Pencarian

The Ring Of Solomon 3

Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud Bagian 3


apa yang terjadi! Pastikan untuk memberitahuku jika kau menyadari ada sesuatu. Sementara itu
aku akan segera memanggilmu lagi, membengkak ataupun tidak."
Si foliot cemberut. "Haruskah aku" Terus terang aku lebih memilih lokasi pembangunan itu."
"Pekerjaan kita disitu sudah selesai untuk saat ini," Khaba berkata kaku. "Solomon telah..
memberi perintah yang lain."
"Ooo, marah kepadamu ya dia" Dijatuhkan dari kenikmatan" Sayang sekali!"
Bibir Khaba memanjang. "Catat kata-kataku," katanya, "suatu hari nanti akan ada perhitungan."
"Oh, tentu saja," kata si foliot. "Tahu tidak, kenapa tidak sekarang" Kenapa kita tidak menyusup
saja ke ruangan sang Raja malam ini dan mencuri cincin itu sementara ia tidur?"
"Gezeri..." "Kenapa tidak" Kau cepat, kau pintar. Kau bisa membunuhnya sebelum ia punya kesempatan
untuk memutar cincinnya... Well" Apa yang menahanmu?" si foliot tertawa kecil. "Menyerahlah,
Khaba. Kau takut sama seperti yang lain."
Si penyihir mendesis marah; kemudian ia bergumam dan menepuk tangannya. Gezeri
melengking; si foliot dan awannya meledak dan lenyap.
Khaba berdiri kaku dan sangat marah dalam bayangan biru-hijau di ruangannya, menatap ke
udara kosong. Akan datang saat dimana semua yang meremehkannya menyesali kebodohan
mereka secara mendalam...
Terdengar bisikan dalam kegelapan. Sesuatu menekan lehernya. Menghela napas, Khaba
menyingkirkan masalah itu dari pikirannya. Dia keluar dari lingkarannya dan menyeberangi
ruangan menuju kerangkeng intisari. Cukup waktu, sebelum berangkat ke padang gurun, untuk
sedikit relaksasi. Pada hari Festifal Musim Semi, upacara keagamaan memakan waktu dua kali lebih panjang
dari normal, dan gadis kecil itu menjadi bosan karenanya. Ia menunggu sampai ibunya selesai
bersujud kepada Dewi Matahari, dengan punggung besar tuanya diangkat ke langit, kemudian
dengan hati-hati melihat sekitar. Anak perempuan lain menyibukkan diri dengan berdoa juga,
mata terpejam erat, hidung ditekankan dalam-dalam ke batu lantai. Saat dengungan suara dari
ritual nyanyian suci berkumandang memenuhi udara, si gadis kecil bangkit, berjingkat melewati
semua orang dan melompat keluar ruangan melalui jendela. Ia berlari melintasi atap datar aula
latihan, merayap di sepanjang dinding di samping taman istana dan meloncat turun seperti
seekor kucing menuju bayang-bayang jalanan. Lalu ia melicinkan pakaiannya, menyeka
kakinya di bagian tulang kering yang tadi tergores saat memanjat tembok, dan menghambur
menuruni bukit. Ia tahu bahwa ia akan dimarahi saat kembali nanti, tapi ia tidak peduli. Ia ingin
melihat arak-arakan pawai di jalanan.
Bunga limau dijatuhkan dari puncak-puncak menara dan warga Sheba tertutupi olehnya seperti
tertutup salju. Semua orang menunggu di sepanjang sisi jalan " warga kota dan orang-orang
dari gunung mengharapkan hal yang sama " menanti dengan sabar kemunculan ratu mereka.
Gadis kecil itu tidak terlalu menginginkan untuk bisa berdiri di barisan terdepan kerumunan,
dalam kasus ini karena ia bisa saja tergilas oleh roda besar kereta kuda, karena itu ia memillih
untuk berjuang memanjat tangga kayu pos penjaga terdekat, dimana dua orang wanita ramping
dengan pedang tersandang di pinggang mereka mengawasi kerumunan di bawah.
"Apa yang kau lakukan disini?" kata salah seorang di antaranya, mengerutkan dahi. "Mestinya
kau ada di pelatihan. Kembalilah ke aula cepat."
Tapi temannya yang berpotongan rambut pendek menyenggol si gadis. "Sudah sangat
terlambat. Dengar " mereka datang! Duduklah dengan tenang, Asmira dan mungkin kami akan
mengatakan tidak pernah melihatmu."
Si gadis kecil menyeringai, duduk bersila pada batu diantara kakinya. Ia menyandarkan dagu
pada kepalan tangannya, lalu menjulurkan leher; Asmira melihat kereta kerajaan datang
begemuruh melewati gerbang, ditarik oleh tim budak laki-laki dengan ekspresi muka tegang.
Singgasana yang dijunjungnya keemasan laksana matahari itu sendiri, dan diatasnya " melar
dan megah, dalam balutan jubah putih yang membuatnya tampak lebih melar " duduklah sang
ratu. Ia seperti patung yang diwarnai, kaku dan tak bergerak, wajahnya yang bulat putih oleh
bedak, menatap lurus kedepan tanpa ekspresi. Di sisi lain berbaris para pengawal bersama
pedang tanpa sarung mereka; tersembunyi di barisan belakang berjalanlah para Pendeta Putri
dalam barisan yang khidmat. Di dalam kereta sendiri, tak begitu jauh dibelakang singgasana,
sang Pengawal Pertama berdiri tersenyum, rambut hitamnya berkilauan dibawah siraman
cahaya mentari. Kedalam kota prosesi arak-arakan itu merangkak. Orang-orang bersorak; bunga-bungaan
berjatuhan dari puncak menara membentuk riam baru. Tinggi di atas pos penjaga, si gadis kecil
menyeringai dan berguncang-guncang. Dia melambai-lambaikan kedua tangannya.
Di sisi terjauh jalan sempit itu, didalam bayang-bayang menara terdekat, muncul semburan
asap kuning. Tiga demon kecil bersayap, dengan mata merah menyala dan ekor cambuk dari
tulang yang meruncing, mewujud di udara. Dalam sekejap para penjaga di samping gadis itu
menghilang ke dalam kerumunan. Begitu pula yang berada di sisi kereta, mereka bersiap maju,
pedang siaga, belati ditarik dari lengan baju.
Jeritan-jeritan, kerumunan bertemperasan. Para demon melesat menembus udara. Satu,
serempak disambar tujuh pisau perak dan binasa sambil menjerit. Yang lain berputar mengelak
ke sisi dengan sayap-sayap kulit mereka, mengirimkan simpul-simpul api ke arah para penjaga
yang maju di bawahnya. Gadis kecil itu tidak melihat satupun dari kejadian itu. Matanya terus tertuju pada kereta yang
berhenti, diamana sang ratu duduk diam, menatap lurus ke depan. Sang Pengawal Pertama
tidak meninggalkan posnya; ia mencabut pedangnya dan berdiri dengan tenang di samping
singgasana. Dan kemudian serangan yang sesungguhnya-pun dimulai. Tiga orang pria gunung
menampakkan diri dari kerumunan yang luluh lantak, berlari menuju kereta yang kini tanpa
perlindungan. Dari dalam jubah mereka mencabut pisau panjang yang tipis.
Sang Pengawal Pertama menunggu. Saat si penyerang yang tercepat melompat ke arah ratu,
ia menjegalnya sebelum si penyerang sempat menyentuh tanah. Berat si penyerang membuat
pedang terlepas dari genggaman; membiarkannya tumbang; sang Pengawal Pertama berbalik
untuk menghadapi yang lain, sebuah belati melenting ke tangannya.
Sisa penyerang mencapai kereta; mereka melompat naik melalui sisi lain singgasana.
Si Pengawal Pertama mengibaskan pergelangan tangannya " satu kena; dia tumbang. Dengan
sama cepatnya ia melemparkan diri melintasi ratu, menghadang tebasan pisau terakhir dengan
badannya. Ia roboh ke pangkuan ratu, rambut hitam panjang jatuh lemas di sekitar kepalanya.
Pengawal lainnya yang sudah menyelesaikan urusannya dengan para demon, menemukan
belati di belakang mereka. Dalam sekejap si penyerang ketiga tewas dengan lusinan luka. Para
pengawal menyerbu kereta, membersihkan mayat-mayat.
Perintah-perintah diberikan. Para budak manusia menarik tali-tali dalam irama suara cemeti,
dan kereta itu melanjutkan perjalanannya. Bunga-bunga berjatuhan pada jalanan kosong. Sang
ratu menatap lurus kedepan, tak bergeming, wajahnya putih dan tanpa perasaan, jubahnya di
bagian pangkuan bernoda merah.
Tubuh Pengawal Pertama diletakkan dalam bayang-bayang gerbang kota saat barisan pendeta
wanita menyeret kaki mereka melintas. Setelah mereka semua telah pergi membutuhkan
beberapa menit lebih untuk mengarakkan para pelayan untuk kembali dan membersihkan
jalanan, tetapi tak satupun dari mereka yang memperhatikan seorang gadis kecil duduk tinggi di
atas pada pos penjaga, menonton saat tubuh ibunya dibawa kembali ke bukit istana.
Asmira membuka matanya. Segala sesuatunya masih tampak seperti sedia kala sebelun ia
tertidur. Bayangan berjumbai kanopinya bergoyang-goyang pada punggung untanya. Bunyi
keriat-keriut pada tiang-tiangnya dan langkah halus mantap kuku kaki pada bebatuan " Panas
menggerogoti mulutnya; kepalanya pening. Pakaiannya seperti kepompong basah.
Asmira melembabkan bibirnya dengan kantung air, mengesampingkan keinginannya untuk
minum lebih banyak. Sembilan hari di gurun, dan tiga setelah air segar terakhir, dan masih saja
jalanan berlanjut. Segala sesuatu di sekelilingnya adalah tanah dari ketandusan dan
kekosongan, dari bukit-bukit memutih yang melenyap di tepi terjauh pengelihatan. Matahari
adalah lubang putih di langit yang membaja. Panasnya melengkungkan udara menjadikannya
irisan-irisan yang menari dan gemerlapan dan tak pernah diam.
Selalu, saat ia terlelap sejenak selama hari-hari di gurun tanpa akhir ini, Asmira menemukan
dirinya diserang oleh mimpi-mimpi yang berputar-putar cepat yang terpuntir, jungkir-balik,
menukik, terulang, menyengat seperti gemuruh badai pasir. Ia melihat Ratu Sheba tersenyum
padanya di kamar istana, menuangkan untuknya lebih banyak anggur. Ia melihat para pendeta
di alun-alun depan istana, dengan jin mereka yang melayang dan menunggu, dan semua mata
mengarah padanya saat saat ia mendapat ucapan selamat tinggal. Ia melihat Kuil Matahari dan
dinding timurnya, dimana figur pahlawan suci yang mati dipertunjukkan dan figure ibunya
bersinar begitu indah dalam cahaya pagi. Ia melihat relung kosong disampingnya yang ia
damba-dambakan begitu lama.
Dan terkadang " kadang ia melihat ibunya, dengan cara yang sama yang selalu ia lihat,
selama sebelas tahun yang membeku ini.
Malam itu rombongan unta berhenti di bawah naungan punggung bukit batu dan pasir. Semak
brushwood dikumpulkan, dan api pun dinyalakan. Master karavan itu, yang memiliki beberapa
pengetahuan sihir, mengirim imp-imp penjelajah untuk memeriksa bebatuan dan memberi kabar
kalau ada apapun yang mendekat.
Setelah itu dia mendekati Asmira, yang saat itu sedang memandagi api. "Masih disini, kulihat."
Asmira sediam mayat, letih, dan terbebani oleh ketidaksabaran pada menjemukannya
perjalanan ini. Meski begitu, ia memaksa diri tersenyum. "Mengapa aku harus tidak
melakukannya?" Sang master adalah pria besar dan pesolek, mata berkedip-kedip dan berdada lapang. Asmira
mendapatinya agak membingungkan. Dia terkekeh. "Tiap malam aku memeriksa untuk
memastikan setiap orang masih manusia, dan bukan ghul atau fetch! Mereka berkata bahwa
pada suatu waktu seorang master unta berjalan menuju Petra bersama tiga puluh pedagang
dalam rombongannya; saat dia melewati gerbang kota, semua jubah penunggang unta jatuh ke
tanah dalam keadaan kosong, dan, menengok ke belakang, dia menyaksikan jalan sepanjang
bermil-mil ditebari tulang-belulang. Semua orangnya telah ditelan, satu demi satu!"
Para induk pelindung sudah pernah menceritakan hal yang sama, tentang pedagang Marib.
"Cuma cerita rakyat," katanya. "Tidak lebih."
Sang master mengeluarkan penangkal jinnya dan menggoyangkan genta peraknya dengan
bersemangat. "Walau memang begitu, kewaspadaan memang perlu. Gurun-gurun itu tempat
yang berbahaya dan tidak semua tampak seperti kelihatannya."
Asmira sedang menatap bulan. Sang bulan berwujud sabit tipis sekarang, dan bersinar terang
di atas punggung bukit. Pemandangan itu memberinya simpul tajam yang menjerat perutnya.
"Kemajuan kita lumayan hari ini," katanya. "Akankah kita mencapai Jerusalem besok?"
Si master unta membetulkan letak perut buncitnya sedikit dan mengge-lengkan kepalanya.
"Sehari setelah ini, kalau semuanya berjalan baik. Tapi malam besok aku akan beristirahat,
karena kita akan mendekati kota. Tidak ada demon pegurunan yang berani menyerang kita
dibawah Solomon yang baik, manis dan matanya yang awas."
Dalam cahaya unggun Asmira melihat menara-menara di Marib terbakar. Simpul di perutnya
tadi hancur berantakan. "Baik?" katanya kasar. "Manis" Itu bukanlah deskripsi yang kudengar
tentang Solomon." "Sungguh?" si master unta menaikkan alismatanya. "Apa saja yang sudah kau dengar?"
"Bahwa dia adalah panglima perang tertinggi yang keji yang mengancam negeri-negeri yang
lebih lemah." "Well, ada banyak kisah yang diceritakan tentangnya," si pawang unta mengakui, "dan aku
berani berkata bahwa tidak semuanya memberi penghargaan padanya. Tapi kau akan
mendapati banyak orang dalam rombongan ini yang mempercayai hal yang berbeda darimu;
mereka datang ke Jerusalem untuk mencari kemurahan hatinya, atau memohon padanya untuk
memberikan keadilan pada persoalan-persoalan sulit. Tidak" Kau tak percaya padaku" Tanya
saja mereka." "Mungkin, akan kulakukan."
Saat malam tiba dan api membubung tinggi, Asmira tenggelam dalam percakapan dengan
seseorang yang duduk disampingnya di depan api unggun. Dia adalah seorang saudagar
rempah-rempah yang terikat pada Tyre, seorang pria muda, berjenggot dengan penampilan
yang tenang dan sopan. "Kau sangat pendiam, nona," katanya. "Aku jarang-jarang mendengar
perkataan keluar dari lidahmu sepanjang perjalanan ini. Bisa aku menanyakan namamu?"
Asmira sudah sejak lama memilih untuk tidak mengacuhkan semua sebutan yang berkaitan
dengan nama aslinya dan negaranya, dan menghabiskan banyak waktu pada perjalanan ini
untuk memikirkan penggantinya. "Aku dipanggil Cyrine."
