Pencarian

Jodoh Di Gunung Kendeng 1

Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng Bagian 1


JODOH DI GUNUNG KENDENG Oleh: D. AFFANDY
Diterbitkan oleh: Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama: 1995
Sampul: BUCE Setting oleh: M. Yohandi
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
D. Affandy Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Jodoh Di Gunung Kendeng
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan
belaka. 1 Lembah Tegal Wilis memang selalu sunyi. Tidak
ada hembusan angin, tidak ada kicauan burung, sea-
kan tidak ada penghidupan di situ. Pohon-pohon me-
ranggas gersang, tanah berbatu cadas kemerah-
merahan. Namun pagi itu kesunyian seakan disentak-
kan oleh suara nyanyian yang tidak karu-karuan jun-
trungnya. Irama lagu yang terdengar pun terkesan as-
al-asalan. Terkadang keras, atau pelan mendayu-dayu
atau berubah seperti teriakan monyet di hutan.
Tidak berselang lama muncul seorang pemuda
berbaju biru, memakai ikat kepala warna biru belang-
belang kuning. Sesekali ia menggaruk rambutnya yang
hitam kemerah-merahan. Bibirnya menyunggingkan
senyum ketolol-tololan walau patut diakui wajahnya
memang tampan. Di atas lampingan batu yang mem-
bukit, pemuda berdiri tegak, memandang ke depannya
sambil golang-golengkan kepala. Kemudian terdengar-
lah suaranya yang seperti orang bersair....
Serngenge, lintang karo mbulan isek iku-iku woe
Wujudte ndunyo isek panggah aket mbiyen mulo
Menungso podo rupane, podo rambute lanang
atawa wadon. Atine menungso seng gonta ganti
Kang Gusti Allah ndadeke menungso lan Jin
Sak tenane kudu bekti karo Zat seng ndadeake
Lamun menungso sering lali lan silo karo isine
ndunyo Ojo ngono, mengko siro ngerti pasti
Tekane dino pembalesan
Mengko siro gelo
Sopo seng mujo dunyo,
Sak tenane dunyo lan isine iki ngapusi awakmu
Artinya: Matahari, bintang dan rembulan tetap itu-itu sa-
ja Wujud (keadaan) bumi masih tetap seperti dulu
kala Manusia sama rupanya, sama rambutnya laki-
laki atau perempuan.
Hati manusia yang berubah-ubah
Gusti Allah menjadikan manusia dan Jin
Sebenarnya semata-mata hanya untuk me-
nyembah pada Zat yang telah menjadikannya
Tapi manusia sering lupa dan silau dengan
isinya dunia Jangan begitu, nanti kau tahu pasti
Akan datangnya hari Pembalasan
Nanti kau sangat menyesal
Siapa yang memuja dunia
Sesungguhnya dunia dan seisinya ini telah
menipu dirimu....
Dari berdiri Suro Blondo si Bocah Ajaib duduk. Mulut-
nya termonyong-monyong sambil berdecap-decap.
Ha ha ha...! Si tolol, si bodoh, si geblek, adalah diriku ini ....
Aku merasa senang diriku merasa bodoh,
Jika aku pandai tentu membuat aku sombong
dan merasa cukup
Aku adalah orang yang bersalah
Dengan mengingat salahku, aku menjadi hati-
hati bertindak ceroboh
Aku bukan orang yang paling benar, mengang-
gap benar hanya membuat diri banyak melakukan ke-
salahan. Aku adalah orang yang paling lemah
Mengingat kelemahanku, aku merasa pasti ada
zat yang Maha perkasa di atasku
Aku merasa menjadi orang yang paling berun-
tung, karena aku punya tangan, punya kaki, punya ma-ta punya telinga, punya
hidung, punya mulut...
Kelahiranku di dunia ini adalah tempat ujianku
Bermula dari tiada, ada dan kembali ke tiada.
Dua berbanding satu
Aku yakin yang dua itu adalah kekal...
Lalu aku ini siapa"
Ha ha ha...! Pendekar Blo'on garuk-garuk kepala. Ia terbo-
doh oleh ucapannya sendiri. Si Bocah Ajaib kemudian
berdiri. Tengkuknya tiba-tiba saja meremang berdiri.
"Hh, tidak dapat kubayangkan betapa sunyinya
di alam kubur. Dalam kegelapan berteman perbuatan
baik atau buruk. Seandainya saja setiap orang men-
gingat datangnya mati yang pasti itu. Masihkah mere-
ka dapat tertawa dan menumpuk-numpuk dosa" Aku
yakin mereka pastilah banyak menangisinya!" pikir Su-ro.
Belum lagi Suro berandai-andai lebih lanjut.
Tiba-tiba dari arah belakangnya muncul seorang gadis
berwajah cantik luar biasa. Matanya bening dan bulat.
Wajahnya kemerah-merahan, sinar matanya meman-
carkan daya pesona bagai mukjijat yang tentu saja
membuat hati laki-laki tergetar atau tidak akan tahan
menatap berlama-lama. Memang itulah yang kini se-
dang terjadi pada Pendekar Blo'on ini.
Ia hanya mampu memandang wajah dan mata
yang benar-benar memancarkan seribu satu pesona
itu sekejap saja. Tiba-tiba ia tertunduk, hatinya berdebar. Belum pernah Suro
merasakan perasaan yang se-
perti ini. "Lembah Tegal Wilis daerah tidak bertuan!"
berkata si gadis. Dan lagi-lagi Suro tercekat, suara gadis berbaju hijau ini
benar-benar merdu, lagi-lagi Suro merasa belum pernah mendengar suara gadis yang
semerdu ini. "Kulihat sedari tadi kau berdiri mematung di sini seperti orang
bego. Setelah kudekati kau ternyata memang bego. Sebaiknya kau cepat pergi dari
sini. Siapa pun namamu aku tidak perduli, apa pun gelar-
mu aku tidak mau tahu. Keadaan benar-benar gawat
saat ini." serunya seakan memperingatkan.
Untuk pertama kalinya Suro angkat wajahnya,
lalu terlihat senyum tipis di bibirnya. Karena merasa
serba salah tidak tahu harus bicara darimana, maka
pemuda ini pun garuk-garuk rambutnya.
"Eeh, seperti dugaanku kau memang pemuda
konyol yang tidak tahu bahaya. Ketahuilah, di depan-
mu itu ada jalan, jalan tersebut akan dilalui oleh para rombongan yang akan
meminang puteri Reza Baiduri."
"Jika orang hendak lewat, mengapa aku harus
menyingkir?" sahut Suro seenaknya. "Aku di sini, bukan di tengah jalan. Aku
tidak perduli dengan urusan
pinang meminang. Hatiku sedang risau memikirkan
umat manusia. Eeh... ngomong-ngomong puteri siapa-
kah yang mau dipinang" Apakah Reza Baiduri anak
pembesar, hartawan, puteri Jin atau puteri jurangan
tahu?" "Pemuda ceriwis! Jangan kau berani bersikap
konyol di depanku. Para utusan itu adalah tokoh-
tokoh sakti. Mereka tidak suka di sepanjang jalan yang
mereka lalui ada orang lain yang melihatnya. Bisa-bisa
kau dibunuhnya!" tegas gadis baju hijau.
"Cantik! Aku ini bukan orang yang suka usilan.
Kau ini siapakah" Apakah kau centeng, orang bayaran
atau anak pembantu" Sayang sekali jika gadis secan-
tikmu sudi menjadi pembantu orang lain. Pantasnya
kau adalah puteri yang akan dilamar."
"Banyak mulut. Kau tidak berhak tahu siapa
diriku pemuda bertampang konyol! Cepat pergi! Kalau
telingamu tidak congekan tentu sekarang kau telah
mendengar suara langkah kuda ke mari!" bentak si gadis.
"Aku tidak mau pergi!" tegas Suro. "Aku yakin setiap ada sesuatu yang
dirahasiakan. Pasti ada ketidak beresan di dalamnya."
"Pemuda sinting. Anak bukan saudara bukan,
terserahmulah. Kalau ada apa-apanya tanggungkan
sendiri!" Dan kemudian gadis baju hijau itu berkelebat lenyap di balik batu-batu
besar. "Kelihatannya dia sangat ketakutan sekali. Ada
apa rupanya?" pikir Suro.
Pendekar Blo'on kerat-kerutkan keningnya. Ti-
dak lama kemudian terlihatlah serombongan orang-
orang berkuda. Di belakang rombongan berkuda itu
tampak sebuah kereta yang ditarik dua kuda berbadan
tegap dan kuat sekali. Tentu orang di dalam kereta itu
bukan sembarangan orang, paling tidak berasal dari
keluarga terpandang. Terbukti keretanya saja cukup
bagus dan dihias dengan hiasan dari perak. Di atas ke-
reta kuda terdapat sebuah simbol berbentuk kepala
harimau. Simbol itu terbuat dari emas seluruhnya.
Setelah sampai di depan Pendekar Mandau
Jantan. Maka rombongan yang berada paling depan
langsung menarik kendali kuda, hingga membuat bi-
natang tunggangan itu langsung berhenti. Penung-
gangnya berkumis tebal, memelihara jenggot seperti
kambing bandot, wajahnya bopeng-bopeng tidak rata,
tatapan matanya sinis. Sedangkan mulutnya, nah mu-
lutnya itu yang paling jelek. Bibir bawahnya memble
seperti disengat sepuluh ekor lebah berbisa. Orang ini
tidak memakai baju. Yang aneh, sekujur tubuhnya pe-
nuh tatto bergambar harimau dalam berbagai ukuran.
"Kau yang berani tunjukkan tampang sebutkan
nama?" Suro nyengir.
"Aku?"
"Ya, kau monyet! Kau kira aku sedang berbica-
ra dengan siapa?" bentak si laki-laki bengis.
"Aku sendiri bingung siapa aku. Yang jelas bu-
kan si bibir dower yang sekujur tubuhnya di tatto ma-
cam orang gila!" jawab Pendekar Blo'on tenang-tenang saja. Di balik batu si
gadis mengomel. "Wong edan tidak tahu gelagat! Dia bicara seenak perutnya pada
Macan Terbang ketua dan sesepuh Perguruan Lembah
Kebinasaan"!"
Pipi laki-laki berumur enam puluh tahun itu
menggembung. Matanya berkilat-kilat.
"Kau sungguh tidak mengenal peradatan sekali,
pemuda geblek! Tidak tahukah kau dengan siapa kau
berhadapan?" dengus Macan Terbang.
"Ha ha ha...! Bagaimana aku tahu sedang ber-
hadapan dengan setan jelek dari mana. Kisanak sendi-
ri tidak perkenalkan diri dan tidak mau sebutkan asal-
usul! Memang aku pikirin?" sahut Pendekar Blo'on disertai tawa. "Eh... kalau
tidak salah kalian hendak melamar, ya" Aku jadi ingin tahu seperti apa sih tam-
pangnya calon mempelai laki-laki" Apakah lebih dower
dan lebih jelek darimu atau sekujur tubuhnya di tatto
juga dengan gambar perempuan telanjang?"
"Tetua, bicara kunyuk jelek ini sudah sangat
keterlaluan! Biar kami yang menutup mulutnya den-
gan golok ini!" kata salah seorang laki-laki yang berada di samping Macan
Terbang. Tapi laki-laki tua itu memberi isyarat untuk diam. Suro nyeletuk...
