalam dirinya, sekaligus ringan, serasa ia sedang terbang.
"Apa yang harus kulakukan?" tanyanya dengan suara parau.
orang tua itu menatapnya, matanya bergerak menyapu seluruh wajah si bocah, memindai semua fitur yang ada seolah wajah
tersebut adalah kata-kata dalam sebuah buku. Dengan anggukan,
ia merogoh jubahnya lalu mengeluarkan kertas perkamen kecil dan
memberikannya pada si bocah.


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benda ini akan membimbingmu," katanya. "Lakukanlah seperti yang dikatakannya, dan segalanya akan berjalan dengan baik."
Ia menyentuh wajah bocah itu dengan kedua tangannya.
"hanya engkaulah kini yang menjadi harapan kami, David putra
Judah. hanya denganmu saja api akan membakar. Jangan katakan
rahasia ini pada siapa pun. Jaga ini sepanjang hidupmu. Sampaikan
dan teruskan ini pada anakmu, anak dari anakmu, keturunanmu
selanjutnya, hingga tiba waktu untuk membukanya."
Si bocah menatapnya. "Tapi kapan, guru?" bisiknya. "Bagaimana aku akan mengetahui waktunya telah tiba?"
Pendeta membalas tatapan si bocah untuk beberapa saat,
berdiri tegak dan kembali ke menorah, menatap kerlip lampu,
matanya perlahan tertutup seakan ia memasuki alam bawah sadar.
Keheningan di sekitar mereka semakin senyap dan menghanyutkan; batu permata pada lencananya seakan terbakar oleh cahaya
dari dalam dirinya. ~9~ PAUL SUSSMAN "Ada tiga tanda untuk membimbingmu," katanya lembut.
Suaranya tiba-tiba terasa jauh, seolah ia bicara dari sebuah
ketinggian. "Pertama, yang termuda dari dua belas akan tiba dan
di tangannya ada elang; kedua, putra Ismail dan putra Ishak akan
bersama sebagai teman dalam Rumah Tuhan; ketiga, singa dan
gembala akan menjadi satu, dan di sekitar lehernya ada lampu.
Pada saat ketiga hal ini tiba, itulah saatnya."
Di depan mereka, selubung yang menyelimuti yang Suci dari
semua yang Suci tampak sedikit menggelembung, dan si bocah
merasakan angin sepoi dan lembut menerpa wajahnya. Suara aneh
terasa menggema di telinganya. Kulitnya terasa gatal. Ada bau
aneh, menyengat dan pengap, seperti Waktu itu sendiri, seandainya Waktu digambarkan memiliki bau. hal ini hanya berlangsung
sesaat, dan tiba-tiba, secara mengejutkan, terdengar suara ledakan
dahsyat sekaligus benturan dari luar, diikuti jeritan ribuan suara
dalam ketakutan dan keputusasaan. mata pendeta itu bergerakgerak, terbuka.
"Sudah selesai," katanya. "Ulangi tanda-tanda yang tadi kuucapkan."
Si bocah mengulanginya lagi dengan kata-kata tak beraturan. Si
orang tua memintanya mengulang kembali, lagi dan lagi sampai ia
mengucapkannya dengan sempurna. Suara pertempuran kini
menyeruak ke dalam tempat suci bagai air bah"jeritan kesakitan,
gemerincing senjata, suara benturan reruntuhan. matthias tergesagesa melintasi lapangan, melihat pintu masuk, kemudian kembali
lagi dengan tergesa-gesa.
"mereka sudah melewati Gerbang Nicanor!" pekiknya. "Kau
tidak bisa kembali lewat situ. Ayo, bantu aku!"
Dengan melangkah maju, si orang tua meraih tangkai menorah
dan mulai menarik serta mendorongnya di lantai. Si bocah membantunya, lalu bersama-sama mereka memindahkannya satu meter
ke sisi kiri, melepaskan sekeping marmer persegi dengan dua
pegangan yang tertanam di dalamnya. Pendeta itu memegang
pegangan tersebut, mengggeser kepingan marmer hingga memper~ 10 ~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
lihatkan ruang seperti gua gelap yang di dalamnya ada tangga batu
sempit melingkar turun menuju kegelapan.
"Kuil ini memiliki banyak jalan rahasia," katanya, sembari
menggamit lengan si bocah dan membawanya ke mulut lubang,
"dan inilah yang paling rahasia di antara semuanya. Turunlah, lalu
ikuti lorong itu. Jangan berbelok ke kiri ataupun ke kanan. Ini akan
membawamu jauh ke luar kota, arah selatan, melampaui pagar
Romawi." "Bagaimana dengan...."
"Tak ada waktu lagi! Pergilah! Kau kini menjadi tumpuan
harapan kami. Aku namai engkau Shomer ha-or. Gunakan nama
ini. Jaga dia. Temukan kebanggaan di dalamnya. Teruskan pada
keturunanmu. Tuhan akan menjagamu. Dan juga memutuskan
untukmu." Ia menyorongkan tubuhnya ke depan, mencium kedua pipi
bocah laki-laki itu, kemudian dengan meletakkan tangannya pada
kepala si bocah, mendorongnya turun. Ia mendorong kepingan
marmer itu kembali menutupi lubang dan meraih menorah,
menggesernya pada lantai, menimbulkan bunyi nyaring. Ia hanya
memiliki waktu untuk mengembalikannya ke posisi semula hingga
terdengar pekikan dari ujung aula, dan bunyi ujung pedang yang
beradu. eleazar si pengrajin emas mundur melalui pintu masuk,
dengan satu lengannya tergantung lemas di sisinya, ujungnya
berdarah, tangannya yang lain menggenggam palunya yang ia
ayun secara membabi buta pada barisan legiun yang datang
mengejarnya. Untuk sesaat ia berusaha menahan mereka pada
tempatnya. Lantas, dengan suara keras menggema, mereka melesak. Ia kewalahan, lalu mundur dan tersungkur di lantai tempat
anggota tubuhnya tertumpas serta badannya terinjak-injak.
"Yahweh!" teriaknya. "Yahweh!"
Pendeta Agung memerhatikannya, wajahnya tanpa ekspresi
dan kemudian berbalik pergi, membawa segenggam dupa dan meletakkannya pada wadah di meja altar emas. Uap harum membubung di udara. Di belakangnya ia dapat mendengar orang
~ 11 ~ PAUL SUSSMAN Romawi mendekat, sepatu mereka yang bersol besar berderap di
lantai, bunyi senjata mereka menggema di sekitar dinding.
"Tuhan telah menjadi seperti musuh," bisiknya, mengulang
kata-kata dari Nabi Jeremiah. "Ia telah merusak Israel; Ia telah
merusak istananya, kekuatannya runtuh!"
Para tentara Romawi kini berada tepat di belakangnya. Ia
pejamkan matanya. Terdengar suara tawa, dan desingan lembut
suara pedang beradu di udara. Untuk sesaat Waktu seakan diam
terpaku; kemudian pedang diturunkan, terhunus di antara bahu
Pendeta Agung dan ke seluruh tubuhnya. Ia pun doyong ke depan
lalu jatuh berlutut. "Di Babilonia, biarkan segalanya istirahat!" ia terbatuk, gelembung darah keluar dari sudut bibirnya. "Di Babilonia, di rumah
Abner." Dan dengannya ia tertelungkup di kaki menorah Agung, mati.
Para legiun menyepak mayatnya, memanggul harta benda Kuil di
atas bahu mereka dan membawanya dari tempat suci.
"Vicerunt Romawi! Victi ludaei! Vivat Titus!" teriak mereka.
"Roma telah berhasil menaklukkan! Bangsa Yahudi dikalahkan.
hidup Titus!" J erman seLaTan , D esember 1944 YITzhAK eDeLSTeIN meRASAKAN KeLeLAhAN DI SeKUJUR TUBUhNYA DAN
meniup tangannya yang sudah menjadi ungu karena dingin.
Sembari menyondongkan tubuhnya ke depan, ia mencoba
memerhatikan bagian belakang truk yang ditumpanginya. Namun
yang bisa dilihatnya hanya sedikit di bawah kain kanvas penutup
paling bawah, selain aspal jalan, batang pohon dan bagian
belakang truk. Ia menoleh lalu menekankan wajahnya pada bagian
yang robek di tepi kanvas, memandang sekilas pada dataran yang
~ 12 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
tinggi dan tertutup pepohonan, putih tertutup salju, sebelum
pucuk senapan menghantam tumitnya.
"menghadap ke muka. Duduk diam!"
Ia meluruskan tubuhnya dan memandang kakinya, tanpa kaus
kaki, masuk ke dalam sepatu bootnya, sekadar melindunginya dari
udara musim dingin yang membekukan. Di sebelahnya, seorang
rabbi mulai terbatuk lagi, tubuhnya bergetar seakan seseorang
menggoyangnya. Yitzhak meraih tangan orang tua itu dan menggenggam di antara tangannya, mencoba membagi kehangatan.
"Lepaskan!" bentak penjaga.
"Tapi dia...." "Kau tuli ya" Aku bilang, lepaskan!"
Ia mengarahkan senjatanya pada Yitzhak. orang tua itu buruburu menarik tangannya.
"Jangan khawatirkan aku, sobat muda. Kami para rabbi jauh
lebih tangguh dari yang kalian bayangkan."
Ia tersenyum lemah dan kembali sunyi, mata ke arah lantai,
sembari menggigil, berayun ke sana-sini karena truk berbelok kian
kemari. Semuanya ada enam orang, tidak termasuk dua penjaga:
empat orang Yahudi, satu orang homoseksual, dan satu lagi seorang komunis. mereka digiring dari tenda dan masuk ke dalam
truk di pagi buta. Sejak itu mereka telah dibawa berkeliling, timur
dan selatan, pikir Yitzhak, walaupun ia tidak pasti. Awalnya tanahnya datar dan basah, berjalan lurus. Namun, selama empat jam
terakhir, mereka telah jalan ke depan terus, padang rumput dan
hutan secara bertahap beralih menjadi putih tertutup salju. Ada
truk lain di belakang truk mereka, dengan satu sopir dan satu
orang lain di dalamnya. Tidak ada tawanan di kabin belakang,
sejauh perkiraan Yitzhak.
Ia mengusap-usapkan tangannya pada kepalanya yang tercukur"bahkan setelah empat tahun ia masih belum terbiasa dengan hal itu"lalu mengepitkan tangan pada paha dan mengerutkan bahunya, mencoba membiarkan pikirannya mengalir, me~ 13 ~
PAUL SUSSMAN lawan dingin dan lapar dengan pikiran tentang masa-masa yang
lebih hangat dan lebih baik. makan malam keluarga di rumah
mereka di Dresden; mishnah yang belajar di yeshiva tua; kegembiraan pada hari-hari Suci, khususnya hanukkah, festival
cahaya, perayaan yang paling disukainya. Dan tentu saja Rivka, si
cantik Rivka, adik perempuannya. "Yitzy, schmitzy, itzy, bitzy!" ia
biasa menyanyikan dan mengibaskan pe"ot-nya, dan menarik
ujung tali tallit katan-nya. "Yitzy, witzy, mitzy, ditzy!" Betapa
lucunya ia dengan rambut hitamnya dan matanya yang berbinar!
Betapa ia usil dan badung! "Kalian semua babi!" teriaknya ketika
mereka menarik sang ayah ke jalan dan memotong rambut pinggirnya yang keriting. "Kalian babi kotor, jorok!" Karena itulah
mereka menarik rambut gadis belia itu, menghempaskannya ke
dinding dan menembaknya. Tiga belas tahun usianya dan sangat cantik. Rivka yang malang.
Rivka kecil yang malang. Truk menabrak bekas roda dan melonjak keras, membawanya
kembali ke masa sekarang. Dengan memandang jauh ke belakang,
ia melihat bahwa mereka telah melewati pedesaan yang besar. Ia
menjulurkan kepalanya dan, melalui robekan pada kain kanvas,
melihat tanda penunjuk jalan di tepi jalan: "Berchtersgaden". Nama
yang terdengar tidak asing, walau ia tidak dapat mengenalinya.
"menghadap ke depan!" bentak si penjaga, geram. "Tidak
akan kuulangi lagi."
mereka berkendara selama 30 menit lagi. Jalan semakin
menanjak, tikungan semakin runcing, sampai akhirnya terdengar
klakson tajam dari truk di belakangnya, dan mereka pun berhenti.
"Keluar!" perintah para penjaga, menohok mereka dengan
ujung senapan. mereka berebut turun dari truk, gelembung udara keluar dari
mulut mereka. mereka berada di tengah-tengah hutan pinus yang
lebat, berhenti di sisi bangunan batu tua dengan jendela kosong
dan atap berlubang. Jauh di bawah sana, di antara cabang-cabang
yang tertutup salju, terlihat bidang tanah dengan padang rumput
~ 14 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
hijau, dengan beberapa rumah di sekitarnya, kecil bagai mainan,
gulungan asap keluar dari cerobongnya. Di atas, lereng yang lebat
dengan pepohonan semakin menanjak, menghilang di balik kabut
dan awan, dan kegelapan di dalamnya menunjukkan adanya pegunungan yang tinggi. Sangat tenang, sangat, sangat dingin. Yitzhak
mengentak-entakkan kakinya agar tidak kebas.