"Darimana kau datang?"
"Aku Pendeta Putri dari Kuil Matahari di Himyar yang diberkahi. Aku dalam pejalanan menuju
Jerusalem." Si saudagar menjulurkan kaki bersepatu botnya lebih dekat ke api. "Himyar" Dimana itu?"
"Arab selatan." Sebenarnya Himyar adalah sebuah kerajaan pesisir sedikit ke arah barat dari
Sheba, terkenal akan kambingnya, madu dan keanonimitas orang2nya yang sudah lazim, yang
mana adalah alasan Asmira memilih tempat itu sebagai identitas samarannya. Ia belum pernah
berada di sana, dan meragukan banyak orang lainnya akan berbeda.
"Apa urusanmu di Jerusalem yang membawamu sampai sejauh ini?"
"Aku ingin melihat sang raja Solomon. Kerajaan kami membutuhkan pertolongannya." Asmira
menurunkan alis matanya sedikit dan menghela nafas dengan cantiknya. "Kuharap akan
memungkinkan untuk bertemu dengar dengannya."
"Well, Solomon punya dewan pertemuan sehari-hari, katanya, tempat dimana dia
mendengarkan siapapun yang datang padanya." Si saudagar minum dalam-dalam dari kantung
anggurnya. "Pasangan suami istri dekat Tyre, mereka diserang wabah kumbang setahun yang
lalu. Datang pada Solomon. Dia mengirim demon-demonnya; mereka membunuh kumbangkumbang itu. masalah terpecahkan. Itulah hal-hal yang dapat dilakukan cincin ajaib untukmu.
Mau anggur lagi?" "Tidak, terimakasih. Pertemuan harian, katamu" Menurutmu aku bisa memasukinya?"
"Oh, tentu-tentu. Gadis cantik sepertimu, aku yakin akan mendapat semua kesempatan." Dia
menatap ke kegelapan malam. "Kukira, apapun yang membawamu dari Arabia, kau belum
pernah berhenti di sini sebelumnya."
Asmira sedang memikirkan apa yang akan dilakukannya setelah ia sampai ke Jerusalem nanti.
Asmira akan pergi ke istana dan mengajukan permintaan untuk bertemu dengar pada hari
Rapat dewan hari selanjutnya. Mereka akan membawanya ke hadapan raja. Dan kemudian,
saat Asmira sudah berdiri di depannya, dan mereka menantinya untuk mengurusi beberapa
permintaan persembahan, ia akan melangkah maju, menyibakkan jubahnya dan "
Pengarapan terbakar bak api di seluruh dadanya; tangannya gatal menantikan saat itu. "Tidak,"
katannya mengelak, "aku belum pernah ke Israel."
"Bukan, maksudku disini." Dia memberi isyarat ke arah punggungan batu di atas. "Tempat ini."
"Sama sekali." "Ah!" dia tersenyum. "Kau lihat puncak bagian yang menggantung di sana, tempat menara
batupasir menjulang sendirian" Itu adalah penunjuk tempat local yang terkenal. Tahu apa itu?"
Asmira bangkit, memandang ke atas. Gumpalan itu jelas tampak aneh, lapisan batunya
berbonggol dan berubah bentuk, dengan beberapa tonjolan penghalang di puncaknya. Saat
Asmira melihatnya, sinar matahari terakhir menari-nari seperti percikan air di sepanjang bagian
bawah samping, nyaris tampak seperti "
"Itu, katanya, adalah si afrit Azul," saudagar itu berkata. "Salah satu budak Solomon di awalawal pemerintahahnnya. Dia berusaha menghancurkan Cincin, atau begitulah menurut yang
diceritakan, dan yang kau lihat itu adalah akibat yang didapatkannya. Diubah jadi batu dan tak
pernah bisa bergerak lagi!" si saudagar berpaling dan menatap api. "Hal bagus juga,
menurutku. Lihatlah ukurannya. Pasti tingginya dua puluh empat kaki!"
Asmira menatap bagian pilar yang melandai, sadar akan perasaan mati rasa yang tiba-tiba
mendera tulang-tulangnya. Ia menggigil; malam terasa baru-saja menjadi dingin. Batu itu
menjulang begitu tinggi. Dia tampak hampir-hampir menggapai bintang-bintang. Dan apa itu
sebenarnya" Dapatkah ia melihat bekas-bekas roman wajah yang lebar dan brutal pada
bayang-bayang di dekat puncaknya ?"
Tidak. Angin dan pasir gurun telah melakukan pekerjaannya. permukaannya yang tidak rata
sudah tidak lagi menampilkan ekspresi.
Menarik jas bepergiannya lebih erat, ia beringsut lebih dekat pada api, mengabaikan
pertanyaan lebih jauh dari pedagang yang duduk di sampingnya. Perut Asmira sudah memintaminta air, gigi-giginya terasa akan lepas dari mulutnya. Kegirangan dahsyat yang tadi meluapluap di hatinya telah lenyap, tersedot seakan ditarik oleh tangan raksasa. Seketika Asmira baru
benar-benar memahami implikasi dari apa yang sedang berusaha dilakukannya. Ukuran demon
yang diubah bentuknya itu, kehampaan tak terkira dari tubuh makhluknya yang memadat, telah
membuatnya paham akan apa yang tidak dikatakan semua kisah-kisah api unggun itu: betapa
hina dan menghinakan belaka kekuatan si pria pengguna Cincin itu.
Di pagi hari ke sepuluh, rombongan pengelana unta mencapai tempat dimana bukit-bukit batu
berpasir menghimpit rapat jalan yang mereka lalui. Bagian paling atas lerengnya yang terjal
bermandikan matahari; turun di bawahnya, dimana unta-unta itu menapakkan kakinya, sinarnya
menjadi kelabu dan dingin.
Asmira mendapat tidur yang buruk. Gelombang rasa takut yang menimpanya semalam
sebelumnya telah mengalir pergi, meninggalkannya dalam keadaan kosong dan lembam
terpuruk dan terus-terusan mendongkol pada dirinya sendiri. Ibunya tidak akan bereaksi seperti
ini hanya karena seonggok gumpalan batu dungu, tidak juga ratunya yang sedang berharapharap cemas akan keberhasilan perjuangannya saat ini. Asmira duduk membungkuk di atas
untanya, dibebani oleh pikiran-pikiran murungnya sendiri.
Jurang-jurang semakin sempit semakin lama mereka berjalan; di sisi kanan, lerengnya telah
runtuh menjadi tumpukkan batu yang kacau dan berantakan. dibosankan oleh kegiatannya
melihat-lihat ketandusan sekeliling, Asmira menangkap sesuatu dalam jarak pandangnya yang
kecil dan coklat bertengger di atas bongkah-bongkah batu. Itu adalah rubah gurun, dengan
telinga besar, hitamnya yang berjumbai dan mata bercahaya, duduk pada batu, menonton
rombongan unta yang melintas.
Unta Asmira melambat untuk mengatasi tanah jalan yang tidak rata, dan untuk sesaat Asmira
saling melontarkan pandangan dengan si rubah. Ia berada tepat di depan si rubah sekarang,
hanya beberapa kaki jauhnya dari Asmira. kalau ingin ia bisa saja turun dari tempatnya
sekarang dan menyentuh makhluk berbulu itu. si rubah tidak menunjukkan rasa takut. Mata
bulat hitamnya bertemu pandang dengan mata Asmira.
Lalu untanya bergerak, dan si rubah tertinggal di belakang.
Asmira duduk sangat diam, ia merasakan goyangan lembut unta dibawahnya, mendengarkan
langkah kakinya yang tak kenal lelah, melangkah, melangkah di antara kesunyian ngarai itu.
Lalu, sambil mendesah, ia mengambil cambuk dari sarungnya di pelana dan, merenggut tali
kekang, dipaksanya si unta memacu langkahnya maju. Kelembammannya hilang; matanya
terang kembali. Tangannya mencari-cari belati yang terselip dibalik jubah bepergiannya.
Sang master berada empat unta jauhnya dari Asmira, dan ia berhasil menarik perhatiannya
dengan sedikit kesulitan.
"Percepat! Percepat!"
Si master melotot padanya. "Ada apa ini" Ada masalah apa?"
"Imp-impmu " lepaskan mereka! jin-jinmu juga, kalau kau punya " ada sesuatu disini."


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia mengeluh sesaat, kemudian meneriakkan perintah. Saat dia melakukannya, sebuah bola
api hitam kebiruan menghantam untanya dari kiri. Disusul ledakan api biru kehitaman; master
dan untanya dibawa angin ledakan melayang horizontal menyeberangi jalan dan remuk
menghantam bebatuan. Asmira menjerit, melontarkan tangannya ke atas melawan udara yang
terbakar. Untanya mengangkat kaki depannya dalam teror; Asmira terhempas ke belakang,
hampir terpental dari pelananya, ia berayun miring, melekatkan diri erat-erat pada tali kekang.
Tangannya yang terjulur kesana-kemari menyentuh galah tiang kanopinya; ia pun menggantung
pada galah itu, setengah bergoyang-goyang di atas tanah. Untanya melawan dan meloncat.
Menggerek lehernya dengan menyedihkan dari tempatnya bergantungan, Asmira melihat
sekilas sesuatu yang hitam melayang di angkasa. Bola-bola api menghujani jalan itu.
Ledakan-ledakan lain membahana; juga jeritan dan teriakan panik. Gema dan gaung memantul-
mantul menembus jurang, kelihatannya datang dari segala penjuru. Asap menghalangi
pengelihatan Asmira. Untanya mencoba berbalik, tapi ledakan lain di belakangnya membuatnya
tersentak tiba-tiba ke arah dinding tebing. Menarik-narik membabi-buta di tali kekang dengan
hanya satu tangan yang disana, sementara bergelantungan di tiang kanopi dengan tangan
lainnya, Asmira memaksa dirinya naik, nyaris saja tidak selamat dari menubruk batu-batu.
Sambil mencengkram kepala pelana ia mengeluarkan pisau perak dari sabuknya.
Di suatu tempat di antara kepulan asap, sosok hitam bergedebug mendarat di tanah jalan itu;
pria-pria dan hewannya menjerit dalam rasa sakit dan teror. Asmira berpegangan erat pada
untanya yang menjengkelkan, menatap ke semua arah. Berhasil mengontrol unta itu pada
akhirnya, ia kembali menembus kegelapan yang berputar-putar untuk merapat di tempat
perlindungan pada dinding jurang yang menjuntai ke atas. Disitu Asmira meringkuk, sementara
bola-bola api beterbangan kesana-kemari mengoyak udara dan teriakan terakhir orang sekarat
terdengar, ia mengeluarkan dua lagi belati perak dari tasnya. Asmira menarik keluar liontin
peraknya dari balik jubah, membiarkannya menggantung bebas di dadanya.
Gerakan dalam kepulan asap, sebuah siluet: sesuatu yang bukan manusia mendekat. Asmira
melakukan bidikan cepat dan kemudian melepaskan pisaunya. jeriatan serak seperti suara
orang berkumur, diikuti kilasan sinar pucat singkat. Sosok itu hilang.
Asmira siap dengan senjata berikutnya. Waktu berlalu; kepulan asap mulai menghilang.
Sosok kedua datang melambung naik turun di jalanan. Saat dia mendekat, makhluk itu berhenti;
menolehkan kepalanya. Asmira, mengakukan diri, mengangkat pisaunya dalam kesiagaan;
darah berdenyut-denyut di telinganya.
Kabut tercecer. Makhluk dengan kepala seperti reptil menerjang ke depan, pedang scimitar
berputar-putar di tangannya yang bercakar tiga.
Asmira menepuk liontin lehernya dan merapalkan Mantra penangkal serangan. Piringan cahaya
kuning melejit dan menghantam makhluk itu, ia tersentak balik, tapi tidak mundur. Si makhluk
melihat ke atas Asmira, menyeringai, dan perlahan menggoyangkan kepalanya. Kemudian
membengkokkan lututnya dan melayang cepat ke arah Asmira, mulut mengatup dan gigigiginya yang tajam bergesekan dengan gembira.
Tenang dan damai. Itulah hal pertama yang terpikirkan yang dapat dikatakan tentang gurun.
Gurun memberimu kesempatan untuk terlepas sementara dari tekanan hidup sehari-hari. Dan
kalau "tekanan sehari-hari" itu terdiri dari tujuh jin sangat marah dan seorang penyihir penderita
ayan, sedikit banyak beberapa ribu mil persegi batu, angin dan tanah tandus adalah tepatnya
yang kau butuhkan. Tiga hari telah berlalu sejak hari dimana pertemuanku yang tak mengenakkan dengan Solomon
terjadi di Jerusalem " cukup waktu, sesuatu yang mungkin layak untuk dipikirkan, untuk
kemarahan berubah menjadi kesejukan di hati dan suasana hati buruk dengan mudah perlahan
menjadi rasa mawas diri yang tenang.
Tapi apa memang begitu" Sayangnya tidak.
Khaba murka, tentu saja " itu mudah diduga. Sang raja telah meremehkan dan
mempermalukannya di hadapan rekan sejawatnya dan keberadaannya yang nyaman di istana
digantikan, untuk sementara ini, dengan perburuan bandit di tanah terbuka. Tapi benar, tentu
saja dia tidak betul-betul merana " dia bepergian dengan karpet terbang, lengkap dengan
bantal, anggur, dan foliotnya yang berbaris rapi mememegangi parasol dan dia tidur di tenda
dari sutra pada malam hari lengkap dengan meja tulis dan kamar mandi berpengharum " bisa
kau lihat betapa menderitanya dia, dan dia menyalahkan aku.(1)
(1)Kau dapat mengatakan ini dengan melihat kilasan jahat yang dipancarkannya. Dan segala froi-deur
yang kurasakan saat aku berpapasan dengannya. Tak terlalu kentara, ya, tapi aku agak sensitif saat itu
dan menatapnya langsung. Yang biasanya terjadi adalah dia mengguncangkan tinjunya dan
menyumpahiku dengan nama semua dewa-dewa kematian mesir yang hanya semakin memperkuat
teoriku. keanehan yang mengherankan dan membingungkan, walau setelah beberapa pemeriksaan
balik ke situs pembangunan kuil, Khaba tidak benar-benar menghukumku cukup layak atas
pelangaran aturan yang kulakukan. Ini sangatlah diluar kebiasaan yang membuatku jadi
gelisah; aku berharap kemurkaannya ditimpakan padaku ketika aku sedikit banyak memang
mengharapkannya, dan sebagai akibatnya itu membuatku berharap sepanjang waktu. Aku
mengamati dia dan bayangannya seperti orang kesetanan, tapi tetap tidak ada hal buruk
apapun mendatangiku. Sementara itu para jin temanku saat berpapasan denganku, seperti biasa, marah karena
rutinitas hidup keseharian yang aman dan dapat diramalkan telah berganti menjadi penyisiran
daratan jelek gersang dalam pencarian jin-jin berbahaya untuk diajak berkelahi. Aku berusaha
berargumentasi bahwa pembunuhan tanpa aturan jauh lebih baik bagi pembawaan buas kami
daripada pekerjaan pembangunan, tapi malah mendapat teriakan, cercaan, dan pengabaian
semata. Xoxen, Tivoc, dan Beyzer menolak untuk berbicara padaku sama sekali, dan sisanya
dengan tegas mengecam. Hanya Faquarl, yang karena begitu jijik pada tempat penggalian,
yang menunjukkan sedikit kecenderungan yang menjurus pada simpati. Dia mengkontribusikan
sedikit komentarnya yang membuat suasana hatiku semakin buruk, tapi pada kebanyakan
kesempatan lain tetap membiarkanku sendirian.