"Walah baru jadi anjing piaraan saja kau sudah
jual lagak padaku kuping sebelah, atau kau mau ko-
nyol" Ke sini biar kubuat babak belur!" dengus Suro sambil pencongkan mulut,
mencibir. "Pemuda kurang ajar! Kami orang-orang dari
Lembah Kebinasaan tentu tidak segan memberikan se-
buah pelajaran kepadamu! Huh...!" Kuping tunggal
membarengi ucapannya dengan lemparan dua buah
golok berukuran kecil. Kedua senjata tajam tersebut
bergerak cepat membeset udara. Kecepatannya me-
mang sungguh di luar dugaan Pendekar Blo'on. Apa
yang sedang terjadi tidak lepas dari perhatian gadis ba-ju hijau.
"Nah kau rasakan! Jika tidak dapat menghin-
dar, sebentar lagi tentu tubuhmu tertembus senjata
milik Kuping Tunggal."
Di luar dugaan para rombongan itu tiba-tiba
saja Si Bocah Ajaib lakukan gerakan menghindar se-
perti langkah-langkah seekor monyet. Mula-mula ia
berjingkrak. Lalu melompat ke udara dengan gerakan
yang sangat lucu namun membuat orang yang meli-
hatnya berdecak kagum.
Sebuah golok luput dan terus meluncur meng-
hantam batu di belakangnya. Sedangkan golok lain
meluncur ke arah tenggorokan Suro. Pemuda beram-
but hitam kemerahan ini tidak membiarkan lehernya
putus. Tangannya dengan cepat bergerak.
Set! Tep! "Nih kukembalikan golok jelekmu!" dengus
Pendekar Mandau Jantan. Dengan gerakan asal-asalan
dilakukannya. Senjata itu meluncur kembali dengan
kecepatan berlipat ganda. Kuping tunggal kelabakan.
Ia menggebrak kuda tunggangannya. Sehingga luput-
lah serangan itu. Nasib sial menimpa kawan yang be-
rada di belakangnya. Tubuhnya langsung tertembus
senjata milik kawan sendiri. Ia menjerit keras, tubuh-
nya tersungkur. Kagetlah Macan Terbang sesepuh
Lembah Kebinasaan melihat anak buahnya mati seca-
ra mengenaskan itu. Memandang ke arah Suro dengan


Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penuh keheranan sekaligus marah hanya membuat la-
ki-laki tua ini menjadi bertambah gondok.
"Anak setan itu malah gorak-garuk kepala
kayak monyet. Aku sama sekali tidak menyangka ka-
lau dia punya kepandaian sehebat itu. Kehebatannya
tersembunyi di balik tampangnya yang konyol tidak
meyakinkan. Bangsat betul!" maki Macan Terbang da-
lam hati. "A... ha ha ha...! Jika kalian ingin melamar,
mengapa tidak cepat teruskan perjalanan?" kata Suro sambil cengar-cengir. "Apa
nanti kata calon besan jika kalian datang membawa mayat sendiri. Kalau untuk
keperluan sayur atau gulai. Bukankah kambing atau
lembu masih banyak. Apa kalian sudah pada gila" Ma-
sa' daging sesamanya mau kalian jadikan sate?"
"Pemuda keparat!" Membentak Macan Terbang.
"Kau siapa sebenarnya" Rambutmu, wajah tololmu, gerakan silatmu, rasa-rasanya
tidak asing lagi bagiku!"
Orang bertatto tersebut tiba-tiba ketuk keningnya.
"Hmm, aku rasanya pernah mendengar saat hari kela-
hiranmu. Kau...!"
Macan Terbang tiba-tiba saja belalakan mata,
mulutnya terbuka lebar tanda kaget. "Menurut Ki Be-
gawan Sudra bukankah kau si Bocah Ajaib itu!" desis si kakek.
"Entahlah, peramal dari Pantai Selatan itu
mungkin sudah gila. Ramalannya hanya membuat aku
jadi yatim piatu. Hayo, aku masih memberi kalian ke-
sempatan untuk meneruskan perjalanan. Jika kalian
tetap membantah, jangan salahkan aku andai cuma
arwah gentayangan kalian saja yang sampai di tempat
tujuan!" gertak Pendekar Blo'on.
"Ayah, lebih baik perjalanan diteruskan. Biar-
kan saja pemuda gila itu hidup. Kelak jika kita berte-
mu lagi dengannya, kita dapat meminta nyawanya!"
kata sebuah suara dari dalam kereta kuda. Mungkin
inilah calon mempelai laki-laki. Suro tentu tidak dapat melihat orangnya, kereta
kuda itu tertutup rapat.
"Ya... lebih baik kalian cepat minggat. Aku ya-
kin anakmu takut mati. Jika anakmu mati, tentu calon
pengantin perempuan tidak mau kawin dengan bang-
kai! Ha ha ha...!"
Walau Macan Terbang sebenarnya tidak tahan
mendengar kata-kata Pendekar Blo'on. Di sisi lain ia
sangat sayang pada anaknya. Pemuda tampan ber-
tampang tolol ini tidak dapat dijajaki sampai di mana
kehebatannya. Bagaimana jika mereka kalah"
"Jalan...!" perintah Macan Terbang.
"Tapi, tetua...!" Kuping Tunggal tampak tidak puas. "Jalan kataku, goblok!"
bentak Macan Terbang.
Bukan main kecewanya Kuping tunggal, seba-
gai seorang murid. Tentu ia tidak dapat membantah.
Maka mereka pun bergerak lagi tanpa pernah menoleh
ke belakang. *** 2 "Cantik! Keluarlah, orang-orang jelek itu sudah
berlalu. Dia tidak akan mengganggumu lagi!" seru Su-ro. Belum sempat Pendekar
Blo'on menoleh, tahu-tahu
gadis cantik baju hijau sudah berdiri di belakangnya.
"Heh...! Gerakanmu seperti bayangan saja, aku
ingin bertanya apakah orang-orang tadi telah menyu-
sahkanmu?"
"Kau orang goblok! Dengar pemuda sinting. Aku
adalah salah satu anggota tuan rumah. Kanjeng Sunan
Bandi Suliwa pamanku. Mereka adalah para tetamu
Kanjeng Sunan. Kau telah membuat aku kehilangan
muka di depan pamanku. Apa jawabku nanti jika be-
liau bertanya tentang tanggung jawabku tentang kea-
manan rombongan yang ingin melamar puteri Reza
Baiduri?" tanya si cantik baju hijau cemberut.
"Oh, maafkan aku. Sama sekali aku tidak tahu
bahwa kau sedang bertugas mengawasi para tamu
pamanmu yang hendak melamar keponakanmu! Maaf-
kan... sekali maafkan...!"
"Percuma saja. Berdoalah agar Macan Terbang
tidak melaporkan kejadian ini pada Kanjeng Sunan.
Jika hal itu sampai terjadi, paman ku bisa memenjara-
kan aku!" Gadis baju hijau mengeluh. Terlihat jelas ia berusaha menyimpan
ketakutannya. Pendekar Blo'on tersentak kaget, "Seorang pa-
man tega menghukum keponakan sendiri" Baru sekali
ini aku mendengar. ada orang berbuat sekeji itu!"
Gadis baju hijau tidak segera menjawab. Per-
soalan yang sedang dihadapinya memang tidak mu-
dah. Malah begitu rumit berbelit-belit. Tidak ada seo-
rang pun yang dapat membantunya. Jika ia bersikap
kasar pada pemuda ini atau menangkapnya. Mungkin
hal itu dapat dilakukannya, mengingat ia dapat berge-
rak cepat seperti kilat. Inilah sebabnya ia dikenal dengan julukan Puteri Kilat
Bayangan. Mungkin pemuda
ini dapat membantunya dalam menyelesaikan masalah
puteri Reza Baiduri yang sesungguhnya sudah punya
seorang kekasih yaitu Ambar Alam.
"Mengapa kau diam Cantik" Apa kau mau
menghukumku" Untuk menebus kesalahanku, aku re-
la kau hadapkan pada Sunan Bandi Suliwa. Dengan
begitu tentu kau terbebas dari hukuman pamanmu?"
kata si konyol, tiba-tiba saja ia merasa iba.
"Kau memanggilku, Cantik" Berani benar kau
bicara begitu?" desis gadis baju hijau
Matanya membulat lebar mempesona, sehingga
membuat Pendekar Blo'on semakin salah tingkah dan
dag dig dug. "Kau memang cantik, kecantikanmu setara
dengan bidadari. Karena kau tidak mau beritahu na-
ma. Maka aku terpaksa memanggilmu begitu!" jawab
Pendekar Blo'on sambil garuk-garuk kepala. Ketika ga-
dis baju hijau terus memandangnya. Suro tundukkan
wajahnya, ia tidak kuat menatap mata yang indah itu
berlama-lama. "Panggil saja aku Puteri Kilat Bayangan." jelas gadis baju hijau.
"Eeh... ha ha ha...! Julukanmu seperti ilmu lari
cepatku! Ahk... bagaimana ini." Suro seka keningnya.
"Jangan menghina. Ingat! Aku tidak mau ber-
tindak kasar padamu karena semata-mata aku mem-
butuhkan bantuanmu! Persoalan ini harus dapat dis-
elesaikan demi kemerdekaan sebuah hati yang tidak
berdaya terhempas belenggu adat!"
"Apa maksudmu!" tanya Suro. Tiba-tiba ia du-
duk bersila, tangannya menopang dagu tidak bedanya
dengan seorang pendengar yang sangat baik.
Gadis secantik bidadari itu membuang pandan-
gan matanya jauh-jauh. Keningnya berkerut, wajahnya
tampak resah, namun keresahannya itu membuatnya
semakin menggemaskan.
"Jelaskan dulu siapa dirimu?" desah Puteri Kilat Bayangan.
"Aku..."!" Suro nyengir lalu garuk-garuk kepala.
"Namaku Suro Blondo. Anak yatim piatu, tidak punya bapak tidak punya ibu, tidak
juga babi atau babu...!"
Plak! "Astaga! Kau berani menamparku?" desis Pen-
dekar Blo'on. Ia mengusap-usap wajahnya yang beru-
bah merah. Jika saja bukan gadis ini yang menampar-
nya. Tentu si konyol sudah membalas.
"Bicaramu kacau seperti orang setengah gila!"
dengus gadis baju hijau cemberut. "Bagaimana aku bi-sa mengharap bantuanmu, jika
sikapmu tidak pernah
serius?" "Eemm, katakanlah. Dalam beberapa hal aku juga masih bisa diajak
serius." jawab Si Bocah Ajaib sambil sesekali mencuri pandang.
Berhadapan dengan seorang gadis jelita yang
punya tatapan mata menggetarkan itu. Entah menga-
pa Suro tiba-tiba menjadi seperti seorang gadis yang
sangat pemalu. "Begini, Sunan Bandi Suliwa adalah pewaris
Kasunanan Parit Wolu. Beliau punya seorang puteri
cantik Reza Baiduri. Tidak sebagaimana biasanya. Se-
tiap puteri kasunanan selalu dijodohkan dengan pan-
geran. Pamanku ingin menghapus tradisi lama. Karena
sejak muda beliau adalah orang yang banyak bergaul
dengan kalangan rimba persilatan. Yang aku sayang-
kan, Sunan punya tiga pilihan untuk puterinya. Per-
tama, cenderung memilih calon dari bekas sahabatnya
dulu. Diantaranya adalah putera Macan Terbang tadi.
