The Last Secret 10

The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman Bagian 10


berskala yang di atasnya tertera data ditandai garis titik-titik zigzag, dan kemudian enam halaman teks yang menceritakan jalan itu
secara terperinci, dengan beberapa kotak kecil disisipkan di dalam~ 495 ~
PAUL SUSSMAN nya, memberikan informasi tambahan tentang flora dan fauna
setempat, tempat-tempat bersejarah, dan lain-lain. Pada dua pertiga bagian teks, paragraf pada akhir halamannya telah diwarnai
dengan tinta merah: Seberangi jalan dan ambil jalur yang langsung berlawanan, di
belakang pom bensin yang sudah tidak terpakai. Setelah tiga
puluh menit jalan menanjak"tempat yang tinggi"kau akan
sampai pada areal terbuka di depan pintu masuk ke tambang
garam Berg-Ulmewerk yang sudah ditinggalkan (untuk informasi lebih jauh tentang tradisi menambang garam di wilayah
ini harap melihat pendahuluan, halaman 4). Jauh di atasmu,
bila cuaca mengizinkan, kau dapat melihat puncak hoher Goll
yang kokoh (2522 meter), di sisi kanan atap dan tiang antena
radio Kelsteinhaus, atau "Sarang Rajawali", sebelumnya
adalah kedai teh milik hitler (lihat kotak). Di bawahnya terbentang pemandangan yang luar biasa indah ke obersalzburg,
Berchtersgaden dan sungai Berchtersgadener Ache. Jalur itu
berlanjut ke sisi kiri, di samping tumpukan batu kecil sebagai
tanda (lihat kotak pada halaman di balik ini).
Layla dan Ben-Roi bertukar pandang, bingung, tidak pasti apa
dari semua ini yang berkaitan dengan Dieter hoth atau menorah.
Ia membalik halaman. Kotak yang disebutkan juga sudah diberi
warna. Judulnya "Kerangka hoher Goll". Keduanya kembali saling
memandang, kemudian mulai membaca.
Pada mei 1961, pada titik yang ditandai tumpukan batu kecil
ini, enam kerangka ditemukan para pendaki gunung yang
sedang lewat, setelah malam dengan hujan lebat yang tidak
biasa turun menyapu lapisan teratas tanah dari makam yang
dangkal tempat mereka dikubur. Semuanya laki-laki dan
semuanya mati karena luka tembak. Sisa-sisa kain yang dikenakan mengungkapkan bahwa mereka adalah korban kamp
~ 496 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
konsentrasi walaupun identitas mereka tidak pernah diketahui,
juga tidak ada alasan tentang kehadiran mereka di kaki bukit
hoher Goll. mereka kini dimakamkan di pemakaman di
Berchtesgaden. Ketika melintas, kebiasaan yang berlaku adalah
menambahkan satu batu kecil pada tumpukan itu sebagai
tanda penghormatan. Keadaan hening saat mereka mencerna informasi ini, kemudian, keduanya berbicara pada saat yang bersamaan, "Tahanan
Dachau." Suara mereka begitu bersemangat. Layla memberikan buku itu
pada Ben-Roi dan mulai merogoh tasnya, mengambil buku catatan
dan membuka halamannya, kertas itu membuat suara gemerisik di
bawah ujung jarinya. "Jean-michael Dupont," ia bergumam. "Ia mengatakan sesuatu, tentang Nazi, bagaimana mereka.... "
Ia menemukan halaman yang dicarinya, jarinya menyusur ke
bawah sembari membaca. "Pada akhir perang, Nazi mengirim harta rampasan perang ke
luar negeri atau menyembunyikannya di beberapa lokasi rahasia di
Jerman, biasanya di dalam pertambangan yang telah ditinggalkan."
Layla mendongak lagi. Untuk sesaat mereka beradu pandang,
kemudian keduanya mulai mengolah informasi dari buku itu. Layla
membuka buku itu kembali dan mulai menulis rincian tentang pertambangan dan lokasinya, tulisannya begitu terburu-buru dengan
penuh semangat sehingga setelah beberapa tulisan yang acakacakan ia terpaksa merobek halaman itu, meremasnya, dan mulai
lagi. Ben-Roi masih berdiri, berbicara dengan cepat lewat telepon
genggamnya, suaranya kadang terdengar kadang tidak karena ia
mondar-mandir di bukit itu, tangan kirinya bergerak-gerak di
udara seolah mencoba mempercepat segala sesuatunya.
Lima menit kemudian semuanya sudah diatur: dua kursi pada
penerbangan pukul 11.15 dari Ben-Gurion ke Wina, kemudian
pesawat sambungan ke Salzburg, bandara terdekat ke Berchtesgaden,
~ 497 ~ PAUL SUSSMAN dan mobil sewaan siap menunggu. Bila tidak ada halangan melintang mereka akan tiba di Jerman sore hari.
"Ayo kita berubah arah," kata Ben-Roi, menuruni bukit kecil
itu. "Bila kita ketinggalan pesawat, tidak akan ada lagi penerbangan sampai esok hari."
"Khalifa?" "Persetan dia. Kita yang tahu di mana benda itu berada. Dia
tidak relevan dalam hal ini."
Ia menghilang di bawah pundak bukit itu. Layla kembali kepada Schlegel, yang tetap duduk diam tak bergerak selama kejadian tadi, memandang jauh ke bukit yang ditutupi hutan. Sambil
menggenggam tangan laki-laki itu ke dalam tangannya, ia memberikan buku itu padanya.
"Terima kasih, Isaac," Layla berbisik. "Kami tidak akan membuat hannah kecewa. Aku berjanji."
Ia agak ragu, kemudian menyorongkan tubuhnya ke depan dan
mencium pipi laki-laki tua itu. Laki-laki itu mengangguk kecil dan
terlihat menggumamkan sesuatu, walaupun terlalu rendah bagi
Layla untuk dapat menangkapnya?"saudara perempuanku,"
barangkali, ia tak yakin. Layla mengelus lengan laki-laki itu, kemudian berdiri dan mengejar Ben-Roi, keduanya kemudian berlari
kecil ke bagian bawah areal rumah sakit menuju jalan besar. Layla
tetap menggenggam remasan kertas yang ia robek dari buku tadi,
dan sesampainya di bawah ia membuangnya ke kotak sampah di
tepi jalan sebelum kemudian masuk ke kursi penumpang dan
menutup pintu mobil. Di seberang sana, Avi Steiner mengamati saat mereka melaju
dan menghilang dalam lalu lintas. Kemudian, sambil bicara lewat
walkie-talkienya, ia mulai menyalakan mesin Saabnya, meninggalkan halaman garasi dan, membelok di sudut, berhenti di dekat
kotak sampah dan mengeluarkan isinya.
Y erusaLem ~ 498 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
hAR-zIoN BeRADA DI SeBeLAh TeLePoN KeTIKA BeNDA ITU BeRDeRING,
menatap keluar melalui jendela apartemennya sambil mengoleskan salep pada lengan dan dadanya. Ia membungkuk dan mengangkat gagang telepon, sembari agak mengernyit sebagaimana
biasanya"bahkan setelah diolesi krim pun kulitnya terlihat seperti
semakin kencang dalam beberapa bulan terakhir ini"menjawabnya dengan "Ken" singkat dan kemudian mendengarkan dengan
tenang suara di ujung sana. Secara perlahan dan bertahap ekspresi
rasa sakit yang telah membuat mulutnya berkerut ketika ia membungkuk tadi berangsur berubah dengan sendirinya, pertama menjadi tarikan yang terkonsentrasi, kemudian sebuah senyuman.
"Siapkan Cessna," katanya akhirnya. "Dan berbicara pada siapa
pun yang kita temui di bandara"kita perlu menanam alat pelacak,
hanya untuk memastikan. Tunggu aku di bawah dalam dua puluh
menit. oh ya, Avi, aku ikut. Aku pasti ikut."
Ia menutup telepon, menuangkan lebih banyak salep ke tangannya kemudian secara perlahan mengoleskannya dengan memutar
pada perutnya, sembari menatap Kota Tua di bawah sana, dengan
sejumlah kubah dan menaranya, serta terlihat juga, Dinding Barat
yang panjang. Untuk sesaat, sangat sebentar, ia membiarkan dirinya
melamun: tentara, tentara besar, semua anak-anak Tuhan, Israel
bergabung menjadi satu, berbaris melewati Dinding dengan
menorah di kepala mereka sebelum mendekati Bukit Kuil dan merobek wilayah Arab. Kemudian, sembari menutup botol itu kembali, ia berjalan memasuki kamar tidurnya untuk bersiap-siap.
L uxor "hmm, mINTA DIA meNeLePoNKU, BISA YA" KhALIfA. KhALIfA! KAL-ee-fA.
Ya, tentu saja ia tahu.... Apa" Ya, ini penting sekali. Sangat mendesak. maaf" ok, baiklah, terima kasih, terima kasih."
Khalifa meletakkan gagang telepon. Untuk sesaat ia duduk di
tempatnya, menggosok-gosok pelipisnya; kemudian ia berdiri dan
~ 499 ~ PAUL SUSSMAN keluar kantor melintasi koridor menuju ruang lain, mengambil
atlas dari rak buku di dinding. Ia kembali ke mejanya, kemudian
membuka dengan cepat indeksnya, lalu membuka halaman yang
relevan dan mulai menelusuri garis latitude dan longitude dengan
jari-jarinya sampai ia dapat menemukan lokasi nama tempat yang
ia inginkan: Salzburg. Ia menyalakan rokoknya dan mulai melihat
dengan teliti. Sudah satu jam lewat setelah ia terakhir kali berbicara dengan
Ben-Roi. Sebagaimana disepakati, ia harus menunggu si Israel untuk
meneleponnya kembali; kemudian, karena tidak mendengar apaapa darinya dan tidak sabar untuk mengetahui apa, bila ada, yang
mereka temukan dari saudara laki-laki Schlegel, Khalifa mengontak
telepon genggamnya. Sibuk. Ia menunggu lima menit, kemudian
menelepon kembali. masih sibuk. Ia menelepon untuk ketiga
kalinya, sepuluh menit setelah itu, tapi kini nomor itu dimatikan.
Tanpa alasan yang dapat dia jelaskan, dia mulai merasakan
perasaan tak enak di bagian perutnya, pertanda samar adanya
masalah yang tumbuh semakin kuat seiring berlalunya waktu dan
keadaan telepon itu yang tetap mati, sampai akhirnya, dia yakin
pasti ada yang salah. maka dia pun menelepon Kantor Kepolisian
David. Karena itu pertemuan pertama kalinya dengan birokrasi polisi
Israel, dia harus membangun kesepakatan dengan dinding penghalang sebelum akhirnya disambungkan ke sekretaris yang, dalam
bahasa Inggris yang gagap, memberitahu bahwa Detektif Inspektur
Ben-Roi dan rekannya kini sedang dalam perjalanan ke Austria. Ke
Salzburg. mengapa dan kapan mereka kembali, dia tidak tahu.
Kalaupun dia tahu, dia juga tidak berhak mengungkapkan
keterangan itu. Khalifa ingin mendesaknya, ingin berbicara dengan
seseorang yang lebih tinggi, tetapi itu akan berarti mengungkapkan
mengapa dia begitu bersemangat ingin menghubungi sang detektif; dan karena seluruh urusan yang berkaitan dengan menorah ini
harus diperlakukan rahasia, ia tidak punya pilihan lain kecuali
mundur, setelah meminta sang sekretaris menyampaikan pesan
pada Ben-Roi untuk meneleponnya kembali bila dia melakukan
~ 500 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
kontak dengannya. "Apa yang sedang dilakukannya?" ia bergumam pada dirinya
sendiri, sembari menatap atlas yang terbuka di bawahnya. "Apa
yang ...?" Pintu ruangannya terbuka dan muhammad Sariya menjulurkan
kepalanya ke dalam ruangan.
"Tidak sekarang, muhammad."
"Aku dapat...."
"Aku bilang tidak sekarang! Aku sibuk!"
Nada suaranya lebih tajam dari yang dia maksudkan, tetapi
kabar tentang Ben-Roi telah membingungkannya dan ia tidak
dalam suasana hati yang nyaman untuk bersenda gurau. Sariya terlihat agak terkejut dengan sikapnya yang kasar, tetapi tidak berkata
apa-apa, hanya mengangkat bahu, mengangkat tangannya seolah
meminta maaf dan menarik diri lagi, menutup pintu di belakangnya. Khalifa berpikir untuk mengejarnya"dia tidak pernah kasar
pada deputinya, tidak pernah"tetapi dia terlalu tegang sekarang,
dan sebagai gantinya ia mengisap dalam-dalam apa yang masih
tersisa pada rokoknya, melempar ujungnya keluar jendela dan
menenggelamkan kepalanya dalam kedua tangannya.
mereka menemukan sesuatu, begitu rupa, paling tidak cukup
jelas. Sesuatu yang penting. Sesuatu yang memerlukan mereka sampai pergi jauh-jauh ke Austria untuk mengejarnya. Untuk sesaat ia
bertanya-tanya apakah ia bereaksi berlebihan, apakah ada penjelasan tak bersalah dari diamnya Ben-Roi, seperti ia terlupa untuk
meneleponnya karena semangat untuk menggali temuan baru,
atau tidak dapat memperoleh sinyal pada telepon genggamnya
dan ia begitu tergesa-gesa mengejar pesawat sehingga tidak ada
waktu untuk berhenti dan menggunakan telepon koin.
Tetapi tidak. Semakin ia memikirkan hal itu, memikirkan kembali semua hal yang terjadi selama beberapa hari terakhir, semua
yang dia lihat dan dengar dari Ben-Roi, semakin membuatnya
merasa pasti bahwa ini tidak sekadar kasus kealpaan tak sengaja
dari sisi si Israel, tetapi gerakan yang disengaja untuk memotong
~ 501 ~ PAUL SUSSMAN jalannya, Khalifa, keluar dari skenario gambar pada momen yang
genting ini. mengapa" masalah pribadi" Karena Ben-Roi tidak
menyukainya" Ingin mengklaim semua penghargaan telah menemukan menorah untuk dirinya sendiri" Atau, adakah permainan
yang lebih besar dan busuk sedang dimainkan di sini, agenda yang
lebih luas lagi" Dia tidak tahu. Satu-satunya yang dia tahu adalah
bahwa si Israel ini sungguh-sungguh tidak boleh dipercaya.
Khalifa menyulut rokok lagi, mengetuk-ngetukkan jarinya di
meja, dan akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon dan
memutar nomor telepon genggam pribadi yang diberikan Gulami
malam sebelumnya, bila dia sedang dalam keadaan darurat. Lima
kali dering, kemudian mesin penjawab. Ia mematikan dan memulai
menelepon kembali. Sama saja. Pak menteri sedang mengadakan
pertemuan dengan Presiden mubarak, tidak akan bisa dihubungi
sampai malam, tidak bisa diganggu, dalam situasi apa pun. Sial.
Ia berdiri, mendekati jendela, mengetuk-ngetukkan jarinya
pada bingkai jendela dengan tidak sabar, kemudian kembali ke
mejanya dan menelepon seorang kenalan di al-Ahram, bertanya
bagaimana caranya ia dapat berkomunikasi dengan Sa"ib marsudi.