Tak banyak peristiwa yang terjadi pada dua hari pertama. Tiap pagi Khaba muncul dari
tendanya, mencaci-maki kami keras-keras atas kegagalan kami, menggumamkan sembarang
ancaman dan menyuruh kami bertemperasan ke segala penjuru, menjelajahi langit dari
terbenam matahari sampai terbit fajar, kami pulang dengan tangan kosong untuk kembali
mendapati kecamannya. Padang gurun sangat luas dan musuh kami selihai rubah. Para
perompak, siapa-pun mereka, bersembunyi dengan baik.
Pada siang hari hari ketiga aku menjadi phoenix lagi, melayang tinggi di atas rute perdagangan
selatan. Melewati kota Hebron, begitu juga Arad. Tak jauh ke arah timur aku menangkap
pantulan cermin Danau Garam besar (Laut Mati), dimana tulang-belulang kota-kota kuno yang
terbenam terputihkan oleh tepiannya. Didepanku berdiri pegunungan Edom, gerbang menuju
tempat yang sekarang masih berupa tanah kosong tanpa penghuni yang membentang luas,
yang di bawah kakinya, terhampar massa merah lembayung tua: yaitu padang gurun Zin yang
tak pernah berair. Jalan rempah-rempah itu tampak berupa urat coklat tipis di tegah hamparan tanah luas,
menyembul di antara punggungan bukit tak bernyawa. Jika aku terus mengikuti arah ini cukup
lama, pada akhirnya aku akan mencapai Laut Merah, titik temu perdagangan dimana karavankaravan dari Mesir, Sheba, dan bahkan Nubia dan Punt yang jauh berkumpul. Tapi urusanku
ada di dekat-dekat sini saja.
Aku berbalik arah, mata hitamku berkilat saat menoleh menatap matahari, aku menangkap
kilasan jawabannya dari bawah. Datangnya dari sebuah jejak sedikit di luar jalur jalan raya
utama, sebuah jalan kecil yang meliuk menuju sebuah desa di bukit. Kilasan tadi jelas nyata,
dan memerlukan investigasi lebih lanjut.
Ke bawah aku melayang turun, sambari menikmati angin yang berhembus melewati bulubuluku dan kebebasan yang diberikan udara. Semuanya ini, tidaklah terlalu buruk. Aku masih
hidup, masih bersemangat tinggi, dan bisa menyingkir dari tempat pembangunan sialan itu.
Benar, aku punya beberapa "monster" untuk dijatuhkan dan dibunuh, tapi kalau kau adalah
seorang jin jagoan yang punya kemampuan di atas rata-rata yang berhasil selamat dari
peperangan Quadesh dan Megiddo, dan yang (terlebih karena hal ini) dikandangkan seperti
binatang di Jerusalem bersama beberapa entitias yang paling menjengkelkan yang pernah ada
untuk diperas di dalam pentacle, sedikit perkelahian adalah tepatnya apa yang kau butuhkan.
Aku sudah sangat terlambat untuk terjun dalam perkelahian disini, walaupun begitu.
Pertarungannya sudah terjadi dan sudah berakhir.
Bahkan saat aku masih di udara, aku dapat melihat penghancuran pada jejak kecil itu.
Tanahnya gosong dan melepuh, dan ternoda oleh sesuatu berwarna gelap. Cabikan-cabikan
kain dan kayu bertebaran diatas area yang luas. Aku mencium bau horor yang biasa: ceceran
sihir, daging tercincang.
Kilasan yang kulihat tadi berasal dari mata pedang patah yang terletak di atas sebuah batu.
Benda itu tidak sendirian. Bagian-bagian dari pemiliknya terletak didekatnya.
Saat mendarat, aku mengubah wujudku menjadi pemuda Sumer tampan, bermata gelap dan
waspada. Aku berdiri dan mengamati sekitar. Sisa-sisa beberapa kereta pengangkut dapat
terlihat dengan jelas, kayu-kayunya berantakan dan menghitam, rodanya remuk. Batu-batuan
dari tebing di sisi satunya, di atasnya, dengan sedih, terdapat sesuatu yang lemas terbaring
berhamburan. Aku tidak melihatnya lebih dekat lagi. Aku tahu apa mereka itu.
Salah satu korban tergeletak di tengah jalan, serpihan perisai teronggok di sampingnya. Kaki
dan tangannya terentang bebas dengan gaya kasual, tampak seakan dia hanya tertidur. Disini
kukatakan dengan hampir penuh pertimbangan, karena dia kekurangan satu bagian tubuh,
kepalanya tidak ada. Dia, seperti teman-temannya yang lain, baru saja dirampuk dan dibunuh "
apapun yang tadinya ada di dalam kereta barangnya sekarang tidak ada. Ini adalah perbuatan
bandit untuk yakinnya, dan masih baru. Dugaanku, aku datang satu hari setelah mereka
menyelesaikan pekerjaannya, paling lama. Mungkin malah tidak sampai.
Aku berjalan sebentar menuju bagian yang agak tinggi di jalan setapak berangin itu,
mendengarkan angin berbisik di antara bebatuan, sambil mempelajari permukaan tanah. Pada
umumnya permukaan tanah terlalu keras untuk meninggalkan jejak kaki apapun, tapi di satu
tempat, dimana sesuatu " mungkin tempat air minum dari kulit yang biasa dibawa-bawa
pengelana " bocor saat pertarungan tengah berlangsung sehingga sejenak membuat tanah
menjadi sedikit basah, aku menemukan cetakan dalam berbentuk segitiga dari sebuah kaki
berkuku tiga. Aku membungkuk, mempelajarinya dengan singkat, kemudian bangkit dan
berbelok kembali ke jalan aku datang tadi.
Dibawahku, jalan setapak melengkung ke kanan, mengikuti lereng yang menurun mantap ke
bawah. Dua belas atau tiga belas yard di depan, hanya sedikit di luar area diama serangan
terjadi, dimana tersembunyi dari jarak pandang dari balik dinding lembah. Lereng di sisi kiriku
yang curam dan terjal, cemerlang oleh cahaya matahari tengah hari bolong. Setiap detail
kecilnya " setiap batu, celah, dan gurat lapisan batuan yang kusut " tampak jelas dimataku
dalam detail yang sempurna.
Tidak lain dan tidak bukan adalah bayangan Khaba.
Garis bentuk kepalanya yang botak menutupi cahaya matahari yang jatuh pada tebing terjal itu
membentuk siluet sisi tubuh. Aku melihat bentuk kubah sempurna hidung paruh burungnya, dan
tonjolan pada jidatnya yang bertulang; bahu bongsor berototnya dan bagian atas lengannya
juga masuk dalam pandangan mataku, tapi tidak demikian dengan setengah tubuh bagian
bawahnya menghilang dibawah timbunan longsoran batu di teras ngarai. Seolah tampak seperti
si penyihir sendiri sedang berdiri di belokan jalan tersembunyi dari jangkauan pandangan,
menghadap ke atas ke arahku.
Aku menatap benda aneh itu. Kepala di batu itu tetap diam tak bergerak seperti sebelumnya.
Aku mengambil satu langkah mundur ke belakang, dan segera si kepala merayap ke depan
melintasi tikungan ngarai, bergelombang mengikuti kontur permukaan batu seperti aliran air
berwarna hitam. Bersama kedatangannya, dia tumbuh membesar; sekarang tangannya yang
panjang dan kurus muncul dalam jarak pandang, dengan jemari si bayangan yang juga panjang
dan kurus terentang munuju ke arahku.
Langkah mundurku agak sedikit cepat sekarang; aku tersandung karena tanahnya yang tidak
rata. Si bayangan masih terus membesar dan meregang " bayangan meleng-kung panjang, hitam
dengan tangan-tangan membentuk cengkraman, wajahnya memanjang, hidung dan dagunya
menonjol keluar dengan proporsi yang aneh, mulut besarnya membuka lebar, lebih lebar,
semakin lebar " Aku menguatkan diriku, menegakkan tubuh; aku menyalakan api di antara jemariku.
Terdengar bunyi kepakan di udara.
Si bayangan terkejut; jemarinya yang tadi sibuk meregang mundur dengan ragu. Dengan
kecepatan luarbiasa dia mundur, menyusut, berkurang, kembali ke posisi awal. Terus mundur
lebih jauh, dan lenyap. Seseorang terbatuk dibelakangku. Berbalik cepat, detonasi menyala di ujung-ujung jariku, dan
aku melihat seorang Nubia bertubuh lebar berperut buncit bermalas-malasan di batu, yang
dengan rajin membersihkan sisa es yang terbentuk saat terbang di lengan dengan jari tangan
berkuku sambil memandangiku dengan kegirangan yang memancar dari matanya. Dia
mengenakan sayap gaya tradisional jin Mesopotamia " berbulu burung namun terbagi menjadi
empat buah seperti sayap kumbang.
"Sedikit gugup, Bartimaeus?" kata Faquarl.
Aku menatap tolol dirinya, berbalik memeriksa sekeliling sekali lagi, dan aku memelototi
jalanan. Tebing-tebing tetap tenang sepeti seharusnya " plane-plane sepi terisi oleh cahaya
dan bayangan. Tapi tak ada bayangan dengan bentuk yang familier. Dan tak ada bayangan
yang bergerak. Api biru yang keluar dari sela-sela jariku mendesis dan padam. Aku menggaruk kepalaku
karena bingung. "Kau melihat-lihat seperti sedang menemukan sesuatu yang menarik." Faquarl berkata.
Seperti sebelumnya aku tidak berkata apa-apa. Si Nubian menghampiriku, mensurvei
kehancuran di jalanan dengan beberapa sapuan matanya yang sudah berpengalaman. "Tidak
mungkin kau bergidik sedikit ceceran darah dan pasir," katanya lagi. "Tidak indah, tak bisa
disangkal, tapi tidak telalu mirip Qadesh kan"(2) Kita pernah melihat yang lebih buruk."
(2)Peperangan Qadesh: peperangan besar antara Mesir dibawah Ramesses yang Agung melawan Hittite
yang saat itu diperintah oleh Raja Muwatallis kembali pada tahun 1274 SM. Aku dan Faquarl waktu itu
bertarung pada divisi yang berbeda dalam pasukan paraoh, dan memberi bantuan pada gerakan pengepungan tiga penjuru yang membuat musuh kami para utukku mundur dari medan. Banyak kematian
besar terjadi hari itu, tidak semua disebabkan olehku. Dua abad kemudian, bekas medan
pertempurannya tetap menjadi tanah kosong yang tak berpenghuni, tanah kuburan tulang.
Aku masih dalam kondisi terguncang, pandangan mata mengarah kesana kemari. Kecuali
beberapa sisa-sisa kain tenunan yang mengelepak-gelepak menyedihkan di antara bebatuan,
tak ada benda lain yang bergerak dimanapun.
"Tidak kelihatan seperti ada yang selamat ?" Faquarl mendekati mayat termutilasi di tengah
jalan dan mengoreknya dengan sandalnya. Dia tertawa kecil. "Kalau begitu, bartimeus, apa
yang telah kau lakukan pada teman malang kita ini?"
Aku akhirnya tersadar. "Sudah seperti itu saat kutemukan dia! Apa maksudmu?"
"Bukan maksudku untuk menghakimi kebiasaan kecilmu, Bartimaeus," kata Faquarl. Dia
menghampiri dan menepuk bahuku. "Tenanglah, aku hanya bercanda. Aku tahu kau tidak akan
menelan kepala orang mati."
Aku mengangguk singkat. "Terimakasih. Sangat benar."
"Kau lebih suka bokong berair, kalau aku tidak salah ingat."
"Tepat. Jauh lebih bernutrisi."
"Terserah," Faquarl melanjutkan, "lukanya jelas sudah lama. Mereka sudah di sini selama dua
puluh empat jam, seandainya aku adalah hakimnya orang mati."(3)
(3)Memang betul. "Sihirnya sudah dingin juga," kataku, mensurvei sisa-sisa pertempuran yang berserakan.
"Detonasi, terutama " jenis yang sangat bertenaga, walaupun ada beberapa Mantra ledakan
disana sini. Tidak terlalu pintar, tapi sangat brutal."
"Utukku, menurutmu?"
"Kukira juga begitu. Aku menemukan jejak kaki: besar sekali ukurannya, tapi tidak cukup besar
untuk menjadi jejak kaki afrit."
"Well, kita mendapat gambaran akhirnya, Bartimaeus! Aku mengusulkan kita kembali dan
memberitahu master kita segera, tapi camkan ini " dia tampak-nya tidak ingin mendengar
apapun darimu." Aku melihat sekilas sekelilingku sekali lagi. "Omong-omong tentang Khaba," kataku tanpa buruburu, "Aku medapat pengalaman aneh sekali tadi. Saat kau datang, kau tidak melihat sesuatu
yang lain disini bersamaku?"
Faquarl menggelengkan kepalanya yang mengkilat. "Kau tampak seseorang yang sudah
terisolasi di tempat ini sejak lama, kalau sedang sedikit gugup. Ada apa?"
"Hanya saja aku merasa aku merasa melihat bayangan Khaba setelah aku" aku menghentikan
diriku, memaki. "Bukan merasa, tahu " dia merayap di belakangku di sepanjang tempat ini.
Baru saja! Cuma saat kau muncul, ia menghilang."
Faquarl mengerutkan dahinya. "Benarkah" Ini buruk."
"Jelaskan maksudnya."
"Ya, itu berarti secara teknis aku mungkin sudah menyelamatkanmu dari akhir yang sangat
tidak baik. Tolong jangan kau bicarakan hal ini dengan orang lain, Bartimaeus. Aku punya
reputasi yang harus dijaga." Dia menggosok dagunya sambil merenung. "Tidak masuk akal,
coba pikir, Khaba itu harus bergerak mengerjaimu diluar sini," renungnya. "Kenapa bukan saat
kau di perkemahan" Mengapa berahasia segala" Ini masalah kecil yang membangkitkan
minat." "Aku senang kau merasa begitu," bentakku. "Omong-omong, secara pribadi, ini sedikit lebih
gawat dari itu." Si Nubian menyeringai. "Well, apa yang bisa kau harapkan" Dengan tulus kukatakan, aku
terkejut kau bisa bertahan hidup sampai sejauh ini. Khaba punya dendam padamu setelah
bencana kuda nil waktu itu. Dan lalu, tentu saja, ada persoalan yang tak ada habisnya pada
kepribadianmu. Dua alasan bagus itu sudah cukup untuk menendang bokongmu sebagai
permulaan." Aku melotot tak percaya padanya. "Kepribadianku" Artinya apa?"