Tapi kurasa masih akan datang lagi sahabat-sahabat
yang lainnya. Jika hal itu terjadi, maka keadaan san-
gat kisruh, di samping itu perlu kujelaskan padamu
bahwa puteri Reza Baiduri tidak mau dijodohkan...!"
"Mengapa begitu?" tanya Suro. "Apakah keponakanmu itu sudah punya kekasih?"
"Tepat. Dia sudah punya kekasih, bahkan me-
reka sudah saling mencinta sejak mereka berumur li-
ma belas tahun. Cuma Ambar Alam sekarang entah di
mana. Konon sejak Sunan Bandi Suliwa mengetahui
hubungan anaknya dengan pemuda itu. Sunan secara
diam-diam menangkap pemuda itu dan menghukum-
nya di sebuah tempat rahasia. Puteri tidak tahu bahwa
kekasihnya itu menjalani hukuman yang dijatuhkan
oleh ayahnya." jelas Puteri Kilat Bayangan.
"Lalu apakah Reza Baiduri masih mencintainya
setelah terpisah sekian lama?"
"Cintanya sedalam laut seluas jagad, tidak ter-
pisahkan walau nyawa jadi taruhannya."
"Cek cek cek! Hebat betul. Kekasih yang setia
seperti itu jangan dikuburi kalau belum mati." celetuk Suro sambil nyengir.
"Lalu apa yang harus kulakukan Cantik, eeh Putri?"
"Aku minta kau mau mencari Ambar Alam dan
membawa pemuda itu secepatnya ke Parit Wolu. Aku
jadi khawatir jika pemuda itu tidak cepat-cepat datang
puteri Reza terlanjur terikat tali perkawinan secara
paksa." "Di mana aku mencarinya" Apakah kau bisa menjamin pemuda itu masih hidup
hingga saat ini?"
"Hi hi hi...! Kau pergilah ke daerah Tujuh Goa
Larangan. Ambar Alam menjalani hukuman di salah
satu gua itu. Antara hidup dan mati kemungkinannya
setengah berbanding setengah. Kalau pun dia sudah
tiada. Paling tidak kau dapat membawa kerangka
mayatnya untuk ditunjukkan pada Puteri Reza."
"Engkau sendiri bagaimana?"
"Aku harus kembali ke Kasunanan Parit Wolu.
Sedapatnya aku harus mencegah perkawinan secara
paksa itu." jelas Puteri Kilat Bayangan.
"Tapi... eeh...!" Suro Blondo jadi terkejut sekali ketika melihat gadis secantik
Bidadari tersebut telah
lenyap dari hadapannya. "Secepat itu dia pergi. Pantas ia dijuluki Puteri Kilat
Bayangan." Si Konyol geleng-gelengkan kepala.
* * * Selama hampir lima tahun lebih pemuda itu di-
benamkan di dalam gua kecil yang cuma seukuran tu-
buhnya. Tangannya terantai, kaki terbelenggu. Selama
itu ia tidak kuasa bergerak sama sekali. Karena per-
mukaan gua itu menghadap ke langit mirip sebuah lu-
bang. Tidak heran bila perubahan cuaca mempenga-
ruhi tubuhnya. Bila panas terik, ia merasa seperti ter-
panggang di atas api. Bila malam tiba, maka cuaca
dingin menggerogotinya, menyusup hingga ke sum-
sum tulang. Tidak tertahankan betapa beratnya siksa
yang ia alami. Menjalani siksaan di alam terbuka seperti itu,
di sebuah daerah sunyi tidak bertuan adalah suatu
cobaan yang Maha berat. Sekujur tubuhnya mulai dari
bagian dada ke atas tampak hitam. Sedangkan bagian
lain yang terbenam di dalam gua putih seperti tidak
berdarah. Selama itu ia tidak makan apa-apa. Kalau ia
merasa haus, ia harus menunggu malam hari tiba di
mana embun akan menetes dari langit. Ia cukup hanya
membuka mulutnya. Sepanjang malam paling ia hanya
mendapat tiga tetes embun. Pabila ia lapar, maka ia
hanya dapat memakan jamur merah yang terdapat di
mulut gua. Itu pun hanya didapatnya bila musim hu-
jan tiba. Jamur-jamur yang tumbuh sebulan sekali itu-
lah yang membuatnya bertahan hidup hingga saat ini.
Tapi akibat jamur-jamur itu pula yang merubah jalan
hidupnya, jalan pikirannya pun bahkan berubah. Dulu
setelah setahun ia menjalani hukuman dibenam di gua
sempit tersebut. Ia pernah didatangi oleh sosok tubuh
berpakaian serba putih. Orang yang dapat datang dan
pergi secepat setan itu menyebut dirinya sebagai Dewa
Rindu. Ia pun masih ingat dengan pesan-pesannya,
yang penuh kearipan namun menghiba-hiba.
"Anak manusia yang terpasung di kulit bumi!
Takdir telah menentukan jalan hidupmu begini. Jan-
gan salahkan dirimu, usah pula kau salahkan keten-
tuan hukum yang berlaku atas dirimu, hu hu hu...!
Cinta adalah awal kebahagiaan dan awal celaka. Pen-
deritaan dan kekecewaan. Tempat menggantung harap
dan tempat meminta adalah pada Tuhanmu! Bukan
manusia manapun. Sebab bagaimana pun tingginya
derajat manusia, ia tidak punya kuasa atas dirinya
atau diri orang lain. Nah sekarang apa jawabmu?"
Saat itu Ambar Alam dalam keadaan sadar dan
tiada. Suara itu lamat-lamat terdengar oleh pemuda
yang didera penderitaan,
"Aku hanya meminta agar Anda mau membuka
belengguh keparat dan menarikku dari dalam lubang
celaka ini!" jawab Ambar Alam.
Dewa Rindu gelengkan kepala. "Aku tidak dapat
melakukannya" Hanya Tuhan yang mampu berbuat
sekehendak hatinya. Kau sekarang berada di ruang
Pembatas Siksa. Ikatan itu akan lenyap dengan sendi-
rinya bila pakaian di tubuhmu telah lapuk semua. Kau
bisa minta seribu pertolongan dariku yang lain. Bukan


Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang satu ini." kata Dewa Rindu.
"Berarti aku akan mati sengsara di sini" Aku ti-
dak mendapatkan air dan tidak mendapatkan maka-
nan pula."
"Langit selalu mencucurkan air rahmat untuk
setiap makhluk. Dengan air itu pula tumbuh-
tumbuhan dapat hidup. Di permukaan gua ini akan
segera tumbuh Jamur Dewa. Jamur berkhasiat...!"
"Selama setahun di sini aku tidak pernah meli-
hat jamur itu. Berilah aku kesaktian, yang dengan ke-
saktian itu derajatku di atas tokoh-tokoh sakti. Se-
hingga hidupku menjadi berguna dan tidak terhina"!"
"Selama kau berada di sini, suasana dalam
keadaan musim kemarau. Jamur mukjijat itu hanya
dapat tumbuh bila udara lembab atau musim hujan.
Sedangkan mengenai kesaktian, kau akan menda-
patkannya secara alamiah. Kesaktianmu berada di
atas tokoh-tokoh manapun. Banyaklah merenung, ba-
nyak pula berpikir atas jamur-jamur yang akan kau
makan nanti. Kau akan berada di alam pikiran yang
sangat lain, kau akan mendapatkan kata-kata yang
dapat melindungi dirimu. Setiap kata yang kau
ucapkan adalah kehancuran bagi dirimu juga kebaikan
pula atas jiwamu. Aku datang sekali dalam hidupmu.
Nah... Gusti Allah memberimu jamur Dewa yang san-
gat berkhasiat. Jamur Dewa, ingat...! Dewa Sabrang...
Dewa Sabrang...!"
Suara itu mengiang-ngiang di dalam telinganya,
berputar-putar merasuk lembut dalam otaknya, berge-
rak dalam darah menyatu dalam hati. Hingga Ambar
Alam merasa terbebas dari belenggu penderitaan, dari
ketidak pastian cinta yang terhalang tembok berduri
yang kini malah menjerumuskannya dalam kesengsa-
raan. "Dewa Sabrang...!" desis Ambar Alam berusaha mengulang-ulang ucapan Dewa
Rindu yang kini telah
lenyap dari hadapannya.
Demikianlah, hari terus datang silih bergan-
ti. Apa yang dikatakan oleh Dewa Rindu memang ter-
bukti, jamur Dewa yang berwarna merah itu tumbuh
setiap sebulan sekali. Ambar Alam atau yang selalu
mengingat dirinya dengan Dewa Rindu dapat bertahan
hidup, dengan memakan jamur tersebut. Tentu saja ti-
dak mempergunakan kaki dan tangannya yang terbe-
lenggu. Melainkan langsung dengan mulutnya. Reaksi
dari jamur-jamur itu memang sangat hebat. Hari per-
tama Ambar Alam memakan jamur tersebut ia lang-
sung tidak sadarkan diri selama sepekan. Akan tetapi
setelah sadar, ia segera dapat merasakan tubuhnya
menjadi sangat ringan tanpa bobot. Namun keanehan
lainnya pun terjadi. Ia hampir lupa pada dirinya sendi-
ri, hanya guratan-guratan masa lalu saja yang terka-
dang membayang dalam pikirannya. Terkadang Dewa
Sabrang memperhatikan bentuk jamur yang meliuk-
liuk. Bertudung seakan melindungi diri. Jamur itu
menyilang antara yang satu dengan yang lainnya. Yang
mengejutkan baginya, bila ada serangga yang hinggap
di bagian tudung jamur. Maka binatang-binatang itu
langsung menggelepar mati.
Sekarang Ambar Alam alias Dewa Sabrang juga
suka bicara pada dirinya sendiri. Lidahnya seringan
kapas. Dalam berpikir dan dalam perenungan yang
panjang. Melahirkan kata-kata yang terkadang men-
gandung arti kehidupan, walau tidak jarang mengisya-
ratkan kehampaan-kehampaan hidup yang dilaluinya.
Di sini aku sendiri
Meratapi waktu menghitung hari
Dua alam yang telah kulalui
membuatku masih belum mengerti diri...
Alam rahim telah pun berlalu, alam dunia, se-
dang kujalani Alam kubur sangat mengerikan bagiku Alam ak-
herat sedasyat-dasyatnya penderitaan...
Celakanya manusia mudah berjanji
Sengsaranya umat menyanggupi apa yang tidak
mampu, ia mengerjakannya.
Celakanya aku karena berharap dan me-
minta cinta manusia"
Ya... Gusti Allah...
Aku lupa pada janjiku padamu ketika berada di
alam rahim Aku lupa untuk apa aku dihidupkan di dunia
ini... Sebaik-baiknya manusia adalah diam membisu, daripada bicara tidak
berguna... Dan dari setiap kealpaan yang ada,
Baru kusadari bahwa waktu hidupku di dunia
ini semakin sempit dan tiada lama lagi...
Pakaian ini telah lapuk, jasad ini kian merenta
Aku tidak bisa menghindar dari setiap janji dan
ketentuanMu Maka terbebaslah aku dari neraka dunia yang
menipu dan memperdaya
Untuk pertama kalinya setelah lima tahun be-
rada di gua sempit itu Dewa Sabrang memandang ke
langit. Matanya berkaca-kaca, tiba-tiba saja ia menun-
dukkan wajahnya kembali.