Temannya ini memberikan nomor seseorang di Ramallah, yang
kemudian memberinya kontak di Yerusalem, yang memberinya
kontak lagi di Ramallah dan kemudian memberinya nomor sebuah
kantor di Gaza, yang mengatakan padanya bahwa mereka tidak
tahu di mana keberadaan marsudi. Sialan betul!
Ia menelepon siapa saja untuk beberapa lama, kemudian, karena tidak tahu mau ke mana, ia pun turun ke koridor untuk membasuh muka, dan mencoba mendinginkan kepalanya. Begitu ia
melewati ruang kerja terakhir sebelum toilet, ia memerhatikan
muhammad Sariya sedang duduk sendiri di mejanya, menikmati
makan siangnya. merasa sedikit bersalah untuk perilakunya tadi, ia
pun berhenti dan melongokkan kepalanya di pintu.
"muhammad." Sariya mengangkat wajahnya.
"maafkan aku. Aku tidak bermaksud membentakmu seperti
~ 502 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
tadi. Aku agak sedikit...."
Deputinya ini melambaikan daun bawang padanya, mengabaikan permohonan maafnya. "Lupakan saja!"
"Tak ada yang penting, "kan?"
Sariya menggigit bawangnya.
"hanya tentang pintu, kok."
Khalifa menggelengkan kepalanya, tak mengerti.
"Kau tahu, gambar yang kau berikan padaku, slide itu. Yang
kau temukan di vilanya Jansen."
Dengan begitu banyak hal dalam pikirannya, Khalifa benarbenar telah lupa dengan benda itu.
"Dengar, dapatkah kita lakukan ini lain waktu saja,
muhammad" Saat ini makam sedang tidak menjadi prioritasku."
"Tentu," kata Sariya. "Walaupun itu sebabnya aku pikir kau
akan tertarik dengannya."
Lagi-lagi Khalifa menggelengkan kepalanya. "maksudmu apa?"
"Yahh, ini bukan makam."
"Bukan ... jadi apa?"
"Pertambangan," kata Sariya. "Di Jerman. Pertambangan
garam, persisnya." Untuk sesaat Khalifa terdiam di pintu; kemudian tergoda juga,
ia pun masuk ke dalam ruangan.
"Teruskan!" Deputinya mengunyah sisa bawang dalam mulutnya dan, sambil membungkuk, mengangkat file besar dari bawah mejanya,
mengambil selembar kertas berukuran A4 dengan catatan di atasnya, tiga buah foto besar, lalu slide yang ditemukan Khalifa di
vilanya hoth. "Aku dapat ukuran enam kali empat yang seperti biasanya,"
Sariya memulai, sambil menunjuk pada slide, "tetapi tidak memperlihatkan apa pun sehingga kau tidak dapat melihatnya. hanya
setelah aku meminta anak-anak di bagian fotografi untuk membesarkan gambar, aku pun menemukan sesuatu yang menarik."
~ 503 ~ PAUL SUSSMAN Ia memegang foto besar yang pertama. Itu adalah pintu yang
sama dengan yang diingat Khalifa: gelap, terlarang, membuka ke
atas di dasar dinding tinggi dari batu datar abu-abu. Kini, tepat di
atas bingkai pintu itu, ia dapat memperjelas huruf-huruf yang
secara kasar dituliskan pada permukaan batu kasar, begitu halus
sehingga tak terlihat pada slide aslinya. Ia membungkuk, memerhatikan kata-kata yang tertulis.
"Gl"ck Auf," ia membaca, terbata-bata dalam pengucapannya.
"Artinya semoga berhasil," jelas Sariya. "Bahasa Jerman. Aku
berbicara dengan Kedubesnya."


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan mereka dapat mengidentifikasi makam tersebut hanya
dari itu?" "Pertambangan," kata Sariya mengoreksi. "Dan tidak, mereka
tidak bisa. Ini adalah ucapan salam para penambang tradisional,
sebenarnya. Digunakan di seluruh Jerman."
"Jadi bagaimana?"
"Well, untuk hal itu, aku minta orang-orang fotografi memperbesar bagian atas pintu dan memperbesar gambar itu lagi,
benar-benar membesarkannya, dan...." Ia pun mengangkat
cetakan berikutnya. "menangkap sesuatu?"
Khalifa menyapukan pandangan pada seluruh permukaan foto.
Terlihat sama persis dengan gambar terakhir tadi, kecuali sesuatu
yang seperti percikan putih kecil di atas sudut kanan pintu, di
bawah huruf "f" dari GL"CK AUf.
"Apa itu?" "Bagus!" kata Sariya dengan tersenyum lebar. "Kita akan membuat deteksinya."
Ia mengangkat foto ketiga dan terakhir, sangat jelas, hanya segmen kecil dari bingkai pintu, kata AUf di bawahnya telah samar
tetapi dapat dibaca, yang dituliskan pada batu di area yang tidak
lebih besar daripada ukuran koin, legenda SW16.
"Awalnya aku mengira itu grafiti," katanya. "Aku mengirimnya
ke Kedutaan Besar, siapa tahu bisa memberikan tanda. mereka berhubungan dengan ahli pertambangan di Jerman, dan akhirnya meng~ 504 ~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
hubungiku pagi ini. Terungkap bahwa itu sebenarnya adalah...."
"Bagian dari sistem penomoran?"
"Tepat sekali. Biasa ada di seputar kota yang bernama ... ?"ia
melihat dulu pada lembar A4 yang penuh catatan"
"Berchtesgaden. Untuk mengidentifikasi pertambangan garam tua.
Pertambangan khusus ini bernama ... ?"ia melihat lagi pada
catatannya?"Berg-Ulmewerk. Ditinggalkan sejak akhir abad
kesembilan belas. mereka bahkan mengirimiku peta dan beberapa
hal tentang sejarahnya. Sangat efisien orang-orang Jerman ini."
Ia merogoh folder lagi dan mengambil kertas faksimili, kemudian memberikannya pada Khalifa, yang duduk di ujung mejanya.
Ada beberapa halaman dengan tulisan dalam bahasa Jerman"tak
berguna, karena dia tidak dapat menggunakan bahasa itu"sebuah
peta, dan juga gambar sebuah gunung. Ia tidak dapat memastikan,
tetapi dengan puncaknya yang datar dan berbatu terjal itu secara
berbeda terlihat seperti lukisan minyak yang tergantung di ruang
depan rumah hoth. Ia merasa dadanya sedikit mengencang,
sebuah rangsangan pada adrenalinnya.
"Kota ini, Berder apalah itu. Di mana tepatnya?"
"Berchtesgaden," deputinya mengoreksi. "Jerman selatan.
Dekat perbatasan dengan Austria."
Ada jeda sesaat, kemudian Khalifa berdiri dan melangkah cepat
ke ruang kerjanya. Peta masih terbuka di mejanya dan, sambil
meraihnya, ia mulai memusatkan matanya pada setiap halaman.
Tepat lima detik baginya untuk menemukan apa yang diinginkannya. Berchtesgaden. Kurang dari dua puluh kilometer dari
Salzburg, yang merupakan bandara terdekat. Ia mengangkat telepon dan memutar nomornya. Tiga kali dering, kemudian suara
Chief hasani terdengar di jalur telepon.
"Pak" Khalifa. Aku ingin mengajukan biaya perjalanan."
Terdengar gumaman kecil. "Aku khawatir sedikit lebih tinggi dari itu, Pak." Ia menggigit
bibirnya. "Austria."
Gumaman itu pun tiba-tiba menjadi lebih keras.
~ 505 ~ PAUL SUSSMAN b anDara b en -g urion PADA SAAT meReKA meNGAmBIL PASPoRNYA, BeRKeNDARA DI SePANJANG
enam puluh kilometer ke bandara dan menuju gedung terminal,
penerbangan ke Wina sudah mulai boarding. Ben-Roi memperlihatkan sekilas kartu ID polisinya, menjalani langkah pertama
pemeriksaan keamanan di aula keberangkatan"pertama kali dan
satu-satunya kesempatan Layla berusaha untuk bernegosiasi dengan pihak keamanan setempat tanpa pertanyaaan yang tak berkesudahan"dan langsung ke meja check-in. Kontrol keamanan
langkah kedua, pada pintu masuk ke ruang tunggu keberangkatan,
ternyata lebih banyak kesulitan. Salah seorang petugas jaga
memaksa membawa Layla ke sebuah ruangan kecil tersendiri untuk
memeriksanya, terlepas dari paksaan Ben-Roi bahwa dia berada
dalam pengawasannya dan sama sekali bukan ancaman. Pada saat
Layla diberi tanda bahwa semua beres, penerbangan mereka telah
dipanggil untuk yang terakhir kalinya.
"Ghabee!" Layla mendesah dengan tidak sabar begitu tas punggungnya dikembalikan padanya, seluruh isinya dibongkar. "Idiot."
Ia mencangklong tasnya di bahu dan berbalik mengejar BenRoi, yang telah berjalan menuju pintu keberangkatan. Saat dia
berlari, jauh di belakang meja pemeriksaan paspor, separuhnya
tersembunyi di balik pilar, matanya menangkap sosok berotot,
yang tampak sedang menatapnya. Pandangan mata mereka beradu begitu cepat, kemudian laki-laki itu mundur dan menghilang
dari pandangan. Di luar, Avi Steiner berjalan menuju area parkir mobil dan
menyelinap masuk ke bagian belakang Volvo.
"mereka sedang naik ke pesawat."
har-zion mengangguk dan, sambil menyorongkan tubuhnya,
mengetuk bahu sopir. mobil mulai menyala dan mereka kemudian
~ 506 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
melesat, melewati gerbang keamanan pada ujung terminal dan
keluar melintasi jalan raya, melewati sebaris kargo sebelum berhenti di sisi garasi pesawat yang pintunya terbuka memperlihatkan
pesawat jet Cessna Citation. empat laki-laki lain"tinggi, terlatih,
tanpa ekspresi"sedang menunggu mereka di sisi tangga pesawat,
masing-masing mengenakan yarmulke hitam, masing-masing memegang tas kampas besar. har-zion dan Steiner keluar dan, dengan
saling mengetahui kehadiran yang lain dalam diam, keenamnya
menghilang masuk ke perut pesawat jet. Pintu tertutup, mesinnya
mulai menyala dan menderu halus.
m esir KhALIfA KeTINGGALAN PeSAWAT hARIAN SATU-SATUNYA YANG TeRBANG
langsung dari mesir ke Austria, sehingga ia harus mencari-cari dan
mencoba mengumpulkan semua alternatif jalur menuju Salzburg
melalui Ibu Kota negara eropa lain. Setelah hampir satu jam
menelepon yang terbaik yang dia bisa, akhirnya dia mendapatkan
rute melalui Roma dan Innsbruck, yang berarti dia tidak akan tiba
di tempat tujuan hingga lewat tengah malam. Pada saat itu BenRoi hampir pasti sudah mencapai pertambangan, selesai melakukan apa pun yang akan dilakukannya di sana dan pergi lagi, dan
Khalifa mulai berpikir bahwa dia hanya membuang waktu saja,
bahwa tidak mungkin dia dapat mengejar si Israel ini, ketika, dengan usaha terakhirnya untuk menelepon, dia akhirnya mendapatkan apa yang diperlukannya: pesawat carter untuk turis langsung
dari Luxor ke munich, berangkat pukul 13.15. munich hanya 130
kilometer lewat darat dari Berchtesgaden dan, walaupun bukan
solusi ideal, itu tetap merupakan pilihan terbaik dalam keadaan
seperti itu. Ia masih punya waktu untuk menelepon zenab, mengatakan
padanya bahwa ia akan melakukan perjalanan bisnis singkat?"Tak
perlu khawatir, aku akan kembali sekitar pukul sekarang esok
~ 507 ~ PAUL SUSSMAN hari?"sebelum menuju bandara. Begitu cepat semua ini terjadi
hingga baru setelah berada di dalam pesawat dan mulai melintas
di landasan pacu, Khalifa baru tersadar bahwa ini akan menjadi
yang pertama kali sepanjang hidupnya dia keluar dari negeri asalnya, mesir.
s aLzburg meReKA meNDARAT DI WINA PADA PUKUL 15.30, DAN SALzBURG SATU JAm
kemudian, menuju mobil sewaan dan melaju cepat ke arah selatan
sepanjang jalan bebas hambatan. Ben-Roi pada kemudi dan Layla
membaca peta. Bavarian Alps mengelilingi mereka seperti lingkaran tempat peperangan, sebuah dataran tinggi yang ditumbuhi
pepohonan di semua sisinya. Walaupun bagian yang lebih rendah
tidak tertutup salju, di atasnya, pada level ketika ada hutan pohon
birch, elm, abu dan juniper, memberi jalan pada serangkaian
cemara dan pinus gunung yang bertingkat-tingkat, semuanya tibatiba tersapu dalam putihnya kabut. Walaupun tidak ada yang
benar-benar dikatakan, mereka berdua menatap ke atas dalam
kepedulian yang besar, khawatir setelah jauh-jauh datang ke sini,
mereka hanya mendapatkan tempat yang tidak dapat diakses.
Tidak ada yang dapat mereka lakukan pada tahap ini, dan mereka
melaju dalam diam, keluar dari jalan bebas hambatan setelah sepuluh kilometer dan mengambil jalan bersimpangan A yang menuju langsung ke arah Berchtesgaden, sungai mengalir di sisi kanan
mereka, aspal di bawahnya dilalui dengan cepat seperti pita gelondongan benang.
Ben-Roi, Layla sempat menangkap, terus memerhatikan keadaan di belakang melalui kaca spion, walaupun jalan di belakang
mereka benar-benar bebas dari lalu lintas.
m unich ~ 508 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
WALAUPUN PeNeRBANGANNYA meNDARAT DUA PULUh meNIT LeBIh AWAL
dari jadwal, Khalifa menghabiskan banyak waktu pada bagian
pemeriksaan paspor, ketika, bahkan dengan ID polisi mesirnya, ia
berjuang membujuk petugas"seorang perempuan berwajah
masam dan besar dengan rambut model bob dan ukuran dada paling besar yang pernah dilihatnya"bahwa ia bukan imigran gelap
yang mencoba menyusup ke dalam negeri untuk mengelabui sistem keamanan sosialnya (fakta bahwa tiket pesawatnya masih terbuka untuk perjalanan pulang dan tidak dapat berbahasa Jerman
tidak membantunya). Pada saat ia telah berhasil membujuknya,
dan kemudian membeli peta, mengambil mobil VW Polo sewaan
dan berpikir sejenak tentang jalan keluar dari bandara dan menuju
jalan bebas hambatan di sisi timur, hari sudah mulai malam, napas
terakhir siang hari secara perlahan melebur ke dalam senja yang
berkabut tebal. Dalam kondisi lain, ia tentu akan bersikap lebih tenang, meluangkan waktu untuk dirinya sendiri menyerap dan memerhatikan lingkungan barunya. Padang rumput yang subur; bukit yang
tertutup hutan; desa-desa yang cantik dengan gereja berkubah dan
rumah berdinding keramik merah yang rapi"semua tampak asing
sama sekali baginya, benar-benar berbeda dari pemandangan
padang pasir terbakar matahari yang merupakan dunianya sendiri.