"Kenapa kau bisa-bisanya mengajukan pertanyaan itu" Aku pernah berada di sekitar ziggurat
beberapa kali, Bartimaeus, tapi aku tidak pernah bertemu makhluk halus semacam dirimu. Ghul
(4) sudah cukup buruk, skriker (5) sama saja " mereka semua punya kebiasaan aneh yang
menjijikan, tapi demi Zeus setidaknya mereka tidak pernah mengocehkan perbuatan mereka
begitu nyaring, atau mencoba keberuntungan mereka dengan caramu. Coba perhatikan, hanya
tampangmu sudah cukup membuat makhluk halus waras manapun jadi sinting."
(4)Ghul: jin kelas rendah, pengunjung tetap pemakaman, penelan potongan-potongan tubuh yang tak
terkubur. (5)Skriker: sub-tipe imp yang tidak menyenangkan, dengan kaki rata yang lebar dan penghisap untuk
merayap di telapaknya. Mengikuti pejalan kaki ke tempat yang sepi, berbisik-bisik dan berceloteh,
membawa mereka menuju kematiannya
Entah karena rasa terguncang yang baru saja kuterima, atau disebabkan ekspresi bangga pada
diri sendiri di wajah Faquarl, kemarahanku tersulut. Lidah api biru berkobar di antara jemariku;
aku melangkah dengan jengkel ke arahnya.
Faquarl mengeluarkan dengusan marah. Serpihan-serpihan petir hijau bergemeretak di sekitar


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya yang tambun. "Jangan coba-coba berpikir akan hal itu. Kau tidak akan punya
kesempatan." "Jadi begitu, temanku" Well, dengar ya?"
Aku terhenti; apiku segera sirna. Pada saat yang sama Faquarl menarik tangannya kembali.
Kami berdiri dalam hening di jalan itu, menatap satu sama lain, memasang telinga baik-baik.
Kami berdua dapat merasakan sensasi yang sama: getaran halus yang nyaris tidak terindrai,
dengan sesekali dan lagi, bunyi teredam yang lemah namun dapat dibedakan dengan jelas.
Getarannya terasa familiar dan tidak jauh.
Itu adalah suara jin yang sedang dipanggil.
Dengan kompak, kami melompat ke udara, perselisihan kami terlupakan, kami mengubah
wujud. Dua ekor elang (yang satu buncit, tidak lezat dipandang; satunya lagi teladan yang
sempurna bagi penerbang yang elok dan anggun) membubung di antara tebing terjal. Kami
berkeliling tinggi di atas tanah mati, yang tampak berkedip-kedip kelabu dan putih di antara
cahaya mentari. Aku memeriksa plane-plane tertinggi, dimana warna-warna lebih tegas dan kurang terganggu,
lalu mengeluarkan teriakan elang kemenanganku. Jauh di selatan, sesuatu yang jauh
berkilauan bergerak di daratan. Cahayanya " jelas dari beberapa makhluk halus " berada dekat
dengan tempat jalan rempah-rempah menyeberangi sekumpulan bukit tandus.
Tanpa sepatah katapun kedua elang itu memompa sayap mereka. Beriringan, kami melesat ke
selatan menuju jalan. Tak lama berselang dua pengelana berjanggut terlihat berjalan dengan susah payah di
sepanjang jalan besar Solomon. Satunya muda dan tampan, yang lainnya tampak tolol dan
kusut; keduanya kotor oleh pasir dari bermil-mil jalan. Masing-masing mengenakan jubah celup
dan membawa tas berat tergendong di punggung. Mereka mendukung setiap langkahnya
dengan tongkat kayu oak. Terseok-seok, terseok-seok, terpincang-pincang, terpincang-pincang " begitulah aku dan
Faquarl melakukan usaha terbaik kami menampakkan aura vulnerabilitas manusia. Untuk
menyembunyikan kemampuan kami, kami berubah pada lima plane pertama, dan
menggunakan Mantra pemikat untuk menutupi wujud asli kami pada lapis kedua.
Bahu-bahu melorot karena kelelahan, kedua manusia itu merayap ke selatan menembus debu
sambil menatap bayangan gelap bukit-bukit yang mendekat dari arah depan. Di sini kami para
terhukum sekalipun semangat kami masih tinggi di atas, lereng terjal dan ngarai curam yang
memberi kesempatan untuk melakukan penyergapan, kalau kau pasti akan cenderung untuk
melakukannya dengan cara itu.
Aku dan Faquarl telah membuat keputusan akan meyergap bersama. Di suatu tempat di atas
tadi kami melihat jin-jin yang sedang meyembunyikan diri sekilas, tapi untuk saat ini kami belum
melihat tanda-tanda kemunculan mereka. Segala sesuatunya masih seperti seharusnya, kecuali
dua burung hering yang terbang keluar masuk medan pandang kami di angkasa. Aku sekalisekali dapat melihat mereka. Mereka asli burung, setidaknya sejauh yang dapat kulihat. Aku
menurunkan arah pandanganku; ke jalan yang sedang kami lewat, selangkah demi selangkah
dengan langkah latih. Ditengah rangkaian jajaran perbukitan, jurang-jurang menciut sedikit dan jalur jalan memasuki
daerah rusak yang lebih luas yang sulit dilewati, dikelilingi oleh kungkungan tebing berlereng
terjal dengan puncak ditutupi tonjolan-tonjolan berupa basal yang bergerigi.
Untuk pertama kalinya, dua pengelana yang kesepian dan bahkan tampak sangat rapuh itu
berhenti. Faquarl berpura-pura memainkan tasnya, mencari sesuatu di dalamnya. Aku
mengelus janggut, melihat segala sesuatu di sekelilingku dengan mata disipitkan.
Tenang sekali. Menggenggam tongkat kami masing-masing lebih erat, kami menapakan langkah kami kembali.
Dari belakang, di suatu tempat terpencil di atara jurang, muncul suara sangat lemah batubatuan berkeresak. Tak ada satupun di antara kami yang menoleh ke arah sumber datangnya
suara. Di belakang punggung kami berbunyi keretuk kerikil yang saling bersentuhan, semakin keras,
setengah jalan menuruni ngarai. Faquarl mengembangkan hidungnya yang berbonggol. Aku
bersiul-siul dengan suaraku yang sumbang sambil terus berjalan.
Suara tag tig tug terdengar di jalanan, bunyi ceklikan kuku-kuku pada batu. Tapi tetap saja kami
terus berjalan, terseok-seok, melesukan diri sendiri.
Dan kemudian muncul suara gesekan sisik. Bau amis sulfur. Sapuan kegelapan tiba-tiba
memenuhi jurang. Celotehan dari demon"
Baiklah, sekaranglah mungkin saatnya.
Aku dan Faquarl berputar berbalik, jenggot berkibar, tongkat terangkat, bersiap menyerang "
dan kami tidak melihat apapun.
Kami mengarahkan mata kami ke bawah.
Dan di kaki kami berdirilah seekor kecil, foliot paling tidak berharga yang citra tubuhnya pernah
masuk ke dalam mata kami, membeku serba salah di pertengahan langkahnya yang kecil itu
dengan satu kaki terangkat. Dia mengenakan samaran yang sangat mengerikan yaitu semacam
tikus dalam tunik kedodoran. Di salah satu kakinya yang berbulu dia membawa semacam
senjata yang mirip garpu pemanggang roti.
Aku menurunkan tongkatku dan melotot pada makhluk itu. dia membeliak balik dengan
matanya yang besar dan coklat.
Pada ketujuh plane si makhluk mirip tikus itu kelihatan sama saja, baiklah supaya adil pada
plane ke tujuh dia memang punya sepasang taring anjing. Aku menggelengkan kepalaku dan
pada saat bersamaan hatiku dipenuhi banyak pertanyaan. Benarkah benda ini bisa menjadi
monster mengerikan yang mendalangi perampikan di sepanjang jalanan gurun itu"
"Serahkan harta benda kalian dan bersiap-siaplah menghadapi kematian!" si makhluk mirip
tikus berdecit-decit, melambai-lambaikan garpunya. "Buang-buanglah waktuku, semau kalian.
Ada rombongan pengelana unta sedang mendekat di jalan sebelah, dan yang aku inginkan
adalah segera membuang tubuh kalian dan bergabung kembali dengan kawan-kawanku."
Aku dan Faquarl saling menatap satu sama lain. Aku mengangkat tanganku. "Kumohon, kalau
boleh: satu pertanyaan. Dalam nama siapa kalian melakukan ini" Siapa sang pemanggil
kalian?" Dada si tikus membengkak. "Masterku dipekerjakan oleh sang raja orang-orang Edom.
Sekarang serahkan barang-barang kalian. Aku tidak ingin darah membekas pada mereka
semua." "Tapi Edom adalah teman orang Israel," Faquarl tetap pada pokok pembicaraan. "Bagaimana
bisa rajanya mencoba menjadi pendurhaka terhadap Solomon yang agung?"
"Ini semua bisa terjadi karena Solomon yang sama yang menuntut upeti tahunan yang sangat
besar pada raja kami, sehingga mengakibatkan harta negara terkuras habis dan rakyatnya
resah dibawah timbunan pajak yang semakin besar dibebankan kepada mereka?" si tikus
mengangkat bahu mirip tikusnya. "Kalau bukan karena ada Cincin di jarinya, Solomon akan
menemukan Edom menarik kerah bajunya dalam perang. Karena seperti ini adanya, kami
diharuskan memberinya sekadar pembanditan biasa. Well, sudah cukup jauh hubungan
internasionalnya; kita sekarang sampai pada ajal menyedihkan kalian ?"
Aku dengan sembrononya tersenyum. "Pertama-tama, mari kita perinci ini. periksalah ulang
plane-plane." Sambil mengatakannya aku melakukan perubahan halus. Pada plane pertama
aku masih tampak sebagai seorang pejalan kaki berdebu yang sedang bersandar pada
tongkatnya. Di semua plane yang lebih tinggi, begaimanapun, pria itu telah lenyap, dan aku
berwujud sesuatu yang lain. Faquarl melakukan hal yang sama denganku. Segera seketika bulu
binatang si tikus berubah kelabu dan meremang tegak berdiri di sekujur tubuhnya. Dia
menggigil begitu hebatnya sampai-sampai garpunya meresonansikan getaran tubuhnya.
Si makhluk mirip tikus terseok ke belakang. "Mari kita bicarakan hal ini ?"
Seringaiku mengembang selebar danau. "Oh, kukira tidak." Aku membuat sebuah tanda;
tongkatku menghilang. Dari tanganku yang terjulur sebuah Detonasi meraung. Si tikus
terpelanting miring; tanah yang dipijaknya meledak berpendar merah tua. Setengah melompat,
si tikus menusukkan garpunya; dari ujung-ujungnya keluar berkas cahaya lemah kehijauan
yang memberondong melintasi tanah, menikam jempol kaki Faquarl secara tidak
menyenangkan. Dia meloncatkan dirinya ke udara dan menyumpah, membentangkan perisai.
Si makhluk tikus menghantam tanah sambil melontarkan decitan dan melesat pergi. Aku
membubuhinya saat dia bangun dengan rentetan Mantra ledakan yang mengirim longsoran
batu jatuh berguling jungkir-balik naik dan turun di ngarai itu.
Si makhluk tikus mengangkasa di balik bongkahan batu, dari tempat kaki binatangnya berada
menonjol keluar dalam interfal tertentu, garpu pemenggang tergenggam. Lebih banyak lagi
gulungan-gulungan hijau menghujani perisai kami. Faquarl mengirim Mantra kejang berpusing;
bongkah batu itu pecah berantakan, berubah menjadi tumpukan kerikil. Si tikus terhempas ke
belakang, bulu hewannya terpendam. Dia menjatuhkan garpunya. Sambil melontarkan umpatan
bernada tinggi, makhluk itu melompat untuk mendaki tebing dan segera mulai memanjat.
Faquarl berteriak. "Kau pergi mengikutinya " aku akan memotong jalan-nya di sisi lain."
Tangan berasap, jubah dan janggut berkibaran di sekitarku, aku bersalto melompati lempengan
reruntuhan itu, melompat lagi ke langkan yang bedekatan, melambung melewati lerengnya dari
batu ke batu. Dengan menapakkan kakiku keras-keras pada batu, aku dengan cepat terjun
meluncurkan diriku membayangi bayangan kabur putus asa makhluk berwarna coklat yang
berzigzag maju di depanku menaiki tebing. Petir meletus dari jemariku; memberondong menuju
bumi, mendorongku naik lebih cepat lagi.
Si makhluk tikus mencapai puncak tebing, dan sesaat tampak sebagai sesosok bentuk berbulu
berlatarkan langit siang. Pada saat-saat terakhir yang berlalu sangat cepat dia membungkuk;
Detonasiku hanya meleset setipis rambut.
Dari punggungku aku menumbuhkan sepasang sayap " setiap bagiannya berbulu putih bersih,
terbagi menjadi dua seperti milik seekor kupu-kupu.(1) Sayapku bergerak seakan hidup;
melewati punggung bukit kering berdebu aku membubung tinggi sehingga kehangatan matahari
meledak menyelimuti rohku. Di daratan di bawahku si makhluk tikus berada, tersandung,
terantuk berkali-kali menyusuri tanah punggung-punggungan bukit yang tidak rata. Tidak jauh
diseberang aku melihat tempat perkemahan kasar berupa kumpulan tenda-tenda, empat
diantaranya didirikan di sebuah lembah kecil, dikelilingi oleh tumpukan-tumpukan batu, bekasbekas menghitam api, tiga ekor unta membosankan ditambatkan pada tonggak-tonggak dari
besi dan banyak lagi lainnya.
(1)Sedikit tampak kontemporer, ini: adalah hal terakhir yang dapat kau temui di Nimrud dalam abad itu.
bulu-bulu burung putihnya biasanya dilipat selama berlangsungnya pertempuran " sehingga mereka tidak
terciprat noda setengah bercakpun " yang membuatmu tampak menyerupai makhluk dari surga:
menakutkan, anggun, dingin, penyendiri. Bentuk ini terutama berguna saat kau berburu manusia, yang
seringkali disibukkan dengan melongo padamu sehingga mereka sama sekali lupa mengangkat kaki.
Pemilik dari semua itu adalah tiga orang (agaknya adalah para penyihir Edom, walaupun kalau
mau jujur semua suku-suku bangsa di kawasan ini tampak serupa bagiku), berpakaian jubah
coklat dan karamel, dengan tongkat penyangga jalan di tangan dan sandal berdebu di kaki
mereka. Mereka berdiri dalam bayangan tenda-tenda mereka, sediam patung, berpenampilan
tenang terkendali, menatap jauh berlawanan arah dari kami ke arah sisi seberang punggungan
bukit, yang mana berbatasan dengan tikungan lain dari rute jalan lintas gurun.
Si makhluk tikus mendengking memperingatkan mereka: berbalik, mereka menyaksikan
kemunculannya yang pontang-panting dan, selanjutnya, bentuk keras kepala pembalasan
dendamku yang menderu cepat dari angkasa.
Para pria berteriak; mereka bertemperasan. Salah satunya meneriakkan nama makhluk halus.
Dari jurang di belakang terdengar suara panggilan jawaban, dalam dan mendesak.
Sekaranglah kesenangan dimulai.
Dari atas aku terjun menukik ke bawah, memberikan udara segar pada semua kegusaran dan
kekesalan akibat perbudakanku yang selama ini kutahan-tahan. Dari semua jariku rangkaian
berturut-turut bola api membadai ke kiri dan kanan menghujani daratan. Batu pecah
berantakan, tanah dan pasir meledak menuju dibawah teriknya langit biru. Si makhluk mirip
tikus itu akhirnya terhantam di tengah punggungnya yang berbulu binatang oleh seranganku,
meletup menjadi ribuan serpihan sedih debu cahaya.