"Aku hanya seorang hamba, aku tidak pantas
memandang ke langit. Aku hanya berhak memandang
ke bumi. Manusia tanpa kebaikan adalah makhluk
yang paling hina... ukh... ukh...!"
*** 3 Dewa Sabrang menggerakkan tubuhnya. Maka
secara tidak terduga-duga pakaiannya yang sudah la-
puk itu pun hancur. Lalu kedua tangannya yang terbe-
lenggu rantai dan terjepit di tengah-tengah mulut gua
sempit terbuka. Kini dengan leluasa ia dapat bergerak,
kedua tangannya ditarik keluar. Setelah tangan dapat
digerak-gerakkannya, hanya beberapa saat setelah itu
dipukulnya tanah yang melingkar disekeliling pingang-
nya. Buummm! Terjadi ledakan keras. Tanah di depan mulut
gua kecil hancur berantakan menjadi kepingan debu.
Ini sungguh menakjubkan sekali, sebab tanah tersebut
sebelumnya keras melebihi batu karang. Dewa Sa-
brang menggerakkan tubuhnya.
Tidak lama ia telah melompat keluar. Rantai
yang membelenggu kakinya ternyata sudah terlepas.
Yang mengherankan dari bagian dada ke bawah kulit
Dewa Sabrang tampak putih berkilau-kilauan. Pemuda
itu memperhatikan dirinya yang lucu. Tiba-tiba saja ia
meraung, satu pukulan dilepaskannya secara bertu-
rut-turut. Bukit-bukit yang terdapat di depannya han-
cur berantakan. Tanah dan debu berterbangan. Dewa
Sabrang tertunduk lesu. Kedua tangannya semakin
menghitam, sebaliknya bagian pusat ke bawah ber-
warna putih mengkilat.
Memandang ke langit aku malu
Berpaling ke belakang kulihat puing-puing cinta
yang hitam Kuterjebak derita karena cinta
Karena berharap karena pinta
Kini engkau entah berada di mana
Entah milik siapa"
Aku ingin pulang
Aku lupa segala di mana rumahku
Lalu mana yang harus kupilih"
Mencari cintaNya jauh dari keramaian dunia
Menyendiri dalam sunyi kulihat keberadaan-
nya.... Lalu tangisku ini adalah kepasrahan diri dalam penghambaanku sampai
akhir hidup aku melihat dunia,... Dewa Sabrang terdiam. Ia tenggelam dalam
perenungan. Dia larut dalam pemikiran yang mendalam.
Sekejab kemudian daun telinganya bergerak-gerak. La-
lu Dewa Sabrang memandang ke satu arah.
"Siapa di situ?" bentaknya. Suaranya pelan saja tapi membuat sakit telinga yang
mendengarnya. "Aku di sini" Situ siapa?" sahut sebuah suara.
"Perlihatkan diri, aku tidak suka membunuh
orang tanpa kukenal wajah dan namanya!"
Dari balik bukit kemudian muncul sosok tubuh
berpakaian serba biru. Pemuda itu tidak hentinya
menggaruk kepala, namun setelah melihat keadaan
Dewa Sabrang yang tidak berpakaian sama sekali. Ta-
wa pemuda ini tertawa bergelak.
Datang dari jauh membawa amanat
Membawa tugas yang juga berat
Sampai di tempat apakah tidak kuwalat
Melihat barang keramat tidak disunat
Ha ha ha...! Mendengar ucapan Suro Blondo yang menyin-
dirnya itu, Dewa Sabrang segera menyadari akan kea-
daan dirinya sendiri. Ia langsung tekap bawah pusar-
nya. Sekali ia melompat sampailah Dewa Sabrang di
depan pemuda rambut hitam kemerahan. Ia menceng-
keram leher pemuda itu, dengan demikian maka ter-
buka auratnya. Suro berkelit menghindar sambil me-
nunjuk-nunjuk. "Hei... malu-malu... tutupi dulu buah jambu
monyet dan batangnya. Setelah itu baru kau boleh ber-
tindak sesuka hati." kata Suro di sertai tawa bekakakan. Lagi-lagi Dewa Sabrang
urungkan niatnya. Lalu
tutupi dia punya. Wajah pemuda berambut panjang
menjela ini berubah kelam.
"Serahkan celanamu?" pinta Dewa Sabrang pe-
nuh ancaman. "Mana bisa. Celanaku cuma atu-atunya. Kalau
kuberikan padamu berarti aku menjadi seperti sauda-
ra. Malu... ha ha ha... malu...!"
"Jika demikian kau benar-benar ingin cepat
mati!" desis Dewa Sabrang. Ia bermaksud menerjang
Pendekar Blo'on, namun pemuda itu dengan cepat
mencegahnya. "Urungkan niatmu Ambar Alam. Aku datang
dengan membawa maksud yang sangat baik untuk-
mu!" jelas Pendekar Blo'on.
"Aku sama sekali tidak mengenalmu, berita apa
yang kau bawa" Ingat! Aku mulai saat ini telah ber-
sumpah untuk menjauhi keramaian dunia ini yang te-
lah menyeretku dalam belenggu kesengsaraan." tegas Dewa Sabrang.
"Aku Suro Blondo, bukankah saudara yang
bernama Ambar Alam?" tanya Si Bocah Ajaib menyeli-
dik. Dewa Sabrang kerutkan keningnya. Seakan ia
sedang berusaha mengingat-ingat siapa dirinya. Tapi
justru yang teringat olehnya adalah seseorang yang te-
lah menyakiti dirinya....
"Adakah kau pernah menyadari siapa dirimu"
Kau bukan keturunan bangsawan atau Kasunanan.
Sedangkan Reza Baiduri adalah anak orang berpang-
kat. Bangsawan dan terpandang di mata dunia, jangan
lagi kau dekati puteriku. Jangan dekati... jangan...
jangan...!"
Suara itu mengiang-ngiang di telinganya. Se-
hingga Dewa Sabrang terpaksa menutupi telinganya.
"Ada apa saudara?" tanya Suro serius.
Dewa Sabrang gelengkan kepala. "Aku bukan
Ambar Alam! Aku tidak suka dengan nama lama. Na-
ma itu hanya membawa kesialan dalam hidupku. Kau
dengar pemuda bertampang tolol"!"
Si Bocah Ajaib anggukkan kepala. Untuk me-
nunjukkan itikad baik Suro lepaskan bajunya dan me-
nyerahkannya pada Dewa Sabrang.
"Pakailah! Nanti jika kita sudah berada di kota,
aku dapat mencarikan pakaian yang pantas untukmu!"
"Baju ini tidak mungkin kupakai. Kalau atas
tertutup bawah tidak! Sebaiknya begini saja...!" Dewa Sabrang kemudian
melilitkan pakaian itu ke bagian
pinggang. "Waduh, baju dipakai seperti celana. Bagaima-
na jika tiba-tiba saja ia kencing atau ngompol" Mana
mungkin aku melarangnya, aku takut dia salah pen-
gertian." kata Pendekar Mandau Jantan dalam hati.
Merasa serba salah, akhirnya ia hanya dapat garuk-
garuk kepala saja.
"Kulihat kau sangat baik. Semoga kebaikanmu
tidak menipu. Nah sekarang coba kau katakan kabar
apa yang kau bawa dan siapa yang memberi kabar ke-
padamu?" "Menurut Puteri Kilat Bayangan. Apa yang ter-
jadi pada dirimu karena ulah orang tua Reza Baiduri.
Dan...." "Tunggu dulu!!" Dewa Sabrang cepat memo-tong. "Puteri Kilat Bayangan
jika tidak salah adalah bi-bi gadis itu. Selama aku menjalin cinta dengan kepo-
nakannya, dia tidak pernah mengganggu kami, bah-
kan kelihatannya ia mendukung, merestui hubungan
kami. Puteri Kilat Bayangan Sakti, ilmu silatnya tinggi.
Kabarnya ia belajar itu di Puri Setan. Gurunya seorang
perempuan misterius yang cantik pula. Tapi Sunan
Bandi Suliwa lebih sakti lagi, beliau punya Seruling
Akherat. Salah satu kehebatan Sunan telah ditunjuk-
kan padaku dengan membenamkan aku di gua Batas
Penyiksaan. Tempat terlaknat yang membuatku men-
derita selama hampir lima tahun. Hal ini tidak akan
terjadi jika aku tidak nekad berpacaran dengan puteri
tunggalnya. Huh... sungguh aku sudah bosan memi-
kirkan dunia. Manusia kebanyakan tidak memandang
keluhuran hati dan ketulusan cinta. Orang cuma sela-
lu bertanya apa yang dia punya, apa jabatannya apa
kedudukannya."
"Sebenarnya siapa engkau yang sebenarnya
saudaraku?"
"Aku tidak tahu, ayah ibuku sudah lama me-


Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ninggal. Sunan yang kemudian menolongku dan men-
gangkat aku menjadi bendara upeti. Salahkah aku jika
menaruh cinta pada puterinya" Sementara Reza Bai-
duri juga menaruh cinta padaku!"
"Tentu saja tidak salah. Yang salah jika laki-
laki bercinta dengan laki-laki, perempuan dengan pe-
rempuan. Lonceng dengan lonceng, gunung dengan
gunung. Kalian berjalan di atas kodrat, tapi biasanya
manusia ada yang tidak suka dengan kodratnya."
"Betul. Menurut Sunan, perbedaan aku dengan
puterinya tidak ubahnya seperti langit dengan bumi.
Dia berkuasa atas puterinya. Padahal manusia se-
sungguhnya tidak punya kuasa apa-apa atas diri orang
lain!" "Aku paham maksud ucapanmu. Sekarang
yang ingin kusampaikan padamu. Puteri Kilat Bayan-
gan berharap agar aku menemukanmu, sekarang su-
dah bertemu. Ketahuilah, sebelum kemari aku melihat
ada rombongan yang ingin pergi ke Parit Wolu. Menu-
rut si Cantik, orang itu masih sahabat Sunan Bandi
Suliwa. Mereka mau melamar Reza Baiduri, konon ma-
sih ada lagi rombongan yang lain. Mereka punya tu-
juan yang sama. Puteri Kilat Bayangan mengharap
agar kau dapat datang ke sana. Reza Baiduri selalu
menantikan kehadiranmu." jelas murid Penghulu Si-
luman Kera Putih dan Malaikat Berambut Api serius.
Ada perubahan pada wajah Dewa Sabrang yang
hitam. Tatapan matanya kosong. Lalu dia gelengkan
kepala berulang-ulang....
Berpaling pada masa lalu adalah kehinaan
Untuk apa aku kembali jika hanya menyakitkan
hati, Biarlah semuanya berjalan menurut takdir dan kehendak
Harapku dan pintaku pada manusia telah le-
nyap Dalam sunyi dan perenungan yang panjang
Sesungguhnya aku pernah datang pada jalan
yang salah Langkah keinginan hati sudah lama kukubur
Di dalam gua sempit penyiksa terlaknat...
Mengertikah kau hai pembawa amanat?"
Lagi-lagi Suro tertegun. Ia berpikir rupanya
pemuda ini pernah mengalami guncangan batin yang
sangat berat. Lalu sekarang bagaimana cara ia mem-
bujuk Dewa Sabrang agar bersedia ikut bersamanya ke
Parit Wolu"
"Sahabat Suro, amanat telah kau sampaikan,
sekarang pergilah! Jangan kau hiraukan aku!" tegas Ambar Alam.