Namun dalam kondisi Ben-Roi sudah berada jauh di depannya,
tidak ada waktu untuk memanjakan diri seperti itu, selain juga
tidak berada dalam suasana hati yang enak untuk melakukan hal
itu. malahan, dengan pandangan sekilas pada sekelilingnya, ia
memacu mobilnya memasuki jalur terluar dan tercepat dari tiga
jalur bebas hambatan, menekan gas sejauh mungkin dan melesat
masuk ke senja yang semakin gelap, lupa akan tanda di atas yang
menyatakan batas kecepatan 130 km/jam.
hanya satu kali selama perjalanan berikutnya ia membolehkan
fokus sekuat baja ini ragu. Ia membelok ke pos layanan Dea untuk
mengisi bahan bakar dan membeli rokok. Khalifa sedang menuju
mobilnya ketika, pada tepi berumput di sisi lain pompa bensin itu,
~ 509 ~ PAUL SUSSMAN ia memerhatikan sebidang tanah tertutup salju, tidak lebih besar
daripada selimut anak-anak, yang pastinya aslinya lebih luas lagi
tertutup salju. Ia tidak pernah melihat salju sebelumnya, salju yang
sesungguhnya, apalagi menyentuhnya. Walaupun ia dapat mendengar detik-detik berlalu di dalam kepalanya, ia tak dapat menahan diri untuk berlari kecil mendekati dan menyentuhkan tangannya pada permukaan bidang yang tertutup es, memegangnya
untuk sesaat lamanya seolah sedang mengamati hewan yang tidak
biasa, sebelum akhirnya bergegas kembali ke dalam mobil dan
menuju arah yang telah direncanakannya.
"Tunggu sampai aku menceritakannya pada zenab," pikirnya,
telapak tangannya masih terasa kebas. "Ia tidak akan memercayaiku. Salju! Allahu akbar!"
b erchTesgaDen meReKA BeRheNTI DI ToKo KeCIL TePI JALAN YANG meNJUAL PeRKAKAS
sekitar lima kilometer dari Berchtesgaden untuk membeli lampu
senter dan pakaian musim dingin, kemudian berbelok kiri ke jalan
bebas hambatan utama dan naik ke bukit. Walaupun kini hari
sudah malam, langit di atas begitu bersih dan jernih, dihiasi bintang
senja di sana-sini dan bulan purnama berwarna es yang menghujani apa saja di sekitarnya dengan sinar redup keperakan, seolah
lanskap itu terbuat dari timah. Di sana-sini kerumunan sinar terang
menandai desa dan daerah pertanian yang terisolasi, sementara di
dataran yang lebih rendah di belakang, lampu utama mobil menapaki jalan mereka menerobos kegelapan sepanjang jalan raya
utama antara Berchtesgaden dan Salzburg. Namun begitu tidak
ada mobil lain di jalan yang mereka lintasi, dan ketika mereka telah
melewati desa oberau, dengan deretan rumah alpin beratap merah
dan hijau, lampu-lampunya sudah mulai padam, membiarkan
dunia begitu hening, kosong dan tenang, menghilangkan semua
jejak kemanusiaan kecuali jalan itu sendiri dan, setiap satu kilo~ 510 ~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
meter atau lebih, ada tanda besar yang mengatakan mereka sedang
melaju ke sesuatu yang disebut Rossfeld-hohen-Ringstrasse.
"Kau yakin ini jalur yang benar?" tanya Ben-Roi, mengubah
lampu jauh ke lampu dekat.
Layla mengangguk, jari-jarinya tetap di atas peta. "Kita memutar di bawah hoher Goll dan terus lagi menuju Berchtesgaden.
menurut bukunya Schlegel, jalur menuju pertambangan mulai dari
setelah melewati titik tertingginya. Kita harus menemukan bangunan yang runtuh."
Si Israel menggerutu dan, sembari melempar pandangan sekilas
ke kaca spion, ia menginjak rem, membelokkan mobil pada tikungan tajam dan mempercepatnya lagi, menghasilkan bunyi berdecit
roda dan badan mobil, lampu utama mobil menangkap lubanglubang dalam temaram sinar.
Pada titik ini mereka telah berada di atas garis salju, apa pun di
sekitar mereka tenggelam di bawah selimut putih: salju di permukaan tanah, salju di pepohonan, salju menutupi seperti dinding
bermeter-meter tingginya di mana pun di sekitar mereka. Jalur itu
sendiri tetap bersih, dan mereka dapat melanjutkan perjalanan ke
atas tanpa rintangan, berjalan melalui tikungan tajam, lebih tinggi
dan lebih tinggi. Wajah hoher Goll yang seperti tebing di bagian
belakang tampak lebih menakutkan lagi dari depan, sampai
akhirnya mereka bertemu jalan datar sejauh satu kilometer atau
lebih menerobos hutan pinus yang lebat sebelum menurun lagi.
Pada saat itu, di depan mereka, pada puncak tikungan panjang,
lampu utama mobil menangkap bangunan kecil yang telah runtuh
berada di sebelah kiri jalan, dinding batunya tertutup serpihan
salju tebal. Ketika mereka sampai di situ dan memperlambat laju
mobil, Layla menunjuk pada tanda kayu kecil di sisi jalan dengan
anak panah kuning mengarah ke atas ke pepohonan.
"Jalan hoher Goll," kata Layla.
mereka berhenti dan keluar. Untuk sesaat mereka berdiri di
sana, memerhatikan sekeliling mereka. Keheningan membungkus
mereka, uap karena dingin keluar dari mulut keduanya. Kemudian,
~ 511 ~ PAUL SUSSMAN tanpa berlama-lama, mereka mengenakan sepatu bot, jaket dan
sarung tangan lalu menyalakan lampu senter dan masuk ke hutan,
mengikuti apa yang dalam cuaca hangat disebut dengan jalur atau
lintasan kecil, tetapi kini hanya berupa lapangan tertutup salju perawan yang melengkung di atas menerobos pepohonan pinus yang
bertangga-tangga. Selama beberapa ratus meter pertama perjalanan tidak terlalu
sulit. Jalurnya menanjak halus, kaki mereka tenggelam di dalam
salju yang tingginya tidak melebihi pergelangan kaki. Secara bertahap, tanjakan mulai lebih terjal dan salju semakin dalam; mulanya mencapai betis, kemudian lutut, dan dalam beberapa tempat,
sampai ke paha, sehingga membuat langkah mereka lambat, tidak
praktis dan melelahkan. Dinginnya begitu menggigit, dan kerumunan pepohonan di sekitar mereka semakin tidak beraturan,
membuat mereka lebih sering berhenti untuk memastikan bahwa
mereka masih berada di jalur yang benar. mereka tidak pernah
diam berdiri, melainkan bergerak kian kemari seakan sengaja mencoba menghalau hawa dingin yang mereka rasakan. Kalau bukan
karena tanda-tanda anak panah kuning yang tertancap pada interval tertentu di batang pohon sepanjang rute, dan menyadari
bahwa apa pun yang mereka lakukan mereka harus tetap bergerak
naik, maka mereka pasti sudah lama kehilangan arah.
Buku Isaac Schlegel menyatakan bahwa hanya diperlukan
waktu tiga puluh menit untuk menuju pertambangan. Dengan
kondisi seperti yang mereka hadapi sekarang, maka sudah hampir
satu setengah jam lamanya sebelum akhirnya mereka merasa tanah
yang mereka pijak mulai mendatar. Seolah baru muncul dari
lorong, keduanya berjalan sempoyongan menuju tempat yang
lebih luas di kaki dinding batu hitam belakang, tubuh mereka terselimuti sisa-sisa salju yang menempel dari pinggang ke bawah.
"Terima kasih, Tuhan," kata Layla, terengah-engah.
Di sisinya, Ben-Roi menarik botol dari kantong di pinggangnya
dan, di antara batuknya, meneguk beberapa kali dengan tegukan
panjang. ~ 512 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
mereka beristirahat setengah menit, kemudian, masih berusaha
keras mengatur napas, bergerak naik beberapa langkah dan mengangkat lampu, memainkan sinarnya ke segala arah pada permukaan batu di depan mereka sampai mereka menemukan pintu masuk


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertambangan"bentuk persegi dan gelap yang mulutnya berupa
kayu tipis yang telah dipaku untuk mencegah siapa pun masuk.
mereka saling bertukar pandang, tidak dapat mengetahui banyak
fitur lain di balik tirai uap yang keluar dari mulut mereka, kemudian melangkah maju ke tempat terbuka, menerobos gundukan batu
yang tertutup salju dan terus berjalan sampai mereka mencapai
pertambangan. Tiga tendangan yang tidak terlalu keras dan sedikit dorongan
sudah cukup untuk merobohkan barikade tipis yang menghalangi
pintu, membuka koridor lembab yang tersembunyi dalam posisi
membujur mundur ke dalam sisi bukit. Atapnya disangga oleh kayu
dengan jarak interval tertentu, pembatasnya yang sempit bergabung dengan kegelapan yang begitu pekat sehingga Layla merasa
ia dapat menyentuhnya dan meraih bagiannya. Untuk momen
singkat yang begitu menekan ia menemukan dirinya terjebak lagi
oleh mimpi buruknya yang berulang terjadi"sel bawah tanah,
hewan yang penuh curiga, kengerian yang sama, kegelapan yang
menyelimuti"sebelum ia tersadar kembali ke masa sekarang oleh
suara Ben-Roi yang bergerak maju ke dalam terowongan. Layla
mengikutinya, dinding sepertinya menekan dirinya, jantungnya
bertalu-talu, terus begitu sampai sekitar sepuluh meter sebelum si
Israel ini tiba-tiba berhenti, garis tubuhnya yang besar menghalangi
seluruh koridor. "Sialan!" "Apa?" "Sialan!" Layla mendekatinya, sinar lampunya bergabung dengan sinar
lampu Ben-Roi menghasilkan bias sinar terang yang menyoroti
kegelapan di depannya. empat puluh meter di depannya dalam
terowongan itu buntu, tertutup dinding tebal dari bebatuan tem~ 513 ~
PAUL SUSSMAN pat atap pertambangan telah digali.
"Keparat!" b erchTesgaDen KhALIfA TIBA DI BeRChTeSGADeN DARI ARAh UTARA, LeWAT JALAN DARAT
dari Bad Reichenhall. Bagian dalam Polo saat itu pekat oleh asap
rokok, tempat asbak pada dasbor penuh sesak oleh puntung
rokok. Ia menghentikan mobilnya di depan stasiun kereta api kota
untuk membaca peta, kemudian bersiap lagi, seraya melemparkan
pandangan sekilas pada sekelompok laki-laki yang sedang berjalan
di seberang jalan dengan berpakaian celana pendek kulit"
Tuhanku, dalam cuaca seperti ini!"sebelum melaju ke sungai
Berchtesgadener Ache dan naik ke arah luar kota menuju pegunungan.
menurut peta yang dikirim via faksimili oleh orang Jerman itu
kepada Sariya, pertambangan Berg-Ulmewerk diakses melalui
semacam jalan kecil atau jalur yang menuju ke atas dari Rossfeldhohen-Ringstrasse, jalan yang ia ikuti sekarang. Namun, di mana
persisnya jalur itu dimulai, atau apakah ada tanda apa pun tentangnya, tidak begitu jelas, baik di dalam peta yang dikirim via faksimili atau pada peta yang ia beli di bandara. Semakin tinggi
Khalifa naik, semakin dalam saljunya dan semakin lebat hutan
pinusnya, dan semakin ia menjadi khawatir sehingga jika tidak
menemukan tanda berbunyi PeRTAmBANGAN LeWAT JALAN
INI, ia tidak akan pernah dapat menemukan tempat benda sialan
itu. Sebenarnya Khalifa baru saja berpikir dia tidak usah berputar
dan kembali saja ke desa terdekat, mencoba mendapatkan arah
yang lebih rinci, ketika, muncul di tikungan yang kelihatannya
merupakan titik tertinggi jalan, lampu senternya menangkap wajah
reruntuhan bangunan batu menumpuk di tempat terbuka di sisi
~ 514 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
kanan. Di balik gundukan itu sebuah mobil berhenti di sisi jalan,
dengan jejak tercetak secara tidak rapi menuju hutan di atas. BenRoi. Pasti dia. Khalifa berhenti, mematikan mesin dan keluar dari
mobilnya. Bila ia berpikir bahwa di dataran rendah udaranya begitu dingin, maka hal itu belum apa-apa dibandingkan udara yang dingin
seperti es dan menggigit yang sekarang menyelimutinya, udara
segar pegunungan seperti mengoyak pakaiannya sehingga ia merasa seolah sedang berdiri telanjang bulat di dalam sebuah lemari
pendingin raksasa. Untuk sesaat, hal itu cukup membuat napasnya
tersendat, seakan seseorang telah menyodok perutnya. Dan bahkan ketika ia sudah merasa cukup pulih untuk menyelipkan rokok
pada mulutnya dan menyulutnya, gigi-giginya gemeletuk hingga
dia harus berjuang keras hanya untuk dapat mengisap rokoknya.
Khalifa mengentak-entakkan kakinya sebentar, mencari kehangatan apa pun yang bisa didapat untuk tubuhnya, kemudian
kembali ke dalam Polo dan merapikan setiap lembar kertas yang
dapat disimpan dalam saku jaketnya"peta, surat penyewaan mobil, bahkan buku log Volkswagen"kemudian mengempas pintu,
menguncinya dan bersiap memasuki hutan. Sepatunya tenggelam
dan berderap dalam salju, pohon pinus yang mengelilinginya
seperti jeruji sangkar besar.
meReKA BeRhASIL memINDAhKAN beberapa batu yang lebih kecil dari
reruntuhan langit-langit, berharap ini merupakan keruntuhan yang
terbatas dan entah bagaimana mereka akan dapat keluar dari
kesulitan menerobos terowongan di atas sana. Tak ada peluang. Di
belakang batu yang lebih kecil ada batu yang lebih besar, batu yang
sangat besar, lempengan batu yang besar. Perlu perjuangan untuk
memindahkan bebatuan itu dengan sepuluh orang dan perlengkapan pengangkat yang sesuai. Dengan hanya mereka berdua, dan
tidak ada alat yang dapat digunakan selain tangan kosong mereka,
maka hal itu mustahil dilakukan. mereka mencoba menyelesaikan
persoalan itu selama tiga puluh menit, lampu sorotnya menyinari
~ 515 ~ PAUL SUSSMAN dengan susah payah pada ember timah tua di lantai, kemudian
menyerah. "membuang-buang waktu kita saja," kata Layla, wajahnya
berisi butiran keringat melawan dingin. "Tak mungkin kita dapat
menerobosnya. Tidak mungkin."
Ben-Roi tidak mengatakan apa-apa, hanya bersandar di dinding sambil menarik napas berat. Kemudian, dengan makian
"Dasar sial," ia meraih salah satu lampu senter dan menyoroti
lorong di belakangnya ke arah sinar kecil yang ada pada pintu
masuk pertambangan yang berbentuk persegi berwarna abu-abu.
Layla menunda sebentar, kemudian bergerak maju dan mengambil
senter kedua. Ketika ia melakukannya, sinar senternya merambat
sesaat di lantai, menangkap apa yang kelihatannya seperti lekukan
halus pada batu di bawah kakinya, tidak lebih dari beberapa sentimeter dan hampir tidak terlihat karena tertutup debu dan kotoran
yang menutupi lantai. Ia mengarahkan senternya ke bawah,
mengerutkan dahi, kemudian berjongkok dan, sambil memegang
senter dengan tangan yang satu, menggosok lantai dengan tangan
yang lain. Lekukannya mulai terlihat, dan lekukan yang lain juga. Ia
menggosok lebih keras. Lekukan itu berupa garis-garis paralel, satu
set mengikuti arah koridor dari pintu masuk ke reruntuhan batu,
lekukan lain melengkung pada titik tempat ia berjongkok dan langsung ke dinding antara dua penyangga kayu langit-langit.