Truk kedua berhenti di belakang truk mereka. Sembari menjulur
dari jendela, seorang laki-laki di kursi penumpang, yang mengenakan mantel kulit berkerah tinggi dan sepertinya yang bertanggung jawab penuh, mengatakan sesuatu kepada salah seorang
penjaga seraya memberi tanda dengan tangannya.
"Baik," teriak penjaga. "Kemari semua!"
mereka digiring ke belakang truk kedua. Tirai kanvas terkibas
ke atas, memperlihatkan peti kayu yang besar.
"Keluar! Ayo cepat!"
Yitzhak dan si komunis, seorang pria setengah baya yang kurus
dengan segitiga merah terjahit pada celananya"Yitzhak mengenakan segi tiga kuning berimpitan untuk menunjukkan bahwa ia
seorang Yahudi"memanjat truk dan memegang sisi-sisi peti. Peti
itu sangat berat hingga perlu mengerahkan keduanya hanya untuk
menggeser ke lantai metal dan membuatnya sejajar dengan ujung
lantai truk. Yang lain kemudian menyangga dan perlahan
memindahkan benda itu ke jalan bersalju.
"Tidak, tidak, tidak!" teriak laki-laki yang mengenakan mantel,
melongok dari jendela mobil. "mereka membawanya. Ke sana." Ia
menunjuk pada bekas reruntuhan bangunan, yang kepadanya
sebuah jalur sempit tertutup salju baru memanjang hingga ke
pepohonan di atas, rupanya sejenis jalan kecil atau rute. "Dan
pastikan mereka hati-hati mengangkatnya!"
Para tawanan saling berpandangan, dengan sangat pelan mengomunikasikan ketakutan dan kelelahan mereka, kemudian membungkuk dan perlahan mengangkat peti itu lagi, satu orang pada
masing-masing sudut, dua orang di bagian tengah, sembari menggerutu.
~ 15 ~ PAUL SUSSMAN "Ini akan menjadi malapetaka," gerutu si komunis. "Akan terjadi sesuatu yang sangat buruk!"
mereka bergerak memasuki hutan, dengan kaki tenggelam di
dalam salju hingga ke betis. Penjaga dan laki-laki yang mengenakan
mantel kulit mengikuti di belakang, walaupun Yitzhak tidak berani
melihat ke sekeliling karena takut kehilangan keseimbangan. Di
depannya sang rabbi terbatuk keras.
"Biar aku saja yang mengangkat," bisik Yitzhak. "Aku kuat. Ini
mudah untukku." "Kau bohong, Yitzhak," kata si tua dengan suara parau. "Dan
buruk dalam hal itu."
"Diam!" bentak salah seorang penjaga di belakang mereka.
"Tidak ada yang bicara!"
mereka berjalan terhuyung-huyung mengerahkan seluruh tenaga. Kulit mereka membeku tertusuk hawa dingin. Jalan itu, yang
awalnya mengikuti lipatan pada tanah dan sedikit menanjak, kini
mulai meninggi dengan tajam, berliku-liku menerobos hutan lalu
kembali seperti semula, dengan salju yang semakin dalam. Pada
bagian dataran tertentu, si homo kehilangan keseimbangan dan
terhuyung, menyebabkan peti menggelongsor ke depan dan menghantam batang pohon, sudut kiri atasnya retak dan terpecah.
"Idiot!" bentak laki-laki yang mengenakan mantel kulit!
"Bangunkan dia!"
Para penjaga melangkah maju dan membantu laki-laki itu
berdiri lagi, memaksanya menggotong lagi peti itu di bahunya.
"Sepatuku," ia memohon, sambil menunjuk pada sepatu sebelah kirinya yang entah bagaimana telah terlepas dan separuhnya
tertutup salju. Para penjaga tertawa lalu menyepak sepatu itu, kemudian
memerintahkan mereka berjalan lagi.
"Tuhan menolongnya," bisik si rabbi. "Tuhan menolong anak
yang malang." mereka berjalan menanjak, lebih tinggi dan lebih tinggi lagi,
sembari melenguh dan merintih. Setiap langkah sepertinya akan
~ 16 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
mengisap habis sedikit lagi hidup mereka, sampai akhirnya, pada
titik ketika Yitzhak merasa ia pasti jatuh dan mati, jalan kecil itu
tiba-tiba rata dan mereka muncul dari hutan menghadapi sesuatu
yang tampak seperti pertambangan telantar di sisi dalam tepi
bukit. Pada saat bersamaan, awan di atas mereka bergerak hingga
memperlihatkan gunung yang besar dan tinggi dengan, jauh di
sebelah kanannya, bangunan kecil di tepi tebing. Pemandangan ini
hanya berlangsung beberapa detik, lantas tertutup kembali oleh
kabut tebal, menghilang dengan cepat, membuat Yitzhak bertanyatanya apakah ia tidak sedang berkhayal saja karena letih dan putus
asa. "Di sebelah sana," teriak laki-laki dalam mantel kulit. "masuk
ke pertambangan!" Pada bagian belakang area pertambangan berdiri sebuah batu
karang vertikal yang di tengahnya ada pintu, lebar dan hitam,
seperti mulut yang sedang berteriak. mereka tersandung ke arahnya, melewati tumpukan batu dan bijih yang tertutup salju, alat
derek yang rusak serta kereta terbuka dengan roda tunggal
berkarat, berjalan hati-hati di tanah yang tidak rata. Begitu mereka sampai di mulut terowongan, Yitzhak menangkap kata GL"CK


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

AUf secara kasar dicoretkan pada batu di atas kusennya dan di
bawahnya dengan cat putih, tidak lebih besar dari ukuran separuh
ibu jari, legenda SW16. "Jalan terus. masuk ke dalam!"
mereka melakukan apa yang diperintahkan, membengkokkan
sedikit lutut dan punggung mereka agar peti kayu tidak membentur langit-langit yang rendah. Salah seorang penjaga mengeluarkan
lampu dan menyorotkannya ke dalam kegelapan. Tampaklah di
hadapan mereka, koridor panjang mengarah kembali ke lereng
bukit, dengan sejumlah tiang penyangga kayu dalam jarak teratur.
Rel besi terbentang di sepanjang lantai batu yang rata; dindingnya
kasar dan tidak rata, menonjolkan batu abu-abu kasar dengan
noda tebal di sana-sini dari kristal oranye dan merah jambu yang
membuat keretakan pada batu seperti kilat bercabang di langit
~ 17 ~ PAUL SUSSMAN gelap. Peralatan yang ditinggalkan tercecer di lantai dasar"lampu
minyak yang berkarat, kepala kampak, ember timah tua, membuat
tempat itu terasa begitu menakutkan.
mereka berjalan kurang lebih lima puluh meter, sampai pada
titik ketika rel itu bercabang, satu set mengarah terus ke depan,
yang lain membelok ke kanan menuju lorong lain yang tegak lurus
dengan terowongan utama, di dindingnya menempel barisan rak
kotak dan peti. Sebuah kereta terparkir di dekat pintu ke arah sisi
terowongan ini, dan mereka diperintahkan meletakkan peti yang
mereka bawa di atasnya. "Ya, begitu. Cukup!" teriak sebuah suara yang muncul dari
kegelapan di belakang mereka. "Keluar! Keluar semua!"
mereka berbalik dan berjalan menuju arah sebelumnya,
menarik napas berat, merasa lega bahwa siksaan yang mereka
alami sepertinya akan berakhir. Salah satu dari orang Yahudi itu
membantu si homo yang telapak kaki telanjangnya telah menjadi
hitam. Suatu perbincangan sayup-sayup terdengar di belakang
mereka, dan kemudian seorang penjaga muncul menghampiri
mereka. Laki-laki yang mengenakan mantel kulit tetap berada di
dalam pertambangan. "Ke sebelah sana!" kata si penjaga, ketika mereka telah sampai
di luar. "Di sana, dekat tumpukan batu."
mereka menuruti apa yang diperintahkan, berjalan menuju
tumpukan batu dan berbalik. Penjaga itu kemudian mengarahkan
senjatanya ke arah mereka.
"oy vey," bisik Yitzhak, tiba-tiba menyadari apa yang akan terjadi. "oh Tuhan!"
Si penjaga tertawa lantang, kemudian kesunyian musim dingin
pun terpecahkan oleh suara letusan senjata yang membahana.
~ 18 ~ Bagian Satu m asa K ini L embah Para r aJa L uxor , m esir "BISAKAh KITA PULANG SeGeRA, YAh" ADA ALIm AL SImSIm DI TV."
Inspketur Yusuf Izzuddin Khalifa mengisap rokoknya dan
mendesah, sembari menatap anaknya, Ali, yang berdiri di sebelahnya memegang-megang hidungnya. Laki-laki ramping, dengan
tulang pipi tinggi, rambut tersisir rapi dan mata lebar bersinar, ia
memancarkan hawa kehebatan yang tenang, diimbangi humor"
laki-laki serius yang senang tertawa.
"Tidak setiap hari kau mendapatkan kesempatan wisata pribadi
dalam situs arkeologi terbesar di mesir, Ali," katanya membujuk.
"Tetapi aku pernah ke sini bersama sekolahku," gerutu anaknya. "Dua kali. Ibu Wadud sudah memperlihatkan semuanya."
"Aku kira dia tidak memperlihatkan padamu makam Ramses
II," kata Khalifa, "yang telah kita lihat hari ini. Juga Yuya dan
Tjuyu." "Tidak ada apa-apa di dalamnya," keluh Ali, "hanya kelelawar
dan tumpukan perban."
"Tetap saja kita beruntung karena diizinkan masuk ke sini," kata
sang ayah, bersikeras. "Ini belum dibuka untuk umum sejak ditemukan pada 1905. Dan asal kau tahu, semua tumpukan perban tua itu
adalah bungkus mumi yang asli, karena pencuri makam meninggalkannya di masa lalu setelah mereka merobeknya dari tubuh mayat."
~ 19 ~ PAUL SUSSMAN Si bocah mendongak, jari tangannya tetap pada lubang hidung,
sedikit minat terpancar dari matanya.
"mengapa mereka melakukan itu?"
"Karena," jelas Khalifa, "ketika para pendeta membungkus
mumi, mereka meletakkan permata dan jimat berharga di antara
perban-perban itu, dan pencuri berusaha mendapatkannya."
Wajah si bocah sumringah.
"Apakah mereka mencongkel matanya juga?"
"Itu aku tak tahu," kata Khalifa sembari tersenyum. "Walaupun
kadang-kadang mereka mencoba mematahkan jari atau tangan.
Tapi ini yang pastinya akan kulakukan padamu kalau kau tak
berhenti mengorek-ngorek hidungmu!"
Ia meraih pinggang si bocah dan menggelitiknya, seakan-akan
mencoba mengalahkannya. Ali menggeliat-geliat dan memberontak penuh tawa.
"Aku lebih kuat dari Ayah," pekiknya.
"Aku rasa tidak," kata Khalifa, meraih pinggang dan menjungkirbalikkannya. "Aku rasa separuh kuat pun tidak!"
mereka berdiri di tengah Lembah Para Raja, dekat pintu masuk
menuju makam Ramses VI. Ketika itu hari sudah menjelang senja
dan kerumunan turis yang memenuhi lembah hampir sepanjang
hari kini telah berangsur-angsur pergi, meninggalkan tempat
kosong yang menakutkan. Tak jauh dari situ, sekelompok pekerja
sedang membersihkan puing reruntuhan dari parit penggalian,
sambil bernyanyi tanpa nada saat mereka mengais pecahan batu
kapur ke keranjang karet. Jauh di bawah lembah, sekelompok
wisatawan memasuki makam Ramses IX. meskipun tempat itu
sudah ditinggalkan pengunjung, kecuali beberapa polisi wisata,
Ahmad si tukang sampah dan, di lereng sebelah atas lembah, sembari berjongkok di bawah naungan apa pun yang ada, penjaja
kartu pos yang aneh dan penjual makanan ringan yang sedang
melihat ke arah bawah dengan harapan masih ada yang mau membeli barang dagangannya.
"Aku akan menceritakan sesuatu," kata Khalifa, menenangkan si
~ 20 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
bocah dan membelai rambutnya. "Nanti kita melihat Amenhotep
II secara cepat saja, lalu kita sebut ini sebagai piknik seharian, ya"
Tidak sopan rasanya kalau kita pergi sekarang setelah Said kesulitan menemukan kunci."
Saat ia berkata, terdengar teriakan dari kantor inspektur yang
berjarak lima puluh meter dari tempatnya, kemudian sosok yang
tinggi dan seram datang menghampiri mereka.