Dua sosok bongsor muncul dari jurang seberang. Keduanya, seperti aku, bersayap terbagi dua
dalam gaya Assyria; keduanya, seperti aku, memakai tubuh manusia. Tidak sepertiku, mereka
memilih bentuk kepala yang agak eksotis, yang terbaik untuk menyebarkan teror pada korbankorbannya di sepanjang jalan.
Yang terdekat, sesosok utukku berkepala singa, membawa tombak berlumuran darah.(2)
Kawannya, yang kepalanya menyerupai kepala seekor kadal monitor dengan kulit
menggelambir dan, daging-daging dagu yang tidak menyenangkan, lebih menyukai pedang
scimitar; sambil mengeluarkan teriakan mengerikan dan sayap-sayap berbulu seperti burungya
mengepak-epak di udara, mereka terbang ke arahku dengan cepat.
(2) Jelas si makhluk mirip tikus itu, walaupun banyak kesalahannya pada kami, tidak berbohong.
Pengelana lain sedang dihadang saat ini di bawah sana.
Aku akan membunuh mereka kalau keadaan mengharuskan, tapi aku lebih suka membunuh
master mereka.(3) (3) Ini secara umum adalah prinsip suara. Bilamana kami dipaksa masuk dalam pertempuran melawan
makhluk halus lain, kau tidak mungkin mempunyai cara untuk menaksir watak mereka. Mereka mungkin
saja menjijikkan dan memualkan, atau periang dan menyenangkan, atau kombinasi apapun diantara
keduanya. Satu-satunya fakta yang kau ketahui hanyalah bahwa mereka tidak akan bertarung denganmu
kalau bukan karena perintah yang diberikan pada mereka, dan hal itu dapat memunculkan rasa saling
pengertian yang bertujuan menghilangkan master dan menyimpan saja pertunjukannya. Dalam kasus
utukku, tentu saja, adalah aman untuk berasumsi bahwa mereka bermoral layaknya dua musang ferret
bertarung dalam karung, tapi meskipun begitu, prinsip ini masih bisa dipakai.
Para penyihir Edom itu beraksi menurut sifat alami masing-masing. Yang pertama panik,
berlarian berputar-putar, dan terus begitu, sebelum akhirnya tersandung jubahnya yang terseret
oleh langkahnya sendiri dan jatuh di samping tenda terdekat. Sebelum dia dapat memulihkan
keseimbangannya Detonasiku menghilangkannya dalam bola api berpijar. Yang kedua
mempertahankan diri: dari sebuah tas di samping api dia mengeluarkan tabung pajang, dan
tipis dari kaca. Saat aku akan menyambarnya, dia memecahkan tabung itu dengan
membenturkannya pada batu dan mengacungkan ujungnya yang rusak ke arahku. Pita zat
hitam berminyak muncul, mengular dengan malasnya ke belakang, kemudian menganak-panah
seperti seorang nelayan melemparkan kailnya ke arahku. Aku membangun Mantra Simpul
Hitam, yang menangkap pusat pita yang berasap itu dan, dengan suara kenyutan orang udik,
menekannya ke dalam menuju ketiadaan. Setelah pitanya mencapai tabung dan penyihir yang
memegangnya: dalam satu kedipan mata mereka berdua juga terhisap kedalam Simpul, yang
secepatnya mencerna diri sendiri dan kemudian lenyap.
Saat kematian si orang Edom, setelah beberapa detik yang singkat setelah menghilangnya dia
ke dalam Node,(4) si utukku berkepala singa berteriak gembira, menjadi uap bergetah
kemudian terhambur dalam angin. Si utukku kepala kadal, jelas adalah budak penyihir ketiga,
tidak berubah; dia melambai-lambaikan scimitarnya, menyela rute pertarunganku dengan
serangkaian patukan dan tikaman bengis yang mana aku mengangkat bahu sambil
menghindarinya. (4) Semacam waktu penundaan aneh selalu terjadi pada kasus seperti ini. aku terkadang terkagumkagum pada, detik-detiknya yang berlalu dengan cepat, pengelihatan atau pengalaman kesadaran si
korban di dalam Mantra Simpul Hitam, adalah sangat tidak terhingga atau tidak ada sama sekali.
"Kenapa kau tidak membunuh punyaku?" kata si utukku, menebas tengah tubuhku.
Aku berputar ke sisi, mengelak, berputar di udara. "Aku melakukan yang terbaik. Bisakah kau
pertimbangkan untuk tidak berusaha menusukiku dengan itu pada waktu aku berusaha
melakukannya?" Si utukku menghindari Mantra kejangku; menebasnya dengan pedangnya. "Bukan begitu
caraya." "Aku tahu." Berhasil berkelit dari serangan berikutnya dalam hitungan inchi, aku miring ke kiri dan
merunduk rendah ke tanah; menembak di antara dua tenda, aku bangkit kembali, mengamati
punggungan bukit mencari penyihir ketiga, dan tepat pada waktunya untuk menangkap kilasan
coklat dan karamel baru mulai tergesa memulai pelariannya menuju jurang.
Dengan sangat keletihan, si utukku membuntuti di belakangku, aku mengikuti si orang Edom
melewati bibir punggungan, melayang seperti elang atau jenis raptor lain mengikuti tikus
buruannya. Disanalah dia, tergelincir dan mati-matian membanting tulangnya menuruni bebatuan, jubahnya
tersentak-sentak pada lututnya, sandalnya tercabik-cabik. Wajahnya merunduk, kesulitan
berkonsentrasi pada lerengnya. Tidak sekalipun dia melihat ke belakang punggungnya: dia tahu
kematiannya mengikuti ketat di belakangnya pada sayap putih yang cemerlang ini.
Diseberang dan dibawah si penyihir, di jalanan, aku tanpa sengaja melihat beberapa hal lain:
tubuh kokoh Faquarl bergulat dengan utukku ke tiga (yang ini dengan kepala kambing
bertanduk amat panjang), sedang dua lainnya terbaring tewas di sekitarnya; dan disekiranya
yang lain semua sisa-sisa lai korban terbunuh " unta, manusia bertebaran seperti kain
rombengan di atas tanah yang menghitam.
Hembusan udara; aku berbelok menyamping agak terlambat, dan merasakan semburan rasa
sakit saat pedang scimitar si utukku memotong sebelah ujung sayapku, mencukur beberapa
bulu sayap utamaku dan membinasakan kesetangkupanku yang tak bercela. Keseimbanganku
hilang; sistem aerodinamis-ku sama saja. Aku jatuh jungkir-balik menuju lereng curam di
bawah, mendarat dengan tidak elegan dengan punggung dan mulai bergulingan menuruni
lerengnya. Si utukku datang ke arahku dengan cepat, siap menjalankan pukulan anggunnya. Untuk
menghalanginya (dan ini bukan sesuatu yang mudah dilakukan sambil berguling-guling dengan
kecepatan tinggi " cobalah sendiri kalau kau tidak percaya padaku) aku menembakkan Mantra
Pelemas melewati punggungku. Yang mana langsung menghantamnya telak, melemahkan
energinya dan membuat gerakannya seperti sirop kental yang keluar dari botolnya, lembam.
Dia menjatuhkan pedang scimitarnya. Sayap melorot, lengan dan tungkai bergerak tanpa
gairah, dia jatuh ke tanah dan mulai jungkir-balik saat aku mulai bangun.
Kami berguling turun di antara hujan longsoran batu.
Kami jatuh menuju ke haribaan bumi pada jalanan gurun di bawah sana.
Kami berjuang untuk duduk.
Kami saling menatap satu sama lain, kami berdua mengangkat tangan kami. Tapi akulah yang
tercepat. Aku meledakkannya duluan berjeping-keping dengan Detonasi.
Remah-remah rohnya berjatuhan ke bumi, memercik ke bebatuan dan karang-karang kering
membisu seperti hujan yang menyegarkan. Aku berjuang menegakkan kaki ditengah jalan itu,
menyeka debu dari benjol-benjol dan lebam-lebamku, merapikan sayapku dari kisut-kisutnya,
nafsu bertarungku surut. Di kiriku, Faquarl, sudah menyelesaikan urusannya dengan si antagonis, dengan perlahan,
kesakitan, melakukan apa yang kuperbuat. Roh bersinar terang dari luka tusukan dalam di
tangah tubuhnya, tapi selebihnya dia tampaknya tidak terluka sama sekali.
Bukan keadaan buruk. Totalnya, kami berdua mengurus lima utukku dan dua dari tiga penyihir
Edom (5) Bahaya bandit di jalanan Solomon secara meyakinkan terselesaikan dengan baik
untuk saat ini. (5) Plus si makhluk tikus. Tapi aku tidak terlalu yakin kalau kau memasukkannya dalam hitungan.
Yang mengingatkanku. Si penyihir ketiga " dimana?"
Suara, bernada tinggi dan memerintah, diucapkan dari jarak dekat. "Demon, jangan bicara atau


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak sedikitpun tanpa seizinku, kecuali untuk bersujud dalam kerendahan diri dihadapan
Pendeta Wanita Tertinggi Matahari di tanah Himyar yang diberkahi. Aku bersifat mewakili ratuku
disini dan sebagai juru bicaranya dan seluruh Himyar, dan aku menuntutmu namamu, identitas
dan wujud aslimu, dalam rasa sakit dari ketidaksenangan ekstrim yang kami derita."
Cuma aku, atau apakah bilang "Halo" saja sudah cukup"
Bukannya aku tidak tahu kami punya tamu. Masalahnya adalah karena memang aku tidak
peduli. Saat kau berada di tengah pertempuran, kau akan langsung menuju pokok
permasalahan utamanya, yang disebut berusaha mengeluarkan isi perut musuhmu, sementara
menghentikan dia berusaha memutuskan tanganmu dan memukuli sekujur kepalamu
dengannya. Kalau kau masih punya energi tersisa, kau memakainya untuk menyumpah.
Membuat dirimu sendiri frustrasi sebelum menonton orang tak dikenal yang tidak diutamakan
dalam program. Terutama kalau itu mereka yang sudah kau selamatkan.
Jadi aku berhenti disini, mengibaskan debu gurun di lengan dan kakiku dan mengispeksi bagian
rohku yang tipis, sebelum kembali untuk melihat siapa yang berbicara.
Tak sampai dua belas inchi, sebuah wajah memandangku dengan ekspresi campuran arogansi,
olok-olok dan harapan untuk bisa menemukan bahan makanan yang penuh rumput. Ini adalah
unta. Menelusuri lehernya ke atas, aku menemukan setumpuk sutra merah dan kuning di atas
sedelnya. Kain hias berjumbai menggantung dibawahnya; diatas, melorot pada tiang patah,
menggantung kanopi, sedihnya sekarang si kanopi sudah terbakar dan koyak
Di atas dipan kainnya duduk wanita muda, sedikit lebih tua untuk disebut gadis. Rambut
panjangnya yang hitam diikat ke belakang, yang sebagian besarnya tertutup syal kepala sutra.
Alis matanya tampak elegan dan lucu, matanya sehitam onyx. Wajahnya ramping, berstruktur
anggun, rona mukanya gelap dan datar. Manusia mungkin akan menggolongkannya sebagai
cantik. Mataku yang berpengalaman juga mendeteksi tanda-tanda kenekatan, intelegensi tinggi
dan ketetapan hati yang teguh, tapi apakah kualitas ini memang menambah kecantikannya atau
justru sebaliknya bukan merupakan bagianku untuk mengatakannya.
Si gadis duduk bersandar tegak pada dipan untanya, sebelah tangannya diletakkan pada
kepala pelana dari kayu akasia, dan satunya lagi memegang longgar tali kekang. Dia
mengenakan mantel rami untuk bepergian, bernoda kuning terkena badai gurun dan hangus di
tempat yang terkena api utukku; juga garmen wol tenunan dengan desain geometrik warna
merah dan kuning, yang membungkus ketat tubuhnya dan lebih longgar pada bagian kaki. Dia
bergerak ke sisi pelana, kakinya terbalut rapi dalam sepatu kecil dari kulit hewan. Rantai
perunggu menggantung pada pergelangan tangannya yang ramping dan telanjang. Melingkar di
lehernya terdapat bandul perak, berbentuk seperti matahari.
Rambut gadis itu sedikit berantakan " beberapa helai jatuh di wajahnya " dan ada luka kecil
yang masih segar dekat salah satu sisi matanya; selain itu dia tampak tidak apa-apa stelah
tertimpa cobaan berat barusan.
Memang memerlukan jauh lebih banyak waktu untuk menceritakannya daripada kalau kau
mengamatinya sendiri. Aku menatapnya sesaat. "Siapa yang bicara," kataku, "kau atau unta?"
Gadis itu mengerutkan dahi. "Itu aku."
"Well, sopan-santunmu mirip unta." Aku menoleh ke samping. "Kami baru saja membunuh
utukku yang menyerangmu. Sudah sepantasnya kalau kau berlutut berterimakasih pada kami
atas pembebasanmu. Begitu juga menurutmu bukan, Faquarl?"
Rekanku akhirnya mendekat ke arah kami, sambil menekan-nekan lukanya yang menganga di
dada. "Kambing sialan itu!" dia menggerutu. Menandukku dengan tanduknya saat aku sedang
mencekik dua ekor lainnya. Kukatakan padamu. Tiga lawan satu! Beberapa jin tidak punya
sedikitpun sopan santun dan rasa hormat yang seharusnya ?" dia menyadari kehadiran gadis
itu untuk pertama kalinya. "Siapa ini?"
Aku mengangkat bahu. "Seorang yang selamat."
"Ada yang lain?"
Kami menyisir rongsokan rombongan unta yang tampak memelas, yang berceceran kesanakemari di seputaran ngarai. Semua tampak tenang, dan masih di sana, terpisah dari kelompok
unta tanpa penunggang yang mengembara dan beberapa burung heriang yang berkeliling
dengan malas. Tak ada orang selamat lain yang tampak oleh mata kami.
Seorang lain yang tak kulihat adalah si buronan penyihir Edom. Suatu pikiran menyentakku, dia
akan bermanfaat untuk dibawa kembali ke Jerusalem hidup-hidup. Solomon akan tertarik
mendengar dengan telinga sendiri alasan dari aktivitas bandit-bandit ini "
Gadis itu (yang masih juga belum mengucapkan terimakasih pada kami) duduk di atas pelana,
memperhatikan aku dan Faquarl dengan mata besarnya yang hitam. Aku berbicara padanya
dengan kasar. "Aku mencari salah satu bandit yang menyerang kelompokmu. Muncul dan
duduk di permukaan batu itu, kau seharusnya melihatnya. Boleh katakan padaku ke arah mana
dia pergi " kalau itu tak terlalu berat bagimu?"
Dengan isyarat lesu, gadis itu menunjuk bongkah besar granit di sisi lain jalan. Dua kaki
melongok dari belakangnya. Aku bergegas menghampirinya, untuk menemukan si Orang Edom
terlentang di sana, sebuah belati bermata perak tertancap dengan rapi di tengah dadanya. Aura
peraknya membutku muak; meskipun begitu, aku mengoyang-goyangkan tubuhnya dengan
penuh semangat, mungkin dia cuma linglung tak sadarkan diri. Tidak bagus. Kubanting saksi
hidup yang tadinya kuharapkan bisa dibawa kembali menghadap Solomon.