"Dewa Sabrang! Seburuk-buruknya manusia
adalah orang yang mengabaikan perasaan orang lain.
Reza Baiduri siang dan malam selalu mengharapkan
kehadiranmu, menanti kedatanganmu dan membawa
dia pergi dari penjara tradisi yang selama ini sangat
menyiksanya. Percayalah, dia tidak pernah jauh dari
hatimu." "Entahlah, aku tidak bisa memutuskan apa-apa
saat ini. Selamat tinggal...!" Sebelum gema suaranya lenyap, Dewa Sabrang telah
berkelebat pergi meninggalkan Suro.
"Tunggu...!" cegah si pemuda. Saking bingung-
nya Pendekar Blo'on cuma dapat garuk-garuk kepa-
lanya. "Apa nanti jawabku jika Puteri Kilat Bayangan bertanya tentang Ambar
Alam" Apapun resikonya aku
harus segera ke Parit Wolu:" kata si pemuda.
* * * "Hentikanlah tangismu"!" membentak laki-laki
setengah baya berpakaian bangsawan pada gadis can-
tik bertubuh kurus. Walau pun wajahnya menyimpan
duka yang mendalam. Hal ini tidak dapat menghapus
kecantikannya yang menawan dan sangat alami itu.
"Sebentar lagi orang-orang yang akan mela-
marmu datang. Bagaimana kata mereka nanti jika me-
lihatmu bersedih terus?" dengus laki-laki yang tidak lain adalah Sunan Bandi
Suliwa marah. "Saya tidak mau menikah dengan laki-laki ma-
na pun pilihan ayah! Ayah selalu memaksa dan mau
menang sendiri, mengapa tidak ayah saja yang kawin
dengan mereka"!" sahut Reza Baiduri dengan wajah
tertunduk. Plak! "Aoww...!"
Si gadis menjerit kesakitan, tubuhnya terlem-
par dan jatuh terhempas di sudut ranjang. Dari sudut
bibirnya meneteskan darah. Tangis puteri Reza Baiduri
semakin tersendat-sendat.
"Mengapa tidak ayahanda bunuh saja aku" In-
gat ayah, jika ayah terus memaksaku, aku lebih baik
memilih mati!"
"Kurang ajar! Anak tidak tahu membalas guna!"
teriak Sunan Bandi Suliwa, ia hendak menampar
anaknya lagi, namun urung begitu mendengar suara
pintu diketuk oleh se-seorang. "Siapa?"
"Hamba Sunan Hamba hendak melapor tentang
kedatangan Kala Demit dan muridnya?"
Sunan membuka pintu, wajahnya masih me-
nyiratkan kemarahan. Lalu seraya menoleh pada Pute-
ri Kilat Bayangan.
"Keponakanku, jaga puteri Reza. Jangan sekali
pun lengah. Dia menjadi tanggung jawabmu. Jika
sampai terjadi apa-apa dengannya aku tidak segan
memenggal kepalamu!"
"Baik, paman Sunan!" sahut si jelita,
Bandi Suliwa segera meninggalkan kamar pu-
trinya. Dengan diikuti oleh seorang pengawal ia menu-
ju ke halaman depan. Ternyata di sana telah berdiri
seorang laki-laki berpakaian hitam berwajah angker
bengis. Di samping laki-laki itu tampak seorang pemu-
da gagah angkuh berpakaian sama seperti si kakek.
Di punggungnya terdapat, buntalan juga tersembul se-
buah kebutan berwarna hitam.
"Sahabatku Kala Demit! Aih, tidak kusangka
kau memenuhi undanganku. Silakan masuk!" perintah
Sunan Bandi Suliwa dengan ramah. Tanpa basa basi
lagi, tokoh dari Pasuruan ini langsung mengikuti tuan
rumah. Mereka duduk di atas permadani tebal berwar-
na hitam. "Sudah lama kita tidak saling bertemu! Apa ka-
barmu, Kala Demit?"
"Keadaanku masih tetap sama seperti dulu. Ha
ha ha...!" Laki-laki itu tertawa membahak.
"Inilah muridmu?" tanya Sunan sambil menge-
lus-elus janggutnya.
"Ya...!"
"Dulu kau mengatakan punya dua murid. Sete-
lah gagal mendapatkan si bayi Ajaib yang terlahir pada
malam satu Asyuro. Lalu mana muridmu yang satunya
lagi?" "Muridku yang satunya lagi termasuk murid bengal, meskipun ia seorang
gadis. Ia suka berpetua-lang dan sering berada di pantai Selatan! Susah men-
gatur murid bengal itu. Sedangkan muridku yang ini
adalah anak berbakti, penurut dan seluruh ilmu ke-
pandaianku telah kuturunkan kepadanya. Kekuran-
gannya adalah dia kurang pintar bicara, aku yakin dia
pasti sangat cocok berjodoh dengan putrimu. Sekarang
aku menyatakan mau melamar putrimu untuk kujo-
dohkan dengan muridku! Bagaimana apakah kau setu-
ju...?" "Ha ha ha...! Masalah itu sebaiknya kita bicarakan nanti saja. Sebab
masih ada lagi seorang pelamar,
dia anak Macan Terbang! Mengenai siapa nanti yang
dipilih oleh putriku. Kita sebagai orang tua tidak perlu kecewa, bukankah begitu
sobat Kala Demit!"
"Tentu saja... ha ha ha...!" sahut si kakek. Dalam hatinya memaki. "Jika tidak
kudapatkan putrimu
secara baik-baik, tentu aku punya seribu akal untuk
menghancurkan saingan muridku!"
*** 4 "Untuk menunggu kedatangan tamu kedua se-
kaligus yang terakhir, alangkah baiknya jika sekarang
ini engkau dan muridmu menikmati hidangan yang te-
lah tersedia, Kala Demit!"
Beberapa pelayan yang masih sangat muda-
muda langsung menyediakan berbagai jenis makanan
di atas permadani.
"Ini hari yang menyenangkan, muridku. Apa
pendapatmu jika kau menjadi menantu Sunan Bandi
Suliwa kelak?" Kala Demit melirik pada pemuda ang-
kuh yang duduk di sampingnya. Pemuda gagap ini lalu
menjawab... "Ka... ka ka... lau, Su-su-nan, menjadi mertua-
ku. A-a-a-ku... tentu sangat bahagia sekali...!"
"Tentu kau ingin melihat calon isterimu, bu-
kan" Dapatkah kau katakan padaku bagaimana ra-
sanya kau jatuh cinta?" tanya Kala Demit disertai senyum. "Ra-ra-rasanya jatuh
cin-cin-ta. Aku se-seperti i-i-ingin, be-berak-berak dan ken-kencing melulu!"
sahut Sidra Gagap.
Wajah Sunan Bandi Suliwa berubah merah pa-
dam. Sebaliknya Kala Demit malah tertawa tergelak-
gelak. "Anak setan ini bicaranya saja tidak lempang.
Bagaimana mungkin putriku bisa tertarik padanya?"
maki Sunan dalam hati.
"Kau dengar Sunan. Muridku ternyata sudah
tidak sabar. Untuk kesungguhanku ini. Maka aku
membawakan mutiara serta emas berharga yang tidak
ternilai harganya." Kala Demit mengambil buntalan besar yang berada di pundak
Sidra Gagap. Ketika bunta-
lan itu dibuka di depan Sunan Bandi Suliwa, maka
yang dikatakan oleh Kala Demit itu memang tidak me-
nyimpang. "Aku merasa berterima kasih atas penghargaan
ini. Walau bagaimana pun kita harus menunggu pela-
mar kedua!" tegas Sunan Bandi Suliwa. Kala Demit
manggut-manggut, walau hatinya merasa tidak senang
sekali. "Kanjeng Sunan, rombongan dari Lembah Ke-
binasaan datang." lapor seorang pengawal yang datang tiba-tiba. Sunan melirik
pada tamunya sekilas.
"Saudara Kala Demit harap tunggu di sini. Se-
bentar lagi kita bisa berkumpul bersama tetamu yang
lainnya." "Silakan!" jawab si kakek cemberut.
Di halaman depan tampak beberapa orang laki-
laki berkuda. Salah seorang di antaranya adalah orang
tua bertelanjang dada berbibir dower. Sekujur tubuh-
nya penuh tatto bergambar harimau. Tatapan matanya
sinis, sedangkan di belakangnya tampak sebuah kereta
kuda. Ketika pintu kereta terbuka, maka dari dalam
kereta itu muncul seorang pemuda berkepala setengah
botak, perutnya agak gendut, tidak memakai baju, ce-
lana kedodoran dan ia selalu menggaruk-garuk seku-
jur badannya. Rupanya pemuda itu menderita penya-
kit kurap yang tidak pernah tersembuhkan.
"Sahabatku Sunan Bandi Suliwa, akhirnya aku
dapat juga menginjakkan kaki di kasunanmu. Lihatlah
anakku sudah dewasa kini. Dia siap berjodoh dengan
putrimu!" "Gila... mengapa begini jadinya" Anak Macan
Terbang ini semula kukira tampan sebagaimana kecil
dulu. Tidak tahunya kini setelah dewasa malah ber-
tambah jelek penyakitan! Oh... bagaimana pun aku ti-
dak mungkin menarik ucapan kembali. Salah seorang
diantara mereka akan menjadi calon pendamping pu-
triku!" pikir Sunan.
"Marilah masuk sahabatku. Aku tentu tidak
dapat melupakan jasa baikmu dan Kala Demit yang
pernah menolongku ketika dulu Kasunanan ini menja-
di rebutan antara aku dan adikku Rara Ayu."
"Sukurlah kalau kau mau mengingat jasa baik
orang lain. Ingat aku ada membawa barang-barang
berharga untuk meminang putrimu! Tentu saja aku ti-
dak sakit hati andai nanti ternyata putrimu tertarik
pada murid Kala Demit."
"Ha ha ha...! Kau orang yang mudah mengalah,
Macan Terbang. Belum juga pertemuan dilaksanakan,
kau sudah bersikap pasrah!"
"Semua ini kulakukan demi menjaga nama baik
persahabatan! Bukankah begitu?" sahut Macan Ter-
bang. Si bibir dower ini lalu mengikuti tuan rumah
menuju ke ruangan tamu. Setelah berada di dalam,
ternyata Macan Terbang melihat Kala Demit dan mu-
ridnya sudah berada di sana.
Kala Demit yang telah sama kita ketahui (Da-
lam Episode Neraka Gunung Bromo) ikut membunuh
Satria Purba juga isterinya. Yaitu orang tua Pendekar
Blo'on, dalam usahanya mendapatkan bayi ajaib yang
terlahir pada malam satu Asyuro. Ia hanya tersenyum
tipis melihat kehadiran Macan Terbang.
"Ternyata kami datang terlambat, anda telah
mendahului kami, sobat Kala Demit!" kata Macan Terbang sekedar basa-basi.
"Bagaimana pun Sunan tetap berkenan me-
nunggu kedatanganmu! Nah sekarang tunggu apa lagi.
Bukankah Sunan sudah dapat memanggil putri Reza
agar dia dapat memilih yang mana diantara dua pe-
muda yang menjadi pilihannya?" Kala Demit keliha-
tannya sudah tidak sabar sekali.