"Ketemu juga akhirnya!" kata sosok itu, sembari memperlihatkan kunci. "Seseorang telah meletakkannya pada gantungan yang
salah." Said Ibn-Bassat, yang lebih dikenal sebagai Ginger karena
rambutnya berwarna tembaga terang, adalah teman lama Khalifa.
mereka bertemu beberapa tahun lalu di Universitas Kairo, tempat
mereka belajar sejarah zaman purba. masalah uang telah mendorong Khalifa meninggalkan studinya dan bekerja pada Satuan
Kepolisian. Sebaliknya, Said telah menyelesaikan studinya, diwisuda dengan penuh penghormatan dan bergabung dengan
Dinas Benda-benda Purbakala, tempat ia meniti karir hingga
pangkat asisten direktur di Lembah Para Raja. Walaupun ia tidak
pernah berkata bahwa itulah kehidupan yang mestinya dipilih
Khalifa untuk dirinya sendiri, dia juga tidak mendorong Khalifa ke
jalur yang lain. Ia mencintai zaman purba dan mau melakukan apa
pun demi bisa mendedikasikan masa hidupnya untuk bekerja dengan berbagai peninggalan yang ada. Bukan iri pada temannya,
tentu saja. Dan Ginger tidak memiliki keluarga seperti dirinya, sesuatu yang membuatnya tidak akan pernah menyerah, tidak demi
semua monumen yang ada di mesir.
mereka bertiga mengelilingi lembah bersama-sama, melewati
makam Ramses III dan horemheb sebelum berbelok ke kanan dan
mengikuti jalur menuju pintu masuk ke makam Amenhotep II,
yang berada di bagian bawah sekumpulan anak tangga dan
diamankan dengan pintu besi yang berat. Ginger mulai membuka
gerendel kunci. "Berapa lama ini akan tetap tertutup?" Kata Khalifa.
~ 21 ~ PAUL SUSSMAN "hanya sebulan lagi. Restorasinya hampir selesai."
Ali mendesak di antara mereka, muncul dengan berjingkat dan
memerhatikan bagian dalam yang gelap melalui terali.
"Apa ada harta karun?"
"Aku kira tidak," kata Ginger, sembari meminggirkan si anak
dan membuka daun pintu. "Semuanya dicuri waktu zaman kuno
dulu." Ia menjentikkan sebuah tombol dan lampu pun menyala,
menyinari koridor yang menanjak dan membelok ke batu. Dinding
dan langit-langitnya dihiasi pahatan yang bercerita tentang
dongeng. Ali menatap ke bawah.
"Tahukah kalian apa yang akan kulakukan seandainya aku Raja
mesir?" Ia kembali bertanya pada mereka, suaranya menggema di
makam yang sempit. "Aku akan memilih ruang rahasia yang
tersembunyi dengan semua harta benda di dalamnya, dan ruang
lain yang hanya berisi sedikit harta untuk mengecoh perampok.
Seperti laki-laki yang Ayah ceritakan. Inkyman yang mengerikan."
"hor-ankh-amun," koreksi Khalifa, sambil tersenyum.
"Ya. Aku akan memasang jebakan sehingga kalau ada penjahat
mana pun masuk, mereka pasti tertangkap. Lalu aku jebloskan
mereka ke penjara." "mereka masih beruntung," kata Ginger, tersenyum. "hukuman
yang lazim bagi pencuri makam di zaman mesir kuno adalah dipotong hidungnya dan dikirim ke pertambangan garam di Libya.
Atau, ditembak dengan paku."
Ia berkedip pada Khalifa dan, sembari tertawa geli, kedua lakilaki itu menyusuri koridor di belakang Ali. mereka baru saja berjalan beberapa meter ketika terdengar derap langkah kaki tergesagesa di belakang mereka. Seorang laki-laki yang mengenakan
djellaba muncul di pintu makam, berupa bayangan dalam
terangnya langit sore yang cerah, bernapas terengah-engah.
"Apakah ada Inspektur Khalifa di sini?" ia bertanya, tersengalsengal.
Detektif itu menoleh ke arah temannya, dan melangkah
~ 22 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
mundur pada terowongan itu.
"Ya, saya detektif Khalifa!"
"Anda diminta datang segera, ke sisi sebelah sana. mereka menemukan...."
Laki-laki itu berhenti, mencoba mengatur napasnya.
"Apa?" kata Khalifa. "Apa yang mereka temukan?"
Laki-laki itu menatapnya, dengan mata lebar. "Sesosok mayat."
Dari kejauhan suara Ali mengumandang di antara mereka.
"hebat! Aku juga ikut ya, Yah?"
*** mAYAT ITU DITemUKAN DI mALqATA, situs arkeologi di ujung selatan
pegunungan Theban, dulu merupakan tempat berdirinya istana
firaun Amenhotep III. Kini tempat itu merupakan area terpencil
berisi reruntuhan yang tertiup badai pasir dan hanya dikunjungi
para pecinta mesir paling dedikatif. mobil polisi Daewoo yang
berdebu telah menunggu Khalifa di luar kantor. Setelah menitipkan
putranya pada Ginger, yang berjanji akan mengantarkannya ke
rumah dengan selamat, ia segera duduk di kursi penumpang dan
mobil pun melesat cepat. Tangisan Ali yang memrotesnya terdengar menggema di belakang mereka.
"Aku tak mau pulang, Yah! Aku ingin melihat mayat!"
Perlu waktu dua puluh menit untuk mencapai tempat kejadian.
Sang sopir polisi, seorang laki-laki muda dengan pipi berbintikbintik dan barisan gigi tidak rata, menancapkan kakinya pada
pedal gas, melintasi jalan di perbukitan menuju dataran Nil dan
kemudian berbelok ke selatan di sepanjang tepi pegunungan.
Khalifa memandang ke luar jendela ketika melewati kebun gula
tebu dan molochia, sembari mengisap rokok Cleopatra dan setengah mendengarkan laporan berita pada stereo mobil tentang
kekerasan yang semakin meningkat antara Israel dan Palestina"
bom bunuh diri lagi, serangan balasan lagi, semakin banyak yang
mati dan sengsara. ~ 23 ~ PAUL SUSSMAN "Ini akan memicu terjadinya perang," kata sopir.
"memang sudah perang," desah Khalifa, seraya menarik isapan
terakhir pada rokoknya dan mengembuskannya melalui jendela.
"Sudah berlangsung selama 50 tahun terakhir."
Sopir mengambil bungkusan permen karet dari dalam laci dasbor, menyelipkan dua potong ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan semangat.
"menurut Anda perdamaian masih bisa terjadi?"
"Tidak kalau keadaannya seperti sekarang. hati-hati, ada
pedati!" Sopir sedikit membelokkan kemudi mobilnya untuk menghindari pedati yang ditarik seekor keledai, yang mengangkut tebu
gula hasil panen, dan segera kembali ke jalur di depan pedati itu
pada saat yang tepat sehingga terhindar dari tabrakan dengan
sebuah kereta turis. "Allah melindungiku," gumam detektif itu, sembari memegang
dasbor. "Allah maha Pengampun."
mereka melewati Dar al-Bahri, Ramesseum dan reruntuhan kuil
penyimpanan mayat merenptah yang bertebaran, sebelum
akhirnya mencapai titik yang membelah jalan menjadi bercabang,
yang satu membelok ke arah timur menuju sungai Nil dan yang
lain ke arah barat menuju desa kuno para pekerja di Dar almadinah dan Lembah Para Ratu. mereka terus berkendara melintasi aspal halus ke jalur berdebu melewati kuil besar di medinet
habu lalu keluar ke arah padang pasir yang bergelombang, permukaannya tertutup sampah dan semak tanaman kamel berduri.
mereka terus melaju sejauh beberapa kilometer, menikung dan
berguncang, kadang-kadang melewati puing-puing dinding
berbatu bata lumpur peninggalan zaman purba, yang berwarna
cokelat tak berbentuk seperti cokelat meleleh, sebelum akhirnya
bertemu empat mobil polisi dan ambulans yang diparkir dekat
tiang telepon berkarat, serta mobil kelima, mercedes biru berdebu,
yang agak terpisah. mereka berhenti dan Khalifa keluar dari mobil.
"Aku tidak habis pikir kenapa kau tidak memiliki telepon
~ 24 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
genggam saja," gerutu muhammad Sariya, deputi Khalifa, sambil
memisahkan diri dari kelompok paramedis dan berjalan untuk
memberi salam. "Perlu waktu satu jam untuk menemukanmu."
"Aku tadi sedang bersenang-senang, mengunjungi dua dari
sekian makam yang menarik di Wadi Biban al-muluk," balas
Khalifa. "Ini salah satu alasan mengapa aku tak memilikinya. Selain
itu, telepon genggam juga menyebabkan kanker."
Ia menarik sebatang rokok dan menyulutnya.
"Jadi, apa yang sudah kita temukan?"
"mayat," katanya. "Laki-laki kulit putih, namanya Jansen. Piet
Jansen." Sariya merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan tas plastik
dengan dompet kulit di dalamnya, lalu menyodorkannya pada
Khalifa. "Berkebangsaan mesir," katanya, "meskipun kau pasti tidak
akan berpikiran begitu kalau melihat namanya. Punya hotel di
Gezira, The menna-Ra."
"Di sisi danau" Ya, aku tahu itu."
Khalifa mengambil dompet dari dalam tas plastik dan mengeluarkan isinya, memerhatikan sebuah kartu identitas mesir.
"Lahir 1925. Apakah kau yakin dia tidak mati karena memang
sudah tua?" "Tidak, jika keadaan tubuhnya seperti ini," kata Sariya.
Sang detektif menarik keluar kartu kredit Banque misr dan
beberapa lembar uang kertas senilai 20 pound mesir. Di dalam
saku samping dompet ia menemukan kartu keanggotaan
masyarakat Perkebunan mesir dan sehelai foto lusuh hitam-putih
bergambar anjing Alsatin bertampang galak di baliknya. Pada
bagian belakang foto tertulis dalam pensil yang sudah memudar,
"Arminius, 1930". Ia mengamati tulisan itu beberapa saat, merasa
nama itu sedikit familiar namun tak dapat secara pasti mengungkapkan sebabnya. Kemudian ia meletakkannya kembali,


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memasukkan dompet itu ke dalam tas plastik dan mengembalikannya pada sang deputi.
~ 25 ~ PAUL SUSSMAN "Kau sudah mengabari keluarga terdekatnya?"
"Tidak ada kerabatnya yang masih hidup," kata Sariya. "Kami
sudah menghubungi hotel."
"Dan mobil mercedes ini" miliknya?"
Sariya mengangguk. "Kami menemukan sejumlah kunci ini di
dalam sakunya." Ia pun memberikan tas lain berisi serentengan
kunci besar. "Sudah kami periksa. Tidak ada yang luar biasa di
dalamnya." mereka berjalan menuju mercedes dan melihat melalui jendelanya. Bagian interiornya"kulit penutup jok yang sudah pecahpecah, dasbor yang dicat, botol wewangian yang tergantung di
kaca spion dalam"kosong, kecuali sebuah harian al-Ahram edisi
dua hari lalu pada kursi penumpang dan, di lantai kabin belakang,
sebuah kamera Nikon yang tampak mahal harganya.
"Siapa yang menemukannya?" tanya Khalifa.
"Seorang perempuan Prancis. Dia sedang mengambil gambar di
antara reruntuhan lalu secara tidak sengaja menemukan mayatnya." Sariya membuka buku catatan dan menelitinya. "Claudia
Champollion," ia membaca nama yang ditulisnya, berusaha keras
menyesuaikan mulutnya untuk mengucapkan huruf vokal yang
asing. "Usia dua puluh sembilan tahun. Seorang arkeolog. Ia tinggal di sebelah sana." Sariya menganggukkan kepalanya ke arah
kompleks yang dipenuhi pepohonan di sepanjang jalur, dikelilingi
dinding tinggi berbatu bata lumpur. Kantor french Archaeological
mission di Thebes. "Tidak ada hubungan dengan Champollion yang itu, "kan?"
tanya Khalifa. "hmm?" "Jean francois Champollion."
Sariya terlihat bingung. "orang yang menemukan fieroglif," katanya sembari berpurapura jengkel. "Ya Tuhan, muhammad, tidakkah kau tahu apa pun
tentang sejarah negeri ini?"
Sang deputi hanya mengangkat bahu. "Dia cukup cantik, aku tahu
~ 26 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
itu... besar, kau tahu...." Ia menggerakkan tangannya. "mantap!"
Khalifa menggelengkan kepala dan mengisap rokoknya. "Kalau
pekerjaan polisi semata persoalan menggoda perempuan,
muhammad, kau pasti adalah kepala komisionernya sekarang juga.
Ada pernyataan tertentu?"
Sariya meneliti kembali buku catatannya untuk menandakan
dia telah menuliskannya. "Dan?" "Tidak ada. Dia tidak melihat apa pun, tidak mendengar apa
pun. hanya menemukan mayat ini, lalu kembali ke kompleksnya
dan menelepon 122." Khalifa menuntaskan Cleopatra-nya, membuang dan menginjaknya dengan bagian bawah sepatunya.
"Aku kira kita harus memeriksanya. Sudah mengabari Anwar?"
"Dia harus menyelesaikan beberapa pekerjaan dokumennya
terlebih dahulu, nanti akan menyusul. Katanya, pastikan saja tubuh
korban ini tidak berpindah ke mana-mana."