"Lihat ini!" kata Layla, masih sambil menggosok-gosok lantai.
Saat itu Ben-Roi hampir sampai di pintu masuk pertambangan.
Ia berhenti dan menoleh. "Pernah ada rel di sini," kata Layla. "Di lantai. mereka menuju
pertambangan. Tetapi kemudian, tepat di sini, jalurnya bercabang."
Si Israel ragu, kemudian berjalan kembali masuk ke terowongan
tempat Layla berjongkok, lampu senternya bergabung dengan
lampu milik Layla menyinari lekukan paralel yang menikung dari
sumbu utama lorong. Ben-Roi menatapnya, kemudian bergerak
kembali dan mengarahkan senternya pada area dinding tempat
lekukan itu menghilang. Layla melakukan hal yang sama. Walau~ 516 ~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
pun kotor dan tidak rata, kini mereka melihatnya lebih dekat
sehingga dapat mengetahui dengan jelas bahwa bagian tertentu
dari batu itu berwarna lebih terang daripada bagian lain dalam
terowongan itu, dan memiliki tekstur yang samar-samar berbeda.
Ben-Roi mendekatinya, menyentuh permukaannya, menonjokkan
kepalan tangannya pada permukaan itu.
"Ini beton!" ia mendesis. "Ada pintu di sini. Seseorang menutupnya, mencoba membuatnya terlihat seperti bagian lorong yang
lain." "Kau pikir ...?"
Ia tidak menjawab, hanya menonjoknya lagi, dan lebih keras.
Layla tidak yakin, tapi dia merasa dirinya menangkap suara gaung
sayup-sayup. Sebuah kepala kampak tua tergeletak di lantai di
dekatnya. Dia memungutnya dan memukulkannya pada dinding.
Lagi-lagi, suara gaung semakin terdengar keras. mereka saling
menatap, kemudian Ben-Roi meraih kepala kampak itu, memberikan senternya pada Layla dan mulai memukul-mukul dinding.
Satu, dua, tiga dan retakan kecil pun terbuka. Ben-Roi menyesuaikan posisinya, membuat ruang lebih leluasa bagi dirinya untuk
mengayun kampak dan memulai lagi pukulannya pada permukaan
dinding itu. Retakan itu semakin melebar dan menyebar, retakan
tambahan merambat darinya seperti jari-jari roda, suara gaung semakin terdengar keras pada setiap hantaman sampai akhirnya
sepotong lembaran beton terlepas dan jatuh ke lantai, memperlihatkan dinding balok di belakangnya. Pada permukaannya, dalam
cat putih, tertulis kata meIN ehRe ...
"heisst Treue," bisik Layla, melengkapi legenda, bagian terakhirnya terhalang di bawah beton. Ia memandang Ben-Roi.
"Semboyan SS." "Kau memang keparat, hoth," ia bergumam. "Kau memang
Nazi keparat!" Ia memukul-mukul balok-balok untuk menimbang-nimbang
berapa padatnya mereka, kemudian, dengan menggunakan ujung
kampak, mulai menggores-gores salah satunya, menghilangkan
~ 517 ~ PAUL SUSSMAN semen penempel yang ada di tempatnya. Sudah lebih jelas
sekarang, terlihat dengan mudah, remuk hampir bersamaan dengan saat ujung kampak itu dihantamkan pada mereka. Dalam
semenit Ben-Roi telah membebaskan balok itu dari potongan lain
di sebelahnya. Ia menjatuhkan kapak dan menendang dinding itu.
Balok itu bergetar, tetapi masih utuh. Ia menendang lagi, dengan
mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghantam. Kali ini
balok itu terlepas, jatuh ke belakang dan menghilang dengan suara
gedebuk seperti gabus penyumbat botol terlempar dari botol,
meninggalkan gua yang gelap. Ia mengambil senternya lagi dari
Layla dan, sambil menyorongkan badannya ke depan, menyinari
lubang itu. "oy vey!" "Apa yang kau lihat?"
"oy vey!" "Apa?" Ben-Roi mundur, memberikan kesempatan pada Layla untuk
berdiri di tempatnya. Layla mengangkat senternya dan, sambil
menjulurkan wajahnya ke gua, melihat ke dalam kegelapan, uap
dari napasnya melayang-layang dan berputar dalam cahaya
lampu. Lorong lain terbentang di depannya, lebih sempit daripada
lorong utama dan ada sisi kanannya. Sepanjang dinding, terlihat
sekilas dalam cahaya lampu sebelum kembali gelap lagi karena ia
mengayunkan lampunya dari satu sisi ke sisi lain, adalah berlusinlusin kotak dan peti, sebagian terbuat dari kayu, sebagiannya
logam, ada yang besar, kecil. Dan kebanyakan, sejauh yang dapat
ia amati, bercap swastika dan lencana dua kilat kembar SS.
"Tuhan yang Kuasa," Layla berbisik.
Ia mengamati pemandangan ini selama tiga puluh detik, terpaku. Kemudian, tiba-tiba perasaan tidak nyaman menyergapnya
karena membelakangi Ben-Roi, ia pun berbalik. Si Israel tepat
berdiri di belakangnya, dengan tangan menggenggam pahat besi
berkarat yang pasti telah ia pungut ketika Layla sedang mengamati
isi gua. Untuk sesaat ia merasa tegang, mengira laki-laki ini akan
~ 518 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
menyerangnya. Tetapi ia malah memberikan pahat itu pada Layla
dan, sambil membungkuk, mengangkat kapak dari lantai tempat ia
membuangnya. "Ayo kita runtuhkan," katanya.
Kurang dari lima menit waktu yang mereka perlukan untuk
memperluas pintu gua sampai terbuka sepenuhnya. Segera setelah
mereka membuat lubang yang cukup besar, mereka menyingkirkan
peralatan ke tepi dan, Ben-Roi yang pertama, merangkak dalam
lorong itu, embusan kasar napas mereka tampak mengisi seluruh
terowongan seolah mereka sedang berdiri di dalam paru-paru batu
yang besar. mereka mengarahkan sinar senter ke sana-sini, mencoba melihat berapa jauh koridor itu terbuka, kemudian melangkah mendekati kotak terdekat dan berjongkok di depannya. Kotak itu
berbentuk bujur sangkar, terbuat dari logam, dengan penutup yang
padanya tertera gambar tengkorak dan tulang bersilang yang telah
disemprotkan dalam warna hitam. Ben-Roi menjentikkan pengaitnya dan membukanya.
"Chara!" ia terperanjat. "Sialan!"
Di dalam kotak itu, terbungkus dalam kertas lilin seperti
potongan keju, ada dua lusin kotak bom plastik. mereka memerhatikan isi kotak itu dengan gugup, kemudian beralih ke kotak
berikutnya, yang terbuat dari kayu. Ada linggis tergeletak di atas
kotak dan, dengan menggunakan linggis itu, Ben-Roi membuka
penutup, mengesampingkan lapisan jerami yang menutupi. Dan
tampaklah sebuah pistol mauser yang terkemas dalam kotak kayu.
Ruang di ujung peti dipenuhi klip amunisi.
"Ini gudang senjata," kata Layla. "Ini gudang senjata!"
mereka mengangkat salah satu pistol dan memeriksanya"terlihat begitu rapi, tidak rusak setelah enam puluh tahun tersimpan
dalam kegelapan pertambangan"kemudian meletakkan lagi ke
tempatnya dan mulai masuk lebih jauh ke dalam lorong. mereka
berhenti setiap beberapa meter untuk membuka kotak dan peti.
Kebanyakan berisi senjata dan peralatan penghancur. Ada benda
~ 519 ~ PAUL SUSSMAN lain juga. Salah satu kotak penuh sesak berisi ratusan Salib Besi,
yang lain berisi bundel banknotes yang terbungkus rapi, dan yang
lain berisi botol anggur yang telah berdebu. Sebuah peti datar kecil
yang menempel pada dinding sekitar dua puluh meter ke dalam
lorong memiliki penanda yang tertempel padanya bertuliskan "1
Vermeer, 1 Breughel (Altere), 2 Rembrandt."
"Tuhan yang Kuasa," kata Layla terus bergumam pada dirinya
sendiri. "mahabesar Tuhan."
Dengan semua koleksi yang spektakuler itu, mereka belum
menemukan tanda apa pun tentang menorah. mereka pun terus
berjalan di sepanjang lorong, lebih dalam dan lebih dalam lagi ke
pegunungan sampai akhirnya, setelah hampir lima puluh meter,
melihat bahwa di depannya lorong sepertinya semakin melebar.
mulut lorong sangat gelap bahkan lebih tidak terpenetrasi daripada yang telah mereka temukan di tempat lain. mereka menyorotkan lampu ke berbagai arah untuk melihat apa yang terjadi,
kemudian terus berjalan, sejauh dua puluh meter lagi sebelum
dinding lorong tiba-tiba menghilang dan tahu-tahu mereka sedang
berdiri di pelataran datar yang luas, memandangi kekosongan.
"Ini gua yang sangat besar," Layla berbisik.
mereka bergerak menuju bagian depan pelataran. Di sana terdapat sesuatu yang tampaknya berupa sistem elevator dasar yang
memberi akses menuju lantai gua di bawah"hanya berupa platform atau lantai kayu persegi dengan rel tangan pada masingmasing ujungnya, berjalan di dua jalur vertikal yang melekat pada
permukaan dinding batu. mereka mencobanya dengan kaki, dengan hati-hati sekali, memastikan bahwa kayunya tidak rapuh,
kemudian melangkah ke atasnya dan menyorotkan lampu maglites
ke kekosongan. Dengan segala sesuatunya tertimbun dalam kegelapan maka
mustahil dapat mengira dimensi gua besar itu. Dengan sinar senter
yang semakin melemah ketika mereka menyentuh langit-langit,
dan telah benar-benar tertutupi sebelum mereka dapat menyentuh
dinding terjauh, mereka dapat mengatakan bahwa gua itu begitu
~ 520 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
besar. Sangat besar. Di bawah"sepuluh sampai lima belas meter"
mereka dapat memuat lebih banyak peti. Lebih banyak lagi peti.
"Berapa banyak benda ini di sana?" kata Ben-Roi.
mereka menyorotkan maglite ke sekeliling selama hampir satu
menit, mencoba mencermati bersama gambaran tentang sekeliling,
kemudian mulai mencari cara agar elevator ini berjalan. Sebuah
kotak pengendali menempel pada salah satu rel tangan dengan
kabel listrik panjang menggantung dari sisi bawahnya dan tuas
pada permukaannya. Ben-Roi menarik tuas itu. Tidak terjadi apaapa.


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak ada tenaganya," katanya.
Ia meletakkan linggis yang masih dipegangnya dan kemudian
memegang rel, menyorotkan senternya ke kegelapan, mencoba
menemukan sumber listrik bagi lift ini. Ada banyak gulungan kabel
di lantai gua, satu"yang paling tebal"ada di sepanjang permukaan batu di samping elevator. Ia menelusurinya dengan sinar
lampunya, mengikutinya ke atas sampai pada tepi pelataran, pada
balkon batu dan melintasi pintu rendah beberapa meter di sisi kiri
pintu lorong. mereka mendekatinya dan masuk ke dalam ruang
kecil tempat kabel masuk ke dalam generator besar, mekanisme
engkol berkarat bergantung dari sisinya seperti lengan yang layu.
"menurutmu ini masih bekerja?" tanya Layla. "Setelah sekian
lama?" "hanya ada satu cara untuk mengetahuinya," kata Ben-Roi,
sambil memberikan lampunya pada Layla.
Ia meraih engkol dengan kedua tangannya dan menariknya,
memutarnya separuh lingkaran. Tidak bereaksi. Ia mencoba lagi.
masih tetap tak bereaksi. Ia membentangkan bahunya, jongkok
untuk membuat dirinya lebih banyak ruang dan mengangkat.
Generator mengeluarkan suara lemah, badannya agak merasa
ngeri. "Ayo," desis Layla.
Ben-Roi menarik handel itu lagi, dan lagi, dan lagi. masingmasing gerakan itu menghasilkan suara rentetan berlarut-larut yang
~ 521 ~ PAUL SUSSMAN lebih keras sampai akhirnya, pada usaha yang kesembilan, mesin
itu tiba-tiba hidup. Sinar yang terang benderang mengejutkan
membanjiri gua di belakang mereka. mereka bergegas kembali ke
pelataran. "Sialan," kata Layla.
Begitu mereka berhasil, ternyata mereka sedang berdiri di
balkoni alamiah pada ujung gua yang besar seperti hangar, tiga
puluh meter tingginya, lebar empat puluh meter, panjang tujuh
puluh meter, dinding dan langit-langitnya berselang-seling dengan
garis bergelombang batu oranye dan abu-abu. Namun, bukan gua
itu sendiri yang membuat mereka tetap berdiri dengan mulut terbuka, tetapi isinya, karena bila pada lorong di sebelah sana ada
lusinan peti dan kotak, di sini"dengan sinar berkilau dari delapan
lampu raksasa"ada ratusan, garis demi garis, baris demi baris, rak
demi rak, yang terbagi ke dalam blok-blok yang rapi dengan jalur
sempit di antaranya yang sesak dengan barang-barang lain"
patung, senjata mesin, lukisan, drum minyak, bahkan sepasang
sepeda motor tua. Tergantung dari langit-langitnya pada bagian
belakang gua, menutupi hampir seluruh dinding belakang, sebuah
bendera besar"merah, putih dan hitam dengan bagian tengahnya
swastika berlengan miring.
"Sialan," ulang Layla.
mereka melangkah ke tataran elevator lagi, generator menderu
di belakang mereka, maglites ada dalam genggaman mereka.
"Kita tidak akan pernah menemukannya," gumam Layla. "Tidak
mungkin. Ini akan memakan waktu berhari-hari, bermingguminggu."
Ben-Roi tidak mengatakan apa-apa, hanya melihat sekeliling
gua dengan penuh perhatian. Sepuluh detik berlalu, kemudian ia
mengangkat senternya, menunjuk ke satu arah.
"Tidak, tidak akan memakan waktu sebanyak itu."
Di bawah mereka, sepanjang gua mulai dari elevator ke dinding belakang, ada gang sentral yang luas, satu-satunya bagian lantai yang bersih dari kekacauan. Pada ujungnya di sebelah sana,
~ 522 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
berdiri sendiri langsung di bawah bendera Nazi seolah memang
sengaja dibuat terpisah, ada satu peti besar, berbentuk bujur
sangkar, kira-kira setinggi seorang laki-laki.
"Itu dia," katanya.
"Ya," bisik Layla. "Ya."
mereka menatap benda itu, kemudian, sambil mengambil linggis lagi, Ben-Roi menggeser tungkai kontrol elevator ke depan.
Terdengar suara klik yang keras, dan dengan getaran platform kayu
itu secara perlahan mulai turun, bergemuruh dengan suara derit
mesin sebelum berhenti beberapa sentimeter di atas lantai gua.
mereka melompat ke lantai dan berjalan, langkah kaki mereka tak
terdengar pada permukaan batu yang rata. Rak peti itu menjulang
seperti dinding pada sisi mereka, gua itu terasa lebih besar dan
mengesankan karena sekarang mereka melihatnya dari lantai dasar.