"Baiklah! Tunggu di sini, sebentar lagi putriku
pasti akan kemari!" Sunan Bandi Suliwa kemudian
meninggalkan para tamunya. Tidak lama kemudian
muncullah puteri Reza Baiduri diiringi Sunan dan juga
Puteri Kilat Bayangan.
Semua hadirin terkesima melihat kecantikan
Reza, tapi ternyata gadis baju hijau yang mengirin-
ginya lebih cantik lagi. Matanya indah seperti bintang
kejora dan penuh daya pesona yang sangat tinggi. Se-
tiap laki-laki normal pasti cenderung memilih Puteri
Kilat Bayangan, walau pun memang patut diakui Pute-


Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ri Reza juga sangat cantik.
"Sunan, apakah kedua gadis ini putrimu?"
tanya Kala Demit sambil berdecak kagum.
"Yang satunya adalah keponakanku!" sahut
Sunan Bandi Suliwa. Lalu ia menoleh pada putrinya.
"Nah putriku, kau sekarang tinggal memilih yang mana diantara kedua pemuda itu
yang kau sukai?"
Puteri Reza yang sangat takut pada ayahnya ini
sama sekali tidak memberikan jawaban apa-apa. Ia
memandang pada kedua pemuda itu dengan perasaan
jijik. Air matanya bergulir, tanpa sadar kepalanya te-
rangguk-angguk searah pada Sidra Gagap.
Rupanya arti anggukan yang tidak di sengaja
ini di artikan lain baik oleh Sunan sendiri maupun Ka-
la Demit dan muridnya.
"Aih... di-di-a mau pada kau. A... aku juga mau.
A-a-aku ja-di kawin" Ha ha ha, guru...!" Sidra Gagap berjingkrak-jingkrak.
Sebaliknya puteri Reza terkesiap.
Ia berlari ke kamarnya. Puteri Kilat Bayangan terkesi-
ma namun juga tidak mengejar.
"Ayah...!" Randu Walang protes. "Puteri itu, menjatuhkan pilihan pada pemuda
jelek gagap itu"!
Bagaimana dengan aku, ayah?" tanya pemuda berke-
pala botak kurapan itu seperti hendak menangis.
Sidra Gagap tertawa. "Li-lihat-lah... gu-guru. Si
botak ke-kecewa. Malang benar nasibnya!"
Macan Terbang tidak kehabisan akal. Walau
pun tidak mendapatkan puteri Reza, bukankah gadis
baju hijau itu kecantikan menyamai bidadari. Anaknya
pasti tidak menolak berjodoh dengan gadis itu. Dia le-
bih cantik dan bentuk badannya juga lebih bagus dari
puteri Reza. Sunan, apakah aku boleh usul?" bertanya Macan Terbang.
"Tentu saja. Silakan."
"Murid Kala Demit sudah berjodoh dengan pu-
terimu, sedangkan anakku belum berjodoh. Bagaima-
na jika keponakanmu itu kupilih menjadi pendamping
Randu Walang?" Pertanyaan itu kelihatannya biasa-
biasa saja, namun sangat mengejutkan bagi Puteri Ki-
lat Bayangan. "Dikiranya aku ini kambing, main jodoh-
jodohkan saja. Manusia kurapan begitu siapa sudi.
Nenek-nenek keriput pun pasti tidak sudi berjodoh
dengan si botak!" maki gadis baju hijau dalam hati.
Sunan Bandi Suliwa terdiam untuk beberapa
saat lamanya. Ia mengelus-elus jenggotnya yang cuma
beberapa gelintir itu.
"Keponakanku, apakah kau menerima tawaran
itu" Ketahuilah, mereka ini adalah sahabat-sahabatku.
Kau tidak boleh mengecewakan mereka!"
"Paman, sudah kukatakan aku tidak akan
mengambil laki-laki manapun sebelum aku dapat me-
nemukan siapa yang telah membunuh kedua orang
tuaku. Sedikit pun tidak terlintas dalam pikiranku un-
tuk menikah. Harap paman tidak kecewa!" tegas Puteri Kilat Bayangan.
Maka memerahlah wajah Sunan mendengar
ucapan keponakannya. Apalagi ketika itu mereka be-
rada di tengah-tengah orang lain.
"Putri, kau bicara apa" Sadarkah kau sedang
berhadapan dengan siapa?" bentak Sunan marah.
"Maafkan aku, paman...!" kata Puteri Kilat
Bayangan. Lalu tanpa bicara apa-apa lagi, dengan wa-
jah tertunduk gadis baju hijau meninggalkan ruangan
pertemuan itu. "Ah... maafkan sahabatku!" kata Macan Ter-
bang. "Seharusnya aku tidak salah bicara."
"Jangan tersinggung, Macan Terbang. Lama-
ranmu pada keponakanku tetap kuterima. Dia masih
bisa dibujuk. Apa yang terjadi barusan tadi karena ia
tidak pernah menyangka hal ini sebelumnya. Yang ter-
penting sekarang ini kita harus mempersiapkan segala
perhelatan besar untuk menyambut datangnya hari
perkawinan kedua pasangan mempelai ini!" Sunan
Bandi Suliwa memutuskan.
Bukan main gembiranya masing-masing pihak,
baik dari Kala Demit maupun Macan Terbang menden-
gar ketegasan Gusti Sunan. Mereka mengelu-elukan
keputusan Sunan Parit Wolu yang mereka anggap cu-
kup bijaksana ini.
* * * Langkahnya lambat-lambat menghampiri Reza
Baiduri yang terus menangis memeluk guling di ka-
marnya. Gadis berbaju hijau berwajah jelita tersebut
menyentuh bahu sang puteri. Melihat siapa yang da-
tang, maka puteri Reza Baiduri langsung memeluk
saudara misannya.
"Kakak, mengapa begini buruknya nasib hi-
dupku! Aku tidak rela disentuh oleh laki-laki yang ti-
dak kusukai. Aku harus mati... mati... kakak! Kurasa
itulah jalan yang paling baik bagiku!" tegas puteri Reza berputus asa.
"Jangan mudah berputus asa. Jika kita tetap
bertahan di sini, nasibku pun tidak berbeda dengan
nasibmu, adikku! Kita harus mencari kesempatan un-
tuk meloloskan diri sebelum pesta perkawinan itu ber-
langsung. Aku yakin pemuda Blo'on itu dapat mene-
mukan kekasihmu!" jelas Puteri Kilat Bayangan.
"Apa, pemuda tolol" Bagaimana pemuda tolol
dapat melakukan sesuatu" Rupanya dimana kakang
Ambar Alam sekarang berada" Kakak tahu tapi men-
gapa tidak mau cerita padaku?" tanya puteri Reza Baiduri. "Tidak cukup waktu
untuk menjelaskannya pa-
damu! Sekarang sebaiknya kau bersiap-siap. Nanti bila
malam tiba kita akan meloloskan diri dari tempat ini.
Bersediakah kau?" Mata puteri Reza yang semula me-
redup, sekarang tampak berbinar-binar.
"Benarkah" Dapatkah kakak mempertemukan
aku dengan kakang Ambar yang telah pergi selama li-
ma tahun itu?"
"Tenang, jangan banyak bertanya. Bersikaplah
seakan menurut di depan orang tuamu!" Puteri Kilat Bayangan menasehati. Reza
Baiduri anggukkan kepala.
Malam itu rencana tentang sebuah pesta besar
disusun, Kala Demit, Macan Terbang dan Sunan Bandi
Suliwa kelihatan tampak serius membicarakan masa-
lah ini. Sunan Suliwa merasa yakin betul, dalam seha-
rian ini baik putri maupun keponakannya telah beru-
bah menjadi baik dan penurut. Sebagai orang tua ten-
tu saja ia sangat puas. Kini terlaksanalah semua cita-
cita untuk menjodohkan anaknya dengan murid anak
sahabat-sahabat yang dulu pernah membantu usa-
hanya tetap mempertahankan Kasunanan Parit Wolu.
Sementara itu Puteri Kilat Bayangan di dalam
kamar adik misannya sedang sibuk mengatur rencana
pelarian mereka. Wajah kedua gadis itu tampak te-
gang. Di luar sepengetahuan mereka, di dalam kegela-
pan tampak berkelebat sesosok bayangan. Bayangan
itu selanjutnya mengendap-endap mendekati kamar di
mana Puteri Reza berada. Ternyata di bagian luar ka-
mar dijaga ketat oleh beberapa orang pengawal.
"Gila! Orang-orang ini jika tidak kulumpuhkan
urusan bisa jadi kapiran." gerutu si pemuda sambil garuk-garuk kepala. Tidak
lama sosok bayangan biru ini
langsung bergerak mendekati para pengawal bersenja-
ta tombak yang jumlahnya tidak lebih dari tiga orang.
"Hei... siapa di situ..."!" bentak salah seorang pengawal yang kebetulan
mengetahui kehadiran sosok
berpakaian serba biru tersebut.
Jplok! "Uph...!"
Pengawal apes ini langsung terdiam, sekujur
tubuhnya kaku tertotok. Sedangkan urat bicaranya
pun tidak mampu mengeluarkan suara. Melihat kea-
daan kawannya, dua orang lainnya langsung menyer-
bu. Namun sungguh hebat. Pemuda baju biru ini den-
gan gesit telah bergerak menyambar-nyambar bagai-
kan seekor monyet terbang. Hanya dalam waktu sing-
kat kedua pengawal apes ini mengalami nasib yang
sama. Tubuh mereka kaku, jangankan bergerak se-
dangkan bicara saja tidak mampu.
"He he he! Jadilah kalian patung tolol sampai
besok pagi!" desis si pemuda. Keadaan ketiga pengawal ini memang tampak sangat
lucu. Mereka menjadi kaku
dalam keadaan bermain silat.
Sambil geleng-gelengkan kepala pemuda baju
biru menghampiri jendela. Jendela sisir diketuknya.
"Siapa?" terdengar suara merdu dari dalam ka-
mar. "Si-anu... aku, Suro...!" sahut pemuda baju biru yang tidak lain adalah
Pendekar Blo'on.
"Kau sudah sampai" Malam ini juga kalau bisa
kau menolong kami meninggalkan tempat ini!" kata
sebuah suara lainnya.
Suro sudah dapat memastikan bahwa gadis
yang baru bicara itu tidak lain adalah Puteri Kilat
Bayangan. "Bukalah jendela ini sebelum pengawal-
pengawal lain melihatku!" pinta Pendekar Blo'on den-
gan suara berbisik.
Tak lama jendela pun terbuka, Si Bocah Ajaib
melihat ada dua orang gadis di dalam kamar tersebut.
Yang satunya sudah dikenal oleh pemuda itu sedang-
kan yang lainnya adalah seorang gadis bertubuh ku-
rus, wajahnya bulat lonjong dan cantik meskipun agak
pucat. "Apa yang terjadi?"
"Tidak cukup waktu untuk menjelaskannya pa-
damu, Suro." Puteri Kilat Bayangan menyahuti. Seraya
mendekati jeruji besi, kemudian gadis ini mematahkan
besi-besi pengaman jendela tersebut.
Pendekar Blo'on dibuat melongo dengan kekua-
tan tenaga dalam yang dimiliki oleh si gadis. Belum hi-
lang kaget di hatinya, Puteri Kilat Bayangan dan puteri Reza telah berhasil
keluar meninggalkan kamar.