Detektif itu mendesak dengan agak jengkel, karena terbiasa
dengan selera humor Anwar, si ahli penyakit, yang tidak begitu
baik. Keduanya kemudian memeriksa tempat kejadian, dengan
kaki menginjak serpihan keramik yang mengotori permukaan
padang pasir seperti remah biskuit. Jauh di sisi kanan mereka
sejumlah anak-anak sedang duduk di atas tumpukan batu. Salah
satu di antaranya memegang bola kaki, memerhatikan barisan
polisi yang sedang menyisiri padang pasir untuk mencari tanda; di
atasnya matahari mulai terbenam di balik kubah biara Dar almuharab yang berbentuk telur. Sinarnya berubah dari kuning pucat
ke jingga madu yang kuat. Di sana-sini gundukan dinding berbata
lumpur muncul dari dalam pasir, termakan cuaca dan menyedihkan, seperti makhluk purba yang muncul dari kedalaman padang
pasir. Sebaliknya, tidak terlalu menandakan bahwa mereka sedang
melintasi apa yang dahulunya merupakan salah satu bangunan
megah di zaman mesir kuno.
"Sulit dipercaya kalau tempat ini dulunya istana, ya "kan?" kata
~ 27 ~ PAUL SUSSMAN Khalifa sambil memunguti serpihan keramik dengan jejak cat
berwarna biru pucat di atasnya. "Pada masanya, Amenhotep III
memerintah separuh dari dunia yang sudah diketahui. Dan kini...."
Ia membalikkan pecahan benda tanah di antara jari-jarinya,
sambil menggosok pigmen dengan ibu jarinya. Sariya tidak mengatakan apa-apa, hanya membuat gerakan dengan tangannya,
menandakan bahwa mereka harus belok ke kanan.
"Di sebelah sana," katanya. "Di balik dinding itu."
mereka menyeberangi teras jalan yang terbuat dari batu bata,
retak dan pecah-pecah, melewati sesuatu yang dulunya pasti
adalah pintu utama, kini hanya berupa dua tumpukan batu dengan
anak tangga terbuat dari batu kapur di antara keduanya. Di sisi lain,
seorang polisi berteduh di bawah bayangan pada kaki dinding.
Beberapa meter dari situ ada lembaran kanvas yang berat dengan
gundukan berbentuk mayat di bawahnya. Sariya melangkah maju,
menggenggam bagian sudut lembaran dan menyingkapnya.
"Allahu Akbar!" kata Khalifa. "Allah maha Kuasa!"
Di depannya terbaring seorang tua, sangat tua. Tubuhnya
lemah dan kurus, kulitnya yang kering mengeriput bintik-bintik. Ia
tertelungkup dengan satu tangan di bawah tubuhnya, tangan yang
lain terkulai di sisinya. Laki-laki itu mengenakan setelan safari
berwarna khaki, dan kepalanya"agak botak dengan beberapa
helai rambut kuning keputihan"tertarik ke belakang dan agak
memutar, seperti seorang perenang sedang menghirup udara
sebelum menenggelamkan kembali wajahnya ke dalam air. Postur
tak biasa yang disebabkan kaki palsu menancap dari bawah ke kantung mata kirinya. Darah kering memerciki pipi, bibir, dan dagunya; luka yang tidak begitu dalam menggores sisi kepalanya, tepat
di atas telinga kanan. Khalifa berdiri mengamati mayat itu, memerhatikan tangan
dan pakaian yang berdebu, robekan kecil pada bagian lutut
celananya, bagian luka di kepala itu dipenuhi pasir dan kerikil
halus. Ia kemudian berjongkok dan secara perlahan mengorek
dasar kaki palsu besi yang muncul dari pasir. Kaki itu sangat kokoh
~ 28 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
tertancap di dalam tanah.
"Dari tenda?" tanya Sariya, tidak pasti.
Khalifa menggelengkan kepala. "Bagian dari kisi-kisi penelitian.
Tertinggal dari penggalian. Sudah ada selama bertahun-tahun kalau
dilihat dari bendanya."
Ia berdiri tegak, mengibaskan tangannya pada lalat yang mulai
mengerumuni tubuh itu dan berjalan beberapa meter ke titik tempat pasir menyeruak dan terganggu. Ia dapat menyimpulkan paling tidak ada tiga jejak berbeda, yang mungkin saja milik polisi
yang telah menyisir area tersebut. mungkin juga tidak. Ia berjongkok lagi, mengambil sapu tangannya, memungut benda tajam
yang terkena bercak darah di bagian atasnya.
"Sepertinya seseorang telah menghajar kepalanya," kata Sariya.
"Kemudian, ia tersungkur ke depan mengenai kaki palsunya. Atau
didorong." Khalifa membalikkan batu di tangannya, sambil menatap percikan darah merah tua.
"Rasanya aneh ada penyerang meninggalkan dompet penuh
uang di dalam sakunya," katanya. "Dan kunci-kunci di dalam
mobilnya." "Barangkali ia diganggu?" ungkap Sariya. "Atau barangkali
perampokan bukanlah motifnya."
Sebelum Khalifa mengajukan pendapat lain, terdengar teriakan
dari kejauhan di seberang area reruntuhan itu. Dua ratus meter dari
situ seorang polisi berdiri di atas gundukan pasir, melambaikan
tangan. "Sepertinya ia menemukan sesuatu," kata Sariya.
Khalifa menyimpan batu temuannya kemudian keduanya berjalan menghampiri polisi. Begitu mereka sampai, ia telah turun dari
gundukan itu dan berdiri di sisi dinding yang panjang di sepanjang
bagian yang lebih rendah yang, dalam plaster lumpur, bergambar
bunga lotus biru, mulai pudar tetapi masih tampak jelas terlihat.
Pada bagian pusat garis ada celah tempat bagian plester terlihat
seperti baru dihapus. Tak jauh dari situ tergolek tas punggung
~ 29 ~ PAUL SUSSMAN kanvas, palu dan pahat, serta tongkat hitam dengan panel perak.
Sariya berjongkok di samping tas punggung dan membalikkan
penutupnya. "Ckk, ckk, ckk," ia berdecak sambil menyingkirkan batu dengan
plester bercat di atasnya. "Seseorang telah menjadi anak nakal."
Ia menunjukkan pecahan bata itu pada Khalifa. Detektif itu
sedang tidak melihatnya. malahan ia berjongkok, mengangkat
tongkat, dan mengamati penalnya yang di sekelilingnya ada pola
miniatur hiasan berbentuk mawar berselang-seling dengan simbol
ankh. "Pak?" Khalifa tidak menjawab. "Pak?" Sariya mengulang, lebih keras.
"maaf, muhammad." Detektif itu mengesampingkan tongkat
dan berbalik ke arah deputinya. "Apa yang kau dapatkan?"
Sariya memberikan batubata itu. Khalifa memegangnya,
mengamati hiasan pada permukaannya. Sementara itu tatapannya
beralih ke tongkat, alis matanya mengernyit seolah sedang mencoba mengingat sesuatu.
"Apa?" tanya Sariya.
"Ah, tidak. Tidak. hanya kebetulan yang ganjil."
Ia menggelengkan kepala tak peduli dan tersenyum. Namun
begitu, tetap saja ada tanda kegelisahan di dalam matanya,
semacam ketidaknyamanan yang lebih dalam.
Agak jauh di sisi kanan, seekor gagak besar mendarat di dinding
menatap mereka, mengepakkan sayapnya dan mengaok dengan
keras. T eL aviv, i sraeL SeTeLAh meNGGANTI PAKAIANNYA DeNGAN SeRAGAm PoLISI, LAKI-LAKI mUDA
itu melangkah ringan melintasi Taman Kemerdekaan menuju
~ 30 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
lapangan beton hotel hilton. Di sekitarnya banyak keluarga dan
pasangan muda sedang bercengkerama dalam udara malam yang
dingin, berbincang dan tertawa. Tetapi ia tidak terlalu memerhatikan mereka, dan terus memusatkan perhatian pada gedung di
hadapannya. Dahinya basah oleh keringat. Bibirnya berkomatkamit, merapalkan doa untuk dirinya sendiri.
Ia sampai di pintu masuk hotel lalu melewati serambinya.
Sepasang petugas keamanan menatapnya sekilas dengan rasa ingin
tahu sebelum memerhatikan seragamnya dan kemudian mengalihkan pandangan. Ia mengangkat tangannya yang gemetar untuk
menyeka keringat dan kelembaban dari alisnya. Lalu, dalam gerakan yang sama, ia merogoh jaketnya dan menarik bagian pertama kawat untuk membuat ledakan. Teror, kebencian, kemuakan,
semangat"ia merasakan semuanya. Namun, di luar ini, menutupi
semuanya, seperti kulit terluar boneka Rusia, ada euforia yang
berlebihan dan seperti tidak sadarkan diri, sebuah kebahagiaan
yang sedang menunggunya tepat di tepi kesadarannya seperti api
putih yang benderang. Balas dendam, kemasyhuran, surga dan
keabadian dalam rengkuhan houris yang indah.
Terima kasih karena telah memilihku, ya Allah. Terima kasih
telah mengizinkan aku menjadi kendaraan bagi pembalasan-mu.
Ia menyeberangi serambi dan melewati sekumpulan pintu
ganda memasuki ruang besar yang terang benderang, tempat
berlangsungnya sebuah pesta pernikahan. musik dan tawa menerpanya; seorang gadis kecil berlari dan bertanya apakah ia mau
berdansa. Ia menepisnya lalu menerobos di antara para tamu.
Dunia di sekitarnya tampak menyusut dan menguap seperti kabut
berwarna. Seseorang bertanya apa yang dilakukannya di sana,
apakah ada masalah. Namun ia terus berjalan, bergumam sendiri,
berpikir tentang kakeknya yang sudah tua dan saudaranya yang
tewas di ujung peluru Israel. hidupnya sendiri hampa, tanpa
harapan, dipenuhi rasa malu sekaligus kemurkaan tak berdaya.
Kemudian, ia sudah berada di sisi pengantin laki-laki dan perempuan. Dengan teriakan kebahagiaan yang bercampur kemarahan,
ia merogoh dan menarik kawat kedua, mengeluarkan embusan
~ 31 ~ PAUL SUSSMAN panas, sinar dan bola-bola metal yang mereduksi dirinya sendiri.
Sang pengantin baru dan semua orang dalam radius tiga meter
menjadi serpihan yang lebih kecil daripada uap berdarah.
Pada saat yang hampir bersamaan, tiga faksimili diterima secara
berturut-turut oleh Kantor Yerusalem Kongres Yahudi Dunia; yang
satu lagi oleh meja berita ha"aretz, dan satu lagi oleh kepolisian Tel
Aviv. Semuanya dikirim dari jaringan telepon genggam sehingga
membuat tempat asal mereka tidak mungkin terlacak, dan semua
menyampaikan pesan sama: bom itu hasil kerja al-mulatham dan
Persaudaraan Palestina, dan ini merupakan tanggapan atas pendudukan zionis di tanah Palestina secara terus-menerus; sepanjang
pendudukan itu, semua orang Israel, dari berbagai usia dan jenis
kelamin, akan dianggap bertanggung jawab atas kesengsaraan
yang dialami rakyat Palestina.
L uxor meReKA mASIh BeRADA DI mALqATA SAmPAI hAmPIR PUKUL 7 mALAm, DAN
pada saat itu Anwar si ahli penyakit tetap belum datang. Daripada
membuang waktu lebih lama, Khalifa merinci kelompok polisi
untuk menjaga tempat kejadian perkara dan, dengan didampingi
Sariya, memutuskan mengunjungi hotel milik korban.
"Tahu sifatnya Anwar, bisa jadi kita tetap berada di sini sampai
tengah malam," gumamnya. "Lebih baik kita melakukan sesuatu
yang berguna dalam waktu yang tersedia ini."
menna-Ra berada di lokasi yang mencolok pada jantung desa
Gezira, suatu area yang dipenuhi rumah bobrok dan pertokoan di
sisi barat sungai Nil, berseberangan dengan Kuil Luxor. Sebuah
bangunan dua lantai berwarna putih, yang dapat dicapai melalui
jalan sempit dan dikepung dinding bata lumpur yang di permukaannya menempel sejenis jamur cokelat. Khalifa dan Sariya
tiba lebih awal di malam hari, diterima oleh perempuan Inggris
~ 32 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
setengah baya, dalam bahasa Arab fasih dan beraksen berat, yang
mengenalkan dirinya sebagai Carla Shaw, manajer hotel itu. Ia
menawarkan teh dan mengajak mereka ke teras berbatu kerikil di
bagian belakang gedung. mereka duduk di kursi anyaman di bawah kanopi yang dirambati bunga hibiskus merah. Danau kecil dan panjang terhampar
di sisi kiri sampai ke kanan mereka, hitam dan suram, permukaannya bergelombang oleh sekumpulan ikan merah sungai Nil yang
licin. Tepinya yang seperti telapak tangan tersumbat oleh buangan
botol air Baraka. Di sisi terjauh, iklan tentang penerbangan hodhod Suliman Balloon dapat terlihat di antara pepohonan, tergambar pada dinding rumah. Udara dipenuhi suara salak anjing, tuter
taksi dan, di kejauhan, suara ritmis pompa irigasi.