Kira-kira separuh jalan, gemuruh generator sesaat mereda, membuat ruang gelap selama beberapa detik sebelum motor itu
menyala kembali dengan sendirinya dan gua itu sekali lagi disinari
cahaya terang benderang. mereka berhenti, menunggu apakah hal
itu akan terjadi lagi, kemudian melanjutkan langkah. Bendera Nazi
tampak lebih besar di depan mereka, peti terasa semakin dekat,
sampai akhirnya mereka berhenti beberapa meter di depannya.
Deru napas mereka begitu cepat dan tidak beraturan, kening mereka berkeringat. Ben-Roi menyodorkan linggis itu pada Layla.
"Perempuan duluan."
Layla ragu, menyadari bagaimana tiba-tiba saja pupil mata lakilaki itu membesar, merasakan bahwa apa pun yang telah dilakukan
laki-laki itu beberapa hari terakhir ini semakin mendekati bagian
akhir. Kemudian, sambil menerima linggis dan meletakkannya di
sebelah senternya, ia mendekati peti.
"momen kebenaran," katanya, sambil memaksakan senyum
gugup di wajahnya. "Ya," bisik Ben-Roi.
Sudut kiri belakang peti sudah rusak, kayunya retak dan terkelupas. Dengan mengelilinginya Layla memasukkan kepala linggis
~ 523 ~ PAUL SUSSMAN ke rongga yang ada dan mulai mencongkel penutupnya. Benarbenar terpasang dengan aman dan dia harus berjuang keras untuk
membuatnya bergerak. Ben-Roi berdiri memerhatikannya.
"Galia," katanya setelah beberapa saat.
"maaf?" "Namanya Galia."
Layla menarik linggis keluar dan memasukkannya sedikit lebih
jauh, menariknya dengan sekuat tenaga.
"Nama siapa?" "Di ruang tengahku. foto itu. foto perempuan. Kau pernah
bertanya siapa dia. Namanya Galia."
Layla menoleh ke arahnya. orang ini bicara apa sih"
"oh," katanya. "Tunanganku." "oh," ia mengulang.
Penutup sudah mulai terbuka sekarang, paku-pakunya menganga satu per satu setelah mereka terkoyak dari rumahnya. Layla
berjalan berkeliling ke sisi lain peti dan kemudian ke depan sehingga punggungnya membelakangi Ben-Roi, mengangkat dan membongkar. Di belakangnya si Israel mulai memindahkan lampu senternya dari satu tangan ke tangan lain, dan mata terpaku pada
bagian belakang kepalanya.
"Kami baru akan menikah."
hanya tinggal beberapa paku saja yang masih bertahan. Di
bawah tutup peti Layla dapat melihat kumpulan jerami berwarna
kuning. "Di tepi Laut Galilee," katanya. "Di bawah sinar matahari.
Indah sekali hari itu."
Layla melirik melalui bahunya"mengapa pula orang ini
menceritakan hal ini padanya?"kemudian kembali ke peti.
"Apa yang terjadi?" tanyanya. "Ia mencampakkanmu?"
Senter kini ada di tangan kanan Ben-Roi.
"Dia kena ledakan."
~ 524 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Bahu Layla menegang. "Seminggu sebelum pernikahan. Di Yerusalem. Alun-alun
hagar. Al-mulatham."
Terdengar suara keras dan paku terakhir terlepas, tutup peti
bergerak ke belakang dan jatuh di lantai dengan suara bising. Ia
hampir tidak memerhatikan. oh Tuhan, pikirnya, itu sebab dari
semua ini. mereka membunuh tunangannya. Dan sekarang ...
Di belakangnya Layla dapat merasakan langkah Ben-Roi yang
mendekati dirinya, sambil mengangkat tangannya. Dengan energi
yang ada, marah dan putus asa, Layla mengayunkan linggis, mencoba mengelak dan melindungi dirinya sendiri. Ben-Roi bersiap
untuknya, mendaratkan hantaman dan mendorongnya ke sisi permukaan batu dengan barel maglite, membuat Layla tertelungkup
di lantai. "Kau harus memercayai aku," ia menyela, gugup, bingung,
merasakan lutut Ben-Roi pada punggungnya saat ia menindihnya.
"Aku tidak...."
Ia merasakan tas punggungnya dibuka, tangan Ben-Roi merogoh bagian dalam tasnya, kemudian telapak tangannya menyelusup ke bawah dagu Layla dan memutar kepalanya ke belakang.
Ia menggertak seperti binatang.
"Aku mengenakan manio, Arab jalang!" umpatnya. "Kau
mengerti" Aku mengenakan manio! Sekarang, di mana orang itu"
Katakan! Katakan padaku atau aku patahkan lehermu!"
PADA AKhIRNYA memANJAT PeRTAmBANGAN tidaklah seburuk yang
diperkirakan Khalifa, walaupun cukup susah, khususnya bagian terakhir ketika udara dingin mulai benar-benar menggigit tangan dan
kakinya. Kenyataan bahwa Ben-Roi dan Layla telah membuka jalur
menerobos salju telah membuat jalannya lebih mudah daripada
sebelumnya. Dengan berhenti setiap seratus meter atau lebih untuk
membaca kertas yang dibawanya dan menggosok-gosokkan
tangannya dengan cemas pada konflagrasi sementara dari peta, lembar faksimili dan halaman buku log, dia bisa bertahan untuk tetap
~ 525 ~ PAUL SUSSMAN hangat, paling tidak untuk melindungi dirinya sendiri dari mati beku.
Di puncak, pada tepi hutan, ia berhenti sejenak untuk mengatur posisi dirinya. Dunia sekitarnya hening kecuali desahan napasnya dan dentingan lembut ranting yang tertutup es. Khalifa kemudian bergerak menuju pertambangan. Ketika dia melakukannya,
memilih jalan melintasi tempat terbuka, dia mendengar suara lain,
seperti suara rengekan, sayup hampir tak terdengar, tetapi semakin
keras begitu ia berjalan lebih jauh. Ketika ia mencapai gerbang pertambangan, suara itu jelas tak salah lagi adalah deru motor generator.
Khalifa melangkah masuk ke lorong dan berhenti, mendengarkan. Suara bising jelas-jelas datang dari dalam, walaupun di mana
tepatnya ia tidak tahu. Ia menjulurkan kepala, melongkok ke kegelapan, tetapi terpisah dari bagian kecil dinding dan lantai tepat di
depannya yang dapat terlihat dalam kilauan sinar bulan di luar, ia
tidak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang seperti beludru dan
tidak dapat ditembus. Ia menyalakan pemantik api dan, sambil
memegangnya, mulai mencari jalan di sepanjang koridor. Dengungan generator semakin kentara, degup jantungnya lebih keras.
Ia berjalan sejauh dua puluh meter, kemudian berhenti. Ada
sesuatu di depannya, hampir tak dapat dilihat, sejenis sinar, berkabut di udara pada dinding kanan lorong, seperti gumpalan membentuk huruf "o". Ia menggosok matanya, sambil berpikir mungkin
ia hanya bermimpi, kemudian bergerak lagi. Kabut terlihat makin
luas dan tebal saat ia semakin dekat, sampai akhirnya ia menyadari
bahwa yang dia lihat bukanlah semacam hantu paranormal tetapi
korona lampu redup yang keluar dari dinding kanan lorong yang
terbuka. Ia mendekatinya dan, sambil membungkuk, melihat ke
dalam melalui lorong. "Allahu Akbar!" gumamnya, sambil memerhatikan barisan
kotak dan peti, dan gua besar yang bersinar terang pada ujung
lorong. Ia melintasi lorong. Ketika itu ia mendengar bunyi seperti jeritan perempuan. Ia berdiri tegak, mendengarkan"ya, terdengar
~ 526 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
lagi, benar-benar jeritan"kemudian terus berjalan. Dua meter dari
tempatnya ia menemukan peti terbuka penuh senjata. mauser,
yang sama dengan yang ia gunakan di sekolah polisi. Ia menarik
satu, memeriksanya, dan membuka klip amunisi, menyelipkan klip
cadangan ke dalam sakunya dan terus berjalan. Kilau di ujung
lorong semakin terang, suara dengung generator semakin keras terdengar sampai akhirnya, sambil berkedip, ia melongok ke tataran
batu yang luas tempat Layla dan Ben-Roi berada lima belas menit
yang lalu. Pada saat bersamaan generator mati untuk yang kedua kalinya.
Lampu gua berkedip dan mati sehingga matanya hampir memiliki
kesempatan untuk memerhatikan langit-langit yang melengkung di
atas, tumpukan kotak dan peti, dan bendera Nazi raksasa tergantung di dinding belakang sebelum segalanya tiba-tiba saja
terkungkung dalam kegelapan. Ia beku, kehilangan orientasi, dan
tetap seperti itu selama waktu yang terasa seperti satu tahun, padahal hanya beberapa detik, sebelum mesin motor terbatuk-batuk
dan kembali menyala. Sehalus ia menyergap gua itu, kegelapan
pun sirna oleh lampu yang terang benderang. Ia melangkah ke
bagian depan pelataran, bertumpu pada salah satu lututnya dan,
sambil mengangkat pistol, mengarahkannya pada tumpukan peti
di bawahnya. "Ben-Roi!" Tidak ada jawaban. "Ben-Roi! Kau di sana?"
masih tidak ada jawaban, dan baru saja ia akan memanggil
untuk ketiga kalinya ketika, seperti serigala yang menggertak, suara
si Israel ini tiba-tiba saja muncul dari bawah.
"Khalifa, goblok kau! Apa yang kau lakukan di sini?"
Ada gerakan kira-kira sepertiga jauhnya dari serambi, dan BenRoi muncul di antara dua peti, menggenggam pistol sub-machine
Schmeisser, sementara tangan yang lain mencengkeram kerah jaket
Layla. Ia menariknya keluar ke bagian tengah gang dan membuatnya berlutut. Ada percik darah di sekitar hidungnya dan memar di
~ 527 ~ PAUL SUSSMAN pipi kiri atas, berwarna ungu seperti tanda lahir.
"Binatang kau," pikir Khalifa. "Kau binatang kotor Yahudi."
Ia mengklik kembali pemicu pada pistolnya dan mengarahkan
laras senjatanya. "Jatuhkan senjatamu, Ben-Roi!"
mulut si Israel ini komat-kamit, matanya melebar, merah. Ia
terlihat gila dan marah. "Dengar aku, Khalifa!"
"Aku jago tembak di kelasku dan sekarang sedang mengarahkan
senjata ini tepat di antara kedua matamu," seru si mesir, jarinya
melekat erat pada pemicu. "Sekarang, jatuhkan pistolmu."
"Dengar, idiot goblok!"
"Jatuhkan senjatamu!"
"Dia akan datang! Kau mengerti" Al-mulatham. Dia akan
datang ke sini. mencari menorah. Perempuan ini bekerja untuknya. Dia bekerja untuknya."
Di depannya, Layla melihat ke arahnya, matanya panik, memohon. Ia menggeleng lemah dan mulutnya bergerak mengucapkan kata la"tidak. Khalifa menggeser tubuhnya sedikit, mencoba
menjaga posisi pistolnya pada tangannya yang gemetar.
"Aku tidak akan mengatakannya padamu lagi, Ben-Roi. Jatuhkan senjata itu dan pergilah!"
"Setan kau, Khalifa," kata si Israel. "Dia mengakuinya. Dia bekerja untuknya. Al-mulatham akan datang! Dia membunuh Galia
dan sekarang akan datang ke sini!"
Suaranya meninggi sampai pada titik seperti sebuah jeritan. Ia
tak berdaya, pikir Khalifa. mentalnya terpuruk.
"Jatuhkan senjata itu dan kita bisa bicara," seru Khalifa lagi.
"Tak ada waktu lagi, goblok! Dia akan datang! Al-mulatham
akan datang!" Ben-Roi menjambak rambut Layla, menempelkan senjatanya
pada bagian belakang kepala Layla.
"Katakan padanya!" jeritnya. "Katakan padanya bahwa kau
~ 528 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
telah mengatakannya padaku!"
"Lepaskan dia, Ben-Roi!"
"Katakan padanya, perempuan jalang!"
"Ben-Roi!" "Bagaimana kau merekrut pembom! Bagaimana seluruh artikel
itu bohong belaka! Katakan padanya, Arab pembunuh!"
Ia menggoyang Layla seperti boneka, mengentakkan kepalanya
ke depan dan ke belakang.
"Jangan!" jerit Layla.
Khalifa semakin menekan pemicu, menariknya sejauh mungkin
ke belakang. Ia meneriakkan peringatan lain ketika Israel ini tidak
memperlihatkan tanda untuk mundur, meletuskannya, tepat ke
lantai di sebelah kiri Ben Roi. Peluru memantul di batu, menabrak
dinding belakang, memantul jauh ke tumpukan peti. Ben-Roi kaku,
napasnya pendek-pendek, embusan napas terengah-engah, matanya menyala liar. Untuk sesaat ia hanya berdiri saja; kemudian,
dengan gertakan kemarahan, ia melepaskan tangannya dari rambut Layla dan melangkah mundur. Senjata mesin masih tergenggam
di tangannya. Khalifa siap memicu untuk meletuskan peluru lain.
Layla tersungkur di lantai.


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih Tuhan," katanya, sambil memegang kepalanya,
mengernyit. Ia menarik napas beberapa kali, kemudian melihat ke
arah Khalifa. "Dia bekerja untuk har-zion," Layla berkata dengan
suara parau. "Pejuang David. mereka tahu tentang menorah.
mereka mengikuti kita."
Si Israel mengeluarkan tawa membahana, matanya bergantiganti dengan liar melihat ke Khalifa lalu ke Layla dan kembali ke
Khalifa. "omong kosong!" serunya. "Dia membohongi kau!"
"Ini benar! Aku sudah melihat mereka. Di Yerusalem, di bandara. Dia telah memberikan informasi pada mereka selama ini."
"Dia bohong, Khalifa! Dia berbohong!"
"Dia telah mengelabui kita semua," katanya, sambil berdiri
tegak, mundur mendekati peti. "Kau, aku, setiap orang. Dia adalah
~ 529 ~ PAUL SUSSMAN Chayalei David. mereka datang untuk mengambil Lampu. mereka
akan memulai perang."
"Jangan percaya padanya!"
"Kita harus menghentikannya. Sebelum semuanya terlambat."
"Kau Arab pembohong...."
Ben-Roi melangkah mendekatinya, mengangkat Schmeissernya.
Khalifa menembakkan letusan berikutnya, peluru kembali memantul di sekitar gua sebelum menghilang di antara tumpukan kotak.
"Itu peringatan terakhir, Ben-Roi!" katanya dengan suara keras,
sambil menarik pelatuk. "Sekarang, jatuhkan senjatamu!"
"Kau tak tahu apa yang sedang kau lakukan!" jerit si Israel, percikan air ludahnya menyembur di antara bibirnya. "Ayolah, Khalifa,
kau harus percaya padaku. Aku telah mengamatinya, mengikutinya. Ia bekerja untuk al-mulatham!"
Ben-Roi mulai mengoceh tak keruan. Dengan seluruh tenaganya dia mengendalikan dirinya sendiri, memperlambat omongannya.