"Bagaimana kau bisa sampai kemari?" tanya
Puteri Kilat. "Ku lumpuhkan penjaga di depan, lalu yang
menjaga di sini kubuat jadi patung sementara. Kalau
keadaan sudah gaswat, eeh... gawat, sebaiknya kita
menyingkir saja!" saran Suro.
"Mari...!"
Puteri Kilat Bayangan membimbing puteri Reza.
Gadis ini selanjutnya melompati pagar Kasunanan se-
dangkan Pendekar Mandau Jantan mengikutinya dari
belakang. Ketiga orang ini hanya beberapa saat saja te-
lah menghilang di kegelapan malam. Lalu keadaan be-
rubah sunyi, menghentak. Ketiga pengawal yang di-
tinggalkan dalam keadaan tertotok menjadi pucat ke-
takutan. Sebab bagaimana pun keamanan puteri men-
jadi tanggung jawab mereka.
*** 5 Pagi hari udara terasa dingin menusuk. Puncak
gunung Kendeng berselimut kabut tebal. Puteri Kilat
Bayangan, Pendekar Blo'on, dan puteri Reza kelihatan
sama-sama letih setelah hampir semalaman terus ber-
lari meninggalkan Kasunanan Parit Wolu.
"Kita istirahat di sini. Nafasku sudah hampir
putus!" ujar Suro Blondo dengan suara tersengal. Puteri Kilat Bayangan
tersenyum, gadis baju hijau ini ke-
lihatannya biasa-biasa saja. Ia dapat lari secepat an-
gin, keletihan yang terlihat tadi sekarang bahkan telah lenyap. Berganti dengan
sesungging senyum yang
membuat jantung Suro dag dig dug tidak menentu.
"Saat ini pamanku pasti bingung, kemarahan-
nya tidak dapat kubayangkan. Mereka pasti mencari
kita." "Biarkan saja. Mereka itu orang-orang gila yang suka memaksakan
kehendaknya sendiri. Buat apa ri-
sau?" sahut Suro, seraya menyeka keningnya yang basah oleh keringat.
"Saudara...!" Puteri Reza buka bicara, "Menurut kakak puteri, saudara mencari
kakang Ambar Alam.
Apakah saudara bertemu dengannya dan mengapa
saudara tidak membawanya kemari?"
"Terus terang saja, aku memang telah bertemu
dengan Dewa Sabrang. Dia baru saja terbebas dari hu-
kuman pendam yang dijatuhkan oleh ayahmu! Sayang
aku tidak mampu membujuknya, dan...!"
"Apa" Ayah telah menghukumnya" Tidak
mungkin!!" desis puteri Reza Baiduri. Matanya terbelalak tidak percaya. Suro
garuk-garuk kepala. Ia keliha-
tan bingung, sehingga ia memandang pada Puteri Kilat
Bayangan dengan tatapan penuh tanda tanya
"Benar, Reza. Ayahmu memang telah menghu-
kum Ambar Alam di sebuah gua sempit selama lima
tahun ini. Aku yang mengetahui kejadian itu, hanya
aku tidak berani mengatakannya padamu, karena ke-
tika itu paman mengancamku agar jangan membocor-
kan rahasianya kepadamu!" jelas Puteri Kilat Bayangan. "Jadi" Apakah kakang
Ambar tidak mau men-
jumpaiku lagi" Oh... sia-sialah penantianku selama
ini!" kata puteri Reza seraya lalu mendekap wajahnya.
Tangisnya tersedu-sedu. Suro jadi bingung, hingga
membuatnya garuk-garuk kepala. Lalu terlintas se-
buah akal di benaknya. Seraya pun berkata:
"Puteri tidak usah bingung-bingung. Ambar
Alam alias Dewa Sabrang berjanji akan menjumpaimu.
Cuma dia tidak mau ke Parit Wolu, itu sebabnya puteri
kami ajak ke sini. Pada saatnya nanti dia akan datang,
kau harus bersabar dan mulai sekarang kita harus
mulai atur siasat!"
"Siasat apa?" bertanya Puteri Kilat Bayan-
gan. Belum sempat Suro mengatakan siasat apa
yang hendak dijalankannya. Dari puncak gunung Ken-
deng tiba-tiba saja terdengar suara tawa mengekeh.


Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara itu disertai dengan menderunya angin kencang
bergulung-gulung. Lalu muncul seorang nenek tua be-
rambut putih, tidak punya tangan tidak pula memiliki
kaki. Kehadirannya didukung oleh dua ekor kera yang
sangat besar. Kera-kera itu hampir setinggi Suro Blon-
do. Suro terkesiap dan pencongkan mulutnya. Se-
dangkan Puteri Kilat Bayangan kerutkan keningnya. Ia
seperti pernah bertemu dengan nenek yang duduk di
atas bahu dua monyet besar berjalan tegak tersebut,
hanya dia sudah lupa kapan dan di mana.
"Sudah sepuluh tahun daerah kekuasaanku ini
tidak disambangi tamu. Pagi ini aku merasa punya un-
tung karena ada tiga ekor kurcaci datang ke sini. Dua
kurcaci cantik, sedangkan yang satunya... hik hik hik!
Cukup tampan juga, tapi tampangnya seperti kedua
anakku ini!"
"Orang tua kaki dan tangan buntung! Siapakah
anda" Setan buntung penghuni gunung atau manusia
juga seperti kami?" tanya Suro dengan perasaan dong-kol.
Nenek tua yang duduk di atas bahu kedua ekor
monyet besar itu dongakkan wajahnya ke langit. Lalu
tawanya kembali meledak, sedangkan monyet-monyet
yang mendukungnya ikut berjingkrak-jingkrak kegi-
rangan. "Hik hik hik! Bertanyalah pada gadis secantik bidadari itu" Dia mungkin
bisa memberi jawaban untukmu!" Suro menoleh ke arah Puteri Kilat Bayangan, tapi
gadis ini menggelengkan kepala dengan ragu-ragu.
Tiba-tiba nenek tidak bertangan tidak berkaki
ini membentak. "Puteri Kilat Bayangan, anak tunggal Rara Ayu, dan Raden Aryo
Lungga. Kau adalah gadis
bodoh yang tidak tahu bagaimana orang tuamu dibu-
nuh. Kau tentu tidak tahu bagaimana dan siapa yang
membunuh orang tuamu" Kala itu kau masih bayi
pentil, masih suka ngompol. Tapi aku melihat, aku
menyaksikan. Aku melihat darah Raden Aryo Lungga
ketika dadanya tertembus pedang. Aku melihat ibumu
yang dibokong dari belakang, saat itu kau berada di
pangkuannya! Kematian itu, kematian itu membuat
aku merana, aku kehilangan tangan dan kaki. Kalian
tahu semua ini pekerjaan siapa?"
Puteri Kilat Bayangan tidak mampu mem-
buka mulut, puteri Reza sama saja. Sedangkan murid
Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Berambut
Api kerat-kerutkan keningnya.
"Kami tentu saja tidak tahu, nek!" sahut Suro.
"Diam goblok. Aku tidak bicara padamu!" si nenek mendengus sinis.
Suro katupkan mulutnya, ia bersungut-sungut
tanda tidak suka melihat tingkah orang itu.
"Tua bangka itu galak sekali. Aku tidak tahu
siapa dia, apa maksudnya. Apakah dia juga punya
maksud tidak baik juga" Awas, kalau macam-macam
aku tidak segan membuntungi kepalanya!" gerutu Suro dalam hati. "Cobalah jawab,
Puteri Kilat"!" Gadis jelita yang matanya memancarkan seribu pesona angkat
wajahnya. Memandang pada nenek serba buntung itu
dengan perasaan tidak mengerti.
"Sekarang aku ingat. Kalau tidak salah aku
pernah berjumpa denganmu di kaputren ketika aku
berumur tujuh tahun. Lalu ketika pengawal melihat-
mu, kau melarikan diri!"
"Aku bukan melarikan diri, goblok! Kedatan-
ganku hanya ingin memastikan apakah kau dalam
keadaan sehat sebagaimana yang kuharapkan!"
"Lalu nenek sendiri siapa?"
"Hik hik hik! Aku hanya mau bicara membuka
rahasia jika pemuda konyol itu menyingkir untuk se-
mentara dari hadapanku! Ini rahasia besar, masalah
keluarga."
"Tapi dia telah menolong kami!" seru Puteri Kilat Bayangan.
"Tidak perduli apa dia telah menolong atau be-
rusaha merebut hatimu. Masa lalu adalah bagian dari
hidupmu masa kini. Kalau kau tertarik ingin mengeta-
huinya. Sebaiknya usir dia untuk sementara waktu!"
Ucapan itu membuat kedua gadis cantik ini me-
lengak kaget. Sebaliknya merasa sangat terhina. Wa-
jahnya yang tampan ini bersemu merah.
"Bicaramu seenak perutmu nenek jelek. Kau
cacat namun sombong dan angkuh. Aku paling benci
pada orang sombong, tapi lebih benci lagi pada orang
cacat sombong. Huh, aku tidak akan perduli dengan
bicaramu, uruslah gadis-gadis ini. Jika nanti ternyata
kau tidak becus melindunginya dari kejaran para setan
kapiran itu. Aku akan datang lagi meminta lidahmu
dan kepalamu!" dengus Suro.
"Tunggu saudara...!"
Sia-sia saja puteri Reza mencegah, karena ter-
nyata pemuda berambut hitam kemerahan itu telah
lenyap dari hadapannya.
"Biarkan dip, pergi. Masalah yang akan kuceri-
takan ini hanya akan membuat malu kalian saja bila
sampai diketahui orang luar."
Puteri Kilat Bayangan sebenarnya merasa tidak
enak hati juga sebab bagaimana pun Suro telah beru-
saha menolong mereka.
"Apa yang ingin kau sampaikan, nenek. Aku
heran kau mengenal kedua orang tuaku."
"Tentu saja aku mengenal orang tuamu. Karena
Raden Aryo Lungga adalah puteraku. Semua ini terjadi
akibat ulah Sunan Bandi Suliwa. Ia terlalu rakus den-
gan kedudukan dan jabatan. Sehingga ketika warisan
Kasunanan hendak dibagi oleh almarhum kakek ka-
lian. Rupanya sunan Bandi Suliwa tidak terima. Sepe-
kan kakek kalian meninggal, Sunan meminta bantuan
tokoh-tokoh sesat rimba persilatan untuk menghan-
curkan Raden Aryo Lungga dan juga Rara Ayu yang
masih terhitung saudara tua Sunan...!"
"Ayahanda sekejam itu?" Puteri Reza memekik
keras. "Ini sebuah kenyataan, aku kehilangan tangan dan kaki. Semua itu
kulakukan semata-mata karena
ingin menegakkan kebenaran. Tetapi ayahmu terlalu
tangguh. Aku jadi pecundang dan terpaksa menying-
kir. Perlu kau ketahui juga, puteri Reza. Pemuda tadi
benar, kekasihmu di hukum oleh Sunan. Karena apa"
Dia tidak suka kalian memadu kasih sesuai dengan
kehendakmu. Sebab sesuai perjanjian mereka dulu.
Sunan telah berniat menjodohkan kau dengan salah
seorang putera dari sekutu-sekutunya. Sunan merasa
berhutang budi pada mereka."