"Tidak terlalu mengejutkan," kata perempuan itu, sambil
menyilangkan kaki yang dibalut jins di bawah kaki yang lain dan
menyalakan rokok merit. "Ia belum pulih sepenuhnya. Aku kira,
kanker, walau ia tidak pernah mengatakannya."
Khalifa menyalakan rokoknya sendiri dan melempar pandangan pada Sariya.
"Kita akan tahu lebih banyak bila sudah diotopsi," katanya,
"tetapi tampaknya Tuan Jansen mungkin telah...."
Khalifa berhenti, menarik rokoknya, tidak pasti bagaimana
mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya.
"Ada keganjilan tertentu berkaitan dengan kematiannya," kata
sang detektif akhirnya. Perempuan itu melihat ke arahnya, matanya melebar perlahan.
Ia memakai garis mata hitam tebal yang terlihat semakin menekankan ekspresi keterkejutannya.
"Apa yang Anda maksudkan dengan keganjilan" Apakah
maksud Anda bahwa ia...."
"Aku belum mengatakan apa pun," kata Khalifa perlahan.
"Jasad ini perlu diuji secara saksama. Ada aspek yang ganjil pada
kematian Tuan Jansen, dan kami perlu mengajukan beberapa pertanyaan. Semuanya hal yang rutin belaka."
~ 33 ~

The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

PAUL SUSSMAN Perempuan itu mengisap rokoknya dalam-dalam, mengembuskannya, dan meraba anting-anting berbentuk bulan sabit pada
telinga kirinya dengan tangannya yang bebas. Rambutnya hitam
tak alami, seolah baru saja dicat. Penampilannya menarik.
"Silakan," katanya. "Walaupun aku tak tahu bisa membantu
apa. Piet menyimpan banyak hal untuk dirinya sendiri." Khalifa
mengangguk pada Sariya, yang sedang mengeluarkan buku catatan
dan penanya. "Sudah berapa lama Anda bekerja untuk Tuan Jansen?"
tanyanya. "hampir tiga tahun!" ia menaikkan sedikit kepalanya, dan
menarik anting-antingnya. "Kisah yang panjang, tapi pada dasarnya aku berada di sini pada saat liburan, menjalin pertemanan
dengan beberapa orang setempat, dan mereka mengatakan Piet
sedang mencari seseorang untuk menjalankan hotelnya"ia terlalu
tua untuk melakukan tugas harian itu sendiri"dan kupikir, "Wow,
mengapa tidak?" Aku baru saja bercerai. Tidak ada alasan untuk
kembali ke Inggris."
"Tidakkah ia memiliki keluarga langsung?"
"Setahuku tidak."
"Dia pernah menikah?"
Perempuan itu kembali mengisap rokoknya. "Kesanku adalah
Piet tidak secara khusus menaruh minat pada perempuan."
Khalifa dan Sariya saling pandang.
"Laki-laki?" tanya sang detektif.
Perempuan itu menggerakkan tangannya tak beraturan. "Aku
dengar ia ingin pergi ke Banana Island. Ia tidak pernah berkata apa
pun tentang itu, dan aku pun tidak pernah bertanya. Itu urusannya."
Terdengar suara langkah kaki pada jalan berbatu kerikil, kemudian seorang laki-laki muda muncul membawa nampan berisi tiga
gelas teh dan lilin kecil. Ia menaruhnya di meja di sisi mereka dan
menghilang lagi. Khalifa meraih gelas.
"Ini bukan nama mesir, Jansen," katanya, sambil menyeruput
minumannya. ~ 34 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
"Aku rasa ia berasal dari Belanda. Datang ke mesir sekitar 50,
60 tahun lalu. Aku tak tahu secara pasti. Sudah lama sekali."
"Apa ia selalu menetap di Luxor?"
"Sejauh yang aku tahu, ia membeli lagi hotel ini pada 1970-an.
Setelah ia pensiun. Aku kira dia tinggal di Iskandaria sebelum itu.
Ia tidak pernah bercerita penuh tentang masa lalunya."
Ia mengisap rokoknya dan membuang sisanya ke asbak berbentuk kumbang di sisinya. Di atas mereka beberapa bintang sore
mulai tampak, biru dan besar, seperti kunang-kunang.
"Dia tidak tinggal di sini," katanya, sambil menggeliat ke
belakang dan kedua tangannya ditempelkan di belakang lehernya
sehingga dadanya mendesak keluar dari bahan bajunya. "Di hotel.
Dia punya rumah di sisi timur sungai. Dekat Karnak. Dia biasa mengendarai mobilnya setiap pagi."
Alis Khalifa sedikit mengernyit, kemudian ia meminta deputinya mencatat alamatnya.
"Jadi kapan terakhir Anda melihat Jansen dalam keadaan masih
hidup?" tanya Sariya begitu ia selesai menulis, matanya tertuju
pada titik tempat blus perempuan itu tertarik sehingga sedikit terbuka, memperlihatkan sedikit bra merah jambunya.
"Sekitar pukul 9 pagi ini. Ia mampir jam 7 seperti biasa, mengerjakan beberapa dokumen di kantor, kemudian pergi beberapa
jam setelah itu. Katanya ada urusan bisnis yang harus diselesaikan."
"Apakah dia mengatakan bisnisnya apa?"
Ini pertanyaan dari Khalifa.
"Tidak terlalu jelas, tapi kukira dia akan melihat monumen.
Itulah yang menyita banyak waktunya. Ia selalu mengunjungi
monumen, tampak lebih banyak tahu tentangnya daripada kebanyakan ahli."
Kucing kecil dengan bulu abu-abu muncul, berjalan anggun di
sepanjang tepi teras, berhenti sejenak mengamati mereka sebelum
bersandar pada pangkuan perempuan itu. Ia membelai punggung
kucing dengan lembut, meraba garis punggungnya dan menyentuh
kupingnya. ~ 35 ~ PAUL SUSSMAN "Kami temukan beberapa hal dalam tubuhnya," kata Khalifa.
"Tongkat untuk membantunya berjalan dan tas kanvas."
"Ya, itu miliknya. Dia selalu membawa itu ketika pergi untuk
mengeksplorasi. Tongkat itu untuk kakinya. Luka lama. Kecelakaan
mobil, kurasa." Terdengar gemerisik suara percikan air dari danau. Sebuah
kapal kecil sedang melintasi air, seseorang sedang mendayung,
yang lain berdiri di geladak kapal sambil memegang jala. Sosoknya
berbayang dan tak bergaris tegas dalam kegelapan yang pekat.
Khalifa mengisap bagian terakhir rokoknya dan mematikannya di
dalam asbak. "Apa Tuan Jansen punya musuh?" tanyanya. "Siapa pun yang
mengharapkannya celaka?"
Perempuan itu mengangkat bahu. "Sejauh yang kutahu, tidak.
Tetapi, seperti yang sudah kukatakan, dia menyimpan sesuatu
untuk dirinya sendiri. Tidak pernah berbagi."
"Teman-teman?" tanya Khalifa. "Siapa pun yang dekat dengannya?"
Gelengan kepala lagi. "Tidak di Luxor, setahuku. Ada pasangan
yang biasa ia kunjungi di Kairo. Ia baru saja dari sana minggu lalu.
Anton, begitu kurasa si suami biasa dipanggil. Anton, Anders,
seperti itulah. orang Swis atau Jerman. Atau mungkin Belanda." Ia
mengangkat tangan memohon maaf. "maaf, aku tidak dapat
banyak membantu Anda."
"Tidak sama sekali," kata Khalifa. "Anda benar-benar sangat
membantu." "Yang benar adalah, Piet memang agak penyendiri. menyimpan kehidupan pribadinya untuk dirinya sendiri. Dalam tiga tahun
aku tak pernah melihat isi rumahnya. Dia " penuh rahasia. Aku
hanya mengurusi hotel. Itu saja. Tidak banyak yang kami lakukan
bersama di luar bisnis."
Laki-laki muda yang membawa teh datang kembali, membungkuk dan membisikkan sesuatu ke telinga perempuan itu.
"Baik, Taib," katanya. "Aku akan ke sana dalam beberapa menit."
~ 36 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Ia kembali pada Khalifa. "maaf, inspektur. Kami akan mengadakan pesta pribadi malam
ini dan aku harus mengatur makan malam."
"Tentu saja," kata Khalifa. "Saya kira kami telah mendapatkan
apa yang kami perlukan."
Ketiganya kemudian berdiri dan berjalan kembali ke lobi hotel,
sebuah ruangan luas berwarna putih dengan meja resepsi di satu
sisi dan anak tangga sempit di sudut menuju lantai berikutnya.
Seorang laki-laki tua berpakaian djellaba kotor sedang mengepel
lantai, bersenandung untuk dirinya sendiri.
"Ada foto dalam dompet Jansen," kata Khalifa ketika mereka
berhenti mengagumi barisan cetakan Gaddis yang tertera di dinding. "foto seekor anjing."
"Arminius," kata perempuan itu, sambil tersenyum. "hewan
peliharaan di masa kanak-kanak. Piet selalu membicarakan anjing
itu. Bisa dibilang, anjing itu teman setia yang pernah dimilikinya.
Satu-satunya yang benar-benar dia percaya. Piet membicarakannya
seolah-olah dia manusia." Ia berhenti berbicara, kemudian menambahkan, "Dia seorang penyendiri, menurutku. Tidak bahagia.
Terlalu banyak cobaan."
mereka memandang barisan cetakan pada dinding itu lebih
lama"dua orang laki-laki sedang mengoperasikan shaduf di sisi
sungai Nil; sekelompok perempuan sedang menjual sayur-mayur di
dalam pintu gerbang Bab zuwela dari markas besar Islam Kairo;
seorang anak laki-laki mengenakan tarboosh, sedang menatap
kamera dan tertawa"kemudian menuju pintu depan dan melangkah ke jalan. Dua anak laki-laki tiba-tiba melintas, menggerakkan
ban karet. "Ada satu hal," kata perempuan itu ketika mereka berjalan.
"mungkin tidak relevan, tetapi Piet benar-benar anti-Semitik."
Ia mengatakan kata terakhir ini dalam bahasa Inggris. mata
Khalifa menyempit. "Apa artinya?" "Aku tak tahu bagaimana Anda mengatakannya dalam bahasa
~ 37 ~ PAUL SUSSMAN Arab. Ia seorang" ma habbish al-Yahudiyin, tidak suka orang
Yahudi." Bahu detektif itu agak menegang, tak terlihat, seolah ia menerima sengatan listrik kecil yang tidak cukup kuat melukainya tetapi
cukup untuk membuatnya merasa tidak nyaman.
"Lanjutkan." "Tidak banyak memang yang dapat diceritakan. Ia tidak pernah mengatakan apa pun di depanku. Aku tidak sengaja beberapa
kali mendengar ia berbicara pada orang lain, tamu, orang lokal.
hal yang mengerikan. Betapa satu-satunya masalah berkaitan dengan holocaust adalah bahwa mereka tidak menyelesaikan pekerjaan itu. Bagaimana seharusnya mereka menjatuhkan bom nuklir di
Israel. maksudku, aku membenci apa yang sedang terjadi di sana,
sama seperti orang lain, tapi ini benar-benar memuakkan. Keji." Ia
mengangkat bahu, lalu memainkan anting-antingnya. "Aku kira
seharusnya aku mengajaknya berdiskusi tentang ini, tapi aku
anggap ia sudah tua, dan orang tua cenderung memiliki pendapat
aneh. Dan ngomong-ngomong, aku tidak ingin terlibat terlalu
dalam dan kehilangan pekerjaanku. Seperti kataku, hal itu mungkin
tidak relevan." Khalifa menarik sebatang rokoknya dan menyulutnya, lalu
mengisapnya dalam-dalam. "mungkin tidak," katanya. "Terima kasih sudah menceritakan
semua itu. Kalau ada hal lain, kami akan menghubungi Anda."
Khalifa mengangguk pamit, membalikkan badan dan berjalan
ke arah jalan raya, dengan tangan dimasukkan ke dalam sakunya,
kening berkernyit memikirkan sesuatu. Sariya berjalan di sampingnya.
"Tidak bisa bilang tidak setuju," katanya sambil berjalan.
"Berkaitan dengan Yahudi."
Khalifa menatapnya. "menurutmu, holocaust itu sesuatu yang baik?"
"Aku bahkan tidak berpikir peristiwa itu pernah terjadi," kata
Sariya. "Itu propaganda Israel. mereka menurunkan artikel tentang
~ 38 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
itu minggu ini dalam al-Akhbar."
"Kau percaya?" Sariya mengangkat bahu. "Semakin cepat Israel dihapuskan dari
peta, semakin baik!" katanya mengalihkan pertanyaan. "Apa yang
mereka lakukan pada orang Palestina" tak termaafkan. menjagal
perempuan dan anak-anak."