"Dengar," katanya, sambil menarik napas panjang, suaranya
tegang, diusahakan sedemikian rupa agar tetap datar, "Dia menulis
artikel. Setahun lalu. Setelah Galia tewas. Wawancara dengan almulatham. Dia mengatakan bahwa al-mulatham mengenakan
minyak untuk bercukur"manio. Artinya dia mengenalnya. Aku
mengenakan manio juga, Khalifa dan dia tidak mengenalnya. Aku
mengenakan manio dan dia bertanya minyak apa yang aku
gunakan setelah bercukur. Dia tidak tahu. Dia tidak tahu!"
Khalifa melirik Layla dengan tatapan penasaran, yang
menaikkan alis matanya seolah berkata "Aku juga tak mengerti."
Ben-Roi menangkap pertukaran tatapan itu, menjatuhkan kepalanya, frustrasi.
"Demi Tuhan, kau harus lihat!" jeritnya. "Itu hanya fiksi belaka.
Dia mengarangnya. minyak untuk bercukur, pertemuan, seluruh
artikel keparat itu. Dia menciptakannya. Untuk mengecoh orang.
Untuk melindungi al-mulatham yang sebenarnya. Untuk melindungi tuannya."
~ 530 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Suaranya semakin meninggi. Ben-Roi berusaha mengontrol
dirinya, mengangkat tangan dan memegang liontin menorah yang
tergantung di lehernya. "Aku telah menyelidikinya. Sejak artikel itu terbit. Sepanjang
tahun. Setiap pelaku pemboman, Khalifa. Setiap pelaku pemboman al-mulatham keparat itu"ia mewawancarai seluruhnya. Setiap
orang. Begitulah bagaimana laki-laki itu merekrut orang-orangnya.
melalui perempuan ini. Ia mewawancarai mereka, memastikan
bahwa mereka cocok, kemudian memberikan nama-nama mereka
ini. Begitulah semua itu bekerja. Begitulah sistemnya. Dia terlibat
jauh di dalamnya!" "Dia gila!" "Jelaskan kalau begitu!" teriak Ben-Roi, menatap tajam Layla,
matanya membelalak lebar dan liar sehingga terlihat seperti akan
mencolot dari kepalanya. "Jelaskan bagaimana ceritanya bahwa
setiap pembom al-mulatham adalah orang yang telah kau wawancarai!"
"Aku tak bisa menjelaskannya!" jerit Layla, sambil menggelengkan kepalanya, tak berdaya, suaranya sendiri kini mulai menaik.
"hanya kebetulan, aku terperangkap.... Aku tak tahu! Aku lalui ini
semua dengan Shin Bet setelah aku menulis artikel."
"Dia menggunakan penyadap, alat pelacak!" Ben-Roi merogoh
kantongnya, menarik keluar objek logam kecil berukuran sebesar
paket rokok, mengacungkannya dengan penuh kemenangan di
udara. "Aku temukan ini di dalam tasnya, Khalifa! Dia mengikuti
kita. Al-mulatham. Dia mengikuti kita!"
"mereka menggeledah tasku di bandara," tangisnya. "Tidak
mungkin aku memiliki benda seperti itu."
"Lantas bagaimana" bagaimana?"
"Aku tak tahu!" katanya, sambil mengangkat tangan ke keningnya, tiba-tiba bingung, kehilangan orientasi. "Seseorang pasti
telah menyusupkannya. Aku tak tahu!"
"Kau pembohong busuk!" kata si Israel, tidak lagi berusaha
untuk bersuara tenang atau rasional. "Jangan percaya apa yang dia
~ 531 ~ PAUL SUSSMAN katakan, Khalifa. Dia sedang beraksi saja. Dia bekerja untuk almulatham. Dia selalu bekerja untuk al-mulatham. Dia pembunuh!
Dia membunuh Galiaku!"
"Kita semua pembunuh menurut ukuran dia!" Layla berteriak.
"Setiap orang Palestina, setiap orang Arab. Al-mulatham membunuh tunangannya dan kita semua disalahkan olehnya. Itulah
sebabnya dia bekerja untuk har-zion."
"omong kosong, perempuan jalang!"
"mereka sedang mengikuti kita!"
"Jangan percaya padanya, Khalifa! Dia adalah...."
Tembakan ketiga meletus, membuat mereka terdiam. Peluru
menghilang di balik tumpukan terpal, gua menggemakan suara
tajam letusan pistol. Layla mundur ke peti, Ben-Roi berdiri dengan
senjata di sisinya, keduanya menatap ke atas pada platform batu,
tak bergerak, seperti seorang terdakwa sedang menunggu putusan
di ruang pengadilan. Khalifa menggigit bibirnya, mengusap sebutir
keringat yang jatuh di ujung matanya, mencoba membuat pikirannya jernih. Bahwa Layla mengatakan yang sebenarnya tentang
Ben-Roi, dia tidak meragukan lagi. Tetapi ada sesuatu di mata si
Israel ini, cara bagaimana dia membela kasusnya sendiri ...
muhammad Jamal, dialah orang yang melintas dalam ingatannya saat itu, selama interogasi kasus Schlegel bertahun-tahun lalu"
kemarahan yang sama, kepanikan yang sama, protes karena tidak
bersalah. Jamal akhirnya berkata tentang kebenaran. Tetapi BenRoi.... Kata-kata ayahnya bergema kembali di kepalanya: Berhatihatilah terhadap mereka, Yusuf. Berhati-hatilah selalu terhadap
orang Yahudi. Khalifa berkedip, mengusir butiran peluh di matanya, menatap
Layla lalu ke Ben-Roi dan kembali ke Layla, kemudian mengokang
kembali pistolnya. "Jatuhkan senjatamu, Ben-Roi."
"Tidak!" "Jatuhkan dan berlututlah!"
"Kau tak tahu apa yang sedang kau lakukan! Kau tak tahu apa
~ 532 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
yang sedang kau lakukan, Arab goblok ... !"
Tembakan keempat meletus, peluru menyentuh lantai kurang
dari satu inci dari kaki kanan Ben-Roi. Si Israel melihat ke bawah,
ke atas, ke pinggir, matanya menyala seperti cahaya baja yang
mencair, mulutnya menggeram penuh kemarahan sehingga terlihat
seolah seluruh wajah bagian bawahnya akan terlucuti; kemudian,
dengan lenguhan hewan yang menyuarakan keputusasaan dan
ketidakmampuan, ia meletakkan Schmeisser di pinggir dan berlutut. Layla bergegas berjalan, mengambil senjata itu dan, mundur
beberapa langkah, menyuruhnya tiarap.
"Para Pejuang David ini," kata Khalifa. "Berapa lama sebelum
mereka...." Ia terhenti, diam karena tiba-tiba ujung senjata yang dingin
menempel pada tengkuknya.
"Aku pikir ini menjawab pertanyaanmu. Sekarang, letakkan
senjatamu di lantai dan angkat tanganmu."
Untuk sepersekian detik Khalifa berpikir untuk memberikan
tembakan peringatan pada Layla. Itu gagasan yang dapat membunuh diri sendiri, dan ia melupakannya sebelum hal itu terwujud,
sambil meletakkan mausernya di tanah dan mengunci jari-jarinya
di belakang kepalanya. Senjata ditarik dan tangan yang kasar
menarik lengannya ke belakang punggungnya, mengangkatnya
supaya berdiri dan memutarnya.
Ada enam dari mereka, termasuk yang sedang memegang
lengannya"kokoh, keras, tanpa ekspresi, semuanya mengenakan
jaket dan, tutup kepala hitam yang agak tak pantas. Lima orang
bersenjata Uzi. Yang keenam, yang tertua dan, kelihatannya, orang
yang tadi bicara padanya"laki-laki paling pendek dan gemuk dengan sarung tangan dan wajah pucat dan berjanggut lebat"
menggenggam pistol heckler dan Koch. Dengan pikiran jernih dan
murni, Khalifa secara cepat mengenalinya dari gambar di sampul
depan majalah Time yang dia temukan di ruang tengah kediaman
Piet Jansen: Baruch har-zion.
"Kau busuk, Ben-Roi," pikirnya. "Kau Yahudi pembohong yang
~ 533 ~ PAUL SUSSMAN busuk." Kata-kata kemudian mengalir dalam bahasa yang tidak dia
mengerti, Ibrani barangkali. Dan begitu kelompok itu bergerak ke
depan pelataran, laki-laki yang memegang lengan Khalifa membawanya sehingga ia kembali menghadap tumpukan kotak. Pada
titik ini Layla menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi di atas
sana dan ia mundur kembali ke salah satu peti, wajahnya pucat,
Schmeissernya masih mengarah pada Ben-Roi, yang sedang tiarap
di lantai. Untuk sesaat Khalifa khawatir si Israel ini akan segera
menembak, tetapi mereka ternyata hanya berdiri memerhatikan
Layla, dengan wajah seperti batu, senjata Uzi siap di sisi mereka,
sementara salah satu dari mereka"laki-laki bertubuh jangkung
berambut cepak, sepertinya orang kedua har-zion"melangkah ke
muka ke tepi balkoni batu itu dan memerhatikan elevator di
bawah. Kemudian terjadi pembicaraan dalam bahasa mereka, lalu sambil mengangkat Uzinya ke bahunya, laki-laki dengan rambut cepak
itu berlutut dan menyeret kakinya mundur, memudahkan dirinya
sendiri untuk berada pada bibir pelataran dan mulai turun menggunakan salah satu jalur elevator vertikal sebagai tangga. Tiga
puluh detik berlalu, dan kemudian terdengar deru mesin begitu
elevator itu mulai naik. Laki-laki itu secara perlahan muncul di
depan mereka seakan benda apung yang ajaib. Ketika ia selevel
dengan pelataran, ia memutus tenaga mesin dan, dengan anggukan har-zion, mereka semua melangkah ke platform. Lengan
Khalifa masih terikat di belakang punggungnya, senjata Uzi itu
masih menekan telinganya. Anggukan lain dan mereka mulai
turun, platform bergerak turun dengan suara gemuruh sebelum
berhenti dengan menyentak di lantai bawah.
Di lantai, Ben-Roi sedang mencoba memutar kepalanya untuk
melihat apa yang sedang terjadi; Layla telah bergerak ke bagian
tengah gang dan separuh mengangkat Schmeissernya seolah untuk
menghalangi jalur mereka. Begitu mereka tiba di dekat Layla,
Khalifa mencoba menangkap perhatiannya, menyampaikan bahwa
Layla harus tetap tenang, tidak melakukan hal yang bodoh, fokus
~ 534 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
perhatiannya ada pada har-zion. Untuk sesaat keduanya hanya
berdiri saling berpandangan, mata mereka berpadu, mata Khalifa
yang berwarna abu-abu dan keras seperti granit, mata Layla yang
bagai jamrud hijau dan hangat, bibirnya bergerak sedikit menantang. Kemudian, dengan anggukan, ia menyerahkan senjatanya ke
salah satu orangnya har-zion, menyeka hidungnya yang berdarah,
dan melangkah ke pinggir.
"Kau tenang sajalah."
hal itu benar-benar tidak diperkirakan, hanya sesaat sebelum
Khalifa benar-benar menyadari apa yang dikatakan Layla. Begitu ia
menyadarinya, mulutnya terbuka karena terkejut. Di lantai, dengan kepala diputar ke arah yang tidak biasa karena ia berusaha
melihat kejadian dari balik bahunya, Ben-Roi sepertinya tidak
segera menyadari apa yang sedang terjadi. matanya bergerak ke
berbagai arah, fiturnya terlihat melalui ekspresi menyeluruh sebelum akhirnya beralih dengan sendirinya menjadi seringai
ketidakpercayaan yang mengerikan.
"oh, Tuhan," bisiknya, sambil menekankan keningnya pada
lantai batu yang dingin. "oh Tuhan, tidak."
Untuk sesaat lamanya setiap orang di area itu tetap tidak bergerak, semuanya kaku; kemudian, dengan perlahan, Ben-Roi
mengangkat tubuhnya, berlutut, lalu berdiri tegak, agak linglung
seperti seorang petinju yang bangkit terhuyung-huyung di atas kanvas. Layla mundur sehingga kini ia berdiri dengan si Israel, matanya
melirik sesaat pada Khalifa. Ada semburat merah menodai pipinya"apakah karena malu atau emosi yang sepenuhnya berbeda,
si mesir tak dapat mengatakannya. Ben-Roi tidak lagi memerhatikan Layla, pandangannya kini terfokus semata pada har-zion.
"orang Palestina tidak semata demikian baik," ia bergumam,
suara berat dengan marah yang ditekan. "Bagaimana persaudaraan
itu beroperasi adalah cara yang terlalu canggih untuk seorang
Palestina yang murtad, pembelot. Daya pendorongnya haruslah
pihak luar." Khalifa masih mencoba mengatur pikirannya, berusaha mema~ 535 ~
PAUL SUSSMAN hami apa yang sedang berlangsung.
"Aku tak mengerti," Khalifa bergumam, melihat ke Ben-Roi lalu
Layla lalu ke har-zion dan kembali ke Ben-Roi lagi. Wajah orang
terakhir ini benar-benar tak berwarna, kulitnya putih kusam, seperti batu pualam yang ternoda.
"Seperti sudah kukatakan, Khalifa. Layla bekerja untuk almulatham. merekrut para pembom, menulis omong kosong tentangnya, seperti yang sudah kukatakan. hanya satu yang aku
lupa." Pergelangan tangan Ben-Roi mengencang, matanya tak pernah lepas dari har-zion. "Pada akhirnya al-mulatham membunuhi
orang-orangnya sendiri."
Lagi-lagi hal itu membuat si mesir ini perlu waktu sesaat untuk
mencernanya, agar jalan pikirannya terangkai baik.
"maksudmu ...?"
Seluruh tubuh Ben-Roi gemetar.
"Dia adalah al-mulatham," Ben-Roi menggeram. "Dialah orang
yang mengontrol semua ini. Para pembom Arab, master Israel.
menjegal orang-orangnya sendiri. orang-orangnya sendiri!"
Khalifa terperanjat, seluruh gua sepertinya mengerut di sekitar
mereka. Kemudian hening untuk beberapa lamanya, lalu, dengan
lolongan kemarahan binatang yang mengejutkan, Ben-Roi maju
selangkah. Dia seorang yang begitu kuat, tetapi dia juga kelebihan
berat badan, lelah dan kurang profesional. Sebelum dia semakin
dekat pada sasarannya, dua orang har-zion melangkah dan, dengan presisi yang tenang dan teratur, menghentikan langkahnya.
Salah seorang menghantamkan Uzi pada lambungnya, memukulnya, yang lain datang mendekati keduanya dan memborgol tangannya, menegakkan tubuhnya kembali. Khalifa tegang, kepalan
tangannya mengencang, tetapi dengan senjata menekan sisi
kepalanya, tidak ada yang dapat dilakukannya. Layla menatap ke
lantai, merah pada pipinya semakin melebar dan dalam.
"mengapa?" kata Ben-Roi, terengah-engah, berusaha melepaskan borgol tangan. "Demi Tuhan, mengapa?"
har-zion menggerakkan bahunya, mencoba mengendurkan
~ 536 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
konstruksi pada kulitnya yang terbakar, yang menjadi semakin kencang dan gatal di balik jaketnya.
"Untuk menyelamatkan orang-orang kami," jawabnya. Suaranya, berlawanan dengan suara Ben-Roi, dingin, terukur dan tanpa
nada. "Dengan menjagalnya?"