"Dan lebih celaka lagi, paman bermaksud men-
jodohkan aku dengan putera Macan Terbang yang ku-
disan itu!" Puteri Kilat Bayangan menyahuti.
Puteri Reza menangis tersedu-sedu. Meskipun
Reza tahu ayahnya sangat keras, namun ia tidak me-
nyangka kalau ayahnya tega berbuat sekejam itu
hanya untuk mempertahankan warisan. Tiba-tiba ia
merasa bersalah, jika Puteri Kilat Bayangan mau tentu
ia dapat membalas dendam padanya. Atau paling tidak
berubah membencinya.
"Kalau benarlah apa yang dikatakan oleh nenek
ini. Sekarang kakak bebas memperlakukan aku sesuka
hati kakak. Jika kakak mau membalas, balaslah kema-
tian uwa Rara Ayu. Aku sudah muak melihat kecula-
san dan kekejaman ayah." Puteri Reza tampak putus
asa sekali. Puteri Kilat Bayangan tersenyum pedih. Kema-
rahannya terhadap pamannya memang meledak-ledak.
Tapi untuk melampiaskan kemarahan itu pada Puteri
Reza, sama sekali tidak terlintas dalam, pikirannya. Ia teramat sayang pada
gadis itu. Jangankan membu-nuhnya, sedangkan menyakiti hatinya saja Puteri Kilat
tidak sanggup. "Jangan kau pikirkan masalah ini. Nasib kita
sama, jika aku berhadapan dengan paman, persoalan-
nya mungkin lain. Kita sama-sama tidak mengetahui.
Sekarang kita harus memikirkan apa yang akan kita
lakukan jika paman dan para sekutunya mencari ki-
ta?" "Itu persoalan yang mudah. Kita buat sebuah
pesta di sini untuk mengelabuhi Sunan Bandi Suliwa."
"Caranya bagaimana?" tanya Puteri Kilat.
"Kita berbuat seolah-olah kalian sudah dini-
kahkan dengan pemuda-pemuda yang telah menjadi
pilihan kalian!" kata si nenek disertai tawa mengekeh.
"Tapi bagaimana kita mendapatkan pemuda
yang mau mengerti persoalan kita. Sedangkan pemuda
tadi saja sudah nenek usir."
"Puteri Kilat, aku tidak mengusirnya. Aku
hanya memintanya untuk menyingkir. Dia pasti kem-
bali, karena kulihat matanya mengatakan cinta pada-
mu, Puteri Kilat! Hik hik hik...!"
Wajah si jelita merah seperti kepiting rebus. Ia
sendiri sesungguhnya sangat kaget, tidak menyangka
kalau Suro ada perasaan padanya. Namun untuk me-
nanggapi ucapan si nenek. Ia merasa tidak punya pe-
rasaan apa-apa pada si pemuda.
"Jika pemuda itu tidak kembali, siapa yang
akan menggantikannya?"
"Hik hik hik! Cucuku, tentu kedua anak-anak
ini dapat menjadi mempelai laki-laki. Tidak sungguhan
tentu, sebab aku tidak akan sudi punya cucu turunan
monyet." "Ini pekerjaan gila, nek. Aku keberatan melaku-
kannya!" tegas Puteri Kilat Bayangan. Sedangkan puteri Reza tidak memberi
tanggapan apa-apa. Pikirannya
tenggelam dalam persoalan-persoalan yang rumit dan
menyakitkan hati.
"Lebih gila lagi jika kalian berdua menjadi
isteri para musuh yang membuat kau dan puteri Reza
sengsara lahir batin."
"Apa maksud kepura-puraan ini?"
"Hik hik hik! Aku yakin rencana pemuda konyol
itu sama dengan rencanaku. Kalian hanya berpura-
pura jadi pengantin, bila Sunan dan kawan-kawannya
muncul ke sini!" jelas Nini Suri Pamungkas.
"Baiklah, nek. Rencana gila ini kuterima. Tapi
walau bagaimana pun aku harus mencari pemuda itu.
Aku ingin tahu bagaimana nasib kakang Ambar Alam.
Dia yang telah mengetahuinya, aku harus berjumpa
dengannya!" tegas puteri Reza.
"Jangan bodoh. Jika kau meninggalkan lereng
Kendeng ini. Bahaya selalu mengancammu. Sebaiknya
tetaplah kau disini. Kita bisa bersama-sama memper-
siapkan pesta bohong-bohongan untuk menyambut
kedatangan mereka jika Sunan dan orang-orangnya
datang kesini. Hik hik hik...!"
Apa yang dikatakan oleh Nini Suri Pamungkas
memang benar, hanya puteri Reza kelihatannya me-
mang tidak dapat tenang jika ia belum bertemu dengan
Suro. Ia harus bertanya bagaimana keadaan Ambar
Alam dan berada dimana saat ini"
"Sekarang marilah kita ke pondokku yang be-
rada di balik bukit itu!" ajak si nenek. Perempuan cacat itu menepuk-nepuk
pundak kedua monyet besar
yang berjalan dengan kedua kakinya.
"Nguk! Ngrokk!"
Tiba-tiba saja kedua monyet itu berbalik dan
berjalan cepat menuju pondok yang terdapat di balik
bukit. * * * Dewa Sabrang bukan lagi pemuda lemah seper-
ti lima tahun yang lalu di saat Sunan Bandi Suliwa
membenamkan sebagian tubuhnya di salah satu gua
sempit di daerah yang teramat tandus. Berkat penga-
laman yang panjang pahit dan menyakitkan itu pula ia
memperoleh kesaktian yang sungguh dapat diandal-
kan. Itulah jamur Dewa Sabrang. Walau pun untuk
semua itu ia harus rela tubuhnya menjadi belang. Pu-
tih dan hitam. Sekarang ia menjadi bingung ke mana hendak
pergi. Mengasingkan diri untuk mencari ketenangan
jiwa adalah sudah menjadi sumpahnya. Namun keha-
diran pemuda berwajah tolol kekanak-kanakan itu te-
lah mengusik jalan pikirannya. Reza Baiduri mungkin-
kah sekarang masih mengingatnya" Dewa Sabrang
terduduk lesu di pinggir sebuah tebing yang sangat cu-
ram. Kebimbangan"
Mengapa kini kau datang mengusikku lagi"
Padahal aku sudah menentukan sebuah jalan
yang mendaki lagi sangat sulit
Jalan pilihan yang orang lain jarang menempuh-
nya Kini aku berada di persimpangan jalan...
Aku bingung lagi untuk menentukan arah
Resah, bingung, gelisah tegang menerjang
Mana jalanku yang dulu?"
Mana....?""
"Engkau bingung tentang jalan hidupmu sendi-
ri. Kau ketahuilah bahwa jalan hidupmu adalah ke ne-
raka!" sahut sebuah suara.
Dewa Sabrang tersentak kaget. Ia memandang
ke salah satu arah. Saat itu dilihatnya ada seorang la-
ki-laki berpakaian serba hitam berdiri tegak tidak jauh di depannya. Di
punggungnya tergantung sebuah
gunting berukuran sangat besar berwarna putih
mengkilat karena ketajamannya.
"Kau siapa?" tanya Dewa Sabrang dengan mata
setengah terpicing.
"Ha ha ha...! Sunan Bandi Suliwa sejak lima
tahun yang lalu telah menugaskan aku dengan upah
besar untuk mengawasi gerak-gerikmu. Sebenarnya
sejak dulu aku sudah berniat membunuhmu. Karena
aku terlanjur terikat janji untuk melihat penderitaan-


Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mu selama lima tahun itu. Maka aku, Hantu Pemeng-
gal Kepala selalu menunggu. Ternyata sekarang aku
melihat sesuatu yang sangat lain dalam dirimu. Sepa-
ruh tubuhmu seperti singkong bakar. Sedangkan ba-
gian lainnya seperti salju. Karena kau sudah terbebas
sepenuhnya. Kini adalah tugasku untuk menghentikan
langkahmu agar tidak mengganggu puteri Reza lagi."
Jawaban Hantu Pemenggal Kepala membuat Dewa Sa-
brang belalakkan mata.
*** 6 "Kau bermimpi di tengah hari bolong, Hantu
Pemenggal Kepala. Perlu kau ingat. Bagiku cinta ma-
nusia sudah tidak menjadi persoalan utama lagi. Satu
hal yang patut kau pertanyakan. Aku tidak suka pe-
maksaan terjadi atas manusia lain. Kini arah langkah-
ku berubah lagi, kaulah yang telah merubahnya. Jika
aku kembali ke Parit Wolu, semata-mata hanya kare-
na ingin minta tanggung jawab Sunan. Apa katamu
tentang pernyataanku ini?"
"Silakan kau bawa mimpi-mimpimu itu ke da-
lam kubur! Kau segera tahu akibat yang harus kau
tanggungkan!" kata laki-laki berumur lima puluhan
ini. Ia mengacak-acak rambutnya yang lurus bagaikan
ijuk. Disentakkannya kepala ke belakang dua kali.
Disertai dengan teriakan keras, Hantu Pemeng-
gal Kepala hantamkan tinjunya ke dada Dewa Sa-
brang. Angin keras menderu, rambut Dewa Sabrang
yang riap-riapan berkibar-kibar. Namun detik itu ju-
ga ia menggeser langkahnya ke samping. Setelah itu
kepala dirundukkan, sikunya menyongsong ke depan.
Maka terjadilah benturan sangat keras. Hantu Pe-
menggal Kepala terjajar mundur disertai seringai kesa-
kitan. Dewa Sabrang lakukan sebuah gerakan cukup
unik. Tangannya diangkat menutupi kepala, lalu ia
melompat satu tendangan dilepaskannya.
Setelah merasakan besarnya tenaga dalam yang
dimiliki oleh lawan. Hantu Pemenggal Kepala kali ini
tampak menghindar. Kemudian ia bersalto di udara.
Setelah itu tinju kirinya menghantam bahu si pemuda.
Sesungguhnya Dewa Sabrang sama sekali tidak memi-
liki dasar-dasar ilmu silat. Sehingga ketika pukulan itu meluncur ke bagian
tubuhnya ia tidak kuasa meng-
hindar lagi. Buuuk! "Heh...!"
Hantu Pemenggal Kepala kaget setengah mati.
Pukulan yang dilepaskannya tidak membawa akibat
apa-apa bagi lawannya. Sebaliknya tangan laki-laki itu
kontan bengkak membiru.
"Gila! Darimana dia mendapatkan kekuatan se-
perti itu" Tubuhnya keras seperti karang. Padahal du-
lu menurut Sunan ia tidak mempunyai kesaktian apa-
apa?" desis sang Hantu dalam hati.
"Kaget, Hantu jelek" Kau tidak usah heran, sa-
tu lagi yang perlu kau ketahui, dibalik penderitaan
pasti ada hikmahnya. Aku telah mendapatkan hikmah
itu. Sekarang kau boleh menyerangku bagian mana sa-
ja yang kau suka. Tapi ingat, jika sampai sepuluh ju-
rus dimuka kau tidak mampu mengalahkan aku. Tu-
buhmu akan kupatahkan menjadi empat bagian!" an-
cam Dewa Sabrang berapi-api.
"Bangsat! Hiyaa....!" teriak Hantu Pemenggal
Kepala. Laki-laki berambut kaku ini tiba-tiba saja le-
Memburu Iblis 10 Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Kampung Setan 11
^