Untuk sesaat terlihat Khalifa ingin membahas isu ini dengannya. Namun ia memutuskan menahannya, dan berbelok di sudut
di ujung jalan. Keduanya terus berjalan menuju Nil dalam kesunyian. Panggilan muazin lewat pengeras suara terdengar di
belakang mereka, mengajak orang bertakwa untuk salat malam.
israeL"PaDang Pasir LauT maTi,
Di Luar J ericho SeoRANG LAKI-LAKI BeRJALAN KIAN KemARI DI SISI heLIKoPTeR, meNGembuskan asap rokok. matanya bergantian melihat ke jalan
kosong di depannya dan ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Saat itu gelap"satu-satunya cahaya berasal dari
bulan tiga perempat yang tersembul menyinari padang pasir dalam
kemilau kuning"dan juga sunyi, sehingga langkah kaki terdengar
keras tak wajar, membuat lubang dalam di udara malam yang
tenang. Bayangan terlalu pekat membuatnya tampak jelas, kecuali
hanya memperlihatkan bahwa tinggi badannya sedang dan sangat
kurus, dengan hidung yang membengkok, yarmulke putih pada
kepalanya dan codet kecil pucat menggores pipi kanannya.
"Kau tahu berapa lama?" kata sebuah suara dari dalam kokpit
helikopter. "Segera," jawab laki-laki itu. "Dia akan segera datang."
Ia terus mondar-mandir, menepuk-nepukkan tangan dengan
gugup pada pahanya, berhenti sewaktu-waktu untuk mendongakkan kepala dan mendengarkan. Lima menit berlalu, kemudian
~ 39 ~ PAUL SUSSMAN sepuluh menit, lalu suara deru mesin di kejauhan memecah malam,
dibarengi derit ban pada tanah berkerikil. Laki-laki itu bergerak ke
tengah jalan, memerhatikan mobil yang semakin jelas tak
berbayang mendekati mereka, bergerak perlahan kemudian lampu
utama mati. mobil itu berhenti 10 meter dari mereka lalu sang pengemudi
pun keluar. Laki-laki itu bergabung dengannya dan bersama-sama
mereka pergi ke bagian belakang kendaraan, tempat si pengemudi
membuka kap belakang. Terdengar rintihan dan desahan, kemudian seseorang merangkak berdiri keluar menemui malam sembari
berpegangan pada tangan si pengemudi yang membantunya. Lagilagi, saat itu terlalu gelap untuk mengetahui banyak tentangnya,
selain fakta bahwa ia lebih muda dari laki-laki yang merokok, dengan rambut gelap yang berantakan dan keffiyeh membungkus
lehernya. "Kau terlambat," kata si laki-laki yang lebih tua. "Aku tadi
khawatir." Si pendatang baru sedang menarik udara dalam-dalam, mengangkat tangan di atas kepalanya untuk melemaskan ketegangan.
"Aku harus berhati-hati. Kalau beberapa orang-orangku mengetahui hal ini...."
Ia menarik telunjuknya ke tenggorokan, membuat gerakan
diiringi suara mendesis yang tajam, seperti pisau mengiris daging.
Si perokok mengangguk dan melingkarkan lengannya pada bahu si
pendatang baru dan membawanya menuju helikopter.
"Aku tahu," katanya tenang. "Kita berusaha menyelamatkan
diri di sini." "Aku harap kita dapat segera mencapai sisi lain. Demi diri kita
sendiri. Kalau tidak...."
Ia menggoyangkan rokoknya tanpa daya dan keduanya
menghilang ke dalam helikopter. Padang pasir menggemakan suara
mesinnya begitu baling-baling mulai berputar, mengempas kegelapan.
~ 40 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
L uxor DUA oRANG PoLISI ITU meNYeBeRANGI SUNGAI NIL DeNGAN feRI SeTemPAT,
sebuah kapal besar serta berkarat yang merayap di air dengan
kepulan asap diesel membubung di belakangnya dan peluit yang
terus melengking. Sariya mengemil sebungkus kacang termous
kuning; Khalifa terus menatap selubung kuil Luxor yang terang,
hanyut dalam pikirannya sendiri. Jaket kulit imitasi dikancingkan
sampai ke dagu untuk menahan dinginnya malam. Di tepi timur,
mereka menaiki beberapa anak tangga menuju Corniche, dan
Khalifa meminta pada deputinya kunci rumah laki-laki yang sudah
meninggal dunia itu. "Kau mau ke sana malam ini?" tanya Sariya, terkejut.
"meski hanya sekejap. Siapa tahu ada hal yang ... tidak biasa."
mata Sariya menyipit. "maksudmu?"
"Yah..., tidak biasa. Ayo, mana kuncinya?"
Dengan mengangkat bahu, Sariya merogoh sakunya dan memberikan tas plastik berisi kunci milik Tuan Jansen. Ia kemudian
mengambil buku catatannya, merobek halaman yang berisi coretannya tentang alamat Jansen dan menyerahkannya pada Khalifa.
"mau kutemani?"
"Tidak, kau pulang saja," jawab Khalifa, sambil melihat alamatnya sebelum melipat dan menyimpannya dalam saku. "Aku tidak
akan lama. Cuma perlu memeriksa beberapa hal. Kita ketemu lagi
besok di kantor." Ia menepuk bahu deputinya, dan mengantarkannya sepanjang
Corniche lalu berbelok dan menghentikan taksi yang lewat. Taksi
itu berhenti di tepi trotoar. Sang sopir, seorang laki-laki tegap dengan imma terikat pada kepalanya dan rokok terselip di ujung
bibir, meraih ke belakangnya dan membukakan pintu belakang
taksi. "Ke mana, inspektur?" tanyanya. Seperti kebanyakan sopir
taksi, ia mengenal Khalifa secara pribadi, pernah ditahan olehnya
~ 41 ~ PAUL SUSSMAN paling tidak satu kali karena mengendarai taksi tanpa dokumen
lengkap. "Karnak," kata Khalifa. "Jalan terus di sepanjang Corniche. Aku


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan katakan tempat akan berhenti."
mereka melaju, menuju utara melewati hotel mercure,
museum Luxor, rumah sakit tua dan Chicago house, menyelusup
di antara kepadatan lalu lintas. Bangunan dalam kota secara bertahap terpecah menjadi serakan rumah bobrok dikelilingi
sekumpulan lahan semak belukar. Setelah lima ratus meter terlewati dari batas kota di bagian utara, Khalifa memberi tanda pada
sopir untuk berhenti. Di seberang jalan besar, pepohonan laurel
dan eucalyptus yang mengarahkan jalan ke kanan menuju tiang
kuil Karnak yang tersorot lampu terang benderang.
"Apa aku harus menunggu?" tanya sopir ketika Khalifa keluar.
"Jangan khawatir. Aku akan berjalan saja."
Ia merogoh saku, tetapi sopir menggerakkan tangan.
"Tak perlu inspektur. Aku berutang padamu."
"Bagaimana kau menyelesaikan hal itu, mahmud" Terakhir kali
kita bertemu, aku menahanmu karena asuransinya sudah kadaluarsa."
"Benar," aku sopir. "Tapi kemudian aku tidak membayar pajak
jalan raya juga, jadi aku mendapatkan keringanan."
Ia menyeringai, memperlihatkan dua baris gigi berwarna cokelat yang tidak rapi. Dengan membunyikan klaksonnya, ia segera
menjalankan mobil dan menghilang ke jalan yang tadi dilaluinya.
Khalifa berdiri sejenak menatap sungai Nil, permukaannya
berkilau dalam cahaya bulan seperti selembar kain sutra abu-abu
berimpel, kemudian membelok dan menuju pintu masuk kuil.
Perlu waktu sepuluh menit untuk mencapai rumah korban,
yang berdiri menyendiri dua ratus meter dari sudut barat laut
kompleks kuil, di ujung jalan yang buruk bergelombang. Vila dengan satu lantai yang rendah, dikelilingi pagar tinggi dan separuh
tersembunyi di belakang pepohonan kelapa dan mimosa, yang
mengembalikan lagi ingatannya ke masa sebelum Luxor menjadi
~ 42 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
pusat pariwisata utama dengan satu-satunya pengunjung yakni
para arkeolog atau orang eropa kayaraya yang datang untuk
menikmati iklim sejuk musim dingin di utara mesir. Kabut tipis
muncul dari kanal irigasi terdekat dan menyelimuti bagian dasar
rumah, memberi tempat itu nuansa menakutkan dan angker, seolah rumah itu terapung di atas tanah.
Khalifa mengamati melalui pagar yang ada di dekat kumpulan
bunga yang tertata rapi, jendela berdaun berat, tanda KhASS!
mAmNU" AL--DUKhUUL! PRIBADI! DILARANG mASUK! dipasang pada jarak interval yang teratur di sekeliling pagar, kemudian melangkah ke bagian gerbang depan dan memutar handel.
Terkunci. Ia menarik kunci milik laki-laki yang tewas itu dari sakunya dan, di bawah sinar bulan yang pucat, mencoba anak kunci itu
satu per satu sampai ia temukan satu yang pas, membuka pintu dan
berjalan di jalur batu kerikil. Ketika ia memasuki teras depan
gedung, sejenis hewan, kucing atau serigala, menyalak dari balik
kegelapan di sebelah kanannya, menjatuhkan alat penggaruk tanah
lalu menghilang di balik semak belukar di seputar rumah.
"Sialan!" desisnya, terkejut.
Ia menyalakan rokok dan memegang kuncinya, membuka tiga
kunci pintu yang berat lalu melangkah masuk ke ruang dalam yang
gelap. Ia meraba kontak lampu pada dinding dan menyalakan
lampu. Ia berada di ruang yang luas, berlantai kayu yang sangat rapi
dan cermat, dengan empat kursi berlengan di seputar meja sudut
berbentuk lingkaran di bagian tengah ruangan, meja pinggir dengan televisi dan telepon di atasnya. Di hadapannya, memanjang
koridor gelap yang mengarah ke bagian belakang rumah.
Ia menatap sekelilingnya beberapa lama, membiasakan dirinya
dengan sekeliling, dan mengamati dinding sebelah kiri tempat tergantung lukisan cat minyak gunung tertutup salju di atas rak surat
kabar dan majalah. Ia mengamati lukisan, mengaguminya"ia belum
pernah melihat salju sebelumnya, salju sesungguhnya"kemudian
membungkuk dan menyelidik isi rak. Ada dua al Ahrams, majalah
~ 43 ~ PAUL SUSSMAN egyptian horticultural Society dan buletin dari egyptian museum
di Berlin. Di belakang ada salinan majalah Time, dengan sampul
depannya bergambar dua lelaki; yang satu gemuk, garang dan berjenggot, yang lain kurus dan berwajah seperti elang dengan codet
pucat pada pipi kanannya hampir sampai ke dagu. Khalifa menariknya dan membaca judul berita utama: hAR-zIoN DAN mILAN:
YANG mANA YANG UNTUK ISRAeL" oleh Layla al-madani. Ia kenal nama penulis itu. Kemudian ia membuka majalah itu, halaman
berisi artikel tersebut yang bagian atasnya dihiasi foto seorang
perempuan muda, cantik, dengan rambut hitam pendek dan mata
hijau besar. Ia mengamati gambar itu, terpaksa ingin tahu dan dengan menggoyangkan kepalanya ia menutup majalah, menempatkan kembali dalam rak dan menyelidik hal lain di dalam rumah itu.
Ada lima ruangan lain: dua kamar tidur, kamar mandi, ruang
kerja dan, di bagian belakang gedung, dapur besar. Semuanya apik
dan tertata rapi, tidak natural sehingga tampak seperti tidak ada
yang pernah tinggal di sana. Dan sebagai tambahan pada semua
daun jendela yang tebal, ada gembok braso pengaman yang berat.
Khalifa memasuki ruangan itu satu per satu, memeriksa dan
menggeledah tapi tidak benar-benar mencari apa pun secara
khusus, hanya mencoba mendapatkan "rasa" dalam tiap ruang
untuk orang yang pernah tinggal di situ.
Ia memasuki ruang kerja terlebih dahulu. Sebuah kamar besar
dengan sepasang lemari arsip metal di satu sudutnya, rak buku
yang berdiri dari lantai sampai langit-langit sepanjang dua sisi dinding dan meja besar di bawah jendela. Lemari arsip keduanya
terkunci, tetapi ia menemukan kunci pada gantungan kunci milik
korban dan membuka keduanya secara bergantian. Lemari pertama berisi amplop plastik berisi dokumen bisnis dan legal. Lemari
kedua adalah perpustakaan kecil berisi slide fotografi, ratusan
jumlahnya dan semua ditempeli label yang rapi dan teratur dalam
kemasan plastik yang menggambarkan"sejauh yang dapat
diperkirakannya"hampir semua situs bersejarah penting di mesir,
mulai dari Tel al fara"in di Delta di bawah sampai ke Wadi halfa
di sudut utara. ~ 44 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Ia mengambil dua lembar gambar secara acak dan mengangkatnya, menerawangkannya pada lampu, menutup satu matanya untuk mengenali Kuil Seti I di Abydos, makam batu di Beni
hasan, halaman Khonsu di Karnak. Ia mengamati slide terakhir ini
beberapa menit, menggerakkannya, mendekat dan menjauh dari
cahaya serta menajamkan fokus, alisnya berkernyit sebelum ia
mengembalikan slide itu ke dalam mapnya, menutup dan mengunci kembali lemari dan beralih ke satu rak buku.