Aku menetap ke arah si gadis, tangan di pinggang. "Kaukah yang melakukan ini?"
"Aku pendeta-wanita Kuil Matahari di Himyar yang diberkati. Demon-demon orang itu
menghabisi teman-teman seperjalananku. Haruskah aku membiarkannya tetap hidup?"
"Well, membiarkannya sedikit lebih lama akan lebih menyenangkan. Solomon akan senang
bertemu dengannya." Ada yang menggangguku, aku melihat ke arah gadis itu dengan rasa
hormat yang segan tertentu. Pendeta-wanita matahari atau bukan, menikam target bergerak
tanpa turun dari unta bukan tindakan jelek, walau aku tidak bermaksud untuk mengakui
tindakannya itu. Faquarl memperhatikan gadis itu sama seperti gadis itu memperhatikan kami, dengan agak
penuh perhatian. Dia mengangguk ke arah si gadis. "Dari mana dia berasal katanya tadi?"
Gadis itu mendengarnya; dia berbicara dengan suara berdenting. "Kukatakan lagi, Wahai
demon, bahwa aku adalah pendeta-wanita Dewa matahari dan utusan dari?"
"Dia dari Himyar."
"Apa itu?" "Suatu tempat di arab."
" " yang Agung dan Majelis Istana Himyar! Aku bicara untuk ratu dan seluruh rakyatnya, dan
kami memerlukan?" "Aku mengerti ?" Faquarl memberi isyarat padaku kesamping. Kami beringsut sedikit kesana.
"Aku barusan berpikir," katanya pelan. "Kalau benar dia bukan Israelite, dia tidak tercakup alam
klausul perlindungan, ya kan?"(1)
(1) Tiap kali Solomon memerintahkan pemanggilan di Jerusalem, tidak peduli dilakukan penyihir
manapun, akan termasuk di dalamnya sebuah klausul larangan yang sangat teliti yang melarang kami
menyakiti populasi penduduk lokal. Secara prinsip ini bukanlah hal yang baru " semua Negara kota kuno
Mesopotamia telah lama menggunakan injuksi yang sama " tapi itu dibatasi hanya untuk warga negara
yang lahir di situ, sehingga akan selalu mungkin memakan para saudagar pendatang, budak atau
tawanan di pihak lain. Solomon, dalam kebijaksanaannya, telah memperluas klausul hingga meliputi
siapapun yang menjejakkan kakinya ke dalam tembok kota, yang dibuat sebagai penghormatan sampai
dengan orang lingkungan pemerintah kotapraja, dan juga sejumlah besar jin yang kelaparan dan uringuringan.
Aku menyeka daguku yang berjanggut. "Benar ?"
"Dan dia juga tidak menginjakkan kakinya di Jerusalem, toh."
"Ya." "Plus dia masih muda, dia merangsang se?"
"Demon! Aku sedang bicara!"
"Sangat merangsang selera," aku setuju. "Satu set paru-paru yang bagus juga."
"Dan karena, Bartimaeus, karena kita berdua agak sedikit lesu setelah semua kerja berat yang
kita?" "Demon! Perhatikan aku!"
"Karena kita berdua, aku mungkin sejauh ini harus berkata, sedikit keroncongan?"
"Demon?" "Tunggu sebentar, Faquarl ?" aku menoleh untuk bicara pada si gadis arab. "Bisakah kau hatihati agar tidak menggunakan kata itu?" aku berujar ?"Demon" adalah istilah yang amat sangat
merendahkan.(2) Dan itu melukai perasaanku. Cara yang tepat untuk menyapa yang manapun
di antara kami adalah memakai satu dari istilah seperti ini "Jin yang terpuji" atau bisa juga "Jin
mengagumkan". Mengerti" Terimakasih."
(2)Demon: istilah sebenarnya yang dipakai saat itu sebenarnya adalah kata Akkadia Kuno rabisu, yang
aslinya berarti sangat sederhana "Makhluk Supranatural". Tapi saat kata Yunani Daimon (baru akan
dijumpai dalam beberapa abad mendatang) mulai dipakai, kata itu selalu digunakan sebagai
penggeneralisasian yang amat menghina, seperti menjadikan imp bokong jerawatan seolah-olah
sederajat dengan jin riang pembangun kota-kota.
Mata si gadis terbuka lebar, tapi tidak berkata apa-apa. Yang membuatku lega.
"Sori, Faquarl. Sampai dimana kita tadi"
"Kita berdua sedikit keroncongan, Bartimaeus. Jadi, apa yang mau kau katakan" Tidak ada
yang butuh tahu itu, kan" Lalu kita bisa terbang kembali ke master kita dan berjemur dalam
kemenangan. Kita semua akan berada di kuil gunung selepas malam, duduk nyaman di
sekeliling api. Sementara itu, Khaba akan kembali pada Solomon dalam penghormatan yang
bagus, dan dia akan menjauhkan si bayangan dari sisinya dan menyelamatkan kulitmu yang
menyedihkan. Bagaimana kedengarannya untukmu?"
Rencananya tidak kedengaran terlalu buruk, terutama bagian kecil tentang si bayangan.
"Bagus," kataku. "Kau bagian pahanya."
"Itu tidak adil. Siapa yang lebih banyak membunuh utukku hari ini?"
"Kau boleh memungut sisa-sisanya kok. Dan untanya juga."
Sambil bertengkar dengan gembira, kami kembali menuju si gadis, dan menemukannya tengah
menatap kami dari ketinggian untanya dengan ekspresi mengguntur yang membuat bahkan
Faquarl tersentak. Dia mengibaskan selendang dari kepalanya, sehingga rambutnya tergerai
lemas di lehernya yang ramping. Pada wajahnya terpasang ekspresi menyeramkan yang indah.
Tangannya yang ramping dilipat tinggi-tinggi, jemarinya mengetuk-etuk tajam pada lengan
bajunya. Meremehkan kami seperti tampaknya dengan baju gosong butut dan rambut kusut,
duduk tanpa ragu di atas unta jelek dibawah kanopi yang sudah terkulai, dan masih memiliki
cukup kekuatan kepribadian untuk membuat kami terdiam seketika.
"Makhluk halus mengagumkan," kata Gadis itu dengan suara besinya, "aku berterima kasih atas
interfensi kalian berdua pada bencana yang baru saja terjadi. Tanpa pertolongan tepat waktu
kalian aku pasti sudah binasa, seperti mereka para saudagar teman seperjalananku yang tak
beruntung ini. Semoga jiwa mereka naik ke kerajaan Dewa Matahari dengan cepat, sehingga
kedamaian akan senantiasa bersama mereka! Baiklah, sekarang dengarkan kata-kataku. Aku
adalah duta dan satu-satumya perwakilan Ratu Himyar yang sedang dalam perjalanan
mendesak menuju Jerusalem untuk bicara pada Solomon dari Israel. Misiku adalah prioritas
terpenting. Ada masalah besar yang bergantung pada kesuksesan misiku. Oleh karena itu aku
memin" aku memohon kalian mau membantuku, yang mungkin akan memungkinkan aku
untuk sampai dalam kecepatan terbaik. Bantulah aku dalam hal ini, dan aku akan datang ke
hadapan master kalian, siapapun gerangan mereka, meminta agar mereka bersedia
membebaskan kalian dari pengabdian kalian saat ini dan memulangkan kalian ke lembah besar
(3) darimana tempat kalian datang." Asmira mengangkat tangannya ke angkasa. "Di hadapan
Dewi Matahari dan ingatan kudus akan ibuku, disini dengan ini aku bersumpah!"
(3) Lembah besar: bukan diskripsi yang paling akurat atau menyanjung tentang Dunia Lain yang pernah
kudengar, selain daripada kesalahpahaman yang sudah sangat umum. Senyatanya rumah kami sama
sekali tidak mirip dengan lembah, disana tidak ada "kedalaman" yang memiliki arti fisik (atau dimensi-lain
lainnya kalau ada), pun sama sekali tidak gelap. Hanya karena manusia memang suka memaksakan
bayangan mereka sendiri tentang teror kepada kami, walau dalam kenyataanya kengerian yang
sesungguhnya ditemukan di duniamu.
Kesunyian datang sebagai jawabannya. Faquarl menggosokkan kedua tangannya. "Bagus,"
katanya. "Sekarang ayo makan dia."
Aku menghela nafas. "Tunggu sebentar " tidakkah kau dengar apa yang dikatakannya tentang
memperjuangkan kebebasan kita?"
"Jangan percaya sepatah katapun perkataannya Bartimaeus. Dia manusia. Dia pendusta."
"Dia manusia, ya " tapi ada sesuatu dalam dirinya, tidakkah kau berpikir" sedikit
mengingatkan aku pada Nefertiti."(4)
(4) Nefertiti: permaisuri firaun Akhenaton, 1340an SM. Memulai tugasnya mendidik anak-anak,
mempertahankan kelangsungan hidup Negara. Tampak menaruh minat yang besar pada hiasan kepala
juga. Biar kuberi tahu kau tidak akan mau membuatnya berantakan.
"Tidak pernah bertemu," Faquarl mengendus. "Aku ada di Mycenae waktu itu, kalau kau ingat.
Terserah, siapa peduli" Aku lapar."
"Well, kukira kita bisa menunggu," kataku. "Gadis ini bisa menengahi Khaba?"
"Dia tidak akan mau mendengarkannya, kan?"
"Atau Solomon, mungkin ?"
"Oh, benar. Kayak dia bisa mendekatinya saja."
Semua perkataan Faquarl mungkin cukup benar adanya, tapi aku masih tersinggung pada
Faquarl karena komentar yang dilontarkannya pagi tadi, dan itu membuatku jadi keras kepala.
"Ada lagi," kataku. "Dia bisa menjadi saksi pertempuran kita."
Faquarl terdiam, kemudian menggelengkan kepala. "Kita tidak butuh seorang saksi. Kita punya
mayat." "Dia memanggil kita "makhluk halus mengagumkan" ?"
"Kayak itu membuat segalanya berbeda!" Faquarl menggeram tidak sabar dan melangkah
menyamping menuju ke arah gadis itu, tapi aku bergerak sedikit untuk menghalangi jalannya.
Dia mundur seketika, mata melotot, tendon rahangnya mengeras. "Ini selalu menjadi
masalahmu!" bentak Faquarl. "Menjadi lunak kepala pada seorang manusia cuma karena dia
merambut panjang dan bertatapan keras!"
"Aku" Kepala lunak" Aku akan memakannya segera saat bertemu lagi dengannya! Tapi dia
mungkin bisa menolong kita, itulah maksudku. Masalahmu, Faquarl, adalah kau tidak bisa
mengontrol selera makanmu! Kau memakan apapun yang bergerak " gadis, mite bau busuk,
imp mortuaris, dan banyak lagi."
"Aku tidak pernah makan imp mortuaris."(5)
(5) Imp Mortuaris: kecil, pendek, bulat, makhluk halus berkulit putih yang dipekerjakan para pendeta
mesir untuk membantu mereka memumikan tubuh seseorang dengan keakuratan yang tinggi dan hasil
yang memuaskan. Mengkhususkan diri pada semua bagian kecil yang menjijikkan dari proses itu,
misalnya mengeluarkan otak, mengisi penuh, memenuhi kendi-kendi kanopi, mereka sangat benci kalau
disuruh mencicipi cairan balsam. Jadi sudah kukatakan hal itu padamu.
"Aku bertaruh kau pernah."
Faquarl bernafas dalam-dalam. "Apakah kau akan membiarkanku membunuhnya?"
"Tidak." Dia melontarkan tangannya ke atas dengan muak. "Kau akan mempermalukan dirimu sendiri!
Kita ini budak, ingat " budak dari manusia seperti gadis disitu itu. Pernahkah mereka
memperlakukan kita dengan baik" Tidak! Membangun gedung-gedung dan membangun medan
peperangan (6) " itulah apa yang mereka inginkan dari kita, bahkan sejak zaman Uruk. Dan hal
itu tidak akan pernah berakhir, Bartimaeus, kau tahu itu, iya kan" Ini adalah perang diantara kita
dan mereka " dan yang kumaksudkan adalah mereka semua, bukan cuma para penyihir.
Semua petani kepala tepung, istri-istri mereka yang beranting-anting, anak-anak mereka yang
berteriak-teriak setiap hari, dan beringus " mereka semua sama buruknya dengan Khaba dan
kelompoknya. Gadis ini tidak berbeda! Mereka dengan senang hati akan menaruh kita pada Api
kepedihan tanpa berpikkir dua kali, kalau mereka tidak ingin kita membangun gedung-gedung
baru, mereka akan menyuruh kita menggali tanah pertanian, atau butuh suku-suku lain manusia
tak berotak dibunuh!"
(6) Membangun gedung dan medan perang: kadang-kadang, sungguh, kami dipaksa berpindah dari satu
tempat ke tempat lain dalam sekejap, yang mana bisa sangat merepotkan. Suatu waktu, aku pernah
bertarung melawan tiga ghull sekaligus sendirian di gerbang Uruk. Mereka memanfaatkan tongkat
berpaku, tombak api, kapak perang perak berkepala ganda sebagai senjata. Aku" Aku punya sebuah
sekop. "Tidak satupun yang bisa kusangkal," teriakku. "Tapi kita harus praktis melihat kesempatan
yang datang pada kita. Dan sekarang ini adalah kesempatan. Kau tidak mau kembali ke tempat
penggalian lagi sama sepertiku, dan hal itu dapat menjadi kenyataan kalau gadis ini bisa" Oh,
sekarang dimana kau melampiaskan kemarahanmu?"
Seperti seorang anak ingusan baru belajar berjalan yang tersinggung,(7) Faquarl memutar
tubuhnya, berbalik dan berbaris menjauhiku. "Kau mirip sekali denganya," katanya, "kau
tetaplah disini bersamanya. Kau buat dia tetap aman. Aku akan pergi menjemput Khaba, dan
melihat apakah dia bisa dengan ajaib mendapatkan kebebasan kita. Mungkin kau akan terbukti
benar, Bartimaeus. Atau mungkin kau cuma akan menyesal tidak melahapnya saat kau bisa!"
sambil berkata begitu, dia melemparkan selubung api lembayung di sekeliling sayapnya dan
melesat ke angkasa, dan dengan makian terakhir yang menyebabkan reruntuhan kecil batu
longsor yang bergulung-gulung menimpa ngarai yang sunyi senyap, melayang tinggi
menggapai matahari. (7) Hanya saja, lebih besar, berotot, dan lebih berlumuran darah.
Aku berbalik untuk melihat si gadis yang berdiam diri.
"Well," kataku. "Tinggal kau dan aku sekarang."