"Dengan membuktikan pada mereka dan pada semua pihak
bahwa tidak akan ada perdamaian dengan orang Arab. Bahwa
tujuan mereka adalah dan selalu untuk merusak kita, dan bahwa
untuk bertahan hidup kita tidak punya pilihan lain kecuali
melakukan hal yang sama terhadap mereka."
Ben-Roi meludah. "Kau membunuhnya!" kata Ben-Roi. "Kau membunuhnya, kau
binatang!" Lagi-lagi har-zion menggerakkan bahunya. Wajahnya kosong.
"Bila ada jalan lain aku akan senang sekali memilihnya. Tetapi
tidak ada jalan lain. orang-orang kami harus melihat orang Arab
seperti apa sebenarnya mereka."
"hamas tidak melakukan pekerjaan yang cukup baik untuk
ini?" teriak Ben-Roi. "Jihad Islam?"
"Sayangnya tidak."
"Sayangnya?" "Ya, sayangnya," kata har-zion. Nada suaranya sedikit
mengeras, matanya menyorotkan sinar emosional secara samar
untuk pertama kalinya. "Sayangnya, karena berapa pun banyak
orang-orang kita yang mereka bunuh, kita tetap mencoba


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meyakinkan diri sendiri bahwa kalau saja kita bernegosiasi, sedikit
mengalah, maka segala sesuatunya akan baik-baik saja, semuanya
akan aman-aman saja, dan mereka akan membiarkan kita sendiri
membesarkan anak-anak kita dalam damai dan aman."
"Kau benar-benar gila!"
"Tidak," kata har-zion, rasa sebal di matanya kini tak pelak
lagi. "mereka yang berbicara tentang kompromi dan diskusilah
yang gila! Kompromilah yang membakar oven di Auschwitz,
~ 537 ~ PAUL SUSSMAN diskusi yang menggali lubang kematian di Babi Yar. Dan kini kita
bermaksud membuat kesalahan yang sama lagi, kesalahan yang
selalu kita buat, tahun demi tahun, berabad-abad lamanya,
kesalahan bertingkat dari orang-orang Yahudi: untuk terus-menerus
memercayai bahwa goyim selalu dapat dipercaya, selalu dapat
menjadi teman-teman kita, menginginkan apa pun selain menggiring kita masuk ke kamar gas dan menghapus kita dari permukaan bumi!"
Suaranya mulai menaik, kata-kata menyalak dari mulutnya
seperti rentetan peluru dari senjata.
"Kita tidak memerlukan proses perdamaian," katanya.
"Kesepakatan, persetujuan, peta jalan, konferensi"tidak satu pun.
Bila ingin menyelamatkan diri, kita hanya perlu satu hal, hanya
satu hal itu saja, dan itu adalah kemarahan. Kemarahan yang sama
yang telah diarahkan pada kita sepanjang sejarah kita yang panjang dan gelap. hanya inilah yang dapat melindungi kita, memberi
kita kekuatan untuk bertahan hidup. Dan inilah yang disediakan almulatham. Inilah sebabnya kita telah membuatnya. Itulah sebabnya dia ada."
Dia berhenti, dahinya yang tinggi dan pucat dipenuhi peluh,
getaran kecil menjalar ke seluruh tubuhnya dari kulitnya yang
gatal, yang semakin sulit diatasi, sebagaimana selalu terjadi ketika
dia tidak mengoleskan salep pada waktu yang telah terjadwal.
Ben-Roi menatapnya, tidak lagi berusaha melepaskan borgolnya,
matanya suram, mulutnya terbuka dan terhenti seolah tidak mampu menemukan kata yang tepat untuk menyampaikan kedalaman
perasaan bencinya. "moser," ia berbisik akhirnya, "Rodef."
Bibir har-zion mengencang. Ia membalas tatapan detektif itu,
kemudian mengangkat tangannya yang tertutup sarung dan digerakkan pada laki-laki yang berambut cepak, yang kemudian
melangkah dan, tanpa terlihat benar-benar menarik lengannya,
segera melayangkan tinjunya pada bagian pinggul Ben-Roi, hanya
beberapa sentimeter di atas pangkal pahanya.
~ 538 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
"Allahu Akbar," gumam Khalifa, sambil mengernyit, kepalan
tangannya mengencang tak berdaya pada sisinya.
Ben-Roi mengeluarkan keluhan yang dalam dan tersungkur.
Kedua kakinya menyerah di bawahnya. Ia ditegakkan lagi, dipukuli
lagi, kali ini di bagian atas dadanya, tepat di bawah kerongkongannya, kemudian dibiarkan jatuh bertumpu pada lutut dan kemudian sikutnya, tersungkur. Sepercik muntahan keluar dari mulutnya
mengenai lantai batu. "hanya ada satu pengkhianat di sini dan itu adalah kau," kata
har-zion, berdiri di atasnya, dengan suara yang telah kembali dingin, monoton. "Kau dan, dari apa yang aku dengar darinya,
tunanganmu juga. Ada kematian yang aku sesalkan, tetapi kematian perempuan itu bukan salah satu di antaranya."
Ben-Roi menggumamkan sesuatu dan mencoba menggerakkan
lengannya, tetapi dia masih merasa pusing akibat pukulan dan
tidak ada tenaga untuk bergerak. har-zion kembali memberi sinyal
dan laki-laki berambut cepak itu pun menghantamkan tumitnya ke
sisi kepala Ben-Roi, menendang bagian atas telinganya, dan
melemparkannya ke peti. "hentikan!" teriak Khalifa, tidak dapat lagi menahan diri, Uzi
yang menekan bagian belakang lehernya terlupakan karena
keterkejutan yang ia rasakan setelah apa yang ia saksikan. "Demi
Tuhan, hentikan!" har-zion menoleh, perlahan, dengan kaku. Ia memandang si
mesir ini, dengan pandangan yang tidak menyenangkan, kemudian berkata sesuatu dalam bahasa Ibrani. Uzi diturunkan dan
Khalifa tiba-tiba merasa lehernya tercekik. Di lantai, Ben-Roi telah
berusaha untuk dapat duduk, telinganya yang robek mengeluarkan
darah. "Biarkan dia pergi, har-zion," pintanya. "Dia bukan bagian
dari ini semua." har-zion mengeluarkan suara tawa mengejek. "Kau dengar itu"
Kami disalahkan karena kami membela orang-orang kami sementara dia membela temannya yang orang Arab. Apa pun dirinya,
~ 539 ~ PAUL SUSSMAN percayalah padaku, potongan kotoran ini sudah pasti orang
Yahudi." Ia mengangguk pada laki-laki berambut cepak itu, yang kemudian mengangkat sepatu botnya lagi dan menyepakkannya pada
ulu hati Ben-Roi, detektif itu menggelepar dalam kesakitan.
Kemudian ia berjalan ke arah Khalifa dan tanpa jeda mengarahkan
langsung tinjunya ke ulu hati si mesir, hantaman yang diberikan
dengan ketepatan yang terkontrol seperti dalam urusan membedah mayat. Khalifa pernah dihantam sebelumnya, sering sekali"
separuh masa mudanya tampaknya telah ia habiskan dalam adu
tinju di jalan belakang Giza tempat ia tumbuh besar"tetapi tidak
pernah yang seperti ini. Tinjunya tampaknya sedikit lagi mendarat
di rongga perutnya, merenggangkan organ vitalnya, mendorong
udara keluar dari paru-parunya. Pikiran dan bayangan kaleidoskop
kusut melintas dalam pikirannya"zenab, bidang salju di stasiun
layanan motor, laki-laki bermata biru yang asing di sinagog di
Kairo"sebelum secara tiba-tiba, tanpa diperkirakan, hanya sesaat,
rasa sakit menguap dan ia menemukan dirinya sedang memandang
mata Layla al-madani. "Ley?" ia berbisik. "mengapa?"
Bila dia menjawab, Khalifa tidak mendengarnya, karena ketika
dia hampir menjawab, momen itu hilang kembali. Pikirannya kalut, kepalanya jatuh ke belakang, dan kemudian semuanya gelap.
Berapa lama ia tak sadarkan diri, ia tidak tahu. Tetapi pasti
hanya sebentar karena begitu tersadar, ia sedang ditarik ke gang
sentral oleh dua orang Israel, dengan kaki terkulai tak berguna di
lantai ("mereka membuat lecet sepatuku yang bagus!" adalah
pikiran kacaunya yang pertama). Ben-Roi tampak di depannya,
berjalan dengan Uzi menekan pada bagian belakang kepalanya,
leher dan jaketnya ternoda darah dari telinganya yang terluka;
har-zion dan Layla sekarang berada di ujung Gua, mengamati lakilaki berambut cepak yang sedang melakukan sesuatu pada panel
depan peti menorah dengan batang besi. Ketika ia telah membukanya, panel terlucuti dengan suara kayu yang terkoyak, mem~ 540 ~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
perlihatkan tumpukan padat jerami yang dari dalamnya tersembul
kilauan emas menggiurkan.
menyadari bahwa tawanannya telah sadar kembali, orangorang Israel itu memberdirikan tubuh Khalifa dan mendorongnya
dengan kasar ke salah satu rak kotak, gelombang mual menyebabkan semua terasa berkunang-kunang di sekitarnya sebelum ia
ajeg kembali. Ben-Roi berdiri di sisinya. Untuk sesaat mata mereka
bertemu dan saling menatap, masing-masing memberikan anggukan halus untuk mengakui kehadiran yang lain, untuk mengindikasikan bahwa mereka baik-baik saja, sebelum berbalik kembali dan
memusatkan perhatian pada apa yang sedang terjadi di depan
mereka. Ada jeda sejenak, atmosfernya tiba-tiba berubah, memberi
harapan; kemudian, sambil melangkah maju, har-zion dan orang
keduanya mulai mengeluarkan jerami pelindung. Tubuh keduanya
menghalangi pandangan Khalifa sehingga ia hanya dapat
menangkap samar objek yang sedang mereka keluarkan"lengan
melengkung, sudut pedestal, kilatan kilau emas"dan sampai
benda itu sudah dikeluarkan seluruhannya, kedua laki-laki itu telah
melangkah mundur dan ke tepi, ia baru bisa melihat benda itu
secara utuh. Dia telah pernah melihatnya sebelumnya, tentu saja, di foto
dalam kotak penyimpanan milik Dieter hoth. fotonya hitamputih, dan tidak berhasil menyampaikan kemegahan karya seni
benda yang saat ini benar-benar sedang dilihatnya. Tingginya sama
dengan tinggi orang dewasa, dasarnya terbuat dari dua baris bertingkat heksagonal yang dari bagian pusatnya, seakan dari pot
penuh hiasan, batang vertikal menjulur ke atas, enam cabang
melengkung keluar dari sisi-sisinya, tiga di kiri, tiga di kanan, satu
di atas yang lain, masing-masing bermahkota, seperti juga batangnya, kap lampu dalam bentuk canang kecil.
Itulah bentuk dasar menorah. Ada yang lebih daripada itu,
banyak sekali. Cabangnya dihiasi dalam cara yang paling indah
dengan kenop dan lampu pijar dan piala berbentuk seperti bunga
~ 541 ~ PAUL SUSSMAN kenari; di sekitar dasarnya adalah gambar relief timbul buah-buahan dan daun serta anggur sekaligus bunga yang indah sekali, begitu hidup sehingga membuat yang memandang hampir dapat
merasakan baunya. emasnya begitu dalam dan pekat sehingga
hampir berwarna merah; simetrinya memiliki keseimbangan yang
begitu sempurna, begitu berkelok, seimbang mantap, sehingga ia
terlihat seperti tidak terbuat dari metal sama sekali. Tetapi, lebih
sebagai sesuatu yang hidup, sesuatu yang tumbuh, bernapas dan
mengalir lemah. Terhuyung-huyung, merasakan sakit tak terperi
dan mungkin akan sanggup bertahan lebih lama lagi, Khalifa masih
tak tahan tetapi terpesona olehnya, kepalanya bergoyang dari sisi
yang satu ke sisi yang lain dari benda yang indah luar biasa ini.
Reaksi si Israel bahkan lebih kuat, Ben-Roi bergumam "oy vey" lagi
dan lagi; wajah granit har-zion telah berubah menjadi lebih lembut seperti ekspresi kegembiraan anak-anak.
"Dan Tuhan mengatakan biarkan ia bersinar," ia berbisik, "dan
ada sinar di sana. Dan Tuhan melihat bahwa sinar itu begitu baik."
hanya satu orang yang terlihat tidak terharu oleh semua ini, ia
adalah Layla. Dia berdiri agak terpisah dari yang lain, terpaku dengan pikirannya sendiri, tidak memperlihatkan emosi apa pun
kecuali rona merah tipis yang tetap menandai bagian atas pipinya,
dan tangannya terlihat mengepal dan membuka tanpa disadari.
Selama waktu yang sangat singkat matanya bertemu dengan mata
Khalifa sebelum segera beralih ke tempat lain. Dia tak sanggup
membalas tatapan Khalifa.
Beberapa menit berlalu, semua orang menatap Lampu, keindahannya, jauh dari berkurang karena familiaritasnya, dan malah
semakin meningkat karena dekorasinya yang penuh dan indah
begitu nyata, sampai akhirnya keheningan itu dipecahkan oleh lakilaki berambut cepak.
"Kita harus mengeluarkannya," katanya, suaranya keras dan
kasar, seperti batu yang dilemparkan ke dalam kolam berair
tenang. Untuk sesaat lamanya har-zion tidak merespons, hanya terus~ 542 ~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
menerus menatap, matanya lembab karena emosi. Kemudian, dengan anggukan, ia memberi tanda pada tiga orangnya. mereka
melangkah maju, mengangkat Uzinya ke dekat leher mereka, dan
memegang Lampu, menghitung: echat, shtayim, shalosh"satu,
dua, tiga"sebelum mengangkatnya. Dengan kekuatan dan otot
mereka, benda itu ternyata masih terlalu berat untuk mereka, dan
dengan bantuan orang keempat baru mereka mampu mengangkatnya sampai batas bahu, wajah mereka berubah bentuk karena
tegang, dan kaki tertekuk.
Steiner mengarahkan senjatanya pada Khalifa dan Ben-Roi,
dan, sebagai satu kesatuan, kelompok itu mulai mundur, berhenti
setiap dua puluh meter sehingga pembawa Lampu dapat mengatur
napasnya. Dan akhirnya mereka mencapai sisi terjauh dari gua itu.
Kemudian Lampu diturunkan ke platform elevator, lantai kayunya
berderik menanggung bobot benda itu. orang-orang Israel itu naik
dan berdiri di sisinya, Layla ikut bersama mereka, dan tuas pengontrol pun digerakkan kembali. Para detektif tetap di tempatnya
di lantai gua ketika platform itu perlahan naik di depan mereka.
Pada ketinggian tiga meter, lift itu berhenti lagi, senjata Uzi diarahkan pada mereka.
"Di sinilah kita berpisah, tuan-tuan." har-zion berkata, mulutnya melengkung membentuk senyum kemenangan. "Kami, atas
perintah Tuhan, memulai membangun kembali Kuil dan inaugurasi
zaman keemasan baru bagi bangsa kami. Kalian...."
Ia menatap kedua detektif itu untuk sesaat lamanya, dan menggerak-gerakkan bahunya untuk mencoba mengendurkan cekikan
kulitnya yang terbakar tempat tubuhnya terasa lengket. Kemudian
ia memberi tanda pada orangnya untuk segera menembak.