Volume buku ditata alfabetis menurut nama penulisnya dan,
dengan pengecualian untuk beberapa kamus serta bagian kecil tentang tumbuhan dan kebun, hampir seluruhnya berisi secara ekslusif
karya bersejarah, sebagian sejarah popular, yang lebih banyak
adalah sejarah akademik. Pada punggung buku tertulis judul dalam
bahasa Latin, Prancis, Inggris, Jerman, Arab dan"yang membuatnya terkejut, mengingat apa yang dikatakan Shaw tentang sikap
Jansen terhadap orang Yahudi"Ibrani. Apa pun Jansen, ia benarbenar sangat berpendidikan dan membaca dengan baik.
"Bagaimana bisa orang seperti Anda berakhir dengan pekerjaan menjalankan bisnis hotel murahan di Luxor?" Khalifa bergumam pada dirinya sendiri. "Bagaimana ceritanya, Tuan Jansen"
Dan ada apa dengan semua sistem keamanan ini" Apa yang Anda
takuti" Apa yang sedang Anda sembunyikan?"
Ia tetap berada di ruang kerja tersebut beberapa saat lamanya,
meneliti buku dan seluruh laci meja, kemudian berjalan menuju
kamar mandi, lalu ke dua kamar tidur. Pada kamar yang pertama
terdapat lemari kecil di samping tempat tidur. Ia menarik beberapa
majalah"Jerman, pornografis, dengan beberapa laki-laki muda
berpose telanjang di halaman depan. Ia mengamatinya, terheran
dan jijik, kemudian melemparnya ke dalam lemari dan menutupnya.
Akhirnya, ia merambah ke dapur. Dua pintu terbuka. Yang satu
diamankan dengan dua kunci baja berat, yang menuju beranda
kayu di bagian belakang vila. Pintu kedua, yang juga harus dibuka
dengan kunci dari gantungan kunci milik korban, memperlihatkan
~ 45 ~ PAUL SUSSMAN anak tangga menurun ke kegelapan. Dengan hati-hati sang inspektur menuruni tangga. Anak tangganya yang terbuat dari kayu berderik di bawah kakinya. Kegelapan secara perlahan menyelimuti
dan membuatnya hilang arah sehingga ia terpaksa menempelkan
tangan kanannya pada dinding batu yang dingin untuk mempertahankan keseimbangan. Di bagian bawah jari tangannya mencari
kontak lampu dan menyalakannya.
Perlu waktu beberapa detik untuk memastikan apa yang
sedang dilihatnya. Kemudian ia begitu terperanjat.
"Ya, Tuhan!" Barang-barang antik. Di mana-mana terdapat barang antik.
Pada meja-meja besi yang ditata di tengah ruang, pada rak di sekeliling dinding, dalam kotak dan kotak catur di sudut ruang. Ratusan
objek, masing-masing terbungkus rapat dalam tas plastik, masingmasing disertai kartu nama berisi tulisan tangan yang rapi tentang
apa, di mana, dan kapan ditemukan serta tanggal estimasi.
"Seperti museum," Khalifa berbisik heran. "museum pribadi
miliknya." Untuk sesaat ia berdiri terpaku di tempatnya. Kemudian
melangkah maju ke meja terdekat, mengambil tas yang berisi figur
kayu kecil di dalamnya. "Shabti, KV3a, koridor timur" terbaca pada
kartunya. "Kayu. Tidak ada teks atau dekorasi. Dinasti 18, mungkin
Amenhotep I (1525-1504 Sm). Ditemukan 3 maret 1982". KV 39
adalah makam besar yang berisi batu pada lipatan bukit di atas
Lembah Para Raja, yang dianggap banyak orang sebagai tempat
peristirahatan terakhir firaun Amenhotep I Dinasti 18. makam itu
tidak pernah digali secara layak. Jansen jelas-jelas pernah berada di
sana melakukan penggalian pribadi untuk dirinya sendiri.
Khalifa meletakkan kembali figur itu dan mengambil objek lain.
"Ubin lantai berlapis pecahan, Amarna (Akhetaten), istana Utara.
Desain Papirus dalam warna hijau, kuning dan biru. Dinasti 18,
pemerintahan Akhenaten (1353-1335 Sm). Ditemukan 12 November 1963". Benda yang indah, bila pecah warnanya kaya dan membias, buluh papirus yang digambari agak condong seolah ditiup
~ 46 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
angin sepoi-sepoi. Lagi-lagi, tampaknya ini digali oleh Jansen sendiri. Khalifa membalikkan benda itu, menggelengkan kepala, meletakkannya dan beralih mengelilingi bagian lain gudang tersebut.
Koleksi yang luar biasa dan mengguncang pikiran, hasilnya, jika
dinilai dari kartu keterangan yang ada pada tiap benda, diperoleh
dari pencarian rahasia"dan ilegal"selama lebih dari lima dekade.
Sebagian dari objek"kudanil kecil; ostracon yang memuat cerita
tentang Tiga Serangkai Theban; Amun, mut dan Khonsu"sangat
tak ternilai. Namun, kebanyakan koleksi itu rusak atau begitu
umum sehingga seperti tidak berarti apa-apa. Prinsip dasarnya
sepertinya tidak atas kehendak mengumpulkan objek langka atau
indah, tapi lebih pada kesenangan semata dalam menggali, menemukan, dan menandai serpihan kecil tentang masa lalu. Koleksi
seperti ini, pikir Khalifa, adalah koleksi yang dia sendiri begitu ingin
memilikinya. Koleksi pecinta sejarah. Koleksi para arkeolog.
Di sudut yang agak jauh, ia menemukan sebuah peti besi, teronggok dan kokoh, dengan pemutar dan tuas pada bagian depan.
Ia mencoba memutar tuas itu tetapi pintu tetap tertutup rapat.
Setelah beberapa menit, ia berhenti dan melihat benda lain lagi.
Akhirnya ia melihat jam tangannya.
"Astaga!" Ia telah berjanji pada istrinya, zenab, bahwa ia akan tiba di
rumah pukul 9 malam sehingga ia dapat membacakan dongeng
untuk anak-anaknya. Kini sudah lewat 10 menit. Sambil merutuk
dirinya sendiri, ia pun melihat sekeliling untuk terakhir kali, dan
kemudian kembali menaiki anak tangga dan mematikan kontak
lampu. Ketika ia melakukan itu, ia perhatikan bahwa pintu di atasnya, yang membuka ke dalam, telah terayun separuh tertutup
sehingga ia dapat melihat bagian belakangnya. Di sana pada
pengait, tergantung topi hijau dengan bulu-bulu muncul dari
bagian tepinya. Ia berhenti, kemudian menaiki anak tangga, perlahan, seolah enggan melakukannya. Lalu ia melepaskan benda itu
dari gantungannya, membawanya ke hadapannya, dan mengamatinya secara saksama.
~ 47 ~ PAUL SUSSMAN "Sepertinya dia punya burung di kepalanya," gumamnya, suara
tiba-tiba keluar, seolah sesuatu telah didorong masuk ke dadanya.
"Burung kecil yang lucu."
Ia menatap topi itu, dan kemudian dengan penuh kemarahan,
memukulkan tangannya pada bagian belakang pintu, sehingga
membuat pintu itu terempas.
"Sialan!" desisnya. "Ini pasti sebuah kebetulan! Pasti."
Y erusaLem KoTA TUA YeRUSALem, DeNGAN LABIRIN JALAN DAN ALUN-ALUN YANG
membingungkan, tempat suci dan keramat, pasar rempah-rempah
dan cinderamata, ketika malam hari begitu sunyi dan kosong bagai
kota hantu. Keramaian dan hiruk-pikuk yang sepanjang siang hari
memenuhi areanya"khususnya bagian muslim tempat Anda hampir tidak dapat bergerak karena pembeli dan penjual buah-buahan,
serta anak-anak berlari-larian"secara perlahan berangsur-angsur
menghilang seiring terbenamnya matahari, meninggalkan pemandangan tanpa harapan dari jendela depan toko, suram, dan
menggema, seperti urat nadi yang darinya semua darah kehidupan
dipompa. Sebagian kecil orang yang tetap bertahan tampak lesu
dan resah, melihat sekeliling dengan gugup, berjalan lebih cepat
dan lebih bertujuan daripada yang akan mereka lakukan di siang
hari, seolah terancam oleh kesunyian tempat itu yang bagaikan
mimpi, dan sinar oranye korosif dari lampu jalan.
Saat itu hampir pukul 3 dini hari ketika Baruch har-zion
bersama dua temannya tiba melalui Gerbang Jaffa dan berjalan
menuju dunia terang benderang, waktu yang paling ditinggalkan
pada malam hari, ketika bahkan kucing pun telah pergi ke
sarangnya dan dentang nyaring setiap lima belas menit dari lonceng gereja di kota itu terasa tumpul oleh kesunyian mencekam.
Seorang pria gemuk pendek, hampir sama dengan tinggi badan~ 48 ~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
nya, memiliki rambut yang sudah mulai abu-abu, wajah dengan
rahang persegi serta berjanggut, dan membawa senjata Uzi dengan
satu tangan tertutup sarung tangan dan tas besar kulit dengan tangan yang lain. Rekannya juga memegang senjata Uzi, salah satu
di antara mereka yang kurus dan pucat bagai susu, ujung tallit
katan-nya menggantung dari balik jaketnya; yang lain tinggi dan
agak hitam, dengan potongan rambut cepak hingga kulit
kepalanya, lengan dan lehernya penuh dengan otot. Ketiganya
mengenakan yarmulke pada kepalanya.
"Bagaimana dengan kamera?" tanya si laki-laki pucat ketika
mereka berjalan, mengangguk pada monitor keamanan yang terpasang dalam jarak interval regular di sepanjang jalan.
"Lupakan itu," kata har-zion sembari menggerakkan tangannya tak peduli. Kekakuan tertentu pada gerakannya seolah disebabkan baju hangatnya yang berpotongan roll-neck dan hampir
mencapai garis rahang terlalu ketat baginya. "Aku punya beberapa
kawan di pusat kontrol David. mereka akan membuka mata orang
yang selama ini tak melihat."
"Tapi, bagaimana kalau...."
"Lupakan mereka," ulang har-zion, kali ini lebih tegas.
"Semuanya sudah dipersiapkan."
Ia melempar tatapan pada laki-laki itu, matanya yang abu-abu
granit agak menyipit seolah berkata "Aku tak mau kau ada di sini
kalau kau takut," lalu melihat ke depan lagi.
Ketiganya berjalan ke depan, mengikuti dataran bertanggatangga dari jalan David menuju wilayah Yahudi sebelum berbelok
ke kiri menuju salah satu pasar yang masuk jauh ke dalam pusat
daerah muslim di kota ini. Dinding dari bagian depan toko yang
berjendela berdiri di sepanjang kiri dan kanan mereka, berwarna
abu-abu dan seragam, lempeng metalnya dipenuhi coretan dengan
bahasa Arab, berselang-seling di sana-sini dengan kata atau frasa
ganjil dalam bahasa Inggris: fATAh, hAmAS, YAhUDI BANGSAT.
mereka melewati seorang pendeta Coptic yang bergegas untuk
berdoa di Gereja makam Suci, dan sepasang turis, laki-laki mabuk
~ 49 ~ PAUL SUSSMAN yang berusaha menemukan penginapan mereka di jalan sempit
berliku. Setelah itu hanya tinggal mereka.
Lonceng berdentang menunjukkan jam, suaranya bergema
memenuhi atap bangunan. "Aku berharap kita terlihat," gumam si rambut cepak ketika
mereka pergi, sambil menepuk Uzi-nya. "Ini kota kita. enyahlah
orang-orang Arab." har-zion tersenyum tipis tetapi tidak berkata apa-apa, hanya
menunjuk pada sebuah gang kecil diapit dinding batu yang tinggi.
mereka melewati lapangan penuh sampah, pintu kayu yang dari
baliknya mereka bisa mendengar suara televisi menyala, dan pintu
gerbang mesjid kecil sebelum muncul ke jalan kosong tegak lurus
dengan jalan yang baru saja mereka turuni. Di sisi kanannya, jalan
menghilang di bawah serangkaian lengkungan batu rendah, yang
berjajar menghadap Dinding Barat; di bagian kiri, jalan menanjak
ke arah Via Dolorosa dan Gerbang Damaskus. Pada tanda di depan
mereka tertulis Jalan Al-Wad.
har-zion memeriksa kedua jalan tersebut, kemudian meraba


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pangkal pahanya"lagi-lagi dengan kekakuan gerakan seolah-olah
ada sesuatu menahannya"dan membuka resleting tas kulitnya,
mengeluarkan dua linggis yang kemudian ia berikan pada kedua
temannya, dan kaleng cat semprot yang ia simpan untuk dirinya
sendiri. "Ayo, kita mulai!"
Ia membawa mereka ke gedung tinggi yang kelihatan jorok"
tipikal rumah di kota tua berpelataran batu-batu berat, pintu kayu
dan jendela melengkung, berterali dan berdaun jendela.
"Kau yakin ini kosong?" tanya si muka pucat dengan gugup.