Asmira duduk kaku di atas pelananya, merasakan sebutir keringat
mengalir menuruni tengkuk balik tulang rusuknya yang mana
Asmira yakin si d buat musuhmu menyangka kau tak
semampunya. Dengan menelengkan
kepalanya dengan yang menghancurkan jauh lebih berbahaya dari makhluk halus yang pernah
Asmira mun Bukan demon itu sendiri yang mengganggu Asmira. Dia sedang menengadah ke langit, dimana
temannya kini hanya tam zon, menggumamkan umpatan yang tak
bisa dideng menipu atau menguasai -tampilan mengerikan yang menyerang karavan, tak seperti temann
seorang pengelana berjenggot dengan bekas luka pertarungan tercoreng di ba
pemuda bertampang lumayan dengan lesung pipi dan sorot mata
riang. R mengunjungi alun-alun Sheba, tapi


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepasang sayap putih, terlipat rapi dan sangat mempesona, dimana
karena punya perasaan semacam itu.
"Ak tadi, yang mana hanya sebagian saja yang berbahasa arab, sedang kebanya
berusaha keras menjaga suaranya tetap ter
sebelumnya. "Kemana perginya?" ka
Si pemuda menaikkan alis matanya yang lesu. "Ya ampun. Kata tidak se
belati perak Asmira hilang
dari Asmira kehilangan satu di tengah k
si orang Edom. Ia masih punya
nakan sebuah lagi untuk menggunakan bahasa kotor itu padaku dan teman-temanku. Mengay
menyingkirkan benda itu jauh-jauh" Aku b
dari bagian sayap sebelah sini. Sayapku ini baru
sini, terutama lehermu " tidak keberatan dimasukkan juga?"
Asmira melakukannya. Si unta tepukan terakhir, dia berjalan beberapa langkah men
Setelah memberi si Kema membuat Asmira mencabut kembali belati itu dan melemparkannya ke punggung makhluk itu. Tapi ia tetap menjaga
wajahnya te Disamping itu, benar apa yang dikatakannya " dia memang datang seba
Si pria muda menoleh padanya; ma
itu, maksudku " melompat kea
mengejutkan bisa mengalahkannya. Dia melom
halus berwujud kadal nebasnya, dan perakku secara
Si pemuda bersayap terkekeh. "Ah, y
Dalam pengalaman pribadi Asmira demon tidaklah terlalu cerdas. Y
satu ini rasa berpuas diri faatkan. "Aku memang melihatnya!"
katanya segera. "Dan aku hanya bisa meAku masih tertekan akibat penyerangan yang baru saja terjadi, dan
tidak menyadari kalau diriku sedang bercakap-cakap dengan salah sat
membawaku keluar ke kead dengan kerendahan hati terdalam dari dasar hatiku yang tak pantas ini."
Si pemuda menatapnya dan menaikkan alisnya dalam pose iron
struktur kalimat kompleks yang lebih formal."
kau katakan tidak akan mendapat lebih dari
mengikuti apa yang ini dan sekitarnya mereka
"Itu juga, kukira. Well,
"Secara teknik bukan,
Sambil bers mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengendalikan diri dan lingkun
orang-orang dimana dirinya bepergian bersama mereka selama
berhari-hari, yang dirasakannya demi mereka. Melakukan hal itu sama
ada di depan mata! Tidak hanya bencana dapat dialihkan; budak So
Tidak jauh darinya, si demon melangkah ke depan dan belakang, matanya menatap ke langit
mungkin tahu banyak hal tentang sang raja, tentang kepr
pasir. Kemudian si unta melipat dua
kakinya yang lain dan makh
Kemudian dengan ransel kulit wajahnya yang tenang. Asmira kagum aka
dengan jengkel ia juga tampilan melankolis pada
yang terlihat dibalik kedua mata itu. Dan
"mempesona" semuanya t
berbicara dengan sosok makhluk halus mengagumkan
kelaparan. Tapi aku tak pemuda tersenyum padanya. "Apa?"
yang?" ia berhenti; si
?"Makhluk halus mengagumkan itu" artinya kau menginginkan sesua
dan yang paling unggul dan
terkenal dari jenisnya. Sesosok j
manya sudah lama terlupakan. Solomon yang Agung nyatanya hanya
yang terakhir dalam sejarah panjang raja-raja termashur yang percaya total pada pelayananku.
Singkatnya, Wahai Pendeta Putri dar
tentang diriku sehingga tidak butuh
sanjungan ekstra apa si jin. Dia mengedipkan matanya pada Asmira, dan bersandar denga
Si jin kelihatan terkejut. Sikunya yang bersandar di batu goyah ke samping, seakan h
"Aku belum pernah berku
mengagumkan tentang Raja Agung Solomon!
Barusaja memperc barusan itu sarkasme"
sedikit di antaranya pastilah sarkasme, atau, siapa tahu, aku mungkin seharus
Asmira terdiam sejenak. "Mengapa" Apa itu sebenarnya saran kecil Fa
sederhana dari suatu daerah terpencil di
Arabia sana, Asmira tersenyum. "Kau kelihatannya ketaku
tampak tidak enak badan sekarang, dia mengerutkan mukanya k
"Sori." Si jin mengangkat
pembicaraan, baik oleh makhluk
halus maupun manusia, k perbudakan kami. Penyihir tertentu harus melakukan usaha
yang sangat kera tulisan baji Sumeria akan dapa memastika "Jadi, namamu bukan "Bartimaeus" kal
sungguh-sungguh untuk atau berkepentingan bertemu
main-main. Si idio gunakan hanya untuk "disamping itu, aku akan membutuhkan namamu jika aku akan menemui
Si jin bermuka masam. "Kukira jug
sekarang," katanya. "Bagaimana
sesuatu "masalah b "Bukankah kita ini rapih dan pantas, semuanya te
Yang mengingatkanku pada sesuatu. Kau seharusnya pernah mende
Asmira menghe mem tutup mulut adalah salah satu tradisi
rakyat terlalu banyak bu "Dan meraka dengan senang hati mengabdi padanya karena c?" kali i
"Jadi kalian semua dipikat oleh itu?"
"Jadi kenapa kau tidak menghancurkan, atau mencurinya?"
Dia punya pandangannya menyapu sekeliling, Asmira
ke depan dan belakang, menatap jengkel lagi dengan cepat. jarinya dan " dor " musuhny
masalah di atas singgasananya. itulah
-dalam. "Tapi kau akan baik-baik
saja bersamaku, Pendeta matanya " "memba
menatap langsung Asmira dan kembali menaikkan alis
kecurigaan terdalamku. Tapi aku kh
Mungkin seandainya si jin tidak memberi Asmira peringat
satunya sedikit l dari permukaan tubuh mereka yang berg itu menjadi anak panah api yang
membuat setiap objek menjadi berkilau keema
masih terlihat sehitam batubara. Kemudian mereka mendekat; sekarang A
istana saat rombongan belalang wabah
Formasi itu telah turun di bawah bagian datar te
udara, memelintir di lereng bukit, dan
menutupi ngarai di belakangnya. D
karpet itu sosok seorang pri cuma satu dari tujuh belas master penyihir Solomon, walaupun mungkin me
Pasir berpusar, angin menderu, sayap raksasa beraneka warna melambatkan kepakan mereka;
enam demon berhenti terbang di tengah udara, mel
karpetn Asmira menatap barisan membisu para demon itu. masing-masing meng
bernama Faquarl (yang dengan
keras kepala tetap berwujud
supranatural me "Jangan terlalu mendramatisir," kata Bartimaeus. "Kebanyakan dari mereka itu idiot.
kengerian atmosfir atas. Wajahnya tertutu
kurus terjentik, sepatah kata
terucapkan dalam kedalaman tudung kepalany
besar, basah, dengan "Nona pendeta," si penyihir berkata perl
dan penderitaan yang menimpa anda kini tidak lagi ada
mon. Apapun dukacita "Begitu yang dikatakan budakku padak
aku karena telah membuat anda menunggu," si
penyihir melanjutkan,"
Khaba berdiri sedikit lebih
manis, menusuk, dan tidak seluruhnya
bermanfaat. Kata Asmira: "Aku s
"Aku menyesal aku tidak begitu mengenal negeri anda,"
setiap negeri-negeri di sekitar sana tampak yang sukses. Tapi bagaimanapun, nona pendeta, pada
kenyataannya ta pada seseorang, nyatakanlah itu
istana, dan sangat menghara
Asmira sampai kini belum melihat dua benda itu berkedip. "
menumbuhkan perhatiannya pad
mayat dan jasat dan semua kekacauan lainny
menaraku, dimana aku akan memberikan
petunjuk baru pada Dengan sangat menyesal seorang
"Aku t atas ke bawah. "Tapi jangan
ketakutan pada makhluk-makhluk peliharaa
Dia berhenti, mengerutkan dahi. Dari suatu tempat yang de
suara gemerincing bel. Khaba mengeluarkan isyarat ramah.
Dia mengucapka disilangkan kasual, tangannya yang
beruas-ruas ditautkan di belakang kepalanya, terlihat demon kecil berkulit hijau. "Sore, M
"Oh, baik sekali." Si demon kecil menggaruk den
dengan perkara bo Khaba menyentuh Asmira pada l
"Ehem." Yang barusan adalah suara batuk kecil yang
bergabung kembali dengan yang dan mengarahka "Kau masih disini!?" Khaba menyiba
bergagang panjang yang raih sebuah cambuk pikirannya. Tapi sekarang, terpicu oleh keputusasaan si jin
terang-benderang dan juga oleh perubahan
yang dan ole ini, dan satu lagi yang tadi menemaninya, telah dan Asmira tersen tidak bergerak dari cambuknya. "Melepaskan ?" Ya ampun Nona Pendeta,
para demon memang harus diperlakukan d
leb ujaran anda dengan baik. A
kulitnya dan melangk Asmira menggendong tas melangkah mundur untuk memberi jalan pada mereka berdua.
Tidak saat itu, maupun saat karpet si penyihir mengudara, Asmira menoleh ke arah Bartimaeus.
Karena memang sungguh, pada saat itu ia telah melu
menempuh jarak sejauh itu dalam
terbangnya tetap tenang dan p
mem menelan m Asmira duduk dengan tasnya berada di pangkuan dan ju
penyihir duduk tepat di sampi
mengajaknya berbicara " yang biar bagaimanapun
memang mustahil, ia ber tahari, dan daratan di bawahnya yang menghitam pun kini diat
Dan kemudian akhirnya Jerusalem muncul dihadapan Asmira,
Dimana di bawahnya be hebat dalam lautan cahaya " sebesar semegah dan sedahsyat
Mereka menurun setapak demi setapak; pada saat-
sendiri ham Asmira menyusupkan dirinya lebih j
menyakitkan setajam kamar ma
pingkan aroma keringat selalu benar. S Tapi dirinya, Asmira, baru
masih menjaga dirinya. Dengan berkah dan restunya, Asmira


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sang Dewa Matahari tembok istana, terdengar menyam "Mau omong apa kau Bartimaeus?" kata
"Aku tahu, aku tahu."
Dan apakah kita bebas?" tambah Faquarl dengan tajam. "Lihat
"Jadi, tidakkah kau ingin kita memakannya sekarang?" kata Faquar
"Ya!" teriakku. "Baiklah, aku ingin memakannya! Sekian, aku sudah men
masalah ini, tentu saja. tempat yang terang. Dia tidak pernah berhenti mengoceh. Yang
"Kau lihat, manusia selalu saling menip
artinya kita harus melakukan hal yang s
kalau mereka saling menusuk, itu
Jangan pernah memberi kepercayaan kepada
manusia manapun. Makan mere
"Mereka semua bisa mengerti ap
suatu cara," tambah Faquarl. "Aku
kagum B menara tempat Khaba tinggal tidak
menjelma menjadi bentuk semacam singa mulia, kesatria yang tampan atau
"Kalian boleh teru diocehkan Faquarl adalah sungguh benar. Ya, gadis itu melakukan usaha terpayahnya untuk berbicara atas nama
kami. Benar, dia melenggang pergi bersama master kami yang menjijikkan itu tanpa menoleh
gadis arab itu. Ada sesuatu dalam dirinya yang m
Bukan penampilan, atau sejenisnya, at
-cakap. Juga caran cincinnya. Penuturannya yang samar-samar mengenai geografi Himyar.(1)
juga (dan ini bukan yang terakhir kalinya terjadi) k
seorangpun manusia lain di seantero
rombongan mereka punya penangkal jin dan segalanya.(2
(1) Kota Zafar ada di Himyar, seperti
paraoh. Zafar bukan "kota megah dari batu", tapi, cuma sekedar ibukota propinsi biasa, yang seharu
(2) dibaliknya, benda itu tidak lebih dari sejumlah kecil kepingan perak yang dirangkai dengan tali dari usu
mengantungkannya di dada mereka untuk memberikan peringatan singkat sesaat sebagai penangkal
pengaruh jahat, dan aku menduga terutama sekali bagi para makhluk halu
yang kutahu, benda-benda itu kira-kira seefektif sikat gigi yang terbuat dari coklat. Kau hanya perlu menjauh
dari peraknya dan mementung si empunya dengan batu atau semacamnya
berguna lebih dari itu. Coba pikir, g
paling gawat, tapi mustahil akan
ninggalkan sebuah di kepala si penyihir E
gagangnya dalam-dalam di bekasnya sudah redup dan kabur, tapi mata tajamku
masih Mungkin itu bukan utukku, tapi pastilah jin dari suatu golongan,
wanita. Sejak masa aku menjadi pelayan si Pendeta Putri Sumeria
akhirnya aku sendiri mengubur si Tua itu dalam makam bergaris-garis
kelam,( berjingkrakan di sekeliling semak
dengan cambuk roh mereka disebabkan ketidakbijaksanaan perilaku
saat secara kebetulan merobohkan ziggurat mereka atau tertawa di
(3) Himyar yang jauh, agak lebih menarik
henti-hentinya), pertanda
(4) (4) Pada kedalaman dan keluasannya yang tak hingga kanopi
duduk di sekitar lereng pegunungan atau tempat macam bubungan atap, menatap angkasa. Y
mencoba melakukannya pada hari-hari kejayaan Uruk
Bulan merangkak lebih tinggi, dan gumaman di jalan-jalan di bawah perlahan semakin samar.
Dengan gerbang kota yang sud
di jendela, Tinggi di atas menara Khaba lingkaran imp t
terhadap politik regional di daerah pesisir timur
Mediterrania suara m "Bartimaeus dan Faquarl!" katanya. "Perhatikan baik-baik! Kalian diingin
foliot, dia menyandarkan "Dia ingin kalian menemuinya di
sikunya yan apartemen pribadinya dalam rang
Aku dan Faquarl mengubah duduk kami ke posisi yang leb
"Nooooooo, tentu saja bukan, kalian idiot!"
memangg tidak kelihatan baik bagi yang manapun dari kalian, bukan
banyak yang turun matanya. "Tidak informasi yang barusan mereka dengar
dan perasaan lega yang luar biasa bahw
mereka yang berkeinginan tiang Gezeri menutup batunya seperti semula, dan kamipun
ditimpa kegelapan. Menara Khaba, adalah satu diantara menara-menara terti
lem, yang terdiri dari banyak lantai. Exteriorny
pada kebanyakan hari yang cerah
tampak terang diselimuti cahaya; bagian da
dengan dibelakangnya. Pintu lain terlewa
kami berkeliaran di seputar makhluk halu "Tidak perlu kaw "Kapanpun aku terjebak bersamamu, aku kh
Kebawah, -gelapannya yang remang-remang, mungkin disebap
setiap ay -suara tertentu. Aku dan Faquarl berhenti
Tak ragu lagi, jika kami memiliki cukup waktu dan juga rapalannya, akan ada banyak benda
aneh yang bisa kami amati dan pelajari di tempat menakutkan ini. Si penyihir jelas melewatkan
banyak waktunya disini, dan menanamkan usaha yang amat besar untuk membuat dirinya
merasa seperti berada di rumah. Batu berukir yang luar biasa besar di lantai, dinding dan langitlangitnya bergaya mesir, dan begitupula sepasukan, agak berbentuk gelembung, tiang-tiang
penopang blok batu langit-langit yang berdiri pada tempatnya. Sebagai tambahannya adalah
ukiran bunga papyrus di titik tertinggi pada setiap pilar dan bau-bauan lengket dupa dan natron,
dan kita bisa saja sedang berada di salah satu catacomb di dasar kuil-kuil Karnak alih-alih di
suatu tempat jauh di bawah bukit Jerusalem yang sibuk.