"Jangan!" Suara Layla menggema di seputar gua.
"Jangan!" ia mengulang, dan kemudian lagi, "Jangan!"
Kaki tangan har-zion melihat ke arah pemimpinnya, tetapi dia
tidak memberikan tanda, untuk menembak atau menurunkan senjatanya, jadi mereka tetap seperti semula, dengan jari-jari melekat
~ 543 ~ PAUL SUSSMAN ketat pada pelatuk Uzi. Di bawah, di lantai gua, Ben-Roi dan
Khalifa saling melempar pandang.
"Jangan!" Layla menjerit untuk yang keempat kalinya. Nada
suaranya putus asa, hampir histeris, tangannya mengepal dan
membuka. Ia sebenarnya ingin bicara tadi, ketika mereka menggasak kedua laki-laki ini, tetapi dia tidak kuasa melakukannya,
tersedak karena merasa malu dan membenci dirinya sendiri.
Namun, kini, ia tidak dapat menghentikan dirinya lagi, bahkan
hampir tidak sadar dengan apa yang telah diucapkannya, hanya
merasakan bahwa seluruh eksistensi dirinya entah bagaimana telah
menyempit dengan sendirinya pada fokus dari momen ini, dan
bahwa terlepas dari semuanya, terlepas dari tahun-tahun kebohongan dan pengkhianatan, dia tidak dapat berdiam diri sementara dua orang ditembak mati dengan kejam di depannya. Tidak
ada nilainya, tentu saja, dibandingkan dengan berapa banyak
manusia yang telah tewas selama bertahun-tahun karena tindakannya, betapa ia terbenam dalam darah yang tidak dapat dihapuskan. Tidak akan pernah ada penebusan atas apa yang telah
dilakukannya. Dan dia pun tidak mencarinya. Yang dia tahu, saat
dia berdiri di sana menatap pada kedua detektif itu"wajahnya
pucat, pasrah"suara ayahnya tiba-tiba berdengung di dalam
kepalanya seperti suara lonceng yang jernih, lebih keras daripada
yang pernah terdengar sebelumnya. Kata-kata yang pernah dia
ucapkan pada malam kematiannya:
Aku tak dapat meninggalkan seseorang mati seperti anjing,
Layla. Siapa pun mereka. Dan segera setelah ia mendengar kata-kata itu ia mengalami
kerinduan yang tak terkendali dan tajam demi mengetahui bahwa
masih ada sesuatu dari ayahnya yang tertinggal jauh di dalam
dirinya, semacam bekas kecil yang masih hidup dari sinar indah
ayahnya. Bahwa dia tetap merupakan anak perempuannya, betapa pun gelap dunia yang telah dia buat untuk dirinya sendiri.
Layla mendesak ke bagian depan elevator itu, matanya
menangkap mata Khalifa selama sepersekian detik sebelum ia
~ 544 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
menoleh ke orang-orang Israel itu. Tubuhnya yang ramping menghalangi jarak tembak.
"Kau telah menang," pekiknya pada har-zion. "Tidakkah kau
lihat itu" Kau menang, demi Tuhan. Tinggalkan mereka. Untuk
sekali ini saja, berhentilah membunuh dan tinggalkan mereka."
Diam sejenak. Gua bergetar dengan suara generator, menorah
berkilau dalam temaram lampu senter. Kemudian, perlahan, harzion mengangguk.
"Dia benar. Inilah waktunya untuk berhenti membunuh."
Tubuh Layla agak mengendur sedikit. hampir serta-merta ia
menegang kembali ketika ia menyadari senyuman dingin menghiasi wajah har-zion.
"Atau paling tidak beberapa pembunuhan. Ini?"ia menggerakkan tangannya perlahan ke arah Khalifa dan Ben-Roi?"hidup
mereka tidak berarti apa-apa. Namun, al-mulatham"dia, aku percaya, telah mencapai tujuannya. Sebagaimana telah dikatakan oleh
Nona al-madani, kita telah menang. Dengan menorah ada di
pihak kita, maksud kita tak terhentikan. Satu perhitungan terakhir,
dan kemudian kita dapat melepaskan Persaudaraan Palestina
bersama-sama. Dan semua aparat yang berjalan bersamanya.
Semua aparatnya." Ketika ia mengatakan frasa terakhir ini, ia melirik pada orang
keduanya yang berambut cepak, dan pada saat yang bersamaan
menggerakkan kepalanya ke arah Layla. Laki-laki itu mengangguk
paham dan, dengan ketenangan yang mengejutkan, melangkah
maju dan melayangkan telapak tangannya ke dada kanan Layla,
mendorongnya mundur dari platform elevator dan memukuli tangan dan kakinya. Untuk sesaat lamanya ia tergantung di sana, di
tengah-tengah udara seakan tergantung dari langit-langit gua dengan kawat yang tak terlihat; kemudian tubuhnya diseret perlahan
dan dibuang ke lantai dengan suara gedebuk yang menyakitkan.
"Terima kasih, Nona al-madani," kata har-zion. "Negara Israel
akan selamanya berterima kasih kepada segala usaha Anda. orang
Arab atau bukan, kau telah menghadiahi dirimu sendiri dengan
~ 545 ~ PAUL SUSSMAN gelar eshet hayil. Perempuan yang berani."
LAYLA SeGeRA TAhU bahwa tulang punggungnya patah, mungkin juga
tulang yang lain, walaupun, karena sepertinya sudah mati rasa
mulai dari leher ke bawah, ia pun tidak bisa memastikan. Bukan
persoalan besar. Toh, ia akan mati dalam beberapa waktu lagi,


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dirasa baik olehnya.
Anehnya, seakan-akan untuk mengompensasi kenyataan
bahwa ia tidak lagi dapat merasakan apa-apa, indera yang lain
malah mendadak tumbuh lebih tajam. Lubang hidungnya bergetar
oleh bau kayu pinus yang merupakan bahan peti itu; telinganya
seperti dapat menangkap secara tidak alamiah bunyi-bunyi yang
dalam keadaan normal tidak akan dapat dia tangkap. Yang paling
hebat dari semuanya, dia telah mengembangkan kemampuan gaib
untuk dapat melihat empat atau lima hal berbeda secara bersamasama dalam satu waktu tertentu, tanpa menggerakkan kepalanya
sama sekali. Ada har-zion, sedang berdiri di atas lift, tertawa
bersama pengikutnya; Ben-Roi sedikit di sisi kirinya, sepertinya
terkejut menerima keadaan betapa berlebihan sebenarnya yang dia
inginkan bila yang terjadi pada Layla adalah yang seperti ini; dan
yang sedang berlutut tepat di sebelahnya sambil memegang tangannya"bagaimana dia bisa berada di sana begitu cepat?"
Khalifa. Layla bahkan dapat melihat dirinya sendiri, seolah sedang
berdiri di atas dirinya yang sedang melihat ke bawah. Senyum yang
sangat tipis tersungging di sudut mulutnya, walaupun tidak ada
humor atau kepuasan di dalamnya, tapi lebih berupa bentuk
kesepian yang tak berkesudahan dan melelahkan yang tidak dapat
menemukan ekspresi lain untuk menyatakan dirinya sendiri.
Dia selalu tahu bahwa semua akan berakhir seperti ini. Sejak
dia kembali dari Inggris beberapa tahun lalu dan mulai bekerja
sebagai informan bagi har-zion dan Intelijen militer Israel.
Keadaan yang sebenarnya begitu mengejutkan"dalam sebuah gua
raksasa penuh dengan harta rampasan Nazi, demi Tuhan!"tetapi
tidak kekerasannya. hak itu merupakan hal yang terberi. Terus
~ 546 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
terang, dia terkejut dirinya dapat bertahan sekian lama.
Di sisinya, Khalifa sedang mengatakan sesuatu, walaupun Layla
sepertinya tidak dapat mendengar suaranya, yang terdengar aneh
dalam keadaan betapa banyak suara yang begitu perlahan tetapi
dapat ia tangkap. Ia tidak perlu mendengar, karena ia dapat
menangkap apa yang Khalifa katakan dari gerakan bibirnya. hanya
satu kata, diulang terus-menerus, sebuah pertanyaan, pertanyaan
yang sama yang ia tanyakan padanya tadi.
"Ley" mengapa?"
Apa yang bisa dia katakan" Tidak ada, sungguh. Dia sebenarnya
ingin menjelaskan. Benar-benar ingin. Paling tidak ada satu orang
yang tahu. Pengakuan di tempat tidur kematian dan cukup itu saja.
Tetapi kemudian, bagaimana ia bisa" Bagaimana ia dapat membuatnya memahami" membuat siapa saja memahami" Bahwa ia telah
melakukan apa yang telah ia lakukan bukan demi alasan yang biasa
diterima orang"uang, paksaan, ideologi. Tidak itu. Ia melakukannya karena pada malam ulang tahunnya yang kelima belas, pada
sebidang tanah kotor tempat buang sampah di tepi perkemahan
pengungsi Jabaliya, di bawah langit penuh bintang dan dengan
lolongan anjing liar di kejauhan, ia menyaksikan orang yang paling
dicintainya lebih daripada apa pun di dunia ini, ayahnya yang tampan, berani dan lembut, laki-laki terbesar yang pernah ada, dihajar
habis-habisan hingga tewas dengan tongkat baseball. oleh orang
dari bangsanya sendiri. Disaksikan oleh bangsanya sendiri. Itulah
sebabnya ia mengontak har-zion dan menawarkan diri untuk bekerja padanya. Itulah sebabnya ia bekerja sama dengan semua hal
terkait dengan al-mulatham; itulah sebabnya, saat ketika ia menemukan menorah, ia menelepon har-zion dari Gereja makam Suci,
melakukan apa saja yang ia bisa untuk mengamankan Lampu
untuknya. Sebab mereka telah membunuh satu-satunya orang yang
pernah benar-benar ia cintai, dan karena sejak saat itu dan seterusnya ia membenci mereka, semua mereka, bersumpah bahwa apa
pun yang ia lakukan dengan kehidupannya ia akan membuat mereka membayarnya, menderita karenanya, setiap orang Palestina.
Itulah sebabnya. Itulah jawabannya. Tetapi bagaimana ia men~ 547 ~
PAUL SUSSMAN jelaskan ini semua. membuat mereka memahami" mengomunikasikan semua pecahan kesengsaraan dan kepedihan, kebencian dan
siksaan yang telah mengenai dirinya sepanjang tahun itu" Ia tidak
sanggup. Dan tidak mungkin. Jauh melampaui kekuatannya. Selalu
begitu dan akan selalu begitu. Ia begitu sendiri.
Ia mendongak ke wajah Khalifa"wajah yang baik, berani,
tampan; seperti ayahnya dalam beberapa hal"dan mencoba
meraih tangannya. Pada saat bersamaan, dengan kelebihan dapat
melihat banyak hal yang tampaknya diperolehnya sebagai hasil
dari keruntuhannya, ia dapat melihat di atas sana bahwa har-zion
telah mengangkat tangannya dan mengarahkan pistolnya langsung
ke kepalanya. Lakukanlah, pikirnya, lakukanlah. Inilah waktunya.
Paling tidak aku mencoba untuk melakukan hal baik sebelum ajal.
Satu hal yang mungkin akan membanggakan ayahku.
Ia menutup matanya dan di sanalah ia berada, berbaring di
dasar lembah, merengkuh tangan ayahnya, rambutnya yang hitam
berlumuran darahnya. "oh Tuhan, ayahku. oh Tuhan, ayahku yang malang."
Dan kemudian letusan itu pun terdengar.
KePALANYA JATUh TeRKULAI. Lubang hitam menganga persis di atas alis
kirinya, darahnya mengalir membasahi pipi dan dagunya dan jatuh
menetes ke lantai, kemudian membentuk genangan kental seukuran piring. Untuk sesaat lamanya Khalifa begitu terkejut untuk
dapat bergerak, tangan Layla terkulai dalam genggamannya, gema
suara tembakan menggelegar di sekeliling gua; kemudian, sambil
menggoyangkan kepalanya, ia meletakkan tangan Layla perlahan
di bawah, kemudian berdiri dan mundur sehingga ia berdiri di
samping Ben-Roi. Keduanya menatap ke atas ke arah tembakan Uzi
di atas sana. Khalifa semestinya merasa takut. Lebih takut daripada yang
telah dirasakannya, karena apa yang sebentar lagi bakal terjadi
pada dirinya. Apakah itu karena ia masih terhuyung akibat pukulan dan hantaman yang dialaminya, atau semata karena kematian~ 548 ~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
nya kini begitu tak terhindarkan sehingga tubuhnya tidak dapat
melihat apa pentingnya memikirkan rasa takut itu. Ia malah merasa
sangat tenang. zenab dan anak-anak, mereka adalah satu-satunya
yang paling dia pedulikan. hal itulah dan kenyataan bahwa ia
mungkin tidak akan mendapatkan perlakuan penguburan secara
Islam. Tetapi ia merasa pasti bahwa Allah akan mengerti. Allah
maha mengetahui segala sesuatu. Itulah sebabnya ia ... well, Allah.
Ia melirik Ben-Roi dan pandangan mereka bertaut. Ada orang
yang akan mati bersamanya. Tetapi kemudian, mungkin ia adalah
laki-laki yang sedikit kasar. Kasar, ya. Arogan, suka berkelahi. Bukan
jenis orang yang akan ia jadikan teman. Walaupun begitu, ia seorang polisi yang baik, sepertinya telah mengerjakan banyak hal
dengan cukup baik. Dan siapa tahu, bila istrinya sendiri telah
dibunuh dengan cara demikian, dijagal tanpa ada kepentingan,
barangkali ia, Khalifa, akan juga bersikap sama. Kau takkan pernah
dapat mengatakannya. Ia mencoba mengungkapkan sesuatu,
memohon maaf, mengakui bahwa keputusannya tadi untuk lebih
memercayai kata-kata Layla daripada Ben-Roi telah didasari bukan
oleh penilaian objektif terhadap situasi itu, melainkan lebih karena
prasangka buta, oleh kenyataan bahwa ia tidak dapat membuat
dirinya memercayai seorang Yahudi dibandingkan rekannya
sesama orang Arab. Ia tampak tidak dapat menemukan kata-kata
yang tepat dan kemudian diam lagi. mereka saling memandang
sesaat lebih lama, kemudian, dengan anggukan mereka menoleh
kembali dan menatap elevator, kepalan tangan mengencang,
menanti datangnya peluru.
Kemudian segala sesuatunya menjadi gelap.
SeSAAT LAmANYA, meNDADAK BINGUNG, Khalifa mengira dirinya sudah
mati. hampir serta-merta, dari teriakan anak buah har-zion,
Khalifa menyadari bahwa generator itu pasti mati lagi, sehingga
membuat lampu padam. Begitu tak terkirakan dan begitu disorientasi, sehingga ia tidak bereaksi, hanya berdiri terpaku pada tempatnya. Insting Ben-Roi segera mendesak, si orang Israel merengkuh
~ 549 ~ PAUL SUSSMAN kerah kemeja Khalifa secara kasar dan berjalan ke depan, keluar
dari jarak tembak. Separuh detik kemudian Uzi itu menyalak, kegelapan tercabik oleh ledakan merah dan putih, peluru melenting di
Jodoh Di Gunung Kendeng 1 Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno Naga Sasra Dan Sabuk Inten 44
^