Kembali har-zion menatapnya dengan mata abu-abu yang
tajam. "Ini bukan tempat untuk seorang nebbish, Schmuely."
Laki-laki yang lebih kecil itu berkedip dan menundukkan
kepalanya, malu. "Ayo, mulai bekerja," kata har-zion.
Ia mengocok kaleng cat, suara bola-bola di dalamnya meng~ 50 ~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
gema di jalan, lalu mulai menyemprot, menggambar menorah
dengan tujuh cabang yang kasar dan asal-asalan pada dinding di
sisi mana saja dari pintu, cat itu memercik pada beberapa tempat
sehingga dalam cahaya temaram itu tampak seperti taring besar
yang mencakar batu dan menyebabkan darah keluar. Temannya
mulai asyik dengan linggis yang dimasukkan ke dalam rongga
antara pintu dan kusen, melonggarkannya sekitar dua inci lalu
memasukkan linggis itu lagi untuk memperbesar patahan dan mendorong lebih jauh sampai pintu terbuka dengan mengeluarkan
suara tajam. mereka melihat ke sekeliling jalan, kemudian masuk
ke dalam ruangan gelap. har-zion selesai menyemprotkan menorah kedua, meraih tas kulit yang besar dan mengikuti mereka
masuk ke dalam sebuah ruangan, kemudian mendorong pintu di
belakangnya. mereka telah mendengar tentang rumah itu dari seorang
teman di Kepolisian Yerusalem. Pemiliknya, orang Arab, sedang
melaksanakan ibadah umroh dan meninggalkan tempat kosong ini,
target yang sempurna untuk ditempati. har-zion akan lebih
menyukai sesuatu yang lebih dekat lagi ke Bukit Kuil (The mount
Temple), sesuatu yang lebih konfrontasional, lebih menyakitkan
dan menghina orang muslim. Tetapi untuk sementara, ini saja
sudah cukup. Ia merogoh tas kulit dan menarik lampu pijar metal yang berat,
menyalakannya dan memainkan sinar lampu ke sekitar mereka.
mereka berada di sebuah ruangan besar berisi furnitur, dengan
tangga batu di ujung sebelah dalam dan bau tajam semir serta tembakau di udara. Poster yang tergantung di dinding di atas salah satu
sofa berisi sembilan baris tulisan berbahasa Arab, dengan warna
putih pada latar belakang hijau. Ayat al-quran. har-zion mengamatinya dalam sinar lampu obor, kemudian melangkah maju dan
menurunkannya. "Avi, kau periksa bagian belakang. Aku akan memeriksa bagian
atas. Schmuely, kau ikut aku!"
Ia memberikan obor kedua pada si rambut cepak, kemudian
~ 51 ~ PAUL SUSSMAN menaiki tangga sembari membawa tas kulitnya, memandang sekeliling berbagai ruang yang ia kunjungi. Laki-laki berkulit pucat itu
mengikuti di belakangnya. Di atas ia membuka pintu metal dan
melangkah keluar atap gedung yang datar dengan kawat antena
TV semrawut. Peralatan satelit dan panel surya berseliweran di sekitarnya. Di depannya terlihat kubah-kubah Gereja makam Suci
dan menara Gereja St Saviour yang menjulang. Di belakang terbentang pelataran luas yang merupakan perluasan Bukit Kuil. Pada
bagian sentralnya, diterangi lampu sorot, berdiri dengan megah
mahkota emas Kubah Batu (Dome of The Rock).
"Karena kau akan melebar ke kanan dan ke kiri," kata har-zion
perlahan, "keturunanmu akan memiliki bangsa ini, begitu juga dengan orang-orang di tempat terpencil."
Betapa sering ia membayangkan saat-saat ini: selama hari-hari
gelap penyiksaan di negeri asalnya, Ukraina; di Rumah Sakit tentara tempat kebakaran itu begitu menyakitkan dan menyiksa
sehingga ia merasa jiwanya yang dalam telah direnggut dari dirinya. mereka telah merebut tanah di tempat lain dalam beberapa
tahun terakhir"di luar Nazareth, dekat hebron, di sepanjang pantai Gaza"tapi ini tidak berarti apa-apa bila Yerusalem itu sendiri
tidak menjadi milik mereka. Bahwa Gunung moria, even Shetiyah,
tempat Ibrahim telah datang untuk mengorbankan putra satu-satunya Ishak, tempat Yakub memimpikan ada sebuah tangga yang
menuju surga; tempat Sulaiman membangun Kuil Suci pertama ...
bahwa semua tempat ini harus berada di tangan muslim adalah
sesuatu yang menyakitkannya secara fisik, bagai luka menganga.
Dan kini, akhirnya, mereka akan merebutnya kembali. mengklaim kembali apa yang sesungguhnya menjadi hak mereka.
Yerushalyim si emas, Ibu Kota eretz Israel ha-Shlema, kampung
halaman orang-orang Yahudi. Itulah satu-satunya yang mereka
minta. Bahwa mereka harus memiliki kampung halaman. Tetapi
orang Arab dan pembenci Yahudi akan menolak hal itu. Keji.
mereka semua. Kecoa. merekalah yang harus dimasukkan ke
dalam kamar gas. ~ 52 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Perlahan ia berbalik, memerhatikan lagi pemandangan itu, lalu
merogoh tas kulit besarnya dan mengeluarkan tumpukan pakaian
dengan dua helai tali mengikatnya.
"Lakukan!" katanya memberikan tumpukan itu pada temannya. Laki-laki itu bergerak maju ke sisi depan atap tempat ia berlutut dan mulai mengikatkan ujung tali ke beberapa lubang baja
yang muncul dari lantai beton. har-zion mengeluarkan telepon
genggam dari sakunya dan memencet nomor pada bantalan
angkanya. "Kami sudah siap," katanya saat telepon dijawab. "mulai suruh
yang lain juga!" Ia mematikan telepon dan menyelipkannya kembali ke dalam
saku. Ketika ia melakukan itu, temannya baru selesai menganyam
tali dan menjatuhkan gulungannya ke sisi gedung. Tali itu terbentang dengan suara desisan, membiarkan bendera putih biru
yang panjang terbentang di depan dinding batu seperti air terjun,
dengan Bintang David tebal pada bagian tengahnya.
"Puji Tuhan," katanya sambil tersenyum.
"haleluyah," kata har-zion.
K amP P engungsi K aLanDia ,
anTara Y erusaLem Dan r amaLLah LAYLA AL-mADANI memBeNAhI RAmBUT hITAmNYA DAN meNATAP PemUDA
yang sedang duduk di seberangnya, mengenakan celana panjang
rapi dan T-shirt bertuliskan "Kubah Batu".
"Gagasan membunuh perempuan dan anak-anak tidak menarik perhatian Anda?"
Pemuda itu membalas tatapannya.
"Apa ada yang peduli dengan orang-orang Israel ketika para
perempuan dan anak-anak kami terbunuh" Dar Yassin" Sabra dan
~ 53 ~ PAUL SUSSMAN Chatila" Rafah" Ini perang, Nona madani, dan dalam perang
banyak hal buruk terjadi."
"Jadi, jika al-mulatham mendekati Anda...."
"Aku akan menganggapnya sebagai sebuah kehormatan. Untuk
menjadi syahid, untuk mengorbankan diriku demi orang-orangku,
Tuhanku. Aku akan menganggap diriku begitu beruntung."
Ia seorang laki-laki tampan, dengan mata cokelat yang lebar
dan tangan seorang pemain piano, berjari panjang dan lentik.
Layla sedang mewawancarainya untuk sebuah artikel tentang penjarah barang-barang antik"seorang pemuda Palestina yang, karena kekuatan ekonomi bangsa Israel pada teritori Palestina, telah
tereduksi untuk mencuri dan menjual artefak kuno demi...
memenuhi kebutuhan hidup. Percakapan itu telah, sebagaimana
biasa terjadi pada berbagai macam wawancara, beralih ke diskusi
yang lebih lebar tentang pendudukan atau serangan militer Israel,
dan akhirnya tentu saja ke topik tentang bom bunuh diri.
"Lihatlah aku!" katanya, menggerakkan kepalanya. "Lihat ini!"
Ia memutar tangannya, menunjuk pada rumah dengan blok
sinder berkamar tiga yang murah, dengan dipan-dipannya yang
digabungkan sebagai tempat tidur dan kompor kecil di sudut
ruangan. "Keluarga kami tadinya memiliki ladang anggur di dekat
Bethlehem, 200 dunum. Kemudian orang-orang zionis datang,
lalu mengusir kami keluar dan kami cuma memiliki yang seperti ini.
Aku punya gelar akademis insinyur, tetapi tidak mendapatkan
pekerjaan karena orang-orang Israel telah menutup izin kerjaku.
Jadi, aku menjual barang-barang antik curian supaya bisa tetap
makan. Apa menurut Anda ini membuatku merasa baik" Apa Anda
berpikiran aku memiliki harapan tinggi untuk masa depanku"
Percayalah, bila kesempatan untuk bunuh diri itu datang padaku,
aku akan melakukannya. Semakin banyak yang kubunuh semakin
baik. Perempuan, anak-anak, tak ada bedanya. mereka semua
salah. Aku benci mereka. Semuanya."
Ia tersenyum tipis, ekspresi pahit yang memecah bagian bawah
~ 54 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
wajahnya, memperlihatkan kegeraman dan keputusasaan. Kemudian mereka terdiam beberapa saat dan terpecah oleh suara anakanak yang bermain di sepanjang gang di luar. Kemudian Layla menutup buku catatannya dan memasukkannya kembali ke dalam tas.
"Terima kasih, Yunis."
Laki-laki itu mengangkat bahu, tetapi tidak berkata apa-apa.
LAYLA SeGeRA meNemUI SoPIRNYA Kamel di luar, kemudian bersamasama keduanya keluar dari perkemahan, meluncur di jalan raya.
mobil meliuk-liuk di jalan berlubang dan jalur utama
Ramallah"Yerusalem tempat mereka bergabung dalam antrean lalu
lintas yang terhenti di belakang pos penjagaan militer Kalandia. Di
sisi kiri mereka, bangunan perkemahan terbentang sampai ke tepi
bukit, kelabu dan bobrok seperti setumpukan koral yang rusak. Di
sisi kanan mereka, landasan pacu bandara Atarot tampak rata dan
mati, seolah seseorang telah merusak garis bercat kuning yang
kotor pada lanskap itu. Di depannya, empat jalur lalu lintas yang
terhenti di jalan seperti pita berdebu, mengecil menjadi jalur tunggal pada jalan orang Israel, dua ratus meter ke depan, tempat
dokumen sedang diperiksa dan kendaraan diselidiki. Ini adalah
latihan yang tidak ada gunanya"siapa pun yang tidak memiliki
dokumen yang diminta akan dengan mudah menyusuri pos penjagaan militer dengan berjalan kaki dan mencari tumpangan di sisi
lain"tetapi orang-orang Israel memaksa hal ini dilaksanakan
bukan karena alasan keamanan melainkan lebih pada ingin menghina bangsa Palestina, memperlihatkan siapa yang berkuasa di
antara mereka. Tak ada satu pun yang tidak patuh pada kami, itulah pesannya. Kami memegang kendali.
"Kosominumhum kul il-Israelieen !" gumam Layla, sambil menyandarkan kepalanya ke belakang dan memandangi langit-langit
mobil. "Israel keparat!"
Dua puluh menit berlalu, antrean masih tetap seperti semula,
dan akhirnya, dengan membuka pintu mobil, perempuan itu keluar. Ia berjalan mondar-mandir, meregangkan kakinya, kemudian
~ 55 ~ PAUL SUSSMAN kembali ke dalam mobil dan mengeluarkan kameranya, Nikkon
D1X digital, melepaskan pembungkusnya lalu menyalakan dan
mengatur lensanya. "hati-hati!" seru Kamel, kepalanya menjulur ke depan pada
kemudi menunggu giliran dalam antrean panjang yang ada. "Anda
tahu apa yang terjadi terakhir kali Anda mengambil foto di pos
penjagaan militer?" Bagaimana mungkin dia lupa" Tentara Israel telah merebut
kameranya, menghabiskan satu jam memeriksa mobil Kamel dan,
demi penerapan prosedur yang baik, memberinya tanda "sudah
diperiksa" juga. "Aku akan berhati-hati," katanya. "Percayalah!"
Sebuah mata cokelat yang besar memelototinya.
"Nona madani, Anda orang paling sulit dipercaya yang
kutahu. Dengan roman wajah Anda, Anda mengatakan satu hal,
tetapi...." "Ya, ya, selalu ada hal yang berbeda di mataku."
Layla menunjukkan tatapan kesal lalu, sembari menggantungkan kamera di sekitar lehernya, berbalik dan berjalan di antara
baris-baris kendaraan yang menuju pos penjagaan militer.
mereka telah meninggalkan Yerusalem lebih awal pada sore
sebelumnya, berkendara menuju Ramallah untuk meliput kisah
tentang kaki tangan Palestina yang potongan tubuhnya ditemukan
Gadis Pecinta Monster 1 Anak Harimau Karya Siau Siau Pendekar Laknat 7
^