Khaba telah mengotak-kotak ruang kerjanya dengan peralatan dan pernak-pernik sihir dalam
jumlah yang luar biasa besar, demikian juga tumpukkan mengesankan gulungan-gulungan dan
tablet-tablet yang dirampas dari perada-ban-peradaban yang telah lama hilang. Tapi apa yang
benar-benar menarik mata kami saat kami memasukinya adalah bukan dekornya yang
mengagumkan, ataupun perlengkapan-perhiasannya, melainkan fakta-fakta tentang hobi orang
itu yang lebih pribadi. Dia selalu tertarik pada kematian.
Ada setumpukan besar banyak sekali tulang-belulang ditumpuk jadi satu.
Ada sekabinet penuh tengkorak.
Ada serak penuh mumi " beberapa jelas sangat tua, lainnya masih sangat baru.
Ada sebuah meja panjang rendah yang melandasi segepok peralatan metal tajam, dan kendikendi kecil, dan berpot-pot perekat dan salep, dan selembar baju yang agak berlumur darah.
Ada sekolom kolong pemumian yang barusaja diisi pasir.
Dan, karena saat dia selesai menghamburkan waktunya bermain dengan manusia mati, dia
membutuhkan alat permainan dari jenis yang berbeda, disanalah ada sangkar-sangkar rohnya.
Mereka disusun dalam lajur-lajur rapi di sudut terjauh ruang bawah tanah itu. Beberapa
berbentuk persegi kasar, yang lainnya silkuler atau berbentuk seperti gelembung bola lampu,
dan pada plane-plane rendah mereka tampak terbuat dari jala besi, yang dengan sendirinya
sudah cukup buruk.(5) Tapi pada plane-plane yang lebih tinggi lah kengerian mereka yang
sesungguhnya terkuak. Karena masing-masing mempunyai tambahan yang terbentuk dari tali
pembatas pencabik roh yang padat yang membuat para penghuninya yang sangat kesakitan
tetap berada di dalam. Sepertinya dari sinilah suara-suara ribut itu datang ?" suara rendah
cicitan dan permohonan, sekali-sekali jeritan mengerikan terputus-putus dari bahasa-bahasa
yang tidak bisa lagi diingat dengan baik oleh si pengujar.
(5) Seperti halnya perak, besi menolak semua semua makhluk halus, dan membakar roh kami jika kami
menyentuhnya. Kebanyakan penyihir Mesir mengenakan ankh besi di leher mereka sebagai proteksi
dasar. Khaba tidak, tentu saja. Tapi Dia punya sesuatu yang lain.
Aku dan Faquarl berdiri sangat diam, merenungkan kata-kata Gezeri.
Tidak banyak yang turun ke sana naik kesini lagi dengan cepat.
Sebuah suara yang berasal dari kedalaman ruangan itu terdengar, suara pasir dan debu.
"Budak, ikuti aku."
Kedua imp tersandung kedepan dengan semacam keengganan menyakitkan yang mungkin
membuatmu berpikir bahwa sebuah batu tajam menyangkut pada balutan rok kami.(6)
(6) Kebetulan, hukuman semacam ini benar-benar ada, diciptakan oleh orang-orang Xan di Afrika Timur
khusus untuk para pemimpin korup dan pendeta-pendeta gadungan. Dengan pakaian mereka yang
dengan indah diisi batu, mereka dipaksa untuk mendekam di dalam tong, yang kemudian digelindingkan
menuruni bukit menuju alam liar. Aku menikmati pertemananku dengan orang-orang Xan. Mereka
menghidupkan hidup ini menjadi lebih hidup.
Di tengah ruangan, tepat di pertengahan jalan di antara empat tiang terdapat lingkaran yang
digambar pada lantai yang ditingikan. Bibir lingkarannya dibuat dari lapis lazuli putih, dikelilingi
Hieroglyph Mesir yang berisi lima kalimat pengikat utama. Di dalamnya terdapat pentacle batu
onyx hitam. Tak jauh dari situ, dalam lingkaran yang lebih kecil, berdiri mimbar dari gading dan,
dibaliknya, membungkuk seperti burung heriang menunggui makanannya, sang penyihir sendiri.
Dia menunggu saat kami menghampirinya. Lima batang lilin telah dinyalakan di sekeliling tepi
lingkaran di lantai yang dinaikkan itu, menyala dengan lidah api hitam.
Mata Khaba yang basah memantulkan sinar jahat. Di balik kakinya, bayangannya melesak
menyerupai benda tak berwujud.
Aku dan Faquarl berebut tempat saat berhenti, kami mengangkat wajah kami menyuarakan
tantangan. Master kami berbicara. "Faquarl dari Mycenae" Bartimaeus dari Uruk?"
Kami mengangguk. "Aku ingin memerdekakan kalian."
Sepasang imp mengerjap. Kami melongo menatap si penyihir.
Jemarinya yang kelabu mengelus mimbar; kukunya yang melengkung mengetuk-ketuk
gadingnya. "Ini bukan karena keinginanku sendiri, budak-budak busuk macam kalian. Kalian
menjalankan suatu perbuatan siang tadi semata-mata adalah karena perintahku, maka dari itu
kalian tidak pantas mendapatkan pujian karenanya. Tetapi, seorang pengelana yang kalian
selamatkan " seorang gadis yang tidak tahu menahu sama sekali akan kebusukan kalian
karena dia berkepribadian lembut dan murni" " matanya yang berjilat menatap kami satu demi
satu; dibalik pilar-pilar para tawanan dalam sangkar roh mendengus dan bersuara rendah "
gadis bodoh ini terus-menerus mendesakku untuk melepas kalian dari pelayanan kalian
padaku. Dia benar-benar gigih." Khaba menyipitkan bibirnya yang tipis. "Akhirnya aku
menyanggupi permintaannya, dan karena dia adalah tamuku dan aku telah bersumpah
padanya dengan nama Ra yang agung, sekarang ini adalah janji yang suci. Sebagai akibatnya,
jauh menyimpang dari penilaianku yang jauh lebih adil, aku akan memberi kalian penghargaan
sekadarnya." Hening saat aku dan Faquarl merenungkan implikasi dari apa yang baru saja kami dengar,
meneliti sampai ke dalam seluk-beluk dan perbedaan nuansa terhalus kalimatnya, dan
kemudian menatap si penyihir dengan penuh kewaspadaan dan keragu-raguan.(7)
(7) Kami berdua sudah banyak makan asam garam, kau lihat, insaf akan kedwiartian terselubung yang
terkandung dalam sepatah bahkan kalimat yang paling lemah lembut menyejukkan hati sekalipun.
Membebaskan kami kedengarannya bagus, harusnya, tapi persoalan seperti ini membutuhkan klarifikasi;
dan seperti umumnya bagi kami kata-kata memberikan "sekadar penghargaan" kepada kami " yang
keluar dari mulut seseorang macam Khaba, menjadikan frase itu hampir-hampir tampak sebagai
ancaman terang-terangan. Khaba membuat suara kering, bosan dari belakang tenggorokannya. "Kenapa begitu ragu-ragu,
budak" Faquarl, kau akan menjadi yang pertama meninggalkan pelayanan. Majulah, kalau kau
mau." Dia membuat isyarat mempersilakan ke arah lingkaran. Kedua imp me-nimbang-nimbang sekali
lagi dan tidak menemukan perangkap teramati di plane manapun. "Kelihatan asli." Aku
bergumam. Faquarl mengangkat bahunya. "Well kita lihat nanti. Jadi Bartimaeus, dilihat dari satu segi atau
yang lain, ini adalah perpisahan. Mungkin perlu seribu tahun sebelum kita bisa bertemu lagi!"
"Kenapa tidak menjadikannya dua?" kataku. "Tapi sebelumnya, sebelum kau pergi, aku ingin
kau mengakui sesuatu. Aku benar, kan?"
"Tentang gadis itu" Faquarl menggelembungkan pipinya. "Well, mungkin kau memang benar,
tapi itu tidak mengubah pendirianku. Manusia itu untuk dimakan, dan kau terlalu lembek."
Aku menyeringai. "Kau cuma iri pada intelegensiaku yang tajam yang membawa kita menuju
kebebasan. Hanya dengan sekali lihat, aku bisa dengan jelas melihat kalau Cyrine?"
"Cyrine" Sekarang kalian saling menyapa nama depan?" Faquarl menggeleng-gelengkan
kepalanya yang berbonggol. "Kau akan membawa kematian padaku, Bartimaeus, kau benarbenar akan membuatku terbunuh! Pada suatu waktu kau pernah mendatangkan kehancuran
dan kesengsaraan pada raja-raja dan commoner. Kau adalah jin pembawa teror dan
penyandang legenda. Hari ini, mengajak gadis-gadis bicara adalah pekerjaanmu sehari-hari
selama di dunia " aku merasa mau menangis karena malu, Bartimaeus. Tak perlu susah-susah
menyangkalnya. Kau tahu semua itu benar." Selesai mengatakannya, dia melompat memasuki
pentacle, yang menyebapkan nyala api hitam lilinnya berlompatan dan menggeletar. "Baiklah,"
dia berkata pada si penyihir. "Aku siap. Sampai jumpa, Bartimaeus. Pikirkan masak-masak apa
yang kukatakan." Dan disanalah dia. Tidak berapa lama menunggu Faquarl ada di posisinya lalu si penyihir
membersihkan tenggorokannya dan mengucapkan Kalimat pembebasan. Kalimatnya adalah
varian Mesir dari versi asli Sumerianya yang tegas, singkat dan tajam dan oleh karena itu
sedikit terlalu panjang dan berbunga-bunga untuk membuatku menyukainya, tapi sekeras
apapun aku menyimaknya aku tidak melihat adanya muslihat apapun. Reaksi Faquarl adalah
apa saja yang bisa diminta dari keserakahan dirinya. Saat kalimatnya terselesaikan dan
ikatannya terputus, si imp di dalam lingkaran meneriakkan teriakan kegirangan, dan dengan
lompatan super tinggi ke atas dia melesap dari dunia ini.(8) Terdengar gauman rendah,
erangan dari sangkar-sangkar roh, kemudian hening.
(8) Untuk sesaat, saat rohnya terangkat lepas dari pembatasan Bumi ini dan terpengaruh oleh
ketakhinggaan kemungkinan Dunia Lain, tujuh Faquarl akan terlihat pada seluruh plane, masing-masing
Faquarl berada di tempat yang sedikit berbeda. Semua itu adalah pemandangan yang sangat
menakjubkan, tapi aku tidak akan melihatnya terlalu dekat. Satu Faquarl saja sudah lebih dari cukup
untukku. Faquarl telah lenyap. Faquarl bebas sekarang.
Aku tidak perlu melihat lebih jauh lagi. Dengan hentakan penuh semangat, si imp meloncat ke
dalam lingkaran. Berhenti sebentar hanya untuk membuat isyarat menghina ke arah dimana
Gezeri berada, yang mana sedang menatapku dengan marah dari jauh dari dalam bayangbayang, aku membersihkan diriku dari atas ke bawah, membetulkan posisi tonjolan keningku ke
sudut yang menarik dan berbalik menghadapi si penyihir.
"Baiklah," aku yang bicara. "Aku siap."
Khaba sedang meneliti selembar papyrus di mimbarnya. Dia tampak bingung. "Ah, ya,
Bartimaeus " sebentar."
Aku memantapkan diriku dengan menjadikan sikap tubuhku lebih riang lagi dari sebelumnya,
kaki bengkokku meregang lebar, kaki dengan indah dis-elipkan di pinggul, kepalaku kutarik
mundur, kedua dagu ditonjolkan ke depan. Aku menunggu.
"Siap saat kau siap," Kataku.
Si penyihir sama sekali tidak melihatku. "Ya, ya ?"
Aku mengubah posisiku lagi, melipat tanganku dalam gaya tegas. Aku mempertimbangkan
untuk melebarkan jarak antar kakiku agak sedikit lebih jauh lagi, tapi kemudian memilih
membiarkannya saja. "Masih disini," kataku.
Kepala Khaba tersentak; matanya bersinar seperti laba-laba raksasa dalam cahaya remangremang hijau kebiruan menjelang petang. "Susunan katanya benar," katanya, dengan nada
puas paling kering yang pernah kudengar. "Prosedurnya seharusnya sukses ?"
Aku terbatuk sopan. "Aku sangat senang," kataku. "Kalau kau bisa membebaskanku sekarang,
kau bisa kembali melanjutkan pekerjaanmu it " terserah apapun yang sedang kau lakukan i ?"
suaraku mengambang pada detik ini. aku tidak menyukai kilatan pada matanya yang besar, dan
pucat itu. Dia menunjukkan senyuman bibir tipisnya juga, bersandar ke depan, kuku-kuku mencengkram
mimbar membacanya seakan dia ingin memotong tembus gadingnya. "Bartimaeus dari Uruk,"
dia berkata perlahan, "kau tidak mungkin membayangkan bahwa setelah semua masalah


Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertubi-tubi yang kau berikan padaku, setelah menyebabkan raja Solomon sendiri
menyalahkanku yang menjadi alasan mengapa aku dilemparkan ke gurun, setelah menganiaya
Gezeri yang malang di lokasi penambangan, setelah rangkaian perbuatan kasar dan
ketidakpatuhanmu yang tanpa akhir " kau tidak mungkin membayangkan kalau, setelah semua
itu, aku akan membiarkanmu pergi begitu saja."
Ditempatkan seperti itu, aku mengira akan ada sedikit kejutan. "Tapi bandit-bandit," aku
memulai. "Ini adalah terimakasih padaku kare?"
"kalau bukan gara-gara kau," kata si penyihir, "mereka bukan urusanku sama sekali."
Sejujurnya memang benar. "Baiklah," kataku, "tapi bagaimana dengan pendeta wanita itu" kau
baru saja berkata kalau?"
"Ah, ya, Cyrine yang mempesona," Khaba tersenyum, "siapa yang dengan senang hati percaya
bahwa seorang gadis sederhana dari suatu tempat terpencil dan liar akan berdansa waltz
empat mata untuk bicara dengan Solomon. Malam ini dia akan menghadiri perjamuan bersama
sebagai tamuku dan akan terperdaya oleh kemeriahan istana; besok, mungkin, kalau Solomon
sibuk dan tidak punya waktu terluang, aku bisa membujuknya untuk pergi jalan-jalan
Rahasia 180 Patung Mas 14 Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Iblis Bunga Kemuning Biru 1
^